Senin, 07 Mei 2018

Cerita Silat Pendekar Lengan Buntung 1



Cerita Silat Pendekar Lengan Buntung 1
------

Baca Juga:

PENDEKAR LENGAN BUNTUNG KIM TIAUW
2
Hujan rintilk rintiik.
Bintang dan rembulan redup.
Berpisah dengan kekasih, air mata berrcucuran. Harapan kini....
Tak pernah tercapai. ..
Oh kasih di mana kau berada?
..... Cinta Sedalam samudra.
..... Benci seluas Jagadl, Sampai kapan kasih baru berjumpa?
Air mata kasih.
Senyuman benci.
Kasih sayang tinggal kenangan. Berpisah hari ini.
Sampai kapan baru, bersua?
Hanya nasib dan takdir yang menentukan.
Bait syair tersebut terdapat dalam sebuah lagu dibalik lagu terkandung dua buah roh yang suci, seorang gadis yang menciptakan bait lagu dengan darah dan air matanya untuk dipersembahkan kepada seorang lelaki yang paling dikasihani
Bait lagu itu mereka namakan lagu putus cinta
Semasa masih kanak-kanak mereka adalah sepasang sahabat karib yang setiap hari bermain bersama.
Setelah menanjak dewasa, mereka berubah menjadi sepasang kekasih yang paling mengasihi
Mereka saling bercinta. Mereka saling berdoa.
3
Gunung Tiang-pek-san tengah diselimuti salju putih laksana tebaran kapas memutih bersih memancarkan sinar perak, tatkala matahari pagi membersitkan sinarnya hangat kemerah-merahan. Udara pagi di puncak gunung itu sangat dingin sekali, meskipun matahari pagi sudah mulai mencairkan bungkahan-bungkahan salju yang bergumpal laksana permata yang dalam kristal tata warna yang indah sekali. Pantulan sinar matahari membersit merah jingga membayang dalam gumpalan salju yang menipis menutupi pepohonan dan rumput-rumput hijau menghampar di tanah. Suasana demikian sunyi mati. Hanya sekali-sekali terdengar suara air terjun di sebelah barat menumpahkan air yang tak kunjung henti dan menerbitkan irama lagu di lembah sunyi. Amat tenang dan damai sekali suasana di tempat ini. Jauh di sebelah sana terhampar sawah ladang menghijau dan di kaki bukit ini berduyun-duyun para petani telah mulai pergi ke sawahnya dan menyibukkan diri menggarap tanah pegunungan yang amat subur untuk ditanami. Mereka bernyanyi-nyanyi riang menyaingi kicau burung yang beterbangan meninggalkan sarangnya. Embun menurun lambat dari puncak Tiang-pek-san. Salju mulai mencair merupakan tetesan air dingin membasahi pepohonan dan rerumputan menghijau segar. Serombongan burung belibis beterbangan di angkasa ketika suasana yang sunyi mati itu dipecahkan suara mendesing keras. Suara senjata beradu, disusul dengan suara nyaring dari seorang gadis remaja.
4
“Tiang suheng, mengapa sih kau keras kepala?” “Sumoay!” terdengar orang yang dipanggil Tiang suheng oleh si gadis tadi, “Aku harus pergi, harap kau tidak menghalang-halangiku, kelak kita akan bertemu kembali.” Sekali menggerakkan tubuhnya orang muda itu meloncat jauh dan berlari dengan amat cepatnya. Akan tetapi sekali si gadis mencelat iapun sudah berkelebat mengejar dan sebentar ia pula si gadis telah berdiri di depannya. Segelintir air mata si gadis meleleh lewat ke dua pipinya. Dan tangannya yang kecil dan halus itu menghapus. Lalu memandang lagi ke arah suhengnya. “Tiang suheng, jangan….. kau pergi……. jangan kau mengantarkan jiwa sia-sia,” terdengar suara si gadis itu terisak. Matanya basah oleh genangan-genangan air yang hendak pecah. Terharu juga hati si pemuda yang dipanggil Tiang suheng oleh si gadis tadi. Ia melangkah maju dan memegang ke dua bahu si gadis. “Sumoay, harap kau tidak menguatirkan keadaanku. Aku bisa menjaga diri. Biar bagaimanapun lihay seperti setan sekalipun aku tetap akan mencari musuh-musuh yang telah menghancurkan Tiang-pek-pay dan yang telah membunuh suhu. Aku akan mengadu nyawa dengan Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay, dan Te-thian Lomo........!” “Suheng kau gila, mana kau dapat menandingi mereka?”
5
“Biarlah sumoay, matipun tidak mengapa untuk demi bakti kepada Tiang-pek-pay dan arwah suhu yang masih penasaran ini!” Suara pemuda itu terdengar bersemangat. Dadanya yang bidang agak terangkat ke atas. Matanya bersinar-sinar. “Suheng, kau ini sok pandai! Terlalu tekebur! Apa kau kira kau dapat menandingi mereka itu? Jangan tekebur suheng, kepandaian kita masih jauh untuk menuntut balas!” “Sumoay…… apakah kita harus berpeluk tangan saja?” “Bukan begitu suheng. Tentu saja kita harus menuntut balas, akan tetapi, sekarang ini belum waktunya. Kita harus tunggu susiok dari Hong-san dan belajar kepadanya.” “Maaf sumoay, aku tak mau menanti susiok. Biarlah kalian tinggal menanti susiok dan belajar daripadanya. Kelak kita akan betemu lagi......!” berkata begitu pemuda itu membalikkan tubuhnya dan hendak berjalan. Akan tetapi, baru beberapa tindak ia melangkah tahu-tahu di belakangnya terdengar suara nyaring. “Hahaha! Tiang Le…… kau memang besar kepala. Tidak bisa dibilangin sekali. Biarlah aku mengujimu…… sekiranya kau dapat menahan pedangku ini, boleh kau pergi meninggalkan Tiang-pek-pay!” “Siiing!” terdengar suara pedang ditarik dari sarungnya. Terkejut sekali Tiang Le melihat bahwa di belakangnya mendatangi It-suheng dan jie-suheng. Dan orang yang berkata tadi adalah It-suhengnya yang bernama Liok Kong In, yang sudah berdiri di depannya dengan pedang terhunus.
6
“Liok Suheng…….!” “Bagus Tiang Le. Setelah Tiang-pek-pay mengalami kehancuran, lantas kau hendak mabur?” tegur Liok Kong In, murid pertama dari Tiang-pek-pay. “Liok suheng……, aku harus pergi.......” “Pergi?” Liok Kong In mengerenyitkan keningnya. “Betul suheng, aku harus pergi menuntut balas kematian suhu!” “Tolol! Apa kau kira sudah cukup pandai dapat menandingi Bong Bong Siangjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo itu?” “Aku tahu bahwa kepandaianku masih dangkal suheng, akan tetapi....... biarlah aku hendak mengadu nyawa dengan mereka!” “Setan! Daripada kau mampus di tangan musuh lebih baik pedangku ini yang mencabut nyawamu. Tiang Le bersiaplah!” Pedang di tangan Liok Kong In berputar di atas kepala. Suara angin berdesing saking kuatnya putaran pedang itu. “Suheng….. Liok Suheng….. aku…… aku tak ingin berkelahi….. biarkanlah aku pergi….. ahh!” Tiang Le gugup sekali melihat suhengnya yang pertama ini sudah menggerak-gerakan pedangnya. “Lihat pedang!” Pedang di tangan Liok Kong In berkelebat menyambar leher Tiang Le.
7
Terkejut bukan main melihat betapa suhengnya ini benar-benar menyerangnya dengan jurus-jurus silat yang kuat dan ganas. Segera saja Tiang Le yang merasa segan untuk mengangkat pedang melawan suhengnya yang pertama ini, dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya ia sudah mengelak ke sana ke mari menghindarkan sambaran-sambaran pedang Kong In yang bertubi-tubi menyerangnya. Sementara itu, si gadis, yang mula-mula mencegat Tiang Le menjadi pucat wajahnya melihat betapa It-suhengnya benar-benar menyerang Tiang Le. Dengan gerakan cepat ia sudah menarik pedangnya dan menyerbu ke tengah arena pertempuran. Pedangnya menangkis pedang Kong In. Sehingga saking kuatnya dua orang muda ini mengadu pedang membuat sinar pedang berkeredepan muncrat laksana bunga api. Melihat betapa sumoaynya menahan pedangnya Liok Kong In menjadi panas hatinya. “Sumoay, kau gila!” “It-suheng, Kaulah yang gila dan sinting. Mengapa kau menyerang Tiang suheng?” “Hemm, jadi kau hendak membelanya sumoay?” “Bukan aku membelanya tapi aku tidak….... tidak suka melihat saudara seperguruan baku hantam seperti itu.” “Dia keras kepala, patut dihajar, minggirlah!” “Tidak suheng, tidak boleh kau menyerang!”
8
“Kau, apa hubunganmu dengannya?” Liok Kong In bertanya heran. Sementara hatinya jadi panas bukan main. Entah mengapa dia tak senang sumoaynya ini membela Tiang Le. Tentu saja mudah diduga. Ia menaruh hati kepada sumoaynya yang bernama Lie Bwe Hwa, memang. Betul, Liok Kong In ini secara diam-diam telah menaruh hati kepada Bwe Hwa. Oleh sebab itulah tadi ketika ia melihat betapa Bwe Hwa menahan Tiang Le dan dilihatnya betapa intim hubungan keduanya, darah di dada Kong In hendak meledak rasanya. Ia sendiri sampai heran, kenapa ia menjadi marah kepada sutenya ini? “Hwa-sumoay, kau…… jangan kau mencampuri urusanku…….!” Kembali Liok Kong In maju hendak menyerang Tiang Le. Akan tetapi tiba-tiba jie-suheng yang bernama Song Cie Lay telah maju menengahi. “Sudahlah suheng……. tidak perlu dibuat ribut besar. Biarlah kalau Tiang Le sute hendak pergi meninggalkan Tiang-pek-pay, kita tak boleh menghalanginya…… mungkin dalam perantauannya itu Tiang Le sute akan mendapatkan pengalaman dan memperdalam ilmu silatnya……,” berkata Song Cie Lay. Memang Song Cie Lay ini berwatak halus dan tidak seperti Liok Kong In yang berangasan dan sering panas hati. Diam-diam Tiang Le merasa berterima kasih kepada jie-suhengnya ini. Ia menoleh kepada Song Cie Lay dan tersenyum. Mengangguk kepada Lie Bwe Hwa, lalu tanpa bercakap apa-apa lagi ia telah berlari cepat menuruni pegunungan Tiang-pek-san.
9
Tiang Le berlari amat cepat sekali. Sengaja ia tidak memperlambat perjalanannya karena sesungguhnya ia tidak ingin kalau It-suheng nya yang berangasan itu mencegahnya lagi. Apabila ia sudah sampai di lereng bukit barulah ia memperlambat jalannya. Pemandangan alam di sekitar pegunungan Tiang-pek-san ini indah sekali. Tidak lagi dipenuhi oleh salju yang dingin seperti di puncak. Di lereng ini banyak sekali pohon-pohon menghijau, sungai-sungai yang jernih dan air pancuran yang mengalirkan airnya yang tak kunjung habis. Di sini ini, betapa senang dan damainya. Pada jalan yang kecil ini, ia berjalan perlahan. Pandangan matanya terarah jauh ke muka. Dari kejauhan terdengar suara kerbau menguak memecah kesunyian. Dan lagu seruling yang dimainkan anak gembala membuat Tiang Le menoleh ke samping kirinya. Ia melihat anak kecil yang asyik sekali menyuling sambil duduk di punggung kerbau yang berjalan lambat-lambat sambil merumput. Senang sekali hati si kerbau akan rumput-rumput yang gemuk di bawah kakinya. Sebentar-sebentar ia mengangkat kepalanya dan menguak. Tertunduk lagi. Merumput lagi. Memang suasana di lereng bukit ini sangat indah sekali pemandangannya. Diam-diam Tiang Le mengagumi akan keindahan alam ini. Diam-diam ia memperhatikan si anak gembala menyuling. Diam-diam ia juga menyenangi suara kerbau menguak. Memang sesungguhnyalah bahwa semuanya ini tidak berada di puncak. Di puncak hanya ada salju-salju yang bengumpal-gumpal. Tidak ada di sana kerbau merumput, atau kerbau meluku. Oleh
10
karenanya tiada pernah terdengar suara kerbau menguak, apalagi suara seruling anak gembala. Tak ada! Tiang Le termenung. Tiang Le duduk di pinggir jalan kecil pada sebuah batu yang menonjol. Tiba-tiba namanya dipanggil seseorang. Suara itu merdu sekali. Suara seorang gadis. “Tiang suheng…….!” “Sian Hwa……!” Tiang Le melihat bahwa yang memanggil namanya tadi adalah sumoaynya yang kedua, Liem Sian Hwa. Gadis itu berjalan menghampirinya. Senyumnya yang cerah menghias sepasang bibirnya yang merah berkilat ditimpah cahaya matahari. Mata Liem Sian Hwa bersinar memandang Tiang Le. “Tiang suheng, aku turut denganmu!” “Sian Hwa…… mengapa kau ke mari?” tanya Tiang Le. “Aku mau ikut kau suheng,” sahut Sian Hwa. “Jangan Sian Hwa-moay, jangan kau ikut denganku.” Ah, Tiang Le mengeluh. Benar-benar sulit ia meninggalkan Tiang-pek-san ini. Baru saja ia tadi dihalang-halangi oleh suhengnya Liok Kong In dan Bwe Hwa. Sekarang datangnya lagi sumoaynya, Sian Hwa. Benar-benar membuat ia geleng-geleng kepalanya.
11
“Suheng aku mendengar dari suci Bwe Hwa katanya kau telah turun gunung hendak mencari musuh-musuh suhu, makanya aku cepat-cepat mengejarmu. Untung kau belum jauh dan aku dapat mengejarmu. Eh suheng yang baik hati bolehkah sumoaymu ikut denganmu?” Tiang Le menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia memandang sumoaynya. Menatap tajam. “Sian Hwa-moay janganlah kau menghalang-halangiku!” suara Tiang Le perlahan. Ia sebenarnya tidak tega menyakiti hati Sian Hwa. Entah mengapa dengan Sian Hwa hatinya lemah. Dan sesungguhnya ada kegirangan hati waktu mendengar Sian Hwa hendak ikut dengannya, ada dirasakan kehangatan itu waktu gadis ini muncul di depannya. Tetapi tentu saja ia menyadari tak mungkin gadis ini ikut dengannya. Ia tahu benar bahwa jie-suhengnya yang bernama Song Cie Lay itu diam-diam mencintai Sian Hwa dan ia tidak boleh menyakiti hati jie-suheng. Tak boleh. Tiang Lee menggelengkan kepala. Sian Hwa menghampiri, menyentuh lengan suhengnya. “Seeer!” darah di tubuh Tiang Le berdesir mengeluarkan gejolak hati, waktu lengannya disentuh tangan halus Sian Hwa. Gila! Tiang Le berteriak dalam hati. Tak boleh terjadi. Tak boleh terjadi! Tak boleh. Tak boleh aku berperasaan dengan sumoay! 'Tiang suheng, aku ikut ya?” Sian Hwa merajuk.
12
“Jangan sumoay!” “Mengapa suheng?” kini Sian Hwa menatap Tiang Le. Tiang Le melihat tatapan sinar mata gadis begitu sayu dan lembut, dan apabila setetes air bening itu melonjak antara kedua pipi si gadis. Ingin sekali ia mengangkat tangan ini dan menggerai-gerai menghapusi lembut pipi-pipi yang basah itu. “'Sumoay…... jangan kau memberatkan hatiku. Jangan kau menangis...... ah,” Tiang Le mengeluh. Hatinya merenyuh. Ingin sekali saat itu ia menghibur sumoaynya ini. Memeluknya erat-erat. Dan mengatakan: jangan kau menangis sayang....... jangan membuat hatiku susah. Akan tetapi Tiang Le berkata: “Pulanglah sumoay…... kembalilah ke puncak. Tentu suheng-suheng akan mencari-carimu!” Sian Hwa menggelengkan kepalanya. Sementara air matanya bertambah bersari-sari bertambah lembab tatapan mata itu, bertambah basah…… “Tidak!” “Sumoay!” “Tiang suheng aku tak mau kembali ke puncak, kalau kau pergi aku juga harus turut bersamamu.”
13
“Sian Hwa-moay jangan memberatkan perjalananku…...., jangan membuat hatiku bimbang.” “Tiang Le! Apakah aku ikut denganmu lantas memberatkan kakimu? Apakah aku minta digendong? Aku bisa jalan sendiri aku punya kaki!” Kini Sian Hwa membanting-bantingkan kakinya. Air matanya bertambah bercucuran. “Celaka!” teriak Tiang Lee, kalau sumoaynya ini berbuat demikian susahlah untuk mencegahnya. Ia tahu sumoaynya ini keras hati. Apalagi kekerasan hatinya disertai air mata, mampus ia. Mana Tiang Le tega untuk membiarkan sumoaynya berbuat demikian. Ia pusing tak tega melihat wanita menangis. Paling takut! Tiang Le, kau lemah hati! “Sumoay…... sudahlah, jangan begitu. Baiklah kalau kau masih bertekad untuk mengikutiku. Bolehlah! Tapi ingat Sian Hwa-moay, mengikutiku....... tidak sama tinggal di puncak. Kau akan mengalami banyak kesusahan dan kesengsaraan, Hwa-moay,” berkata Tiang Le, memegang kedua bahu Sian Hwa. Tiba-tiba Sian Hwa tersenyum. Manis sekali senyum gadis itu di antara deraian air mata yang masih melencah-lencah lincah. Terkesiap juga Tiang Le. Aneh memang sumoaynya ini, sebentar marah-marah dan menangis, sebentar tersenyum dan tertawa. “Terima kasih Tiang koko,” Ia tidak menyebut Tiang suheng lagi. Akan tetapi sebutan barusan betapa mesranya terucap dari ke dua belahan bibirnya Sian Hwa dan Tiang Le menyadari ini. Tanpa berkata apa-apa lagi ia menarik tangan Sian Hwa seraya berkata: “Hayo kita berangkat sekarang!”
14
Maka kedua orang itu berjalanlah perlahan dan lambat-lambat menyusuri tepian jalan kecil di lereng gunung. Indah sekali pemandangan ini dirasakan oleh Tiang Le. Segala yang dilihatnya itu sekalian alam ini menyambutnya dengan senyum berseri-seri. Mega mendung di puncak menurun lambat. Sementara matahari di atas kepala mulai tersapu awan hitam yang menutupi. Seekor kerbau berlalu menyilang di depannya. Menguak panjang membawa seorang anak gembala yang tadi meniup suling. Burung-burung di atas berterbangan rendah. Tiang Le berjalan di samping kiri Sian Hwa. “Sian Hwa-moay kita harus mempercepat...... Lekaslah, sebentar lagi tentu hujan akan turun.” Tiang Le menyangga tangan si gadis. Sian Hwa mempererat pegangan tangan itu. “Hayolah Tiang koko, kita mencari tempat berteduh,” sahut Sian Hwa menyentak tangan itu. Tiang Le menoleh. Ingin sekali ia bertanya, Sumoay, mengapa kau menyebut Tiang koko (kanda Tiang) mengapa tidak Tiang suheng? Akan tentu saja Tiang Le tak sempat menanyakan itu karena titik hujan sudah terasa jatuh menimpah mukanya. Di atas awan hitam sedang memberat hendak jatuh.
15
“Sian Hwa-moay..... sudah mulai hujan cepatlah!” seru Tiang Le dan ke duanya berlarian di pematang persawahan itu. Hujan tiba-tiba menderas. Kilat dan guntur menggelegar. Kini ke dua-duanya menjadi basah kuyup. Tempat berlindung tidak ada di tengah-tengah pesawahan yang luas itu. Sementara hujan semakin menggila. Menghempas tubuh ke dua orang muda yang tengah berlari-lari mencari tempat untuk berteduh. Di sebelah depan nampak kabut putih bergulung-gulung, petir menyambar tiga kali mengejutkan Sian Hwa. “Koko…….!” “Hwa-moay…....” Tiang Le memeluk tubuh sumoaynya yang telah basah kuyup. Kasihan sekali hatinya melihat sumoaynya sudah menggigil kedinginan. Wajahnya biru. Sebuah petir menyambar lagi berkeredep menerangi alam yang tertutup kabut. Di antara keredepan kilat itu, Tiang Le berteriak girang “Hwa-moay...... di sana itu ada sebuah pondok, hayo kita ke sana!” Tiang Le menarik tangan Sian Hwa. Benar saja ada seratus meter mereka berjalan di depan itu, di tengah, pematang sawah, sebuah pondok tua terdapat di situ. Berkereot hendak rubuh pondok itu dipermainkan angin kencang yang bertiup membawa deraian air hujan. Tanpa memperdulikan keadaan pondok yang hampir rubuh itu Tiang Le dan Sian Hwa memasuki ke dalam. Setelah Tiang Le meneliti, legalah hatinya karena pondok itu cukup tahan dari
16
serangan angin dan tak mungkin rubuh. Di dalamnya cukup lega. Berukuran empat persegi dan di sana terdapat sebuah dipan kayu dan banyak jerami terdapat di kolong dipan itu. Kini, di sini ini mereka terhindar dari serangan angin dan hujan yang menggila bagai dicurahkan dari langit. Melihat Sian Hwa menggigil pucat, segera Tiang Le mengambil seunggukan jerami kering dan sebentar pula pondok itu sudah menyala api unggun yang menjilat di tengah-tengah ruangan pondok. Merasa hawa panas dan segera Sian Hwa mendekati api unggun itu. Tiang Le tertawa sambil mengusap tetesan air hujan yang meleleh di pipinya dan menggeraikan rambutnya yang basah. “Hwa-moay……. inilah kesengsaraan pertama. Senangkah kau?” Di antara cuaca yang diterangi cahaya api unggun yang menjilat-jilat terhembus angin, Sian Hwa tersenyum. Manis sekali senyum itu. “Tiang Le koko....... denganmu, aku begitu pasrah. Janganlah hujan lebat seperti ini, biarpun api neraka yang membakar tubuhku, asalkan beserta dengan engkau, aku akan bahagia sekali Tiang koko,” suara si gadis itu tergetar menandakan suatu perasaan hati yang menggejolak. Tiang Le terkesiap. Betulkah itu perkataan yang keluar dari bibir Sian Hwa? Oh alangkah indahnya menyentuh-nyentuh liang hati yang kosong ini. Sudah lama ia mendambakan kata seperti itu yang keluar dari mulut sumoaynya. Sudah lama sekali. Tapi baru sekarang ini sumoaynya mengutarakan secara blak-blakan.
17
Dirasakan ada sesuatu perasaan hangat di hati Tiang Le. Bukan perasaan hangat yang memancar dari api unggun di depannya itu. Melainkan perasaan hangat yang membawa bahagia waktu gadis di depannya itu berkata: “Tiang Le koko....... dengan aku begitu, jangankan hujan lebat seperti ini, biarpun api neraka yang membakar tubuhku, asalkan beserta dengan engkau, aku akan bahagia sekali, Tiang Koko!” “Sumoay, Hwa moay-moay mengapa begitu, mengapa di dekatku engkau bahagia?” tanpa sadar Tiang Le bertanya begitu. Ingin sekali ia mendengar perkataan indah seperti tadi. Ingin sekali. Lama ia menanti. “Koko, sejak pertama kali kau datang di puncak Tiang-pek itu. hatiku sudah terpaut denganmu, aku mencintaimu koko!” “Moay-moay (adinda)……!” “Koko, aku tahu bahwa kaupun mencintaiku, pandanganmu itu yang mengatakannya kepadaku, sikap-sikapmu yang aneh itulah yang membuat aku yakin bahwa kau cinta kepadaku koko. Katakanlah bahwa kau cinta padaku…… legakanlah hatiku, koko!” hampir saja suara Sian Hwa menangis saking tak dapat ia mengendalikan perasaan hati. Matanya begitu sayu memandang Tiang Le. Sebuah kilat menyambar berkeredep menerangi wajah sayu itu. Tiang Le meletakkan jarinya di atas pipi yang basah. Tanpa disadari kedua tangannya itu merangkul Sian Hwa. Dan bagaikan ada tenaga magnit yang kuat luar biasa, tangan si gadis membalas pelukan Tiang Le. Ke dua-duanya kini saling berangkulan.
18
Hujan bertambah menggila. Langit di atas begitu muram. Diberati oleh awan-awan hitam berkejaran menutupi alam ini. Suara angin dan hujan meningkah menyaingi guntur yang menggelegar hendak memecah bumi. Sesosok tubuh manusia menggigil di luar pondok itu. Tubuh seorang gadis remaja yang tengah basah kuyup ditimpa butir-butir hujan yang merupakan peluru-peluru yang menimpah kepala dan tubuh gadis itu. Tubuhnya menggigil. Bukan menggigil karena dinginnya hujan. Akan tetapi ia menggigil melihat pemandangan di dalam pondok itu. Pamandangan yang membuat hatinya membara. Lama gadis itu berdiri di luar pondok itu mematung, sementara matanya bercucuran menjadi satu dengan air hujan yang menimpahi wajahnya. Kemudian dengan bentakan keras ia menerjang maju dengan pedang yang sudah terhunus di tangan. Pedang itu menggigil. Meluncur dengan amat cepatnya menyambar tubuh Tiang Le dan Sian Hwa yang tengah tenggelam dalam gelombang asmara yang mengombang-ambing! “Siiing!” Bagaikan disengat ular berbisa, tubuh Tiang Le mencelat ke atas membobolkan atap pondok dan ke dua-duanya itu terguling di tanah yang menggenang air. Begitu Tiang Le membalikkan tubuh dan berdiri, ia menjadi terkesiap. Kaget, melihat sumoaynya yang pertama itu sudah
19
menerjangnya lagi dengan gerakan-gerakan jurus ilmu pedang yang dahsyat. “Bwe Hwa tahan!” bentak Tiang Le mencelat ke kiri menghindarkan sambaran pedang yang amat kuat itu. Air hujan memercik tersambar pedang di tangan Bwe Hwa. Dada si gadis turun naik saking hebatnya, kawah apa itu hendak meletus dikungkungi api cemburu yang membuta. “Tiang Le, kau..... manusia binatang! Bilang mau mencari musuh, tidak tahunya kau menggoda sumoay di sini. Kau memang berhati palsu!” Pedang di tangan Bwe Hwa menyambar lagi. Hebat sekali sambaran dari jurus-jurus Tiang-pek-kiam-hoat ciptaan gurunya ini. Akan tetapi menghadapi Tiang Le yang sudah mengenal baik akan ilmu pedang itu, dengan mudah saja ia mengelak, dengan menonjolkan tubuhnya ke belakang, mata pedang itu lewat di depan dadanya. Dan sekali tangan Tiang Le bergerak, siku Bwe Hwa telah tertotok dan menjadi lumpuh seketika itu juga. Melihat ini Sian Hwa menghampiri sucinya. “Suci…….!” Bwe Hwa mendengus marah. Matanya berapi memandang Sian Hwa dan Tiang Le. Dadanya cemburu. “Sian Hwa, bagus sekali perbuatanmu. Jie-suheng Song Cie Lay menanti-nantimu dan mencari setengah mati, sedangkan kau disini enak-enakan berpacaran dengan sam-suheng, ah......... kepingin aku tahu bagaimana sikap jie-suheng melihat engkau berpelukan
20
seperti itu dengan sam-suheng. Benar-benar perempuan rendah, tak tahu malu.” “Suci....... apa maksudmu, mengapa kau berkata begitu?” tanya Sian Hwa pucat wajahnya. “Hi hi hik…... apa kau berlagak pilon Sian Hwa? Apa aku tidak tahu kalau jie-suheng itu mencintaimu? Kepingin sekali aku melihat jie-suheng mengamuk melihat pacarnya berbuat serong terhadap laki-laki lain!” “Bwe Hwa!” Tiang Le membentak. “Hmm! Tiang Le, kau juga sama berhati palsu, mampuslah kau!” kali ini Tiang Le menjadi terkejut sekali, mengapa dalam sekejap saja totokannya tadi pada siku Bwe Hwa telah terbebas. Tak dapat berpikir lama-lama ia karena pedang di tangan Bwe Hwa sudah mengamuk dengan sengit menyerang Tiang Le. “Suci, jangan kau berkelahi suci!” berkali-kali Sian Hwa menjerit-jerit memisahkan ke dua orang suheng dan sucinya itu. Angin bertiup sangat kencang sekali dibarengi suara petir yang masih berkeredepan di angkasa gelap. Limapuluh jurus sudah Tiang Le melayani sumoaynya ini. Tak mau ia mengangkat pedang, ia mengelak terus ke kiri ke kanan mundur ke belakang. Sepuluh meter di belakangnya itu mengalir deras sebuah sungai yang meluap airnya. Melihat Tiang Le mundur-mundur dan tidak balas menyerang, bertambah panas hati Bwe Hwa. Pedangnya dengan sengit
21
menyambar-nyambar berkeredep mencari sasaran di tubuh Tiang Le. Heran sekali. Mengapa ia begitu sengit sekarang terhadap suheng ini? Tak tahu ia, kini api cemburu telah membuat ia mata gelap. Pikiran sehatnya telah lenyap terselubung oleh pemandangan yang barusan menusuk-nusuk hatinya. Pemandangan di mana Tiang Le dan Sian Hwa berpelukan. “Keparat? Keluarkan pedangmu! Lawanlah aku, jangan mengelak begitu,” Bwe Hwa membentak. Memainkan pedangnya dengan sengit. “Bwe Hwa sumoay....... aku tidak ingin berkelahi. Sudahlah hentikan!” “Keparat! Manusia sombong, apa kau kira aku tidak dapat mengalahkanmu? Lihat pedang!” “Singgg!” “Suci…..!” Sian Hwa menerjang ke tengah-tengah dan menangkis pedang Bwe Hwa. Bertambah panas hatinya, ia mendelik memandang sumoaynya. “Sian Hwa……. kau hendak membela dia?” “Jangan kau menyerang dia suci…... sudahlah jangan bertempur.......!” suara Sian Hwa memohon. Ia memandang sucinya dengan air mata basah.
22
“Sian Hwa….. apa…... apakah kau….. mencintai Tiang Le?” tiba-tiba Bwe Hwa bertanya. Matanya tajam menusuk. Seakan-akan hendak menembus jantung hati sumoaynya. Sian Hwa tertegun sekali melihat sucinya yang mengajukan pertanyaan yang aneh kedengarannya ini. Ia terdiam. Tertunduk. “Katakanlah Sian Hwa, jujurlah kepadaku. Apakah kau mencintai Tiang Le?” sekali lagi Bwe Hwa bertanya. Tentu saja melihat bahwa sucinya ini berbicara dengan serius, maka Sian Hwa juga hendak menunjukkan keseriusan itu. Meskipun hatinya tak enak untuk berterus terang di depan sucinya ini. Ia tahu betul. Ia tahu betul. Bahwa sucinya ini mencintai Tiang Le, tak heran kalau barusan sucinya ini ngamuk dan kalap oleh karena di dalam pondok tadi ia dan Tiang Le berpelukan. Sebetulnya tak tega ia menyakiti hati sucinya. Akan tetapi ia juga mencintai Tiang Le, mencintai sam-suhengnya itu. Maka katanya: “Betul suci…… aku….. mencintai Tiang Le……..” Berkilat mata Bwe Hwa. Sebuah belati menghujam ulu hatinya. Teramat perih dan pilu. Ia memandang tajam ke arah sumoaynya dan melihat betapa mata Sian Hwa menjadi basah. Lulu hatinya. Ia tersenyum pahit. “Bagus Sian Hwa..... mudah-mudahan kau bahagia dengan dia.....” berkata demikian Bwe Hwa menghampiri Tiang Le dan
23
memeluknya. Terasa dadanya menjadi hangat oleh deraian air mata si gadis yang basah menembus baju di bagian dada. Suara Bwe Hwa terisak. “Tiang suheng…… maafkanlah aku!” Tiang Le memeluk. Membalas pelukan Bwe Hwa. Legalah hatinya bahwa Bwe Hwa tidak kalap. Ia menarik napas panjang. Matanya terpejam. Setitik matanya membasah. “Sumoay….... akulah yang harus minta maaf kepadamu…….!” Sebuah petir menyambar. Berkeredep di udara. Dan Tiang Le kaget setengah mati. Sebuah sinar perak menyambar lehernya. Tak keburu ia menangkis, dalam keadaaan kegugupannya itu, ia lalu miringkan lehernya. “Cep! cep! Srattt!” Tiga kali ujung pedang itu membabat pundak kanan Tiang Le, darah merah mengucur deras dari lengan yang sudah buntung sebatas pundak. Sebuah tangan manusia menggeletak di kaki kanan Tiang Le. Dan Tiang Le terhuyung mundur dua tindak. Mundur ke belakang. Matanya membelalak memandang Bwe Hwa. Rasa sakit yang berdenyut-denyut pada lengan kanannya membuat kepalanya berputar-putar, ia manjerit lirih. Dan roboh pingsan. “Suci…… kau....... kau gila!” Sian Hwa membentak, menerjang dengan pedangnya, membacok dengan gerak tipu Batu Gunung Menimpah Jurang. Bacokan ini hebat sakali dan demikian
24
tepatnya, sehingga tak mungkin dielakan lagi. Terpaksa Bwe Hwa menangkis dengan pedangnya yang berlumur darah merah. “Trang……!” bunga-bunga api berpijar dan Sian Hwa merasa tangannya bergetar hebat. “Suci…… kau terlalu….. kau begitu tega membuntungi lengan suheng secara pengecut. Biarlah aku mengadu nyawa denganmu!” suara Sian Hwa bergelombang saking marahnya. Air hujan menghempas wajahnya yang sudah membara. Di antara renyaian air hujan itu, Bwe Hwa tertawa. “Sumoay...... kau tahu, sam-suheng amat angkuh dan sombong, dia selalu tidak mau melayani pedangku. Nah, sekarang puaslah hatiku. Aku bisa menaklukkannya. Membuntungi lengan kanannya. Kepingin aku tahu, setelah lengannya buntung, apakah dia bisa menarik pedang?” “Kau sudah gila....... kau sudah gila, kumampusi kau!” Kini Sian Hwa menerjang maju. Matanya berapi-api memandang sucinya. Pedangnya bergetar-getar. Mendesing-desing menebas butir-butir air hujan yang masih merenyai. Suara pedang berkali beradu, mengeluarkan sinar perak dan kadang-kadang disertai dengan makian dari Sian Hwa yang sudah panas hati. “Kumampusi kau....... perempuan berhati iblis. Rebahlah!” Dengan seruan ini Sian Hwa kembali menyerang dengan pedangnya dan kali ini ia menggerakkan pedangnya secara luar biasa, ilmu pedang Tiang-pek-kiam-sut yang sudah mahir di tangan gadis ini. Akan tetapi menghadapi sucinya, yang juga mahir dengan jurus-jurus
25
ilmu pedang tersebut, dengan mudahnya saja ia melayani amukan Sian Hwa. “Bagus Sian Hwa....... kau hendak membalas kebuntungan lengan kekasihmu. Boleh, boleh! Asal kau bisa merobohkan aku!” “Kau manusia kuntilanak, ku penggal lehermu, kucincang lenganmu.......?” Sian Hwa memekik-mekik kalap. Hujan masih turun. Ke dua orang gadis yang tengah bertempur itu tak menghiraukan lagi air sungai yang sudah meluap. Tak menghiraukan lagi akan air sungai yang sudah menyerbu ke duanya, membanjiri ke dua kaki sebatas betis si gadis. Air di bawah betis menggelombang-gelombang. Rumput-rumput dan sawah-sawah yang menghijau sudah terlanda banjir. Udara gelap sekali. Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan. Langsung menyerbu ke dua gadis yang tengah bertempur. Terdengar suara pedang beradu keras dan disertai bentakan-bentakan mengguntur dari Liok Kong In, yang memang berwatak berangasan itu. “Sian Hwa…... kau sudah gila, mengapa kau menyerang Hwa-moay dengan kalap begitu?” tegur Liok Kong In. “Bwe Hwa....... kau, kenapa bertempur dengan Sian Hwa moay?” Song Cie Lay juga bertanya.
26
Anehnya, Kong In tidak menegur Bwe Hwa tapi ia menegur Sian Hwa sedangkan Song Cie Lay menegur Bwe Hwa. Memang aneh di antara ke empat orang muda ini. Sebetulnya Liok Kong In mencintai Bwe Hwa sedangkan Song Cie Lay menaruh hati kepada Sian Hwa. Akan tetapi anehnya, di hati kedua gadis itu malah lebih condong kepada Tiang Le? “It-suheng, suci ini sudah gila. Masa ia membuntungi lengan suheng Tiang Le…….” berkata Sian Hwa kepada Liok Kong In, matanya melirik di mana tadi tubuh Tiang Le menggeletak. Akan tetapi betapa terkejutnya Sian Hwa melihat bahwa tempat yang di mana tadi tubuh Tiang Le menggeletak kini telah mulai digenangi air sebatas betisnya. Dan di situ tidak nampak Tiang Le. Wajah gadis itu menjadi pucat sekali. “Celaka……!” hanya perkataan itu yang ke luar dari mulut Sian Hwa. Wajahnya pucat seperti mayat. Air hujan menempas wajah yang pucat itu. “Kenapa Sian-moay…... apa yang terjadi dengan Tiang Le?” Song Cie Lay bertanya heran, menatap gadis di depannya itu. Nampak di wajah Sian Hwa bayang-bayang kecemasan meliputi hatinya. Tiba-tiba ia membentak kepada Bwe Hwa. “Suci……, gara-gara engkaulah sam-suheng lenyap, mungkin hanyut terbawa air sungai itu. Kau memang terlalu suci!” suara Sian Hwa tenggelam dalam isaknya. Bergerak cepat menusukan pedangnya ke arah Bwe Hwa.
27
“Sian Hwa…… tahan!” Kong In membentak. “Jangan berkelahi, Sian Hwa.......” berkata pula Song Cie Lay. Kedua gadis perkasa ini sama memandang. Tiba-tiba mata Bwe Hwa mengalir segelintir air mata. Pandangannya telah menatap Sian Hwa. Suaranya perlahan sekali waktu ia berkata: “Sian Hwa....... kita sama....... sama bersalah, maafkanlah aku kalau engkau kehilangan Tiang Le……” sekali berkelebat tubuh Bwe Hwa sudah mencelat jauh dan berlari dengan amat cepatnya. Liok Kong In pucat wajahnya. “Sian Hwa……. apa sebenarnya yang terjadi?” “It-suheng, Bwe Hwa…… telah membuntungi lengan Tiang Le….. lihat....... darah Tiang Le…..” Sian Hwa menunjuk, tampak di sebelah sana darah merah menggenang di atas air membanjir. “Ahhh……” Liok Kong In mengeluh. Dan sekali ia berkelebat, pemuda itu sudah mengejar Bwe Hwa. “Sian-moay……,” Song Cie Lay menegur Sian Hwa yang masih termangu menatap darah yang mengambang di situ. Pandangannya menyusuri sepanjang sungai yang tengah meluap itu.
28
“Mungkinkah Tiang Le hanyut terbawa air sungai ini?” Sian Hwa mengeluh perlahan. Air matanya bercucuran lewat ke dua pipinya yang sudah basah oleh air hujan. Rambutnya berderai kuyup basah. Wajahnya pucat sekali. Hujan turun meranyai. Song Cie Lay melangkah. Mendekati Sumoaynya dan berkata: “Hwa-moay…… marilah kita kembali ke puncak.........” Dengan pandangan basah Sian Hwa menggelengkan kepalanya. Hatinya tengah merenyuh kala itu. Seperti langit yang tengah menangis mencucurkan ait matanya berderai-derai. “Jie-suheng…… aku tak akan kembali ke puncak, aku harus meninggalkan Tiang-pek-san, aku harus mencari Tiang Le…..” Tak tahu ia bahwa perkataannya barusan itu menikam ulu hatinya Song Cie Lay. Pemuda itu terperanjat. “Sumoay…….!” “Jie-suheng....... kita harus berpisah, aku…... aku harus turun gunung….. dan kau….. kau….. kau kembalilah ke puncak menanti susiok,” kata Sian Hwa dengan perlahan. Ia menatap ke langit yang mendung, kemudian beralih ke air sungai yang bergelombang. Memandang sayu. “Aku tak akan kembali ke puncak, aku harus mendampingimu…..!!” Song Cie Lay berkata, menatap sayu si gadis.
29
Terkejut sekali Sian Hwa. Ia menoleh. “Tidak suheng….. tidak boleh kau ikut bersamaku, aku harus mencari Tiang Le dan setelah itu aku akan mencari musuh-musuh dari suhu kita……” “Aku akan membantumu, Sumoay?” “Jangan suheng.......” “Sumoay.......” “Suheng!” Dua tatapan mata saling beradu. “Yang satu memandang dengan pandangan sayu dan penuh cinta kasih dan yang satu lagi, mata Sian Hwa menatap penuh permohonan. Lama keduanya seperti itu. “Sumoay…... apakah....... kau mencinta Tiang Le?” Song Cie Lay, bertanya. Sebuah pertanyaan yang menyentuh di hati gadis itu. Angin dingin bersepoi basah. Sian Hwa menarik napas dalam. “Suheng....... aku memang benar mencintai Tiang Le, mencintai dengan seluruh jiwa raga. Harap kau maafkanlah aku…..,” suara
30
Sian Hwa terisak. Tak tahan ia lebih lama di situ dan dengan sekali berkelebat Song Cie Lay sudah kehilangan gadis sumoaynya itu. Bersamaan dengan perginya Sian Hwa. Song Cie Lay merenung seorang diri di situ. Hatinya pilu bukan main melihat kenyataan ini. Kini menjadi kenyataanlah sudah bahwa apa yang ia kuatirkan menjadi bukti. Tadinya ia hanya menduga-duga saja. Akan tetapi bayangan itu sudah menjadi nyata. Seperti apa yang dia kuatirkan terbukti sudah. Sian Hwa mencintai Tiang Le, oh, tiada kepedihan lain hati itu selain kehilangan seorang kekasih. Segala impian-impian muluk menjadi pudar sudah, seperti pudarnya awan hitam yang telah terbawa angin di atasnya. “Sian Hwa……” Song Cie Lay mengeluh panjang menyebutkan nama seorang gadis yang barusan saja meninggalkan dirinya. Lalu dengan langkah-langkah gontai ia berjalan. Berjalan amat perlahan. Suara-suara air di kakinya mengericak. Setitik dua air hujan menerpa-nerpa wajahnya yang kuyup. Ia berjalan menuju ke puncak. Amat perlahan langkahnya. Amat perlahan. Entah kapan ia sampai di puncak Tiang-pek-san itu. Kalau tadi ia menuruni puncak itu dengan ilmu lari cepat bersama suhengnya Liok Kong In, kini tak mau ia cepat-cepat sampai ke puncak.
31
Tak mau ia memperdulikan keadaan di sekelilingnya yang penuh kabut tebal menghalangi jalan. Udara lembab dan basah. Tak perduli ia akan pakaiannya yang basah kuyup, tak perduli rambutnya acak-acakan seperti setan kesiangan. Tak perduli akan semuanya! Hanya hati itu yang menjerit-jerit. Hati yang merenyuh. Pandangannya nanar ke depan. Sekelumit bayangan wajah yang selama ini merajai impiannya membayang di depan. Wajah Sian Hwa. Dan hati itu menangis. Dan hati itu mengungkapkan sebuah senyum yang teramat pahit. Dan jiwa yang kosong itu berteriak, “dia tidak mencintaiku…… dia tidak mencintaiku……!” Tak tertahankan hati yang merenyuh itu, maka menangislah Song Cie Lay. Menangis sekuat-kuatnya, tak ada yang mendengar dan tidak ada yang memperdulikan. Oleh sebab itulah, dia menangis, sebentar kemudian tertawa, menangis lagi. Ah Cie Lay, kasihan kau!! Memang itulah yang terbaik. Dengan menangis orang akan kehilangan sebagian dari penderitaan. Dengan menangis sedikit kepedihan hati itu dapat dilupakan! Pegunungan Tiang-pek-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju, dan di mana-mana terdapat gumpalan-gumpalan es. Melalui daerah ini orang harus berhati-hati. Hampir saja Cie Lay menemui bencana ketika dia meliwati sebuah sungai es yang
32
lebar. Permukaan sungai itu nampak mengkilap laksana tebaran perak, yang mencerminkan langit membiru di atas. Cie Lay berjalan perlahan, ia tak memperdulikan dingin yang luar biasa menyelusup, dia tidak memperdulikan tubuhnya yang sebagian menjadi kaku karena hawa dingin yang luar biasa menyerangnya!! Ketika ia hampir sampai di puncak Tiang-pek-san yang tertinggi dari pegunungan Tiang-pek-san, dari jauh ia melihat seorang berpakaian putih tengah berjalan dengan perlahan-lahan, dan ia dibantu dengan tongkatnya yang panjang. “Apakah yang berjalan itu susiok dari Hong-san?” pikir Cie Lay dan mempercepat langkah kakinya. Setelah ia dekat dengan kakek itu, Cie Lay melihat seorang kakek yang sudah tua sekali. Rambutnya telah putih, tipis dan jarang, tertutup kain pembungkus rambut yang dibungkusnya pada kepala menutupi ke dua telinga untuk mencegah serangan angin dan hawa dingin. Muka kakek itu sudah penuh keriput berkulit putih dan hanya sepasang matanya saja yang memperlihatkan kehidupan, karena matanya masih tajam berpengaruh. Jenggot dan kumisnya tergantung ke bawah seakan-akan tidak bertenaga lagi, seperti juga tubuh yang kurus dan lemah. Benar-benar seorang yang sudah lanjut usianya dan jalannyapun sudah kerepotan kalau tak dibantu tongkatnya. Dengan gerakan yang amat tenang, kakek itu menoleh dan menatap wajah Song Cie Lay, untuk beberapa lama tidak segera menegur karena ia amat teliti dan tidak mau sembarangan
33
membuka suara sebelum yakin mengenali betul siapakah adanya anak muda di depannya ini. “Orang muda...... kau siapakah?” terdengar kakek itu menegur. Suaranya halus dan teratur susun kata-katanya. Pandangan matanya menatap tajam. Cie Lay terkejut sekali melihat pandangan mata yang menusuk itu. “Locianpwe….. boanpwe (saya yang rendah) adalah murid kedua dari suhu Swie It Tianglo yang telah binasa di tangan Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo. Tak tahu apakah locianpwe susiok dari Hong-san?” Song Cie Lay maju memberi homat dengan sopan sekali. Ia tahu bahwa orang ini, bukan kakek biasa….. tatapan mata tadi sangat tajam dan menyembunyikan kekuatan sin-kang yang telah mencapai tingkat tinggi, maka ia menduga, tentu orang tua inilah susioknya. Dan benar saja seperti dugaannya. Kakek itu benar dari Hong-san. “He he he…… tepat sekali dugaanmu orang muda, aku yang tua bangka ini memang dari Hong-san. Siapa kira kalau di Tiang-pek-pay ini sunyi mati. Ke mana yang lain, dan siapa namamu?” “Teecu Song Cie Lay…... maafkan, semua murid-murid sudah binasa, hanya tinggal teecu dan ke empat murid yang masih hidup……”
34
“Mana saudara-saudaramu yang lain, baru saja aku ke Tiang-pek-pay...... tiada seorangpun yang menyambutku!” suara si kakek terdengar tenang. “Susiok, ke empat suheng dan sumoay…… barangkali telah turun gunung…..” suara Cie Lay perlahan sekali. Dan ini tak lepas dari pandangan si kakek dari Hong-san. “Namamu Song Cie Lay bukan? Nah, ceritakanlah mengapa ke empat murid Swie It Tianglo turun gunung dan ceritakan pula kejadian-kejadian di sini….. aii….. tidak disangka siang-siang Swie It telah menemui ajalnya…..,” berkata begitu si kakek dari Hong-san berjalan menuju puncak. Cie Lay mengikuti di belakang. Diam-diam ia merasa kagum sekali melibat langkah-langkah yang demikian ringan dari si kakek. Nampak kaki yang tua kurus kering itu seakan-akan melayang-layang tak menginjak tanah, hanya jubah pakaiannya itulah yang berjuntaian menyentuh tanah. Kagum hati Cie Lay. Kakek ini amat tua sekali, tentu umurnya tidak jauh dari tujuhpuluh tahun, ia itulah adik seperguruan dari Swie It Tianglo, meskipun ia hanya sute dari Swie It Tianglo akan tetapi kepandaian kakek ini jauh di atas Swie It Tianglo, suhengnya, tentu saja kakek pertama ini yang tinggal di puncak Hong-san, selalu melatih diri dan di tempat yang sunyi itu, di puncak Hong-san ia telah menciptakan sebuah ilmu silat yang hebat luar biasa yang bernama ilmu silat Hong-san-cap-ji-liong-sin-kun-hoat (duabelas pukulan naga sakti dari gunung Hong-san). Sejak muda kakek yang bernama Seng Thian Taysu ini gemar sekali bertapa. Dan selalu mengasingkan diri di puncak-puncak
35
pegunungan yang sepi dan jauh terasing dari dunia ramai. Hal ini sudah wajar karena pada masa itu, ilmu silat tinggi kebanyakan dimiliki oleh para pertapa, dan pendeta suci. Ilmu silat yang tinggi selalu berdekatan dengan ilmu kebathinan, maka tentu saja semakin tinggi orang itu memiliki ilmu bathin, semakin kuat pula tenaga bathin yang tersembunyi di dalamnya, bersumber menjadi tenaga sin-kang yang luar biasa. Tentu saja karena Seng Thian Taysu sebagai pertapa maka tiada lain pekerjaannya memperdalam tenaga kebathinan dan juga memperdalam ilmu silatnya. Maka sekarang, Seng Thian Taysu jauh berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya ia tidak hendak turun gunung, akan tetapi mendengar betapa suhengnya binasa di tangan musuh-musuh jahat dan semua anak murid Tiang-pek-pay binasa, maka dengan hati penasaran Seng Thian Taysu ini beranjang ke sana sini. Di sini inilah sekarang dia mendengarkan cerita dari seorang murid kedua dari Swie It Tianglo, orang-orang satu-satunya yang masih berada di puncak Tiang-pek-san. ◄Y► 2 Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Tiang-pek-san ini menjadi perhatian para orang gagah di dunia kang-ouw. Bukan saja pegunungan ini terkenal dengan puncak-puncaknya yang amat tinggi menjulang dan selalu tertutup salju, akan tetapi yang menarik perhatian dunia kang-ouw adalah berdirinya sebuah partai persilatan yang bernama Tiang-pek-pay.
36
Seperti halnya partai-partai Hoa-san-pay, Kun-lun-pay, Go-bie-pay, Bu-tong-pay dan banyak lagi partai-partai persilatan lainnya. Tiang-pek-pay ini berdiri pada lima tahun yang lalu setelah diadakannya perebutan gelar pendekar nomor satu di puncak Tiang-pek-san ini. Pada saat itu Swie It Tianglo yang kebetulan mengikuti sayembara perebutan gelar pendekar nomor satu menjadi tertarik hatinya dan tergerak melihat pemandangan yang indah dan bersih di puncak yang selalu bersalju. Maka setelah perebutan gelar itu, meskipun ia sendiri tidak dapat mencapai sebutan pendekar nomor satu akan tetapi ia lantas saja berhasrat mendirikan sebuah partai di puncak ini. Maka tak lama kemudian dunia persilatan dikejutkan oleh berdirinya partai Tiang-pek-san yang dikuasai oleh Swie It Tianglo. Ada seratus lebih anak murid Tiang-pek-pay dalam waktu yang singkat. Mereka itu kebanyakan terdiri dari para Locianpwe (orang tua gagah) yang menggabungkan diri ke dalamnya. Tentu saja karena nama Swie It Tianglo sudah terkenal di dalam dunia persilatan, maka banyak orang gagah yang mendukung berdirinya partai tersebut. Di antaranya yang menggabungkan diri adalah tiga orang gagah dari daerah sungai Huang-ho masing-masing bernama Swi Seng-thian, Wi-wi Taysu, dan seorang kakek aneh dari Bu-tong-pay yang bernama Bu-tong-koay Lojin It Swi Jin. Tiga orang gagah itu terkenal di daerah Huang-ho sebagai Huang-ho-sam-enghiong dan juga terdapat pula seorang kakek tua dari Tay-san yang bernama Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Dan banyak lagi dari
37
dunia kang-ouw yang menggabungkan diri mendukung kekuatan partai Tiang-pek-pay ini. Di antara murid-murid kaum tua, Swie It Tianglo juga mengambil lima orang murid, dua orang wanita dan tiga pria. Mereka itu adalah Liok Kong In sebagai murid pertama, Song Cie Lay sebagai murid kedua, dan Sung Tiang Le adalah sebagai murid ketiga dan keempat seorang wanita Lie Bwe Hwa dan yang kelima adalah Lim Sian Hwa. Akan tetapi di antara ke lima orang murid Swie It Tianglo itu, yang paling menonjol adalah Sung Tiang Le. Bukan saja pemuda ini berparas cakap seperti Poa An, akan tetapi di samping wajahnya yang cakap itu, ia mempunyai hati yang lembut, selembut bulu domba. Dan kata-katanya halus, tidak seperti Liok Kong In yang kasar dan berangasan yang selalu ingin menang sendiri. Dan anehnya, Tiang Le ini paling disenangi oleh dua orang gadis sumoaynya, Lie Bwe Hwa dan Lie Sian Hwa. Seakan-akan dua orang gadis itu berlomba-lomba hendak menarik perhatian Tiang Le. Dan selalu hendak mendekatinya apabila kesempatan itu ada. Tiang Le bukan tidak tahu ini. Ia tidak buta. Ia tahu betul bahwa dengan diam-diam dua orang sumoaynya ini menaruh hati kepadanya, justru itu ia selalu menjahui diri dari dua orang gadis ini. Meskipun ada dirasakan di hatinya lebih condong kepada Sian Hwa. Tetapi ia tak boleh membabi buta. Ia tahu betul bahwa suhengnya yang kedua Song Cie Lay sangat mencintai Sian Hwa. Ia tahu ini dari tatapan mata suhengnya terhadap gadis sumoaynya, yang bernama Sian Hwa itu.
38
Ia tak mau menyakiti hati Jie-suhengnya yang selalu bersikap ramah kepadanya. Oleh karena itu ia selalu menjauhkan diri dari Sian Hwa dan juga Bwe Hwa yang hendak dijodohkan oleh suhunya buat Liok Kong In “Aku tak boleh merusak kebahagiaan Suhengku! Tak boleh!” demikian pikir Tiang Le. Menekan perasaan hatinya, apabila ia bertemu pandang dengan Sian Hwa dan Bwe Hwa. Pada suatu pagi di puncak Tiang-pek-san, seperti biasanya ia berlima langsung dilatih oleh gurunya Swie It Tianglo. Tempat latihan itu, di sebuah tanah datar yang luas dan rata. Menjurus ke belakang terbentang sebuah jurang yang amat curam. Indah sekali pemandangan di sini. Di tempat inilah ia melatih murid-muridnya. Seperti biasanya apabila dia selesai memberi petunjuk-petunjuk kepada murid-muridnya, ia meninggalkan ke lima orang muridnya itu yang masih terus berlatih, ia masuk ke dalam. Akan tetapi betapa terkejutnya hati orang tua itu, melihat sepucuk surat telah terletak di meja. Di kamarnya. Dengan terheran, ia membaca surat itu. Terkejutlah ia apabila pandangan matanya terbentur kepada huruf-huruf yang tertulis di kertas itu. Ia membaca lagi. Swie It Lama sudah kita tidak bertemu, sepuluh tahun sudah berlalu….., ingatkah kau kepadaku? Bong Bong Siangjin ingin bertemu, menagih hutang, sepuluh tahun yang lalu.
39
Demikian singkat surat itu. Akan tetapi, Swie It Tianglo yang sudah berpengalaman dapat memahami isinya. Teringatlah ia sekarang bahwa sepuluh tahun yang lalu ia pernah membunuh murid Bong Bong Sianjin. Inilah hebat, kalau Bong Bong Sianjin sudah mengirimkan surat seperti ini. Ini merupakan tantangan yang berat. Ia mengenal baik siapa itu Bong Bong Sianjin, kakek dari puncak Thang-la di bukit harimau. Masih bersaudara seperguruan dengan Bu Beng Sianjin. Terkejutlah ia. Ia menyadari bahwa kepandaiannya belum dapat menandingi Bong Bong Sianjin! “Celaka!” Swie It Tianglo mengeluh. Diam-diam ia memutar. Bukan ia takut kepada Bong Bong Sianjin. Baginya sendiri tidak pernah mengenal rasa takut. Akan tetapi, sebagai ketua Tiang-pek-pay ia merasa bertanggung jawab terhadap seratus lima orang muridnya. Tak mau urusan pribadinya ini membawa korban jiwa bagi murid-muridnya yang tak tahu apa-apa. Apalagi ia merasa sayang kepada lima orang muridnya yang masih muda-muda ini! Tak boleh mereka disangkutkan dengan urusan pribadiku! Swie It Tianglo berlalu meninggalkan kamarnya. Ia menuju kamar sebelah di mana Tay-san-sin-kiam-hiap telah menantinya, “Swie It pangcu,” tegur Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung melihat kedatangan pangcunya. Begitu dilihatnya wajah Swie It Tianglo muram dan seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal hatinya, maka Kwee Lung menegurnya. “Pangcu (ketua) ada apakah gerangan yang pangcu pikirkan?” tanya Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung.
40
Swie It Tianglo memberikan surat itu kepada sahabatnya ini. Kwee Lung menerima dan membacanya, “Ahhh....... Bong Bong Siangjin…..?” tanya Kwee Lung. “Justru itulah yang merisaukan hatiku Lung-te. Aku tak ingin karena urusan pribadiku ini akan menyeret-nyeret nyawa anak murid Tiang-pek-pay. Ini tak boleh?” “Kita, tunggu saja Bong Bong Siangjin, pangcu, mengapa mesti ditakuti?” Kwee Lung berkata gagah. Swie It tersenyum. “Bagiku tidak mengenal arti takut Lung-te, tapi apakah kau tidak memikirkan ke seratus anak muridku dan ke lima orang muda itu? Ketahuilah Lung-te, kepandaian Bong Bong Sianjin begitu hebat. Aku sendiri tak mampu menandinginya...... aaah, akan hancurlah Tiang-pek-pay.” “Pangcu, jangan kuatir…… aku mempertaruhkan nyawa untuk Tiang-pek-pay!” teriak Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Swie It Tianglo menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak, tak boleh ke lima muridku menghadapi musuh-musuhku, eh Lung-te kau kesinilah,” maka ketua Tiang-pek-pay itu berbisik perlahan di dekat telinga Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Nampak Kwee Lung menganggukkan kepalanya. “Baik pangcu......” katanya.
41
“Nah, Kwee Lung-te kau segeralah....... aku akan menghubungi ke lima muridku,” berkata Swie It Tianglo meninggalkan Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Di ruang belakang Swie It Tianglo berkata kepada murid-muridnya. “Kalian pergilah ke lembah Merpati, di lereng pegunungan Tiang-pek-san kira-kira limapuluh lie dari sini terdapat sebuah pohon yang bernama Ang-to, buah ang-to itu besar sekali khasiatnya muridku. Ratusan orang kang-ouw berani mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan buah yang hanya terdapat di sepanjang lereng pegunungan Tiang-pek-san, yaitu sebuah lembah yang bernama Lembah Merpati, dan pohonnya hanya berbuah setiap lima tahun sekali. Kau mau tahu kehebatannya?” Swie It Tianglo menghentikan perkataannya, menatap ke lima orang muridnya berganti-ganti. “Khasiatnya bagaimana suhu?” tanya Sian Hwa merasa tertarik akan cerita suhunya yang aneh itu. Kong In dan Cie Lay, serta Bwe Hwa juga menanti uraian suhunya lebih lanjut. Hanya Tiang Le yang mengerutkan kening, seakan-akan tengah memikirkan hal buah ang-to yang aneh itu. Sepanjang menurut pendengarannya buah ang-to itu tidak terdapat di lembah merpati, melainkan di puncak Hoa-san. Tapi mengapa suhunya mengatakan di Lembah Merpati. Mungkinkah di sana terdapat buah ajaib itu? Ia termenung. Sementara gurunya melanjutkan ceritanya:
42
“Buah itu khasiatnya besar sekali. Bukan saja Ang-to (buah merah) ini dapat merupakan jim-som yang mukjijat sebagai tonikum yang baik untuk kesehatan tubuh, akan tetapi juga Ang-to ini berkhasiat untuk menyembuhkan luka-luka yang parah, dapat dengan segera menghilangkan racun yang menjalar di tubuh, dan terutama sekali apabila orang makan buah itu, tenaga lweekangnya akan berlipat ganda dan gin-kangnya bertambah ringan, tidak kalah orang melatih diri selama duapuluh tahun. Nah, oleh karena itu muridku, aku merasa buah ang-to itu banyak sekali faedahnya untuk perkembangan tubuh kalian, maka hari ini kuperintahkan sekarang juga kalian turun meninggalkan puncak dan carilah buah itu di lembah merpati, mengerti kau?” Ke lima orang anak muda itu termenung. “Suhu..... sungguhkah buah ang-to itu berada di sana?” tanya Tiang Le. Memang Tiang Le ini sangat hati-hati sekali mengambil tindakan sesuatu. Dan yang membuat hatinya meragu adalah perkataan gurunya ini bergetar, seakan menyembunyikan perasaan sesuatu yang tidak terungkapkan. Diam-diam Swie It Tianglo kagum sekali kepada muridnya yang ketiga ini. Ia tersenyum dan berkata: “Ada tidaknya itu harus dicari Tiang Le, seperti rejeki ini. Semua manusia hidup telah dikurniahkan rejeki secukupnya oleh Thian yang baik hati. Namun rejeki itu tidak akan turun dari langit jika tidak dicari. Dunia ini penuh dengan kekayaan alam yang berlimpah dan itu telah diciptakan oleh Thian untuk kehidupan manusia.
43
“Namun, di samping itu, si manusia juga harus menggarap, harus mencari sumber-sumber kekayaan alam yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Manusia hidup harus berusaha, harus mencari, menggarap ah……. muridku, kekayaan alam ini tiada batasnya? Amat melimpah ruahh..... namun celakalah bagi si pemalas! Ia akan kehilangan rejeki itu, ia akan tertinggal oleh keganasan waktu yang mengganas, nah..... kau..... pergilah........!” “Suhu……” Sian Hwa memandang gurunya. “Ada apa Sian Hwa?” tanya gurunya. “Apakah tidak cukup kalau kami bertiga saja pergi dan suheng atau suci tinggal di sini menjagai suhu?” Terkesiap Swie It Tianglo, ia menatap tajam ke arah muridnya yang satu ini, apakah mengetahui rencananya? Belum sempat ia bertanya, Bwe Hwa sudah berkata ketus: “Tidak. Kalau kalian pergi, aku juga harus ikut!!” Swie It Tianglo menarik napas lega. Dia mengangguk. “Benarlah Sian Hwa ini sebagai ujian bagi kalian berlima. Siapa paling dulu orangnya yang mendapatkan buah itu, aku akan menghadiahkan pedangku ini kepadanya. Pedang Ang-hong-kiam ini sebagai lambang pimpinan Tiang-pek-pay! Nah kalian pergilah....... Carilah Ang-to itu,” berkata demikian Swie It Tianglo bangkit berdiri dan masuk ke dalam.
44
Tak mau kalau murid-muridnya bertanya-tanya lagi. Semakin lekas muridnya itu pergi, semakin baik. Apabila sampai di kamarnya diam-diam ia membuka jendela angin dan memandang ke belakang. Dilihatnya ke lima orang muridnya tidak ada di situ lagi. Legalah hatinya. Akan tetapi di samping itu, ketegangan menyelimuti dirinya. Nanti malam Bong Bong Sianjin datang dan ia harus menghadapinya. Lebih baik mati seperti harimau dari pada menyerah kalah seperti babi! Nanti malam ia harus mempertaruhkan nyawanya! Tangannya merabah pedang Ang-hong-kiam. Diletakan pedang itu di atas meja. Ia melirik melemparkan pandang melalui cela-cela jendela. Di luar senja sudah mengambang. Sebentar lagi malam akan tiba. ◄Y► Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari komplek bangunan Tiang-pek-pay yang megah. Bukan seorang, bayang-bayang berkekebat gesit itu lebih dari seorang. Tiga bayangan manusia, sampai di depan pintu gerbang Tiang-pek-pay, ke tiga orang itu berhenti. Memandang ke sekeliling, sunyi dan mati, hanya suara binatang gunung dari kejauhan itu mengisi keheningan malam.
45
Tiba-tiba pintu gerbang Tiang-pek-pay terbuka. Swie It Tianglo menyambut tamu malamnya itu dengan senyum lebar dan di belakangnya, nampak Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung dan beberapa orang tua murid Tiang-pek-pay. “Ha ha ha, kiranya Bong Bong Sianjin yang berkunjung ke pondokku yang jelek ini. Entah ada urusan apakah malam berkunjung ke tempat ini?” Datang-datang Swie It Tianglo menegur tamunya. “Ha ha ha! Entah yang mana yang bernama Swie It Tianglo, ketua Tiang-pek-pay?” terdengar seorang dari ke tiga tamu malam itu berkata dengan pandang mata menyelidik. “Akulah pangcu dari Tiang-pek-pay, Bong Bong Sianjin,” Swie It Tianglo maju ke depan. Ia sudah bersiap siaga untuk menghadapi tamunya ini. “He he he, bagus kalau begitu. Jadi engkau itulah yang bernama Swie It Tianglo yang telah membunuh muridku? Bagus bersiaplah kau untuk menjumpai muridku di akherat!” berkata demikian Bong Bong Sianjin menggerakkan tangan kanannya dan angin dingin berpusing menyambar tubuh Swie It Tianglo dengan gerakan cepat laksana kilat. Tentu saja Swie It Tianglo sudah memaklumi akan kehebatan lawannya ini, maka begitu angin dingin menyambar dadanya. segera ia menggerak tangannya mendorong ke depan. “Desss!” Dua tenaga dahsyat saling bertemu. Swie It Tianglo menggigil tubuhnya dan muntah darah segar. Sedangkan Bong
46
Bong Sianjin bergoyang-goyang saja seperti tangkai bunga tertiup angin. “Hahaha! Ketua Tiang-pek-pay cuma segitu saja isinya. Hehehe gentong-gentong kosong yang nyaring.......” Bong Bong Sianjin mengejek. Maju ke depan. Tangannya siap hendak memukul ketua Tiang-pek-pay yang telah terluka di bagian dadanya. Hebat memang kakek dari bukit harimau ini. Sekali gebuk saja Swie It Tianglo muntahkan darah! Akan tetapi tentu saja ia tidak mundur sampai di sini. Dengan menggeram keras ia menerjang Bong Bong Sianjin dengan nekad. “Pangcu......!” jeritan Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung yang mencegah pangcunya yang bertindak nekad. Akan tetapi terlambat. Serangan Swie It Tianglo disambut oleh ke dua tangan terbuka dari Bong Bong Sianjin. Terdengar suara keras: “Krek!” hancurlahlah tulang-tulang Swie It Tianglo. Hebat bukan main pukulan maut itu, hingga Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung membelalak matanya. Pukulan apa itu? Perlahan-lahan tubuh Swie It Tianglo roboh menggeletak di tanah. Napasnya sudah putus. Mukanya hitam dan darah kehitaman mengalir dari mulut. Ke dua tulang belakangnya berserakan. Inilah hebat. Bagaimana mungkin ketua Tiang-pek-pay roboh dalam dua gebrakan saja? Tidak terpikir lebih lanjut. Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung sudah menerjang maju. Kemudian ia disambut oleh dua orang teman Bong Bong Sianjin. Orang-orang setengah tua itu, yang berpakaian seperti orang Tibet adalah Te-thian Lomo dan yang satu lagi
47
adalah nenek-nenek sakti yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai Sianli Ku-koay. Kedua orang inilah yang melayani Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Tentu saja menghadapi kedua orang ini, sebentar saja Kwee Lung sudah terdesak hebat. Sementara itu Bong Bong Sianjin memasuki ruangan dalam. Lima orang murid Tiang-pek-pay maju dengan pedang di tangan. Akan tetapi begitu Bong Bong Sianjin mengibaskan lengan jubahnya, pedang-pedang itu terlempar di udara. Dan sebentar kemudian terdengar jeritan mengerikan dari ke lima orang kakek Tiang-pek-pay itu. Kepala mereka pecah dan otak berhamburan tersambar angin pukulan dari ujung jubah Bong Bong Sianjin. Hanya sebentar suara itu, kemudian senyap lagi. Dengan langkah-langkah lebar, Bong Bong Sianjin memasuki ruangan tengah. Sebuah papan nama yang bertuliskan Tiang-pek-pay hancur berantakan dipukul dari bawah oleh kakek sakti ini. Tiba-tiba tangannya menggebrak tiang tembok dan runtuhlah gedung tengah itu mengeluarkan debu yang berhamburan. Tidak sampai di situ saja, ia terus melangkah memasuki ruang belakang. “Seerr….. seeerr!” Puluhan batang anak panah menyambar tubuh Bong Bong Sianjin. Kakek ini tersenyum mengejek dan sekali tangannya bergerak, ke duapuluh batang anak panah itu telah berada dalam genggamannya. Hebat. Dan lebih hebat lagi waktu tangan itu bergerak. Terdengar jerit manusia di atas. Jeritan yang panjang menghantar kematian orang-orang yang tersambar anak panahnya sendiri menembus leher. Berkelonjotanlah tubuh-tubuh itu. Dan tak lama kemudian, ke
48
duapuluh orang yang melakukan serangan gelap tadi sudah menggeletak tanpa nyawa. Sekali tangan kiri Bong Bong Sianjin bergerak, sebuah kepala manusia yang tengah kelengar hancur berantakan dihantamkan kepada tembok dinding. Kemudian darah membanjiri dari kepala manusia yang hancur berantakan itu. Bong Bong Sianjin mengambil sebuah pit dan mencelupkan pada genangan darah itu dan menulislah ia pada tembok putih bersih. Kemudian ia ke luar meninggalkan tempat itu. Matanya mencari-cari kalau ada manusia hidup yang terdapat di sini. Memang ia hendak memusnahkan seluruh Tiang-pek-pay ini. Akan tetapi tidak didapatinya manusia hidup lagi. Dengan tersenyum puas ia meninggalkan gedung Tiang-pek-pay. Di luar Te-thian Lomo dan Sianli Ku-koay tengah menanti. Di bawah kaki mereka menggeletak tubuh Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung yang sudah tak bernyawa lagi dengan dada tertembus pedang. Kemudian sekali berkelebat ke tiga bayangan itu sudah lenyap dari puncak Tiang-pek-san. Angin dingin berhembus perlahan. Bulan purnama di atas tertutup mega. Sementara suasana di puncak itu demikian sunyi dan mati.
49
Apabila pada pagi-pagi hari itu ke lima orang muda mendaki puncak Tiang-pek-san, betapa terkejutnya hati mereka melihat tiada seorang pun, yang nampak pada puncak itu. Tidak seperti biasanya. Biasanya apabila orang hendak sampai ke puncak selalu kakek dari Tiang-pek-pay ini menjaganya dua atau tiga orang. Akan tetapi kenapa sekarang demikian sunyi mati? Dengan perasaan tidak enak ke limanya berlari cepat mendaki puncak. Dan apakah yang dilihatnya? Pertama-tama ia melihat mayat suhunya menggeletak di muka gerbang itu, wajah menghitam hangus dan tulang-tulang berantakan. Tidak jauh dari mayat suhunya, nampak mayat Thay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung yang dikenalnya dan beberapa kakek Tiang-pek-pay lainnya. Bagaikan terbang Tiang Le meloncat tinggi dan terus saja memasuki pintu gerbang itu dan menuju gedung Tiang-pak-pay. Ruang tengah gedung sebagian ambruk. Mayat sepuluh kakek Tiang-pek-pay nampak menggeletak dengan leher tertembus anak panah. Tidak jauh dari situ ia melihat sebuah tulisan memakai tinta darah manusia yang berbunyi, “Bong Bong Sianjin, Te-thian Lomo dan Sianli Ku-koay menuntut balas!! “Keparat!!” Tiang Le menggertak giginya. Dadanya berombak turun naik. Dan dengan sekali berkelebat dia sudah memasuki kamar suhunya. Sebuah surat suhunya tergeletak di atas meja. Tiang Le membaca surat peninggalan suhunya itu.
50
“Sebelum susiok Seng Thian Taysu berkunjung, ke lima muridku tidak boleh meninggalkan puncak!!!” Hanya itu yang ditulis gurunya. Tahulah Tiang Le bahwa sengaja memang gurunya menyingkirkan mereka berlima agar terhindar dari bencana ini. Surat gurunya itu hancur dalam genggaman Tiang Le. ◄Y► “Demikianlah susiok, hanya teecu berlima yang masih selamat. Dan sejak itu kami menantikan kedatangan susiok. Akan tetapi siapa baru saja tadi pagi ke empat murid suhu yang lain telah meninggalkan puncak,” demikian Song Cie Lay mengakhiri ceritanya. Wajahnya muram. Keningnya dikerutkan. Tentu saja ia tidak menceritakan tragedi cinta segitiga kepada susioknya ini. Akan tetapi melihat wajahnya yang muram dan sayu, pandangan Seng Thian Taysu yang tajam telah dapat menerka apa yang terkandung di hati orang muda itu. “Cie Lay karena kau satu-satunya murid Swie It yang masih berada di Tiang-pek-san ini, maka biarlah aku menyediakan waktu untuk melatihmu. Mudah-mudahan saja kelak di kemudian hari engkau dapat mengangkat kembali nama Tiang-pek-pay yang sudah hancur berantakan ini....... Sekarang engkau kuangkat menjadi muridku Cie Lay, bergiatlah kau berlatih!”
51
Mendengar perkataan susioknya ini, keruan saja Cie Lay menjadi girang hatinya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan susioknya. “Terimakasih atas budi baik susiok, teecu berjanji untuk mentaati pesan-pesan susiok dan mohon petunjukmu......” berkata Cie Lay. Masih berlutut ia di depan orang tua sakti dari Hong-san. Seng Thian Taysu menggerakkan ujung jubahnya dan keruan saja tubuh Cie Lay yang tengah berlutut itu terangkat naik. Cie Lay mengerahkan lweekang dan menekan ke bawah. Nampak tubuhnya tergantung di udara dalam keadaan berlutut. Hebat sekali tenaga sin-kang kakek dari Hong-san ini. Hanya dengan ujung jubahnya saja ia mampu mengangkat tubuh anak muda itu. Padahal Cie Lay sudah mengerahkan lweekangnya menekan. Namun semakin ia mengerahkan tenaga, semakin kuat tarikan dari atas. Seng Thian Taysu tertawa terbahak-bahak. “Haa….. haa orang muda, lweekangmu cukup baik. Tubuhmu penuh hawa murni. Bangkitlah kau!!!” Dengan sekali sentak saja tubuh Cie Lay melayang tinggi ke udara bagaikan ada suatu tenaga yang amat dahsyat melemparkannya dari bawah. Dengan cepat dia mengerahkan gin-kangnya dan berpok-say tiga kali, sesaat itu pula ia sudah berdiri di depan Seng Thian Taysu. “Lweekangmu boleh juga Cie Lay, akan tetapi daya tahan ditubuhmu belum sempurna benar. Sekarang kau turutkan gerakanku,” sehabis berkata demikian, tahu-tahu kakek itu
52
berjungkir balik berdiri dengan kepala di bawah kaki di atas. Berdiri tegak. “Cie Lay, turuti aku begini!!” kata Seng Thian Taysu. Cie Lay jongkok, menjungkirkan tubuhnya dengan kepala di bawah. Akan tetapi belum lagi ia sempat berdiri dan mengangkat kaki ke atas, dirasakannya kepalanya pening bukan main. Belum dua menit ia berdiri jungkir balik seperti itu, ia sudah roboh lagi dan sejuta bintang berputar-putar di atas kepalanya. Ia segera mengerahkan hawa murni ditubuhnya mengusir rasa pening. “Hee…… hee belum biasa….. belum biasa….. hayo Cie Lay coba lagi, terus sampai kau dapat berdiri sepertiku ini, dan apabila engkau sudah biasa, jalanpun enak saja. Nah!!! kau lihat aku!” Ke dua tangan Seng Thian Taysu menekan tanah, kepalanya agak terangkat sedikit dan dengan kekuatan ke dua tangan itu berjalanlah ia berputar-putar. Tentu saja untuk melakukan ini harus punya tenaga lweekang yang sempurna dan gin-kang yang tinggi untuk mengimbangi tubuh. Cie Lay mencoba lagi menurut seperti yang diberikan susioknya. Akan tetapi berkali ia mencoba, selalu saja ia terguling roboh. Dan kepalanya berdenyut-denyut keras. Keluhnya dalam hati. Celaka rupanya susioknya ini orang aneh. Melatih lwekangnya dengan cara seperti itu. Biasanya suhunya hanya mengajarkan latihan-latihan siulan (bersemedhi) saja sambil bersila dan mengatur pernapasan di tempat terbuka. Tetapi sekarang susioknya ini mengajarkan yang
53
aneh-aneh. Berdiri berjungkir balik itu dengan kepala di bawah, kaki di atas memang tidak mudah. Apalagi belum biasa betapa cepatnya rasa pening itu menyerang kepalanya. Napasnya sesak. Tentu saja Cie Lay tidak mengutarakan keluhannya ini. Ia memang anak cerdik dan berkeras hati. Kalau susioknya demikian sakti dengan berlatih secara ini, mengapa iapun tidak dapat? Maka dicobanya lagi. Dicobanya lagi. Terguling lagi. Roboh lagi. Seng Thian Taysu tertawa melihat muridnya yang pantang menyerah ini. Ia tahu bahwa untuk taraf permulaan, tak mungkin orang berlatih terus saja dengan kepala di bawah kaki di atas dan seharusnya memerlukan pertolongan pertama. Maka melihat bahwa muridnya ini memang berbakat dan keras hati, Diam-diam Seng Thian Taysu girang hatinya. Dengan sekali enjotan ke dua tangannya pada tanah, tubuhnya membal ke atas. Dan berdiri. Menghampiri Cie Lay. “Bukan begitu caranya, bukan begitu. Hayo kau ikutlah aku!” kata Seng Thian Taysu menghampiri sebatang pohon besar. “Kau naiklah ke atas!” perintahnya. Tanpa bertanya-tanya lagi, Cie Lay memanjat pohon itu. Sebetulnya ia bisa saja dengan gin-kangnya mencelat ke atas akan
54
tetapi tak mau ia menonjolkan kepandaiannya yang tak berarti. Maka dengan memanjat seperti seekor monyet sampailah ia di sebuah cabang pohon yang paling tinggi berdiri. Tiba-tiba tangan kiri Seng Thian Taysu bergerak berkelebat menyambar ke dua kaki Cie Lay dan membelit. Ternyata yang dilontarkannya tadi adalah sebuah sutera merah. Dan sutera merah itu sudah membelit ke dua kaki Cie Lay dengan amat kuatnya. Seng Thian Taysu tersenyum. “Nah, Cie Lay sekarang bergantunglah di situ dengan ke dua kaki di atas!” perintah susioknya dan diturut oleh anak muda ini dengan patuh dan percaya kepada susioknya yang sakti. Dan sejak hari itu, Cie lay diikat ke dua kakinya dan kemudian ikatan itu digantungkan pada cabang pohon sehingga dia tergantung seperti seekor kalong. “Dengan latihan begini, pernapasanmu selalu akan mengumpul di paru-parumu. Perutmu akan selalu kempis kosong. Pusatkan hawa murni di perut dan perlahan-lahan tariklah napas. Jangan hiraukan siksaan dari peredaran darah yang secara membalik ini, akan terasa tak enak dan memusingkan kepalamu. Kulihat engkau sudah pandai menggunakan hawa tian-tan (perut), nah salurkanlah hawa murni itu dan tutuplah hawa di bagian kepala supaya sedikit demi sedikit engkau tiada merasa pusing lagi. Nah kau perbuatlah itu seterusnya, di pagi hari yang terbuka itu lebih baik lagi! Biarlah hawa dingin itu akan menggembleng tubuhmu, lama kelamaan
55
tenaga Im (dingin) akan berpusat di perut. Dan inilah tenaga Im-kang yang hebat luar biasa. Tekunlah kau berlatih Cie Lay…....! Demikianlah dapat dibayangkan betapa sengsaranya Cie Lay karena harus berlatih secara ini. Beberapa kali ia pingsan dalam keadaan tergantung. Dan hebatnya, apabila matahari belum naik tinggi, susioknya itu belum mau membuka tali sutera yang melibat kakinya. Sehingga seringkali ia harus menghadapi tantangan sinar matahari yang mengganas membakar tubuhnya. Dan perutnya terasa lapar dan perih. Sementara tangannya yang terjuntai ke bawah itu sudah dingin dan kaku, namun susioknya tak bagitu memperhatikan. Seakan-akan ia sengaja melatih anak muda ini dalam hal kesengsaraan jasmani dan gemblengan mental. Dan anehnya, Cie Lay tak pernah mengeluh. Dan tak pernah minta untuk dilepaskan tali yang mengikat kedua kakinya. Akhirnya beberapa bulan sudah, ia telah dapat melakukan siulan (semadhi) seperti ini. Tidak lagi bergantung di atas cabang pohon dengan ke dua kaki terikat, malah sekarang ia sudah dapat berlatih di atas tanah seperti susioknya. Berdiri dengan ke dua kaki terpentang ke atas dan kepala di tanah. Tidak terasa lagi kepeningan yang dulu selalu menghantui kepalanya. Sekarang malah dirasakannya bertambah segar dan sehat apabila ia telah melakukan siulan secara itu. Dan saking asyiknya ia, kadang-kadang terlupa makan dan minum. Sampai tiga hari tiga malam! Diserang angin dan salju. Dibakar ganasnya matahari di siang hari. Kini tubuhnya terasa ringan dan pikirannya terang.
56
Dan ia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa. Setelah itu, barulah Seng Thian Taysu menggembleng muridnya ini dengan ilmu silat ciptaannya di puncak Hong-san. Tidak lagi ia berada di puncak Tiang-pek-san, karena setelah berbulan-bulan berada di Tiang-pek-san itu, ia merasa rindu dengan puncak Hong-san. Oleb sebab itu, di puncak Hong-san inilah sekarang Cie Lay menerima gemblengan ilmu silat Hong-sun-cap-jie-liong-sin-kiam-hoat yang hebat luar biasa. Sejak itu puncak Tiang-pek-san dilupakan orang! ◄Y► 3 Kita tinggalkan dulu Song Cie Lay yang tengah digembleng oleh susioknya Seng Thian Taysu di puncak pegunungan Hong-san dan marilah sekarang kita mengikuti pengalaman Sung Tiang Le yang buntung lengan kanannya karena ditebas oleh pedang Bwe Hwa. Tentu saja karena ia tidak mengira akan serangan Bwe Hwa yang tiba-tiba itu, maka tanpa dapat dielakkan lagi tangan kanannya telah buntung sebatas pundak. Rasa terkejut dan heran membuat ia tak merasakan lagi akan lengannya yang buntung itu. Matanya terbelalak memandang Bwe Hwa. Kemudian bersamaan rasa nyeri yang menusuk-nusuk di bagian pundaknya, bersamaan itu dirasakannya pula kepalanya berdenyut-denyut amat keras sekali. Ia terhuyung-huyung, sementara hujan menyirami tubuhnya yang semakin kuyup. Darah
57
merah menggenang di bawah kakinya. Tak tahu lagi ia apa yang terjadi selanjutnya Karena ia telah pingsan tak ingat suatu apa lagi! Tak tahu Tiang Le kalau pada saat itu, ke dua sumoaynya bertempur mati-matian. Ia tidak tahu kalau Sian Hwa telah mengamuk ganas menerjang Bwe Hwa dengan sambaran-sambaran pedangnya. Dan apabila kedua gadis remaja itu tengah mengadu nyawa, tak tahu ia kalau perlahan banjir yang menyerbu dari sungai itu mulai mengangkat tubuhnya, membawanya ke arus yang amat deras sekali. Tubuh itu sebentar timbul dan sebentar tenggelam dipermainkan oleh air sungai yang kecoklat-coklatan menggelombang tinggi dan menurun lagi menghempaskan tubuh yang belum sadar. Sementara hujan bertambah menggila. Petir di atas berkeredepan laksana lidah api yang hendak membumi hanguskan dunia ini. Dan guntur yang cerewet itu tak henti-hentinya menggelegar mengejutkan makhluk-makhluk di bumi ini. Banjir telah nampak mulai meluap dari sungai itu melanda segala apa di sawah, menggulung sawah-sawah yang menghijau, menghanyutkan batang-batang pohon dan ranting-ranting yang berserakan. Apabila langit di atas mulai cerah, dan gerimis pun merenyai merupakan tangisan yang tak kunjung henti dari riak gelombang. Mengalir tenang. Menghanyutkan sesosok tubuh yang tiada jua sadar akan apa yang terjadi pada dirinya. Air yang mengalir tenang, angin yang sudah meninggalkan riuhan yang mengganas
58
dan hanya sisa-sisa hembusan yang menyejukan dan di atas itu langit semula berair dan suram buram menakutkan perlahan-lahan mulai sirna berganti dengan latar belakang kebiruan yang amat cerah dan bersih. Sebuah perahu meluncur perlahan, di dalamnya terdengar suara merdu nyaring bersih mendendangkan sebuah lagu. Merdu sekali lagu, mengalun, mengeriak di antara luncuran perahu melaju terbawa air deras. Sementara angin berembus sejuk membawa suara nyaring merdu di kesayupan angin-angin menyepoi basah. Suara itu merdu sekali. Suara seorang gadis. Terdengar gadis itu mendendang lagi, dan tangannya yang kecil dan halus mengelepak-ngelepakan dayungnya pada air mengeriak laju. “Angin pun resah... matahari kedinginan. sudah itu, sunyi! Ini terjadi di lembah merpati di suatu pagi, ketika asap-asap salju menguap tinggi, Sepasang kekasih memadu janji, di sini sendiri ditinggalkan kenangan mati?”
59
Selesai ia mendendang, dilihatnya langit di atasnya cerah membiru. Segumpalan awan putih menyeruak lambat-lambat menggantikan awan hitam yang mulai sirna. Melihat wajahnya, gadis itu tidak lebih tujuhbelas tahun usianya. Masih remaja, ia sendirian di perahu yang kecil itu. Pakaiannya sederhana berwarna kembang-kembang, rambutnya digelung ke atas, diberi pita kupu-kupu merah. Manis sekali gadis ini. Matanya yang bulat ia bekelit-kelit menikmati pemandangan alam sehabis hujan tadi. Menyapu permukaan air sungai yang berwarna kecoklat-coklatan itu. Dan terbelalak mata, apabila didekatnya di pinggir perahu mengapung sebuah tubuh yang tengah tidak sadarkan diri. Rasa terkejut dan herannya, membuat si gadis cepat-cepat mencongkelkan ujung dayungnya membalikkan tubuh itu. Dan minta ampun!! Itu tubuh seorang pemuda. Dengan cekatan sekali gadis itu telah menjongkok di pinggir perahunya. Dia menarik baju di leher si pemuda dan dinaikkan ke atas perahunya, Itulah tubuh Tiang Le. Masih pingsan ia. Untuk yang ketiga kalinya si gadis menjerit apabila pandangannya terbentur oleh sebuah lengan yang sudah buntung sebatas pundak. Darah merah membasahi baju si pemuda. Napas itu satu-satu, sekarat demi sekerat dadanya yang bidang berombak turun naik. Tahulah si gadis bahwa pemuda ini masih hidup. Masih ada harapan untuk ditolong.
60
Tidak tahu ia apa yang mesti ia perbuat sekarang. Ia bukan seorang ahli pengobatan. Bukan juga seorang ahli untuk menolong napas-napas yang tinggal sekarat itu. Maka dalam bingungnya dia cuma bisa menyambar dayungnya dan melajukan perahunya cepat-cepat meninggalkan tempat itu. ◄Y► Angin berhembus sepoi-sepoi. Udara dingin. Sesosok tubuh langsing, berkelebat menyusuri sepanjang sungai itu. Matanya menyapu-nyapu permukaan sungai yang mengalir tenang. Kemudian mata itu menjadi basah. Bibir itu bergemetaran. “Tiang Le koko…..!!” Ia berbisik dalam kecemasan hati yang amat sangat. Kuatir jangan-jangan Tiang Le terbawa hanyut oleh air yang menggelombang garas tadi. Apabila ada benda yang mengambang di air itu, diperhatikannya baik-baik. Hatinya berharap, mudah-mudahan Tiang Le dapat diketemukannya. “Tiang Le koko, jangan kau tinggalkan aku koko. Kalau kau mati, hidupku tak akan berarti, jangan kau mati kokoooo, ugh….. uuugh.” Tak tertahankan lagi hati yang hancur itu, maka menangislah dia. Rambutnya yang basah berderai-derai, dan pakaiannya yang basah kuyup, tak diperhatikan lagi. Meski hawa dingin mulai menyerang tubuhnya! Terus saja ia mengikuti tepian sepanjang
61
sungai yang tak berujung itu. Matanya mencari-cari manyelusuri permukaan air yang menderas! Gadis itu adalah Liem Sian Hwa. Seperti kita ketahui Liem Sian Hwa ini meninggalkan suhengnya Song Cie Lay dan berlari turun gunung. Siapa sangka kalau gadis itu tidak lama kemudian kembali lagi ke tempat itu dan mencari-cari tubuh Tiang Le yang hilang tiba-tiba. Ia mempunyai keyakinan, tentu dalam pingsannya tadi Tiang Le terbawa air sungai yang meluap. Maka oleh sebab itulah ia bertekad mencari Tiang Le. Menyelusuri tepian sungai. Dan Tiang Le belum juga ditemukan. Limabelas lie sudah ia menyusuri tepian sungai itu. Kakinya sudah mulai menggigil saking lelahnya. Jalannya sudah terhuyung-huyung. Pandangannya nanar. Dirasakannya ada kabut yang kelam di depannya. Tak tertahan lagi ia. Terjatuhlah ia di tepi sungai itu. O, betapa lelahnya Sian Hwa, betapa tertekannya hati itu kehilangan seorang yang paling dikasihi, Sian Hwa letih lahir dan batin letih teramat sangat. letih. Dan menggeletaklah ia disitu. Lama ia menggeletak di pinggir sungai itu. “He he he! Gadis manis di tepi sungai sangat kebetulan sekali. Rezeki turun dari langit, he he he!” terdengar suara orang tertawa
62
dan habis suara itu menggema, berkelebat sesosok tubuh menghampiri Sian Hwa yang masih pingsan. Orang itu berjongkok. Memegang pergelangan tangan Sian Hwa. “He he he masih…… cuma pingsan, kebetulan!” terdengar ia berkata sendiri lagi. Dengan ke dua tangannya ia mengangkat tubuh Sian Hwa, dan sekali menggerakkan tubuh orang itu sudah lenyap merupakan bayangan setan berkelebat meloncati sungai, dan kemudian terus berlari memasuki hutan lebat. Gelap menyeramkan. Sambil tertawa terkekeh-kekeh orang itu memasuki hutan dan seperti sudah hapal jalan-jalan di hutan itu, ia teruskan memasuki ke hutan yang amat gelap dan menyeramkan. Pohon-pohon raksasa berdiri di kanan kiri dengan daunnya yang amat rimbun jalan di hutan itu. Ternyata di hutan yang lebat itu terdapat sebuah pondok. Pondok kecil itu hanya terbuat dari rumbai-rumbai dedaunan merupakan atapnya dan bertiang-tiang kayu besar, tidak terdapat dindingnya. Hanya empat buah tiang yang menunjang atap dari rumbai-rumbai itu. “A Mey…..! A Mey!” orang itu memanggil-manggil. Seorang nenek tua mendatangi dengan tongkat di tangan. Rambutnya sudah putih semua. Pipinya ditumbuhi banyak kerisut.
63
Tubuhnya kurus kering. Matanya tajam melirik gadis yang dalam pondongan orang yang datang itu. “Hehehe! A Thiong….. apa belum cukup latihan Jing-tok-ciang sehingga kau bawa-bawa lagi gadis ini!” Nenek itu bertanya. Orang yang dipanggil A Thiong oleh si nenek tadi, menghampiri. Sikapnya nampak mesrah dan halus waktu ia berkata: “A Mey sayang..... apa kau kira sudah cukup latihan Jing-tok? Makanya aku bawa gadis ini lagi. Otaknya baik sekali sebagai obat kuat.” “Apalagi dimakan dengan jin-som, hem sedap! Merupakan tonikum yang hebat untuk menambah tenaga muda kita dan tenaga sin-kang kita akan bertambah hehehe!” Orang itu meletakkan tubuh Sian Hwa. Kasar sekali orang itu meletakkan tubuh gadis itu. Dilempar begitu saja dan untuk seketika itu juga Sian Hwa sadar kembali. Begitu matanya terbuka, terheran ia melihat seorang nenek dan seorang kakek sudah berdiri di depannya sambil tersenyum gairah. Air liur si kakek yang dipanggil A Thiong oleh si nenek bertetes-tetes berjatuhan. Matanya memandang ke seluruh tubuh si gadis. Melihat pemandangan yang mengerikan ini, bergidik Sian Hwa. “Locianpwe ini siapa dan di…... mana aku?” tanyanya.
64
“Hehehe! A Mey, cantik juga ia gadis ini, sayang kalau kita bunuh...... akan tetapi otaknya segar dan baik...... jarang gadis-gadis mempunyai otak seperti dia. Rupanya nikmat benar kalau dimakan, hehehe!” “A Thiong, benar juga katamu. Gadis ini sayang kalau dibinasakan...... sebaiknya diberikan kepada A Seng, tentu dia girang mendapatkan teman bermain secantik gadis ini! Betul kita kasih A Seng saja. Anak kita itu hihik….. hik hik!” Bergidik Sian Hwa. “Celaka. Rupanya aku terjatuh ke tangan nenek dan kakek gila ini pemakan manusia, entah siapakah orang tua ini,” pikir Sian Hwa. “Locianpwe kau ini siapa?” “Kami adalah Jing-tok-siang-lomo, namaku A Thiong dan ini adalah istriku A Mey perempuan cantik. Kau nanti bakal anakku A Seng. Kau mau ya?” berkata Jing-tok-siang-lomo A Thiong. Kakek tua ini mengerinyitkan bibirnya. Matanya menyapu seluruh tubuh Sian Hwa dengan gairah. “Benar kau nanti bakal jadi isteri anakku A Seng. Eh! namamu siapa? Ahay…… namanya tentu juga bagus yaa…..” Jing-tok-siang-moli A Mey menyahut. Ia tersenyum kepada Sian Hwa. Sian Hwa melototkan matanya. “Gila!! Siapa yang bakal jadi isteri anakmu? Anakmu yang mana??” tanya Sian Hwa dengan heran dan marah.
65
“Anakku A Seng sedang memancing di sungai, sebentar ia tentu datang, eeh tentu kau suka kawin dengan A Seng ya? Tentu kau suka kawin dengan anakku A Seng, hi hi hi?” “Gila! Siapa yang sudi kawin dengan anakmu. Keparat, kalian orang sinting, orang gila! Tentunya anakmu juga gila, gendeng, sinting!” Sian Hwa memaki. Ia berdiri. “Eh kau bilang apa gadis manis….. kau bilang apa tadi?” Jing-tok-siang-moli A Mey bertanya marah, dia melangkah maju. Sepasang matanya yang penuh keputih-putihan itu mendelik menatap gadis di depannya seakan-akan mata itu hendak menelannya. Sian Hwa yang sedang mendongkol hatinya membalas mempelototi nenek itu dengan berani. “Aku bilang kalian ini sudah gila, sudah sinting....... tentu anakmu yang bernama A Seng itu juga orang gila, sinting!!” sahut Sian Hwa sambil menyentakkan tangannya. “Apa? Apa kau bilang……, A Seng gila?” “Ya…… kalian dan A Seng sudah gila!” “Plak plak plak!” Tangan kiri Jing-tok-siang-moli A Mey menampar pipi Sian Hwa tiga kali. Sian Hwa terhuyung-huyung. Tiga buah tapak jari memerah di ke dua pipi yang putih. Ia tidak melihat itu hanya dirasakannya ke dua pipinya menjadi pedas. Saking perihnya dirasakan ke dua pipinya itu. Sian Hwa sampai mengeluarkan air matanya menitik.
66
“He he he, A Mey…… kau keliwatan, masa mantu kita kau tampar sampai menangis….. jangan begitu ah….. aduh, kau menggunakan Jing-tok-ciang (pukulan racun hijau) ya....... wah, celaka....... kalau pipi mantu kita angus, mana A Seng mau sama dia….., wah, wah A Mey, lekaslah kau ambil daun Ang-coa-ko, di samping rumah kita lekas.......wa, jangan-jangan muka gadis itu akan hangus, celaka!” Mendengar perkataan A Thiong, mau tak mau, tanpa disadarinya Sian Hwa mengusap pipinya. Tidak ada apa-apa, hanya saja terasa pipinya menjadi gatal sekarang. Celaka jangan-jangan….., pipiku kena racun dalam tamparan nenek tadi! Sian Hwa menjadi cemas bukan main. Tentu saja sebagai seorang wanita, siapa pun wanita itu tidak ingin kehilangan akan wajah kecantikannya. Dan dari rasa kuatirnya yang menggerogoti hatinya, Sian Hwa menjadi marah kepada nenek yang telah menamparnya. Dengan bentakan keras ia sudah menerjang nenek itu. Pedangnya menusuk ke arah ulu hati Jing-tok-siang-moli A Mey. Akan tetapi melihat gerakan ini, sekilas saja nenek itu sudah tahu bahwa lawan hanya memancing saja, dan serangan itu tidak dilanjutkan, oleh karenanya dengan tertawa ha ha hi hi nenek itu tidak menangkis atau mengelak, malah ia sengaja berdiri tegak. Panas hati Sian Hwa ditantang seperti ini. Sikap nenek ini mengherankan sekali di hatinya, akan tetapi karena sudah kepalang tanggung, tusukan pedangnya dilanjutkan dengan sekuat tenaga ia menusuk ke arah ulu hati itu. Kepingin ia tahu apakah
67
nenek gila ini tidak mengelak akan sambaran ujung pedangnya? Sedangkan tangan kirinya menghantam ke depan dengan pukulan yang amat kuat. Inilah pukulan Soan-hong-ciang (tenaga angin puyuh) yang luar biasa. Akan tetapi Jing-tok-siang-moli A Mey sudah bersiap sedia menghadapi dua serangan sekali gus ini. Ia sudah mendapat serangan susulan yang amat berbahaya. Menghadapi pukulan yang mendatangkan hawa pukulan dingin ini, ia hendak mencoba membarengi dengan pukulan Jing-tok-ciang (pukulan racun hijau) yang paling diandalkan, maka ia tidak mengelak pukulan tangan kiri Sian Hwa, sebaliknya ia menangkis pukulan itu dengan tangan kanannya medorong ke muka, sementara tubuhnya meliuk ke kiri menghindarkan sambaran pedang “Duukkk!” “Hayya….. lihay sekali!” Si Nenek berseru kaget dan kagum. Dan ia melangkah mundur dua tindak. Karena pertemuan dua tenaga itu membuat ia mundur tergempur kuda-kudanya. Juga Sian Hwa merasa lengannya sebelah kanan tergetar hebat dan iapun mundur sampai dua langkah. Bukan main hebatnya pukulan jing-tok-ciang dari nenek gila itu, sehingga terasa kini lengan kirinya menjadi gatal-gatal. Diam-diam Sian Hwa terkejut, celaka, tentunya racun hijau yang menyerang lengannya pula. Begitu dilihatnya, benarlah lengan kirinya itu telah hitam dan bengkak. Rasa gatal begitu hebat menyerangnya.
68
“He he he, hebat juga mantumu ini. Cocok sama A Seng, eh. A Mey hayo nanti malam kita rayakan hari perkawinan anak kita A Seng..... heran...... kenapa si A Seng belum juga kembali?” Jing-tok-siang-lomo A Thiong berkata kepada A Mey. “Keparat aku harus mengadu jiwa denganmu!” Sian Hwa memekik panjang dan mengirimkan pukulan ke arah A Thiong. akan tetapi begitu si kakek berkelit tahu-tahu seluruh tubuh Sian Hwa menjadi lumpuh tertotok urat nadi di tubuhnya. “Dia mesti kita rangket dulu, A mey…… masukan dia ke dalam kerangkeng. Hati-hati jangan terlepas, dia amat galak dan harus dijinakkan dulu. Kau tunggu aku mencari A Seng anak bengal itu!” Sesudah berkata demikian tahu-tahu tubuh si kakek mencelat tinggi dan hilang ditelan bayang-bayang kegelapan di atas pohon yang rimbun. Si Nenek tertawa. Menghampiri Sian Hwa. “Betul...... kau mesti dirangket dulu, nyonya mantu…… nanti kalau A Seng sudah dataug biarlah anakku itu yang menjinakanmu….. hihihikk…. tangan si Nenek menyambar tangan kanan Sian Hwa dan sekali lempar tahu-tahu tubuh Sian Hwa telah masuk ke dalam sebuah kerangkeng yang terdapat di dalam pondok itu. Di dalam kerangkeng itu Sian Hwa tidak berdaya. Bukan saja ia sudah tidak dapat mengerahkan tenaganya lagi, akan tetapi di dalam kerangkeng yang berukuran empat persegi ini, mana ia dapat melarikan diri?
69
Dilihatnya si nenek gila itu menghampiri kerangkeng dan mengunci dari luar. Celaka, ia benar-benar di penjara di situ! Terasa tubuhnya lemas sekali. Ia bersandar di tiang-tiang kerangkeng, sementara pipi dan lengannya semakin gatal. Semakin menghitam. Tak tahu ia, bahwa saat itu kedua pipinya juga menjadi hitam seperti pantat kuali. Memang hebat sekali pukulan Jing-tok-ciang ini, kalau saja tadi si nenek memukulnya dengan sungguh-sungguh, tidak menampar seperti tadi, tentu siang-siang, tubuhnya sudah hangus disambar keganasan hawa Jing-tok (racun hijau). Saking lelahnya lahir dan bathin, Sian Hwa terlena di dalam kerangkeng menyenderkan tubuhnya pada jeruji kerangkeng yang sebesar jempol kaki besarnya itu. Ia setengah pingsan setengah sadar. Sementara gelap mulai menyelubungi pondok. Sebentar itupun malam akan mendatang. Bulan bersinar di atas menerangi hutan sehingga cahaya bulan yang cukup terang itu tidak membutakan mata Sian Hwa. Dilihatnya nenek itu sudah menggeletakkan tubuhnya di atas sebuah dipan dan terdengar suara tidurnya menggeros-geros seperti babi disembeli. Sian Hwa mencari akal. Di guncang-guncangkannya jeruji kerangkengnya yang mengurungnya itu. Tetapi alangkah terkejutnya dia, karena jeruji kerangkeng yang terbuat dari besi itu amat kuat sekali. Tak dapat ia mematahkannya. Tak betah ia dikurung seperti itu.
70
Sementara nyamuk besar-besar sudah mengiang di sekitar telinganya. Dengan sengit ia menepok nyamuk yang menggigiti lengan dan pahanya. Mendengar tepokan dari Sian Hwa, nenek itu terbangun dari tidurnya. Sejenak ia memandang gadis di dalam kerangkeng itu. Menghampiri Sian Hwa. “Hi hi hik mantuku yang manis, ngak betah di sini ya, banyak nyamuk….., sabar nyonya mantu, sebentar A Seng datang, engkau pasti diajak tinggal di kota....... di sana hidup senang hik hik hik!” “Keluarkan aku nenek gila, nenek peot!” maki Sian Hwa dengan matanya melotot. “Banyak nyamuk ya..... banyak nyamuk..... biar kunyalai api, biar nyamuk-nyamuk itu takut dan kabur…… ha ha hek!” tanpa menghiraukan Sian Hwa yang sudah mencak-mencak di dalam kerangkeng itu. Nenek Jing-tok-siang-moli A Mey membuat api unggun di dekat kerangkeng. Api besar menerangi suasana di situ. Sementara nyamuk-nyamuk kabur akan sinar api yang hangat. “Tidurlah….. nyonya mantu, besok bangun pagi-pagi, ya!” “Nyonya mantu kepalamu!” Sian Hwa membentak.
71
“Hik hik hik, galaknya. Sayang kau cantik, kalau tidak suamiku tentu mengambil otakmu untuk dibuat obat sebagai latihan Jing-tok-ciang, Hihi benar juga kau cantik nyonya mantu, sayang, kalau dibunuh, lebih baik dikawinkan sama A Seng….. ya A Seng anakku, hek hek hek!” berkata begitu nenek itu masuk ke dalam pondoknya. Sian Hwa terkejut sekali. Celaka, kiranya ia bukan saja berhadapan dengan kakek dan nenek gila, malahan rupa-rupanya kedua orang gila ini pemakan otak manusia. Siapakah kakek dan nenek yang bernama Jiang-tok-siang-lomo? Dan siapakah yang disebut A Seng anaknya itu. Apakah anaknya juga? Tentu saja Sian Hwa tidak mengenal mereka. Ia masih hijau dalam dunia kang-ouw. Kalau saja ia tahu. Tentu ia akan lari menjauhkan tempat ini. Tempat ini adalah memang tempat tinggal Jing-tok-siang-lomo (sepasang iblis racun hijau) A Mey dan A Thiong. Di dunia kang-ouw mereka ini terkenal sebagai datuk hitam yang ganas sekali di samping kegila-gilaannya yang otak-otakan itu. Mungkin karena saking banyaknya ia makan otak gadis-gadis remaja, sehingga sikap kedua orang ini sudah tidak normal lagi pikirannya, kendatipun demikian, kedua kakek dan nenek ini sangat ditakuti oleh dunia kang-ouw sebagai sepasang iblis pemakan manusia! Dan siapakah A Seng yang disebut-sebutnya itu? A Seng adalah anaknya. Anak tunggal sepasang iblis racun hijau itu. Akan tetapi A Seng sudah mati.
72
Mati tenggelam pada waktu ia pergi memacing di sungai. Dan matanya diketemukan oleh sepasang iblis racun hijau ini di rumah seorang penduduk dusun. Akibatnya. Luar biasa, seluruh keluarga dusun itu habis binasa dibunuh-bunuhi oleh Jing-tok-siang-lomo, sedangkan wanita-wanita remaja diambil otaknya untuk sebagai obat kuat sedangkan jantung dan hati wanita-wanita itu dikeringkan sebagai dendeng yang amat lezat bagi mereka! Inilah Jiang-tok-siang-lomo? A Thiong, kakek gila itu pergi ke dalam hutan di mana ia menguburkan anaknya. A Seng. Lucunya orang gila ini malah menangis di situ. Mengoceh tidak keruan. “A Seng….. anakku, mengapa kau belum bangun juga anakku....... aii kasihan calon isterimu menanti-nantikan di rumah. Bangunlah A Seng....... bangunlah….. ugh, ugh....... mengapa engkau belum juga bangkit…... A Seng....... biarlah papa tunggu di sini menantimu sampai kau bangun….. besok papa dan mama hendak mengawinkanmu A Seng….. dengan gadis cantik he he he, kau tentu suka ya A Seng….., ya, ya kau tentu cinta....... gadis itu manis sekali. A Seng cocok sekali buat menjadi istrimu, A Seng bangunlah..... bangunlah!” Jing-tok-siang-lomo A Thiong menggebrak-gebrakan tanah kuburan anaknya itu. Keruan saja batu nisan itu menjadi retak dan mental terhantam gebrakan tangan kanan A Thiong. Sementara mulutnya memanggil-manggil anaknya. “A Seng, kau belum mau bangun juga biarlah papa membangunkan dirimu Nak. Yaa…… yaa mestinya papa yang
73
membangunkanmu. Aduh! Kasihan sekali kau A Seng, papa lupa kau tidak bisa bangun lagi. A Seng biarlah papa membangunkanmu!!!” Sesudah berkata demikian Jing-tok-siang-lomo mundur ke belakang dua tindak. Tangannya mendorong ke depan dan mulutnya segera membentak. Inilah pengerahan tenaga Jing-tok-ciang. Keruan saja batu nisan kuburan itu hancur berantakan terhantam pukulan si kakek. Tanah yang menggunduk di situ berhamburan merata, kemudian dengan menangis mengguguk, si kakek gila itu menggali kuburan anaknya. Menggali. Menggalinyapun dengan cara yang luar biasa pula. Tangan kanannya diputar-putarkan di atas kepala, kemudian dipukulkan ke arah gundukan tanah pekuburan itu. “Braaak!!” Tanah di sekitarnya berguncang keras. Tangan itu berputar-putar seperti kitiran dan tanah-tanah di dalam kubur itu berhamburan ke atas dan sebentar itu pula nampak di dalam kubur itu tulang belulang manusia. Itulah tengkorak A Seng. Jing-tok-siang-lomo A Thiong melompat ke dalam dan memeluk tengkorak itu menangis mengguguk. “Aduh, A Seng aaaa..... kau, kau kenapa tidak bisa bangun nak, biarlah papa mengangkatmu. Mari kita pulang nak, sebentar lagi papa akan mengawinkanmu dengan gadis cantik….. A Seng kau tentu setuju ya dengan pilihan papa dan mama….. ya, ya kau pasti setuju A Seng. Kau lihatlah sendiri. Ugh ugh ugh A Seng....... A Seng!”
74
Dengan ke dua tangannya itu Jing-tok-siang-lomo A Thiong sudah membopong rangka manusia A Seng, dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari pekuburan itu. Hebat memang Jing-tok-siang-lomo ini kalau ada manusia yang melihatnya, tentu orang itu mengiranya setan-setan yang bergentayangan melihat tingkah laku A Thiong yang aneh. Amat cepat sekali tubuh A Thiong berkelebat sambil memondong tengkorak A Seng anaknya. Sebentar ia tertawa, sebentar pula ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan barang mainan. Itulah A Thiong yang aneh, si kakek gila! Begitu tiba di dalam hutan di luar pondok ia berseru, “Heei A Mey….., lihat aku membawa anak kita A Seng, eh mana gadis cantik itu A Mey……. A Mey!!” Jing-tok-siang-moli A Mey keluar dengan wajah bersungut-sungut. “Sudah….. pergi....... sudah pergi…...!” “Ha! Pergi? Pergi kemana…..?” “Nggak tahu……. kau kakek-kakek pikun. Bepergian dari tadi sore sampai tengah malam begini....... kau memang keterlaluan!” “A Mey jangan main-main kau, aku sudah bawa pulang A Seng……, dia harus dikawinkan dengan gadis itu…..” berkata A Thiong sambil meletakkan tengkorak A Seng di tanah. A Mey menangani tengkorak itu.
75
Dan ia menjerit memeluk tengkorak itu menjerit-jerit lirih. “Aduh….. A Seng....... mengapa kau begini kurus......... kemana daging-dagingmu A Seng......., apa kau di kota tidak makan-makan sehingga kau demikian kurus…… A Seng…... Bangunlah A Seng……!” “Dia sudah nggak bisa bangun lagi A Mey....... ugh….. ugh nggak bisa ngurusin anak, sampai A Seng tidur di sungai itu dan nggak bangun-bangun sampai sekarang….. ugh….. ugh…… A Seng….. anakku……” Jing-tok-siang-lomo A Thiong menangis menggerung-gerung. Suaranya jauh besar dan parau menggetarkan hutan belantara ini. Dan berganti-gantian mereka itu menangis. Habis A Thiong berganti A Mey menangis, bergulingan seperti anak kecil nggak dikasih barang mainan. Memeluki tengkorak manusia yang sudah berbau busuk dan dibelatungi. Lupalah mereka akan gadis yang tadi ditawannya. Lupalah A Thiong bahwa sebetulnya ia hendak mengawinkan anaknya ini dengan gadis tawanannya yang telah lenyap. Ya, kemanakah perginya Sian Hwa dan apa yang terjadi dengannya? Waktu A Thiong masih di dalam hutan tadi, si Nenek A Mey yang memang doyan tidur, ia tidak menghiraukan lagi akan tawanan di dalam kerangkeng itu. Sebentar itu pula ia sudah mengorok tidur dengan nyenyaknya.
76
Sian Hwa termenung. Memandang bulan di atas yang indah sekali berseri-seri menampakkan dirinya. Segumpalan awan tipis menghampiri bulan. Langit begitu cerah, dialasi selimut membiru laksana lautan luas yang hening tiada berombak. Sian Hwa termenung lagi. Teringat kepada sam-suhengnya Tiang Le. Aduhai bagaimanakah nasib suhengnya itu, masih hidupkah ia? Pikirannya menerawang jauh, merayap naik ke atas puncak Tiang-pek-san mengenangkan masa yang indah waktu ia masih berkumpul di puncak. Terasa bahwa di puncak itu, sikap sam-suhengnya Tiang Le memang amat dingin, kadang-kadang suka menjauhi dirinya. O tahulah ia sekarang bahwa jie-suhengnya yang bernama Song Cie Lay itu menaruh hati kepadanya. Ah, tahulah ia tentu ia Tiang Le jadi menjauhi dirinya. Padahal ia yakin benar dari pandangan Tiang Le, berkaca-kaca apabila bertemu pandang dengannya. Amat berkesan. Mungkinkah Tiang Le membalas cintanya? Teringatlah Sian Hwa akan kenangan manis dalam hujan lebat di pondok di tengah-tengah pematang sawah itu. Teringat sewaktu Tiang Le memeluknya. Memeluk dengan sangat mesra dan ia teringat pula perkataan Tiang Le. “Sumoay, Hwa-moay-moay mengapa begitu? Mengapa di dekatku engkau bahagia?” Dan ia menjawab.
77
“Koko, sejak....... sejak pertama kali kau datang di puncak Tiang-pek-san itu hatiku sudah terpaut denganmu, aku….. aku mencintaimu koko!” Dan ia mendengar suara Tiang Le yang gemetar penuh perasaan, “Moay-moay!” “Koko, aku tahu bahwa kaupun mencintaiku.......” Sian Hwa berbisik kepada bulan di atasnya. Seakan-akan di atasnya itu Tiang Le tersenyum kepadanya. Dan ia tersenyum kepada bulan. Aneh memang. Cinta kadang-kadang membuat orang menjadi takut dan sinis akan hidup ini. Dan membawa kesengsaraan di badan. Akan tetapi cinta pula yang membuat hidup ini begitu romantis dan penuh gairah. Cintanya Sian Hwa kepada Tiang Le membuat ia tidak menyadari bahwa kini dirinya terancam bahaya di tangan Jing-tok-siang-lomo A Thiong, dan Jing-tok-siang-moli A Mey, kedua kakek dan nenek iblis. Akan tetapi bagaikan mimpi Sian Hwa masih bisa tersenyum kepada bulan. Padahal racun hijau yang di tangan kirinya itu semakin menjalar, dan berbahayalah apabila hawa racun itu menyentuh jantung. Dan kedua pipinya semakin hitam, semakin menyerupai pantat kuali. Sian Hwa tersentak dari lamunannya ketika tangannya ada yang menepuk. “Cie-cie yang baik, kau....... lekaslah ke luar……” Sian Hwa menoleh. Dan alangkah terkejutnya ia melihat seorang laki-laki cebol. Amat pendek sekali laki-laki itu. Akan tetapi melihat
78
dari form wajahnya, lelaki itu bukan kanak-kanak lagi. Melainkan seorang pemuda yang berwajah tampan. Hanya tubuhnya saja kecil dan pendek, setengahnya dari Sian Hwa. “Cici….. keluarlah….., kau….. bahaya sekali….. aduh, mukamu hitam benar....... celaka….. kau sudah kena racun Jing-tok cici. Kalau tidak segera diobati bahaya sekali mukamu akan rusak,” pemuda cebol itu menarik tangan Sian Hwa. Dan Sian Hwa menjadi panik sekali. Tanpa disadarinya ia mengusap pipinya dan melihat ke arah lengan kirinya yang sudah gosong. “Mukaku hitam?” Sian Hwa bertanya seakan kepada dirinya. Membandingkan hitam di lengan dan di pipi. Tentu saja ia tidak melihat akan ke dua pipinya yang sudah berkerisut hitam itu. Andaikata Sian Hwa melihatnya, ia akan menjerit pasti. “Kedua pipimu hitam seperti pantat kuali!” “Plak!” tangan Sian Hwa menampar pipi pemuda cebol itu. Pemuda cebol mengusap pipinya yang terasa perih dan sakit. “Kau bilang mukaku kayak pantat kuali, kurang ajar kau!” Sian Hwa memaki, Akan tetapi diam-diam ia merasa kasihan juga kepada manusia cebol ini, Kenapa ia menampar? “Cici!”
79
“Kau siapa..... mengapa kau ada di sini, pergilah kau, jangan nanti si kakek gila memasukan engkau ke dalam kerangkeng ini. Cepatlah pergi, jangan dekat?” “Tidak cici aku harus menolongmu!” “Hm, menolongku?” “Ya, cici tunggulah sebentar…… aku akan mencuri kunci kerangkeng ini, tahukah kau di mana nenek itu menyimpan kunci kerangkeng ini?” tanya si pemuda cebol. Melihat bahwa pemuda cebol itu tidaklah main-main, Sian Hwa tersenyum dan berkata: “Betul, kau mau menolongku??” tanyanya. “Kenapa tidak?” “Bagus adik, nah kau curilah kunci itu!” “Di mana…… di mana disimpannya??” “Tentu saja di sakunya. Eh!! kau dengar tidak, nenek itu sedang tidur nyenyak. Nah!! curilah, hati-hati kau. Kalau dia bangun lehermu akan dipotongnya!” kata Sian Hwa. Pemuda cebol berpikir sebentar, menoleh ke arah si nenek yang sedang tidur dengan nyenyaknya! “Baiklah cici!”
80
“Hati-hati kau……!” sahut Sian Hwa. Pemuda cebol menghampiri nenek A Mey yang tengah tenggelam dalam tidurnya. Kagum juga Sian Hwa melihat Langkah-langkah kaki yang ringan dari pemuda cebol itu. Tahulah dia bahwa pemuda pendek ini mempunyai gin-kang yang boleh juga. Buktinya suara kakinya itu tidak terdengar sama sekali. Ia memperhatikan pemuda cebol itu. Gelinya ia, melihat pemuda cebol berjingkat-jingkat di depan si nenek. Kemudian bagaikan seorang pencuri ulung, tangan kecil itu menyelusup ke baju luar si nenek. Dan sebentar itu pula serencengan kunci sudah dikeluarkan dari saku si nenek yang masih tenggelam dalam tidurnya. Girang sekali hati Sian Hwa. Pamuda cebol sudah menghampiri. Membuka kunci kerangkeng. Dan berderit perlahan mengejutkan si Nenek. Akan tetapi nenek itu cuma menggeliat saja dan tidur lagi. Pemuda cebol berbisik perlahan. “Cepat….. cepat....... cici… ssssst.” Sian Hwa keluar dari kerangkeng itu. Terasa tangannya ditarik oleh pemuda cebol, “Hayo kita lari!” Maka berlari-larianlah kedua orang muda itu.
81
Kagum sekali Sian Hwa melihat gin-kang pemuda cebol ini. Meskipun tubuh pemuda itu pendek dan kecil, akan tetapi larinya demikian ringan sekali. Malah dalam melarikan diri itu seringkali Sian Hwa tertinggal. Amat jauh sudah mereka melarikan diri. Mereka sudah ke luar dari dalam hutan yang lebat itu. Sekarang mereka berjalan perlahan. Lambat-lambat. “Terimakasih atas pertolonganmu…..” berkata Sian Hwa. “Tidak apa cicie....... sama-sama…..” sahut si Pemuda cebol. “Jangan panggil aku cici ah, kulihat umurmu tentu tidak di bawah umurku.” “Usiaku duapuluh tahun Cici.” “Nah, malah kau lebih tua dariku. Kau tahu usiaku baru juga delapanbelas. Jangan panggil aku cici….. panggil saja namaku!” “Siapa namamu?” tanya pemuda cebol. “Namaku Liem Sian Hwa,” sahut Sian Hwa singkat. “Dan aku Go Sin Thong,” sahut Sin Thong. Sian Hwa tertawa. Sin Thong menoleh.
82
“Kenapa kau tertawa Sian Hwa?” tanyanya. “Kau memang patut disebut Sin-thong (anak sakti)!” “Mengapa?” “Buktinya….. kau benar-benar sakti….. ah, sudahlah….. kalau tidak ada engkau muncul di pondok itu, entah bagaimana nasibku. Eh, Sin Thong….. bagaimana kau bisa muncul di situ?” “Kebetulan saja Sian Hwa. Kebetulan aku melihat kakek Jing-tok-siang-lomo A Thiong memanggul tubuhmu yang pingsan di tepi sungai itu. Aku heran sekali, tapi aku tak ingin bertindak semberono. Aku ikuti si kakek gila itu sampai ke dalam hutan. Siapa kira bahwa aku dapat menolongmu….. untung nenek itu tidurnya kebluk. Kalau tidak mana bisa aku menolongmu dari cengkeraman ke dua iblis sakti itu?” Sian Hwa menoleh, langkahnya diperlambat lagi. “Kau mengenal mereka Sin Thong?” “Tentu saja aku pernah mendengar Jing-tok-siang-lomo sepasang iblis racun hijau yang amat ganas itu. Suhu yang mengatakannya itu, eh ya Sian Hwa kulihat ke dua pipimu tentu terserang racun hijau, biarlah nanti suhu yang akan mengobatimu!” “Tentu suhumu itu ahli pengobatan ya, siapa sih suhumu itu?' tanya Sian Hwa tertarik.
83
“Suhuku orang biasa saja Sian Hwa, disebut orang Kwa-sinshe (ahli pengobatan she Kwe) tentu ia mau menolongmu.” “Terima kasih Sin Thong!” sahut Sian Hwa. Dan keduanya berjalan lambat-lambat. ◄Y► 4 Tiang Le membuka matanya. Betapa terkejut ia ketika merasa dirinya berada di sebuah pembaringan yang cukup bersih. Pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kelambu yang bersih dan putih, kasur yang empuk beralaskan sprey yang putih bersih pula. Sebuah kamar persegi empat yang cukup luas. Sebuah almari pakaian yang sederhana, dan sebuah meja tulis. Sebatang hio wangi menyebarkan harumnya ke seluruh penjuru kamar itu. Kamar seorang gadis. Terkejut sekali hati Tiang Le, apabila dilihatnya sebuah pakaian wanita tergantung di atas pembaringan. Dan begitu ia melirik, ia menjerit lirih mengingat tangan kanannya telah buntung sebatas pundak. Dan pundak itu terbalut rapih sekarang. Hatinya terasa nyeri sedikit menyelikit di luka yang dibalut itu. Tiang Le menarik napas panjang teringat sekarang ia akan tragedi yang menimpah dirinya.
84
“Habislah…..” bisik Tiang Le. “Ya, habislah sudah cita-cita untuk membalas dendam. Setelah lengannya buntung, apakah ia bisa menarik pedang?” “Bwe Hwa sumoay….. betapa kejamnya hatimu....... Mengapa kau membuatku tidak berdaya seperti ini….., ah sumoay....... lebih baik aku mati dari pada begini….. Apa gunanya lagi hidupku, kalau aku tidak dapat membalas dendam kematian suhu dan kehancuran Tiang-pek-pay? Sumoay...... sumoay!!” Hati Tiang Le merenyuh. Pintu kamar berderit nyaring apabila seorang gadis membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia tersenyum kepada Tiang Le. Senyumnya amat manis. Mangkuk obat yang dipegangnya diletakkan di atas meja. Di dekat pembaringan. “Tiga hari tiga malam kau pingsan tak sadarkan diri, untung kau sudah sadar sekarang. Apakah masih sakit lukamu?” suara itu amat halus tutur katanya. Terdengar amat merdu dan nyaring bersih. Tiang Le mengawasi gadis ini. Terkejut ia apabila mengingat dirinya berada di dalam kamar gadis itu. Ia bangkit berdiri. Akan tetapi ia terguling lagi karena dirasakannya kepalanya demikian berat dan berkunang-kunang. Pandangannya nanar. Tiang Le memejamkan matanya. “Kau masib lemah, kongcu. Sebaiknya jangan bergerak dulu. O ya, ini obatnya, minumlah kongcu!” gadis itu meraih mangkuk dan didekatkan ke bibir Tiang Le.
85
Tiang Le memandang gadis itu. “Minumlah kongcu?!” “Siocia, kau siapa? Mengapa aku berada di sini? Dimana aku ini?” “Tenanglah kongcu. Dan minum obat ini!” mangkuk itu didekatkan lagi oleh gadis itu di dekat bibir Tiang Le. Tak enak hati Tiang Le bertanya-tanya terus dan menolak kebaikan gadis ini maka Tiang Le meneguk habis obat dalam mangkuk itu. Gadis itu meletakkan mangkuk kosong di meja. Dan langkahnya yang gemulai ia hendak meninggalkan kamar, akan tetapi Tiang Le memanggilnya. “Siocia?” “Ya?” Gadis itu membalikkan tubuhnya. Memandang Tiang Le. Tiang Le sudah duduk di pembaringan. Terasa sekali betapa lemas tubuhnya. Ia berpegangan pada tepi meja itu. “Siocia......aku.....” “Eh, hendak kemana kongcu, jangan….. jangan turun, berbaringlah di situ. Aku hendak masakan kau bubur, ya?” “Terima kasih siocia, jangan, jangan merepotkanmu...... ah dimana aku ini?” “Ini kamarku kongcu,” sahut gadis itu
86
“Hem!?” “Ya, kamarku. Tak apa kau istirahatlah sementara aku hendak memasak bubur!” berkata begitu gadis itu sudah meninggalkan Tiang Le di dalam kamar itu. Tinggal Tiang Le di dalam kamar itu terlongong heran. Tidak lama kemudian gadis itu telah mendatangi lagi dengan membawa sebuah mangkok bubur di tangannya, ia tersenyum kepada Tiang Le. “Kongcu kau makanlah bubur ini,” berkata gadis ini. Akan tetapi Tiang Le menggelengkan kepala. “Terima kasih siocia. Harap kau menceritakan mengapa aku berada di sini dan kau…... kau ini siapa?” “Kongcu…... tiga hari yang lalu aku dapati engkau di sebuah sungai. Untung aku waktu itu. Aku sedang berperahu melihatmu dan keburu menolongmu. Kalau tidak mungkin kau akan terhanyut dalam air yang sedang meluap sehabis hujan kemarin dulu. Dan kau terluka hebat pada lengan kanan dan telah pingsan pula. Kubawa engkau ke mari, kongcu. Tiga hari tiga malam kau tak sadarkan diri!” “O. Tiga hari tiga malam aku pingsan?” “Ya......”
87
“Dan selama itu engkau yang merawatku?” “Benar Kongcu. Aku disini sendirian, dan untungnya aku memanggil Kwa-sinshe, dan orang she Kwa itu yang memberikan obat!” “Siapa Kwa-sinshe itu?” tanya Tiang Le. “Dia ahli pengobatan she Kwa, agak jauh juga rumahnya dari sini……” Tiang Le terdiam. Gadis itupun diam. Dari cela-cela bulu matanya yang melirik ke arah pemuda yang buntung lengannya. Dan hatinya berdesir apabila pandangan Tiang Le merenggut mata itu. “Kau siapa siocia…..? Dan tinggal sendirian di sini?” Gadis itu mengangguk. “Aku she Cia, dan namaku Pei Pei. memang aku sendirian. Aku sudah sebatang kara kongcu.” “O ya!” “Makanlah bubur itu kongcu. Kalau bisa tahu siapakah namamu?” “Aku Sung Tiang Le. “O, ya. Aku akan memanggilmu Tiang Le twako, bolehkan?”
88
Tiang Le mengangguk. “Dan kau jangan panggil aku siocia lagi. Panggil saja namaku…..” “Terima kasih siocia, oh, Pei Pei!” Gadis itupun tersenyum. Tiang Le kagum sekali akan senyum gadis itu. Senyum yang membawa kesan di dalam hatinya, terharu apabila ia ingat bahwa gadis itu telah sebatang kara. Akan tetapi bagaikan disentak oleh pagutan ular pada kakinya, Tiang Le berdiri dan berkata. “Pei Pei moay….., terima kasih banyak untuk segala kebaikanmu, dan sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku….. terimakasih!” Keruan saja Cia Pei Pei menjadi terkejut. “Mengapa begitu twako, mengapa lekas-lekas pergi. Tinggallah di sini sampai lukamu sembuh benar. Sebentar Kwa-sinshe akan datang dan memeriksa lukamu lagi. “Tidak Pei Pei moay (adik Pei Pei) setelah aku sadar, tak boleh lagi aku tinggal bersama-samamu. Kau seorang gadis terhormat dan aku seorang pemuda. Tak baik ini kalau diketahui para tetangga. Apa kata mereka terhadap aku dan dirimu?”
89
Merah wajah Pei Pei mendengar ini. Hati perempuannya tersentuh oleh perkataan Tiang Le. “Tidak Tiang Le twako, tempatku ini terpencil....... mereka tidak tahu engkau berada di sini, selain Kwa-sinshe itu.” “Kendatipun demikian, tak boleh lagi aku ada di tempat ini, Pei Pei moay, biarlah aku pergi!” “Twako……!” Tiang Le memandang gadis itu. Di mata Cia Pei Pei ada air membasahi menggenang. Berkaca-kaca mata itu memandang Tiang Le, sebuah air bening meloncat di ke dua pipinya yang putih halus. Tiang Le heran melihat gadis itu. “Pei Pei moay, kau baik sekali. Aku tidak akan melupakan segala kebaikanmu ini. Kelak Thian saja yang akan membalas budi baikmu. Pei Pei…... selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu kepadaku itu!” Dari kelopak mata Cia Pei Pei mengalir turun bertetes-tetes air mata di ke dua pipinya. Matanya semakin basah. “Tiang Le twako, kenapa selekas itu kau pergi….. Luka di lenganmu belum sembuh twako. Sebentar lagi Kwa-sinshe akan
90
datang ke mari. Tidak maukah engkau menanti sebentar saja sampai Kwa-sinshe memeriksa lukamu sekali lagi??” Tiang Le memandang mata yang basah itu. Tidak tega ia untuk menolak permintaan gadis yang telah menjadi penolongnya itu, apalagi melihat sinar mata gadis itu yang penuh harap dan permohonan, mata yang basah. Ah, tidak mau ia membuat gadis itu mengeluarkan air mata. Tak tega hati itu. Tiang Le memegang tangan gadis itu. “Baiklah Pei Pei, aku akan menantikan kedatangan Kwa-sinshe. Bilakah ia akan datang??” tanya Tiang Le. Mata yang basah itu bersinar cerah. Cia Pei Pei tersenyum menghapus air mata yang tadi berderai. Ia membalas genggaman tangan Tiang Le. “Sebentar Kwa-sinshe akan datang. Twako, kau makanlah bubur itu. Aii, kau ngajakku berbicara terus sampai aku lupa menawari makanan, sampai dingin bubur di mangkuk itu, makanlah twako…!” berkata pula Pei Pei memberikan mangkuk bubur kepada Tiang Le. Diterima oleh Tiang Le dengan tangan kiri. Cia Pei Pai melirik ke arah lengan yang di balut itu. Menarik napas dalam.
91
“Aii... sampai sekarangpun aku masih heran twako, siapa yang telah membuntungi lengan kananmu. Atau kau bertempur, ya, sampai tanganmu itu terluka?” Untuk seketika awan-awan hitam menyuram di wajah Tiang Le. Akan tetapi melihat sinar mata si gadis. Ia jadi tersenyum pedih. “Lengan kananku buntung bukan karena pertempuran Pei Pei moay, akan tetapi sumoay ku itulah yang membuntungi lenganku!” sahut Tiang Le perlahan. Cia Pei Pei terkejut. “Sumoaymu…… sumoaymu yang melakukan ini?” Tiang Le mengangguk. “Aii, betapa kejinya dia….. mengapa bisa begitu Twako?” Tiang Le menggelengkan kepala. Tersenyum pahit. “Tidak apa-apa….. Pei-moay, sudahlah tak perlu kuceritakan itu. Oh, ya kudengar ada suara orang mendatangi,” berkata Tiang Le. Tentu saja dengan pendengaran telinganya yang sudah terlatih itu, ia sudah dapat mendengar langkah-langkah kaki orang mendatangi. Cia Pei Pei melongok dari jendela yang terbuka.
92
“Itu Kwa-sinshe,” katanya sambil meninggalkan Tiang Le keluar dari kamar. Sementara di dalam kamar sendirian itu, Tiang Le menghabiskan bubur yang tadi disodorkan Cia Pei Pei. Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, masuklah Cia Pei Pei dengan diikuti seorang tua. Orang tua itu sudah tua, umurnya sekitar limapuluhan. Berjenggot putih pula, panjang berjuntai di bawah dagunya, rambutnya sudah putih pula ditumbuhi uban. Matanya bersinar-sinar apabila melihat Tiang Le sudah dapat bangkit dan duduk di pembaringan. Sekilas matanya melirik ke arah lengan yang terbalut itu. “Hee… hee sudah segar sekarang ya, apa masih terasa sakit?” datang-datang sinshe Kwa bertanya kepada Tiang Le. Tiang Le menjura hormat dan berkata: “Terima kasih atas pertolongan Kwa-sinshe yang telah merawat luka-lukaku. Aku yang muda Sung Tiang Le, memberi hormat,” kata Tiang Le sopan. “Tidak apa. Sama-sama Sung sicu, aku hanya seorang ahli pengobatan biasa. Kalau engkau mau berterima kasih, kepada nona Pei Pei inilah yang telah menolongmu dari sungai itu dan merawatmu dengan penuh perhatian. Aku orang she Kwa hanya turut membantu saja.” Kemudian bertanyalah Kwa-sinshe kepada Pei Pei:
93
“Nona, apakah dia sudah kau beri minum obat??” Cia Pei Pei mengangguk. Orang she Kwa tersenyum puas. “Bagus, minumlah terus akar obat itu. Godok sampai tiga kali juga boleh. Kurasa dalam tiga hari lagi lukanya itu akan sembuh benar. O ya, biar kuperiksa lukanya sekali lagi…..!” Berkata begitu Kwa-sinshe mendekati diri Tiang Le dan membuka balutan pada lengan kanan itu. Diberinya obat bubuk berwarna kuning dan balutannya diganti dengan yang baru. Amat cekatan sekali orang she Kwa itu bekerja. Tidak berkata apa-apa dia di dalam memeriksa luka-luka itu. Baru setelah selesai ia mengganti balutan di lengan kanan Tiang Le, bibir yang tua itu tersenyum cerah. “Sudah baik. Sudah baik, hayaa, baru saja tadi pagi aku memeriksa luka seorang gadis temannya Sin Thong, mukanya hitam kayak pantat kuali. Hangus. Kalau tidak keburu pertolonganku, sayang sekali wajah itu akan hitam dan rusak. Ganas memang pukulan Jing-tok-ciang dari sepasang Iblis Racun hijau. “Ah, kau memang hebat Kwa-sinshe. Patut dipuji,” sahut Tiang Le memuji. “Biasa saja Sung sicu. Hebat dan tidaknya ahli pengobatan she Kwa sepertiku ini, nyawa manusia masih di tangan Thian. Aku belum dapat menyembuhkan orang mati, hehe! Apa yang dapat dibilang hebat?” Kwa-sinshe berkelakar. Tiang Le tersenyum.
94
Pei Pei juga tersenyum lebar. Kwa-sinshe menoleh kepada Pei Pei. “Nona Pei Pei aku permisi, sebentar lagi aku hendak memeriksa nona muka hitam dari racun Jing-tok, mudah-mudahan racun hijau itu dapat kuusir di wajahnya. Kalau tidak, kasihan. Akan cacadlah gadis teman Sin Thong muridku, hehehe, permisi nona Pei permisi Sung sicu.” “Kwa-sinshe terima kasih,” sahut Pei Pei. “Terima kasih,” Tiang Le juga berkata. Apabila Kwa-sinshe itu sudah pergi. Di dalam kamar itu tinggallah Tiang Le dan Pei Pei. Ke dua-duanya saling memandang sekarang. Dua pasang mata itu saling bertemu. Saling merenggut. Dan Tiang Le berdebar sekali hatinya melihat pandang mata yang penuh kelembutan itu. Tak kuasa ia menentang lebih lama lagi. Ia tertunduk dan berkata. “Pei Pei……. sekarang tibalah saatnya kita berpisah, aku….... aku hendak pergi, hendak melanjutkan perjalananku. “Ke mana tujuanmu, twako?” “Entahlah adik Pei, ke mana saja kakiku ini membawanya, aku tak mempunyai tujuan sebetulnya.”
95
“Kalau begitu, mengapa kau begitu kesusu. Tinggallah di sini lebih lama twako!” Tiang Le tersenyum lebar. “Tak mungkin adik Pei, tak mungkin seorang pemuda dan seorang gadis tinggal serumah berdua-duaan saja. Kau maafkan aku.” Merah wajah Pei Pei. “Benar twako, tak mungkin kita selalu bersama-sama. Di mana ada pertemuan, di situ ada perpisahan……, ah, alangkah beratnya hatiku berpisah dengan twako......” suara Pei Pei terdengar bergetar penuh perasaan hati. Tiang Le terkejut sekali dan menoleh. Menatap Pei Pei. “Mengapa begitu adik Pei.....?” tanyanya. Pei Pei tersenyum menggelengkan kepala. “Maafkan aku twako..... sebetulnya..... tidak apa-apa! O ya, apakah sekarang juga kau hendak berangkat?” Tiang Le mengangguk. “Sekarang saja Pei moay,” sahutnya. “Kalau begitu kau bawalah akar obat yang masih tersisa itu. Godoglah dan airnya diminum agar lukamu lekas sembuh. O ya, sin-she bilang tiga hari lagi lukamu akan sembuh, nah kau bawalah
96
akar obat ini twako,” Pei Pei memberikan bungkusan akar obat dari Kwa-sinshe. Diterima oleh Tiang Le. “Terimakasih Pei moay….. kau baik sekali. Budi baikmu akan selalu kuingat, Pei moay. Sekarang aku hendak berangkat,” sahut Tiang Le seraya tangannya menjinjing akar obat yang dibungkus dengan kain kuning. Pei Pei menatap pemuda buntung itu, lama-lama pandangan matanya berkaca-kaca sayu. Setitik air mata meleleh lewat pipi kirinya, Pei Pei membalikkan tubuhnya dan berjalan ke luar kamar. Tiang Le mengikuti gadis itu dari belakang. Apabila sampai di luar halaman itu. Ke dua-duanya saling berpandangan. Tiang Le mengangkat tangan kirinya dan memegang bahu Pei Pei. “Selamat tinggal Pei Pei,” katanya. “Selamat jalan Tiang Le twako. Kapan-kapan kalau kau kebetulan singgah di dusun ini, kau mampirlah ke sini dan ingatlah kepadaku twako.” “Aku akan selalu mengingatmu Pei Pei, selamat tinggal…..!” Tiang Le melambaikan tangan kirinya. Basah ke dua mata gadis itu.
97
Terharu sekali hati Tiang Le. Akan tetapi ia menekan perasaan dan berjalan lanmbat-lambat. Apabila ia menoleh ke belakang, nampak Pei Pei masih memandangi kepergiannya itu dengan air mata membanjir turun lewat ke dua pipinya. Cia Pei Pei, betapa indahnya nama gadis penolongnya. Dan nama itu hendak diingatnya selalu. Disisipkan ke dalam isi hatinya. Sementara berjalan lambat itu, ia tersenyum dan terharu melihat kebaikan Pei Pei yang manis. Sebuah bayangan lain menyelinap dalam benaknya. Bayangan itu, bayangan Sian Hwa!! Tiang Le menengadah ke atas. Tampak dari kejauhan puncak Tiang-pek-san diselimuti oleh salju menebal. Kenang-kenangan di puncak Tiang-pek-san membayang di ruang matanya. Tiang Le tersenyum. Lambat-lambat ia berjalan. Semenjak Tiang Le menuntut ilmu di pegunungan Tiang-pek-san baru kali ini ia kembali ke dunia ramai. Hampir empat tahun lamanya ia di puncak Tiang-pek-san itu. Selama empat tahun itu, hari demi hari dilewatkannya dengan berlatih silat bersama-sama ke empat orang saudara seperguruannya. Kadang, ia mendengarkan wejangan-wejangan dari suhunya Swie It Tianglo dengan duduk berkeliling di ruang belakang Tiang-pek-pay, dan kadang-kadang pula ia memburu rusa atau kelinci di hutan pegunungan Tiang-pek-san bersama-sama saudara-saudara
98
seperguruan. Atau kadang-kadang lagi ia mendengarkan cerita dongeng dari orang-orang tua di Tiang-pek-pay. Banyak lagi. Selama empat tahun itu ia hanya berkumpul dengan Sian Hwa, Bwe Hwa, Liok Kong In dan Song Cie Lay, di samping itu sekali-sekali suhunya datang memberi petunjuk dalam berlatih. Kadang-kadang pula pernah Kong In bertengkar dengan Cie Lay, atau Bwe Hwa bertengkar dengan Sian Hwa. O, kenang-kenangan di puncak itu membayang sekarang di lubuk matanya. Teringatlah Tiang Le betapa empat tahun yang lalu, suhunya inilah yang menolong dia dari wabah penyakit kelaparan yang menyerang keluarganya. Empat tahun yang lalu Tiang Le tinggal di sebuah dusun Ting-ling-bun. Dusun yang jauh sekali ke kota. Tempatnya terasing. Dusun ini berkepala keluarga ada sekitar limapuluh kepala keluarga. Dusun yang sederhana dan sangat miskin. Keluarga Tiang Le adalah keluarga miskin. Ayahnya Sung Tek Han meninggal dunia akibat serangan penyakit jantung. Ia anak tunggal dari keluarga Sung. Dan sebagai anak keluarga yang miskin, Tiang Le sejak kecil mulai membantu ibunya menangkap ikan. Senang sekali ia bermain di sungai yang banyak ikannya itu. Sungai yang memberi mata pencaharian kepada limapuluh kepala keluarga. Dan ikan yang didapatnya diasinkan dikirim ke kota. Begitu kehidupan orang-orang di dusun Ting-li-bun ini.
99
Tentu saja untuk melancarkan hubungan dagang dari Ting-ling-bun ke kota Tiang An yang cukup jauh itu, banyak orang-orang dusun yang tidak sanggup berjalan sejauh itu, maka datanglah tengkulak-tengkulak ikan, membeli ikan asin di dusun ini dengan harga murah dan dijualnya ke kota dengan keuntungan berlipat ganda. Tahu bahwa di dusun ini merupakan sumber penghasilan ikan yang cukup banyak maka muncullah tengkulak yang bernama Sie Tek Pek. Orang tua she Sie itu lantas mendirikan rumah di dusun itu dan berkat anak buahnya yang pandai ilmu silat sebagai tukang pukul, maka orang tua she Sie memonopoli daerah itu. Setiap nelayan tak boleh menjual ikannya ke daerah lain atau tengkulak lain, seluruh hasil pengasinan itu harus dijual kepada tengkulak she Sie itu. Maka sejak itu terjadilah penekanan-penekanan terhadap orang-orang dusun, pembelian pengasinan ikan tidak memadai untuk kehidupan orang-orang di dusun, karenanya diam-diam banyak orang-orang dusun itu menaruh hati tak senang kepada keluarga she Sie itu, tetapi apa daya? Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tukang-tukang pukul yang disewa oleh orang she Sie itu merajalela. Membeli ikan semaunya, dan tidak sebanding dengan harga ikan-ikan itu. Pada suatu hari, datanglah musim kemarau yang panjang. Sungai Sin-kiang menjadi kering. Dan air sungai itu membawa bibit penyakit kolera, tipus dan disentri. Banyak orang dusun yang telah
100
meninggal dunia terserang penyakit yang semakin mengganas ini. Termasuk juga ibu Tiang Le yang sudah tua itu. Tak tertahan lagi ibu itu, sehari cuma dan keesokan harinya tak kuat lagi ibu Tiang Le menanggung sakit pada perutnya dan meninggallah orang tua itu. Betapa sedihnya hati Tiang Le. Tak ada lagi kesedihan yang paling memilukan apabila seorang anak ditinggalkan ibunya. Ditinggalkan untuk selama-lamanya. Tak tahan Tiang Le akan musibah yang menimpa keluarganya. Orang satu-satunya yang kini masih merupakan tumpuhan kasih sayangnya juga harus menyerahkan kepada maut yang menjemput. Tiang Le pingsan di samping ibunya yang membujur kaku. Sementara para orang-orang dusun mulai berdatangan. Dan ikut berduka cita atas kematian ibu Tiang Le. Hari itu, semua orang-orang dusun tidak menangkap ikan. Bukan saja sungai menjadi kering dan ikan-ikan pada mati di sana, melainkan juga mereka ini bersama-sama secara gotong royong pergi mengurus pemakaman ibu Tiang Le. Tengah hari itu, udara cerah sekali. Orang-orang dusun mengantarkan pemakaman ibu Tiang Le ke pekuburan. Tiang Le dengan menangis sedih mengiringi peti mati ibunya yang diusung oleh para tetangga. Berkaca-kaca mata anak muda itu melihat orang-orang yang mengantar. Hatinya penuh syukur dan terima kasih atas kerukunan orang-orang dusun itu.
101
Meskipun mereka semua itu orang-orang bodoh tetapi di hati mereka itu tersembunyi rasa kasih di antara sama sendiri. “Ibu...... mengapa kau secepat itu pergi…....? Mengapa kau tinggalkan aku! O, Ibu belum lagi aku membalas budi baikmu yang telah merawatku sampai besar....... kau sudah…... Ibu, Ibu!” Tiang Le mengeluh. Sementara matanya berkaca-kaca, jalannya tertunduk. “Sudahlah Tiang Le..... jangan memberatkan kepergian ibumu dengan air mata….. yang sudah ya sudah....... ibumu sudah pergi ke tempat yang tenang dan tiada kesusahan. Ia sudah senang sekarang…... tinggal kita yang masih hidup, nggak tahu bagaimana nasib kita….. Tiang Le, makanya kalau seorang anak mau berbakti kepada orang tua, sebaiknya engkau berbaktilah selama waktu orang tuamu itu masih hidup. Senangkanlah hatimu….. hiburkanlah….. sekarang kalau sudah tiada lagi kesempatan untuk berbakti!” Bertambah deras air mata Tiang Le mengucur. “Betul lopek sekarang ini sudah terlambat….. aku belum sempat berbakti untuk ibu….. ibu sudah pergi.......ugh, ugh.” “Hus mengapa kau bilang terlambat? Soal berbakti bukan saja kepada orang tua, selama manusia hidup, banyak kesempatan untuk berbakti. Berbakti kepada orang tua berbakti kepada negara....... berbakti kepada sesama hidup…… kepada saudara-saudara…… Tiang Le kalau kau mau berbakti, banyak sekali kesempatan itu, tentu kalau kau menjadi anak baik, menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan bangsa, ibumu di surga akan
102
senang sekali melihatmu. Tak kecewa ia membesarkan engkau.......” Si kakek yang berjalan di sebelah Tiang Le menghisap pipanya dalam-dalam, asap rokok bergulung-gulung memutih di udara. Dengan amat sederhana sekali. Selesailah sudah pemakaman ibu Tiang Le. Akan tetapi baru saja semua orang itu menyoja memberikan penghormatan terahir kepada mendiang ibu itu, Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras. “Ha ha ha, orang dusun dasar pemalas. Tidak pergi ke sungai menangkap ikan, malah ke tempat ini bersenang-senang dengan mayat. Apa kalian mencari mampus?” Pucatlah orang-orang dusun ini mendengar suara itu. Belum lagi hilang herannya, tahu-tahu dari atas pohon itu meluncur sesosok tubuh dan berdiri di atas batu nisan sambil bertolak pinggang. Itulah dia, tukang pukul Sie Tek Peng yang berjuluk si Cambuk Maut Oey Goan. “Hayo kalian kembali ke sungai..... pantesan penghasilan kalian banyak berkurang enggak tahunya kalian bermalas-malasan, hu, patut dihajar.” Si Cambuk Maut Oey Goan melecutkan cambuk hitamnya dan suara menggeletar memecut-memecut di udara. “Harap Oey Goan sicu tidak menaruh marah kepada kami, baru saja kami memakamkan tetangga kami yang meninggal akibat terserang penyakit........ maafkanlah kami……” “Tar tar tar!” Tiga kali pecut itu meluncur terjungkallah orang tua yang tadi berkata sambil memohon-mohon.
103
Pucat wajah Tiang Le melihat kepala kampungnya sudah putus nyawanya disambar tamparan pecut di tangan tukang pukul itu. Dengan sekali enjot tubuhnya Tiang Le meloncat maju dan menyerang Si Cambuk Sakti Oey Goan sambil membentak keras. “Keparat! Anjing Sie Tek Peng…… rasakanlah pembalasanku!” dengan berani Tiang Le menjotoskan tangan kanannya ke arah perut tukang pukul itu. Melihat betapa yang menyerangnya adalah seorang pemuda kurus dan berwajah pucat seperti orang berpenyakitan, dengan tertawa mengejek si cambuk sakti Oey Goan memutarkan cambuknya dan karuan saja ke dua tangan Tiang Le telah dapat dililit oleh cambuk itu. Bertambah panas hati Tiang Le. Ia melompat maju dan menendang. “Duuk!” Perut si cambuk sakti Oey Goan kena tendangan kaki kanan Tiang Le. Namun bukan si cambuk sakti yang berteriak kesakitan malahan Tiang Le sendiri yang meringis merasakan kaki kanannya menjadi sakit sekali. “Hee....... hee anak nggak tahu diri, sudah ditinggal mati ibumu masih berlagak, hayo, kau berlutut di depanku!!” Perintah si cambuk sakti Oey Goan sambil bertolak pinggang. Tentu saja mana Tiang Le sudi berlutut di depan orang ini. Bukan dia berlutut malah sebaliknya, matanya melotot memandang Oey Goan dan makinya: “Anjing penjilat pantat Sie Tek Peng aku berlutut di depanmu, lebih baik aku mengadu jiwa denganmu.”
104
Tiang Le meronta-ronta dan mengobat-abitkan cambuk yang masih membelit ke dua tangannya. Akan tetapi begitu cambuk ditarik oleh Oey Goan, tubuh Tiang Le terhuyung-huyung dan melayang jatuh. Jidatnya berdarah terhantam batu. Ke dua dengkulnya lecet bekas terseret cambuk yang ditarik Oey Goan. Dua orang dusun itu maju ke dekat Si Cambuk sakti Oey Goan dan berlutut, “Oey Goan sicu……, ampunilah anak ini, jangan kau mencelakakan Tiang Le. ampunkan dia sicu!” Oey Goan menoleh, “He he he, anak ini kurang ajar kepadaku, kalau dia mau berlutut tujuh kali kepadaku, niscaya cambukku ini akan mencabut nyawanya,” kata Oey Goan angkuh. Sekali sentak tubuh Tiang Le melayang lagi dan kali ini tubuhnya menghantam batu nisan. Darah merah mengucur dari ke dua lobang hidung Tiang Le. “Hayo kau berlutut anak setan!” bentak si Cambuk Sakti Oey Goan. Tiang Le mendelik menatap Oey Goan. “Tak sudi aku berlutut kepadamu! Tak sudi!” “Setan! Kalau begitu mampuslah kau!” Cambuk di tangan Oey Goan terangkat naik membawa tubuh Tiang Le. Berputar-putar di udara, mengombang ambingkan tubuh Tiang Le yang berputar
105
seperti kitiran. Hebat si Cambuk Sakti Oey Goan ini. Dengan memutar-mutar cambuk di tangannya tubuh Tiang Le berputaran di udara dan sekali si Cambuk Sakti menghentakan ujung cambuknya, tubuh Tiang Le melayang tinggi. Terdengar jeritan dari orang-orang dusun melihat pemandangan yang mengerikan ini. Terbelalak ngeri mata mereka melihat tubuh Tiang Le yang masih melayang tinggi itu. Tepat di bawahnya sebuah batu nisan pekuburan siap menyambut tubuh anak muda itu. Akan hancurlah tubuh itu! “He he, mampuslah bocah setan!” “Tar tar tar!” Cambuk itu melayang lagi. Melempar lagi tubuh Tiang Le tinggi ke udara. Demikianlah tubuhnya dipermainkan oleh si Cambuk Sakti Oey Goan sambil tertawa-tawa seperti kanak-kanak yang kegirangan bermain layang-layang. Pusing kepala Tiang Le dipermainkan seperti ini. Akan tetapi ia masih dapat memaki. “Anjing buduk…… turunkan aku, pengecut!” “Hee…… hee, turunlah sendiri……. Turunlah kalau bisa!!” tertawa si Cambuk Sakti Oey Goan mempercepat putaran cambuknya. “Setan! Anjing buduk! Anjing penjilat pantat Sie Tek Peng…… pengecut besar, kalau kau gagah, turunkan aku, rasakan pembalasanku!”
106
Tiang Le berteriak-teriak, sementara kepalanya semakin pusing. Tiba-tiba dirasakannya cambuk Oey Goan terlepas dan tubuhnya meluncur ke bawah. Saking ngerinya Tiang Le memejamkan matanya. Matilah aku!!! Aiiiiii Tiang Le!! Orang-orang dusun memburu. Sesosok tubuh dengan gesit sekali berkelebat dan mencelat tinggi, tahu-tahu tubuhnya Tiang Le telah ditangkap oleh sebuah tangan yang amat kuat. “Siancay……. siancay, keji benar kau Oey Goan!” terdengar suara halus dan menusuk hati dan tahu-tahu di depan si cambuk sakti Oey Goan telah berdiri seorang kakek yang memegang tongkat di tangan. Sedangkan tubuhnya Tiang Le sudah dilepaskan oleh tangan kanan kakek yang telah menolongnya itu. “Orang tua, siapakah engkau?” Oey Goan yang melihat gerakan orang tua itu demikian ringan dan telah dapat menyambar tubuh pemuda itu menjadi hati-hati sekali. Dan ia terkejut apabila pandangan matanya terbentur oleh tatapan sinar mata si kakek yang tajam menusuk. “Oey Goan, kalau gurumu tahu engkau berkelakuan seperti tadi, tentu siang-siang engkau telah dijiwir oleh karena watakmu yang jahat itu. Sembarangan saja kau mencabut nyawa manusia apakah kau dapat menghidup kehidupan ini?” “Orang tua…… kau berbicara seenaknya saja. Lekaslah minggat sebelum aku naik darah!” bentak si Cambuk Sakti Oey Goan mempermainkan ujung cambuknya melecut-lecut di udara.
107
“Oey Goan...... Bu Beng Siangjin itu adalah teman baikku. Hem, kalau kulaporkan kelakuanmu yang buruk ini, niscaya kau akan dapat jiwiran di telingamu!” berkata kakek itu tenang. Terkejut juga hati si Cambuk Sakti Oey Goan, “Kakek....... kau siapa?” “Aku Swie It Tianglo dari Tiang-pek-san,” sahut kakek itu “Kau...... kau Swie It Tianglo yang telah membunuh suteku, Lie Cu Seng murid Bong Bong susiok?” “Awas juga matamu Oey Goan……, tapi sayang watakmu juga sama jahatnya dengan Lie Cu Seng, murid Bong Bong Sianjin!” “Keparat....... kalau begitu kau harus mampus!” teriak Si Cambuk Sakti Oey Goan menerjang maju dengan sabetan cambuk yang seperti ular hitam hcndak membelit tubuh Swie It Tianglo. “Wessss!” samberan cambuk itu lewat di samping si kakek Swie It Tianglo ketika orang itu dapat terkelit ke kiri dengan amat mudahnya. Panas sekali hati Oey Goan melihat samberan pecutnya luput dan dengan memekik-mekik ia menerjang lagi. Hebat sekali terjangan cambuk itu. Akan tetapi anehnya, tiada pernah cambuk itu menyentuh tubuh Swie It Tianglo seakan-akan cambuk hitam itu menghantam bayangan-bayangan saja. “Ha ha ha….. Oey Goan mengapa ragu-ragu? Pukulan cambukmu itu, pukulan yang keras, biar tubuh tuaku ini menerima satu atau dua gebukan darimu…… memang pinggangku ini sedang rematik
108
kepingin digebukin…… rasanya.... enak sekali kalau cambukmu itu memijit-mijit tubuh tuaku, hahaha….. pukullah yang kuat!” Swie It Tianglo mengejek sambil berloncatan lincah menghindarkan sambaran cambuk itu. “Kakek gila kalau mau digebuk oleh cambukku jangan mengelak,” seru Oey Goan penasaran merasa melawan bayangan sendiri saja. Malu ia, masakan cambuknya yang terkenal dengan sebutan cambuk sakti itu sekarang tidak dapat menyentuh tubuh si kakek. Benar-benar memalukan. “Ha ha ha! Benar juga Oey Goan aku sedang sakit pinggang, nah, pukullah kuat-kuat pinggangku.” “Tar tar tar!” Tiga sambaran cambuk mengguntur menyambar pinggang si kakek. Melilit kuat. Dan seakan-akan melekat di pinggang si kakek, cambuk itu tak dapat dilepaskan lagi. Oey Goan membetot dengan kuat. “Ayaa..... nggak enak dipijitnya, eh Oey Goan……. jangan tarik-tarik begitu nanti cambukmu putus tolol!” si kakek memaki. “Keparat!” Oey Goan memaki. Dengan kedua tangannya ia membetot kuat-kuat. “Tesss!” cambuk itu putus ditengah-tengah saking kuatnya ditarik oleh si Cambuk Sakti. Dan akibatnya tubuh Oey Goan terpental lima meter bergulingan. Saking kerasnya ia terjengkang ke belakang, kepalanya membentur batu nisan sehingga di kepala itu tumbuh sebuah benjol sebesar telur bebek.
109
Oey Goan terhuyung-huyung. Meraba kepalanya yang benjol itu. “Kubilang juga apa….. jangan tarik kuat-kuat…… rasain kau, apa masih kurang?” “Kakek gila……. kucabut nyawamu!” “He he he……, kau bukan Giam-lo-ong, mana berhak kau mencabut nyawaku. Hati-hati Oey Goan jangan-jangan Giam-lo-ong mendengar perkataanmu dan engkau sendiri yang akan dicabut nyawamu……!” “Orang tua sombong! Mampuslah kau!” Sebuah pukulan jarak jauh dari Oey Goan menyambar tubuh Swie It Tianglo. Nampak jubah orang tua itu berderai-derai dan begitu si kakek mengangkat tangannya ke depan, tak ampun lagi untuk yang kedua kalinya tubuh Si Cambuk Sakti terjengkang. Kali ini amat keras tubuh itu tertumbuk batu nisan sehingga terdengar suara bergedebuk dan batu nisan itu semplak tertimpa tubuh Oey Goan yang meringis-ringis karena tulang belakangnya patah. “Melihat muka Bu Beng, aku tidak menjatuhkan tangan maut kepadamu. Tapi awas sekali lagi aku bertemu denganmu, jangan berkata aku berlaku kejam. Nah minggatlah kau!” tongkat butut Swie It Tianglo mencukil ke depan dan tahu-tahu tubuh Oey Goan terlempar jauh. Akan tetapi si Cambuk Sakti telah berdiri. Memegangi tulang pinggangnya yang remuk.
110
“Kakek sialan. Tunggulah pembalasanku nanti!” sekali berkelebat Oey Goan telah lenyap dari tempat itu. Tiang Le menghampiri kakek sakti itu dan menjatuhkan diri berlutut. “Locianpwe yang baik, terima kasih atas pertolonganmu kepada saya yang tiada berharga ini…….” “Hm, ia sudah mabur, sekarang orang muda pulanglah kau ke rumahmu!” kata Swie It Tianglo. Orang-orang dusun yang tadi melihat kelihayan si kakek sakti, berlutut pula. Dan seorang di antaranya berkata: “Lopek….., tolonglah kami….. kami sebetulnya dalam tindasan sewenang-wenang dari tengkulak Sie Tek Peng. Kalau lopek tak keberatan tolonglah kau damaikan kami dengan orang she Sie supaya ia dapat memaklumi kami. Sungai-sungai pada kering dan ikan-ikan banyak yang mati, penghasilan kami sangat terbatas sekali kalau orang tua she Sie itu mau berdamai dengan kami …… senang kami bekerja.” “Sudahlah…… bangunlah kalian. Sebelumnya aku sudah memberi hajaran kepada manusia she Sie itu. Kalian pulanglah kembali ke tempatmu masing-masing, eh……, orang muda kau kembalilah.” “Locianpee yang baik, saya……, saya sudah tidak mempunyai sanak famili. Ibu saya baru saja meninggal dunia. Locianpwe……, kalau….. kalau tidak keberatan biarlah saya turut denganmu merantau,” sahut Tiang Le.
111
“Ikut denganku mudah saja orang muda. Sekarang kau pulanglah ke rumahmu. Tak baik kau ikut denganku sekarang. Bukankah kau masih berkabung kematian ibumu? Nah, kau kembalilah pulang ke rumah. Besok kalau kebetulan aku singgah ke sini aku akan membawamu serta, eh siapa namamu orang muda?” tanya Swie It Tianglo. Diam-diam matanya melirik, dan alangkah girangnya ketika matanya itu dapat melihat tulang yang baik dan berbakat dari anak muda itu untuk belajar silat. “Siapa namamu?” tanyanya lagi. “Nama saja Sung Tiang Le, cianpwee.” “Sung Tiang Le……” Swie It Tianglo mengulangi nama itu dan sekali menggerakkan tubuhnya tahu-tahu Tiang Le dan orang-orang dusun kehilangan kakek yang tadi masih berdiri. “Hebat, kakek itu bisa menghilang!” “Dia memang sakti!” “Eh, Tiang Le kalau engkau dapat ikut dengan kakek itu wah, kau pasti bisa menghilang seperti dia.” Ramailah orang dusun membicarakan tentang kakek sakti yang telah menolong Tiang Le dari permainan maut Oey Goan dan mengusirnya. Benar saja sejak kemunculan kakek sakti itu tidak ada lagi tukang-tukang pukul dari Sie Tek Peng yang berkeliaran di dusun-dusun. Tak ada tengkulak-tengkulak yang memaksa penduduk untuk
112
menyerahkan hasil penangkapan ikan penduduk. Tidak ada bentakan-bentakan dari tukang pukul. Akan tetapi mara bahaya tetap saja mengancam penduduk dusun Ting-ling-bun itu. Bahaya kelaparan merajalela di sana sini. Ikan-ikan sungai pada mati akibat air sungai yang mengandung racun dan kering akibat musim kemarau yang begitu panjang tahun ini. Sumur-sumur dan telaga kering. Dan akibatnya sawah-sawah menjadi tandus dan gersang. Bahan gandum sedikit sekali dan itu siang-siang telah didrop oleh orang-orang berduit. Penduduk dusun mengharapkan hujan. Dan hujan tak kunjung datang Dan kemarau semakin panjang...... Akibatnya bahaya kelaparan terjadi di dusun ini! “Lapar! Lapar!” Teriakan-teriakan anak-anak kecil sungguh menyayat-nyayat hati, mengiris-iris jantung si ibu yang tak dapat lagi memberikan makan kepada anaknya. Di mana-mana terancam bahaya kelaparan. Bersamaan dengan itu berbagai penyakit bermunculan menyerang penduduk. Satu persatu nyawa-nyawa manusia meninggalkan tubuhnya. Di mana-mana terdengar ratap tangis dari orang-orang yang ditinggal mati. Si mati membujur tenang.
113
Si hidup menangis ditinggal si mati. Mengeluh panjang pendek akan kehidupan yang menyengsarakan badan. Badan yang semakin hari tinggal kulit berbalut tulang. Badan yang sudah mulai kurus kering. Seorang pemuda berjalan lunglai. Perutnya terasa perih bukan main. Matanya berkaca-kaca basah melihat pemandangan yang mengenaskan hatinya. Mendengar ratapan si kecil yang ditinggal mati ibu, ratapan-ratapan yang menangisi perut yang minta diisi. Tang Le termenung sendirian. Jauh terbentang di depannya sawah-sawah yang tandus dan kering tak mengeluarkan gandum. Sungai Sin-kiang tak mengeluarkan air lagi. Pepohonan tak lagi mengeluarkan kuncup, dedaunan itu sudah patas diambil orang untuk dimakan. Tidak ada lagi yang menghijau di sana. Segalanya serba tandus dan gersang. Tiang Le berjalan perlahan. Seorang anak kecil menghampiri sebuah rumah gedung di depan sebelah sana. Suara anjing menggonggong panjang menyalak-nyalak menyambut si anak kecil itu di halaman rumah. Si anak kecil yang kurus kering itu menangis. Ketakutan digigit anjing Sementara, mulutnya meratap. “Ibu…… lapar….. ibu…… lapar, aduh…..!” Menangislah anak itu.
114
Tiang Le menghampiri anak itu. “Adik kecil, kenapa kau menangis di dalam rumah orang?” “Ugh….. ugh lapar, ngko…... kasih aku nasi dong, aku lapar….. aduh perutku sakit!” Tiang Le terhenyak mendengar ratapan anak kecil itu. Ia juga tengah kelaparan saat itu, bagaimana ia dapat menolong anak ini??? “Adik kecil……” “Ngko aku lapar, aduh…… nggak tahan perutku!!” Tiang Le kebingungan. Tiba-tiba pintu rumah gedung itu terbuka, seorang gadis remaja mendatangi, “Kau??” “Cici minta nasi, aku lapar!” kata anak kecil itu sambil menghampiri gadis itu. “Waah kau lagi…… barusan tadi pagi aku berikan kau nasi,” sahut si gadis. “Cici, nasi yang tadi pagi sudah habis. Sekarang lapar lagi…….” “Kau lapar??”
115
Anak kecil itu mengangguk. Tiang Le menghampiri gadis itu. “Nona, kalau kau mempunyai persediaan berikanlah pada anak ini, kasihan…..” Gadis itu menoleh dan tanyanya: “Kau siapa???” “Aku penduduk dusun sebelah sana itu. Di sana banyak orang mati kelaparan.” “Aku tahu…... memang sekarang jamannya orang mati kelaparan.” “Nona, anak itu kelaparan, apakah kau dapat menolongnya?” Gadis itu tersenyum. “Sebentar…… aku akan ambilkan sedikit gandum,” berkata demikian gadis itu berlalu masuk ke dalam rumahnya. Tiang Le menarik napas lega menghampiri anak kecil itu. “Kau tunggulah di sini, ya dik. Nci itu sedang ambilkan gandum untukmu,” kata Tiang Le sambil cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Bayangan-bayangan wajah gadis yang manis tadi melekat di pelupuk matanya. Wajah seorang dara remaja yang dia kenal
116
benar, gadis tadi tentulah puterinya Sie Tek Peng, kalau tidak salah gadis itu bernama Sie Biauw Eng. Terhuyung-huyung sekarang Tiang Le berjalan….. hampir tidak kuat rasanya kakinya melangkah saking lemasnya menahan lapar. Kepalanya terasa pening, berdenyut-denyut. Tak terasa 1agi tubuhnya terguling dan ia roboh di pinggir jalan itu. Pingsan. Dan apabila ia sudah pingsan seperti itu tak ingat lagi ia akan perutnya yang melilit-lilit minta diisi. Tak ingat lagi akan kesengsaraan hidup ini. Tak tahu apa-apa lagi. Dan pada saat yang tepat itulah datang Swie It Tianglo yang menolong Tiang Le dari bahaya kelaparan yang mengancam jiwanya. Dan dibawanya ia ke puncak Tiang-pek-san. Dan di sanalah Tiang Le bertemu dengan Sian Hwa, Bwe Hwa, Liok Kong In, Song Cie Lay dan orang-orang tua murid-murid Tiang-pek-pay. Dan di sana itu pulalah ia kehilangan lengan kanannya! Kini ia menjadi seorang pemuda lengan buntung! Pemuda yang tidak mempunyai daya! ◄Y► 5
117
Setelah Tiang Le berjiarah ke kuburan ibunya di dusun Tiang-lin-bun dan membersihkan kuburan itu dari rumput dan lalang-lalang yang liar karena tidak terurus! Maka ia pun mengembara meluaskan pengalaman. Ia tidak mempunyai tujuan hendak pergi ke mana, karena iapun sudah tak mempunyai handai tolan dan tak sanak famili dan tak berkawan. Kembali ia ingat akan gadis yang bernama Cia Pei Pei yang baru saja ditinggalkan tadi pagi, ia menarik napas panjang. Kasihan gadis manis itu, hidup sendiri pula di dusun yang terpencil itu. Tiada lagi sanak familinya. Lupa ia untuk menanyakan riwayat gadis itu! Gadis itu adalah penolongnya. Cia Pei Pei. Tiang Le menghela napas dan berlari cepat. Pikirannya penuh dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi beruntun sejak ia turun gunung Tiang-pek-san beberapa hari yang lalu. Cinta segi tiga di antara suheng dan sumoaynya, sehingga membuat lengan kanannya buntung sebatas pundak. Ia tidak marah pada sumoaynya yang pertama yang bernama Bwe Hwa itu. Ia tahu betul, perbuatannya bersama Sian Hwa di dalam pondok ketika hujan-hujan itu tentu saja membuat Bwe Hwa membenci dirinya setengah mati. Sayangnya perbuatan sumoaynya itu melumpuhkan segala kepandaiannya bermain pedang. Tak bisa dia memainkan pedang dengan tangan kiri. Dan latihan-latihannya hampir empat tahun di puncak Tiang-pek-san itu ternyata sia-sia belaka.
118
Setelah lengan kanannya buntung mana bisa Tiang Le dapat menarik pedang lagi? Namun demikian semangatnya untuk mencari musuh-musuh besar itu tidak lumpuh. Ia bersedia untuk ini mempertaruhkan nyawanya. Matipun tidak mengapa, asalkan dendam yang membawa penasaran itu dapat dibalas. Asalkan Tiang-pek-pay berdiri kembali. Akan tetapi di hati kecilnya, apakah ia dapat mengalahkan Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo itu, apalagi sekarang setelah lengannya buntung, apalagi kebisaannya? Setelah bertemu dengan musuhnya itu, barangkali ia akan mengantarkan nyawa dengan sia-sia saja! Meskipun demikian ia tidak berkecil hati. Hasratnya untuk mencari pembunuh-pembunuh guru-gurunya masih menyala-nyala di hatinya. Tiga nama itu, Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo selalu diingatnya dan mulailah di dalam perantauannya itu ia mulai bertanya-tanya tentang tiga orang ini. Berhari-hari ia mengembara tak tentu arah tujuan. Kalau berhenti di sebuah kota yang dianggapnya indah, ia tinggal di sana beberapa hari sambil bertanya-tanya tentang tiga orang pembunuh gurunya, lalu melanjutkan pula perjalanannya. Uangnya masih ada, karena waktu di puncak Tiang-pek-san itu suhunya sering memberikan ia uang dan ini dikumpulkannya sehingga cukup banyak sudah. Tapi soal uang ia tidak kuatir karena kalau sampai kehabisan ia dapat pinjam dari simpanan seorang hartawan.
119
Ini pernah juga dikatakan oleh suhunya Swie It Tianglo: “Muridku, kelak setelah kalian turun dari puncak ini amalkanlah pelajaran-pelajaran yang kuajarkan kepadamu untuk kebenaran dan keadilan. Setelah kalian tamat belajar, merantaulah kalian untuk mencari pengalaman dan memperluas pergaulan dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw ini. Dan di dalam perantauan itu jikalau engkau sudah terpaksa sekali kehabisan uang boleh kalian ambil secukupnya dari seorang hartawan. Tapi awas jangan mengorbankan jiwa orang pula, sebelumnya harus diselidiki dahulu keadaan hartawan orang itu. Kalau ia orang baik dan dermawan, jangan diganggu, muridku, ingat ini untuk menjaga nama gurumu dan nama kita. Pada suatu hari sampailah Tiang Le di kota Tiang An. Kota itu cukup besar dan rumah-rumah penginapan dan rumah makan banyak sekali terdapat di situ. Orang-orang yang berdagang di kaki lima hingar bingar dengan segala kesibukan orang-orang yang hilir mudik berbelanja. Teriakan orang-orang yang menjajahkan makan dan barang dagangannya terdengar membisingkan telinga dan hiruk pikuk keadaan di dalam kota Tiang An yang ramai ini. Tiang Le berjalan sambil memandangi etalase-etalase toko yang penuh dengan hiasan barang dagangan yang mewah dan indah sekali. Tertarik sekali hatinya melihat barang-barang yang mewah itu. Memang keadaan di kota ini jauh sekali dengan di dusun dan di pegunungan.
120
Di dusun-dusun mana terdapat sutera halus dari Tibet dan hiasan-hiasan dinding yang terukir bagus dan halus itu. Tentu saja suasana di dusun jauh sekali berbeda dengan di kota. Sekecil-kecilnya sebuah kota masih lebih maju kebudayaan dan segalanya dari di dusun atau pegunungan. Tiang Le berjalan amat perlahan. Lengan yang kanan sering kali merupakan pusat perhatian orang-orang yang secara kebetulan memandangnya. Ada yang menarik napas kasihan melihat seorang pemuda yang buntung lengannya itu, ada pula yang tertawa sinis atau senyum mengejek kepada orang muda yang dianggapnya seorang pengemis muda. Akan tetapi melihat kesinisan dari orang-orang kota ini, Tiang Le tidak ambil peduli. Ia tidak menjadi marah atau rendah diri. Ia tetap berjalan tenang-tenang di jalan yang itu. Tiba-tiba telinganya yang sudah terlatih itu mendengar suara derap kaki kuda di belakangnya dengan amat cepat sekali. Bersamaan dengan itu terdengar jeritan-jeritan teriakan dari orang-orang yang berusaha memberi jalan kepada penunggang kuda yang membalapkan kudanya dengan amat cepat. Tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita tua memburu anak kecil di tengah jalan itu. “A Yin…! A Yin...!” Suara kaki kuda berderap meageluarkan debu yang mengepul ke atas. Semakin dekat dengan anak kecil di tengah jalan itu, Tiang Le terkejut bukan main dan sekali mengenjotkan tubuhnya tahu-tahu ia sudah melayang dan menyambar anak kecil itu dan
121
berkelebat lenyap. Bersamaan dengan gerakan Tiang Le itu, seekor kuda berlari dengan amat kencangnya. Kalau Tiang Le tidak cepat bertindak tentu anak itu akan hancur diinjak kuda yang tengah membalap itu. Orang-orang yang melihat pemandangan yang menegangkan itu menarik napas lega setelah mengetahui anak kecil tadi sudah selamat ditolong oleh tangan orang muda yang berpakaian amat sederhana dan berlengan buntung. Seorang ibu menghampiri anak kecil itu. “Ibu, paman buntung ini hebat. Barusan A Yin dibawa terbang oleh paman buntung ini…..!” kata anak kecil itu. Ibu anak itu menoleh ke arah Tiang Le dan menjatuhkan dirinya berlutut. Karuan saja Tiang Le menyambar membangunkan ibu itu. “Kouw-nio.......jangan begitu….!” Orang muda yang gagah, aku yang tua mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Untung saja ada engkau, kalau tidak entah bagaimana nasib anakku……!” sahut ibu itu sambil menjura kepada Tiang Le. Tiang Le tersenyum dan dengan tangan kirinya dia sudah menggendong anak perempuan yang berusia tiga tahun itu, kemudian diserahkannya A Yin kepada ibunya. “Kouw-nio, anakmu tidak apa-apa....... lain kali jangan membiarkan anak kecil bermain di tengah jalan!” kata Tiang Le.
122
“Terima kasih tayhiap…… terima kasih,” demikian kata ibu itu sambil menggendong A Yin. “Ibu, paman ini sudah menolongku…… ibu undang paman ini untuk bermain-main ke rumah kita,” si kecil A Yin berkata kepada ibunya sambil matanya yang jeli itu memandang pemuda buntung yang telah menolongnya. Ibu itu tertawa “Betul juga kata anakku, tayhiap karena kau sudah menolong anakku…... marilah singgah sebentar di rumahku yang tidak jauh dari sini,” ibu itu mengundang Tiang Le. Akan tetapi Tiang Le menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak usah kouwnio, tak usah merepotkan!” “Tidak merepotkan tayhiap, hanya sekedar rasa terima kasih kami.” “Paman buntung sombong ya, masak enggak mau kerumah A Yin, paman hayo dong ke rumah.” A Yin merosot dari gendongan ibunya. Dan menarik-narik tangan kiri Tiang Le sambil katanya lemas: “Paman buntung hebat ya, bisa terbang kaya burung walet. Paman mau ya ke rumah, nanti A Lin kenalin sama papa dan ngkong, ngkong A Yin juga bisa terbang seperti paman.” Tiang Le tersenyum dan mengelusi kepala anak perempuan itu.
123
“A Yin lain kali jangan main di tengah jalan, ya, nanti ditubruk kuda. O ya, paman ada coklat. A Yin mau?” Tiang Le mengeluarkan sepotong coklat yang tadi dibelinya. Girang sekali A Yin menerima gula-gula coklat itu. Lupa ia untuk mengajak paman buntung ke rumahnya. “Kouwnio……. aku permisi!” “Eh..... tayhiap...... tidak mampir ke rumahku dulu?” “Tak usah, lain kali saja aku banyak urusan!” Sekilas Tiang Le melirik ke arah anak perempuan yang tengah asyik menggigit coklat yang barusan diberinya. Dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu ibu itu dan orang yang berkerumun di situ telah kehilangan pemuda buntung yang bisa menghilang dan terbang secara tiba-tiba. Dan tahu-tahu Tiang Le telah berada jauh dengan tempat kejadian tadi. Ia sekarang memasuki rumah makan penginapan. Hotel Jin-pin yang terkenal itu memang paling terkenal dengan kebersihan dan pelayanannya yang memuaskan. Ke situlah Tiang Le bermalam. Akan tetapi begitu Tiang Le memasuki ruangan tengah, ia melihat di dalam ruangan tengah itu duduk belasan orang mengelilingi sebuah meja yang cukup besar. Waktu melihat pemuda buntung itu lewat, mereka diam tak bersuara. Dan justru itulah ia yang menarik perhatian Tiang Le.
124
Hemmm, urusan tentu penting yang tengah dibicarakannya itu, pikir Tiang Le. Dan ia menjadi tertarik sekali. Pelan-pelan ia mengikuti seorang pelayan yang menghantarkan ke kamar. Dia kebetulan sekali kamarnya itu berhadapan dengan ruangan tengah. “Inilah tempat untuk kongcu,” berkata si pelayan. Tiang Le memperhatikan sejenak kamar itu. Sebuah pembaringan yang bertilam seprey, sebuah meja kecil, dan ruangan segi empat yang bersih dan teratur. Berlantai jubin yang berkilat dan bersih. Senang sekali hati Tiang Le. Ia merogo dua tail perak dan memberikan kepada pelayan itu sebagai uang tip. Si pelayan dengan girang sekali menerimanya. “Terima kasih kongcu (tuan muda).” Tiang Le mengangguk. “Yang duduk di ruang tengah itu…... apakah tamu-tamu hotel di sini?” tanya Tiang Le perlahan. Si pelayan menoleh ke arah ruang tengah! “Betul kongcu, mereka itu adalah serombongan dari orang-orang Kim-coa-pay, mungkin tengah mengadakan rapat penting,” sahut si pelayan setengah berbisik. “Kim-coa-pay, perkumpulan apakah itu?”
125
“Mereka-mereka itu adalah pengawal-pengawal dari rombongan piauw-kiok (pengantar barang) yang hendak mengadakan perjalanan ke Wu-nian.” “Ooo,” Tiang Le mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kongcu....... kalau hendak memesan sesuatu, harap kau panggil saja pelayan di sini…… mereka itu akan melayanimu sebaik-baiknya…..,” sahut si pelayan. “Baiklah kalau nanti aku ada perlu, akan kupanggil kau,” sahut Tiang Le. “Baik kongcu…...” berkata demikian pelayan itu meninggalkan tamunya. Tiang Le meletakkan bungkusan pakaiannya yang dijadikan satu dengan akar-akar obat dari Cia Pei Pei. Akar obat itu masih ada padanya. meskipun luka di lengan kanannya telah sembuh. Akar-akar obat itu mengingatkan ia akan kebaikan gadis manis Cia Pei Pei. Dari dalam kamarnya itu Tiang Le memperhatikan orang-orang yang mengelilingi meja di ruang tengah itu. Ada limabelas orang-orang yang mengelilingi meja itu. Nampaknya ke limabelas orang itu tengah mengadakan rapat, ini dapat dilihat dari gerak-gerik mereka dalam pembicaraan. Rupanya yang memimpin rapat itu adalah orang yang bermuka buruk. Terdengar ia berkali-kali mengeluarkan pendapat. Suaranya serak akan tetapi tegas dan jelas didengar. “Pengawalan kita kali ini tidak ringan saudara-saudara. Karena yang hendak kita kirim adalah sejumlah uang hasil upeti dari kaisar
126
untuk disumbangkan ke Wu-nian untuk para korban wabah kelaparan dan penyakit yang merajalela di sana. Limaribu tail emas itu akan ditukarkan di Wu-nian dengan bahan makanan dan obat-obatan dan kemudian akan diteruskan kepada para penderita korban bencana kelaparan dan penyakit yang berbahaya sekali di sepanjang sungai Sin-kiang dan beberapa daerah yang sudah terancam…...” “Betul pangcu…… tugas kita adalah tugas mulia untuk perikemanusiaan. Oleh sebab itu pengawalan kita ini berbahaya sekali. Bukan saja kita membawa sejumlah uang yang banyak itu, akan tetapi, kabarnya di lereng gunung Fu-niu-san sering terjadi perampokan perampok yang berkepandaian tinggi!” sahut orang yang berpakaian sebagai piauwsu. Kumisnya melintang menuruni bibirnya. Matanya sipit. Dia itulah si Golok Maut Jie Kong. Anggota kelima dari Kim-coa-pay. Melihat urat-urat tangannya melingkar-lingkar itu sudah diduga bahwa si Golok Maut itu ahli tenaga gwakang dan kepandaian bermain golok luar biasa. Semua orang memandang kepada lelaki berpakaian piauwsu itu, dan beralih ke arah orang tua muka bopeng, ketua Kim-coa-pay. Orang tua berusia empatpuluhan tahun dan wajahnya belang-belang, kulitnya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar. sedangkan hidungnya menjungat ke atas, sehingga ia kelihatan selalu mukanya mendongak ke atas. Semua orang menanti reaksi dari ketua Kim-coa-pay ini, memang benar seperti kata si Golok Maut, Jie Kong barusan, mereka sering
127
mendengar akan terjadinya perampokan, yang terjadi di sekitar kaki gunung Fu-niu-san. Karena itulah pergiriman barang-barang kali ini, apalagi yang berupa uang tunai seharga limaribu tail emas. Hm, sudah tentu amat berbahaya sekali. “Kita tak perlu kuatir, Jie Kong!” berkata pangcu Kim-coa-pay yang bernama Pat-jiu-koay-hiap Sin Tok. “Seandainya betul-betul di lereng Fu-niu-san itu ada parampok yang berani mati main gila denganku, hmm, kepalanku yang akan meremukkan kepalanya!” “Betul kata pangcu, kita tak perlu kuatir. Dengan limabelas orang gagah di sini apa yang mesti kita takuti?” Orang yang berwajah pucat itu mencela. Matanya melirik Jie Kong dan tersenyum, Jie Kong, si Golok Maut itu mengangguk-angguk. “Kita harus berhati-hati…...!” sahutnya. “Besok, pagi sebelum matahari terbit, kerahkan para piauwsu pengantar barang itu untuk berangkat dan kita menyusul kemudian!” kata pangcu Kim-coa-pay. Semua orang berdiri. Tiang Le yang mendengarkan percakapan orang-orang itu. Segera menutup pintu. Hatinya tertarik mendengar percakapan tadi. Berbahaya sekali kalau memang benar di kaki gunung Fu-niu-san itu ada perampok yang berkepandaian tinggi. Kalau orang-orang Kim-coa-pay ini tidak dapat menandingi perampok-perampok itu, hilanglah limaribu tail emas untuk
128
sumbangan korban kelaparan! Dan ini tak boleh ia biarkan, pikirnya. Dan diam-diam Tiang Le mengambil keputusan untuk membuntuti dan jka perlu nanti ia akan membantu orang-orang Kim-coa-pay Demikianlah, pada pagi-pagi Tiang Le mengambil keputusan untuk berangkat. Suara gerobak barang dari para piauwsu terdengar lewat di depan Hotel. Tiang Le keluar dari kamarnya dan menghampiri rombongan itu. Seorang anggota Kim-coa-pay melihat pemuda buntung menghampiri rombongannya, menatap agak curiga dan bertanya, “Eh, hendak ke mana kau?” Tiang Le membungkukkan badannya dan menjura hormat. “Piauw-heng, aku hendak ke Wu-nian, dan berhubung ekspedisi inipun hendak menuju ke sana, maka alangkah baiknya kalau aku, juga turut dengan kalian........” “Ke Wu-nian? Hendak menemui siapa kau di sana…..?” “Saja hendak menjenguk seorang famili yang sedang menderita sakit. Eh, piauw-heng benarkah di sekitar dusun-dusun di sepanjang sungai Sin-kiang terserang wabah penyakit dan kelaparan?” Tiang Le berpura-pura tanya. “Begitulah agaknya orang muda. Memang kamipun ke sana untuk sekedar memberi bantuan kepada orang-orang yang tengah terancam penyakit dan kelaparan....... Kau mau ikut? Boleh tapi
129
selama dalam perjalanan dengan kami, kau harus tunduk kepada peraturan-peraturan ekspedisi, mengerti?!” Tiang Le mengangguk, 'Terima kasih Piauw-heng,” sahutnya dan kemudian dia menghampiri orang-orang yang juga akan turut bersama ke Wu-nian. Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek mendatangi dengan menunggang kuda. Kemudian memberi aba-aba kepada rombongan yang di depan. Maka hingar bingarlah suasana di dalam kota itu pada waktu rombongan piauw-kiok itu berlalu, suara kaki kuda dan suara gerobak bergemuruh dikeheningan pagi. Orang-orang di dalam kota masih tenggelam dalam tidurnya, sementara rombongan piauw-kiok mulai bergerak maju meninggalkan kota Tiang An. Tiang Le berjalan dengan orang-orang yang hendak pergi ke Wu-nian. Udara pagi-pagi buta amat sejuk dan dingin, matahari belum terbit dan kokok ayam jantan bersahut-sahutan, nyambut datangnya pagi hari. Orang-orang yang berjalan kaki mengobrol untuk menghilangkan rasa sepi, ada yang ngobrolin dagang, ada yang mengobrol tentang urusan rumah tangga mereka, malah ada yang mengobrol tentang perampok. Dan banyak sekali yang mereka bicarakan. Dan Tiang Le mendengarkan semuanya itu. Ia kadang-kadang tertawa melihat orang di sebelahnya tertawa menceritakan cerita-cerita yang dianggapnya lucu. Atau kalau tidak ia cuma tersenyum lebar kepada temannya di sebelah yang paling doyan sekali
130
melucu. Sehingga tanpa terasa lagi mereka telah jauh meninggalkan kota Tiang An. Pada tengah hari itu, mereka sampai di sebuah padang rumput yang amat luas sekali. Nun jauh di sebelah sana nampak gunung Fu-niu menjulang tinggi tak terlihat puncaknya tertutup oleh awan putih yang bergerak di atas langit biru. Udara di tengah hari sangat panas sekali membakar serombongan manusia yang tengah melintasi padang rumput. Tak ada lagi pohon-pohon yang tumbuh di sana. Matahari tersenyum-senyum di atas kepala, memandangi manusia-manusia yang tengah kelelahan sehabis jalan sepanjang duaratus lie jauhnya. Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek berjalan dengan menunggang kuda di depan rombongan. Di kirinya si Golok Maut Jie Kong nampak gagah sekali mendampingi pangcu Kim-coa-pay, wajahnya sudah berpeluh menjalankan kudanya lambat-lambat. Dan di sebelah kanan nampak pula seorang laki-laki berpakaian pelajar. Laki-laki itu berusia sekitar tigapuluh. Wajahnya yang cakap itu berseri-seri memandang ke depan. Dia itulah Lim-siucay (pelajar Lim) yang tak boleh dibuat gegabah akan ilmu pedangnya. Biarpun orang tua ini nampak lemah dan seperti orang tidak mengerti akan ilmu silat, akan tetapi siapa kira bahwa dia inilah tangan kanan pangcu Kim-coa-pay yang berkepandaian sangat boleh diandalkan. Begitu mereka memasuki lereng gunung Fu-niu, Jie Kong merapatkan jalan kudanya dan berbisik kepada pangcunya di sebelah, “Waspadalah pangcu. Disini inilah yang sering kejadian!”
131
Orang tua muka bopeng itu melirik tajam. Mengangguk-angguk. “Jie Kong…… beritahukanlah saudara-saudara yang di belakang bahwa kita sudah memasuki lereng Fu-niu-san,” bisik Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek, pangcu muka hitam itu. Jie Kong membalikkan kudanya. Berjalan ke belakang. Dan suaranya yang serak itu menggema di lereng Fu-niu! “Saudara-saudara sekalian….. cepat sedikit….. kita sudah memasuki gunung Fu-niu!” Maka ramailah suara kaki kuda dan derik gerobak dorong yang melaju cepat. Orang-orang yang berjalan di belakang tak berlambat-lambat lagi. Setengah berlari mereka itu. Tiang Le juga berlarian mengikuti orang yang tengah panik, ada yang mendekati para anggota Kim-coa-pay minta perlindungan kalau terjadi apa-apa. Tentu saja bagi Tiang Le tak perlu ia berlari ngas-nges-ngos seperti yang lainnya. Sedikit ia menggerakkan tubuhnya berlari di atas rumput, tubuhnya melesat ke arah dekat pengiriman barang-barang itu dan ia mengimbangi larinya gerobak barang dengan cepat! Kini barisan piauw-kiok sudah memasuki daerah berbatu. Banyak terdapat batu-batu kecil, dan di antaranya terdapat sebuah bukit batu karang, tetapi anehnya di antara batu-batu karang yang besar itu tumbuh banyak pohon-pohon liar dan menyeramkan.
132
Tiang Le yang berjalan cepat di samping gerobak barang itu mengawasi ke kiri ke kanan. Nalurinya yang tajam dan terlatih itu membuat ia menjadi curiga. Ia berlaku waspada. Apapun yang akan terjadi ia tetap mempertahankan barang kiriman, walau dengan taruhan nyawa sekalipun. Berhubung jalan-jalan penuh dengan batu-batu karang, sehingga berkali-kali roda dari gerobak itu slip dengan batu-batu, makanya terpaksa Tiang Le membantu para piauwsu mendorong gerobak. Tentu saja dengan bantuannya itu, dengan amat muda sekali roda gerobak itu tercabut dari jepitan-jepitan batu yang berserakan. Sebab dengan tangan kirinya itu, ia mengerahkan tenaga lwekang dan dengan ringan sekali gerobak itu melaju lagi. Tiba-tiba terdengar dari atas batu karang suara anak panah berdesing. Sepuluh batang anak panah menyambar orang-orang yang mendorong gerobak. Tiang Le terkejut sekali. Dengan hanya mengebutkan ujung lengan bajunya ke sepuluh anak panah itu terpukul jatuh dan tentu saja kejadian ini mengejutkan hati piauwsu melihat anak-anak panah yang tertancap di gerobak. Paniklah orang-orang di sekitar gerobak barang. “Perampok……!” Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek menoleh dan menghampiri. “Ada apa?” “Itu....... pangcu….. seorang menuju ke arah anak panah yang menancap di gerobak.
133
Melihat ini pangcu Kim-coa-pay menoleh ke atas batu karang yang besar dan membentak: “Manusia mana yang berani mampus berlaku kurang ajar dengan Kim-coa-pay?” Sebagai jawaban orang tua muka buruk itu, terdengar suara ketawa nyaring dengan dibarengi berkelebat empat sesok bayangan dengan gesit dan ringan. “Hi hi hi! Siapa yang tidak mengenal Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek, Tayhiap dari Kim-coa-pay?” Tahu-tahu di depan pangcu Kim-coa-pay berdiri empat orang wanita dengan muka tertutup sapu tangan hitam. Hanya mata yang bening itu yang menatap tajam ke arah orang-orang Kim-coa-pay. Melihat bahwa yang datang itu hanya empat orang wanita muda berkerudung hitam, legalah hati orang-orang Kim-coa-pay. “Sie-wie siocia. Siapakah kalian ini dan mengapa engkau menghadang perjalanan kami?” tanya Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek memajukan kudanya ke depan. “Pangcu Kim-coa-pay, lekas kau serahkan limaribu tail emas itu!” Seorang di antara ke empat wanita berkerudung hitam itu berkata. Matanya tajam menantang pandangan laki-laki muka hitam. Sin Tek berubah air mukanya ketika gadis itu menyebut-nyebut tentang limaribu tail emas. “Nona….., jangan membuat lelucon di sini…... sudahlah aku banyak urusan,” pangcu Kim-coa-pay menghentak kudanya maju ke depan, akan tetapi begitu ke empat gadis itu mencelat, tahu-
134
tahu ke empatnya sudah menghadang Sin Tek dengan bertolak pinggang. “Muka hitam, jangan berlagak pilon…….. Siapa yang tidak tahu bahwa kalian membawa hadiah upeti kaisar untuk korban kelaparan di Wu-nian.” “Hemm,” Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek mendengus. “Sudah tahu bahwa limaribu tail emas itu untuk korban bencana kelaparan, mengapa kau tanyakan itu?” “Orang tua muka hitam jangan bersilat lidah, pokoknya kau mau atau tidak serahkan uang itu kepada kami?” “Hemm, jadi kalian inikah yang digembar gemborkan para piauwsu sebagai perampok-perampok hina dina?” “Keparat kami bukan perampok!” “Siiiing!” Seorang gadis yang tertua menarik pedangnya. Menghampiri pangcu Kim-coa-pay!” “Serahkan peti itu!” “Sratt!” Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek juga menarik pedangnya. Pedang merah itu melintang di depan dada dengan gagah. “Limaribu tail uang emas itu boleh kalian ambil, sekiranya dapat melayani pedangku!”
135
“Sombong! Lihat pedang…..” gadis kerudung hitam yang tertua itu membentak sengit dan pedangnya melakukan gerakan menyilang dari kanan dan kiri, hendak menggunting kepala orang tua muka bopeng yang dibencinya itu. Akan tetapi hanya dengan merendahkan tubuh sedikit saja. Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek sudah dapat membebaskan diri dari ancaman sepasang pedang yang melayang melalui atas kepalanya. Lim-siucay dan si Golok Maut Jie Kong, dua orang pembantu pangcu Kim-coa-pay itu dengan marah maju menyerang dengan golok besar Jie Kong dan sebuah kipas dan pit di tangan Lim-siucay. Golok di tangan Jie Kong menyambar menyilaukan mata ketika berkelebat menyerang nona muka kerudung itu. “Mampuslah kalian!” bentak gadis muka kerudung hitam itu dan tahu-tahu ketika golok dan pit di tangan Lim-siucay menyambar dan sudah dekat dengan tubuhnya dari kanan kiri, ia melompat ke belakang dan sebelum dua orang pembantu pangcu Kim-coa-pay dapat menarik kembali golok dan pit mereka, dua kali berturut-turut, gadis muka kerudung hitam itu menotok dengan telunjuk tangan kirinya dan aneh sekali, Jie Kong dan Lim-siucay roboh dan terus bergulingan mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak lagi, roboh dengan tubuh lemas dan tak berdaya di dekat batu karang yang menonjol. Tiang Le terkejut sekali melihat sepak terjang yang demikian lihay ilmu silatnya ini. Apakah gadis itu perampok yang semalam disebut oleh Jie Kong?
136
Heran dia, mana ada seorang perampok gadis begini muda? Tiang Le bengong memandang gadis berkerudung hitam ini. Rupanya gadis muka kerudung hitam ini tidak mau membuang banyak waktu, begitu melihat Pat-jiu-koay-hiap yang terkesiap melihat kehebatan ilmu silat gadis kerudung hitam itu tak dapat berpikir lama ia karena gadis itu telah menggerakkan kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan pangcu Kim-coa-pay. Terdengar suara keras ketika pedang pangcu itu terlepas dari pegangannya dan terlempar jauh ke atas batu karang mengeluarkan suara nyaring. Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek masih mencoba untuk mengelak ketika tangan si gadis berkerudung hitam itu menyambar, namun terlambat, pundaknya kena serempet pedang di tangan kanan si gadis dan terasa pundak kirinya ada yang menepok dan keruan saja Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek ini jatuh terlentang dan tubuhnya lemas, setengah tubuhnya sebelah kiri terasa lumpuh dan dari pundak kanan yang tadi terserempet pedang mengeluarkan darah merah. Sapasang pedang gadis muka kerudung hitam menodong Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek. Terdengar gadis itu mendengus: “Hem pangcu Kim-coa-pay hanya sebegini saja, sudah dipercayakan untuk membawa hadiah upeti kaisar. Hayo, muka hitam serahkan uang itu, biar kami yang akan teruskan ke Wu-nian. “Perampok hina, aku sudah tak berdaya, kalau mau bunuh, bunuhlah akan tetapi jangan harap kau dapat menjamah uang derma dari kaisar itu!” Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek memaki.
137
“Manusia bopeng! Kalau aku bunuh engkau, apakah arwahmu bisa menghalang-halangi aku untuk menjamah uang derma itu?” “Suci, mengapa kau banyak ngobrol, sikat saja si muka bopeng itu, buat apa banyak cingcong!” gadis muka kerudung hitam yang ke dua maju mendekati sucinya. Pada saat itu, angin pukulan menyambar dari belakang dan karuan saja pedang yang tengah menodong dada pangcu Kim-coa-pay itu berkelebat ke belakang, amat cepat gerakannya itu sehingga terdengar suara, “Breet!” dan putuslah lengan baju yang terjuntai di tangan kanan Tiang Le. Gadis berkerudung hitam itu terbelalak matanya melihat penyerangnya tadi adalah seorang pemuda yang lengannya buntung. “Eh buntung, mau apa kau?” tanya si gadis. “Nona, kau tidak boleh membunuh Pat-jiu-koay-hiap, pangcu Kim-coa-pay!” kata Tiang Le dengan tenang. “Hmm, dia ini apamukah??” Tiang Le menggelengkan kepalanya. “Bukan apa-apa nona, hanya kau tidak boleh menjatuhkan tangan maut kepada seorang lawan yang sudah tidak berdaya,” sahut Tiang Le pula. Gadis berkerudung hitam itu melirik ke arah lengan yang buntung itu. Sepasang pedang berkelebat dan terdengar desing suara pedang itu ketika memasuki sarungnya.
138
“Bocah buntung, berani kau menguliahiku. Apakah kemampuanmu?” “Aku tak bisa apa-apa nona, kuharap engkau membiarkan kami meneruskan perjalanan ke Wu-nian. Perjalanan kami masih jauh.” “Boleh saja, siapa yang menghalangi perjalanan kalian? Aku tidak menyuruh kalian berhenti. Aku hanya minta kepada si muka bopeng ini untuk menyerahkan uang derma dari kaisar untuk para korban....... Siapa kira si bopeng itu demikian pelit dan patut kuhajar…...!” “Eh, suci kenapa meladeni si buntung ini, hayo cepat kita seret gerobak yang memuat limaribu tail emas itu!” gadis ketiga muka kerudung berkata ketus, matanya mendelik menatap Tiang Le. “Sumoay kau bereskanlah kucing-kucing penjaga peti uang itu, biar aku menjaga anjing buntung yang menyalak-nyalak, minta digebuk pantatnya,” kata gadis yang dipanggil suci oleh gadis ketiga. Kemudian ia bertolak pinggang menantang. “Anjing buntung, setelah lenganmu buntung apakah kepingin nona besarku membuntungi pantatmu?” “Nona, mulutmu tajam sekali tak pantas seorang gadis secantik kau berkata sekasar itu. Lenganku buntung ini tidak ada sangkut pautnya denganmu. Mengapa kau mengataiku anjing buntung segala?” “Eh, kau marah kuejek anjing buntung!”
139
“Tentu aku bukan seekor anjing dan tak mau aku disamakan dengan anjing buntung yang kau sebut-sebut!” Tiang Le panas hatinya. “Hm tidak senang juga ya dikatai anjing buntung?” gadis itu berkata sambil menghampiri Tiang Le. Tiang Le panas perutnya. Masa ia disebut anjing buntung. Terlalu sekali mulut gadis yang tertutup oleh kerudung hitam. Ingin sekali ia merenggut kerudung hitam itu dan melihat mulut gadis yang telah lancang menyebutnya anjing buntung segala. Ia disebut-sebut anjing buntung, menghina benar gadis ini! “Lenganku buntung tidak ada sangkut pautnya denganmu. Harap kau dapat menjaga mulutmu yang lancang itu!” Tiang Le marah. “Hem, kau yang lancang mencampuri urusanku dengan orang-orang Kim-coa-pay. Sudah, aku tidak ada urusan denganmu. Minggir!” sambil membentak itu tangan si gadis kerudung hitam mendorong ke arah Tiang Le. Serangkum angin pukulan menyambar ke arah pundak pemuda buntung dan Tiang Le nenjadi terkejut sekali merasa ada tenaga yang amat kuat mendorongnya. Untung ia berlaku waspada, dan begitu melihat tangan itu bergerak mendorong, dengan serta merta ia mengangkat tangan kirinya membalas dengan dorongan pula. “Dess!” Dua tenaga yang tidak kelihatan itu bertemu menggetarkan tangan ke duanya. Si gadis muka kerudung hitam kaget bukan main, melihat pemuda buntung ini dapat mempertahankan pukulannya. Malah bukan saja ia dapat mempertahankan pukulan
140
jarak jauh akan tetapi juga membuat kuda-kudanya tergempur hebat. Di lain pihak Tiang Le juga kagum terhadap gadis yang mempunyai tenaga yang sebesar gajah ini. Tangan kirinya terasa linu ketika bertemu dengan telapak tangan si gadis. “Ayaaa...... pantesin kau berani bertingkah di depanku, tidak tahunya ada simpanannya, juga ya? Eh, buntung berani kau menghadapi sepasang pedangku?” tanya gadis itu dan dengan gerakan seorang ahli tahu-tahu kedua pedang pendek itu telah berada di tangannya, melintang di depan dada. “Nona........ aku tidak ingin berkelahi!” “Setan! tak usah berpura-pura, kau mau atau tidak, kau harus melayani beberapa jurus. Bersiaplah! Awas pedang!” serta merta gadis centil itu telah menerjang dan mengirim tusukan cepat, secepat kilat menyambar. “Wah, wah….. kalap!” Tiang Le mengeluh dalam hatinya. Ia cepat membuang diri mengelak, maklum akan kedahsyatan pedang yang bersinar perak itu. Tetapi gadis muka kerudung itu sudah menyerang lagi bertubi-tubi! Malah ia mulai menggerakkan sepasang pedangnya dengan jurus-jurus yang amat cepat sekali, bagai kilat menyambar-nyambar dari langit. Tiang Le mengeluh dalam hati. Celaka gadis ini bukan saja lihay dalam ilmu pedangnya, tetapi juga kelihatannya bernapsu untuk mengalahkannya. Tiang Le menghadapi serbuan sepasang pedang yang cepat ini tak berdaya. Ia sibuk sekali, meloncat ke
141
kanan ke kiri menghindari sambaran-sambaran sepasang pedang yang hebat itu. Hebat! Gadis ternyata mempunyai ilmu yang dahsyat dan ganas. Kalau Tiang Le belum menguasai ilmu meringankan tubuh niscaya sejak tadipun sudah tersate tubuhnya oleh tusukan-tusukan pedang dari kanan kiri. Tiang Le repot menghadapi gadis yang ganas ini. Hancurlah cita-cita hendak menolong para piauwsu pengantar barang ini. Terkejut bukan main ia waktu melihat di sekitar gerobak menggeletak anak buah Kim-coa-pay telah terluka pada pundak dan pahanya. Ternyata tadi begitu ketiga wanita berkerudung itu menghampiri gerobak limabelas anggota Kim-coa-pay menyerang wanita berkerudung hitam itu dan sebentar itu pula tiga wanita kerudung hitam itu sudah dikeroyok oleh belasan orang anggota Kim-coa-pay. Tentu saja menghadapi orang-orang Kim-coa-pay tidak begitu tinggi ilmu silatnya, sebentar saja tiga wanita itu sudah dapat membereskan pengawal barang dan seorang di antaranya, gadis kerudung hitam yang tinggi langsing, dengan rambut digelung ke atas itu sudah berdiri di tengah-tengah gerobak barang sambil melintangkan pedang di depan dada dan tersenyum mengejek. “Jangan melawan! Sekali pedangku ini bergerak, aku tak akan memberi ampun...... Kalian boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi tiga gerobak barang ini tidak boleh di bawa. Ingat siapa yang menentang, pedangku ini akan memenggal kepala!”
142
Tentu saja melihat para pengawal barang sudah tak berdaya dan pangcu Kim- coa-pay itupun sudah menggeletak lemas hampir pingsan, maka tanpa berani menoleh ke belakang lagi orang-orang yang mengikut dalam rombongan piauw-kiok (ekspedisi) itu cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan tubuh menggigil. Masih untung jiwa mereka selamat! Oleh karena itu masing-masing tak berani buka suara atau bertindak. Masing-masing saling dulu meninggalkan tempat itu! Tak mau perduli lagi mereka akan limaribu tail emas di dalam tiga peti gerobak itu.! Tiga gadis muka kerudung itu menghampiri gerobak-gerobak barang dan mendorongnya menjadi satu berjejer. Kemudian ketiganya menoleh ke arah saudara seperguruannya yang masih mendesak pemuda buntung. Tak berdaya Tiang Le menghadapi gadis yang lihay ilmu pedangnya ini. Ia cuma bisa mengandalkan kelincahan tubuhnya saja, berkelebat menghindarkan sambaran sepasang pedang yang bergerak amat cepat dan ganas. Repot ia. Lama kelamaan ia menjadi lelah juga. Tiga kali sudah pedang di tangan kiri gadis itu menyerempet pundak kirinya hingga mengeluarkan darah. Di lain pihak gadis muka kerudung hitam ini merasa penasaran dan marah membuat ia bergerak makin ganas dan dahsyat. Masa aku tidak dapat mengalahkan pemuda buntung yang kelihatannya ini sudah terdesak hebat, memalukan benar, pikirnya. Ia memainkan pedang pendeknya semakin cepat.
143
Tiang Le diam-diam mengeluh. Celaka! Setelah lengan kanannya buatung, ia benar-benar tidak bisa lagi memainkan pedang dengan kanan kiri. Oleh sebab itulah, tak mampu ia membalas serangan-serangan gadis kerudung hitam itu. Ia merasa penasaran sekali. Kalau menghadapi gadis ini saja ia tidak mampu, apalagi menghadapi musuh besar gurunya Bong Bong Sianjin, Te-thian Lomo dan Sianli Ku-koay? “Nona…... aku tak ada permusuhan apa-apa denganmu, mengapa kau harus bersikap keras membunuhku?!?” “Setan! Kau sudah membantu Kim-coa-pay, berani lancang menghadapi sepasang pedangku. Nah rasakanlah!” “Kau ini gadis aneh sekali. Ganas dan telengas, kepingin sekali aku melihat wajahmu. Hemm, tentu wajah yang tertutup itu cantik jelita, alangkah senangnya hatiku kalau boleh melihat sekejap saja, biar matipun tidak mendelik!” seru Tiang Le ketika ia terpaksa berjungkir balik untuk menghindarkan sebuah tusukan pedang di tangan kiri si gadis. Suara pedang berdesing saking kuatnya dan Tiang Le tak berani berlaku lambat lagi, berbahaya sekali, lambat sedikit saja tentu tubuhnya itu akan disate oleh pedang pendek di tangan kiri si gadis. Sambil berjungkir balik ia menendang ke arah lengan kiri si gadis. Tiba-tiba terdengar suara cambuk meluncur tiga kali, “Tar! Tar! tar!” “Ayaaa,” Tiang Le kaget bukan main. Apalagi ketika melibat cambuk itu berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang
144
membingungkan. Seketika itu juga keadaan Tiang Le benar-benar sangat terdesak. Beberapa kali pundaknya hampir tersambar sepasang pedang di tangan gadis muka kerudung hitam. Belum lagi hilang kagetnya tahu-tahu cambuk yang tadi menyambarnya dari belakang bergulung-gulung lagi dan tak sempat ia meloncat, tahu-tahu pinggangnya telah terlibat cambuk itu dengan amat kuatnya menyentak dan “Werrrr” tubuh Tiang Le melayang ke atas. Ketika itulah sepasang pedang pendek di tangan gadis pertama menyerbu ganas. “Suci….. tahan!!” Ternyata yang berteriak itu adalah gadis muka kerudung hitam yang kedua. Dengan sekali berkelebat gadis itu telah berdiri di depan sucinya “Jangan kau membunuh dia suci!” Gadis yang dipanggil suci itu menoleh. “Eh, mengapa begitu?” tanyanya. Dari balik kerudung hitam itu, gadis itu tersenyum. “Tak boleh kita membunuh orang yang sudah tak berdaya suci. Pemuda buntung itu tidak bersalah, tak perlu kita menjatuhkan tangan maut.......” suara gadis yang berbicara ini amat merdu dan tidak ketus seperti sucinya. Tiang Le yang tadi terguling dan telah bangun melirik kepada dua orang gadis aneh ini.
145
“Hu, siapa bilang dia tidak bersalah? Dia berani menghadapi sepasang pedangku. Tak puas aku kalau belum menundukkan si buntung ini!” “Suci sudahlah…... dia sudah kalah olehmu. Ingat tugas kita hanya merampas limaribu tail emas itu. Hayo kita kembali ke pulau dan biar pemuda buntung itu kita serahkan kepada Sianli!” Wanita kerudung yang memegang tongkat kecil meaghampiri dan berkata: “Betul suci.......kita harus segera kembali ke pulau dan tidak usah memusingkan kepala mengurusi si buntung ini. Tinggalkan ia disini, habis perkara! “Sam-sumoay, apa-apaan kau ini? Mau mengatur….. tidak! Sekali kubilang, itu kau harus turut dan pemuda buntung ini harus dibawa ke pulau, harus kataku!” “Terserahmulah suci…..” gadis muka kerudung hitam yang memegang tongkat kecil itu mengedikkan kepalanya. “Kau rangket anjing buntung itu. Giring dia ke pulau. Awas jangan dia lari!” pesan si suci. Tiga orang gadis yang termuda menubruk Tiang Le, dan mengikatnya dengan sebuah tali yang amat kuat sekali. Tentu saja Tiang Le yang sudah tertotok waktu terlibat cambuk tadi tak berdaya. Sekarang diguncang-guncang oleh tiga orang dara remaja yang mengikat ke dua kaki dan tangannya. Setelah kedua kaki dan tangannya itu diikat, Tiang Le dilempari oleh gadis pertama yang galak itu ke dalam gerobak barang.
146
Gerobak yang di atasnya penuh dengan tumpukan karung, yang berisi ikan asin dan terasi. Begitu masuk ke dalam gerobak yang penuh dengan karung-karung ikan asin dan terasi itu hampir saja Tiang Le muntah, karena tak tahan lagi akan bau yang amat tidak sedap menyengat hidung ini! “Hihihi, enak yaa di situ….. sedappp!” berkata si gadis muka kerudung hitam yang memegang sepasang pedang, pedang pendek itu, kemudian ia memerintahkan kepada ke dua orang sumoaynya untuk mendorong gerobak itu. Tiang Le menutup hidungnya dengan tangan, begitu bau yang tidak enak menyengat hidungnya. Heranlah dia, mengapa gerobak berisi karung-karung ikan asin ini saja diperebutkan? Akan tetapi tak lama kemudian otaknya yang cerdik itu sebentar saja sudah dapat menerka akan isi di dalam peti paling bawah dalam tindihan karung terasi dan ikan asin. Gerobak yang ditumpanginya didorong oleh gadis ke dua yang mempunyai suara bidadari itu. Dan gerobak kedua dan ketiga didorong oleh dua gadis yang memegang tongkat dan pedang. Tiang Le dari dalam gerobak itu memperhatikan gerak gerik ke empat gadis aneh berkerudung hitam itu. Diam-diam di dalam hatinya bertanya-tanya siapakah gerangan empat gadis yang berkepandaian tinggi ini dan dari partai persilatan manakah? Dan anehnya. mengapa ke empat gadis itu mukanya ditutup oleh sutera hitam, apakah karena tindakannya ini takut diketahui oleh orang? Aneh, benar-benar aneh! Ya, siapakah ke empat gadis berkerudung hitam ini?
147
<> Untuk mengenal mereka, marilah kita sejenak berkenalan dengan Pulau Bidadari. Sebuah pulau yang terdapat di antara segugusan pulau di sekitar laut Po-hay. Pulau itu terletak di muara laut Po-hay dan merupakan sebuah pulau yang terpencil dan jarang didatangi manusia. Bukan saja pulau itu penuh dengan hutan-hutan lebat dan tiada berpenghuni, akan tetapi juga sering kali terjadi gempa dan berbahaya sekali didiami. Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa di pulau ini banyak sekali pemandangan alam yang sejuk dan subur tanahnya. Dan sepuluh tahun yang lalu, barulah pulau ini dikenal sebagai pulau Bidadari sejak Bu-tek Sianli, si nenek kepalan dewa tanpa tandingan itu mendirikan sebuah partai persilatan yang bernama Sian-li-pay (partai bidadari) Penghuni dari partai Bidadari itu semua terdiri dari wanita-wanita muda dan cantik. Bu-tek Sianli, si Nenek sakti, Kepalan Dewa Tanpa Tandingan itu mempunyai empat orang murid utama yang disebut Sianli-sie-ci-moay (empat kakak beradik bidadari). Mereka ini diberi pelajaran-pelajaran silat khusus sesuai dengan bakat dan kemampuan muridnya. Sengaja memang untuk itu, Bu-tek Sianli menciptakan empat macam ilmu silat. Kepada muridnya yang pertama, Bu-tek Sianli mengajarkan Bu-beng-siang-sin-kiam-hoat (Sepasang Pedang Sakti Tak Bernama), sehingga gadis pertama itu dijuluki Bu-beng Sianli (Nona Tak Bernama) sedangkan kepada murid kedua yang dijuluki Sianli-eng-cu (Si Bayangan Bidadari) diturunkan ilmu
148
bermain cambuk dan senjata rahasia yang disebut Sianli-tok-ciam (Jarum Beracun Bidadari), dan gadis ketiga yang dijuluki Sianli-sin-tung-hoat (Si Bidadari Tongkat Sakti) diberikan ilmu bermain tongkat yang amat hebat dan luar biasa lihaynya. Tak kalah dengan keganasannya bermain dengan pedang, dan murid yang terakhir adalah Sianli-toat-bun-kiam, kepada gadis keempat inilah Bu-tek Sianli memberikan ilmu pedang yang bernama Toat-beng-kiam-sut (Ilmu Pedang Pencabut Nyawa). Dan kepada murid-murid pelayan lainnya. Juga murid-murid yang masih muda dan cantik-cantik ini, Bu-tek Sianli menurunkan ilmu silat tangan kosong yang disebut Sin-kun-bu-tek. Dan siapakah Nenek sakti yang menamakan dirinya Bu-tek Sianli ini?? Tidak banyak kita mengenal akan riwayatnya dan tidak tahu pula kita entah dari partai persilatan manakah Nenek sakti ini. Akan tetapi puluhan tahun yang lalu, tokoh-tokoh di dunia kang-ouw pernah mengenalnya sebagai seorang gadis yang amat tinggi ilmu silatnya. Gadis itu pernah menjadi kekasihnya seorang pendekar sakti yang bernama Lim Heng San yang terkenal dangan julukan Sin-kun-bu-tek (Kepalan dewa tanpa tandingan). Kabarnya, setelah gadis yang menjadi pacar Lim Heng San ini menguras habis ilmu pukulannya Sin-kun-bu-tek, maka pada suatu hari terjadilah pertandingan yang amat seru antara Heng San dan gadis yang menjadi pacar Heng San itu. Sudah barang tentu Heng San selalu mengalah kepada gadis ini, dan suatu kali dengan amat kejamnya, gadis itu melumpuhkan kedua buah kakinya Heng San
149
dan ditinggalkannya di puncak pegunungan Go-bie yang bernama puncak Ban-tauw-san. Sejak itulah tokoh-tokoh kang-ouw tidak pernah mendengar lagi nama Lim Heng San, akan tetapi sebagai gantinya muncul seorang wanita berkepandaian dan ganas seperti setan dan bernama Bu-tek Sianli. Sejak kemunculan Bu-tek Sianli, nama pendekar Sin-kun Bu-tek tak pernah terdengar lagi. Banyak orang mengira pendekar sakti itu sudah mati atau mengasingkan diri menjadi pertapa dan tak mau lagi muncul di dunia ramai. Demikianlah sekedar perkenalan kita dengan Pay-cu (ketua) Sian-li-pay yang bernama Bu-tek Sianli. Nenek tua berumur limapuluhan tahun itu, masih bersemangat dalam mengurus kegiatan Sian-li-pay. Dan karena percaya akan kelihaian ke empat murid utamanya yang disebut Sianli-sie-ci-moay (empat Bidadari Kakak Beradik)! para anak buah Sian-li-pay mengangkat ke empat murid utama itu sebagai tangan kanan Bu-tek Sianli dalam pergerakan Sian-li-pay. Bu-tek Sianli sengaja mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, dipilih yang berkepandaian tinggi, malah Nenek itu lalu melatih mereka, dan menurunkan ilmu pukulan Sin-kun-bu-tek kepada muridnya. Setelah masa peralihan kekuasaan, menggunakan keadaan kacau, perkumpulan Sian-li-pay ini merajalela. Merampok, membajak dan keadaan mereka menjadi kuat, setelah perampok-perampok ternama dan tokoh-tokoh datuk hitam menggabungkan diri ke dalamnya.
150
Meskipun Bu-tek Sianli tidak memperbolehkan kaum laki-laki menginjak kakinya di pulau bidadari itu, tetapi hubungan persatuan tetap ada dan kepada murid-murid perempuannya itulah yang menjadi penghubung. Setiap kali anak murid Bu-tek Sianli itu bergerak, selalu mereka diharuskan dengan muka berkerudung hitam. Tak boleh menampakkan diri di luar pulau Bidadari. Oleh sebab itu tak heran, kalau kita bertemu dengan Sianli-sie-ci-moay yang berkerudung ini. Kerudung hitam itu tak pernah dibuka di luar pulau Bidadadari! Itulah salah satu peraturan yang diadakan oleh nenek sakti tanpa tandingan yang menjadi pay-cu (ketua) Sian-li-pay! ◄Y► 6 Kita tinggalkan dulu Sung Tiang Le, pemuda lengan buntung yang tertawan di tangan empat orang dara remaja dari pulau Bidadari. Dan sekarang kembali kita mengikuti pengalaman Bwe Hwa, gadis keras hati yang telah membuntungi lengan suhengnya yang bernama Tiang Le dan setelah itu berlari dengan membawa penyesalan hati yang amat sangat. Tidak perduli akan hujan dan angin, tidak perduli akan tubuhnya yang separuh beku akibat kedinginan yang amat sangat. Dia berlari terus bagai orang yang hilang ingatan. Sebentar dia tertawa, sebentar kemudian dia menangis mengucurkan air mata yang mengalir menjadi satu dengan deraian hujan yang sangat deras turun.
151
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Bwe Hwa melihat adegan yang amat romantis antara sumoaynya Sian Hwa dengan Sam-suhengnya Tiang Le. Adegan yang membuat ia lupa diri dan mengamuk menyerang Tiang Le. Akan tetapi, apa jadinya suhengnya ternyata lebih tinggi ilmu silatnya sehingga ia tak mampu mengalahkan. Dalam gejolak api cemburu yang sedang membara itu karena mendengar pengakuan Sian Hwa yang berterus terang mencintai Tiang Le. Tak kuasa ia mengendalikan perasaan hati itu waktu ia berpelukan minta maaf kepada Sam-suhengnya Tiang Le. Di dalam berpelukan itulah timbul pikiran setan yang menyelinap dalam benaknya. Dan sekali ia mengelebatkan pedangnya putuslah tangan kanan Tiang Le sebatas pundak. Bagaikan orang yang baru sadar dari mimpi ia terbelalak memandang sebuah tangan manusia yang menggeletak di bawah kaki suhengnya yang telah buntung itu. Akan tetapi, sebuah perasaan puas timbul di dalam hatinya. Cinta yang tak terbalas membuat ia mendendam kepada Tiang Le. Senanglah hatinya setelah Tiang Le kehilangan tangan kanannya! Puaskah hatinya setetah Sam-suheng kehilangan lengan dan tak mampu lagi menarik pedang. Bermacam-macam perasaan mengaduk di dalam hati gadis itu. Setelah ia ketahui Tiang Le tidak mencintainya, malah membalas cinta sumoaynya Sian Hwa, ah…... entah perasaan apa yang kini berkecamuk di dalam hatinya. Ia merasa menyesal dan kecewa.
152
Menyesal ia telah membuntungi lengan suhengnya. Terlalu Tiang Le, mengapa ia tidak mau mengangkat pedang melawanku? Mengapa ia membiarkan pedangnya menebas lengan itu?! Menyesal bukan main Bwe Hwa. Andaikan Tiang Le menangkis sabetan pedang di pundak itu, tak nanti Tiang Le kehilangan lengan kanannya. Akan tetapi Tiang Le tidak menangkis pedangnya, membiarkan pedang menebas lengan kanannya itu. Ah, Tiang-suheng…... aku malu bertemu denganmu……. aku malu!! Mengingat ini Bwe Hwa menyesal dan kecewa! Kecewa karena cinta yang tiada terbalas! Tak disangkanya Tiang Le membalas cinta kasih Sian Hwa. Hemm, kalau lain gadis yang berani mencintai Tiang Le, tak tahulah Bwe Hwa. Barangkali ia akan mengadu nyawa dengan gadis itu, akan mengamuk sampai tetesan darah terakhir. Akan tetapi yang mencintai Tiang-suhengnya itu bukan gadis lain, bukan siapa-siapa, akan tetapi sumoaynya sendiri. Ya, Sian Hwa! Sian Hwa! Mengingat ini, menangislah Bwe Hwa di sepanjang jalan. Ia amat menyintai Tiang Le dan sekarang yang dicintainya telah buntung lengan kanannya. Telah hilang pula terbawa air sungai yang meluap. Entah hidup, entah mati, tak tahulah ia akan nasib suhengnya yang bernama Tiang Le! Tak tahu dia!
153
“Bwe Hwa kau kejam, kau keji…...! Mengapa kau sampai hati membuntungi lengan Tiang-suheng,” demikian suara hatinya menyalahkan dirinya. Akan tetapi suara lain mengatakan: “Bwe Hwa, sekarang Tiang-suhengmu yang sombong itu sudah buntung lengan kanannya, ia tidak dapat menarik pedang, ia menjadi tuna netra, puaskanlah hatimu...... dan tunggulah setelah Tiang Le menjadi manusia tunanetra apakah Sin Hwa dapat mencintai pemuda buntung itu?” “Memang aku kejam. aku telah membuntungi lengan suhengnya Tiang Le, ah....... sepantasnya aku ini mampus dan habis perkara,” bisik Bwe Hwa sambil berlarian di antara hujan badai yang menggila. Tak tahu dia kalau pada saat itu Liok Kong In tengah mengejarnya dan kehilangan arah. Ia tak mau tahu. Tak perduli dengan Liok Kong In! Seandainyapun ia tahu Liok Kong In mengejarnya, ia terus lari. Akan terus lari. Lari dan aneh sekali memang gadis yang bernama Bwe Hwa itu jadi takut kepada Suhengnya Liok Kong In. Ia tahu tak mungkin dia membalas cinta kasih pemuda itu! Betapapun juga, Bwe Hwa dapat menguasai perasaannya dan melakukan perjalanan dengan tabah. Tak ada arah tujuan kemana ia pergi meskipun ada itu barangkali tertuju untuk membalas dendam kepada Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo. Ia akan menantang tiga orang itu sebagai murid keempat dari Swie It Tianglo dan ia berusaha sedapatnya untuk mengirim ke tiganya itu ke neraka menemui suhunya. Biarpun ia tahu belum tentu ia
154
dapat menandingi kepandaian ke tiga orang sakti itu, tetapi ia sudah bertekad untuk menggempurnya, kalau perlu ia mengadu nyawa dengan musuh-musuh besarnya itu. Memang di antara ke empat murid ini, Bwe Hwa lah yang paling dimanja oleh suhunya, semasa orang tua itu belum meninggal. Tak heran kalau dirinya merasa kuat dan tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Ingat hal itu Bwe Hwa menjadi semangat dan di bawah pohon besar ia berhenti lalu berlatih dengan ilmu silat Tiang-pek-kiam-sut yang telah ia terima dari mendiang suhunya. Memang hebat ilmu pedang ini, sebatang pedang biasa berubah menjadi gulungan sinar putih yang naik turun menyambar-nyambar di antara gumpalan awan hitam yang merupakan uap dari pukulan-pukulan Pek-in-kang! Ketika ia berhenti berlatih sejam kemudian, di bawah pohon telah penuh daun-daun yang terbabat putus tangkainya oleh sinar pedang dan daun-daun rontok kena hawa pukulan tangan kiri yang menggunakan pukulan Pek-in-kang. Bwe Hwa berdiri tegak, kepalanya tunduk memandangi daun-daun itu dengan hati puas. Bong Bong, Te-thian, Sianli Ku-koay, kepala kalian akan hancur rontok seperti daun-daun ini pikirnya. Sebagai seorang gadis yang baru berusia delapanbelas tahun lebih. Bwe Hwa melakukan perjalanan yang jauh dan sulit. Tiang-pek-san merupakan pegunungan yang luas dan menuruni pegunungan ini sama sukarnya dengan jalan pendakiannya.
155
Namun dengan kepandaiannya yang cukup tinggi itu, Bwe Hwa tidak banyak mendapatkan kesukaran. Kadang-kadang ia harus melompati jurang. Dengan gin-kangnya yang tinggi, ia melompati bagaikan terbang saja dilihat dari jauh bagaikan dewi kahyangan yang turun dari sorga. Pakaiannya yang halus terbuat dari sutera berwarna merah jingga, biru dan kuning itu berkibar-kibar kena angin ketika ia meloncat atau berlari cepat. Ronce-ronce pedang yang tergantung di punggungnya menambah kecantikan dan kegagahannya! Berpekan-pekan Bwe Hwa keluar masuk hutan, naik gunung turun gunung melalui banyak dusun di kaki gunung dan melalui beberapa kota di pegunungan. Setiap kali ia bertemu orang tentu ia menjadi pusat perhatian. Apalagi kaum pria melihat gadis remaja demikian cantik jelitanya, memandang dengan mata melongo penuh kagum. Namun tiada orang yang berani mengganggu, karena tidak hanya pedang di punggung Bwe Hwa yang membuktikan bahwa gadis remaja yang jelita ini seorang ahli silat, akan tetapi juga Bwe Hwa tidak menyembunyikan gerak geriknya yang lincah dan ringan sehingga setiap orang tahu bahwa dia adalah seorang pendekar wanita muda yang tidak boleh dibuat main-main! Setelah berbulan Bwe Hwa melakukan perjalanan seorang diri dan bebas seperti seekor burung yang lepas dari dalam sangkarnya terhibur juga hati gadis remaja ini melihat pemandangan-pemandangan yang indah di sepanjang jalan. Perlahan-lahan lenyaplah kesedihan hatinya, hilanglah rasa kecewa dan
156
penyesalannya. Tak mau lagi ia dipusingi oleh urusan-urusan di Tiang-pek-san. Ia hendak melupakan itu! Pada suatu hari sampai ia di kota Siauw-ling di tepi sungai Yang-ce-kiang setelah melakukan perjalanan berminggu-minggu ke selatan. Sebetulnya Siauw-ling tidak layak disebut sebuah kota, melainkan sebuah dusun yang cukup luas. Dan karena dusun ini mempunyai tanah yang amat subur sekali untuk ditanami dan merupakan sebuah dusun yang menghubungkan sungai Yang-ce-kiang dengan kota Tai-goan yang terkenal sebagai kota yang terbesar di selatan. Maka banyak sekali kaum pelancong dan para pedagang melewati kota Siauw-ling. Melihat betapa kota kecil ini merupakan jalan hidup untuk ke Tai-goan, maka seorang pembesar di kotaraja memberikan kontrak kepada seorang hartawan untuk membangun kota Siauw-ling ini menjadi kota yang besar dan mega. Di mana-mana nampak bangunan-bangunan menjulang tinggi. Di sekeliling kota ini didirikan tembok besar, tembok yang membatasi sungai Yang-ce dengan kota Siauw-ling. Tidak heran kalau kita datang ke kota ini. Banyak sekali orang-orang dusun yang bekerja sebagai kuli, siang malam tenaga mereka diperas untuk membangun tembok kota. Kerja paksa yang ini membuat hati penduduk kota Siauw-ling merasa tak senang kepada tindakan Nguyen Wan-gwe yang sewenang-wenang saja memaksa tenaga penduduk! Tak perduli akan orang-orang tua dan sakit, dipaksanya mereka itu untuk bekerja.
157
Tentu saja orang dusun yang bodoh dan kebanyakan buta huruf ini tak bisa berbuat apa-apa, karena intruksi kerja paksa itu langsung dari pusat. Dari kotaraja. Dan siapakah orangnya yang berani menantang. Sedikit saja para pekerja ini membuka mulut mereka itu akan dicap sebagai pemberontak dan digiring ke kotaraja tak kembali lagi! Ketika Bwe Hwa lewat di tepi sungai Yang-ce-kiang, ia melihat banyak orang mengangkut batu-batu sungai dan pasir ke atas gerobak-gerobak besar. Orang-orang ini bekerja dengan wajah muram, tubuh mereka kurus-kurus dan berpakaian penuh dengan tambalan. Beberapa orang yang memegang cambuk dan berpakaian sebagai kepala kuli, membentak-bentak dan ada kalanya mengayun cambuk ke punggung seorang pengangkut batu sungai yang kurang cepat bekerja. Ada lima-enam orang yang menjadi pengawas orang-orang bekerja itu, dan begitu melihat Bwe Hwa lewat, mereka pada tertawa dan memandang dengan mata kurang ajar dan mulut ceriwis mengeluarkan kata-kata tak sopan. Ada yang bersuit dan menuding-nuding kepada Bwe Hwa, malah ada yang berani gila hendak memegang lengannya! Panas hati Bwe Hwa. Akan tetapi ia menahan sabar, karena ia tidak mau mencari ribut dengan orang-orang di tempat ini. Ia mempercepat langkahnya dan sebentar itu pula ia sudah tiba di luar kota Siauw-ling dan di pintu yang tengah dibangun itu. Akan tetapi di sini ini. Di kanan kiri di mana orang sedang sibuknya bekerja mengaduk semen, menyusun bata, memecah batu, dan di
158
antara kesibukan orang-orang yang tengah bekerja ini, ia disuguhi pemandangan yang menyolok mata. Puluhan orang laki-laki yang keadaannya miskin dan kurus seperti para kuli angkat batu sungai yang tadi dilihatnya di sepanjang sungai Yang-ce-kiang tadi, malah di antara puluhan orang lelaki miskin itu ada juga belasan orang wanita yang turut bekerja, nampaknya mereka bekerja dengan penuh semangat, namun jelas bukan semangat yang mengandung kegembiraan, melainkan semangat karena takut pengawas-pengawas itu, yang disembarang waktu siap melecutkan cambuknya, memukul punggung atau melempar. Beberapa orang pengawas pekerja-pekerja ini kelihatan menjaga mereka dengan cambuk di tangan, Di sana sini terdengar cambuk berbunyi ketika melecut punggung, diiringi pekik kesakitan! Bwe Hwa berdiri terpaku melihat pemandangan yang tak senonoh ini, hatinya mulai panas. Akan tetapi ia kira tidak sembarangan mau mencampuri urusan orang lain kalau saja tidak melihat kejadian yang membuat wajahnya yang jelita menjadi kemerahan saking marahnya. Ia melihat betapa seorang wanita setengah tua yang tampaknya sakit, roboh terpelanting setelah menerima cambukan pada punggungnya. Seorang gadis yang usianya sebaya dengan Bwe Hwa menjerit dan menubruk ibunya itu, menangisi ibunya yang sudah pingsan. Dua orang pengawas cepat menghampiri mereka, yang seorang sekali sambar telah menarik tubuh si gadis dan menciumi sambil tertawa terkekeh dan berkata,
159
“Ha ha ha, sayang kau cantik…. cantik dan manis, sebaiknya kau tidak mencapekan diri, bekerja. Biar kuminta kau kepada Nguyen Wan-gwe (Hartawan she Nguyen) untuk membebaskanmu dan menjadi bini mudaku, ha ha ha!” Adapun pengawas kedua dengan marahnya menghajar ibu tua itu dengan cambuknya dan memaki-maki sambil mendupak: “Anjing tua, siapa suruh kau pura-pura pingsan di sini, hayo berdiri dan bekerja, kalau tidak kucambuki sampai hancur badanmu!” Melihat pemandangan yang mengenaskan hatinya ini, Bwe Hwa tak dapat menahan kesabaran hatinya. Matanya membelalak mengeluarkan sinar berapi-api memandang ke dua pengawas yang berlaku sewenang-wenang itu. “Keparat, jahanam! Lepaskan mereka?” bagaikan seekor burung walet cepat dan ringannya tubuh Bwe Hwa sudah melayang dekat orang yang menciumi gadis ibu itu. Sekali kakinya bergerak terdengar suara “bluk, desss!” dan pengawal yang tengah ditunggangi nafsu dan kecabulannya itu terlempar sampai sejauh lima meter. Dan jatuh terbanting ke dalam adukan semen yang berlumpur. Hanya beberapa detik selisihnya tahu-tahu terdengar pula suara “hekk” ketika pengawas itu sedang mencambuki ibu tua itu terlempar pula oleh tendangan Bwe Hwa, hampir menimpa kawan yang sedang berusaha ke luar dari adukan semen yang kental berlumpur itu. Pekerja paksa melibat kejadian itu jadi berhenti terpaku, muka mereka pucat dan mereka hampir saja tidak percaya dengan
160
penglihatan mereka sendiri. Malah di antara mereka itu ada yang mencubit lengannya sendiri, dan aduh! memang bukan impian belaka. Sebuah kenyataan! Seorang gadis jelita, seorang gadis remaja telah berani melawan pengawas yang terkenal akan kekejamannya. “Kwan-im Sianli (Dewi Kwan-im) menolong kita…….” bisik laki-laki tua dan serentak ia menjatuhkan diri berlutut di depan Bwe Hwa. Pada jaman itu di Tiongkok memang orang-orang kota dan dusun percaya sebuah aliran Agama yang jadi bintang penolong sesama hidup bernama Kwan-im Posat. Diceritakan pada cerita-cerita kuno betapa Dewi Kwan-im ini adalah seorang yang Welas Asih yang menjelma ke dunia berwujud seorang gadis yang sangat cantik dan agung. Terkenal kesaktiannya Dewi Welas Asih yang sering kali menjelma dirinya menolong kesusahan, dewi lambang kasih sayang gadis yang terkenal akan kelembutan dan cinta kasih dari pancaran mata itu! Pada masa itu orang-orang dusun Siauw-ling masih tebal kepercayaan mereka terhadap Kwan-im Posat. Tak heran kalau Bwe Hwa dianggapnya sebagai penjelmaan Kwan-im yang diutus menolong mereka! Tentu saja kalau semua para pekerja itu berlutut dan mengira bahwa yang datang itu adalah penjelmaan Posat. Akan tetapi tidak dengan pengawas-pengawas yang lain! Pengawas-pengawas itu merasa rendah diri untuk berlutut di dekat kaki seorang gadis, gadis remaja.
161
Meskipun tak dapat disangkal ada sedikit kepercayaan dalam hatinya, jangan-jangan gadis itu adalah penjelmaan Posat! Namun mereka ini, pengawas-pengawas itu adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, yang mengerti akan wanita-wanita pandai ilmu silat seperti Bwe Hwa ini. Mana mereka mau berlutut bersama kuli-kuli hina ini. Sementara itu pengawas yang terjerembab mencium adukan semen, dengan berbangkis-bangkis karena hidung dan mulut kemasukan adonan semen, menyumpah-nyumpah sambil merangkak bangun dan memerintahkan kepada pengawas-pengawas yang lain. “Tangkap gadis setan itu dan berikan padaku!” Mendengar ini ke lima orang pengawas yang lain menghampiri Bwe Hwa. Seorang di antara mereka yang berkumis kucing dan bertubuh gemuk pendek membentak: “Anak setan siapa kau....... mengapa kau membikin kacau para pekerja di sini?” “Gendut gembrot, apa kau tidak tahu aku Kwan-im Sianli datang hendak menghukum kalian, membawa kalian orang-orang jahat ini ke neraka!” suara Bwe Hwa terdengar merdu. Tetapi ia diam-diam mengerahkan khi-kang mengirim suaranya menyerang ke lima pengawas itu. Sehingga bagi mereka suara gadis itu terdengar melengking tinggi memekakkan anak telinga. Akan tetapi terdengar merdu dan sejuk di hati kuli-kuli pekerja paksa itu sehingga mereka makin percaya bahwa dara itu adalah Kwan-im Posat.
162
“He, gendut! Kalian ini adalah manusia-manusia jahat. Patut dihajar, masih bagus dua orang kawanmu itu mencium adonan semen saja, dan kalian berlima, yang sudah bertumpuk dengan kejahatan, takkan kuberi ampun lagi! Hayo berlutut dan minta ampun!” Dapat dibayangkan betapa marahnya ke lima orang itu. Mereka adalah tukang pukul dari Nguyen-loya (Tuan tua she Nguyen) yang terkenal sebagai Nguyen Wan-gwe (hartawan Ngu-yen) yang juga kaya raya itu. Semua pembangunan di kota Siauw-ling ini mendapat kepercayaan dari kotaraja untuk dikontrakkan kepada orang tua she Nguyen ini. Semua penginapan-penginapan adalah milik Nguyen-loya, juga rumah-rumah makan besar, gedung-gedung yang megah dan besar itu juga milik Nguyen-loya. Dan siapa orangnya yang berani menantang Nguyen-loya yang mempunyai pengaruh besar pula sampai di Kotaraja? Para jenderal-jenderal dan pembesar-pembesar di Kotaraja itu adalah sahabat baiknya, para buaya-buaya darat adalah tukang pukulnya, dan pengawas-pengawas pekerja paksa itu adalah kaki tangannya untuk kelancaran pembangunan-pembangunan dan tembok besar di luar kota Siauw-ling! Kini gadis muda belia, gadis remaja yang kelihatannya lemah itu berani memandang rendah mereka? “Bocah bau kencur, masih mau berlagak menjadi utusan Kwan-im Posat. Hemm, biarpun kau datang dari utusan Neraka sekali pun aku tak sudi berlutut seperti kuli hina itu. Hey bocah gendeng, kau
163
harus diseret ke depan Nguyen-loya dan ditelanjangi kemudian dihajar babak belur, biar tahu rasa…… Hem setelah itu apakah kau akan tetap kelihatan cantik?” bentak seorang di antara mereka, yang berbicara si kurus jangkung, berkopyah lebar seperti petani akan tetapi baru saja ia menutup mulut, tahu-tahu tubuhnya sudah terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi. Untuk seketika juga, napasnya sudah putus mengiringi nyawa yang pergi entah ke mana! Gerakan Bwe Hwa tadi adalah cepat bukan main. Hanya dengan dorongan tangan kiri saja membuat tubuh pengawas lancang mulut itu terlempar dan putus nyawanya. Semua orang terkejut sekali. Para pekerja paksa semakin berlutut mencium tanah, mendoa moga-moga dewi Kwan-im tidak menaruh marah kepadanya dan menjatuhkan tangan maut, seperti pengawas lancang mulut tadi. “Lihat! Siapa saja yang berlaku kurang ajar di depan Kwan-im Sianli nyawanya pasti kucabut seperti orang itu,” kata gadis itu menunjuk tubuh pengawas yang lancang mulut itu dan yang telah mati sedetik sehabis berbicara tadi Bwe Hwa berdiri di depan orang-orang miskin, yang belum berani menggerakkan kepalanya. Gadis itu berdiri angkuh laksana dewi yang baru turun dari kahyangan. Memang gadis itu cantik jelita, berdiri seperti itu nampak agung seperi dewi Kwan-im. Tiga pengawas lainnya menerjang maju, mereka tidak menggunakan cara berkelahi lagi, saling menubruk maju dan hendak menerkam gadis itu. Tentu saja melihat kecantikan gadis itu, tukang-tukang pukul lantas segan-segan mengeluarkan senjata sayang kalau tubuh gadis cantik itu terkena oleh
164
senjatanya. Oleh sebab itu sudah mufakat lantas ketiganya menubruk maju hendak menangkap gadis itu hidup-hidup? Dan saling ingin dulu memeluknya. “Dukk!” tiga orang tukang pukul itu sama mengaduh karena mereka saling tubruk dan saling beradu kepala. Dalam kegemasan tadi mereka menubruk berbareng bagai tiga ekor kucing menangkap tikus, tetapi sang tikus begitu lincahnya dan kucing yang bernapsu buat memeluk mangsanya yang menggemaskan dan yang menggairahkan itu, tak berhati-hati lagi. Akibatnya karena amat cepat gerakan si tikus tiga buah kepala kucing itu saling tubruk dan masing-masing terpelanting ke belakang dengan kepala benjut beradu dengan kepala temannya. Dengan gerakan ringan tiga kali tangan kiri Bwe Hwa bergerak, tiga tukang pukul itu sudah tak dapat bangun lagi karena tulang belakang mereka telah patah dan menjadi orang yang tak berguna lagi. Kelak jika orang itu sadar, ia akan kehilangan segala kepandaiannya memukul. Sengaja memang gadis ini meremukkan tulang belakang si tukang pukul agar di lain hari orang itu tidak lagi mempunyai tenaga untuk memukul. “Lopek siapakah orang-orang ini yang bertindak semau-maunya saja, dan kalian ini sedang membuat tembok apakah?” Bwe Hwa bertanya kepada seorang pekerja yang berpakaian compang camping dan kotor! “Posat (dewi) yang mulia kami adalah penduduk dusun yang sengsara dan miskin, tolonglah kami, kami dipaksa bekerja keras untuk pembangunan-pembangunan di kota Siauw-ling ini dan
165
diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang Nguyen-loya, mereka itu adalah mandor-mandor dari Nguyen-loya.” “Betul Posat, tenaga kami diperas siang malam padahal upah yang kami terima tidak memadai ongkos....... hidup kami dipaksa kalau tidak mau, kami dipukul…… malah banyak pula teman-temanku yang mati di tangan para mandor itu.......” sahut pekerja yang lain. Bwe Hwa menahan senyum di hatinya. Ia disebut Posat, alangkah indahnya sebutan itu! Alangkah berkesannya sebutan Kwan-im disanubarinya, ia dianggap dewi Kwan-im! Kwan-im Posat adalah lambang seorang dewi cantik yang sakti dan mempunyai kasih sayang yang tulus dan sering menolong manusia sengsara. Pernah suhunya mendongeng kalau Kwan-im pernah turun ke dunia menyamar sebagai perempuan agung dan cantik, juga sakti, malah saking terkenalnya sebagai dewi Welas Asih sehingga banyak tokoh-tokoh kang-ouw memakai julukan dengan nama Kwan-im Posat. Alangkah indahnya nama itu! Hm, orang lain dapat memakai julukan itu, mengapa aku tidak? Gadis itu tersenyum kepada pekerja-pekerja miskin ini. Sebuah senyuman yang memberikan harapan di dada yang gersang itu. Sebuah senyuman yang menyejukkan jiwa yang lelah. Baru kali ini orang dusun para pekerja paksa itu dapat melihat jelas-jelas gadis yang dianggapnya titisan Kwan-im. Alangkah cantiknya. Gadis itu berjalan menghampiri seorang tua yang patut dikasihani itu. Orang itu amat miskin dan tua sekali. tujuhpuluhan umurnya, tubuhnya yang kurus kering itu terbongkok-bongkok. Wajah yang
166
diliputi awan hitam itu penuh dengan kabut-kabut kerisut yang menampakkan kesusahan hatinya. “Lopek, apa kau juga yang setua ini masih kerja paksa?” berkata demikian dengan amat cepat sekali tangan Bwe Hwa bergerak dan kelak empek tua itu akan mengetahui bahwa entah darimana datangnya tahu-tahu di kantongnya yang butut itu kedapatan sekeping uang emas. Saking gugupnya empek tua itu ditanya oleh Kwan-im pujaannya sehingga untuk beberapa ia hanya memandang saja. Menatap kosong ke arah bintang penolongnya! “Posat yang mulia…… bukan saja empek ini yang dipaksa bekerja, malah orang-orang tua yang sudah lumpuh dan berpenyakit sekalipun di paksa untuk bekerja. Kalau tidak orang tua disiksa sampai mati……” sahut orang yang di sebelah empek itu. “Keparat! Kalau bagitu……. mereka harus dimusnahkan di muka bumi ini, eh lopek..... apakah semua mandor anjing-anjing orang she Nguyen itu jahat?” “Jahat?” empek tua itu mengulang kata-kata dengan yang hampir tak terdengar. Mukanya memperlihatkan bayangan kemarahan yang memuncak: “Anjing-anjing itu lebih jahat dari majikannya sendiri. Anjing-anjing itulah yang selalu menggonggong dan menyalak-nyalak maka sering menggigit…… lebih kejam dari serigala kelaparan. Entah berapa banyak di antara kami yang menjadi korban anjing-anjing keparat itu..... Kami disiksa, dianiaya menjadi manusia-manusia cacat dan selanjutnya sebagai manusia jembel!”
167
Makin panas hati Bwe Hwa. Orang-orang yang suka berbuat jahat dan bertindak sewenang-wenangnya saja, apalagi sampai menganiaya dan membunuh orang, patut dihajar, pikirnya. Ketika ia melirik ke arah dua orang tadi yang mencium adonan semen, yang ternyata mereka sudah bangkit dari benaman adonan semen pada mukanya dan tengah menyusuti mukanya yang berlepotan adonan semen itu dan kemudian mereka berdua itu sudah mencabut pedang dan berjalan menghampiri Bwe Hwa dengan sikap mengancam, pedang di tangan, napsu membunuh nampak pada wajah mereka yang berlepotan lumpur-lumpur semen itu. “Setan betina, berani kau main gila dengan para Ngo-houw dari Nguyen-loya? Bersiaplah untuk mampus!” teriak si kumis tikus sambil menerjang lebih dulu dengan bacokan pedangnya. Melihat gerakan mereka, Bwe Hwa memandang rendah. Mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga besar saja, sama sekali tidak seberapa ilmu silatnya. Oleh karena itu ia tak perlu untuk mencabut pedang menghadangi tukang-tukang pukul murahan ini, hanya dengan tangan kosong ia menghadapi bacokan si kumis tikus. Dengan sebat ia miringkan tubuhnya ke kiri dan tangan kanannya menyambar. Pada saat itu tangan Bwe Hwa yang sudah terlatih dan tenaga Pek-in-kang. Tangan kanan halus yang mengeluarkan uap itu bergerak dan tahu-tahu si kumis tikus berteriak keras dan terpelanting roboh, pedangnya terlempar jauh dan dengan mengeluarkan suara “krek” patahlah tulang-tulang pinggang orang itu dan kelak orang ini akan menjadi orang yang tiada berguna karena untuk selanjutnya orang itu tidak dapat lagi menggunakan
168
tenaganya. Bwe Hwa memang sengaja mematahkan tulang pinggang orang itu, melenyapkan tenaga, apabila orang itu hidup ia akan menjadi orang yang tak lagi bertenaga! Tentu saja melihat kejadian ini, tukang-tukang pukul yang lain menjadi marah dan terkejut sekali akan kelihaian gadis ini. Maka dengan beramai-ramai dan serentak mereka berlima maju dan menerjang dengan marah. Bwe Hwa yang sudah dibuat panas hatinya oleh cerita-cerita empek yang dipaksa bekerja oleh Nguyen-loya ini, kali ini tak memberi ampun. Begitu suara pedang tercabut dan tampak sinar perak begulung-gulung laksana awan putih mengamuk, terdengar jerit saling menyusul dan dalam segebrakan saja, ke lima orang tukang pukul itu sudah tergores pundaknya sehingga mengeluarkan darah dan begitu tangan Bwe Hwa bergerak terdengar tulang-tulang pundak patah-patah. Saking kuatnya pukulan tangan kiri yang menggunakan hawa Pek-in-kang membuat ke lima tukang pukul tak dapat bersambat lagi dan terus menggeletak pingsan! Hebat sekali tindakan gadis itu, dalam waktu beberapa menit saja dia sudah menghajar habis-habisan tukang-tukang pukul sewaan Nguyen-loya. Dengan tenang gadis itu menghadapi orang-orang pekerja yang masih berlutut dan semua pucat wajahnya melihat tukang-tukang pukul itu sudah menggeletak tak berdaya. Di dalam hati mereka puas akan tindakan sang dewi yang telah membalaskan sakit hari mereka terhadap tukang-tukang pukul yang kejam tiada prikemanusiaan itu. Tetapi mereka juga amat takut kalau nanti
169
setelah sang dewi pergi ke kahyangan alangkah akan marahnya Nguyen-loya. “Para paman dan bibi, jangan kalian takut, sekarang mari antarkan aku ke rumah manusia Nguyen itu....... di manakah rumahnya?” Mula-mula para pekerja paksa itu ketakutan. Akan tetapi setelah menyaksikan akan kesaktian sang dewi, bintang penolong ini, apalagi yang meski ditakuti? Seorang laki-laki tua bongkok bangkit berdiri dan berkata gagah penuh bersemangat. “Mari Posat, mari saya antarkan...... Biar saya nanti mati dipukuli oleh anjing-anjing penjaga rumah Nguyen-loya, asalkan Posat dapat membebaskan kami dari kesengsaraan ini dan memberi hajaran kepada manusia jahat itu!” Melihat semangat empek tua bongkok ini, maka beramai-ramai orang-orang pekerja paksa yang miskin itu berjalan mendahului Bwe Hwa. Wajah-wajah mereka membayangkan perasaan geram dan nekad, belasan orang laki-laki yang sebagian penuh dengan tambalan dan bertelanjang kaki mengantarkan “Sang Posat” masuk ke dalam kota Siauw-ling. Tentu saja rombongan pekerja paksa ini menarik perhatian banyak orang. Apalagi setelah mendengar akan perbuatan gadis yang menjadi bintang penolongnya itu yang telah menghajar tukang-tukang pukul di luar tembok kota, gempar sekali keadaan kota Siauw-ling. Dan diam-diam rombongan itu semakin besar jumlahnya, merupakan sebuah barisan tentara yang hendak maju di medan perang!
170
Sang dewi, yang mereka anggap sebagai bintang penolong mereka berjalan gagah dan agung di tengah-tengah para pekerja paksa. Seluruh perhatian orang-orang kota tertarik akan kecantikan gadis yang mereka anggap sebagai penjelmaan Kwan-im Posat! Gedung yang ditinggali oleh Nguyen-loya si orang tua she Nguyen adalah sebuah gedung yang amat besar dan mega ditengah-tengah kota Siauw-ling menjurus di depannya sungai Yang-ce-kiang mengalir merupakan ular panjang yang berkelok-kelok. Gedung itu amat besar sekali. Di depan gedung yang berdiri megah itu terhampar sebuah taman bunga yang penuh dengan aneka macam bunga-bunga dan ditumbuhi oleh rumput-rumput menghijau. Sebuah kolam terdapat di tengah taman itu. Taman yang dilingkari oleh jeruji besi yang amat kuat dan kokoh bercat hijau. Inilah tempat tinggal Nguyen-loya. Seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih menjadi orang kepercayaan dari gubernur di Kotaraja. Dan pada kesempatan ini, Nguyen-loya diberi kepercayaan oleh gubernur untuk memperindah kota Siauw-ling, mendirikan restoran-restoran dan rumah-rumah penginapan dan tembok besar di luar kota. Tentu saja kesempatan yang besar itu tidak disia-siakan oleh Nguyen-loya, dan sebentar saja ia sudah menjadi kaya raya berkat korupsi besar-besaran dari hasil bangunan dan pendirian tembok besar. Karena korupsi besar-besaran dan pengisapan akan tenaga orang-orang dusun yang dibayarnya dengan amat murah sekali
171
dan dengan paksaan, maka sebentar saja manusia she Nguyen ini menjadi raja kecil Siauw-ling. Pengaruhnya cepat sekali meluas. Dengan uang yang berlimpah-limpah itu ia menundukkan hati banyak orang-orang yang berkepandaian silat dan disewanya menjadi alat keamanan dan kaki tangannya! Betapapun juga harus diakui bahwa Nguyen-loya yang sebenarnya bernama Nguyen Khan tidaklah seganas dan sekeji orang-orangnya. Karena orang tua she Nguyen sebenarnya jarang sekali meninjau proyek-proyek yang sedang jalan. Semuanya itu dipercayakan kepada orang kaki tangannya yang menjadi tukang-tukang pukulnya. Mereka-mereka inilah yang mengatur, yang memutuskan dan mengambil tindakan. Sudah tentu kekuasaan yang diberikan oleh Nguyen-loya ini dselewengkan menjadi hak kuasa pribadinya. Berbuat semaunya sendiri, memeras tenaga orang, menyiksa, menganiaya, mencap sebagai pemberontak kepada orang tanpa bukti dan menghukumnya bukanlah hal yang aneh bagi orang-orang yang berkuasa! Nguyen-loya yang cuma uncang-uncang kaki itu tak memperdulikan keadaan yang kurang adil itu, persetan dengan segala urusan tetek bengek di proyek, pokoknya ia mendapat keuntungan besar dan proyek itu berdiri. Habis! Entah berapa banyak manusia yang mampus karena berdirinya proyek itu tak mau tahu ia!
172
Nguyen Khan ini mempunyai dua orang putera. Puteranya yang pertama sudah dewasa. Sudah menjadi seorang pemuda yang cakap dan terpandang pula. Orang muda itu bernama Nguyen Cie Kiat. Seorang pemuda yang berusia sekitar duapuluhan, tampan, gagah dan pandai bun-bu-cwan-jay (ahli surat dan pandai bermain pedang). Akan tetapi sayang sekali sifat ayahnya yang tak baik menurun kepada pemuda! Seperti pohon itu dapat dilihat dari buahnya, demikian pula dengan Nguyen Cie Kiat ini. Kalau dulu ayahnya menjadi oom senang yang doyan akan rumput-rumput segar dan muda, doyan berpesta pora dan doyan berbini, maka sifat-sifat itu menurun kepada anak muda ini. Pemuda inilah yang membuat keadaan penduduk semakin kacau dan berat. Nguyen Cie Kiat merupakan seorang pemuda yang selalu mengumbar nafsu-nafsu buruknya. Tukang mempermainkan wanita, menjadi playboy bajingan di kota Siauw-ling. Entah berapa banyak gadis-gadis yang terjerembab jatuh di dalam rayuan mautnya dan entah berapa banyak kali kehamilan? Itu terjadi tanpa adanya perkawinan yang sah! Nguyen Ci Kiat bukan saja ditakuti karena pengaruh dari ayahnya yang disebut Nguyen-loya itu, akan tetapi juga Nguyen Ci Kiat ini merupakan seorang pemuda yang pandai bermain silat. Ia pernah belajar silat dari seorang hwesio Siauw-lim perantau, dan karena anak muda ini lihay sekali bermain ilmu pedang dari cabang Siauw-lim-sie maka seluruh tukang-tukang pukulnya menjadi takluk kepadanya! Dan karenanya setelah pemuda ini benar-benar
173
menjadi dewasa, maka seluruh kota Siauw-ling ini mengenal putera Nguyen-loya sebagai jay-hoa-cat yang paling ditakuti! “O ya, saya lupa mengatakan bahwa Nguyen Ci Kiat ini mempunyai adik kecil yang masih berusia setahun lebih. Bayi ini bernama Nguyen Hoat. Bayi yang masih belum tahu apa-apa. Bayi yang baru saja bisa mengatakan: pap… pa! ma ma! Mamm…., nenen! dan sebagainya. Waktu cerita ini terjadi, bayi yang bernama Nguyen Hoat itu baru bisa betitah-titah, setindak dua tindak, untuk berjalan bertatih-tatih! Kasihan bayi ini, belum tiga bulan ia lahir, ibunya yang disebut Nguyen Hujin (Nyonya Nguyen) meninggal dunia! <> Kita kembali kepada Bwe Hwa dan rombongannya yang sedang menuju ke gedung Nguyen ini. Dari luar nampak sepi-sepi saja, seakan-akan tiada pernah akan terjadi sesuatu. Bukan begitu sebetulnya, bukan keluarga Nguyen tidak tahu akan kejadian seorang dewi yang mengamuk di luar tembok kota. Sejak sedari tadipun Nguyen Cie Kiat telah mendapat laporan dari anak buahnya bahwa seorang gadis telah mengacau dan membunuh seorang pengawas, dan kini gadis itu sedang menuju ke gedung ini. Tentu saja Nguyen Cie Kiat yang tertarik hatinya akan seorang gadis yang mengamuk menjadi ingin tahu sekali, dan ingin melihat gadis yang dikatakan dewi Kwan-im itu! Kemarahan Nguyen Cie Kiat memuncak, akan ia basmi semua pengiring-pengiring gadis yang mengaku bernama Kwan-im Posat
174
itu. Tidak seorangpun yang akan kuberi ampun karena hal ini perlu untuk menakuti hati orang-orang kerja paksa, dan untuk pengaruh pengawas-pengawas tukang-tukang pukulnya! Pedangnya sudah siap dicabut dari sarungnya yang indah itu. Dengan pedang telanjang ia berlari-lari ke luar gedung dengan diiringi pembantu-pembantunya menyongsong sang dewi! “Hm, inikah yang disebut Nguyen-loya?” tanya gadis itu ketika melihat seorang pemuda tampan mendatangi dengan pedang telanjang. Seorang tua mendekati sang dewi dan berbisik, “Dia itu anaknya...... lebih ganas dari si tua!” “Bangsat besar...... berani bermain gila di depan……” Nguyen Cie Kiat tidak meneruskan kata-katanya begitu dilihatnya bahwa wanita yang dikatakan sebagai penjelmaan Kwan-im Posat demikian cantik dan jelitanya. Dadanya berdebar keras. Matanya terbelalak memandang Bwe Hwa. Ia melongo tak dapat mengeluarkan suara, memandang wajah Bwe Hwa bagaikan terpesona dan kehilangan semangat. Sungguh mati ia tidak mengira sama sekali bahwa wanita yang telah mengacau dan membuat ke enam tukang pukul tak berdaya itu adalah dara secantik bidadari. Pantas saja kuli di luar tembok kota itu menganggapnya sebagai Dewi Kwan-im! Belum pernah selama hidupnya ia melihat dara secantik ini kecuali dalam alam mimpi dan dalam gambar. Lebih suka ia rasanya untuk
175
maju berlutut dan menyatakan cinta kasihnya dari pada harus menghadapi dara ini sebagai lawan yang harus dibunuhnya! Dibunuh! Ah sayang sekali dara yang begini cantik jelitanya kalau dibunuh lebih baik ditangkapnya…… atau dibujuknya untuk menjadi kawan-kawan baik yang saling mencintai. Hmm, alangkah senangnya kalau ia dapat berjodoh dengan gadis yang begini jelita, begini gagah perkasa! “Nona…… eh, kau siapakah dan….. eh kudengar kau bertengkar dengan orang-orang kami? Kalau mereka berbuat salah terhadap nona, jangan kuatir, aku yang menegur dan menghukum mereka?” Bwe Hwa melihat pemuda tampan itu tersenyum lebar sambil memasukan pedang yang tadinya sudah terhunus. Ia melihat pula betapa pemuda itu maju menghadapinyaa dengan sinar mata yang tak habis-habisnya menatapi sekujur tubuhnya. Sinar mata yang penuh gairah dan rasa kagum itu menjijikkan hati Bwe Hwa. “Hem ternyata inikah tampang laki-laki, putera Nguyen-loya ceriwis?!” pikirnya. “Kaukah putera Nguyen-loya?” Datang-datang ditanya begitu, Nguyen Ci Kiat bersambat dalam hatinya mendengar suara yang merdu itu. Bertanya dengan nada marah saja sudah begitu merdu, apalagi kalau suara itu dipergunakan untuk merayunya. Mati aku! “Hayo jawab!” Bwe Hwa tak sabar dan membentak memandang pemuda itu dengan mata mendelik. Sinar mata si gadis berbinar-binar merenggut wajah yang tampan itu. Akan tetapi pandangan
176
Nguyen Ci Kiat yang sudah digelapkan rasa kagum dan cinta menganggapnya si gadis yang tengah marah itu bertambah cantik saja, bertambah manis! Nguyen Ci Kiat tersentak oleh bentakan Bwe Hwa tadi. Dengan senyum yang dibuat-buat, ia berkata kepada gadis jelita di depannya, “Betul nona, akulah putera Nguyen Khan yang terkenal di Siauw-ling ini! Senang sekali hatiku mendapat kehormatan kunjunganmu. Silakan masuk........” “Hem, omonganmu begini manis seperti madu, akan tetapi pahit seperti empedu. Kau berbicara plintat plintut sopan-sopanan di depan seorang gadis. Tidak tahu rayuanmu beracun. Keparat kau seorang yang amat jahat, jay-hwa cacingan! Mengandalkan kedudukan orang tua, mengandalkan harta benda dan kekuasaan untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Orang macam kau tak patut diberi hidup lama!” Gadis itu yang mendengarkan keterangan-keterangan dari para pekerja paksa tentang kejahatan putera Nguyen-loya ini, semakin panas hatinya melihat sikap pemuda ini yang sombong, matanya yang berminyak itu memandangnya dengan lahap, kemarahannya memuncak. “Nona, soal-soal kecil yang terjadi antara para kuli-kuli dengan anak buahku harap kau jangan ambil di hati. Sudahlah kesalah-pahaman ini kubereskan sampai di sini saja. Toh di antara kita tidak ada permusuhan. Marilah, silakan masuk ku anggap kau sebagai tamuku yang terhormat!”
177
“Manusia jay-hwa-cat, perusak wanita. Tak usah plintat-plintut omong kabaikan di depanku. Aku sudah mengetahui semua ular belangmu. Keparat, mulutmu penuh bisa.” Nguyen Ci Kiat adalah seorang pemuda yang selalu dihormati dan disegani orang. Baru kali ini ia dimaki-maki dan dihina. Biarpun ia tergila-gila melihat kecantikan gadis itu, namun kehormatannya tersinggung dimaki habis-habisan oleh dara itu, mukanya menjadi merah seperti udang direbus. Apalagi telah disaksikan di halaman rumahnya penuh para pekerja paksa yang berdiri dengan teriakan-teriakan menantang. Panas hatinya, ia mendelik ke arah kuli-kuli dan melemparkan pandangannya keluar. “Sialan, kiranya cacing-cacing pada mau mampus itu yang mengaco belo kepada gadis ini. Keparat kumampusin kau satu-satu!” teriak Nguyen Ci Kiat menghampiri para orang tua di luar. Akan tetapi sekali berkelebat Bwe Hwa sudah menghadangnya dan tersenyum mengejek: “Nanti dulu….. ada aku di sini yang hendak menghukum engkau. Manusia she Nguyen bersiap-siaplah untuk piknik ke neraka!” “Gadis sundel, kau benar-benar lancang mulut tidak bisa menerima penghormatan orang. Pantasnya bacotmu yang cerewet itu dibeset, biar tahu rasa, kepingin aku lihat setelah itu, apakah kau masih kelihatan cantik?” Nguyen Ci Kiat menerjang maju dengan pedangnya. Dengan senyum mengejek Bwe Hwa berkelebat, menghindarkan serangan pedang dan balas menyerang. Ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian pemuda ini, tidak seberapa dan masih mentah
178
gerakan-gerakan pedangnya. Maka sengaja Bwe Hwa tidak mencabut pedangnya. Menghadapi manusia kotor ini apa perlunya mengotori pedang, pikirnya dan ia mainkan ilmu silat tangan kosong dan mengerahkan hawa Pek-in-kang di ke dua tangannya. Akibatnya setiap kali pedang Nguyen Ci Kiat terbentur dengan itu, pedangnya terpental seakan-akan memukul bal karet saja kerasnya. Pada saat itu terdengar suara berisik. Dan para tukang pukul berdatangan ke tempat itu membawa pedang dan golok di tangan. Tukang-tukang pukul Nguyen semuanya ada limabelas orang. Terdiri dari jagoan silat pasaran saja. Oleh karena itu begitu mereka ini serentak menyerbu. Terdengar suara desingan senjata melayang dan jatuh ke lantai. Lima-enam orang menggeletak roboh tak dapat bangun lagi terhantam pukulan Pek-in-kang di tangan kanan dan kiri Bwe Hwa yang bergerak memutar merupakan sebuah kinciran yang mengeluarkan angin badai menderu, dan setiap kali tukang pukul itu terserempet angin pukulan dari ke dua tangan si gadis terdengar suara bergedebuk dengan melayang tubuh tukang-tukang pukul terlempar keluar laksana daun kering tertiup angin. Menggeletak di luar halaman dan diserbu oleh para pekerja paksa yang menanti di situ. Terdengar suara bergedebak-gedebuk begitu senjata-senjata pacul, palu martil di tangan para pekerja itu menghantami tubuh-tubuh tukang pukul yang tak berdaya dan menguik-nguik terlolong dan menjerit-jerit minta ampun!
179
Tentu saja para pekerja-pekerja yang seringkali disakiti dan disiksa oleh tukang-tukang pukul ini, mana mau memberi ampun. Semakin banyak tubuh-tubuh tukang pukul yang terlempar, semakin sengit orang-orang dusun itu menyerbu dan menggebuki si tukang pukul sampai babak belur badan dan mukanya. Malah di antara suasana yang kacau itu ada pula seorang pekerja yang merasa jengkel kepada gedung yang megah ini yang berdiri atas hasil cucuran keringat mereka. Maka diam-diam ia melempari api dan menyiram dengan minyak tanah. Sebentar itu pula nampak gedung itu mulai terbakar oleh api yang semakin mengganas. Kaget bukan main Nguyen Ci Kiat, melihat api yang telah menjalar dengan ganas sekali. Bwe Hwa yang amat membenci pemuda ini tak memberi kesempatan lagi. Dan sekali pedangnya tertarik dalam segebrakan itu pula, terdengar jeritan Nguyen Ci Kiat bersambat panjang mengantarkan jiwanya yang melayang dan berkelonjotan tubuh itu dan diam. Mati. Kepalanya putus disambar pedang Bwe Hwa yang tak memberi ampun. Ganas sekali tindakan gadis itu kali ini, hawa membunuh yang didorong oleh kebencian yang amat sangat mengingat ribuan orang-orang dusun yang disiksa oleh keluarga Nguyen ini membuat Bwe Hwa matanya mencari-cari. Gedung itu sudah terbakar separuh. Hawa udara menjadi panas sekali. Sepanas hati gadis itu yang kala itu sudah menerjang ke dalam, dan melihat seorang tua berusia limapuluh tahun, berusaha untuk keluar dengan menggendong seorang anak kecil berusia sekitar satu tahun.
180
Tersentak kaget melihat gadis yang sudah berdiri di depannya. Wajahnya menjadi pucat seperti kertas. Semangat melayang. Tubuhnya menggigil menjatuhkan diri berlutut di kaki gadis ini. Bwe Hwa menatap orang tua itu. Orang yang berpakaian seperti orang berpangkat. Hemm, apakah dia ini yang disebut Nguyen-loya? “Orang tua, siapakah kau?” “Lihiap..... ampunkan saya..... saya..... saya…” Nguyen-loya berkata gagap. Orang tua ini sudah mendengar dari orang-orang bahwa gadis yang menyerang ini demikian sakti dan lihay. Tentu saja berhadapan dengan gadis yang tadi dilihatnya demikian ganas membunuh tukang pukulnya menjadi hilang semangatnya. Kepalanya mengangguk-angguk seperti ayam tengah mematuk gabah. Dan tubuhnya yang pendek gendut itu menggigil mengeluarkan keringat dingin. Melihat sikap orang tua ini demikian pengecut dan takut mati, bertambah panas hati Bwe Hwa. Sekali kakinya bergerak mencongkel tubuh si gendut Nguyen-loya terguling sejauh lima meter. Anak kacil yang tadi digendongnya terlempar pula. Bocah itu anaknya. Anak yang baru berusia setahun lebih bernama Nguyen Hoat. Anak itu menangis keras merangkak menghampiri ayahnya.
181
“Orang tua jahanam, engkaukah Nguyen Khan yang disebut Nguyen-loya oleh orang-orang di sekitar ini?” suara Bwe Hwa sengaja dikeraskan mengejutkan hati si orang tua. “Hayo jawab!” “Ampun lihiap, ampunkan saya, kasihani saya, ugh… uuugh…...” menangislah orang tua itu saking takutnya. Dari selangkangannya menetes keluar air. Muak Bwe Hwa melihat pemandangan ini. Orang tua sudah terkencing-kencing ini pantas dimampusin, pikirnya. “Siiiing!!!” “Ampun lihiap…. Am…. Ammmm…...” “Ampun? Tidak ada ampun lagi. Manusia Nguyen, kau jahat dan keji. Kau membiarkan orang-orang dusun pada mampus dalam rencanamu yang gila membuat proyek-proyek bangunan, memeras tenaga orang-orang dusun yang bodoh, menganiaya, membiarkan mereka pada mampus disiksa oleh anjing-anjing peliharaanmu. Keparat!! Dosamu sudah bertumpuk-tumpuk. Kau bilang ampun??” Kepala tua itu semakin terbenam mencium lantai, berciuman pula dengan air kencingnya yang di lantai. Kepalanya semakin keras mengangguk-angguk. “Lihiap…… nyawaku cuma satu, kasihanilah aku….. akhh…..”
182
“Sreeet!!” Begitu pedang di tangan si gadis berkelebat, tubuh tua itu kelojotan kehilangan kepalanya. Darah merah muncrat memancar dari leher yang tak berkepala. Membanjiri lantai, bersatu dengan air kencing si tua. “Pap..... pa… papaaa… anak kecil yang tadi digendongnya itu menjerit-jerit menangis. Bwe Hwa mengangkat pedangnya meluncur cepat menusuk dada anak kecil itu. “Trang!” pedang itu melengos dan bergetar. Bwe Hwa menoleh ke belakang. Kiranya yang menyambitkan buah Ci membentur pedangnya tadi adalah seorang tua berusia sekitar empatpuluh tahun. Berpakaian seperti seorang pertapa berjubah putih, kepalanya botak di tengah dan hanya ada rambut tipis yang mengelilingi di samping kiri kanan kepala yang bundar itu. Tatapannya tajam menusuk. Merupakan sebuah teguran yang tak terucapkan. Merasakan timpukan orang tua tadi yang dapat menggetarkan pedangnya, tahulah Bwe Hwa bahwa orang tua yang baru datang ini bukan orang sembarangan. Timpukan dengan buah Ci tadi itu membuktikan betapa kuatnya lwekang orang tua ini. Melihat kedatangan orang tua ini Bwe Hwa seperti seekor harimau betina mencium darah. Dengan sikap beringas karena mengira bahwa yang baru datang itu adalah antek-antek keluarga Nguyen, ia menantang.
183
“Hayo, kalau masih ada binatang-binatang keji penindas orang miskin, majulah dan lawan aku. Aku Kwan-im Sianli akan membasminya sampai ke akar-akarnya!” Orang tua itu tersenyum. Tak berkata apa-apa ia menghampiri anak kecil yang hampir saja tadi disate oleh pedang Bwe Hwa. Sekali jubahnya menyambar, anak kecil itu melayang ke dalam pangkuan orang tua yang berpakaian pendeta itu. “Nona….., anak kecil ini belum tahu apa-apa tentang kepalsuan dunia, mengapa kau hendak menurunkan tangan maut kepadanya?” “Orang tua, siapakah kau? Mengapa usil tangan mencampuri urusanku?” “Pinceng (aku) Bu-beng Sianjin dari Thang-la. bukan apa-apanya keluarga Nguyen ini. Akan tetapi melihat kau hendak menjatuhkan tangan maut kepada bocah ini, tentu saja pinceng mencegahnya. Sudahlah! Karena anak ini sudah kehilangan keluarganya, biar pinceng bawa....... selamat tinggal nona!” dan sekali Bu-beng Sianjin menggerakkan tubuhnya tahu-tahu Bwe Hwa sudah kehilangan orang tua pertapa itu. Diam-diam ia kagum dan terkejut begitu mendengar nama Bu-beng Sianjin. Tentu saja semasa ia di puncak Tiang-pek-san seringkali mendiang suhunya menceritakan tentang orang tua sakti dari Thang-la itu. Untung saja ia tadi tidak sembrono turun tangan. Kalau tidak. Apa artinya kepandaian silatnya kalau dibandingkan dengan orang tua sakti dari Thang-la itu?
184
Bwe Hwa tak banyak berpikir lagi. Baru sekarang ia tahu bahwa gedung Nguyen ini sedang mengalami kebakaran yang hebat. Hampir saja api itu menjalar ke ruang dalam. Hawa panas dan asap bergulung-gulung menyerbu membuat Bwe Hwa menjadi pengap dan sukar bernapas. Dengan sekali menggerakkan gin-kangnya tubuh Bwe Hwa melayang lewat jendela bulat dan di luar itu ia melihat banyak orang-orang yang tengah sibuk untuk memadamkan api. Tak ada orang yang memperhatikan dia lagi, karena kesibukan memadamkan api yang semakin mengganas! Para pekerja paksa yang terdiri dari orang-orang dusun yang miskin itu tadinya membiarkan gedung Nguyen-loya itu termakan oleh api, dan menonton dengan jantung berdebar, kini tidak berani lagi mencari sang dewi yang memasuki gedung yang telah mulai diganas api itu. Para pekerja paksa orang-orang dusun itu adalah korban-korban kekejaman dan seringkali mereka itu disiksa, dan sekarang menyaksikan peristiwa berdarah yang mengerikan ini membuat mereka menggigil ketakutan. Mereka memang menaruh dendam dan ingin sekali menyaksikan penyiksa-penyiksa itu terbalas dan terhukum. Namun apa yang dilakukan oleh sang dewi ini benar-benar amat menyeramkan dan sadis. Limabelas orang tukang-tukang pukul tak berdaya dan sekarat hampir mati di taman ini. Dan di dalam gedung yang mulai terbakar itu, mereka melihat tubuh Nguyen-kongcu yang bernama Nguyen
185
Ci Kiat itu menggeletak tanpa kepala dan sebentar pula tubuh itu akan musnah dipanggang api yang sedang mengganas. Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda dan datanglah serombongan orang berkuda. Melihat pakaian mereka, terang bahwa mereka adalah perajurit-perajurit dari Kotaraja, berjumlah duapuluh empat orang, dikepalai oleh seorang setengah tua berusia tigapuluh tahun lebih. Orang ini berpakaian bukan sebagai pakaian perajurit melainkan dilihat dari cara ia berpakaian nampak seperti seorang ahli silat kelas tinggi. Tubuhnya yang besar dan berotot itu menandakan bahwa orang ini ahli tenaga gwakang, sebuah pecut kelihatan di pinggangnya terguling. Nampak kelihatan gagah sekali orang yang menjadi pemimpin rombongan ini. “Minggir! Goan-enghiong (pendekar Goan) datang…….!” teriak orang-orang yang tadinya menonton kebakaran yang sedang berlangsung itu. Sebagian orang sedang sibuk untuk memadamkan api! Orang setengah tua bercambuk hitam itu mengangkat tangan kanannya memberi tanda untuk menyuruh barisannya berhenti. Dia sendiri melompat turun dari atas kudanya dan bertanya kepada salah seorang yang menonton kebakaran gedung Nguyen. “Eh, apa yang terjadi?” Dalam hati orang yang ditanya itu menyumpahi, sialan mentang-mentang kepala pengawal dari kotaraja, memanggil orang tidak ada bahasanya sekali, ha he ha he, sombong betul sialan lu,
186
mentang-mentang! Hu, kalau gua punya kepandaian silat, gua sikat luh, pikirnya. Akan tetapi meskipun hatinya mendongkol ditanya begitu, tentu saja ia tidak mengutarakan kemendongkolannya ini. Ia tahu siapa yang barusan turun dari kuda itu. Makanya dengan muka ditekuk orang itu menyahut: “Gedung Nguyen-loya dibakar, Nguyen-loya dan Nguyen-kongcu dibunuh, semua Ngo-hauw disikat habis! “He, apa kau bilang Nguyen-loya, Nguyen Ci Kiat dibunuh?!” Orang yang ditanya itu mengangguk. Pandangannya melempar ke arah seunggukan api yang masih menjilat-jilat di atas gedung Nguyen. Orang bercambuk itu maju dan memandang pula gedung yang tengah terbakar. Melihat pemandangan ini alisnya berkerut, matanya yang sipit itu terbelalak lebar dan heran menyaksikan gedung yang megah sedang diamuk oleh si jago merah. Melihat pula para ngo-hauw (tukang pukul) menggeletak merintih berusaha untuk merangkak bangun. Tubuh mereka babak belur basah oleh keringat saking panasnya udara hawa di depan gedung yang terbakar. “Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini?” si cambuk hitam bertanya kepada orang sebelahnya. Akan tetapi karena ia bertanya tanpa menoleh, tentu saja orang yang di sebelahnya pun diam saja. Dikira bukan dia yang ditanya.
187
“Ha, budek! Apa kau tidak dengar pertanyaanku?” orang bercambuk itu menoleh dan mendelik menatap orang di sebelahnya. Melihat betapa jagoan kotaraja ini mendelik-delik keruan saja hati orang menjadi dag dig dug jantungnya berloncat sewaktu sekali lagi orang bercambuk itu membentaknya, “Hei tuli! Yang melakukan ini siapa…... siapa orangnya?” “E, anu….. itu si……. no…..” “Kunyuk bicara yang betul!” “O ya, anu sang dewi.” “Sang dewi?” “Ya, ya Kwan-im Posat turun ke bumi menghukum orang-orang durhaka!” “Plak! Dess!” Belum lagi orang itu habis bicara tahu-tahu pipinya terasa pedas dan tubuhnya melayang jauh bergedebuk di tanah, yang becek bekas air-air untuk memadamkan kebakaran. Sekali orang setengah tua yang bercambuk itu meloncat ia sudah mencengkeram tubuh yang penuh tanah becek itu. “Hayo katakan yang benar, siapa yang membunuh Nguyen-loya dan membakar gedung ini kucabut nyawanya!”
188
“Goan-enghiong, aku bicara benar-benar, saya tidak bohong, dewi Kwan-im ngamuk dan membunuh-bunuhi orang-orang, anak buah dan Nguyen-loya…… benar Goan-enghiong biar jangan disambar geledek..... sungguh yang datang itu Kwan-im Posat. Saya lihat sang dewi……” Keruan saja orang yang dipanggil Goan-enghiong itu jadi membelalakan matanya! Apa iya, Kwan-im Posat turun ke bumi? Apakah orang yang mengatakan ini sudah sinting. Masa Kwan-im datang ke sini? Tak masuk diakal! “Lopek (paman tua) apa benar Kwan-im Posat datang?” tanyanya kepada orang tua yang berdiri tidak jauh di situ. Orang tua itu mengangguk-anggukan kepalanya. “Goan-enghiong, si A Miauw ini bicara tidak bohong. Semua penduduk kota Siauw-ling ini tahu, benarlah Posat mengirimkan utusannya berupa seorang gadis remaja cantik yang sakti........” Mendengar perkataan ini tahulah orang yang dipanggil Goan-enghiong itu. Ia seorang pengawal Kotaraja. Murid seorang sakti Bu-beng Siangjin dari pegunungan Thang-la di bukit Harimau. Ia dijuluki si Cambuk Sakti Oey Goan. Ia yang telah malang melintang di dunia kang-ouw dan banyak sudah mengenal tokoh-tokoh dunia persilatan. Baru pertama kali ia mendengar sang Kwan-im muncul di Sauw-ling membunuh Nguyen-loya dan Nguyen-kongcu dan kaki tangannya, siapa lagi kalau yang dimaksud itu seorang gadis kang-ouw yang tentu tidak
189
senang kepada tindakan orang she Nguyen itu. Dan menghajarnya habis-habisan. “Lopek, kau bilang seorang gadis cantik…… apa ia pandai ilmu silat?” “Tentu Goan-enghiong, bakan saja pandai silat akan tetapi sakti dan bisa menghilang…….” si kakek menyahut. “Di mana sekarang gadis itu?” “Entahlah, orang bilang ada yang melihat sang dewi masuk ke dalam gedung yang tengah terbakar dan nggak muncul-muncul dan barusan ada lagi orang yang bercerita katanya sang dewi itu terbang memasuki hutan sebelah sana itu……..” “Cukup! Terima kasih untuk keteranganmu,” berkata demikian si Cambuk Sakti Oey Goan melompat ke atas kudanya dan sekali mengeprakan tali kendali kuda itu mencelat ke arah selatan diikuti oleh anak buahnya. Tujuan Oey Goan adalah mengejar gadis yang dikatakan sang dewi yang terbang memasuki hutan di sebelah selatan kota. Oey Goan membedal kudanya dengan amat cepat sekali dan sebentar saja rombongan berkuda itu telah memasuki hutan. Benar saja dari kejauhan di depan itu nampak seorang gadis berjalan perlahan-lahan. Girang sekali hati Oey Goan. Itulah dia gadis yang disebut dewi! Dengan berseru keras ia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mengejar bayangan di depannya.
190
Memang gadis yang di depan itu adalah Bwe Hwa. Setelah ia memusnahkan manusia Nguyen dan antek-anteknya, sengaja ia tidak menampakkan diri lagi dan di dalam kesimpang siuran orang, yang berusaha hendak memadamkan api tadi, ia berlari cepat menuju ke selatan menggunakan gin-kangnya. Akan tetapi baru saja ia berjalan lambat-lambat sambil menikmati pemandangan alam di hutan lebat itu, tiba-tiba telinganya yang sudah terlatih mendengar derap kaki kuda di belakangnya. Bwe Hwa berhenti dan membalikkan tubuhnya menanti rombongan orang berkuda itu. Si Cambuk Sakti Oey Goan yang sampai lebih dahulu terpaku melihat dara remaja yang cantik ini. Inikah gadis yang telah membunuh Nguyen-loya dan antek-anteknya. Rasanya tak masuk di akal. Gadis yang kelihatannya begini lemah sungguhkah ia dapat mengalahkan Nguyen-kongcu yang setahunya mempunyai kepandaian silat lumayan. Inikah dia yang dikatakan sang dewi itu? “Cuwi (tuan sekalian) ini siapa dan mengapa mengejar-ngejar saja?” Bwe Hwa bertanya seraya manyapu rombongan berkuda yang mendatangi. Hem, orang-orang dari kotaraja, apakah sangkut pautnya dengan Nguyen-loya? “Kaukah yang dikabarkan orang telah membunuh Nguyen-loya dan anaknya dan barusan membakar gedungnya?” Oey Goan bertanya sambil memandang tajam penuh selidik. Ditatap seperti itu Bwe Hwa tersenyum lebar. Tak salah lagi tentu orang ini kaki tangannya. Bagus, kalau memang benar, sekalian
191
saja dibasmi! Membasmi yang jahat harus sampai keakar-akarnya, pikirnya. “Kau ini tentu dari Kotaraja, antek-antek Nguyen Khan si keparat itu?” “Nona mulutmu tajam, jangan sembarang bicara, tidak tahu kau berhadapan dengan siapa?” Oey Goan melangkahkan kakinya menghampiri si gadis. Kudanya dibiarkan di situ berteman dengan rumput-rumput hijau! “Siapa yang tidak tahu, kalau kalian ini pengawal-pengawal dari Kotaraja! Iya kan?” “Benar nona, aku Oey Goan Si Cambuk Sakti pemimpin dari barisan Kotaraja. Benarkah kata penduduk Siauw-ling bahwa engkau yang membunuh Nguyen-loya dan anaknya?” “Kalau benar?” “Maaf, kami harus menangkapmu untuk dibawa ke Kotaraja menanti keputusan hakim yang akan mengadilimu! Hukum pemerintahan berlaku bagi siapa saja yang telah mengacau dan terlebih lagi membunuh orang kepercayaan Gubernur Ie Yen. Kau tahu Nguyen Khan itu adalah orang kepercayaan Gubernur untuk pembangunan-pembangunan di Siauw Ling.” “Tak perduli dia itu kepercayaan setan Neraka sekalipun. Kalau ia jahat dan memeras tenaga rakyat, tetap saja pedangku ini menghakiminya! Pedangku ini yang berbicara......!”
192
“Hemm, nona terlalu tekebur. Akan tetapi perbuatanmu itu sungguh bodoh dan semberono. Usil tangan mencampuri urusan orang, tidak tahu akibatnya!” “Apa aku semberono, usil? Apakah perbuatanku itu tidak pantas menghajar manusia pemeras rakyat, siapapun orangnya jika ia berlaku sewenang-wenang dan membawa keinginan pribadinya sendiri mengandalkan kedudukan dan harta, merugikan banyak orang, membuat sengsara! Tentu aku tak berpeluk tangan.” “Akan tetapi, apakah kau tidak tahu bahwa Nguyen Khan itu adalah orang kepercayaan Gubernur Ie Yen? Hm tindakanmu ini menghancurkan rencana proyek di Siauw-ling! Nona sebaiknya, marilah kau ikut dengan kami untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Menyerahlah nona! Agar supaya kami tidak menggunakan kekerasan kepadamu yang masih begini muda!” Merah muka Bwe Hwa mendengar ucapan yang tidak memandang sebelah mata ini. Ia disuruh menyerah? Apa salahnya? Apa tindakan membunuh manusia Nguyen itu bersalah? Menurut pertimbangannya memang ia patut membasmi manusia-manusia macam Nguyen yang selalu membawa kesengsaraan rakyat jelata. Menurut pendapatnya semua manusia jahat harus dibasmi dari muka bumi ini. Itu tugas seorang kesatria. Tugas seorang pendekar yang membela keadilan dan menentang kejahatan. Sekarang seorang utusan dari kotaraja itu malah menyalahkan perbuatannya? Terlalu. Beribu-ribu orang berlutut di depannya memuliakan dirinya menganggap utusan Kwan-im Posat, eh
193
sekarang si cambuk sakti ini menghinanya menyuruh berlutut. Setan! “Aku berdiri di atas pendirianku sendiri! Siapapun tak bisa menggoyahkan pendapatku. Persetan dengan hukum-hukum negara yang berlaku. Pokoknya aku telah berbuat kebajikan dengan melenyapkan manusia Nguyen. Tok! Habis perkara. Tak perduli kau ini barisan dari kotaraja atau dari Setan Neraka sekalipun, tak sudi aku berlutut dan menyerah. Aku tak bersalah, mengapa aku mesti ditangkap seperti orang nyolong ayam?” Berkata demikian Bwe Hwa meraba gagang pedangnya. Sedetik terdengar berdesing pedang tercabut. Melintang di depan dada, tahulah Oey Goan tak mungkin ia membujuk gadis ini dengan halus. Cara satu-satunya, menentukan di atas senjata pula. Oey Goan melolos cambuk hitamnya. Geraknya itu dibarengi meloncat keduapuluh tiga anak buahnya dari atas punggung kuda. Pedang dan golok berkelebat ketika lepas dari sarungnya. Dan sebentar itu pula Bwe Hwa sudah dikurung dengan ketat. “Kalau begitu terpaksa kami menggunakan kekerasan kepadamu! Harap kau tidak menganggap kami keterlaluan nona, tugas akan kami selesaikan dengan jalan apapun!!” “Setan! Mau tangkap aku tangkaplah kalau bisa, mengapa cerewet betul kaya mulut orang perempuan?” “Goan-enghiong, kita tawan saja gadis ini dan kita serahkan pada Gubernur Ie Yen, habis perkara!” berkata salah seorang perajurit sambil memegang goloknya.
194
“Betul, kita tawan dia. Tangkap hidup-hidup!!” si Kumis Melintang menyambung dan mengeluarkan ruyung bajanya. Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar salah seorang berseru: “Bong-goanswee datang!” “Hee....... hee ada apakah kalian ribut-ribut di sini dan nona ini siapakah??” Datang-datang orang yang berpakaian seperti seorang jenderal bertanya dengan pandangan mata menyelidik ke arah Bwe Hwa. Bersamaan munculnya orang tua yang berpakaian jenderal itu, di belakangnya mendatangi pula seorang pendeta, dan seorang hweesio tua yang berusia sedikitnya tujuhpuluhan tahun, bermuka hitam dan cacad bekas korban penyakit cacar. Biarpun mukanya bopeng dan buruk namun mata hwesio itu membayang budi dan kesabaran seorang pendeta yang sudah masak jiwanya. Hwesio itu membawa sebatang tongkat kuning, ia berdiri tegak di samping seorang tua yang dipanggil Bong-goanswe (jenderal Bong). “Bong-goanswe, gadis inilah yang mengacau Siauw-ling dan membunuh Nguyen Khan dan keluarganya. Malah gedung besarnya Nguyen Khan dibakarnya pula. Kami hendak menangkap gadis itu dan menyerahkan kepada Gubernur Ie Yen. Harap goanswe menjadi tahu adanya…...!” Orang setengah tua iang berjuluk si Cambuk Sakti itu melapor kepada atasannya dengan sikap menghormat sekali. Tentu saja semua perajurit, tahu siapa Bong-goanswe ini. Dia adalah bekas
195
seorang pertapa. Sute dari Bu-beng Sianjin yang mempunyai kepandaian lihay dan luar biasa. Lain dengan Bu-beng Sianjin yang itu. Kalau Bu-beng Sianjin ini selalu mengasingkan diri dan memperdalam ilmu kebathinan di puncak Thang-la, adalah Bong Bong Sianjin ini haus akan harta dan kemuliaan, dan karena kepandaiannya yang tinggi itu Bong Bong Sianjin berhasil mengalahkan pahlawan-pahlawan nomor satu di istana dan oleh kaisar diangkat menjadi Jenderal sebagai kepala pengawal Kaisar yang berkedudukan amat tinggi dan dikenal sebagai Bong-goanswe. Dan hwesio yang bermuka buruk bopeng, yang kelihatannya seperti hwesio alim dan suci itu adalah Hok Losu, seorang tokoh tingkat tiga dari Siauw-lim-pay, berkepandaian amat tinggi dan lihay. Adapun orang yang berjalan di belakang dan sekarang telah berdiri pula di samping Hok Losu, bukan orang sembarangan pula melainkan tokoh dari Kong-thong-pay yang bernama Lek Ek Cu. Dua orang ini adalah kawan baik orang tua Hok Losu dan karena tertarik akan kedudukan tinggi, maka ke dua tokoh dari Siauw-lim-pay dan Kong-thong-pay ini dapat dibujuk oleh Hok Losu untuk tinggal di istana sebagai pembantu Kaisar, Pengawal kelas tinggi. Tiga orang tua itu memandang ke arah Bwe Hwa dengan pandangan menyelidik. Sekali lihat saja tahulah Bong-goanswe bahwa kepandaian gadis ini tidak di bawah dari si Cambuk Sakti Oey Goan tingkat kepandaiannya. Oleh karena itulah ia berkata kepada Oey Goan,
196
“Seret dia dan bawalah ke Kotaraja. Biar Gubernur Ie Yen yang akan mengadilinya,” berkata begitu Bong-gwanswe minggir dan berkata kepada dua orang temannya, “Cuma gadis cilik saja yang mengacau tak perlu kita turun tangan!” “Goanswe, kulihat gadis ini bukan gadis sembarangan, jangan dipandang enteng. Entah apakah Oey Goan dapat menandinginya?” nyeletuk hwesio Siauw-lim-pay yang bernama Hok losu itu sambil mengetuk tongkatnya di tanah. Seperti juga Bong-goanswe, ia juga duduk di atas batu yang menonjol di situ, diikuti oleh Leng Ek Cu tokoh Kong-tong-pay. Sementara itu, Oey Goan panas perutnya disindir oleh hwesio muka hitam. Ia melirik kepada Lo-suhu itu dan kemudian menghampiri Bwe Hwa yang sudah siap dengan pedang di tangan. “Nona, sekali lagi menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan. Aku yang tua sebetulnya segan melayani gadis muda seperti engkau ini!” Si Cambuk Sakti Oey Goan mengeluarkan cambuknya yang tadi melingkar di pinggang. Ia tahu bahwa gadis ini tidak boleh dibuat gegabah maka ia berlaku hati-hati dan tidak ingin memandang ringan lawannya. Sebentar itu pula terdengar cambuk hitam di tangannya melecut tiga kali. “Menentang kelaliman adalah tugas setiap orang yang menjunjung kebenaran. Lagi pula, aku tidak merasa bersalah, untuk apa hendak menyerah? Majulah kalian. Hemm, apakah hendak main keroyokan?” tantang Bwe Hwa dengan suara ketus sambil melirik ke kanan dan ke kiri melemparkan pandang ke arah, duapuluh tiga
197
orang perajurit-perajurit pilihan yang sudah bersiap-siap dengan senjata di tangan. Tinggal menanti komando saja. Oey Goan tersinggung mendengar perkataan gadis muda ini. Tangannya bergerak memberi aba-aba untuk mundur kepada anak buahnya. Dan ia sendiri maju sambil membentak: “Bocah tak tahu diri, aku bukan pengecut yang beraninya main keroyokan. Jangan kuatir anak buahku hanya menonton dan akulah yang menanganimu…….” “Begitu baru gagah Cambuk Sakti, nah majulah! Bukankah kalian hendak menangkapku. Majulah, keroyoklah aku, itu si tua-tua mengapa tidak maju sekalian? Hm, baru sekarang aku tahu seorang hwesio yang seharusnya tekun dengan kitab suci, kini berpaling menjadi lintah-lintah darat pemeras rakyat. Majulah. Hayo tangkaplah hidup-hidup. Ini aku murid Swie It Tianglo dari Tiang-pek-san. Demi keadilan dan kebenaran takkan mundur setapakpun. “Tar tar tar!” cambuk di tangan Oey Goan melecut di udara: “Bocah sombong. Lancang mulut..... berani kau membuka mulut besar di depan Losuhu dari Siauw-lim. Apakah kau tidak kenal dengan Losuhu Hok Losu yang sakti? Keparat, mesti dihajar kau!” “Tak perduli si tua Hok Losu atau Hok Setan kalau menyeleweng, pedangku ini yang akan mengadilinya!” “Mulut lantang, mampuslah!” pecut baja di tangan Oey Goan meluncur menotok ke tiga bagian jalan darah di tubuh si gadis.
198
Terkejut juga Bwe Hwa melihat serangan cambuk yang tadinya lemas kini menjadi kaku seperti batang tongkat kecil meluncur menghantam iga dan bagian dadanya. Tahulah ia bahwa lawannya ini mempunyai tenaga lwekang yang tidak boleh dipandang ringan. Dengan gerakan cepat ia miringkan kepala dan menyampok dengan pedangnya, “Tar tar tar”, tahu cambuk yang tadinya keras itu membalik menjadi lemas hendak membelit pedangnya. Tentu saja Bwe Hwa tak ingin pedangnya menjadi sasaran lilitan pedang. Maka dengin gerakan jurus Membabat Rumput Melempar Batu, pedangnya ditarik dan menyabet ujung pecut yang hendak melilit itu. Dan kaget bukan main Bwe Hwa merasa pedangnya terlempar begitu bertemu dengan cambuk lawan. Kalau saja ia tidak kuat-kuat menggenggam pedangnya tentu senjatanya itu, akan terlepas dari genggamannya. Tahulah ia bahwa lawannya ini mempunyai tenaga lwekang yang cukup tinggi. “Bagus!” tak terasa lagi Bwe Hwa berseru mengagumi gerakan-gerakan cambuk yang bergulung-gulung seperti awan hitam yang hendak menyelubungi dirinya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa lawannya ini adalah murid seorang sakti pertapa Bu-beng Sianjin yang telah menurunkan ilmu bermain cambuk yang disebut Liong-kut-pian yang kadang-kadang bisa menjadi lemas dan kadang-kadang menjadi keras seperti tongkat. Untuk berbuat itu saja orang yang memainkan harus mempunyai tenaga lweekang yang cukup tinggi. Kalau tidak mana mampu
199
membuat cambuk yang demikian lemas itu menjadi keras seperti batang tongkat. Memang Oey Goan ini sejak ia pernah dikalahkan oleh Swie It Tianglo empat tahun yang lalu, ia semakin tekun melatih diri dengan ilmu cambuk Liong-kut-pian di bukit Harimau atas petunjuk-petunjuk Bu-beng Siangjin. Tentu saja si Cambuk Sakti empat tahun yang lalu jauh berbeda dengan si Cambuk Sakti sekarang. Lingkaran-lingkaran cambuknya semakin kuat dan mantap merupakan segulungan awan hitam yang kokoh dan sulit ditembusi oleh pedang Bwe Hwa yang merasa kewalahan menghadapi orang yang tidak disangkanya mempunyai kepandaian demikian hebat. Akan tetapi tentu saja Bwe Hwa tidak gampang-gampang harus menyerah. Percuma ia hampir empat tahun itu digembleng oleh mendiang suhunya di Tiang-pek-san kalau melayani Oey Goan saja ia harus gampang-gampang kalah. Ia sudah mewarisi ilmu pedang Tiang-pek-kiam-sut dari Tiang-pek-pay dan ilmu Pek-in-kang di tangan kiri. Oleh karenanya, bagi Oey Goan juga sulit untuk mengalahkan gadis ini. Pukulan-pukulan tangan kiri Bwe Hwa menggetarkan cambuknya. Tentu saja bagi Bwe Hwa juga sulit memukul lawan dengan jarak jauh begini, sebab lawannya ini berdiri sejauh satu tombak sambil memainkan cambuknya. Hebat sekali pertempuran dua orang ini. Pukulan Bwe Hwa dengan tangan kiri yang menggunakan hawa Pek-in-kang, tak berani Oey Goan menerimanya secara langsung.
200
Ia dapat melihat betapa tangan gadis itu menjadi putih mengeluarkan uap, tanda bahwa pukulan itu mengandung hawa im-kang yang amat hebat sekali. Beberapa kali cambuknya terbentur membalik ke belakang apabila kesentuh tangan kiri yang lihay dari gadis yang masih begitu muda. Ia merasa sangat penasaran sekali, masakah ia yang telah mendapat julukan si Cambuk Sakti, kini menghadapi gadis muda saja harus mengaku kalah? Rasa penasaran ini membuat ia mainkan cambuknya lebih sungguh-sungguh lagi. Kalau tadi ia menganggap ringan terhadap gadis muda itu, namun sekarang tahulah ia bahwa kalau tidak menyerang sungguh-sungguh terhadap lawannya, tentu dalam waktu yang singkat, ia akan dikalahkan. Dan itu membuat malu di depan anak buahnya. Dan tentunya namanya akan jatuh merosot sebagai kepala barisan. Cepat laksana kilat Oey Goan memutar cambuknya, digetarkan hingga ujungnya berubah menjadi belasan batang, kesemuanya menyerang dengan totokan maut ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Melihat penyerangan yang luar biasa ini, Bwe Hwa mengeluarkan suara melengking tinggi dari kerongkongannya merupakan jeritan maut yang merampas semangat lawan. Inilah pengerahan sin-kang yang istimewa, sebuah ilmu kesaktian yang ia terima dari mendiang Swie It Tianglo, gurunya! Sebuah ilmu jeritan yang dikerahkan oleh tenaga sin-kang sepenuhnya yang dapat menggetarkan jantung lawan. Kalau saja
201
gurunya mengeluarkan jeritan ini, agaknya tak tahan kiranya si Cambuk Sakti menerimanya. Inilah jeritan maut. Namun Oey Goan juga bukan orang bodoh yang baru pertama kali menghadapi pertempuran tingkat tinggi. Ia tahu betul bahwa itulah penyerangan suara yang dikirim melalui jeritan perampas semangat. Segera ia memusatkan hawa murni dan mengerahkan sin-kang di perut, menjerit pula seperti gadis itu. Sambil melengking Bwe Hwa menggerakkan pedangnya yang menerobos masuk di antara putaran-putaran cambuk lawannya itu. Terdengar suara keras ketika pedang di tangan Bwe Hwa menjadi patah-patah terhantam pukulan sabetan cambuk yang terbuat dari baja dan dikerahkan oleh tenaga sin-kang yang tinggi. Pedang Bwe Hwa patah-patah menjadi tiga potong akan tetapi dibarengi jeritan tertahan dari si Cambuk Sakti ketika merasa tubuhnya tahu-tahu terlempar jauh terhantam pukulan tangan kiri Bwe Hwa yang menggunakan hawa Pek-in-kang. Hebat sekali pukulan ini, tadi selagi si Cambuk Sakti Oey Goan kegirangan melihat pedang lawan terhantam cambuknya dan patah-patah dan dalam kelemahan inilah sebuah pukulan tangan kiri Bwe Hwa menerobos masuk menggunakan hawa Pek-in-kang. Terkejut bukan main Oey Goan, cepat ia membanting diri ke belakang dan miringkan tubuh menghindari pukulan dahsyat itu. Akan tetapi tetap saja pundaknya terhantam hawa pukulan Bwe Hwa hingga tak ampun lagi bagaikan daun kering yang tertiup angin besar, tubuh Oey Goan melayang terlempar jauh. Pundak kirinya patah terhantam hawa pukulan yang dahsyat itu, Oey Goan
202
meringis menahan nyeri di pundak. Cambuknya terlepas dari pegangan tangannya entah kemana. “Omitohud, sungguh ganas dan lihay, entah murid siapa gadis ini,” suara yang halus terdengar dari belakang Bwe Hwa dengan diiringi angin lembut menyambar dari belakang. Terkejut bukan main dia, cepat ia membuang diri ke samping dan sebuah pohon di depan hancur berantakan terhantam pukulan yang kelihatan lembut itu. Terdengar suara “Brak, brakkkk” robohlah pohon sebesar pelukan manusia itu. Bergidik Bwe Hwa. Begitu ia membalikkan diri dilihatnya Hok Losu yang sudah berdiri di belakangnya dengan tubuh doyong-doyong seperti hendak jatuh! “Lo-suhu tahan!” Bong-goanswe atau yang mulanya kita kenal sebagai Bong Bong Sianjin berdiri dan menghampiri Bwe Hwa. Melihat orang tua yang berpakaian seperti seorang jenderal ini menghampiri dirinya, Bwe Hwa memandang tajam dan bertanya: “Orang tua, siapakah engkau??” Bong Bong Sianjin tertawa lebar: “Nona, tadi kau bilang apa?? Kau murid Swie It Tianglo…..?” “Orang tua, memang benar aku muridnya Swie It Tianglo, kau ini orang tua berpangkat jenderal, apa-apaan berkeliaran di hutan dengan membawa-bawa hwesio tua renta. Hm! pantas, rupanya kau orangnya pemerintah, yaa? Tukang peras rakyat, yaa? Bagus, coba kau lihat, jagoanmu si Cambuk Sakti sudah keok di tanganku. Apa kau orang tua, masih merasa penasaran?”
203
“Gadis binal bermulut lancang. Tidak tahukah engkau sedang berhadapan dengan siapa?” ujar Bong Bong Sianjin sambil melangkah setindak. Bwe Hwa menatap orang tua berpakaian jenderal ini, terkejut ia melihat tatapan mata si jenderal yang begitu tajam menusuk. Tahulah ia lawannya kali ini adalah seorang ahli lweekeh. Aku harus berlaku waspada, demikian pikirnya. “Jenderal tai !! Siapa yang tidak tahu kau seorang jenderal yang pintar menakut-nakuti rakyat jelata!!” “Bocah tidak kenal tingginya gunung Thay-san dan dalamnya laut Po-hay. Gadis binal, bukalah lebar-lebar telingamu. Aku adalah Bong-gwanswe atau sebelumnya dikenal dengan sebutan Bong Bong Sianjin!” “Apa?” Bwe Hwa membelalak memandang orang tua yang berpakaian jenderal itu. Memandang dari bawah sampai ke atas. Memandang sepatu jenderal yang mengkilap dan ke atas baju jenderal yang keren dan angkuh, melihat pula topi kebesaran di atas kepala itu. Tanda pangkat bintang jasa di pundak itu. Inikah dia Bong Bong Sianjin yang dicari-cari? Pedang di tangan Bwe Hwa menggigil. Terangkat naik menghunus jenderal Bong yang dikenalnya sebagai Bong Bong Sianjin, musuh besarnya. “Hemm. jadi engkau inikah manusianya yang telah membunuh suhu Swie It Tianglo?”
204
“Ha ha ha!” Bong Bong Siangjin tertawa. “Engkau nona, akulah Bong Bong yang telah menuntut balas kematian muridku di tangan gurumu. Kukira macam apa manusia Swie It Tianglo itu, kiranya cuma cacing tanah saja yang sekali injak sudah mampus!” “Kepada kau pembunuh guruku. Musuh besarku. Jahanam! Makan pedang!” Sambil membentak Bwe Hwa maju menyerang, kali ini ia memperlihatkan gin-kangnya. Sekali ke dua kakinya menjejak tanah, tubuhnya melayang terbang ke arah Bong Bong Sianjin atau Bong-goanswe itu, pedangnya diputar-putar di depannya, berubah menjadi segulung sinar perak, yang diiringi dengan serangan bentakannya yang nyaring memaki lawannya kalang kabut. Bong Bong Sianjin maklum akan kelihayan gadis murid mendiang Swie It Tianglo ini, tentu saja ia tidak takut kepada gadis yang dianggapnya masih hijau itu, boleh jadi Oey Goan kalah di tangan gadis liar itu, tetapi sekarang menghadapi Bong Bong Sianjin, Bwe Hwa seakan-akan bertemu dengan kakek gurunya. Semakin sengit ia memainkan jurus-jurus Tiang-pek-kiam-sut semakin cepat pula bayangan-bayangan Bong Bong Sianjin berkelebat menghindarkan serangan pedang. Seakan-akan pedangnya menghadapi bayangan sendiri, dan sukar untuk ditembusi. Panas sekali hati gadis itu melihat kelihayan musuh besarnya itu yang belum membalas menyerang hanya mengelak saja. Masa ia diganda mengelak oleh Bong Bong Sianjin keparat! bentak gadis itu dalam hati. “He he he, nona, kau menyerahlah dan berlutut tujuh kali di depan kakiku, baru aku memberi ampun kepadamu!” Bong Bong Sianjin
205
mengejek sambil menghindarkan sabetan pedang si gadis, suara berdesing di dekat telinganya. “Iblis dedemit, setan! Jenderal keparat, mampuslah kau!” bentak gadis itu mengirim ilmu pukulan Pek-in-kang di tangan kiri, Bong Bong Sianjin tertawa mengangkat tangannya menangkis pukulan tangan kiri lawan. Melihat bahwa orang tua ini menangkis tangan kirinya segera Bwe Hwa mengerahkan hawa Pek-ie-jiu dan Pek-in-kang di tangan kiri itu dan menekan tangan Bong Bong Sianjin yang menangkis. “Minggatlah kau, jenderal taik!” “Dess!” Bukan tubuh Bong Bong Sianjin yang terlempar oleh pukulan dahsyat Bwe Hwa, melainkan dia sendiri yang terlempar tinggi melayang di udara. Akan tetapi pada saat tubuh itu melayang-layang, berkelebat sesosok tubuh lain dengan gesitnya menyambar tubuh Bwe Hwa yang telah pingsan. Terdengar suara itu memanggil nama si gadis dengan panggilan mesra. “Bwe Hwa moay-moay......” Amat cepat sekali gerakan orang yang baru datang itu dan tahu-tahu tubuh Bwe Hwa sudah berada dalam pelukannya. Ternyata yang menolong Bwe Hwa adalah seorang pemuda berpakaian putih sederhana berusia sekitar duapuluh tahun, wajahnya nampak agak pucat, akan tetapi sepasang mata itu memancarkan cahaya berapi-api penuh kemarahan kepada Bong Bong Sianjin. “Siapa kau?” Bong Bong Sianjin bertanya sambil menatap tajam ke arah pemuda berpakaian putih sederhana, yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kemarahan.
206
“Bagus! Dicari ke mana-mana tidak bertemu, kebetulan sekali Bong Bong Sianjin. Engkaulah yang telah membunuh suhu Swie It Tianglo di puncak Tiang-pek-san tempo hari?” Pemuda sederhana itu menghampiri maju dua langkah, sementara Bwe Hwa yang masih pingsan disenderkannya di batang pohon. Ia tidak kuatir akan keselamatan gadis itu, karena ia tahu kalau gadis itu hanya pingsan saja tidak terluka. “Siapa kau dan apa hubunganmu dengan Swie It Tianglo yang sudah mampus itu?” “Bong Bong Sianjin, manusia keparat! Buka telingamu lebar-lebar, dengar! Aku dan gadis tadi adalah murid-murid mendiang suhu Swie It Tianglo. Atau akan mewakili guruku memberi hukuman kepadamu, bersiaplah engkau untuk terima binasa!” <> Pemuda itu bukan lain adalah Liok Kong In, murid pertama dari Swie It Tianglo yang telah meninggal di tangan Bong Bong Sianjin itu. Seperti kita ketahui di bagian depan pada jilid pertama cerita ini, Liok Kong In yang sesungguhnya Bwe Hwa tidak sampai hati membiarkan gadis itu turun gunung setelah terjadi tragedi di tengah pematang sawah itu. Maka melihat gadis itu berkelebat pergi, tak lama kemudian Kong In pun menyusul jejak gadis itu. Namun karena Bwe Hwa berlari dengan amat cepatnya dan lagi mengambil jalan gunung yang amat sukar, maka sampai berpekan-pekan, Kong In kehilangan jejak Bwe Hwa. Namun ia masih terus membuntuti gadis itu dan bertanya-tanya kepada penduduk dusun yang kebetulan ditemui.
207
Dalam pertarungannya mengikuti Bwe Hwa itu, dalam hati Kong In selalu bertanya-tanya dan heran mengapa Bwe Hwa sampai membuntungi lengan sam-suhengnya yang bernama Sung Tiang Le. Rasanya tak masuk diakal. Mana mungkin Tiang Le dapat dikalahkan oleh Bwe Hwa atau apakah Tiang Le sudah menjadi demikian sinting membiarkan lengannya buntung disambar pedang Bwe Hwa, atau apakah Tiang Le tidak melawan? Pusing Kong In memikirkan kejadian ini. Ia tak mengerti apa gerangan yang telah terjadi antara Bwe Hwa dan Tiang Le, sayang ia datang terlambat ke tempat itu. Sehingga kejadian itu sudah lewat terjadi. Dan ia tidak melihat lagi Tiang Le yang sudah buntung lengannya. Hanya ia merasa yakin bahwa tentu Tiang Le terluka hebat, ia melihat darah menggenang di air yang membanjir sampai ke kakinya itu. Akan tetapi Tiang Le tidak kelihatan entah kemana. Oleh karena itulah sepanjang perjalanannya mengejar Bwe Hwa ia juga bertanya kalau-kalau ada pemuda yang buntung lengannya. Namun orang ditanya selalu tidak dapat memberi jawaban yang memastikan. Pada suatu hari sampailah Kong In di Kota Siauw-ling. Dan alangkah herannya ia melihat sebuah gedung yang besar di dalam kota itu sudah habis terbakar. Tadinya ia tidak mengambil perduli tentang gedung yang terbakar itu, tidak heran memang di musim kemarau yang panjang ini sering sekali terjadi kebakaran-kebakaran. Akan tetapi yang menarik hatinya, adalah tentang pembakaran gedung itu.
208
Ia mendengar orang-orang berbicara bahwa gedung yang megah milik Nguyen-loya itu habis dibakar oleh dewi Kwan-im yang datang memberi hukuman kepada Nguyen-loya, semua penghuni gedung itu didapati telah mati, Nguyen-loya dan Nguyen-kongcu didapati sudah mati dengan kepala terpisah dari badannya. Semua para ngo-hauw (tukang pukul) pada terluka hebat dan malah ada yang mau di tempat itu juga. Seorang setengah tua yang memang dolan sekali bercerita mengatakan bahwa sang dewi dilihatnya menghilang terbang ke hutan sebelah selatan kota. Tentu saja Kong In yang tidak percaya akan berita tentang sang dewi mengejarnya ke dalam hutan yang dikatakan orang tua itu. Ia memang tidak percaya, masakah Kwan-im Posat demikian ganas membakar dan membunuh? Setahunya sang Kwan-im itu adalah seorang dewi welas asih yang pantang berbuat sekejam itu. Ia tidak percaya. Oleh sebab itulah dia mengejar terus. Dan justru karena kedatangannya itulah yang menolong Bwe Hwa dari cengkraman Bong Bong Sianjin. Ia tak pernah menduga bahwa gadis itu adalah Bwe Hwa yang selama ini tengah dicari. Dan orang yang berpakaian seperti jenderal itu, Bong Bong Sianjin! Pembunuh gurunya! Ia harus membalas kematian suhunya! Dengan geram ia maju. Sedikitpun ia tidak gentar kepada sang jenderal ini. Ia percaya akan kepandaiannya! Sementara itu Bong Bong Sianjin yang tadinya terkejutnya kini tertawa mengejek, “Bagus! Kalau begitu aku tidak boleh bekerja
209
kepalang tanggung. Membasmi pohon harus keakar-akarnya, ha ha ha! Eh, orang muda murid Swie It, engkau hendak membalas kematian gurumu, dengan cara apakah?” “Dengan cara ini!” “Singg!” Suara pedang berdesing dicabut Kong In. Pedang itu melintang di depan dada. “Ho ho ha ha, bocah masih ingusan berani berlaku kurang ajar di depanku...... he he he. Untuk hukuman ini saja kau harus berlutut tujuhpuluh tujuh kali tujuh di depanku, baru aku mau ampunkan engkau! Masih muda tak baik kalau dilenyapkan..... kalau kau mau berlutut, aku akan mengampunimu dan gadis sumoaymu itu serahkan kepadaku untuk menjadi..... isteriku, ha ha ha!” “Keparat bermulut cabul, mampuslah kau!” sambil berseru keras Liok Kong In sudah menerjang maju, tangannya menghantam dan sinar perak pedang berkelebat menyambar leher Bong Bong Sianjin dan tangan kirinya bergerak berbareng dengan mengerahkan Pek-lek-jiu yang mengeluarkan uap putih itu bergulung menyambar dada lawan di depannya. Bong Bong Sianjin mendengus mengejek melihat serangan pedang dan pukulan orang muda ini. Pukulan ini pernah ia rasai kelihayannya waktu ia menanding mendiang Swie It Tianglo setahun yang lalu, dan pedang itu berkelebat melingkar adalah jurus-jurus dari Tiang-pek-kiam-sut. Ia kenal sekali kelihayan pedang ini. Akan tetapi menghadapi pedang di tangan pemuda ini, mana ia memandang sebelah mata?
210
Jangankan orang muda ini biarpun Swie It Tianglo yang menerjang maju, ia masih ganda tertawa! Kong In terkejut dan girang melihat lawannya tidak menangkis tangan kirinya. Dengan mengerahkan hawa Pek-in-kang, ia menekan dan mendorong dada musuhnya dengan sekuat hawa saktinya, sedangkan pedangnya menusuk yang pertama itu merupakan pancingan dan telah ditarik kembali. Seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah tangan kiri yang mendorong. “Ha ha ha, orang muda. Kalau sekarang gurumu masih hidup, ingin aku mencobanya dengan ilmuku yang baru! Akan tetapi sayang sekali dia sekali injak sudah mampus dan belum sempat kukeluarkan jurusku ini. Dan sekarang kaulah gantinya. Ha ha ha, ingin sekali kulihat hasiInya. Kau terimalah!” Tubuh yang miring itu, tiba-tiba bergerak dan tangannya yang panjang mengirimkan pukulan berputar dan akhirnya bertemu dengan telapak tangan kiri Kong In yang menyerang dengan jari terbuka pula. Hebat bukan main pukulan ini. Angin pukulan berdesir menimbulkan suara berciutan. Memang kali ini Bong Bong Sianjin mengerahkan tenaganya untuk pameran saja, juga dalam kegemasannya untuk melemparkan bocah murid Swie It Tianglo. Melihat betapa hebatnya sambaran pukulan dengan tubuh setengah miring ini, Kong In tidak berani memandang ringan. Ia maklum betapa pukulan lawannya ini amat dahsyat sekali dan terasa hawa panas menyambar dengan amat kuatnya. Akan tetapi tanpa menahan pukulan dengan tangkisan, ia juga tidak akan dapat mengukur sampai dimana kehebatan tenaga
211
lawan. Dan lagi memang ia sudah bersiap menyerang dengan pukulan Pek-lek-jiu di tangan kiri dan membarengi dengan sabetan pedang menyambar pukulan tangan lawan yang berhawa panas itu. “Desss, krakkk!” Dua telapak tangan bertemu dan tahu-tahu, seperti Bwe Hwa tadi tubuh Kong In terlempar keras membentur batu tangga mengeluarkan suara keras berdebuk. Kong In kaget setengah mati. Pukulan apa ini? Tiba-tiba dirasakannya kepala pening berdenyut-denyut dan tulang belakangnya sakit dan nyeri. Tahulah ia bahwa tulang belakangnya patah terhantam batu yang selagi ia terlempar tadi. Untung saja tadi ia mengerahkan sin-kang di dada waktu dirasakan segumpal hawa panas menyerang dadanya. Kalau tidak cepat-cepat ia mengerahkan hawa di perut dan terus disalurkan ke bagian dadanya, celaka, tentu dadanya sudah remuk-remuk terhantam pukulan dari Bong Bong Sianjin. Kong In menahan rasa nyeri di tulang belakang. Wajahnya pucat seperti kertas. Ia memandang terbelalak kepada Bong Bong Sianjin yang tertawa mengejek. Begitu melirik, ternyata pedangnyapun telah patah menjadi tiga potong dan masih terpegang olehnya tinggal gagangnya saja. “He he he, mana kau mampu menahan pukulanku, bocah? Itu baru sepersepuluh bagian saja........ ha ha ha!” Bong Bong Sianjin mengejek. Selangkah ia maju manghampiri Kong In yang masih menggeletak bergerak hendak bangun.
212
Pada saat itu terdengar suara nyaring: “It-suheng, bagus kau sudah datang, hayo kita mampusin jenderal keparat yang telah membunuh suhu!” Serangkum hawa dingin menyambar belakang Bong Bong Sianjin. Orang tua berpakaian jenderal itu mengebutkan jubahnya sambil membentak, “Gadis binal tak tahu diri, minggat!” Dan tahu-tahu bagaikan diangkat oleh tenaga yang amat luar biasa, tubuh Bwe Hwa terlempar ke samping dan jatuh di dekat Kong In. Ternyata tadi Bwe Hwa yang sudah siuman, melancarkan pukulan Pek-lek-jiu kepada musuhnya yang tengah membelakanginya ini, akan tetapi siapa sangka Bong Bong Sianjin dengan sekali mengebutkan ujung jubahnya tahu-tahu tubuhnya telah terlempar ke samping. Kong In maklum bahwa musuh besar suhunya ini demikian lihay dan pantas saja suhunya tidak dapat menandinginya. Tidak tahunya, lawannya ini demikian sakti. Akan tetapi ia sudah bertekad akan menempur musuh suhunya sampai titik darah yang terakhir, mati pun tidak mengapa. Kong In dengan susah payah merangkak bangun, terhuyung-huyung ia berdiri. Bwe Hwa juga berdiri di samping suhengnya dan mengepalkan ke dua tinjunya. Selangkah Kong In maju, gemetar kakinya karena menahan rasa sakitnya yang hebat di punggung. “Bong Bong Sianjin, demi arwah suhu Swie It Tianglo, aku mengadu jiwa denganmu!”
213
“Benar suheng, akupun mempertaruhkan nyawaku untuk membalas rasa penasaran suhu. Demi langit dan bumi kita ganyang si tua jenderal keparat itu!” “Bocah sombong! melawan cacing seperti engkau apa susahnya, akan tetapi..... he he he, yang betina ini cantik dan menarik, sayang untuk dibunuh! Biar yang jantan saja mampus!” Sepasang lengan jenderal Bong Bong Siangjin itu bergerak dan dari kanan kiri menyambar angin pukulan dahsyat dari dua jurusan. Kong In yang sudah marah menerjang maju. Dua telapak tangan terbuka mencengkeram Bong Bong Siangjin bersamaan dengan berkelebatnya pula tubuh Bwe Hwa mengirim pukulan-pukulan Pek-in-kang ke arah lawannya yang berputar-putar itu. Kong In terkejut sekali ketika tiba-tiba diserang oleh angin pukulan dari dua jurusan, akan tetapi melihat betapa ke dua lengan Bong Bong Sianjin bergerak begitu lambat dan memberi kesempatan pukulannya bersarang di dada, dengan gemas ia mengerahkan lwekang sepenuhnya di ke dua jari tangannya dan bergerak mencengkeram. Tentu saja perbuatan ini diikuti olen Bwe Hwa yang juga dapat melihat lowongan yang terbuka di bawah ketiak lawannya yang terangkat itu. Dengan bernapsu Bwe Hwa menerjang dengan kedua tangan memukul ketiak dan kedua kakinya mengirim tendangan beruntun. Hebat sekali serangan-serangan dari dua orang muda ini. Pakaian kebesaran Bong Bong Sianjin nampak berkibar-kibar ketika dia
214
mencelat menghindarkan tendangan Bwe Hwa, akan tetapi ujung jubahnya memapaki pukulan-pukulan ke dua orang muda itu. “Bong-sicu tahan……!” seruan itu keluar dari mulut Hok Losu yang terkejut melihat pukulan kedua orang muda itu tertangkap oleh ujung jubah Bong Bong Sianjin dan sekali tangan itu bergerak melempar, bagaikan dua helai daun yang tertiup angin terbang dengan amat cepatnya. Tak dapat dielakkan lagi, sebuah jurang yang menganga disampingnya menerima tubuh ke dua orang muda yang seketika itu pula sudah tidak sadarkan diri. Terkesiap hwesio tua dari Siauw-lim ini, tadinya ia hendak bergerak menolong tubuh yang meluncur musuk ke dalam jurang yang amat dalam itu, namun terlambat, kedua tubuh itu sudah terlempar dengan cepatnya. “Mereka mencari penyakit sendiri!” gerutu Bong Bong Sianjin sambil mengebas-ngebaskan jubahnya. Sebetulnya tidak enak ia berbuat demikian, tidak disangkanya apabila pukulannya yang bernama Hui-thian-jip-te (melempar ke langit masuk kebumi) itu demikian dahsyat. Ia tidak menduganya!! “Hebat pukulan apa itu Bong-sicu?” Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pay bertanya. Bong Bong Sianjin tersenyum pahit. Meloncat ke atas kudanya dan berkatalah ia kepada Oey Goan yang sejak tadi menonton saja: “Sudah beres, tunggu apa lagi! Dua orang muda itu sudah mampus di tanganku. Katakan saja sama Gubernur Ih Yen, Bong-goanswe sudah memberi hukuman!”
215
“Baik Goan-swe!” Oey Goan menggeprakan kudanya dan diikuti oleh anak buahnya. Di hutan itu tinggal Bong Bong Sianjin dan Hok Losu dan Leng Ek Cu yang masih berjalan perlahan-lahan. Pada saat itu berkelebat bayangan merah, disusul suara keras dan Bong Bong Sianjin mencelat ke samping sambil mengibaskan jubahnya: “Bret!” putuslah jubah itu terhantam sabetan pedang yang ampuh dan tajam di tangan seorang gadis berpakaian serba merah dan mukanya tertutup kerudung sampai dibatas hidung. Kerudung sutera yang menutupi muka itu berwarna hitam dan sepasang mata gadis dari balik kerudung itu menatapnya dengan sinar mata mengancam. “Bong Bong Sianjin, bagus kiranya kau berada di sini dan berlaku keji terhadap dua orang muda tadi. Cobalah pedangku!” Gadis baju merah berkerudung sutera itu menerjang lagi, lebih ganas dan lebih kuat dari serangan barusan. Kembali Bong Bong Sianjin yang masih terheran-heran akan kedatangan gadis kerudung hitam ini menangkisnya dari samping. Ia yang telah dibikin marah oleh serangan gadis tadi yang telah merobek jubahnya kini dengan gerakan amat cepat telah menarik pedangnya dan menangkis serangan pedang gadis kerudung hitam sambil menggerakkan tenaga. “Tranggg!” bunga api berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi cuaca yang sudah remang terang itu. Gadis kerudung hitam itu terkejut sekali melihat kehebatan tenaga lawan. Ia mundur setindak ke belakang, membetulkan letak kuda-kudanya yang tadi tergempur oleh tangkisan pedang lawan dan terasa nyeri nyelekit
216
di telapak tangan kanannya yang memegang pedang. Tahulah ia bahwa lawannya ini tidak boleh dibuat main-main. “Bagus! Terimalah ini!” Gadis itu membentak dan mengirim serangan lagi dengan gesit. Ujung pedangnya bergetar-getar saking kuatnya lwekang yang disalurkan ke arah lengannya yang memegang pedang itu. Ingin ia tahu apakah lawannya ini mau menangkis pedangnya seperti tadi. Akan tetapi, betapa tak akan terkejutnya ia melihat betul-betul Bong Bong Sianjin mengelak sambil membabat dari samping, menghantam pedang lawan Sedangkan tangan kirinya bergerak cepat mendorong ke depan. “Tranggg, bukkk!” pedang di tangan si gadis muka kerudung patah menjadi tiga potong dan ia sendiri terlempar jauh. Bong Bong Sianjin tertawa lebar. “Nona, bukankah kau ini dari Sian-li-pay, mengapa datang-datang menyerangku. Hemm, seingatku…... Bu-tek Sianli denganku tidak ada permusuhan apa-apa. Malah aku kenal baik dengan Pay-cu Sian-li-pay, mengapa kau memusuhiku nona?” bertanya Bong Bong Sianjin menatap tajam ke arah gadis muka kerudung ini. Tentu saja sebagai tokoh persilatan tingkat tinggi ia sudah mendengar akan berdirinya partai Sian-li-pay yang dipimpin oleh Bu-tek Sianli yang lihay. Malah lima tahun yang lalu pada peresmian berdirinya partai itu, ia turut hadir di pulau Bidadari dan dapat melihat gadis-gadis cantik anak buah Sian-li-pay yang tertutup mukanya dengan kerudung hitam. Entah apakah gadis yang datang-datang menyerangnya inipun adalah anak buah Bu-
217
tek Sianli, si nenek sakti yang terkenal dengan Kepalan Tanpa Tandingan? Akan tetapi gadis yang berkerudung hitam itu rupanya sudah panas hatinya, tak dapat dibuat sabar. Dengan suara lantang penuh kemarahan ia berkata, “Bong Bong Sianjin, Sayang sekali, meskipun kau berkepandaian tinggi, namun kau buta tuli tidak dapat melihat dan mendengar. Mau tahu siapa aku? Aku adalah murid kelima dari suhu Swie It Tianglo yang telah binasa di tanganmu. “Hari ini aku Lim Sian Hwa akan menuntut balas dan mencabut nyawamu Bong Bong Sianjin! Hari ini kalau bukan kau yang mampus di ujung pedangku tentu akulah yang menjadi mayat. Hayo majulah! Ini murid kelima mendiang Swie It Tianglo!” Sian Hwa yang tak tahan mengendalikan hawa marahnya, ia menerjang maju dengan pedang pendek yang tadi terpotong menjadi tiga bagian. Ia nekad menyerang dengan potongan pedang yang tersisa beberapa senti dari gagangnya. Adapun Bong Bong Sianjin menjadi marah sekali. Kalau tadi ia masih berlaku segan kepada gadis muka kerudung ini, yang disangkanya murid dari Sian-li-pay yang terkenal itu. Tetapi sekarang setelah mendengar bahwa gadis berkerudung hitam ini bukan anggota Sian-li-pay, malahan dia salah seorang murid dari mendiang Swie It Tianglo. Setelah mengetahui hal ini hatinya menjadi marah. Ia sudah dibuat mengkal akan kemunculan dua orang muda tadi yang juga
218
merupakan murid dari Swie It Tianglo, sekarang datang lagi setan betina, betul-betul sialan hari ini harus melayani bocah-bocah dari Tiang-pek-san. Ia mendengus dan menangkis pedangnya gadis berkerudung hitam itu, ingin sekali ia melemparkan gadis ini seperti dua orang muda tadi ke jurang yang menganga disampingnya, akan tetapi terdengar Hok Losu memperingatinya, “Bong-sicu, jangan kau binasakan gadis itu, tawan dan kita serahkan ke Sian-li-pay. Inilah suatu kesempatan untuk kita bersekutu dengan Bu-tek Sianli!!” Mendengar peringatan ini, tak jadi Bong Bong Sianjin mempengunakan ilmu pukulan Hui-thian-jip-te yang telah disaksikan tadi kehebatannya, oleh sebab itu ia merubah gerakannya dan menyimpan pedangnya, kemudian bergerak mengelak dari tusukan pedang pendek yang dilancarkan oleh gadis berkerudung hitam, kemudian dengan gerakan yang aneh dia menggerak-gerakkan tangan kanannya seperti orang menulis. Tahu-tahu terdengar suara jeritan tertahan dari Sian Hwa ketika tanpa dapat dicegah lagi kedua buah kakinya menjadi lumpuh dan semangatnya hilang. Tadi ia seakan-akan melihat Bong Bong Sianjin ini menjadi tiga bayangan yang menakutkan. Satu bayangan aslinya, dan satu lagi bayangan seorang makhluk yang menyeramkan berkepala tiga bertangan enam dengan rambut panjang terurai dan muka seperti manusia tengkorak hidup. Makhluk inilah yang melumpuhkan semangatnya tanpa terasa pedang pendeknya, terlepas pada saat
219
itulah totokan lawannya terasa mengetuk pundaknya sehingga ia tak berdaya lagi. Terasa bergidik seluruh bulu roma Sian Hwa. Ilmu sihir apakah itu? Selama ini baru kali ini ia melihat pemandangan yang menakutkan hatinya. Itulah sebenarnya ilmu Hek-in-hoat-sut dari Bong Bong Sianjin yang pernah diterimanya dari seorang sakti dari India. Sebuah ilmu perampas semangat yang dikerahkan dengan ilmu tenaga batin yang tinggi. Melihat gadis itu menggeletak jatuh, cepat tokoh dari Kong-thong-pay mencelat ke dekat si gadis dan mengikatnya ke dua tangan dan kaki dan ditaruhnya di punggung kuda. Ia tersenyum kepada Bong Bong Sianjin, katanya: “Kesempatan baik untuk kita bertemu dengan Bu-tek Sianli, Bong sicu, kita antarkan sekarang juga gadis kerudung hitam ini ke Sian-li-pay, okey?” Bong Bong Sianjin tertawa lebar. “Bagus, bagus sekali, bukankah dengan cara ini kita bisa berhubungan dengan si Nenek Kepalan Sakti Tanpa Tandingan! Eeemm, akan tetapi aku harus menyelidiki dulu bagaimana tampangnya murid Swie It Tianglo yang tersembunyi dibalik sutera hitam itu,” sambil berkata demikian Bong Bong Sianjin bergerak membuka selubung sutera hitam itu yang menutupi muka Sian Hwa. Terdengar jeritan tertahan Bong Bong Sianjin mencelat ke belakang. Hok Losu dan Leng Ek Cu juga memandang kaget ke
220
arah muka gadis itu. Muka yang tadinya disangka berkulit halus dan cantik, kiranya bukan demikian adanya, yang dilihatnya barusan adalah muka hitam berkisut-kisut seperti muka nenek-nenek yang sudah berusia delapanpuluh tahun, bagian-bagian pipi dan hidung demikian rusak penuh dengan totol-totol hitam dan berkerisut-kerisut. Hanya sepasang mata itu yang demikian indah memandang ke tiganya dengan tatapan berapi-api! Kalau gadis itu dapat membuka suara dan tidak tertotok seperti itu, tentu ia akan memaki mengeluarkan sumpah yang bergetar-getar penuh kemarahan dahsyat laksana kawah gunung berapi yang hendak meletus. “Bong Bong, Sianjin dan kalian bertiga! Awaslah suatu ketika kelak matamu yang kurang ajar menatap wajahku dan yang telah berlancang membuka kerudung hitam ini, matamu itu ke dua-duanya akan kukorek, kukeluarkan dan hatimu dan jantungmu akan kucabut!” “Awas kau, Bong Bong Sianjin!” ◄Y► 7 Apa yang dikuatirkan oleh Kwa-sinshe (ahli pengobatan she Kwa) terbukti bahwa seluruh muka gadis yang bernama Sian Hwa ini tidak dapat kembali seperti asal semula. Racun hijau yang menjalar di wajahnya itu tidak dapat ditolak oleh obat-obatan biasa saja. Dan lagi karena racun-racun itu sudah semalam menjalar ke wajahnya, sulit bagi Kwa-sinshe untuk melenyapkan bekas-bekas hitam dan totol-totol pada wajah itu. Hanya ia dapat memberikan
221
pencegahan agar racun hijau yang ganas itu tidak menjalar ke leher saja. Kalau kiranya racun hijau itu sampai menjalar ke leher dan ke urat besar, berbahaya keselamatan gadis ini! Betapa sedih Sian Hwa mendengar bahwa lukanya tak dapat disembuhkan seperti sediakala. Ia menjerit kaget waktu bercermin sungai yang jernih airnya! Hampir ia tak mengenal akan wajahnya sendiri, wajah yang kelihatan dalam bayang-bayang air itu nampak hitam dan berkerisut-kerisut seperti pantat kuali, lagi pula terdapat totol-totol putih dan hitam pada ke dua pipi dan hidungnya. Habislah apa yang dibanggakan bagi seorang wanita cantik. Kecantikannya yang sangat dibanggakan itu sekarang telah lenyap dirusak oleh racun hijau akibat pukulan si kakek gila yang menggunakan pukulan Jin-tok-ciang! Awaslah kakek dan nenek gila, awaslah kau Jin-tok-siang-moli, suatu ketika hendak kubalas sakit hatiku pikirnya sambil menangis di tepi sungai yang airnya jernih itu. Ia melirik ke arah lengan kanannya, sama seperti mukanya lengan itu juga kehitaman penuh bintik-bintik putih. Tadinya memang dirasakan amat gatal sekali, akan tetapi setelah Kwa-sinshe memberikan pengobatan luka yang mengandung hawa racun hijau itu sembuh kembali, meskipun wajahnya tak dapat disembuhkan karena hangus dan gosong! Sin Thong yang selama ini menemani Sian Hwa dan menjadi kawan baiknya, merasa terharu sekali melihat kejadian ini. Namun laki-laki cebol ini selalu menghibur Sian Hwa. Kalau tidak ada Sin Thong yang banyak memberikan nasehat tentu sejak kemarin-
222
kemarin ini ia sudah kembali ke dalam hutan untuk menerjang Iblis gila yang telah membuat cacad wajahnya! “Sian Hwa mengapa kau berbuat bodoh. Kau tahu kan? Kepandaian iblis Jin-tok-siang-lomo itu demikian hebat dan luar biasa. Mereka bukan tandingan kita. Kalau kau nekad menerjang dan membalas sakit hati ini, bodoh betul kau hendak mengantarkan nyawa saja. Suhu bilang kau bersabarlah, bukan lukamu itu tidak dapat disembuhkan, hanya saja obat yang mujarab itu tidak ada di daratan Tiongkok ini. Pernah suhu katakan hanya ada semacam jin-som yang bernama Pek-in-jin-som (akar obat awan putih), akan tetapi hanya tumbuh lima tahun sekali di puncak Anapura, pada pegunungan Himalaya. Kau sabarlah Sian Hwa, siapa tahu……” Dengan pandangan mata basah Sian Hwa memandang lelaki cebol di depannya. “Sin Thong, itu hanya sebuah khayalan saja bukan? Mana bisa aku mencari buah Pek-in-jin-som sampai di puncak Anapura, apalagi pegunungan Himalaya....... ah, tidak gampang untuk ke sana…... Sin Thong, setelah wajahku begini……. aku malu sekali bertemu dengan orang……” Go Sin Thong, biarpun nampaknya masih kanak-anak karena tubuhnya yang kecil dan pendek, namun ia adalah seorang pemuda dewasa. Dewasa dalam berpikir dan berperasaan. Ia dapat memaklumi perasaan teman gadisnya ini. Tentu saja, gadis manakah yang tiada merasa rendah diri setelah tahu wajahnya ini tak sedap dipandang, begitu buruk dan
223
menjijikan seperti wajah nenek! Kasihan sekali kau Sian Hwa, pikirnya. Akan tetapi mulutnya berkata menghibur, “Sian Hwa, orang yang budiman dan yang mempunyai pribadi tinggi, tidak melihat dan menilai orang dengan kecantikan wajah dan pakaian. Cantik itu hanya bersifat sementara saja, sementara ia masih mengeluarkan kembang yang harum dan segar. Kelak jikalau ia sudah rontok dan layu, apakah ia dapat dikatakan cantik? “Setelah wajahmu rusak oleh racun hijau mengapa kau merasa rendah diri dan malu bertemu dengan manusia? Terimalah keadaan itu sebagaimana adanya. Hilangkan rasa sifat rendah diri dan pertebal akan kepercayaan terhadap dirimu sendiri. Karena dengan jalan itu merupakan senjata ampuh untuk maju. “Bukankah kau katakan masih banyak tugas-tugasmu dalam dunia ini? Membalas kematian gurumu, mencari saudara-saudaramu yang tak tahu kemana perginya. Jangan patah semangat Sian Hwa!” “Memang banyak sekali tugasku. Kalau tidak….. hemm, sejak dari kemaren itupun aku sudah mengadu nyawa dengan Jin-tok-siang-lomo, si nenek dan si kakek gila itu. Akan tetapi Sin Thong, dengan wajahku seperti ini, ah...... akan menjadi bahan perhatian orang saja.” Sian Hwa menarik napas panjang. Tak berani lagi ia bercermin di tepi sungai itu. Teriris-iris rasa hatinya melihat bayangan sebuah wajah yang muncul di air jernih itu!
224
Mata hari sore dan angin dari seberang sungai mengusap-usap badannya yang sedang duduk di atas sebuah batu menghadap ke depan sungai. Sin Thong berdiri didekatnya dengan kaki terangkat ke atas batu, sambil matanya memandang air sungai yang meriak mengalir tenang jernih. Sunyi sekali suasana di tepi sungai itu. Matahari senja bersinar lemah di punggung bukit. “Sian Hwa…...” Sian Hwa menoleh memandang lelaki pendek di sampingnya. Ia tadi tengah termenung. Sehingga teguran Sin Thong barusan sangat mengejutkan hatinya. Ia melihat lelaki cebol temannya ini memandang jauh ke seberang sungai dengan pandangan sayu. “Kau hendak mengatakan apa Sin Thong?” “Sian Hwa, besok aku pagi-pagi hendak mengunjungi kota Wie An. Suhu menyuruhku pergi ke sana mengunjungi kawan baiknya yang akan berulang tahun. Apakah kau hendak turut denganku?” “Ah, mengunjungi orang berulang tahun saja pakai aku turut-turut segala. Ngak mau ah, kamu saja kan bisa Sin Thong. Kalau denganku! Merepotkanmu saja........” Di mulut Sian Hwa berkata demikian akan tetapi hatinya berkata. “Ah, betapa malunya aku..... dengan mukaku seperti setan ini, siapakah yang mau menerima kedatanganku, akan memalukan saja!” Sin Thong memandang tajam. Kakinya yang terangkat naik di atas batu diturunkan. Ia menghampir Sian Hwa sambil berkata: “Kenapa merepotkanmu? Tidak Sian Hwa dengan kehadiranmu bersama-sama denganku justru itu yang menggirangkan hatiku. Kau tahu,
225
teman suhu bukan saja hendak merayakan ulang tahun, kabarnya puterinya yang cantik jelita hendak memilih jodoh dan akan diadakan sayembara panggung terbuka bagi ahli-ahli silat untuk mencoba-coba kepandaian puteri Yok-ong Lo Ban Theng. Siapa tahu.......” “Berjodoh dengan puterinya……?” Sian Hwa menyambung. Sin Thong tertawa lebar, akan tetapi cuma sebentar kemudian wajahnya muram, tak tahu Sian Hwa hati tengah teriris-iris waktu berkata: “Sian Hwa, gadis manakah yang suka denganku dalam keadaan seperti ini, tubuhku pendek kecil, seperti.......” “Sin Thong, tadi kau yang bilang. Orang yang berbudi tidak melihat dan menilai akan rupa dan wajah, akan tetapi kenapa sekarang kau begitu pesimis? Kau bilang padaku jangan rendah diri, malah pertebal kepercayaan pada diri sendiri, karena dengan jalan itu merupakan senjata ampuh untuk mencapai cita-cita! Kau ini bagaimana sih, pintar ngajarin orang, akan tetapi kau tidak dapat mengamalkan perkataanmu itu!” Sian Hwa menyindir dan berkata sambil mengulangi kata-kata yang barusan pernah dikatakan oleh laki-laki cebol ini. Sengaja ia merubah sebagian perkataan Sin Thong untuk menyerangnya, ia tahu dan menyadari karena tubuhnya yang pendek dan kecil sudah pasti teman laki-lakinya ini merasa rendah diri. Mendengar perkataan Sian Hwa, pemuda cebol yang bernama Go Sin Thong itu merasa terpukul juga oleh kata-kata yang pernah dia keluarkan untuk menasehati gadis kawannya tadi. Kini kata-kata itu dipakai untuk menyerang dirinya!!
226
Sambil tersenyum pahit dia berkata: “Rendah diri memang tidak boleh Sian Hwa, akan tetapi dalam mengambil tindakan kita harus berlaku hati-hati dan tidak semberono, sebaiknya menyelidiki dahulu keadaannya. “Menyelidiki apanya?? Kalau kau menang dalam sayembara itu, bukankah kau mendapat hadiah dan memboyong puterinya Lo Ban Theng? Eh!! kalau berhasil jangan lupa kartu merahnya lhoo.......” “Aii, kau sudah ngaco sampai ke situ. Kartu merah sih gampang, bagaimana kalau puterinya Yok-ong tidak demen padaku, kan berabe!” “Pasti demen deh, pasti cinta!!” “Ngomong sih gampang, sudahlah Sian Hwa, lihat matahari sudah tenggelam, sebentar lagi akan gelap, hayo kita pulang kembali…...!!” “Sin Thong, apakah kau pernah melihat puterinya Yok-ong itu??” tanya Sian Hwa sambil melompat turun, kemudian berjalan mengikuti Sin Thong berlari-lari di sepanjang sungai itu. “Tentu aku kenal Sian Hwa, kalau tidak masakan aku mau mengikuti sayembara itu...... Aku sering disuruh suhu ke sana untuk mengambil akar obat-obatan. Tentu saja, sebagai seorang ahli pengobatan seperti suhu, ia kenal baik dengan Yok-ong Lo Ban Theng, malah sering pula aku bertemu dengan puterinya yang bernama Lo Siauw Yang. Kepandaian silatnya hebat, mungkin aku sendiri tidak dapat menandinginya!!”
227
“Tentunya cantik jelita, Lo Siauw Yang bukan??” “Cantik atau tidak itu nomor dua bagiku Sian Hwa, yang terpenting, disamping kecantikan itu apakah ada rasa kasih sayangnya terhadapku. Itu nomor satu. Cinta, tanpa cinta aku tak dapat memilikinya!” Mendengar itu Sian Hwa termenung, terkenang pula dia akan Tiang Le, mereka saling menyinta. Akan tetapi kenapa dia tidak dapat memiliki Tiang Le yang sangat dia cintai itu?? Malahan bagaimana keadaannya Tiang Le tak tahu dia. Ingin sekali dia bertemu dengan pemuda itu, sudah lama ia merindukannya, biar buntung ia masih mencintainya. Tapi apakah Tiang Le masih hidup, Sian Hwa menjadi kuatir, jangan-jangan Tiang Le sudah diseret air sungai dan tenggelam, mati?? Ahh, kalau bagitu mana dapat lagi ia bertemu dengannya!! Tidak, seandainya Tiang Le masih hidup dan melihat wajahnya seperti ini, apakah dia masih mencintainya? “Aku harus tahu diri,” demikianlah Sian Hwa berpikir. Ia tidak banyak berbicara lagi, dia hanya berlari? Di sebelahnya Sin Thong! Pikirannya menerawang jauh, dan tenggelam dalam lamunannya mengenang Tiang Le! Demikianlah pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Thong dan Sian Hwa meninggalkan dusun. Kwa-sinshe memberi sebuah hadiah yang dititipkan pada muridnya untuk ulang tahun sahabatnya yang bernama Yok-ong Lo Ban Theng. Ia sendiri tidak dapat pergi karena ia harus memeriksa seorang pasien yang katanya kecelakaan di sungai.
228
Oleh sebab itu karena iapun sangat repot sekali, maka muridnyalah yang diutusnya untuk menghadiri perayaan ulang tahun sahabatnya di kota Wei An, seratus lie kira-kira jauhnya dari dusun Sian-lian-bun ini. Ia cuma memesan kepada muridnya: “Sin Thong, wakililah gurumu ke sana memberi selamat kepada Yok-ong locianpwe yang dikenal itu dan sekedar hadiah dariku, kau berikanlah ini. Ingat, muridku! Kau harus menjaga nama baik gurumu di sana. Jangan berlaku semberono dan kabarnya disamping perayaan se-jid (ulang tahun) itu kabarnya Yok-ong akan mengadakan sayembara permainan silat untuk memilih jodoh puterinya. Kalau memang tidak perlu, tak usah kau mengikuti sayembara itu! Mengerti kau muridku?” “Teecu (murid) akan melaksanakan pesan suhu. Akan tetapi sebetulnya teecu tertarik akan sayembara permainan silat itu. Apakah suhu mengijinkan untuk teecu turut serta?” Kwa-sinshe menarik napas panjang. Ia menatap tajam ke arah muridnya ini. Mata yang tua itu sebentar saja sudah dapat menangkap apa yang terkandung di hati muridnya. Ia mengerti keadaan muridnya. Biarpun tak pernah muridnya mengutarakan isi hati kepadanya, namun orang tua yang berpengalaman ini sudah dapat menerka isi hati si murid. Sejak dulupun ia sudah tahu bahwa muridnya ini tertarik dengan puteri sahabatnya. Beberapa kali apabila Sin Thong disuruhnya ke Wei An selalu ia bercerita tentang puteri itu. Sekarang, puteri itu hendak dicarikan jodoh dengan seorang pemuda yang dapat menandingi ilmu silat keturunan Lo Ban
229
Theng. “Gila, benar!” pikir Kwa-sinshe, “masa memilih jodoh saja harus melalui sayembara pertandingan ilmu silat. Keterlaluan!” Akan tetapi ia mengutus juga Sin Thong! Ada setengah hari mereka berkuda melakukan perjalanan dengan amat cepatnya, pada siang hari itu sampailah mereka di kota Wei An, sebuah kota kecil di sebelah timur Cin-an, di lembah sungai Huang-ho. Tidak berapa jauh, kira-kira duaratus lie di sebelah utara terdapat sebuah kota yang menjadi pusat wilayah pemerintahan yang bernama Kotaraja, menjurus ke sebelah timur terdapat lautan Po-hay. Tidak jauh pula dari tempat ini di sebelah selatan terdapat kota dagang An Hui. Oleh karena kota Wei An ini begitu strategis letaknya maka tidak heran kalau kota ini ramai sekali. Karena tempat ini merupakan pelabuhan bagi perahu-perahu yang mengangkat barang hasil bumi yang hendak dilayarkan ke laut timur. Sin Thong dan Sian Hwa memasuki kota Wei An. Hari telah siang ketika mereka memasuki kota itu. Sin Thong yang pendek kecil berpakaian keren sekali. Pedang pemberian suhunya diselipkan dibalik jubahnya yang lebar. Ia berpakaian seperti seorang siucay (pelajar), meskipun pemuda ini pendek dan kecil akan tetapi mempunyai wajah yang cukup tampan. Alisnya tebal berbentuk golok, wajahnya putih halus. Dan disebelahnya berjalan Sian Hwa menuntun kuda putih, mukanya tertutup kerudung sutera hitam, sehingga tidak
230
menampakkan wajahnya yang buruk menakutkan itu. Untuk selamanya, ia selalu memakai kerudung hitam ini. Dengan demikian orang tak tahu akan cacad wajahnya! Nampak cantik sekali gadis remaja langsing itu dengan pedang terhias di punggung. Pakaiannya ketat mencetak tubuh yang langsing. Sin Thong yang sering kali mengunjungi kota ini tak begitu sukar mencari rumah Yok-ong Lo Ban Theng. Rumah besar yang kini sudah terhias dengan hiasan-hiasan kertas dan lampu-lampu yang mentereng dan indah sekali. Begitu mereka sampai di depan gedung Yok-ong, banyak sekali tamu-tamu yang berdatangan. Suara musik terdengar sampai ke luar sini. Di depan gedung itu terdapat sebuah panggung lui-tay (panggung khusus untuk bermain silat), akan tetapi masih sepi di bagian sana. Tanpa sungkan lagi Sin Thong mengajak Sian Hwa memasuki halaman rumah keluarga Lo yang sudah terhias indah itu. Nampak seorang tinggi besar yang berpakaian seperti seorang pembesar berdiri menyambut tamu-tamunya. Pada saat Sin Thong berhadapan dengannya, dia menjura memberi hormat dan berkata: “Lo Yok-ong, siauwte Go Sin Thong menghaturkan hormat dan selamat ulang tahun kepada Lo Yok-ong, semoga diberkahi umur panjang dan hidup sejahtera!!” “Haa....... haa, Sin Thong, kenapa datang sendiri? Mana Kwa Sicu gurumu?” orang tua itu tertawa senang melihat kedatangan anak muda yang dikenalnya ini.
231
“Maaf Lo Yok-ong, suhu berhalangan datang dan mengirim salam selamat untuk Lo Yok-ong,” kata Sin Thong sambil memberikan hadiah dari gurunya kepada sang raja pengobatan ini. “Haayaaa pakai antar-antaran segala!! Terima kasih....... terima kasih, sampaikan salam hormatku untuk gurumu Sin Thong. Eeh, siapa nona ini??” “Dia kawan siauwte!” sahut Sin Thong. “Kawanmu, silahkan duduk....... silahkan duduk siocia!” Lalu seorang penyambut tamu mengantarkan Sian Hwa ke ruangan tamu yang disediakan khusus untuk tamu-tamu wanita. Sedangkan Sin Thong duduk di dekatnya Yok-ong Lo Ban Theng. Waktu pandangannya terbentur dengan seorang gadis cantik, berpakaian kembang-kembang merah bergaris-garis biru, hatinya Sin Thong jadi berdebar-debar. Itulah dia puteri dari Yok-ong yang bernama Lo Siauw Yang. Cantik sekali gadis yang berpakaian kembang-kembang merah itu. Banyak sekali tamu-tamu yang berdatangan, di antaranya juga hadir pembesar setempat dan tokoh-tokoh kang-ouw. Mereka ini sengaja datang dari berbagai tempat untuk ikut memberi hormat dan merayakan hari ulang tahun yang kelimapuluhnya Yok-ong Lo Ban Theng, Tamu-tamu itu terdiri dari berbagai orang, misalnya seperti orang perautauan, pertapa, pelajar, guru silat dan banyak pula yang lagaknya seperti pendekar silat dan ada pula beberapa wanita, tetapi mereka itu adalah ahli-ahli silat terkenal.
232
Itu semua tidak heran, karena tokoh-tokoh kang-ouw manakah yang tidak mengenal Yok-ong Lo Ban Theng yang namanya sudah tersohor sejak puluhan tahun yang lalu. Orangtua she Lo ini, di samping terkenal sebagai ahli pengobatan sehingga mendapat gelar Yok-ong (raja obat), dia juga terkenal pula sebagai seorang pendekar tua yang terkenal kepandaian ilmu silatnya. Pada waktu orang tua she Lo itu masih muda, entah berapa banyak kali ia sudah malang melintang di dunia Bulim, membasmi kaum pemberontak, menghancurkan sarang bajak laut di lautan Po-hay, dan karena sifat kependekaran yang berjiwa satria inilah sehingga keturunan obat she Lo dikenal di daratan Tiongkok, sampai ke dunia Barat. Tentu saja di samping handai tolan, sanak famili, pembesar-pembesar undangan, di antara mereka kebanyakan adalah orang kang-ouw biasa, terdapat juga Hok-kian Sin-hauw Bi Goan, harimau sakti dari Hok-kian, Hak-san tayhiap Ong Kwi si pendekar dari Hak-san dan Kong Jin Kek yang berjuluk orang si Dewa Arak atau Ciu-sian. Mereka bertiga ini telah mendapat nama pula di dunia kang-ouw. Terkenal sebagai pendekar-pendekar sejati yang membela kebenaran. Juga disamping itu hadir juga Wakil-wakil dari cabang-cabang Siauw-lim-pay, Bu-tong-pay, dan Hoa-san-pay. Mereka ini, para locianpwe kaum tua gagah yang telah berusia sekitar setengah abad itu duduk di tempat kehormatan yang disediakan oleh tuan rumah.
233
Akan tetapi yang menarik perhatian para tamu dan tuan rumah adalah kedatangan Sin Thong dan Sian Hwa yang berkerudung hitam. Sebagai orang-orang tua yang banyak malang melintang di dunia kang-ouw, mereka juga mendengar akan perkumpulan hitam yang bernama Sian-li-pay (perkumpulan bidadari) yang kesemuanya terdiri dari kaum wanita muda berkerudung hitam. Entah apakah gadis yang bersama-sama laki cebol itu adalah salah seorang anggota Sian-li-pay, mau apa dia? Demikian banyak tamu yang menaruh curiga! Akan tetapi, karena Sian Hwa sendiri tidak mengetahui hati mereka yang diam-diam menaruh curiga, maka iapun tidak ambil perduli dan acuh tak acuh. Meskipun dari pandangan matanya ia dapat melihat sikap orang-orang yang tertuju kepadanya, namun karena tidak mengerti ia tenang-tenang saja. Duduk di bagian kaum wanita muda ia mengawasi tamu-tamu yang berdatangan itu. Banyak juga memang tamu-tamu yang berdatangan, sehingga taman bunga gedung keluarga raja obat Lo penuh dengan tamu-tamu yang duduk mengelilingi meja, kurang lebih ada duaratus orang tamu yang telah berkumpul di situ! Pada saat itu terdengar sapaan-sapaan hormat dari para penyambut tamu di depan ketika tiga orang tua memasuki halaman taman. Yok-ong Lo Ban Theng melirik dan terkejut ia melihat kedatangan tiga orang itu. Satu seorang tua, akan tetapi tampak gagah dan keren berpakaian seorang jenderal dengan tanda pangkat mentereng di pundak, tahulah Yok-ong bahwa yang datang itu adalah Bong-goanswe,
234
dan Hok Losu, orang tua dari Siauw-lim-pay dan yang satunya lagi, sebaya dengan Bong-goanswe adalah Leng Ek Cu, tokoh Kong-thong-pay yang telah dikenalnya. “Ha ha ha, Lo-kiam enghiong (situa jago pedang she Lo), kenapa tidak menyambut kedatangan kami? Mana Yok-ong Lo-kiam-enghiong.......! Ha ha, selamat ulang tahun..... kiong-hie...kiong-hie!” Bong-goanswe mengangkat ke dua tangannya menjura dengan hormat ke arah tuan rumah yang datang menyambut? “Ayaaa…… dikirain siapa, tak tahunya Goanswe dari Kotaraja dan Hok Losu dari Siauw-lim dan sahabat Leng Ek Cu dari Kong-thong pay....... mari….. mari silakan masuk....... silakan duduk!” Yok-ong Lo Ban Theng menyambutnya dengan hormat. Ia tahu siapa orang-orang ini. Orang kepercayaan kaisar dari Kotaraja! “Eh, Lo-kiam-enghiong....... kabarnya kau hendak mengadakan sayembara untuk perjodohan puterimu, betulkah itu?” Leng Ek Cu bertanya, sambil mengambil tempat duduk. “Hanya sebagai selingan saja sahabat, tidak menjadi acara istimewa!” Yok-ong Lo Ban Theng menyahut perlahan. “Hehehe, bagus, acara yang menarik juga. Biarlah pinceng berkenan untuk menonton acara pemilihan jodoh....... hahahehehe,” Hok Losu dari Siauw-lim-pay tertawa. Suara yang bebas dan besar ini menarik perhatian para tamu-tamunya. Aneh kedengarannya, masa seorang hwesio suci berbicara sekeras itu? Akan tetapi tentunya mereka tidak berani
235
menegur, karena mengenal Hok Losu, hwesio dari Siauw-lim yang luar biasa kepandaiannya! Sian Hwa melihat pula kedatangan jenderal Bong itu. Diam-diam ia mengagumi akan wibawa si raja obat she Lo ini, sampai-sampai jenderal dari Kotaraja turut datang. Hebat! Setelah semua tamu lengkap jumlahnya kecuali beberapa orang yang tidak dapat datang Yok-ong Lo Ban Theng berdiri di tengah-tengah ruangan itu sambil mengangkat tangan memberi hormat ke sekeliling kemudian membuat sambutan singkat: “Para locianpwe (orang tua gagah), para enghiong yang terhormat dan sekalian saudara-saudara yang terhormat. Saya menghaturkan banyak terima kasih atas kesediaan saudara-saudara yang telah meringankan kaki datang ke tempat ini guna menghadiri dari perayaan se-jid (ulang tahun) saya yang kelimapuluh. “Semoga budi baik saudara-saudara mendapat berkah yang berkelimpahan dari Thian (Tuhan). Dan maafkanlah kiranya perjamuan ini kurang lengkap dan amat sederhana sekali dan maafkan pula jika penyambutan-penyambutan kami kurang memuaskan cuwi (saudara-saudara sekalian).” Kemudian pesta dimulai dengan ramai dan gembira. Hidangan-hidangan lezat dan minuman-minuman dikeluarkan oleh para pelayan. Hingar bingar sekali suasana di tempat ini. Tiba-tiba, di tengah-tengah pesta seorang yang duduk di bagian kaum muda berdiri mengajukan usul: “Lo-enghioag, siaute yang
236
muda dan bodoh ini mendengar desas desus kabarnya pada hari se-jid Lo-enghiong akan diadakan sayembara permainan silat dan pemilihan jodoh sang puteri, apakah ini benar?” Semua para hadirin melirik dan memandang kagum melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan mantap dalam berkata-kata tadi. Orang muda itu masih sangat muda, berusia sekitar sembilanbelas tahun. Kulit mukanya putih kemerahan seperti wanita. Berpakaian warna biru, gerak-geriknya halus. Pemuda tadi berkata-kata sambil memegang kipas hitam di tangannya mengebas-ngebaskan tubuhnya yang seperti orang kepanasan. Tertarik sekali tuan rumah melihat tamu muda yang tampan dan berani mengeluarkan pendapat tadi. Entah siapakah orang muda itu? Yok-ong Lo Ban Theng berdiri. Ke empat penjuru ia memberi hormat agak membungkukkan badannya dan berkata: “Cuwi (tuan-tuan sekalian), benarlah seperti kata-kata orang muda baju biru tadi. Memang di samping hari baikku ini, saja yang tua berkenan untuk mengadakan sayembara pertunjukan silat, sekalian untuk mencari jodoh bagi puteriku yang tunggal ini, bernama Lo Siauw Yang!” Orang tua itu menunjuk ke arah puterinya. Siauw Yang berdiri memberi hormat. Mengangguk perlahan. Melihat gadis ini, banyak kaum muda tertarik akan kecantikan puteri Lo Ban Theng ini, diam-diam mereka hendak mengikuti sayembara ini. Siapa tahu! “Puteriku yang bodoh itu bernama Lo Siauw Yang,” Memperkenalkan orang tua itu. “Syarat-syarat untuk mengikuti
237
sayembara adalah sebagai berikut: Seorang pemuda, tidak lebih dari tigapuluh tahun usianya, belum mempunyai istri dan mempunyai kepandaian silat. Bagi siapa yang berminat mengikuti sayembara ini, harap mempertunjukkan permainan silatnya untuk saya nilai!!” Kemudian sambungnya: “Sekiranya orang muda itu memenuhi syarat tadi, maka orang muda itu akan diuji melawan tiga orang pelayanku yang bernama Sam-hauw-swat-cu-eng (tiga harimau mustika salju). Apabila dapat mengalahkan ke tiga pembantuku itu, maka puteriku yang bodoh berkenan mengujinya!! Nah itulah syarat-syaratnya!” Si dewa arak Kong Sin Khek tertawa: “Ha… haa... haa…. Yok-ong pinter sekali memilih mantu, menarik sekali acara ini, sayangnya aku sudah tua dan tentunya tidak diperkenankan menggikuti sayembara ini bukan??” Lo Ban Theng tertawa lebar: “Hayaaa, sudah barang tentu tidak boleh bagi kita yang sudah tua ini. Tetapi saja persilahkan para locianpwee di sini untuk menjadi saksi dan sebagai jurinya!!” “Akuur. Kami para tua bangka yang sudah pada mau mampus ini biarlah yang menjadi juri dan saksinya, he... he!” sahut Hak-san tayhiap Ong Kwie sambil melirik ke arah kaum muda yang sudah gatal tangan hendak memamerkan kepandaiannya. Yok-ong Lo Ban Theng mengangkat alis dan pundak, katanya, “Yang diperkenankan maju hanyalah orang muda yang tidak lebih tigapuluh tahun usianya!” Lalu dengan suara keras ia memberitahu kepada semua tamu bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Semua mata para tamu tertuju ke arah panggung terbuka yang
238
memang sejak tadi sudah disiapkan di tengah-tengah taman bunga yang berbentuk segi empat luasnya. Sebagai acara pembukaan, putri Yok-ong Lo Ban Theng yang bernama Lo Siauw Yang meloncat ke atas panggung dengan gerakan ringan dan indah. Tepuk tangan para hadirin menyambut berkelebat bayangan merah berkembang. Ternyata Siauw Yang sudah berada di atas panggung dan dengan mengangguk tiga kali sebagai penghormatan untuk para tamu, kemudian dengan gerakan yang cepat dan mantap ia sudah memainkan jurus-jurus ilmu pedang dari keturunan Yok-ong Lo Ban Theng. Cepat sekali gerakan-gerakan gadis ini sehingga bagi para tamu yang berkepandaian yang tidak tinggi hanya melihat sebuah bayangan merah berkelebat-kelebat di antara gulungan sinar perak. Cuma sebentar Siauw Yang memainkan ilmu pedangnya, hanya jurus-jurus kembangnya saja. Kemudian ia menghentikan permainannya dan setelah memberi hormat dengan membungkukan badan tiga kali ia mencelat ke bawah dengan gerakan ikan lele meloncat di air, maka untuk yang terakhir nampak tiga kali bayangan merah meletik dari atas panggung berpok-say dan tahu-tahu tubuh gadis itu telah berdiri di samping ayahnya, Yok-ong Lo Ban Theng. Terdengar lagi suara tamu-tamu memuji. Hening untuk seketika. Pandangan mata tertuju ke arah panggung mengharapkan seorang yang meloncat ke arena memamerkan kepandaiannya. Tentu saja setelah gadis Siauw Yang memamerkan ilmu pedangnya, banyak hati orang muda yang
239
tadinya hendak mencoba-coba kini menjadi ciut nyalinya. Diam menanti reaksi dari yang lain. Ada sekitar lima menit. Tiba-tiba dari ruangan tengah mendatangi seorang laki-laki tinggi kurus berusia sekitar duapuluh lima tahun dan dengan langkah lebar ia menghampiri lui-tay dan meloncat ke atas. Terdengar sambutan dari para tamu. “Siauwte she Khu bernama Ho Siang. Sedikit hendak memperlihatkan kebodohan sendiri, harap para cuwi (tuan-tuan sekalian) tidak mentertawakan kebodohanku ini,” sehabis berkata demikian pemuda tinggi kurus yang memperkenalkan diri dengan nama Ho Siang mengeluarkan sebuah suling berwarna hitam. Suling ini panjangnya ada sekitar dua kaki. Orang-orang yang melihat pemuda itu mengeluarkan suling hitam, ada yang tertawa-tawa, malah ada yang mengejek. Untuk apa pemuda tinggi kurus itu mengeluarkan suling, hendak bermain musik? Akan tetapi pandangan mereka tetap tertuju ke atas lui-tay dan memperhatikan pemuda tinggi kurus itu. “Saja dari desa Ngingkelak di India. Karena sejak kecil saya doyan sekali main suling dan ini merupakan hobby saya, maka saja hendak mempertunjukkan kepada cuwi permainan suling hitam saja,” pemuda tinggi kurus Ho Siang, menempelkan tubuh sulingnya ke dekat bibir. Akan tetapi baru saja ia hendak meniup, terdengar suara tertawa keras. Pemuda itu menurunkan lagi sulingnya dan menengok. Ia mengerutkan kening begitu dilihatnya yang mentertawakannya tadi
240
adalah seorang pemuda tampan berbaju biru dan memegang kipas hitam, mengibas-ngibaskan kipasnya, seperti orang kegerahan. “Kenapa saudara tertawakan saya?” tanya Ho Siang menurunkan suling hitamnya. Pemuda baju biru tertawa. Bibirnya yang kecil itu menarik sekali waktu tertawa seperti itu. Diam-diam para tamu yang melihat pemuda tampan baju biru itu tertarik kagum. Siauw Yang berdebar-debar hatinya. Entah mengapa ia merasa kagum dan simpati kepada pemuda tampan baju biru itu. Si pemuda tampan baju biru berdiri. Senyumnya yang mengejek itu mengeluarkan perkataan ketus. “Lui-tay (panggung tempat bermain silat) bukannya tempat memamerkan kepandaian meniup suling, mengapa kau begitu sinting untuk mempertunjukkan suling bututmu yang jelek itu?” “Apa? Kau ini siapa, hemm pemuda mulut lancang. Tuan rumah sendiri tidak melarang. mengapa kau begitu melarangku?” “Siapa yang tidak melarang? Lihat semua para hadirin sudah mengutuk kesintinganmu. Masa bukan mempertunjukan ilmu silat eh, kau bermain suling di situ. Kalau tidak punya kepandaian silat, hayo turun saja!” “Kau menantangku?” si pemuda tinggi kurus yang bernama Ho Siang itu mendelik hendak menelan pemuda tampan ini. Diam-diam ia merasa heran mana ada pemuda demikian tampan, alisnya, matanya, bibirnya yang kecil bagus. Hemm, sangat tampan memang!
241
“Siapa yang takut sama suling bututmu? Dengan kipas hitamku saja kau pasti terguling!” “Sombong! Kalau ada nyali naik kau!” Ho Siang menjadi panas hatinya. Heran sekali dia mengapa melihat pemuda tampan ini hatinya begitu gemas! Hemm, melihat wajah tampan itu. Tak rela ia, Biasanya pemuda yang seperti ini, tentu ceriwis dan suka godain perempuan. Merayu perempuan! Melihat dua orang muda ini sudah saling bertengkar mulut, Yok-ong Lo Ban Theng segera melerai, katanya: “Orang muda yang memegang suling! Benar kata tuan muda baju biru itu bahwa lui-thay disediakan untuk mereka yang mengerti ilmu silat. Dan bukan tempatnya untuk bermain suling!” “'O, ah…. Maaf….. maaf!” sambil menjura begitu pemuda kurus Ho Siang. berjalan menuruni panggung. Orang-orang muda mentertawakan kesintingan pemuda kurus itu. Malah pemuda baju biru berkata perlahan waktu ia lewat di depannya: “Apa kataku, kalau mau ngamen (mempertunjukkan) permainan suling bututmu, di pasar saja, banyak saja yang tonton dan nasib mujur ada yang melempar uang kepadamu. Di sini, bukan tempatnya!” Ho Siang menoleh. Gemas sekali ia sama mulut pemuda tampan ini, kepingin sekali ia mencubit bibir yang menggemaskan itu. Sayang di muka umum. Awas kau nanti, kucubit bibirmu yang lemes itu! Akan tetapi ia diam saja dan duduk di tempat semula.
242
Sian Hwa yang duduk tidak jauh dari Sin Thong memandang dan melemparkan pandangannya ke panggung memberi isyarat untuk pemuda itu maju ke muka. Akan tetapi Go Sin Thong memberi isyarat pula menggelengkan kepalanya. Ia melirik ke arah Siauw Yang. Siauw Yang membalasnya memandang dan tersenyum. “Seeer...mati kau!” bersambat Sin Thong menerima senyum itu. Sebetulnya ingin sekali ia mencoba-coba kepandaian gadis ini, namun segan terhadap orang tuanya! Ia masih memberikan kesempatan itu kepada tamu-tamu lain! Baru saja tuan rumah Yok-ong Lo Ban Theng hendak membuka suara, tiba-tiba dari luar mendatangi serombongan tamu baru yang jalan terdepan adalah seorang kakek-kakek setengah tua bersorban merah di atas kepala, berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Begitu masuk ia berkata keras, “Ya, pantas Lo lo-enghiong melupakan kami, kiranya masih sibuk sekali.” Semua orang menengok, dan Yok-ong Lo Ban Theng memandang agak tidak senang tapi terpaksa ia maju menghampiri dan menyambut mereka, “Maaf, saya orang tua menyambut agak terlambat.” Ia lalu membawa berempat ke ruang yang masih kosong. Begitu orang setengah tua bersorban merah itu melihat Bong-goanswe ia menundukan kepala dengan penuh hormat, “Maaf
243
kiranya Bong Bong Sianjin juga tidak ketinggalan di sini, eh, Hok Losuhu dan Leng sicu juga hadir. Wah pesta meriah sekali nih!” “Te-thian Lomo, hayaa, baru ketemu lagi, bagaimana banyak maju?” tanya Bong-goanswe yang mulanya dikenal sebagai Bong Bong Sianjin. Antara para tamu yang tidak mengambil perhatian di antara atas percakapan orang itu adalah sepasang mata di balik kerudung sutera hitam yang memandang terbelalak mengeluarkan sinar api. Ini tampangnya pembunuh suhu, Bong Bong Sianjin dan itu yang bersorban merah adalah Te-thian Lomo. Hm, kebetulan sekali, pikir Sian Hwa. Ingin sekali ia menerjang musuh besarnya itu, akan tetapi mengingat tuan rumah yang tengah berulang tahun. Tak mau ia membuat kacau tempat pesta orang tua she Lo itu. Setelah menuang arak dan menawarkan makan untuk tamu-tamu barunya itu, Yok-ong Lo Ban Theng kembali ke atas panggung dan mempersilahkan tamu mudanya untuk memperlihatkan sedikit kepandaian. Baru saja habis tuan rumah berbicara dan hendak melompat turun, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan tahu-tahu di atas panggung itu telah berdiri seorang pemuda yang terus menjura kepada tuan rumah sambil katanya: “Locianpwee maafkan saja yang muda!” Yok-ong Lo Ban Theng tersenyum. “Silahkan orang muda!”
244
Kemudian ia melompat turun dan memberi kesempatan kepada orang yang baru datang itu. Orang itu adalah seorang pemuda yang berusia tigapuluh tahun, wajahnya merah seperti udang rebus, sepasang tangannya mengeluarkan otot-otot yang kuat, dadanya bidang akan tetapi tidak dapat dikatakan tampan karena hidungnya yang besar dan bibirnya yang tebal keras itu. Alisnya lebat keren, rambutnya tertutup oleh topi yang terbuat dari kain putih pula, sebelum dia berkata pemuda itu melemparkan senyum ke arah Siauw Yang yang menerimanya tanpa memberi reaksi. “Saja bernama Tiat Hauw disebut orang si Lengan besi. Dan saja akan menunjukkan kebisaan saja.” Orang yang bernama Tiat Hauw itu kemudian bersilat dengan tangan kosong. Gerakannya mantap, tenaganya mendatangkan angin menandakan tenaga yang besar. Dilihat dari sepintas, gerakan tangan kosong pemuda itu mirip dengan ilmu silat cabang Go-bi-pay, hanya gerakan-gerakan kaki itu yang masih nampak kaku dan menggunakan jurus-jurus menendang. Padahal ilmu silat Go-bi-pay tidak dikhususkan ilmu tendangan berantai, akan tetapi pemuda baju putih ini selalu menekankan pada gerakan menendang! Sorak sorai tepuk tangan para hadirin menyambut pemuda itu bersilat. Akan tetapi sebentar cuma, ia berhenti dan memandang kepada tuan rumah: “Bagaimana locianpwe...... apakah ilmu silatku dapat nilai menurut pandanganmu?” Yok-ong Lo Ban Theng yang bermata tajam itu dapat melihat betapa gerakan-gerakan pemuda Tiat Hauw itu masih mentah,
245
meskipun kalau dilihat sepintas cukup baik. Ia tersenyum lebar dan memberi isyarat kepada salah seorang dari Sam-hauw-swat-cu-eng yang bernama Lie Bun Ceng. Orang ketiga dari Harimau Mustika Salju. Lie Bun Ceng ini terkenal ilmu silat tangan kosong yang bsrsumber dari cabang Jiu-jit-siu dan digabung dengan ilmu silat peninggalan Yok-ong Sauw Lee, kakek dari Yok-ong Lo Ban Theng ini yang bernama ilmu silat Swat-cu-kiam-hoat atau ilmu pedang mustika salju yang terkenal ini. Kemudian Lie Bun Ceng menghampiri Tiat Hauw yang digelar si Lengan Besi itu sambil tertawa berkata: “Nah Tiat Hauw yang gagah biarlah aku yang tua ini akan mengujimu..... Kau keluarkanlah senjatamu!” “Saja biasa dengan tangan kosong Lo-enghiong.....” “Kalau begitu baiklah, aku juga akan melayanimu dengan tangan kosong pula. Tiat Hauw sicu, majulah dan perlihatkan kepandaianmu!! “Maaf aku yang muda berlaku kurang ajar!” berkata demikian Tiat Hauw yang berjuluk si Lengan Besi mengirim jotosan ke arah Lie Bun Ceng dengan gerak tipu Pay-san-to-hay (Menolak Gunung Mengeruk Laut), sebuah pukulan yang mengeluarkan tenaga besar. Tangan yang berotot itu menyambar ke arah perut Lie Bun Ceng. Tentu saja orang tua she Lie tidak mau perutnya menjadi sasaran jotosan pemuda yang terkenal dengan julukan Si Lengan Besi, ia
246
tahu kalau membiarkan perutnya itu dijotos tangan berotot itu akan berantakan usus-ususnya, maka sebab itu sambil berseru: “Bagus!” ia miringkan tubuhnya dan bergerak cepat menggunakan tipu Jiu-jit-su menangkap lengan itu, akan tetapi Tiat Hauw menarik lengannya, dan kini berganti dangan tendangan menyusul. Tiat Hauw berseru keras, kakinya yang besar itu berganti-ganti menendang dengan tendangan beruntun. Melihat bahwa tendangan lawannya ini masih lemah dan nampaknya hanya luarnya saja ganas akan tetapi lemah pertahanannya, Lie Bun Ceng membiarkan tubuhnya terhantam kaki kiri Tiat Hauw. Tiat Hauw girang sekali melihat lawannya tidak menangkis tendangannya ini sambil membentak, “robohlah!” Kaki kirinya menendang kuat dan penuh tenaga. Akan tetapi, terdengar Tiat Hauw menjerit kaget dan tahu-tahu kakinya dijepit oleh sepasang tangan yang amat kuat, dan tanpa dapat dihindarkan lagi, waktu tangan itu bergerak mengangkat tubuh Tiat Hauw terjengkang terpelanting ke belakang dengan amat kuatnya. Tentu saja Tiat Hauw menjadi heran, gerakan apa itu demikian kuat dan yang telah berhasil menjepit tendangannya! Ternyata Lie Bun Ceng dalam gebrakan ketiga itu telah menggunakan ilmu tangkapnya yang disebut Jiu-jit-su. Memang ini khusus menangkap dan membanting. Inilah keistimewaan Lie Bun Ceng orang tua ketiga dari tiga harimau mustika salju. Sambil meringis karena tulang kakinya patah, Tiat Hauw menjura kepada tuan rumah dan tanpa bilang apa-apa lagi ia berkelebat lenyap di tempat itu.
247
Akan tetapi bersamaan dengan perginya Lengan Besi Tiat Hauw, tiba-tiba seorang perajurit kerajaan memasuki tempat itu dan berkata, “Maaf Lo-enghiong, permisi kami hendak bertemu dengan Goanswe dari kotaraja!” kata perajurit kepada tuan rumah yang sudah berdiri menyambutnya. Yok-ong Lo Ban Theng tersenyum ramah dan mempersilahkan perajurit itu bertemu dengan Bong-goanswe. “Ada apa kau datang kemari?” Bong-goanswe bertanya keren dan mengerutkan keningnya tidak senang. Tatapan matanya tajam memandang perajurit dari kotaraja itu. Dia kenal dengan perajurit ini. Akan tetapi ia merasa lebih tinggi tingkatnya itu, tidak memperlihatkan muka yang bersahabat kepada bawahannya ini. Perajurit itu menghormat mengangkat ke dua tangannya menjura, “Goanswe, maafkan kalau saja mengganggu!” “Hem, ada apa? Lekas katakan!” “Saya dari dusun Siauw-ling, melaporkan kepada Goanswe bahwa Nguyen-loya telah terbunuh oleh seorang gadis kang-ouw yang menamakan dirinya Kwan-im Sianli. Gadis muda itu mengacau Siauw-ling dan membunuh pula Nguyen kongcu dan membakar gedung, harap Goanswe menjadi tahu adanya,” demikian perajurit itu melapor. “Pergilah, sebentar aku menyusul!” “Baik Goanswe,” sahut prajurit itu.
248
Yok-ong Lo Ban Theng menghampiri tamunya dan berkata, “Ah, ada berita penting rupanya?” Bong-goanswe berdiri dan mengangkat tangannya menjura diikuti dengan Hok Losu dan Leng Ek Cu: “Lo-kiam-enghiong, maafkan kami tak dapat berlama disini, terima kasih untuk hidangan dan sambutanmu!!” “Oho, kenapa begitu tergesa-gesa??” “Kami hendak ke Siauw-ling, lain kali kami mampir ke sini dan ngobrol sepuas-puasnya dengan kau orang tua. Sekarang permisi dulu Lo-kiam-enghiong.......!!” “Terima kasih atas kunjungan sam-wie Enghiong!” kata Yok-ong Lo Ban Theng sambil menjura melepaskan ke tiga tamunya pergi. Maka berangkatlah ke tiga orang tua itu menuju ke Siauw-ling. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bong-goanswe bertemu dengan Bwe Hwa dan Liok Kong In, dan karena hebatnya ilmu pukulannya yang disebut hui-thian-jip-te, Bwe Hwa dan Kong In tidak dapat menghindarkan pukulan yang dahsyat itu dan mereka berdua terlempar ke dalam jurang yang curam dan tidak kelihatan dasarnya. Setelah memukul kedua orang muda itu, muncullah Sian Hwa, gadis ini melihat musuh besarnya yang bernama Bong Bong Sianjin itu meninggalkan gedung Yok-ong Lo Ban Theng, dengan diam-diam iapun menyelinap pergi dan mengikuti Bong-goanswe ini.
249
Akan tetapi sangat disayangkan dia terlambat sampai di hutan itu dan melihat suci dan suhengnya Bwe Hwa dan Kong In terlempar ke jurang, maka dengan kebencian yang amat hebat, Sian Hwa menerjang Bong Bong Sianjin dan karena kepandaian musuh besarnya ini jauh di atas tingkat kepandaiannya, maka iapun ditawan oleh ketiga orang tua aneh ini untuk dibawa ke pulau bidadari! ◄Y► 8 Kita kembali ke gedung Yok-ong tengah mengadakan sayembara pertunjukan silat untuk mencari jodoh bagi puterinya yang bernama Lo Siauw Yang. Setelah Tiat Hauw si lengan besi itu telah dibikin keok oleh Bun Ceng orang ketiga dari pembantu Yok-ong yang berjuluk Sam-hauw-swat-cu-eng (Tiga harimau mustika salju), maka panggung itu kembali kosong dan para tamu menanti-nanti peserta lain yang belum menampakkan dirinya. Sebetulnya banyak sekali para pemuda yang berhasrat mengikuti sayembara ini, akan tetapi mengingat kepandaian mereka masih jauh dan belum memenuhi syarat, maka banyak mereka yang menarik kembali hasratnya itu dan menanti saja dengan hati tertarik, menonton! Yok-ong Lo Ban Theng juga kecewa melihat keadaan ini. Ternyata dari sekian banyak pemuda yang hadir, sedikit sekali yang menaruh minat. Diam-diam ia yang sudah menaruh simpati kepada pemuda tampan baju biru. Matanya yang tajam dapat melihat akan isi anak muda itu. Berkali-kali ia melirik.
250
Dan Siauw Yang juga mengharapkan munculnya pemuda tampan ini. Ia percaya tentu pemuda tampan ini mempunyai simpanan yang boleh juga. Kalau tidak masakan ia berani menonjolkan diri berkali-kali malah pernah menegur pula seorang pemuda yang bernama Ho Siang itu yang semulanya pemuda itu hendak memamerkan kepandaiannya meniup suling, bukan main silat! Go Sin Thong tak sabar lagi. Ia benar tertarik sekali dengan gadis puteri Yok-ong ini. Beberapa kali ia melirik ke arah Siauw Yang, beberapa kali itu pula dirasakannya dadanya berdebar aneh. Bergejolak riang dan penuh bahagia. Melihat bahwa tidak ada lagi kaum muda yang meloncat ke panggung maka dengan dada berdebar dan tegang, Sin Thong berdiri dan meloncat ke atas panggung itu! Tepuk tangan menyambut munculnya seorang pemuda kecil dan tampan itu. Yok-ong mengerutkan alisnya. Sam-hauw-swat-cu-eng memandang heran. Ketiga orang tua pembantu Yok-ong ini mengenal siapa si cebol itu. Akan tetapi mereka menjadi heran sekali melihat Sin Thong juga berkenan dalam pemilihan ini. Sin Thong yang telah berada di atas panggung itu pertama-tama menjura hormat kepada tuan rumah dan berkata: “Lo Yok-ong, perkenankan siaute memperlihatkan sedikit kebodohan!” Walaupun hatinya tak senang dan heran, Yok-ong mengangguk. Tentu saja orang tua ini merasa heran dan mengapa Sin Thong yang dikenalnya baik sebagai murid sahabat baiknya Kwa Shinse bermaksud pula dalam pemilihan jodoh ini?
251
Tak mengerti ia, dan yang aneh, secara diam-diam hati orang tua ini tidak rela anaknya berjodoh dengan Sin Thong, pemuda kecil pendek! Dan ia akan mengusahakan untuk mengalahkan Sin Thong. Sin Thong bersilat dengan tangan kosong. Gerakan-gerakannya lincah dan mantap. Ia sengaja bersilat tidak lama karena ia pikir tidak perlu mempertunjukkan silatnya di muka umum. Ada sekitar limabelas menit. Ia menyudahi permainannya dan mengangguk kepada Yok-ong Lo Ban Theng. Orang tua itu menoleh kepada pembantunya, salah seorang dari Sam-hauw-swat-cu-eng yang kali ini orang pertama dari tiga harimau dari mustika salju itu yang menghadapi pemuda cebol untuk mengujinya. Kali ini yang naik ke atas panggung sebagai pengujinya adalah Bong Kek Cu, terkenal dengan permainan toya besinya dari cabang Siauw-lim-pay. Bong Kek Cu ini berusia hampir empatpuluh tahun, sebagai pembantu pertama dari Yok-ong Lo Ban Theng, ilmu toyanya sudah dikenal. Oleh sebab itulah Yok-ong sekarang mengajukan jagoan-jagoan yang berwatak keras dan berangasan ini! “Pemuda cebol, aku sudah siap, tunggu apa lagi?” datang-datang Bong Kek Cu menegur dengan perkataan yang kasar dan tanpa embel-embel sebagaimana orang hendak berlatih atau mengujinya. Toyanya yang besar itu sudah diputar-putar mengeluarkan suara mengaung saking kerasnya toya itu menyabet angin.
252
Melihat bahwa pengujinya ini datang-datang membawa tongkat besi yang disebut toya itu, Sin Thong juga tidak mau berlaku sungkan lagi dan dari balik bajunya ia telah meloloskan pedangnya yang berbentuk melengkung seperti samurai. Melihat pedang panjang melengkung ini diam-diam para hadirin tersenyum geli. Pemuda cebol ini menggelikan sekali. Mana ada pedang yang bentuknya seperti itu? Tentu saja mereka tidak tahu. Pedang yang dipegang oleh Sin Thong adalah pedang pusaka yang disebut samurai! Memang inilah yang diwariskan oleh suhunya Kwa-sinshe, ilmu silat yang bersumber dari negeri Jepang ini pernah diterima oleh suhunya dari seorang bajak laut Jepang yang pernah menguasai laut Po-hay, dan pada suatu hari bajak laut itu sakit payah dan bertemu dengan Kwa-sinshe dan tertolong nyawanya. Merasa bahwa bajak laut Jepang itu berhutang budi dengan orang she Kwa maka sejak saat itu, Kwa-sinshe menjadi sahabatnya dan mendapat ilmu silat dari Jepang yang bernama: Karate-do dan ilmu pedang yang disebut samurai! Tak heran kalau sekarang Sin Thong mengeluarkan pedang samurai pemberian suhunya itu. Pedang itu panjang dan melengkung. Dari sampingnya berkilat-kilat akan ketajaman pedang samurai yang tertimpah cahaya lampu. “Locianpwe Bong Kek Cu, maaf Siauwte yang kurang ajar berlaku lancang.” Sin Thong merendah membongkokkan dirinya seperti seorang samurai Jepang yang hendak memulai pertandingan.
253
Melihat sikap pemuda cebol ini, Bong Kek Cu membentak, “Cerewet, hayo tandingi toyaku. Lihat serangan!” Toya yang beratnya limaratus kati itu menyambar mengemplang kepala Sin Thong. Melihat bahwa kakek Bong Kek Cu ini tidak sabaran dan datang-datang terus mengemplang. Sin Thong mengelak dari sambaran toya di atas kepalanya dengan menundukkan sedikit kepala. Toya lewat di atas kepalanya mengeluarkan suara mengaung yang menggeletar. Kaget sekali pemuda cebol itu, tahulah ia bahwa kakek Bong Kek Cu ini adalah seorang ahli gwakang (tenaga luar). Sambil menundukkan kepala, pedang samurai yang panjang dan melengak bergerak dari samping melibat kaki lawan, “weeert!” pedang samurai lewat di kaki Bong Kek Cu ketika kakek ini mencelat menghindarkan sabetan pedang samurai. “Weng, weng, weng!” Tiga kali toya di tangan Bong Kek Cu berputar. Ke duanya kini berhadapan. Bong Kek Cu memegang toyanya yang besar dan berat itu dengan ke dua tangan dimiringkan ke kiri, sedangkan sama seperti kakek itu memegang toyanya, pemuda cebol itu memegang gagang samurainya dengan ke dua tangan erat-erat. Inilah cara Sin Thong memegang samurainya. Matanya menatap tajam ke arah Bong Kek Cu. Bong Kek Cu menggeser kedudukan kuda-kudanya dengan maju selangkah ke depan, kaki kiri di belakang. Toyanya yang besar bergoyang-goyang. Sebentar kaki miring-miring ke kanan.
254
Tiba-tiba Sin Thong berteriak. “Eittt... jiaaatt” Pedang samurai berkelebat cepat sekali menyabet ke kiri dan walaupun lambat gerakan itu namun penuh bertenaga. Suaranya yang besar itu mengejutkan para hadirin. Memang sedemikianlah cara pemuda cebol ini bersilat, lalu jurus-jurus pertama disertai jeritan yang menghentakkan lawan. Tentu saja kakek Bong Kek Cu sudah mengenal pemuda cebol ini, tahu bahwa lawannya menggunakan jurus-jurus ilmu silat dari Jepang. Maka begitu saja samurai menyambar ia segera meloncat menekankan toyanya ke tanah membuat tenaga mendorong tahu-tahu tubuhnya sudah berputaran di atas dengan toya tertekan ke bawah. Menangkis samurai Sin Thong. “Trang...!” suara keras terdengar waktu toya itu bertemu dengan samurai di tangan pemuda kecil pendek. Terkejut sekali Sin Thong ketika pedang samurainya bertemu dengan toya, si kakek Bong Kek Cu hampir saja terlepas pedang samurainya kalau tidak cepat-sepat ia mengerahkan tenaga pada ke dua lengannya yang kini terasa nyeri. “Bagus……” Bong Kek Cu berseru dan tubuhnya meluncur turun dengan tangan kiri di dorong ke depan dengan maksud memukul pemuda itu dengan jarak jauh. Sin Thong yang tahu akan kehebatan lawan pengujinya ini tidak berani ia beradu tenaga dengan cepat dan lincah ia sudah mengelak dari sambaran pukulan itu! Terasa angin pukulan membuat ia terhuyung-huyung saking kerasnya pukulan jarak jauh dari si kakek Bong Ek Cu itu.
255
“Tidak adil, tidak adil!” tiba-tiba terdengar suara dari para tamu yang duduk di tengah. Orang-orang menoleh dan heran ia melihat yang bicara itu adalah pemuda tinggi kurus yang tadi hendak bermain suling di panggung: “Hanya untuk menguji calon mantu mengapa harus mengadu kepandaian di atas tajamnya mata pedang? “Bukankah banyak cara untuk menilai orang dengan bermain ilmu silat tangan kosong atau dengan senjata suling sepertiku ini? Mengapa pula harus mengeluarkan toya bau dan pedang bengkung pemotong babi? Sin Thong menoleh ke arah pemuda yang bicara itu. Bong Kek Cu juga mendelik. “Bocah lancang, mengapa kau mencampuri urusan orang?” Bong Kek Cu menegur. Dari atas panggung itu Sin Thong memandang orang muda tinggi kurus ini tak mengerti. “Sahabat, apa maksudmu mencampuri urusan ini?” “Ha ha, orang muda kecil pendek, kau tahu, aku paling benci melihat orang bermain-main pedang seperti penjagal babi dan orang yang membawa-bawa pentungan seperti centeng yang menggagahi dirinya sok pandai. Senjata yang baik adalah senjata yang tidak menakuti orang seperti sulingku ini!” si pemuda tinggi kurus mengacungkan suling hitamnya dan tertawa lebar.
256
Merah muka Bong Kek Cu disindir toyanya sebagai pentungan centeng. Berani benar pemuda kurus ini. “Eh, bocah sinting berani kau menghinaku?” “Tidak menghina sobat,” berkata pemuda tinggi kurus: “Cuma saja aku hendak usulkan supaya penilaian mencari mantu ini tidak menggunakan ketajaman pedang. Mata pedang tidak bermata, bagaimana kalau sayembara ini membawa jiwa manusia melayang oleh karena pedang tak bermata!” “Betul juga kata si kurus ini!” terdengar suara dari para hadirin yang duduk di tengah-tengah dan begitu orang-orang menengok, mereka tersenyum melihat pemuda tampan baju biru itu berkata: “Pertandingan dengan senjata tidak adil, sebaiknya diganti dengan ilmu silat tangan kosong saja, bagaimana Lo-enghiong?” Yok-ong Lo Ban Theng tersenyum. “Pertandingan selanjutnya tidak boleh memakai senjata tajam!” katanya singkat. “Locianpwee Bong Kek Cu, usul pemuda kurus itu baik sekali, sekarang biarlah aku menyimpan samuraiku!” demikian kata Go Sin Thong sambil menyelipkan samurainya ke balik jubahnya dan menanti reaksi dari lawannya ini. Tentu saja bagi Sin Thong ia lebih suka menghadapi lawannya ini dengan tangan kosong. Toya Bong Kek Cu dilempar, kemudian ia berkata: “Baik, tanpa toya aku dapat menandingi bocah cebol ini, dan setelah itu aku mengundang pemuda baju biru untuk naik ke panggung, jangan cuma bisa jual lagak saja di sana!!”
257
“Terima kasih, kalau memang diundang kenapa aku tidak terima, eeeh kakek toya centeng, beresin dulu pemuda kate itu. Kalau kau tidak mampu mengalahkan dia, hmm apalagi mengalahkan aku!!” “Sombong, tunggu kau pemuda cerewet. Nanti kurejeng mulutmu yang bawel itu, eeh bocah cebol, hayo kau layani kepalanku!” “Locianpwee harap bermurah hati kepadaku yang bodoh,” Sin Thong merendah. Akan tetapi Bong Kek Cu yang sudah dibuat jengkel oleh pemuda tampan baju biru mendengus, “Alasan, nggak usah embel-embel. Sambut pukulanku!” Bong Kek Cu yang telah menjadi marah sekali mengirim pukulan menyerang dengan jari-jari tangan terbuka. Inilah cakar setan yang pernah ia warisi dari seorang pertapa di Go-bi-pay beberapa waktu yang lalu. Saking marahnya ia punya cakar setan itu sudah dikeluarkan tanpa memandang lagi akan siapa yang di hadapinya. Akan tetapi biarpun serangan dengan jari-jari tangan terbuka ini hebat, namun Sin Thong dapat mengelak dengan serangan yang tak kalah hebatnya. “Iyaaaat,” tangan kanan Sin Thong menjurus ke depan dengan telapak tangan kanan dimiringkan, sedangkan tangan kiri ditekuk segi tiga di depan dada. Inilah serangan Karate yang hebat luar biasa.
258
“Deeess!” Tubuh Bong Kek Cu bergoyang-goyang, terhantam pukulan tangan telapak miring dari pemuda cebol ini. Saking kerasnya telapak tangan yang menggunakan jurus Karate itu membuat Bong Kek Cu yang memandang lawan enteng tadi terperanjat dan terasa sakit pada jari-jari tangannya yang tadi dipakainya mencengkeram. “Bagus!! Kau mempergunakan karatenya si bajak laut Jepang itu!” Bong Kek Cu meringis. akan tetapi dia tidak jadi mundur malahan memasang kuda-kudanya dengan kakinya ditarik ke belakang dan agak ditekuk ke dalam. Melihat ini Sin Thong juga mengambil posisi karatenya, tangan kanannya terangkat ke atas kepala dengan jari-jari terbuka, sedangkan tangan kiri menjurus ke depan dengan jari-jari tangan dikeraskan pula. Wajahnya dikeraskan, kakinya terpentang lebar. Inilah jurus pembukaan karatenya! “Yaaaattttt….. eeeiitt!!” Sin Thong berseru dan ia meloncat tinggi mengirimkan tendangan maut ke arah lawannya. Hebat sekali tendangannya ini. Bong Kek Cu mempergunakan gin-kangnya dan meloncat tinggi di udara hingga tendangan maut dari Sin Thong itu lewat di sampingnya tidak mengenai sasarannya. Sin Thong merasa penasaran sekali dan ketika tubuhnya melayang turun dia menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan dimiringkan. Tangannya bergerak cepat dan meluncur menyabet ke arah leher lawan, kakinya menendang dengan hebat.
259
Bong Kek Cu terkejut sekali melihat kelihayan karatenya ini, sambil berseru keras dia menggulingkan tubuhnya ke bawah untuk menghindari gerakan istimewa ini. Tidak disangkanya ilmu karate yang pernah didengarnya itu demikian kuat dan dahsyat! Setelah berdiri lagi, Bong Kek Cu lalu mengeluarkan ilmu silat Pat-kwa-ciang-hoat karena maklum bahwa pemuda cebol ini bukanlah seorang lemah, apalagi tadi ia disuguhi permainan jurus-jurus karate yang mengejutkan itu. Tak berani lagi ia main-main dengan pemuda ini, ia mainkan jurus-jurus Pat-kwa-ciang-hoat dari ilmu silat Siauw-lim-pay. Dan Sin Thong tercengang juga menyaksikan ilmu silat tangan kosong yang lihay ini. Beberapa kali ia beradu lengan, ia terhuyung mundur. Tahulah ia bahwa lawan Bong Kek Cu ini mempunyai tenaga lwekang yang cukup tinggi dan menang setingkat dari padanya. Kini ke dua orang kakek dan pemuda cebol itu bertempur dengan seru dan hebat. Jurus-jurus karate yang dimainkan Sin Thong memang aneh dan berbahaya sekali, ditekankan pada telapak tangan miring yang mengeluarkan tenaga pukulan yang amat ampuh. Di antara para hadirin yang tartarik akan pertandingan ini, adalah seorang laki-laki setengah tua yang bersorban merah menatap tajam ke arah permainan Sin Thong. Rasanya ia pernah sekali dihadapkan dengan pukulan-pukulan dengan telapak tangan kiri miring dan kepalan yang kuat itu. Di mana? Orang bersorban itu mengerutkan kening mengingat.
260
Tiba-tiba ia mencelat tinggi dan sekali tangannya bergerak mendorong Sin Thong dan Bong Kek Cu terlempar jatuh mengeluarkan suara berdebuk yang keras. Bong Kek Cu terkejut sekali. Sin Thong heran. Siapa orang ini? Orang tua bersorban merah seperti suku bangsa Tibet! Yok-ong Lo Ban Theng berdiri dari tempat duduknya melihat Te-thian Lomo datuk hitam dari barat itu telah berdiri di panggung. Te-thian Lomo menghampiri Sin Thong dan bertanya. “Orang muda kau murid siapa? Apa hubunganmu dengan Hiroshima, si bajak laut Jepang itu?” “Hiroshima adalah teman baik guruku, kau mau apa?” “Kalau begitu kau harus mampus!” Te-thian Lomo mengibaskan jubahnya dan saking kuatnya angin pukulan ini sehingga tubuh Sin Thong yang pendek kecil itu sudah terlempar tiga meter jauhnya. Merah sekali muka Sin Thong meskipun pundaknya sakit ditampar ujung jubah tadi, ia meloncat dan mengeluarkan samurainya. “Kakek gila, mengapa kau datang-datang menyerangku?” “He he he, anak muda cebol, kau mau tahu siapa aku. Aku adalah Te-thian Lomo (Iblis tua langit bumi) musuh besar si bajak Iaut Hiroshima, Jepang keparat itu. Tadi kau mainkan ilmu karatenya itu. Hayo perlihatkan di depanku!” Te-thian Lomo membentak. Orang tua bersorban ini memang adalah Te-thian Lomo, si iblis langit bumi yang pada beberapa tahun yang lalu pernah bentrok
261
dengan Hiroshima. Si bajak laut dari Jepang yang pada sepuluh tahun yang lalu pernah malang melintang di laut Po-hay dan pernah bertemu dengan Te-thian Lomo ini dan akhirnya karena pedang samurai di tangan Hiroshima dan pukulan-pukulan maut karate demikian hebat, makanya Te-thian Lomo dapat dikalahkan dan dilemparkan ke laut. Karena inilah orang tua bersorban merah ini membenci si samurai dan si karate dari Jepang. “Kakek gila, kau kira aku Go Sin Thong takut kepadamu. Mari rasai pukulan karateku!” Go Sin Thong memasang kuda-kuda dan membentak mengeluarkan suara jeritan menyerang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan: “Sin Thong tahan!” Sekali berkelebat jago tua she Lo itu sudah melompat ke panggung dan berkata kepada Sin Thong: “Kau turunlah!” Mendengar ucapan tuan rumah yang berwibawa ini, Sin Thong tak berani membantah dan ia meloncat turun. Dan duduk di tempat semula. Begitu ia melirik ke arah Sian Hwa. Heran ia, ke mana gadis itu? Tentu saja Sin Thong tidak tahu bahwa Sian Hwa sudah lama meninggalkan tempat itu dan mengejar bayangan Bong Bong Sianjin yang meninggalkan tempat ini. Yok-ong Lo Ban Theng menjura kepada orang tua dari Tibet dan berkata, “Harap lo-enghiong dari Tibet maafkan pemuda tadi dan tidak menaruh marah kepadanya.”
262
“Tidak!” Te-thian Lomo membentak, mendelikkan matanya memandang tuan rumah. “Yok-ong mengapa kau suruh dia kabur?” “Ia adalah murid kawan baikku Kwa-sinshe, harap kau tidak membuat kacau di sini. Ingat sobat, hari ini adalah hari baikku. siapapun tidak boleh mengacau. Aku melarangnya!” “Wertt…!” Tahu-tahu Te-thian Lomo sudah mengeluarkan cambuknya yang panjang dua-tiga kali melecut-lecut di udara. Kalau begitu sebagai gantinya. biarlah kau mewakili anak cebol itu dan layani permainan cambukku dari Barat!” “Te-thian Lomo, apakah kehadiranmu di sini hendak membuat kacau suasana ulang tahunku?” Yok-ong Lo Ban Theng bertanya tajam. “Ha ha ha ha! Yok-ong, kau begini tekabur dihadapanku. Hendak mengandal apakah engkau berani lancang menyuruh mengusir pemuda cebol itu? O, ya pantes dia itu murid kawan baikmu si raja obat she Kwa. Hem, cobalah dulu cicipi gebukan cambukku.” “Sombong!” terdengar bentakan dari bawah panggung. Orang-orang menoleh. Eh pemuda baju biru lagi yang mengeluarkan seruan “Sombong” tadi. Mau apa lagi pemuda ini? Pemuda itu berdiri dan terkejutlah orang-orang yang hadir itu melihat pemuda tampan itu dengan ringannya tahu-tahu pemuda tampan itu telah mencelat dan berada di atas panggung, dan berkata kepada tuan rumah: “Lo-eng-hiong, biarlah untuk urusan
263
kecil ini, siauwte yang muda membersihkan lalat-lalat hijau dari Tibet yang nyasar ke tempat ini. Memang dalam suasana pesta ulang tahun, tidak baik dikotori oleh lalat-lalat hijau menjijikkan saja.......” Yok-ong Lo Ban Theng menatap tajam ke arah pemuda tampan baju biru dan tersenyum lebar: “Orang muda siapakah namamu? Apakah kau dapat menepuk lalat hijau yang kau katakan.” Pemuda baju biru yang tampan itu mengeluarkan kipas hitamnya, dan seperti orang kepanasan ia mengipas-ngipaskan badannya sambil berkata; “Lo-enghiong jangan kuatir, dengan kipas hitamku ini, masakan aku tak mampu mengebut lalat hijau ini!!” Berkata begitu ia melirik ke arah orang tua bersorban merah yang memandangnya dengan mata mendelik. Pecutnya yang panjang itu menggeletar-geletar, siap menempur pemuda itu. “Bagus!! Apabila kau dapat mengusir lalat hijau itu, usirlah dia!!” Demikian kata Yok-ong Lo Ban Theng sambil melompat turun dan ia memberi isyarat kepada Bong Kek Cu untuk turun. “Eh, Te-thian Lomo..... julukanmu iblis tua langit bumi ya? Hemm, kalau begitu masih pernah apa dengan kakek penjaga kuburan di Thay-hoa-thong yang bernama Kakek Setan Pencabut nyawa Giam-lo-ong?” “Bangsat besar, lancang mulut, apa kau bosan hidup?” “Bangsat kecil!” Si pemuda tampan memaki sambil membantingkan kakinya, “Siapa yang tidak ingin hidup? He, kakek
264
tua iblis langit bumi apa kau sendiri sudah bosan hidup biarin deh tuan mudamu yang mewakili Giam-lo-ong mencabut nyawamu yang tak berharga itu......” “Kunyuk! Siapa bilang nyawaku tidak berharga?” Pemuda tampan baju biru itu tertawa dan tiba-tiba ia menoleh kepada pemuda tinggi kurus yang tadi hendak bermain suling sambil katanya. “Eh, sobat! Coba terka, nyawa apakah yang tidak berharga dan dimusuhi oleh banyak orang? Hayo jawab, bisa enggak engkau menerka teka-teki dariku!” “Nyawa yang tidak berharga?” pemuda tinggi kurus yang bernama Ho Siang itu mengerutkan keningnya dan tertawa terbahak-bahak. “Eh bisa enggak, kenapa jadi ketawa sinting!” “Kau yang sinting tolol, masa ada nyawa yang berharga atau tidak, semua nyawa tentu berharga. Tak bisa dibeli dengan uang….. mana bisa dikatakan nyawa berharga atau tidak. Tentu saja semua nyawa berharga tolol!” si pemuda tinggi kurus Ho Siang mengejek pemuda tampan baju biru. “Kau sih benar-benar otak udang! Masa tebakan segitu saja nggak mampu. Coba tanyain kepada para hadirin. Nyawa apakah yang tidak berharga? Hayo siapa yang dapat, angkat tangan!” “Saya tahu.” Seorang kakek yang berdiri di pojok sebagai penonton saja rupanya itu mengacungkan tangannya. Si pemuda tampan baju biru tersenyum.
265
“Hayo tebak!” “Jiwa yang tidak berharga adalah jiwa kecoa!” kakek itu berteriak keras. Orang-orang pada tertawa. Yok-ong Lo Ban Theng tersenyum. Akan tetapi siap siaga menjaga kemungkinan Iblis tua langit bumi itu mengamuk. Ia mengenal nama iblis tua langit bumi yang sudah kesohor namanya sebagai datuk hitam dari selatan. Karenanya dengan tenang tuan rumah ini mengawasi panggung dengan siap siaga. Ia sudah bersiap-siap untuk membantu kalau pemuda tampan itu sudah bertanding dengan iblis tua langit bumi yang kesohor kejamnya! Sementara itu pemuda tampan baju biru mengangguk-anggukkan kepalanya kepada kakek penonton yang menjawab teka-tekinya: “Bagus, jawabannya hampir tepat! Tapi belum seratus persen benar. Hayo yang menjawab dengan tepat dan jitu!” Melihat tingkah laku pemuda tampan baju biru yang menggemaskan ini, Te-thian Lomo membentak: “Bocah setan, jangan berlagak di sini. Hayo, minggat!” “Tar tar!” bentaknya itu disusul dengan suara cambuk di tangannya melecut-lecut di udara dengan amat keras. Pemuda baju biru kaget dan melompat mundur.
266
“Lalat hijau….. jadi kau ini murid Dewakala, pertapa sakti dari Anapura di pegunungan Himalaya?” “Ha ha ha,” Te-thian Lomo iblis tua langit bumi itu tertawa bergelak-gelak sementara cambuk hitamnya masih melingkar-lingkar di udara. “Awas juga matamu, bocah gila! Apakah kau tidak tahu bahwa Te-thian Lomo sudah berada di depan matamu untuk mencabut nyawamu?” “Sraat!” sebuah kipas hitam dan pit baja terbuka dan tahu-tahu pemuda tampan baju biru ini sudah berada di depan Te-thian Lomo dengan tangan kiri memegang pit dan tangan kanan memegang kipas hitam. “Bagus! Kiranya Te-thian Lomo yang mencari mampus di sini! Kalau begitu tak usah aku bersusah payah mencarimu. Hari ini murid Lu-liang Siucay dari Lu-liang-san menuntut balas. Iblis tua mampuslah kau!” Suara angin keras terdengar ketika kipas di tangan kanan pemuda tampan itu bergerak mengebut. Bergidik Te-thian Lomo melihat hawa dingin datang bergelombang, Dengan cepat ia mengelak dan melecutkan cambuknya tiga kali. “Tar tar tar...!” bagaikan ular hidup yang melingkar-lingkar menyambar-nyambar tubuh pemuda tampan itu. Akan tetapi untuk yang kedua kalinya iblis tua ini berteriak kagum dan terkejut begitu melihat tubuh pemuda itu berkelebat dengan amat cepatnya merupakan bayang-bayang lincah dan gesit.
267
“Bocah sinting, kau mencari mati. Hemm, rupanya kau murid si sastrawan gila dari Lu-liang-san itu, siapa namamu?” “Iblis tua, tak perlu banyak cakap! Makan ini…..,” Pit panjang menyambar dahsyat mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya gerakan pemuda itu. Memang hebat sekali gerakan pemuda baju biru ini. Bukan saja tubuhnya demikian lincah dan gesit laksana burung walet terbang namun setiap gerakan, tusukan pit dan sambaran-sambaran kebutan kipas hitam di tangannya selalu mengeluarkan suara angin menderu. Dari sini saja sudah dapat diduga bagaimana lihaynya pemuda tampan baju biru ini. Akan tetapi, ia menghadapi Te-thian Lomo, iblis tua langit bumi yang sudah terkenal di kolong langit akan segala keganasannya dan ilmu kepandaiannya yang demikian dahsyat. Disamping permainan cambuknya yang lihay dan luar biasa itu, sering jubahnya bergerak-gerak merupakan pukulan-pukulan yang membuat pemuda tampan baju biru ini menjadi terhuyung-huyung dan terkejut melihat kehebatan lawan. Melihat bahwa pemuda baju biru itu itu sudah bertempur dengan serunya dengan kakek tua Te-thian Lomo tak enak hati Yok-ong Lo Ban Theng kalau mendiamkan saja. Sekali pandang saja, tahulah ia bahwa biarpun kepandaian pemuda tampan baju biru ini demikian hebat dan aneh-aneh gerakannya, namun menghadapi Te-thian Lomo, ia masih kalah jauh dan mulai terdesak oleh pukulan-pukulan cambuk yang lihay itu.
268
Sekali berkelebat tahu-tahu Yok-ong Lo Ban Theng sudah berada di atas panggung dan langsung menggerakkan pedangnya menyelinap masuk sambil membentak: “Tahan!” Sebuah sinar putih berkilau bagaikan kilat menyambar dibarengi suara bersuit panjang dan angin berdesir menyambar. Tubuh si raja obat telah lenyap dan yang nampak hanya segulungan sinar putih menerjang laksana kilat menyambar dahsyat. “Haaaaiittt!”pekik nyaring melengking itu keluar dari mulut Yok-ong Lo Ban Theng yang menerjang maju ke tengah-tengah pertempuran yang sedang seru-serunya itu. Melihat sebuah bayangan putih menyambar cepat, Te-thian Lomo menyampok dengan kibasan ujung jubahnya dan dengan cambuknya berkelebat cepat mendesak pemuda baju biru dengan sabetan maut yang amat dahsyat dan mengeluarkan suara angin menderu. “Sing breeet, krekkk!” Hebat akibatnya. Tiga orang itu terpental ke belakang. Wajah Yok-ong Lo Ban Theng menggigil mengeluarkan keringat dingin, ke dua kakinya menggetar-getar. Matanya memandang kaget kepada Iblis tua langit bumi yang demikian hebat dan tak disangkanya. Te-thian Lomo tersenyum mengejek. Melirik ke arah pemuda baju biru yang tadi terlempar ke belakang dan tengah mengerahkan hawa di dada.
269
Untung saja pemuda baju biru demikian gesit dan waktu sabetan cambuk itu menyambar pinggangnya, dengan gerakan cepat laksana kilat ia mencelat ke atas dan sambaran cambuk lewat di bawah kakinya, akan tetapi tak disangka waktu tubuhnya tengah di udara itu, gelombang pukulan dari ujung jubah lawan yang demikian dahsyat dan membentur pundaknya sehingga tidak ampun lagi ia terpental dan terasa tulang pundaknya menjadi nyeri dan sakit luar biasa. Cepat ia menyalurkan hawa sin-kang dan menyalurkan tenaga mujijat itu ke pundak dan dada yang tergetar. Te-thian Lomo memandang ke arah Yok-ong Lo Ban Theng dan membentak: “Bagus Raja obat she Lo, hari ini iblis dari langit bumi akan menghancurkan kepalamu juga!” “Sing sing sing, werrr!” tiga bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu dipanggung itu berdiri ke tiga orang-orang tua yang disebut Sam-hauw-swat-cu-eng dan seorang gadis cantik jelita putri tuan rumah, Lo Siauw Yang yang sudah menghunus pedang di tangan. “Iblis tua jangan berlagak di sini!” “Siauw Yang mundur kau! Jangan turut campur!” bentak Yok-ong Lo Ban Theng terkejut melihat anaknya telah naik ke panggung. Ia kuatir bahwa lawannya yang bernama Iblis Tua langit Bumi demikian dahsyat sekali. Ia sendiri tidak sanggup menghadapi. Apalagi Siauw Yang? Siauw Yang memandang ayahnya dan berkata: “Tidak ayah, sebelum pedangku ini memberi hajaran kepada iblis sundelan itu, aku belum puas!”
270
“Siauw Yang! Turun.......!” ayahnya membentak. “Ayah.......!” “Turun kataku, turun! Jangan kau turut campur,” suara Yok-ong Lo Ban Theng dan ia muntahkan darah. “Ayah!” Siauw Yang memburu ayahnya. Yok-ong Lo Ban Theng menekan dadanya dan mengerahkan lwekang ke arah dada agar supaya tidak berbatuk lagi. Wajahnya pucat. Tahulah ia bahwa dadanya telah terluka hebat, tersambar pukulan jubah lawannya tadi. Hebat memang iblis tua itu, sekali gebrakan saja Yok-ong Lo Ban Theng sudah terluka hebat. Akan tetapi karena ia sendiri sebagai raja obat, ia tidak menjadi kuatir. Tangannya merogoh saku dan menelan sebuah pil pencegah keluarnya darah. Ia mendorong tubuh Siauw Yang berkata lemah, “Siauw Yang turunlah kau!” Mendengar suara ayahnya yang tak dapat dibantah lagi, dengan air mata bercucuran Siauw Yang melompat turun dan memandang ke arah panggung itu dengan dada berdebar dan tegang! “Ha ha ha, itulah bakti seorang anak kepada ayahnya. Akan tetapi sayang, ayahnya cuma gede mulut doang dan kepandaiannya tidak seberapa!”
271
“Te-thian Lomo jangan banyak cakap, lihat pedang!” Tiga orang Sam-hauw-swat-cu-eng bergebrak maju berbareng. Pedang dan tongkat, dan sepasang pedang pendek berkeredepan menyambar tubuh Te-thian Lomo dengan gerakan dahsyat dan mematikan. Nampak tiga bayangan berkelebat dengan amat cepatnya. Akan tetapi hanya beberapa menit saja terdengar teriakan jeritan ngeri ketika tiga buah sosok manusia terlempar keluar panggung dan dalam keadaan sudah tak bernapas lagi. Gegerlah para penonton. Tiga tubuh manusia itu adalah tiga orang yang telah mendapat julukan sebagai tiga harimau mustika salju. Dalam segebrakan tadi sudah tak bernyawa. Hebat! Melihat kejadian ini, gegerlah para tamu! Tokoh-tokoh kang-ouw berdiri saking tegangnya. Masing-masing sudah mencabut senjata siap untuk mengurung Iblis Tua Langit Bumi yang kejam daa sadis. Para tamu yang tidak mempunyai kepandaian, ngacir takut terkena sambaran senjata yang tak bermata itu. Malah ada yang membesarkan nyalinya cuma menonton saja dari jarak yang cukup jauh. Sebentar saja panggung yang terletak di tengah-tengah halaman kebun bunga itu sudah terkurung oleh orang-orang gagah yang bersimpati kepada tuan rumah. Mereka bersiap-siap mengeroyok iblis tua itu. Cui-sian Kong Sin Kek si dewa arak sudah melompat ke panggung dibarengi dengan gerakan Hak-san Tayhiap Ong Kwie yang
272
mencelat pula naik ke atas panggung. Seorang pemuda cebol Go Sin Thong juga sudah mencelat dan berada di atas panggung. Siauw Yang sudah tak sabar melihat pemandangan ini. Kalau saja ia tidak takut dengan pesan ayahnya, ia sudah melompat pula ke panggung. Akan tetapi ia hanya berdiri dengan tegang di bawah panggung menatap tajam dan bersiap-siap pula. Di bawah panggung itu dikelilingi oleh seratus lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang sewaktu-waktu akan mencelat ke atas dan menerjang Iblis dari Selatan ini. Keadaan di atas panggung itu menjadi tegang dan mendebarkan hati. Te-thian Lomo memainkan cambuknya melecut-lecut di udara sambil menyapu orang-orang yang di bawah itu dengan pandangannya yang berapi-api, katanya: “Hayoo mana kawanan tikus-tikus yang hendak menangkap lalat hijau....... mana?? Hayo naik ke atas panggung untuk terima kematian!!” “Te-thian Lomo, sebetulnya keluarga kami denganmu tidak ada permusuhan dan ganjelan hati. Akan tetapi karena kau sudah berlaku tidak memandang mata dengan keluarga Lo dan telah menjatuhkan tangan maut kepada ke tiga orang pembantuku, maka hari ini aku orang she Lo akan mengadu jiwa dengan dirimu!” “Haaa….. haaa itu baru ucapan orang gagah. Hee, manusia she Lo, kau bilang tidak ada permusuhan apa-apa denganku, tetapi kenapa kau lancang mencampuri urusanku dengan pemuda cebol murid Kwa-sinshe temannya bajak laut Jepang si Hiroshima itu?”
273
“Pemuda itu adalah murid teman baikku karenanya tak boleh kau berbuat sekehendakmu sendiri. Siapapun orangnya, aku akan mencegahnya!” kata Yok-ong Lo Ban Theng sambil menekan dadanya yang sakit. “Kalau begitu kau mencari mampus sendiri orang she Lo, kalau kau bosan hidup dan kepingin mampus, biarlah tanganku yang akan mengirim ke neraka,” berkata demikian pecut itu menyambar dan menerjang si raja obat she Lo. Biarpun Lo Ban Theng sudah terluka akan tetapi ia masih gesit mengelak dan balas menerjang dengan tusukan pedang yang tak kalah hebatnya. “Wertt!” Suara cambuk bergetar dan menyapu kaki Lo Ban Theng. Dengan cepat orang she Lo ini mencelat ke atas dan membalas dengan tusukan pedang tiga kali sehingga menimbulkan suara mendenting keras waktu pedangnya beradu dengan cambuk lawan yang menangkis dengan amat kuatnya. “Yaaatt, eiitt!” Raja obat meloncat ke atas dan dengan gerakan memutar ia menendang punggung lawan yang terbuka itu. Akan tetapi, begitu terdengar “wertt!” ujung jubah Te-thian Lomo sudah menangkis dan saking kuatnya hawa pukulan datuk hitam dari selatan ini membuat si Raja Obat Lo Ban Theng terhuyung-huyung ke belakang tiga tindak, terasa luka di dadanya semakin nyeri dan sakit. Namun ia tidak gentar dan cepat ia menubruk lagi kakeknya yang terkenal dengan sebutan Sin-kiam-yok-ong (si Raja obat pedang sakti) yang pada puluhan tahun pernah menggemparkan dunia kang-ouw oleh sebab kelihayan ilmu pedangnya. Selihay-lihay ilmu
274
keturunan Yok-ong ini menghadapi si Iblis dari Selatan, Yok-ong Lo Ban Theng menjadi kewalahan sekali. Beberapa kali ia menjadi terhuyung-huyung tertampar sambaran ujung jubah yang dahsyat itu. Pecut atau cambuk di tangan Te-thian Lomo menggeletar-geletar amat kuat dan melingkar-lingkar laksana ular hidup yang ganas mencari mangsa. Kadang-kadang cambuk itu merupakan lingkaran kecil yang berusaha hendak membelit pedang, akan tetapi juga kadang-kadang dari gulungan sinar cambuk menyambar kilatan-kilatan sinar hitam merupakan totokan maut yang sukar untuk dihindarkan lawan. Ketika kilatan hitam itu meluncur lurus menusuk iga Yok-ong Lo Ban Theng, dengan mengelak ke kiri si raja obat menyabetkan pedang menangkis dengan amat kuatnya. “Krakkk!” patahlah pedang di tangan Yok-ong Lo Ban Theng. Belum lagi hilang rasa kagetnya tahu-tahu cambuk itu menyambar cepat dan membelit tangan si raja obat. Terdengar seruan-seruan tegang ketika tubuh Yok-ong Lo Ban Theng melayang turun dan terbanting dengan amat kerasnya. Siauw Yang memburu ayahnya dan menjerit. “Ayah........!!” “Siauw Yang….., aku tidak apa-apa. Tak usah kuatir. Aduh……,” Yok-ong Lo Ban Theng mengeluh perlahan merasakan dadanya semakin nyeri. Ia mendekap dadanya dan memandang ke atas panggung. Siauw Yang membantu membangunkan ayahnya dan memapah mendekati panggung.
275
“Lo-enghiong...... kau sudah terluka, harap jangan naik ke panggung, berbahaya sekali,” yang berkata begitu adalah pemuda tinggi kurus Ho Siang. Orang muda itu memegang sulingnya. Dan sekali berkelebat, ia sudah mencelat ke atas panggung. Menudingkan sulingnya, memaki: “Te-thian Lomo ganas dan keji! Terpaksa aku turun tangan!” Te-thian Lomo membalikkan tubuhnya dan begitu melihat pemuda tinggi kurus yang kelihatannya lemah dan ketololan ia tertawa terbahak-bahak, mengejek, “Ha ha ha, bocah gila, apa kau bosan hidup?” “Te-thian Lomo engkau sama saja dengan gurumu, Dewakala itu, sama-sama jahat dan berhati iblis. Sayang sekali pada dua tahun yang lalu itu, guruku pernah mengampuni jiwa anjingmu. Menyesal semakin diberi hati semakin jahat engkau! Boleh jadi guruku telah berlaku murah hati kepadamu. Tapi aku tidak!” “Bocah gila, anak sedeng! Kau siapa, dan siapa gurumu?” Te-thian Lomo bertanya dengan pandangan matanya menyelidik orang muda tinggi kurus yang memegang suling. Melihat pemuda ini demikian tenang dan tidak gentar terhadapnya, ia semakin berhati-hati. Apa lagi melihat suling hitam di tangan pemuda itu Mengingat ia kepada seoarang di India beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi ia tidak gentar menghadapi pemuda bersuling hitam itu.
276
Mengapa ia mesti gentar? Nama Te-thian Lomo sudah amat terkenal dan banyak disegani lawan sebagai Iblis ganas yang pernah merajalela di selatan. “Kau bertanya siapa aku? Hm, mungkin kau lupa dengan guruku Nakaryavia dari India yang telah memberi ampun kepadamu oleh karena memandang mata dengan gurumu si Dewakala di Anapurna. Akan tetapi sekarang berhadapan denganku tak ada ampun lagi bagimu.” “Ooo, kalau begitu kau murid si pendeta Nakarjavia. Hem, bocah gila, apa kau kira aku takut kepadamu! Memang aku pernah dikalahkan oleh gurumu dan karena lagi ia orang tua maka aku banyak mengalah terhadapnya. Tetapi, terhadapmu bocah masih ingusan begini? Hahahoho…… jangan mencari penyakit dan kematian hey, orang muda! Lebih baik kau minggat sebelum naik darahku dan menghajarmu! Hayo pergi!” “Te-thian Lomo…… kau jahat dan tersesat jauh sebagai pendeta yang seharusnya mensucikan diri di puncak dan mempelajari kebathinan, akan tetapi sayang, iblis-iblis rupanya telah membelenggu hidupmu dan sebentar lagi kau akan kukirim ke neraka bersama dengan tabiatmu yang jelek.” Keduanya sudah saling menghampiri, keadaan menjadi tegang. Yok-ong Lo Ban Theng, Siauw Yang, Hak-san tayhiap Ong Kwie, si Dewa Arak Cui-sian Kong Sin Kek dan tokoh-tokoh lainnya yang di bawah panggung merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Tadi mereka terkejut mendengar pemuda tinggi kurus yang
277
bernama Ho Siang itu pemuda yang memegang suling hitam ternyata adalah murid dari Nakayarvia dari India. Tentu saja meskipun mereka belum pernah bertemu dengan pendeta dari India itu, akan tetapi nama Nakayarvia sudah terkenal sampai jauh ke daratan Tiongkok dan sebagai pendeta yang amat sakti. Akan tetapi diam-diam mereka bersangsi dapatkah pemuda itu melawan Te-thian Lomo yang lihay dan terkenal dengan kekejamannya! Hanya pemuda tampan baju biru itu yang menaruh kepercayaan akan kesaktian pemuda bersuling yang kelihatannya masih tenang-tenang saja memandang ke arah lawannya dengan tatapan tajam. “Bocah gila! Kau mencari mampus...... Kau terimalah ini!” Bersamaan dengan kata-katanya cambuk di tangan Te-thian Lomo menerjang maju merupakan ular hidup bergerak dengan amat cepatnya menyambar pergelangan tangan Ho Siang. Pemuda ini kaget sekali melihat keccpatan ujung cambuk yang tahu-tahu sudah membelit pergelangan tangannya. Cepat-cepat ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk merenggut lepas tangannya yang terbelit cambuk, namun sia-sia belaka, karena saat itu ia telah dibetot oleh tenaga luar biasa melalui cambuk. Betapapun ia mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga pada sepasang kakinya, Ho Siang tidak mampu mempertahankan dirinya dan ia terhuyung. Tiba-tiba cambuk terlepas dari tangannya dan hampir saja Ho Siang terguling roboh kalau saja ia tidak cepat melompat ke samping mematahkan tenaga dorongan tadi.
278
“Bagus!” tanpa terasa Ho Siang berseru memuji. Tiga kali tangan kanannya bergerak, seruling hitam di tangannya bergerak ke atas dan amat cepat sekali gerakan itu, sehingga orang-orang di bawah panggung hanya melihat tiga buah gulungan sinar hitam menyerbu ke tiga bagian jalan darah di tubuh Te-thian Lomo. Bagi pandangan mata yang tajam, suling Ho Siang itu bergerak merupakan huruf‘ yang berbunyi THIAN (Langit) dan hebat akibatnya. Gulung sinar hitam yang berbentuk Thian itu melingkar membentur cambuk hitam Te-thian Lomo dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu Te-thian Lomo mencelat mundur dan mengeluarkan keringat dingin! Hampir jalan darah tay-ie-hiat di tubuhnya tersentuh sinar hitam memancar dari suling itu kalau tidak cepat-cepat ia melompat mundur dan mengelak dari sambaran kilatan hitam yang memanjang! Iblis! jurus apa itu? pikirnya. “Bocah setan! Kau bilang murid Nakayarvia…… kenapa kau mainkan jurus itu?” bertanya Te-thian Lomo heran. “Hemm, iblis laknat jahanam! Rapanya kau takut mati juga ya? Memang jurus yang kumainkan tadi bukan warisan dari guru Nakayarvia, akan tetapi……. hemm, tak perlu kuberitahukan kepadamu…… mau tahu, jurus-jurus dari guru Nakayarvia….. nih!” Sambil berkata demikian Ho Siang merendahkan ke dua kakinya setengah berjongkok dan tahu-tahu kedua tangannya memukul ke depan. Inilah pelajaran dari pertapa Nakayarvia yang bernama Menyembah Budha Mematikan Raga, begitu tubuhnya yang
279
setengah jongkok dan mengulurkan tangan. Angin dingin menyambar Te-thian Lomo, tentu saja Iblis Langit Bumi ini tahu bahwa lawannya tengah mempergunakan pukulan jarak jauh. Oleh karenanya dengan tertawa mengejek ia lalu mengangkat tangan menangkis pukulan yang dikirim dari jarak jauh oleh Ho Siang. “Dess!” Tubuh Ho Siang bergetar bertemu pukulan tangkisan dari Te-thian Lomo, sebaliknya iblis tua inipun melompat ke belakang merasa angin pukulan yang amat hebat menerjangnya. Kalau saja ia tidak cepat-cepat melompat tinggi ke belakang tadi, niscaya tubuhnya akan hancur terhantam pukulan jarak jauh Ho Siang yang mempengunakan jurus Menyembah Budha Mematikan Raga ini sebabnya mengapa Ho Siang hanya bergetar-getar saja tubuhnya, dan tidak terdorong roboh oleh pukulannya Te-thian Lomo yang menangkisnya barusan?? Sebabnya, dengan tenaga sin-kangnya dia sudah mematikan raga sehingga tubuh itu bagaikan batang pohon yang kuat, tidak roboh diterjang angin badai pukulannya Te-thian Lomo!! “Hee….... hee… hebat juga kau bocah…... akan tetapi menghadapi diriku, hii…… hii mukamu sudah pucat kepingin mampus, lebih baik kau minggat dari sini dan jangan lagi-lagi kau mencampuri urusanku kalau mau selamat. Nah pergilah…..!” Bentak Te-thian Lomo sambil melompat maju, cambuknya menyambar, diikuti gerakan jubah yang dikibaskan ke arah leher Ho Siang. Serentetan ular hitam menyambar dan agaknya pemuda tinggi kurus itu akan celaka apabila pada saat itu tidak nampak sinar yang
280
menyilaukan berkelebat, dan tahu-tahu segulung angin besar menyambar jubah Te-thian Lomo dan melibat cambuk dengan pit panjang. Kiranya yang bergerak tadi adalah pemuda tampan yang sekali bergebrak sudah dapat mematahkan serangan Te-thian Lomo, tampak Te-thian Lomo mendelikkan matanya memandang pemuda tampan baju biru sambil membentak keras, tahu-tahu hanya sedetik cambuk itu menegang dan entah bagaimana caranya tubuh pemuda tampan baju biru melayang ke atas dan telah terjerat cambuk hitam di lengannya. Terdengar jeritan kaget Ho Siang mencelat mengirim serangan suling hitamnya ke arah Te-thian Lomo, amat cepat sekali gerakan suling di tangan Ho Siang sehingga tak keburu bagi Te-thian Lomo untuk menghindarkan serangan suling yang amat dahsyat itu, maka diapun mengangkat tangan kirinya memapaki suling yang naenyambar dadanya. “Kraak! Deess!” Suling patah menjadi beberapa potong. Ho Siang terlempar sejauh tiga meter dengan terhuyung-huyung. Kagum sekali hatinya melihat kelihayan musuhnya yang dalam bergebrak tadi telah dapat mematahkan sulingnya dan sekaligus mengirim serangan ujung jubah menyambar pundaknya. Tentu saja Ho Siang yang memandang jubah lawan membiarkan pundaknya dan menekan serangan sulingnya ke iga lawan, akan tetapi betapa kagetnya dia begitu sulingnya bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat, dan belum lagi habis herannya, ia sudah terlempar oleh pukulan tangan kiri Te-thian Lomo. Ho Siang
281
segera mengerahkan lweekangnya, terasa nyeri pada pundak kanannya. Sementara itu, pemuda baju biru yang terlibat cambuk Te-thian Lomo bisa melepaskan pergelangan tangannya dari libatan cambuk tersebut, akan tetapi entah bagaimana, tiba-tiba cambuk terlepas pergi dan ia merasa ada sambaran hawa panas lewat di atas kepalanya. Tentu saja ia tak mau kepalanya menjadi korban pukulan dahsyat itu, dengan cepat ia membuang diri ke belakang dan pada saat itulah ia menjerit lirih ketika ikat kepalanya terlepas dan nampak seuntai rambut panjang hitam itu menarik perhatian orang-orang yang di bawah panggung. Siauw Yang terkejut dan betapa herannya ia ketika mengetahui bahwa pemuda tampan itu adalah seorang wanita, seorang wanita rambut panjang yang demikian cantik dan manis setelah rambutnya terlepas. Pantas pemuda tadi demikian tampan dan gerak geriknya seperti perempuan! Ho Siang yang terpukul pundaknya oleh Te-thian Lomo menoleh ke kiri. Dilihatnya pemuda baju biru itu tersenyum kepadanya kemaluan sambil katanya: “Aku tak apa-apa!” “Serrr......” terasa dada Ho Siang berdesir melihat pemuda tampan itu tersenyum. Dan waktu bibir itu berkata, “Aku tidak apa-apa!” O, alangkah merdunya suara pemuda tampan itu, eh, gadis itu! Akan tetapi ia terpaksa meringis menahan nyeri. Ia memandang ke bawah dan suling hitam yang hancur berantakan itu, tak dapat lagi dipergunakan sebagai senjata!
282
“Ha ha ha, sungguh memalukan. Sungguh menyebalkan mengapa hanya bocah-bocah ini yang berani menghadapiku, mana tuan rumah yang kesohor sebagai raja obat dan para Locianpwe yang katanya mendapat kehormatan sebagai orang tua gagah, sungguh memalukan bersembunyi di belakang dua orang muda yang masih hijau dan nggak becus apa-apa!” Te-thian Lomo mengejek. Panas sekali hati orang-orang gagah di bawah panggung. Dengan serentak bagaikan sudah diberi komando, Yok-ong Lo Ban Theng, Hak-san Tay-hiap Ong Kwie, Cui-sian Kong Sin Khek dan Go Sin Thong sudah mencelat dan tanpa banyak bicara lagi mereka menerjang maju. Hebat sekali terjangan berbagai macam senjata ini, Cui-sian Kong Sin Kek menyerang dengan menyemburkan arak dari mulutnya, Hak-san tay-hiap Ong Kwie membentak keras membabat pedangnya berkilat, sedangkan Yok-ong dan Go Sin Thong memukul dari jarak jauh. Memang hebat sekali serangan ini, akan tetapi sungguh luar biasa, si Iblis Tua Langit Bumi ini dengan menjerit……. “eiitttt,” tahu-tahu tubuhnya lenyap dan hanya nampak kilatan pedang dan semburan arak dari mulut si dewa arak Kong Sin Kek. Akan tetapi beberapa detik saja bagaikan ada gempa bumi yang dahsyat luar biasa Yok-ong Lo Ban Theng terhuyung dan tak dapat bangun lagi. Kong Sin Kek si dewa arak nampak memegangi mukanya yang terasa nyeri dan sakit, entah bagaimana tahu-tahu semburan araknya tadi membalik dan saking cepatnya butir-butir arak yang membalik barusan membuat ia tak dapat lagi menghindarkan butir-butir arak yang menyerang mukanya, dengan
283
cepat sekali ia mengerahkan sin-kang dan di muka dan tetap saja rasa nyeri menusuk-nusuk mukanya. Di lain pihak, Hak-san tay-hiap Ong Kwie juga berteriak kaget begitu ada angin sambaran yang hebat luar biasa, tak tahan ia dan dengan cepat ia bergulingan menjatuhkan diri ke belakang akan tetapi tetap saja pundaknya terserempet pukulan itu dan tulang pundaknya menjadi patah di saat itu juga. Hanya Go Sin Thong jang tidak roboh, sebab begitu ia di pukulan jarak jauhnya membalik dengan gerakan karate ia melompat ke samping dan untung ia memasang kuda-kuda karate seteguh-teguhnya sehingga dengan gerakan itu ia dapat mematahkan serangan angin pukulan lawan. Ia bergidik melihat kehebatan Iblis tua ini! Pada saat itu baru saja tokoh-tokoh kang-ouw yang lain hendak mencelat ke atas panggung, sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri di depan Te-thian Lomo! “Omitohud, Te-thian Lomo, di mana-mana kau membuat kacau dan menyebar maut…. tidak baik… tidak baik….. seorang pertapa begini ganas melebihi iblis. Banyak jalan menuju kehidupan mengapa memilih yang sesat? Selagi masih ada kesempatan mengapa kepandaian tidak digunakan untuk kepentingan sesama manusia dan bangsa! Sayang….. sayang…..!” Ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus dan penuh teguran itu mengejutkan semua orang-orang terutama sekali Te-thian Lomo. Ia cepat mengalihkan pandangan matanya ketika bertemu pandang dengan mata orang yang baru datang itu.
284
Tak tahan ia melihat sinar mata yang tajam dari orang di depannya ini. Kiranya di depannya itu telah berdiri seorang hwesio tua jang tinggi kurus, usianya sudah sangat tua, kepalanya gundul kelimis, alis jenggot dan kumisnya yang jarang sudah putih semua jubahnya kuning bersih dan tangannya memegang tongkat hwesio. Melihat hwesio ini, Yok-ong Lo Ban Theng dan Hak-san Tay-hiap Ong Kwie terkejut. Juga semua tokoh-tokoh kang-ouw jang masih di bawah panggung terbelalak matanya. Tentu saja mereka kenal hwesio tua ini. Siapa lagi, kalau bukan Thian Thian Losu, ketua Siauw-lim-pay! “Ah. kiranya Ciangbunjin, ketua, Siauw-lim-pay yang datang seperti ini. Entah mempunyai maksud apa?” “Pinceng memang dari Siauw-lim-pay. Te-thian Lomo, harap kau sudahi pertempuran-pertempuran dan permusuhan yang merugikan dirimu ini dan kembalilah ke Anapura!” “Losuhu, engkau sebagai ketua, mengapa kau begitu usil tangan mencampuri urusanku ini?” Te-thian Lomo mendengus marah. Meskipun ada rasa gentar dihatinya, akan tetapi ia tak mau dinasehati seperti anak kecil! “Te-thian Lomo, insyaf dan sadarlah. Orang-orang seperti engkau sebagai pertapa dan pinceng sebagai hwesio Siauw-lim, seharusnya bertekun mengalahkan rasa diri, dan mencari penerangan dengan kitab-kitab suci! Bukan menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat……,” Thian Thian Losu menggelengkan kepala.
285
“Losuhu, sekali lagi, jangan ikut! Aku tak ada sangkut paut apa-apa denganmu atau dengan muridmu! Harap tidak berlancang mencampuri urusanku sendiri!” “Omitohud! Pinceng lihat Yok-ong Lo Ban Theng yang terhormat sudah terluka, tiga Sam-hauw-swat-cu-eng juga sudah mati olehmu, pendekar dari Hak-san Ong Kwie sicu, juga sudah terluka, dan itu…... hem, rasanya pinceng sudah pernah kenal, kalau tidak salah dia adalah murid Nakaryavia, dan ia juga telah terluka pundaknya……. dan pemuda ini, eh nona ini…… Te-thian Lomo, pulanglah kau kembali ke Barat! Jangan meneruskan kekejian ini apalagi hari ini, bukankah hari se-jid Yok-ong Lo Ban Theng? Mengapa kau mencari keributan di rumah tangga orang?” “Setan! Hwesio sialan! Itu semua bukan urusanmu. Pergi!” bentak Te-thian Lomo. Thian Thian Losu menggelengkan kepala. “Pinceng akan pergi setelah engkau meninggalkan tempat ini pula! Marilah kita pergi sama-sama. Sama-sama mencari jalan kehidupan.” “Losuhu, sekali lagi! Minggirlah!” Te-thian Lomo membentak marah. “Tidak! Te-thian Lomo..….. pinceng tak membiarkan engkau berbuat keji di sini..…..! Bertobatlah semasa masih ada kesempatan.”
286
“Kalau begitu baik! Terpaksa aku menentang Ciangbunjin dari Siauw-lim-pay!” “Omitohud……. semoga kau menemui jalan terang.” Te-thian Lomo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau mengamuk, cambuknya segera menyambar seperti ular hidup membelit leher hwesio ketua Siauw-lim. “Sratt!” dengan amat kuatnya cambuk itu melilit di leher tua Thian Thian Losu. Dengan muka tenang dan tidak membayangkan hawa marah di wajahnya, malah hwesio itu masih dapat tersenyum sabar kepada lawannya dan sekali ia mengibaskan lehernya tahu-tahu cambuk yang melilit di leher itu mengejang keras, Te-thian Lomo mengerahkan hawa sakti dan membetot keras, “tess,” bukan leher si hwesio itu yang putus oleh jiratan cambuk, malah cambuk itu sendiri yang putus di tengah-tengah. Te-thian Lomo melepaskan cambuk itu. Melompat menerjang maju, kepalanya mengeluarkan uap kehitaman dan bagaikan sebuah peluru kendali, kepala itu menubruk maju ke arah perut Thian Thian Losu jang kurus Ketua Siauw-lim-pay berdiri diam, tidak mengelak, juga tidak menangkis. “Dess!” Kepala itu beradu dengan perut, dan tubuh Thian Thian Losu terpental ke belakang sampai tiga meter jauhnya akan tetapi dalam masih keadaan berdiri, lemah. Tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang menggigil kedinginan. Senyumnya semakin melebar, sedangkan Te-thian Lomo terhuyung-huyung, matanya membelalak memandang hwesio yang masih berdiri tiga meter
287
jauhnya dan tengah meramkan mata seperti bersamadhi atau berdoa. Gadis baju biru yang tadi disangka pemuda tampan baju biru melompat maju dan menerjang dengan kipas terbuka: “Iblis jahat……. berani kau mencelakakan Ciangbunjin Siauw-lim-pay!” Gadis baju biru itu hendak menerjang Te-thian Lomo dengan penuh amarah, akan tetapi terdengar Hosiang berkata, “Nona….. tahan!” “Nona, jangan kau turut campur, sebentar lagi Te-thian Lomo akan pergi dari tempat ini,” terdengar Thian Thian Losu berkata masih dalam keadaan meramkan matanya. Gadis baju biru menahan kipasnya. Dan begitu ia menoleh ke arah Te-thian Lomo betapa terkejut dan herannya ketika melihat tubuh Te-thian Lomo menggigil keras, lalu roboh miring. Thian Thian Losu menghampiri dan suara lembut mengiringi gerakan jubah menotok di kepala Te-thian Lomo. “Te-thian Lomo, lekaslah pergi! Kalau tidak kau akan mati di sini…..!” Heran sekali mendengar perkataan hwesio tua ini tanpa banyak berkata apa-apa Te-thian Lomo berjalan meninggalkan tempat itu dengan tubuh terhuyung-huyung. Tahulah orang-orang kang-ouw bahwa iblis tua yang lihay dan ganas itu sudah terluka hebat. Melihat bahwa Te-thian Lomo sudah pergi, ketua Siauw-lim-pay berkata kepada Yok-ong Lo Ban Theng: “Lo sicu menyesal pinceng tak dapat lama-lama di sini! Selamat tinggal!”
288
Belum lagi hilang suaranya itu tahu-tahu bagaikan segumpal kapas tubuh ketua Siauw-lim-pay melayang dengan amat ringannya dan berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Tokoh-tokoh kang-ouw segera menghampiri Yok-ong Lo Ban Theng dan Hak-san Tayhiap Ong Kwie dan si dewa arak Cui Sian Kong Sin Kek yang terluka. Dengan wajah sedih Yok-ong Lo Ban Theng berkata: “Cuwi sekalian harap maafkan kami yang telah menyusahkan dan mengejut hati cuwi……!” “Tidak apa….. tidak apa. Lo-enghiong di antara orang sendiri untuk apa bersungkan-sungkan segala? Malah seharusnya kami inilah jang merasa malu tidak dapat membantumu mengusir Iblis tua itu,” menyahut Cui-sian Kong Sin Kek mengedik-ngedikkan kepalanya sambil memegangi muka yang masih terasa sakit tersambar serangan arak yang membalik tadi. Tentu saja bagi Yok-ong Lo Ban Theng jang terkenal raja obat dengan sendirinya ia memeriksa luka teman-temannya. Sehabis memeriksa luka di pundak Hak-san Tayhiap Ong Kwie segera ia hendak memeriksa luka pemuda tinggi kurus Ho Siang, akan tetapi Ho Siang hanya terluka ringan saja dan tak berkata: “Terima kasih locianpwe, saja hanya terluka ringan saja dan tak berarti, harap locianpwe segera mengobati dirimu sendiri saja, lihat tadi locianpwe muntahkan darah!” Yok-ong Lo Ban Theng terkejut dan kagum. Hm, pemuda kurus ini ternyata tidak buta dalam hal pengobatan. Ia mengangguk-anggukan kepalanya. Pantas tidak tahunya dia murid Nakayarvia
289
dari India hem, dibandingkan denganku aku bukan berarti apa-apa, pikirnya. Gadis baju biru menghampiri tuan rumah dan menjura, “Harap locianpwe tidak mengalami luka-luka berat dan maafkan saya yang tidak dapat membantu banyak.” Yo-ong Lo Ban Theng mengangkat muka memandang. “Terima kasih nona, o ya, kalau aku boleh tahu, kau ini murid siapa dan siapa namamu?!” “Ah, saja bukan murid siapa-siapa locianpwe, guru saya adalah kakek jang tak mempunyai nama di puncak Thang-la dan nama saja Nyuk In, she Cung…..” “Oooo! tidak tahunya nona adalah murid Bu-beng Sianjin dari Thang-la, pantas kepandaianmu demikian lihay tapi kenapa kau bermain kipas dan pit, padahal setahuku Bu-beng Siangjin terkenal dengan ilmu pedangnya, aneh! Apakah selama ini orang tua itu sudah menciptakan ilmu kipas dan bermain pit?” “Maaf, locianpwe. Memang pelajaran kipas dan pit bukan saya dapatkan dari Bu-beng Sianjin, akan tetapi satu-dua jurus pernah saya terima dari sucouw Sui Kek Siansu.” “Sui Kek Siansu? Manusia setengah dewa itu masih hidup?” Ong Kwie bertanya heran. Sepanjang ingatannya kakek jang disebut Manusia setengah dewa itu sudah meninggal ratusan tahun yang lalu, mengapa gadis ini bilang pernah mendapat petunjuk dari kitab peninggalan sucouw (kakek guru).
290
“Locianpwe permisi…… saya hendak berangkat!!” “Nona Nyuk In mengapa tergesa-gesa pergi?” “Maaf saja ada urusan di Kotaraja.” “Baiklah kalau begitu, o ya, jikalau kau kembali ke Thang-la sampaikanlah salam hormatku kepada gurumu, sudah lama aku nggak pernah berjumpa dengan orang tua itu!” “Akan saja sampaikan salam hormat locianpwe untuk suhu, terima kasih,” berkata demikian gadis badiu biru itu menjura kepada si Raja obat Lo Ban Theng, dan ia berjalan perlahan meninggalkan gedung itu. Akan tetapi baru saja ia berjalan belum jauh meninggalkan tempat itu tiba-tiba namanya dipanggil oleh seseorang: “Nyuk In Siocia!” Gadis baju biru yang bernama Cung Nyuk In menoleh dan dilihatnya Ho Siang mendatangi, langkahnya panjang-panjang menghampiri. Si gadis tersenyum: “O, saudara Ho Siang!!” Ho Siang berhenti di depan Nyuk In. Kedua tangannya terangkat menjura: “Aku lupa mengucapkan terima kasih kepadamu nona.” Nyuk In mengerutkan keningnya mengingat sesuatu: “Hmm, terima kasih apaan? Rasanya..... tidak pernah aku berbuat sesuatu kepadamu, mengapa kau berterima kasih kepadaku?” “Nona Nyuk In bukankah kau yang pernah menolongku waktu aku bertempur dengan si iblis tua Langit Bumi barusan? Aku tidak
291
pernah melupakan budi seseorang, makanya aku datang ke sini mengucapkan terima kasih kepadamu........” “Ah, cuma itu saja, mengapa merepotkan dirimu? Sudahlah saudara Ho Siang, tak perlu kau berterima kasih kepadaku….. Sudah seharusnya aku menolongmu, bukankah membasmi yang jahat dan membela yang benar adalah tugas dari orang gagah di dunia kang-ouw? Eh, kau sekarang hendak kemanakah?” Ho Siang berjalan di samping gadis baju biru sambil berkata: “Aku hendak ke Kotaraja, o ya, bukankah engkau juga hendak ke sana? Alangkah baiknya kalau kita berjalan bersama? Iya toh?” Waktu Ho Siang menoleh, dilihatnya pipi si gadis jadi merah dan tertunduk, hanya dari bulu mata yang lentik itu si gadis melirik dan menyahut, “Kalau kau suka berjalan denganku, mengapa tidak?” “O, tentu saja aku suka berjalan bersamamu, Nyuk In!” “Ho Siang.” Ho Siang berhenti, Nyuk In juga menghentikan langkahnya, ke dua-duanya saling berpandangan. Entah mengapa debaran jantung Ho Siang makin keras berdetak-detak, seluruh pembulu darahnya berdentum-dentum, lebih cepat lagi. Melihat si gadis tertunduk kemaluan, bagaikan sebuah magnit yang saling membetot, tangan Ho Siang meraih tangan Nyuk In, dan sebentar itu pula keduanya sudah saling bergandeng tangan. Cuma sebentar itu terjadi, karena tiba-tiba Nyuk In menyentakkan
292
tangannya dari renggutan Ho Siang, akan tetapi bibirnya mengungkit sebuah senyum yang menyegarkan, “Ho Siang, kau lucu!” “Hmm lucu….. lucu apanya?” “Tadi kukira kau pemuda tolol? tidak berkepandaian. Maka itu tadi waktu kau naik ke panggung memegang-megang suling di tangan, aku jadi mentertawakanmu. Kau maafkan aku, ya Ho Siang, kau tidak marah kan? Tidak kusangka kau jang kulihat ketolol-tololan itu ternyata adalah murid Nakayarvia pertapa jang terkenal itu. Ho Siang, kepandaianmu..... hebat bukan main!” “Kau juga hebat Nyuk In dan lebih hebat lagi kukira kau seorang pemuda tampan mata keranjang. Tadi aku sampai gemas bukan main waktu kau mentertawaiku di panggung itu! Kalau di situ tidak banyak orang, ingin sekali aku mencubit bibirmu!” Nyuk In melirik. Sebuah kilat dari mata jeli itu menyambar berkeredepan membuat lagi-lagi hati Ho Siang berdegup-degup nggak keruan rasa. Rasanya di dada itu ada kebahagian sejuta perasaan yang aneh-aneh, mengaduk perasaan hatinya! Lirikan mata si gadis jang bernama Cung Nyuk In itu demikian tajam, tajam mata jeli itu menghujam dalam-dalam di hati Ho Siang! Sebuah senyuman lagi, aduh! Membuat hati Ho Siang kalang kabut di saat itu. Untuk menekan perasaan yang aneh ini, ia berkata, “Nyuk In, kau.. kau..... baik sekali!”
293
Kini si gadis baju biru menoleh, seperti tadi ia memandang mengawasi wajah si pemuda. Menyapu wajah itu, lalu tertunduk kemalu-maluan: “Kau bilang aku baik? Bohong, biasa mulut lelaki memang begitu, ketemu wanita lantas merayu, menganggapnya baik dan eh padahal kita baru berkenalan saja….. bagaimana kau bisa bilang aku ini baik?” “Mati kau!” Ho Siang bersambat. Ini mulut memang….. memang lancang. Sekarang apa yang hendak kau katakan,” pikir Ho Siang bingung akan tetapi dengan menekan perasaan Ho Siang berkata: “Kau memang baik In-moay (adik In). Eh, boleh ya kupanggil kau In-moay begitu?” “Boleh saja dan aku memanggilmu Siang koko, ya Siang koko betapa enaknya aku mengucapkan begitu. Siang koko, aku…... aku…… aduh…...!” tiba-tiba Nyuk In membungkuk dan memegangi perutnya. Ho Siang terkejut dan buru-buru memegangi tangan gadis itu. “Eh, kenapa kau? Kenapa perutmu, sakit?” Nyuk In mengangguk, mengerutkan wajahnya: “Ya, sakit…... aduh…. duh, aduh!” “Mari kuperiksa.” “Apa, kurang ajar!” si gadis tiba-tiba membentak. Keruan saja Ho Siang jadi melongo. Bengong memandang si gadis yang marah.
294
“In-moay, mengapa kau bilang aku kurang ajar. Perutmu sakit sebaiknya.” “Kau mau periksa perutku?” “Habis kau bilang sakit, sakit perut…... eh, ya mungkin mau……!” “Mau apa?” “Mau e, e!” “Eh, kunyuk bukan itu! Perutku sakit melilit!” “Sakit melilit. Oya..... ya tentu kolap!”. “Apa itu kolap?” “Kolap ya lapar, eh In-moay, benar kau lapar? Tunggu ya sebentar, sebentar saja!” berkata demikian Ho Siang mencelat jauh dan masuk ke dalam hutan. Memang saking tak terasanya mereka itu mengobrol tahu-tahu mereka sudah mulai memasuki sebuah hutan. Hutan bambu yang indah sekali pemandangannya. Akan tetapi bukan itu yang membuat hati Nyuk In serasa indah. Keindahan itu datangnya dari pemuda jang bernama Ho Siang itu! Entah mengapa pada mula ia melihat pemuda itu memasuki rumah Yok-ong Lo Ban Theng, dan melihat keberanian pemuda itu menghadapi Te-thian Lomo ia sudah tertarik, apa lagi setelah mengetahui bahwa Ho siang adalah murid Nakayarvia yang lihay
295
itu, membuat hatinya tunduk benar-benar! Diam-diam hati itu menjadi bahagia di dekat Ho Siang. Selagi ia termenung dalam lamunannya itu, tiba-tiba ia mengeplak kepalanya. Tolol kau, makinya dalam hati, melamunin dia belum tentu dia mau sama engkau. Engkau memang mudah jatuh, mengapa kau cepat jatuh hati kepada pemuda jang bernama Ho Siang itu? Nggak tahu kau dia sudah umur berapa sekarang, dan engkau baru juga berapa? Engkau baru mengenal dia cuma di luarnya saja, belum mengenal ke dalam. Pemuda itu berusia tidak lebih dari duapuluh lima tahun, apakah dalam usia demikian ia belum mempunyai pacar. Jangan-jangan dia sudah berkeluarga, sudah kawin, mana kau tahu? Untuk kedua kali Nyuk In mengeplak kepalanya. “Eh kenapa kau gebukin kepala?” Ho Siang bertanya sambil memegang ke dua telinga kelinci. Seekor kelinci gemuk sekali meronta-ronta dalam pegangannya: “Kenapa sih kau ngeplak-ngeplak kepala, wah….. berabe nih, perutmu sakit, sekarang kepalamu sakit… tapi jangan dikeplak-keplak dong, bisa geger otak kau, baru tahu rasa!” Melihat pemuda itu sudah mendatangi, wajah Nyuk In berseri dan sejenak ia tertunduk sambil menyahut: “Aku nggak sakit kepala kok!” “Tapi kenapa tadi kau keplakin kepalamu?” tanya Ho Siang. “Siapa yang keplakin kepala. Emang aku sinting, eh, kau dapat kelinci dari mana, wah kau nangkap ya, hayo…... potong kelincinya
296
biar aku membuat api,” dengan tertawa-tawa cerah ia membuat api dan matanya melirik ke arah pemuda itu yang dengan cekatan sekali menyembelih kelinci dengan pedangnya, lalu menguliti dengan cepat. Sambil bekerja, Nyuk In bersiul perlahan dan Ho Siang beberapa kali melirik ke arah gadis jang benar-benar amat jelita dan manis bagi penglihatannya. Memang kalau hati itu sudah dimabok asmara, segalanyapun dilihat serba indah dan menyenangkan! “Lihat nih, dagingnya….. hem, makin lapar perutku,” kata Nyuk In sambil mengangkat daging kelinci tinggi-tinggi! “Lekas panggang….. tak kuat lagi aku……” Ho Siang berkata, menelan air liur beberapa kali, saking hebatnya selera itu menyerang hati! Seperti seorang anak yang kesenangan dengan barang mainannya, sambil tertawa-tawa gembira Nyuk In membuat sate kelinci dan kemudian memanggangnya. Bau jang sedap gurih memenuhi udara, menambah rasa lapar di perut yang sudah berkeroncongan. Selama memanggang daging sate kelinci itu Nyuk In tidak banyak berbicara, hanya beberapa kali ia melirik ke arah Ho Siang, akan tetapi kalau pemuda itu membalas pandangannya, ia mengasih kerlingan sambil tersenyum. Biar pun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun dalam hatinya Nyuk In tiada henti-hentinya berkata-kata.
297
Pemuda ini baik pikirnya. Tidak kurang ajar seperti lelaki lain, biarpun ia kelihatan kadang-kadang seperti orang tolol, akan tetapi ia tahu bahwa pemuda ini amat lihay, buktinya ia sudah berani melawan Te-thian Lomo yang terkenal lihay dan kejam. Bersama-sama berjalan dengan pemuda ini tentu amat menyenangkan sekali, bukan saja hatinya memang sudah terpaut dengan kesederhanaan pemuda ini, disamping itu dengan adanya Ho Siang, bukankah lebih mudah baginya untuk mencari musuh besarnya. Dengan pemuda ini di sampingnya, menghadapi Pay-cu Sian-li-pay yang bernama Bu-tek Sianli itu, apa jang mesti ia takuti? Kalau memang buat menghadapi suheng saja, si Cambuk sakti Oey Goan, ia masih dapat menandingi. Akan tetapi mencari si nenek sakti yang bernama Bu-tek Sianli, bukankah lawan jang ringan! <> Siapakah gadis yang bernama Cung Nyuk In ini? Memang benar seperti pengakuannya ia adalah murid dari Bu-beng Sianjin. Orang tuanya terbunuh di tangan Bu-tek Sianli dan dia sendiri, pada usia delapan tahun diculik oleh Pay-cu Sian-li-pay itu untuk dijadikan murid Bu-tek Sianli. Untunglah pada saat penculikan itu terjadi, muncul Bu-beng Sianjin, dan berhasil merampas Nyuk In dari culikan Bu-tek Sianli. Sejak itu karena Nyuk In tidak punya orang tua lagi maka selama hampir delapan tahun ia digembleng oleh Bu-beng Sianjin di puncak Thang-la, disamping itu Bu-beng Sianjin, juga mempunyai murid Oey Goan. Akan tetapi sayang sekali Oey Goan berwatak
298
keras dan penuh keinginan-keinginan kedudukan tinggi, maka murid pertamanya ini tersesat dan menjadi hamba-hamba nafsunya. Oleh karena itulah selesai digembleng oleh kakek Bu-beng Sianjin, ia dipesan untuk mencari suhengnya Oey Goan memperingati supaja suhengnya itu mau kembali ke puncak menghadap suhunya. Pada waktu ulang tahun Yok-ong Lo Ban Theng itulah Bu-beng Sianjin menyuruh muridnya untuk turun gunung dan mencari suhengnya dan mencari pembunuh orang tuanya Bu-tek Sianli! Tentu saja setelah bertemu dengan pemuda Ho Siang yang berkepandaian tinggi, dan yang juga sudah menarik hatinya, membuat ia tenggelam dalam lamunan mengkhayalkan sesuatu jang indah! Waktu Nyuk In melirik lagi dilihatnya Ho Siang tengah termenung sambil menghendus asap sate kelinci yang nikmat dan lezat. Nyuk In mengambil batu kecil di bawah kakinya dan melempar ke kaki Ho Siang sambil katanya tersenyum: “Eh, ngelamun…..?” Ho Siang membalas tersenyum, melihat batu kecil yang dilempar si gadis yang menyentuh mata kakinya, meskipun tidak sakit ia berteriak: “Aduuh!!!” “Hi hi hi, sakit ya?” “Nggak… nggak sakit,” sahut Ho Siang. “Nggak sakit kok menjerit? Aii, orang muda suka ngelamun, entar cepat tua tu! Nglamun apa sih……. ngelamunin pacar ya?” Nyuk In bertanya menggoda sambil mengangkat tinggi-tinggi sate kelinci
299
yang hampir matang dan mengeluarkan bau jang lezat merangsang selera. Menghendus asap ini keruan saja kalamenjing Ho Siang turun naik dan menelan berkali-kali air liurnya. Melihat ini Nyuk In tertawa mengikik sehingga terpaksa menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Sebetulnya jarang ia tertawa segeli ini, akan tetapi sekarang melihat tingkah lakunya pemuda itu, ia jadi kepingin tertawa. Memang aneh sekali kalau hati itu tengah dirangsang oleh asmara! Asmara membuat orang yang tidak bisa tertawa akan menjadi tertawa riang, asmara pula membuat hati yang susah nelangsa menjadi riang penuh gelora cinta. Asmara betapa kuasa engkau mempermainkan manusia! Melihat gadis itu tertawa sambil menutupi mulut, keruan saja Ho Siang jadi bertanya heran,“Hmm, mengapa engkau tertawa?” “Tidak apa-apa, tak bolehkah orang tertawa?” Nyuk In menjawab sambil melirik nakal tangannya memutar daging kelinci di atas api. Ho Siang bangkit dari duduknya dan mendekati si gadis jang tengah memanggang, “Aduh..... lama benar nih satenya, apakah belum mateng juga In-moay?” “Nah, nah…... nggak sabaran ya? Bentar lagi juga mateng, sabar dong ya say…..!” Ho Siang tersenyum. Disebut ‘sabar ya say...’ aiiih, alangkah mesranya sebutan gadis itu terhadapnya. Begitu indah dan menyenangkan. Ingin sekali gadis itu berkata sekali lagi ‘Sabar ya
300
say…’ Ya, tentu saja aku bersabar sayang…... Sudah mateng belum dagingnya, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa. Setengah berjongkok ia mendekati Nyuk In melongok sate kelinci yang terpanggang di atas api. Si gadis membolak-balikkan sate daging kelinci itu di atas api. Tahu bahwa pemuda itu di belakangnya sedang melongok daging panggangnya, Nyuk In berkata: “Kau sudah lapar, ya?” “Tentu saja lapar, eh, kudengar perutmu juga berkeruyuk minta diisi. sudah...... sudah angkat, sudah mateng?” “Sekarang memang sudah mateng.” Nyuk In mengangkat daging kelinci dan menaruhnya di atas daun-daun yang sudah disediakan di situ, di depan Ho Siang. “Wah… gurih nih……” Ho Siang memuji. “Hayo kau ambil dulu!” “Kau ambillah.” “Kau kan yang tangkap, kau mesti ambil duluan!” “Ya, tapi bukankah kau jang memanggangnya….. hayolah, ambillah…..!” didesak terus, akhirnya Nyuk In mengambil setusuk. Diikuti oleh pemuda di belakangnya. Ho Siang tidak berlaku sungkan lagi. Dengan penuh gairah ia mengambil tusukan daging yang banyak lemaknya, lalu dengan
301
menggerogotinya dengan lahap: “Wah, hebat…….! Lezat bukan main….” Katanya sambil mengunyah. Memang gemuk kelinci itu, itu bukan saja dagingnya yang tebal dan empuk juga lemaknya banyak sehingga begitu menggigit daging, lemak yang mencair oleh api itu menitik dari kanan kiri bibir Ho Siang! “Sayang eggak ada arak! Hey, hendak ke mana kau? In-moay?” “Kau bilang nggak ada arak. Memang makan sate tanpa arak kurang sedap, kau tunggu ya, aku ambil air minum!” Cepat Nyuk In berlari meninggalkan Ho Siang. Pemuda itu mengawasi kepergian Nyuk In sambil mengunyah lambat-lambat dan pikirannya makin penuh oleh keadaan Nyuk In. Hebat memang gadis itu, wataknya aneh, sangat menyenangkan hati! Tidak lama kemudian Nyuk In kembali dengan membawa dua buah cawan arak. Datang-datang ia meletakkan cawan arak itu di dekat Ho Siang sambil katanya: “Ini araknya sedaapp!” “He, kau dapat arak begini harum dari mana?” “Tentu saja boleh beli. Kebetulan sekali di luar hutan tidak jauh dari sini ada kedai arak, aku beli dua tail. Arak Hang-ciu keras dan harum,” berkata demikian iapun mulai makan daging itu. Keduanya makan dengan sedap, tanpa bicara hanya kadang-kadang pandang mata mereka bertemu sebentar. Ho Siang duduk di atas batu, Nyuk In duduk bersila di bawah, di tanah yang penuh
302
rumput hijau. Api bekas pemanggang daging masih menyala sedikit!” Tak sampai sepuluh menit habislah daging kelinci itu. Setelah minum arak dan mencuci mulut dengan air arak, ke duanya makan buah yang tadi juga dibeli oleh Nyuk In di luar hutan. Sambil menggigit buah itu, Ho Siang berkata: “In-moay, terima kasih ya untuk arak dan sate kelinci yang gurih dan mengenyangkan perut.” “Alaaa, terima kasih segala untuk apa? Bukankah yang kelaparan tadi adalah aku sendiri sampai sakit perut rasanya. Seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu. Kau kau yang mencari kelinci dan menangkapnya!” “Tapi kau yang memanggangnya!” “Ya, sudah artinya sama-sama kerja sama. Jadi tidak perlu kau berterima kasih kepadaku dan aku juga tidak perlu berterima kasih kepadamu. Hutang kita sama-sama impas!” Ho Siang tersenyum. Nyuk In juga tersenyum. Ke dua pandangan itu saling merenggut, senyum Nyuk In semakin melebar cerah. Si Pemuda menatapnya bagaikan orang terpesona. Mata gadis itu alangkah indahnya, alangkah cerah dan menyegarkan, dan bibir gadis yang tersenyum terbuka itu, oiy alangkah manisnya membetot-betot hatinya, pikirnya. “Kita sudah makan, perut kita sudah kenyang, mengapa kita bermalas seperti ini? Hayo, kita berangkat!”
303
Akan tetapi baru saja Nyuk In berkata demikian, tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dan telah mencelat ke atas sebatang pohon jang tinggi dengan diikuti oleh gerakan Ho Siang yang mendengar pula suara derap kaki kuda di belakangnya. Benar saja belum lama mereka melihat penunggang kuda. Ho Siang dan Nyuk In dapat mengenali ke tiga penunggang kuda itu. Mereka itu adalah Bong-goanswe dan kedua kawannya, seorang hwesio tua Hok Losu dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pay. Akan tetapi yang mengherankan Nyuk In dan Ho Siang adalah seorang gadis muka kerudung hitam yang terbelenggu ke dua tangan dan kakinya pada punggung seekor kuda lainnya yang ditarik oleh Leng Ek Cu. Mereka membedal kudanya tidak terlalu cepat oleh karena itu dua orang muda di atas pohon dapat mendengar pembicaraan Leng Ek Cu: “Hok Losuhu, apakah kita harus ke kotaraja dulu, ataukah langsung ke Pulau Bidadari?” “Mengapa kita harus ke kotaraja? Biar Oey Goan yang melapor ke sana, kita langsung saja menemui Bu-tek Sianli. Gadis ini kita tawan dan kita hadapkan kepada Pay-cu Sian-li-pay, suatu kesempatan yang baik bukan untuk kita bersekutu dengan nenek Sakti Kepalan Dewa tanpa tandingan itu!” Leng Ek Cu tidak menyahut. Bong-goanswe tertawa mengakak: “Ha ha, sayang sekali gadis itu teramat cantik, kalau tidak aku tak rela menyerahkan kepada Bu-tek Sianli!”
304
“Aha Bong-sicu ini masih kurang puas dengan gadis-gadis cantik di Kotaraja, sehingga merindukan bunga mawar liar dan berduri hehehe,” Hok Losu menoleh kepada Jenderal Bong yang menyambut dengan tertawa-tawa pula. Akan tetapi tertawanya terhenti dan begitu hwesio Hok Losu itu menggerakkan tangan…… tahu-tahu terdengar suara pohon di atas roboh menimbulkan suara bergedubrak keras sekali. Dua sosok tubuh mencelat turun. Ho Siang kaget setengah mati. Untung ia berlaku gesit sehingga dapat mengelakkan pukulan Hok Losu yang dihantam dari bawah. Kalau tidak gesit sedikit saja, bukan pohon itu yang roboh melainkan kepalanya yang remuk! Melihat bahwa yang mengintai di atas pohon itu adalah dua orang muda. Hok Losu tertawa mengejek: “Ha ha ha baru bunga mawar berduri patut dipetik ketika sedang mekar-mekarnya……. aduh cantik sekali!” Bong-goanswe yang juga menoleh ke belakang menjadi terheran melihat Nyuk In dan seorang pemuda tinggi kurus berdiri dengan mata membelalak: “Nyuk In, berani kau kurang ajar dengan Hok Losuhu?” “Susiok…..” Nyuk In memanggil. “Hem, pergilah kau anak kecil, jangan turut campur urusan orang tua,” Bong-goanswe menudingkan telunjuknya. “Susiok, suhu memanggil kau pulang, ke puncak,” sahut Nyuk In.
305
“Ah, nggak ada urusan denganku. Hayo kau minggat!” “He he he, Bong sicu... siapakah gadis liar ini?” Hok Losu menghampiri Bong-goanswe atau Bong Bong Sianjin sambil pandangan matanya tidak lepas memandangi Nyuk In. Melihat tingkah laku hwesio tua ini, panas hati Ho Siang! Hweshio gila, pikirnya, melihat cewek cantik matamu liar seperti kucing melihat ikan basah, sialan! Akan tetapi tentu saja ia menekan perasaan hatinya. Terdengar orang tua jang berpakaian jenderal itu menyahut: “Dia ini murid suheng Bu-beng Sianjin, Hok Losuhu!” “O, cantik ya?” “Susiok, kau harus menghadap suhu sekarang juga!” Nyuk In berkata ketus, kipas dan pit di tangannya sudah terbuka. “Hi ha ha, gagah sekali! Eh, Bong sicu biar aku mencobanya,” sambil berkata demikian tangan hwesio itu bergerak. Angin besar bergelombang menyambar tubuh Nyuk In, tentu saja gadis ini mengibaskan kipasnya membalas dorongan angin bergelombang itu. Akan tetapi ia menjerit lirih ketika tahu-tahu tubuhnya sudah terlempar ke belakang menimpa pemuda tinggi kurus. Dengan cekatan sekali Ho Siang menggerakkan tangannya menyambar tubuh Nyuk In jang melayang menimpanya.
306
Begitu tubuh dapat disambar, segera ia meletakkan tubuh itu di tanah. Ternyata Nyuk In dalam segebrakan saja ia sudah tertotok oleh hwesio tua ini. Kaget sekali Ho Siang dengan geram ia meloncat maju suling hitam di tangan: “Hwesio jahat kau harus mampus!” Kilatan sinar hitam menyambar ke udara bergerak cepat merupakan sebuah tulisan kilat bagaikan ada guntur yang menyambar dari atas, tubuh hwesio tua itu doyong ke kiri merasa ada angin mujijat menyambar dari Suling hitam itu. Terkejut hati Hok Losu, sambil melompat mundur ia bertanya: “Bocah gila, kau siapa? Pernah apa kau dengan Nakayarvia dari India?” “Hwesio tai, Nakayarvia adalah guruku yang terhormat, kau pendeta berhati kotor setan perempuan!” “Hehehe bagus.....tidak bertemu dengan Nakayarvia tidak apa, biar engkau mewakili gurumu membuat perhitungan denganku dan hadapi beberapa jurus…..” Setelah berkata demikian, hwesio tua tinggi besar ini sudah menggerakkan ke dua lengan bajunya yang meniupkan angin pukulan seperti badai mengamuk! Ho Siang terkejut tetapi ia tidak gentar. Cepat ia memasang beshi-beshi dengan kaki terpentang ke kanan ditekuk sulingnya menangkis dengan gerakan dari atas ke bawah: “Dess!” tubuh Ho Siang terpental ke belakang. Tetapi ia tidak luka sedikitpun. Karena begitu tadi merasa pukulan-pukulan hwesio ini tidak dapat ditahan, segera ia mengerahkan sin-kang mematikan raga, maka bagaikan sehelai daun kering terhempas angin,
307
tubuhnya melayang jatuh di samping Nyuk In yang masih tertotok rebah di tanah! Di lain pihak, Hok Losu juga kaget setengah mati. Biarpun ia tidak terpental seperti pemuda kurus tinggi itu, akan tetapi ia merasa getaran jang amat hebat menyerang jantungnya. Cepat ia mengerah tenaga sin-kang menutupi jantung. Matanya memandang kagum kepada pemuda ini, “Bagus? Kau patut menjadi murid si pertapa dari India itu. sekarang terimalah pukulanku sekali lagi!” “Hok Losuhu..... tahan!” Bong-goanswe atau kita sebut saja Bong Bong Sianjin berseru menahan gerakan jubah hwesio tua itu. Ia menghampiri dan menjura: “Hok losuhu, sudahlah mengapa kita meladeni anak-anak ini. Kita mempunyai urusan jang lebih penting…... mari kita berangkat!” Tentu saja jenderal Bong jang cerdik ini tidak mau melibatkan dirinya dengan permusuhan dengan Nakayarvia jang terkenal itu, apalagi dilihatnya Nyuk In sudah tertotok, tak enak hati ia meladeni murid suhengnya ini. Maka itu ia mencegah Hok Losu! Anehnya hwesio sakti itu takluk akan orang tua berpakaian jenderal begitu mendengar Bong-goanswe melarangnya dengan melirikan matanya kepada pemuda tinggi kurus itu ia berkata, “Lain kali kita lanjutkan!” Habis berkata begitu ia mengikuti rombongan Bong-goanswe dan Leng Ek Cu jang sudah berjalan acuh tak acuh. Melihat hwesio itu sudah pergi, Ho Siang bangkit berdiri dan tangannya bergerak membebaskan totokan si gadis. Nyuk In
308
bersungut kesal: “Aku tak dapat menandingi susiok, urusan ini biar suhu jang turun tangan. Hemm, hwesio tua itu sakti benar, entah siapa dia?” “Masa kau tidak tahu, ia itu adalah sute dari Ciangbunjin Siauw-lim-pay jang tersesat, namanya Hok Losu! Ia seorang tokoh yang amat dikenal dari perkumpulan Siauw-lim-sie. Akan tetapi berbeda dengan para hwesio Siauw- lim-pay yang terkenal sebagai pendeta suci dan beriman kepada kitab agama Budha, dan lagi mempunyai kepandaian silat tinggi untuk membela kebenaran dan keadilan. Hok Losu ini semenjak dahulu merupakan seorang murid yang murtad. “Ilmu kepandaiannya memang tinggi dan lihay, boleh dikata jarang anak murid Siauw-lim-pay yang menandingi Hok Losu setelah hwesio itu dapat mencuri kitab pelajaran silat yang amat hebat itu, kepandaiannya jauh meningkat lebih hebat dari pada dulu. Rasanya hanya Thian Thian Ciangbunjin saja yang dapat menandingi hwesio sesat itu…..” “Ooo, pantas kepandaiannya selangit.” “Eh, dengan jenderal itu kau memanggil susiok, dia itu apamu?” tanya Ho Siang. “Dia itu memang susiokku, adik seperguruan dari suhu Bu-beng Sianjin, sayang susiok juga tersesat dan haus akan harta kemuliaan, sehingga sering kali membuat kacau.
309
“Untung ada susiokmu yang mencegah hwesio tua yang kalap hendak menyerangku. Hok Losu memang hebat, aku belum tentu dapat menandinginya!” Nyuk In bangkit pula berdiri, berjalan perlahan-lahan di samping pemuda tinggi kurus yang bernama Ho Siang. “Kita tak jadi ke kotaraja,” katanya. “Mengapa begitu?” “Aku hendak membuntuti Susiok dan hwesio tua itu, entah apa yang mereka hendak perbuat dengan Pay-cu Bu-tek Sianli dan hendak mengajak dia mengadu kepandaian, hendak kupenggal kepala nenek itu….” Kemudian sambil berjalan itu Nyuk In bercerita. Ia menceritakan tentang ke dua orang tuanya yang mati di tangan Bu-tek Sianli. Ia sendiri hampir diculik untung muncul Bu-beng Sianjin yang telah menolongnya. “Jangan takut In-moay, meskipun nenek tua Sian-li Paycu itu sakti, aku akan selalu menghadapinya dan membantumu sekuat tenaga,” berkata Ho Siang dengan semangat. Tentu saja Nyuk In menjadi girang sekali mendapat kawan seperti Ho Siang ini banyak memberi keuntungan. Ia tahu bahwa kepandaian Ho Siang jauh lebih tinggi daripadanya! Dengan ia bersama pemuda ini masakan ia tidak dapat menghadapi Bu-tek Sianli! Maka berjalanlah ke dua orang muda itu mencari pulau Bidadari. Di sepanjang perjalanan mereka merupakan sepasang merpati
310
yang baru lepas dari sarangnya. Hati mereka saling mengajuk, saling mengisi, o alangkah indahnya memang hati yang tersentuh panah asmara! Namun di samping itu Ho Siang dan Nyuk In selalu turun tangan apabila ada orang-orang jahat, mengganggu penduduk. Selama perjalanannya menuju ke laut Po-hay entah berapa banyak mereka bertemu dengan para perampok, tukang-tukang pukul yang disewa oleh para hartawan untuk menjadi anjing penjaga, akan tetapi menghadapi sepasang merpati ini mereka itu merupakan sebuah laron yang bertemu dengan api lilin. Perjalanan mereka menuju pulau Bidadari ke pesisir lautan Po-hay sangat membawa kesan masing-masing. Tanpa mereka sadari hati itu sudah bertaut menjadi satu, menjadi demikian akrabnya hubungan sehingga banyak orang-orang yang berjumpa dengan sepasang merpati ini menjadi merasa iri dan kagum!! Dalam perantauannya itu Nyuk In tidak berpakaian seperti pria. Ia kini memakai pakaian-pakaian wanita yang sangat serasi dengan kulit dan tubuhnya yang langsing sehingga membuat Ho Siang jadi bertambah jatuh hatinya terhadap gadis murid Bu-beng Sianjin ini!! Jauh di dasar jurang, di antara kabut-kabut putih masih mengambang di udara, dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebat dan aneh. Seorang diantaranya, adalah seorang laki tinggi kurus dan kulitnya hitam, rambutnya yang keriting itu terbungkus kopyah yang terbuat dari kain kuning, tangannya memakai gelang-gelang besar ditutupi oleh lengan baju yang besar
311
dan lebar, seperti jubah seorang hwesio yang terbuat dari kain kuning kasar. Usianya tidak lebih dari limapuluh tahun. Tangannya memegang sebuah pedang pendek yang berbentuk melengkung seperti arit, berkilat-kilat pedang pendek itu. Di depan orang yang memakai kopyjah kuning tampak seorang kakek yang tua sekali. Kakek yang bongkok yang terkadang terkekeh-kekeh dan kadang-kadang mengeluarkan suara melengking panjang seperti suara jeritan yang menggetarkan dasar jurang. Kakek ini bergerak dan memegang senjata yang sama berupa pedang pendek yang melengkung dan tangan kiri bergerak-gerak merupakan tamparan, dan tangan kanan berkelebat-kelebat menggerakkan pedang pendek yang mengeluarkan cahaya aneh! Gerakan mereka ini sangat cepat sekali dan sukar sekali diikuti oleh pandangan mata. Tiba-tiba nampak seperti sinar panjang yang saling menggulung, saling menyambar dan tampak dua orang tua itu rebah telentang terpisah antara sepuluh meter. Ke duanya nampak terengah-engah dan terdengar suara mereka merintih perlahan. “Hek sute..... kau hebat!” kekek tua itu berseru lemah sambil merintih perlahan. “Pek suheng kau juga hebat,” terdengar orang yang memakai kopyah kuning di kepalanya memuji pula. Ia juga nampak merintih perlahan, dengan lambat sekali seperti orang lumpuh, ia bersila
312
mengerahkan sin-kang! Gerakannya itu diturut oleh kakek tua bongkok yang lantas bersila dan mengheningkan cipta bersamadhi. Kedua orang itu tak dapat bangun kembali, masing-masing sudah terluka. Nampak kini ke duanya sedang tenggelam menggerahkan hawa sakti di dada jang terhantam pukulan lawan masing-masing. Sepasang pedang pendek, satu mengeluarkan cahaya hitam berkilat dan yang satunya lagi yang menancap di batu karang mengeluarkan sinar putih bercahaya. Pada saat itu, selagi kedua orang tua itu tenggelam dalam samadhinya, pendengaran mereka jang tajam dapat menangkap sesuatu yang meluncur turun dengan amat cepatnya dari atas. Untuk sedetik kemudian si kakek bongkok mengangkat tangannya ke atas dan sesosok tubuh menimpah tangan yang terangkat itu. Kakek bongkok itu terheran dan membuka matanya, kiranya scorang gadis cantik telah berada di tangannya yang tadi menyambar. Gadis itu dalam keadaan pingsan! Begitu kakek bongkok itu melihat ke depan, alangkah herannya dia, begitu melihat tubuh seorang pemuda juga menancap di atas kepala si kakek berkopyah kuning dalam keadaan berdiri. Pemuda tinggi tegap itu juga pingsan sama seperti si gadis yang tadi disanggapnya! “He he he sute, kau lihat, bukankah Thian menurunkan bocah ini untuk mewakili kita mengadu kekuatan?” berkata kakek bongkok sambil masih meramkan matanya.
313
“Betul suheng, pemuda ini adalah muridku! Dan aku akan melatih dia untuk menghadapi engkau, ingat di antara kita belum ada yang menang atau yang kalah, sayang….. kita tua-tua bangka ini sudah terluka dan tak mungkin baku hantam lagi, biar pemuda ini mewakili aku…. Suheng, tiga tahun lagi kita akan berjumpa di tempat ini, o ya, kalau aku masih hidup! Kalau sudah mampus, biarlah bocah ini yang akan mewakiliku untuk meneruskan pertempuran ini, ha ha ha!” Sambil berkata demikian kakek berwajah kuning itu menyambar tubuh pemuda jang bukan lain adalah Liok Kong In, yang terjatuh dari atas jurang terhantam pukulan dari Bong Bong Sianjin. Untungnya ia tadi terjatuh tepat di atas kepala kakek sakti berkopyah kuning ini sehingga ia tidak mengalami luka-luka atau terbanting di tanah. Begitu mengangkat pemuda yang masih pingsan itu, kakek berkopyah kuning mengambil pedang pendek hitam di tanah dan sekali berkelebat ia sudah lenyap dari hadapan kakek bongkok di depannya. “Ayaaa, hukum karma! Nasib sute Hek-moko keras hati, tapi kepandaiannya luar biasa, ya, apa mau dikata kalau ia mau menurunkan ilmu silatnya kepada pemuda jang dibawanya untuk membikin mampus aku, terpaksa akupun menurunkan ilmu silat kepada gadis ini..... eh, sudah sadar ia!” sambil berkata demikian ia memandang gadis di depannya yang menggeliat-geliat seperti orang baru bangun tidur.
314
Bwe Hwa terkejut sekali melihat kakek bongkok di depannya. Mimpikah aku ini, pikirnya, di tempat apakah ini? “Nona kau sudah sadar syukurlah.....” si kakek bongkok berkata perlahan. Akan tetapi wajahnya semakin pucat, dalam berkata tadi ia sudah mengerahkan tenaga yang cukup banyak sehingga dirasakan dadanya semakin sakit dan nyeri! “Kakek…… kau siapa? Mengapa aku ada di sini? Apakah ini yang dinamakan neraka?” Bwe Hwa bertanya sambil bangun duduk di depan si kakek. Akan tetapi ia cepat menubruk kakek itu ketika orang di depannya ini muntahkan darah segar banyak sekali. “Aii….. kau celaka kek!” “Sute memang hebat, pukulannya sudah meremukkan tulang dadaku…. eh, nona kau siapa dan mengapa kau jatuh dari atas jurang di sana itu? Kau membikin kaget aku, orang tua yang mau mampus ini!” Bwe Hwa mengingat. Ia dan Liok Kong In, it-suhengnya memang jatuh dari atas tebing sana, hemm, tentu si kakek ini yang menolongku, pikir Bwe Hwa, akan tetapi begitu ia melirik ke sekitarnya ia tidak melihat Liok Kong In. “Nona kau tadi…… meluncur dari atas itu, untung kau jatuh menimpaku dan aku si tua ini keburu menyanggap kau, kalau tidak, tubuhmu niscaya akan hancur dihantam batu ini, o ya, pemuda tinggi tegap itu…… apamukah dia?” Si kakek bongkok bertanya setelah dirasakan dadanya tidak terasa sakit lagi.
315
“Kek, pemuda itu adalah suhengku, kemana dia? kau sembunyikan dimana?” Bwe Hwa bertanya gelisah. Takut kalau suhengnya tidak ketolongan! “Dia selamat nona baru saja tadi dibawa oleh suteku ke tempat pertapaannya, suteku adalah Hek-moko, pertapa lihay, jangan kuatir nona, pemuda itu diambilnya untuk menjadi muridnya!” Bwe Hwa menjadi melongo dan juga girang hatinya mendengar suhengnya selamat, malah diambil murid oleh sute orang tua bongkok ini. “Betul kek?” tanya Bwe Hwa memastikan. Si kakek tak menyahut, mengangguk dan bersemadhi lagi mengerahkan hawa sin-kang di tubuhnya. Sekali lihat saja tahulah kakek bongkok itu tengah terluka hebat. Oleh sebab itu Bwe Hwa diam saja, memandangi si kakek. bongkok. Tidak lama kemudian nampak si kakek membuka matanya dan bertanya: “Lukaku parah, eh, nona siapa namamu? Mengapa kau terjatuh ke jurang ini, hayo kau ceritakan……!!” “Saja adalah murid mendiang suhu Swie It Tianglo dan nama saya Lie Bwe Hwa. Pemuda itu adalah suheng saya Liok Kong In..... eh, kenapa kau kek?” Bwe Hwa bertanya melihat kakek memandangnya dengan mendelik, dikirain kakek itu marah terhadapnya, akan tetapi bukan demikian adanya. Saking menahan rasa perih dan sakit di dada dan terkejut mendengar Swie It Tianglo sudah meninggal, ia jadi membelalak. Ia terengah-engah!
316
“Bagus kau kiranya murid Swie It Tianglo Bwe Hwa….. aku.... aku tak kuat lagi….., bersumpahlah kau mau menjadi muridku!” “Kek?” “Bwe Hwa…., aku.... aku hampir tak kuat lagi. Luluskanlah permintaanku jang terakhir ini……” Suara si kakek semakin lemah, dengan merayap seperti orang mengesot ia menghampiri pedang pendek melengkung yang mengeluarkan cahaya putih, lalu tangan kirinya merogoh saku dan mengeluarkan sejilid buku kecil. Disodorkan kepada Bwe Hwa. “Nona kau pelajari kitab pelajaran silat ini, berlatihlah dengan tekun. Sebelum tiga tahun kau melatih diri jangan kau keluar dari lembah ini….. Carilah Hek-moko…. suteku itu, dan kau tempurlah ia….. aku tak tahan lagi, Bwe Hwa……” Augh-uh tiga kali kakek bongkok itu muntahkan darah, dengan mata mendelik ia memandang Bwe Hwa. Terkejut sekeli Bwe Hwa, ia merasa terharu melihat keadaan kakek itu dengan cepat ia berlutut dan berkata: “Kakek, suhu....., teecu Bwe Hwa mengucapkan terimakasih untuk kepercayaanmu menitipkan kitab ini. Teecu bersumpah akan mencari Hek-moko!” Begitu selesai Bwe Hwa berkata, mata yang mendelik itu menutup kembali. Bibir si kakek bongkok mengeluarkan senyum dan raganya meninggal dan napasnya berhenti. Dan meninggallah kakek bongkok itu dengan tenang! Dengan dada penuh rasa haru, Bwe Hwa menggali lubang dengan pedang pendek yang tadi diambil oleh si kakek bongkok. Alangkah
317
terkejutnya ia begitu memegang pedang tangannya bergetar hebat. Ada rasa mujijat menyerangnya. Dengan cepat Bwe Hwa melepaskan pedang itu, mulutnya menggerutu, “Pedang Iblis!” Akan tetapi rasa penasaran itu membuat tangannya meraih lagi menggenggam kuat. Kalau kakek bongkok yang menjadi suhuku bisa memegang masa aku tidak mampu memegang pedang ini? Berpikir demikian Bwe Hwa menggali lobang dan sebentar itu pula ia sudah memakamkan jenasah kakek bongkok yang kini menjadi suhunya! Setelah memberi penghormatan terakhir, Bwe Hwa melangkah perlahan, tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pondok yang di kelilingi oleh pepohonan-pepohonan yang banyak mengeluarkan buah dan sayur mayur. Hemm, tentu ini tempat tinggal suhu….. alangkah indahnya pemandangan di sini. Sambil berpikir demikian Bwe Hwa mengeluarkan kitab kecil dan membaca Pek-hwa-kiam-sut (Ilmu Pedang Bunga Putih) yang ditulis oleh Pek-moko, hemm, jadi suhu bernama Pek-moko? Demikianlah sejak saat itu, Bwe Hwa melatih diri atas petunjuk kitab peninggalan Pek-moko yang bernama kitab pelajaran ilmu pedang bunga putih. Dan pedang yang disebutnya pedang iblis ini dipakainya untuk berlatih! Hebat bukan main pedang ini mempunyai mujijat yang luar biasa! Dengan tekun dan bersemangat mulai hari itu Bwe Hwa menggembleng dirinya menurut petunjuk kitab kecil peninggalan kakek bongkok yang bernama Pek-moko! Apalagi melihat musuh-
318
musuh besarnya seperti Bong Bong Sianjin, yang pernah ia rasai kelihayannya kemaren dulu itu, bertambah tekun Bwe Hwa berlatih! Ia berjanji setelah tiga tahun ia akan mencari musuh-musuh besarnya, Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay, Te-thian Lomo dan mencari pula saudara-saudara seperguruannya yang bercerai berai! <> Sementara itu, Liok Kong In juga menerima gemblengan ilmu pedang Hek-hwa-kiam-sut dari Hek-moko. Kakek yang disebut Hek-moko ini keadaannya tidak lebih baik dari Pek-moko. Begitu ia sampai di puncak pertapaannya di sebuah pegunungan yang tidak dikenal manusia, kakek ini muntah-muntahkan darah dan cuma seminggu kemudian kakek yang disebut Hek-moko ini meninggal dunia. Akan tetapi pada hari-hari sebelumnya, kakek ini pernah berpesan kepada muridnya Liok Kong In demikian: “Kau pelajarilah kitab ini, muridku. Sebelum tiga tahun jangan kau meninggalkan puncak ini. Carilah Pek-moko, suhengku itulah yang membuat aku menjadi cacat seperti ini. Mungkin nyawaku tidak akan lama lagi bertahan. Kau carilah Pek-moko dan muridnya, kau tempur dia! Kalahkan dia..... sebelum ia mengaku kalah..... belum puas hatiku!” Demikianlah Hek-moko bercerita kepada muridnya ini. Sebenarnya Hek-moko dan Pek-moko adalah saudara seperguruan, terkenal sebagai sepasang iblis hitam dan putih yang mempunyai kepandaian silat luar biasa.
319
Akan tetapi setelah mereka ini menciptakan sepasang pedang yang disebut Pedang Iblis, yang telah banyak mengorbankan nyawa manusia untuk pelaksanaan pembuatan pedang tersebut, yang direndam oleh darah dan dibakar oleh panasnya kawah api, maka setelah selesai sepasang pedang itu timbullah persaingan-persaingan, diantara sesama sendiri. Hek-moko merasa tidak puas kalau belum mengalahkan Pek-moko sebaliknya Pek-moko juga demikian! Mereka selalu bertempur dengan menggunakan sepasang pedang iblis. Pedang hitam ditangan Hek-moko pedang putih ditangan Pek-moko. Pada suatu hari di lembah itu, mereka bertempur mati-matian. Seperti manusia yang haus darah mereka masing-masing saling terjang, saling menggunakan kepandaian untuk merobohkan lawannya. Akan tetapi kepandaian mareka tetap seimbang, semakin seru mereka bertempur semakin tidak puas di hati mereka. Tiga hari tiga malam mereka bertempur, dan pada hari jang ketiga, sepasang pedang iblis itu saling mereguk darah. Pedang pendek Pek-moko juga berhasil melukai lambung Hek-moko. Baru mereka sadar sesudah keduanya itu terluka hebat. Apa mau, bagaikan diturunkan dari langit datang Bwe Hwa dan Kong In… Waktu tiga tahun tidak lama. Memang kalau dinanti-nanti sang waktu akan merangkak amat lambat sekali, seperti seekor siput berjalan. Terasa lama dan mengesalkan. Akan tetapi itu kalau kita
320
perhatikan, coba kalau kita tidak perhatikan tahu-tahu, siput itu sudah pergi jauh meninggalkan kita hanya nampak bekas-bekas tapak sang waktu itu merangkak yang menimbulkan kenangan masa-masa lalu, yang tak mungkin akan kembali. Oleh karena itu, kita tinggalkan dulu dua orang muda murid mendiang Swie It Tianglo jang telah melatih diri di tempat jang berlainan. Bwe Hwa berlatih atas petunjuk-petunjuk kitab kecil peninggalan Pek-moko dan Liok Kong In bertekun pula di sebuah puncak pegunungan melatih diri menurut petunjuk-petunjuk kitab pemberian Hek-moko! Dan tiga tahun nanti mereka ini akan kita temui dalam tragedi-tragedi yang mendebarkan jantung dan mengoyak-ngoyak hati. Karena sepasang pedang iblis di tangan Bwe Hwa dan Kong In mengingatkan orang-orang gagah kepada sepasang iblis hitam dan putih yang pada puluhan tahun yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan! Sekarang kita ikuti pengalaman-pengalaman Tiang Le yang tertawan oleh empat dara jelita dari Sian-li-pay. Sejak kehilangan lengan kanannya Tiang Le seperti orang tanpadaksa ia tak dapat memainkan ilmu pedangnya lagi. Oleh sebab itu ia tidak dapat melepaskan diri dari tawanan empat dara Sian-li-pay yang lihai dan cantik jelita, dan bersuara merdu! Dan ke empat dara ini adalah tulang punggung dari pergerakan Sian-li-pay, mereka itu adalah Sianli-sie-ci-moay (empat kakak beradik seperguruan Bidadari), berwatak aneh dan galak! Cerewet seperti nenek-nenek.
321
Seperti diceritakan pada bagian depan, sebetulnya Tiang Le bermaksud hendak menyelamatkan limaribu tail emas hasil upeti Kaisar untuk disumbangkan ke Wu-nian bagi penderita korban kelaparan dan penyakit. Siapa sangka, bukan saja ia tidak dapat menyelamatkan limaribu tail emas itu, malah dirinya terjirat menjadi tawanan ke empat dara berkerudung hitam ini? Ia menyesal sekali tak dapat merampas harta itu, dan yang lebih disesalkan lagi kebuntungan lengan kanannya ini membawa kemalangan baginya. Coba kalau ia mempunyai sepasang lengan. Hemm, tak semudah gadis-gadis itu menawanku, demikian pikir Tiang Le di dalam gerobak yang didorong oleh si gadis. Hawa udara begitu panas dan terik, membuat Tiang Le melenggut dan mengantuk dalam benaman karung-karung yang berisi ikan-ikan asin dan terasi. Selama dua jam di dalam gerobak ini, ia menjadi biasa lagi dengan hawa busuk yang semula membuat ia hampir pingsan! Sekarang malah ia dengan enaknya melenggut berayun ketika gerobak didorong! Melihat betapa pemuda buntung ini malah tidur keenakan di dalam gerobak, gadis yang mendorongnya mengomel, memaki: “Sialan, aku yang mendorong setengah mampus, engkau keenakan tidur di situ. Bangun bantu aku mendorong gerobak ini!” bentak si gadis muka kerudung hitam. Tiang Le menggeliat bangun. “Bukankah engkau yang melemparkan aku ke sini eh, hendak dibawa kemana aku ini!!”
322
“Cerewet! Pokoknya kau ikut dengan kami. Habis perkara! Hayo turun, bantu aku dorong gerobak!!” Gadis muka kerudung yang mendorong gerobak barang lainnya menoleh kepada saudaranya dan berkata, “It-sianli suci mengapa pake ngomel-ngomel, lemparin saja si buntung habis perkara. Bikin capek hati saja……” “Hemm, memang dia patut dilempar!” “Lemparlah kalau kau mau,” Tiang Le menantang. “Jangan banyak tingkah makan ini!” sekali Sepasang pedang berkelebat tahu-tahu Tiang Le sudah mencelat ke atas, keluar dari gerobak dan berdiri. “Hayo bantu dorong, kalau tidak ingin ku penggal lehermu,” bentak gadis itu menyarungkan sepasang pedangnya. Melihat bahwa gadis itu tidak menyerang lagi, Tiang Le terpaksa berjalan dan mendorong pula gerobak di samping si gadis. Gadis-gadis yang lain menoleh dan tertawa, “It-sianli suci, hati-hati nanti dia kabur!” “Coba-coba saja berani kabur, pedangku akan memenggal kepalanya,” sahut It-sianli yang berjuluk Bu-beng-siang-sin-kiam-hoat! “Aduh galaknya…..” Tiang Le menggoda sambil mendorong.
323
“Kau kira aku main-main. Kau kira aku tidak berani memenggal kepalamu?” It-sianli menoleh. Melihat mata yang cerah dan bening itu, Tiang Le bukannya menjadi marah akan tetapi, entah mengapa rasanya ia senang menggoda gadis kerudung hitam di sebelahnya ini! Demikianlah sepanjang perjalanan mendorong gerobak ini, Tiang Le dan It-sianli selalu terdengar bertengkar. Terkadang-kadang nampak sepasang pedang si gadis terkelebat hendak memenggal leher Tiang Le, terkadang ia mengomel panjang pendek adu debat dengan pemuda buntung ini! Hmm, perjalanan yang menyenangkan bagi Tiang Le. Betapa tidak? Biarpun ia dijadikan tawanan, akan tetapi berdekatan dengan gadis ini tidak merasa ia sedang ditawan dan sebentar lagi akan dihadapkan di depan Pay-cu Sian-li-pay nenek sakti Bu-tek Sianli! Memang lucu sekali hati lelaki. Setiap melihat perempuan cantik selalu jatuh hati! Anehnya bagi Tiang Le meskipun ia belum melihat wajah gadis yang selalu tertutup kerudung hitam ini, ia sudah tertarik dan berkhayal akan keindahan bibir yang mengoceh dibalik sutera hitam dan hidung mancung bagus! Hanya sepasang mata itu yang mengoyak-mengoyak hatinya memberikan kepastian bahwa gadis ini cantik! Gila! Apabila teringat kepada Sian Hwa, Tiang Le memaki dirinya. Tak boleh aku menghianati Sian Hwa, aku sudah mencintainya dan iapun mencintaiku. Ah, Sian Hwa di manakah engkau? Teringat Sian Hwa, sumoaynya yang kedua itu ia menarik napas panjang.
324
“Eh, mengapa kau menarik napas? Apakah kesal?” kata It-sianli yang berjuluk Bu-beng siang-sin-kiam-hoat sambil menoleh dan mengawasi pemuda itu. Kali ini Tiang Le tak mau bertemu pandang dengan mata si gadis, ia menunduk sementara tangannya mendorong. “Hendak kau bawa kemana aku ini nona?” tanya Tiang Le dengan mengangkat muka memandang ke depan. “Tentu saja ke pulau, habis kemana?” “Masih jauh?” “Tentu, naah tu di depan itu, ada anak sungai….. sebentar lagi kita akan mengarungi laut Po-hay, ya di seberang laut Po-hay itu pulau kami, disebut pulau Bidadari!” Tiang Le menoleh. Pulau Bidadari, aneh mana ada pulau namanya pulau Bidadari, ada-ada saja gadis-gadis ini. Benarlah seperti apa yang dikatakan si gadis tidak jauh di depan mengalir sebuah anak sungai. Sungai ini akan menembus ke laut Po-hay suasana di tepi sungai ini amat sepi sekali. Ke empat orang gadis berkerudung hitam menghentikan gerobaknya. Tiang Le juga berhenti, ia menyeka keringat yang menitik-nitik di wajahnya..... Cape juga mendorong gerobak ini pikirnya! Waktu dilihatnya ke empat gadis berkerudung hitam itu, mereka nampaknya tengah kelelahan juga. “It-sianli suci, tidak ada perahu.....”
325
“Nanti pasti ada yang lewat, sekarang mari kita mengaso! Eh buntung kau berdiri saja di situ, apakah kau mau jadi patung. Duduklah!” It-sianli berkata ketus kepada Tiang Le yang masih berdiri mengawasi air sungai yang mengalir. Tiang Le menoleh. Melihat mata yang jelita itu ia berkata: “Duduk di mana?” “Tolol!! Di sini inilah….. di atas rumput ini, habis di atas sungai?” It-sianli membentak. Ke tiga gadis berkerudung lainnya tertawa cekikikan. “It-sianli suci….. kau selalu cekcok saja sama si buntung ini!” Heran salah seorang dari ke tiga gadis itu berkata sambil menghempaskan dirinya di atas rumput. Sementara angin bersepoi melelah. Nikmat menghembus-hembus pipinya. “Aku benci..... benci!” Gadis yang dipanggil It-sianli suci itu berkata ketus, memandang kepada Tiang Le yang sudah deprok pula di tanah berumput. “Jangan begitu suci, benci lama-lama jadi cinta, suci….. wah, barabe!” “Setan! Siapa yang mencintai dia?” “Itu kan umpama, It-sianli suci, sebab benci dan cinta itu berdekatan. Biasanya antara benci dan cinta merupakan saudara kandung yang saling berdekatan, hati-hatilah, jangan-jangan bencimu itu menjadi cinta!!”
326
“Siiiing!!” Sepasang pedang keluar dari sarungnya. “Sam-sianli sumoay, lancang mulutmu!!” “Eh mengapa kau marah?? Memang mulutku ini lancang suci, naah maafkanlah aku!” kata gadis berkerudung hitam yang memegang tongkat dan disebut Sam-sianli, dan ia berjuluk Sianli-sin-tung-hoat atau bidadari tongkat sakti. Jie-sianli membuka perbekalannya dan mengeluarkan beberapa potong roti, kemudian katanya: “Janganlah pada bertengkar, lebih baik serbu ini!!” “Jie-sianli betul, kita sikat ini baru mengenyangkan perut, bertengkar melulu apa yang bikin kenyang perut. Eeh! It-sianli suci kau tawari si buntung itu, dia tentu lapar!” “Kau saja yang tawari!!” “Masa aku? Kaukan lebih rapat!!” “Setan, rapat apanya?” Mendengar bahwa gadis-gadis aneh itu memperbincangkan dirinya, Tiang Le menjadi malu dan tak enak hati. Apalagi kini gadis-gadis itu meributkan soal saling dorong untuk memberikan roti. Gila! Lebih baik aku pergi saja, pikirnya mengangkat kaki berlalu.
327
“Eh, eh….. dia kabur, It-sianli suci…... lihatlah si buntung pergi!” Gadis kerudung ketiga berkata menunjuk Tiang Le sedang berjalan menjauhi. “Setan, mau kabur ke mana kau?” berkata demikian It-sianli menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu beberapa kali loncatan ia sudah berdiri di depan Tiang Le. “Buntung! Hendak kabur ke mana kau?” Mengkal hati Tiang Le, dikit-dikit gadis ini memanggilnya buntung, amat menyakitkan sekali! Dengan senyum pahit Tiang Le menyahut: “Nona, kau memanggilku tidak ada sopannya, namaku Sung Tiang Le, harap kau menjadi tahu adanya dan jangan memanggilku buntung, buntung begitu. Tanganku buntung tidak ada sangkut pautnya denganmu. Harap sedikit kau sopan dan mempunyai bahasa kalau memanggil orang.” “Oooo, jadi kau harus kupanggil koko, begitu?” “Bukan begitu, nona, panggil saja namaku!” “Setan! Siapa yang ingin tahu namamu, eh bun….. Tiang Le, ya namamu..... kenapa kau kabur?” Diam-diam Tiang Le mendengar gadis ini tidak jadi menyebutnya buntung. Diam-diam ia tidak dapat membenci gadis aneh ini! “Aku tidak kabur nona, cuma tak enak hatiku melihat kalian makan!”
328
“Justru itu, hayo kembali, biar aku berikan kau roti. Eh tentu kau lapar ya?” Melihat tingkah laku gadis ini, mau tidak mau Tiang Le menjadi tersenyum, ia tidak berkata apa-apa kepada gadis ini akan tetapi melangkahkan kakinya kembali ke tempat gadis-gadis kerudung hitam yang tengah makan roti. Melihat kedatangan pemuda lengan buntung ini, keruan saja para gadis yang lain tertawa cekikikan, malah ada yang nyeletuk: “It-sianli suci hebat, anjing buntung ini jadi jinak di tangannya.” Tiang Le melirik, yang berkata tadi adalah gadis kedua yang bersenjata cambuk. Tiang Le hanya tersenyum pahit, melirik ke arah lengannya yang buntung. Memang aku buntung mengapa aku harus malu dan marah? Ah, Bwe Hwa…... engkau yang membuatku jadi begini! Jadi seorang pemuda tanpa daksa. Sayang hanya lengan kananku yang kau penggal mengapa tidak sekalian kau penggal kepalaku saja. Mati lebih baik dari pada kau siksa, hidup tanpa guna begini dipermainkan oleh gadis kerudung hitam! Teringat ini Tiang Le termenung sendiri. Ia menolak roti yang disodorkan oleh It-sianli. Tentu saja It-sianli tidak mau memaksanya karena pandangan mata sumoay-sumoaynya memandang aneh! Pada saat itu sebuah perahu meluncur dengan amat cepatnya. Nampak dua orang yang tengah mendayung. Melihat perahu itu sudah hampir lewat, salah seorang dari ke empat gadis
329
berkerudung itu memanggilnya, “Hey tukang perahu..... kesinilah…. kusewa perahu kalian!” “Hayyaaa..... itu dia gadis-gadis cantik, eh Kong Hwat, anak gendeng..... Hayo kau putar perahu….. Lihat gadis cantik itu hendak menyewa perahu kita, jalan….. kita dapat duit lagi….. ha ha ha! Eh, nona kerudung hitam….. apakah kalian hendak menyeberang?” Dari tengah-tengah sungai itu si kakek berteriak. Suaranya berat dan nyaring. Kakek ini sudah tua, usianya ada limapuluh tahun. Akan tetapi pakaiannya aneh, kembang-kembang campur baur dan penuh tambalan-tambalan, di telinganya sebelah kiri nampak anting-anting besar seperti orang India, kepalanya diikat sorban kuning. Jubahnya penuh kembang-kembang itu lebar berjubrai seperti pakaian orang Bombai. Pemuda yang dipanggil Kong Hwat tadi, adalah seorang pemuda tampan, usianya ada sekitar duapuluh, mukanya agak kehitam-hitaman saking tiap hari ia berjemur diri di sungai menjadi nelayan. “Suhu...... nona muka kerudung itu, tentu anggota-anggota Sian-li-pay perkumpulan jahat!” pemuda Kong Hwat meragu untuk menepikan perahunya ke pinggir. Si kakek bagaikan acuh tak acuh bersenandung riang sambil mengeprak-ngeprakan dayung, bututnya memukul air yang memercik tinggi.” “Cik-kicik kibung, bunyi gendang bertalu-talu Pura-pura bingung jangan sampai orang yang tahu.
330
Tak tak dung, ketak kedung, orang muda tangannya buntung, Biarkan uang emas terkatung-katung, he he he. “Kakek gila, hayo bawa kami dan tiga gerobak itu menyeberangi laut Po-hay. Berapa biaya nanti kami bayar!” Jie-sianli membentak sambil meluncurkan cambuknya dan begitu cambuk itu melilit pada tiang perahu, ia membetot keras sehingga perahu itu meluncur laju ke tepi dan menubruk pinggiran sungai. “Wa, wa……! gadis ini galak-galak, berabe Kong Hwat. Benar orang-orang Sian-li-pay nggak memandang mata, ai, ai kalau perahuku rusak, kau mesti ganti bocah gendeng!” “Eh, buntung angkat ini……, ikan-ikan asin tak perlu dibawa, biarin tinggalin di sini, dan angkat karung yang di bawah itu……” Sam-sianli, orang ketiga dari gadis Sian-li-pay berkata memerintah. Tiang Le, tak berkata apa-apa. Tiang Le mengangkat karung-karung berisi ikan asin dan melemparkan ke samping dan begitu ia menemukan karung-karung yang di bawah, betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa karung-karung di bawah ini adalah benar-benar berisi uang emas! Dengan hati-hati, ia mengangkat karung itu ke perahu. Selesai tiga karung itu diangkut ke perahu, ke empat gadis itu meloncat ke perahu dan berkata kepada kakek tukang perahu: “Sudah, jalan!” Maka meluncurlah perahu itu ke tengah mengikuti arus air sungai yang kelak menumpahkan airnya ke laut Po-hay. Si kakek tukang perahu bagaikan acuh tak acuh ia berdiri di ujung perahu sambil bernyanyi-nyanyi tak keruan juntrungannya. Sedangkan pemuda
331
yang bernama Kong Hwat mendayung perahunya sambil berkali-kali matanya melirik ke arah buntalan karung di dalam perahu itu. Melihat betapa yang mendayung adalah pemuda itu sendirian, tanpa berkata apa-apa Tiang Le mengambil dayung dan mendayung dengan tangan kirinya. Perahu meluncur lebih cepat. Air sungai yang berwarna kecoklatan mengeriak bergelombang kecil dibelah oleh lajunya perahu. Tiang Le kagum sekali melihat cara pemuda itu mengayuh dayungnya, bukan saja cepat dan bertenaga akan tetapi juga hanya dengan mendayung perlahan saja, perahu sudah demikian cepatnya meluncur. Sekilas saja ia tahulah Tiang Le bahwa tukang perahu muda dan kakek itu bukan nelayan sembarangan. Kembali dia menoleh ke arah empat orang gadis itu. Dilihatnya It-sianli tengah memandangnya. Entah mengapa begitu bertemu pandangan dengannya gadis itu tertunduk lagi pura-pura menjatuhkan pandangannya ke samping melihat air yang kecoklat-coklatan bergelombang. “Saudara tukang perahu, di sini ini daerah apakah dan sungai apa ini?” Tiang Le bertanya untuk menghilangkan kesepian yang mencekam Kong Hwat menoleh dan tersenyum, kemudian katanya: “Ini sungai kuning, sebentar lagi kita akan memasuki laut Po-hay. Eeeh saudara, kau siapa? mengapa kau ditahan oleh gadis-gadis Sian-li-pay?”
332
“Mereka itu lihay, aku tak dapat melepaskan diri dari mereka. Tadinya aku berusaha untuk menyelamatkan limaribu tail emas yang dipersembahkan oleh kaisar untuk sumbangan ke Wu-nian. Siapa tahu gadis-gadis itu demikian lihay, hingga aku tak dapat menyelamatkan itu uang, malahan aku sendiri tidak berdaya ditangannya!” “Hmm, jadi mereka inikah yang belum lama ini merampok di lereng gunung itu?” Tiang Le mengangguk. Akan tetapi alangkah herannya dia tiba-tiba perahu yang ditumpangi itu terbalik dengan amat cepat sekali, dengan gerakan yang gesit Tiang Le mencelat ke atas membuat pok-say tiga kali dan begitu ia turun di atas perahu yang terbalik, ia tidak melihat lagi Kong Hwat dan kakek nelayan itu. Dan dari kejauhan ia mendengar suara orang berkata, “Orang muda buntung, selagi masih ada kesempatan mengapa tidak meloloskan diri dari tangan gadis-gadis Sian-li-pay?” Itu suara pemuda tukang perahu, entah bagaimana caranya, tahu-tahu pemuda itu sudah lenyap. Dan ia bengong sendiri di atas perahu yang mengambang. Bagaimana ia dapat melarikan diri, perahu yang terbalik ini tidak lagi bisa melaju mengambang di tengah sungai. Sedangkan dilihatnya ke empat gadis berkerudung hitam itu tengah berenang menepi sambil menyumpah-nyumpah: “Sialan, pemuda tukang perahu keparat!” Tentu saja Tiang Le tidak tahu betapa orang muda tukang perahu itu adalah Kong Hwat dan kakek itu adalah Koay Lojin. Ke dua
333
orang ini tentu saja terkenal dengan sebutan setan air. Maka tadi begitu mendengar tentang emas yang hendak disumbangkan oleh kaisar direbut oleh gadis-gadis Sian-li-pay, dengan gerakan ajaib Kong Hwat membalikkan perahunya dan bagai kilat tangannya menyambar tiga buntalan limaribu tail emas dan menyelam ke dasar sungai di ikuti oleh Koay Lojin yang tertawa terkekeh-kekeh memanggul dua buah karung berisi uang mas! Dan untuk seterusnya dua orang nelayan itu sambil menyelam berjalan di bawah air sampai jauh dan tahu-tahu dengan basah kuyup dan tertawa-tawa, dua orang itu menuju ke Wu-nian dengan amat cepatnya untuk menyerahkan sumbangan korban kelaparan dan bahaya penyakit. Sementara itu Tiang Le yang memang tidak bisa berenang. Terapung-apung di tengah-tengah sungai menggapai-gapaikan tangannya ke arah gadis-gadis Sian-li-pay yang sudah mendarat dan tengah menguras pakaiannya yang basah. “Hey……!” Dari seberang sungai nampak It-sianli berkata kepada sumoaynya jie-sianli yang berjuluk Sianli-eng-cu: “Sam-sianli sumoay, kau tolonglah pemuda buntung itu!” “Hemm, suci mulai tertarik kepadanya, ya?” “Jie-sianli! Kau bicara sembarangan, hayo tolong dia.” Ke tiga gadis itu mengakak geli mentertawakan It-sianli. Tak habis heran ke tiganya ini mengapa sucinya yang terkenal galak kepada
334
setiap lelaki, eh hari ini demikian memperhatikan pemuda buntung itu. Sayang, kalau saja sucinya jatuh cinta kepada pemuda lengan buntung yang meskipun kelihatan tampan, akan tetapi tanpadaksa!! Meskipun hatinya kurang senang, Jie-sianli yang berjuluk Sianli-eng-cu mengeluarkan cambuknya. Tiga kali cambuk yang panjang itu meluncur ke tengah sungai dan dengan sabetan luar biasa, cambuk di tangan Sianli-eng-cu sudah membelit tubuh Tiang Le dan dengan sekali sentak saja, tubuh Tiang Le melayang ke darat jatuh tepat di depan It-sianli. “Nah, sudah kutunaikan tugasku, suci, sekarang hendak kau apakan pemuda buntung itu terserah!” begini kata Sianli-eng-cu menggulung cambuknya dan menyelipkan ke pinggangnya. It-sianli menghampiri Tiang Le yang sudah berdiri dan katanya ketus: “Hayo ikut dengan kami ke pulau!” “Nona, aku tidak bersalah apa-apa, mengapa kau memaksaku ke pulau??” “Ahh cerewet, hayo jalan ikuti kami!” setelah berkata demikian ia mengikuti ketiga sumoaynya yang sudah jalan duluan. Terdengar Sianli-eng-cu menggerutu: “Celaka, limaribu tail emas itu tenggelam…... Sianli tentu akan marah, eeh bagaimana baiknya?” “Buat apa musti bingung, bilang saja si Buntung itu yang bikin gara-gara sehingga kita kehilangan tiga kantong emas, laporkan saja kepada Sianli. Biar si buntung yang menanggung hukumannya,” sahut gadis keempat yang berjuluk Sianli-toat-hun-kiam (bidadari
335
pengejar nyawa) yang biasa dipanggil Sie-sianli (bidadari keempat). Tiang Le tersenyum kepada gadis yang berkata tadi. Celaka, rupanya aku ini yang hendak mereka jadikan kelinci percobaan. Sialan benar aku ini, bertemu dengan gadis-gadis cantik berwatak seperti setan! Demikianlah, sekarang dengan berjalan kaki Tiang Le digiring oleh ke empat dara jelita dari Sian-li-pay ini, tanpa dapat meloloskan diri. Mengikuti saja ke mana gadis ini membawanya! Setelah berhari-hari mereka menyusuri sungai, maka pada hari yang keempat berlayarlah mereka berlima menyeberangi laut Po-hay, perahu yang sengaja dibeli oleh gadis-gadis ini untuk perjalanannya dari seorang nelayan. Akhirnya setelah hampir senja barulah perahu mereka melewati laut Po-hay dan memasuki sebuah telaga dan mendarat di sebuah pulau yang mereka namakan pulau bidadari di tengah telaga. Pulau ini tidak berapa besar akan tetapi nampak indah sekali pemandangannya. Di tengah-tengah pulau nampak sebuah taman, terdapat tiga buah pondok peristirahatan Bu-tek Sianli. Bangunan-bangunan yang besar-besar berdiri dengan megah dan mewahnya. Nampak di pantai telaga perahu-perahu kecil sebagai penghubung untuk menyeberang melintasi laut Po-hay! Inilah pulau yang disebut pulau bidadari!
336
Tiang Le merasa heran dan kagum. Waktu mereka mendarat, dua sosok tubuh berlarian mendatangi dengan gesit sambil berkata: “Selamat datang Sian-li-sie-cie-moay……. Pay-cu, selalu menanti kalian!” Tanpa berkata apa-apa lagi ke empat gadis itu berlari meninggalkan pantai. Tiang Le berlari pula mengikuti gadis-gadis aneh itu. Begitu mereka tiba di pintu gerbang, mereka disambut oleh sepasang bidadari cantik tanpa penutup muka lagi. Amat cantik-cantik sekali gadis-gadis ini, patut menjadi bidadari-bidadari di sini, pikir Tiang Le. Seorang dari ke dua gadis itu berlari masuk ke dalam melaporkan kepada Sianli dan seorang lagi mengantarkan ke ruang dalam. Tiang Le digiring perlahan memasuki pulau dengan perlahan, diiringi sepasukan dara-dara cantik dan oleh empat orang dara yang masih menutup mukanya dengan kerudung. Tak lama kemudian rombongan ini berhenti, dari depan nampak serombongan dara-dara berjalan dengan cepat. Tiang Le belalakan mata memandang penuh perhatian. Bukan main, entah dari mana Pay-cu Sian-li-pay ini mengumpulkan gadis-gadis cantik seperti bidadari-bidadari turun dari kayangan! Ia melihat barisan wanita-wanita muda cantik yang gagah sikapnya, memegang pedang telanjang di tangan berjalan dengan teratur di kanan kiri. Di tengah-tengah nampak berjalan seorang wanita tua yang berkulit agak kehitaman dan pakaiannya biarpun terdiri dari sutera mahal, akan tetapi tidak serasi dengan kulit tubuhnya yang
337
kehitaman. Pakaiannya berkembang amat menyolok dengan kulit hitam itu. Akan tetapi meskipun nenek itu berpakaian yang aneh dan lucu, biarpun sudah kelihatan tua dan penuh kerisut, nampak wajah yang agung itu berseri-seri menyambut ke empat muridnya yang mendatangi. Tongkat yang berbentuk kepala bidadari terpegang dalam genggaman tangan kanannya. Tempat itu kini penuh dengan anggota Sian-li-pay dan semua orang memandang Tiang Le dengan penuh perhatian. Mereka bersikap hormat ketika Bu-tek Sianli muncul, semua dara-dara jelita memberi hormat dengan berlutut, hanya ke empat dara yang disebut Sianli-sie-cie-moay ini saja yang hanya menganggukkan kepalanya sebagai ucapan menghormat. Pandangan matanya Bu-tek Sianli untuk sejenak menjelajahi Tiang Le dari rambut sampai ke kaki dan apabila terbentur oleh lengan buntung itu, si nenek mengerutkan keningnya dan berkata, “Untuk apa pemuda buntung ini dibawa ke mari, mana….. uang limaribu tail emas!?” “Maaf, Sian-li Pay-cu…... sengaja kami membawa si buntung ini kemari, karena gara-gara dia sehingga kami gagal dalam usaha merebut limaribu tail emas itu!” “Hemm, jadi kalian tidak becus mengalahkan orang, Kim-coa-pay itu?” Bu-tek bertanya dengan nada dingin.
338
“Bukan begitu Sianli……. berkata Sianli-eng-cu, murid kedua: “Sebetulnya kami sudah berhasil merampas limaribu tail emas itu, eh datang si buntung ini membawa kawannya dan……..” “Hemm, kalian tidak dapat mengatasi kawan-kawan si buntung ini?” “Begitulah Sianli…….!” Nenek pay-cu Sian-li-pay mendengus marah: “Hem, menghadapi bocah ini saja kalian tidak becus!” “Dia membawa teman-teman Sianli,” Sian-li-eng-cu membohong lagi. Pandangan Bu-tek Sianli menyambar lengan buntung Tiang Le kemudian berkata kepada muridnya yang lain: “Betulkah pemuda buntung ini membawa teman-teman sehingga kau gagal?” Kini murid ke empat yang menyahut: “Oleh sebab itulah kami menghadapkan dia kepada Pay-cu Sianli, menanti keputusan Sianli tentang hukumannya dari Pay-cu!” “Hemm, bocah buntung ini berani mengacau rencanaku, apalagi hukumannya selain mampus! Biar aku sendiri yang membunuhnya!” Tangan Nenek itu bergerak, terdengar angin berciutan ketika angin pukulan menyambar ke arah dada Tiang Le. Pemuda ini kaget bukan main. Hebat pukulan ini, untung ia tidak dibelenggu atau ditotok sehingga dengan cepat ia menggerakkan kaki melompat cepat ke kiri.
339
“Srett!” Lengan bajunya yang buntung tersambar angin pukulan, pecah dan hancur berantakan. Wajah Tiang Le berubah. Ia maklum ketua Sian-li-pay ini merupakan lawan yang berat, seorang yang amat lihay ilmunya. “Setan! Kau berani mengelak?” Bu-tek Sianli memekik marah untuk yang kedua kali tangannya bergerak, sekarang angin yang berciutan itu menyambar ke arah leher Tiang Le. Pemuda itu cepat mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga pundaknya terhajar. Baiknya ia segera mengerahkan tenaga sakti di pundak, kalau tidak akan remuk tulang-tulang pundaknya. Bergidik Tiang Le, hebat nenek ini, ganas dan lihay! Melihat bahwa pemuda buntung ini dua kali dapat menghindari pukulannya, Bu-tek Sianli jadi marah. Dengan keluarkan lengking panjang merupakan jeritan maut, tangannya bergerak ke atas. Inilah sebuah jurus dari Ilmu pukulan Sin-kun-bu-tek yang sudah dikenal oleh murid-muridnya. Melihat bahwa Pay-cu nya hendak menggunakan jurus maut ini, It-sianli menjadi pucat wajahnya, sekali berkelebat ia sudah berlutut di depan Bu-tek Sianli sambil menangis: “Sianli Pay-cu....... mohon ampuni dia…..!” “Apa? Kau hendak mintakan ampun untuk dia ini?” Suara Nenek Bu-tek Sianli tergetar, memandang heran kepada murid pertamanya yang tengah tertunduk berlutut. “Bwe Lan apakah kau sudah gila?”
340
“Sianli....... mohon ampun untuk dia....... teecu tidak tega melihat dia......., dia dihukum seperti itu......., jangan Sianli....... kalau kau mau membunuh dia....... kau bunuhlah aku....... dia tak bersalah.......!” “Bwe Lan…….. kau?” Ke tiga muridnya yang lain menghampiri Pay-cu itu dan Sianli-eng-cu berkata: “Pay-cu....... sudah kami duga bahwa enci Bwe Lan telah jatuh hati sama pemuda buntung ini. Selama perjalanan, sikapnya selalu aneh! Hemm, benar apa kataku....... benci, benci....... nggak tahunya datang cinta suci!” “Eh, anak gila! Bwe Lan.......benar kau mencintai si buntung ini?” Suara Bu-tek Sianli tajam. Akan tetapi aneh, sungguh membuat Tiang Le sendiri menjadi melengak tak mengerti ketika gadis itu menyahut dengan suara yang pasti. “Benar Sianli....... teecu mencintai dia ini!” Terdengar suara mengikik dari ke tiga sumoaynya. Kedua kaki Tiang Le bergetar. Benarkah itu suara yang keluar dari gadis yang bersuara merdu seperti bidadari! “Bwe Lan, mari masuklah kau.......!” Bu-tek Sianli memerintah dan membalikkan tubuhnya berjalan meninggalkan dara-dara Sin-li-pay ini. Serombongan gadis memasuki gedung Sian-li-pay yang megah. Dari luar sudah nampak tiga orang tetamu yang tengah mengobrol ditemani oleh gadis-gadis cantik yang melayaninya. Mereka itu
341
adalah Bong-goanswe, Hok Losu dan Leng Ek Cu yang sudah lebih dulu sampai ke tempat itu. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, tiga orang sakti ini sengaja membawa Sian Hwa, gadis tawanannya untuk diserahkan kepada Sian-li-pay. Tentu saja karena mereka itu berjalan demikian cepat tidak berhenti-henti maka ia lebih pagi datang ke tempat pulau bidadari ini! Tiang Le memasuki ruangan itu, dan melihat seorang tua berpakaian jenderal, dan seorang hwesio tua dan tokoh Kong-thong-pay yang tidak dikenalnya! Tiang Le memandangnya acuh tak acuh. It-sianli yang bernama Bwe Lan, berjalan di samping Tiang Le dengan wajah ditundukkan. Melihat gadis itu meneteskan air mata, terharu juga hati Tiang Le, entah perasaan apalagi yang mengaduk-aduk hatinya saat itu. Di tengah-tengah ruangan itu nampak seorang gadis sebaya dengan wajah tertutup sutera hitam. Ia tertotok di tengah-tengah ruangan. Menggeletak di situ. Tentu saja karena gadis itu ditutup mukanya, Tiang Le tidak mengenali gadis sumoaynya itu yang tak lain adalah Liem Sian Hwa adanya. Kalau saja Sian Hwa tidak berkerudung mukanya, maka pasti Tiang Le akan terkejut dan kebenaran melihat gadis itu berada di tempat itu, tetapi karena Tiang Le tidak mengenali dan mengira bahwa gadis itu adalah salah seorang dari anak buah Sian-li-pay yang berkerudung mukanya, maka iapun
342
acuh tak acuh terhadap gadis kerudung hitam yang menggeletak di tanah dalam keadaan tertotok. Akan tetapi sebaliknya Sian Hwa dapat mengenal Tiang Le. Kalau ia tidak dalam keadaan tertotok ingin sekali ia memanggilnya. Ingin sekali. Ah, lama sudah ia mencari-cari pemuda ini, tidak disangkanya Tiang Le masih hidup, hidup dalam keadaan buntung lengan kanannya. Terlalu memang Bwe Hwa, pikirnya, ia tak dapat banyak pikir sebab pada saat itu nenek Bu-tek Sianli sudah duduk kembali di tempatnya dan memerintahkan It-sianli yang bernama Bwe Lan untuk maju ke depan: “Ke marilah kau!” Bwe Lan melangkah dengan perlahan. Sekali tongkat nenek itu bergerak, kerudung muka Bwe Lan sudah terlepas, dan nampak sebuah wajah yang cantik jelita. Halus dan putih. Bibirnya yang agak pucat itu indah sekali nongkrong di sela-sela mulutnya yang kecil bagus. Mata yang bening itu berkilauan laksana mutiara, bertebaran tertimpa cahaya matahari. Tiang Le yang melihat kecantikan Bwe Lan menjadi kagum dan entah mengapa dadanya jadi bergetar lebih keras lagi. Nampak gadis jelita itu tertunduk. “Bwe Lan……!” suara nenek Bu-tek Sianli tegas dan ketus: “Kau tahu bukan? Apa yang kau lakukan setelah engkau melanggar sumpah Sian-li-pay?” “Teecu mengerti Sianli,” suara Bwe Lan juga lemah.
343
“Nah, setelah kau mengerti kenapa kau tidak lakukan sekarang?” sebuah pisau menyambar gadis yang tengah tundukkan kepala tetapi dengan cekatan tanpa melihat tangan si gadis menyambar dan tahu-tahu pisau kecil itu telah ada di tangannya. Pucat wajah-wajah dara-dara jelita yang hadir di tempat itu. Sementara itu Tiang Le hanya menduga-duga saja dan tidak mengerti. Bong Bong Sianjin, Hok Losu dan Leng Ek Cu, tenang-tenang saja melihat pertunjukkan yang akan berlangsung ini, entah pertunjukkan apa, mereka ini tidak tahu! “Bwe Lan! Apakah kau masih ragu-ragu untuk melaksanakan hukuman, apakah tanganku sendiri yang harus melaksanakannya? Ang Hwa, coba kau sebutkan hukum kelima dari Sian-li-pay!” Gadis yang dipanggil Ang Hwa adalah Sam-sianli, gadis yang bersenjata tongkat di tangan menghampiri Pay-cu Sian-li-pay dan berkata dengan suara nyaring: “Hukum kelima bagi murid-murid Sian-li-pay yang melanggar yaitu yang telah menjatuhkan hatinya kepada seorang pria, ia itu harus menjalani hukuman tusuk belati dihadapan Pay-cu dan murid-murid Sian-li-pay! Sebaliknya bagi pihak pria yang telah berani mencoba-coba merayu atau mencintai murid Sian-li-pay, harus dihukum picis (hukum beset kulit) yang dilakukan oleh gadis yang mencintainya itu!” “Gila!” Tiang Le berteriak dalam hati. “Peraturan apa ini yang mengadakan peraturan sedemikian rupa. Hukuman bunuh diri?” Mata Tiang Le membelalak memandang Nenek Bu-tek Sianli. Bong Bong Sianjin dan Hok Losu serta Leng Ek Cu sebaliknya tertawa senang seakan-akan menghadapi sebuah permainan yang
344
menarik hati: “He he he, Sianli cukup streng (tegas) dan sebuah peraturan yang keras dan aneh!” Bu-tek Sianli menoleh kepada tamunya Leng Ek Cu yang berkata tadi: “Itu adalah salah satu dari peraturan di sini Leng-tayhiap!” Kemudian Nenek Sian-li Pay-cu menghampiri Tiang Le. Begitu cepat tongkat itu bergerak sehingga tahu-tahu Tiang Le merasa tubuhnya demikian lemas dan beberapa saat kemudian ia sudah jatuh menggeloso di tanah dalam keadaan tertotok. “Bawa dia ke ruang belakang dan buka bajunya, biar Bwe Lan yang melaksanakan hukuman!” perintah Bu-tek Sianli kepada gadis-gadis Sian-li-pay. Dengan amat cekatan tiga orang gadis cantik menghampiri Tiang Le dan menyeretnya ke belakang. Bwe Lan berlutut dan menangis di depan Bu-tek Sianli. “Pay-cu… te….. teecu… tak sanggup berbuat ini….. kau ampuni dia… biarlah teecu yang melaksanakan hukuman ini…..” dua tetes air mata berjatuhan ke tanah. “Bwe Lan, laksanakan itu!!” “Teecu... tak sanggup....... menyakiti dia…. Pay-cu.” “Anak gila! Hayo lakukan!” “Teecu…. ahh, Pay-cu.… mengapa menyiksa hati teecu, biarlah teecu yang mati saja… harap Pay-cu tidak menghukum Tiang
345
Le…, teecu amat mencintainya....... Pay-cu….., biar teecu yang melaksanakan hukuman ini.......” Bwe Lan memandang dengan pandangan basah dan sekali mengelebatkan pisau belati kecil berkelebat ke arah lehernya sendiri. Terdengar bentakan marah dari Pay-cu Sian-li-pay, sinar hitam menyambar memanjang dan tahu-tahu pisau belati kecil terlempar menimbulkan suara berdenting nyaring. “Bwe Lan kau anak setan, kau mau membunuh diri sebelum melaksanakan tugasmu....... hayo kau laksanakan tugas itu, baru kau boleh mati bersama belati itu!” Semakin deras air mata Bwe Lan mengalir, ia tak dapat berkata apa-apa lagi. Pandangannya menantang tatapan tajam dari Bu-tek Sianli. Melihat murid pertamanya memandang seperti ini, Bu-tek Sianli terkejut. Biasanya tak pernah ada murid-murid yang berani melawan, Bwe Lan ini, terlalu! Bu-tek Sianli mendengus marah: “Hem, berani kau menentang perintahku! Bwe Lan, sejak kapan kau mulai membandel terhadapku?” Bwe Lan mengangkat muka, memandang dengan mata basah. “Pay-cu..... teecu tidak membandel, tidak ingin melanggar perintahmu, akan tetapi Pay-cu, jangan kau suruh teecu menyiksa Tiang Le. Tak kuat hati teecu!”
346
“Hm, dasar perempuan sudah jatuh di kaki lelaki, berbicara seperti itu, baik! Kalau kau tidak mau melakukan itu, sekarang aku kepingin lihat apakah kau sudah bosan hidup mencintai pemuda buntung itu. Hayo lakukan!” “Baik Pay-cu…... teecu bersedia mati untuk Tiang Le, akan tetapi berjanjilah bahwa kau takkan menghukum Tiang Le,” sahut Bwe Lan dengan suara tersendat dalam isaknya. “Anak setan! Jangan banyak bicara. Hayo lakukan hukuman. Tentang pemuda itu kau tak perlu tahu!” “Pay-cu Sian-li-pay….., percuma saja aku mati, kalau kau masih mau mengganggu Tiang Le........!” “Ah, cerewet kau, kalau begitu mampuslah!” tangan nenek Bu-tek Sianli mendorong ke depan. Suara angin terdengar berciutan menyambar tubuh Bwe Lan yang masih berlutut, amat dekat jaraknya. Dan dapat dibayangkan apa yang terjadi kalau kepala yang tertunduk itu dihantam pukulan dari atas yang beratnya lebih dari limaribu kati. Akan hancur leburlah tubuh itu melesak ke tanah. Memang bagi Bwe Lan tak mau ia melawan Pay-cu ini, ia mati tak mengapa. Akan tetapi ia tak rela kalau Tiang Le mati oleh sebab peraturan gila di Sian-li-pay. Maka itu ia tidak menangkis atau mengelak, membiarkan pukulan itu mampir di atas kepalanya. Akan tetapi pada saat yang amat berbahaya bagi Bwe Lan tahu-tahu dengan amat cepatnya sesosok tubuh berkelebat menyambar
347
tubuh gadis yang masih berlutut itu. Suara keras terdengar menggetarkan dinding tembok waktu pukulan maut Bu-tek Sianli menghantam tanah tempat Bwe Lan berlutut tadi. Terkejut dan heran sekali Nenek sakti ini melihat sesosok tubuh telah menolong Bwe Lan. Ia menoleh ke kiri, dilihatnya yang menolong muridnya yang pertama itu adalah gadis berkerudung hitam Liem Sian Hwa. Meskipun hancur hatinya Sian Hwa mendengar pengakuan murid Sian-li-pay yang terang-terangan mencintai Tiang Le, akan tetapi ia menjadi terharu juga melihat gadis ini mau berkorban untuk Tiang Le, oleh sebab itu begitu ia terbebas dari totokan dan mengerahkan tenaga saktinya, melihat nenek iblis ini begitu kejam hendak menjatuhkan tangan maut kepada muridnya, dengan sekali enjot tubuh Sian Hwa sudah berkelebat dan berhasil menolong gadis cantik murid Sian-li-pay ini! “Ooo kau turut campur tangan, bagus! Kalau begitu biarlah engkau ke dua-duanya mati di sini!” dengan membentak demikian tangan kanannya sudah diputar-putarkan di atas kepalanya, salah satu dari jurus-jurus Sin-kun-bu-tek menerjang ke dua gadis ini. Sian Hwa berdiri di depan gadis Sian-li-pay dan berkata: “Kau mundurlah nona….. biar aku menghadapi nenek galak ini!” Bwe Lan memandang gadis muka kerudung hitam ini. “Adik, kau tak kan menang.....!” katanya.
348
“Hemm, aku tahu aku takkan menang, tetapi nenek ini hendak membunuh kita, mengapa aku tidak melawan? Biarpun nenek gila itu mempunyai kepandaian setan sekalipun aku tidak takut, minggirlah Nona!” Tiba-tiba angin besar menyambar. Cepat Sian Hwa mengelak sambil mendorong tubuh Bwe Lan dari sambaran angin pukulan nenek Pay-cu Sian-li-pay ini memang amat hebat, maka iapun lalu cepat menggerakkan kaki tangan memainkan ilmu silat Tiang-pek-kiam-sut sambil mengerahkan tenaga sin-kang di tangan kanan dan kiri membalas serangan-serangan nenek sakti Sian-li-pay ini. Akan tetapi ia menjadi kaget setengah mati begitu merasa pukulan-pukulan nenek ini terasa membawa hawa panas yang kadang-kadang melumpuhkan kedua tangannya. Terkejutlah ia bahwa nenek Bu-tek Sianli ini demikian hebat! Akan tetapi, Sian Hwa bukanlah gadis sembarangan. Ia adalah murid kelima dari Swie It Tianglo, ketua Tiang-pek-pay yang sakti, yang semenjak kecil telah menggemblengnya dengan ilmu pedang Tiang-pek-kiam-sut yang terkenal. Sedangkan kedua tangan dan kirinya mengeluarkan uap putih yang menyambar-nyambar merupakan segulungan awan putih yang menggulung-gulung! Bagaimanapun lihainya Sian Hwa, ia kini berhadapan dengan Bu-tek Sianli, nenek sakti kepalan dewa tanpa tandingan yang telah kesohor pukulan-pukulan tangan kanan dan kirinya. Sebentar saja Sian Hwa mulai terdesak hebat. “Hemm, biarlah kubikin mampus dulu bocah ini, baru setelah itu kami akan mengurus urusan dalam!” Bu-tek Sianli membentak
349
keras dan tahu-tahu tangan kanannya mendorong mengeluarkan suara angin berciutan. Pada pukulan pertama saja Sian Hwa sudah terhuyung-huyung, dan menghadapi pukulan tangan kiri yang luar biasa ini, tak tahan ia begitu tangan kanannya bertemu terdengar suara keras. “Dess! Wutt!” tubuh Sian Hwa terlempar sejauh lima meter. Tubuhnya membentur tiang dinding dengan amat keras sekali, untuk seketika ia menggigil dan muntahkan darah segar. Bu-tek Sianli yang sudah dibuat marah gadis muka kerudung hitam ini menyerbu dengan tongkat di tangan. Tongkat bidadari berkelebat menyambar kepala gadis ini. Terdengar jeritan Bwe Lan melihat Pay-cunya benar-benar hendak membinasakan gadis yang telah menolongnya ini, sekali berkelebat ia sudah mencabut sepasang pedangnya dan dengan cepat bagaikan kilat tongkat di tangan Bu-tek Sianli sudah tertahan oleh jepitan sepasang pedang. “Kau…?” Bu-tek Sianli menggeram saking marahnya. “Pay-cu, jangan kau membunuh dia!” “Anak durhaka, anak setan! Kau mencari mampus,” kali ini tongkat Bu-tek Sianli bergerak menyabet pinggang Bwe Lan, tentu saja ia mengenal jurus ini dan dengan amat mudahnya ia miringkan tubuh ke belakang menghindarkan sabetan tongkat yang menggeletar-menggeletar di tangan Bu-tek Sianli.
350
“Hemm, kau mau melawanku? Mampuslah kau!” saking sengitnya nenek ini dibuat permainan oleh dua orang gadis muda yang menjengkelkan ini membuat ujung tongkatnya bergetar-getar dan mengeluarkan suara bercuitan saking kerasnya gerakan-gerakan tongkat itu. Pada saat itu selagi Bwe Lan terdesak hebat oleh terjangan tongkat di tangan ketua Sian-li-pay sebuah bayangan putih menyambar laksana kilat menyerbu ke tengah-tengah pertempuran, sinar kilat hitam berkelebat dan tahu-tahu tongkat Bu-tek Sianli sudah tertangkis oleh sebuah suling hitam di tangan seorang muda tinggi kurus. Dan bersamaan dengan itu, seorang dara anggota Sian-li-pay berlari-lari melapor: “Celaka, Pay-cu! Pemuda lengan buntung hilang, ditolong oleh seoraag gadis dan telah meninggalkan pulau!” “Apa? Pemuda buntung telah lenyap. Tolol kalian ini! Hayo kejar. Kepung seluruh pulau ini, jangan ia lolos!” berkata demikian Bu-tek Sianli menatap pemuda tinggi kurus yang bukan lain adalah Ho Siang adanya yang sudah mendarat ke pulau bidadari bersama dengan Nyuk In. Kalau Ho Siang menyerbu ke gedung Sian-li-pay ini, adalah Nyuk In begitu melihat seorang pemuda buntung lengan kanannya diikat di tiang dengan baju luar dibuka siap untuk dikuliti tubuhnya melaksanakan hukum picis. Dengan cepat tanpa buang waktu lagi Nyuk In menggerakkan kipasnya. Dan betapapun lihay gadis-gadis Sian-li-pay ini menghadapi dorongan angin pukulan yang menyambar dari kipas hitam itu membuat mereka terhuyung
351
mundur dengan sekali mengelebatkan pit panjang tahu-tahu tubuh Tiang Le telah bebas dari totokan dan terlepas dari ikatan di tiang gantungan itu. Dengan cepat Tiang Le memakai bajunya dan maju menyerbu dara-dara Sian-li-pay yang sedang mengeroyok Nyuk In. Hebat sekali sepak terjang Nyuk In ini, kipas di tangan kanannya bergerak-gerak terbuka mengibaskan menimbulkan gelombang angin pukulan yang dapat mementalkan pedang lawan. Dan beberapa kali pit panjangnya itu bergerak, sebentar saja ke lima dara Sian-li-pay sudah tertotok roboh, dan dengan cekatan Nyuk In menarik tangan Tiang Le dan berlarian meninggalkan pulau. “Nona..... nanti, di gedung… itu…..?” “Jangan pikiri mereka. Hayo yang penting kita dapat meloloskan diri….. jangan sia-siakan waktu. Itu di depan ada perahu, cepat!” Dengan beberapa kali loncatan saja Nyuk In dan Tiang Le sudah sampai di pantai. Dua orang gadis Sian-li-pay menerjang maju akan tetapi sekali kipas dan pit Nyuk In berkelebat dara-dara ini juga sudah roboh dalam keadaan tertotok! Nyuk In dan Tiang Le melompat ke dalam perahu, dan cepat-cepat mereka mendayung ke tengah. Dari kejauhan berlari-larian dengan sangat cepatnya serombongan gadis-gadis Sian-li-pay mengejar! Akan tetapi Nyuk In dan Tiang Le sudah jauh meninggalkan pulau. Sementara itu Ho Siang yang sudah berhasil menolong Bwe Lan dari serangan tongkat maut nenek Bu-tek Sianli, berdiri dengan kaki terpentang lebar dan suling hitam di tangan.
352
Yang terkejut adalah Bong Bong Sianjin, Hok Losu dan Leng Ek Cu melihat pemuda tinggi kurus ini. Hem, tidak tahunya orang ini mengikuti kami? pikir mereka. Hok Losu, hwesio tua dari Siauw-lim-pay turun dari kursinya dan menghampiri pemuda itu sambil mengomel: “Bocah lancang dan totol, mencari kematian memasuki sarang naga dan harimau, hayo kau berlutut di depan pinceng tujuh kali!” Ho Siang mendengus dan menoleh ke arah Hok Losu: “Hwesio sesat! Pakaianmu saja seperti orang-orang suci dan kepala dibotakin, percuma kalau hatimu melebihi hati iblis yang banyak dipenuhi keinginan-keinginan setan!” “Lancang!” “Hok-taysuhu (guru besar), jangan turun tangan. Urusan ini adalah urusan rumah tangga Sian-li-pay, biar aku yang memberi hukuman kepada bocah yang sudah bosan hidup ini. Harap kau orang tua tidak mencapekan tangan....... biarlah orang-orangku yang menghadapi pemuda gila ini. Hey, sam-sianli kalian bertiga hadapi pemuda itu, biar aku bereskan murid murtad ini!” sambil berkata demikian Bu-tek Sianli menghampiri Bwe Lan dan menudingkan telunjuknya, “Anak kurang ajar……. Murid murtad, berlutut kau!” Tongkat di tangan Bu-tek Sianli terangkat. Sekali mengenjot tubuh Ho Siang sudah berdiri lagi di depan Bu-tek Sianli, akan tetapi tiga orang gadis murid-murid utama Bu-tek Sianli menerjang maju:
353
“Pemuda kurang ajar, rasakanlah tongkatku!” “Rasakanlah cambukku!” “Mampuslah di ujung pedangku!” Hebat sekali serangan-serangan ke tiga orang gadis ini yang bermainkan senjatanya berlainan. Sian-li-eng-cu menyerang dengan cambuk di tangan, dibarengi dengan timpukan-timpukan sianli-tok-ciam (jarum beracun bidadari), sedangkan gadis ketiga yang dijuluki sianli-sin-tung-hoat (bidadari tongkat sakti) menerjang ganas dengan terjangan-terjangan tongkat mautnya yang kuat dan menimbulkan suara angin bersiulan, sedangkan gadis keempat yang bermain toat-beng-kiam-sut lebih hebat dan ganas lagi. Pedang Toat-beng-kiam yang luar biasa itu berkelebatan menyilaukan mata dan mengeluarkan cahaya aneh kehijauan! Tentu saja menghadapi ke tiga gadis-gadis Sian-li-pay yang berkepandaian tinggi, ia menjadi sibuk bukan main. Suara mengaung yang terdengar dari ujung suling menggetarkan ruangan di situ. Membuat Bu-tek Sianli memandang keheranan dan mengalihkan pandangan kepada Hok Losu, yang tersenyum lebar sambil berkata, “Tidak heran….., pemuda itu murid tunggal Nakayarvia……” “Ooo!” kagum Nenek sakti kepalan dewa ini. Melihat betapa demikian gesitnya pemuda itu menghindari serangan-serangan dari ke tiga murid-muridnya membuat Nenek Bu-tek Sianli ini teringat sekarang akan seorang pertapa di lndia yang bernama Nakayarvia.
354
Hmm, kalau pemuda ini sudah sampai ke tempat ini, sangat berbahaya sekali kedudukan pulaunya, entah siapakah yang memberi tahu letak pulau bidadari ini. Diam-diam Bu-tek Sianli menjadi marah kepada Bwe Lan muridnya yang dianggapnya telah murtad dan merendahkan partainya yang telah begitu gila untuk mencintai pemuda lengan buntung. Kalau seandainya pemuda bersuling ini yang dicintai oleh Bwe Lan, hemm, betapapun ia akan pikir-pikir! Akan tetapi Bwe Lan mencintai pemuda lengan buntung yang kelihatannya lemah itu. Amat memalukan benar! Saking marahnya ia tanpa terasa lagi Bu-tek Sianli menghampiri Bwe Lan dan bertanya: “Bwe Lan....... sungguh-sungguh kau mencintai pemuda buntung yang bernama Sung Tiang Le itu?” Melihat betapa Pay-cu ini berkata dengan lembut dan tidak marah seperti tadi, Bwe Lan menoleh dan berkata, “Benar Sianli Pay-cu....... teecu mencintai.” “Hemm,” Bu-tek Sianli mendengus dingin: “Tidak bisa dirobah pendirianmu itu? Kulihat pemuda yang bermain suling hebat sekali kepandaiannya, kalau kau mengalihkan cintamu terhadapnya....... tentu akan kupikir-pikir!” “Sianli Pay-cu ketua Bidadari….. teecu bertekad untuk mencintai Tiang Le.” “Ahh kau memang bandel Bwe Lan, mengapa dia yang kau cintai, mengapa si buntung itu?” tanya Nenek ini penasaran.
355
Bwe Lan terdiam. Hatinya tegang. “Bwe Lan...!!!” Bwe Lan meooleh ke arah Pay-cu Sian-li-pay. “Kalau begitu biarlah tanganku ini yang mencabut nyawamu!” berkata demikian tongkat di tangan Bu-tek Sianli berkelebat menyabet dengan gerakan kilat. Bwe Lan terkejut bukan main, cepat ia miringkan kepala ke samping menghindari sabetan tongkat yang meluncur di atas kepalanya. Akan tetapi begitu cepatnya tongkat itu bergerak, tak urung pundak kirinya terserempet tongkat dan Bwe Lan terjengkang sambil mendekap dadanya yang terasa amat sakit dan nyeri. Dengan menyeringai laksana iblis yang haus darah, Nenek Bu-tek Sianli menerjang lagi. Bwe Lan mencelat ke atas dan mencabut sepasang pedangnya. “Hemm, kau hendak melawanku?!” Bu-tek Sianli bertanya geram. “Sianli Pay-cu….., jangan kau mendesakku, aku tak berani melawanmu,” Bwe Lan berkata lemah. Pundak kirinya terasa nyeri sampai ke jantung. Tahulah ia bahwa pukulan tongkat nenek tadi telah melukai pundaknya dan jantungnya tergetar. Rasanya ingin ia muntah, akan tetapi cepat ia mengerahkan lwekang ke dada dan jantung untuk tidak muntahkan darah!
356
Merah wajah nenek Bu-tek Sianli ini melihat muridnya telah mencabut sepasang pedangnya. Dengan menggeram keras ia hendak menerjang maju, tangannya diputar di atas kepala. Jurus sin-kun-bu-tek (kepalan sakti tanpa tandingan), akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan berwibawa: Wiwi….. tahan!” Dari arah pintu berjalan seorang kakek tua sambil menyeringai membawa sebuah dayung besar yang diseret di atas tanah sehingga menimbulkan bekas pada jubin-jubin di tanah. Dan di belakangnya berjalan seorang pemuda tampan, tinggi tegap, berpakaian sederhana. Dia itulah Kong Hwat dan gurunya Koay Lojin (Kakek Aneh)! “Wiwi… kau gila! Apa-apaan kau hendak mengemplang kepala muridmu sendiri. Benar-benar kau sudah gendeng. Heng San sahabatku sudah kau buntungi......., eh, sekarang kau mau mengemplang kepala murid sendiri....... memang kalian ini orang-orang gila!” Bukan saja Bu-tek Sianli yang terkejut melihat kakek yang berbicara nggak keruan ini, juga Bong Bong Sianjin, Hok Losu dan Leng Ek Cu sampai berdiri dari tempat duduknya. Orang itu yang membawa dayung tentu saja mereka kenal. Koay Lojin! Kakek gila dari gunung Fu-niu yang terkenal! “Ayaaa....... ngak tahunya orang-orang gila dari kotaraja juga hadir di sini, eh, itu si botak hwesio dari Siauw-lim juga hadir, wah… tentu ada pesta ya. Ya, ya tentu ada pesta ya, hey, Kong Hwat biar kita menamu di sini, kita sikat makanannya....... he he!” sambil tertawa seperti orang miring otaknya ini.
357
Koay Lojin menjura kepada Bu-tek Sianli dengan kedua tangan terangkat di depan dada, “Kionghie (selamat) Wiwi…... biarin dah aku jadi tetamu hehehe!!” “Suhu… gadis ini…., terluka,” Kong Hwat yang melihat Sian Hwa menggeletak dekat tiang penglari cepat mendekati gadis itu dan memeriksa.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru