Kamis, 31 Mei 2018

Cerita Silat Lansung Tamat Bayangan Bidadari

=====
baca juga
1
Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
“Tolooong……! Tolooong……!!”
“Tolonglah…… rumahku terbakar……!!”
“Ho-han (orang gagah), ampunkanlah kami…… jangan bunuh kami. Ambil semua harta benda kami, akan tetapi ampunkan dan jangan bunuh kami……”
Ratapan dan jerit tangis memilukan terdengar di dusun Tiang-on pada tengah malam itu, jerit tangis yang disusul oleh bentakan-bentakan marah dan ganas dari orang-orang yang mendatangkan keributan itu, disusul pula oleh berkelebatnya golok dan pedang yang tanpa kasihan membacoki leher orang-orang yang minta tolong itu. Disusul pula oleh nyala api yang sebentar saja menjalar ke sana sini, memakan habis semua gedung berikut isinya. Juga para penghuninya, mati atau hidup, banyak yang menjadi korban api mengganas.
Anehnya, serbuan orang-orang yang ratusan banyaknya itu, api yang memakan rumah-rumah gedung-gedung, hanya ditujukan kepada para hartawan dan bangsawan, tidak memilih bulu. Rumah penduduk yang miskin sama sekali tidak diganggu, bahkan para penyerbu yang menyebar malapetaka kepada hartawan dan bangsawan itu berteriak-teriak ganas:
“Saudara-saudara petani miskin, kaum tertindas, mari bangkit dan membalas dendam kepada mereka yang memeras keringat dan darah saudara-saudara!”
Oleh seruan ini, tidak sedikit penduduk Tiang-on yang merasa menjadi orang miskin dan memang hidupnya sehari-hari digencet dan diperkuda oleh para hartawan dan bangsawan serentak keluar dari rumah dan membantu, terutama sekali untuk mempergunakan kesempatan itu mencari keuntungan, merampok! Kemudian mereka ini mendapat kenyataan bahwa diantara para penyerbu itu terdapat belasan orang petani di dusun itu yang jelas menjadi anggauta penyerbu.
Memang serbuan itu telah direncanakan lebih dulu. Para penyerbu terdiri dari pasukan rakyat yang menamakan dirinya Kay-sin-tin (Pasukan sakti para pengemis). Sebetulnya mereka ini bukan seluruhnya terdiri dari para pengemis, melainkan rakyat dusun-dusun yang memberontak karena merasa hidupnya amat tertekan dan tertindas, baik oleh kemiskinan maupun oleh penghisapan para tuan tanah dan para pembesar yang korup.
Mereka menyebut pasukan jembel karena keadaan hidup mereka memang tiada bedanya dengan para jembel. Kalau para jembel atau pengemis minta makanan berdasarkan dermaan siapa saja yang menaruh hati kasihan, mereka lebih-lebih lagi, selalu harus mengharapkan uluran tangan atau “pertolongan” dari para tuan tanah.
Akan tetapi pertolongan macam apa! Mereka harus bekerja, membanting tulang melebihi kerbau atau kuda, dan semua hasil cucuran darah dan peluh mereka mengalir ke dalam kantong para tuan tanah, sedangkan untuk mereka sendiri, agar dapat makan setiap hari saja harus mengemis-ngemis dan membongkok-bongkok terhadap para tuan-tanah itu.
2
Inilah sebabnya maka di mana-mana timbul pemberontakan rakyat kecil yang kelaparan, dipimpin dan dikepalai oleh orang-orang gagah yang berjiwa patriotis. Akan tetapi, sebagaimana halnya segala sesuatu yang terjadi dunia ini, sifat-sifat yang baik selalu memancing datang sifat-sifat yang bertentangan.
Memang banyak sekali diantara para pemberontak itu yang betul-betul memperjuangkan nasib, demi kebaikan tingkat hidup kaumnya, yakni rakyat kecil, rakyat tani dan pekerja. Namun, tidak jarang diantara para “pejuang” ini menyelundup orang-orang yang memang pada dasarnya buruk watak. Tidak kurang banyaknya para perampok dan manusia-manusia yang sudah bejat moralnya, menggabungkan diri, berkedok semboyan “perjuangan suci” dan dalam kesempatan itu mereka memuaskan nafsunya yang jahat, merampok, membunuh, memperkosa dan lain perbutan jahat lagi yang semata-mata mereka lakukan atas dorongan nafsu.
Tengah malam itu, dusun Tiang-on menjadi korban. Semua rumah gedung dimakan api, orang-orang yang terbunuh mati tak terhitung banyaknya. Mula-mula memang para bangsawan dan hartawan itu mengadakan perlawanan, tentu saja anak-buah dan kaki tangan mereka yang maju menghalang serbuan pasukan Kay-sin-tin. Akan tetapi karena jumlah para penyerbu banyak sekali, terutama dikepalai oleh seorang pemuda yang gagah perkasa, sebentar saja mereka itu dibabat roboh dan sebagian besar melarikan diri, samasekali tidak mau memperdulikan lagi nasib para majikan mereka.
Beberapa orang hartawan dan bangsawan mencoba untuk melarikan diri dari pintu belakang, namun mereka disambut dengan babatan golok dan pedang. Mayat bergelimpangan, darah mengalir, tidak saja di depan dan belakang rumah atau di dalam gedung, akan tetapi juga di jalan-jalan. Hiruk pikuk, sorak-sorai para penyerbu, jerit tangis keluarga yang menjadi korban, suara ketawa menghina dan mengejek dari para anggauta penyerbu yang sudah keranjingan, bercampur aduk menjadi satu, mengotorkan hawa malam yang sejuk dan bulan yang tadinya mengintai di balik awan cepat-cepat menyembunyikan diri di belakang awan hitam. Agaknya ngeri menyaksikan tingkah manusia yang saling menyembelih, dilakukan oleh manusia pada manusia, disebabkan oleh keserakahan manusia pula. Angin bersilir lembut pada daun-daun pohon se-akan-akan berbisik:
“Manusia, mahluk yang terpilih, terpandai, berakal budi, akan tetapi…… manusia pula mahluk yang paling bodoh dan jahat! Kalau saja para bangsawan dan pembesar tidak serakah dan korup, kalau saja para jembel tidak mudah dikuasai oleh nafsu, kalau saja…… ya kalau saja manusia tidak diciptakan sama sekali, takkan terjadi hal-hal yang mengerikan ini……”
Pembunuhan dan pembakaran berlangsung terus. Biarpun sebelum menyerbu, para anak buah dipesan keras oleh pemimpin mereka bahwa mereka tidak boleh sekali-kali mengganggu wanita dengan perbuatan rendah, akan tetapi boleh membunuh para anggauta keluarga wanita itu, namun diantara para penyerbu yang bermoral bejat ada yang diam-diam menculik para wanita dan membawa lari mereka!
“Para pelayan boleh lari, tidak akan kami ganggu kalian asal saja tidak membantu para majikan!” seru pemimpin penyerbu dan suaranya terdengar lantang, mengatasi semua suara hiruk pikuk itu. Ini membuktikan bahwa pemimpin itu memang berilmu tinggi dan suaranya itu dikerahkan melalui tenaga lweekang yang sudah tinggi tingkatnya.
3
Mendengar ini, para pelayan otomatis meninggalkan majikan mereka. Mereka tentu saja lebih sayang kepada nyawa sendiri. Namun, tidak kurang diantara mereka yang diam-diam melarikan diri sambil menyambar barang-barang berharga!
Di ujung sebelah timur dari dusun itu, tinggal keluarga Kwee-wangwe (hartawan Kwee) di dalam rumah gedungnya yang besar. Kwee-wangwe juga seorang tuan tanah yang kaya raya, kekayaan yang ia dapat dari warisan orangtuanya yang sudah enam keturunan lebih tinggal di tempat itu. Tidak ada lagi orang yang dapat menerangkan bagaimana caranya nenek moyang Kwee ini mengumpulkan harta bendanya, entah dengan jalan halal dan memeras keringat atau berniaga, ataukah dengan jalan haram, mencekik para buruh tani.
Akan tetapi yang sudah jelas, dan hal ini diakui dan diketahui pula oleh seluruh penghuni dusun Tiang-on, adalah bahwa Kwee Seng adalah seorang hartawan yang murah hati. Dialah orang satu-satunya di dalam dusun itu yang menjamin kehidupan semua buruh taninya, tangannya terlepas dan selalu ia siap sedia menolong mereka yang kekurangan atau yang menghadapi kesusahan.
Terutama sekali Kwee-hujin (Nyonya Kwee), seorang wanita yang usianya baru duapuluh lima tahun, cantik jelita seperti bidadari, halus lembut tutur sapa dan gerak-geriknya, murah senyumnya dan murah pula hatinya. Tidak ada orang di seluruh dusun yang tidak menaruh hormat dan sayang kepada Nyonya Kwee.
Dengan adanya hartawan Kwee di dusun itu, maka dusun Tiang-on terkenal sebagai dusun yang tak pernah dilanda bahaya kelaparan, dalam arti kata bahwa belum pernah di dusun itu ada orang yang mati kelaparan. Di waktu musim kering, keluarga Kwee tidak segan-segan menguras seluruh gudang gandumnya untuk diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang sudah tidak mempunyai bahan makanan lagi.
Kwee Seng dan isterinya sudah menikah enam tahun lamanya dan mereka hanya mempunyai seorang puteri yang diberi nama Kwee In Hong. Nyonya Kwee cantik jelita seperti bidadari, Kwee Seng sendiripun berwajah tampan, maka tidak mengherankan apabila Kwee In Hong seorang anak perempuan yang mungil manis, dan lucu.
Semua pelayan di dalam rumah itu, terutama sekali Can Ma inang pengasuh Kwee In Hong semenjak terlahir, amat sayang kepada anak ini. Can Ma seorang janda tua yang hidup sebatangkara, maka terhadap In Hong kesayangannya sama dengan kesayangan seorang ibu kepada anaknya, atau kesayangan seorang nenek kepada cu-cunya.
Ketika terjadi penyerbuan, Kwee Seng dan keluarganya juga menjadi panik. Tidak seperti hartawan-hartawan yang lain, Kwee Seng tidak mempunyai tukang-tukang pukul, hanya mempunyai pelayan-pelayan laki-laki perempuan yang mengurus rumah tangganya. Para penyerbu masuk ke dalam kampung dari sebelah barat, maka biarpun banyak rumah sudah menjadi lautan api, rumah gedung Kwee Seng masih belum mendapat giliran.
Ini ada sebabnya, yaitu karena belasan orang penduduk yang menjadi anggauta barisan penyerbu, masih merasa malu dan sungkan untuk cepat-cepat menyerbu rumah hartawan Kwee. Tak seorangpun diantara mereka ini yang belum pernah menerima pertolongan Kwee Seng, maka mereka tidak ada hati untuk menjadi penunjuk jalan, dan membiarkan saja sampai para penyerbu dari luar dusun itu sendiri yang mendapatkan rumah gedung Kwee-wangwe.
4
Di dalam rumah gedung Kwee Seng terjadi keributan hebat. Hartawan ini memberi perintah kepada semua pelayan untuk segera melarikan diri, tak usah menjaga rumah.
“Kita harus melarikan diri, mencari jalan masing-masing agar dengan berpencaran lebih mudah melarikan diri. Biarkan saja, rumah dan harta habis tidak apa asal kita dapat menyelamatkan diri,” kata Kwee Seng.
Tiba-tiba Can Ma sambil menangis, dengan muka pucat berkata: “Kwee Wangwe, harap cepat melarikan diri bersama hujin. Nona In Hong biar hamba bawa lari, jangan ikut dengan wangwe dan hujin.”
Isteri Kwee Seng mengulurkan tangan hendak merampas In Hong dari gendongan Can Ma, sambil berkata:
“Can Ma, kau bagaimanakah? Anakku akan pergi kemana juga orang tuanya lari. Tak mungkin dia harus berpisah dari kami. Kesinikan, biar aku gendong sendiri dia!”
Akan tetapi, Can Ma mundur dan mendekap tubuh In Hong yang menjadi kebingungan: “Tidak, hujin. Ingatlah, mereka itu datang dengan nafsu iblis, dan mereka bermaksud membasmi semua orang hartawan dan bangsawan. Sedikit sekali harapan bagi para hartawan dan bangsawan di dusun ini untuk lari. Kalau terjadi demikian……” Can Ma menangis keras, “kalau terjadi demikian…… biarlah anak ini selamat bersama hamba…… Mereka takkan mengganggu hamba, seorang tua miskin dan lemah, dan nona In Hong…… biarlah dia menjadi cucuku, cucu seorang nenek miskin……”
Kwee Hujin hendak membantah dan kini iapun sudah mencucurkan airmata, akan tetapi Kwee Seng yang cerdik sudah maklum akan maksud Can Ma. Tidak ada jalan lain, pikirnya, kalau seorang diantara kita bertiga harus selamat, maka orang itu haruslah In Hong!
“Hayo kita pergi, biar kita titipkan In Hong untuk sementara waktu kepada Can Ma. Dengan Can Ma keselamatannya lebih terjamin!” Sambil berkata demikian, Kwee Seng menarik tangan isterinya, diajak lari.
“Terima kasih, wangwe. Hamba akan menjagai anak ini dengan taruhan nyawa!” Can Ma berseru dan nenek inipun lari cepat keluar dari rumah gedung itu, sedangkan Kwee Seng bersama isterinya lari ke arah kandang kuda.
“In Hong…… anakku……!” Nyonya Kwee menjerit, akan tetapi suaminya cepat menariknya sehingga ia terpaksa ikut berlari.
Pada saat itu, suara sorak-sorai menggegap gempita dari para penyerbu sudah mendekat. Mereka dari barat menuju ke timur dan seorang diantara mereka sudah tahu bahwa di ujung timur terdapat rumah gedung Kwee-wangwe.
“Mari cepat, kau tunggang kuda yang ini!” Kwee Seng berkata dengan gugup.
Isterinya memang sudah biasa naik kuda karena ketika masih belum menikah, isterinya ini mempunyai kesukaan menunggang kuda milik ayahnya yang menjadi pedagang kuda yang kaya raya pula. Kwee-hujin dengan cekatan naik ke atas punggung kuda dan sebentar kemudian sepasang suami isteri ini
5
melarikan kuda masing-masing menuju ke timur. Suara derap kaki kuda mereka bergema di malam gelap.
“Mereka lari……! Kejar dan bunuh hartawan jahanam itu……!” Teriak para penyerbu ketika mereka dari jauh melihat dua bayangan menunggang kuda melarikan diri.
Akan tetapi, para penyerbu itu datang dengan jalan kaki, dan biarpun di dusun itu banyak kuda yang mereka rampas, namun dalam kesibukan itu, siapakah yang ingat untuk mempersiapkan kuda rampasan untuk mengejar orang? Tiba-tiba diantara mereka berkelebat bayangan yang bukan lain adalah pemuda gagah yang menjadi pemimpin mereka.
“Habiskan mereka. Kumpulkan kuda dan jangan lawan kalau ada barisan penjaga datang. Bawa lari semua kuda dan barang rampasan!” kata pemuda itu. Kemudian ia berlari cepat mengejar Kwee Seng dan isterinya.
Bukan-main hebatnya kepandaian pemuda ini. Biarpun ia hanya mempunyai dua buah kaki, namun dibandingkan dengan kuda yang memiliki empat buah kaki, agaknya ia tidak akan kalah! Ia berlari sambil mempergunakan ilmu lari cepat cho-sang-hui (terbang di atas rumput). Larinya demikian cepat dan ringan sehingga seakan-akan kedua kakinya tidak menyentuh bumi. Tidak terdengar derap kakinya, tanda bahwa ginkangnya memang sudah tinggi.
Namun, kuda adalah binatang yang tidak saja terkenal pandai berlari cepat, juga amat terkenal akan kekuatan serta panjang napasnya. Apalagi ketika Kwee Seng dan isterinya membedalkan kuda mereka, payahlah bagi pemuda itu untuk menyusul. Akan tetapi, ada hal yang menguntungkan si pengejar dan merugikan Kwee Seng berdua, yakni bulan yang tetap bersembunyi di balik awan.
Kwee Seng dan isterinya tidak mengenal jalan, maka sambil melarikan kuda, mereka mencari jalan yang tentu saja menghambat perjalanan itu. Sebaliknya, derap kaki kuda mereka terdengar baik oleh telinga pemuda itu yang amat tajam pendengarannya.
Kurang lebih dua jam kemudian, setelah pemuda itu mulai merasa lelah, tiba-tiba ia menjadi amat girang melihat betapa dari suara derap kaki kuda, dua ekor binatang itu dilarikan lambat, atau tidak secepat tadi. Bulanpun mulai bersinar dan kini suara hiruk-pikuk dari dusun yang dibakar itu tidak terdengar lagi.
Memang Kwee Seng dan isterinya memperlambat larinya kuda mereka, karena tentu saja mereka tidak mengira bahwa ada musuh yang mengejar mereka dan kini sudah dekat. Sebaliknya, pemuda itu juga sudah terlampau lelah untuk mengejar terus dan kini iapun memperlambat larinya sambil mengatur pernapasan. Bulan bersinar dan ia dapat melihat bahwa yang ia kejar adalah seorang laki-laki muda dan seorang wanita muda. Ia mengeluarkan dua butir senjata rahasia berbentuk bulat dari sakunya. Inilah thi-lian-ci (biji teratai besi) yang menjadi kepandaiannya yang amat disegani orang.
“Suamiku, bagaimana dengan In Hong……?” Kwee hujin bertanya dan kembali airmatanya mengucur deras ketika ia teringat akan puterinya.
“Tentu selamat bersama Can Ma, mari kita sekarang pergi ke kota See-ciu, ke rumah paman Yo,” jawab suaminya.
“Apakah kita tidak menunggu Can Ma disini?” tanya isterinya ragu-ragu.
6
“Tak usah, laginya belum tentu Can Ma mengambil jalan ke jurusan ini. Tidak baik kalau kita menunggu disini, siapa tahu para pemberontak itu akan datang di tempat ini pula. Lebih baik kita berangkat sekarang juga, nanti dari kota See-ciu kita mengirim orang untuk menyelidiki dimana larinya Can Ma agar In Hong dapat diantar ke See-ciu.”
Mendengar ini, Kwee-hujin menjadi lega. “Baiklah, mari kita……” Baru saja ia bicara sampai disini, tiba-tiba kudanya berdiri, meringkik kesakitan.
Gerakannya demikian mendadak dan kuat sehingga tak dapat dicegah lagi, Kwee-hujin terlempar ke belakang, jatuh dari atas punggung kuda!
Kwee Seng kaget sekali, akan tetapi pada saat itu, peluru kedua yang dilepas oleh pemuda pengejar mereka menyambar kepalanya.
“Tak!” Kwee Seng tak dapat mengeluarkan suara lagi dan ia terjungkal roboh dari atas kuda dengan kepala pecah!
Kwee-hujin yang terjengkang dari atas kuda, jatuh dengan kepala tertumbuk batu sehingga ia pingsan. Sesosok bayangan dengan beberapa kali lompatan telah berdiri disitu, dan bayangan ini yang bukan lain adalah pemuda yang menyerang mereka, berdiri bertolak pinggang dengan senyum puas.
Ia tadi memang sengaja menyerang kuda Kwee-hujin, karena ketika ia mengayun tangan yang pertama, tiba-tiba ia menjadi lemas dan tidak tega membunuh seorang wanita yang kelihatannya demikian tak berdaya dan tak berdosa. Oleh karena ini ia lalu mengarahkan sambitannya kepada kuda yang ditunggang oleh nyonya Kwee. Namun, peluru kedua diayun tanpa ragu-ragu lagi ke arah kepala Kwee Seng sehingga merampas nyawa hartawan muda itu.
Pemuda itu setelah memandang ke arah mayat Kwee Seng sambil tersenyum puas, kini mengalihkan pandangan matanya kepada tubuh Kwee-hujin yang telentang di atas tanah dalam keadaan pingsan. Senyumnya tiba-tiba lenyap, keningnya berkerut dan bibirnya bergerak aneh. Berbeda dengan tadi, kini ia termangu. Ia terpesona oleh kecantikan luarbiasa dari nyonya muda itu.
Kebetulan sinar bulan menerangi wajah nyonya Kwee dan lemaslah hati pemuda itu. Selama hidupnya, banyak ia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan kecantikan yang demikian melemaskan dan memikat kalbunya. Bibir berbentuk indah yang kini ditarik seperti orang berada dalam keadaan duka dan takut, benar-benar menggerakkan hatinya dan menimbulkan belas kasihannya.
Ia berlutut didekat tubuh nyonya Kwee. Dijamahnya kening nyonya itu yang terluka sedikit dan berdarah. Dikeluarkan sehelai saputangan dan dengan penuh kasih sayang dan ibahati, dibalutnya kepala itu. Ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit jidat yang halus, rambut yang lemas dan halus serta mengeluarkan keharuman yang memabokkan, hatinya berdebar.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tangan kanannya menampar pipinya sendiri!
“Ong Tiang Houw, kau harus malu kepada diri sendiri. Kau harus membunuhnya, bukan tergila-gila kepadanya!” katanya kepada diri sendiri. Sambil merapatkan giginya ia mencabut pedang yang tergantung di pinggang, mengangkat pedang itu, diayun ke arah leher Kwee-hujin.
7
Akan tetapi, pedang itu berhenti di tengah udara dan seperti tadi, sepasang mata Ong Tiang Houw menatap wajah nyonya itu seperti orang kena hikmat. Tangan yang memegang pedang perlahan-lahan turun dan pedang itu kembali masuk ke dalam sarungnya. Ong Tiang Houw menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya.
“Kau memang orang bodoh, lemah!” ia memaki diri sendiri, kemudian ia membungkuk dan mengangkat tubuh Kwee-hujin. Tiba-tiba terdengar suara banyak kaki orang berlari-larian menuju ke tempat itu. Tiang Houw melepaskan lagi tubuh Kwee-hujin di atas tanah dan ia cepat melompat, bersembunyi di balik pohon.
Yang datang adalah serombongan anak-buahnya yang tadi menyerbu dusun Tiang-on. Pemuda ini keluar dan menghadang mereka.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.
Anak buah itu girang melihat pemimpinnya dan mereka melihat tubuh Kwee Seng dan istrinya yang menggeletak di atas tanah, maka tak seorangpun diantara mereka mengira bahwa pemimpin mereka telah melakukan sesuatu yang ganjil, yakni tidak tega membunuh nyonya muda itu.
“Pasukan berkuda kerajaan datang dan kami terpaksa melarikan diri,” seorang diantara mereka melapor.
“Lekas lari, berpencar dan jangan melawan mereka. Kelak aku akan memberi tanda dimana kita harus berkumpul lagi!” kata Tiang Houw. Mereka bubar dan melarikan diri mencari keselamatan masing-masing.
Setelah keadaan disitu menjadi sunyi kembali, Tiang Houw kembali mengangkat tubuh Kwee-hujin yang masih pingsan.
Akan tetapi begitu diangkat, terdengar nyonya muda ini mengeluh.
“In Hong……” demikian keluhan pertama yang keluar dari mulut nyonya itu. Ketika ia telah sadar betul dan melihat bahwa ia berada dalam pondongan seorang laki-laki muda, nyonya Kwee memberontak marah:
“Siapa kau……? Kurangajar, lepaskan aku!”
Tiang Houw melepaskannya dan kini nyonya muda itu berdiri tegak, marah sekali.
“Kau siapa? Mana…… mana suamiku……?”
Akan tetapi, sebelum laki-laki muda itu menjawab, Kwee-hujin telah melihat suaminya, menggeletak di atas tanah dengan kepala berlumur darah, tak bergerak lagi.
Ia menjerit dan hendak menubruk suaminya, akan tetapi laki-laki muda itu cepat menyambar tubuhnya, dan memegang kedua tangannya.
8
“Dia sudah mati, tiada gunanya ditangisi,” katanya menghibur, akan tetapi terdengar amat canggung. “Kita harus cepat pergi dari sini, ada pasukan kuda datang mengejar!”
Akan tetapi Kwee-hujin meronta-ronta. “Tidak, tidak……! Biarkan aku tinggal disini dengan suamiku…… ahh…… suamiku…… In Hong……” Ia menangis sedih dan betapapun ia meronta, ia tak dapat melepaskan diri dari pelukan pemuda yang amat kuat kedua lengannya itu. Sementara itu, dari jauh terdengar derap kaki kuda yang makin lama makin mendekat.
Tiang Houw tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia melihat kuda yang tadi ditunggangi oleh Kwee Seng masih berada disitu, maka cepat dipondongnya tubuh nyonya Kwee dan sekali lompat saja ia telah berada di punggung kuda! Kuda itu segera melompat maju dan sebentar kemudian larilah ia kuat-kuat, dikemudikan oleh tangan kanan Tiang Houw yang pandai.
Adapun Kwee-hujin yang dipondong di lengan kiri, meronta-ronta dan menjerit-jerit: “In Hong……! Kwee Seng……!!”
Akan tetapi segala usahanya untuk melepaskan diri sia-sia belaka dan angin malam menyambar pada mukanya, membuat ia sukar bernapas dan tak lama kemudian nyonya muda ini menjadi lemas dan pingsan lagi dalam pondongan Tiang Houw.
Siapakah adanya Ong Tiang Houw yang memimpin penyerbuan ke dalam dusun itu? Dia sebetulnya adalah anak seorang petani miskin. Semenjak kecil, Tiang Houw memang suka sekali belajar ilmu silat dan akhirnya ia beruntung sekali menjadi murid Bu Sek Tianglo, tokoh besar di selatan, bahkan ia menjadi ahliwaris tunggal dari Bu Sek Tianglo. Guru besar ini yang melihat dasar baik pada diri Tiang Houw, sebelum meninggal dunia karena usia tua, ia menurunkan seluruh kepandaiannya sehingga Tiang Houw menjadi seorang yang berkepandaian amat tinggi.
Ia pulang kekampungnya dalam usia duapuluh tahun dan oleh orang tuanya ia dijodohkan dengan seorang gadis petani yang sederhana. Tiang Houw memang terkenal berbakti kepada orangtuanya, maka ia tidak berani menolak. Demikianlah ia menikah dengan seorang gadis, dan biarpun ia tidak menyinta gadis ini, namun ia hidup rukun dan tinggal di rumah sampai setahun lebih. Isterinya memperoleh seorang putera dan setelah hampir dua tahun tinggal di rumah, Tiang Houw tak dapat menahan lagi keinginan hatinya untuk merantau. Ia tinggalkan rumah tangganya dan terjun di dalam dunia kangouw.
Sebentar saja ia telah mengangkat tinggi namanya dan di dunia kangouw tidak ada yang belum mengenal nama Ong Tiang Houw. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, terutama sekali sepak terjangnya yang sesuai dengan sikap seorang pendekar itulah yang membuat nama Ong Tiang Houw menjadi terkenal. Di mana-mana ia menyebar perbuatan baik, menolong kaum tertindas dan menghajar orang-orang yang jahat.
Selama enam tahun Tiang Houw merantau di dunia kangouw dan barulah ia teringat kepada keluarganya. Yang terutama sekali menarik hatinya untuk pulang adalah kenangan kepada puteranya, yakni Ong Teng San yang baru berusia satu tahun ketika ia pergi merantau.
Akan tetapi setelah tiba di dusunnya, apakah yang ia dapatkan? Isterinya telah meninggal dunia, membunuh diri dan kedua orang tuanya juga meninggal dunia karena berduka.
9
Beberapa tahun setelah Tiang Houw pergi, di dusunnya terserang bencana alam. Musim kering jauh lebih lama daripada biasanya dan sebagian besar kaum tani miskin yang hidupnya mengandalkan tenaga memburuh, kehabisan makanan dan banyak yang mati kelaparan.
Ayah bunda Tiang Houw yang juga merupakan keluarga miskin, terpaksa minta tolong kepada seorang hartawan she Sim. Hartawan ini mengulurkan tangan dengan memberi pinjaman kepada mereka. Hutang mereka bertumpuk-tumpuk tanpa dapat terbayar dan akhirnya hartawan she Sim ini menagih dengan paksa. Kakek Ong dan isterinya serta mantunya ditangkap, dimasukkan tahanan.
Kemudian, hartawan she Sim itu mengajukan usul untuk membayar hutang itu dengan diri mantu perempuan kakek Ong yang memang manis. Tentu saja kakek itu menolak keras, akan tetapi dengan mengandalkan pengaruh harta bendanya, hartawan she Sim berhasil membawa isteri Ong Tiang How dengan paksa keluar dari tahanan.
Orang tidak mendengar bagaimana nasib nyonya muda ini, hanya tahu-tahu orang-orang terkejut mendengar berita bahwa nyonya muda ini membunuh diri dengan jalan membenturkan kepalanya sampai pecah pada dinding! Mendengar ini, kakek Ong dari isterinya menjadi begitu berduka sampai mereka jatuh sakit dan meninggal di dalam tahanan.
Bagaimana dengan Ong Teng San? Anak ini ketika kakek dan nenek serta ibunya ditahan, melarikan diri dan berlindung ke rumah seorang petani miskin yang menjadi kenalan baik dari keluarga Ong.
Dua tahun kemudian setelah peristiwa menyedihkan itu terjadi, datanglah Ong Tiang Houw di dusunnya! Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Tiang Houw mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarganya. Ia mencari puteranya dan pertemuan ini amat mengharukan. Teng San tentu saja tidak mengenal ayahnya, akan tetapi ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya ketika ia diperkenalkan.
“Jahanam she Sim! Jahanam dan jahat belaka hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan yang mencekik leher orang-orang miskin. Aku bersumpah akan membasmi mereka semua!” Berkali-kali Tiang Houw berkata.
Pada malam hari itu, hartawan Sim terdapat mati dengan leher terbabat pedang. Gedungnya dibakar habis. Perbuatan ini tentu saja dilakukan oleh Tiang Houw.
Orang-orang disitu, yakni para petani miskin, merasa bersyukur. Bangkit semangat mereka karena perbuatan Tiang Houw dan mereka lalu berkumpul, menyatakan hendak membantu gerakan Tiang Houw untuk membersihkan para iblis yang masuk ke dalam diri hartawan-hartawan pelit dan bangsawan-bangsawan korup.
Tiang Houw gembira sekali melihat ini. Memang pada masa itu, dilain-lain daerah sudah banyak terbentuk pasukan-pasukan rakyat yang hendak memberontak terhadap tuan-tuan tanah dan bangsawan-bangsawan. Tiang Houw lalu membentuk barisan yang menamakan dirinya Kay-sin-tin (Barisan sakti dari para jembel).
Mulai saat itu, Tiang Houw memimpin orang-orangnya untuk melakukan penyerbuan-penyerbuan terhadap rumah orang-orang besar. Nama Kay-sin-tin terkenal sekali dan dusun demi dusun diserbu, orang-orang kaya dan bangsawan dibunuh, rumah mereka dibakar habis!
10
Demikianlah, bukan untuk pertama kalinya Tiang Houw memimpin kawan-kawannya menyerbu dusun Tiang-on. Akan tetapi, benar-benar baru untuk pertama kalinya hatinya lemas ketika ia menghadapi Kwee-hujin!
Sebulan lewat kemudian, di luar kota See-ciu masih sepi karena hari masih pagi. Waktu itu musim dingin sudah mulai sehingga para penduduk yang masih meringkuk di atas pembaringan, malas meninggalkan pembaringannya, bahkan menarik selimut makin ke atas agar terlindung seluruh tubuh dari hawa dingin.
Beberapa orang yang karena tugas pekerjaannya terpaksa keluar meninggalkan rumah, rata-rata memakai pakaian tebal, karena hawa yang amat dingin memang luar biasa sekali. Di dalam baju tebalpun orang masih menggigil dan kulit muka terasa kaku.
Akan tetapi, pada saat sedingin itu, di luar kota See-ciu bagian selatan, dua orang manusia berjalan berpegangan tangan sambil menggigil kedinginan. Yang seorang sudah amat tua, dan hawa dingin membuatnya makin bongkok dan berkeriputan. Mukanya pucat sekali sehingga kelihatan kehijau-hijauan. Lagaknya seperti hendak membimbing orang kedua, akan tetapi jelas kelihatan bahwa dialah yang minta bantuan tenaga dari tangan kecil yang dipeganginya.
Orang kedua adalah seorang anak perempuan berusia lima tahun, pakaiannya kotor, mukanya kurus dan pucat tanda kurang makan. Pada wajah yang kotor berdebu itu terdapat bekas-bekas airmata, tangan kirinya sebentar-sebentar menekan perut dan tangan kanannya menggandeng tangan nenek itu. Anak ini menggigit bibirnya dan biarpun ada tanda-tanda kedukaan dan kebingungan luar biasa pada sepasang matanya, namun ia berjalan dengan langkah dikuat-kuatkan, bahkan ialah yang menarik tangan nenek itu.
“Marilah, Can Mama, lekas masuk kota. Ayah dan ibu tentu sudah menanti di dalam kota!” kata anak itu berkali-kali.
Nenek itu tak dapat mengeluarkan suara lagi untuk menjawab. Bibirnya gemetar dan biarpun ia menggerakkan bibir itu namun tidak ada suara yang keluar. Ia hanya mengangguk-angguk dan berjalan tersaruk-saruk seakan-akan ia memaksa sedikit tenaga yang masih ada untuk menggerakkan kedua kakinya.
Tiba-tiba ia batuk-batuk. Celakalah kalau orang terkena penyakit batuk dalam waktu hawa sedingin itu, apalagi kalau perut sedang kosong. Nenek itu terpaksa menghentikan gerakan kakinya, memegangi perut dengan kedua tangan, terus batuk-batuk dengan hebatnya. Ia merasa dadanya sesak dan sakit, perutnya yang kosong dan perih terguncang-guncang. Ia membungkuk dan melipat tubuh bagaikan pisau lipat hendak ditutup.
“Ugh…… ugh-ugh-ughhh……” batuknya berkali-kali.
Anak perempuan itu yang bukan lain adalah Kwee In Hong, segera mengurut-urut punggung nenek itu yang kini sudah bongkok dan membungkuk-bungkuk, menggeliat-geliat kesakitan. Sudah beberapa hari Can Ma menderita batuk ini dan In Hong kini sudah tahu bahwa ia harus mengurut-urut punggung nenek itu apabila batuknya kambuh.
11
Pada saat itu, dari udara turun hujan kecil. Air bertitik-titik kecil, membawa hawa yang makin menggigilkan tubuh, hawa dingin meresap ke dalam tulang sumsum, dan hal ini memperhebat rasa gatal ditenggorokan dan sesak pada isi dadanya.
“Ugh-ugh-ugh……” suara batuknya makin gencar akan tetapi makin lemah.
“Can Mama, mari kita berteduh……” In Hong berkata bingung. Ia melihat ke kanan kiri dan kebetulan sekali tak jauh dari jalan itu terdapat sebuah kelenteng tua yang tidak terawat sama sekali. Rumput alang-alang memenuhi halaman kelenteng dan sebagian gentengnya sudah terbuka, bangunan bagian kiri sudah hampir ambruk. In Hong segera menarik tangan Can Ma yang terpaksa berdiri sambil terbongkok-bongkok.
“Can Mama, itu disana ada rumah kosong, mari kita berteduh, hawa begini dinginnya.”
In Hong berkata keras-keras diantara suara batuk-batuk nenek itu. Dia sendiri merasa dingin bukan main, akan tetapi melihat keadaan nenek itu, ia seperti tidak merasakan penderitaannya sendiri dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya ia menarik tubuh nenek itu ke arah kelenteng. Dengan susah payah akhirnya In Hong berhasil membawa Can Ma memasuki kelenteng tua.
Baiknya masih ada sebagian genteng yang utuh sehingga mereka dapat terlindung dari serangan air hujan, sungguhpun hawa dingin tidak memperdulikan halangan ini dan dengan mudah dapat meresap masuk sampai ke pojok-pojok ruangan kelenteng tua.
Can Ma menjatuhkan diri di atas lantai yang penuh debu. Ia masih batuk-batuk terus dan tubuhnya setengahnya berbaring di atas lantai itu. Mukanya yang tadi kehijauan sekarang sudah berobah menjadi kehitaman.
“Siocia…… aku…… aku tidak kuat lagi……”
In Hong menubruknya dan merangkul leher nenek itu. Tak terasa lagi kedua matanya yang tadinya sudah hampir kekeringan air mata itu, menjadi basah lagi.
“Tidak, Can Mama, jangan berkata begitu. Kita akan masuk ke kota dan bertemu dengan ayah ibu. Kau akan mendapat obat, akan sembuh……”
“Ugh…… ugh-ugh-ugh…… siocia…… kalau aku…… mati disini…… kau masuklah ke kota, carilah paman dari ayahmu……”
“Kau takkan mati, Can Mama…… jangan mati…… jangan mati……!” Kini In Hong menangis tersedu-sedu dan air matanya bercucuran, menyaingi air hujan yang mulai mengucur dari genteng kelenteng itu.
“Nona…… aku tidak kuat lagi…… dadaku…… dadaku…… aaaachhh…… sesak dan sakit sekali…… ugh ugh-ugh……!”
Tubuh Can Ma menggeletar dan kini ia merebahkan diri, menggeliat-geliat ke kanan kiri seperti cacing terkena abu panas.
In Hong menjadi bingung sekali. Ia mengangkat kepala Can Ma, didekap dan dipeluknya kepala itu di atas pangkuannya sambil bersambat: “Can Mama…… jangan…… jangan tinggalkan aku……!”
12
Kemudian sunyi, hanya napas berat Can Ma yang terdengar diselingi oleh suara batuknya dan suara isak tangis In Hong.
Tiba-tiba terdengar suara batuk lain, suara batuk yang tinggi dan nyaring, seperti suara batuk buatan:
“Iihh-ihh-ihh……!”
Tadinya In Hong tidak memperhatikan suara ini karena disangkanya suara batuk dari Can Ma, akan tetapi suara batuk yang tinggi ini disambung oleh suara yang kecil nyaring.
“Thian Maha Adil! Manusia tahu apakah tentang keadilan Thian? Orang baik-baik menderita, yang jahat makmur dan senang! Orang bertanya-tanya mana keadilan Thian? Padahal Thian memang Maha Adil, hanya cara Thian bekerja penuh rahasia, mana manusia tahu? Ih-ih-ih……!”
In Hong menengok ke kiri. Ruangan itu memang gelap dan baru sekarang ia melihat sesuatu bergerak di sudut yang paling gelap dari ruangan itu. Sesuatu yang hitam dan setelah ia memperhatikan, baru terlihat olehnya bahwa yang bergerak dan batuk serta bicara itu adalah seorang nenek pula. Seorang nenek yang duduk melingkar seperti seekor binatang trenggiling.
Muka nenek itu tidak kelihatan, tertutup oleh rambutnya yang panjang dan hitam sekali, yang kacau dan riap-riapan ke muka dan belakang, pendeknya disekeliling kepalanya yang kecil. Pakaiannya compang camping, tidak tentu lagi warnanya karena kotor sehingga kelihatan menghitam. Kedua kakinya tidak bersepatu. Sebatang tongkat panjang, juga warnanya hitam, menggeletak di dekatnya.
In Hong mengeluh di dalam hatinya. Terlalu banyak ia melihat kemelaratan. Sejak ia melarikan diri dengan Can Ma, tidak saja ia sendiri mengalami apa artinya kelaparan dan kedinginan, juga di jalan-jalan ia melihat orang-orang yang mati kelaparan, mati kedinginan, dan kesengsaraan yang mendirikan bulu tengkuknya.
Biasanya ia hidup mewah dan senang di rumah orang tuanya yang kaya raya, dan tak pernah ia mengira bahwa di luar rumah gedungnya banyak terjadi hal-hal demikian. Mimpipun tak pernah ia bahwa ada orang yang sampai mati kelaparan, padahal biasanya ia merasa bosan dengan segala macam makanan enak yang disuguhkan kepadanya oleh para pelayannya.
Kini, berada di puncak penderitaan, dua hari ia tidak makan, dan Can Ma berada dalam keadaan yang amat membingungkan, juga membikin ia ketakutan sekali karena Can Ma bicara tentang kematian, ia tidak bertemu dengan orang yang dapat menolongnya, bahkan bertemu dengan seorang jembel lain yang keadaannya tidak lebih baik daripada keadaan Can Ma!
Ia sudah cukup besar untuk dapat mendengar dari para pelayan betapa ayah bundanya seringkali menolong orang-orang dengan menderma uang, pakaian dan makanan. Sekarang barulah ia tahu bahwa perbuatan kedua orang tuanya itu memang tepat.
“Kelak aku akan minta kepada ayah dan ibu untuk lebih banyak menolong orang-orang ini. Aku akan minta kepada ayah dan ibu agar menolong semua jembel sehingga di dunia ini tidak ada orang mati kelaparan dan menderita kedinginan,” demikian bisik suara hati anak yang luar biasa ini.
13
Memang luar biasa kalau seorang anak berusia lima tahun bisa mempunyai pikiran seperti ini. Padahal orang-orang dewasa, bahkan orang-orang yang sudah mengira cukup berpengetahuan dan cukup pengalaman, kadangkala melupakan suara hati macam ini, melupakan atau sengaja tidak mau mendengar suara hati nurani yang menggugah manusia mengulurkan tangan menolong mereka yang sengsara.
Akan tetapi, kembali ia mendengar Can Ma batuk-batuk dan napas nenek ini makin sesak terengah-engah. Timbul kembali rasa takut dan gelisahnya.
“Can Ma, berkatalah sesuatu…… Can Ma, kuatkanlah, nanti kalau sudah berhenti hujan, kita melanjutkan perjalanan!” ia berkata dengan suara memohon.
Can Ma membuka matanya dan aneh, mata itu kini basah sehingga tak lama lagi dua titik airmata jatuh di atas pipinya yang berkeriputan dan menghitam warnanya. Tiba-tiba ia berkata, dan aneh lagi, suaranya kini lancar tidak berat seperti tadi, seakan-akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal hatinya telah lenyap.
“In Hong, anakku yang manis, cucuku yang mungil, jangan kau bersedih. Kau lanjutkanlah sendiri perjalanan ini, cari ayah bundamu, jangan perdulikan Can Mama. Can Mama sudah tua, sudah cukup makan garam, sudah cukup merasa senang dan susah, sudah sepantasnya Can Mama mati……”
“Can Mama……!! Jangan mati……!!” In Hong menjerit dan kini ia menangis keras, meraung-raung sambil memeluki tubuh nenek itu.
Pada saat itu, nenek hitam yang tadi meringkuk di sudut, bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya jangkung sekali, nampak lebih jangkung karena ia memang kurus kering.
Akan tetapi luar biasa sekali. Jarak antara ia dan In Hong ada tiga tombak lebih. Agaknya ia tidak menggerakkan tubuh atau kakinya, akan tetapi tahu-tahu ia telah berada di dekat In Hong dan Can Ma.
“Lahir tak dapat diminta, mati tak dapat ditolak, mengapa bicara yang bukan-bukan tentang mati? Tidak takut mati bukan hal yang patut disombongkan, hanya berani hiduplah yang boleh dibanggakan!” Setelah berkata demikian, dua kali tangan yang memegang tongkat panjang bergerak ke arah Can Ma dan In Hong.
In Hong merasa bawah tulang punggungnya di belakang pusar, tersentuh oleh benda keras dan aneh sekali, tiba-tiba di dalam tubuhnya seperti ada api membakar. Hawa panas merayap dari tempat yang ditotok oleh ujung tongkat itu dan sebentar saja hawa dingin yang membuat ia menggigil lenyap terusir pergi oleh hawa hangat ini. Akan tetapi rasa lapar pada perutnya makin menghebat!
Adapun Can Ma yang juga terkena totokan ujung tongkat, segera bangkit duduk seperti mendapat tenaga baru. Ia memandang kepada nenek hitam tinggi kurus itu dengan mata terbelalak lebar, kemudian menjatuhkan diri berlutut:
“Pouwsat (dewi) yang mulia, mohon beribu ampun kalau hamba berdua mengganggu tempat yang suci dari pouwsat!” kata Can Ma sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti orang bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat.
14
Nenek hitam itu tertawa bergelak dan suara ketawanya membikin In Hong membuka mata lebar-lebar dengan hati ngeri. Suara ketawa ini seperti bukan suara manusia.
Can Ma mendengar suara ketawa ini makin takut lagi dan ia berlutut sampai jidatnya membentur lantai yang berdebu.
“Can Ma, kau tua bangka sungguh bodoh dan tolol, mengira aku seorang pouwsat. Akupun seorang nenek tua bangka seperti kau pula yang menderita penyakit batuk, bahkan penyakitku seratus kali lebih berat daripada penyakitmu. Siapakah bocah yang kau sebut siocia ini?” Pertanyaan dalam kalimat terakhir ini terdengar berpengaruh, membuat siapa saja yang mendengar merasa takut untuk tidak mengaku.
“Mohon ampun, hamba adalah pelayan keluarga Kwee di Tiang-on. Semua hartawan dan bangsawan di Tiang-on dibunuh, rumah mereka dibakar. Majikan hamba, ayah bunda anak ini, melarikan diri dan hamba membawa siocia ini lari pula untuk menyusul mereka di kota See-ciu. Ampunkanlah hamba kalau hamba mengganggu, lihiap.”
Karena nenek hitam itu tidak mau disebut pouwsat, Can Ma yang sudah banyak mendengar tentang orang-orang kangouw, dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita sakti, maka ia mengubah sebutannya kepada wanita itu dengan sebutan lihiap (pendekar wanita).
“Hm, dia ini anak bangsawan?”
“Bukan, lihiap. Ayahnya adalah seorang hartawan yang berhati mulia dan budiman.”
“Hah! Mana ada hartawan berhati mulia dan budiman? Barangkali betul terhadap kau, karena kau pelayannya. Hm, manusia sekarang banyak yang buta dan sesat! Siapa percaya ayah bunda anak inipun tidak ikut gila?”
Setelah berkata demikian, ia menggerakkan tangan, menjambak rambut In Hong dan mengangkat bocah itu ke atas sehingga ia dapat melihat dengan jelas muka In Hong. Biarpun rambutnya dijambak dan ia dipegang seperti orang memegang kelinci, In Hong tidak menjerit. Anehnya, ia tidak merasa sakit biarpun rambutnya dijambak dan ia digantung seperti itu. Mukanya yang mungil dan lucu itu kini nampak kotor penuh debu dan airmata, akan tetapi sepasang mata yang amat tajam dari nenek hitam itu dapat melihat dengan jelas, menembusi debu dan kotoran.
“Sayang, tunas yang baik tak boleh tumbuh dipohon yang buruk. Can Ma, kau carilah sendiri ayah bunda anak ini, bilang bahwa anak ini dibawa pergi oleh Hek Moli!”
Tentu saja Can Ma hendak membantah, akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, di depan matanya berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu nenek hitam itu bersama In Hong telah lenyap dari situ tidak meninggalkan bekas lagi! Can Ma bagun berdiri, memburu keluar, mencari ke dalam sambil menjerit-jerit, namun sia-sia saja, tidak ada bayangan dari In Hong.
Can Ma menjatuhkan diri dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa bingung dan ngeri. Bagaimana ia harus bertanggung jawab di depan majikannya? Ia merasa ngeri kalau mengingat gerak-gerik dan sepak terjang nenek hitam yang mengaku bernama Hek Moli (Iblis Wanita Hitam) itu.
15
Can Ma dalam kebingungan dan kesedihannya sampai lupa bahwa tiba-tiba saja ia telah sembuh, bahwa ia kini dapat bangkit berdiri, dan bahkan dapat berlari-larian menuju ke kota See-ciu! Dengan tergesa-gesa ia mencari rumah hartawan Yo, paman dari Kwee Seng yang tinggal di See-ciu. Sambil menangis ia menghadap Yo-wangwe dan menuturkan semua pengalamannya.
Yo-wangwe mengerutkan kening dan alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak. Ia sudah mendengar akan adanya pasukan Kay-sin-tin yang menyerbu dusun-dusun dan kota-kota di selatan. Dan ia merasa amat berduka mendengar betapa keponakannya ikut menjadi korban pula. Akan tetapi hatinya terhibur mendengar bahwa keponakannya itu dan isterinya telah dapat melarikan diri.
“Can Ma, kau tinggallah disini sambil menanti datangnya Kwee Seng dan isterinya. Heran sekali mengapa mereka masih belum tiba, sedangkan kau sudah datang lebih dulu. Tentang In Hong, biarlah kita menanti datangnya Kwee Seng, karena tak mungkin kita dapat mencarinya. Aku sudah mendengar akan nama seorang tokoh kangouw wanita yang disebut Hek Moli itu, seorang yang seperti iblis saja, yang tak pernah terlihat oleh orang lain, hanya namanya saja yang dikenal oleh semua orang. Bahkan ada yang bilang bahwa Hek Moli sebetulnya tidak ada, atau kalau ada juga bukan manusia, melainkan dewa atau iblis.”
“Memang dia seperti bukan manusia, Yo-wangwe.” Can Ma menceritakan semua keadaan Hek Moli yang amat luar biasa itu dan bahwa ia sama sekali tidak melihat mukanya yang tertutup oleh rambut yang riap-riapan.
Demikianlah, Can Ma tinggal di rumah Yo-wangwe, bekerja sebagai pelayan sambil menanti datangnya Kwee Seng dan isterinya. Akan tetapi, tentu saja mereka semua tidak tahu bahwa Kwee Seng sudah binasa di tengah hutan, terkena thi-lian-ci yang dilepas oleh Ong Tiang Houw, dan bahwa Kwee-hujin telah dibawa lari oleh orang muda itu. Namun mereka tetap menanti, menanti penuh harapan.
Waktu memang amat ganjil dan penuh rahasia. Gerakannya tidak kentara, kadang-kadang terasa lambat merayap, lebih lambat daripada merayapnya seekor siput, akan tetapi kadang-kadang terasa cepat, lebih cepat daripada menyambarnya kilat. Ada yang bilang bahwasanya waktu itu jalannya amat lambat, akan tetapi coba saja kita renungkan, satu tahun, bahkan beberapa tahun lewat tanpa kita rasai dan seakan-akan sesuatu yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu itu seperti kejadian kemarin saja. Alangkah cepatnya waktu berjalan, demikian kita akan berpikir kalau teringat akan hal ini.
Sebaliknya, ada pula yang bilang bahwasanya waktu itu amat cepat jalannya. Akan tetapi coba saja kita bayangkan bilamana kita menanti datangnya kereta api di setasiun, terlambat seperempat jam saja datangnya kereta api, terasa seperti seperempat abad! Alangkah lambatnya waktu merayap, sedemikian kita akan berpikir pada saat seperti itu.
Memang aneh, dan demikianlah, di dalam cerita ini, tahu-tahu tanpa dapat dirasakan, empatbelas tahun telah lewat semenjak peristiwa yang telah dituturkan di atas!
Di puncak Ciung-lai-san, sebuah gunung di propinsi Secuan, tempat yang tersembunyi dan tak pernah didatangi oleh manusia karena tempat ini masih liar dan jalan menuju ke puncak amat sukarnya, tinggallah Hek Moli. Belasan tahun yang lalu, nama Hek Moli pernah menggetarkan dunia kangouw karena sepak terjangnya yang lihay dan hebat. Apalagi orang-orang biasa, bahkan para tokoh kangouw sendiri tidak tahu darimana datangnya wanita sakti yang merupakan seorang nenek berwajah dan bertubuh mengerikan dipandang ini.
16
Akan tetapi, sekali nenek ini keluar di dunia kangouw, ia telah melakukan banyak hal yang menggemparkan. Lima perampok terkenal di daerah Santung yang ditakuti orang dan disegani oleh para tokoh kangouw, berjuluk Santung Ngo-kui (Lima setan dari Santung) bersama anak buahnya yang puluhan orang banyaknya telah dibasmi habis oleh Hek Moli.
Ini masih belum hebat, bahkan Hek Moli telah mendatangi Go-bi-pay dan Kun-lun-pay, menantang pibu kepada para tokoh kedua partai persilatan besar ini dan mengalahkan tokoh-tokoh itu. Yang amat menggemparkan adalah ketika seorang diri Hek Moli menyerbu istana kaisar dan mengambil dua buah barang pusaka kerajaan, yakni sebatang pedang mustika yang bernama Liong-gan-kiam dan sebuah perhiasan rambut dari kemala yang berbentuk burung Hong dan amat indahnya.
Akan tetapi, seperti munculnya, tiba-tiba saja empatbelas tahun yang lalu Hek Moli lenyap dari dunia kangouw, tanpa meninggalkan bekas seolah-olah ia ditelan oleh bumi. Ada beberapa orang tokoh kangouw yang menyatakan bahwa mereka melihat Hek Moli terserang penyakit batuk dan keadaannya amat payah, maka kehilangannya membuat semua orang mengira bahwa tokoh ini sudah meninggal dunia.
Sebetulnya bukan demikianlah keadaannya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Hek Moli secara kebetulan, ketika sedang menderita di dalam kelenteng, terserang penyakit batuknya, ia telah bertemu dengan Kwee In Hong dan membawa pergi anak perempuan yang berusia lima tahun itu. Ia merasa suka sekali kepada anak ini, maka dibawanyalah In Hong ke puncak Ciung-lai-san di propinsi Secuan dimana ia menyembunyikan diri dan menurunkan seluruh kepandaiannya kepada murid tunggalnya.
Selama empatbelas tahun itu, In Hong menerima latihan ilmu silat yang amat tinggi dan aneh, dan gurunya demikian sayang kepadanya sehingga tidak ragu-ragu untuk mewariskan seluruh kepandaiannya yang dimilikinya. Bahkan ia mengajar muridnya membaca dan menulis sekadarnya, karena Hek Moli sendiri bukanlah seorang yang amat pandai dalam ilmu menulis.
Selain ini, setelah kepandaian In Hong cukup tinggi, ia memberikan pedang Liong-gan-kiam dan hiasan rambut burung Hong kepada muridnya. Katanya sambil tertawa terkekeh ketika memberikan hiasan rambut itu:
“Muridku, namamu In Hong, hiasan rambut burung Hong ini tepat sekali menghias rambutmu yang panjang, hitam dan halus. Pedang ini untuk memperlengkapi kepandaianmu karena tidak patut bagi seorang gadis cantik seperti engkau bersenjata tongkat seperti gurumu. Pakailah hiasan itu, mu-ridku.”
Dengan girang dan manja In Hong memakai hiasan rambut itu pada rambutnya. Ia kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita seperti ibunya. Ketika hiasan itu telah dikenakan pada rambutnya, gurunya memandang dengan mata terbelalak, kemudian tiba-tiba dua titik airmata melompat keluar dari sepasang mata Hek Moli:
“Alangkah cantiknya engkau, In Hong. Ah, seperti kau inilah aku dahulu……!”
In Hong membalas kasih sayang gurunya dengan kebaktian, dan ia tidak saja merasa suka kepada gurunya, juga merasa terharu dan kasihan. Diam-diam ia sering bertanya rahasia apakah yang disimpan oleh gurunya. Mengapa gurunya menjadi rusak muka dan tubuhnya seperti itu. Tentu dahulu pernah
17
mengalami hal-hal yang amat mendukakan hatinya. Akan tetapi tiap kali ia bertanya, gurunya hanya menggeleng kepalanya dan tidak mau menuturkan riwayatnya. Ia hanya mendesak agar gadis itu belajar lebih giat lagi.
“Muridku, di dunia ini banyak sekali orang-orang jahat yang amat lihay. Kau demikian cantik, tentu akan mengalami hal-hal yang mendatangkan bencana kalau saja kau tidak mampu menjaga dirimu. Untuk itu kau harus memiliki ilmu yang tinggi. Pula, sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu usaha orang-orang gagah, membasmi para penjahat dan membela para kaum tertindas.”
Tentu saja In Hong mengerti akan kehendak gurunya ini, karena semenjak dahulu iapun merasa amat sakit hati kepada orang-orang jahat yang mencelakakan orang tuanya. Sering kali ia menyatakan rindunya kepada orang tua dihadapan gurunya, akan tetapi Hek Moli selalu menjawab:
“Sabarlah, muridku. Belum tiba masanya kau mencari orang tuamu. Aku sendiri tidak tahu dimana mereka dan apakah mereka masih hidup. Akan tetapi, kalau sudah cukup kepandaianmu, kau harus mencari mereka sendiri. Kurasa kau akan dapat mencari mereka kalau kau pergi ke kota See-ciu.”
Kini In Hong sudah berusia sembilanbelas tahun. Cantik jelita dan sikapnya gagah. Gurunya yang amat menyayangnya, tidak ingin melihat muridnya memakai pakaian buruk. Beberapa kali Hek Moli turun gunung dan ketika ia kembali, ia membawa pakaian-pakaian indah untuk In Hong. Dan untuk dia sendiri, ia tak pernah berganti pakaian, tetap pakaian yang kotor menghitam! Kalau In Hong mencela gurunya dan mendesak agar supaya gurunya berganti pakaian, Hek Moli berkata:
“Untuk apa aku berganti pakaian? Apakah kau menyuruh aku menjadi seperti seekor monyet berpakaian dan menjadi tontonan orang? Aku sudah jemu dengan pakaian-pakaian, bahkan kalau semua orang di dunia ini tidak memakai pakaian, aku akan lebih suka lagi, lebih bebas dan enak, tidak terganggu oleh pakaian bermacam-macam!”
Mendengar jawaban ini, In Hong tertawa cekikikan saking geli hatinya.
“Mengapa kau tertawa?” gurunya bertanya heran karena muridnya benar-benar tertawa geli seakan-akan dikitik-kitik.
“Subo memang lucu sekali. Kalau teecu bayangkan betapa semua orang bertelanjang bulat, berjalan hilir mudik seperti monyet-monyet liar tersesat dikota, ah alangkah lucunya pemandangan itu. Teecu bisa mati tertawa melihatnya!”
Mau tidak mau Hek Moli tertawa juga mendengar kata-kata muridnya itu, karena iapun dapat membayangkan keadaan yang amat menggelikan itu. Tiba-tiba Hek Moli menghentikan ketawanya dan In Hong juga, karena gadis inipun telah dapat menangkap bunyi yang asing dengan pendengarannya yang sudah amat tajam.
“Ada orang datang!” bisik Hek Moli.
Muridnya mengangguk dan tangan kanan In Hong meraba gagang pedang yang tergantung di pinggangnya.
18
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu, sekira lima tombak dari mereka, terlihat seorang tosu berusia kurang lebih enampuluh tahun, muncul dari balik batu karang besar. Tosu ini berpakaian putih dan yang paling menyolok pandangan mata adalah tangan kanannya yang buntung sebatas siku.
“Hek Moli, akhirnya pinto dapat menemukan tempat persembunyianmu!” kata tosu itu dan suaranya halus dan lemah lembut, akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya penuh kebencian.
Hek Moli mengeluarkan suara mengejek. “Anjing buntung kakinya dari manakah berani mengotorkan tempatku?”
Tosu itu tersenyum. “Mata Hek Moli sudah lamur agaknya karena terlalu tua, dan ingatannyapun sudah pikun. Benar-benarkah kau tidak mengenal lagi siapa pinto?”
“Siapa mengenal segala anjing yang berpura-pura suci? Siapa kau? Hayo lekas mengaku dan katakan apa kehendakmu sebelum aku membikin buntung lehermu!”
“Hm, masih tetap galak dan ganas seperti belasan tahun yang lalu. Kau mau tahu maksud kedatanganku? Tunggu sebentar!” Setelah berkata demikian, tosu itu lalu menengok ke arah sebuah batu besar, lalu dengan jari telunjuknya yang kiri ia membuat corat-coret di atas batu itu. Kemudian, dengan tangan kirinya pula, ia mendorong batu itu ke arah Hek Moli. Bukan main hebatnya tenaga dorongan ini. Batu yang besar dan beratnya paling sedikit enamratus kati itu terlempar ke arah Hek Moli!
Akan tetapi, dengan tenang Hek Moli mengangkat tongkat hitamnya dan sekali ia menggerakkan tangan, batu itu terputar-putar di atas ujung tongkat, kemudian ia menarik tongkatnya dan batu itu jatuh tepat di depannya demikian perlahan seakan-akan diangkat dan diletakkan disitu oleh tenaga yang mujijat!
Hek Moli dan In Hong melihat batu yang dicorat-coret tadi dan disitu ternyata telah terdapat beberapa huruf yang tergores dalam pada batu, tanda bahwa ketika mencoret dengan telunjuk, tosu itu telah mengerahkan lweekang yang tak boleh dipandang ringan. Tulisan itu berbunyi:
Go-bi-pay mengundang Hek Moli untuk melunaskan perhitungan lama di O-mei-san.
Melihat tulisan ini, teringatlah Hek Moli. Dahulu ia pernah naik ke Go-bi-san untuk menantang tokoh-tokoh Go-bi-pay mengadakan pibu. Dalam pertandingan pibu ini, seorang tokoh Go-bi-pay yang bersikap sombong dan mengucapkan kata-kata memandang rendah, telah ia robohkan dan sebelah lengannya terputus.
Mengingat akan hal ini, ia memandang kepada tosu itu dan tertawa:
“Aha, begitukah kehendak orang Go-bi-pay? Biarpun aku sudah tuabangka, siapa pernah takut terhadap tikus-tikus Go-bi-pay! Tunggu saja, setengah bulan lagi aku akan datang ke tempat itu!”
Tosu itu menjura dan berkata singkat:
“Terima kasih. Pinto percaya Hek Moli takkan menjilat ludahnya sendiri. Kami menanti dengan sabar.” Ia lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi.
19
Akan tetapi baru saja ia berlari dengan cepat paling jauh sepuluh tombak, tiba-tiba di sebelah kanannya berkelebat bayangan orang. Tosu itu terkejut melihat ginkang orang itu yang demikian lihay dan mengira bahwa tentu Hek Moli telah menyusul dan mendahuluinya. Ia merasa khawatir karena melihat cara Hek Moli menyambut batu besar yang dilemparkannya tadi, ia merasa tidak akan kuat menandingi iblis wanita hitam ini, dan mengira bahwa Hek Moli menyusulnya dengan maksud buruk.
“Hek Moli, apa yang……?” Tegurannya terhenti sampai disitu karena kini ia berdiri tertegun melihat seorang gadis cantik jelita berdiri dihadapannya dengan senyum mengejek.
Gadis itu adalah gadis yang tadi dilihatnya berdiri dekat Hek Moli. Tosu itu menjadi makin terkejut. Bukan main hebatnya, semuda ini sudah memiliki kepandaian ginkang yang demikian tingginya!
“Nona, apa kehendakmu menghadang perjalananku?” tanyanya, menyembunyikan rasa khawatirnya di balik senyum.
In Hong mengeluarkan suara mengejek: “Tosu busuk, kau datang-datang menyombongkan kepandaian dan menghina guruku, bagaimana aku dapat membiarkan kau pergi begitu saja? Hayo kau mengaku siapa namamu dan berlututlah minta ampun kepada guruku, kalau tidak, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini!”
Merah muka tosu itu, merah karena marah yang ditahan-tahan. Kata-kata gadis itu merupakan penghinaan yang amat besar. Di Go-bi-pay, ia termasuk tokoh yang cukup disegani, dan biarpun bukan merupakan tokoh pimpinan tertinggi, namun setidaknya ia adalah wakil guru besar yang memberi pelajaran ilmu silat kepada murid-murid tingkat rendahan dan dalam hal kepandaian ilmu silat, ia bisa dikatakan menduduki tingkat keempat.
“Nona, pinto dengan kau belum pernah bertemu dan tidak mempunyai sangkut paut. Kalau gurumu merasa penasaran, biarlah dia sendiri yang memutuskan. Pinto tidak suka berurusan dengan segala bocah kecil yang kurangajar.”
“Hayo kau mengaku nama dan berlutut minta ampun!” In Hong memotong omongan tosu itu dengan bentakan mengancam.
Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ejekan, tosu itu tidak menjawab, hanya menggerakkan tubuh berlari ke depan, memutari tubuh gadis itu yang menghadang di depannya.
“Minggirlah!” katanya dan tangan kirinya dengan lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah muka In Hong. Ini adalah gerakan serangan yang hebat, karena tidak hanya ujung lengan baju itu yang menyabet dengan tenaga lwee-kang akan tetapi jari-jari tangan itupun dipentang dan dapat dipergunakan untuk menyampok, memukul, atau mencengkeram menurut perkembangan dari perlawanan orang yang diserangnya.
Orang lain yang menghadapi serangan hebat ini, yang merasa sambaran angin yang dahsyat, tentu akan terkejut dan mengelak. Setiap orang ahli silat yang belum mengukur tenaga dan kepandaian lawan, selalu akan mengelak dari pukulan pertama, karena untuk menangkis pukulan lawan sebelum mengukur tenaga lawan yang menyerangnya, adalah hal yang berbahaya dan dianggap merugikan pihak sendiri.
20
Akan tetapi In Hong adalah seorang gadis yang amat tabah dan pula ia sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri. Biarpun ia belum mengukur tenaga tosu itu, namun tadi tosu itu telah secara lancang memperlihatkan kepandaian-nya ketika menggurat batu dengan jari tangan dan melontarkan batu itu kepada Hek Moli. Melihat betapa coretan pada batu itu masih kasar dan ada tanda-tanda guratan jari tangan, ia tahu bahwa tosu itu masih belum mampu mempergunakan lweekang secara mendalam dan lemas.
Kalau seorang ahli yang lweekangnya sudah tinggi dan dapat mengatur dengan hawa dalam tubuh sehingga ujung-ujung kuku dapat dipergunakan dan disembunyikan dan biarpun tenaga yang keluar dari jari tangan yang menggores batu adalah tenaga yang dahsyat, namun kulit jari sendiri demikian lemas sehingga tidak akan mendatangkan bekas guratan jari pada batu. Dilihat dari sini saja ia sudah dapat mengukur tenaga dari tosu itu, maka kini melihat tosu itu mempergunakan tangannya untuk menyerang sambil lari, In Hong mengangkat tangan kirinya dan dengan jari telunjuknya ia menyambut tangan itu.
Melihat ini, tosu itu menjadi girang. Kalau ia tidak dapat dan belum berani membalas sakit hatinya kepada Hek Moli, sedikitnya ia akan dapat membalas dengan jalan menyakiti murid iblis wanita hitam itu. Maka ia lalu mempergunakan lima jari tangan kirinya untuk menampar dan maksudnya hendak mematahkan tulang telunjuk gadis itu. Telapak tangan yang dikerahkan dengan tenaga lwekang dan menjadi keras seperti baja bertemu dengan telunjuk In Hong yang runcing dan mungil.
Kalau dibicarakan memang agaknya tak masuk diakal, karena tiba-tiba tosu itu menjerit dan meringis kesakitan, tangannya menjadi kaku dan jari-jarinya direnggangkan, sakitnya bukan main! Akan tetapi harus dimengerti bahwa In Hong telah mempergunakan im-kang (tenaga lemas) untuk menghadapi yang-kang (tenaga kasar) dari tosu itu, dan di dalam hal ilmu silat, yang lemas memang mudah sekali menggulingkan yang kasar.
Dengan telunjuknya yang sudah terlatih sempurna, gadis itu dapat menyentuh jalan darah di pangkal ibu jari, .jalan darah yang menjadi saluran ke arah nadi dan semua jalan darah aseli, maka sebelum telapak tangan itu dapat mematahkan jari telunjuk In Hong, lebih dulu jalan darah dari tangan tosu itu telah kena ditotok!
In Hong tertawa cekikikan melihat tosu itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi timbul juga rasa kasihan di dalam hatinya karena kini lengan kanan yang buntung itu mencoba untuk menolong tangan kiri yang terluka. Tentu saja lengan kanan yang buntung itu hanya bisa bergerak-gerak sampai di siku kiri saja, mana bisa menolong.
“Hm, kini kau tahu bahwa kami tidak mudah dipermainkan begitu saja oleh kalian orang-orang Go-bi-pay. Orang macam kau berani menghina guruku? Hayo mengaku siapa namamu dan lekas kau berlutut minta ampun!”
Tosu itu mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah. Sebagai seorang tokoh tinggi dari Go-bi-pay, ia telah mengalami hinaan yang amat memalukan. Mana ia sudi berlutut minta ampun? Lebih baik ia mati!
Hek Moli yang melihat keadaan itu, diam-diam dalam hatinya terkejut. Tak disangkanya bahwa muridnya mempunyai hati yang lebih telengas dan ganas. Maka untuk menjaga agar muridnya ini kelak jangan sampai bermusuhan dengan partai-partai besar yang akan mencelakakan hidupnya, ia berseru:
21
“In Hong, tosu itu bernama Tek Seng Cu, dan kalau memang dia sudah insaf, tak perlu dia berlutut minta ampun, asal dia sudah mengakui kesalahannya cukuplah!”
Mendengar kata-kata ini, Tek Seng Cu melihat jalan keluar yang lebih enak baginya, maka cepat ia menjura sambil berkata ke arah Hek Moli:
“Hek Moli, pinto benar-benar bermata akan tetapi tak pandai melihat. Biarlah kau maafkan sikapku yang kasar tadi. Nah, sampai berjumpa di puncak O-mei-san!” Ia membalikkan tubuh dan berlari cepat sambil menahan rasa sakit pada telapak tangannya, rasa sakit yang menusuk hatinya yang sudah sakit karena penghinaan itu.
In Hong menghadapi gurunya: “Subo, orang macam dia sudah sepatutnya dibunuh saja agar lain kali jangan datang menimbulkan keributan lagi.”
Hek Moli menarik napas panjang. “In Hong, kau belum tahu banyak tentang dunia kangouw. Ketahuilah, Tek Seng Cu itu hanyalah cucu murid dari ketua Go-bi-pay, dan dahulu belasan tahun yang lalu, untuk menghadapi dan meng-alahkan ketua Go-bi-pay, aku harus mengeluarkan seluruh kepandaianku. Ketua Go-bi-pay bukanlah orang jahat, bahkan dia seorang locianpwe yang disegani, maka tidak baiklah membuat permusuhan dengan Go-bi-pay.”
In Hong mengerutkan keningnya dan sepasang alisnya yang hitam dan berbentuk indah itu bergerak-gerak.
“Subo, mereka sudah menantang dan menghinamu, bagaimana tak dapat disebut jahat?”
Hek Moli tersenyum. “Mungkin diantara tokoh-tokoh Go-bi-pay ada yang berwatak sombong dan kasar, bahkan aku tidak menyangkal bahwa banyak orang-orang mengaku pendeta namun hatinya kotor melebihi penjahat biasa. Akan tetapi, untuk apakah bermusuhan dengan mereka kalau tidak ada alasan? Kalau kau melihat mereka melakukan perbuatan jahat, siapapun juga adanya mereka, pantas kau musuhi dan kau basmi, biarpun untuk itu kau harus mengorbankan nyawa. Akan tetapi, dalam hal ini tidak ada permusuhan hebat, yang ada hanyalah menebus kekalahan dalam pibu.”
“Akan tetapi Go-bi-pay menantangmu, subo.”
“Tidak apa, aku akan datang kesana pada waktunya dan dengan tulang-tulangku yang sudah tua, akan kucoba mengalahkan mereka seperti belasan tahun yang lalu.” Nenek ini memukul-mukulkan tongkat hitam yang panjang ke atas tanah. “Biarpun aku sudah tua, akan tetapi tongkat ini tetap kuat dan masih muda. Aah, manusia mana bisa menangkan benda mati. Benda hidup akan melayu dan mati, akan tetapi tongkat ini sudah mati ketika lahir, bagaimana dia bisa layu dan akhirnya mati seperti aku?” Nenek ini menghela napas lalu duduk termenung.
Melihat gurunya nampak berduka, In Hong menjadi terharu dan berbareng merasa panas hatinya.
“Subo, biarkan teecu pergi menemui mereka di O-mei-san! Biarkan teecu mewakili subo menghajar mereka dan memperlihatkan bahwa murid subo saja sudah cukup untuk mengalahkan semua tokoh Go-bi-pay dalam pibu!” Kata-katanya keras bersemangat, wajahnya yang cantik jelita itu kemerahan sehingga menjadi demikian segar bagaikan setangkai bunga mawar merah yang sedang mekarnya.
22
Akan tetapi alangkah terkejutnya hati In Hong ketika tiba-tiba tongkat hitam panjang di tangan nenek itu menghantam batu yang segera menjadi hancur berkeping-keping. Nenek itu sendiri melompat bangun dan membentaknya:
“Diam kau! Jangan mencampuri urusan ini, ini adalah urusan pribadiku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu, mengerti?”
In Hong tertegun, wajahnya yang tadi kemerahan tiba-tiba menjadi pucat. Selama menjadi murid Hek Moli, belum pernah gurunya ini marah kepadanya, selalu memperlihatkan kasih sayang. Gadis ini hanya dapat memandang kepada gurunya dengan mulut sedikit terbuka dan mata tak berkedip, kemudian perlahan-lahan, dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya yang berkulit halus bersih.
Hek Moli memandang kepada muridnya dan tiba-tiba saja rasa marahnya tadi lenyap seperti awan tipis tersapu angin. Ia melangkah maju dan memeluk muridnya, mendekap kepala yang berambut hitam panjang itu kepada dadanya yang tipis. Seperti air hujan, air mata mengalir dari sepasang mata In Hong. Gadis ini merasa sengsara dalam hatinya karena sekali saja dimarahi oleh gurunya, ia teringat kepada ayah bundanya.
“In Hong, muridku yang baik, muridku yang terkasih, jangan kau kecewa. Aku percaya bahwa kau akan dapat mengalahkan tokoh-tokoh Go-bi-pay, bahkan ketuanya sendiri boleh maju, kau takkan kalah! Akan tetapi, jangan kau kecewa. In Hong. Main-main dalam pibu ini dahulu adalah aku yang mencari sendiri, akulah yang menjadi biangkeladi, oleh karena itu aku pula yang harus menyelesaikan. Kau tidak boleh terseret-seret dalam permainan gila ini, permainan dari ahli-ahli silat yang tidak mempunyai pekerjaan, yang sombong dan ingin memperlihatkan kepandaian, ingin diakui sebagai jagoan paling pandai di dunia! Ya, dahulu aku amat sombong, In Hong, aku belum puas kalau belum mengalahkan tokoh terbesar di dunia kangouw. Kau tidak boleh terseret-seret, aku akan merasa menyesal dan berduka sampai mati kalau melihat kau dibenci oleh para tokoh-tokoh besar di dunia kangouw. Kau harus menjadi seorang pendekar yang berguna bagi rakyat, berguna bagi manusia. Kerahkan kepandaianmu untuk menolong manusia, bukan untuk mencari permusuhan de-ngan lain orang. Jangan salah mengerti, muridku, aku melarangmu pergi atau ikut ke O-mei-san, bukan sekali-kali karena aku tidak percaya akan kepandaianmu. Pada waktu ini, kepandaianmu tidak kalah olehku sendiri. Aku hanya sayang kalau-kalau kau muridku yang masih murni, masih suci, akan terseret ke dalam permusuhan yang tidak ada artinya, permusuhan dicari-cari yang tidak ada dasarnya.”
“Jadi subo mau pergi sendiri, meninggalkan teecu seorang diri disini?”
“Selalu aku pergi seorang diri kalau hendak berpibu, In Hong. Kesombongan itu sampai sekarang masih ada di dalam dadaku. Aku tidak mau kalau orang mengira aku mengandalkan bantuanmu. Selain itu, kau harus memenuhi tugasmu yang pertama, yakni mencari ayah bundamu di See-ciu.”
Mendengar disebutnya ayah bundanya, berseri wajah In Hong. Hal ini memang sudah dirindukan belasan tahun dan kini mendengar bahwa gurunya sudah memberi ijin kepadanya untuk mencari ayah bundanya, tentu saja ia menjadi girang sekali.
“Baik, subo. Kapankah teecu boleh berangkat mencari ayah dan ibu?” tanyanya.
23
Hek Moli menyembunyikan senyumnya penuh kegetiran dan iri hati. Ia maklum bahwa betapapun besar kasih sayang muridnya terhadap dia, tetap saja kasih sayang muridnya kepada ayah bundanya jauh lebih besar.
“Sekarang juga, In Hong. Berangkatlah bersama doaku. Tigapuluh potong uang emas yang kusimpan itu boleh kau bawa, juga pedang dan hiasan rambut yang kau pakai. Pakaianmu juga bawalah semua untuk bekal di jalan. Kau harus berlaku hati-hati dan jangan lupa, disamping melakukan perbuatan sesuai dengan kepandaianmu dan sesuai pula dengan tugas seorang pendekar seperti yang seringkali kunasihatkan kepadamu, jangan sekali-kali kau mencari permusuhan dengan orang-orang kangouw tanpa alasan yang kuat.”
“Baik subo, baik!” Dengan girang gadis ini lalu masuk ke dalam pondok untuk mengambil uang dan pakaian, kemudian ia keluar lagi, siap untuk berangkat. Akan tetapi, ketika melihat gurunya yang tua dan kurus itu berdiri seperti orang melamun, seperti sebuah tonggak kayu yang tua dan buruk, lambang kesunyian dan kelayuan, hatinya terharu sekali dan ia memeluk subonya.
“Akan tetapi, subo. Bagaimana teecu tega meninggalkan subo seorang diri?” isaknya.
Hek Moli menjadi besar kembali hatinya. Dielus-elusnya rambut muridnya penuh kasih sayang.
“In Hong, bagaimana kau bisa tinggalkan aku? Aku sendiri sekarang juga akan berangkat ke O-mei-san.”
“Akan tetapi…… bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu, subo?”
“Ha, kau tidak percaya kepadaku? Aku dapat menjaga diri, In Hong, dan biarpun tulang-tulangku telah tua, kiranya takkan mudah dicelakakan orang!”
“Bila teecu dapat bertemu dengan subo? Kemana teecu harus mencari subo?”
“Kalau kau sudah bertemu dengan orang tuamu, kau tidak boleh lagi meninggalkan mereka! Kalau kau merasa rindu kepadaku, kau datanglah di puncak ini. Setelah beres menguruskan persoalan pibu dengan orang-orang Go-bi-pay, aku tentu akan kembali kesini. Aku sudah terlalu tua dan sudah bosan untuk merantau, aku mau menanti sisa umurku di puncak ini. Kalau kau datang kesini, aku pasti ada disini, In Hong, kecuali kalau aku tidak ada disini, tentu……. ah, kau tak usah mencariku lagi kalau aku tidak ada disini.”
“Subo……!” In Hong menjerit sambil menjauhkan diri agar dapat memandang muka gurunya.
Hek Moli tersenyum. “In Hong, jangan seperti anak kecil! Betapapun juga, pibu adalah pertandingan silat dan luka atau tewas dalam pibu bukanlah hal yang rendah.”
“Subo, biarkan teecu turut dan membantumu! Mereka tidak boleh menjatuhkanmu, subo! Biar kelak saja teecu mencari ayah bunda.”
Hek Moli menggeleng kepalanya perlahan. “Tidak bisa, In Hong. Belum tentu aku kalah, dan tidak baik kalau kau ikut seperti sudah kukatakan tadi. Berangkatlah kau, dan sekali lagi, kalau kelak kau tidak mendapatkan aku disini, jangan kau mencariku lagi, dan ingat! Jangan kau mencari gara-gara dengan mereka yang menang dalam pibu melawanku. Luka atau mati dalam pibu sudah sewajarnya!”
24
“Subo……”
“Berangkatlah! Jangan bikin aku jengkel!” Hek Moli membentak.
In Hong menghapus airmatanya, berlutut di depan gurunya dan berkata lemah: “Selamat berpisah, subo. Tak lama lagi teecu akan mencari subo disini……”
“Pergilah, muridku.”
In Hong berdiri, sebelum berangkat ia maju dan menubruk, memeluk suhunya untuk terakhir kali, kemudian ia berlari turun gunung dengan cepat sekali. Setelah bayangan In Hong tidak kelihatan lagi, Hek Moli menjatuhkan diri duduk di atas batu dan mempergunakan ujung baju untuk menghapus beberapa titik air mata.
Gunung O-mei-san terletak di sebelah selatan pegunungan Ciung-lai-san. Tepat setengah bulan kemudian semenjak tosu Tek Seng Cu dari Go-bi-pay mendatangi Hek Moli di puncak Ciung-lai-san, pada pagi hari kelihatan Hek Moli berjalan terbongkok-bongkok mendaki puncak O-mei-san, dibantu oleh tongkatnya yang panjang dan hitam.
Untuk dapat tiba di lereng O-mei-san dalam waktu setengah bulan dari puncak Ciung-lai-san, membutuhkan kepandaian berlari cepat yang tinggi, dan tentu saja Hek Moli mengeluarkan kepandaiannya dalam perjalanan itu. Namun setelah tiba dikaki bukit O-mei-san, melihat bahwa waktu setengah bulan itu kurang dua hari lagi, ia berhenti dan tidur sehari semalam di bawah pohon besar. Ia hanya melakukan perjalanan sembilan hari saja, karena setelah In Hong pergi meninggalkannya, sepekan kemudian barulah ia turun gunung berangkat ke O-mei-san.
Sehari kemudian, barulah Hek Moli mendaki bukit O-mei-san, berjalan kaki perlahan-lahan. Ia merasa betapa tubuhnya kini tidak sekuat dulu, bahwa semangatnya tidak sepanas belasan tahun yang lalu. Ia berjalan-jalan sambil mengingat-ingat semua pengalamannya. Diam-diam ia menghela napas panjang:
“Tua bangka yang tidak beruntung,” bisiknya, “usiamu sudah sembilanpuluh tahun, namun masih saja dalam saat terakhir menghadapi kematian usia tua, kau masih mendaki bukit untuk berpibu! Ah, benar-benar memalukan!”
Tiba-tiba ia mendengar suara orang berlari dari bawah bukit, dan tak lama kemudian ia melihat Tek Seng Cu berlari naik melewatinya! Dari wajah tosu ini, jelas nampak kekaguman dan juga keheranan. Tek Seng Cu berlari cepat terus menerus menuju kebukit O-mei-san ketika ia meninggalkan Hek Moli, dan sekarang ia melihat nenek itu sudah berjalan perlahan di lereng O-mei-san!
“Hek Moli, kau sudah sampai disini?” tak terasa pula ia menegur, tak kuasa menyembunyikan keheranannya.
Hek Moli terbatuk-batuk hebat. Memang, semenjak In Hong turun gunung meninggalkannya, penyakit batuknya yang tadinya seperti sudah sembuh itu kumat kembali.
25
“Tek Seng Cu, kau datang? Kebetulan sekali, lekas kau memberi laporan kepada pimpinan Go-bi-pay bahwa aku sudah datang untuk memenuhi undangan,” kata Hek Moli setelah dapat mengatur napasnya yang menjadi sesak karena batuk-batuk tadi.
Tanpa menjawab Tek Seng Cu berlari terus mendaki gunung itu. Hek Moli tidak perduli dan tetap berjalan perlahan-lahan, dibantu oleh tongkatnya.
Akan tetapi sebelum tiba di puncak O-mei-san, baru saja tiba di lereng yang datar, ia melihat Tek Seng Cu berdiri menunggu bersama tujuh oleh kakek yang semuanya berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh kebencian.
Hek Moli terkejut dan juga heran, hatinya terasa tidak enak. Ia tidak melihat ketua Go-bi-pay yang sudah dikenalnya baik, yakni Pek Eng Taysu, dan menurut pandangan matanya yang biarpun sudah tua masih amat tajam. Ia melihat bahwa tiga diantara tujuh orang itu adalah tokoh-tokoh penting dari partai Kun-lun-pay. Apakah maksud kedatangan tiga orang Kun-lun itu?
Akan tetapi, biarpun di dalam hatinya Hek Moli timbul pertanyaan ini, pada wajahnya ia tidak memperlihatkan sesuatu, dan langsung ia berjalan terbongkok-bongkok menghampiri mereka.
“Tek Seng Cu, mana adanya Pek Eng Taysu ketuamu? Mengapa kalian berdiri disini? Hayo antar aku menjumpainya. Apakah dia menanti kedatanganku di puncak?”
Akan tetapi, kata-kata ini dijawab oleh Tek Seng Cu dengan seruan kepada kawan-kawannya yang tujuh orang jumlahnya itu: “Cuwi beng-yu, mari kita basmi siluman perempuan yang jahat ini!”
Serentak tujuh orang kawannya itu tanpa mengeluarkan kata-kata mencabut senjata. Ada yang bersenjata pedang, golok, dan bahkan ada yang bersenjata toya dan siang-koan-pit. Melihat cara mereka mencabut senjata, Hek Moli maklum bahwa mereka terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi.
Kini ia dapat mengenal bahwa mereka adalah orang-orang Go-bi-pay dan Kun-lun-pay yang dahulu belasan tahun yang lalu pernah ia robohkan dalam pibu ketika ia mencoba kepandaian tokoh-tokoh dari dua partai besar itu. Di Go-bi-pay, ia telah mengalahkan Pek Eng Taysu ketua Go-bi-pay dengan susah payah, akan tetapi di Kun-lun-pay, ia tidak sempat bertemu dengan ketuanya, hanya dilayani oleh tokoh-tokoh ketiga dan kedua yang semuanya dengan perlawanan gagah dapat ia kalahkan.
Teringat akan semua itu, dan mendengar seruan Tek Seng Cu, Hek Moli menjadi marah sekali. Ia dapat menduga bahwa undangan ini tentulah perbuatan Tek Seng Cu yang sengaja mengumpulkan kawan-kawan untuk mencelakakannya, atau untuk membalas dendam atas kekalahannya sehingga sebelah lengannya buntung. Inilah curang, pikirnya. Untuk menghadapi pibu biasa, sampai kemanapun atau berhadapan dengan siapapun ia tidak gentar dan menerima dengan gembira, akan tetapi menghadapi kecurangan ini, ia takkan dapat membiarkan begitu saja.
“Tek Seng Cu, kau benar-benar penjahat berjubah pandeta!!” teriaknya dan jauh sekali bedanya dengan ketika ia berjalan terbongkok-bongkok naik gunung tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu tongkatnya telah menusuk ke arah muka Tek Seng Cu!
26
Sebagai seorang ahli, Tek Seng Cu yang kini tangan kirinya telah bersenjata pedang tipis, cepat mengelak dan mencoba membalas dengan babatan pedang. Namun, dua kali tongkat panjang hitam itu bergerak secara aneh setelah tadi mengancam muka Tek Seng Cu. Pertama-tama tongkat itu meluncur ke leher, akan tetapi, sewaktu Tek Seng Cu menggerakkan tubuh mengelak, tahu-tahu tongkat itu berobah lagi gerakannya dan tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi, dada kiri tosu itu kena ditotok.
Tek Seng Cu menjerit, tubuhnya terhuyung dan ia roboh miring, tak dapat ditolong lagi karena sebelum tubuh itu roboh, nyawanya telah melayang!
Empat orang tosu Go-bi-pay dan tiga orang kakek Kun-lun-pay cepat maju mengeroyok Hek Moli. Tadi mereka tak sempat melindungi Tek Seng Cu karena penyerangan Hek Moli benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya. Kini mereka serentak maju mengepung dan menyerang dengan hebat.
Diam-diam Hek Moli terkejut. Para penyerangnya ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada Tek Seng Cu, apalagi tiga orang kakek dari Kun-lun-pay itu benar-benar amat tangguh ilmu pedangnya.
“Hm, beginikah caranya kalian berpibu? Bagus, bagus, mari kita mengambil keputusan siapa yang akan tinggal hidup!” kata Hek Moli sambil mengejek dan tongkatnya digerakkan secara luar biasa sekali.
Empat orang tosu Go-bi-pay itu semua setingkat lebih tinggi dari Tek Seng Cu. Mereka adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Go-bi-pay, maka ilmu silat mereka tentu saja sudah cukup tinggi. Mereka ini adalah paman-paman guru dari Tek Seng Cu, yakni murid dari Pek Eng Taysu tingkat muda. Nama mereka adalah Wi Tek Tosu, Wi Kong Tosu, Wi Jin Tosu, dan Wi Liang Tosu.
Sebagai murid Pek Eng Taysu yang terkenal sebagai seorang ahli silat serba bisa, maka senjata mereka juga bermacam-macam. Wi Tek Tosu terkenal dengan siang-kiamnya, Wi Kong Tosu kuat sekali permainan toyanya, Wi Jin Tosu mempergunakan sebatang golok besar, sedangkan Wi Liang Tosu bersenjata ruyung kuningan. Masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri dan rata-rata merupakan lawan yang amat tangguh.
Adapun tiga orang kakek dari Kun-lun-pay, bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka ini adalah tokoh-tokoh tingkat dua dari Kun-lun-pay, menjadi murid-murid tertua dari Pek Ciang San-lojin (Kakek gunung bertangan putih), yakni ketua Kun-lun-pay pada waktu itu.
Ketika belasan tahun yang lalu Hek Moli naik ke Kun-lun dan menantang tokoh-tokoh Kun-lun-pay berpibu, kebetulan sekali Pek Ciang San-lojin sedang tidak ada disana dan sebagai wakilnya, yang maju adalah muridnya yang kedua, yakni Kim Sim Sanjin (Orang gunung berhati emas). Biarpun tak dapat dikatakan mudah, akhirnya Kim Sim Sanjin harus mengakui kelihayan Hek Moli dan ia kena dikalahkan dan hanya menderita luka ringan.
Kini, tiga orang Kun-lun-pay yang datang, adalah tiga orang tokoh yang menjadi wakil Pek Ciang San-lojin, merupakan tiga orang yang paling ternama di bawah guru besar itu, yakni pertama adalah Cu Sim Sanjin (Orang gunung berhati penuh welas asih), orang kedua adalah Kim Sim Sanjin sendiri, dan orang ketiga mempunyai sebutan Sun Sim Sanjin (Orang gunung berhati bersih). Cu Sim Sanjin senjatanya adalah ujung lengan bajunya yang panjangnya satu kaki lebih, Kim Sim Sanjin bersenjata sepasang siang-koan-pit, sedangkan Sun Sim Sanjin senjatanya adalah sebuah kebutan pendeta (hudtim) yang berbulu putih berkilau seperti perak.
27
Melihat senjata-senjata ini saja sudah dapat dinilai bahwa ilmu kepandaian tiga orang kakek Kun-lun-pay ini benar-benar tinggi karena senjata-senjata mereka sudah menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli lweekeh (ahli ilmu lweekang) dan ahli totok atau tiam-hoat.
Namun, Hek Moli bukan disebut Hek Moli Iblis wanita hitam kalau dia gentar menghadapi keroyokan tujuh orang jago tua yang lihay itu. Dengan tongkatnya yang panjang dan hitam, ia bersilat dengan aneh, ilmu silat yang tak pernah terlihat di wilayah Tiongkok Pedalaman. Tongkat itu berubah menjadi segundukan sinar hitam yang membungkus tubuhnya, dan tiap kali senjata lawan terbentur oleh sinar hitam ini, senjata lawan itu pasti terpental, seakan-akan dari sinar hitam itu keluar tenaga dahsyat yang amat luar biasa.
Hek Moli benar-benar marah. Ia sudah amat tua dan tenaganya tidak seulet dahulu, maka ia merasa penasaran sekali dan menganggap tujuh orang pengeroyoknya adalah pengecut-pengecut belaka yang mempergunakan jumlah banyak untuk mengeroyok seorang perempuan tua seperti dia. Oleh karena merasa gemas dan marah, timbullah hati ganas dan kejam di dalam dada Hek Moli. Apalagi ketika ia merasa bahwa perlahan-lahan ia mulai terdesak hebat.
Kepandaian tujuh orang lawannya benar-benar kuat sekali. Apalagi ketiga orang kakek Kun-lun-pay itu, benar-benar sukar dilawan. Menghadapi seorang diantara tiga orang kakek ini saja, agaknya ia harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengalahkannya.
Dahulu, ketika ia mengalahkan Kim Sim Sanjin, biarpun tidak begitu mudah namun kepandaiannya masih jauh mengatasi kepandaian Kim Sim Sanjin. Akan tetapi sekarang ia mendapat kenyataan bahwa sepasang siang-koan-pit ditangan Kim Sim Sanjin jauh lebih lihay daripada dahulu, tanda bahwa setelah dikalahkan, tokoh Kun-lun ini telah memperdalam ilmu kepandaiannya.
Makin lama Hek Moli makin terdesak. Tiba-tiba wanita ini diam-diam merogoh sakunya dan sekali ia mengeluarkan jerit nyaring yang menyakitkan anak telinga dan membuat hati tujuh orang lawannya tergoncang, tangan kirinya bergerak. Sinar-sinar hitam melayang cepat ke depan. Tiga orang kakek Kun-lun-san dapat mengelak dan menyampok sinar ini dengan senjata mereka. Juga dua diantara tokoh Go-bi-pay dapat mengelak. Akan tetapi Wi Liang Tosu dan Wi Jin Tosu menjerit ngeri, tubuh mereka terhuyung-huyung, lalu roboh berkelonjotan dan tak lama kemudian mereka menghembuskan nafas terakhir!
Ternyata bahwa dalam kemarahannya, Hek Moli telah mempergunakan senjata-senjata rahasia aneh yang ia sebut Toat-beng-hek-kong (Sinar hitam pencabut nyawa)! Senjata-senjata rahasia ini juga tidak dikenal di daerah Tiong-goan atau pedalaman Tiongkok, dan merupakan semacam pasir berwarna hitam yang kalau mengenai tubuh lawan, terus menyusup ke dalam jalan darah dan mengandung bisa yang cepat merampas nyawa lawan!
“Siluman wanita, kau benar-benar berbahaya dan jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” teriak Cu Sim Sanjin orang tertua dari Kun-lun-pay. Begitu ia berteriak, ia dan dua orang sutenya lalu mendesak hebat.
Teranglah bagi Hek Moli bahwa tadi tiga orang Kun-lun-pay ini tidak bertempur sungguh-sungguh dan sekarang barulah ia tahu bahwa kalau mereka bertempur sungguh-sungguh, tak mungkin baginya untuk mempergunakan senjata rahasia. Baru beberapa gebrakan saja setelah mereka membulatkan
28
penyerangan dengan gerakan-gerakan cepat, pundaknya telah kena sabetan ujung lengan baju Cu Sim Sanjin sehingga ia terhuyung tiga langkah dan merasa pundaknya sakit sekali.
“Bedebah, mampuslah kalian!” bentak Hek Moli dan kembali tongkatnya menyambar-nyambar.
Diam-diam Cu Sim Sanjin tertegun. Pukulannya dengan ujung lengan baju tadi adalah pukulan To-san-ciang (Pukulan menghantam gunung), hebatnya bukan main dan betapapun kuat tubuh seorang lawan, pasti akan roboh kalau terkena pukulan ini. Akan tetapi, wanita tua ini hanya terhuyung tiga langkah, bahkan dapat mengamuk lagi dengan hebatnya. Benar-benar luar biasa sekali!
“Siluman wanita, bukankah kau datang dari Sik-kim dan kau adalah keturunan dari Bhutan Koay-jin (Orang aneh dari Butan)?”
Mendengar ini, berobahlah wajah Hek Moli, akan tetapi ia mengamuk makin hebat sambil berseru: “Tutup mulut dan mampuslah kalian!”
Tongkatnya membuat gerakan memanjang yang luar biasa kerasnya, disusul dengan gerakan terputar, kini tidak menghadapi lima orang pengeroyoknya, melainkan menindih dan mendesak kepada Wi Kong Tosu. Mana tosu Go-bi-pay ini mampu mempertahankan diri setelah tongkat itu khusus diserangkan kepadanya? Dengan tepat kepalanya terkena sambaran ujung tongkat sehingga pecah dan ia menggeletak tak bernyawa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun suara!
Akan tetapi, karena perhatiannya ditujukan kepada seorang saja, sedetik setelah tongkatnya menghancurkan kepala Wi Kong Tosu, empat orang lawannya hampir berbareng melakukan serangan hebat. Pedang kiri Wi Tek Tosu menusuk pangkal lengan Hek Moli, ujung lengan baju Cu Sim Sanjin menampar kepalanya, Siang-koan-pit sebelah kanan dari Kim Sim Sanjin menotok jalan darah pada iganya, sedangkan ujung hud-tim (kebutan) dari Sun Sim Sanjin menotok jalan darah pada lehernya.
“Tongkat jahanam…… ternyata manusia tidak seperti engkau…… kau tidak bisa mati, tak bisa rusak akan tetapi aku…… majikanmu…… sudah lemah dan sekarang akan mati……”
Empat orang pengeroyoknya mendengar kata-kata ini dengan mata memandang heran, akan tetapi Cu Sim Sanjin orang tertua dari Kun-lun-pay yang mengerti akan maksud kata-kata ini, merasa kasihan. Memang ia terkenal seorang yang mudah sekali merasa kasihan kepada orang-lain, oleh karena itu ia dijuluki Cu Sim Sanjin (Orang-gunung berhati penuh welas asih).
“Hek Moli, kau salah duga. Biarpun tongkat benda mati namun ia bisa lapuk dan rusak.” Sambil berkata demikian ia menyambar tongkat panjang yang tertindih oleh tubuh Hek Moli, menggenggamnya di kedua tangan. Ia mengerahkan lweekangnya yang paling tinggi diantara kawan-kawannya. Terdengar suara “krek! krek!” dan tongkat itu hancur pada bagian yang dicengkeramnya, lalu patah menjadi tiga potong.
“Lihat, Hek Moli, tongkatmu pun lapuk dan tua seperti kau.”
“Cu Sim Sanjin…… terima kasih……” Hek Moli tersenyum puas, terengah-engah.
“Hek Moli, sebelum kau pergi, terangkanlah kepada pinto, apakah betul dugaanku bahwa kau ada hubungan dengan Bhutan Koay-jin dari Sikkim?” tanya Cu Sim Sanjin.
29
Hek Moli memandang kepadanya, lalu tersenyum pahit.
“Kau baik…… sudah berusaha menghiburku…… kau tidak tahu…… Koay-jin itu adalah…… adalah suamiku……” Setelah berkata demikian, Hek Moli tertawa lemah dan suara tertawanya menghilang bersama nyawanya.
Cu Sim Sanjin menarik napas panjang. “Pantas saja dia begini ganas, dia tidak membunuh buta tuli masih cukup baik kalau mengingat akan nasib suaminya……”
“Siapakah Butan Koay-jin?” tanya Wi Tek Tosu penasaran mendengar tokoh Kun-lun-san ini masih menaruh hati kasihan kepada Hek Moli.
Cu Sim Sanjin menggeleng kepalanya, “Diberitahu juga kau takkan mengerti, Wi Tek To-yu. Lebih baik kau merawat empat orang kawanmu yang terbinasa. Kami tidak dapat tinggal lebih lama lagi, selamat berpisah.” Setelah berkata demikian, Cu Sim Sanjin mengajak kedua orang sutenya pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum jauh ia menengok dan berkata lagi:
“Kami datang karena kau undang dan Hek Moli maupun empat orang kawanmu tewas dalam pertempuran yang diadakan oleh Go-bi-pay. Oleh karena itu, disamping empat orang kawanmu, agaknya sudah sepatutnya kalau kau merawat jenazah Hek Moli juga.”
Wi Tek Tosu mendongkol sekali mendengar kata-kata ini, akan tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu karena tiga orang kakek Kun-lun-pay itu sudah pergi dan tidak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Betapapun juga, ia harus akui bahwa tanpa bantuan tiga orang kakek Kun-lun-pay itu, ia takkan dapat membunuh Hek Moli, bahkan nyawanya sendiri tentu akan terbang pula oleh nenek yang sakti ini.
Ia berhasil membujuk Kim Sim Sanjin untuk datang membantunya melawan Hek Moli dan hanya karena Kim Sim Sanjin pernah dikalahkan oleh Hek Moli maka tiga orang kakek itu mau datang membantu. Pula, ia telah berdaya untuk memanaskan hati mereka dengan menyatakan betapa kejamnya Hek Moli sehingga muridnya, yakni Tek Seng Cu dibuntungi lengannya oleh nenek itu.
Kini, biarpun ia sudah dapat membunuh Hek Moli, akan tetapi tiga orang sutenya tewas, bahkan muridnya juga tewas oleh Hek Moli. Bagaimana ia sudi mengubur dan merawat jenazah nenek yang mendatangkan malapetaka bagi Go-bi-pay ini? Apalagi kalau diingat bahwa ia harus menghadapi pertanggungan jawabnya apabila pibu ini terdengar oleh suhunya, yakni Pek Eng Taysu.
Sudah berkali-kali Pek Eng Taysu menyatakan bahwa Go-bi-pay tidak ada urusan dendam dengan Hek Moli. Memang betul bahwa Hek Moli sudah pernah naik ke Go-bi-san, sudah menjatuhkan mereka, bahkan melukai Tek Seng Cu, akan tetapi semua itu terjadi dalam sebuah pibu yang adil. Tidak ada alasannya untuk bersakit hati.
“Apalagi untuk membalasnya dengan jalan pibu. Pinto sendiri sudah bosan main-main seperti anak kecil, mengadu kepalan seperti badut. Sedangkan kiraku tak seorangpun diantara kalian yang dapat menandinginya, maka sudahlah, urusan kecil itu habiskan saja.” Pek Eng Taysu pernah berkata ketika murid-muridnya mengajukan penasaran dan hendak membalas kepada Hek Moli.
30
Sekarang, di luar tahunya Pek Eng Taysu, Wi Tek Tosu dan tiga orang sutenya, bersama muridnya, minta bantuan tiga kakek Kun-lun-pay dan berhasil menewaskan Hek Moli. Akan tetapi tiga orang sutenya dan seorang muridnya tewas, bagaimana ia dapat menjawab pertanyaan suhunya?
“Dia inilah yang menjadi gara-gara dan biangkeladi?” Wi Tek Tosu memaki sambil memandang kepada jenazah Hek Moli yang menggeletak miring. Makin dipandang, makin gemaslah dia, apalagi kalau ia memandang kepada empat mayat kawan-kawannya. Dalam kegemasannya, Wi Tek Tosu mencabut siang-kiamnya (sepasang pedangnya), lalu menghampiri jenazah Hek Moli.
“Siluman wanita, kalau belum menghancurkan tubuhmu, aku belum puas!” katanya.
Pedang kanannya digerakkan dan “bless!” pedang itu amblas ke dalam punggung Hek Moli. Ia mencabut pedang itu dan hendak diayun lagi untuk memenggal leher mayat Hek Moli. Akan tetapi, tiba-tiba menyambar sebuah benda kecil yang tepat mengenai pedang yang diayunnya itu.
“Criing……!”
Wi Tek Tosu terkejut dan melompat mundur. Tangannya terasa tergetar. Ia mengira bahwa tiga orang kakek Kun-lun-san yang kembali dan mengganggunya, akan tetapi ketika ia menengok, ia melihat seorang laki-laki bertubuh gagah, bermata tajam dan beralis tebal sedang memandangnya sambil bertolak pinggang. Laki-laki ini berusia empatpuluh tahun lebih dan melihat pakaiannya yang sederhana itu, mudah diduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan jalan kaki.
“Wi Tek Totiang, mengapa seorang pendeta seperti kau mau mengganggu tubuh yang sudah tak bernyawa lagi?” tanya laki-laki gagah itu dengan suaranya yang keras.
Wi Tek Tosu tentu saja mengenal laki-laki gagah itu karena dia ini adalah seorang tokoh kangouw yang terkenal. Dengan muka berobah merah sekali saking jengah dan malu, Wi Tek Tosu tertawa masam lalu berkata:
“Eh, kiranya Ong Tiang Houw Tayhiap yang datang. Baiknya tayhiap keburu mencegah pinto yang menjadi hilap karena amarah sehingga pinto tidak jadi merusak mayat manusia iblis ini.” Wi Tek Tosu menyimpan kembali pedangnya.
“Siapakah dia itu?” tanya orang gagah yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw yang sudah kita kenal dibagian depan dari cerita ini. Ia mendekati dan agak terkejut ketika mendapatkan mayat-mayat lain yang ia kenal sebagai tosu-tosu terkemuka dari Go-bi-pay. “Ayaa… a......! Kulihat tosu-tosu Go-bi-pay ada yang tewas pula! Apakah yang telah terjadi, totiang?”
Wi Tek Tosu menarik napas panjang. “Sute-suteku dan muridku sebanyak empat orang ini tewas oleh siluman wanita ini.”
Ong Tiang Houw kini mengalihkan perhatiannya kepada mayat Hek Moli. Ia melihat mayat seorang nenek tua yang berpakaian buruk, bertubuh kurus panjang dan mukanya tidak kelihatan karena tertutup oleh lengannya, didekatnya terdapat sebatang tongkat hitam panjang yang sudah patah-patah. Ia merasa hatinya terguncang keras.
31
“Wi Tek Totiang, tahukah kau siapa adanya wanita tua ini?” tanyanya sambil menekan guncangan hatinya.
“Dia adalah Hek Moli, iblis wanita yang sejahat-jahatnya,” jawab Wi Tek Tosu. “Tanpa sebab dia pernah naik ke Go-bi-san, menghina kami, bahkan membuntungi sebelah lengan muridku. Hari ini muridku bersama sute-suteku hendak memberi hajaran kepadanya, akan tetapi dia ternyata jahat dan ganas sekali sehingga murid dan sute-suteku tewas. Baiknya kami dapat menewaskan pula siluman ini.”
Mendengar bahwa nenek itu adalah Hek Moli, muka yang tampan dari Ong Tiang Houw menjadi gelap, dan hatinya tidak enak sekali. Ia memandang tajam kepada Wi Tek Tosu sambil berkata:
“Wi Tek Totiang, aku tidak tahu urusan apa yang terjadi antara Hek Moli dan Go-bi-pay, akan tetapi yang jelas, dia ini lihay sekali sehingga dapat mengalahkan empat orang tokoh Go-bi-pay. Sekarang dia tewas, bagaimanapun juga, tidak patut sekali kalau kau menuruti nafsu iblis dan merusak mayat yang tidak bernyawa lagi.”
Kembali muka tosu itu menjadi merah. Ia menjura dan kata-katanya terdengar kering: “Ong-tayhiap, kau tidak tahu bagaimana sakit hati orang melihat tiga orang sute dan seorang muridnya menggeletak tak bernyawa, sehingga pinto menjadi mata gelap. Baiknya kau datang sehingga pinto tak jadi melakukan hal-hal yang kurang layak. Terima kasih atas kedatanganmu ini.”
Setelah berkata demikian, tanpa meno]eh kepada Tiang Houw lagi, Wi Tek Tosu lalu menghampiri empat mayat kawan-kawannya, mengambil empat mayat itu satu demi satu, lalu memanggul mereka dengan sedikitpun tak kelihatan berat, kemudian ia lari turun gunung O-mei-san dengan cepat.
Ong Tiang Houw hanya memandang dan menarik napas panjang. “Tak pantas menjadi pendeta,” celanya dengan suara perlahan.
Kemudian ia menghampiri mayat Hek Moli, menurunkan lengan yang menutup muka nenek itu. Ia melihat wajah yang sudah tua, wajah yang keriputan dan menghitam, yang kelihatan sekelebatan amat buruk. Akan tetapi ketika ia memperhatikan, ternyata olehnya bahwa sebetulnya wajah itu mempunyai garis-garis yang amat baik, bahwa mata, hidung dan mulut itu dahulunya amat baik, wajah seorang yang dahulu amat cantik.
Teringatlah ia akan pesan dari mendiang suhunya, yakni Bu Sek Tianglo ketika kakek itu hendak menghembuskan nafas terakhir:
“Tiang Houw, kelak kalau kau sudah terjun ke dunia kangouw, dan kau bertemu dengan seorang wanita yang memakai nama julukan Hek Moli, betapapun jahat ia nampaknya, jangan kau mengganggunya. Bahkan kau harus membela dia sedapat mungkin, Tiang Houw. Dialah satu-satunya orang di dunia ini yang kupuja, yang kuhormati dan yang takkan pernah terbayar budinya yang telah kuterima. Bela dan lindungi dia, Tiang Houw, sungguhpun ilmu silatnya sudah amat tinggi, mungkin dia dibenci orang-orang kangouw……”
Memang sudah seringkali Tiang Houw dalam perantauannya di dunia kangouw, mendengar akan nama Hek Moli yang amat ditakuti orang, akan tetapi belum pernah ia bertemu muka dengan orangnya. Ia mencari-cari keterangan dan akhirnya ia mendapat gambaran bahwa orang yang namanya Hek Moli adalah seorang nenek seperti siluman, bertongkat panjang hitam, berpakaian butut dan berwajah buruk sekali, mempunyai watak aneh dan ganas.
32
Dan kini, di puncak O-mei-san, tanpa tersangka-sangka, ia telah bertemu dengan Hek Moli dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Namun, hatinya bersyukur bahwa dalam saat terakhir itu ia telah dapat memenuhi pesanan suhunya, yakni membela Hek Moli, sungguhpun pembelaannya itu amat sedikit artinya, yakni hanya mencegah orang merusak mayat nenek itu. Dengan sebutir senjata rahasia thi-lan-ci, ia tadi mencegah Wi Tek Tosu menurunkan pedang merusak jenazah Hek Moli. Diam-diam ia merasa lega.
Ia dapat membayangkan betapa sukar kedudukannya kalau ia datang lebih pagi, yakni selagi Hek Moli bertempur menghadapi pengeroyokan orang-orang Go-bi-pay. Apa yang harus ia lakukan? Biarpun suhunya sudah meninggalkan pesan agar ia membela Hek Moli, akan tetapi suara yang ia dengar tentang Hek Moli yang dianggap sebagai seorang iblis wanita ganas dan kejam, lagi pula suka mencari perkara, membuat ia ragu-ragu.
Apalagi kalau melihat Hek Moli bertempur melawan tokoh-tokoh Go-bi-pay! Ia mengenal baik ketua Go-bi-pay, yakni Pek Eng Thaysu yang diketahuinya benar-benar adalah seorang kakek pertapa yang berhati mulia dan suci. Ia tahu bahwa Go-bi-pay adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, berpengaruh dan ternama, yang menghasilkan banyak pendekar-pendekar budiman. Bagaimana ia dapat membantu Hek Moli dan bermusuhan dengan Go-bi-pay?
“Betapapun juga, aku telah membelanya,” kembali Tiang Houw menghela napas lega, “setidaknya membela mayatnya.”
Ia lalu menggali lubang di tempat yang baik di puncak gunung, kemudian memondong mayat nenek itu dan menguburnya baik-baik. Agar kuburan itu tidak akan lenyap begitu saja tanpa bekas, ia lalu mengambil tongkat hitam yang sudah patah-patah itu, kemudian ia menancapkan tiga potongan tongkat itu di depan gundukan tanah kuburan.
Bagaimana Ong Tiang Houw dapat tiba di O-mei-san dan kebetulan sekali dapat mencegah Wi Tek Tosu merusak mayat Hek Moli? Untuk mengikuti perjalanan Ong Tiang Houw, baiklah kita mundur sebentar dan mengikuti pengalaman Nyonya Kwee Seng.
Seperti telah dituturkan dibagian depan dari cerita ini, empatbelas tahun yang lalu Ong Tiang Houw memimpin pasukan rakyat yang mempergunakan nama Kay-sin-tin, menyerbu dan membasmi orang-orang hartawan dan bangsawan di beberapa dusun, termasuk dusun Tiang-on. Sudah diceritakan pula betapa keluarga hartawan Kwee Seng pun menjadi korban. Kwee Seng sendiri tewas terkena sambaran senjata rahasia thi-lian-ci dari Ong Tiang Houw, adapun Kwee-hujin atau Nyonya Kwee yang masih muda dan cantik jelita itu menarik hati Ong Tiang Houw sehingga duda yang masih muda dan gagah ini tidak tega untuk membunuhnya, bahkan lalu melarikannya di atas kuda.
Kwee Hujin, atau nama kecilnya Yo Cui Hwa, siuman dari pingsannya, membuka mata perlahan dan mengeluarkan suara rintihan. Ia membuka mata lebar-lebar ketika merasa betapa angin menyambar-nyambar dan membuat kulit mukanya terasa dingin. Ia melihat pohon-pohon berlari-larian cepat sekali dan setelah ia sadar betul-betul, barulah ia tahu bahwa ia berada dalam pondongan seorang laki-laki di atas kuda!
Kenyataan ini demikian mengejutkan dan mengerikan hatinya sehingga sambil mengeluarkan keluhan lemah, nyonya muda ini pingsan kembali dalam pelukan Ong Tiang Houw. Tiang Houw merasa betapa
33
tubuh nyonya yang dipondongnya tadi bergerak perlahan, lalu lemas kembali, akan tetapi kini terasa hawa panas keluar dari tubuh yang dipondongnya itu. Bukan main panasnya sehingga ia sendiri sampai berpeluh.
Ia menahan kendali kudanya dan meraba jidat nyonya Kwee. Alangkah terkejutnya ketika tangannya meraba kulit jidat yang panas seperti terbakar. Ternyata bahwa luka dikepala karena beradu dengan batu, ditambah dengan pukulan batin melihat dirinya dilarikan oleh seorang laki-laki, telah menda-tangkan demam hebat pada diri Yo Cui Hwa nyonya muda itu.
“Dia harus cepat-cepat mendapat perawatan yang baik,” Ong Tiang Houw berkata seorang diri. Cepat ia membalapkan kuda menuju ke kampungnya sendiri.
Ketika Yo Cui Hwa sadar kembali, ia mendapatkan dirinya telah rebah di atas pembaringan sederhana dalam sebuah kamar yang bersih. Di atas meja dekat pembaringan itu terdapat sebuah tempat kembang terisi kembang yang masih segar. Keadaan disitu tenteram dan damai, menyenangkan sekali.
“Ibu, harap suka minum dulu obat ini agar lekas sembuh.”
Cui Hwa tersentak kaget dan menengok. Di sebelah pembaringan, ternyata seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun tengah berlutut dan memegang sebuah mangkok terisi obat masakan yang masih hangat dan berbau harum. Cui Hwa tercengang. Anak itu berwajah bundar, kulit mukanya putih bersih, matanya bersinar dan bibirnya merah. Benar-benar muka seorang anak laki-laki yang tampan sekali.
Cui Hwa segera bangun dan duduk, memandang dengan mata terbuka lebar-lebar.
“Siapa kau? Dimana aku……?”
“Ibu, anak adalah Teng San dan ibu berada di rumah kita sendiri. Marilah minum obatnya, ibu……,” ucapan itu seperti tadi, terdengar amat halus dan penuh kasih sayang, sehingga Cui Hwa menjadi makin heran.
“Bagaimana kau memanggil aku ibu dan…… dan bagaimana aku bisa berada disini? Apa artinya ini semua?” Cui Hwa hampir menjerit saking tegangnya perasaan diwaktu itu.
Semua ini terjadi seperti dalam mimpi buruk. Tahu-tahu ia berada disebuah kamar asing dan anak laki-laki ini, yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, tiba-tiba saja menyebutnya sebagai ibunya! Gilakah dia?
Anak laki-laki itu memandang dan bibirnya bergerak seperti orang berduka. “Ibu, anak mohon ibu minum dulu obat ini agar lekas sembuh. Tentang semua pertanyaan itu, nanti akan anak jawab setelah ibu minum obat.”
Kata-kata yang amat halus dan penuh perhatian itu benar-benar membuat Cui Hwa terharu. Tak dapat lagi ia menolaknya, maka sambil memandang muka anak itu tanpa berkedip, ia menerima mangkok dan minum isinya tanpa ragu-ragu lagi. Rasanya agak pait dan masam. Adapun anak itu memandang dengan muka berseri ketika melihat Cui Hwa minum obatnya, kemudian anak itu memandang kagum melihat
34
betapa muka Cui Hwa bergerak-gerak menahan rasa pahit. Dalam pandangannya, muka itu bukan main indahnya.
“Pahit, ibu?” tanyanya dan suaranya mengandung kasih sayang yang menggetarkan kalbu Cui Hwa. Ia menaruh mangkok kosong itu di atas meja dekat pembaringan, kemudian ia bertanya:
“Nah, sekarang ceritakanlah yang jelas. Siapa namamu tadi? Teng San?”
“Ong Teng San nama anak, ibu. Ayahku yang membawa ibu dalam keadaan sakit hebat. Kata ayah, ibu ditolong oleh ayah dari ancaman maut, dan menurut ayah, kau adalah pengganti ibuku yang sudah meninggal dunia. Kata ayah, aku harus menganggap kau sebagai ibuku sendiri, dan karena…… karena akupun suka sekali mempunyai ibu seperti kau, maka aku menurut pesan ayah dan merawat ibu disini. Anak merasa senang sekali melihat ibu berangsur sembuh dan……”
“Nanti dulu!” Cui Hwa kini memandang pucat. “Apa kau bilang? Siapa itu ayahmu? Bagaimana ia berani sekali mengatakan bahwa aku……”
“Ibu, maafkanlah ayah…… dia seorang yang paling mulia di dunia ini, jangan marah kepadanya. Dia…… di…… ibuku…… telah meninggal dunia setahun lebih yang lalu dan dia…… aku…… amat berduka.”
Melihat anak itu menangis tersedu-sedu, Cui Hwa menjadi terharu. Memang, kesedihan hati sendiri akan terobat melihat penderitaan atau kesedihan orang lain, dan untuk sementara, seorang berhati mulia seperti Cui Hwa yang sedang berduka, akan melupakan kedukaan sendiri menghadapi orang lain yang demikian berduka. Ia turun dari pembaringan, memegang pundak Teng San dan menyuruhnya berdiri.
“Diamlah, nak,” ia mengelus-elus kepala anak itu. “Dan kau pergilah, panggil ayahmu kesini.”
“Akan tetapi jangan marah kepadanya, ibu……”
Melihat betapa sepasang mata yang tajam dan bening itu memandang kepadanya dengan penuh permohonan, mengucurlah airmata dari sepasang mata Cui Hwa dan dengan mulut tersenyum sedih, ia menggeleng perlahan kepalanya sambil berkata perlahan:
“Kalau ayahmu sebaik engkau, aku takkan marah, Teng San.”
Mendengar ini, Teng San kelihatan girang sekali dan ia lalu berlari keluar. Sampai di pintu, ia menengok kembali dan berkata:
“Kau duduklah dulu, ibu. Jangan berdiri saja, kau masih lemah. Biar anak memanggil ayah!”
Cui Hwa menghela napas dan duduk, termenung. Dalam rumah siapakah ia tiba? Dengan orang macam apa ia akan berhadapan? Ia mengingat kembali semua pengalamannya. Yang teringat olehnya hanyalah bahwa suaminya sudah menggeletak mandi darah di dalam hutan, kemudian ia dibawa lari di atas kuda oleh seorang laki-laki yang tak dilihat mukanya diwaktu itu. Apakah laki-laki itu yang menjadi ayah Teng San?
35
“Suamiku…… agaknya kau…… kau telah……” Sampai disini, air matanya turun bertitik-titik di atas sepasang pipinya yang agak pucat. Kemudian ia teringat akan puterinya, In Hong, maka makin deraslah air matanya.
“In Hong…… bagaimana nasibmu, anakku……??” bisiknya.
Pada saat itu, terdengar suara langkah orang di luar pintu kamar. Teng San muncul bersama seorang laki-laki yang sikapnya gagah, pakaiannya sederhana, dan wajahnya tampan.
“Ibu, mengapa kau menangis……?” Teng San berlari menghampiri Cui Hwa dan memeluk nyonya muda yang sedang duduk menangis itu. “Jangan bersedih, ibu, ada Teng San disini yang akan menghiburmu.”
Cui Hwa makin terharu dan tak terasa pula ia mendekap kepala anak itu kepangkuannya, terisak-isak menangis. Kemudian ia teringat akan laki-laki yang datang bersama Teng San, maka ia lalu mengangkat muka memandang.
Dua pasang mata bertemu lama, yang sepasang penuh kasih sayang, yang sepasang lagi penuh selidik dan curiga, akhirnya sepasang mata Cui Hwa yang memandang penuh selidik itu mengalihkan ke bawah, mukanya menjadi agak merah karena ia merasa amat tidak enak dan malu berhadapan dengan seorang laki-laki muda yang tak dikenalnya di dalam kamar yang asing itu. Baiknya disitu ada Teng San, maka ia mengelus-elus kepala anak itu untuk menghilangkan kebingungannya.
“Kau sayang kepada Teng San, bagus sekali. Bukan main lega hatiku melihatnya,” terdengar laki-laki itu berkata dan suaranya mempunyai gaya seperti suara Teng San, halus dan lemah lembut, namun berpengaruh.
Dengan perlahan, Cui Hwa mendorong kepala Teng San dari pangkuannya dan anak ini lalu duduk di atas pembaringan dekat Cui Hwa.
“Kau siapakah? Dan apa maksudnya ini semua? Mengapa kau membawaku kesini dan bagaimana dengan…… suamiku? Dimana pula In Hong anakku?” Cui Hwa hanya sebentar saja menatap wajah laki-laki itu, karena pandang mata yang penuh kekaguman dan kasih sayang yang ditujukan kepadanya itu membuat ia tidak berani memandang dan bertemu pandang terlalu lama.
Laki-laki itu yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw, menarik sebuah bangku di dekat meja, lalu duduk. Ia menarik napas panjang berkali-kali, agaknya hendak menenteramkan hatinya yang berguncang, kemudian berkata lambat-lambat:
“Biarlah kita bicara dengan hati terbuka dan biarpun yang akan kita bicarakan ini tidak patut didengarkan oleh seorang anak-anak, akan tetapi kurasa lebih baik Teng San biar tinggal disini agar kau tidak merasa kikuk dan pula lebih pantas kalau dia mengawanimu disini.”
Hati Cui Hwa lega mendengar kata-kata ini, ia merasa setuju dan terhibur mendengar kata-kata yang mencerminkan sikap sopan dan jujur ini, maka ia mengangguk menyetujui.
“Aku bernama Ong Tiang Houw, seorang…… duda yang hidup berdua dengan puteraku ini, Ong Teng San……”
36
Kembali Cui Hwa mengangguk tanda bahwa ia sudah mengerti akan hal ini, karena memang ia sudah mendengar dari Teng San bahwa ibunya meninggal dunia setahun lebih yang lalu. Nama Ong Tiang Houw tidak pernah dikenalnya, maka tidak mendatangkan sesuatu yang aneh. Padahal bagi dunia kangouw, nama ini tentu akan dikenal baik sebagai nama seorang pendekar muda yang lihay sekali!
“Dua pekan yang lalu, pada suatu malam, lewat tengah malam, aku mendapatkan kau menggeletak di dalam hutan dalam keadaan pingsan dan……”
“Dua pekan yang lalu?” Cui Hwa mengulang dan ia memandang wajah Tiang Houw untuk sejenak.
Tiang Houw mengangguk. “Ya, dua pekan yang lalu. Kau telah menderita sakit demam yang cukup hebat selama hampir dua pekan.”
“Aahhh…… teruskanlah.”
“Selain kau, aku melihat pula…… seorang laki-laki rebah di atas tanah dalam keadaan sudah…… tewas.”
Cui Hwa tak dapat menahan air matanya yang mengucur keluar. Ia mengangguk-angguk dan berkata terputus-putus: “Aku tahu, aku tahu…… aku melihat dia…… suamiku…… menggeletak dengan kepala penuh darah. Sudah kuduga…… dia tentu sudah…… meninggal dunia……”
Tiang Houw membiarkan nyonya muda itu terisak-isak sebentar dan Teng San memeluk Cui Hwa: “Tenanglah, ibu, harap suka menguatkan hati……”
“Teruskanlah……” minta Cui Hwa dengan suara sayu.
“Karena di dalam keributan itu aku tidak dapat melakukan sesuatu untuk menolongmu, maka terpaksa aku lalu membawamu pergi dari tempat berbahaya itu dan membawamu pulang ke rumahku ini. Kau berada dalam keadaan pingsan dan ketika kau kubawa kesini, kau terserang demam hebat. Nah, hanya itulah yang dapat kuceritakan.”
Cui Hwa kembali mengangkat muka, memandang kepada Tiang Houw dengan sinar mata penuh selidik.
“Siapakah yang membunuh suamiku?”
Ketika ia melakukan pertanyaan ini, kedua matanya demikian tajam menatap wajah Tiang Houw sehingga yang dipandang terpaksa mengalihkan pandang matanya kekanan, tidak berani menghadapi sinar mata Cui Hwa secara langsung.
Tiang Houw adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang takkan merasa gentar menghadapi keroyokan musuh yang bagaimana kuatpun, akan tetapi kini menghadapi Cui Hwa dengan sinar matanya yang bening tertutup air mata itu dan mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh bibir yang gemetar, hatinya berdebar keras! Dan baru pertama kali ini selama hidupnya, Tiang Houw merasa takut dan tidak merasa malu untuk membohong!
“Malam hari itu terjadi keributan besar, orang-orang miskin membalas dendam kepada orang-orang yang menindas mereka, aku hanya mendapatkan kau dan…… suamimu dalam keadaan seperti yang kututurkan tadi, bagaimana aku bisa tahu?” jawab Tiang Houw secara menyimpang.
37
“Ibu, kalau ayah tahu orang yang membunuh, tentu pembunuh itu takkan dapat melarikan diri. Ayah adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi……”
“Teng San, jangan menyombong!” tegur Tiang Houw.
“Tidak, ayah, terhadap orang lain tentu saja anak tidak akan mau menyombongkan diri atau menyombongkan ayah, akan tetapi di depan ibu……” Akan tetapi, ia segera menghentikan kata-katanya ketika melihat pandang mata ayahnya melarangnya bicara terus.
Cui Hwa termenung sejenak. Kemudian ia bertanya:
“Dan tahukah kau dimana adanya puteriku, In Hong?”
“Sayang sekali aku tidak tahu, dan ketika aku mendapatkan kau di dalam hutan itu, aku tidak melihat lain orang, tidak melihat seorang anak-anak disana.”
Kembali Cui Hwa termenung. Memang ia tahu bahwa Tiang Houw tak mungkin bertemu dengan In Hong. Anaknya itu telah melarikan diri dengan Can Mama, dan ia tidak tahu bagaimana nasib mereka. Mengingat betapa ia telah ditinggal mati suaminya dan kini kehilangan anaknya yang belum diketahui bagaimana nasibnya, kembali air matanya seperti membanjir keluar. Perlahan ia berdiri dan kata-kata yang keluar lambat-lambat dari bibirnya yang telah memerah kembali, terdengar jelas:
“Aku harus membalas dendam kepada orang yang menyebabkan kematian suamiku dan kehilangan anakku!”
Kata-kata ini lambat-lambat dan perlahan, namun terdengar bagaikan suara guntur menggelegar bagi telinga Tiang Houw sehingga mukanya berubah pucat. Adapun bagi telinga Teng San, suara itu terdengar amat mengharukan, maka sambil memeluk pinggang nyonya muda itu, ia berkata keras:
“Jangan khawatir, ibu, anakmu Teng San kelak akan mencari dan membalas dendam kepada keparat itu!!”
“Diamlah kalian!” Tiang Houw membentak, membikin kaget kepada Cui Hwa dan Teng San. Ketika mereka menengok, mereka melihat Tiang Houw sudah duduk sambil menutup muka dengan kedua tangannya.
Teng San melompat dan memegang pundak ayahnya.
“Kenapakah, ayah?”
Cui Hwa juga memandang heran dan sampai lama Tiang Houw tidak mengeluarkan sedikitpun suara. Terjadi pertentangan di dalam dada pendekar itu. Ia ingin berterus terang sebagai seorang gagah, bahwa dialah yang membunuh Kwee Seng, membunuh bukan karena dendam perseorang, ingin berterus-terang bahwa dia sebagai laki-laki gagah berani bertanggung-jawab atas semua perbuatannya.
Akan tetapi dilain pihak, ia takut kalau-kalau nyonya ini akan membencinya. Makin lama, makin dalamlah perasaan cinta kasihnya kepada Cui Hwa sehingga ia memberitahu kepada Teng San yang
38
selalu bertanya bahwa wanita ini adalah pengganti ibu Teng San. Dan lebih berat lagi baginya, tidak saja dia telah jatuh hati betul-betul kepada Cui Hwa, bahkan Teng San sendiri sudah menyinta Cui Hwa sebagai seorang anak terhadap ibunya.
Akhirnya, cinta kasih lebih kuat daripada kegagahan.
“Untuk apa ribut-ribut tentang kematian? Mati atau hidup bukanlah urusan manusia, melainkan keputusan dari Thian Yang Mahakuasa. Siapa pula yang mengira bahwa ibumu dapat meninggal dunia, Teng San?”
Kembali Tiang Houw menutup mukanya, bukan saja karena merasa malu kepada diri sendiri karena kebohongannya, akan tetapi juga karena ia merasa berduka kalau mengingat isterinya yang membunuh diri gara-gara perbuatan laknat dari seorang hartawan jahanam.
Cui Hwa memandang kepada ayah dan anak ini. Hatinya mulai tertarik dan terharu.
“Kalian ini orang-orang yang berbudi mulia,” katanya dan ia kini menentang pandang mata Tiang Houw yang telah menurunkan tangannya dari depan muka, “aku berterima kasih sekali kepadamu, saudara Ong. Kau juga seorang anak yang amat berbakti dan baik, Teng San, aku benar-benar suka sekali kepadamu. Akan tetapi, sekarang aku harus pergi, tidak selayaknya aku lebih lama tinggal di rumah kalian ini.”
Tiang Houw terkejut dan mukanya berubah. Apalagi Teng San, anak ini segera menubruk Cui Hwa dan menangis.
“Ibu, jangan pergi meninggalkan kami! Bukankah aku anakmu dan kau sudah menjadi ibuku…..? Ayah, jangan perbolehkan ibu yang ini pergi lagi seperti ibu yang dulu……!”
Tiang Houw merasa terharu dan ia hanya memandang dengan muka sedih. Dengan suara yang parau ia menjawab: “Teng San, bagaimana ayahmu bisa menahan? Ayah pun tidak berdaya, anakku, hanya dapat berduka dan kecewa.”
Cui Hwa bingung. Ia benar-benar merasa kasihan kepada dua orang ini.
“Tidak bisa, aku pergi. Aku harus mencari In Hong, anakku. Aku tidak boleh tinggal disini, apa akan kata orang lain?”
“Orang lain sudah mengetahui bahwa kau tinggal bersama kami selama dua pekan, bahkan Teng San sudah membanggakan bahwa kau adalah ibunya, hal ini diceritakannya kepada siapapun juga yang mau mendengarnya.”
Merahlah wajah Cui Hwa dan ia memandang kepada Teng San dengan marah. Akan tetapi kemarahannya lenyap ketika ia memandang kepada anak itu. Bagaimana ia bisa merasa marah kepada anak yang memandangnya dengan sinar mata demikian menyinta? Bahkan sinar mata In Hong tidak sehalus anak ini kalau memandangnya.
“Bagaimana ini? Mengapa kau diamkan saja anakmu bicara seperti itu?”
39
Tiang Houw kini merah mukanya dan dengan lambat perlahan ia menjawab: “Memang aku tidak melarangnya, karena aku…… akupun mempunyai pikiran yang sama. Aku…… aku mau kau…… yakni kalau kau sudi…… kau menjadi pengganti ibu anakku……” Sukar sekali kata-kata ini keluar dari mulut pendekar yang tidak pernah gentar menghadapi penjahat besar itu.
Wajah Cui Hwa menjadi makin merah. Ia bingung sekali karena anak dan ayah ini benar-benar aneh.
“Bagaimana kau dan anakmu bisa berpikiran begitu? Aku kehilangan anakku……”
“Dan aku kehilangan ibuku!” Teng San menjawab cepat.
“Dan Teng San dapat menjadi anakmu yang berbakti dan baik,” Tiang Houw membantu anaknya.
“Akan tetapi…… aku baru saja kematian suamiku……,” kata pula Cui Hwa.
“Dan aku kematian isteriku!” kata pula Tiang Houw cepat-cepat untuk mengimbangi keadaan Cui Hwa. “Dan tentang pemikahan kita, tak perlu terburu-buru, terserah kepadamu memilih waktu setelah kau melepas perkabunganmu.”
“Dan ayah adalah seorang ayah dan suami yang baik sekali!” Teng San yang cerdik membantu ayahnya. “Aku berani tanggung bahwa dia akan menjadi seorang suami yang tiada bandingnya di dunia ini!”
Wajah Cui Hwa makin merah dan ia menjadi makin bingung, tidak tahu harus mengambil keputusan bagaimana.
“Aku harus mencari In Hong, harus tahu bagaimana nasibnya. Bagaimana aku dapat memikirkan nasib sendiri kalau keadaannya belum kuketahui?” Kata-kata ini merupakan keluhan.
“Hujin (nyonya)……” kata Tiang Houw, akan tetapi sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Teng San menegurnya:
“Ayah, alangkah lucunya panggilan itu. Mengapa ayah menyebut nyonya kepada ibuku?”
Tiang Houw menjadi gugup, demikianpun Cui Hwa. Akan tetapi Tiang Houw dapat mengatasi keadaan yang lucu dan ganjil ini, maka katanya sambil tersenyum:
“Betul juga, sampai demikian lama, aku belum mendapat tahu namamu, bolehkah kami mengetahuinya?”
“Aku adalah Nyonya Kwee……”
“Ibu, mengapa masih memakai nama itu? Ibu tentu mempunyai nama sendiri, bukan?” tanya Teng San sebelum ayahnya dapat mencegahnya.
Namun Cui Hwa tidak menjadi marah karena ia maklum bahwa anak itu belum tahu apa-apa dan tidak bermaksud menyinggung hatinya.
“Teng San, dahulu aku bernama Yo Cui Hwa.”
40
“Nama yang bagus! Ibu, bagus sekali namamu. Yo Cui Hwa, ah, benar-benar indah. Bukan begitu, ayah?”
Tiang Houw hanya mengangguk-angguk. “Memang bagus, nah sekarang dengarlah usulku, adik Cui Hwa. Tentang puterimu yang masih belum diketahui tempat tinggalnya dan nasibnya itu, biarlah kauserahkan kepadaku untuk mencarinya. Kalau memang dia masih ada, tentu aku akan dapat membawanya kesini dan biar dia tinggal bersama kita disini. Bukankah hal itu akan baik sekali?”
“Bagus, aku akan mendapatkan seorang adik! Aku senang sekali!” Teng San berteriak-teriak.
Tentu saja Cui Hwa setuju. Memang baginya sendiri, amat berat untuk mencari In Hong. Dia seorang wanita lemah, bagaimana ia dapat mencari In Hong? Kalau Tiang Houw mau mencari, itulah hal yang paling baik.
“Terima kasih, saudara Ong. Kau lagi-lagi memperlihatkan budimu yang amat baik. Ketika terjadi penyerbuan, anakku itu dibawa pergi oleh Can Mama, inang pengasuhnya. Kalau aku tidak salah kira, tentu oleh Can Mama, anakku itu dibawa lari ke See-ciu, dimana tinggal seorang pamanku yang bernama Yo Tang. Harap kau suka mencarinya disana.”
“Baik, adik Cui Hwa. Hari ini juga aku akan berangkat. Harap kau baik-baik tinggal di rumah bersama anak kita.”
Merah pipi Cui Hwa mendengar ini, akan tetapi ia tidak marah dan hanya mengelus-elus kepala Teng San. Ia harus akui bahwa Tiang Houw benar-benar merupakan seorang laki-laki yang tidak saja tampan dan gagah, akan tetapi juga bersikap halus dan berbudi mulia dan sopan. Suaminya telah meninggal dunia, dan agaknya di dalam dunia ini tidak mungkin ia mendapatkan seorang calon suami seperti Ong Tiang Houw.
Demikianlah, Tiang Houw pada hari itu juga meninggalkan rumahnya dan mulai dengan perjalanannya mencari puteri dari keluarga Kwee yang dibasminya bersama anak buahnya! Sesuai dengan keterangan Cui Hwa, ia mencari ke See-ciu dan benar saja, di kota ini ia mendengar tentang adanya seorang hartawan bernama Yo Tang. Ia mulai menyelidiki karena untuk langsung mendatangi hartawan ini, ia merasa tidak enak.
Dari keterangan yang ia kumpulkan, ia mendengar bahwa memang betul rumah hartawan Yo itu kedatangan seorang nenek tua bernama Can Mama dan orang-orang mengabarkan pula bahwa Can Mama adalah pelayan dari seorang keponakan Yo-wangwe di dusun Tiang-on yang sudah dibasmi oleh para penyerbu, yakni pasukan Kay-sin-tin. Akan tetapi ketika ditanya tentang seorang nona kecil bernama In Hong, tak seorang pun mengetahuinya.
Oleh karena itu, Tiang Houw lalu mengambil jalan pendek. Pada malam harinya, ia mendatangi rumah gedung hartawan Yo dan di luar tahunya siapapun juga, ia menangkap dan membawa pergi Can Mama! Setelah mendapat keterangan dari Can Mama bahwa nona In Hong dibawa pergi oleh seorang nenek seperti siluman, Tiang Houw menjadi bingung. Ia dapat menduga bahwa yang membawa pergi In Hong tentulah seorang kangouw yang berkepandaian tinggi, yang suka melihat nona kecil itu dan hendak mengambilnya menjadi murid. Maka tiada lain jalan baginya kecuali membawa Can Mama pulang ke dusunnya sendiri.
41
Pertemuan antara Cui Hwa dan Can Mama amat mengharukan. Setelah bertangis-tangisan mereka saling menuturkan pengalamannya dan Cui Hwa menangis sedih ketika mendengar bahwa In Hong dibawa pergi oleh seorang nenek seperti siluman. Ia mengira bahwa nenek itu tentu sebangsa siluman yang akan mengganggu puterinya. Akan tetapi Tiang Houw menghiburnya.
“Nenek itu tentu seorang kangouw yang berkepandaian tinggi. Aku berani memastikan bahwa anakmu itu akan selamat, adik Cui Hwa. Jangan kau khawatir, aku akan bertanya-tanya kepada kawan-kawan di dunia kangouw kalau-kalau ada yang melihat anakmu. Kalau yang membawanya itu seorang kangouw, percayalah kepadaku, kalau aku yang minta tentu ia akan memberikan In Hong kepadaku.”
Akhirnya, berkat hiburan Tiang Houw, Teng San, dan dibantu pula oleh Can Mama, akhirnya hati Cui Hwa terhibur juga. Terutama sekali, dengan adanya Can Mama disitu, ia merasa lebih suka tinggal disitu. Akhirnya iapun tidak me-nolak menjadi isteri Tiang Houw yang diketahui benar-benar memang amat baik budinya. Can Mama juga membantu Tiang Houw dengan bujukan-bujukannya, karena orang tua ini juga tidak melihat jalan lain yang lebih baik bagi nyonya majikannya.
Memang betul mereka dapat pergi ke See-ciu, akan tetapi apa akan kata orang kalau mengetahui bahwa nyonya janda muda itu sudah lama tinggal di rumah seorang duda yang hidup berdua dengan puteranya? Kalau pamannya, yakni Yo-wangwe mendengar pula, tentu akan marah sekali dan mungkin akan mengusirnya, karena akan menganggap bahwa Cui Hwa hanya akan mencemarkan nama baik keluarga Yo! Memang pada waktu itu, peraturan di Tiongkok bagi pihak wanita amat keras dan bengis.
Semenjak menikah dengan Cui Hwa, Tiang Houw tidak lagi mau memimpin orang-orang untuk menyerbu dusun dan kota. Tidak lagi ia menaruh hati dendam kepada hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan.
Ini adalah jasa dari Cui Hwa. Didalam percakapan mereka, ketika Tiang Houw menyatakan pembelaannya terhadap para jembel yang menyerbu kota dan dusun, yang membalas dendam kepada orang-orang hartawan dan pembesar yang dianggap orang-orang yang mencekik kehidupan mereka, Cui Hwa menjawab penuh semangat:
“Alangkah picik dan rendahnya pendirian macam itu! Memang tak dapat disangkal kebenarannya bahwa ada orang-orang hartawan dan bangsawan yang jahat dan keji, yang tidak segan-segan memeras keringat dan darah rakyat kecil. Akan tetapi harus diingat pula bahwa ada juga orang miskin yang pada dasarnya berwatak rendah dan jahat! Tak dapat disangkal pula bahwa ada di antara bangsawan dan hartawan yang berhati mulia, seperti juga halnya petani miskin ada pula yang berhati baik. Bagaimana manusia bisa disama ratakan? Bukan semua orang hartawan mendapatkan harta bendanya dengan jalan memeras keringat orang miskin! Apa sih jahatnya seseorang yang rezekinya kebetulan banyak dan baik? Suamiku, memang aku tahu akan rasa sakit hatimu karena keluargamu musnah akibat perbuatan busuk seorang hartawan keji, akan tetapi sungguh merupakan penasaran besar kalau kau lalu menganggap semua hartawan jahat belaka. Coba bayangkan, andaikata kau bekerja keras kemudian berhasil mengumpulkan harta benda dengan halal, kemudian datang para jembel itu yang membalas dendam kepada para hartawan sehingga kau dan anak isterimu menjadi korban pula, bagaimana perasaan hatimu?”
Tiang Houw diam saja, mendengarkan penuh perhatian.
42
“Seorang hartawan berlaku jahat lalu semua hartawan dibasmi, benar-benar merupakan penasaran besar! Andaikata ada seorang jembel melakukan kejahatan, apakah semua orang jembel di dunia inipun harus dibasmi habis? Menilai watak orang tak dapat dipandang dari sudut kaya miskinnya, melainkan dari perbuatannya. Memang, kekayaan bisa membikin orang menjadi jahat, akan tetapi sebaliknya harus diingat bahwa kemiskinan pun bisa membikin orang menjadi mata gelap dan jahat. Semua tergantung dari si orang itu sendiri.”
Diam-diam Tiang Houw memuji kebijaksanaan isterinya dan diam-diam ia harus akui bahwa tadinya dia terlampau menurutkan nafsu dan dendam. Memang, pembalasan dendam yang ditujukan kepada semua orang hartawan dan bangsawan, benar-benar tidak adil sama sekali. Ia merasa malu kepada diri sendiri dan tanpa diketahui oleh isterinya, ia lalu mendatangi kawan-kawannya dan membubarkan Kay-sin-tin, bahkan mengancam agar mereka jangan sekali-kali melakukan penyerbuan yang membabi buta itu!
Setahun setelah mereka menikah, Cui Hwa melahirkan seorang anak perempuan. Bukan main girangnya keluarga itu dan terutama sekali Cui Hwa dan Can Mama. Kedua orang wanita ini terhibur kedukaan hati mereka karena kini ada seorang anak perempuan yang menggantikan In Hong yang telah lenyap tiada kabar ceritanya. Sia-sia saja Tiang Houw mencari ke mana-mana, karena ia tidak tahu bahwa In Hong dibawa oleh Hek Moli ke puncak Ciung-lai-san dan semenjak itu tak pernah turun-gunung.
Cui Hwa hidup dengan aman dan tenteram dan kelihatannya berbahagia. Suaminya benar-benar seorang yang amat cinta kepadanya. Teng San lebih-lebih lagi merupakan seorang putera yang amat berbakti, bahkan sikap anak ini demikian baik kepadanya sehingga Cui Hwa merasa bahwa anak itu seperti anaknya sendiri. Adapun anak perempuan yang menjadi adik Teng San itu bernama Ong Lian Hong, makin besar makin nampak kecantikannya, serupa benar dengan ibunya sehingga tentu saja serupa pula dengan In Hong!
Teng San amat sayang kepada adik tirinya ini, demikianpun Lian Hong amat kasih kepadanya. Memang tidak ada sesuatu nampaknya yang akan dapat mengurangi kebahagiaan Cui Hwa. Akan tetapi, tetap saja ada sesuatu yang menusuk hati dan merupakan ganjalan di dalam kebahagiaan Cui Hwa. Seringkali ia minta kepada suaminya, yang diketahuinya seorang pendekar perkasa, untuk mencari tahu dan menyelidiki siapakah sebenarnya pembunuh dari Kwee Seng!
Tiada apapun jua di dalam dunia ini yang kekal. Segala sesuatu berubah pada saatnya, dan tidak ada kekuasaan di dunia yang dapat mencegah terjadinya perubahan ini. Anak-anak berubah menjadi dewasa, orang dewasa menjadi tua, yang tua meninggal dunia, dilain pihak manusia-manusia baru terlahir dan muncul di dunia menggantikan mereka yang pergi ke tempat asal. Tepatlah kata-kata orang bijaksana dijaman dahulu bahwa Langit dan Bumi serta segala isinya berasal dari ADA, sedangkan ADA berasal dari TIADA!
Bukankah segala sesuatu yang kita lihat di depan mata kita ini tadinya memang TIDAK ADA? Dan bukankah semua ini kelak juga kembali menjadi TIDAK ADA?
Demikian pula dengan kebahagiaan hidup manusia. Dimana ada kebahagiaan kekal di dunia ini? Kalau orang mengira bahwa ia mengenal kebahagiaan, itu berarti bahwa iapun akan mengenal kesengsaraan! Kalau orang bisa bersenang, pasti ia bisa berduka. Inilah hukum IM-YANG dari pada alam yang meliputi kehidupan seluruh alam, hukum yang tak dapat disangkal pula kebenarannya. Kalau ada siang pasti ada malam, kalau ada kanan pasti ada kiri, ada senang pasti ada susah dan ada bahagia pasti ada sengsara.
43
Sebaliknya, tanpa siang takkan ada malam, tanpa kanan takkan ada kiri dan sebagainya. Kalau kita tidak mengenal senang, bagaimana dapat mengenal susah? Manusia selalu menjadi hamba daripada perasaannya sendiri dan karena inilah maka ia terombang ambing dalam permainan perasaan yang seluruhnya dikuasai oleh tenaga IM-YANG.
Karena kelemahan manusia inilah maka Guru besar Khong Hu Cu mengajar manusia tentang Tiong-yong, tentang menguasai hati dan perasaan sendiri agar selalu “tiong” atau lurus tegak, tidak condong ke kanan atau ke kiri, tidak con-dong kepada IM maupun kepada YANG. Tidak terseret oleh suka maupun duka, sehingga orang akan menerima segala apa dengan tenang.
Penghidupan keluarga Ong Tiang Houw memang tadinya nampak seakan-akan mereka itu selalu berbahagia dan tidak pernah mengenal duka. Ong Tiang Houw dan isterinya yang baru, yakni Yo Cui Hwa, saling menyinta dan hidup rukun sekali. Putera dan puteri mereka, Ong Teng San dan Ong Lian Hong, juga amat penurut serta berbakti kepada orang tua.
Teng San merupakan seorang pemuda yang benar-benar patut disayang. Biarpun Cui Hwa adalah ibu tirinya, akan tetapi ia ibu tirinya seperti ibu sendiri. Juga ia sayang kepada adik tirinya, Lian Hong. Boleh dibilang dialah yang mengasuh adiknya ini selalu, sungguhpun sudah ada pelayan atau inang pengasuh.
Disamping kebaikan-kebaikan ini, Teng San juga merupakan seorang pemuda yang amat gagah, tubuhnya tinggi besar dan tegap, mukanya kemerahan dan alisnya tebal. Ilmu silatnya lihay karena semenjak kecil ia digembleng oleh ayahnya. Juga Lian Hong setelah berusia enam tahun, mulai menerima latihan dari kakaknya.
Adapun Lian Hong, serupa benar mukanya dengan ibunya, cantik manis dan lucu. Anak ini amat disayang oleh ayah bunda serta kakaknya, maka ia menjadi manja sekali. Apa saja yang dimintanya, pasti dipenuhi oleh ayah bundanya.
Memang, dipandang begitu saja orang akan mengira bahwa kehidupan keluarga ini sudah amat berbahagia, tiada kekurangan dan tiada sesuatu yang dapat menyusahkan hati mereka.
Akan tetapi, pada hakekatnya tidaklah demikian. Cui Hwa memang sudah dapat merasa puas menjadi isteri Tiang Houw, namun nyonya ini selalu merasa penasaran dan sakit hati atas kematian suaminya yang pertama, yakni Kwee Seng. Tiap kali ia teringat akan suaminya yang terbunuh secara menyedihkan dan teringat kepada putrinya, In Hong yang belum juga diketahui bagaimana nasibnya, ia lalu mendesak kepada suaminya untuk menyelidiki.
Tiang Houw sudah bertahun-tahun berperang di dalam dadanya sendiri. Dia adalah seorang gagah yang menjunjung tinggi kegagahan, menjunjung tinggi kejujuran dan karenanya ia merasa amat sengsara bahwa selama ini ia membohongi isterinya yang dicintainya. Sebagaimana diketahui, yang mem-bunuh Kwee Seng suami pertama dari Cui Hwa adalah Ong Tiang Houw sendiri, akan tetapi sudah sepuluh tahun mereka menjadi suami isteri, Tiang Houw masih belum berani mengakui perbuatannya.
Pada suatu senja, keluarga itu duduk bercakap-cakap di ruang depan setelah makan sore yang selalu dilakukan berbareng. Tidak seperti biasanya, Cui Hwa nampak termenung dan berduka, agaknya ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya. Suaminya maklum bahwa lagi-lagi isterinya ini memikirkan tentang sakit hati yang belum juga terbalas, dan sudah dalam beberapa hari ini, seringkali mereka berbantahan kalau membicarakan hal itu di dalam kamar mereka.
44
Tiang Houw juga mulai mendongkol, karena ia mulai dihinggapi racun cemburu dan iri hati. Dianggapnya bahwa isterinya itu, setelah menjadi isterinya selama sepuluh tahun, tetap masih menyinta suami pertama.
“Apa kau merasa tidak bahagia menjadi isteriku?” demikian Tiang Houw bertanya pada beberapa hari yang lalu di dalam kamarnya. “Mengapa kau selalu masih ingat kepada suamimu yang dulu? Ingat, Cui Hwa, kau sudah menjadi isteriku selama sepuluh tahun dan kita sudah mempunyai Lian Hong maka seharusnya kau merasa puas dan melupakan hal yang sudah-sudah.”
“Sudah kucoba, namun sia-sia. Hampir setiap malam aku bermimpi melihat Kwee Seng yang membujukku agar supaya aku berusaha mencari pembunuhnya. Suamiku, kau adalah seorang gagah perkasa yang berkepandaian tinggi, di dunia kangouw namamu amat terkenal. Masa kau tidak bisa mencari pembunuh keji itu?”
Demikianlah percakapan itu, percakapan yang membuat Tiang Houw menjadi tak senang, cemburu dan iri hati, dan yang membuat Cui Hwa selalu murung. Mulailah timbul suasana yang tegang di antara mereka.
Cui Hwa menganggap bahwa suaminya itu sengaja tidak mencari sungguh-sungguh untuk membalaskan sakit hati mendiang Kwee Seng, adapun Tiang Houw menganggap bahwa isterinya tidak menyintanya dan masih menyinta kepada suami pertama yang sudah meninggal dunia.
Ong Teng San pada waktu itu sudah dewasa, sudah berusia enambelas tahun, maka ia dapat merasakan suasana yang tidak menyenangkan ini. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani bertanya, hanya menghibur suasana itu dengan mengajak Lian Hong bermain-main.
Kedua orang tua itu hanya memandang saja dan mereka tiada nafsu untuk bercakap-cakap. Keadaan benar-benar tidak menyenangkan.
Teng San merasa sekali akan adanya hal yang tidak menyenangkan ini, maka ia lalu mengajak Lian Hong masuk.
“Adik Hong, kau tidurlah, besok bangun pagi-pagi dan kita berlatih silat. Kau masih kaku dalam mainkan jurus keenam, kakimu masih belum benar gerakannya,” kata Teng San.
Lian Hong cemberut. “Kau selalu mencela saja, San-ko. Ayah, kau lihatlah, masa gerakan begini masih terus disebut kurang sempurna oleh San-ko?”
Gadis cilik ini lalu bersilat di depan ayahnya, melakukan jurus keenam yang dimaksudkan oleh Teng San. Gerakannya lincah dan cepat dan ayahnya memandang dengan wajah gembira. Setelah Lian Hong berhenti bersilat, ayahnya berkata:
“Lian Hong, kau harus selalu menurut dan taat akan petunjuk kakakmu, kulihat memang gerakan kakimu kurang sempurna. Sekarang tidurlah, besok boleh dilatih lagi dan aku sendiri akan memberi petunjuk padamu.”
Lian Hong cemberut. Sebagai seorang anak manja, tentu saja ia tidak senang mendengar ayahnya juga mencela kepandaiannya. Maka ia menengok kepada ibunya.
45
“Ibu! bukankah gerakanku tadi sudah baik sekali?”
Semenjak kecil, kalau Lian Hong bertanya sesuatu kepada ibunya, selalu ibunya memujinya, apalagi dalam ilmu silat memang Cui Hwa tidak tahu apa-apa. Untuk menyenangkan hati puterinya, dan untuk menambah semangatnya, ia selalu memuji begitu saja. Akan tetapi kali ini, jawabannya tidak saja mengejutkan Lian Hong, juga amat mengejutkan hati Teng San.
“Apa sih baiknya segala gerakan silat itu? Ilmu yang kasar tiada gunanya, hanya bisa dipakai untuk main sombong-sombongan! Lian Hong, lebih baik kau belajar menulis dan menyulam, tidak mempelajari ilmu silat yang tidak ada gu-nanya sama sekali itu!” kata-kata ini terdengar keras dan ketus dan biarpun Cui Hwa bicara kepada Lian Hong, namun ia mengerling ke arah suaminya, penuh celaan.
Mendengar jawaban ini, Lian Hong yang amat manja lalu menangis.
Teng San maklum bahwa ada sesuatu yang tidak baik telah terjadi antara ayah dan ibu tirinya, dan tidak baik kalau Lian Hong yang masih kecil tahu akan hal ini. Maka Teng San lalu menggandeng tangan adiknya dan diajak pergi ke kamarnya.
“Ibu sedang tak senang pikirannya, jangan kita mengganggunya,” kata Teng San sambil mengusap air mata dari pipi adik tirinya. “Kau tidurlah dan besok ibu tentu akan bicara manis lagi kepadamu.”
Setelah menghibur hati Lian Hong dan melihat adiknya itu akhirnya tertidur, Teng San lalu berjalan keluar. Ia telah cukup dewasa dan berhak mengetahui apakah yang diributkan oleh kedua orangtua itu. Ia ingin menghampiri mereka, ingin menghibur ibu tirinya dan ingin bertanya kepada mereka tentang kesusahan mereka agar ia dapat ikut memikirkan dan bantu memecahkan persoalannya.
Akan tetapi ketika ia tiba di belakang pintu yang menembus ke ruang depan, ia mendengar ayah dan ibu tirinya bicara dengan perlahan akan tetapi nadanya menyatakan bahwa mereka sedang marah dan bercekcok. Hal ini belum pernah terdengar oleh Teng San sebelumnya, maka ia menahan kakinya dan mendengar dengan wajah berobah.
“Cui Hwa, kau selalu menyinggung-nyinggung soal itu. Apakah kau masih menyinta suamimu yang sudah tewas itu dan apakah kau masih belum dapat menghilangkan rasa penasaranmu atas kematiannya?” terdengar Tiang Houw berkata tak senang.
“Tentu saja aku masih menyintanya! Sebelum aku bertemu dengan kau, Kwee Seng adalah suamiku, bagaimana aku tidak menyinta suamiku sendiri? Dia seorang yang berbudi baik, suka menolong orang-orang miskin, kemudian ia menjadi korban pembunuhan secara keji, bagaimana aku tidak penasaran? Sekarang, kau suamiku yang memiliki kepandaian silat tinggi, yang katanya sudah menjagoi di dunia kangouw, melihat kau berpeluk tangan saja, sama sekali tidak mau berusaha untuk mencari pembunuh mendiang Kwee Seng, bukankah hal ini menambah rasa penasaranku?” Suara Cui Hwa makin keras dan terdengar ia tergesa-gesa menahan amarah yang meluap-luap.
Mendengar kata-kata kedua orangtua itu, maklumlah Teng San akan pokok persoalan yang mereka ributkan. lbu tirinya menghendaki agar supaya pembunuh suaminya yang dahulu dicari agar sakit hati suaminya itu dapat dibalas, sedangkan ayahnya agaknya tidak menyetujui akan hal itu. Maka untuk
46
menghilangkan suasana yang buruk itu, Teng San lalu membuka pintu dan maju memeluk pundak ibu tirinya yang kini sudah menangis terisak-isak.
“Ibu, senangkanlah hatimu, ibu. Jangan ibu khawatir, anakmu Teng San yang akan berusaha mencari pembunuh mendiang suamimu yang pertama. Percayalah, anakmu Teng San yang akan menyeret jahanam itu di depan kaki ibu……”
“Teng San……, kau gila……!!” Tiang Houw membentak dengan muka pucat.
Teng San berpaling kepada ayahnya. “Mengapa gila, ayah? Ibu sedang menderita dan penasaran bukankah sudah menjadi kewajibanku untuk berbakti, untuk mencari orang yang menyakiti hatinya?”
Tiang Houw merasa kedua kakinya gemetar, maka ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil menghela napas panjang berkali-kali. “Semua salahku…… semua salahku sendiri……” ia berbisik lemah.
“Cui Hwa, ketahuilah, orang yang membunuh Kwee Seng suamimu itu……, dia adalah seorang yang sudah disakitkan hatinya oleh kaum bangsawan dan hartawan, seperti halku pula. Dalam dendamnya, dia ikut dalam pasukan yang membasmi dua golongan itu……”
“Jadi kau sudah tahu siapa dia?” tanya Cui Hwa dengan mata terbuka lebar.
“Dia membunuh Kwee Seng bukan berdasarkan kebencian perseorangan, Cui Hwa, akan tetapi dia akan membunuh siapa saja asal ia hartawan atau bangsawan. Ketika ia membunuh Kwee Seng, ia tidak tahu siapa itu yang dibunuhnya, kecuali bahwa yang dibunuhnya itu seorang hartawan.”
“Kalau kau sudah tahu siapa dia, mengapa tidak lekas-lekas menyeretnya ke sini?” Cui Hwa menuntut, penuh dengan rasa penasaran.
Tiang Houw menarik napas panjang. “Cui Hwa, orang itu sekarang sudah amat menyesal atas semua perbuatannya yang sudah lalu. Apakah kau tidak bisa mengampuni orang yang melakukan sesuatu tidak berdasarkan kebencian terhadap suamimu itu, dan yang sekarang sudah merasa menyesal?”
“Seret dia dulu kesini, biar aku bicara sendiri dengan dia, baru aku akan mengambil keputusan,” jawab Cui Hwa.
“Dia…… dia malu untuk bertemu denganmu, malu untuk mengakui semua perbuatannya kepadamu……”
“Kalau begitu dia pengecut, pengecut yang harus dibikin mampus!” Dada Cui Hwa berombak.
Tiba-tiba Tiang Houw berdiri dari kursinya. Orang boleh memaki pendekar ini dengan sebutan apapun juga, akan tetapi jangan sekali-kali ia disebut pengecut. Semenjak kecilnya, Tiang Houw paling benci kepada pengecut, maka makian pengecut baginya lebih merendahkan daripada makian apapun juga.
“Cui Hwa, aku bukan pengecut!”
Cui Hwa menjadi pucat sekali mukanya, sedangkan Teng San sekarang juga sudah berdiri memandang ayahnya dengan mata terbelalak kaget. Melihat ini, Tiang Houw mengangguk-angguk, menghela napas dan berkata dengan tenang:
47
“Ya, akulah orang itu, Cui Hwa. Akulah pemimpin dari pasukan Kay-sin-tin, akulah yang menggerakkan penumpasan para bangsawan dan hartawan, dan aku pulalah yang telah membunuh suamimu, Kwee Seng. Kau boleh berbuat apa saja kepadaku, hanya jangan memaki aku pengecut……”
Sampai beberapa detik Cui Hwa berdiri seperti patung, hanya dadanya yang naik turun bergelombang, mulutnya beberapa kali terbuka akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa. Kemudian terdengar ia menjerit nyaring dan tubuhnya limbung. Ia roboh pingsan dan tentu akan terjatuh kalau tidak cepat-cepat dipeluk oleh Teng San.
Melihat halnya ibu tirinya, Teng San tak dapat menahan keluarnya dua titik air mata yang membasahi pipinya. Sambil memondong tubuh ibunya, Teng San berdiri dan memandang kepada ayahnya melalui linangan air mata.
“Ayah, kau membunuh suaminya lalu…… lalu mengambilnya sebagai isterimu……?” suaranya sayu dan mengandung nada benci.
Tiang Houw menjadi pucat. “Tidak…… tidak begitu, Teng San……. dengarlah dulu keteranganku……”
Akan tetapi dengan isak tertahan, pemuda itu telah membawa lari ibu tirinya yang dipondong, menuju ke kamar ibu tirinya. Dengan hati-hati ia membaringkan tubuh Cui Hwa dan mempergunakan air dingin untuk membasahi jidat ibu tirinya.
Cui Hwa tersadar dan mengeluh, menyebut-nyebut nama In Hong dan Kwee Seng. Ia merasa berdosa besar, merasa malu kepada diri sendiri. Suaminya mati terbunuh, anaknya entah bagaimana nasibnya dan dia…… dia telah diperisteri oleh pembunuh suaminya itu, hidup dengan penuh kesenangan seakan ia tidak perduli akan nasib Kwee Seng dan In Hong! Inilah yang amat menyakitkan hatinya.
“Ibu, tenanglah, ibu…… akulah yang akan menanggung semua dosa ayah……,” kata Teng San terharu.
Cui Hwa memandang kepada pemuda itu. “Pergilah kau...! Pergi dan jangan dekat dengan aku!” Wajah Teng San memang serupa benar dengan Tiang Houw, dan persamaan ini membuat Cui Hwa tiba-tiba marah terhadap Teng San.
Teng San terisak dan mundur, lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tak lama kemudian ia mendengar ayahnya memanggil-manggil namanya dan mengetuk-ngetuk pintu, akan tetapi Teng San diam saja, tidak menjawab. Di luar pintu, dengan wajah pucat Tiang Houw memanggil-manggil nama Teng San. Ingin ia memukul pecah daun pintu itu, ingin ia menjelaskan semua itu kepada puteranya, akan tetapi ia menekan perasaannya dan kemudian berjalan pergi ke kamarnya sendiri sambil menarik napas panjang berulang-ulang.
Dan pada keesokan harinya, suami isteri ini kembali mengalami hal yang lebih hebat, yakni dengan lenyapnya Teng San bersama Lian Hong! Pemuda yang hancur hatinya itu ternyata telah lari minggat sambil membawa adik tirinya, entah kemana.
Cui Hwa menangis menggerung-gerung ketika melihat Lian Hong lenyap. Ia menudingkan jarinya kepada Tiang Houw, sambil menangis ia memaki: “Kaulah yang mengakibatkan semua ini, kau…… kau pembunuh…… kau pengecut……!”
48
Tiang Houw lari maksud mengejar Teng San dan Lian Hong, namun sia-sia belaka karena kepandaian Teng San sudah tinggi, ilmunya berlari cepat sudah menyamai ayahnya dan selain telah tertinggal jauh, juga Tiang Houw tidak tahu kemana arah tujuan puteranya itu.
Semenjak itu, kehidupan Cui Hwa dan Tiang Houw penuh kegetiran, seakan-akan mereka hidup di dalam neraka. Cui Hwa setiap hari termenung, kadang-kadang menangis sedih, sama sekali tidak mau bicara kepada Tiang Houw.
Sebaliknya, Tiang Houw yang tidak dikenal lagi oleh isterinya, merasa begitu perih hatinya, apalagi kalau ia mengingat betapa pandangan Teng San terhadapnya amat rendah. Ia mendapat pukulan batin yang berat sekali kalau ia mengingat bahwa Teng San menganggapnya berbatin amat rendah, seorang yang membunuh suami dan merampas isteri!
Demikianlah menjadi kenyataan bahwa penghidupan manusia selalu berobah, kebahagiaan tidak kekal adanya dan siapa yang tidak kuat menerima rezeki atau ujian yang jatuh kepada diri dan keluarganya, ia akan rusak binasa. Tiang Houw juga demikian, pendekar yang gagah perkasa ini lalu meninggalkan rumahnya, merantau ke sana ke mari seperti seorang berobah ingatan. Merantau kemana saja untuk mencari tiga orang, yakni In Hong, Teng San, dan Lian Hong!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, di dalam perantauannya itu Tiang Houw bertemu dengan Wi Tek Tosu tokoh Go-bi-pay dan dia berhasil mencegah tosu yang sakit hati terhadap Hek Moli ini merusak jenazah Hek Moli. Bahkan pendekar ini lalu mengurus dan mengubur jenazah Hek Moli baik-baik. Hal ini terjadi tiga tahun semenjak Teng San dan Lian Hong pergi meninggalkan rumah.
Kwee In Hong yang diusir oleh gurunya untuk turun-gunung dan mencari orang tuanya, tentu saja tidak tahu akan malapetaka yang menimpa diri gurunya. Gadis ini turun gunung dengan cepat, menuju ke kota See-ciu sebagaimana pesan gurunya.
Kalau orang melihat gadis itu berjalan, dia pasti takkan mengira bahwa gadis ini adalah murid tunggal dari Hek Moli dan telah memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan gurunya sendiri! Bahkan mungkin sekali In Hong lebih tangguh daripada Hek Moli, karena selain ia lebih muda dan kuat, juga ia mempunyai gerakan yang lebih ringan. Tentu saja ia masih kalah jauh dalam pengalaman.
Siapa yang akan mengira bahwa gadis yang cantik manis, yang berkulit putih halus, dan yang mempunyai lenggang demikian halus gemulai, yang gerak geriknya lemah lembut, adalah seorang ahli silat tniggi? In Hong adalah anak dari ayah bunda yang terpelajar dan yang mempunyai watak halus, maka sifat ini menurun kepadanya. Akan tetapi, selama belasan tahun dibawah asuhan Hek Moli, kekerasan hati Iblis Wanita Hitam ini juga menurun kepadanya. Di balik gerak geriknya yang lemah lembut, tersembunyi hati yang keras seperti baja dan keberanian yang hebat. Bahkan, sifat-sifat Hek Moli yang ganas menurun pula kepadanya.
Seperti juga gurunya, In Hong melakukan perjalanan dengan membawa sebatang tongkat hitam, akan tetapi tongkatnya ini kecil saja, sebesar ibu jari kaki, panjangnya sama dengan pedangnya yang diikat di belakang punggung. Di dalam sebuah kantong yang tergantung di ikat pinggangnya, tersembunyi senjata rahasia yang mengerikan orang-orang kangouw, yakni pasir hitam yang kalau dipergunakan disebut toat-beng-hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa)! Pedang Liong-gan-kiam pemberi gurunya hanya kelihatan ronce-ronce merahnya saja yang melambai-lambai tertiup angin di atas pundaknya.
49
Setelah turun dari puncak Ciung-lai-san dan menyaksikan pemandangan yang indah, lenyaplah kesedihan In Hong karena harus berpisah dari gurunya. Ia berhenti dan dari atas lereng bukit ia memandang ke bawah.
Dunia seakan-akan sehelai lukisan indah yang dibuka dihadapan kakinya. Nampak dusun-dusun dengan genteng rumah yang kemerahan, nampak sungai-sungai yang airnya kelihatan membiru dan berlika liku. Sawah-sawah menghijau amat indahnya. Semua ini seakan-akan melambai-lambai kepada In Hong, menyuruh gadis itu segera turun menemui semua itu.
In Hong menjadi gembira dan ia lalu berlari turun dari lereng dengan kecepatan seperti burung terbang. Kedua kakinya ringan sekali dan orang akan menyangkanya semacam peri penjaga gunung kalau melihat dia melayang-layang seperti itu. Tentu saja gadis ini bukannya melayang, melainkan berlari cepat, akan tetapi gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga ia kellhatan seperti tidak menginjak bumi.
Ia mengeluarkan ilmu lari cepat yang disebut Teng-in-hui (Terbang menginjak awan)! Akan tetapi bagi mata seorang ahli silat tinggi, tentu akan dapat melihat gerakan seorang wanita cantik jelita yang berlari cepat dengan gerakan indah gemulai, sehingga ia tentu akan mengira bahwa yang berlari turun gunung itu adalah seorang bidadari atau utusan dari Koan Im Pouwsat!
Akan tetapi, gunung Ciung-lai-san amat sunyi dan tidak ada orang yang melihat gadis ini berlari. Setelah turun gunung dan lalu masuk dusun-dusun kecil, barulah In Hong berjalan biasa agar jangan menarik perhatian orang lain. Namun tetap saja hampir semua orang, apalagi laki-laki, menoleh dan memandang kepadanya. Bukan hanya karena pakaiannya yang indah dan berbeda dengan wanita-wanita dusun, akan tetapi juga jarang sekali orang melihat seorang gadis muda yang demikian cantik jelita, apalagi yang melakukan perjalanan seorang diri.
Hanya karena orang melihat ronce-ronce gagang pedang Liong-gan-kiam maka orang tidak berani bersikap sembarangan terhadapnya. Mereka dapat menduga bahwa seorang gadis muda yang berani melakukan perjalanan seorang diri, apa-lagi yang membawa-bawa pedang, tentulah seorang ahli silat yang sudah tinggi kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, sikapnya yang halus dan uang bekal yang banyak dari gurunya, In Hong dapat melakukan perjalanan tanpa banyak rintangan. Bahkan ia telah membeli seekor kuda dari seorang pedagang kuda, dan melanjutkan perjalanannya ke See-ciu dengan berkuda. Memang harus diakui bahwa In Hong tidak biasa naik kuda, namun dengan kepandaian silatnya yang sudah tinggi, sebentar saja dapat menyesuaikan diri dan dapat duduk di atas punggung kuda dengan enak dan tegak.
Beberapa bulan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sampailah ia di kota See-ciu. Hatinya berdebar penuh ketegangan dan pertanyaan. Apakah ia akan dapat bertemu kembali dengan ayah bundanya di kota ini? Ia hanya masih ingat wajah ibunya, seorang wanita yang cantik sekali, akan tetapi wajah ayahnya ia sudah lupa lagi.
Yang masih teringat betul olehnya malah wajah inang pengasuhnya yakni Can Mama dan In Hong suka tertawa seorang diri kalau ia ingat kepada inang pengasuh ini. Masih terbayang olehnya betapa Can Ma suka mendongeng sambil memangkunya, dan boleh dibilang ia lebih dekat dengan Can Ma daripada de-ngan ayahnya.
50
Mudah saja baginya untuk mendapatkan rumah Yo-wangwe. Semua orang di kota See-ciu mengenal nama Yo Tang atau Yo-wangwe yang tinggal di sebuah gedung besar dan indah, berdagang hasil bumi dan bahan obat-obatan. Karena perdagangannya ini maka di bagian depan dari rumah gedungnya terdapat gudang-gudang dengan pekarangan amat lebar. Banyak orang sibuk bekerja di depan gudang-gudang itu, mengeluar masukkan barang dan keadaan disitu berdebu dan kotor.
Semua pekerja tiba-tiba menghentikan pekerjaan mereka ketika mereka melihat seorang gadis cantik berpakaian biru memasuki pekarangan itu dan mereka memandang dengan kagum, juga agak terheran-heran. Memang merupakan penglihatan yang jarang sekali adanya seorang gadis cantik jelita muncul di tempat itu seorang diri.
Ketika baru bertemu dengan orang-orang yang memandangnya seperti itu, mula-mula memang In Hong merasa jengah dan malu-malu, juga agak marah. Akan tetapi sekarang ia sudah merasa biasa, bahkan bibirnya tersenyum mengejek kalau ia melihat mata laki-laki seakan-akan hendak menelannya.
Kini ia menghampiri mereka yang bekerja itu, lalu bertanya: “Sahabat-sahabat, apakah disini tempat tinggal Yo Tang?”
Seorang di antara para pekerja itu, yakni mandornya, cepat melangkah maju dan menjawab: “Betul dugaanmu, nona. Kau siapakah dan darimana?”
Semua orang memperhatikan In Hong dan ingin sekali mendengar siapa adanya gadis ini, namun In Hong mengecewakan mereka dengan jawaban sembarangan: “Kalau betul di sini rumah Yo-wangwe, tolong beritahukan bahwa aku datang membawa keperluan amat penting.”
“Akan tetapi, kau siapakah, nona? Dan dari mana? Bagaimana kalau dia tanya tentang hal ini kepadaku?”
“Minta saja dia keluar, aku mau bicara sendiri dengan dia,” jawab In Hong singkat. Ia memang merasa segan untuk memperkenalkan diri kepada orang-orang yang memandangnya seperti itu.
“Akan tetapi, nona, aku harus ketahui siapa kau……” kata mandor itu dan kini ia memandang dengan curiga ke arah gagang pedang yang tersembul dari balik punggung gadis itu.
“Dia adalah paman dari ibuku, cukupkah ini?” kata In Hong yang merasa gemas juga melihat desakan orang itu.
Mendengar ini, mandor itu tidak berani mendesak lagi. Kalau nona ini masih terhitung sanak dari Yo-wangwe, ia tidak boleh keterlaluan. Berobahlah sikapnya dan ia membungkuk sambil berkata:
“Ah, mengapa tidak dari tadi kau memberitahu bahwa kau masih cucu dari Yo-loya? Mari, silakan ikut dengan aku, nona. Yo-loya tinggalnya di rumah gedung sebelah belakang. Di depan ini hanya gudang-gudang tempat orang bekerja.”
Dengan diikuti oleh pandang mata semua orang yang bekerja disitu, In Hong berjalan bersama mandor itu, melewati samping gudang menuju ke sebuah rumah besar yang berdiri di belakang gudang-gudang itu. Para pekerja itu sibuk kembali, akan tetapi kini mulut mereka tiada hentinya bicara memuji kecantikan gadis yang baru tiba itu.
51
“Cantik jelita benar-benar gadis tadi,” kata seorang.
“Dan pedang itu, ia kelihatan gagah. Apakah benar-benar ia pandai main pedang?” kata orang kedua.
“Ah, gadis sehalus dan secantik itu mana bisa main pedang? Senjata hanya untuk hiasan belaka, atau paling-paling untuk menakut-nakuti penjahat agar tidak berani mengganggunya,” kata orang ketiga yang terkenal pandai silat di antara para pekerja itu.
In Hong memiliki pendengaran yang amat tajam terlatih. Kalau mandor yang mengantarkannya tidak dapat menangkap kata-kata itu, adalah gadis ini mendengar dengan jelas sekali. Namun ia tidak ambil perduli, hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan rumah gedung yang ia hadapi. Rumah ini benar-benar besar dan mewah, pintu-pintunya dicat kuning dan temboknya tebal, dikapur putih bersih.
“Kau duduklah dulu, nona, biar aku yang melaporkan ke dalam,” kata mandor itu.
In Hong mengangguk dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku yang banyak terdapat di ruang depan itu. Mandor itu lalu menghampiri pintu dan hendak masuk, akan tetapi tiba-tiba dari dalam keluarlah seorang pemuda yang ganteng dan berpakaian sebagai jago silat. Gayanya memang gagah dan sikapnya menunjukkan bahwa ia memiliki tenaga besar.
“Ah, kebetulan sekali kau keluar, kongcu. Aku hendak menghadap lo-ya……”
“Kwa-lopek, ada apakah dan……?” Pemuda itu menoleh ke arah In Hong dan matanya terbuka lebar, mulutnya ternganga. “Siapa…… eh……” Ia gagap dan mukanya menjadi merah, malu karena kebingungan dan kegugupannya sendiri.
In Hong sudah berdiri dan menjura. Adapun mandor itu laiu memperkenalkan: “Kongcu, nona ini adalah seorang tamu yang ingin berjumpa dengan Yo-loya. Katanya dia adalah masih sanak keluarga. Eh, nona, ini adalah Yo-kongcu, cucu dari Yo-loya.”
In Hong memberi hormat, lalu berkata: “Harap maafkan kalau aku mengganggu. Kedatanganku ini hanya untuk menanyakan sesuatu kepada Yo-wangwe, tentang ayah bundaku.”
Pemuda itu melangkah maju. “Kau siapakah, nona? Kalau masih keluarga kong-kong (kakek), mengapa aku tidak kenal padamu?”
In Hong tersenyum dan jantung pemuda itu melompat-lompat di dalam rongga dadanya. “Memang kita belum pernah saling bertemu. Ketahuilah bahwa ibuku adalah keponakan kong-kongmu itu, dan ibuku bernama Yo Cui Hwa
Mendengar disebutnya nama ini, wajah pemuda itu berseri dan ia berkata kepada mandor tadi: “Kwa-lopek, dia adalah saudara sendiri dengan aku, kau kembalilah ke tempat kerjamu.”
Mandor itu membungkuk lalu pergi keluar.
“Kau…… benar-benarkah kau puteri dari bibi Cui Hwa dan kaukah anak yang dulu hilang bersama Can Mama itu?” tanya pemuda ini, masih ragu-ragu dan memandang kepada wajah yang jelita itu.
52
In Hong menjadi terharu. Kalau pemuda ini mengenal Can Mama dan tahu akan semua nasib yang diwaktu kecil ia alami, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa ia datang di tempat yang betul.
“Benar,” katanya girang, “namaku adalah In Hong, Kwee In Hong. Dimana ayah bundaku? Apakah mereka berada disini?”
“Marilah ikut aku masuk ke dalam, moy-moy. Kau adalah adik misanku sendiri. Namaku Yo Kang, aku sudah banyak mendengar dari ayah tentang ibu dan ayahmu dan kau juga. Aku lebih tua dua tahun darimu dan aku mendengar kau dibawa pergi oleh seorang Iblis Wanita bernama Hek Moli……” Ia melihat ke arah gagang pedang yang tersembul dari balik punggung gadis itu. “Ah, siauw-moy, alangkah akan terkejut dan girangnya hati kong-kong dan ayah ibuku melihat kau datang dalam keadaan selamat,” Yo Kang, pemuda itu, bicara dengan cepat sekali sehingga In Hong menjadi bingung mendengarkannya.
“Dimana ayah bundaku?” tanyanya dan hatinya berdebar gelisah.
“Marilah kita masuk dulu, banyak yang harus kau dengar.”
Masuklah mereka ke dalam gedung yang ternyata indah dan penuh dengan perabot rumah yang mahal dan bagus.
Mula-mula yang menyambut In Hong adalah Yo Hang Tek, ayah Yo Kang, seorang laki-laki berusia empatpuluh lebih yang sudah putih semua rambutnya dan nampak tua, tubuhnya tinggi besar seperti Yo Kang, namun sikapnya lemah lembut. Yo Hang Tek keluar menyambut bersama isterinya, ibu Yo Kang, yang kurus sekali tubuhnya, akan tetapi wajahnya masih kelihatan cantik. Yo Hang Tek memandang kepada In Hong dengan mata terbelalak, kemudian ia memegang pundak gadis itu dan dua matanya basah.
“In Hong, kau…… kau seperti ibumu benar! Aduh, nak, sudah belasan tahun kami putus asa dan mengira bahwa kau sudah tewas.”
Melihat sikap pamannya ini dan mendengar kata-katanya, tak terasa pula sepasang mata In Hong yang bening itu berlinang. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pamannya.
“Yo-pekhu, anak In Hong mohon penjelasan mengenai nasib ayah dan ibu.”
“Nanti dulu, In Hong, marilah kau menghadap kepada kakekmu, dan disana nanti kita bercakap-cakap,” kata Yo Hang Tek dan mereka lalu masuk ke dalam ruang belakang dimana kakek Yo Tang sudah menanti di atas korsinya yang besar dan empuk. Kakek ini sudah tua, duduk dengan enaknya sambil mengisap pipa tembakau yang panjang. Seluruh ruangan itu berbau asap tembakau.
In Hong lalu melangkah maju dan berlutut menghaturkan hormat, sedangkan kakek itu mengangguk-angguk sambil meniup asap dari mulutnya.
“Hm, kau benar-benar serupa dengan Cui Hwa. Duduklah dan ceritakan semua pengalamanmu. Siapa namamu? Aku sudah lupa lagi.”
53
“Namaku Kwee In Hong……,” kata In Hong lirih.
“Siapa?” kakek itu majukan kepalanya dan miringkan muka untuk mendengarkan lebih jelas.
“In Hong, bicaralah agak keras, kong-kong sudah kurang pendengarannya,” kata Yo Kang kepada In Hong.
Terpaksa In Hong bicara dengan keras, akan tetapi gadis ini hanya mengerahkan khikangnya dan sungguhpun suaranya bagi orang lain biasa saja, namun karena ditujukan kepada kakek itu, Yo Tang dapat mendengar dengan baik. Melihat In Hong bicara masih biasa saja, Yo Hang Tek dan semua orang takut kalau-kalau kakek itu tidak mendengar, akan tetapi aneh, kakek itu ternyata mengangguk-angguk senang.
“Hm, bagus sekali, aku sekarang ingat, namamu In Hong. Nah, kau ceritakanlah semua pengalamanmu, In Hong.”
Hati In Hong kecewa sekali. Ia tidak melihat ayah ibunya disitu, bahkan tidak melihat Can Mama, padahal ia ingat betul bahwa dulu ketika ia dibawa pergi oleh Hek Moli, Can Mama hendak pergi ke See-ciu dan mereka dahulu sudah berada di luar kota.
Apakah Can Mama sudah mati? Akan tetapi, ia merasa tidak pantas kalau ia tidak menurut kehendak kakek itu, maka dengan ringkas ia bercerita bahwa ia memang dibawa oleh Hek Moli yang suka kepadanya dan mengambilnya sebagai murid selama empatbelas tahun. Ia tidak menuturkan panjang lebar tentang ilmu-ilmu silat yang ia pelajari, hanya menyatakan bahwa nenek itu amat baik kepadanya.
“Aah, disukai oleh seorang iblis wanita seganas Hek Moli, benar-benar bukan hal yang baik. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan dia, namun namanya yang busuk sudah sampai di mana-mana dan siapakah yang tidak takut mendengar namanya?” kata kakek itu.
In Hong tidak senang sekali mendengar ini dan tanpa disengaja ia memandang ke arah kakeknya dengan mata bersinar.
Yo Kang yang sejak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian, dapat menangkap pandang mata yang penuh kedongkolan ini, maka ia bicara, tidak cukup keras sehingga kakeknya tidak mendengarnya: “Hek Moli adalah seorang tokoh kangouw yang namanya amat disegani dan sepanjang pendengaranku, biarpun lihay sekali ilmunya, namun ia tidak pernah melakukan kejahatan.”
Mendengar ini, In Hong melirik ke arah Yo Kang dengan pandangan mata terima kasih, akan tetapi diam-diam gadis ini juga heran. Bagaimana kakak misan ini tahu tentang dunia kangouw? Ia tidak mau pusingkan hal itu, dan dengan tergesa-gesa ia lalu bertanya kepada Yo Hang Tek: “Pek-hu, dimana adanya ayah ibuku, dan mana pula Can Mama? Apakah mereka tidak berada disini?”
Yo Hang Tek menarik napas panjang, lalu ia bicara dengan suaranya yang halus: “In Hong, ayahmu dan ibumu tidak pernah sampai kesini. Tadinya kami sendiri tidak tahu kemanakah perginya mereka itu. Akan tetapi setelah kakakmu Yo Kang ini pergi menyelidiki, kami mendengar dari seorang perwira yang dulu menolong dusun Tiang-on yang diserang oleh para penjahat itu, katanya mereka telah menemukan ayahmu yang telah tewas oleh penjahat di hutan.”
54
Pucat wajah In Hong dan kalau saja ia tidak sudah matang latihannya dalam ilmu lweekang dan samadhi, mungkin ia akan menjerit atau jatuh pingsan. Namun ia menguatkan hatinya dan bahkan masih dapat bertanya, suaranya tetap tenang:
“Yo-pekhu, siapakah yang menewaskan ayah dan dimana beliau dimakamkan?”
Yo Hang Tek saling pandang dengan isterinya, agaknya mereka heran melihat ketenangan gadis ini, akan tetapi Yo Kang memandang penuh kekaguman. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dan ia menghargai kegagahan, maka melihat sikap In Hong ia suka dan kagum sekali. Ia benci melihat wanita lemah yang mudah menangis dan mudah jatuh pingsan.
“Hong-moy, aku yang menyelidiki urusan itu, dan aku hanya mendengar bahwa ayahmu tewas dalam keributan, tidak tahu siapa yang melakukan pembunuhan itu, dan jenazahnya dirawat oleh pasukan pemerintah, kini dimakamkan di luar dusun Tiang-on. Aku sudah mengurus kuburannya dan memasang bong-pay (batu nisannya). Kelak kuantar kau mengunjungi makamnya.”
In Hong memandang kepada pemuda itu dan kembali ada sinar terima kasih dalam matanya.
“Dan bagaimana dengan…… ibuku……?”
Setelah mengajukan pertanyaan ini, hati In Hong berdebar. Sungguhpun sekuat tenaga ia menekan perasaannya, namun ia takut bahwa kali ini kalau mendengar berita buruk tentang ibunya, ia takkan dapat menahan tangisnya lagi. Ia merasa amat gelisah dan takut.
“Itulah yang membingungkan kami, Hong-moy. Aku sudah mencari ke mana-mana, sudah menyebar kawan-kawan untuk menyelidiki, akan tetapi ibumu hilang lenyap tak meninggalkan jejak. Benar-benar aneh sekali. Tak seorangpun tahu kemana perginya ibumu.”
Mendengar keterangan ini, hati In Hong tidak karuan rasanya. Ada perasaan lega bahwa ia tidak mendengar ibunya telah tewas, akan tetapi juga ia menjadi bingung, karena kemanakah ia harus mencari ibunya? Ketika ia memandang kepada pek-hunya, Yo Hang Tek berkata
“Yang aneh sekali adalah urusan Can Ma. Pelayan tua itu sudah sampai disini, dan dialah yang bercerita bahwa kau dibawa pergi oleh Hek Moli. Akan tetapi, baru kurang lebih setengah bulan setelah ia berada disini, pada malam harinya tahu-tahu ia lenyap dari kamarnya! Tadinya kami mengira bahwa dia diculik pula oleh Hek Moli……”
“Tidak, guruku tidak pernah menculik Can Ma!” kata In Hong.
“Hm, memang aneh sekali hal ini, Hong-moy. Sayang ketika hal itu terjadi, aku masih kecil. Kalau sekarang, agaknya penjahat yang menculik Can Ma itu akan dapat kutangkap!”
In Hong memandang kepada pemuda ini yang berdiri tegak sambil mengangkat dada, kelihatannya memang gagah sekali. Kembali hati In Hong bingung dan menduga-duga.
Siapakah yang telah menculik Can Ma? Ia menduga-duga dan otaknya yang cerdik bekerja keras. Tentu ada hubungannya dengan ibunya yang hilang, pikirnya, kalau tidak, siapakah yang mau menculik pelayan tua itu?
55
,Apakah Can Ma tidak diam-diam pergi dari rumah ini?” tanyanya.
“Tidak mungkin. Mengapa ia harus pergi minggat? Dan pula, ada tanda-tanda jendela dibongkar orang dari luar. Pasti ada yang menculiknya,'' kata Yo Hang Tek.
Setelah semua orang berhenti bicara. kakek Yo batuk-batuk dan ia sudah merasa amat gemas karena ia tidak dapat mendengar percakapan itu dengan jelas. Suara batuk-batuk ini sudah dikenal baik oleh semua keluarga disitu. yakni bahwa si tua itu menghendaki supaya semua orang berhenti bercakap-cakap dan bubar.
“In Hong, sekarang kau sudah datang, itu bagus sekali. Kau harus tinggal disini dan tidak boleh keluar dari rumah. Tidak patut seorang gadis yang sudah remaja keluar dari rumah, terlihat oleh orang-orang lelaki yang bukan keluarganya! Biarpun kau sudah menjadi murid Hek Moli, aku tidak suka melihat kau berkeliaran di dunia luar rumah keluarga. Kau tinggal disini, belajar menyulam dan kerajinan tangan lain dari bibimu, dan kelak aku akan mencarikan calon jodoh yang baik untukmu.” Sambil berkata demikian, kakek ini menyedot huncwenya (pipa tembakaunya) dan melambaikan tangan menyuruh semua orang keluar dari situ.
Bukan main mendongkolnya hati In Hong. Ingin ia mendamprat kakek itu yang menghina gurunya, ingin ia berlari keluar dari rumah besar ini, karena untuk apakah ia tinggal lebih lama disitu kalau ayah bundanya, juga Can Ma tidak berada disitu?
Akan tetapi, isteri Yo Hang Tek sudah menggandeng tangannya dan pek-hunya telah memberi isyarat dengan mata sehingga ia menurut saja ketika digandeng keluar oleh isteri pekhunya.
Setelah tiba di luar ruangan dimana kakek itu masih duduk mengisap huncwenya, In Hong berkata kepada Yo Hang Tek:
“Yo-pekhu, maafkan bahwa aku tidak bisa lama disini. Aku harus pergi sekarang juga untuk mencari ibu dan Can Ma.”
Yo Hang Tek nampak terkejut, demikianpun Yo Kang.
“Mengapa begitu, Hong-moy? Kau berada di antara keluarga sendiri, jangan kau berlaku sungkan. Soal kong-kong, jangan kau pikirkan, orangtua itu sudah pikun dan tuli……”
“Kang-ji!” Ibunya membentaknya.
Yo Kang mengangkat pundak. “Hong-moy, jangan kau khawatir tentang ibumu. Akulah yang akan membantumu mencarinya lagi. Ketahuilah, aku seringkali keluar kota untuk mengurus perdagangan, dan di dunia kangouw aku mempunyai banyak sekali kenalan. Dengan bantuanku, lebih mudah bagimu untuk mencari ibumu.”
“Benar kata-kata kakekmu, In Hong. Tidak baik kalau kau keluar lagi. Kalau keluar, kau hendak kemanakah? Betapapun juga, harus kau akui bahwa tidak selayaknya seorang gadis seperti engkau merantau mencari ibumu sendiri, se-dangkan kau tidak tahu dimana adanya ibumu itu. Tinggallah disini, dan perlahan-lahan kita berdaya mencari ibumu.”
56
Tidak enak hati In Hong untuk berkeras. Di antara semua orang yang menjadi sanaknya ini, hanya Yo Hang Tek dan terutama sekali Yo Kang yang baik sikapnya dan menyenangkan hati, akan tetapi ibu Yo Kang sikapnya dingin saja, apalagi kakek berhuncwe itu! Ketika ia memandang kepada pekbo-nya (isteri uaknya), nyonya Yo ini berkata:
“In Hong, kau mendapat kamar di sebelah kiri kamarku,” kemudian ia berkata kepada Yo Kang, “Kang-ji, hayo kau suruh pelayan membersihkan kamar itu untuk In Hong.”
Yo Kang cepat pergi dan wajahnya gembira sekali.
Terpaksa In Hong menurut dan malam hari itu ia rebah di atas pembaringan dalam kamarnya. Ia hanya makan sedikit saja karena hatinya diam-diam amat berduka. Ayahnya tewas dibunuh orang tanpa ia tahu siapa pembunuhnya. Ibunya lenyap tanpa ada orang tahu dimana tempat tinggalnya dan apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Juga Can Mama lenyap diculik orang.
“Alangkah buruk nasib ayah ibu……” Dan dengan amat terharu ketika mengenangkan ayahnya, ia berbaring menelungkup dan menyembunyikan mukanya di atas bantal. Ia menangis sedih dan dengan seorang diri di dalam kamar, kini ia memuaskan hatinya dan membiarkan airmatanya membanjiri bantal.
Ia mendengar suara pekhu dan pekbonya bercakap-cakap di kamar sebelah. Pendengaran In Hong memang luar biasa tajamnya karena ia memang menerima latihan khusus dari gurunya untuk kepandaian ini. Akan tetapi ia tidak mau memperhatikan percakapan mereka yang hanya terdengar lapat-lapat karena terhalang oleh tembok tebal.
Tiba-tiba ia mendengar nama “In Hong” disebut-sebut dan suara mereka mengandung nada marah. Tertariklah hati In Hong. Kalau mereka tidak membicarakaan dia, iapun tidak nanti suka mendengarkan orang, akan tetapi setelah namanya disebut-sebut, ia lalu bangkit, duduk dan menempelkan telinganya pada tembok yang memisahkan kamarnya dengan kamar pekbonya.
“Menurut pandanganku, dia berjodoh dengan putera kita,” terdengar pekhunya bicara.
“Aah, tidak pantas, tidak pantas!” jawab pekbonya. “Dia menjadi murid iblis wanita, sudah belasan tahun tidak karuan tempat tinggalnya, kemana-mana membawa-bawa pedang. Aku tidak suka mempunyai mantu seorang wanita kasar, lagi pula dia tidak ada keluarga, boleh dibilang seorang anak yang terlantar.”
“Akan tetapi, amat sopan, sikapnya baik seperti orang terpelajar. Tentang ilmu silat, apa salahnya? Anak kita juga mempelajari ilmu silat, jadi lebih cocok. Laginya, In Hong harus diakui amat cantik jelita, dan Kang-ji kelihatannya tertarik dan suka kepadanya. Memang dia cantik sekali.”
“Apa artinya kecantikan bagi seorang mantu? Aku tetap tidak suka, laginya dia masih sanak dekat. Apakah kurang puteri-puteri bangsawan dan hartawan yang lebih cantik dari In Hong? Aku tidak suka.”
“Hm, kau tahu apa tentang hati laki-laki?” kata Yo Hang Tek sambil tertawa. “Kecantikan amat penting. Kalau kau tidak cantik, apakah dulu aku mau dijodohkan dengan kau?”
“Ngacau……!”
57
Sampai disini, In Hong melepaskan telinganya dari tembok, dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menangis makin sedih. Ia menutupi kedua telinga dengan bantal agar tidak mendengar percakapan mereka lagi. Akhirnya, karena lelah dan sedih, ia dapat tertidur juga, bahkan di dalam tidurnya ia masih terisak-isak beberapa kali.
Dengan memaksakan hati, In Hong tinggal di rumah gedung itu sampai beberapa hari. Ia sudah tidak betah sekali dan di dalam hati ia mengambil keputusan untuk segera meninggalkan tempat itu. Apalagi ketika terjadi hal yang amat menyebalkan hatinya, yang terjadi sepekan sesudah ia tinggal disitu.
Pada hari itu, ia melihat mandor she Kwa itu menyeret-nyeret seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun. Laki-laki ini terang adalah seorang kuli kasar, karena ia tidak memakai baju, hanya bercelana panjang yang sudah butut. Tulang-tulangnya menonjol keluar dan urat-uratnya menandakan bahwa dia biasa bekerja berat. Garis-garis pada mukanya menimbulkan kisut yang jelas sekali, tanda dari derita hidup yang pahit.
In Hong tengah duduk di ruang luar bersama Yo Kang, bercakap-cakap tentang rencana menyelidiki ibunya. Melihat mandor Kwa menyeret orang tua itu, Yo Kang kelihatan tidak senang dan terganggu.
“Ada apa lagi dengan kakek Lui itu, Kwa-lopek?” tanyanya tidak senang.
“Ia mencuri lagi, Yo-kongcu, sekarang ia mencuri gandum sebanyak lima kati!”
“Dasar sudah tak dapat diperbaiki lagi akhlaknya,” Yo Kang mengomel. “Sekarang dia harus dihadapkan kepada kong-kong.”
“Yo-kongcu, ampunkanlah hamba kali ini, jangan hadapkan pada Yo-loya…..” kakek yang disebut kakek Lui itu meratap.
Akan tetapi Yo Kang tidak perduli dan memberi isyarat kepada mandor Kwa untuk menyeret pencuri itu ke belakang, di ruang belakang yang biasa dijadikan tempat-duduk Yo Tang.
“Ada apakah dia?” tanya In Hong tertarik sekali.
“Ah, biasa saja. Mengurus orang banyak memang lebih sukar daripada mengurus sekumpulan kerbau. Mencuri dan mencuri saja kerjanya. Biar kong-kong yang membereskannya, aku sudah lelah mengurus soal pencurian-pencurian itu. Hanya terhadap kong-kong mereka itu mati kutu dan tunduk betul.”
“Apa yang akan dilakukan terhadap kakek Lui itu?” tanya In Hong mengeraskan hati sehingga suaranya terdengar biasa saja.
“Tentu saja dihukum. Kau mau melihat cara kong-kong membikin kapok para pencuri? Mari kita lihat!” Mereka berdiri dan menuju ke belakang. “Aku seringkali merasa heran bagaimana kong-kong seorang lemah itu ternyata pandai sekali mengurus orang-orang jahat.”
Ketika mereka tiba di ruang belakang, ternyata orang she Lui yang dituduh mencuri itu telah dihadapkan di depan kakek Yo yang mengisap huncwenya seperti biasa.
58
“Sudah tiga kali kau mencuri, ja?” Yo Tang membentak marah. “Tahukah kau apa yang kau akan alami kalau aku menyerahkan kau kepada pengadilan? Kau akan dihukum sepuluh tahun, dan melihat usiamu, kau akan mampus di dalam penjara!”
Pekerja she Lui itu lalu mengeluarkan suara rintihan dan sambil berlutut ia memohon: “Yo-loya yang budiman, mohon kau sudi mengampuni seorang miskin seperti hamba. Hamba bersumpah bahwa hamba takkan melakukan pencurian lagi, biar kelak tangan hamba keduanya dipotong kalau hamba membohong.”
“Hah, seharusnya kedua tanganmu dipotong sekarang juga! Kau sudah mencuri sampai tiga kali!”
“Ampun, loya……, ampunkan hamba……” kakek Lui itu menjadi pucat sekali dan airmatanya bercucuran.
“Sudah berulangkali kau mencuri, mana bisa ada ampun lagi? Kwa Liong, buntungkan kedua tangannya!”
Mandor she Kwa itu sambil menyeringai lalu mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, lalu menghampiri kakek she Lui yang menjadi pucat sekali.
“Ampun, Yo-loya…… hamba bersumpah akan bertobat…… hamba…… hamba harus memelihara keluarga hamba…… jangan buntungkan kedua tangan hamba, bagaimana hamba dapat bekerja mencari sesuap nasi untuk keluarga hamba……?” Ia menangis seperti anak kecil.
Yo Tang mengebulkan asap huncwenya dan berkata bengis:
“Kau benar-benar sudah bertobat? Nah, kali ini aku masih ampunkan kau dan aku hanya ingin mengambil jari kelingkingmu sebelah kiri sebagai hukuman dan peringatan. Ingat, lain kali aku takkan menghukummu, akan tetapi akan menyerahkan kau kepengadilan! Kwa Liong, buntungkan jari kelingkingnya sebelah kiri!”
Golok diangkat, berkelebat dan putuslah kelingking kiri dari kakek itu.
Kakek Lui meringis kesakitan, memegangi tangan yang terluka itu, akan tetapi wajahnya kelihatan lega dan girang. Ia berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Yo Tang.
Melihat ini, In Hong menjadi marah bukan-main. Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia masih keluarga dari Yo Tang, tentu ia sudah menghajar mandor itu bersama kakek she Yo. Namun ia tidak dapat berpeluk tangan saja, maka ia lalu melompat ke dekat kakek Lui dan bertanya:
“Kakek Lui, kau bekerja sebagai apakah?”
Kakek itu sudah tahu bahwa gadis ini adalah cucu dari Yo Tang, maka ia lalu menjawab penuh hormat: “Siocia, hamba adalah kuli pengangkut gandum.”
“Apa yang kau curi?”
“Lima kati gandum.”
59
“Mengapa kau melakukan kejahatan itu?”
Kakek itu nampak takut-takut dan melirik ke arah gagang pedang yang masih menghias belakang pundak In Hong. “Hamba…… hamba harus memelihara isteri dan seorang anak yang sudah janda bersama tiga orang cucu. Gaji hamba tidak cukup, mereka kelaparan dan terpaksa hamba…… mengambil gandum itu untuk menyambung nyawa cucu-cucu hamba……”
Berobah wajah In Hong. Ia memandang kepada kakek Yo dengan mata penuh kebencian, kemudian ia memandang kepada mandor Kwa dengan gemas. Ketika ia mengerling ke arah Yo Kang, pemuda ini mengejap-ngejapkan matanya, minta agar ia jangan memperlihatkan kemarahannya di depan kakek Yo. Maka sambil menarik napas panjang, In Hong mengeluarkan sepotong uang emas dari sakunya, memberikan itu kepada kakek Lui sambil berkata:
“Terimalah ini dan obati tanganmu sampai baik. Lain kali jangan mencuri lagi, akan tetapi usahakanlah agar kau dapat mencari pekerjaan yang lebih mencukupi hasilnya.”
Kakek Lui bengong dan dengan tangan gemetar ia menerima pemberian itu, lalu menangis terisak-isak, mengucapkan terima kasih dengan bibir gemetar sehingga tidak jelas kata-katanya, kemudian ia membungkuk-bungkuk keluar dari ruangan itu, diikuti oleh mandor Kwa.
Yo Tang melihat perbuatan In Hong dengan mata terbelalak dan ia sampai lupa untuk menyedot huncwenya. Beberapa kali ia menggunakan tangan menepuk-nepuk tangan korsinya sebagai tanda kemarahannya dan saking marahnya ia sampai tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Ia menyedot pipanya, akan tetapi apinya padam. Ketika ia bisa membuka mulut, ia berteriak-teriak:
“Hidupkan huncweku……! Bedebah, nyalakan huncweku!”
Yo Tang melangkah maju dan pemuda ini mencetuskan pembuat api untuk menyalakan ujung huncwe kakeknya.
“Kurangajar, In Hong apa yang kaulakukan tadi? Darimana kau mendapatkan uang emas yang kau hambur-hamburkan seperti pasir? Hayo jawab!”
In Hong mendongkol bukan main sehingga mukanya menjadi merah padam.
“Uang itu uangku sendiri, kudapat dari subo, kuberikan kepada siapapun juga adalah hakku,” jawabnya menahan marah.
Yo Tang membanting-banting kakinya. “Celaka! Uang dihambur-hamburkan, diberikan kepada kuli hina, kepada pencuri pula! Aha, bocah perempuan, kau belum tahu bagaimana sukarnya mencari uang, ya? Kalau kita semua mempunyai watak buruk seperti engkau, uang yang kukumpulkan sekian puluh tahun ini dalam sekejap mata akan musnah! Hei, Yo Tang, awaslah kau, jangan kau tiru watak bocah ini!”
Yo Kang berkata keras agar kong-kongnya mendengar, akan tetapi nadanya penuh hormat: “Kong-kong, adik In Hong memberi hadiah itu karena merasa kasihan kepada kakek Lui. Hong-moy belum tahu akan urusan dan keadaan disini, harap kong-kong sudi memaafkannya.”
60
“Keluar! Keluar kalian dari sini dan jangan mengganggu aku lagi! Kalau tidak kupanggil, bocah ini jangan boleh masuk ke ruangan ini!” teriak kakek itu marah-marah.
Yo Kang lalu mengajak In Hong keluar. Setibanya di luar ruangan itu, In Hong tak dapat mencegah lagi mengalirnya airmatanya.
“Hong-moy, kau tentu tersinggung. Maafkanlah, memang sudah kuberitahukau bahwa kong-kong amat pemarah dan pikun. Maklumlah ia sudah amat tua.”
“Tidak apa soal itu, twako. Akan tetapi…… semua kejadian ini…… benar-benar tidak cocok dengan isi hatinya. Mengapa kamu sekalian agaknya menggencet penghidupan para pekerja kasar yang miskin? Mengapa kalian begitu kejam?”
Yo Kang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. “Kau salah sangka, adikku. Kalau kami berlaku murah hati seperti yang kaulakukan, sebentar saja semua barang disini sudah habis digondol pergi oleh mereka. Sekarang ini tidak ada orang yang boleh dipercaya, semua pekerja adalah maling-maling yang selalu mengintai kesempatan. Kalau kami tidak bertindak dengan tangan besi, mereka akan makin berani. Ingatkah kau betapa di tempat tinggal orang tuamu, orang-orang miskin itu memberontak dan menyebar maut, merampok dan mengganas seperti binatang-binatang liar? Nah, itulah kalau mereka terlalu diberi hati.”
“Akan tetapi, pekerja-pekerja itupun manusia. Kakek Lui itu patut dikasihani, sungguhpun ia mencuri, namun lima kati gandum yang dicurinya itu untuk makan anak cucunya.” In Hong membantah.
“Itulah alasan mereka selalu. Kau tidak tahu, semua pekerja selalu mencari kesempatan untuk berkorupsi dan mencuri. Kalau orang-orang berpenghasilan rendah seperti kakek Lui masih dapat dimengerti, akan tetapi seperti mereka yang sudah mendapat penghasilan besar, tetap saja mereka mencari kesempatan itu. Yang berpenghasilan kecil mencuri untuk makan, katanya, akan tetapi yang berpenghasilan besar? Tak lain untuk memenuhi nafsu mereka yang tak pernah merasa puas dengan keadaan mereka. Marilah kau ikut aku, melihat-lihat tempat orang bekerja, dan kau akan melihat sendiri keadaan mereka, Hong-moy.”
Karena ia sedang mengalami kemendongkolan hati, maka In Hong pikir ada baiknya kalau ia melihat-lihat di luar agar hatinya terhibur. Berangkatlah kedua orang muda ini keluar dari gedung. Dengan gembira Yo Kang memperlihatkan perdagangan keluarganya, yang memang amat besar. Banyak sekali kuli bekerja di gudang-gudang itu, dan Yo Kang memperkenalkan orang-orangnya yang menjadi orang kepercayaan. Di setiap gudang terdapat seorang kepercayaan dan orang ini kelihatan pandai ilmu silat dan bertubuh kokoh kuat.
“Disetiap tempat pasti ada seorang pembantu kami yang boleh dipercaya dan memiliki kepandaian silat sehingga tidak ada pekerja yang berani main gila,” kata Yo Kang kepada gadis itu.
In Hong melihat betapa kuli-kuli itu bekerja berat sekali dan mengingat betapa mereka ini bekerja sekadar untuk mencari makan, itupun tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga keluarganya, In Hong merasa kasihan dan terharu sekali.
61
Kemudian Yo Kang mengajaknya ke tempat pengiriman barang yang dilakukan dengan dua jalan, yakni dengan jalan darat dan ada pula yang jalan air, mempergunakan perahu-perahu besar di sepanjang sungai yang akhirnya turun di sungai Yang-ce-kiang untuk dikirim ke pelbagai kota.
Yo Kang ternyata ahli betul dan mengerti sedalamnya tentang perdagangan keluarganya, tidak mengherankan apabila kong-kong dan ayahnya menyerahkan semua urusan kepadanya, sedetail-detailnya pemuda ini menjelaskan kepada In Hong tentang perdagangan itu, dan setelah ia selesai menuturkan semua ini, tahulah In Hong bahwa yang mendapat keuntungan besar bukan lain adalah keluarga Yo. Para pekerja, dari kuli-kuli angkut, sampai tukang-tukang perahu dan tukang-tukang mengirim barang melalui jalan darat, hanya mendapatkan upah sekadar cukup mereka makan saja.
“Kau mendapatkan untung begitu besar, kadang-kadang sampai lipat duakali dari modal. Mengapa kau dan kong-kongmu itu begitu pelit dan tidak menjamin kehidupan para pekerja kasar?” In Hong bertanya dengan berani.
Yo Kang mengangkat pundak. “In Hong moy-moy, sudah sepatutnya kalau kami yang mendapatkan keuntungan besar, karena bukankah kami sudah mengeluarkan modal besar, sudah membanting tulang memeras keringat dan menjalankan otak? Para pekerja itu hanya mengeluarkan tenaga kasar dan mereka tidak tahu apa-apa. Mereka sudah tertolong oleh perusahaan kami, karena tanpa ada perusahaan kami, bukankah berarti ratusan orang pekerja itu menganggur dan tidak bisa makan?”
“Hm, twako, agaknya kau lupa bahwa tanpa mereka, kiranya keluarga Yo dan modalnya juga akan beku. Harus diakui bahwa tenaga para pekerja itulah yang memutar jalannya roda perusahaan sehingga lancar, dan tenaga mereka pulalah yang mengalirkan keuntungan ke dalam kantong keluargamu.”
Yo Kang tertawa. “Ah, Hong-moy, itu sudah selayaknya dalam perdagangan. Siapa bermodal dia memegang kendali, siapa bodoh tentu hanya mendapat sedikit saja dari perasan keringatnya. Pula, harus kau ingat bahwa tidak selamanya kami mendapat untung. Kadang-kadang kami menderita rugi kalau harga barang-barang turun ketika sampai di tempat tujuan, belum lagi kalau ada gangguan orang-orang jahat di tengah perjalanan. Dewasa ini, banyak sekali muncul rampok-rampok yang suka mencegat dan mengganggu barang kiriman. Oleh karena itu, kami sengaja memelihara beberapa orang jagoan untuk mengawal setiap pengiriman, dan aku sendiri yang mengepalai dan memimpin mereka.” Pemuda itu membusungkan dadanya.
“Kau? Ah, twako, aku lupa lagi. Tentu kau pandai sekali ilmu silat, dan agaknya kau sudah banyak merantau di dunia kangouw.”
“Tidak berani aku mengaku sudah pandai, akan tetapi sedikit-sedikit ilmu silat pernah kupelajari. Dan biarpun aku belum merantau sampai ke seluruh penjuru dunia, akan tetapi nama Bu-tong-sin-to Yo Kang (Golok sakti dari Bu-tong), bagi semua tokoh sungai telaga (bangsa bajak) di sepanjang Yang-ce-kiang, tidak ada yang tidak mengenal dan tidak ada yang berani mengganggu barang kirimanku.”
“Jadi kau anak murid Bu-tong-pay, twako?”
“Benar, ketika aku berusia sepuluh tahun, kebetulan sekali barang kiriman ayah ada yang mengganggu, dan perampok-rampok itu dihajar habis-habisan oleh guruku, yakni Hoat Gi Thaysu dari kelenteng di Bu-tong-san. Karena ayah amat berterima kasih dan berpikir bahwa dalam keluarga Yo harus ada orang kuat untuk menjaga kalau-kalau barang-barang kiriman diganggu penjahat, maka aku lalu dikirim ke Bu-tong-
62
pay untuk belajar ilmu silat disana. Selama delapan tahun aku belajar disana sampai tamat, dan kiranya Bu-tong-pay tidak merasa kecewa mempunyai anak murid seperti aku. Dan kau sendiri, Hong-moy, kulihat kau mempunyai sebatang pedang yang gagangnya indah sekali, tentu kau juga pandai mainkan pedang, apalagi kalau diingat bahwa kau adalah murid dari Hek Moli yang amat terkenal di dunia kangouw.”
In Hong tersenyum dingin. “Orang lemah seperti aku bisa memiliki kepandaian apakah?” Ia teringat akan ucapan-ucapan para pekeja di gudang, maka ia menyambung: “Guruku hanya menaruh kasihan kepadaku maka ia membawaku, akan tetapi aku hanya belajar sedikit sekali. Tentang pedang ini, boleh disebut hanya untuk hiasan saja atau boleh juga dianggap untuk menakut-nakuti para penjahat agar ia jangan menggangguku.”
Yo Kang tertawa “Kau memang gagah sekali memakai pedang itu, Hong-moy. Akan tetapi jangan khawatir, kalau kau melakukan perjalanan bersamaku, aku tanggung tidak akan ada orang berani mengganggumu. Orang yang berani mengganggumu berarti sudah bosan hidup dan darahnya pasti akan diminum oleh golokku.” Ia menepuk-nepuk golok yang tergantung di pinggangnya.
Pada saat itu, serombongan orang datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Mereka ini adalah tujuh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat dan melihat dari sepatu dan pakaian mereka yang berdebu, dapat diduga bahwa mereka baru datang dari tempat jauh.
“Celaka, Yo-kongcu, celaka kali ini……” seorang di antara mereka, yang tertua dan bermuka panjang, berkata sambil terengah-engah. Orang-orang lain juga nampak kusut dan lelah sekali, mata mereka rata-rata memperlihatkan ketakutan dan kegelisahan.
“Cong-piauwsu, apakah yang terjadi?” tanya Yo Kang sambil mengerutkan alisnya.
Orang yang disebut Cong-piauwsu itu menarik napas panjang, menghapus peluhnya, kemudian berkata:
“Tujuh kereta gandum dan bahan obat yang kami kawal itu telah dirampas oleh seorang tosu dari Go-bi-pay.”
Yo Kang terkejut sekali. “Mengapa seorang tosu melakukan hal itu? Lekas ceritakan dengan jelas.”
Cong-piauwsu lalu menuturkan pengalamannya seperti berikut. Cong-piauwsu, seorang ahli silat yang menjadi pembantu Yo Kang, yang dianggap memiliki ilmu silat paling pandai, bersama enam orang pembantunya yang memiliki kepandaian tinggi pula, mengawal kereta-kereta itu menuju ke kota Hang-ciu. Ketika rombongan ini tiba diperbatasan propinsi Honan, di sebuah dusun yang baru menderita bencana kelaparan karena musim kering, mereka dihadang oleh sekumpulan orang dusun yang kurus-kurus dan kelaparan.
“Cuwi-enghiong, tolonglah kami dan berilah kami sedikit makanan untuk anak-anak kami yang kelaparan,” kata mereka.
Cong-piauwsu hendak menyumbangkan uangnya, akan tetapi para petani yang sudah kelaparan itu tidak mau menerima uang, apalagi setelah mereka mendapatkan kenyataan bahwa yang diangkut dalam kereta adalah gandum dan bahan obat, mereka kembali memohon agar supaya rombongan itu sudi menolong mereka dan meninggalkan sekereta gandum untuk menolong mereka dari bahaya kelaparan.
63
Tentu saja Cong-piauwsu tidak mau mengabulkan permintaan ini dan terjadilah keributan ketika orang-orang kelaparan itu nekad hendak mengambil gandum. Akan tetapi tentu saja orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat dan pula sudah lemah akibat beberapa hari tidak makan ini bukan lawan yang tangguh dari para piauwsu. Dengan mudah para piauwsu itu mengamuk dan merobohkan mereka, lalu kereta-kereta itu dijalankan cepat-cepat meninggalkan daerah itu.
Akan tetapi, baru setengah hari mereka berjalan, tiba-tiba mereka disusul oleh seorang tosu yang bertubuh tinggi kurus, usianya paling sedikit enampuluh tahun dan jenggotnya panjang sampai ke dada. Tosu itu mendahului rombongan, lalu berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan kanan ke atas, memberi isyarat supaya rombongan itu berhenti.
Cong-piauwsu dan kawan-kawannya segera majukan kuda menghadapinya, maklum bahwa tosu itu tentu bukan orang sembarangan karena larinya tadi demikian cepat sehingga dapat mendahului larinya kuda.
“Totiang, ada keperluan apakah maka totiang mengejar kami dan menghadang perjalanan rombongan kami?” tanya Cong-piauwsu setelah memberi hormat kepada pendeta itu.
Tosu itu tertawa perlahan sambil mengelus-elus jenggotnya.
“Melihat orang kelaparan tanpa mengulurkan tangan menolong padahal membawa makanan begini banyak, benar-benar hati kalian terbuat daripada batu!” katanya, suaranya halus akan tetapi berpengaruh.
“Totiang, harap maafkan kami dan harap suka mempertimbangkan keadaan kami. Kami hanya mengawal barang-barang ini, dan sama sekali kami tidak berhak memberikan kepada siapapun juga,” jawab Cong-piauwsu.
“Begitukah? Kalau begitu, tinggalkan semua kereta ini dan kalian kembalilah ke tempat tinggalmu, beritahukan kepada pemilik barang-barang ini bahwa pinto Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay minta pinjam bahan makanan dan obat ini untuk menolong daerah yang sedang diancam bahaya kelaparan dan penyakit.”
Cong-piauwsu menjadi cemas sekali, akan tetapi juga mendongkol. Terang sekali bahwa tosu itu tidak memandang sebelah mata kepada mereka, dapat mengeluarkan kata-kata dan perintah demikian enaknya.
“Totiang, barang-barang ini adalah milik dari Bu-tong-sin-to Yo Kang, pendekar muda dari Bu-tong-pay, yang mengirimkan barang-barang ini sebagai barang dagangan. Harap totiang sudi memandang mukanya dan jangan mengganggu pekerjaan kami. Sepulangnya dari Hang-ciu, tentu kami akan mampir disini dan kami akan membantu usaha totiang menolong penduduk dengan jalan mendermakan sejumlah uang.”
“Hm, jadi barang-barang ini milik murid Bu-tong-pay? Kebetulan sekali, pinto kenal baik dengan tokoh-tokoh Bu-tong-pay yang dalam hal ini pasti setujuan dengan pinto. Sampaikan terima kasihku kepada Yo-sicu atas sumbangannya berupa tujuh kereta makanan dan obat ini untuk mereka yang menderita.”
64
Tentu saja Cong-piauwsu tidak mau sudah begitu saja dan ia menjawab:
“Terpaksa kami tidak bisa meninggalkan kereta-kereta ini, totiang. Kalau sekiranya totiang membutuhkan bahan makanan, harap totiang suka datang sendiri ke See-ciu dan minta sumbangan dari Yo-kongcu. Kami harus melaksanakan tugas kami sampai beres, dan barang-barang ini harus kami antarkan sampai di Hang-ciu.”
“Urusan dengan Yo-sicu boleh menanti, akan tetapi perut orang-orang yang sudah kelaparan mana bisa menanti lagi? Pulanglah kalian ke See-ciu dan bagaimanapun juga, barang-barang makanan ini harus ditinggalkan disini!”
“Terpaksa kami menggunakan kekerasan, totiang.”
Akan tetapi, baru saja ucapan Cong piauwsu ini dikeluarkan, tosu itu menggerakkan kedua lengan bajunya dan tujuh orang piauwsu itu terlempar jatuh dari atas kuda! Dari sepasang lengan baju itu menyambar angin yang mendorong mereka.
“Demikianlah, Yo-kongcu,” Cong-piauwsu melanjutkan ceritanya kepada Yo Kang yang mendengarkan bersama In Hong, “kami bertujuh tentu saja tidak mau mengalah sampai disitu. Kami mencabut senjata dan maju menyerang tosu itu, akan tetapi Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay itu benar-benar lihay sekali. Tanpa senjata, hanya dengan ujung lengan baju, ia menghadapi kami dan tahu-tahu senjata kami telah dapat dirampas dengan gulungan ujung lengan baju itu! Terpaksa kami melarikan diri dan pulang untuk melaporkan hal ini kepada kongcu.”
Yo Kang mengerutkan keningnya dan ia kelihatan marah sekali.
“Hm, Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay benar-benar memandang terlalu rendah kepadaku, berarti ia tidak memandang kepada Bu-tong-pay. Panggil Ngo-losuhu (Lima orang guru tua) untuk berkumpul di rumahku, aku mau berunding dengan mereka. Kemudian kalian mengasohlah karena kalian segera akan be-rangkat lagi mengantar kami ke tempat itu.”
Setelah memberi perintah ini, Yo Kang mengajak In Hong pulang.
“Memang tosu itu memandang terlalu rendah kepadamu, toako, akan tetapi kalau memang betul ia merampas bahan makanan dan obat itu untuk menolong penduduk daerah yang kelaparan, aku harus menyatakan bahwa perbuatannya itu tidak bisa dibilang jahat.”
“Memang demikian, akupun berpikir begitu. Akan tetapi, tidak seharusnya ia terlalu lancang dan merampas barang kiriman. Siapa tahu kalau di Hang-ciu, bahan makanan itu juga dibutuhkan oleh orang banyak? Sepantasnya, meng-ingat akan hubungan antara orang-orang kangouw di dunia persilatan, ia boleh datang kesini dan kalau dia minta secara terus terang untuk menolong orang-orang sengsara, apakah aku begitu pelit untuk menolak permintaannya?”
Ketika kakek Yo mendengar tentang perampasan tujuh kereta gandum dan bahan obat ini, ia mencak-mencak di atas kursinya. Saking marahnya ia memukul-mukulkan huncwenya hingga pecah.
65
“Penjahat besar, tosu siluman, bedebah! Dia bikin aku rudin dan bangkrut! Yo Kang, kerahkan semua orang, panggil barisan penjaga keamanan kota, tangkap dia. Tosu siluman itu harus dijebloskan di dalam penjara, harus dipenggal lehernya!”
Ia menyumpah-nyumpah dan memaki-maki dengan suara keras dan menjadi begitu marah dan sedih seakan-akan seluruh harta bendanya benar-benar ludas dan habis dengan adanya kejadian ini.
Diam-diam In Hong menjadi sebal sekali. Ia tahu benar bahwa dibandingkan dengan jumlah kekayaan kakek ini, tujuh kereta barang itu hanya merupakan jumlah kecil saja, setitik air dalam air seguci, dan toh kakek itu seakan-akan kehilangan seluruh hartanya.
“Apakah begini watak semua hartawan?” pikir gadis ini dengan hati sebal.
Ia mulai merasa kecewa dan tidak puas, bahkan ia mulai mengingat-ingat bagaimanakah watak kedua orangtuanya yang dahulunya juga disebut-sebut orang kaya.
Sore hari itu, di ruang depan dari rumah gedung keluarga Yo, diadakan perundingan. Yo Kang dan ayahnya mengundang Ngo-losuhu yang ternyata adalah lima orang berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, dan mereka ini adalah pembantu-pembantu Yo Kang yang memiliki kepandaian tinggi.
Mereka tadi adalah kauwsu-kauwsu (guru-guru silat) dan kini dipekerjakan sebagai pelatih-pelatih kepada para pembantu Yo Kang yang mengawal barang-barang kiriman. Juga mereka ini berkewajiban membereskan kalau terjadi rintangan dan gangguan pada barang-barang kiriman. Akan tetapi oleh karena sekarang ini terjadi perampasan yang luar biasa dan besar, Yo Kang hendak mengurusnya sendiri dengan bantuan mereka.
Karena desakan Yo Kang, maka In Hong diperkenankan hadir dalam pertemuan ini. Ketika diperkenalkan kepada para kauwsu tua itu, In Hong memberi hormat selayaknya, akan tetapi lima orang kauwsu itu hanya membalas penghormatan In Hong dengan dingin saja. Mereka adalah orang-orang berkepandaian, sudah tentu tidak begitu memandang kepada In Hong yang dianggapnya hanya seorang gadis muda cantik yang manja dan yang berlagak seorang pendekar wanita!
In Hong diam-diam memperhatikan mereka. Menurut penglihatannya, di antara lima orang kauwsu itu, hanya seorang saja yang kelihatannya “berisi,” yakni yang bernama Pouw Cun. Mata kauwsu tua ini setengah terkatup seperti orang mengantuk, akan tetapi dari balik bulu matanya yang jarang itu, memancar sepasang sinar mata yang tajam dan bergerak-gerak cepat.
Juga hanya dia seorang di antara lima kauwsu itu yang tidak memegang senjata. Empat kauwsu yang lain semua membawa senjata. The Sun dan The Kwan dua saudara yang diperkenalkan sebagai guru-guru silat asal dari selatan, membawa pedang di pinggang mereka, sedangkan dua orang lagi adalah Tan Koay Kok yang membawa rantai atau pian lemas dan Lay Kiat yang bersenjata golok besar.
“Ngo-wi losuhu, sebetulnya, mengingat bahwa yang melakukan perampasan adalah Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay, sebetulnya aku tidak akan menarik panjang urusan ini. Biarpun aku belum pernah berjumpa dengan Wu Wi Thaysu, namun namanya sebagai tokoh Go-bi sudah cukup terkenal, dan pula harus diingat bahwa ia melakukan perampasan untuk menolong orang-orang yang menderita kelaparan.
66
Akan tetapi, kalau diingat lagi, perjalanan antara See-ciu amat penting artinya bagi kita. Sedikitnya tiga kali sebulan kita mengirim dan mengambil barang antara See-ciu dan Han-ciu. Kalau gangguan sekali ini dibiarkan saja, tentu para hek-to akan mengira kita lemah dan mereka akan mendapatkan contoh yang buruk,” kata Yo Kang.
“Wu Wi Thaysu adalah seorang tokoh besar dari Go-bi-pay, kalau aku tidak salah, dia adalah tokoh kedua atau murid dari ketua Go-bi-pay, Pek Eng Thaysu. Heran sekali mengapa seorang tokoh besar seperti dia mau melakukan atau mengurus hal semacam itu,” kata Lay Kiat dengan kening berkerut.
Memang, ketika mendengar bahwa yang melakukan perampasan adalah tokoh Go-bi-pay itu, Lay Kiat dan juga kawan-kawannya merasa gentar dan gelisah. Mereka sudah mendengar akan kelihayan tosu itu, dan pula kedudukan Wu Wi Thaysu amat tinggi di kalangan kangouw.
“Apakah yang akan kau lakukan selanjutnya, Yo-kongcu?” tanya Pouw Cun, suaranya perlahan akan tetapi jelas. “Harus kau ingat bahwa Wu Wi Thaysu kepadaiannya amat tinggi, bukan aku hendak berkata bahwa kau takut kepada-nya tetapi menanam permusuhan dengan pihak Go-bi-pay bukanlah hal yang cerdik.”
Yo Kang mengangguk. “Memang betul kata-katamu, Pauw-suhu. Aku sendiri juga ingin mencoba kepandaiannya, dan aku tidak takut. Akan tetapi aku ragu-ragu untuk bermusuhan dengan partai persilatan Go-bi yang demikian besar dan ternama. Tidak, aku tidak akan memusuhi Go-bi-pay, aku hanya ingin mengajak cuwi sekalian pergi menjumpainya dan hanya perlu untuk mencuci muka kita sekalian agar para penjahat tidak mengira kami takut. Terhadap Wu Wi Thaysu, aku hanya ingin minta penjelasan tentang pertolongan kepada mereka yang kelaparan itu, dan minta ia berjanji agar lain kali apabila ada keperluan, agar suka datang saja disini dan minta secara terus terang daripada mengganggu barang kiriman.”
“Baik, aku setuju dengan pikiran itu,” kata The Sun mengangguk-angguk. “Kapan kita akan berangkat?”
“Besok pagi-pagi, dan yang menjadi penunjuk jalan cukup Cong-piauwsu seorang saja. Tak perlu ramai-ramai, banyak orang menarik perhatian saja, seakan-akan kita hendak mengerahkan semua tenaga hanya untuk menghadapi seorang tosu,” kata Yo Kang.
Semua guru silat itu mengangguk setuju.
“Yo-twako, akupun hendak ikut,” tiba-tiba In Hong berkata.
Gadis ini sebenarnya tidak tertarik dengan urusan yang dihadapi oleh Yo Kang, akan tetapi ia memang tidak kerasan di rumah itu. Apalagi kalau Yo Kang pergi, ia takkan betah tinggal disitu.
Selain ini, iapun tertarik mendengar bahwa yang melakukan perampasan itu adalah seorang tokoh Go-bi-pay, karena bukankah gurunya ketika ia pergi juga sedang menghadapi tantangan pihak Go-bi-pay? Ia ingin sekalian bertemu dengan Wu Wi Thaysu itu, untuk bertanya tentang gurunya dan tentang pertandingan yang dilakukan oleh gurunya untuk menghadapi tantangan pihak Go-bi-pay.
Mendengar gadis itu hendak ikut, Yo Kang berseri wajahnya, akan tetapi lima orang guru silat itu memandang heran dan nampaknya tidak setuju. Hanya Pouw Cun saja yang tak berobah air mukanya, namun dari balik bulu matanya, ia menatap wajah In Hong dengan tajam.
67
“Kwee-siocia, perjalanan ini bukan main-main. Kami menghadapi orang yang telah mengganggu pekerjaan kami, siapa tahu akan terjadi pertempuran!” kata The Sun.
“The-kauwsu, kalau ada pertempuran, yang bertempur adalah kau dan kawan-kawanmu, itu tugasmu. Aku hanya ingin ikut saja untuk menambah pengalaman,” jawab In Hong ramah.
“Akan tetapi perjalanan ini tidak dekat dan melelahkan, dan bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa? Kami bahkan harus melindungimu, Kwee-siocia,” kata The Kwan yang juga tidak setuju.
“Belum kalau muncul orang jahat,” kata Tan Koay Kok, “maafkan siocia, akan tetapi mata orang-orang jahat akan menjadi gelap kalau melihat seorang gadis muda yang ehh…… cantik di tengah jalan. Tentu hanya akan menimbulkan keributan belaka.”
In Hong tersenyum dan memandang kepada Tan-kauwsu dengan mata berseri. Ia maklum akan maksud kata-kata ini dan tahu pula bahwa kauwsu tua ini bicara dengan sejujurnya, maka ia tidak marah.
“Tan-kauwsu, terima kasih atas pujianmu. Akan tetapi, tentang perjalanan jauh, agaknya tidak mengapa bagiku karena akupun biasa menunggang kuda. Bahkan kudaku masih terpelihara baik-baik di kandang Yo-twako. Adapun tentang orang-orang kurangajar, ada ngo-wi lo-kauwsu dan Yo-twako di-sampingku, aku takut apa sih?”
Akhirnya semua kauwsu itu menyerahkan keputusannya kepada Yo Kang dan semua mata memandang kepada pemuda ini.
“Hong-moy, soal kuda, aku mempunyai yang lebih baik daripada kudamu. Memang, dengan adanya ngo-losuhu bersama kita, kau tak usah khawatir terganggu orang dijalan. Akan tetapi, terus terang saja, perjalanan ini bukan tidak berbahaya. Agaknya akan lebih amanlah hatiku kalau kau tinggal saja di rumah. Urusan ini dikata kecil juga kecil, akan tetapi kalau dianggap besar juga amat besar.”
Walaupun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya, Yo Kang merasa amat gembira kalau nona yang mencuri hatinya ini ikut serta dalam perjalanan itu. Ia ingin sekali memamerkan keberanian dan kegagahannya kepada In Hong dan inilah kesempatannya.
“Yo-twako, memang aku tidak ada gunanya dalam menghadapi urusanmu yang besar ini, akan tetapi ingatlah, aku sekalian hendak mendengar-dengar tentang ibuku, hendak menyelidiki tentang Can Mama. Sekarang ada kesempatan baik sekali, mau tunggu kapan lagi?”
“Baiklah, Hong-moy. Memang kalau tidak ada peristiwa gangguan ini, akupun tentu akan mengantarmu melakukan penyelidikan itu,” akhirnya Yo Kang berkata dan demikianlah, mereka semua bersiap-siap untuk melakukan perjalanan itu pada keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali, berangkatlah rombongan terdiri dari delapan orang itu. Mereka adalah Yo Kang, In Hong, Cong-piauwsu, dan kelima Ngo-lokauwsu. Mereka menunggang kuda dan para guru silat itu merasa lega melihat bahwa In Hong benar-benar tidak kikuk ketika melompat naik ke punggung kuda.
Tadinya mereka sudah merasa khawatir kalau-kalau nona itu akan merupakan penghalang dan penghambat perjalanan mereka. Setelah melompat di atas punggung kudanya yang disediakan oleh Yo
68
Kang, In Hong berpaling dan tersenyum memandang mereka. Ia maklum bahwa gerakannya tadi diperhatikan, maka ja tidak memperlihatkan kepandaian, hanya melompat biasa saja seperti orang yang sudah pandai menunggang kuda namun tidak mempunyai ginkang yang luar biasa.
“Mari kita berangkat!” Yo Kang mengomando.
Yang terdepan adalah Cong-piauwsu sebagai penunjuk jalan, kemudian menyusul lima orang kawsu. Yo Kang menjalankan kudanya berendeng dengan In Hong, mengikuti dari belakang. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, Yo Kang merasa luar biasa gembiranya melakukan perjalanan ini. Jauh sekali bedanya dengan yang biasa ia lakukan, padahal kali ini menghadapi urusan besar yang menjengkelkan.
Semua ini tentu saja karena In Hong berada disampingnya! Memang, semenjak pertemuan pertama, hati Yo Kang sudah terampas oleh In Hong dan pemuda ini jatuh hati kepadanya.
“Jangan khawatir, Hong-moy, apapun yang terjadi, dengan adanya aku disampingmu, kau akan selamat. Aku menyediakan nyawa dan raga untuk melindungimu,” kata Yo Kang lirih.
In Hong berdebar hatinya mendengar kata-kata yang penuh arti ini dan ketika ia memandang, wajahnya menjadi merah. Sinar mata pemuda itu membuka semua rahasia hati dan diam-diam In Hong menghela napas gelisah. Hatinya risau ketika ia membaca rahasia hati pemuda ini.
Ia akui bahwa Yo Kang amat baik terhadapnya, akan tetapi ia tidak mengira bahwa sejauh itu perasaan hati pemuda ini terhadapnya. Karena ia maklum bahwa ia tidak mungkin membalas perasaan ini, dan karena ia teringat akan percakapan yang ia dengar antara ayah bunda pemuda ini tentang dia, maka ia menjadi risau dan kasihan kepada Yo Kang.
“Yo Kang, kau seorang pemuda yang baik, kuharap saja tidak kaulanjutkan perasaanmu terhadapku, aku tidak ingin melihat kau menderita,” demikian pikir In Hong sambil mencambuk kudanya untuk menghindari pernyataan Yo Kang tadi.
Betul saja, para penjahat tidak ada yang bernyali begitu besar untuk mengganggu rombongan ini. Mereka kenal baik kepada Yo Kang, apalagi disitu pemuda ini dikawani oleh lima orang kauwsu yang berkepandaian tinggi.
Sungguhpun banyak orang yang mengincar kecantikan In Hong dan mengincar pula perhiasan burung Hong dirambutnya, namun siapakah yang begitu berani mati untuk mengganggu gadis yang berada dirombongan orang-orang kuat itu? Apalagi, gagang pedang dipundak In Hong juga merupakan peringatan kepada mereka bahwa gadis yang berada di tengah-tengah rombongan sekuat itu tentulah bukan seorang gadis lemah yang mudah dijadikan mangsa.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di perbatasan propinsi Honan yang sedang terancam bahaya kelaparan. Sudah terlalu lama musim kering mengganggu daerah ini sehingga bagian yang jauh dari sungai tidak kebagian air dan para petani tidak berdaya. Tanam-tanaman pada mati dan kering dan persediaan bahan makanan sebentar saja habis dan tidak mencukupi.
Orang-orang kaya tentu saja dengan mudah dapat membeli dari daerah lain dan menyimpan persediaan yang cukup di dalam gudang mereka, akan tetapi bagaimana dengan kaum tani yang mengandalkan pengisi perut dari tanah sen-diri? Banyak orang yang sudah mati kelaparan, dan banyak pula yang
69
meninggalkan kampung halaman untuk hidup menjadi pengemis di daerah lain, sekadar untuk mengelak daripada terkaman maut yang merajalela di daerah sendiri. Lebih hebat lagi, penyakit bermacam-macam, terutama penyakit panas, berjangkit di daerah ini sehingga penderitaan rakyat kecil makin menghebat.
“Masih jauhkah tempat itu?” tanya Yo Kang kepada Cong-piauwsu. Pemuda ini sekarang bersama In Hong mendahului para kauwsu dan menjalankan kuda di dekat Cong-piauwsu.
“Ini memang daerahnya, akan tetapi dusun itu masih kira-kira sepuluh lie dari sini,” kata Cong-piauwsu. Berdebar juga hati Yo Kang setelah dekat dengan tempat yang dituju. Para kauwsu juga sudah bersiap-siap, menjaga segala kemungkinan.
Ketika mereka memasuki dusun pertama, kuranglebih enam lie dari tempat yang mereka tuju, mereka melihat orang-orang dusun yang kurus kering sedang berkerumun. Jumlah mereka ada tigapuluh orang lebih dan mereka sedang mengelilingi seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian compang-camping akan tetapi bertubuh tegap dan gagah. Laki-laki ini sedang membagi-bagikan beras kepada mereka dan wajah laki-laki yang tampan dan gagah ini nampak berseri.”
“Sabar dan tenang, saudara-saudara! Tak perlu berebut dan tak perlu tergesa-gesa. Kalian sudah cukup mengalami penderitaan dengan sabar, masa untuk menanti giliran pembagian saja tak dapat bersabar?”
Melihat hal ini, para kauwsu dan juga Yo Kang menjadi merah mukanya. Mereka berenam, juga Cong-piauwsu mengira bahwa beras itu tentulah beras mereka yang telah dirampas. Melihat barangnya dibagi-bagikan kepada orang banyak seperti itu, tentu saja mereka merasa mendongkol.
Adapun laki-laki gagah itu ketika melihat serombongan kauwsu ini, menghentikan pekerjaannya membagi beras, kemndian ia tertawa bergelak. Suaranya dan suara ketawanya keras dan nyaring, sikapnya terbuka sekali.
“Ha, ha, kalau tidak salah mereka inilah pemilik-pemilik gandum yang tempo hari dibagi-bagikan oleh Wu Wi Thaysu yang baik hati. Eh, apakah kalian datang untuk menambah sumbanganmu? Mana kereta-kereta terisi gandum? Kami amat membutuhkan!”
“Sungguh tak tahu malu! Merampas barang orang dan membagi-bagikan kepada orang lain tanpa seijin pemiliknya, sungguh tak tahu malu!” kata The Sun marah.
Laki-laki gagah itu lalu memberikan tugasnya membagi beras kepada seorang dusun, dan ia sendiri sekali melompat telah berhadapan dengan The Sun dan kawan-kawannya.
Laki-laki ini tadi terhalang oleh banyak orang maka In Hong tak dapat melihatnya dengan jelas, sekarang ia dapat melihat seorang laki-laki berusia paling banyak empatpuluh tahun, berpakaian compang camping dan bertubuh tegap. Sikapnya gagah sekali, mukanya tampan dan membayangkan kegagahan yang jarang dimiliki oleh laki-laki lain. Alisnya tebal dan giginya putih bersih serta kuat, wajahnya bersifat jantan dan cara ia bergerak menunjukkan bahwa ilmu silatnya tinggi sekali.
“Jadi kalian merasa penasaran dan datang untuk merampas kembali barang-barangmu? Ha, ha, ha, kalian ini seperti sekumpulan babi yang terlalu gemuk, yang kebingungan karena kehilangan sedikit
70
makanan. He, babi-babi gemuk, ketahuilah bahwa makananmu itu telah menghidupkan banyak sekali orang dusun. Masih penasarankah kau?”
Tentu saja lima orang kauwsu itu marah sekali dimaki babi gemuk. Tan Koay Kok yang wataknya paling keras, segera majukan kudanya dan membentak:
“Kau enak saja membuka mulut. Kau memaki kami babi, kalau begitu kaulah anjing kelaparan yang bermata buta, menyerang siapa saja untuk mendapat tulang kering guna mengisi perutmu yang tiada dasarnya!”
Orang itu tersenyum dan menggeleng kepalanya. Aneh sekali ketika ia tersenyum, In Hong melihat seperti ada bayangan kedukaan besar sekali dibalik senyum itu. Diam-diam ia tertarik sekali kepada orang ini dan memperhatikan.
“Sayang sekali bukan demikian, sahabat. Aku juga seorang yang kebetulan lewat di daerah sengsara ini. Melihat orang-orang kelaparan, aku lalu mencari beras untuk menolong mereka.”
“Tentu beras kami yang kau bagi-bagikan. Kau tentu kaki tangan dari Wu Wi Thaysu!”
Laki-laki itu menggeleng kepalanya. “Sungguhpun aku kagum kepada Wu Wi Thaysu, aku belum ada kehormatan bertemu dengan dia yang kini sedang sibuk mengobati orang-orang sakit di bagian lain, mempergunakan obat dari kereta-keretamu itu. Beras ini kudapatkan dari orang-orang hartawan yang mau tidak mau menyumbangkan persediaannya.”
“Dimana Wu Wi Thaysu? Kami hendak bertemu dengan dia!” kata The Kwan.
“Kalian hendak menagih utang? Tak perlu mencari Wu Wi Thaysu, kalau kalian datang bukan untuk membawa gandum guna menolong orang-orang banyak, lebih baik kalian pulang saja, jangan mengganggu pemandangan mata disini.”
“Jahanam busuk, kau kurangajar sekali. Tidak tahukah dengan siapa kau berhadapan?” membentak Tan Koay Kok sambil majukan kudanya.
Laki-laki itu tadinya sudah hendak kembali ke tempat orang banyak, mendengar bentakan ini ia membalikkan tubuhnya lagi dan matanya menyapu rombongan itu. Ia hanya memandang sekilas saja kepada In Hong dan agaknya menganggap tidak ada gunanya memandang gadis itu.
“Dengan siapa? Tadinya kusangka akan berhadapan dengan orang Bu-tong-pay yang berjiwa gagah, tidak tahunya hanya sekumpulan babi gemuk yang banyak lagak. Kalian mencari Wu Wi Thaysu mau apa? Kalau hendak mencari ribut, cukup dengan aku saja. Biar aku mewakili Wu Wi Thaysu menghajar kalian!”
Sebelum Tan Koay Kok turun tangan, Yo Kang sudah mendahuluinya. Pemuda ini melompat turun dan menjura kepada orang gagah itu.
“Maafkan kami, saudara yang gagah. Sesungguhnya kami merasa kagum melihat kau menolong orang-orang ini, akan tetapi sikapmu benar-benar terlalu kasar.”
71
“Siapa kau?” laki-laki itu membentak.
“Siauwte yang bodoh bernama Yo Kang, dan sesungguhnya siauwte pemilik barang-barang dalam kereta yang dirampas oleh Wu Wi Thaysu.”
“Jadi kau yang berjuluk Bu-tong Sin-to, anak murid Bu-tong-pay itu? Hm, seharusnya kau dapat menahan lidah orang-orangmu.”
“Maaf, dengan siapakah kami berhadapan? Saudara tentu seorang tokoh kangouw, dari golongan manakah gerangan?” tanya Yo Kang dan diam-diam In Hong memuji pemuda ini yang sikapnya jauh lebih baik daripada guru-guru silat tua itu.
“Aku? Ha, ha, aku akulah Bu Jin Ay, tidak ternama sama sekali. Yo Kang, kau mau apakah datang ke tempat ini?”
In Hong merasa geli dan juga terharu mendengar orang itu menyebutkan namanya. Mana ada orang yang bernama Bu Jin Ay (Tidak ada orang yang menyinta)? Tentu orang itu memakai nama palsu, pikirnya. Dan pikiran ini membuat ia diam-diam tersenyum. Cara orang itu memilih nama baik sekali!
Yo Kang juga bukan orang bodoh, dan ia tahu bahwa orang itu sengaja menyembunyikan nama aselinya.
“Aku hendak bertemu dengan Wu Wi Thaysu minta penjelasan. Tentang sumbangan, yah, kalau dipikir-pikir sesungguhnya ada banyak perbedaan antara minta sumbangan, pinjam, atau merampas! Yang paling akhir ini, biarpun di kalangan kangouw bisa disebut tidak pantas!”
Yo Kang mulai bicara dengan nada gemas, karena tadi ia mendengar orang ini memuji-muji Wu Wi Thaysu dan mengejek pihaknya. Dihadapan Wu Wi Thaysu, mungkin pemuda ini tidak berani bicara kasar, akan tetapi sikap orang ini yang amat berat sebelah benar-benar memanaskan perutnya dan membuat darah mudanya menjadi panas.
“Benar sekali kata-katamu, anak muda. Memang sebagai seorang murid Bu-tong-pay, kau patut mengerti akan hal itu. Akan tetapi kau masih muda dan masih hijau sehingga kau tidak dapat mengerti atau menduga bahwa Wu Wi Thaysu bukanlah orang yang merampas begitu saja. Aku berani bertaruh bahwa dia tentu lebih dulu minta atau minta tolong, baru merampas melihat orang-orangmu menolak permintaannya. Bukankah benar begitu?”
Cong-piauwsu mendengar ini, berobah airmukanya. Memang harus ia akui bahwa sebelum merampas, Wu Wi Thaysu telah berkali-kali minta tolong dan minta pinjam tujuh kereta terisi bahan makanan dan obat-obatan itu.
“Yo-kongcu, marilah kita melanjutkan perjalanan dan mencari Wu Wi Thaysu. Perlu apa mesti bercekcokan dengan orang luar?” katanya.
“Benar!” kata Tan Koay Kok yang gemas sekali melihat orang yang mengaku bernama Bu Jin Ay ini. “Perlu apa melayani segala jembel dan anjing kelaparan?”
72
Yo Kang menjura kepada Bu Jin Ay tanpa bicara lagi, lalu sekali melompat, dari tempat berdirinya ia telah berada di punggung kudanya, tanpa binatang itu nampak terkejut. Dengan gerakan ini, Yo Kang memperlihatkan ilmu ginkang-nya dan kemahirannya naik kuda.
Akan tetapi Bu Jin Ay menghadang di tengah jalan. “Kalau kalian hendak mencari Wu Wi Thaysu, boleh asal membawa lagi tujuh kereta gandum. Kalau tidak, jangan harap akan dapat melanjutkan perjalanan mengotori daerah yang sudah cukup sengsara ini!”
“Bedebah kotor, kau mau apakah?” Tan Koay Kok majukan kudanya. “Apakah matamu buta, tidak tahu bahwa kami berlima yang mengawani Yo-kongcu adalah Ngo-losu dari See-ciu yang tidak boleh dibuat main-main? Minggirlah, kalau tidak jangan katakan bahwa aku Liong-pian (Pian naga) Tan Koay Kok adalah orang yang suka menghina si lemah!”
Bu Jin Ay tertawa bergelak sehingga kuda yang ditunggangi oleh Tan Koay Kok menjadi kaget dan menggerak-gerakkan kepalanya.
“Ha, ha, ha, badut lucu! Kau sudah berani membuka mulut, maka kau harus didenda. Kau tidak membawa apa-apa, akan tetapi kudamu amat gemuk. Penduduk disini hanya menerima pembagian beras, sekarang kau mengantarkan kuda gemuk, banyak terima kasih!”
Tan Koay Kok marah sekali dan ia sudah mengeluarkan pian baja yang lemas dan panjang, dengan senjata mana ia menyabet dengan hebatnya ke arah kepala Bu Jin Ay. Tenaga dari Tan Koay Kok amat besar, maka sabetannya ini mengeluarkan angin dan kalau kepala orang itu terkena hantaman pian baja itu, tentu akan hancur berantakan. Akan tetapi apa yang terjadi?
Dengan tangan kosong, orang itu menerima serangan pian dengan mengibaskan tangannya. Dari samping, telapak tangan orang itu menghantam ujung pian sehingga senjata ini menjadi membalik dan menghantam kepala kuda yang ditunggangi oleh Tan Koay Kok sendiri. Terdengar suara keras dan kepala kuda itu pecah terpukul oleh pian, dan binatang itu roboh terguling!
Tan Koay Kok tentu akan ikut roboh pula kalau ia tidak cepat-cepat melompat ke samping, mukanya pucat sekali karena ketika pian tadi tersampok, ia tidak dapat menahan senjataya sehingga memukul kepala kudanya dengan amat keras! Dari sini saja ia sudah tahu bahwa lweekang dari orang aneh ini benar-benar hebat dan jauh lebih tinggi daripada tenaganya sendiri.
Bu Jin Ay tertawa senang. Dengan mudahnya, ia memegang empat kaki-kuda. Kaki depan dipegang dengan tangan kiri sedangkan kaki belakang dengan tangan kanan. Ia mengangkat bangkai kuda itu dengan ringan, melontarkannya ke tengah dusun didekat orang-orang dusun yang berkumpul menonton per-tempuran sambil berkata:
“Nah, kalian boleh membagi-bagi daging kuda gemuk ini!”
Orang-orang dusun itu menjadi gembira sekali dan sebentar saja kuda itu sudah dikuliti orang dan dagingnya dibagi-bagi.
“Kau benar-benar kurangajar!” The Sun membentak keras sambil mencabut pedangnya. Ilmu pedang dari The Sun amat lihay dan biarpun di atas kuda, ketika kudanya maju dan pedangnya berkelebat, sinar
73
yang terang menuju ke arah tenggorokan Bu Jin Ay. Pedang itu telah ditusukkan dan dengan gerak tipu Liong-teng-thi-cu (Ambil mutiara dikepala naga), serangan itu amat berbahaya.
“Kau juga iri dan hendak mendermakan kudamu? Kam-sia (terima kasih), kam-sia……!,” kata Bu Jin Ay.
Secepat kilat ia merendahkan tubuhnya sehingga ujung pedang lewat di atas kepalanya, kedua tangannya menangkap kaki depan kuda yang ditunggangi oleh The Sun dan menariknya ke atas. Tentu saja tubuh kuda itu menjadi berdiri dan The Sun tentu akan terlempar ke belakang kalau saja ia tidak mem-pergunakan kedua kakinya menjepit perut kuda dan mengerahkan tenaga lweekang pada kedua kaki.
Ia tidak tinggal diam dan dari samping pedangnya menyambar ke depan untuk menyerang orang yang memegang kaki depan kudanya. Akan tetapi Bu Jin Ay sambil tertawa menggerakkan kaki kanan menendang ke bawah perut kuda, mengenai dada kuda.
Tiba-tiba orang melihat tubuh The Sun terpental tinggi di udara dan baiknya orang ini cepat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat jatuh di atas tanah dalam keadaan berdiri. Mukanya juga pucat dan peluhnya membasahi muka. Tendangan Bu Jin Ay pada perut kuda tadi sekaligus melum-puhkan kedua kaki The Sun, karena tenaga lweekang yang disalurkan dari kaki ke perut kuda bukan main hebatnya. Ada pun kuda itu yang terluka isi perutnya, tewas pada saat itu juga.
Seperti tadi, kuda itupun dilempar oleh Bu Jin Ay ke arah orang-orang dusun yang cepat menerima dan mengulitinya!
Melihat ini, The Kwan dan Lay Kiat menjadi marah. Mereka melompat turun dari kuda dan masing-masing mencabut senjata. The Kwan memegang pedang dan Lay Kiat memegang golok dan tanpa banyak cakap mereka menyerbu, menyerang Bu Jin Ay dengan hebat.
Adapun In Hong ketika melihat dua kali gerakan Bu Jin Ay ketika merampas kuda tadi, dapat menduga bahwa kepandaian orang ini benar-benar tinggi dan agaknya kedudukan kakinya seperti ahli silat Siauw-lim-si.
Ia pernah mendengar penuturan yang jelas dari Hek Moli, bahwa seorang murid Siauw-lim-si kalau belum tinggi kepandaiannya, dilarang keras meninggalkan perguruan. Dan gurunya memuji-muji Siauw-lim-si sehingga Hek Moli sendiri yang sudah berani mengacau Go-bi-pay dan Kun-lun-pay, masih belum berani mencoba-coba untuk menguji kepandaian tokoh-tokoh Siauw-lim-pay yang jarang mau mencampuri dunia ramai itu.
Menghadapi serangan The Kwan dan Lay Kiat, Bu Jin Ay tertawa bergelak dan berkata dengan suaranya yang nyaring:
“Yo Kang, kaulihat, orang-orangmu begini tidak punya guna, bagaimana orang-orang macam ini akan kauhadapkan dengan Wu Wi Thaysu? Ha, ha, ha!” Tubuhnya berkelebat kesana sini dan biarpun golok dan pedang itu menyambar-nyambarnya, tak pernah dapat mendekatinya. Tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu pedang dan golok itu saling beradu, lalu terpental dan melayang ke kanan-kiri.
Lay Kiat dan Thio Kwan melompat mundur dengan muka berobah merah. Tadi, ketika mereka menyerang berbareng, entah bagaimana, pergelangan tangan mereka tertangkap oleh Bu Jin Ay dan
74
sekali menggerakkan tangan yang memegang pergelangan tangan kedua lawannya, Bu Jin Ay sudah memaksa mereka mengadu senjata sendiri, sedemikian kerasnya sehingga mereka tidak dapat menguasai tangan dan senjata mereka terlepas. Sebelum lawan merobohkan mereka, kedua orang yang tahu diri ini melompat ke belakang.
Bu Jin Ay tertawa-tawa dan ia melompat sambil menggerakkan kaki tangannya. Kuda tunggangan Lay Kiat kena dipukul kepalanya dan pecahlah kepala itu, sedangkan kuda tunggangan The Kwan tertendang dadanya, sehingga bunyi tulang-tulang patah dan kuda inipun roboh binasa. Bu Jin Ay dengan enaknya menyeret tubuh dua ekor kuda itu dan melemparkannya kepada orang-orang dusun yang kini kebanjiran daging sehingga berlebih-lebihan!
“Indah sekali gerakan Lauw-siang-goat (Mencari sepasang bulan) itu!” terdengar orang memuji dan baru saja pujian ini habis, tubuh Pouw Cun yang tadinya masih nongkrong di atas kudanya, tahu-tahu telah berada di depan Bu Jin Ay!
Bu Jin Ay tercengang mendengar orang mengenal gerak tipunya ketika menghadapi dua lawannya tadi, maka ia memandang tajam. Juga In Hong diam-diam kagum, ternyata dugaannya tidak keliru. Baru melihat pertama kalinya saja ia tahu bahwa guru silat yang pendiam dan matanya seperti selalu mengantuk ini ternyata berpandaian paling tinggi di antara kawan-kawannya. Dia sendiri yang tidak mengenal ilmu silat Siauw-lim-pay secara mendalam, tidak dapat mengenal gerak tipu yang dipergunakan oleh Bu Jin Ay tadi, sungguhpun ia dapat melihatnya dengan jelas sekali.
“Ha, Yo Kang bocah Bu-tong-pay, ternyata ada juga pengiringmu yang mempunyai mata tajam!” kata Bu Jin Ay sambil memperhatikan guru silat yang datang dan tidak membawa senjata ini.
“Bu Jin Ay sicu benar-benar hebat kepandaiannya. Aku si tua lemah Pouw Cun yang melihat kelihayanmu, melupakan kebodohan sendiri dan hendak mencoba-coba. Biarlah kudaku kudermakan kepada orang-orang dusun yang tidak kenal kenyang itu,” katanya.
Sambil berkata demikian, Pouw Cu tiba-tiba membungkuk, memegang atau lebih tepat menyangga perut kudanya dan sekali ia berseru, kuda itu terlempar ke atas dan jatuh tepat di atas pohon yang banyak cabangnya sehingga kuda itu tertahan disitu, meronta-ronta dan meringkik-ringkik ketakutan, akan tetapi tentu saja tidak berani melompat turun, apalagi memang ia tergantung sedemikian rupa sehingga keempat kakinya nyeplos di antara cabang-cabang!
“Orang-orang dusun boleh naik dan menurunkan kuda itu kalau aku sudah kalah olehmu, sicu,” katanya kepada Bu Jin Ay.
Menyaksikan demonstrasi tenaga lweekang yang hebat ini semua orang dusun meleletkan lidahnya. Diam-diam Yo Kang juga memuji karena ia tidak pernah mengira bahwa guru silat pembantunya yang terkenal pendiam tidak banyak omong ini ternyata lihay sekali, sungguhpun demonstrasi itu tidak meng-herankannya.
“Aha, Pouw-loenghiong benar-benar kuat sekali!” kata Bu Jin Ay, “mana bisa siauwte melawannya?” Akan tetapi biarpun mulutnya bicara demikian, namun tangan kakinya segera bergerak dan ia memasang kuda-kuda yang disebut Kwan-kong menarik busur. Inilah kuda-kuda seorang ahli lweekeh untuk menghadapi lawan yang memiliki tenaga lweekang yang tinggi pula.
75
Pouw Cun tersenyum. “Jangan sungkan-sungkan, sicu. Majulah!” Baru saja kata-katanya habis, tubuhnya sudah berkelebat maju dan ternyata ginkangnya hebat juga.
Dalam jurus pertama saja, Pouw Cun telah menyerang dengan dua gerakan sekaligus! Serangan pertama merupakan totokan dengan jari tangan kanan ke arah leher, disusul oleh tusukan jari-jari kiri ke lambung dan kaki kanannya terbang menyusul menendang lutut lawan!
“Bagus, kiranya lo-enghiong dari Hoa-san-pay!” kata Bu Jin Ay dan cepat pula ia mengelak dari tendangan dengan menggeser kaki, miringkan kepala untuk mengelak dari totokan ke arah leher sedangkan tusukan kelambung dapat di-tangkisnya.
Dua lengan beradu dan Pouw Cun merasa lengannya sakit dan terpental mundur, sedangkan Bu Jin Ay seperti tidak merasa sesuatu! Pouw Cun penasaran sekali dan mendesak terus, akan tetapi Bu Jin Ay memperlihatkan kegesitan serta tenaga lweekangnya yang memang masih menang tinggi. Tiap kali ia menangkis pukulan, Pouw Cun merasa lengannya sakit dan sebentar saja kedua lengannya telah merah-merah kulitnya!
Setelah membela diri selama duapuluh jurus, tiba-tiba terdengar Bu Jin Ay berseru “Maafkan, lo-enghiong, siauwte berlaku kasar!”
Pada saat itu, Pouw Cun mempergunakan gerak tipu Hoa-san soat-piauw (Salju melayang di Hoa-san), kedua tangannya bergantian memukul ke depan dengan gencarnya. Tiba-tiba kedua tangannya tertahan dan tahu-tahu kedua telapak tangannya telah menempel pada kedua telapak tangan lawannya!
Pouw Cun hendak menarik tangannya, akan tetapi ada tenaga dari telapak tangan Bu Jin Ay yang menyedot tangannya sehingga tangan itu menempel tak dapat dipisahkan lagi. Pouw Cun tahu bahwa lawannya hendak mengadu lweekang, maka ia mengerahkan seluruh tenaga dan ambekan, mengempos semangatnya dan kedua lengannya sampai mengeluarkan suara berkeretakan ketika ia mendorong dengan sekuat tenaga untuk merobohkan lawannya.
Namun, tubuh Bu Jin Ay seperti batu karang kokohnya. Bahkan orang ini masih bisa mengeluarkan suara ketawa, tanda bahwa adu tenaga ini tidak memerlukan seluruh tenaganya! Kemudian, setelah tenaga Pouw Cun dikeluarkan seluruhnya, dengan mendadak Bu Jin Ay melompat ke samping sambil menarik tangannya.
Tak dapat dicegah lagi, terdorong oleh tenaganya sendiri, Pouw Cun terhuyung ke depan dan akhirnya ia terjungkal ke depan. Baiknya sebelum hidungnya mencium batu yang tentu akan membocorkan hidungnya Bu Jin Ay mengaitkan kakinya dan sekali sontek tubuh Pouw Cun tidak jadi roboh, melainkan berjumpalitan ke atas dan kauwsu ini dapat berdiri kembali. Mukanya sebentar merah sebentar pucat, akhirnya ia menghela napas dan berkata:
“Sudahlah, aku orang she Pouw tiada gunanya, perlu belajar sepuluh tahun lagi untuk dapat mengimbangimu. Ambillah kuda itu, aku mengaku kalah.”
Bu Jin Ay lalu menghampiri pohon dimana kuda itu masih tertahan. Sekali ia mengayun tangannya, terdengar suara keras dan pohon itu terkena dorongannya lalu tumbang bagaikan didorong oleh gajah. Kuda itu tentu saja ikut jatuh, akan tetapi Bu Jin Ay menyambar kakinya dan sebelum tubuh kuda itu
76
terbanting, ia telah mengayun tubuh itu ke atas sehingga luput daripada kematian. Sambil menuntun kuda yang gemetaran itu, Bu Jin Ay menghadapi Pouw Cun dan berkata dengan wajah sungguh-sungguh:
“Pouw-loenghiong, siauwte sungguh kagum kepadamu dan dengan rela hati siauwte mengembalikan kuda ini. Harap lo-enghiong sudi memberi maaf kepada siawtee yang berlaku kurangajar tadi.”
In Hong makin kagum kepada orang itu yang ternyata bukanlah seorang kasar. Ternyata bahwa sekarang orang ini demikian sopan santun dan merendah. Ia benar-benar kagum dan menduga bahwa orang ini bukanlah seorang pendekar biasa. Makin ingin ia berkenalan dengan pendekar aneh ini.
Akan tetapi, ternyata bahwa biarpun pendiam, Pouw Cun adalah seorang yang berhati keras dan angkuh. Sekali ia berjanji, sampai mati ia tidak mau menarik kembali janjinya. Ia tersenyum pait, lalu menuntun kuda itu tanpa berkata sesuatu apa. Akan tetapi ia menuntun kuda itu kedekat orang-orang dusun, lalu tiba-tiba ia menghantam kepala kudanya sehingga pecah.
“Saudara-saudara yang amat membutuhkan daging ini, ambillah. Aku sudah berjanji untuk mendermakan milik yang tidak berharga ini!” Kemudian ia melompat kembali ke tempat kawan-kawannya.
Bu Jin Ay menarik napas panjang, lalu memandang kepada Yo Kang dan matanya mengharapkan agar pemuda ini tahu diri dan suka kembali, pergi dari situ.
“Seorang gagah berani berbuat berani bertanggung jawab dan tidak akan menyesali perbuatannya itu!” tiba-tiba terdengar suara yang lemah lembut dan merdu, oleh orang-orang lain terdengar perlahan saja akan tetapi pada telinga Bu Jin Ay amat menusuk dan keras sekali seperti bunyi guntur! “Air yang bersumber dari Sungai Huang-ho, mengalir kemanapun juga masih tetap hebat, dan kiranya Siauw-lim-si boleh diumpamakan Sungai Huang-ho yang besar dan megah!” Ucapan ini keluar dari mulut In Hong.
Yo Kang dan lima orang kauwsu, juga Cong-piauwsu memandang kepada In Hong dengan terheran-heran, sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis ini dan mengira bahwa In Hong telah lancang begitu saja, bersikap seakan-akan mengerti urusan kangouw.
Akan tetapi, Bu Jin Ay tiba-tiba memandang dengan mata memancarkan cahaya aneh dan kagum, juga tercengang sekali. Ia melangkah maju menghadapi kuda In Hong, lalu matanya terbelalak dan mulutnya teranganga.
Kedua tangannya bergerak menggosok-gosok matanya seakan-akan ia tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, kemudian ia menggeleng-geleng kepala, lakunya seperti orang gendeng.
“Aku mengimpi……,” bisiknya perlahan.
Kemudian ia dapat menguasai perasaannya, menjura kepada In Hong dan berkata:
“Aku Bu Jin Ay benar-benar telah buta mataku. Nona cilik benar-benar bermata awas. Kau membawa pedang yang gagangnya demkian indah, terang pedang pusaka dan siapa yang berani membawa pedang pusaka, tentu lihay kiam-hoatnya. Nona cilik turunlah dari kudamu dan cabutlah pedangmu. Aku si bodoh yang bermata buta mohon pengajaran dari murid orang pandai.”
77
In Hong merengut. Ia tak senang berkali-kali disebut “nona cilik.”
“Kau bicara seperti kakek-kakek bongkok dan pikun!” bentaknya. “Usiaku sudah sembilanbelas tahun, kau masih mau membadut mengatakan aku nona cilik?” Ia tetap di atas kudanya dan tidak mencabut pedangnya.
Bu Jin Ay memandang dan ia tersenyum, matanya berseri-seri, kelihatannya gembira sekali.
“Maaf, kiranya kau seorang cian-kim-siocia yang cantik dan gagah. Maafkan aku, dan sekarang, setelah kau mengeluarkan ucapan, apakah kau juga hendak mendermakan kudamu?”
“Biarpun orang Siauw-lim-pay, akan mengerti juga bahwa seorang gagah mempunyai rasa setia kawan. Kalau lima orang lo-kauwsu sudah mengorbankan kuda mereka, mengapa aku tidak? Sebaliknya, merampas kuda tunggangan seorang yang melakukan perjalanan jauh, hanya untuk memenuhi selera orang-orang yang sedang kelaparan, benar-benar tak dapat dikatakan menyenangkan hati.”
Mendengar ini, Bu Jin Ay menoleh kepada orang-orang dusun yang telah mendapat daging kuda sebanyak itu, lalu berkata:
“Hee! Kau dengar kata-kata nona gagah ini? Jangan habiskan daging-daging itu sekadar memenuhi selera kalian, akan tetapi keringkanlah agar dapat dipergunakan di hari-hari berikutnya. Jangan berpesta pora hari ini untuk kelaparan besok harinya!”
Kemudian ia menghadapi In Hong sambil berkata “Nona, setelah kau tiba disini dan mengeluarkan kata-kata, tak dapat tidak kita berdua harus main-main sebentar!”
“Kau turunkan aku dari kuda kalau kau dapat, dan kau boleh ambil kuda ini kalau kau bisa!”
In Hong menantang tanpa turun dari kudanya, juga tidak mencabut pedangnya. Sikapnya biasa dan anehnya wajahnya berseri-seri memandang kepada Bu Jin Ay, seakan-akan ia tengah bersenda gurau dengan orang gagah yang aneh itu.
“Begitukah? Kau anak nakal, kaukira aku tidak bisa melakukan itu? Awas, bersiaplah kau! Jawab Bu Jin Ay dengan sepasang mata bersinar-sinar dan mulut tersenyum. Dengan langkah tenang ia lalu menghampiri In Hong yang masih duduk di atas punggung kudanya.
Akan tetapi, sebelum Bu Jin Ay turun tangan, tiba-tiba Yo Kang melompat turun dari kudanya dengan golok di tangan. Ia cepat melompat di depan In Hong dan menghadang orang aneh itu, melindungi In Hong.
“Harap kau jangan mengganggu adik misanku! Hong-moy, jangan kau main-main dengan dia yang lihay dan berbahaya!”
Bu Jin Ay memandang tajam kepada Yo Kang: “Aku dan nona itu mau main-main sebentar, mengapa kau turut campur? Kau mau apakah?”
Yo Kang sudah maklum akan kelihayan orang aneh ini, maka ia tidak berani herlaku kasar. Sambil berdiri tegak di depan kuda In Hong, dan goloknya dilintangkan di depan dada, ia menjawab:
78
“Si kuat mengganggu si lemah, itulah bukan perbuatan seorang hohan (orang gagah). Kalau adik misanku telah mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan hatimu, biarlah aku Yo Kang yang menebus dosanya. Kau telah mengalahkan lima orang pembantuku dan merampas kuda mereka, biarlah kau sekarang memberi pelajaran padaku dan kalau perlu, jangan hanya kuda, biar nyawaku aku sediakan untuk membela nama dan membela adik misanku ini.”
Ucapan Yo Kang ini memang gagah dan In Hong diam-diam merasa terharu. Tak disangkanya bahwa pemuda yang terlahir dikeluarga kaya itu, ternyata memiliki kegagahan yang lebih berharga daripada seluruh harta kakek Yo Tang! Dan yang membuat ia terharu adalah cinta kasih pemuda ini terhadapnya yang kini telah dibuktikan dengan perlindungannya yang dimodali nyawa, sungguhpun Yo Kang tahu bahwa kepandaian orang aneh itu tinggi sekali.
Bu Jin Ay tertawa bergelak, lalu berkata: “Cinta membikin orang buta dan gila, akan tetapi tanpa cinta kasih, hiduppun tidak berguna! Anak muda, kau mau memamerkan ilmu golokmu? Marilah!” Sambil berkata demikian, orang aneh ini lalu menyerang, menerjang maju dengan tangan kanan mencengkeram kepada Yo Tang dan tangan kiri menyambar ke arah gagang golok untuk merampasnya.
Yo Kang sudah bersiap-siap, maka melihat datangnya serangan hebat ini, ia cepat melompat ke kiri dan membabat dengan goloknya ke arah lengan kiri, kemudian bebatan itu diteruskan dengan tusukan ke arah lambung lawannya.
“Bagus!” Bu Jin Ay berseru keras sekali sehingga kuda yang ditunggangi In Hong menjadi terkejut dan gelisah. Terpaksa In Hong menarik kendali kudanya dan membuat binatang itu melangkah mundur, menjauhi tempat pertempuran sampai kira-kira dua tombak dan dari situ ia menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian.
Ilmu golok dari Yo Kang adalah ilmugolok dari Bu-tong-pay aseli. Lima orang guru silat itu biarpun telah mempelajari ilmu silat bermacam-macam dan sudah pula mempunyai pengalaman bertempur, namun dibandingkan dengan Yo Kang, masih kalah.
Hal ini adalah karena biarpun Yo Kang hanya mempelajari satu macam ilmu silat, namun yang ia pelajari adalah ilmu silat aseli dari perguruan yang besar, sehingga ia dapat memetik sarinya dan ilmugoloknya benar-benar tidak boleh dipandang rendah. Goloknya berkelebat-kelebat bagaikan seekor naga mengamuk dan mata golok itu tergetar selalu sehingga kalau dipandang seperti lebih dari satu golok yang dipegangnya.
Menghadapi ilmugolok aseli dari Bu-tong-pay yang dimainkan dengan hebatnya oleh Yo Kang, orang aneh itu nampak terdesak. Namun anehnya, Bu Jin Ay tidak mau mencabut pedangnya dan hanya menghadapi golok itu dengan kedua tangan kosong.
Memang ia amat gesit, namun golok ditangan Yo Kang tentu saja lebih cepat gerakannya daripada gerakan orang mengelak sehingga golok itu terus menyambar-nyambar mengancam lawan. Yang mengagumkan sekali, kadang-kadang kalau ia sudah kehabisan waktu untuk mengelak, Bu Jin Ay dengan berani sekali mengibaskan tangan dan jari-jari tangannya menyentil golok itu sehingga terpental dan tidak jadi melukainya!
79
In Hong kagum sekali dan ia maklum bahwa Yo Kang takkan dapat memperoleh kemenangan, bahkan orang aneh itu sudah berlaku terlalu mengalah kepadanya. Kalau orang aneh itu mau mengeluarkan senjatanya, sudah dapat diduga bahwa dalam beberapa jurus saja Yo Kang akan roboh. Kalau dilihat-lihat, orang aneh itu seakan-akan hanya menguji sampai dimana kehebatan ilmu golok Yo Kang yang memang cukup baik dan patut dipuji.
Akan tetapi, tidak demikian pendapat Yo Kang. Pemuda ini merasa penasaran dan marah sekali melihat lawannya hanya menghadapi dengan tangan kosong. Inilah penghinaan hebat baginya. Belum pernah selama hidupnya goloknya yang membuat namanya amat terkenal dengan sebutan Bu-tong Sin-to (Golok sakti dari Bu-tong-pay) itu dihadapi orang dalam pertempuran dengan tangan kosong belaka!
Apalagi ia selalu berada dipihak yang mendesak, hatinya menjadi besar dan timbul nafsunya untuk mengalahkan atau merobohkan orang aneh ini, sungguhpun ia tidak mempunyai niat dihati untuk membunuhnya. Maka setelah tigapuluh jurus lewat belum juga ia dapat melukai Bu Jin Ay, ia menjadi penasaran sekali dan memutar goloknya lebih cepat lagi.
Bu Jin Ay agaknya sudah merasa puas. Melihat gerakan pemuda itu makin mengganas, ia tertawa bergelak dan berkata: “Yo-kongcu, kau betul-betul tidak mengecewakan telah mempelajari ilmu golok dari Bu-tong-pay. Untuk kepandaianmu yang kau pelajari amat baiknya ini, biarlah aku mengalah dan tidak jadi mengambil kudamu!”
Sambil berkata demikian, Bu Jin Ay melompat ke belakang menjauhi Yo Kang. Kata-katanya ini jelas menyatakan bahwa ia tidak ingin melanjutkan pertempurannya dengan Yo Kang.
Akan tetapi Yo Kang merasa penasaran dan gemas sekali. Tidak saja ia belum dapat merobohkan lawannya, bahkan kata-kata lawannya itu terang sekali menyatakan bahwa lawan tadi merasa diri jauh lebih unggul dan sengaja mengalah! Darah mudanya tidak membiarkan ia sudah begitu saja sebelum ada keputusan siapa kalah siapa menang, maka ia menubruk maju dan menyerang lagi dengan hebatnya.
“Aku masih belum kalah!” katanya penasaran.
Marahlah Bu Jin Ay. “Anak muda kepala batu! Jadi kau ingin sekali roboh olehku? Mudah saja, bocah. Awaslah pedangku!” Tanpa dapat terlihat oleh Yo Kang saking cepatnya gerakan tangan Bu Jin Ay, tahu-tahu tangan kanan orang aneh itu telah memegang pedang yang tajam dan terdengar suara “Traang!” yang nyaring sekali ketika golok Yo Kang beradu dengan pedang.
Yo Kang merasa telapak tangannya tergetar hebat dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangan. Akan tetapi dasar ia masih muda dan berdarah panas, ia tidak mau mundur dan bagaikan seekor harimau muda ia menubruk lagi sambil menyerang dengan goloknya.
Bu Jin Ay menangkis lagi dan kali ini setelah menangkis, pedangnya itu langsung meluncur ke depan, ke arah muka Yo Kang! Yo Kang yang kena ditangkis goloknya sehingga mental ke bawah, berlaku nekad. Ia membiarkan pedang lawan melayang kemukanya dan sebagai pembalasan, ia juga menggerakkan goloknya dari bawah menyabet pinggang lawannya! Gerakan ini cepat dan hebat sekali sehingga kalau pedang itu mengenai muka Yo Kang. agaknya goloknyapun akan berhasil membabat pinggang Bu Jin Ay.
“Celaka……” In Hong mengeluh dalam hatinya. Ia tidak mengira bahwa Yo Kang begitu bodoh dan nekad sehingga dalam pertempuran yang tidak berdasarkan permusuhan itu ia mau mengadu jiwa.
80
Ia tidak kenal siapa adanya Bu Jin Ay itu, yang baru dilihatnya sekarang, biarpun ia tertarik dan suka melihat sikap orang gagah ini, namun orang itu bukan apa-apa baginya. Sebaliknya, Yo Kang adalah kakak-misannya, maka betapapun juga, ia harus membantu Yo Kang, melepaskan pemuda itu dari ancaman maut yang agaknya sudah tak dapat dielakan lagi.
Sinar hitam meluncur dari tangan gadis ini tanpa ada orang yang melihatnya. Para kauwsu sedang asik menonton pertempuran, maka siapakah yang memperhatikan gadis di atas kudanya itu?
Ketika sinar hitam yang meluncur dari tangan In Hong itu tiba di tempat pertempuran, dua orang yang sedang bertempur berseru kaget. Bu Jin Ay kaget sekali ketika tiba-tiba pedangnya terpental seakan-akan terbentur oleh sesuatu. Sekelebatan ia melihat sinar hitam yang aneh sekali namun amat kuatnya. Sedangkan Yo Kang kaget bukan main karena tiba-tiba Bu Jin Ay mengangkat kaki menendang goloknya sehingga golok itu terpental dan terlepas dari pegangannya!
Yo Kang tidak berdaya lagi dan Bu Jin Ay amat marah melihat ada sinar hitam membentur pedangnya tadi. Ia tahu bahwa ada orang membantu Yo Kang, orang yang pandai sekali. Hal ini mendatangkan penasaran dan marah besar, maka setelah ia berhasil menendang golok Yo Kang sehingga terlepas, ia lalu menggerakkan pedang ke arah telinga pemuda itu untuk memotong telinga sebelah kanan!
Bukan main marah dan ngerinya hati In Hong melihat gerakan ini. Ia tahu bahwa kalau ia tidak turun tangan, Yo Kang tentu akan kehilangan telinga kanannya. Maka, seperti tadi pula, ia mengayun tangan dan sinar hitam menyambar. Kini bukan hanya satu, melainkan tiga sekaligus!
Sebetulnya, Bu Jin Ay tidak begitu keji untuk membuntungi telinga pemuda tampan itu. Ia sengaja melakukan hal ini untuk memancing keluar orang yang membantu Yo Kang. Kalau melihat Yo Kang terancam bahaya, tentu orang itu akan turun tangan lagi.
Pancingannya berhasil, karena kini tiga sinar hitam menyerangnya, satu ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang, yang datang terdahulu dan cepat sekali, kedua menyerang ke arah jalan darah dipundaknya dan ketiga menyerang lambung!
Bu Jin Ay kaget sekali, bukan saja karena hebatnya serangan sinar hitam ini, akan tetapi lebih kaget melihat bahwa yang melepas sinar-sinar hitam itu adalah nona muda yang duduk di atas kuda! Rasa kaget ini membuat ia termangu dan agak memperlambat gerakannya.
Ia dapat menarik tangan yang memegang pedang sehingga terluput dari sambaran sinar hitam, dan karena serangan sinar hitam pada lambung dan pundak datang berbareng, ia pikir yang menyerang lambung lebih berbahaya, maka ia menyampoknya dengan ujung lengan baju kiri dan mencoba untuk mengelak sinar hitam yang menotok pundak.
Akan tetapi, pada saat ia terancam bahaya, Yo Kang tidak tinggal diam. Pemuda ini setelah goloknya terlepas, lalu menggunakan tangan kiri memukul dada lawannya.
“Buk!”
Bu Jin Ay terhuyung mundur dan mukanya berobah. Bagi orang lain, juga bagi Yo Kang, dikira bahwa jago aneh itu terhuyung karena pukulan Yo Kang. Akan tetapi sesungguhnya, lweekang dari Bu Jin Ay
81
sudah sedemikian tingginya sehingga pukulan itu hanya mendatangkan sedikit rasa sakit pada dadanya, namun tidak mendatangkan luka berat. Yang hebat adalah serangan sinar hitam itu, karena tadi ketika ia mengelak, gerakannya kurang cepat dan ujung pangkal lengan dekat pundak masih terkena sinar hitam itu dan mendatangkan rasa ngilu dan perih!
Sinar hitam itu adalah kepandaian tunggal dari Hek Moli yang diturunkan kepada muridnya, yakni senjata rahasia berupa bubuk pasir hitam yang luar biasa lihaynya. Sekali mengenai kulit, pasir hitam ini akan menembus dan meresap ke dalam jaringan darah dibawah daging!
Bu Jin Ay tersenyum pait. Ia memandang kepada Yo Kang dan berkata: “Aku si bodoh terima kalah!” Kemudian ia menghadap kepada In Hong sambil bertanya:
“Nona, beritahukan namamu!”
In Hong merasa terkejut dan juga menyesal. Tadi ia menyerang orang itu karena mengkhawatirkan keselamatan Yo Kang, akan tetapi melihat cara Bu Jin Ay menarik tangannya, tahulah ia bahwa sambaran pedang ke arah telinga Yo Kang hanya gertak belaka, jadi orang itu tidak sungguh-sungguh hendak membuntungi telinga Yo Kang.
Ia menyesal sekali karena melihat pasir hitamnya telah melukai pundak Bu Jin Ay, dan ia maklum bahwa hal itu amat berbahaya bagi keselamatan orang gagah yang aneh itu.
“Namaku? Aku…… aku…… sebut saja aku Put Hauw Li (Anak perempuan tidak berbakti). Aku mempunyai obat untuk menyembuhkan lukamu……”
Akan tetapi, Bu Jin Ay sudah melompat jauh sekali dan berlari pergi, terdengar suara ketawanya dan suaranya lapat-lapat terdengar oleh In Hong, sungguhpun tidak terdengar oleh orang lain: “Namanya Put Hauw Li…… sungguh aneh…… airmukanya sama benar…… kepandaiannya lihay…… aahh……” Dan sebentar saja bayangan orang aneh itu lenyap.
Lima orang kauwsu menghampiri Yo Kang dan dengan muka merah The Sun berkata: “Yo-kongcu, kepandaianmu tinggi sekali sehingga kau berhasil dapat mengusirnya. Kami orang-orang tua tidak berguna, percuma saja mengawanimu.”
“Aah, kepandaianku tidak seberapa, The-kauwsu, hanya orang aneh itu yang berlaku mengalah. Sayang sekali bahwa ngo-wi yang mencari perkara dengan dia. Sekarang kuda kita tinggal dua lagi, bagaimana baiknya?”
In Hong majukan kudanya. “Yo-twako, kau mencari Wu Wi Thaysu bukan untuk bertempur, mengapa harus mencari kawan? Karena kuda yang masih ada hanya kudamu dan kudaku, marilah kita berdua saja mencari tosu itu.”
“Benar kata Kwee-lihiap,” kata Pouw Cun, karena guru ini setengah dapat menduga akan kelihayan In Hong, “biarlah kami berlima kembali jalan kaki, hitung-hitung untuk menebus dosa.”
Terpaksa Yo Kang menyetujui hal ini dan ia lalu pergi bersama In Hong, membalapkan kuda menuju ke dusun di depan setelah mendapat petunjuk dari Cong-piauwsu dimana tempatnya dusun yang pernah mencoba untuk merampas kereta berisi gandum.
82
Setelah mengalami pertempuran dengan Bu Jin Ay yang aneh, Yo Kang tidak berani berlaku sembrono lagi. Di dusun yang dimaksudkan, ia berlaku ramah-tamah dan halus, menanyakan kepada mereka dimana adanya Wu Wi Thaysu, seakan-akan seorang sahabat hendak mencari orang tua itu.
Ia mendapat keterangan bahwa Wu Wi Thaysu sedang berada di dusun yang sepuluh lie jauhnya dari situ, membawa kereta berisi bahan obat untuk menolong orang-orang yang sedang diamuk penyakit-penyakit panas, dan kebetulan sekali bahan obat yang dikirim oleh Yo Kang adalah obat untuk menyembuhkan penyakit demam panas.
Mereka akhirnya mendapatkan Wu Wi Thaysu sedang membagi-bagi obat kepada orang-orang dusun sambil memberi penjelasan cara memasak dan meminumnya. Melihat kedatangan dua orang muda ini, tosu yang sudah tua itu lalu mengoperkan pekerjaannya kepada seorang dusun yang sudah tua pula, dan ia menyambut Yo Kang.
“Wu Wi Locianpwe, maafkan boanpwe Yo Kang datang mengganggu pekerjaan locianpwe yang mulia, membagi-bagi obat kepada orang-orang dusun,” kata Yo Kang.
“Ha, Yo-sicu datang-datang menyindir. Memang obat-obat itu tadinya milikmu yang kurampas dari orang-orangmu. Kau tentu datang untuk menagih, bukan?”
“Tidak, locianpwe, hanya boanpwe mohon kepada locianpwe agar suka berjanji bahwa pengiriman-pengiriman selanjutnya takkan mendapat gangguan.”
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga jenggotnya berkibar-kibar. “Tidak bisa, tidak bisa. Pinto boleh berjanji, akan tetapi bagaimana dengan mereka yang membutuhkannya?”
Yo Kang mulai tidak senang. “Locianpwe benar-benar keterlaluan. Boanpwe adalah seorang pedagang, kalau terus menerus diganggu, bukankah perdagangan boanpwe bisa bangkrut?”
Mendengar ini, In Hong merasa kecewa. Sedikit banyak, pemuda ini sudah ketularan watak kakeknya, menganggap soal untung dan harta benda sebagai soal terpenting.
“Sudahlah, Yo-sicu. Pinto selamanya tidak mau hutang, kali ini hutang tujuh kereta, tentu akan pinto bayar pula. Karena pinto tidak beruang, dan tidak punya apa-apa, maka pinto hendak menukarnya dengan tujuh petunjuk ilmu silat agar Bu-tong-to-hwat (Ilmu golok Bu-tong-pay) yang kau pelajari bisa makin baik.”
Mendengar ini, Yo Kang merasa girang juga. Memang pemuda ini setelah mengalami kekalahan dari Bu Jin Ay yang aneh dan kemudian ia mendapatkan kemenangan yang aneh pula, ia merasa kecewa. Kalau tokoh besar Go-bi-pay ini mau mengajarnya dengan tujuan petunjuk, hal itu baik sekali. Memang iapun tidak menghendaki pembayaran hutang, karena bagaimanakah tosu ini dapat membayar harga dari tujuh kereta barang itu?
“Terima kasih atas kemurahan hati locianpwe,” katanya.
“Nah, cabutlah golokmu. Ingat baik-baik, ambil tujuh jurus penyerangan ilmu golokmu yang paling lihay dan pergunakan itu untuk menyerangku!”
83
Mendengar ini, Yo Kang tertegun. Ia mengira akan mendapat pelajaran ilmu silat, mengapa ia bahkan harus menyerang kakek itu?
“Jangan ragu-ragu, Yo-sicu. Kalau kau sampai berhasil melukai atau bahkan membunuhku, itu juga merupakan pembayaran yang baik sekali. Tujuh kereta bahan makanan dan obat, yang menolong ratusan nyawa orang, diganti dengan cucuran darah pinto yang tua bangka atau dengan nyawa pinto yang sudah bosan dikurung di tubuh bobrok ini, bukankah itu baik sekali? Sebaliknya kalau golokmu tidak berhasil, kau akan mendapat tambahan pelajaran yang amat berguna bagimu kelak.”
Akan tetapi Yo Kang tetap saja ragu-ragu, apalagi kalau ia ingat bahwa In Hong berada disitu. Ia tidak mau gadis itu akan mencelanya dan menganggapnya keterlaluan menyerang seorang kakek dengan goloknya, apalagi mempergunakan jurus-jurus terlihay dari Bu-tong-to-hwat. Tak terasa lagi ia menoleh kepada In Hong, seperti minta nasihat.
“Yo-twako, Wu Wi Totiang bermurah hati kepadamu, mengapa kau ragu-ragu untuk menerimanya? Lekas serang dia!” kata gadis ini.
Kini Yo Kang mengambil keputusan tetap. Peraturan “membayar hutang” ini ditetapkan oleh tosu itu sendiri, bahkan In Hong juga menyetujui, maka kelak ia takkan mendapat nama buruk.
“Siaplah, locianpwe, jurus penyerangan pertama boanpwe lakukan!” katanya dan setelah memutar golok, ia lalu menyerang dengan gerak tipu See-ceng-pay-hud (See-ceng sembah Buddha). Inilah jurus penyerangan yang amat lihay dari Bu-tong-pay dan kalau lawan tidak berkepandaian tinggi, sukarlah menghindarkan diri dari serangan golok ini. Sebelum golok menusuk ke dada, lebih dulu tangan kiri menyelok ke arah perut lawan untuk mengacaukan pertahanan dan golok menyusul dengan kecepatan kilat.
Wu Wi Thaysu bergerak lambat sekali, seakan-akan orang sedang bermain-main. Akan tetapi, ketika golok itu meluncur ke arah dadanya, ia miringkan tubuh, menggeser kaki ke kiri dan sekali tangannya berkelebat ke depan, sambungan siku tangan Yo Kang yang memegang golok telah kena disentil sehingga lengan itu gemetar dan goloknya terlepas dari pegangan!
“Ambillah golokmu, Yo-sicu dan lakukan penyeranganmu yang kedua,” kata tosu itu sambil tersenyum tenang.
Muka Yo Kang merah sekali. Ia merasa dipermainkan oleh tosu ini. Katanya hendak mengajar silat, akan tetapi ia disuruh menyerang dan kemudian dikalahkan dalam segebrakan saja, bukankah ia sengaja hendak mempamerkan kepandaian dan sengaja hendak menghinanya?
Saking malunya ia menjadi marah. Ia mengambil goloknya dan sambil berseru keras ia melakukan serangan yang kedua, kini ia menggunakan gerak tipu Liong-bun-kwa-hi (Dipintu naga tunggang ikan). Serangan ini bahkan lebih hebat dari pada serangan pertama. Golok mula-mula diputar merupakan gulungan sinar bundar lebar di depan tosu itu, kemudian tiba-tiba tubuh Yo Kang melompat tinggi dan golok itu dari bawah perutnya ditusukkan ke depan, ke arah leher tosu itu.
Seperti tadi, Wu Wi Thaysu bergerak perlahan sekali, akan tetapi setelah serangan tiba, ia cepat mengangkat kaki, mencokel jalan darah di mata kaki Yo Kang sehingga tubuh pemuda itu terapung
84
makin tinggi dan kakinya yang ditowel itu menjadi lumpuh, dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, goloknya kembali kena dirampas. Ketika ia turun lagi, kakinya tidak dapat berdiri lalu jatuh terguling!
Kalau tadi muka Yo Kang hanya merah saja, sekarang menjadi pucat. Ia hampir menangis saking malu dan mendongkolnya.
“Totiang, kau terlalu menghinaku……!” katanya marah sekali.
“Yo-twako, bagaimana sih kau ini? Wu Wi Totiang telah memberi pelajaran dan petunjuk yang begitu sempurna, mengapa kau marah? Seranganmu yang pertama tadi, tangan kirimu terlalu ke depan dan kalau menjaga siku kanan, bukankah penyerangan itu baik sekali dan kau takkan kalah? Dalam penyerangan kedua, seharusnya kau mengangkat tinggi kakimu sehingga tidak terbentang, kalau begitu, bukankah Wu Wi Totiang takkan dapat merobohkanmu?” tiba-tiba In Hong berkata dengan suara girang.
Yo Kang terkejut bukan main. Kini terbukalah matanya. Benar-benar tosu itu telah memberi petunjuk yang amat baik!
Di dalam kegembiraannya karena baru sekarang ia tahu akan maksud Wu Wi Thaysu menghadapi serangan-serangannya dan menjatuhkannya, maka Yo Kang tidak menaruh perhatian mengapa In Hong bisa tahu akan hal ini! Yo Kang tidak memperdulikan lagi betapa ia jatuh bangun, cepat ia maju menyerang dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling berbahaya dari ilmu goloknya Bu-tong To-hwat.
Namun, tosu tua itu benar-benar lihay sekali. Yo Kang tidak berani menganggap bahwa ia terpandai dan ilmu goloknya tidak ada yang dapat melawan, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa ada orang yang sanggup menghadapi goloknya hanya dengan tangan kosong belaka. Lebih hebat lagi, setiap jurus dari serangannya pasti dihancurkan oleh Wu Wi Thaysu, diketahui bagian yang lemah dan ia dirobohkan.
Sampai tujuh kali Yo Kang menyerang dengan jurus-jurus terlihay, dan tujuh kali pula ia tak berdaya, bahkan pada jurus ketujuh ia terlempar sampai tiga tombak lebih dan kepalanya benjol-benjol!
Akan tetapi pemuda ini, dengan terpincang-pincang menghampiri Wu Wi Thaysu dan menjatuhkan diri berlutut. Ia bukan seorang bodoh dan pada tiap penyerangan tadi, ia memperhatikan sekali bagaimana ia sampai roboh. Memang Wu Wi Thaysu bergerak lambat dan sengaja memberi petunjuk, sehingga Yo Kang tahu bagian mana dari penyerangan tadi yang kurang sempurna dan “terbuka.”
Dengan pengalaman ini, tujuh jurus ilmu goloknya yang pilihan menjadi sempurna dan dia dapat memperbaiki jurus-jurus ini sehingga tidak lagi terdapat lowongan yang membahayakan dirinya sendiri. Memang, inilah petunjuk yang jauh lebih bermanfaat daripada kalau ia menerima pelajaran ilmu silat lain.
“Totiang, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk-petunjuk totiang yang amat berharga tadi,” katanya.
Akan tetapi Wu Wi Thaysu tidak memperdulikannya, hanya mengebutkan lengan baju sambil berkata: “Sudahlah, itu untungmu kalau kau mengerti, akan tetapi kalau tidak ada nona ini, agaknya kau akan menderita kerugian besar.” Tosu tua itu memandang kepada In Hong dengan pandang mata curiga. “Tidak tahu siapakah nona yang begini muda akan tetapi memiliki mata yang amat awas?”
85
In Hong tersenyum dan menjura untuk memberi hormat kepada tosu itu.
“Wu Wi Totiang, urusan Yo-twako denganmu telah beres dan hutang pihutang itu telah dilunaskan. Memang tadinya aku hanya ikut saja dengan Yo-twako, akan tetapi setelah bertemu dengan kau orang tua dari Go-bi-pay, tak dapat tidak aku yang muda harus mohon sedikit keterangan tentang seorang tosu kurangajar yang bernama Tek Seng Cu!”
Berubah muka Wu Wi Thaysu mendengar kata-kata ini, sedangkan Yo Kang yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada In Hong dengan heran.
“Nona, kau siapakah dan ada urusan apakah kau dengan Tek Seng Cu?”
In Hong tersenyum dan kini senyumnya mengejek. “Wu Wi Totiang, salahkah dugaanku kalau aku katakan bahwa Tek Seng Cu manusia tak tahu diri itu adalah murid dari Go-bi-pay? Harap totiang tidak menyembunyikan dia dari aku yang muda dan yang mengharapkan penjelasan totiang.”
“Hong-moy, jangan kau kurang ajar terhadap locianpwe dari Go-bi-pay!” Yo Kang berseru karena ia merasa khawatir sekali melihat sikap In Hong. “Wu Wi Thay-suhu, mohon maaf sebesarnya atas kelancangan mulut adik misan teecu ini. Dia bernama Kwee In Hong dan dia……”
“Cukup, Yo-twako. Tak perlu kau mencampuri, ini bukan urusanmu, melainkan urusanku pribadi dengan pihak Go-bi-pay,” kata In Hong ketus sehingga Yo Kang terkejut melihat sikap yang baru baginya ini.
Kemudian gadis itu menghadapi Wu Wi Thaysu kembali dan berkata: “Nah, totiang, kau sudah mengetahui namaku. Bagaimana, apakah kau sudah bersedia untuk memberitahu kepadaku, dimana adanya Tek Seng Cu itu dan apa yang ia lakukan akhir-akhir ini?”
Wu Wi Thaysu menjadi mendongkol juga. Tek Seng Cu adalah cucu muridnya dan menjadi anak murid Go-bi-pay. Betapapun juga, urusan dengan Tek Seng Cu berarti urusan dengan Go-bi-pay dan urusannya juga, maka mau tidak mau ia harus membelanya.
“Nona, kau masih begini muda akan tetapi sikapnya keras mendesak, menandakan bahwa kau memiliki kepandaian dan menyombongkan kepandaianmu itu. Tek Seng Cu adalah murid Go-bi-pay dan urusan dia tak perlu diketahui oleh orang luar. Segala sesuatu yang menyangkut diri seorang murid Go-bi-pay, adalah urusan kami sendiri dan kami pula yang akan membereskannya. Orang luar tak perlu tahu!”
Sepasang mata yang indah itu mulai berkilat dan kalau orang tahu akan kebiasan In Hong, ia akan mengerti bahwa inilah tanda kemarahan dari gadis itu. Ia melangkah maju dan berkata, suaranya menantang:
“Wu Wi Totiang, aku yang muda dan bodoh sudah mendengar bahwa kau adalah tokoh kedua dari Go-bi-pay, dengan kepandaianmu yang tinggi menjulang kelangit. Tadipun sudah kusaksikan sendiri kelihayanmu, maka biarlah aku melupakan dalam ilmu pukulan darimu. Kalau aku kalah, sudahlah, kau boleh berbuat apa yang kausuka. Akan tetapi kalau kau mengalah dan tidak mau menjatuhkan aku, terpaksa aku mendesak terus dan kau harus memberitahu kepadaku perihal urusan Tek Seng Cu!”
Inilah kata-kata yang mengandung tantangan. Gadis yang begini muda berani menantangnya dan bertaruh kalau ia kalah supaya memberitahu tentang Tek Seng Cu, alangkah beraninya.
86
“Hong-moy……! Apakah kau sudah gila……?”
In Hong menoleh. “Mungkin juga, Yo-twako. Akan tetapi kunasihatkan agar supaya kau menjauhkan diri dan menonton saja dari jauh kalau kau tidak ingin dibikin terjungkir balik oleh Wu Wi Totiang yang lihay!”
Wu Wi Thaysu sudah dapat dibakar hatinya dan ia mendelik ke arah Yo Kang. “Orang muda, minggirlah dan jangan ikut-ikut!”
Yo Kang terkejut sekali dan cepat ia menuntun kudanya dan kuda In Hong, menuju ke sebatang pohon dimana ia mengikatkan kedua kuda, lalu berdiri bengong memandang ke arah dua orang yang masih berdiri berhadapan itu. Hati Yo Kang berdebar dan ia masih mengira bahwa In Hong terlalu ceroboh dan berani mati. Apa sih kepandaian gadis itu sehingga berani bersikap demikian kurangajar terhadap Wu Wi Thaysu yang tadi telah membuktikan bahwa kepandaiannya amat tinggi?
“Nona kau benar-benar memiliki keberanian besar sekali. Siapakah gurumu?”
In Hong tersenyum lagi, senyum yang mengandung ancaman. “Totiang, biarlah keterangan tentang guruku inipun kujadikan taruhan. Kalau aku kalah, baru aku akan memperkenalkan siapa guruku, sebaliknya kalau kau tak dapat mengalahkan aku, kau harus memberitahu tentang Tek Seng Cu. Bukankah ini sudah adil sekali?”
“Bagus! Kau majulah, dan jangan anggap aku seorang tua yang keterlaluan mau melayani seorang muda. Ini adalah kau sendiri yang mencari dan kau sendiri yang mendesakku. Agaknya kau terlampau dimanja dan biarlah hitung-hitung pinto memberi hajaran kepada seorang gadis manja!”
In Hong tersenyum geli. “Awaslah, totiang, aku yang muda dan bodoh hendak menyerang lebih dulu,” Baru saja kata-kata ini berhenti, tubuh In Hong sudah berkelebat maju dan melakukan serangan yang amat cepat gerakannya.
Hek Moli adalah seorang iblis wanita yang ganas dan ilmu silatnya pun selain aneh, amat ganas sifatnya. Maka serangan dari In Hong ini tidak berbeda dengan gurunya, cepat kuat dan ganas sekali.
Tadinya Wu Wi Thaysu sebagai tokoh besar di dunia persilatan, dan sebagai tokoh kedua dari Go-bi-pay, tentu saja tidak memandang sebelah mata kepada gadis yang begini muda, maka ketika In Hong hendak bergerak maju, ia telah terlanjur berkata:
“Majulah, kalau dalam duapuluh jurus pinto belum dapat mengalahkan, anggap saja kalah……”
Namun kata-katanya terputus ketika tiba-tiba bayangan In Hong, berkelebat dan tahu-tahu gadis itu sudah menyerangnya dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka. Dengan tubuh masih terapung ketika melompat tadi, In Hong sudah mengirim tendangan berantai dengan kedua kaki, tangan kanannya menotok leher, jadi sekaligus, dengan bertubi-tubi, gadis ini telah mengirim tiga macam serangan!
Bukan-main kagetnya Wu Wi Thaysu. Ia sampai mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat ia melompat ke kiri untuk menghindarkan tendangan berantai, dan melihat tangan kanan gadis itu dengan
87
cepat meluncur, mengejar lehernya untuk ditotok, ia segera mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menangkis.
Kibasan ini adalah ilmu silat tinggi dari Go-bi-pay yang disebut Siu-te-kiat-ciang (Dibawah tangan baju memotong tangan) dan lihaynya bukan main. Biarpun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan dengan tenaga lweekang tingkat tinggi, cukup kuat untuk mematahkan pergelangan lengan lawan!
Namun, apa yang terjadi? Terdengar suara “brett!” dan bukan pergelangan lengan kanan In Hong yang terpukul oleh ujung lengan baju, bahkan gadis itu cepat sekali menarik tangan kanan dan tangan kirinya yang sudah siap sedia itu mencengkeram dan sekaligus ujung lengan baju dari Wu Wi Thaysu robek dan hancur!
“Ganas…… ganas……!” Tosu ini berseru dengan keringat membasahi keningnya. Baru dalam gebrakan pertama saja, dengan susah-payah baru ia dapat menghindarkan diri dan mengorbankan ujung lengan bajunya! Kalau tidak mengalami sendiri, tentu ia takkan percaya.
Namun, In Hong yang mendengar bahwa ia akan dikalahkan dalam duapuluh jurus, sudah menjadi penasaran dan naik darah, maka ia tidak mau memberi kesempatan lagi dan terus mendesak dengan serangan-serangan aneh dan cepat sekali.
Sebaliknya, Wu Wi Thaysu baru terbuka matanya bahwa yang ia hadapi bukanlah gadis sembarangan yang ilmu silatnya dapat disamakan dengan Yo Kang, melainkan seorang lawan yang tangguh sekali, maka ia tidak berani berlaku sembrono lagi. Dengan penuh perhatian ia lalu menghadapi In Hong, menggerak-gerakkan kedua lengan sehingga terdengar bunyi tulang-tulang berkerotokan.
Inilah tanda bahwa tosu tua ini telah mengerahkan seluruh tenaga lweekang, membangkitkan tenaga sin-kang di dalam tubuhnya, yang hanya ia lakukan apabila menghadapi lawan berat. Sebetulnya, ia segan sekali harus mengeluarkan kepandaian ini menghadapi seorang gadis yang begitu muda, namun gebrakan pertama tadi sudah merupakan pelajaran pahit baginya bahwa ia sekali-kali tidak boleh memandang rendah kepada lawan muda ini.
Sebaliknya, dahulu In Hong sudah seringkali mendengar penuturan gurunya tentang pelbagai kepandaian istimewa dari cabang-cabang persilatan yang besar, maka ia sudah tahu bahwa Wu Wi Thaysu adalah seorang ahli lweekang yang berbahaya. Ia tahu bagaimana harus menghadapinya, maka diam-diam iapun mengerahkan khikangnya untuk menambah keringanan tubuh, kemudian mengandalkan ginkang yang luar biasa, ia melakukan penyerangan.
Bukan-main hebatnya pertempuran itu. In Hong menyerang cepat sekali, tubuhnya berkelebat kesana kemari sedangkan Wu Wi Thaysu berdiri memasang kuda-kuda yang teguh dan mengandalkan tenaga lweekangnya yang disalurkan dikedua lengan, menyampok, menangkis dan memukul apabila lawannya mendekat. Dilihat dari jauh, seakan-akan tosu itu adalah seekor harimau dan In Hong seekor garuda yang menyambar-nyambar dari atas.
Demikiancepat gerakan In Hong sehingga Wu Wi Thaysu tak pernah berhasil menyentuh tubuh nona itu, dan sama sekali tidak diberi kesempatan menyerang. Namun, bagi In Hong juga amat sukar karena hawa pukulan yang menyambar dari kedua Iengan tosu itu benar-benar amat dahsyat sehingga tiap kali ia hampir berhasil menyerang, ia selalu terpental kembali terdorong oleh hawa pukulan. Baiknya gadis
88
inipun telah memiliki sin-kang yang lumayan, maka dorongan hawa lweekang itu tidak mengganggunya, hanya membuatnya terpental mundur.
Yang bengong adalah Yo Kang. Pemuda ini berdiri menonton dan tak disadarinya, mulutnya ternganga dan sepasang matanya melotot tanpa berkedip. Mimpipun tidak pemuda ini bahwa In Hong dapat mempunyai kepandaian sehebat itu. Matanya sampai berkunang-kunang karena ia tidak dapat mengikuti kecepatan gerak tubuh gadis itu!
Setelah sadar karena merasa matanya pedas, ia menarik napas berulang-ulang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mukanya merah sekali kalau ia teringat betapa ia tidak memandang mata kepada gadis ini!
Duapuluh jurus lewat cepat sekali karena serangan-serangan In Hong memang dilakukan tanpa berhenti. Di dalam duapuluh jurus ini, Wu Wi Thaysu hanya sempat membalas dengan serangan tiga jurus saja, inipun serangan sambil lalu karena ia tidak diberi kesempatan sama sekali.
In Hong tidak mempunyai niat untuk mencelakakan atau untuk memperhebat pertandingannya dengan tosu ini. Sepak terjang tosu ini ketika merampas bahan makan dan obat lalu membagikan kepada rakyat, telah membuatnya kagum maka ia tidak ingin bermusuh dengan orang tua ini.
“Wu Wi Totiang, duapuluh jurus telah lewat, masih harus diteruskankah pertandingan ini?” tanyanya sambil terus menyerang.
Wu Wi Thaysu menjadi merah mukanya dan ia berseru: “Tahan……!”
In Hong melompat ke atas, berjungkir balik beberapa kali kemudian berdiri menghadapi tosu itu dengan bibir tersenyum dan sama sekali tidak kelihatan lelah.
“Ginkangmu hebat sekali, nona. Murid siapakah kau sebenarnya?” tanya tosu itu dengan kagum.
“Ingat, totiang. Aku tidak kalah, bukan semestinya aku bicara tentang guruku, bahkan seharusnya kau bicara tentang Tek Seng Cu!”
Wu Wi Thaysu tersenyum pahit dan kembali menarik napas panjang. “Baiklah, baiklah, aku akan memberitahu kepadamu, akan tetapi setelah aku mengenal ilmu pedangmu. Kau membawa pedang yang begitu indah, pasti aku akan melihat kiam-hoat yang jempol. Kalau dalam sepuluh jurus permainan pedang aku belum dapat menebak kau murid siapa, biarlah aku mengaku kalah betul-betul dan akan menuruti segala permintaanmu!” Sambil berkata demikian, Wu Wi Thaysu mencabut pedangnya.
Tosu ini hendak berlaku cerdik. Go-bi-pay terkenal sekali akan ilmu pedangnya yang lihay, dan selain Wu Wi Thaysu telah menguasai delapan bagian dari Go-bi-kiam-hoat, iapun terkenal sebagai seorang ahli pedang yang mengenal hampir semua ilmu pedang di dunia persilatan. Dengan menantang bermain pedang, tidak saja ia hendak menebus kekalahannya tadi juga ia ingin tahu murid siapa adanya gadis aneh ini. Ia percaya bahwa setelah melihat ilmu pedang gadis ini, ia akan dapat mengetahui dari cabang mana datangnya ilmu kepandaian itu. Boleh jadi ia tidak mengenal ilmu silat tangan kosong, akan tetapi tak mungkin ia tidak mengenal ilmu pedang.
89
Tentu saja In Hong yang cerdik maklum pula akan siasat tosu tua itu, maka ia tersenyum sambil mencabut pedangnya.
“Bukan aku yang mendesak, sebaliknya kau sendiri yang berjanji, totiang. Terima kasih sebelumnya bahwa kau hendak menuruti segala permintaanku, asal saja kau orang tua tidak membohongi aku orang muda.”
Kata-kata ini mengandung sindiran. Tadi Wu Wi Thaysu sudah mengeluarkan kata-kata bahwa kalau gadis ini mampu menandinginya selama duapuluh jurus, ia akan menerima kalah, akan tetapi kemudian ia mengajak bertanding pedang. Hal ini agaknya dipergunakan oleh In Hong untuk menyindir padanya dan menyatakan bahwa dia membohong!
“Kwee-lihiap, aku orang tua bangka mana sudi membohongimu? Tadi aku memang sudah mengaku kalah dan tentang Tek Seng Cu, pasti akan kuceritakan, sungguhpun kau akan kalah dalam pertandingan pedang ini. Go-bi-pay tidak ada rahasia busuk, mengapa takut menceritakan? Hanya aku masih penasaran dan ingin sekali menerka kau ini murid siapa!”
“Kalau begitu, lihatlah ilmu pedangku ini, totiang!” seru In Hong sambil tertawa.
Wu Wi Thaysu melihat sinar terang meluncur cepat. Ia tidak mengenal pedang pusaka Liong-gan-kiam, karena setelah mencuri pedang itu dari istana, Hek Moli tidak pernah mempergunakannya dan memberikan pedang itu kepada In Hong.
Dengan penuh perhatian Wu Wi Thaysu menghadapi ilmu pedang dari gadis itu yang juga amat ganas, cepat dan kuat sekali gerakannya. In Hong tidak takut bahwa tosu ini akan mengenal ilmu pedangnya, karena ia tahu bahwa gurunya, yakni Hek Moli, selalu mempergunakan tongkat sebagai senjata, dan ilmu tongkat dari gurunya itulah yang digubah menjadi ilmu pedang untuknya. Biarpun gerakan-gerakannya sama, namun ilmu tongkat tak dapat disamakan derigan ilmu pedang dan dengan hati besar gadis ini lalu mengerahkan kepandaiannya untuk mendesak Wu Wi Thaysu.
Akan tetapi, ia harus mengakui kelihayan tosu ini dalam ilmu pedangnya. Ilmu pedang Go-bi-pay amat kuat dalam pertahanannya dan pedang di tangan tosu itu berputar-putar cepat sekali merupakan tembok baja yang kuat dan kokoh melindungi tubuhnya sehingga sukar ditembus oleh pedang di tangan In Hong.
Makin terkejutlah hati Wu Wi Thaysu. Tidak saja ia belum pernah melihat ilmu pedang yang amat aneh dan kuat ini, juga untuk mengalahkan gadis ini dalam permainan pedang saja, agaknya akan memakan waktu lama sekali baginya. Bukan main indah dan ganasnya ilmu pedang yang dimainkan oleh nona Kwee ini sehingga tubuh nona itu lenyap terbungkus oleh sinar pedang yang berkilauan.
Ia sudah mencoba untuk mendobrak dan membalas serangan In Hong, namun sia-sia belaka karena ia kalah cepat. Dan dengan pengerahan tenaga dan pencurahan perhatian untuk mengalahkan ilmu pedang gadis ini, ia makin sukar mengenal ilmu pedang itu.
Sepuluh jurus lewat amat cepatnya, dan terdengar tosu itu berkata dengan suara keras:
90
“Kwee-lihiap, terus terang saja aku belum mengenal ilmu pedangmu. Aku takkan menarik janji, dan kau boleh minta apa saja nanti, akan tetapi teruskan permainanmu sampai sepuluh jurus lagi, kiranya pinto akan dapat menduga dari siapa kau memperoleh semua ilmu yang aneh ini!”
In Hong makin gembira. Terdengar ia tertawa nyaring dan kini ilmu pedangnya makin hebat. Sengaja gadis ini mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling lihay dari ilmu pedangnya yang dinamai Toat-beng-kiam-hoat (Ilmu pedang mencabut nyawa) oleh gurunya! Tidak saja ia hendak membikin tosu itu menduga-duga dengan bingung, akan tetapi juga darah mudanya membuat ia mempunyai keinginan mengalahkan tosu ini dalam ilmu pedang!
Dalam jurus keduapuluh, In Hong mempergunakan ilmu pedangnya dengan gerak tipu yang paling lihay, yakni yang disebut Tho-sim-toat-beng (Mencuri hati mencabut nyawa). Pedangnya berputar dan berkelebatan seperti seekor rajawali hendak menyambar korban, sukar sekali diduga kemana arah yang hendak dilalui, dan tiba-tiba, tanpa terduga-duga, pedang ini menyambar dengan tusukan kilat ke arah hati atau dada kiri lawannya!
Wu Wi Thaysu berseru keras dan cepat ia menggerakkan pedang melindungi dada, karena untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi! Dua pedang bertemu, menempel keras dan tak dapat dilepaskan lagi. Kalau Wu Wi Thaysu tidak menang dalam tenaga lweekang, tentu ia tak keburu melindungi dadanya dan ujung pedang In Hong hanya terpisah setengah dim saja dari bajunya.
Akan tetapi, berkat tenaga lweekangnya yang masih lebih kuat daripada In Hong, ia dapat mendorong gadis itu dan sambil mengerahkan tenaga ia berseru keras. In Hong terhuyung mundur dan terpental seakan-akan tertiup angin badai!
Gadis ini pucat, akan tetapi merasa lega bahwa ia tidak terluka. Kiranya Wu Wi Thaysu memang tidak bermaksud buruk dan ia tadi hanya mengerahkan khikang untuk membikin gadis itu terpental. Kalau ia mau mempergunakan lweekang sekuatnya, pasti In Hong akan terluka di dalam tubuhnya.
“Siancay, siancay……, ilmu pedangmu benar-benar hebat, Kwee-lihiap,” kata-kata ini memang sejujurnya, karena ia yang sudah memiliki delapan bagian atau hampir seluruhnya dari Go-bi-kiam-hoat, dalam duapuluh jurus tidak dapat mengalahkan ilmu pedang gadis itu, bahkan hampir saja ia menjadi korban.
Kemenangannya tadi bukan karena ilmu pedang, melainkan karena ia memiliki tenaga lweekang yang lebih kuat. Maka ia merasa penasaran dan juga kagum sekali, akan tetapi ia sekarang teringat. Yang dapat menghadapi Go-bi-kiam-hoat dari suhunya yang tua, yakni Tek Eng Thaysu ketua Go-bi-pay, adalah Hek Moli, Iblis Wanita hitam itu. Biarpun Hek Moli mainkan tongkat, namun keganasan dan kecepatannya hampir sama dengan gerakan gadis ini.
“Kwee-lihiap, kalau kau bukan murid Hek Moli, aku si tua bangka tidak mampu menerka lagi murid siapakah kau ini.”
In Hong menjura. “Wu Wi Thaysu, tebakanmu yang tepat ini menambah kekagumanku atas ilmu pedang Go-bi-kiam-hoat yang benar-benar indah dan luar biasa. Aku terima kalah.”
“Kau pandai bersombong dan pandai merendah. benar-benar kau seperti gurumu. Eh, sekarang aku harus bayar hutang. Kau hendak bertanya tentang Tek Seng Cu?”
91
“Benar, totiang,” In Hong menjadi gembira dan menyimpan Liong-gan-kiam.
“Dia sudah tewas!”
In Hong melengak.
“Jadi subo yang……”
“Ya benar, mendiang gurumu yang menewaskannya.”
“Apa katamu, totiang?” In Hong menjerit. “Guruku……??”
“Gurumu juga tewas dalam pertempuran itu.”
Tiba-tiba In Hong mencabut pedangnya dan cepat menusuk dada Wu Wi Thaysu. Tosu ini cepat menangkis dengan pedang yang masih dipegangnya.
“Sabar, jangan kau tiru keganasan gurumu itu. Keganasan tanpa perhitungan dan tanpa dipertimbangkan lebih dulu adalah kesesatan dan hanya akan membawa kau ke dalam lembah kehancuran!”
In Hong sadar kembali. Memang amat tidak baik kalau tiba-tiba menyerang atau membunuh orang tanpa mengetahui persoalannya dengan jelas, hanya timbul dari persangkaan belaka.
“Guruku tewas? Tentu kalau bukan olehmu, oleh Pek Eng Thaysu, siapa lagi yang dapat menewaskannya? Tek Seng Cu manusia sombong itu? Hah, jangan kau mencoba untuk menyangkal, Wu Wi Thaysu!” Dada gadis itu berombak, mukanya merah, sepasang matanya seperti berapi.
Wu Wi Thaysu menggeleng kepalanya. “Sayang bukan! Kalau aku yang menewaskannya, itu tanda bahwa ilmu silatku mendapat banyak kemajuan. Padahal semenjak aku kalah olehnya di puncak Go-bi dahulu, harus ku akui bahwa ilmu silatku banyak mundur!”
“Jadi kalau begitu Pek Eng Thaysu yang menewaskan guruku?”
“Juga bukan, Kwee-lihiap. Suhu sudah terlalu tua untuk mengurus segala macam persoalan dunia, mana suhu mau membunuh orang?”
“Wu Wi Thaysu, kau tadi sudah berjanji hendak memenuhi semua permintaanku. Apakah sekarang kau hendak memutar balik omongan dan untuk pertanyaan ini saja kau tidak mau mengaku? Siapakah yang telah membunuh guruku?”
Pada saat itu, Yo Kang yang semenjak pertandingan pedang tadi hampir tak berani bernapas, buru-buru datang menghampiri mereka.
“Adikku In Hong, harap kau bersabar dan berlaku tenang. Tidak baik mendesak-desak Wu Wi Locianpwe.
92
In Hong berpaling kepada Yo Kang. “Yo-twako, urusanmu sudah selesai, dan sekarang aku minta supaya kau pulang lebih dulu. Aku ada banyak sekali urusan yang harus kuselesaikan. Harap kau jangan membantah lagi!” Di dalam kata-kata ini terkandung suara yang dingin dan ketus sehingga Yo Kang tak berani membantah. Ia hanya menarik napas panjang, lalu berkata:
“Baiklah, Hong-moy dan tentang mencari ibumu……” Ia berhenti karena teringat bahwa kini tidak ada artinya lagi membantu gadis yang ternyata memiliki kepandaian jauh lebih lihay daripada kepandaiannya sendiri itu. “Ah..... orang macam aku ini mempunyai kegunaan apakah? Biarlah, aku hanya akan mencoba mendengar-dengar dimana adanya ibumu, Hong-moy.”
In Hong terharu juga. Ia tahu akan isihati pemuda ini.
“Bantuanmu masih amat kuperlukan, Yo-twako. Nah, selamat berpisah dan mudah-mudahan tak lama lagi kita akan dapat bertemu pula.”
Yo Kang memberi hormat kepada Wu Wi Thaysu, lalu melompat ke atas kudanya dan membalapkan kuda itu pulang ke See-ciu. Ia benar-benar merasa terpukul dan malu kepada diri sendiri dan semenjak saat itu, ia melempar jauh-jauh julukan Bu-tong Sin-to dan bahkan tidak mau lagi bicara tentang ilmu silat!
Setelah Yo Kang pergi, In Hong berkata lagi kepada Wu Wi Thaysu: “Bagaimana, totiang, apakah kau masih tidak mau menolongku? Ingat janjimu tadi. Pantaskah seorang tokoh kedua dari Go-bi-pay menarik kembali janjinya? Ingat, aku tidak akan segan-segan untuk mengabarkan hal ini di dunia kang-ouw!”
Wu Wi Thaysu kewalahan dan menarik napas panjang dengan sikap duka.
“Baiklah, Kwee-lihiap. Ada orangnya yang tahu betul akan hal itu, bahkan yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika gurumu tewas. Dia itu adalah muridku sendiri yang bernama Wi Tek Tosu, guru dari Tek Seng Cu. Aah, kami harus menanggung seluruh dosa yang dilakukan oleh Tek Seng Cu. Marilah, mari kita menemui Wi Tek Tosu yang berada di tempat tidak jauh dari sini.”
Setelah berkata demikian, Wu Wi Thaysu menggerakkan kedua kaki dan mengibaskan tangan, maka melesatlah tubuhnya karena ia sudah mempergunakan ilmu lari cepat. In Hong tidak mau tertinggal dan cepat mengejar. Dalam hal ilmu lari cepat, ia tidak kalah lihay oleh tosu tua dari Go-bi-pay ini maka ia dapat mendampinginya.
Ternyata Wu Wi Thaysu tidak membawanya pergi jauh, hanya kurang lebih tigapuluh lie dari dusun tadi. Mereka tiba di sebuah dusun yang sunyi di lereng gunung kecil dan Wu Wi Thaysu mengajak In Hong menuju ke sebuah kelenteng bertembok kuning yang berdiri di lereng itu.
“Disinilah tempat pinto untuk sementara waktu kalau pinto turun dari Go-bi-san,” kata tosu itu setelah mereka berjalan memasuki pekarangan kelenteng. “Di dalam sebuah kamar di kelenteng ini kau akan bertemu dengan orang yang telah menyaksikan sendiri bagaimana gurumu itu tewas. Mari kau ikut pinto!”
93
Hati In Hong berdebar keras. Suhunya sudah tewas dan ia akan bertemu dengan orang yang dapat menceritakannya tentang kematian gurunya itu. Ia harus membalas dendam dan kalau ia sudah tahu siapa yang membunuh gurunya, ia takkan berhenti sebelum dapat membalas sakit hati ini.
Wu Wi Thaysu berhenti di depan sebuah kamar. Kamar ini kecil saja, paling besar dua meter persegi. Daun pintunya tertutup dan di antara dua daun pintu ditempeli kertas biru yang ada tulisannya:
Tempat hukuman murid berdosa.
Kalau pintu itu dibuka, tentu tempelan ini akan rusak dan robek. Di dekat pintu itu terdapat sebuah jendela tak berdaun, atau lebih tepat disebut lubang angin karena tingginya satu kaki dan lebarnya tidak ada satu kaki. Inipun di tengah-tengahnya masih ada sebatang rujinya sehingga tak mungkin orang dapat keluar dari lubang itu tanpa merusaknya.
Karena Wu Wi Thaysu mengajak In Hong berhenti di depan lubang itu, tampaklah oleh In Hong seorang tosu setengah tua duduk bersila menghadapi tembok di dalam kamar itu. Tosu ini duduk bersamadhi di atas sebuah pembaringan kayu yang kasar, tak bergerak seperti sebuah arca. In Hong tidak mengenal tosu ini dan belum pernah melihatnya, maka ia memandang kepada Wu Wi Thaysu dengan mata bertanya.
“Dia adalah Wi Tek Tosu, muridku, dan guru dari Tek Seng Cu,” katanya perlahan, kemudian, melalui lubang itu ia berkata kepada tosu yang sedang bersamadhi:
“Wi Tek, nona Kwee In Hong murid Hek Moli sudah datang dan kau harus menceritakan semua peristiwa itu sejelasnya kepada Kwee-lihiap.”
Tanpa menoleh, tosu itu berkata: “Suhu, teecu sudah berdosa, sudah melanggar pantangan sucouw, dan teecu sudah menerima hukuman suhu, bersedia untuk dikurung disini selama lima tahun. Bahkan teecu rela andaikata suhu mengurung teecu disini sampai mati. Akan tetapi, apa perlunya teecu bicara dengan murid Hek Moli? Teecu sudah kehilangan tiga orang sute, sudah kehilangan murid, semua gara-gara Hek Moli, jangan-jangan kalau melihat murid Hek Moli, teecu akan lupa diri dan melakukan pelanggaran lagi!”
“Wi Tek, pinto sudah berjanji kepada Kwee-lihiap dan pinto sudah kena dikalahkan dalam pertandingan. Ini sebuah perintahku dan kau tidak boleh melanggar!” Wu Wi Thaysu membentak.
Wi Tek Tosu memutar tubuhnya dan memandang kepada In Hong. Ia kelihatan heran sekali melihat seorang nona begini muda. Betulkah suhunya kalah oleh nona ini? Benar-benar luar biasa dan hampir tak mungkin ia percaya. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak suhunya, maka dengan muka merengut dan tanpa menatap wajah In Hong, ia lalu menuturkan peristiwa pertempuran dengan Hek Moli secara singkat:
“Aku dengan tiga orang suteku, Wi Kong Tosu, Wi Jin Tosu dan Wi Liang Tosu, dan muridku Tek Seng Cu, dibantu pula oleh tiga orang tokoh Kun-lun-pay, Cu Sim San-lojin, Kim Sim San-lojin, dan Sun Sim San-lojin menantang Hek Moli mengadakan pertandingan di puncak O-mei-san. Hek Moli datang dan kami mengeroyoknya. Tiga orang suteku dan muridku tewas, akan tetapi syukur aku dan tiga San-lojin dari Kun-lun-pay berhasil membikin mampus iblis wanita itu. Nah, kau sudah mendengar penuturanku!”
94
Setelah berkata demikian, Wi Tek Tosu memutar tubuhnya kembali, mengha-dapi tembok dan bersamadhi untuk melanjutkan hukumannya!
Sepasang alis In Hong berdiri dan sekali gadis ini menggerakkan tangan, terdengar suara keras dan ruji baja dilubang itu telah patah! Ia mencabut pedangnya dan berseru:
“Bagus, kau seorang di antara pembunuh-pembunuh guruku, kau harus mampus sekarang juga!”
Akan tetapi Wu Wi Thaysu cepat menghadang di depan jendela itu dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Kwee-lihiap, kau benar-benar tidak adil. Coba kau berpikir dengan tenang. Peristiwa permusuhan ini yang menjadi biangkeladi adalah gurumu sendiri. Kalau gurumu dahulu tidak naik ke Go-bi-pay mengajak pibu, tentu Tek Seng Cu tidak akan buntung tangannya, dan muridku ini bersama saudara-saudaranya tidak akan menaruh hati dendam. Ketua kami sudah melarang dia mencari permusuhan, akan tetapi diam-diam ia tidak dapat memadamkan api dendamnya sehingga ia menantang Hek Moli. Kemudian akibatnya lebih hebat lagi, karena kami kehilangan empat orang murid Go-bi-pay. Biarpun gurumu tewas, akan tetapi empat orang murid kami juga tewas, dan kau lihat buktinya sendiri, Wi Tek Tosu sudah kami hukum untuk lima tahun di kamar ini. Apakah kau masih penasaran? Bukankah kematian gurumu sudah terbalas lebih dari cukup?”
“Guruku tewas akibat pengeroyokan yang curang dan licik. Kalau murid-muridmu tidak curang dan mengeroyoknya, mana bisa guruku tewas? Sungguh tak tahu malu, tujuh orang mengeroyok seorang lawan!” In Hong marah sekali, juga berduka mendengar akan nasib gurunya.
“Kwee-lihiap, gurumu memang berkepandaian tinggi, sehingga ketua kami barulah dapat mengimbanginya. Biarpun dikeroyok oleh empat orang murid Go-bi-pay, mana bisa dia kalah? Buktinya, dibantu oleh tiga tokoh Kun-lun, masih saja tiga orang murid kami tewas. Pinto sendiri tidak akan menang dari gurumu, mana bisa orang seperti muridku ini menewaskan gurumu? Hanya karena ketiga San-lojin dari Kun-lun-pay, maka akhirnya gurumu tewas. Pihak Go-bi-pay sudah menebusnya dengan empat nyawa dan bahkan seorang dihukum lima tahun, ini sudah lebih dari cukup. Sebaliknya, pihak Kun-lun-pay, yang tidak kehilangan seorangpun murid, telah menjatuhkan gurumu. Maka kalau kau merasa penasaran, mengapa mencari disini?”
Wu Wi Thaysu memang cerdik. Tidak saja kata-katanya memang beralasan, akan tetapi ia sengaja hendak mengadu gadis ini dengan pihak Kun-lun-pay. Ia dapat melihat bahwa gadis ini berwatak ganas seperti Hek Moli, dan sukarlah menundukkannya apabila kelak gadis ini menjadi jahat dan ganas.
Hanya pihak Kun-lun-pay yang memiliki banyak orang berkepandaian tinggi kiranya dapat mengalahkan gadis ini. Gurunya sendiri, Pek Eng Thaysu, tidak mau turun gunung lagi, maka sebaiknya menyuruh gadis ini menyerbu ke Kun-lun!
In Hong dapat menerima alasan ini, maka dengan gemas ia berkata: “Kalau aku tidak dapat menewaskan tiga San-lojin Kun-lun-pay yang telah membunuh guruku, aku bersumpah tidak mau jadi orang lagi!”
Setelah berkata demikian, In Hong berkata kepada Wi Tek Tosu melalui jendela yang sudah rusak itu: “Aku memandang muka Wu Wi Thaysu dan mengampunimu. Akupun menghabiskan permusuhan antara aku dan Go-bi-pay. Harap kau suka katakan bagaimana selanjutnya dengan jenazah guruku.”
95
Namun Wi Tek Tosu tidak menjawab, diam saja tidak bergerak sedikitpun. Wu Wi Thaysu tidak enak melihat ini, karena ia maklum bahwa betapapun juga di dalam hati Wi Tek Tosu masih terkandung kebencian terhadap Hek Moli.
“Kwee-lihiap, muridku sudah bercerita kepadaku bahwa jenazah gurumu itu dikubur baik-baik oleh pendekar gagah yang bernama Ong Tiang Houw. Kau tentu kenal padanya, bukan?”
In Hong mencatat nama ini dan merasa berterima kasih sekali. “Aku sudah mendengar namabesarnya akan tetapi belum mendapat kehormatan bertemu muka dengan orangnya. Kelak aku akan mencarinya dan menghaturkan terima kasih. Nah, selamat tinggal, totiang.”
Setelah berkata demikian, In Hong melompat keluar dari kelenteng itu dan pergi dengan cepat sekali. Hatinya penuh kemarahan terhadap Kun-lun-pay dan ia mengambil keputusan untuk menunda usahanya mencari ibunya, dan hendak langsung menyerbu ke Kun-lun-pay, membalas dendam gurunya kepada ketiga Kun-lun San-lojin!
Kun-lun-pay atau partai persilatan cabang Kun-lun adalah sebuah di antara lima partai persilatan terbesar di Tiongkok. Tidak saja terbesar karena banyak memiliki anak murid, akan tetapi juga besar namanya karena anak-anak murid keluaran Kun-lun-pay merupakan jago-jago silat dan pendekar-pendekar yang disegani.
Pegunungan Kun-lun-san yang amat besar, seperti halnya pegunungan Go-bi-san, menjadi tempat pelarian para pertapa. Oleh karena letaknya di Tiongkok Barat, maka selain pertapa-pertapa bangsa Tiongkok sendiri, banyak juga bangsa-bangsa lain dari barat yang meyakinkan kehidupan mistik dan memilih jalan menjadi pertapa, datang ke puncak gunung ini untuk memilih tempat yang permai, indah, bersih dan menenangkan hati.
Kedatangan para pertapa dari luar inilah yang menimbulkan pelbagai macam ilmu silat, karena sudah menjadi kelajiman bahwa para perantau dan pertapa itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Memang ilmu silat tak dapat di-pisah-pisahkan dengan ilmu batin, keduanya merupakan cabang dari satu sumber, sungguhpun ilmu silat diumpamakan kembangnya, ilmu batin adalah tangkainya.
Maka tidak heran apabila Kun-lun-pay menurunkan banyak murid dengan pelbagai macam kepandaian, ada ahli pedang, ahli golok, ahli tombak, bahkan di antara anak murid yang sudah pandai terdapat pula ahli-ahli silat yang mempergunakan senjata-senjata aneh seperti poan-koan-pit (alat menulis), hud-tim (kebutan pendeta), ikat pinggang, ujung lengan baju, senjata roda dan lain-lain. Memang partai persilatan Kun-lun-pay amat kaya dengan perkembangan ilmu silatnya.
Kun-lun-pay membuka cabang di banyak tempat, akan tetapi pusat atau sumbernya tetap saja di puncak sebuah gunung di pegunungan Kun-lun-pay. Di tempat ini didirikan sebuah kelenteng besar dan disinilah tinggalnya guru-guru besar dari partai Kun-lun. Disini pula anak-anak murid yang akan mewakili dan menjadi pengurus cabang digembleng dengan ilmu silat dan ilmu batin.
Pada waktu itu, yang menjadi ciang-bun-jin atau ketua dari Kun-lun-pay adalah Pek Ciang San-lojin, seorang kakek yang usianya sudah hampir tujuhpuluh tahun. Sebetulnya dalam urutan, baik usia maupun tingkat kepandaian, Pek Ciang San-lojin tak dapat dikatakan paling tinggi. Akan tetapi, pengangkatan ciang-bun-jin oleh guru besar bukanlah semata-mata berdasarkan usia dan kepandaian, melainkan sifat dan watak calon ketua itu.
96
Pek Ciang San-lojin mempunyai watak tegas dan kebijaksanaan, maka ia terpilih oleh mendiang gurunya. Masih ada sute (adik seperguruan) dan bebe-rapa orang suheng (kakak seperguruan) yang biarpun memiliki kepandaian yang tidak kalah olehnya, namun hanya menjadi pembantu-pembantu biasa saja, bahkan di antaranya ada yang memilih tugas sebagai tukang masak dan tukang kebun!
Akan tetapi oleh karena sifat pekerjaan mereka dan juga watak mereka amat sederhana dan tidak pernah memperlihatkan diri di dunia kangouw, mereka yang tidak menduduki tempat penting ini tentu saja tidak dikenal orang. Yang terkenal di dunia kangouw pada waktu itu, selain Pek Ciang San-lojin sendiri, adalah Kun-lun Sam-lojin (Tiga orangtua Kun-lun), yakni tiga orang murid Pek Ciang San-lojin, yang bernama Cu Sim San-lojin, Kim Sim San-lojin, dan Sun Sim San-lojin.
Mereka bertiga ini adalah mereka yang dulu membantu tokoh-tokoh Go-bi-pay menewaskan Hek Moli. Mereka juga menduduki tempat penting di Kun-lun-pay. Cu Sim San-lojin yang memiliki kebijaksanaan menjadi wakil dari Pek Ciang San-lojin dan agaknya dia inilah yang menjadi calon ciang-bun-jin kelak.
Kim Sim San-lojin mendapat tugas sebagai kepala bagian penjaga keamanan karena ia berdisiplin dan keras, maka dahulu belasan tahun yang lalu ketika Hek Moli menyerbu ke Kun-lun-pay, dia inilah yang menghadapinya langsung dan akhirnya kena dikalahkan oleh Hek Moli.
Sun Sim San-lojin, murid ketiga dari Pek Ciang San-lojin, orangnya berbakat mengajar, pandai sekali menerangkan tentang teori persilatan, maka oleh gurunya ia diangkat menjadi wakilnya dalam memberi pelajaran kepada semua anak murid Kun-lun-pay.
Dahulu ketika Wi Tek Tosu dari Go-bi-pay datang minta bantuan untuk mengalahkan Hek Moli, tiga orang tokoh Kun-lun-pay ini hanya mau pergi setelah mendapat perkenan dari Pek Ciang San-lojin. Wi Tek Tosu secara pandai telah menghasut dan memanaskan hati tokoh-tokoh Kun-lun-pay dengan menyatakan bahwa Hek Moli amat ganas dan kejam, merupakan bahaya di dunia kangouw.
Pek Ciang San-lojin memang mempunyai watak yang tegas dan paling benci akan kejahatan. Mendengar penuturan Wi Tek Tosu itu, ia lalu memberi ijin kepada tiga orang muridnya untuk membantu pendeta Go-bi itu untuk melenyapkan seorang berbahaya dan jahat seperti Hek Moli. Maka, sekembali mereka dari O-mei-san, tiga orang tokoh Kun-lun ini tidak mengkhawatirkan sesuatu dan menganggap bahwa kematian Hek Moli sudah semestinya sebagai hukuman atas semua kejahatan dan keganasan yang telah dilakukannya.
Akan tetapi, pada suatu hari, dari bawah gunung yang dijadikan pusat oleh Kun-lun-pay itu, berkelebat bayangan yang gesit sekali gerakannya. Bayangan ini bukan lain adalah In Hong yang sengaja datang ke Kun-lun untuk menuntut balas atas kematian gurunya.
Kun-lun-pay bukan partai persilatan yang ternama dan besar kalau gerakan In Hong ini tidak diketahui oleh para penjaga. Sebelum gadis itu tiba di depan kelenteng, Kim Sim San-lojin sudah siap-sedia menyambut kedatangan orang yang mencurigakan ini!
Setelah kelenteng itu kelihatan menjulang tinggi di dekat puncak, In Hong menahan gerakan kakinya dan berjalan biasa menghampiri kelenteng itu. Di depan kelenteng terdapat sebuah pekarangan yang amat lebar.
97
Dari jauh sudah kelihatan para pendeta sibuk bekerja, ada yang memikul kayu, ada yang berjalan membawa keranjang daun obat, ada pula yang sedang menyapu daun-daun kering membersihkan pekarangan. Kelihatan tenteram dan damai sehingga tak enak jugalah hati In Hong.
Namun ia berjalan terus, memasuki pintu gerbang pekarangan yang luas itu. Betapapun juga, gurunya telah ditewaskan oleh tiga orang tokoh Kun-lun-pay yang tinggal di kelenteng itu dan ia harus menuntut balas! Dengan langkah lebar dan gagah gadis ini maju terus, tidak perdulikan pandangan mata beberapa orang tosu yang berada di pekarangan itu. Bahkan ia tidak perduli kepada seorang tosu tua berkepala botak yang menyapu daun-daun kering sambil bernyanyi kecil, diseling ketawa-tawa seperti seorang yang miring otaknya.
Ketika ia tiba di tengah pekarangan, seorang tosu berjenggot panjang hitam menghadangnya. Tosu ini memandang tajam, lalu menjura dan berkata:
“Nona, kami tidak pernah menerima tamu wanita dan tidak seorangpun wanita diperkenankan memasuki kelenteng. Kalau nona ada keperluan, katakan saja kepada pinto, nona ini siapa dan ada keperluan apakah datang di tempat ini?”
Tanpa memberi hormat dan dengan sikap ketus, In Hong menjawab: “Namaku Put Hauw Li dan aku datang perlu bertemu dan bicara dengan Pek Ciang San-lojin.”
Memang gadis ini ingin bertemu dengan ketua Kun-lun-pay untuk menegur tentang pengeroyokan atas diri gurunya. Betapapun juga, gurunya pernah menuturkan kepadanya bahwa Kun-lun-pay adalah partai persilatan besar dan kuat, maka dalam urusan ini tidak baik bersikap sembrono dan lebih baik kalau langsung berhadapan dengan ketuanya untuk minta pertanggungan jawabnya.
“Suhu sedang bersamadhi dan tidak boleh diganggu. Kalau nona ada urusan, harap disampaikan kepada pinto dan pinto akan melaporkan ke dalam,” kata pula Kim Sim San-lojin dengan suara sabar.
“Tidak bisa disampaikan kepada orang lain. Suruh Pek Ciang San-lojin keluar menjumpaiku, atau aku akan masuk saja langsung menemuinya.”
Kim Sim San-lojin mulai marah dan ia memandang kepada gadis itu dengan kening berkerut.
“Nona, kau dilarang keras memasuki kelenteng. Kalau kau tidak mau menyampaikan kepada pinto, maaf, harap kau kembali saja. Belum pernah ada wanita diperkenankan memasuki kelenteng, itu aturan kami.”
In Hong tersenyum mengejek. “Ketika wanita-gagah Hek Moli datang kesini, apakah dia juga tidak masuk ke dalam?”
Kim Sim San-lojin terkejut mendengar ini, akan tetapi ia masih dapat menekan perasaannya dan sebagai seorang pendeta yang banyak pengalaman dan banyak menghadapi orang-orang bermacam sifat, ia dapat berlaku tenang dan sabar.
“Biarpun Hek Moli sendiri ketika datang kesini, tidak diperbolehkan masuk ke dalam,” jawabnya.
98
In Hong menjadi naik darah. Ketika tadi mendengar bahwa tosu ini menyebut guru kepada Pek Ciang San-lojin, ia sudah dapat menduga bahwa tosu ini tentulah seorang di antara Kun-lun Sam-lojin (Tiga kakek Kun-lun), atau seorang di antara tiga tokoh Kun-lun yang menewaskan gurunya. Akan tetapi ia tidak mau turun tangan dulu sebelum bicara dengan ketua Kun-lun-pay.
“Kalau begitu, biarlah aku sekeluarga mematahkan pantangan itu,” katanya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat melewati sebelah tosu itu, hendak berlari memasuki kelenteng.
“Perlahan dulu, nona!” Kim Sim San-lojin menggerakkan tangan dan ujung lengan bajunya menyambar dengan totokan ke pundak In Hong untuk mencegah gadis itu melanjutkan niatnya.
Tosu itu melihat jelas betapa ujung lengan bajunya mengenai pundak In Hong, akan tetapi bukan main terkejut dan herannya ketika ia melihat gadis itu seakan-akan tidak merasai totokannya dan berlari terus cepat sekali! Memang In Hong sengaja tidak mau menangkis atau melayani tosu ini karena ia bermaksud untuk mencari Pek Ciang San-lojin sebelum bertanding dengan tokoh-tokoh Kun-lun.
Gadis yang cerdik ini tahu bahwa kalau ia menangkis, tentu ia akan terlibat dalam pertempuran, maka ketika ia merasa datangnya hawa pukulan, ia dapat menahan totokan itu. Cepat ia mengerahkan hawa lweekang yang disalurkan ke pundak menutupi jalan darah dan ia berhasil menolak serangan itu.
Kim Sim San-lojin tadi tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Pendeta ini walaupun tahu bahwa gadis yang naik ke gunung dengan mempergunakan ilmu lari cepat yang luar biasa ini tentu memiliki kepandaian, namun ia tidak tega untuk menjatuhkan tangan besi. Dikiranya bahwa totokannya tadi yang disertai tenaga setengah bagian saja sudah cukup untuk menghalanginya masuk kelenteng.
Tidak tahunya totokannya seakan-akan tidak terasa oleh In Hong! Baru ia maklum bahwa gadis yang demikian mudanya itu ternyata seorang ahli silat yang pandai.
Akan tetapi, gadis itu sudah memasuki kelenteng dan Kim Sim San-lojin tersenyum. Ia tidak mengejar, karena malu baginya kalau berkejar-kejaran dengan seorang demikian muda. Sungguhpun gadis itu agaknya tidak mengandung maksud baik, namun ia tidak khawatir. Di dalam kelenteng masih banyak kawan-kawan yang akan dapat menghalangi gadis itu.
Dengan tenang iapun berjalan memasuki kelenteng, sedangkan tosu-tosu lain melanjutkan pekerjaan mereka seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu. Tosu tua yang botak dan menyapu daun-daun kering tadi, tertawa-tawa kecil, menghentikan nyanyinya dan berkata-kata seorang-diri:
“Nona kecil berbakat sekali, sayang terdidik oleh tangan yang ganas……” Ia lalu melanjutkan pekerjaannya.
Adapun In Hong, ketika tiba di ruangan depan kelenteng itu, terheran-heran melihat kelenteng itu sunyi saja. Yang ada hanya tiga orang tosu setengah tua yang sedang bersembahyang. Selain ini, tidak ada siapa-siapa lagi dan keadaannya sunyi mengandung rahasia. In Hong tidak berani mengganggu tosu-tosu yang sedang bersembahyang itu, maka ia lalu berjalan terus masuk ke sebelah dalam.
Ternyata di sebelah dalam kelenteng ini amat besar dan luas. Kelihatan bangunan-bangunan kecil di sana sini, lorong-lorong yang lebar sehingga ia menjadi bingung. Ia tidak tahu dimana adanya Pek Ciang San-lojin, maka ia lalu memasuk lorong sebelah kiri yang menuju ke sebuah ruangan terbuka.
99
Tanpa mengetahui bahwa semua gerak geriknya diikuti oleh banyak pasang mata, In Hong maju terus. Ia memasuki ruangan terbuka yang berada di tengah-tengah. Ruangan ini adalah ruangan tempat belajar atau berlatih ilmu silat yang disebut lian-bu-thia.
Lebar sekali tempat ini, karena selain dipergunakan untuk tempat berlatih silat, juga di tempat inilah biasa diadakan pertemuan antara tosu-tosu dan anak-anak murid Kun-lun-pay yang banyak jumlahnya. Di tempat ini, beberapa bulan sekali, ciang-bun-jin dari Kun-lun-pay, yakni Pek Ciang San-lojin, dihadap oleh puluhan orang anggauta Kun-lun-pay, memberi pelajaran tentang ilmu batin dan menguraikan ujar-ujar kuno dari kitab-kitab agama To.
Ketika In Hong tiba di ruangan ini, keadaan disitu sunyi belaka, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang tosu tua telah duduk di atas bangku bundar, bersila dan memegang sebuah kitab sambil membacanya perlahan-lahan.
In Hong terkejut dan kagum. Tadi ketika masuk ia tidak melihat kakek ini, akan tetapi bagaimana tiba-tiba bisa berada disitu? Terang bahwa tosu ini memiliki ginkang yang sudah tinggi sekali sehingga gerakannya amat ringan dan cepat. Ia mendengar tosu itu membaca ayat-ayat dari kitab To Tek Keng tentang sifat air menurut pandangan filsafat besar Lo Cu:
“Tiada kelembutan melampaui air.
Namun dalam menanggulangi kekerasan
Tiada kekuatan di dunia dapat melebihinya,
Karenanya tiada yang dapat menggantikannya.
Kelemahan mengalahkan kekuatan,
Kelembutan mengalahkan kekerasan.
Namun tiada yang dapat mengetahuinya,
Tiada yang dapat menjalankannya.”
Tosu itu hendak melanjutkan bacaannya yang memang masih ada lanjutannya, akan tetapi ia dipotong oleh In Hong yang bersajak dengan suara keras mengejek:
“Lidah memang tak bertulang
Mudah saja setiap orang menggoyang,
Tapi, biarpun lidah pendeta suci
Mana bisa mencerminkan isi hati?
Air bersifat lembut, kuat, dan jujur
Mana sama dengan hati tosu-tosu terkebur?
Kalau tidak dikeroyok tosu-tosu ganas
Tak mungkin wanita gagah Hek Moli tewas!”
Ketika berguru kepada Hek Moli, In Hong hanya sedikit saja mendapat pelajaran ilmu membaca dan menulis. Akan tetapi gurunya itu pandai sekali bernyanyi, nyanyian dari Nepal yang dinyanyikan dalam bahasa Han, dan nyanyian ini terisi yang bersajak indah. Oleh karena amat tertarik dan suka sekali akan nyanyian-nyanyian ini, maka In Hong yang berotak cerdas itu pandai membuat sajak.
100
Sekarang mendengar ayat-ayat kitab To Tek Keng yang tidak pernah didengarnya, sekali mendengar saja maklumlah ia bahwa tosu itu menyindirnya dan memperingatkannya. Akan tetapi, sebagai balasan, sekaligus ia dapat mengucapkan sajak yang membalas sindiran itu, benar-benar gadis ini berotak cerdik sekali.
Ketika tosu itu mendengar sajak ini, ia berdiri dan tersenyum, lalu menjura kepada In Hong.
“Nona, ketika tadi bertemu dengan suhengku Kim Sim San-lojin, kepala penjaga, kau menyebut-nyebut nama Hek Moli. Sekarang, dihadapan pinto, Sun Sim San-lojin, kaupun kembali menyebut nama Hek Moli. Kau masih ada hubungan apakah dengan Hek Moli dan apakah kehendakmu datang disini?”
“Dia adalah guruku, yang telah kalian bunuh dengan cara amat curang! Mana Pek Ciang San-lojin? Suruh dia keluar dan mempertanggung jawabkan perbuatan yang amat rendah dan curang daripada murid-muridnya!”
“Nona, kau mengaku bernama Put Hauw Li (Anak perempuan Tidak Berbakti), sungguh sebuah nama yang tidak harum! Apalagi kalau ditambah dengan sepak terjangmu ini, sungguh sayang sekali pinto terpaksa menyatakan bahwa masa -depanmu tidak begitu terang. Insaflah bahwa disini bukan tempat dimana kau boleh berbuat sesukamu. Kalau kau ada urusan, boleh katakan di depan pinto dan akan pinto pertimbangkan.”
“Tosu bau! Kaukira aku takut padamu? Kalau aku menurutkan hawa nafsu dan tidak mengindahkan Kun-lun-pay, apa kaukira aku perlu bertemu dengan ciang-bun-jin dari Kun-lun-pay? Tak usah banyak cakap dan jangan mencoba untuk memanaskan hatiku, lekas panggil keluar ciang-bun-jin dari partaimu!”
“Nona, pinto disini dan pinto menjadi wakil ciang-bun-jin Kun-lun-pay!” tiba-tiba terdengar suara yang halus dan berpengaruh dan tahu-tahu disebelah kiri telah berdiri seorang tosu lain yang usianya sebaya dengan pembaca kitab tadi.
Kembali In Hong harus mengaku bahwa gerakan tosu inipun amat ringan dan cepat, maka diam-diam ia berlaku waspada dan insaf bahwa ia berada di tempat yang berbahaya, dimana terdapat banyak sekali lawan yang amat lihay.
“Nona Put Hauw Li, pinto Cu Sim San-lojin mewakili suhu untuk menanyakan maksud kedatanganmu,” kata pula tosu ini.
In Hong menahan kemarahannya. Sekarang ia sudah melihat tiga orang tosu yang telah menyebabkan kematian gurunya, dan sebelum ia menjawab, seorang tosu berjalan masuk melalui pintu depan dengan tindakan perlahan. Ketika In Hong melirik, ternyata bahwa tosu ini adalah Kim Sim San-lojin yang tadi ia jumpai di luar.
Sekarang lengkaplah tiga orang tosu pembunuh gurunya! Namun, In Hong masih menahan kemarahannya dan tidak akan turun tangan sebelum ia men-dengar jawaban dari ketua Kun-lun-pay, yakni Pek Ciang San-lojin.
“Kalian bertigaah yang bersekongkol dengan pendeta-pendeta busuk dari Go-bi, yang secara curang telah menewaskan guruku! Bagaimana aku sudi bercakap-cakap dengan kalian? Lekas minta keluar gurumu, Pek Ciang San-lojin, kalau tidak, terpaksa aku akan masuk dan mencarinya sendiri!”
101
Sikap In Hong ini membikin marah kepada Cu Sim San-lojin yang biasanya amat sabar dan ramah.
“Nona, harap kau jangan keterlaluan, jangan mendesak secara kurangajar. Guruku mana bisa keluar dari tempat samadhi sebelum waktunya, apalagi untuk menemui seorang anak kecil seperti kau? Tidak, nona, lebih baik kau ber-urusan dengan kami saja, dan segala apa akan beres.”
“Kalau aku memaksa masuk, kalian mau apa?”
“Tak mungkin, kami seluruh anak murid Kun-lun-pay takkan membiarkan kau bertindak sewenang-wenang dan sesuka hati disini,” kata Cu Sim San-lojin dan tiga kali ia bertepuk tangan, maka dari segala jurusan muncullah tosu-tosu bermacam bentuk dan usia dan sebentar saja tempat itu telah penuh oleh tosu yang jumlahnya tidak kurang dari tujuhpuluh orang!
In Hong yang berhati keras dan tabah sekali, tidak menjadi gentar, sungguhpun ia tahu bahwa tak mungkin ia dapat menghadapi sekian banyaknya lawan yang rata-rata memiliki kepandaian silat tinggi.
“Hm, nama besar Kun-lun-pay tidak tahunya hanya kesombongan palsu dan kosong belaka. Siapa orangnya di dunia kangouw mau percaya bahwa ratusan orang tosu Kun-lun-pay hendak mengeroyok dan menakut-nakuti seorang gadis yang usianya baru sembilanbelas tahun?”
Kata-kata ini ia ucapkan dengan suara keras sekali karena ia sengaja mengerahkan sinkangnya dan ia sengaja pula melebih-lebihkan dengan menyebut ratusan orang tosu, padahal sebenarnya iapun tahu tidak ada begitu banyak.
Pada saat itu, terdengar suara halus suara dan lambat seperti suara seorang anak kecil: “Ada apakah ribut-ribut ini? Aah, dalam kelenteng pun masih saja pinto tak dapat mengaso tenteram!”
Cu Sim San-lojin dan kedua sutenya, juga semua tosu yang berada di lian-bun-thia itu, menjadi kaget sekali mendengar ini. Mereka semua lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggiran sambil menundukkan kepala membungkukkan pinggang. Beberapa orang tosu yang tadi berdiri membelakangi sebuah pintu, cepat-cepat pergi dari situ dan segera terbuka sebuah jalan.
Didahului oleh suara berketuknya tongkat di lantai, muncullah seorang tosu yang bertubuh tinggi besar, berwajah angker berpengaruh, usianya enampuluh tahun lebih, jubahnya lebar dan kepalanya memakai topi yang jarang sekali kelihatan dipakai oleh tosu, sedangkan di punggungnya tergantung sebuah pedang pendek yang sarungnya indah sekali.
Setelah tiba disitu, tosu tua ini menyapu seluruh yang hadir dengan sepasang matanya yang tajam. Tak seorangpun tosu disitu berani bergerak atau mengangkat kepala. Kemudian pandangan mata tosu itu melirik ke arah In Hong. Ia nampak tak senang, mengerling tajam ke arah Cu Sim San-lojin dan berkata, suaranya tidak halus dan lambat lagi, melainkan nyaring dan tajam menusuk:
“Cu Sim, kau tidak memenuhi tugasmu dengan baik. Bagaimana ada seorang nona dapat memasuki lian-bu-thia?”
Cu Sim San-lojin menjadi merah mukanya dan ia memandang kepada In Hong dengan mata marah.
102
“Suhu, dengan halus teecu sekalian sudah mencoba untuk mencegahnya masuk, akan tetapi nona ini berkeras hendak bertemu dengan suhu. Mohon suhu sudi memaafkan teecu sekalian,” katanya dengan nada suara merendah.
Mendengar kata-kata Cu Sim San-lojian ini, In Hong tidak ragu-ragu lagi. Inilah orangnya yang menjadi ketua Kun-lun-pay, yang bernama Pek Ciang San-lojin. In Hong melirik ke arah kedua tangan yang memegang tongkat dan benar saja seperti yang dituturkan oleh gurunya dahulu, kedua tangan tosu tua ini putih sekali seakan-akan tidak ada darah pada telapak tangan dan jari-jari itu. Inilah pula mengapa ia bernama Pek Ciang San-lojin (Kakek Gunung bertangan putih).
“Apakah kau yang menjadi ciang-bun-jin Kun-lun-pay dan bernama Pek Ciang San-lojin?” tanya In Hong kepada tosu tua itu.
Semua tosu menjadi marah sekali karena sikap gadis ini benar-benar keterlaluan dan dianggap amat kurangajar.
Pek Ciang San-lojin memutar tubuh menghadapi In Hong, sepasang alisnya yang tebal itu bergerak dan matanya memandang tak senang.
“Kau siapakah?” bentaknya.
“Suhu, dia mengaku bernama Put Hauw Li, murid dari iblis wanita Hek Moli,” kata Cu Sim San-lojin.
“Pantas, pantas…… Orang seperti dia mana bisa mempunyai murid yang tahu aturan? Nona, kau sudah melakukan pelanggaran besar, memaksa masuk ke dalam kelenteng kami. Kau berkeras hendak bertemu dengan pinto, ada urusan apakah?”
Melihat sikap ketua Kun-lun-pay yang keras ini, hati In Hong sudah menjadi mendongkol sekali, maka iapun tidak memperlihatkan sikap merendah, suaranya terdengar kering dan ketus ketika menjawab:
“Totiang, aku datang kesini untuk menuntut agar kau sebagai ciang-bun-jin di Kun-lun-pay, mengadili murid-muridmu yang secara curang telah membunuh guruku Hek Moli. Kalau aku tidak memandang muka perkumpulan dan ketuanya, apakah aku perlu susah-susah bertemu denganmu? Aku tidak ingin turun tangan sendiri dan menyerahkan hukuman kepada tiga orang muridmu yang curang dan licik itu ke dalam tanganmu sendiri.”
Pek Ciang San-lojin tiba-tiba berubah air mukanya, tidak keren dan mengeras seperti tadi, kini ia tersenyum, agaknya geli mendengar kata-kata ini.
“Nona, kalau tidak melihat bahwa kau masih begini muda, masih terhitung anak-anak hijau, tentu ucapanmu ini akan menimbulkan sangkaan bahwa kau sudah gila. Kaupikir kau ini siapakah dapat memerintah pinto dan kami sekalian anak murid Kun-lun-pay untuk berbuat apa yang kau kehendaki? Gurumu Hek Moli bukanlah orang baik-baik, dia yang mencari keributan disini. Kemudian, iapun menyerbu pelbagai partai persilatan dan sudah melukai serta membunuh entah berapa banyak orang. Akhir-akhir ini, dalam sebuah pibu ia tewas, hal sudah sewajarnya. Mengapa kau penasaran?”
“Akan tetapi guruku tewas karena keroyokan tiga orang muridmu. Apakah perbuatan ini pantas? Bukankah itu perbuatan yang pengecut sifatnya?”
103
Pek Ciang San-lojin mengerutkan keningnya dan suaranya keren lagi seperti tadi:
“Hek Moli jahat, jahat dan ganas, mencoba untuk menjatuhkan nama Go-bi-pay dan Kun-lun-pay dengan mengandalkan kepandaiannya. Biarpun dia berkepandaian tinggi, kalau dia jahat sudah menjadi kewajiban Kun-lun-pay untuk membasminya. Di dalam sebuah pibu tanpa perjanjian, seorang menghadapi banyak lawan bukanlah hal aneh. Empat orang Go-bi-pay tewas dan sebaliknya Hek Moli juga tewas, apa anehnya dalam sebuah pibu ada akibat terluka ataupun tewas? Sekarang kau sebagai murid Hek Moli, sudah melaku-kan pelanggaran, memasuki kelenteng secara kasar dan seperti orang yang memancing permusuhan. Akan tetapi oleh karena pinto mempertimbangkan bahwa kau masih muda sekali, biarlah kali ini pinto memberi ampun dan kau boleh lekas-lekas enyah dari sini!”
In Hong marah sekali dan ia membanting-banting kakinya dengan gemas sebelum menjawab: “Pek Ciang kau terlalu menghina guruku dan aku sendiri! Kau anggap bahwa guruku sudah tewas dalam sebuah pibu, baik. Sekarang aku muridnya pun datang untuk menantang pibu kepada kau dan siapa saja tokoh Kun-lun-pay, hendak kulihat sampai dimana kepandaiannya maka berlagak sombong. Kalian mau maju seorang lawan seorang boleh, mau maju semua mengeroyokku pun baik, aku menyediakan nyawaku untuk membalas sakit hati guruku!” Setelah berkata demikian, In Hong mencabut pedang Liong-gan-kiam dan bersiap-sedia menghadapi lawan!
“Perempuan liar, jangan kurangajar!” bentak Sun Sim San-lojin yang menjadi marah sekali melihat sikap dan mendengar kata-kata In Hong terhadap suhunya. Ia menyerang dengan hud-timnya dan ujung kebutan itu meluncur ke arah pundak In Hong untuk menotok jalan darah, sedangkan tangan kirinya bergerak hendak merampas pedang. Tosu ini sudah tahu akan kelihayan Hek Moli, akan tetapi terhadap murid Hek Moli, seorang gadis yang masih begitu muda, tentu saja ia memandang ringan.
Akan tetapi, dilain saat tosu ini mencelat mundur dengan muka pucat. Kebutannya telah terbabat putus oleh pedang nona itu dan kalau tadi ia tidak lekas-lekas mempergunakan gerakan Pek-liong-hoan-sin (Naga putih membalikkan tubuh) dan melompat ke belakang, tentu tangan kirinya akan terbabat putus pula! Demikian cepat dan ganasnya gerakan pedang di tangan gadis itu.
“Begitu sajakah kelihayan tosu Kun-lun-pay?” In Hong yang tidak mengejar, tersenyum mengejek dengan sikap menantang. “Hayo siapakah lagi yang mau main-main?”
Cu Sim San-lojin dan Kim Sim San-lojin marah sekali dan mereka sudah siap untuk turun tangan dan senjata mereka sudah disiapkan pula. Akan tetapi Pek Ciang San-lojin berkata:
“Biar pinto sendiri memberi hajaran kepada nona yang kejam dan ganas ini!” Guru besar ini dari gerakan tadi sudah maklum bahwa ilmu pedang dari In Hong amat ganas dan cepat, dan kiranya kepandaian nona ini sudah mengimbangi kepandaian Hek Moli. Kekalahan Sun Sim San-lojin dalam segebrakan tadi biarpun terjadi karena Sun Sim San-lojin kurang berhati-hati dan memandang terlampau rendah kepada lawan, namun sudah merupakan hal yang amat memalukan.
Kalau kedua muridnya yang lain maju kemudian kalah oleh nona yang masih ini, bukankah itu akan mencemarkan nama baik Kun-lun-pay? Maka, dalam penasaran dan malunya, Pek Ciang San-lojin sampai melupakan kedudukannya yang tinggi dan mau turun tangan sendiri menghadapi seorang lawan yang patut menjadi murid cucunya.
104
Mendengar ucapan Pek Ciang San-lojin, In Hong juga berlaku waspada. Memang kepandaiannya sudah hampir menyamai kepandaian gurunya, bahkan dalam kecepatan ia mungkin masih menang, sungguhpun tenaga lweekangnya memang masih jauh daripada memuaskan. Dahulu gurunya baru roboh setelah dikeroyok tiga oleh Kun-lun Sam-lojin dengan bantuan tosu-tosu Go-bi-pay pula, maka sekarang menghadapi tiga orang tokoh Kun-lun-pay itu ia tidak takut sama sekali, biarpun andaikata akan dikeroyok tiga.
Akan tetapi sekarang Pek Ciang San-lojin sendiri yang akan maju. Menghadapi-nya dan inilah lain lagi! Sebagai ketua partai Kun-lun-pay, In Hong percaya bahwa kepandaian tosu tua ini pasti luar biasa sekali, maka ia harus menghadapinya dengan hati-hati. Diam-diam tangan kiri gadis ini merogoh segenggam pasir hitam, senjata rahasianya yang disebut toat-beng-hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa)!
Pada saat itu terdengar suara “sreeek…… sreeek…… sreeek……!” dan masuklah seorang tosu tua sambil menyeret sapunya yang menerbitkan suara itu ke dalam ruangan lian-bu-thia. Dia ini bukan lain adalah tosu tua tukang menyapu pekarangan depan yang tadi bekerja sambil bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa seorang diri seperti orang gendeng.
Kini, tosu yang lebih tua dari Pek Ciang San-lojin ini, yang sudah tujuhpuluh tahun lebih usianya, menghampiri In Hong sambil menyeret sapunya.
“Tugasku sebagai tukang sapu disini, membersihkan segala kekotoran. Kalau masih ada aku disini, mengapa ciang-bun-jin harus turun tangan sendiri menyapu sehelai daun muda yang melayang turun mengotori ini? Biarkan aku tua bangka mengerjakannya.”
Pek Ciang San-lojin tadi sudah siap dengan tongkatnya untuk memberi hajaran kepada In Hong. Melihat datangnya tosu tua ini, ia segera melangkah mundur dan mukanya berobah merah. Baru ia insaf bahwa tadi ia terlalu terburu nafsu dan hampir saja ia merendahkan nama Kun-lun-pay.
Bagaimana akan kata orang-orang kangouw kalau mereka mendengar betapa untuk mengusir seorang gadis muda yang datang mengacau, ciang-bun-jin dari Kun-lun-pay sendiri sampai turun tangan? Hal ini sama saja dengan mengaku kepada dunia bahwa Kun-lun-pay sudah kehabisan orang pandai!
“Susiok (paman guru) memperingatkan teecu dan datang membantu, itulah bagus sekali!” kata Pek Ciang San-lojin dengan wajah berseri.
Tidak saja ia terbebas dari keadaan yang memalukan dan merendahkan kedudukannya, juga kalau kakek tua ini maju, pasti segalanya akan beres. Andaikata paman gurunya ini sampai kalah oleh In Hong, maka kiranya tidak ada orang lain disitu yang akan dapat memenangkannya!
Tosu tua tukang sapu itu lalu membalikkan tubuh menghadapi In Hong, tersenyum-senyum dan matanya yang sipit itu berkejapan aneh. “Kau murid Hek Moli? Mari kuantar kau keluar kembali, tak baik berada disini, di antara puluhan orang pria, sedangkan kau seorang gadis muda. Ha, ha, ha!”
Kata-kata ini diterima oleh In Hong sebagai penghinaan maka ia menjadi marah sekali.
“Tosu bau yang berotak miring. Kau juga ingin mampus? Lihat pedang!” seru In Hong marah dan pedangnya cepat sekali menusuk ke arah leher tosu tua itu.
105
Gerakan serangan ini luar biasa cepatnya sehingga diam-diam Pek Ciang San-lojin terkejut. Benar-benar seorang gadis yang lihay sekali, pikirnya, dan baiknya yang menghadapinya adalah susioknya. Maka ia tidak merasa khawatir sedikitpun, tahu akan kelihayan susiok itu.
Sebaliknya, In Hong terkejut bukan-main ketika tiba-tiba ujung pedangnya itu telah “ditangkap” oleh sapu. Sapu itu membelit ujung pedangnya dan betapapun ia membetot, tak berhasil ia melepaskan pedang dari libatan ini. Ia tahu bahwa tenaga lweekangnya jauh lebih rendah daripada tenaga kakek aneh ini, maka diam-diam ia merasa gelisah sekali.
“Lepaskan pedang!” serunya dan kaki kirinya menendang ke arah gagang sapu lawannya.
Tosu tua itu menangkis dengan tangan kiri dan begitu kaki itu bertemu dengan lengan si kakek, In Hong terhuyung-hujung dan saat itu dipergunakan oleh tosu itu untuk menarik sapunya dengan tenaga lweekang yang hebat sekali sehingga In Hong tak dapat menahan dan pedangnya terampas!
Bukan main marahnya gadis ini, sedangkan para tosu disitu tersenyum-senyum girang. Juga Pek Ciang San-lojin tersenyum girang dan diam-diam memuji kelihayan susioknya yang aneh ini. Akan tetapi kegirangan mereka itu terganti dengan kekagetan hebat ketika tiba-tiba tangan kiri In Hong yang marah menyambar dan sinar hitam menyambar ke arah tubuh tosu tua tadi.
Tosu ini nampak terkejut, mengayun sapu dan lengan baju untuk menyampok pasir beracun itu. Akan tetapi, biarpun sebagian besar pasir itu dapat ditangkis, masih ada yang menembus ujung lengan baju dan melukai lengannya. Untuk beberapa detik tosu tua ini terhuyung-uyung dengan muka pucat!
Akan tetapi, dilain saat, tosu itu mengeluarkan seruan keras, tubuhnya melayang ke arah In Hong dan sapunya menyambar. In Hong mengelak, namun kakinya masih terlibat oleh sapu dan tubuh gadis ini terguling! Dilain saat, kakek tua ini sudah mengempit tubuhnya dan sambil membawa tubuh gadis itu keluar, ia tertawa-tawa dan berkata:
“Biar aku melempar keluar daun ini, ha, ha, ha!”
Semua tosu menarik napas lega, akan tetapi diam-diam Pek Ciang San-lojin menjadi gelisah sekali. Ciang-bun-jin dari Kun-lun-pay ini maklum bahwa susioknya telah terkena sambaran senjata rahasia yang amat lihay. Ia pernah mendengar bahwa Hek Moli memiliki senjata rahasia toat-beng-hek-kong dan kiranya tadilah senjata rahasia itu, diperlihatkan oleh muridnya dan benar-benar hebat sekali sehingga susioknya yang berilmu tinggi masih terkena juga.
“Cu Sim, kau lihatlah keadaan susiok-couwmu itu dan kalau ia terluka, lekas memberi laporan agar dapat berusaha mengobatinya!”
Cu Sim San-lojin menyatakan baik lalu keluar dari ruangan itu. Tosu-tosu lain lalu bubaran, melakukan pekerjaan mereka seperti biasa. Memang mereka sudah amat terlatih, cepat berkumpul apabila dibutuhkan dan tenang kembali setelah peristiwa selesai.
Betapapun In Hong meronta dan mengerahkan tenaga, ia tidak mampu melepaskan diri dari kempitan lengan tosu tua itu yang setelah keluar dari kelenteng, berlari cepat sekali sehingga sebentar saja sudah tiba di lereng gunung. Kemudian ia melepaskan nona itu sambil tersenyum dan berkata:
106
“Nona, kalau tidak teringat akan mendiang gurumu, siapa sudi menolongmu dan rela membiarkan lenganku terkena toat-beng-hek-kong?” katanya dan dari dalam saku bajunya ia mengeluarkan sebungkus obat, terus mengobati luka yang diakibatkan oleh pasir-pasir hitam.
Melihat obat ini, In Hong terkejut. Itulah obat pemunah pasir hitam yang dibuat oleh gurunya sendiri, yang juga berada di dalam bungkusan pakaiannya. Darimana tosu ini mendapatkan obat itu?
“Gurumu adalah sahabat baikku, dan karena aku pernah ditolong olehnya, maka tadi melihat kau menghadapi Pek Ciang San-lojin, aku sengaja datang untuk menyeretmu keluar dari lembah maut. Kalau tidak aku keburu datang, apa kaukira sekarang kau masih bernyawa? Hm, biarpun ilmu silat dan ilmu pedangmu lihay, mana kau dapat menghadapi tokoh-tokoh Kun-lun-pay? Lweekangmu masih amat rendah dan kalau kau bertanding melawan Pek Ciang, kau tentu akan terluka dan binasa.”
Mendengar semua kata-kata ini, maklumlah In Hong bahwa kakek aneh ini bermaksud baik dan bahkan telah menolongnya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Locianpwe, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Akan tetapi teecu Kwee In Hong tidak takut mati. Untuk membalas budi mendiang guruku, teecu harus berani berkorban nyawa. Teecu harus membalas dendamnya atas pengeroyokan tosu-tosu Kun-lun-pay.”
“Ha, ha, ha, inilah namanya anak kerbau tidak takut harimau. Dengan tenaga lweekangmu serendah itu, biar sepuluh tahun lagi tak mungkin kau dapat mengalahkan kami. Kecuali kalau kau bisa mendapatkan kitab Tat Mo I-kin-keng dari Siauw-lim-si dan mempelajarinya sampai tamat, baru kiranya kau akan dapat menghadapi kami! Nah, kau pergilah, aku bicara semua ini bukan terhadapmu, melainkan terhadap arwah gurumu!” Setelah berkata demikian, sambil menyeret sapunya tosu tua itu berjalan pergi.
“Tahan dulu, locianpwe, mohon tahu nama locianpwe yang mulia.”
Tanpa menoleh tosu itu herkata: “Siang-te Lo-koay hanya tukang sapu di kelenteng Kun-lun, tidak ada harganya untuk diingat lagi.” Kakek itu mempercepat larinya dan sebentar saja telah naik kembali ke bukit itu.
In Hong menarik napas panjang. Ia kagum sekali kepada kakek ini, yang biarpun ilmu silatnya tidak amat tinggi, namun ginkang dan lweekangnya sudah sampai di puncak yang tak dapat diukur tingginya sehingga ia merupakan seorang anak kecil yang tidak berdaya terhadapnya. Ia pikir bahwa betul sekali apa yang diucapkan oleh kakek itu. Kepandaiannya, atau lebih tepat ilmu lweekangnya, masih terlampau rendah sehingga kalau ia nekad membalas dendam ke Kun-lun-pay, hal itu bukan berarti kegagahan, melainkan ketololan besar. Sakit hati gurunya takkan terbalas, sebaliknya ia seperti mengantarkan nyawa secara sia-sia belaka.
Tat Mo I-khi-keng dari Siauw-lim-si! Kata ini terukir di dalam hatinya. Apa artinya semua kepandaiannya kalau ia tidak dapat memiliki lweekang yang tinggi? Ia pernah mendengar dari gurunya bahwa dalam pertandingan menghadapi tokoh lihay memang tenaga lweekang amat penting. Dan gurunya pernah mengaku bahwa dalam hal lweekang, masih kalah oleh partai-partai besar, apalagi partai silat Siauw-lim-si yang amat mengutamakan ilmu lweekang ini.
107
“Aku harus mendapatkan kitab Tat Mo I-kin-keng dari Siauw-lim-si, biarpun harus menjadi pencuri!” Pikiran ini menjadi keputusan di dalam hati gadis yang masih penasaran itu, dan sekali mengambil keputusan, ia tidak mau menunda-nunda lagi, maka begitu turun dari Kun-lun-san, ia langsung menuju ke Siauw-lim-si.
Berbeda dengan partai persilatan Kun-lun-pay, Siauw-lim-pay adalah partai persilatan dari penganut-penganut agama Buddha. Kelenteng Siauw-lim-si adalah sebuah kelenteng yang besar sekali, di kelilingi oleh tembok yang tebal dan tinggi. Di antara semua partai persilatan yang besar, nama Siauw-lim-pay sudah amat terkenal. Setiap orang hwesio, atau anak murid Siauw-lim-pay yang berada di luar kelenteng, sudah dapat dipastikan memiliki ilmu kepandaian tinggi, karena kalau belum tamat belajar mencapai tingkat tertentu, murid Siauw-lim-si tidak boleh meninggalkan perguruan!
Setiap orang anak murid yang tamat harus menempuh ujian, yakni melalui sebuah lorong yang sudah disiapkan untuk menguji si murid. Lorong ini penuh dengan alat-alat rahasia dan si murid akan menghadapi serangan-serangan berbahaya, baik yang dilakukan dengan alat-alat rahasia itu maupun oleh guru-gurunya sendiri.
Kalau ia berhasil menembusi lorong inti, ia dianggap cukup cakap untuk keluar dari Siauw-lim-si. Akan tetapi kalau dalam menghadapi ujian ini ia gagal, harus belajar lebih giat lagi. Atau kalau sampai ia tewas dalam ujian ini, itu sudah menjadi nasibnya!
Oleh karena ada aturan dan disiplin yang keras ini, maka selamanya Siauw-lim-pay dapat menjaga nama dan anak-anak murid keluaran Siauw-lim-pay dapat menjunjung tinggi nama perguruan itu.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pay adalah Bu Kek Tianglo, seorang hwesio yang usianya sudah hampir delapanpuluh tahun. Selama berpuluh tahun hwesio ini memegang pimpinan Siauw-lim-pay dan boleh dibilang ia berhasil dalam memajukan partai persilatan ini. Akan tetapi hatinya tidak puas. Ada hal yang amat mengganjel hatinya dan kalau ia teringat akan hal ini, diam-diam ia menarik napas seorang diri dan berbisik:
“Apakah akan jadinya dengan Siauw-lim-pay? Tat Mo Couwsu pasti arwahnya akan mengutukku kalau aku tidak bisa mendapatkan seorang ahliwaris yang baik.”
Yang menjadikan kakek hwesio ini berduka adalah karena selama ini, ia tidak bisa mendapatkan seorangpun murid yang berbakat dan yang akan dapat mewarisi kepandaian aseli dari Tat Mo Couwsu. Ilmu silat peninggalan guru besar Tat Mo Couwsu, yang disebut Tat Mo Kun-hoat, terdiri dari bermacam-macam ilmu silat.
Memang semua anak murid Siauw-lim-pay mempelajari ilmu silat ini, akan tetapi tingkat mereka yang paling tinggi hanya sampai enam bagian saja. Yang sudah mewarisi ilmu silat ini sampai sembilan bagian hanyalah Bu Kek Tianglo seorang, karena untuk berhasil mewarisi seluruh pelajaran yang amat sukar dari ilmu silat itu, dibutuhkan bakat luar biasa serta kebersihan batin, hawa dalam tubuh, dan darah.
Sampai sebegitu jauh, tak seorangpun anak murid yang sanggup menerima latihan I-kin-keng, yakni latihan ilmu lweekang yang tertinggi. Hanya Bu Kek Tianglo sendiri yang berhasil, akan tetapi ia sudah terlalu tua. Usianya takkan lama lagi mempertahankan hidupnya dan sebelum mati, hwesio tua ini ingin sekali mendapatkan seorang murid yang dapat mewarisi I-kin-keng dan ilmu silat tertinggi dari Tat Mo kun-hoat.
108
Bu Kek Tianglo sudah hampir putus asa sampai datangnya seorang hwesio Siauw-lim-si yang membawa seorang pemuda dan seorang bocah perempuan ke kelenteng itu. Hal ini terjadi lima tahun yang lalu. Hwesio yang datang ini adalah murid kepala dari Bu Kek Tianglo yang bernama Ceng Seng Hwesio.
Ceng Seng Hwesio berlutut menghadap ketua Siauw-lim-pay itu dan disebelahnya, pemuda dan anak perempuan itupun ikut berlutut dengan penuh penghormatan.
“Muridku yang baik, tiga bulan lamanya kau meninjau keadaan di luar, bagaimanakah khabarnya dengan para anak murid kita yang berada di luar?”
“Mereka baik-baik semua, suhu, dan tak seorangpun yang melakukan pelanggaran, kesemuanya patuh akan pelajaran dan larangan Siauw-lim-pay,” jawab Ceng Seng Hwesio.
Jawaban ini kelihatannya amat menyenangkan hati Bu Kek Tianglo, karena kakek ini memang selalu merasa gelisah kalau ia teringat betapa banyaknya murid-murid Siauw-lim-pay berada di luar kelenteng sehingga ia tidak kuasa untuk mengawasi tingkah laku mereka. Ia selalu khawatir kalau-kalau ada anak murid yang melakukan perbuatan jahat, melanggar larangan Siauw-lim-pay dan di dunia luar merusak nama baik Siauw-lim-pay. Oleh karena ini, seringkali ia mengutus murid-muridnya untuk meninjau keadaan di dunia kangouw dan memberi wewenang kepada murid-muridnya ini apabila mendengar anak murid Siauw-lim-pay yang menyeleweng, untuk menangkap dan menyeretnya ke Siauw-lim-pay!
“Siapakah orang muda dan nona cilik ini?” kemudian kakek itu bertanya sambil memandang kepada pemuda dan anak perempuan yang berlutut di dekat Ceng Seng Hwesio.
“Di dalam perantauan, teecu bertemu dengan mereka ini, dikeroyok oleh perampok di dalam hutan. Teecu amat tertarik melihat ilmu silat pemuda ini berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-si, akan tetapi gerakannya sudah menyeleweng jauh. Setelah teecu mengajak mereka bercakap-cakap, ternyata bahwa mereka ini masih cucu murid dari supek Bu Sek Tianglo!”
Bu Kek Tianglo nampak tercengang dan memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian.
“Anak muda, siapa namamu? Dan kau murid siapakah?” tanya Bu Kek Tianglo.
Pemuda itu mengangkat mukanya yang tampan dan membayangkan kedukaan, memandang kepada tosu tua itu kemudian menunduk kembali dan menjawab, suaranya halus dan sopan:
“Susiok-couw, teecu bernama Ong Teng San, dan ini adik teecu bernama Ong Lian Hong. Teecu berdua menerima pelajaran ilmu silat dari ayah teecu sendiri yang bernama Ong Tiang Houw, murid dari sucouw Bu Sek Tianglo. Kebetulan sekali teecu berdua yang sengsara bertemu dengan supek Ceng Seng Hwesio, maka apabila susiok-couw tidak berkeberatan, teecu berdua mohon diterima menjadi murid di Siauw-lim-si, karena teecu berdua sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi.” Suara pemuda itu menjadi perlahan dan ia kelihatan berduka sekali.
“Hm, mengapa kalian pergi dari rumah? Dimana ayahmu? Biarpun ayahmu tidak langsung menjadi murid Siauw-lim-pay, akan tetapi sudah lama pinceng (aku) mendengar akan sepak terjangnya yang patut dihargai sebagai seorang pendekar yang gagah. Agaknya mendiang suhengku Bu Sek Tianglo tidak terlalu salah menerima murid sungguhpun dia sendiri telah meninggalkan Siauw-lim-pay.”
109
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Teng San terisak menangis! Hati pemuda ini bersedih sekali kalau ia teringat akan ayahnya yang dianggap telah melakukan perbuatan yang amat memalukan dan tidak berbudi.
Melihat pemuda ini menangis, Bu Kek Tianglo wajahnya tiba-tiba berseri. Di dalam hatinya ia berkata: “Aha, anak inilah yang kiranya akan dapat mewarisi I-kin-keng, hatinya perasa sekali dan perasaan yang halus inilah yang amat dibutuhkan untuk bisa mempelajari I-kin-keng dengan sempurna.” Akan tetapi di luarnya, ia berkata dengan suara tegas:
“Teng San, tidak patut seorang pemuda mengalirkan airmata. Ada urusan, boleh kau beritahukan kepada pinceng dengan terus terang, boleh jadi pinceng akan dapat mencarikan jalan terang bagimu.”
Teng San menekan perasaan sedihnya, kemudian ia dengan terus-terang menceritakan bagaimana ayahnya telah membunuh seorang hartawan muda bernama Kwee Seng, kemudian mengambil isteri hartawan itu sebagai isterinya. Hal ini dianggapnya amat menyakitkan dan memalukan hati, apalagi karena Teng San sudah menganggap ibu tiri itu sebagai ibunya sendiri, bahkan sudah berkali-kali berjanji kepada ibu tirinya untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya suami yang dahulu dari ibu tirinya itu. Tidak disangka-sangkanya bahwa pembunuhnya adalah ayahnya sendiri!
Mendengar penuturan ini, Bu Kek Tianglo mengerutkan keningnya dan beberapa kali ia menggeleng-geleng kepalanya yang gundul.
“Omitohud, bagaimana ada kejadian seperti itu? Pinceng sudah mendengar tentang ayahmu yang memimpin pasukan Kay-sin-tin membasmi orang-orang hartawan dan bangsawan. Perjuangan memperbaiki nasib kaum jembel memang baik, bahkan semenjak dahulu dipelopori oleh orang-orang gagah sedunia yang tidak suka melihat sesama hidup bersengsara dan melihat keganjilan di dunia ini, dimana yang hidup kaya sampai berlebihan dan yang hidup miskin sampai tidak bisa makan. Akan tetapi, setiap perjuangan memperbaiki nasib haruslah dilakukan dengan hati-hati dan waspada, karena hampir selalu ada bahaya kemasukan anasir-anasir buruk dan sifat-sifat yang tidak baik. Ayahmu terlampau dikuasai oleh nafsunya, nafsu dan dendam karena kematian isterinya, yaitu ibumu, dan orang yang sudah dikuasai oleh nafsu dan dendam, tiada ubahnya seperti binatang buas yang tidak memilih bulu, siapa saja diterkamnya. Orang gagah harus dapat berlaku adil, menghukum mereka yang bersalah dan menolong mereka yang tergencet. Secara membuta tuli saja membasmi orang-orang hartawan dan bangsawan, adalah perbuatan yang amat keliru, karena tak mungkin seluruh hartawan dan bangsawan itu jahat belaka. Karena kekeliruan ayahmu itu, sekarang ia harus memetik buahnya yang amat pahit. Bagaimana dengan ayahmu sekarang?”
“Teecu tidak tahu, susiok-couw. Entah bagaimana dengan ayah, dan kalau teecu teringat akan ibu……” Sampai disini terdengar suara tangisan Liang Hong.
“San-ko, aku mau pulang, mau menjaga ibu……,” anak ini menangis.
Bu Kek Tianglo adalah seorang yang hatinya penuh welas asih, sesuai dengan penganut agama Buddha, maka ia amat terharu melihat keadaan dua orang anak itu. Apalagi kalau ia melihat Teng San, diam-diam ia memuji ketajaman mata muridnya, karena pemuda ini benar-benar memiliki bakat yang luar biasa. Oleh karena itu, ia menerima Teng San dan Lian Hong menjadi murid Siauw-lim-si, dan menyerahkan
110
pendidikan mereka kepada Ceng Seng Hwesio. Akan tetapi, terhadap Teng San ia turun tangan sendiri memberi pelajaran ilmu silat tinggi sehingga pemuda itu mendapatkan kemajuan yang amat pesat.
Selama lima tahun Teng San dan Lian Hong dilatih di dalam kelenteng Siauw-lim-si dan Teng San kini benar-benar telah mewarisi ilmu-ilmu silat tertinggi dari Siauw-lim-pay. Akan tetapi, tetap saja ia masih mengalami kesukaran untuk mewarisi I-kin-keng dan setelah lima tahun, baru ia mulai mendapat penjelasan tentang ilmu lweekang tertinggi dari Siauw-lim-pay ini. Juga Lian Hong merupakan murid yang amat memuaskan hati Ceng Seng Hwesio, karena dalam usia empatbelas tahun, gadis cilik ini telah mampu melewati lorong ujian dengan selamat dan tidak terluka sedikitpun!
Pada waktu inilah ketika Siauw-lim-si mendapat serbuan yang menggemparkan kelenteng besar itu, serbuan yang dilakukan oleh Kwee In Hong, gadis murid Hek Moli yang amat berani dan keras hati itu!
Waktu itu tepat tanggal limabelas, bulan bersinar terang dan hawa malam itu dingin bukan main, tanda bahwa musim panas sudah mulai bertukar musim. Tak seorangpun di kelenteng Siauw-lim-si yang menduga bahwa malam itu tempat mereka yang disegani dan ditakuti oleh semua orang kangouw akan menerima tamu tak diundang yang amat berani. Memang sudah berpuluh tahun tidak ada orang yang berani memusuhi Siauw-lim-si, apalagi datang sebagai seorang tamu malam tak diundang yang bermaksud jahat. Maka para hwesio enak-enak saja dan tidak menyangka buruk.
Apalagi karena In Hong memasuki tempat itu dengan mempergunakan ginkangnya yang sudah tinggi tingkatnya. Hanya bayangannya saja yang berkelebatan ketika ia mendaki bukit itu menuju ke kelenteng. Kemudian, dengan amat mudahnya ia melompat pagar tembok yang tinggi, yang mengelilingi semua bangunan kelenteng dan rumah tinggal para anak murid Siauw-lim-pay.
Kalau orang melihat In Hong melompat-lompat di dalam sinar bulan purnama, tentu ia akan mengira bahwa gadis ini seorang bidadari yang turun dari bulan. Memang gadis ini amat cantik, lincah, dan pakaiannya yang serba ringkas membayangkan potongan tubuhnya yang langsing.
In Hong merasa agak heran ketika melihat keadaan di dalam pagar tembok itu sunyi saja, tidak kelihatan penjaganya. Begini sajakah keadaan Siauw-lim-si yang tersohor kuat itu? Ia merasa lega dan setelah meneliti bahwa keadaan di dalam benar-benar aman, ia lalu melayang turun dari pagar tembok dengan gerakan ringan seakan-akan seekor burung walet menyambar. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara ketika ia tiba di atas tanah dalam sebuah pekarangan yang lebar.
Sambil menyelinap dan bersembunyi di dalam bayang-bayang pohon dan tembok yang gelap, gadis yang berani ini maju terus. Tiba-tiba ia melihat seorang hwesio cilik membawa lampu berjalan perlahan. Sambil berjalan, hwesio cilik ini mulutnya berkemak-kemik mengeluarkan suara seperti orang berdoa, agaknya ia sedang menghafal ayat-ayat suci yang baru dipelajarinya siang hari tadi.
In Hong cepat bersembunyi ke dalam tempat gelap dan ketika hwesio kecil itu lewat, ia melompat dan pedangnya sudah menempel pada leher hwesio ini. Alangkah heran dan kagumnya hati In Hong ketika melihat betapa hwesio cilik ini sama sekali tidak terkejut.
Jangankan berteriak minta tolong atau melepaskan lampunya, bahkan ia memandang sambil tersenyum! Ketenangan hwesio cilik ini membuat In Hong menjadi kagum dan malu kepada diri sendiri, maka ia menjauhkan pedangnya dari leher anak yang sudah menjadi calon pendeta itu.
111
“Siauw-suhu, aku tidak berniat buruk kepadamu, hanya aku harap kau suka memberitahu kepadaku dimana adanya kamar penyimpanan kitab Siauw-lim-si!” bisiknya.
Memang aneh sekali Hwesio cilik ini sambil tersenyum lalu menuding ke arah kiri. “Kau hendak mencari kamar penyimpanan kitab? Lihat, bangunan di sudut kiri yang jendelanya kuning itulah tempat penyimpanan kitab.”
In Hong tertegun. “Kau tidak bohong, siauw-suhu?”
Hweesio cilik itu tersenyum dan menggeleng kepalanya yang gundul kelimis. “Kalau orang masih suka berbohong apa gunanya berada disini? Tidak, disini kau tidak bertemu dengan orang yang suka membohong.”
In Hong menggerakkan tangan hendak menotok hwesio cilik ini agar jangan dapat bergerak atau berteriak, akan tetapi melihat muka yang jujur dan polos serta senyuman yang terbuka itu, ia menahan tangannya.
“Aku takkan mengganggumu, akan tetapi kau harus berjanji takkan memberitahukan kepada siapapun juga akan kedatanganku ini.”
Kembali hwesio cilik itu tertawa. “Lihiap, tentang kedatanganmu, siapakah yang tidak tahu? Para suhu disini sudah tahu semua, untuk apa diberitahukan lagi?” Setelah berkata demikian, hwesio cilik ini berjalan terus dengan lambat, lampu di tangannya bergoyang-goyang.
Untuk sejenak In Hong berdiri terpaku. Keterangan terakhir ini mengejutkan hatinya. Akan tetapi, betulkah itu? Kalau para tokoh Siauw-lim-pay sudah mengetahui kedatangannya, mengapa mereka tidak muncul? Betapapun juga, aku sudah sampai disini dan harus kucoba mendapatkan kitab I-kin-keng, pikirnya. Tanpa ragu-ragu lagi In Hong lalu melompat cepat ke kiri, menuju ke bangunan berjendela kuning yang ditunjuk oleh hwesio kecil tadi.
Untuk sampai di tempat itu, ia harus melalui beberapa ruangan dan di sana sini terdapat arca-arca Buddha sebesar orang sehingga kadang-kadang gadis ini terkejut karena dari jauh arca-arca ini seperti seorang hwesio sedang duduk bersamadhi. Akhirnya ia sampai di sebuah ruangan dan di dekat ruangan terbuka inilah adanya kamar yang berjendela kuning. Hatinya berdebar girang dan dengan hati-hati ia mendekati kamar itu.
Di ujung ruangan itu, dekat dengan pintu kamar, ia melihat punggung sebuah patung lagi yang sebesar manusia, patung seperti arca-arca lain yang dilihatnya tadi. Maka ia tidak menaruh perhatian. Dengan langkah lebar In Hong menghampiri jendela kuning dari kayu dan sekali mencongkel dengan pedang-nya, jendela itu terbuka tanpa menerbitkan suara apa-apa.
Kamar ini luas sekali dan diterangi oleh lampu besar. Ia melihat lemari-lemari yang penuh dengan buku-buku kuno dan di tengah kamar ini ia melihat seorang laki-laki sedang duduk membaca buku. Laki-laki itupun bersila dan biarpun kedua tangannya memegang sebuah kitab terbuka, namun ia tidak bergerak sama sekali. Agaknya seluruh perhatiannya dicurahkan untuk membaca isi kitab, maka ia tidak memperdulikan lain hal yang terjadi disekelilingnya.
112
In Hong tercengang dan ia memandang dengan mata terbelalak. Kalau ia melihat laki-laki itu seorang hwesio gundul, ia takkan terheran. Akan tetapi laki-laki ini bukan seorang hwesio, melainkan seorang pemuda yang tampan dengan pakaian serba putih. Ia hendak menerjang masuk, akan tetapi menarik diri kembali dan bersembunyi ketika melihat pemuda itu menggerakkan leher dan menengok ke arah jendela.
“Sampai berani merusak jendela, inilah keterlaluan sekali!” kata pemuda itu dan ketika In Hong hendak memandang ke dalam, tiba-tiba jendela itu sudah tertutup! In Hong meraba penutup yang kini berwarna hitam itu dan ternyata bahwa yang menutup jendela secara aneh itu adalah besi yang tebal dan dingin!
Ia mencoba mendorong, namun sia-sia karena besi penutup jendela itu kokoh kuat. In Hong penasaran dan sekali ia melompat, ia telah naik ke atas genteng kamar itu. Namun, ketika ia membuka genteng, ternyata bahwa dibawah genteng juga tertutup oleh lapisan besi yang tak mungkin ditembus!
“Kurangajar!” ia memaki perlahan dan melayang turun kembali, kini ia menghampiri pintu. “Kaukira aku tidak berani menerjang dari pintu?” pikirnya.
Akan tetapi, sebelum ia membuktikan ancamannya ini, arca yang tadi ia lihat punggungnya, tiba-tiba bergerak dan sudah berdiri di belakangnya.
“Nona, tak seorangpun boleh memasuki pintu ini!”
In Hong sampai mencelat setombak lebih saking kagetnya. Tidak disangkanya bahwa yang dikira arca itu ternyata seorang hwesio gundul tua yang agaknya duduk bersamadhi di depan pintu itu!
Pada saat itu, terdengar suara kelenengan perlahan yang sambut menyambut di seluruh tempat itu, maka tahulah In Hong bahwa ia sudah terkepung. Pintu kamar itu terbuka dan pemuda yang tadi dilihatnya membaca kitab, sudah ber-diri dengan pedang di tangan, sedangkan daun pintu itu tertutup sendiri dengan suara keras dan nyaring yang menyatakan bahwa daun pintu inipun terbuat daripada besi atau baja!
Gagal dan aku harus cepat melarikan diri, pikir In Hong dengan kecewa.
“Nona, jalan masuk ke Siauw-lim-si amat mudah, namun jalan keluarnya tidak semudah kaukira,” hwesio tadi berkata dengan nada mengejek.
“Minggir kau!” bentak In Hong sambil mempergunakan tangan kirinya mendorong.
Hwesio itu tidak mau mengelak, sebaliknya menyambut dengan tangan kanannya. Tubuh In Hong terpental ke belakang, demikian kerasnya tenaga dorongan hwesio itu.
In Hong terkejut sekali. Lihay betul lweekang dari hweesio ini, pikirnya, maka ia tidak berani memandang ringan. Baru seorang hwesio saja begini lihay, kalau mereka semua muncul, ia tentu takkan mampu melawan mereka semua. Cepat ia hendak lari, akan tetapi hwesio itu sudah menghadangnya sambil tertawa:
“Coan Sim Hwesio menjaga kamar kitab takkan membiarkan kau pergi, nona,” katanya dan tangannya menyambar hendak menangkap lengan In Hong yang memegang pedang. Nona ini menjadi marah dan
113
cepat ia menggerakkan pedang hendak membacok lengan hwesio itu. Lawannya ternyata memiliki gerakan yang gesit juga, karena sudah dapat menarik lengannya dan membalas dengan tendangan loan-hoan-twi, yakni tendangan berantai yang dilakukan bertubi-tubi.
In Hong cepat melompat tinggi ke belakang, dan sambil memutar tubuhnya, pedangnya menusuk dada hwesio itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga hwesio ini mengeluarkan seruan kaget dan cepat mengelak sambil melompat ke belakang. Namun In Hong tidak memberi kesempatan padanya dan terus menyerang. Pedangnya kini merupakan sinar dan bergulung-gulung menyerang hwesio itu yang menjadi kewalahan, melompat dan mengelak ke sana ke mari.
“Pencuri nekat jangan kau kurangajar!” tiba-tiba pedang In Hong tertangkis oleh pedang lain dan ternyata bahwa yang menangkis oleh pedang lain dan ternyata bahwa yang menangkis pedangnya adalah pemuda yang tadi membaca kitab. “Murid termuda Siauw-lim-si Ong Teng San takkan membiarkan pencuri pergi!”
In Hong menjadi marah. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu memutar pedangnya secepatnya, menyerang pemuda itu dengan jurus ilmu pedangnya yang paling lihay. Pemuda itu terkejut sekali dan buru-buru ia menangkis sambil melangkah mundur, karena serangan ini benar-benar merupakan desakan yang masih berbahaya kalau hanya ditangkis saja.
In Hong penasaran. Serangannya tadi amat lihay dan kalau lawan tidak memiliki ilmu silat tinggi tak mungkin dapat menghindarkan diri. Namun pemuda itu masih dapat mengelak dan menangkis. Selagi ia hendak mendesak terus, dari samping Coan Sim Hwesio kembali mengulur tangan mendorongnya dan kembali angin dorongan itu membuat In Hong terhuyung.
Celaka pikirnya. Tidak menguntungkan kalau ia melawan terus, maka sekali kakinya dienjotkan, ia telah melayang naik ke atas genteng. Coan Sim Hwesio dan pemuda yang bukan lain adalah Ong Teng San itu, tidak mau mengejarnya. Mereka maklum bahwa gadis itu takkan mungkin dapat keluar dari kepungan para hwesio Siauw-lim-si.
Betapapun juga mereka tidak mau tinggal diam dan keduanya lalu pergi mela-kukan penjagaan di lain tempat, hwesio itu lari ke kanan untuk membantu penjagaan di tembok sebelah kanan, sedangkan Teng San melompat naik ke atas genteng melakukan penjagaan di atas.
In Hong berlari terus, menuju keluar. Maksudnya hendak lekas-lekas pergi dari tempat itu, apalagi setelah ia melihat dari atas betapa banyak hwesio-hwesio menjaga di sana sini. Tempat yang ketika ia datang nampak sunyi itu sekarang sudah berobah sama sekali. Di setiap sudut terdapat lampu penerangan.
Selagi ia mencari tempat yang dapat dilaluinya untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar bentakan:
“Nona tak tahu aturan, tidak lekas-lekas menyerah?”
In Hong memutar pedangnya untuk menangkis ketika merasa sambaran angin datang dari sebelah kanan. Terdengar suara keras dan ujung sebatang toya terbabat putus oleh pedang Liong-gan-kiam. Hwesio yang menyerangnya berseru kaget, akan tetapi dua orang kawannya lagi maju menubruk untuk menangkap In Hong.
114
Nona ini melihat dirinya dikeroyok tiga orang hwesio, tidak mau melayani dan secepat burung terbang, ia melompat turun lagi dari atas genteng. Kemudian ia berlari terus ke depan dan anehnya, tiga orang hwesio itupun tidak mau mengejarnya.
Begitu kedua kaki In Hong menginjak tanah, ia dikejutkan oleh bentakan mengguntur: “Penjahat wanita yang berani mati mengacau Siauw-lim-si, lebih baik kau menyerah untuk pinceng ikat kaki tanganmu!”
In Hong melihat seorang hwesio tinggi besar yang memegang sebatang rantai baja panjang. Darahnya naik mendengar bentakan itu. Masa ia hendak diikat dengan rantai baja yang lebih pantas untuk mengikat gajah itu? Tanpa mengeluarkan suara, pedangnya membabat dan secepat kilat ia telah melakukan serangan ke arah perut hwesio itu dengan tusukan maut.
“Siancay…… ganas betul kau!” Hwesio itu menggerakkan rantainya dan hampir saja pedang In Hong terlepas dari pegangannya ketika dua senjata itu bertemu dengan kerasnya.
Diam-diam In Hong amat terkejut. Biarpun gerakan para hwesio di Siauw-lim-si ini tidak terlalu cepat, namun ia harus akui bahwa mereka rata-rata memiliki tenaga yang besar. Telapak tangannya sampai terasa pedas ketika gagang pedangnya tergetar dalam pertemuan senjata itu. Ia cepat menarik pedang dan kembali melakukan tiga jurus serangan bertubi-tubi. Namun dengan pemutaran rantai sehingga merupakan kitiran baja yang tangguh, semua serangannya gagal.
“Suheng, jangan lepaskan dia!” terdengar suara hwesio lain membentak dan In Hong menjadi gemas sekali melihat datangnya dua orang hwesio lain yang memegang toya. Melayani si tinggi besar dengan rantai ini saja belum tentu ia akan dapat menang secara cepat, apalagi sekarang datang pula dua orang pengeroyok. Dan ia maklum bahwa senjata toya bagi Siauw-lim-si merupakan senjata yang ampuh dan ilmu toya Siauw-lim-si amat terkenal ketangguhannya.
“Kalian memaksakan dan tidak mau membiarkan aku pergi? Baik, kalian rasakan ini!” bentaknya marah sekali dan tiba-tiba, ketika tangan kiri In Hong bergerak, sinar hitam menyambar ke arah tiga orang hwesio itu. Inilah Toat-beng-hek-kong yang luar biasa. Pasir hitam halus yang mengandung racun itu sukar sekali dihindarkan, apalagi dipergunakan di waktu malam.
Biarpun tiga orang hwesio itu cepat-cepat mengelak, namun masih saja mereka terkena samberan pasir dan segera terdengar suara mengaduh-aduh dari tiga orang ini.
In Hong mempergunakan kesempatan ini untuk berlari terus. Akan tetapi karena ia tidak kenal jalan dan tempat itu ternyata amat luasnya, ia tidak tahu harus mengambil jalan mana dan berlari saja dengan membuta. Ia tiba di sebuah ruangan lain yang amat terang dan ditengah-tengah ruangan ini ia melihat seorang hwesio tua, bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, tengah duduk bersamadhi. Sebatang toya besar menggeletak di dekatnya.
Melihat sikap yang angker dan muka yang memancarkan cahaya kelembutan itu, In Hong hendak menghindari hwesio ini dan hendak keluar lagi dari ruangan itu untuk mengambil jalan lain. Akan tetapi, tiba-tiba hwesio bermuka hitam itu membuka matanya dan berkata dengan suara lemah lembut.
“Nona, kau sudah memasuki Siauw-lim-si secara menggelap, jangan kau harap akan dapat keluar lagi. Lebih baik kau mengakulah kepada pinceng, siapa namamu dan apa keperluanmu datang ke tempat kami ini. Ketahuilah bahwa pinceng adalah Ceng Seng Hwesio dan pinceng memimpin para anak murid
115
Siauw-lim-si. Pinceng bukan seorang yang berhati kejam, dan kalau sekiranya menurut pertimbangan pinceng, dosamu tidak terlalu besar, tentu kau akan pinceng lepaskan.”
Mendengar ini, In Hong memasuki ruangan itu. Lebih baik mengakui terus terang, pikirnya. Kalau dia diampuni dan dibolehkan pergi tanpa gangguan, itu baik sekali. Sebaliknya kalau tidak diampuni, daripada menghadapi keroyokan semua hwesio di Siauw-lim-si, lebih baik terlebih dulu ia menggempur hwesio pemimpin ini!
Kalau saja ia bisa membikin hwesio ini tidak berdaya, ia dapat mempergunakan sebagai perisai untuk keluar melarikan diri. Setelah berpikir demikian, In Hong lalu menghadapi Ceng Seng Hwesio dan berkata, pedangnya melintang di depan dada:
“Losuhu, terus terang saja, kedatanganku disini bukannya mengandung maksud buruk. Aku bernama Kwee In Hong dan aku adalah murid dari Hek Moli.”
“Sudah pinceng duga, melihat gerakan pedangmu yang ganas dan melihat Toat-beng-hek-kong tadi. Teruskan, nona, kau bilang tidak bermaksud buruk, apakah maksud kedatanganmu malam-malam di Siauw-lim-si?” hwesio itu memotong.
In Hong terkejut. Hwesio ini tadi duduk bersemadhi saja, bagaimana bisa ketahui semua perbuatannya? Akan tetapi ia tidak gentar, dan melanjutkan kata-katanya:
“Guruku tewas oleh keroyokan orang-orang Kun-lun-pay dan aku telah naik ke Kun-lun-san untuk membalas dendam. Akan tetapi aku dikalahkan oleh tenaga lweekang mereka, oleh karena itu, kedatanganku di Siauw-lim-si ini hanya untuk meminjam kitab I-kin-keng.”
“Meminjam kitab suci Tat-mo I-kin-keng?” Ceng Seng Hwesio benar-benar terkejut dan heran. “Untuk apakah?”
“Untuk kupelajari isinya dan kelak tentu akan kukembalikan dengan pernyataan terima kasihku. Bahkan, kalau dengan I-kin-keng aku berhasil membalas sakit hati guruku, aku kelak sambil mengembalikan kitab, rela menerima segala hukuman dari Siauw-lim-si. Harap kau orang tua suka mempertimbangkan dan meluluskan permintaanku.”
Mendengar ini, Ceng Seng Hwesio bangkit berdiri dan tertawa bergelak. “Lucu, lucu……! Kau anggap begitu mudah meminjam I-kin-keng? Ha, ha, nona, tidak sembarang manusia di kolong langit ini dapat mempelajari Tat-Mo I-kin-keng, apalagi dalam waktu singkat. Ini masih belum penting, yang terutama sekali, siapapun juga di dunia ini tidak dibolehkan menjamah kitab suci itu tanpa perkenan dari suhu, ketua Siauw-lim-si. Apalagi kau datang dengan maksud hendak mencuri kitab itu. Ah, ini sebuah kedosaan besar sekali, nona. Kalau Hek Moli yang datang kesini melakukan perbuatan ini, pinceng masih dapat memakluminya, akan tetapi kau…… benar-benar kebetulan dan aneh sekali……”
In Hong tidak mengerti apa maksud kata-kata terakhir itu, akan tetapi ia sudah tidak sabar lagi dan berkata keras sambil menggerak-gerakkan pedangnya:
“Losuhu, bagaimana keputusanmu, boleh atau tidak?”
116
“Nona, kau bilang tidak bermaksud buruk, akan tetapi kau telah melukai tiga orang murid Siauw-lim-si dengan toat-beng-hek-kong.”
“Aku tidak sengaja, aku terpaksa karena didesak dan untuk menyelamatkan diri. Aku menyesal sekali dan inilah obat penawar untuk mereka!” kata In Hong sambil merogoh sakunya.
“Tak perlu, nona. Orang lain boleh menakuti toat-beng-hek-kong, akan tetapi Siauw-lim-si tidak. Kami ada obat penawar sendiri untuk senjata rahasiamu yang ganas itu. Dan tentang peminjaman kitab suci itu, tentu saja tidak mungkin!”
“Pinjam kitab tidak boleh dan sekarang akupun tidak boleh keluar? Begitukah kebijaksanaan Siauw-lim-si?” In Hong sudah siap sedia untuk mengamuk.
“Tentang hal kedua, kau sudah melakukan dosa besar, sudah melakukan pelanggaran dan oleh karena itu, kau harus ditangkap dan dihadapkan ketua Siauw-lim-si. Hanya suhu yang berhak memberi keputusan. Oleh karena itu, harap kau suka menyerah.”
“Orang tua, kau sama saja dengan yang lain! Aku harus menyerah? Terimalah ini!” Tangan kiri In Hong bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah Ceng Seng Hwesio!
Hwesio ini mengebutkan ujung lengan bajunya dan semua pasir hitam yang menyerangnya runtuh. Sebelum In Hong sempat melompat keluar, hwesio ini sudah menyambar dengan toyanya, menyerampang kaki gadis itu. In Hong cepat melompat ke atas dan membalas serangan lawan dengan tusukan pedangnya. Tak lama kemudian keduanya sudah bertanding dengan hebatnya.
In Hong maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan berat, maka ia tidak berlaku sungkan lagi. Pedangnya bergerak cepat sekali sehingga berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, menyambar-nyambar dan berbahaya sekali. Ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini terlihatlah ilmu pedang yang ia warisi dari Hek Moli, ilmu pedang yang amat aneh gerakannya dan amat ganas sifatnya.
Menghadapi ilmu pedang ini, diam-diam Ceng Seng Hwesio kagum sekali. Tidak heran banyak orang roboh karena ilmu pedang yang hebat ini dari Hek Moli, pikirnya. Ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman dan sebagai murid kepala dari Bu Kek Tianglo, tentu saja hwesio ini memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, belum pernah ia bertemu dengan lawan yang memiliki ilmu pedang sehebat ini, maka ia menjadi kewalahan juga menghadapinya.
Baiknya, dalam hal tenaga lweekang, In Hong masih kalah jauh sekali sehingga tiap kali toya membentur pedang, gadis itu merasa telapak tangannya seperti dibeset kulitnya, perih dan sakit bukan main. Maka ia selalu menghindari bentrokan senjata dan inilah kelemahannya sehingga ia tidak dapat mendesak lawannya. Sebaliknya, sambaran toya di tangan Ceng Seng Hwesio mengeluarkan angin yang amat kuat.
In Hong maklum bahwa kalau dilanjutkan, ia akhirnya akan kalah juga, maka lagi-lagi tangan kirinya bergerak dan dari jarak dekat sekali, pasir hitamnya menyambar ke arah muka Ceng Seng Hwesio.
“Ganas sekali……!” seru hwesio ini yang terpaksa melompat ke belakang sambil mengibas dengan lengan bajunya agar terlepas daripada serangan maut ini. Ketika ia melihat lagi, nona itu sudah lari memasuki ruangan di sebelah kiri.
117
Ceng Seng Hwesio tidak mengejar, bahkan tertawa:
“Ha, ha, nona yang ganas. Kau memasuki Ngo-heng-thia (Ruangan Ngo-heng), biarlah kau mencoba kepandaianmu dengan tempat ujian Siauw-lim-pay yang paling sulit!” Setelah berkata demikian, hwesio ini berdongak ke atas dan berkata keras:
“Sute, kau jagalah dimulut Ngo-heng-thia dan cegat dia kalau keluar!”
Ong Teng San memang sejak tadi berdiri di atas genteng menonton pertempuran. Ia tadi mendengar semua kata-kata yang diucapkan oleh In Hong dan wajahnya berubah pucat. Nona itu bernama Kwee In Hong, pikirnya, tidak salah lagi, dia itulah anak perempuan dari ibu tirinya yang dikabarkan lenyap! Pikiran Teng San menjadi tidak karuan sehingga ia kurang hati-hati dan kakinya yang menginjak genteng menerbitkan suara, maka Ceng Seng Hwesio mengetahui kehadirannya. Mendengar suara suhengnya, ia menjawab:
“Baik, suheng……” Cepat ia melompat turun dan berlari untuk menjaga di pintu keluar ruangan Ngo-heng-thia itu. Dadanya masih berdebar-debar. Apakah yang harus ia lakukan terhadap gadis itu?
Teringatlah ia kepada ibu tirinya dan teringat pula ia akan penuturan ibu tirinya bahwa adik tirinya yang bernama In Hong ini lenyap ketika terjadi keributan, ketika terjadi pembunuhan atas diri suami ibu tirinya itu oleh…… ayahnya! Jadi, gadis ini adalah kurban daripada ayahnya juga!
Iapun mendengar kata-kata In Hong tadi bahwa guru In Hong yang bernama Hek Moli telah terbunuh dan kini gadis ini datang untuk mencuri kitab I-kin-keng, untuk memperdalam ilmu silat dan kelak membalas dendam atas kematian gurunya itu. Hal ini dapat ia maklumi. Bukankah semenjak kecil gadis ini kehilangan ayah bundanya dan menganggap gurunya sebagai pengganti orang tua? Sekarang gurunya terbunuh orang, tidak terlalu mengherankan apabila gadis itu mengerahkan seluruh usaha untuk membalas dendam.
Demikianlah, dengan hati tidak karuan rasa, Teng San dengan pedang di tangan menjaga di pintu keluar Ngo-heng-thia, dan diam-diam ia berkhawatir sekali akan keselamatan In Hong! Ia tahu bahwa Ngo-heng-thia adalah ruangan untuk menguji para murid tingkat tinggi, dan merupakan tempat yang amat berbahaya. Dia sendiri baru beberapa bulan yang lalu diuji di dalam Ngo-heng-thia, dan biarpun ia dapat keluar dengan selamat, namun ia masih terluka pundaknya.
Bagaimana dengan keadaan In Hong? Gadis yang pemberani ini memasuki ruangan Ngo-heng-thia tanpa curiga sedikitpun. Ia tidak tahu bahwa tempat itu adalah tempat untuk menguji kepandaian murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, maka ia berjalan terus dengan cepat. Namun ia tetap waspada, karena ia menduga, di ruangan inipun ia tentu akan menemui lawan.
Ia melihat ruangan itu hanya memiliki sebuah lorong yang lebarnya kurang lebih sepuluh kaki dan agak gelap. Tanpa curiga ia masuk ke dalam lorong ini. Alangkah kagetnya ketika ia masuk baru beberapa langkah, ia mendengar suara keras di belakangnya dan pintu lorong itu tertutup dari atas, tertutup oleh lapisan besi! Keadaan menjadi remang-remang dan tidak ada jalan kembali lagi.
“Tempat apa ini?” tanyanya seorang diri sambil berdiri diam. Ia harus membiasakan pandangan matanya di dalam tempat yang setengah gelap ini, kemudian dengan berani ia melangkah maju perlahan-lahan.
118
Baru kurang-lebih lima langkah ia maju, tiba-tiba dari kiri terasa sambaran angin ke arah kepalanya. Cepat In Hong mengelak dengan menggerakkan kepala ke belakang sambil membabat dengan pedangnya. Terdengar suara keras dan pedangnya bertemu dengan sebuah lengan yang terbuat dari pada baja! Lengan inilah kiranya yang tadi memukulnya secara tiba-tiba, keluar dari dinding!
“Ah, kiranya tempat rahasia!” pikirnya setelah melihat lengan itu lenyap kembali. “Aku harus hati-hati sekali……”
Kembali ia melangkah maju. Tiba-tiba dari atas meluncur besi yang beratnya ratusan kati. Kalau orang tertimpa besi ini, pasti kepalanya akan hancur. In Hong mengelak cepat ke kiri, akan tetapi kembali dari kiri keluar bayangan yang menubruknya! Pada saat itu, besi yang tadi menimpa, telah tertarik dan naik kembali, karena besi itu ternyata tergantung pada sehelai tali baja yang kuat.
Karena serangan bayangan yang menubruknya itu amat tidak terduga dan cepat, In Hong terpaksa mempergunakan gerakan Trenggiling-menggelundung-dari-bukit untuk mengelak. Ia menjatuhkan diri di atas lantai dan menggelinding sambil tidak lupa membabat dengan pedangnya ke arah bayangan yang menyerangnya tadi.
Ternyata bahwa bayangan itu adalah sebuah orang-orangan dari besi pula, yang digerakkan dengan alat dan keluar sendiri dari dinding kiri. Setelah tidak berhasil menubruk mangsanya, orang-orangan ini bergerak sendiri mundur dan masuk ke dalam dinding.
In Hong melompat berdiri dan duduk beberapa lama ia termenung. Benar-benar berbahaya, pikirnya. Tempat agak gelap dan semua serangan terjadi tiba-tiba, tidak dapat diduga darimana akan muncul orang-orangan itu. Dengan pedangpun tidak berguna menghalau bahaya, karena orang-orangan dari baja ini tidak terluka oleh pedang.
Ia lalu berpikir. Gerakan orang-orangan dan juga lengan yang menyerangnya tadi adalah gerakan ilmu silat, bukan penyerangan biasa. Untuk menghadapi serangan-serangan itu bahkan lebih baik kalau ia bertangan kosong, agar ia dapat mempergunakan kegesitannya untuk mengelak.
Dengan pikiran ini, In Hong lalu menyimpan pedangnya, kemudian ia melangkah maju dengan hati tabah, matanya tajam memandang ke depan dan seluruh urat syarafnya menegang, waspada menghadapi segala kemungkinan. Tidak ada jalan lain baginya, harus maju terus karena jalan belakang sudah tertutup.
Ia melangkah maju lagi dan melihat bahwa lorong itu membelok ke kiri. Baru saja ia tiba di tikungan itu, tiba-tiba ia tnelihat sebuah orang-orangan tinggi besar yang terus saja menyerangnya dari depan. Serangan dengan jurus-jurus ilmu silat yang datangnya bertubi-tubi! Mula-mula orang-orangan ini menjotos ke arah lehernya, lalu tiba-tiba merendahkan diri dan menendang.
In Hong mempergunakan kegesitannya. Ia mengelak ke kanan dan miringkan tubuh sambil menyampok dengan telapak tangannya ketika kaki orang-orangan ini menyambar. Akan tetapi, orang-orangan ini tidak berhenti sampai disitu saja. Seperti bernyawa, orang-orangan ini terus melakukan serangan dan tiga jurus terus-menerus!
119
In Hong menjadi marah. Ketika orang-orangan itu menggunakan lengan besi untuk mencengkeram kepalanya, ia mengelak ke kiri dengan cepat sekali dan menggunakan telapak tangannya untuk mendorong dada patung itu. Akan tetapi, ternyata bahwa orang-orangan itu tidak dapat didorong jatuh. bahkan sebaliknya kini kedua tangan orang-orangan itu memeluknya dengan gerakan tangan dari kanan kiri, cepat bukan main! In Hong hampir mengeluarkan teriakan terkejut, namun gadis ini memang memiliki kegesitan luar biasa, maka ia cepat merosot atau merendahkan diri, hampir berjongkok untuk menghindarkan diri dari pelukan, kemudian dari bawah ia mendorongkan kedua tangannya ke arah tubuh orang-orangan itu sekuat tenaga. Kali ini ia berhasil karena orang-orangan itu terjengkang dan roboh mengeluarkan suara hiruk-pikuk!
Bagaikan seekor burung, In Hong melompati patung itn dan baru saja kakinya menginjak lantai, dari kanan kiri, yakni keluar dari dinding kanan kiri, meluncur pedang tajam yang menusuknya dari kanan kiri. In Hong tidak mau mundur, bahkan ia maju selangkah dan mendengar desir angin dari kanan kiri, ia cepat membalikkan tubuhnya untuk menghadapi dua orang-orangan yang memegang pedang!
“Setan!” makinya. “Kalian kira aku takut?”
Sambil berkata demikian, ia cepat mengelak dari sambaran pedang yang dilakukan oleh orang-orangan sebelah kiri. Pedang ini menyambar ke arah lehernya dan gerakan orang-orangan ini memang gerakan serangan ilmu silat pedang yang lihay. Dilain saat, In Hong sudah harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari dua orang-orangan itu. Baiknya gin-kang dari gadis ini sudah tinggi. Sekali mengenjot tubuhnya, ia telah melompat naik dan dengan sebelah kakinya, ia berdiri di atas kepala orang-orangan yang di kiri!
Dengan hati geli gadis ini melihat betapa dua orang-orangan itu terus saja bergerak-gerak menyerang dengan pedang, kemudian setelah habis jurus-jurus itu dimainkan, dua orang-orangan itu tiba-tiba bergerak kembali ke dinding di kanan kiri! In Hong cepat melompat turun dan melanjutkan perjalanannya.
Hatinya mulai gembira, karena di tempat yang aneh ini ia mendapat kesempatan untuk menguji kepandaiannya, sungguhpun ujian seperti ini bukannya tidak berbahaya! Serangan dari alat-alat rahasia itu merupakan serangan sungguh-sungguh dan ia terlengah berarti ia akan tewas di tempat setengah gelap ini!
In Hong maklum bahwa ilmu silat yang digerakkan dengan perantaraan orang-orangan itu adalah ilmu silat Siauw-lim-si yang amat lihay dan setiap pukulan orang-orangan besi itu tentu saja amat kuat. Baiknya, dari Hek Moli ia pernah mendapat tahu biarpun serba sedikit tentang ilmu-ilmu silat tinggi dari partai-partai persilatan besar, dan pula, nona ini sudah memiliki ginkang yang hampir sempurna, maka mengandalkan ginkangnya, ia tidak merasa gelisah. Ia maju terus dan sebentar saja berturut-turut ia harus menghadapi keroyokan orang-orangan yang berjumlah tiga orang, kemudian empat buah orang-orangan.
Dengan amat susah payah, akhirnya berhasil juga nona ini melewati rintangan-rintangan ini, ia merasa lelah sekali dan juga agak pening karena apa yang ia alami benar-benar amat berbahaya. Ketika ia melewati empat orang-orangan yang mengeroyoknya tanpa terluka, tiba-tiba ketika ia melangkah ke depan, kakinya terjeblos lubang!
Kalau bukan In Hong, tentu akan terjeblos terus ke bawah. Baiknya nona ini memang amat gesit. Dengan sebelah kaki terjeblos lubang sehingga tubuhnya sudah masuk sebagian, tangannya dapat menepuk
120
lantai di pinggir lubang dan sambil mengerahkan ginkangnya, ia dapat melompat tinggi melewati lubang itu!
In Hong berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia menghapus keringat itu dengan saputangan, menenteramkan hatinya sambil beristirahat, kemudian ia maju lagi. Dari jauh ia sudah melihat pintu lorong itu terbuka lebar, maka hatinya menjadi girang sekali.
Akan tetapi, sebelum tiba dipintu itu, ia melewati sebuah ruangan yang berbentuk bundar dan lebih luas daripada lorong yang dilaluinya tadi. Dan di ruangan itu, berdiri lima buah orang-orangan sebesar manusia, kesemuanya orang-orangan seperti hwesio yang memegang toya! Ia melihat bahwa pada dada setiap orang-orangan terdapat tulisan huruf besar. Yang pertama dadanya ada tulisan KIM (emas), kedua BOK (kaju), ketiga SUI (air), keempat HO (api) dan kelima TOUW (logam tanah). Inilah Ngo-heng-tin (Barisan Ngo-heng) yang merupakan inti daripada lorong Ngo-heng-thia itu. Di ruang Ngo-heng-thia inilah barisan Ngo-heng-tin telah menanti untuk melakukan ujian terakhir, ujian yang paling berat.
Lima orang-orangan itu digerakkan oleh alat-alat rahasia yang amat luar biasa sehingga gerakan mereka teratur seperti gerakan lima orang ahli silat Ngo-heng-kun dari Siauw-lim-si! Disini pula hanyak anak-anak murid Siauw-lim-pay yang pandai gagal dalam ujian, bahkan belum lama ini Ong Teng San yang kepandaiannya sudah tinggi, masih mendapat luka di pundaknya ketika ia berusaha melewati rintangan terakhir ini.
Namun In Hong tidak tahu akan lihaynya lima orang-orangan ini. Bahkan ia tertawa mengejek.
“Dilihat dari jauh, benar-benar seperti hwesio-hwesio tulen! Benar-benar Siauw-lim-si pandai menakut-nakuti orang!” Ia berjalan masuk ke dalam ruangan itu dengan waspada. Baru saja kedua kakinya menginjak lantai, otomatis lima orang-orangan itu mulai bergerak. Mereka bergerak dan sebentar saja mereka itu mengurung In Hong. Ketika gadis ini memindahkan kakinya, otomatis lima orang-orangan itu mulai menyerang!
Orang-orangan itu diperlengkapi dengan alat-alat dari per dan kawat-kawat halus dan di lantai itulah pusat pergerakan mereka. Setiap kali lantai terinjak, pasti mengakibatkan gerakan mereka yang berubah-ubah, tergantung dimana orang yang dikeroyok bertindak!
Rintangan terakhir ini memang berat. Setiap gerakan orang-orangan itu adalah penyerangan senjata toya yang sesuai dengan ilmu silat Ngo-heng-kun yang luar biasa. Biarpun orang-orangan tidak mengenal ilmu lweekang, namun gerakan mereka amat kuat, sedikitnya setiap sambaran toya itu mengandung tenaga tigaratus kati! Lima batang toya menyambar-nyambar dan menyerang In Hong dari segala jurusan, dan gadis ini sebentar saja menjadi terdesak hebat dan kewalahan. Akhirnya ia menjadi nekat dan marah. Dicabutnya pedang Liong-gan-kiam dan diputarnya untuk melindungi dirinya.
Berbeda dengan rintangan-rintangan yang tadi, orang-orangan yang menye-rangnya selalu akan mengundurkan diri sendiri setelah penyerangan habis. Akan tetapi, barisan Ngo-heng ini tidak demikian. Selama orang yang dikepung mereka masih berada di ruangan itu, lima orang-orangan ini masih akan menyerang terus, karena seperti telah dituturkan tadi, pergerakan mereka ber-pusat pada per-per di bawah lantai sehingga kalau ada orang menginjak lantai, per-per bekerja dan otomatis orang-orangan itupun bergerak menyerang dengan ilmu toya Ngo-heng-kun dari jurus-jurus yang paling lihay.
121
In Hong tidak melihat jalan keluar. Beberapakali ia mencoba untuk menerobos kepungan itu dan melarikan diri, namun sia-sia. Datangnya toya-toya itu amat cepat dan amat berbahaya sehingga lagi-lagi usahanya menerobos gagal karena ia harus menyelamatkan diri dari sambaran toya. Pedangnya mengeluarkan bunyi “trang-tring-trang!” berkali-kali ketika bertemu dengan toya-toya yang mendesaknya. Tubuhnya lincah bergerak kesana kemari, karena tak mungkin baginya untuk menghindarkan diri dengan jalan menangkis saja.
Kulit telapak tangannya sampai lecet-lecet dan napasnya mulai memburu. Keringat memenuhi jidatnya dan In Hong merasa lelah bukan-main. Ia telah maklum bahwa takkan dapat mempertahankan lebih lama. Akan tetapi sama sekali ia tidak takut, bahkan merasa penasaran dan marah sekali. Beberapa kali ia menyebar pasir hitamnya ke arah lima orang-orangan itu seakan-akan ia menghadapi lawan terdiri dari manusia-manusia biasa. Orang-orangan itu tentu saja tidak merasakan sesuatu dan melanjutkan penyerangan mereka.
Beberapa kali In Hong membacok dan mengenai tubuh orang-orangan, namun hanya bunga api yang berpijar. Ia mencoba untuk menendang, mendorong, tetap sia-sia. Lima boneka besar ini benar-benar kuat sekali.
Limapuluh jurus lebih In Hong mempertahankan diri. Ia demikian sibuk menghadapi keroyokan lima orang-orangan ini sehingga ia tidak merasa bahwa sejak tadi ada sepasang mata mengintai dari luar pintu ruangan itu dengan pandang mata kagum. Pengintai ini adalah Teng San. Pemuda ini memang benar-benar kagum bukan main melihat cara In Hong menghadapi barisan Ngo-heng. Hebat, pikirnya.
Gadis itu belum pernah mengenal Ngo-heng-tin, dan belum pernah mempelajari Ngo-heng-kun sehingga tentu saja tidak dapat menduga datangnya serangan-serangan toya itu. Namun, bukan saja dapat mempertahankan diri selama limapuluh jurus dengan baiknya tanpa terluka sedikitpun, bahkan masih dapat menendang, memukul dan mendorong patung-patung hidup itu!
“Sayang lweekangnya kurang kuat,” pikir Teng San. “Kalau ia berhasil mencuri kitab I-kin-keng dan mempelajarinya, ia akan menjadi lihay sekali dan biarpun suhu sendiri agaknya akan sukar menghadapinya.”
Semenjak tadi Teng San memang menunggu di luar pintu. termenung dan memikirkan keadaan gadis yang dikejar-kejar, gadis yang sebetulnya masih adik tirinya sendiri. Ia makin berduka kalau mengingat kembali kepada ibu tirinya yang amat disayangnya seperti ibu sendiri. Timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap In Hong, terhadap adik tirinya. Kalau sampai adik tirinya ini mengalami malapetaka disini, bukankah ibu tirinya akan berduka sekali?
Kemudian ia mendengar suara pedang beradu dengan toya-toya itu, maka cepat ia mengintai ke dalam dan dapat menyaksikan kelincahan In Hong. Ia menjadi kagum dan makin sayang, tidak tega membiarkan In Hong mengalami kebinasaan disitu. Setelah melihat betapa keadaan gadis itu mulai payah dan kelelahan, Teng San cepat melompat ke dalam ruangan Ngo-heng-thia itu. Ia lari kedinding sebelah kiri, menekan beberapa kenop dan lima orang-orangan itu tiba-tiba terdiam, tidak dapat bergerak lagi!
In Hong cepat memutar tubuh menghadapi Teng San. Pedangnya siap menyerang karena ia mengira bahwa pemuda yang tadi dilihatnya membaca kitab ini akan menangkapnya. Akan tetapi, ia melihat
122
pemuda itu tidak memegang senjata, bahkan kini ia tahu bahwa pemuda inilah yang menghentikan pengeroyokan orang-orangan itu.
“Nona, kalau kau ingin keluar dengan selamat, lekas kau lari keluar dari ruangan ini, membelok ke kanan, terus saja sampai kau tiba di pagar tembok dan melompati pagar itu. Aku akan mengejarmu dari belakang dan kau jangan melayani semua rintangan.
In Hong tertegun. Ia tidak tahu mengapa pemuda yang tampan dan halus sekali gerak geriknya ini berusaha menolongnya, sedangkan tadi menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Ia juga masih belum percaya betul-betul, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tidak ada jalan lain kecuali menurut nasihat ini. Ia hanya menganggukkan kepala dan segera melompat keluar.
Betul saja, di depan pintu ruangan Ngo-heng-thia ini terdapat tiga jalan simpangan, satu lurus ke depan, kedua membelok ke kiri dan ketiga membelok ke kanan. Ia mengambil jalan ketiga ini, menikung ke kanan dan terus berlari cepat, pedangnya masih siap di tangan dan pasir hitam di tangan kiri.
Ketika In Hong menengok, ia melihat pemuda tadi benar-benar mengejarnya dengan ilmu lari cepat yang tinggi pula. Dan kini pemuda itu telah memegang sebatang pedang!
“Kau hendak lari kemana?” pemuda itu membentak sambil mengejar terus.
Dari depan mendatangi tiga orang hwesio gundul yang bertugas menjaga disitu. Mereka ini memegang toya dan melihat kedatangan In Hong, mereka langsung menyerang dengan gerakan kilat. In Hong mengelak sambil memutar pedang, terdengar suara “cring, traang!” dan ujung sebatang toya kena dibikin buntung!
Namun, taat akan nasihat pemuda tadi, In Hong tidak melayani terus dan cepat melompat tinggi dan melanjutkan larinya lurus ke depan. Ia tidak menengok lagi dan hanya mendengar suara pemuda tadi berkata keras:
“Sam-wi takusah mengejar, biarkan siauwte yang menangkapnya!”
In Hong berlari terus dan sekali lagi ia menengok, ia melihat pemuda itu masih terus mengejarnya dengan pedang di tangan! Ia tidak mengerti akan sikap pemuda ini. Mengapa ia hendak menolongnya, pikir In Hong. Akan tetapi pada saat seperti ini, tidak ada waktu lagi baginya untuk menyelidiki hal itu. Ia sudah amat lelah, kedua kakinya sudah mulai gemetar dan kedua tangannya lemas. Juga kedua telapak tangannya lecet-lecet mengeluarkan darah.
Malam sudah lewat dan pagi mulai menampakkan diri. Setengah malam lamanya In Hong berputaran di dalam kurungan Siauw-lim-si ini! Setengah malam lamanya ia bertemu dengan lawan berganti-ganti, melakukan pertempuran puluhan kali banyaknya.
Kembali lima orang hwesio mencegat di depan. In Hong mengeluh. Celaka aku sekarang, pikirnya. Lima orang hwesio itu adalah hwesio-hwesio tua dan mereka semua memegang sebatang toya dengan cara seperti yang dilakukan oleh lima orang-orangan tadi! Baru menghadapi keroyokan lima orang-orangan saja, ia sudah hampir celaka, apalagi sekarang kalau harus menghadapi keroyokan lima orang hwesio tulen sedangkan keadaannya sudah amat lelah, sudah dapat dibayangkan akibatnya!
123
Lima orang hwesio itu menghadang dan melihat nona yang dikejar-kejar itu datang, seorang di antaranya berkata dengan bengis:
“Jangan harap bisa lari sebelum menghadapi Ngo-heng-tin dari Siauw-lim-si!”
In Hong terkejut. Apa yang ia takuti memang benar-benar. Lima orang hwesio tua ini tentu sama dengan lima orang-orangan tadi. Ia masih ingat huruf-huruf yang merupakan Ngo-heng pada dada orang-orangan tadi. Kalau Ngo-heng-tin (barisan Ngo-heng) boneka saja sudah demikian lihaynya, apalagi sekarang Ngo-heng-tin tulen.
Namun In Hong tak dapat memikirkan jalan lain. Diam-diam ia mendongkol sekali dan merasa ditipu oleh pemuda itu. Sudah terang bahwa pemuda itu sengaja menggiringnya supaya menghadapi Ngo-heng-tin yang tangguh ini. Jadi pemuda itu tak lain hanya memancingnya, agar ia mudah ditawan dengan bantuan Ngo-heng-tin. Kurangajar!
In Hong marah sekali dan ia sudah siap hendak mempergunakan toat-beng-hek-kong, pasir-hitamnya. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar suara halus dari belakang, suara yang dibisikkan dengan penyaluran tenaga khikang sehingga yang dapat mendengar hanya dia sendiri, tidak sampai terdengar oleh lima orang hwesio yang berada jauh di depan itu:
“Nona, jangan menggunakan hek-kong!”
Selagi In Hong termangu-mangu dan ragu-ragu, terdengar pemuda itu berkata dengan lantang:
“Ngo-wi suheng, harap membuka jalan, biarkan siauwte menangkapnya sendiri. Ini merupakan ujian bagi siauwte dan demikian pula perintah twa-suheng!”
Lima orang hwesio itu ketika mendengar suara Teng San, tidak ragu-ragu lagi. Mereka semua maklum bahwa ilmu kepandaian Teng San, sute mereka yang termuda ini, sudah amat tinggi, bahkan akhir-akhir ini, Teng San mendapat kepercayaan untuk menerima ilmusakti I-kin-keng! Maka mereka tersenyum dan melompat minggir sehingga ketika In Hong yang berlari cepat menerobos masuk, mereka tidak mengganggu. Bayangan In Hong berkelebat cepat di depan mata mereka, disusul oleh bayangan Teng San yang tak kalah cepatnya.
“Siauw-sute, hati-hatilah, dia lihay dan ganas sekali!” kata seorang hwesio kepada Teng San.
“Baik, suheng…..”
Kejar mengejar ini berjalan terus dan tanpa ada perintang lagi, In Hong akhirnya tiba di bawah pagar tembok. Gadis ini telah berdebar hatinya, ia merasa malu kepada diri sendiri yang tadi menyangsikan kebaikan hati pemuda ini. Ah, siapakah dia dan mengapa ia benar-benar berusaha menolongku? Terang dia seorang murid Siauw-lim yang lihay, mengapa ia tidak menawanku, bahkan menolongku melarikan diri?
Namun In Hong terus saja melompat ke atas tembok. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis cilik nongkrong di atas pagar tembok itu dan memujinya: “Cici, kau lihay sekali ilmu ginkangmu, juga kau cantik sekali seperti bidadari!”
124
In Hong tercengang. Bagaimana seorang gadis cilik semuda ini dapat naik ke atas pagar tembok?
Biarpun In Hong amat tertarik melihat seorang gadis cilik yang duduk di atas pagar tembok, namun ia tidak berani berlaku lambat. Yang amat menarik hatinya adalah wajah gadis yang cantik itu seakan-akan ia pernah mengenal-nya, bahkan seakan-akan gadis itu seringkali dilihatnya.
Akan tetapi dimana? Ia hanya tersenyum manis kepada gadis yang usianya paling banyak empatbelas tahun itu, lalu melompat turun keluar pagar tembok sambil berkata:
“Adik yang manis, hati-hati jangan sampai kau jatuh dari atas!”
In Hong masih mendengar pemuda yang bernama Ong Teng San dan yang secara aneh sekali telah menolongnya melarikan diri itu berkata kepada gadis cilik di atas tembok:
“Lian Hong, turun kau!”
“Koko, orang lain semalam suntuk bermain-main dengan cici yang gagah itu, apakah aku tidak boleh menonton?” jawab gadis cilik itu, akan tetapi selanjutnya In Hong tidak mendengar apa-apa karena ia sudah lari jauh.
Sementara itu Teng San dan Lian Hong yang sudah berdiri di atas pagar tembok, tidak melanjutkan pengejaran. Teng San menarik napas lega karena melihat In Hong berhasil melarikan diri.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan:
“Siauw-sute, bagaimana kau berani melepaskan pengacau itu? Apakah kau tidak takut mendapat marah dari suhu?”
Lima bayangan orang berkelebat dan lima orang hwesio yang tadi membentuk Ngo-heng-tin telah berdiri di atas tembok menghadapi Teng San! Gerakan mereka demikian cepat dan ringan ketika melompat ke atas sehingga dari gerakan ini saja sudah dapat diukur akan tingginya tingkat kepandaian mereka.
Teng San tidak berani membohong. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab:
“Suheng sekalian, nona itu sudah cukup terhukum, semalam suntuk telah diserang, didesak, bahkan telah pula berkenalan dengan Ngo-heng-thia sehingga ia kehabisan tenaga dan mungkin menderita luka-luka. Biarpun ia telah melakukan dosa dengan mengacau dan akan melakukan pencurian, akan tetapi belum ada sesuatu yang tercuri. Siauwte menganggap bahwa ia sudah cukup terhukum. Untuk ini siauwte mengaku salah dan bersedia diberi hukuman.”
“Sute, bukan kau dan juga bukan pinceng sekalian yang berhak memutuskan hukuman, melainkan suhu sendiri. Lebih baik kau membantu kami mengejarnya.”
Pada saat itu, berkelebat bayangan lain yang luar biasa cepatnya, disusul suara Ceng Seng Hwesio:
“Suhu memberi perintah agar supaya bocah pengacau itu ditangkap dan dihadapkan kepada suhu untuk diperiksa!”
125
Tanpa berhenti di atas tembok, tubuh Ceng Seng Hwesio sudah melesat lewat. Lima orang hwesio itupun tanpa berkata apa-apa lagi cepat mengejar twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mereka.
Teng San menjadi serba salah, akan tetapi karena pengejaran sekarang ini adalah atas perintah suhunya, iapun tidak berani tinggal diam.
“Adik Lian Hong, kau kembalilah ke kamarmu.”
“Tidak, aku ikut mengejar!” seru gadis cilik itu yang mendahului kakaknya melompat keluar tembok dan menyusul para hwesio yang sudah berlari cepat. Dalam hal ilmu, ginkang, Lian Hong tidak ketinggalan jauh. Memang gadis cilik ini memiliki gerakan lincah sekali, maka setelah dengan tekun mempelajari ilmu silat di Siauw-lim-si selama kurang lebih tujuh tahun, ia dapat mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup hebat.
Lian Hong berwatak periang dan biasanya penurut, akan tetapi sekali gadis cilik ini mempunyai kehendak, sukar dihalangi. Teng San mengetahui baik akan watak adiknya itu, maka ia tidak mencegah ketika Lian Hong ikut melakukan pengejaran. Demikianlah, pada saat matahari mulai muncul, di luar kelenteng Siauw-lim-si, terjadi kejar mengejar yang tentu akan mengherankan orang luar.
In Hong sudah lelah sekali, maka larinya tidak begitu cepat lagi. Selain ini, ia juga tadinya mengira bahwa ia sudah terlepas daripada ancaman orang-orang Siauw-lim-pay yang ternyata luar biasa lihaynya itu. Dengan jengkel dan kecewa ia berlari terus, tidak begitu cepat, memasuki sebuah hutan yang liar.
Akan tetapi, tengah ia berlari itu, terdengar bentakan nyaring dari belakang:
“Bocah setan, kau hendak lari kemana?”
In Hong menengok kagetlah ia. Lima orang hwesio yang dikenalnya sebagai barisan Ngo-heng-tin, dikepalai oleh hwesio tangguh yang pernah ia rasai kelihayannya dan keunggulannya bermain toya, yakni Ceng Seng Hwesio. Dan di belakang rombongan ini, ia melihat pula pemuda Ong Teng San dan adik perempuannya!
“Kalian mendengar? Baik, aku Kwee In Hong tidak takut mati!” katanya gemas sekali dan begitu rombongan itu datang dekat, In Hong lalu menyerang mereka dengan Toat-beng-hek-kong, pasir hitam beracun yang amat lihay itu.
Akan tetapi, semua pasir hitam ini dapat dikibas runtuh oleh ujung lengan baju Ceng Seng Hwesio yang segera memberi komando:
“Tangkap bocah ganas ini!”
Ngo-heng-tin bergerak dan dilain saat, In Hong sudah dikurung di tengah-engah! Ngo-heng-tin sudah hebat, apalagi ditambah oleh Ceng Seng Hwesio, maka kini enam buah toya dipalangkan, mengurung dan menutup semua jalan keluar.
126
Teng San dan Lian Hong yang sudah tiba di tempat itu hanya berdiri menonton. Lian Hong biarpun belum tahu bahwa In Hong adalah kakak tirinya, namun bocah ini merasa suka sekali kepada In Hong dan karenanya ia tidak mau membantu pengepungan itu.
“Kalian hendak menangkapku? Boleh, kalau aku sudah menjadi mayat!” bentak In Hong yang cepat mengerjakan Liong-gan-kiam, menyerang membabi-buta.
Akan tetapi kali ini ia menghadapi lawan yang terlampau kuat. Baru menghadapi seorang Ceng Seng Hwesio saja, belum tentu ia menang. Kini masih ada Ngo-heng-tin yang demikian kuatnya, maka sebentar saja ia sudah lelah sekali.
Semua serangan pedangnya membentur toya yang amat kuat. Lweekang dari enam orang hwesio itu rata-rata lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri, maka sebentar saja tangan kanannya menjadi lelah bukan main. Gadis ini menggigit bibir dan memindahkan pedang di tangan kiri, lalu mengamuk lebih hebat lagi.
Berkali-kali Ceng Seng Hwesio memperingatkan lima orang sutenya agar jangan melukai In Hong dan agar menawan gadis itu tanpa melukainya. Hal inilah yang menolong In Hong, karena kalau tidak demikian, kiranya sebentar saja ia akan roboh terpukul toya. Menangkap In Hong hidup-hidup tanpa melukainya masih jauh lebih sukar daripada menangkap seekor harimau betina yang mengamuk ganas.
Malihat ini, Ceng Seng Hwesio menjadi penasaran dan malu. Benar-benar memalukan sekali kalau dilihat oleh orang-orang kangouw. Enam orang tokoh besar Siauw-lim-si masih tidak mampu membekuk seorang gadis muda setelah pertempuran demikian lama?
“Nona, lebih baik kau menyerah untuk kami hadapkan kepada ketua Siauw-lim-pay agar kau dapat diadili. Kalau tidak, terpaksa pinceng melukai kakimu agar kau dapat ditawan!” katanya.
In Hong tertawa mengejek. “Hwesio bau! Kaukira aku gentar mendengar ancaman dan gertak sambalmu? Mau pukul boleh pukul, mau bunuh boleh bunuh, siapa takut?”
“Bagus, kau memang tiada bedanya dengan Hek Moli, siluman wanita itu. Rebahlah!” Setelah berkata demikian Ceng Seng Hwesio merobah gerakan toyanya, demikian pula barisan Ngo-heng-tin. Sebentar saja keadaan berobah.
Kalau tadi In Hong yang selalu menyerang dan membentur benteng toya, kini semua toya menyerangnya dan ia sibuk menangkis dan mengelak. Akhirnya, toya Ceng Seng Hwesio mengenai paha kirinya!
In Hong menggigit bibir menahan keluhan, sehingga dari mulutnya tidak terdengar suara. Padahal rasa sakit di pahanya sampai menembus ke tulang sungsum. Biarpun ia dapat mempertahankan diri dan tulang pahanya tidak patah, namun urat dan daging pahanya telah terluka sehingga rasanya sakit bukan main.
Tadi Ceng Seng Hwesio masih menaruh hati kasihan sehingga pukulan itu dilakukan dengan tenaga sepertiga saja. Kalau hwesio ini berlaku kejam, pasti tulang paha gadis ini telah patah-patah.
127
Pada saat itu, In Hong masih bertahan, bahkan mengamuk dengan nekad. Tiba-tiba telinga gadis ini mendengar suara halus, seakan-akan ada orang berbisik didekat telinganya:
“Murid Hek Moli, kau larilah ke kiri dan masuk ke dalam gua yang terletak di dekat pohon pek!”
In Hong heran sekali, akan tetapi ia menurut nasihat ini. Dengan putaran pedangnya ke kiri secara hebat dan ganas, ia dapat membuat para pengepung yang berada di sebelah kiri melompat minggir. Cepat ia menerobos bagian ini sambil memutar pedang dan tangan kirinya menyebar toat-beng-hek-kong, kemudian sambil menyeret kaki kirinya, ia terpincang-pincang melarikan diri ke sebelah kiri.
Ceng Seng Hwesio diam-diam merasa kagum sekali melihat daya tahan yang luar biasa dari gadis itu. Orang lain, biar laki-laki gagah sekalipun, kalau sudah terluka seperti itu, pasti akan menyerah. Apalagi menyerah bukan untuk dibunuh musuh, hanya untuk diadili oleh ketua Siauw-lim-pay yang terkenal adil dan penuh welas asih hatinya. Mengapa gadis ini begitu keras-kepala?
“Nona, laripun takkan ada gunanya. Lebih baik kau menyerah!” katanya sambil mengejar bersama lima orang sutenya.
Teng San juga ikut mengejar. Maka pemuda ini pucat sekali dan di dalam hatinya ia mengeluh. Ia merasa kasihan sekali kepada gadis yang dikaguminya. Ingin ia membantu dan menolong, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menghianati suheng-suhengnya. Juga Lian Hong diam saja dan gadis cilik inipun merasa kasihan kepada In Hong.
“Koko, mengapa cici itu begitu nekat? Kalau ia menurut saja dengan baik-baik dibawa menghadap suhu, tentu ia tidak mengalami luka dan dikejar-kejar.”
“Diamlah, Lian Hong. Mari kita lihat saja bagaimana akhirnya. Kalau nona itu hendak dibunuh oleh para suheng kita harus mencegah dan mintakan ampun.”
Lian Hong menoleh dan memandang wajah kakaknya yang pucat. Ia tidak tahu mengapa kakaknya begitu menaruh perhatian kepada gadis yang dimusuhi oleh Siauw-lim-pay itu, akan tetapi ia sendiripun takkan rela kalau suheng-suhengnya membunuh gadis itu.
In Hong berlari sambil terpincang-pincang. Tak jauh dari situ memang terdapat pohon pek yang besar. Ketika tiba dibawah pohon, ia sudah hampir tidak kuat menahan rasa sakit di pahanya. Kepalanya sudah pening dan tenaganya sudah hampir habis. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa betul saja, tak jauh dari pohon itu, terdapat sebuah gua yang besar dan di depan gua penuh oleh rumput alang-alang.
Gua itu nampak menyeramkan dan hanya patut menjadi tempat bersembunyi binatang-binatang buas. Akan tetapi In Hong tidak ambil perduli dan tidak berpikir panjang pula, cepat ia melompat masuk ke dalam gua. Kakinya terlibat rumput alang-alang dan ia jatuh menggelinding ke dalam gua dan baru berhenti ketika tubuhnya tertahan oleh sesuatu.
Hampir saja gadis yang tabah ini mengeluarkan teriakan kaget ketika ia membuka matanya dan melihat bahwa ia telah tertahan oleh tubuh seorang kakek yang menyeramkan sekali. Kakek ini nampak tua, kurus seperti tengkorak, hanya tulang terbungkus kulit saja. Yang kelihatan hidup hanya sepasang matanya yang lebar dan bergerak-gerak mengeluarkan cahaya ber-pengaruh.
128
Yang lebih menyeramkan lagi, kakek ini sudah buntung semua kaki tangannya. Kedua lengan buntung sebatas pergelangan tangan, sedangkan kedua kakinya buntung sebatas lutut! Pakaiannya compang-camping dan kakek ini duduk melonjorkan kedua paha yang tidak berkaki lagi, kedua tangannya bersedekap kelihatan mengerikan karena tidak ada tangannya.
Sebelum In Hong sempat membuka mulut, kakek itu bertanya dengan suara halus, suara yang dikenal oleh In Hong karena tadi yang berbisik didekat telinganya juga suara ini:
“Benarkah kau murid Hek Moli? Siapa namamu?”
In Hong ingat akan pesan gurunya bahwa di dunia ini memang ada orang berilmu tinggi yang lweekangnya sudah demikian hebat sehingga dapat mengirim suara dari jauh, ditujukan kepada orang yang dimaksud saja sehingga suara itu hanya terdengar oleh orang itu dan tidak terdengar oleh lain orang. Kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, pikirnya.
“Teecu bernama Kwee In Hong, memang betul teecu murid tunggal dari Hek Moli.”
“Mengapa kau dikejar-kejar oleh para hwesio Siauw-lim-pay?”
“Guru teecu tewas dalam tangan orang-orang Kun-lun-pay, ketika teecu hendak membalas dendam disana, teecu kalah oleh tokoh-tokoh Kun-lun-pay. Karena itu teecu datang ke Siauw-lim-si untuk mencuri kitab I-kin-keng karena teecu hanya kalah dalam tenaga lweekang. Teecu hendak mempelajari isi kitab itu dan kelak hendak membalas dendam lagi. Tak tahunya teecu bukan saja tidak berhasil, bahkan dikalahkan oleh para hwesio Siauw-lim dan hendak ditawan.”
Kakek itu tertawa, suara ketawanya aneh menyeramkan, jauh bedanya dengan suara halus ketika ia bicara.
“Jangan takut, duduklah di depanku dan kalau mereka datang, kau lawanlah sambil duduk.”
In Hong menurut dan bangun karena tadi ia masih setengah rebah, tubuhnya lemas bukan main. Ia duduk dengan kaki gemetar dan mencoba bersila.
“Locianpwe, dengan berdiri dan mengeluarkan seluruh kepandaian saja teecu masih tak sanggup menang, bagaimana locianpwe menyuruh teecu melawan mereka sambil duduk?” tanyanya dengan penasaran dan juga jengkel, mengira kakek ini main-main.
“Kau keras kepala seperti gurumu! Jangan kau banyak membantah kalau ingin selamat! Hayo bersiap, kalau mereka menyerang, kau menangkis dan balas menyerang dengan pedangmu!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba In Hong merasa punggung dan lehernya tersentuh oleh ujung lengan buntung itu. Ia merasa geli karena lengan buntung itu lunak sekali, akan tetapi tiba-tiba ada hawa yang panas memasuki tubuhnya dari punggung dan leher dan seketika itu juga rasa sakit-sakit dan lelah ditubuhnya terusir pergi!
“Bocah ganas, kau hendak sembunyi kemana? Lebih baik menyerah saja agar kami tak usah mempergunakan kekerasan!” terdengar suara Ceng Seng Hwesio yang memasuki gua itu, diikuti oleh lima orang sutenya.
129
Di belakang sekali Teng San dan Lian Hong, akan tetapi dua orang muda ini tidak ikut masuk, hanya menanti di luar. Gua itu amat besar maka enam orang hwesio Siauw-lim-pay dapat masuk berbareng dan mereka segera berhadapan dengan In Hong.
Tubuh kakek itu tidak kelihatan, tertutup oleh tubuh In Hong. Biarpun kakek itu sebenarnya lebih jangkung, akan tetapi entah bagaimana, setelah enam orang hwesio itu masuk gua, tubuh kakek itu mengecil dan teraling oleh tubuh In Hong sehingga tidak kelihatan oleh para hwesio.
Melihat In Hong duduk bersila dengan pedang di tangan kanan dan mata memandang tajam, Ceng Seng Hwesio tercengang. Ia menduga bahwa gadis itu tentu menderita kesakitan hebat pada pahanya, akan tetapi benar-benar tidak disangkanya bahwa setelah kini lumpuh, gadis itu masih menanti dengan pedang di tangan sambil duduk bersila, nampaknya tenang dan menantang!
“Nona, sudah lama pinceng hidup, sudah banyak pinceng menjumpai orang-orang gagah, akan tetapi baru sekali ini pinceng bertemu dengan seorang muda yang keraskepala seperti kau! Gurumu sendiri, Hek Moli, agaknya tidak demikian keras kepala. Mengapa kau mempersukar kami? Lebih baik kau menyerah dan dengan sukarela. Ikut dengan kami ke kuil untuk menghadap guru kami. Kau sudah bersalah, mengacau Siauw-lim-si, mengapa untuk menghadap suhu dan menerima salah saja kau enggan?”
“Hm, setan-setan gundul bau busuk! Kalian ini orangtua-orangtua tak tahu malu semalam suntuk sudah mengurung, mengeroyok dan mendesak aku. Sekarang aku sudah berada disini, tak dapat lari lagi, kalian mau apa? Jangan harap akan dapat memaksaku ikut dan minta-minta ampun, kalau kalian mau bunuh, boleh maju, aku tidak takut!”
“Ah, benar-benar siluman betina! Nona kecil bernyali siluman! Liok-sute, kau tangkap dia,” seru Ceng Seng Hwesio marah.
Orang kelima dari barisan Ngo-heng-tin yang disebut Liok-sute (adik seperguruan keenam) melangkah maju, toyanya digerakkan. Ia tidak mau menyerang tubuh In Hong, hanya mengerahkan tenaga untuk memukul pedang di tangan nona itu agar terlepas dari pegangan, karena kalau pedang itu sudah terlepas, akan lebih mudah menawannya.
In Hong maklum bahwa pukulan toya itu keras dan hebat sekali dan tadi sudah dirasai kelihayan tenaga para hwesio ini. Tenaganya sendiri sudah hampir habis dan kalau tadi menangkis pukulan toya ini, pasti pedangnya akan terlepas dari pegangannya. Akan tetapi, kali ini ia tidak bisa seperti tadi mempergunakan kelincahannya mengelak, maka terpaksa ia mengangkat pedang menangkis toya itu.
Terdengar suara keras dan hampir berbareng enam orang hwesio itu mengeluarkan seruan kaget. Juga In Hong merasa heran sekali akan kesudahan dari benturan senjata ini.
Ia merasa seakan-akan ada dorongan tenaga dari belakang dan tenaga ini merupakan hawa hangat yang menjalar sampai ke tangan kanannya yang memegang pedang. Ketika senjatanya menangkis toya, ia hanya merasa getaran hebat, akan tetapi tidak terpengaruh apa-apa, pedangnya tidak terlepas bahkan membuat keras sehingga toya itu menjadi patah! Potongan toya melayang ke atas dan menancap pada dinding gua sedangkan hwesio itu sendiri tertolak ke belakang dan jatuh bergulingan seperti daun tertiup angin! Tentu saja hal ini mengagetkan semua orang.
130
Dua orang hwesio menjadi penasaran dan berbareng mereka maju dengan toya digerakkan. Toya pertama datang dari arah kiri, menghantam pedang di tangan In Hong dengan gerakan menyamping, sedangkan toya dari hwesio kedua me-luncur ke arah pundak kanan In Hong dengan maksud menotok jalan darah atau melukai pundak sehingga boleh dibilang kedua serangan ini bermaksud sama, yakni merampas senjata nona itu.
Melihat serangan dari kanan kiri ini, In Hong terkejut sekali. Pedangnya cepat membentur toya dari kiri, akan tetapi pada saat itu, toya dari kanan telah menotok pundaknya. Kembali terjadi keanehan yang sukar dipercaya.
Toya dari kiri itu terkena sampokan pedang, biarpun tidak putus akan tetapi terlepas dari pegangan dan membalik lalu memukul hwesio itu sendiri, tepat kena kepalanya yang gundul sehingga menimbulkan suara keras dan kepala itu timbul benjol sebesar kepalan tangan! Adapun toya yang menotok pundak kanan In Hong, seakan-akan mengenai karet saja dan toya ini membal kembali.
Hwesio yang menotoknya berseru keras karena tenaga totokannya kembali dan menyerang tangannya sendiri sehingga ia terpaksa melepaskan toyanya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. In Hong sendiri tidak merasa apa-apa, seakan-akan pundaknya dilindungi oleh baja yang kuat.
Dua orang hwesio lagi menjadi marah. Sambil berseru keras toya mereka bergerak, kini tidak sungkan lagi dan bukan hanya hendak merampas pedang karena toya ini yang satu mengemplang kepala In Hong sedangkan yang kedua menusuk ke arah uluhati. Pendeknya, kedua toya ini mengirim serangan maut!
Ceng Seng Hwesio mengeluarkan seruan kaget, mencegah kedua sutenya melakukan serangan keji itu, akan tetapi terlambat karena toya itu sudah menyambar laksana dua ekor harimau menubruk.
Melihat serangan ini, biarpun In Hong berkepandaian tinggi dan bernyali besar, tetap saja gadis ini merasa ngeri dan putus asa. Ia hanya melakukan gerakan pedang melindungi diri, memutar pedang itu untuk menjadi perisai. Ia maklum bahwa gerakannya ini lemah saja dan tak mungkin dapat menghalangi dua senjata lawan yang mengarah nyawanya.
Namun, dalam memutar pedangnya, kembali ia merasa punggung dan lehernya panas dan otomatis tangannya yang memegang pedang itu menyambar cepat. Terdengar bunyi keras lagi dan dua batang toya itu terlempar, pedangnya dengan aneh seakan-akan tak dapat dikuasai lagi oleh In Hong, terus meluncur dan tubuhnya condong ke depan. Dalam sekejap mata, dua orang hwesio itu memekik kesakitan dan kaki kanan mereka mengucurkan darah karena terluka oleh goresan pedang!
“Omitohud……!” Ceng Seng Hwesio memuji nama Buddha ketika ia melihat keanehan ini. Ia menjadi curiga sekali karena ia melihat bahwa dalam tiga gebrakan berturut-turut dimana In Hong merobohkan atau mengalahkan lima orang hwesio Ngo-heng-tin, gadis itu hanya bergerak sembarangan saja. Sudah jelas bahwa kekalahan lima orang sutenya itu bukan karena ilmu silat, melainkan karena tenaga lweekang yang luar biasa menghantam mereka dari pedang gadis itu.
Ceng Seng Hwesio melangkah maju. In Hong yang kini maklum bahwa ia dilindungi oleh kakek tua renta di belakangnya, menjadi besar hati. Ia tersenyum mengejek dan berkata:
“Hwesio gundul, apakah kau juga masih hendak menawan?”
131
Ceng Seng Hwesio tidak marah, hanya terheran-heran dan penasaran. Ia telah menyaksikan kelihayan gadis ini pada malam hari tadi di Siauw-lim-si, dan biarpun ia harus akui bahwa ilmu pedang gadis ini luar biasa ganas dan lihaynya, namun dalam hal ilmu lweekang, gadis ini masih terhitung lemah. Bagaimana sekarang tiba-tiba saja dapat menjadi begitu kuat? Apakah tiba-tiba gadis itu mendapatkan ilmu yang aneh?
Tak mungkin, andaikata mendapatkan ilmu juga, tak mungkin dapat dilatih dan dimiliki dalam waktu singkat. Apalagi, baru saja gadis itu telah terkena pukulan toyanya pada pahanya dan ia melihat sendiri gadis itu melarikan diri lalu masuk ke dalam gua.
Bagaimana dan bila gadis itu mendapat ilmu yang aneh? Karena penasaran sekali, Ceng Seng Hwesio hendak mencoba dengan toyanya sendiri. Ia mengayun toya sambil berseru keras:
“Lepaskan pedang!”
Dalam sambaran toyanya ini, ia mempergunakan seluruh tenaga dalamnya. Dalam hal lweekang, Ceng Seng Hwesio sudah dapat dikatakan tinggi dan hanya di bawah suhunya, Bu Kek Tianglo. Memang betul dia sendiri belum dapat mewarisi ilmu I-kin-keng, akan tetapi tenaga lweekangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi di dunia kangouw, jarang sekali ia bertemu tandingan.
Kini, karena penasaran ia mengerahkan seluruh tenaganya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya sambaran toya itu! Kalau menurut perhitungan dan kalau sewajarnya, tidak saja In Hong takkan kuat menahannya, bahkan selain pedangnya akan terlepas, tentu gadis itu akan roboh pula karena serangan hawapukulan itu akan melukai anggauta di dalam tubuh.
In Hong cepat mengangkat pedang menangkis. Dua senjata bertemu, api berpijar mengeluarkan cahaya menyilaukan di dalam gua yang agak gelap itu. Dua tenaga dahsyat yang tidak kelihatan bertemu dalam benturan pedang dan toya. In Hong mengeluarkan keluhan perlahan karena telapak tangan gadis ini tidak dapat tahan menghadapi benturan ini.
Sebaliknya Ceng Seng Hwesio juga berseru kaget, toya dan pedang terlepas dari tangan masing-masing, toyanya melayang dan hampir saja menghantam seorang sute dari Ceng Seng Hwesio yang cepat mengelak sehingga toya itu meluncur dan menancap di dinding gua. Sedangkan pedang In Hong melayang ke atas dan menancap pada langit-langit gua!
Ceng Seng Hwesio berdiri seperti patung, matanya terbelalak, penuh keheranan. Ia tadi merasa betapa dari pedang gadis itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa sekali dan ia harus mengaku bahwa dalam benturan tenaga tadi, ia masih kalah jauh sehingga tenaganya sendiri membalik dan terpaksa toyanya terlepas dari pegangan dan meluncur ke belakang.
Memang, melihat kemana dua senjata itu meluncur, sudah dapat diketahui siapa yang lebih unggul dalam adu tenaga tadi. Toya di tangan Ceng Seng Hwesio membalik dan meluncur ke belakang, sedangkan pedang di tangan In Hong mencelat ke atas, maka berarti bahwa toya ini terpental ke belakang karena kalah tenaga!
Sebaliknya, lima orang hwesio Ngo-heng-tin setelah melihat betapa pedang itu telah terlepas dari pegangan In Hong, menjadi besar hati. Mereka berlima bergerak maju dan dengan berbareng mereka
132
menyerang. Ada yang menotok jalan darah, ada yang mencengkeram pundak, ada pula yang mencengkeram lengan.
Kalau menurut suara hatinya, In Hong sudah putus asa dan tidak punya harapan lagi. Akan tetapi, kepercayaannya terhadap kakek aneh yang melindunginya mendatangkan keberaniannya kembali. Ia mengangkat kedua tangan, menggerakkan kedua tangannya cepat-cepat untuk menangkis dan balas menyerang.
Luar biasa sekali. Dari kedua tangan gadis ini keluar hawa pukulan dahsyat. Tanpa pedang, ternyata hawa hangat yang mengalir dalam tubuhnya menjadi makin dahsyat dan langsung sehingga tenaga pukulannya terasa anginnya menyambar-nyambar.
Dalam segebrakan saja, terdengar suara teriakan kesakitan ketika tubuh lima orang hwesio yang tangguh itu satu persatu melayang dan terbentur pada dinding gua!
Teng San dan Lian Hong yang tadinya berada di mulut gua, melihat semua kejadian ini dengan mata terbelalak dan mulut bengong. Keduanya merasa heran dan bingung karena memang peristiwa yang mereka saksikan itu benar-benar luar biasa dan tak dapat mereka mengerti.
“Lian Hong, lekas kau beritahukan kepada suhu tentang kejadian ini!” kata Teng San.
Pemuda ini selain khawatir sekali akan keselamatan In Hong yang dikeroyok oleh suheng-suhengnya, juga ia merasa terheran-heran dan tahu bahwa kiranya hanya suhunya, Bu Kek Tianglo saja yang akan dapat membereskan dan memecahkan soal yang aneh ini. Dia sendiri lalu masuk ke dalam gua.
Pada saat itu, Ceng Seng Hwesio sudah melangkah maju. Dengan kedua tangannya, ia menyerang dan hendak mencengkeram kedua pundak In Hong untuk ditekan dan dibikin tidak berdaya. In Hong menyambut kedua tangan ini dan dua pasang telapak tangan bertemu.
Ceng Seng Hwesio menekan ke bawah dan In Hong menyangga dan mendorong ke atas. Dua tenaga dahsyat kembali bertarung melalui telapak dua pasang tangan itu.
Ceng Seng Hwesio mengerahkan tenaga lweekangnya ketika merasa betapa telapak tangan dari gadis itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Ia terkejut dan tahu bahwa gadis ini mempergunakan tenaga “im” yang dapat mencelakainya, maka ia memperhebat tenaganya untuk melawan tenaga ini.
In Hong tentu saja pernah mempelajari lweekang dari Hek Moli. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan tingkat Ceng Seng Hwesio, ia kalah jauh.
Sekarang, dalam pertandingan ini, ia sendiri tidak turut apa-apa, hanya merasa betapa tekanan pada punggung dan lehernya makin kuat dan hawa panas seakan-akan membakar tubuhnya. Ia hanya menyalurkan hawa panas ini melalui lengan dan jari-jari serta telapak tangannya untuk menahan gencetan lawan yang seakan-akan hendak meremuknya.
Beberapakali ia merasa betapa dari dua telapak tangan hwesio itu menyerang tenaga dahsyat yang menindihnya, akan tetapi dari punggungnya juga keluar tenaga raksasa yang terus mengalir ke arah telapak tangannya dan mendorong kembali tenaga lawan yang menindih itu.
133
Tiba-tiba nampak urat-urat dijidat Ceng Seng Hwesio menonjol. Hwesio ini saking penasaran dan marahnya, mengerahkan tenaga terakhir. Ia merasa malu kalau sampai kalah oleh gadis muda ini, maka dengan mati-matian ia menghabiskan tenaga terakhir.
Akibatnya hebat sekali, In Hong juga merasa hawa panas yang membuat napasnya sesak dan tiba-tiba hawa panas ini mengalir ke arah kedua lengannya, membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga ini supaya keluar dari telapak tangan dan terdengarlah teriakan keras Ceng Seng Hwesio dan tubuh hwesio ini terlempar ke atas!
Ceng Seng Hwesio memang lihay sekali. Biarpun ia telah terpukul oleh tenaga dahsyat ditambah tenaganya sendiri yang terserang dan membalik, namun ia masih dapat menguasai diri. Sebelum kepalanya terbentur langit-langit gua, ia telah membalikkan tubuh sehingga hanya bagian belakang tubuhnya yang terbentur pada langit-langit dan kini tubuhnya melayang turun kembali.
Dalam melayang turun ini, Ceng Seng Hwesio mengeluarkan seruan: “Omitohud……!” Agaknya ia terkejut sekali sehingga ia tidak menguasai tubuhnya lagi. Ia pasti akan terbanting keras kalau saja Teng Seng Hwesio cepat-cepat melangkah maju dan menyambut tubuh suhengnya dengan kedua tangannya.
“Nona, kau kejam sekali!” Teng San menegur dan hendak melangkah maju.
“Memang aku kejam, dan para hwesio Siauw-lim-si itu tentu amat baik budi dan tidak kejam, bukan? Hm, kalau menurut pandanganku, di dunia ini hanya kaulah satu-satunya orang yang memiliki welas-asih,” kata In Hong ini biarpun setengah mengejek, namun merupakan pernyataan hatinya.
Di antara para penghuni Siauw-lim-si, memang hanya pemuda ini yang tidak berlaku kejam dan tidak mendesaknya hanya sayangnya, pemuda ini berdiri dipihak mereka yang memusuhinya.
Teng San menjadi merah mukanya. Sesungguhnya, sekali melihat In Hong, hatinya telah jatuh dan ia suka kepada gadis ini. Apalagi setelah ia tahu bahwa gadis ini adalah Kwee In Hong, puteri dari ibu tirinya yang lenyap. Ia merasa suka dan juga amat kasihan. Akan tetapi, karena ia adalah murid Siauw-lim-pay, sudah menjadi kewajibannya untuk membela Siauw-lim-pay melihat partainya telah mengalami hinaan dan malu karena tokoh-tokohnya dikalahkan oleh gadis ini.
Sebelum ia melakukan sesuatu, tiba-tiba Ceng Seng Hwesio berkata:
“Siauw-sute, jangan kau kurangajar terhadap seorang locianpwe!”
Teng San menoleh dengan mata mengandung penuh pertanyaan, dan ia makin terheran ketika melihat suhengnya itu berlutut di depan In Hong!
“Bhutan Locianpwe, siauw-ceng tidak tahu bahwa locianpwe berada disini, mohon banyak maaf!” katanya.
In Hong mengerti bahwa hwesio itu telah tahu akan adanya kakek aneh, maka ia diam saja. Tiba-tiba, kakek aneh yang tadinya tidak kelihatan karena tubuhnya seakan-akan mengkeret kecil, kini kelihatan lagi, duduk bersila di belakang In Hong!
Juga Teng San baru saja melihat kakek ini, maka kagetnya bukan main.
134
“Ceng Seng Hwesio, muka hitam! Akhirnya kau dapat juga melihatku dari atas,” kakek itu berkata sambil tertawa.
Memang, ketika tadi Ceng Seng Hwesio mencelat ke atas dan membalikkan tubuh, dari atas ia melihat kakek yang bersembunyi di belakang In Hong, maka tahulah ia mengapa gadis itu demikian tangguh dan lihay!
“Locianpwe, harap locianpwe maklum bahwa gadis ini telah mengacau Siauw-lim-si dan……”
“Cukup, aku sudah tahu semua! Semenjak puluhan tahun yang lalu, Siauw-lim-si memang terkenal kikir dan memikirkan kepentingan sendiri! In Hong ini adalah murid isteriku, juga muridku sendiri, siapa berani mengganggunya? Aku sudah mengalah dan mematikan nafsu selama puluhan tahun, akan tetapi hari ini kalau ada yang berani mengganggunya, akulah lawannya!”
Mendengar suara yang amat berpengaruh dan dipenuhi oleh nafsu yang meluap-luap, Ceng Seng Hwesio menjadi keder. Diam-diam In Hong juga merasa betapa kakek ini dahulunya pasti seorang yang bernafsu besar dan yang amat ganas dan tabah.
“Omitohud, tidak tahunya Koay-jin masih hidup dan bersembunyi disini!” tiba-tiba terdengar suara orang dari luar gua.
Belum lenyap gema suara itu, orangnya telah berjalan masuk, yakni seorang kakek tua berkepala gundul, memakai topi hwesio dan di tangannya memegang sebatang tongkat hwesio yang besar dan panjang. Hwesio ini sudah tua sekali, usianya paling sedikit delapanpuluh tahun, alis dan jenggotnya sudah putih semua, nampak halus seperti benang sutera putih. Matanya menyinarkan cahaya lembut dan mukanya kelihatan terang dan sabar.
Inilah Bu Kek Tianglo, ketua dari Siauw-lim-pay, seorang hwesio yang sudah puluhan tahun menyembunyikan diri di ruangan paling dalam dari Siauw-lim-si untuk menyucikan hati dan pikiran.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Teng San menyuruh Lian Hong pulang ke Siauw-lim-pay untuk memberi laporan kepada Bu Kek Tianglo tentang peristiwa aneh yang terjadi di dalam gua, di hutan tak jauh dari Siauw-lim-si.
Tadinya Bu Kek Tianglo mendengarkan penuturan murid muda ini dengan tenang dan sama sekali tidak menaruh perhatian, akan tetapi ketika ia mendengar betapa gadis yang mengacau Siauw-lim-si itu mengalahkan semua muridnya dengan tenaga lweekang yang mentakjubkan, ia menjadi tertarik dan mengerutkan kening.
“Mengalahkan yang lain-lain masih tidak aneh, akan tetapi seorang gadis muda dapat mengalahkan lweekang Ceng Seng, benar-benar amat menarik hati. Lian Hong, minggirlah!”
Kakek ini sekali berkelebat melewati pinggir Lian Hong dan telah lenyap dari dalam kamarnya!
Lian Hong meleletkan lidah saking kagumnya, kemudian gadis cilik ini berlari-lari keluar mengejar gurunya.
135
Setelah Bu Kek Tanglo memasuki gua, kakek aneh yang buntung kaki tangannya itu, yang bukan lain adalah Buthan Koay-jin, suami dari Hek Moli, tertawa bergelak, suaranya bergema di dalam gua, amat menyeramkan.
“Bu Kek Tianglo, kau makin tua makin gagah saja. Apakah kau datang hendak turun tangan dan hendak membuntungkan kaki tangan gadis muridku ini? Ha, ha, ha!”
“Omitohud, Koay-jin, kau sampai sekarang masih saja belum dapat menguasai nafsumu. Tentu saja ini dapat juga kau sengaja dan berpura-pura, karena kau memang orang aneh. Sayang aku tidak dapat menjenguk isi hatimu sehingga aku dapat mengetahui sampai dimana gerangan kemajuanmu.”
“Bu Kek Tianglo, gadis muda ini adalah murid isteriku, juga muridku karena mulai hari ini dia ku ambil murid. Dia telah melakukan kesalahan seperti yang pernah kulakukan dahulu, akan tetapi apakah kau tidak dapat mencegah anak buahmu yang mendesaknya terus? Biarlah aku yang minta maaf kepadamu, kalau perlu tangan dan kakiku yang sudah buntung ini bersedia menerima beberapa gebukan tongkatmu yang lihay.”
Bu Kek Tianglo mengerutkan alisnya yang putih.
“Koay-jin, aku malu sekali kepadamu. Anak muridku memang terlampau keras memegang aturan. Akan tetapi, setelah ternyata bahwa bocah ini menjadi muridmu, perlu apa kita berselisih lagi? Urusan puluhan tahun yang lalu cukup mengenaskan hati kita, tak perlu diulang lagi. Ceng Seng, hayo lekas berlutut minta ampun kepada Koay-jin!”
Ceng Seng Hwesio kembali berlutut mengangguk-anggukkan kepala, diturut oleh lain-lain hwesio yang berada disitu. “Mohon locianpwe sudi mengampuni kami.”
Akan tetapi Bhutan Koay-jin tidak memandang kepada mereka ini. Sepasang matanya yang bersinar-sinar itu ditujukan ke arah Teng San. Pemuda ini tidak mau berlutut, hanya memandang dengan mata penuh keheranan.
“Siapa pemuda ini, Tianglo?” tanya kakek buntung itu.
“Dia ini Ong Teng San, muridku yang termuda.”
,Bagus, dia telah kemasukan I-kin-keng. Mari kita bertaruh, siapa kelak yang lebih berhasil, kau dengan pemuda itu atau aku dengan muridku ini. Ha, ha, ha!”
“Omitohud, kau benar-benar masih kukoay (aneh) watakmu, agaknya tidak berubah,” jawab hwesio itu.
“Aneh dan tidak aneh, apa bedanya? Berubah atau tidak, dimana letak perbedaannya? Ha, ha, Bu Kek Tianglo, tunggu setahun lagi kita melihat hasil kita. Mudah-mudahan saja kita masih dapat mengalaminya.”
Bu Kek Tianglo tersenyum, menjura dan mengajak semua muridnya berlalu dari tempat itu. Di tengah perjalanan, Bu Kek Tianglo memesan kepada semua muridnya agar jangan sekali-kali mengganggu gua itu, bahkan jangan sekali-kali mendekati tempat itu.
136
Sepeninggal semua hwesio itu, Bhutan Koay-jin berkata: “Kau mau menjadi muridku, bukan?”
In Hong sudah menyaksikan semua kejadian tadi dan sebagai murid seorang pandai iapun mengerti bahwa kakek ini memiliki tenaga lweekang yang luar biasa tingginya sehingga hanya dengan menempelkan dua lengan buntung di punggung dan lehernya, kakek ini sudah “meminjam” dua tangannya untuk mengusir dan mengalahkan tokoh-tokoh Siauw-lim-pay tadi. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi In Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bhutan Koay-jin dan berkata:
“Teecu merasa bahagia sekali kalau mendapat pimpinan suhu.”
“Nah, sekarang kauceritakan tentang gurumu Hek Moli, dan bagaimana ia sampai tewas oleh orang-orang Kun-lun-pay.”
In Hong lalu menceritakan semua pengalamannya dan apa yang ia ketahui tentang kematian Hek Moli. Juga ia ceritakan bagaimana ia mendatangi murid Go-bi-pay dan kemudian menyerbu Kun-lun-pay, mengalami kegagalan dan seterusnya sampai ia menyerbu Siauw-lim-pay.
Mendengar semua penuturan murid-barunya ini, kakek itu menarik napas panjang berulang-ulang.
“Kalau datang derita nestapa, apa perlunya mencela Tuhan dan mencaci setan? Mencari biangkeladi harus membuka dada melihat perbuatan sendiri. Segala akibat yang menimpa diri adalah lanjutan sebab perbuatan diri pribadi, baik perbuatan dihidup kini maupun dihidup lalu.”
Kakek itu bicara seperti pada diri sendiri, kemudian ia memandang kepada In Hong dan melanjutkan kata-katanya:
“In Hong, gurumu Hek Moli terlampau menurutkan nafsu. Demikian pula aku. Kaulihat kaki tanganku ini? Inipun akibat daripada nafsu angkara murka. Dahulu aku tidak pernah memandang langit, merasa diri paling tinggi dan paling pandai. Aku datangi semua partai, kujatuhkan semua ketua partai besar, kutertawai mereka dan kusombongkan kepandaianku. Akhirnya aku roboh dalam tangan tokoh-tokoh besar dari Kun-lun, Go-bi, Bu-tong, dan Siauw-lim yang maju bersama. Akibatnya, kaki tanganku buntung. Mereka itu masih berhati lemah tidak menewaskan aku. Ha, ha, ha!”
In Hong memandang kepada suhunya dengan kagum. “seorang diri dapat mengalahkan tokoh-tokoh besar itu satu persatu, kau benar-benar hebat, suhu. Sayangnya mereka itu curang dan maju mengeroyokmu.”
Kembali Bhutan Koay-jin tertawa bergelak. “Kau memang serupa benar dengan Hek Moli, dan Hek Moli juga hampir sama wataknya dengan aku. Ah, mengapa kita bertiga ini mempunyai dasar watak yang sama? Agaknya memang sudah jodoh. Hanya satu-satunya nasihatku, jangan kau mengikuti jejak Hek Moli atau jejakku. Akibatnya takkan baik, Hek Moli tewas di tangan orang pandai dan akupun roboh di tangan orang pandai.”
“Harap suhu suka meneruskan cerita tadi, selanjutnya bagaimana?” tanya In Hong yang ingin mengetahui riwayat suami isteri yang keduanya menjadi gurunya itu.
“Mendengar bahwa aku roboh oleh tokoh-tokoh besar itu, isteriku, Hek Moli, menyusulku dari Sikkim. Aku sengaja menyembunyikan diri karena malu bertemu muka dengan isteriku tidak saja malu karena
137
aku telah kalah oleh tokoh-tokoh besar empat partai, juga aku tidak mau isteriku melihat kaki tanganku yang buntung. Kuharap dia akan kembali ke Sikkim dan menikah dengan laki-laki lain. Siapa tahu iapun dikuasai nafsu marah ketika ia mendengar bahwa aku mungkin sudah tewas oleh tokoh-tokoh besar Siauw-lim, Kun-lun, Go-bi, dan Bu-tong. Maka ia lalu menyerbu ke Kun-lun dan Go-bi, mungkin juga Bu-tong-pay. Hanya Siauw-lim-pay ia tidak berani ganggu karena maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi hwesio-hwesio Siauw-lim yang lihay.”
Demikianlah, mulai hari itu, Bhutan Koay-jin menurunkan kepandaiannya kepada In Hong dengan penuh semangat. Sebaliknya In Hong yang bercita-cita menyerbu Kun-lun-pay, belajar dengan tekun pula, tidak ingat waktu dan tidak tahu lelah.
Sesuai dengan keinginan hati In Hong, dan cocok pula dengan pandangan Bhutan Koay-jin, gadis itu menerima ilmu lweekang yang amat luar biasa, yang cara mempelajarinya bukan dari Tiongkok aseli, melainkan sudah tercampur dengan ilmu yoga dari barat.
Bhutan Koay-jin menurunkan ilmu lweekang ini dengan jalan paling singkat dan cepat. Ia langsung menurunkan lweekang dengan cara “memindahkan” tenaganya sendiri ke dalam tubuh In Hong. Dengan menyalurkan tenaga ini melalui telapak tangan In Hong, juga dengan cara menotok bagian-bagian tubuh muridnya dengan lengannya yang buntung, kakek ini akhirnya dapat memindahkan tenaga dan sinkang ditubuhnya ke dalam tubuh muridnya.
Dengan cara ini, In Hong hanya tinggal melatih diri saja sehingga ia dapat menguasai tenaga sinkang yang dahsyat dan yang kini sudah terkumpul di dalam tubuhnya itu. Memelihara tenaga sinkang ini tidak mudah. Tanpa latihan-latihan tertentu dan peraturan pernapasan yang selalu harus dilaksanakan, tenaga sinkang itu akan musnah sedikit demi sedikit seperti gandum dari kantong yang bocor.
Akan tetapi, pengoperan sinkang seperti itu amat membahayakan kesehatan Bhutan Koay-jin, karena hal itu membutuhkan pengerahan tenaga yang melewati ukuran, yang melewati batas daya tahan tubuhnya yang sudah tua sekali. Apalagi ia masih memberi petunjuk-petunjuk dalam gerakan ilmu silat kepada In Hong.
Setiap kali ada lowongan waktu yang sebagian besar dipergunakan untuk pelajaran ilmu lweekang, ia menyuruh In Hong mengeluarkan ilmu silat yang paling lihay yang pernah dipelajarinya dari Hek Moli. Bhutan Koay-jin hanya menonton, akan tetapi kadang-kadang ia menyetop dan memberi petunjuk pada bagian-bagian tertentu yang dianggap kurang sempurna.
“Ilmu silatmu sudah hebat,” katanya. “Memang sejak dahulu, ilmu silat isteriku itu tidak kalah olehku, hanya ia lemah dalam lweekang.”
Memeras tenaga yang sudah tua ini akhirnya mengakibatkan kakek itu jatuh sakit. Selama setengah tahun ia terus menerus setiap hari melatih In Hong sehingga dalam waktu setengah tahun, gadis itu telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Semua tenaga sinkang dari kakek itu telah berpindah ke dalam dirinya, juga ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya, mendapat banyak kemajuan berkat petunjuk-petunjuk dari Bhutan Koay-jin.
Segala daja-upaja In Hong untuk mengobati gurunya gagal. Bhutan Koay-jin bukan menderita sakit biasa, melainkan penyakit tua yang sudah tidak ada obatnya lagi. Bhutan Koay-jin meninggal dunia dengan
138
senyum di mulut, seakan-akan merasa yakin bahwa ia akan menang dalam taruhannya dengan Bu Kek Tianglo ketua Siauw-lim-pay.
Memang, pada saat terakhir dari hidupnya, tiap kali dia membuka mulut mengeluarkan suara, tentu ia menyebut-nyebut soal pertaruhan itu.
Seorang diri In Hong mengurus jenazah gurunya, mengubur jenazah itu di dalam gua dan menangis di depan kuburan. Kemudian ia keluar dari tempat itu dan tempat pertama yang ditujunya adalah kelenteng Siauw-lim-si!
Gadis ini hendak memenuhi kehendak gurunya, keinginan yang disebut-sebut sebelum meninggal dunia, yakni agar ia dapat mengalahkan murid muda Siauw-lim-pay, murid yang telah mempelajari I-kin-keng. Ia harus dapat mengalahkan pemuda itu, pemuda yang dahulu telah menolongnya, yang bernama Ong Teng San!
Dengan tenang ia memasuki halaman kelenteng Siauw-lim-si. Kedatangannya sekarang jauh bedanya dengan dahulu. Setengah tahun yang lalu, ia datang di tempat ini pada malam hari dengan maksud mencuri kitab I-kin-keng. Akan tetapi sekarang, datang pada pagi hari dengan terang-terangan dengan maksud mengajak pibu orang yang mewarisi ilmu I-kin-keng!
Semenjak terjadi peristiwa penyerbuan In Hong ke Siauw-lim-si, kelenteng ini sekarang terjaga keras. Tidak mengherankan apabila baru saja gadis itu memasuki pekarangan depan, tiba-tiba datang lima orang hwesio yang bukan lain adalah hwesio-hwesio Ngo-heng-tin!
Mereka memegang toya dan memandang kepada gadis ini dengan mata penuh kecurigaan dan juga keheranan. Akan tetapi gadis itu tersenyum mengejek ke-pada mereka.
“Kau……?” tegur seorang di antara lima hwesio itu.
“Apa kehendakmu, nona?” Mereka masih merasa gentar kalau teringat akan pengalaman mereka di dalam gua, dimana mereka secara aneh sekali dibikin jatuh bangun oleh gadis ini yang melawan mereka hanya dengan duduk bersila.
Akan tetapi setelah mereka tahu bahwa di belakang gadis itu ada Bhutan Koay-jin, lenyap rasa heran dan penasaran hati mereka. Namun diam-diam mereka menaruh hati marah kepada gadis yang menjadi gara-gara sehingga mereka sebagai tokoh-tokoh besar Siauw-lim-si mengalami rasa malu dan penghinaan.
“Ngowi suhu harap memberitahu kepada Bu Kek Tianglo bahwa aku datang untuk bicara dengan dia, atau boleh juga dengan muridnya yang bernama Ong Teng San,” kata In Hong dengan tenang.
Tentu saja lima orang hwesio itu tidak membiarkan In Hong terus masuk, karena mereka mengira bahwa gadis ini tentu datang hendak membikin ribut pula.
Kini mereka tidak takut menghadapi gadis ini, karena dahulu di dalam gua, ke-kalahan mereka bukan oleh gadis ini melainkan oleh Bhutan Koay-jin yang meminjam sepasang lengan In Hong. Biarpun mereka tahu bahwa gadis ini telah diterima menjadi murid Bhutan Koay-jin, akan tetapi dalam waktu setengah tahun saja, kepandaian apakah yang sudah dapat dipelajarinya?
139
“Nona, jangan kau main gila seperti dulu! Kalau kau memang ada keperluan, mengapa harus mencari suhu atau Ong-sute? Kami berlima ditugaskan menjaga disini, maka segala keperluanmu, katakan saja kepada kami, pasti kami takkan berani mengabaikan dan akan melayanimu.”
In Hong mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya.
“Kalian ini masih saja tidak berubah, bersikap galak terhadap orang muda. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin bertemu dengan Bu Kek Tianglo atau Ong Teng San? Hayo lekas panggil mereka keluar, kalau tidak jangan bilang aku kurangajar kalau aku masuk dan mencari mereka sendiri.”
Lima orang hwesio itu nampak ragu-ragu. Memang bukan hal yang sederhana dan mudah saja untuk memanggil keluar Bu Kek Tianglo. Kakek ini selalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya, bersamadhi dan tidak mau mencampuri urusan di luar kamarnya. Ia tidak mau diganggu, maka tidak ada orang yang berani mengganggu kakek ini kalau tidak karena urusan amat penting.
Sekarang, gadis ini datang hendak bertemu dengan Bu Kek Tianglo, mana lima orang hwesio itu berani mengganggu suhu mereka? Apalagi kalau diingat bahwa gadis ini adalah seorang yang pernah mengacaukan Siauw-lim-si, kalau Bu Kek Tianglo diganggu dari samadhinya hanya untuk menjumpai gadis ini, tentu kakek itu akan menjadi marah.
Adapun In Hong ketika melihat lima orang hwesio itu ragu-ragu dan tidak mau memenuhi permintaannya, lalu melangkah maju dan berkata:
“Kalau tidak mau melaporkan kepada Bu Kek Tianglo, minggirlah, biar aku sendiri masuk menghadap!”
Akan tetapi, lima orang hwesio itu cepat memalangkan toya dan menghadang di tengah jalan.
“Nona, jangan kau kurangajar!” Lima batang toya bergerak mendorong ke arah tubuh In Hong untuk memaksa gadis itu mundur lagi.
Akan tetapi, sebaliknya daripada mundur, In Hong malah melangkah terus ke depan. Dua tangannya bergerak cepat dan dilain saat, dua orang hwesio telah terlempar jauh berikut toya yang mereka pegang, sedangkan seorang hwesio lain terpaksa bertekuk lutut karena sambungan lututnya tercium ujung sepatu In Hong. Gerakan nona ini demikian cepat dan tenaganya demikian hebat sehingga tiga orang hwesio itu tak sempat mempertahankan diri.
Mereka berdiri lagi cepat-cepat dan bersama dua orang hwesio yang belum roboh, mereka siap untuk melakukan serangan. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras:
“Tahan senjata!”
Ternyata bahwa yang muncul adalah Ceng Seng Hwesio yang bermuka hitam dan bersuara tenang berpengaruh.
Ceng Seng Hwesio tadi melihat gerakan In Hong dan diam-diam ia terkejut. Tendangan In Hong masih tidak mengherankan karena ia memang tahu bahwa gadis ini memiliki gerakan yang amat cepat dan tidak terduga. Akan tetapi, menerima toya dengan kedua tangan kosong lalu melemparkan toya-toya itu
140
berikut pemegangnya, sungguh merupakan bukti bahwa gadis ini sekarang telah memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali!
“Sam-sute, pergilah ke dalam dan laporkan kepada suhu bahwa murid Bhutan Koay-jin datang mengunjungi Siauw-lim-si,” kata Ceng Seng Hwesio.
Sekali saja melihat sepak terjang In Hong, hwesio ini maklum bahwa tentu gadis ini datang untuk memenuhi tantangan Bhutan Koay-jin setengah tahun yang lalu, maka ia pikir lebih baik minta suhunya keluar. Kemudian ia menjura kepada In Hong sambil tersenyum:
“Ah, kiranya Kwee-lihiap yang datang. Tidak tahu apakah Kwee-lihiap membawa pesanan sesuatu dari Bhutan Locianpwe?”
“Memang aku membawa pesanan untuk memenuhi tantangan pibu dengan murid Siauw-lim-pay!” jawab In Hong singkat. Ia tahu bahwa Ceng Seng Hwesio adalah murid kepala dari Bu Kek Tianglo, maka ia mau memberitahukan maksud kedatangannya.
Pada saat itu, dari ruangan dalam sudah nampak Bu Kek Tianglo menghampiri tempat itu, berjalan perlahan dibantu oleh tongkatnya. Hwesio ini sudah amat tua dan lemah sehingga In Hong teringat akan gurunya sendiri yang telah meninggal dunia.
Seorang pemuda berjalan disebelah kirinya dan In Hong segera mengenal pemuda ini sebagai Ong Teng San yang pernah menolongnya.
Ia melihat betapa sepasang mata pemuda itu ditujukan kepadanya dan hati In Hong terheran-heran. Mengapa sinar mata itu kelihatan begitu sedih? Di belakang pemuda ini berjalan gadis cilik yang dahulu ia lihat di atas pagar tembok.
Makin terheranlah hati In Hong karena baru sekarang ia melihat wajah gadis ini dengan jelas. Tidak aneh bahwa dulu ia melihat gadis ini seperti seorang yang sudah lama dikenalnya, karena ternyata bahwa wajah gadlis cilik ini hampir serupa dengan wajah yang ia lihat setiap hari apabila ia bercermin! Juga gadis ini kelihatan berduka.
Memang Teng San sudah bercerita kepada Lian Hong bahwa gadis yang mengacau Siauw-lim-si itu bukan lain adalah Kwee In Hong, puteri dari ibu mereka yang hilang ketika dahulu suami ibu mereka itu dibunuh oleh ayah mereka! Kini nona yang menjadi saudara tiri mereka itu datang memusuhi Siauw-lim-si dan otomatis mereka harus menghadapi nona itu sebagai lawan, bagaimana mereka takkan bersedih?
Untuk memperkenalkan diri bahwa mereka adalah anak dari Ong Tiang Houw, lebih tidak mungkin lagi. In Hong tentu membenci Tiang Houw dan seorang gadis yang memiliki watak demikian keras dan ganas, pasti akan berusaha membalas sakit hati terhadap Tiang Houw.
Kalau In Hong mendengar bahwa Teng San dan Lian Hong adalah anak dari Tiang Houw, otomatis gadis murid Hek Moli itu pasti akan memusuhi mereka pula.
Hal ini semua pendeta di Siauw-lim-si sudah mengetahui karena mereka sudah mendengar penuturan Teng San. Akan tetapi, mereka tidak mau membuka rahasia karena mereka sudah diminta dengan sangat oleh Teng San agar jangan mencenitakan rahasia ini kepada In Hong. Mereka semua dapat
141
membayangkan betapa akan hebatnya akibat apabila In Hong mengetahui bahwa Teng San dan Lian Hong adalah anak-anak dari musuh besarnya, yakni Ong Tiang Houw yang telah membunuh Kwee Seng, ayahnya.
Sementara itu, dengan suaranya yang halus dan lemah lembut, Bu Kek Tianglo sudah berkata kepada In Hong:
“Nona, bagaimana kabarnya dengan Bhutan Koay-jin gurumu? Mengapa dia tidak ikut datang beromong-omong dengan pinceng?”
Mendengar pertanyaan ini, In Hong mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah sedih.
“Guruku telah meninggal dunia kemarin pagi……”
Mendengar ini, semua hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Teng San menundukkan muka dan Lian Hong memandang kepada In Hong dengan muka berkasihan.
Hening beberapa lama, keheningan yang menyesakkan dada In Hong dan membuat gadis itu hampir tak dapat menahan mengucurnya air mata. Ia menjadi gemas kepada diri sendiri dan untuk menyembunyikan perasaan dan kelemahan hatinya ini, ia berkata:
“Suhu sudah meninggal dengan tenang dan aku tidak perlu mendapat rasa kasihan orang lain!” Kata-kata ini membuktikan betapa keras adanya hati gadis ini.
“Omitohud…… Bhutan Koay-jin, kau sudah mendahului pinceng. Kau sudah senang dan bebas, semoga kita akan dapat bertemu pula di alam lain,” terdengar Bu Kek Tianglo berdoa perlahan, kemudian ia memandang kepada In Hong dan bertanya:
“Setelah suhumu meninggal, apakah kedatanganmu ini hanya untuk menyampaikan warta itu, nona?”
“Aku datang memenuhi pesanan suhu bahwa aku harus memenuhi janji suhu untuk mengadakan pibu dengan murid Siauw-lim-pay untuk menentukan, mana yang lebih unggul antara ilmu kepandaian yang diturunkan oleh suhu dengan ilmu kepandaian dari Siauw-lim-pay!” Sambil berkata demikian ia mengerling ke arah Teng San yang masih menundukkan mukanya.
Bu Kek Tianglo tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Bhutan Koay-jin, kau benar-benar telah mendapatkan murid yang cocok dengan watakmu,” katanya perlahan, kemudian kepada In Hong ia berbuat dengan suara sungguh-sungguh: “Nona kau baru menerima latihan selama setengah tahun dari mendiang Bhutan Koay-jin, apakah kau sudah merasa cukup kuat untuk menghadapi Teng San?”
“Aku memang seorang lemah dan bodoh, akan tetapi kiranya aku takkan mengecewakan arwah dari suhu,” jawab In Hong.
“Suhu, nona Kwee ini sudah mewarisi sinkang dari Bhutan Locanpwe,” kata Ceng Seng Hwesio kepada gurunya, “tadi teecu sudah menyaksikan betapa dia mengalahkan tiga orang sute dengan tenaga lweekangnya.”
142
Bu Kek Tianglo mengangguk-angguk puas. “Hm, begitukah? Bagus sekali. Agaknya Bhutan Koay-jin sudah dapat memperdalam kepandaiannya selama puluhan tahun ini sehingga ia telah dapat menurunkan sinkang sekaligus tanpa menghiraukan kesehatannya sendiri. Bagus! Hanya sinkang dari Koay-jin saja yang kiranya patut menghadapi Teng San, kau lawan nona Kwee ini dengan I-kin-keng!”
Dapat dibayangkan betapa berat hati Teng San menerima perintah ini, akan tetapi tentu saja ia tidak berani membantah kehendak suhunya, maka sambil menganggukkan kepalanya, ia lalu melangkah maju dan bersiap sedia mengha-dapi In Hong.
Melihat pemuda itu telah maju, In Hong juga segera melangkah maju tanpa mencabut pedangnya. Ia tidak suka menghadapi seorang lawan yang bertangan kosong dengan pedang, karena iapun tahu bahwa orang menghendaki mengadu tenaga lweekang.
“Kwee-siocia, silahkan,” kata Teng San yang sudah memasang kuda-kuda. Ia menyalurkan sinkang dari I-kin-keng ke dalam sepasang lengannya dan memasang kuda-kuda dari ilmu silat Lo-han-kun, yakni ilmu silat dari Siauw-lim-pay yang terkenal tangguh dan lihay.
Biarpun ia berwatak ganas dan keras hati, namun In Hong bukanlah orang yang mudah melupakan budi. Ia telah hutang budi kepada pemuda ini yang telah memperlihatkan kebaikan hati dan menolongnya ketika ia dikepung oleh para hweesio Siauw-lim-si. Juga sebagai seorang wanita, perasaannya yang halus membisikkan kepadanya bahwa pemuda ini tertarik kepadanya.
Oleh karena itu, pada mulanya In Hong merasa enggan untuk bertanding melawan Teng San. Ia akan lebih suka menghadapi Ceng Seng Hwesio, atau kalau perlu, ia bahkan lebih suka kalau menghadapi Bu Kek Tianglo sendiri! Akan tetapi, mengingat akan nama baik suhunya, segera timbul semangatnya dan ia mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk merebut kemenangan dalam pertandingan ini.
“Baik, kau jagalah seranganku!” jawab In Hong dan dengan cepat sekali ia mulai menyerang, mempergunakan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Moli. In Hong memiliki gerakan yang cepat dan ringan sekali, maka serangannya inipun datang dengan dahsyat dan cepatnya. Tangan kanannya memukul ke arah dada Teng San dan tangan kiri menjaga di atas pusar.
Teng San ingin menguji tenaga gadis ini, maka ia tidak mengelak, melainkan menangkis sambil mengerahkan sebagian dari tenaga lweekangnya. Dua buah lengan tangan kanan bertemu.
“Duk!” Keduanya tergeser mundur dan berubah kuda-kuda kaki mereka. Tadipun In Hong hanya mengeluarkan sebagian saja dari tenaganya, maka melihat akibat pertemuan dua lengan itu, dapat diduga bahwa tenaga mereka memang berimbang. Melihat ketangguhan lawan, dua orang muda ini lalu menghilangkan rasa sungkan lagi dan mulailah mereka bertanding sambil mempergunakan seluruh tenaga.
Memang hebat sekali pertandingan itu. Gerakan In Hong lincah dan cepat, sebaliknya gerakan Teng San tenang dan lambat. Namun, tiap kali keduanya bertemu tangan, selalu terasa betapa masing-masing terdorong oleh tenaga yang dahsyat.
143
Setelah bertempur selama duapuluh jurus lebih, Teng San dapat mengukur tenaga lawannya. Ia adalah ahli waris dari I-kin-keng, ilmu pusaka dari Siauw-lim-si, maka tentu saja tenaga lweekangnya hebat. Ilmu I-kin-keng sudah amat terkenal dan dikagumi oleh seluruh tokoh kangouw, sedangkan Teng San sudah mempelajari ilmu ini bertahun-tahun dan bakatnya memang baik sekali.
Sebaliknya, biarpun ilmu sinkang yang diturunkan oleh Bhutan Koay-jin kepada In Hong juga luar biasa sekali dan hampir setingkat dengan I-kin-keng, akan tetapi In Hong menerima ilmu ini baru setengah tahun lamanya. Dalam hal tenaga dalam ini, In Hong masih kalah dan hal ini diketahui baik oleh Teng San.
Akan tetapi, pemuda ini tidak tega melukai hati In Hong, tidak tega mengalahkannya. Ia merasa kasihan sekali melihat In Hong dan di dalam hatinya timbul perasaan aneh dari kasih sayang.
Perasaan kasihan dan kasih sayang ini membuat Teng San ingin menolong dan membantu In Hong, mana bisa ia tega merobohkannya? Oleh karena itu, ia sengaja mengeluarkan tiga-perempat bagian saja dari lweekangnya dan ini cukup untuk mengimbangi kekuatan In Hong.
Namun, dipihak In Hong lain lagi. Biarpun gadis ini tadinya merasa berhutang budi dan tidak enak untuk bertanding dengan pemuda yang pernah menolongnya ini, akan tetapi setelah melihat bahwa tenaga dari pemuda ini memang hebat, ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dalam setiap serangannya.
Bahkan ia melakukan serangan dengan gerakan cepat sekali, mengeluarkan gerak tipu-tipu yang paling lihay dari ilmu silatnya. Dengan gerakannya yang lebih cepat dan lincah karena ginkangnya memang tinggi. In Hong dapat mendesak lawannya yang sebagian banyak hanya membela diri saja.
Pertandingan berjalan sampai tujuhpuluh jurus dan keadaan mereka masih seimbang, sungguhpun kelihatannya In Hong selalu mendesak dan menindih, namun gadis ini maklum bahwa ia tidak mendapat banyak kesempatan menghadapi pemuda yang kokoh kuat penjagaannya ini.
Tiba-tiba In Hong melakukan serangan nekat. Gadis yang keras hati ini merasa penasaran dan mendongkol sekali karena sebegitu lama semua serangannya tidak berhasil, bahkan kedua lengannya sudah terasa lelah dan sakit-sakit.
Kini ia mengeluarkan gerak tipu yang disebut Sam-houw-toat-beng (Tiga harimau mencabut nyawa), sebuah pukulan yang luar biasa ganasnya dari Hek Moli. Dengan gerakan yang susul menyusul dan bukan main cepatnya sehingga hampir boleh dibilang dalam satu saat, tangan kanan In Hong memukul ke arah pusar, disusul dengan cengkeraman tangan kiri ke arah leher dan diikuti dengan tendangan maut ke depan!
Terdengar Bu Kek Tianglo mengeluarkan napas berat, tanda bahwa kakek ini merasa khawatir melihat muridnya terancam hebat. Juga Teng San terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu memiliki ilmu pukulan yang demikian ganasnya. Akan tetapi, sukarlah untuk menghindarkan diri sekaligus dari tiga macam serangan ini dan ia harus menghadapinya dengan tenang.
Ia mempergunakan tangan kanan untuk menyampok cengkeraman ke arah leher, tangan kirinya menahan datangnya tendangan maut yang amat berbahaya itu sedangkan tubuhnya agak direndahkan sehingga pukulan In Hong ke arah pusarnya menjadi berubah sasaran dan tiba di atas dadanya. Hal ini
144
memang ia sengaja karena dalam menerima pukulan gadis itu didadanya, Teng San mengerahkan tenaga lweekangnya yang luar biasa.
Terdengar kain robek dan seruan In Hong. Tubuh gadis ini terjengkang ke belakang dan terhuyung-huyung. Hampir saja ia roboh kalau saja tidak lekas-lekas mengatur keseimbangan tubuhnya. Kepalan kanannya terasa panas dan kesemutan, akan tetapi ia tidak terluka.
Dilain pihak, Teng San yang terpukul dadanya itu berdiri tegak tidak bergeming, hanya pundaknya terkena cengkeraman tangan kiri In Hong. Ketika tangan kiri In Hong tadi disampok, gadis ini dengan cepatnya menyelewengkan tangan kirinya sehingga tangan ini dapat melanjutkan serangan ke arah pundak lawan.
Tangan inilah yang melukai Teng San karena cengkeraman jari tangan yang terisi tenaga lweekang ini telah merobek kain penutup pundak dan terus melukai kulit dan daging pundak!
“Kwee-lihiap, aku mengaku kalah……,” kata Teng San sambil tersenyum dan menjura.
In Hong menjadi merah sekali mukanya. Dari tadi juga ia telah dapat mengerti bahwa dalam hal tenaga lweekang, ia masih kalah oleh pemuda ini. Gebrakan terakhir tadi membuktikan.
Juga gebrakan terakhir ini membuka rahasia hati Teng San yang sengaja membiarkan dirinya terpukul tanpa bermaksud merobohkan atau melukai In Hong. Orang yang sudah dapat menahan pukulan pada dadanya tadi tanpa terluka, kalau mau, memang dapat mengirim kembali hawa pukulan dan mengakibatkan luka melakukan hal itu, hanya membuat In Hong mencelat dan terhuyung-huyung saja.
“Ong-tayhiap, kau sudah mengalah. Kau patut menjadi terbaik dari Siauw-lim-pay……” jawab In Hong yang segera menjura kepada Bu Kek Tianglo, kemudian tanpa banyak cakap lagi gadis ini berkelebat dan berlari keluar dari kuil Siauw-lim-si.
Seperginya gadis ini. Bu Kek Tianglo terdengar menarik napas panjang.
“Hm, gadis seganas itu berkeliaran seorangdiri di dunia kangouw, benar-benar berbahaya! Entah kebodohan apa lagi yang akan ia lakukan. Teng San, pinceng tahu mengapa kau tadi mengalah. Memang, dalam kedudukanmu sebagai putera musuh besarnya, dan mengingat pula akan perbuatan ayahmu terhadap ayah dan ibunya, amat sukarlah bagimu untuk tidak menaruh hati iba dan mengalah. Akan tetapi, gadis itu memiliki watak yang amat keras dan perbuatannya sewaktu-waktu bisa ganas seperti mendiang Hek Moli. Lweekangnya pinceng lihat sudah amat tinggi sehingga di dunia kangouw, kiranya hanya kau dengan I-kin-keng yang dapat mengendalikannya. Oleh karena itu, sekarang kau pinceng paksa keluar dari sini untuk mengamat-amati gadis itu, syukur kalau kau bisa menguasainya dengan jalan halus, kalau tidak kau harus menjaga agar jangan sampai ia menimbulkan gara-gara seperti yang pernah dilakukan oleh Bhutan Koay-jin dan Hek Moli.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, Teng San dan Lian Hong meninggalkan Siauw-lim-si dan kedua orang kakak dan adik ini merasa gelisah kalau mereka memikirkan In Hong. Bagaimana kelak kalau In Hong bertemu dengan ibunya dan mendapat tahu bahwa ibunya telah menikah dengan pembunuh ayahnya?
145
Mengingat akan semua ini, Teng San menjadi amat berduka. Diam-diam ia kecewa terhadap ayahnya, karena setelah membunuh suaminya, ayahnya lalu mengambil isterinya. Benar-benar hal yang amat memalukan! Dan sekarang ditambah lagi oleh kenyataan betapa menarik adanya In Hong dan betapa hatinya selalu tak dapat melupakan wajah yang cantik jelita dan gagah itu.
Apa yang dikhawatirkan oleh Bu Kek Tianglo memang beralasan. In Hong adalah seorang yang semenjak kecilnya dididik oleh seorang yang ganas seperti Hek Moli, maka otomatis gadis inipun menjadi dewasa dengan watak yang sama dengan gurunya. Keras hati dan ganas.
Ia takkan mau berhenti sebelum dapat memuaskan hatinya membalas dendamnya kepada musuh-musuh besar yang sudah menewaskan gurunya. Di dalam hati In Hong, hidupnya hanya mempunyai tujuan tertentu, yakni membalas dendam atas kematian gurunya, kemudian mencari ibunya dan mencari musuh besar yang sudah menewaskan ayahnya!
Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, gadis ini langsung menuju ke Kun-lun-san! Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan tidak pernah berhenti kalau tidak sudah lelah sekali. Ia tidur dimana saja sang malam menghalang perjalanannya. Tidur di udara terbuka, di dalam kelenteng tua bobrok, di atas pohon, atau dimana saja bagi gadis ini bukan apa-apa.
Kadang-kadang sehari semalam ia tidak menemui kampung dan terpaksa kalau bekal makanan habis, ia berpuasa atau makan buah-buahan. Inipun tidak membuatnya merasa sengsara. Setiap orang kangouw harus berani menghadapi keadaan seperti ini dengan tabah.
Ketika tiba di kaki bukit Kun-lun-san, di luar sebuah hutan kecil ia melihat seorang laki-laki berjalan dengan kepala menunduk. Laki-laki ini berjalan di sebelah depan dan In Hong hanya melihat punggung dan pundaknya yang bidang.
Melihat potongan tubuh orang itu, In Hong merasa sudah mengenalnya, apalagi melihat langkah kaki yang biarpun perlahan namun masih kelihatan ketegapan dan kegagahannya, seperti langkah seekor harimau.
In Hong mempercepat larinya dan tak lama kemudian ia telah dapat menyusul orang itu. Laki-laki itu mendengar kedatangan orang lalu menengok.
“Kau…… Bu Jin Ay……?” seru In Hong, akan tetapi dilain saat gadis ini menundukkan mukanya yang menjadi merah dan menekan perasaannya yang membuat dadanya bergelombang.
Seperti juga dulu ketika bertemu untuk pertama kalinya, ia mendapatkan perasaan aneh. Apalagi sekarang pendekar yang bernama Bu Jin Ay (Tidak Ada yang Menyinta) ini memandangnya dengan sinar mata demikian mesra seakan-akan orang terkena pesona, pandangan mata yang mengandung berbagai macam perasaan, ada terkejut, heran, kagum, dan terbayang kasih sayang yang besar.
Inilah yang membuat In Hong berdebar dan menundukkan mukanya. Gadis ini sendiripun merasa aneh di dalam hatinya. Kalau laki-laki lain yang memandangnya seperti itu, tentu ia akan marah atau setidaknya, akan ditinggalnya pergi tanpa perduli lagi. Akan tetapi, dipandang sedemikian rupa oleh laki-laki ini, ia merasa bangga!
146
Adapun pendekar gagah itu benar-benar seperti orang dalam mimpi. Ia menatap wajah In Hong dan bibirnya bergerak perlahan, mula-mula tidak dapat didengar jelas kata-katanya, kemudian In Hong dapat menangkap suara itu:
“Kau…… isteriku…… kekasihku…… kau cantik seperti bidadari……”
“Gila……” kata In Hong dengan muka menjadi makin merah.
Kemudian ia melihat betapa muka orang itu agak pucat dan lengan kirinya agak kaku gerakannya. Ia terkejut sekali dan tak terasa pula ia melangkah maju menghampiri laki-laki itu.
“Apakah…… apakah lenganmu masih sakit? Hebatkah luka akibat pasir hitamku?”
Bu Jin Ay tersenyum, mukanya yang gagah itu memang kelihatan tampan sekali, dagunya nampak kuat, giginya putih dan berjajar rapi, sepasang matanya bersinar dan berpengaruh. Muka seorang pendekar gagah, muka seorang jantan!
“Pasirmu memang lihay, Put Hauw Li, dan aku terlalu bodoh sehingga tak dapat menyembuhkannya.”
Memang dahulu, dalam pertemuan pertama, In Hong mengaku bernama Put Hauw Li (Anak perempuan tidak berbakti). Tentu saja Bu Jin Ay tahu bahwa nama yang dipakai gadis ini adalah nama palsu, seperti halnya In Hong yang tahu benar bahwa nama pendekar ini adalah nama palsu pula.
In Hong nampak menyesal sekali. Pasir hitamnya amat lihay dan berbahaya. Sudah setengah tahun lebih orang ini menderita luka akibat senjata rahasianya itu, ah, tentu orang ini telah menderita kesakitan hebat. Ia melangkah maju lagi dan mendekati Bu Jin Ay.
“Biarkan aku memeriksa lukamu dan mencoba untuk mengobatinya,” katanya.
Tanpa menanti jawaban, ia lalu memegang pundak laki-laki itu dan sekali jari-jari tangannya yang kecil runcing bergerak, terdengar suara kain memberebet dan pakaian Bu Jin Ay di bagian pundak dan pangkal lengan telah robek terbuka!
“Kau masih ingat di bagian mana aku terluka?” Bu Jin Ay berkata heran. “Kalau begitu selama ini kau seringkali ingat kepadaku?”
“Hush, diam dan jangan banyak cakap. Lukamu berbahaya sekali,” kata In Hong yang sudah mengeluarkan pedangnya.
Dengan ujung pedang ia membuat beberapa guratan pada kulit lengan yang menghitam dan gembung itu, kemudian ia mengurut beberapa otot dan menotok jalan darah. Tak lama kemudian, dari guratan-guratan yang dibuat oleh pedangnya pada lengan Bu Jin Ay, keluarlah darah hitam.
Tiba-tiba In Hong merasa betapa lengannya yang sedang bekerja itu disentuh oleh jari-jari tangan Bu Jin Ay, dibelai halus.
“Isteriku…… kekasihku……,” kembali bibir Bu Jin Ay bergerak-gerak dan keadaannya seperti orang gila, sepasang matanya memandang kepada In Hong penuh kemesraan dan kasih sayang sehingga dengan kaget sekali In Hong merenggut tangannya dan melompat mundur.
147
Jantungnya berdebar keras dan aneh sekali. Perasaan marah yang sudah meluap-luap di dadanya, tiba-tiba padam kembali oleh perasaan lain ketika ia memandang kepada Bu Jin Ay. Entah mengapa, muka itu mendatangkan welas asih dan suka. Akan tetapi, rasa jengah dan malu membuat In Hong tidak mau mendekat lagi.
Ia mengambil sebungkus obat penawar pasir hitam, memberikannya kepada Bu Jin Ay sambil berkata lirih:
“Kau sudah gila! Aku tidak mau dekat lagi. Kau keluarkan semua darah hitam dari lenganmu, kemudian kau pakai obat ini di lukanya. Pasti sembuh dalam beberapa hari saja.”
Akan tetapi Bu Jin Ay tidak menerima obat itu sehingga bungkusan obat jatuh ke atas tanah. Sebaliknya, dengan mata saju Bu Jin Ay memandang In Hong dan berkata:
“Isteriku manis, tidak kasihankah kau kepadaku……?”
Mendengar ini dan melihat pandangan mata Bu Jin Ay, In Hong bergidik dan gadis ini melompat pergi. Suara yang aneh keluar dari kerongkongannya, suara seperti setengah tangis setengah tertawa.
Memang In Hong merasa terharu dan kasihan sekali melihat Bu Jin Ay, akan tetapi sikap Bu Jin Ay kepadanya membuat ia merasa geli juga. Dia adalah se-orang gadis yang belum pernah menghadapi sikap laki-laki seperti ini, demikian penuh rangsang, penuh kemesraan dan penuh cinta kasih.
Sambil berlari cepat mendaki bukit Kun-lun, In Hong diam-diam memikirkan keadaan dirinya. Mengapa ia begitu tertarik kepada Bu Jin Ay? Laki-laki ini biarpun tak dapat disangkal lagi memilik wajah yang tampan, tubuh yang gagah, sikap yang mengagumkan, namun usianya tidak muda lagi. Kurang lebih empatpuluh tahun, sudah patut menjadi ayahnya!
Akan tetapi, cinta memang aneh sekali. In Hong agaknya tidak anggap hal ini penting. Ia membayangkan wajah dan sikap Yo Kang, putera pamannya. Ia sudah tahu pasti bahwa Yo Kang cinta kepadanya.
Pemuda itu, biarpun kepandaiannya tidak amat tinggi, namun boleh disebut seorang yang bersemangat gagah, wajahnya tampan pula, hartawan dan masih muda. Akan tetapi, anehnya, ia sama sekali tidak tertarik kepada Yo Kang.
Masih ada lagi, yakni Ong Teng San, pemuda luar biasa yang baru-baru ini mengadu kepandaian dengannya di Siauw-lim-si. Kurang apakah pemuda ini? Tentang kepandaian, tidak dibawah tingkat kepandaiannya sendiri. Tentang watak ia tahu bahwa pemuda itu berwatak baik, terlihat dari sikapnya, dari usahanya untuk menolongnya dahulu dan bahkan akhir ini di dalam pibu, pemuda itu sengaja tidak mendesaknya dan berlaku mengalah.
Ini saja sudah membuktikan bahwa Teng San suka kepadanya. Akan tetapi, benar-benar mengherankan, ia sama sekali tidak tertarik kepada Ong Teng San.
Mengapa kalau terhadap dua orang pemuda pilihan ini, juga banyak sekali pemuda-pemuda lain yang pernah memandang kepadanya dengan rindu, ia sama sekali tidak tergerak hatinya, sebaliknya terhadap Bu Jin Ay, pendekar yang sudah tak muda lagi, yang wataknya biarpun gagah namun seperti orang gila,
148
ia jatuh hati? Benar-benarkah ini yang dibilang cinta? In Hong merasa malu kepada diri sendiri dan berusaha untuk menyangkal perasaan ini.
“Tak mungkin! Dia sudah tua, patut menjadi ayahku!”
Akan tetapi pikiran ini bahkan mendatangkan kesedihan karena ia teringat akan ayahnya yang terbunuh mati oleh orang yang tidak diketahuinya siapa dan di dalam kesedihan ini kembali terbayang wajah Bu Jin Ay yang nampaknya demikian menyintanya! Ingin ia kembali, mendekati Bu Jin Ay dan menumpahkan semua kedukaan yang di deritanya. Kembali ia mencela keinginan ini dan bagaikan seorang berubah ingatan, In Hong berlari-lari cepat sambil kadang-kadang tersenyum, kadang-kadang menangis!
Setelah tiba di depan kelenteng Kun-lun-pay yang besar, ia segera memasuki pekarangan yang luas. Dilihatnya banyak tosu berada di depan kelenteng, maka ia segera berseru nyaring:
“Kun-lun Sam-lojin, keluarlah untuk membayar hutang kalian!”
Para tosu yang berada disitu ketika mengenal In Hong segera melarikan diri ke dalam untuk memberi laporan. Tak lama kemudian, muncullah Kun-lun Sam-lojin, tiga orang tokoh Kun-lun-pay murid dari Pek Ciang San-lojin.
Dengan sikap tenang akan tetapi mata mereka bersinar marah, tiga orang tosu ini cepat menghampiri In Hong yang masih berdiri di pekarangan dengan sikap menantang. Melihat tiga orang musuh besarnya ini, kemarahan hati In Hong meluap. Cepat ia mencabut pedang Liong-gan-kiam dan membentak:
“Kun-lun Sam-lojin, hari ini kalian harus menyusul arwah guruku!”
“Iblis wanita kau benar-benar harus dibasmi. Apa kau masih belum kapok dan mencari mampus? Benar-benar menjemukan!” Sun Sim San-lojin marah sekali dan menyerang dengan hudtimnya. Dua orang suhengnya juga cepat maju menyerang sehingga dilain saat tiga orang tokoh Kun-lun ini telah mengeroyok In Hong.
Terjadi pertempuran hebat sekali dan baru beberapa jurus saja, tiga orang kakek Kun-lun-pay itu mengeluarkan seruan tertahan. Tak disangkanya bahwa nona ini sekarang, selama kurang dari satu tahun, telah memperoleh kemajuan yang hebat sekali. Yang benar-benar amat mengherankan dan mengagumkan adalah tenaga lweekang dari gadis ini, benar-benar luar biasa kuatnya sehingga tiap kali beradu senjata, tiga orang kakek Kun-lun-pay ini merasa tergetar tangannya.
In Hong kali ini tidak mau memberi banyak kesempatan kepada tiga orang musuh besarnya yang ia benci. Dengan cepat pedangnya bergerak menyambar-nyambar, tangan kirinya juga dikepal dan mengirim pukulan yang disertai hawa lweekang yang ia pelajari dari Bhutan Koay-jin.
Baru belasan jurus, ia telah berhasil memukul dada Sun Sim San-lojin dengan tangan kirinya. Tosu termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini terlalu sembrono dan berani menerima pukulan tangan kosong dengan dada terbuka.
149
Memang sebetulnya ia tidak terlalu singkat pikiran. Dahulu, setengah tahun lebih yang lalu, In Hong masih memiliki lweekang yang tingkatnya dibawah tingkatnya sendiri, maka tak mungkin dalam waktu setengah tahun saja gadis itu akan memiliki lweekang yang luar biasa.
Andaikata sudah sangat maju, kiranya pukulan tangan kiri takkan dapat menembus ilmu kebalnya yang disebut tiat-pouw-san (baju besi). Oleh karena mengandalkan ilmu weduk inilah maka Sun Sim San-lojin berani menerima pukulan In Hong dengan tenang, sebaliknya hud-tim (kebutan) di tangannya menotok ke arah uluhati In Hong!
“Blekk!” Tubuh Sun Sim San-lojin terlempar ke belakang dan tosu ini melepaskan hud-timnya, roboh dengan mata mendelik, maka pucat dan dari hidung serta mulutnya keluar darah! Ia telah menderita luka hebat sekali di dalam dadanya dan sukarlah ditolong lagi keselamatan nyawanya.
Tentu saja Cu Sim San-lojin dan Kim Sim San-lojin menjadi marah sekali. Sambil berseru keras mereka menyerang, bahkan beberapa orang tosu mulai mendekati In Hong hendak mengeroyok.
Melihat ini, In Hong mengamuk makin hebat. Ia tidak ingin membunuh lain orang kecuali tiga kakek yang pernah mengeroyok dan menewaskan gurunya itu. Pedangnya menyambar laksana kilat dan terdengar Cu Sim San-lojin menjerit.
Tadi pedang gadis itu menyambar menyerang leher. Kakek ini yang mengandalkan lweekangnya, cepat menyampok dengan ujung lengan baju dengan maksud membikin pedang terpental sehingga ia dapat membalas dengan serangan maut. Tidak tahunya, ujung lengan bajunya terbabat putus dan pedang itu terus menyerang lehernya. Biarpun ia sudah berusaha mengelak, sia-sia belaka, lehernya terbabat pedang dan kakek ini menggeletak dengan leher hampir putus!
Kini terdengar seruan-seruan disana-sini dan sebentar kemudian In Hong sudah dikeroyok oleh banyak tosu yang menjadi marah melihat gadis ini telah menewaskan dua orang tosu kepala. Akan tetapi menghadapi keroyokan ini, In Hong tidak menjadi keder, bahkan mengamuk makin hebat. Untuk kesekian kalinya, seorang tosu roboh dan akhirnya setelah mendesak terus, In Hong berhasil merobohkan Kim Sim San-lojin!
“Cukup! Hanya mereka bertiga inilah yang hendak kutewaskan, kalian tidak ada urusan denganku, harap mundur!” bentak In Hong sambil memutar pedang sedemikian rupa sehingga beberapa batang toya dan golok para pengeroyok terlempar.
Melihat kehebatan ini, para tosu ada yang merasa gentar dan terbukalah jalan bagi In Hong. Akan tetapi baru saja ia melompat dan hendak keluar dari pekarangan, tiba-tiba ia merasa sambaran angin dari kiri, dibarengi bentakan keras:
“Siluman betina, kau berani membunuh murid-muridku!”
In Hong cepat menangkis dengan pedangnya ke kiri.
“Traang……!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat panjang yang dipegang oleh seorang tosu tinggi besar yang bertangan putih.
150
,”Pek Ciang San-lojin, kau juga turut-turut?” In Hong membentak ketika mengenal kakek ini sebagai ketua dari Kun-lun-pay.
“Bocah keji, kau membunuh-bunuhi murid-muridku, apakah aku harus tinggal diam saja?”
“Kun-lun Sam-lojin tiga orang muridmu itu telah mengeroyok dan membunuh guruku, sekarang aku datang menewaskan mereka untuk membayar hutang, bukankah itu sudah adil dan perhitungan sudah habis? Kau mau apa?”
Pek Ciang San-lojin tertawa menyindir. “Iblis cilik seperti kau kalau tidak dibasmi, kelak hanya mengotorkan dunia. Kau lebih keji daripada Hek Moli,” kata Pek Ciang San-lojin dan begitu kata-kata ini ditutup, tongkatnya telah menyerang dengan cepat dan kuat sekali.
In Hong dengan mudah mengelak, akan tetapi tiba-tiba sebatang pedang menye-rangnya sebagai susulan penyerangan tongkat tadi. In Hong terkejut. Tak disangkanya bahwa ketua Kun-lun-pay ini benar-benar hebat ilmu silatnya. Entah kapan, tahu-tahu pedang pusaka yang terselip di punggung kakek itu kini telah berada di tangan kiri sehingga kakek ini memegang dua macam senjata, tongkat panjang di tangan kanan dan pedang pusaka di tangan kiri!
In Hong cepat menangkis serangan pedang lawan dan ia mendapat kenyataan bahwa tenaga lweekangnya yang ia dapat dari Bhutan Koay-jin, ternyata hanya cukup untuk mengimbangi tenaga kakek Kun-lun-pay ini. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan mainkan pedangnya dengan penuh perhatian.
Pertempuran kali ini seru sekali. Baiknya yang turun tangan menyerang In Hong adalah ketua Kun-lun sendiri sehingga semua tosu yang berada disitu tidak berani sembarangan turun tangan membantu. Hal ini akan dianggap meremehkan si ketua saja. Tanpa diminta, tak seorangpun tosu disitu berani bergerak membantu Pek Ciang San-lojin.
Akan tetapi, toh ada yang membantunya, yakni seorang kakek yang amat tua, bukan lain adalah Siang Te Lokay, susiok dari ketua Kun-lun-pay yang bekerja sebagai tukang sapu kelenteng! Tadinya, kakek ini tidak membantu, hanya datang menyeret sapunya dan melihat pertempuran itu, ia berseru kagum:
“Nona cilik, dalam waktu beberapa bulan saja kau sudah dapat memiliki lweekang seperti ini, benar-benar bikin lohu kagum sekali! Biarpun I-kin-keng dari Siauw-lim belum tentu lebih tinggi sumbernya daripada lweekangmu itu!”
Adapun Pek Ciang San-lojin yang sudah merasa penasaran dan juga kewalahan menghadapi kelihayan In Hong, ketika melihat kedatangan Siang Te Lokay, lalu berkata keras:
“Siang Te Susiok! Harap kau segera turun tangan dan robohkan siluman wanita ini.”
Siang Te Lokay mengerutkan keningnya dan bermain dengan sapunya.
“Aku…… aku tidak tega……” katanya kemudian.
“Susiok, ingat bahwa dahulu gadis ini telah kau lepaskan dan lihat, apa yang menjadi akibat dari perbuatan susiok itu. Ia kini datang dan selain membunuh tiga orang murid kami secara keji, ia masih menewaskan beberapa orang tosu lagi. Apakah kejahatan seperti ini masih harus diampunkan lagi?”
151
Siang Te Lokay menggeleng-geleng kepalanya yang botak lalu dengan apa boleh buat ia menoleh ke arah In Hong:
“Nona harap kau suka mengalah dan menyerah saja!”
Akan tetapi mana In Hong sudi menyerah?
“Aku datang membalas sakit hati guruku, untuk keperluan ini, aku sudah menyediakan nyawaku sebagai taruhan. Sekarang musuh-musuh besar guruku sudah tewas, dan aku tidak ingin mencari perkara lagi. Kalau kalian orang-orang Kun-lun-pay mau melepas aku pergi, aku selamanya takkan menginjakkan kaki disini lagi. Akan tetapi kalau kalian mau membunuh, cobalah, aku tidak takut.”
Pek Ciang San-lojin membentak marah dan kembali ia menyerang sambil menyuruh susioknya turun tangan. Siang Te Lokay meloloskan sebatang biting sapunya dan sekali tangannya bergerak, biting itu meluncur cepat melebihi anak panah dan tahu-tahu telah menyerang kaki In Hong!
Gadis ini tengah sibuk melayani Pek Ciang San-lojin sedangkan biting itu datangnya demikian cepat tidak terduga, maka begitu merasa ada angin menyambar ke arah kakinya, In Hong terkejut dan cepat menggerakkan kaki. Namun tongkat di tangan Pek Ciang San-lojin menyodok dadanya sehingga terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan kakinya turun kembali. Tak dapat dihindarkan lagi, biting itu menusuk pahanya.
In Hong sudah memiliki singkang yang tinggi, warisan dari Bhutan Koay-jin. Akan tetapi biarpun yang menyerang pahanya itu hanya sebatang biting kecil, namun pelemparnya adalah Siang Te Lokay, seorang tokoh besar yang tingkatnya sudah sejajar dengan ketua Siauw-lim-si dan Bhutan Koay-jin sendiri. Maka, biarpun tidak tepat menusuk paha, biting itu masih melukai kulit ketika menyeleweng karena hawa sinkang dari tubuh In Hong. Kulit dan sedikit daging paha terluka. Baiknya biting itu kecil saja sehingga pakaian yang menutup paha tidak robek, hanya berlubang sedikit.
Namun rasa perih pada pahanya membuat In Hong terpecah perhatiannya, sehingga ilmu silatnya tidak begitu kuat lagi menjaga dirinya. Padahal, pada saat itu, Siang Te Lokay sudah ikut menyerbu dan menyerangnya dengan sapunya yang lihay! Didesak oleh dua orang pandai ini, mau tidak mau In Hong sibuk juga. Yang membikin ia sibuk sekali adalah sapu di tangan Siang Te Lokay.
Memang, cara penyerangan kakek tua ini berbeda sekali dengan cara penyerangan Pek Ciang San-lojin. Kalau sepasang senjata di tangan ketua Kun-lun-pay ini, yakni tongkat dan pedang, selalu mengarah bagian tubuh yang berbahaya dan kedua senjata ini digerakkan dalam penyerangan yang sifatnya membunuh.
Menghadapi gadis yang gagah itu, Pek Ciang San-lojin tidak mau berlaku sungkan lagi, apapula kalau ia ingat bahwa murid-muridnya telah tewas dalam tangan In Hong. Ia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan tangan maut.
Sebaliknya, penyerangan dari Siang Te Lokay sama sekali tidak mengandung maksud membunuh, hanya ingin membikin gadis itu tidak berdaya saja. Oleh karena ini sapunya hanya menyerang ke arah jalan darah yang melumpuhkan, atau menyapu kaki, menyerang pergelangan tangan dan lain-lain. Justeru inilah yang membikin In Hong bingung dan terdesak.
152
Penyerangan Pek Ciang San-lojin dapat ia layani dengan cara keras sama keras, sebaliknya penyerangan kakek tua itu benar-benar membikin ia gemas sekali. Kalau ia perhatikan, maka bahaya yang datang dari Pek Ciang San-lojin menjadi lebih besar, sebaliknya kalau ia tidak ambil perduli, serangan-serangan dari kakek tukang sapu ini sekali mengenai sasaran, ia akan jatuh dan tidak berdaya lagi.
Karena terdesak terus, akhirnya pundak kiri In Hong terkena sambaran ujung tongkat Pek-Ciang San-lojin. Gadis ini menggigit bibirnya dan menahan rasa sakit. Sambungan tulang pundak kirinya terlepas dan tangan kirinya menjadi lumpuh tak dapat digunakan lagi!
Pada saat itu, sapu yang lihay dari Siang Te Lokay menyerampang kakinya. In Hong mengeluh dan tubuhnya terguling, cepat menggunakan gerak tipu Teringgiling-turun-gunung. Tubuhnya masih tetap bergulingan dan pedangnya ia siapkan. Ia ingin menggulingkan diri sampai jauh kemudian melarikan diri.
Akan tetap, biarpun Siang Te Lokay hanya tertawa dan tidak mau mengejarnya, tidak demikian dengan Pek Ciang San-lojin. Ketua Kun-lun-pay ini tahu akan maksud gadis itu, maka tentu saja ia tidak mau membiarkan In Hong melarikan diri.
“Siluman betina, hendak lari kemana kau?” serunya dan tubuhnya yang tinggi besar itu melayang, mengejar In Hong yang masih bergulingan. Dengan sekuat tenaga, ketua Kun-lun-pay ini menggerakkan tongkat memukul ke arah kepala In Hong.
Gadis ini cepat menggerakkan tubuh mengelak dan batu kecil yang berada di atas tanah terpukul hancur oleh kepala tongkat! In Hong sudah melompat berdiri akan tetapi ia roboh lagi ketika kaki Pek Ciang San-lojin menyambar lututnya.
Pek Ciang San-lojin mengangkat lagi tongkatnya untuk mengirim pukulan terakhir ke arah kepala In Hong, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan seorang laki-laki bertubuh gagah berseru keras sambil mengangkat tangan mencegah:
“Tak semestinya ketua Kun-lun membunuh aeorang gadis muda!”
Pek Ciang San-lojin memandang. Ia melihat seorang laki-laki tinggi besar beralis tebal yang memandang kepadanya dengan mata bernyala. Sampai beberapa lama ia tidak mengenal laki-laki ini, maka ia menjadi marah.
“Kau tahu apa tentang urusan kami? Hayo pergi!” Dengan mengucapkan kata-kata ini, Pek Ciang San-lojin mendorongkan tongkatnya ke arah orang itu. Akan tetapi, orang itu tidak mau pergi, bahkan dengan tangannya ia menolak tongkat yang didorongkan ke arah dadanya.
Pek Ciang San-lojin kaget sekali. Tenaga yang keluar dari tolakan tangan itu benar-benar hebat. Mengertilah ia bahwa yang datang ini bukan orang sembarangan.
“Hm, kau membela siluman ini? Tentu kau konconya dan kau seorang jahat pula! Robohlah.” Tongkat itu menyerang dengan hebatnya.
Mengerti bahwa tongkat lawan ini tak boleh dibuat main-main, orang itu melompat ke belakang dengan cepat, tidak berani menangkis.
153
Pek Ciang San-lojin melihat orang itu mengelak sambil melompat mundur, mengeluarkan suara ketawa mengejek dan secepat kilat tongkatnya diayun lagi, akan tetapi bukan untuk menyerang orang itu, melainkan unuk menghantam kepala In Hong yang sudah duduk!
“Celaka……! Jangan ganggu kekasihku……!” Orang itu menjerit dan menubruk ke depan, membiarkan tubuhnya yang mewakili In Hong menerima pukulan tongkat itu.
“Bluk! Tubuh orang itu terlempar dan menubruk In Hong. Orang itu merintih perlahan akan tetapi ia masih dapat memeluk tubuh In Hong dan memondongnya! In Hong tadi terkena tendang lututnya, maka gadis ini tidak bisa berjalan. Sekarang, melihat laki-laki itu terpukul hebat oleh tongkat unbuk mewakili dirinya kemudian laki-laki yang sudah terluka hebat ini masih memondongnya, In Hong berkata lirih:
“Bu Jin Ay…… kau baik sekali…….”
Orang itu memang Bu Jin Ay. Kalau tadinya ia merintih dan bibirnya gemetar menahan sakit, kini ia memandang kepada In Hong, matanya bersinar, wajahnya berseri dan bibirnya gemetar. “Aku akan membelamu, melindungimu, aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanmu, kekasihku…… isteriku manis……”
Melihat adegan aneh ini, Pek Ciang San-lojin ragu-ragu, mengerutkan kening dan juga merasa jemu sekali.
,”Kalian sepasang manusia iblis, bersiaplah untuk mampus!” serunya marah. Tongkatnya melayang pula, siap untuk menghancurkan kepala Bu Jin Ay dan In Hong.
“Plak!” Tongkat itu bertemu dengan gagang sapu yang dilontarkan oleh Siang Te Lokay.
“Susiok, mengapa kau mencegah teecu membunuh dua siluman ini……?” tanya ketua Kun-lun-pay dengan marah.
Siang Te Lokay menghampiri mereka dan memandang kepada Bu Jin Ay.
“Pek Ciang, ketahuilah, orang ini adalah murid dari mendiang Bu Sek Tianglo. Tak baik kalau kita mengganggunya.”
Pek Ciang San-lojin kaget mendengar ini.
“Ahh…… apakah dia murid Tianglo yang dulu amat terkenal dan she-nya Ong……?”
Sementara itu, dengan terhuyung-huyung dan mulut bicara mesra, menghibur In Hong dan berjanji hendak mengobati luka-lukanya, Bu Jin Ay meninggalkan tempat itu. Orang ini sebetulnya sudah terluka hebat. Pukulan tongkat dari Pek Ciang San-lojin yang ditujukan ke arah kepala In Hong dan ia wakili tadi, tepat mengenai punggungnya dan telah mematahkan dua buah tulang iganya.
Namun, Bu Jin Ay ini memang seorang yang luar biasa kuatnya. Ia tidak mem-perlihatkan rasa sakit dan tidak memperdulikan dirinya sendiri bahkan ia masih dapat memondong tubuh In Hong dan membawanya pergi dari kelenteng Kun-lun-pay.
154
Baiknya Siang Te Lokay mengenalnya dan memperingatkan Pek Ciang San-lojin, kalau tidak apabila pihak Kun-lun-pay mengejar dan menyerang terus, pasti Bu Jin Ay dan In Hong takkan dapat melawan dan menyelamatkan diri lagi.
“Put Hauw Li, bidadariku jangan kau susah, aku akan merawatmu sampai sembuh……” Bu Jin Ay menghibur In Hong yang merasa terharu sekali.
Orang gagah yang bernama Bu Jin Ay ini telah menyelamatkan nyawanya, bahkan telah mempertaruhkan nyawa sendiri untuk melindunginya dari bahaya maut. Di dalam pondongan orang gagah ini ia merasa demikian aman dan senang. Belum pernah In Hong mendapat perasaan aneh seperti ini, perasaan bahagia bahwa ada orang yang menyintainya, orang yang membelanya mati-matian.
Biarpun Bu Jin Ay bersikap seperti orang yang tidak beres otaknya, namun In Hong dapat menduga bahwa orang ini bersikap aneh seperti itu karena telah menderita kesedihan besar. Beberapa kali Bu Jin Ay menyebutnya “Isterinya atau kekasihnya,” mengapa demikian? Apakah barangkali Bu Jin Ay telah kehilangan isterinya?
“Bu Jin Ay, punggungmu terluka, mungkin tulang igamu patah,” kata In Hong terharu sekali ketika dalam pondongan, tidak terasa tangannya kena meraba punggung orang gagah itu.
“Tidak apa, hanya dua tulang iga patah, masih cukup murah untuk menebus nyawamu dari tongkat Si tangan putih yang ganas itu,” jawab Bu Jin Ay sambil tersenyum. “Bagiku, yang terpenting adalah keselamatanmu. Aku sendiri, ah, aku orang apa? Hanya nyawa lebihan, hanya manusia yang dibenci sana sini, tidak ada orang yang sayang kepadaku.” Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Bu Jin Ay mengerutkan kening dan sinar matanya nampak berduka sekali.
,.Bu Jin Ay, orang sedunia boleh membencimu, akan tetapi percayalah, aku Put Hauw Li tidak akan membencimu selama hidupku.”
“Betulkah? Dan kau…… kau suka kepadaku?”
“Tentu saja. Kau satu-satunya orang di dunia ini yang baik menurut pandanganku, mengapa aku takkan suka?”
“Bagus! Put Hauw Li, marilah kita berdua pergi jauh, pergi meninggalkan semua keributan ini, pergi meninggalkan kebencian dan permusuhan, kita pergi keluar dunia ramai, hidup berbahagia sebagai sepasang suami isteri untuk selamanya!”
In Hong terkejut sekali sehingga ia tersentak kaget. Belum pernah ia berpikir tentang suami isteri dan kata-kata ini benar-benar mengejutkan hatinya.
“Hush jangan omong tidak karuan!” tegurnya dan tak terasa tangannya menepuk punggung Bu Jin Ay.
“Aduuh……! Bu Jin Ay terhuyung-huyung akan tetapi tetap ia memondong tubuh In Hong dan menahan rasa sakit sampai keringat membasahi jidatnya.
155
“Ah, maafkan aku, Bu Jin Ay. Aku tidak sengaja…… Mari kita mencari tempat yang teduh agar kita bisa saling mengobati. Aku membutuhkan perawatanmu, akan tetapi sebaliknya kaupun perlu dengan perawatanku''.
“Ada sebuah tempat baik di kaki gunung ini, aku akan membawamu kesana. Kau…… kau tidak marah lagi?”
Muka In Hong menjadi merah sekali, entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi ia merasa jengah dan malu terhadap orang gagah ini, akan tetapi juga ada sesuatu yang amat mesra terasa di dalam hatinya. Sudah gilakah aku?
Demikian In Hong bertanya kepada diri sendiri karena ia dapat menduga bahwa hatinya tertarik serta suka kepada orang ini. Ia merasa begitu aman dan betah dalam pondongan Bu Jin Ay, merasa disayang sekali, merasa berbahagia dapat bersama-sama dengan orang ini!
“Tidak, Bu Jin Ay, aku tidak marah. Akan tetapi kau jangan bicara yang bukan-bukan lagi.”
Mendengar ucapan ini, Bu Jin Ay tersenyum-senyum dan wajahnya yang gagah itu berseri gembira. Ia seperti mendapat kekuatan baru dan setengah berlari ia turun dari gunung itu, menuju ke sebuah gua besar yang berada di kaki gunung.
Ia pernah tinggal digua ini, bahkan ia telah membersihkannya dan disitu ia telah menaruh meja kursi dan pembaringan buatan sendiri, beberapa tahun yang lalu.
Belum lama Bu Jin Ay dan In Hong meningalkan puncak Kun-lun-san, seorang pemuda yang cepat larinya datang di kelenteng Kun-lun-pay. Pemuda ini berwajah tampan, bertubuh tinggi agak kurus dan di punggungnya terselip sebatang pedang. Dia ini bukan lain adalah Ong Teng San, murid termuda dan tersayang dari Siauw-lim-pay.
Ia menjalankan perintah suhunya untuk turun gunung dan mengamat-amati sepak terjang In Hong murid mendiang Bhutan Koay-jin yang telah memiliki kepandaian tinggi. Tadinya pemuda ini turun gunung bersama adiknya, Ong Lian Hong. Akan tetapi ia menyuruh adiknya itu pulang ke rumah orangtuanya.
“Lian Hong, kau tentu tahu sendiri bahwa In Hong adalah puteri dari ibu yang dahulu hilang. Dia tentu berusaha hendak mencari ibu, juga berusaha hendak membalas dendam atas kematian ayahnya yang terbunuh oleh ayah kita. Oleh karena itu, kita harus berpisah. Biar aku yang menjalankan perintah suhu dan mengamat-amatinya agar ia jangan menimbulkan kekacauan seperti yang diperbuat oleh mendiang Hek Moli dan suaminya. Adapun kau harus pulang ke rumah, mencari tahu tentang ayah dan ibu yang sudah amat lama kita tinggalkan. Kemudian kau harus menjaga keselamatan ibu di rumah. Kasihan ibu kita……”
“Baik, koko,” kata Lian Hong.
Diam-diam gadis ini merasa terharu sekali dan memuji hati pemuda yang budiman ini. Biarpun ibu Lian Hong bukan ibu Teng San, namun pemuda ini amat kasih kepada ibu tirinya, bahkan dalam urusan dengan ayahnya, Teng San membela ibu tirinya.
156
Demikianlah, Lian Hong menuju ke kampung tempat tinggal orangtuanya, sedangkan Teng San melanjutkan perjalanan ke Kun-lun-san.
Pemuda ini dapat menduga bahwa setelah kini memiliki kepandaian tinggi, In Hong pasti akan mengunjungi Kun-lun-pay untuk membalas dendam atas kema-tian Hek Moli. Bukankah dahulu gadis itu datang ke Siauw-lim-pay mencuri kitab dengan maksud untuk dipelajari dan kelak dipergunakan melawan Kun-lun-pay? Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengarahkan perjalanannya ke Kun-lun-san.
Seperti juga In Hong, pemuda ini berlari cepat dan tidak pernah menunda perjalanannya. Akan tetapi oleh karena In Hong telah berangkat sehari dimuka, tetap saja Teng San datang terlambat. Ia tiba dikelenteng Kun-lun-pay setelah In Hong dipondong dan dibawa pergi oleh Bu Jin Ay.
Kedatangannya disambut oleh seorang tosu penjaga. Di ruang tengah terdapat beberapa buah peti mati, hio mengebul dan banyak tosu bersembahyang dan berdoa. Hati Teng San berdebar tak enak.
“Totiang, siapakah yang meninggal dunia dan mengapa sekaligus begitu banyak yang meninggal? Ada terjadi apakah?”
Setelah tosu itu mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pay, ia tidak menaruh hati curiga dan berkata:
“Ah, baru saja tempat kami diserbu oleh iblis-iblis jahat.”
Teng San makin gelisah. “Totiang, terus terang saja akupun mendapat tugas dari suhu Bu Kek Tianglo untuk mengamat-amati sepak terjang seorang nona……”
“Ah! Kau terlambat. Dia itulah yang datang menyebar maut. Bukankah yang kau maksudkan itu nona murid Hek Moli?”
“Betul, totiang. Apa yang ia lakukan? Dan dimana ia sekarang?”
Teng San kini menjadi agak pucat. Ia menyesal sekali bahwa kedatangannya terlambat. Anehnya dalam mengajukan pertanyaan ini, yang terutama sekali teringat olehnya adalah keadaan In Hong! Ia mengkhawatirkan kalau-kalau gadis itu mengalami kecelakaan.
“Siluman betina itu datang dan mengamuk, menewaskan Kun-lun Sam-lojin dan beberapa orang saudara lain. Kemudian, setelah ketua kami keluar dibantu oleh Siang Te Locianpwe, barulah ia dapat dikalahkan dan terluka. Tentu bocah siluman itu akan dibasmi oleh ketua kami kalau saja pada saat itu tidak datang pertolongan seorang aneh.”
“Ditolong orang? Siapa yang menolong dan bagaimana kesudahannya, totiang?” tanya Teng San dan hatinya makin berdebar. Tadinya ia merasa khawatir dan gelisah bukan main, akan tetapi sekarang agak terhibur mendengar bahwa In Hong tertolong orang aneh.
“Agaknya antara siluman betina itu dan penolongnya memang sudah ada hubungan. Memang aneh sekali. Laki-laki itu biarpun gagah dan tampan, patut menjadi ayahnya, akan tetapi dasar wanita siluman. Kami sampai menjadi malu melihat sikap mereka yang saling mengutarakan cinta kasih. Benar-benar kurangajar!”
157
Hati Teng San terpukul mendengar ucapan ini. Ingin ia menggaplok muka tosu yang menghina dan memburukkan nama In Hong, akan tetapi Teng San masih dapat bersabar, apalagi ia masih menghendaki penjelasan.
“Apa yang dilakukan oleh penolongnya itu dan kemana mereka sekarang, totiang?”
“Laki-laki penolongnya itu merampas nona tadi dari ancaman tongkat ketua kami, lalu membawanya lari turun gunung. Setelah mereka pergi baru kami ketahui dari Siang Te Locianpwe bahwa laki-laki itu bukanlah orang sembarangan. Biarpun kelihatannya seperti orang yang berotak miring, akan tetapi tidak tahunya dia adalah murid dari Bu Sek Tianglo dan shenya Ong……”
Tiba-tiba tosu itu membelalakkan matanya dan hampir menjerit karena pundaknya dipegang dengan eratnya oleh jari tangan Teng San, hampir remuk rasanya.
“Lekas katakan, ke jurusan mana mereka pergi!” kini suara Teng San terdengar penuh ancaman, mukanya pucat sekali.
Tosu itu hanya menudingkan telunjuknya ke arah bawah gunung.
Teng San melepaskan cenkeramannya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat ke jurusan itu. Bagaikan terbang cepatnya Teng San turun gunung untuk mengejar In Hong. Hatinya tidak karuan rasanya.
Mungkinkah? Mungkinkah In Hong bersama ayahnya? Tak salah lagi bahwa orang yang dimaksudkan oleh tosu tadi adalah ayahnya. Siapa lagi murid Bu Sek Tianglo she Ong kalau bukan Ong Tiang Houw ayahnya?
Akan tetapi, mana mungkin ayahnya bersama-sama dengan In Hong dan lebih tak mungkin lagi antara mereka ada perhubungan seperti yang dikatakan oleh tosu tadi! Sama sekali tak masuk akal.
Ayahnya adalah musuh-besar In Hong, orang yang telah membunuh ayah gadis itu, bahkan setelah membunuh ayahnya, lalu merampas dan mengawini ibunya! Kalau In Hong bertemu dengan ayahnya, tentu gadis itu akan membunuhnya, akan mencincang hancur tubuh ayahnya.
Ia dapat mengerti betapa sakit hati gadis itu kepada ayahnya yang telah membunuh ayah dan merampas ibu gadis itu. Bagaimana sekarang ia mendengar dari tosu Kun-lun-pay bahwa ayahnya menolong In Hong dan bahwa di antara mereka terdapat perhubungan yang memalukan?
“Tak mungkin!” Teng San berseru keras untuk menyangkal semua tuduhan yang menyakitkan hatinya itu. Ia memang tidak puas akan perbuatan ayahnya yang telah membunuh Kwee Seng kemudian mengambil isterinya, perbuatan ini dianggapnya rendah sekali.
Akan tetapi kini memikat hati In Hong, puteri dari Kwee Seng? Benar-benar ia anggap keterlaluan dan betapapun juga hatinya tidak rela mengaku bahwa ayahnya sampai hati melakukan perbuatan macam itu.
Setelah mencari dengan penuh perhatian, akhirnya Teng San melihat jejak kaki ditanah yang agak lembek di kaki gunung Kun-lun. Jejak kaki ini menunjukkan bahwa belum lama di tempat itu berjalan seorang yang membawa barang berat.
158
Ia lalu mengikuti jejak kaki itu dan sampailah ia dimulut sebuah gua yang besar dan gelap, karena ditutup oleh cabang dan ranting pohon dari sebelah dalam. Agaknya ada orang memasuki gua itu dan menutup mulut gua dengan cabang pohon untuk mencegah gangguan binatang buas.
Teng San ragu-ragu. Ia hendak membuka cabang-cabang pohon itu akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara:
“Bu Jin Ay, tulang igamu sudah tersambung baik, akan tetapi kau masih harus banyak mengaso.”
Inilah suara In Hong! Teng San masih kenal suara gadis ini.
Hatinya berdebar dan ia makin ragu-ragu. Terang bahwa orang yang diajak bicara oleh In Hong itu bukan ayahnya, karena dipanggil Bu Jin Ay, nama yang aneh dan asing baginya.
Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki tertawa perlahan.
Jantung Teng San seakan-akan berhenti berdetik karena tegang dan ragu. Ia menahan napas untuk mendengar dan mengenal suara orang yang tertawa itu.
“Kau bidadari berhati mulia, pundakmu sendiri terlepas sambungannya dan lututmu juga terluka, akan tetapi kau selalu memperhatikan keadaanku. Eh, bidadariku, apakah sengaja Thian menyuruhmu turun ke bumi untuk mengawani aku orang yang dibenci sesamanya?”
Itulah suara Ong Tiang Houw, ayahnya! Hal inipun tidak diragukan lagi oleh Teng San. Tak terasa pula pemuda ini jatuh bersimpuh di atas tanah. Kedua kakinya terasa lemas dan mukanya pucat seperti mayat. Akan tetapi ia masih mendengar suara mereka bercakap-cakap:
“Bu Jin Ay, kau sudah menolong nyawaku, bukan aku yang baik, melainkan kaulah orang terbaik dan termulia di dunia ini. Yang lain-lain itu palsu belaka. Aku sebatangkara, kau seorang-diri, nasib kita sama, selalu bertemu musuh dan selalu sengsara. Aku senang sekali dapat bertemu denganmu, Bu Jin Ay.”
Suara ini mengandung kemesraan yang mengharukan, karena begitu jujur dan setulusnya.
Kembali laki-laki itu tertawa. “Memang kita sudah berjodoh agaknya…… heran sekali aku, kau serupa benar dengan dia……”
“Bu Jin Ay, kau mulai mengaco lagi. Selalu kau sebut-sebut aku sama dengan orang lain. Aku tidak perdulikan orang lain!”
“Ha, kau cemburu?”
“Cih! Siapa perduli? Sudahlah, kau harus tidur, keadaanmu lemah sekali,” terdengar suara In Hong membujuk.
Teng San tak dapat menahan lagi gelora hatinya. Ia merasa jemu, malu, marah, menyesal, kecewa dan penasaran sekali. Pendeknya semua perasaan tidak enak berkumpul di dalam hatinya, membuat ia menjadi pucat.
159
Bagaikan seorang gila ia mencabut pedangnya dan sekali ia bergerak, cabang-cabang pohon itu terlempar ke kanan kiri dan terbukalah mulut gua. Dengan sepasang mata liar seperti harimau luka ia memandang ke dalam gua dan pemandangan yang terlihat olehnya merupakan minyak pembakar disiramkan pada api yang sedang bernyala.
In Hong namnak duduk bersandar dinding gua, tangannya mengusap kepala seorang laki-laki yang rebah di lantai gua dan yang menaruh kepalanya di atas pangkuan gadis itu. Laki-laki yang rebah telentang dengan mata meram itu bukan lain adalah ayahnya! Bermacam-macam pikiran terbayang dalam kepala Teng San, terutama sekali pikiran tentang keburukan perbuatan ayahnya.
Ayahnya telah mengepalai perampok-rampok liar untuk merampok dan membunuh-bunuhi orang hartawan dan bangsawan tanpa memilih bulu, sehingga dalam keganasan itu ayahnya telah membunuh seorang hartawan she Kwee yang terkenal budiman dan dermawan. Kemudian, setelah membunuh Kwee Seng, ayahnya ini mengambil nyonya Kwee menjadi isterinya, tentu dengan bujukan karena kalau tidak demikian, bagaimana Nyonya Kwee tidak tahu bahwa Tiang Houw itu pembunuh suaminya?
Dua perbuatan yang jahat itu dikotori pula dengan penyimpanan rahasia pembunuhan itu, sifat yang amat pengecut dan rendah dalam pandangan Teng San.
Kemudian, kini ayahnya itu bahkan main gila dan memikat anak perempuan dari Kwee Seng, atau anak tirinya sendiri! Tentu dengan maksud agar supaya nona ini jangan membunuhnya, jangan membalaskan sakit hati Kwee Seng karena ayahnya juga tahu bahwa In Hong telah memiliki kepandaian tinggi?
Alangkah palsu dan jahatnya ayahnya!
Dengan pikiran ini memuncak di dalam hati dan kepalanya dan membuat Teng San mata gelap, pemuda ini tidak perdulikan lagi pandang mata In Hong yang terbelalak heran melihat pemuda itu telah berada disitu.
In Hong tidak menyangka buruk, maka ia tidak berdaya ketika sambil berteriak mengerikan seperti orang menjerit atau menangis, Teng San menubruk maju dan dilain saat, ujung pedangnya telah amblas ke dalam uluhati Ong Tiang Houw!
Ong Tiang Houw tersentak dan tubuhnya terlempar ketika dengan jeritan marah In Hong melompat berdiri. Tiang Houw membuka mata dan melihat Teng San yang memegang sebatang pedang berlumur darah, ia tersenyum dan berkata perlahan:
“Teng San…… anakku……”
In Hong tidak memperhatikan lain hal. Melihat bahwa Teng San telah membunuh Bu Jin Ay, ia berseru keras:
“Jahanam keji, rasakan pembalasanku!” Ia menerjang dengan pedangnya, tidak perduli akan lutut kakinya yang masih sakit, juga rasa nyeri pada pundak tidak dihiraukannya lagi.
160
Teng San setelah menusuk uluhati ayahnya dan mendengar kata-kata ayahnya tadi, seketika menjadi lemas. Airmatanya mengucur dan ia tidak kuat lagi melihat ayahnya yang sedang menghadapi maut. Maka ia lalu melompat keluar dari gua pada saat pedang In Hong menyerangnya.
“Jahanam keparat, jangan lari!”
In Hong mengejar keluar gua. Di luar gua ia melihat Teng San berdiri dengan muka pucat sekali. Pedang yang masih berlumur darah itu biarpun dipegangnya, akan tetapi tergantung ke bawah dan pemuda itu menundukkan mukanya.
“Keparat, kau datang-datang membunuh orang tak berdosa! Tidak malukah kau murid Siauw-lim-si melakukan perbuatan serendah ini?”
Teng San mengangkat mukanya, memandang kepada In Hong dengan sepasang mata basah. Ia merasa kasihan sekali kepada gadis ini, akan tetapi juga menyesal. Mengapa orang gadis muda secantik dan sepandai ini, sampai mudah terpikat oleh ayahnya?
Kalau tidak terjadi hal demikian, tentu ia takkan membunuh ayah sendiri, dan mungkin sekali dapat dicari jalan damai dan baik untuk membereskan urusan sakit hati yang ruwet ini. Kini keadaan sudah terlanjur, ia sudah membunuh ayah sendiri dengan tangannya. Ia tidak perduli lagi!
“Aku membunuh dia, kau mau apakah?”
“Keparat!” In Hong mengayun tangan kiri, menyebar toat-beng hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa), disusul oleh tusukan pedangnya ke arah lambung Teng San.
“Cepp……!!”
Pedangnya menembus lambung pemuda itu dan pasir hitamnya juga mengenai sasaran dengan tepat. Semua serangannya tadi ternyata tidak ditangkis maupun dielakkan sama sekali oleh Teng San.
In Hong berdiri dengan mata terbuka lebar saking heran dan ngerinya. Ia memandang pemuda itu yang terhuyung lalu jatuh terduduk. Darah membanjir dari perutnya, akan tetapi pemuda itu masih dapat memandangnya dengan mulut dipaksa tersenyum sehingga mendatangkan penglihatan yang amat menyeramkan.
“Teng San, kau kenapakah? Mengapa kau sengaja menerima seranganku?” tanya In Hong sambil berlutut di depan pemuda itu.
Pemuda itu hanya tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya perlahan.
“Teng San, mengapa kau membunuh Bu Jin Ay? Mengapa?” In Hong mulai menyesal melihat keadaan pemuda ini dan ia bingung sekali.
Teng San menggerakkan bibirnya yang gemetar. Kata lirih keluar dari mulutnya: “Dia…… dia adalah ayahku…… dia harus mati…… dia harus mati……”
“Mengapa? Apa dosanya? Teng San, mengapa kau membunuh ayahmu sendiri?”
161
Teng San hanya menggeleng kepalanya, wajahnya mulai memucat dan nampaknya berduka sekali.
“Dan mengapa kau membiarkan aku membunuhmu? Kalau kau melawan, aku takkan dapat menang!”
Kembali Teng San mengerahkan tenaga dan berkata lirih: “Aku…… menebus dosa ayah…… juga menerima hukuman…… karena telah membunuh ayah sendiri…… In Hong…… kalau kau mau tahu…… kau pergilah ke dusun Hok-te-chung…… sebelah barat kota…… Im-goan-kan, disana…… disana kau carilah ibumu……”
Tiba-tiba tubuh Teng San lemas dan ia takkan mempertahankan diri lagi, roboh terguling.
“Teng San, kau bilang ibuku……??”
Akan tetapi pemuda itu tak dapat menjawab lagi karena nyawanya telah meninggalkan tubuhnya. In Hong melompat ke dalam gua untuk menghampiri Bu Jin Ay atau Ong Tiang Houw, akan tetapi yang dihampiri juga telah menjadi mayat!
Ayah dan anak keduanya telah tewas dan darah mereka membanjiri tanah di dalam dan di luar gua. Sungguh mengerikan dan menyedihkan.
In Hong yang kebingungan itu menangis. Kemudian ia dapat menekan perasaan hatinya dan digalinyalah lubang di dalam gua, sebuah lubang yang cukup lebar untuk mengubur dua mayat. Sampai sore ia bekerja dan akhirnya ia dapat mengubur mayat ayah dan anak itu ke dalam lubang. Pada malam harinya, ia menangis di atas timbunan tanah di dalam gua!
“Lian Hong, anakku, terima kasih kau mau pulang dan kembali kepada ibumu. Baiknya kau lekas datang, nak, kalau tidak, kiranya ibumu takkan tahan lebih lama hidup menderita seperti ini……”
Cui Hwa atau ibu Lian Hong mendekap kepala putrinya yang berlutut dan memeluk ibunya.
Lian Hong terharu sekali. Ibunya telah kelihatan tua dan lemah, wajahnya pucat dan rambutnya kusut. Padahal ia ingat bahwa ibunya adalah seorang wanita yang amat cantik, seperti In Hong yang ia lihat belum lama ini.
“Ibu, dimana…… ayah?”
Cui Hwa menarik napas panjang, lalu membetot anaknya supaya duduk di sampingnya. Untuk beberapa lama ia memandang wajah Lian Hong dan kelihatan puas melihat puterinya sehat-sehat saja.
“Ayahmu telah pergi beberapa hari setelah kau dan kakakmu pergi, sampai sekarang belum pernah pulang. Ah, ya, dimana adanya Teng San? Mengapa ia tidak turut pulang?”
Dua orang wanita ini lalu menceritakan pengalaman masing-masing. Cui Hwa mendengarkan penuturan puterinya tentang kedua anak ini yang belajar ilmu silat di Siauw-lim-pay, dan hatinya girang sekali karena mendengar bahwa Teng San juga sudah memiliki ilmu silat yang tinggi.
“Ibu, aku membawa kabar yang tentu amat menyenangkan hati ibu.”
162
Ibunya menoleh dan melihat wajah ibunya yang kurus pucat serta matanya yang sayu seakan-akan telah dekat mati dari pada hidup, Lian Hong tidak tega untuk menyimpan rahasia itu lebih lama lagi. Ia memeluk ibunya dan berkata:
“Ibu, aku telah bertemu dengan enci In Hong……”
Di dalam pelukan ibunya, Lian Hong merasa betapa kedua tangan ibunya gemetar dan jantung di dalam dada itu berdetak-detak keras.
“In Hong……? Dimana dia? In Hong…… aah……!” Dan nyonya ini lalu menangis tersedu-sedu sambil mendekap kepala Lian Hong.
Lian Hong sudah besar dan sudah cukup mengerti apa yang mengganggu hati ibunya. Tentu ibunya ingat akan keadaannya yang benar-benar membingungkan itu. Tentu ibunya bingung, bagaimana kalau In Hong tahu bahwa pembunuh Kwee Seng adalah ayah Lian Hong?
“Harap tenangkan pikiran, ibu. Mudah-mudahan saja semua urusan ini akan berakhir dengan baik. Sekarang Teng San-ko sedang mengikuti perjalanan enci In Hong secara diam-diam, dan aku disuruhnya pulang untuk menemui ibu disini. Percayalah, tak lama lagi San-ko tentu pulang dan mudah-mudahan saja ia datang membawa enci In Hong.”
Karena banyak mendapat hiburan dari Liang Hong, Cui Hwa mulai timbul harapannya. Matahari kini bersinar pula setelah ia berada di dekat puterinya.
Tadinya keadaan nyonya ini memang menyedihkan. Ia lebih banyak berbaring menderita sakit daripada sehat. Barang-barang di rumah sudah mulai menipis, dijual untuk keperluan sehari-hari. Can Ma sudah meninggal karena usia tua, maka Cui Hwa hanya hidup bersama seorang pelayan wanita lain. Hidup kesepian dan hampir putus harapan.
Kedatangan Lian Hong merupakan obat penawar yang mustajab dan mulailah terlihat senyum di wajah Cui Hwa. Mulailah ia membereskan rambut dan pakaian.
Beberapa pekan kemudian, ketika Lian Hong dan ibunya tengah duduk bercakap-cakap di ruangan depan, mereka mendengar suara orang berjalan masuk di pekarangan. Mereka menengok dan terlihatlah seorang gadis berpakaian kusut wajah dan rambutnya juga kusut tidak terpelihara, bahkan ada bekas-bekas air mata dikedua pipinya, kelihatan sedih dan bingung. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
“Enci In Hong……!” Lian Hong melompat turun dari bangkunya dan menyambut kedatangan gadis itu.
In Hong tidak merasa heran melihat Lian Hong berada disitu, bahkan ia hanya memandang sejenak kepada gadis muda ini, selanjutnya matanya memandang kepada Cui Hwa yang juga sudah berdiri dari bangkunya dan kini memandang kepada In Hong dengan wajah pucat dan kedua mata mengucurkan airmata yang turun bertitik dikedua pipinya.
163
“In Hong…… benar-benar kaukah ini, anakku……?” kata Cui Hwa dengan suara merintih dan nyonya ini melompat ke depan, menubruk In Hong dan ia tentu akan roboh kalau In Hong tidak cepat-cepat menyambut dan memeluknya.
“Ya Thian Yang Mahakuasa, terima kasih…… kau benar-benar In Hong!”
Cui Hwa dengan airmata bercucuran menangis dan tertawa seperti orang gila, sambil memegang kepala anaknya dengan kedua tangan, menciumi dan me-nimang-nimang kepala itu.
“Ibu, mengapa ibu bisa berada disini?”
“Mengapa? Apa maksudmu, In Hong?”
In Hong menoleh ke arah Lian Hong. “Bagaimana ibu bisa disini bersama dia?”
Cui Hwa tersenyum di antara tangisnya. “Aah, benar! Kau belum tahu kiranya. Dia ini adalah Lian Hong, adikmu!”
In Hong merasa betapa dadanya berdetak keras. “Ibu, bukankah dia ini adik dari Ong Teng San?”
“Benar, Teng San itu adalah kakakmu sendiri……”
Cui Hwa mulai mendapat firasat tidak enak.
In Hong merenggut diri dan melepaskan pelukan ibunya. Ia melangkah mundur tiga tindak dan menatap wajah ibunya dengan penuh ketegangan. Diam-diam Lian Hong sudah menyiapkan diri untuk turun tangan kalau gadis aneh yang berwatak keras itu hendak mengganggu ibunya.
“Ibu, apakah artinya semua ini? Anak telah bertemu dengan Yo-supek, diberitahu bahwa ayah telah tewas dalam tangan penjahat dan ibu telah hilang, juga Can Ma telah lenyap secara aneh. Bagaimana tahu-tahu ibu sudah berada disini dan adik ini……, bagaimana pula ibu dapat berkata bahwa Ong Teng San adalah kakakku?”
Cui Hwa benar-benar terdesak oleh pertanyaan In Hong yang bertubi-tubi ini sehingga ia berdiri dengan kaki gemetar dan tak dapat menjawab.
Lian Hong melihat keadaan ibunya ini, bergerak maju, menarik ibunya dan menyediakan kursi sehingga ibunya dapat duduk. Cui Hwa menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, tidak kuasa lagi menentang pandang mata In Hong yang demikian tajam menusuk kalbu.
Lian Hong kini menghadapi In Hong dengan sikap gagah akan tetapi sikapnya cukup menghormat.
“Enci In Hong, karena akupun anak ibu, biarlah aku yang mewakili ibu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Jangan kau merasa heran melihat ibu berada disini, karena sesungguhnya, ibu telah menikah dengan ayah dari kakak Ong Teng San yang ketika itu telah menjadi duda. Dari pernikahan ini terlahir aku, oleh karena ini maka Teng San-ko adalah kakak-tiriku, juga kakak-tirimu.”
Muka In Hong menjadi pucat. “Siapakah nama ayahmu yang mengawini ibuku?”
164
“Ayah bernama Ong Tiang Houw,” jawab Lian Hong singkat. Gadis cilik ini maklum bahwa ia telah tiba di bagian yang amat berbahaya.
In Hong memandang ibunya, hatinya tidak karuan rasanya. Jadi Bu Jin Ay, laki-laki gagah perkasa yang membikin ia jatuh hati itu sebenarnya adalah suami ibunya?
Akan tetapi mengapa Teng San membunuh ayahnya sendiri? Mengapa pula Teng San membiarkan dirinya terbunuh seakan-akan hendak menebus dosa ayahnya? Apa yang terjadi?
“Ibu, harap kau suka berterus terang. Mengapa ibu menikah, sedangkan musuh besar yang membunuh ayah belum kita balas? Juga ibu tidak berusaha mencariku?”
Lian Hong tidak berani menjawab pertanyaan ini dan sekarang Cui Hwa sudah menguasai perasaan hatinya, maka nyonya ini berkata dengan suara tenang.
“Dengarlah, In Hong. Sesungguhnya, baru kurang lebih lima tahun yang lalu aku ketahui bahwa pembunuh dari ayahmu adalah Ong Tiang Houw sendiri. Teng San dan Lian Hong mendengar ini menjadi marah dan melarikan diri, adapun Tiang Houw sendiri seperti gila dan pergi tak pernah pulang. Adapun aku…… aku hanya dapat menangis dan bersedih. Kalau aku tahu bahwa dia pembunuh Kwee Seng ayahmu, sudah tentu aku takkan sudi menjadi isterinya……”
Setelah berkata demikian dan melihat betapa wajah Lian Hong yang tersinggung hatinya menjadi pucat dan berduka, Cui Hwa menangis sambil memeluk Lian Hong.
Mendengar penuturan itu, makin lama wajah In Hong menjadi makin pucat. Ia berdiri seperti patung, memandang kepada ibunya dengan mata sayu dan bibir gemetar.
Kemudian terdengar ia merintih perlahan, membalikkan tubuh dan hendak pergi dari situ. Akan tetapi, baru saja tiga langkah ia bertindak, tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan!
Dapat dibayangkan betapa hancur dan pedihnya hati In Hong. Ia telah mencurahkan kasih sayang dan kasihan kepada Bu Jin Ay, dan tidak disangkanya sama sekali bahwa Bu Jin Ay itu adalah suami ibunya, bahkan pembunuh ayahnya!
Orang satu-satunya di dunia ini yang dikasihinya, ternyata adalah orang satu-satunya yang menjadi musuh besarnya, yang seharusnya ia bunuh dan ia cincang hancur tubuhnya!
Baru sekarang terbuka matanya, dan tahulah ia mengapa Teng San membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu tentu merasa terhina sekali melihat ayahnya yang setelah membunuh Kwee Seng lalu mengawini nyonya Kwee, kini bahkan hendak memikat In Hong, puteri dari Kwee Seng. In Hong tahu bahwa Tiang Houw atau Bu Jin Ay melakukan hal ini tanpa disadarinya.
Orang itu setelah ditinggal pergi oleh anak-anaknya dan dibenci oleh isterinya, menjadi patah hati dan seperti gila. Kemudian bertemu dengan dia yang mempunyai wajah seperti Cui Hwa dan Lian Hong, tidak mengherankan apabila Bu Jin Ay jatuh hati kepadanya.
165
Ketika siuman kembali, In Hong mendapatkan dirinya telah berada di dalam kamar, ditangisi oleh ibunya. Lian Hong juga duduk dikamar itu, keduanya nampak sedih sekali.
“Ibu, anak telah berdosa besar. Tak pantas lagi anak mendekati ibu. Biarkan anak pergi sekarang juga, untuk merantau seperti yang pernah dilakukan oleh guruku,” kata In Hong sambil bangkit dari pembaringan.
“In Hong, anakku, mengapa begitu? Akulah, ibumu yang bersalah dan kau harus dapat maafkan ibumu. Mari kita hidup berkumpul lagi, In Hong. Tidak kasihankah kau kepada ibumu?”
“Ibu, aku tahu, enci In Hong tentu hendak mencari ayah untuk membalas sakit hati. Bukan begitu, enci In Hong?” tanya Lian Hong.
In Hong menggelengkan kepalanya. “Kau keliru. Memang seharusnya demikianlah, akan tetapi nasib menentukan lain. Agaknya memang ayahmu sudah terlalu banyak dosanya, maka ia telah tewas dalam tangan puteranya sendiri.”
“Apa……?” Cui Hwa dan Lian Hong terkejut sekali mendengar warta ini dan keduanya memandang kepada In Hong, penuh pertanyaan.
“Sesungguhnya, Teng San telah membunuh ayahnya dan untuk perbuatan itu…… untuk perbuatan itu aku telah membela…… Ong Tiang Houw dan sebaliknya aku telah menewaskan Ong Teng San……”
Ibu dan anak itu hampir tak dapat percaya kepada In Hong akan penuturan ini. Sungguh tak masuk diakal dan amat mengherankan.
“Jenazah keduanya telah kurawat dan ku kubur baik-baik di dalam gua di kaki gunung Kun-lun-san. Ibu, sekarang aku harus melanjutkan perantauanku.”
“In Hong, jangan……”
“Kalau tinggal disini, mungkin aku dapat mati berduka atau dapat membunuh diri sendiri ibu. Biarpun anak pergi, mudah-mudahan saja kelak aku akan kembali. Adik Lian Hong, kau seorang anak yang baik dan berbakti, kau jagalah ibu baik-baik.”
Tanpa dapat dicegah lagi, In Hong meninggalkan rumah ibunya dan mulai saat itu, di dunia kangouw muncullah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa. Dara perkasa ini adalah Kwee In Hong. Dia merasa berdosa sekali maka untuk menebus dosa, ia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang amat menggemparkan.
Entah berapa banyak penjahat di dunia kangouw yang dibasminya dan banyak sekali orang sudah menerima pertolongannya. Sebentar saja namanya amat terkenal dan ia dijuluki orang SIAN-LI ENG-CU (Bayangan Bidadari).
Demikianlah akhir cerita ini dengan catatan dari penulis bahwasanya segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia itu sama halnya dengan bibit ditanam olehnya. Siapa menanam bibit dia akan memetik buahnya. Perbuatan baik pasti mendatangkan berkah, sebaliknya perbuatan jahat pasti mendatangkan malapetaka kepada diri sendiri.
166
TAMAT
alysa, http://indozone.net/literatures/literature/1330
2 April 2013 jam 10:56pm
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru