Kamis, 31 Mei 2018

Harta Karun Kerajaan Sung 1

====
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
HARTA KARUN KERAJAAN SUNG
Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Siang hari itu langit di atas kota Cin-yang di Propinsi Shantung diliputi
mendung tebal. Pertanda akan turun hujan tampak jelas. Orang-orang segera
bersiap-siap, yang berdagang di tepi jalan menggulung tikar dan
menyelamatkan barang dagangan mereka di tempat untuk berteduh. Tokotoko
banyak yang tutup karena biasanya kalau hujan turun dengan deras
maka air hujan yang terbawa angin akan membasahi barang dagangan dalam
toko. Orang yang berlalu lalang mulai berkurang karena mereka bergegas
pulang agar tidak kehujanan di jalan. Bukan hanya manusia yang bersiap-siap
menghadapi curahan air hujan di langit. Burung-burung yang beterbangan
pun pulang ke sarang mereka.
Tak lama kemudian, setelah kilat dan guntur menggelegar di angkasa
berulang-ulang, turunlah air hujan bagaikan dituangkan dari langit. Seperti
juga peristiwa alam yang terjadi di dunia ini, hal yang sewajarnya itu
mendapat tanggapan berbeda-beda. Orang-orang yang merasa dirugikan oleh
turunnya hujan, seperti para pedagang asongan atau kaki lima dan tukang
binatu, merasa dirugikan oleh turunnya hujan deras. Maka mereka yang
merasa dirugikan ini akan mencaci-maki dan menganggap bahwa hujan
merupakan peristiwa buruk yang amat merugikan mereka. Sebaliknya,
mereka yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan, seperti para petani
yang membutuhkan air untuk mengairi sawah ladang mereka, para pedagang
payung dan lain-lain, tentu akan bersyukur dan merasa gembira dengan
turunnya hujan dan mereka menganggap hujan merupakan peristiwa baik
yang menguntungkan. Memang, sejak sejarah tercatat manusia, apa yang
disebut baik atau buruk itu hanya merupakan pendapat orang-orang. Bagi
yang menguntungkan dianggap baik dan bagi yang merugikan dianggap
buruk.
Hujan ya hujan saja, tidak baik tidak buruk, melainkan sebuah peristiwa
alam yang wajar. Orang bijaksana yang menganggap hujan itu wajar saja,
akan dapat berusaha melalui kecerdikan otak manusia untuk mengatur dan
dapat memanfaatkan segala peristiwa alam yang menimpanya. Kalau tidak
mau kehujanan, pakailah payung atau pergi mencari tempat berteduh tanpa
mengeluh Kalau datang hujan lebat, agar tidak menimbulkan banjir, buatlah
saluran air yang baik dan kalau diperlukan, salurkanlah kelebihan air itu ke
tempat yang membutuhkan air. Orang bijaksana selalu dapat memanfaatkan
apa pun yang terjadi di dunia dan dalam kehidupan mereka, tanpa tenggelam
ke dalam kesedihan dan tanpa mabok dalam kesenangan.
Hujan baru reda setelah lewat tengah hari. Biarpun kini sisa hujan masih
ada, air turun rintik-rintik dan jarang, namun sinar matahari yang mulai
condong ke barat membuat suasana menjadi cerah kembali.
Tiba-tiba serombongan orang berkuda menarik perhatian penduduk Cinyang.
Rombongan itu adalah pasukan Kerajaan Mongol. Jumlah mereka
sekitar tiga losin orang, dipimpin oleh seorang panglima yang berpakaian
mewah, bertubuh tinggi besar, matanya sipit dan mukanya brewok. Pasukan
itu tampak gagah dan galak. Di sampingnya terdapat seorang pemuda tinggi
besar bermuka hitam berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Panglima itu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
berusia sekitar empatpuluh tujuh tahun. Mereka yang mengenal panglima ini,
berbisik-bisik memberi keterangan kepada orang di dekatnya, dengan suara
lirih dan gentar.
“Wah, panglima itu adalah Panglima Besar Kim Bayan yang terkenal galak
dan kejam. Dia adalah ayah dari Kongcu (Tuan Muda) Kim Magu yang mata
keranjang dan suka mengganggu anak bini orang”
Mendengar ini, semua orang menjadi gentar, apalagi mereka yang
mempunyai anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa dan yang
memiliki wajah lumayan. Mereka segera menyuruh anak mereka untuk
bersembunyi.
Akan tetapi sekali ini, pasukan perajurit yang dipimpin oleh Panglima Kim
Bayan tidak mempedulikan penduduk Cin-yang dan pasukan itu langsung
saja menuju ke gedung Yo Bun Sam atau Yo-thaijin (Pembesar Yo) yang
menjadi pembesar kepala daerah di Cin-yang. Setelah memasuki halaman
gedung itu, Panglima Kim Bayan memerintahkan anak buahnya untuk turun
dari punggung kuda dan siap berjaga di luar menanti perintahnya. Kemudian
dengan langkah gagah dia memasuki pendapa gedung itu, diiringkan
puteranya, yaitu Kim Magu, pemuda Mongol yang tinggi besar bermuka
hitam.
Panglima Kim Bayan adalah panglima yang mengepalai seluruh pasukan
yang berada di Propinsi Shantung sampai ke selatan. Karena tugasnya
meliputi daerah yang luas, dimana dia sering melakukan kunjungan untuk
menerima laporan dan meneliti keadaan, maka dia jarang pulang ke
gedungnya yang berada di kota Cin-yang. Apalagi akhir-akhir ini dia sibuk
melakukan pengejaran terhadap harta karun peninggalan Kerajaan Sung.
Lebih dati satu tahun dia tidak pulang ke Cin-yang.
Ketika kemarin dia pulang ke Cin-yang, dia menerima laporan dari putera
tunggalnya, Kim Magu, yang membuat dia marah bukan main. Pemuda muka
hitam itu melaporkan betapa dia dan sahabatnya yang bernama Kui Con,
yaitu putera Kui-thaijin kepala pengadilan di Cin-yang, telah mengalami
penghinaan, disiksa, dan digantung di sebuah pohon di tepi jalan sehingga
semua penduduk dapat melihat mereka tergantung dengan kepala di bawah.
Pada tempat itu terdapat tulisan bahwa Kim Magu dan Kui Con adalah
pemuda-pemuda jahat yang mengandalkan kekuasaan ayah mereka yang
tidak mampu mendidik mereka dan sekarang mendapat hajaran keras agar
jera.
Kim Magu menceritakan hal ini kepada ayahnya sambil menangis karena
dia merasa terhina sekali. Sejak peristiwa itu, dia dan Kui Con segan untuk
keluar rumah karena pandangan para penduduk terhadap mereka tampak
mengejek dan sinis.
Kim Bayan yang sedang minum arak, terbelalak mendengar laporan
puteranya itu. Dia membanting guci arak sehingga hancur dan tangannya
menampar ujung meja marmar sehingga pecah. Matanya yang lebar
mengeluarkan sinar penuh kemarahan.
“Jahanam busuk! Siapa berani berbuat demikian kurang ajar terhadap
Anakku?”
“Ia seorang gadis pendekar yang dijuluki Pek-eng Sianli, Ayah.”
Kim Bayan semakin marah sehingga dia bangkit berdiri dan mengepal
tinjunya.
“Pek-eng Sianli? Itu adalah julukan dari Liu Ceng. Keparat Gadis itu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
berani menghinamu seperti itu? Mengapa ia berbuat seperti itu?”
“Begini, Ayah. Aku dan Kui Con bertemu dengan seorang gadis bernama
Siok Eng dan encinya bernama Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung. Kami
tertarik sekali dan terus terang saja, aku jatuh cinta kepada Siok Eng. Kami
mengajukan pinangan, Siok Eng hendak kujadikan selirku, dan Kui Con ingin
berkenalan dengan Siok Hwa. Akan tetapi tiba-tiba muncul Pek-eng Sianli dan
kami berdua ia serang kemudian kami ditotok dan digantung di pohon itu.”
“Keparat! Kapan hal itu terjadi?”
“Sudah lama, Ayah. Sudah lewat belasan bulan yang lalu.”
“Hemm, kenapa engkau diam saja? Setelah Liu Ceng pergi, mengapa
engkau tidak menghajar keluarga Siok itu untuk membalas dendam?”
“Aku tidak berani, Ayah. Pek-eng Sianli itu menitipkan keluarga Siok
kepada Kepala Daerah Yo Bun Sam. Ayah Kui Con, Kepala Pengadilan Kui
Hok, dipanggil dan ditegur oleh Yo-thaijin. Kami diancam agar jangan
mengganggu keluarga Siok. Maka aku hanya dapat menanti Ayah pulang.
Selama ini aku jarang keluar rumah, Ayah. Aku malu sekali atas penghinaan
itu.”
Tentu saja Kim Magu tidak menceritakan bahwa dia menyuruh Lai Koan,
perwira pelaksana pencari pekerja paksa di Cin-yang yang kini dihukum atas
tuntutan Yo-thaijin, untuk memaksa dua orang wanita itu agar ditangkap dan
diserahkan kepada dia dan Kui Con.
“Bangsat Kepala Daerah Yo Bun Sam. Dia kira dia itu siapa berani
menghina anakku dan berani bersekongkol dengan Liu Ceng, gadis
pemberontak itu? Mari kita datangi dia”
Demikianlah, setelah hujan deras reda dan tinggal gerimis, Kim Bayan
mengajak puteranya, dikawal tiga losin perajurit, berangkat berkuda ke
gedung tempat tinggal Kepala Daerah Yo Bun Sam. Setelah pasukannya siap
berjaga di luar gedung, Kim Bayan dan Kim Magu memasuki gedung. Para
perajurit pengawal di gedung itu tentu saja ketakutan ketika melihat
Panglima Kim Bayan dengan pasukannya. Mereka cepat melaporkan
kunjungan panglima itu kepada Yo-thaijin.
Pembesar Yo Bun Sam adalah seorang Pribumi Han yang karena lulus
ujian negara dengan baik lalu menerima pangkat. Setelah bekerja beberapa
tahun lamanya di kota raja dan ternyata dia memang cakap memegang
jabatannya, dia menerima kenaikan-kenaikan dan akhirnya dia diangkat
menjadi kepala daerah di Cin-yang. Pemerintah Kerajaan Mongol memang
pandai menggunakan tenaga orang-orang pribumi Han yang pandai untuk
membantu kelancaran roda pemerintahan. Seorang kepala daerah pribumi
Han tentu akan lebih ditaati oleh penduduknya. Dan memang benar, setelah
Yo Bun Sam menjadi kepala daerah Cin-yang, daerah itu aman karena Yothaijin
ini bersikap bijaksana dan adil, berani menentang pejabat yang jahat
dan membela rakyatnya.
Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Panglima Kim Bayan,
seorang panglima perang yang tentu saja memiliki kekuasaan jauh lebih
besar daripada dia. Maka mendengar kunjungan Panglima Kim Bayan, Yothaijin
cepat mengenakan pakaian kebesarannya dan menyambut. Mereka
bertemu di ruangan depan dan Yo-thaijin segera menyambut dengan sikap
hormat.
“Ah, kiranya Kim Thai-ciangkun (Panglima Besar Kim) yang datang
berkunjung. Silakan duduk, Ciangkun.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Akan tetapi Kim Bayan menanggapi sambutan ramah dan hormat itu
dengan mata melotot marah.
“Yo Bun Sam! Aku datang bukan untuk duduk denganmu. Aku datang
mau bertanya, mengapa engkau berani mati menyuruh seorang gadis
pemberontak untuk menghina puteraku Kim Magu ini beberapa bulan yang
lalu. Hayo jawab!”
Yo Bun Sam segera dapat mengetahui apa yang menyebabkan panglima
itu datang dan marah-marah kepadanya. Dia tetap tenang lalu menjawab.
“Kim Thai-ciangkun, harap Ciangkun bersabar dan saya dapat memberi
penjelasan tentang peristiwa itu. Saya sama sekali tidak mengenal gadis itu
dan apa yang ia lakukan terhadap Kim-kongcu sama sekali tidak saya ketahui
dan tidak ada sangkut pautnya dengan saya. Mestinya kemarahan Ciangkun
itu ditujukan kepada gadis itu, bukan kepada saya karena saya tidak pernah
berurusan dengan Kim-kongcu, apalagi menghinanya.”
“Akan tetapi engkau mengirim Lai Koan ke penjara dan engkau menegur
Kepala Pengadilan Kui, dan engkau melindungi keluarga Siok” tiba-tiba Kim
Magu berseru nyaring, membentak dengan marah.
“Kim Thai-ciangkun dan Kim-kongcu, dengarlah penjelasan saya yang
jujur dan apa adanya. Saya sama sekali tidak mencampuri urusan gadis
pendekar itu dan Kim-kongcu...”
“Gadis pendekar? Pek-eng Sianli Liu Ceng itu adalah seorang gadis
pemberontak” bentak Kim Bayan.
“Terserah Ciangkun hendak menyebutnya sebagai apa. Saya tidak
mempunyai hubungan dengannya, dan apa yang saya lakukan hanyalah
sesuai dengan tugas saya sebagai kepala daerah yang harus mengatur dan
menjaga agar Cin-yang ini aman dan tenteram. Ketika saya didatangi
keluarga Siok yang minta perlindungan ke sini dan mendengar apa yang
dilakukan oleh Perwira Lai Koan, tentu saja saya harus bertindak. Saya
melindungi mereka karena sebagai penduduk Cin-yang mereka yang tidak
berdosa itu terancam keselamatannya. Mendengar bahwa Lai Koan
melakukan penyelewengan dalam tugasnya mengumpulkan pekerja bakti,
sewenang-wenang menggunakan kekerasan dan menerima uang sogokan,
setelah melihat bukti-buktinya, saya lalu menuntutnya ke pengadilan dan dia
dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan. Hal itu sudah sewajarnya dan
sepatutnya, bukan? Saya lalu menegur Kepala Pengadilan Kui karena dia pun
bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga Siok. Tentang perlindungan
yang saya berikan kepada Chao Kung, isterinya, ayah mertua dan adik
iparnya, hal itu sudah sewajarnya. Penduduk Cin-yang siapa saja yang minta
perlindungan kepada saya dan mereka memang tidak berdosa dan
diperlakukan sewenang-wenang, pasti akan saya lindungi. Nah, demikianlah,
Kim Thai-ciangkun. Saya hanya memenuhi kewajiban saya dan sama sekali
tidak mencampuri urusan Kim-kongcu dan gadis itu.”
“Yo Bun Sam! Keluarga Siok itu menggunakan seorang gadis pemberontak
sebagai pelindung, berarti mereka adalah keluarga pemberontak pula. Dan
engkau melindungi mereka, biarpun engkau tidak langsung menjadi
pemberontak, berarti engkau sudah bersekongkol dengan pemberontak.
Puteraku telah dihina, berarti akulah yang dihina. Hayo cepat berlutut dan
minta ampun, baru aku mungkin dapat mengampunimu” bentak Panglima
Besar Kim Bayan.
Wajah Yo Bun Sam berubah merah dan matanya bersinar penuh
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
kemarahan. Dia adalah seorang yang berjiwa patriot, dalam arti kata bukan
menentang penjajah Mongol dengan kekerasan, melainkan berusaha
mencapai kedudukan agar dengan kekuasaannya dia dapat membela rakyat
bangsanya. Dia seorang yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dalam
membela keluarga Siok dia sama sekali tidak merasa bersalah. Maka, kini
diancam dan digertak agar dia berlutut minta ampun? Tentu saja dia tidak
sudi melakukannya
Dia teringat akan riwayat para patriot yang rela berkorban nyawa untuk
bangsanya, seperti Patriot gagah perkasa Jenderal Gak Hui, dan masih
banyak lagi. Dia pengagum mereka, maka biarpun dia memiliki kedudukan
cukup tinggi, Yo Bun Sam tidak pernah bertindak sewenang-wenang, belum
pernah mau menerima sogokan dan tidak pernah melakukan korupsi sehingga
dialah satu di antara pejabat yang tidak menjadi kaya raya. Kini bangkit
kemarahannya mendengar Kim Bayan memaksanya berlutut minta ampun.
“Kim Thai-ciangkun” katanya dengan sikap tegak dan gagah.
“Saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadap Ciangkun
ataupun terhadap Kim-kongcu. Mengapa saya harus berlutut minta maaf?
Berlutut minta ampun berarti mengakui kesalahan, padahal saya tidak
bersalah apa-apa.”
“Engkau tidak mau berlutut minta ampun?” bentak Kim Bayan dan
kemarahannya memuncak.
“Saya tidak dapat melakukan itu, Ciangkun”
“Yo Bun Sam! Engkau pelindung pemberontak. Engkau berani menentang
dan melawan aku?”
“Saya tidak menentang Ciangkun...”
“Jahanam” Kim Bayan bergerak cepat, tangan kanannya memukul dengan
telapak tangan ke arah dada Yo Bun Sam.
Pembesar tinggi kurus yang tidak pernah belajar silat itu tidak dapat
mengelak maupun menangkis. Pukulan itu cepat sekali datangnya dan
mengandung tenaga yang amat dahsyat.
“Syuuuuttt... desss”
Tubuh tinggi kurus Kepala Daerah Cin-yang itu terlempar ke belakang,
menabrak dinding dan roboh menelungkup, tewas seketika. Darah mengucur
dari mulut, hidung, dan telinganya. Setelah memukul mati Yo Bun Sam,
kemarahan Kim Bayan mereda.
“Hayo kita pulang” katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah
lebar keluar dari gedung itu. Dia tidak mempedulikan ratap tangis yang
segera terdengar riuh rendah di ruangan depan itu.
Setibanya di halaman gedung, Kim Bayan hendak memberi isyarat kepada
pasukannya untuk berangkat pulang. Akan tetapi Kim Magu segera berkata.
“Ayah, aku minta pinjam selosin perajurit untuk memberi hajaran kepada
keluarga. Siok”
“Hemm, terserah!” Kim Bayan lalu pergi diikuti dua losin perajurit karena
yang selosin ditahan Kim Magu.
Dengan bangga dan girang, Kim Magu lalu memimpin selosin orang
perajurit itu, duduk di atas punggung kudanya dengan wajah berseri dan
dada dibusungkan, mula-mula dia pergi ke rumah Kui Con. Dia mengajak
sahabat baiknya itu untuk ‘membalas dendam’ kepada keluarga Siok. Tentu
saja Kui Con, putera tunggal Kepala Pengadilan Kui Hok, merasa gembira
sekali mendengar bahwa Yo-thaijin telah dibunuh oleh Panglima Kim Bayan.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Sejak dulu, Kui Con memang tergila-gila kepada Siok Hwa, enci Siok Eng
atau isteri Chao Kung. Dulu pun ketika Kim Magu ingin mengambil Siok Eng
sebagai selir, dia sendiri ingin mendapatkan Siok Hwa sebagai kekasihnya
walaupun Siok Hwa telah menjadi isteri orang lain. Kini tiba saatnya untuk
membalas dendam dan melaksanakan hasrat hatinya yang selama ini
terpendam karena takut kepada Yo-thaijin yang melindungi keluarga Siok.
Demikianlah, Kui Con menunggang kuda dengan sikap angkuh di samping
Kim Magu, dikawal selosin orang perajurit, menuju ke rumah Chao Kung.
Penduduk kota Cin-yang yang berada di jalan dan melihat dua orang pemuda
itu, mengerutkan alis dan mereka heran melihat dua orang yang terkenal
sebagai perusak anak bini orang itu kini berani muncul kembali setelah
setahun lebih tak pernah tampak di tempat umum. Pasti akan terjadi sesuatu
yang gawat, pikir mereka dengan khawatir.
Pada saat itu, Chao Kung membuka tokonya yang tidak terlalu besar
seperti biasa. Dia berdagang rempa-rempa dan dalam pekerjaannya itu dia
telah dibantu oleh ayah mertuanya, Siok Kan, isterinya Siok Hwa dan adik
isterinya, Siok Eng. Ada pula seorang pembantu wanita setengah tua yang
bekerja di dapur. Mereka sama sekali belum mendengar nasib yang menimpa
pelindung mereka, yaitu Kepala Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam.
Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang itu ketika tibatiba
selosin orang perajurit yang mengawal Kim Magu dan Kui Con telah
berada di depan toko Saking kagetnya, mereka berempat hanya terbelalak
memandang dua orang pemuda itu yang sudah melompat turun dari
punggung kuda mereka dan cengar-cengir memasuki toko. Chao Kung yang
tinggi kurus dan pemberani itu cepat melangkah maju seolah melindungi
ayah mertuanya, isteri dan adik iparnya, lalu memberi hormat dan bertanya
dengan sikap sopan namun suaranya tegas.
“Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) datang berkunjung mempunyai
keperluan apakah?”
Akan tetapi Kim Magu dan Kui Con yang sudah bersepakat mencabut
golok masing-masing dan Kim Magu membentak marah.
“Kalian keluarga pemberontak. Kalian sudah memberontak terhadap
pemerintah. Kami datang untuk membasmi kalian”
Setelah berkata demikian, Kim Magu memberi isyarat kepada para
perajurit pengawalnya dan selosin orang perajurit itu lalu menyerbu ke dalam
toko.
Chao Kung terkejut bukan main dan karena dia sedang berjualan, maka
dia tidak mempersiapkan senjata. Dia mencoba melawan ketika para perajurit
itu menyerbu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Magu dan Kui Con juga sudah
menyerangnya. Tingkat kepandaian Chao Kung hanya sebanding dengan
tingkat Kim Magu atau Kui Con, maka kini, dengan tangan kosong dia
menghadapi penyerangan dua orang pemuda bangsawan yang bersenjata
golok, masih dikeroyok lagi oleh selosin perajurit, tentu saja dia hanya mampu
melawan sebentar. Bacokan bertubi-tubi menghunjam tubuhnya sehingga dia
roboh mandi darah dan tewas seketika.
Siok Kan hendak menolong mantunya, akan tetapi sambaran golok Kim
Magu membuat lehernya hampir putus dan dia pun roboh di dekat mayat
mantunya. Siok Hwa dan Siok Eng menjerit-jerit menangisi suami dan
ayahnya, akan tetapi Kim Magu sudah meringkus Siok Eng dan Kui Con
meringkus Siok Hwa. Dua orang wanita itu meronta-ronta dan menjerit-jerit,
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
akan tetapi tentu saja mereka tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan
dua orang pemuda itu. Saking sedih melihat suami dan ayahnya tewas,
disertai rasa takut dan marah, Siok Hwa terkulai pingsan. Ia dirangkul dan
dibawa meloncat ke atas punggung kuda oleh Kui Con.
Siok Eng juga meronta-ronta dan menjerit, memaki-maki, akan tetapi
tubuhnya dirangkul ketat oleh Kim Magu sehingga ia tidak mampu bergerak,
dan ia pun dibawa naik ke atas punggung kuda oleh Kim Magu. Selosin orang
pengawal itu, seperti biasa, menggunakan kesempatan itu untuk mengambil
barang-barang yang berharga dari toko dan rumah itu. Sikap dan perbuatan
mereka itu tiada ubahnya segerombolan perampok.
Ketika peristiwa itu terjadi, para tetangga, bahkan mereka yang sedang
berlalu-lalang atau berdekatan dengan rumah Chao Kung, ketakutan dan
menjauhi tempat itu. Setelah pasukan itu pergi, barulah para tetangga berani
mendekat. Mereka menemukan Ciu-ma, pelayan wanita keluarga itu, sedang
berlutut dan menangisi mayat Siok Kan dan Chao Kung yang mandi darah.
Para tetangga cepat bergotong-royong merawat dan mengatur pemakaman
ayah mertua dan mantu itu secara sederhana.
Ciu-ma kini menjaga rumah itu seorang diri dengan hati penuh rasa ngeri,
takut dan juga sedih dan bingung. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak
keluarga dan keluarga Siok itu sudah menganggapnya sebagai keluarga
sendiri. Bahkan ia pula yang dahulu menjadi inang pengasuh Chao Kung
ketika masih kecil. Maka biarpun kini Chao Kung telah tewas bersama ayah
mertuanya, dan nyonya rumah Siok Hwa dan adiknya, Siok Eng, dilarikan Kim
Magu dan Kui Con, ia tidak dapat meninggalkan rumah itu.
Dengan hati dipenuhi rasa duka melihat kematian ayahnya, dan penuh
kebencian terhadap pemuda Mongol muka hitam yang menculiknya, Siok Eng
tiada hentinya meronta dan berusaha melepaskan diri.
“Jahanam busuk, manusia terkutuk!”
Siok Eng memaki-maki, akan tetapi sambil tertawa Kim Magu melarikan
kudanya pulang ke sebuah pondok yang menjadi tempat peristirahatannya.
Dia tidak mau membawa gadis tawanannya itu pulang, karena di sana
terdapat banyak orang. Ibu kandungnya, para ibu tirinya, para pembantu
rumah tangga dan banyak pula perajurit pengawal sehingga dia akan merasa
tidak leluasa. Maka dia membawa Siok Eng ke rumah peristirahatannya yang
hanya dijaga oleh seorang pelayan wanita tua.
Setelah tiba di rumah itu, Kim Magu membiarkan kudanya dituntun
pelayannya ke istal di belakang, sedangkan dia sendiri memondong tubuh
Siok Eng yang meronta-ronta, memasuki rumah itu sambil tertawa-tawa
gembira. Setelah memasuki kamarnya, dia melemparkan tubuh Siok Eng ke
atas pembaringan.
Tentu saja Siok Eng menjadi marah dan juga ngeri karena ia dapat
menduga apa yang akan dilakukan pemuda setan itu kepada dirinya. Ia
merasa putus harapan karena sejak tadi, semua jeritannya sia-sia belaka,
tidak ada orang yang berani mencampuri urusan Kim-kongcu, apalagi tadinya
masih timbul harapannya akan muncul tunangannya, Pouw Cun Giok, yang
gagah perkasa dan pasti akan menolongnya. Akan tetapi setelah tiba di
dalam rumah dan dirinya dilempar ke atas pembaringan, musnahlah semua
harapannya.
Siok Eng maklum sepenuhnya bahwa keadaannya gawat, kehormatannya
terancam dan ia sama sekali tidak berdaya. Melawan pun tidak ada artinya
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
sama sekali karena ia adalah seorang gadis yang lemah dan Kim-kongcu
selain pandai ilmu silat, juga memiliki tenaga besar. Pada saat itu, sambil
memandang wajah Kim-kongcu dengan ketakutan, ia teringat akan Pouw Cun
Giok dan timbul rasa penyesalannya yang amat besar. Tunangannya itu tidak
pernah muncul selama dua tahun, bahkan kini ia berada dalam ancaman
bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, tetap saja tunangannya itu
tidak muncul dan tidak dapat diharapkan.
Mengingat akan kematian kakak ipar dan ayahnya, timbul dendam hebat
di hati Siok Eng. Ia harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan
kehormatannya. Lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatannya
kepada pemuda biadab ini. Siok Eng mengambil tusuk sanggulnya yang
terbuat dari perak dan berujung runcing. Ia sengaja tidak mengelak ketika
bagaikan seekor harimau menubruk domba, Kim Magu menerkam, merangkul,
dan menciuminya. Pada saat pemuda itu lengah oleh memuncaknya nafsu
ketika kedua tangan pemuda itu mulai merenggut dan menanggalkan pakaian
Siok Eng yang sengaja dibiarkan saja oleh gadis itu, tiba-tiba tangan kanan
Siok Eng yang sejak tadi sudah mempersiapkan tusuk kondenya, menyambar
dengan pengerahan sekuat tenaga ke wajah Kim Magu.
Pada saat itu, Kim Magu sedang dimabok nafsu dan sama sekali tidak
mengira bahwa gadis yang sudah dicengkeramnya dan agaknya sudah
menyerah itu akan menyerangnya. Dia menjadi lengah dan serangan itu
terlalu dekat sehingga dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.
“Crottt...”
“Aduhhhh...”
Kim Magu melompat ke belakang seperti terpental dan kedua tangannya
mendekap mata kirinya dimana masih menancap tusuk konde yang
panjangnya sejengkal lebih itu dan yang sudah memasuki matanya hampir
seluruhnya. Dia menjerit-jerit kesakitan, lalu berhasil mencabut tusuk konde
itu. Darah muncrat-muncrat dari mata kirinya. Kemarahan dan rasa nyeri
membuat Kim Magu hampir gila. Dia menerkam tubuh Siok Eng yang masih
telentang di atas pembaringan, lalu kedua tangannya memukul, mencekik
membabi buta.
Tentu saja Siok Eng tidak mampu menghindar, akan tetapi juga tidak
terlalu lama menderita karena pukulan pertama yang mengenai kepalanya
saja sudah cukup untuk menewaskannya. Biarpun Kim Magu mengamuk,
memukuli dan mencekik, ia tidak merasakan lagi. Siok Eng tewas dalam
keadaan masih belum ternoda kehormatannya dan biarpun ia hanya seorang
wanita lemah, namun ia tewas sebagai seorang wanita yang gagah berani,
lebih baik kehilangan nyawa daripada menyerahkan kehormatannya untuk
dinodai dan dihina
Kim Magu marah bukan main. Bukan saja dia gagal memuaskan gairah
nafsunya, sebaliknya dia malah kehilangan mata kirinya. Tidak ada tabib di
Cin-yang mampu memulihkan matanya karena biji matanya telah hancur
tertusuk benda runcing berupa tusuk sanggul itu. Dia menjadi buta sebelah
sehingga membuat wajahnya yang tadinya gagah, biarpun berkulit hitam,
kini menjadi buruk menjijikkan dan menyeramkan.
Nasib Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung tidak lebih baik daripada nasib
Siok Eng. Dalam keadaan pingsan dia dibawa oleh Kui Con ke rumah
pelacuran dan selagi pingsan ia diperkosa oleh putera Kepala Pengadilan itu.
Setelah siuman dari pingsannya dan melihat kenyataan bahwa dirinya telah
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
dinodai, Siok Hwa bertindak nekat, mengigit putus lidahnya sendiri lalu
membenturkan kepalanya pada dinding kamar sehingga kepalanya retak dan
ia tewas seketika.
Demikianlah, dalam waktu sehari saja, seluruh keluarga itu telah terbasmi
habis. Siok Kan, kedua orang puterinya Siok Hwa dan Siok Eng, juga
mantunya Chao Kung, tewas dalam keadaan menyedihkan. Padahal, keluarga
ini terkenal sebagai keluarga yang baik, sebagai manusia-manusia yang
memiliki sikap, ucapan, dan perbuatan yang tak pernah tercela. Juga suka
menolong orang yang membutuhkan pertolongan, suka menyumbangkan
sebagian penghasilannya, tak pernah bermusuhan. Akan tetapi, akhirnya
mereka tewas dalam keadaan mengerikan.
Sebaliknya, banyak sekali orang-orang yang pada umumnya tidak disuka
rakyat, yang hanya menumpuk harta, yang lalim kejam dan suka bertindak
sewenang-wenang, yang pada umumnya disebut sebagai orang jahat, dapat
hidup kaya raya penuh kemewahan dan kemuliaan. Mengapa orang yang
hidup sebagai orang yang baik malah sengsara dan orang yang hidupnya
jahat malah berbahagia? Adilkah itu?
Pertanyaan ini dilontarkan orang sejak dahulu, membuat manusia merasa
penasaran, bahkan ada yang berani menuduh bahwa Tuhan itu tidak adil.
Dua jiwa yang baru dilahirkan sebagai manusia, yang keduanya belum
sempat membuat dosa, mengapa keadaannya amat berbeda? Yang satu
dilahirkan sebagai putera raja, disambut dengan segala kemuliaan oleh
rakyat, sedangkan yang lainnya dilahirkan sebagai anak seorang pengemis di
kolong jembatan, tak seorang pun mempedulikannya. Mengapa begitu?
Benarkah dugaan sementara orang bahwa Tuhan tidak adil?
Dugaan seperti itu sesungguhnya keliru dan menunjukkan bahwa yang
berpikiran demikian adalah orang yang imannya terhadap Tuhan rapuh
adanya. Tuhan tetap Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Kasih dan Penyayang
Akan tetapi kuasa-Nya, keadilan-Nya, kasih-Nya tidak dapat diukur dengan
pengertian manusia. Manusia mendasarkan kasih dan keadilan kepada
kepentingan diri sendiri. Yang baik untuk dirinya, yang menguntungkan, itu
baru adil.
Padahal keadilan dan Kasih Tuhan itu meliputi seluruh alam mayapada
dan isinya, bukan hanya pada perorangan yang selalu mengutamakan
kepentingan sendiri. Kalau diukur dengan pengertian manusia, memang
segala hal itu tampaknya tidak adil atau adil, tergantung si penilai demi
keuntungan diri sendiri masing-masing. Hujan pun membuat sebagian orang
yang diuntungkan memuji sebagai keadilan akan tetapi bagi orang lain yang
merasa dirugikan mencelanya sebagai hal yang tidak adil. Terik matahari juga
bisa disambut pujian atau keluhan.
Keadilan Tuhan itu mutlak, tak terjangkau oleh pikiran kita, tak dapat
diukur, tak dapat diperhitungkan, tak dapat dimengerti. Segala sesuatu yang
terjadi di dunia dalam kehidupan manusia ini pasti bersebab dan berakibat.
Tidak ada orang yang lolos dari sebab perbuatannya sendiri. Siapa menanam,
dia akan memetik buahnya. Menabur dan menuai tak dapat dipisahkan.
Sebab dan akibat itu merupakan mata rantai yang kekal. Sulit menemukan
orang yang menyadari bahwa buah yang pahit itu adalah buah pohon yang
dulu dia tanam sendiri.
Sulit pula menemukan orang yang ketika melakukan suatu perbuatan itu
berarti dia menanam semacam pohon dan kelak perbuatan atau pohon itu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
akan berbuah dan dia sendiri yang akan memakannya. Orang bijaksana yang
menyadari kedua hal ini, pasti akan berhati-hati kalau menanam (berbuat)
sehingga memilih pohon yang baik, dan akan menerima segala yang menimpa
dirinya tanpa mengeluh atau menyalahkan siapa-siapa karena menyadari
bahwa yang menimpa dirinya itu merupakan buah dari pohon tanamannya
sendiri atau sebagai akibat dari perbuatannya sendiri.
Maka, berbahagialah orang yang selalu siap melakukan perbuatan yang
membahagiakan orang lain dan menganggap perbuatan itu sebagai
KEWAJIBAN, sebagai pembuktian rasa bersyukur kepada Tuhan dengan jalan
menyalurkan segala anugerah Tuhan kepadanya, bukan menganggap
perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan. Orang yang membanggakan
perbuatan baiknya sebetulnya tidak berbuat baik, melainkan melakukan
perbuatan yang pamrihnya bersumber kepada keuntungan diri pribadi, yaitu
berupa keuntungan materi atau keuntungan batin seperti pujian dan
sanjungan dan kebanggaan.
Matahari yang setiap hari menyinarkan cahaya yang menghidupkan
semua makhluk, tak pernah menuntut imbalan karena hal itu merupakan
kewajibannya. Kalau kita melakukan perbuatan yang kita anggap baik, seperti
menolong orang lain, maka kita sudah memperoleh imbalannya, yaitu rasa
bangga, pujian atau sanjungan itu. Itulah buahnya. Akan tetapi kalau kita
melakukan perbuatan sebagai penyalur Kasih Tuhan, sebagai kewajiban,
maka tanpa kita harapkan pun Tuhan pasti akan memberi buahnya.
Orang baik hidupnya sengsara atau orang jahat hidupnya bahagia, bayi
lahir dalam keadaan mulia atau yang lain lahir dalam keadaan sengsara. Hal
itu merupakan rahasia bagi kita, karena segala rencana Tuhan sama sekali
tidak dapat dijangkau oleh pikiran kita, sama sekali tidak sama dengan
rencana kita yang bersumber kepada menguntungkan diri sendiri. Ada yang
menganggap itu sebagai Karma, buah dari pada perbuatan-perbuatannya
dahulu ketika jiwa itu terlahir di masa sebelumnya. Akan tetapi apa dan
bagaimana perbuatan di masa kehidupan lalu itu pun tidak ada yang mampu
menjelaskannya karena itu semua merupakan rahasia yang hanya diketahui
dan direncanakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kota Cin-yang menjadi gempar ketika mendengar hahwa Kepala Daerah
Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun Sam yang mereka hormati dan kasihi karena
pembesar itu bijaksana dan adil, telah terbunuh, kabarnya dibunuh Panglima
Kim Bayan. Karena pembunuhnya seorang panglima besar, maka hal itu tidak
sampai menjadi urusan yang berkepanjangan, apalagi Kim Bayan melapor ke
kota raja bahwa Yo Bun Sam membantu dan bersekongkol dengan para
pemberontak. Kegemparan menjadi-jadi ketika para penduduk mendengar
bahwa Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, dibunuh oleh pasukan
perajurit yang mengawal Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Kemudian mereka
mendengar bahwa isteri Chao Kung, yang dibawa Kui-kongcu, telah tewas
membunuh diri, demikian pula Siok Eng yang dibawa Kim-kongcu, kabarnya
juga telah tewas karena berani melukai Kim-kongcu dan dibunuh.
Berita itu mendatangkan kegemparan dan rasa penasaran, akan tetapi
siapakah yang akan berani menuntut dan kalau dituntut sekalipun, kepada
siapa? Kim Bayan adalah seorang panglima besar yang berkuasa, sedangkan
ayah Kui-kongcu, yaitu Kui Hok adalah Kepala Pengadilan yang akan
menyidangkan semua perkara sehingga para penuntut tentu saja akan mati
kutu dan kalah dalam perkara mereka.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Akan tetapi, seperti juga segala macam peristiwa yang terjadi, baik itu
menyenangkan ataupun menyusahkan, akan luntur dimakan waktu. Demikian
pula dengan peristiwa yang menggemparkan penduduk Cin-yang itu. Setelah
lewat kurang lebih dua bulan, jarang ada yang membicarakan peristiwa itu
lagi, bahkan sebagian orang sudah melupakannya. Kehidupan berjalan lancar
dan normal kembali walaupun kini setelah Kepala Daerah Cin-yang diganti,
penduduk merasa tidak ada lagi yang membela dan melindungi mereka. Para
pejabat, dari yang kecil sampai yang paling besar, rata-rata brengsek,
menekan, memeras dan selalu mengejar uang. Suap dan sogok terjadi di
hampir semua bidang dan usaha pun tidak akan lancar kalau tidak
menggunakan cara itu.
--------
Dua bulan kemudian, pada suatu siang seorang pemuda berusia sekitar
duapuluh tahun, tampan gagah dan gerak-geriknya halus, memasuki kota Cinyang.
Pemuda itu adalah Pouw Cun Giok yang telah mengubah niatnya pergi
ke Thai-san menyelidiki tentang harta karun Kerajaan Song yang hilang
diambil orang, dan lebih dahulu hendak berkunjung ke rumah tunangannya,
Siok Eng, yang sudah lama ditinggalkannya.
Setelah memasuki kota itu, kota yang pernah dikunjunginya tiga tahun
lebih yang lalu, bersama gurunya, Suma Tiang Bun, ketika mereka berdua
menolong Siok Kan dan Siok Eng lalu mengantarkan mereka ke kota ini untuk
tinggal di rumah Chao Kung, dia merasa terharu juga. Baru terasa olehnya
betapa dia seolah-olah menyia-nyiakan Siok Eng, tunangannya itu. Mereka
telah bertunangan, bahkan tanda ikatan perjodohan dari gadis itu berupa
tusuk sanggul perak berbentuk pohon Yang-liu sampai sekarang masih ada
padanya. Akan tetapi selama dua tahun dia tidak pernah menjenguknya atau
memberi kabar. Dia dapat membayangkan betapa gadis itu menanti-nantinya
dengan hati bimbang dan sedih.
“Eng-moi...” Dia mengeluh penuh perasaan berdosa dan iba terhadap
tunangannya itu. Dia pun mempercepat langkahnya menuju ke rumah Chao
Kung dimana tunangannya tinggal.
Ketika tiba di depan rumah itu, dia hampir tidak mengenal. Dahulu,
setahunya rumah itu membuka sebuah toko, akan tetapi sekarang tokonya
tidak ada, semuanya bahkan daun pintunya tertutup. Dengan hati agak ragu
dia menghampiri pintu lalu mengetuknya perlahan.
“Tok-tok-tok...”
Tidak ada jawaban dari dalam. Akan tetapi pendengaran Cun Giok yang
tajam dapat menangkap adanya gerakan orang di balik daun pintu itu. Dia
mengetuk
“Tok-tok-tok, harap bukakan pintu, saya Pouw Cun Giok”
Terdengar kaki melangkah mendekati pintu dan daun pintu dibuka dari
dalam. Yang membuka daun pintu itu adalah seorang wanita setengah tua,
pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pembantu rumah tangga.
“Kongcu (Tuan Muda) siapakah dan hendak mencari siapa?” tanya wanita
itu dengan suara gemetar dan sinar matanya jelas tampak ketakutan.
“Saya Pouw Cun Giok, apakah engkau tidak ingat, Ciu-ma?” kata Cun
Giok yang masih mengenal wanita pembantu rumah tangga di rumah itu.
“Pouw Cun Giok... ah, apakah Kongcu ini tunangan Nona Siok Eng...?”
“Benar, Ciu-ma. Dimanakah semua keluarga? Mengapa pintu ditutup dan
dalam rumah tampak begini sepi?”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Masuklah, Kongcu, masuklah...”
Ciu-ma berkata dan suaranya menggetar seperti menahan tangis. Setelah
Cun Giok masuk, Ciu-ma cepat menutupkan dan memalangi pintu itu, setelah
itu dia tidak dapat menahan lagi tangisnya. Ia menjatuhkan diri berlutut di
atas lantai dan menangis sejadi-jadinya, akan tetapi ia menahan sehingga
suara tangisnya tidak keluar, hanya terisak-isak dibarengi membanjirnya air
matanya.
Cun Giok terkejut sekali. Dia menarik wanita itu bangkit dan
membawanya ke ruangan tengah, lalu menyuruhnya duduk di atas kursi di
depannya.
“Tenanglah, Ciu-ma. Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang terjadi
dan mengapa engkau menangis. Dimana adanya semua orang?”
“Aduh, Kongcu... mereka semua mati… mereka semua mati...”
“Ahh...”
Begitu kagetnya Cun Giok sampai dia melompat berdiri dengan wajah
pucat, lalu menghampiri wanita itu dan mengguncang kedua pundaknya.
“Apa yang terjadi? Hayo ceritakan, ceritakan semuanya yang jelas.”
Cun Giok membentak sehingga Ciu-ma yang sudah ketakutan dan
bersedih itu menjadi semakin takut dan tangisnya semakin menjadi-jadi,
sesenggukan sampai sesak napas. Cun Giok segera menyadari bahwa dia
bersikap terlalu kasar dan membuat wanita itu ketakutan. Dia lalu
melepaskan pundak wanita itu, duduk kembali dan berkata dengan tenang
dan sabar.
“Maafkan aku, Ciu-ma. Aku tadi bersikap kasar karena aku merasa kaget
sekali. Nah, hentikan tangismu dan ceritakan dengan jelas apa yang terjadi,
dari awal mula.”
Akhirnya Ciu-ma dapat menenangkan hatinya dan menghentikan
tangisnya, lalu ia bercerita.
“Mula-mulanya terjadi setahun yang lalu. Dua orang pemuda bangsawan,
yaitu Kim-kongcu putera Panglima Besar Kim, dan Kui-kongcu putera Kepala
Pengadilan Kui, ingin menjadikan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa
sebagai selir mereka. Tentu saja pinangan ini ditolak. Utusan mereka,
Panglima Lai menggunakan pasukannya untuk memaksa dan membawa Nona
Siok Eng dan Nyonya Chao Kung atau Siok Hwa. Siok Lo-ya (Tuan Siok) dan
mantunya melawan akan tetapi mereka dihajar pasukan dan kedua orang
wanita itu hendak dibawa dengan paksa. Akan tetapi muncul seorang gadis
pendekar menolong. Gadis itu menghajar Lai-ciangkun dan anak buahnya,
kemudian membawa seluruh keluarga Siok ke gedung Kepala Daerah Yo Bun
Sam. Yo-thaijin yang bijaksana dan adil melindungi keluarga ini sehingga
tidak ada yang berani mengganggu. Kedua orang pemuda bangsawan itu
kabarnya dihajar oleh pendekar wanita itu dan selama ini kehidupan kita di
sini aman karena dilindungi oleh Yo-thaijin.”
“Pendekar wanita itu, siapa namanya, Ciu-ma?”
“Saya tidak tahu, Kongcu, dan saya kira tidak ada yang tahu siapa nama
pendekar itu, hanya orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli. Setelah
menyelamatkan keluarga di sini, ia lalu menghilang dan tidak ada yang tahu
kemana perginya.”
“Hemm...”
Cun Giok diam-diam tercengang karena tidak menyangka sama sekali
bahwa Ceng Ceng telah menyelamatkan tunangannya sekeluarga.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Lalu bagaimana, Ciu-ma? Lanjutkan ceritamu.”
Kegembiraan mendengar bahwa Ceng Ceng yang menolong Siok Eng
hanya merupakan setitik cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti hatinya
sehingga tidak ada artinya. Lemah lunglai seluruh tulang dan syarafnya
mendengar bahwa tunangannya berikut ayahnya sekeluarga telah mati
“Malapetaka itu datang tanpa disangka-sangka, Kongcu. Sekitar dua
bulan yang lalu, di Cin-yang terjadi peristiwa yang menggemparkan seluruh
penduduk kota ini. Kim-kongcu dan Kui-kongcu, dua orang pemuda
bangsawan yang dulu dihajar Pek-eng Sianli dan tak pernah kelihatan lagi itu,
tiba-tiba muncul di sini bersama duabelas orang perajurit mereka. Mereka
menyerang Tuan Muda Chao Kung dan Tuan Tua Siok Kan sehingga mereka
berdua itu tewas di rumah ini, sedangkan Nyonya Siok Hwa dan Nona Siok
Eng mereka culik...”
Kembali air mata mengalir deras dari sepasang mata Ciu-ma.
“Keparat...”
Cun Giok memaki dan wajahnya yang tadi pucat itu kini berubah merah.
Akan tetapi dia mampu mengendalikan diri dan berkata.
“Ciu-ma, lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan Enci Siok Hwa dan Nona
Siok Eng?”
Ciu-ma kembali dengan sukar menahan isak tangisnya.
“Aduh, Kongcu... saya hanya dapat meratap dan menangis... pada
keesokan harinya, mereka itu memulangkan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok
Hwa ke sini... sudah... menjadi mayat...”
“Jahanam busuk!”
Kembali Cun Giok memaki dan kemarahannya memuncak. Dia menggigit
bibir sendiri dan tanpa disadarinya, kedua pipinya juga sudah basah air mata
yang bercucuran keluar dari kedua matanya. Semakin besar kesedihan dan
penyesalannya, dia merasa dosanya terhadap Siok Eng makin besar. Kalau
saja dia bukan seorang tunangan yang begitu buruk, kalau saja dia sering
datang berkunjung, kiranya dia akan dapat melindungi tunangannya itu
bersama keluarganya
“Ahhh... Ciu-ma, kenapa mereka... tewas pula?” tanyanya dengan suara
gemetar.
“Saya hanya mendengar kabar angin bahwa Nona Siok Eng telah
menyerang Kim-kongcu sehingga mata kiri pemuda bangsawan itu menjadi
buta, maka Kim-kongcu lalu memukulnya sampai mati. Sedangkan Nyonya
Siok Hwa, kabarnya ia mati membunuh diri. Saya dibantu para tetangga
hanya dapat mengurus penguburan mereka semua.”
Cun Giok mengusap air mata dari mukanya dengan ujung lengan bajunya.
“Ciu-ma, bukankah katamu tadi Kepala Daerah Yo Bun Sam yang
bijaksana itu melindungi keluarga ini? Bagaimana sampai dapat terjadi
pembunuhan-pembunuhan itu?”
“Aduh, Kongcu. Pada hari yang sama, Yo-thaijin juga tewas dibunuh oleh
Panglima Besar Kim Bayan dengan tuduhan bersekongkol dengan
pemberontak. Tentu semua ini merupakan pembalasan karena dulu Pek-eng
Sianli memberi hajaran keras kepada Kim-kongcu dan Kui-kongcu.”
Cun Giok diam saja sampai lama. Dia hanya duduk dengan kedua tangan
dikepal dan wajahnya yang tampan berubah bengis, matanya mencorong
menakutkan sehingga Ciu-ma tidak berani bergerak dan tidak berani
mengeluarkan suara.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Setelah Cun Giok dapat mengendalikan diri dan menenangkan
perasaannya yang menggelora, dengan lembut dia lalu minta keterangan
kepada Ciu-ma dimana rumah Kim-kongcu dan Kui-kongcu, dan dimana
dikuburnya jenazah Siok Kan, Chao Kung, Siok Eng, dan Siok Hwa. Kemudian,
dia minta diantar oleh Ciu-ma memasuki kamar mendiang Siok Eng.
“Barang-barang berharga dari dalam rumah ini telah habis dirampok oleh
pasukan pengawal duabelas orang itu, Kongcu,” kata Ciu-ma.
Dengan tubuh lemas karena dilanda kesedihan yang besar, jantung Cun
Giok berdebar ketika dia memasuki kamar Siok Eng. Kamar yang sederhana
saja namun bersih karena selama ini Ciu-ma tetap membersihkan setiap
kamar dan ruangan dalam rumah itu tiap hari. Teringat akan kesalahannya
terhadap Siok Eng, tunangannya yang dia tinggalkan, bahkan seolah dia siasiakan
selama dua tahun ini, tak terasa lagi kedua mata Cun Giok kembali
menjadi basah. Dia duduk di tepi pembaringan dan berkata kepada Ciu-ma
dengan lirih.
“Ciu-ma harap tinggalkan aku di sini sejenak.”
Ciu-ma mengerti akan perasaan pemuda itu. Ia mengangguk dan sambil
menghapus air matanya ia keluar dari kamar itu dan tidak lupa menutupkan
daun pintu kamar itu dari luar. Setelah berada seorang diri di kamar
tunangannya itu, Cun Giok tak dapat menahan tangisnya. Dia rebah di atas
pembaringan dan memeluk bantal yang biasa dipergunakan oleh Siok Eng.
“Eng-moi... maafkan aku, Eng-moi... aku berdosa besar padamu... Engmoi,
engkau tetap jodohku, engkau isteriku dan aku akan selalu ingat dan
menganggap engkau sebagai isteriku. Semoga arwahmu tenang, Eng-moi,
percayalah, aku akan membalaskan sakit hatimu, Ayahmu, Encimu dan
suaminya...”
Cun Giok merasa demikian sedih dan terharu, tubuhnya terasa lemas
kehilangan seluruh tenaganya dan akhirnya dia rebah tertidur atau setengah
pingsan di atas pembaringan Siok Eng.
Malam itu bulan tiga perempat bersinar cukup terang. Langit tidak ada
awan sehingga suasananya indah dan cerah. Namun hawa udara amatlah
dinginnya sehingga sebelum tengah malam sudah jarang terdapat orang
berada di luar rumah. Penduduk kota Cin-yang lebih suka berada dalam
kamar di rumah masing-masing.
Cun Giok terbangun sore tadi. Ciu-ma dengan hormat melayani tunangan
bekas nona majikannya, menyediakan air untuk mandi dan menyiapkan
makan malam. Cun Giok yang sudah tenang kembali mandi, bertukar pakaian
dan makan malam tanpa banyak bicara. Dia menjadi pendiam dan seperti
orang melamun, akan tetapi kalau melihat sepasang matanya yang
mencorong, orang akan menjadi ngeri. Ciu-ma melayaninya dengan diamdiam.
Wanita ini pun ketakutan melihat sinar mata Cun Giok.
Setelah dia makan, Cun Giok minta tolong kepada Ciu-ma untuk
menyelidiki, dimana adanya Kim-kongcu dan Kui-kongcu malam itu. Ciu-ma
yang diam-diam juga merasa sakit hati dan membenci kedua orang pemuda
bangsawan itu, lalu pergi. Karena ia sudah mendengar banyak tentang dua
orang muda yang dibencinya itu yang telah membasmi majikannya
sekeluarga, maka tidak sukar baginya untuk mencari tahu dimana adanya
mereka itu.
Ciu-ma segera kembali dan memberitahu kepada Cun Giok bahwa pada
malam itu Kim-kongcu berada di rumah peristirahatannya dilayani para
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
selirnya, sedangkan Kui-kongcu berada di rumah pelesir Bunga Merah di
ujung kota Cin-yang. Setelah mendapat keterangan jelas tentang letak dua
tempat ini, dan mengetahui pula dimana adanya kuburan keluarga Siok,
malam itu, menjelang tengah malam Cun Giok meninggalkan rumah itu dan
tubuhnya berkelebat menghilang di antara bayang-bayang rumah dan
pepohonan.
Di dalam rumah peristirahatannya yang mungil dan mewah, Kim Magu
sedang berpesta pora makan minum dilayani oleh tiga orang selirnya yang
terbaru. Dengan memangku dua orang selir di atas paha kanan kirinya, selir
ketiga menyuapinya dari depan. Gembira bukan main Kim-kongcu pada
malam yang dingin itu. Dia agaknya sudah lupa lagi bahwa di rumah mungil
itulah dia membunuh Siok Eng dua bulan yang lalu setelah gadis yang nyaris
diperkosanya itu menyerangnya dengan tusuk konde sehingga mata kirinya
menjadi buta. Untuk menutupi mata yang kosong itu, yang membuat
wajahnya nampak buruk mengerikan, Kim Magu kini menggunakan sehelai
kain sutera biru untuk diikatkan di kepala menutupi mata kiri itu sehingga
wajahnya kini tampak tidak terlalu buruk.
Kim Magu dan tiga orang selirnya itu tertawa-tawa bergurau sambil
makan minum, bergembira ria tenggelam dalam nafsu kesenangan. Dua orang
wanita pelayan yang tadi menghidangkan makanan dan minuman tidak
berani mengganggu dan mereka berdua berdiam di dapur sambil menanti
perintah. Merekalah yang nanti bertugas membersihkan meja dan ruangan
itu, mencuci piring mangkok.
Bayangan Cun Giok berkelebat di atas genteng rumah itu. Setelah
mempelajari keadaan di bawah, tubuhnya melayang ke belakang rumah.
Dengan cepat sekali tanpa mengeluarkan suara, dia menyelinap masuk ke
dapur melalui pintu belakang. Dua orang wanita pelayan yang berada di
dapur, terkejut setengah mati, akan tetapi sebelum mereka sempat menjerit,
Cun Giok sudah bergerak cepat dan mereka berdua roboh terguling ke atas
lantai dapur dalam keadaan pingsan dan tubuh mereka lemas tertotok.
Setelah merobohkan dua orang wanita pelayan itu sehingga mereka tidak
sempat menjerit atau membuat gaduh, Cun Giok lalu berindap menuju ke
ruangan tengah. Dari dapur saja dia sudah dapat menangkap gelak tawa dan
senda gurau Kim Magu dan tiga orang selirnya. Melihat bahwa di situ tidak
terdapat perajurit pengawal yang menjaga, Cun Giok dengan tenang
melangkah memasuki ruangan itu. Tiga orang selir itu yang lebih dulu melihat
Cun Giok yang melangkah dengan santai.
“Eh, siapa dia?” mereka berseru heran.
Kim Magu mengangkat muka dan dia pun kini dapat melihat Cun Giok.
Marahlah dia karena dia tidak mengenal pemuda itu yang bukan merupakan
seorang perajurit atau pengawal ayahnya.
“Heh, siapa kamu?” bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah
muka Cun Giok.
Dari Ciu-ma, Cun Giok sudah mengenal bahwa pemuda bermata satu itu
pasti yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kimkongcu,
orang yang telah membunuh Siok Eng dan yang mata kirinya buta
oleh serangan tunangannya. Maka, untuk meyakinkan hatinya dan agar
jangan keliru dan salah tangkap, dia membalas pertanyaan pemuda bermata
sebelah itu dengan pertanyaan juga.
“Apakah engkau yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
yang disebut Kim-kongcu?”
Kim Magu menjadi marah bukan main. Karena Cun Giok tampak seperti
seorang pemuda yang lembut dan lemah, maka tentu saja dia memandang
rendah dan tidak menduga sama sekali bahwa yang berdiri di depannya itu
seorang pendekar yang amat lihai. Saking marahnya dia menolak dua orang
selir dari pangkuannya sehingga mereka terhuyung, lalu dia bangkit berdiri
dan menyambar goloknya yang berada di atas meja kecil di belakangnya.
“Orang kurang ajar. Hayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu
berani lancang memasuki rumah ini tanpa ijin”
“Katakan dulu apakah engkau yang bernama Kim Magu?” kembali Cun
Giok bertanya.
Seorang selir Kim-kongcu yang ingin memperlihatkan bahwa ia membela
Kim-kongcu, dengan galak berkata kepada Cun Giok.
“Heh, orang muda yang tidak tahu aturan. Sudah tahu berhadapan
dengan Kim-kongcu, mengapa engkau tidak cepat memberi hormat? Apakah
engkau sudah bosan hidup?”
Kini Cun Giok merasa yakin bahwa inilah orang yang dicarinya, maka
tanpa banyak cakap lagi tubuhnya melompat ke depan, ke arah Kim-kongcu.
Pemuda bangsawan ini menyambutnya dengan bacokan goloknya, akan
tetapi dia terkejut dan heran karena tiba-tiba pemuda itu lenyap dari
depannya dan sebelum dia mengetahui kemana perginya pemuda itu, tibatiba
pergelangan tangan kanannya tertotok dan lengan itu lumpuh sehingga
goloknya terlepas dan jatuh berdentangan di atas lantai. Tiba-tiba Kim Magu
merasa tubuhnya lemas dan kehilangan semua tenaganya, kaki tangannya
tidak dapat digerakkan dan tahu-tahu dia sudah dipanggul ke atas pundak
kanan Cun Giok. Tiga orang selir yang melihat ini lalu menjeri-jerit sekuatnya.
“Tolonggg... tolong.... ada penjahat...”
Cepat sekali tubuh Cun Giok berkelebat dan tiga orang wanita itu roboh
tertotok dan pingsan. Lalu dia melompat keluar dari rumah itu dan berlari
cepat sambil memanggul tubuh Kim Magu yang tidak mampu bergerak atau
mengeluarkan suara. Cun Giok berlari seperti terbang cepatnya dan untung
baginya bahwa jalan-jalan di kota Cin-yang sudah sepi. Andaikata ada yang
kebetulan berada di luar rumah pun, akan sukar melihat pemuda yang
berkelebat amat cepatnya itu. Cun Giok juga memilih bagian yang gelap oleh
bayangan pohon dan rumah untuk dilewatinya.
Cun Giok membawa tubuh Kim Magu itu ke tanah kuburan dimana
makam Siok Kan, Chao Kung, Siok Hwa dan Siok Eng berada dalam keadaan
berjajar dan bong-pai (batu nisan) yang amat sederhana itu pun masih baru.
Cun Giok melempar tubuh Kim Magu ke bawah semak-semak dan setelah
merasa yakin bahwa totokan pada tubuh Kim Magu itu tidak akan dapat pulih
dalam waktu yang cukup lama, dia lalu meninggalkan tanah kuburan.
Kini yang dituju adalah rumah pelesir Bunga Merah karena dia mendapat
keterangan dari penyelidikan Ciu-ma bahwa Kui Con atau Kui-kongcu malam
itu berpelesir dan menginap di rumah pelesir itu. Rumah pelesir itu cukup
besar dan di depannya terdapat sebuah taman bunga yang penuh dengan
bunga berwarna merah. Karena inilah agaknya maka tempat itu dinamakan
Rumah Pelesir Bunga Merah.
Karena malam telah larut, agaknya para tamu yang biasanya memenuhi
ruangan depan sambil minum-minum dilayani para wanita tuna susila, sudah
meninggalkan tempat itu. Hanya ada Kui Con atau Kui-kongcu yang bermalam
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
di situ karena pemuda putera Kepala Pengadilan itu dapat dikatakan
berkuasa di rumah ini yang seolah menjadi rumah peristirahatannya sendiri.
Dialah yang menjadi penyumbang utama dan diandalkan oleh para
pengurusnya.
Pada malam itu, seperti biasa terdapat para tukang pukul yang mendapat
giliran berjaga. Jumlah tukang pukul di tempat itu ada lima orang dan setiap
malam melakukan penjagaan secara bergilir. Akan tetapi malam ini Kuikongcu
bermalam di situ dan seperti biasa Kui-kongcu membawa pengawal
sebanyak lima orang maka di ruangan depan itu kini berkumpul sepuluh
orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan tampak galak menyeramkan.
Mereka sedang bermain kartu akan tetapi tidak berani membuat gaduh
karena Kui-kongcu berada di rumah itu, dalam sebuah kamar bersenangsenang
minum arak dilayani dua orang wanita tuna susila yang menjadi
langganannya.
Kui Con bersendau gurau dengan dua orang wanita itu. Dia tampak
gembira sekali karena setelah membasmi Keluarga Siok dan Kepala Daerah Yo
Bun Sam yang menjadi penghalang baginya tewas, dia selalu tampak
gembira. Kini seperti dulu dia dapat berbuat sesuka hatinya, bersenangsenang
menghamburkan uang ayahnya yang didapat dari suapan dan
sogokan mereka yang mendapatkan perkara di pengadilan.
Setelah minum arak cukup banyak dan mulai agak mabok, Kui Con
menyuruh pelayan menyingkirkan semua sisa makanan dan minuman dari
kamar itu dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan dua orang
wanita cantik itu.
Tiba-tiba daun jendela yang menghadap ke taman terbuka dan sesosok
bayangan berkelebat. Tahu-tahu dalam kamar itu telah berdiri Cun Giok Dua
orang wanita penghibur itu terkejut dan menjerit, akan tetapi mereka segera
roboh tertotok. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenalnya itu, Kui Con
menjadi marah sekali. Dia bukan seorang pemuda lemah, karena bersama Kim
Magu dia telah mempelajari ilmu silat yang cukup lumayan. Segera dia
menyambar sebatang golok yang tak pernah terpisahkan dari dirinya dan
mencabut golok itu.
“Jahanam busuk, siapa engkau berani mengacau di sini?” bentaknya.
“Apakah engkau yang bernama Kui Con? Aku diutus oleh Kim Magu untuk
menemuimu.”
Kui Con tertegun heran.
“Kim-kongcu mengutusmu menemui aku? Benar, aku adalah Kui Con.
Engkau siapakah dan diutus apa oleh Kim-kongcu?”
“Aku diutus untuk mengajak engkau menemuinya.”
Kui Con mengerutkan alisnya, kecurigaannya muncul kembali, apalagi
ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh dua orang gadis penghibur
itu yang menggeletak di atas lantai tanpa dapat bergerak.
“Tidak mungkin Kim-kongcu memanggilku tengah malam begini. Hayo
katakan, siapa engkau dan apa maksudmu sebenarnya?”
Cun Giok kini merasa yakin bahwa pemuda inilah yang bernama Kui Con
yang dulu menculik Siok Hwa. Maka dia berkata.
“Kui Con, engkau harus ikut denganku, mau atau tidak mau.”
Kui Con marah sekali. Dia berteriak memanggil pengawal sambil
menerjang ke depan, menyerang Cun Giok dengan goloknya. Akan tetapi
menghadapi Cun Giok, ilmu silat pemuda ini sama sekali tidak ada artinya.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Hanya satu kali tubuh Cun Giok bergerak dan golok itu telah terlepas dari
tangan Kui Con dan di lain saat dia telah terkulai lemas karena ditotok jalan
darahnya. Cun Giok segera menangkap dan memanggulnya.
Pada saat itu, sepuluh orang pengawal yang mendengar teriakan Kui Con
dan memasuki kamar itu, melihat Kui Con dipanggul seorang pemuda, mereka
segera menyerang dengan senjata tajam mereka berupa golok atau pedang.
Sambil memanggul tubuh Kui Con yang tak mampu bergerak atau
bersuara, Cun Giok menyambut serangan sepuluh orang pengawal itu dengan
tendangan kedua kakinya. Kedua kaki itu menyambar-nyambar dengan
kecepatan yang tak dapat diikuti penglihatan para pengeroyok itu dan tahutahu
tubuh mereka terlempar dan berpelantingan. Mereka hanya dapat
berteriak mengaduh. Setelah sepuluh orang itu roboh semua oleh
tendangannya, Cun Giok lalu melompat keluar dari rumah pelesir itu dan
menghilang dalam gelap. Sepuluh orang pengawal yang tidak terluka parah,
merangkak bangkit dan mencoba mengejar, akan tetapi mereka tidak
menemukan jejak Cun Giok yang menculik Kui-kongcu. Terpaksa mereka lalu
beramai-ramai pergi ke gedung Kepala Pengadilan Kui Hok untuk melaporkan
peristiwa itu.
Kui-thaijin tadinya marah sekali karena pada tengah malam begitu dia
terganggu dan harus bangun, akan tetapi setelah mendengar laporan mereka
bahwa puteranya diculik orang, dia lalu mengerahkan semua perajurit
pengawal yang ada untuk melakukan pencarian.
Cun Giok dengan cepat membawa Kui Con ke tanah kuburan dan setelah
melemparkan tubuh Kui-kongcu itu ke atas tanah, dia lalu menyeret keluar
tubuh Kim-kongcu dari bawah semak-semak dan melemparkan tubuhnya
dekat tubuh Kui-kongcu. Ketika dua orang pemuda itu mengetahui keadaan
masing-masing, timbullah perasaan takut dan ngeri dalam hati mereka.
Kurang puas dengan sinar bulan, Cun Giok lalu menyalakan empat batang
obor yang memang sudah dia persiapkan sehingga tempat itu menjadi terang.
Dua orang pemuda bangsawan itu ngeri melihat bahwa mereka berada di
depan empat kuburan baru yang berjajar. Mereka tidak pernah berkunjung ke
tanah kuburan dan tidak tahu kuburan siapakah yang berada di depan mereka
itu.
Cun Giok menghampiri Kim Magu dan sekali tangannya bergerak, pemuda
Mongol itu telah terbebas dari totokan. Dia mencoba bangkit berdiri, akan
tetapi karena tadi agak lama berada dalam keadaan lumpuh, dia terhuyung
dan jatuh terduduk di atas tanah. Selain sudah dapat bergerak, Kim Magu
juga sudah dapat bersuara. Dia memandang dengan muka pucat dan mata
terbelalak kepada Cun Giok. Lenyaplah kesombongannya dan dengan hatihati
dia bertanya.
“Sobat, siapakah engkau ini? Dan mengapa engkau menangkapku dan
membawaku ke sini? Tidakkah engkau tahu bahwa aku ini putera Panglima
Besar Kim Bayan yang menguasai seluruh pasukan daerah ini?”
Cun Giok menatap tajam wajah yang sebelah matanya tertutup kain
sutera itu.
“Kim Magu, engkau harus mengaku apa yang telah kaulakukan dengan
mereka yang jenazahnya dikubur di sini”
Dia menuding ke arah empat gundukan tanah kuburan itu. Kim Magu
terbelalak memandang empat batu nisan itu.
“Ini... ini... kuburan siapakah? Aku tidak mengenal mereka...”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Tidak mengenal mereka? Coba ingat baik-baik, ini adalah makam Paman
Siok Kan, Chao Kung, isterinya Siok Hwa dan Nona Siok Eng. Engkau masih
hendak mengatakan bahwa engkau tidak mengenal mereka?”
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Kim Magu. Wajahnya menjadi
semakin pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu dibuka lebar-lebar.
Tidak mungkin lagi dia menyangkal, maka dia menjawab mencoba untuk
membela diri.
“Ya, aku ingat sekarang. Akan tetapi, Taihiap (Pendekar Besar), mereka
ini adalah keluarga pemberontak yang hendak memberontak terhadap
pemerintah. Kami mendapat tugas untuk membasmi keluarga pemberontak
ini.”
“Hemm, begitukah?”
“Sungguh, Taihiap, aku hanya membasmi keluarga pemberontak. Aku
tidak bersalah...” kata Kim Magu penuh harap.
Kui Con yang belum mampu bergerak atau bersuara, ikut mendengarkan,
ikut merasa ketakutan dan kini juga mengharapkan agar pemuda lihai yang
menawannya itu mau percaya keterangan Kim Magu.
“Kalau begitu, mengapa engkau menculik Nona Siok Eng? Hayo jawab”
Tubuh Kim Magu gemetar ketika Cun Giok menyinggung soal Siok Eng.
Akan tetapi pemuda ini cerdik dan cepat mendapatkan akal untuk membela
diri.
“Taihiap, terus terang saja, melihat Nona Siok Eng, aku merasa kasihan
dan aku ingin membebaskan dara itu dari hukuman dan mengangkatnya
menjadi seorang selir. Akan tetapi gadis pemberontak liar itu malah
menyerangku. Lihat, Taihiap, sebelah mataku menjadi buta karena ia tusuk
dengan tusuk kondenya.”
Cun Giok menahan kemarahannya.
“Lalu engkau membunuhnya?”
“Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku yang ia bunuh. Seperti kukatakan tadi,
keluarga itu keluarga pemberontak dan gadis itu benar-benar liar, Taihiap.”
“Kim Magu, aku mendengar bahwa Nona Siok Eng adalah seorang gadis
yang lemah, bagaimana mungkin ia dapat menyerangmu dan membutakan
sebelah matamu?”
Melihat Cun Giok bicara lembut kepadanya, Kim Magu mulai merasa
tenang. Pemuda lihai ini agaknya seorang kang-ouw yang sehaluan
dengannya, maka dia tersenyum.
“Memang sesungguhnya demikian, Taihiap. Justeru itulah keliarannya,
sebagai seorang gadis lemah dapat membutakan mataku. Akan tetapi itu
salahku sendiri karena aku lengah...”
Tiba-tiba dia berhenti karena merasa ragu. Jangan-jangan pemuda ini
akan menjadi marah kalau dia bercerita bahwa ketika itu dia sedang hendak
memperkosa Siok Eng sehingga lengah dan sebelah matanya diserang
menjadi buta.
“Mengapa berhenti? Tentu ketika itu engkau hendak memperkosanya,
maka ia menjadi nekat menyerangmu, bukan?”
Dalam pertanyaan ini terkandung kekerasan sehingga Kim Magu semakin
ragu dan mulai ketakutan lagi.
“Tidak... tidak...”
Cun Giok sudah tidak sabar lagi.
“Kalau engkau tidak mau mengaku, engkau boleh rasakan ini”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Jari tangannya menekan tengkuk Kim Magu. Tiba-tiba Kim Magu
terbelalak dan mengaduh-aduh karena dia merasa betapa ada hawa panas
seperti api membakar dirinya, dari tengkuk turun melalui tulang belakang
sehingga seluruh tubuh terasa nyeri bukan main.
“Cepat katakan mengapa Siok Eng nekat menyerangmu, kalau engkau
bohong, aku akan membakar seluruh tubuhmu sampai engkau tidak kuat
bertahan lagi”
Cun Giok menekan semakin kuat sehingga Kim Magu menjerit-jerit
kesakitan. Kui Con yang melihat ini, menjadi pucat dan merasa ngeri.
“Aduhh... aduhhh... baik, baik... aku mengaku...”
Cun Giok melepaskan tekanan jarinya dan Kim Magu dengan tubuh
gemetar dan air mata bercucuran karena saking sakitnya tadi dia tidak tahan
lagi untuk tidak menangis, lalu berkata dengan terengah-engah.
“Memang... aku... aku cinta padanya, aku... hendak memaksanya untuk
melayaniku agar ia mau menjadi selirku, tetapi tiba-tiba ia menyerangku.”
“Jahanam busuk Kim Magu, tahukah engkau siapa aku? Aku adalah
tunangan mendiang Nona Siok Eng”
“Uhhhh...”
Kini Kim Magu ketakutan sekali, matanya terbelalak memandang ke kanan
kiri hendak melarikan diri, akan tetapi saking takutnya, kedua kakinya tidak
dapat dia gerakkan. Dia lalu berlutut menyembah-nyembah.
“Taihiap... ampunkan aku... ampun...”
“Manusia busuk macam engkau ini sebetulnya tidak layak untuk hidup.
Akan tetapi terlalu enak bagimu kalau engkau kubunuh. Biar kulanjutkan apa
yang belum selesai dan lengkap dilakukan oleh mendiang Nona Siok Eng”
Tampak sinar kuning emas berkelebat tiga kali dan terdengar Kim Magu
menjerit-jerit.
“Aduhh... tolooonggg... tolooonggg...”
Kemudian dia roboh terkulai, matanya yang tinggal sebelah kiri itu
bercucuran darah dan kedua tangannya sebatas pergelangan telah terbacok
putus. Kim Magu tidak berkutik lagi karena dia sudah jatuh pingsan.
Ketika Cun Giok menghampiri Kui Con, pemuda ini menjadi pucat sekali.
Begitu Cun Giok membebaskan totokannya sehingga dia mampu bergerak
dan bersuara, dia langsung berlutut menyembah-nyembah.
“Taihiap, ampunkan saya... ampunkan saya...”
“Hayo ceritakan apa yang telah engkau lakukan terhadap Nyonya Chao
Kung yang kaubawa lari. Jangan bohong”
“Saya... saya kasihan melihatnya dan ingin membebaskannya dari
hukuman, maka ia saya bawa pulang... dan... dan... maksud saya hendak
menjadikan ia sebagai selir tercinta... akan tetapi... ia... ia membunuh diri
dengan membenturkan kepalanya pada dinding... ampunkan saya, Thaihiap...”
Cun Giok tidak percaya. Orang macam ini tidak ada bedanya dengan Kim
Magu, tidak mungkin bersikap lembut kepada seorang wanita yang sudah
diculiknya dan berada dalam cengkeramannya.
“Ia membunuh diri karena engkau memperkosanya, bukan? Hayo jawab
dan jangan bohong atau aku akan menyiksamu seperti kepada Kim Magu
tadi”
“Saya... saya... cinta padanya... saya memang menggaulinya... saya tidak
mengira ia membunuh diri...”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Keparat! Manusia macam engkau juga tidak pantas hidup di dunia ini”
Kembali tiga kali sinar emas pedangnya berkelebat dan disusul jeritan Kui
Con yang jatuh bergulingan seperti ayam disembelih karena bukit hidungnya
telah terpotong semua, juga kedua kakinya buntung sebatas pergelangan kaki
Merasa puas dengan pembalasan yang dia lakukan terhadap dua orang
muda jahanam itu, Cun Giok lalu menotok bagian yang terluka untuk
menghentikan darah yang mengalir keluar lalu dia memberi obat bubuk
merah untuk mengobati luka-luka mereka. Dia lakukan ini karena dia tidak
ingin melihat mereka mati. Dia ingin agar mereka itu menghabiskan sisa
hidupnya dalam keadaan menderita dan tidak sempurna sehingga menjadi
buah tertawaan orang. Setelah itu ia lalu memberi hormat di depan tiga buah
makam itu dan di depan makam Siok Eng dia berkata lirih.
“Eng-moi, isteriku, maafkan aku yang tidak dapat melindungimu, aku
hanya dapat membalaskan dendam sakit hatimu ini dan selamanya engkau
akan kuakui sebagai isteriku.” Setelah itu dia melangkah dan hendak pergi.
“Nanti dulu... engkau... katakan siapa namamu kalau memang engkau
gagah dan tidak takut akan pembalasan kami kelak.”
Cun Giok berhenti melangkah dan membalikkan tubuh untuk melihat
siapa yang bicara itu. Ternyata yang bicara itu adalah Kim Magu. Pemuda
yang kini buta kedua matanya itu dan kedua tangannya buntung, ternyata
sudah siuman dan bangkit duduk. Wajahnya mengerikan karena berlepotan
darah yang tadi keluar dari mata kanannya. Mendengar ucapan itu, Cun Giok
berkata lantang.
“Namaku Pouw Cun Giok dengan sebutan Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa
Bayangan)”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Cun Giok lenyap dari tanah
kuburan itu. Dua orang pemuda bangsawan itu kini merintih-rintih. Kalau saja
Cun Giok tidak menotok jalan darah untuk menghentikan mengalirnya darah
keluar dari luka mereka, keduanya tentu akan mati kehabisan darah. Juga
obat luka itu amat manjur. Luka mereka itu cepat mengering. Hanya rasa
nyeri yang hebat menyiksa mereka sehingga mereka merintih-rintih.
Kim Magu tadi sudah melihat betapa Kui Con juga menjadi tawanan. Kini
dia mendengar rintihan suara Kui Con, segera berkata sambil menahan rasa
nyeri.
“Kui Con, bagaimana keadaanmu? Apa yang diperbuat penjahat keji itu
terhadap dirimu?”
Kui Con menahan rasa nyeri dan menghentikan rintihannya. Obor-obor itu
masih bernyala dan dia dapat melihat keadaan Kim Magu dengan jelas. Dia
bergidik ngeri melihat betapa mata Kim Magu yang tinggal sebelah itu kini
luka berdarah dan tentu menjadi buta pula. Juga dia melihat betapa kedua
tangan putera panglima itu buntung sebatas pergelangannya.
“Kim-twako, celaka... dia menyiksaku juga. Kedua kakiku buntung sebatas
pergelangan dan... dan... hidungku juga dibacok hingga putus...”
Ucapannya tidak jelas karena kini Kui Con bicara dengan suara bindeng
(sengau). Mendengar ini, dalam kesedihan dan kemarahannya, Kim Magu
tiba-tiba merasa agak terhibur. Bagaimanapun juga, keadaannya masih lebih
baik daripada Kui Con yang sekarang tentu tidak mampu berjalan lagi dan
wajahnya tentu menjadi amat jelek karena bukit hidungnya buntung. Di lain
pihak, ketika tadi Kui Con melihat keadaan Kim Magu, dia merasa ngeri dan
kasihan, juga mendatangkan sedikit hiburan dalam hatinya karena betapa
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pun buruk keadaannya, keadaan Kim Magu lebih buruk lagi karena pemuda
putera panglima itu kini buta kedua matanya dan hilang kedua tangannya
sehingga tidak dapat memegang apa-apa lagi.
Memang demikianlah watak orang-orang yang selalu hanya
mementingkan diri sendiri. Melihat orang lain lebih beruntung daripada
dirinya, timbul perasaan iri. Sebaliknya melihat orang lain dalam keadaan
lebih payah atau susah daripada keadaan dirinya, muncul perasaan senang
dan terhibur.
“Si keparat itu ternyata adalah Si Pendekar Tanpa Bayangan bernama
Pouw Cun Giok” kata Kim Magu gemas.
“Pendekar Tanpa Bayangan? Twako, bukankah dia yang menjadi
pemberontak buruan pemerintah yang dulu membunuh Panglima Besar Siangmo-
kiam (Sepasang Pedang Iblis) Kong Tek Kok?”
“Benar dan dia... dia itu tunangan Siok Eng yang kubunuh, terhitung
keluarga dari keluarga Siok yang kita basmi. Aku akan melapor kepada Ayah...
ah, Kui Con, obor-obor itu sudah akan padam dan di sini amat menyeramkan.
Mari kita tinggalkan tempat ini agar ditemukan orang yang dapat membantu
dan menolong kita.”
Karena Kui Con tidak dapat berjalan, sedangkan Kim Magu tidak dapat
melihat, maka biarpun dengan susah payah karena kedua tangannya
buntung, Kim Magu akhirnya menggendong Kui Con di punggungnya
sedangkan Kui Con yang menjadi penunjuk jalan karena dia yang dapat
melihat. Keadaan mereka serupa dengan dongeng tentang Si Buta dan Si
Lumpuh yang saling bantu sehingga dapat melanjutkan perjalanan. Akan
tetapi, bagaimanapun juga keadaan kedua orang itu sungguh amat
menyedihkan dan mengerikan.
Sesungguhnya, akibat perbuatan mereka sendiri yang menimpa diri
mereka seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan mereka bahwa
perbuatan yang tidak baik tentu akan mendatangkan akibat yang buruk pula
dan hal itu mungkin dapat membuat mereka menjadi jera dan bertaubat.
Akan tetapi dasar mereka orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan
jiwanya tertutup kotoran tebal yang ditimbulkan dari merajalelanya nafsu
mereka sendiri, mereka sama sekali tidak menyesali perbuatan mereka.
Mereka hanya menyesali keadaan mereka itu dengan hati penasaran dan
timbul dendam sakit hati kepada Cun Giok. Mereka sama sekali tidak merasa
menyesal akan perbuatan mereka, sama sekali tidak merasa bersalah.
Celakalah orang yang menjadi hamba nafsu sehingga selalu
membenarkan diri sendiri, merasa baik sendiri, merasa benar sendiri dan
segala apa pun di dunia ini harus bermanfaat dan menguntungkan bagi
mereka. Sebaliknya, berbahagialah orang yang selalu meneliti perbuatannya
sendiri, menganggap bahwa perbuatan mereka merupakan benih yang
mereka tanam dan apa pun yang menimpa mereka adalah buah dari benih
yang mereka tanam sendiri.
Dengan kesadaran seperti ini, orang bijaksana menghadapi segala
keadaan yang menimpa dirinya dengan ikhlas, tidak menyalahkan orang lain
melainkan yakin bahwa semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Karma
akan terus mengejar manusia kemana pun dia pergi, dan Karma akan selalu
memaksa orang membayar semua hutangnya yang terjadi karena
perbuatannya sendiri.
Setelah keluar dari tanah kuburan, dua orang pemuda bangsawan itu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bertemu dengan beberapa orang perajurit yang memang dikerahkan oleh Kuithaijin
untuk mencari puteranya yang diculik orang. Saking leganya bertemu
dengan para perajurit, dua orang pemuda bangsawan itu jatuh pingsan.
Mereka lalu cepat-cepat digotong oleh para perajurit dan dibawa ke rumah
masing-masing.
Kui Con langsung dibawa ke rumah gedung Pembesar Kui Hok dan
melihat keadaan Kim Magu, Kui-thaijin memerintahkan para perajurit untuk
cepat membawanya ke gedung tempat tinggal Panglima Besar Kim Bayan.
Akan tetapi pada waktu itu, Kim Bayan tidak berada di rumah karena dia
sedang sibuk berusaha mencari harta karun Kerajaan Sung. Keluarga
panglima itu lalu menyambut Kim Magu dengan tangisan dan segera
mengundang tabib terpandai di kota Cin-yang untuk mengobati dan merawat
pemuda itu.
Biarpun keluarga Kim dan Kui hendak merahasiakan dan menutupi
peristiwa itu, namun karena banyak perajurit yang mengetahui, juga para
pelayan di kedua keluarga bangsawan itu, akhirnya berita itu tersiar juga dan
menjadi bahan percakapan seluruh penduduk Cin-yang. Diam-diam mereka
bergembira dan merasa puas dengan hukuman berat yang diberikan
Pendekar Tanpa Bayangan kepada dua orang muda bangsawan yang dibenci
masyarakat itu.
Dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan itu, Kim Magu dan Kui
Con kini hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak berani kelihatan
orang lain karena merasa malu dengan keadaan mereka. Mereka merasa
tersiksa dan biarpun rasa nyeri akhirnya dapat dihilangkan, namun mereka
merasa betapa hidup mereka tidak ada gunanya lagi. Bahkan sering mereka
menangis meratapi nasib mereka dan merasa lebih baik mati saja daripada
hidup tersiksa lahir batin seperti itu. Akan tetapi watak buruk mereka tidak
pernah hilang sehingga mereka tidak menyesali perbuatan sendiri melainkan
setiap hari mencaci-maki dan mengutuk Bu-eng-cu Pouw Cun Giok.
Bahkan Kepala Pengadilan Kui Hok mengerahkan pasukan pemerintah
untuk melakukan pencarian terhadap diri pendekar yang namanya amat
dikenal itu. Juga pihak keluarga Kim, walaupun Kim Bayan sendiri belum
pulang, mereka juga minta kepada para perwira pasukan untuk mencari
Pendekar Tanpa Bayangan yang menjadi buronan pemerintah itu.
---------
Cun Giok meninggalkan tanah kuburan dan dia tidak mau singgah di
rumah keluarga Siok yang dijaga Ciu-ma. Tidak ada orang mengetahui ketika
dia berkunjung ke rumah itu dan dia tidak ingin ada orang mengetahui agar
Ciu-ma tidak terbawa-bawa sebagai akibat dari perbuatannya menghukum
Kim-kongcu dan Kui-kongcu.
Setengah malam itu dia berlari cepat. Setelah malam berganti pagi, dia
telah berada jauh sekali dari kota Cin-yang. Ketika melihat sebatang sungai
yang airnya jernih mengalir di luar sebuah hutan, dia pun berhenti berlari dan
duduk di tepi sungai dimana terdapat banyak batu-batu kali yang besar. Dia
duduk di atas batu besar yang licin bersih, dan segera tenggelam dalam
lamunan.
Semula dia merasa lega dan puas telah memberi hajaran keras kepada
dua orang pemuda bangsawan itu untuk membalas dendam Siok Eng
sekeluarganya. Rasa lega dan puas itu muncul sebagai akibat dari kemarahan
yang membakar hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah balas dendam itu dia
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
laksanakan, dan dia duduk termenung memandang air bening yang mengalir
di depannya dan matahari pagi membuat garis merah di permukaan sungai,
kelegaan dan kepuasan itu tidak terasa lagi.
Dia membayangkan wajah Siok Eng yang bergerak-gerak di permukaan
air sungai. Tanpa disadari tangannya merogoh ke balik bajunya dan dia
mengeluarkan sebuah benda putih mengkilap. Itulah tusuk sanggul perak
berbentuk pohon yang-liu (cemara) pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan
perjodohan.
Seperti dalam mimpi dia bicara kepada bayangan wajah Siok Eng di
permukaan air setelah menghela napas panjang dan mengeluarkan keluhan
merintih.
“Eng-moi... aku memang bersalah, aku berdosa kepadamu... akan tetapi
lihatlah, isteriku, lihat, tusuk sanggul pemberianmu ini tak pernah terpisah
dari tubuhku. Sekali engkau menjadi jodohku, biar kini engkau tidak ada lagi,
sampai aku mati pun engkau akan tetap kuanggap sebagai isteriku...”
Kembali dia mengeluh dan tiba-tiba wajah Siok Eng di permukaan air itu
berubah, membentuk sebuah wajah lain yang amat dikenalnya. Wajah Liu
Ceng Ceng yang tersenyum lembut kepadanya, akan tetapi pandang mata
Ceng Ceng kepadanya penuh teguran. Dia mengenal betul watak Ceng Ceng.
Selama melakukan perjalanan bersama, seringkali gadis itu membuka rahasiarahasia
tentang kehidupan. Dia merasa yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak
membenarkan tindakannya terhadap dua orang pemuda bangsawan itu.
Dia teringat akan apa yang diceritakan Ciu-ma kepadanya bahwa dulu
pernah kedua orang pemuda bangsawan itu mengganggu keluarga Siok dan
ketika itu Pek-eng Sianli menolong mereka. Ceng Ceng yang telah menolong
Siok Eng sekeluarga dan Ceng Ceng telah memberi hajaran keras kepada Kim
Magu dan Kui Con, dengan jalan menggantung mereka di pohon tepi jalan
raya sehingga semua orang melihat mereka. Ceng Ceng memang memberi
hajaran kepada mereka, akan tetapi tidak membunuh atau menjadikan mereka
penderita cacat berat seperti yang dia lakukan itu.
Pernah gadis itu mengatakan bahwa dendam dapat menimbulkan
perilaku yang kejam sekali. Seperti yang dia lakukan terhadap Kim Magu dan
Kui Con? Ceng Ceng pernah berkata kepadanya bahwa dendam merupakan
racun dalam hati, merupakan ulah nafsu pementingan diri yang berbahaya
karena kalau kita diperbudak oleh dendam, kita dapat melakukan hal-hal yang
tidak kalah jahatnya dengan apa yang dilakukan orang kepada siapa kita
mendendam.
Benarkah bahwa dia terlalu kejam? Dipengaruhi nafsu mendendam? Dia
mengerutkan alisnya dan seolah mendengar pula suara lembut Ceng Ceng
bahwa menuruti dendam dan balas membalas berarti menyambung terus
rantai Karma yang melibat diri tiada hentinya. Balas dendam yang dia lakukan
itu akan menimbulkan dendam lain di pihak Kim Magu dan Kui Con Mereka
pasti menaruh dendam dan akan berusaha untuk membalas dendam mereka
kepadanya. Dia telah menanam bibit dendam yang akan membuahkan
dendam lain lagi.
Cun Giok menghela napas panjang dan teringat kembali kepada Siok Eng
sehingga wajah di permukaan air itu berubah menjadi wajah Siok Eng
kembali. Wajah yang seolah memandang kepadanya penuh penantian, wajah
yang menimbulkan rasa sedih dan haru.
“Tidak, Eng-moi, aku tidak menyesal. Aku melakukan semua itu untuk
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
membalas apa yang mereka lakukan terhadap dirimu, Ayahmu, Encimu, dan
Cihumu (Kakak Iparmu). Aku akan menanggung semua akibatnya. Hanya
itulah yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku mengabaikanmu
selama ini, Eng-moi, kulakukan untuk membuat arwahmu tenang, isteriku.”
Dia mengamati tusuk sanggul perak di tangannya dan teringat bahwa
Siok Eng sudah tidak ada lagi, hampir dia membuang tusuk sanggul itu ke air
sungai. Tanda perjodohan itu hanya akan mengingatkan dia akan Siok Eng
dan mendatangkan kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi tiba-tiba dia
melihat bayangan wajah Ceng Ceng yang seolah menegurnya.
“Giok-ko, bukan watak seorang gagah untuk membiarkan dirinya terlalu
lama tenggelam ke dalam kesedihan. Segala hal yang telah terjadi tidak dapat
diubah atau diperbaiki lagi, namun dapat menjadi contoh yang menambah
kesadaran kita akan yang salah dan yang benar.”
Seolah ucapan gadis itu terngiang di telinganya dan Cun Giok bangkit
dari kesedihannya. Ceng Ceng benar. Tak perlu terbenam ke dalam
kesedihan. Betapa sering dia membiarkan dirinya hanyut dalam duka.
Pertama ketika dahulu dia kehilangan adik misannya, Lu Siang Ni yang
membunuh diri di depannya tanpa dia dapat menghalanginya. Sekarang dia
pun hanyut dalam kesedihan dan penyesalan karena kematian Siok Eng dan
keluarganya. Tidak, dia tidak boleh hanyut dalam kesedihan. Yang sudah
terjadi biarlah terjadi. Kalau ada akibatnya kelak, akan dia hadapi dengan
gagah dan penuh tanggung jawab. Dia mencium tusuk sanggul perak itu dan
menyimpannya kembali.
“Eng-moi, biarpun engkau sudah meninggal, namun tusuk sanggulmu ini
akan selalu kusimpan dan tidak akan terpisah dariku sampai hayat
meninggalkan badanku.”
Setelah berkata demikian, Cun Giok menjadi tenang kembali dan tidak
ada lagi kesedihan atau penyesalan mengganggunya dan tidak ada lagi
bayangan Siok Eng atau Ceng Ceng tampak. Tiba-tiba dia merasa lesu dan
tidak nyaman. Dia lalu melihat keadaan sekelilingnya dan setelah merasa
yakin bahwa tempat itu sunyi, tidak tampak ada orang lain dan juga tidak ada
tanda-tanda tempat itu dekat dengan rumah orang, dia lalu menanggalkan
pakaian dan masuk ke dalam air sungai yang jernih. Bukan main segar
rasanya ketika tubuhnya terendam dalam air itu. Bukan hanya badan terasa
segar, juga pikiran menjadi terang seolah air jernih itu telah membawa hanyut
semua masalah yang memenuhi benaknya.
Saking segarnya mandi dalam air sungai yang jernih itu, pendengaran
Cun Giok terganggu percikan air sehingga dia tidak mendengar sedikit suara
tak wajar yang terdengar tak jauh dari situ. Akan tetapi kemudian suara tawa
cekikikan membuat dia terkejut dan cepat menoleh ke tepi sungai.
Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa pakaiannya yang tadi
ditanggalkan dan ditaruh di atas batu, telah lenyap. Juga buntalan
pakaiannya, dimana terdapat pula pedang Kim-kong-kiam, juga tidak tampak.
Celaka, pikirnya. Semua pakaiannya dicuri orang, padahal dia mandi dalam
keadaan telanjang bulat. Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air dalam
keadaan seperti itu? Dia memandang ke sana-sini, akan tetapi dia tidak
melihat orang yang mencuri pakaiannya. Dia teringat akan suara tawa
cekikikan itu. Seperti suara tawa wanita. Maka dia menduga bahwa tentu ada
orang bersembunyi di balik batu-batu besar di tepi sungai itu. Dia lalu
mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) ke dalam suaranya dan berseru.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Nona yang mencuri pakaianku. Bagaimana engkau tidak tahu malu
mencuri pakaianku? Kembalikan pakaianku.”
Kembali terdengar suara tawa cekikikan seperti tadi dan dari suara itu
Cun Giok dapat menduga bahwa di balik batu-batu besar di tepi sungai itu
tentu ada dua orang wanita yang bersembunyi dan menertawakannya.
“Hi-hi-hik, ambil saja sendiri pakaianmu ke sini”
Cun Giok menjadi malu dan mendongkol. Sungguh nakal dan kurang ajar
sekali gadis atau wanita itu. Dia menduga bahwa pencurinya tentulah
seorang gadis, suara tawanya menunjukkan bahwa ia tentu masih muda.
Gadis-gadis yang nakal sekali. Kalau dia membujuk terus, mungkin saja
mereka itu akan makin menggodanya. Maka dia lalu mendapatkan akal.
“Baiklah, kalau begitu aku akan datang kepada kalian dalam keadaan
seperti ini. Telanjang bulat.”
Cun Giok menjadi merah mukanya ketika mengucapkan ini, akan tetapi
karena itu cara satu-satunya untuk menghadapi gadis-gadis nakal itu, dia
memberanikan diri dan melangkah hendak naik ke sungai.
“Hi-hi-hik… Jangan Jangan ke sini, kau laki-laki tidak sopan, kurang ajar
dan tidak tahu malu…!”
Terdengar mereka cekikikan lagi. Hati Cun Giok menjadi semakin panas.
“Siapa yang tidak sopan, kurang ajar dan tidak tahu malu? Kalian berdua
yang mencuri pakaianku. Hayo kembalikan, kalau tidak aku akan nekat
menemui kalian dalam keadaan telanjang bulat.”
“Nanti dulu” terdengar suara seorang gadis lain.
“Kami melihat sebatang pedang yang baik sekali dalam buntalan
pakaianmu. Nah, berjanjilah dulu bahwa engkau akan menandingi ilmu silat
tangan kosong melawan Adikku, kemudian engkau menandingi ilmu silat
pedangku. Kalau engkau mau berjanji, baru aku akan melemparkan pakaian
ini kepadamu”
Kurang ajar. Gadis-gadis itu sungguh nakal sekali dan juga berani
menantangnya. Dia pasti akan menghajar mereka untuk kekurangajaran itu.
“Baik, aku berjanji bahwa kalau kalian mengembalikan pakaianku aku
akan menandingimu berkelahi sampai seribu jurus.”
Kembali terdengar suara cekikikan dan tiba-tiba buntalan pakaian berikut
pakaian yang tadi ditanggalkan Cun Giok dan ditaruh di atas batu, meluncur
ke arahnya dengan luncuran kuat dan cepat sekali. Cun Giok cepat
menangkap pakaiannya dan buntalan pakaiannya, dan ketika dia menangkap
buntalan itu, dia dapat merasakan betapa kuatnya tenaga lontaran itu, juga
merasa bahwa pedangnya sudah tidak berada dalam buntalan itu lagi.
“Heii Kalian mencuri pedangku. Hayo kembalikan!” teriaknya marah, lalu
dia cepat mengenakan pakaiannya sambil bersembunyi di balik batu.
Kembali dua orang gadis itu cekikikan.
“Enak saja. Kalau sudah kami kembalikan engkau lalu melarikan diri, ya?
Tidak akan kami kembalikan sebelum engkau memenuhi janjimu untuk
bertanding melawan kami.”
Cun Giok cepat membereskan rambutnya yang basah kuyup, mengikatnya
dengan pita biru, kemudian sambil menggendong buntalan pakaiannya dia
melompat ke arah batu besar di balik mana dua orang gadis itu bersembunyi.
Dua sosok bayangan hitam berkelebat keluar dari balik batu besar dan Cun
Giok berhadapan dengan dua orang gadis. Dia berdiri tercengang dan
terheran-heran menatap wajah dua orang gadis itu. Mereka benar-benar
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
cantik jelita dan dengan pakaian mereka yang serba hitam itu, kulit tangan,
muka dan leher mereka tampak amat putih mulus seperti salju. Yang
membuat Cun Giok memandang tercengang bukan sekadar kecantikan
mereka karena dia pernah bertemu dengan gadis-gadis cantik seperti Ceng
Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, Pek-hwa Sianli, dan Tan Li Hong yang
ketiganya juga cantik jelita.
Akan tetapi sekali ini, Cun Giok benar-benar tercengang dan kagum
karena melihat betapa dua orang gadis itu sama benar, seperti pinang dibelah
dua. Sanggul rambutnya sama, disanggul ke atas dan dihias burung Hong
dari emas. Pakaiannya yang dari sutera hitam itu pun serupa, bentuk tubuh
mereka juga sama tinggi semampai dan ramping, dan wajah itu. Tak mungkin
agaknya membedakan antara satu dengan yang lain karena wajah itu persis
sama, seperti seorang gadis dan bayangannya di cermin. Gadis kembar,
pikirnya dan dia menduga-duga siapa yang kakak dan siapa pula yang adik
dan harus mengakui bahwa dia tidak dapat menduganya.
Dua orang gadis itu melihat wajah Cun Giok yang keheranan, lalu tertawa
cekikikan, mereka tertawa tanpa menutupi mulut, menunjukkan bahwa
sepasang gadis kembar ini adalah gadis-gadis yang biasa dengan kehidupan
di dunia kang-ouw dimana para wanitanya tidak terlalu keras terikat oleh
adat istiadat kuno. Gadis-gadis pingitan selalu bersikap sopan, tidak banyak
bicara, gerak-geriknya halus dan diatur, kalau tertawa tidak bersuara dan itu
pun masih dipersopan dengan menutupkan tangan di depan mulut. Akan
tetapi gadis kang-ouw sikapnya lebih terbuka dan tidak malu-malu, lebih
bebas sehingga bagi rakyat Cina yang pada masa itu masih berpendidikan
kolot, gadis-gadis kang-ouw dianggap binal dan kasar.
Cun Giok yang sudah banyak bergaul dengan gadis-gadis kang-ouw yang
bebas sekali seperti itu, misalnya dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin puteri Butek
Sin-liong Cu Liong, datuk besar yang menjadi majikan Bukit Merak, lalu
dengan Tan Li Hong, murid Ban-tok Kuibo Gak Li, datuk wanita yang menjadi
majikan Pulau Ular, tentu saja tidak merasa heran melihat sikap sepasang
gadis kembar ini. Hanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, puteri
mendiang pendekar besar Liu Bok Eng, biarpun memiliki kepandaian tinggi
dan sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, sikapnya tetap halus lembut
dan sopan, bukan dibuat-buat karena memang watak dasarnya demikian. Liu
Ceng Ceng adalah seorang gadis yang lembut lahir batinnya, bukan hanya
lembut sikapnya, melainkan juga amat lembut hatinya.
“Hi-hi-hik, Enci Lan. Lihat muka pemuda ini kemerahan. Agaknya dia
seorang berasal dari dusun yang malu-malu.”
“Adik Lin, belum tentu orang dusun itu malu-malu Buktinya kita ini orang
dusun, bahkan orang gunung, tidak malu-malu.” kata gadis kedua.
“Aih, dia tampan juga, Enci Lan” kata gadis yang disebut Adik Lin sambil
tersenyum.
Di sini Cun Giok mulai melihat perbedaan antara kedua orang gadis itu.
Gadis pertama yang disebut Enci Lan wajahnya lebih serius dan sejak tadi
belum pernah tersenyum, sedangkan yang disebut Adik Lin selalu tersenyum
dan dia menduga bahwa yang tadi tertawa cekikikan tentulah gadis kembar
yang menjadi adik ini walaupun di antara mereka tidak ada yang tampak
lebih tua atau lebih muda.
“Kui Lin, jangan bicara sembarangan. Kita belum tahu dia ini orang
macam apa.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Gadis yang jarang tersenyum itu berkata dengan suara keren. Kedua
orang gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik,
seolah ingin mengetahui keadaan Cun Giok yang sebenarnya.
Setelah keduanya bersikap serius, tidak tampak senyum di bibir Sang
Adik, Cun Giok tertegun. Sungguh tidak ada perbedaan sedikitpun juga di
antara mereka berdua kalau senyum itu menghilang dari wajah Sang Adik.
Akan tetapi dia masih dapat membedakan karena seorang di antara mereka
mempunyai dua buah pedang tergantung di punggungnya dan sebuah di
antaranya adalah Kim-kong-kiam miliknya. Tentu yang membawa pedang itu
Sang Enci karena mereka tadi mengatakan bahwa dia harus menandingi ilmu
silat tangan kosong Sang Adik dan ilmu pedang Sang Enci.
Tiba-tiba wajah Cun Giok berseri. Dia menemukan lagi tanda yang dapat
membedakan antara mereka berdua. Biarpun senyum Sang Adik sudah
menghilang dan wajahnya serius seperti wajah encinya, namun pada sinar
matanya masih tampak kelincahannya yang nakal. Mata itu lebih hidup,
penuh gairah dan selalu terdapat senyum di sana. Dia kini akan dapat
mengenal dan membedakan mereka dengan mudah, hanya dengan melihat
mata dan sinar mata mereka.
Cun Giok mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi
hormat.
“Ji-wi Siocia (Nona Berdua), di antara kami tidak pernah terdapat
hubungan persahabatan, apalagi permusuhan, akan tetapi mengapa kalian
menggangguku?”
Sang Enci yang bernama Lan itu menjawab dengan alis berkerut.
“Hemm, siapa yang mengganggu? Jangan memutar balikkan kenyataan.
Engkaulah yang mengganggu kami, dan kalau Adikku menyembunyikan
pakaianmu itu hanya untuk memberi peringatan kepadamu.”
Kini Cun Giok yang mengerutkan alisnya.
“Eh, Nona, apa sih yang kalian maksudkan? Aku mandi dalam sungai,
tidak memikirkan kalian, tidak bicara apa-apa atau melakukan sesuatu
kepada kalian, bagaimana kini dituduh mengganggu? Gangguan apa yang
telah kulakukan terhadap kalian berdua?”
Kini Sang Adik yang dipanggil Lin itu yang menjawab. Suaranya lantang
dan sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia berkata.
“Huh, berlagak bodoh, ya? Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu,
ya? Hanya pengecut yang tidak mengakui kesalahannya dan tidak
bertanggung jawab terhadap perbuatannya.”
“Eh-eh… Nona-nona ini menuduh seenaknya saja. Aku belum pernah
bertemu dengan kalian, bagaimana mungkin mengganggu kalian? Apakah
gangguan itu kulakukan dalam penjelmaanku dahulu? Jelaskanlah dan jangan
membuat aku penasaran dengan fitnah.”
“Hemm, engkau belum merasa bersalah?” kata Kui Lan dengan sinar mata
mencorong.
“Sekarang aku hendak bertanya, kalau ada seorang asing memasuki
rumahmu, berbuat sesukanya dengan tidak sopan, tidak tahu malu dan
melanggar kesusilaan, apa yang akan kaulakukan terhadap orang itu?”
“Aku tidak mempunyai rumah,” kata Cun Giok.
“Akan tetapi andaikata aku mempunyai rumah dan orang yang berbuat
seperti itu, tentu aku akan menghajar si kurang ajar itu.”
“Nah, engkaulah si kurang ajar itu. Tempat ini termasuk wilayah kami, air
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
sungai yang mengalir di sini juga termasuk milik kami, tempat dimana kami
biasanya mandi. Sekarang, tanpa minta ijin, tanpa permisi dulu, engkau
mandi begitu saja di sini, bertelanjang bulat pula. Apakah itu bukan kurang
ajar namanya?” kata Kui Lin.
Cun Giok tertegun dan baru dia tahu mengapa dua orang gadis ini marahmarah
kepadanya.
“Ah, kiranya begitu duduknya perkara. Kalau begitu, aku mengaku
bersalah, Nona-nona. Akan tetapi karena pelanggaran itu kulakukan tanpa
sengaja dan di luar pengetahuanku, maka kuharap kalian berdua suka
memaafkan aku.” Dia kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
“Enak saja minta maaf” Kui Lin berkata sambil tersenyum mengejek.
“Tadi engkau sudah berjanji bahwa engkau akan melawan ilmu silat
tangan kosong dariku, dan ilmu pedang dari Enci Lan. Hayo bersiaplah untuk
menandingi aku”
Setelah berkata demikian, Kui Lin dengan gesitnya telah melompat ke
depan Cun Giok dan memasang kuda-kuda yang lucu dan gagah. Kaki
kanannya diangkat menempel di betis kaki kiri, tubuhnya tegak dan kedua
lengannya dipentang lurus ke kanan kiri dengan kedua tangan menunjuk ke
atas, kepalanya agak menoleh ke kiri dan matanya melirik ke kanan
memandang Cun Giok.
Pemuda itu mengenal kuda-kuda yang disebut Pek-ho-tian-ci (Bangau
Putih Pentang Sayap) itu, akan tetapi dilakukan dengan cara yang kocak,
dengan kepala menoleh dan mata mengerling tajam. Lucu dan lincah sekali
gadis ini.
Cun Giok masih berdiri biasa saja, dengan kedua lengan tergantung di
kanan kiri tubuhnya, sama sekali tidak membuat pasangan kuda-kuda seperti
biasanya orang bersilat. Setelah menanti beberapa lamanya, Kui Lin menjadi
kesal melihat lawannya diam saja, tidak segera memasang kuda-kuda. Kalau
dibiarkan begini, kakinya bisa pegal sendiri.
“Hayo cepat mulai” bentaknya dan kerling matanya makin tajam.
“Mulai apa, Nona?” tanya Cun Giok.
Gadis itu menurunkan kaki kanannya dan kedua lengannya, lalu
membanting kaki beberapa kali dan mukanya merah karena marah. Susahsusah
memasang kuda-kuda sejak tadi sampai kakinya pegal dan matanya
pedas, eh, pemuda itu malah bertanya mau mulai apa.
“Mulai apa… mulai apa… ya mulai memasang kuda-kuda, siap
bertanding” katanya gemas, mulutnya cemberut.
“Lho… Sejak tadi saya sudah siap, Nona.”
“Mana siap? kuda-kuda kok begitu?”
“Memang begini kuda-kudaku, akan tetapi aku sudah siap.”
“Kalau sudah siap, mulailah menyerang!” tantang Kui Lin sambil
memasang kuda-kudanya lagi, seperti tadi.
“Engkau yang menantang, Nona, sudah semestinya engkau pula yang
mulai menyerang”
“Hoho… Engkau mau menipuku, ya? Kaukira aku tidak tahu bahwa
menyerang lebih dulu berarti membuka pula dirinya untuk diserang balik.
Akan tetapi aku tidak takut. Nah, terimalah!”
Dengan gerakan cepat sekali gadis itu menyerang, kedua lengan yang
dipentang itu kini menyambar dari kanan kiri. Itulah pembukaan dari jurus
Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan), kedua tangan itu membentuk
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
paruh burung dan menotok ke arah kedua telinga Cun Giok. Serangan ini
cukup ampuh dan berbahaya, akan tetapi dengan menarik tubuh atas ke
belakang, Cun Giok dapat menghindarkan kedua telinganya dipatuk tangan
tangan mungil itu. Dari sambaran angin pukulan itu, tahulah Cun Giok bahwa
gadis ini tidak boleh dipandang ringan karena memiliki sin-kang yang cukup
kuat. Melihat patukan kedua tangannya luput, gadis itu melanjutkan jurusnya
dengan tendangan kaki dengan tubuh melayang, seolah seekor bangau
mengejar buruannya setelah patukannya luput.
Tendangan sambil melayang itu pun berbahaya sekali. Akan tetapi
dengan tenang, Cun Giok menggunakan kedua lengannya untuk menangkis.
Akan tetapi dia mengerahkan sin-kang lunak sehingga ketika kedua kaki
gadis itu bertemu dengan kedua lengan Cun Giok, Kui Lin merasa seperti
kakinya bertemu dengan karet yang lentur dan kuat sehingga begitu
tertangkis, tubuh gadis itu terpental ke belakang Akan tetapi dengan amat
lincahnya ia membuat pok-sai (salto) sampai lima kali sebelum kedua kakinya
menginjak tanah dengan tegak.
Marahlah gadis itu. Sambil mengeluarkan seruan melengking ia maju
menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan
kepada lawan untuk balas menyerang. Akan tetapi Cun Giok memang tidak
berniat menyakiti atau merobohkan lawan, maka dia hanya mengandalkan
gin-kangnya yang istimewa untuk mengelak dan menghindarkan semua
serangan gadis itu. Gadis itu menjadi semakin penasaran.
Ibu dan encinya selalu memujinya yang merupakan ahli ilmu silat tangan
kosong dan sudah banyak jagoan di dunia kang-ouw dikalahkannya. Akan
tetapi sekarang, menyerang seorang pemuda tak terkenal, walaupun ia sudah
mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan sampai
tigapuluh jurus lebih, belum juga ia mampu mengalahkan lawan ini.
Jangankan mengalahkan atau merobohkan, bahkan semua pukulannya tidak
ada yang menyentuh sasaran.
Saking penasaran, gadis itu lalu memainkan ilmu silat simpanannya yang
jarang dimainkan, karena ilmu ini berbahaya sekali bagi lawan dan dapat
mematikan. Ilmu silatnya itu disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong
Serbu Ratusan Golok) dan di dalamnya terkandung jurus-jurus pukulan
mematikan seperti Pek-lek-jiu (Pukulan Tangan GeIedek), Cam-liong-jiu
(Pukulan Membunuh Naga), Tok-ciang (Tangan Beracun), dan beberapa
macam pukulan yang mengandung hawa beracun pula.
Cun Giok terkejut. Gadis ini sungguh tak boleh dipandang ringan karena
tingkat kepandaiannya agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkat
kepandaian Ceng Ceng, dan beberapa orang gadis lain yang pernah
dijumpainya. Maka, dia pun cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai puncaknya sehingga tiba-tiba saja gadis itu berseru
kaget karena ia kehilangan lawannya
“Pengecut! Kalau berani jangan lari sembunyi, hayo balas serang aku.”
Gadis itu berteriak-terlak dan ketika Cun Giok muncul pula di depannya,
ia cepat menyerang lagi dengan lebih gencar.
Tubuh Cun Giok berkelebat lenyap dan tiba-tiba gadis itu berseru kaget
karena ubun-ubun kepalanya disentuh orang. Kalau saja yang menyentuh itu
berniat buruk, mengganti sentuhan dengan totokan atau pukulan, ia tentu
sudah tewas seketika. Maka wajahnya berubah pucat lalu kemerahan ketika
ia melompat ke belakang dan memandang Cun Giok yang sudah berdiri di
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
depannya dengan mata terbelalak. Cun Giok membungkuk, mengambil
sesuatu dari atas tanah lalu bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya
kepada gadis itu dan berkata.
“Maaf, Nona, hiasan rambutmu terjatuh”
Wajah gadis itu semakin merah karena tadi ia melihat bahwa pemuda itu
hanya berpura-pura mengambil hiasan rambutnya dari atas tanah, karena
sebetulnya hiasan rambutnya itu sudah berada di tangan pemuda itu yang
tentu tadi telah merampasnya dari rambutnya. Tanpa bicara sesuatu ia
menjulurkan tangan memenerima hiasan rambut itu dari Cun Giok dan
memasangnya kembali ke atas kepalanya.
Gadis pertama yang bernama Lan kini maju. Ia melepaskan pedang Kimkong-
kiam berikut sarungnya yang ia ikatkan di punggungnya kemudian
melemparkan kepada Cun Giok. Pemuda itu menerima pedangnya dan dia
merasa kagum karena dengan mengembalikan pedangnya membuktikan
bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat jahat kepadanya.
“Sobat, ilmu silat tangan kosong yang engkau perlihatkan tadi sungguh
lihai. Engkau sudah mengalahkan Adikku dalam ilmu silat tangan kosong.
Sekarang coba kau tandingi ilmu pedangku”
Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya dan tampak
sinar hitam berkelebat ketika pedang itu dicabutnya. Ternyata pedang di
tangan gadis itu bentuknya seperti seekor naga. Cun Giok pernah mendengar
bahwa di antara pedang-pedang ampuh yang terdapat di dunia persilatan,
adalah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Tentu pedang di tangan
gadis itu yang dimaksudkan
“Hek-liong-kiam yang ampuh” katanya sambil mencabut pedangnya
sendiri.
“Engkau mengenal Hek-liong-kiam?” gadis itu bertanya, dan melihat
pedang yang mengeluarkan sinar keemasan dan dipegang pemuda itu, ia
berkata bimbang.
“Kim-kong-kiamkah itu?”
“Benar, Nona. Sebaiknya kita tidak mengadukan pedang kita agar tidak
ada yang rusak,” kata Cun Giok.
Sebetulnya, menghadapi gadis berpedang itu dengan tangan kosong pun
dia tidak takut, akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, dia tentu akan
dianggap meremehkan dan memandang rendah gadis pendiam itu.
“Bukan pedang yang kita adu, melainkan keahlian memainkannya. Nah,
bersiaplah engkau dan sambut seranganku ini”
Setelah berkata demikian, gadis itu lalu menggerakkan pedangnya,
menyerang dengan gerak tipu Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Berantai).
Gerakannya cepat sekali dan pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang
menyambar dan menyerang dengan tikaman bertubi, tiga kali sambung
menyambung. Cun Giok menjadi kagum juga sambil mundur, dua kali
mengelak dan yang terakhir ditangkisnya.
“Cringgg...”
Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu. Gadis itu terkejut,
merasa tangannya tergetar hebat sehingga ia melompat ke belakang. Akan
tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar, bahkan kini menerjang lagi sambil
memutar pedangnya yang berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung.
Tahulah Cun Giok bahwa gadis ini memang lihai bukan main dan memiliki
ilmu pedang yang amat dahsyat. Maka dia pun mengandalkan gin-kangnya
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
untuk mengelak dari serangan lawan. Saking cepatnya dia bergerak, sampai
tidak tampak bayangannya, seolah tubuhnya dapat menghilang. Akan tetapi
gadis itu yang dari perkelahian melawan adiknya tadi maklum bahwa
pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kini memutar
pedangnya lebih cepat lagi, menggunakan gerak tipu yang disebut Hui-pauliu-
coan (Air Terjun Berpancaran). Cepat sekali gerakannya sehingga ujung
pedangnya seolah menjadi titik-titik air yang menyerang bagaikan hujan ke
arah sekelilingnya.
Kalau bayangan Cun Giok tampak, maka serangan itu sepenuhnya
menjurus ke arah pemuda itu. Cun Giok semakin kagum dan tahu akan
bahayanya serangan itu, dia lalu menggerakkan pedangnya, diputarnya
sehingga membentuk sinar emas yang melindunginya. Itulah jurus Kim-kongkoan-
jit (Sinar Emas Menutupi Matahari).
Sejak tadi, Cun Giok, seperti ketika melawan Kui Lin, kini juga banyak
mengalah dan belum pernah membalas serangan pedang lawan yang susulmenyusul
dengan cepatnya itu. Dia hanya membela diri dengan elakan atau
tangkisan. Jurus Kim-kong-koan-jit yang dimainkannya benar-benar membuat
gadis itu kehabisan akal karena kemana pun sinar pedangnya berkelebat
menyerang, selalu bertemu dengan perisai sinar emas itu, seolah air hujan
yang tidak mampu menembus atap rumah yang kokoh kuat dan rapat. Ia
mulai merasa penasaran sekali. Sudah hampir limapuluh jurus mereka
berkelahi dan tak pernah satu kalipun pemuda itu membalas serangannya. Ia
merasa seperti seorang anak kecil yang baru mulai belajar menggunakan
pedang dipermainkan oleh seorang dewasa yang ahli.
“Balas seranganku” bentaknya dan bentakan ini membuat Cun Giok
menyadari bahwa kalau dia terus mengalah, tentu gadis itu merasa
dipermainkan. Dengan jurus Po-in-gan-jit (Menyapu Awan Melihat Matahari)
pedangnya kini menyambut pedang gadis itu.
“Takk”
Cun Giok mengerahkan tenaga saktinya dengan daya menempel sehingga
kedua pedang itu menempel dan biarpun gadis itu berusaha melepaskan
tempelan tetap saja ia gagal, dan tiba-tiba Cun Giok menggerakkan
pedangnya dengan sentakan dan... pedang hitam itu terlepas dari pegangan
pemiliknya, terlempar ke atas dan disambut tangan kiri Cun Giok. Gadis itu
terbelalak, kaget dan bingung melihat betapa pedangnya telah pindah
tangan. Akan tetapi Cun Giok lalu membalikkan pedang hitam itu, memegang
ujungnya lalu menjulurkan gagangnya ke arah Si Pemilik Pedang.
“Maafkan aku, Nona,” katanya lembut.
Dengan wajah berubah merah, gadis itu menerima kembali pedangnya,
lalu ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan
berkata.
“Sobat, sekarang kami berdua mengaku kalah dan maafkanlah sikap kami
tadi yang mempermainkanmu.”
Cun Giok cepat membalas penghormatan itu dan kini sambil menghadapi
dua orang gadis kembar yang berdiri berjejer, dia berkata.
“Ah, sama sekali tidak, Ji-wi Siocia (Nona Berdua). Bukan kalian yang
bersalah, melainkan aku yang bersalah walaupun tidak kusengaja aku telah
melanggar wilayah yang menjadi milik kalian. Maafkan aku, Nona.”
“Dia benar, Enci Lan. Dia lah yang bersalah lebih dulu karena dia
melanggar wilayah kita. Akan tetapi setelah dia dapat mengalahkan kita, dia
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bukan pelanggar lagi, melainkan menjadi tamu kita. Tidakkah begitu, Enci?”
kata gadis kedua yang lincah.
Encinya mengangguk dan menahan senyum, lalu memandang kepada
Cun Giok.
“Adikku berkata benar. Sobat, sekarang kami menganggap engkau
sebagai tamu kami. Mari, silakan singgah di rumah kami agar dapat kami
perkenalkan dengan Ibu kami.”
Cun Giok yang merasa tidak enak telah mengganggu orang, hendak
menolak, akan tetapi baru saja dia menggerakkan tangan menolak dan belum
sempat bicara, gadis kedua yang lincah sudah berkata.
“Enci, bagaimana dia dapat menjadi tamu kalau kita belum berkenalan
dengannya? Sobat, perkenalkan, kami berdua sebagai nona rumah adalah
puteri kembar Ibu kami. Namaku The Kui Lin dan ini Enciku, The Kui Lan. Ibu
kami biasa disebut The Toanio (Nyonya Besar The) dan menjadi majikan dari
Lembah Seribu Bunga. Nah, perkenalkan dirimu, sobat, agar engkau tidak
menjadi tamu yang asing.”
The Kui Lan hendak melarang adiknya memperkenalkan keluarga mereka
seperti itu, akan tetapi mana ia mampu menghentikan adiknya yang bicara
seperti hujan deras tak dapat dihentikan lagi itu? Maka ia diam saja dan
hanya menegur adiknya dengan pandang matanya. Akan tetapi The Kui Lin
pura-pura tidak tahu akan kemarahan encinya.
Cun Giok tersenyum melihat kelincahan Kui Lin dan sambil membungkuk
hormat dia terpaksa memperkenalkan dirinya.
“Namaku Pouw Cun Giok,” katanya singkat.
“Dimana tempat tinggalmu?” tanya Kui Lin.
“Aku pengembara, tidak mempunyai tempat tinggal.”
“Siapa orang tuamu?”
“Orang tuaku sudah meninggal dunia.”
“Jadi engkau yatim piatu? Tiada sanak keluarga?”
“Aku yatim piatu dan sebatang kara, tiada sanak keluarga lagi.”
“Lalu apa maksud dan tujuanmu datang ke sini?”
“Aku hanya menuju kemana saja hati dan kakiku membawaku.”
“Apakah...”
“Lin-moi (Adik Lin), engkau sungguh keterlaluan, menanyai tamu seperti
hakim memeriksa pesakitan saja. Tidak sopan itu” tegur Kui Lan yang
memotong pertanyaan berikutnya.
“Ah, Lan-ci (Kakak Lan), nona rumah harus mengenal betul siapa
tamunya. Betul tidak, Tuan Pouw Cun Giok?”
Kui Lin membantah lalu bertanya kepada Cun Giok mengharapkan
dukungannya. Akan tetapi Cun Giok tidak mau berpihak melihat kakak dan
adik itu bercekcok.
“Nona, harap engkau tidak memanggil aku Tuan, aku bukan hartawan
atau bangsawan.”
“Hemm, mau enaknya sendiri saja” kata Kui Lin.
“Engkau sendiri memanggil kami Nona, tentu saja kami memanggilmu
Tuan. Kalau bukan Tuan, lalu memanggil apa?”
“Sebut saja aku Saudara, atau Kakak, atau namaku saja, Nona.”
“Hemm, dan engkau tetap menyebut Nona? Aku akan menyebutmu Kakak
Pouw Cun Giok, atau Giok-ko (Kakak Giok) kalau engkau mau menyebutku
Lin-moi (Adik Lin). Kalau engkau tetap menyebut Nona, akupun akan tetap
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
menyebutmu Tuan.”
Diam-diam Cun Giok merasa girang. Gadis ini ternyata ramah, di samping
wataknya yang agak liar dan galak. Dia tersenyum dan berkata.
“Baiklah, Lin-moi, asal saja... Lan-moi tidak keberatan”
Dengan tenang Kui Lan menjawab.
“Mengapa keberatan? Bagaimanapun juga, engkau pasti lebih tua
daripada kami, Giok-ko.”
“Terima kasih, Lan-moi dan Lin-moi, kalian sungguh ramah dan baik budi
terhadap aku, seorang perantau sebatang kara dan miskin lagi bodoh.”
“Aih, sudahlah, Giok-ko. Tidak perlu merendahkan diri. Setelah kami
berkenalan, kami persilakan engkau untuk singgah di rumah kami. Kami
jarang kedatangan tamu, maka ibu kami tentu akan girang melihatmu,” kata
Kui Lin.
Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak lagi, khawatir penolakan itu
akan membuat dua orang gadis yang ramah ini menjadi marah dan merasa
terhina karena undangan mereka dia tolak.
Mereka bertiga lalu memasuki hutan itu yang ternyata setelah tiba di
tengah, jalannya mulai mendaki sebuah bukit. Lembah Seribu Bunga terletak
di lereng bukit kecil dan setelah berjalan sekitar empat lie (mil) jauhnya,
tibalah mereka di luar sebuah taman yang penuh dengan pohon-pohon dan
tanaman bunga-bunga yang beraneka warna dan indah sekali. Taman itu
amat luas, ada rumpun bambu yang beraneka ragam, ada pula semak-semak
yang teratur indah, padang rumput dan bunga-bunga yang amat banyak
macamnya dan sebagian besar belum pernah ditemui Cun Giok. Sungguh
bukan nama kosong kalau tempat itu dinamakan Lembah Seribu Bunga
Cun Giok berdiri dan memandang kagum sekali. Taman yang luas itu
dikelilingi pagar tembok yang tingginya hanya setengah badannya sehingga
dia dapat melihat tetumbuhan yang berada di balik pagar. Amat luas dan
terdapat jalan setapak yang terbuat dari batu-batu rata berwarna putih. Dari
situ tampak agak jauh sebuah rumah berdiri megah di tengah taman, dan di
sana-sini terdapat pula bangunan-bangunan kecil tanpa dinding yang
merupakan tempat peristirahatan, berikut kolam-kolam ikan. Taman itu dibuat
seperti daerah perbukitan, ada yang menonjol dan menurun di sana-sini
sehingga amat sedap dipandang. Anak sungai yang kecil dan jernih airnya
mengalir di tengah-tengah taman, berkelak-kelok dan agaknya sungai inilah
yang menembus ke tepi hutan dimana dia mandi tadi.
“Giok-ko, sekarang engkau kami persilakan menuju ke rumah kami di sana
itu. Akan tetapi ada peraturan dari ibu kami bahwa hanya tamu yang mampu
menembus taman ini yang dapat diterima kunjungannya. Karena itu, silakan
twako memasuki taman dan mencari jalan menuju rumah kami di sana itu,”
kata Kui Lan dengan suaranya yang tenang.
“Akan tetapi bukankah kalian yang mengundangku dan kalian dapat
menjadi penunjuk jalan bagiku?”
“Maaf, tidak ada penunjuk jalan di sini, Giok-ko,” kata pula Kui Lan.
“Akan tetapi kalau engkau mau mengikuti kami, silakan kalau engkau
bisa, Twako” kata Kui Lin sambil tertawa, sikapnya mengejek.
Cun Giok menahan tawanya. Gadis ini sungguh nakal dan sombong.
Dengan gin-kangnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, bagaimana
mungkin dia tidak akan mampu mengikuti mereka?
“Akan kucoba untuk mengikuti kalian,” katanya.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Dua orang gadis itu tanpa bicara lagi lalu memasuki taman lewat pintu
pagar yang bercat merah. Tanpa tergesa-gesa Cun Giok mengikuti mereka.
Dia santai saja, tidak mau tampak bersicepat seperti orang yang takut
tertinggal. Dengan santai pun dia akan dapat mengikuti mereka kemanapun
juga mereka pergi. Bahkan, seandainya dia kehilangan mereka sekalipun, apa
sih sukarnya menemukan rumah yang sudah tampak dari luar taman? Gadisgadis
itu terlalu memandang rendah padanya.
Makin diingat kata-kata Kui Lin tadi yang menantangnya seolah dia tidak
akan mampu mengikuti mereka, Cun Giok semakin memperjauh jaraknya dari
mereka. Biarlah mereka mengira dia tidak mampu mengikuti mereka. Biar
mereka mentertawakannya, nanti dialah yang tertawa karena dia akan
mendahului mereka tiba di rumah itu.
Melihat dua orang gadis itu sudah lari agak jauh, Cun Giok tersenyum dan
segera mengerahkan gin-kang untuk mengejar. Tubuhnya berkelebat cepat
sekali seperti terbang. Dia melihat dua orang gadis itu, yang berlari di atas
jalan setapak, berbelok ke kiri dan tertutup rumpun bambu kuning. Ketika dia
tiba di dekat rumpun bambu dan memandang ternyata dua orang gadis itu
telah lenyap
“Hemm, kalian boleh mengambil jalan pintas yang bagaimanapun, aku
tetap akan dapat mendahului kalian” katanya sambil menahan tawa.
Kini dia tidak mempedulikan lagi dua orang gadis kembar itu, tidak ingin
mengikuti jejak mereka melainkan hendak mengambil jalan sendiri menuju
rumah itu, mendahului mereka. Maka, di jalan simpang empat itu dia
mengambil jalan yang langsung menuju ke arah rumah itu. Tumbuhtumbuhan
menghalanginya melihat gedung itu, akan tetapi dia yakin bahwa
jalan setapak pasti menuju ke gedung di depan seperti yang dilihatnya tadi
sebelum semak-semak yang tinggi menghalangi penglihatannya.
Setelah melewati deretan semak-semak yang cukup panjang dan tiba di
tempat yang tidak terhalang, dia memandang ke depan dan... gedung itu
tidak tampak lagi berada di depannya Dia merasa heran lalu menoleh ke kiri
dan ternyata gedung itu kini berada di sebelah kirinya, hanya saja tidak
sedekat tadi, melainkan semakin jauh.
Ah, jalan setapak yang diikutinya itu tentu telah membelok tanpa dia
sadari sehingga dia malah menjauhi gedung, bukan mendekati. Kini gedung
itu sudah tampak lagi dan dia pun cepat berlari mengikuti jalan setapak yang
menuju ke arah gedung itu. Kembali ada pohon-pohon yang menghalangi
penglihatannya dan setelah dia berlari cukup lama, dia merasa heran
mengapa belum juga dia tiba di gedung yang tadi sudah kelihatan itu. Dia
berlari lebih cepat dan melewati kelompok pohon yang menghalangi
penglihatannya lalu memandang ke depan. Gedung itu hilang lagi dan setelah
dia memandang ke sekeliling, gedung itu tampak di sebelah kanannya,
semakin jauh.
Cun Giok merasa semakin penasaran. Bagaimana ini dapat terjadi?
Apakah jalan setapak itu yang menipunya sehingga dia mengikuti arah yang
membalik tanpa disadarinya? Dia terus berlari menuju ke arah gedung, akan
tetapi sampai berjam-jam lamanya, dia tidak pernah tiba di dekat gedung.
Terkadang agak dekat, terkadang malah semakin jauh
Matahari mulai condong ke barat. Cun Giok yang tidak mau menyerah dan
sejak tadi mengerahkan gin-kang berlari-lari, mulai berkeringat. Kegembiraannya
untuk mentertawakan dua orang gadis kembar karena dia mendahului
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
mereka, sudah lenyap sama sekali dan sekarang mulai timbul rasa gelisah di
dalam hatinya. Dia tadi terlalu memandang rendah mereka. Kiranya Taman
Seribu Bunga ini merupakan taman yang penuh rahasia dan tipuan. Dia mulai
merasa ragu apakah akan mampu melewati taman itu dan tiba di gedung
yang sudah tampak dari situ.
“Giok-ko, engkau berada dimana?” terdengar pertanyaan yang
melengking dari arah gedung itu. Dia mengenal suara yang lembut serius itu.
Pasti Kui Lan yang mengeluarkan pertanyaan itu.
“Aku di sini, Lan-moi” katanya dengan girang dan dia pun lari lagi menuju
ke arah suara yang datangnya dari gedung itu.
Kembali dia harus melewati tumbuh-tumbuhan yang cukup tinggi
sehingga penglihatannya terhalang. Setelah dapat melihat kembali ke depan,
gedung itu lenyap dan berubah menjadi padang rumput yang menghadang di
depannya. Setelah dia mencari-cari, gedung itu tampak berada di sebelah
kanannya. Dia berhenti lagi, mulai bingung.
“Heii, Giok-ko? Kenapa engkau begitu lemah? Apakah engkau merangkak
seperti siput maka begitu lama aku harus menunggu di sini?”
Teriakan yang nadanya mengejek itu pasti suara Kui Lin. Gila, dia
dipermainkan oleh gadis-gadis yang masih hijau.
“Tunggu, Lin-moi Aku pasti akan sampai ke situ” serunya sambil
mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar menggema di seluruh
penjuru. Yang membuat hatinya panas adalah ketika dia melihat Kui Lin,
biarpun dari jauh, berdiri di atas atap gedung dan melambai-lambaikan
tangan dengan tertawa-tawa mengejek.
Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah berhenti berlari, ternyata dia hanya
berputar-putar dan beberapa kali mengenal jalan setapak yang tadi pernah
dilaluinya. Sampai sore dia berlari-lari tanpa henti, namun tak pernah berhasil.
Akhirnya dia melompat ke atas cabang sebatang pohon, duduk di atas
cabang sambil memandang ke sekeliling.
Dari situ tampak betapa indahnya taman itu. Beraneka bunga memenuhi
taman, juga pohon-pohon semak-semak, rumpun-rumpun bambu, semua
serba teratur rapi dan indah. Dari situ tampak pula gedung itu dan dia
sungguh merasa heran bagaimana dia selalu gagal menuju ke sana. Kalau dia
memakai jalan pintas dan membabati tanaman-tanaman di taman itu,
mungkin dia akan sampai di gedung. Akan tetapi tidak mungkin dia mau
merusak taman orang. Dari atas pohon dia melihat jalan setapak yang berlikuliku
dan baru dia teringat bahwa jalan setapak itu berubah-ubah warnanya.
Ada yang putih, lalu ada yang merah, biru, kuning, hijau dan bermacammacam
warna lagi.
Tiba-tiba terdengar suara wanita bernyanyi. Merdu dan lembut suara itu,
terdengar dari arah gedung, sayup sampai terbawa angin, namun katakatanya
cukup jelas dapat ditangkap pendengaran Cun Giok.
Bayangan wahai bayangan
Didekati, dicari, makin menjauh
Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini
Bersatu dengan diri
Hanya orang bodoh yang tidak mengerti
Cun Giok mengenal syair itu, ditulis oleh seorang penyair di jaman
Kerajaan Tang. Penyair itu seorang Tosu bernama Cu Tek. Yang dimaksudkan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
dengan bayangan itu adalah To atau Kekuasaan Tuhan. Dicari dengan akal
pikiran tidak akan bisa didapatkan, tanpa dicari sudah ada karena Kekuasaan
Tuhan itu tidak pernah terpisah dari diri manusia. Akan tetapi apa artinya
syair itu dinyanyikan orang di sini? Apakah ada hubungannya dengan rahasia
taman ini?
Tiba-tiba Cun Giok memejamkan mata dan mencoba untuk mengingatingat
tentang pelajaran dalam Agama To. Didekati dan dicari, malah makin
menjauh. Ah, ini cocok dengan keadaan di taman. Gedung itu, makin didekati
semakin menjauh. Dia sudah berusaha mendekati sampai setengah hari, akan
tetapi sama sekali tidak berhasil karena gedung itu makin menjauh saja.
Andaikata yang dimaksudkan dengan “bayangan” itu adalah rumah gedung
di Lembah Seribu Bunga, maka mendekati dan mencarinya tentu akan gagal
seperti yang telah dialaminya.
Lalu bagaimana rahasianya untuk dapat menemukannya?
“Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini bersatu dengan diri”.
Hemm, tidak usah didekati, malah dijauhi? Apa artinya itu. Tiba-tiba Cun
Giok teringat. Sejak tadi dia memang berusaha mendekati gedung dan selalu
mengambil jalan yang menuju ke gedung dan hasilnya, jalan itu
membawanya makin menjauhi gedung. Inikah rahasianya? Dia tidak yakin,
akan tetapi apa salahnya dicoba?
Timbul harapan di hati Cun Giok. Kalau sekali ini tidak berhasil, sudah
saja, dia akan meninggalkan taman ini. Akan tetapi dia lalu teringat,
bagaimana dapat meninggalkannya? Dia pun tidak tahu jalan keluar, seperti
juga tidak tahu jalan menuju ke gedung itu.
Cun Giok melompat turun dari atas pohon, lalu berjalan mengikuti jalan
setapak yang berwarna biru. Jalan setapak itu mempunyai banyak
simpangan, ada perempatan dari berbagai warna. Setelah tiba di tempat
terbuka dia melihat bahwa gedung itu kini berada di sebelah kirinya, cukup
jauh.
Maka tanpa menggunakan akal pikiran lagi, langsung saja dia mengambil
jalan setapak yang ke kanan, berarti menjauhi atau berlawanan dengan arah
gedung itu. Kini jalan setapak itu berwarna merah. Setelah agak lama berjalan
dengan pohon-pohon menghalangi di kanan kiri jalan sehingga dia tidak
melihat jauh, jalan setapak itu membawanya ke tempat terbuka dimana
terdapat perempatan jalan.
Dia berhenti dan memandang sekeliling. Gedung itu tiba-tiba saja sudah
pindah di sebelah kanannya, tidak begitu jauh lagi. Tanpa berpikir lagi Cun
Giok mengambil jalan ke kiri, berlawanan dengan letak gedung. Kembali dia
melewati lorong panjang yang dipenuhi semak-semak di kanan kiri sehingga
dia tidak dapat melihat dimana letak gedung itu. Jalan setapak itu berliku-liku
sehingga Cun Giok tidak tahu lagi ke arah mana dia berjalan, ke utara,
selatan, timur, atau barat.
Kembali dia berada di tempat terbuka dan kini gedung itu tahu-tahu
tampak dekat sekali di sebelah kirinya. Agaknya dengan melompati beberapa
semak belukar dan melewati beberapa batang pohon saja dia sudah akan
sampai di sana. Akan tetapi Cun Giok tidak mau melakukan hal itu.
Sebaliknya dia lalu mengambil jalan ke arah kanan dan kini dia menginjak
jalan setapak berwarna putih. Demikianlah, setiap tiba di tempat terbuka dan
melihat gedung itu semakin dekat saja, Cun Giok segera mengambil jalan ke
arah yang berlawanan seolah meninggalkan gedung itu, dan setelah berjalan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
membelak-belok beberapa lamanya, tiba-tiba saja dia dapat keluar dari taman
dan sudah berdiri di halaman gedung itu
“Selamat datang di rumah kami, Giok-ko.”
Tiba-tiba terdengar suara Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu sudah
muncul di situ.
“Wah, engkau lambat sekali, Giok-ko. Kalau saja lbuku tidak memberi
petunjuk kepadamu, aku berani bertaruh bahwa sampai kapan pun engkau
tidak akan berhasil keluar dari taman Seribu Bunga,” kata Kui Lin sambil
tersenyum. Senyumnya memang manis sekali, akan tetapi menyakitkan
karena senyum itu mengandung ejekan.
Akan tetapi mendengar ucapan Kui Lin, mengertilah dia bahwa yang
menyanyikan syair tadi adalah ibu kedua orang gadis kembar itu, maka dia
lalu cepat merangkap kedua tangan di depan dadanya dan berseru walaupun
tidak melihat adanya ibu mereka di situ.
“Banyak terima kasih saya ucapkan kepada The Toanio yang telah
memberi petunjuk kepada saya. Saya Pouw Cun Giok menghaturkan salam
hormat kepada The Toanio.”
Dari dalam rumah itu terdengar suara wanita yang lembut.
“Pouw Sicu (Orang Gagah Pouw), anak-anakku mempersilakan engkau
sebagai tamu. Masuklah”
“Terima kasih, Toanio,” kata Cun Giok.
“Silakan, Giok-ko,” kata Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu lalu
mengajak Cun Giok memasuki pintu depan yang besar dan kuat.
Setelah memasuki ruangan depan gedung itu, Cun Giok memandang ke
sekelilingnya dan dia kagum sekali. Ternyata walaupun dari luar gedung itu
tampak biasa saja, namun ternyata di dalamnya terdapat perabot rumah yang
serba indah dan mahal. Selain perabot-perabotnya yang indah dan mahal,
juga terdapat lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan kuno yang amat indah,
baik kata-katanya maupun bentuk tulisannya.
Akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada seorang wanita yang
telah duduk di dalam sebuah ruangan di samping ruangan depan yang
agaknya dijadikan sebagai ruangan tamu gedung itu. Wanita itu berusia
sekitar limapuluh tahun, akan tetapi wajahnya masih tampak cantik dan
tubuhnya juga masih ramping padat sehingga tampaknya jauh lebih muda
dari usia sebenarnya. Melihat sekilas pandang saja, mudah diduga bahwa ia
tentu ibu dari sepasang gadis kembar itu karena wajah sepasang gadis
kembar itu jelas merupakan hasil cetakan wajah Sang Ibu. Wanita yang
tadinya duduk dan menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka dan
memandang kepada Cun Giok dengan sinar mata penuh selidik.
Cun Giok segera mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan
membungkuk untuk memberi hormat.
“Toanio, harap suka memaafkan saya yang lancang berani datang
menghadap tanpa diundang. Terimalah hormat saya Pouw Cun Giok, Toanio.”
Wanita itu tersenyum, dan senyumnya juga persis senyuman Kui Lin
walaupun senyum itu lembut seperti sifat Kui Lan, tidak kasar dan lincah
seperti Kui Lin.
“Pouw-sicu, aku sudah mendengar dari anak-anakku bahwa engkau
adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga dapat
mengalahkan ilmu silat tangan kosong Kui Lin, bahkan mengalahkan ilmu
pedang dari Kui Lan. Sungguh membuat aku kagum, karena sesungguhnya
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pada waktu ini jarang ada orang muda yang akan mampu mengalahkan
kedua orang puteriku ini.”
“Aih, Ibu. Bikin malu saja memuji-muji kami padahal kami sama sekali
tidak mampu menandingi Giok-ko,” kata Kui Lin, sedangkan Kui Lan lalu
berkata kepada pemuda itu yang masih berdiri.
“Giok-ko, silakan duduk,” ia menunjuk sebuah kursi yang berhadapan
dengan ibunya.
“Terima kasih,” kata Cun Giok yang lalu duduk di atas kursi itu.
Setelah Cun Giok duduk, dua orang gadis itu pun segera mengambil
tempat duduk di atas kursi yang berada di kanan kiri ibu mereka. Setelah
mereka duduk, Nyonya The sambil memandang penuh selidik kepada Cun
Giok, dan bertanya.
“Sicu, kedua orang puteriku hanya dapat memberitahu bahwa engkau
bernama Pouw Cun Giok, akan tetapi mereka tidak tahu akan riwayatmu.
Dapatkah engkau memberitahu, dimana orang tuamu, siapa mereka dan
dimana mereka tinggal?”
“Ayah Ibu saya telah meninggal dunia, Toanio. Kami dulu tinggal di Socouw,
akan tetapi keluarga saya habis terbunuh oleh pasukan Mongol
sehingga saya sekarang hidup sebatang kara.”
Wanita itu mengerutkan alisnya.
“Ah, apakah engkau ini masih keturunan keluarga Pouw yang merupakan
orang-orang gagah perkasa dan pembela Kerajaan Sung? Aku pernah
mendengar akan kebesaran nama keluarga Pouw, seperti Pouw Goan Keng
dan Pouw Cong Keng.”
“Mereka adalah nenek moyang saya, Toanio.”
“Aih… Kalau begitu, siapakah Ayahmu? Apakah yang bernama Pouw Bun
yang menjadi pejabat yang adil di kota raja pada jaman Kerajaan Sung?”
“Beliau adalah kakek buyut saya, Toanio.”
“Ah, lalu Ayahmu? Siapa namanya?”
“Mendiang Ayah saya bernama Pouw Keng In.”
Wanita itu mengangguk-angguk.
“Bagus, kiranya engkau keturunan keluarga Pouw yang namanya amat
terkenal sebagai patriot-patriot gagah perkasa itu. Engkau pantas menjadi
tamu kami, pantas menjadi sahabat anak-anakku, Pouw-sicu. Akan tetapi, Kui
Lan memberi tahu kepadaku bahwa engkau memiliki sebatang pedang yang
bersinar keemasan. Bolehkah sebentar saja aku melihatnya?”
“Tentu saja, Toanio.”
Cun Giok tanpa ragu-ragu lalu mencabut pedangnya dan menyerahkan
pedang itu kepada Nyonya The. Lalu terjadi hal yang membuat Pouw Cun
Giok terheran-heran, bahkan dua orang gadis itu pun terkejut dan heran. Ibu
mereka, setelah menerima pedang itu, mengamatinya sebentar, lalu
mendekap pedang itu di dadanya dan menangis. Kui Lan dan Kui Lin
mendekati ibunya.
“Ibu, ada apakah?” mereka bertanya, akan tetapi Nyonya The tidak
menjawab dan masih menangis.
Cun Giok juga memandang dengan khawatir.
“The Toanio, maafkan kalau pedang saya itu membuat Toanio bersedih.”
Dirangkul dua orang puterinya yang tampak khawatir itu, The Toanio
dapat menguasai perasaannya. Ia mengusap air mata yang membasahi
pipinya, lalu menghela napas dan menyuruh dua orang puterinya duduk
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
kembali. Kemudian ia memandang kepada Cun Giok dan bertanya, suaranya
seperti menuntut.
“Pouw-sicu, katakan sejujurnya. Dari mana dan bagaimana engkau
mendapatkan pedang Kim-kong-kiam ini?”
Cun Giok terkejut karena sinar mata wanita itu dan suaranya penuh
tuntutan. Maka dia segera menjawab sejujurnya.
“Toanio, Kim-kong-kiam ini saya terima sebagai pemberian dari Guru
saya.”
“Gurumu...? Siapa namanya...?”
Kini pandang mata dan sikap Nyonya The penuh keinginan tahu dan
harapan.
“Nama Suhu adalah Suma Tiang Bun, Toanio.”
Wajah wanita itu menjadi pucat dan bibirnya gemetar ketika ia bertanya.
“Suma Tiang Bun...? Dimana... dimana dia sekarang?”
Cun Giok tertegun. Tentu ada hubungan erat antara gurunya dan wanita
ini, pikirnya.
“Suhu sudah meninggal dunia sekitar tiga tahun yang lalu, Toanio.”
Nyonya The yang tadinya mengangkat tubuhnya dalam kursinya, begitu
mendengar ucapan Cun Giok ini, seketika lemas dan terkulai sambil memeluk
Kim-kong-kiam di dadanya lalu mulai menangis lagi. Dua orang puterinya
segera merangkul ibu mereka dan Kui Lin menoleh kepada Cun Giok lalu
berkata ketus.
“Pouw Cun Giok, manusia tak mengenal budi. Engkau kami terima
sebagai tamu, tapi kedatanganmu hanya mendatangkan kekacauan dan
membuat Ibuku bersedih. Pergilah kau dari sini dan bawa pedangmu”
“Lin-moi, jangan begitu...” Kui Lan mencela adiknya.
Kembali Nyonya The menghapus air matanya dan berkata.
“Kui Lin, Pouw-sicu tidak bersalah apa-apa, jangan engkau bersikap kasar
kepadanya.”
Setelah menyuruh dua orang puterinya duduk kembali dan ia sudah dapat
menenangkan hatinya, The Toanio lalu menyerahkan Kim-kong-kiam kepada
Cun Giok dan ia sudah menghapus semua air mata dari kedua pipinya.
Wajahnya sudah pulih dan merah kembali.
Pada saat itu, seorang wanita setengah tua yang berpakaian sebagai
pembantu rumah tangga, masuk membawa baki terisi empat buah cawan,
sepoci besar air teh dan beberapa macam kue kering di atas piring. Setelah
mengatur suguhan itu di atas meja, wanita pelayan itu mengundurkan diri
dan The Toanio berpesan kepadanya.
“Akin, engkau dan para pelayan lain tidak boleh memasuki kamar ini
sebelum kupanggil.”
Pelayan wanita itu memberi hormat dengan membungkuk lalu keluar dari
kamar atau ruangan tamu itu, tidak lupa menutupkan daun pintu ketika ia
keluar. Setelah mempersilakan Cun Giok minum air teh yang dituangkan
dalam cawan oleh Kui Lan, The Toanio lalu berkata.
“Maafkan aku, Pouw-sicu, aku tidak dapat menahan kesedihan melihat
Kim-kong-kiam, lebih-lebih mendengar gurumu itu telah meninggal dunia...”
“Apakah Ibu mengenal guru Giok-ko yang telah meninggal dunia itu?”
tanya Kui Lan.
“Ibu, siapakah Suma Tiang Bun itu, dan mengapa Ibu bersedih mendengar
dia meninggal dunia?” tanya Kui Lin.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Nyonya The menghela napas panjang.
“Kalau saja Pouw-sicu tidak muncul bersama Kim-kong-kiam ini, rahasia
ini tentu akan kubawa sampai mati, karena tidak ada sangkut-pautnya
dengan kalian. Akan tetapi sekarang aku tidak ingin membuat kalian bertiga
menduga yang bukan-bukan, maka sebaiknya kuceritakan pengalamanku di
waktu aku masih gadis dan belum menikah dengan Ayah kalian berdua. Akan
tetapi sebelumnya, aku ingin tahu lebih dulu, Pouw-sicu. Bagaimana Suma
Tiang Bun bisa mati? Dia belum tua benar, usianya sekarang baru sekitar
enampuluh tahun dan dia memiliki tubuh yang amat kuat, ilmu silatnya juga
lihai sekali.”
“Suhu tewas dikeroyok seorang panglima besar Kerajaan Mongol bersama
pasukannya, Toanio.”
“Hem, siapakah panglima itu?”
“Namanya Panglima Kong Tek Kok, akan tetapi saya dan adik misan saya
sudah berhasil membalas dendam dan membunuhnya.”
“Ah, syukurlah kalau begitu. Kalau belum terbalas, akulah yang akan
membunuh panglima yang mengeroyok dan menewaskan Suma Tiang Bun.
Nah, sekarang dengarlah riwayatku. Dahulu, sebelum aku menikah dengan
mendiang suamiku, ayah kedua anakku ini, aku bersahabat baik dengan Suma
Tiang Bun. Kami berdua melakukan perjalanan bersama dan menentang
orang-orang Mongol yang mulai menyerang Kerajaan Sung. Bahkan kami
berdua sudah saling berjanji akan menjadi jodoh masing-masing kelak.”
“Wah, jadi dia itu dulu pacar Ibu?” tanya Kui Lin.
“Ih, Lin-moi, diam dan dengarkan cerita Ibu” Kui Lan menegur adiknya.
Nyonya The tersenyum mendengar pertanyaan Kui Lin walaupun sinar
matanya masih membayangkan kesedihan.
“Memang benar, ketika itu aku dan Suma Tiang Bun saling mencinta.
Mencinta bukan hal yang buruk, bukan hal yang tidak pantas atau patut
disembunyikan. Memang pada waktu itu, aku dan Suma Tiang Bun
menganggap kita menjadi calon jodoh masing-masing. Akan tetapi, kemudian
kota raja diserbu pasukan musuh dan Kaisar dilarikan mengungsi ke selatan.
Di antara mereka yang membela dan menyelamatkan Kaisar adalah Suma
Tiang Bun. Ketika Kaisar tewas terjun ke laut, dan banyak perwira dan
pendekar yang ikut tewas ketika membela Kaisar, tersiar berita bahwa Suma
Tiang Bun juga tewas. Selama setahun aku berkabung, sama sekali tidak
mengira bahwa Suma Tiang Bun menghilang karena dia menjadi buruan
kerajaan musuh sehingga terpaksa menyembunyikan diri ke gunung-gunung
dan tempat sepi. Nah, ketika itulah aku bertemu dengan The Kim Kiong yang
juga seorang pendekar. Kami menikah dan mempunyai dua orang anak, yaitu
The Kui Lan dan The Kui Lin yang terlahir kembar ini. Baru kemudian aku
mendengar bahwa Suma Tiang Bun belum mati dan menjadi orang buruan.
Akan tetapi aku tidak menyesal karena aku sudah menjadi isteri orang lain,
bahkan merasa bersyukur bahwa Suma Tiang Bun masih hidup. Mungkin dia
juga mendengar bahwa aku telah menikah dengan The Kim Kiong dan dia
sengaja tidak pernah datang menjengukku. Aku mengenal betul akan
wataknya yang bijaksana. Nah, demikianlah, anak-anakku dan engkau juga,
Pouw-sicu, riwayatku sehingga tentu saja aku terkejut sekali ketika melihat
Kim-kong-kiam.”
“Saya dapat mengerti mengapa Toanio menikah dengan orang lain karena
mengira bahwa mendiang Suhu yang menjadi calon suami Toanio telah
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tewas. Kalau boleh saya bertanya, dimana adanya suami Toanio yang
bernama The Kim Kiong itu?”
Nyonya The menghela napas panjang.
“Memang nasibku yang buruk. Ketika Kui Lan dan Kui Lin berusia sepuluh
tahun, ayah mereka tewas ketika melawan pasukan Mongol. Dia memang
menjadi seorang di antara para pendekar yang dianggap pemberontak dan
dimusuhi Kerajaan Mongol. Dia berhasil menewaskan banyak perajurit, akan
tetapi akhirnya tewas. Aku sempat menyelamatkan anak-anak kami melarikan
diri.”
“Ibu tidak pernah mau menceritakan siapa panglima yang memimpin
pasukan yang telah menewaskan Ayah” Kui Lin berkata dengan nada
penasaran.
“Kuceritakan juga, apa yang dapat kalian lakukan? Panglima itu
membunuh Ayah kalian bukan karena urusan permusuhan pribadi. Dia
mewakili Kerajaan Mongol, maka yang membunuh Ayah kalian adalah
Kerajaan Mongol.”
“Ibu berkata benar,” kata Kui Lan.
“Akan tetapi ada baiknya kalau kami mengetahui namanya.”
“Panglima itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, juga dia
seorang panglima besar yang memimpin ratusan ribu perajurit. Namanya
Panglima Kim Bayan.”
“Ahhh...”
Cun Giok demikian kaget sehingga tanpa disadarinya dia mengeluarkan
seruan itu. Ibu dan kedua orang puterinya itu kini memandang kepadanya
dengan tajam.
“Sicu, apakah engkau mengenal Kim Bayan?” tanya Nyonya The.
“Mengenalnya, Toanio? Lebih dari mengenalnya, bahkan sudah beberapa
kali saya bermusuhan dan bentrok dengan dia dan kaki tangannya. Bagi saya,
Kim Bayan adalah seorang yang keji dan licik jahat, akan tetapi juga
berbahaya. Kalau diberi kesempatan, saya ingin sekali membunuhnya. Belum
lama ini saya pernah menjadi tawanannya. Masih untung saya dapat
menyelamatkan diri dari Kim Bayan yang dibantu oleh orang-orang sakti
seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li.”
“Wah, menarik sekali” teriak Kui Lin.
“Giok-ko, ceritakanlah apa yang kau alami ketika bermusuhan dengan Kim
Bayan, pembunuh Ayahku itu.”
Cun Giok lalu menceritakan pengalamannya ketika dia bersama Ceng
Ceng dan Li Hong berhadapan dengan Kim Bayan dan kaki tangannya dalam
memperebutkan harta karun Kerajaan Sung.
“Peta harta karun itu adalah peninggalan Locianpwe Liu Bok Eng yang
juga terbunuh oleh Kim Bayan dan Cui-beng Kui-ong. Peta itu ditinggalkan
kepada puterinya yang bernama Liu Ceng Ceng.”
“Ah, aku pernah mendengar nama besar Liu Bok Eng yang dulu menjadi
panglima Kerajaan Sung. Aku masih ingat bahwa ilmu toyanya jarang
menemul tandingan,” kata Nyonya The.
“Lagi-lagi Kim Bayan yang membunuhnya. Panglima yang satu ini
agaknya memang ingin membasmi semua pendekar yang berjiwa patriot.”
“Giok-ko, lalu bagaimana dengan peta itu?” tanya Kui Lan.
Cun Giok lalu menceritakan betapa dia dan Tan Li Hong membantu Liu
Ceng Ceng untuk menyelidiki tentang harta karun itu menurut petunjuk peta
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
yang ditinggalkan mendiang Liu Bok Eng.
“Giok-ko, apakah engkau dan Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong ingin
mendapatkan harta karun itu dan kalian bagi bertiga?” tanya Kui Lin.
“Lin-moi, jangan lancang” tegur Kui Lan dan adiknya cemberut.
Cun Giok tersenyum.
“Sama sekali tidak, Lin-moi. Kami bertiga mencari harta itu dengan niat
kalau sudah ditemukan akan kami serahkan kepada yang berhak seperti
dikehendaki mendiang Locianpwe Liu Bok Eng.”
“Siapa yang berhak menerima harta karun itu?” tanya pula Kui Lin.
“Menurut Liu Ceng Ceng, Ayahnya menghendaki agar harta karun itu
kelak dipergunakan untuk biaya pasukan pejuang yang berusaha
menumbangkan pemerintah penjajah Mongol.”
“Bagus sekali. Sampai matinya Liu Bok Eng tetap seorang pendekar
patriot, bahkan jiwa kependekarannya diturunkan kepada puterinya,” Nyonya
The memuji.
“Lalu bagaimana, Sicu? Apakah kalian bertiga berhasil menemukan harta
karun itu?”
“Sebelum kami menemukan tempat harta karun itu menurut petunjuk
peta, kami telah terjatuh ke tangan Kim Bayan dan anak buahnya dan kami
tertawan.”
“Ah, keparat Kim Bayan” Kui Lin berseru sambil mengepal tinjunya
dengan marah.
“Lin-moi, biarlah Giok-ko melanjutkan ceritanya,” Kui Lan mencela adik
kembarnya.
“Karena Kim Bayan mengancam akan membunuh Adik Tan Li Hong, maka
Liu Ceng Ceng terpaksa menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan untuk
menyelamatkan Li Hong.”
“Aih, sungguh pantas menjadi puteri Pendekar Liu Bok Eng” kata Nyonya
The, gembira mendengar orang-orang gagah yang memang ia kagumi sejak
dulu.
“Akan tetapi, gadis yang seorang lagi, yang membantu Nona Liu Ceng
Ceng dan bernama Tan Li Hong itu, siapakah ia, Sicu? Agaknya ia juga
seorang pendekar wanita.”
“Benar, Toanio. Tan Li Hong adalah seorang pendekar wanita yang lihai
juga. Ia adalah murid dari Ban-tok Niocu, majikan Pulau Ular.”
“Majikan Pulau Ular? Seingatku, Coa-tocu (Majikan Pulau Ular) berjuluk
Ban-tok Kui-bo” seru Nyonya The.
“Memang benar, Toanio. Semula ia berjuluk Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu
Selaksa Racun), akan tetapi sekarang ia telah sadar dan mengubah
julukannya menjadi Ban-tok Niocu (Nona Selaksa Racun) dan tetap menjadi
majikan Pulau Ular.”
“Ah, tentu Tan Li Hong itu lihai sekali karena dulu pun gurunya itu
disegani para tokoh kang-ouw. Ceritamu semakin menarik, Sicu,
lanjutkanlah.”
Cun Giok melanjutkan ceritanya tentang tindakan Kim Bayan yang
menyerang Li Hong dan memaksa dia dan Ceng Ceng untuk membantu
mereka menemukan letak penyimpanan harta karun menurut petunjuk peta.
Karena keselamatan Li Hong terancam, terpaksa dia dan Ceng Ceng
memenuhi permintaan ini dan mereka berdua membantu Kim Bayan mencari
harta karun itu. Akhirnya kami menemukan tempat penyimpanan harta karun
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
itu dan dapat mengeluarkan peti harta karun.
“Ah, celaka” seru Kui Lin.
“Sayang sekali harta karun Kerajaan Sung itu terjatuh ke tangan jahanam
Kim Bayan”
“Benarkah harta karun itu terjatuh ke tangan Kim Bayan, Sicu?” tanya
Nyonya The dengan nada kecewa.
“Tidak, Toanio. Ketika peta harta karun itu dibuka, tidak ada sepotong pun
harta benda, yang ada hanya dua buah huruf di dasar peti itu yang berbunyi
THAI-SAN.”
“Heh-he-heh-hi-hik” Kui Lin terkekeh senang dan geli.
“Rasakan engkau, jahanam Kim Bayan”
“Ah, mengapa peti itu kosong? Dan bagaimana engkau dan dua orang
gadis itu dapat meloloskan diri, Pouw-sicu?”
“Selagi Kim Bayan dan kawan-kawannya merasa kebingungan, kecewa
dan marah-marah, saya dan Ceng Ceng larikan diri dan membebaskan Li
Hong dari penjara, kemudian kami bertiga melarikan diri,” kata Cun Giok. Dia
tidak menceritakan persoalan antara Li Hong, Ceng Ceng dan dia.
“Hemm, ceritamu menarik sekali, Sicu. Kiranya engkau seorang pendekar
yang selalu menentang para pembesar Mongol yang bertindak sewenangwenang
dan yang jahat. Engkau tidak mengecewakan menjadi putera
keturunan keluarga Pouw. Juga Tan Li Hong murid Ban-tok Niocu dan Liu
Ceng Ceng puteri pendekar Liu Bok Eng itu amat mengagumkan.
Beruntunglah tanah air kita yang kini dikuasai penjajah Mongol memiliki
pendekar-pendekar muda seperti kalian bertiga. Selama masih ada pendekarpendekar
pejuang seperti kalian, aku yakin, cepat atau lambat, tanah air dan
bangsa pasti akan dapat dibebaskan dari cengkeraman pemberontak
Mongol”
“Ah, Ibu selalu melarang kami untuk keluar dari Lembah Seribu Bunga
sehingga kami tidak dapat membantu para pendekar pejuang menentang
orang-orang jahat macam Kim Bayan” kata Kui Lin merajuk.
“Giok-ko, lalu bagaimana dengan harta karun itu? Kukira kalau harta itu
dapat diberikan kepada para pejuang, akan besar sekali manfaatnya bagi
perjuangan menentang penjajah Mongol,” kata Kui Lan.
“Benar apa yang dikatakan Kui Lan, Pouw-sicu, lalu bagaimana dengan
harta karun itu?” tanya Nyonya The.
“Tidak ada yang tahu dimana adanya harta karun itu, Toanio. Semua
orang hanya menduga bahwa harta karun itu tentu sudah ada yang
mengambilnya dan melihat huruf THAI-SAN yang dituliskan di dasar peti,
saya hanya menduga bahwa yang mengambilnya tentu seorang lihai yang
tinggal di Thai-san.”
Nyonya The mengangguk-angguk.
“Memang itu merupakan satu-satunya kemungkinan. Lalu apa yang
hendak kau lakukan, Sicu?”
“Saya bermaksud pergi ke Thai-san dan menyelidikinya.”
“Ibu, menurut Ibu, siapa kiranya tokoh Thai-san yang dapat mengambil
harta karun itu?” tanya Kui Lan.
“Hemm, setahuku yang berada di sana hanyalah aliran Perguruan Silat
Thai-san-pai yang diketuai Thai-san Sianjin Thio Kong. Dia memang lihai
sekali, juga dibantu lima orang sute (adik seperguruan) yang terkenal dengan
sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Akan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tetapi, aku sangsi apakah tosu-tosu di Thai-san itu mau melakukan pencurian.
Thai-san adalah sebuah pegunungan yang besar dan luas, memiliki ratusan
buah bukit dengan puncak masing-masing. Di sana tentu terdapat banyak
pertapa berilmu tinggi yang mengasingkan diri atau bertapa.”
“Ibu, aku ingin mencari harta karun itu di Thai-san” tiba-tiba Kui Lin
berseru kepada ibunya.
“Aku akan menemani Lin-moi, Ibu,” kata pula Kui Lan.
“Kami berdua telah belajar silat dari Ibu selama bertahun-tahun.
Sekaranglah saatnya memanfaatkan ilmu itu. Kami juga ingin membantu para
pejuang.”
Nyonya The menghela napas panjang.
“Kalau kalian berdua pergi, lalu bagaimana aku dapat hidup tenang
seorang diri di sini? Kui Lan dan Kui Lin, bukannya aku melarang kalian pergi
membantu para pendekar menentang penjajah Mongol, akan tetapi walaupun
kalian pernah belajar silat dan sudah menguasai ilmu bela diri yang cukup
kuat, kalian sama sekali belum berpengalaman. Di luar sana terdapat banyak
orang jahat yang bukan saja memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi
terutama sekali yang berwatak curang dan penuh muslihat licik dan jahat.
Bagaimana hatiku dapat tenang melepas kalian pergi mengembara?”
“Ibu, di sini ada Kakak Pouw Cun Giok yang sudah berpengalaman dan
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tentu tidak keberatan kalau kami berdua
membantunya mencari harta karun itu. Giok-ko, apakah engkau berkeberatan
kalau kami Enci dan Adik melakukan perjalanan bersama dan membantumu
mencari harta Kerajaan Sung itu?” kata Kui Lin dengan lincahnya.
Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak dan tidak berani mengatakan
tidak mau atau keberatan. Jawaban demikian akan tampak sama sekali tidak
sopan. Maka, walaupun dalam hatinya dia merasa ragu untuk melakukan
perjalanan bersama dua orang gadis kembar itu, terpaksa dia menjawab.
“Tentu saja aku tidak merasa keberatan, Lin-moi.”
“Nah, benar kan, Ibu? Kalau kami pergi bersama Glok-ko, tentu Ibu tidak
akan merasa khawatir lagi, bukan?” Kui Lin mendesak ibunya.
“Lin-moi, jangan mendesak Ibu. Kalau Ibu tidak setuju, kita tidak akan
pergi,” kata Kui Lan yang seolah bersikap sebagai pengendali adiknya yang
liar.
“Tentu saja, Lan-ci. Kalau Ibu percaya bahwa Giok-ko pasti akan
melindungi kita, dan kita sendiri pun mampu membela diri, tentu Ibu
menyetujul keinginan kita untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa” kata
Kui Lin dengan gembira, lalu disambungnya dan sekali ini tiba-tiba suaranya
terdengar sedih, bahkan seperti hendak menangis.
“Akan tetapi kalau Ibu tidak percaya kepada kita dan kepada Giok-ko, dan
melarang kami pergi, biarlah kami akan menaati kehendak Ibu, tidak akan
meninggalkan Lembah Seribu Bunga ini sampai tua...”
Nyonya The menahan tawanya dan tersenyum sambil memandang Kui
Lin.
“Anak nakal. Macam-macam saja akalmu. Tidak perlu engkau merayu
seperti itu, aku tentu akan mempertimbangkan semua keinginan kalian
berdua...”
“Terima kasih, Ibu. Ibu setuju, bukan?” Kui Lin sudah menghampiri dan
merangkul ibunya.
Nyonya The mengangguk.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Baiklah, setelah mempertimbangkannya, kurasa memang sudah
waktunya kalian menyumbangkan tenaga untuk membantu para pejuang.
Aku yakin Sicu Pouw Cun Giok akan membimbing kalian dan mudahmudahan
saja kalian akan berhasil membantu Pouw-sicu menemukan harta
karun Kerajaan Sung itu. Akan tetapi, Kui Lin, engkau harus berjanji akan
menaati semua nasehat encimu.”
“Tentu saja, Ibu. Aku akan taat sekali kepada Enci Lan”
“Dan kalian berdua harus menurut semua petunjuk yang diberikan Pouwsicu.
Selain dari itu, aku memberi waktu kepada kalian selama satu tahun.
Setelah satu tahun kalian mengembara, kalian harus pulang ke sini”
“Baik, Ibu, kami berjanji,” kata Kui Lan.
Dua orang gadis kembar itu lalu berkemas dan malam itu Cun Giok
bermalam di gedung Lembah Seribu Bunga. Dalam kesempatan selagi Nyonya
The berdua saja dengan Cun Giok karena kedua orang puterinya sedang sibuk
berkemas, Nyonya The bertanya kepada Cun Giok.
“Pouw-sicu, setelah kedua orang tuamu tidak ada lagi, siapakah yang
menjadi anggauta keluarga terdekat? Tentu engkau mempunyai sanak
keluarga, Paman, Bibi, atau Saudara misan. Dimana mereka dan siapakah
mereka?”
Cun Giok menggelengkan kepalanya dan hatinya merasa sedih.
“Saya tidak mempunyai sanak keluarga lagi, Toanio. Semua Paman dan
Bibi saya, juga Saudara misan, semua telah tewas oleh bangsa Mongol.
Mendiang Ibu saya bermarga Tan, akan tetapi saya tidak pernah mendengar
apakah Ibu saya mempunyai keluarga ataukah tidak. Bahkan saya tidak
pernah mengenal Ayah Ibu kandung saya, karena Ayah terbunuh ketika saya
masih dalam kandungan ,dan Ibu meninggal ketika melahirkan saya.”
Dengan singkat Cun Giok menceritakan riwayat keluarganya yang
terbasmi oleh mendiang Panglima Kong Tek Kok.
“Demikianlah, Toanio, saya tidak tahu apakah mendiang Ibu mempunyai
sanak keluarga. Sejak lahir saya hanya mengenal Suhu Suma Tiang Bun
sebagai satu-satunya orang yang hidup dengan saya, kemudian setelah Suhu
tewas, saya melanjutkan latihan silat kepada Sukong (Kakek Guru) Pak-kong
Lojin yang sekarang masih bertapa di Ta-pie-san. Beliau itulah kini satusatunya
keluarga saya.”
“Aduh, riwayatmu sungguh menyedihkan, Sicu. Memang jahat sekali
bangsa Mongol. Mereka menjajah tanah air kita dan entah berapa banyak
bangsa kita menjadi korban dan keluarga-keluarga berantakan karena
kekejaman mereka.” Kemudian Nyonya The melanjutkan kata-katanya dan
bertanya.
“Sicu, apakah engkau juga tidak mempunyai tunangan yang menjadi
calon jodohmu?”
Cun Giok menghela napas panjang. Hatinya menjadi pedih ketika dia
teringat kepada Siok Eng. Sampai lama dia tidak menjawab pertanyaan itu.
Sebetulnya, dia sama sekali tidak berniat untuk menceritakan tentang Siok
Eng kepada siapa pun juga. Akan tetapi kalau sekarang dia tidak menjawab
pertanyaan Nyonya The, hal itu akan membuat dia merasa tidak enak dan
bahkan menimbulkan kecurigaan karena dia merahasiakan sesuatu. Setelah
dapat menekan kesedihannya, dia berkata lirih.
“Saya pernah mempunyai seorang tunangan yang menjadi calon jodoh
saya, Toanio. Akan tetapi tunangan saya itu pun tewas di tangan seorang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
putera Panglima Kim Bayan yang bernama Kim Magu.”
“Keparat. Mendengar akan kejahatan Kim Bayan dan puteranya itu,
mengingat pula bahwa suamiku juga terbunuh oleh pasukan yang dipimpin
Kim Bayan, rasanya ingin sekali aku terjun ke dunia kang-ouw untuk mencari
dan membunuhnya Akan tetapi karena sudah puluhan tahun aku terbiasa
tinggal di tempat sunyi yang tenang tenteram ini, aku merasa enggan pergi
ke dunia ramai. Biarlah kedua orang puteriku yang akan membantumu
menghadapi orang-orang Mongol jahat seperti Kim Bayan itu.”
Setelah mendengar bahwa tunangan Cun Giok telah tewas, berarti
pemuda itu bebas tidak ada ikatan, timbul dalam hati Nyonya The untuk
menjodohkan seorang puterinya dengan Pouw Cun Giok. Pemuda itu adalah
putera keluarga Pouw yang terkenal gagah perkasa, juga murid Suma Tiang
Bun dan dia melihat betapa pemuda ini memiliki ilmu silat yang tinggi, juga
baik budi. Akan tetapi karena ia dan puterinya baru hari itu bertemu dan
berkenalan dengan Cun Giok, tentu saja amat tidak enak untuk
membicarakan urusan perjodohan.
Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang puterinya yang
menggendong buntalan pakaian dan membawa pedang, berangkat bersama
Pouw Cun Giok, Nyonya The hanya memesan kepada dua orang anak
kembarnya agar mereka berhati-hati, menaati petunjuk Cun Giok setelah
dalam setahun mengembara harus segera pulang ke Lembah Seribu Bunga.
Hanya di dalam hatinya ia mengharapkan agar dalam waktu satu tahun itu
seorang di antara dua orang puterinya akan saling jatuh cinta dengan Cun
Giok.
--------
Perahu kecil itu melaju pesat, padahal hanya didayung oleh dua orang
gadis yang tampak lemah-lembut dan cantik jelita. Mereka tadi meninggalkan
pantai daratan dan mendayung perahu meluncur pesat menuju Pulau Ular
yang tampak kecil dari jauh.
Dua orang gadis itu masih muda, sekitar sembilanbelas tahun usia
mereka. Yang seorang bertubuh denok sedang, kulitnya putih mulus,
wajahnya berbentuk bulat telur, matanya tajam namun lembut, anak rambut
yang berjuntai di dahi dan pelipis membuat wajah itu tampak semakin manis,
apalagi ditambah lesung pipi kanan dan bibir indah yang selalu
mengembangkan senyum ramah. Gadis jelita itu berpakaian sutera serba
putih sehingga tampak seperti sekuntum bunga mawar putih yang indah
bentuknya dan semerbak harum.
Gadis kedua juga amat cantik jelita walaupun sifat kecantikannya
berbeda, bahkan agak berlawanan dengan gadis pertama. Gadis kedua
berpakaian indah dan wajahnya yang cantik itu tampak lincah karena
sepasang matanya seperti bintang. Bibirnya merah dan bentuk mulutnya
menggairahkan dan ia tidak tampak lemah gemulai seperti gadis pertama,
melainkan tampak mengandung kegagahan dan keberanian. Bagaikan
setangkai bunga, ia adalah setangkai bunga hutan yang liar dan tumbuh
bebas.
Kalau gadis pertama berpakaian putih tidak tampak membawa senjata,
hanya buntalan pakaian yang tergantung di punggung, gadis kedua ini
membawa pula sebatang pedang yang tergantung di punggung dengan
buntalan pakaiannya. Rambutnya pun tidak seperti gadis pertama yang
disanggul sederhana. Gadis kedua ini menyanggul rambutnya ke atas seperti
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
model rambut para puteri bangsawan di kota
Mereka adalah Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong. Setelah keduanya
berpisah dengan Pouw Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong mengambil
keputusan untuk melanjutkan tugas Ceng Ceng mencari harta karun Kerajaan
Sung seperti dipesan mendiang ayahnya. Harta karun itu telah hilang dari
tempat persembunyiannya, diambil orang yang meninggalkan huruf THAISAN
di peti yang telah kosong.
Setelah mendayung perahu beberapa lamanya, mereka melihat gugusan
pulau-pulau di depan. Ceng Ceng yang berbaju putih itu bertanya kepada Li
Hong, gadis lincah yang telah mengangkat saudara dan kini menjadi adik
angkatnya.
“Hong-moi (Adik Hong), yang manakah pulau tempat tinggalmu? Aku
melihat begitu banyak pulau di depan itu,” kata Ceng Ceng sambil
memandang ke arah gugusan pulau-pulau itu.
“Aih, Enci Ceng, apakah engkau tidak dapat menduga? Hayo, aku uji
kecerdikanmu. Coba terka yang mana yang Coa-to (Pulau Ular) tempat tinggal
Ibuku. Masa engkau tidak dapat menebak? Bukankah engkau pernah bersama
Giok-ko berkunjung ke pulau kami?”
“Benar, akan tetapi ketika itu kami diantar seorang nelayan dan tidak
memperhatikan keadaan seperti sekarang. Akan tetapi, kalau tidak keliru
tebakanku, agaknya Pulau Ular itu yang terletak paling kanan itu, bukan?”
“Wah, tebakanmu tepat, Enci Ceng. Bagaimana engkau dapat menebak
begitu tepat?”
“Mudah saja. Pulau itu berbeda bentuknya dengan pulau-pulau lainnya.
Bentuknya memanjang dan berlekuk-lekuk seperti ular.”
“Benar sekali perkiraanmu, Enci Ceng. Pulau itu dinamai Pulau Ular oleh
para nelayan karena bentuknya.”
“Akan tetapi di sana memang terdapat banyak ular. Bukankah
kekayaannya akan ular itu yang membuatnya disebut Pulau Ular?”
“Bukan. Sebelum Ibuku tinggal di sana, pulau itu sama dengan pulau kecil
lainnya, tidak ada ularnya. Setelah Ibu mengambil keputusan untuk tinggal di
pulau itu, untuk menyesuaikan nama pulau itu dan juga untuk keperluan
mengambil racunnya, Ibuku yang juga guruku itu membawa ribuan ular, di
antaranya banyak yang berbisa, dan dilepas di pulau itu.”
Karena kini datang ke Coa-to bersama Li Hong, maka tentu saja dengan
mudahnya mereka mendarat di Pulau Ular dan dapat mengambil jalan yang
aman dari jebakan menuju ke perkampungan yang berada di tengah pulau.
Setelah tiba di gedung tempat tinggal ayah dan kedua ibunya, Li Hong
dan Ceng Ceng disambut dengan gembira sekali. Tan Kun Tek dan isterinya
gembira melihat Li Hong pulang. Juga Ban-tok Niocu gembira karena Li Hong
yang diberi waktu satu setengah tahun untuk merantau kini baru kurang dari
setahun telah pulang. Lebih-lebih lagi karena murid atau anak angkatnya itu
ditemani oleh Liu Ceng Ceng, gadis berpakaian putih yang ia kagumi.
Li Hong memperkenalkan Ceng Ceng kepada ayah dan ibunya. Tan Kui
Tek merasa girang mendengar bahwa gadis berpakaian putih yang diakui
oleh Li Hong sebagai kakak angkatnya itu adalah puteri mendiang Liu Bok
Eng yang diketahuinya sebagai seorang pendekar patriot. Ayah dan kedua
ibu Li Hong menjadi kagum dan senang sekali ketika melihat Ceng Ceng yang
diperkenalkan kepada mereka, segera memberi hormat sebagai seorang anak
kepada orang tuanya. Ini menunjukkan bahwa Ceng Ceng yang sudah
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
mengangkat persaudaraan dengan Li Hong, juga menganggap mereka
sebagai orang tuanya sendiri
“Ceng Ceng, kami girang sekali bahwa engkau telah menjadi kakak dari Li
Hong. Kami harapkan engkau akan dapat memberi bimbingan kepada anak
kami, Adikmu itu,” kata Tan Kun Tek.
Ibu kandung Li Hong merangkul Ceng Ceng.
“Aku sungguh beruntung, bukan hanya dapat menemukan anakku
kembali, bahkan kini bertambah mempunyai anak lain lagi.”
Ban-tok Niocu juga berkata, “Ceng Ceng, bangga sekali hatiku
mendapatkan seorang anak seperti engkau.”
Ceng Ceng merasa amat terharu. Ia sendiri sudah yatim piatu dan kini ia
mendapatkan bukan hanya seorang adik, akan tetapi juga seorang ayah dan
dua orang ibu yang menerima dan mengakuinya sebagai seorang anak.
Dua orang gadis itu disambut dengan sebuah pesta keluarga dan mereka
berlima makan minum dengan gembira. Setelah selesai makan minum,
mereka duduk di ruangan dalam dan di situ Li Hong diminta untuk
menceritakan semua pengalamannya ketika meninggalkan pulau selama
hampir satu tahun lamanya.
Dengan gayanya yang lincah, Li Hong lalu menceritakan semua
pengalamannya ketika ia bertemu dengan Ceng Ceng dan Cun Giok, lalu
mereka bertiga sama-sama menentang Kim Bayan dan rekan-rekannya. Ia
bercerita tentang peta harta karun peninggalan mendiang Liu Bok Eng yang
diwariskan kepada Ceng Ceng, kemudian betapa mereka tertawan oleh Kim
Bayan yang memaksa mereka untuk menyerahkan peta dan membantu Kim
Bayan mencari harta karun itu menurut petunjuk peta yang dirampasnya.
“Akan tetapi mengapa engkau menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan,
Ceng Ceng?” tanya Ban-tok Niocu kepada Ceng Ceng yang tidak dapat
menjawab, melainkan hanya memandang kepada Li Hong dengan ragu.
Tentu saja ia tidak mau menceritakan betapa Li Hong pernah
memusuhinya dan bahkan bergabung dengan Kim Bayan Li Hong cepat
menjawab pertanyaan ibu tiri yang juga gurunya itu.
“Ibu, karena kurang hati-hati aku terjebak dan menjadi tawanan Kim
Bayan. Aku dijadikan sandera dan mengancam akan membunuhku kalau Enci
Ceng Ceng tidak mau menyerahkan peta. Untuk menolongku, maka Enci Ceng
Ceng lalu menyerahkan peta, dan bersama Giok-ko ia lalu menyerah dan
terpaksa mau membantu mencari harta karun karena aku tetap dijadikan
sandera.”
“Ah, betapa mulia hatimu, Ceng, Ceng” Ibu Li Hong berseru terharu.
“Engkau telah menyelamatkan Adikmu, Ceng Ceng. Kami berterima kasih
sekali,” kata Tan Kun Tek.
“Lalu bagaimana dengan pencarian harta karun Kerajaan Sung itu?” tanya
Ban-tok Niocu kepada Li Hong.
“Tempat dimana harta karun itu tersimpan, dengan bantuan peta dapat
ditemukan. Akan tetapi ketika peti harta karun dibuka, ternyata telah kosong
dan di dasar peti terdapat tulisan huruf ‘THAI-SAN’. Giok-ko dan Enci Ceng
Ceng dapat meloloskan diri dan membebaskan aku. Kami bertiga lalu dapat
melarikan diri dari sarang mereka.”
Li Hong menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia
tidak berani menceritakan tentang urusan cinta dan kesalahan-pahamannya
dengan Ceng Ceng dan Cun Giok.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Hemm, setelah itu, bagaimana engkau akan bertindak untuk memenuhi
pesan mendiang Ayahmu, Ceng Ceng?” tanya Ban-tok Niocu.
“Saya bertekad untuk mencari harta karun itu... Ibu, dan Hong-moi hendak
membantu saya. Karena itulah maka kami pulang ke Coa-to, selain untuk
menjenguk Ayah dan Ibu berdua, juga untuk minta petunjuk Ibu yang
mungkin dapat menduga siapa kiranya tokoh Thai-san yang mengambil harta
karun itu.”
Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.
“Hemm, setahuku, aliran persilatan terbesar yang berada di sana adalah
Thai-san-pai yang diketuai oleh Thai-san Sianjin Thio Kong. Thai-san-pai
terkenal sebagai sebuah di antara partai-partai persilatan besar yang gagah
perkasa, murid-muridnya menjadi pendekar-pendekar. Tidak mungkin mereka
itu mencuri harta karun untuk kepentingan mereka sendiri. Andaikata mereka
mengambilnya, tentu harta karun itu akan mereka sumbangkan untuk
kebaikan”
“Kalau begitu, kita kunjungi Thai-san-pai dan bertanya kepada mereka.
Kalau betul mereka yang ambil, kita minta agar harta karun itu diserahkan
kepada yang berhak, yaitu para pejuang,” kata Li Hong.
“Aku masih sangsi, Hong-moi. Menurut keterangan Ibu tadi, mereka
adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kiranya kalau mereka yang
mengambilnya, mereka tidak akan meninggalkan tulisan THAI-SAN itu di
dalam peti, karena perbuatan itu menunjukkan bahwa yang mengambilnya
adalah seorang yang sombong. Tulisan itu seolah merupakan tantangan.”
“Pendapat Ceng Ceng itu ada benarnya. Aku pun sangsi kalau Thai-sanpai
yang mengambilnya,” kata Tan Kun Tek.
“Aku pun berpendapat begitu,” kata Ban-tok Niocu.
“Selain Thai-san-pai ada lagi beberapa tokoh sesat yang bermukim di
sekitar pegunungan Thai-san-pai yang luas itu. Yang sudah kuketahui ada
beberapa orang. Pertama adalah Huo Lo-sian (Dewa Api Tua) yang berwatak
ganas dan dia memiliki banyak pengikut yang mudah dikenal karena pakaian
mereka serba merah. Huo Lo-sian itu selain memiliki ilmu silat yang tinggi,
juga dia pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi dia tidak pernah berani
mengganggu Thai-san-pai yang memiliki banyak murid pandai.”
“Huh, patut dicurigai orang itu” kata Li Hong.
“Apakah masih ada tokoh lain di Thai-san, Ibu?” tanya Ceng Ceng.
“Masih ada beberapa orang lagi. Orang kedua yang patut dicurigai adalah
Hek-Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), sepasang saudara kembar yang dlsebut
Hek Mo-ko (Iblis Hitam) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih). Mereka berdua ini
biarpun tidak mempunyai pengikut, namun mereka berdua juga terkenal
sebagai datuk kang-ouw yang sesat, yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai keinginan mereka. Adapun pihak keempat adalah Ang-tung Kaipang
(Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang terdapat
dimana-mana sebagai cabangnya, terutama di kota-kota besar. Ciri-ciri
mereka adalah setiap orang anggautanya memegang sebatang tongkat
merah. Yang berada di Thai-san adalah pusatnya dimana terdapat ketuanya
yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan). Nah, yang
empat inilah setahuku yang bermukim di Thai-san dan masing-masing
memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi hanya Thai-san-pai tergolong
pendekar, sedangkan tiga yang lain adalah tokoh-tokoh sesat. Kalau ada
penghuni baru lagi, aku belum mengenalnya.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Wah, kiranya Thai-san dihuni banyak tokoh sesat” kata Li Hong.
“Menghadapi orang-orang seperti mereka engkau harus sangat hati-hati,
Li Hong. Mereka itu berbahaya dan terutama sekali ilmu sihir dan kelicikan
mereka yang harus diwaspadai,” kata Tan Kun Tek.
“Bukan saja mereka lihai, akan tetapi juga di antara mereka memiliki
banyak anak buah,” kata Ban-tok Niocu.
“Pekerjaan kalian itu dapat berbahaya sekali. Kalian masih muda dan
belum mempunyai banyak pengalaman, bertemu dengan tokoh-tokoh sesat
seperti itu, dapat berbahaya sekali.”
“Ah, aku tidak takut, Ibu. Enci Ceng memiliki kepandaian yang tinggi,
baik ilmu silat maupun ilmu pengobatan. Apalagi kalau dibantu Giok-ko, eh...
tentu kami tidak khawatir lagi. Sayang... dia telah pergi...”
“Maksudmu pemuda yang dulu datang bersama Ceng Ceng dahulu itu?
Hemm, memang, dia itu lihai sekali, terutama ilmu pedangnya. Dan aku sudah
tahu akan kelihaian Ceng Ceng dan Cun Giok. Ceng Ceng berjuluk Pek Eng
Sianli, sedangkan Cun Giok berjuluk Bu-eng-cu, keduanya memiliki gin-kang
(ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, aku sendiri pun tidak mampu
menandinginya.”
“Ah, Ibu terlalu memuji saya,” kata Ceng Ceng.
“Hemm, aku menjadi tertarik. Siapakah pemuda yang kalian semua amat
mengaguminya itu?” tanya Tan Kun Tek.
“Dia memang seorang pendekar muda yang luar biasa, Ayah. Ilmunya
amat tinggi, wataknya juga gagah perkasa dan bijaksana, akan tetapi...”
Li Hong memandang Ceng Ceng dan tanpa diketahui orang lain, Ceng
Ceng memberi isyarat dengan kedipan mata dan gelengan kepala agar tidak
menceritakan tentang peristiwa asmara mereka bertiga.
“Akan tetapi apa, Li Hong?” tanya ayahnya.
“Tidak apa-apa, Ayah. Pendeknya, Giok-ko adalah seorang pendekar yang
pantas menjadi keturunan keluarga Pouw yang gagah perkasa dan terkenal
sebagai patriot-patriot besar, demikianlah yang kudengar.”
“Keturunan keluarga Pouw? Maksudmu, dia itu bermarga Pouw?” tanya
Kun Tek dan tampaknya terkejut.
Melihat Li Hong agak ragu-ragu seolah takut kesalahan bicara dan
menoleh, memandang kepadanya, Ceng Ceng lalu menjawab.
“Benar sekali... Ayah. Giok-ko adalah keturunan keluarga Pouw yang
terkenal sekali dan tinggal di So-couw.”
“Akan tetapi... aku telah menyelidiki ke So-couw setelah mendengar akan
malapetaka yang menimpa keluarga itu. Menurut keterangan yang kuperoleh,
mereka semua tewas dan tidak ada seorang pun keturunan keluarga Pouw
yang tersisa dan selamat. Ceng Ceng, dari mana engkau mengetahui bahwa
Pouw Cun Giok itu keturunan keluarga Pouw di So-couw?”
“Saya mendengar cerita dari Giok-ko sendiri, Ayah,” kata Ceng Ceng
tenang.
“Apakah dia menceritakan siapakah nama ayah ibunya?”
Kini Tan Kun Tek bangkit dari tempat duduknya dan mengamati wajah
Ceng Ceng penuh perhatian.
“Kalau saya tidak salah ingat, nama ayahnya Pouw Keng In dan nama
ibunya Tan Bi Lian...”
“Tidak mungkin...”
Tan Kun Tek berteriak sedemikian kuatnya sehingga mereka semua
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
terkejut.
“Ayah, apa artinya ini? Mengapa Ayah terkejut mendengar nama orang
tua Giok-ko?”
Juga Nyonya Tan dan Ban-tok Niocu memandang heran dan hampir
mereka bertanya berbareng.
“Apa artinya semua ini?”
“Tan Bi Lian itu adalah Adikku yang menikah dengan Pouw Keng In.
Ketika aku menyelidiki di So-couw, aku mendapat keterangan bahwa
keduanya telah mati di tangan pasukan Mongol dan ketika mereka tewas,
mereka belum mempunyai anak.”
“Ah, mengapa Ayah tidak pernah menceritakan hal ini kepada aku atau
Ibu?” tanya Li Hong, dan ibunya juga memandang heran.
Tan Kun Tek menghela napas.
“Adikku Tan Bi Lian sudah ditunangkan dengan pemuda lain, akan tetapi
ia jatuh cinta kepada Pouw Keng In dan melarikan diri, meninggalkan orang
tua kami dan sejak itu kami putus hubungan. Belakangan aku mendengar
bahwa mereka di So-couw, akan tetapi karena khawatir aku tidak akan
diterima dengan baik, aku pun tidak berani berkunjung ke sana. Setelah aku
mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Pouw, aku pergi ke
sana dan mendengar bahwa mereka semua, termasuk Adikku Tan Bi Lian,
telah tewas. Ceng Ceng, ceritakanlah apa lagi yang kaudengar dari Pouw Cun
Giok? Apa dia menceritakan tentang orang tuanya?”
“Dia menceritakan semuanya padaku, Ayah. Dia menceritakan bahwa
ketika malapetaka itu menimpa keluarga Pouw, dia masih berada dalam
kandungan ibunya. Ayah dan ibunya melarikan diri, akan tetapi dapat dikejar
Panglima Kong Tek Kok yang menyerang dengan anak panah sehingga Pouw
Keng In tewas, juga ibu Giok-ko terluka dan hanyut di sungai. Akan tetapi
ibunya ditolong oleh seorang pendekar...”
“Wah, Bibi Tan Bi Lian tertolong? Bagaimana selanjutnya, Enci Ceng?”
Li Hong bertanya, wajahnya berubah merah dan matanya bersinar-sinar.
Pouw Cun Giok itu kakak misannya
“Suma Tiang Bun adalah pendekar yang menyelamatkan Tan Bi Lian dan
merawatnya sampai wanita itu melahirkan. Akan tetapi... ia meninggal ketika
melahirkan dan puteranya itu adalah...”
“Pouw Cun Giok. Jadi benar, dia adalah putera Bibi Tan Bi Lian. Aku
mempunyai seorang Piauw-ko (Kakak Misan)”
Kembali Li Hong berseru girang mendengar bahwa pemuda yang pernah
dicintanya itu adalah kakak misannya. Wajah Tan Kun Tek berubah pucat dan
bayangan duka menyelimuti wajahnya.
“Aduh, kasihan Adikku Tan Bi Lian. Ceng Ceng, engkau yang sudah
mendengar riwayat keponakanku Pouw Cun Giok itu, ceritakanlah bagaimana
selanjutnya.”
Ceng Ceng menceritakan kembali apa yang pernah didengarnya dari Cun
Giok. Betapa Cun Giok dibesarkan oleh Suma Tiang Bun sebagai muridnya
dan betapa kemudian Cun Giok dapat membalas dendam, membunuh
Panglima Kong Tek Kok. Akan tetapi gurunya juga tewas di tangan panglima
itu. Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tan Kun Tek berseru.
“Terima kasih, Tuhan. Aku bangga mempunyai seorang keponakan
seperti Pouw Cun Giok”
Berita tentang Pouw Cun Giok itu bagaikan secercah sinar yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
menerangi kegelapan yang menyelubungi hatinya mendengar akan nasib
adiknya.
“Ayah, ada yang lebih menggembirakan lagi. Kakak Pouw Cun Giok dan
Enci Ceng Ceng saling mencinta...”
“Hong-moi...”
Ceng Ceng menegur Li Hong lalu menundukkan mukanya yang berubah
kemerahan.
“Heh-heh, ketika Ceng Ceng datang ke sini bersama Cun Giok dahulu, aku
sudah menduga bahwa di antara mereka terdapat hubungan batin yang erat,
dapat dilihat dari pandang mata dan suara mereka ketika bicara” Ban-tok
Niocu tertawa.
“Bagus sekali. Aku akan merasa berbahagia kalau keponakanku itu
menjadi jodohmu, Ceng Ceng” kata Tan Kun Tek sambil tertawa pula.
“Akan tetapi... bolehkah anak kita menikah dengan keponakan kita?
Mereka bersaudara misan...” Nyonya Tan ragu.
“Mengapa tidak boleh? Biarpun kita telah menerima Ceng Ceng seperti
anak kita sendiri, akan tetapi ia tidak mempunyai hubungan darah dengan
Cun Giok”
“Kalau begitu, aku pun akan merasa gembira,” kata Nyonya Tan.
“Ayah dan Ibu berdua, saya harap janganlah membicarakan urusan ini
lagi karena... karena Giok-ko sudah mempunyai tunangan.”
“Hemm, ketika Giok-ko mengaku bahwa dia telah bertunangan, aku
marah sekali dan menyerangnya. Karena itulah maka kami berdua berpisah
darinya” kata Li Hong cemberut.
“Sudahlah, Ceng Ceng berkata benar. Untuk sementara ini kita tidak perlu
bicara soal perjodohan ltu. Tunggu sampai kita bertemu dengan Cun Giok.”
Pada saat itu, seorang anak buah Pulau Ular datang berlari-lari memasuki
gedung. Dengan terengah-engah dia berdiri di ambang pintu dan memberi
hormat dengan membungkuk.
Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong
tanda kemarahan. Sebelum ia menjadi isteri Tan Kun Tek, kelancangan anak
buah ini cukup untuk membuat ia menjatuhkan hukuman mati kepada
pelanggar itu. Akan tetapi semenjak Tan Kun Tek berada di situ sebagai
suaminya, wataknya sudah berubah sama sekali. Hal ini terjadi karena
wajahnya yang dulu cacat kini mencadi sembuh dan mulus kembali, ditambah
lagi Tan Kun Tek kini menjadi suaminya
Kebahagiaan ini mengubah wataknya yang kejam mengembalikan
wataknya semula ketika ia masih muda dan menjadi seorang pendekar
wanita. Bahkan kesembuhan wajahnya itu saja sudah membuat ia membuang
julukan Kui-bo (Biang Iblis) menjadi Niocu (Nona). Akan tetapi karena mereka
terganggu, ia menghardik anak buahnya itu.
“Hemm, engkau datang mengganggu kami tanpa dipanggil, ada
kepentingan apakah?”
“Ampunkan kalau saya mengganggu, Niocu. Saya hendak melaporkan
bahwa tak jauh dari pulau ini tampak ada seorang laki-laki berperahu
dikepung dan dikeroyok pasukan Mongol yang berada di empat buah perahu
besar. Kami tidak berani mengambil tindakan sebelum ada perintah dari
Niocu.”
“Ibu, kita harus bantu siapa saja yang dimusuhi pasukan Mongol” kata Li
Hong yang sudah bangkit berdiri.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Ibu atau gurunya mengangguk.
“Mari kita lihat”
Ban-tok Niocu, Tan Kun Tek, Li Hong, dan Ceng Ceng segera berlari keluar
dari gedung itu mengikuti anak buah yang menjadi penunjuk jalan. Adapun
Nyonya Tan yang tidak memiliki ilmu silat tinggi, tidak ikut dan berdiam di
rumah saja.
Setelah tiba di pantai pulau itu, mereka berempat melihat seorang laki-laki
yang berpakaian serba biru sedang dikeroyok duapuluh orang lebih. Laki-laki
itu bagaikan seekor burung berlompatan dari satu ke lain perahu besar,
mengamuk dengan pedangnya dan tampak dia merobohkan beberapa orang
pengeroyok. Biarpun dari pantai itu tidak dapat dilihat jelas, namun dari
seragam para pengeroyok mudah dikenal bahwa mereka adalah para perajurit
Mongol.
“Mari kita bantu orang yang dikeroyok pasukan Mongol itu” kata Tan Kun
Tek.
Dia dan Ban-tok Niocu masuk ke sebuah perahu kecil, sedangkan Li Hong
dan Ceng Ceng masuk ke perahu lain. Dua buah perahu itu segera didayung
cepat menuju ke tempat dimana perkelahian masih berlangsung seru.
Setelah agak dekat, mereka melihat bahwa yang dikeroyok itu adalah
seorang pemuda berpakaian serba biru yang cukup lihai. Biarpun dikeroyok
demikian banyaknya lawan, dia dapat bergerak lincah dan tidak terdesak.
Akan tetapi kini empat buah perahu besar itu saling mendekat dan para
perajurit berkumpul di sebuah perahu dimana pemuda itu dikeroyok sehingga
kini dia dikeroyok banyak perajurit Mongol.
Karena yang mengeroyoknya banyak sekali, mulailah pemuda itu memutar
pedang melindungi dirinya sambil mundur dan dia melompat ke arah perahu
kecil yang tadi ditinggalkannya ketika dia melompat ke atas perahu besar
para pengeroyoknya. Perahu itu berada di tempatnya karena sebelum
melompat ke perahu besar, pemuda itu telah melepas jangkar untuk menahan
perahu agar jangan hanyut oleh ombak.
Pada saat dia melompat itu, beberapa orang perajurit melepaskan anak
panah ke arah tubuh yang masih melayang dari perahu besar ke perahu kecil
itu. Pemuda itu memutar pedangnya sehingga beberapa batang anak panah
tertangkis dan terpental. Akan tetapi sebatang anak panah agaknya
mengenai tubuhnya karena sebelum dia mencapai perahu kecil, tubuhnya
sudah terjungkal ke air laut
“Ah, dia terkena anak panah” seru Li Hong.
“Kalian jaga serbuan mereka, biar aku yang menolongnya” kata Tan Kun
Tek yang mempunyai keahlian renang.
Dia lalu terjun ke air dan berenang dengan cepat ke arah pemuda yang
kini tampak tersembul di permukaan air dan berusaha untuk berenang
dengan gerakan kaku karena dia telah terluka. Sementara itu, Ban-tok Niocu
cepat mendayung perahunya ke arah perahu besar seperti yang dilakukan Li
Hong dan Ceng Ceng.
Ketika banyak anak panah meluncur ke arah mereka, Ceng Ceng memutar
dayung menangkis sehingga banyak anak panah terpental. Li Hong dan Bantok
Niocu berhasil menangkap masing-masing dua batang anak panah, lalu
mereka melemparkan anak panah ke arah para perajurit di atas perahu besar.
Terdengar teriakan mengaduh dan empat orang perajurit di perahu besar itu
roboh.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Melihat ini, perwira yang memimpin pasukan itu agaknya menjadi jerih
dan dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk memutar perahu mereka dan
meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Mereka agaknya maklum bahwa
empat orang yang datang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi
mereka memang sudah mendengar akan berbahayanya Pulau Ular.
Tan Kun Tek berhasil merangkul pemuda baju biru yang tampaknya sudah
lemas dan membawanya berenang mendekati perahu Ban-tok Niocu. Pemuda
itu lalu dinaikkan ke perahu dan mereka lalu mendayung perahu menuju
pulau.
Pemuda itu agaknya pingsan. Sebatang anak panah menancap di pundak
kanannya. Untung tidak terlalu dalam dan Tan Kun Tek segera mencabut
anak panah itu selagi pemuda itu masih pingsan sehingga tidak merasakan
kenyerian hebat. Karena tidak membawa obat, maka Tan Kun Tek lalu
menggunakan robekan baju pemuda itu untuk membalut luka itu. Agar
darahnya tidak banyak keluar, dia menotok jalan darah di sekitar pundak.
Pemuda itu masih pingsan dan suami isteri itu mengamati wajah itu
dengan penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh dua tahun.
Tubuhnya sedang namun tegap berisi, dengan dada bidang dan pinggang
kecil. Wajahnya berkulit putih bersih. Alisnya tebal hitam berbentuk golok.
Hidungnya mancung dan bentuk bibirnya bagus. Sebuah wajah yang amat
tampan. Pakaiannya dari sutera biru dengan pakaian dalam putih. Melihat
sutera yang dijadikan pakaian itu, dapat diduga bahwa dia pemuda dusun
yang sederhana.
Ketika dia ditolong oleh Tan Kun Tek, walaupun dalam keadaan pingsan
pemuda itu masih memegang pedangnya. Kini pedang itu oleh Kun Tek
diletakkan di perahu. Sebatang pedang yang indah, namun agak aneh karena
ujungnya terbelah dua. Sebagai ahli silat tinggi, suami isteri itu maklum
bahwa keadaan pedang yang ujungnya bercabang ini dapat dipergunakan
untuk merampas senjata lawan.
Dua buah perahu itu tiba di tepi pulau dan pada saat itu, pemuda baju
biru itu siuman dari pingsannya. Begitu membuka kedua matanya, dia cepat
bangkit duduk, lalu melompat ke daratan dalam sikap siap bertanding. Akan
tetapi ketika melihat Tan Kun Tek, Ban-tok Niocu, Ceng Ceng dan Li Hong
menghampirinya dan berdiri di depannya, dia membelalakkan sepasang
matanya yang lebar dan bersinar tajam, memandang heran dan
mengendurkan kembali urat-urat tubuhnya yang tadi siap membela diri.
“Kami bukan musuh, orang muda. Kami bahkan tadi membantumu,
mengusir para perajurit Mongol dan aku menolongmu dari air,” kata Tan Kun
Tek sambil tersenyum dan menjulurkan tangannya yang memegang pedang
pemuda itu.
“Ini pedangmu, terimalah.”
Akan tetapi pemuda itu tidak menerima pedangnya, melainkan
menjatuhkan diri berlutut.
“Ah, Lo-cianpwe (Orang Tuan Gagah) sekalian telah menolong dan
menyelamatkan nyawa saya, sungguh saya berhutang budi dan nyawa.
Banyak terima kasih saya haturkan...” Tiba-tiba dia terkulai dan terguling
roboh, pingsan.
Ceng Ceng yang memiliki keahlian mengobati orang sakit tanpa disuruh
lagi cepat menghampiri tubuh pemuda yang rebah telentang itu. Setelah
memeriksa denyut nadi, biji mata, dan meraba dada pemuda itu, ia bangkit
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
dan berkata kepada ayah, ibu, dan adiknya.
“Bagaimana keadaannya, Enci Ceng?” tanya Li Hong yang sejak tadi
memandang ke arah pemuda itu dengan jantung berdebar. Baginya, wajah itu
tampan, dan gagah menarik sekali.
“Luka tusukan anak panah di pundaknya itu tidak berbahaya, akan tetapi
aku mendapatkan bahwa dalam tubuhnya terdapat luka-dalam yang cukup
hebat, yang membuat detak jantungnya lemah sekali dan jalan darahnya
kacau. Kalau tidak segera diobati, keadaannya dapat membahayakan
nyawanya.”
Mendengar ini, Ban-tok Niocu berjongkok dan meraba-raba dada pemuda
itu dengan tangan kirinya. Lalu ia bangkit berdiri dan berkata kepada Ceng
Ceng.
“Aku tidak menemukan akibat keracunan dalam tubuhnya.”
“Benar, Ibu. Luka dalam tubuhnya bukan karena hawa beracun,
melainkan oleh getaran hebat, mungkin pukulan sakti yang membuat jalan
darahnya kacau dan ini mengancam jantungnya.”
Tan Kun Tek lalu menyuruh anak buah Pulau Ular yang sudah
berdatangan di situ untuk menggotong pemuda itu menuju perkampungan
mereka.
Ceng Ceng diserahi tugas merawat dan mengobati pemuda itu. Gadis itu
memeriksa dengan teliti lalu memberi obat. Malam itu, dengan ditemani
seorang pelayan wanita setengah tua yang siap membantu Ceng Ceng
mempersiapkan keperluan berobat, Ceng Ceng menjaga pemuda yang
dirawatnya. Hal ini adalah wajar saja karena memang ia yang menjadi
tabibnya dan yang bertanggung jawab atas kesembuhan orang itu. Tadinya
Li Hong menemaninya, akan tetapi gadis ini lalu kembali ke kamarnya
sedangkan Ceng Ceng duduk di atas kursi, tak jauh dari pembaringan dimana
pemuda itu rebah telentang.
Sekitar tengah malam, keadaan yang sunyi itu membuat Ceng Ceng yang
duduk di kursi mulai tenggelam dalam samadhi. Tubuhnya seperti orang tidur
akan tetapi perasaannya masih peka sehingga apabila terdengar suara yang
tidak wajar, ia pasti akan terbangun. Pelayan setengah tua itu sudah tidur
nyenyak di atas lantai yang bertilam babut.
Tiba-tiba Ceng Ceng membuka matanya. Ia melihat pemuda itu telah
berdiri di depannya. Sepasang mata pemuda itu tampak bersinar-sinar
tertimpa cahaya lampu dalam kamar itu. Sejenak pandang mata pemuda itu
seperti terpesona, kemudian tiba-tiba saja dia menjatuhkan diri berlutut di
depan Ceng Ceng dan berkata lembut, dengan suara agak gemetar dan
seperti kata-katanya ketika pertama kali dia bicara, dalam katanya
terkandung logat asing yang aneh.
“Saya telah merasa sehat, dalam dada saya sudah tidak ada lagi rasa
nyeri dan sesak. Melihat Nona yang berada di sini, pasti Nona yang telah
mengobati dan menyembuhkan saya. Ah, Nona seperti seorang bidadari yang
menyelamatkan nyawaku.” Dia memberi hormat sambil berlutut.
Tentu saja Ceng Ceng menjadi tersipu dan cepat ia turun dari kursi dan
mundur agak jauh sambil membalikkan tubuh, tidak mau menerima
penghormatan yang berlebihan seolah-olah ia seorang bidadari yang
menerima penghormatan seorang manusia biasa.
“Jangan bersikap begitu, sobat. Aku hanya seorang manusia biasa.
Bangunlah dan bersikaplah wajar saja”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Hi-hik, engkau memang benar, sobat. Ia memang seorang dewi yang
berjuluk Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), ahli pengobatan yang berhati
mulia”
Tiba-tiba Li Hong muncul dan berkata sambil tersenyum lebar. Li Hong
menghampiri pemuda itu yang kini sudah bangkit berdiri.
“Engkau sudah sembuh? Bagus, sekarang engkau harus menceritakan
siapa namamu, dimana tempat tinggalmu, dan mengapa engkau dikeroyok
pasukan Mongol itu?” Li Hong menghujankan pertanyaannya.
“Hong-moi, jangan ganggu dia. Dia baru saja sembuh dan masih lemah.
Sobat, engkau istirahat dan tidurlah dulu agar kesehatanmu pulih. Besok saja
engkau ceritakan keadaanmu kepada Ayah dan kedua Ibu kami.”
Setelah berkata demikian, Ceng Ceng memegang tangan Li Hong,
membangunkan pelayan yang tidur lalu mereka semua keluar dari kamar itu.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, Ceng Ceng
dan Li Hong yang tidur sekamar keluar dari kamar mereka. Matahari pagi
telah menyinari taman di luar rumah itu, sebuah taman yang penuh dengan
bunga beraneka warna. Ketika mereka melewati kamar yang dipergunakan
oleh pemuda baju biru itu untuk tidur, mereka melihat seorang pelayan
wanita setengah tua sedang membersihkan kamar itu. Dari pintu yang
terbuka Li Hong bertanya kepada pelayan itu.
“Dimana tamunya yang tidur di kamar ini?”
“Dia tadi menyuruh saya membersihkan kamar dan setelah mandi, dia
keluar memasuki taman, Nona.”
Li Hong dan Ceng Ceng saling pandang. Tentu pemuda itu telah sembuh
betul. Pagi-pagi sudah bangun, mandi, dan berjalan-jalan di taman. Tanpa
bicara, hanya dengan pandang mata, mereka berdua sepakat keluar dan
memasuki taman. Di tengah taman itu, dari balik rumpun bambu, mereka
melihat pemuda itu sedang berlatih silat pedang. Setelah menonton beberapa
saat lamanya, Ceng Ceng berbisik.
“Bagus, dia telah sembuh dan sehat kembali.”
Dari kecepatan gerakan dan tenaga yang mendukung gerakan itu, Ceng
Ceng maklum bahwa pemuda itu sudah sehat kembali.
“Wah, kiam-hoat (Ilmu Pedang) itu lihai sekali”
Li Hong berseru dan suaranya cukup kuat sehingga terdengar oleh
pemuda itu yang segera menghentikan latihan pedangnya dan dia pun
dengan cepat menghampiri dua orang gadis yang berada di balik rumpun
bambu. Dengan sikap hormat dan bibir tersenyum ramah, pemuda itu
mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi salam.
“Maafkan, saya telah lancang berlatih di dalam taman ini, Nona.”
“Ah, tidak mengapa. Kami malah senang sekali melihat ilmu pedangmu
yang hebat” kata Li Hong dengan gembira.
“Aih, harap jangan terlalu memuji, Nona. Saya hanya dapat mainkan
beberapa gerakan sederhana saja dan masih banyak mengharapkan petunjuk
dari Nona berdua,” kata pemuda itu yang ternyata selain berwajah tampan
dan bersikap gagah, juga pandai bicara dan sopan, juga rendah hati.
Li Hong semakin tertarik. Memang tadinya, walaupun ia mengalah
terhadap Ceng Ceng, hatinya masih terisi bayangan Pouw Cun Giok. Akan
tetapi setelah mendengar dari ayahnya bahwa Cun Giok adalah kakak
misannya, putera dari bibinya, ia sudah menghilangkan bayangan itu.
Sekarang, ia benar-benar terpesona dan tertarik sekali kepada pemuda yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
belum dikenalnya ini.
“Sobat, mari kita menghadap Ayah dan kedua Ibu kami yang biasanya
sepagi ini sudah berada di ruangan depan,” kata Ceng Ceng.
Pemuda itu mengangguk, menghapus keringatnya dengan saputangan
dan menyimpan pedangnya, lalu mengikuti mereka memasuki gedung. Benar
saja seperti dugaan Ceng Ceng tadi. Tan Kun Tek bersama dua orang
isterinya telah duduk di ruangan depan menghadapi meja dimana
dihidangkan minuman air teh dan makanan kecil.
Melihat dua orang puterinya datang bersama pemuda yang menjadi tamu
mereka, Kun Tek berkata dengan gembira.
“Ah, orang muda, agaknya engkau telah sembuh benar”
Pemuda itu sudah memberi hormat kepada mereka dan berkata dengan
lembut.
“Berkat budi kebaikan Lo-cianpwe berlima yang telah menolong dan
menyelamatkan saya.”
“Duduklah, orang muda. Kami sama sekali tidak melepas budi. Memang
sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu orang yang dimusuhi
pasukan Mongol.”
Pemuda itu mengangguk, lalu duduk di atas kursi. Mereka duduk
mengelilingi sebuah meja. Tan Kun Tek lalu melanjutkan kata-katanya.
“Sebaiknya sebagai tuan rumah kami memperkenalkan diri kami lebih
dulu. Orang muda, kini engkau berada di Pulau Ular dan kami sekeluarga
berlima tinggal di pulau ini bersama anak buah kami. Aku bernama Tan Kun
Tek, ini isteriku pertama bernama Lu Siang dan yang itu isteriku kedua
bernama Gak Li. Dua orang gadis ini adalah anak-anak kami, yang ini
bernama Ceng Ceng dan yang itu bernama Li Hong. Nah, sekarang kami ingin
mendengar tentang dirimu dan bagaimana engkau sampai dikeroyok pasukan
Mongol itu.”
“Sungguh berbahagia sekali saya dapat bertemu dengan keluarga Locianpwe
yang gagah perkasa...”
“Mengapa menyebut Lo-cianpwe? Ayahku akan lebih senang kalau
engkau menyebutnya Paman saja. Bukankah begitu, Ayah?” kata Li Hong.
“Ha-ha-ha, memang lebih baik begitu, karena bukankah kita semua
memiliki pendirian yang sama, yaitu menentang kejahatan, apalagi yang
dilakukan oleh para pembesar Mongol?”
“Terima kasih atas keramahan dan kehormatan yang diberikan kepada
saya. Baiklah, Paman Tan, saya akan menceritakan tentang diri saya yang tak
berharga dan bodoh ini. Nama saya Yauw Tek. Saya tidak tahu siapa orang
tua saya. Ketika terjadi perang, balatentara Mongol menyerbu dan masuk
desa kami. Ketika itu saya berusia tiga tahun dan tidak tahu apa-apa. Yang
saya ingat hanyalah rumah-rumah terbakar dan saya lari keluar rumah. Saya
ditolong seorang kakek tua yang membawa saya lari keluar dusun kami yang
terbakar. Kakek itu menanyai saya, akan tetapi saya yang tahu hanyalah
bahwa saya Yauw Tek. Maklum, ketika itu usia saya baru tiga tahun.”
“Aduh kasihan”' kata Nyonya Tan yang bernama Lu Siang.
“Lalu bagaimana selanjutnya? dimana orang tuamu?”
“Pendeta yang menolong saya itu sudah menyelidiki dan katanya seluruh
dusun terbakar dan... Ayah Ibu saya... menjadi korban, tewas di tangan
pasukan Mongol,” kata pemuda itu dengan suara mengandung kedukaan.
“Jahanam benar pasukan Mongol” Li Hong berseru marah.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Sudah banyak sekali rakyat yang tidak berdosa menjadi korban”
“Tenanglah, Hong-moi, biarkan Yauw-twako (Kakak Yauw) melanjutkan
ceritanya,” kata Ceng Ceng.
“Mulai hari itu saya menjadi murid Suhu Bu Beng Cu, yaitu pertapa yang
telah menolong saya. Saya diajak pergi ke Pegunungan Himalaya dan hidup
bersama Suhu selama belasan tahun sampai Suhu meninggal dunia karena
usia tua.”
“Nanti dulu, Yauw-sicu, engkau belum menceritakan dari dusun mana
asalmu.”
“Dusun kami yang dibasmi itu adalah dusun Kao-chun, sebuah dusun
kecil di Propinsi Sin-kiang. Setelah Suhu meninggal dunia, saya lalu merantau
sampai ke Tibet dan berguru kepada para Pendeta Lhama di Tibet.”
“Ah, pantas ilmu silatmu lihai sekali, Yauw-twako” kata Li Hong.
“Sekarang aku tahu mengapa logat bicaramu terdengar kaku dan asing.
Kiranya engkau berasal dari Sin-kiang dan tumbuh besar di Himalaya dan
Tibet,” kata Ceng Ceng.
“Akan tetapi bagaimana engkau bisa berada di Laut Timur ini dan
dikeroyok pasukan Mongol” tanya Ban-tok Niocu.
Yauw Tek menghela napas dan termenung, agaknya mengumpulkan
ingatannya lalu dia melanjutkan ceritanya.
“Setelah saya mempelajari ilmu dari para Lhama di Tibet dan sudah
merasa dewasa, maka sekitar dua tahun yang lalu saya meninggalkan Tibet.
Saya pergi ke dusun Kao-chun untuk menyelidiki, dan memang benar, hampir
seluruh penduduk dusun itu, termasuk Ayah lbu saya, tewas oleh pasukan
Mongol yang lewat di dusun itu. Saya lalu mengambil keputusan untuk
merantau ke timur dan membalas dendam dengan menentang para pembesar
Mongol dimana pun saya berada. Sudah banyak saya menentang, memusuhi
bahkan membunuh para pembesar yang menindas rakyat sehingga saya
menjadi buronan. Saya terus merantau dan dalam perjalanan saya mendengar
akan nama-nama besar para datuk dan tokoh kang-ouw yang berjiwa patriot
dan menentang penjajah, di antaranya saya mendengar akan nama Pulau
Ular. Maka, saya mencoba untuk datang berkunjung dan berkenalan dengan
Paman sekalian. Akan tetapi ketika saya sedang mendayung perahu, ada
empat perahu besar penuh perajurit Mongol mengejar dan mengepung.
Agaknya mereka memang sudah membayangi saya sejak di daratan sana.
Saya berusaha untuk melawan mati-matian, akan tetapi karena saya tidak
biasa bermain di air, saya takut kalau terjatuh ke air sehingga saya harus
berlompatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi akhirnya, ketika saya hendak
melarikan diri dan melompat ke perahu kecil saya, saya dihujani anak panah.
Saya sudah mencoba untuk menangkis, akan tetapi sebatang anak panah
mengenai pundak saya sehingga saya terjatuh ke dalam air...”
“Ya, selanjutnya kami sudah melihat sendiri,” kata Ban-tok Niocu.
“Untung Paman berempat datang menolong, kalau tidak, tentu saya
tewas tenggelam dalam air laut, atau mati dihujani anak panah dari perahu
mereka. Maka, sekali lagi saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Cuwi
(Anda Sekalian).”
Yauw Tek segera berlutut dan memberi hormat kepada mereka berlima.
Tan Kun Tek cepat menghampiri dan mengangkat bangun pemuda itu.
“Sudahlah, Yauw Tek, jangan terlalu sungkan. Orang-orang seperti kita
adalah segolongan, sudah sepatutnya kalau di antara kita saling menolong.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Tidak perlu berterima kasih kepada kami. Akan tetapi ada satu hal yang ingin
kuketahui. Kemarin ketika aku melihat permainan pedangmu melawan
pengeroyokan para perajurit, aku melihat ilmu pedangmu aneh dan lihai.
Mirip ilmu pedang Go-bi-pai, akan tetapi agak lain. Apakah ilmu pedangmu
itu, Yauw Tek?” kata Tan Kun Tek dengan ramah.
“Paman, seperti sudah saya ceritakan, guru saya yang pertama adalah
pertapa yang merawat dan membesarkan saya sejak dia menolong saya
sewaktu saya kecil. Mendiang guru saya itu hanya saya ketahui mengaku
bernama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama), juga tidak pernah mengatakan ilmu
silatnya dari aliran perguruan mana. Kemudian, saya berguru kepada para
pendeta Lhama di Tibet selama sekitar dua tahun dan saya menghimpun
ilmu-ilmu yang saya pelajari dari Suhu Bu-beng-cu dan para Suhu Pendeta
Lhama, maka terbentuklah ilmu pedang saya itu.”
“Wah, ilmu silatmu pasti lihai sekali, Yauw-twako” kata Li Hong memuji.
Lalu ia memandang ayahnya dan ibu tirinya.
“Ayah dan lbu, kalau Yauw-twako mau membantu aku dan Enci Ceng
mencari harta karun Kerajaan Sung itu, hal ini tentu baik sekali”
“Harta karun...??” Yauw Tek bertanya, keheranan terbayang di wajahnya.
“Ayah, Ibu, bolehkah aku menceritakannya kepada Yauw-twako?” tanya
Li Hong.
Tan Kun Tek dan Ban-tok Niocu yang percaya bahwa, pemuda yang
dimusuhi pasukan Mongol ini tentu seorang pendekar yang berjiwa patriot,
apalagi orang tuanya terbunuh oleh pasukan Mongol. Maka tidak ada lagi
yang perlu dicurigakan dan Tan Kun Tek bersama kedua isterinya sudah
percaya sepenuhnya kepada pemuda itu. Maka mendengar pertanyaan Li
Hong, ayah dan ibu gadis itu mengangguk. Setelah memperoleh persetujuan
ayah ibunya, Li Hong lalu bercerita kepada Yauw Tek dengan suara lantang.
“Begini, Twako. Sebelum Lo-cianpwe Liu Bok Eng, Ayah dari Enci Ceng
ini, tewas dibunuh Panglima Mongol dan pasukannya, dia meninggalkan
sehelai peta harta karun kepada Enci Ceng dengan pesan agar harta karun itu
ditemukan kemudian diberikan kepada para pejuang yang hendak menentang
dan merobohkan kekuasaan orang Mongol.”
“Ah, baik sekali itu” seru Yauw Tek.
“Akan tetapi, milik siapakah harta karun itu?”
“Harta karun itu berasal dari harta Kerajaan Sung yang dicuri dan
disembunyikan oleh seorang Menteri Thaikam yang jahat dan korup. Thaikam
itu dibinasakan oleh Panglima Kerajaan Sung, yaitu Lo-cianpwe Liu Bok Eng
dan peta itu terjatuh ke tangannya. Setelah Kerajaan Sung jatuh, maka
mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng meninggalkan pesan kepada Enci Ceng
untuk mencari harta pusaka itu. Nah, ketika itu aku membantu Enci Ceng
Ceng, dibantu pula oleh Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu.”
“Bu-eng-cu? Ah, mirip julukan Guru saya, Bu-beng-cu walaupun artinya
jauh berbeda. Bu-eng-cu berarti Si Tanpa Bayangan, sedangkan Bu-beng-cu
berarti Si Tanpa Nama,” kata Yauw Tek yang sejak tadi tertarik sekali
mendengar cerita Li Hong.
Li Hong lalu melanjutkan ceritanya sampai ditemukannya peti harta karun
oleh Panglima Kim Bayan yang menangkap mereka bertiga dan betapa peti
itu kosong. Pencurinya meninggalkan huruf THAI-SAN di dasar peti.
“Nah, begitulah ceritanya, Twako. Maka sekarang Enci Ceng Ceng dan
aku bertekad untuk menyelidiki ke Thai-san, mencari pencuri itu dan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
berusaha mendapatkan kembali harta karun untuk diserahkan kepada mereka
yang berhak, yaitu para pejuang yang berusaha membasmi penjajah Mongol.
Sekarang setelah engkau mendengar cerita ini, maukah engkau membantu
kami berdua untuk mencari harta karun itu?”
Yauw Tek mengalihkan pandang matanya kepada Tan Kun Tek dan kedua
orang isterinya.
“Tentu saja aku bersedia, Hong-moi, kalau Paman Tan dan kedua Bibi
mengijinkannya.”
“Ayah dan Ibu tentu setuju, bukan? Kalau Yauw-twako mau membantu
kami, selain keadaan kami menjadi lebih kuat, juga lebih besar kemungkinan
kami akan berhasil mendapatkan kembali harta karun itu,” kata Li Hong yang
lalu bangkit dan merangkul Ban-tok Niocu.
“Ibu, tentu boleh dia menemani kami, ya...?” Ia merengek manja.
Li Hong tahu benar bahwa kalau gurunya ini menyetujui, tentu Ayah dan
Ibu kandungnya juga tidak keberatan. Ban-tok Niocu tersenyum.
“Perjalanan kalian berdua ke Thai-san mencari harta karun itu bukan
pekerjaan ringan. Kukira banyak tokoh kang-ouw yang mendengar akan harta
karun itu akan berdatangan dan memperebutkannya. Apalagi seperti telah
kuberitahukan kepadamu, di Thai-san banyak terdapat tokoh yang sesat dan
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Oleh karena itu, Yauw Tek ini baru ada
gunanya menemani kalian berdua kalau dia memiliki ilmu kepandaian yang
dapat diandalkan. Untuk mengetahui kekuatannya, perlu diuji dulu. Nah,
Yauw Tek, bersediakah engkau kami uji kemampuanmu?”
Yauw Tek memberi hormat kepada Ban-tok Niocu Gak Li.
“Bibi, saya adalah seorang yang bodoh, akan tetapi saya akan merasa
sangat bahagia kalau sedikit kepandaian yang saya miliki ini dapat saya
pergunakan untuk membantu Ceng-moi dan Hong-moi menemukan harta
karun itu. Tentu saja saya tidak keberatan kalau akan diuji, hanya saya mohon
Bibi agar mengasihani dan bertindak lunak terhadap diri saya.”
Ban-tok Niocu tersenyum, girang mendengar ucapan yang merendah itu,
menandakan bahwa pemuda ini memang sangat rendah hati, sikap yang
menyenangkan dari seseorang.
“Kami ingin melihat kelihaian ilmu silatmu, maka biarlah Li Hong yang
menguji ilmu silat tangan kosongmu, kemudian Ceng Ceng yang akan
menguji ilmu pedangmu. Bagaimana, bersediakah engkau, Yauw Tek?”
“Saya siap, Bibi.”
“Nah, mari kita ke Lian-bu-thia (Ruangan Berlatih Silat),” kata Tan Kun
Tek yang gembira juga mendengar itu. Mereka lalu pergi menuju ke ruangan
tempat latihan yang cukup luas.
“Li Hong, engkau ujilah ilmu silat tangan kosong Yauw Tek dan jangan
bersikap sungkan, pergunakan seluruh kemampuanmu untuk mengalahkan
dia”
Ban-tok Niocu agaknya sudah melihat tanda-tanda bahwa murid yang
menjadi anaknya itu agaknya tertarik dan suka kepada Yauw Tek, maka
dipesannya agar menguji dengan kesungguhan hati.
“Baik, Ibu. Mari, Yauw-twako” Li Hong mengajak pemuda itu dan ia
sudah menuju ke tengah ruangan.
Setelah memberi hormat kepada Tan Kun Tek dan kedua isterinya, Yauw
Tek menghampiri Li Hong dan setelah mereka saling berhadapan dia berkata.
“Hong-moi, harap engkau menaruh iba kepadaku dan jangan menjatuhkan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tangan maut.”
Li Hong tersenyum.
“Bersiaplah, Twa-ko.” Ia memasang kuda-kuda dan setelah Yauw Tek
juga memasang kuda-kuda dan siap, Li Hong berseru nyaring.
“Twako, sambut seranganku”
Li Hong lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Karena selain
untuk menguji pemuda itu, ia pun ingin memamerkan kelihaiannya, maka
begitu menyerang ia sudah menggunakan jurus Pai-in-jut-sui (Dorong Awan
Keluar Puncak). Kedua tangannya terbuka dan menyerang dengan dorongan
kuat ke arah dada Yauw Tek.
Pukulan ini bukan main-main karena dari kedua tangannya menyambar
hawa pukulan yang amat kuat ke arah lawan. Hanya saja kalau dalam
perkelahian menghadapi musuh Li Hong dapat mengisi serangan ini dengan
dorongan yang mengandung hawa beracun, sekali ini ia tidak
menggunakannya. Namun angin dorongan itu masih tetap kuat dan terasa
menyambar dada pemuda itu sebelum kedua tangan yang menyerang itu
menyentuhnya.
Yauw Tek cepat miringkan tubuhnya dan dari samping kedua tangannya
membuat gerakan melingkar untuk menangkis kedua tangan Li Hong. Akan
tetapi gadis itu menarik kembali kedua tangannya yang gagal menyerang,
lalu menyambung dengan tendangan kaki miring dari samping, tendangan
yang mencuat dengan cepat ke arah leher lawan. Kaki kanannya itu mencuat
tinggi dan mengandung kekuatan besar.
Kembali Yauw Tek mengelak dengan mudah. Li Hong merasa kagum di
samping penasaran juga karena dua serangannya yang cukup dahsyat itu
dapat dihindarkan dengan mudah oleh Yauw Tek.
“Haiiiittt...”
Kini Li Hong menyerang lebih dahsyat lagi karena ia menggunakan jurus
Pai-san-to-hai (Tolak Gunung Uruk Laut). Kedua tangannya menyerang
dengan pukulan-pukulan kuat ke arah kepala dan diseling tendangan kaki ke
arah perut. Yauw Tek terkejut juga dan diam-diam dia memuji ketangkasan
gadis itu. Akan tetapi dengan tenang dia mundur dan setiap kali kaki dan
tangan gadis itu menyambar, dia menyambut dengan tangkisan sehingga
terdengar suara dak-duk-dak-duk berulang-ulang. Li Hong merasa betapa
lengan dan kakinya tergetar setiap kali bertemu tangan pemuda itu yang
menangkisnya.
“Twako, jangan mengalah terus. Balas seranganku”
Li Hong berseru ketika pada serangan selanjutnya pemuda itu hanya
mengelak atau menangkis. Sampai belasan jurus semua serangannya dapat
dihindarkan lawan, akan tetapi pemuda itu belum pernah membalas.
“Haiiiittt...”
Kini Li Hong mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang disebut Pathong-
hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan). Gerakannya cepat sekali,
tubuhnya seolah menjadi bayangan yang berkelebatan dari delapan penjuru,
kedua tangannya menghujankan serangan berupa tamparan, dorongan,
pukulan, atau totokan yang amat cepat dan dahsyat. Serangan kedua tangan
yang bertubi-tubi masih diselingi tendangan-tendangan yang membahayakan
lawan. Yauw Tek semakin kagum menghadapi serangan ini.
“Bagus” Dia berseru dan tiba-tiba tubuhnya berputar-putar seperti
gasing.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Demikian cepatnya tubuh itu berputar sehingga yang tampak hanya
bayangannya saja, putarannya makin lama semakin cepat.
“Silat Angin Puyuh”
Ban-tok Niocu Gak Li berseru heran dan memandang kagum. Ia pernah
mendengar akan ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing seperti
itu yang disebut Silat Angin Puyuh dan menjadi andalan para ahli silat dari
daerah barat, terutama dari Tibet
Li Hong sendiri terkejut sekali karena pandang matanya tidak dapat
mengikuti gerakan tubuh lawan yang berpusing itu sehingga ia tidak dapat
mengarahkan serangannya. Bahkan ketika pandang matanya mengikuti
bayangan yang berpusing itu, kepalanya menjadi pening
“Haiiitt...”
Dengan nekat Li Hong kini menggunakan pukulannya yang terampuh
yang biasanya disebut Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam
Getarkan Hati), akan tetapi sekali ini ia tidak menyertakan hawa beracun
pukulannya. Namun tetap saja pukulannya mengandung sin-kang (tenaga
sakti) yang kuat sekali. Yauw Tek menyambut pukulan tangan kanan Li Hong
yang terbuka dan didorongkan itu dengan tangan kirinya.
“Plakk...”
Li Hong terkejut karena merasa betapa telapak tangannya bertemu
dengan telapak tangan yang lembut dan dingin, lunak seperti karet. Ia hampir
menjerit karena tangannya itu tidak dapat ditarik kembali, seolah melekat
pada telapak tangan pemuda itu. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang
tangguh, ia dapat menenangkan hatinya dan kini tangan kirinya menotok ke
arah dada Yauw Tek. Kalau totokannya itu mengenai sasaran, tubuh Yauw
Tek tentu akan menjadi lemas sehingga ia mampu merenggut lepas tangan
kanannya yang melekat pada tangan kiri lawan. Akan tetapi tiba-tiba
pergelangan tangan kirinya dapat ditangkap oleh tangan kanan Yauw Tek.
Li Hong berusaha untuk memutar lengannya dan berbalik menyerang,
akan tetapi tiba-tiba, entah dengan gerakan bagaimana, tanpa dapat dia
hindarkan lagi, kedua lengannya itu telah terputar ke belakang tubuhnya dan
ia telah ditelikung ke belakang tubuhnya Betapa pun kuat usahanya untuk
melepaskan diri, ia sama sekali gagal. Akan tetapi tiba-tiba Yauw Tek
melepaskan kedua lengannya dan tubuhnya berkelebat ke depan Li Hong
sehingga mereka saling berhadapan lagi.
“Hong-moi, maafkan aku dan terima kasih bahwa engkau telah banyak
mengalah,” kata pemuda itu dengan suara tulus, bukan mengejek.
Muka Li Hong berubah kemerahan dan ia tetap gembira, hal yang bagi
Ceng Ceng mengherankan karena ia mengenal adik angkatnya itu sebagai
seorang gadis keras hati yang sukar menerima kekalahannya. Diam-diam ia
menduga bahwa Li Hong tentu tertarik dan jatuh hati kepada Yauw Tek.
“Aih, Yauw-twako, engkaulah yang banyak mengalah. Ilmu silatmu lihai
sekali dan aku merasa kalah,” kata Li Hong dan ia pun lari mendekati
keluarganya dan duduk pula di atas bangku.
“Bagus. Lihai sekali gabungan ilmu silat dan Siauw-kin-na-jiu-hwat (ilmu
Silat Menangkap dan Mencengkeram) itu” seru Ban-tok Niocu.
“Engkau lihai sekali, Yauw Tek. Kami merasa kagum” kata pula Tan Kun
Tek. Sebagai seorang murid Bu-tong-pai dia pun mengenal ilmu silat yang
aneh dan yang memiliki ciri khas ilmu bela diri dari luar.
“Ah, Paman dan Bibi terlalu memuji. Saya harus menerima banyak
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
petunjuk dari Paman sekalian,” kata Yauw Tek merendah.
“Ceng Ceng, sekarang giliranmu untuk menguji ilmu pedang Yauw Tek”
kata Ban-tok Niocu dengan gembira.
Wanita majikan Pulau Ular ini sudah mendengar dari Li Hong bahwa
selain ilmu pengobatannya yang manjur, Ceng Ceng juga memiliki ilmu
pedang yang hebat walaupun ia hanya menggunakan sebatang ranting kayu
sebagai pengganti pedang. Ceng Ceng mengangguk dan melangkah lembut
ke tengah ruangan sambil memegang sebatang ranting yang sudah ia
siapkan. Kini mereka berhadapan dan Ceng Ceng berkata lembut.
“Yauw-twako, marilah kita berlatih pedang sebentar. Kami semua ingin
menyaksikan kehebatann ilmu pedangmu. Cabutlah pedangmu, Twako.”
Yauw Tek memandang gadis itu dan ketika melihat gadis itu hanya
memegang sebatang ranting yang besarnya seperti lengan tangannya, dia
bertanya.
“Ceng-moi, mana pedangmu? Mengapa engkau hanya membawa
sebatang ranting kayu?”
Ceng Ceng tersenyum, “Twako, aku tidak pernah menggunakan pedang.
Aku ngeri melihat pedang yang tajam dan runcing, maka aku akan
menggunakan ini sebagai pengganti pedang.”
Yauw Tek mengerutkan alisnya. Dia bukan seorang bodoh. Kalau gadis ini
berani menghadapi pedangnya dengan senjata ranting kayu maka sudah
dapat diduga bahwa gadis cantik jelita yang lemah lembut ini pasti memiliki
ilmu yang amat tinggi Dia mencabut pedangnya yang ujungnya bercabang,
lalu berkata dengan sikap lembut dan hormat.
“Ceng-moi, sebelum kita mulai berlatih silat pedang, bolehkah lebih dulu
aku memeriksa ranting yang kaujadikan senjata itu?”
“Eh? Apakah engkau mencurigai rantingku ini, Twako? Kalau engkau
ingin memeriksanya, boleh saja” Ia lalu menjulurkan tangan menyerahkan
ranting itu kepada Yauw Tek. Dengan tangan kirinya Yauw Tek menerima
ranting itu dan tiba-tiba pedangnya berkelebat cepat.
“Crakk”
Ranting itu telah disambar pedang dan terbelah menjadi dua dengan
membujur. Kini ranting itu telah menjadi dua batang yang sama panjangnya
dan agak tipis. Yauw Tek lalu menyimpan pedangnya dan sambil memegang
sebatang belahan ranting dengan tangan kanan seperti orang memegang
pedang, dia menyerahkan belahan yang lain kepada Ceng Ceng sambil
tersenyum dan berkata.
“Maaf, Ceng-moi. Sebaiknya kita berlatih secara adil, masing-masing
menggunakan sebatang ranting.”
Tadinya Ceng Ceng dan yang lain-lain terkejut melihat pemuda itu
menggunakan pedang membacok ranting, akan tetapi setelah melihat
maksud yang sebenarnya, Ceng Ceng menerima ranting itu sambil
tersenyum. Ceng Ceng menerima dengan tangan kanan lalu berkata.
“Gerakan pedang Yauw-twako membelah ranting tadi saja sudah
membuktikan betapa hebatnya ilmu pedang Twa-ko. Mari kita bermain
pedang dengan ranting ini”
Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menyerang dengan tusukan. Akan
tetapi sebagai pembukaan, untuk memberi kesempatan kepada lawan
menjaga diri, tusukannya itu dilakukan dengan gerakan lambat. Setelah Yauw
Tek mengelak dan memutar rantingnya untuk menjaga diri, barulah Ceng
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Ceng melanjutkan serangannya dengan gerakan yang cepat bukan main.
Yauw Tek terkejut sekali. Tak disangkanya Ceng Ceng memiliki gerakan yang
demikian ringan dan cepatnya. Dia segera memutar rantingnya dan terjadilah
pertandingan adu ilmu pedang yang seru.
Ceng Ceng berseru lirih dan menyerang dengan tusukan dalam jurus
Giok-li-tauw-so (Sang Dewi Menenun) dan begitu tusukannya tertangkis
lawan, ia melanjutkan dengan jurus Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang
Berantai). Serangannya ini hebat sekali, pedangnya menikam secara sambung
menyambung dengan amat cepatnya sehingga sukar untuk dielakkan lawan.
Melihat ini, Yauw Tek cepat melindungi dirinya dengan jurus Pek-kong-koanjit
(Pelangi Putih Menutup Matahari).
“Trik-trik-trikk...”
Tiga kali ranting itu bertemu dan sungguh hebat. Biarpun yang bertemu
itu hanya ranting kayu, namun tampak bunga api berpijar. Makin lama
pertandingan ilmu pedang itu menjadi semakin hebat, keduanya
mengeluarkan jurus-jurus yang dahsyat, namun selalu dapat dielakkan atau
ditangkis lawan. Semua serangan kedua pihak selalu gagal. Ceng Ceng mulai
memperlihatkan andalannya, yaitu gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
luar biasa. Kini gerakan tubuh sedemikian cepatnya sehingga tubuh gadis itu
seolah berubah dan lenyap berganti bayangan putih yang berkelebatan ke
sana-sini.
Melihat ini, agaknya dia merasa tidak mampu menandingi kecepatan
gerakan lawan, Yauw Tek mengambil sikap diam dengan kuda-kuda kokoh
dan melindungi tubuhnya dengan perisai sinar rantingnya. Pertandingan itu
menarik sekali, seolah melihat seekor burung yang amat cepat menyambarnyambar
ke arah lawannya yang seolah menjadi seekor ular yang melingkar
diam akan tetapi selalu menyambut serangan burung dengan patukan
moncongnya.
“Ah, pantas ia dijuluki Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), lihat betapa
cepat gerakannya” kata Tan Kun Tek memuji anak angkatnya.
“Bocah she Yauw itu pun hebat,” kata Gak Li atau Ban-tok Niocu.
“Lihat, dia menggunakan pertahanan Sin-coa-pai-bwe (Ular Sakti
Menyabetkan Ekornya).”
Pertahanan yang dipergunakan Yauw Tek itu memang kuat sekali
sehingga semua serangan Ceng Ceng dapat ditangkisnya. Juga karena dia
lebih banyak berdiam diri menanti serangan, maka dia tidak membuang
banyak tenaga seperti halnya Ceng Ceng yang berkelebat ke sana-sini dan ini
menyerap banyak tenaganya. Tentu saja dengan cara menutup diri dan hanya
menangkis, Yauw Tek sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
menyerang balik. Setelah pertandingan lewat sekitar limapuluh jurus, Ceng
Ceng melompat menjauhi dan berdiri sambil tersenyum dan mengusap
keringat dari leher dan dahinya. Yauw Tek juga melompat ke depannya dan
menjura.
“Ah, Kiam-sut (Ilmu Pedang) Ceng-moi sungguh membuatku kagum
sekali. Aku mengaku kalah.”
Ceng Ceng tersenyum dan menoleh ke arah keluarganya yang duduk di
pinggir ruangan. Ia menggunakan tangan kirinya menunjuk ke arah rambut
kepalanya, lalu menjura kepada Yauw Tek sambil berkata.
“Ah, Yauw-twako terlalu merendahkan diri. Akulah yang mengaku kalah.
Ilmu pedang Twako sungguh amat lihai, aku masih perlu mendapatkan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
banyak petunjuk tentang ilmu pedang darimu.”
Semua orang melihat betapa pita sutera putih yang tadinya mengikat
rambut Ceng Ceng telah terlepas. Hal ini berarti bahwa dalam gebrakan
terakhir tadi ranting di tangan Yauw Tek telah berhasil “mencuri” dan
membuat pita rambut itu terlepas.
Li Hong bertepuk tangan dan ia pun melompat berdiri, menghadapi ayah
ibunya.
“Ayah, jelas bahwa Yauw-twako telah dapat menandingi dan
mengungguli ilmu silat tangan kosongku dan ilmu pedang Enci Ceng. Dia
pantas menemani kami mencari harta karun itu, bukan?”
Tan Kun Tek dan dua orang isterinya tersenyum. Dia dan Gak Li tadi
dapat melihat betapa dalam ilmu silat tangan kosong, Yauw Tek jelas lebih
tangguh dibandingkan Li Hong dan dalam pertandingan ilmu pedang,
walaupun Ceng Ceng unggul dalam kecepatan gerakan, namun pemuda itu
memiliki ilmu pedang yang aneh sehingga tahu-tahu dapat mencuri di antara
hujan serangan Ceng Ceng untuk menyentuh pita rambut gadis itu dengan
ujung rantingnya. Jelas bahwa ilmu pedang pemuda itu memang hebat
sekali.
“Mari kita bicarakan hal ini di dalam,” kata Tan Kun Tek dan mereka
semua menuju ke ruangan dalam dan duduk mengelilingi meja besar yang
bundar.
“Kami mengakui bahwa ilmu silat Yauw Tek cukup tangguh untuk dapat
menemani kalian berdua dan memperkuat keadaan kalian. Akan tetapi, Yauw
Tek, engkau harus mengetahui bahwa perjalanan mencari harta karun ini
merupakan pekerjaan yang berat dan berbahaya. Banyak tokoh kang-ouw
tentu akan berusaha untuk mendapatkannya karena berita tentang harta
karun yang mungkin dicuri orang yang tinggal di Thai-san pasti tersiar luas.
Pula, kami kira engkau perlu juga mengetahui siapa yang tinggal di Thai-san
agar engkau dan dua orang anak kami tidak bertindak gegabah,” kata Gak Li.
Lalu Gak Li menceritakan kepada Yauw Tek tentang tokoh-tokoh di Thaisan
seperti yang pernah ia ceritakan kepada dua orang gadis itu. Setelah
mendengarkan Gak Li memperkenalkan tokoh-tokoh itu sampai selesai, Yauw
Tek berkata.
“Bibi, maafkan pertanyaan saya. Karena saya masih hijau dan tidak
banyak mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw (sungai telaga), maka mohon
petunjuk Bibi sekalian, siapakah di antara para tokoh di Bu-lim (Rimba
Persilatan) yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu?”
Gak Li menghela napas panjang.
“Inilah yang harus kalian bertiga selidiki. Tadi engkau telah mendengar
cerita anak kami tentang hilangnya harta karun yang tersembunyi di Bukit
Sorga. Pencuri itu hanya meninggalkan tulisan THAI-SAN dalam peti harta.
Tulisan ini dapat juga diartikan sebagai kesombongan Si Pencuri yang
mengaku dan menantang bahwa dia berada di Thai-san, akan tetapi bukan
tidak mungkin hal ini dilakukan Si Pencuri hanya untuk menipu dan
menyesatkan para pencari harta karun. Karena itu, tugas kalian tidak ringan,
sebelum berusaha merampas harta karun, haruslah lebih dulu menyelidiki
secara teliti apakah benar pencuri itu tinggal di Thai-san dan kalau benar,
siapa orangnya.”
Setelah menerima nasihat dari Ban-tok Niocu Gak Li dan Tan Kun Tek
yang lebih banyak mengenal Bu-lim (Rimba Persilatan) dengan tokohTidak
Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tokohnya, dua hari kemudian berangkatlah Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li
Hong meninggalkan Pulau Ular. Kini dua orang gadis itu percaya betul kepada
Yauw Tek yang selain lihai juga halus budi bahasanya dan sopan santun.
Sementara itu Yauw Tek semakin kagum kepada keluarga Majikan Pulau
Ular. Bukan hanya kagum kepada keluarganya yang memiliki kepandaian
tinggi, akan tetapi juga kagum akan kehebatan pulau yang selain mempunyai
banyak anak buah, juga mengandung banyak rahasia sehingga kuat
menghadapi penyerbuan dari luar.
Setelah tiba di daratan, mereka bertiga menggunakan tiga ekor kuda yang
sudah dipersiapkan, melanjutkan perjalanan jauh mereka menuju Thai-san.
Selama dalam perjalanan ini, hubungan antara tiga orang itu semakin akrab
dan dua orang gadis itu yakin benar bahwa Yauw Tek adalah seorang
pendekar muda pilihan yang hanya dapat disejajarkan dengan seorang
pendekar muda seperti Pouw Cun Giok.
Bahkan mereka menganggapnya lebih baik dari Cun Giok karena pemuda
itu telah mengecewakan hati mereka. Mengecewakan hati Ceng Ceng karena
ternyata dia telah mempunyai tunangan sehingga Li Hong yang kini amat
sayang kepada Ceng Ceng menjadi sakit hatinya. Setelah kini mendengar
bahwa Pouw Cun Giok adalah kakak misannya, putera bibinya yang sudah
meninggal, Li Hong menjadi semakin gemas dan ia berjanji kepada diri
sendiri bahwa kalau bertemu dengan Cun Giok nanti, ia akan memarahi kakak
misannya itu
--------
Laki-laki tinggi besar bermuka merah itu mengerutkan alisnya yang tebal.
Jenggot dan kumisnya yang terawat baik itu menambah kegagahan dan
kejantanannya. Usianya sekitar limapuluh enam tahun dan dia duduk di atas
kursi yang diukir dengan kepala singa.
Laki-laki gagah perkasa ini adalah Cu Liong yang berjuluk Bu-tek Sin-liong
(Naga Sakti Tanpa Tanding). Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak
membayangkan tenaga yang amat kuat. Dari julukannya saja, mudah diduga
bahwa dia tentu seorang yang amat lihai dan tangguh sekali. Hanya ada
kesan sombong dalam julukannya itu, seolah dia hendak mengatakan bahwa
dialah orang yang paling kuat dan paling lihai ilmu silatnya sehingga tidak
ada orang lain yang mampu menandingi dan mengalahkannya.
Majikan Bukit Merak ini duduk berhadapan dengan seorang pemuda.
Pemuda berusia sekitar duapuluh empat tahun ini pun bertubuh tinggi besar
dan gagah. Wajahnya cukup tampan, sepasang matanya membayangkan
ketinggian hatinya. Mungkin karena dia merasa menjadi murid Naga Sakti
Tanpa Tanding, dia pun merasa dirinya seperti naga muda yang tanpa
tanding pula
Pemuda tinggi besar berpakaian mewah ini adalah murid Bu-tek Sin-liong
yang bernama Kong Sek. Murid Cu Liong yang mendapatkan pelajaran ilmu
silat secara khusus hanya Kong Sek seorang, di samping puteri datuk itu
sendiri yang bernama Cu Ai Yin. Anak buah Pulau Merak yang berjumlah
sekitar limapuluh orang hanya diberi pelajaran ilmu silat tingkat dasar saja.
Bu-tek Sin-liong bukan seorang antek penjajah Mongol, juga bukan
golongan patriot yang menentang Kerajaan Mongol. Dia tidak peduli akan
pertentangan kekuasaan itu. Maka baginya tidak pantang untuk bersahabat
dengan orang-orang Bu-lim yang menentang penjajah Mongol, juga dia
memiliki sahabat orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan menjadi
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pembesar Mongol.
Satu di antara sahabatnya adalah mendiang Panglima Besar Kong Tek
Kok. Karena persahabatan inilah dia menerima putera panglima itu, ialah
Kong Sek menjadi muridnya. Andaikata mendiang Kong Tek Kok dulu bukan
seorang panglima Mongol, tetap saja dia akan menerima Kong Sek menjadi
muridnya, mengingat bahwa ayahnya sahabat baiknya yang dengan dia
saling mengagumi ilmu silat masing-masing.
Akan tetapi terjadilah peristiwa itu. Puterinya, Cu Ai Yin, menyelamatkan
nyawa pemuda bernama Pouw Cun Giok itu dari ancaman bahaya karena
menderita sakit. Kemudian, diketahuinya bahwa Pouw Cun Giok adalah Si
Tanpa Bayangan yang telah membunuh Kong Tek Kok dan Pangeran Lu, Cu
Liong membela muridnya Kong Sek, yang dikalahkan Cun Giok untuk
menangkap dan membawa Cun Giok ke kota raja sebagai pembunuh agar
diadili. Hal ini tidak dapat diterima oleh Cu Ai Yin yang melarikan diri dari
rumah tanpa pamit. Dan sekarang, muridnya, Kong Sek, datang menghadap
sambil mengeluh dan lengannya terluka goresan pedang yang menurut
laporan muridnya dilakukan oleh puterinya.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengerutkan alis dengan marah sekali. Hampir
dia tidak percaya akan laporan muridnya, maka dia membentak dengan kaku.
“Benarkah laporanmu itu? Hayo coba ulangi” kata datuk itu sambil
meraba-raba jenggotnya.
Terpaksa Kong Sek mengulang pelaporannya. Dia menceritakan betapa
ketika dia membawa Pouw Cun Giok sebagai tawanan, dikawal para
perajuritnya, tiba-tiba muncul Cu Ai Yin yang memaksa membebaskan
tawanan itu.
“Sumoi (Adik Seperguruan) bukan hanya membebaskan Pouw Cun Giok
dengan paksa, bahkan ia dan tawanan itu mengamuk, merobohkan para
perajurit dan Sumoi melukai lengan teecu (murid).”
“Kurang ajar! Berani ia berbuat begitu? Membela orang luar dan
menentang ayahnya sendiri?”
“Sumoi memang keterlaluan, Suhu. Akan tetapi teecu dapat
memaafkannya. Harap Suhu jangan terlalu memarahinya kalau ia pulang.
Tentang si jahanam Pouw Cun Giok, harap Suhu jangan khawatir, teecu pasti
akan dapat menangkapnya. Teecu akan membawa pasukan untuk mengejar,
mencari dan menangkapnya.” Kemudian dia menambahkan, suaranya lirih
membujuk.
“Suhu, melihat betapa Sumoi terkadang liar membawa kehendak sendiri
dan tidak dapat dikendalikan, bagaimana kalau Suhu melangsungkan dengan
segera pernikahan kami? Kalau ia sudah menjadi isteri teecu, tentu ia akan
berubah sehingga Suhu tidak akan terlalu pusing dibuatnya.”
Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk
lemah dan pandang matanya tampak ragu.
“Sebaiknya begitu, mungkin lebih baik begitu...” Dia lalu memberi tanda
dengan tangannya menyuruh muridnya pergi.
“Selamat tinggal, Suhu. Teecu hendak kembali ke kota raja dan
melaporkan tentang Pouw Cun Giok kepada panglima bagian keamanan,
minta dibantu pasukan untuk mencari jahanam itu.”
Cu Liong hanya mengangguk dan pemuda itu segera meninggalkan
tempat itu lalu turun dari Bukit Merak dan menuju ke kota raja. Setelah
muridnya pergi, Bu-tek Sin-liong Cu Liong duduk termenung di kursinya.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Teringat dia akan keadaan keluarganya. Dia telah malang melintang di dunia
persilatan dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang cukup besar. Ketika
usianya hampir empatpuluh tahun, dia menikah dan mempunyai seorang
anak, yaitu Cu Ai Yin. Setelah mempunyai anak, barulah dia merasa
berkeluarga dan dia lalu tinggal di Bukit Merak bersama Isteri dan anaknya.
Akan tetapi, baru setahun tinggal di situ, isterinya meninggal dunia karena
sakit, padahal ketika itu usia Cu Ai Yin baru tiga tahun.
Setelah isterinya meninggal dan dia harus memelihara puterinya seorang
diri, Cu Liong lalu mengambil empat orang wanita muda menjadi selirselirnya,
bahkan dia lalu menerima sebanyak limapuluh orang yang menjadi
anak buahnya di Bukit Merak.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong menghela napas panjang. Dia amat menyayang
puterinya, akan tetapi sekali ini Ai Yin bertindak keterlaluan. Tidak saja gadis
itu berani minggat tanpa pamit, juga puterinya itu telah membebaskan Pouw
Cun Giok bahkan melukai Kong Sek, putera mendiang Panglima Besar Kong
Tek Kok, suhengnya sendiri.
Mengingat puterinya, terbayanglah semua kenangan tentang Cu Ai Yin.
Gadis itu amat disayangnya, juga biasanya gadis itu amat sayang dan patuh
kepadanya walaupun agak manja. Dan dia tahu betul bahwa Ai Yin adalah
seorang gadis yang keras hati dan teguh pendiriannya. Bahkan niatnya untuk
menjodohkan puterinya itu dengan muridnya, Kong Sek, agaknya tidak
disetujui Ai Yin.
Dan sekarang, agaknya Ai Yin jatuh cinta atau memilih seorang pemuda
buruan pemerintah seperti Pouw Cun Giok. Dia sendiri memang kagum
kepada pemuda itu yang memiliki ilmu silat lihai sekali, juga wajah pemuda
itu cukup tampan, tidak kalah oleh ketampanan Kong Sek. Akan tetapi Pouw
Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu itu adalah seorang buronan yang telah
membunuh sahabat baiknya, Kong Tek Kok, dan Pangeran Lu Kok Kong, di
samping membunuh banyak perajurit. Pemuda itu adalah seorang
pemberontak yang selalu menjadi buruan pemerintah. Dia membayangkan
betapa kehidupan puterinya akan selalu menderita dan terancam bahaya
kalau menjadi isteri Pouw Cun Giok. Sebaliknya kalau Ai Yin menjadi isteri
Kong Sek, ia tentu akan menjadi seorang puteri bangsawan yang dimuliakan
dan dihormati.
Berhari-hari lamanya laki-laki setengah tua yang jantan dan gagah
perkasa ini lebih banyak duduk melamun di dalam kamarnya. Bahkan dia
melarang empat orang isterinya mendekatinya. Dia merasa tidak bahagia.
Empat orang isterinya itu tidak ada yang mempunyai anak. Anaknya hanya
Cu Ai Yin seorang, dan kini anaknya itu pergi meninggalkannya. Baru terasa
betapa sunyi hidupnya tanpa adanya Ai Yin di situ. Dia ingin menyusul dan
mencari puterinya, akan tetapi kemana? Anaknya pergi tanpa pamit dan dia
tidak dapat menduganya kemana anaknya pergi.
Setelah mengurung diri dengan muka muram selama beberapa bulan
lamanya, akhirnya Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak kuat menahan lagi
keinginannya untuk mencari dan menemukan puterinya. Pada suatu hari dia
memanggil keempat isterinya lalu berkata kepada mereka.
“Kalian berempat jagalah rumah baik-baik. Aku akan pergi meninggalkan
Bukit Merak untuk entah berapa lamanya, tergantung kapan aku dapat
menemukan Ai Yin. Aku akan pergi mencari Ai Yin dan baru pulang kalau ia
telah dapat kutemukan. Sekarang panggil semua anak buah untuk berkumpul
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
di sini.”
Setelah semua anak buahnya datang, Cu Liong memesan agar mereka
semua melaksanakan tugas seperti biasa dan jangan ada yang melanggar
peraturan. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar seruan seorang anak
buah yang bertugas jaga di gapura perkampungan, yang berseru sambil
berlari-lari datang ke ruangan depan gedung dimana para anak buah
berkumpul menghadap majikan Bukit Merak.
“Thai-ya (Tuan Besar)... Siocia (Nona) telah pulang”
Mendengar ini Cu Liong bangkit dari duduknya, wajahnya yang beberapa
hari lamanya ini muram dan kusut, tiba-tiba menjadi berseri dan pandang
matanya bersinar gembira. Tak lama kemudian dia melihat Cu Ai Yin berjalan
cepat memasuki pekarangan dan menuju ke ruangan depan gedung itu.
Begitu melihat ayahnya, Ai Yin yang juga rindu kepada ayahnya lari
menghampiri dan di lain saat ia telah berada dalam rangkulan ayahnya.
“Anak nakal” Cu Liong mengomel akan tetapi mulutnya tersenyum lega.
“Kemana saja engkau pergi? Hayo kita bicara di dalam”
Ayah dan anak itu bergandengan tangan memasuki ruangan dalam dan
empat orang selir itu lalu membubarkan para anak buah yang ikut merasa
lega bahwa nona majikan mereka sudah pulang dengan selamat. Empat
orang wanita selir yang usianya antara tigapuluh lima tahun itu tidak berani
mengganggu ayah dan anak yang bicara di ruangan dalam. Mereka tidak
berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.
Cu Liong tidak mau langsung memarahi puterinya. Dia khawatir kalaukalau
puterinya yang berhati keras itu marah dan pergi lagi. Setelah mereka
duduk, dia bertanya.
“Ai Yin, kemana saja engkau pergi selama ini?”
Sambil memandang kepada ayahnya dengan sikap manja, Ai Yin
menjawab.
“Ayah, telah lama sekali aku ingin melihat dunia ramai di luar wilayah
Bukit Merak. Aku pergi merantau.”
“Hemm, mengapa engkau pergi tanpa pamit?”
“Maafkan aku, Ayah...” Ai Yin merengek.
“Hemm, jawab dulu mengapa engkau pergi tanpa pamit kepada
Ayahmu?”
“Karena aku... ketika itu, aku marah dan jengkel, Ayah.”
“Eh? Marah dan jengkel? Kepadaku? Mengapa?”
“Karena Ayah hendak memaksa aku menikah dengan Suheng...”
“Hemm, siapa yang memaksa? Aku hanya ingin engkau menjadi isteri
bangsawan dan terhormat. Pula, apa salahnya menjadi isteri Kong Sek? Dia
seorang pemuda bangsawan yang baik, cukup tampan dan gagah. Pula, aku
melihat bahwa hubunganmu dengannya tampak akrab.”
“Aku memang suka kepada Suheng, Ayah, akan tetapi tidak mencintanya
dan tidak ingin menjadi isterinya. Ayah tidak akan memaksa aku melakukan
sesuatu yang tidak kusukai dan tidak ingin kulakukan, bukan?”
“Ya sudahlah, aku tidak akan memaksamu menikah dengan siapapun juga
apabila tidak engkau sukai. Akan tetapi ada sebuah hal yang membuat aku
menjadi penasaran. Mengapa engkau membela seorang asing seperti Pouw
Cun Giok itu, menentang keputusanku untuk membawa pembunuh dan
pemberontak itu ke kota raja untuk diadili, bahkan engkau tega melukai
lengan Suhengmu sendiri? Nah, jawab, apa alasanmu membela Pouw Cun
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Giok mati-matian?”
Cun Ai Yin tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Hemm, aku mengerti, Ayah. Sudah pasti Suheng Kong Sek itu mengadu
kepada Ayah, bukan? Hal ini saja membuktikan bahwa dia adalah seorang
yang curang dan pembohong besar”
“Eh? Apa maksudmu, Ai Yin? Engkau malah memaki dia curang dan
pembohong besar?”
“Ayah… Ayah tahu bahwa sejak kecil Ayah mendidikku untuk bersikap
adil dan hidup sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan sebagai
seorang gagah. Pouw Cun Giok berada di sini adalah aku yang menolongnya
ketika dia kudapatkan pingsan di tepi sungai, berarti dia adalah tanggung
jawabku. Kemudian Ayah dapat menerimanya sebagai tamu setelah kita
mengujinya dan ternyata dia adalah seorang pendekar yang tinggi ilmunya.
Kemudian muncul Suheng yang menyerang Cun Giok dan dalam perkelahian
mereka Suheng juga bukan tandingan Cun Giok. Akan tetapi Ayah
mencampuri urusan mereka dan membela Suheng.”
“Tentu saja” bantah Cu Liong.
“Pouw Cun Giok itu membunuh ayah Kong Sek, yaitu Panglima Besar
Kong Tek Kok yang menjadi sahabat baikku. Dan tentu saja aku membela
Kong Sek karena dia muridku. Apa salahnya dengan itu?”
“Ayah telah khilaf dan tidak adil, membela satu pihak saja tanpa
mempertimbangkan persoalannya. Ketahuilah, Cun Giok membunuh Kong Tek
Kok karena panglima itu telah membasmi seluruh keluarganya, yaitu keluarga
Pouw di So-couw. Kakek Buyutnya, Ayahnya, Ibunya, semua terbasmi oleh
Panglima Kong Tek Kok. Bukankah sudah sepantasnya kalau Cun Giok
membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk itu? Kemudian ketika diserang
Suheng, Cun Giok mengalah dan tidak melukainya, padahal kalau dia mau,
tentu dengan mudah dia dapat membunuh Suheng. Dia tidak mau mengaitkan
Suheng dengan dosa-dosa Ayahnya. Kemudian, Ayah mencampuri dan
hendak menangkap Cun Giok agar dibawa Suheng ke pengadilan di kota raja.
Lagi-lagi Cun Giok mengalah, tidak melawan dan menyerah karena dia
merasa telah ditolong Ayah, maka tidak mau membantah dan menentang
kehendak Ayah yang berat sebelah itu. Bukankah itu menunjukkan bahwa
Cun Giok memiliki watak jantan dan seorang pendekar sejati?”
Cu Liong mengangguk-angguk.
“Hemm, mungkin aku telah keliru, akan tetapi agaknya engkau membela
Cun Giok mati-matian, membebaskannya dengan kekerasan dan melukai
Kong Sek. Apakah tindakanmu itu bisa dianggap adil dapat dibenarkan?”
“Lebih dari adil dan seratus persen benar, Ayah. Ayah telah dikelabuhi
kebohongan Suheng Kong Sek. Sesungguhnya kejadiannya begini, Ayah.
Ketika aku melarikan diri dari sini, di tengah perjalanan tanpa kusengaja aku
melihat Kong Sek mengayun pedang hendak membunuh Cun Giok yang
menjadi tawanan tak berdaya itu. Tentu saja aku tidak bisa melihat perbuatan
licik dan curang lagi sewenang-wenang itu. Aku lalu menangkis dan
ketahuilah, Ayah, pada saat itu Cun Giok dengan mudah mampu mematahkan
belenggu dan membebaskan diri sendiri. Jelas dia di sini mengalah dan mau
ditawan karena melihat muka Ayah. Suheng Kong Sek tidak mau mengerti,
mengerahkan pasukan untuk menyerang aku dan Cun Giok. Tentu saja kami
berdua melakukan perlawanan dan aku melukai lengan Suheng. Kalau aku
tidak ingat dia itu Suhengku, tentu pedangku bukan menggores lengan,
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
melainkan memenggal lehernya Akhirnya dia melarikan diri bersama
pasukannya. Nah, harap Ayah pertimbangkan. Kalau Ayah masih tetap
menganggap aku yang bersalah, silakan Ayah menghukumku, biar dihukum
mati sekalipun aku tidak akan membantah, Ayah.”
Setelah berkata demikian, Ai Yin yang merasa penasaran dan terharu, tak
dapat menahan diri dan menangis terisak-isak. Melihat puterinya menangis,
Bu-tek Sin-liong merangkulnya.
“Sudahlah, kalau begitu halnya, ternyata aku telah salah pilih ketika
menerimanya sebagai murid. Sudah, jangan menangis. Aku tidak
menyalahkanmu dan kalau Kong Sek datang ke sini, aku akan memaki dan
memarahinya”
“Apakah sekarang setelah melihat kelakuannya, Ayah masih ingin
mengambil dia sebagai mantu?” tanya Ai Yin sambil menahan isaknya.
“Hemm, untuk itu... ah, kalau engkau tidak mau, aku pun tidak akan
memaksamu.”
“Ah, terima kasih, Ayah. Hatiku menjadi lega sekarang. Ternyata Cun
Giok memang benar sekali”
“Eh? Cun Giok benar sekali? Apa maksudmu?”
“Ayah, dalam perjalananku ketika aku melewati sebuah dusun, ada tiga
orang perajurit Mongol bersikap kurang ajar terhadapku. Aku menghajar
mereka dan membunuh dua orang di antara mereka, akan tetapi yang seorang
dapat lolos. Agaknya yang lolos itu lalu memberi tahu kawan-kawannya dan
aku dikejar-kejar. Ketika aku menyeberangi sungai dengan sebuah perahu,
tiba-tiba muncul dua perahu besar yang penuh dengan perajurit Mongol. Aku
melawan dan mengamuk, berhasil membunuh banyak perajurit yang
mengeroyokku, akan tetapi ketika aku dihujani anak panah, sebatang anak
panah mengenai punggungku sehingga aku terjatuh ke dalam air sungai.”
“Ah... keparat pasukan itu. Lalu bagaimana, Ai Yin?”
“Dalam keadaan pingsan aku hanyut, akan tetapi ada yang menolongku
dan membawaku berenang ke darat. Orang itu menyelamatkan aku dari maut
dan mengobati luka di punggungku.”
“Bagus, siapa orang itu?”
“Dia adalah Pouw Cun Giok, Ayah.”
“Ahh… dia? Hemm, dia telah membayar hutang kepadamu karena engkau
juga menyelamatkan nyawanya.”
“Setelah menolongku dia lalu bercerita tentang urusannya dengan
Panglima Besar Kong Tek Kok. Setelah itu, mendengar ceritaku bahwa aku
minggat dari Bukit Merak karena hendak dipaksa menikah dengan Kong Sek,
Cun Giok menasihati aku agar aku segera pulang dan minta maaf padamu,
Ayah. Dia meyakinkan aku bahwa Ayah yang menyayangku pasti tidak akan
memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku suka.”
Bu-tek Sin-liong mengelus jenggotnya dan tersenyum.
“Hemm, Ai Yin, agaknya engkau akrab dengan Pouw Cun Giok dan dia
amat baik kepadamu. Katakan, apakah pemuda itu mencintaimu?”
Wajah gadis itu menjadi kemerahan.
“Aku... aku mana tahu, Ayah? Dia memang baik sekali padaku, akan tetapi
tentang hal itu, aku... ah, bagaimana aku dapat mengetahui isi hatinya?”
“Hemm, apakah engkau mencintanya?”
Wajah Ai Yin menjadi semakin merah dan beberapa kali ia mengerutkan
alis, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya sebelum
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
menjawab.
“Ini... aku pun tidak tahu, Ayah. Dia memang baik sekali dan aku kagum
padanya, akan tetapi cinta? Ah, aku tidak tahu cinta itu bagaimana.”
“Ha-ha, kalau engkau cinta padanya, dia harus mau menjadi suamimu.
Akan kuceritakan hal ini dengan dia kalau aku bertemu dengan Cun Giok.”
“Ih, Ayah. Malu dong kalau kita yang mulai membicarakan soal itu.
Sudahlah, Ayah, jangan kita bicarakan soal itu sekarang. Ada berita yang
lebih penting lagi dan Ayah pasti tertarik mendengarnya.”
“Berita tentang apa, Ai Yin?”
“Tentang Harta Karun Kerajaan Sung”
“Harta karun Kerajaan Sung? Apa itu dan bagaimana ceritanya?” Bu-tek
Sin-long tertarik sekali.
Ai Yin sudah mendengar tentang harta karun itu dari Cun Giok maka ia
menceritakan dengan singkat bahwa harta karun itu milik Kerajaan Sung yang
disembunyikan, akan tetapi ketika tempat persembunyian itu ditemukan,
harta karun telah lenyap. Peti harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya
terdapat tulisan huruf ‘THAI-SAN’.
“Sekarang, berita itu telah tersebar luas, Ayah. Semua orang di Bu-lim
(Rimba Persilatan, kaum pendekar) dan Kang-ouw (Sungai Telaga, kaum
persilatan) hendak mencari dan memperebutkan harta itu. Mereka semua
mencari ke Thai-san. Cun Giok juga hendak pergi ke sana untuk mencari
pencuri harta dan merebutnya.”
“Hemm, untuk apa mereka semua memperebutkan harta itu?”
“Ayah, menurut cerita Cun Giok, harta itu adalah hasil korupsi seorang
pembesar korup dari Kerajaan Sung yang bernama Thaikam Bong. Dia
mencuri harta karun itu dan menyembunyikannya, lalu membuat peta. Peta
itu tadinya terjatuh ke tangan Cun Giok dan kawan-kawannya, akan tetapi
mereka tertawan oleh Panglima Kim Bayan, bahkan Suheng Kong Sek juga
berada dalam rombongan Panglima Kim Bayan. Cun Giok dan kawankawannya
dipaksa membantu Panglima Kim Bayan mencari harta karun
menurut petunjuk peta. Akan tetapi, ketika ditemukan tempat itu hartanya
telah lenyap, tinggal peti kosong dimana terdapat tulisan THAI-SAN.”
”Hemm, biarkan mereka berebut. Aku tidak butuh harta karun. Hartaku
sudah cukup.”
“Akan tetapi, Ayah. Harta karun itu banyak sekali dan pula, perebutan itu
juga berarti persaingan nama, siapa yang berhasil mendapatkan harta karun,
berarti dialah yang paling kuat”
Kelemahan Bu-tek Sin-liong adalah soal nama besar. Dia menggunakan
julukan Bu-tek (Tidak Terlawan) sudah menunjukkan betapa dia amat
mementingkan nama besar. Maka begitu Ai Yin yang cerdik menyebut
tentang persaingan nama besar, hatinya segera tertarik.
“Siapa saja yang memperebutkan harta karun itu?”
“Aku tidak tahu, Ayah. Akan tetapi yang jelas ada tiga golongan. Pertama
adalah orang-orang Kerajaan Mongol seperti Panglima Besar Kim Bayan dan
mungkin juga Suheng Kong Sek, dan mereka ini berusaha mendapatkan harta
karun mungkin untuk diserahkan kepada pemerintah Kerajaan Mongol atau
mungkin juga untuk diri mereka sendiri. Golongan kedua adalah para tokoh
sesat, para petualang yang ingin memiliki harta besar itu, atau para datuk
dan tokoh besar yang ingin membuat nama besar. Adapun golongan ketiga
adalah para pendekar yang menentang Kerajaan Mongol dan seperti yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
diceritakan Cun Giok, mereka ini berusaha mendapatkan harta karun untuk
diserahkan kepada para pejuang yang menentang dan ingin menumbangkan
kekuasaan penjajah Mongol.”
Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk. Hatinya semakin tertarik.
“Dan bagaimana dengan engkau, Ai Yin? Apakah engkau juga ingin
mencari harta itu?”
“Aku ingin sekali, Ayah, bukan karena ingin memiliki harta itu, melainkan
ingin mencari pengalaman. Perebutan harta karun itu tentu ramai sekali,
Ayah. Banyak orang-orang sakti akan datang ke tempat itu. Kalau aku datang
ke sana, tentu aku akan mendapatkan banyak pengalaman. Akan tetapi, terus
terang saja, aku agak takut, Ayah. Dengan kepandaian yang kumiliki,
bagaimana mungkin aku dapat menghadapi orang-orang sakti itu dengan
aman?”
“Apakah engkau tidak ingin ke sana agar dapat bertemu dengan Cun
Giok?” tanya Sang Ayah.
“Aih, Ayah. Tentu saja kalau bertemu dia, kami dapat bekerja sama. Aku
akan membantunya memperebutkan harta itu.”
“Dan dia akan menyerahkan kepada para pejuang? Bukankah kita ini
orang-orang yang tidak ingin memihak, baik memihak Kerajaan Mongol
maupun memihak para pejuang yang memusuhinya?”
“Tentu saja, Ayah. Akan tetapi aku hanya membantu, karena Cun Giok
adalah sahabat baikku. Akan tetapi kalau Ayah pergi juga, tentu saja aku
akan membantu Ayah.”
“Baik, kita pergi ke Thai-san.”
Akhirnya Bu-tek Sin-liong tertarik juga karena kalau dia dapat merampas
harta karun itu, seluruh tokoh di dunia persilatan akan mengakuinya sebagai
pendekar yang benar-benar Bu-tek (Tanpa Tanding). Ai Yin gembira sekali
mendengar ini dan ia merangkul ayahnya dengan gembira dan manja.
--------
Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang amat luas. Thaisan
memiliki banyak puncak yang tinggi menjulang ke langit dan menembus
awan. Ratusan bukit-bukit terdapat di pegunungan itu. Biasanya,
pegunungan ini sepi karena biarpun tanah pegunungan itu cukup subur,
namun banyak bagian daerah itu merupakan daerah rawan yang ditakuti
penduduk. Hanya di bagian timur, yang menjadi pusat Partai Persilatan Thaisan-
pai saja yang tidak ditakuti rakyat sehingga di daerah itu terdapat
beberapa buah desa yang dihuni para petani. Akan tetapi di daerah barat,
utara, dan selatan merupakan daerah rawan yang amat berbahaya dan
dikabarkan sebagai daerah maut oleh penduduk di sekitar Thai-san.
Di daerah Barat dikuasai oleh seorang yang oleh penduduk dianggap
sebagai seorang manusia iblis. Tidak ada yang mengetahui nama tokoh ini,
karena hanya julukannya saja dikenal orang. Julukannya adalah Huo Lo-sian
(Dewa Api) dan siapa saja yang kebetulan melihat dia, dari jauh saja orang itu
akan melarikan diri ketakutan. Tokoh ini berusia sekitar limapuluh tahun,
tubuhnya tinggi besar, mukanya mirip muka singa penuh berewok. Hebatnya,
baik rambutnya yang panjang riap-riapan maupun berewoknya yang
menutupi muka itu berwarna kemerahan seperti api
Huo Lo-sian yang menguasai pegunungan bagian barat ini mempunyai
anak buah sebanyak kurang lebih limapuluh orang. Mereka tinggal di sebuah
perkampungan bersama keluarga para anak buahnya, dan Huo Lo-sian sendiri
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tinggal di sebuah rumah gedung di tengah perkampungan, sedangkan anak
buahnya tinggal di pondok-pondok di sekeliling rumah gedung itu bersama
keluarga mereka. Huo Lo-sian tidak mempunyai keluarga. Sejak dulu datuk ini
tidak pernah berkeluarga, hanya hidup seorang diri saja. Wataknya amat aneh
dan ganas maka andaikata dia berkeluarga, tentu keluarganya tidak akan
dapat tinggal bersama seorang seperti dia.
Tentu saja wataknya yang ganas liar dan kasar itu dicontoh anak
buahnya. Anak buahnya dapat dikenal dengan pakaian mereka yang serba
hijau. Mereka memang segolongan perampok, akan tetapi kalau saja ada yang
berani melanggar wilayah kekuasaan mereka, jangan harap orang itu dapat
keluar dari situ dengan selamat.
Adapun tokoh yang menguasai bagian utara pegunungan itu adalah
sepasang orang kembar yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Hek Pek Moko
(Iblis Hitam Putih). Yang pertama atau yang lebih tua berjuluk Hek Mo-ko
(Iblis Hitam), disebut demikian karena memang mukanya hitam seperti arang,
juga kedua telapak tangannya hitam. Adapun orang kedua atau yang lebih
muda dijuluki Pek Mo-ko, yang artinya Iblis Putih. Muka Pek Mo-ko juga aneh,
putih seperti kapur sehingga lebih mengerikan lagi dibandingkan kakaknya.
Juga telapak tangan Pek Mo-ko berwarna putih seperti kapur.
Kalau bagian barat yang menjadi tempat tinggal Huo Lo-sian disebut
Bukit Merah, maka bagian utara tempat tinggal Hek Pek Mo-ko ini dikenal
dengan sebutan Bukit Batu. Hek Pek Mo-ko juga mempunyai anak buah
sebanyak kurang lebih limapuluh orang.
Di bagian selatan pegunungan itu, disebut Bukit Cemara, menjadi markas
perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah).
Ang-tung Kai-pang sebetulnya memiliki cabang hampir di semua kota besar,
bahkan di kota raja juga ada. Akan tetapi pusatnya, atau tempat tinggal tokoh
utama berada di Bukit Cemara di bagian Selatan Pegunungan Thai-san.
Ketuanya adalah seorang pengemis tua berusia sekitar limapuluh lima tahun
yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan). Di situ tinggal
kurang lebih seratus orang murid atau anggautanya.
Perkumpulan pengemis ini dahulunya juga merupakan perkumpulan
orang-orang yang anti penjajah. Akan tetapi setelah penjajah Mongol
berkuasa, mereka menjadi diam dan tidak acuh. Hal ini adalah karena mereka
takut kalau-kalau pemerintah baru akan membasmi mereka. Karena mereka
merupakan perkumpulan pengemis, maka tentu akan mudah diketahui
pemerintah dan tidak sulit membasmi para pengemis ini. Demikianlah, Kuitung
Sin-kai memberi peringatan keras kepada para anggautanya di seluruh
kota-kota besar agar tidak mengambil sikap memusuhi pemerintah.
Demikianlah, di empat penjuru Pegunungan Thai-san terdapat empat
golongan yang dipimpin orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja
besar kemungkinan masih ada tokoh-tokoh rahasia yang lain yang
menyendiri, pertapa-pertapa sakti yang mengasingkan diri dari dunia luar.
Akan tetapi, yang paling terpandang dan disegani di dunia persilatan
tentu saja adalah Thai-san-pai, sebuah perguruan silat yang terkenal memiliki
murid-murid yang menjadi pendekar gagah perkasa. Thai-san-pai, seperti
aliran persilatan lain kecuali Siauw-lim-pai yang dipimpin para hwesio
(Pendeta Buddha) yang menyebarkan Agama Buddha, Thai-san-pai dipimpin
oleh para tosu (Pendeta Agama To).
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Thai-san-pai adalah Thai-san Sianjin
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Thio Kong, seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun. Wajahnya
bersih tanpa kumis, hanya terhias jenggot pendek yang dipotong rapi
sehingga tampak tampan. Namun tarikan mulut dan pandang matanya
menimbulkan kesan angkuh, seperti sikap kebanyakan pemimpin
perkumpulan yang besar dan kuat. Selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat
tenaga saktinya, Thai-san Sianjin ini amat terkenal kelihaian siang-kiamnya
(sepasang pedangnya).
Murid Thai-san-pai terdiri dari sekitar seratus orang dan ketuanya diwakili
lima orang sutenya (adik seperguruannya). Mereka berlima itu dikenal dengan
sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti Thai-san). Sebagai adikadik
seperguruan Ketua Thai-san-pai, tentu saja ilmu silat mereka juga tinggi.
Bahkan kalau mereka berlima maju bersama, tingkat kepandaian mereka
hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat suheng (kakak seperguruan)
mereka.
Pada masa itu, biarpun terdapat banyak agama dan aliran kebatinan,
namun yang terbesar dan dianut sebagian besar rakyat adalah tiga agama,
yaitu Agama Buddha, Agama To, dan Agama Khong-hu-cu. Sungguhpun
semua agama di dunia ini berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa,
yang diturunkan kepada manusia untuk memberi tuntunan agar manusia
hidup di dunia ini dapat menjadi penyalur berkat dari Tuhan, saling
mengasihi, saling tolong, dan bersama-sama mengatur agar kehidupan
manusia di dunia ini tenteram, damai, aman dan sejahtera, namun
kenyataannya oleh manusia bahkan dipertentangkan.
Banyak yang tidak dapat melihat kenyataan bahwa semua agama itu
menuntun manusia agar mendekati dan kembali kepada Sang Sumber, yaitu
Tuhan Yang Maha Tunggal. Memang cara yang ditempuh saling berbeda
karena wahyu-wahyu itu diturunkan dalam waktu yang berbeda, kepada
bangsa yang latar beIakang kebudayaannya berbeda. Namun, biarpun cara
atau jalan itu berlainan dan berbeda, itu hanya merupakan upacaranya
belaka. Intinya adalah membimbing manusia agar berusaha mendekati Tuhan
dengan hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Bukti bahwa
semua agama itu merupakan wahyu dari Tuhan adalah bahwa semua agama,
biarpun dengan cara yang berbeda, pada intinya adalah hidup melalui jalan
kebenaran dan kebajikan, dan menjauhi dosa dan kejahatan.
Namun sungguh menyedihkan melihat betapa manusia dikuasai oleh
nafsu-nafsunya sendiri sehingga memiliki ke-akuan yang amat kuat, lebih
kuat daripada pelajaran agama masing-masing. Karena ke-akuan inilah yang
masing-masing menganggap agama sendiri yang benar, jalannya sendiri yang
tepat menuju kepada Tuhan, sedangkan agama lain itu salah dan nyeleweng,
bahkan ada yang lebih bengis lagi menganggap bahwa Tuhan yang disembah
agama lain itu bukan Tuhan mereka, bukan Tuhan yang aseli. Masing-masing
memperebutkan ‘Kebenaran’, lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu
sudah tidak benar lagi.
Ada pula golongan yang dapat menerima tiga agama terbesar saat itu.
Mereka mempelajari ketiganya dan melihat perpecahan bahkan permusuhan
di antara agama-agama itu, mereka lebih suka mengasingkan diri, bertapa di
tempat-tempat sunyi, tidak mencampuri urusan manusia ramai yang hanya
mendatangkan pertentangan dan permusuhan.
Thai-san-pai termasuk umat beragama To yang bersikap keras, yang
menolak pelajaran agama lain, menganggap golongan sendiri yang paling
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
benar, paling baik, dan karenanya paling dekat dengan Tuhan, seolah Tuhan
hanya milik pribadi golongan mereka sendiri. Sikap umat beragama seperti
inilah yang menimbulkan persaingan dan pertentangan sehingga seringkali
terjadi perang di antara mereka. Biarpun Thai-san-pai menganut aliran agama
yang teguh dan fanatik, namun mereka tidak pernah memusuhi golongan atau
agama lain secara terbuka. Mereka bukanlah golongan sesat yang memiliki
watak jahat.
Karena berita tentang harta karun yang dicuri orang yang mengaku
berasal dari Thai-san itu tersebar luas, maka Thai-san-pai juga sudah
mendengar berita itu. Thai-san Sianjin memanggil kelima orang sutenya dan
mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa akibat pengakuan pencuri
harta karun itu, pasti Thai-san-pai merupakan satu di antara golongan yang
dicurigai mencuri harta karun. Juga diam-diam mereka ingin ikut menemukan
harta karun itu, karena di lubuk hati para pimpinan Thai-san-pai itu, mereka
juga membenci pemerintahan penjajah Mongol dan mereka akan merasa lebih
suka kalau harta karun terjatuh ke tangan para pejuang. Mulai hari itu, para
murid diperintahkan untuk melakukan penjagaan ketat di sekeliling
perkampungan Thai-san-pai. Bahkan Thai-san Ngo-sin-kiam sendiri sering
mengadakan perondaan, menjaga segala kemungkinan.
Pada suatu pagi, ketika matahari telah naik agak tinggi sehingga sinarnya
mulai mengusir hawa dingin di puncak bukit yang menjadi markas Thai-sanpai,
tampak Pouw Cun Giok berjalan santai di samping sepasang gadis
kembar, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin. Seperti kita ketahui, Cun Giok
bersahabat dengan sepasang gadis kembar puteri The Toanio majikan
Lembah Seribu Bunga dan ketika dia bercerita tentang harta karun Kerajaan
Sung yang dicuri orang, Kui Lan dan Kui Lin merengek kepada ibu mereka,
minta agar diperkenankan ikut dan membantu Cun Giok mencari harta karun
itu ke Thai-san.
Ketika mereka bertiga tiba di kaki Pegunungan Thai-san yang amat luas,
Kui Lin berkata dengan alis berkerut.
“Wah, Thai-san merupakan pegunungan yang demikian panjang dan
luasnya. Bagaimana mungkin mencari pencuri itu? Untuk menjelajahi
pegunungan ini, kukira biar sampai bertahun-tahun sekalipun pasti tidak akan
dapat selesai”
”Kukira tidak perlu menjelajahi seluruh pegunungan ini, Lin-moi,” kata
Cun Giok.
“Aku mendengar bahwa perkumpulan terbesar di daerah ini adalah Thaisan-
pai, aliran persilatan yang cukup terkenal walaupun tidak sebesar Siauwlim-
pai atau Bu-tong-pai. Aku memang tidak percaya kalau Thai-san-pai yang
terdiri dari para pendekar itu melakukan pencurian harta karun dan dengan
sombongnya menantang para ahli silat dengan memberitahukan tempat
tinggalnya. Akan tetapi setidaknya kita akan bisa mendapatkan keterangan
dari mereka.”
“Kalau begitu sebaiknya kita mencari dan mengunjungi Thai-san-pai,
Giok-ko” kata Kui Lan.
Mereka lalu mencari keterangan kepada penduduk dusun di sekitar kaki
Pegunungan Thai-san. Dengan mudah mereka mendapatkan keterangan
karena semua orang di daerah itu tahu belaka dimana adanya markas Thaisan-
pai, yaitu di bagian Timur pegunungan itu.
Demikianlah, pagi hari itu, Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin mendaki bukit
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
yang menjadi asrama Thai-san-pai. Keindahan pemandangan alam di
sekeliling mereka ketika mereka mendaki bukit di pagi hari itu membuat
mereka berjalan dengan santai sambil menikmati keindahan panorama
sepuas hati. Kui Lin yang berwatak riang dan lincah itu berulang-ulang
mengeluarkan seruan kagum memuji keindahan itu.
Setelah tiba di lereng paling tinggi, mereka bertiga memandang takjub.
Bukan main luasnya pegunungan itu. Puncak-puncak bukit menjulang di
sekelilingnya dan mereka merasa betapa di setiap bukit itu mungkin saja
menjadi kediaman si pencuri harta karun. Akan tetapi yang mana? Benar Kui
Lin tadi, kalau harus dikunjungi satu demi satu, mereka membutuhkan waktu
bertahun-tahun
Akhirnya mereka itu tiba di depan perkampungan Thai-san-pai. Terdapat
sebuah gapura besar dan di atas gapura terdapat papan nama THAI-SAN-PAI
yang ditulis dengan huruf-huruf besar yang gagah dan indah. Tiba-tiba dari
dalam gapura itu berloncatan tujuh orang laki-laki yang memegang pedang
terhunus. Mereka adalah anak murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan.
Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan dua orang gadis
mendaki puncak, mereka bersembunyi di balik gapura dan mengintai gerakgerik
mereka. Melihat tiga orang pengunjung itu tampak santai dan tidak
menimbulkan kesan mencurigakan, setelah Cun Giok dan dua orang gadis
kembar tiba di depan gapura, mereka bertujuh berlompatan keluar dan
menghadang di depan tiga orang pengunjung itu.
“Berhenti!”
Seorang di antara mereka yang paling tua, berusia sekitar empatpuluh
tahun, menegur dengan suara lantang.
“Kalian bertiga melanggar wilayah Thai-san-pai. Siapakah kalian dan ada
keperluan apa datang berkunjung ke tempat kami?”
Sikap tujuh orang yang memandang penuh kecurigaan itu membuat Kui
Lin merasa jengkel.
“Uih, Giok-ko, apakah mereka ini murid-murid Thai-san-pai yang
kaubilang terdiri dari para pendekar? Sikapnya lebih mendekati penjahat
daripada pendekar”
Biasanya, kalau atasan bersikap keras kepada bawahannya, maka si
bawahan itupun bersikap keras kepada yang lebih rendah kedudukannya, dan
yang paling bawah tentu bersikap keras pula kepada orang lain. Tujuh orang
murid atau anak buah Thai-san-pai ini pun demikian. Karena sudah terbiasa
menghadapi sikap keras dari atasan mereka, kini mereka pun memuntahkan
sikap keras mereka terhadap orang lain.
“Kami adalah murid-murid Thai-san-pai yang gagah, dan kalian bertiga
tentulah orang-orang yang tidak mempunyai niat baik. Maka, menyerahlah
kalian untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami”
Hardik kepala regu penjaga itu. Dia memandang dengan mata melotot dan
tujuh orang murid itu melintangkan pedang di depan dada dan tangan kiri
mereka bertolak pinggang.
Kui Lin yang lincah dan galak itu bertolak pinggang dengan kedua
tangannya, melangkah maju dengan sikap menantang dan berkata sambil
tersenyum mengejek.
“Apa? Tikus-tikus macam kalian ini hendak menangkap kami? Tidak usah
menangkap kami bertiga, kalian coba tangkap aku saja, kalau kalian berhasil
baru kalian patut menjadi murid-murid Thai-san-pai”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Tantangan dengan sikap mengejek dan merendahkan ini tentu saja
membuat tujuh orang murid Thai-san-pai itu marah sekali.
“Tangkap gadis sombong ini”
Teriak kepala regu itu dan tujuh orang murid Thai-san-pai itu bergerak
maju setelah menyimpan pedang masing-masing. Tangan-tangan mereka
meluncur seolah berebutan untuk dapat menangkap gadis yang tertawa-tawa
mengejek itu.
“Lin-moi, jangan lukai orang.” seru Kui Lan yang khawatir kalau-kalau
adiknya melukai dan membunuh orang. Padahal mereka datang berkunjung
ke Thai-san-pai bukan dengan niat bermusuhan.
Biarpun wataknya keras, namun Kui Lin bukan seorang gadis kejam dan
dia selalu taat kepada kakak kembarnya. Maka, ketika tujuh orang itu
menyerbu, ia pun mengandalkan kelincahan gerakannya, mengerahkan ginkang
dan tubuhnya berkelebatan di antara para pengeroyoknya. Jari-jari
tangannya yang lembut dan kecil runcing itu pun menotok ke kanan kiri, dan
tubuh tujuh orang murid Thai-san-pai itu pun berpelantingan roboh dan tidak
dapat berkutik pula karena jalan darah mereka tertotok sehingga tubuh
mereka lemas tidak mampu menggerakkan tangan dan kaki lagi.
Kui Lin mengusap-usap dan mengebut-ngebutkan kedua telapak
tangannya seolah hendak membersihkan bekas sentuhan tangannya kepada
tubuh tujuh orang pengeroyok itu. Tiba-tiba terdengar seruan.
“Siancai...”.
Dan tampak bayangan lima orang berkelebat. Tahu-tahu di situ muncul
lima orang berpakaian tosu (Pendeta To) yang masing-masing mempunyai
pedang di punggung mereka. Seorang di antara mereka yang paling tua,
usianya sekitar limapuluh dua tahun, berjenggot panjang dan rambutnya
diikat ke atas dengan sehelai pita putih, memandang ke arah tiga orang muda
itu, lalu memandang kepada tujuh orang murid yang rebah tanpa luka namun
tidak mampu bergerak itu. Dia lalu menghampiri para murid dan jari
tangannya menotok mereka satu demi satu. Tujuh orang murid itu dapat
bangkit berdiri dan dengan suara ribut mereka berkata.
“Suhu, gadis liar ini...”
Tosu itu membentak dengan suara tegas.
“Kalian mundur! Bikin malu saja.”
Mendapatkan bentakan ini, tujuh orang murid itu pun mundur dengan
patuh setelah membungkuk dengan hormat. Kui Lin terkekeh senang.
“Nah, bagus. Murid-murid kurang ajar harus mendapatkan teguran keras”
Tosu itu adalah Song Bu Tosu, orang pertama dari Thai-san Ngo-sin-kiam
(Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Dia mengerutkan alisnya memandang
kepada Kui Lin yang masih tersenyum.
“Nona, engkaukah yang menghina murid-murid kami dan menotok
mereka?”
Sebelum Kui Lin menjawab, Cun Giok yang tidak ingin gadis lincah galak
itu memperburuk keadaan dengan sikapnya yang keras, cepat melangkah
maju dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat.
“To-tiang (Bapak Pendeta), harap maafkan kelancangan Adik kami. Kami
datang tidak dengan niat buruk, melainkan hendak menghadap Lo-cianpwe
Thai-san Sianjin. Akan tetapi tujuh orang murid tadi bersikeras hendak
menangkap kami sehingga timbul pertengkaran antara mereka dengan Adik
kami ini. Maafkan kami, To-tiang dan perkenankan kami menghadap Ketua
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Thai-san-pai.”
Song Bu Tosu yang tadinya marah kepada Kui Lin, menjadi agak reda
kemarahannya melihat sikap dan kata-kata Cun Giok yang lembut dan sopan.
“Orang muda, kalian bertiga ini siapakah dan apa keperluan kalian ingin
bicara dengan Ketua Thai-san-pai?”
“Perkenalkan, To-tiang, saya bernama Pouw Cun Giok...”
“Siapa gurumu?”
Song Bu Tosu memotong, seolah nama pemuda itu tidak ada artinya
baginya, maka dia menanyakan gurunya.
“Suhu adalah mendiang Suma Tiang Bun, kemudian Kakek Guru saya Pekkong
Lojin membimbing saya.”
Mendengar nama dua orang tokoh itu, lima orang tosu itu agak terkejut
juga.
“Hemm, siapa tidak mengenal nama besar Suma Tiang Bun, pendekar
pahlawan bangsa murid Siauw-lim-pai itu? Sayang sungguh sayang, sekarang
Siauw-lim-pai bukan lagi perkumpulan pahlawan bangsa, melainkan penjilat
bangsa Mongol. Siapa dua orang gadis kembar ini? Apakah juga murid-murid
Siauw-lim-pai?”
“Kami bukan murid Siauw-lim-pai” Kui Lin berseru.
“Kami adalah puteri Ibu kami yang menjadi majikan Lembah Seribu
Bunga”
Mendengar ini, lima orang tosu itu saling pandang dan mereka merasa
terkejut. Mereka sudah pernah mendengar tentang Lembah Seribu Bunga
yang kabarnya merupakan tempat yang amat gawat, tempat yang amat sukar
didatangi karena mengandung banyak alat rahasia dan jebakan berbahaya.
Juga mereka mendengar bahwa majikan Lembah Seribu Bunga yang disebut
The Toanio adalah seorang wanita aneh yang tidak pernah mencampuri
urusan dunia kang-ouw, akan tetapi yang memiliki kepandaian tinggi.
“To-tiang, sekali lagi kami bertiga mohon maaf atas kelancangan kami
berkunjung ke Thai-san-pai, dan mohon Totiang memberi kesempatan kepada
kami untuk bertemu dan menghadap Ketua Thai-san-pai,” kata Cun Giok.
“Siancai… Suheng kami Ketua Thai-san-pai tidak mempunyai banyak
waktu untuk bertemu dengan sembarang orang. Akan tetapi mendengar
bahwa kalian bertiga adalah murid-murid orang pandai, kami hendak menguji
kebenaran keterangan kalian.”
Tosu itu menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung dan
tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking
tajamnya.
“Kalau engkau sebagai wakil kalian bertiga mampu menandingi ilmu
pedang pinto (aku) selama lebih dari tigapuluh jurus, maka kalian cukup
berharga untuk menghadap Ketua Thai-san-pai.”
“Giok-ko, biarkan aku yang maju menandinginya” kata Kui Lin.
“Lin-moi, biar aku yang mewakili kalian,” kata Cun Giok.
“Giok-ko, aku tidak takut padanya” kata Kui Lin.
“Lin-moi, jangan mencampuri. Biarkan Giok-ko yang mengambil
keputusan” kata Kui Lan menegur adiknya dan Kui Lin tidak membantah lagi,
hanya memandang kepada lima tosu itu dengan mulut diruncingkan,
cemberut.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru