Selasa, 29 Mei 2018

Lembah Selaksa Bunga 2 Tamat

======
baca juga

08.22. Pengeroyokan Pengikut Pek-lian-kauw
Ketika dia diajak makan malam di ruangan makan, muncul seorang gadis manis yang kulitnya putih mulus,
bertubuh tinggi ramping dengan sepasang mata lebar. Wajahnya yang bulat dan manis itu seolah
mengandung kesedihan yang tersembunyi.
“Bu-ko, mari kuperkenalkan. Ini adalah adik angkatku, namanya Kui Li Ai. Li Ai, ini adalah Kakak Chang
Hong Bu, murid Siauw-lim-pai yang malam ini menjadi tamu kita.”
Li Ai memberi hormat dengan gaya yang lembut dan sopan.
“Chang Taihiap (Pendekar Chang),” katanya sopan dan lirih.
“Kui Siocia, saya senang mendapat kehormatan berkenalan denganmu,” kata Hong Bu yang merasa heran
karena sikap gadis ini bukan seperti gadis gunung, melainkan penuh tata susila seperti gadis bangsawan!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Aih, kalian tidak perlu bersungkan-sungkan,” kata Siang Lan. “Bu-ko, Li Ai ini adalah adik angkatku sendiri,
sebut saja namanya. Dan Li Ai, tidak perlu menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada Bu-ko, sebut saja
Bu-ko seperti aku.”
“Siauw-moi, (Adik Muda), maafkan kelancanganku, aku hanya menaati usul Lan-moi,” kata Hong Bu.
Setelah mereka bertiga duduk, dua orang wanita anggauta Ban-hwa-pang segera menghidangkan
makanan. Mereka makan minum tanpa banyak bicara karena bagaimanapun juga, Hong Bu merasa
sungkan juga makan minum bersama dua orang gadis yang demikian cantik. Baru sekarang dia mengalami
hal seperti ini dan membuatnya menjadi canggung sekali.
Dia melihat di bawah sinar lampu betapa Kui Li Ai memang cantik manis dan lembut sekali. Akan tetapi
tetap saja dia lebih kagum melihat Siang Lan yang lebih matang, juga penuh wibawa dan semangat. Dia
merasa betapa dia jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li!
Selesai makan, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengajak Kui Li Ai yang sekarang telah menjadi adik
angkatnya dan Chang Hong Bu yang menjadi tamu mereka untuk duduk bercakap-cakap di serambi depan.
Bulan purnama tampak menjenguk melalui jendela, menambah semarak cahaya lampu gantung di serambi
itu. Mereka bertiga duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar.
“Ah, aku tadi lupa menceritakan keadaan kalian masing-masing. Sekarang aku teringat bahwa
sesungguhnya kalian berdua bukanlah asing sama sekali satu terhadap yang lain karena sama-sama
berasal dari kota raja dan sama-sama menjadi keluarga perwira tinggi yang setia dan berjasa terhadap
Kerajaan! Bu-ko, ketahuilah bahwa adikku Li Ai ini adalah puteri dari mendiang Kui Ciang-kun (Perwira Kui),
seorang perwira yang gagah perkasa dan setia, dan kalau tidak salah, dia dahulu merupakan tangan kanan
atau orang kepercayaan dari panglima Chang Ku Cing. Tentu engkau pernah mengenalnya.”
Chang Hong Bu mengingat-ingat dan menggelengkan kepalanya, lalu berkata. Diam-diam dia berkata
kepada dirinya sendiri bahwa tidak aneh kalau tadi dia melihat sikap gadis itu begitu anggun seperti sikap
seorang gadis bangsawan. Kiranya puteri seorang perwira tinggi!
“Maaf, aku tidak pernah mendapat kehormatan mengenal Kui Ciang-kun seperti yang kusebutkan tadi, Lanmoi.
Ketahuilah bahwa sejak berusia sepuluh tahun aku telah meninggalkan kota raja, oleh Paman aku
dikirim ke Siauw-lim-pai untuk mempelajari ilmu selama limabelas tahun. Kemudian baru beberapa minggu
aku kembali ke kota raja dan langsung menerima tugas mengunjungimu ini. Akan tetapi aku merasa girang
mendengar bahwa Adik Li Ai adalah puteri seorang perwira tinggi di kota raja.”
Tentu saja dalam hatinya dia merasa heran mengapa puteri seorang perwira tinggi sekarang tinggal di
Lembah Selaksa Bunga, menjadi adik angkat Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Akan tetapi keheranan ini
tidak dia tanyakan karena dia khawatir akan menyinggung perasaan orang.
“Li Ai, ketahuilah bahwa Kakak Chang Hong Bu ini adalah keponakan dari panglima Chang Ku Cing.”
Tiba-tiba muka gadis itu menjadi merah sekali dan hati Hong Bu terkejut bukan main ketika dia memandang,
dia melihat betapa sepasang mata indah yang memandangnya itu mengeluarkan kilatan sinar berapi penuh
kemarahan dan kebencian!
Li Ai bangkit berdiri dan berkata kepada Siang Lan. “Enci Lan, maaf, aku masuk kamar dulu, kepalaku agak
pusing.” Tanpa menanti jawaban dan sama sekali tidak menoleh kepada Hong Bu, Li Ai lalu meninggalkan
serambi itu dengan cepat.
Siang Lan menghela napas panjang. Hong Bu merasakan sesuatu yang tidak enak, maka dia segera
bertanya. “Lan-moi, mungkin keliru penglihatanku, akan tetapi aku melihat agaknya Adik Li Ai berubah sikap
dan menjadi marah ketika mendengar bahwa aku adalah keponakan Paman Panglima Chang. Benarkah
dugaanku itu?”
Siang Lan nnenganggu-anggukan kepalanya, dan menghela napas lagi.
“Kasihan Adikku itu, aku tidak dapat menyalahkannya kalau ia bersikap seperti itu, walaupun tadinya aku
mengira ia sudah mulai melupakannya. Ia agaknya masih menganggap bahwa Panglima Chang yang
menyebabkan kematian ayahnya dan agaknya sukar ia untuk dapat melupakan hal itu, maka mendengar
bahwa engkau keponakan Panglima Chang, ia merasa tidak enak dan pergi.”
Hong Bu terkejut sekali.
“Paman Panglima menjadi penyebab kematian Kui Ciang-kun, ayah Adik Li Ai? Bagaimana ini? Bukankah
engkau ceritakan tadi bahwa ayahnya adalah pembantu setia dari paman Panglima?”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Riwayat Li Ai memang menyedihkan sekali, Bu-ko. Ibu kandungnya telah meninggal dunia dan ia hidup
bersama ayahnya, Perwira Kui Seng, dan ibu tirinya yang galak dan tidak suka kepadanya. Kui Ciang-kun
yang menjadi pembantu setia Panglima Chang, setahun lebih yang lalu telah berjasa membasmi
gerombolan Pek-lian-kauw sehingga tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw dapat ditawan. Empat orang di antara
mereka telah dihukum mati, akan tetapi yang tiga orang masih ditahan di penjara. Pada suatu hari, Li Ai
diculik orang-orang Pek-lian-kauw dan Kui Ciang-kun dipaksa untuk membebaskan tiga orang tokoh Peklian-
kauw itu. Kalau dia menolak, Li Ai akan dibunuh.”
“Hemm, jahat orang-orang Pek-lian-kauw itu!” kata Hong Bu gemas.
“Karena sayang kepada puteri tunggalnya, Kui Ciang-kun terpaksa membebaskan tiga orang tokoh Peklian-
kauw itu. Hal ini diketahui panglima Chang yang menjadi marah dan menuduh Kui Ciang-kun
berkhianat. Dengan malu dan sedih Kui Ciang-kun bunuh diri tanpa dapat dicegah lagi.”
“Ahh......!” Hong Bu terkejut sekali.
“Sebelum mati, Kui Ciang-kun minta tolong padaku agar aku suka menolong Li Ai. Aku lalu pergi ke sarang
Pek-lian-kauw di Liauw-ning dan di dalam perjalanan aku melihat Li Ai bersama dua orang Pek-lian-kauw.
Aku segera menyerang dan dengan bantuan Paman Bu-beng-cu aku berhasil membunuh mereka berdua.
Aku ajak Li Ai pulang dan tentu saja ia terkejut dan sedih melihat ayahnya telah meninggal dunia. Ibu tirinya
dengan galak menyalahkannya sehingga terpaksa aku menghajarnya. Li Ai lalu minta kepadaku untuk ikut
ke sini karena ia tidak mau tinggal dengan ibu tirinya yang galak dan membencinya. Demikianlah, Bu-ko,
maka maafkan ia kalau tadi bersikap marah mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang yang ia
anggap penyebab kematian Ayahnya.”
Tentu saja Siang Lan tidak mau menceritakan bahwa Li Ai diperkosa oleh tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang
dibunuhnya itu. Rahasia Li Ai takkan ia ceritakan kepada siapapun juga.
Hong Bu mengerutkan alisnya.
“Aduh, kasihan sekali Adik Li Ai! Pantas ia tadi memandangku seperti orang marah dan penuh kebencian!
Akan tetapi engkau...... ah, Lan-moi, engkau sungguh bijaksana dan mulia. Engkau telah menyelamatkan Li
Ai dan menampungnya di sini, bahkan menjadikan adik angkatmu. Selain itu engkau tidak ikut marah
kepada Paman Panglima Chang, sehingga engkau masih mau membantunya untuk mencari para
pembunuh itu. Ah, di dunia ini agaknya tidak akan mudah menemukan seorang gadis seperti engkau, Lanmoi.”
Siang Lan tersenyum. Bagaimana kerasnya hati Siang Lan, ia adalah seorang gadis, seorang wanita.
Mendengar pujian dari seorang pemuda yang tampan gagah, seorang pendekar budinnan seperti Hong Bu,
jantungnya berdebar, perasaannya senang sekali, dan ia pun menjadi malu sehingga kedua pipinya yang
halus mulus itu menjadi kemerahan.
“Ah, Bu-ko, engkau membuat aku malu. Jangan memuji terlalu berlebihan, Bu-ko. Aku hanya seorang gadis
kang-ouw, sebatang kara di dunia ini, seorang gadis kasar dan liar!” Ia menghela napas panjang. “Aku
bahkan dijuluki Iblis Betina Terbang!”
“Hemm, mungkin yang memberi julukan itu adalah para penjahat yang pernah kautentang dan kaubasmi,
Lan-moi. Aku tidak memujimu secara berlebihan. Engkau seorang gadis yang masih muda, engkau cantik
jelita, engkau memiliki ilmu yang tinggi dan lihai sekali, dan di balik sikapmu yang keras itu engkau memiliki
hati yang mulia, engkau bijaksana dan aku...... aku amat kagum padamu, Lan-moi.”
Ketika mengucapkan kata-kata terakhir ini„ suara pemuda itu agak gemetar dan pandang matanya tampak
oleh Siang Lan demikian mesra sehingga seketika itu juga gadis itu tahu benar bahwa Chang Hong Bu jatuh
cinta padanya!
Pujian pemuda itu benar-benar meresap dalam hati sanubari gadis itu, terdengar begitu merdu bagaikan
nyanyian dari sorga. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar pujian seorang laki-laki seindah itu.
Terdengar amat merdu dan indah karena ia tahu bahwa pujian itu diucapkan seorang pemuda yang baik
budi, pujian yang keluar dari hati yang tulus, bukan seperti banyak pujian yang didengarnya dari mulut para
pria yang mengucapkannya terdorong nafsu rendahnya.
Pemuda ini mengucapkan pujian yang keluar dari hatinya, bukan sekedar merayu, melainkan muncul dari
perasaan hati yang jatuh cinta! Betapa indahnya! Akan tetapi, Siang Lan tak dapat menipu perasaan hatinya
sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Ia memang merasa senang sekali, merasa bangga mendengar pujian itu. Ia tidak dapat menyangkal bahwa
ia merasa kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah serta baik budi ini, akan tetapi ia tidak
merasakan cinta kasih seperti yang pernah ia rasakan terhadap Sim Tek Kun yang kini menjadi suami Ong
Lian Hong!
Tentu saja sudah lama ia membuang perasaan ini dari lubuk hatinya dan menggantikan rasa cinta dari
seorang wanita terhadap pria itu dengan rasa cinta persahabatan atau lebih dari itu, cinta persaudaraan
karena Sim Tek Kun kini telah menjadi suami adik angkatnya, menjadi adik iparnya! Terhadap pemuda yang
duduk di depannya ini, Chang Hong Bu, ia hanya merasa kagum dan suka untuk menjadi sahabat baik,
bukan sebagai kekasih atau calon suami.
Maka untuk menghilangkan suasana amat romantis yang mendebarkan hati setelah pemuda itu memujimujinya,
Siang Lan tertawa lepas dengan gembira.
“He-he-he, Bu-ko! Sudahlah aku bisa mabok oleh pujian dan kepalaku menjadi besar sekali nanti!
Sekarang, mari kita bicara tentang surat Paman Chang kepadaku. Kukira, tidak perlu aku memberi balasan
surat karena yang menjadi utusan adalah engkau, keponakan Panglima Chang sendiri. Besok pagi, kalau
engkau pulang ke kota raja, tolong sampaikan jawabanku kepadanya bahwa aku siap untuk membantunya.
Setelah aku menyelesaikan urusan Ban-hwa-pang di sini, aku pasti akan pergi ke kota raja, menghadap
Paman Panglima Chang dan sekalian mengunjungi adikku Lian Hong.”
Malam itu, Hong Bu tidak dapat tidur, gelisah di dalam kamar yang disediakan untuknya. Akan tetapi
sebaliknya, Siang Lan dapat tidur nyenyak. Di atas pembaringan lain di kamar Siang Lan, Li Ai juga tidak
dapat pulas.
Ia masih merasa penasaran dan sakit hati, teringat akan kematian ayahnya yang disebabkan oleh Panglima
Chang Ku Cing yang menuduhnya sebagai pengkhianat. Biarpun sebelum tidur tadi Siang Lan telah
menghiburnya dan mengatakan bahwa Panglima Chang hanya bertindak menurut hukum militer, dan
Panglima itu merasa menyesal bahwa Kui Ciang-kun membunuh diri, namun hati Li Ai masih tetap tidak
tenang dan ia gelisah di atas pembaringannya.
Pada keesokan harinya, setelah dijamu makan pagi, Hong Bu meninggalkan Ban-hwa-pang, dan Siang Lan
lalu menemui Bu-beng-cu di tempat tinggal sementara pria itu untuk berlatih silat seperti biasa. Selain
berlatih silat, ia juga memperbincangkan dan merencanakan pembuatan perangkap dan jebakan di Lembah
Selaksa Bunga untuk menjaga keselamatan Ban-hwa-pang dari serbuan musuh.
Karena pembuatan jebakan itu harus dirahasia dari orang luar, maka pembangunannya dilakukan
sepenuhnya oleh para wanita anggauta Ban-hwa-pang, dipimpin oleh Siang Lan dan Li Ai. Bu-beng-cu
sendiri tidak pernah muncul, dan kalaupun dia datang memeriksa, hal itu dilakukan pada malam hari atau
sewaktu para anggauta Ban-hwa-pang sudah kembali ke perkampungan. Dia memang tidak ingin banyak
terlihat di Lembah Selaksa Bunga.
Li Ai yang cerdik, dapat mengatur pembangunan itu dari gambar yang dibuat oleh Bu-beng-cu. Alat-alatnya
dibeli dari kota yang berada di kaki pegunungan Lu-liang-san. Beberapa orang anggauta Ban-hwa-pang
sengaja belajar membakar baja, menempa dan membentuknya sesuai dengan yang digambar Bu-beng-cu
untuk dipasang dan diatur sebagai perangkap dan jebakan.
Hampir sebulan kemudian, setelah pembangunan taman yang penuh jebakan itu berjalan lancar, Siang Lan
lalu menyerahkan pimpinan pekerjaan itu kepada Kui Li Ai dan ia minta kepada Bu-beng-cu agar ikut
mengawasinya secara diam-diam. Setelah kesemuanya beres diaturnya, ia pun meninggalkan Lembah
Selaksa Bunga dan berangkat turun gunung menuju ke kota raja.
Beberapa hari kemudian, pada suatu hari menjelang tengah hari Siang Lan berjalan seorang diri dalam
sebuah hutan lebat. Jalan umum yang memasuki hutan itu kasar berbatu-batu dan di situ amat sepi. Siang
Lan berjalan biasa, wajahnya cerah karena ia gembira dan bersemangat membayangkan betapa ia akan
bertemu dengan Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun.
Ia dapat membayangkan betapa akan gembiranya Lian Hong kalau bertemu dengannya. Ia pun tidak akan
merasa canggung bertemu Tek Kun karena bagaimanapun juga, ia belum pernah menyatakan cintanya
kepada Tek Kun. Perasaan itu hanya terdapat di lubuk hatinya saja dan kini sudah hilang oleh kesadaran
bahwa pemuda itu telah menjadi suami Lian Hong dan betapa kedua orang itu selain saling mengasihi juga
bahkan sudah bertunangan sejak dulu.
Karena melangkah dengan pikiran melayang-layang, Siang Lan kurang waspada sehingga ia tidak tahu
bahwa sejak tadi, sedikitnya tigapuluh pasang mata mengamatinya. Mengamati dengan kagum karena mata
dunia-kangouw.blogspot.co.id
laki-laki mana yang tidak akan kagum melihat gadis yang demikian cantik jelita berjalan seorang diri di
dalam hutan lebat itu?
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ketika itu berusia sekitar duapuluh dua tahun dengan tubuh seorang gadis
yang sudah mulai matang, tingginya sedang, ramping dan denok dengan lekuk-lengkung yang sempurna
menggairahkan hati pria. Rambutnya yang hitam panjang dan berikal mayang itu digelung ke atas, dihias
seekor kupu-kupu dari emas permata.
Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang halus melingkar menambah kemanisan wajahnya
yang jelita. Sepasang matanya yang indah itu jeli, dengan sinar yang terkadang mencorong penuh wibawa.
Hidungnya Mancung dan mulutnya memiliki bibir yang bentuknya menggairahkan. Di punggungnya
tergantung sebatang pedang, yaitu Liu-kong-kiam (Pedang Kilat).
Tiba-tiba Siang Lan sadar dari lamunannya dan cepat ia berhenti melangkah dan seluruh urat syarafnya
menegang penuh kewaspadaan karena ia mendengar suara gerakan banyak orang.
“Siapa di sana? Keluarlah kalian, tidak perlu mengintai seperti pengecut-pengecut!” bentaknya.
Terdengar suara tawa dan dari empat penjuru bermunculan sekitar tigapuluh orang, dipimpin oleh dua
orang yang membuat Siang Lan terkejut akan tetapi juga marah sekali. Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su
datuk Pek-lian-kauw dan Hoat Hwa Cin-jin tokoh besar cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning, musuh-musuh
besarnya yang sebulan lalu menyerbu Lembah Selaksa Bunga dan dapat ia usir bersama Chang Hong Bu,
dibantu oleh Bu-beng-cu!
“Huh, kalian jahanam Pek-lian-kauw, setan-setan berjubah pendeta! Manusia-manusia pengecut, setelah
kami kalahkan, sekarang hendak mengeroyokku dengan banyak orang! Jangan dikira aku, Hwe-thian Mo-li
merasa takut!”
Setelah berkata demikian, dara sakti ini mencabut pedangnya dan tampaklah kilat pedang itu menyilauan
mata. Tigapuluh orang anggauta Pek-lian-kauw itu gentar juga melihat ini karena mereka sudah mendengar
betapa sakti dan ganasnya Hwe-thian Mo-li!
Akan tetapi kembali Hwa Hwa Hoat-su tertawa dan suara tawanya sekali ini terdengar aneh. Kemudian
ternyata bahwa tawa ini merupakan isyarat kepada para anggauta Pek-lian-kauw karena mereka segera
bergerak mengepung Siang Lan dan menumpuk kayu bakar lalu membakar tumpukan kayu itu di delapan
penjuru! Tigapuluh orang itu lalu berdoa, merupakan nyanyian yang aneh dan suara mereka bergemuruh,
mereka melangkah dan mengitari Siang Lan sambil membawa sebatang obor bernyala.
Hwa Hwa Hoat-su berdiri dengan rambutnya yang panjang putih itu terurai. Dia mencabut pedangnya dan
menudingkan pedang itu ke atas lalu membaca mantera. Tigapuluh orang yang kini berlari mengelilingi
Siang Lan itu ketika tiba dekat Hwa Hwa Hoat-su, menyentuh ujung pedang dengan obor mereka. Tak lama
kemudian ujung pedang itu pun terbakar dan bernyala!
Kemudian datuk Pek-lian-kauw itu melontarkan pedangnya yang bernyala itu ke atas dan pedang itu
meluncur dan menyerang ke arah Siang Lan seperti hidup! Bukan itu saja, kini api dari obor-obor itu seolah
mengikuti pedang, merupakan bola-bola api yang semua menyerang ke arah gadis itu!
Siang Lan terkejut dan maklum bahwa kakek itu menggunakan ilmu sihir yang agaknya telah dipersiapkan
lebih dulu. Ia tidak menjadi gentar. Tubuhnya berkelebatan dan sinar kilat pedangnya bergulung-gulung
menangkis serangan pedang terbang, sedangkan tangan kirinya dengan tenaga sakti mendorong ke arah
bola-bola api yang menyambar-nyambar ke arah tubuhnya.
Akan tetapi Hoat Hwa Cin-jin kini maju mengeroyoknya dengan sepasang goloknya yang lihai. Agaknya
gerakannya juga sudah diatur karena tokoh Pek-lian-kauw dari Liauw-ning ini tidak menggunakan goloknya
untuk menyerang, melainkan sepasang goloknya berusaha menahan pedang Siang Lan.
Tentu saja gadis itu kini menjadi repot karena dikeroyok banyak bola api, pedang terbang dan sepasang
golok Hoat Hwa Cin-jin. Ia masih dapat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengelak
ke sana-sini sambil memutar pedang sebagai perisai yang menyelimuti dirinya.
08.23. Kengerian Seorang Pendekar Wanita
Akan tetapi kini Hwa Hwa Hoat-su juga melompat ke depan dan kebutannya menyambar-nyambar
melakukan totokan-totokan yang amat cepat. Betapa pun lihainya Siang Lan yang telah menerima
gemblengan Bu-beng-cu, namun menghadapi sekian banyak pengeroyok, ia tidak tahan juga. Akhirnya
dunia-kangouw.blogspot.co.id
ujung kebutan di tangan Hwa Hwa Hoat-su yang dapat menjadi lemas atau kaku dengan kekuatan tenaga
saktinya itu dapat menotok jalan darahnya di tengkuk dan tubuh gadis itu terkulai roboh dan pingsan!
Hoat Hwa Cin-jin segera mengambil Lui-kong-kiam berikut sarungnya dan menyelipkan pedang itu di
pinggangnya sambil tertawa senang.
Kemudian dia memondong tubuh Siang Lan dan hendak membawanya pergi.
“Cin-jin, hati-hatilah. Gadis itu lihai sekali, jangan sampai ia sadar lalu membunuhmu. Lebih cepat ia
dibunuh lebih baik agar tidak menjadi penghalang kita di kemudian hari,” kata Hwa Hwa Hoat-su.
“Ha-ha-ha, Hoat-su, jangan khawatir! Aku hanya merasa sayang kalau ia dibunuh begitu saja, terlalu enak
buat ia dan tidak enak untukku. Jangan khawatir, besok pagi-pagi ia sudah tinggal nama saja, akan
kupenggal lehernya dan kepalanya kita pergunakan untuk upacara sembahyang saudara-saudara kita yang
terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li ini!”
Setelah berkata demikian, Hoat Hwa Cin-jin membawa lari gadis dalam pondongannya itu, memasuki hutan
lebat.
Air yang dingin menyiram muka dan kepala Siang Lan, membuat gadis itu siuman dari pingsannya. Ia
gelagapan dan menggoyang kepala mengusir air yang menutupi kedua matanya. Ia tidak mampu
menggerakkan kaki tangannya dan ia terkejut bukan main melihat dirinya berada dalam sebuah pondok,
rebah telentang di atas tanah bertilam rumput kering dengan kaki dan tangan terpentang dan terikat pada
tiang-tiang besi yang kokoh.
Ia berusaha merenggut lepas tali-tali itu, namun tenaganya tidak dapat terkumpul semua. Tahulah ia
dengan kaget bahwa dirinya telah ditotok untuk melemahkan tenaganya.
Ia hanya mampu menggunakan tenaga otot saja dan tidak mampu mengerahkan sin-kang. Yang membuat
ia menjadi pucat adalah ketika ia melihat betapa pakaian luarnya telah ditanggalkan dari tubuhnya dan
pakaian itu bertumpuk di sudut ruangan pondok itu.
Jantungnya mulai berdebar tegang dan...... takut! Hwe-thian Mo-li tidak pernah gentar menghadapi
kematian sekalipun, akan tetapi melihat keadaan dirinya, setengah telanjang dan terikat tak berdaya,
membuat ia membayangkan malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut!
Ia pernah diperkosa Thian-te Mo-ong. Peristiwa itu saja sudah membuat ia hampir membunuh diri, sudah
membuat hancur makna hidup ini baginya. Bagaimana mungkin ia dapat mengalami malapetaka itu untuk
kedua kalinya?
“Ha-ha-ha, engkau sudah bangun, Hwe-thian Mo-li?” terdengar suara dari luar dan masuklah Hoat Hwa Cinjin.
Kakek tinggi besar muka hitam ini tampak mengerikan sekali bagi Siang Lan, terutama karena sepasang
matanya itu memandang kepadanya penuh nafsu, seolah hendak menelannya bulat-bulat dan mulutnya
yang lebar menyeringai penuh ejekan.
“Keparat Hoat Hwa Cin-jin, manusia licik, curang! Kalau engkau memang laki-laki, mari kita bertanding
sampai seorang dari kita mampus!”
“He-he-he, sebentar lagi aku akan membuktikan bahwa aku memang laki-laki sejati, Mo-li. Setelah engkau
melayani aku bersenang-senang sampai sepuasku dan aku menjadi bosan, barulah engkau akan kubunuh.”
Siang Lan bergidik. Apa yang dikhawatirkannya ternyata benar. Pendeta palsu ini hendak berbuat keji
kepadanya, hendak memperkosanya! Ia terbelalak, matanya seperti mata kelinci menghadapi auman
harimau yang hendak menerkamnya.
“Bunuh saja aku!” teriaknya.
“Ha-ha-ha, sayang engkau begini cantik, begini mulus dibunuh begitu saja. Engkau harus melayani aku
dulu...... heh-heh-heh!” Hoat Hwa Cin-jin berjongkok dekat Siang Lan dan kedua tangannya mulai merabaraba.
“Bunuh aku! Penggal leherku, cincang tubuhku, akan tetapi jangan memperkosaku......! Kumohon, jangan
perkosa...... bunuhlah aku sekarang juga......!” Hwe-thian Mo-li menjerit-jerit dan meronta-ronta, memutar
kepala ke kanan kiri untuk menghindar ketika muka yang besar hitam menyeramkan itu berusaha
menciumnya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Hoat Hwa Cin-jin membelalakkan mata mendengar jeritan ini dan dia mengangkat mukanya yang tidak
berhasil mencium.
“Ha-ha! Inikah Si Iblis Betina Terbang? Ini......? Perempuan lemah yang menjerit-jerit ketakutan? Inikah
Hwe-thian Mo-li yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip mata? Yang membunuhi banyak anggauta
perkumpulan kami?”
Dengan napas terengah dan suara gemetar Siang Lan berkata.
“Hoat Hwa Cin-jin, bunuhlah aku...... kumohon padamu, bunuhlah aku, jangan hina aku dengan
perkosaan......” Dan Siang Lan mencucurkan air mata!
Kalau saja ia mampu bergerak, tentu ia akan melawan mati-matian, atau kalau tidak dapat melawan, ia
akan dapat membunuh diri. Akan tetapi ia tidak berdaya, kaki tangannya terikat kuat.
Ia lalu teringat. Ah, masih ada satu cara membunuh diri biarpun kini kaki tangannya terikat. Ia dapat
menggigit lidahnya sendiri sampai putus dan ini pun dapat mendatangkan kematian! Ia akan membunuh diri
dengan menggigit putus lidahnya sebelum dirinya dihina dan diperkosa!
Hoat Hwa Cin-jin pada saat itu sedang dikuasai nafsu binatang yang berkobar-kobar, akan tetapi dia tetap
saja tertegun karena herannya melihat wanita yang menggegerkan dunia kang-ouw ini menangis!
“Hwe-thian Mo-li menangis? Ha-ha-ha, alangkah baiknya kalau semua orang dapat menyaksikan ini. Ha-haha-
ha......!”
“Brakkkkk......!!” Tiba-tiba pondok yang tidak besar itu jebol dan roboh, terlempar seperti diterjang badai!
Hoat Hwa Cin-jin terkejut sekali dan dia cepat melompat untuk menghindarkan dirinya ikut diterjang
kekuatan yang dahsyat itu. Bayangan orang yang cepat sekali gerakannya melompat dekat Siang Lan yang
masih rebah telentang sehingga ia tidak sampai diterjang kekuatan dahsyat itu. Bayangan itu ternyata
adalah Bu-beng-cu, akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan ikatan kaki tangan Siang Lan, Hoat Hwa
Cin-jin yang menjadi marah sekali telah menerjangnya dengan hebat.
Saking marahnya karena niatnya membalas dendam kepada Siang Lan yang sudah hampir terlaksana itu
gagal, dia tidak ingat lagi bahwa Bu-beng-cu yang pernah dilawannya memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh
lebih tangguh daripada Hwe-thian Mo-li sendiri. Kemarahan membuat dia menjadi nekat dan kini dia
menyerang dengan sepasang goloknya.
“Manusia jahanam!” Bu-beng-cu membentak dan cepat mengelak dari sambaran sepasang golok tokoh
Pek-lian-kauw itu.
Bu-beng-cu juga marah sekali dan dia berkelebatan di antara dua gulungan sinar golok itu. Kemudian,
dengan penyaluran tenaga sakti yang amat kuat dia membalas.
“Wuuuttt...... desss !!” Tubuh Hoat Hwa Cin-jin seperti disambar petir dan dia terlempar sampai tiga tombak
lebih, jatuh terbanting dan pingsan. Hantaman tenaga yang amat dahsyat itu telah mengguncang isi
dadanya sehingga dia terluka dalam yang cukup parah.
Bu-beng-cu tidak peduli lagi kepada lawannya yang sudah roboh dan pingsan. Dia cepat melompat dekat
Siang Lan, merenggut ikatan kedua kaki tangan gadis itu lalu membebaskan totokan yang membuat Siang
Lan tidak mampu mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Sementara itu, ketika Bu-beng-cu melepaskan ikatan kaki tangannya, Siang Lan yang tadinya sudah
bercucuran air mata, kini bagaikan air dibendung dan pecah bendungannya. Tadinya, kengerian dan
ketakutan membuat ia menangis dan kini, saking lega, gembira yang amat sangat, dia menangis,
mengguguk dan segera merangkul leher Bu-beng-cu!
Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya. Laki-laki yang merasa amat berdosa kepada Siang Lan ini, yang
juga merasakan iba yang mendalam, tanpa disadarinya sendiri, telah jatuh cinta kepada Siang Lan. Dia siap
melakukan apa saja, kalau perlu bahkan berkorban nyawa, untuk membahagiakan gadis ini.
Biarpun usianya sudah empatpuluh dua tahun, sejak muda Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong ini tekun
mempelajari ilmu dan biasa hidup di puncak-puncak gunung yang sunyi. Belum pernah dia bergaul dekat
dengan wanita, belum pernah bersentuhan, apalagi berpelukan seperti sekarang ini. Ketika dia menggauli
atau memperkosa Siang Lan, hal itu dilakukan dalam keadaan terbius, hampir tidak menyadari apa yang dia
lakukan.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Sekarang Siang Lan merangkulnya sambil menangis. Dia dapat merasakan air mata gadis itu menembus
bajunya, membasahi kulit dadanya dan terasa seolah menembus kulit dan menyiram hatinya. Dia
merasakan kelunakan tubuh Siang Lan yang hangat ketika gadis itu merangkulnya dengan tubuh
bergoyang-goyang karena isaknya. Dia dapat mencium keharuman yang khas dari tubuh yang
mendekapnya itu.
Kehangatan tubuh yang hanya terbungkus pakaian dalam yang tipis itu menjalar, membuat dia merasakan
kehangatan yang mesra. Tanpa disadarinya, kedua lengannya yang kokoh kuat itu merangkul dan dia
menekan kepala yang rapat dengan dadanya itu, seolah ingin membenamkan dan memasukkan kepala
gadis itu ke dalam dadanya.
Siang Lan merasa demikian lega dan bahagia setelah terbebas dari rasa ngeri dan takut yang hebat. Ia
bahkan merasa seolah Bu-beng-cu memberi kehidupan baru padanya karena tadinya ia sudah yakin bahwa
ia pasti akan mati. Ia tadinya sudah mengambil keputusan akan menggigit putus lidahnya sendiri sebelum
Hoat Hwa Cin-jin dapat memperkosanya.
Kini ia tiba-tiba terbebas dan hidup! Ia teringat betapa besar budi kebaikan yang telah dilakukan Bu-beng-cu
kepadanya. Laki-laki itu bukan hanya mencegah ia membunuh diri, juga telah bersusah payah melatih ilmu
silat tinggi dengan sungguh-sungguh kepadanya dan entah sudah berapa kali Bu-beng-cu
menyelamatkannya dari bahaya maut.
Laki-laki ini selalu muncul apabila ia berada dalam kesulitan dan ancaman bahaya. Kini, ketika ia merangkul
dan merasakan betapa dirinya didekap, ia merasakan kehangatan dan merasa dalam keadaan demikian ia
seperti terayun dan penuh kedamaian dan ketenangannya. Ah, betapa nikmat dan senangnya!
Dan tiba-tiba ia merasa bahwa Bu-beng-cu adalah satu-satunya pria di dunia ini yang mempedulikannya,
bahkan menjaga dan menyayangnya. Menyayangnya! Mencintanya!
Baru sekarang ia menyadari hal itu. Bu-beng-cu sungguh mencintanya, cinta seorang pria terhadap wanita,
cinta kasih yang demikian murni dan suci karena belum pernah sedikit pun Bu-beng-cu memperlihatkan
keinginannya untuk bertindak tidak sopan kepadanya.
Dan ia merasa begitu aman dalam dekapannya. Baru sekarang ia merasakan bahwa biarpun Bu-beng-cu
tidak pernah memperlihatkan sikap mencintanya sebagai seorang pria, namun kini sentuhan-sentuhan jari
pria itu, dekapannya yang demikian mesra, terasa hangat oleh api cinta yang hanya ia yang dapat
merasakannya.
“Paman Bu-beng-cu......” Suaranya seperti merintih namun penuh kemesraan dan kepasrahan menyelingi
isak tangisnya.
“...... Siang Lan......” Suara ini lirih sekali, menggetar penuh perasaan seperti bisikan yang keluar dari hati
laki-laki itu.
Siang Lan tidak merasa heran kalau Bu-beng-cu mengerti namanya karena mungkin laki-laki yang berilmu
tinggi itu mendengar ketika Li Ai atau Hong Bu menyebut namanya. Akan tetapi yang membuat ia merasa
heran adalah bahwa belum pernah Bu-beng-cu menyebutkan namanya, biasanya ia menyebut Nona atau
Hwe-thian Mo-li.
Ia merasa betapa sebutan namanya dengan suara seperti merintih itu seolah menggambarkan dengan jelas
cinta kasih yang terkandung di dalamnya. Ia merasa terharu dan juga berbahagia dan pada saat itu ia
seolah seperti seekor burung yang terbang berkeliaran tanpa tujuan kini hinggap di atas sebuah ranting
yang kokoh dan yang melindunginya dari segala ancaman dan kesengsaraan hidup. Ia merasa amat
senang dan ingin tinggal dalam dekapan laki-laki itu untuk selamanya!
“Paman......” la berbisik penuh kemesraan.
Ketika ia mendengar suara seperti terisak tertahan, Siang Lan membuka matanya yang basah dan ia
melihat betapa Bu-beng-cu menangis! Dia menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja ada isak meluncur
keluar dari mulutnya bersama beberapa tetes air mata yang melompat turun ke atas kedua pipinya!
Akan tetapi keheranan dan keharuan hati Siang Lan itu segera terganti rasa kaget. Siang Lan mendorong
tubuh Bu-beng-cu sehingga terpental ke belakang dan pada saat itu, sepasang golok yang menyambar.
Tadinya sepasang golok itu menyambar ke arah kepala Bu-beng-cu yang agaknya seperti kehilangan
kewaspadaannya sehingga kalau saja dia tidak didorong Siang Lan, agaknya dia akan menjadi korban
bacokan yang dahsyat itu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Kiranya Hoat Hwa Cin-jin yang tadinya terpukul pingsan telah siuman. Ketika dia melihat betapa Bu-beng-cu
berangkulan dengan Hwe-thian Mo-li dan keduanya menangis, dia melihat kesempatan baik sekali untuk
melampiaskan dendam dan kebenciannya. Berindap-indap dia menghampiri mereka dengan sepasang
golok siap di tangannya.
Dia merasa gentar terhadap Bu-beng-cu, maka dia menghampiri mereka dari arah belakang Bu-beng-cu.
Setelah jaraknya tidak jauh lagi, dia segera meloncat dan mengayun sepasang goloknya membacok kepala
Bu-beng-cu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Bu-beng-cu itu, kebetulan sekali Siang Lan membuka
mata untuk memandang wajah Bu-beng-cu sehingga ia melihat datangnya serangan dan cepat ia
mendorong dada Bu-beng-cu sehingga terpental dan terhindar dari serangan maut itu.
Begitu kedua tangan Hoat Hwa Cin-jin yang memegang golok itu menyambar lewat karena bacokannya
luput, Siang Lan menggerakkan tangan yang dimiringkan dan “membacok” ke arah pergelangan tangan kiri
Hoat Hwa Cin-jin. Tokoh Pek-lian-kauw yang sudah menderita luka dalam itu berteriak dan golok kirinya
terlepas. Siang Lan cepat menyambar golok itu dan menyerang dengan dahsyat.
Hoat Hwa Cin-jin mencoba untuk menangkis dengan golok kanannya, akan tetapi tenaganya sudah
melemah sehingga goloknya terpental dan sebelum dia mampu menghindarkan diri, golok di tangan Siang
Lan sudah menyambar ke arah lehernya. Hoat Hwa Cin-jin tidak sempat mengeluarkan suara lagi. Dia
roboh dengan leher hampir putus dan tewas seketika.
Siang Lan melampiaskan kebenciannya dengan membacoki tubuh pendeta palsu itu dengan golok
rampasannya! Kepala Hoat Hwa Cin-jin hancur oleh bacokan-bacokan yang gencar itu.
“Nona, hentikanlah!” Bu-beng-cu berseru.
Akan tetapi Siang Lan seperti kesetanan dan membacok terus. Tiba-tiba sepasang lengan merangkul tubuh
berikut kedua lengannya dari belakang sehingga ia tidak dapat menggerakkan lagi tangannya yang
memegang golok. Ketika melihat bahwa yang mendekapnya dari belakang itu Bu-beng-cu, Siang Lan
melepaskan golok itu, membalik dan terkulai pingsan dalam pelukan Bu-beng-cu.
“Siang Lan...... ahh, Siang Lan......!” Bu-beng-cu merasa demikian terharu dan rasa kasihnya terhadap
Siang Lan membakar seluruh tubuhnya.
Tanpa dapat dia pertahankan lagi, dia memondong tubuh Siang Lan lalu menunduk dan menciumi muka
gadis itu penuh kasih sayang. Akan tetapi dia segera menyadari perbuatannya yang sebagian terdorong
pula oleh gairahnya sebagai seorang laki-laki, maka cepat dia menghampiri mayat Hoat Hwa Cin-jin,
mengambil pedang Lui-kong-kiam milik Siang Lan yang dirampas oleh Hoat Hwa Cin-jin.
Kemudian dia membawa gadis yang pingsan dalam pondongannya itu meninggalkan tempat di mana
terdapat mayat Hoat Hwa Cin-jin yang mengerikan itu. Tidak lupa sebelum pergi dia menyambar pakaian
luar Siang Lan yang bertumpuk di dalam pondok yang sudah roboh.
Setelah agak jauh dari tempat itu, Siang Lan siuman dan mengeluh. Mendengar ini, Bu-beng-cu berhenti
berlari dan menurunkan Siang Lan sehingga terduduk di atas tanah. Ia membuka matanya dan Bu-beng-cu
segera menyerahkan pakaian dan pedang Lui-kong-kiam kepadanya.
“Paman......”
“Kenakan dulu pakaianmu, Nona,” kata Bu-beng-cu, suaranya sudah seperti biasa sehingga diam-diam
Siang Lan merasa kecewa.
Ia tidak merasakan kemesraan dalam suara laki-laki yang menjadi guru dan penolongnya itu. Akan tetapi
ucapan itu pun seketika mengingatkannya bahwa sejak tadi ia hanya mengenakan pakaian dalam yang
serba terbuka dan tipis!
Hal ini tentu saja membuat Siang Lan tersipu malu, juga terkejut mengapa ia tadi seolah tidak menyadari
keadaan dirinya yang setengah telanjang itu. Dan kalau ia mengingat kembali ketika ia berangkulan dengan
Bu-beng-cu...... ahh...... wajahnya berubah kemerahan dan jantungnya berdebar. Cepat ia mengenakan
pakaian dan menggantungkan pedangnya.
“Paman Bu-beng-cu!” ia memanggil dan laki-laki itu segera membalikkan tubuhnya dan menghadapinya.
Siang Lan melihat betapa wajah Bu-beng-cu tampak muram dan agak pucat.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Paman, kembali paman telah menyelamatkanku. Bagaimana aku harus membalas budi kebaikan yang
berlimpahan itu?” kata Siang Lan terharu.
Bu-beng-cu menghela napas panjang. Dia merasa semakin sedih melihat betapa kini sinar mata gadis itu
ketika memandangnya berbeda dari biasanya. Kalau biasanya pandang mata itu mengandung kekaguman
dan terima kasih, kini ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang mengandung kemesraan!
Dan inilah yang membuat dia bersedih. Kenyataan bahwa dia jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sudah
merupakan hal yang mendatangkan kesedihan dalam hatinya walaupun kesedihan itu akan ditanggungnya
dengan tabah. Dia akan menganggap hal itu sebagai tambahan penderitaannya dan sudah semestinya
untuk memberi hukuman kepadanya atas dosa yang dia lakukan kepada Siang Lan.
Dia rela binasa dan menderita asalkan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan hidup berbahagia. Akan tetapi
sekarang, melihat bahwa agaknya gadis itu pun mencintanya, membuat dia semakin berduka.
Cinta gadis itu kelak hanya akan menghancurkan kebahagiaan hidup Siang Lan. Alangkah akan hancur
hatinya kalau kelak melihat bahwa jahanam yang dibencinya, yang merupakan musuh besar dan ia telah
bersumpah akan membunuhnya, ternyata adalah pria yang dicintanya! Ah, dia tidak ingin melihat Siang Lan
kelak menderita karena itu. Tidak, Siang Lan tidak boleh jatuh cinta padanya!
“Hwe-thian Mo-li, tidak perlu berterima kasih. Kalau aku membantumu, hal itu sudah merupakan suatu
kewajaran, bukan karena budi kebaikanku. Ketahuilah, bahwa engkau bagiku seperti keponakan sendiri,
atau anak sendiri, maka sudah sepatutnya kalau aku membantumu. Sudahlah, hal itu tidak perlu kita
bicarakan lagi. Yang penting kita bicarakan adalah kekejamanmu tadi yang telah mencincang mayat Hoat
Hwa Cin-jin. Perbuatanmu itu sungguh kejam dan sama sekali tidak berprikemanusiaan!” Suara Bu-beng-cu
menjadi keras mengandung teguran.
08.24. Pelayan Tua Pangeran Bouw
Diam-diam Siang Lan terkejut dan kecewa. Tadinya, ia mengira bahwa laki-laki ini mencintanya, seperti
dirasakannya tadi. Akan tetapi ternyata dugaannya keliru. Bu-beng-cu hanya sayang padanya seperti
sayang keluarganya.
Diam-diam ia memaki dirinya sendiri. Engkau tak tahu malu! Demikian ia berpikir dan gemas kepada
pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin ia mengharapkan seorang pendekar yang demikian gagah perkasa,
berkepandaian tinggi, berbudi mulia dan penuh wibawa, dapat jatuh cinta kepadanya?
Ia seorang gadis yatim piatu yang namanya dikutuk banyak orang sebagai Iblis Betina walaupun yang
mengutuk dan membencinya itu mereka yang disebut golongan sesat. Yang lebih daripada semua itu, ia
bukan gadis yang perawan lagi.
Kehormatannya telah ternoda lagi! Ia telah diperkosa orang. Ia telah ternoda dan kotor. Bagaimana mungkin
mengharapkan menjadi isteri seorang yang hebat seperti Bu-beng-cu? Tak terasa lagi, wajahnya menjadi
pucat dan tak dapat ditahannya, beberapa tetes air mata terjatuh keluar dari pelupuk matanya, mengalir di
kedua pipinya yang pucat.
“Hwe-thian Mo-li...... Nona...... kau menangis? Kenapa?” tanya Bu-beng-cu, khawatir kalau-kalau ucapannya
tadi menyinggung dan menyakitkan hati gadis itu.
Siang Lan menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menggelengkan kepalanya dan
memaksa diri tersenyum.
“Aih, tidak apa-apa, Paman. Aku hanya merasa sedih tadi teringat betapa engkau begitu baik budi,
sedangkan aku...... begini...... jahat......”
“Siapa bilang begitu? Aku bukan manusia baik, aku juga jahat, bahkan jauh lebih jahat daripada engkau.
Hanya aku ingin mengingatkan engkau, cobalah hilangkan semua kebencian dari hatimu. Jangan terlalu
membiarkan dendam kebencian bersarang di hatimu karena hal itu akan meracuni dirimu sendiri.”
“Akan tetapi manusia-manusia jahat dan keji seperti iblis macam Hoat Hwa Cin-jin itu, apakah tidak
sepatutnya kita benci, Paman?”
“Membenci kejahatan berarti tidak mau melakukan kejahatan itu, Nona. Kita tidak suka melihat orang
berbuat kejam, tentu saja kita sendiri harus menjaga agar kita tidak berbuat kejam. Yang kita tentang adalah
dunia-kangouw.blogspot.co.id
tindak kejahatannya, bukan manusianya. Mendendam dan membenci seseorang dapat memberi peluang
kepada nafsu setan untuk mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang kejam.”
“Akan tetapi hati yang disakitkan tidak akan dapat sembuh tanpa pelampiasan dalam bentuk balas dendam,
Paman.”
“Kalau melampiaskan dendam dengan cara melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara kita dan orang
yang melakukan kekejaman kepada kita, Nona? Kita lalu akan menjadi sama kejamnya yang berarti sama
jahatnya dengan orang yang melakukan kejahatan terhadap diri kita.”
Siang Lan menghela napas panjang. Ia merasa seperti kehilangan dan merasa menyesal. Percakapan
dengan Bu-beng-cu sekarang menjadi kering, tidak ada lagi bekas-bekas kemesraan yang ia rasakan dan
nikmati tadi. Akan tetapi ia harus tahu diri. Bu-beng-cu ini terlalu tinggi untuknya dan memang tidak masuk
di akal kalau seorang sepandai dan semulia Bu-beng-cu dapat jatuh cinta kepadanya!
“Paman Bu-beng-cu, aku mengerti akan maksud dari semua nasihatmu, namun aku juga merasa bahwa
kiranya tidak mungkin bagiku untuk menghilangkan dendamku kepada orang-orang yang telah berbuat
teramat jahat kepadaku seperti apa yang dilakukan Hoat Hwa Cin-jin tadi. Juga aku masih ada dendam
yang belum juga dapat kubalas, yaitu dendamku setinggi gunung sedalam lautan kepada si jahanam busuk
Thian-te Mo-ong!”
“Sudahlah, Hwe-thian Mo-li, aku tidak menyalahkan engkau membunuh Hoat Hwa Cin-jin karena dia
memang amat jahat dan kematiannya merupakan akibat dari kejahatannya sendiri. Yang kusesalkan adalah
caramu melampiaskan kebencian dengan mencincang mayatnya. Kuharap lain kali engkau tidak akan
melakukan kekejaman seperti itu lagi.”
Siang Lan merasa bahwa ia tadi memang lupa diri saking marahnya kepada Hoat Hwa Cin-jin. Ia menghela
napas lagi dan berkata.
“Maafkan aku, Paman. Tadi aku memang telah lupa diri dan mata gelap karena marah terhadap tokoh Peklian-
kauw yang nyaris melakukan kekejian yang lebih mengerikan daripada maut kepadaku. Aku berjanji
akan lebih bersabar dan menguasai diri, Paman. Akan tetapi bagaimana dengan tugas yang akan
kulaksanakan untuk membantu Paman Panglima Chang di kota raja? Aku sedang dalam perjalanan ke sana
dan aku kira di sana aku pasti akan berhadapan dengan musuh-musuh negara yang melakukan
pembunuhan dan pengacauan itu. Apakah aku juga pantang membunuh mereka?”
“Hwe-thian Mo-li, ketika engkau hendak belajar silat untuk memperdalam kepandaianmu, engkau telah
berjanji, bahkan bersumpah untuk tidak membunuh orang. Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau engkau
terpaksa melakukannya untuk membela diri. Tugas yang hendak kaulakukan sekarang adalah tugas
membela negara.
“Kalau engkau bertemu dan melawan musuh, berarti engkau bukan melawan musuh pribadi, melainkan
musuh negara. Tentu saja bunuh-membunuh dalam perang tidak termasuk urusan pribadi, dilakukan untuk
berbakti kepada negara dan dilakukan tanpa kebencian pribadi. Betapapun juga, sebaiknya kalau mungkin,
robohkan dan tawan musuh negara itu hidup-hidup daripada membunuhnya. Kukira engkau mengerti apa
yang kumaksudkan. Sekarang lanjutkanlah perjalananmu dan baik-baiklah menjaga dirimu.”
“Terima kasih, Paman.”
Mereka saling berpisah. Siang Lan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja dan kini ia menggunakan
ilmu berlari cepat. Bu-beng-cu cepat berlari kembali ke tempat di mana Hoat Hwa Cin-jin tewas. Dia
menggali lubang dan menguburkan mayat tokoh Pek-lian-kauw itu baik-baik, lalu memberi tanda di depan
gundukan tanah kuburan itu dengan sebuah batu besar yang dia ukir empat huruf berbunyi,
“HOAT HWA CIN-JIN”.
Setelah terjadi pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang menggegerkan kota raja sehingga
Kaisar sendiri turun tangan memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki dan menangkap
pembunuhnya, kota raja kini tampak aman. Tidak ada lagi kerusuhan, atau pembunuhan.
Pangeran Bouw Ji Kong memang cerdik. Maklum bahwa kalau dia melanjutkan gerakannya melakukan
pembersihan dengan membunuh para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar akan membahayakan dirinya
karena kini panglima Chang sudah diserahi tugas oleh Kaisar untuk menyelidiki dan menangkap pembunuh,
maka dia menghentikan aksi pembunuhan itu. Dia bahkan menyuruh para sekutunya yang melakukan
pembunuhan itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, jagoan Mancu, dan Tarmalan jagoan suku Hui, untuk
dunia-kangouw.blogspot.co.id
meninggalkan kota raja, dan bersembunyi di markas Jenderal Su Lok Ti yang menjadi komandan pasukan
yang bertugas di perbatasan Utara.
Panglima Chang bukan orang yang lengah dan bodoh. Diam-diam dia menaruh curiga kepada Pangeran
Bouw Ji Kong yang pernah memberontak itu.
Walaupun kini dia menduduki pangkat cukup tinggi sebagai penasihat Kaisar mengenai hubungan dengan
suku-suku liar di Barat dan Utara, namun Panglima Chang meraguan kesetiaan pangeran yang berdarah
Hui ini. Kelihatan sekali betapa Pangeran Bouw melindungi para suku yang berhubungan dekat dengannya.
Maka, Panglima Chang diam-diam mengirim para penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw
Ji Kong.
Dulu pernah Pangeran Bouw terlibat hubungan dekat dengan pihak Pek-lian-kauw yang sejak dulu menjadi
pemberontak. Akan tetapi kaisar memaafkannya setelah dia berdalih bahwa dia mendekati Pek-lian-kauw
agar mereka sadar dan menghentikan pemberontakan mereka. Bahkan Pangeran Bouw pula yang
menganjurkan kaisar menerima utusan Pek-lian-kauw, yaitu Leng Kok Ho-siang yang menyatakan kemauan
baik Pek-lian-kauw untuk menghentikan pemberontakan itu. Kaisar masih memaafkan adik tiri yang lahir
dari selir yang berbangsa Hui itu, karena anjuran itu dianggapnya sebagai kelengahan dan kebodohan
Pangeran Bouw yang dapat dibohongi pihak Pek-lian-kauw.
Akan tetapi para penyelidik itu melaporkan bahwa tidak ada yang mencurigakan dalam gedung Pangeran
Bouw. Bahkan para penyelidik melaporkan bahwa Bouw-kongcu, putera tunggal pangeran Bouw adalah
seorang pemuda yang baik budi dan ramah kepada semua orang. Mereka melaporkan bahwa tidak tampak
ada persekutuan di rumah Pangeran Bouw.
Di sana hanya ada pelayan-pelayan wanita dan pelayan pria yang sudah tua, dan pangeran itu mempunyai
pengawal yang terdiri dari pendekar-pendekar terkenal, yaitu Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa Kang-lam).
Tidak ada tanda-tanda bahwa Pangeran Bouw mempunyai keinginan untuk memberontak, juga tidak ada
tanda bahwa dia mempunyai hubungan atau terlibat dengan para pembunuh pejabat tinggi itu.
Pada suatu malam yang gelap, sesosok bayangan berkelebat dan melayang ke atas wuwungan rumah
gedung Pangeran Bouw. Bayangan ini adalah Chang Hong Bu.
Seperti kita ketahui, Chang Hong Bu memenuhi perintah pamannya, Panglima besar Chang Ku Cing untuk
menyampaikan permintaan bantuannya kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan tugas itu telah
dilaksanakan dengan baik. Setelah dia kembali ke kota raja dan melaporkan hasil pertemuan dengan Nyo
Siang Lan, pemuda murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mendapat tugas khusus dari pamannya.
“Para penyelidik yang kukirim untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan,” demikian Panglima Chang memberitahu keponakannya setelah menceritakan tentang
Pangeran Bouw.
“Akan tetapi aku tetap curiga kepadanya. Karena itu, coba engkau selidiki sendiri, Hong Bu. Akan tetapi
hati-hatilah karena di sana terdapat Kang-lam Jit-sian yang lihai. Sebaiknya engkau mengenakan penutup
muka agar kalau ketahuan tidak akan dikenal. Aku mengutusmu karena para penyelidik itu hanya
menyelidiki dari luar, tidak ada yang berani masuk. Engkau harus dapat menyelidiki dalam gedungnya untuk
melihat apakah tidak ada orang luar yang bersembunyi di sana. Sebaiknya malam ini engkau melakukan
penyelidikan karena malam ini kebetulan mendung dan gelap.”
Chang Hong Bu malam itu mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi mukanya dan kepalanya
dengan kain sutera hitam, hanya melubangi bagian kedua matanya. Dengan gerakan ringan dia dapat
melompati pagar tembok di belakang yang menembus taman. Sejenak dia mendekam dan bersembunyi di
balik pohon-pohon di taman itu.
Setelah merasa yakin bahwa di sana tidak terdapat orang, dia lalu bergerak mendekati gedung dan sekali
tubuhnya melompat, dia sudah melayang ke atas wuwungan gedung. Bagaikan seekor kucing dia berjalan
di atas genteng dan mengintai ke bawah.
Ketika tiba di atas sebuah ruangan luas di bagian belakang gedung, Hong Bu mendekam dan
memperhatikan keadaan ruangan itu. Dia melihat tujuh orang laki-laki duduk mengelilingi sebuah meja
besar sambil makan kue kering dan minum arak. Mereka tertawa-tawa dan bersendau-gurau.
Hong Bu memperhatikan mereka. Mereka adalah laki-laki yang berusia sekitar empatpuluh sampai
limapuluh tahun, bertubuh tegap, bahkan yang kurus pun tampak kokoh dan melihat betapa mereka itu
gagah dan di situ terdapat bermacam-macam senjata, ada tombak, golok, pedang, mudah diketahui bahwa
tujuh orang itu tentu golongan ahli silat.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Teringat dia akan keterangan pamannya tentang Kang-lam Jit-sian yang menjadi pengawal Pangeran Bouw
dan dia merasa yakin bahwa mereka inilah tujuh Dewa Kang-lam itu. Melihat betapa tujuh orang yang
sedang minum-minum itu tidak dapat mengetahui akan kedatangannya, Hong Bu dapat menilai bahwa ilmu
kepandaian mereka belumlah terlalu tinggi walaupun kalau tujuh orang itu maju bersama tentu merupakan
lawan yang berat juga. Dia segera melanjutkan penyelidikannya ke sebelah depan dan berhenti di bagian
tengah.
Di ruangan tengah tidak nampak ada orang, bahkan tidak ada pelayan. Agaknya semua orang sudah
berada di kamar masing-masing karena malam itu selain mendung dan di luar gelap, juga hawanya cukup
dingin membuat orang lebih suka berada di dalam kamar yang tertutup rapat dan hangat.
Ketika dia hendak melanjuthan penyelidikannya ke bagian lain, tiba-tiba terdengar daun pintu terbuka
sehingga Hong Bu tidak jadi bergerak dan mengintai lagi. Dia kini melihat seorang laki-laki tua, usianya
hampir tujuhpuluh tahun dan melihat pakaiannya dia tentu seorang pelayan, keluar dari pintu yang terbuka
itu. Dia melangkah, berdiri ditengah ruangan itu, menoleh ke kanan kiri seperti orang bingung.
Seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian indah muncul dari sebuah pintu lain. Biarpun dia belum
mengenal laki-laki itu karena sejak kecil Hong Bu sudah meninggalkan kota raja, dia dapat menduga bahwa
tentu inilah yang bernama Pangeran Bouw Ji Kong.
Dia melihat betapa pelayan tua itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya amat dalam sambil
berkata dengan suara merendah. “Ampunkan hamba, Pangeran, kalau hamba telah mengganggu Paduka
dari tidur.”
“Ah, tidak mengapa, Paman A-kui. Aku tadi mendengar bunyi daun pintu dibuka. Apakah ada sesuatu yang
membuat engkau keluar dari kamarmu?”
“Tidak ada apa-apa, Pangeran. Harap Paduka suka istirahat kembali. Hamba hanya keluar hendak
memeriksa apakah hamba tidak lupa menutupkan semua jendela di ruangan ini.”
Pangeran Bouw mengangguk dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Kakek pelayan itu menghampiri
semua jendela dan memeriksanya, lalu dia pun masuk kembali melalui pintu yang tadi dibukanya.
Hong Bu tidak merasa perlu untuk menyelidiki bagian itu karena di situ agaknya merupakan kamar-kamar
keluarga pangeran dan para pelayan. Dia lalu bergerak lagi melakukan pemeriksaan ke bagian samping
dan depan. Akan tetapi ternyata di samping hanya merupakan tempat tinggal para pembantu rumah tangga.
Bahkan di bagian kamar tamu yang berjumlah sepuluh kamar itu semua kosong, berarti pada waktu itu
Pangeran Bouw tidak mempunyai tamu yang bermalam di situ.
Selagi Hong Bu hendak meninggalkan wuwungan gedung karena tidak ada lagi yang perlu diselidiki, tibatiba
terdengar suara bersiut dan sebuah benda hitam sebesar kepalan tangan menyambar ke arah
kepalanya! Sambaran benda itu cepat bukan main sehingga untuk mengelak Hong Bu tidak sempat lagi.
Maka dia segera menggerakkan tangannya untuk menangkis benda itu dengan tamparan tangan kanannya.
“Plakk!!” Benda itu tertangkis dan terpental jauh, akan tetapi Hong Bu terkejut sekali karena merasa betapa
tangannya nyeri, panas dan pedih. Bahkan ketika dia meraba dengan tangan kirinya, ternyata tangannya
terluka dan berdarah!
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan tujuh orang yang tadi minum-minum di ruangan
belakang itu berlompatan ke atas genteng. Melihat ini, Hong Bu maklum bahwa keadaannya akan
berbahaya, maka cepat sekali dia melayang turun dari atas genteng ke dalam taman yang gelap lalu berlari
dan melompati pagar tembok di belakang. Tujuh orang Kang-lam Jit-sian tidak mampu mengejar karena
malam itu memang gelap bukan main.
Hong Bu cepat pulang ke gedung Panglima Chang. Begitu memasuki gedung, ternyata pamannya telah
menantinya. Bagaimanapun juga, Panglima Chang Ku Cing tetap saja agak gelisah menanti kembalinya
keponakannya. Dia yakin akan kelihaian Hong Bu, akan tetapi dia juga maklum bahwa tidak mudah
menyelidiki keadaan rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong yang tentu memelihara orang-orang pandai
untuk menjaga keselamatannya.
Ketika menyambut Hong Bu dan melihat tangan kanan keponakannya berdarah, dia terkejut.
“Apa yang terjadi?” tanyanya khawatir.
Hong Bu duduk di atas kursi dan memeriksa tangannya. Ternyata punggung tangannya terluka, kulitnya
terobek. Akan tetapi luka itu tidak beracun dan melihat lukanya, agaknya seperti terkena benda yang tak
dunia-kangouw.blogspot.co.id
runcing atau tajam. Mungkin hanya sekepal batu yang disambitkan kepadanya. Diam-diam Hong Bu terkejut
karena orang yang mampu melukai tangannya hanya dengan sambitan sepotong batu sungguh memiliki
tenaga sakti yang amat kuat!
Dia lalu menceritakan kepada pamannya apa yang telah dia alami ketika melakukan penyelidikan di gedung
Pangeran Bouw Ji Kong.
“Saya tidak melihat hal-hal yang mencurigakan, Paman. Yang berada di sana hanya Kang-lam Jit-sian dan
para pelayan dan pembantu rumah tangga. Di kamar-kamar tamu juga tidak ada tamunya. Akan tetapi
agaknya Kang-lam Jit-sian itu merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.”
Panglima Chang mengerutkan alisnya dan memeriksa luka di tangan keponakannya. “Menurut keterangan
yang sudah lama kudapatkan ketika pertama kali pangeran Bouw menerima Kang-lam Jit-sian sebagai
pengawalnya, kepandaian mereka itu tidaklah terlalu tinggi. Bagaimana engkau dapat menduga bahwa ilmu
mereka amat tinggi? Luka di tanganmu ini juga tidak parah.”
“Begini, Paman. Sebelum tujuh orang itu bermunculan, ada benda kecil hitam menyambar ke arah kepala
saya. Saya menangkis sambil mengerahkan tenaga, akan tetapi ternyata sambitan itu amat kuat sehingga
benda itu dapat membuat kulit tangan saya pecah terluka. Hal ini membuktikan bahwa benda yang saya kira
hanya sepotong batu itu disambitkan oleh orang yang memiliki sin-kang kuat sekali.”
“Hemm, begitukah? Akan tetapi siapa tahu sambitan itu mungkin tidak dilakukan oleh seorang di antara
Kang-lam Jit-sian, melainkan oleh orang lain.”
“Saya kira tidak, Paman, karena setelah sambitan itu, yang muncul adalah Kang-lam Jit-sian. Saya lalu
meloncat dan melarikan diri.”
Panglima Chang Ku Cing menghela napas panjang. “Kalau memang Pangeran Bouw tidak perlu dicurigai,
sebaiknya kita arahkan penyelidikan kepada para pejabat lain yang kesetiaannya terhadap Sribaginda
Kaisar boleh diraguan.”
“Paman, apakah Paman tetap menduga bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh para pejabat
yang tidak setia?”
Panglima itu mengangguk.
“Kukira begitulah. Biarpun para pembunuh itu jelas memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak mungkin
mereka dapat berkeliaran di kota raja tanpa ketahuan. Pasti ada yang membantu mereka, yang memberi
tempat persembunyian bagi mereka. Yang dibunuh adalah enam orang pejabat tinggi yang setia, ini saja
sudah jelas merupakan bukti bahwa pelakunya menghendaki lemahnya pemerintah di bawah pimpinan
Sribaginda Kaisar.
“Dan yang ingin melihat pemerintah menjadi lemah tentu saja para pemberontak seperti Pek-lian-kauw dan
lain-lain, juga para pejabat yang tidak setia kepada Sribaginda Kaisar. Biasanya persekongkolan seperti ini
tentu ada yang menjadi pemimpinnya, dan bukan tidak mungkin pemimpinnya adalah seorang pejabat
pemerintah sendiri yang bermaksud untuk merampas tahta kerajaan.”
“Hemm, ini seperti mencari musuh dalam selimut, Paman. Kalau tidak dapat segera diketahui orangnya dan
ditangkap, akan berbahaya sekali!” kata Chang Hong Bu.
“Karena itulah aku tidak memandang remeh urusan ini. Sribaginda telah menugaskan kepadaku untuk
menyelidiki dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membongkar rahasia ini. Untuk itu aku
mengundang para pendekar dan orang sakti yang dulu pernah membantu pemerintah, antara lain Sim Tek
Kun putera Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Ong Liang hong. Juga Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Kalau ada para pendekar lain yang dapat membantu, lebih baik lagi. Juga aku sudah mengirim utusan untuk
mencari dan mengundang Lo-cianpwe Ouw-yang Sianjin. Ketika engkau bertemu Hwe-thian Mo-li, kapan ia
mengatakan akan datang ke kota raja?”
09.25. Pasangan Muda Pangeran Sim
“Saya kira tidak lama lagi ia akan datang, Paman. Ia akan membangun taman di Lembah Selaksa Bunga
lebih dulu, kemudian ia akan segera ke sini menghadap Paman.”
“Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja. Sekarang sebaiknya engkau obat luka di tanganmu itu dan pergi
tidur.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Setelah menerima permintaan bantuan Panglima Chang, Sim Tek Kun dan isterinya, Ong Lian Hong mulai
melakukan penyelidikan. Mereka berdua mengunjungi tempat-tempat rawan di kota raja, yaitu di beberapa
rumah judi dan rumah pelesir di mana biasanya menjadi tempat para golongan penjahat bersenang-senang.
Bahkan mereka berdua sempat ribut dan berkelahi dengan para penjahat yang belum mengenal mereka
sehingga ada yang berani bersikap tidak sopan kepada Lian Hong. Tentu saja para penjahat yang kurang
ajar itu kecelik dan menerima hajaran keras dari Lian Hong dan Tek Kun sehingga dalam beberapa hari saja
mereka menjadi gempar dan ketakutan. Akan tetapi para orang kang-ouw yang mengenal suami isteri
pendekar itu, tidak berani mencari perkara, bahkan mereka siap membantu dengan keterangan yang
diminta oleh suami isteri itu.
Namun, para penjahat atau golongan hitam yang berkeliaran di kota raja itu tidak ada yang mengetahui
tentang pembunuhan-pembunuhan rahasia itu. Maka, setelah menyelidiki selama hampir dua bulan, Tek
Kun dan Lian Hong belum juga mendapat keterangan.
Pada suatu hari, kota raja meriah sekali. Pada hari itu, di semua kota besar di mana terdapat Kwan-im-bio
(Kuil Dewi kwan Im) penduduk mengadakan pesta besar untuk memperingati hari ulang tahun kwan Im Posat
(Dewi kwan Im), yang jatuh pada Lak-gwe Cap-kau (Bulan Enam Tanggal Sembilanbelas). Sebetulnya
pesta meriah hanya diadakan di kuil-kuil, namun karena pada masa itu hampir seluruh rakyat memuja Dewi
kwan Im sebagai Dewi Welas Asih, maka seluruh penduduk ikut merayakan.
Mereka berbondong-bondong mengunjungi Kwan-im-bio untuk bersembahyang dengan permohonan
masing-masing. Ada yang mohon kesembuhan dari penyakitnya, ada yang mohon tambah rejeki, kenaikan
pangkat, kemajuan perusahaannya, bahkan ada yang mohon agar segera mendapatkan jodoh, dan banyak
pula suami isteri mohon diberi karunia anak laki-laki!
Yang namanya kepercayaan memang tidak mungkin diperbantahkan atau dipersoalkan karena
kepercayaan akan hal-hal yang abstrak tidak dapat diraba ataupun diselidiki melalui akal dan penalaran.
Karena inilah maka di dunia muncul banyak macam agama dan kepercayaan dan masing-masing
pemeluknya mempercaya semua agama masing-masing dengan sepenuh imannya. Kalau diperdebatkan
maka akan terjadi pertentangan yang dapat mengakibatkan permusuhan.
Sayang sekali, yang dipersoalkan adalah perbedaan kepercayaan mengenai upacara-upacaranya dan
peraturan-peraturannya. Padahal, pada hakekatnya, semua agama dan kepercayaan memiliki inti yang
tiada bedanya. lntinya adalah pemujaan dan keinginan untuk kembali kepada Sumber Kehidupan yang
abadi, yaitu Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, Yang Maha Pencipta, Maha Kasih dan selanjutnya.
Untuk mencapai tujuan itu, ada agama atau kepercayaan yang mengharapkan pertolongan para perantara,
seperti manusia di dunia yang ingin menghadap kaisar, raja, atau kepala pemerintahan, pendeknya orang
nomor satu dalam negara, selalu melalui perantara atau para “pembantu” Sang Raja. Dan kesemuanya itu
baik-baik saja asalkan mengambil jalan yang satu, yaitu jalan kebenaran, jalan kebajikan dan menjauhi jalan
yang sesat dan jahat.
Pada masa itu, banyak para dewa dipuja di Cina sejak ribuan tahun, para dewa yang dianggap dapat
membantu mereka menyampaikan permohonan mereka kepada Yang Maha Kuasa. Para dewa yang
dianggap memiliki kebajikan sempurna sehingga mau dan suka menolong mereka. Terutama sekali, pada
waktu itu, Dewi kwan Im!
Kwan Im Po-sat tidak akan menolak permohonan manusia yang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi
tetap saja ada syaratnya hakiki, yaitu si pemohon haruslah bersih, dalam arti kata, tidak melakukan
perbuatan jahat. Juga semua permohonan harus bersifat bersih, bukan untuk mencelakai orang lain.
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang memperoleh pendidikan sastra, dan masa itu sastra berarti hafal
akan isi kitab-kitab agama dan menjadikan mereka orang-orang yang beribadat, tidak terkecuali mereka pun
percaya sekali dan memuja Kwan Im Po-sat sebagai penolong yang penuh kasih sayang. Mereka berdua
juga ikut berjubel dengan orang banyak untuk mendapat kesempatan sembahyang lalu mereka menonton
pertunjukan yang selalu diadakan di pekarangan depan kuil Kwan-im-hio setiap tahun sekali.
Pertunjukan menginjak bara api, mandi minyak mendidih, tusuk dan potong lidah dan sebagainya yang
sesungguhnya merupakan pertunjukan yang amat aneh dan tidak wajar, namun karena hal itu sudah
merupakan tradisi dan kebiasaan, maka para penonton tidak merasa heran lagi.
Sejumlah orang melakukan upacara yang amat aneh dan menyeramkan itu. Mereka sama sekali bukan
pendeta, bukan orang-orang terpelajar, bahkan mereka itu terdiri dari para petani atau kuli yang tingkat
keadaan hidupnya rendah. Mereka bahkan sebagian besar buta huruf dan bodoh. Justeru kebodohan dan
dunia-kangouw.blogspot.co.id
kesederhanaan itulah yang membuat mereka dapat memiliki kepercayaan yang tebal, mutlak, dan
membuta.
Selain itu, juga mereka harus memiliki apa yang biasa disebut oleh para pendeta sebagai “orang bertulang
baik” atau memiliki bakat untuk menjadi Tang-sin. Demikianlah orang-orang yang melakukan upacara itu
disebut. Yang berarti kemasukan atau kesurupan dan Sin berarti badan. Tang-sin berarti badan yang
kemasukan atau kesurupan roh (in trance).
Di halaman kuil yang luas itu para pengurus perayaan telah menata arang membara sepanjang dua-tiga
tombak. Arang itu membara dan panasnya terasa oleh penonton yang berdiri empat-lima tombak dari situ.
Lima orang Tang-sin sudah berada dalam keadaan kesurupan setelah mereka bersembahyang, dipimpin
seorang pendeta. Para Tang-sin itu berpakaian sederhana, dan celana mereka pendek sebatas lutut,
bertelanjang kaki dan masing-masing memegang sebuah bendera.
Kemudian, diiringi pukulan tambur dan canang yang riuh rendah, mereka keluar dari kuil dan berlari menuju
halaman di mana terdapat arang membara itu. Dengan enaknya, mereka berjalan dengan kaki telanjang di
atas arang membara itu, bolak-balik beberapa kali lalu kembali ke dalam kuil di mana mereka ramai bicara
satu sama lain, dan anehnya, mereka bicara bukan dengan dialek mereka sendiri, melainkan dialek dari
suku dari mana para roh yang memasuki mereka itu berasal!
Kemudian ada pula pertunjukan mandi minyak mendidih. Sebuah kuali besar diisi penuh minyak lalu direbus
sampai minyaknya mendidih. Para Tang-sin lalu mencelupkan kain ke dalam minyak panas itu dan
digunakan untuk menggosok-gosok muka dan badan mereka. Sedikit pun mereka tidak kelihatan
kepanasan, malah kelihatan segar seolah-olah mandi air yang dingin! Para penonton yang tebal
kepercayaan mereka sudah siap dengan botol untuk diisi minyak yang dipakai mandi itu, lalu mereka bawa
pulang dan dipergunakan sebagai obat!
Ada pula pertunjukan atau upacara membagi Hu (Huruf Jimat). Untuk upacara ini dipilih beberapa orang
Tang-sin yang biasa melakukan upacara yang aneh dan mengerikan ini. Dalam keadaan kesurupan mereka
menggunakan pisau tajam untuk mengerat lidah mereka yang dijulurkan keluar. Tidak sampai putus, akan
tetapi terluka dan darah mengucur dari luka di lidah mereka itu.
Darah ini oleh para Tang-sin dipergunakan untuk menulis huruf di atas sehelai kain yang sudah
dipersiapkan para penonton yang membutuhkan. Kain yang ditulis dengan tinta darah inilah yang
dinamakan Hu dan biasanya mereka pergunakan untuk penangkal penyakit, penolak bala, dan sebagainya.
Kembali semua ini hanya berdasarkan kepercayaan yang tebal kepada dewa yang mereka puja, yang
terdapat dalam kuil itu sebagai pendamping atau pengiring Dewi Kwan Im. Para dewa yang dipuja dan
memasuki para Tang-sin itu disebut sebagai hulubalang Dewi Kwan Im dan mereka mempunyai nama
julukan masing-masing.
Masih ada beberapa macam upacara yang dipertunjukkan lagi, seperti berjalan di atas tangga dari pedang
tajam, tidur di atas pedang-pedang tajam, dan berbagai keajaiban lagi. Semua itu dilakukan oleh para Tangsin
dalam keadaan kesurupan sehingga setelah selesai pertunjukan, mereka sadar kembali dan sama sekali
tidak ingat akan apa yang mereka lakukan dalam keadaan kesurupan tadi. Mereka menjadi orang biasa
kembali dan seandainya kulit tubuh mereka terkena api sedikit saja pasti akan melepuh!
Selain pertunjukan yang merupakan upacara dan mengandung keajaiban ini, terdapat pula pertunjukan
biasa yang sifatnya hanya sebagai hiburan kesenian seperti permainan Barong-sai (Tarian Singa), tarian
kilin, atau tarian Naga, juga pertunjukan wayang.
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong ikut dalam suasana pesta, nonton semua pertunjukan itu. Setelah merasa
lelah, mereka lalu pergi ke rumah makan Thai Lok, sebuah rumah makan yang cukup besar di kota raja.
Dalam suasana pesta itu, kota raja menjadi ramai karena banyak sekali tamu berdatangan untuk nonton
keramaian pesta ulang tahun di Kwan-im-bio, terutama sekali dari penduduk yang tinggal di kota di mana
tidak ada kuil Kwan Im. Rumah makan itu pun penuh dengan tamu yang makan siang.
Suami isteri itu mendapatkan tempat di bagian luar karena di sebelah dalam sudah penuh tamu. Di ruangan
bagian luar itu terdapat empat buah meja yang dikelilingi empat bangku. Tiga meja sudah ditempati tamu,
tinggal satu yang kosong dan Sim Tek Kun berdua isterinya segera duduk di situ memesan makanan,
kepada pelayan yang menghampiri mereka.
Dekat mereka terdapat meja yang dikelilingi tiga orang tamu. Mereka itu agaknya sudah setengah mabok
karena mereka tertawa-tawa dengan ribut. Di meja lain sebelah sana juga terdapat empat orang laki-laki
yang setengah mabok.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Ketika Tek Kun dan Lian Hong duduk di meja mereka, tiga orang laki-laki yang duduk di meja terdekat itu
menoleh dan memandang Lian Hong sambil tersenyum-senyum. Bahkan seorang dari mereka, yang
berusia sekitar empatpuluh tahun dengan sebatang pedang tergantung di punggung, pakaiannya mewah
dan wajahnya cukup tampan dan gagah, memandang Lian Hong terus-terusan dengan sikap kurang ajar.
Diam-diam Tek Kun memperhatikan tiga orang ini. Mereka itu jelas merupakan orang-orang kang-ouw
karena ketiganya mempunyai senjata. Si Tampan itu mempunyai pedang, lalu orang kedua yang usianya
sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang, mukanya penuh bopeng (bekas cacar), juga memiliki
sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ketiga berusia sebaya, mukanya seperti muka monyet
dan di punggungnya ada sepasang golok. Pakaian mereka serba mewah.
Tek Kun melihat betapa wajah isterinya yang jelita itu menjadi agak kemerahan. Dia mengerti bahwa
perasaan isterinya agak tersinggung melihat sikap tiga orang itu yang tadi memandangnya dengan lahap,
terutama sekali yang berwajah tampan dan sampai sekarang masih menatapnya sambil cengar-cengir.
Pelayan datang mengantarkan kecap dan saus dalam mangkok, mendahului hidangan yang belum siap.
Tek Kun berkedip kepada isterinya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan sabar dan Lian Hong
mengangguk, lalu membuang muka, tidak mau berhadapan muka dengan laki-laki yang tersenyum-senyum
kurang ajar itu. Akan tetapi agaknya laki-laki itu memang memiliki watak mata keranjang dan sewenangwenang
mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri dan kawan-kawannya.
Kecantikan Lian Hong yang memang memiliki banyak kelebihan dan mengandung daya tarik luar biasa itu
membuat laki-laki yang sudah setengah mabok menjadi tergila-gila dan dia tidak mampu lagi menahan
gairah hatinya. Dia lalu bangkit berdiri dan dengan langkah gontai menghampiri meja suami isteri itu.
Setelah dekat, dia berdiri di sisi meja berhadapan dengan Lian Hong sambil menyeringai dan berkata.
“Nona yang cantik jelita seperti Dewi, kalau tidak keliru dugaanku, engkau tentu Kwan Im Po-sat sendiri
yang menjelma. Mari silakan, kuundang engkau untuk bersama-sama makan di mejaku. Di sana penuh
hidangan dan engkau dapat makan semewahnya, daripada hanya menghadapi saus dan kecap seperti ini.
Heh-heh-heh!”
Muka Lian Hong sudah merah sekali. Tek Kun menyentuh lengan isterinya untuk mencegahnya turun
tangan menghajar orang itu, lalu dia berkata dengan halus.
“Sobat, engkau sudah mabok, lebih baik kembalilah ke meja teman-temanmu dan lanjutkan berpesta.
Terima kasih atas penawaranmu dan harap jangan mengganggu isteriku.”
“Aih, apa salahnya kalau aku mengajak isterimu? Ia cantik jelita dan penjelmaan Kwan Im Po-sat yang
selalu memenuhi permintaan orang. Sekarang aku minta agar ia menemaniku makan minum, tentu ia mau
memenuhi permintaanku ini. Bukankah begitu, manis tersayang?” Laki-laki itu mendekatkan mukanya yang
menghamburkan bau arak kepada Lian Hong.
“Kwan Im Posat hanya memenuhi permintaan orang yang baik dan benar! Jahanam macam engkau ini
hanya akan dipenuhi permintaanmu oleh setan dan iblis! Nih, makanlah!” Cepat bagaikan kilat tangan Lian
Hong menyambar mangkok berisi saus dan menuangkan isinya dengan gerakan cepat ke arah muka lakilaki
itu. Laki-laki itu sama sekali tidak pernah menyangka, maka dia tidak sempat mengelak.
“Prattt......!” Mukanya penuh saus yang merah seperti darah! Yang celaka baginya, saus yang mengandung
tomat, merica, cuka dan jahe itu memasuki mata dan hidungnya.
Dia gelagapan, lalu mengaduh-aduh, menjatuhkan diri berjongkok dan berusaha membersihkan kedua
matanya dengan tangan. Akan tetapi jari-jari tangannya bahkan menekan saus itu lebih merata dan dalam
di matanya. Dia mengeluh dan berkaok-kaok karena kedua matanya terasa panas dan pedih luar biasa.
Semua kepandaian silatnya, semua kekuatannya, ternyata tidak ada gunanya sama sekali setelah kedua
matanya dimasuki saus itu!
“Keparat......!” Dua orang temannya Si Tampan, yang bermuka bopeng dan bermuka monyet, melompat
marah hendak menangkap Lian Hong. Yang seorang mencengkeram ke arah pundak Lian Hong dan Si
muka monyet menampar ke arah Tek Kun untuk mencegah orang itu membantu isterinya.
Kini Tek Kun tidak dapat bersabar lagi. Dia menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga,
sedangkan Lian Hong juga menangkis sambil mendorong.
“Duduk......!!” Dua orang itu terpental ke belakang dan menabrak meja mereka sendiri sehingga meja itu
roboh dan semua hidangan tumpah dan jatuh ke bawah. Dua orang itu terkejut dan marah sekali. Si muka
bopeng mencabut pedangnya dan Si muka monyet mencabut siang-to (sepasang golok). Bahkan empat
dunia-kangouw.blogspot.co.id
orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah mereka kini bangkit dan tampak jelas hendak mengeroyok
suami isteri itu.
“Keluar!” Tek Kun berseru kepada isterinya sambil menendang meja di depannya. Meja itu melayang dan
menghantam enam orang yang hendak mengeroyok itu. Akan tetapi mereka dapat memukul pecah meja itu.
Tek Kun dan Lian Hong sudah berlompatan keluar dari rumah makan dan menanti di jalan raya.
Tentu saja para tamu rumah makan itu menjadi panik dan ketakutan. Mereka segera melarikan diri dari
samping dan menjauhkan diri.
Tujuh orang itu kini juga keluar. Enam di antara mereka sudah memegang senjata, sedangkan yang
seorang tadi masih mencoba membersihkan kedua matanya menggunakan kain yang dicelup air. Akan
tetapi tetap saja matanya masih sukar dibuka dan dia berjalan seperti orang buta meraba-raba menuju
keluar mengikuti enam orang temannya.
Lian Hong melihat suaminya tidak membawa senjata, maka ia lalu melolos pedang tipis yang tadinya ia
pakai sebagai sabuk, lalu menyerahkannya kepada suaminya.
“Pakai pedangku ini!” kata Lian Hong.
Tek Kun menerimanya karena dia tahu benar bahwa selain pedang tipis itu, isterinya memiliki senjata yang
tidak kalah ampuhnya, yaitu sehelai selendang merahnya yang kini telah dilolos pula dan berada di tangan
Lian Hong.
Setelah enam orang itu berhadapan dengan mereka, yang tertua, berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh
tinggi besar muka berewok yang memegang sebatang tombak kepala naga, bersikap gagah dan galak lalu
berseru kepada suami isteri itu.
“Kalian berani memukul rekan kami! Kami adalah petugas-petugas negara. Menyerahlah kalian untuk kami
tangkap!”
Tek Kun tersenyum. “Kalianlah yang membuat kekacauan dan kalian yang sepatutnya ditangkap dan
dihukum!”
“Kalian bosan hidup!” bentak Si pemegang Tombak dan bersama seorang temannya yang bersenjatakan
sebatang golok besar, dia menerjang ke depan.
“Tar-tarrrr......!!” Sinar merah melecut dan meledak-ledak di atas kepala dua orang itu, membuat mereka
terkejut dan cepat melompat ke belakang. Enam orang itu segera mengepung suami isteri yang sudah siap
siaga dan Lian Hong berkata kepada suaminya.
“Hemm, mari kita hajar manusia-manusia tak tahu diri ini!”
Sebelum kedua pihak saling serang, terdengar suara nyaring membentak. “Tahan......!!”
Seorang yang bertubuh tinggi dan gemuk, berwajah angker dan mengenakan pakaian pembesar muncul.
Melihat Pangeran Bouw Ji Kong, tujuh orang itu tampak jerih dan mereka segera mundur dan berdiri
bergerombol walaupun wajah mereka masih muram dan mata mereka melotot ke arah Tek Kun dan Lian
Hong.
Melihat bahwa yang hendak dikeroyok itu adalah Sim Tek Kun dan isterinya, Pangeran Bouw Ji Kong
segera menghampiri.
“Aih, ternyata Sim Tek Kun dan isterinya yang akan dikeroyok! Kesalahpahaman apakah ini? Ketahuilah
kalian berdua bahwa mereka ini adalah Kang-lam Jit-sian, para pengawal pribadiku.”
Sim Tek Kun memberi hormat, akan tetapi Lian Hong berkata kepada pangeran itu. “Paman Pangeran
Bouw Ji Kong, mengapa Paman memelihara Kang-lam Jit-kauw (Tujuh Anjing Kang-lam) yang menjemukan
ini?” Ia sengaja mengganti julukan Jit-sian (Tujuh Dewa) menjadi Jit-kauw (Tujuh Anjing).
Mendengar ucapan isterinya yang penuh ejekan ini, Sim Tek Kun segera berkata dengan nada
menghormat, “Paman Pangeran, mereka agaknya telah mabok dan seorang di antara mereka
mengeluarkan ucapan yang kurang ajar terhadap isteri saya yang lalu menghajarnya. Akan tetapi yang lain
maju dan mereka hendak mengeroyok kami.”
Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang cerdik. Biarpun hatinya merasa panas melihat tujuh orang
jagoannya dihina bahkan Gu Mo Ek, yang termuda di antara Kang-lam Jit-sian masih “menangis” karena
kedua matanya pedih dan sukar dibuka, namun dia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya untuk
dunia-kangouw.blogspot.co.id
membela para jagoannya dan menyalahkan Sim Tek Kun, putera dari pangeran Sim Liok Ong yang masih
keponakannya sendiri. Dia menoleh kepada tujuh orang pembantunya itu dan berkata dengan marah.
09.26. Jebakan Lembah Ban-hwa-kok
“Kalian bertujuh memang bodoh dan bandel! Sudah kularang untuk mabok-mabokan di luar akan tetapi
masih nekat dan dalam keadaan mabok membuat onar di luar. Kalian tahu siapa yang kalian hadapi ini? Dia
adalah Kongcu (Tuan Muda) Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong, dan isterinya. Mereka berdua
adalah pendekar-pendekar yang amat lihai! Kalian membikin malu saja! Hayo cepat kembali ke tempat
kalian!”
Tujuh orang itu segera pergi seperti segerombolan anjing yang ketakutan. Gu Mo Ek yang masih
memejamkan kedua matanya, dituntun oleh saudara-saudaranya.
Pangeran Bouw Ji Kong lalu menghadapi suami isteri itu. Dia menggelengkan kepalanya dan menghela
napas panjang.
“Nanda Sim Tek Kun berdua, maafkanlah para pengawalku tadi. Mereka itu orang-orang kasar dan sedang
mabok. Aku akan membuat teguran keras pada mereka.”
“Tidak mengapa, Paman Pangeran. Untung isteri saya yang digoda, kalau wanita lain tentu akan ada wanita
terhina. Maafkan kami.” Tek Kun lalu mengajak isterinya keluar dari rumah makan itu.
Pangeran Bouw Ji Kong berkata kepada pengurus rumah makan. “Hitung berapa jumlah semua kerugian
kalian, akan kubayar semua!”
Peristiwa itu tidak berekor panjang, namun setidaknya mendatangkan perasaan saling tidak suka kepada
kedua pihak. Tek Kun dan Lian Hong semakin menaruh perhatian kepada Pangeran Bouw Ji Kong.
Pangeran itu memelihara orang-orang golongan sesat dan hal ini saja sudah patut menimbulkan
kecurigaan.
Tosu yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba kuning itu menghela napas panjang. Dia duduk
bersila di atas batu dan memandang kepada pemuda berpakaian sastrawan yang tampan lembut yang
duduk berlutut di depannya. Pemuda itu tampak berduka, bahkan ada dua tetes air mata di atas kedua
pipinya. Dia menangis tanpa suara!
Tosu itu adalah Ouw-yang Sianjin dan pemuda itu adalah Bouw Cu An.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong yang tidak setuju
dengan niat ayahnya yang hendak memberontak dan telah bersekutu dengan utusan Mancu, utusan Suku
Hui, dan Pek-lian-kauw, melarikan diri meninggalkan gedung ayahnya. Diam-diam dia diikuti dan dihadang
oleh Hongbacu, tokoh Mancu itu yang hendak membunuhnya. Akan tetapi dia kebetulan bertemu dan
ditolong Ouw-yang Sianjin, kemudian menjadi muridnya. Kepada Ouw-yang Sian-jin, Cu An menceritakan
keadaan ayahnya yang hendak memberontak.
Pagi hari itu, Ouw-yang Sianjin menceritakan kepada muridnya bahwa kemarin ketika dia turun dari puncak
bukit, dia bertemu dengan utusan Panglima besar Chang Ku Cing yang minta kepadanya untuk membantu
panglima itu mencari para pembunuh yang mengacauan kota raja. Tosu itu memberitahu bahwa kini Cu An
sudah cukup belajar ilmu dan sudah memiliki bekal yang cukup kuat. Mereka harus saling berpisah karena
dia hendak memenuhi panggilan Jenderal Chang. Mendengar ini, Cu An menjatuhkan diri berlutut di depan
gurunya dan menahan tangisnya sehingga kedua pipinya basah air mata namun tangisnya tidak bersuara.
“Cu An, engkau yang memiliki semangat besar dan tahan menderita sehingga aku suka menerimamu
menjadi murid, mengapa sekarang mengeluarkan air mata seperti seorang wanita cengeng? Ada waktunya
bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah, mengapa harus disesali perpisahan yang sudah
semestinya terjadi?”
“Suhu, teecu sama sekali tidak sedih atau menyesali perpisahan ini, teecu tidak peduli akan penderitaan
teecu sendiri, akan tetapi teecu berduka akan nasib yang mengancam Ayah teecu......”
“Apa maksudmu, Cu An?”
“Teecu sudah menceritakan kepada Suhu tentang rencana pemberontakan Ayah. Teecu hampir yakin
bahwa kekacauan di kota raja itu pasti ada hubungannya dengan rencana Ayah. Sekarang Suhu hendak ke
kota raja membantu Jenderal Chang menangkap pembunuh. Bagaimana teecu tidak akan merasa sedih
dunia-kangouw.blogspot.co.id
melihat nasib buruk yang mengancam orang tua teecu, sedangkan teecu sama sekali tidak berdaya untuk
menolongnya? Teecu memang tidak setuju dengan perbuatan Ayah, akan tetapi bagaimanapun juga dia
adalah orang tua teecu!”
Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk. “Hemm, lalu sekarang apa yang akan kaulakukan?”
“Teecu tidak mungkin membantu Ayah melakukan pemberontakan, akan tetapi teecu juga tidak mungkin
menentang orang tua sendiri. Teecu sedih dan bingung, Suhu, mohon petunjuk Suhu apa yang harus teecu
lakukan dalam keadaan seperti ini.”
“Pinto (Aku) bangga mendapat kenyataan bahwa engkau seorang anak yang berbakti kepada orang tua
akan tetapi juga engkau menentang perbuatan yang sesat. Memang engkau berada dalam keadaan yang
sulit dan membingungkan, Cu An. Sekarang begini saja. Pinto akan membantumu menyadarkan Pangeran
Bouw Ji Kong. Kalau ternyata benar bahwa dia terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan itu, pinto akan
menyadarkan kesalahannya dengan menceritakan bahwa engkau pernah hampir dibunuh oleh Hongbacu
utusan dari Mancu itu.
“Dan engkau sendiri, pinto beri tugas untuk menemui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Ia adalah keponakan
muridku. Sampaikan pesanku kepadanya agar ia suka pergi ke kota raja membantu pemerintah seperti
yang pernah ia lakukan. Pinto juga akan menghubungi murid pinto Ong Lian Hong dan suaminya di kota
raja agar membantu.”
Cu An mengenal siapa Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun yang masih merupakan saudara
misannya. Akan tetapi dia tidak mengenal Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang harus dia jumpai.
“Suhu, di mana teecu dapat menemukan Hwee-thian Mo-li Nyo Siang Lan itu?”
“Pinto pernah mendengar bahwa ia kini telah menjadi ketua dari Ban-hwa-pang yang berada di puncak Bukit
Selaksa Bunga (Ban-hwa-san) yang merupakan satu di antara bukit-bukit di pegunungan Lu-liang-san.
Kaupergilah ke sana. Kalau ia mengetahui bahwa engkau muridku, ia pasti akan mendengarkan semua
pesanku darimu.”
Demikianlah, guru dan murid itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Ouw-yang Sianjin pergi ke
kota raja dan Bouw Cu An pergi ke Lu-liang-san. Hati pemuda ini sudah agak lega karena gurunya berjanji
untuk membujuk dan menyadarkan ayahnya agar tidak melanjutkan keinginannya untuk memberontak.
Sebetulnya, perintah Ouw-yang Sianjin agar muridnya ini pergi menemui Hwe-thian Mo-li di Lembah
Selaksa Bunga hanya untuk menghibur hati pemuda itu dan untuk mencegah agar pemuda itu tidak kembali
ke kota raja. Dia tahu betapa bingung hati Cu An kalau di kota raja dia melihat ayahnya masih melakukan
usaha pemberontakan yang sama sekali tidak disetujuinya itu.
Setelah mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin, kini Bouw Cu An telah memiliki ilmu silat yang
lumayan tinggi. Dia telah dapat menghimpun tenaga sakti yang cukup kuat sehingga dia mampu melakukan
perjalanan yang cepat menuju ke Pegunungan Lu-liang-san.
Sekarang dia hanya mengenakan pakaian biasa, seperti pakaian pemuda dusun. Tak seorang pun akan
menyangka bahwa dia putera seorang pangeran yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja. Kulitnya pun
tidak terlalu putih seperti dulu karena selama berguru dan tinggal bersama Ouw-yang Sianjin, pemuda
bangsawan ini mengerjakan pencangkulan dan penanaman di kebun mereka sehingga dia sering mandi
sinar matahari yang membuat kulitnya menjadi agak gelap.
Karena penampilannya yang biasa dan sederhana ini maka perjalanannya lancar dan tidak mendapatkan
gangguan. Mereka yang biasa menghadang orang lewat dan melakukan perampokan juga tidak ada niat
untuk merampok pemuda dusun yang kelihatan sederhana dan miskin ini!
Pada suatu siang Bouw Cu An tiba di kaki pegunungan Lu-liang-san. Dari para penduduk dusun di
sekitarnya, dia mendapatkan petunjuk di mana adanya bukit Selaksa Bunga. Dia lalu menuju bukit itu dan
mulai pendakian. Sementara itu, matahari mulai condong ke barat dan ketika akhirnya dia tiba di lereng
yang menjadi perbatasan Lembah Selaksa Bunga, cuaca mulai remang-remang.
Akan tetapi Cu An masih dapat menikmati keindahan lembah itu. Dalam cuaca remang itu dia masih dapat
menyaksikan ribuan bunga beraneka bentuk dan warna memenuhi seluruh lereng dari tempat itu sampai ke
puncak. Keharuman yang semerbak dan aneh karena merupakan campuran ribuan bunga itu terbawa angin
dan terasa nyaman dan segar.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Cu An mulai agak ragu. Kalau dia mendaki terus, tentu dia akan sampai di puncak setelah malam tiba.
Sopankah berkunjung di waktu malam? Akan tetapi kalau dia berhenti di situ melewatkan malam, sungguh
tidak menyenangkan karena di lereng itu dia tidak melihat adanya pohon di bawah mana dia dapat
berlindung.
Kemudian dia melihat sebuah pondok seperti gubuk kecil yang dicat merah indah di lereng sebelah atas.
Sebaiknya aku melewatkan malam di gubuk itu, pikirnya. Hanya naik mendaki dua lereng saja.
Mulailah dia melangkah dan mendaki naik. Ketika dia mulai memasuki daerah lembah dengan bunga-bunga
di kanan kiri, dia melalui jalan setapak yang diatur rapi, dengan batu-batu yang ditata sambungmenyambung
sehingga mudah dilalui dan tidak perlu mencari-cari jalan karena agaknya memang jalan itu
sengaja dipasang untuk memudahkan orang naik ke puncak.
Dia melangkah dengan senang, seolah seperti sedang berjalan-jalan dalam sebuah taman yang indah.
Akan tetapi tiba-tiba kakinya melanggar semacam tali melintang di jalan setapak itu. Tali itu tidak tampak
karena warnanya gelap dan tiba-tiba dari kanan kiri meluncur sebatang anak panah menyerang ke arah
kedua kakinya!
Cu An terkejut akan tetapi tidak percuma dia mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin. Dia sudah
memiliki kepekaan, kewaspadaan dan keringanan tubuh sehingga menghadapi serangan mendadak ke
arah kakinya itu, dia dapat mendengar berdesirnya dua batang anak panah dari kanan kiri itu. Cepat dia
melompat tinggi ke depan sehingga terhindar dari sambaran dua batang anak panah itu.
Dia membuat pok-sai (salto) dua kali di udara dan turun agak jauh dari tempat jebakan tadi. Akan tetapi
ketika kedua kakinya hinggap di atas jalan setapak itu, batu yang diinjaknya terbuka dan dia terjeblos ke
dalam sebuah lubang!
Akan tetapi sekali ini Cu An sudah lebih waspada setelah tadi dia mendapat serangan anak panah.
Tubuhnya memang sudah terlanjur terjeblos, akan tetapi kedua tangannya dapat menekan tanah di kiri
kanan lubang dan dengan mengerahkan tenaganya dia dapat mengenjot dengan kedua tangan itu sehingga
tubuhnya meloncat ke atas dan dapat hinggap di atas tanah.
Diam-diam Bouw Cu An terkejut juga. Tak disangkanya tempat seindah itu mengandung perangkap dan
jebakan yang berbahaya! Dia harus berhati-hati dan semakin tetap keputusannya untuk berhenti di pondok
kecil itu dan melewatkan malam di situ. Besok pagi baru dia akan melanjutkan perjalanannya. Pondok itu
tidak begitu jauh dan dia mulai melangkah satu-satu dan hati-hati sekali menuju pondok.
Hatinya lega karena ternyata tidak ada lagi rintangan dan dia dapat tiba di pondok itu dengan selamat.
Pondok itu kecil akan tetapi bersih, merupakan beranda tanpa dinding. Atapnya tinggi dan lantainya dari
papan.
Beranda itu dicat merah dan di situ terdapat sebuah dipan dengan kasur bantal bertilam sutera kuning
bersulamkan bunga-bunga merah. Dipan itu seperti menantang Cu An yang sudah kelelahan. Sungguh
merupakan tempat yang nyaman sekali untuk duduk atau tidur. Letaknya di tengah ruangan beranda itu.
Dengan girang Cu An lalu memasuki beranda melalui undak-undakan (tangga), lalu melangkah menuju
dipan yang menantang itu. Pondok yang bersih, dengan hiasan gambar-gambar indah di dinding, dipan
yang menantang, seolah menarik Cu An dan pemuda itu lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas dipan. Akan
tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat dan dia sudah tergantung dengan kedua kaki di atas!
Kiranya ketika dia duduk tadi, sehelai tali lasso telah terpasang di atas lantai dengan warna yang sama
dengan lantainya sehingga tidak tampak. Kebetulan sekali kedua kaki Cu An berada di tengah lingkaran dan
begitu dia duduk, lingkaran itu bergerak, mengikat kedua kakinya dan terangkat ke atas dengan kecepatan
luar biasa sehingga Bouw Cu An tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di
tengah-tengah ruangan itu. Atap itu tinggi dan kini kedua kakinya berada dekat langit-langit dan kepalanya
tergantung di bawah.
Pada saat itu juga, tali itu ujungnya sudah membelit-belit tubuhnya sehingga bukan hanya kedua kakinya
yang terikat, akan tetapi juga kedua lengannya yang terbelit-belit tali pada tubuhnya. Dia tidak mampu
menggerakkan kedua lengannya dan ketika dia berusaha untuk meronta, melepaskan kedua lengan dan
kakinya, ternyata tali itu kuat dan lentur sehingga sia-sia saja dia meronta. Dia tergantung seperti seekor
kelelawar dengan kepala di bawah!
Setelah segala usahanya untuk melepaskan diri gagal dan merasa sama sekali tidak berdaya, Cu An tidak
merasa malu-malu lagi untuk berteriak-teriak!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Heiii. Aku bukan orang jahat, melainkan tamu yang berkunjung di Lembah Selaksa Bunga! Kalau aku
dianggap bersalah, maafkanlah aku, akan tetapi harap lepaskan aku lebih dulu. Tolong..... tolong......
toloooooonnnggg......!!” Akan tetapi betapa kuat pun dia berteriak-teriak, tak seorang pun tampak datang
dan dia tetap saja tergantung-gantung di tengah ruangan itu.
Akhirnya dia mengerti bahwa, entah ada yang mendengar ataukah tidak, tidak akan ada orang
menolongnya malam itu dan Cu An tidak mau berteriak-teriak lagi. Dia menenangkan hatinya dan dia malah
melakukan siu-lian (samadhi) dalam keadaan jungkir balik.
Keadaan seperti ini memang bukan asing baginya. Oleh gurunya, Ouw-yang Sianjin, dia pernah dilatih
melakukan samadhi dengan cara tubuh tergantung jungkir balik seperti ini. Maka dia kini juga melakukan
samadhi jungkir balik, walaupun sekali ini dia melakukannya dalam keadaan terpaksa!
Setelah dia tergantung jungkir balik dalam keadaan samadhi, dia tidak menderita lagi, bahkan dapat
beristirahat. Malam itu lewat tanpa terjadi sesuatu.
Pada keesokan harinya, Cu An yang berada dalam keadaan samadhi seperti orang tidur nyenyak,
terbangun oleh suara burung-burung berkicau di sekeliling pondok. Dalam keadaan jungkir balik itu dia
membuka matanya dan melihat keindahan luar biasa di luar pondok.
Sinar matahari muda yang hangat dan masih lemah keemasan menghidupkan segala sesuatu di sekitar
situ. Bunga-bunga bermekaran, dan kupu-kupu beraneka warna dan macam beterbangan di atas bungabunga.
Mereka itu seperti menari-nari dengan riang gembira, hinggap dari satu kembang ke lain kembang,
bermandikan cahaya matahari pagi dan memilih madu di antara bunga-bunga.
Betapa bahagianya kupu-kupu itu, begitu indah menciptakan pemandangan yang luar biasa, indah tanpa
suara. Pencipta keindahan suara adalah burung-burung yang sukar ditangkap pandang mata karena
mereka lebih suka bersembunyi di pohon-pohon, akan tetapi kicauan mereka merupakan musik yang
merdu, sambung-menyambung dan mengandung kegembiraan yang membuat suasana menjadi riang
gembira.
Bouw Cu An, dalam keadaan tergantung jungkir balik, merasa betapa seluruh dirinya seolah berada dalam
kebahagiaan yang luar biasa, bukan kesenangan akan sesuatu, melainkan perasaan kebahagiaan yang
menyeluruh, terasa oleh semua inderanya! Semua inderanya merasakan berkat yang berlimpahan.
Melalui matanya dia dapat menikmati pemandangan indah, kecerahan sinar matahari keemasan bungabunga
beraneka warna dan bentuk, mekar berseri dengan kupu-kupu beterbangan di atasnya. Melalui
hidungnya dia dapat menikmati keharuman bunga-bunga, daun-daun, rumput dan tanah yang sedap
menyegarkan, menggugah semangat dan gairah hidup.
Melalui telinganya dia dapat menikmati suara musik kicau burung-burung di antara desau angin
mempermainkan daun-daunan menyeling gemercik air terjun yang berada tidak jauh dari pondok. Suara
merdu dan indah itu membuat sukma terasa melayang-layang!
Dan semua itu seolah dihidangkan kepadanya dengan cuma-cuma dan lengkap. Perasaan hati pemuda itu
berbahagia dan bersyukur sehingga dia memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Kasih.
Suara wanita membuat dia sadar dari lamunannya dan menyeretnya kembali ke alam kenyataan. Betapa
pahitnya kenyataannya! Dia masih tergantung seperti seekor kelelawar, ah bukan, keadaannya
mengingatkan dia akan ikan-ikan besar yang setelah digarami oleh para nelayan lalu diikat ekornya dan
digantung dengan kepala di bawah agar menjadi ikan asin!
Sialan! Dia tidak berteriak lagi karena empat orang wanita yang berjalan di luar itu kini menghampiri pondok.
Mereka mengenakan pakaian berpotongan sederhana namun berkembang-kembang sehingga seperti pot
bunga berjalan. Usia mereka antara duapuluh lima dan tigapuluh tahun dan wajah mereka lumayan cantik.
Akan tetapi sikap mereka gagah, atau galak?
Benar saja dugaan dan harapannya. Empat orang wanita itu memasuki pondok dan kini mereka berada di
bawah mengelilingi Cu An sambil menengadah mengamati pemuda yang tergantung dengan kepala di
bawah itu seperti orang-orang mengamati seekor binatang aneh yang tertangkap jebakan yang memang
banyak dipasang di daerah kekuasaan Lembah Selaksa Bunga yang kini diketuai Hwe-thian Mo-li Nyo
Siang Lan.
Tentu saja sejak pemuda itu mendaki Ban-hwa-kok, para anggauta Ban-hwa-pang sebanyak kurang lebih
limapuluh orang wanita telah mengetahui dan diam-diam mengikuti gerak-geriknya. Para anggauta Banhwa-
pang itu tentu saja kagum melihat betapa pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri dari jebakan
dunia-kangouw.blogspot.co.id
anak panah dan lubang. Agaknya pemuda itu sudah lelah sekali maka dengan mudah dia dapat terjebak
ketika hendak tidur.
Karena pada waktu itu, Sang Ketua, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan tidak berada di Ban-hwa-kok, maka
yang bertugas sebagai pengganti pimpinan adalah Kui Li Ai, dibantu oleh Bwe Kiok Hwa, yang dianggap
murid pertama di antara para anggauta Ban-hwa-pang.
Melihat empat orang wanita itu kini hanya menonton dia sambil bicara lirih dan tertawa cekikikan dengan
suara tertahan, Cu An merasa mendongkol sekali. Sialan! Gadis-gadis ini menjebaknya, semalam suntuk
membiarkan dia tergantung seperti ikan asin dijemur, dan sekarang mereka datang menonton seperti
nonton seekor binatang hutan yang terjebak sambil cekikikan! Akan tetapi pemuda yang cerdik itu maklum
bahwa kalau dia hanya menurutkan nafsu amarahnya, hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan.
Semalam dia sudah membolak-balik pikirannya dan dia sudah mempertimbangkan dan mengakui bahwa
sesungguhnya pihaknyalah yang bersalah. Dia telah memasuki daerah orang, telah melanggar dan
memasuki Lembah Selaksa Bunga tanpa ijin lebih dulu. Bisa saja dia dianggap maling karena para
penghuni lembah itu tidak mengenalnya.
“Enci-enci yang baik, harap lepaskan jala ini dan turunkan aku. Ketahuilah aku bukan orang jahat, bukan
maling bukan rampok. Aku ini datang sebagai tamu dan hendak bertemu dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang
Lan! Tolong lepaskan aku!”
Empat orang anggauta Ban-hwa-pang itu saling pandang, tidak berani mengambil keputusan. Mereka
semalam memang bertugas jaga di bagian ini dan setelah melihat ada seorang pemuda berani memasuki
daerah mereka, mereka segera siap dengan jebakan mereka dalam pondok itu.
Setelah berhasil menjebak dan menangkap pemuda itu mereka pun mendiamkannya saja, dengan maksud
menghukum pelanggar itu sesuai dengan ketentuan dan tugas mereka. Kini mendengar pemuda itu datang
sebagai tamu, tentu saja mereka merasa khawatir dan untuk membela diri seorang dari mereka
membantah.
“Tidak ada tamu datang berkeliaran di sini pada malam hari. Kalau engkau seorang tamu, mengapa tidak
datang pada siang hari secara berterang? Kami tidak dapat membebaskanmu, harus menanti datangnya
pimpinan kami.” Kata-kata ini disusul tawa mereka dan keempatnya kini duduk di atas bangku dan tidak lagi
mempedulikan Cu An.
09.27. Di Sini Terpasang Banyak Jebakan!
Cu An semakin mendongkol. Dia seorang pemuda yang mempelajari kesusastraan dan bahkan pandai pula
membuat sajak yang dinyanyikannya dengan suara yang cukup merdu. Melihat sikap empat orang wanita
itu, dia pun lalu merangkai sajak dan dinyanyikannya dengan suara lantang.
Nyanyian itu isinya menyindir empat orang wanita yang mula-mula mendengarkan dengan gembira dan
merasa lucu, akan tetapi akhirnya wajah mereka berubah merah setelah mengerti isi nyanyian.
“Wanita itu bagaikan bunga.
Keindahan bunga adalah kecantikannya,
keharuman bunga adalah sifatnya,
kehalusan bunga adalah wataknya.
Sayang empat tangkai bunga di lembah ini,
cantiknya sih cantik,
akan tetapi sifatnya sama sekali tidak harum,
dan wataknya tidak lembut.
Bodoh-bodoh lagi,
tidak mengenal bahwa yang mereka jebak
adalah seorang pangeran dan
seorang adik seperguruan
dari Hwe-thian Mo-li sendiri!
Aih, jangan-jangan tempat yang dikenal
sebagai Ban-hwa-kok ini
hanya dipenuhi bunga-bunga seperti itu!”
Empat orang itu merasa tersindir, akan tetapi diam-diam mereka juga terkejut dan heran mendengar bahwa
pemuda itu seorang pangeran, bahkan masih sute (adik seperguruan) dari Hwe-thian Mo-li! Mereka merasa
dunia-kangouw.blogspot.co.id
tegang dan khawatir. Tentu saja mereka tidak perlu percaya akan obrolan pemuda itu, akan tetapi
bagaimana kalau ucapannya itu sungguh-sungguh?
Kalau dia seorang pangeran masih belum berapa hebat, akan tetapi bagaimana kalau dia itu benar-benar
sute dari Hwe-thian Mo-li ketua mereka? Biarpun ketua mereka tidak jahat, namun keras hati dan mereka
bisa dihukum berat kalau menjebak dan menangkap seorang sutenya.
Tiba-tiba masuk dua orang wanita ke dalam ruangan itu. Yang seorang adalah seorang gadis muda berusia
sekitar sembilanbelas tahun, berkulit putih mulus, tinggi ramping berwajah manis sekali, sepasang matanya
lebar dan wajahnya berbentuk bulat. Gadis ini bukan lain adalah Kui Li Ai yang kini menjadi murid dan juga
mewakili Hwe-thian Mo-li memimpin anak buah di Lembah Selaksa Bunga.
Adapun wanita kedua adalah Bwe Kiok Hwa, berusia sekitar tigapuluh tahun lebih yang juga berwajah
cukup cantik dan bersikap keras. Ialah murid pertama dan anggauta yang diberi kekuasaan untuk
mengepalai para murid dan agaknya kedudukannya ini yang membuat Bwe Kiok Hwa memiliki sikap yang
agak kaku dan keras, memegang teguh peraturan sehingga ia ditakuti para anggauta lainnya.
Begitu tiba di situ, Kui Li Ai menatap wajah Cu An yang tergantung membalik itu. Dua pasang mata bertemu
dan mata Cu An terbelalak kagum.
“Nona manis yang cantik jelita, kasihanilah aku yang tidak berdosa, disiksa seperti ini selama semalam
suntuk oleh bunga-bunga yang baunya tidak enak ini,” katanya.
Tentu saja Li Ai menjadi bingung. “Apa maksudmu bunga-bunga yang baunya tidak enak?” bentaknya.
“Gadis-gadis cantik ini seperti bunga akan tetapi sikap mereka sungguh tidak enak,” kata Cu An.
“Enci Bwe Kiok Hwa, bebaskan dia dari jala!” Kui Li Ai berkata kepada Bwe Kiok Hwa.
“Akan tetapi, Kui Siocia (Nona Kui), orang ini telah melanggar wilayah kita dan sudah sepatutnya dia
dihukum. Biarkan dia tergantung di sana menunggu sampai pang-cu pulang dan memberi keputusan apa
yang harus kita lakukan kepadanya!”
“Wah, bunga yang ini baunya malah lebih busuk lagi!” kata Cu An dengan hati mendongkol. “Baik, kita sama
lihat saja apa yang akan dikatakan Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan kalau ia pulang dan melihat sutenya
disiksa seperti ini!”
Mendengar ini, Kui Li Ai berkata lagi, kini lebih tegas memerintah kepada Bwe Kiok Hwa. “Enci Bwe, cepat
bebaskan dia, biar aku yang bertanggungjawab terhadap Enci Siang Lan!”
Mendengar ucapan dan melihat sikap Li Ai yang bersungguh-sungguh, Bwe Kiok Hwa tidak berani
membantah lagi, hanya mengomel kepada diri sendiri. “Hemm, laki-laki tidak sepatutnya diberi hati......” Dan
ia lalu melompat dan sekali ia menggerakkan pedangnya, tali jala itu putus dan tubuh Cu An jatuh ke
bawah.
Biarpun berada dalam lipatan dan belitan tali jala, akan tetapi ketika tubuhnya terjatuh ke bawah Cu An
dapat bergerak jungkir balik sehingga dapat hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya lebih dulu. Cepat
dia bergerak membuka libatan jala dan tali dan setelah membuang jala itu ke sudut ruangan, kini dia berdiri
berhadapan dengan enam orang wanita itu.
Hanya sekelebatan saja dia memandang Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang, akan
tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kui Li Ai, dia tertegun dan terpesona. Tadi
memang dia sudah tertarik sekali ketika pandang matanya bertemu dengan wajah gadis remaja yang
memerintahkan agar dia dibebaskan. Akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika kepalanya tergantung ke
bawah sehingga dia tidak dapat melihat dengan jelas. Kini, setelah mereka berdua berdiri berhadapan
barulah dia tertegun dan sekali gus terpesona.
Bouw Cu An adalah putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong. Sebagai seorang putera pangeran keponakan
kaisar, pemuda bangsawan yang sastrawan dan telah digembleng ilmu silat pula oleh Ouw-yang Sianjin,
sudah barang tentu Cu An tidak asing dengan puteri-puteri bangsawan yang anggun dan cantik, yang lebih
pandai dan lebih banyak waktu untuk merawat dan mempercantik diri dibandingkan para gadis biasa yang
lebih banyak harus bekerja.
Biarpun selama ini dia tekun mempelajari Bun (Sastra) dan sedikit Bu (Silat) kemudian selama setahun
digembleng dengan keras dalam ilmu silat oleh Ouw-yang Sianjin sehingga dia tidak banyak bergaul
dengan para gadis bangsawan, namun dia banyak sudah melihat gadis bangsawan yang cantik. Akan tetapi
sekali ini, begitu berhadapan dengan Kui Li Ai yang berpakaian baju berkembang-kembang dengan
dunia-kangouw.blogspot.co.id
potongan sederhana, ia terpesona sampai hanya membuka mata dan mulut tanpa dapat mengeluarkan
kata-kata.
Di lain pihak, Kui Li Ai juga tertegun. Tak disangkanya bahwa “laki-laki kurang ajar” seperti yang dilaporkan
anak buah Ban-hwa-pang, yang katanya malam-malam naik ke lembah seperti maling yang tertawan,
setelah kini berhadapan dengannya, adalah seorang pemuda yang masih muda, berpakaian bersih namun
tidak terlalu mewah, lembut dan ramah, wajahnya tampan, bentuk tubuhnya tegap sedang, sepasang
matanya jernih agak lebar dan sepasang mata dan senyumnya menunjukkan kelembutan hatinya.
Sebagai seorang puteri panglima yang sejak kecil hidup di kota raja dan banyak bertemu dengan orangorang
bangsawan, sekali pandang saja ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pemuda
bangsawan. Dan tadi dia mendengar sendiri pemuda itu mengaku putera seorang pangeran atau bahkan
seorang pangeran seperti yang ia dengar laporan anak buah yang simpang-siur.
“Hemm, sobat, kalau benar engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapa engkau malammalam
mencoba untuk menyusup ke lembah kami? Siapakah engkau dan apa artinya semua pengakuanmu
tadi, terutama bahwa engkau adik seperguruan ketua kami Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan? Sobat, jangan
kau main-main dengan kami! Ketahuilah bahwa lembah kami Ban-hwa-kok merupakan tempat terlarang
bagi kaum pria dan apa yang telah kaulakukan ini merupakan sebuah pelanggaran besar!”
Melihat sikap yang anggun berwibawa namun tidak kasar, dan mendengar ucapan yang teratur, bukan
seperti ucapan para anggauta Ban-hwa-pang tadi yang kasar, Cu An tidak berani main-main dan ada
perasaan heran dalam hatinya. Yang dia tahu dari cerita orang-orang, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan
adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu saja bersikap tegas dan kasar, dan terbukti tadi ucapan para
gadis yang menjadi anak buahnya juga kasar.
Akan tetapi mengapa gadis ini memiliki sikap yang demikian lembut, dan ucapannya terdengar teratur
seperti seorang gadis berpendidikan? Dia lalu cepat mengangkat kedua tangan depan dada, menjura
dengan hormat.
“Harap maafkan aku, Nona. Sesungguhnya aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap Ban-hwapang.
Namaku adalah Bouw Cu An dan aku tidak berbohong ketika memperkenalkan diri sebagai putera
Pangeran Bouw Ji Kong yang kini menjadi penasihat Pamanda Kaisar Wan Li di kota raja. Juga aku tidak
berbohong ketika mengaku sebagai sute (adik seperguruan) dari Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan
karena aku menjadi murid Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjadi sute dari mendiang Pat-jiu Kiam-ong Ong
Han Cu, guru Suci Nyo Siang Lan. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Suci Nyo Siang Lan, akan
tetapi hubungan itu membuat aku menjadi sutenya, bukan?”
Mendengar penjelasan yang rinci itu, Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang menjadi
terkejut sekali dan tanpa dapat dicegah lagi wajah mereka menjadi pucat dan mereka segera memberi
hormat kepada pemuda itu dan Bwe Kiok Hwa berkata dengan sikap hormat.
“Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), harap engkau suka maafkan kami, karena kami tidak mengenal Kongcu
dan menganggap Kongcu seorang pelanggar daerah kami dan...... dan...... kami tadi tidak percaya kepada
Kongcu lalu bersikap kasar.”
Bouw Cu An tersenyum dengan tulus. “Wah, sikap kalian mengakui kesalahan ini saja sudah cukup
membuka mataku bahwa kalian adalah para anggauta perkumpulan yang ditangani pemimpin yang baik.
Tentu saja aku melupakan peristiwa semalam dan sekarang aku bisa mengatakan bahwa bunga-bunga di
lembah ini memang indah dan harum!”
Mendengar ini, wajah pucat lima orang wanita itu berubah kemerahan dan bibir mereka berlumba senyum
manis!
Li Ai juga senang mendengar ucapan Cu An dan tidak keliru dugaannya bahwa pemuda ini bukan orang
jahat maka tadi memerintahkan untuk membebaskannya. Ia membalas penghormatan Cu An dan berkata.
“Bouw Kongcu, kalau begitu, engkau bukanlah orang lain, melainkan seorang tamu terhormat. Aku bernama
Kui Li Ai, dan mari kita menuju perkampungan kami di atas, di mana kita dapat bicara dengan leluasa.”
Li Ai lalu mendahului pemuda itu berlari ke arah puncak dan agaknya ia sengaja hendak menguji
kepandaian Cu An dengan menggunakan keringanan tubuhnya berlari cepat melalui berbagai rintangan dan
jebakan.
“Hati-hati, Bouw Kongcu, di sini memang dipasangi banyak jebakan,” katanya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Cu An mengerti dan melihat gerakan ringan itu dia pun mengerahkan gin-kang agar selalu dapat menginjak
bekas injakan gadis itu dan tidak sampai terperangkap.
“Baiklah, Kui Siocia!” katanya.
Lima orang wanita tadi memandang kagum, kemudian empat orang kembali ke tempat penjagaan masingmasing
menanti rekan-rekan yang akan menggantikan mereka. Bwe Kiok Hwa mengikuti Li Ai dan Cu An
naik ke puncak di mana perkampungan Ban-hwa-pang berada.
Setelah tiba di rumah induk, Cu An dipersilakan duduk di ruangan tamu, akan tetapi sebelum pihak nona
rumah mengajaknya bicara, dengan sikap ramah Li Ai berkata.
“Bouw Kongcu, mengingat bahwa semalam engkau tidak tidur dan berada di dalam keadaan yang tidak
menyenangkan, kami persilakan kongcu untuk mandi dulu dan berganti pakaian. Kemudian kita sarapan,
baru kita akan bicara tentang maksud kunjunganmu ini. Bagaimana pendapatmu, Kongcu?”
Bouw Cu An tersenyum, hatinya senang. Nona rumah ini ternyata penuh perhatian terhadap tamunya,
ramah dan hormat.
Sebetulnya, tanpa mengaso atau mandi juga dia merasa segar karena semalam, biarpun digantung jungkir
balik, dia bersamadhi seperti yang diajarkan gurunya dan dia dapat mengaso dengan baik. Hanya saja,
tentu dia akan tampak lebih bersih dan “ganteng” kalau diberi kesempatan mandi, menyisir rambut
membereskan kuncirnya yang panjang dan tebal, berganti pakaian bersih.
Dan berhadapan untuk bercakap-cakap dengan seorang gadis seperti Kui Li Ai yang sepagi itu sudah mandi
segar dan berdandan rapi, memang perlu sekali dia mempertampan dirinya! Maka dengan girang dia lalu
menuju ke kamar mandi sambil membawa buntalan pakaiannya, ditunjukkan oleh seorang anggauta Banhwa-
pang yang sejak tadi mengikuti mereka, yaitu Bwe Kiok Hwa sendiri.
Tak lama kemudian, Cu An sudah duduk berhadapan dengan Li Ai di ruangan makan, menghadapi meja
makan di mana telah dihidangkan sarapan pagi yang cukup lengkap dan masih mengepulkan uap yang
sedap dan menimbulkan selera. Tidak ada anggauta Ban-hwa-pang yang berada dalam ruangan makan itu
untuk melayani.
Sejak berada di situ memang Li Ai menghapuskan cara-cara bangsawan di mana kalau majikan makan
harus ada pelayan yang berada di ruangan itu untuk melayani. Ia sendiri yang menuangkan air teh ke dalam
cawan di depan Cu An. Mereka makan sarapan dengan santai sambil bercakap-cakap.
“Maaf, Nona. Aku datang berkunjung untuk menghadap Ketua Ban-hwa-pang, yaitu Suci Hwe-thian Mo-li
Nyo Siang Lan. Akan tetapi mengapa ia belum juga datang menemuiku? Apakah engkau ini......”
Li Ai tersenyum dan menggerakkan tangan menyangkal. “Aih, bukan. Aku adalah Kui Li Ai, seorang......
sahabatnya, juga adik angkat dan muridnya. Enci Siang Lan pada saat ini tidak berada di sini, sedang
keluar, Kongcu.”
“Wah, ia tidak ada? Kalau begitu sia-sia saja aku datang jauh-jauh mencarinya di sini!”
Mereka selesai makan lalu Li Ai mengajak tamunya duduk kembali di ruangan tamu, meninggalkan meja
yang akan dibersihkan para anggauta Ban-hwa-pang. Setelah mereka duduk berhadapan di ruangan tamu,
Li Ai bertanya.
“Kongcu, selama Enci Siang Lan tidak berada di sini, yang berwajib menggantikannya adalah aku sendiri,
dibantu Enci Bwe Kiok Hwa tadi. Nah, sekarang engkau boleh saja menyampaikan keperluanmu itu
kepadaku, siapa tahu kami di sini dapat membantumu atau kelak kalau Enci Siang Lan pulang aku dapat
menyampaikan apa yang kaupesan.”
“Terima kasih, Nona. Engkau baik sekali. Sesungguhnya aku menerima perintah Suhu Ouw-yang Sianjin,
yaitu Susiok (Paman Guru) dari Suci Nyo Siang Lan untuk mencari dan menemui Suci di sini. Menurut
perintah Suhu, Enci Nyo Siang Lan diminta agar suka membantu Jenderal Chang Ku Cing dalam tugasnya
menyelidiki dan menangkap pelaku pembunuhan enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar. Aku
disuruh mohon kepada Enci Siang Lan agar ia suka pergi ke kota raja dan membantu Jenderal Chang.
“Sore tadi, ketika tiba di kaki Ban-hwa-san, aku bingung akan tetapi mengambil keputusan untuk mencoba
naik karena aku ingin segera menghadap Hwe-thian Mo-li. Siapa tahu, perangkap di sini lihai sekali
sehingga aku terjebak.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Ah, kalau saja aku mendengar teriakan dan pengakuanmu tentang dirimu, tentu aku dapat mencegah
terjadinya peristiwa itu. Sekarang enci Nyo Siang Lan tidak berada di sini, akan tetapi tugasmu memanggil
Enci Siang Lan membantu pemerintah untuk menangkap pembunuh para pembesar itu bahkan terlambat,
Bouw Kongcu. Ketahuilah bahwa Enci Siang Lan sudah pergi ke Kota raja untuk keperluan yang sama. Ada
seorang murid Siauw-lim-pai bernama Chang Hong Bu yang datang ke sini dan dia juga disuruh oleh
pemerintah untuk mengundang enci Siang Lan membantu pemerintah menghadapi para pemberontak dan
pembunuh.”
“Ah, begitukah? Bagus kalau begitu. Aku tinggal memberitahu Suhu bahwa Suci Nyo Siang Lan sudah pergi
ke kota raja.”
“Bouw Kongcu, apakah engkau juga merupakan pembantu dari Jenderal Chang Ku Cing?” pertanyaan ini
diajukan oleh gadis itu yang tiba-tiba suaranya menjadi tidak manis.
Bouw Cu An dapat menangkap suara yang kering keras ini. Dia menggelengkan kepalanya. “Bukan, Nona.
Aku bukan pembantunya atau pembantu siapa pun kecuali membantu Suhu Ouw-yang Sianjin.”
“Akan tetapi engkau tentu mengenal Jenderal Chang Ku Cing itu, bukan?”
“Tentu saja, siapa tidak mengenalnya? Akan tetapi aku tidak mempunyai hubungan dengan dia, aku bahkan
tidak pernah berhubungan dengan orang-orang di kalangan bangsawan kota raja.”
“Akan tetapi sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang berkedudukan tinggi, engkau tentu memiliki
hubungan yang luas. Aku merasa heran mengapa ketika aku masih berada di kota raja tinggal di rumah
ayahku, aku tidak pernah mendengar tentang dirimu. Maaf, Bouw Kongcu, terus terang saja, setahun lebih
yang lalu aku tinggal di kota raja dan banyak melihat para pemuda dan gadis bangsawan, akan tetapi aku
tidak pernah bertemu denganmu.”
Bouw Cu An tertawa. “Ha, memang aku lebih suka bersembunyi dalam kamar untuk belajar sastra atau
silat, hampir tidak pernah ikut Ayah dalam pesta-pesta pertemuan sehingga jarang mengenal orang-orang
muda di kalangan bangsawan terutama para gadisnya. Nona, aku melihat bahwa engkau seorang gadis
yang terpelajar dan sikap serta budi bahasamu menunjukkan bahwa engkau seorang gadis bangsawan
pula. Salahkah dugaanku bahwa engkau juga merupakan puteri seorang pejabat tinggi, seorang
bangsawan?”
Li Ai menundukkan mukanya. Kesedihan besar menyelimuti perasaannya karena pertanyaan pemuda itu
mendatangkan semua kenangan pahit dalam hidupnya. Akan tetapi, pemuda ini sudah dengan terbuka
memperkenalkan dirinya, bagaimana ia dapat tidak menceritakan keadaan dirinya. Pemuda ini tampak
demikian sopan, jujur dan sejak pertemuan pertama telah membangkitkan rasa suka dalam hatinya,
membuat ia tertarik sekali.
“Bouw Kongcu, aku hanya anak seorang perwira yang telah tewas setahun lebih yang lalu. Beliau adalah
mendiang Perwira Kui
“Ahh......!” Cu An bangkit berdiri dengan kaget. “Maksudmu...... Kui Ciang-kun, perwira tinggi pembantu
Jenderal Chang Ku Cing yang...... kabarnya...... maaf...... membunuh diri di depan Jenderal Chang itu?”
Li Ai menghela napas panjang, tidak merasa heran karena tentu saja peristiwa pembunuhan diri ayahnya itu
telah tersebar luas di seluruh kota raja, bahkan mungkin di seluruh negeri. Menjadi kewajibannyalah untuk
membela nama ayahnya!
“Benar sekali, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengerti, apa sebabnya Ayahku sampai membunuh diri di
depan Jenderal Chang Ku Cing?”
10.28. Mengapa Tergesa-Gesa, Masih Pagi?
Cu An merasa kasihan sekali dan dia tidak tega untuk menjawab bahwa dia mendengar akan aib yang
menimpa keluarga gadis itu. Dia hanya mengangguk sambil menundukkan pandang matanya, tidak tega
menentang pandang mata yang penuh kesedihan itu.
“Ya, kurasa semua orang mengetahui apa yang menyebabkan Ayahku membunuh diri di depan Jenderal
Chang Ku Cing. Benar sekali, Ayah membunuh diri karena merasa telah berbuat salah melanggar hukum,
yaitu ayah telah membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan ketika orang-orang Peklian-
kauw memberontak dan menyerbu kota raja. Memang Ayahku telah melakukan kesalahan besar itu,
akan tetapi sekarang aku bertanya kepadamu, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengetahui mengapa ayah
dunia-kangouw.blogspot.co.id
yang terkenal setia kepada Kaisar melakukan hal itu? Mengapa Ayahku membebaskan tiga orang tawanan
penting itu?”
Cu An yang merasa iba sekali kepada Li Ai, menggelengkan kepala karena dia benar-benar tidak dapat
menjawab pertanyaan ini. Baru sekarang dia teringat bahwa seorang perwira tinggi yang setia seperti Kui
Ciang-kun sampai melakukan perbuatan yang demikian besar kesalahannya, pasti juga mempunyai alasan
yang amat memaksanya.
Apakah dia memang seorang pengkhianat yang berpihak kepada Pek-lian-kauw? Rasanya tidak mungkin!
Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan Perwira Kui itu masih ada hubungan persekutuan dengan ayahnya
sendiri yang dia tahu juga mengusahakan pemberontakan yang amat tidak disetujuinya! Akan tetapi dia
tidak berani menyatakan jalan pikirannya ini dan seperti tadi ketika menjawab “ya” dia hanya mengangguk,
kini untuk menjawab “tidak” dia pun hanya menggeleng sambil kini menatap wajah gadis itu.
Dia terkejut karena melihat perubahan hebat pada wajah yang jelita itu. Kalau tadi sebelum membicarakan
hal ayahnya wajah Li Ai segar dan ceria seperti seekor bunga yang sedang mekar, kini wajah itu seperti
bunga yang mulai layu! Pucat dan matanya kehilangan sinar gairah hidup!
“Benar dugaanku, mungkin jarang ada orang mengetahui alasan Ayahku melepaskan tiga orang tawanan
itu. Akan tetapi engkau boleh mengetahui, Bouw Kongcu. Terserah engkau mau percaya atau akan
menganggap alasan ini hanya dicari-cari untuk membela Ayahku saja.
“Ketahuilah bahwa dalam pembasmian dan penangkapan para pemberontak Pek-lian-kauw itu, yang
berjasa besar adalah mendiang Ayahku yang dibantu oleh banyak pendekar, di antaranya Hwe-thian Mo-li
Nyo Siang Lan. Nah, pada suatu hari, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw berhasil menculik diriku. Aku
dijadikan sandera, dan mereka lalu mengirim pesan kepada mendiang Ayahku agar Ayah suka
membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditangkap dan dipenjara itu. Kalau Ayah tidak
melaksanakan permintaan itu, aku akan dibunuh mereka.
“Bouw Kongcu, Ayah hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu aku, maka mendapatkan surat itu, dia lalu
nekat dan membebaskan tiga orang tawanan itu. Kemudian Jenderal Chang Ku Cing dan pasukannya
datang kepada Ayah setelah mendengar bahwa Ayah membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan
menuduh Ayah berkhianat.
“Ayah sudah memberitahu alasannya membebaskan para pimpinan Pek-lian-kauw demi menyelamatkan
aku, akan tetapi Ayah tidak menyangkal kesalahannya dan untuk menebus kesalahannya, Ayah lalu
membunuh diri di depan kaki Jenderal Chang Ku Cing! Nah, Bouw Kongcu, demikianlah kejadiannya,
terserah engkau percaya ataukah tidak.”
Li Ai menghentikan ceritanya dan setelah menceritakan hal itu, hatinya terasa agak lega seperti telah
memuntahkan sesuatu yang tidak enak dari dalam perutnya.
Bouw Cu An percaya sepenuhnya kepada gadis ini. Dia pun mendengar bahwa mendiang Kui Ciang-kun
adalah seorang perwira tinggi yang gagah perkasa dan amat setia kepada pemerintah. Bahkan dia yang
memimpin pasukan sehingga berhasil membasmi para pemberontak Pek-lian-kauw dan menangkap para
pemimpinnya. Maka mustahil kiranya kalau kemudian dia malah nekat meloloskan mereka dengan terangterangan
sehingga semua orang mengetahui bahwa dia yang melepaskan mereka! Perbuatan itu pasti
memiliki alasan yang kuat, dan alasan apa yang lebih kuat daripada melihat puterinya diculik orang Peklian-
kauw?
“Aku percaya sepenuhnya kepadamu, Nona, dan sungguh sengsara sekali nasibmu, kehilangan ayah yang
bijaksana seperti itu. Akan tetapi, maafkan pertanyaanku ini, Nona, akan tetapi mengapa engkau sekarang
berada di sini, menjadi murid Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, tidak berada di rumah tempat tinggal
mendiang Ayahmu?”
Li Ai hampir menangis mendengar pertanyaan ini karena ia teringat akan nasib dirinya yang menjadi korban
perkosaan dan akan sikap ibu tirinya. Tidak mungkin ia menceritakan aib yang menimpa dirinya. Satusatunya
manusia di dunia ini yang mengetahui akan nasibnya itu hanyalah Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan!
Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menjawab.
“Ayah telah meninggal dan aku sudah tidak mempunyai ibu kandung sejak kecil. Ibu tiriku membenciku dan
bahkan menyalahkan aku karena kematian Ayahku adalah untuk membela diriku. Maka aku lalu ikut Enci
Siang Lan dan hidup bersamanya di sini.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Aduh, sungguh buruk nasibmu, Nona, sungguh mengenaskan. Aku ikut merasa prihatin, Kui Siocia......”
kata Bouw Cu An dengan suara mengandung keharuan. Puteri seorang perwira tinggi yang terkenal,
kiranya sekarang hidup seorang diri di pegunungan seperti ini!
Li Ai memaksa diri tersenyum dan menghela napas panjang.
“Aih, Bouw Kongcu, jangan mengembalikan perasaan iba diri yang sudah lama berhasil kuusir keluar dari
ingatanku. Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Kongcu? Engkau adalah putera seorang
pangeran, mengapa engkau bersusah payah menjadi murid Locianpwe Ouw-yang Sianjin dan tidak
memegang kedudukan tinggi di pemerintahan? Malah engkau sekarang agaknya hidup sebagai seorang
pemuda kang-ouw?!”
Pertanyaan ini juga mendatangkan pesaan sedih dalam hati pemuda itu. Bagaimana mungkin dia dapat
mengaku bahwa ayahnya adalah seorang pengkhianat, seorang yang merencanakan pemberontakan
terhadap Kaisar? Bahkan dia hampir saja dibunuh oleh para tokoh yang menjadi sekutu ayahnya sendiri
untuk memberontak? Kalau tidak diselamatkan Ouw-yang Sianjin, dia tentu telah tewas di tangan
Hongbacu, tokoh bangsa Mancu yang bersekongkol dengan Ayahnya itu.
“Ah, aku tidak suka menjadi seorang pembesar, Nona. Kulihat di kota raja selalu berada dalam keadaan
kacau, terjadi pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Saling jegal, saling fitnah, menjatuhkan lawan
masing-masing yang dianggap menghalangi kehendaknya memperoleh kedudukan lebih tinggi. Persaingan
yang tidak sehat. Aku melihat hal-hal yang kotor di antara para pejabat tinggi yang hanya mementingkan diri
sendiri dengan cara melakukan korupsi, pemerasan, kecurangan dan lain-lain. Aku merasa muak maka aku
lebih senang meninggalkan kota raja dan hidup dengan tenang tenteram mempelajari ilmu ikut Suhu Ouwyang
Sianjin.”
Li Ai menghela napas panjang dan perasaan sukanya kepada pemuda itu bertambah. Bouw Cu An ini tidak
seperti para pemuda bangsawan yang pernah dia jumpai dan kenal di kota raja. Sama sekali berbeda!
“Aih, memang sukar dipercaya kalau kita ceritakan kepada orang lain, Bouw Kongcu. Semua orang tentu
akan menganggap bahwa kehidupan seorang anggauta keluarga para bangsawan yang berpangkat tinggi
dan kaya raya di kotaraja pasti enak dan menyenangkan. Akan tetapi apa yang telah kita alami? Kepahitan
dan ketidak-tenteraman, sungguh menyedihkan.”
Dua orang muda itu saling tertarik, bahkan mungkin saja mereka itu telah jatuh cinta pada pertemuan
pertama ini. Akan tetapi diam-diam keduanya merasa tidak berharga bagi yang lain. Bouw Cu An merasa
tidak berharga untuk menjadi pasangan Li Ai mengingat bahwa kalau Li Ai puteri seorang perwira tinggi
yang jelas amat setia kepada negara dan sudah banyak dan besar jasanya, maka sebaliknya dia adalah
putera seorang pangeran yang hendak mengkhianati dan memberontak kepada pemerintah!
Sebaliknya, Li Ai sendiri juga merasa tidak pantas menjadi pasangan Cu An mengingat bahwa kalau Cu An
putera seorang pangeran, bahkan masih keponakan kaisar, ia sendiri hanya puteri seorang perwira yang
dianggap pengkhianat dan dirinya sendiri telah ternoda, bukan perawan lagi! Hampir saja ia tidak dapat
menahan runtuhnya air matanya ketika ia ingat akan hal ini.
Pada saat itu, tiba-tiba Bwe Kiok Hwa memasuki ruangan tamu itu dengan muka pucat dan suaranya
terdengar gemetar.
“Nona, celaka, Nona! Dari bagian utara datang segerombolan orang bekas anak buah Ban-hwa-pang yang
lama menyerbu dan mereka sudah membakar tanaman di sana dan merobohkan beberapa orang anak
buah! Tentu orang ini yang menjadi mata-mata mereka!” Bwe Kiok Hwa dengan marah lalu menerjang Cu
An dengan pedangnya!
Tentu saja Cu An cepat mengelak dan dari samping dia menendang lutut kiri Bwe Kiok Hwa. Hampir saja
tendangannya mengenai sasaran, akan tetapi Bwe Kiok Hwa yang sudah memperoleh latihan yang
lumayan dari Hwe-thian Mo-li dapat melompat ke belakang walaupun tubuhnya terhuyung. Sebelum ia
nekat menyerang lagi, Li Ai sudah membentaknya.
“Enci Bwe, hentikan itu! Jangan menyerang orang secara sembarangan dan menuduh membabi-buta! Bouw
Kongcu adalah adik seperguruan Enci Siang Lan, dan engkau berani menyerangnya?”
Ditegur begitu, Bwe Kiok Hwa menghentikan serangannya dan memandang bingung. Tadi ia memang
memiliki kecurigaan dan dugaan keras bahwa kedatangan pemuda itu tentu ada hubungannya dengan
gerombolan Ban-hwa-pang lama yang tiba-tiba pagi itu datang menyerbu, membakari tanaman untuk
menghalau semua jebakan yang dipasang di bagian itu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Mari, Kongcu, kita lihat keadaannya!” Li Ai mengajak Cu An dan mereka berdua lalu berlari cepat keluar
dari bangunan induk itu, diikuti oleh Bwe Kiok Hwa yang masih memegang pedang. Tidak sukar mencari
tempat yang dimaksudkan karena dari atas sudah tampak lereng di bagian utara yang mengepulkan asap
tanda kebakaran.
Semua anak buah Ban-hwa-pang tampak berlari-larian ke arah itu.
“Bawa peralatan untuk memadamkan kebakaran!” teriak Li Ai. .
“Bawa kayu-kayu pemukul dan air!” teriak pula Cu An.
Para anggauta Ban-hwa-pang itu mentaati perintah ini dan ramai-ramai mereka lari ke lereng utara sambil
membawa alat-alat untuk memadamkan kebakaran.
Setelah mereka berdua menuruni lereng itu, Li Ai dan Cu An melihat sekitar duapuluh orang laki-laki,
dipimpin seorang laki-laki tua bermuka penuh berewok yang memegang sepasang golok, sedang berkelahi
melawan puluhan orang wanita anggauta Ban-hwa-pang. Karena para anggauta wanita Ban-hwa-pang baru
sekitar setahun lebih belajar ilmu silat, mereka tampak kewalahan menghadapi serbukan gerombolan lakilaki
yang tampak buas itu.
Namun, karena yang menggembleng mereka adalah Hwe-thian Mo-li, maka dalam setahun itu mereka telah
memperoleh tenaga dan kegesitan yang lumayan sehingga walaupun terdesak hebat, mereka masih
mampu melakukan perlawanan. Sementara itu, para anggauta lain sibuk memadamkan api agar jangan
menjalar ke atas.
“Kongcu, mari kita hajar mereka!” kata Li Ai dan tanpa menanti jawaban gadis ini sudah mencabut
pedangnya dan menerjang para penyerbu, diikuti Cu An yang juga sudah mencabut pedangnya.
Dua orang muda ini menerjang dan mengamuk dengan hebatnya. Biarpun Li Ai tidaklah sehebat Cu An ilmu
pedangnya, namun karena marah dan penuh semangat, gerakan Li Ai amat ganas. Pedangnya
berkelebatan seperti halilintar menyambar-nyambar. Juga gerakan pedang Cu An amat kuat sehingga
sebentar saja enam orang penyerbu telah roboh oleh pedang sepasang orang muda ini.
Hal ini membakar semangat para anggauta wanita Ban-hwa-pang dan mereka melawan dengan lebih gigih.
Sebaliknya, para penyerbu menjadi terkejut bukan main.
Memang sebagian besar dari mereka sudah jerih terhadap nama Hwe-thian Mo-li. Mereka baru berani
diajak menyerbu oleh pemimpin baru mereka setelah mendengar bahwa Hwe-thian Mo-li sedang tidak
berada di Ban-hwa-kok. Akan tetapi ternyata sekarang muncul sepasang orang muda yang demikian ganas
dan lihai ilmu pedangnya! Hal ini membuat nyali mereka menjadi semakin mengecil.
Li Ai dan Cu An kini menerjang ke arah pemimpin gerombolan yang mukanya penuh berewok itu. Dia ini
dahulunya merupakan pembantu utama Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang telah terbunuh oleh
Hwe-thian Mo-li. Semua anggauta Ban-hwa-pang berikut ketuanya telah dibasmi dan dibunuh habis oleh
Hwe-thian Mo-li yang menjadi seperti gila dan mengamuk setelah merasa dirinya dinodai dan Si Berewok ini
adalah salah satu di antara beberapa orang saja yang sempat melarikan diri, walaupun terluka parah.
Kini, dia mengumpulkan teman-teman para perampok untuk membalas dendam, membakar dan mencoba
untuk menguasai kembali Ban-hwa-pang. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa di situ terdapat Li Ai dan Cu
An yang cukup lihai sehingga pihak mereka yang kini terdesak hebat.
Si Berewok cukup lihai. Andaikata yang melawannya hanya Li Ai atau Cu An sendiri, kiranya dia tidak akan
mudah dikalahkan. Akan tetapi kini dua orang muda itu maju bersama dan mereka saling melindungi dan
saling bantu karena memang ada perasaan yang dekat dan saling menyayang di antara keduanya, maka
pertahanan maupun penyerangan mereka dapat disatukan dan menjadi terlalu kuat bagi Si Berewok.
Setelah melawan mati-matian selama duapuluh jurus, akhirnya Si Berewok roboh terkena sabetan pedang
Li Ai dan tusukan pedang Cu An. Dia roboh dan tewas.
Melihat ini, sisa para gerombolan menjadi panik, sebaliknya para wanita anggauta Ban-hwa-pang menjadi
semakin bersemangat. Bagaikan harimau-harimau betina mereka berteriak-teriak menerjang sisa
gerombolan, dipimpin Li Ai dan Cu An sehingga akhirnya semua anggauta gerombolan yang menyerbu
telah dapat dirobohkan dan ditewaskan!
Para wanita itu bersorak gembira karena kemenangan ini, kemenangan dalam pertempuran yang pertama
kali mempertahankan tempat kediaman mereka! Hanya ada enam orang wanita rekan mereka yang terluka.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Mereka segera dirawat dan atas perintah Li Ai, semua mayat para gerombolan itu dikubur dalam beberapa
lubang, jauh di kaki bukit Ban-hwa-san.
Li Ai dan Cu An berjalan berdampingan naik kembali ke puncak Ban-hwa-kok. Sejak itu, mereka merasa
semakin dekat satu kepada yang lain. Terasa suatu kemesraan yang amat membahagiakan hati mereka.
Wajah mereka cerah penuh senyum, terutama setiap kali pandang mata mereka saling bertemu dan
bertaut. Walaupun mulut mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun sinar mata mereka telah
mengutarakan seluruh isi hati mereka yang dapat mereka tangkap dan mengerti sedalam-dalamnya.
Mereka saling jatuh cinta! Ada perasaan bahagia yang mendalam, namun kebahagiaan yang
mendatangkan duka apabila mereka mengingat akan keadaan diri masing-masing. Li Ai teringat akan
keadaan dirinya yang sudah ternoda, dan Cu An teringat akan keadaan dirinya sebagai putera seorang
pengkhianat dan pemberontak!
Akan tetapi peristiwa penyerbuan gerombolan itu membuat Cu An mendapatkan alasan dan kesempatan
untuk bermalam satu malam lagi di Ban-hwa-kok, dalam waktu itu membuka peluang bagi mereka untuk
saling memperlihatkan perasaan hati masing-masing, walaupun hanya melalui pandang mata dan senyum
penuh madu. Tanpa bicara pun mereka yakin bahwa mereka saling mencinta. Mereka makan siang, lalu
makan malam bersama.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan makan pagi, suasananya diliputi keharuan dan kesedihan
karena saatnya telah tiba bagi mereka untuk saling berpisah. Pagi itu setelah sarapan, Cu An harus
meninggalkan Ban-hwa-pang, menyusul gurunya ke kota raja! Mereka berdua sarapan, akan tetapi tidaklah
senikmat biasanya. Bahkan rasanya sukar menelan makanan menghadapi perpisahan di depan mata.
Setelah selesai makan, Cu An berkata lirih. “Sekarang aku harus berkemas......”
“...... Kongcu...... mengapa tergesa-gesa? Hari masih amat pagi.”
Cu An memandang wajah gadis itu dengan sinar mata tajam. “Nona Kui, setelah apa yang kita alami
bersama, rasanya kaku dan tidak enak mendengar engkau masih menyebut aku Kongcu.”
“Engkau pun menyebut aku Siocia......” bantah Li Ai.
Cu An tersenyum dan gadis itu pun ikut tersenyum pula. Tanpa bicara lagi mereka sudah saling mengetahui
isi hati masing-masing yang ingin mendapatkan sebutan yang lebih akrab lagi, bukan sebutan bersopansopan
seperti dua orang yang asing satu sama lain.
“Baiklah mulai sekarang, aku akan menyebutmu Moi-moi (Adik Perempuan), bolehkah, Ai-moi?”
“Tentu saja, dan aku akan senang kalau boleh menyebutmu An-ko (Kakak Laki-laki An).”
Keduanya saling tersenyum lagi dan kini pandang mata mereka lebih leluasa mengirim sinar-sinar kasih.
“Sekarang aku harus berkemas dan siap untuk turun dari sini, Ai-moi.”
“Baiklah, silakan An-ko.”
Cu An lalu memasuki kamarnya dan mengemasi buntalan pakaiannya. Setelah dia keluar, dia melihat Li Ai
sudah menunggunya dan ketika dia menuruni puncak bukit itu, Li Ai mengantarnya dan berjalan di
sampingnya, sebagai pengantar dan penunjuk jalan karena jalan menurun itu penuh jebakan dan
perangkap. Mereka berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.
“Aku merasa senang dan berbahagia sekali dapat berkenalan denganmu, Ai-moi.”
“Aku pun merasa senang dan terhormat dapat bertemu dan berkenalan denganmu, An-ko. Engkau seorang
putera pangeran yang terhormat dan berkedudukan tinggi, sedangkan aku......”
“Hushh, jangan berkata begitu, Ai-moi,” kata Cu An sambil memegang tangan kiri gadis itu yang berjalan di
samping kanannya.
Merasa betapa tangan kirinya dipegang erat, Li Ai terkejut akan tetapi biarpun hatinya menolak, jari-jari
tangannya dengan hangat membalas genggaman tangan pemuda yang kokoh kuat itu.
“Aku bicara sejujurya, An-ko. Bahkan berjalan berdua begini saja sebetulnya tidak pantas bagiku......”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
10.29. Pertemuan Dua Saudara Perguruan
“Ai-moi......!” Cu An berhenti melangkah dan menarik gadis itu sehingga mereka berdiri berhadapan, dekat
sekali dan ketika mereka saling pandang, Cu An agak menunduk dan Li Ai agak berdongak, mereka dapat
merasakan hembusan napas masing-masing di muka mereka.
“Jangan engkau sekali lagi berkata seperti itu, Ai-moi. Ucapan itu amat menyakitkan hatiku. Engkau lebih
dari pantas berjalan dalam kehidupan ini di sampingku, akulah yang tidak pantas bagimu. Ai-moi, aku......
aku sayang kamu, aku cinta kamu......”
“An-ko......!” Kini kedua tangan mereka saling bertemu dan jari-jari tangan mereka saling remas. Sejenak Li
Ai yang, merasa tubuhnya lunglai, menyandarkan mukanya di dada pemuda itu yang merangkul pundaknya.
Biarpun tidak lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, namun rasanya hati mereka telah menjadi
satu dan sukar untuk dipisahkan lagi. Akan tetapi Li Ai segera menyadari keadaan dirinya. Ia menjauhkan
diri dan berkata lirih.
“Dari sini ke bawah sudah tidak ada perangkap lagi, An-ko. Selamat jalan, An-ko dan terima kasih, engkau
baik sekali. Nanti kalau Enci Siang Lan kembali, akan kuceritakan padanya tentang kunjunganmu.” Li Ai
menguatkan hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar agak gemetar karena haru dan sedih akan
berpisah dari pemuda itu.
“Baik, Ai-moi. Kurasa aku akan dapat bertemu dengannya di kota raja. Kalau aku bertemu dengannya, akan
kuceritakan pembelaanmu kepada Ban-hwa-pang dari serbuan pengacau.”
Cu An mengambil sebuah kantung kecil yang biasa dia pergunakan untuk menyimpan uang emas, sebuah
kantung kecil dari kain disulam indah dengan gambar sepasang kupu-kupu dan memberikannya kepada Li
Ai.
“Ai-moi, aku tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap engkau suka menerima hadiah dariku ini
sebagai tanda mata atas persahabatan kita.”
Li Ai menerimanya dengan tangan gemetar, lalu berkata, “Aku pun tidak mempunyai apa-apa, An-ko, akan
tetapi silakan ambil apa saja yang kausuka.”
Cu An mengamati gadis itu, lalu mengelus rambutnya yang hitam panjang lebat dan agak berikal itu.
“Bolehkah aku mengambil hiasan rambutmu ini, Ai-moi?”
“Tentu saja boleh, An-ko,” jawab gadis itu dengan muka berubah kemerahan.
Cu An mengambil tusuk sanggul yang berupa bunga teratai itu dan begitu dicabut sanggulnya terlepas dan
rambut yang panjang itu terurai menutupi kedua pundak Li Ai.
“Alangkah indah rambutmu, Ai-moi,” Cu An mengelus rambut itu dengan mesra.
Selama hidupnya baru sekali ini Li Ai merasa dicinta pria, sebaliknya juga Cu An baru sekali ini merasa
dekat sekali dengan wanita. Keduanya salah tingkah dan merasa canggung, jantung berdebar tegang dan
tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.
“Nah, selamat tinggal, Adikku sayang.”
“Selamat jalan, An-ko.”
Kedua tangan yang saling berpegang itu merenggang dan perlahan-lahan terlepas ketika Cu An mulai
melangkah meninggalkan Li Ai. Setelah mengikuti bayangan pemuda yang menuruni lereng terakhir itu
sampai bayangan itu lenyap barulah Li Ai tidak dapat menahan tangisnya. Ia menangis sedih, berjalan
mendaki bukit sambil menangis. Ia teringat akan keadaan dirinya, yakin bahwa ia tidak akan mungkin dapat
hidup berjodoh dengan Cu An, pemuda yang telah merebut cintanya.
Ia teringat akan Bong Kim atau Bong Kongcu, putera Hartawan Bong di kota raja, pria pertama yang
mengaku cinta dan melamarnya sebagai isteri. Mula-mula ia memang tertarik, akan tetapi setelah pemuda
itu diberitahu bahwa ia bukan perawan lagi, Bong Kim malah menghinanya dan memandang rendah
kepadanya dan hanya ingin mengambilnya sebagai seorang selir. Karena ia tidak mencinta Bong Kim, maka
sikap Bong Kim itu tidak begitu menyakitkan hatinya, apalagi pemuda hartawan itu telah menerima hajaran
keras dari Hwe-thian Mo-li.
Akan tetapi ia benar-benar jatuh cinta kepada Bouw Cu An. Kalau sampai Bouw Cu An nanti
memperlihatkan sikap seperti Bong Kim, ia tidak akan kuat menerimanya. Lebih baik mati saja! Karena itu,
dunia-kangouw.blogspot.co.id
sebaiknya kalau ia tidak melanjutkan hubungan cintanya dengan Bouw Cu An. Bahkan, sebaiknya kalau ia
tidak saling mencinta dengan pria manapun juga agar jangan sampai tersiksa hatinya kelak.
Pemuda mana yang akan mau menerima jodoh seorang gadis yang bukan perawan lagi? Ah, betapa
tololnya dan tidak adilnya laki-laki! Ia bukan perawan lagi bukan karena kesalahannya, bukan karena
kehendaknya, melainkan karena terpaksa! Orang bernasib buru sepertinya bukannya dikasihani, malah
dihina, direndahkan, dan diejek!
Bagaimana sebaliknya kalau pria? Berapa banyaknya laki-laki yang ketika menikah bukan perjaka lagi, dan
hal itu pun terjadi karena dia sengaja, karena kesalahannya, bukan karena ada yang memaksa, akan tetapi
kalau laki-laki tidak ada yang menghina atau menyalahkannya! Betapa tidak adilnya ini. Pikiran seperti ini
mengganggu kepalanya ketika ia mendaki pulang ke perkampungan Ban-hwa-pang sehingga setelah tiba di
rumah, ia merasa pening dan segera merebahkan diri tidur dengan muka masih ada bekas air mata.
Sementara itu, Bouw Cu An yang menuruni bukit itu pun dilanda perasaan campur aduk. Ada rasa gembira
dan bahagia karena dia merasa benar bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Li Ai dan dia merasa bahwa
gadis itu pun membalas cintanya. Mereka berdua saling mencinta dan alangkah akan bahagianya kalau
kelak dia dapat menjadi jodoh, menjadi suami gadis yang baginya paling cantik menarik di antara semua
wanita di dunia ini. Akan tetapi perasaan bahagia ini dinodai ingatannya akan ayahnya. Ayahnya
mempunyai niat memberontak berarti ayahnya mempunyai watak khianat terhadap pemerintah.
Sebaliknya, Kui Li Ai adalah puteri tunggal mendiang Kui Ciang-kun, seorang perwira tinggi yang patriotik,
seorang pahlawan yang gagah perkasa dan dihormati karena setianya kepada pemerintah. Kalau kemudian
Li Ai mengetahui bahwa ayahnya seorang pengkhianat, apakah gadis itu sudi menjadi mantu pengkhianat?
Ingatan ini membuat hati Cu An merasa berat dan sedih sekali. Dia mengambil keputusan untuk menentang
ayahnya sendiri, untuk berusaha sekuatnya menyadarkan keinginan ayahnya yang hendak memberontak
itu. Bagaimanapun juga, ayahnya telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi dari kaisar, diangkat
menjadi penasihat Kaisar dalam urusan hubungan dengan para suku lain di luar daerah kekuasaan
kerajaan Beng. Dengan keputusan hati yang tetap, pemuda itu lalu mempercepat perjalanannya menuju ke
kota raja.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memasuki kota raja. Jantungnya berdebar juga ketika ia memasuki kota raja
yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Sudah lama ia merasa rindu sekali kepada Ong Lian Hong, adik
seperguruan atau adik angkatnya sendiri, puteri dari gurunya.
Dulu, ia tidak jadi singgah di rumah adiknya itu karena bagaimanapun juga, ia masih merasa tidak enak
untuk bertemu dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong yang pendekar Kun-lun-pai dan kini
menjadi suami Ong Lian Hong itu. Ia pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu.
Sim Tek Kun merupakan pria pertama yang dicintanya, akan tetapi kemudian dia mengetahui bahwa Sim
Tek Kun adalah pemuda yang sudah dijodohkan dengan Ong Lian Hong sejak mereka kecil dan ternyata
keduanya juga jatuh cinta setelah bertemu pada saat mereka telah dewasa. Bahkan ia sendiri yang
mendorong keduanya dapat saling bertemu dan berjodoh!
Biarpun ia melepas cinta pertamanya itu dengan rela, namun tetap saja ada bekas luka dalam hatinya,
walau kini luka itu sudah mengering. Ia merasa amat rindu kepada Ong Lian Hong dan kini ia tidak dapat
menahan lagi rasa rindunya. Ia menekan perasaan tegangnya, lalu setelah mengambil keputusan, pada
siang hari itu ia melanjutkan langkahnya langsung saja ke istana Pangeran Sim Liok Ong, di mana tentu
saja Ong Lian Hong tinggal bersama suaminya, putera pangeran itu.
Penjaga istana Pangeran Sim tentu saja tidak mengenalnya. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri
sebagai Hwe-thian Mo-li dan ingin bertemu dengan suami isteri Sim Tek Kun, dua orang perajurit itu terkejut
dan cepat memberi hormat lalu mempersilakan Siang Lan duduk menanti di dalam gardu penjagaan karena
mereka hendak melaporkan ke dalam istana.
Tak lama kemudian, Siang Lan melihat Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun berlari-larian keluar dari dalam
istana menuju ke gardu penjagaan dekat pintu gerbang. Ia bangkit berdiri dan keluar dari gardu menyambut
mereka. Hatinya terharu sekali ketika ia melihat Lian Hong masih tetap cantik dan anggun, akan tetapi agak
gemuk dan setelah dekat, ia gembira sekali melihat bahwa adiknya itu ternyata agak gendut, tanda bahwa
Ong Lian Hong telah mengandung! Mungkin baru beberapa bulan sehingga tidak tampak terlalu besar,
namun ia dapat menduga bahwa adiknya itu telah hamil!
“Enci Lan......!!” Lian Hong berlari dan mengembangkan kedua lengannya.
“Hong-moi!” Siang Lan juga menyambut dan keduanya berangkulan, dan Lian Hong menangis terisak-isak.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Hushh......! Lian Hong, kenapa pertemuan menggembirakan ini kausambut dengan tangis?” kata Siang Lan
tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah.
“Enci...... maafkan aku......”
Tiba-tiba Lian Hong merasa lengannya dipegang suaminya dan tahulah ia bahwa suaminya melarang ia
membicarakan urusan lama yang hanya akan menimbulkan singgungan dalam hati, maka ia melanjutkan
dengan maksud lain. “......maafkan kami tidak tahu akan kunjunganmu sehingga lambat menyambutmu.”
“Aih, tidak apa-apa, Adikku. Aku pun tidak memberi kabar lebih dulu, bagaimana kalian bisa tahu?”
“Hwe-thian Mo-li, sungguh kami merasa bahagia sekali dapat menerima kunjunganmu!” kata Sim Tek Kun
dengan ramah dan gembira.
“Kun-lun Siauw-hiap, bagaimana keadaan kalian? Engkau menjaga Adikku dengan baik-baik, bukan?” kata
pula Hwe-thian Mo-li dan suaranya terdengar biasa karena hatinya kini sudah tenteram melihat bahwa
mereka berdua agaknya juga tidak ingin bicara tentang masa lalu.
“Kami dalam keadaan baik, terima kasih. Mari kita bicara di dalam saja. Hong-moi, ajak Encimu masuk ke
dalam.”
“Mari, Enci Lan!” Lian Hong lalu menggandeng tangan Siang Lan dan mereka berdua lalu berjalan menuju
ke istana Pangeran Sim, diikuti oleh Sim Tek Kun dari belakang. Setelah oleh Lian Hong encinya itu
dipertemukan dengan Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Lian Hong dan Sim Tek Kun lalu mengajak
Siang Lan masuk ke dalam dan di ruangan dalam mereka bertiga bercakap-cakap dengan gembira.
“Sudah berapa bulan kandunganmu, Lian Hong?”
Lian Hong menundukkan muka memandang ke arah perutnya, mukanya berubah kemerahan dan tangan
kirinya mengelus perut, mengerling sambil tersenyum kepada suaminya lalu menjawab, “Dua bulan lebih,
Enci Lan.”
“Mudah-mudahan anakmu yang pertama laki-laki, Adik Hong!”
“Nona Nyo Siang Lan, sungguh kami berdua merasa beruntung sekali dapat menerima kunjunganmu ini.
Akan tetapi kalau boleh kami mengetahui, apakah selain kunjungan persaudaraan, kedatanganmu ini ada
hubungannya dengan undangan Jenderal Chang Ku Cing?”
“Aih, benar sekali! Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Sim Kongcu?”
“Wah, kenapa sih kalian menggunakan sebutan seperti orang asing begitu? Aku jadi merasa tidak enak
mendengarnya. Kun-ko, dan Lan-ci, kenapa kalian tidak menyebut seperti kakak dan adik saja?” tegur Lian
Hong sambil tertawa.
Wanita muda ini maklum bahwa terdapat kecanggungan di antara dua orang yang dulu saling memiliki
hubungan batin itu, maka ia lalu mencairkan kekakuan dan kecanggungan itu. Sim Tek Kun dan Nyo Siang
Lan tertawa mendengar ini.
“Nah, kalau engkau sudah ditegur oleh isterimu yang galak ini, lalu bagaimana sikapmu, Kun-ko?” kata
Siang Lan, menyebut Kun-ko (Kakak kun) tanpa canggung karena memang ia sudah lama mengenal Sim
Tek Kun, bahkan sebelum Lian Hong mengenal putera pangeran itu.
Sim Tek Kun tertawa. “Ha-ha, memang aku yang bersalah, Lan-moi. Sepantasnya memang kita tidak
bersikap sungkan dan asing satu sama lain. Bukankah kita telah menjadi lebih akrab daripada sekadar
teman, kini dapat dibilang menjadi keluarga? Isteriku adalah adik angkatmu, maka aku pun berarti
saudaramu pula.”
Percakapan menjadi lebih ramah dan akrab. Siang Lan lalu menceritakan maksud kunjungannya ke kota
raja, menjawab pertanyaan Tek Kun tadi.
“Sesungguhnya memang benar bahwa Paman Jenderal Chang Ku Cing mengutus Saudara Chang Hong Bu
berkunjung ke Ban-hwa-kok dan mengundangku agar aku membantu dia melakukan penyelidikan dan
menangkap para pembunuh yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat tinggi
yang setia kepada Kaisar. Karena kami di Ban-hwa-kok sedang membangun, maka aku minta Bu-ko,
maksudku saudara Chang Hong Bu untuk kembali dulu ke kota raja, kemudian aku menyusul setelah
pekerjaan di sana selesai.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Setelah memasuki kota raja, sebelum menghadap Paman Jenderal Chang Ku Cing, aku ingat kepada
kalian, maka aku langsung saja berkunjung ke sini lebih dulu. Kalian tentu lebih tahu apa yang telah terjadi
di kota raja sehingga Paman Jenderal Chang perlu untuk mengundang dan minta bantuanku.”
Ong Lian Hong menjawab, “Paman Jenderal Chang Ku Cing juga sudah mengundang kami berdua dan
minta bantuan kami, juga menanyakan alamatmu kepada kami. Kami hanya mengira-ngira saja di mana
adanya dirimu, Enci Lan, karena kami telah mendengar tentang engkau yang membasmi gerombolan Banhwa-
kok dan memimpin perkumpulan itu. Ada pun tentang pembunuhan-pembunuhan itu, memang aneh,
dan agaknya suamiku dapat bercerita lebih banyak.”
Siang Lan memandang Tek Kun. “Apakah yang telah terjadi, Kun-ko?”
Tek Kun menghela napas panjang sebelum menjawab. “Telah terjadi pembunuhan atas diri enam orang
pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar dan melihat cacat yang diderita enam orang itu mudah diketahui
bahwa pembunuhnya tentu ada tiga orang. Penyebab kematian itu ada tiga macam, jadi mungkin setiap
orang pembunuh telah membunuh dua orang pejabat tinggi. Melihat dari cacat yang menyebabkan
kematian, dan cara mereka membunuh tanpa diketahui seorang pun petugas jaga, padahal yang dibunuh
adalah pejabat-pejabat tinggi yang rumahnya dijaga, maka jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang
berkepandaian tinggi.”
“Hemm, apakah bukan orang-orang Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw yang melakukannya? Ingat, dulu pun
yang melakukan pemberontakan adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak sekali tokoh
lihai.”
“Jenderal Chang juga menduga demikian. Akan tetapi anehnya, begitu diadakan pembersihan dan seluruh
kota raja digeledah, tidak dapat ditemukan jejak para pembunuh itu. Padahal kalau ada orang-orang Peklian-
kauw bersembunyi di kota raja, sudah pasti dapat diketahui dan ditangkap karena penggeledahan
dilakukan sampai ke pelosok-pelosok. Mereka itu seolah menghilang dan setelah melakukan pembunuhanpembunuhan
itu dan pemerintah mengadakan pembersihan dan pencarian, pembunuhan itu pun berhenti
tiba-tiba.
“Kami berdua juga sudah membantu sedapat kami, menyelidiki seluruh tempat, bahkan beberapa malam
kami bergadang dan meronda secara diam-diam, namun tidak menemukan apapun. Melihat penjagaan
yang dilakukan atas perintah Jenderal Chang, tidak mungkin ada orang asing dapat keluar masuk pintu
gerbang kota raja seenaknya saja.”
“Hemm, kalau begitu, apakah tidak mungkin kalau ada pengkhianatan di dalam kota raja yang sengaja
menyembunyikan para pembunuh itu?” tanya Hwe-thian Mo-li.
“Persis, itu pun telah kami pikirkan. Dan mengingat bahwa hanya rumah-rumah pejabat yang amat tinggi
kedudukannya saja yang terbebas dari penggeledahan, maka andaikata ada pengkhianat, dia pasti seorang
pejabat tinggi. Akan tetapi siapa? Siapakah pejabat tinggi yang hendak mengkhianati kaisar dan bersekutu
dengan pihak pemberontak?”
“Seorang pengkhianat yang bergerak dengan diam-diam dan rahasia jauh lebih berbahaya daripada
pemberontakan yang bergerak dengan terang-terangan,” kata Siang Lan. “Apakah setelah pembunuhan
enam orang pejabat tinggi itu, lalu berhenti dan tidak terjadi pembunuhan lagi?”
“Itulah masalahnya maka amat sukar menyelidiki siapa dalang pembunuhan-pembunuhan itu. Setelah
terjadi pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu dan Jenderal Chang melakukan penyelidikan dengan
ketat, pembunuhan itu berhenti dan tidak pernah terjadi lagi kerusuhan apalagi pembunuhan,” kata Sim Tek
Kun.
“Hemm, agaknya dalangnya memang cerdik. Kalau menurut aku, sebaiknya kalau kita pancing dia keluar,
dengan jalan memperlemah penjagaan dan penyelidikan. Kalau para pembunuh itu menganggap penjagaan
menjadi lemah kemungkinan besar mereka akan bergerak lagi dan itulah kesempatan bagi kita untuk
menangkapnya.”
“Akan tetapi hal itu membahayakan keselamatan para pejabat tinggi!” seru Ong Lian Hong.
“Sebaiknya kalau engkau menghadap Jenderal Chang dan membicarakan hal ini dengan dia, Lan-moi.
Hanya dialah yang berhak mengambil keputusan,” kata Tek Kun.
“Akan tetapi nanti dulu, Enci Lan. Jangan tergesa-gesa meninggalkan aku. Aku masih rindu. Biarlah engkau
tinggal dulu barang sehari dua hari di sini. Aku ingin mengadakan pesta keluarga untuk menyambutmu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Setelah itu baru engkau pergi menemui Jenderal Chang dan mulai bekerja!” kata Lian Hong dan atas
permintaan adik angkatnya ini tentu saja Siang Lan tidak mampu menolak.
Ketika berada berdua saja di dalam kamar mereka, Lian Hong berkata kepada suaminya. “Kun-ko, aku ingin
mengadakan pesta keluarga dan mengundang Chang Hong Bu untuk datang dan ikut dalam pesta makan
untuk menyambut kunjungan Enci Lan.”
Mendengar sesuatu yang agak aneh dalam nada suara isterinya, Tek Kun memandang wajah Lian Hong
dan alisnya berkerut. “Eh, Hong-moi, apa artinya ini? Apa maksudmu mengundang Chang Hong Bu ke
dalam pesta keluarga kita? Dia itu tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kita atau dengan Siang
Lan!”
Isterinya tersenyum manis. “Aih, suamiku! Apakah engkau tidak dapat menduga apa maksudku? Kita sudah
tahu bahwa Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Dia keponakan Jenderal Chang,
murid Siauw-lim-pai yang tinggi ilmu silatnya, juga seorang pemuda terpelajar dan baik budi, tampan pula.
Tidakkah engkau pikir dia itu cocok sekali kalau menjadi pasangan hidup Enci Lan?”
“Oh-oh......! Maksudmu, engkau hendak main menjadi comblang? Isteriku, jangan kau gegabah. Bagaimana
kalau Siang Lan tidak setuju? Ingat, ia galak sekali, jangan-jangan ia akan marah kepadamu karena ulahmu
yang nakal ini!”
10.30. Penyerangan Sarang Pemberontak
“Kun-ko, apakah engkau tidak melihat wajah Enci Lan ketika ia bercerita tentang pertemuannya dengan
Chang Hong Bu di Lembah Selaksa Bunga? Kemudian ia menceritakan betapa bersama Chang Hong Bu ia
dikeroyok orang-orang lihai dari Pek-lian-kauw. Ketika menceritakan tentang kegagahan Chang Hong Bu,
kulihat wajahnya berseri dan sinar matanya masih membayangkan kekaguman terhadap pemuda pendekar
Siauw-lim-pai itu!
“Nah, berdasarkan kenyataan ini, salahkah aku kalau aku sekarang berusaha untuk saling mendekatkan
mereka? Siapa tahu mereka akan dapat menjadi jodoh yang serasi dan bahagia, seperti kita, suamiku!”
Melihat pandang mata Lian Hong membayangkan keharuan dan kesedihan hati, Tek Kun maklum apa yang
dipikirkan isterinya. Isterinya sudah dia beritahu bahwa dahulu, sebelum dia bertemu dengannya, dia telah
mempunyai hubungan batin dengan Siang Lan. Hwe-thian Mo-li mencintanya, akan tetapi sengaja
mengalah ketika mengetahui bahwa selain dia tunangan Lian Hong, juga saling mencinta dengan
tunangannya itu.
Mendengar itu, hati Lian Hong terharu dan sedih sekali. Ia merasa iba kepada Siang Lan yang amat
dikasihinya seperti kakaknya sendiri. Maka kalau kini ia berusaha untuk membahagiakan hati Siang Lan dan
mencoba mencarikan jodohnya yang setimpal, apa salahnya hal itu dicobanya?
Dia merangkul isterinya. “Baiklah, isteriku, lakukanlah semua rencana baikmu itu.”
Lian Hong merasa girang dan mencium pipi suaminya. “Engkau memang suami yang paling baik, Kun-ko!”
Demikianlah, malam itu diadakan pesta makan keluarga. Karena yang berpesta itu orang-orang muda dan
di situ hadir pula Chang Hong Bu, maka Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya setelah selesai makan lalu
masuk ke dalam, tidak ingin mengganggu kegembiraan pertemuan orang-orang muda itu.
Kini tinggal Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu, dan Nyo Siang Lan berempat yang bercakapcakap.
Setelah makan selesai mereka pindah duduk di ruangan tamu dan melanjutkan percakapan di situ.
Siang Lan juga terkejut namun gembira ketika melihat kedatangan Hong Bu yang diundang untuk ikut
berpesta. Akan tetapi ia tidak berprasangka karena ia tahu bahwa hubungan antara keponakan Jenderal
Chang dan Sim Tek Kun tentu akrab, maka undangan itu pun dianggapnya wajar saja. Sebaliknya, Hong Bu
gembira sekali karena memang dia telah jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sejak pertama kali berjumpa.
“Wah, kalau aku tahu engkau sudah berada di kota raja, Lan-moi, aku tentu segera menemuinya di sini!
Paman Jenderal Chang sudah amat menanti-nanti kedatanganmu,” demikian Hong Bu berkata sambil
menatap wajah yang jelita itu.
“Sebetulnya begitu tiba di kota raja, aku ingin segera menghadap Paman Jenderal Chang, Bu-ko, akan
tetapi ini, Hong-moi dan Kun-ko menahan aku.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Habis, kami sudah amat kangen sih!” kata Lian Hong dan mereka berempat bercakap-cakap tentang
keadaan di kota raja.
“Keadaan di kota raja memang aman-aman saja akan tetapi paman Jenderal Chang masih tetap merasa
penasaran. Setelah melakukan penggeledahan dengan cermat di kota raja dan hasilnya tidak ada, kini
penyelidikan mulai diarahkan keluar kota raja dan agaknya Paman Chang telah mempunyai rencana untuk
melakukan gerakan pembersihan di tempat-tempat tertentu. Agaknya Paman Chang hanya menanti
kedatanganmu, Lan-moi, untuk mulai dengan gerakan pembersihan itu. Oleh karena itu, sebaiknya kalau
engkau segera menghadap ke sana.”
Mereka lalu memutuskan untuk besok pagi pergi menghadap Jenderal Chang. Hong Bu berjanji untuk
menyampaikan dulu kepada pamannya akan kedatangan Siang Lan dan besok pagi dia akan datang
menjemput dan mereka berempat akan bersama-sama menghadap Jenderal Chang.
Pertemuan ramah tamah dan akrab itu membuat hati Chang Hong Bu semakin tertarik kepada Siang Lan.
Hal ini diketahui oleh Lian Hong dan suaminya yang menjadi girang sekali, juga dirasakan oleh Siang Lan
sendiri. Sebetulnya ia merasa bersyukur bahwa seorang pemuda perkasa seperti Chang Hong Bu menaruh
perhatian terhadap dirinya, akan tetapi ia masih sangsi. Dapatkah ia menjalin asmara dengan seorang pria?
Sesungguhnya, pada saat itu hatinya sudah lebih condong kepada Paman Bu-beng-cu, laki-laki yang telah
melepas banyak sekali budi kebaikan kepadanya, laki-laki yang telah menumbuhkan semangat hidupnya,
dan satu-satunya laki-laki yang amat dikaguminya. Akan tetapi, kalau mengingat keadaan dirinya yang
sudah ternoda, ia takut untuk menyatakan cinta kepada seorang pria.
Bagaimana kalau laki-laki seperti Chang Hong Bu mengetahui bahwa ia bukan perawan lagi? Akan
berubahkan sikapnya, berbalik merasa jijik dan tidak cinta lagi? Ah, betapa dia akan merasa terhina, marah,
dan mungkin saja ia berbalik menjadi amat benci kepada Hong Bu!
Panglima besar Jenderal Chang Ku Cing menerima kedatangan Nyo Siang Lan yang ditemani Chang Hong
Bu, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong dengan wajah berseri gembira. Jenderal yang usianya sudah
limapuluh dua tahun itu masih tampak gagah perkasa, dengan tubuh tinggi tegap, wajahnya penuh wibawa
dengan kumis dan jenggot pendek dibentuk rapi, sepasang matanya yang tajam mengandung keteguhan
seorang pemimpin. Akan tetapi dia tampak ramah ketika menyambut kedatangan Hwe-thian Mo-li Nyo
Siang Lan yang memang dia kagumi.
“Selamat datang, Hwe-thian Mo-li! Kami sudah lama menunggu kedatanganmu!”
“Maafkan saya, Paman. Karena masih harus membenahi Lembah Selaksa Bunga, maka kedatangan saya
agak terlambat,” kata Siang Lan.
“Kami kira, kalian tentu sudah mendengar dengan jelas akan peristiwa pembunuhan terhadap enam orang
pejabat tinggi kerajaan sekitar sebulan lebih yang lalu. Sejak terjadinya pembunuhan terhadap enam orang
pejabat itu, sampai kini tidak ada lagi pembunuhan. Kami sudah mengerahkan semua tenaga untuk
membongkar dan mencari pembunuhnya, namun selama ini kami gagal dan belum dapat menangkap para
pembunuhnya.
“Tiga orang pembunuh itu jelas merupakan orang-orang yang amat tinggi ilmu silatnya, dan tentu mereka itu
mempunyai hubungan dengan pihak yang berkhianat terhadap kerajaan. Sayang sampai sekarang kami
belum berhasil membongkar rahasia itu. Agaknya pihak mereka juga ketakutan dan berdiam diri tidak
membuat gerakan sehingga sulit untuk dilacak.”
“Paman, seperti telah saya laporkan kemarin, bagaimana pendapat Paman tentang usul Hwe-thian Mo-li
untuk mengendurkan penjagaan dan memberi kesempatan serta memancing para pembunuh agar mereka
berani beraksi kembali? Dengan demikian kita dapat melacaknya,” kata Hong Bu kepada pamannya.
Jenderal Chang mengangguk-angguk.
“Usul yang dikemukakan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memang cukup baik. Akan tetapi kami kira
hasilnya tidaklah sepadan dengan resikonya. Kalau kita menggunakan siasat mengendurkan penjagaan, hal
ini mungkin saja mudah diketahui mereka karena seperti kami katakan tadi, para pembunuh itu tentu
mempunyai hubungan persekutuan dengan orang dalam yang akan mengetahui pula tentang siasat kita
mengendurkan penjagaan.
“Padahal resikonya cukup berat. Bagaimana kalau mereka itu serentak bergerak melakukan pernbunuhanpembunuhan
lagi? Tidak, kami kira siasat itu terlalu berbahaya untuk dilakukan. Akan tetapi kami telah
mendapatkan titik-titik terang.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Penyelidikan kami telah dapat menemukan tempat persembunyian gerombolan yang mencurigakan.
Mungkin saja mereka itu adalah gerombolan Pek-lian-kauw atau Ngo-lian-kauw yang memperkuat diri dan
siap di dalam hutan luar kota raja untuk sewaktu-waktu apabila saatnya tiba, akan mengadakan penyerbuan
besar-besaran ke kota raja.
“Nah, penemuan inilah yang lebih penting! Kita harus mendahului mereka, memukul mereka dan
menghancurkan mereka sebelum mereka sempat bergerak. Dan untuk membantu para perwira tinggi
memimpin pasukannya menyerbu dan membasmi gerombolan itu, kami minta agar kalian berempat
membantu.”
Tentu saja empat orang muda itu menyatakan kesanggupan mereka untuk membantu. Mereka berlima lalu
mempelajari kedudukan gerombolan yang diketahui bermarkas dalam hutan di sebelah barat kota raja, di
sebuah bukit yang berhutan lebat. Mereka mempelajari gambaran peta yang telah dipersiapkan oleh
Jenderal Chang dan menurut Jenderal Chang, para penyelidiknya menaksir bahwa kekuatan gerombolan itu
terdiri dari sekitar empatratus orang yang telah terlatih dengan baik dan rata-rata menguasai ilmu silat.
“Mereka adalah sisa-sisa para anggauta Ngo-lian-kauw. Para pemimpin Ngo-lian-kauw, yaitu Ngo-lian
Heng-te yang dahulu berkedudukan di Poa-teng, Hopak, telah dibasmi oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan!
Kini agaknya sisa para anggauta dan pimpinan Ngo-lian-kauw mengadakan gerakan pemberontakan,
bergabung dan diperkuat oleh Pek-lian-kauw.”
Setelah mereka mempelajari peta itu dengan seksama, Jenderal Chang Ku Cing lalu memanggil para
perwira tinggi yang menjadi pembantunya. Mereka semua juga sudah diberi penjelasan tentang rencana
penyerbuan itu dan semua perwira merasa gembira sekali dan berbesar hati ketika mendengar bahwa
mereka, dalam penyerbuan itu akan dibantu oleh dua pasang orang muda yang sudah mereka ketahui
kehebatannya.
Terutama sekali dengan adanya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan di pihak mereka, hati mereka menjadi lega
dan bersemangat. Tadinya mereka memang agak merasa khawatir mendengar bahwa gerombolan yang
akan mereka serbu dipimpin oleh orang-orang Ngo-lian-kauw dan terutama Pek-lian-kauw yang sudah
terkenal amat lihai itu.
Siang Lan membantu Sim Tek Kun membujuk Lian Hong agar wanita yang sedang mengandung, walaupun
baru dua bulan lebih itu, tidak usah ikut membantu penyerbuan pasukan ke hutan tempat bermarkas
gerombolan. Akhirnya Lian Hong mau mengalah dan tinggal di rumah, sedangkan mereka bertiga, Siang
Lan, Tek Kun, dan Hong Bu, menemani lima orang perwira tinggi memimpin sekitar tujuhratus orang
perajurit melakukan penyerbuan ke hutan itu pada pagi-pagi sekali.
Setelah berhasil melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar,
Pangeran Bouw Ji Kong menghentikan aksi itu, bahkan segera menyelundupkan tiga orang sakti yang
menjadi sekutunya dan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu keluar dari kota raja. Mereka adalah
Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan Nurhacu pemimpin bangsa
Mancu, dan Tarmalan, datuk atau dukun bangsa Hui yang menjadi utusan bangsa Hui yang mendukung
gerakan Pangeran Bouw Ji Kong yang ibunya juga puteri kepala suku bangsa Hui.
Pangeran Bouw Ji Kong tidak mengadakan gerakan, maklum bahwa Jenderal Chang yang diserahi tugas
menangkap para pembunuh mengadakan penjagaan yang amat ketat. Akan tetapi diam-diam Pangeran
Bouw masih mengadakan hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dan persekutuan ini
mengadakan pemusatan kekuatan baru di dalam hutan di Bukit Cemara yang terletak di sebelah barat kota
raja.
Bukit Cemara itu penuh dengan hutan lebat, maka amat baik dijadikan markas dan tempat persembunyian.
Apalagi di bukit itu terdapat banyak guha-guha yang oleh para anggauta Pek-lian-kauw telah dibuat
terowongan-terowongan. Juga di situ dibuat perangkap dan jebakan yang berbahaya karena para anggauta
Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw memang ahli dalam membuat jebakan-jebakan dan penyebaran racun.
Menurut Pangeran Bouw Ji Kong, pihak Pek-lian-kauw sudah dipesan agar jangan membuat gerakan lebih
dulu karena pertahanan di kota raja amat kuat. Dianjurkan agar pihak pemberontak itu menanti tanda
darinya karena dia hendak menyusun siasat baru agar keadaan di kota raja kacau dan dalam keadaan
kacau di mana pertahanannya melemah, barulah pasukan Pek-lian-kauw akan melakukan penyerbuan.
Akan tetapi pangeran Bouw Ji kong terlalu memandang remeh kecerdikan Jenderal Chang Ku Cing. Secara
diam-diam jenderal yang pandai dan berpengalaman ini mengalihkan perhatiannya ke luar kota raja,
menyebar para penyelidik yang pilihan sehingga akhirnya dia mendapatkan keterangan bahwa bukit
Cemara menjadi sarang para gerombolan pemberontak. Bahkan tanpa adanya kebocoran gerakan
dunia-kangouw.blogspot.co.id
pembersihan yang dilakukan pagi hari itu berjalan dengan sempurna. Para pemberontak baru tahu setelah
bukit itu dikepung pasukan kerajaan!
Bukit Cemara itupun geger! Terjadi pertempuran di seluruh permukaan bukit. Pertempuran mati-matian
yang amat dahsyat, campur aduk sehingga kedua pihak tidak mungkin dapat mempergunakan senjata anak
panah karena besar kemungkinan akan mengenai kawan sendiri.
Banyak perajurit kerajaan terjebak perangkap dan berjatuhan, ada pula yang terkena ledakan dari alat-alat
peledak yang dipasang orang-orang Ngo-lian-kauw. Akan tetapi karena jumlah pasukan kerajaan hampir
dua kali lipat besarnya maka di pihak pemberontak lebih banyak lagi yang jatuh korban. Apalagi di situ ada
Hwe-thian Mo-li, Sim Tek Kun, Chang Hong Bu yang membantu para perwira, mengamuk seperti tiga ekor
naga sakti.
Pangeran Bouw Ji Kong terkejut mendengar bahwa pasukan kerajaan menyerbu tempat yang dijadikan
sarang kaum Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw di Bukit Cemara. Dia tentu saja mengetahui bahwa mereka
itu adalah sisa para anak buah Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning yang berada di sebelah timur Peking, dan
sebagian lagi sisa anak buah Ngo-lian-kauw di Po-teng.
Dia cukup cerdik sehingga pangeran itu tidak menaruh orang-orangnya di hutan itu, sehingga tidak perlu
khawatir rahasianya bersekutu dengan mereka akan diketahui pemerintah. Kang-lam Jit-sian yang menjadi
para jagoannya hanya dikenal sebagai para pengawal pribadinya.
Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw Ji Kong masih mengharapkan pertempuran itu akan merugikan
pasukan kerajaan karena dia tahu bahwa di antara para pimpinan Pek-lian-kauw, terdapat beberapa orang
pendeta Pek-lian-kauw yang sakti, di antaranya terdapat dua orang tokoh yang dikirim dari pusat Pek-liankauw,
yang berjuluk Thian-te Lo-mo (Iblis Tua langit dan Bumi) terdiri dari dua orang kakek pendeta Peklian-
kauw.
Seorang berjuluk Thian Lo-mo (Iblis Tua langit) yang bermuka putih seperti kapur dan Tee Lo-mo (Iblis Tua
bumi) yang bermuka hitam seperti arang. Sepasang kakek berusia sekitar enampuluh tahun ini merupakan
pasangan yang amat hebat, selain memiliki ilmu silat tinggi juga mereka berdua mahir menggunakan ilmu
sihir.
Memang dua orang pendeta Pek-lian-kauw ini lihai bukan main. Ketika pasukan kerajaan datang menyerbu,
mereka berdua mengamuk dan sepak terjang mereka menggiriskan semua orang. Bukan saja golok besar
mereka itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di angkasa, akan tetapi juga mereka berdua
dapat mengadakan awan dan halilintar dari sihir mereka yang membuat para perajurit gentar dan banyak
yang roboh oleh mereka. Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang muda itu! Hwe-thian Mo-li sudah berkelebat
dan pedang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya menyambar bagaikan halilintar, menangkis golok
besar di tangan Thian Lo-mo.
“Tranggg......!” Thian Lo-mo yang sedang mengamuk dan sudah membunuh delapan orang perajurit itu
terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada halilintar menyambar dan goloknya terpental, tangan kanannya
terasa panas sehingga hampir saja dia melepaskan gagang golok yang dipegangnya itu. Ketika dia
melompat ke samping dan cepat memutar tubuh, dia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang gagah
perkasa.
Gadis berusia sekitar duapuluh tiga tahun, tubuhnya padat ramping dan indah menggairahkan, rambutnya
hitam panjang ikal mayang dengan anak rambut berjuntai lembut di dahi dan kedua pelipisnya. Matanya
bagaikan sepasang bintang kejora. Hidungnya mancung kecil dan mulutnya merupakan daya tarik yang
amat menggairahkan. Seorang gadis yang benar-benar jelita namun juga tampak gagah berwibawa.
Thian Lo-mo sudah mendengar akan nama besar Hwe-thian Mo-li, maka begitu berhadapan dengan Siang
Lan dan merasakan tangkisan pedang Lui-kong-kiam tadi, dia membentak.
“Engkaukah yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?”
“Benar, aku Hwe-thian Mo-li yang telah datang untuk membasmi pemberontak jahat macam kalian!”
“Perempuan hina! Engkau telah membunuh sahabat-sahabat kami Ngo-lian Heng-te dan beberapa orang
saudara kami dari Pek-lian-kauw sekarang rasakan pembalasan kami! Tee Lo-mo, ini musuh kita Hwe-thian
Mo-li!” teriak Thian Lo-mo dengan marah sekali.
Pada saat itu, seorang kakek lain yang bermuka hitam arang datang menerjang dengan golok besarnya.
Hwe-thian Mo-li cepat mengelak dan ia pun segera menggerakkan pedangnya, menghadapi pengeroyokan
dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu. Ternyata mereka berdua itu tangguh sekali setelah maju bersama.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Bukan hanya ilmu golok mereka yang amat kuat, namun juga tangan kiri mereka seringkali melancarkan
pukulan dorongan jarak jauh yang mendatangkan angin kuat dan menghembuskan uap.
Uap putih keluar dari telapak tangan Thian Lo-mo dan uap hitam keluar dari tangan Tee Lo-mo! Betapa pun
lihainya, Siang Lan terdesak oleh pengeroyokan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua orang pemuda sudah menerjang maju membantu
Siang Lan. Mereka adalah Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu yang tadi mengamuk merobohkan banyak
anak buah Pek-lian-kauw dan melihat betapa Siang Lan menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta
Pek-lian-kauw yang lihai, mereka berdua menerjang maju dan menyerang Thian Lo-mo!
“Trang-cringgg......!” Thian Lo-mo terhuyung ke belakang ketika dia menangkis dua sinar pedang itu dengan
goloknya. Dia terkejut sekali akan tetapi segera menghadapi serangan dua orang pemuda yang memiliki
gerakan pedang amat hebat. Diam-diam dia mengeluh karena dia benar-benar menghadapi dua orang
lawan yang amat tangguh. Melawan seorang saja dari mereka sudah cukup berat apalagi mereka itu maju
bersama.
Sim Tek Kun adalah seorang murid Kun-lun-pai, sedangkan Chang Hong Bu adalah seorang pendekar
Siauw-lim-pai! Tentu saja Thian Lo-mo terdesak hebat dan hanya dapat melindungi diri dengan putaran
golok besarnya sambil terus bergerak mundur.
Sementara itu, ditinggalkan seorang diri melawan Hwe-thian Mo-li yang memiliki ilmu pedang amat dahsyat
itu, Tee Lo-mo juga segera terdesak hebat. Pengerahan tenaga sihir dan permainan goloknya semua
dikeluarkan namun sia-sia belaka, dia tidak mampu menghindarkan semua sambaran kilat halilintar dari
pedang gadis itu dan setelah lewat duapuluh jurus, pedang Siang Lan menyambar lehernya dan Tee Lo-mo
roboh dan tewas seketika!
Siang Lan tidak mempedulikannya lagi dan cepat ia mencari dua orang pemuda yang tadi bertanding
mengeroyok Thian Lo-mo. Tak jauh dari situ ia melihat dua orang itu baru saja merobohkan Thian Lo-mo
yang tewas terkena sambaran pedang jago-jago muda dari Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai itu.
Pertempuran berlangsung seru, akan tetapi setelah dua orang tokoh besar Pek-lian-kauw itu tewas,
semangat para pemberontak menjadi lemah. Mereka masih melawan mati-matian dan bertahan sampai
tengah hari, akan tetapi ketika satu demi satu para pimpinan mereka roboh dan banyak rekan-rekan mereka
berjatuhan, mereka menjadi panik.
Akhirnya, tak dapat mereka pertahankan lagi dan mulailah mereka melarikan diri cerai-berai. Ada yang
mencoba untuk bertahan dalam terowongan-terowongan, ada pula yang melarikan diri menggunakan alat
peledak yang mengeluarkan asap tebal. Akan tetapi, akhirnya paling banyak hanya seratus orang saja dari
mereka yang berhasil lolos dan melarikan diri. Lainnya roboh tewas atau luka dan tertawan.
Biarpun di pihak pasukan pemerintah ada pula yang gugur, namun pasukan pemerintah memperoleh
kemenangan dalam pertempuran itu dan mereka bersorak gembira ketika membakar bekas-bekas sarang
gerombolan di Bukit Cemara itu. Hampir semua pemimpin gerombolan tewas dalam pertempuran itu.
11.31. Gadis Desa Penjual Silat
Akan tetapi, diam-diam Hwe-thian Mo-li dan dua orang pemuda perkasa, Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu,
tiga para perwira tinggi yang memimpin pasukan pemerintah, kecewa karena mereka tidak menemukan
para pembunuh yang dicari-cari oleh Jenderal Chang. Tadinya Siang Lan menduga bahwa dua orang
Thian-te Lo-mo adalah pembunuh-pembunuh itu, akan tetapi setelah ia bersama Tek Kun dan Hong Bu
menewaskan mereka, ia menduga bahwa para pembunuh itu bukan mereka dan agaknya tidak ikut dalam
gerombolan yang telah dibasmi itu.
Biarpun demikian, Jenderal Chang Ku Cing merasa gembira akan keberhasilan operasi pembasmian
gerombolan pemberontak itu. Hal ini setidaknya membuat para pemberontak menjadi jerih dan tidak berani
main-main di kota raja. Dan dia pun tetap meningkatkan penjagaan karena siapa tahu, para pemberontak
akan melakukan kekacauan seperti itu pula, ialah membunuhi para pejabat tinggi.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ditahan oleh Ong Lian Hong untuk sementara agar tinggal di rumah mereka.
Selain Lian Hong merasa rindu kepada enci angkatnya itu, iapun mempunyai niat yang kuat untuk
mendekatkan dan menjodohkan Nyo Siang Lan dengan Chang Hong Bu. Ia merasa bahwa pemuda
keponakan Jenderal Chang itu merupakan jodoh yang tepat sekali bagi Nyo Siang Lan. Maka ia membujuk
suaminya untuk menyetujui kalau mereka mengundang Hong Bu untuk datang bertamu dan bermain di
dunia-kangouw.blogspot.co.id
rumah mereka agar memberi kesempatan sebanyaknya kepada dua orang muda itu untuk saling
berkenalan lebih akrab lagi.
Bahkan Sim Tek Kun terpaksa memenuhi permintaan yang sangat dari isterinya untuk diam-diam
menghubungi Jenderal Chang Ku Cing dan mengajukan usul mereka untuk menjodohkan Chang Hong Bu
dengan Nyo Siang Lan. Jenderal Chang Ku Cing dengan sendirinya merasa setuju sekali karena dia
memang pengagum besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Dia menyatakan persetujuannya dan berjanji
untuk membicarakan hal itu kepada keponakannya.
“Enci Lan, aku ingin mengajakmu untuk mengunjungi Ibu kandungku dan kakek serta Nenekku. Maukah
engkau?” Pada pagi hari itu Lian Hong berkata kepada Siang Lan setelah mereka sarapan pagi.
“Kalian berdua pergilah, aku sendiri harus menghadap Paman Jenderal Chang yang kemarin memesan
agar aku pagi ini berkunjung kepadanya karena ada urusan penting yang akan dibicarakan.”
Lian Hong tersenyum, maklum bahwa yang akan dibicarakan suaminya dan Jenderal Chang Ku Cing
adalah urusan perjodohan antara Chang Hong Bu dan Nyo Siang Lan seperti yang mereka rencanakan.
Akan tetapi ia diam saja karena hal itu masih mereka rahasiakan terhadap Siang Lan sendiri. Mereka masih
khawatir kalau-kalau Siang Lan akan merasa tersinggung dan marah.
Mereka menghendaki agar hubungan antara Siang Lan dan Hong Bu terjadi secara wajar dan timbul
keakraban dan kasih sayang di antara mereka. Kalau sudah begitu keadaannya, maka mudahlah bagi
mereka untuk mengusulkan perjodohan tanpa menyinggung perasaan gadis yang keras hati itu.
Siang Lan terkejut akan tetapi juga gembira dan tegang hatinya mendengar disebutnya ibu kandung Lian
Hong. Ibu kandung Lian Hong berarti isteri mendiang gurunya, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu yang sudah ia
anggap seperti ayahnya sendiri!
“Ah, aku akan merasa senang dan terhormat sekali bertemu dengan ibu kandungmu atau isteri mendiang
Guruku, Hong-moi!” katanya. “Di mana beliau tinggal?”
“Ibuku tinggal di rumah Kakekku, yaitu Jaksa Ciok Gun. Dahulu Kakekku adalah Jaksa di Hun-lam, akan
tetapi sudah lama beliau pindah ke kota raja dan menjadi jaksa di daerah bagian selatan kota raja.”
Demikianlah, dengan gembira dua orang wanita itu lalu menuju ke bagian selatan kota raja, ke rumah Jaksa
Ciok yang menjadi kakek Ong Lian Hong. Seperti kita ketahui, Ciok Bwe Kim, yaitu ibu kandung Ong Lian
Hong, kini tinggal bersama ayahnya, Jaksa Ciok Gun itu. Mereka naik kereta karena Ong Lian Hong adalah
mantu Pangeran Sim Liok Ong, jadi ia kini termasuk seorang wanita bangsawan yang tentu saja tidak
pantas kalau melakukan perjalanan dengan jalan kaki!
Dua orang wanita cantik itu disambut dengan gembira bukan main oleh keluarga Ciok. Jaksa Ciok sudah
lama mendengar dan mengagumi nama besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, apalagi gadis perkasa itu
adalah murid mantunya, mendiang Ong Han Cu. Juga Nyonya Ciok Bwe Kim yang kini telah berusia
empatpuluh tahun lebih dan masih tampak cantik itu, merasa girang dan terharu sekali. Ia pun sudah
banyak mendengar tentang Nyo Siang Lan, sebagai murid tersayang mendiang suaminya.
Siang Lan dihormati dan disanjung, diterima dengan pesta makan keluarga sehingga gadis itu merasa
senang dan berterima kasih. Ternyata bukan hanya mendiang gurunya saja yang baik terhadap dirinya,
melainkan juga isteri gurunya dan keluarganya. Baru lewat tengah hari mereka berdua naik kereta
meninggalkan gedung tempat tinggal Jaksa Ciok Gun untuk kembali ke rumah Pangeran Sim Liok Ong.
Ketika kereta tiba di dekat lapangan terbuka di depan pasar, di seberang jembatan besar, Siang Lan melihat
banyak orang berkerumun dan terdengar suara tambur dan canang dipukul seperti biasa dilakukan para
penjual obat yang biasa mendemonstrasikan ilmu silat untuk menarik minat penonton agar suka membeli
obat yang mereka tawarkan. Mendengar pukulan tambur dan canang yang berirama gagah dan
mengandung tenaga, Siang Lan tertarik dan menyuruh kusir kereta menghentikan keretanya. Lian Hong
tertawa melihat encinya seperti kanak-kanak hendak menonton penjual obat, akan tetapi ia pun ikut turun
dan bergembira bersama Siang Lan menghampiri kerumunan orang banyak itu.
Beberapa orang penonton memberi tempat kepada dua orang gadis itu di depan. Mereka menyingkir
dengan sopan ketika melihat bahwa dua orang gadis jelita yang hendak menonton itu turun dari kereta dan
melihat sikap mereka seperti gadis-gadis bangsawan.
Siang Lan dan Lian Hong kini melihat dengan hati tertarik. Ternyata yang dijadikan tontonan itu adalah
seorang gadis muda belia dan seorang kakek yang rambutnya sudah putih. Gadis itu cantik manis, usianya
dunia-kangouw.blogspot.co.id
kitar tujuhbelas atau delapanbelas tahun, pakaiannya sederhana dan rapi serba ketat sehingga
menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya yang laksana bunga sedang mulai mekar.
Adapun kakek tentu sudah berusia sekitar enampuluh tiga tahun, wajahnya tampak ada garis-garis
penderitaan, rambutnya putih semua, tampaknya lemah dan pakaiannya juga sederhana seperti pakaian
petani. Kakek itulah yang menabuh canang, sedangkan gadis itu dengan gerakan gagah dan mengandung
tenaga, menabuh tambur yang bunyinya seperti derap kaki pasukan atau seperti permainan barong-sai.
Setelah melihat betapa banyak orang mengerumuninya, kakek itu memberi isyarat kepada si Gadis dan
mereka menghentikan bunyi-bunyian itu. Kakek itu lalu memberi hormat sambil membungkuk ke empat
penjuru.
Mulailah orang-orang ramai bicara sendiri dan terdengar suara, “Mana obat yang dijualnya?”
Setelah memberi hormat ke empat penjuru, terdengar suara kakek itu, suaranya lemah dan tidak lantang.
“Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat. Sebelumnya kami berdua kakek dan cucu mohon maaf kepada
Cu-wi. Kami bukan penjual obat, kami tidak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan dan dijual. Akan tetapi
karena dalam melakukan perjalanan ini kami kehabisan bekal, maka kami hanya mohon kedermawanan
Cu-wi untuk memberi sumbangan dan kami hanya dapat menyuguhkan beberapa permainan silat dari cucu
kami yang masih bodoh. Sekali lagi, kalau pertunjukan cucu kami tidak berharga, mohon Cu-wi memaafkan
kami.”
Setelah berkata demikian, kakek itu mengambil tambur dari tangan cucunya, lalu mulai menabuh tambur itu
dengan pukulan yang lemah. Siang Lan dan Lian Hong melihat bahwa pukulan tambur kakek itu sama
sekali berbeda dengan pukulan cucunya yang mengandung tenaga cukup kuat sehingga mereka berdua
sudah mengetahui bahwa agaknya hanya Sang Cucu itu yang mahir ilmu silat sedangkan sang Kakek
adalah seorang petani biasa yang lemah.
Kini gadis manis itu berdiri tegak lalu memberi hormat keempat penjuru dengan merangkap kedua tangan
depan dada. Setelah itu ia mulai bersilat. Gerakannya cukup ringan, cepat dan mengandung tenaga.
Bagi Siang Lan dan Lian Hong, gerakan silat gadis itu biasa saja dan belum cukup tinggi, akan tetapi
keduanya terkejut dan tertarik sekali karena mengenal bahwa ilmu silat yang dimainkan gadis itu adalah
ilmu silat Kun-lun-pai! Gadis itu memiliki ilmu silat aliran Kun-lun-pai, satu perguruan dengan Sim Tek Kun!
Tentu saja hal ini amat menarik perhatian mereka, terutama sekali perhatian Lian Hong karena gadis itu
masih memiliki hubungan seperguruan dengan suaminya. Akan tetapi ketika ia hendak menyapa, lengannya
dipegang Siang Lan dan Hwe-thian Mo-li memberi isyarat agar adik angkatnya itu diam dan melihat saja
perkembangannya.
Setelah gadis itu selesai bersilat selama belasan jurus dan berhenti bergerak, terdengar tepuk tangan
memuji dari para penonton. Bagi para penonton, terutama yang tidak mahir ilmu silat, permainan silat itu
cukup mengagumkan, apalagi karena memang gadis itu cukup cantik dan terutama sekali memiliki bentuk
tubuh yang denok menggairahkan hati pria, terutama yang memiliki watak mata keranjang.
Pada saat itu Sang Kakek membawa sebuah caping lebar yang ditelentangkan dan dia berjalan
menghampiri para penonton dan mengelilingi tempat itu sambil mengacungkan caping mohon sumbangan.
Hampir semua orang melemparkan sepotong atau sekeping uang ke dalam caping, yang diterima dengan
wajah berseri dan muka mengangguk-angguk oleh kakek itu. Setelah berputar sekeliling dan sudah cukup
banyak uang terkumpul dalam caping, kakek itu lalu melangkah ke tengah lapangan, meletakkan capingnya
di atas tanah lalu dia memberi hormat lagi ke empat penjuru.
“Banyak terima kasih atas sumbangan Cu-wi. Sudah sering kami mendengar bahwa para penghuni kota
raja adalah orang-orang dermawan, dan baru siang hari ini kami melihat buktinya. Terima kasih banyak,
sumbangan Cu-wi dapat menyambung hidup kami selama beberapa hari.”
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dari kerumunan penonton. Dia seorang laki-laki
berusia sedikitnya tigapuluh lima tahun, wajahnya bopeng (bekas cacar) dan matanya lebar, tubuhnya
kokoh kuat dan wajahnya bengis. Dia sudah berdiri dekat kakek itu dan berkata dengan suaranya yang
lantang.
“Enak saja engkau orang tua mengumpulkan uang orang tanpa memberi sesuatu! Ini namanya penipuan!
Orang menerima uang harus memberi sesuatu, akan tetapi kalian tidak memberi apa-apa, obat juga tidak.
Bagaimana mau enaknya saja mengambil uang orang-orang? Engkau penipu!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Kakek itu memandang dengan kaget. “Tuan, maaf, kami memang tidak mempunyai apa-apa untuk
diberikan. Akan tetapi cucu saya tadi sudah menghibur dengan permainan silatnya......”
“Huh, apa artinya menonton gerakan silat yang begitu saja? Biasanya untuk menghibur orang-orang
diadakan pertunjukan yang lebih ramai, setidaknya untuk permainan silat diadakan pertunjukan pi-bu (adu
ilmu silat). Kalau ada pi-bu, nah, itu baru namanya pertunjukan dan kami semua akan senang
mengeluarkan uang. Akan tetapi kalian ini tidak memberi pertunjukan apa-apa. Kalau mau mengemis,
lakukan saja seperti biasa, duduk berjongkok di tepi jalan dan mengacungkan tangan mohon sedekah!”
Di antara para penonton, terdapat pula banyak orang muda yang biasa bersikap berandalan. Mendengar
ucapan itu mereka bersorak dan mentertawakan kakek yang tampak bengong ketakutan itu. Lian Hong
sudah hendak maju, akan tetapi kembali Siang Lan menahan lengannya can menggelengkan kepalanya.
Kini gadis manis itu menghampiri kakeknya dan berkata. “Kong-kong, minggirlah, biarkan aku yang bicara
dengan Tuan ini.”
Mendengar ini, kakek itu minggir dengan wajah pucat dan tampaknya dia gelisah sekali akan keselamatan
cucunya.
“Tuan, kami tidak mengenal Tuan, juga kami tidak mempunyai urusan denganmu, apalagi mengganggumu.
Akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak mengganggu kami yang hanya sekedar minta bantuan
kepada para budiman ini karena bekal kami telah habis. Apa sih kesalahan kami kepadamu?”
Si Tinggi Besar muka bopeng itu kini memandang kepada gadis itu sambil menyeringai. Mulutnya yang
lebar terbuka dan dia memperlihatkan giginya yang besar-besar dan banyak yang rusak hitam, seperti
seekor orang utan menyeringai.
“Nona, engkau seorang gadis yang masih muda dan begini cantik, sungguh sayang Kakekmu membiarkan
engkau mencari uang dengan menjadi tontonan. Akan tetapi karena engkau sudah memperlihatkan ilmu
silatmu, aku menjadi tertarik dan aku menantangmu untuk melakukan pi-bu.”
“Tuan, kami datang di sini bukan untuk mencari permusuhan, juga bukan untuk pamer kepandaian apalagi
untuk pi-bu. Aku tidak mau melakukan pi-bu dengan siapapun juga,” jawab gadis itu dengan sikap tenang.
“Ha-ha, kalau engkau yang sudah berani memperlihatkan ilmu silat menolak pi-bu, maka berarti engkau
mengaku kalah. Sekarang begini saja, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri. Disaksikan oleh
semua penonton di sini, mari kita membuat pertaruhan begini. Kita bertanding pi-bu dengan tangan kosong.
“Kalau aku kalah, maka uang sumbangan dalam caping itu akan kutambah lagi dengan lima tail perak dan
engkau boleh bebas mencari sumbangan di sini. Akan tetapi kalau engkau kalah, uang dan ditambah lima
tail perak tetap kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus mau menjadi kekasihku selama satu bulan!
Ha-ha, adil sekali, bukan?”
Wajah gadis itu berubah merah sekali, akan tetapi ia masih tenang walaupun kakeknya tampak pucat dan
gemetaran.
“Hemm, begitukah keinginanmu? Dan bagaimana tandanya kalah atau menang?” tanya Si Gadis,
sedangkan para penonton menjadi tegang dan memandang penuh perhatian. Sudah biasa bagi penonton,
suka sekali mereka menyaksikan ketegangan, apalagi akan menyaksikan pi-bu dan di antara mereka
bahkan sudah banyak yang diam-diam ikut bertaruh!
“Tentu saja siapa yang roboh dianggap kalah!” kata laki-laki itu. “Ha-ha-ha, aku Si Tinju Maut Koan Sek
kalau sampai kalah oleh Nona manis ini, mau mencium kakimu yang mungil, Nona!” Dia tertawa diikuti
banyak pemuda yang tertawa secara kurang ajar.
Melihat Lian Hong marah-marah, Siang Lan berbisik. “Kita lihat saja dulu. Simpan marahmu, kalau engkau
marah dan benci, jangan-jangan anakmu kelak bisa seperti dia.”
Diingatkan demikian, Lian Hong terkejut dan segera menenangkan diri karena ia merasa ngeri kalau sampai
anaknya kelak keluar seperti si Bopeng itu. Diam-diam ia mengelus perutnya!
Gadis itu memberi isyarat kepada kakeknya untuk menyingkirkan caping itu ke pinggir, kemudian ia
mengikat sabuknya sehingga ketat melingkari pinggangnya yang ramping, menggulung lengan bajunya
sampai ke siku. Kemudian ia berdiri dengan tenang, menanti lawannya dan setelah berhadapan, ia lalu
menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan berkata dengan suara lantang dan tegas.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Koan Sek, buka telingamu dan dengarkan baik-baik, disaksikan oleh semua penonton di sini, nonamu she
Siauw akan mengucapkan pendirianku! Boleh jadi kakekku dan aku adalah orang-orang miskin berasal dari
dusun, tidak memiliki kekayaan dan tidak memiliki kepandaian, melainkan orang-orang sederhana dan
bodoh. Akan tetapi, ketahuilah, hai orang yang menjadi budak nafsu, kami adalah manusia-manusia yang
masih memiliki kesusilaan, kesopanan, jalan kebenaran, yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan,
tidak sudi melakukan hal-hal yang rendah dan hina!
“Engkau memaksa aku untuk pi-bu, kalau aku menolak tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, aku tidak
menolak. Guruku mengajarkan aku selain ilmu silat juga tentang kegagahan dan harga diri. Kalau aku bisa
menangkan pertandingan ini, aku tidak butuh uangmu, tidak butuh apa-apa darimu. Akan tetapi kalau aku
kalah darimu, aku pun tidak sudi menuruti semua keinginanmu yang hina dan rendah. Kalau kau hendak
bunuh aku, silakan, aku tidak takut mati membela kehormatan diriku!”
Ucapan itu membuat Siang Lan dan Lian Hong tertegun dan terkagum-kagum. Bukan main gadis remaja ini.
Demikian gagahnya seolah ia seorang pendekar besar saja! Dan agaknya banyak pula para penonton yang
merasa kagum karena tepuk tangan riuh menyambut ucapan itu, membuat Koan Sek yang berjuluk Si Tinju
Maut itu menjadi salah tingkah dan mukanya yang bopeng tampak hitam karena semua darah berkumpul di
sana.
“Gadis sombong, rasakan pukulan mautku!” Dia berseru dan mulai menyerang dengan pukulan yang amat
kuat ke arah dada yang membusung itu.
Baru pukulan ke arah dada gadis itu saja sudah merupakan cara serangan yang tidak mengenal sopan,
padahal pertandingan itu hanyalah sebuah pi-bu. Jelas bahwa Koan Sek ini adalah golongan orang yang
kasar dan kejam.
“Wuuttt......!” Pukulan itu luput ketika gadis yang mengaku she Siauw itu mengelak dengan gerakannya yang
cukup ringan. Akan tetapi tamparan ke arah dada yang luput itu dilanjutkan oleh Koan Sek dengan
mencengkeram ke arah dada! Gadis itu menggerakkan tangan kanan dari luar dan menangkis.
“Plakk!” Ia berhasil menangkis walaupun ia merasa betapa kuatnya lengan besar laki-laki itu sehingga
tubuhnya agak condong ke samping ketika lengan mereka bertemu. Akan tetapi gadis itu dengan sigapnya
lalu menggerakkan kakinya menendang ke arah lambung lawan.
“Wuuuttt...... plakk!” Koan Sek dapat, menangkis tendangan ini dan mereka segera saling serang dengan
seru.
Siang Lan dan Lian Hong melihat betapa gerakan gadis itu sudah baik dan aseli merupakan ilmu silat Kunlun-
pai, akan tetapi agaknya ia masih belum menguasai ilmu silatnya dengan matang. Gerakannya cukup
lincah dan tubuhnya ringan, akan tetapi tenaganya masih kurang kuat sehingga tiap kali tangan atau kaki
mereka berbenturan, tubuh gadis itu terhuyung mundur.
Melihat ini, Koan Sek sudah tertawa-tawa mengejek. Sikap sombong dan memandang rendah lawan
merupakan sikap yang dipantang oleh seorang ahli silat yang sudah mendalami ilmunya karena sikap ini
mendatangkan kelengahan kepada dirinya sendiri.
Hal ini terbukti ketika perkelahian itu telah berlangsung belasan jurus di mana Koan Sek terus mendesak
gadis itu sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan ucapan yang tidak senonoh. Pada saat dia berhenti
menyerang untuk tertawa bergelak, tiba-tiba tubuh gadis itu menyambar dengan cepat sekali sambil
menendang dengan tubuh melompat tinggi!
Koan Sek terkejut dan cepat ia menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya.
“Plakk!” Dia berhasil menangkap pergelangan kaki kiri gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kaki kanan gadis itu
menendang dengan pengerahan seluruh tenaganya bertekankan kepada kaki kirinya yang ditangkap.
“Wuuttt...... desss......!” Sepatu kaki kanan gadis itu tepat mengenai ulu hati Koan Sek sehingga tubuhnya
terjengkang dan dia terbanting jatuh demikian kuatnya sehingga sejenak dia menjadi nanar dan matanya
melihat segala sesuatu berputar-putar.
Ketika mendengar sorak-sorai dan tepuk tangan penonton, dia menyadari keadaannya. Cepat dia melompat
berdiri, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan dan di lain saat dia telah mencabut sebatang golok
dari pinggangnya!
11.32. Murid Susiok Kim-gan-liong
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Para penonton ada yang menjerit-jerit ketika melihat Koan Sek dengan golok telanjang kini menerjang dan
menyerang gadis itu membabi buta! Gadis itu mencoba untuk berloncatan ke kanan kiri mengelak dari
sambaran golok, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri Koan Sek menendang, mengenai pahanya dan gadis itu pun
terpelanting.
Bagaikan binatang buas, Koan Sek yang marah dan malu karena tadi dirobohkan gadis itu, mengejar
dengan loncatan dan mengayun goloknya ke atas untuk dibacokkan ke arah gadis itu. Gadis itu sudah
terjatuh miring dan agaknya ia tidak akan mampu menghindarkan dirinya dari bacokan, akan tetapi ia sama
sekali tidak tampak takut, bahkan memandang kepada penyerangnya dengan mata mencorong penuh
kemarahan!
Golok di tangan Koan Sek terayun turun dan......
“Desss......!!” tubuh Koan Sek terpental dan dia terbanting jatuh di atas tanah. Dia hanya merasa dirinya
disambar halilintar sehingga tidak dapat melihat jelas bahwa sesungguhnya tadi ada seorang pemuda
gagah perkasa melompat dan menendangnya sambil melompat.
Pemuda itu bukan lain adalah Chang Hong Bu. Pemuda yang kebetulan sedang lewat di situ dan melihat
rame-rame itu lalu datang menonton dan melihat Koan Sek hendak menyerang seorang gadis dengan
goloknya, dia menjadi marah dan sekali terjang, tubuh Koan Sek terlempar!
Pada saat itu, muncul dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun. Mereka ini adalah kakakkakak
seperguruan dari Koan Sek. Mereka bertiga pada hari itu memasuki kota raja untuk pelesir dan
bersenang-senang. Karena mereka adalah tiga orang seperguruan yang biasa memaksakan kehendak
melakukan kekerasan dan merasa diri mereka jagoan, maka tadi melihat gadis manis itu, Koan Sek menjadi
iseng dan ingin memamerkan kepandaiannya, juga ingin mempermainkannya karena dia termasuk seorang
laki-laki hidung belang yang suka mempermainkan wanita.
Kini, melihat adik seperguruan mereka ditendang seorang pemuda, dua orang kakak seperguruan Koan Sek
menjadi marah dan mereka sudah melompat memasuki kalangan sambil mencabut golok masing-masing.
“Keparat, jangan main keroyokan!” bentak orang yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat seperti
berpenyakitan. Akan tetapi orang kedua, yang bertubuh pendek gemuk dan matanya sipit sekali seperti
terpejam, sudah menyerang Chang Hong Bu dengan goloknya.
Permainan golok Si pendek Gendut itu ternyata cepat dan kuat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan
gerakan Koan Sek. Akan tetapi dengan mudah saja Hong Bu mengelak. Sementara itu, Si Tinggi kurus
muka pucat juga sudah menggerakkan goloknya hendak mengeroyok, akan tetapi Lian Hong sudah
melompat ke dalam lapangan itu dan membentak.
“Jahanam-jahanam busuk dari mana berani mengacau di sini?”
Melihat wanita yang cantik jelita muncul di depannya, Si Tinggi kurus menyeringai. “Ah, kalau harus
melukaimu, aku tidak tega, Nona manis! Minggirlah jangan sampai golokku melukai kulitmu yang lembut
dan mulus!”
Lian Hong marah sekali. “Keparat busuk!” Dan ia pun sudah menerjang dengan tamparan tangan kirinya
yang mendatangkan angin dahsyat sehingga Si Tinggi kurus terkejut bukan main dan melompat ke
belakang.
Kini Koan Sek yang melihat kedua suhengnya maju, mendapat hati dan dia pun sudah bangkit berdiri lalu
melangkah lebar menghampiri gadis pemain silat tadi dengan golok masih di tangan.
Akan, tetapi tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan
sudah berada di depannya. Koan Sek yang mata keranjang sampai bengong melihat gadis yang cantik ini
berdiri di depannya.
“Manusia busuk, mampuslah kau!” Siang Lan berseru, tubuhnya berputar dan kaki kirinya mencuat dalam
tendangan berputar.
“Syuuttt...... desss......!!” Tubuh Koan Sek terkena tendangan tepat di dadanya sehingga tubuhnya terlempar
dan dia jatuh terbanting dengan keras!
Sebelum dia dapat merangkak bangun, sekali tubuh Siang Lan melayang ia sudah tiba di depan laki-laki
muka bopeng itu dan kembali kakinya menendang. Kini yang menjadi sasaran adalah pergelangan tangan
kanan Koan Sek yang memegang golok.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Wuuttt...... krekk!” Tulang pergelangan tangan itu patah-patah dan goloknya terlempar jauh.
“Aduhh......!” Koan Sek menjerit dan memegangi pergelangan tangan kanan dengan tangan kirinya.
Sementara itu, pertandingan antara si Tinggi kurus melawan Lian Hong juga berat sebelah. Baru tiga kali
membacok dan selalu luput, tangan kiri Lian Hong menampar dan tepat mengenai pipi kanan si Tinggi
kurus.
“Wuutt...... krekk......!” Tulang rahang pipi kanan si Tinggi kurus patah-patah dan tendangan kedua membuat
goloknya terlempar. Si Tinggi kurus menjerit kesakitan dan terpelanting keras, memegangi rahangnya yang
pecah-pecah berdarah.
Demikian pula, si Gendut Pendek bukan lawan Hong Bu. Baru dua gebrakan saja dia pun sudah roboh
tertendang dan goloknya juga terpental jauh. Si Tinggi kurus yang mencoba bangun, kembali harus
terbanting oleh tendangan susulan Lian Hong. Demikian pula Si pendek Gendut dijadikan bola ditendang ke
sana sini oleh Hong Bu sehingga dia berkaok-kaok kesakitan.
Pada saat itu, banyak orang mengenal tiga orang muda perkasa ini. Melihat Siang Lan, ada yang berteriak.
“Ah, ia adalah Hwe-thian Mo-li! Mampuslah orang-orang jahat ini!”
Mendengar disebutnya nama Hwe-thian Mo-li, Koan Sek dan dua orang suhengnya terkejut setengah
mampus. Nyali mereka terbang dan mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadapi tiga orang
itu, menyembah-nyembah dan membenturkan dahi mereka ke atas tanah berulang-ulang seperti tiga ekor
ayam sedang makan beras.
“Ampunkan hamba...... ampunkan hamba...... ampunkan hamba......” berulang-ulang mereka bergumam dan
tentu saja suara si Tinggi kurus muka pucat itu tidak karuan karena rahangnya yang pecah-pecah membuat
dia tidak dapat mengeluarkan suara dengan jelas. Si Pendek Gendut saking takutnya mengeluarkan suara
seperti seekor babi gendut disembelih dan yang lucu dan mengherankan adalah Koan Sek sendiri.
Orang tinggi besar berwajah menyeramkan ini saking takutnya kini menangis, mengguguk seperti anak kecil
dan melihat betapa di bawah tubuh mereka basah, sukar diketahui siapa di antara mereka yang mengompol
saking takutnya. Mungkin ke tiganya!
Para penonton melihat betapa jauh bedanya sikap tiga orang ini dengan sikap gadis manis tadi. Dalam
keadaan terancam maut, gadis tadi bersikap gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi
ancaman maut, sedangkan tiga orang yang sombong dan tampak gagah ini, begitu terancam maut menjadi
ketakutan seperti orang-orang yang berjiwa pengecut!
Kini Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan telah dapat mengenal gadis manis itu. Melihat kakek itu dan gadis ini, ia
tidak ragu lagi bahwa gadis itu adalah Siauw Kim, gadis yang pernah ditolongnya dari tangan Hartawan
Siong Tat yang hendak memaksa gadis itu menjadi pemainannya. Ia berhasil membunuh Siong Tat dan
menghajar para jagoannya, membebaskan Siauw Kim dan kakeknya itu yang bernama Lim Bun, seorang
petani dari dusun Kang-leng.
Siang Lan masih sangsi karena setahunya, tiga-empat tahun yang lalu Siauw Kim adalah gadis remaja yang
lemah dan tidak pandai silat. Sekarang, walaupun ilmu silatnya belum matang, namun jelas ia memiliki
dasar ilmu silat aliran Kun-lun-pai! Mengingat akan nasib Siauw Kim dan melihat kegagahannya, hati Siang
Lan menjadi panas sekali kepada tiga orang laki-laki jahat itu. Diambilnya golok mereka yang tergeletak di
atas tanah, lalu ia berseru.
“Sebetulnya tiga orang jahanam macam kalian tidak berhak hidup di dunia ini karena hanya akan
menimbulkan kekacauan dan kejahatan. Akan tetapi aku, Hwe-thian Mo-li tak pernah memberi ampun
kepada jahanam laki-laki yang memandang rendah wanita tanpa memberi hukuman yang setimpal.”
Setelah berkata demikian, golok di tangannya berkelebat tiga kali bagaikan halilintar menyambar dan tiga
orang penjahat itu menjerit kesakitan, bukit hidung mereka terbabat buntung dan darah muncrat membasahi
muka mereka!
“Nah, pergilah kalian anjing-anjing keparat! Kalau aku melihat muka kalian muncul di kota raja lagi,
kepalamu yang akan kubuntungi!” Setelah berkata demikian, kaki Siang Lan menendang tiga kali dan tubuh
mereka terpental dan jatuh bergulingan.
Sambil menangis kesakitan tiga orang itu lalu terhuyung-huyung setengah merangkak, melarikan diri dari
tempat itu. Para penonton merasa senang akan tetapi juga merasa ngeri sehingga satu demi satu mereka
membubarkan diri meninggalkan tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Ketika Siang Lan memandang dan mencari gadis tadi, ternyata gadis itu bersama kakeknya kini sedang
berlutut di depan kaki Chang Hong Bu. Agaknya gadis itu menangis dan terdengar suaranya yang penuh
keharuan.
“Kalau tidak ada Tai-hiap yang menolong saya dan kong-kong, kami berdua tentu telah tewas di tangan
orang-orang jahat itu. Kami berhutang budi dan nyawa kepada Tai-hiap, dan kami bersedia mengorbankan
jiwa raga kami untuk membalas kebaikan Tai-hiap. Kalau kami tidak mampu membalasnya, kami akan
bersembahyang setiap hari mohon kepada Thian (Tuhan) agar Dia yang membalas budi kebaikan Tai-hiap
kepada kami.”
Melihat gadis itu dan kakeknya berlutut di depan kakinya, Hong Bu menjadi serba salah. Untuk
membangunkan gadis itu, dia harus menyentuhnya dan hal ini dia tidak mau melakukannya karena tentu
dianggap kurang sopan. Kalau tidak dibangunkan, dia merasa rikuh sekali dua orang kakek dan cucu itu
berlutut seperti itu di depan kakinya.
“Nona dan engkau, Kakek yang baik, bangkitlah dan jangan berlutut seperti ini!” katanya, akan tetapi gadis
itu tidak mau bangkit dan kakeknya pun agaknya hanya ikut-ikutan tidak mau bangkit berdiri. Melihat Siang
Lan dan Lian Hong memandang ke arah mereka, Hong Bu lalu berseru kepada Siang Lan.
“Lan-moi, tolonglah, bangkitkan mereka......”
Siang Lan menghampiri dua orang yang masih berlutut itu sedangkan Hong Bu sudah mundur menjauhkan
diri sehingga mereka tidak lagi berlutut di depan kakinya.
“Siauw Kim, engkaukah ini? Dan bukankah ini kakek Lim Bun yang dulu tinggal di Kang-leng?”
Gadis itu memang Siauw Kim adanya dan kakeknya adalah Kakek Lim Bun. Tiga empat tahun yang lalu
ketika dalam keadaan miskin, terpaksa untuk mengobati cucunya Kakek Lim Bun menggadaikan cucunya,
Siauw Kim, kepada Hartawan Siong Tat, hampir saja Siauw Kim menjadi korban kejahatan Siong Tat yang
mata keranjang dan hampir Kakek Lim Bun bunuh diri. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan menolong mereka,
bahkan membunuh Hartawan Siong Tat dan menghancurkan rumah tangga gadai, menghajar para anak
buah pegadaian itu.
Ketika Siauw Kim memandang dan melihat Siang Lan, segera ia teringat maka ia pun menubruk kaki Siang
Lan sambil menangis. Juga Kakek Lim mengenal Siang Lan. “Ah, kiranya engkau juga yang menolong kami,
Li-hiap!” katanya.
Siang Lan menarik bangun Siauw Kim dan memandangi gadis itu dengan kagum. Gadis remaja dahulu itu
kini telah dewasa dan cukup cantik manis dan gagah.
“Bagaimana kalian dapat berada di kota raja dan mengapa kalian tadi mencari sumbangan?”
“Aih, Li-hiap. Panjang ceritanya......” kata Siauw Kim.
“Enci Lan, tidak baik bicara di sini. Mari kita ajak Adik ini dan kakeknya ke rumah dan kita bicara di sana!
Kakak Chang Hong Bu, karena sudah saling bertemu di sini secara kebetulan, mari engkau ikut dengan
kami.”
Ajakan Lian Hong ini diterima senang oleh Hong Bu karena memang tadinya Hong Bu bermaksud pergi
mengunjungi Siang Lan, gadis yang telah memikat hatinya.
Setelah tiba di rumah Pangeran Sim Liok Ong, mereka disambut oleh Sim Tek Kun dan mereka semua
mengajak Siauw Kim dan kakeknya ke dalam ruangan tamu. Lian Hong menceritakan dengan singkat
kepada suaminya tentang Siauw Kim dan kakeknya.
Kemudian tiba giliran Siang Lan untuk bercerita kepada mereka tentang Siauw Kim dan Lim Bun yang
ditolongnya sekitar tiga tahun lebih yang lalu di Kang-leng. Setelah itu, Siang Lan memegang tangan Siauw
Kim dan bertanya.
“Nah, sekarang tiba giliranmu, Siauw Kim. Ceritakan keadaan dirimu sejak kita saling berpisah. Bagaimana
engkau kini dapat menjadi murid Kun-lun-pai dan bagaimana pula engkau sampai tiba di kota raja.”
Siauw Kim lalu menceritakan riwayatnya. Setelah dulu ditolong Siang Lan, gadis remaja itu masih
mengalami banyak kesengsaraan lagi. Ibunya dan tiga orang adiknya mati satu demi satu karena wabah
penyakit yang mengamuk.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Kakek Lim Bun terpaksa membawa cucunya yang tinggal seorang itu pergi meninggalkan dusun Kang-leng
yang diserang wabah. Akan tetapi di tengah perjalanan yang sengsara itu, tiba-tiba Kakek Lim Bun jatuh
sakit pula. Agaknya wabah itu telah menular kepadanya juga.
Mujur baginya, dalam keadaan setengah mati di lereng sebuah bukit, mereka berdua bertemu dengan
seorang pertapa miskin sederhana yang dapat mengobati kakek Lim Bun sampai sembuh. Mendengar
riwayat Siauw Kim yang penuh kesengsaraan, pertapa itu lalu mengijinkan Siauw Kim dan kakeknya tinggal
di bukit tempat dia bertapa, hidup sederhana dan Siauw Kim lalu dilatih ilmu silat olehnya.
“Akan tetapi sungguh nasib kami amatlah buruknya, Li-hiap,” kata Siauw Kim dan tiba-tiba gadis itu
menangis. Lim Bun juga menundukkan mukanya yang telah keriputan dan menghela napas berulang-ulang.
“Nanti dulu, Nona!” tiba-tiba Sim Tek Kun berkata. “Siapakah pertapa yang melatih silat kepadamu itu?
Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?” Dia tadi sudah mendengar dari isterinya bahwa Siauw Kim tadi
memperlihatkan ilmu silat Kun-lun-pai.
Siauw Kim menyusut air matanya. “Nama Suhu hanya saya ketahui julukannya saja karena beliau tidak
pernah menceritakan nama aselinya. Julukannya Kim-gan-liong......”
Tentu saja Tek Kun, Lian Hong, dan Siang Lan terkejut sekali mendengar ini.
“Ah, kiranya gurumu itu adalah Susiok Kim-gan-liong!” seru Tek Kun, “Dan di mana beliau sekarang?”
Siauw Kim menangis lagi. “Itulah, nasib kami sungguh selalu buruk. Setelah hidup tenang dan tenteram
bersama Suhu, walaupun dalam keadaan sederhana sekali, selama hampir tiga tahun, Suhu...... meninggal
dunia......”
“Beliau meninggal......?” Tek Kun berseru kaget. “Akan tetapi kenapa? Bagaimana beliau yang belum tua
benar sampai meninggal?”
Siauw Kim menggelengkan kepala dengan sedih. “Sejak hidup bersamanya, kami melihat Suhu seperti
hidup dalam timbunan duka. Beliau tidak pernah tampak gembira, bahkan seringkali tampak gelisah dan
berduka, dan kesehatannya sering terganggu. Akhir-akhir ini beliau sering batuk-batuk dan...... kalau batuk
terkadang mengeluarkan darah...... dan pada suatu malam, sekitar empat bulan yang lalu, Suhu meninggal
dunia......”
“Aih, kasihan susiok......” Sim Tek Kun menghela napas panjang.
Lian Hong dan Siang Lan juga menundukkan muka mereka. Dahulu, mereka menganggap bahwa Kim-ganliong
merupakan seorang di antara musuh besar yang mengeroyok dan membunuh guru mereka, Pat-jiu
Kiam-ong Ong Han Cu ayah kandung Ong Lian Hong. Akan tetapi kemudian Siang Lan mengetahui bahwa
Kim-gan-liong sama sekali tidak ikut mengeroyok, melainkan dia mengajak pi-bu Pat-jiu Kiam-ong karena
memang pi-bu merupakan kesukaan Kim-gan-liong.
Agaknya peristiwa itu, walaupun dia tidak ikut mengeroyok namun menjadi penyebab tewasnya Pat-jiu
Kiam-ong yang diracuni dan dikeroyok banyak orang. Hal itu meracuni hatinya sehingga dia sakit-sakitan,
menjadi pertapa dan dalam usia yang belum tua, baru sekitar limapuluh empat tahun, telah meninggal
karena digerogoti penyakit yang timbul dari penyesalan dan duka!
“Siauw Kim, setelah gurumu meninggal, lalu engkau dan kakekmu pergi ke kota raja?” Siang Lan bertanya.
Seperti yang telah dilakukan sejak tadi dan ini tidak luput dari perhatian Siang Lan, Siauw Kim mengerling
ke arah wajah Chang Hong Bu, kerling tajam yang mengandung penuh kekagumanan terima kasih!
“Sebelum meninggal dunia Suhu memesan kepada saya, karena saya sudah tidak mempunyai keluarga lain
kecuali kong-kong, Suhu memerintahkan saya untuk pergi ke kota raja. Kami orang miskin, Suhu juga tidak
mempunyai apa-apa. Setiap hari kami hanya makan dari tanaman di lereng bukit. Maka ketika kami
berangkat kami tidak membawa bekal uang, hanya membawa bahan makanan.
“Akan tetapi setelah bahan makanan habis, terpaksa kami...... minta sumbangan dan untuk balas jasa, saya
memperlihatkan ilmu silat yang pernah saya pelajari dari Suhu selama tiga tahun ini. Saya dan kong-kong
tidak tahu bagaimana harus mencari uang untuk sekedar makan dan kami hanya mengharapkan belas
kasihan dan kedermawanan orang.
“Setiba kami di sini, kami kehabisan uang dan terpaksa tadi saya dan kong-kong minta sumbangan
sekadarnya. Sama sekali tidak kami sangka akan muncul tiga orang jahat itu. Ah, kalau saja tidak ada......
In-kong (Tuan Penolong) ini...... ah, tentu kami kakek dan cucu telah menjadi korban......”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Nanti dulu, Siauw Kim. Kenapa gurumu menyuruh engkau dan kakekmu pergi ke kota raja? Apa tujuan
kalian datang ke kota raja ini?” tanya Siang Lan.
“Suhu berpesan agar kami mencari seorang murid keponakan suhu yang berada di kota raja dan suhu
mengharapkan agar murid keponakannya itu dapat membantu dan memberi jalan demi kebaikan hidup kami
kakek dan Cucu.”
“Siapakah murid keponakan Gurumu itu, Siauw Kim?” tanya Siang Lan sambil mengerling kepada Sim Tek
Kun.
Sim Tek Kun dan isterinya juga memandang Siauw Kim dengan hati tegang karena mereka berdua sudah
menduga siapa yang dimaksudkan Siauw Kim sebagai murid keponakan Kim-gan-liong itu.
“Kata Suhu, murid keponakannya itu adalah putera seorang pangeran dan bernama Sim Tek Kun,” kata
Siauw Kim yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa orang yang disebut namanya itu berada di
depannya.
11.33. Kegelisahan Hati Pangeran Bouw
“Hemm, Siauw Kim, apakah engkau pernah bertemu dengan murid keponakan Gurumu itu?” desak Siang
Lan.
Siauw Kim menggelengkan kepalanya dan lagi-lagi ia mengerling kepada Chang Hong Bu yang ikut
mendengarkan.
“Nah, kalau begitu kuperkenalkan. Dia inilah putera pangeran yang bernama Sim Tek Kun dan ini adalah
isterinya, Ong Lian Hong adikku,” kata Siang Lan sambil menudingkan telunjuknya kepada Tek Kun.
Tentu saja Siauw Kim terkejut bukan main dan ia pun cepat menjura dengan hormat kapada Sim Tek Kun
dan Ong Lian Hong.
“Ah...... kiranya Paduka......”
“Hushh, jangan menyebut Paduka kepada suamiku, Siauw Kim,” kata Lian Hong. “Bagaimanapun juga,
engkau masih merupakan adik misan seperguruan dari suamiku. Engkau dan suamiku satu perguruan,
sama-sama murid Kun-lun-pai, maka engkau adalah Sumoinya (Adik Perempuan seperguruan) dan
suamiku adalah Suhengmu (Kakak laki-laki Seperguruanmu).”
“Ah, mana saya pantas menjadi adik seperguruan beliau......?” bantah Siauw Kim dengan sungkan.
“Sumoi Siauw Kim, jangan bersikap begitu. Isteriku benar, bagaimanapun juga engkau adalah murid
mendiang Susiok Kim-gan-liong, berarti engkau adalah Sumoiku dan aku adalah Suhengmu.”
Siauw Kim merasa terharu bukan main. Sambil mengusap air matanya, ia berkata. “Ah, engkau sungguh
seorang yang berbudi mulia dan isterimu juga seorang yang baik sekali, Suheng. Ternyata benar seperti
yang diceritakan mendiang Suhu, bahwa Suheng seorang bangsawan tinggi akan tetapi berwatak seorang
pendekar sejati.”
“Pangeran...... terimalah hormat dan terima kasih kami!” kata Kakek Lim Bun sambil menjura dengan
hormat.
“Cukup, Kakek Lim Bun, tidak perlu memakai banyak peradatan,” kata Sim Tek Kun. “Akan tetapi, Sumoi,
aku masih merasa heran dan tidak mengerti, apa maksud mendiang Susiok Kim-gan-liong menyuruh
engkau dan kakekmu datang kepadaku. Apa yang dapat kami lakukan untukmu?”
Mendengar pertanyaan ini, Siauw Kim tampak bingung dan ia saling berpandangan dengan kakeknya, lalu
dengan suara lirih ia berkata. “Suheng...... Suhu hanya berpesan agar kami menghadap suheng dan......
dan mohon petunjuk dan menolong kami...... ah, saya...... saya tidak tahu harus bilang apa......”
Kakek Lim Bun segera membantu cucunya. “Pangeran, saya mohon dapat diberi pekerjaan. Pekerjaan apa
saja, yang penting kami berdua mendapatkan tempat tinggal dan dapat makan setiap hari......”
Siauw Kim memotong ucapan kakeknya. “Suheng, kami berdua tidak membutuhkan yang berlebihan. Kami
hanya butuh pekerjaan yang tetap agar kami berdua tidak perlu lagi merantau tanpa tempat tinggal yang
tetap dan minta-minta sumbangan untuk biaya hidup kami sehari-hari. Saya siap untuk membantu keluarga
dunia-kangouw.blogspot.co.id
dan rumah tangga Suheng, menjadi pelayan misalnya...... dan kakek saya juga dapat membantu, menjadi
tukang kebun atau apa saja. Kami tidak takut bekerja keras......”
Semua orang terharu mendengar ucapan gadis yang lugu dan bersemangat itu. Chang Hong Bu yang sejak
tadi mendengarkan dengan penuh perhatian merasa kasihan akan tetapi juga kagum.
Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis dusun sederhana yang demikian gagah berani, jujur dan
bersemangat tinggi menjaga nama dan kehormatannya, juga tidak segan untuk bekerja keras agar dapat
menghidupi dirinya sendiri dan kakeknya. Benar-benar seorang gadis yang walaupun belum terlalu tinggi
ilmunya, namun sudah memiliki jiwa pendekar!
“Aih, kebetulan sekali!” tiba-tiba Siang Lan berseru. “Hong-moi, sebentar lagi engkau akan membutuhkan
bantuan orang yang dapat kaupercaya sepenuhnya. Tiga-empat bulan lagi saja engkau sudah harus
menjaga dirimu baik-baik. Bagaimana kalau kalian menerima Siauw Kim membantumu di sini? Adapun
kakek Lim Bun tentu saja dapat membantu mengawasi para pelayan di gedung ini!”
Lian Hong tersenyum dan memandang suaminya. “Bagaimana pendapatmu dengan usul Enci Siang Lan,
Kun-ko?”
Sim Tek Kun tersenyum. “Terserah kepadamu, aku sih setuju saja dan kurasa Ayah dan Ibu akan
menyetujuinya pula.”
Mendengar ini, Siauw Kim dengan girang menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Tek Kun dan isterinya.
“Terima kasih, Suheng berdua sungguh telah membangkitkan gairah hidup baru kepada kami!”
Kakek Lim Bun juga berlutut, akan tetapi Tek Kun cepat membangunkannya dan Lian Hong juga
mengangkat bangun Siauw Kim yang berlutut di depannya.
“Sumoi, kami menerima bantuanmu untuk mengatur rumah tangga di sini dan membantu pekerjaan isteriku,
akan tetapi kami tidak suka kalau engkau bersikap sebagai seorang pelayan. Engkau kuterima sebagai
Sumoiku, maka kalau engkau bersikap merendahkan diri sebagai seorang pelayan, hal itu berarti
merendahkan kehormatanku sebagai Suhengmu. Mengertikah engkau?” kata Sim Tek Kun dengan suara
tegas.
“Baik Suheng dan maafkan sikap kami tadi,” kata Siauw Kim.
“Bagus, urusan ini sudah dapat diselesaikan dengan baik. Engkau bekerjalah dengan baik, Siauw Kim, dan
kakek Lim Bun, kalian berdua menerima budi kebaikan adikku Ong Lian Hong dan suaminya, maka kuharap
kalian berdua mampu membalas budi kebaikan mereka itu dengan menjadi orang-orang yang dapat
dipercaya dan setia. Seandainya kelak engkau tidak ingin bekerja di sini, engkau boleh ikut denganku ke
Lembah Selaksa Bunga dan membantu aku di sana. Akan tetapi karena lembah Selaksa Bunga merupakan
tempat tinggal khusus untuk wanita, maka tentu saja Kakekmu tidak mungkin dapat ikut tinggal di sana.”
Tiba-tiba Siang Lan teringat akan sesuatu dan ia berkata kepada Siauw Kim.
“Siauw Kim, tahukah engkau siapa penolongmu ini?” Ia menuding kepada Chang Hong Bu.
Siauw Kim memandang wajah Hong Bu dan menggelengkan kepalanya.
“Saya tidak berani menanyakan nama In-kong,” katanya lirih.
“Ketahuilah bahwa dia ini bernama Chang Hong Bu, pendekar muda murid Siauw-lim-pai yang amat lihai
dan dia adalah keponakan dari Jenderal Chang Ku Cing yang terkenal.”
Mendengar ini, Siauw Kim terkejut sekali dan cepat ia memberi hormat sambil menjura kepada pemuda
yang amat dikaguminya itu.
“Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepadamu, Chang In-kong!”
Disebut Chang In-kong (Tuan Penolong Chang) Hong Bu menjadi merah mukanya dan dia cepat berkata.
“Nona, jangan sebut aku In-kong karena bukan aku saja yang tadi mengusir tiga orang jahat itu, akan tetapi
terutama sekali Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan Adik Ong Lian Hong. Pula tentu sebagai murid Kun-lunpai
engkau juga mengetahui bahwa menentang orang-orang jahat merupakan kewajiban bagi seorang
murid perguruan silat yang baik. Jadi, dalam peristiwa tadi tidak ada hutang budi maupun tuan penolong.”
“Terima kasih dan maafkan saya, Chang Tai-hiap,” kata Siauw Kim.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Dengan hati merasa bahagia sekali Siauw Kim lalu dengan rajin mulai membantu pekerjaan rumah tangga
di gedung Pangeran Sim Liok Ong. Pangeran itu dan isterinya menerima Siauw Kim dan kakeknya dengan
senang hati karena dua orang itu sungguh merupakan orang-orang yang tahu diri dan rajin bekerja.
Malam itu, Nyo Siang Lan tak dapat tidur. Ia gelisah rebah di atas pembaringan dalam kamarnya,
memikirkan tentang dirinya. Ia sungguh merasa bingung dan gelisah. Keadaan dirinya sendiri sudah ternoda
dan ia merasa dirinya tidak berharga dan membawa aib.
Ia merasa benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Rasanya tidak akan sukar untuk jatuh cinta
kepada seorang pendekar muda seperti Chang Hong Bu. Masih muda, gagah dan tampan, keponakan
seorang jenderal besar yang terkenal bijaksana dan pandai, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Ah, tidak
banyak pemuda sehebat Hong Bu.
Ia merasa kagum dan suka kepada pemuda yang sopan itu. Akan tetapi cinta? Ia meragukan dirinya sendiri.
Rasanya sulit ia dapat jatuh cinta kepada seorang laki-laki setelah ia menjadi korban kebuasan dan kekejian
laki-laki, yaitu Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba wajah Bu-beng-cu terbayang depan matanya. Wajah seorang laki-laki yang matang dan sudah
dewasa benar. Usia Bu-beng-cu tentu sudah sekitar empatpuluh empat tahun. Wajah yang lembut penuh
pengertian, sinar mata yang mengandung kebijaksanaan dan senyumnya yang penuh kesabaran.
Kepada Bu-beng-cu ia menaruh kepercayaan besar sekali, bahkan Bu-beng-cu merupakan satu-satunya
orang di samping Kui Li Ai yang telah ia ceritakan tentang dirinya yang sudah dinodai orang. Dan apa kata
Bu-beng-cu? Bahwa kalau dapat ia harus memaafkan pemerkosanya atau kalau tidak dapat
mengampuninya, bunuh saja!
Siang Lan terkenang akan pengalamannya yang aneh. Ketika dia ditangkap Hoat Hwa Cin-jin dan nyaris
diperkosa orang lagi, muncul Bu-beng-cu menyelamatkannya bahkan ia berhasil membunuh Hoat Hwa Cinjin.
Pada saat itu, rasa haru dan juga lega karena terhindar dari nasib diperkosa orang lagi, ia merangkul
gurunya dan pada saat itulah ia merasa betapa perasaan hatinya dekat sekali dengan Bu-beng-cu.
Baru ia menyadari bahwa tanpa ia ketahui ia telah jatuh cinta kepada Bu-beng-cu. Sungguh aneh dan
mengherankan hatinya. Mengapa bertemu dengan pemuda-pemuda yang tampan dan gagah perkasa ia
tidak jatuh cinta? Bahkan cintanya kepada Sim Tek Kun dahulu tidaklah sedalam apa yang ia rasakan
terhadap Bu-beng-cu! Apakah karena laki-laki itu teramat baik kepadanya, berkali-kali membela dan
menolongnya, melindunginya bahkan dengan sungguh-sungguh menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya agar
kelak dapat membalas dendam sakit hatinya kepada Thian-te Mo-ong?
Ia sendiri tidak tahu. Akan tetapi awan gelap menyelubungi hati gadis itu ketika ia teringat betapa sikap Bubeng-
cu seolah tidak menyambut cintanya! Hal ini memang juga dapat diterimanya karena bagaimana
mungkin seorang gadis yang sudah ternoda seperti dirinya pantas menjadi pasangan hidup seorang
pendekar besar yang bijaksana seperti Bu-beng-cu?
Siang Lan teringat lagi kepada Chang Hong Bu. Tidak, ia tidak akan membiarkan dirinya terjerat cinta
dengan pemuda itu! Tidak mungkin! Kalau ia menerima dan membalas cinta pemuda itu, ia harus bersikap
jujur, harus berani mengaku kepadanya bahwa dirinya bukan perawan lagi, bahwa ia telah diperkosa
seorang penjahat.
Dan ia sudah dapat membayangkan. Bibir pemuda yang murah senyum itu akan berjebi mengejeknya,
sedangkan matanya yang bersinar tajam berwibawa itu tentu akan memandang rendah! Ah, kalau sampai
demikian, ia tentu akan berubah amat membenci pemuda itu! Ah, tidak! Lebih baik ia tidak melibatkan diri
dalam cinta dengan seorang laki-laki. Ia sudah tidak layak untuk menjadi isteri orang karena tidak akan
tahan melihat suaminya kelak memandang rendah dan hina kepadanya!
Ia lalu teringat akan Siauw Kim! Gadis itu jauh lebih layak menjadi jodoh Chang Hong Bu. Biarpun gadis itu
seorang gadis dusun namun ia memiliki watak gagah seorang pendekar tabah dan berani menjaga
kehormatannya yang lebih dihargainya daripada nyawa. Dan ia melihat sinar mata penuh kagum dari
sepasang mata gadis itu kepada Chang Hong Bu!
Lebih baik ia segera kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Mendadak saja hatinya merasa rindu kepada
gurunya? Bu-beng-cu, gurunya pernah mengatakan bahwa setahun lagi belajar dengan tekun, ia pasti akan
mampu menandingi Thian-te Mo-ong!
Baru sekarang ia merasa betapa setelah berada di kota raja, jauh dari Bu-beng-cu, ia merasa kehilangan
dan hidupnya terasa tidak lengkap! Dengan pikiran mengambil keputusan ini akhirnya Hwe-thian Mo-li Nyo
Siang Lan dapat tidur pulas.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Malam hari itu terjadi peristiwa yang penting di istana Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu telah menyuruh
para datuk yang membantunya, yaitu Hongbacu tokoh Mancu, Tarmalan tokoh suku bangsa Hui, dan Hwa
Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw, untuk sementara keluar dari kota raja dan bersembunyi.
Sejak malam itu, Pangeran Bouw Ji Kong lebih banyak termenung dalam kamarnya dalam keadaan
murung. Dia melihat betapa perkembangan usahanya untuk merebut tahta kerajaan tidak berjalan mulus.
Pihak pemerintah terlampau kuat, bukan saja di sana ada Jenderal Chang Ku Cing yang gagah perkasa dan
pandai, juga masih ada Menteri Yang Ting Ho yang bijaksana dan yang merupakan pembantu terpercaya
dari kaisar Wan Li selain itu juga dihormati dan disegani para pejabat tinggi.
Bukan kenyataan ini saja yang membuat hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi risau, akan tetapi juga
melihat betapa para sekutunya dari Mancu dan Pek-lian-kauw, terutama sekali para pendukungnya,
merupakan orang-orang yang memerasnya. Banyak sekali permintaan mereka berupa uang dan harta
benda lain sehingga dia sudah mengeluarkan banyak harta simpanannya untuk menyenangkan hati mereka
agar mereka tetap mendukungnya.
Adapun hal yang paling menyakitkan hatinya adalah lenyapnya putera tunggalnya, Bouw Cu An! Puteranya
hanya seorang itu, anak-anaknya yang lain adalah perempuan. Tentu saja dia merasa amat sayang kepada
puteranya itu yang sejak kecil sudah dia panggilkan ahli-ahli sastra dan tata negara, dia persiapkan agar
kelak puteranya itu pantas menjadi seorang pangeran mahkota calon kaisar! Bahkan juga puteranya telah
dilatih ilmu silat yang cukup memadai.
Biarpun akhirnya Bouw Cu An memperlihatkan sikap menentangnya dalam urusan melaksanakan
rencananya merebut tahta kerajaan, namun kemarahannya kepada puteranya hanyalah di luarnya saja agar
terlihat oleh para pendukungnya. Di dalam hatinya, tetap saja ayah ini amat sayang kepada puteranya.
Maka, mendengar laporan Hongbacu bahwa puteranya telah diculik Ouw-yang Sianjin dan sampai sekarang
belum juga dapat ditemukan, hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi gelisah sekali. Dia melihat rencana
pemberontakannya, selain kurang maju perkembangannya, juga amat merugikannya.
Tentu saja selama ini, tindakan dan rencana pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong dia anggap sebagai
“perjuangan”, demi rakyat demi mengubah pemerintah sang korup menjadi pemerintah yang bersih, dan
sebagainya yang muluk-muluk lagi. Akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Bouw Ji Kong mempunyai jiwa
dan watak pedagang! Watak pedagang membuat dia dalam segala tindakannya mendasari dengan untung
rugi.
Kalau tindakannya itu menguntungkan, hal ini memperkuat semangatnya untuk melanjutkan apa yang dia
perjuangkan, akan tetapi kalau kenyataannya merugikan, dia kehilangan semangat dan mulai memikirkan
tindakan apa yang harus dia lakukan untuk menghindarkan dirinya dari kerugian. Pemimpin seperti ini, dan
sebagian terbesar seperti yang tercatat dalam sejarah memang demikian, selalu akan mabok kemenangan
dan menyelam ke dalam lautan kesenangan kalau usahanya berhasil, melupakan rakyat yang tadinya
dijadikan tulang punggung untuk mendukung “perjuangannya”.
Malam yang dingin itu Pangeran Bouw Ji Kong duduk termenung seorang diri di dalam kamarnya, tidak
dapat tidur memikirkan kegagalannya, terutama sekali dengan hati rindu dan sedih memikirkan puteranya
yang hilang. Semua penghiburan yang diberikan isteri dan para selir ditolaknya dan dia malam itu tidak mau
diganggu, duduk termenung seorang diri dalam kamarnya yang besar. Angin malam yang berhembus
memasuki kamar melalui celah-celah dinding bagian atas membawa hawa dingin menyusup tulang.
Tiba-tiba daun jendela kamar itu terkuak dari luar, menimbulkan suara berderit. Pangeran Bouw Ji Kong
terkejut dari lamunannya, menoleh ke arah jendela dan cepat dia melompat berdiri sambil menyambar
pedang yang diletakkan di atas mejanya. Pangeran ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan
ilmu silatnya itulah yang pernah dia ajarkan pula kepada Bouw Cu An, putera tunggalnya. Jendela itu
terbuka dan sesosok tubuh melayang memasuki kamar.
Pangeran Bouw Ji Kong siap untuk menyerang, akan tetapi pemuda yang telah berada di depannya itu tibatiba
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran.
“Ayah......!”
Pedang yang sudah diangkatnya itu turun kembali dan bahkan dilemparnya di atas meja. Dalam suaranya
terkandung kemarahan dan kerinduan serta kegembiraan sekaligus.
“Cu An......! Ke mana saja selama ini engkau pergi?”
“Maafkan saya, Ayah. Selama ini saya memperdalam ilmu silat saya. Maafkan saya yang pergi tanpa pamit
kepada Ayah.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Tidak perlu minta maaf, Anakku. Bangkit dan duduklah, dan ceritakan apa yang terjadi! Apakah pendeta
jahanam itu yang telah menculikmu, tidak mengganggumu?”
Bouw Cu An bangkit, duduk di depan ayahnya dan memandang dengan mata terbelalak heran. “Pendeta
jahanam yang menculik saya, Ayah? Apa dan siapa yang Ayah maksudkan?”
“Siapa lagi kalau bukan pendeta jahat Ouw-yang Sianjin yang telah menculikmu!”
Cu An menjadi semakin heran. “Ayah, darimana Ayah mendengar bahwa saya diculik oleh Ouw-yang
Sianjin?”
“Ketika malam itu engkau pergi, Hongbacu datuk Mancu itu mengejarmu dan dialah yang melaporkan
bahwa engkau diculik Ouw-yang Sianjin dan dia tidak berhasil menolongmu.”
“Aduh! Makin ketahuan sekarang betapa Ayah telah bekerja sama dengan orang-orang jahat. Hongbacu
menolong saya? Ayah telah dibohongi dan ditipu. Hongbacu bukan menolong saya melainkan mencoba
untuk membunuh saya!”
“Hahh......?” Pangeran Bouw Ji Kong terbelalak. “Benarkah? Apa...... apa yang terjadi, Cu An......?”
“Ayah agaknya telah mendengarkan fakta yang diputarbalikkan. Begini kejadiannya, Ayah. Malam itu saya
merasa kesal dan terus terang saya tidak dapat menyetujui rencana Ayah hendak merebut tahta kerajaan,
apalagi Ayah bersekutu dengan orang-orang Mancu dan perkumpulan-perkumpulan pemberontak jahat
seperti Pek-lian-kauw, Ngo-lian-kauw dan lain-lain. Karena hati saya kesal dan tidak setuju, maka malam itu
saya meninggalkan rumah ini dengan hati sedih.
“Tiba-tiba muncul Hongbacu yang hendak membunuh saya karena saya dianggap merintangi niat Mancu
untuk memanfaatkan Ayah dan merebut tahta kerajaan. Saya tentu sudah mati karena tidak mampu
melawan Hongbacu, kalau saja pada saat itu tidak muncul Suhu Ouw-yang Sianjin. Dialah yang telah
menyelamatkan saya, mengalahkan dan membuat Hongbacu melarikan diri. Sungguh saya tidak mengerti,
mengapa Ayah begitu tega untuk menyuruh Hongbacu membunuh saya, Ayah......” Suara pemuda itu
mengandung isak kesedihan.
“Ah, tidak......! Sama sekali tidak, Cu An! Aku sama sekali tidak menyuruh untuk membunuhmu, hanya
menyuruh dia memanggilmu kembali. Dia kembali dan mengatakan bahwa engkau diculik Ouw-yang
Sianjin......”
“Karena saya mengira bahwa Ayah benar-benar tega untuk menyuruh membunuh saya, maka saya tidak
berani pulang dan saya lalu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin, memperdalam ilmu silat saya.”
Pangeran Bouw Ji Kong mengepal tangan kanannya. “Keparat busuk Hongbacu! Dia membohongiku!
Berani dia hendak membunuh puteraku!” Sang Pangeran yang marah itu merasa tidak terdaya karena pada
saat itu Hongbacu tidak berada di situ, sudah menyembunyikan diri keluar kota raja menanti berita darinya.
“Sekarang engkau pulang, lalu apa kehendakmu, Cu An?”
“Ayah, setelah saya menjadi murid Ouw-yang Sianjin, saya semakin menyadari bahwa Ayah telah
mengambil jalan yang keliru sama sekali. Saya pulang ini untuk menyadarkan Ayah. Orang-orang yang
mendukung niat Ayah memberontak itu semua bukan orang baik-baik dan mereka itu hanya ingin
membonceng dan memanfaatkan Ayah demi keuntungan mereka sendiri. Harap Ayah menyadari benar hal
ini.”
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari luar kamar itu, suara lembut namun beribawa dan terdengar jelas
seolah pembicaranya berada di dalam kamar itu. “Semua yang diucapkan Bouw Cu An itu benar dan
bijaksana. Masih belum terlambat bagi orang yang bertindak salah untuk memperbaiki tindakannya!
Mengubah langkah dan bertaubat sebelum terlambat, itulah tindakan yang bijaksana.”
“Suhu......” kata Bouw Cu An lirih.
Pangeran Bouw Ji Kong menoleh ke arah jendela yang masih terbuka. Wajahnya agak pucat ketika
mendengar bahwa Ouw-yang Sianjin berada di luar kamarnya. Tentu saja anggapan bahwa Ouw-yang
Sianjin merupakan seorang musuh yang berbahaya masih menguasai perasaannya. Akan tetapi dia
percaya kepada puteranya, maka dia berseru ke arah jendela.
“Ouw-yang Sianjin, kalau engkau sudah berada di sini, masuklah dan beri penjelasan kepada kami!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
12.34. Pencerahan Bagi Pangeran Bouw
Sesosok bayangan yang ringan dan cepat berkelebat. Ouw-yang Sianjin sudah berada dalam kamar itu,
berdiri menghadap Pangeran Bouw Ji Kong dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai
penghormatan.
Pangeran Bouw melihat seorang berpakaian sebagai tosu, pakaian sederhana serba kuning, usianya sekitar
empatpuluh delapan tahun, bertubuh tinggi kurus dan punggungnya tergantung sebatang pedang terbuat
dari bambu! Tosu sederhana namun sikapnya lembut dan berwibawa. Dia segera bangkit berdiri dan
membalas penghormatan tosu itu.
“Pangeran, maafkan kalau pinto datang tanpa diundang karena pinto memenuhi permintaan puteramu,
Bouw Cu An.” kata Ouw-yang Sianjin.
“Duduklah, Totiang. Kami senang Totiang suka datang ke sini karena pada saat ini kami membutuhkan
penjelasan. Semua orang sudah mengetahui bahwa jalan yang kita ambil masing-masing tidak sama
bahkan berlawanan, akan tetapi mengapa Totiang menolong putera kami dan suka datang ke sini malam
ini?”
Ouw-yang Sianjin duduk berhadapan dengan Pangeran Bouw dan Bouw Cu An. “Pangeran, pinto menjadi
saksi akan kebenaran apa yang diceritakan puteramu Bouw Cu An tadi. Secara kebetulan dan agaknya
Yang Maha Kuasa sudah menentukan demikian. Pada malam itu pinto (saya) melihat puteramu sedang
diserang dan akan dibunuh oleh Hongbacu tokoh Mancu itu. Pinto segera turun tangan membelanya dan
berhasil menggagalkan usaha Hongbacu yang jahat itu dan mengusirnya.
“Pada waktu itu juga, pinto minta kepada Bouw Cu An untuk kembali ke rumah orang tuanya, akan tetapi dia
tidak mau pulang dan ingin memperdalam ilmu silatnya, juga menceritakan tentang cita-cita Pangeran yang
ditentangnya. Nah, hari ini, dia pulang dan minta kepada pinto untuk membantu dia menyadarkan Pangeran
agar kembali ke jalan benar.”
Pangeran Bouw Ji Kong yang tadinya mengalami kekecewaan, bahkan kemerosotan semangat itu kini
menatap wajah tosu itu dengan penuh selidik.
“Totiang, engkau mengatakan hendak menyadarkan kami agar kami kembali ke ja1an benar? Hemm, dalam
hal apakah totiang menganggap kami melalui jalan yang salah? Anak kami mungkin belum mengetahui
benar akan keadaan pemerintah dan bangsa, maka dia bisa menyalahkan kami. Akan tetapi Totiang adalah
seorang yang berpengalaman. Bagaimana totiang dapat menganggap bahwa kami salah jalan?”
“Siancai, agaknya Pangeran mendasarkan sikap dan perbuatan Pangeran kepada apa yang dianggap
benar! Pangeran, dipandang dari sudut mana pun, perbuatan kekerasan dengan maksud untuk
mengadakan pemberontakan jelas perbuatan yang salah sama sekali. Yang sudah jelas Pangeran adalah
anggauta keluarga dekat Sribaginda Kaisar, bahkan telah diberi kedudukan tinggi dan terhormat sebagai
penasihat Kaisar di bidang hubungan dengan luar negeri. Maka, pemberontakan yang Paduka lakukan itu
merupakan suatu pengkhianatan terhadap pemerintah dan keluarga sendiri. Pinto yakin Paduka tidak mau
disebut sebagai seorang pengkhianat, bukan?”
Wajah Pangeran Bouw berubah merah dan alisnya yang tebal dikerutkan. “Ouw-yang Sianjin, tahu apa
engkau tentang perjuangan? Siapa orang-orang yang telah berkhianat terhadap nusa dan bangsa? Mereka
itulah, para penguasa, para pembesar dan pejabat tinggi, yang melakukan kecurangan, korupsi, mencuri
uang negara, menindas rakyat untuk memperkaya diri sendiri, mereka adalah pengkhianat-pengkhianat
bangsa dan negara.
“Kalau sekarang ada orang yang berusaha untuk menghancurkan mereka dan mengubah keadaan,
mendirikan pemerintahan yang sehat dan bersih, yang dikelola para pejabat yang benar-benar berjiwa
patriot yang lebih mementingkan kesejahteraan bangsa daripada kemakmuran diri sendiri dan keluarganya,
bukankah hal itu merupakan perbuatan yang gagah perkasa dan mulia? Orang-orang yang memegang
kekuasaan boleh menamakannya pemberontak dan pengkhianat, namun sesungguhnya mereka itu pejuang
sejati demi kesejahteraan rakyat dan menentang kelaliman para penguasa!”
Ouw-yang Sianjin tersenyum tenang dan sabar, membiarkan Pangeran itu menumpahkan segala
kemarahan hatinya. Setelah Pangeran Bouw Ji Kong berhenti bicara, dia bertanya.
“Sudah cukupkah Pangeran bicara? Pinto akan menjawab semua pernyataan Paduka tadi. Agaknya
Paduka hanya memandang dari segi baiknya dan untungnya, akan tetapi lengah bahkan mengabaikan segi
buruknya dan kerugiannya bagi rakyat.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Mari kita telaah bersama. Kita mulai dari segi baik dan untungnya sebuah pemberontakan. Kebaikan dan
keuntungannya itu hanya baru bayangan dan harapan belaka, yaitu akan terjadi kesejahteraan bagi rakyat
kalau: Satu, kalau pemberontakan itu berhasil seperti yang diidamkan, dan dua, kalau kelak para pejabat
dari pemerintahan baru benar-benar terdiri dari orang-orang bijaksana yang patriotik dan tidak suka korupsi
atau menyeleweng atau lalim mengandalkan kekuasaan mereka! Hanya dua itu keuntungannya, itupun
kalau keduanya berhasil seperti yang diharapkan.
“Padahal untuk dapat berhasil bukanlah hal semudah dibicarakan. Pertama, amat sukar untuk mengalahkan
pemerintah yang memiliki balatentara kuat, memiliki panglima-panglima lihai seperti Jenderal Chang Ku
Cing dan lain-lain, masih dukung para pendekar pula. Harapan menang dalam perebutan tahta kerajaan
amatlah tipis.
“Kemudian yang kedua, andaikata pemberontakan berhasil dan dibentuk pemerintahan baru, apakah
Paduka kira sudah pasti akan menemukan orang-orang bijaksana yang akan menduduki kursi jabatan?
Bagaimana kalau mereka malah lebih berengsek daripada pejabat yang sekarang? Nah, dua segi baik dan
untungnya itu masih amat diragukan.
“Sekarang segi buruk dan ruginya yang tidak dapat diraguan lagi pasti timbul. Pertama, kelak nama Paduka
akan tercatat dalam sejarah sebagai seorang pemberontak dan anggauta keluarga yang mengkhianati
keluarga sendiri. Kedua, dalam perang pemberontakan sudah pasti akan jatuh banyak sekali korban orangorang
yang sama sekali tidak berdosa, perajurit-perajurit biasa yang kalau kalah mereka tewas kalau
menangpun mungkin hanya mendapat sekadar pujian kosong belaka.
“Ketiga, kalau terjadi perang maka kehidupan rakyat akan menjadi kacau, para penjahat akan bermunculan
untuk mengail di air keruh, melakukan kejahatan tanpa ada yang merintangi karena semua petugas
pemerintah sibuk dengan perang. Keempat, Paduka akan menanam bibit permusuhan, dendammendendam
dan balas-membalas yang tiada hentinya.
“Dan bukan hanya itu, sekarang orang-orang yang mendukung Paduka itu sudah bertindak keji, diam-diam
hendak membunuh putera Paduka tanpa setahu Paduka. Nah, pikirkanlah baik-baik, Pangeran, sebelum
mengambil keputusan apakah Paduka hendak melanjutkan langkah yang keliru atau tidak.”
“Ouw-yang Sianjin, ingin sekali kami mengetahui, bagaimana sikap para pendeta, pendekar atau tokoh
kang-ouw yang mengutamakan keadilan dan kebenaran, bersikap kalau melihat para pimpinan
pemerintahan, dari kaisar sampai pejabat tinggi dan rendah, bertindak sewenang-wenang, curang dan
korup, tidak adil dan hanya mementingkan kekayaan diri dan keluarganya sendiri? Bagaimana kalian akan
bersikap?
“Memberontak tidak baik katamu, lalu apakah kita rakyat ini harus tinggal diam saja, menerima keadaan
dengan segala penderitaannya, hanya mengeluh kepada Tuhan dan sama sekali tidak berusaha untuk
memperbaiki keadaan? Coba jawab pertanyaanku itu dengan jelas. Totiang!” Suara Pangeran Bouw Ji
Kong penuh teguran dan sekaligus tantangan.
Ouw-yang Sianjing tersenyum dan memandang kepada Bouw Cu An. “Cu An. kita sudah membicarakan
urusan yang ditanyakan Ayahmu itu secara panjang lebar. Harap engkau saja yang menjawab pertanyaan
Ayahmu itu.”
Pangeran Bouw Ji Kong kini menatap wajah puteranya dengan alis berkerut. Dia merasa penasaran akan
tetapi juga ingin sekali mengetahui pendapat puteranya yang dianggapnya masih kanak-kanak dan kurang
pengalaman.
“Ayah, harap Ayah memaafkan saya kalau jawaban saya dianggap tidak benar dan lancang, akan tetapi
sesungguhnya pengertian akan hal ini telah saya bicarakan dengan semasak-masaknya dengan suhu Ouwyang
Sianjin dan saya merasa yakin bahwa semua pendapatnya itu benar. Begini, Ayah, Suhu dan saya,
tentu tidak dapat membenarkan kalau para pejabat dari kaisar sampai bawahannya melakukan penindasan,
bertindak sewenang-wenang, korup dan bersaing memperkaya diri dan keluarganya sendiri. Juga adalah
tidak benar kalau kami sebagai warganegara, terutama para pejabat yang menyadari akan ketidakbenaran
itu tinggal diam dan tidak ada usaha untuk mengubahnya.
“Tidak, kita memang harus bertindak! Akan tetapi bukan dengar cara memberontak!
“Kita dapat saja melakukan kritik dan protes, sebagai wakil rakyat yang tidak berani bicara sendiri, dan kita
himpun kekuatan suara kita melalui persatuan para pejabat pemerintah yang setia kepada bangsa dan
negara. Kalau kita dapat memperlihatkan dengan bukti-bukti bahwa tindakan para pejabat tinggi, terutama
Kaisar itu tidak benar, akhirnya Kaisar dan para pembantunya pasti lambat laun akan merasa malu dan
sadar.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Kita patut mencontoh sikap Menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing yang bijaksana, adil dan
jujur, yang tangannya bersih dari kotoran korupsi dan menyalah-gunakan kekuasaan. Siapakah yang
meraguan kesetiaan dan kebijaksanaan mereka?
“Nama mereka kelak pasti akan tercatat dalam sejarah dengan tinta emas, akan menjadi pujaan bangsa
sebagai patriot-patriot sejati yang berjuang benar-benar demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk menumpuk
harta bagi keluarga sendiri atau untuk mengangkat nama dan kekuasaan mereka sendiri. Kalau saja Ayah
mau bertindak mencontoh kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana itu, saya siap membantu ayah dan
rela berkorban nyawa sekalipun.”
Pangeran Bouw Ji Kong termenung, diam-diam dia terharu karena jalan pikiran puteranya itu ternyata
membayangkan budi pekerti yang luhur.
“Hemm, kau kira begitu mudahnya? Kurang bagaimana pemerintah mengadakan peraturan dan hukum
untuk menjadikan para pembesar itu setia kepada negara dan bangsa, akan tetapi apa buktinya? Mereka
bukan berlumba membuat jasa yang baik untuk negara dan bangsa, melainkan berlumba menumpuk
kekayaan pribadi!”
“Suhu dan saya mengerti, Ayah. Akan tetapi apa artinya diadakan seribu satu macam peraturan dan hukum
kalau semua itu tidak dilaksanakan dengan tertib, bahkan dilanggar sendiri oleh si pembuat hukum? Seolah
hukum itu dibuat demi kepentingan mereka yang berkuasa dan diberlakukan kepada rakyat kecil.
“Suhu mengingatkan saya akan apa yang diajarkan Guru Besar Khong Cu dalam Kitab Tiong-yong Pasal 21
ayat 12:
Ada sembilan syarat untuk dapat memimpin negara dan bangsa, yaitu: 1. Memperbaiki diri sendiri
lahir batin. 2. Menghargai orang-orang bijaksana dan pandai. 3. Mencinta sanak saudara dan
keluarga. 4. Menghargai pejabat-pejabat tinggi. 5. Tenggang rasa terhadap para pejabat biasa. 6.
Mencinta rakyat seperti anak sendiri. 7. Mengkaryakan sebanyak mungkin ahli pembangunan. 8.
Ramah tamah terhadap para tamu negara. 9. Mengikat hubungan baik dengan negara lain.”
“Hemm, apakah semua itu akan menjamin para pejabat dari yang tinggi sampai yang rendah akan dapat
mentaati apa yang dikehendaki pemimpin besar mereka, yaitu Kaisar? Bicara memang mudah, akan tetapi
pelaksanaannya tidaklah semudah itu!”
“Suhu dan saya menyadari akan hal itu, Ayah. Memang semua teori itu mudah dan sama sekali tidak ada
gunanya kalau tidak dipraktekkan. Akan tetapi kita benar-benar jujur dan ingin menjadi hamba Tuhan,
menjadi manusia yang utama, dan kita laksanakan semua teori itu, sudah pasti akan berhasil.
“Sekarang bukan jamannya lagi untuk menjejali rakyat dengan slogan-slogan, dengan pelajaran-pelajaran,
dengan hukum-hukum kalau semua itu hanya omongan kosong belaka dan tidak dilaksanakan dengan tertib
dari yang paling atas sampai yang paling bawah. Rakyat tidak butuh nasihat tentang kebaikan lagi,
melainkan membutuhkan TAULADAN, membutuhkan CONTOH dari mereka yang mengeluarkan slogan,
pelajaran, dan nasihat itu.
“Para pimpinan negara merupakan Bapak bagi rakyat dan menjadi suri tauladan. Apa artinya Sang Bapak
menasihatkan anak-anaknya untuk hidup sederhana dan hemat kalau Si Bapak sendiri hidupnya serba
mewah, royal dan menghamburkan uang? Akan tetapi rakyat sebagai anak melihat Pemimpinnya sebagai
bapaknya hidup sederhana, tidak usah disuruh lagi mereka tentu akan hidup sederhana pula! Jadilah
tauladan, jangan hanya penasihat tanpa tanggung jawab.
“Kalau seorang pejabat tinggi bertangan bersih, para bawahannya otomatis tidak berani bertangan kotor
karena atasannya yang bertangan bersih tentu akan menindaknya. Sang bawahan ini setelah dia sendiri
mencontoh atasan bertangan bersih, tentu akan menjaga agar bawahannya sendiri juga bertangan bersih.
Demikian pula seterusnya, terus dari atas memberi contoh dan menindak bawahan sehingga petugas yang
paling bawah pun disegani rakyat karena bertangan bersih.
“Otomatis rakyat pun akan patuh dan taat karena semua yang dikerjakan pemerintah demi kesejahteraan
rakyat, termasuk diri dan keluarga mereka sendiri yang juga sebagian dari rakyat. Akan tetapi kalau
atasannya bertangan kotor, bagaimana mungkin dia dapat mencegah bawahannya bermain kotor pula?
Bahkan dia akan dijadikan tauladan, tauladan berbuat buruk dan korupsi, oleh bawahannya tanpa dia berani
menegur karena dia sendiri bertangan kotor, kemudian bawahannya juga “bertoleransi” kepada
bawahannya lagi, demikian terus menurun menjadi budaya korupsi yang turun menurun sampai rakyat
menjadi terbiasa dengan keadaan semacam itu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Maafkan saya, Ayah, pandangan ini bukan sekadar teori, akan tetapi dapat dibuktikan dan dipraktekkan
dalam kelompok yang paling kecil seperti sebuah keluarga dalam sebuah rumah tangga. Kalau Sang Ayah
menghendaki anak-anaknya tidak menjadi penjudi, apa artinya kalau dia hanya menegur dan marah akan
tetapi dia sendiri menjadi penjudi? Bukan teguran atau nasihat yang dibutuhkan sang Anak dari orang
tuanya, atau rakyat dan bawahan dari atasannya, melainkan tauladan yang baik!
“Rakyat sudah kenyang bahkan muak dengan slogan-slogan dan petuah-petuah, akan tetapi rakyat rindu
akan para pemimpin rakyat yang bersih dan patut dijadikan panutan. Kalau para pemimpin kerajaan bersih
dan bijaksana, maka kekayaan negara tidak akan bocor dan digerogoti tikus-tikus berpakaian pembesar
sehingga negara menjadi kaya dan kekayaan ini dapat dimanfaatkan demi kemakmuran dan kesejahteraan
hidup rakyatnya, di mana dicukupkan sandang pangan papan dari SETIAP warga negara kerajaan ini.
“Alat-alat negara yang bersih dapat bertindak tertib dan melaksanakan semua hukum tanpa pandang bulu,
tidak dapat dipengaruhi suap dan hubungan sahabat atau keluarga. Kalau sudah begini, kami kira para
pejabat akan kehilangan keberaniannya, apalagi karena mencari sandang pangan papan menjadi mudah.
Rakyat akan menjadi senang dan taat kepada pemerintah, dan tidak mungkin lagi ada rakyat yang mau
diajak memberontak terhadap pemerintah yang dicinta rakyat karena keadilan dan kebijaksanaannya.”
Mendengar ucapan yang panjang lebar penuh semangat dari puteranya itu, Pangeran Bouw Ji Kong
terkagum-kagum dan terheran-heran, akan tetapi dia mulai dapat menangkap intinya yang berlandaskan
kepada kebenaran. Ucapan puteranya itu sama sekali bukan didasari perasaan iri, dengki ataupun benci,
melainkan membuka kenyataan bukan sekedar teori yang muluk-muluk. Melihat pangeran itu termenung,
dengan harapan bahwa pangeran itu akan dapat menyadari kesalahannya, Ouw-yang Sianjin segera
berkata dengan suaranya yang lembut penuh kesabaran.
“Pangeran, maafkan puteramu kalau bicaranya terlampau tegas, akan tetapi di jaman seperti ini kita seluruh
rakyat hanya menggantungkan harapan kepada kaum mudanya. Hanya para mudanya yang memiliki
semangat dan keberanian, memiliki pandangan yang kritis, untuk membawa kita semua keluar dari kemelut
keadaan yang tidak sehat ini. Kalau kita orang-orang tua masih berpegang kepada peraturan lama, menjadi
lemah dan tidak berdaya, lalu para mudanya juga kehilangan semangat dan hanya mengejar kesenangan
dan foya-foya belaka, apa akan jadinya dengan tanah air dan bangsa kita tercinta ini!
“Para arif bijaksana di jaman dahulu berkata bahwa pembangunan di atas segala bidang tidak akan berhasil
kecuali kalau pembangunan dasar manusia, yaitu pembangunan jiwanya dilaksanakan lebih dulu sampai
berhasil. Manusia yang sudah terbangun jiwanya berarti manusia yang mengenal jati dirinya sebagai
mahluk hamba Tuhan yang memiliki tugas di dunia ini, yaitu menyejahterakan dunia dan semua isinya.
Jiwanya terbangun kalau seorang manusia selalu dekat dengan Tuhannya, taat dan cinta akan perbuatan
bajik dan takut serta pantang akan perbuatan jahat.
“Hanya manusia-manusia yang sudah terbangun jiwanya sajalah yang akan mampu menjadi pemimpinpemimpin
rakyat karena kebajikannya akan menjadi tauladan bagi rakyat. Kalau sudah begitu, kemakmuran
bagi suatu bangsa bukan hal yang langka lagi karena bangsa yang sudah terbangun jiwanya pasti dikasihi
Tuhan dan apa yang dinamakan kemakmuran adalah suatu keadaan dan perasaan yang merupakan
karunia dari Tuhan, tidak mungkin dibuat manusia.”
Mendengar semua ini, tanpa disadarinya kedua mata Pangeran Bouw Ji Kong menjadi kemerahan dan
basah air mata. Teringat dia akan semua nafsu keinginan dan perbuatannya, betapa dia sudah bersekutu
dengan para golongan sesat pemberontak seperti Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dengan suku ibunya,
yaitu suku Hui, dan bahkan dengan bangsa Mancu yang jelas merupakan musuh dan ancaman bagi
kerajaan Beng.
Dia teringat pula betapa dia telah menyuruh bunuh enam orang pejabat tinggi yang sama sekali tidak
bersalah, hanya karena mereka adalah orang-orang atau pejabat-pejabat yang setia kepada Kaisar! Dan
yang lebih lagi, dia tidak tahu bahwa puteranya sendiri, nyaris dibunuh seorang sekutunya, yaitu Hongbacu
datuk Mancu.
Belum tercapai keinginannya, dalam keadaan masih berjuang saja sekutunya dari Mancu sudah tega untuk
membohonginya dan hampir membunuh puteranya! Apalagi kalau mereka sudah berhasil, dapat dia
bayangkan betapa para sekutunya itu tak dapat diragukan lagi akan saling berebut, memperebutkan hasil
pemberontakan mereka! Teringat pula dia bahwa sekarang, kedudukannya sudah terhormat sebagai
penasihat Kaisar. Kalau perjuangannya memberontak yang penuh resiko itu gagal, bukan hanya dia yang
celaka, melainkan seluruh keluarganya!
Makin dikenang dan dipikir, makin jelas Pangeran Bouw Ji Kong dapat melihat segala isi hati, pikiran, dan
semua yang mendorong perbuatannya. Kini dia mulai melihat bahwa semua apa yang dia anggap sebagai
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“perjuangan” untuk menyejahterakan rakyat dengan mengambil alih tahta kerajaan itu sesungguhnya
hanyalah merupakan ambisi pribadi belaka. Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih daripada apa
yang dimilikinya sekarang, ya kekuasaan, ya kemuliaan, ya harta kekayaan.
Semua ambisi pribadi itu tertutup oleh apa yang dianggapnya sebagai perjuangan suci demi kemakmuran
rakyat! Kini dia merasa dirinya seperti ditelanjangi oleh ucapan puteranya sendiri dan Ouw-yang Sianjin.
Maka dia teringat akan seorang hwesio yang pernah mengajarkan ilmu silat dan juga tentang budi pekerti
kepada dia dan para murid lain.
“Pinceng (aku) tidak ingin melihat murid-muridku menjadi orang-orang pintar, berkuasa, atau kaya
raya kalau kalian tidak memiliki kebenaran! Orang pintar yang jiwanya tersesat dan jahat hanya akan
menggunakan kepintarannya untuk menipu orang-orang yang bodoh. Orang kuat berkuasa yang
tidak benar hanya akan menggunakan kekuatan dam kekuasaannya untuk menindas orang-orang
yang lemah. Orang kaya raya yang jahat dan tidak benar hanya akan menggunakan kekayaannya
untuk memuaskan nafsu-nafsunya mengejar kesenangan dan menghina orang yang miskin.
“Pinceng hanya menginginkan murid-murid yang menjadi orang-orang benar! Orang-orang yang
benar, berjiwa bersih, baik budi, hatinya penuh dengan rasa cinta sesama dan berbelas kasihan, baik
dia itu miskin atau kaya, bodoh atau pintar, kuat kuasa atau lemah, orang yang begini adalah kekasih
Yang Maha Kuasa. Semua prilaku dan tindakannya mendatangkan berkat bagi sesama dan dialah
yang pantas menjadi pembantu dan penyalur berkat Tuhan, dan hanya orang-orang begini yang
berhasil sebagai manusia dan selalu disinari kebahagiaan.”
12.35. Siapa Penculik Kaisar Beng?
Demikianlah antara lain hwesio yang menjadi gurunya itu berkata. Dan dia telah membuktikan bahwa dia
sama sekali tidak termasuk orang-orang yang seperti dikehendaki gurunya itu! Dia penuh keinginan, penuh
ambisi dan untuk mencapai keinginan itu, dia tidak pantang menggunakan cara apa pun, bahkan cara yang
jahat!
Bouw Cu An diam saja dan hanya memandang ayahnya yang menutupi muka dengan kedua tangan itu.
Ayahnya menangis! Dia merasa terharu akan tetapi juga lega. Tangis ayahnya itu mungkin sekali timbul dari
penyesalan dan mudah-mudahan ayahnya akan sadar bahwa pemberontakan itu adalah salah!
Ouw-yang Sianjin tersenyum dan dia duduk bersila di atas kursi sambil memejamkan kedua mata. Tosu ini
melakukan samadhi sambil menanti tuan rumah memulihkan gejolak hatinya.
Baru setelah menjelang pagi, Pangeran Bouw Ji Kong menurunkan kedua tangannya. Dia menggunakan
ujung lengan baju mengusap sisa air mata yang membasahi kedua pipinya, lalu dia menoleh dan
memandang Bouw Cu An yang masih duduk menunggui ayahnya.
“Ayah!” Pemuda itu memanggil dengan lirih. Mendengar ini, Ouw-yang Sianjin juga membuka matanya dan
memandang kepada pangeran itu.
Pangeran Bouw Ji Kong kini berkata kepada mereka dengan suara serak dan lirih.
“Ouw-yang Sianjin dan Cu An, sekarang aku menyadari akan semua kekeliruanku dan aku merasa
menyesal sekali telah menuruti hati yang dipenuhi iri dan nafsu kemurkaan. Sekarang, beritahu aku, apa
yang seharusnya kulakukan?”
“Ayah, saya tidak berani memberi nasihat kepada Ayah. Sebaiknya Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjawab
pertanyaan Ayah itu......” kata pemuda itu dengan suara terharu karena dia merasa lega dan girang bahwa
akhirnya ayahnya dapat menyadari kesalahannya.
“Siancai! Apa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang yang telah menyadari akan kekeliruannya? Pinto kira
hanya dua, yaitu pertama menghentikan perbuatan yang keliru itu dan bertaubat.”
“Bertaubat dengan cara bagaimana?” tanya Pangeran Bouw Ji Kong.
“Pangeran, Paduka bersalah terhadap Sribaginda Kaisar, maka sewajarnyalah kalau Paduka bertaubat
dengan pengakuan kesalahan di depan Sribaginda dan mohon pengampunan,” kata pula pendeta itu.
Pangeran Bouw Ji Kong mengerutkan alisnya lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Totiang, itu terlalu
mudah bagiku, terlalu ringan bagi kesalahanku yang besar. Kalau aku hanya mohon pengampunan,
dunia-kangouw.blogspot.co.id
andaikata Kaisar mengampuniku, juga namaku akan tercoreng dalam sejarah dan rakyat akan mengutuk
namaku. Aku harus melakukan aksi balik yang tepat untuk menebus kesalahanku dan aku hanya dapat
mengharapkan Totiang untuk membantu rencanaku sehingga akan berhasil baik.”
“Apa yang Paduka maksudkan, Pangeran?”
“Begini, Totiang. Kesesatanku telah mengakibatkan jatuhnya korban. Aku harus membalas semua
kejahatan yang dilakukan para sekutuku itu atas rencanaku yang jahat. Maka, aku ingin menjebak mereka,
mengundang mereka berkumpul kemudian engkau dan Cu An mengatur dan mengumpulkan para
pendekar, juga para panglima dan pasukannya dan tentu saja engkau dapat minta bantuan Panglima
Chang Ku Cing untuk keperluan itu.
“Nah, setelah aku berhasil membasmi mereka yang tadinya bersekutu denganku, para pengkhianat yang
sama dengan aku, orang-orang Pek-lian-kauw, wakil Mancu, dan suku Hui, barulah aku akan menyerah dan
akan menerima hukuman apa pun yang dijatuhkan kaisar kepadaku. Dengan demikian, setidaknya aku
telah melakukan sesuatu untuk menghancurkan mereka yang memusuhi kerajaan. Aku tidak takut namaku
sendiri kotor karena memang apa yang kulakukan itu salah, akan tetapi aku merasa sedih kalau sampai
nama keturunanku menjadi ternoda karenanya.”
Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk dan dapat menerima usul itu. Demikianlah, Pangeran Bouw Ji Kong
mengajak Ouw-yang Sianjin berunding dan mengatur rencana untuk menjebak mereka yang tadinya
mendukungnya untuk memberontak. Baru setelah pagi, Ouw-yang Sianjin meninggalkan istana Pangeran
Bouw Ji Kong, Cu An sendiri tetap berada di rumah orang tuanya karena dia akan membantu ayahnya
dalam rencana menjebak dan membasmi para pemberontak.
Sepekan kemudian, di sebuah bukit kecil yang penuh hutan, berdatanganlah banyak orang. Karena bukit di
sebelah timur kota raja itu berada di daerah yang tandus dan sunyi dan di daerah itu tidak terdapat dusun,
maka mereka yang berdatangan di situ tidak diketahui umum.
Sejak pagi, tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, berdatangan di tempat tersembunyi itu, di mana telah
dibangun tenda-tenda besar yang disediakan oleh Pangeran Bouw Ji Kong. Di antara mereka yang datang
berkumpul di situ terdapat Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan
istimewa Nurhacu pemimpin besar Mancu, Tarmalan datuk suku Hui yang dukun ahli sihir.
Selain tiga orang sakti yang dulu melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi, juga tampak
beberapa orang panglima yang sudah dipengaruhi pangeran Bouw Ji Kong dan mendukung rencana
pemberontakan dengan janji imbalan kedudukan yang lebih tinggi apabila pemberontakan itu berhasil.
Pangeran Bouw Ji Kong memang hanya mengundang para komandannya saja dan mereka diminta agar
tidak mengerahkan pasukan.
Setelah semua undangan berkumpul di tempat itu, muncul Pangeran Bouw Ji Kong. Sekitar tigapuluh orang,
para pendukung pemberontakan yang lengkap, telah berkumpul dan setelah Pangeran Bouw Ji Kong
datang, semua berkumpul di tenda besar di mana telah dipersiapkan meja yang disambung-sambung
memanjang dan kursi-kursi berhadapan terhalang meja. Pangeran Bouw Ji Kong menempati kursi
kehormatan yang berada di ujung deretan meja sehingga semua orang duduk di depannya di kanan kiri
meja dan memandang kepadanya.
Wajah Pangeran Bouw Ji Kong tidak cerah seperti biasa, melainkan tampak seperti orang marah. Semua
orang yang hadir memandang heran, apalagi ketika pangeran Bouw Ji Kong bangkit berdiri dan berkata
nyaring, tangannya menuding ke arah Hongbacu, tokoh Mancu yang duduk di deretan terdepan bersama
Tarmalan dukun suku Hui dan Hwa Hwa Hoat-su tokoh Pek-lian-kauw.
“Saudara-saudara para panglima dan pejabat, kita telah dikhianati oleh orang-orang yang datang dari luar
dan mengaku sebagai pendukung kita! Hongbacu orang Mancu ini telah berusaha hendak membunuh
puteraku! Kita telah disesatkan oleh golongan Mancu, suku Hui, dan golongan Pek-lian-kauw. Mereka itu
masing-masing hendak menguasai kita dan kalau gerakan berhasil, mereka tentu akan berusaha
menyingkirkan kita dan menguasai negara!”
Hongbacu terkejut dan marah, demikian pula Tarmalan dan Hwa Hwa Hoat-su.
“Pangeran!!” bentak mereka bertiga.
“Pangeran, bukan aku yang berkhianat, melainkan puteramu sendiri! Dia menentang gerakan dan
perjuangan kita, tentu saja seorang pengkhianat yang berada di antara kita amat berbahaya. Akan tetapi dia
melarikan diri dan diculik Ouw-yang Sianjin......”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Bohong!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncul Bouw Cu An. “Hongbacu berusaha
membunuhku, dan suhu Ouw-yang Sianjin bahkan yang menyelamatkan aku dari tangan keji Hongbacu!”
“Nah, Saudara-saudara para panglima dan pejabat, kita selama ini telah bertindak keliru. Kita dipengaruhi
oleh gerombolan bangsa Mancu, gerombolan Hui, dan gerombolan pemberontak Pek-lian-kauw. Padahal
mereka itu hanya akan memanfaatkan kita dan kalau pemberontakan berhasil, pasti mereka itu akan saling
memperebutkan kekuasaan seperti tiga anjing kelaparan memperebutkan tulang. Dan kita yang menjadi
korban berikutnya.
“Cita-cita kita adalah untuk mendirikan pemerintahan yang sehat dan adil, kesejahteraan rakyat. Untuk itu,
kalau ada pejabat tinggi yang bertindak sewenang-wenang, kita dapat mengajukan protes keras. Bukan
dengan cara memberontak, karena kalau begitu kita tidak ada bedanya dengan tiga gerombolan itu!”
Tempat itu menjadi gaduh karena semua orang, terutama para panglima dan pejabat, terkejut bukan main
mendengar ucapan Pangeran Bouw Ji Kong.
“Pangeran Bouw Ji Kong sudah menjadi gila!” teriak Hwa Hwa Hoat-su. “Saudara-saudara, kita maju terus!
Tanpa Pangeran Bouw Ji Kong kita masih dapat merebut tahta kerajaan ini. Pangeran pengkhianat ini dan
puteranya sudah sepatutnya dihukum mati!” Setelah berkata demikian, Hwa Hwa Hoat-su maju menyerang
Pangeran Bouw Ji Kong dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.
Hongbacu tokoh Mancu juga sudah menggunakan golok gergajinya untuk menyerang Bouw Cu An.
“Tranggg......!” Pangeran Bouw Ji Kong menangkis serangan pedang Hwa Hwa Hoat-su dan cepat
mengelak dari sambaran kebutan. Akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su terus mendesaknya dengan serangan
yang gencar dan dahsyat. Sebentar saja pangeran itu terdesak karena memang tingkat kepandaian dan
tenaganya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.
“Cringg......!” Bouw Cu An juga menangkis golok gergaji dengan pedangnya.
Hongbacu tokoh Mancu ini memang lihai sekali sehingga sekali menangkis saja Bouw Cu An sudah
terhuyung ke belakang. Ketika Hongbacu melompat dan menerjangnya kembali, tiba-tiba berkelebat
bayangan kuning.
“Trakk!” Golok gergaji di tangan Hongbacu terpental ketika bertemu dengan pedang bambu di tangan Ouwyang
Sianjin yang melindungi muridnya.
Sementara itu, ketika Pangeran Bouw Ji Kong terdesak, tiba-tiba tampak sinar kilat menyambar dan
menangkis pedang tokoh Pek-lian-kauw itu.
“Cringg......!” Hwa Hwa Hoat-su terkejut sekali dan melihat bahwa yang membuat pedangnya terpental
adalah tangkisan Lui-kong-kiam (Pedang halilintar) di tangan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dia terkejut
dan melangkah ke belakang untuk siap siaga menghadapi lawan tangguh.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Tahan senjata!” dan kini muncullah seorang panglima yang
berusia sekitar limapuluh dua tahun, tinggi tetap dengan kumis jenggot pendek rapi dan pakaiannya
menunjukkan bahwa dia seorang panglima besar. Semua panglima dan pejabat yang berada di situ terkejut
mengenal bahwa dia adalah Panglima Besar Chang Ku Cing dan bersama panglima ini tampak pula Sim
Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu dan di belakang mereka tampak ratusan orang perajurit dengan
belasan orang perwira tinggi.
“Para pemberontak, kalian sudah terkepung rapat! Menyerahlah atau terpaksa kami akan membasmi kalian
semua!”
Para panglima dan pejabat tinggi yang tadinya mendukung pemberontakan, segera melepaskan senjata
mereka dan membuangnya sebagai tanda menaluk karena mereka tahu akan percuma saja melakukan
perlawanan. Apalagi tadi mereka sudah mendengar ucapan Pangeran Bouw Ji Kong yang jelas
menghentikan pemberontakannya, bahkan menentang para wakil dari Mancu, Hui, dan Pek-lian-kauw.
Sementara itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan yang melihat betapa tempat itu sudah dikepung
ratusan orang perajurit dan di situ terdapat pula pendekar-pendekar muda yang mereka tahu memiliki ilmu
kepandaian yang hebat, terutama sekali Hwe-thian Mo-li, mereka merasa bahwa melawan sama saja
dengan membunuh diri.
Hwa Hwa Hoat-su yang tampak tenang, tidak seperti wakil suku Hui dan Mancu yang agak pucat, segera
membuang senjata tanda takluk. Dia bahkan tersenyum karena dia merasa yakin bahwa Pek-lian-kauw
dunia-kangouw.blogspot.co.id
tidak akan membiarkan dia dihukum mati. Melihat Hwa Hwa Hoat-su menyerah, Tarmalan dan Hongbacu
juga merasa percuma saja kalau melawan, maka mereka juga menyerah.
Demikianlah, para gembong pemberontak itu menyerah tanpa perlawanan. Mereka semua digiring sebagai
tawanan dan dijebloskan penjara. Kalau para panglima dan pejabat tinggi menjadi tawanan biasa, adalah
tiga orang pimpinan itu, ialah Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan, dimasukan dalam tempat
tahanan istimewa.
Pangeran Bouw Ji Kong yang sebelumnya sudah melepaskan pemberontakannya, atas jaminan puteranya,
Bouw Cu An dan Ouw-yang Sianjin, oleh Panglima Besar Chang Ku Cing diperbolehkan pulang. Akan tetapi
bukan berarti dia bebas dari tuntutan. Panglima besar yang tegas dan adil itu tetap saja akan menuntutnya
di depan pengadilan kelak, dan dia harus mempertanggung jawabkan kesalahannya.
Malam itu gelap dan sunyi. Seminggu sudah lewat sejak pemberontak-pemberontak itu ditangkapi dan
ditahan oleh Panglima besar Chang Ku Cing dengan bantuan yang diatur oleh Pangeran Bouw Ji Kong
yang tadinya menjadi pimpinan pemberontak namun kemudian dapat disadarkan oleh puteranya sendiri,
Bouw Cu An.
Penduduk kota raja, terutama sekali para pejabat pemerintah dapat bernapas lega setelah tadinya mereka
dicekam ketakutan karena adanya banyak pembunuhan terhadap para pejabat tinggi. Para pejabat, juga
para penduduk, seolah berpesta atas dibasminya pemberontak. Selama seminggu mereka berpesta dan
bergembira ria, dapat tidur nyenyak kalau malam.
Malam ini, semua orang tidur setelah seminggu lamanya berpesta dan bersenang-senang. Bahkan para
perajurit yang bertugas jaga di istana malam itu lengah karena mereka semua yakin bahwa setelah semua
pimpinan pemberontak ditangkap, tidak ada lagi bahaya yang mengancam. “Siapa berani mengganggu
istana?”
Malam yang gelap dan sunyi. Setelah lewat tengah malam, tidak ada lagi suara orang di istana. Para
petugas jaga juga duduk mengantuk di tempat penjagaan, malas meronda.
Apalagi malam itu mendung tebal menutupi langit. Sebuah pun bintang tidak tampak dan udara teramat
dingin. Setelah lewat tengah malam, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di lingkungan istana.
“Kebakaran! Kebakaran!”
Teriakan itu berulang-ulang dan segera disambut teriakan banyak orang.
“Kebakaran! Kebakaran!”
Anehnya, api yang berkobar dengan asap tebal yang mengepul ke angkasa bukan terjadi di satu tempat
saja, melainkan di empat penjuru sekeliling bangunan induk istana! Berkobarnya api susul-menyusul dan
seisi istana menjadi gempar. Semua orang terbangun dan segera berlari-larian, ada yang karena panik
berlari-lari kebingungan, akan tetapi sebagian besar lari ke arah kebakaran untuk membantu memadamkan
api. Ada yang menggunakan air, ada pula yang menggunakan tongkat panjang. Teriakan mereka semakin
menggegerkan seluruh istana.
Sesungguhnya empat tempat kebakaran itu tidaklah seberapa besar, akan tetapi karena kegaduhan dan
teriakan-teriakan panik itu menimbulkan kegemparan. Semua perajurit pengawal membantu untuk
memadamkan api. Tiga tempat yang terbakar tidak begitu sukar dipadamkan, akan tetapi gudang dekat istal
di mana terdapat banyak jerami kering dan tumpukan kayu berkobar besar dan agak lama baru dapat
dipadamkan.
Sebelum semua kebakaran dapat dipadamkan, Panglima Chang Ku Cing yang menerima laporan, malam
itu juga sudah tiba di istana. Juga Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Nyo Siang Lan, dan Chang Hong Bu
bermunculan di istana setelah mendengar berita bahwa istana kebakaran. Ouw-yang Cin-jin tidak tampak
karena setelah pemberontakan diatasi, dia segera meninggalkan kota raja.
Melihat bahwa empat tempat kebakaran itu sudah hampir dapat dipadamkan, tinggal bagian gudang yang
masih berkobar, Panglima besar Chang Ku Cing lalu memerintahkan para pendekar muda dan para perwira
yang berada di situ untuk tenang.
“Hati-hati, mungkin ini siasat orang jahat. Mari kita cepat memeriksa ke dalam istana!”
Ketika mereka semua memasuki istana, mereka terkejut bukan main. Tidak kurang dari duapuluh orang
perajurit pengawal yang bertugas di dalam istana, juga para Thai-kam (sida-sida) menggeletak malangmelintang
dalam keadaan tewas! Ada yang tewas tanpa luka, dan ternyata mereka itu ada yang mengisap
dunia-kangouw.blogspot.co.id
hawa beracun semacam gas, ada yang terluka dalam karena pukulan sakti, ada yang retak kepalanya.
Pendeknya mereka semua tewas oleh orang atau orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi.
Didahului oleh Hwe-thian Mo-li, para pendekar muda cepat berlari ke bagian paling dalam, ke tempat di
mana terdapat kamar-kamar pribadi kaisar dan keluarganya. Panglima Chang Ku Cing yang berlari di
samping Siang Lan, menemukan lagi beberapa orang Thai-kam penjaga di bagian itu sudah menggeletak
tewas. Padahal, para Thai-kam ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang lumayan. Jelas bahwa
pembunuhan dilakukan orang-orang yang lihai sekali.
Mereka memasuki kamar tidur Kaisar dan melihat beberapa dayang dan pelayan wanita yang menggeletak
malang-melintang, akan tetapi mereka itu ternyata hanya tertotok, tidak dibunuh seperti para penjaga.
Mungkin karena mereka tidak melakukan perlawanan. Ketika Siang Lan membebaskan totokan mereka,
mereka menangis dan mengatakan bahwa Kaisar telah diculik orang!
“Cepat katakan, apa yang telah terjadi!” bentak Panglima Chang Ku Cing, terkejut dan marah sekali
mendengar bahwa Kaisar diculik orang.
Dengan tubuh dan suara gemetar, seorang pelayan wanita setengah tua sambil berlutut memberi laporan.
“Tadi hamba para dayang dan pelayan terkejut dan terbangun dari tidur ketika mendengar ribut-ribut orang
berteriak kebakaran dan sebagian dari para perajurit pengawal berlari keluar. Tiba-tiba hamba melihat
beberapa orang Thai-kam penjaga berkelahi melawan seorang bertubuh kurus yang berpakaian serba hitam
dan mukanya ditutupi kain. Akan tetapi para Thai-kam itu roboh satu demi satu.
“Orang bertopeng itu lalu memasuki kamar tidur Sri Baginda Kaisar dan keluar lagi sambil memondong
Sribaginda. Kami berteriak akan tetapi penjahat itu lalu menepuk kami satu demi satu dan kami tak mampu
bergerak lagi. Dia lalu melompat keluar dengan amat cepat seperti terbang. Demikianlah apa yang hamba
ketahui, Thai-ciangkun!”
Panglima besar Chang Ku Cing cepat memerintahkan para komandan pasukan untuk mengerahkan
pasukan masing-masing, melakukan penjagaan di empat penjuru kota raja, memeriksa semua orang-orang
keluar masuk melalui pintu-pintu gerbang kota raja dan melakukan penggeledahan ke dalam setiap rumah
di kota raja! Juga dia minta bantuan para pendekar muda, yaitu Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, Sim Kun
Tek, dan Chang Hong Bu untuk bantu mencari jejak penculik yang melarikan kaisar.
Putera Bouw Ji Kong, pangeran yang memberontak kemudian sadar itu, tidak ikut karena pemuda itu yang
merasa terpukul dan malu atas perbuatan ayahnya, setelah pemberontakan gagal dan dia berhasil
menyadarkan ayahnya, lalu nekat meninggalkan kota raja dan ikut dengan gurunya, Ouw-yang Sianjin.
12.36. Lukisan Perempuan Misterius
Bagi Bouw Cu An memang serba salah. Kalau dia tidak membela ayahnya di pengadilan tidaklah pantas
karena dia putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong. Kalau membelanya, apanya yang harus dibela karena
jelas ayahnya telah melakukan kesalahan besar, yaitu pemberontakan. Maka dia memilih lebih baik pergi
dan dia hanya mengharapkan kebijaksanaan Panglima Chang Ku Cing untuk meringankan hukuman
terhadap ayahnya yang pada akhirnya menyadari akan kesalahannya dan membantu pemerintah menjebak
para pemberontak.
Penjagaan yang dilakukan para komandan dengan pasukan mereka amat ketat. Bukan hanya di pintu
gerbang saja diadakan penjagaan dan penggeledahan pada setiap orang yang keluar masuk, akan tetapi
juga di sekeliling tembok kota raja diadakan perondaan yang ketat sehingga agaknya tidak mungkin ada
orang dapat membawa Kaisar yang terculik keluar dari kota raja!
Juga para pendekar muda mencari dengan teliti, akan tetapi sampai beberapa hari lamanya tidak ada jejak
ditinggalkan penculik itu. Penculik dan kaisar yang diculiknya bagaikan lenyap ditelan bumi!
Ketika Panglima Chang Ku Cing sendiri, ditemani Nyo Siang Lan, mengunjungi gedung tempat tinggal
Pangeran Bouw Ji Kong untuk bertanya kepada pangeran bekas pemberontak itu, mereka disambut wajah
duka dari Nyonya Bouw.
“Thai-ciangkun, kami sekeluarga di sini sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan Sribaginda Kaisar
karena suami saya sendiri juga menghilang dan kami tidak tahu ke mana perginya.”
Panglima Chang Ku Cing mengerutkan alisnya. “Pangeran Bouw Ji Kong menghilang? Sejak kapan dia
menghilang?”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Sudah tiga hari.”
“Tiga hari? Kalau begitu bersamaan waktunya dengan diculiknya Sribaginda Kaisar?”
“Begitulah, Thai-ciangkun. Kami khawatir sekali......”
“Hemmm......!” Panglima Chang Ku Cing tentu saja menjadi curiga dan menduga bahwa tentu terculiknya
Kaisar itu merupakan perbuatan pangeran itu pula.
Agaknya Nyonya Bouw memaklumi isi hati panglima itu karena ia sambil menangis berkata, “Thai-ciangkun,
mohon jangan curigai suami saya. Sungguh, saya berani bersumpah bahwa suami saya pasti tidak terlibat
dalam penculikan Sribaginda Kaisar itu! Suami saya sudah benar-benar menyadari kesalahannya. Ahh,
saya bingung sekali, Thai-ciangkun. Kalau saja Cu An berada di sini......” Nyonya itu menangis sedih.
Tiga orang wanita pelayan yang berada di situ ikut menangis walaupun tanpa suara melihat nyonya majikan
mereka menangis sedih. Terdengar suara batuk-batuk dan ketika Panglima Chang Ku Cing dan Siang Lan
menengok, mereka melihat di sudut ruangan itu seorang kakek sedang membersihkan perabot dalam
ruangan itu dengan sehelai kain. Melihat panglima itu menoleh kepadanya, kakek yang usianya sudah
sekitar tujuhpuluh tahun itu segera membungkuk.
“Mohon maaf, Thai-ciangkun, hamba sekalian para pelayan merasa ikut berduka dengan Hu-jin...... ughugh......”
Dia kembali terbatuk-batuk kecil.
Panglima Chang Ku Cing memandang kakek itu pernuh perhatian, demikian pula Siang Lan. Kakek yang
sudah tua itu bertubuh kurus dan lemah, akan tetapi bekerja dengan teliti, dan sikapnya menghormat.
“Bouw Hujin, siapakah dia?” tanya Panglima Chang kepada Nyonya rumah sambil menunjuk ke arah kakek
itu.
“Dia itu Kakek A-kui, pelayan kami yang setia,” jawab Nyonya Bouw lirih namun suaranya jelas mendukung
sehingga kecurigaan panglima itu dan Siang Lan lenyap.
“Apakah tidak ada tanda-tanda akan hilangnya Pangeran Bouw? Apakah sebelumnya dia mengatakan
sesuatu kepadamu?”
“Tidak ada yang aneh, Chang Thai-ciangkun. Semua biasa-biasa saja dan tiba-tiba, ketika saya bangun
pagi, dia sudah lenyap dan tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, sampai sekarang tidak ada beritanya.
Akan tetapi sekali lagi, mohon jangan menyangka bahwa dia terlibat dengan terculiknya Sribaginda Kaisar,
Thai-ciangkun. Saya yakin bahwa dia tidak bersalah......”
Panglima Chang yang tadinya mencurigai pangeran Bouw Ji Kong, percaya kepada nyonya itu. Pula, apa
perlunya Pangeran Bouw melakukan penculikan terhadap kaisar setelah dia sadar akan kesalahannya,
bahkan telah membantu pemerintah membasmi para pemberontak? Kalau dia melakukannya, sama sekali
tidak ada untungnya baginya, yang ada hanya kerugian besar karena selain dia menjadi buronan dan kalau
tertangkap akan dihukum berat, juga keluarganya akan ikut menderita karena dihukum. Bukan, pasti bukan
Pangeran Bouw Ji Kong yang melakukannya atau yang mendalangi diculiknya kaisar.
Panglima Chang dan Siang Lan pamit dan pergi. Setelah mereka pergi, Nyonya Bouw Ji Kong menjatuhkan
diri di atas kursinya dan menangis. Tiga orang pelayan wanita itu mencoba menghiburnya. Kakek A-kui,
pelayan tua itu, berkata lirih.
“Bagus, Hujin. Sikap dan tindakan Hujin tepat dan bagus sekali.”
Setelah berkata demikian, karena semua perabot di situ sudah dibersihkannya, dia meninggalkan ruangan
tamu untuk bekerja di ruangan lain.
Biarpun Panglima Chang Ku Cing sudah melarang mereka yang berada dalam istana agar jangan
menceritakan tentang terculiknya kaisar, tetap saja berita itu bocor dan membuat rakyat menjadi gempar,
khawatir dan ketakutan.
Hal ini dapat dirasakan ketika Panglima Chang dan Siang Lan berjalan keluar dari gedung Pangeran Bouw.
Di jalan raya dia melihat sikap rakyat yang rata-rata berwajah muram dan gelisah. Dia tidak dapat
menyalahkan siapa-siapa karena berita seperti itu tentu segera tersiar, bahkan mungkin sampai jauh di luar
kota raja. Kaisar diculik orang! Berita ini tentu amat mengguncangkan hati rakyat.
Mengingat belum diperolehnya hasil dari semua penjagaan ketat dan pencarian yang amat teliti, wajah
Panglima Chang Ku Cing menjadi murung. Biarpun pencarian terhadap kaisar yang hilang itu menjadi
dunia-kangouw.blogspot.co.id
tanggung jawab semua pejabat, namun dia merupakan pucuk pimpinan sehingga di tangannyalah terletak
pertanggungan jawab itu.
“Paman Bu-beng-cu......!”
Tiba-tiba Siang Lan berseru girang ketika seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh
sedang, wajahnya bersih dan tampan, sepasang matanya mencorong namun senyumnya penuh
kelembutan, berada di depannya. Laki-laki itu adalah Bu-beng-cu, yang menggembleng Siang Lan dengan
ilmu-ilmu yang lihai.
Panglima Chang Ku Cing memandang penuh perhatian dan Siang Lan segera memperkenalkan. “Paman,
ini adalah Panglima Chang Ku Cing! Paman Chang ini adalah Paman Bu-beng-cu yang membimbing saya
untuk memperdalam ilmu silat.”
Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) segera memberi hormat kepada panglima yang sudah lama dia kenal
namanya dan amat dikaguminya itu. Panglima Chang membalas penghormatan itu.
“Paman Panglima, kebetulan sekali paman Bu-beng-cu berada di sini. Kalau dia membantu kita, tentu lebih
besar harapan kita untuk dapat menemukan Sribaginda Kaisar!”
Panglima Chang menatap wajah Bu-beng-cu penuh perhatian. “Saudara Bu-beng-cu, apakah engkau sudah
mendengar peristiwa itu?”
“Tentang hilangnya Sribaginda Kaisar? Saya sudah mendengarnya, Thai-ciangkun. Justeru karena itulah
saya berada di sini karena saya tahu bahwa Nona Nyo Siang Lan ini pasti sedang sibuk untuk ikut mencari.
Saya ingin membantunya sedapat mungkin.”
“Bagus! Marilah ikut dengan kami dan di sana kita bicarakan bersama apa yang harus kita lakukan.”
“Maaf, Thai-ciangkun. Saya lebih suka bekerja sendiri karena dengan cara diam-diam si penculik tidak akan
mengenal saya dan tidak akan tahu bahwa saya juga ikut mencari Sribaginda. Saya akan minta penjelasan
dari Hwe-thian Mo-li saja.”
Panglima Chang mengangguk-angguk setelah dia memandang Siang Lan dan melihat gadis itu
mengangguk kepadanya.
“Hemm, kami kira gagasan itu baik sekali. Selama ini kami mencari beramai-ramai dan tentu saja si
penculik, kalau memang dia masih berada di dalam kota raja, akan mudah melihat gerak gerik kami.
Baiklah, kalau begitu, engkau yang memberi keterangan kepadanya, Siang Lan. Aku akan mengadakan
rapat dengan para perwira pembantuku.” Panglima itu lalu meninggalkan mereka berdua.
Siang Lan merasa gembira bukan main melihat Bu-beng-cu muncul di kota raja. Semua kekecewaan dan
kemurungannya karena tidak berhasil menemukan kaisar yang diculik orang, lenyap terganti harapan dan
kegembiraan. Diam-diam ia merasakan perubahan pada perasaannya ini dan kembali hampir merasa yakin
bahwa sesungguhnya ia telah jatuh cinta kepada orang yang selama ini bersikap demikian baik,
membelanya dan bahkan mau menggemblengnya dengan sungguh-sungguh agar ia kelak dapat membalas
dendamnya kepada musuh besarnya yaitu Thian-te Mo-ong!
“Paman, mari kucarikan tempat menginap untukmu.”
“Tadi begitu memasuki kota saja aku langsung mencari rumah penginapan dan sudah menyewa sebuah
kamar di rumah penginapan Hok An di ujung selatan kota, Siang Lan,” kata Bu-beng-cu.
“Kalau begitu, mari kita ke sana dan kita bicara di sana agar lebih leluasa, Paman.”
Mereka berdua lalu pergi ke rumah penginapan yang tidak berapa besar itu. Bu-beng-cu membuka pintu
kamarnya dan membiarkan pintu itu terbuka lebar sehingga tidak akan tampak janggal atau tidak sopan
kalau seorang gadis seperti Siang Lan memasuki kamarnya. Melihat daun pintu dibuka lebar sehingga
tampak dari luar, Siang Lan juga tidak ragu ragu lagi memasuki kamar itu bersama Bu-beng-cu.
Di atas meja terdapat buntalan pakaian dan juga segulung kain seperti sebuah lukisan. Karena ingin tahu,
Siang Lan menghampiri meja.
“Ini lukisan apakah, Paman?”
Ia merasa heran sekali karena tiba-tiba laki-laki itu menyambar gulungan lukisan itu dan melemparkannya
ke atas pembaringannya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Jangan, Siang Lan. Gambar itu tidak kuperlihatkan kepada orang lain!”
Siang Lan menjadi penasaran. Aneh, sebuah lukisan saja mengapa dirahasiakan?
“Aih, lukisan apakah itu maka aku tidak boleh melihatnya, Paman?”
“Lukisan...... seorang wanita!”
Siang Lan merasa seolah-olah ada batu besar menghimpit hatinya dan ia merasa betapa mukanya menjadi
panas. Hatinya merasa tidak enak sekali.
“Seorang perempuan, Paman?” tanya Siang Lan sambil mengerling ke arah gulungan kain bergambar itu.
“Akan tetapi paman pernah bilang bahwa Paman tidak mempunyai isteri, tidak mempunyai keluarga.
Apakah itu gambar isteri paman?”
Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. “Bukan, aku belum pernah beristeri.”
Kembali Siang Lan merasakan suatu perasaan lega yang baginya kini tidak aneh lagi karena ia hampir
yakin bahwa ia sesungguhnya mencinta laki-laki ini dan tentu saja merasa cemburu.
“Lalu siapakah yang berada di gambar Paman? Kalau gambarnya Paman bawa ke mana-mana, tentu ia
seorang yang...... penting bagimu.”
“Ya...... ia memang seorang yang amat penting bagiku.”
“Siapakah ia, Paman?” Siang Lan bertanya penuh ingin tahu, akan tetapi ia menyadari bahwa tidak
sepantasnya ia mendesak karena hal itu sama saja dengan memperlihatkan kecemburuannya, maka cepatcepat
disambungnya. “Ah, sudahlah, kalau engkau tidak ingin mengatakan dan ingin merahasiakannya
dariku, Paman.”
“Siang Lan, lebih baik sekarang kauceritakan yang jelas tentang penculikan atas diri Sribaginda Kaisar itu.”
Siang Lan teringat akan tugasnya, lalu ia menceritakan tentang kebakaran di istana sehingga
menggegerkan seisi istana lalu setelah api dapat diatasi ternyata para pengawal dalam istana dan seberapa
orang Thai-kam terbunuh dan Sribaginda Kaisar lenyap.
“Menurut para pelayan wanita yang pingsan, mereka hanya melihat seorang berpakaian serba hitam
dengan muka tertutup kain, bertubuh tinggi kurus, menculik kaisar dan seperti terbang meninggalkan
istana.”
“Bagaimana ciri-ciri para perajurit yang terbunuh?”
“Pada mayat-mayat itu tampak bekas tangan seorang yang memiliki kesaktian tinggi. Mereka semua tewas
tanpa luka senjata tajam, agaknya semua terbunuh oleh pukulan jarak jauh yang amat kuat.”
“Mungkinkah penculik itu membawa lari kaisar ke luar kota raja?”
“Agaknya tidak mungkin, Paman, karena selain penjagaan di pintu gerbang ketat, malam itu juga Panglima
Chang memerintahkan para komandan untuk mengerahkan pasukannya melakukan penjagaan dan
perondaan sehingga betapa pun tinggi ilmu kepandaian penculik itu, rasanya tidak mungkin kalau dia dapat
membawa Kaisar keluar dari kota raja.”
“Dan apakah ada tanda-tanda berapa kiranya jumlah mereka dan apakah meninggalkan tanda bahwa
mereka itu terdiri dari pria atau wanita?”
“Menurut pelayan istana, penculik itu hanya seorang saja. Akan tetapi mereka tidak dapat mengatakan
apakah penculik itu pria atau wanita karena memakai pakaian hitam dan penutup muka hitam, tubuhnya
kurus, mungkin pria dan mungkin juga wanita.”
“Hemm, kalau dia dapat melakukan pembakaran di empat penjuru lalu melakukan penculikan, membunuh
banyak perajurit, jelas dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tentu dia mengenal keadaan dalam
istana. Jadi menurut pendapat Panglima Chang dan pendapatmu, penculik itu masih berada di dalam kota
raja dan menyembunyikan Sribaginda Kaisar di suatu tempat?”
“Kami memang mengira demikian, Paman. Akan tetapi selama tiga hari ini kami menggeledah hampir
semua rumah dan hasilnya nihil. Kami tidak menemukan jejak penculik itu. Sribaginda Kaisar seolah lenyap
ditelan bumi. Kami khawatir sekali kalau-kalau, entah dengan cara bagaimana, penculik itu berhasil
membawa Kaisar keluar dari kota raja. Kalau benar demikian, maka akan sulit untuk dilacak.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Bu-beng-cu mengerutkan alisnya dan berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya.
“Aku kira dia belum membawa Kaisar keluar dari kota, Siang Lan. Resikonya ketahuan besar sekali kalau
dia melakukan hal itu. Tentu dia mempunyai tempat persembunyian rahasia yang amat baik dan sukar
ditemukan. Dan aku hampir yakin orang itu menyamar seperti orang biasa sehingga tidak dicurigai.
“Dan agaknya dia melakukan pekerjaan amat berbahaya bagi dirinya itu sudah pasti dia mempunyai pamrih.
menculik dan membunuh Kaisar sekalipun, apa untungnya bagi dia? Tentu ada apa-apanya di balik
perbuatannya yang nekat ini. Bagaimana dengan Pangeran Bouw Ji Kong? Apakah Panglima Chang tidak
mencurigainya?”
“Inilah yang aneh, Paman. Panglima Chang dan aku memang mencurigainya karena dia merupakan bekas
pemberontak yang menunggu diadili. Kami pergi ke sana dan apa yang kami temukan? Keluarganya
menangis dan mengatakan bahwa Pangeran Bouw lenyap pada saat terjadinya penculikan terhadap Kaisar
itu.”
“Hemm, mencurigakan sekali! Pasti ada hubungannya antara terculiknya Kaisar dan hilangnya Pangeran
Bouw!” kata Bu-beng-cu.
“Kami juga berpikir demikian, akan tetapi Nyonya Bouw merasa yakin bahwa suaminya tidak terlibat dalam
penculikan itu dan wanita itu tampak khawatir sekali. Entah ke mana hilangnya Pangeran Bouw, Paman,
diliputi rahasia seperti juga terculiknya Kaisar.”
“Hemm, aku juga berpendapat bahwa Kaisar tentu disembunyikan di suatu tempat dalam kota raja.
Sekarang kita berbagi tugas. Sebaiknya engkau menyelidiki ke gedung Pangeran Bouw......”
“Akan tetapi panglima Chang dan aku sudah ke sana tadi, Paman.”
“Maksudku, kau datangi tempat itu malam ini secara rahasia. Kau tadi mengatakan bahwa Nyonya Bouw
tampak khawatir atau ketakutan, mungkin ia berbohong atau karena tertekan dan terancam maka ia
terpaksa berbohong. Selidiki malam nanti, siapa tahu akan ada kebocoran kalau keluarga itu menyimpan
rahasia. Sedangkan aku sendiri, tolong mintakan surat dari panglima Chang untukku agar aku dapat
memasuki tempat di mana mereka ditawan. Aku akan menanyai mereka dan aku punya cara untuk
memaksa mereka mengaku kalau mereka tersangkut dan mengetahui akan penculikan ini.”
“Baiklah, Paman. Sekarang juga akan kumintakan surat itu. Paman tunggu saja di sini, sehingga sebentar
akan kuantarkan ke sini.”
Siang Lan lalu pergi ke kantor Panglima Chang dan segera mendapatkan surat yang diinginkan Bu-beng-cu,
kemudian menyerahkan surat itu kepada Bu-beng-cu yang menanti di rumah penginapan Hok An.
Bu-beng-cu menanti sampai malam tiba, baru dia pergi ke penjara di mana Hwa Hwa Hoat-su ditahan. Dia
tidak ingin mengunjungi para tawanan lain seperti Kang-lam Jit-sian bekas pengawal Pangeran Bouw yang
juga ditawan, atau Hongbacu tokoh Mancu dan Tarmalan dukun suku Hui. Dia menduga bahwa kalau ada
kawan-kawan dari para pemberontak yang menculik kaisar, tentu datang dari golongan Pek-lian-kauw yang
memiliki banyak orang sakti. Maka dia sengaja malam itu mengunjungi Hwa Hwa Hoat-su.
Karena berbekal surat perintah Panglima besar Chang Ku Cing, dengan mudah saja tanpa dihalangi Bubeng-
cu dapat memasuki penjara dan langsung menuju ke kamar tahanan Hwa Hwa Hoat-su yang kokoh
kuat. Atas permintaannya, para perajurit penjaga menjauhkan diri dan tidak ada yang dapat melihat atau
mendengarkan percakapannya dengan Hwa Hwa Hoat-su.
13.37. Rahasia Penculikan Kaisar Beng
Hwa Hwa Hoat-su sedang duduk bersamadhi dalam kamar tahanan itu. Sebuah lampu yang cukup terang
tergantung dalam kamar yang tidak memiliki perabotan lain kecuali sebuah bangku panjang yang menjadi
tempat duduk dan tempat tidur. Dindingnya tebal dan dilapisi baja, bagian depannya merupakan jeruji baja
yang sebesar lengan orang, amat kokoh.
Biasanya, di depan kamar tahanan ini masih terdapat lima orang perajurit jaga yang menjaga secara
bergiliran, siap dengan senjata tombak dan panah. Akan tetapi malam ini, para penjaga itu pun menjauhkan
diri atas permintaan Bu-beng-cu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Suara terbukanya pintu membuat Hwa Hwa Hoat-su membuka mata dan memandang ke arah pintu. Pintu
kamar tahanannya terbuka dan di ambang pintu tampak seorang laki-laki yang dengan sinar mata
mencorong menatapnya.
Mula-mula Hwa Hwa Hoat-su merasa girang sekali karena dia mengira bahwa tentu Pek-lian-kauw telah
mengirim seseorang untuk membebaskannya dari tahanan. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya karena
tidak mengenal laki-laki itu.
Bagaimanapun dia melihat kesempatan meloloskan diri. Kalau yang datang ini bukan kawan yang hendak
membebaskannya, mudah saja baginya untuk membunuhnya dan menggunakan kesempatan selagi kamar
tahanan terbuka dan tidak tampak ada penjaga, untuk melarikan diri. Maka dia cepat melompat turun dari
atas bangku panjang dan kini berdiri berhadapan dengan Bu-beng-cu yang sudah melangkah masuk.
Sejenak kedua orang ini saling berpandangan dan Bu-beng-cu berkata tenang.
“Hwa Hwa Hoat-su, apakah keadaanmu baik-baik saja di tempat ini?”
Hwa Hwa Hoat-su memandang penuh selidik, lalu bertanya. “Siapakah engkau dan apa perlumu memasuki
kamar tahanan ini?”
“Siapa adanya aku tidaklah penting, Hwa Hwa Hoat-su. Aku datang mewakili panglima besar Chang Ku
Cing dan minta agar engkau mau berterus terang mengaku siapa yang melakukan penculikan atas diri
Sribaginda Kaisar!”
Sepasang mata Hwa Hwa Hoat-su, terbelalak, lalu dia tertawa bergelak. “Kaisar diculik? Ha-ha-ha-ha!
Bagus, bagus sekali!”
“Hwa Hwa Hoat-su, dengarlah baik-baik. Kalau penculikan itu dilakukan seorang temanmu, hal itu sama
sekali tidak menguntungkan engkau atau Pek-lian-kauw. Seratus orang kaisar boleh kalian culik dan
binasakan, akan tetapi seratus orang kaisar lain akan bermunculan dan pemerintah Kerajaan Beng akan
masih tetap berdiri teguh. Akibatnya, engkau dan teman-temanmu tidak mungkin akan mendapatkan
pengampunan lagi, bahkan pemerintah pasti akan berusaha keras untuk membasmi Pek-lian-kauw. Karena
itu, katakan saja siapa yang telah menculik Sribaginda Kaisar!”
“Ha-ha-ha, orang macam engkau dapat memaksa aku mengaku?” Tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw itu
menyerang dengan dorongan kedua telapak tangannya.
Sejak tadi dia memang diam-diam sudah mengumpulkan sin-kang (tenaga sakti) dan kini dia bermaksud
sekali serang membuat orang di depannya itu tewas agar dia dapat melarikan diri keluar dari tempat
tahanan. Angin bagaikan badai menyambar ketika dia menyerang Bu-beng-cu dengan pukulan jarak jauh
yang dahsyat itu.
Akan tetapi tentu saja Bu-beng-cu bukan seorang yang bodoh dan lengah. Sejak semula dia sudah tahu
bahwa dia berhadapan dengan seorang yang selain lihai, juga terkenal licik. Maka sejak masuk kamar
tahanan itu, dia sudah membekali dirinya dengan pengerahan sin-kang. Maka begitu lawan menyerang, dia
sudah siap dan dia pun mendorongkan kedua telapak tangannya menyambut serangan dahsyat itu.
“Syuuuuttt...... blaarrrr......!” Tubuh Hwa Hwa Hoat-su terlempar ke belakang dan membentur dinding lalu
terjatuh. Dia terbelalak dan cepat bangkit berdiri, heran dan terkejut bukan main. Dipandangnya lawannya.
Hanya seorang laki-laki yang belum tua benar, baru sekitar empatpuluh dua tahun usianya, akan tetapi
bagaimana mungkin dia bukan hanya mampu menandingi tenaga saktinya, bahkan membuat dia terlempar?
Kemudian teringatlah Hwa Hwa Hoat-su.
“Keparat! Kiranya engkau yang dulu membantu dan melindungi Hwe-thian Mo-li!” Dia merasa penasaran
sekali dan menyesal bahwa kedua senjatanya, yaitu pedang dan kebutan putih, telah dirampas sehingga dia
tidak dapat menggunakan senjata untuk melawan orang yang dia tahu amat tangguh ini. “Siapakah
engkau?”
Bu-beng-cu tersenyum. “Hwa Hwa Hoat-su, bukan baru sekali itu saja kita bertemu. Lupakah engkau ketika
sekitar enam-tujuh tahun yang lalu kita saling bertemu di See-ouw dan ketika itu engkau tidak kubunuh dan
kubebaskan setelah engkau bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi?”
Tiba-tiba wajah Hwa Hwa Hoat-su yang biasanya pucat itu menjadi semakin pucat sehingga kehijauan dan
sinar matanya menjadi redup kehilangan semangat.
“Kau...... kau...... Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar) Sie Bun Liong?”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Sie Bun Liong atau Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) mengangguk. “Sekarang terserah kepadamu, Hwa Hwa
Hoat-su. Kaukatakan siapa penculik Sribaginda Kaisar dan aku tidak akan mengganggumu, atau kalau
engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku tidak akan mengampunimu lagi.”
Terbayanglah dalam benak Hwa Hwa Hoat-su akan peristiwa enam tahun lebih yang lalu. Ketika itu dia atas
nama Pek-lian-kauw bersama belasan orang anak buahnya mengadakan kegiatan di sekitar See-ouw
(Telaga barat), seperti biasa membujuk rakyat untuk mendukung gerakan Pek-lian-kauw, lalu minta kepada
rakyat di dusun-dusun untuk menyerahkan sumbangan untuk biaya “perjuangan”. Mereka yang membantah
atau tidak menaati lalu disiksa, bahkan ada yang ibunuh.
Pada waktu itu, Sie Bu Liong yang mendengar akan hal ini, apalagi mendengar betapa beberapa orang
pendekar yang mencoba menentang Hwa Hwa Hoat-su semua dikalahkan datuk Pek-lian-kauw itu, segera
datang ke tempat itu. Dia mengobrak-abrik semua anak buah Pek-lian-kauw dan akhirnya bertanding
dengan Hwa Hwa Hoat-su.
Akhirnya Hwa Hwa Hoat-su roboh dan dia tertotok dengan Ilmu Penghancur Tulang yang membuat dia
menderita kesakitan yang amat hebat. Seluruh isi tubuhnya seperti ditusuk-tusuk pisau, nyeri, panas dan
pedih yang hampir tak tertahankan. Celakanya, dia tidak pingsan atau tewas sehingga siksaan itu membuat
dia mohon ampun dan bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi.
Demikianlah kenangan itu dan kini kembali dia berhadapan dengan Thai-lek-sian Sie Bun Liong yang tadi
sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian pendekar itu masih tetap lebih tinggi daripada tingkatnya.
Dia merasa ngeri sekali.
“Thai-lek-sian, aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu, lebih baik kaubunuh saja aku!” katanya.
Bu-beng-cu menggelengkan kepala. “Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan memukulmu
dengan Ilmu Penghancur Tulang lalu meninggalkanmu di sini. Engkau akan tersiksa selama empatpuluh
hari baru akan mati.”
Ancaman itu membuat Hwa Hwa Hoat-su mati kutu. Dia merasa ngeri sekali dan akhirnya dia mengaku
setelah menghela napas berulang-ulang.
“Biarpun aku sendiri tidak dapat membuktikan, namun aku yakin bahwa satu-satunya orang yang mampu
melakukan penculikan terhadap Kaisar, kalau orang itu dari Pek-lian-kauw, adalah suhengku (kakak
seperguruanku) Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Arwah). Dialah yang memiliki ilmu kepandaian
paling tinggi di antara kami.”
“Hemm, bagus engkau mau mengaku. Sekarang katakan di mana dia berada dan di mana pula dia
menyembunyikan Sribaginda Kaisar!”
Hwa Hwa Hoat-su menggelengkan kepalanya. “Thai-lek-sian, aku telah tertawan dan ditahan di sini, sama
sekali tidak mendapatkan hubungan luar penjara. Bagaimana aku dapat mengetahui di mana dia berada
dan di mana pula Kaisar disembunyikan? Tadinya pun aku hanya menduga saja bahwa Suhengku yang
melakukannya. Biar engkau paksa bagaimana pun, mana mungkin aku dapat mengetahui keadaan yang
sebenarnya?”
Bu-beng-cu berpikir sejenak. Alasan Hwa Hwa Hoat-su ini tak dapat disangkal kebenarannya. Bagaimana
dia bisa tahu kalau dia berada dalam tahanan? Tentu sebelum dia tertawan, tidak ada rencana untuk
menculik kaisar karena Pek-lian-kauw tadinya hanya mendukung dan membantu pemberontakan Pangeran
Bouw Ji Kong!
Pangeran Bouw! Agaknya dia mengetahui akan rahasia ini maka dia menghilang! Mudah-mudahan Siang
Lan dapat menemukan sesuatu, demikian Bu-beng-cu berpikir.
“Baiklah, Hwa Hwa Hoat-su. Aku percaya keteranganmu!” Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari
kamar itu dan mengunci lagi pintu tahanan lalu memanggil para penjaga. Dia pun keluar dari penjara itu.
Bagaimanapun juga, dia tidak gagal sama sekali. Dia dapat mengetahui siapa kiranya yang menculik kaisar.
Cui-beng Kui-ong, datuk terbesar Pek-lian-kauw. Dia belum pernah bertemu dengan datuk itu, akan tetapi
pernah mendengar kebesaran namanya dan kehebatan ilmu kepandaiannya.
Dia harus segera lapor kepada Panglima Chang Ku Cing. Dia kembali ke rumah penginapan menanti
datangnya pagi. Dia akan menanti sampai Siang Lan datang berkunjung, baru bersama gadis itu akan
mengunjungi panglima Chang.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Malam itu, sesuai dengan hasil perundingan dengan Bu-beng-cu, Siang Lan mengunjungi gedung Pangeran
Bouw Ji Kong. Ia menanti sampai lewat tengah malam. Setelah suasana amat sepi ia melompati pagar
tembok gedung yang mewah seperti istana itu, lalu dengan gerakan ringan ia melompat ke wuwungan
rumah. Ia mulai mengintai dari atas genteng, berpindah-pindah, mendengarkan mereka yang masih belum
tidur bicara. Akan tetapi ia hanya dapat mendengar mereka yang sedang melakukan penjagaan saja, dan
para penjaga itu tidak membicarakan sesuatu yang penting mengenai Pangeran Bouw Ji Kong, juga tidak
ada yang bicara tentang hilangnya kaisar yang terculik orang.
Sampai menjelang fajar ia menyelidiki namun tidak berhasil menemukan sesuatu yang penting. Ketika ia
mengambil keputusan untuk meninggalkan atap gedung itu, tiba-tiba ia mendengar suara wanita menangis.
Cepat ia melayang turun dan menghampiri kamar dari mana terdengar suara tangis itu.
Cuaca masih gelap sehingga ia dapat bersembunyi di balik jendela, melubangi daun jendela dan mengintai
ke dalam kamar. Ia melihat Nyonya Bouw, isteri pangeran Bouw Ji Kong sedang duduk di kursi dan
menangis tersedu-sedu. Ia merasa tertarik sekali. Pasti nyonya ini mengetahui sesuatu, mungkin
mengetahui di mana suaminya berada dan mengapa suaminya menghilang.
Ia ingin masuk dan mendesak agar nyonya itu mau mengaku. Akan tetapi ia menahan gerakannya karena
tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dengan suara keras, agaknya didorong dari luar dan masuklah seorang
kakek tua yang kurus berpakaian pelayan. Kakek tua itu adalah kakek pelayan yang pernah ia lihat dan
menurut Nyonya Bouw bernama A-kui, seorang kakek yang tampak lemah. Akan tetapi sekarang ia sama
sekali tidak tampak sebagai pelayan yang taat dan lembut karena ia membentak dengan suara bengis.
“Sudah berapa kali aku melarang engkau menangis! Apa kau ingin melihat kepala suamimu kupenggal dan
kubawa di depanmu?”
Wanita itu menahan jeritnya dan ia meratap. “Ampuni aku...... ampuni suamiku...... ah, jangan bunuh
suamiku......!”
“Kalau begitu, diam dan jangan menangis. Sekali lagi aku mendengar engkau menangis, kepala suamimu
akan kulempar di depan kakimu!”
Setelah berkata demikian, “pelayan” itu keluar dari kamar meninggalkan Nyonya Bouw yang menjatuhkan
diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya di bantal untuk menahan suara tangisnya. Cepat
sekali Siang Lan lalu melompat dan memasuki kamar itu melalui pintu yang terbuka tanpa mengeluarkan
suara.
Ia menepuk tengkuk Nyonya Bouw sehingga wanita itu terkejut dan mengangkat mukanya memandang
Siang Lan akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara karena Siang Lan telah menotoknya. Ia memberi
isyarat agar wanita itu tidak terkejut dan mengeluarkan suara, kemudian setelah membantu wanita itu
duduk, ia membebaskan totokannya dan berkata lirih.
“Bouw Hujin, cepat katakan di mana suamimu berada?”
Dengan tubuh gemetar nyonya itu menuding ke arah bagian belakang rumah. “Di ruangan bawah tanah......
ruangan rahasia suamiku......”
“Di mana letaknya?”
“Di kamar suamiku, dua pintu dari sini...... akan tetapi ruangan itu tersembunyi...... putar arca singa di sudut
kamar dan ada pintu rahasia di belakang almari terbuka......”
“Jangan khawatir, aku akan menolong suamimu. Apakah Sribaginda Kaisar juga berada di situ?”
Wanita itu mengangguk dan Siang Lan segera meninggalkan kamar itu. Hatinya berdebar tegang karena
selain merasa girang sekali telah menemukan di mana Kaisar disembunyikan, juga amat khawatir akan
keselamatan Sribaginda Kaisar. Ia segera mencari kamar Pangeran Bouw Ji Kong seperti yang ditunjukkan
Nyonya Bouw tadi dan mudah saja menemukan kamar yang besar itu. Melihat pintunya saja sudah lain
karena pintunya terhias ukir-ukiran indah. Akan tetapi tiba-tiba daun pintu itu terbuka dari dalam.
Secepat kilat Siang Lan menyusup ke belakang pot tanaman yang besar dan bersembunyi sambil
mengintai. Ia melihat kakek kurus tadi memegang sapu dan di pundaknya tersampir sehelai kain yang biasa
dipergunakan untuk membersihkan perabotan rumah. Kakek itu berjalan dengan langkah terseok lemah
menuju ke bagian depan sambil menyeret sapunya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Jahanam busuk!” Siang Lan mengutu dalam hatinya. Siapa dapat menyangka kakek yang tampak seperti
seorang pelayan tua lemah itu yang telah menculik kaisar, bahkan telah menyekap Pangeran Bouw Ji Kong
ke dalam ruangan bawah tanah!
Kalau menurutkan kemarahannya, ingin Siang Lan langsung menyerangnya. Akan tetapi ia bukan seorang
gadis yang bodoh. Sebelum menghajar penculik itu, ia harus lebih dulu melihat keadaan kaisar dan
menolongnya. Menyelamatkan Sribaginda Kaisar harus didahulukan dan ini lebih penting daripada
menghajar penculik itu. Maka ia diam saja sampai kakek itu memasuki ruangan lain yang cukup jauh dan
tidak tampak lagi. Baru ia memasuki kamar tidur Pangeran Bouw.
Mudah saja menemukan arca singa di atas meja di sudut kamar. Cepat didekati meja itu lalu diputarnya
arca itu. Terdengar bunyi berderit perlahan dan sebuah almari yang menempel pada dinding tiba-tiba
bergerak dan bergeser. Di belakang almari itu kini terbuka pintu menuju tangga ke bawah!
Dengan jantung berdebar tegang namun penuh kewaspadaan Siang Lan menuruni tangga itu. Setelah tiba
di bawah ia memasuki lorong dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah. Dilihatnya Sribaginda Kaisar dan
Pangeran Bouw Ji Kong duduk di atas lantai dalam keadaan terikat kaki tangan mereka. Mereka berdua
tampak pucat namun dalam keadaan sehat dan masih hidup!
“Yang Mulia!” Siang Lan berseru dengan gembira dan terharu. Cepat ia melepaskan ikatan kaki tangan
kaisar, lalu melepaskan pula ikatan kaki tangan Pangeran Bouw karena kini ia yakin bahwa pangeran itu
tidak bersalah dalam hal penculikan kaisar, bahkan dia sendiri juga ditawan.
Sementara itu, setelah Siang Lan meninggalkannya, Nyonya Bouw Ji Kong menjadi khawatir sekali. Ia lalu
menyelinap keluar gedung melalui pintu belakang, membangunkan kusir dan memerintahkan kusir cepat
menyiapkan kereta. Kemudian, Nyonya ini menunggang kereta dan minta kusirnya membalapkan kereta
keluar halaman gedung.
“Bawa aku cepat ke rumah Panglima Chang Ku Cing!” perintahnya dengan tubuh dan suara gemetar.
Para pelayan yang terbangun tidak ada yang berani bertanya dan kusir itu biarpun menjadi keheranan tidak
berani bertanya pula. Setelah tiba di pintu gerbang halaman gedung Panglima Chang, para penjaga
menghentikan kereta itu. Akan tetapi mereka mengenal Nyonya Bouw dan ketika wanita itu mengatakan
hendak menghadap Panglima Chang karena urusan penting sekali mereka membuka jalan.
Pada waktu itu, hari masih pagi sekali. Akan tetapi sepagi itu, Panglima Chang Ku Cing sudah bangun dan
bahkan pada saat itu sudah menerima seorang pengunjung yang diterima di kamar tamunya. Pengunjung
itu bukan lain adalah Bu-beng-cu.
Seperti kita ketahui, Bu-beng-cu berhasil memaksa Hwa Hwa Hoat-su mengaku bahwa mungkin sekali yang
menculik kaisar adalah seorang datuk Pek-lian-kauw bernama julukan Cui-beng Kui-ong, akan tetapi Hwa
Hwa Hoat-su tidak tahu di mana datuk itu menyembuyikan kaisar. Bu-beng-cu menceritakan kepada
Panglima Chang betapa lihai dan berbahayanya datuk berjuluk Cui-beng Kui-ong itu. Dia juga menceritakan
bahwa dia berbagi tugas dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang kini menyelidiki gedung Pangeran
Bouw.
Tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika seorang pengawal melaporkan bahwa Nyonya Bouw datang
berkunjung. Ketika wanita itu diijinkan masuk, ia lari memasuki ruangan tamu dan menjatuhkan diri di atas
lantai sambil terengah-engah dan tubuhnya menggigil saking tegang dan takutnya.
Panglima Chang segera menghampiri dan membantu nyonya itu bangkit dan dipersilakan duduk.
“Bouw Hujin, apakah yang terjadi:......?” tanyanya.
“Celaka, Chang Thai-ciangkun...... celaka......” Nyonya Bouw bicara gemetar dan bercampur tangis. “......
suamiku...... Sribaginda Kaisar...... mereka...... mereka ditawan......” Wanita itu tidak dapat melanjutkan katakatanya
karena tangisnya mengguguk.
Panglima Chang berkata penuh wibawa. “Tenanglah, Nyonya. Katakan, di mana Sribaginda Kaisar ditahan?
Dan oleh siapa?”
“Yang menculik Sribaginda...... dan menawan suamiku...... dia adalah...... pelayan kami...... kakek A-kui......
mereka ditawan dalam ruangan bawah tanah...... di bawah...... kamar suamiku......” suaranya semakin
lemah dan nyonya itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk terus memberi keterangan. “...... tadi......
tadi...... ada seorang nona...... ia hendak menolong...... akan tetapi...... ahh, saya...... saya...... khawatir
sekali......” Ia pun terkulai lemas dan pingsan!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Thai-ciangkun, saya pergi menyusul Hwe-thian Mo-li!” Bu-beng-cu berpamit dan sekali berkelebat tubuhnya
lenyap dari ruangan tamu itu.
Panglima Chang cepat memanggil perwira pembantu dan memerintahkannya agar segera mempersiapkan
pasukan dan mengepung rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Perwira itu cepat melaksanakan perintah
dan sebentar saja sepasukan perajurit terdiri dari duaratus orang sudah berlari-larian dalam barisan menuju
rumah Pangeran Bouw.
13.38. Pembelaan Maut Pangeran Bouw
Panglima Chang Ku Cing memanggil pelayan setelah mereka menyadarkan kembali Nyonya Bouw, wanita
itu diminta untuk bercerita kepada Panglima Chang.
Nyonya Bouw bercerita dengan suara gemetar. Ternyata tiga hari yang lalu, pada suatu malam A-kui,
pelayan tua mereka itu memasuki kamar tidur suami isteri ini. Ketika Pangeran Bouw terbangun dan melihat
A-kui dalam kamar memutar arca singa sehingga pintu rahasia terbuka, dia terkejut. Apalagi ketika melihat
A-kui memanggul tubuh Kaisar di pundak kirinya. Tentu saja dia merasa heran dan terkejut bukan main.
“Mengapa Pangeran Bouw terkejut dan heran? Apakah dia tidak tahu bahwa kakek itu seorang yang lihai
dan telah menculik kaisar?” tanya Panglima Chang.
“Dia tidak tahu, Panglima, kami semua dahulu menerima A-kui sebagai pelayan, sama sekali tidak tahu
bahwa dia seorang yang demikian sakti dan jahat. Suamiku mencoba untuk merampas Sribaginda Kaisar,
akan tetapi dengan sebelah tangan saja A-kui telah mendorong dan memukul suamiku sehingga roboh dan
pingsan.
“Kemudian dia membawa Sribaginda Kaisar dan suamiku ke dalam ruangan bawah tanah dan mengancam
bahwa kalau saya membuka rahasianya, dia akan membunuh Kaisar dan suamiku. Karena itulah, Thaiciangkun,
saya sama sekali tidak berani menceritakan hal itu kepada siapapun juga, bahkan seisi rumah
selain saya tidak ada yang mengetahuinya.
“Akan tetapi ketika Nona pendekar tadi datang dan bilang hendak menolong, saya memberitahu kepadanya
di mana Sribaginda Kaisar disembunyikan.. Setelah ia pergi, saya menjadi ketakutan. Bagaimana ia,
seorang gadis muda, akan dapat mengalahkan A-kui? Sedangkan suami saya sendiri begitu mudah
dirobohkan!”
Panglima Chang lalu menyuruh isteri dan para pelayan untuk mengurus Nyonya Bouw dan menghiburnya,
sedangkan dia sendiri segera membawa pasukan pengawal menyusul ke gedung Pangeran Bouw Ji Kong.
“Yang Mulia, harap Paduka tenang dan menanti di sini dulu. Pangeran Bouw Ji Kong, harap engkau suka
menjaga Sribaginda Kaisar di sini, aku akan mencari dan menangkap penculik jahanam itu!” kata Siang Lan.
Kaisar mengangguk, akan tetapi pangeran Bouw berkata.
“Nona, berhati-hatilah. A-kui itu ternyata adalah seorang yang amat sakti sekali.”
“Jangan khawatir!” kata Siang Lan. Tidak bisa terlalu disalahkan kalau Siang Lan memandang ringan A-kui
karena memang penampilan kakek itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Bahkan sebaliknya, dia tampak lemah dan lugu.
Setelah mencabut Lui-kong-kiam, Siang Lan lalu berlari keluar dari ruangan bawah tanah melalui tangga
yang menembus kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong. Akan tetapi begitu keluar dari pintu rahasia di balik
almari yang terbuka sejak tadi, dia melihat A-kui memasuki kamar itu dan sekali ini wajah A-kui tidak lagi
lemah dan lugu, melainkan beringas dan sepasang matanya mencorong seperti mata setan, mengeluarkan
sinar yang mengejutkan.
“Jahanam busuk!!” Siang Lan memaki dan tanpa banyak bicara lagi ia sudah menyerang dengan dahsyat,
menusukkan Lui-kong-kiam yang berubah menjadi sinar kilat itu ke dada kakek yang hanya dikenalnya
sebagai A-kui. Serangan Siang Lan ini hebat sekali, serangan mematikan karena ia langsung menyerang
dengan jurus Kiam-sian-sia-ciok (Dewa Pedang Memanah Batu).
Pedangnya meluncur seperti anak panah menuju ulu hati kakek itu. Akan tetapi kakek yang tampak lemah
itu ternyata lihai bukan main. Dia memutar tubuh, mengelak sambil membalikkan tubuhnya dan tangan
kanannya bergerak memutar dari samping, dengan jari terbuka menangkis pedang dengan jurus Sin-liongkian-
wi (Naga Sakti Sabetkan Ekor).
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Tangkisan dengan tangan kosong seperti ini terhadap sebatang pedang pusaka seperti Lui-kong-kiam,
apalagi yang dimainkan oleh seorang gadis yang memiliki sin-kang luar biasa kuatnya seperti Siang Lan,
amatlah berbahaya. Kalau Si penangkis tidak memiliki tenaga amat dahsyat, mungkin saja tangannya akan
terbabat putus.
“Tinggg......!” Pedang Lui-kong-kiam itu berbunyi seperti dipukul baja.
Siang Lan terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar hebat. Namun, gadis yang tak
mengenal takut ini sudah siap menyerang lagi.
“Tahan, agaknya engkau ini yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?” tiba-tiba A-kui berseru.
Siang Lan menahan pedangnya. “Benar, aku orangnya!”
“Jadi, engkau yang telah membunuh murid keponakanku Hoat Hwa Cin-jin?”
“Benar pula! Dan kalau engkau tidak menyerah, engkau pun akan kupenggal batang lehermu!”
“Heh-heh, gadis sombong dan liar! Justeru engkau yang akan kutawan menambah jumlah sandera!”
“Kalau begitu mampuslah kau!” Siang Lan menyerang lagi dengan bacokan dari samping ke arah leher
lawan dengan jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memotong Gunung). Pedangnya yang menjadi sinar
kilat saking cepatnya digerakkan itu menyambar dahsyat.
Akan tetapi tahu-tahu di tangan kiri kakek itu telah terpegang seuntai tasbeh hitam dan tasbeh itu berubah
menjadi gulungan sinar hitam ketika menangkis sabetan pedang Lui-kong-kiam yang mengarah lehernya.
“Cringgg!” Kembali Siang Lan merasa tangannya tergetar ketika tasbeh hitam itu menangkis pedangnya.
Tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari depan ke arah matanya. Itu adalah sehelai kain merah di tangan
kakek itu yang meluncur ke arah mukanya sehingga membuat pandang matanya silau. Akan tetapi Siang
Lan tidak menjadi gugup. Gerakannya yang amat ringan karena kini gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
yang dikuasainya sudah mencapai tingkat tinggi berkat bimbingan Bu-beng-cu, membuat gadis itu dapat
menghindar dengan lompatan ke belakang.
Kemudian tanpa melewatkan sedetik pun, tubuhnya sudah berkelebat lagi ke depan, pedangnya menyerang
dengan gerakan Liu-seng-kan-goat (Bintang Cemara Mengejar Bulan). Jurus ini amat dahsyat karena
terdapat serangan beruntun enam kali yang amat berbahaya dan susul-menyusul.
Namun kakek itu benar-benar sakti. Kini bukan hanya tasbehnya yang menangkis sehingga mengeluarkan
bunyi berkencringan berulang-ulang, akan tetapi juga sabuk merahnya menangkis dan sekaligus berusaha
membelit pedang Lui-kong-kiam. Siang Lan tentu saja tidak membiarkan pedangnya terampas, maka ia
membantu pedangnya dengan pukulan telapak tangannya yang membuat sabuk merah itu tertiup dan tidak
dapat membelit pedang.
Serang menyerang terjadi dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang luas itu. Meja kursi terlempar oleh
tendangan kedua orang yang sedang bertanding. Ternyata dalam hal ilmu silat, kedua orang ini memiliki
tingkat berimbang. Siang Lan memang sedikit lebih menang dalam hal kecepatan gerakan, namun ia kalah
kuat dalam penggunaan tenaga sakti. Apalagi karena kakek itu mencampur sin-kang dengan Hoat-sut
(sihir), maka sering kali Siang Lan terhuyung oleh pengaruh sihir melalui bentakan kakek itu.
Bagaimanapun juga, kakek itu merasa penasaran sekali. Dia adalah datuk nomor satu di Pek-lian-kauw dan
mungkin tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan para pemimpin jajaran tingkat atas dari
Pek-lian-kauw pusat. Masa kini melawan seorang gadis saja dia tidak mampu mengalahkannya?
Setelah bertanding lebih dari tigapuluh jurus dan mereka saling menyerang dan belum ada yang tampak
terdesak, tiba-tiba kakek itu berteriak seperti bunyi seekor burung gagak dan kain merah di tangan
kanannya melayang dan ujungnya menyambar ke arah ubun-ubun kepala Siang Lan. Serangan ini
berbahaya sekali karena kalau sampai ubun-ubun kepala terkena patukan atau totokan ujung kain merah,
Siang Lan pasti akan tewas. Gadis ini cepat mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya ke arah ujung
kain merah itu.
“Pratt!” Ujung kain merah itu putus, akan tetapi tiba-tiba ujung itu mengeluarkan uap berwarna merah yang
menyerang dan mengenai muka Siang Lan.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Gadis itu tidak keburu menahan napasnya sehingga ada uap merah yang terhisap olehnya. Seketika
kepalanya pening, pandang matanya kabur dan ia pun terhuyung ke belakang, ke arah pintu rahasia
terbuka!
Cui-beng Kui-ong atau A-kui, kakek itu, tertawa dan dia sudah menyambar tubuh Siang Lan yang pingsan,
lalu membawanya turun ke ruangan bawah tanah. Dia marah sekali karena rahasianya ketahuan. Dia
teringat kepada Nyonya Bouw dan memaki.
“Anjing perempuan itu pasti yang membocorkannya. Ia pantas mampus!” Dia lalu menotok punggung Siang
Lan dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas lantai, tidak mempedulikan pedang Lui-kong-kiam yang ikut
terlempar, dan seolah tidak melihat bahwa Kaisar dan Pangeran Bouw telah lepas dari ikat mereka.
Dia terlalu memandang rendah tiga orang tawanannya, apalagi setelah Siang Lan dia buat tidak berdaya
dengan totokannya. Nafsu amarah membuat dia lengah dan kakek itu cepat melompat keluar dari ruangan
bawah tanah, lalu menutupkan kembali pintu rahasia yang hanya dapat dibuka dengan memutar arca singa
itu.
Setelah pintu tertutup, dia lari mencari Nyonya Bouw. Akan tetapi dia tidak dapat menemukannya, maka
bagaikan gila dengan kejam dia membunuhi siapa saja yang ditemukannya. Kegilaannya itu membuat tujuh
orang pelayan, lima wanita dan dua pria, yang bertahan di situ ketika yang lainnya sudah pergi
meninggalkan keluarga Pangeran Bouw, dibantai Cui-beng Kui-ong!
Dengan kemarahan masih meluap-luap, kini Cui-beng Kui-ong yang kedua tangannya berlepotan darah
karena membantai para pelayan dengan tangan kosong, memecahkan kepala, menusuk dada dengan
tangan dan jarinya, berlari memasuki kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong.
Sementara itu, melihat Siang Lan roboh dan tidak mampu bergerak, Pangeran Bouw Ji Kong yang memiliki
tingkat ilmu silat cukup tinggi, segera memeriksanya. Dia tahu bahwa gadis itu masih pingsan dan dalam
keadaan tertotok. Cepat ia mengambil air yang disediakan untuk minum di ruangan itu dan membasahi
muka Siang Lan dengan air. Gadis itu mengeluh dan siuman, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki
tangannya.
Pangeran Bouw berusaha untuk membuka totokan itu, akan tetapi dia selalu gagal.
“Nona, tahukah engkau bagaimana membuka totokan pada tubuhmu ini?”
“Totokan ini rasanya aneh, aku sendiri tidak tahu,” jawab Siang Lan lirih.
Pada saat itu, terdengar suara gerengan dan kakek A-kui yang kini tampak menyeramkan seperti orang gila,
sudah menuruni tangga. Melihat ini, Pangeran Bouw cepat memungut pedang Lui-kong-kiam milik Siang
Lan yang ikut terlempar ke lantai dan dia sudah berdiri melindungi kaisar.
Dengan pedang di tangan Pangeran Bouw menghadang lalu berkata dengan suara garang. “Kakek A-kui,
siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau menculik Sribaginda Kaisar?”
“Heh-heh-heh, mau tahu aku siapa? Aku adalah Cui-beng Kui-ong, datuk dari Pek-lian-kauw! Aku memang
diselundupkan menjadi pelayanmu untuk bertindak kalau-kalau pemberontakanmu gagal. Siapa kira,
engkau malah mengkhianati perjuangan sendiri sehingga suteku Hwa Hwa Hoat-su terjebak dan tertawan.
Kalian semua akan kubunuh, kucincang agar dendam kami Pek-lian-kauw terbalas......”
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring memasuki ruangan bawah tanah itu.
“Cui-beng Kui-ong......!” Suara itu terdengar jelas sekali, menandakan bahwa suara itu diteriakkan orang
yang menggunakan tenaga khi-kang sehingga mengandung getaran yang amat kuat, dapat terdengar dari
jauh. “Rumah ini sudah terkepung ratusan perajurit! Engkau menyerahlah dan bebaskan Sribaginda
Kaisar!!”
Kakek itu terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meluncur seperti terbang keluar dari ruangan
bawah tanah, kemudian dari dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong dia menjawab dengan suara yang
sama nyaringnya karena dia juga mengerahkan tenaga dari dalam pusarnya.
“Hai kalian yang berada di luar! Bebaskan dulu Hwa Hwa Hoat-su dan semua kawan kami yang tertawan,
baru kami akan membebaskan kaisar!”
Beberapa saat lamanya tidak terdengar jawaban karena Bu-beng-cu yang tadi mengeluarkan teriakan itu
berunding dengan Panglima Chang Ku Cing lebih dulu sebelum menjawab. Kemudian dia mengerahkan khikang
dan menjawab dengan suara melengking.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Cui-beng Kui-ong, dengar baik-baik! Kalau engkau sekarang membebaskan Sribaginda Kaisar dan
mempersilakan beliau keluar menemui kami, maka kami berjanji akan membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan
teman-temannya yang kami tawan.”
“Tidak? Harus kalian yang lebih dulu membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan teman-temannya, baru Kaisar
akan kubebaskan!” terdengar jawaban kakek itu.
“Dengar, Cui-beng Kui-ong! Syarat kami tidak dapat ditawar lagi! Kalau engkau mengganggu Sribaginda
Kaisar apalagi sampai membunuhnya, kami akan menyiksa semua temanmu di penjara sampai mati dan
engkau juga akan kami hukum mati dan kepalamu akan kami gantung di depan pintu gerbang agar semua
orang dapat melihat dan menghinamu!”
“Ha-ha-ha? Kalian kira aku takut akan ancaman itu? Aku akan membawa Kaisar keluar dan siapa berani
menentangku dan tidak mau membebaskan kawan-kawanku, aku akan membunuh Kaisar di depan hidung
kalian!!”
Setelah berkata demikian, Cui-beng Kui-ong lalu memasuki pintu rahasia dengan niat membawa Kaisar
keluar sebagai sandera. Dia percaya bahwa kalau dia mengancam nyawa kaisar di depan semua panglima
itu, pasti tidak ada yang berani menyerangnya dan dia dapat memaksa mereka membebaskan semua
tawanan.
Akan tetapi begitu dia menuruni anak tangga untuk membawa kaisar keluar, Pangeran Bouw Ji Kong sudah
menghadangnya dengan pedang Lui-kong-kiam di tangannya! Siang Lan masih dalam keadaan tertotok dan
ia merasa lemah sekali. Gadis perkasa ini maklum bahwa ia telah keracunan berat oleh uap merah dan juga
totokan yang dilakukan kakek itu bukan totokan biasa, melainkan sejenis pukulan yang membuat ia terluka
oleh hawa beracun yang amat berbahaya.
“Hemm, Pangeran Bouw, aku hendak membawa Kaisar keluar. Engkau berani mencegah aku?” seru Cuibeng
Kui-ong dengan marah dan juga heran akan sikap pangeran ini. Seorang yang tadinya hendak
memberontak, hendak membunuh kaisar dan merampas tahta kerajaan, kini berbalik malah hendak
melindungi kaisar!
“Jangan engkau berani menyentuh Sribaginda Kaisar! Aku siap membelanya dengan taruhan nyawaku
untuk menebus dosa-dosaku!” kata Pangeran Bouw Ji Kong dengan sikap tegas. Siang Lan hanya dapat
memandang dengan hati panas dan khawatir, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.
“Heh-heh-heh, pangeran tolol, memang engkau akan mampus lebih dulu!”
“Hyaaatt!!” Pangeran Bouw Ji Kong menyerang dengan pedang Lui-kong-kiam sambil mengerahkan seluruh
tenaganya dan menggunakan jurus paling ampuh. Begitu menyerang, dia menggunakan ilmu silat pedang
simpanannya, yaitu Kan-seng-sin-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sakti mengejar Bintang).
Namun, tingkat ilmu pedangnya masih jauh di bawah tingkat kepandaian kakek itu. Cui-beng Kui-ong hanya
mengelak dan menangkis dengan tangan dari samping sambil berusaha menangkap pedang dan
merampasnya. Akan tetapi dia tahu bahwa pedang Lui-kong-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang
ampuh, maka dia juga berhati-hati agar tangannya jangan sampai terluka. Hal ini membuat Pangeran Bouw
dapat bertahan sampai belasan jurus.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan tasbehnya dan melontarkan ke atas. Tasbeh itu bagaikan hidup berputarputar
dan melayang di udara, mengeluarkan suara berkeritikan dan menyambar ke arah kepala Pangeran
Bouw. Pangeran ini berusaha membacok dengan pedangnya, akan tetapi tasbeh itu seperti seekor burung
hidup, dapat mengelak dan menyambar-nyambar, membuat Pangeran Bouw mencurahkan perhatiannya ke
atas untuk menangkis serangan tasbeh.
Pada saat itu, Cui-beng Kui-ong mengeluarkan sabuk merahnya dan sekali sabuk itu meluncur seperti sinar
merah, leher Pangeran Bouw tepat tertotok oleh ujung sabuk. Pangeran itu roboh seketika, pedangnya
terlepas dari tangannya dan dia tewas karena totokan ujung kain merah itu selain dahsyat sekali mengenai
tenggorokannya, juga dari ujungnya keluar hawa atau uap beracun.
Kaisar yang juga melihat perkelahian itu duduk dengan sikap tenang di atas lantai sambil bersila. Agaknya
dia memang pantas menjadi seorang kaisar, sama sekali tidak tampak takut biarpun dia tahu bahwa kini
dirinya tidak mempunyai pelindung lagi.
Sementara itu, Siang Lan sudah hampir tidak dapat menahan rasa nyeri di dadanya dan pernapasannya
juga sesak terengah-engah. Ia menyadari bahwa semakin ia berusaha untuk mengerahkan sin-kang
(tenaga sakti), rasa nyeri dalam dadanya makin menghebat. Maka kini ia hanya diam menahan diri
dunia-kangouw.blogspot.co.id
menenangkan hatinya namun ia masih dapat melihat sikap kaisar dan diam-diam ia merasa kagum dan juga
terharu.
“Hayo, engkau ikut denganku keluar dan perintahkan mereka untuk membebaskan semua temanku yang
ditawan!” kata Cui-beng Kui-ong sambil melangkah menghampiri kaisar.
Siang Lan memaksa diri berseru. “Keparat busuk, jangan ganggu Sribaginda!”
“Heh-heh, engkau iblis betina Hwe-thian Mo-li! Engkau juga harus mati untuk menebus dosamu membunuhi
banyak orang Pek-lian-kauw. Terimalah ini!”
Kakek itu melemparkan tasbehya yang berputar dan melayang ke arah kepala Siang Lan.
“Wirrr...... pyarrrr......!!” Tiba-tiba sebuah benda sebesar kepala orang menyambar ke arah tasbeh dan
begitu bertemu dengan tasbeh, benda itu pecah berkeping-keping, akan tetapi tasbeh itu sendiri juga putus
untaiannya dan biji-biji tasbeh jatuh berhamburan di atas lantai.
“Paman......!” Sian Lan berseru gembira akan tetapi segera terkulai pingsan lagi. Ia tadi menggunakan
terlalu banyak tenaga sehingga lukanya di dalam dada semakin parah.
Sementara itu, Cui-beng Kui-ong marah dan terkejut bukan main melihat tasbehnya putus berhamburan.
Dia melihat bahwa benda yang dilontarkan orang menangkis tasbehnya adalah arca singa di dalam kamar
tidur Pangeran Bouw yang kalau diputar menjadi pembuka pintu rahasia ruangan bawah tanah itu. Cepat
dia memutar tubuhnya dan berhadapan dengan Bu-beng-cu.
“Keparat, siapa engkau?” Cui-beng Kui-ong bertanya dengan suara galak karena dia marah sekali telah
kehilangan tasbehnya.
13.39. Kemesraan Hati Bu-beng-cu
“Cui-beng Kui-ong, engkau tidak perlu tahu aku siapa. Yang jelas aku adalah orang yang menentang
perbuatanmu yang kejam dan jahat! Karena itu, engkau lebih baik menyerah agar diadili, daripada engkau
mati konyol. Engkau tidak mungkin dapat melarikan diri keluar dari gedung ini!”
Diam-diam Bu-beng-cu menjadi terkejut dan merasa khawatir sekali ketika dia melihat Siang Lan rebah di
atas lantai, dekat tubuh Pangeran Bouw Ji Kong yang biarpun tidak kelihatan terluka namun melihat
keadaan wajahnya jelas sudah tewas. Dia melihat Siang Lan masih bernapas, akan tetapi pernapasannya
tersendat-sendat dan wajahnya pucat sekali. Bu-beng-cu yang sudah lama dapat menguasai nafsunafsunya
itu, melihat keadaan Siang Lan, tidak dapat menahan kemarahannya.
“Jahanam busuk engkau, Cui-beng Kui-ong!” bentaknya dan bagaikan seekor naga mengamuk, Bu-beng-cu
menerjang dengan pukulan tangan kanannya. Angin menyambar seperti badai ke arah Cui-beng Kui-ong,
membuat kakek itu terkejut bukan main karena dari pukulan ini saja maklumlah dia bahwa dia berhadapan
dengan seorang yang lihai bukan main, yang memiliki pukulan seperti halilintar menyambar dan
mengandung tenaga yang amat kuat. Dia tidak berani menyambut pukulan dahsyat ini dan cepat melompat
ke belakang mengelak.
“Blarrr......!” Dinding di belakangnya yang disambar angin pukulan itu tergetar hebat dan kalau tidak dilapisi
baja, tentu akan jebol. Demikian hebatnya pukulan yang dilontarkan Bu-beng-cu!
Karena ruangan bawah tanah itu kurang luas, Cui-beng Kui-ong yang mulai merasa gentar, cepat melompat
ke anak tangga dan melesat keluar, ke dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong yang lebih luas. Niatnya
kalau ada kesempatan, dia akan meloloskan diri.
Akan tetapi begitu tiba di dalam kamar, dari daun pintu dan jendela yang telah terbuka, dia melihat ratusan
orang perajurit dipimpin belasan orang perwira tinggi sudah mengepung kamar itu. Tidak mungkin dapat
melewati barisan yang demikian banyak. Maka dia menjadi nekat. Ketika mendengar gerakan Bu-beng-cu
yang sudah mengejarnya, dia membalik dan sinar merah meluncur dari tangannya ketika dia menggerakkan
kain merah yang ujungnya sudah terbabat putus oleh pedang Siang Lan tadi.
Bu-beng-cu dapat menduga bahwa seorang datuk besar golongan sesat seperti Cui-beng Kui-ong pasti
tidak menggunakan senjata sembarangan seperti sehelai kain merah biasa. Tentu kain itu mengandung
racun. Akan tetapi dia tidak merasa gentar dan dia bahkan menyambut serangan itu dengan menggerakkan
tangannya secepat kilat dan tahu-tahu kain merah itu telah dapat dia cengkeram!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Bu-beng-cu mempertahankan ketika Cui-beng Kui-ong berusaha menarik lepas kain itu. Terjadi tarik
menarik dan adu tenaga sakti melalui kain merah yang panjangnya tinggal sekitar lima kaki itu.
“Prettt......!!” Tiba-tiba kain merah itu putus bagian tengahnya dan uap merah mengepul. Akan tetapi Bubeng-
cu yang sudah waspada meniup dengan mulutnya sehingga uap merah itu menyambar ke arah muka
Cui-beng Kui-ong sendiri! Akan tetapi tentu saja Raja Iblis ini sudah menggunakan obat anti racun sehingga
uap merah yang mengenai mukanya tidak mempengaruhinya. Dia semakin marah. Kedua senjatanya telah
rusak.
Setelah membuang potongan kain merah itu, dia lalu menerjang ke arah lawan dengan kedua tangan
kosong. Bu-beng-cu menyambut dan kini kedua orang yang sama-sama lihainya itu bertanding dengan
tangan kosong. Seru dan hebat bukan main perkelahian di antara mereka. Para perwira tinggi yang nonton
dari luar, termasuk Panglima besar Chang Ku Cing yang datang kemudian, terbelalak menyaksikan
perkelahian tingkat tinggi yang membuat gedung itu seolah tergetar hebat.
Biarpun kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang sama, Cui-beng Kui-ong memiliki kelemahan
dibandingkan dengan lawannya. Dia sudah berusia hampir tujuhpuluh tahun sedangkan lawannya baru
berusia empatpuluh dua tahun, dan selama ini, Cui-beng Kui-ong hidup lebih banyak menuruti hawa
nafsunya, berbeda dengan Bu-beng-cu yang hidup bersih mengendalikan nafsunya sehingga keadaan
jiwanya lebih bersih daripada Cui-beng Kui-ong.
Hal ini didukung oleh tenaga saktinya yang murni dan datang dari kekuasaan Tuhan, tidak seperti Cui-beng
Kui-ong yang telah banyak mengandalkan tenaga sihir atau ilmu hitam yang datang dari kekuasaan setan
atau daya-daya rendah yang memperhambanya. Kekejaman dan pembunuhan yang sering dia lakukan
membuat jiwanya semakin bergelimang kekotoran.
Maka, setelah mereka bertanding sekitar limapuluh jurus, Cui-beng Kui-ong semakin panik. Dia tahu benar
bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, maka timbul akalnya yang memang selalu siap untuk
bertindak curang dan licik.
“Tahan dulu, aku mau bicara!” Cui-beng Kui-ong berseru.
Mendengar ini, untuk tidak melanggar etika dunia persilatan, Bu-beng-cu menahan gerakannya, siap
mendengarkan. Akan tetapi tiba-tiba, begitu dia menghentikan gerakan dan menahan tenaga saktinya,
tanpa diduganya, Cui-beng Kui-ong menerjang dengan amat cepat dan kuat!
Bu-beng-cu terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi sebuah pukulan telapak tangan kiri Cui-beng Kuiong
tetap mengenai pundaknya sehingga tubuhnya terjengkang. Dia masih dapat mencegah tubuhnya
terbanting, dengan berjungkir balik dan dia dapat berdiri, walaupun terhuyung ke belakang. Cui-beng Kuiong
tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lawannya sudah terluka, maka dia pun menubruk maju
sambil mendorongkan kedua telapak tangannya.
“Mampus kau!”
Bu-beng-cu menyambut dengan kedua telapak tangannya dan kini kedua telapak tangan mereka bertemu
dan melekat. Mereka saling dorong dan saling serang melalui kedua tangan mereka dengan mengerahkan
tenaga sakti mereka.
Kalau dilihat begitu, seolah-olah dua orang itu sedang main-main. Mereka berdiri dengan kedua lutut agak
ditekuk, kedua tangan dijulurkan ke depan dan dua pasang telapak tangan itu saling menempel, mata
mereka mencorong saling pandang dan tubuh mereka sama sekali tidak bergerak.
Dua orang perwira tinggi yang berdiri paling dekat di ambang pintu, melihat keadaan demikian itu, segera
melompat maju dan menyerang Cui-beng Kui-ong dari belakang. Seorang menusukkan pedangnya ke
punggung dan seorang lagi membacokkan pedangnya ke tengkuk kakek itu.
“Trak-trakkk!” Pedang-pedang itu seperti bertemu baja yang amat kuat dan bukan hanya dua batang
pedang itu patah, akan tetapi dua orang perwira itu terpental ke belakang dan roboh pingsan!
Kiranya pada saat itu, Cui-beng Kui-ong sedang mengerahkan seluruh tenaga sin-kang (tenaga sakti)
sehingga ketika dua orang perwira itu menyerangnya, tenaga dua orang perwira itu membalik dan selain
pedang mereka patah, juga tenaga mereka yang membalik itu menghantam diri mereka sendiri sebelah
dalam, membuat mereka roboh pingsan. Masih baik bahwa mereka memiliki tenaga yang tidak begitu besar
karena semakin besar tenaga serangan itu, semakin parah pula kalau tenaga itu membalik dan
menghantam diri sendiri!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Akan tetapi, gangguan ini membuat perhatian Cui-beng Kui-ong terbagi dan pada saat yang bersamaan,
Bu-beng-cu mengerahkan seluruh tenaga dan serangannya.
“Wuuuttt...... desss......!!” Tubuh Cui-beng Kui-ong terdorong ke belakang seperti disambar angin badai,
menabrak dinding kamar itu yang menjadi jebol dan dia pun roboh dan tewas!
Tanpa mempedulikan orang lain Bu-beng-cu segera melompat masuk ke pintu rahasia, menuruni tangga
dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi sambil memondong tubuh Siang Lan yang pingsan. Dia tidak
lupa membawa pedang Lui-kong-kiam milik gadis itu.
“Bu-beng-cu Tai-hiap (Pendekar Besar), kenapa Siang Lan itu dan hendak kaubawa ke mana?” Panglima
Chang Ku Cing bertanya dengan khawatir melihat keadaan Siang Lan terkulai lemas dengan muka sepucat
muka mayat.
“Thai-ciangkun, ia terluka parah dan akan saya bawa untuk saya obati. Maafkan saya!” Dia melompat
sambil memondong tubuh gadis itu dan cepat menghilang.
Panglima Chang diikuti para perwira tinggi lalu memasuki ruangan bawah tanah dan menemukan kaisar
dalam keadaan selamat dan sehat. Dengan girang mereka lalu memberi hormat dan mengantarkan kaisar
kembali ke istana. Tinggal keluarga Pangeran Bouw Ji Kong yang setelah tahu bahwa sang pangeran itu
tewas dalam ruangan bawah tanah, menangis sedih dan berkabung.
Siang Lan membuka kedua matanya. Ia agak bingung melihat betapa ia rebah di atas sebuah pembaringan,
dalam sebuah kamar yang tidak dikenalnya. Ia hendak bangkit walaupun tubuhnya terasa lemas.
“Jangan bangkit dulu, engkau masih lemah, Siang Lan.” terdengar suara yang amat dikenalnya. Ia menoleh
dan melihat Bu-beng-cu duduk bersila di atas lantai, yang ditilami tikar. Ada bantal pula di situ, menunjukkan
bahwa gurunya itu agaknya tidur di situ karena pembaringannya ia pakai tidur.
“Paman...... di mana aku? Apa yang telah terjadi......?” Ia bertanya, masih bingung.
“Tenanglah, Siang Lan. Bahaya maut yang mengancam dirimu telah lewat. Hawa beracun dalam tubuhmu
telah lenyap, hanya engkau masih lemah. Engkau berada dalam kamar penginapan Hok An yang kusewa,
ingat?”
Siang Lan teringat. Ia pernah berkunjung ke kamar ini. “Akan tetapi, apa yang terjadi, Paman? Seingatku,
aku rebah tertotok oleh A-kui, kakek setan yang lihai itu, dalam ruangan bawah tanah gedung Pangeran
Bouw Ji Kong. Ahh, kasihan Pangeran Bouw! Dia telah mengorbankan nyawa demi membela Sribaginda
Kaisar......”
“Benar, Siang Lan. Engkau terluka yang mengandung hawa beracun dan engkau pingsan ketika kubawa ke
sini. Tiga hari engkau tidak sadarkan diri di sini dan baru pagi ini engkau sadar.”
“Tiga hari? Aih, setelah aku pingsan di ruangan bawah tanah itu, lalu apa yang terjadi, Paman? Bagaimana
engkau dapat menemukan aku di sana dan membawaku ke sini? Ceritakanlah, Paman!”
“Baiklah, aku akan bercerita lebih dulu, nanti giliranmu menceritakan pengalamanmu. Tiga hari yang lalu,
kita berpencar. Engkau menyelidiki gedung Pangeran Bouw Ji Kong dan aku akan menemui Hwa Hwa
Hoat-su di penjara membawa surat perintah Panglima Chang yang kaudapatkan untukku.
“Nah, aku menemui Hwa Hwa Hoat-su dan aku berhasil memaksanya untuk mengaku siapa yang telah
menculik Sribaginda Kaisar. Dia tidak tahu pasti akan tetapi dapat memastikan bahwa yang dapat
melakukannya tentu Cui-beng Kui-ong, datuk paling terkenal di antara para tokoh Pek-lian-kauw. Akan
tetapi dia tidak tahu di mana Cui-beng Kui-ong bersembunyi dan di mana pula Sribaginda disembunyikan.
“Aku lalu cepat pergi menjelang pagi itu ke gedung Panglima Chang dan membicarakan hasil
penyelidikanku. Selagi kami berdua bicara, datang Nyonya Bouw yang menceritakan bahwa yang menculik
Sribaginda Kaisar adalah pelayannya yang bernama A-kui dan bahwa suaminya, Pangeran Bouw, juga
ditawannya. Ia menceritakan bahwa engkau datang pula hendak menolong Sribaginda. Mendengar itu, aku
segera menyusulmu ke sini karena aku tahu bahwa yang disebut A-kui itu tentu Cui-beng Kui-ong yang
amat lihai dan aku mengkhawatirkan dirimu.”
“Hemm, jadi setan tua yang mengaku A-kui itu adalah Cui-beng Kui-ong?” kata Siang Lan.
“Benar, dengan cerdiknya orang-orang Pek-lian-kauw dapat menyelundupkan dia ke kota raja, bukan itu
saja, bahkan berhasil membuat dia diterima sebagai seorang pelayan yang kelihatan setia kepada
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Pangeran Bouw Ji Kong. Ketika aku tiba di sana, aku melihat dia hendak membunuhmu dengan senjata
tasbehnya......”
“Ah, aku ingat sekarang! Seperti dalam mimpi saja! Aku melihatmu datang, Paman, aku memanggilmu
dan...... selanjutnya entah aku tidak ingat lagi.”
“Agaknya engkau jatuh pingsan, Siang Lan. Lukamu parah karena mengandung hawa beracun yang amat
jahat. Aku lalu berkelahi dengan Cui-beng Kui-ong. Dia lari keluar dari ruangan bawah tanah, kukejar dan
kami berkelahi di kamar Pangeran Bouw. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil merobohkannya. Dia
tewas terkena pukulannya sendiri yang membalik.
“Aku lalu memasuki ruangan bawah tanah dan membawamu ke sini. Kudorong keluar hawa beracun dari
dalam dadamu dengan pengerahan sin-kang dan setelah dua hari dua malam, barulah aku berhasil
membersihkan hawa beracun dari dalam tubuhmu. Begitulah ceritanya, Siang Lan.”
Dengan hati terharu Siang Lan memegang kedua tangan Bu-beng-cu yang menghampiri pembaringan
ketika ia memberi isyarat agar laki-laki itu mendekat.
“Paman, berulang kali engkau menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak ada engkau, sudah lama Nyo Siang
Lan tidak berada di dunia ini lagi.”
“Hushh, jangan bicara begitu, Siang Lan. Mati hidupnya setiap orang berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan
tidak menghendaki seseorang itu mati, siapa dan apa pun tidak mungkin dapat membunuhnya. Sebaliknya
kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, siapa dan apa pun tidak akan mampu mencegahnya! Jadi kalau
kebetulan aku datang menolongmu, itu adalah kehendak Tuhan.”
“Bukan kebetulan, Paman. Akan tetapi memang engkau selalu membela dan melindungi aku. Aih, budimu
sudah bertumpuk-tumpuk, Paman. Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikanmu itu.”
Wajah Bu-beng-cu menjadi merah. “Sudahlah, sekarang ceritakan pengalamanmu ketika menyelidiki
gedung Pangeran Bouw.”
Siang Lan lalu menceritakan apa yang dialaminya di gedung itu sampai ia melihat sikap A-kui terhadap
Nyonya Bouw sehingga akhirnya Nyonya Bouw memberitahu kepadanya bahwa A-kui telah menawan
Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw di dalam ruangan bawah tanah. Ia menceritakan betapa ia
bertanding melawan A-kui dan roboh terkena hawa beracun dan totokan kakek yang amat lihai itu.
“A-kui melihat sendiri betapa Pangeran Bouw membela Sribaginda dengan mati-matian. Dia bukan lawan
kakek itu akan tetapi aku tidak dapat bergerak. Aku melihat dia terbunuh.”
“Ah, sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw telah menerima hukuman dari
pengkhianatan dan pemberontakannya dan perbuatannya yang terakhir itu sedikit banyak telah menebus
dosanya terhadap Sribaginda Kaisar. Aku yakin bahwa setelah peristiwa itu, Sribaginda akan mengampuni
keluarganya dan mereka akan dibebaskan dari hukuman akibat pemberontakan Pangeran Bouw.”
“Kuharap begitu, Paman.” Siang Lan hendak bangkit duduk, akan tetapi kembali Bu-beng-cu mencegahnya.
“Jangan bangkit dulu, Siang Lan. Engkau sudah sembuh, akan tetapi badanmu masih lemah. Engkau perlu
minum obat penguat badan. Tinggallah di sini dulu, aku akan membelikan obat itu di toko obat.” Setelah
berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintu kamar dari luar.
Siang Lan rebah telentang dan termenung memikirkan Bu-beng-cu. Laki-laki itu terlalu baik kepadanya dan
kini ia semakin yakin bahwa ia mencintai Bu-beng-cu. Dan melihat semua perlindungan dan pembelaan
yang diberikan pria itu kepadanya, juga pemberian latihan ilmu silat yang dilakukan dengan sungguhsungguh,
ia hampir yakin bahwa sebenarnya Bu-beng-cu juga mencintanya.
Akan tetapi gambar wanita yang selalu dibawa-bawa Bu-beng-cu itu! Siapakah itu? Pria itu mengakui bahwa
itu adalah gambar seorang wanita yang teramat penting baginya. Walaupun dia tidak mengaku bahwa dia
mencinta wanita dalam gambar itu, namun Siang Lan sudah dapat menduganya. Bu-beng-cu tidak pernah
menikah, jadi gambar itu bukanlah gambar isterinya. Apakah itu gambar seorang kekasihnya dan dia
merasa malu untuk mengaku? Timbul keinginan yang besar sekali dalam hatinya untuk melihat gambar
wanita itu.
Ia menenangkan jantungnya yang berdebar, lalu menguatkan hati dan badannya, bangkit dan biarpun
dengan lemah, ia menghampiri almari yang berada di sudut kamar. Dibukanya almari itu. Tidak banyak
benda yang berada di dalamnya. Hanya buntalan pakaian dan...... gulungan gambar itu!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Dengan jari-jari tangan gemetar karena merasa bahwa ia mencuri, Siang Lan mengambil gambar itu lalu
membuka gulungannya. Ia memandang gambar seorang wanita dan sepasang matanya terbelalak, kedua
tangan yang memegang gambar menggigil sehingga gambar itu terlepas dari tangannya, bergulung kembali
dan menggelinding ke bawah meja.
Ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi, jantungnya berdebar penuh kejutan dan perasaan bahagia
memenuhi hatinya. Kemudian, setelah ia dapat menenangkan jantungnya yang berdebar, ia memungut lagi
gulungan gambar itu dan dibentangkannya, dipandangnya dengan teliti seolah ia belum percaya akan
penglihatannya sendiri. Gambar itu adalah lukisan seorang wanita, lukisan dirinya!
“Paman Bu-beng-cu!” Bibirnya berbisik dan senyum penuh kebahagiaan mengembang di bibirnya. Tidak
salah dugaannya. Bu-beng-cu mencinta dirinya! Ia adalah wanita yang amat penting itu, wanita yang
gambarnya selalu dibawa ke mana pun Bu-beng-cu pergi!
Bu-beng-cu mencintanya! Pengetahuan ini membuat cintanya terhadap pria itu semakin mendalam. Ia lalu
teringat bahwa Bu-beng-cu hendak menyembunyikan rahasia hatinya itu. Maka ia segera mengembalikan
gulungan gambar itu ke dalam almari, lalu ia merebahkan diri lagi, telentang di atas pembaringan dengan
perasaan yang demikian bahagianya sehingga ia lupa akan semua perasaan lemahnya dan ingin rasanya ia
menari dan bernyanyi!
Tak lama kemudian Bu-beng-cu membuka daun pintu kamar dari luar dan masuk. Dia melihat Siang Lan
merintih lirih, mengaduh sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.
“Aduh...... aduh......!” gadis itu mengerang kesakitan.
Bu-beng-cu melompat dekat pembaringan, duduk di tepi pembaringan dengan wajah kaget dan khawatir.
“Kenapa Siang Lan?”
“Kepalaku...... ah, kepalaku...... sakit sekali......”
Bu-beng-cu cepat memeriksa kepala gadis itu dengan kedua tangannya, meraba seluruh kepala,
merasakan denyutnya dengan ujung jari-jarinya dan terheran-heran karena dia tidak menemukan sesuatu
yang tidak beres.
“Bagaimana rasanya? Di bagian mana yang nyeri?” Bu-beng-cu bertanya penuh perhatian, sambil memijitmijit
kepala itu dengan sentuhan lembut.
“Ah...... semua sakit...... akan tetapi sekarang mendingan, terasa enak kalau dipijit-pijit......” kata Siang Lan
manja, namun suaranya masih terdengar seperti merintih. Mendengar ini, Bu-beng-cu lalu memijati kepala
Siang Lan dengan kedua tangannya, membuat gadis itu membuka dan memejamkan matanya karena
nikmat.
“Aduhh...... aduh......” Siang Lan mengerang dan kini ia menggerak-gerakkan kaki kirinya seolah kaki itu
kesakitan.
“Ah, apanya lagi yang nyeri?” Bu-beng-cu bertanya heran.
“Kakiku yang kiri...... aduh...... kakiku sakit sekali......” gadis itu merintih.
Bu-beng-cu cepat mengalihkan kedua tangannya, dari kepala kini pindah ke kaki kiri Siang Lan, memeriksa
dengan teliti. Akan tetapi, dia tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar.
“Maaf, harus kuperiksa dengan teliti!” katanya dan dia menggulung celana kiri itu ke atas sampai lutut. Jarijari
tangannya memijat dan mengurut, merasakan betapa lembut dan putih mulus betis kaki itu. Akan tetapi
lagi-lagi dia tidak menemukan apa-apa yang tidak beres. Dia memijat-mijat dan mengurut dengan lembut
dan perlahan-lahan Siang Lan berhenti mengeluh.
14.40. Lamaran Panglima Kerajaan Beng
“Apa sekarang sudah tidak nyeri lagi?” Dia bertanya.
“Sekarang sudah sembuh karena kau pijit dan urut, Paman. Terima kasih......” kata Siang Lan
menyembunyikan kegirangannya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Tentu saja ia tadi hanya berpura-pura untuk melihat bagaimana reaksi pria itu kalau ia merintih kesakitan.
Ternyata Bu-beng-cu memperhatikan dengan penuh kekhawatiran dan ini membuatnya bahagia sekali.
Ingin rasanya ia bangkit dan merangkul pria itu yang tidak ia ragukan lagi cintanya. Akan tetapi ia tidak mau
melakukannya.
Pertama, ia tidak mau membuat Bu-beng-cu menjadi malu karena rahasianya ketahuan olehnya dan kedua,
ia masih mempunyai ganjalan dalam hatinya, yaitu belum dapat membunuh musuh besarnya, yaitu Thian-te
Mo-ong. Kalau ia sudah dapat membunuh jahanam itu, baru ia akan mencurahkan seluruh perhatiannya
akan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu!
Bu-beng-cu menurunkan lagi gulungan celana Siang Lan itu dan karena dia merasa penasaran, sekali lagi
dia memeriksa keadaan tubuh Siang Lan akan tetapi dia mendapat kenyataan bahwa kesehatan tubuh
gadis itu sudah pulih dan tidak ada lagi gangguan apa pun kecuali masih lemah. Bu-beng-cu merasa aneh
akan tetapi sedikit pun dia tidak menaruh curiga atau menduga gadis itu berpura-pura. Biarpun terkadang
Siang Lan memperlihatkan perhatian kepadanya dan terkadang ada terpancar dalam matanya kekaguman
dan rasa suka, dia tetap tidak percaya dan tidak dapat menerima dalam akalnya bahwa gadis itu dapat jatuh
cinta kepadanya.
“Tunggu, aku masakkan obat ini untukmu, Siang Lan,” kata Bu-beng-cu, lalu dia pergi ke dapur rumah
penginapan itu untuk minta kepada pelayan memasakkan obat yang dibelinya dari toko obat.
Setelah dia meninggalkan kamar, Siang Lan rebah telentang sambil tersenyum bahagia. Pria itu sungguh
amat sayang kepadanya, begitu penuh perhatian dan tampak khawatir sekali ketika ia beraksi pura-pura
merasa sakit di kepalanya dan di kakinya. Pijatan dan belaiannya masih terasa olehnya, begitu lembut dan
hangat!
Ketika Bu-beng-cu memasuki kamar membawa semangkok obat, dengan taat Siang Lan meminumnya
sampai habis. Selama dua hari Siang Lan tinggal di kamar itu memulihkan tenaganya. Kalau malam Bubeng-
cu tidur di atas lantai bertilam tikar sehingga Siang Lan merasa tidak enak sekali. Diam-diam ia
semakin kagum karena Bu-beng-cu sedikit pun tidak memperlihatkan sikap kurang sopan terhadap dirinya.
Padahal ia sudah tidur sekamar selama lima malam!
Pada keesokan harinya setelah selama dua hari minum obat penguat dan merasa kekuatannya pulih
kembali, Bu-beng-cu tahu-tahu tidak berada dalam kamarnya. Sepucuk suratnya berada di atas meja
dengan pemberitahuan bahwa dia hendak pulang lebih dulu karena Siang Lan sudah sembuh dan tidak ada
urusan lagi baginya di kota raja.
Siang Lan termenung duduk di atas kursi sambil memegangi surat itu. Tiba-tiba saja ia merasa begitu
kesepian sehingga rasanya ingin ia berteriak dan menangis! Segala sesuatu tampak demikian hambar dan
tidak menyenangkan setelah Bu-beng-cu tidak berada didekatnya!
Ia pun mengambil keputusan tegas. Hari itu juga ia harus pulang agar dapat berada di tempat yang dekat
dengan Bu-beng-cu. Apalagi Bu-beng-cu sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang terakhir,
memperkuat tenaga sakti dan mengajarkan pukulan Thai-lek-sin-ciang (Tenaga Sakti Tenaga besar).
Menurut keterangan Bu-beng-cu, kalau ia sudah menguasainya, besar kemungkinan ia akan mampu
mengalahkan musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Ia harus segera pulang ke Ban-hwa-kok, Lembah
Selaksa Bunga yang menjadi tempat tinggalnya itu dan mempelajari ilmu yang dijanjikan Bu-beng-cu
kepadanya.
Setelah berkemas dan mendapat penjelasan pelayan rumah penginapan bahwa sewa kamar telah dibayar
oleh Bu-beng-cu, Siang Lan lalu pergi ke rumah gedung Pangeran Sim Liok Ong, ayah Sim Tek Kun. Ia
berpamit kepada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang merasa gembira melihat gadis itu dalam keadaan
sehat dan selamat.
Setelah berpamit, Siang Lan lalu berangkat pulang, meninggalkan kota raja menuju ke Lembah Selaksa
Bunga. Akan tetapi, di tengah perjalanan sebelum meninggalkan kota raja, Panglima besar Chang Ku Cing
menghadangnya dan menyampaikan perintah kaisar yang mengundang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan
agar datang menghadap Sribaginda Kaisar!
Biarpun tidak ingin menghadap, terpaksa Siang Lan tidak berani menolak dan ia ditemani panglima Chang
menuju ke istana menghadap Sribaginda Kaisar Wan Li.
Kaisar menerimanya dengan ramah dan memuji-muji kegagahan Siang Lan yang begitu berani berusaha
menyelamatkan Sribaginda dari sekapan Cui-beng Kui-ong sehingga mengorbankan diri sendiri roboh dan
dunia-kangouw.blogspot.co.id
terluka oleh kakek iblis itu. Juga Kaisar berterima kasih dan hendak memberi hadiah yang boleh dipilih
sendiri oleh Siang Lan, yaitu pangkat tinggi atau harta benda.
Siang Lan yang cerdik tidak menginginkan hadiah pangkat tinggi atau harta benda. Ia hanya mohon kepada
Kaisar agar diberi hak memiliki Bukit Ban-hwa-san di daerah Pegunungan Lu-liang-san. Kaisar memenuhi
permintaannya dan memerintahkan Menteri Urusan Tanah untuk membuatkan pernyataan hal milik itu
kepada Siang Lan. Di samping itu, juga Kaisar memberi sekantung emas yang tidak dapat ditolak oleh
Siang Lan.
Setelah meninggalkan istana, Panglima Chang Ku Cing minta kepada Siang Lan untuk singgah di
gedungnya dan di sini panglima Chang bersama isterinya secara langsung meminang Siang Lan untuk
dijodohkan dengan keponakan panglima itu, ialah Chang Hong Bu.
“Keponakan kami itu, Chang Hong Bu. sudah berusia duapuluh lima tahun dan sudah cukup dewasa untuk
berumah tangga. Kami lihat engkau juga sudah cukup dewasa dan engkau sudah mengenal baik
keponakan kami itu. Hong Bu juga dengan terus terang mengaku kepada kami bahwa dia mencintamu,
Siang Lan. Karena itu, dalam kesempatan ini kami berani mengajukan usul perjodohan ini kepadamu,
sekiranya engkau belum......”
“Thai-ciangkun, saya sudah mempunyai seorang calon suami!” Siang Lan memotong singkat.
“Ah......?” Suami isteri itu terkejut dan kecewa. “Mengapa Hong Bu tidak menceritakan kepada kami?”
“Dia memang tidak mengetahui, Paman.”
“Hemm, kalau boleh kami mengetahui, siapakah calon suamimu yang berbahagia itu?”
“Dia...... dia adalah Bu-beng-cu.” Siang Lan berkata demikian bukan hanya karena memang benar ia dan
Bu-beng-cu saling mencinta, akan tetapi terutama sekali agar panglima dan isterinya tidak bicara lagi
tentang perjodohan yang mereka usulkan itu. Panglima Chang Ku Cing dan isterinya tampak kecewa sekali,
akan tetapi tentu saja mereka tidak berani lagi menyinggung urusan pinangan mereka yang otomatis tidak
mungkin dilanjutkan.
Setelah meninggalkan kota raja, Siang Lan melakukan perjalanan cepat. Dalam perjalanan itu ia melamun.
Ia memang sudah tahu bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Sebetulnya, memiliki calon suami
seperti Chang Hong Bu amatlah menyenangkan dan membanggakan.
Pemuda itu tampan gagah dan berbudi baik, seorang pendekar sejati. Selain itu, juga dia keponakan
Panglima Chang Ku Cing yang terkenal bijaksana. Gadis mana yang tidak akan bangga mempunyai suami
seperti Chang Hong Bu? Akan tetapi kalau ia mengingat keadaan dirinya yang sudah bukan perawan lagi, ia
merasa ngeri membayangkan Hong Bu menolaknya setelah mengetahui keadaan dirinya!
Dan penolakan itu akan membuat ia merasa terhina dan mungkin ia akan membunuh Hong Bu kalau
pemuda itu menolaknya karena ia bukan perawan lagi! Lebih baik dari sekarang menolak pinangan itu
daripada kelak ada kemungkinan terjadi hal itu.
Sebaliknya, Bu-beng-cu telah tahu bahwa ia bukan perawan lagi. Ia telah menceritakan kepadanya, namun
biarpun sudah mengetahui keadaan dirinya, tetap saja Bu-beng-cu mencintainya. Dia melindunginya,
membelanya, mengajarkan ilmu-ilmunya kepadanya, bahkan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia
tidak meragukan lagi cinta Bu-beng-cu kepadanya, bukan hanya terbukti dari sikapnya, melainkan juga dari
gambarnya yang dibawa ke mana pun dia pergi!
“Paman Bu-beng-cu......!” Ia berbisik, sama sekali tidak merasa janggal bahwa ia jatuh cinta kepada seorang
laki-laki yang jauh lebih tua daripadanya sehingga ia menyebutnya paman. Ia segera mempercepat larinya
agar dapat segera tiba di Ban-hwa-san atau lebih tepat lagi, agar dapat segera bertemu dengan Bu-bengcu.
Kui Li Ai duduk seorang diri di antara ratusan bunga di taman yang diatur dan dipeliharanya sendiri di
bagian belakang rumah induk di perkampungan Ban-hwa-kok. Biasanya, kalau ia duduk seorang diri sambil
menikmati keindahan bunga-bunga itu, ia merasa berbahagia sekali. Akan tetapi pagi hari ini ia tampak tidak
gembira, bahkan sejak tadi termenung.
Ia teringat akan keadaan dirinya dan merasa betapa kesialan menimpa dirinya secara bertubi-tubi. Gadis
yang usianya baru kurang dari duapuluh tahun itu, yang tubuhnya tinggi ramping, dengan kulit putih mulus,
wajahnya manis sekali dengan bentuk bulat dan sepasang matanya lebar bersinar seperti sepasang
bintang, kini tampak agak murung.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Betapa ia tidak akan sedih kalau mengingat masa lalunya. Ayahnya membunuh diri untuk menebus
kesalahan telah membebaskan orang-orang Pek-lian-kauw yang ditawan pemerintah. Baru saja ayahnya
membunuh diri karena kesalahan yang terpaksa dilakukan untuk membebaskan dirinya yang ditawan orangorang
Pek-lian-kauw, ia sendiri diperkosa oleh dua orang Pek-lian-kauw.
Peristiwa kedua ini saja sudah membuat ia putus asa dan tentu ia telah membunuh diri kalau tidak dicegah
oleh Hwe-thian Mo-li yang menolongnya dan yang membunuh dua orang Pek-lian-kauw yang
memperkosanya. Kemudian, dua peristiwa yang menghancurkan hatinya ini disambung dengan sikap ibu
tirinya yang menghina dan menyalahkannya, dikatakan bahwa ia penyebab kematian ayahnya. Sikap ibu
tirinya ini yang kemudian dihajar oleh Hwe-thian Mo-li membuat ia tidak mungkin dapat tinggal di rumah
ayahnya yang kini dikuasai oleh ibu tirinya. Ia lalu ikut Hwe-thian Mo-li dan tinggal di Ban-hwa-kok.
Kemudian menyusul lagi peristiwa yang menyakitkan hatinya. Bong Kongcu atau nama lengkapnya Bong
Kim, pemuda hartawan di kota raja, yang sejak dulu tampak mencintanya, oleh Hwe-thian Mo-li didesak
untuk melamarnya. Biarpun ia tidak bisa mengatakan cinta kepada pemuda itu, hanya rasa suka karena
pemuda itu amat memperhatikannya, bersedia menerima lamarannya.
Ketika Bong Kim datang melamar dan ia mengaku bahwa dirinya telah diperkosa orang, pemuda itu berbalik
menghinanya dan hanya akan mengambilnya sebagai selir. Hwe-thian Mo-li menghajar pemuda itu dan
kembali Li Ai menderita tekanan batin yang hebat. Berturut-turut dan bertubi-tubi kesialan hidup menimpa
dirinya.
Sekarang ia merasa terhibur dan senang hidup di Ban-hwa-san bersama Hwe-thian Mo-li dan anak buah
Ban-hwa-pang. Akan tetapi muncul Bouw Cu An, putera seorang pangeran yang jatuh cinta kepadanya.
Dan, baru sekali ini selama hidupnya Li Ai juga jatuh cinta kepada seorang pemuda.
Ia mencinta Bouw Cu An dan mereka berdua sudah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta.
Bahkan ketika Bouw Cu An hendak meninggalkan Lembah Selaksa Bunga, mereka sudah saling menukar
tanda mata. Bouw Cu An memberi sebuah kantung bersulam kupu-kupu yang indah, sedangkan pemuda itu
memilih tusuk sanggul rambutnya berupa bunga teratai sebagai tanda mata. Biarpun tidak terucapkan,
pemberian tanda mata itu bagi mereka mempunyai arti yang khusus, yaitu bahwa mereka saling mencinta
dan secara batiniah saling terikat satu sama lain!
Li Ai menghela napas panjang dan membelai kantung bersulam kupu-kupu indah yang sejak tadi
dipegangnya, Bagaimana mungkin ia dapat berjodoh dengan putera pangeran itu? Ia sudah ternoda. Kalau
kelak Bouw Cu An mendengar bahwa ia bukan perawan lagi, apakah pemuda itu dapat menerimanya?
Apakah dia tidak akan memandangnya rendah dan menghinanya seperti yang pernah dilakukan Bong Kim,
pemuda hartawan dari kota raja itu?
Penghinaan dari Bong Kim itu hanya membuatnya marah, akan tetapi kalau sampai Bouw Cu An menolak
dan menghinanya, ia tidak akan sanggup menerimanya. Hatinya akan hancur dan hidup tidak ada artinya
lagi baginya karena ia sungguh mencinta pemuda itu!
Tidak, lebih baik hubungan itu diputuskan sekarang yang hanya mengakibatkan kecewa dan duka. Kalau
putus karena pemuda itu mengetahui keadaannya, menolak dan menghinanya, akibatnya akan terlalu berat
dan hebat baginya.
“Tidak ini tidak boleh terjadi. Tidaaakk......!” Ucapan “tidak” yang terakhir itu keluar sebagai jeritan hati yang
terucapkan oleh mulutnya.
“Heii, apanya yang tidak, Moi-moi?” tiba-tiba terdengar suara laki-laki.
Li Ai terkejut dan cepat menoleh ke belakang dan...... ia melihat Bouw Cu An melangkah menghampirinya!
Cepat ia menyelipkan kantung bersulam itu ke ikat pinggangnya dan bangkit berdiri, menyongsong
kedatangan pemuda itu.
“Koko!” Li Ai berseru dan girang bukan main. “Eh, bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul di sini?
Bagaimana dapat melalui jebakan-jebakan rahasia kami?”
Cu An tersenyum. “Untung sekali di bawah sana aku bertemu dengan seorang anggauta Ban-hwa-pang
yang telah mengenal aku maka ia mau menjadi penunjuk jalan sehingga aku dapat naik ke sini, Ai-moi.”
“Mari kita masuk dan bicara di dalam rumah, An-ko.”
“Tidak, Moi-moi. Keadaan di sini sungguh indah dan hawanya begini sejuk dan cerah. Aku ingin bicara
denganmu di sini saja.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Duduklah, An-ko.” Li Ai mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku panjang dan ia duduk di
sebelahnya, agak jauh. “Ada apakah, An-ko? Aku melihat ada sesuatu yang membuatmu seperti orang
bersedih.”
Memang gadis itu melihat biarpun mulut pemuda itu tersenyum namun pandang matanya seperti orang
sedang berduka, sinar mata itu sayu.
Cu An menghela napas panjang. Dia lalu dengan terus terang menceritakan tentang pemberontakan
ayahnya sampai akhirnya ayahnya berhasil dibujuknya dan berbalik menjebak para sekutunya sehingga
pemberontakan itu dapat dihancurkan.
“Aku merasa malu sekali, Moi-moi, mengapa Ayahku sampai melakukan pengkhianatan dan
pemberontakan, padahal dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai penasihat Kaisar dalam
hubungan pemerintah dengan suku-suku asing dan luar negeri.”
Suasana menjadi hening setelah Cu An menceritakan keadaan ayahnya dengan panjang lebar. Ketika Li Ai
memandang wajah pemuda itu yang kini tampak sedih sekali, ia merasa terharu dan berkata menghibur.
“An-ko, sudahlah jangan terlalu bersedih. Setidaknya ayahmu telah menyesal dan menyadari kesalahannya,
bahkan memperlihatkan penyesalannya dengan membantu pemerintah menjebak para sekutu pemberontak
sehingga dapat dihancurkan. Hal itu merupakan hiburan besar bagimu, Koko.”
“Benar memang, Moi-moi. Akan tetapi apa artinya perbuatan Ayahku itu kalau dibandingkan dengan dosadosanya?
Dialah yang mendalangi terbunuhnya enam orang pembesar yang baik dan setia kepada
Sribaginda Kaisar. Ah, aku malu sekali, Moi-moi.''
“Sudahlah, An-ko. Setelah Ayahmu berhasil membantu pemerintah menumpas pemberontak dan seperti
kauceritakan tadi, engkau dan gurumu Ouw-yang Sian-jin membantu pula, mengapa sekarang engkau
meninggalkan kota raja dan datang ke sini? Bukan aku tidak senang engkau datang berkunjung, akan tetapi
kenapa Enci Siang Lan belum pulang?”
“Hwe-thian Mo-li tentu masih banyak urusan di sana dan aku sengaja datang ke sini untuk menemuimu, Aimoi.
Aku ingin menceritakan semua ini kepadamu dan sekalian mengucapkan selamat tinggal dan selamat
berpisah untuk selamanya......” suaranya gemetar.
Mendengar ini, saking kagetnya, wajah Li Ai menjadi pucat dan tanpa disadarinya ia memegang lengan
pemuda itu erat-erat sambil menatap wajahnya.
“Koko, mengapa engkau mengucapkan selamat tinggal? Apa maksudmu......?” Gadis itu memandang
dengan khawatir sekali.
Bouw Cu An diam sejenak, agaknya seperti mengumpulkan kekuatannya karena dia tenggelam dalam
kesedihan. Kemudian dengan suara lirih dan gemetar dia berkata.
“Moi-moi...... aku...... aku sungguh malu sekali kepadamu. Engkau puteri seorang pahlawan yang patriotik
sedangkan aku...... aku hanya anak seorang pengkhianat, seorang pemberontak......” Cu An bangkit berdiri
dan memutar tubuhnya untuk menyembunyikan air matanya yang menitik turun ke atas pipinya. “Aku......
aku...... tidak pantas berdekatan denganmu, tidak pantas menjadi sahabatmu...... apalagi ...... menjadi......
ah, aku tidak boleh mencintaimu......”
Li Ai merasa terharu sekali. Ia maklum bahwa pemuda itu menangis dan hendak menyembunyikan
tangisnya. Hal dapat ia ketahui dari suaranya dan pemuda itu mengangkat tangan ke muka, tentu untuk
menghapus air matanya. Li Ai merasa terharu dan tanpa terasa lagi ia pun mencucurkan air mata.
“Tidak, Koko...... mendiang Ayahku juga melakukan kesalahan! Ayahku juga pernah membebaskan
tawanan......”
“Akan tetapi beliau melakukannya untuk menyelamatkanmu dan telah ditebusnya dengan nyawanya.
Sedangkan Ayahku...... dia memberontak untuk mencari kedudukan, untuk dirinya sendiri......”
“Akan tetapi Ayahmu juga sudah insaf dan membantu pemerintah membasmi para pemberontak.”
“Jangan membela Ayahku, Moi-moi, aku...... aku merasa rendah dan hina sebagai anak pengkhianat yang
akan selalu dikutuk. Aku tidak berhak dan tidak boleh mendekatimu...... engkau akan ikut tercemar...... aku
tidak layak menjadi...... menjadi......” Cu An tidak dapat melanjutkan, lalu menjatuhkan diri duduk di atas
bangku dengan tubuh lemas dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Li Ai tidak dapat menahan keharuan dan kesedihannya mendengar ucapan itu. Ia memegang lengan
pemuda itu dan memaksanya berputar sehingga mereka saling berhadapan. Dengan air mata membasahi
sepasang matanya dan mengalir menuruni sepasang pipinya yang agak pucat, Li Ai berkata.
“Koko, jangan berkata begitu. Aku tetap menghormatimu karena engkau memang layak dihormati. Jangan
bilang engkau tidak pantas. Akulah yang tidak pantas mendekati. Akulah gadis yang hina......”
14.41. Aku...... Bukan Perawan Lagi!
“Moi-moi!” Cu An berseru kaget.
“Benar, Koko...... dengarlah baik-baik, akulah yang tidak layak mendapat cintamu, tidak pantas
mencintamu...... aku sama sekali tidak berharga untuk menjadi sisihanmu...... aku adalah seorang gadis
yang sudah ternoda, aku...... aku bukan perawan lagi...... aku telah diperkosa orang......”
Tiba-tiba Cu An bangkit berdiri, mukanya merah karena marah sehingga Li Ai merasa hancur hatinya
karena ia mengira bahwa seperti juga Bong Kim dahulu, pemuda itu pun akan memandang rendah dan
menghinanya, maka ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu.
“Siapa dia? Katakan, Ai-moi, siapa laki-laki yang melakukan perbuatan biadab itu? Cepat katakan, sekarang
juga akan kuhancurkan kepalanya si jahanam terkutuk itu!!”
Mendengar betapa pemuda itu marah kepada si pemerkosa dan tidak memandang rendah atau
menghinanya, Li Ai menahan tangisnya dan berani memandang muka pemuda itu dengan muka pucat yang
basah air mata, lalu berkata lirih diseling isak.
“Mereka...... adalah dua orang...... Pek-lian-kauw...... akan tetapi mereka...... sudah dibunuh oleh Enci Siang
Lan......”
Cu An menarik napas panjang, tampak lega mendengar ini.
“Aah, kalau begitu, dendam sakit hatimu telah terbalas impas, Ai-moi. Mengapa engkau masih juga
bersedih?”
“...... akan tetapi...... aku...... aku sudah ternoda...... terlalu hina untukmu, An-ko......”
“Uhh, siapa bilang? Engkau sama sekali tidak bersalah. Engkau dipaksa dan engkau sama sekali tidak hina
bagiku!”
“Tapi...... tapi...... aku...... bukan perawan lagi......” Li Ai menangis.
Cu An bergerak maju dan merangkul gadis itu. Meledaklah tangis gadis itu sehingga terisak-isak dan ia
tidak mampu bicara lagi. Cu An mendekap muka gadis itu ke dadanya sehingga air mata Li Ai membasahi
dada bajunya, menembus baju bahkan seolah menembus kulit dadanya dan menyejukan hatinya.
“Li Ai, kaukira aku ini laki-laki macam apa? Aku bukan hanya mencintai keperawananmu. Aku sayang kamu,
aku cinta kamu lahir batin, bukan hanya mencinta badanmu melainkan engkau seluruhnya. Engkau sama
sekali tidak hina bagiku, engkau tetap bersih, tetap murni dan aku bahkan semakin mencintamu. Li Ai,
jawablah, maukah engkau menjadi teman hidupku selamanya, menjadi isteriku, isteri seorang anak
pangeran pemberontak?”
“Koko Bouw Cu An......!” Saking bahagia dan terharunya mendengar ucapan itu, Li Ai tiba-tiba terkulai dan
cepat ia merangkul pinggang pemuda itu. Kalau Cu An tidak memeluknya erat, mungkin ia akan jatuh
terguling. Ia hampir pingsan dan menjadi lemas dalam pelukan Cu An.
“Moi-moi, jangan khawatir, aku akan melindungimu dan menyayangmu selamanya,” bisik Cu An sambil
mendekap kepala itu erat-erat seolah hendak memasukan gadis itu ke dalam dirinya sehingga mereka tidak
akan dapat saling berpisah lagi.
Cinta sejati memang indah karena cinta seperti ini merupakan kasih sayang yang murni, sebagai pijar dari
api kasih yang datang dari Tuhan. Cinta kasih seperti ini bebas dari keinginan untuk menyenangkan diri
sendiri. Semua diperuntukkan orang yang dikasihi, demi kebahagiaan orang yang dikasihi, dan cinta seperti
ini baru dapat dirasakan kalau diri sendiri tidak diperbudak oleh nafsu dan pementingan diri sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Sebaliknya, cinta yang sepenuhnya didorong oleh nafsu hanya mementingkan diri sendiri, hanya bertujuan
untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau diri sendiri tidak lagi mendapat kesenangan dari orang yang dicintai,
maka cinta itu akan berubah, lenyap atau bahkan berbalik menjadi benci.
Bukan berarti bahwa cinta sejati tidak mengenal nafsu berahi. Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi
sudah ada pada setiap orang manusia yang sehat dan wajar. Hanya bedanya, dalam cinta kasih sejati itu
nafsu berahi menjadi pelayan kita. Sebaliknya dalam cinta nafsu, nafsu berahi menjadi majikan kita.
Cinta kasih yang berada dalam diri Bouw Cu An dan Kui Li Ai adalah contoh cinta sejati. Cinta seperti ini
adanya hanya keinginan untuk saling membahagiakan.
Sampai lama mereka saling rangkul dengan ketat seolah telah menjadi satu, lupa tempat dan waktu,
bahkan lupa akan diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara batuk seorang wanita. Suara ini cukup untuk menarik kedua orang yang sedang
asyik-masyuk itu ke dalam sadar. Mereka menengok dan melihat bahwa di situ telah berdiri seorang wanita
dengan sikap hormat dan ragu. Wanita itu adalah Bwe Kiok Hwa, kepala pembantu dan murid tertua di Banhwa-
kok yang usianya sudah tigapuluh satu tahun.
Melihat Bwe Kiok Hwa, kedua orang muda itu saling melepaskan rangkulan dan wajah keduanya berubah
kemerahan.
“Eh, Enci Bwe Kiok Hwa......” kata Li Ai.
Bwe Kiok Hwa tampak ragu dan sungkan. “Nona Kui Li Ai...... saya kira engkau sudah tahu akan
peraturannya......”
Li Ai mengangguk. “Aku tahu dan mengerti, Enci kiok Hwa. Jangan khawatir, aku yang akan laporkan
kepada Enci Nyo Siang Lan kalau ia pulang.”
Bwe Kiok Hwa mengangguk. “Maaf, bukan maksud saya untuk mengganggu.” Setelah memberi hormat
kepada sepasang orang muda itu, ia lalu pergi.
“Ai-moi, apa sih artinya ucapanmu kepadanya tadi?” tanya Bouw Cu An.
“Begini, An-ko. Setelah Enci Siang Lan menjadi pemimpin Ban-hwa-pang yang anggautanya semua wanita,
yang tidak menikah, ia mengadakan peraturan bahwa siapa yang menikah harus keluar dari Ban-hwa-kok.
Setiap orang anggauta Ban-hwa-kok tidak boleh bergaul dengan pria kalau tidak akan menjadi suami isteri,
dan kalau ada pria yang berani mempermainkan anggauta Ban-hwa-pang, akan dibunuh. Maka setelah tadi
Enci Bwe Kiok Hwa melihat kita, ia peringatkan padaku tentang peraturan itu. Akan tetapi, kita tidak perlu
khawatir, bukan, An-ko?”
Cu An tersenyum dan memegang kedua tangan kekasihnya. “Tentu saja tidak, Moi-moi. Kita berdua tidak
main-main, dan aku akan memberitahu orang tuaku agar mengajukan pinangan secara resmi. Akan tetapi,
karena...... Ayah dan Ibu kandungmu telah tiada, kepada siapakah orang tuaku harus mengajukan lamaran?
Menurut ceritamu, tentu engkau tidak ingin orang tuaku melamar kepada ibu tirimu, bukan?”
“Aih, jangan! Aku tidak sudi dinikahkan oleh wanita berengsek itu! Kalau orang tuamu datang melamar,
kuminta agar melamar kepada Enci Nyo Siang Lan, karena ialah yang kini menjadi waliku, kakak angkatku,
juga guruku.”
“Bagus, kalau begitu, aku akan menanti di sini sampai ia datang. Bolehkah aku bermalam di sini, Ai-moi?”
“Tentu saja boleh, An-ko, akan tetapi di kamar tersendiri, kamar tamu.”
“Tentu saja! Aku belum gila untuk minta sekamar denganmu, Moi-moi!”
“Aih, bukan begitu maksudku.” Li Ai tertawa senang karena kelakar itu menunjukkan penghormatan dan
penghargaan yang tersembunyi. “Akan tetapi sebetulnya ini melanggar peraturan, akan tetapi......”
“Kalau begitu, biar aku bermalam di kaki bukit saja, Ai-moi. Jangan sampai engkau mendapat marah dari
Hwe-thian Mo-li!”
“Tidak, An-ko. Kalau aku membiarkanmu bermalam di kaki bukit, di tempat terbuka, aku malah pasti akan
ditegur Enci Siang Lan. Engkau boleh bermalam di sini atas tanggunganku, hanya saja, engkau tidak boleh
keluar dari rumah induk, paling jauh engkau hanya boleh memasuki tempat ini.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Cu An tersenyum. “Baiklah, aku akan menaati peraturan Ban-hwa-pang. Tidak apa dikeram dalam rumah
asal setiap hari dapat melihatmu!”
Demikianlah, dengan hati berbunga-bunga sepasang kekasih itu lalu memasuki rumah induk dan Li Ai lalu
mempersiapkan kamar tamu yang berada di bagian belakang untuk Bouw Cu An. Kepada Bwe Kiok Hwa
dan para anggauta Ban-hwa-pang lainnya Li Ai mengaku terus terang bahwa pemuda itu adalah
tunangannya calon suaminya yang menanti kembalinya ketua mereka dan akan sementara tinggal di situ
sampai Hwe-thian Mo-li pulang. Ia yang akan bertanggung jawab kalau ketua mereka marah. Karena baik Li
Ai maupun Cu An bersikap wajar dan sopan, menjaga sikap mereka satu sama lain tetap sopan dan tidak
memperlihatkan cinta mereka secara mencolok, maka para anggauta Ban-hwa-pang merasa tenang dan
tetap menghormati sepasang kekasih ini.
Kasih yang mendasari satu saja keinginan yaitu membahagiakan orang yang dikasihi sungguh
mendatangkan perasaan yang luar biasa. Melihat kebahagiaan terpancar pada sinar mata dan senyum di
wajah kekasihnya membuat mereka merasa luar biasa senang dan bahagianya. Karena itu, dengan hanya
saling pandang tanpa ungkapan dengan sentuhan atau kata-kata cinta karena hendak menjaga kesopanan
dalam pandangan para anggauta Ban-hwa-pang, bagi mereka berdua lebih dari cukup. Senyum di bibir
sang kekasih seolah menambah keindahan segala sesuatu yang tampak, menambah hangat dan cerahnya
sinar matahari, menambah indah dan harum bunga-bunga di taman dan hati mereka diliputi kebahagiaan
yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Dua minggu kemudian Siang Lan pulang. Ketika para anggauta Ban-hwa-pang menyambut di lereng bukit,
tak seorang pun dari mereka berani memberitahu akan kehadiran Cu An yang sudah dua minggu menjadi
tamu di rumah induk yang menjadi tempat tinggal Ketua Ban-hwa-pang itu.
Ketika Siang Lan tiba di rumah dan disambut oleh Li Ai dan Cu An, ia agak terkejut dan merasa heran
karena ia mengenal pemuda itu yang telah menjadi murid Ouw-yang Sianjin. Ia pun tahu bahwa pemuda itu
adalah putera Pangeran Bouw Ji Kong.
“Hei, bukankah engkau Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong? Setelah pemberontakan dapat
dipadamkan berkat bantuan Ayahmu, mengapa engkau pergi menghilang dan kini tahu-tahu berada di sini?”
Siang Lan bertanya, suaranya mengandung teguran karena pemuda itu menjauhkan diri sehingga tidak tahu
akan malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.
“Aku...... aku ikut dengan suhu Ouw-yang Sianjin......” kata Cu An, agak canggung mendengar teguran Hwethian
Mo-li.
“Enci Siang Lan, sebelum engkau nanti mengetahui dan marah-marah kepada Koko Bouw Cu An,
sebaiknya aku lebih dulu mengaku kepadamu bahwa dia sudah tinggal di sini selama dua minggu untuk
menunggumu pulang dan akulah yang menanggung dan bertanggung jawab, yang minta dia tinggal di sini
selama ini, maka akulah yang melanggar peraturan dan aku siap menerima hukuman.”
“Aih-aih, mengapa engkau begini nekat, Li Ai?” Siang Lan bertanya heran karena setelah ia mengalami
perkosaan kemudian dihina oleh Bong Kim, Li Ai seolah menjadi pembenci laki-laki.
“Karena...... karena kami berdua ahh......” sukar bagi Li Ai untuk mengaku saling mencinta dengan Cu An.
Melihat kekasihnya kebingungan, Cu An segera membantu.
“Pang-cu......”
Siang Lan tidak merasa aneh dipanggil Pang-cu (ketua) karena ia memang merupakan Pang-cu dari Banhwa-
pang.
“Terus terang saja, Adik Kui Li Ai dan aku saling mencinta dan kita merencanakan perjodohan. Karena yang
menjadi walinya, menurut pengakuan Adik Li Ai adalah engkau, maka aku sengaja menanti engkau pulang
agar kalau engkau sudah setuju, aku akan minta kepada orang tuaku untuk mengirim lamaran resmi
kepadamu.”
Siang Lan membelalakkan kedua matanya, bukan marah melainkan heran dan juga ragu. Ia memandang
kepada Li Ai yang menundukkan mukanya sambil tersenyum malu-malu.
“Akan tetapi engkau, Li Ai......”
“Jangan khawatir, Enci Siang Lan. Aku telah menceritakan dan mengaku terus terang kepada An-ko tentang
malapetaka yang menimpa diriku, bahwa aku telah diperkosa dua orang Pek-lian-kauw yang kaubunuh itu.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Kini wajah Siang Lan berseri karena ia merasa gembira sekali mendengar keterangan Li Ai itu. Ia
memandang kepada pemuda itu dengan kagum dan bertanya.
“Bouw Kongcu, benarkah engkau rela dan mau menerima Li Ai sebagai calon isterimu setelah ia......”
“Pang-cu, aku bahkan merasa kasihan dan semakin cinta kepada Li Ai, sama sekali tidak memandang
rendah. Yang kucinta adalah manusianya, pribadinya bukan hanya jasmaninya. Cinta itu bagiku urusan hati,
bukan sekedar urusan jasmani. Pula, kalau mau bicara tentang kerendahan dan kehinaan, akulah yang
rendah dan hina, tidak sepadan dengan Adik Li Ai. Ia puteri seorang pahlawan, sebaliknya aku hanya anak
seorang pengkhianat dan pemberontak.”
“Hushh! Jangan sekali-kali kau ulangi kata-katamu itu, Bouw Cu An!” Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan
membentak sehingga Cu An dan Li Ai memandang kaget. “Biarpun pernah melakukan kesalahan besar,
namun akhirnya mendiang Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang pahlawan besar!”
Wajah Cu An berubah pucat sekali. Biarpun hatinya merasa lega dan ada sinar kegirangan mendengar
Siang Lan memuji ayahnya sebagai pahlawan, namun ayahnya disebut mendiang oleh gadis itu.
“Mendiang......? Apa...... apa maksudmu...... Pang-cu?” tanyanya dengan muka pucat dan suara tergagap.
Baru Siang Lan teringat bahwa pemuda ini belum mengetahui bahwa ayahnya telah tewas, maka ia
menghela napas panjang dan mengajak mereka berdua duduk.
“Bouw Kongcu, setelah engkau pergi meninggalkan kota raja, terjadi peristiwa yang amat besar dan gawat.
Para pemberontak itu, seperti kauketahui karena yang membujuk Ayahmu adalah engkau dan susiok
(Paman Guru) Ouw-yang Sianjin, dapat dibasmi atas bantuan Ayahmu. Akan tetapi urusannya bukan hanya
berhenti sampai di situ.
“Tiba-tiba saja Sribaginda Kaisar diculik orang dan banyak pengawal dan pelayan istana terbunuh.
Penculiknya tidak ketahuan siapa dan tidak diketahui pula ke mana Sribaginda Kaisar disembunyikan.
Kemudian setelah melakukan penyelidikan, kiranya yang menculik Sribaginda dan juga Ayahmu yang hilang
pula, adalah seorang pelayan di gedung Ayahmu, seorang pelayan tua yang tampak lemah......”
“Ah...... Kakek A-kui?” tanya Cu An yang masih pucat.
“Dia adalah Cui-beng Kui-ong yang menyamar dan berhasil menyusup menjadi pelayan di rumah Pangeran
Bouw Ji Kong. Dia menyembunyikan Sribaginda yang diculiknya ke ruangan bawah tanah di bawah kamar
tidur Ayahmu. Karena Ayahmu hendak menentangnya, maka dia pun menangkap Ayahmu dan
menahannya di ruangan bawah tanah itu.”
“Aduh...... semua ini salahku. Kalau aku tidak meninggalkan rumah, tentu aku dapat mencegahnya......”
“Tidak, Bouw Kongcu, bahkan mungkin engkau pun terancam bahaya maut. Cui-beng Kui-ong itu sakti
bukan main. Dengarkan ceritaku selanjutnya. Aku mendengar dari Ibumu bahwa Sribaginda dan Ayahmu
disembunyikan di ruangan bawah tanah itu. Aku terlalu memandang rendah Kakek A-kui, maka aku segera
menyerbu. Akan tetapi A-kui muncul di kamar Ayahmu dan kami berkelahi. Akibatnya, aku sendiri tertawan
olehya, tertotok dan dimasukkan dalam ruangan bawah tanah itu.
“Ibumu lalu melarikan diri dari rumah dan melapor kepada Panglima Chang Ku Cing tentang A-kui.
Kebetulan ketika itu panglima Chang kedatangan Paman Bu-beng-cu. Paman Bu-beng-cu segera menuju
ke rumah Ibumu dan Panglima Chang mengerahkan pasukan mengepung rumah itu.
“Ketika itu, Cui-beng Kui-ong alias A-kui tahu bahwa Ibumu pergi meninggalkan rumah. Dia menjadi marah
dan tahu bahwa tentu tempat persembunyian itu akan ketahuan dan akan diserbu, maka dia membunuh
tujuh orang pelayan di rumahmu dan pada saat itu terdengar teriakan Paman Bu-beng-cu dari luar yang
minta kepada Cui-beng Kui-ong untuk menyerah.
“Cui-beng Kui-ong menjawab dan berteriak minta agar para tawanan pemberontak dibebaskan. Kalau tidak
dia akan membunuh Sribaginda Kaisar. Ketika permintaannya ditolak, dia hendak membunuh Sribaginda,
akan tetapi Ayahmu, Pangeran Bouw Ji Kong yang memungut pedangku yang terjatuh, membela
Sribaginda Kaisar dengan gagah berani. Akan tetapi Cui-beng Kui-ong terlalu lihai sehingga Ayahmu kalah
dan tewas di tangan Cui-beng Kui-ong.
“Setelah membunuh Ayahmu, kakek sakti itu juga hendak membunuh aku yang tidak mampu bergerak
karena tertotok dan luka dalam. Untung pada saat yang amat gawat bagi keselamatanku itu muncul Paman
Bu-beng-cu dan setelah melalui perkelahian yang amat hebat, akhirnya Cui-beng Kui-ong roboh dan tewas.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Nah, bukankah Ayahmu telah menebus kesalahannya dengan dua hal yang amat hebat. Pertama,
membantu pemerintah membasmi para pemberontak dan kedua, telah mengorbankan nyawa demi
melindungi Sribaginda Kaisar? Maka jangan kau berani mencaci Ayahmu dengan kata-kata yang keji, Bouw
Kongcu!”
“Ayah......!” Bouw Cu An lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! “Maafkan aku, Ayah!”
“An-ko, jangan terlalu bersedih......!” Li Ai juga berlutut di dekat pemuda itu dan memegang pundaknya,
akan tetapi kedua matanya juga basah air mata. Ia ikut merasa terharu dan sedih melihat kekasihnya
menangis.
Melihat ini, Siang Lan tersenyum, diam-diam merasa berbahagia sekali bahwa Li Ai telah menemukan lakilaki
yang benar-benar mencintainya walaupun dia sudah tahu akan keadaan Li Ai yang telah ternoda. Cu An
merupakan calon suami yang baik sekali bagi Li Ai dan ia merasa ikut berbahagia! Maka, melihat keduanya
bertangisan, ia lalu meninggalkannya, memasuki kamarnya.
Dalam kamar, Siang Lan termenung. Ia teringat kepada Bu-beng-cu. Bu-beng-cu juga amat mencintanya,
seperti cinta Cu An kepada Li Ai. Bu-beng-cu juga sudah tahu bahwa ia telah dinodai orang, akan tetapi
tetap mencintanya! Akan tetapi, sebelum ia membuka perasaan hatinya kepada pria yang juga menjadi
gurunya itu, ia harus menyelesaikan dulu masalah yang teramat penting bagi hidupnya, yaitu membalas
dendam kepada Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi) yang telah memperkosanya itu. Setelah ia
berhasil membunuh Thian-te Mo-ong, barulah ia akan menyatakan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu?
14.42. Akhirnya Thian-te Mo-ong Kalah!
Pinangan terhadap Kui Li Ai yang dilakukan oleh utusan Nyonya Bouw Ji Kong kepada Hwe-thian Mo-li Nyo
Siang Lan segera tiba setelah Bouw Cu An kembali ke kota raja. Pinangan itu diterima dengan baik dan tiga
bulan kemudian, pernikahan antara Bouw Cu An dan Kui Li Ai dirayakan di kota raja dengan meriah, dihadiri
para perwira dan pejabat tinggi, dan juga hadir pula Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek
Kun. Panglima Chang Ku Cing juga hadir bersama keponakannya, Chang Hong Bu.
Mengingat akan pembelaan terakhir Pangeran Bouw Ji Kong terhadap Sribaginda Kaisar, maka
keluarganya selain mendapat pengampunan juga mendapatkan kehormatan dari para pejabat tinggi.
Bahkan Menteri Yang Ting Ho juga memerlukan hadir dalam pesta pernikahan itu.
Setelah tinggal di kota raja selama beberapa hari, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan segera kembali ke Banhwa-
kok dan langsung saja ia menemui Bu-beng-cu yang tinggal di guhanya, tak jauh dari Bukit Ban-hwapang.
Bu-beng-cu bersikap biasa saja seperti biasa, namun kini tampak jelas oleh Siang Lan betapa besar kasih
sayang laki-laki itu kepadanya yang dapat ia rasakan melalui pandang matanya, kata-kata yang keluar dari
mulutnya, dan gerak geriknya. Akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan ia sendiri juga bersikap biasa.
Bahkan ia kini berlatih semakin tekun karena hari yang ditentukan oleh Thian-te Mo-ong yang akan datang
mengunjungi setahun sekali untuk mengadu kepandaian tinggal beberapa bulan lagi. Sekali ini ia harus
dapat membunuh musuh besar itu. Setelah musuh besar dapat dibunuhnya untuk membalas dendam,
barulah ia akan mengaku kepada Bu beng-cu bahwa ia sudah tahu dan yakin benar akan rasa cinta pria itu
terhadap dirinya!
Demikian tekun, rajin dan keras Siang Lan berlatih sehingga diam-diam Bu-beng-cu merasa terharu. Dia
maklum benar betapa besar semangat dan keinginan Siang Lan untuk mengalahkan dan membunuh musuh
besarnya yang bukan lain adalah dirinya sendiri! Dapat dibayangkan betapa hal ini menghancurkan
perasaan hatinya.
Bu-beng-cu bukanlah seorang bodoh. Dia pun dapat merasakan bahwa sesungguhnya Hwe-thian Mo-li Nyo
Siang Lan mencintainya, seperti juga dia mencinta gadis itu, cinta yang timbul mula-mula karena
penyesalan dan kasihan. Kemudian setelah bergaul dengan gadis itu, dia benar-benar jatuh cinta secara
mendalam. Akan tetapi dia tidak tega untuk mengakui cintanya walaupun dia tahu benar cintanya sudah
pasti akan diterima oleh Siang Lan yang juga jelas mencintainya.
Ngeri dia membayangkan betapa hati gadis yang dicintanya itu akan hancur kalau kemudian mengetahui
bahwa pria yang saling mencinta dengannya itu adalah juga musuh besarnya, laki-laki yang amat
dibencinya karena telah memperkosanya? Tidak, dia akan menebus kesalahannya yang membuat hancur
kebahagiaan gadis itu dengan nyawanya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Biarlah gadis itu berhasil membalas dendam dengan adil dan sesungguhnya, bukan karena dia mengalah.
Karena itu, dia pun menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan dan tidak akan berhenti sebelum gadis
itu mampu mengalahkannya.
Setelah dengan tekun penuh perhatian menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan, pada suatu sore
setelah mereka berlatih dan bertanding selama puluhan jurus, Bu-beng-cu menghentikannya dan mereka
duduk di bawah pohon depan guha melepaskan lelah dan menyusut keringat. Siang Lan memandang Bubeng-
cu dengan pandang mata penuh rasa syukur dan mesra.
Bu-beng-cu semula juga menatap wajahnya dan biarpun mulut mereka tidak mengucapkan sesuatu, sinar
mata mereka seperti mengandung seribu bahasa menyinarkan kasih sayang yang mendalam. Akan tetapi
Bu-beng-cu segera menundukkan mukanya, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara lirih dan
tenang.
“Siang Lan, semua yang kuketahui tentang ilmu silat telah kuajarkan kepadamu. Dalam latihan bertanding
tadi aku mendapat kenyataan bahwa aku tidak lagi dapat mengalahkanmu. Karena itu, hari ini merupakan
hari terakhir. Aku tidak dapat mengajarkan apa-apa lagi kepadamu dan kuharap dengan kepandaianmu
sekarang, engkau akan mampu mengalahkan musuh besarmu.”
Diingatkan tentang musuh besarnya, bangkit semangat Siang Lan dan pandang matanya yang tadinya
mengandung kasih sayang seketika berubah. Dia memandang ke atas, membayangkan wajah bertopeng
Thian-te Mo-ong dan matanya mengeluarkan sinar kebencian yang mendalam.
“Hemm, sekali ini akan kulawan dia mati-matian, Paman! Karena aku tidak mungkin mendapatkan
tambahan ilmu lagi, maka pertandingan nanti merupakan yang terakhir. Dia atau aku yang akan mati!
Biasanya, dia muncul di hari ke limabelas, pada saat bulan purnama di waktu malam. Dan hari itu kalau
tidak salah tinggal tiga hari lagi. Aku akan menantinya!” Ia berkata dengan kedua tangan dikepal dengan
marah.
“Semoga sekali ini engkau akan menang dan dapat membalas dendammu kepada musuh besarmu, Siang
Lan. Akan tetapi apakah engkau tidak bisa memaafkan perbuatannya kepadamu itu?”
“Tidak mungkin, Paman! Jahanam itu telah merusak hidupku dan hanya kematiannya yang akan dapat
mencuci bersih aib yang dijatuhkan kepadaku. Noda itu harus dicuci dengan darahnya!”
“Terserah kepadamu, Siang Lan. Sekarang aku hendak mengucapkan selamat berpisah....”
“Selamat berpisah....?” Siang Lan terkejut dan menatap wajah Bu-beng-cu dengan pandang mata penuh
selidik. “Apa maksudmu, Paman? Engkau... hendak pergi ke mana?”
“Aku berada di sini hanya untuk memenuhi janjiku mengajarkan ilmu silat kepadamu, Siang Lan. Sekarang,
semua ilmuku sudah kuajarkan, maka aku hendak pergi merantau.”
“Ke manakah engkau hendak pergi, Paman?” tanya Siang Lan dengan gelisah.
“Ke mana......?” Bu-beng-cu menerawang ke arah langit. “Ke mana saja nasib membawa diriku......”
Hening sejenak. Siang Lan merasa betapa jantungnya berdebar. Ia ingin sekali menahan Bu-beng-cu dan
mengatakan apa yang berada di dalam hatinya, apa yang dirasakannya terhadap pria itu. Akan tetapi ia
menahan diri. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak membicarakan urusan itu sebelum ia dapat
membunuh musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong.
Kalau hal itu belum terlaksana, maka dendamnya akan selalu menjadi penghalang kebahagiaannya. Tidak
mungkin ia dapat hidup tenang dan bahagia apabila ia masih dihimpit dendam sakit hati yang teramat besar
itu. Ia akan membunuh dulu musuh besarnya, barulah ia akan memikirkan hidup selanjutnya dan
kebahagiaannya.
“Paman Bu-beng-cu......”
“Ya......?”
“Paman, kuharap engkau jangan meninggalkan tempat ini dulu, Paman. Tunggu sampai tiga hari lagi!
Berjanjilah padaku bahwa engkau tidak akan pergi sebelum aku bertemu dan bertanding melawan musuh
besarku. Aku ingin Paman melihat hasil pertandingan itu, baik kalau aku menang dan berhasil
membunuhnya atau sebaliknya aku mati di tangannya. Biarlah kalau aku sampai kalah, aku yang
mengucapkan selamat tinggal padamu, Paman, bukan engkau yang meninggalkan aku.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Ucapan itu keluar dari mulut Siang Lan dengan suara gemetar mengandung keharuan dan kesedihan. Bubeng-
cu dapat merasakan ini dan dia pun menundukkan kepalanya, menghela napas panjang dan
menjawab.
“Baiklah, Siang Lan. Aku akan menunggu sampai engkau berhasil membalas dendammu.”
Setelah meninggalkan Bu-beng-cu, Siang Lan membuat persiapan di Ban-hwa-kok. Setiap hari ia tekun
berlatih menghimpun tenaga saktinya untuk menjaga agar tubuhnya tetap dalam keadaan sehat dan siap. Ia
yakin bahwa Thian-te Mo-ong pasti akan muncul.
Jahanam itu amat sakti sehingga jebakan-jebakan yang menghalangi orang luar naik ke puncak Ban-hwasan
tidak akan mampu mengganggunya. Jahanam itu pasti akan muncul di Ban-hwa-kok seperti tahuntahun
yang lalu. Maka ia pun selalu siap siaga dan pedang Lui-kong-kiam tidak pernah terpisah darinya.
Ia pun sudah berpesan kepada semua anggauta Ban-hwa-pang agar jangan ada yang menyerang apabila
musuh besar yang bertopeng itu muncul di Ban-hwa-kok. Selain itu ia tahu bahwa para anggauta Ban-hwakok
sama sekali bukan lawan Thian-te Mo-ong dan kalau menyerangnya sama dengan bunuh diri karena
jahanam itu tentu dengan mudah akan mampu membunuh mereka semua, juga ia memang tidak ingin
orang lain mencampuri urusannya dengan Thian-te Mo-ong.
Bahkan kepada Bu-beng-cu saja ia tidak mau minta bantuannya untuk menghadapi musuh besar itu.
Urusannya dengan Thian-te Mo-ong adalah urusan pribadi, orang lain tidak boleh mencampuri.
Para anggauta Ban-hwa-pang juga mengetahui akan saktinya musuh ketua mereka. Mereka tahu bahwa
beberapa kali ketua mereka kalah melawan orang bertopeng itu. Maka, maklum bahwa sewaktu-waktu
musuh besar itu akan muncul, hati mereka semua diliputi ketegangan dan kekhawatiran. Apalagi ketika pagi
hari tadi ketua mereka mengumpulkan mereka semua dan berkata dengan suara tegas.
“Dengarkan baik-baik kalian semua! Sekali lagi kutegaskan, kalau terjadi perkelahian antara aku dan musuh
besarku, jangan ada di antara kalian yang mencampuri. Syukurlah kalau aku mampu merobohkan dan
membunuh musuh besarku. Akan tetapi seandainya terjadi sebaliknya, aku yang kalah dan tewas, maka
Ban-hwa-pang harus dibubarkan. Kalian boleh membagi-bagi semua harta milik kita di antara kalian dan
boleh hidup dan tinggal di mana pun sesuka kalian.”
Demikianlah pesan ketua mereka dan tentu saja mereka menjadi gelisah karena pesan itu seolah
merupakan pesan terakhir orang yang akan mati!
Malam itu bulan purnama bersinar dengan indahnya karena udara bersih dan langit tidak tertutup awan.
Siang Lan menanti sampai tengah malam, namun musuh besarnya tidak muncul. Ia lalu tidur untuk
menyimpan tenaga karena ia merasa yakin bahwa besok pagi musuhnya tentu akan muncul.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah mandi dan bertukar pakaian. Hari itu merupakan hari yang amat
penting baginya, maka ia mengenakan pakaian baru yang indah walaupun ringkas dan ketat membungkus
badannya agar ia dapat bergerak dengan leluasa. Rambutnya yang telah dicuci bersih itu disisir dan
digelung rapi. Pedang Lui- kong-kiam tergantung di punggungnya.
Ia tampak cantik jelita. Setelah rambutnya yang panjang ikal mayang itu digelung, anak rambut yang halus
lembut melingkar dan berjuntai di kedua pelipis dan di dahinya. Matanya bersinar-sinar penuh semangat.
Tak seorang pun akan menyangka bahwa gadis ini sedang menghadapi sebuah perkelahian mati-matian
menyabung nyawa melawan musuh yang amat sakti. Kalau mereka melihatnya seperti itu, ia lebih pantas
sebagai seorang gadis yang menyongsong kedatangan kekasihnya, demikian cantik, rapi dan penuh
semangat!
Suasana di Ban-hwa-pang sunyi sekali. Padahal hari itu, tidak ada seorang pun anggauta Ban-hwa-pang
yang keluar dari perkampungan mereka. Tidak ada yang bekerja seperti biasa. Mereka semua berkumpul,
duduk di lapangan tempat berlatih tak jauh dari rumah induk, memandang ke arah halaman depan rumah itu
dengan hati tegang.
Tak seorang pun mengeluarkan suara sehingga suasana menjadi sunyi. Bunyi yang ada hanya gemercik air
di belakang perkampungan, desah angin membelai daun-daun pohon, dan ayam biang berkotek memanggil
anak-anaknya. Bahkan burung-burung tidak berbunyi lagi karena karena mereka semua telah pergi menuju
ke sawah ladang mencari makan.
Setelah sinar matahari mulai mengusir sisa kabut di puncak Ban-hwa-san itu, sinarnya yang hangat seakan
membangunkan bumi yang tidur semalam, menggugah ribuan bunga di lembah itu, datanglah orang yang
dinanti-nanti oleh Siang Lan, dan juga oleh para anggauta Ban-hwa-pang. Kedatangannya saja membuat
dunia-kangouw.blogspot.co.id
para anggauta Ban-hwa-pang merasa ngeri. Mula-mula berhembus angin lalu disusul suara yang
menggelegar.
“Hwe-thian Mo-li, aku datang......!!”
Sesosok bayangan berkelebat dan Thian-te Mo-ong sudah tampak di pekarangan depan rumah induk yang
menjadi tempat tinggal Siang Lan. Pakaiannya yang dari kain kasar dan agak terlalu besar itu membuat
tubuhnya tampak besar menyeramkan. Mukanya tertutup sebuah topeng dari kulit batang pohon, bentuknya
seperti muka setan. Muka itu sama sekali tertutup dan yang tampak hanya sepasang mata mencorong yang
sinarnya keluar dari lubang di depan kedua mata itu.
Mendengar suara itu, Siang Lan melompat dari dalam rumah. Hanya tampak bayangan berkelebat dan
gadis itu sudah berhadapan dengan musuh besarnya. Sepasang mata yang indah itu seolah menyinarkan
api ketika ia menatap wajah bertopeng itu, topeng yang selalu muncul mengganggu dalam mimpi, topeng
yang amat dibencinya.
“Thian-te Mo-ong, hari ini kalau tidak engkau, akulah yang menggeletak kehilangan nyawa. Aku tidak akan
berhenti berkelahi sebelum salah seorang di antara kita mati!” Setelah berkata demikian, Siang Lan lalu
mengerahkan seluruh tenaga saktinya, menekuk kedua lututnya dan mendorongkan ke arah lawan.
“Hyaaaattt......!” Pukulan ini hebat sekali. Angin dahsyat menyambar ke arah Thian-te Mo-ong. Orang
bertopeng itu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
“Wuuuuttt...... blaarrr......!” Keduanya terpental ke belakang sejauh tiga langkah!
Ternyata tenaga mereka seimbang dan Siang Lan merasa girang sekali. Timbul semangatnya karena kini ia
sudah mampu mengimbangi sin-kang lawan yang dulu membuatnya kewalahan. Ia lalu nencabut Lui-kongkiam
dan jiwa kependekarannya membuat ia menahan serangannya melihat lawan bertangan kosong.
“Cabut senjatamu! Aku tidak mau menyerang orang yang tak memegang senjata, tidak sudi menjadi
pengecut macam engkau!” Siang Lan memaki, teringat betapa orang ini dulu memperkosanya selagi ia tidak
berdaya.
Thian-te Mo-ong tidak menjawab, hanya tertawa bergelak lalu tubuhnya melompat ke atas, ke arah pohon.
Terdengar suara dahan patah dan ketika dia turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting pohon
sebesar lengan dan panjangnya seperti sebatang pedang. Sekali dia menggetarkan ranting itu, daundaunnya
terlepas dan meluncur jauh! Hal ini saja sudah menunjukkan betapa dia mampu menyalurkan
tenaga saktinya kepada ranting itu sehingga daun-daun yang menempel pada ranting itu terlepas dan
bahkan terpental kuat sehingga meluncur jauh!
Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gentar. Setelah kini musuh besarnya memegang tongkat ranting pohon,
ia lalu mengeluarkan pekik melengking dan menyerang dengan dahsyatnya. Pedang Lui-kong-kiam itu
berubah menjadi sinar kilat menyambar ke arah dada lawan. Thian-te Mo-ong menggerakkan ranting itu
menangkis.
“Trangg......!” Pertemuan antara pedang pusaka dan pedang kayu itu menimbulkan suara nyaring seolah
Lui-kong-kiam itu bertemu dengan pedang lain yang sama ampuhnya! Kemudian terjadi perkelahian ilmu
silat pedang yang amat hebat. Gerakan nnereka sama gesitnya dan dalam gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) mereka memiliki tingkat seimbang.
Juga agaknya sin-kang (tenaga sakti) mereka tidak berselisih jauh, mungkin tenaga Thian-te Mo-ong lebih
kuat sedikit, namun hampir tidak terasa oleh Siang Lan. Kini mereka mengadu ilmu silat dan dalam hal ini
ternyata Siang Lan lebih untung.
Perlu diingat bahwa Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah murid terkasih dari Pat-jiu Kiam-ong (Dewa
Pedang Lengan delapan) Ong Han Cu dan dewa Pedang yang kini telah tiada itu telah menurunkan semua
ilmu pedangnya kepada Siang Lan yang amat dikasihinya. Maka, setelah kini Siang Lan mendapat
gemblengan dari Bu-beng-cu sehingga gin-kang dan sin-kangnya maju pesat, ilmu pedangnya menjadi
semakin dahsyat.
Para anggauta Ban-hwa-pang hanya berani menonton. Biarpun mereka merasa gelisah sekali dan juga
tegang, namun mereka tidak berani mendekat, apalagi membantu ketua mereka. Kalau saja Siang Lan tidak
memesan kepada mereka, tentu mereka sudah maju mengeroyok dan mereka tidak takut kalau sampai
roboh dan tewas.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Mereka rela berkorban nyawa demi ketua mereka yang mereka sayang dan hormati. Akan tetapi Siang Lan
telah melarang mereka sehingga kini mereka hanya berani menonton dari jauh dengan jantung berdebardebar.
Perkelahian itu sudah berlangsung delapanpuluh jurus lebih! Akan tetapi belum juga ada yang terdesak.
Mereka masih saling serang dan matahari mulai naik tinggi sehingga panasnya mulai menyengat, tubuh
kedua orang yang bertanding mati-matian itu mulai basah oleh keringat.
Tubuh Siang Lan melompat ke atas, berjungkir balik di udara lalu meluncur turun, pedangnya menyambar
ke arah kepala Thian-te Mo-ong.
Thian-te Mo-ong menggerakkan ranting menangkis, akan tetapi tanpa diduga, tangan kiri Siang Lan
menghantam dengan pukulan tenaga sakti ke arah muka. Ini merupakan serangan yang amat dahsyat dan
berbahaya sekali. Thian-te Mo-ong menggeser tubuh ke kanan sehingga dia dapat menyambut dorongan
tangan kiri gadis itu dengan tangan kirinya pula dan begitu kedua telapak tangan bertemu, Siang Lan
menggunakan kesempatan itu untuk menggerakkan pedangnya menusuk dada!
Thian-te Mo-ong mengelak ke kiri, akan tetapi agak kurang cepat sehingga Lui-kong-kiam sempat menusuk
pundaknya.
“Cappp......!!” Siang Lan cepat mencabut pedangnya yang menembus pundak dari depan ke belakang.
Tubuh Thian-te Mo-ong terpelanting dan dia rebah telentang, rantingnya terlepas dari tangan kanan yang
terasa lumpuh karena pundaknya terluka parah.
Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Siang Lan sudah turun di depan tubuh lawan dan pedangnya
sudah menodong leher lawan. Ujung pedang Lui-kong-kiam yang runcing tajam itu menempel pada kulit
leher bagian tenggorokan.
“Hwe-thian Mo-li, aku sudah kalah. Bunuhlah aku untuk menebus kesalahanku!” terdengar Thian-te Mo-ong
berkata.
Siang Lan meragu, karena ia merasa heran. Thian-te Mo-ong yang biasanya bersikap sombong dan
tekebur, akan tetapi sekarang sikapnya berubah, tidak sombong lagi, juga tidak ketakutan, melainkan
dengan tenang dan gagahnya minta dibunuh untuk menebus kesalahannya! Timbul keinginan tahunya dan
ia berseru.
“Sebelum kubunuh engkau, ingin aku melihat macam apa rupanya jahanam keji seperti engkau ini!”
Pedangnya digerakkan ke atas dan topeng kayu itu terbuka dan terlempar. Pedang itu sudah diangkat, siap
untuk memenggal leher.
Tiba-tiba Siang Lan melepaskan pedangnya yang jatuh ke atas tanah, sepasang matanya terbelalak lebar,
mukanya pucat sekali. Ia kini menatap muka yang tidak lagi tertutup topeng itu, muka yang dagu bawahnya
robek oleh ujung pedangnya ketika ia membuka topeng dan yang pundaknya bercucuran darah, muka yang
memandang kepadanya dengan sedih dan pasrah, muka yang pucat karena kehilangan banyak darah.
14.43. Apa Artinya Semua Ini . . . . . ?
“Paman Bu-beng-cu......!” Ia menjerit sambil berlutut dekat tubuh Thian-te Mo-ong yang kini telah kehilangan
topengnya dan berubah menjadi Bu-beng-cu itu. “Paman...... ahhh...... apa artinya ini......? Mengapa
begini......?”
Akan tetapi Bu-beng-cu terkulai lemas tak sadarkan diri, bukan hanya karena lukanya melainkan terutama
sekali karena kesedihan dan terguncangnya hatinya.
“Paman......!!” Siang Lan lalu mengangkat tubuh pria itu, mengerahkan tenaga dan memondongnya, lalu
membawanya lari memasuki rumahnya.
Para anggauta Ban-hwa-pang terkejut sekali melihat bahwa laki-laki bertopeng yang menakutkan itu
ternyata adalah Bu-beng-cu yang telah mereka kenal sebagai guru ketua mereka. Mereka ikut kebingungan
karena sama sekali tidak tahu mengapa guru ketua mereka itu menyamar sebagai orang bertopeng dan
menjadi musuh besar ketua mereka.
Melihat Siang Lan membuang pedangnya dan juga melepaskan ikatan sarung pedang, Bwe Kiok Hwa lalu
mengambil pedang Lui-kong-kiam dan sarung pedangnya, memasukan pedang itu ke sarungnya lalu
membawanya ke dalam rumah induk. Hanya Bwe Kiok Hwa yang berani memasuki rumah itu akan tetapi ia
dunia-kangouw.blogspot.co.id
pun hanya menunggu di ruangan luar, tidak berani memasuki ruangan dalam di mana Siang Lan membawa
Bu-beng-cu, bahkan gadis itu merebahkan Bu-beng-cu di atas pembaringannya dalam kamar.
Siang Lan benar-benar terpukul. Hatinya diliputi keresahan dan kebingungan akan kenyataan yang sama
sekali tidak pernah disangkanya ini. Ia memang membenci setengah mati kepada Thian-te Mo-ong yang
telah memperkosanya dan menantangnya bertanding setiap tahun. Akan tetapi bagaimana mungkin ia
membenci Bu-beng-cu, pria yang dicintanya, pria yang dengan tekun melatih silat kepadanya selama ini dan
berulang-ulang menyelamatkannya dari ancaman maut, yang selalu membela dan melindunginya?
Akan tetapi mengapa Bu-beng-cu menjadi Thian-te Mo-ong? Ia tidak percaya kalau laki-laki sebijaksana Bubeng-
cu melakukan perkosaan atas dirinya itu?
Melihat luka pada pundak kanan yang cukup parah dan terus mengeluarkan darah, juga bawah dagunya
berlepotan darah, Siang Lan menjadi panik dan cepat ia mengambil obat luka. Setelah menotok jalan darah
di dekat pundak untuk menghentikan terbuangnya darah, ia lalu mengoleskan obat luka berupa bubukan itu
kemudian ia membalut luka di pundak Bu-beng-cu.
Kemudian ia mengenakan lagi baju pada tubuh bagian atas laki-laki itu menggunakan sehelai jubahnya
berlengan panjang karena baju Bu-beng-cu tadi robek dan berlepotan darah. Ia melakukan semua ini
dengan air mata terkadang menetes dari kedua matanya karena merasa terharu dan kasihan. Akan tetapi ia
tidak khawatir karena setelah diperiksanya, maka luka tusukan pedangnya yang menembus pundak itu tidak
merusak otot besar dan tidak mematahkan tulang.
Setelah mengobati luka dan mengganti pakaian atas Bu-beng-cu dan melihat pria itu masih pingsan,
sepasang matanya terpejam dan mulutnya terkatup, pernapasannya agak lemas. Siang Lan lalu duduk
bersila di atas pembaringan, menempelkan kedua telapak tangannya di dada Bu-beng-cu lalu mengerahkan
tenaga sakti untuk membantu pria itu memulihkan tenaganya.
Akhirnya setelah beberapa lamanya pernapasan Bu-beng-cu mulai normal kembali, hanya mukanya masih
agak pucat dan dia masih belum siuman. Siang Lan lalu mengambil saputangan yang bersih,
mencelupkannya ke dalam air minum dan memberi minum Bu-beng-cu melalui perahan air di
saputangannya. Akhirnya Bu-beng-cu membuka kedua matanya dan begitu dia siuman dan melihat dirinya
di atas pembaringan dan Siang Lan duduk di dekatnya, dia segera bangkit duduk.
Akan tetapi Siang Lan memegang pundaknya dan dengan lembut mendorongnya agar rebah kembali.
“Paman, jangan bangkit dulu. Engkau masih lemah dan perlu beristirahat dulu. Engkau kehilangan banyak
darah...... ah, Paman, mengapa semua ini harus terjadi......?”
Siang Lan tak dapat menahan tangisnya. Ia tidak tahu harus berkata apa, bahkan tidak tahu harus berpikir
bagaimana. Semua serba membingungkan.
Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya dan ketika membukanya kembali, kedua matanya itu basah.
“Siang Lan...... kenapa...... kenapa engkau tidak...... membunuhku......?”
“Paman......!”
Bu-beng-cu menjadi semakin sedih melihat gadis itu kini menangis tersedu-sedu.
“Jangan menangis, Siang Lan. Engkau membikin hatiku semakin pedih dan hancur......”
Siang Lan menguatkan hatinya dan memandang wajah pria itu melalui genangan air matanya.
“Paman Bu-beng-cu, apa artinya semua ini? Benarkah Paman ini Thian-te Mo-ong yang telah...... ah, aku
tidak percaya! Dan mengapa Paman menyamar sebagai Thian-te Mo-ong? Berilah penjelasan, Paman, aku
bingung sekali dan hal ini bisa membuat aku menjadi gila! Kalau paman ini Thian-te Mo-ong, mengapa
Paman selalu membela dan melindungiku, bahkan menurunkan ilmu paman kepadaku agar aku dapat
mengalahkan dan membunuh Thian-te Mo-ong? Akan tetapi kalau paman ini benar-benar Bu-beng-cu
seperti yang kukenal, bagaimana mungkin menjadi Thian-te Mo-ong yang demikian jahat?”
Bu-beng-cu menghela napas panjang.
“Ahh...... aku telah melakukan dosa besar kepadamu, dosa yang akan menggangguku seumur hidup dan
yang hanya dapat ditebus kalau aku tewas di tanganmu. Akan tetapi ternyata Thian (Tuhan) agaknya tidak
menghendaki aku mati di tanganmu. Sekarang dengarkanlah pengakuanku yang akan menjelaskan semua
pertanyaanmu tadi.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Sesungguhnya, Thian-te Mo-ong dan Bu-beng-cu bukanlah namaku. Namaku adalah Sie Bun Liong yang
sejak muda merantau di barat dan selatan dan dijuluki orang sebagai Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar).
Aku adalah kakak tiri dari Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang menyeleweng dan yang telah
kaubunuh itu.”
“Kakak tiri Siangkoan Leng yang jahat itu......?” Siang Lan bertanya heran.
“Benar, telah bertahun-tahun aku tidak pernah berhubungan dengan adik tiriku itu sehingga tidak tahu
bahwa dia telah mengambil jalan sesat. Ketika aku datang berkunjung, engkau menjadi tawanannya dan dia
hendak memaksa engkau menjadi isterinya. Agaknya dia takut melihat kedatanganku karena kalau aku tahu
tentang dirimu yang ditawan, pasti dia akan kularang dan kumarahi. Maka, ketika dia menjamu aku dalam
pesta, agaknya dia mencampurkan obat perangsang yang amat kuat dalam minumanku.
“Aku seperti terbius dan dalam keadaan mabok kehilangan kesadarannya dia merebahkan aku di dekatmu,
maka...... terjadilah hal terkutuk itu di luar kesadaran dan kemampuanku untuk mencegahnya. Setelah sadar
aku merasa menyesal sekali dan pergi seperti telah menjadi gila. Kemudian aku baru tahu bahwa engkau
mengamuk, membunuh Siangkoan Leng dan anak buahnya. Memang hal itu patut kusesalkan, akan tetapi
semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri telah mengambil jalan sesat.”
Siang Lan memejamkan matanya, mengenang kembali semua peristiwa itu dan ia masih kadang-kadang
terisak.
“Aku lalu membayangimu dan melihat betapa kesedihanmu membuat engkau putus asa, aku mengambil
keputusan untuk berbuat sesuatu agar engkau tidak bunuh diri, agar engkau dapat memuaskan hatimu
untuk balas dendam dan agar aku dapat menebus dosaku. Maka aku lalu memakai topeng menemuimu,
mengaku bahwa aku sebagai Thian-te Mo-ong yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu.
“Sengaja engkau kukalahkan dan kutantang untuk bertanding setiap tahun agar engkau menjadi penasaran
dan marah, memberimu semangat untuk memperdalam ilmu silatmu agar dapat mengalahkan Thian-te Moong.
Kemudian aku muncul sebagai Bu-beng-cu untuk memberikan semua ilmuku kepadamu.
“Akhirnya terjadi seperti yang kuharapkan, engkau dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong, akan tetapi
sayang, engkau tidak jadi membunuhnya, tidak membunuhku sehingga dendammu belum impas dan aku
pun belum dapat menebus dosaku. Karena itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, inilah aku, Sie Bu Liong
yang dulu telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk kepadamu. Sekarang bunuhlah aku untuk membalas
dendam sakit hatimu dan untuk memberi kesempatan kepadaku menebus dosaku padamu......”
Tangis Siang Lan kini mengguguk kembali. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangannya, tubuhnya
bergoyang-goyang karena sedu-sedannya.
“Paman...... bagaimana..... bagaimana aku..... dapat membunuh orang...... yang mencintaku demikian
mendalam...... sepertimu......?”
“Apa maksudmu? Aku...... aku tidak......”
“Tidak perlu menyangkal lagi, Paman. Aku sudah melihat lukisan wanita yang selalu kaubawa-bawa itu?”
Kini suara Siang Lan lancar walaupun masih parau karena tangisnya. “Engkau membawa lukisan diriku ke
mana-mana......”
“Ah...... engkau melihatnya......”
“Paman, bagaimana aku dapat membunuhmu? Kalau sejak dulu aku tahu bahwa engkau yang melakukan
hal itu, kaulakukan di luar kesadaranmu, aku...... aku tidak mungkin akan menaruh dendam......”
“Akan tetapi aku telah merusak kebahagiaan dan harapan hidupmu, Siang Lan.”
“Tidak, Paman. Engkau bukan hanya dapat menebusnya dengan membiarkan aku membunuhmu, akan
tetapi engkau dapat menebusnya dengan...... dengan cintamu. Paman, belum yakinkah hati paman bahwa,
aku juga...... mencintamu? Kalau kita saling mencinta, peristiwa yang lalu itu tidak ada artinya lagi, bukan?
Kalau kita menjadi suami isteri...... maka tidak ada masalah lagi. Apalagi aku tidak dapat menyalahkanmu
karena apa yang kaulakukan itu terjadi di luar kesadaranmu.”
“Siang Lan...... kau...... kau benarkah engkau bersedia menjadi jodohku?”
“...... Sudah lama aku mengharapkannya, Paman......”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Paman? Bagaimana mungkin seorang paman berjodoh dengan keponakannya? Jangan menyebutku
paman, Lan-moi (Dinda Lan)!”
“Kanda Sie Bun Liong...... Liong-ko......!”
Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong mengangkat kedua lengannya merangkul. Siang Lan membalas dan kedua
orang itu berangkulan. Mata mereka basah karena mereka menangis karena haru dan bahagia.
Sampai lama Siang Lan merebahkan kepalanya di dada Sie Bun Liong. Mereka tidak bicara karena katakata
pada saat yang asyik masyuk seperti itu memang tidak ada gunanya lagi. Detak jantung masingmasing
seolah telah bicara dalam seribu bahasa.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Mendengar ini, keduanya seperti baru tersentak
sadar dari pesona yang membahagiakan dan membuat mereka lupa segala itu. Siang Lan bangkit duduk
dan ia cepat mencegah Sie Bun Liong yang hendak bangkit pula.
“Kau rebahlah saja di sini, Liong-ko. Biar aku yang melihat apa yang terjadi di luar.” Setelah berkata
demikian, dengan gerakan ringan dan cepat, seringan hatinya yang penuh bahagia, Siang Lan berkelebat
keluar dari dalam kamarnya.
Setibanya di luar, Bwe Kiok Hwa menyambutnya sambil menyerahkan Lui-kong-kiam dengan sarung
pedangnya. “Pang-cu, di luar ada seorang kakek mengamuk dan menantang Pang-cu!”
Siang Lan menerima pedangnya dan segera berkelebat keluar dari rumahnya. Di halaman rumah itu ia
melihat seorang kakek sedang dikeroyok puluhan orang anak buahnya. Sai-kong itu membawa sebatang
tongkat ular, akan tetapi ia hanya mengebut-ngebutkan tangan kirinya ke sekelilingnya dan para anggauta
Ban-hwa-pang yang mengepung dan mengeroyoknya itu roboh berpelantingan seperti sekumpulan daun
kering dihempas angin badai.
“Berhenti berkelahi!” Siang Lan berseru. “Kalian semua mundurlah!” Ia memerintahkan anak buahnya.
Para wanita Ban-hwa-pang itu pun menjauhkan diri, saling tolong dengan mereka yang tadi terbanting
roboh. Melihat tidak ada di antara mereka yang tewas atau terluka parah, dapat diketahui bahwa kakek itu
bukan seorang yang ganas dan kejam. Siang Lan cepat melompat dan berdiri berhadapan dengan kakek
itu.
Kakek itu tentu sudah sekitar tujuhpuluh tahun usianya. Rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua.
Rambutnya digelung ke atas dan diikat kain. Baju di dadanya bergambar simbol Im-yang. Pakaiannya gaun
panjang berwarna putih dengan sabuk merah, berlengan panjang. Di bagian luarnya dia memakai jubah
kebiruan dengan renda kuning emas di tepinya. Pakaian yang cukup mewah bagi seorang pertapa atau
pendeta. Matanya mencorong tajam dan tangan kanannya memegang sebuah tongkat ular kering.
Kakek itu pun memandang dengan penuh perhatian. Gadis yang muncul di depannya sungguh cantik.
Mukanya kemerahan dan sepasang matanya masih agak sembab oleh tangis.
Hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah sekali, juga sebagai akibat tangisnya tadi. Kedua pipinya
kemerahan. Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita sutera merah. Baju dan
celananya dari sutera putih dan jubahnya berwarna biru dengan ikat pinggang kuning. Gadis cantik jelita itu
memegang sebuah pedang bersarung di tangan kirinya dan memandang kepadanya dengan alis berkerut.
“Hemm, kulihat engkau orang tua berpakaian sebagai seorang pendeta. Mengapa seorang pendeta yang
sepatutnya hidup bersih kini datang membuat kekacauan di tempat kami perkumpulan wanita Ban-hwapang?
Siapakah engkau?” tanya Siang Lan, tidak begitu galak karena ia melihat bahwa tidak ada anak
buahnya yang terluka parah atau tewas.
Kakek itu tersenyum lebar. “Heh-heh, pinto (aku) adalah Im Yang Hoat-su. Pinto datang hendak mencari
Hwe-thian Mo-li, akan tetapi anak-anak perempuan tadi menghalangi pinto!”
“Akulah Hwe-thian Mo-li! Im Yang Hoat-su, ada keperluan apakah engkau mencariku?”
“Bagus! Kiranya Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis cantik yang masih muda. Sungguh mengherankan
bagaimana sahabatku Cui-beng Kui-ong dapat terbunuh oleh seorang anak perempuan sepertimu?”
“Hemm, kiranya engkau sahabat Si Jahat Cui-beng Kui-ong? Jadi kedatanganmu ini hendak membalaskan
kematiannya?” Siang Lan bertanya dengan suara menantang.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Hemm, kiranya tidak pantas kalau pinto seorang tua menantang engkau yang sepatutnya menjadi cucuku.
Akan tetapi karena pinto adalah sahabat baik Cui-beng Kui-ong dan karena engkau telah membunuhnya,
pinto tentu akan dikecam dunia kang-ouw kalau pinto tidak membela kematiannya oleh seorang gadis muda
yang sudah dapat membunuh sahabatku itu.”
“Im Yang Hoat-su, sahabat dari Cui-beng Kui-ong yang jahat sudah tentu bukan manusia baik-baik. Sambut
pedangku!” Siang Lan mencabut Lui-kong-kiam dengan tangan kanannya lalu ia maju menyerang kakek itu
dengan sarung pedang di tangan kiri dan pedang Lui-kong-kiam di tangan kanan. Serangannya hebat sekali
karena sarung pedang itu pun bukan benda lemah, apalagi digerakkan dengan tangan kiri yang
mengandung tenaga sakti.
Ketika sarung pedang itu menyambar ke arah dadanya, kakek itu mundur dan miringkan tubuhnya sambil
mengangkat tongkat ular kering lurus di belakang lengan kanannya ke atas.
“Trakk!” Tongkat ular kering itu menangkis sarung pedang. Akan tetapi Siang Lan dengan cepat
menusukkan Lui-kong-kiam ke lambung kanan lawan.
“Wuuutt...... tranggg!” Kembali tongkat ular menangkis pedang dan tangkisan itu membuat tangan Siang Lan
tergetar dan dari pertemuan tongkat dan pedang tampak bunga api berpijar.
Mereka segera bertanding, saling serang dengan dahsyat. Kakek itu ternyata lihai bukan main. Sebetulnya
Siang Lan tidak kalah lihai, akan tetapi karena gadis itu baru saja menghamburkan banyak tenaga sakti
untuk mengobati Sie Bun Liong, maka ia menjadi jauh lebih lemah daripada biasanya. Ia segera terdesak
ketika Im Yang Hoat-su memainkan tongkatnya secara dahsyat sekali.
Pada saat itu terdengar bentakan dari depan rumah. Bentakan yang menggelegar dan menggetarkan
tempat itu.
“Im Yang Hoat-su! Apa yang kaulakukan di sini?”
Kakek itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Siang Lan juga kaget dan khawatir melihat Sie Bun
Liong yang ia tahu masih lemah itu telah keluar dari rumah. Im Yang Hoat-su kini memandang kepada Sie
Bun Liong dan dia terbelalak.
“Thai-lek-sian Sie Bun Liong! Engkau di sini? Aku...... aku menantang bertanding Hwe-thian Mo-li karena ia
telah membunuh sahabatku Cui-beng Kui-ong!”
“Kalau engkau membela Cui-beng Kui-ong, berarti engkau membela penjahat besar!”
“Dia bukan penjahat. Dia hanya berusaha untuk membebaskan para sahabatnya yang ditawan di kota raja.”
“Ya, dan dia menculik Sribaginda Kaisar, bahkan hendak membunuh Beliau!”
“Ahh......!” Im Yang Hoat-su terkejut sekali mendengar ini.
“Pula, bukan Hwe-thian Mo-li yang membunuhnya, melainkan aku! Akulah yang membunuh Cui-beng Kuiong
untuk melindungi Sribaginda Kaisar! Nah, engkau hendak menuntut balas? Tuntutlah aku!”
Hati Im Yang Hoat-su menjadi gentar. Dia sudah mengenal Thai-lek-sian dan tahu benar akan kelihaian
pendekar ini. Tadi, melawan Hwe-thian Mo-li saja dia sudah menemukan lawan seimbang. Kalau kini Thailek-
sian maju, berarti dia mencari penyakit atau bahkan mencari kematiannya. Apalagi dia tadi mendengar
bahwa Cui-beng Kui-ong menculik dan hendak membunuh Kaisar, ini merupakan dosa tak berampun dan
yang membunuhnya adalah Thai-lek-sian.
“Aih, kalau begitu persoalannya, sudahlah, pinto tidak akan menimbulkan permusuhan Akan tetapi, Thai-leksian,
mengapa engkau mati-matian membela Hwe-thian Mo-li? Apamukah gadis ini?”
Sie Bun Liong tersenyum. “Engkau ingin mengetahui, Im Yang Hoat-su? Perkenalkan, ini adalah Nyo Siang
Lan, calon isteriku!”
Sambil berkata demikian, dengan tangan kirinya Sie Bun Liong merangkul pundak Siang Lan yang berdiri di
sebelah kirinya. Siang Lan juga tersenyum penuh kebahagiaan.
“Ah, begitukah? Kalau begitu, kiong-hi (selamat) untuk kalian berdua! Pinto mohon pamit!” Tosu itu lalu
berlari cepat menuruni puncak Bukit Selaksa Bunga.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Dengan hati dipenuhi kebahagiaan, Nyo Siang Lan dan sie Bun Liong bergandeng tangan memasuki rumah
induk di mana Sie Bun Liong tinggal selama beberapa hari dalam perawatan Siang Lan sampai dia sembuh
benar dan tenaganya pulih kembali.
Beberapa bulan kemudian, sepasang kekasih ini melangsungkan pernikahannya di Lembah Selaksa Bunga,
mengundang semua kenalan para pendekar. Bahkan Panglima Chang sendiri juga menghadiri perayaan
pernikahan itu. Selama perayaan, semua jebakan yang menghalangi orang naik ke puncak bukit itu
disingkirkan.
Ban-hwa-kok yang indah penuh bunga itu dikagumi semua tamu dan nama Ban-hwa-pang menjadi semakin
terkenal. Apalagi setelah menjadi suami isteri, Sie Bun Liong dan Nyo Siang Lan memperbesar Ban-hwapang
yang menjadi perkumpulan besar, bukan hanya mempunyai anak buah kaum wanita, akan tetapi juga
kaum pria. Ban-hwa-pang menjadi sebuah perkumpulan besar dan terkenal karena para anggautanya
mendapat pendidikan silat yang khas dari suami isteri itu.
Sekianlah, pengarang mengakhiri kisah ini dengan harapan semoga selain merupakan bacaan hiburan, juga
mengandung manfaat bagi para pembaca sekalian.
>>>>> T A M A T <<<<<

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru