Kamis, 31 Mei 2018

Cerita Silat Pedang Cheng Hoa Kiam 1

=====
baca juga
Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Semenjak bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Raja Besar Jengis Khan menyerbu dari Mongolia ke selatan, menghancurkan Suku Bangsa Hsi-hsia kemudian membasmi pula bala tentara Kerajaan Cin. Rakyat Tiongkok tidak mengenal pula artinya hidup aman dan tenteram. Apa lagi setelah bala tentara Mongol itu menyerbu untuk kedua kalinya sekembali mereka dari penyerbuan ke barat, rakyat amat menderita. Jengis Khan membunuh banyak rakyat dengan dalih bahwa rakyat di selatan tidak mau membantu penyerbuannya ke barat dengan sungguh-sungguh, yakni bantuan berupa ransum dan perlengkapan.
Memang demikianlah, setelah menyerbu di selatan dan berhasil menduduki kota raja Kerajaan Cin kemudian tentara Mongol ditarik kembali untuk dikerahkan ke barat, rakyat diperintah untuk membantu pasukan pasukan. Mongol itu dengan persediaan ransum, perlengkapan, juga hiburan dan orang-orang perempuan. Sambutan terhadap perintah ini memang amat dingin, pertama tama oleh karena rakyat sendiri sedang menghadapi kekurangan makan akibat perang, kedua kalinya karena di dalam hati rakyat sudah timbul keberatan yang mendalam terhadap si penjajah dan penindas.
Pembatasan yang dilakukan oleh Jengis Khan benar-benar mengerikan sekali. Boleh dikata seluruh penduduk kota suku Bangsa Hsi hsia dibunuh oleh tentara Mongol laki-laki dan wanita, kakek-kakek dan bayi tak terkecuali! Memang Jengis Khan terkenal sebagai seorang kaisar besar yang gagah perkasa berwatak keras seperti baja tak kenal mundur dahsyat dan kejam sekali, kalau perlu membunuh laksaan manusia untuk mencapai kemenangan cita-cita. Seorang tokoh besar seperti Jengis Khan yang sudah berhasil menyatukan seluruh rakyat Mongolia yang sudah berhasil memimpin bala tentaranya menggilas dan menaklukkan negara-negara jauh seperti Tiongkok bagian utara Sin kiang, Iran, Afganistan bahkan menghancurkan bala tentara Rusia di Rusia selatan, tentu mempunyai sifat yang gagah perkasa dan adil. Dia takkan berhasil mendapat dukungan penuh kesetiaan dari rakyatnya yang gagah berani itu apa bila dia sendiri tidak gagah perkasa dan adil dalam pimpinannya.
Akan tetapi sudah terlalu sering terbukti bahwa sang pemimpin sama sekali tidak sama dengan anak-anak buahnya. Watak baik seorang pemimpin sama sekali tidak mencerminkan watak dari pada anak buahnya, sungguhpun keadaan baik para petugas tentu tergantung dan pada kebijaksanaan sang pemimpin. Dengan lain penjelasan, biarpun seorang pemimpin amat bijaksana dan berbudi mulia, adil dan mencinta rakyat, namun belum tentu kalau anak buahnya, yakni para petugas pemerintahannya, juga adil dan mencinta rakyat! Sebaliknya kalau para petugas itu melakukan tugas dengan hati bersih dari pada korupsi dan penindasan kepada rakyat sudah boleh dipastikan bahwa sang pemimpin tentu seorang berjiwa besar!
Seorang ahli bangunan takkan mungkin mendirikan sebuah bangunan yang Indah dan kuat sebagaimana ia rencanakan semula kalau tukang-tukang dan para pekerjanya tidak melakukan pekerjaan dan tugas masing masing sebagaimana mestinya. Sebaliknya kalau para petugas itu bekerja baik sehingga terbangun sebuah bangunan yang hebat, sudah dapat ditentukan bahwa pekerjaan itu dipimpin oleh seorang ahli bangunan yang pandai. Pendek kata, kemajuan dan sukses bukan tergantung kepada pemimpin semata melainkan sebagian besar tergantung kepada para pelaksana atau petugas.
2
Demikianpun dengan Kerajaan Mongol yang mulai berkembang itu. Bangsa ini adalah bangsa yang gagah berani dan mempunyai disiplin yang amat baik. Oleh karena inilah maka bala tentara Mongol berhasil baik sekali dalam setiap serbuannya. Sayang sekali bahwa kebaikan ini hanya terletak dalam disiplin ketentaraan, yakni hanya dalam soal perang saja. Sebaliknya dalam bidang pemerintahan dan mengatur rakyat, keadaan buruk bukan main. Rakyat tertekan dan tercekik. Tentara Boan (Mongol) yang menduduki kota dan dusun. bertindak sewenang-wenang. Di mana mana keadaan kacau balau, kelaparan merajalela karena selain timbul okpa okpa (hartawan jahat) yang mengandalkan uang untuk menyogok pembesar setempat dan mereka bersama merampas tanah petani miskin juga para petani hanya bekerja setengah hati. Mereka ini ragu-ragu dan takut meninggalkan pintu rumahnya karena selain takut mendapat perlakuan sewenang wenang dari tentara penjajah di sawah ladang, juga khawatir kalau kalau anak isteri di rumah akan diganggu apabila ditinggalkan.
Pembunuhan tanpa diperiksa lagi, perampasan anak gadis dan orang-orang yang dijadikan budak paksa dan tindakan tindakan lain yang mendekati perbuatan binatang buas sudah bukan hal aneh lagi di waktu itu. Tidak mengherankan apabila di mana-mana timbullah gerakan-gerakan pemberontak yang dipimpin oleh orang-orang gagah patriot-patriot perkasa yang tidak sudi melihat negara dan bangsanya ditindas dan diinjak-injak oleh kaum penjajah. Pertempuran berkobar di mana mana, pasukan-pasukan Boan yang menduduki kota dan dusun tak pernah diberi waktu istirahat oleh kaum pemberontak yang melakukan perang gerilya. Semua gangguan ini mengakibatkan kerugian yang tidak kecil bagi penjajah Boan.
Berbagai daya dan tipu muslihat licik dan rendah digunakan oleh pemerintah Boan untuk menindas pemberontakan-pemberontakan itu akan tetapi semangat para patriot bangsa tak kunjung padam. Sungguhpun kekuatan mereka ini amat kecil dibandingkan dengan kekuatan bala tentara Boan dan sungguhpun usaha mereka untuk menggulingkan kekuasaan Boan itu dapat diumpamakan seekor tikus hendak menggugurkan gunung, namun mereka tak pernah mau berhenti dalam usaha mulia itu dan mempertaruhkan nyawa dan raga dalam mengabdi nusa bangsa.
Karena bala tentara Boan dipusatkan di kota raja dan mereka ini sering kali berkeluyuran di daerah ini, maka banyak kota dan dusun di sekitar kota raja ditinggalkan penghuninya yang mengungsi jauh ke selatan. Demikian pula dusun Cian-bun-kwan yang letaknya hanya lima belas lie di sebelah selatan kota raja. Dusun itu yang dulunya amat ramai, sekarang nampak sepi dan hanya kaum pria dan orang orang tua saja yang tinggal di situ. Kaum wanitanya, terutama yang muda dan cantik, sudah siang-siang melarikan diri mengungsi atau lenyap dirampas serdadu Boan.
Di ujung jalan dusun sebelah barat terdapat sebuah kelenteng di mana dipuja patung Kwan In Tiang atau Kwan Kong seorang tokoh besar, seorang panglima perang yang gagah perkasa di jaman Sam Kok. Oleh karena itu kelenteng ini disebut Kwan te bio (Kelenteng Kwan Kong) Melihat sifat tokoh yang dipuja mudah saja menilai watak si pemuja. Sebagian besar pemuja Kwan Kong tentulah orang yang mengutamakan dan menjunjung tinggi kegagahan lahir batin yang dimiliki oleh tokoh besar itu.
Akan tegapi kelenteng itu nampak sunyi saja seakan akan tidak ada penghuninya. Di atas meja sembahyang tidak kelihatan alat sembahyang, tidak ada lilin menyala. Akan tetapi sebetulnya, kelenteng itu tidak kosong karena kalau orang berdiri di depan kelenteng dan memasang telinga penuh perhatian, orang itu akan mendengar suara orang berkata-kata seorang diri.
3
"Manusia memang berakal budi bersemangat berusaha mati matian, namun apa artinya semua itu kalau Thian menghendaki lain? Kaisar kaisar seperti Bun Ong dan Bu Ong boleh mati-matian mendirikan dan memperkuat Kerajaan Cou namun setelah tiba masanya sesuai dengan kehendak Thian. Kerajaan Cou musnah! Kerajaan jatuh bangun, manusia mati dan lahir semua tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri semua harus tunduk dan mandah menjadi permainan hidup. Kemudian terdengar suara orang menghela napas panjang seperti orang kecewa dan murung.
Siapakah orang yang berkata-kata seorang diri di dalam Kelenteng Kwan-te bio itu? Dia seorang laki-laki tinggi besar dan tegap kokoh sekali bentuk tubuhnya, kepalanya gundul licin, pakaiannya berwarna kuning, potongannva sederhana seperti kurungan atau seperti kain panjang biasa dibalutkan tubuhnya. Melihat bentuk pakaian dan kepalanya, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang hwesio (pendeta pemeluk Agama Buddha).
Dahulu di waktu mudanya, ia bernama Gan Tui. Kemudian.setelah menjadi hwesio ia lebih terkenal dengan sebutan Beng Kun Cinjin sehingga akhirnya nama Gan Tui dilupakan orang. Di dunia kang-ouw nama Beng Kun Cinjin sudah amat terkenal. Dia sebuah di antara bintang bintang besar di angkasa kang-ouw (dunia persilatan). Siapakah yang tidak mengenal Beng Kun Cinjin, yang pernah seorang diri menyerbu sarang Lima Siluman Huang-ho dan membinasakan lima orang bajak sungai yang jahat ini serta membubarkan anak buah bajak yang puluhan orang banyaknya? Siapa pula belum mendengar betapa Beng Kun Cinjin ini pernah menjajal kepandaian beberapa orang ciangbujin (ketua partai persilatan besar) yang kemudian ia kalahkan?
Selain terkenal sebagal seorang tokoh besar di dunia persilatan, juga Beng Kun, Cinjin terkenal sekali ketika ia membantu pasukan pemerintah Cin melawan bala tentara Boan. Pasukan-pasukan Boan banyak sekali menderita kerugian apa bila bertemu dengan pasukan yang dibantu deh hwesio ini. Akan tetapi, fihak Boan lebih kuat. Selain banyak sekali panglima-panglimanya yarig gagah perkasa, juga jumlah mereka jauh lebih besar sehingga akhirnya Kerajaan Cin dimusnahkan.
Beng Kun Cinjin yang sudah berusia limapuluh tahun akan tetapi tubuhnya masih kekar dan mukanya masih sehat kemerahan seperti orang muda itu, menjadi patah hati dan ia menyembunyikan diri dari kelenteng ini ke kelenteng lain untuk bersamadhi dan menyesali nasib negaranya, la menghibur hati sendiri dengan kepercayaan bahwa kesemuanya itu, segala kegagalan hidup, baik manusia maupun negara, adalah kehendak Thian!
Pada pagi hari itu dia bersamadhi di dalam Kelenteng Kwan-te-bio di dusun Cian-bun kwan. Teringat akan nasib negaranya, ia mengeluarkah kata-kata tadi tidak tahu bahwa di luar kelenteng ada orang yang mendengarkan. Orang itu memakai sepatu dari kain tebal dan lunak sehingga suara jejak kakinya tidak terdengar dari dalam kelenteng. Sebetulnya kalau Beng Kun Cinjin tidak sedang tenggelam datam lamunan dan kesedihan, tentu ia akan mendengar karena hwesio ini memiliki pendengaran yang, amat tajam berkat lweekangnya yang sudah tinggi sekali. Orang itu cepat meninggalkan halaman kelenteng dan di lain saat ia telah meninggalkan kampung Cian-bun-kwan sambil membalapkan kudanya, menuju ke kota raja. Orang ini sebetulnya adalah seorang mata-mata atau kaki tangan dari pasukan Boan yang berada di kota raja. Pada masa itu, banyak sekali terdapat tikus-tikus semacam ini. yakni orang-orang yang tidak segan-segan untuk menjual bangsa dan tanah air sendiri demi untuk mendapatkan emas dan kedudukan!
4
Tak lama kemudian, menjelang tengah hari, dari jurusan kota raja datang serombongan pasukan berkuda menuju ke dusun Cian-bun-kwan. Debu mengepul, tinggi dan menempel pada daun-daun pohon di pinggir jalan ketika pasukan berkuda ini lewat dengan cepatnya. Pasukan itu cukup panjang, ada limapuluh orang, dikepalai oleh tiga orang perwira yang gagah perkasa sikap dan pakaiannya. Para petani yang sedang bekerja di sawah, hanya beberapa belas orang saja, cepat bertiarap dan sedapat mungkin menyembunyikan diri di antara galengan sawah agar jangan terlihat oleh pasukan itu, yang mereka anggap sebagai serombongan iblis yang haus nyawa.
Belum juga pasukan itu memasuki dusun Cian-bun-kwan, penduduk yang tinggal sedikit itu siang-siang sudah lari cerai-berai ke selatan dusun karena sudah terlalu sering terjadi kalau serombongan pasukan Boan memasuki dusun, mereka akan meninggalkan dusun itu dalam keadaan hancur dan kosong. Rampok bakar, bunuh, culik tentu menjadi akibat penyerbuan itu.
Akan tetapi kali ini tidak demikian halnya. Pasukan itu seakan-akan tidak memperdulikan penduduk dan langsung menuju ke Kelenteng Kwan-te-bio yang segera mereka kurung. Kuda mereka dikumpulkan di sebelah kiri kelenteng di mana terdapat sekelompok pohon yang liu (cemara).
Seorang di antara tiga orang perwira yang memimpin pasukan itu menghampiri pintu kelenteng, akan tetapi ia ragu-ragu dan tidak berani masuk! Kemudian ia berseru keras ke arah pintu kelenteng yang terbuka itu.
"Beng Kun Cinjin kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam kelenteng ini!" Suara ini bergema lenyap kemudian keadaan sunyi sekali. Biarpun di situ ada limapuluh orang tentara Boan, namun tak seorangpun di antara mereka yang mengeluarkan suara. Semua menahan napas memasang telinga tanpa bergerak. Hanya ringkik kuda terdengar di sebelah kiri. Kemudian terdengarlah suara jawaban dari dalam kelenteng, suara yang tenang dan halus, akan tetapi nyaring menusuk telinga, "Memang pinceng berada di sini. Kalau kalian sudah tahu, mau apakah?"
"Beng Kun Cinjin, kami datang atas perintah kaisar. Keluarlah dan mari kita bicara secara baik-baik!" kata pula perwira itu.
"Kalian datang bukan pinceng (aku) yang mengundang, dan pinceng tidak ada urusan sesuatu dengan kalian maupun dengan Kaisar Boan, mengapa pinceng harus keluar? Kalian pergilah dan jangan mengganggu seorang pendeta yang sedang bersamadhi."
Perwira yang petentang-petenteng di depan pintu kelenteng itu menjadi marah. Ia melambaikan tangan kepada dua orang serdadu yang cepat menghampirinya.
"Dia keras kepala, mari kita lihat bagaimana macam orangnya " katanya Masuklah dia bersama dua orang serdadu, dan dari luar tiga orang ini sudah mencabut senjata, si perwira mencabut pedang dan dua orang serdadunya mencabut golok. Dengan berindap-indap seperti tiga ekor kucing mencari tikus, mereka memasuki kelenteng menuju ke arah datangnya suara.
Terlihatlah oleh mereka Beng Kun Cinjin duduk bersila di atas lantai ruangan tengah. Kepala yang gundul pelontos itu tunduk, sepasang matanya meram dan kedua tangannya dalam sikap samadhi, dirangkap dengan jari-jari tangan lurus di depan dada. Tasbeh yang panjang berwarna putih tergantung di leher sampai ke pusar. Dalam keadaan seperti ini Beng Kun Cinjin nampak, biasa saja,
5
seperti seorang pendeta yang alim dan wajahnya yang bersih dan bentuknya tampan itu membuat ia nampak jauh lebih muda dari pada usia sebenarnya.
Hati perwira dan dua orang serdadunya menjadi besar. Tak disangkanya bahwa Beng Kun Cinjin yang dikabarkan orang seperti iblis, yang sudah membunuh ratusan orang serdadu Boan dalam perang yang lalu. hanya macam ini saja. Perwira itu mengeluarkan suara menghina di dalam hidungnya, kemudian melangkah maju.
"Beng Kun Cinjin. kami adalah utusan kaisar. Mau tidak mau kau harus keluar bersama kami untuk menghadap kaisar," kata perwira itu dengan suara membentak-bentak. Tanpa membuka matanya, Beng Kun Cinjin menjawab.
"Tikus tikus busuk, keluarlah dari sini!”
Perwira itu menjadi marah. Ia dan kawan-kawannya memang mendapat tugas bahwa kalau tidak dapat memaksa hwesio ini menyerah, boleh membunuhnya saja. Ia memberi isyarat kepada dua orang kawannya dan sambil berseru keras tiga orang ini menggerakkan senjata menyerang hwesio yang masih bersila sambil meramkan mata itu. Dua batang golok membacok. kepala yang gundul kelimis, dan sebatang pedang menusuk ke arah dada hwesio itu. Menurut patut, karena dia sendiri bertangan kosong dan sedang duduk bersila dengan mata tertutup, diserang seperti itu pasti di lain saat kepala yang gundul pelontos itu akan terbelah menjadi tiga potong dan dada yang bidang itu akan ditembusi pedang. Akan tetapi sama sekali tidak terjadi hal seperti itu, bahkan sebaliknya. Ketika tiga ujung senjata itu sudah mendekati sasaran, tiba-tiba Beng Kun Cinjin menggerakkan kepala, diangkat ke atas. Tasbeh yang bergantung pada lehernya bergerak. keras sekali ke atas dan sekaligus tiga batang senjata tajam itu terpukul. Terdengar suara keras dan senjata-senjata itu terlepas dari pegangan dan terlempar, kemudian menimbulkan suara berisik ketika jatuh di atas lantai. Selagi tiga orang itu memandang bengong, Beng Kun Cinjin membuka kedua tangan mendorong ke depan sambil berseru, "Keluarlah!"
Angin pukulan yang hebat sekali menyambar dan tiga orang itu bagaikan disambar angin taufan mencelat dan tubuh mereka melayang keluar dari pintu, jatuh berdebuk bergulingan di luar kelenteng!
"Lihai........! Lihai.......!" perwira itu berkata sambil terbatuk-batuk dan darah muncrat dari mulutnya.
"Setan dia.........!" kata serdadu pertama.
"Siluman! Jangan dilawan.........!" jerit serdadu ke dua dan dua orang serdadu ini begitu merangkak bangun, terus melarikan diri. Akan tetapi hanya lima tindak karena mereka segera terguling dan ketika kawan-kawannya memandang, ternyata keduanya sudah tak bernyawa lagi. Demikian hebatnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh Beng Kun Cinjin tadi sehingga sekaligus dapat membunuh dua orang serdadu dan me lukai seorang perwira yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada dua orang serdadunya
Perwira pertama yang memimpin barisan itu segera melangkah ke depan pintu dan dengan lantang ia berkata,
6
"Beng Kun Cinjin. mengapa kau seorang pendeta suci membunuh orang tanpa sebab?”
"Pinceng tidak mengundang kalian, akan tetapi kalian berani mengirim tiga orang mengotori lantai kelenteng dan menyerang pinceng. Mati hidup di tangan Thian, kawan-kawanmu mati karena kesalahan sendiri, mengapa menyalahkan pinceng?"
"Beng Kun Cinjin, kau salah mengerti. Sebenarnya kami diberi tugas oleh kaisar untuk mengundangmu ke istana Kaisar yang mulia dan murah hati berkenan hendak memberi kedudukan tinggi kepadamu, Beng Kun Cinjin. Kau bahkan hendak diangkat menjadi kepala pengawal kaisar. Biarlah kami anggap kematian kawan-kawan kami itu kesalahan mereka sendiri dan takkan mengurus panjang asal kau sudi ikut dengan kami ke istana menghadap kaisar."
Lama tidak ada jawaban. Perwira itu menanti sampat beberapa lama. kemudian kehilangan sabarnya dan bertanya lagi,
"Bagaimana. Beng Kun Cinjin. Maukah kau menerima kehormatan dan kemuliaan di istana?”
Kini terdengar jawaban hwesio itu. jawaban yang dinyanyikan dengan suara nyaring bersemangat.
"Srigala utara mengurai selatan
sudah menjadi kehendak Thian!
Pinceng tak dapat berbuat apa-apa
karena semua usaha akan sia-sia.
Akan tetapi, menyuruh pinceng membantu srigala?
Pinceng lebih suka membonceng naga!"
Di dalam jawaban bersajak ini, yang dimaksud dengan srigala utara tentu saja bala tentara Mongolia atau juga Jengis Khan sendiri. Dahulu, di waktu ia masih mengikut dalam perantauan suhunya, pernah suhunya meramalkan bahwa akan datang masanya Tiongkok dikuasai oleh srigala dari utara dan hal itu sudah menjadi kehendak Thian. Guru dari Beng Kun Cinjin adalah seorang pertapa suci di Gunung Himalaya dan selain pandai ilmu silat, juga terkenal sebagai ahli hoat-sut (ilmu gaib) dan pandai pula meramal. Oleh karena mengingat akan kata-kata gurunya inilah, maka Beng Kun Cinjin tidak melanjutkan usahanya memusuhi pemerintah Boan (Mongol).
Karena dianggapnya hal itu sudah menjadi kehendak Thian seperti yang dikatakan dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi, ia masih tetap seorang gagah dan tidak sudi kalau ia disuruh membantu Kaisar Mongol seperti yang ditawarkan oleh perwira Mongol itu dan la lebih suka membonceng naga Dengan kata-kata ini. ia mengambil kata-kata Khong Hu Cu yang menyatakan bahwa Lo Cu adalah seperti seekor naga sakti yang terbang di angkasa raya, sindiran bagi seorang pelamun atau seorang yang tekun memikirkan tentang hal hidup dan lain-lain.
Seperti diketahui, pelajaran Khong Cu adalah pelajaran praktis, pelajaran hidup di dunia ini, atau boleh dibilang pelajaran lahiriah dan tata susila hidup. Sebaliknya pelajaran Lo Cu lebih mendalam, lebih bersifat filsafat lamunan, lebih dekat dengan apa yang disebut alam halus atau alam tinggi. Demikian pula, para pertapa selalu mendekati yang tinggi-tinggi ini dan karenanya Beng Kun Cinjin menyatakan bahwa ia lebih suka membonceng naga atau lebih suka menjadi pertapa untuk mencapai
7
apa yang dicita-citakan oleh semua pertapa dan Lo Cu! Mendengar nyanyian ini, perwira Boan itu menjadi marah.
"Beng Kun Cinjin, kau berhadapan dengan utusan kaisar, harap kau suka berpikir lebih panjang. Ketahuilah bahwa kaisar sudah memberi kekuasaan kepada kami untuk membawamu ke istana, hidup atau mati. Kalau kau suka berada di dalam istana, kau akan hidup. Akan tetapi kalau kau mau tinggal di luar istana, kau harus mati!"
Jawaban kata-kata ini hanyalah suara ketawa yang nyaring dan panjang, seakan-akan hwesio itu merasa geli sekali mendengar ancaman ini.
Perwira itu menjadi marah karena ia tahu bahwa Beng Kun Cinjin terang tidak mau menyerah. Ia mencabut senjatanya, yakni sepasang tombak pendek bercagak, lalu ia memberi aba-aba, "Serbuuu.........!”
Bagaikan air bah. pasukan Mongol itu menyerbu, ada yang memasuki pintu, ada yang menerjang jendela dan di lain saat mereka telah tiba di ruangan di mana Beng Kun Cinjin masih duduk bersila sambil memandang kepada mereka dengan senyum menghina.
"Beng Kun Cinjin. menyerahlah sebelum kami menghancurkan tubuhmu." perwira tadi mengancam akan tetapi tiba-tiba tangan kanan Beng Kun Cinjin bergerak ke depan, memukul atau mendorong sambil berseru, "Kaulah yang hancur!"
Perwira ini adalah seorang ahli silat tinggi. Melihat gerakan hwesio itu, ia terkejut sekali karena angin pukulan tangan hwesia itu luar biasa hebatnya. Tahu bahwa ia menghadapi pukulan jarak jauh yang luar biasa dan berbahaya, perwira ini cepat melompat ke samping akan tetapi tetap saja pundaknya terlanggar angin pukulan dan tubuhnya terlempar sampai menabrak kawan-kawannya yang berada di belakangnya!
Tak lama kemudian, terdengar jerit dan pekik kesakitan dan tubuh para penyerbu itu terlempar bagaikan sekumpulan semut tertiup angin dari pohon! Ada yang terbanting pada dinding sampai benjol-benjol kepalanya, bahkan ada yang sampai pecah kepalanya dan tewas di saat itu juga, banyak pula yang patah tulang kaki tangannya. Keadaan menjadi kacau balau dan perwira itu yang tidak terluka berat, cepat memberi aba-aba mundur. Para serdadu Boan yang tidak atau belum terluka, menyeret tubuh kawan kawan yang terluka atau tewas dan tak lama kemudian mereka berkumpul lagi didepan kelenteng. Ternyata dalam segebrakan saja, dengan tiga orang penyerang terdahulu fihak pasukan Boan itu ada lima orang yang tewas dan sepuluh orang yang terluka berat. Belum yang terluka ringan banyak sekali. Dari sini dapat dinilai betapa hebat dan dahsyatnya kepandaian dari Beng Kun Cinjin!
Perwira ini cepat memberi aba aba dan berserabutanlah para serdadu itu bekerja. Apa yang mereka lakukan? Ternyata mereka merencanakan siasat keji sekali untuk mengalahkan Beng Kun Cinjin yang lihai. Puluhan orang serdadu itu mengumpulkan kayu bakar yang ditaruh di sekeliling kelenteng, menaruh pula minyak bakar, kemudian mereka membakar tempat itu!
"Kepung kelenteng siapkan anak panah dan amgi (senjata gelap)!" perintah perwira itu.
8
Sebentar saja, dibantu oleh teriknya matahari, kelenteng itu terbakar. Api bernyala-nyala tinggi sekali dan hawa panas sampai terasa oleh para serdadu yang mengepung kelenteng itu dari tempat yang enam tujuh tombak jauhnya. Kadang-kadang si perwira memberi aba-aba dan meluncurlah puluhan batang anak panah, piauw (senjata gelap), pisau dan paku ke arah lubang lubang pintu dan jendela, untuk mencegah pendeta itu melarikan diri dari dalam kelenteng! Ledakan-ledakan bambu dan benda di dalam kelenteng terdengar tar-ter-tor membikin bising, ditambah berkerataknya api makan kayu. Tak lama kemudian, disusul suara hiruk-pikuk ketika atap kelenteng yang terbakar itu roboh dan asap hitam mengantar abu dan angus membubung tinggi di angkasa.
Tiga jam kemudian, yang tinggal dari Kelenteng Kwan-te-bio hanyalah bangunan tembok lima kaki tingginya. Yang lain-lain. terbuat dari pada kayu. musnah sama sekali menjadi tumpukan puing. Meja kursi bangku dan perabot perabot lain lenyap menjadi abu. Patung-patung pecah terguling, tidak karuan lagi macamnya karena pakaian-pakaian patung telah terbakar habis. Patung Kwan Kong yang tadinya berdiri gagah dengan pedang di pinggang, telah roboh tertelungkup dalam keadaan telanjang dan ternyatalah bahwa yang bagus ukirannya hanya bagian muka dan kaki tangan yang kelihatan saja. Bagian tubuh yang tadinya tertutup pakaian sutera, ternyata merupakan tanah liat kering yang tak karuan bentuknya.
Para serdadu Boan bersorak-sorak. Mereka semua tidak ada yang melihat hwesio yang ditakuti itu lari keluar, maka semua tahu bahwa hwesio kosen itu tentu telah mampus terbakar. Mereka bergembira, karena tadinya semua orang cemas dan ketakutan kalau-kalau hwesio itu keluar dari kelenteng dan mengamuk. Akan tetapi perwira itu tidak mau bekerja setengah-setengah.
"Bongkar puing itu dan mari kita lihat mayatnya!"
Kembali para serdadu bekerja. Kalau tadi mereka bekerja untuk membuat api adalah sekarang sebaliknya, mereka sibuk memadamkan api yang masih memerah. Akhirnya mereka membongkar bagian ruangan di mana hwesio tua tadi bersila. Akan tetapi di situ tidak terdapat mayat atau sisa-sisa mayat Beng Kun Cinjin. Mereka mencari ke bagian lain karena mengira bahwa hwesio itu dalam bingungnya dikurung api. mungkin berlari ke tempat lain. Akan tetapi di mana mana tak dapat ditemukan miyat si hwesio itu. Semua orang penasaran dan akhirnya mereka saling pandang. Bulu tengkuk mereka berdiri dan wajah mereka berubah pucat. Ternyata bahwa di dalam kelenteng yang sudah habis terbakar itu tidak dapat ditemukan mayat Beng Kun Cinjin! Beng Kun Cinjin, entah masih hidup entah sudah mati, telah lenyap dari tempat itu!
"Tak mungkin!" perwira itu berseru keras. "Kalau dia bisa lari menyelamatkan diri, pasti terlihat oleh kita yang mengurung tempat ini. Hayo cari lagi!"
Sampai matahari condong ke barat dan tempat itu sudah dibongkar sama sekali, mereka tetap saja tidak dapat menemukan mayat Beng Kun Cinjin Akhirnya perwira itu menjadi ketakutan sendiri dan dengan wajah lesu ia memberi perintah kepada anak buahnya untuk kembali ke kota raja membuat laporan sambil membawa kawan kawan yang terluka dan tewas. Kalau di waktu datang ke dusun itu rombongan tentara Boan ini nampak garang dan galak, adalah sekarang perginya nampak lesu dan muram.
"Ada setan, tolooong...!” "Siluman hitam...! Siluman hitam...! Hayo kepung, tangkap!" Teriakan-teriakan ini terdengar di tengah malam di dalam lingkungan bangunan istana kaisar di kota raja. Maka
9
sebentar saja keadaan menjadi geger tidak karuan. Para pelayan lari tunggang-langgang saling bertumbukan, para pengawal siap-sedia dan berkumpul untuk menghadapi setan atau siluman yang membikin takut orang itu. Pembesar-pembesar yang tidak mengerti ilmu silat. cepat menyembunyikan diri akan tetapi para pangeran yang pandai ilmu silat, keluar sambil mem-bawa senjata. Sikap mereka ini gagah seakan-akan setiap orang sanggup untuk melawan setan!
Tinggi di atas wuwungan istana, benar saja kelihatan sesuatu makhluk yang kelihatan mengerikan. Bentuknya seperti manusia, kepalanya gundul, perawakannya tegap dan tinggi besar, dadanya bidang dan nampaknya kuat sekali, sepasang matanya saja yang nampak berkilat-kilat karena muka dan kepalanya. juga tangan dan kakinya, semua menghitam! Dia ada juga berpakaian, akan tetapi sukar disebut pakaian karena tidak karuan macamnya, hanya menutupi bagian terpenting saja, dari atas lutut sampai dipinggang. Ada juga sedikit bagian pakaian yang masih mengalungi pundak kirinya, akan tetapi semua sudah cabik-cabik dan hangus.
Di bawah genteng para pengawal dan busu sudah siap dan berkumoul. semua memandang ke atas penuh perhatian. Beberapa orang pengawal yang siang tadi ikut menyerbu Kelenteng Kwan-te-bio menjadi pucat sekali setelah sinar lampu dan sinar bulan menerangi muka makhluk itu..
"Dia......dia Beng Kun Cinjin..!” kata perwira yang tadi memimpin serangan. Semua pengawal yang mendengar ini, menjadi pucat. Perwira yang memimpin pasukan siang tadi sudah bercerita tentang keanehan yang terjadi, yakni bahwa kelenteng telah dibakar habis akan tetapi hwesio di dalamnya hilang musnah, hal yang amat tidak mungkin. Dan sekarang, pada tengah malam. hwesio itu muncul dalam keadaan mengerikan sekali. Tubuh dari pakaiannya hangus menghitam! Siapa yang takkan merasa gentar dan serem?
"Betul, dia..... dia setan dari hwesio yang mati terbakar. Hidup lagi... jadi setan...!” Mendengar kata-kata ini, ada beberapa orang pengawal istana sudah lari lintang pukang saking takutnya. Akan tetapi para panglima yang hadir di situ membentak sehingga pengawal-pengawal yang lari menghentikan larinya dan kembali dengan muka merah.
"Manusia atau setan iblis atau bukan, kita harus menangkapnya!" kata seorang Panglima Kim-i-wi (Pengawal Baju Sulam) yang terkenal sebagal jagoan dan berilmu tinggi. Panglima ini masih muda dan dalam kedudukan para pengawal kaisar, ia terhitung menduduki tingkat ke dua.
Namanya Lo Thung Khak dan ilmu tombaknya membuat ia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti), dan dalam, usia tigapuluh lima tahun sudah dapat menduduki tingkat demikian tinggi, membuktikan bahwa kepandaiannya memang lihai. Setelah berkata demikian untuk membesarkan hati kawan-kawannya, Lo Thung Khak memutar-mutar tombaknya dan membentak makhluk di atas genteng itu.
"Siapakah kau? Manusia atau setan? Ada niat apa datang di sini?”
Suara pertanyaan ini bergema di tengah, malam, keras dan panjang karena Lo Thung Khak mempergunakan tenaga khikangnya. Semua orang berdebar menanti untuk mendengarkan jawaban makhluk yang berdiri tegak tak bergerak di atas wuwungan yang tinggi itu.
Jawaban itu datang dan hanya merupakan suara ketawa bergelak yang panjang menusuk telinga. Suara ketawa itu makin lama makin meninggi dan tiba- tiba terdengar suara beberapa orang menjerit
10
kesakitan dan roboh seperti orang lumpuh. Mereka ini adalah orang-orang yang kurang tinggi kepandaiannya sehingga tidak kuat mendengarkan suara ketawa itu lebih lama lagi. Mereka yang lweekangnya sudah tinggi dapat mengerahkan tenaga dalam untuk menolak pengaruh suara ini dah memperkuat isi dada. Suara ketawa ini bukan lain adalah semacam cara menyerang yang mempergunakan getaran suara lweekang untuk merusak telinga dan jantung lawan! Inilah semacam kepandaian berdasarkan lweekang yang sudah tinggi sekali tingkatnya dan akibatnya, ada lima orang pengawal yang roboh dengan jantung pecah dan binasa di tempat dan saat itu juga! Suara ketawa berhenti dan terdengarlah suara Beng Kun Cinjin yang menggeledek.
"Kawanan, tikus! Siang tadi kalian membakar kelenteng dan hampir saja membakar diriku. Hmm makin didiamkan kalian makin menjadi! Sekarang saatnya Beng Kun Cinjin membalas dendam. Bersiaplah untuk mampus sebelum kaisarmu kubinasakan!"
Suara ini demikian berpengaruh dan menakutkan sehingga untuk sejenak semua Kim i-wi dan para siwi dan busu lain berdiri terpaku dengan muka berubah Akan tetapi hanya sebentar saja karena segera timbul kemarahan mereka. Mereka terdiri dari orang orang pilihan ahli silat tinggi yang kepandaiannya sudah sampai di tingkat atas. Mereka adalah jagoan jagoan. Bangsa Mongol, ada pula Bangsa Cin. dan Bangsa Han yang menjadi kaki tangan pemerintah Boan karena ingin memperoleh kemuliaan duniawi.
Lo Thung Khak juga marah sekali. Ia menuding dengan tombaknya sambil memaki.
"'Bangsat gundul yang sombong! Siapa takut mendengar obrolan kosongmu?" Sekali ia menggerakkan kedua kaki ia telah melompat naik ke atas genteng, diikuti oleh belasan orang Kim i wi yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi.
Gerakan mereka ini demikian ringan dan kaki mereka tidak mengeluarkan suara ketika mereka tiba di atas genteng, tanda bahwa ginkang mereka sudah sempurna. Kemudian mereka berlompat-lompatan makin tinggi untuk mendatangi hwesio yang berdiri tegak di atas wuwungan itu. Beng. Kun Cinjin hanya berdiri tegak, tertawa-tawa dan kedua tangannya bertolak pinggang. Ia menanti sampai belasan orang lawannya itu tiba di atas wuwungan, kemudian dengan secara tiba tiba ia melakukan pukulan dengan kedua tangannya. Dua lengan tangan yang kuat dan berotot ini digerakkan ke depan bertubi seperti riang mendorong.
Belasan orang Kim i-wi hu berpencar dan menghadapi pukulan jarak jauh ini dengan sikap masing masing. tergantung dari pada ilmu silat mereka. Ada yang merendahkan tubuh dan memasang kuda-kuda sambil mengerahkan lwee kang, ada pula yang melompat tinggi sekali untuk menghindarkan diri. ada pula yang melakukah gerakan menangkis dengan pengerahan tenaga lweekang. Hanya dua orang yang terpelanting roboh karena tidak dapat menahan gelombang hawa pukulan dari Beng Kun Cinjin akab tetapi yang dua inipun hanya terpelanting karena kuda-kudanya gempur, sama sekali tidak menderita luka.
Beng Kun Cinjin maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan-lawan yang berat, jauh bedanya dengan pasukan yang siang tadi menyerbunya di dalam Kelenteng Kwan-te-bio. Oleh karena itu, iapun tidak mau membuang waktu sia-sia dan cepat melompat dan menyambut mereka dengan ilmu pukulan tangan kosong yang luar biasa hebatnya. Ilmu silat ini dilakukan dengan gerakan yang lambat dan kelihatannya perlahan saja akan tetapi oleh karena penggunaannya didasarkan pada tenaga lweekang
11
dan sinkang. maka setiap senjata lawan yang datang menyambar, selalu tertolak oleh hawa pukulan ini dan terpental sebelum mengenai tubuh Beng Kun Cinjin.
Hwesio yang kini menjadi hitam seluruhnya ini memang seorang yang sakti. Ilmu pukulannya jarak jauh yang tidak sembarang orang sanggup menerima adalah ilmu pukulan ciptaannya sendiri berdasarkan lweekang yang disebut Lui kong-Jiu, (Tangan Sinar Kilat). Ilmu pukulan ini memang amat dahsyat dan kalau menghadapi lawan yang kurang pandai, biarpun ada berapa banyak, dari jarak tiga empat tombak saja Beng Kun Cinjin sanggup memukulnya roboh dan tewas atau setidaknya terluka hebat di bagian dalam tubuh. Selain ilmu pukulan jarak jauh yang dahsyat ini, tentu saja Beng Kun Cinjin masih mempunyai banyak sekali macamnya ilmu silat tinggi, akan tetapi di antaranya yang paling terkenal adalah ilmu silat warisan dari gurunya pertapa di Himalaya itu, yakni Ilmu Silat Pai-in-ciang" (Ilmu Silat Pendorong Awan). Ilmu silat ini tidak memerlukan kecepatan gerakan, melainkan berdasarkan tenaga lweekang yang sudah mendalam. Gerakan-gerakannya lambat saja. akan tetapi biarpun lawan bersenjata, ilmu silat ini dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan itu.
Di samping dua macam ilmu silat tangan kosong jarak jauh dan jarak dekat ini, masih banyak ilmu silat tangan kosong yang ia dapat mainkan, bahkan hampir seluruh ilmu silat tinggi pernah dilihatnya dan ia dapat mengenal gerakan lawan. Selain ini, Beng Kun Cinjin pandai mempergunakan delapanbelas macam senjata persilatan akan tetapi ia iebih suka mempergunakan senjata yang lain dari pada yang lain. yakni tasbehnya.! Dahulu, sebelum menjadi hwesio, dia memang ahli mempergunakan senjata rantai. Akan tetapi setelah ia menjadi hwesio dan setiap hari memegang tasbeh. ia lalu menciptakan ilmu silat dengan tasbeh yang berdasarkan ilmu silat rantai. Demikian lihatnya ia dalam penggunaan senjata istimewa ini sehingga di bagian depan telah dituturkan bagaimana dengan tasbeh tergantung di leher ia dapat menangkis serangan tiga macam senjata dengan hanya menggerakkan kepala dan tasbeh itu bisa menangkis sendiri ke atas!
Terlalu panjang kalau dituturkan tentang semua kepandaian hwesio sakti ini, pendeknya dia adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang pada masa itu jarang sekali ada tandingannya.
Demikianlah, setelah Beng Kun Cinjin menyerang, biarpun ia dikeroyok oleh empatbelas orang Kim i-wi yang berkepandaian amat tinggi, dalam sepuluh jurus ia telah berhasil menendang dua orang busu sampai terlempar dari atas wuwungan dan binasa pada saat itu juga! Pertempuran berlangsung makin ramai dan kini yang naik ke atas wuwungan tidak kurang dari tiga puluh orang pengawal kaisar yang jagoan!
Belasan jurus berlalu dan keadaan di atas istana itu ramai bukan main. Suara orang bertempur seakan akan merupakan pertempuran besar-besaran, padahal pertempuran itu hanyalah seorang hwesio yang dikeroyok oleh para busu dan Kim i-wi. Gerakan para pengawal itu ribut dan cepat, sebaliknya Beng Kun Cinjin bergerak lambat dan tenang, namun setelah belasan jurus lewat, kembali ada tiga orang busu yang terlempar, seorang dengan kepala pecah dan dua orang dengan tulang tulang iga patah-patah terkena hantaman tangan Beng Kun Cinjin yang melebihi besi kerasnya!
Akan tetapi kini para pengawal yang tingkatnya tinggi dan boleh dibilang menduduki tingkat pertama dan ke dua. naik juga ke wuwungan dan ikut mengeroyok. Beng Kun Cinjin kewalahan menghadapi puluhan orang busu, apa lagi ia harus menghadapi lawan banyak di atas wuwungan yang tidak rata dan licin sedangkan keadaan mulai gelap, maka sambil tertawa bergelak ia lalu melayang turun ke bawah.
12
Sambil berteriak-teriak Lo Thung Khak dan kawan-kawannya juga melompat turun mengejar. Lo Thung Khak lebih cepat dari kawan-kawannya, maka dialah orang pertama yang menghadapi Beng Kun Cinjin dan inilah kesalahannya. Dengan bantuan kawan-kawannya, Panglima Kim-i-wi ini masih dapat mengimbangi Beng Kun Cinjin. akan tetapi kini berdepan satu lawan satu. dia seperti murid bertemu gurunya. Sekali saja Beng Kun Cinjin menggerakkan kedua tangan menyerang, biarpun Lo Thung Khak memutar tombaknya, tetap saja ia terdorong ke belakang dan jatuh terjengkang. Nyawanya tentu akan melayang karena Beng Kun Cinjin melompat maju untuk memukulnya lagi. kalau saja para Kim i-wi yang lain tidak keburu datang. Mereka ini melihat Lo Thung Khak roboh, segera maju mengeroyok dan hwesio itu dihujani senjata. Terpaksa Beng Kun Cinjin membatalkan niatnya membunuh Lo Thung Khak dan dengan tenang ia memutar kedua lengan menghadapi keroyokan para Kim-i-wi.
Lo Thung Khak merayap bangun, dadanya terasa sakit dari ketika ia membuka bajunya, dada itu matang biru tanda telah terluka. Panglima ini tidak berani maju lagi dan terpaksa ia berlari ke tempat canang bahaya digantung, kemudian ia memukul canang itu bertalu-talu untuk memberi tahu kepada kawan-kawan lain dan seisi istana bahwa ada bahaya besar mengancam! Karuan saja semua penghuni istana menjadi gempar dan mengira bahwa ada pasukan musuh menyerbu istana. Kalau mereka tahu bahwa yang datang menyerbu hanya seorang hwesio, tentu mereka ini akan terheran-heran dan tidak percaya.
Kembali dalam waktu pendek Beng Kun Cinjin sudah berhasil merobohkan lima orang pengeroyok, bahkan ia mulai mendesak belasan yang lain. Setelah hwesio itu turun di atas lantai dan tersorot sinar penerangan yang bergantungan di ruangan itu. kelihatanlah keadaannya dengan nyata. Benar-benar hwesio sakti yang aneh. Pakaiannya compang-camping dan bekas terbakar, akan terapi kulitnya hanya berubah hitam seperti pantat kwali dan tidak terluka sama sekali. Biasanya kalau kulit manusia terkena api akan melepuh dan terluka. akan tetapi hwesio ini hanya hangus saja!
Kembali terdengar jerit mengerikan ketika dua orang Kim-i wi terpelanting dengan kepala pecah terkena hantaman tasbeh! Kini Beng Kun Cinjin yang sudah mulai marah itu memegang tasbehnya, senjatanya yang hebat. Dan gerakan pertama dari tasbeh itu berhasil menghancurkan kepala dua orang Kim-i-wi. Biarpun para pengawal itu makin bertambah jumlahnya namun mereka menjadi gentar juga melihat kedahsyatan hwesio ini. Maka mereka hanya menyerang dengan hati-hati sekali dan selalu siap sedia untuk menjauhkan diri apa bila senjata hwesio menyambar. Oleh karena itu, keadaan Beng Kun Cinjin seperti seekor harimau terjebak, terkurung di tengah-tengah tanpa ada yang berani menyerang terlalu dekat, hanya mengganggu saja dengan gertakan dan serangan jarak jauh.
"Tikus-tikus tiada guna, hayo maju kalau kalian berani! Kalau takut mundur saja biar aku mencari dan membunuh kaisarmu!" seru Beng Kun Cinjin dengan mata terbelalak. sikapnya makin liar menakutkan.
Tiba-tiba berkelebat dua buah senjata gembolan yang digerakkan demikian kerasnya sehingga mengeluarkan angin. Sepasang gembolan toi menyambar ke arah tubuh Beng Kun Cinjin dibarengi dengan suara menggereng dari pemegangnya. Beng Kun Cinjin mengeluarkan suara ketawa, mengejek dan tasbehnya menyambar cepat sekali melebihi cepatnya datangnya gembolan dan tasbeh ini menyambar ke arah sepasang lengan yang memegang senjata-senjata itu!
13
"Curang!" bentak orang yang baru datang dan terpaksa menarik kembali sepasang gembolannya karena kalau dilanjutkan, sebelum sepasang senjatanya mengenai lawan, lebih dulu lengannya akan dihajar oleh tasbeh itu. Akan tetapi. Beng Kun Cinjin luar biasa cepatnya. Tasbehnya sudah menyusul lagi dengan serangan ke arah dada lawan yang baru datang ini. Akan tetapi, sepasang gembolan itupun dengan cepatnya menangkis.
"Trangggg........!"
Beng Kun Cinjin melangkah mundur dan memandang tajam. Ia agak kaget mendapatkan-orang yang dapat menangkis tasbehnya. Di depannya berdiri seorang bertubuh pendek akan tetapi besar, nampak kuat bukan main, mukanya penuh bulu sehingga kelihatan seperti seekor singa. Kembali Beng Kun Cinjin terkejut. Biarpun orang ini memakai pakaian sebagai Panglima Kim-i-wi kelas satu, namun ia tidak pangling. Apa lagi sepasang gembolan itu ia kenal baik. Orang ini dahulu adalah seorang tokoh kang-ouw di daerah selatan. Hek-mo Sai-ong nama julukannya. Tertawalah Beng Kun Cinjin, karena pernah satu kali Singa Hitam ini kalah olehnya dalam pertandingan pibu antara orang-orang gagah di selatan.
"Ha-ha-ha, pinceng kira siapa, tak tahunya Hek-mo Sai-ong. Kau juga menjadi pengawal kaisar? Ha-ha-ha!"
Hek-mo Sai-ong tidak menghiraukan ejekan itu, bahkan ia berkata membujuk.
"Beng Kun Cinjin. sesungguhnya akulah orangnya yang mengusulkan kepada hong siang (kaisar) agar kau diberi kedudukan di dalam Istana menjadi pemimpin para Kim-i-wi karena aku tahu, bahwa kaulah orangnya yang paling tepat untuk menjadi pembesar seperti itu. Hong siang bermaksud baik dan apakah gunanya kepandaianmu kalau dalam kesempatan ini kau tidak membantu pemerintah baru mengamankan negara? Marilah kita bicara baik baik. dan aku yang akan mintakan ampun kepada hongsiang agar kau diterima menjadi pengawal dan hidup mulia di sini."
Beng Kun Cinjin tertawa bergclak. "Setan hitam, suaramu mengandung racun jahat. Orang sudah membakar kelenteng dan membuat pinceng hangus seperti ini. mau bicara apa lagi? Akan kubunuh kaisarmu dan akan kubasmi setan-setan macam engkau!"
"Manusia sombong dan kepala batu........” kata Hek mo Sai-ong sambit memutar gembolannya menyerang. Dua orang lihai ini bertempur hebat. Hek-mo Sai-ong adalah Panglima Kim-i wi yang memimpin para pengawal di dalam istana bagian depan. Dia seorang tokoh kang-ouw di selatan, seorang ahli silat yang mengandalkan tenaga gwakang. Tenaganya besar seperti tenaga gajah dan ilmu silatnya juga cepat dan kuat Biar pun usianya sudah mendekati limapuluh tahun, namun tenaganya tidak berkurang, bahkan dari latihan yang tekun, tenaga dan kepandaiannya meningkat kalau dibandingkan dengan dahulu ketika ia pernah dikalahkan oleh Beng Kun Cinjin.
Senjata benggolan adalah penggada yang ujungnya besar. Senjata ini berat sekali dan sekali menyerempet kepala pasti kepala itu akan pecah. Kalau mengenai tubuh akan membikin remuk tulang dan membikin hancur kulit daging. Apa lagi kalau yang memainkan senjata ini Hek-mo Sai-ong bukan main hebatnya. Bagaikan sepasang garuda hitam menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, mendatangkan angin yang berbunyi karena meniup-niup keras. Ia ingin sekali merobohkan hwesio yang perhah mengalahkannya dan sekarang berkepala batu ini, maka serangannya pun bertubi-tubi
14
dan yang dikeluarkan hanya jurus-jurus yang paling berbahaya. Akan tetapi, duapuluh jurus kemudian ia harus mengaku bahwa selama ini Beng Kun Cinjin juga meningkat kepandaiannya dan diam-diam Hek-mo Sai-ong mengeluh. Para pengawal lainnya tidak berani turun tangan membantu karena memang bagi seorang ahli silat tinggi apa bila sedang bertempur, merasa enggan dibantu. Selain hal ini memalukan juga dapat mengacaukan permainan silatnya sendiri, dapat mengacaukan siasat penyerangan.
Akan tetapi, kalau dilanjutkan. Hek-mo Sai-ong pasti akan kalah, ia sudah terdesak sekali dan hal inipun ia maklum. Kalau ia kalah, kali ini Beng Kun Cinjin takkan mengampuninya seperti dahulu ketika bertanding dalam pibu. Sekarang ini. kalah berarti binasa. Untuk minta bantuan Hek-mo Sai-ong merasa malu!
Tiba-tiba sambil mengeluarkan gerengan keras, Hek-mo Sai-ong mengayun gembolannya yang kanan menyerang ke arah kepala, yang kiri mengikuti gerakan pertama dan hendak menyusulkan serangan ke dua apabila serangan pertama gagal. Dia mempergunakan gerak tipu Ji-sai-chio-cu (Dua Singa Berebut Mustika), semacam serangan yang amat berbahaya.... Serangan gembolan kanan yang menyambar ke arah kepala memang tidak begitu berbahaya bagi seorang yang sudah tinggi tingkat ilmu silatnya, akan tetapi orang harus berhati-hati terhadap gembolan kiri yang kelihatannya diam saja itu, karena ke manapun juga Tawan mengelak dari gembolan kanan, akan disambut oleh gembolan kiri!
Akan tetapi Beng Kun Cinjin bukan seorang luar biasa kalau tidak mengenal siasat pancingan ini. Sambil tersenyum mengejek, tasbehnya bergerak cepat membelit ujung gembolan kanan dan sambil membetot tasbehnya sehingga lawannya tertarik dan kuda-kudanya miring, ia mengirim pukulan Pai-in-ciang dengah tangan kirinya ke arah tangan yang memegang gembolan kiri.
Hek-mo Sai-ong mengeluarkan teriakan keras dan kedua gembolannya terlepas dari pegangan. Ia sendiri lalu menjatuhkan diri bergulingan sambil kedua tangannya diayun ke depan. Empat butir pelor batu melayang ke arah empat bagian jalan darah di tubuh Beng Kun Cinjin yang berbahaya. Inilah keistimewaan dari Hek-mo Sai-ong dan sering kali serangan terakhir pada saat ia amat terdesak ini merubah kedudukan dan lawannya dapaf dikalahkan. Akan tetapi, kali ini serangannya yang dilakukan secara menggelap dan tiba-tiba hanya berhasil menyelamatkan dirinya saja akan tetapi sama sekali tidak berhasil merobohkan lawan. Dengan dua gembolan rampasannya. Beng Kun Cinjin memukul runtuh empat pelor batu itu. kemudian sambil tertawa mengejek ia mengangkat dua gembolan lalu mengadu dua senjata itu dengan keras sekali satu kepada yang lain. Terdengar suara keras dan sepasang gembolan itu pecah berkeping-keping!
Hek-mo Sai-ong boleh menarik napas panjang dan lega karena ia terbebas dari pada maut. Kini seorang tinggi kurus bermuka hijau yang memegang senjata aneh sekali berdiri menggantikannya menghadapi Beng Kun Cinjin. Hek-mo Sai ong girang melihat munculnya sahabatnya ini. Si tinggi kurus ini melihat muka dan sikapnya, mudah diduga bahwa dia seorang Mongol aseli. Orangnya kelihatan lemah, mukanya kehijauan, akan tetapi dia adalah seorang ahli lweekeh yang disegani di Mongolia. Namanya Tagudai dan setelah berada di kota raja. para pengawal lain yang berlidah Tionghoa menyebutnya Ta Gu Thai. Sepasang senjatanya istimewa sekali, merupakan lingkaran golok atau pisau sebanyak tujuh batang yang gagangnya bersambung menjadi satu pada sebuah gelang sehingga merupakan roda dari golok dengan runcingnya menghadap di luar. Ta Gu Thai memegang sepasang roda golok ini di tengan-tengah, yakni gelangan yang ditancapi gagang gook-golok kecil itu.
15
Selain aneh, juga senjata ini nampak mengerikan sekali berkilauan terkena cahaya lampu saking tajamnya golok-golok kecil itu.
Berbeda dengan kedudukan Hek mo Sai ong sebagai komandan Kim i-wi tingkat satu di bagian depan, adalah Ta Gu Thal ini komandan Kim i-wi tingkat satu di bagian dalam jadi boleh dibilang dialah sesungguhnya pengawal pribadi kaisar! Dibandingkan dengan Hek-mo Sai-ong, tingkat kepandaiannya seimbang hanya bedanya kalau Hek-mo Sai-ong adalah ahli gwakang sebaliknya Ta Gu Thai ini seorang ahli lweekang. Akan tetapi mengingat bahwa senjata dari Ta Gu Thai lebih aneh dan ilmu silatnya adalah ilmu silat Mongolia aseli, maka bagi seorang ahli silat Tiongkok, Ta Gu Thai terhitung lebih "berat" untuk dilawan.
Ta Gu Thai menghadapi Beng Kun Cinjin dengan mata bersinar-sinar. katanya mencela. "Beng Kun Cinjin. kau benar-benar tidak mengenal kemuliaan hati hong siang yang bermaksud baik padamu."
"Maksud baik? Apakah membakar kelenteng dan niat membakar aku hidup-hidup kau katakan bermaksud baik?” Beng Kun Cinjin tersenyum sindir. "Aku hendak membunuh kaisarmu itu!"
"Hem, enak saja kau bicara. Aku adalah Ta Gu Thai, aku yang menjadi pengawal pribadi kaisar. Sebelum putus leherku bagaimana kau bisa bicara tentang niatmu yang jahat itu?"
"Kalau begitu mampuslah!" Dengan marah sekali Beng Kun Cinjin menyerang dengan tasbehnya. serangannya keras dan cepat sekali. Ta Gu Thai memutar roda golok sebelah kiri dan menangkis. Terdengar suara keras dan bunga api berpijar ketika dua senjata ini bertemu. Beng Kun Cinjin merasa tangannya tergetar, maka maklumlah ia bahwa lawannya adalah seorang ahli lwee-keh yang tenaga lweekangnya tak boleh dipandang ringan dan seimbang dengan tenaganya sendiri.
Ta Gu Thai juga maklum dari benturan senjata tadi bahwa hwesio itu benar -benar kosen seperti yang seringkali ia dengar dari Hek mo Sai-ong, maka ia tidak mau berlaku lambat dan cepat dua buah roda goloknya diputar cepat sehingga berubah menjadi kitiran berkilauan yang menyambar-nyambar di atas kepala, turun naik nampak indah kali. Akan tetapi jangan dipandang ringan senjata yang nampak indah ini karena sedikit saja terkena atau tersentuh oleh roda golok yang terputar putar itu. jangan kata baru anggauta luhuh terdiri dari kulit daging tulang, biarpun senjata baja kalau pemegangnya kurang pandai dapat terbabat putus!
"Bagus, senjata yang baik dan ilmu silat yang lihai!" Beng Kun Cinjin memuji. Sudah sering kali ia menghadapi perwira-perwira Mongol yang lihai dalam pertempuran beberapa tahun dahulu ketika tentara Mongol mulai menyerbu ke selatan. Akan tetapi harus diakui bahwa baru ini kali ia menghadapi seorang Panglima Mongol yang selain lihai ilmu silatnya dan besar tenaga lweekangny juga mempunyai sepasang senjata yang aneh dan tak pernah dilihatnya. Oleh karena itu. untuk belasan jurus lamanya ia hanya menangkis, mengelak dan mempertahankan diri saja, karena ia ingin sekali melihat jelas bagaimana sepasang senjata aneh itu dimainkan lawan.
Akan tetapi ia tidak dapat bertahan terus karena sesungguhnya lawan amat berbahaya. Setelah duapuluh jurus lewat, barulah Beng Kun Cinjin mulai membuat serangan balasan dan sebentar saja ternyata bahwa betapapun lihai lawannya, hwesio ini tetap saja masih menang setingkat. Makin lama Panglima Mongol yang kosen itu makin terdesak dan gulungan sinar sepasang senjatanya makin menciut, sebaliknya tasbeh di tangan Beng Kun Cinjin menyambar nyambar mencari nyawa.
16
Kalau tadi Hek-mo Sai-ong ketika melawan Beng Kun Cinjin merasa malu untuk minta bantuan, adalah karena dia dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan, dan sudah menjadi watak seorang kang ouw yang gagah untuk pantang mundur pantang minta bantuan dalam sebuah pertempuran, apa lagi kalau menghadapi sesama tokoh kaugouw Tidak demikian dengan Ta Gu Thai Panglima Mongol itu setelah mengerti bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu ia akan kalah lalu memberi aba-aba kepada kawan-kawannya. Menyerbulah beberapa orang busu yang tinggi ilmu silatnya, bahkan Hek mo Sai-ong ikut menyerbu. Panglima Kim i-wi ini telah mengambil senjata gembolan baru dan kini ia menyerbu dengan sengitnya.
Kali ini Beng Kun Cinjin benar-benar terdesak, akan tetap, dia benar-benar hebat. Tidak.saja tasbehnya merupakan gulungan sinar putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga jangankan baru senjata lawan, biarpun ia disiram air hujanpun kiranya takkan basah tubuhnya. Demikian cepatnya tasbeh itu berputar. Dan di samping ini ia masih menggerakkan tangan kirinya, membagi bagi pukulan jarak jauh dengan Ilmu Silat Lui kong-jiu. Beberapa orang busu terpaksa menjauhkan diri karena pukulan ini tak boleh dipandang ringan. Bahkan dalam sebuah rangsekan hebat, sebuah daripada gembolan di tangan Hek-mo Sai-ong kembali pecah terpukul oleh telapak tangan kiri hwesio itu secara telak sekali!
"Hebat.....:, sayang Beng Kun Cinjin tidak mau kami angkat menjadi kepala pengawal......” tiba tiba terdengar orang berkata. Suaranya berpengaruh dan nyaring. tanda bahwa yang bicara bukanlah seorang biasa melainkan seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan wibawa besar.
Beng Kun Cinjin melirik ke kiri dan dari balik tirai bambu yang halus sekali ia melihat seorang laki-laki berdiri tegak menonton pertempuran. Laki-laki ini bertubuh tinggi besar, bersikap gagah sekali dan biarpun sudah tua masih kelihatan bertenaga kuat. Pakaian orang ini bukan main indah dan gagahnya. Mukanya persegi dan gagah seperti muka singa, jenggotnya panjang teratur rapi, kumisnya tebal, daun telinganya lebar. Sepasang matanya bersinar lembut akan tetapi mengandung bayangan sifat yang keras hati dan bersemangat! Pakaiannya bersulamkan benang emas dengan lukisan burung hong dan naga.
Hati Beng Kun.Cinjin berdebar. Inilah kaisar, tak salah lagi. pikirnya. Inilah orangnya yang menggerakkan tentara Mongol. yang telah menyerbu tanah airnya dan yang telah menewaskan laksaan rakyat Tiongkok. Tiba-tiba timbul kebencian besar di dalam dadanya, apa lagi kalau ia ingat bahwa hampir saja ia mati terbakar di dalam kelenteng.
"Kaisar lalim, kau harus mati lebih dulu!" bentaknya dan secepat kilat tubuhnya melesat ke arah tirai bambu. Terdengar bunyi nyaring ketika tirai bambu itu pecah dan tanpa memberi kesempatan lagi Beng Kun Cinjin menggerakkan tasbehnya memukul ke arah kepala kaisar! Akan tetapi ternyata kaisar bukan seorang lemah. Memang siapa yang mengenal Jengis Khan. akan tahu bahwa kaisar ini dahulu adalah seorang pemuda Mongol bernama Temu Cin yang gagah perkasa dan bersemangat baja. Kalau dia bukan seorang luar biasa, tak mungkin dia akan dapat membawa bangsanya yang tadinya dihina kanan kiri menjadi bangsa yang kuat dan hebat.
Serangan Beng Kun Cinjin dapat dielakkannya dengan mudah akan tetapi sebagai seorang kaisar, tentu saja ia tidak mau melayani hwesio ini dan secepat kilat ia melangkah mundur dan tiba-tiba saja lenyap dari depan Beng Kun Cinjin!
17
Hwesio ini tercengang dan tidak percaya kalau kaisar dapat menghilang begitu saja seperti setan. Ketika ia melangkah maju. tahulah ia bahwa kaisar telah lari melalui pintu rahasia yang berada tepat di belakang kaisar, terbenam dalam dinding tembok tebal. Beng Kun Cinjin marah sekali. Diayunnya tasbeh dan terdengar suara keras dibarengi jebolnya tembok itu!
Sementara itu Ta Gu Thai dan Hek-mo Sai-ong bersama kawan-kawannya telah menyerbu ke dalam ruangan ini dan kembali Beng Kun Cinjin dikeroyok Akan tetapi setelah melihat kaisar. Beng Kun Cinjin tidak ada nafsu lagi untuk menawan para pengawal. Kini niat satu-satunya hanya mencari dan mendapatkan kaisar untuk dibunuhnya. Maka sambil memutar tasbeh untuk melindungi dirinya dari pada serangan lawan dari belakang, ia lalu melompat ke depan, menerjang tembok yang sudah jebol dan cepat mengejar dan mencari kaisar yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya. Gerakannya demikian cepat sehingga sebentar saja ia telah meninggalkan para pengawal, masuk ke sebelah dalam istana yang besar dan luas sekali itu
Ia tiba di ruangan yang amat indah dan sejuk hawanya. Ruangan ini merupakan ruangan terbuka, biarpun di bawahnya berlantai mengkilap dan bersih, akan tetapi atasnya tidak beratap. Di sini penerangan berwarna kehijauan dan bukan main segarnya hawa di tempat ini. Tiba di tempat yang demikian indah dan sejuk. Beng Kun Cinjin baru merasa betapa lelah tubuhnya, ia merasa bingung, tidak tahu harus mencari ke mana. Jalan dari ruangan ini amat banyaknya, lebih dari sepuluh lorong yang menjurus ke ruangan-ruangan lain. Anehnya, kalau tadi ia dikeroyok oleh banyak pengawal, kini tidak kelihatan seorang pun manusia. Memang, ada seorang dua orang lewat di lorong depan, akan tetapi mereka adalah pelayan-pelayan wanita yang membawa teng (lampu), jalannya demikian halus dan lemah lembut. Memang merupakan pantangan besar bagi Beng Kam Cinjin untuk menyerang wanita. Kalau saja terlihat seorang pelayan pria, tentu akan ditangkapnya dan dipaksanya menunjukkan di mana tempat atau kamar dari kaisar.
Selagi ia kebingungan, ia melihat berkelebatnya kaisar di ujung kiri. Cepat ia berlari memasuki lorong itu. Akan tetapi, seperti juga tadi kaisar lenyap begitu saja. Beng Kun Cinjin penasaran dan mengejar terus, akan tetapi lorong itu memutar dan kembali ia tiba di ruang terbuka yang tadi! Beberapa kali ia memasuki lorong-lorong berputar yang ujungnya kembali ke ruangan tadi lagi.
Beng Kun Cinjin makin bingung. Ia berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, tasbehnya sudah digantungkan lagi di leher, Ia mendongak dan melihat langit biru gelap penuh bintang, pemandangan yang tentu akan menyenang kati hatinya kalau saja ia tidak sedang penasaran dan bernafsu hendak membunuh kaisar
Tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim ditabuh. Alangkah merdu suara itu dan nyata sekali pemainnya seorang ahli. Beng Kun Cinjin merasa bulu tengkuknya berdiri dan sekaligus seluruh perhatiannya tertuju kepada suara itu. Hm, lagu "Mencari kekasih di antara seribu bintang", lagu yang amat populer semasa ia masih muda dan sebelum bala tentara Mongol menyerbu ke selatan. Bagaimana ada orang berani mainkan lagu ini di dalam istana?
Beng Kun Cinjin mendengarkan terus, kepalanya agak dimiringkan sebagai biasanya seorang ahli mendengarkan musik kesayangannya.
18
"Sayang, ibu jari tangan pemain itu kurang bertenaga dalam membunyikan tali terbesar," kata Beng Kun Cinjin perlahan. Namun ia diam-diam mengaku bahwa pemainnya sudah ulung, dan lagu itu dimainkan dengan amat baiknya.
Tiba-tiba terdengar suara nyanyian, diiringi suara khim itu. Kembali Beng Kun Cinjin merasa punggungnya dingin sekali, tanda bahwa perasaan halusnya tersentuh. Memang inilah kesukaannya di waktu ia masih muda dan ia memang mempunyai kelemahan terhadap semua ini,
"Hebat........." keluhnya mendengar suara wanita yang bernyanyi itu. Beng Kun Cinjin mendengarkan dan kini ia berdiri tidak tetap lagi, kedua matanya dipejamkan dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa lemas dan nikmat, dan seluruh perhatiannya tercurah kepada suara nyanyian yang amat merdu itu.
"Seribu bintang di langit gemerlapan
cantik indah memberahikan
akan tetapi dimana dia kekasihku?
Tak kulihat di antara bintang seribu...........
seribu bintang cantik nian
namun tiada seperti kekasihku rupawan!
Bagai bulan purnama di antara bintang-bintang
kekasihku dalam hati menjadi penerang!"
Demikian merdu dan halus suara itu, demikian indah suara khim yang mengiringinya, dan tak terasa lagi tanpa disadari Beng Kun Cinjin melangkahkan kaki perlahan mendekati tempat dari mana suara itu datang. Hwesio ini segera terkena hikmat, tak sadar akan diri pribadi dan seakan-akan berada di bawah pengaruh gaib, terpesona oleh keindahan yang menyinggung jiwanya.
Beng Kun Cinjin tiba di depan sebuah jendela kamar. Jendela itu tertutup oleh sutera hijau yang bersulam kembang-kembang merah, tersorot lampu dari dalam amat indahnya kelihatan dari luar. Dari dalam kamar inilah keluarnya suara nyanyian dan khim yang menggetarkan jiwanya. Beng Kun Cinjin menggerakkan tangan kanan dan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, sutera hijau itu bolong, cukup lebar sehingga pandangan matanya dapat menembus dan melihat keadaan di dalam kamar.
Tiba-tiba sepasang mata Beng Kun Cinjin bersinar sinar bibirnya tersenyum aneh, keningnya berdenyut dan napasnya menjadi berat. Apa yang dilihatnya di dalam itu membuat ia makin terpesona sehingga ia seperti lupa siapa dia dan di mana dia berada, Serasa dalam surga dan berjumpa dengan bidadari.
Di dalam kamar yang perabotnya serba indah dan bersih itu, duduk seorang wanita berusia paling banyak duapuluh lima tahun. Cantik rupawan seperti mawar merah yang baru mekar. Pakaiannya dari sutera kuning dan biru tipis, gelungnya model puteri istana, agak lepas-lepas dan sedikit rambut berjuntai di depan keningnya, ia menundukkan muka jari-jari tangannya bergerak di atas tali tali khim dan bibirnya bergerak-gerak perlahan menyanyi.
Beng Kun Cinjin berdiri bengong. Kalau saja wanita itu tidak menabuh khim, kalau saja si cantik itu tidak bernyanyi pada saat seperti itu, kiranya hwesio ini tidak akan begitu terpengaruh. Akan tetapi kali ini Beng Kun Cinjin benar-benar lupa diri. Sepasang matanya bergerak-gerak dari atas ke bawah,
19
dari bibir yang merah mungil, yang ketika bernyanyi kadang-kadang terbuka, sedikit memperlihatkan deretan gigi kecil-kecil putih seperti mutiara. Kemudian pandang matanya menurun, ke arah jari-jari tangan yang mungil, halus meruncing, demikian halusnya sehingga seakan-akan tak bertulang dan kulitnya begitu tipis seakan akan orang dapat melihat urat-urat merah yang berada di dalamnya.
Beng Kun Cinjin ketika masih muda memang amat suka akan keindahan, terutama sekali akan keindahan wajah wanita, dan tentang musik dan nyanyian. Dia dahulu terkenal sebagai pemuda yang suka keluyuran, suka bergaul dengan wanita-wanita penari dan penyanyi, pemuda yang berulang kali bertukar kekasih sehingga ia ditolak ketika melamar seorang gadis pujaan hatinya. Hal ini membuat ia patah hati dan semenjak itu. setelah ia mendengar penghinaan gadis itu yang mengecapnya sebagai laki-laiki hidung belang dan tak tahu malu, Beng Kun Cinjin memperdalam ilmu silatnya dan akhirnya masuk menjadi hwesio Ia mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari pada keduniaan, terutama sekali dari pada memikirkan wanita cantik dan mendekati musik dan nyanyian.
Sudah berpuluh tahun ia mempertahankan nafsu hatinya yang sering kali timbul dan selama itu ia berhasil mempertahankan keteguhan iman dan batinnya. Akan tetapi, selama puluhan tahun itu. belum pernah ia melihat yang seperti ini. belum pernah ia melihat seorang wanita secantik ini, apa lagi seperti ini yang pandai menabuh khim dan bernyanyi, nyanyian kesayangannya di waktu muda lagi! Benar-benar hal yang amat luar biasa, mengapa begitu kebetulan?
Beng Kun Cinjia sudah tak diapat menguasai diri lagi, sudah berada di dalam cengkeraman hawa nafsu, berada di bawah pengaruh yang halus memenuhi hati dan pikirannya. Bagaikan dalam alam mimpi, kakinya bergerak menuju ke pintu kamar itu dan di lain saat ia telah membuka daun pintu dan melangkah masuk.
"Nona nyanyianmu merdu sekali." katanya ranah dan kini ia dapat melihat jelas betapa cantik jelitanya wanita itu setelah kini mengangkat muka dan memandang kepadanya dengan sepasang mata yang seperti bintang. Mula-mula mata itu seperti orang ketakutan, kemudian menjadi tenang seakan-akan hwesio itu tidak mendatangkan rasa takut lagi. dan berkatalah si cantik dengan suara halus merdu,
"Suhu membikin malu dan kaget aku saja. Nyanyianku amat buruk dan...... siapakah suhu yang gagah perkasa ini? Bagaimana bisa sampai di sini? Apakah suhu seorang calon pengawal batu?"
Beng Kun Cinjin menggeleng kepala, sepasang matanya masih menatap wanita itu dengan penuh kekaguman.
"Bukan, nona Memang kaisar minta pinceng menjadi koksu atau kepala pengawal di sini, akan tetapi pinceng tidak sudi dan timbul pertempuran."
Wanita, cantik itu nampak kaget, sepasang mata yang seperti mata burung hong itu terbelalak bening, alisnya yang seperti bulan muda itu berkerut, bibirnya yang kecil merah bergerak dalam setuan kaget.
"Ah. jadi suhu ini...... Beng Kun Cinjin yang datang hendak menghancurkan istana.? Aduhh........ suhu ampunkanlah jiwaku seorang wanita lemah......"
20
Serta-merta wanita itu. lalu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Beng Kun Cinjin. Terdengar ia teriak menangis.
Gemetar seluruh tubuh Beng Kun Cinjin. Laki-laki gagah perkasa yang tidak keder menghadapi seratus orang musuh tangguh ini. sekarang, menjadi lemah lunglai menghadapi seorang wanita cantik jelita yang menangis dan minta ampun di depan kakinya. Tercium olehnya keharuman yang luar biasa seperti seribu satu sari bunga semerbak keluar dari wanita di depan kakinya itu.
Ia membungkuk dan menyentuh sepasang pundak wanita itu, "Berdirilah kau nona, pinceng takkan mengganggu selembar pun rambut kepalamu."
Biarpun ia sudah menekan perasaannya, tidak urung suaranya terdengar gemetar dan parau ketika Beng Kun Cinjin merasa betapa lunak dan halus kulit pundak di bawah pakaian indah itu. Memang alam telah memberi senjata yang amat ampuh kepada kaum wanita yang dianggap, sebagai kaum lemah, dan senjata ini adalah stfat-sifat nya yang lemah lembut dan indah, yang cukup kuat untuk merobohkan hati laki laki yang bagaimana keras dan kuatpun!
"Nona, siapa namamu dan kau berada di istana ini sebagai apakah?”
Muka yang halus dan manis itu seketika menjadi merah padam. Pertanyaan ini sudah bukan semestinya dan jelas menunjukkan bahwa hwesio tinggi besar dan berkulit hitam hangus di depan nya ini sudah roboh betul-betul di bawah pengaruh kecantikannya. Wanita itu lalu tersenyum, tersenyum penuh kemenangan, juga penuh kelembutan dan daya penarik yang makin menggairahkan hati Beng Kun Cinjin.
"Cinjin yang gagah harap tidak memandang rendah kepadaku. Aku baru tiga bulan berada di istana dan mendapat kehormatan menjadi selir ke tujuhbelas dari kaisar. Kaisar amat sayang kepadaku akan tetapi sebaliknya aku tidak suka dijadikan selir yang ke sekian banyaknya. Hal inipun kaisar sudah mengetahui dan beliau berjanji akan menghadiahkan aku kepada seorang yang berjasa besar kelak......."
”Hemmm, siapakah namamu, nona?"
"Aku yang buruk dan bodoh bernama Hui Niang dari keluarga Kiu di Tai goan. Aku sudah mendengar tentang kegagahan Cinjin yang sakti luar biasa dan...... dan aku akan merasa aman sekali kalau mendapat perlindungan dari orang seperti Cinjin........." Suara Hui Niang turun naik seperti orang bernyanyi merdu.
"Apa maksudmu........?" Beng Kun Cinjin bertanya melangkah dekat.
"Cinjin yang gagah perkasa kalau hong siang sudah berkenan mengangkat Cinjin menjudi kok su bukankah itu baik sekali? Cinjin dapat hidup mulia di sini dan aku.... tak usah aku menanti untuk dihadiahkan kepada orang lain. Aku lebih suka melayani Cinjin selama hidupku, hidup dekat dengan seorang gagah perkasa yang mampu melindungi diriku selama hidup."
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut mungil dengan suara merdu merayu ini ditambah lagi dengan semerbak harum yang keluar dari si jelita, jatuhlah hati Beng Kun Cinjin. Lupa ia akan
21
kepalanya yang gundul sebagai tanda bahwa adalah seorang pendeta yang sudah melepaskan semua nafsu keduniawian lupa ia kepada tasbeh yang tergantung di lehernya sebagai alat memusatkan pikiran dalam berdoa, lupa kepada usianya yang sudah tua. Nafsu membakar dirinya, membuat ia merasa seperti masih muda belia, masih seperti dulu ketika ia bernama Gan Tui dan menjadi seorang pemuda pemogoran dan hidung belang. Bagaikan seekor kerbau jinak yang mandah saja dituntun oleh algojo menuju ke tempat penyembelihan ia mandah saja dituntun oleh nafsu yang menghancurkan semua sifat kejantanannya!
Pada keesokan harinya, ketika Beng Kun Cinjin bangun dari tidurnya di atas pembaringan dalam kamar yang indah itu, datang pelayan-pelayan wanita yang muda muda dan cantik-cantik, dengan langkah berlenggang memasuki kamar itu sambil tersenyum-senyum membawa segala macam keperluan untuk mandi. Berganti pakaian dan makan pagi. Semuanya serba lengkap dan serba indah! Juga kepada Beng Kun Cinjin. para pelayan ini menyebut "koksu" yang terhormat.
Beng Kun Cinjin merasa agak malu akan perbuatannya sendiri, akan tetapi ia maklum bahwa semenjak saat itu ia tidak mungkin meninggalkan Hui Niang. Wanita ini benar-benar telah menjatuhkan hatinya dan di dalam dadanya bersemi kembali cinta kasih yang dahulunya hanya ia tujukan kepada gadis yang menolak cintanya. Cinta kasih yang sebetulnya masih belum mati di dalam kalbunya, yang; selama puluhan tahun ini ia tekan-tekan, sekarang bersemi kembali dan cepat berakar kuat, membuat ia menikmati kebahagiaan hidup yang belum pernah ia alami bersama Kiu Hui Niang, wanita cantik jelita itu. Cinta kasihnya terhadap Hui Niang amat besar, mengalahkan rasa segan dan malunya. Tadinya ia hendak menculik dam membawa pergi Hui Niang. akan tetapi wanita ini dengan bujuk rayu yang mesra menyatakan hendak membunuh diri kalau dibawa keluar istana, dan akhirnya Hui Niang berhasil menundukkan hati Beng Kun Cinjin dan berhasil membuat hwesio ini berjanji akan tinggal di situ, dan menerima pangkat yang diberikan oleh kaisar kepadanya!
Beng Kun Cinjin adalah seorang tokoh Kang ouw yang ulung dan yang sudah kawakan, maka segera ia dapat menindih rasa malu atau segannya. Bahkan dengan wajah gembira ia membiarkan Kiu Hui Niang kekasihnya itu melayaninya, berganti pakaian baru yang serba indah dan menghadapi meja untuk makan pagi yang serba lezat bersama kekasihnya, dilayani para dayang istana.! Seorang aneh seperti Beng Kun Cinjin sebentar saja dapat menyesuaikan diri dan bahkan dapat menikmati hidup, serba kemewahan ini,
Setelah selesai makan pagi, datanglah seorang pembesar setengah tua diikuti oleh perwira perwi ra istana yang malam tadi mengeroyoknya. Kedatangan mereka itu adalah kunjungan kehormatan dan dari jauh mereka sudah tersenyum-senyum sambil mengangkat tangan memberi hormat dan memberi setamat!
Beng Kun Cinjin berdiri dari tempat duduknya dan menanti mereka dengan senyum di mulut. Ia diam saja. menaati apa yang hendak mereka katakan. Pembesar yang bertubuh kurus tinggi itu maju memberi hormat, dibalas oleh Beng Kun Cinjin.
"Siauwte Hoan Cin Ong memberi selamat kepada koksu baru. Kedatangan siauwte ini adalah untuk menyampaikan ucapan terima kasih dari hong siang (kaisar) atas kerelaan dan kesediaan koksu membantu negara,"
22
Beng Kun Cinjin cepat memberi hormat dan diam-diam ia merasa bangga. Kaisar benar benar tahu memikat hati orang, sampai-sampai mengutus Menteri Hoan Cin Ong yang terkenal tinggi kedudukannya itu untuk memberi selamat dan menyampaikan terima kasih kepadanya.
"Ong-ya telah memberi kehormatan besar ke pada pinceng dengan kunjungan ini. Hanya sebutan koksu itu membikin pinceng merasa tidak enak dan kurang mengerti " katanya.
Tagudai atau Ta Gu Thai. Panglima Mongol yang semalam bertempur dengan dia bersenjata roda golok maju dan memberi hormat sambil berkata tertawa "Beng Kun Cinjin telah menerima anugerah hong-siang. diangkat menjadi koksu negara. Aku yang muda dan bodoh menghaturkan selamat dan aku merasa bangga sekali mempunyai pemimpin seperti Cinjin yang gagah perkasa."
Beng Kun Cinjin tertawa senang. "Ciangkun terlalu merendahkan diri. Kepandaianmu juga hebat dan untuk masa kini sukar dicari keduanya. Untuk bekerja sama dengan ciangkun, benar-benar merupakan hal yang menggembirakan."
Hoan Cin Ong berkata lagi. "Kalau koksu sudah sempat, siauwte diutus memberitahukan bahwa hong-siang telah menanti koksu di ruangan dalam istana."
Dengan tabah Beng Kun Cinjin lalu diiringkan oleh mereka itu menuju ke ruangan sidang di mana: ia diperkenankan menghadap kaisar. Kaisar memberi selamat kepadanya dan mengucapkan terima kasih bahwa hwesio kosen ini suka membantu pergerakannya. Dengan manis budi kaisar menghadiahkan Kiu Hui Niang kepadanya.
"Dia anak baik. syukur kalau koksu suka kepadanya. Apa bila koksu memerlukan sesuatu. sampaikan saja kepada Hoan Cin Ong, tentu segala keperluan koksu akan tersedia," kata kaisar itu sambil tersenyum.
Beng Kun Cinjin menghaturkan terima kasih dan berjanji akan membantu kaisar. "Hanya satu hal hamba harus memberi tahu kepada paduka, bahwa dalam pekerjaan ini, hamba hanya sanggup untuk menghalau musuh negara bukan bangsa hamba sendiri dan melindungi paduka dari pada penyerangan-penyerangan gelap. Kalau hamba disuruh membantu pergerakan menindas bangsa hamba sendiri, terpaksa hamba tidak sanggup melakukannya. Betapapun juga, hwesio ini kiranya masih ingat akan kebangsaan dan tidak mau mengkhianati bangsa sendiri! Kaisar Jengis Khan tertawa, biarpun di dalam hatinya agak kecewa.
"Koksu jangan kawatir. Kamipun mempunyai rencana untuk mengundurkan semua pasukan dan akan melakukan gerakan ke barat. Oleh karena itu, koksu hanya akan bertemu dengan musuh-musuh asing di dunia barat. Kami tidak akan melanjutkan gerakan ke selatan."
Memang, pada waktu itu. Jengis Khan baru mulai dengan rencananya menyerbu ke barat, ia sedang menghimpun kekuatan dan didapatkannya seorang pembantu seperti Beng Kun Cinjin. benar-benar menyenangkan hatinya karena tenaga hwesio ini merupakan bantuan yang amat berharga dalam menghadapi panglima-panglima musuh yang tangguh.
Setelah kaisar membeberkan rencananya menyerbu ke barat setelah menghimpun kekuatan dan memberi waktu kepada bala tentara untuk beristirahat. Beng Kun Cinjin diperkenankan mundur.
23
Selama tiga bulan hwesio ini hidup bagaikan di dalam surga, penuh kenikmatan dan kemuliaan sehingga tubuhnya menjadi makin gemuk. Kulitnya yang hangus diobati dan mulai menghilang. Ia menjadi lebih terikat oleh Hui Niang dan menjadi lebih bahagia dalam kedudukannya yang baru ketika mendapat kenyataan bahwa Hui Niang telah mengandung!
Peristiwa di atas, yaitu runtuhnya hati Beng Kun Cinjin terhadap kecantikan Kiu Hui Niang dan mengakibatkan ia rela menjadi koksu dan menjadi apa yang oleh orang-orang gagah disebut 'anjing Bangsa Mongol’ telah menggegerkan dunia kangouw di daerah selatan. Nama Beng Kun Cinjin sudah terkenal sebagai seorang gagah yang berjiwa patriot maka berita bahwa hwesio kosen itu rela menjadi kaki tangan kaisar penjajah hanya karena tergila-gila pada seorang wanita cantik, benar-benar mendatangkan heboh di kalangan kang-ouw Banyak orang gagah menjadi marah dan mencaci-maki Beng Kun Cinjin.
Yang paling merasa sedih dan marah di antara semua orang gagah, adalah murid-murid Beng Kun Cinjin sendiri. Beng Kun Cinjin mempunyai tiga orang murid yang ia sayang dan tiga orang ini sudah menjadi pendekar-pendekar yang ternama. Murid pertama dan kedua adalah suami isteri Thio Houw dan Kwee Goat Murid ketiga adalah adik Kwee Goat yang bernama Kwe Sun Tek.
Thio Houw dan isterinya membuka perusahaan piauwkiok (perusahaan expedisi mengirim barang) dan sudah mempunyai seorang anak laki-laki berusia satu tahun lebih. Mereka hidup bahagia dan sering kali suami isteri pendekar ini mengulurkan tangan menolong orang-orang yang sengsara, baik berupa pertolongan benda maupun tenaga. Oleh karena itu mereka amat dihormati dan disegani oleh kalangan kang-ouw, bahkan dunia Liok Lim (perampok) juga tidak berani sembarangan mengganggu, barang kiriman yang dikawal oleh perusahaan mereka. Tidak saja para penjahat segan mengganggu suami isteri yang budiman ini, juga mereka takut akan nama besar Beng Kun Cinjin, guru dari suami isteri itu.
Kwee Sun Tek biarpun sudah berusia hampir tigapuluh tahun, masih tetap jejaka. Ia membujang dan merantau ke mana saja untuk meluaskan pengalaman. Juga pendekar muda ini banyak menumpas kejahatan dan menolong orang yang bersengsara. Dari tiga orang muridnya ini, Beng Kun Cinjin memperoleh nama harum.
Oteh karena itu, alangkah kaget hati Kwee Sun Tek ketika ia merantau ke utara. ia mendengar akan keadaan suhunya yang telah menikah dengan seorang puteri istana Mongol dan menjadi koksu negara penjajah! Pendekar muda ini membanting-banting kaki dan lupa makan lupa tidur memikirkan keadaan gurunya. Ia merasa malu untuk hidup di dunia kang-ouw, malu karena tingkah laku suhunya, yang benar-benar di luar dugaan ini. Selama ia mengenal suhunya, orang tua itu adalah seorang hwesio yang hidup saleh, bagaimana sekarang tiba-tiba menjadi begitu tak tahu malu! Tanpa membuang waktu lagi, Kwee Sun Tek lalu lari menuju ke Shan-tung di mana encinya dan iparnya tinggal.
Thio Houw dan isterinya kaget setengah mati mendengar berita yang dibawa oleh Kwee Sun Tek. Thio Houw mengepal-ngepal tinjunya dan Kwee Goat menangis sedih.
"Suhu benar-benar melakukan perbuatan yang aneh Aku hampir tak dapat percaya kalau bukan kau yang membawa berita ini sute " kata Thio Houw.
24
"Aku sendiri tadinyapun tidak mau percaya,, akan tetapi sudah kuselidiki dan memang suhu telah berada di istana. Tadinya suhu melakukan perlawanan, bahkan kelenteng di mana suhu tinggal telah dibakar habis oleh bala tentara musuh. Kemudian suhu menyerbu ke istana hendak membunuh kaisar. Akan tetapi. entah mengapa dan entah apa yang terjadi di sana tahu-tahu dikabarkan orang bahwa kaisar telah mengangkat seorang koksu baru bernama Beng Kun Cinjin dan koksu itu menikah dengan seorang puteri Istana!"
''Memalukan! Memalukan sekali!" Kwee Goat mengeluh. "Kita harus ke sana dan membujuk suhu supaya keluar dari Istana!”
"Memang kita harus bertindak. Kalau dibiarin saja. nama kita semua akan menjadi busuk." kata Thio Houw. "Akan tetapi kau tinggalah saja di rumah. isteriku, dan menjaga anak kita. Perjalanan ini belum tentu tidak menghadapi bahaya, biar aku dan Kwee-sute saja yang pergi."
"Tidak, aku penasaran dan aku akan ikut. Aku harus memperingatkan suhu," kata isterinya membantah.
"Sukar juga." kata Kwee Sun Tek. "Cihu juga tahu, biasanya suhu hanya memperhatikan kata-kata enci Goat dan sejak dulu suhu menuruti permintaan enci Goat yang amat disayangi. Memang baiknya enci Goat yang sekarang memperingatkannya, tentu ia akan malu dan akan menurut. Akau tetapi enci mempunyai anak yang baru berusia setahun......."
"Apa salahnya? Liong-ji (anak Liong) sudah besar dan tubuhnya kuat. laginya dengan adanya kita bertiga, dia sudah cukup terlindung. Kalau suhu tidak menuruti permohonanku dan suhu melihat Liong-ji, kiranya hatinya akan tergerak. Urusan ini menyangkut nama baik kita sekeluarga, cukup pantas kalau kita semua berkorban waktu dan tenaga."
Akhirnya, berangkatlah tiga orang, murid ini. bersama Thio Pek Liong yang baru berusia setahun lebih, ke utara, menuju ke kota raja yang belum lama dirampas oleh bafa tentara Mongol. Mudah saja bagi mereka untuk menyelidik keadaan koksu baru dan ternyata bahwa memang betul koksu yang baru diangkat itu adalab guru mereka!
Kepandaian suami isteri Thio Houw dan Kwe Goat sudah mencapai tingkat tinggi sekali karena mereka ini sudah mewarisi tiga perempat bagian dari kepandaian Beng Kun Cinjin. Hanya Kwee Sun Tek yang belum setinggi mereka tingkatnya, karena baru belakangan ia menjadi murid Beng Kun Cinjin. dan sebagian besar kepandaiannya ia dapat dari enci dan iparnya.
Karena mereka tidak mau membikin malu suhu mereka, maka mereka mengambil keputusan untuk mendatangi Beng Kun Cinjin secara diara diam dan di waktu tengah malam. Apa lagi mereka juga harus menanti sampai anak kecil itu tidur, karena tak mungkin membawa-bawa anak itu ke istana. Mereka bermalam di dalam sebuah kelenteng dan setelah anak itu tidur. Thio Houw menitipkan anaknya kepada hwesio penjaga kelenteng. Setelah itu mereka bertiga berangkat ke istana.
Kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Tembok yang melingkungi istana dengan mudah saja mereka lompati dan bagaikan tiga bayangan setan mereka melompat-lompat di atas wuwungan bangunan-bangunan istana itu mencari tempat tinggal Beng Kun Cinjin.
25
Akan tetapi, seperti telah diketahui istana juga mempunyai banyak pengawal yang lihai. Kalau para penjaga dan peronda yang terdiri dari tentara biasa tidak dapat melihat masuknya tiga orang pendekar ini, adalah para pengawal istana sudah mengetahui- Maka begitu tiga orang ini melompat turun ke ruangan tengah, mereka segera terkurung. Oleh lima orang pengawal yang dikepalai oleh Hek mo Sai-ong yang sudah memegang sepasang gembolan di kedua tangannya,
"Kalian ini orang-orang berani mati, siapakah kalian dan apa maksud kedatangan kalian di sini?” bentak Hek-mo Sai-ong. tidak berani berlaku terlalu kasar karena ia tadi melihat gerak-gerik tiga orang yang gesit, tanda bahwa yang datang adalah orang orang berilmu. Apa lagi ia belum tahu apa maksud kedatangan mereka.
Thio Houw bertiga tertegun juga melihat bahwa para pengawal itu ternyata sudah bersiap-siap dan tahu akan kedatangan mereka. Mereka datang bukan untuk membikin ribut di Istana, melainkan untuk membujuk suhu mereka keluar dari situ. maka Thio Houw Lalu menjawab singkat.
"Kami datang untuk bertemu dengan suhu Beng Kun Cinjin."
Hek-mo Sai-ong menjadi curiga. Hendak bertemu dengan orang pada waktu tengah malam dan melalui jalan seperti maling, benar-benar tak boleh dipercaya. Tentu mengandung maksud buruk.
"Koksu sedang beristirahat, tak boleh diganggu. Kalau ada keperluan, boleh datang menghadap besok. Mengapa mencari koksu pada tengah malam buta?” tegur Hek-mo Sai-ong.
"Mereka ini tentu bukan orang baik-baik" menyambung seorang pengawal yang sudah gatal-gatal tangannya untuk segera menyerang, ia memandang ringan kepada tiga orang ini. Thio Houw berpengawakan tinggi tegap dan gagah, isterinya cantik dan keren, sedangkan Kwee Sun Tek tampan dan agak kurus. Tidak ada yang aneh pada tiga orang yang masih muda ini, maka para pengawal memandang rendah.
Thio Houw tersenyum tenang. ''Harap kalian jangan menghalangi kami yang tidak mempunyai maksud buruk terhadap istana ataupun kalian Kami adalah murid-murid Beng Kun Cinjin dan ingin bertemu dan bicara urusan penting dengan suhu."
Mendengar ini, Hek-mo Sai-ong dan kawan-kawannya menjadi kaget sekali. Kalau mereka ini murid-murid koksu. tentu saja tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi tetap saja kedatangan mereka pada tengah malam buta menimbulkan kecurigaan. Semua orang tahu belaka bahwa sebelum menjadi koksu negara. Beng Kun Cinjin adalah seorang tokoh yang memusuhi bala tentara Mongol. Tentu murid-muridnya juga terhitung musuh mereka. Laginya, Beng Kun Cinjin baru saja menjadi koksu. belum memperlihatkan jasa sedikitpun. Bagaimana murid-muridnya bisa dipercaya?
"Ah, jadi samwi ini murid-murid koksu yang terhormat? Maaf kalau kami tidak menyambut secara hormat Akan tetapi, karena kedatangan sam-wi bukan pada waktu yang tepat, tentu saja tadi kami menjadi curiga. Untuk melenyapkan kecurigaan ini, harap samwi suka datang lagi besok pagi dan kami akan menyambut sebagaimana mestinya dan akan kami sampaikan kunjungan sam wi itu kepada koksu." kata Hek-mo Sai-ong dengan ramah, akan tetapi matanya memandang tajam penuh selidik.
Thio Houw menjadi tidak senang. "Kami berurusan dengan guru sendiri, ada sangkut-paut apakah dengan kalian? Harap kalian menyingkir dan biar kami mencari sendiri dan bicara dengan suhu!"
26
Hek mo Sai ong juga mulai marah. Ia menganggap Thio Houw sombong sekali.
"Biarpun sam wi murid-murid koksu. akan tetapi aku dan kawan kawanku ini bertugas menjaga keamanan di sini dan tanpa perkenan kami, tidak boleh siapapun juga berkeliaran di lingkungan istana. Sam-wi keluar dengan baik-baik dari tempat ini atau terpaksa kami menggunakan kekerasan." Sepasang gembolannya sudah digerak-gerakkan penuh ancaman.
Kwee Sun Tek tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sungguh tidak dapat ia mengerti bagaimana suhunya bisa bekerja sama dengan orang orang macam ini.
"Cihu, babi macam ini sikat saja sudah!" katanya marah sambil mencabut pedangnya.
Dua orang pengawal mendengar makian pemuda ini, serentak maju dan menggerakkan tombak mereka untuk menyerang. Akan tetapi Kwee Sun Tek yang sudah marah sekali, memutar pedangnya dengan gerak tipu Giok-tai-wi yauw (Sa buk Kemala Melilit Pinggang) pedangnya dengan cepat sekali berkelebat memutar Terdengar suara keras dan dua batang tombak itu terbabat parah, bahkan seorang di antara dua pengawal yang menyerangnya tadi karena kurang cepat mengelak terbabat pula pundaknya, terluka parah dan menggelundung pergi. Yang seorang melompat ke belakang dengan muka pucat.
"Ada penjahat! Kepung..... tangkap.......bunuh!" teriak Hek-mo Sai-ong dengan keras dan marah. Sepasang gembolannya menyambar ke depan, ke arah kepala Kwee Sun Tek.
"Plak!" Gembolan kiri yang meluncur maju itu tertahan oleh benda keras, membalik dan hampir memukul kepalanya sendiri. Hek mo Sai ong kaget bukan main ketika melihat bahwa gembolannya itu tertangkis oleh tongkat pendek di tangan Thio Houw. Tahulah ia bahwa lawannya ini bertenaga besar dan memiliki kepandaian tinggi.
Atas teriakan Hek-mo Sai-ong, banyak pengawal lari mendatangi. Memang Hek-mo Sai ong berlaku cerdik dan hati hati. Ia tidak mau mengambil resiko dimarahi oleh koksu. maka ia sengaja berteriak ada penjahat agar kalau dia dan kawan kawannya berhasil menewaskan tiga orang ini, ia dapat mengambil alasan bahwa, tiga. orang ita adalah penjahat-penjahat yang hendak mengacau istana!
Pertempuran hebat terjadi di ruangan yang luas itu. Para pengawal datang makin banyak dan sebentar saja tiga orang pendekar itu terkepung. Thio Houw dan Kwee Goat yang bersenjata pedang dikeroyok oleh Hek-mo Sai-ong. Sin-chio Lo Thung Khak. dan Ta Gu Thai yang kosen, masih dibantu oleh tiga orang pengawal lain yang berkepandaian tinggi sedangkan Kwee Sun Tek dikeroyok oleh lima orang pengawal lain. Akan tetapi karena para pengeroyok pemuda ini kurang tinggi kepandaiannya maka dalam duapuluh jurus saja Kwee Sun Tek sudah berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok. Pengawal-pengawal lain datang menggantikan mereka yaag roboh dan pertempuran berjalan lapi lebih rsme.
Sementara itu Thio Houw dan isterinya biarpun dikepung oleh tiga orang jago istana bersama tiga orang pengawal iain berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dan mengamuk terus biarpun mereka kini dikepung sampai rapat betul.
27
Pada saat itu terdengar suara keras berpengaruh.
"Semua orang berhenti bertempur!"
Hekmo Sai ong dan kawan-kawannya mengenal suara koksu, juga tiga orang pendekar itu mengenal suara suhu mereka maka otomatis mereka menarik senjata masing-masing dan melangkah mundur.
Beng Kun Cinjin muncul, tubuhnya makin gagah, mukanya nampak berseri dan muda, pakaiannya mewah dan kepalanya yang dulu gundul pelontos itu mulai ditumbuhi rambut. Thio Houw, Kwee Goat dan Kwee Sun Tek hampir tidak mengenal suhu mereka. Akan tetapi begitu Beng Kun Cinjin membuka suara, mereka segera mengenal dan kini mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Kun Cinjin.
"Suhu.....!"' kata mereka hampir berbareng.
Keadaan sunyi sekali. Para pengawal berdiri seperti patung, dengan hati tegang, hendak melihat apa yang selanjutnya akan terjadi antara guru dan tiga orang muridnya itu. Para korban sudah diangkat pergi.
"Thio Houw, apa maksudmu membawa isteri dan adikmu datang membikin ribut di sini?" terdengar Beng Kun Cinjin berkata dengan nada suara tak senang.
"Suhu, teecu bertiga bermaksud menghadap dan menemui suhu, akan tetapi para srigala utara ini menghalangi maksud teecu sehingga terjadi pertempuran:" jawab Thio Houw dengan terus terang dan sengaja menyebut para pengawal istana itu "srigala utara" untuk mengingatkan suhunya bahwa mereka itu semua adalah penjajah yang harus mereka musuhi.
Merah wajah Beng Kun Cinjin, bukan merah karena malu atau merasakan sindiran, melainkan merah karena marah.
"Thio Houw, kau sungguh tidak tahu aturan! Mau menghadap pinceng mengapa datang di tengah malam buta dan membikin kacau? Mengapa tidak di siang hari dan menghadap secara baik-baik? Benar-benar memalukan pinceng yang menjadi gurunya!"
"Suhu!" Kwee Goat berseru penasaran, "Bagaimana suhu berkata demikian? Teecu bertiga datang untuk mengajak suhu pergi dari sini, dan mari kita basmi srigala-srigala ini sebelum suhu pergi bersama teecu bertiga. Suhu, mereka ini adalah musuh-musuh kita, bukan?"
Beng Kun Cinjin memandang kepada murid perempuannya, murid yang dulu amat disayangnya seperti kepada anak sendiri.
"Goat-ji. aku mendengar kau sudah menjadi ibu. Mengapa kau tidak tinggal di rumah menjaga anakmu? Pulanglah kau bersama suamimu dan adikmu dan jangan mencampuri urusanku."
"Suhu, tak mungkin teecu bertiga pulang tanpa suhu ikut dengan kami!" kata Kwee Sun Tek bernafsu. "Suhu adalah junjungan kami dan setiap perbuatan suhu langsung ditanggung oleh kami, seperti juga semua perbuatan kami adalah tanggung jawab suhu. Lebih baik kami mati dari pada melihat suhu
28
menjadi kaki tangan penjajah laknat!" Memang Kwee Sun Tek orangnya berdarah panas, maka ia tak dapat menahan kemarahannya melihat sikap suhunya yang memalukan itu.
Beng Kun Cinjin mendelikkan matanya, dan Kwee Goat yang merasa bahwa adiknya bicara keterlaluan, cepat berkata kepada suhunya dengan suara membujuk, "Suhu. kalau yang mengikat suhu di sini itu adalah puteri yang menjadi isteri suhu. mari kita mengajaknya pergi dari sarang musuh ini. Apa sukarnya?”
"Tidak bisa......... tidak bisa....... pinceng sudah banyak menerima budi hong-siang dan pinceng berada di sini hanya untuk melindungi keselamatannya. Sama sekali pinceng tidak memusuhi bangsa sendiri."
"Suhu. betul-betulkah suhu tidak mau insyaf dan tetap hendak membela kepentingan musuh? Suhu, semua orang gagah di dunia kang-ouw akan mengutuk perbuatan suhu ini dan kami sendiri akan menjadi bahan makian di mana-mana sebagai murid-murid seorang penghianat bangsa!" kata Thio Houw.
"Keparat, tutup mulut!" bentak Beng Kun Cinjin dengan marah sekali.
Pada saat itu, Ta Gu Thai melangkah maju dan mencoba untuk mencari muka,
"Koksu, murid-murid koksu ini gagah perkasa. Alangkah baiknya kalau mereka suka membantu pekerjaan koksu agar mereka tahu sampai di mana kebijaksanaan junjungan kita dan sampai di mana kebesaran pemerintah yang baru."
Mendengar ini, Beng Kun Cinjin mengangguk-angguk. Memang ia merasa tidak enak sekali harus bermusuhan dan ribut-ribut dengan murid-muridnya sendiri, "Kau dengar itu, Thio Houw. Go-at ji dan Sun Tek! Inilah jalan terbaik bagi kalian. Tinggallah di sini dan bantu pekerjaan pinceng. Di antara, kita tidak semestinya ada pertikaian”.
Mendengar ini, bukan main panasnya hati tiga orang pendekar itu. Kalau tadi mereka berlutut, kini serentak ketiganya berdiri tegak.
"Suhu, sekali lagi. Sudah tetapkah pendirian suhu tidak akan meninggalkan musuh dan tetap menjadi koksu di sini, hidup mewah dan berenang dalam kemuliaan palsu yang diadakan oleh musuh bangsa?” tanya Thio Houw.
"Pinceng memilih jalan hidup sendiri, kalian ini orang-orang muda mau apakah? Apakah pinceng tidak berhak menentukan jalan hidup sendiri dan tidak berhak mencari kebahagiaan? Persetan dengan kalian dan pergilah dari sini kalau tidak mau mendengar omonganku!"
"Bagus!" Thio Houw juga membentak marah. "Beng Kun Cinjin, mulai saat ini aku, isteriku Kwee Goat dan adik iparku Kwee Sun Tek sudah bukan murid-muridmu lagi! Kami tidak sudi menjadi murid pengkhianat, dan hal ini akan kami umumkan di dunia kang-ouw. Mulai saat ini tidak ada sangkut-paut lagi antara kau dan kami, dan kedosaanmu boleh kau tanggung sendiri!"
Kemarahan Beng Kun Cinjin meluap. "Begitukah? Kalau begitu serahkan kembali senjata-senjatamu yang dulu kalian terima dariku!" Tubuhnya bergerak cepat sekali ke arah murid-muridnya.
29
Thio Houw yang maklum bahwa bekas gurunya itu hendak merampas senjata, menjadi terkejut sekali. Ia berada di dalam gua macan, artinya di dalam tempat musuh, kalau senjatanya dirampas berarti dia dan isteri serta adiknya akan menghadapi bahaya besar. Maka cepat ia menggerakkan tongkat pendeknya untuk menotok dada bekas gurunya. Juga Kwee Goat dan Kwee Sun Tek yang maklum akan maksud bekas guru ini, tidak mau mengalah mentah-mentah dan menggerakkan pedang masing-masing untuk menyerang!
Terjadi pertempuran hebat antara guru dan tiga orang muridnya! Biarpun bertangan kosong, dengan mudah Beng Kun Cinjin dapat menghindarkan diri dari tiga macam serangan itu. Akan tetapi murid-muridnya yang selama ini sudah memperoleh kemajuan pesat, cepat menyusul dengan serangan kedua membuat Beng Kun Cinjin kewalahan. Memang, kepandaian Thio Houw dan Kwee Goat sudah tinggi, malah kiranya lebih tinggi dari pada kepandaian para panglima Istana.
Betapapun juga. karena semua kepandaian mereka itu asalnya dari Beng Kun Cinjin, maka tentu saja sebentar kemudian Beng Kun Cinjin sudah dapat menguasai keadaan.
Dengan gerak tangan yang gesit dan kuat sekali, hawa pukulan Lui kong jiu dapat memukul setiap serangan mereka, kemudian dengan Ilmu Silat Pai-in-ciang, hwesio itu dapat membuat pertahanan tiga orang muridnya menjadi kalang kabut. Akan tetapi karena bukan maksudnya hendak merobohkan murid-muridnya, hanya hendak merampas senjata, tak mudah baginya untuk mencapai maksud hatinya. Apa lagi tiga orang muridnya itu sudah maklum akan kehendaknya ini dan mempertahankan senjata mereka secara mati-matian.
Dua puluh jurus lewat sudah dan Beng Kun Cinjin menjadi amat marah. Ia merasa malu sampai sekian lama tidak dapat berhasil dalam usahanya, di depan mata para panglima. Masa menghadapi murid-murid sendiri ia menjadi mati kutu? Dengan gerengan hebat tahu-tahu tasbeh yang dikalungkan di leher telah berada di tangannya.
Thio Hduw, Kwee Goat, dan Kwee Sun Tek kaget bukan main. Betul-betulkah bekas suhu ini sudah demikian rusak moralnya dan hendak membunuh-bunuhi murid sendiri?
Tiga orang murid itu sudah cukup maklum betapa hebat dan lihainya senjata tasbeh guru mereka, Beng Kun Cinjin itu yang sepanjang ingatan mereka belum pernah dikalahkan orang. Sekarang melihat suhu mereka mempergunakan tasbeh' ini, mereka menjadi gentar juga. Akan tetapi karena mereka sudah merasa benci kepada bekas guru yang menyeleweng ini, mereka menjadi nekat dan malah menyerang lebih hebat lagi dari pada tadi.
"Kalian benar-benar berkepala batu!" bentak Beng Kun Cinjin, tasbehnya menyambar mengeluarkan angin pukulan yang membuat tiga orang muridnya itu terhuyung ke belakang dan sebelum mereka dapat mencegah, tahu-tahu tasbeh itu sudah melingkari tongkat Thio Houw dan tangan kiri hwesio itu sudah menyambar pedang di tangan Kwee Sun Tek. Sekali ia berseru sambil mengerahkan tenaga, dua senjata itu telah dirampasnya!
Thio Houw dan Kwee Sun Tek terkejut sekali dan hanya memandang dengan mata terbelalak, melihat bagaimana senjata mereka dirampas oleh bekas guru itu. Beng Kun Cinjin tertawa.
30
"Kalian anak-anak muda benar-benar tak tahu diri, disuruh pergi baik- baik tidak mau, disuruh tinggal juga tidak mau, sebaliknya menghina dan membikin malu guru. Jangan salahkan pinceng kalau pinceng merampas kembali senjata sebagai hukuman. Hanya pedang Cheng-hong-kiam di tangan Goat-ji (anak Goat) tidak pinceng minta kembali, mengingat akan kebaikan hati dan kebaktian Goat-ji dulu-dulu. Nah, pergilah kalian!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat hwesio itu telah lenyap dari situ, kembali ke kamarnya di mana kekasihnya, Kiu Hui Niang telah menantinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening ketika mendengar suara ramai-ramai di luar orang bertempur. Tahulah ia bahwa tiga orang muridnya itu berkeras hati dan tidak mau pergi, malah kini bertempur lagi melawan para panglima istana. Sukar baginya untuk mencegah, karena tiga orang muridnya itu yang sudah membikin rusuh di istana tentu saja tidak akan dibiarkan pergi begitu saja oleh para pengawal. Apa lagi setelah para pengawal itu melihat bahwa sekarang tiga orang itu sudah tidak mau mengaku sebagai muridnya, tentu para pengawal tidak segan-segan lagi turun tangan dan tidak sungkan lagi kepadanya yang sekarang sudah bukan guru lagi dari tiga orang itu. Diam-diam hati Beng Kun Cinjin menjadi tidak enak sekali. Ia lalu menutup pintu dan jendela rapat-rapat agar tidak mendengar suara pertempuran di luar dan menghampiri kekasihnya yang sudah menanti di situ.
"Bagaimana, apakah penjahat-penjahat itu sudah kau bekuk?" tanya Kiu Hui Niang yang menyambut kedatangan suaminya dengan muka khawatir, "Aku masih mendengar pertempuran di luar."
"Biarlah, senjata-senjatanya sudah ku rampas. Para pengawal sudah cukup kuat untuk membereskan mereka," jawab hwesio itu sambil duduk di atas bangku dan menghirup habis secawan besar arak wangi.
"Aku mendengar bahwa mereka itu bekas murid-muridmu, betulkah?" tanya Hui Niang, wajahnya yang cantik masih memperlihatkan kekhawatiran.
"Jangan kau takut, manisku. Tidak baik waktu mengandung berkhawatir. Mereka itu hanya bekas murid muridku, bukan apa-apa. Sebentar lagi tentu mereka akan tertawan atau tewas oleh para pengawal."
"Apakah murid-muridmu hanya tiga orang itu? Mereka itu bekerja apa dan bagaimana keadaan mereka?" Hui Niang mendesak sambil mendengarkan suara ribut-ribut di luar.
Beng Kun Cinjin tersenyum, lalu menarik napas panjang untuk mengusir kenangan-kenangan lama antara guru dan murid-murid yang pada saat itu malah mengesalkan hatinya. "Yang dua adalah suami isteri membuka piauwkiok di selatan yang seorang adalah adik si isteri. Mereka memang besar kepala dan patut mendapat hukuman."
"Suamiku yang baik, suamiku yang gagah, mengapa tidak kau sendiri keluar menghabiskan nyawa mereka? Aku khawatir mereka akan dapat lolos dari kepungan para pengawal." kata Hui Niang memohon.
Diam-diam memang Beng Kun Cinjin mengharapkan ketiga orang muridnya itu akan dapat meloloskan diri dan pergi dari situ. Betapapun juga ia tidak menghendaki tiga orang muridnya itu tewas oleh para pengawal. Tadi ia sengaja merampas senjata Thio Houw dan Kwee Sun Tek karena ia maklum bahwa tanpa senjata, mereka itu pasti takkan kuat menghadapi para panglima. Yang lihai
31
adalah senjata-senjata mereka yang memang bukan senjata biasa, melainkan senjata-senjata pusaka yang dulu ia berikan kepada murid-muridnya. Hanya pedang Cheng-hoa-kiam ditangan Kwee Goat ia tidak tega untuk rampas. Ia memberi kesempatan sebesarnya kepada murid perempuan itu untuk meloloskan diri mengandalkan pedangnya.
Selagi di dalam kamarnya Beng Kun Cinjin dibujuk-bujuk oleh isterinya untuk membantu para pengawal, adalah pertempuran di luar makin menghebat. Thio Houw, Kwee Goat dan Kwee Sun Tek bukan saja tidak mempunyai niat meninggalkan tempat itu sebelum melampiaskan kemarahan mereka, juga andaikata mereka hendak pergi melarikan diri. kiranya para pengawal istana takkan mau membiarkan begitu saja. Setelah Beng Kun Cinjin pergi, para pengawal istana tanpa diberi komando lagi lalu menyerbu dan mengurung mereka.
Thio Houw dan Kwee Sun Tek biarpun sudah bertangan kosong, tak merasa gentar. Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat, keduanya mengamuk bagaikan dua ekor naga yang sedang marah. Sedangkan Kwee Goat yang masih memegang pedang, juga tidak tinggal diam. pedangnya berkelebatan mencari korban. Sebentar saja, banyak pengawal yang kurang tinggi kepandaiannya roboh menjadi korban tiga orang pendekar yang sedang marah dan mengamuk ini.
Akan tetapi, para pengawal itu makin banyak saja mendatangi tempat pertempuran dan kini yang maju mengeroyok hanyalah pengawal-pengawal kelas satu, dipimpin oleh Sin-chio Lo Thung Khak, Hek-mo Sai-ong. Ta Gu Thai, dan tiga orang panglima yang kepandaiannya juga amat tinggi yangi dikenal sebagai tiga saudara Lee yang gagah perkasa.
Menghadapi mereka ini, baru Thio Houw dan isteri serta adiknya menjadi terdesak hebat. Thio Houw yang menjadi pusat penyerangan lawan, sudah menderita luka pada pundaknya, kena sambaran senjata benggolan Hek-mo Sai-ong, kini ia hanya dapat mempertahankan diri dengan sebelah tangan saja. Juga Kwee Goat dan Kwee Sun Tek sudah lelah sekali, malah Kwee Sun Tek juga mendapat luka ringan pada lengannya, kulitnya robek berdarah karena ia menangkis senjata tajam.
Jalan keluar tidak ada lagi. Menyerah merupakan pantangan besar bagi mereka. Kwee Goat insyaf benar akan hal ini karena ia sudah terluka dan dia sendiri sudah tidak bertenaga, maklumlah nyonya ini nasib apa yang akan menimpa keluarganya. Ia teringat akan puteranya yang ia titipkan di kelenteng. Tiba-tiba ia menyerahkan pedangnya kepada Kwee Sun Tek dan berbisik.
"Adikku yang baik, lekas kau lari dan selamatkan keponakanmu!"
Sun Tek kaget. Mana bisa ia meninggalkan enci dan iparnya tewas di situ tanpa membantu sampai titik darah penghabisan?
"Kau saja yang lari, cici. Wi Liong perlu dengan ibunya, biar aku mempertahankan di samping cihu." jawab pemuda itu dengan suara tetap.
"Bodoh, kalau cihumu tewas apa kau kira aku masih suka hidup? Suami isteri tewas berbareng adalah hal yang baik sekali. Kau rawat Wi Liong dan berikan Cheng-hoa-kiam ini kepadanya. Biar kelak dia yang membasmi penghianat Beng Kun Cinjin dari muka bumi!"
32
Sun Tek tak dapat menolak lagi. Pedang-sudah diberikan di tangannya. Para pengeroyok mendesak terpaksa ia menggunakan pedang cicinya untuk membabat dan berhasil melukai seorang pengawal. Cicinya sudah terjun lagi ke dalam pertempuran, bahu-membahu dengan suaminya hanya menggunakan Ilmu Silat Pai in-ciang untuk melawan sekian banyaknya musuh yang bersenjata tajam.
Sun Tek maklum bahwa seorang di antara mereka harus hidup dan dapat melarikan diri untuk merawat Wi Liong keponakannya itu. Melihat keadaan Thio Houw dan isterinya, ia maklum bahwa memang tak mungkin memisahkan mereka. Ia cukup maklum betapa besar cinta kasih cicinya terhadap suaminya dan tentu eaja kakak perempuannya itu rela tewas di samping suaminya.
"Baiklah, enci Goat dan cihu. aku akan merawat Liong-ji. Selamat berpisah!" kata Sun Tek dengan mata basah karena tak tertahan lagi air matanya membasahi matanya. Ia memutar pedangnya dan mencari jalan keluar.
Para pengawal tentu saja tidak membiarkan ia pergi dan cepat ia dikurung. Thio Houw dan isterinya yang menggantungkan harapannya kepada Sun Tek untuk merawat anak mereka, menubruk maju dan menyerang para pengawal dengan mati-matian. Mereka tidak memperdulikan nyawa sendiri agar Sun Tek dapat bebas dan dapat merawat hidup Liong-ji mereka.
Karena gerakan mereka yang nekat untuk menolong Sun Tek ini, dalam sekejap mata saja mereka menjadi korban senjata para pengeroyok, Thio Houw roboh karena pukulan gembolan di tangan Hek-mo Sai-ong pada kepalanya, sedangkan Kwee Goat roboh terkena bacokan golok pada punggungnya.
"Adikku, rawat Liong ji baik-baik........."
Kwee Goat masih sempat bersuara sebelum nyawanya melayang meninggalkan raganya.
Melihat cici dan cihu nya roboh, mana bisa Kwee Sun Tek pergi begitu saja? Tadinya ia sudah berusaha membuka jalan keluar, akan tetapi melihat keadaan kakak perempuan dan iparnya itu, sambil berseru marah ia menerjang kembali, dalam kekalapannya merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedangnya. Akan tetapi segera ia dikurung rapat dan hanya bisa memutar pedang melindungi diri saja dari pada hujan senjata itu. Keadaan Kwee Sun Tek sudah amat berbahaya dan dapat diramalkan bahwa tak lama kemudian iapun tentu akan roboh seperti kakak perempuan dan iparnya yang sudah tewas. Akan tamatkah riwayat tiga orang pendekar murid Beng Kun Cinjin itu secara demikian mengecewakan?
Tiba-tiba terdengar seruan Beng Kun Cinjin dari dalam kamarnya.
"Yang lain-lain boleh bunuh, akan tetapi yang memegang pedang Cheng-hoa-kiam harus dibiarkan pergi!"
Suara hwesio ini berpengaruh sekali dan semua pengawal tidak ada yang berani membantah. Apa lagi mereka sudah berhasil menewaskan dua orang musuh, hal itu sudah cukup meredakan kemarahan mereka biarpun di fihak mereka ada enam orang pengawal yang tewas dalam pertempuran itu, dan ada lima orang lain yang terluka! Kurungan terhadap Kwee Sun Tek dibuka dan tak seorangpun pengawal menyerang pemuda ini.
33
Kwee Sun Tek tidak tahu mengapa gurunya membiarkan dia terbebas, akan tetapi ia tidak pergi sebelum menyambar tubuh clci dan cihunya dan dengan sedih ia memanggul kedua mayat itu dan berlari keluar dari lingkungan istana.
Setelah pertempuran berhenti dan di luar sunyi, baru Beng Kun Cinjin mau keluar dan mendengarkan laporan para pengawal tentang pertempuran itu. Biarpun mukanya tidak memperlihatkan sedikitpun perasaan ketika mendengar laporan itu, namun di dalam hatinya Beng Kun Cinjin kaget setengah mati ketika mendapat laporan bahwa Kwee Goat juga tewas dan yang dapat membebaskan diri adalah Kwee Sun Tek! Ketika ia memberi perintah dari dalam kamarnya untuk melepaskan pemegang pedang Cheng-hoa-kiam, ia bermaksud untuk mengampuni dan melepaskan murid perempuan yang ia sayang itu agar dapat pergi dan merawat anak tunggalnya. Siapa duga bahwa ternyata nyonya muda itu telah memberikan pedang kepada adiknya sehingga dengan demikian ia bersama suaminya yang tewas dan Kwee Sun Tek dapat menyelamatkan diri.
Beng Kun Cinjin maklum akan watak Kwee Sun Tek yang keras dan tahu pula bahwa di antara ketiga muridnya itu. Kwee Sun Tek yang paling bersemangat dalam membela nusa bangsa, paling patriotik. Oleh karena itu, tentu dari fihak Kwee Sun Tek ia akan mendapat permusuhan yang tak kunjung padam. Apa lagi kalau putera Kwee Goat itu dirawat oleh Kwee Sun Tek, tentu kelak akan menambahkan musuh saja.
Akan tetapi semua ini hanya disimpan di dalam hatinya sendiri saja dan ia tidak bilang sesuatu kepada para pengawal, melainkan menyuruh mereka merawat mereka yang luka dan mengurus mereka yang tewas. Juga tidak lupa ia membagi bagi hadiah, baik kepada para pengawal maupun kepada para keluarga pengawal yang tewas.
Kiu Hui Niang dapat melihat kemasgulan hati suaminya. Ia lahi merdesak.
"Mengapa kau nampak berduka? Apakah kau menyedihi kematian murid-muridmu yang murtad terhadapmu itu?”
Beng Kun Cinjin menggeleng kepala dan sedianya ia takkan bercerita. Namun, isterinya terus mendesak dan karena memang hwesio ini sudah bertekuk lutut terhadap kecantikan Hui Niang, akhirnya ia mengaku juga bahwa dibebaskannya Kwee Sun Tek yang akan merawat putera Kwee Goat mendatangkan kecemasan baginya.
"Aah, mengapa kau begitu bodoh? Dia baru malam tadi pergi, membawa dua mayat pula. Mana dia bisa pergi jauh? Suamiku, ingat bahwa dia itu kelak akan menjadi musuh besar. Apa lagi bocah yang ia rawat, tentu kelak akan menjadi rintangan hidup kita saja. Andaikata bocah itu kelak tidak dapat bertemu dengan kau, kau harus ingat akari anak yang kukandung, anakmu. Apakah penghidupan anakmu ini akan menjadi aman tenteram kalau kita mempunyai musuh besar? Sebelum terlambat, dan sebelum mereka pergi jauh, lebih baik kau lekas menyusul dan membunuh mereka paman dan keponakan itu."
"Itu terlalu kejam........." keluh Beng Kun Cinjin,
34
"Mana bisa disebut kejam? Ini demi menyelamatkan penghidupan anak kita sendiri kelak. Dan pula, kalau anak itu dibiarkan hidup, bukankah dia akan hidup sebagai anak yatim piatu dan malah menjadi terlantar? Lebih baik dia disuruh menyusul ayah bundanya."
Seperti biasa, luluh hati Beng Kun Cinjin oleh bujukan isterinya, apa lagi ketika Hui Niang menangis terisak-isak karena amat gelisah memikirkan nasib anaknya yang masih dalam kandungan itu. Selain tergerak oleh bujukan isterinya yang cantik jelita, juga Beng Kun Cinjin nrenganggap bahwa kali ini isterinya bicara betul, ia dapat membayangkan betapa anak Kwee Goat itu kelak tentu akan berusaha membalas dendam, kalau tidak bisa kepadanya tentu kepada anaknya.
Berangkatlah Beng Kun Cinjin siang hari itu. keluar dari gedungnya untuk mengejar Kwee Sun Tek! Karena urusan ini lebih bersifat urusan pribadi, maka ia tidak memberi tahu kepada para pengawal, pula ia anggap urusan mudah untuk mengejar dan membinasakan muridnya itu.
Adapun Kwee Sun Tek yang berhasil keluar dari istana sambil membawa jenazah cici dan cihunya, dengan bercucuran air mata terus-menerus. Jenazah-jenazah itu dengan bantuan hwesio penjaga kelenteng. Dengan hati hancur ia mengubur jenazah-jenazah itu di halaman belakang kelenteng dan menyembahyangi. Juga Thio Wi Liong, bocah yang baru berusia satu tahun dan tidak tahu apa-apa itu, ia pondong dan ia bawa bersembahyang di depan kuburan yang baru dari ayan bundanya.
"Wi Liong, barlah aku mewakili kau bersumpah kepada arwah ayah bundamu bahwa kelak apa bila kita sudah kuat kita berdua akan mencari jahanam keji penghianat bangsa itu dan akan mencabut keluar jantungnya untuk dipakai bersembahyang di depan kuburan-kuburan ini. Cheng hoa-kiam inilah yang akan mendodet perutnya dan mencabut keluar jantungnya." Dengan wajah menyeramkan Kwee Sun Tek mencabut pedang Cheng-hoa-kiam. Wi Liong menangis ketika melihat wajah pamannya ini.
Hwesio penjaga kelenteng menjadi ketakutan, apa lagi la tahu bahwa yang dimaki-maki adalah koksu yang baru.
"Sicu, pinceng harap sicu cepat-cepat meninggalkan kota raja. Tentu sicu maklum bahwa pinceng yang sudah tua dan tidak mau tersangkut urusan keduniaan, merasa gelisah kalau kalau terjadi sesuatu di kelenteng ini."
Kwee Sun Tek maklum akan perasaan takut hwesio tua itu, maka ia cepat menghaturkan terima kasih, lalu mengumpulkan pakaian Wi Liong dan sambil memondong keponakannya itu. ia berangkat keluar dari kota raja dengan cepat. Ketika itu matahari telah naik tinggi dan dengan perasaan lega Kwee Sun Tek tidak menemui rintangan ketika melalui pintu gerbang kota raja.
"Aku harus membawa Liong- ji sejauh mungkin," pikirnya. "Aku harus mencarikan guru yang sakti untuk anak ini". Diam-diam ia meragukan sendiri apakah ia dan keponakannya ini ada harapan untuk membatas dendam kepada seorang yang demikian tinggi ilmunya seperti bekas gurunya. Beng Kun Cinjin! Karena ia masih khawatir kalau-kalau Beng Kun Cinjin atau para pengawal Istana akan mengejarnya. Sun Tek melakukan perjalanan cepat sekali, mengerahkan tenaganya dan berlari cepat melalui pintu gerbang sebelah selatan.
35
Ia tidak tahu bahwa setelah ia meninggalkan pintu gerbang itu kurang lebih sepuluh lie jauhnya. Beng Kun Cinjin juga tiba di pintu gerbang selatan itu. Ia segera disambut dengan penghormatan oleh penjaga pintu.
"Apakah tadi pagi kau melihat seorang laki-laki memondong seorang anak kecil lewat keluar pintu gerbang ini?” tanya Beng Kun Cinjin tanpa membalas penghormatan penjaga itu.
''Ada, koksu. ada! Tadi memang ada seorang pemuda yang gagah kelihatannya, di pinggangnya tergantung pedang dan dia memondong seorang anak laki-laki berusia satu tahun kurang lebih. Malah anak itu menangis saja memanggil-manggil ibunya." kata si penjaga.
Mendengar Ini, tanpa berkata apa-apa lagi Beng Kun Cinjin lalu berkelebat dan berlari cepat mengejar ke barat. Memang kalau orang keluar dari pintu gerbang selatan ini, jalan selanjutnya menuju ke barat.
Biarpun ilmu berlari cepat dari Kwee Sun Tek sudah mencapai tingkat tinggi, namun dibandingkan dengan Beng Kun Cinjin. ia masih kalah jauh sekali. Tanpa menyadari akan datangnya bahaya. Sun Tek berlari terus ke barat. Tujuannya adalah Kuil Siauw lim si yang terletak kurang lebih sepuluh lie lagi di depan. Ia mengenal Siang Tek Hosiang. ketua kuil itu yang merupakan cabang Kelenteng Siauw-lim-si yang terkenal dipimpin oleh orang-orang gagah perkasa di dunia kang ouw Siang Tek Hosiang sendiri adalah tokoh keluaran Siauw lim si yang sudah berkepandaian tinggi dan sudah mendapat kepercayaan dari para guru-guru besar di Siauw lim pai untuk membuka cabang di tempat itu. Maksud hati Kwee Sun Tek, ia hendak menemui sahabatnya itu dan minta surat perkenalan karena ia bermaksud hendak memasukkan Wi Liong menjadi murid Siauw lim pai yang terkenal sebagai partai persilatan yang besar.
Kuil Siauw lim si itu masih berada kurang lebih tiga lie lagi di sebelah depan ketika tiba-tiba Kwee Sun Tek mendengar seruan keras dan nyaring dari belakang.
"Sun Tek, berhentilah kau!"
Kalau ketika itu ada suara geledek menyambar di dekat telinganya, belum tentu Sun Tek akan sekaget ketika ia mendengar dan mengenal suara ini. Biarpun orangnya belum kelihatan, namun ia maklum bahwa gurunya telah mengejarnya dan baru saja mengeluarkan seruan dengan pengerahan tenaga khikang yang tinggi, semacam Ilmu Coan im jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Mendengar seruan ini. Sun Tek bukannya mentaati permintaan suhunya, dia malah mempercepat larinya ke depan sambil memeluk Wi Liong erat-erat. Dia sudah melewati satu lie lagi. Hutan di mana terdapat Kuil Siauw lim si itu sudah nampak di depan.
"Sun Tek, tunggu.........!!" terdengar lagi suara suhunya.
Kwee Sun Tek makin "tancap gas" mendengar suara yang sudah dekat sekali ini seakan-akan suhunya sudah berada di belakang tubuhnyal Diam-diam ia menyiapkan pedang Cheng-hoa-kiam karena ia mengambil keputusan kalau ia tersusul oleh suhunya sebelum mencapai Kuil Siauw-lim-si, ia akan nekat melakukan perlawanan mati-matian.
36
Baiknya Beng Kun Cinjin tidak berlaku tergesa-gesa karena sudah maklum bahwa bagaimanapun juga, bekas muridnya itu takkan mampu melarikan diri dan terlepas dari tangannya.
Lega hati Sun Tek ketika ia memasuki hutan itu dan ia tidak perduli akan seruan gurunya yang sekali lagi menggeledek datangnya, tanda bahwa gurunya sudah dekat benar. Bangunan Kuil Siauw lim-si sudah nampak, gentengnya yang merah sudah kelihatan di antara daun-daun pohon. Sun Tek mengerahkan seluruh tenaga kakinya dan berlari kencang sekali menuju ke kuil itu.
Dengan napas hampir putus ia melompat masuk ke dalam ruangan dan menjatuhkan diri terengah-engah di antara tujuh orang, hwesio yang sedang melakukan upacara sembahyang dan berdoa. Tentu saja tujuh orang hwesio itu terheran-heran melihatnya.
Seorang hwesio yang usianya sudah enampuluh tahun, berjenggot panjang dan putih, berdiri dari tempat duduknya, memandang tajam lalu berkata,
"Omitohud! Kalau mata pinceng yang sudah lamur tidak keliru lihat, bukankah sicu ini Kwee-sicu?”
"Losuhu, tolonglah teecu! Teecu dikejar-kejar oleh Beng Kun Cinjin......!" kata Sun Tek terengah-engah.
Hwesio tua itu mengelus-elus jenggotnya dan menggeleng-geleng kepalanya. Ia tahu siapa Beng Kun Cinjin, yakni koksu yang baru saja diangkat oleh Kaisar Mongol. Juga ia tahu bahwa Beng Kun Cinjin adalah guru orang muda ini. Ia mengenal baik Kwee Sun Tek, pemuda patriotik yang gagah dan ia dapat menduga bahwa tentu terjadi keributan antara guru dan murid, buktinya pemuda ini tidak menyebut "suhu" lagi kepada Beng Kun Cinjin.
"Heran sudah demikian jauhkah penyelewengan Beng Kun Cinjin?" katanya lirih.
"Penghianat itu telah membunuh cici dan cihuku ketika kami bertiga berusaha mengingatkannya dari penghianatannya. Dan anak ini adalah anak cici dan cihu. Sekarang penghianat itu dari kota raja mengejar teecu, mohon pertolongan losuhu dan semua suhu di sini demi keselamatan bocah ini.........!"
"Sun Tek, keluarlah! Jangan bawa-bawa orang lain dalam urusan kita!" terdengar bentakan dari luar kuil. Itulah suara Beng Kun Cinjin.
"Losuhu, biar teecu keluar dan menyerahkan nyawa teecu. Hanya, teecu mohon para losuhu sudi melindungi bocah ini dan kelak memasukkan Thio Wi Liong ini sebagai murid Siauw-lim-pai," kata Kwee Sun Tek dengan suara memohon.
"Jangan, Kwee-sicu. Selain tidak baik melawan bekas guru sendiri, juga kau takkan menang. Untuk apa mengantarkan nyawa cuma-cuma? Kau masih muda dan perlu hidup untuk merawat keponakanmu. Kau larilah dari pintu belakang biar pinceng bertujuh membujuk Beng. Kun Cinjin untuk mengampunimu," kata Siang Tek Hosiang dengan suara lemah lembut.
Sun Tek girang sekali, ia menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian ia memondong keponakannya itu dan jalan berindap indap ke pintu belakang. Adapun Siang Tek Ho-siang dan enam orang sute dan muridnya berjalan keluar dengan tenang.
37
Biarpun dulunya Beng Kun Cinjin adalah seorang hwesio pula dan bahkan sekarangpun kepalanya masih gundul biarpun tidak sekehmis dulu, namun karena kedudukannya sebagai koksu negara Siang Tek Hosiang tidak menganggapnya sebagai sesama pendeta Buddha. Siang Tek Hosiang memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. diturut oleh enam orang hwesio yang lain
"Ah kiranya koksu yang mengunjungi kuil kami yang buruk. Entah apa gerangan maksud kunjungan koksu yang terhormat ini?” kata Siang Tek Hosiang dengan ramah dan halus.
Beng Kun Cinjin tidak merasa heran bahwa orang mengenalnya karena sebagai koksu baru, tentu saja ia menjadi terkenal dengan kedudukannya yang tinggi itu dan semua orang di sekitar kota raja pasti mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi tak senang melihat hwesio tua itu masih berpura-pura, padahal sudah jelas bahwa tadi Kwee Sun Tek memasuki kuil ini. Bentaknya keras,
"Biasanya hwesio-hwesio Siauw-lim pai amat jujur, mengapa sekarang ada cabangnya yang diurus oleh hwesio-hwesio pandai bersikap palsu? Hwesio tua. apa kau tidak tahu bahwa pinceng adalah Beng Kun Cinjin? Lekas kau suruh orang muda yang memondong bocah tadi keluar menemui pinceng. Dia itu muridku, dan jangan kalian mencampuri urusan antara guru dan murid."
Siang Tek Hosiang tersenyum tenang. "Lo-ceng cukup tahu dengan siapa loceng berhadapan, yaitu dengan koksu baru dari pemerintah Mongol! Siauw lim pai selamanya mengutamakan kegagahan dan membenci kemunafikan, apa lagi penghianatan. Orang muda yang memondong bocah adalah seorang patriot muda perkasa, seorang sahabat loceng yang baik. Oleb karena itu. sudah sewajarnya kalau Siauw lim-pai melindungi seorang pahlawan bangsa. Mengingat akan asal-usul koksu, harap saja koksu memandang muka kami dan menghabiskan urusan ini kembali ke kota raja."
"Hwesio keparat!" Beng Kun Cinjin membanting kakinya dengan marah sekali. "Kau sudah tahu berhadapan dengan Beng Kun Cinjin dan masih berani bersikap begini? Setan alas Couwsu dari Siauw lim pai sendiri. Bhok Lo Cinjin. makan semeja duduk sebangku dengan pinceng!" Kata kata makan semeja duduk sebangku berarti orang setingkat atau sederajat. Memang Beng Kun Cinjin dianggap tokoh kang-ouw yang besar dan hanya dapat disamakan dengan para ciangbujin {ketua) dari partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Kunlun pai, Go bi pai dan beberapa partai lagi. Sekarang seorang ketua cabang partai seperti Siang Tek Hosiang berani bicara seperti orang menegur atau menyindir di depannya, tentu saja membuat Beng Kun Cinjin menjadi panas perutnya.
Setelah memaki marah, Beng Kun Cinjin terus saja menerobos masuk ke dalam kuil tanpa memperdulikan tujuh orang hwesio yang menghadang di depannya.
"Koksu, kuil adalah tempat suci. tak boleh sembarangan diinjak lantainya oleh seorang pembesar asing!" kata Siang Tek Hosiang mencegah sambil mengangkat kedua lengan ke depan untuk mendorong mundur Beng Kun Cinjin. Enam orang kawannya yang terdiri dari dua orang sute dan empat orang murid, juga menghadang di tengah jalan.
Ucapan "pembesar asing" ini lebih-lebih mengobarkan kemarahan di hati Beng Kun Cinjin. Dengan bentakan "pergilah!" ia menggerakkan tangan kanan menyambut dorongan itu, sedangkan tangan kiri ia kipatkan ke arah enam orang hwesio lainnya.
38
Biarpun gerakan ini sewajarnya dan biasa saja, akan tetapi sebetulnya gerakan itu mengandung tenaga pukulan Lui-kong-jiu yang ampuh. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Tubuh Siang Tek Hosiang terlempar dan roboh tak berkutik lagi, dari mulut hwesio tua ini keluar darah segar dan matanya melotot memandang Beng Kun Cinjin dengan sinar kemarahan yang makin lama makin melenyap ketika sepasang matanya menjadi suram dan akhirnya padam, tanda nyawanya meninggalkan tubuhnya yang sudah tua.. Adapun enam orang hwesio lain, terkena sambaran angin pukulan tangan kiri, bagaikan daun daun kering tertiup angin taufan, terlempar saling tumbuk tidak karuan.
Tanpa memperdulikan lagi keadaan para korban akibat pukulannya, Beng Kun Cinjin terus melangkah masuk dan menggeledah di dalam kuil. Akan tetapi yang ia dapati hanyalah alat-alat sembahyang dan kitab-kitab doa Agama Buddha. Tidak terdapat bayangan Kwee Sun Tek. Beng Kun Cinjin dapat menduga bahwa bekas muridnya itu tentu melarikan diri dari pintu belakang Tanpa membuang waktu lagi ia terus mengejar melalui pintu belakang, mengerahkan kepandaiannya dan berlari secepat terbang melakukan pengejaran.
Secepat-cepatnya dan sepandai-pandainya Kwee Sun Tek lari, mana bisa ia melawan bekas gurunya sendiri? Belum sepuluh lie ia lari, Beng Kun Cinjin sudah dapat menyusulnya!
"Sun Tek, kau hendak lari ke mana?" bentak Beng Kun Cinjin dengan suara menyeramkan.
Tak melihat jalan untuk menyelamatkan diri lagi. Kwee Sun Tek dengan wajah pucat akan tetapi mata mengandung keberanian luar biasa, berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri tegak dengan keponakannya di dalam pondongan tangan kiri dan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan kanan.
"Beng Kun Cinjin, apakah setelah menjadi kaki tangan penjajah kau sudah begitu hina untuk melanggar janji sendiri? Kau sudah berjanji dan mengeluarkan kata-kata melepaskan orang yang memegang Cheng-hoa-kiam!"
Melihat pemuda itu berdiri tegak dan gagah, untuk sedetik Beng Kun Cinjin teringat akan muridnya ini di waktu masih kecil, belajar dengan tekun, rajin dan memang sejak kecil Sun Tek memiliki ketabahan hati luar biasa. Akan tetapi semua ingatan ini terusir pergi oleh bayangan bibir merah menarik dari Hui Niang, maka bentaknya keras.
"Siapa mau melepaskan kau? Pinceng memang bermaksud melepaskan Kwee Goat, bukan kau! Sungguh kau harus malu, membiarkan enci sendiri tewas dan kau sendiri melarikan dan menyelamatkan diri!"
Sun Tek menganggap tidak ada gunanya membujuk bekas gurunya ini. maka sambil membolang balingkan pedang Cheng-hoa kiam, ia ber kata.
"Kau hendak membunuh aku? Boleh, silahkan saja. Siapa sih takut mati? Akan tetapi harap saja kau masih ada sedikit prikemanusiaan dan tidak mengganggu keponakanku ini." Setelah berkata demikian, Sun Tek menurunkan Wi Liong di atas rumput, di bawah sebatang pohon besar. Anak ini belum pandai berdiri, baru merangkak. Karena diturunkan dari pondongan dan ditinggal seorang diri di atas rumput, ia mulai menangis keras.
39
Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak bicara karena di dalam lubuk hatinya betapapun juga ia merasa bahwa kali ini ia bertindak keterlaluan. Akan tetapi kalau bekas muridnya ini tidak dibunuh, kelak tentu akan menimbulkan banyak urusan, seperti yang dikatakan oleh kekasihnya.
"'Kau sendiri yang mencari mampus, berani kau mencampuri urusan rumah tangga dan kehidupanku!" bentaknya untuk menghibur hati sendiri yang merasa tidak enak. Bentakannya ini disusul oleh gerakan tubuhnya yang cepat menyerang dengan pukulan keras.
Sun Tek sudah nekat. Ia menggerakkan pedang, memapaki gerakan gurunya dan menusuk sekuat tenaga ke arah dada Beng Kun Cinjin. Gerakannya ini disebut Cai-hong-siok-i (Burung Hong Menyisir Bulu), cepat dan berbahaya sekali karena Sun Tek memang sudah berlaku nekat. Kalau bukan bekas gurunya yang mengajarkan ilmu itu kepadanya yang menghadapi serangan ini tentu akan sibuk untuk menangkis. Akan tetapi Beng Kun Cinjin mengeluarkan suara ketawa dingin, mengkal dan marah karena kini ia diserang orang dengan ilmu yang ia ajarkan sendiri. Dengan tenang lengan kirinya bergerak maju. Ujung bajunya yang panjang itu menyambar ke depan dengan gerakan memutar dan di lain saat, ujung pedang Cheng hoa-kiarn telah kena dililit oleh ujung lengan baju itu!
Sun Tek maklum akan kelihaian gurunya, maka ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar gagang pedang dan menarik dengan gerakan menggetar.
"Breett!" Ujung lengan baju itu pecah!
Beng Kun Cinjin tidak menduga bekas muridnya akan begini nekat. Kemarahannya memuncak dan sebelum Sun Tek sempat menyerang lagi. bekas guru ini sudah mengirim pukulan Pai In ciang yang cepatnya laksana kilat menyambar.
Sun Tek mengeluh, pedang Cheng-hoa-kiam sudah terampas oleh gurunya dan ia sendiri terlempar ke belakang, dadanya terasa sakit karena sudah terkena pukulan Pai in ciang!
Beng Kun Cinjin memegang pedang Cheng-hoa kiam dengan kedua tangan, hendak dipatahkannya, akan tetapi la teringat betapa pedang ini telah mengawaninya sejak ia muda sampai pada suatu hari ia memberikan pedang itu kepada Kwee Goat. Timbul rasa sayangnya untuk mematahkan pedang itu, juga untuk membawa pedang itu ia merasa malu kepada diri sendiri. Akhirnya ia melemparkan pedang itu ke bawah. Pedang menancap sampai ke gagangnya di dalam tanah. Setelah itu. ia melangkah maju menghampiri Sun Tek.
"Pinceng bukan seorang kejam," katanya bersungut-sungut kepada Sun Tek yang sudah tak dapat berdiri lagi. Suara Beng Kun Cmjin terdengar seperti orang mencela, seperti orang yang merasa menyesal, atau hendak mencari-cari alasan untuk menutupi hati yang tak enak karena tiga orang muridnya ia bikin celaka sendiri. "Akan tetapi pinceng juga seorang manusia biasa. Semenjak muda pinceng selalu terlunta-lunta. selalu kecewa dan gagal dalam cinta kasih dan dalam hidup. Sekarang dalam usia tua. ada orang mencinta, ada orang memberi kesempatan kepada pinceng untuk hidup senang dan mengalami kebahagiaan dan cinta kasih; mengapa kau datang mengacau? Jangan bilang pinceng yang keterlaluan, dan tidak ada prikemanusiaan!"
"Penghianat tak tahu malu. Mau bunuh lekas bunuh, kaukira aku takut mati? Asal kau bebaskan Wi Liong, aku orang she Kwee takkan gentar menerima kematian!” Sun Tek menantang.
40
"Memang akan kubunuh kau, siapa yang melarang?” kata Beng Kun Cinjin tersenyum mengejek dan ia mengangkat tangan kanannya ke atas, siap melakukan pukulan maut. Tiba-tiba terdengar Wi Liong menjerit-jerit dan menangis.
Beng Kun Cinjin menurunkan kembali tangannya, menengok ke arah Wi Liong dan menarik napas panjang. Tak sampai hati juga ia untuk membunuh Sun Tek, pemuda bekas muridnya yang begini gagah perkasa tak berkedip menghadapi kematian
"Kuampuni nyawamu, akan tetapi pinceng terpaksa membuat kau tidak ada kesempatan lagi mengacau kelak." Setelah berkata demikian, cepat tubuhnya bergerak dan tahu-tahu Sun Tek sudah menerima dua pukulan, pertama di belakang kepala dan ke dua di antara kedua mata. Pukulan-pukulan yang sebetulnya adalah totokan yang dilakukan dengan jari telunjuk.
Sun Tek tidak merasa sakit, hanya kepalanya pening sekali dan ia terguling, pingsan. Dari kedua matanya keluar darah! Beng Kun Cinjin menoleh ke arah Wi Liong, menarik napas panjang dan berkata seorang diri,
"Bocah tak tahu apa-apa. Sun Tek takkan mampu mendidiknya menjadi orang berbahaya." Kemudian secepat terbang hwesio ini meninggalkan tempat itu, seakan-akan suara Wi Liong yang menangis menjerit-jerit itu amat mengganggunya.
Kurang lebih tiga jam Sun Tek pingsan. Setelah sadar, ia mendapatkan kenyataan bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Ternyata bahwa bekas gurunya telah membikin putus urat-urat di kepala, sengaja membuat ia menjadi buta biarpun biji matanya masih utuh dan kedua matanya masih melek.
Akan tetapi Sun Tek tidak mengeluh. Mendengar tangis Wi Liong, ia cepat menahan rasa sakit pada dadanya yang terpukul tadi, meraba-raba ke arah Wi Liong. Ketika mendapat kenyataan bahwa bocah itu tidak apa-apa dan sedikitpun tidak ada tanda-tanda bekas diganggu Beng Kun Cinjin, saking girangnya Sun Tek memeluki keponakannya itu dan menangis tanpa mengeluarkan air mata! Jangankan baru dibikin terluka dan buta, biar dibunuh sekalipun asal keponakannya ini dibiarkan hidup, ia sudah merasa girang. Dengan meraba-raba akhirnya ia bisa mendapatkan Cheng-hoa kiam kembali dan sambil memondong keponakannya, Kwee Sun Tek pendekar yang kini sudah menjadi buta itu berjalan terhuyung-huyung ke depan, meraba-raba jalan dengan ujung kaki, tangan kanan memondong Wi Liong, tangan kiri menggunakan pedang meraba-raba ke depan. Keadaannya sungguh mengenaskan sekali.
Bagaikan air bah meluap-luap, bala tentara Jengis Khan menyerbu ke barat. Seperti banjir dahsyat yang tak mungkin dapat terbendung lagi, bala tentara yang amat kuat ini menerjang ke jurusan barat. Segala perlawanan yang dijumpai mereka patahkan. Kerajaan kerajaan besar kecil yang dilalui, dengan halus atau keras ditundukkan. Sin kiang diserbu terus bergerak ke Iran dan Afganistan.... Kota-kota besar indah di dunia barat seperti Bukhara, Samarkhand, Balkh dan lain lain digilas hancur. Puluhan, ratusan ribu orang dibunuh oleh bala tentara yang ganas dan kuat ini, ribuan rumah dibakar dan entah berapa banyak harta benda dirampas. Sebagian dari pada bala tentara yang kuat sekali ini membelok ke Iran utara dan menyerbu Rusia selatan melalui Pegunungan Kaukasia,
41
Memang bukan main hebatnya Jengis Khan memimpin bala tentaranya. Malah pasukan-pasukan Rusia di sebelah utara Laut Azov mereka hancur leburkan seperti tersebut di dalam sejarah yaitu pada tahun 1223.
Selain memiliki bala tentara yang kuat berdisiplin juga Jengis Khan mempunyai panglima panglima perang yang pandai dan berpengalaman. Di antara panglima panglima perang ini, Beng Kun Cinjin sebagai koksu berjasa besar dalam penyerbuan ke barat. Apabila fihak lawan mengajukan panglima yang lihai, maka Beng Kun Cinjin maju dan mengalahkan panglima itu.
Berkat kepandaiannya yang luar biasa, sering kali Beng Kun Cinjin pulang ke kota raja untuk, menengok isterinya yang sudah melahirkan seorang anak laki-laki. Bukan main girangnya hati Beng Kun Cinjin, dan ia merasa hidupnya berbahagia sekali. Cintanya terhadap Kiu Hui Niang makin mendalam.
Namun di dalam kemuliaan dan kesenangannya, agaknya Beng Kun Cinjin sudah lupa akan pelajaran Agama Buddha yang jelas memperingatkan manusia bahwa segala kesenangan di dunia ini tidak kekal adanya. Segala sesuatu di alam dunia ini hanya bersifat sementara dan sebagian besar diselimuti oleh kepalsuan yang menina-bobokkan manusia yang dikuasai oleh nafsu. Juga. ia lupa bahwa manusia sendiri sudah terlalu terpengaruh oleh nafsu sehingga lenyap sifat murninya, tertutup oleh hawa nafsu, membuat manusia sendiri seperti palsu atau berkedok. Belum tentu apa yang nampak di luar itu mencerminkan keadaan di dalam.
Pada suatu hari Beng Kun Cinjin kembali mengambil cuti dan kembali ke kota raja. Baru dua bulan yang lalu ia pulang, maka kali ini pulangnya agak tak terduga. Ia sudah-merasa amat rindu kepada isteri dan anaknya. Karena ia melakukan perjalanan cepat, maka malam-malam ia terus berjalan dan tiba di kota raja ketika hari telah menjadi gelap.
Untuk membuat kedatangannya itu menjadi sebuah kejadian yang menggirangkan dan di luar dugaan isterinya, ia memasuki kota raja mempergunakan ilmunya. Tak seorangpun mengetahui karena ia melompat dari tembok kota. juga ia pulang ke gedung mengambil jalan di atas genteng, berlari-larian seperti seekor kucing dengan hati sebesar gunung, sama sekali tidak tahu bahwa saat baginya telah tiba untuk ditinggalkan kebahagiaan menurut ukuran hati dan pikirannya.
Ketika ia tiba di atas gedungnya, ia melihat gedung itu sudah sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah tidur. Memang waktu itu sudah hampir tengah malam. Akan tetapi telinganya yang amat tajam itu mendengar suara berbisik-bisik di dalam kamar bangunan kecil yang berada di taman bunga. Memang di dalam taman itu disediakan sebuah bangunan indah kecil tempat ia bersenang-senang dengan isterinya di waktu hawa di dalam gedung terlalu panas.
Beng Kun Cinjin terheran-heran. Bagaimana ada orang di dalam bangunan itu pada waktu tengah malam? la cepat melompat tanpa mengeluarkan suara dan menghampiri bangunan itu. Alangkah kaget dan herannya ketika ia mendengar suara isterinya tertawa perlahan, disusul oleh suara laki-laki,
"Hui Niang yang manis, apa kau masih mau membantah lagi? Lihat saja muka anakmu baik-baik, apanya yang mirip dengan koksu? Mata dan telinganya seperti mata kaisar, sedangkan hidung dan mulutnya seperti........."
42
"Seperti siapa?” terdengar Hui Niang mencela, terdengar gemas dan manja.
"Seperti......seperti hidung dan mulutku..."
Laki-laki itu tertawa dan Hui Niang mencela. "Bisa saja kau bicara! Hidung dan mulutmu tidak semanis hidung dan mulut anakku ini......"
"Masa? Coba kau lihat baik – baik, apakah tidak sama benar? Aku yakin bahwa anak ini adalah anak kaisar dan anakku, hanya namanya saja memakai nama koksu. Ha-ha-ha!" Laki lakt itu tertawa dan terdengar Hui Niang tertawa pula dengan genit.
Beng Kun Cinjin berdiri di luar, mukanya pucat seperti mayat dan jantungnya seperti berhenti berdetik. Dadanya serasa panas terbakar dan ia tentu akan roboh saking marah dan kagetnya kalau saja ia tidak mempertahankan diri. Ada sesuatu menusuk di dalam jantungnya, membuat ia berdiri menggigil.
"Liu-kongcu. jangan kau main-main. Bicara jangan keras-keras, apa lagi tertawa-tawa seperti itu. Kalau ada pelayan mendengar dan kelak melapor kepada koksu, ke mana kau akan menyembunyikan kepalamu?”
"Ha-ha, tentu saja kusembunyikan di dalam dadamu, manis........."
Beng Kun Cinjin tidak kuat lagi menahan amarah yang menggelora di daiam dadanya. Dunia serasa hancur lebur dan ia merasa hidup di dalam neraka yang panas, terbakar hidup hidup. Sekali ia bergerak, daun jendela kamar itu pecah berantakan!
Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati dua orang manusia busuk yang berada di dalam kamar itu. Beng Kun Cinjin dari luar tadi sudah mengenai suara laki-laki itu yang bukan lain adalah Liu kongcu putera dari seorang pembesar istana Bangsa Han yang menjadi kaki tangan kaisar. Liu kongcu memang seorang pemuda tampan sekali, akan tetapi siapa duga bahwa pemuda itu ternyata adalah kekasih Hui Niang? Mungkin sebelum menjadi isterinya, Hui Niang sudah main gila dengan pemuda hidung belang itu.
Begitu memasuki kamar, Beng Kun Cinjin tidak memberi kesempatan lagi kepada Liu-kongcu pemuda berahlak rendah itu. Dengan gerengan tertahan di tenggorokan seperti suara seekor harimau menggeram, Beng Kun Cinjin menerkam. Dua tangannya menyambar, tenaga dikerahkan dan............ terdengar suara mengerikan disusui jerit Hui Niang. Tubuh pemuda itu telah pecah dan dirobek menjadi dua potong, dilemparkan di pojok kamar itu!
Hui Niang hampir pingsan. Kedua kakinya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Kun Cinjin, suaminya yang dihianatinya. Mulutnya gemetar tak dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak cakap lagi. karena dalam keadaan seperti itu tidak ada suara dapat keluar dari mulutnya, ia bergerak lagi dan di lain saat tubuh Hui Niang sudah ia kempit dan juga bocah cilik berusia setengah tahun itu, yaitu Gan Kun Hong putera Hui Niang telah ia pondong. Ia lalu melompat keluar dari jendela terus ke atas genteng dan lari cepai sekali keluar dari kota raja! Beng Kun Cinjin maklum bahwa setelah membunuh Liu-kongcu, tak ada harapan lagi untuk tinggal di istana.
43
Apa lagi nama baiknya sudah tercemar oleh kebiadaban isterinya, untuk apa lagi tinggal di istana? Istana itu sudah berubah menjadi neraka baginya, bahkan dunia sudah menjadi neraka. Ia dulu rela membunuh murid-muridnya, rela menjadi koksu pemerintah penjajah hanya karena ia tergila-gila kepada Hui Niang. Sekarang Hui Niang telah menghianatinya, dunianya sudah hancur lebur. Bahkan anaknya yang tadinya menjadi pelita hatinya, bukan anaknya sendiri! Pelita hidupnya sudah padam!
Jauh di luar kota raja, sebelah selatan, Beng Kun Cinjin melempar tubuh Hui Niang di atas tanah di dalam sebuah hutan. Malam telah terganti pagi dan setengah malam itu Beng Kun Cinjin berlari terus tak pernah berhenti. Ia tidak memperdulikan suara Hui Niang menangis merengek-rengek minta ampun.
Kini Hui Niang sudah serak suaranya, tak dapat berkata-kata lagi, hanya terisak-isak sambil mendekam di atas tanah, seperti seekor binatang terluka. Rambutnya terlepas sanggulnya menjadi riap-riapan menutupi kulit mukanya yang putih pucat.
"Ampun...... ampunkan aku......" diulangnya kata-kata yang sudah ia bisikkan dan teriakkan ratusan kail, tanpa berani memandang muka suaminya.
Beng Kun Cinjin meludah ke arah Hui Niang lalu melemparkan Kun Hong itu begitu saja ke atas tanah. Bocah itu tentu saja menangis keras di dekat ibunya. Hui Niang tak berani bergerak, hanya hatinya seperti di sayat-sayat mendengar jerit tangis anaknya.
Seperti patung batu Beng Kun Cinjin berdiri dengan kedua kaki terpentang di depan Hui Niang. Matanya yang lebar melotot, beringas dan merah seperti mata singa kelaparan. Dalam keadaan seperti itu, teringatlah ia kepada murid-muridnya. Kalau ia mengingat betapa demi kecintaannya terhadap wanita ini ia sampai membunuh-bunuhi murid-muridnya, kemarahannya memuncak.
"Kau sudah tahu akan kesalahanmu?" katanya menuntut. Inilah ucapan pertama yang keluar dari mulutnya semenjak ia menyeret isterinya itu ke hutan ini.
Dengan kepala tunduk Hui Niang mengangguk. "Ampun...... ampun......., ratapnya.
"Anak ini.......anak siapa......?" kembali Beng Kun Cinjin menuntut.
"Anak kita...... anakku dan anakmu......"
Hui Niang mendapat kekuatan baru, mengira bahwa seperti biasanya suaminya ini akan luluh menghadapinya. Ia mengangkat mukanya yang cantik, mengerlingkan matanya yang indah sambil berkata, "Mengapa sih kau tidak mau mendengarkan omonganku, melainkan percaya obrolan kosong pemuda edan itu?"
Celaka bagi Hui Niang. kali ini kata-kata dan aksinya tidak meluluhkan hati Beng Kun Cinjin, malah membikinnya menjadi makin panas berkobar!
"Perempuan rendah! Makhluk hina!" hanya ini yang dapat dikeluarkan oleh mulut Beng Kun Cinjin karena kemarahannya membuat ia mata gelap, jari tangan kanannya menusuk ke depan. Terdengar
44
pekik mengerikan ketika jari-jari tangannya menusuk ke arah dada Hui Niang, tepat di bawah leher. Nyonya muda itu roboh telentang dan kepalanya membentur batu karang yang berada di belakangnya. Ia roboh dalam keadaan setengah duduk, tangan kiri masih sempat menutup luka di dadanya akan tetapi nyawanya sudah cepat meninggalkan tubuhnya. Darah mengucur keluar dari luka itu membasahi pakaiannya.
Beng Kun Cinjin menghampiri bocah yang menangis menjerit-jerit itu. kakinya diangkat ke atas. Ingin ia menginjak perut bocah itu sampai mati. akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba ia teringat bahwa bocah ini sama sekali tidak berdosa apa-apa. Baik bocah ini anak kaisar, maupun anak pemuda she Liu atau anaknya sendiri, tidak bisa semua kejadian yang rendah itu ditimpakan kepada anak ini yang tidak tahu-menahu sama sekali. Beng Kun Cinjin tidak jadi menginjak anak itu, sebaliknya ia lalu berkelebat pergi setelah sekali lagi menengok ke arah tubuh Hui Niang, wanita yang tadinya menjadi pujaannya itu. Tak terasa lagi sepasang matanya yang besar itu menjadi basah ketika ia mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat seperti orang gila! Suara tangis bocah yang biasanya menjadi buah hatinya itu mengikuti perjalanannya, membuat hatinya menjadi makin berduka. Setelah Beng Kun Cinjin pergi, hutan itu menjadi sunyi kecuali suara Gan Kun Hong, bocah berusia setengah tahun yang menangis menjerit-jerit di samping jenazah ibu kandungnya.
Dua jam lebih bocah itu menangis keras sampai akhirnya ia diam sendiri. Tangis bocah memang sama sekali berbeda dengan tangis orang dewasa. Tangis dan tawa bocah adalah sewajarnya, sama sekali tidak terpengaruh oleh hati dan pikiran, hanya menjadi akibat dari pada perasaan belaka. Kalau enak terasa olehnya, iapun tertawa-tawa, kalau tidak enak, menangislah dia. Gan Kun Hong. bocah yang baru berusia setengah tahun lebih itu, setelah dua jam menangis karena merasa lapar dan kepanasan, kini menjadi diam karena lelah dan tubuhnya terasa enak setelah puas menangis, agaknya seperti seorang habis bermain olah raga dan menikmati kesenangan beristirahat.
Hutan itu kini betul-betul sunyi dan kebetulan sekali setelah matahari naik tinggi, bayangan pohon itu membikin teduh tempat di mana Kun Hong diletakkan. Beberapa ekor semut yang mencari makan telah mendapatkan darah di pakaian Hui Niang dan sebentar saja kawan-kawan mereka datang menyerbu sehingga baju yang digenangi darah yang mulai mengering itu kini menjadi hitam oleh semut.
"Tar! Tar!" Terdengar suara menjetar keras dari dalam hutan sebelah timur. Suara ini terus-menerus berbunyi dan makin lama makin berirama. Lalu disusul suara orang membaca sajak seperti orang bernyanyi, suaranya nyaring akan tetapi nada suaranya tenang dan menyenangkan,
"Kalau TO menguasai dunia
kuda perangpun hanya memberi rabuk.
kalau TO tiada menguasai dunia
kuda buntingpun melahirkan di medan perang!
Tiada kedosaan lebih besar dari pada banyak kehendak
tiada bahaya lebih besar dari pada tak kenal cukup
tiada bencana lebih besar dari pada ingin mendapat,
kalau tahu akan cukup itu sudah cukup
akan selamanya berada dalam kecukupan!'
45
Nyanyian ini iramanya diiringi oleh bunyi "tar-tar-tar", suara cambuk memecah udara. Bagi yang mengerti, sajak itu bukanlah sembarang sajak melainkan sajak dari Agama To atau pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang To atau jalan yang memang amat sukar diterjemahkan atau dijelaskan. Ada yang menterjemahkan To itu sebagai Kekuasaan Tuhan atau Jalan Yang Selaras Dengan Kekuasaan Tuhan.
Orang itu asyik benar bernyanyi-nyanyi sambil berjalan menjelajah hutan dan membunyikan cambuknya. Tiba-tiba suara nyanyian dan bunyi cambuk berhenti seketika pada saat bunyi lain yang nyaring terdengar, yaitu bunyi tangis bocah.
Itulah Kun Hong yang menangis lagi. Seekor di antara semut-semut yang memenuhi baju jenazah ibunya telah merayap ke tangannya dan menggigitnya karena tanpa disengaja bocah ini menindih semut itu.
"Tar!" Ujung sebatang cambuk berbunyi nyaring dan menyambar ke arah lengan kecil itu dan di lain saat semut yang menggigit kulit lengan telah diterbangkan pergi.
"Cih... tak tahu malu, menggigit seorang bayi tak berdaya!"' terdengar suara orang dan entah dari mana datangnya, bagaikan seorang dewa penunggu hutan, muncullah seorang laki-laki setengah tua yang berwajah angker dan bersikap lembut. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik baik, topi dan pakaiannya walaupun sederhana, namun teratur rapi dan cukup bersih. Orang ini memegang sebatang cambuk yang aneh. Sebetulnya bukan cambuk dan lebih patut disebut sehelai tali yang panjang sekali, kurang lebih lima meter panjangnya. Di kedua ujungnya terikat senjata yang luar biasa. Yang satu menyerupai bintang berujung lima dan yang ke dua menyerupai bulan sisir! Adapun yang tadi disabet sabetkan mengeluarkan bunyi dan juga yang mengusir semut dari lengan bocah itu adalah bagian tengahnya, jadi bukan ujungnya. Benar-benar semacam senjata yang aneh bukan main dan yang tak pernah terlihat dalam dunia persilatan.
"Siancai...... siancai...... seorang ibu muda mati di dalam hutan dan anaknya menangis di dekat jenazahnya. Di dunia tidak ada yang aneh, semua sudah berjalan dengan semestinya menurut To. Akan tetapi pemandangan seperti ini, benar-benar selama hidup di dunia aku Kam Ceng Swi belum pernah melihatnya." katanya sambil berdiri memandang dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang kurang percaya kepada matanya sendiri.
Tiba-tiba tubuhnya lenyap dari situ. Demkian cepat gerakannya sampai-sampai ketika ia melompat seperti dia mempunyai ilmu menghilang Ia berkelebatan dan berlompatan mencari-cari di sekitar tempat itu. untuk melihat kalau-kalau ia masih dapat mengejar orang yang melakukan pembunuhan keji ini. Tentu saja hasilnya nihil. Tidak saja pembunuhan itu sudah terjadi lama, andaikata pembunuhnya masih dekat di situ, belum tentu dia dapat mengejarnya.
Orang yang bernama Kam Ceng Swi ini kembali ke tempat itu dan berlutut di dekat bocah yang masih menangis. Senjatanya yang disebut Seng goat pian atau Cambuk Bintang Bulan ia lilitkan di pinggang.
"Aduh, kemala yang terserak di tempat sunyi!" Ia berseru kagum sambil mengangkat Kun Hong. Dibukanya pakaian anak itu dan diraba rabanya tulang- tulangnya sambil mengangguk-angguk dan makin kagumlah dia.
46
"Hebat tunas sebagus ini terjatuh ke dalam tanganku, kalau ini bukan kehendak Thian tak tahulah aku mengapa demikian kebetulan!" Ia bicara lagi kepada diri sendiri sambil mengayun-ayun anak itu sampai bocah itu tak menangis lagi.
Kemudian ia mulai memandang ke arah jenazah Hui Niang. Diusirnya semut itu dengan sehelai daun, kemudian ia memeriksa kalau-kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan siapa adanya wanita dan bocah itu. Semua perhiasan yang dipakai, baik oleh ibu maupun anak, masih ada. Tanda bahwa peristiwa pembunuhan ini bukan berlatar belakang perampokan. Kam Ceng Swi menemukan sebuah gelang pada lengan kiri Gan Kun Hong dan ia agak girang melihat dua huruf KUN dan HONG terukir di gelang itu.
"Hemm, jadi namamu Kun Hong? Bagus, sayang tidak diukir pula nama keturunanmu," gerutunya.
Sepintas ialu ia memeriksa luka di dada Hui Niang dan mukanya memperlihatkan kekagetan hebat.
"Bukan main......! Seperti bekas cengkeraman Tiat-jiauw kang (Ilmu Cengkeraman Besi)! Siapa orangnya yang demikian keji.........?" katanya pula.
Kemudian, setelah memeriksa dan tidak mendapatkan sesuatu petunjuk pula, Kam Ceng Swi lalu menggali lubang dan dengan sederhana namun penuh kasih sayang dan kasihan terhadap sesama manusia yang tak dikenalnya ini, ia mengubur Jenazah Hui Niang. Kun Hong yang diletakkan di tempat teduh sudah tertidur lagi.
"Toanio. aku tidak mengenal kau siapa, akan tetapi kau telah berjasa kepadaku dengan meninggalkan anak ini. Akupun tidak tahu apakah anak ini betul anakmu, akan tetapi karena berada bersamamu biarlah dia kuanggap anakmu dan kelak dia pasti akan kubawa bersembahyang di kuburanmu ini." katanya berkemak-kemik seperti orang berdoa di depan gundukan tanah kuburan itu. Kemudian ia menoleh ke sana ke mari, menghampiri sebuah batu karang yang tingginya hampir dua kali dia sendiri. Batu karang ini berbentuk menara, besarnya sepelukan orang. Kam Ceng Swi menghampiri batu karang ini, memeluk dan mengerahkan tenaga.
Benar hebat tenaga orang aneh ini. Setelah tiga kali mengeluarkan tenaga sambil berseru keras, batu karang itu menjadi jebol! Diangkatnya batu karang itu dan diletakkannya di depan gundukan tanah kuburan, menjadi semacam bongpai (batu nisan) yang luar biasa! Karena di hutan itu terdapat banyak batu macam itu, Kam Ceng Swi lalu meloloskan senjata Seng-goat-pian dan sekali senjata itu digerakkan, terdengar suara keras dua kali, bunga api berpijar dan di atas batu karang itu sudah tercetak ukiran bintang dan bulan sisir! Tempat yang terpukul oleh dua macam ujung pian itu menjadi legok dan dalamnya ada satu dim, inipun menandakan betapa hebatnya kepandaian Kam Ceng Swi.
Memang tidak mengherankan bagi siapa yang mengenalnya. Kam Ceng Swi atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan julukan Seng-goat-pian yaitu nama senjatanya, adalah seorang tokoh Kun lun pai dan dahulu pernah menjadi pembesar Kerajaan Cin. Dia bukan seorang tosu (pendeta To), akan tetapi boleh dibilang dia penganut Agama. To dan terkenal sebagai seorang ahli filsafat yang selalu bersikap gembira.
Setelah Kerajaan Cin kocar-kacir dan hancur oleh serbuan bala tentara. Mongol, Kam Ceng Swi naik ke Kun-lun-san dan kembali ke tempat guru-gurunya di mana ia hidup menyepi dan mempelajari ilmu kebatinan: Pada hari itu ia turun gunung untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh para gurn besar Kun-lun-pai padanya, yaitu mencari tunas-tunas atau anak-anak yang memiliki tulang bagus dari yang
47
berbakat menjadi ahli silat tinggi untuk meneruskan atau mewarisi ilmu silat tinggi dari partai persilatan Kun-lun-pai.
Secara kebetulan sekali Kam Ceng Swi menemukan jenazah Hui Niang dan melihat Kun Hong, ia menjadi girang bukan main. Bocah ini memiliki semua syarat untuk menjadi seorang ahli silat pandai, maka setelah mengubur jenazah itu dan memberi tanda, Kam Ceng Swi cepat-cepat membawa Kun Hong naik kembali ke Kun-lun-san! Tidak saja ia menjadi girang karena bocah ini merupakan calon yang amat baik, juga ia merasa suka melihat Kun Hong. Mengingat bahwa Kun Hong tidak mempunyai atau tidak dikenal nama keturunannya, maka ia mengambil keputusan untuk memberi she (nama keturunan) Kam kepada bocah itu sehingga mulai saat itu Kun Hong ber she Kam atau lengkapnya bernama Kam Kun Hong.
Kita kembali mengikuti keadaan Kwee Sun Tek, murid Beng Kun Cinjin yang sudah dibikin buta matanya oleh bekas gurunya sendiri. Biarpun ia tidak dibunuh oleh Beng Kun Cinjin dan juga Thio Wi Liong, bocah yang dibawanya lari itu tidak diganggu oleh hwesio yang menyeleweng itu. namun Kwee Sun Tek masih selalu tetap khawatir kalau-kalau pada suatu hari Beng Kun Cinjin masih belum puas dan mencari mereka untuk membunuh keturunan Thio Houw dan Kwee Goat itu. Oleh karena ini. Kwee Sun Tek membawa keponakannya yang baru berusia satu tahun itu bersembunyi di desa- desa, menjauhkan diri dari dunia ramai.
Masih terlalu kecil bagi Wi Liong untuk dibawa ke Siauw lim-si, pikirnya. Oleh karena dia sendiri bukan murid Siauw-lim-pai, maka ia merasa tidak enak hati kalau harus mengantarkan Wi Liong yang baru berusia satu tahun itu menjadi murid Siauw lim pai dan membikin repot para hwesio Siauw lim untuk merawatnya. Ia akan menanti sampai Wi Liong cukup besar sehingga di samping menjadi murid Siauw-lim-pai juga bocah itu akan dapat bekerja di Siauw lim si sebagai kacung, dapat membantu pekerjaan para hwesio sehingga tak usah ia merasa tidak enak hati.
Demikianlah, sampai enam tahun ia membawa Wi Liong berkelana, hidup serba kurang dan kadang-kadang terpaksa harus mengemis makanan kepada penduduk dusun yang rata-rata berhati jujur dan penuh prikemanusiaan terhadap sesama hidup. Sun Tek sendiri tak berdaya mencari nafkah hidup, setelah matanya tak dapat melihat.
Setelah Wi Liong berusia tujuh tahun, ia menjadi seorang anak yang tampan, sehat, akan tetapi penderitaan hidup yang serba kurang membuat ia berwatak pendiam dan jalan pikirannya lebih tua dari pada usianya. Sering kali ia bertanya kepada Sun Tek tentang ayah bundanya, dan selalu dijawab oleh pamannya bahwa ayah bundanya pergi jauh sekali.
"Entah di mana mereka itu sekarang, karena kedua mataku tak dapat melihat, aku tak dapat membawamu mencari mereka. Oleh karena itu kau harus belajar silat dengan giat, Wi Liong, dan kelak kau sendirilah yang akan mencari mereka. Tanpa memiliki kepandaian silat, tak mungkin kau dapat mencari mereka karena selain perjalanan amat sukar, juga di dunia ini banyak sekali orang jahat yang akan mengganggu dan merintangi perjalananmu."
Dengan nasihat-nasihat Ini. Wi Liong menjadi bernafsu untuk belajar ilmu silat. Ia menerima petunjuk-petunjuk dan pelajaran tingkat pertama atau dasar ilmu silat dari pamannya sendiri yang dilatihnya dengan giat dan tekun. Ternyata ia memiliki otak yang cerdik sekali dan bakat yang besar sehingga Sun Tek menjadi girang bukan main. Biarpun dalam keadaan tidak mampu, Kwee Sun Tek tidak
48
membiarkan keponakannya buta huruf dan dia minta bantuan sasterawan-sasterawan kampung untuk mendidik Wi Liong dalam ilmu surat pula.
Setelah merasa bahwa keponakannya cukup kuat untuk bekerja di Siauw lim si Sun Tek lalu mengajak keponakannya itu menuju ke Kuil Siauw-lim-si yang besar. Kedatangan mereka disambut oleh hwesio penjaga pintu yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Hwesio ini seperti para pendeta lain. merasa amat kasihan kepada Sun Tek yang biarpun kedua matanya melotot lebar namun tidak melihat apa-apa itu.
"Sicu hendak bertemu dengan couwsu? Sayang sekali, pada waktu ini couwsu sedang pergi ke Kun-lun-san dan agaknya lama berada di sana," kata hwesio itu. Tentu saja Kwee Sun Tek menjadi kecewa sekali.
"Sebetulnya aku hendak menghadap Bhok Lo Cinjin untuk mohon beliau menerima keponakanku ini menjadi murid Siauw-lim-pai. Tidak tahu apakah ada suhu lain yang mengurus persoalan menerima murid itu?" tanyanya.
Hwesio itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Wi Liong, kagum melihat sepasang mata yang bercahaya dan sikap yang pendiam dari anak itu. Kemudian ia berkata dengat suara menyesal.
"Dulu memang begitu, ada seorang suhu yang mengurus persoalan menerima murid baru. Akan tetapi sejak beberapa tahun ini, peraturan diperkeras dalam menerima murid yang hendak belajar ilmu silat. Couwsu sendiri yang menentukan murid-murid yang boleh diterima, itupun sekarang jarang sekali ada. Kecuali kalau keponakanmu ini bermaksud masuk menjadi hwesio dan mempelajari Agama Buddha, tak usah menanti couwsu sekarangpun dapat diterima."
Kwee Sun Tek menarik napas panjang. "Aahh. memang Thian belum menghendaki keponakanku menjadi murid Siauw-lim-pai...... tidak apalah, suhu, biar lain kali saja kalau couwsu sudah pulang aku menghadap lagi........."
Melihat Kwee Sun Tek pergi dengan wajah muram, hwesio tinggi besar itu menaruh hati kasihan.
"Sicu, andaikata keponakanmu ini diterima, paling banyak ia akan menerima latihan sampai tingkat lima. Tidak ada murid yang diperbolehkan belajar melebihi tingkat lima. Agaknya melihat semangatmu, kau ingin keponakanmu ini menjadi seorang ahli silat tinggi."
Kwee Sun Tek cepat menengok dan memberi hormat. "Memang tepat sekali dugaan suhu, apakah kiranya suhu dapat memberi petunjuk?"
"Pada waktu ini, couwsu kami sedang pergi menghadiri pertemuan antara tokoh tokok terbesar di empat penjuru dunia yang diadakan di Kun lun san Kalau sicu pergi ke sana, kiranya tidak sukar mencari guru sakti. Tentu saja tergantung kepada jodoh........."
Hwesio itu agaknya tidak mau memberi penjelasan lebih jauh dan ia kembali memasuki kuil. Akan tetapi cukup bagi Kwee Sun Tek. Keterangan itu baginya penting sekali. Andaikata ia tidak dapat mencarikan guru yang baik bagi Wi Liong, kalau ia bisa bertemu dengan para tokoh dunia persilatan, ia dapat melaporkan kepada mereka itu tentang kejahatan Beng Kun Cinjin dan tentu para tokoh itu akan mau turun tangan memberi hajaran. Setelah menghaturkan terima kasih biarpun orangnya
49
sudah pergi, ia lalu cepat-cepat mengajak Wi Liong melakukan perjalanan jauhi ke Kun lun san! Perjalanan yang jauh dan sukar apa lagi kalau diingat bahwa Kwa Sun Tek telah menjadi buta matanya sehingga ia tidak dapat lagi mempergunakan ilmu lari cepat tanpa terancam bahaya terjeblos ke dalam jurang! Adapun Wi Liong yang menjadi penunjuk jalan, masih terlalu kecil. Perjalanan yang amat sukar, namun ditempuh oleh Sun Tek dengan penuh kesabaran dan keyakinan bahwa akan tiba saatnya keponakannya dapat diterima menjadi murid seorang sakti.
Mari kita tengok keadaan di Kun lun aan. Pegunungan Kun-lun san adalah pegunungan besar dan luas sekali dimulai dari tapal batas sebelah barat Propinsi Cing hai terus ke barat sampai di daerah Tibet yang penuh pegunungan itu. Daerah ini masih liar dan jarang didatangi manusia, kecuali para pendeta dan pertapa yang memang mencari kesunyian untuk menenangkan jiwa. Penduduk yang tinggal di pegunungan juga terasing dari dunia ramai, mereka masih merupakan orang-orang yang sederhana hidupnya dan tidak banyak kehendak seperti orang orang kota.
Di atas sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Kun-lun-san terdapat sebuah bangunan besar sederhana yang dikelilingi pagar tembok. Inilah pusat dari partai persilatan Kun lun pai yang sudah amat terkenal karena banyak sudah murid-murid Kun lun pai turun gunung dan membuat nama di dunia kang ouw. Mereka inilah yang mengangkat tinggi tinggi nama Kun lun pai, membuat partai persilatan itu terkenal di seluruh dunia.
Pada waktu itu, yang menjadi guru besar di Kun-lun-pai adalah seorang tosu tua bertubuh tinggi kurus berjenggot panjang dan putih seperti perak, Tosu ini terkenal dengan nama sebutan Kun lun Lojin (Kakek Pegunungan Kun-lun), Juga ada yang menyebutnya Pek-mou Sianjin (Dewa Berambut Putih). Dialah guru besar di Kun-lun-pai. akan tetapi yang bertugas melatih murid-murid, baik dalam ilmu silat maupun dalam 'ilmu kebatinan, hanya murid-murid kepala atau sute-sutenya, sedangkan kakek ini kerjanya hanya bertapa saja, Biarpun ia kelihatan lemah lembut dan tiada guna namun sesungguhnya kakek tua bangka inilah ahli waris asli dari pada ilmu pedang dan ilmu silat tinggi Kun-lun-pai, bahkan ada yang mengabarkan bahwa dia telah mewarisi kitab sakti peninggalan Nabi Lo Cu! Oleh karena itu, biarpun belum pernah memperlihatkan kesaktiannya, semua orang di dunia kangouw menghormatnya sebagai seorang guru besar.
Sudah dua bulan Bhok Lo Cinjin menjadi tamu di Kun-lun-pai. Memang sejak dahulu Bhok Lo Cinjin menjadi sahabat baik Kun-lun Lojin, dan kalau dua orang kakek yang menjadi couwsu dari partai-partai persilatan besar ini bertemu, tentu mereka siang malam berkumpul dalam pondok atau gua untuk bersama sama mengobrol, main catur atau bersamadhi.
Bhok Lo Cinjin sengaja datang siang-siang untuk menghadiri pertemuan besar yang diadakan di puncak Kun lun-san ini. Berhubung dengan serbuan bala tentara Mongol ke selatan sehingga bala tentara asing itu dapat menduduki kota raja Kerajaan Cin di utara. Kun lun Lojin lalu mengirim undangan kepada sahabat- sahabatnya, yakni tokoh-tokoh besar di empat penjuru dunia. Orang-orang atau tokoh tokoh besar yang pada saat itu dapat dijajarkan tingkatnya dengan couwsu Kun lun pai ini ada tujuh orang Biarpun yang tujuh orang ini mempunyai jalan hidup masing-masing, namun mereka tak pernah saling bermusuhan, bahkan saling mengalah dan dalam banyak hal mereka itu mempunyai faham yang sama, terutama dalam pandangan patriotik. Tentu saja selain tujuh orang tokoh besar ini. masih banyak orang orang sakti di dunia ini, apa lagi dari golongan mokauw atau mereka yang memeluk agama sesat. Akan tetapi Kun-lun Lojin tidak sudi mengadakan hubungan dengan golongan ini.
50
Seorang di antara tujuh tokoh besar itu adalah Bhok Lo Cinjin ketua atau guru besar Siauw-lim-pai. Boleh dibilang dengan Bhok Lo Cinjin, Kun-lun Lojin mempunyai hubungan yang paling erat, maka Bhok Lo Cinjin datang lebih dulu dua bulan sebelum pertemuan puncak itu diadakan.
Oleh karena pertemuan puncak itu penting sekali dan Kun lun Lojin tahu bahwa hanyak kemungkinan akan datang orang-orang jahat dari fihak mokauw yang sepak terjangnya tidak dapat diduga-duga lebih dulu, couwsu Kun lun pai ini menyuruh anak murid Kun lun pai untuk melakukan penjagaan kuat di sekitar puncak itu. Kam Ceng Swi, sebagai murid tersayang dari Kun-Iun Lojin. tidak ketinggalan ikut menjaga dan meronda. Sedangkan sute-sute dan murid-muridnya melakukan penjagaan kuat di pos-pos yang dibuat di sepanjang jalan menuju ke puncak.
Selagi Kam Ceng Swi melakukan perondaan di bagian selatan dan memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa hari pertemuan itu sudah dekat dan mungkin sekali para tamu akan datang, terdengar suara keras, "Kun-lun-pai benar-benar menjadi pasukan besar!"
Semua orang terkejut dan Kam Ceng Swi yang bermata tajam melihat berkelebatnya bayangan orang dari lereng. Cepat ia mengangkat tangan memberi hormat dan berkata, "Couwsu Kun lun Lojin mengutus teecu sekalian untuk menyambut kedatangan para locianpwe. harap saja Locianpwe yang baru datang sudi memperlihatkan diri."
Ucapannya ini disambut oleh suara ketawa dingin, lalu tiba-tiba muncullah seorang kakek yang gemuk pendek, tangan kirinya buntung sebatas siku. pakaiannya seperti orang gila, tambal tambalan kembang-kembangan tidak karuan. Ia memegang sebatang tongkat bambu butut. Dengan mata bergerak-gerak liar ia menghampiri Kam Ceng Swi, meludah ke kiri lalu berkata.
"'Kau ini apanya Kun-Iun Lojin?"
"Teecu yang bodoh adalah murid suhu Kun-Iun Lojin, bernama Kam Ceng Swi. Mohon petunjuk locianpwe siapakah agar teecu dapat memberi tahu kepada suhu tentang kedatangan locianpwe."
Orang itu tertawa bergelak suara ketawanya ha-ha-hi-hi seperti orang gila ketawa. "Aku datang, kau di sini belum tahu siapa, akan tetapi dua orang tua bangka di puncak itu sudah lama tahu. Ha-ha-ha kau terlalu banyak peraturan, lebih pantas menjadi orang berpangkat dari pada menjadi pertapa."
Kam Ceng Swi kaget sekali. Orang aneh ini datang-datang sudah tahu bahwa di puncak ada suhunya dan Bhok Lo Cinjin, benar-benar luar biasa sekali. Tiba-tiba orang aneh ini tanpa bicara apa-apa lagi menerobos saja ke atas, gerakannya cepat sekali. Kam Ceng Swi tidak berani sembrono, ia dan para sutenya hanya berdiri saja dan tidak memberi jalan, sengaja ia menutup jalan dengan batu besar dan jalan itu menjadi kecil saja. Orang yang akan naik harus melalui jalan yang dua kaki lebarnya ini dan sekarang lorong ini sudah la tempati bersama sute-sutenya. Akan tetapi orang aneh itu seakan-akan tidak melihat adanya batu besar. Ia berjalan terus dan....... batu besar itu kena tertendang kedua kakinya yang berjalan terus. Bagaikan sebuah bola karet besar, batu itu tertendang maju, menggelinding naik. kemudian susulan tendangan kedua membuat batu yang beratnya ratusan kati ini menggelundung ke dalam jurang!
Melihat gerak-gerik aneh dari tamu ini, Kam Ceng Swi menjadi curiga. Biarpun ia telah melihat demonstrasi tenaga yang luar biasa, namun hal ini bagi Kam Ceng Swi bukan apa-apa. Dia adalah
51
murid terkasih dari Kun-Iun Lojin. tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Dia sudah menerima pesan suhunya bahwa kali ini mungkin Kun-lun-san akan didatangi orang-orang aneh dari pihak mo kauw yang selalu memusuhi orang-orang kang ouw golongan bersih, maka ia harus menjaga dengan hati-hati.
Melihat tamu itu menerobos saja, Kam Ceng Swi sudah melompat naik untuk mengejarnya, akan tetapi begitu kakinya turun menginjak tanah, hampir ia terpeleset jatuh. Tanah yang diinjaknya itu tiba-tiba bergoyang dan batu-batu berserakan Ketika ia memandang, ternyata orang aneh itu menggerakkan tangan kirinya ke arah tanah yang diinjaknya. Tahulah dia bahwa orang itu telah sengaja hendak mempermainkannya. Sungguhpun permainan itu tidak membahayakan jiwanya, setidaknya dapat membuat ia jatuh, kaget dan malu.
"'Locianpwe harap memperkenalkan diri dulu......" katanya mengejar terus. Orang itu hanya tertawa mengejek, tanpa perdulikan Kam Ceng Swi ia maju terus.
Selagi Kam Ceng Swi hendak mengerahkan tenaga untuk menyusul tiba tiba terdengar suara parau dari atas.
"Lam-san Sian-ong kakek gila, kau datang tidak lekas-lekas naik ke sini, malah bermain-main dengan anak-anak. Apa gilamu sudah kumat lagi?”
Lam-san Sian-ong, orang aneh itu. tertawa bergelak "Bhok Lo Cinjin, kau selamanya tidak suka main-main!" Dan berbareng dengan kata-kata itu, tubuhnya melesat bagaikan burung terbang ke atas puncak, membuat Kam Ceng Swi menjadi bengong terlongong. Baru ia tahu bahwa kakek aneh yang seperti orang gila itu bukan lain adalah Lam san Sian ong, tokoh dari selatan yang sering dipuji-puji gurunya sebagai seorang sakti yang tinggi ilmu silatnya. Benar-benar tak dinyana sama sekali!
Tak lama kemudian berdatanganlah para tamu yang diundang oleh Kun-lun Lojin. Pertama-tama datang Hu Lek Siansu, hwesio yang menjadi ketua di Go bi pai, hitam kurus dan bersikap angker sekali. Kam Ceng Swi sudah mengenal tokoh besar ini maka bersama para sute dan muridnya ia buru-buru menyambut dengan penuh penghormatan. Hu Lek Siansu ini datang bersama seorang yang gagah sekali. Usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan tegap, pakaiannya seperti seorang panglima perang, indah dan gagah sekali. Jalannya seperti seekor singa, mukanya merah seperti muka Kwan Kong, benar benar seorang yang pantas menjadi seorang panglima perang yang gagah perkasa.
Melihat keadaan orang ini. Kam Ceng Swi segera mengenalnya, biarpun ia belum pernah bertemu muka. Tokoh besar ini tentulah See thian Hoat-ong. jago tua dari barat, bekas raja muda di Sin-kiang yang sudah mengundurkan diri. Cepat ia memberi hormat dan mempersilahkan dua orang tokoh besar ini naik ke puncak.
Kini sudah ada lima orang tokoh besar di puncak. Tinggal dua orang lagi yang masih ditunggu kedatangannya. Kam Ceng Swi sudah diberi tahu gurunya bahwa yang dua lagi itu adalah Pak- thian Koanjin, tokoh utara yang belum pernah dilihatnya dan ke dua adalah Tung-hai Sian-li, tokoh timur yang juga belum pernah dilihatnya, maka ia menanti dengan hati-hati jangan sampai salah duga seperti ketika bertemu dengan Lam-san Sian-ong tadi.
52
Tiba-tiba datang seorang sutenya berlari lari. Sutenya ini tadinya menjaga di bagian utara.
"Kam suheng, celaka! Kun Hong diculik orang gil.!"
Tentu saja Kam Ceng Swi menjadi kaget bukan main. Seperti telah dituturkan di bagian depan. Kam Ceng Swi telah menolong Kun Hong ketika bocah ini baru berusia setengah tahun, menggeletak di dekat mayat ibunya. Selama itu, Kam Ceng Swi merawat Kun Hong dan menganggapnya seperti anak sendiri. Sekarang Kun Hong sudah berusia enam tahun, hidup di Kun lun-san, menjadi buah hati semua anak murid Kun lun pai. Juga Kun-lun Lojin suka kepada bocah yang dianggapnya berbakat baik ini, malah couwsu ini pernah menyatakan bahwa kalau berjodoh, kelak ia akan mewariskan ilmu-ilmu Kun lun pai kepada bocah itu.
Mendengar laporan sutenya. Kam Ceng Swi cepat melompat dan bersama sute-sutenya yang lain ia lari ke tempat itu, yaitu di bagian penjagaan sebelah utara. Dari jauh ia sudah mendengar suara Kun Hong bersorak girang.
"Haaa......... suhu lucu sekali.........!”
Kam Ceng Swi melihat seorang kakek bertubuh kecil pendek seperti orang katai, pakaiannya seperti pakaian pengemis, matanya besar dan berkejap-kejapan saja seperti orang sakit mata, mulutnya tersenyum-senyum nakal. Kakek ini sedang main ayun-ayunan di atas cabang pohon yang menjulur ke atas jurang dan ia memondong tubuh Kun Hong yang dilempar lemparkan ke atas seperti orang main anak-anakan saja. Kalau dilihat betapa cabang sebesar ibu jari kaki itu menjulur ke atas jurang yang tidak dapat diukur dalamnya, benar-benar permainan itu berbahaya sekali! Sekali cabang itu patah atau sekali saja kakek itu tidak tepat menerima kembali tubuh Kun Hong yang dilempar-lempar ke atas, habislah nyawa mereka. Akan tetapi Kun Hong malah tertawa-tawa girang. Memang anak ini selalu bergembira dan wataknya agak nakal, suka sekali main-main tanpa mengenal bahaya.
Melihat kedatangan Kam Ceng Swi, Kun Hong segera berseru setelah ia turun kembali dan berdiri di atas pundak kakek itu.
"Ayah, lihat ini! Suhu cebol ini pandai sekali. Aku ingin menjadi muridnya."
Akan tetapi Kam Ceng Swi tidak perdulikan seruan putera angkatnya. Ia memperhatikan kakek itu dan dapat menduga bahwa tentu orang ini yang bernama Pak thian Koaijin, tokoh utara yang sebetulnya adalah suheng dari Hu Lek Sian-su ketua Go-bi-pai. Tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Maka ia menjura sambil berkata.
"Apakah locianpwe bukan Pak thian Koaijin yang ditunggu kedatangannya oleh suhu Kun-Iun Lojin?”
Kakek itu tertawa bergelak dan sekali melompat ia sudah berada di depan Kam Ceng Swi.
"Jadi, kau ayah anak ini? Ha ha. sungguh lucu. Baru sekarang aku mendengar murid Kun-lun-pai membawa anak isterinya ke gunung. Apa Kun-lun Lojin si tua bangka sudah merobah aturan?"
"Teecu......teecu tidak beristeri......" jawab Kam Ceng Swi dengan muka merah untuk membantah tuduhan yang mencemarkan nama Kun lun pai ini.
53
"Ho-ho. tidak beristeri punya anak? Kau ini laki-laki, perempuan, atau banci?" Memang kakek cebol ini suka sekali berkelakar dan amat nakal suka menggoda orang, tak perduli siapa orang yang dihadapinya itu.
Muka Kam Ceng Swi makin merah. "Locianpwe harap jangan main-main. Teecu bernama Kam Ceng Swi murid suhu Kun-lun Lojin dan anak ini adalah anak angkat teecu. Locianpwe sudah ditunggu di atas, silahkan naik terus. "
Kembali kakek itu tertawa. "Jadi bukan anakmu? Bagus. anak ini bertulang baik, cocok menjadi muridku. Biar aku minta dia dari tangan tua bangka Kun lun Lojin." Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan sebuah kembang gula yang kelihatannya kotor sekali kepada Kun Hong. lalu sekali berkelebat ia lenyap dari depan mata.
Kam Ceng Swi menarik napas panjang, dan tiba-tiba ia merampas kembang gula yang sudah diterima oleh Kun Hong dan hendak dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil.
"Bodoh, kembang gula sekotor ini hendak dimakan. Rakus benar kau! Lebih baik buang saja!" Kam Ceng Swi melempar kembang gula itu ke bawah lereng.
Tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu tahu seorang wanita yang cantik dan gagah, berpakaian biru telah berkelebat dan menyambar kembang gula itu. Dia sudah berusia empat puluh lima tahun, namun masih kelihatan muda dan cantik, sikapnya keren dan galak, pedang yang indah gagangnya tergantung di pinggang.
"Hemm, sin-tan (obat sakti) ini pembersih darah. Sayang kakek gila itu memberikan kepada orang yang tak tahu diri. Lebih baik dikembalikan kepadanya." Setelah berkata demikian, ia berjalan terus ke atas.
Kam Ceng Swi yang mengenal wanita ini sebagai Tung-hai Sian li. biarpun belum pernah bertemu dengannya, cepat memberi hormat yang tak dijawab oleh wanita galak itu. Diam-diam Kam Ceng Swi merasa menyesal mengapa tadi ia begitu ceroboh membuang obat kuat yang dikiranya hanya kembang gula yang dapat mendatangkan batuk.
"Kenapa kau keluar dan menimbulkan onar di sini?” ia menegur Kun Hong dengan marah.
Anak itu mainkan bibir dan matanya. Memang Kun Hong tampan sekali, kulit mukanya putih, bibirnya merah dan matanya indah dan tajam.
"Ayah dan semua susiok pergi melakukan penjagaan, kata para suheng akan datang tamu-tamu aneh dari bawah gunung. Anak mana bisa kerasan tinggal di dalam rumah menghafal pelajaran? Suhu tadi lucu dan pandai, sayang dia pergi....."
"Jangan kau kurang ajar, dia itu tamu dari sucouw. Hayo kau kembali kepada pelajaranmu membaca!"
Akan tetapi sebelum Kun Hong pergi, bocah ini menengok ke bawah dan berseru, "Ada tamu lagi, sekarang dengan anaknya!”
54
Kam Ceng Swi dan yang lain-lain memandang. Betul saja dari lereng bukit itu kelihatan dua orang mendaki dengan susah payah. Seorang laki-laki yang gagah, jenggot dan kumisnya penuh tak terpelihara, berjalan perlahan menggandeng seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Bocah itu memandang ke atas lalu berseru girang.
"Paman, itu di atas ada orang!"
"Bagus. Wi Liong. Mari kita ke sana."
Mereka terus mendaki ke atas. Kam Ceng Swi terheran-heran. Melihat gerak-gerik orang itu, jelas bahwa dia seorang ahli silat yang pandai. Akan tetapi mengapa ia mendaki bukit demikian perlahan dan lambat, tidak mempergunakan gin-kangnya? Malah kelihatannya seperti anak itu yang menuntun dan mencari jalan! Apa dia terluka? Mukanya kelihatan sehat.
Mudah diduga siapa adanya orang itu. Dia bukan lain adalah Kwee Sun Tek yang sudah menjadi buta biarpun matanya kelihatan melek. Anak itu adalah Thio Wi Liong. Menurut petunjuk dari Siang Tek Hosiang. Sun Tek mengajak Wi Liong ke Kun lun-san.
Akhirnya, setelah susah payah mendaki, mereka berhadapan dengan Kam Ceng Swi dan para sutenya yang bertugas menjaga.
"Siapakah saudara yang baru datang ini dan ada keperluan apa mendaki ke Kun lun pai?”tanya Kam Ceng Swi, masih belum tahu bahwa tamunya adalah seorang buta.
"Siauwte bernama Kwee Sun Tek dan kedatangan siauwte ini hendak mencari Bhok Lo Cinjin yang kabarnya berkunjung ke sini," jawab Kwee Sun Tek sambil menjura memberi hormat.
Kam Ceng Swi menjadi curiga. Memang hatinya masih panas dan penasaran karena peristiwa dengan Pak-thian Koaijin tadi. masih merasa khawatir kalau-kalau kakek aneh itu benar-benar akan membawa pergi Kun Hong sebagai muridnya. Kekhawatiran ini membuat ia agak kurang ramah.
"Memang benar Bhok Lo Cinjin berada di puncak, menjadi tamu dari guruku Kun-lun Lojin. Akan tetapi menyesal sekali tak seorangpun diperbolehkan naik ke puncak pada waktu ini. Baik suhu maupun Bhok Lo Cinjin tidak mau diganggu. Tidak tahu saudara mencari Bhok Lo Cinjin ada urusan apakah?”
Urusan Sun Tek adalah urusan pribadi dan dalam penyerahan keponakannya sebagai murid, tentu ia harus menceritakan tentang duduknya perkara dari mulai pembunuhan terhadap enci dan cihunya oleh bekas gurunya, Beng Kun Cinjin, sampai ia menjadi buta matanya. Maka tak mungkin diceritakan kepada sembarang orang.
"Ada urusan pribadi yang amat penting. Oleh karena itu. harap sahabat yang baik sudi menolong kami bertemu dengan Bhok Lo Cinjin," jawab Sun Tek singkat.
55
"Sayang sekali tak mungkin hal itu dilaksanakan. Lebih baik saudara Kwee turun gunung saja dan menanti di bawah gunung sampai Bhok Lo Cinjin pulang. Menanti di sini selain percuma. juga tidak diperbolehkan oleh partai kami."
Sun Tek mengerutkan keningnya, hatinya kecewa dan menyesal sekali. Tiba- tiba perhatian mereka tertarik kepada Kun Hong dan Wi Liong yang agaknya bertengkar.
Begitu melihat Wi Liong, Kun Hong yang nakal sudah mendekatinya dan berkata, "Apa kau berani melawan aku?”
Wi Liong memandang dengan mata tajam. Bocah ini wataknya pendiam dan pikirannya sudah masak karena gemblengan penderitaan. Ia tahu berhadapan dengan seorang bocah nakal, maka jawabnya tenang, "Tentu saja berani."
Kun Hong tersenyum mengejek, mengepal tinju dan memasang kuda-kuda sambil menantang; "Kalau kau berani, majulah. Mari kita mengadu kepalan!"
Wi Liong tetap berdiri tenang dan menggeleng kepala.
"Mengapa? Kau takut padaku?” Kun Hong mengejek.
"Aku tidak takut, hanya tidak mau berkelahi," jawab Wi Liong.
"Ha, kau pengecut! Mulutmu bilang berani akan tetapi sebetulnya kau takut. Hi-hi!" Kun Hong mengejek mentertawakan.
"Aku datang ikut paman bukan untuk berkelahi. Laginya, aku takkan berkelahi tanpa alasan " jawab Wi Liong yang menjadi panas juga hatinya.
"Macammu ini, mana berani bertempur? Nah. aku beri alasan, coba kau berani melawanku tidak!" Sambil berkata demikian, Kun Hong menggeser kakinya ke depan dan mengayun tangannya.
"Plak!" pipi kiri Wi Liong digamparnya sampai menjadi merah.
Wi Liong mulai naik darah, akan tetapi bocah ini memang mempunyai pikiran matang. Ia maklum bahwa pamannya mengajaknya ke tempat itu untuk mencarikan guru yang pandai, tentu saja ia tidak boleh sembarangan membikin kacau dengan perkelahian melawan bocah nakal ini tanpa perkenan pamannya. Ia menengok kepada Sun Tek dan bertanya, "Paman, bocah nakal ini telah menampar pipiku tanpa sebab apakah aku harus membalasnya?”
Sun Tek memang sudah tak senang hati mendengar sikap Kam Ceng Swi yang tidak ramah, kini mendengar percekcokan antara keponakannya dengan seorang bocah nakal, bahkan keponakannya digampar, ia menjadi marah.
"Kau membikin malu pamanmu kalau kau tidak membalas hinaan orang."
56
Mendengar jawaban ini. Wi Liong lalu memasang kuda-kuda dan berkelahilah dua orang anak itu. Mereka sama-sama terlatih sejak kecil, akan tetapi Wi Liong menang tua setahun lebih, pula tubuhnya lebih kuat karena sejak kecil ia memantau dan menderita. Maka setelah lewat belasan jurus, ia berhasil memukul dada Kun Hong sampai roboh terjengkang. Kun Hong merayap bangun tanpa mengeluarkan keluhan sedikitpun dan sudah bersiap hendak menerjang lagi, akan tetapi Kam Ceng Swi mencegah.
"Cukup, jangan kau kurang ajar terhadap tamu!" Mendengar bentakan ini, Kun Hong mundur, akan tetapi ia tersenyum kepada Wi Liong dan berkata, "Bocah, siapa namamu?"
"Aku Thio Wi Liong!"
"Bagus, akan kuingat nama itu. Kelak akan datang saatnya kita bertemu satu lawan satu dan melanjutkan pertandingan ini. Aku Kam Kun Hong!"
"Diam kau!" bentak Kam Ceng Swi yang diam-diam merasa geli juga melihat sikap Kun Hong yang ugal-ugalan namun lucu. Adapun Sun Tek menjadi gemas dan mendongkol mendengar semua itu. Ia berkata kepada Wi Liong,
"Mari kita pergi saja, agaknya kita kesasar ke tempat orang-orang yang tidak sopan."
Seorang sute Kam Ceng Swi yang berdarah panas menjadi marah mendengar sindiran ini. Ia bergerak maju dan menjambret leher baju Sun Tek sambil berkata keras. "
"Apa kau bilang? Jangan kau berani menghina fihak Kun-lun-pai, tahu?”
Sun Tek yang sudah marah karena kecewa hatinya itu, mengibaskan lengannya ke arah lengan orang yang mencengkeram leher bajunya sambil mengerahkan tenaga.
"Bluk!" Orang itu terpelanting dan mengaduh kesakitan karena tulang lengannya sudah patah!
"Kun-lun-pai atau partai yang manapun juga, kalau orang-orangnya tak tahu aturan tak perlu dihormati!" kata Sun Tek. Memang tak dapat terlalu disalahkan sikap Sun Tek. Dia seorang yang sudah buta, sudah melakukan perjalanan amat jauh dan setengah mati. Sekarang, setelah tiba di tempat tujuan, bukan saja ia tidak diperbolehkan bertemu dengan Bhok Lo Cinjin. malah ia mendapat perlakuan yang kurang hormat. Tentu saja ia menjadi kecewa sekali dan kekecewaannya inilah yang membuat darahnya menjadi panas dan mudah marah.
Kam Ceng Swi juga sedang tak senang hati. Ia seorang ahli filsafat, seorang bekas pembesar, dan kepandaiannya tinggi. Akan tetapi, tadi ia telah dipermainkan atau diperlakukan seperti anak-anak oleh para tokoh besar yang menjadi tamu gurunya. Sekarang melihat sikap Sun Tek yang ia anggap orang biasa saja. ia menjadi makin mendongkol.
"Orang she Kwee, apa kau datang sengaja hendak mengacau?" katanya sambil mendorong.
Biarpun Sun Tek tak dapat melihat gerakan ini, namun hawa dorongan itu sudah terasa olehnya. Ia kaget sekali karena maklum bahwa lawannya ini benar-benar memiliki tenaga lweekang yang amat
57
hebat. Cepat ia melakukan tangkisan dengan kedua tangannya, namun tetap saja tubuhnya terhuyung ke belakang. Melihat betapa lawannya ini tidak berapa lihai. Kam Ceng Swi tidak mendesak lebih jauh. Sun Tek tentu saja tidak tinggal diam oleh serangan lawan, biarpun ia maklum akan kelihaian lawannya, seberapa bisa ia harus melakukan perlawanan. Maka begitu ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya ia lalu melangkah maju dan melakukan pukulan dengan tangan kirinya. Matanya yang buta membuat ia tidak melihat bahwa Kam Ceng Swi sebetulnya sudah tidak akan menyerangnya lagi.
Dan pada saat itu, ketika Ceng Swi terpaksa menggerakkan tangan untuk menangkis serangan balasan lawan, terjadilah hal yang amat aneh. Sun Tek yang melakukan pukulan tangan kiri. tiba-tiba merasa ada sesuatu menempel di punggungnya dan membuat pukulannya itu keras bukan main. Ia merasa hawa yang hangat panas menjalar ke dalam tubuhnya dan memenuhi tangan kiri yang melakukan pukulan.
Kam Ceng Swi menangkis dan......... tidak saja tangannya menjadi terpental, juga pukulan Sun Tek itu terus mengenai dadanya! Kam Ceng Swi terhuyung ke belakang lalu roboh, biarpun pukulan itu tidak membahayakan jiwanya, namun mendatangkan luka yang cukup berat! Sun Tek mendengar lawannya roboh. Ia menyesal bukan main.
"Aku......... aku tidak niat memukul roboh........." katanya gagap.
Akan tetapi para anak murid Kun-lun pai tentu saja tidak mau tinggal diam. Melihat Kam Ceng Swi dipukul roboh, mereka beramai maju mengeroyok Sun Tek.
Kembali terjadi hal yang amat aneh. Di luar kehendaknya sendiri, tubuh Kwee Sun Tek bergerak dan kedua tangannya melakukan pukulan ke kanan kiri.
Terdengar suara blak-bluk-blak-bhuk dan tubuh para anak murid Kunlun-pai berpelantingan, roboh dan terluka oleh pukulan- pukulan Sun Tek yang tiba-tiba menjadi luar biasa tangguhnya itu!
"Aku tidak mau berkelahi............ aku tidak memukul..........!" Sun Tek berteriak-teriak penuh penyesalan dan juga amat terheran-keran. Ia merasa dirinya seakan-akan kemasukan setan, bergerak di luar kemauannya dan tahu-tahu semua pengeroyok yang jumlahnya ada delapan belas orang, itu roboh semua oleh pukulan pukulannya.
Tiba-tiba tenaga aneh yang menguasainya itu lenyap meninggalkan tubuhnya. Sun Tek menjadi lemas dan roboh terengah engah di tengah-tengah para korban pukulannya. Keadaan sunyi sekali di sekelilingnya, membuat ia teringat akan keponakannya.
"Wi Liong.........!" teriaknya memanggil. Tidak ada jawaban.
"Wi Liong........., di mana kau.........??” kembali ia berseru, kini lebih keras lagi. Tetap tidak ada jawaban.
Sun Tek bangkit berdiri, meraba ke kanan kiri dan menjadi gelisah sekali. "Wi Liong....!"
58
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara ketawa, suara ketawanya dua orang, laki-laki dan wanita, dan suara ketawa itu menyeramkan sekali, bahkan mengandung hawa khikang yang mengguncangkan jantung Sun Tek, membuat ia tak tertahankan lagi jatuh duduk di tengah-tengah para korbannya yang masih pingsan!
"Setan......" gerutunya. "apakah Wi Liong dibawa setan........?" Tiba-tiba ia meraba ke punggungnya dan mendapat kenyataan bahwa pedang Cheng hoa kiam juga lenyap tanpa ia merasa ada yang ambil!
Dari puncak bukit melayang turun tujuh orang tokoh besar yang tadinya sedang mengadakan pertemuan. Mereka ini mendengar suara ketawa laki-laki dan wanita tadi dan menjadi kaget bukan main. Cepat mereka berlari-lari ke tempat itu dan menjadi kesima menyaksikan anak murid Kun lun pai malang-melintang dalam keadaan pingsan, dan di tengah tengah antara mereka duduk seorang laki laki yang brewok dan gagah, yang secara aneh meraba-raba ke kanan kiri seperti orang buta, biarpun matanya melotot lebar.
Kam Ceng Swi yang tidak pingsan, merangkak bangun ketika melihat suhunya datang bersama enam orang tamunya.
"Suhu........." katanya lemah.
Kun-lun Lojin menghampiri muridnya ini dan wajah yang halus itu menjadi berkerut. Kakek ini mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna kuning, memberikan obat kepada muridnya sambil berkata,
"Telan dulu obat ini, kau telah menerima pukulan yang mengandung hawa beracun."
Kam Ceng Swi menerima obat itu dan menuangkan ke dalam mulut, lalu menelannya bersama ludah. Kemudian ia bersila dan mengatur napas. Melihat muridnya sudah mendingan. Kun-lun Lojin bertanya.
"Apa yang telah terjadi di sini? Siapa yang memukulmu?”
Kam Ceng Swi menudingkan telunjuknya ke arah Sun Tek, "Dialah yang merobohkan teecu dan semua anak murid Kun-lun-pai. Dia datang bersama seorang anak kecil, sengaja mencari keributan dengan alasan mencari Bhok Lo Cinjin. Mungkin dia membawa kawan-kawan karena sekarang teecu tidak melihat ke mana perginya bocah itu. bahkan Kun Hong juga tidak ada....... teecu khawatir anak itu diculik oleh kawan-kawannya........."
Tujuh orang tokoh itu kini memandang kepada Sun Tek, dan Bhok Lo Cinjin yang disebut sebut namanya melangkah maju. Adapun Sun Tek ketika mendengar laporan Kam Ceng Swi itu, menjadi kaget sekali. Ia merayap maju, meraba-raba dengan kedua tangannya, lalu berkata, "Apakah betul Bhok Lo Cinjin berada di sini.........?" tanyanya, suaranya gagap karena maklum bahwa ia berada dalam keadaan sulit sekali.
"Pinceng Bhok Lo Cinjin, kau siapa dan ada apa mencari pinceng?”
59
Kwee Sun Tek cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Cu-wi locianpwe yang berada di sini, harap ampunkan teecu yang sudah tak dapat melihat lagi......!” Dan Sun Tek tak tertahan lagi lalu menangis.
Semua orang menjadi heran, juga Kam Ceng Swi. Baru sekarang ia melihat bahwa biarpun orang she Kwee itu matanya melotot, namun ternyata ia seorang buta!
"Seorang laki-laki pantang menangis, lekas kau ceritakan!” kata Bhok Lo Cinjin dengan suara keren. Hwesio ketua Siauwlim-pai ini biarpun air mukanya manis dan tersenyum-senyum ramah, namun wataknya keras dan ia menjaga peraturan dengan tertib.
Sun Tek lalu menuturkan pengalamannya. "Teecu adalah murid Beng Kun Cinjin. Melihat bekas suhu itu menyeleweng membantu pemerintah penjajah, teecu bersama enci dan cihu yang juga murid-murid Beng Kun Cinjin, pergi ke kota raja untuk membujuk suhu. Akan tetapi, cnci dan cihu tewas oleh para panglima. Teecu berhasil melarikan Wi Liong, putera cici. Di tengah jalan teecu dibikin buta oleh suhu yang mengejar teecu, malah mungkin para suhu di Siauw-limsi, Siang Tek Hosiang dan suhu-suhu lain yang membela teecu kena dikalahkan oleh Beng Kun Cinjin. Kemudian enam tahun lamanya teecu mengajak Wi Liong mengembara dan akhirnya membawa anak itu ke Siauw-lim-pai untuk menjadi murid. Sayang Bhok Lo Cinjin tidak ada, kabarnya ke Kun-lun san. Teecu mengajak keponakan itu menyusul ke sini." Ia menarik napas panjang dan semua orang yang mendengarkan penuturan ini menjadi tertarik dan gemas. Memang semua sudah mendengar perihal Beng Kun Cinjin dan membenci pengkhianat.
"Sungguh sial bagi teecu, di sini teecu dianggap membikin kacau sampai terjadi percekcokan. Kemudian, dalam sedikit pertempuran, entah bagaimana, tiba-tiba teecu tak dapat menguasai diri, kedua tangan teecu bergerak sendiri merobohkan saudara-saudara murid Kun-lun-pai, teecu sama sekali bukan lawannya. Benar-benar aneh sekali. Sayang mata teecu tak dapat melihat, sekarang tahu-tahu..... Wi Liong telah lenyap....!" Kembali Sun Tek menangis.
Kun-lun Lojin melompat maju dan menekan kedua pundak Sun Tek. Sun Tek tak berdaya sama sekali, merasa seluruh tenaganya lenyap dalam tekanan itu. Ia dilepas kembali dan Kun-lun Lojin berkata lirih.
"Dia tidak membohong. Dia sama sekali takkan sanggup melawan Kam Ceng Swi......”
"Akan tetapi teecu dirobohkan dengan sekali pukul. " kata Kam Ceng Swi terheran-heran.
"Tangannya tidak mengandung hawa pukulan beracun, sedangkan kau dirobohkan oleh pukulan beracun. Tentu ada orang jahat yang merobohkan kalian dengan jalan bersembunyi, meminjam tangan Kwee sicu ini kemudian menculik Wi Liong dan agaknya Kun Hong juga terculik!”
Semua orang diam. Tujuh orang tokoh besar itu saling pandang, teringat akan suara ketawa laki-laki dan wanita tadi. Tung-hai Sian-li tertarik melihat seorang anak murid Kun-lun yang merintih dan pada leher orang ini terdapat tanda bintik-bintik merah. Ia mendekat, memeriksa sebentar lalu tokoh wanita ini dengan alis berkerut berkata.
60
"Bekas tangan Tok-sim Sian-li (Dewi berhati Racun)!"
Semua orang terkejut. Nama Tok-sim Sian-li sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang wanita tokoh Mo-kauw yang kejam, galak dan cabul. Akan tetapi kepandaiannya luar biasa sekali, bahkan pernah Tung-hai Sian-li tokoh timur ini roboh olehnya!
Lam-san Sian-ong juga maju mendekati Kam Ceng Swi smbil berkata. "Mengingatkan lohu akan seorang.....”
Tanpa berkata apa-apa lagi ia memeriksa dada Kam Ceng Swi, merobek bajunya dan mengetuk-ngetuk iganya. Ia menangguk-angguk dan berkata.
"Sudah kuduga..... sudah kuduga..... baiknya kau tidak langsung menerima pukulan dari tangannya, dan sudah keburu minum obat penawar manjur. Kalau tidak..... hemmm, jangan harap bisa hidup lagi. Tanganku yang tekena pukulan Ngo-tok-jiauw (Cengkeraman Lima Racun) terpaksa kubikin buntung!" Ia memperlihatkan tangan kirinya yang buntung dan mukanya memperlihatkan kegemasan besar.
"Lam-san Sian-ong, kaumaksudkan muridku terkena pukulan Ngo-tok-jiauw.....?” tanya Kun-lun Lojin, wajahnya berobah sungguh-sungguh.
Kakek buntung tangannya itu mengangguk-angguk. "Kau telah mendapat kehormatan tadi, menerima kunjungan Bu-ceng Tok-ong (Raja Racun Tanpa Aturan) sendiri!”
Semua orang menjadi terkejut lagi. Kiranya suara ketawa tadi adalah suara ketawa Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dua orang tokoh Mo-kauw yang amat kejam dan lihai.
Mendengar ini Sun Tek mengeluh. "Wi Liong..... Wi Liong..... kasihan sekali kau nak.....”
Juga Kam Ceng Swi amat terkejut dan berduka. Ia berlutut di depan suhunya dan berkata, "Suhu, mohon belas kasihan suhu, tolonglah anakku Kun Hong.....”
Kun-lun Lojin menarik napas panjang, "Sukar, sukar..... akan tetapi sudah menjadi kewajiban kami untuk memikirkannya. Ceng swi kau rawat saudara-saudaramu dan layani Kwee sicu ini baik-baik. Jangan ganggu kami yang akan merundingkan soal ini di atas."
Kun-lun Lojin dan para tamunya lalu kembali ke puncak. Wajah mereka rata-rata muram, kecuali Lam-sam Sian-ong yang kadang-kadang tersenyum-senyum seorang diri seperti orang yang miring otaknya, akan tetapi karena semua orang sudah mengenal keanehannya, tak seorangpun memperhatikan dia. Tujuh orang tokoh besar ini melanjutkan pertemuan yang terganggu tadi.
"Soalnya menjadi makin sulit," kata Kun-lun Lojin. "Dahulu ketika pinto bertemu dengan Thian Te Cu, orang sakti itu sudah memperingatkan bahwa akan tiba saatnya negara kita dikuasai oleh Bangsa Mongol seluruhnya sampai seratus tahun lamanya. Beliau yang mencegah kita jangan bergerak, dan jangan mencoba melawan kehendak alam. "
61
"Biarpin Thian berkuasa, namun manusia harus berdaya-upaya!" bantah Tung-hai Sian-li. "Melihat negara diilas-ilas, masa kita harus peluk tangan saja melihat rakyat dibinasakan? Di mana kegagahan kita?"
"Betul, " kata Kun-lun Lojin. "memang tidak ada yang melarang kalau di antara kita berusaha. Akan tetapi ada batas-batasnya dan usaha kita hanya mengganyang para orang gagah yang menyeleweng dan membantu musuh seperti halnya Beng Kun Cinjin dan yang lain-lain. Akan tetapi Beng Kun Cinjin sudah menghilang dan sepanjang pendengaran pinto, bala tentara Mongol mulai menghubungi orang-orang Mo-kauw untuk memperkuat kedudukannya. Sekarang fihak Mo-kauw sudah terang-terangan mengadakan permusuhan dengan kita, sengaja datang untuk mengacau pertemuan kita, merobohkan anak murid Kun-lun-pai dan menculik dua orang anak yang berada di sini. Kun Hong adalah anak murid Kun-lun-pai yang berbakat, perbuatan dua orang Mo-kauw itu benar-benar merupakan hinaan besar. "
Bhok Lo Cinjin mengeluarkan gerengan. "Juga bocah bernama Thio Wi Liong itu sudah hendak dititipkan kepada pinceng, biarpun belum pinceng terima, akan tetapi orang sudah datang mendahului dan menculik, inipun berarti penghinaan bagi Siauw-lim-pai. Kita harus mencari dua orang iblis itu."
"Sudah bertahun-tahun aku mencari untukminta ganti tanganku yang buntung ini, akan tetapi lebih mudah mencari setan dari pada mencari Bu-ceng Tok-ong. " kata Lam-san Sian-ong mendongkol.
"Juga aku sudah lama mencari-cari Tok-sim Sian-li untuk membalas penghinaannya beberapa tahun yang lalu, akan tetapi siapa tahu di mana sarang siluman itu?” kata Tung-hai Sian-li.
"Seperti pinto katakan tadi, fihak Mongol sekarang minta bantuan Mo-kauw, kiranya tidak akan jauh dari kota raja berkumpulnya para tokoh Mo-kauw. Kita sekarang masing-masing mencari jejak mereka dan beramai-ramai menyerbu apa bila sarang mereka sudah diketahui. Biarlah setahun lagi pada waktu sekarang ini kita berkumpul di Kuil Siauw-lim-si untuk menceritakan hasil pemnyelidikan masing-masing." kata Kun-lun Lojin. Setelah diadakan permufakatan ini, mereka lalu bubaran dan mulailah para tokoh besar ini mengadakan penyelidikan untuk melawan orang-orang Mo-kauw kalau mereka benar menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, dan sekalian mencari dua orang tokoh Mo-kauw yang telah menghina mereka di Kun-lun-san dan menolong dua orang anak kecil yang mereka culik.
Dugaan tujuh tokoh di puncak Kun-lun-san itu memang tidak meleset. Yang mengacau di lereng Kun-lun-san dan menculik dua orang bocah itu memang Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dua orang tokoh besar dari golongan Mo-kauw yang ditakuti orang. Fihak Mo-kauw mendengar tentang pertemuan puncak itu dan dua orang ini diutus untuk mengacau karena golongan Mo-kauw maklum bahwa tujuh orang tokoh besar itu sedang membicarakan gerakan mereka membantu bala tentara Mongol!
Akan tetapi, biarpun dua orang tokoh Mo-kauw itu berkepandaian tinggi, mereka merasa jerih juga kalau harus menyerbu ke atas, menghadapi tujuh orang tokoh besar sekaligus. Maka mereka hanya mengacau di lereng tempat penjagaan. Kebetulan sekali mereka melihat dua orang bocah itu yang mereka tahu bertulang baik sekali, maka mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk menculik dua orang anak itu. Tok-sim Sian-li menculik Kun Hong sedangkan Bu-ceng Tok-ong
62
menculik Wi Liong sambil tidak lupa membawa pedang Cheng- hoa-kiam yang berada di punggung Sun Tek karena ia tahu bahwa pedang itu adalah pedang pusaka yang ampuh.
Tok-sim Sian-li atau Dewi Hati Beracun adalah seorang wanita yang masih muda nampaknya biarpun usianya sudah empat puluh tahun. Kalau orang melihat potongan tubuhnya dan wajahnya tak akan dia mengira bahwa wanita ini seorang iblis betina yang amat jahat. Wajahnya cantik dengan kulit muka putih kemerahan, matanya tajam dengan kerling genit. Senyumnya dapat merobohkan hati pria yang kurang kuat batinnya. Potongan tubuhnya juga menarik dengan gerak gerik menggiurkan. Pendeknya, Tok-sim Sian-li adalah seorang wanita cantik yang bersikap genit sekali. Akan tetapi di dalam hatinya ia kejam luar biasa dan di balik senyum menarik dan kerling mata menggairahkan bersembunyi sifat galak dan ganas. Dia terkenal sebagai seorang wanita cabul, pandai merayu pria yang disukainya, akan tetapi kalau hatinya sudah tidak suka, ia akan membunuh pria itu tanpa berkedip mata dan dengan senyum di kulum!
Sebaliknya, kawannya. Bu-ceng Tok-ong adalah seorang yang bermuka iblis. Mukanya segi empat dengan alis mata tebal sekali sampai menutupi sepasang matanya yang hitam. Mukanya hitam totol-totol putih karena dimakan penyakit kulit dan kulit badannya kasar seperti kulit buaya. Tubuh tinggi besar dan nampaknya kuat bukan main. Wataknya aneh dan suka melucu, benar-benar berbeda dengan mukanya yang menyeramkan. Akan tetapi dalam hal kekejaman, ia tidak kalah banyak oleh Tok-sim Sian-li. Dua orang ini merupakan tokoh-tokoh yang tinggi sekali kepandaiannya, dan entah sudah berapa ratus atau berapa ribu orang yang sudah menjadi korban keganasan mereka.
Setelah berhasil menculik dua orang bocah itu, keduanya berlari cepat sambil meninggalkan suara ketawa menyeramkan. Sebentar saja mereka sudah turun gunung dan pergi jauh sekali, tak mungkin dapat dikejar oleh orang-orang di Kun-lun-san. Setelah jauh barulah mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap.
Tok-sim Sian-li memondong Kun Hong mengamat-amati wajah anak laki-laki yang tampan ini. Seperti juga keadaan Wi Liong, Kun Hong tak dapat mengeluarkan kata-kata karena ditotok urat gagunya, dan ia tak dapat bergerak dalam pondongan wanita itu. Tok-sim Sian-li tertawa-tawa dan menciumi pipi Kun Hong.
"Aduh sayang masih kecil. Kalau sudah dewasa dia tentu menjadi pemuda yang tampan sekali!” katanya sambil membelai rambut Kun Hong yang hitam.
"Dasar kau gila laki-laki!” Bu-ceng Tok-ong berkata mencela dengan mulut cemberut. "Aku membawa dia ini karena dia bertulang baik, patut sekali menjadi muridku. Akan tetapi agaknya kau menculik bocah itu karena tampannya. Ha-ha, kau mau menanti sampai berapa tahun untuk menjadikannya sebagai kekasih barumu? Mata keranjang!”
Dimaki demikian, Tok-sim Sian-li hanya tertawa genit. "Tentu saja aku memilih pemuda tampan, habis apa aku harus selalu mendekati laki-laki seperti macammu? Buruk, kasar dan tidak menyenangkan. Cih! Bisa saja kau mencela orang padahal kau sendiri sekali melihat gadis cantik mulutmu terus mengilar! Kau bilang bocah yang kau bawa itu bertulang baik? Hemm, kiranya matamu sudah buta kalau kau tidak melihat bahwa bocahku ini bakatnya jauh lebih besar dari pada bocahmu itu!”
63
"Tak bisa jadi! Kau lihat saja!" kata Bu-ceng Tok-ong sambil membuka baju Wi Liong dan meraba-raba dada anak itu.
"Kau memang sudah buta. Kau lihat ini!" juga Tok-sim Sian-li membuka baju Kun Hong dan memperlihatkan dada bocah itu.
Keduanya memeriksa dan akhirnya mereka harus mengakui bahwa dua orang anak laki-laki itu bertulang baik sekali.
"Kita benar-benar beruntung." kata Bu-ceng Tok-ong. "Tak dinyana kedua anak ini benar-benar merupakan tunas yang jarang terdapat!”
"Kita bertaruh siapa yang akan lebih jadi di antara dua orang murid kita ini kelak. " kata Tok-sim Sian-li menantang.
Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak, suara ketawanya seperti tadi ketika meninggalkan Kun-lun-san, bergema smpai jauh dari tempat itu. memang setiap kali perasaannya tersinggung sehingga ia menjadi marah mendongkol, tentu Bu-ceng Tok-ong mengeluarkan suara ketawa seperti ini.
"Ha-ha-ha-ha, kau sombong. Kuterima tantanganmu, apa taruhanmu?"
"Apa saja menurut permintaanmu!" jawab Tok-sim Sian-li sambil tesenyum mengejek.
Kembali Bu-ceng Tok-ong tersenyum. "Dalam waktu sepuluh tahun dua orang murid kita sudah dewasa dan boleh kita adu kepandaian mereka. Kalau muridku menang...." ia tersenyum pula. "dan ini sudah pasti kau harus mau menjadi isteriku. Bagaimana?”
Tok-sim Sian-li memicingkan matanya yang bagus itu, bibirnya tersenyum lebih manis lagi dengan gaya memikat. "Mudah-mudahan sepuluh tahun lagi kau takkan menjadi lebih kasar dan lebih buruk." jawabnya. "Akan tetapi bagaimana kalau muidmu kalah?”
"Sesukamulah, kau minta apa? Kau minta kepalaku juga boleh!”
"Cih, untuk apa kepala buruk itu? Kalau muridku yang menang kau harus memberikan muridmu itu untuk menghiburku selama satu tahun!”
Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha kau pintar! Memang mata keranjang macam matamu mana bisa melewatkan laki-laki tampan? Muridku ini kelak tak kalah tampan oleh muridmu. Boleh, boleh, mari kita sama lihat sepuluh tahun lagi! Benar-benar pertaruhan yang menyenangkan hati sekali."
Dari percakapan ini dapat dinilai betapa bobroknya moral dari kedua orang ini yang sudah tidak kenal apa artinya malu lagi. Kun Hong dan Wi Liong yang baru berusia enam tujuh tahun itu tentu saja menjadi bingung dan tidak mengerti, dan sedikit pengertian mereka membuat mereka terheran-heran dan juga ngeri. Bu-ceng Tok-ong lalu menotok leher muridnya, membebaskannya dari totokan yang membuatnya gagu. Juga Tok-sim Sian-li membebaskan muridnya, lalu mengelus-elus leher Kun Hong.
64
"Kau tidak merasa sakit, bukan?" tanyanya halus dengan suara menyayang sekali. Kun Hong menggeleng kepala. Bocah ini merasa takut dan benci kepada Bu-ceng To-ong yang berwajah buruk, akan tetapi biarpun ia agak merasa heran dan ngeri melihat Tok-sim Sian-li, namun ia tidak membenci wanita ini. Wanita ini memperlihatkan kasih sayang kepadanya, bicaranya juga lemah lembut, tentu saja ia tidak membencinya. Akan tetapi ia masih ragu-ragu kalau hendak dijadikan muridnya. Seorang wanita begini lemah lembut gerak-geriknya mau menjadi gurunya? Apa sih kemampuannya?
Sedangkan Wi Liong yang sudah lebih banyak penglamannya segera tahu bahwa ia terjatuh ke dalam tangan tokoh-tokoh jahat sekali, maka ia diam saja dan keningnya berkerut, hatinya gelisah kalau ia mengingat pamannya.
Setelah memebebaskan totokan Wi Liong, Bu-ceng Tok-ong bertanya kepada bocah yang hendak dijadikan muridnya itu, "Siapa namamu?"
"Thio Wi Liong." jawab bocah itu singkat.
"Nama bagus! Wi Liong, mulai sekarang kau menjadi muridku, kau harus rajin berlatih agar kelak dapat mengalahkan dia!" Kakek itu menuding ke arah Kun Hong yang menjebikan bibirnya kepada Wi Liong.
Wi Liong menggeleng kepala keras-keras, "Aku tidak mau!"
"Eh, eh. tidak mau bagaimana?"
"Aku tidak mau menjadi muridmu lebih baik lekas kalian mengembalikan aku dan Kun Hong itu ke Kun-Lun-san lagi, kalau tidak tentu para locianpwe yang berada di puncak Kun-lun-san akan mencari dan membunuh kalian." Bersama pamannya, Wi Liong sudah sering kali menghadapi penjahat dan ia tahu pula bahwa di puncak Kun-lun-san terdapat banyak orang sakti, maka ia menggunakan kesempatan ini untuk menakut-nakuti Bu-ceng Tok-ong.
Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Sian-li kau lihat beraninya muridku ini!" memang orang-orang Mo-kauw mengagumi keberanian maka si raja racun itu girang sekali melihat sikap Wi Liong yang tanpa takut-takut malah mengancamnya!”Wi Liong, siapakah locianpwee yang kau andalkan itu dan apa sebabnya kau yakin mereka akan menolongmu?"
Wi Liong berpikir. Kalau orang seperti ini tidak diancam, ia tidak tahu bagaimana ia akan dapat meloloskan diri. "Dengarlah, aku adalah calon murid dari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai. Kau berani menculikku, bukankah itu berarti kau telah mengganggu harimau tidur? Calon suhuku itu pasti akan mengejarmu dan akan menghajarmu sampai kau berkeok-kaok minta ampun!”
Kembali Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak keras sekali, "Ha-ha-ha, Wi Liong, omongan apa ini? Jangankan baru seorang Bhok Lo Cinjin, biar dia pianhoa (merobah diri) menjadi tiga, dia takkan menangkan aku!"
"Siapa bisa percaya omonganmu sebelum melihat buktinya?" Wi Liong memang cerdik dan bocah ini sengaja melepas api membikin panas hati orang. Usahanya berhasil baik, Bu-ceng Tok-ong menjadi
65
panas perutnya. Tidak ada hal yang lebih tidak enak dari pada seorang calon guru tidak dipercaya tentang kepandaiannya oleh calon murid.
"Baik, kalau kau mau hendak minta bukti, kau lihat saja nanti. Aku akan menghadang perjalanan pulang Bhok Lo Cinjin!" kata Bu-ceng Tok-ong dengan perut panas. Mendengar percakapan antara Wi Liong dan Bu-ceng Tok-ong, Kun Hong juga segera berkata kepada Tok-sim Sian-li.
"Aku juga tidak mau menjadi murimu, bibi!"
Tok-sim sian-li merasa geli mendengar disebut bibi. Ia mencubit pipi Kun Hong dan bertanya, "Bocah bagus, apa sebabnya kau tidak mau menjadi muridku?"
"Bibi seorang wanita halus dan cantik, mana bisa mengajar silat? Aku lebih senang menjadi murid Kun-lun-san atau lebih suka lagi kalau bisa menjadi muid suhu cebol yang berpakaian pengemis, yang datang di kun-lun-san tadi!"
Mendengar disebutnya suhu cebol berpakaian pengemis, berubah wajah Tok-sim Sian-li. Ia bertukar pandang dengan Bu-ceng Tok-ong, lalu berkata, "Kau maksudkan Pak-thian Koaijin si pengemis kelaparan itu?"
"Betul, namanya Pak-thian Koai-jin, aku mendengar ayah menyebutnya begitu. Akan tetapi ia tidak kelaparan, ia baik, ia lucu dan kepandaiannya setinggi langit. Aku suka menjadi muridnya."
Tanpa disengaja, Kun Hong juga memanaskan perut Tok-sim Sian-li, yang menjadi marah sekali sungguhpun senyumnya makin menarik dan matanya makin bersinar-sinar.
"Murid Tok-ong menghendaki bukti, apa salahnya kalau akupun membuktikan kepandaianku kepadamu, Kun Hong? Kau lihat saja nanti betapa aku yang kauanggap halus dan cantik ini mengalahkan Pak-thian Koai-jin dengan mudah.
Kun Hong tidak percaya dan ia memandang kepada wanita itu dengan matanya yang jeli dan bagus. Tok-sim Sian-li menjadi girang sekali dan memeluk muridnya ini.
"Bocah bagus, kau menyenangkan hati sekali!" memang hati Toj-sim Sian-li bangga dan girang mendengar kata-kata muridnya yang tadi menyebutnya "halus dan cantiknya"
"Ha-ha-ha-ha! Benar tidak mudah menjadi guru tunas-tunas berbakat!" kata Bu-ceng Tok-ong. "Belum apa-apa sudah diuji kepandaian kita oleh calon murid kita. Mana di dunia ini ada guru diuji murid? Benar-benar kita ini guru-guru gila dan goblok. Sian-li, kita berpisah jalan, aku harus mencegah lolosnya Bhok Lo Cinjin!" Setelah berkata demikian, Bu-ceng Tok-ong cepat mengempit tubuh Wi Liong dan di lain saat ia telah berkelebat pergi.
Melihat kegesitan gerakan Bu-ceng Tok-ong ini, Kun Hong memandang bengong. "Waah, guru si Wi Liong itu hebat bukan main....." katanya khawatir.
66
"Hemm, apanya yang hebat? Kau lihat gerakanku." Tok-sim Sian-li memeluk tubuh Kun Hong dan di lain saat anak itu berteriak-teriak kagum dan ngeri karena ia merasa dibawa "terbang" oleh wanita itu.
Kalau melihat tubuhnya yang gemuk sekali seperti arca Jilaihud sedang duduk buka baju, akan tetapi dapat berjalan bukan main cepatnya dan ringannya, menyusup di antara pohon dan semak bagaikan seekor harimau, melompati jurang-jurang seringan kijang, benar-benar amat mengherankan. Inilah Bhok Lo Cinjin, hwesio tua bertubuh gemuk yang selalu tersenyum-senyum. Akan tetapi kalau tahu bahwa hwesio yang gemuk ini adalah ketua Siauw-lim-pai, orang takkan merasa heran lagi akan kepandaiannya dalam ilmu ginkang ini.
Bhok Lo Cinjin turun dari puncak Kun-lun-san. hatinya kecewa dan penasaran sekali oleh pebuatan Bu-ceng Tok-ong yang telah menculik seorang bocah yang dicalonkan menjadi murid Siauw-lim-pai. Perbuatan seperti itu hanya boleh diartikan bahwa Bu-ceng Tok-ong sengaja hendak menantang fihak Sauw-lim-pai! Bhok Lo Cinjin marah bukan main. Sebagai seorang hwesio tentu saja Bhok Lo Cinjin memiliki kesabaran besar akan tetapi sebagai orang Siauw-lim-pai, ia memiliki kekerasan hati dalam hal mempertahankan nama besar partai persilatannya. Apalagi dia adalah ketua dari Siauw-lim-pai, sekarang Bu-ceng Tok-ong melakukan penghinaan dilereng Kun-lun-san selagi dia berada di puncak mengadakan pertemuan dengan orang-orang gagah. Hal ini sama saja artinya dengan menghina di depan hidungnya!
"Hemm, Bu-ceng Tok-ong memperlihatkan kekurang-ajarannya, berarti fihak Mo-kauw sengaja hendak melakukan perang terbuka." Hwesio itu menggerutu sambil melangkah lebar untuk segera kembali ke Siauw-lim-si dan mempersiapkan saudara-saudara seperguruan dan anak-anak muridnya untuk mencari jejak Bu-ceng Tok-ong dan merampas kembali Thio Wi Liong yang diculik Raja Racun itu.
Tiba-tiba ia menahan langkahnya, berdiri tegak, seluruh urat syarafnya tegang karena ia mendengar sesuatu yang mencurigakan.
"Siiuuuutt!" Sinar kehijauan menyambar ke arah lima jalan darah terpenting di tubuhnya. Sinar ini adalah jarum-jarum halus yang menyambar demikian cepat hampir tak mengeluarkan suara, hanya dapat terdengar oleh telinga yang sudah terlatih baik saja.
"Omitohud, siapa orangnya begini keji?" Dengan kebutan lengan baju sebelah kiri, ketua Siauw-lim-pai ini berhasil menyampok semua jarum halus. Akan tetapi alangkah kagetnya melihat jarum-jarum yang tersampok itu tidak runtuh ke bawah, melainkan terpental dan melayang kembali ke arah semula, seakan-akan hidup dan dapat terbang kembali kepada tuannya! Tahulah dia bahwa penyerangnya bukan sembarang orang, melainkan seorang yang berilmu tinggi. Ketika ia melirik ke arah lengan bahunya yang putih bersih, ia melihat lima titik hitam seperti hangus terbakar api.
"Omitohud, kiranya Bu-ceng Tok-ong yang melakukan penyerangan gelap! Benar memalukan, benar tak tahu aturan!" hwesio itu berkata lagi.
Dari balik semak-semak terdengar suara ketawa ngakak seperti ular raksasa, kemudian berkelebat bayangan dan Bu-ceng Tok-ong muncul di depan hwesio ketua Siauw-lim-pai.
67
"Muridku, kaubuka matamu baik-baik dan lihat bahwa gurumu lebih gagah dari pada babi gemuk ini. Hak-hak-hak-hak!" kata Bu-ceng Tok-ong kepada seorang anak laki-laki yang tadi ia gandeng dan sekarang anak yang bukan lain Thio Wi Liong itu berdiri tegak memandang kepada Bhok lo cinjin dengan matanya terbelalak bersinar-sinar. Wi Liong biarpun kecil memiliki perasaan yang tajam dan dalam perantauannya dengan pamannya, ia sudah mendapat pengetahuan untuk membedakan antara orang baik dan orang jahat. Begitu melihat Bhok Lo Cinjin, sekilas pandang saja tahulah Wi Liong bahwa ia berhadapan dengan seorang yang boleh ia percaya, seorang yang oleh pamannya pasti akan dihormati. Apa lagi karena menurut Tok-ong, orang ini adalah ketua Siauw-lim-pai yang akan dijadikan gurunya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.
"Losuhu, tolonglah teecu dari orang jahat ini...."
Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Nyalimu memang besar. Kau tunggu dulu di sana!" Kakinya bergerak menendang dan Wi Liong merasa tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia telah terlempar ke atas pohon yang lebat daunnya. Saking takutnya ia meraih sekenanya dan berhasil memegang ranting pohon, memeluknya erat-erat dan duduk di atas cabang. Ketika ia menengok ke bawah, ternyata ia telah berada di puncak pohon yang amat tinggi! Ia melihat Raja Racun itu masih tertawa-tawa di bawah menghadapi hwesio tua yang gendut itu.
"Bu-ceng Tok-ong," hwesio itu berkata dengan suaranya yang halus namun nyaring berpengaruh. "Sungguh pun Siauw-lim-si dan Mo-kauw mempunyai jalan hidup yang arahnya berlawanan, akan tetapi selama ini hanya bersimpang jalan tidak sling bentrok. Siauw-lim-pai selalu mengambil jalan kanan dan Mo-kauw jalan kiri. Apa maksudmu sekarang kau berani menghina pinceng?”
Bu-ceng Tok-ong tertawa terkekeh-kekeh sebelum menjawab. "Babi gundul, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku menghinamu?"
Muka Bhok Lo Cinjin menjadi merah. Sebagai seorang ketua partai persilatan besar, belum pernah ada orang memakinya seperti yang dilakukan oleh Raja Racun ini. Jangankan orang-orang biasa, kaisar di selatan dan utara dahulu pun belum tentu berani memaki-makinya seperti ini.
"Bu-ceng Tok-ong, kata-katamu begitu kotor kau masih belum mengaku menghina pinceng?" bentaknya marah.
Kembali Raja Racun itu tertawa bergelak, memang dia seorang yang tidak perduli tentang segala macam aturan, berlaku kurang ajar atau tidak menurut enaknya perutnya sendiri. Oleh karena itulah maka ia disebut Bu-ceng yang berarti Tidak Ada Aturan!
"Ha-ha-ha, kau memang babi gemuk mengapa tidak mau disebut babi gemuk? Lihat saja perutmu, bukankah seperti perut babi yang terlalu banyak makan dan tidur? Kerjamu hanya tidur dan bersamadhi di samping makan sayur-sayuran, apa bedanya dengan babi?"
"Tok-ong, pinceng tidak sudi bicara tentang hal yang bukan-bukan. Kau sudah berani mendatangi Kun-lun-san dan membikin kacau di sana, kemudian kau menculik calon murid Siauw-lim-pai, ini berarti kau menghina pinceng, menghina Siauw-lim-pai. Sekarang kau datang-datang selain memaki-maki dengan mulutmu yang kotor, kau pun menyerang secara menggelap. Apa maksudmu
68
sebenarnya?" betapapun juga ketua Siauw-lim-pai ini menahan diri, memang sebagai seorang ciangbujin (ketua) partai besar ia jarang sekali menurunkan tangan mempergunakan kepandaian.
"Bhok Lo Cinjin, bukankah kau seorang hwesio?”
"Betul, habis ada apakah?”
"Bukankah kau diajar berlaku welas asih, diajar berlaku mengalah dan berlaku sabar?”
"Betul, habis mengapa?”
"Nah, kalau begitu sebagai hwesio kau harus mengalah dan berlaku baik. Mengapa kau tidak mau mengalah saja kepadaku dan memberikan murid ini secara baik-baik, kemudian berterima kasih karena aku berkenan memberi pendidikan kepada bocah itu? Sekarang aku datang hendak menguji sampai di mana kepandaian ketua Siauw-lim-pai, selain untuk memuaskan hatiku juga untuk memberi hajaran kepada kau yang sudah bersikap sombong dan berani kepada Tok-ong! Kecuali kalau kau mau berlutut, bilang bahwa dengan rela hati kau memberikan Thio Wi Liong kepadaku dan selanjutnya berjanji takkan kurang ajar terhadap aku golongan yang lebih tinggi tingkatnya, mana aku sudi membei ampun?”
Sudah terang ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Bu-ceng Tok-ong sama sekali diputar balikkan dan amat bocengli (kurang ajar). Sesabar-sabarnya hati hwesio tua Siauw-lim-pai, Bhok Lo Cinjin tetap hanya seorang manusia biasa. Mana ia dapat bertahan mendengar ucapan yang benar-benar tidak karuan dan amat sombong tidak tahu aturan ini?
"Bu-ceng Tok-ong siluman sombong. kaukira pinceng jerih terhadapmu? Kau hendak mengadu ilmu, boleh kau maju dan keluarkan semua ilmumul Siapa sih yang takut?"
Akan tetapi belum habis hwesio ini bicara, tanpa memberi peringatan lagi Bu-ceng Tok-ong sudah menyerang dengan pukulan dahsyat. Benar-benar seorang tokoh yang tidak tahu aturan. Jangankan tokoh yang sudah demikian tinggi tingkatnya, yang lebih rendah tingkat kepandaiannya sekalipun selalu memberi tahu sebelum melakukan serangan pertama, tidak sudi melakukan serangan secara tiba-tiba dan menggelap seperti yang dilakukan oleh Raja Racun ini!
Bhok Lo Cinjin yang maklum akan kelihaian lawannya, tidak berlaku lengah. memang sejak tadi ia sudah dapat menduga macam apa adanya Raja Racun ini maka selalu bersap waspada. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat, dan mengandung hawa panas ini, ia cepat melompat ke samping sambil mengebutkan lengan bajunya. Pukulan meleset, membuat pohon di belakang hwesio itu yang terkena hawa pukulan bergoyang goyang dan daun-daunnya rontok seperti tertiup angin besar! Dari sini saja dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan dari Bu-ceng Tok-ong.
Akan tetapi Bhok Lo Cinjin adalah tokoh besar Siauw-lim-pai. Biarpun dia bukan termasuk orang terpandai di Siauw-lim-si, masih ada susiok dan supeknya, tokoh-tokoh tua yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya, namun kalau dia sampai dipilih menjadi ketua, tentu dia telah memiliki kepandaian tinggi di samping sifat-sifat baik untuk menjadi pemimpin partai persilatan besar itu.
69
Pertempuran hebat segera terjadi. Seperti biasa kalau tokoh-tokoh besar bertempur, gerakan mereka lambat-lambat saja namun di sekeliling mereka, semak-semak belukar bergoyang-goyang pohon-pohon rontok daunnya seperti ada angin besar mengamuk!
Setelah lewat empat puluh jurus, rasa penasaran dalam hati Bhok Lo Cinjin tak tertahankan lagi. Biasanya, seorang ketua partai besar jarang turun tangan dan sekali turun tangan dalam sepuluh jurus harus sudah merobohkan lawan. Sekarang selama empat puluh jurus, jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja tidak bisa, malah-malah dia yang terdesak oleh ilmu silat yang amat kacau balau dan aneh dari lawannya. Sebetulnya dalam hal ilmu silat kiranya Bhok Lo Cinjin tidak akan kalah oleh lawannya, karena ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat tinggi yang jarang tandingannya.
Akan tetapi yang membuat Bu-ceng Tok-ong merupakan lawan lawan yang amat berat adalah kedua tangannya yang berbisa atau pukulan-pukulan yang mengandung hawa maut karena pukulan-pukulan ini bukan pukulan biasa melainkan pukulan dengan hawa beracun. Di samping ini juga Bu-ceng Tok-ong amat curang, memiliki banyak senjata rahasia berbisa yang bisa dilepas secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga. Tentu saja semua ini takkan ada artinya kalau ilmu silatnay tidak tinggi. Ia memiliki banyak macam ilmu silat yang ia gabung menjadi ilmu silat aneh dan jahat karena memang golongan dia ini rata-rata memiliki ilmu silat yang selalu mempergunakan kecurangan tanpa memperdulikan tata susila persilatan. Beberapa kali Bu-ceng Tok-ong mempergunakan akal yang amat curang.
"Hwesio, tahan dulu!" serunya dalam sebuah pergulatan seru di mana ia agak terdesak. Sebagai seorang gagah yang mematuhi peraturan bertempur mengadu kepandaian, tentu saja Bhok Lo Cinjin menahan gerakan-gerakannya dan pada saat itu tanpa malu-malu lagi Bu-ceng Tok-ong mengerahkan tenaga dan menyerangnya dengan dahsyat! Serangan ini berbahaya sekali dan hanya berkat kewaspadaannya saja Bhok Lo Cinjin masih mampu menghindarkan diri sungguh pun pundak kirinya terlanggar hawa pukulan dan terasa amat panas.
Bu-ceng Tok-ong hanya tertawa-tawa puas melihat akalnya berhasil, dan hwesio itu tidak mau menegur karena maklum bahwa orang macam lawannya itu tidak punya malu lagi. Ia hanya berlaku hati-hati sekali dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Untuk melindungi diri dari serangan gelap, ia mainkan Ilmu Silat Lo-han-bian-kun, semacam ilmu silat yang mempergunakan lweekang lemas namun amat tangguh.
Tiba-tiba Bu-ceng Tok-ong menghentikan gerakan-gerakannya dan berseru sambil menengok ke arah Wi Liong. "Hee, hati-hati kau jangan sampai jatuh.....!"
Bhok Lo Cinjin adalah seorang yang gagah sejati. Melihat lawannya berhenti dan menengok ke arah bocah itu menyuruhnya hati-hati, tentu saja ia tidak sudi mempergunakan kesempatan ini untuk menyerang selagi lawan tidak bersiap siaga. Otomatis iapun menghentikan serangannya dan menengok kuga ke atas pohon karena khawatir kalau bocah yang ditendang tadi benr-benar jatuh.
Saat inilah yang dipergunakan oleh Raja Racun yang curang itu untuk menyerang lawannya. Tanpa mengeluarkan suara apa-apa tiba-tiba saja ia menubruk, menyerang Bhok Lo Cinjin dengan pukulan bertubi-tubi dari kedua tangannya yang sudah berubah hitam, tanda bahwa ia melakukan pukulan berbisa yang mengandung hawa maut.
70
Bhok Lo Cinjin agak kaget. Biarpun ia dapat mengelak dan menangkis dengan kebutan lengan bajunya, namun kedudukannya menjadi terdesak dan posisi tubuhnya tidak menguntungkan. Dalam saat seperti ini menyambar jarum-jarum hitam dari bawah lengan Bu-ceng Tok-ong, senjata-senjata rahasia yang dilepas dengan diam-diam mempergunakan semacam alat yang dipasang di bawah lengan!
Kali ini Bhok Lo Cinjin benar-benar terkejut sekali. Ia mengeluarkan seruan keras dan tahu-tahu tubuhnya yang bundar gemuk itu mencelat ke atas seperti bola ditendang. Benar-benar hebat gerakannya dalam pengelakan ini sampai Bu-ceng Tok-ong berseru memuji, "Bagus sekali!"
Akan tetapi Raja Racun ini sudah menyusul lawan dengan pukulan-pukulan dan menghujankan jarum berbisanya. Dalam keadaan berjungkir balik di udara ini Bhok Lo cinjin masih berusaha menangkis semua pukulan dan serangan namun sebatang jarum hitam tak dapat dicegah lagi mengenai betisnya. Bhok Lo Cinjin menggigit bibir dan begitu ia turun ke atas tanah lagi, ia merasa kakinya tak dapat digerakkan. Namun ia tetap tidak mau menyerah dan berdiri tegak menanti datangnya lawan. Bu-ceng Tok-ong menyerang maju dengan kedua tangan mendorong ke arah dada. Bhok Lo Cinjin yang sebagai seorang gagah perkasa pantang mundur sebelum mati, menyambut dengan kedua tangannya pula sambil mengerahkan lweekangnya. Dua pasang tangan bertemu, bertumbuk keras dan akibatnya, Bu-ceng Tok-ong mencelat mundur sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu terjengkang roboh!
Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak melihat lawannya sudah tak berdaya lagi. Tadinya ia tidak tahu bahwa lawannya sudah terluka. Baru sekarang ia melihat betapa kaki kiri lawannya membengkak, tanda bahwa jarumnya mendapat korban.
Bhok Lo Cinjin memang tak dapat bangun lagi karena kaki kirinya tidak dapat digerakkan lagi, akan tetapi ia rebah tak bergerak sambil memandang kepada lawannya dengan mata melotot.
"Babi gemuk, bersiaplah kau untuk mampus. Ha-ha-ha!" Bu-ceng Tok-ong ketawa girang. "Aku masih memberi kesempatan kepadamu, lekas kau menyatakan takluk dan kalah, baru aku akan mengampunimu."
"Mau bunuh lekas bunuh, kau menang karena curang. Siapa takut mati?” bentak Bhok Lo Cinjin.
Kembali Raja Racun itu tertawa bergelak. "Heei, Wi Liong, buka lebar-lebar matamu dan lihatlah. Bukankah ini Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai sudah menggeletak tak berdaya di depan kakiku? Ha-ha-ha!"
Tentu saja Wi Liong tadi tak dapat mengikuti jalannya pertempuran dan ia sebetulnya tidak tahu bahwa Bhok Lo Cinjin dikalahkan dengan cara yang curang. Akan tetapi dengan lantang ia berkata,
"Tak tahu malu! Kau menang karena curang!”
"Bocah keparat, kau lebih percaya kepada omongan babi gemuk ini? Ha, kau lihat dia mampus!" Bu-ceng Tok-ong melangkah maju dan hendak memberikan pukulan terakhir untuk menewaskan Bhok lo Cinjin. Hwesio itu memandang dengan mata tak berkedip, sama sekali tidak takut.
"Bunuhlah jangan banyak cerewet!” serunya tenang.
71
"Jangan bunuh dia.....!" tiba-tiba Wi Liong menjerit. Ia merasa bersalah dan bertanggung jawab kalau hwesio tua itu tewas. Bukankah tadi dia sengaja memanaskan hati Bu-ceng Tok-ong untuk mencegat hwesio tua ini dan sekarang kalau hwesio ini tewas, sama saja dengan dia yang menyuruhnya? Tadinya ia mengharapkan bahwa ketua Siauw-lim-pai yang dipuji-puji oleh pamannya itu akan dapat mengalahkan iblis ini, tidak tahunya sekarang nyawa ketua Siauw-lim-pai itu malah terancam. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu.... melompat dari puncak pohon itu ke bawah! Karena ia belum memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tubuhnya lalu bergulingan dan ia tentu akan jatuh dengan tubuh remuk dan nyawa melayang kalau saja Bu-ceng Tok-ong tidak cepat menyambarnya.
"Ha-ha-ha, kau benar-benar bocah berani, patut menjadi muridku. Kau tidak ingin aku membunuh babi gemuk ini?"
"Jangan bunuh dia. Dia sudah kalah, mengapa dibunuh lagi? Aku sudah percaya sekarang bahwa dia kalah olehmu."
"Ha-ha, jadi kau sudah percaya akan kelihaianku? Bagus, suruh dia minta ampun dan berlutut, nanti kuampuni dia."
Wi Liong menghampiri hwesio itu dan berkata dengan suara sedih. "Losuhu, aku yang membuat losuhu sampai menderita begini. Harap losuhu mengalah, minta ampun agar tidak dibunuh. "
Bhok Lo Cinjin membelalakkan mata dengan marah. "Bocah setan! Siapa sudi minta ampun? Orang mau bunuh boleh bunuh, orang gagah tidak takut mati!"
Wi Liong kaget sekali sampai melompat mundur. Bu-ceng Tok-ong tertawa mengejek. "Dia ingin mampus, mengapa kau sayang nyawa babi?" tergurnya kepada Wi Liong.
Bocah itu berdiri bingung. Matanya yang lebar menatap ke arah hwesio itu dan ia menjadi kasihan sekali. Bagaimana pun juga, ia harus lebih dulu berusaha menolong nyawa hwesio tua itu agar jangan dibunuh oleh siluman ini, baru kemudian ia mencari jalan untuk menolong diri sendiri. Berpikir demikian, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di depan Bu-ceng Tok-ong sambil berkata.
"Biarlah aku yang mewakili hwesio itu, aku mintakan ampun untuk nyawanya."
"Bocah keparat! Setan.....! Pinceng tidak sudi dimintakan ampun! Heee, Bu-ceng Tok-ong, lekas kau bunuh pinceng, jangan dengarkan ocehan bocah gila itu!"
Bagi seorang gagah, nama dan kehormatan jauh lebih berharga dari pada nyawa. Bhok Lo Cinjin adalah seorang ciangbujin partai besar, setelah dia dikalahkan lawan, mana ia sudi minta ampun atau dimintakan ampun orang lain? Jauh lebih baik ia dibunuh dari pada dijadikan buah tertawaan di dunia kang-ouw!
Bu-ceng Tok-ong mengerti akan hal ini. Perangainya yang aneh dan jahat membuat ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, seorang ketua Siauw-lim-si minta-minta ampun, malah menyuruh anak kecil mintakan ampun untuk nyawanya. Ha-ha-ha, alangkah lucunya hal ini kalau terdengar oleh orang-orang di seluruh dunia. Baiklah Wi Liong, aku mau ampunkan babi gemuk itu karena kau yang mintakan ampun....."
72
"Iblis bermulut jahat! Kaubunuh aku, siapa takut mampus?" Bhok Lo Cinjin menjadi kasar karena marahnya. Akan tetapi Bu-ceng Tok-ong sudah menarik lengan Wi Liong dan berlari pergi dari tempat itu, membiarkan Bhok Lo Cinjin memaki-maki tidak karuan.
Bu-ceng Tok-ong membawa Wi Liong kembali ke tempat di mana ia berpisah dengan Tok-sim Sian-li tadi untuk melihat apakah kawannya itu juga berhasil, mengalahkan Pak-thian Koai-jin. Kalau Tok-sim Sian-li tidak berhasil, ia mempunyai kesempatan untuk mengejek dan menyombongkan kemenangannya. Aka tetapi ia tidak melihat Tok-sim Sian-li dan terpaksa ia mengajak Wi Liong menunggu.
Mari kita ikuti Tok-sim Sian-li yang membawa Kun Hong untuk mencegat Pak-thian Koai-jin. Iblis wanita ini ingin sekali memamerkan kepandaiannya kepada Kun Hong, muridnya yang tidak pecaya bahwa ia mampu mengalahkan tokoh utara itu!
Pak-thian Koai-jin adalah suheng dari Hu Lek Siansu ketua Go-bi pai, maka dapat dibayangkan bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Kalau melihat orangnya sih tidak seberapa, berpakaian pengemis bertubuh kecil pendek. Apalagi kalau sudah melihat dia berjalan terbungkuk-bungkuk seperti orang telah kehabisan tenaga atau kalau melihat betapa ia berjalan dengan tongkat di tangan kiri dan mangkok butut di tangan kanan, persis seperti orang kelaparan, tentu setiap bocah pun akan memandang rendah kepadanya. Akan tetapi orang akan kecele kalau mengira dia ini seorang pengemis lemah. Pak-thian Koai-jin atau Manusia Aneh dari Utara ini adalah seorang yang gembira dan nakal, kenakalan luar biasa yang membuat banyak tokoh penjahat menjadi gentar dan ngeri, kenakalan yang disertai kepandaian tinggi sekali.
Orang akan melengak kaget dan tak percaya kalau mendengar betapa seorang diri, hanya dikawani tongkat butut dan mangkok retaknya, pengemis tua ini pernah membikin kocar-kacir seregu tentara Mongol terdiri dari enam puluh orang yang sedang merusak-binasakan sebuah dusun di mana kebetulan pengemis ini sedang mengaso. Lebih dari setengah jumlah tentara Mongol ini tewas oleh tongkatnya dan komandannya, seorang perwira Mongol yang terkenal gagah perkasa, mendapat benjol-benjol kepala oleh mangkok retak, dan tentu akan tewas kalau tidak lekas-lekas minggat mengaburkan kudanya!
Setelah turun dari puncak Kun-lun-san, Pak-thian Koai-jin berjalan perlahan. Tidak seperti yang lain, dia tidak tergesa-gesa. Untuk apa tergesa-gesa, pikirnya, lebih baik menikmati tamasya alam yang indah terbentang luas di depan kakinya. Selagi ia enak berjalan kaki menuruni tebing dan lereng, tiba-tiba ia melihat seorang wanita telah berdiri di depannya, menghadang dengan sikap galak, pedang bersinar hijau di tangan melintang dada, kaki terpentang sikap menantang. Di belakang wanita yang tebal bedaknya sampai mukanya seperti tembok baru dikapur ini terlihat seorang bocah yang dikenalnya sebagai anak yang pernah ia lihat dan goda di dekat puncak, bocah yang ternyata adalah anak Kam Ceng Swi. murid Kun-lun-pai. Memang ia suka kepada bocah ini dan ingin mengambil sebagai muridnya, bagaimana sekarang berada di sini bersama wanita ini? Berpikir sampai di sini diam-diam Pak thian Koai-jin kaget sekali. jadi inikah wanita siluman Mo-kauw yang disebut Tok-sim Sian-li Si Dewi Berhati Racun?
Melihat betapa tokoh yang terkenal kejam itu hanya seorang wanita yang belum begitu tua dan pesolek, cantik dan memiliki mata yang mengandung sifat cabul. Pak thian Koai-jin tidak berani memandang rendah. Akan tetapi dasar ia seorang yang berwatak nakal, suka sekali menggoda orang,
73
maka ia segera tersenyum lebar, jalan terseok-seok menghampiri sambil menyodorkan mangkok bututnya kepada wanita itu.
"Toanio yang baik, kasihanilah seorang pengemis tua kelaparan. Kalau kau memberi hadiah, usiamu akan panjang rejekimu banyak dan kau akan menjadi makin cantik.....”
Tok-sim Sian-li tersenyum manis sekali lalu berpaling kepada Kun Hong. "Inikah orang yang kau maksudkan itu?”
Kun Hong mengangguk terheran-heran melihat siap kakek pengemis demikian merendah padahal ia masih ingat betul betapa kakek ini telah memperlihatkan kepandaian yang luar biasa.
Tok-sim Sian-li menghadapi pengemis itu, mengeluarkan sebuah uang emas dari saku bajunya sambil berkata.
"Pak-thian Koai-jin, aku sering mendengar orang bilang bahwa burung yang mau mati amat merdu suranya. Suaramu tadi juga merdu sampai-sampai tergerak hatiku memberi sedekah. Terimalah ini, sedikit hadiahku" Wanita itu melemparkan uang emas ke arah mangkok di tangan kanan Pak-thian Koai-jin.
Tokoh utara ini maklum bahwa orang sedang menguji tenaganya, cepat ia mengerahkan tenaga ke arah mangkok untuk menerima sambitan itu. Ia merasa betapa mangkoknya dihajar hebat dan tentu akan remuk kalau saja ia tidak cepat-cepat membuat gerakan memutar dan mengerahkan tenaga "menyedot" sehingga tenaga pukulan uang emas itu buyar. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa uang emas itu tiba-tiba saja melejit dan terbang kembali ke tangan Tok-sim Sian-li yang tersenyum memandangnya.
"Ha, ternyata uangku tidak mau berada di mangkokmu tanda bahwa kau sedang sial. Agaknya kata-katamu yang baik dan merdu tadi menyerupai nyanyian burung yang menghadapi maut.....”
Pak thian Koai-jin maklum bahwa wanita itu benar-benar memiliki tenaga lweekang yang luar biasa, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan menjawab sambil tertawa. "Aku pun pernah mendengar orang bilang bahwa di dunia ini yang paling aneh adalah hati wanita. Kalau baik tidak seperti hati wanita yang mengandung penuh madu, sebaliknya kalau busuk juga tidak seperti hati wanita yang mengandung racun berbahaya. Juga, hanya wanita saja yang pandai tersenyum manis bermuka ayu akan tetapi hatinya mengandung maksud buruk, seperti seorang dewi berhati racun. Entah betul tidak kiranya toanio sebagai seorang wanita lebih mengerti." Dalam kata-kata ini tentu saja merupakan sindiran karena berkali kali pengemis aneh itu meyebut hati beracun dan muka dewi yang menjadi julukan wanita ini yaitu Tok-sim Sian-li (Dewi Berhati Racun) merah padam!
Merasa kewalahan kalau harus berdebat dengan kakek pengemis yang selalu tertawa-tawa ini, Tok-sim sian-li berkata ketus. "Sudah tahu nonamu ini Tok-sim Sian-li, kau masih berani menjual lagak?"
"He-he, adakah tadi aku menawarkan lagak? Eh, Dewi Hati Beracun, apakah kau ingin membeli lagak?" kakek itu menggoda.
"Pengemis bau! Hanya karena muridku ingin melihat betapa aku mengalahkanmu, aku sengaja datang di sini mencarimu. Akan tetapi sekarang melihat mukamu, aku belum puas kalau belum
74
membunuhmu! Kau manusia bosan hidup!" Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya, Tok-sim Sian-li menggerakkan pedangnya dan sinar hijau yang panjang dan berhawa dingin menyambar ke arah leher pengemis itu.
"Hayaaa..... benar dewi yang hatinya beracun, busuk dan galak!" seru Pak thian Koai-jin sambil cepat mengelak dengan lompatan jauh ke samping karena maklum akan keganasan serangan itu. "Sudah menculik calon muidku, datang-datang masih menghendaki kepalaku lagi. Apa boleh buat, terpaksa melawan!"
Karena ia maklum bahwa wanita ini tak boleh dipandang ringan dan tak boleh dibuat main-main, Pak-thian Koai-jin lalu memutar tongkatnya dan membalas serangan lawan. Sebentar saja pertempuran berjalan sengit dan seru sekali. Gerakan Tok-sim Sian-li amatcepat dan gesit, terpaksa Pak-thian Koai-jin mengimbanginya sehingga mata Kun Hong menjadi silau, tak dapat ia membedakan mana Tok-sim Sian-li mana Pak-thian Koai-jin!
Selama bertanding, Pak-thian Koai-jin tak pernah diam. terdenar ia berderu berkali-kali. "Aduh lihai amat!” atau "Ganas.... ganas....!”
Memang ilmu pedang yang dimainkan oleh Tok-sim Sian-li adalah ilmu pedang yang amat ganas dan berbahaya. Tidak seperti kawannya Bu-ceng Tok-ong yang betul-betul merupakan Raja Racun yang selalu bermain-main dengan segala macam racun, Tok-sim Sian-li hanya mempergunaan racun hijau pada ujung pedangnya dan tangan kirinya memiliki semacam pukulan mengandung hawa beracun yang disebut Toat-sim-ciang (Pukulan Mencabut Hati). Dengan pukulan tangan kiri ini, lawan yang kurang tangguh akan terserang jantungnya dan tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi! Selain ini, Tok-sim Sian-li juga memiliki semacam kepandaian aneh.
Ilmu ini boleh digolongkan dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa), yaitu semacam ilmu yang menggunakan suara untuk merobohkan lawan, suara yang mengandung tenaga khikang dan lweekang menjadi amat berpengaruh. Cuma bedanya, kalau Sai-cu ho-kang dilakukan dengan menggereng keras menggetarkan jantung lawan dan melumpuhkan urat syaraf, adalah ilmu yang dimiliki oleh Tok-sim Sian-li ini dilakukan dengan mengeluarkan suara.... nyanyian! Ilmu ini selain merupakan sari khikang dan lweekang juga sudah termasuk golongan ilmu sihir untuk merampas dan menguasai semangat dan kemauan lawan.
Ilmu tongkat dari Pak-thian Koai-jin hebat bukan main. Ini tidak aneh karena Ilmu pedang Gobi KiamHoat dari Go bi pai sari atau dasarnya juga dari ilmu tongkat yang sekarang dimainkan oleh Pak-thian Koai-jin. Menghadapi ilmu tongkat selihai ini diam-diam Tok-sim Sian-li menjadi sibuk dan jengkel sekali. Pedangnya yang terkenal ganas seakan-akan bertemu dengan dinding yang tak tertembuskan, bahkan kadang-kadang ia menjadi kaget dan tercengang kalau sewaktu-waktu dari "dinding" itu menyelonong ujung tongkat yang tahu-tahu mengarah jalan darahnya! Benar-benar lihai sekali pengemis dengan tongkat bututnya ini.
Dengan jengkel dan marah Tok-sim Sian-li lalu mengeluarkan imu pukulannya yang hanya ia keluarkan kalau ia menghadapi lawan tangguh, yaitu Toat sim ciang. Tangan kiri dengan jari-jari runcing mungil dikembangkan mulai menyodok-nyodok ke depan. Nampaknya pelahan dan tak bertenaga, akan tetapi Pak-thian Koai-jin segera merasakan akibatnya. Dadanya terguncang seperti ditumbuk oleh tenaga yang tidak kelihatan. Ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan macam ini kalau
75
mengenai orang yang idak kuat satu kali saja, jantung orang itu akan terguncang dan pecah! Cepat ia mengeluarkan mangkok retak yang tadi ia simpan dalam sakunya.
"Pukulan beracun jahat sekali!" serunya dan mulailah kakek pengemis lihai ini mempergunakan mangkok jimatnya! Dengan mangkok di tangan kiri, ia selalu "menangkap" pukulan lawan dan pukulan itu seakan-akan ia "retour" kembali melalui mangkoknya yang cekung.
Tok-sim Sian-li terheran-heran dan bertambah marah. Jangankan hanya mangkok beling, biarpun mangkok besi kiranya akan pecah kalau berkali-kali terkena pukulannya. Akan tetapi mangkok di tangan kakek pengemis itu tidak pecah malah dapat membikin terpental setiap pukulan Toat-sim-ciang!
"Pak-thian Koa-jin, tidak percuma kau menjadi jago utara. Ternyata kau benar-benar lihai sekali!"
Pak-thian Koai-jin terkejut bukan main, juga merasa aneh mengapa wanita ini tiba-tiba mempunyai suara yang demikian merdu lemas dan halus, enak sekali didengarnya. Ia merasa seakan-akan dirayu oleh wanita cantik yang menjadi kekasihnya. Sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia menjadi terkejut dan bersikap waspada.
Tiba-tiba Tok-sim Sian-li bersenandung dengan suara yang amat merdu, akan tetapi pedang dan tangan kirinya masih terus melakukan tekanan-tekanan terhadap kakk pengemis itu.
Pak-thian Koai-jin terheran-heran karena tidak mengerti apa maksud lawannya yang aneh ini. Tak tertahan lagi ia tertawa bergelak karena merasa amat lucu. Akan tetapi Tok-sim Sian-li tidak perduli dan terus menyerang, terus bernyanyi merdu. Mau tidak mau Pak-thian Koai-jin mendengarkan dan berusaha menangkap kata-kata nyanyian yang disenandungkan itu.
Anehnya, ia mulai terdesak. Mulai dirasakan betapa serangan-serangan wanita itu menjadi berat sekali, jauh lebih berat dari pada tadi sampai-sampai ia terdesak hebat dan hanya sanggup menangkis saja! Pikirannya mulai kacau, dadanya berdebar dan perhatiannya tak dapat dicurahkan kepada pertempuran. Dalam sesaat yang amat berbahaya, hampir saja pundaknya menjadi korban pedang Tok-sim Sian-li dan baiknya hanya bajunya saja yang robek, kulitnya tidak terluka. Akan tetapi ini sudah amat mengagetkan hati Pak-thian Koai-jin karena ia tahu bahwa terluka sedikit saja amat berbahaya.
Setelah ini baru ia benar-benar terkejut. Dicobanya untuk memulihkan ketenangannya, untuk mencurahkan perhatiannya kepada permainan silatnya, untuk menutup pendengarannya terhadap nyanyian itu. Akan tetapi sia-sia belaka, makin dilupakan suara itu makin merdu merayu, membuat semua tubuhnya lemah!
"Hebat, kau benar-benar siluman berbahaya!" seru Pak-thian Koai-jin dan kakek ini cepat melompat ke belakang menghindarkan serangkai serangan yang amat dahsyat, kemudin tanpa menoleh lagi ia menghilang di dalam hutan lebat! Tok-sim Sian-li menghentikan nyanyiannya, menengok dan melihat Kun Hong.
"Kun Hong....!" serunya kaget melihat bocah itu sudah menggeletak dengan wajah pucat dan tak bersemangat. Wanita ini lupa bahwa nyanyiannya tadi mempengaruhi siapa saja yang berada di
76
dekatnya, tidak terkecuali Kun Hong. Mana kuat bocah itu menahan pengaruh nyanyian iblis ini? Semangat bocah itu seakan-akan terbetot meninggalkan raganya dan ia menjadi seperti seorang yang kena sihir.
Tok-sim Sian-li cepat memeluk dan mengangkatnya, mengurut sana-sini sambil memanggil namanya. "Kun Hong, aku lupa bahwa kau berada di belakangku.... ah, percuma saja, kau tidak melihat bagaimana aku telah mengusir Pak-thian Koai-jin. "
Begitu sadar kembali dari keadaannya seperti linglung tadi Kun Hong segera bertanya, "Mana kakek jembel itu? Siapa yang kalah?"
Tok-sim Sian-li tersenyum manis. "Kalau aku kalah kau kira aku bisa berada dengan kau? Kakek pengecut itu sudah melarikan diri!”
Kun Hong tertawa puas. "Aku pun tidak suka kalau harus menjadi muridnya, masa aku harus menjadi seorang pengemis cilik? Lebih baik menjadi muridmu, apalagi kau sudah dapat mengalahkan dia, bibi."
"Hush, jangan panggil bibi. "
"Habis, harus menyebut apa?"
"Dulu orang menyebutku Pek-sim-Niocu (nona Berhati Putih), akan tetapi sekarang orang-orang jahat, yang tidak suka kepadaku memberi nama Tok-sim Sian-li. Aku lebih suka disebut "Pek-sim-Niocu" dan kau boleh sebut "niocu" kepadaku."
Kun Hong mengangguk. "Baiklah, niocu. Akan tetapi mengapa namamu hanya julukan-julukan saja, apakah niocu tidak mempunyai nama sendiri?"
Tok-sim Sian-li tersenyum dan menggelengkan kepala, untuk sekilat sinar matanya mengandung kedukaan. "Tidak, nama sendiri sudah lupa lagi......" akan tetapi sinar duka segera terganti sinar tajam seperti biasa dan ia berkata. "Mari kita kembali mencari Bu-ceng Tok-ong, hendak kulihat apakah dia juga berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai."
Setelah tiba di tempat tadi, Tok-sim Sian-li dan Kun Hong melihat bahwa si Raja Racun itu bersama Wi Liong sudah menanti di situ.
"Ha-ha-ha, lama benar kau mencegat Pak-thian Koai-jin!" Tok-ong mengejek sambil tertawa.
"Biarpun lama aku berhasil mengusir dan mengalahkannya," jawab Tok-sim cemberut, "Kau sendiri bagaimana?”
"Sedang kau repot bernyanyi-nyanyi di sana, aku sudah membereskan babi gemuk dari Siauw-lim-pai itu sampai menjerit-jerit minta ampun!" kata Tok-ong sambil tertawa-tawa girang dan saking gelinya menepuk-nepuk paha sendiri.
77
"Siapa percaya omongan busukmu?" Tok-sim mencela. "Bhok Lo Cinjin mungkin kalah olehmu, akan tetapi minta-minta ampun? cih, kau sombong dan bohong! Eh, Wi Liong, benarkah kata-katanya itu bahwa ketua Siauw-lim-pai sampai minta-minta ampun kepadanya?”
Wi Liong menggelengkan kepala. "Aku yang mintakan ampun untuk nyawa Bhok Lo Cinjin, orang tua itu malah minta dibunuh. "
Kun Hong segera melangkah maju dan mencela Wi Liong. "Bocah goblok, guru merobohkan musuh mengapa kau mintakan ampun untuk musuh? locianpwee, murid macam apakah yang begini ini? Lempar saja ke jurang, biar teecu yang melempar pengkhianat ini."
"Tutup mulutmu, Kun Hong! Aku bukan murid Tok-ong dan aku bukan pengkhianat!" bentak Wi Liong marah karena ia dimaki pengkhianat.
Tok-sim Sian-li tertawa girang. "Lihat, bukankah muridku lebih ingat budi dan tak mengecewakan menjadi murid?”
"Ha-ha, apa sih ingat budi? Aku tak ingin punya murid yang ingat budi! Laginya, si Wi Liong mintakan ampun untuk Bhok Lo Cinjin sama sekali bukan untuk menolongnya, malah membantu aku menghina babi gemuk itu. Kalau tidak dimintakan ampun, tentu sudah kubunuh dan berarti ketua Siauw-lim-pai itu terlepas dari pada ejekan dunia. ha-ha-ha, benar-benar muridku lebih cerdik dan tahu caranya menyiksa musuh!”
Kaget bukan main hati Wi Liong mendengar ini. Ia sama sekali tak pernah mengira bahwa perbuatannya tadi, mintakan ampun untuk nyawa Bhok Lo Cinjin, malah merupakan penghinaan besar bagi diri ketua Siauw-lim-pai itu! Pantas saja ketua Siauw-lim-pai itu tidak berterima kasih kepadanya bahkan malah memakinya, dan ia menjadi ngeri kalau memikirkan keadaan dua orang aneh ini, demikian kejam dan keji! Ngeri ia memikirkan harus menjadi murid Tok-ong.
Mendadak Tok-ong dan Tok-sim nampak terkejut, sama-sama menengok ke atas, ke arah daun-daun pohon di sebelah kiri.
"Sian-li, apa kau tidak merasa sesuatu yang aneh?" Tok-ong bertanya, suaranya beubah sungguh-sungguh.
Tok-sim Sian-li mengangguk. "Memang, apa yang menggerakkan daun-daun itu dan suara apa mendesis ini?”
Wi Liong dan Kun Hong memperhatikan. mereka sekarang juga melihat daun-daun pohon sebelah kiri bergoyang-goyang dan ada suara mendesis perlahan arah tempat itu, padahal tidak ada angin dan tidak nampak sesuatu.
"Ah, tempat ini keramat, ada setannya. Lebih baik aku pergi dari sini!” kata Tok-sim Sian-li sambil memeluk tubuh Kun Hong hendak membawa pergi. Tiba-tiba ia bergidik karena pada saat itu angin meniup ke arah rambutnya dan terlepaslah sanggul wanita ini, membuat rambutnya menadi awut-awutan!
78
"Iblis menggangguku....." Tok-sim Sian-li menggerutu dan mukanya berubah pucat ketika ia menyanggulkan kembali rambutnya.
Tok-ong tertawa bergelak untuk menyembunyikan rasa takutnya. Memang para tokoh Mo-kauw adalah orang-orang yang sujud dan takut kepada mahluk-mahluk halus, bahkan dalam bertapa untuk mengejar ilmu mereka selalu berusaha untuk menghubungi mahluk-mahluk halus dan menjadi iblis dan setan.
"Sian-li, kau takut apa sih? Di siang hari terang seperti ini mana ada setan dan.....”
Ia menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba karena ada angin terasa olehnya berseliweran dan ia merasa punggungnya ada yang raba, ketika ia menggunakan tangan meraba pungungnya, ia menjadi pucat karena pedang Cheng hoa kiam yang ia rampas dari tangan Kwee Sun Tek di puncak Kun-lun-san tadi ternyata sekarang telah lenyap!
"Keparat pengecut kalau berani muncullah, kita boleh bertanding sampai sepuluh ribu jurus, jangan main sembunyi-sembunyi seperti setan dan iblis!” Tok-ong memaki-maki marah sekali sambil memandang ke sekelilingnya. Tok-sim Sian-li yang juga melihat lenyapnya pedang rampasan dari punggung Tok-ong menjadi makin pucat, akan tetapi untuk menjaga diri, ia sudah mencabut pedangnya.
"Siluman keluarlah!" Tok-sim Sian-li juga ikut berteriak untuk memperlihatkan bahwa iapun tidak takut, atau setidaknya ia tidak mau "kalah muka" oleh Bu-ceng Tok-ong di depan muridnya.
Hening sejenak dan dua orang anak, Kun Hong dan Wi Liong, sudah memperlihatkan bahwa memang mereka adalah anak-anak yang mempunyai ketabahan besar. Biarpun mereka tidak tahu kepada siapa dua orang tokoh sakti itu bicara, namun dari sikap dua orang sakti itu mereka dapat menduga bahwa tentu ada orang yang berkepandaian tinggi atau mungkin benar-benar ada siluman. Anak-anak biasa tentu akan menjadi ngeri atau ketakutan, akan tetapi tidak demikian dengan dua orang anak itu.
"Akan ada pertempuran lagi. benar-benar menggembirakan!" kata Kun Hong yang segera duduk di dekat Wi Liong yang sudah duduk di atas akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah seperti ular besar, Dua orang anak ini duduk menongkrong seperti orang hendak menonton pertunjukan yang menarik hati.
"Mudah-mudahan muncul orang gagah yang akan membebaskan kita." kata Wi Liong penuh harap.
"Bodoh kau! Hanya mengharapkan kebebasan. lebih enak menjadi muris mereka yang begitu gagah dan sakti. kalupun muncul orang gagah yang membebaskan kita, belum tentu mau mengambil murid kepada kita, dan di Kun-lun-san semua orang tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan guru-guru kiat." cela Kun Hong.
"Mereka jahat, aku tidak sudi menjadi murid orang-orang jahat." kata Wi Liong.
"Kau tahu apa tentang jahat dan baik? Kita menjadi murid mereka untuk belajar ilmu silatnya, bukan untuk belajar jahat atau baiknya!" bantah Kun Hong. "Laginya..... guruku begitu cantik dan halus, siapa bilang jahat? Kau memang bocah banyak lagak dan.....”
79
Tiba-tiba saja Kun Hong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul seorang kakek di depan mereka. Kakek ini usianya kurang lebih enam puluh tahun, mukanya seperti topeng atau seperti muka mayat! Tidak nampak kulit muka itu bergerak sedikitpun seperti kulit mati, lagi pula pucat kehijauan. Sepasang matanya bersinar lembut dan bibirnya yang kering pucat itu seperti selalu tersenyum mengejek. Tangan kirinya membawa kipas terbuat dari pada daun, dan ditangan kanannya kelihatan sebuah hudtim atau kebutan pertapa dengan bulu kebutannya panjang berwarna putih.
Bagi Wi Liong atau Kun Hong kakek ini tidak mendatangkan kesan aneh, akan tetapi Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li berubah air mukanya ketika melirik ke arah kakek itu dan melihat pedang Cheng Hoa-kiam yang tadi lenyap secara gaib dari punggung Bu-ceng Tok-ong, kini telah berada di punggung kakek itu!
Bu-ceng Tok-ong marah bukan main melihat orang yang telah mencuri pedangnya, akan tetapi oleh karena maklum bahwa orang ini tak boleh dipandang rendah, ia tidak berlaku sembrono. Hanya untuk menjaga muka dan nama ia harus memperlihatkan kemarahannya. Dia seorang tokoh besar dan belum pernah ada orang berani menghinanya, apa lagi mempermainkannya. Dan orang yang telah mencuri pedang dari punggungnya ini sama sekali belum dikenalnya!
"Kau ini siapakah, datang-datang mengajak aku main-main? Agaknya kau belum tahu bahwa aku adalah Bu-ceng Tok-ong....." kata si Raja Racun yang menahan ucapannya dengan perasaan mendongkol sekali karena orang yang mukanya seperti kedok mayat itu sedikitpun tidak perduli kepadanya, malah kini menghampiri Wi Liong dan Kun Hong yang duduk berdampingan di atas akar pohon. Sepasang mata yang bersinar lembut itu menatap ke arah dua orang anak itu dan tiba-tiba sinar mata itu tajam sekali, membuat Wi Liong dan Kun Hong merasa dingin pada tengkuknya.
"Kalian berdua..... ikut aku..... mau?" keluar pertanyaan singkat terputus-putus dari mulut kakek aneh ini. Agaknya kakek ini sukar bicara atau memang hemat dengan kata-kata.
Wi Liong dan Kun Hong keduanya cerdik dan berbakat. Mungkin Kun Hong lebih cerdik dan nakal, akan tetapi agaknya perasaan Wi Liong lebih halus. Melihat kakek aneh yang wajahnya mengerikan seperti kedok mayat itu, Kun Hong merasa ngeri dan tidak suka, akan tetapi Wi Liong segera dapat merasa bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan dan bukan termasuk orang jahat seperti Bu-ceng Tok-ong. Oleh karena perasaan inilah maka seketika ia berdiri dan berkata kepada kakek itu.
"Aku suka ikut!"
Sebaliknya karena merasa ngeri melihat pandang mata kakek itu, Kun Hong berdiri dan berlari ke dekat Tok-sim Sian-li sambil berkata, "Aku tidak sudi ikut setan kuburan!”
Kakek aneh itu mendongak ke angkasa dan terdengar ia berkata pula tanpa menggerakkan bibir seperti juga tadi. Agaknya ia memang memakai kedok, karena kalau ia bicara, bibirnya tidak bergerak!
"Begitulah kehendak Thian..... sudah kuperhitungkan..... tidak meleset." Setelah berkata demikian, ia menghampiri Wi Liong dan menggandeng tangan bocah ini diajak pergi dari situ tanpa menoleh sedikitpun ke arah Bu-ceng Tok-ong atau Tok-sim Sian-li!
80
Datang-datang mencuri pedang dan hendak menyerobot murid begitu saja di depan hidungnya, lalu hendak pergi tanpa pamit datang tanpa permisi, benar-benar selama hidupnya belum pernah Bu-ceng Tok-ong bertemu dengan orang yang begini bocengli (tak tahu aturan)! Dia sendiri terkenal sebagai seorang yang tidak mengenal aturan, sekarang ia benar-benar ketemu batunya. Kemarahannya tak dapat ditahan lagi.
"Setan jahanam benar-benar bosan hidup kau!" bentaknya dan kedua tangannya bergerak secara bergantian. Selosin jarum-jarum hitam yang halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh belakang kakek aneh itu!
Kakek itu menengok pun tidak, tetap berjalan menggandeng tangan Wi Liong seperti tadi, hanya kipasnya dipakai mengebuti badannya seperti orang kegerahan. Hebatnya, sinar-sinar hitam itu runtuh kembali sebelum mengenai tubuh orang, seakan-akan tubuh kakek itu dilindungi oleh semacam perisai yang tidak kelihatan. Demikianlah menurut pandangan orang lain, akan tetapi Tok-ong dan Tok-sim sebagai orang-orang pandai dan sakti, maklum bahwa kebutan kipas itulah yang meruntuhkan semua jarum.
Tok-ong menjadi makin panas hatinya, memberi isyarat kepada Tok-sim untuk menyerang bersama. Ia menggereng dan bergerak maju, juga Tok-sim Sian-li mencabut pedang dan menyerbu dari belakang orang itu. Tiba-tiba kakek itu menoleh dan mengebutkan kipasnya ke arah Tok-ong dan Tok-sim sambil berkata.
"Heran..... mengapa Thai khek Sian..... mempunyai orang-orang begini.....?"
Luar biasa sekali tenaga kebutan kipas ini. Seperti dua ekor burung terbang tertiup angin besar, Tok-ong dan Tok-sim merasa betapa keseimbangan badan mereka rusak dan mereka menjadi limbung, hampir saja terjengkang ke belakang kalau mereka tidak cepat-cepat menghentikan gerakan menyerbu tadi dan memasang kuda-kuda yang kuat!
Biarpun demikian, mereka itu bukan tokoh-tokoh besar dari Mo-kauw kalau gentar untuk melawan lagi, hanya disebutnya nama Thai Khek Sian membuat mereka bengong dan ragu-ragu untuk maju lagi. Sementara itu, kakek aneh tadi melanjutkan perjalanannya, menggandeng tangan Wi Liong, terus menuju barat.
"Siapakah dia yang sudah mengenal Sian-su.....?" kata Tok-ong masih belum hilng kagetnya.
"Tentu orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, lebih baik kita segera melapor kepada Sian-su," kata Tok-sim sambil menarik tangan Kun Hong.
"Hemm, selain melapor, juga kau sudah amat rindu kepada Sian-su, bukan?"
Muka Tok-sim Sian-li menjadi merah. "Kau perduli apakah? Kalau kau cemburu atau tidak suka, boleh kau memprotes Sian-su dan.....”
"Hushh, aku cuma bicara main-main mengapa kau bersungguh-sungguh? Siapa orangnya yang tidak suka dan menghormat Sian-su? Semua perempuan di dunia ini siapa yang tidak suka menjadi kekasihnya? Tentu saja boleh kau mendekati Sian-su, asal jangan kau lupa kepadaku. "
81
"Hah, manusia macammu! Mempertahankan murid saja tidak becus!" Sambil berkata demikian, Tok-sim Sian-li memeluk kepala Kun Hong dan berkata. "Anak baik, untung kau tidak ikut setan kuburan tadi." Wanita ini merasa girang sekali bahwa kakek tadi tidak membawa pergi muridnya yang tersayang. Kalau andaikata Kun Hong dibawa, apa yang akan dapat ia perbuat? Dari kebutan kipas tadi saja ia sudah maklum sepenuhnya bahwa ia bukanlah lawan kakek tadi.
Sebaliknya, Bu-ceng Tok-ong merasa kecewa sekali kehilangan muridnya.
"Benar pilihanmu, Wi Liong bukanlah murid baik. Belum apa-apa ia sudah mengecewakan hatiku. Awas dia, kalau bertemu kelak, akan kupatahkan batang lehernya. Sian-li, biarlah aku membantumu melatih muridmu si Kun Hong ini."
"Apa-apaan kau ini? Aku sendiri sanggup melatihnya menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Bukan begitu, Kun Hong?" katanya sambil memeluk dan mencium pipi muridnya.
Kun Hong tersenyum girang dan mengangguk-angguk kepalanya. Diam-diam ia masih mengherani cara kakek tadi mengalahkan Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, ataukah belum kalah? Ia tidak menyaksikan sesuatu pertempuran, mengapa dua orang sakti ini tidak mengejar terus?
"Sian-li kau keliru. Apa kau ingin melihat Kun Hong kelak kalah oleh Wi Liong? Kalau kita berdua yang melatihnya, apa lagi kalau Sian-su berkenan menurunkan satu dua macam kepandaian, hatimu boleh puas kelak melihat muridmu ini mengalahkan Wi Liong."
Tok-sim Sian-li nampak bengong, kemudian ia berkata. "Kita harus bertanya kepada Siansu siapa adanya mayat hidup tadi. Tentang kau hendak menurunkan kepandaianmu yang buruk kepada muridku, tidak ada salahnya kalau Kun Hong mau menerimanya. "
"Mengapa tidak? Hem Kun Hong anak baik, apa kau tidak ingin mempunyai kepandaian seperti aku, sekali pukul bikin hangus isi perut orang tangguh dan sekali sebar jarum sanggup merobohkan lima puluh orang lawan?”
Kun Hong seorang bocah yang amat cerdik. Dari percakapan tadi, iapun dapat menduga bahwa Wi Liong tentu akan menjadi murid kakek aneh tadi. Diam-diam ia merasa khawatir kalau kelak benar-benar ia sampai kalah oleh Wi Liong, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengangguk.
"Tentu saja teecu suka menerima ajaran-ajaran dari Tok-ong, apa lagi ajaran dari locianpwee yang kalian sebut Siansu. "
Dua orang tokoh Mo-kauw itu saling pandang, kemudian Tok-sim Sian-li mengangkat tubuh muridnya, dilempar-lemparkan ke atas diterima lagi, dilempar lagi dengan wajah girang. Kun Hong juga mengeraskan hati agar jangan merasa takut diperlakukan seperti ini oleh gurunya.
"Anak baik, bocah ganteng muridku sayang. Kau benar-benar kelak akan menjadi pemuda yang menyenangkan hatiku!" Tok-sim Sian-li memuji-muji muridnya.
"Sudahlah, mari kita segera berangkat." kata Bu-ceng Tok-ong yang di dalam hatinya amat cinta kepada Tok-sim Sian-li maka selalu merasa sebal kalau melihat wanita itu memperlihatkan kasih
82
sayang kepada lain pria, biar pun pria yang masih bocah seperti Kun Hong! Pendeknya, ia merasa cemburu. hal ini tidak mengherankan karena laki-laki manakah di dunia ini yang tidak memiliki hati cemburu? Kalau tidak cemburu berarti tidak cinta, sungguhpun cinta sejati amat membutuhkan kepercayaan.
Berangkatlah dua orang tokoh Mo-kauw ini turun dari Kun-lun-san, membawa Kun Hong yang menjadi girang sekali karena mendapatkan guru-guru pandai. Ada juga ia teringat kepada Kam Ceng Swi yang ia anggap dan sangka adalah ayahnya sendiri. Akan tetapi ia malah girang kalau membayangkan betapa kelak ia akan kembali kepada ayahnya setelah memiliki kepandaian tinggi yang dapat ia banggakan kepada ayahnya itu.
Setengah orang bilang bahwa waktu berjalan amat cepat melebihi cepatnya anak panah terlepas dari busurnya. Ada pula yang menyatakan bahwa waktu itu amat lambat, merayap-rayap seperti keong.
Pendapat-pendapat ini keduanya memang ada betulnya. Waktu dapat berjalan cepat sekali atau lambat tergantung dari keadaan. Kalu kita mengenangkan waktu kita masih kanak-kanak seakan-akan baru kemarin saja dan terbayanglah betapa cepatnya jalannya sang waktu. Akan tetapi, kalau kita menanti datangnya sesuatu yang amat kita harapkan, waktu satu jam saja rasanya seperti sebulan. Coba kalau kita sedang terburu-buru lalu menanti datangnya kawan atau kendaraan yang kita harap-harapkan, aduh bukan main lamanya. Bukan demikiankah?
Begitu pula cerita ini tahu-tahu sudah maju dua belas tahun kemudian semenjak apa yang telah dituturkan di bagian depan! Dua belas tahun lewat begitu saja dengan amat cepatnya. Keadaan di dalam negeri tidak banyak perobahan karena bala tentara Mongol masih sedang sibuk melakukan penyerbuan ke barat sampai menggegerkan seluruh Eropa. Selama sejarah berkembang baru pertama kali itulah dunia barat dibikin geger dan ketakuan oleh kekuatan yang datang dari timur. Itu baru kekuatan dari negara timur yang kecil saja, kekuatan bala tentara Mongol, sekelompok bangsa yang tidak bisa dibilang besar. Semua ini berkat keberanian dan keuletan yang luar biasa dari bangsa timur.
Pada suatu hari. di kala matahari sedang panas-panasnya karena waktu itu menjelang tengah hari, dari jurusan barat terdengar derap kaki kuda yang dilarikan kencang, memasuki hutan kecil di sebelah timur kota Poan kun. Penunggangnya adalah seorang pemuda tegap yang bermuka ganteng sekali. Tidak saja pemuda itu amat ganteng, juga pakaiannya terbuat dari pada sutera nomor satu, potongannya indah sekali. Tubuhnya tegap dan sedang, nampak sehat kuat wajahnya berkulit putih kemerahan dengan rambut hitam mengkilat dibungkus di atas dengan sutera. Sepasang matanya berkilat kilat menandakan bahwa dia amat cerdik dan tangkas lagi pemberani. Alis dan bulu matanya tebal. Mulutnya membayangkan watak yang gembira, sayang sekali ujung bibir dan dagunya membayangkan watak keras hati dan kejam. Tentu saja hal ini hanya dapat terlihat oleh orang yang sudah ahli dalam ilmu membaca watak dari muka orang. Akan tetapi watak buruk itu hampir tidak kelihatan, tertutup oleh potongan muka yang betul-betul ganteng ini. Pendeknya, seorang pemuda remaja, berusia delapan belas tahun, yang ganteng dan tampan sekali.
Melihat caranya menunggang kuda, mudah diketahui bahwa pemuda tampan ini juga memiliki kepandaian menunggang kuda yang mengagumkan. Biarpun kuda itu besar dan berlari cepat sekali, ia kelihatan duduk tegak dan enak-enak di atas punggung kudanya, tangan kiri memegang kendali, tangan kanan menepuk-nepuk leher kuda.
83
"Cepat, Hek-liongma, cepat sedikit lagi! Kalau Niocu dapat mengejar kita, bisa repot!" kata pemuda itu kepada kuda hitam besar yang ternyata bernama Hekliong-ma (Kuda Naga Hitam).
Kuda itu seperti tahu saja akan arti ucapan penunggangnya, buktinya ia segera membalap lebih cepat lagi sampai seolah-olah keempat kakinya tidak menginjak tanah. Kuda dan penunggangnya melesat cepat melalui hutan kecil itu. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring disusul bunyi pecut memecah udara.
"Heei, penunggang kuda berhenti dulu!"
Suara itu adalah suara wanta dan pecutnya berbunyi "tar! tar!" keras sekali. Kuda dan penunggangnya menjadi kaget. Memang kuda paling takut akan suara pecut, dan pemuda itu memang sedang melarikan diri dari gurunya, seorang wanita. Maka mendengar seruan ini, bukannya, berhenti ia malah menepuk leher kudanya, "Hek-liong-ma, jangan berhenti lari lebih cepat!"
Kuda itu benar-benar membalap sampai rambut pada lehernya berkibar-kibar. Sebentar saja kuda dan penunggangnya sudah hampir keluar dari hutan itu. Akan tetapi, terdengar pula suara yang menegur tadi, "Anak-anak, buruan lari ke barat. Tahan.....! Serang.....!"
Pemuda itu tidak tahu apa artinya seruan ini akan tetapi kudanya rupanya lebih tahu. atau mungkin karena alat penciumnya lebih tajam. Hek liong-ma nampak gelisah sekali dan tak lama kemudian terdengar bunyi salak dan gonggong anjing. Dari semak-semak belukar berloncatan keluar sembilan ekor anjing yang kelihatannya galak-galak seperti srigala Sambil menggonggong binatang-binatang ini menyerbu Hek-liong ma, bahkan ada pula beberapa di antaranya yang menerjang pemuda itu dengan mulut terpentang memperlihatkan gigi dan taring!
Siapakah pemuda tampan yang naik Hek liong ma ini? Mungkin ada yang sudah dapat menduga. Dia ini bukan lain adalah Kun Hong putera Kam Ceng Swi, atau lebih tepat lagi sebetulnya Gan Kun Hong putera Gan Tui dan Hui Niang!
Setelah lewat duabelas tahun lamanya. Kun Hong berubah menjadi seorang pemuda yang amat tampan dan ganteng, cocok benar dengan dugaan Tok-sim Sian-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh seorang kakek aneh yang merampas Wi Liong dari tangan mereka. Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong cepat pergi kepada Thai Khek Sian, yaitu tokoh nomor satu dari golongan Mo-kauw.
Mendengar keterangan mereka tentang kakek itu, Thai Khek Sian mencegah mereka mencari penyakit dan minta supaya mereka membiarkan saja Wi Liong diculik.
"Dia itu Thian Te Cu atau dulu terkenal disebut Mayat Hidup yang menjadi penunggu Gunung Wuyi-san." Demikian antara lain keterangan dari Thai Khek Sian yang dalam golongan Mo-kauw seakan-akan menjadi rajanya. Tentu saja melihat Tok-sim Sian-li. Thai Khek Sian menjadi girang dan tidak memperkenankan wanita ini pergi sebelum tinggal di situ selama sebulan lebih. Bu-ceng Tok-ong mendongkol bukan main, akan tetapi apakah dayanya terhadap Thai Khek Sian yang masih terhitung susioknya (paman gurunya) itu? Kepandaian Thai Khek Sian luar biasa tingginya, ini ia tahu betul, maka ia hanya mengurut-urut dada.
84
Akan tetapi ia terhibur setelah mereka diperkenankan pergi dari tempat tinggal Thai Khek Sian, yaitu di Pulau Pek-go-to (Pulau Buaya Putih), sebuah pulau kecil kosong di antara Kepulauan Cou-san-to di sebelah timur pantai Tiongkok, Thai Khek Sian sudah melihat Kun Hong dan berkata kepada Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong,
"Bocah ini boleh menjadi murid kita. Kalian ajarlah baik-baik selama sepuluh tahun, baru suruh dia ke sini untuk menerima pelajaran dariku. Kelak dia boleh diharapkan untuk memperbesar nama kita."
Tentu saja Bu-ceng Tok-ong menjadi girang sekali karena hal ini berarti bahwa ia akan berdekatan selalu dengan Tok-sim! Setelah bersepakat, mereka berdua membawa Kun Hong ke puncak Wi-san tempat tinggal Tok-sim Sian-li, karena Bu-ceng Tok-ong sendiri adalah seorang perantau yang tidak karuan tempa! tinggalnya. Di Wi-san inilah Kun Hong digembleng oleh sepasang manusia siluman itu. Selama itu perhatian Tok-sim Sian-li dicurahkan untuk mendidik Kun Hong maka untuk beberapa tahun ia tidak menurutkan nafsu hatinya yang kotor.
Biasanya seringkali ia menculik pemuda-pemuda tampan dibawa ke puncak Wi-san ini. Akan tetapi selama ia tinggal bersama Tok-ong dan Kun Hong, ia tidak pernah melakukan hal ini. Ia malah mau melayani cinta kasih Bu-ceng Tok-ong yang sudah bertahun-tahun mengaguminya. Akan tetapi di antara dua orang tokoh ini memang terdapat perbedaan watak. Sering kali mereka cekcok, bahkan pernah mereka bertempur mati-matian. Tentu seorang di antara mereka akan roboh terluka kalau saja di situ tidak ada Kun Hong yang melerai dan menjadi juru pendamai, Anehnya, ini hari bertempur mati-matian, besok hari sudah bersendau-gurau lagi. Memang watak dan cara hidup orang-orang Mo-kauw amat aneh sekali.
Kun Hong yang dibesarkan dekat dua orang dengan watak seperti ini. dapat dibayangkan bahwa sedikit banyak iapun tentu terkena "penyakit" ini. Pemuda ini makin besar menjadi makin aneh wataknya, tidak jauh dari watak dua orang itu. Suka melucu dan menggoda orang seperti Bu-ceng Tok-ong. pesolek dan cabul seperti Tok-sim Sian-li. Akan tetapi, kepandaiannya makin tahun makin meningkat hebat dan dalam usia enam belas tahun saja ia sudah menjadi tandingan berat bagi kedua orang gurunya! Mulailah Kun Hong memperlihatkan watak gilanya dan ia mulai tidak tunduk lagi terhadap dua orang gurunya, terutama sekali terhadap Bu-ceng Tok-ong! Pernah ketika ia sedang diberi petunjuk, ia membantah dan rewel sampai akhirnya guru dan murid ini saling serang dengan pukulan-pukulan maut!
Tok-sim Sian-li datang bukan untuk melerai, melainkan ia membantu Kun Hong menyerang Tok-ong! Tentu saja Tok-ong kewalahan, akhirnya melarikan diri turun dari Gunung Wi-san untuk memuaskan hatinya yang sudah haus akan perantauan lagi. Anehnya, di antara tiga orang ini sedikitpun tidak ada dendam!
Setelah tinggal di puncak hanya berdua dengan Kun Hong yang sementara itu sudah berusia delapan belas tahun timbullah cinta kasih dalam hati Tok-sim Sian li yang memang sejak dulu ada terhadap muridnya yang tampan ini. Dia mulai menggoda Kun Hong dengan segala macam daya. Akan tetapi Kun Hong tidak sudi melayani, bahkan pada suatu malam ia lari minggat turun gunung membawa kuda kesayangan Tok-sim Sian-li. yaitu Hek-liong-ma.
85
Bukan hal yang mudah untuk melarikan diri dari Wi-san. Sebelum ia dapat mencuri kuda Hek-liong-ma yang oleh Tok-sim Sian-li dititipkan di dalam dusun di bawah gunung, Kun Hong harus lebih dulu menuruni puncak mengambil jalan belakang pondok gurunya. Jalan ini amat sukar, ia harus merayap menuruni tebing-tebing yang amat curam dan melompati jurang-jurang yang lebar. Namun, Kun Hong yang memiliki ketabahan besar itu tidak takut melalui jalan yang tidak patut dilalui manusia melainkan lebih tepat kalau dilalui binatang seperti kera yang pandai merayap dari dahan ke dahan dan dari batu ke batu. Semalam suntuk, dari tengah malam sampai pagi Kun Hong menuruni puncak Wi-san dan akhirnya dengan mudah ia mencuri Hek-liong-ma dan mengaburkan kuda itu menuju ke barat. Tujuan utamanya adalah Wuyi-san, tempat tinggal Thian Te Cu karena ia sudah mendengar penuturan dua orang gurunya bahwa Wi Liong dibawa oleh Thian Te Cu ke bukit itu. Ia hendak mencari Wi Liong yang di waktu kecil pernah mengalahkannya dan ia selain hendak merobohkan Wi Liong, juga hendak merampas kembali pedang Cheng-hoa-kiam yang dulu oleh Thian Te Cu dirampas dari tangan gurunya.!
Akan tetapi oleh karena baru sekali itu turun gunung, saking takut kalau terkejar oleh Tok-sim Sian-li dan belum tahu jalan Kun Hong keliru mengambil jalan. Seharusnya jalan menuju ke Wuyi-san adalah ke selatan, akan tetapi ia telah mengambil jalan ke barat!
Demikianlah, pada hari ke dua ia bertemu dengan seorang wanita di dalam hutan yang memerintah anjing-anjing pemburu menyerang dia dan kudanya!
Hek-liong-ma bukanlah kuda yang pandai berkelahi, melainkan kuda balap yang hanya pandai lari cepat. Menghadapi serangan segerombolan anjing yang galak-galak ini, Hek-liong-ma menjadi kaget dan ketakutan, meringkik-ringkik dan mengangkat dua kaki depannya. Seekor anjing telah melompat dan menyerang hendak menggigit leher kuda itu, sedangkan yang lain-lain telah siap pula menggigit. Empat ekor yang menyerbu dari kanan melompat hendak menyergap Kun Hong!
Tadinya Kun Hong membalapkan kudanya bukan sekali-kali karena ia takut bertemu orang atau takut bertempur, melainkan karena ia yakin bahwa Tok-sim Sian-li tentu mengejarnya dan ia enggan ribut dan bertengkar dengan gurunya wanita ini. Dengan Tok-ong ia tidak ragu-ragu untuk cekcok bertempur, akan tetapi dengan Tok-sim Sian-li. ia merasa malu kepada diri sendiri, juga diam-diam ia kasihan melihat wanita yang selain menjadi guru, juga amat cinta kepadanya itu, baik cinta seorang ibu maupun cinta seorang kekasih.
Sekarang melihat orang mempergunakan segerombolan anjing buas untuk menyerangnya, ia menjadi marah.
"Anjing-anjing pemakan bangkai, hari ini kalian mampus!" Tanpa turun dari kudanya, Kun Hong menggerakkan tangan kanan ke arah anjing yang sudah menggigit leher kudanya.
"Kuiikk!" Biarpun kepalan tangan Kun Hong tidak mengenai anjing itu, akan tetapi binatang ini mengeluarkan suara satu kali dan terlempar dalam keadaan tak bernyawa lagi, dari hidung dan mulutnya mengalir darah! Kun Hong tidak membuang banyak waktu lagi. Ia turun dari atas kudanya dan kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri. Dalam waktu beberapa detik saja, setelah menguik- nguik beberapa kali, semua anjing yang mengeroyok tadi sudah menggeletak bertumpuk-tumpuk semua mati dengan mata dan hidung mengalirkan darah, bahkan yang paling parah luka di kepalanya,
86
ada darah mengalir keluar dari mata dan hidung. Bukan main hebatnya pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan oleh Kun Hong!
"Aduhai para iblis hutan yang perkasa! Dari mana datangnya seorang pemuda begini gagah dan ganteng?" Terdengar seruan kagum.
Kun Hong mendengar suara ini seperti suara wanita yang tadi menyuruhnya berhenti kemudian yang memberi perintah kepada anjing-anjing yang mengeroyoknya. Ia cepat menoleh dan memandang. Ia menjadi tertegun ketika melihat bahwa wanita itu ternyata adalah seorang perempuan muda remaja yang berdiri memandang kepadanya dengan mata kagum dan mata terbelalak. Perempuan ini tidak bisa disebut cantik, tidak secantik Tok-sim Sian-li, hanya perempuan dusun yang pakaiannya terbuat dari kain kasar berpotongan sederhana. Akan tetapi ia masih muda dan bentuk tubuhnya menarik kulitnyapun bersih. Luluh kemarahan hati Kun Hong. Kalau perempuan ini tua sedikit saja. atau tidak memiliki bentuk tubuh demikian menggiurkan tentu sudah sejak tadi Kun Hong melakukan pukulan mautnya pula terhadap pemilik anjing-anjing itu.
"Salahmu sendiri, terpaksa membunuh anjing-anjingmu." akhirnya ia berkata sambil menoleh ke arah bangkai anjing yang bertumpukan.
"Tidak apa, malah terima kasih kau sudah membunuh mereka. Tidak susah-susah lagi aku harus menyembelih mereka”, jawab gadis dusun itu.
"Menyembelih mereka? Untuk apakah? Apa mau ada pesta?” tanya Kun Hong.
Gadis itu mengangguk. "Ayah pulang dari kota dan kami kedatangan tamu agung, patut dijamu dengan masak daging anjing yang lezat."
"Tamu agung? Siapa?"
"Kau sendiri!" Gadis itu tertawa ngikik dan Kun Hong ikut tersenyum.
"Kau siapakah dan kenapa kau berada di dalam hutan seorang diri bersama anjing-anjingmu yang galak?"
"Namaku Kim Li, bersama ayah tinggal di tengah hutan, bekerja sebagai pemburu. Telah seminggu lamanya ayah pergi ke kota menjual kulit binatang, hari ini pasti pulang. Tadi aku melihat kau lewat dengan kudamu yang bagus kukira makanan empuk, tidak tahunya tulang keras! Anjing-anjingku sudah mati, daging bertumpuk-tumpuk, sayang kalau dibuang begitu saja. Aku suka padamu, kau gagah dan tampan, mari ikut dengan aku ke rumah. Kubuatkan masak daging anjing yang lezat sambil menanti datangnya ayah. Mau, bukan?"
Memang Kun Hong sedang merasa lapar sekali. Perutnya minta diisi. Ia pandang lagi gadis di depannya itu penuh perhatian. Lumayan, manis juga kalau tersenyum. Akan tetapi ia teringat akan gurunya yang mungkin mengejarnya, maka ia menoleh ke belakang, ragu-ragu.
87
"Kau seperti orang melarikan diri, siapa sih yang mengejar dan mengancammu? Jangan khawatir, kalau ada musuh mengejar, aku membantumu melawan dia. Kau begini muda dan gagah perlkasa. mengapa hatimu kecil? Perlu banyak makan hati anjing kalau begitu."
Kun Hong tertawa lalu melompat mendekati gadis itu sambil menuntun kudanya. "Kau anak baik. mari aku ikut kau ke rumahmu."
Kim Li girang sekali. Tanpa ragu-ragu lagi ia menyambar lengan Kun Hong. digandengnya sambil berkata, "Kau tidak keberatan membantuku membawa bangkai-bangkai anjing itu, bukan?"
Kun Hong menggelengkan kepalanya dan kedua orang muda itu lalu mengambili bangkai-bangkai anjing, ditumpuk di punggung Hek-liong-ma yang sudah tenang kembali. Sambil tertawa-tawa dan bergandengan tangan mereka lalu memasuki hutan itu menuju ke rumah Kim Li.
Kim Li adalah seorang gadis yang semenjak kecil sudah ikut ayahnya bekerja di dalam hutan-hutan sebagai pemburu binatang-binatang buas. Ia tidak beribu lagi, hanya hidup berdua ayahnya yang bernama Ciok Sam, seorang pemburu binatang yang kasar dan memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi juga. Oleh karena selalu keluyuran dari hutan ke hutan. Kim Li menjadi seorang gadis yang kasar pula, liar dan tidak malu-malu seperti gadis-gadis kota. Ayahnya seorang kasar yang jujur, selalu menyatakan apa yang terasa dalam hati dan pikiran. Demikian pula Kim Li tak pernah menyembunyikan perasaannya. Kalau orang lain yang membunuh anjing-anjingnya, tentu ia akan menjadi marah dan menyerangnya mati-matian. Akan tetapi begitu melihat Kun Hong, hati gadis hutan sederhana ini sekaligus terpikat dan tunduk!
Yang disebut rumah oleh Kim Li ternyata hanyalah sebuah pondok kecil sederhana saja. tempat berteduh di waktu hujan. Dengan wajah berseri dan hati girang sekali Kim Li menyuruh Kun Hong menunggu sedangkan dia sendiri sibuk memasak daging anjing. Ternyata gadis ini mempunyai persediaan bumbu yang cukup banyak dan lengkap.
"Ayah seorang yang suka makan enak, maka tiap kali datang dari kota ia tentu membawa bumbu-bumbu dan aku dipaksa belajar masak enak. " kata Kim Li sambil sibuk memasak untuk tamunya.
Kun Hong yang merasa lelah, tanpa sungkan-sungkan lagi lalu melonjorkan tubuh rebah di atas tanah yang ditimbuni daun-daun kering, lalu tidur dengan enaknya. Kim Li hanya tertawa saja melihat tamunya tidur, melanjutkan masak dengan asyik, membuat beberapa macam masakan memanggang daging menanak nasi, semua ini dilakukannya dengan hati gembira. Kadang-kadang ia menengok memandang wajah Kun Hong dan ia begitu terpikat sampai beberapa kali ia kaget mendapatkan diri sendiri berdiri bengong menatap wajah yang membuat hatinya tidak karuan itu Kemudian mukanya menjadi merah ia tersenyum-senyum malu dan melanjutkan pekerjaannya.
Kun Hong bermimpi dikejar dan tersusul oleh Tok-sim Sian-li yang memegang lengannya dan menarik-nariknya. mengajaknya kembali ke Wi-san. Ketika ia membuka mata dan sadar dari tidurnya, ternvata yang menarik-narik lengannya ladalah Kim Li. Gadis ini membangunkannya, menarik-narik lengan sambil berkata dengan suara merdu.
"Bangunlah, kanda, bangun. Makanan telah tersedia, mari kita makan!"
88
Kun Hong melompat bangun, hatinya lega bahwa yang menariknya bukan Tok-sim Sian-li, melainkan gadis hutan ini. Tercium bau yang amat sedap, membuat perutnya menjadi makin lapar.
"Aduh enaknya bau masakanmu....!” ia memuji sambil tersenyum.
Merah wajah Kim Li. matanya bersinar-sinar girang. "Kau tidur saja tidak mau membantu orang yang sibuk masak. Hayo kita makan selagi masakan masih panas."
Kun Hong mengikuti gadis itu ke dalam dan ternyata nasi dan masakan telah tersedia di atas tanah yang telah ditilami kulit. Uap mengebul dari beberapa mangkok. membuat Kun Hong segera menyerbu. Di lain saat dua orang muda itu telah duduk berhadapan sambil makan dengan lahap dan sedapnya.
"Masakanmu enak sekali!" Kun Hong memuji sambil menghirup arak. Ia merasa puas dan timbul keinginan hati untuk melanjutkan perjalanannya.
Kim Li nampak girang dengan pujian ini. matanya mengerling bibirnya tersenyum lebar. "Betulkah? Kalau kau mau. setiap hari aku bisa membuat masakan yang enak-enak seperti itu untukmu. Eh. kau sudah tahu namaku, akan tetapi aku sendiri belum mengenal kau ini siapa."
"Namaku Kun Hong, Kam Kun Hong," jawab pemuda itu sembarangan.
"Kau datang dari mana dan hendak ke manakah?" tanya Kim Li.
Mendengar pertanyaan ini, baru Kun Hong ingat bahwa ia belum tahu ke mana sebetulnya jurusan menuju ke Wuyi-san.
"Aku hendak pergi ke Wuyi-san. Tahukah kau di mana gunung itu?"
Kiin Li tertawa. "Ke Wuyi-san mengapa menuju ke barat? Ayah pernah membawa aku ke kaki bukit Wuyi-san, akan tetapi tempatnya jauh sekali di selatan, ribuan li jauhnya dari sini. Kam-koko, kau mau apa sih pergi ke tempat sejauh itu? Lebih baik tinggal saja di sini bersama aku. senang kan?"
Girang hati Kun Hong mendengar bahwa Gunung Wuyi-san yang dicarinya itu berada di selatan. Baiknya ia bertemu dengan gadis ini, kalau tidak ia bisa terus ke barat! Ucapan terakhir dari Kim Li yang mengandung penuh maksud itu tak diacuhkannya sama sekali.
Pada saat itu terdengar suara tindakan kaki yang berat dari luar pondok.
"Heei. alangkah sedap baunya. Kim Li. kau masak apakah begini enak?" suara seorang laki-laki yang kasar parau memasuki pondok.
Pintu pondok dibuka dari luar dan masuklah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar bermuka licin kemerahan. Ia memanggul bangkai seekor macan yang besar dan gemuk.
Pantas saja tindakan kakinya demikian berat. Orang ini melepaskan bangkai macan dari pundaknya, menghapus keringat di jidatnya sambil berkata.
89
"Dalam perjalanan pulang bertemu dengan si loreng ini. Kebetulan sekali kupecahkan kepalanya dengan ruyungku. Aku sudah mengilar makan dagingnya, eh, tahu-tahu sampai di sini sudah ada masakan yang lebih sedap!" Orang itu mendengus-dengus dan menggerak-gerakkan lubang hidungnya.
"Eh, seperti daging anjing sedapnya!"
"Memang daging anjing ayah." jawab Kim Li. "Aku sengaja masak untuk menyambut kau datang dan kebetulan sekali ada seorang tamu. Kam-koko ini." jawaban ini diterima biasa saja oleh Ciok Sam, pemburu tinggi besar itu.
"Orang she Kam? Bagus, bagus! Kau panggil Kam-koko, he? Hemm, bagus......... memang dia tampan dan ganteng. Ha-ha-ha-ha!"
Kun Hong merasa tak enak sekali melihat sikap yang kasar ini, akan tetapi ia diam saja hanya memandang dengan kerling matanya.
Ciok Sam tanpa banyak upacara lagi lalu menjatuhkan diri duduk di dekat hidangan yang masih banyak itu, lalu sekali sambar ia telah mempergunakan sumpit yang tadi dipakai Kun Hong untuk menyumpit sepotong besar daging anjing, dimasukkan ke dalam mulut dan dikunyah dengan lahap dan enaknya. Ia tidak sabar menanti sampai daging itu cukup lembut dikunyah, melainkan terus saja ditelan, sampai mengeluarkan bunyi ketika melalui kerongkongnya.
"Enak............ enak........." la menyumpit lagi. "Anjing yang mana yang kau potong ini, Kim Li? Melihat begini gemuk menggajih. agaknya si belang.. akan tetapi melihat empuknya, tentu si putih yang muda." Kemudian, sebelum memasukkan lagi daging ke mulutnya, ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya.
”Eh, anjing-anjing lainnya ke mana perginya? Jangan biarkan mereka berkeliaran di hutan sendiri, kalau berjumpa loreng sebesar yang kubunuh tadi kan bisa celaka!"
"Anjing-anjing sudah habis semua ayah. Semua kumasak dagingnya......."
Daging yang sudah dibawa ke depan mulut itu terlepas dari sumpit, menggelinding di atas tanah. Sepasang mata yang lebar terpentang melotot ketika ayah ini memandang puterinya.
"Kau....... kau gila......? Kau bilang sembilan ekor anjing itu kau sembelih semua dan kaumasak dagingnya?"
Kim Li mengangguk tenang. "Terpaksa, ayah. Dari pada daging sebanyak itu membusuk kan lebih baik dimasak dan dimakan?”
"Membusuk bagaimana maksudmu?”
"Karena sembilan ekor anjing itu sudah mati semua...........”
90
"Mati semua......??" Ciok Sam kini bangun berdiri, tubuhnya yang tinggi itu hampir sampai ke atap. "Sembilan ekor itu bukan hadiah dari Kwa lo-enghiong melainkan kutukar dengan empatpuluh lima lembar kulit harimau dan serigala. Belinya tidak murah. Bagaimana bisa mati sekaligus sembilan ekor? Hayo bilang, kenapa?"
Kun Hong yang melihat Kim Li didesak menjadi tidak tega dan menjawab tenang, "Aku yang membunuh sembilan ekor anjingmu itu."
Mendengar ini. Ciok Sam menjadi merah mukanya, matanya menjadi beringas!”Kau yang membunuhnya, ya? Kau.........?”
"Ayah, aku yang menyuruh anjing-anjing kita menyerangnya! Kusangka tadinya Kam-koko adalah daging lunak, tidak tahunya tulang keras dan akibatnya anjing-anjing kita mati semua," kata Kim Li yang melihat ayahnya marah.
Kun Hong yang sudah lama sekali hidup bersama orang-orang macam Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, tentu saja maklum akan arti "daging lunak" dan "tulang keras " ini, yaitu istilah yang digunakan oleh para anggauta liok-lim untuk menerangkan keadaan calon korban yang hendak dirampok. Oleh karena ia sejak tadi maklum bahwa Kim Li dan ayahnya selain menjadi pemburu binatang juga pemburu manusia untuk dirampok, ia bersikap dingin saja.
Mendengar ucapan anaknya, Ciok Sam tidak menjadi senang, malah makin marah.
"Keparat ini lawan yang membunuh anjing-anjing pemburu kita dan kau malah menjamunya? Benar-benar gila kau! He, orang muda. kau telah membikin rugi besar padaku. Harga sembilan ekor anjing itu lima puluh tail lebih. Kau harus menggantinya!"
"Aku tidak punya uang " jawab Kun Hong tenang.
"Kulihat kudamu di luar. Kau harus meninggalkan kuda itu sebagai penggantinya!" kata Ciok Sam marah.
Kun Hong bangkit berdiri, mulai hilang kesabarannya. "Anjing-anjing itu milikmu, sekarang masih ada. Bangkai-bangkainya boleh kau makan habis. Aku datang ke rumah ini atas undangan anakmu, kalau tidak, siapa sudi makan daging anjingmu? Kuda itu milikku, tak boleh kau mengganggunya.''
"Kau tidak mau menyerahkan kuda itu?”
"Tidak, dan aku mau pergi sekarang juga." Dengan marah Kun Hong melangkah keluar dari kamar itu.
"Keparat, kalau begitu nyawamu harus kautinggalkan!"
Mendengar seruan ini. Kun Hong tidak menoleh. Juga ia tidak menoleh ketika mendengar angin menyambarnya dibarengi pekik Kim Li yang merasa kaget melihat ayahnya menyerang Kun Hong dengan ruyungnya.
"Ayah, jangan bunuh dia.........!"
91
Akan tetapi Ciok Sam tidak perduhkan seruan anaknya, ruyungnya menyambar dengan cepat dan kuat sekali. Ia hendak memecahkan kepala Kun Hong dengan sekali pukul seperti yang ia lakukan terhadap harimau besar tadi.
Akan tetapi ia kecele. Nampaknya ruyung itu akan mengenai sasaran karena Kun Hong diam saja, namun setelah dekat kepala pemuda itu, sedikit gerakan tubuh saja membuat ruyung itu menghantam angin
"Kau menjemukan!" terdengar Kun Hong berseru, tangan kanannya bergerak dari samping.
"Auukkk!" Ciok Sam melepaskan ruyungnya, terhuyung-huyung lalu roboh terlentang. mulutnya mengeluarkan darah. Keadaannya persis seperti anjing-anjing yang terpukul oleh Kun Hong itadi. Ternyata pemuda yang berilmu tinggi ini telah mempergunakan pukulan maut Toat-sim-ciang yang ia pelajari dari Tok-sim Sian-li! Pukulan tadi sekaligus telah mengguncangkan jantung Ciok Sam dan membuatnya muntah darah.
Ciok Sam memandang ke arah anaknya dengan mata mendelik, seakan-akan ia menegur mengapa puterinya tidak membantunya menggempur Kun Hong. Kim Li agaknya mengerti pandang mata ayahnya itu, maka ia berkata terisak.
"Ayah, aku......aku cinta padanya......"
Ciok Sam menarik napas panjang, mengangguk-angguk lalu mengeluh panjang, dan di lain saat nyawanya telah meninggalkan badan. Kim Li menubruk ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
”Menyesal aku terpaksa membunuh ayahmu yang galak," kata Kun Hong dengan hati tidak enak, kemudian pemuda ini bertindak keluar hendak meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi Kim Li segera melompat berdiri dan menubruk memeluknya.
"Kam-koko. jangan kau tinggalkan aku..... masa kau begitu kejam? Setelah ayah meninggal, hidupku seorang diri..... bawalah aku bersamamu......"
Kun Hong menjadi serba salah. Setelah sejak kecil hidup bersama Tok-sim Sian-li ia paling lemah menghadapi wanita, sungguhpun hatinya sudah mengeras dan kejam seperti hati Bu-ceng Tok ong! Dengan lemah-lembut ia mengusap- usap rambut Kim Li sambil berkata.
"Aku tidak bisa membawamu Kim Li. Ayahmu mati karena salahnya sendiri kepadamu aku tidak benci. Akan tetapi sungguh tak mungkin aku membawamu bersama dalam perjalananku yang jauh."
"Akan tetapi, setidaknya jangan tinggalkan aku sekarang, koko. Tidak kasihankah kau kepadaku? Aku bisa mati kalau kau tinggalkan sekarang.....”
Kun Hong menarik napas panjang. "Biarlah, aku mengawanimu sampai kau selesai mengubur ayahmu."
92
Demikianlah, Kun Hong yang tak dapat bersikap keras terhadap wanita itu. mengawani Kim Li bahkan bantu mengurus penguburan Ciok Sam. Tentu saja Kim Li menjadi terhibur hatinya dan cepat melupakan kesedihan hatinya ditinggal mati oleh ayahnya. Akan tetapi, hanya tiga hari Kun Hong mau menemaninya. Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali Kun Hong sudah melompat ke atas punggung Hek-liong-ma. Dengan air mata bercucuran Kim Li mencoba untuk menahan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu dengan tegas berkata.
"Kim Li. hanya karena sayang dan kasihan kepadamu aku sampai menunda perjalananku selama tiga hari. Sekarang, bagaimanapun juga aku harus pergi"
"Kam-koko aku ikut..... jangan tinggalkan aku seorang diri.......”
"Tidak mungkin. Kau tak boleh ikut. Selamat tinggal, mudah-mudahan lain waktu kita dapat saling berjumpa pula."
Tanpa perdulikan lagi tangis dan keluhan Kim Li. Kun Hong membalapkan kudanya pergi dari situ.
"Kam-koko...... aku ikut....... aku cinta padamu.......!" Kim Li menjerit- jerit sambil lari mengejar sekuat tenaga. Wanita ini juga memiliki kepandaian, larinya cepat. Akan tetapi mana mungkin ia dapat menyusul Hek-liong-ma?
"Kam-koko......... aduuhhh.........!'"
Tadinya Kun Hong tidak mengambil perduli sama sekali, akan tetapi mendengar gadis itu menjerit kesakitan, ia menengok juga. Kagetlah hatinya melihat Kim Li roboh terguling,, nampaknya terluka hebat karena ia melihat darah. Kun Hong memutar kudanya dan menghampiri gadis itu, ingin tahu apa yang telah terjadi.
Dari atas kudanya ia melihat gadis itu berkelojotan, pada kedua betis kakinya terdapat luka yang mengeluarkan darah, nampaknya seperti luka biasa saja. Akan tetapi tidak demikian dalam pandangan Kun Hong yang memandang dengan mata terbelalak. Ia melompat turun, memeriksa luka-luka itu yang mengandung warna kehijauan.
"Celaka.........!" katanya perlahan. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menotok jalan darah kedua kaki gadis itu di bagian belakang dan lutut, kemudian ia mencabut pedang pendek yang masih terselip di punggung Kim Li dan....... mengayun pedang itu membabat putus kedua kaki Kim Li sebatas lutut! Kim Li menjerit ngeri dan roboh pingsan. Akan tetapi dari kedua kaki yang buntung itu tidak keluar banyak darah. Ini adalah karena jalan darahnya telah dihentikan oleh totokan Kun Hong.
Pemuda itu melemparkan pedang pendek ke bawah, lalu ia celingukan ke kanan kiri.
"Niocu marah kepadaku mengapa menyerang gadis ini?" ia berseru
Terdengar suara ketawa dan muncullah Tok-sim Sian-li! Wanita ini masih kelihatan muda dan genit biarpun sekarang usianya sudah bertambah dua belas tahun lagi Pandang matanya masih segalak dulu. juga suaranya masih nyaring merdu ketika ia berkata sambil memandang ke arah Kim Li sambil tertawa-tawa.
93
"Alangkah lucunya! Kau meninggalkan aku untuk main gila dengan seorang wanita macam dia ini. Manusia macam dia ini mana ada harga untuk berdekatan dengan kau, Kun Hong? Lihat betapa buruknya, apa lagi setelah kedua kakinya menjadi buntung. Masih maukah kau bermain gila dengan dia?”
"Niocu, aku pergi dari Wi-san bukan untuk main gila dengan siapapun juga. Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia. Kau tentu sudah dapat menduga bahwa kepergianku ini untuk merampas kembali Cheng-hoa-kiam dari tangan Thian Te Cu dan sekalian membalas kekalahanku dahulu dari Wi Liong!"
Tok-sim Sian-li mainkan mata dan bibirnya. "Betulkah itu Kun Hong. apakah kau belum melupakan aku dan masih cinta padaku?"
Diam-diam Kun Hong menarik napas panjang, akan tetapi ia tersenyum ketika menjawab, "Tentu saja. Niocu. Kau sudah begitu baik kepadaku selama belasan tahun ini, bagaimana aku tidak cinta padamu?"
"Cinta sebagai murid terhadap guru atau sebagai laki-laki terhadap kekasihnya?" Tok-sim Sian-li mendesak, matanya memandang tajam penuh selidik.
Kun Hong cukup cerdik untuk tidak memancing pertikaian dengan gurunya ini, maka ia menjawab dengan suara sungguh-sungguh "Sebagai kedua-duanya!"
Tok-sim Sian-li menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan suara penuh perasaaan. "Kun Hong..... Kun Hong. betapa aku mencintamu..... tak mungkin lagi aku dapat hidup jauh darimu......"
Kun Hong membiarkan saja wanita itu memeluk dan membelainya, kadang-kadang seperti sikap seorang ibu kepada anaknya, ada kalanya juga seperti seorang wanita terhadap kekasihnya.
"Kun Hong. kau anak baik....... kau laki-laki tampan dan ganteng, sudah kuketahui sejak dahulu bahwa kau akan menjadi seorang pemuda yang paling baik dan gagah di seluruh dunia ini.”
Kun Hong hanya tersenyum saja kemudian dengan halus ia melepaskan pelukan gurunya. "Niocu. sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku ke Wu-yi-san."
"Kau seorang diri ke Wuyi-san? Kun Hong. jangan kau main-main. Thian Te Cu bukanlah orang yang boleh dipandang rendah. Orang-orang lain tidak kukhawatirkan dan tidak kutakuti, akan tetapi Thian Te Cu..... dia benar-benar lihai."
"Aku tidak takut." jawab 'Kun Hong tabah.
"Kau boleh tak takut, akan tetapi aku tidak rela melihat kau pergi ke sarangnya di Wu-yi-san. Ketahuilah, Kun Hong. Aku sendiri dan gurumu Bu-ceng Tok-ong juga tidak sanggup menghadapi Thian Te Cu. Orang satu-satunya yang sanggup kiranya hanya Thai Khek Sian susiok dari Tok-ong. Dahulu Thai Khek Sian sudah berjanji hendak menurunkan kepandaian kepadamu. Lebih baik kau lebih dulu pergi ke Pek-go-to memperdalam ilmu kepandaian, mari kuantarkan."
94
"Tidak. Niocu. Aku akan mencoba-coba pergi ke Wuyi-san lebih dulu," kata pemuda yang keras hati ini. "Kalau aku tidak dapat merampas kembali Cheng-hoa-kiam dan tidak sanggup mengalahkan Thian Te Cu, tidak apa, hal itu dapat ditunda dulu. Akan tetapi setidaknya aku harus dapat mencoba kepandaian Wi Liong."
"Kalau begitu aku ikut. Tak sampai hatiku membiarkan kau seorang diri pergi ke Wuyi-san.....”
"Jangan. Niocu. Aku ingin pergi sendiri!" Setelah berkata demikian, Kun Hong melompat ke atas punggung kuda Hek-liong-ma dan hendak membalapkan kudanya itu. Akan tetapi terdengar suara ketawa dan tahu-tahu tubuh Tok-sim Sian-li juga sudah melayang dan duduk di atas punggung kuda. tepat di belakang Kun Hong.
"Mana kau bisa tinggalkan aku, anak manis?" Tok-sim Sian-li berkata menggoda.
"Kau tak boleh ikut dan harus turun, Niocu yang baik." kata Kun Hong tak kalah manisnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya membalik dan dengan kedua tangannya murid yang "manis" ini melakukan pukulan dorongan yang hebat!
Tok-sim Sian-li terkejut sekali karena maklum bahwa tenaga dorongan pemuda itu sudah amat kuat dan berbahaya. Ia mencoba untuk menangkis dengan kedua tangannya, akan tetapi tetap saja ia terguling dari atas punggung kuda. Baiknya ia sudah memiliki ginkang yang tinggi sehingga sekali menggerakkan pinggang ia dapat mengatur jatuhnya sehingga dapat tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri.
Tok-sim Sian-li tersenyum manis sekali dan matanya memancarkan cahaya kilat. Kedua tangannya diayun ke depan bergantian dan sinar hijau menyambar-nyambar.
Kun Hong kaget bukan main. cepat mencoba untuk mengeprak kudanya supaya melompat tinggi ke depan, namun terlambat. Kuda itu mengeluarkan ringkikan keras dan roboh terjengkang karena kedua kaki belakangnya telah rusak oleh jarum-jarum beracun yang dilepas Tok-sim Sian-li.
Kun Hong melompat pada saat kuda itu terjungkal, berdiri bertolak pinggang memandangi kuda yang sudah empas-empis mau mampus itu. Pemuda ini maklum bahwa kuda itu tak dapat tertolong lagi paling-paling untuk menolongnya hanya harus kedua kaki belakangnya dipotong. Akan tetapi apa artinya? Ia meludah ke arah kuda, lalu memandang kepada gurunya sambil tersenyum.
"Jarum-jarummu masih lihai, Niocu. Benar-benar kau nekat sekali hendak ikut dengan aku sampai-sampai kau tidak segan dan sayang mengorbankan kudamu Hek-liong-ma. Akan tetapi makin nekat kau hendak ikut. makin nekat pula aku hendak pergi seorang diri. Ha-ha-ha! Kejarlah kalau kau sanggup!" Setelah berkata demikian. Kun Hong lari dengan cepat sekali keluar hutan, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena maklum betapa hebat ginkang dan ilmu lari cepat dari Tok-sim Sian-li.
Tok-sim Sian-li marah di dalam hatinya ia menoleh dan melihat tubuh Kim Li masih meringkuk dengan kedua kaki buntung di atas tanah, kemarahannya tertimpa kepada gadis yang bernasib malang ini. Ia mencabut pedang hijaunya dan berkata perlahan, "Jangankan hanya seekor kuda. Kun Hong biar berkorban nyawa aku rela untuk dapat hidup berdekatan selalu dengan kau. Gadis ini berani mati mencintamu, ia harus mampus!" Pedangnya berkelebat menusuk dada gadis itu.
95
Traangg.........! Sebuah batu karang sebesar kepala orang hancur lebur terpukul pada pedang itu, akan tetapi pedang di tangan Tok-sim Sian-li tertahan dan tidak terus menusuk dada Kim Li.
Tok-sim Sian-li cepat melompat ke belakang sambil membalikkan tubuh, gerakannya cepat sekali, mulutnya masih tersenyum akan tetapi alisnya berdiri matanya berkilat-kilat tanda bahwa dia marah bukan main. Siapakah yang begitu berani mati menangkis pedangnya dengan lemparan batu? Ia melihat seorang laki-laki pendek gemuk bermuka toapan. Muka itu berkulit putih bersih dengan kumis terpelihara baik-baik dan jenggotnya lebat, hitam dan terpelihara pula. Rambutnya yang pendek dan jarang itu digelung ke atas, kecil saja terbungkus kain kuning. Laki-laki itu tertawa lebar, sikapnya tenang gagah dan berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengannya yang kuat dan berbulu itu disilangkan di depan dada.
"Tok-sim Sian-li benar-benar makin tua makin gila, tak tahu malu sudah berusia tua masih tergila-gila kepada seorang pemuda. Juga hatimu yang beracun itu makin jahat saja. sudah melukai kedua kaki gadis ini sampai buntung kedua kakinya, sekarang masih mau dibunuh lagi karena cemburu."
Tok-sim Sian-li melengak. Kalau orang ini dapat mengetahui apa yang telah terjadi tadi, itu tandanya orang ini memiliki kepandaian tinggi. Dan selain itu. nampaknya orang ini sudah mengenalnya baik-baik. Dengan penuh selidik Tok-sim Sian-li memandang wajah orang itu. Serasa pernah ia melihatnya, muka ini benar-benar tidak asing baginya, malah muka yang amat dikenalnya, akan tetapi ia lupa lagi siapa gerangan dia.
"Manusia bermulut lancang, siapa kau?" Akhirnya ia membentak. Ini sebetulnya amat aneh bagi yang sudah mengenal watak Tok-sim Sian-li. Wanita ini biasanya menggerakkan tangan lebih dulu dari pada menggerakkan mulutnya. Sekarang ia menanyakan nama orang dan belum menggerakkan tangannya ini benar luar biasa dan hal ini hanya dapat terjadi karena ia merasa sangsi melihat muka yang amat dikenalnya tapi lupa lagi siapa itu.
Laki-laki itu tertawa bergelak dan ternyata giginya yang rata masih baik dan putih bersih. Ketika ia tertawa kelihatan bahwa ia mempunyai garis-garis muka yang tampan dan mudah diduga bahwa ketika masih muda ia seorang yang ganteng.
"Ha-ha-ha. terlalu banyak kau mengenal pria sampai-sampai kau lupa kepada aku orang she Kwa!"
"Siang-jiu Lo-thian (Sepasang Kepalan Mengacau Langit)! Kau Kwa Cun Ek?" tanya Tok-sim Sian-li tercengang dan baru sekarang ia ingat muka laki-laki yang sebetulnya tidak asing baginya ini, kira-kira duapuluh tahun yang lalu! Orang ini adalah Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, seorang jago silat kenamaan di dunia selatan.
Begitu teringat bahwa orang di depannya ini Kwa Cun Ek Tok-sim Sian-li lalu mengeluarkan seruan marah dan langsung menyerang dengan pedangnya! Kwa Cun Ek yang mempunyai julukan Sepasang Kepalan Mengacau Langit tentu saja dapat mengelak dengan mudah.
"Kau masih seperti dulu." katanya tertawa, ''genit, galak dan....... tetap cantik."
Mendengar kata-kata yang bersifat setengah memuji kecantikannya ini, Tok-sim Sian-li menunda pedangnya, menudingkan pedang ke arah muka laki-laki itu sambil memaki.
96
"Orang she Kwa! Kau meninggalkan aku lari kepada siluman lautan timur itu, benar-benar penghinaan besar namanya. Karena itu. kali ini kau harus mampus di tanganku!” Kembali ia menyerang hebat, akan tetapi lagi-lagi Kwa Cun Ek dapat mengelak tanpa balas menyerang,
"Kau benar-benar tak tahu diri dan mau menang sendiri saja!" Kwa Cun Ek menegur, suaranya sungguh-sungguh menyatakan penyesalan hatinya. "Karena kau isteriku lari meninggalkan aku dan seorang anak. Perbuatanmu yang keji itu masih hendak kau tutup dengan menyalahkan semua kepadaku? Benar-benar kau wanita dengan hati beracun!"
Tiba-tiba sikap Tok-sim Sian-li berubah mendengar ini. Senyumnya melebar dan kembali pedangnya ditahannya. "Dia meninggalkan kau? Hi-hi, lucunya! Dia minggat dari kau karena cemburu kepadaku? Bagus, baru kau puas. Siapa sih wanita yang sudi lama-lama bersamamu. Lihat jenggotmu panjang, kepalamu mulai botak dan perutnya mulai gendut. Hi-hi, puas hatiku mendengar kau ditinggal sia-sia oleh isterimu! '
Kwa Cun Ek sekarang yang nampak marah. Sebagai jawaban dua tangannya memukul ke depan secara bergantian dan hebatnya, begitu ia menggerakkan tangan, batang-batang pohon di belakang Tok-sim Sian-li bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi! Inilah kehebatan tenaga pukulan Kwa Cun Ek Si Sepasang Tangan Mengacau Langit! Akan tetapi Tok-sim Sian-li dengan ringannya melompat dan pukulan-pukulan itu sama sekali tidak menyusahkannya.
"Tentu saja aku tidak menarik lagi karena sudah tua. Dulu kau tergila-gila kepadaku, ketika aku masih seganteng pemuda yang kaukejar-kejar tadi. Akan tetapi kaupun sudah tua......”
Kwa Cun Ek terpaksa menghentikan kata-katanya karena begitu mendengar tentang "pemuda tadi" segera Tok-sim Sian-li teringat akan Kun Hong dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi berkelebat pergi dari situ mengejar pemuda yang dikasihinya itu.
Kwa Cun Ek menarik napas panjang berkali-kali. ”Dia masih hebat baik aksi maupun kepandaiannya. Aku belum tentu bisa mengalahkan dia......" Kemudian ia menoleh kepada Kim Li, menggeleng-geleng kepala dan menggerutu. "Kasihan sekali bocah ini mati tidak hiduppun bercacad, hilang kedua kakinya sebatas lutut. Hemm, harus kuapakan dia? Biar kubawa pulang. bagaimana keputusan Siok Lan saja.........” ia lalu menghampiri Kim Li yang masih pingsan, membungkuk lalu memondongnya, dibawa pergi keluar hutan dengan langkah lebar.
Siapakah Kwa Cun Ek dan bagaimana ia dapat kenal Tok-sim Sian-li? Dia dahulu memang benar seorang pemuda ganteng dan tampan di selatan, seorang jago muda yang banyak digilai wanita-wanita, terutama wanita-wanita kangouw yang tentu saja mengharapkan jodoh-jodoh yang gagah perkasa. Di antara semua wanita gagah dan cantik, hanya seorang pendekar wanita gagah perkasa yang menarik hatinya. Pendekar wanita ini adalah seorang tokoh muda yang disegani, yang telah membuat nama besar di sepanjang laut timur dengan pedangnya dan ilmu pukulan Sin-na-hwat yang lihai sekali. Saking hebatnya sepak terjang pendekar wanita ini, dunia kang-ouw memberi julukan kepadanya Tung-hai Sian-li (Dewi Lautan Timur). Tentu pembaca masih ingat akan tokoh ini, yaitu seorang di antara tokoh-tokoh yang mengadakan pertemuan di puncak Kun-lun-san.
97
Begitu berjumpa, terjalin cinta kasih antara Kwa Cun Ek dan Tung-hai Sian-li sampai terjadi pernikahan di antara mereka. Akan tetapi sebelum bertemu dengan Tung-hai Sian-li Kwa Cun Ek pernah tergila-gila kepada seorang tokoh wanita hek-to (jalan hitam), yaitu Tok-sim Sian-li yang ketika itu masih muda. cantik jelita, genit dan cabul!
Setelah Tok-sim Sian-li yang kembali bertemu dengan Kwa Cun Ek mendengar bahwa bekas kekasihnya ini telah menikah dengan Tung-hai Sian-li, ia menjadi marah sekali dan datang menyerbu rumah bekas kekasihnya ini dengan maksud membunuh Tung-hai Sian-li. Akan tetapi di luar dugaannya, Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita muda yang gagah perkasa sehingga ia mendapat perlawanan setimpal. Selain itu, Kwa Cun Ek juga dengan sendirinya membantu isterinya. Dikeroyok dua. Tok-sim Sian-li tidak kuat melawan dan melarikan diri. Akan tetapi, semenjak itu, penghidupan Kwa Cun Ek tidak bahagia lagi karena Tok-sim Sian-li belum mau puas sebelum Tung-hai Sian-li mendengar akan hubungan «antara suaminya dan iblis wanita itu. Perhubungan suami isteri menjadi renggang, padahal tadinya amat penuh kebahagiaan, apa lagi karena Tung-hai Sian-li sudah mengandung.
Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita yang berhati keras laksana baja. Ia keren, sungguh-sungguh, jujur dan galak pula. Sakit hatinya karena hubungan suaminya dengan perempuan cabul itu tak dapat dihibur dan setelah ia melahirkan seorang anak perempuan, ia lalu lari minggat meninggalkan Kwa Cun Ek dengan anaknya yang baru berusia satu tahun!
Demikianlah riwayat singkat Kwa Cun Ek ketika masih muda. Sekarang anaknya telah berusia delapanbeias tahun cantik jelita dan selain ilmu silatnya tinggi, juga mempunyai kecerdikan luar biasa. Karena cerdiknya, hampir dalam segala hal Kwa Cun Ek menyerahkan kepada puterinya itu. Bahkan perdagangannya, yaitu perdagangan kulit, boleh dibilang berada di tangan Kwa Siok Lan, puterinya itu. Maka tidak mengherankan apabila menghadapi nasib Kim Li, Kwa Cun Ek yang kebingungan akhirnya mengambil keputusan membawa gadis yang malang itu pulang untuk menanyakan nasihat Siok Lan! Dengan Kim Li ia sudah kenal sejak lama karena Ciok Sam ayah Kim Li adalah langganannya dalam pembelian kulit binatang.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwa Siok Lan ketika melihat ayahnya pulang memondong tubuh Kim Li yang sudah buntung kedua kakinya. Siok Lan tentu saja kenal baik dengan Kim Li yang sering kali datang ke kota mengantarkan kulit, bahkan sering kali Kim Li minta petunjuk tentang ilmu silat dari Siok Lan yang memiliki kepandaian tinggi. Melihat keadaan Kim Li dan mendengar penuturan ayahnya, Siok Lan mengerutkan alisnya yang bagus sambil berkata,
"Bagaimana Kim Li sampai bertemu dengan iblis wanita itu dan di mana pula paman Ciok Sam. ayahnya?”
"Aku sendiri tidak tahu apa yang tadinya terjadi. Ciok Sam tidak kelihatan. Ketika aku memasuki hutan untuk mencari Ciok Sam yang sudah beberapa hari tidak muncul, kumelihat Kim Li mengejar seorang pemuda dan tahu-tahu muncul Tok-sim Sian-li yang melukai Kim Li dengan jarum-jarum hijaunya. Pemuda itu nampaknya lihai juga, segera menolong Kim Li dan terpaksa membuntungi kedua kaki gadis ini untuk menyelamatkan nyawanya. Pemuda itu bahkan berani melawan dan dapat melarikan diri dari Tok-sim Sian-li."
98
"Hemm. Kim Li seorang gadis hutan yang sederhana, mudah sekali tertipu orang. Kurasa orang muda itupun bukan orang baik-baik. ayah."
"Aku tidak mengenalnya, akan tetapi ia lihai dan nampaknya gagah." Diam-diam di dalam hatinya, Kwa Cun Ek melihat seorang calon mantu yang amat baik. dalam diri Kun Hong. Sudah lama pendekar tua ini membujuk puterinya untuk segera memilih seorang calon suami, menerima seorang di antara banyak peminang akan tetapi selalu Siok Lan menolak, menyatakan belum ingin menikah dan akhirnya menyatakan belum ada pemuda yang ia penujui. Sekarang melihat Kun Hong yang gagah, ganteng dan lihai sekali. Kwa Cun Ek amat tertarik. Seorang pemuda yang cocok benar untuk menjadi jodoh anakku pikirnya.
Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan kedua kakinya sudah buntung. Kim Li menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siok Lan yang menghiburnya. Juga Siok Lan sudah mengobati dan membalut kedua kaki itu, membaringkan Kim Li di atas pembaringan.
Dengan sabar Siok Lan menanyakan pengalaman Kim Li dan apa yang telah terjadi dengan ayahnya. Kim Li orangnya jujur, dan diapun amat menghormat Siok Lan. Tanpa malu-malu lagi lalu menceriterakan semua pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Kun Hong sampai pertemuannya dengan Tok-sim Sian-li iblis wanita itu.
Siok Lan mengepal tinjunya. "Sudah kuduga pemuda itu bukan orang baik-baik!"
"Ah. tidak nona. Dia bukan orang jahat. Kam Kun Hong koko seorang yang amat baik, gagah perkasa dan mulia. Semua adalah salahku sendiri. Aku yang tergila-gila kepadanya dan aku pula yang menjadi sebab kematian ayah." Dia lalu secara terus terang lagi menceritakan betapa ia menyuruh anjing-anjingnya menyerang Kun Hong sehingga binatang-binatang itu tewas semua dan ayahnya menjadi marah, terjadi pertempuran antara ayahnya dan Kun Hong yang mengakibatkan tewasnya Ciok Sam. Juga ia menceritakan pula bahwa Kun Hong tinggal bersama dia selama tiga hari itu hanya untuk membantu mengurus penguburan jenazah ayahnya dan unituk menghiburnya.
"Dia tidak bersalah apa-apa, nona Siok Lan. Dia seorang yang berhati mulia dan aku.......aku cinta padanya.....”
Merah wajah Siok Lan, ia merasa jengah mendengar ucapan yang jujur dari Kim Li. Timbul kasihan dalam hatinya.
"Kau bodoh Kim Li. Kau mengapa mencinta orang yang tidak membalas perasaanmu itu. kau hendak menyiksa diri sendiri."
"Apa dayaku nona? Aku tergila-gila kepada Kun Hong, dia pemuda terbaik di dunia ini. biarpun hanya cinta sefihak, aku tidak penasaran. Aku sudah puas hidup bersama Kam Kun Hong. biarpun hanya untuk tiga hari tiga malam lamanya!" Kim Li lalu menangis lagi terisak-isak. Siok Lan hanya menggeleng kepala, di dalam hatinya memaki Kim Li sebagai seorang gadis yang bodoh, mudah saja menjadi permainan cinta!
"Mulai sekarang kau tinggallah saja di sini. Kim Li. Biar ayah melatihmu dengan ilmu silat yang lebih tinggi. Aku percaya kalau kau sudah matang ilmu silatmu, kakimu yang cacad itu tidak akan terlalu mengganggumu lagi."
99
Kim Li menjadi terharu dan hanya mengangguk-angguk dengan mata berlinang air mata. Demikianlah, semenjak saat itu. gadis yang bernasib malang ini menjadi murid Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek menerima pelajaran ilmu silat tinggi.
Kota Ningpo di Propinsi Cekiang adalah kota yang cukup besar dan ramai, terletak di dekat pantai Laut Tung-hai. Kota ini boleh dibilang terletak di bagian paling pinggir sebelah timur Tiongkok dan karena berada di tepi laut dan dekat dengan kota besar Syanghai, maka menjadi pusat perdagangan dan penduduknya padat. Toko-toko, rumah-rumah makan dan losmen-losmen besar menjadi bukti kemajuan kota ini.
Di antara rumah-rumah makan yang terdapat di kota Ningpo. kiranya rumah makan Tung-thian terkenal sebagai rumah makan yang paling besar dan paling lengkap. Rumah makan ini di ruang bawah saja memiliki duapuluh lima pasang meja kursi, belum yang di ruang atas yaitu di loteng, di siitu terdapat lima pasang meja kursi. Setiap hari tentu ada tamu yang makan di situ. belum pernah kelihatan kosong, biarpun hanya tiga empat orang tentu ada yang bersantap. Hanya di loteng jarang terisi tamu oleh karena tamu-tamu biasa lebih suka makan di bawah. Di loteng ini hanya disediakan untuk tamu-tamu pembesar yang tidak suka makan dalam satu ruangan dengan orang-orang biasa, atau disediakan untuk keperluan khusus, misalnya ada serombongan keluarga yang hendak merayakan sesuatu.
Pada suatu senja, ruangan bawah rumah makan Tung-thian sudah penuh tamu yang makan minum sambil bersendau-gurau di antara teman dengan gembira. Tidak mengherankan apa bila keadaan pada hari itu amat ramai, karena selain malam hari itu bulan muncul sore-sore, juga saat itu adalah saat panen ikan. Para nelayan membanjiri kota dengan hasil-hasil ikan laut mereka dan inilah saatnya para penduduk mengeduk keuntungan besar, membeli dan memborong ikan-ikan itu dari para nelayan untuk kemudian dijual dan dikirim ke lain kota dengan harga berlipat ganda.
Hanya seorang pemuda yang duduk seorang diri di pojok ruangan bawah rumah makan itu yang tidak dapat bergembira seperti yang lain-lain, karena ia makan minum seorang diri tiada kawan. Akan tetapi kegembiraan orang-orang di situ menarik hatinya dan memancing senyum di bibirnya dan seri pada matanya. Agaknya pemuda ini seorang asing, buktinya tidak ada seorangpun penduduk Ningpo mengenalnya.
Serombongan orang terdiri dari delapan orang muda memasuki restoran itu minta tempat. Pengurus rumah makan menyambut mereka dan dengan muka ramah minta mereka bersabar menanti meja kosong karena semua tempat sudah penuh.
"Bukankah di loteng masih kosong?" tanya seorang di antara pemuda-pemuda itu sambil menunjuk ke atas.
"Sekarang masih kosong, akan tetapi telah dipesan oleh tuan-tuan dari Hai-liong-pang yang akan mengadakan pertemuan di loteng dan tidak mau diganggu oleh orang-orang lain." kata pengurus rumah makan.
Mendengar kata-kata ini, pemuda-pemuda itu tak berani berkata apa-apa lagi, melainkan menanti di luar rumah makan. Bahkan para tamu penduduk Ning-po yang mendengar nama Hai-liong-pang,
100
nampak terkejut dan gelisah. Ada yang cepat-cepat menyelesaikan makan lalu tergesa-gesa meninggalkan rumah makan. Malah ada yang segera membayar makanan dan pergi tanpa menghabiskan sisa hidangan yang masih banyak. Akan tetapi pemuda-pemuda yang tadi menanti di luar agaknya lebih berani karena melihat banyak tempat kosong, dengan wajah gembira mereka lalu masuk dan memilih tempat duduk. Sebentar saja ruangan bawah itu hanya tinggal setengahnya terisi tamu, di antaranya pemuda asing yang duduk menyepi seorang diri, saban-saban mengirup araknya.
"Mereka boleh galak dan berpengaruh, asal kita tidak mengganggu mereka tak mungkin kita diganggu." terdengar seorang di antara para pemuda itu berkata, dan pesanan makanan dan minuman dilakukan oleh seorang pelayan yang melayani mereka dengan hormat. Pemuda-pemuda ini adalah putera-putera penduduk yang terkenal kaya di kota Ningpo, maka tentu saja para pelayan amat menghormati mereka.
Tak lama kemudian datang serombongan orang. Mereka ini adalah tujuh orang laki-laki setengah tua yang pakaiannya seperti yang biasa dipakai oleh jago-jago silat Sikap mereka keren sekali dan melihat tindakan kaki mereka, mudah diduga bahwa mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan.
"He, pengurus Tung-thian! Lekas siapkan meja. sam-wipangcu (tiga ketua) sebentar lagi datang!" seorang di antara mereka berseru kepada pengurus rumah makan.
Melihat bahwa mereka ini adalah orang-orang dari Hai-liong-pang para pelayan menjadi sibuk sekali, cepat-cepat membereskan dan membersihkan meja kursi di loteng, dan di bagian dapur juga terjadi kesibukan luar biasa. Ayam gemuk di sembelih, ikan-ikan hidup dibelek perutnya, daging-daging segar dipilih, sayur dan bumbu nomor satu dikeluarkan pendeknya persiapan pesta besar yang mewah dan mahal dilakukan semua pegawai rumah makan Tung-thian. Tujuh orang anggauta Hai-liong-pang inipun tidak tinggal diam, mengepalai para pelayan mengatur persiapan, kemudian mereka melakukan penjagaan di luar rumah makan. Benar-benar lagak mereka seperti serdadu-serdadu yang menjaga kedatangan pembesar-pembesar negeri.
Siapa dan apakah Hai-liong-pang yang agaknya berpengaruh serta ditakuti oleh penduduk Ningpo itu? Namanya telah menyatakan bahwa Hai-liong-pang (Perkumpulan Naga Laut) adalah sebuah perkumpulan yang berpusat di pantai laut. Perkumpulan ini adalah perkumpulan nelayan, diketuai oleh tiga orang kakak beradik she Phang yang sebetulnya bukanlah nelayan-nelayan melainkan juragan- juragan perahu yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaian ilmu silat mereka yang memang amat tinggi. Tiga orang ini yang memiliki modal besar, membeli perahu-perahu yang banyak jumlahnya dan perahu-perahu ini mereka sewakan kepada para nelayan dengan cara pemungutan hasil yang tidak adil sama sekali. Pendeknya mereka memeras tenaga buruh nelayan mengandalkan pengaruh dan milik mereka. Ada nelayan yang mempunyai perahu sendiri dan tidak mau menyewa perahu mereka? Nelayan seperti ini akan celaka,, karena ke manapun ia mencari ikan, ia akan selalu diganggu sampai ia terpaksa pulang dengan tangan kosong. Pulang dengan selamat saja masih untung!
Tiga orang she Phang itu makin lama makin berpengaruh dan makin kaya. Kemudian karena merasa khawatir kalau-kalau para nelayan itu bersatu dan melakukan pemberontakan, secara cerdik mereka mendirikan perkumpulan nelayan yang diberi nama Hai-liong-pang. Nelayan-nelayan yang menjadi jagoan, mereka tarik menjadi kaki tangan mereka, dan makin lama perkumpulan ini menjadi makin
101
besar dan kuat sampai para nelayan miskin tak dapat berkutik sama sekali. Seolah-olah lautan luas menjadi milik Hai-liong-pang dan para nelayan, mengandalkan makan mereka dari hasil pemberian Hai-liong-pang?
Tidak saja di pantai Hai-liong-pang merajai para nelayan juga di laut perahu- perahu yang berbendera naga ini menjadi raja. Ke mana saja perahu-perahu ini berlayar mencari ikan perahu-perahu nelayan lain daerah harus segera pergi dan mengalah. Sampai jauh perahu-perahu Hai-liong-pang ini menjelajah ke lautan timur, mengunjungi tempat-tempat yang paling banyak ikannya. Memang harus diakui bahwa semenjak penangkapan ikan di daerah Ningpo dimonopoli oleh Hai-liong-pang, hasil penangkapan ikan menjadi makin banyak, berkat perahu-perahu yang kuat dan jala-jala ikan yang lebih baik. Akan tetapi sebagian besar dari pada hasil pendapatan itu masuk ke dalam gedung dan gudang tiga orang saudara Phang ini!
Akan tetapi tiga orang she Phang itu benar-benar tidak sadar bahwa mereka telah main-main di dekat gua naga dan harimau, tidak sadar bahwa mereka melebarkan sayap mencari pengaruh di tempat yang amat berbahaya. Perlu diketahui bahwa Ningpo terletak di tepi pantai dan tak jauh dari pantai itu adalah kelompok Kepulauan Cou-san-to dan di antara kepulauan ini terdapat Pulau Pek-go-to (Pulau Buaya Putih) yang menjadi sarang atau tempat tinggal Thai Khek Sian, tokoh utama dari Mo-kauw!
Lebih celaka lagi tiga orang she Phang ini belum pernah mengenal Thai Khek Sian dan tidak tahu bahwa Thai Khek Sian adalah "rajanya" orang jahat! Kalau mereka ini sudah mengenal Thai Khek Sian, kiranya biar matipun mereka takkan berani mencari pengaruh di dekat tempat itu. Sebulan yang lalu, pada suatu hari selagi tiga buah perahu Hai-liong-pang mencari perahu dan tanpa disengaja mendekati Pulau Pek-go-to. tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang wanita muda yang cantik.
Sembilan orang nelayan dan kaki tangan Hai-liong-pang yang berada di atas tiga perahu ikan itu menjadi tercengang. Bagaimana di tengah laut muncul dua orang wanita muda cantik dengan perahu sekecil itu? Setiap perahu ikan ditumpangi oleh dua orang nelayan dan seorang kaki tangan Hai-liong-pang yang bertindak selaku pengawas, jadi pada waktu itu terdapat enam orang nelayan dan tiga orang Hai-liong-pang. Enam orang nelayan itu yang masih percaya akan tahyul segera menjadi ketakutan dan mengira bahwa dua orang wanita cantik itu adalah dewi-dewi laut! Akan tetapi tiga orang Hai-iiong-pang memandang kagum dan seorang di antara mereka yang terkenal mata keranjang berlancang mulut,
"Aduhai dari mana datangnya nona-nona cantik di atas lautan? Apakah sengaja datang hendak menghibur hatiku setelah aku lelah berlayar mencari ikan? Mari sini, nona-nona cantik, sini bersama Ciam-ko. jangan malu-malu.....”
Celaka bagi orang she Ciam ini. Ucapan lancang kurang ajar yang keluar dari mulutnya itu merupakan ucapan terakhir karena tiba-tiba ia terjungkal ke dalam laut dan tidak timbul lagi! Dua orang wanita itu terus menggerak-gerakkan kedua tangan dan terdengar bunyi "krak-krak-krak" tiga kali. Ketika semua orang melihat ke atas tiang layar, ternyata gambar naga sebagai tanda keangkeran Hai-liong- pang telah patah gagangnya dan bendera-bendera itu melayang-layang jatuh ke bawah!
102
Dapat dibayangkan betapa kagetnya para nelayan, lebih-lebih lagi dua orang Hai-liong-pang yang melihat kawan mereka terjungkal ke laut dan tewas. Seorang di antara mereka menegur marah.
"Kalian ini siapakah, berani mati sekali mematahkan tiang bendera Hai-liong-pang dan membunuh kawan kami?"
Dua orang wanita muda itu tertawa, suara ketawanya merdu dan seorang di antara mereka yang berbaju hijau menjawab.
"Kalian ini orang-orang Hai-liong-pang sungguh tak tahu diri. seperti kucing berlagak di depan harimau! Sudah lama Siansu membiarkan saja kalian berlagak dan menganggap orang-orang Hai-liong-pang seperti orang-orang gila yang tak perlu diurus. Akan tetapi hari ini kalian berani mendekati Pek-go-to. berani memasang bendera, sudah sepatutnya kalau kalian dimusnahkan ke dalam laut. Akan tetapi untuk sementara cukup seorang di antara kamu saja merasai kelihaian kami. Mau tahu kami siapa? Kami adalah pelayan-pelayan dari Thai Khek Siansu dan katakan kepada pemimpin-pemimpin kalian agar supaya pada tanggal lima belas malam mengadakan perjamuan di rumah makan Tung-thian di Ningpo. Siansu tentu akan mengutus seorang wakil dan memberi petunjuk lebih jauh!"
Dua orang itu, seperti yang lain-lain. sudah mendengar bahwa Pulau Pek-go-to didiami oleh orang-orang aneh, akan tetapi oleh karena selama ini Thai Khek Siansu dan para pelayannya tak pernah melakukan sesuatu yang diketahui oleh penduduk sekitar itu, mereka tidak tahu betul Thai Khek Siansu itu orang macam apa. Ucapan wanita itu membikin panas perut dua orang Hai-liong-pang, karena terang-terangan ketua mereka dipandang rendah sekali.
"Siansu kalian itu orang macam apakah begitu tidak memandang kepada pangcu (ketua) kami? Mana bisa begitu bertemu memerintahkan pangcu kami menyediakan penyambutan? Benar-benar terlalu sekali!"
Seorang di antara dua wanita yang berbaju ungu mengeluarkan suara menghina. "Hemm, sudah mendengar perintah tidak lekas pergi, apa ingin mampus? Terimalah ini untuk peringatan! Nona baju ungu ini menggerakkan tangan dan dua sinar emas berkelebat. Dua orang Hai-liong-pang yang berdiri di perahu masing-masing itu cepat mencoba untuk mengelak, akan tetapi gerakan mereka sangat terlambat. Datangnya benda bersinar itu cepat sekali dan tahu-tahu mereka merasa telinga kiri mereka sakit sekali. Ketika mereka meraba, ternyata telinga kiri mereka telah lenyap, terbabat putus oleh senjata rahasia kim-ji-piauw (piauw uang logam) dan lenyap entah terlempar ke mana Hebatnya, ketika mereka memandang, dua orang nona itu dengan perahu mereka yang kecil telah berada jauh sekali dari tempat itu. seakan-akan perahu itu dapat terbang!
Baru sekarang dua orang Hai-liong-pang itu ketakutan.
"Cepat putar perahu. Kita pulang......!" perintah mereka kepada para nelayan yang melakukan perintah ini dengan hati girang oleh karena sejak tadi mereka memang sudah ketakutan dan mengira dua orang wanita itu sebangsa jin atau dewi-dewi lautan.
103
Sambil meringis-ringis kesakitan, dua orang Hai-liong-pang itu memberi laporan kepada tiga orang saudara Phang ketua Hai-liong-pang. Tentu saja mereka menjadi marah sekali terutama Phang Hui yang termuda.
"Kurang ajar sekali. Orang macam apakah Thai Khek Sian di Pulau Pek-go-to! Mari kita siapkan barisan dan serbu pulau itu!"
"Jangan terburu nafsu. Sepanjang kabar angin, orang-orang yang tinggal di pulau itu memang aneh. Siapa tahu mereka adalah orang-orang sakti yang mengasingkan diri. Kita harus berlaku hati-hati dan lebih dulu mengadakan penyelidikan sebelum lancang turun tangan." kata Phang Cu, orang ke dua yang terhitung paling cerdik di antara tiga orang ketua itu.
"Betul apa yang dikatakan oleh ji-te." kata Phang Kong yang tertua. "Kita harus berlaku hati-hati. Sering kali aku mendengar daerah ini dilalui oleh orang-orang aneh, tentu ada hubungannya dengan Pulau Pek-go-to. Tak boleh bertindak gegabah, apa lagi kalau mendengar laporan orang kita, baru pelayan-pelayan saja kepandaiannya begitu baik."
"Habis apa yang hendak twako lakukan sekarang?” tanya Phang Hui yang merasa kewalahan karena kedua orang kakaknya sependapat dan hendak bersikap hati-hati, tidak seperti dia yang ingin menggempur saja.
"Tidak ada lain jalan, kita harus menanti sampai tanggal lima belas. Biar kita mendengar saja apa kehendak mereka, baru kemudian mengambil keputusan harus bersikap bagaimana."
Demikianlah, tiga orang saudara yang menjadi ketua Hai-liong-pang itu menanti sampai tanggal limabelas. Seperti telah diceritakan di bagian depan pada tanggal Limabelas sore di rumah makan Tung-thian, tujuh orang Hai-liong-pang sudah memesan tempat dan siap menanti kedatangan tiga orang ketua Hai-liong-pang itu yang hendak menyambut tamu dari Pek-go-to. Tiga orang ketua ini tidak mau berlaku sembrono. Paling sukar adalah menghadapi lawan yang belum dikenal keadaannya dan belum dikenal siapa. Oleh karena itu mereka sudah memasang penjagaan terlebih dulu, bahkan telah diatur baihok (barisan pendam) yang bersembunyi di sekeliling tempat itu untuk melindungi keselamatan para ketua Hai-liong-pang.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, di ruang bawal tinggal sedikit saja tamu yang masih berani duduk, di antaranya adalah delapan orang pemuda kaya penduduk Ningpo dan seorang pemuda yang duduk menyendiri di pojok ruangan itu. Suasana di ruang bawah itu sunyi, seakan-akan semua orang terpengaruh oleh sesuatu yang menakutkan. Hal ini terutama sekali ditimbulkan oleh sikap para pelayan yang nampak sibuk dan gelisah. Untuk menghilangkan suasana tidak enak ini. para pemuda itu mulai bersendau-gurau dan karena mereka memang orang-orang muda yang gembira sebentar saja keadaan di situ menjadi ramai dan para pelayan juga mulai berani tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara "tar-tar-tar" di depan pintu rumah makan. Seperti jengkerik-jengkerik yang tadinya riuh bersuara kini terpijak diam, semua orang tak berani membuka suara dan menoleh saja mereka tidak berani, hanya mengerling diam-diam ke arah pintu depan.
Keadaan hening itu sebentar saja karena segera terpecah oleh suara orang bernyanyi sederhana diiringi suara "tar-tar-tar" tadi. Suaranya nyaring, nadanya tenang menyenangkan, nyanyiannya seperti orang membaca sajak dan iramanya sederhana.
104
"Kata-kata yang jujur tidak bagus
sebaliknya kata-kata yang bagus tidak jujur.
Orang baik tidak banyak cakap
sebaliknya yang banyak cakap tidak baik.
Orang yang pandai tidak sombong
sebaliknya yang sombong tidak pandai
Orang bijaksana tidak menyimpan.
ia menyumbangkan miliknya sampai habis,
akan tetapi ia makin menjadi kaya;
ia memberi dan terus memberi
akan tetapi ia makin berkelebihan
Jalan yang ditempuh oleh Langit
selalu menguntungkan, tidak merugikan.
Maka jalan yang ditempuh orang bijaksana
juga selalu memberi, tidak merebut jasa!”
Inilah sajak terakhir dari kitab To Tik King,pelajaran dari Nabi Lo Cu dari Agama To. Semua orang yang mendengar ini tersenyum, juga pemuda yang duduk menyendiri di sudut tersenyum kagum. Biarpun tidak semua orang hafal akan isi sajak To Tik King, akan tetapi sajak-sajak Agama To mudah dikenal amat berbeda dengan sajak-sajak Agama Buddha.
Sebelum nyanyian habis, penyanyinya sudah muncul di depan pintu, terus masuk ke rumah makan itu dan duduk di atas sebuah kursi kosong. Orang ini sudah tua, sedikitnya limapuluh tahun usianya, jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik, pakaiannya rapi dan wajahnya nampak gembira sekali. Suara menjetar tadi adalah suara ujung tali yang diikatkan di pinggangnya, ujung tali ini ia gerak- gerakkan seperti pecut mengeluarkan bunyi yang mengiringi nyanyiannya.
Delapan orang pemuda yang tadinya juga ikut diam dan tegang kini tertawa- tawa ketika melihat bahwa yang datang hanya seorang kakek yang aneh, pakaian dan sikapnya bukan tosu (pendeta To) akan tetapi datang-datang menyanyi ayat kitab To Tik King.
"Ha-ha-ha. lopek (paman tua), kau benar-benar mengagetkan orang saja!" kata seorang di antara para pemuda itu.
"Lopek yang baru datang pandai bernyanyi, harus dihadiahi arak hangat!” kata pemuda ke dua.
"Pangcu telah datang!" Inilah suara para penjaga tadi, yaitu orang-orang Hai-liong-pang. Mereka sudah memasuki ruangan bawah dengan sikap tegak seperti serdadu-serdadu menanti datangnya jenderal.
Semua orang kembali merasa tegang dan gelisah. Bahkan para pemuda tadi juga merasa tegang dan tidak berani mengeluarkan suara. Akan tetapi kakek tadi tersenyum-senyum, menenggak cawan araknya dan tiba-tiba ia berkata perlahan, "Kalau ini suara yang kasar dan tidak menyenangkan, juga tidak bisa dibilang bagus!"
105
Suaranya perlahan saja, akan tetapi jelas terdengar di ruangan itu oleh karena keadaan memang amat sunyi. Mendengar ini, para pemuda itu cekikikan sukar dapat menahan ketawa. Mereka lirak-lirik ke arah para penjaga Hai-liong-pang dengan mulut tersenyum-senyum.
"Itu suara yang sombong!" bisik seorang pemuda di balik ujung lengan bajunya. Semua orang kaget akan tetapi sukar diketahui siapa di antara delapan orang pemuda itu yang mengeluarkan kata-kata ini tadi.
Akan tetapi kakek itu mengangguk-angguk, "Orang yang pandai tidak sombong, maka yang berseru sombong tadi tentulah sebangsa gentong kosong!"
Tak dapat ditahan lagi, para pemuda itu tertawalah cekakak-cekikik mendengar kata-kata...
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halaman 58 s/d 59 hilang-dewi kz
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
... pangcu telah datang!" Inilah suara para penjaga tadi, yaitu orang-orang Hai-liong-pang. Mereka sudah memasuki ruangan bawah dengan sikap tegak seperti serdadu-serdadu menanti datangnya jenderal.
Semua orang kembali merasa tegang dan gelisah. Bahkan para pemuda tadi juga merasa tegang dan tidak berani mengeluarkan suara. Akan tetapi kakek tadi tersenyum-senyum, menenggak cawan araknya dan tiba-tiba ia berkata perlahan, "Kalau ini suara yang kasar dan tidak menyenangkan, juga tidak bisa dibilang bagus!"
Suaranya perlahan saja, akan tetapi jelas terdengar di ruangan itu oleh karena keadaan memang amat sunyi. Mendengar ini, para pemuda itu cekikikan sukar dapat menahan ketawa. Mereka lirak-lirik ke arah para penjaga Hai-liong-pang dengan mulut tersenyum-senyum.
"Itu suara yang sombong!" bisik seorang pemuda di balik ujung lengan bajunya. Semua orang kaget akan tetapi sukar diketahui siapa di antara delapan orang pemuda itu yang mengeluarkan kata-kata ini tadi.
Akan tetapi kakek itu mengangguk-angguk. "Orang yang pandai tidak sombong, maka yang berseru sombong tadi tentulah sebangsa gentong kosong!"
Tak dapat ditahan lagi, para pemuda itu tertawalah cekakak-cekikik mendengar kata-kata kakek ini yang mengangguk-angguk sambil menggerak -gerakkan mulut. Penjaga anggauta Hai-liong-pang yang tadi berseru, menjadi marah. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek ini dan membentak, "Kau ini pengemis kelaparan berani main gila di depan tuan besarmu!”
Kakek itu menengok perlahan dan tersenyum sambil menudingkan telunjuknya ke muka orang itu, "Menurut penglihatanku, mukamu tidak kukenal dan muka seperti mukamu ini mana patut disebut tuan besar?”
Suara dan lagaknya yang lucu membuat para pemuda itu kembali tertawa.
106
"Kurang ajar kau!” Si penjaga itu mengulur tangan mencengkeram leher baju kakek itu, hendak diseretnya keluar. Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba para penjaga lain berseru bahwa para pangcu sudah tiba maka penjaga inipun melepaskan cengkeramannya dan berdiri tegak memberi hormat. Semua orang memandang ke arah pintu. Muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang rata-rata bertubuh kate gemuk memasuki rumah makan itu diiringkan oleh selosin penjaga yang bersenjata lengkap. Setelah tiba di anak tangga, tiga orang pangcu itu memberi isyarat dengan tangan melarang para pengiringnya ikut naik dan naiklah mereka bertiga ke loteng, sedangkan para penjaga atau pengiring ini berdiri berbaris di kanan kiri....
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Halaman 62 s/d 63 hilang-dewi kz
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
....maka sebentar saja kakek ini menarik perhatian para pemuda itu. Gangguan karena datangnya tiga orang ketua Hai-liong-pang tadi sudah mereka lupakan, juga mereka tidak perduli lagi bahwa di tangga loteng itu menjaga duabelas orang anggauta Hai-liong-pang di kanan kiri seperti barisan. Para penjaga ini memandang ke arah orang-orang muda itu dengan mata melotot akan tetapi agaknya mereka itu bertugas menjaga saja maka tidak berani meninggalkan pos penjagaannya.
Selagi orang-orang muda itu tertawa-tawa. dari loteng terdengar bentakan keras, "Hee. yang di bawah diam jangan ribut-ribut!"
Ketika para pemuda itu menengok, di kepala tangga muncul seorang di antara tiga ketua tadi. Yang muncul adalah Phang Hui, berdiri dengan muka merah dan tangan kanannya memegang sumpit. Memang Phang Hui ini terkenal ngesing (brangasan). Ketika melihat bahwa yang ribut-ribut dan bersendau-gurau seperti tidak mengindahkan kehadiran tiga orang ketua Hai-liong-pang itu hanya serombongan pemuda biasa dan seorang kakek, ia membentak lagi "Kalau aku mendengar suara ketawa-tawa lagi, sumpitku ini takkan mengenal ampun!" Setelah berkata begitu, tangannya bergerak dan sebatang sumpit meluncur ke bawah.
"Crepp.........” Sumpit bambu itu seperti sebatang anak panah, menancap di atas meja kayu yang tebal dan keras itu, menancap sampai setengahnya lebih dan bergoyang-goyang..
Para pemuda itu meleletkan lidah dan menjadi pucat Kalau sumpit itu ditujukan kepada mereka, kepala atau dada mereka bisa bolong tertusuk sumpit dan nyawa mereka takkan tertolong lagi! Seketika mereka tak berani usik lagi.
Dengan lagak sombong Phang Hui meludah lalu pergi dari kepala tangga untuk kembali ke meja saudara-saudaranya di loteng. Kakek tadi tertawa geli.
"Ha-ha-ha, alangkah bagusnya. Sedangnya kita bergembira datang pelawak menghibur kita dan main sulap!"
"Sssttt......” beberapa orang pemuda memberi peringatan kepada kakek yang mereka anggap lancang itu. Kali ini mereka tidak berani menyambut kelakar si kakek, malah menjadi makin gelisah kalau-kalau para ketua Hai-liong-pang yang terkenal kejam mendengar ejekan tadi.
107
Phang Hui tidak mendengar, dan para penjaga di tangga yang mendengar hanya melotot, akan tetapi para penjaga di luar rumah makan mendengarnya! Masuklah tujuh orang anggauta Hai-liong-pang itu, dikepalai oleh orang yang tadi mengancam si kakek. Mereka menuju ke meja rombongan pemuda itu dengan sikap mengancam. "Siapa tadi yang berani mengeluarkan omongan menghina Sam-pangcu?” tanya kepala rombongan itu yang berkumis tebal.
Para pemuda tak ada yang berani bergerak, dan tamu-tamu lain diam-diam sudah membayar makanan dan menyelinap pergi meninggalkan ruangan itu. Hanya pemuda bertopi yang duduk seorang diri di pojok masih minum araknya dan matanya melirik ke arah rombongan orang Hai-liong-pang.
Kakek itu tersenyum-senyum menjawab. "Siapa sih yang menghina orang? Apa yang kau maksudkan dengan penghinaan itu, pak kumis?"
Si kumis tebal membelalakkan matanya. "Tadi ada yang menyebut pangcu ke tiga kami sebagai pelawak. Siapa yang bicara begitu tadi?”
"Aah, kalau yang bicara tadi adalah aku sendiri............"
Tangan kanan si kumis tebal bergerak dan pundak kakek itu sudah dicengkeram, terus diseret keluar. Penjaga-penjaga lain tertawa dan tidak ikut keluar karena mereka ini menjaga kalau-kalau para pemuda itu ada yang hendak membela kakek itu. Akan tetapi pemuda-pemuda itu mana berani menentang orang-orang Hai-liong-pang yang sudah terkenal sebagai jagoan-jagoan tukang pukul? Mereka hanya saling pandang dengan muka pucat, berdebar-debar dan amat mengkhawatirkan keadaan kakek peramah tadi. Celaka, kakek itu tentu akan dibunuh pikir mereka, atau setidaknya dipukul setengah mati. Membunuh atau menyiksa orang sampai setengah mati adalah pekerjaan biasa dari orang-orang Hai-liong-pang dan para pembesarpun tidak ada yang mampu menghukum mereka!
Beberapa saat yang menegangkan hati lewat dengan sunyi dan semua mata memandang ke arah pintu depan ke mana kakek tadi diseret keluar ke tempat gelap. Para pemuda sudah membayangkan kakek itu menggeletak di sisi jalan dalam keadaan mati atau setengah hidup sedangkan penyiksanya, si kumis tebal itu. memasuki ruangan itu kembali dengan senyum mengejek.
Betul saja, seorang memasuki ruangan itu dengan langkah tenang. Akan tetapi, semua mata terbelalak lebar ketika melihat bahwa yang masuk adalah si kakek tadi, masuk sambil berjalan tenang, tersenyum-senyum lalu duduk di tempatnya yang tadi dekat pemuda-pemuda itu seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu!
"Jaman sekarang ini orang-orang sudah lupa akan keadaan asalnya, lupa akan dirinya sebagai manusia makhluk yang paling tinggi derajatnya. Orang-orang sekarang hidup menurutkan nafsu duniawi, lebih jahat dari pada binatang yang tidak memiliki akal budi, lebih kejam dari pada setan. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya mengisap yang miskin, di dunia mana ada keadilan?"
Melihat kakek aneh itu datang lagi tanpa menderita sesuatu, para pemuda menjadi lega hatinya. Akan tetapi mereka merasa tidak enak melihat kakek ini bicara sendiri. Seorang diantara mereka berkata.
108
"Akan tetapi, lopek, bagaimana kau bisa bilang tidak ada keadilan sedangkan kita mempunyai pemerintah dan banyak terdapat pemimpin-pemimpin?"
Kakek itu tersenyum mengejek. "Pemimpin? Yang mana yang kau maksudkan pemimpin?"
"Lho. bukankah para pejabat pemerintah yang berpangkat tinggi itu biasanya disebut pemimpin?" kata si pemuda.
"Hah, orang-orang berpangkat itu kauanggap pemimpin? Cih, mereka memualkan perut saja!" kata si kakek dengan lagak lucu sehingga pemuda- pemuda itu timbul lagi keberanian mereka dan tertawa, biarpun perlahan-lahan dan tertahan.
Sementara itu, dua orang penjaga sudah melangkah maju lagi. Mereka tidak melihat kembalinya si kumis dan mengira kakek ini tentu telah dimaafkan oleh si kumis, atau mungkin sekali di luar kakek ini sudah melakukan siasat menyogok. Siapa tahu kakek yang pakaiannya rapi ini mempunyai banyak uang dan suka menyogok. Maka dua orang penjaga inipun mengharapkan keuntungan dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyeret kakek itu keluar, seorang menarik sebelah lengan.
"Eh, eh. kalian ini mau apa sih?” tanya kakek itu sambil meronta-ronta, namun ia tak dapat terlepas dan terus diseret keluar.
"Kau tidak tahu aturan, membikin ribut saja di sini. Kau memang ingin mampus barangkali!" bentak seorang di antara dua penjaga itu.
Kembali para pemuda menanti dengan gelisah untuk beberapa lama dan..... sekali lagi kakek itu muncul sendiri dari depan pintu, berjalan tenang seperti tadi dan duduk lagi. Dua orang penjaga itu tidak kelihatan masuk lagi!
"Orang-orang berpangkat tak boleh sekali-kali kalian anggap mereka itu pemimpin, apa lagi pemimpin rakyat. Mereka itu hanya pembesar-pembesar yang besar mulut besar kepala, dan besar perut! Besar mulut karena pandai sekali bicara menina-bobokkan rakyat, besar kepala karena mengandalkan kedudukan berlaku sewenang-wenang dan besar perut karena mereka melakukan korupsi dan mbadok (makan) uang rakyat dan negara untuk menggendutkan perut dan kantong sendiri! Pembesar-pembesar macam ini adalah penjahat-penjahat yang berkedok pangkat, mereka ini lebih berbahaya dari pada penjahat biasa, karenanya aku benci sekali kepada mereka."
Kakek itu bicara dengan bernafsu dan agaknya ia sama sekali tidak pernah terganggu oleh penjaga-penjaga yang tadi menyeretnya keluar. Sebenarnya apakah yang telah terjadi? Pertanyaan inipun memasuki benak para penjaga lain akan tetapi selagi mereka hendak keluar, dari luar masuk dua orang wanita cantik berbaju hijau dan ungu! Dua orang wanita ini masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya cantik-cantik dan pakaiannya mewah. Akan tetapi sikap mereka angker dan pedang yang menggemblok di punggung menandakan bahwa mereka bukanlah wanita sembarangan. Dengan langkah tenang. tanpa menengok ke kanan kiri mereka langsung menuju ke anak tangga yang menyambung ruangan itu ke loteng. Akan tetapi melihat pemuda-pemuda yang berada di situ, mereka melirik dan sedikit senyum, membuat hati para pemuda itu menjadi berdebar tertarik. Sikap dua orang wanita ini begitu bertemu dengan pemuda-pemuda menjadi genit! Akan tetapi, tiba-tiba
109
dua orang wanita itu mengerling ke arah pemuda yang duduk di pojok dan........ mereka menahan tindakan kaki, lalu tersenyum lebar, saling pandang dan saling berbisik.
"Sayang kita ada urusan penting.........” terdengar si baju hijau berbisik. Kemudian mereka melangkah ke anak tangga, sedikitpun tidak perduli kepada para penjaga Hai-liong-pang yang menjaga di kanan kiri tangga.
Seorang penjaga melangkah maju memalangkan gagang tombaknya di depan dua orang wanita itu.
"Loteng sudah diborong oleh pangcu kami, harap nona-nona turun.”
Si baju hijau tersenyum manis dan menyentuh gagang tombak itu dengan dua jari tangannya yang runcing dan halus. "Kalian ini penjaga macam apakah? Tidak tahu bahwa kami datang dari Pek-go-to hendak menemui Hai-liong-pangcu?"
Penjaga itu kaget dan melangkah mundur, tiba-tiba mukanya berubah pucat karena tahu-tahu gagang tombaknya telah patah menjadi dua! Dua orang wanita muda itu dengan langkah menggairahkan menaiki tangga loteng sambil tersenyum- senyum.
Para penjaga menjadi gelisah untuk beberapa lama. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa tokoh Pek-go-to yang hendak dijamu oleh para pangcu mereka ternyata adalah dua orang wanita muda dan cantik. Akan tetapi alangkah hebat kepandaian dua orang wanita itu terbukti bahwa sekali sentuh dengan jari tangan, gagang tombak seorang penjaga telah patah menjadi dua! Untuk beberapa lama mereka lupa akan kakek aneh dan lupa mengapa para penjaga yang tadi menyeret kakek itu tidak nampak masuk kembali ke dalam ruangan. Akan tetapi para pemuda yang menemani kakek itu timbul hati curiga dan diam-diam seorang di antara mereka melangkah keluar untuk melihat apa yang terjadi di luar.
Tak lama kemudian ia masuk kembali dengan wajah pucat, berbisik-bisik kepada kawan-kawannya dan segera mereka membayar makan dan minuman lalu bubar tergesa-gesa, memandang kepada kakek itu dengan kagum dan juga takut. Tamu-tamu lain melihat gelagat tidak baik antara para penjaga dan kakek itu, juga berangsur-angsur bubar sehingga akhirnya di ruang bawah rumah makam itu tinggal si kakek, para penjaga dan orang muda bertopi yang duduk di pojok seorang diri. Pemuda ini ternyata amat tampan berkulit muka halus, bermata jernih tajam, alisnya tebal menghitam, hidungnya mancung dan gerak-geriknya halus seperti seorang terpelajar. Pemuda ini amat tampannya, pantas saja kalau dua orang wanita cantik yang mempunyai sifat-sifat cabul dan genit itu tadi memandang dan berbisik-bisik.
“Bagus, orang-orang muda tak tahu apa-apa memang lebih baik lekas pulang ke rumah masing-masing." Kakek itu mengangguk-angguk bicara seorang diri. Karena pemuda-pemuda itu telah pergi dan telah membayar semua makanan dan minuman, maka kakek ini sekarang minum seorang diri dari guci arak besar dengan lahapnya. Sebentar saja mukanya sudah menjadi merah karena kebanyakan minum arak. Kemudian ia menoleh kepada pemuda bertopi itu dan berkata mengerutkan kening,
"Eh, anak muda. Kenapa kau masih di sini. tidak lekas pulang ke rumah ayah bundamu dan belajar membaca kirab kuno?”
110
Pemuda itu tersenyum, amat manis dan nampak ia amat sabar dan tenang.
"Lopek, ke mana harus pulang? Aku seorang perantau, di mana aku berada di situlah rumahku, kadang-kadang berlantai bumi beratap langit.''
Mendengar jawaban ini, kakek itu nampak girang sekali- "Bagus, anak muda, kau seorang baik dan beruntung. Ha-ha-ha!" Ia mengangkat cawan araknya yang sudah ia penuhi lagi. "Senang bertemu dengan kau dan mari minum!"
Pemuda itupun mengangkat cawan araknya dan berkata, "Kesenangan berada di fihakku lo-enghiong yang perkasa. Aku yang muda kagum sekali melihatmu."
Pada saat itu terdengar ribut-ribut di luar rumah makan. Ternyata para penjaga yang melanjutkan pemeriksaannya di luar, melihat hal yang amat aneh. Di halaman rumah makan itu bergeletakan tubuh para penjaga yang tadi menyeret kakek itu keluar, berada dalam keadaan tidak berdaya, pingsan terpukul atau tertotok!
Setelah melihat bahwa kakek iltu bukan orang biasa dan telah merobohkan tiga orang penjaga, para anggauta Hai-Iiong-pang menjadi marah sekali. Dengan senjata tombak, pedang atau golok mereka menghampiri kakek itu dan seorang di antara mereka membentak,
"Keladi tak tahu diri, kau berani menghina kami orang-orang Hai-Iiong-pang?” Sebentar saja kakek itu dikurung oleh belasan orang Hai-liong-pang yang sikapnya mengancam. Akan tetapi kakek ini tenang-tenang saja, malah segera menggunakan dua jari tangan menjepit sumpit yang tadi menancap meja dilempar oleh Phang Hui. lalu berkata,
"Kalian ini diperintah menjaga tiga orang pangcumu di loteng, mengapa memusuhi aku yang berada di bawah? Kawan-kawanmu tadi menyeretku keluar, mereka yang tidak becus merangketku sekarang kalian hendak menyalahkan aku. Aturan mana ini?" katanya sambil tertawa-tawa dan melanjutkan minum araknya.
"Kami yang akan merangketmu!" bentak seorang Hai-Iiong-pang sambil membacokkan goloknya.
Kakek itu tidak menghentikan minumnya, hanya menggerakkan sumpit bambu di tangannya. Si penyerang menjerit kesakitan, goloknya terlempar dan ia berjingkrak-jingkrak ke belakang sambil memegangi lengan kanannya yang telah kena ditotok sumpit, sakitnya bukan buatan!
Orang-orang Hai-liong-pang yang lain berseru-seru marah dan segera menghujankan senjata mereka kepada kakek itu. Terdengar bunyi suara nyaring "trang-tring-trang-tring!" ketika kakek itu dengan cekatan menggunakan sumpit di tangan kanan dan cawan arak di tangan kiri untuk menangkis semua serangan orang-orang Hai-Iiong-pang itu, disusul oleh semburan arak dari mulutnya "whirr-whirr-whirr!”
Semburan arak dari mulut orang biasa tentu hanya akan membasahi muka dan pakaian orang seperti datangnya air hujan saja, akan tetapi semburan arak dari mulut kakek ini jauh berlainan. Para pengeroyok itu menjerit kesakitan dan di lain saat mereka lari pontang-panting keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka yang terasa sakit-sakit seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum yang runcing!
111
Sebentar saja para pengeroyok itu habis berlarian keluar, tidak tahan menghadapi kakek yang ternyata seorang berilmu tinggi ini.
Pemuda sasterawan yang duduk di pojok mengangguk-angguk kepala perlahan dan matanya berkilat. "Seorang tokoh Kun-lun-pai......!" bisiknya perlahan kepada diri sendiri.
Sementara itu, tiga orang ketua Hai-liong-pang yang mendengar suara ribut-ribut sudah cepat muncul di kepala tangga. Alangkah kaget dan marah hati mereka ketika melihat anak buah mereka kocar-kacir dan lari cerai-berai oleh amukan seorang kakek yang tadi mereka anggap sebagai seorang tukang dongeng yang sedang dijamu oleh serombongan orang muda. Akan tetapi Phang Cu yang paling cerdik segera dapat melihat bahwa kakek itu bukanlah orang biasa, maka ia cepat berseru ke bawah,
"Sahabat yang berada di bawah, kalau orang-orang Hai-liong-pang kami lalai tidak mengadakan penyambutan sebagai tamu, silahkan naik. Arak dan daging kami masih berlimpah-limpah di sini!"
Kakek itu memandang ke atas lalu tertawa. "Ha-ha-ha, perut! Kau mimpi apa semalam? Baru saja ada yang menjamu, sekarang ada yang menawari arak dan daging. Akan tetapi rejeki tak layak ditolak dan tidak saban hari perut mendapatkan rejeki bertumpuk-tumpuk. He. kawan muda perenung, jangan kau mimpi siang di pojok itu, ada orang-orang menawari arak dan daging, mari-mari jangan sungkan, seji sipun (yang sungkan tak kebagian)!" Katanya kepada pemuda sasterawan yang duduk di pojok. Pemuda itu tersenyum, mengangguk dan bangkit berdiri lalu bersama kakek itu menaiki tangga loteng.
Mereka dipersilahkan duduk menghadapi meja penuh hidangan dan mereka melihat betapa dua orang wanita muda cantik tadi tengah duduk minum arak. Tanpa malu-malu lagi kakek itu lalu duduk dan menggayam daging, terus didorong arak memasuki perutnya. Sebaliknya pemuda itu hanya minum sedikit arak tidak perduli sama sekali betapa dua pasang mata yang bening dan genit mengerling-ngerling disertai bibir merah tersenyum-senyum memikat.
"Kongcu tinggal di mana dan siapakah nama yang mulia?" si baju hijau langsung bertanya dengan merdu dan senyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara.
Pemuda itu sekali lagi mengirup araknya untuk menyembunyikan rasa malu dan jengah. Belun pernah selama hidupnya ia menghadapi rayuan wanita, apa lagi wanita yang tanpa malu-malu memperlihatkan kegenitan dan bertanya rumah dan nama pada seorang pria yang baru saja dijumpainya!
"Aku sebatangkara, tidak ada tempat tinggal yang tetap......" jawabnya.
Si baju ungu tertawa kecil. "Iiih. agaknya kongcu belum mau memperkenalkan nama karena kamipun belum memperkenalkan diri. Dia ini enci Cheng Po dan aku Ang Po. Kami enci adik saudara-saudara angkat. Kongcu siapakah?”
Pemuda itu nampak bingung dan kakek itulah yang tertawa lebar menjawab.
"Datang-datang ditanya nama, perlu apa sih? Waktu lahirpun tidak bernama kalau sudah mati nama dilupakan orang! Kami berdua datang atas undangan, paling perlu makan minum. He, kau ini siucai
112
atau bukan kupanggil siucai (sasterawan) saja. Hayo lekas sikat habis daging-daging itu." Kakek itu tertawa terbahak.
Phang Kong bangkit berdiri, menyambar cawan arak di depan kakek itu yang telah kosong lalu mengisinya dengan arak dari guci sambil berkata.
"Kami tiga orang saudara she Phang ketua Hai-liong-pang berlaku kurang hormat, ada orang gagah di ruang bawah sampai tidak tahu. Harap maafkan dan biarlah siauwte minta maaf dengan secawan arak!" Ia terus menuangkan arak itu, dan biarpun sudah penuh dituang terus. Arak sampai naik lebih tinggi dari pada pinggiran cawan, akan tetapi anehnya tidak meluber dan tidak tumpah keluar seakan-akan arak itu telah menjadi beku! Inilah demonstrasi tenaga lweekang yang tinggi. Dengan hawa lweekangnya. Phang Kong telah mempergunakan tenaga menyedot melalui cawan sehingga biarpun isi cawan melebihi batas namun tidak tumpah keluar. Dengan cawan yang terlalu penuh ini Phang Kong menghampiri kakek itu dan memberikan cawan. Maksudnya kalau kakek itu menerima cawan dan ternyata kurang pandai, pasti arak kelebihan di cawan itu akan tumpah membasahi tangan dan pakaian sehingga kakek itu mendapatkan hajaran. Pula ini adalah sebagai ujian, kalau kakek itu ternyata tidak berkepandaian tinggi, dapat "dilempar" ke luar sebagai pembalasan.
Kakek itu memandang ke arah cawan yang diangsurkan kepadanya, tertawa ha-ha-he-he. tidak segera menerimanya.
"Waah. kok penuh amat? Mana perutku kuat menerimanya? Jangan penuh-penuh, pang-cu. jangan sungkan-sungkan, bikin malu saja." Kakek itu meniup dengan mulutnya ke arah arak di cawan. Arak itu muncrat dan menyiram muka Phang Kong tanpa dapat dicegah lagi. Ketua nomor satu dari Hai-liong-pang itu kaget dan kesakitan, akan tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, cawan yang dipegangnya telah berpindah tangan! Kini cawan itu tidak seperti tadi isinya hanya penuh saja, tidak lebih seperti tadi.
Sambil tersenyum-senyum kakek itu menanti sampai Phang Kong dapat membuka kembali matanya dan menyusut mukanya yang basah, lalu sambil mengangguk dan menjura ia mengangkat cawan itu, berdongak sambil membuka mulut dan menuang cawan ke arah mulutnya. Aneh bin ajaib! Arak itu tidak mau mengalir turun, seolah-olah telah membeku di dalam cawan. Ini namanya saling memamerkan lweekang tingkat tinggi. Kalau tadi Phang Kong hanya menahan arak itu tidak meluber saja, sekarang kakek itu malah menjungkir-balikkan cawan dan arak itu tidak tumpah!
"Arak pangcu enak betul, terima kasih." kata kakek itu dan membalikkan lagi cawannya lalu minum arak itu seperti biasa, seperti lajimnya manusia minum arak dari cawannya. Muka Phang Kong menjadi merah sekali karena dalam demonstrasi ini sudah terang ia mendapat malu, selain kalah juga ia mendapat hadiah, mukanya disiram arak.
Phang Cu sudah melangkah maju. Orang ke dua dari ketua-ketua Hai-Iiong-pang ini selain cerdik, juga memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat besar, juga ia seorang ahli pedang yang cekatan dan lihai. Ia pikir bahwa mengadu lweekang dengan kakek ini takkan ada gunanya, juga kalau menyerang begitu saja berarti mencemarkan nama kehormatannya sebagai pangcu Hai-liong-pang, apa lagi di situ ada tamu-tamu terhormat seperti utusan dari Pulau Pek-go-to itu. Sambil tersenyum. Phang Cu mempergunakan sebatang sumpit, menusuk sepotong daging lalu menghampiri kakek itu.
113
"Orang tua yang gagah, kakakku sudah menyuguh minuman, biar aku pangcu ke dua dari Hai-liong-pang menyuguh daging kepadamu dan kepada siucai muda itu, masing-masing sepotong!" Begitu kata-katanya habis diucapkan, sumpit yang ada daging di ujungnya itu ia gerakkan menusuk ke arah mulut kakek tadi!
"Kamsia......... (terima kasih)!" kakek itu berkata sambil membuka mulutnya dan........”Cappp!" daging memasuki mulutnya berikut sumpit. Sumpit itu bukan hanya dimasukkan saja melainkan ditusukkan dan kalau penerimanya kurang pandai sudah pasti sumpit itu akan melukai tenggorokan yang berarti orangnya akan tewas. Akan tetapi hebatnya, setibanya di mulut, sumpit itu macet tidak dapat terus tidak dapat ditarik kembali. Phang Cu menarik dan membetot sia- sia belaka biarpun ia memiliki tenaga sebesar tenaga gajah. Pada saat Phang Cu mengerahkan semua tenaganya, kakek itu tiba-tiba melepaskan gigitannya dan....... Phang Cu terdorong ke belakang oleh tenaganya sendiri, menabrak bangku sampai roboh. Baiknya ia terdorong terus ke arah wanita baju ungu yang tersenyum manis dan berkata. "Ji-pangcu, hati-hati sedikit!" Sambil menggerakkan tangan kiri menahan ke depan. Phang Cu tertahan dan tidak jadi jatuh oleh gerakan ini. Diam-diam kakek itu menjadi kaget melihat kekuatan lweekang dari jarak jauh ini dan maklum bahwa kepandaian wanita itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian tiga orang ketua Hai-liong-pang.
Phang Cu menjadi merah sekali mukanya. Setelah ia dipermainkan oleh kakek itu, ia tidak ada muka lagi untuk melanjutkan penyuguhan daging kepada siucai muda kawan kakek itu, maka ia lalu menjura dan berkata, "Biarlah penyuguhan daging kepada siucai muda ku wakilkan kepada sam-te saja."
Memang Phang Cu ini orangnya cerdik. Setelah melihat betapa kakaknya dan dia sendiri tidak nempil kepandaiannya melawan kakek itu, ia maklum bahwa Phang Hui juga bukan lawannya. Oleh karena itu, untuk bisa mencuci malu karena dua kali kalah tadi, ia sengaja hendak mewakilkan penyuguhan daging kepada siucai itu pada adiknya. Ia maklum betapa berangasan adanya Phang Hui dan kalau Phang Hui didiamkan saja tentu akan melakukan sesuatu terhadap kakek lihai itu dan akhirnya menderita kekalahan yang lebih memalukan lagi.
Phang Hui memang orangnya pemarah dan keberaniannya luar biasa Mendengar bahwa ia disuruh menjadi wakil menyuguh daging kepada siucai muda yang nampaknya lembah lembut itu ia tertawa girang. Memang sejak tadi ia merasa iri hati dan cemburu melihat betapa dua orang tamu wanita itu kelihatan amat tergila-gila kepada siucai. Dia sendiri terkenal paling mata keranjang di antara saudara-saudaranya dan sejak tadi semangatnya sudah terbang sebagian besar ketika melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik. Dengan langkah lebar ia menghampiri meja di depan siucai itu. lalu mencabut sebuah pisau belati. Dengan pisau yang runcing tajam mengkilap ini ia menusuk sepotong bakso yang kecil, lalu menghampiri siucai tadi.
"Kau siucai yang masih muda, mulutmu kecil, maka perkenankan aku menyuguh cacahan daging yang kecil pula!"
Karuan saja si siucai menjadi gelagapan dan nampak bingung dan takut. Siapa yang tidak takut kalau membayangkan bahwa cara menyuguh bakso itu dilakukan dengan menusukkan pisau runcing itu ke mulut? Kalau meleset bibir bisa suwing, kalau tepat tenggorokan bisa bolong!
114
"Tahan, sam-pangcu!" Si baju hijau mencegah dengan suara lembut akan tetapi amat berpengaruh. "Siucai ini tidak ikut apa-apa, hanya terbawa oleh kakek itu. Penghormatan secara itu patut diberikan kepada si kakek!”
Tentu saja Phang Hui menjadi makin mendongkol. Memang ia sudah cemburu dan iri, sekarang si baju hijau yang manis itu mencegah ia mencelakakan siucai tampan itu, perutnya menjadi makin panas.
"Dia sudah berani naik ke sini, mengapa takut menerima suguhan?" bantahnya. Semenjak dua orang wanita itu naik ke loteng, tiga orang ketua Hai-liong-pang memang belum sempat menyaksikan kelihaian mereka. Dua orang wanita itu hanya datang memperkenalkan diri bahwa mereka adalah utusan dari Thai Khek Siansu di Pek-go-to dan datang untuk memberi peringatan kepada Hai-liong-pang bahwa di wilayah Kepulauan Couw-san-to, yang berdaulat dan berkuasa adalah Thai Khek Siansu dan setiap perahu Hai-Iiong-pang harus menghormati peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Thai Khek Siansu! Sebelum perundingan itu dibicarakan selesai, keburu naiknya kakek yang mengganggu pertemuan itu.
Oleh karena belum mengetahui kelihaian dua orang utusan dari Pek-go-to itu, maka Phang Hui berani membantah dan ketua ke tiga dari Hai-Iiong-pang ini melanjutkan maksudnya, menusukkan pisau berujung bakso itu ke arah mulut siucai tadi.
"Trang......... auupp!" Pisau itu terlepas dari tangan Phang Hui dan sial baginya, bakso di ujung pisau itu mencelat dan secara kebetulan sekali memasuki mulutnya yang terbuka karena kagetnya.
"Ha-ha-ha-ha. aduh lucunya! Sam-pangcu dari Hai-liong-pang benar-benar pandai membadut. Lihai sekali cara makan bakso seperti itu, beberapa mangkok bakso bisa lenyap dalam sekejab mata kalau menggunakan cara seperti tadi. Sekali lagi. sam-pangcu. sekali lagi biar lohu melihat dan menikmati!"
Siucai yang tadi ketakutan, melihat kejadian ini dan mendengar omongan kakek itu menjadi geli dan ikut tertawa. Phang Hui memandang kepada wanita baju hijau yang telah menyambit pisaunya dengan sumpit sehingga pisaunya tadi terlepas dari tangan dan bakso masuk ke dalam mulut terus menggelinding memasuki perutnya. Ia hendak marah kepada wanita baju hijau itu, akan tetapi agak jerih karena dari sambitan tadi ia tahu bahwa wanita itu lihai sekali. Kemudian, mendengar suara ejekan kakek tadi, semua kemarahannya sekaligus berpindah kepada kakek itu. malah makin memuncak. Tubuhnya yang gemuk pendek kelihatan makin pendek lagi ketika ia mencabut sebuah golok panjang dari pinggangnya dan menghampiri kakek itu dengan tubuh agak direndahkan, siap untuk menerjang seperti seekor harimau mengintai korban.
"Setan tua, kau berani menghina Koai-to Phang Hui?" serunya marah sekali, mukanya merah dan lubang hidungnya berkembang-kempis. Memang Phang Hui terkenal akan ilmu goloknya maka mendapat nama poyokan Koai-to (Si Golok Setan). "Tuanmu akan membikin kau menjadi setan tak berkepala!" Cepat golok besar itu menyambar, bersiut suaranya mendatangkan angin, bergemerlapan mengerikan.
"Aaiiit, aduh galaknya. Agaknya yang kau makan tadi bakso perangsang, obat kuat penambah semangat!" Si kakek tetap mengejek tenang, akan tetapi secepat kilat tangan kirinya menyambar mangkok kuah dan tangan kanannya siap dengan jari tangan terbuka. Di lain saat, ketika tangan
115
kirinya digerakkan, semangkok kuah panas menyambar muka Phang Hui dengan kecepatan yang sukar dielakkan lagi.
"Celaka.........!" Phang Hui berseru kaget, cepat melompat mundur dan miringkan mukanya. Akan tetapi tetap saja kuah itu menyemprot leher dan pundaknya, sampai basah kuyup. Kalau lidah yang sudah biasa akan kuah panas, agaknya akan merasa segar kalau disiram kuah itu, akan tetapi kulit leher dan pundak yang tidak biasa, seketika menjadi merah dan panasnya membuat Phang Hui jingkrak-jingkrak dan kelejetan.
"Aauphh...... panas...... panas......!" ia mengaduh-aduh. akan tetapi suaranya itu tiba-tiba berhenti dan ia terguling roboh terkena totokan jari tangan kanan kakek yang lihai itu.
Kini Phang Kong dan Phang Cu kaget sekali. Mereka tidak nyana bahwa hari ini selagi mengadakan pertemuan dengan orang-orang Pek-go-to yang belum mereka ketahui bagaimana lihainya, tahu-tahu muncul orang asing yang datang-datang terus saja membikin kacau dan ternyata amat lihai. Keduanya melompat maju menghadapi kakek itu.
"Hemm, sobat yang memperlihatkan kepandaian dan sengaja mencari perkara dengan Hai-liong-pang, sebetulnya siapa dan dari manakah? Apa alasannya pula datang-datang sengaja memusuhi Hai-liong-pang?" tanya Phang Kong sambil mencabut pedangnya, juga Phang Cu mencabut pedangnya yang tipis dan agak melengkung bentuknya seperti senjata orang-orang dari barat.
Kakek itu kini berkata dengan suara sungguh-sungguh "Sudah lama aku mendengar bahwa di daerah ini muncul Hai-liong-pang yang benar-benar merupakan hai liong (naga laut) yang jahat bagi rakyat nelayan. Oleh karena aku paling tidak suka mendengar adanya binatang binatang laut yang mengganas di darat, aku sengaja hendak menyelidiki ke sini dan ternyata memang Hai-Iiong-pang mempunyai kaki tangan yang ganas sekali. Kalau saja kepalanya tidak jahat dan dapat mengatur keadilan, menekan dan melenyapkan keganasan kaki tangannya, mengatur agar supaya rakyat nelayan dapat hidup beruntung dan cukup sandang pangan, aku orang tua akan pergi dengan senang dan tidak mau mencampuri urusan orang. Biar orang jangan panggil aku Seng-goat-pian Kam Ceng Swi lagi kalau aku suka mencampuri urusan orang lain yang tidak bersifat menindas rakyat jelata."
Mendengar nama ini, Phang Kong dan Phang Cu kelihatan kaget sekali. Memang Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh Kun-lun yang amat terkenal sebagai seorang pendekar yang budiman, terkenal pula kelihaian dengan senjatanya yang istimewa, yaitu tali yang kedua ujungnya terdapat senjata tajam berbentuk bulan dan bintang. Karena senjata ini maka ia mendapat julukan Seng-goat-pian (Senjata Pian Bintang Bulan).
"Kami Hai-liong-pang tidak ada permusuhan dengan fihak Kun-Iun-pai, juga kami adalah nelayan-nelayan yang menyewakan perahu, hidup mengandalkan nasib baik di tengah laut mencari ikan. Bagaimana kau bisa menyebut kami penjahat-penjahat pemeras rakyat nelayan?” kata Phang Cu.
Kam Ceng Swi tertawa bergelak. "Kalau di dunia ini semua orang dapat melihat dan mengakui kesalahan sendiri, dunia akan menjadi aman dan tenteram. Kalau ketua-ketua Hai-liong-pang dapat melihat kesalahan sendiri, Hai-liong-pang tidak akan menjadi Hai-liong-pang yang sekarang ini! Oleh karena tak dapat melihat sendiri, aku membantu kalian melihat kesalahan itu dan merobahnya. Melarang nelayan menggunakan perahu sendiri, merampas perahu, menyewakan perahu-perahu
116
dengan aturan seenaknya sendiri, memungut hasil terbesar dan membagi kepada nelayan hanya asal mereka tidak kelaparan, bukankah ini memeras namanya?”
Phang Kong tak dapat menahan marahnya lagi. "Orang she Kam! Kau sombong amat. Kau ini berhak apakah hendak mengatur pekerjaan dan cara hidup kami?”
Phang Cu juga sudah marah. "Persetan dengan dia, twako. Dikiranya kita takut. Serang!".
Dua batang pedang dengan cepatnya meluncur dan menyerang Kam Ceng Swi. Tokoh Kun-lun ini mengeluarkan suara mengejek. Ia membuat gerakan aneh dengan kaki tangan dan tubuhnya.
"Traangg.........! Traaangg.........!" Dua saudara Phang itu melompat mundur dan menjadi terkejut sekali karena mereka merasa tangan mereka menjadi pegal-pegal setelah pedang mereka ditangkis oleh senjata bulan di ujung kiri tali yang tahu-tahu sudah berada di tangan Kam Ceng Swi.
"Kalian memang benar jahat, tidak cukup dihajar dengan kata-kata," kata Kam Ceng Swi dan sebelum dua orang pengeroyoknya sempat tergerak menyerang, ia telah memutar senjatanya lebih dulu dan di lain saat dua orang saudara Phang itu menjadi sibuk tidak karuan. Dalam pandangan mereka, seakan-akan segala bintang dan bulan di langit runtuh berhamburan, menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa sampai mata mereka menjadi berkunang! Mereka masih berusaha mengerahkan tenaga dan kepandaian, memutar pedang melindungi diri dan balas menyerang, namun ternyata mereka hanya dapat bertahan belasan jurus saja.
Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tahu-tahu secara berturut-turut pedang mereka telah terlibat tali dan dibetot terlepas dari tangan mereka! Sebelum mereka dapat melompat mundur, senjata bintang telah menghantam pinggang Phang Kong dan senjata bulan menghamtam pundak Phang Cu, membuat dua orang ketua Hai-liong-pang itu terjungkal dan merayap-rayap mundur dalam keadaan terluka, tidak membahayakan jiwa akan tetapi cukup parah.
Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau dan ungu dan dua sinar berkeredepan menyambar ke arah tubuh Kam Ceng Swi.
"Ayaaaa......... lihai sekali.........!” seru tokoh Kun-Iun ini dengan kaget. Baiknya ia dapat bergerak luar biasa cepatnya, memutar senjata Seng-goat-pian sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh benteng baja dan dua batang pedang yang menyerangnya tadi terpaksa ditarik mundur. Akan tetapi Kam Ceng Swi merasa sesuatu tak beres dan ketika ia memperhatikan, ternyata ujung lengan baju kirinya sudah terbabat putus. Keringat dingin membasahi jidatnya ketika ia berkata perlahan,
"Berbahaya sekali............" Dan ia berdiri tegak memandang ke arah dua orang wanita muda yang tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan pedang terhunus di tangan, sikap mereka keren.
"Orang-orang Kun-lun-pai dari Pek Mau Sianjin sampai kepada murid-muridnya, semua adalah manusia-manusia usil yang gatal tangan, suka mencampuri urusan orang lain! Kiranya murid Kun-lun yang bernama Seng-goat-pian. Kam Ceng Swi juga tidak terkecuali!" kata wanita baju hijau sambil tersenyum, akan tetapi matanya bersinar tajam menyambar ke arah kakek itu.
117
Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh kang-ouw yang sudah banyak pengalaman. Dari serangan satu gebrakan tadi saja tahulah ia bahwa biarpun dua orang wanita di depannya ini masih muda-muda, namun agaknya memiliki kepandaian ganas dan lihai yang tak boleh dipandang ringan sama sekali. Maka ia menjura dan berkata, juga dengan senyum.
"Tidak lohu (aku yang tua) sangkal, kata kata lihiap memang tepat. Orang Kun-lun-pai memang selalu mencampuri urusan orang, yaitu urusan yang tidak-adil. Memang murid-murid Kun-lun-pai belajar ilmu silat untuk membela yang lemah membasmi yang jahat, maka selalu mencampuri urusan orang lain. Bukankah demikian pula dengan semua murid partai persilatan seperti Siauw-lim-pai. Go-bi-pai, Hoa-san-pai; Kong-thong-pai dan yang lain-lain?" Dengan kata-kata ini Kam Ceng Swi hendak bertanya sebetulnya dua orang itu dari partai mana karena terus terang saja dalam segebrakan tadi ia tidak dapat mengenal gaya ilmu silat pedang mereka.
Akan tetapi si baju hijau menjawab sambil tersenyum mengejek, "Itu kan menurut pendapatmu. Kalau menurut pendapat kami, orang yang mencampuri urusan lain orang adalah orang-orang usilan yang patut dibasmi. Orang-orang Kun-lun. Siauw-lim. Go-bi dan lain-lain adalah manusia-manusia sombong yang menganggap diri sendiri paling gagah, paling baik dan paling bersih. Cih memuakkan perut!"
Kam Ceng Swi terkejut. Ucapan semacam ini hanya dapat dikeluarkan oleh orang-orang dari satu golongan saja, yaitu golongan sia-pai atau pemeluk Mo-kauw! Ia memang sudah mendengar berita selewat bahwa di antara pulau-pulau Couw-san-to terdapat pulau yang dijadikan sarang benggolan Mo-kauw.
"Hemm, agaknya ji-wi mewakili fihak Mo-kauw. Entah siapakah gerangan yang bertahta di Kepulauan Couw-san-to?”
"Kami adalah utusan dari Thai Khek Siansu, kau yang mengganggu tugas kami sudah seharusnya dihukum. Berlututlah!" kata wanita baju hijau.
Kam Ceng Swi berubah air mukanya. Tak dinyana sama sekali bahwa ia berhadapan dengan orang-orang utusan Thai Khek Sian, orang nomor satu dari fihak Mo-kauw, orang yang berilmu tinggi sekali, bahkan yang dikabarkan bukan manusia melainkan iblis sendiri yang turun ke dunia untuk memimpin para penjahat! Dia maklum bahwa meiawan mereka ini berbahaya sekali, dan kalau ia berlutut mungkin hukumannya ringan, sebaliknya melawan mereka berarti mati betapapun tinggi ilmunya! Akan tetapi, seorang pendekar gagah perkasa seperti Kam Ceng Swi, mana sudi berlutut minta ampun di depan penjahat? Dia bersedia mengalah dalam segala hal, bersedia sabar, akan tetapi berlutut minta ampun di depan utusan-utusan Thai Khek Sian? Tidak sudi!
"Sebelum Kam Ceng Swi mati, mana bisa kau menyuruh dia berlutut?" bentaknya dan senjata Seng-goat-pian di tangannya sudah diputar untuk melindungi dirinya.
"Kalau begitu kau harus mati!” bentak si baju hijau dan seperti sepasang sinar kilat dari angkasa, pedangnya dan pedang si baju ungu itu tahu-tahu sudah menyambar cepat sekali. Kam Ceng Swi menangkis dan terjadilah pertempuran hebat dan sengit di loteng rumah makan Tung-thian itu.
118
Seng-goat-pian Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh persilatan yang lihai. Selain ilmu silatnya yang ia warisi dari Kun-lun-pai di mana merupakan tokoh pertengahan, juga sebagai seorang pembesar militer Kerajaan Cin dahulu, ia memiliki pengalaman luas dalam soal persilatan. Inilah sebabnya maka ia dapat menciptrakan senjata aneh seperti Seng-goat-pian yang agaknya hanya satu- satunya di dunia kang-ouw. Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya, hanya sedikit di bawah tingkat ketua Kun-lun-pai sendiri. Pek Mau Sianjin, oleh karena Kam Ceng Swi mendapat pimpinan langsung dari seorang jago tua Kun-lun, susiok dari Pek Mau Sianjin yang bernama Liong Tosu.
Akan tetapi, kali ini menghadapi dua pedang di tangan dua orang wanita utusan dari Pek-go-to ia benar-benar menjadi sibuk sekali. Belum pernah ia melawan ilmu pedang yang begini anehnya, aneh cepat dan ganas sekali, ilmu silat yang sama sekali tidak mengandung keindahan dan agaknya penciptanya tidak memperdulikan segi keindahannya, melainkan khusus setiap gerakan untuk mematikan lawan! Kam Ceng Swi mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, piannya yang berujung bulan sabit dan bintang itu digerakkan cepat untuk melindungi tubuh dan untuk balas menyerang. Namun ia hanya dapat bertahan sampai limapuluh jurus saja. Piannya mulai menyempit gerakannya, gulungan sinar pian yang tadinya panjang menjadi pendek dan kecil, tanda bahwa ia mulai terkurung dan hanya mampu mempertahankan diri secara mati-matian saja.
"Seng-goat-pian Kam Ceng Swi, hayo lempar senjata dan berlutut minta ampun!" terdengar si baju ungu membentak sambil mendesak terus.
"Kam Ceng Swi seorang jantan tulen, mana sudi berlutut di depan siluman-siluman betina?" bentak jago Kun-lun itu sambil bertahan mati-matian.
Baiknya senjatanya terbuat dari pada bahan yang kuat, juga talinya ulet sekali sehingga tidak sampai rusak oleh desakan dua pedang itu. Akan tetapi ia benar-benar sudah payah dan mengerti bahwa sebentar lagi ia tentu akan roboh.
Dalam saat yang amat berbahaya bagi Kam Ceng Swi jago Kun-Iun yang gagah perkasa itu, tiba-tiba terdengar pujian halus.
"Seorang gagah seperti Seng-goat-pian Kam Ceng Swi pada waktu sekarang jarang terdapat, sungguh membikin orang kagum!"
Yang bicara ini ternyata adalah pemuda sasterawan tadi. Dia sudah berdiri dari bangkunya dan berjalan menghampiri tempat pertempuran. Di antara tiga orang ketua Hai-liong-pang, Phang Cu paling berat lukanya karena tulang pundaknya patah ketika terpukul oleh senjata bulan sabit dari Kam Ceng Swi. Oleh karena itu, ketika Phang Kong dan Phang Hui maju menghadang siucai itu, ia tidak dapat ikut. Phang Kong sudah membawa pedang bengkoknya yang tadi ia pungut dari atas lantai, dan Phang Hui memegang goloknya. Sikap dua orang ini mengancam, karena merekapun hendak menumpahkan sakit hati mereka kepada siucai ini sebagai kawan Kam Ceng Swi.
"Cacing buku kau mau apa?" bentak Phang Hui dan goloknya ditodongkan di depan dada siucai itu, sikapnya mengancam sekali.
119
Siucai itu tersenyum tenang, sama sekali tidak takut biarpun ujung golok yang runcing itu sudah menempel di depan dadanya. Juga kini Phang Kong sudah menempelkan pedang bengkoknya ke lehernya!
"Kalian ini tadi sudah keok oleh Kam-lo-enghiong, kok sekarang hendak menjual lagak Malu ah!"
Merah muka kedua orang ketua Hai-Iiong-pang itu. "Olehmu aku belum kalah!" bentak Phang Hui.
"Belek saja dadanya!" kata Phang Kong. Dia sendiri menggerakkan pedang dibacokkan ke leher sedangkan Phang Hui menusukkan goloknya ke dada. Agaknya siucai muda yang tampan dan halus gerak-geriknya itu akan mati konyol di situ. Demikian tentu pendapat semua orang kalau melihat adegan ini.
Akan tetapi benar-benar di luar dugaan karena tiba-tiba, entah mengapa, Phang Kong dan Phang Hui berhenti bergerak dan tubuh mereka kaku dalam sikap menyerang seperti tadi. seolah-olah mereka secara mendadak telah berubah menjadi batu.
"Dua orang perempuan tamu itu terlalu ganas, mengapa kalian tidak melarang?" kata lagi pemuda itu dan sekarang ia kelihatan menggerakkan kedua tangan ke arah Phang Kong dan Phang Hui. dan...... tubuh yang sudah kaku dari dua orang ketua Hai-liong-pang itu melayang ke tempat pertempuran! Dengan tepat sekali dua tubuh ketua itu menimpa dua orang wanita utusan Pek-go-to yang sedang mendesak Kam Ceng Swi dengan pedang mereka!
Tentu saja dua orang wanita itu kaget sekali melihat Phang Kong dan Phang Hui tiba-tiba datang menubruk mereka. Kalau saja mereka tidak melihat sikap yang aneh dari dua orang tuan rumah itu, tentu mereka akan menyambut dengan tusukan pedang. Akan tetapi melihat gerak-gerik yang kaku dan tidak sewajarnya dari Phang Kong dan Phang Hui, dua orang wanita muda itu cepat melompat ke samping dan terpaksa meninggalkan Kam Ceng Swi yang dapat melangkah mundur terlepas dari desakan hebat.
"Bruk! Bruk!" Tubuh Phang Kong dan Phang Hui jatuh terbanting ke atas lantai, akan tetapi tetap saja mereka tidak bergerak dan kedudukan tubuh masih seperti tadi, dalam sikap menyerang! Benar-benar aneh dan lucu keadaan dua orang itu, seperti boneka-boneka besar digeletakkan di atas lantai. Sekali pandang saja tahulah dua orang wanita itu bahwa Phang Kong dan Phang Hui telah kena ditotok orang dan mereka terkejut. Tidak mereka sangka bahwa siucai yang sekarang masih berdiri tersenyum-senyum itu ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian juga!
Sementara itu, Kam Ceng Swi yang biarpun sudah menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian akan tetapi tidak mengira sedemikian lihainya sehingga bisa menolongnya dari bahaya maut, tertawa terbahak-bahak lalu piannya membuat suara "tar-tar-tar" diikuti oleh suara nyanyiannya,
"Pendekar sejati tidak memperlihatkan kegagahannya,
ahli ilmu perang tidak menunjukkan kemarahannya,
yang pandai mengagahkan musuh tidak bertengkar dengannya,
yang pandai mengepalai orang merendahkan diri kepadanya.
Inilah yang disebut ;
Sakti yang tidak merebut
120
atau cara mempergunakan orang,
atau penyesuaian dengan Langit!
Nyanyian yang dinyanyikan oleh Kam Ceng Swi itu adalah sajak dari kitab To-tik-khing. dinyanyikan untuk memuji pemuda sasterawan itu. Kemudian ia menjura kepada pemuda itu dan berkata.
"Sejak tadi lohu sudah menduga bahwa kau tentu seorang pendekar muda yang pandai sastera dan silat (bun-bu-coan-jai). Ternyata kenyataan jauh melampaui dugaan."
Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat membalas penghormatan orang. "Kam-lo-enghiong (orang tua gagah she Kam) terlalu memuji. Kaulah seorang tua yang patut dijadikan teladan, gagah berani dan bersemangat. Aku yang muda benar-benar tunduk dan takluk."
Dua orang ini bicara seakan-akan di situ tidak ada lain orang. Tentu saja perempuan-perempuan muda dari Pek-go-to menjadi mendongkol, lebih-lebih kepada Phang Kong dan Phang Hui yang mereka anggap tolol dan mendatangkan malu saja. Dengan ujung sepatu mereka yang runcing dan kecil itu mereka menendang tubuh Phang Kong dan Phang Hui yang dalam sekejab mata saja dapait bergerak lagi dan merayap bangun sambil mengaduh-aduh. Melihat itu. pemuda sasterawan tadi diam-diam memuji. Dengan ujung sepatu dapat memulihkan totokan berarti telah memiliki ilmu tendang yang hebat sekali, berarti pula dengan tendangan ujung kaki dapat menotok jalan darah orang. Pantas saja Kam Ceng Swi tidak dapat menangkan mereka, karena orang-orang yang sudah memiliki kepandaian seperti itu beranti telah mencapai tingkat yang tinggi.
Setelah membebaskan Phang Kong dan Phang Hui. dua orang perempuan muda itu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Kembali mereka tersenyum- senyum manis dan mata mereka memandang penuh gairah, mesra dan genit. Harus mereka akui bahwa jarang mereka bertemu dengan seorang pemuda setampan ini, dengan kulit muka yang putih halus, alis hitam tebal mata bersinar-sinar, hidung mancung dan bibir merah berbentuk bagus dan gagah.
"Kiranya kongcu yang bersikap lemah seperti seorang siucai juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Sungguh mengagumkan sekali. Siauwmoi (adikmu yang muda) Cheng ln (Awan Hijau) dan ini ci-ciku Ang Hwa (Bunga Merah) mohon sedikit petunjuk dari kongcu yang ingin sekali kami ketahui namanya yang mulia." Kata-kata yang keluar dari bibir merah gadis baju hijau itu amat merdu dengan suara mengalun naik turun, mesra menarik. Adapun si baju ungu yang bernama Ang Hwa itu melirak-lirik dengan senyum-senyum simpul pula.
Pemuda itu menjadi merah mukanya. Biarpun ia belum mempunyai pengalaman sama sekali dengan wanita dan tidak tahu apa maksud dua orang gadis cantik itu tersenyum-senyum dan melirak-lirik, namun perasaannya memberitahukan bahwa ia menghadapi dua orang perempuan cabul dan genit, membuat ia merasa jengah dan malu-malu. Akan tetapi karena mendengar ucapan orang merendah, iapun menjawab dengan suara menyindir.
"Biarpun kelihatan lemah aku seorang laki-laki sejati, apa anehnya memiliki sedikit kepandaian untuk menjaga diri? Sebaliknya, ji-wi adalah nona-nona muda yang kelihatan amat lemah, tidak nyana memiliki ilmu silat yang demikian ganas!"
121
Ang Hwa tertawa sambil menutupi mulut dengan tangan kirinya, pedangnya dilintangkan di depan dada dengan sikap aksi sekali.
"Kongcu yang baik, dalam jaman seperti ini kalau kami wanita-wanita lemah tidak mengandalkan pedang dan kecepatan, bukankah kita ini hanya akan menjadi permainan pria seperti kembang-kembang yang tiada berduri dan tidak ada yang membela?" Ucapan ini disertai kerling mata yang amat menarik dan penuh arti. Akan tetapi mana pemuda itu mengerti?”Kongcu telah mengetahui nama kami, akan tetapi pertanyaan adikku Cheng In tadi belum kongcu jawab. Siapakah nama besar kongcu dan dari partai mana?”
Pemuda itu tersenyum dan kembali hati dua orang perempuan itu dak-dik-duk tidak karuan. "Orang seperti aku ini mana mempunyai nama besar? Diberi tahu juga tidak akan kenal. Akan tetapi agar jangan disangka orang aku menyembunyikan nama dan takut dikenal orang, biarlah ji-wi ketahui bahwa aku she Thio bernama Wi Liong. Dari partai mana aku sendiripun tidak tahu karena sepanjang pengetahuanku, aku tidak masuk partai mana-mana dan hanya mempelajari sedikit ilmu penjaga diri. "
Mendengar pemuda itu menyebut namanya Seng-goat-pian Kam Ceng Swi mendengarkan penuh perhatian. Ia merasa pernah mendengar nama Thio Wi Liong ini akan tetapi sudah lupa lagi entah kapan dan di mana. Tentu pembaca masih ingat akan nama ini. Tak salah, pemuda ini adalah bocah yang dahulu dibawa oleh pamannya, Kwee Sun Tek, ke puncak Kun-lun-san untuk mencari tokoh Siauw-lim yang berada di puncak. Pemuda ini adalah putera tunggal Thio Houw dan Kwee Goat yang telah tewas oleh guru mereka sendiri, Beng Kun Cinjin dan anak buahnya, yaitu para pengawal istana Jengis Khan!
Seperti telah dituturkan di bagian depan, ketika Thio Wi Liong dibawa naik ke puncak Kun-lun-san oleh pamannya yang telah buta oleh Beng Kun Cinjin. terjadi keributan di puncak itu dengan munculnya dua orang tokoh Mo-kauw yang lihai, yaitu Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. Dua orang manusia iblis ini telah menculik Wi Liong dan seorang bocah lain. yaitu Kam Kun Hong anak pungut Kam Ceng Swi. Akan tetapi di tengah jalan, Wi Liong dirampas dari tangan dua orang iblis itu oleh Thian Te Cu Si Mayat Hidup, tokoh aneh yang jarang sekali muncul di dunia ramai dan tidak mau tahu tentang urusan dunia.
Sebagai seorang tukang ramal atau ahli bintang. Thian Te Cu maklum bahwa Thio Wi Liong adalah seorang bocah yang selain berbakat baik sekali, juga jodoh dengan dia, seorang bocah yang patut mewarisi kepandaian tinggi karena memiliki watak yang boleh dipercaya dan mempunyai pembawaan seorang ksatria dan pendekar budiman. Karena itu Thian Te Cu membawa Wi Liong ke Wuyi-san di mana ia bertapa dan menggembleng bocah itu, mewariskan semua kepandaiannya ilmu silat yang tinggi dan jarang tandingannya di dunia kang-ouw.
Wi Liong adalah seorang anak yang amat berbakti. Biarpun ia merasa aman dan senang berada di puncak Gunung Wuyi-san, akan tetapi hatinya selalu gelisah dan berduka kalau ia mengingat keadaan pamannya yang buta. Bagaimana dengan keadaan pamannya itu? Siapa yang akan menuntunnya kalau berjalan dan siapa yang akan mencarikan sesuap nasi?
Thian Te Cu berpemandangan awas. Tanpa bertanya ia sudah dapat membaca isi hati muridnya. Pada suatu hari ia memesan agar muridnya itu berlatih baik-baik dan tinggal seorang diri di puncak karena
122
ia mau turun gunung untuk beberapa bulan lamanya. Dan dapat dibayangkan betapa girang hali bocah itu ketika gurunya pulang bersama dengan pamannya, Kwee Sun Tek yang buta! Paman dan keponakan saling peluk dengan air mata mengalir turun saking bahagia dan girang. Mulai saat itu, Kwee Sun Tek juga tinggal di Wuyi-san, malah ia menerima pelajaran ilmu batin yang tinggi, juga ilmu silatnya bertambah maju dengan cepat sekali di bawah petunjuk Thian Te Cu.
Sepuluh tahun lewat dengan amat cepatnya dan selama itu, belum pernah seharipun Wi Liong dan pamannya meninggalkan puncak Wu-yi-san, Mereka nampaknya hidup dengan amat.tenteram, aman damai tidak membutuhkan apa-apa. Akan tetapi di dalam hati Kwee Sun Tek yang matanya buta itu selalu menyala api dendam yang tak kunjung padam, bahkan ada kalanya berkobar-kobar membuat ia seperti gila menahan kemarahannya. Hanya berkat ilmu batin yang banyak ia pelajari, maka ia dapat menahan dan selama itu menyimpan rahasia hatinya.
Wi Liong yang pernah bertanya tentang ayah bundanya, dijawab singkat bahwa ayah bundanya sudah meninggal dan kelak kalau sudah tiba masanya ia akan menceritakan dengan jelas tentang ayah bundanya itu. Pedang Cheng-hoa-kiam tak pernah disentuhnya, juga ia melarang keponakannya itu menjamahnya. Ia menaruh pedang itu di dalam sebuah peti dan menyimpan peti itu di sebuah ruangan kosong di rumah kediaman Thian Te Cu di puncak gunung. Rumah besar terbuat dari pada batu besar yang ditumpuk-tumpuk, sederhana namun kuat sekali.
Setelah Thian Te Cu menyatakan bahwa pelajaran Wi Liong dalam ilmu silat dan ilmu surat sudah tamat dan kakek ini tak mau diganggu lagi karena hendak bertapa sampai datang saat penghabisan dalam hidupnya. Kwee Sun Tek lalu memanggil Wi Liong dan berkata,
"Wi Liong, saatnya sudah hampir tiba bagimu untuk mengetahui semua rahasia yang selama ini terkandung dalam hatiku. Kau hanya tahu bahwa aku ini pamanmu, adik ibumu, akan tetapi kau sendiri belum pernah melihat wajah ayah bundamu. Kasihan kau......!" Teringat akan kakak dan iparnya, Kwee Sun Tek menjadi terharu sekali, memeluk pundak keponakannya dan matanya yang selalu terbuka akan tetapi tidak melihat apa-apa itu menjadi basah.
Wi Liong lebih tenang dan ia menahan hasratnya hendak banyak bertanya. Karena semenjak kecil iapun banyak menerima pelajaran ilmu surat, bahkan Thian Te Cu menyuruh ia membaca kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup, maka pengetahuannya tentang kebatinan tidak kalah oleh pamannya. Malah dalam hal menguasai perasaan dan pikiran ia jauh lebih kuat.
"Gurumu sudah mengundurkan diri dan mulai sekarang kau boleh pergi ke mana saja." kata pula Kwee Sun Tek. "Sekarang kau turunlah dari puncak ini dan pergilah ke utara ke kota raja. Di sana kau selidiki apakah orang tua yang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui masih menjadi koksu, ataukah sudah pindah kalau pindah ke mana. Aku ingin sekali tahu apakah dia masih hidup dan di mana sekarang ia berada. Kalau kau sudah mendapat tempat tinggalnya, kau kembalilah ke sini lagi dan nanti bersama aku turun gunung. Pada saat itulah aku akan membuka rahasiamu anak baik!"
Wi Liong mengerutkan alisnya. Mengapa pamannya ini demikian pelit dengan rahasia orang tuanya? Dia tidak berani mendesak, dan diam saja. Agaknya Kwee Sun Tek merasa juga akan perasaan hati pemuda itu maka katanya, "Kau bersabarlah, Wi Liong. Percayalah bahwa apa yang kulakukan adalah demi kebaikanmu sendiri. Hanya kau boleh mengetahui bahwa Beng Kun Cinjin itu adalah guruku sendiri. Nah, kau berangkatlah."
123
Wi Liong terkejut dan makin terheran-heran. Akan tetapi ia memang kuat menyimpan dan menekan perasaan hatinya, maka ia lalu berkemas dan berangkat. Ia hanya merasa kecewa tidak dapat berpamit dari gurunya, karena Thian Te Cu sudah memesan tidak mau diganggu kecuali kalau dia sendiri keluar dari kamar pertapaannya.
Demikianlah, pada hari itu Wi Liong sudah sampai di Ningpo dan kebetulan sekali dalam sebuah rumah makan bertemu dengan Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang gagah perkasa dan menarik perhatiannya. Sikap Kam Ceng Swi yang amat gagah, kata-katanya yang mengandung arti, sepak-terjangnya ketika menghadapi orang-orang Hai-Iiong-pang yang galak dan sewenang-wenang, benar-benar amat menarik hati Wi Liong dan mendatangkan rasa kagum dalam hatinya. Ingin benar ia berkenalan dengan orang tua gagah perkasa ini, ingin benar ia belajar dari orang yang gerak-geriknya malah jauh lebih masak dari pada pamannya ini.
Di samping itu, iapun agak khawatir akan keselamatannya ketika kakek ini diundang naik ke loteng, karena pandangan mata yang amat tajam dari Wi Liong telah melihat bahwa orang-orang yang berada di loteng itu tak boleh dipandang ringan. Makin besar rasa kagum dan suka hatinya ketika ia melihat kakek itu menghadapi tiga orang ketua Hai-Iiong-pang. Ia sengaja bersikap bodoh, sampai akhirnya ia melihat Kam Ceng Swi terancam hebat oleh desakan dua orang wanita Pek-go-to. baru ia turun tangan menolong.
Kita kembali kepada keadaan di atas loteng rumah makan Tung-thian di kota Ningpo. Wi Liong dengan sikap tenang sekali menghadapi dua orang wanita muda. Cheng In dan Ang Hwa yang amat lihai itu, hendak melihat apa yang selanjutnya akan terjadi. Dia tadi sudah mendengar pengakuan dua orang gadis itu bahwa mereka adalah utusan Thai Khek Sian akan tetapi ia tidak gentar mendengar nama ini karena memang selama hidupnya ia belum pernah mendengarnya dan tidak tahu orang macam apa adanya Thai Khek Sian!
Di lain fihak, dua orang perempuan itu yang sebetulnya selain utusan, juga setengah murid dan setengah kekasih Thai Khek Sian gembong Mo-kauw itu. adalah wanita-wanita yang berhati kotor dan cabul. Melihat Wi Liong yang tampan, mana hati mereka tidak tergerak? Sukar bagi mereka untuk marah terhadap seorang pemuda sehebat Wi Liong, biarpun terhadap orang lain mereka ini biasa bertindak seperti iblis-iblis betina dari neraka yang tidak mengenal kasihan.
"Kalian lihatlah," kata Cheng In kepada tiga orang pangcu dari Hai-liong-pang. "pemuda seperti inilah yang tepat untuk mengangkat diri menjadi pangcu. bukan orang-orang tiada guna seperti kalian. Orang macam Seng-goat-pian Kam Ceng Swi juga berani main gila di depan kita? Hemm, kalau tidak sungkan terhadap Thio-kong-cu yang gagah, tentu nyawanya telah putus. Thio-kongcu yang baik, melihat mukamu biarlah kami bikin habis urusan dengan Seng-goat-pian asal kongcu sudi memenuhi undangan kami untuk berkunjung ke pulau kami."
Kata-kata ini disambut suara ketawa Kam Ceng Swi yang segera membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tar" disambung nyanyiannya dengan suara lantang.
"Menyukai yang indah membenci yang buruk
inilah sifat manusia dewasa.
Melihat keburukan dalam keindahan
124
dan keindahan dalam keburukan
inilah keunggulan kaum bijaksana!
Buah yang kulitnya halus menimbulkan selera
belum tentu dalamnya manis tak berulat
Karena ini ;
Kaum budiman tidak buta oleh sinar keindahan!"
Mendengar nyanyian ini, merah wajah dua orang wanita itu, juga Wi Liong berkata tertawa.
"Kam-lo-enghiong, jangan khawatir." Kemudian ia menghadapi dua orang gadis itu, menjura dan berkata, "Terima kasih atas undangan ji-wi. akan tetapi maafkan siauwte tidak dapat memenuhi undangan itu karena siauwte sedang dalam perjalanan jauh. Adapun tentang urusan Kam-lo-enghiong, sesungguhnya memang tidak ada sesuatu antara kita yang harus direntang panjang. Terima kasih kalau ji-wi suka menghabiskan keributan ini."
"Dengan Mo-kauw tidak ada urusan, akan tetapi dengan Hai-liong-pang masih banyak urusan. Kalau Hai-Iiong-pang tidak menghentikan praktek- prakteknya memeras para nelayan, mencekik leher mereka dan mempergunakan tenaga nelayan untuk membikin kaya diri sendiri, aku orang she Kam takkan berhenti dan takkan gentar untuk menentangnya!"
Sementara itu, dua orang wanita itu tadi berlaku sabar dan bersikap lemah mengalah terhadap Wi Liong hanya karena mereka sayang akan ketampanan wajah dan kehalusan sikap pemuda sasterawan ini yang sengaja hendak mereka pikat. Sama sekali mereka bukan bersikap lemah karena.takut. Sekarang melihat bahwa pemuda itu tidak bersedia memenuhi undangan mereka, berubahlah sikap mereka.
"Orang she Thio, kami tidak biasa menerima penolakan atas undangan kami. Satu kali kami mengundang, biar kaisar sekalipun akan datang! Kaupun. setelah menerima undangan kami. bagaimanapun juga harus datang!” kata Ang Hwa dengan mata bersinar galak.
"Kalau aku tidak mau?” kata Wi Liong tersenyum tabah.
"Kami akan memaksamu!" jawab Ang Hwa.
"Kalau aku melawan?” tanya pula Wi Liong.
"Hwa-moi, cubit saja bibirnya yang banyak membantah itu. Gemas aku!" seru Cheng In sambil menggigit bibir dengan gemas, lalu jari-jari tangannya yang halus dan kecil itu menyambar ke depan betul-betul hendak mencubit bibir Wi Liong!
"Aauuuu!"
"Anak nakal, kau perlu dihajar!"
Yang menjerit kesakitan bukan Wi Liong, melainkan Cheng In. Sebaliknya yang menegur adalah Wi Liong. Ketika tadi tangan Cheng in menyambar dan sudah dekat sekali dengan bibirnya. Wi Liong menggerakkan tangan kanan menangkis akan tetapi bukan tangkisan biasa melainkan tangannya
125
terus menyelonong maju dan jari tangan kanannya menyentil daun telinga kiri Cheng In, membuat gadis itu menjerit kesakitan karena daun telinganya terasa panas dan pedas.
Mengapa Wi Liong menyentil daun telinga dan tidak menyerang? Ini adalah karena pemuda yang belum banyak pengalaman ini merasa tidak enak hati kalau harus menyerang seorang wanita. Ia hanya menganggap Cheng In seorang anak nakal maka iapun memberi hajaran seperti orang menghajar bocah, dengan menyentil daun telinganya!
"Eh. kau berani kurang ajar?" Ang Hwa berseru marah dan melompat maju menotok ke arah tiga bagian jalan darah di tubuh Wi Liong untuk membikin pemuda itu tak berdaya. Hebat sekali serangan ini dan sebuah tangan dapat dengan berturut-turut cepat sekali menotok tiga jalan darah, ini merupakan kepandaian luar biasa dan Kam Ceng Swi sendiri kiranya tidak akan mampu melakukannya. Oleh karena melihat hebatnya serangan ini, tak terasa lagi ia berseru kaget. Biarpun serangan itu tidak ditujukan pada bagian yang mematikan, namun sekali pemuda itu tertawan, siapa yang akan sanggup menolongnya?
"Ayaaa......! Kau lebih nakal lagi......!"
Wi Liong memutar tubuhnya dan menggerakkan kedua tangannya.
Kam Ceng Swi memandang dengan mulut celangap. Hampir ia tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Begitu mustahil nampaknya. Gerakan Wi Liong sukar diikuti oleh pandangan mata saking cepatnya, akan tetapi hasil gerakannya itu benar-benar mengherankan karena tahu-tahu Ang Hwa yang tadi melakukan serangan totokan secara dahsyat, kini telah berdiri kaku karena totokan! Yang menotok tertotok, apa ini tidak aneh? Seperti tadi para ketua Hai-liong-pang. Ang Hwa berdiri dalam keadaan menyerang, jari tangannya dibuka siap untuk melakukan ilmu pukulan Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah), kedua kakinya memasang kuda-kuda, lutut sedang ditekuk sedikit maka kedudukan tubuhnya seperti orang naik kuda dengan tubuh belakang menonjol ke belakang, lucu sekali!
Tidak hanya Kam Ceng Swi dan Ang Hwa sendiri yang kaget, juga Cheng In terkejut bukan main melihat adiknya dikalahkan orang secara demikian mudahnya. Ia tahu bahwa dalam hal ilmu menotok, kepandaian Ang Hwa malah lebih tinggi dari pada kepandaiannya. Bagaimana mungkin dalam keadaan menyerang hebat gadis itu malah tertotok seakan-akan totokannya tadi mengenai tubuh sendiri? Ia cepat melompat dan membebaskan totokan di tubuh Ang Hwa dengan beberapa tepukan dan pijatan. Setelah Ang Hwa dapat bergerak lagi Cheng In mencabut pedangnya dan menudingkan senjata itu ke arah Wi Liong sambil membentak.
"Bocah setan tak tahu diuntung! Tak tahu orang mengalah malah berani menghina! Rasakan pedangku!"
Juga Ang Hwa sudah mencabut pedangnya dan menyerang sambil berseru.
"Orang tak berbudi, tak mau terima kasih sayang, sudah bosan hidup rupanya!"
Dua orang wanita lihai itu menggerakkan pedang dari dua jurusan dan dalam sekejap mata saja dua gulung sinar yang berkilauan menyambar-nyambar dan mengurung tubuh Wi Liong, memotong dan
126
menutupi semua jalan keluar! Kam Ceng Swi memandang penuh kekhawatiran. Jago tua ini maklum akan kelihaian dua orang gadis yang ilmu pedangnya benar-benar tak boleh dipandang ringan itu.
Wi Liong bukanlah pemuda sembarangan. Dia ahli waris tunggal dari ilmu kepandaian Thian Te Cu. seorang aneh yang memiliki kesaktian tinggi. Di waktu masih terkenal dengan julukan Mayat Hidup dahulu, ketika ia masih suka berkelana dan menggegerkan dunia persilatan, dengan sebatang suling bambu saja Thian Te Cu sudah mengalahkan entah berapa banyaknya jago-jago pedang yang terkenal tinggi ilmu pedangnya. Ketika ia datang mengaduk-aduk dunianya kaum Mo-kauw, jago-jago sakti dari Mo-kauw geger dan baru ia bertemu lawan ketika benggolan Mo-kauw Thai Khek Sian muncul. Tiga hari tiga malam Thian Te Cu bertempur melawan Thai Khek Sian, hanya mengaso untuk memulihkan napas saja, lupa makan lupa tidur, dan akhirnya Thai Khek Sian terpaksa masih harus mengakui keunggulan lawan dalam mengadu kesaktian hawa murni dalam tubuh. Ini adalah karena kalau Thian Te Cu selalu hidup dalam keadaan bersih batinnya, sebaliknya Thai Khek Sian mengumbar kesenangan.
Sekarang Wi Liong berhadapan dengan dua orang gadis yang boleh dibilang murid juga dari Thai Khek Sian! Wi Liong tidak pernah tahu bahwa gurunya dahulu pernah bertanding mati-matian dan hebat selama tiga hari tiga malam melawan Thai Khek Sian kalau dia tahu, tentu ia lebih bersemangat lagi menghadapi dua orang utusan yang ia tadi mendengar adalah utusan seorang tokoh bernama Thai Khek Sian yang tidak dikenalnya.
Begitu dua pedang gadis itu berkelebat, sebagai seorang ahli silat yang sudah masak ilmunya, Wi Liong segera dapat mengetahui bahwa dua orang lawannya memang betul-betul pandai dan dahsyat ilmu pedangnya. Pantas saja jago tua dari Kun-lun-pai tadi terdesak hebat. Sekarang ia tidak boleh memandang rendah karena biarpun tadi dalam keadaan bertangan kosong, dua orang gadis itu boleh ia permainkan, sekarang ia harus berlaku hati-hati. Pedang mereka memiliki gerakan cepat sekali terbukti dari sinar pedang yang berkelebat dan bergulung panjang. Juga tenaga lweekang mereka dalam mempergunakan pedang sudah tinggi sehingga ujung pedang mereka tergetar menjadi tujuh!
"Bocah perempuan bermain senjata tajam, sungguh berbahaya!” Wi Liong berkata dan ketika tangan kirinya bergerak, ia telah mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya. Suling ini adalah hadiah dari suhunya, sebuah suling yang panjangnya seperti pedang pendek, terbuat dari pada logam yang amat kuat melebihi baja. Suling ini selain indah sekali bunyinya kalau ditiup. juga baik sekali dipakai sebagai senjata. Karena suhunya seorang yang ahli dalam mainkan suling sebagai senjata pedang, tentu saja Wi Liong juga menuruni kepandaian hebat ini.
Biarpun hatinya mendongkol dan marah. Cheng In dan Ang Hwa masih tidak tega untuk melukai atau membunuh pemuda tampan ini. Tadinya mereka berniat untuk menawan saja dan dibawa ke Pulau Pek-go-to. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika suling di tangan pemuda itu bergerak perlahan, sekaligus sudah dapat menangkis pedang mereka yang terpental oleh getaran suling! Mereka hampir tidak percaya dan mendesak lagi. Sama saja pedang mereka selalu terpental setelah terbentur oleh suling, malah kini mereka merasa betapa telapak tangan mereka gatal-gatal dan dingin, tanda bahwa getaran pada suling itu amat halus dan kuat!
Baru terbuka mata dua orang wanita Pek-go-to itu bahwa mereka sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda sakti, pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada Seng-goat-pian Kam Ceng Swi. malah masih lebih tinggi dari pada kepandaian mereka sendiri
127
digabung menjadi satu. Dari kaget mereka menjadi jerih. Akan tetapi nasi sudah menjadi bubur. Mereka sudah menyerang dan mencari permusuhan. Terpaksa keduanya lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan mencoba untuk membobolkan pertahanan suling di tangan Wi Liong yang sinarnya bergulung bulat dan mengeluarkan bunyi halus lembut.
Ang Hwa yang sudah hilang lagi rasa cintanya karena penasaran tak mampu mengalahkan lawannya, cepat mengeluarkan senjata rahasia Kim-ji-piauw dan tanpa peringatan melepas senjata rahasia itu ke arah tubuh Wi Liong, tujuh buah banyaknya!
Wi Liong tetap saja melayani pedang, sama sekali tidak memperdulikan datangnya senjata rahasia itu. Hebatnya, ketika senjata rahasia yang berupa mata uang tembaga disepuh emas ini mengenai tubuhnya, benda-benda kecil ini terpental kembali seperti mengenai karet saja, beterbangan ke kanan kiri.
"Aduh… berbahaya! Aduh lihai........!" seru Kam Ceng Swi berulang-ulang, ia menyebut berbahaya melihat serangan menggelap itu dan menyebut lihai melihat cara Wi Liong menerima serangan. Akan tetapi ia cepat-cepat membuang diri untuk mengelak dari sambaran beberapa buah mata uang yang tadinya terpental dan terbang ke arahnya. Ia maklum bahwa tenaga sambaran mata uang ini masih kuat sekali dan setidaknya kulitnya akan lecet kalau terkena! Dengan gembira sekali Kam Ceng Swi menonton pertempuran itu dan tiba-tiba jago tua ini tak dapat menahan tangisnya! Ia teringat akan putera pungutnya Kam Kun Hong, dan sekaligus begitu teringat akan Kun Hong. iapun ingat siapa adanya bocah lihai bernama Thio Wi Liong ini! Inilah bocah yang dulu dibawa datang oleh Kwee Sun Tek yang buta dan bocah inilah yang bersama Kun Hong telah diculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li! Dengan mata terbelalak dan basah air mata. Kam Ceng Swi memandang kepada Wi Liong.
"Jadi kaukah ini? Begini lihai? Dan di mana adanya Kun Hong?" katanya yang ditujukan kepada Wi Liong, akan tetapi perlahan saja seperti bicara kepada diri sendiri.
Sementara itu. pertempuran telah terjadi makin seru. Kini Wi Liong mulai menyerang, marah karena dua orang lawannya menggunakan senjata rahasia tanpa memberi tanda, dan hal ini dalam dunia persilatan dianggap perbuatan yang amat curang.
"Cukup, kembalilah ke tempat asalmu!" bentak Wi Liong dan dengan gerakan memutar sehingga sinar sulingnya melibat dua sinar pedang, ia mengerahkan tenaga membuang ke samping. Tak dapat ditahan lagi, dua orang nona itu mengeluarkan seruan tertahan dan pedang mereka terlepas dari pegangan meluncur ke kiri dan menancap setengahnya di atas tanah, gagangnya bergoyang-goyang. Pada saat itu. menyusul sinar berkilauan di depan mata Cheng In dan Ang Hwa yang menjerit kaget, akan tetapi suling itu yang tadi berkelebat di depan mata telah ditarik kembali dan pemuda itu sudah berdiri di depan mereka tersenyum- senyum. Sulingnya sudah diselipkan di ikat pinggangnya.
Cheng In dan Ang Hwa mengeluarkan keringat dingin, bersyukur bahwa pemuda ganteng itu akhirnya tidak mencelakakan mereka yang mutlak sudah kalah itu. Dengan muka kemerahan mereka membungkuk mengambil pedang masing- masing, mengerahkan tenaga untuk mencabut pedang. Setelah hal ini terlaksana, mereka saling pandang dan menjadi pucat.
"Celaka..... Ceng In cici...... pipimu......!" jerit Ang Hwa.
128
"Ang Hwa siauwmoi............ pipimu sendiri kenapa.........?” kata Cheng In.
Keduanya mengangkat tangan dengan otomatis sambil melepaskan pedang, kedua telapak tangan mengusap-usap pipi yang halus putih itu. Kini, entah dari mana datangnya, pada kulit pipi yang halus itu terdapat "cap" bundar merah seperti bulan purnama di kanan kiri merupakan "tembong" yang cukup besar urttuk membuat muka mereka menjadi seperti muka badut! Mereka saling pandang penuh perhatian karena maklum bahwa mereka mengalami nasib yang sama. bahwa melihat tanda merah di pipi kawan sama dengan melihat tanda di pipi sendin. Melihat bentuk bulat dan ukuran besarnya, keduanya mengerti dan dengan marah mereka memandang ke arah Wi Liong.
"Kau...... kau telah menghina kami......!" teriak Ang Hwa dengan isak tangis mengancam suaranya.
"Tak bisa lain, tanda merah di pipi kami ini tentu dibuat oleh sulingmu yang terkutuk!" bentak Cheng In marah.
Wi Liong tersenyum. "Nona-nona yang baik. Tadi pedangmu mengancam nyawaku yang hanya satu, sedangkan sulingku hanya menyentuh sedikit pipi kalian, mengapa marah-marah? Aku hanya memberi peringatan agar lain kali kalian tidak begitu ganas dan kejam, mudah saja hendak membunuh orang."
Cheng In dan Ang Hwa maklum bahwa tiada gunanya melawan, mereka toh akan kalah. Dengan marah sekali mereka mengambil pedang masing-masing dan tanpa pamit mereka melompat turun dari loteng rumah makan, tidak melalui anak tangga lagi, langsung melompat keluar terus lari pergi! Tiga orang ketua Hai-liong-pang yang melihat dengan mata kepala sendiri betapa hebatnya pemuda iitu di samping Seng-goat-pian yang sudah membikin keok mereka, kini berdiri di sudut dengan kepala tunduk, mati kutu sama sekali.
"Orang she Thio, kau tunggu saja. Siansu akan datang membalaskan sakit hati kami!" dari jauh terdengar Cheng In berseru dengan pengerahan tenaga khikang.
"Orang muda, mari. kita pergi dari sini '" tiba-tiba Kam Ceng Swi berkata sambil memegang tangan orang dan ditarik pergi menuruni anak tangga. Di kepala tangga ia menoleh dan berkata kepada tiga orang ketua Hai-liong-pang,
"Harap saja kejadian hari ini akan membuat kalian berlaku lebih adil dan pantas terhadap kaum nelayan yang miskin!" Tanpa menanti jawaban ia lalu menarik tangan Wi Liong dan dibawa lari menjauhi tempat itu.
"Lo-enghiong. hendak mengajak aku ke manakah?" tanya Wi Liong terheran-heran sambil tersenyum. Kalau ia mau, tentu saja dengan mudah ia dapat menarik lepas tangannya yang dipegang, akan tetapi percaya bahwa kakek ini tidak berniat jahat, ia menurut saja dan ikut berlari-lari.
"Ikut saja, nanti kuberi tahu!" jawab Kam Ceng Swi mempercepat larinya. Setelah berlari jauh meninggalkan kota Ningpo dan memasuki sebuah hutan di sebelah barat kota itu, baru Kam Ceng Swi berhenti, memandang ke belakang dan menarik napas panjang penuh kelegaan hati.
"Orang muda, kau bernama Thio Wi Liong, bukankah kau ini anak keponakan Kwee Sun Tek!"
129
"Kam-lo-enghiong bagaimana bisa tahu? Memang betul aku keponakannya."
"Aku adalah seorang Kun-lun-pai. bagaimana tidak tahu? Aku berada di sana ketika kau diantar oleh pamanmu ke puncak Kun-lun untuk mencari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai."
"Ah, kalau begitu aku berlaku kurang hormat." kata Wi Liong sambil menjura.
"Tak usah menggunakan banyak upacara, orang muda. Aku girang sekali bertemu dengan kau, girang dan kagum melihat bahwa kau telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Akan tetapi aku mengharap keteranganmu. orang muda. Kau tentu masih ingat bahwa ketika kau terculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. ada seorang bocah lain yang terculik bersamamu."
"Kun Hong.....?” tanya Wi Liong yang tentu saja ingat kepada bocah nakal itu.
"Ya......... ya. dia Kam Kun Hong........ anakku........."
Wi Liong terkejut dan memandang kepada kakek itu. Tak dinyana sama sekali bahwa bocah nakal itu adalah putera kakek yang simpatik ini. Sinar kasihan berpancar keluar dari pandang matanya dan ini agaknya terasa oleh Kam Ceng Swi yang menjadi pucat ketika bertanya.
"Apa yang telah terjadi dengan Kun Hong. anakku? Thio-siauwhiap. lekas katakan, apa yang tejah terjadi dengan dia?"
"Menyesal sekali aku tidak dapat menjawab pertanyaan ini. lo-enghiong. karena aku sendiri juga tidak tahu di mana adanya puteramu itu. " Secara jelas Wi Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dulu bersama Kun Hong ia diculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li sampai kemudian ia ditolong oleh Thian Te Cu.
"Sayang Kun Hong tidak mau ikut suhu dan lebih suka menjadi murid dua orang itu, tentu sekarang diapun masih ikut Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li yang menjadi gurunya." Wi Liong menutup penuturannya.
Kam Ceng Swi menarik napas panjang, diam-diam ia merasa menyesal sekali mengapa Kun Hong tidak mau ditolong oleh Thian Te Cu seperti Wi Liong yang ternyata sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.
"Di mana anak itu? Sudah sepuluh tahun berpisah, apa ia tidak ingat padaku?” orang tua itu berkata seorang diri. Wi Liong memandang heran. Masa ada anak tidak ingat kepada ayahnya? Akan tetapi Kam Ceng Swi berpikir lain. Ia teringat akan waktu dahulu ketika ia mengangkat seorang bayi yang menangis di samping jenazah ibunya. Teringat betapa dengan susah payah ia memelihara bocah itu sampai besar, bocah yang ia cinta seperti kepada anak sendiri. Kemudian anak itu menghilang, diculik manusia-manusia iblis! Kam Ceng Swi terkejut dan sadar dari lamunannya ketika Wi Liong menegurnya, "Lo-enghiong, kau membawa aku ke sini apakah hanya untuk bertanya tentang Kun Hong?”
"Betul...... hanya untuk itu......."
130
"Akan tetapi tadi lo-enghiong kelihatan seperti orang ketakutan dan agaknya ingin cepat-cepat membawa aku keluar dari kota Ningpo, Sebetulnya apakah yang menggelisahkan hati lo-enghiong?”
"Kau bermata awas dan berotak cerdik, kuharap saja Kun Hong juga seperti kau ini......" kakek itu mengangguk-angguk, "ya benar....... dia dulu juga cerdik dan pintar dan sebaya dengan kau........."
"Aku lebih tua satu dua tahun." kata Wi Liong teringat kepada bocah cilik yang nakal sekali dan dahulu begitu bertemu telah menantangnya dan mengajaknya berkelahi!”Akan tetapi, siapakah yang lo-enghiong takuti tadi?"
"Thai Khek Sian," jawab Kam Ceng Swi dengan suara sungguh-sungguh, ”aku tadi takut dia datang."
"Penghuni Pek-go-to?”
Kakek itu mengangguk. "Dia orang nomor satu, atau setidaknya seorang di antara tokoh-tokoh terbesar di dunia Mo-kauw. Kepandaiannva tinggi bukan main dan kekejamannya sudah terkenal di kolong langit. Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan tokoh besar itu."
"Aku tidak takut!" kata Wi Liong yang merasa tidak senang setelah mengetahui bahwa dia tadi diajak lari-lari karena takut terhadap Thai Khek Sian. Masa dia harus berlari-lari. melarikan diri ketakutan?
"Akan tetapi aku takut, orang muda. aku khawatir kalau-kalau kau akan mengalami bencana kalau Thai Khek Sian muncul. Oleh karena itulah aku mengajakmu melarikan diri."
Wi Liong berperasaan halus. Ia menjadi terharu mendengar kata-kata ini. Tadi di atas loteng rumah makan ia telah menyaksikan sendiri keberanian dan kegagahan tokoh Kun-lun-pai itu, menyaksikan betapa untuk menjaga nama dan kehormaitan, kakek itu tidak takut menghadapi maut di tangan dua orang wanita utusan Pek-go-to yang lihai. Akan tetapi sekarang, karena takut kalau dia sampai terkena celaka, kakek itu mengajaknya lari. Ini merupakan tanda bahwa kakek itu sayang kepadanya! Mungkin sayang ini timbul karena kakek yang hidupnya kesunyian ini terlalu rindu kepada puteranya sehingga merasa sayang terhadap setiap orang muda. Buktinya kakek itupun di rumah makan telah beramah-tamah dan bergembira dengan serombongan anak muda yang tidak dikenal sama sekali.
"Harap lo-enghiong jangan mengkhawatirkan aku. Kiranya Thai Khek Sian takkan begitu mudah mencelakakan aku, siapapuh juga dan orang macam apa dia itu!" Setelah berkata demikian. Wi Liong lalu memutar tubuh dan berlari cepat hendak kembali ke kota Ningpo.
"Wi Liong, tunggu........!' Kam Ceng Swi berseru sambil lari mengejar. Kakek ini sudah tahu betul siapa adanya Thai Khek Sian dan orang macam apa tokoh iblis ini. Ia amat sayang melihat Wi Liong yang tentu akan celaka apabila bertemu dengan Thai Khek Sian.
"Kalau lo-enghiong takut kepada Thai Khek Sian, jangan kembali, biar aku sendiri yang melihat orang macam apakah itu!" jawab Wi Liong. Tahu bahwa orang muda yang behati keras dan tabah ini tak mungkin mau menurut bujukannya agar menjauhkan diri dari Thai Khek Sian. terpaksa Kam Ceng Swi berlari cepat mengikuti Wi Liong, hatinya gelisah bukan main.
131
Kita tinggalkan dulu Wi Liong dan Kam Ceng Swi untuk menengok ke puncak Wuyi-san. karena sepeninggal Wi Liong yang turun gunung memenuhi perintah pamannya, di puncak itu terjadi hal yang menarik. Seperti telah dituturkan di bagian depan, di puncak Wuyi-san hanya tinggal tiga orang, yaitu Thian Te Cu. Kwcc Sun Tek; dan Thio Wi Liong. Setelah sekarang Wi Liong turun gunung dan Thian Te Cu mengurung diri di dalam kamar, Kwee Sun Tek hidup kesepian. Baiknya ia telah banyak mempelajari ilmu batin dan kepandaiannya sudah meningkat tinggi maka ia melewatkan waktu menganggurnya dengan bersamadhi atau melatih ilmu silatnya yang ia dapatkan dari petunjuk Thian Te Cu. Kalau dibandingkan dengan dahulu, Kwee Sun Tek kini telah memperoleh kemajuan hebat, dan biarpun kedua matanya sudah buta, akan tetapi kepandaiannya jauh lebih sempurna dari pada dahulu ketika ia masih pandai melihat.
Pada suatu hari, ketika Kwee Sun Tek tengah duduk terpekur, mengenang dan mendoakan agar keponakannya selamat di perjalanan dan bisa mendapatkan keterangan tentang Beng Kun Cinjin musuh besarnya, mendengar suara tindakan kaki orang yang amat ringan. Kagetlah hati Kwee Sun Tek karena biarpun ia buta, telinganya yang berpendengaran tajam terlatih itu dapat membedakan tindakan kaki orang. Bahkan ia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah seorang luar yang tidak bermaksud baik, kentara dari tindakan kaki ringan berhati-hati dan ragu-ragu seperti lakunya seorang pencuri memasuki rumah orang. Kwee Sun Tek cepat menyelinap dan bersembunyi di balik tembok tebal, menanti dengan hati berdebar.
Siapakah orangnya yang berani mendatangi tempat bertapa Thian Te Cu dan mau apa? Ia merasa menyesal sekali bahwa ia tidak dapat melihat lagi siapa orangnya yang berani mati ini. Menilik dari suara gerakan kakinya, biarpun pendatang ini memiliki ginkang yang cukup tinggi, akan tetapi bukan apa-apa baginya, apa lagi bagi Thian Te Cu! Benar-benar menggelikan sekali kalau orang dengan tingkat kepandaian seperti itu saja berani menyerbu tempat tinggal Thian Te Cu!
"Tentu seorang yang masih muda," pikir Kwee Sun Tek. Kalau seorang kang-ouw yang sudah lanjut usianya sudah pasti pernah mendengar tentang Thian Te Cu dan tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit.
Sayang Kwee Sun Tek tidak dapat melihat bahwa dugaannya itu memang tepat sekali. Orang yang berani mati mengunjungi tempat kediaman Thian Te Cu sebagai seorang pencuri ini bukan lain adalah Kam Kun Hong! Pemuda ini setelah berhasil meninggalkan Tok-sim Sian-li, gurunya yang mati-matian mencintainya seperti seorang kekasih itu, lalu lari terus menuju ke Wuyi-san. Memang ke situlah ia hendak pergi, dengan maksud untuk mencuri atau merampas pedang pusaka Cheng-hoa-kiam dari tangan Kwee Sun Tek atau Thio Wi Liong juga sekalian untuk menjajal kepandaian Wi Liong guna menebus kekalahannya sepuluh tahun yang lalu! Ia tidak perduli akan peringatan Tok-sim Sian-li yang takut setengah mati mendengar muridnya terkasih itu hendak pergi ke Wuyi-san. Akan tetapi ia tidak takut. Mana ada anak kerbau yang masih hijau takut akan harimau?
Demikianlah, pada siang hari itu Kun Hong berhasil mendaki Wuyi-san sampai di puncak. Melihat keadaan yang sunyi sepi itu, hati Kun Hong makin besar. Kini ia telah maju dan sampai di depan rumah batu. Ia heran dan kagum melihat tempat tinggal terbuat dari pada batu ditumpuk-tumpuk itu, tempat tinggal yang kelihatan megah dan angker. Pintu depan yang lebar merupakan gapura yang tidak ada daun pintunya, terbuka celangap begitu saja seperti mulut gua. Kun Hong berlaku hati-hati, menghampiri pintu gapura itu dengan perlahan seluruh urat di tubuhnya menegang, siap menghadapi setiap kemungkinan.
132
Akan tetapi sunyi-sunyi saja. Ia masuk dan longak-longok. Sunyi tidak terdengar suara apa-apa. Rumah kosongkah? Salah carikah dia? Tak mungkin. Di puncak tidak ada rumah lain. Inilah rumah satu-satunya. Ataukah penghuninya sedang pergi atau sudah pindah? Kun Hong tidak segera masuk, memandang dari luar penuh perhatian. Ia melihat lantai dan dinding batu bersih terpelihara, hatinya lega. Rumah ini terawat tanda penghuninya ada. Andaikata keliru memasuki rumah orang lain, ia dapat menanyakan di mana tempat tinggal Thian Te Cu. Dengan besar hati dan tabah sekali Kun Hong masuk, celingukan dan mulai memeriksa. Sama sekali ia tidak mengira bahwa gerak-geriknya diperhatikan orang, di "ikuti" pendengaran yang amat tajam.
Segera Kun Hong kecewa sekali karena di dalam rumah batu yang besar itu ia tidak melihat siapapun juga. Rumah kosong, pikirnya. Telah ada tiga buah kamar dimasukinya, namun di dalam kamar-kamar itu tidak terdapal apa-apa. Ia memeriksa terus, penasaran.
Kwee Sun Tek yang mengikuti gerak-gerik pemuda itu dengan pendengarannya, tahu belaka ke mana Kun Hong bergerak dan diam-diam tersenyum mendengar "pencuri" itu memasuki kamar-kamar kosong. Akan tetapi ia terkejut sekali ketika mendengar gerakan pendatang itu yang membuka pintu kamar Thian Te Cu! Benar-benar mencari celaka orang itu, pikirnya dengan hati berdebar. Ia menanti dengan penuh perhatian, mendengarkan dengan kepala dimiringkan, la. mendengar pintu kamar itu dibuka dari luar dan gerakan kaki maling itu memasuki kamar dan...... tidak terjadi sesuatu, sunyi saja! Sun Tek terheran-heran, apa lagi ketika ia mendengar maling itu keluar dari kamar Thian Te Cu dan menggerutu. "Sialan benar, rumah setan ini kosong agaknya......!"
Jelas bahwa Thian Te Cu tidak Berada di dalam kamarnya. Ke mana perginya orang tua itu? Sun Tek benar-benar merasa heran sekali, baru saja tadi ia mendengar gerakan kakek itu di kamarnya. Akan tetapi orang selihai Thian Te Cu memang tak mungkin diikuti gerak-geriknva.
Kun Hong memang tidak melihat siapa-siapa di dalam kamar tadi dan kini ia memasuki kamar terakhir yang berada di belakang. Melihat orang memasuki kamar belakang. Kwee Sun Tek menjadi khawatir, karena di ruangan belakang inilah ia menyimpan barang-barang dan juga pedang Cheng-hoa-kiam! Cepat ia menyelinap dan bersembunyi di balik dinding, mengintai dari sebuah lubang yang sengaja dibuat untuk mengintai ke dalam ruangan.
Begitu memasuki ruangan ini, Kun Hong mengeluarkan seruan tertahan.
"Aahhh, tempat ini tentu ada penghuninya........." pikirnya melihat kotak-kotak dan peti-peti yang berjajar di situ. Ia teringat akan pedang Cheng-hoa-kiam yang dahulu dirampas oleh Thian Te Cu dari tangan Bu-ceng Tok-ong. Timbul harapannya untuk mencari pedang itu. Siapa tahu berada di antara peti-peti itu. Kun Hong bukan seorang pencuri, akan tetapi sekarang terpaksa ia membuka-bukai peti orang lain. Hatinya berdebar dan tangannya sedikit gemetar, Ia melihat pakaian-pakaian orang, pakaian sederhana, tapi tidak melihat pedang. Ia membuka peti ke dua dan seterusnya. Isinya selain pakaian, hanya perabot-perabot dapur dan makan. Ia tiba pada peti terakhir, peti kecil panjang yang terletak di sudut, dekat pintu. Tepat di atas peti itu terdapat lubang pada dinding dari mana Sun Tek mengintai. Tentu saja ia menyelinap pergi ketika mendengar orang di dalam ruangan itu mendekati lubang, dan mengintai lagi dengan hati-hati.
133
Kun Hong membuka peti, bergerit bunyi tutup peti dibuka saking sudah lama tidak pernah dibuka. Sinar putih berkilauan keluar dari peti itu. sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang tidak bersarung. Kun Hong mengeluarkan seruan girang. Ia tidak tahu apakah pedang ini betul Cheng-hoa-kiam, akan tetapi tak dapat disangkal lagi sebuah pedang pusaka yang amat baik. Pada saat itu ia mendengar suara angin menyambar, suara yang datangnya dari pintu. Ia menengok dan matanya masih melihat bayangan berkelebat. Akan tetapi ia tidak yakin apakah betul ia melihat bayangan orang tadi lewat di pintu. Kalau betul orang mengapa tidak terdengar tindakan kakinya dan bayangan itu majunya demikian lambat mengapa tidak kelihatan orangnya? Memang betul bentuknya seperti sosok tubuh manusia, akan tetapi mana ada manusia bisa terbang dan menghilang? Bergidik juga pemuda gagah ini dan bulu tengkuknya berdiri.
Ia mempunyai bermacam dugaan. Entah matanya yang melihat bayangan karena memikirkan yang bukan-bukan, entah betul telah melihat setan di siang hari atau....... melihat bayangan manusia yang luar biasa saktinya. Saking tercengang dan kaget, ia sampai tidak melihat orang lain yang berdiri tepat di depannya, hanya terpisah tembok batu, orang yang kepalanya melongok dari balik lubang di depannya. Perhatiannya sudah seluruhnya habis ditujukan kepada bayangan aneh di pintu tadi maka Kun Hong tidak memperhatikan lubang di atas kepalanya. Kalau ia melihat wajah yang berjenggot lebat, sepasang mata yang melotot di depannya itu, tentu ia akan menjadi kaget sekali. Akan tetapi wajah itu hanya sebentar saja mengintai, kemudian lenyap.
Kun Hong tidak segera mengambil pedang. Ia berlaku hati-hati, maklum bahwa pedang pusaka tidak digeletakkan begitu saja. Kalau tidak ada orang menjaganya, tentu ada rahasianya. Ketika ia mengamat-amati, alangkah girang hatinya melihat gagang pedang itu ada ukiran dua huruf kecil "Cheng Hoa". Tak salah lagi, inilah Cheng-hoa-kiam yang dimaksudkan oleh suhunya. Inilah pedang pusaka yang harus ia rampas. Alangkah mudahnya, tinggal mengambil saja! Akan tetapi belum juga tangannya menjamah pedang, terdengar bentakan keras, "Maling rendah! Kau hendak mencuri apa?"
Kun Hong kaget sekali, apa lagi ketika orang itu menggerakkan tangan mencengkeram ke pundaknya dengan tenaga dahsyat sampai mendatangkan angin, ia cepat melompat ke samping dan terus kabur! Kun Hong bukan seorang penakut, akan tetapi ia bukan pencuri dan sekarang ia kepergok sedang hendak melakukan pencurian, ia menjadi malu sekali dan tidak mau melayani orang. Lebih baik lekas-lekas kabur sebelum orang mengenalnya. Alangkah malunya kalau kelak ia disohorkan sebagai seorang pencuri! Kun Hong memang dididik oleh dua orang manusia iblis yang tidak segan-segan membunuh orang, menyiksa orang atau mencurangi orang, akan tetapi mencuri? Ini adalah perbuatan rendah yang manusia-manusia macam Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li sekalipun tidak sudi melakukannya!
Mereka mau merampas, mau merampok, akan tetapi tidak sudi mencuri. Mempergunakan kesempatan selagi orang tidak ada atau tidur untuk mengambil barangnya, inilah perbuatan pengecut dan tak tahu malu. Sebaliknya, merampas atau merampok dilakukan mengandalkan kepandaian, setelah lebih dulu mengalahkan pemiliknya, inilah perbuatan yang termasuk perbuatan gagah. Demikian jalan pikiran orang-orang macam mereka. Sudah tentu saja jalan pikiran yang dipengaruhi oleh hukum rimba, hukum liar yang menentukan bahwa siapa kuat dia berkuasa. Sudah tentu saja jalan pikiran macam ini tidak betul, karena mencuri, menyopet, merampas atau merampok bagi seorang manusia sama buruknya, sama jahatnya karena mengambil hak milik orang.
134
"Maling busuk, kau hendak lari ke mana” bentak Kwee Sun Tek yang cepat mengejar. Biarpun kedua matanya sudah buta. namun Sun Tek dapat bergerak cepat sekali dan pendengarannya yang tajam dapat membuat ia tahu ke mana larinya maling itu. Dia sudah tinggal di puncak ini selama sepuluh tahun lebih, biarpun ia buta, namun ia sudah hafal benar akan keadaan di situ dan dapat bergerak leluasa sekali tanpa dibantu tongkat. Tentu saja kalau ia pergi ke tempat lain, atau turun dari puncak, ia takkan dapat bergerak secepat itu. harus berhati-hati agar' jangan terjeblos ke dalam jurang.
Kun Hong makin bingung. Ternyata pengejarnya itu cepat sekali gerakannya. Untuk melawan, ia merasa malu karena ia telah melakukan perbuatan mencuri. Di depannya terdapat batu-batu gunung yang besar dan cepat ia menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Aneh! Orang yang mengejarnya tiba-tiba berhenti di dekat batu itu, mengerutkan kening dan miringkan kepala, berdiri tegak tidak bergerak sedikitpun. Matanya tetap melotot memandang ke depan tanpa sinar, hanya telinga kiri yang dipasang ke arah depan. Melihat hal ini. Kun Hong terheran-heran. Sekarang ia mulai mengenal muka ini. Benar, tak salah lagi. Inilah Kwee Sun Tek yang dulu pernah membawa Thio Wi Liong ke puncak Kun-lun-san! Akan tetapi mengapa agaknya orang ini menjadi buta? Memang dulu Kun Hong tidak tahu bahwa Sun Tek yang matanya melotot itu sebetulnya telah buta. Ia telah dibawa pergi Tok-sim Sian-li dari puncak ketika orang-orang lain mendapat kenyataan tentang kebutaan Sun Tek.
Melihat bahwa orang yang mengejarnya adalah Kwee Sun Tek paman dari Thio Wi Liong dan orangnya buta lagi, lenyap rasa malu di hati Kun Hong. Kalau pengejarnya buta, ia takut apa? Malah ia bisa mempermainkannya, pikir pemuda nakal ini. Perlahan ia keluar dari tempat sembunyinya, akan tetapi betapapun perlahan gerakannya, masih terdengar oleh Kwee Sun Tek yang cepat melompat mendekat dan membentak, "Maling cilik, kau hendak lari ke mana?”
"Orang tua, aku tidak lari karena takut, hanya aku tidak tega melawan seorang buta," jawab Kun Hong penuh ejekan.
"Setan keparat! Apa kau tidak tahu bahwa kau telah datang di tempat kediaman Thian Te Cu Lo-siansu? Mengapa kau berani berlaku kurang ajar? Siapakah kau?”
"Aku tidak kurang ajar. Memang aku datang hendak mengambil Cheng-hoa-kiam. Akan tetapi bukankah pedang itu dahulu juga dapat orang merampas dari tangan orang lain? Sekarang giliranku untuk memilikinya. Mau tahu aku siapa? Cari saja di kota Poan-kun, keluarga Kwa......"
Memang Kun Hong sengaja mempermainkan. Dalam menghadapi Kwee Sun Tek itu ia teringat akan pengalamannya di dalam hutan dekat kota Poan-kun ketika ia dikeroyok anjing-anjing kepunyaan Ciok Kim Li gadis manis itu. la teringat ketika Ciok Sam, ayah gadis itu yang kemudian dibunuhnya, marah- marah dan menyatakan bahwa anjing-anjing itu didapat dari Kwa-lo-eng-hiong di Poan-kun. Maka nama inilah ia pergunakan untuk mempermainkan Kwee Sun Tek. Tidak nyana sama sekali bahwa Kwee Sun Tek kelihatan terkejut mendengar nama ini.
"Apa kau bilang? Kau maksudkan Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek yang tinggal di Poan-kun?”
135
Tentu saja Kun Hong melengak. Ia tidak mengenal siapa itu Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, juga tadi nama keluarga Kwa di Poan-kun ia bawa-bawa secara ngawur saja. Akan tetapi sudah kepalang membohong, sambil tertawa ia berkata, "Tentu saja, mana ada orang she Kwa lainnya?"
Kwee Sun Tek kelihaian bingung dan terheran-heran. "Kau......... kau apanya?”
Kun Hong memang seorang yang berwatak nakal, suka mempermainkan orang dan suka melihat orang menderita. Kini menghadapi Kwee Sun Tek yang buta, ia ingin mempermainkan kakek ini, maka ditanya begitu ia menjawab makin melantur lagi.
"Aku? Ah, aku mantunya!”
Sungguh sama sekali tidak dinyana oleh Kun Hong bahwa jawabannya ini membuat Sun Tek tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
"Ucapan apa ini?! Kau mau bilang bahwa kau suami Kwa Siok Lan......?" Untuk kedua kalinya Kun Hong tercengang. Bagaimana ada hal yang begitu kebetulan? Dia tadi, ngawur saja mengaku mantu dari orang bernama Kwa Cun Ek tanpa mengetahui apakah orang she Kwa itu punya anak perempuan ataukah tidak. Dan ternyata orang itu betul-betul punya anak perempuan yang agaknya bernama Kwa Siok Lan!
Sambil menahan ketawanya, pemuda nakal itu menjawab, "Tentu saja!"
"Kau bohong! Penipu!!" Kwee Sun Tek membentak sambil menyerang hebat dengan pukulan tangan kiri, disusul cengkeraman tangan kanan. Serangan ini dahsyat sekali dan tenaga lweekang dari Kwee Sun Tek tak boleh disamakan dengan dahulu sebelum ia menerima petunjuk dari Thian Te Cu. Kun Hong sampai menjadi kaget sekali dan cepat-cepat ia melompat mundur untuk menyelamatkan diri dari pukulan dan cengkeraman berbahaya itu.
"Nanti dulu!" ia berseru, masih belum hilang kagetnya menyaksikan penyerangan demikian hebatnya dari kakek ini. "Bagaimana kau bisa bilang aku pembohong dan penipu?”
"Kwa Siok Lan itu tunangan keponakanku Wi Liong, dia masih gadis mana bisa kau bilang bahwa kau suaminya?” bentak Kwee Sun Tek.
Memang hal ini betul. Kwa Cun Ek pernah datang mengunjungi Thian Te Cu di Wuyi-san untuk sekedar menyampaikan hormat dan kagumnya kepada tokoh besar ini. Dia bertemu dengan Kwee Sun Tek dan juga melihat Wi Liong. Timbul rasa sukanya melihat pemuda itu, apa lagi melihat bahwa Wi Liong adalah murid Thian Te Cu. Ia lalu berunding dengan Kwee Sun Tek, mengusulkan perjodohan antara puteri tunggalnya, Kwa Siok Lan dengan Wi Liong. Tadinya Kwee Sun Tek belum dapat mengambil keputusan, akan tetapi Thian Te Cu menyatakan bahwa memang Wi Liong berjodoh dengan puteri Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek ini, maka ikatan jodoh diikatlah. Ketika itu Wi Liong baru berusia tigabelas tahun dan sampai dewasa anak ini belum pernah bertemu muka dengan gadis yang menjadi tunangannya, sungguhpun ia telah tahu hahwa tunangannya bernama Kwa Siok Lan, puteri dari tokoh besar di dunia kang-ouw yang berjuluk Siang-jiu Lo-thian (Sepasang Kepalan Mengacau Langit).
136
Keterangan Lu tentu saja membuat Kun Hong kaget sekali juga girang karena ia mendapat kesempatan mempermainkan paman dari Wi Liong ini, bahkan dapat mengacaukan urusan perjodohan Thio Wi Liong, orang yang ia benci semenjak mereka saling bertemu sepuluh tahun yang lalu.
"Aku dan nona Kwa belum menikah, akan tetapi sudah saling mencinta dan berjanji kelak akan menikah. Apakah itu tidak sama halnya dengan ikatan perjodohan?” ejeknya dan pemuda yang curang ini tiba-tiba mengirim pukulan ke arah dada Kwee Sun Tek.
"Bukkk!!"
Pukulan itu tepat mengenai dada orang buta itu. Hal ini tidak mengherankan karena ketika mendengar ucapan Kun Hong. Kwee Sun Tek menjadi demikian kaget, heran dan marah sampai ia berdiri melenggong, perhatiannya terpecah dan ketajaman telinganya terganggu.
Tentu saja ia tidak dapat melihat datangnya pukulan yang tepat mengenai dadanya. Pukulan itu hebat bukan.main. Pukulan Toat-sim-ciang (Pukulan Tangan Pencabut Hati) warisan Tok-sim Sian li yang amat hebat, selain mengandung tenaga lweekang juga mengandung hawa beracun. Orang biasa takkan sanggup menahan dan akan tewas seketika kalau terkena pukulan ini. Akan tetapi tubuh Kwee Sun Tek sudah memiliki kekuatan sinkang yang tangguh. Apa lagi karena matanya huta, ia selalu melindungi tubuhnya dengan aliran sinkang untuk menjaga serangan gelap. Terkena pukulan hebat itu ia terjengkang dan roboh bergulingan: Dadanya terasa sakit, akan tetapi tidak mengganggu pernapasannya, berarti ia tidak menderita luka terlalu hebat. Sekali berpoksai (bersalto) ia sudah berdiri lagi!
Kun Hong tercengang. Pukulannya tadi hebat sekali dan kakek ini ternyata hanya terguling saja dan dapat segera bangun kembali. Dari kenyataan ini saja sudah jelas bahwa ia tidak akan dapat menangkan kakek aneh ini maka ia cepat lari, mengambil jalan memutar dan...... kembali ke rumah batu untuk mengambil pedang Cheng hoa kiam! Ia sengaja lari dulu turun dari puncak, ketika melihat kakek itu mengejar ia menyelinap dan memutar kemudian lari naik lagi sebelum Kwee Sun Tek maklum akan siasatnya.
Dengan mudah ia mendaki puncak dan memasuki rumah batu, langsung menuju ke ruangan belakang di mana pedang Cheng-hoa-kiam tersimpan. Akan tetapi matanya terbelalak kaget ketika ia melihat bahwa peti tempat pedang itu terbuka, sedangkan pedang itu sendiri telah lenyap!
"Celaka.........!" ia berseru dan membanting kaki. Ia telah didahului oleh orang lain. Tiba-tiba ia teringat akan bayangan aneh yang ia lihat sekelebatan ketika ia pertama kali datang di tempat itu. Cepat ia melompat melalui pintu dan mencari ke seluruh isi rumah. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ia tidak melihat seorangpun manusia.
"Kwee Sun Tek manusia celaka!” Ia memaki marah. "Kalau tidak karena dia. tentu pedang itu sudah kubawa tadi!" Kun Hong menjadi marah sekali dan kemarahan ini memuncak ketika ia melihat kedatangan Kwee Sun Tek dari jauh. Ia tidak perduli lagi akan kelihaian orang tua itu yang tadi sudah ia rasai, saking marahnya ia malah lari memapaki orang tua itu sambil berseru, "Manusia celaka, karena kau pedang yang hendak kubawa telah hilang!"
137
Kwee Sun Tek berhenti dan terkejut.
"Hilang? Kalau bukan kau maling kecil yang mengambil, siapa lagi?" bentaknya.
"Setan! Kalau aku yang ambil tak perlu aku berdiam lebih lama di sini!" Kun Hong marah sekali dan menyerang dengan hebat. Karena usahanya untuk merampas pedang dan mencoba kepandaian Wi Liong gagal, ia menumpahkan kemarahannya kepada Kwee Sun Tek.
Sementara itu, Sun Tek heran sekali. Kalau pemuda ini betul mantu atau masih ada hubungan dengan Kwa Cun Ek, tak mungkin macam ini orangnya. Dan pemuda yang datang hendak mencuri pedang ini mengapa bilang pedangnya hilang dan marah-marah kepadanya? Benar-benar pemuda aneh sekali!
"Kau benar-benar manusia tak tahu diri! Kepandaianmu masih begini rendah berani naik ke Wuyi-san untuk berlagak. Jangan kaukira aku orang tua yang sudah lemah takut kepadamu!” jawab Sun Tek sambil menangkis dan dua orang ini bertempur dengan hebat.
Namun, baru duapuluh jurus lebih saja Kun Hong terpaksa harus mengakui kehebatan ilmu silat dan tenaga lawan. Setiap kali lengannya beradu dengan lengan lawan, ia merasa tulang-tulangnya sakit semua. Kalau dia tidak memiliki kegesitan yang ia warisi dari Tok-sim Sian-li, kiranya sukar baginya untuk masih dapat bertahan. Pukulan yang dilakukan oleh kedua tangan kakek itu menyambar-nyambar dahsyat. Kun Hong mulai terdesak hebat dan setelah lewat iimapuluh jurus, ia hanya dapat mengelak dan menangkis, main mundur saja. Sama sekali ia tidak diberi kesempatan untuk membalas. Hebat sekali kemajuan Kwee Sun Tek selama sepuiuh tahun ini. Dia telah menjadi seerang sakti yang tinggi sekali ilmunya.
"Kun Hong jangan khawatir. Biar aku yang membikin mampus anjing buta ini!" terdengar suara nyaring sinar putih berkelebat menyilaukan mata ketika sebatang pedang menyambar leher Kwee Sun Tek.
Kaget sekali Kwee Sun Tek ketika tahu-tahu ada hawa dingin menyambar cepat. Ia mengibaskan lengan bajunya dan melompat mundur. Kun Hong cepat memandang dan melihat gurunya. Tok-sim Sian-li, sudah berdiri dengan pedang di tangan! Yang membikin Kun Hong kaget dan heran adalah melihat pedang itu. Bukan lain pedang Cheng-hoa-kiam yang lenyap tadi. Kiranya Tok-sim Sian-li yang mengambil!
Kun Hong menjadi merah mukanya. Ia malu dan penasaran. Masa melawan seorang buta saja ia kalah? Dari malu dan penasaran ia menjadi marah. Dengan seruan keras ia menerjang maju lagi, menyerang Kwee Sun Tek yang masih berdiri miring. Namun kakek buta itu dengan mudah menangkis bahkan mengerahkan tenaga dalam targkisannya ini, membuat Kun Hong terhuyung ke samping, hampir roboh. Pada saat itu, Tok-sim Sian-li sudah menerjang maju dengan pedang Cheng-hoa-kiam, menyerang Sun Tek dengan tusukan pada leher dibarengi cengkeraman tangan kiri dengan pukulan Toat-sim-ciang yang berbahaya. Sun Tek cepat menggeser kaki mengelak dan mcngebutkan lengan bajunya menangkis pukulan ini. Di lain saat, orang buta itu sudah dikeroyok dan dihujani serangan oleh Tok-sim Sian-li dan Kun Hong.
Biarpun tingkat kepandaiannya masih menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kun Hong atau Tok-sim Sian-li, namun dikeroyok dua Sun Tek merasa berat juga. Terutama sekali penyerangan
138
dengan pedang oleh wanita iblis itu Benar-benar berbahaya. Orang buta ini hanya mengaudalkan pendengarannya yang tajam dan pedang itu begitu tipis dan ringan sampai suaranya ketika menyambar tidak begitu dapat ditangkap oleh pendengaran.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Kwee Sun Tek yang buta itu, tiba-tiba berkesiur angin dan terdengar Kun Hong bersama gurunya berseru kaget, lalu memutar tubuh dan keduanya lari tunggang-langgang turun dari puncak Wuyi-san seperti orang dikejar setan! Kwee Sun Tek tidak mengejar bahkan segera memutar tubuhnya dan menjatuhkan diri berlutut ke arah rumah batu.
"Terima kasih atas pertolongan Siansu. Akan tetapi mengapa Siansu membiarkan saja mereka pergi membawa pedang Cheng-hoa-kiam?”
Terdengar suara halus dari dalam rumah batu, suara Thian Te Cu.
"Pedang itu haus darah, belum sampai waktunya menjadi milik Wi Liong. "
Kwee Sun Tek menarik nanas panjang, maklum bahwa orang sakti itu tidak mau banyak bicara seperti biasanya dan.akan percuma saja kalau ia bertanya tentang pemuda yang mengaku suami Kwa Siok Lan itu. Hatinya gelisah bukan main dan setiap hari ia mengharapkan kembalinya Wi Liong, keponakannya.
Sementara itu. Kun Hong dan Tok-sim Sian-li lari secepatnya turun dari puncak. Setelah tiba di dalam sebuah hutan di lereng, baru mereka berhenti dan terengah-engah mengambil napas.
"Berbahaya sekali........." kata Kun Hong sambil menghapus peluh dingin dari dahinya dengan lengan baju.
"Apa kubilang dulu!" kata Tok-sim Sian-li wajahnya yang masih cantik itu agak pucat. "Thian Te Cu benar sakti dan lihai sekali. Hanya Thai Khek Siansu yang sanggup melawannya. Baiknya Thian Te Cu tidak bermaksud membunuh kita, kalau dia bermaksud demikian, apa kaukira kita bisa melarikan diri? Karena itu. kita harus cepat-cepat pergi ke pantai timur mencari Thai Khek Siansu di Pulau Pek-go-to.
Kun Hong mengangguk-angguk. Memang pengalamannya yang tadi hebat sekali. Ketika dia dan Tok-sim Sian-li sedang mendesak Kwee Sun Tek yang buta namun cukup tangguh itu, tiba-tiba dia dan Tok-sim Sian-li merasa didorong- dorong orang dari depan. Pendorongnya tidak kelihatan, namun semacam tenaga aneh yang tidak tampak mendorong-dorong; mereka, mengacaukan semua serangan mereka bahkan telinga mereka mendengar suara perlahan namun jelas sekali "Pergilah...... Pergilah.......!"
Maklum bahwa mereka menghadapi orang yang memiliki kesaktian luar biasa baik Kun Hong maupun Tok-sim Sian-li menjadi keder bergidik dan tanpa banyak cakap lagi melarikan diri tunggang-langgang.
"Kau harus menjadi mund Thai Khek Siansu, baru kau dapat mengimbangi kepandaian pemuda yang menjadi murid Thian Te Cu." kata pula Tok-sim Sian-li yang maklum akan isi hati pemuda murid dan kekasihnya itu. "Inikah pedang yang kau idam-idamkan? Boleh kauterima memang kuambil untukmu."
139
"Niocu, bagaimana kau bisa sampai di sini dan mengambil pedang ini?" tanya Kun Hong dengan suara halus sambil menerima pedang. Betapapun jemunya kepada Tok-sim Sian-li. wanita cabul yang dahulu menjadi gurunya ini benar-benar cinta kepadanya.
Tok-sim Sian-li tertawa, memperlihatkan giginya yang masih berderet bagus menarik. "Anak baik, kaukira mudah begitu saja meninggalkan aku? Aku tahu bahwa kau yang keras hati tentu melanjutkan perjalanan ke Wuyi-san ini, maka aku segera mengejar secepat mungkin. Ketika kau dikejar oleh si mata buta, aku mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil Cheng-hoa-kiam lalu datang membantumu."
Kun Hong mengangguk-angguk lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan turun Gunung Wuyi-san untuk menuju ke pantai laut timur mencari Thai Khek Sian. Lama Kun Hong diam saja setelah menyelipkan pedang di punggung. Ia masih mengenang pertemuan dan pertempuran melawan Kwee Sun Tek tadi. Baru Kwee Sun Tek saja setelah tinggal dekat dengan Thian Te Cu sudah menjadi demikian kosen. apa lagi Wi Liong, pikirnya gelisah. Kemudian ia teringat akan percakapannya dengan Sun Tek tentang Kwa Cun Ek. Ia menengok kepada Tok-sim Sian-li yang berjalan di sampingnya. Kebetulan wanita ini sejak tadi menatap wajahnya yang tampan, dari samping, tatapan mata penuh kasih mesra dan sayang.
"Niocu. apakah kau mengenal nama Kwa Cun Ek?"
Secara tiba-tiba ditanya tentang nama orang yang tentu saja dikenal amat baik itu, Tok-sim Sian-li menjadi terkejut bukan main sampai alisnya terangkat tinggi dan digerak-gerakkan. Bagaimana ia tidak mengenal Kwa Cun Ek? Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek dahulu adalah kekasihnya, maiah menjadi calon suaminya! Akhirnya entah mengapa Kwa Cun Ek meninggalkannya dan menikah dengan Tung-hai Sian-li sampai mempunyai seorang anak perempuan bernama Kwa Siok Lan. Untuk menenteramkan hatinya yang berdebar, ia pnra-pura bertanya.
"Kwa Cun Ek yang manakah?”.
"Kwa Cun Ek yang tinggal di Poan-kun dan yang dijuluki Siang-jiu Lo-thian. "
Mendengar ini, Tok-sim Sian-ii tidak kaget lagi karena ia memang sudah dapat memulihkan hatinya. Dengan sikap tenang ia menjawab,
"Dia seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal. Tentu saja aku mengenalnya. Akan tetapi. mengapa kau tanya tentang dia?"
Kun Hong tertawa. "Kwee Sun Tek yang buta itu mengira aku betul-betul calon mantu Kwa Cun Ek, tunangan dari nona Kwa Siok Lan yang katanya telah ditunangkan dengan keponakannya!" Sambil tertawa-tawa geli Kun Hong menceritakan bagaimana ia mempermainkan Kwee Sun Tek dan tanpa disengaja membawa-bawa nama Kwa Cun Ek yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Bagaimana ada hal demikian kebetulan?" Tok-sim Sian-li berseru heran. "Dan lebih kebetulan lagi. aku dengan Kwa Cun Ek adalah......adalah kenalan baik sekali. Dia memang mempunyai anak perempuan, anak dari Tung-hai Sian-li. isterinya yang kini sudah dicerainya. Sudahlah, kelak kau akan dapat bertemu dengan mereka. Sekarang, paling perlu mari kita mencari Thai Khek Siansu agar kau
140
diberi pelajaran lebih mendalam karena kepandaianmu masih jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan murid Thian Te Cu."
Kun Hong maklum akan kebenaran ucapan ini. Memang semenjak bertanding dengan Kwee Sun Tek yang buta, kemudian merasai bekas tangan Thian Te Cu yang sakti, ia bergidik dan dapat menduga bahwa menghadapi Wi Liong ia tentu akan kalah lagi. Thai Khek Sian adalah sucouw-nya, karena tokoh ini masih paman guru dari Bu-ceng Tok-ong, tentu kepandaiannya hebat. Kalau dia bisa mewarisi kepandaian sucouw ini, alangkah baiknya.
Maka berangkatlah Kun Hong bersama Tok-sim Sian-li menuju ke pantai laut timur, ke Puiau Pek-go-to yang berada di antara Kepulauan Couw-san-to. Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh Thai Khek Sian dan selir- selirnya. Thai Khek Sian sendiri masih belum hilang rasa cintanya kepada Tok-sim Sian-li. maka kedatangan wanita ini tentu saja menggembirakan hatinya. Adapun selir-selirnya yang jumlahnya belasan orang, muda-muda dan cantik- cantik itu, juga diam-diam merasa amat gembira menerima tamu seorang pemuda ganteng seperti Kam Kun Hong! Dalam waktu singkat saja Kun Hong sudah menjadi "sahabat baik" dari Cheng In dan Ang Hwa, dua orang selir berbaju hijau dan ungu yang merupakan selir-selir kepala, juga murid-murid terkasih dari Thai Khek Sian.
Kembali Tok-sim Sian-li membuktikan cinta kasihnya yang mendalam terhadap Kun Hong. Mempergunakan pengaruhnya di depan Thai Khek Sian. ia membujuk dan memperingatkan Thai Khek Sian akan janjinya dulu untuk menurunkan kepandaian kepada Kam Kun Hong.
"Anak itu bakatnya luar biasa. Golongan kita masih belum mempunyai ahli waris. Kalau kau tidak menurunkan kepandaiamnu kepada seorang murid yang betul-betul pandai, siapa kelak yang akan menjaga nama kita? Siapa yang akan mengimbangi murid Thian Te Cu yang juga sudah menurunkan kepandaiannya kepada seorang pemuda bernama Thio Wi Liong?" Demikian antara lain Tok-sim Sian-li membujuk gembong Mo-kauw itu. Mendengar bahwa musuh sejak mudanya, Thian Te Cu, sudah menurunkan kepandaian kepada murid tergerak hati Thai Khek Sian Tentu saja segala macam ianji dengan aiudah dapat ia bataikan. akan terata kenyataan oahwa Thian Te Cu sudah menurunkan kepandaian kepada seorang murid, tak boleh ia biarkan begitu saja. Melawan Thian Te Cu sama-sama tuanya ia masih tidak gentar, akan tetapi kalau ada murid muda yang menggantikannya, inilah berat. Ia harus mendapatkan murid yang baik pula untuk menyaingi musuh besar itu
Demikianlah, setelah puas mendapat kenyataan bahwa Kun Hong betul- betul memiliki "tulang baik" Thai Khek Sian mulai menurunkan kepandaiannya kepada pemuda itu yang belajar dengan amat tekunnya. Kun Hong selama ini sudah mendapat bimbingan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. maka kini ia hanya menerima tambahan-tambahan saja, yaitu ilmu pukulan-pukulan yang aneh dan sakti dari sucouwnya. Thai Khek Sian yang aneh luar biasa dan bukan seperti manusia biasa itu. Di lain fihak. Thai Khek Sian girang sekali melihat kemajuan murid baru ini.
"Setahun saja kau belajar seperti ini. kutanggung kau tidak akan kalah oieh murid si tua bangka Thian Te Cu!"
Mendengar ini Kun Hong girang sekali dan belajar makin giat. Sementara itu. Tok-sim Sian-li selalu mcndampinginya dan tentu saja dalam segala hal ia membantu muridnya yang terkasih. Hanya satu hal yang menyakitkan hatinya, yaitu adanya hubungan yang tidak wajar antara muridnya itu dengan para selir muda Thai Khek Sian Akan tetapi, anehnya. Thai Khek Sian sendiri tidak apa-apa.
141
menganggap hal itu "biasa" saja, malah menganjurkan Cheng In dan Ang Hwa melayani murid baru ini baik-baik karena kelak murid baru inilah yang akan menggantikan kedudukannya sebagai gembong Mo-kauw!
Ketika pada suatu heri kebetulan Thai Khek Sian melihat pedang di tangan Kun Hong tokoh besar ini berseru heran. "Aahhh. bukankah itu Cheng-hoa-kiam?"
Sebelum Kun Hong sempat menjawab tahu-tahu pedang itu seperti "terbang” dari tangannya dan pindah ke tangan guru besar itu. Thai Khek Sian mengamat-amati pedang itu dan mengangguk-angguk. "Tak salah lagi. ini Cheng-hoa-kiam! Mengapa pedang ini bisa terjatuh ke tanganmu? Apa Gan Tui sudah mati?"
Kun Hong tidak tahu siapa itu Gan Tui yang disebut sucouwnya. "Teecu mendapatkan pedang ini dari tangan seorang bernama Kwee Sun Tek." katanya, kemudian Kun Hong menceritkan apa yang ia ketahui dari pedang itu. Mula-mula dari tangan Sun Tek dirampas oleh Bu-ceng Tok-ong. kemudian dari Bu-ceng Tok-ong berpindah ke tangan Thian Te Cu sampai akhirnya ia dan Tok-sim Sian-li berhasil mengambil pedang itu dari Wuyi-san, merampasnya dari tangan Kwee Sun Tek.
Thai Khek Sian memutar-mutar matanya. menimang-nimang pedang itu dan bibirnya tersenyum aneh. "Kalau Thian Te Cu merampas pedang ini tidak aneh dan itu berarti dia masih ingat urusan lama. Akan tetapi ia membiarkan kau merampasnya itu berarti hatinya sudah dingin lagi. Cheng hoa kiam........ Cheng-hoa-kiam kau benar-benar tak pernah tu! Dulu mengacaukan hati orang-orang muda. Ha-ha-ha! Dan orang-orang muda yang dulu kau permainkan sekarang sudah menjadi kakek-kakek seperti Thian Te Cu!" Kembali Thai Khek Sian tertawa bergelak.
Kun Hong terheran-heran. Baru sekarang ia melihat Thai Khek Sian tertawa dan bicara agak panjang. Biasanya orang aneh ini hanya bicara seperlunya saja dan tak pernah tertawa. Ketika ia bertemu dengan Tok-sim Sian-li, ia menceritakan pengalamannya tadi.
"Niocu. apakah kau tahu akan riwayat Cheng-hoa-kiam yang agaknya dikenal baik oleh Sucouw?" tanyanya.
Tok-sim Sian-li menggeleng kepalanya, akan terapi iapun tertarik sekali."
"Biar aku akan mencoba supaya sucouw-mu suka menceritakannya kepadaku," jawabnya.
Kekuasaan wanita terhadap pria memang luar biasa. Betapapun keras hati seorang pria, pada suatu waktu akan datang seorang wanita yang akan sanggup menghancur-luluhkan hatinya yang keras itu. Thai Khek Sian terkenal seorang yang keras hati, seorang aneh yang tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun juga. Belasan erang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik juga tidak dapat mempengaruhinya. Akan tetapi agaknya Tok-sim Sian-li merupakan kelemahannya. Agaknya wanita inilah satu-satunya wanita yang dapat mempengaruhinya dan menembus kekerasannya. Setelah dirayu oleh Tok-sim Sian li luluh juga hati Thai Khek Sian dan setengah malam lamanya ia bercerita tentang pedang Cheng-hoa-kiam yang menyangkut riwayatnya di waktu muda. Agar kita semua mengenal Cheng-hoa-kiam dan tokoh-tokoh besar itu di waktu muda, mari kita ikuti ceritanya yang singkat-seperti di bawah ini.
142
Pedang Cheng-hoa-kiam sebetulnya adalah pedang rampasan dari Suku Bangsa Yucen (Nu-cen) yang bertempat tinggal di sebelah utara Shansi, yaitu ketika terjadi pertempuran hebat antara bala tentara Sung dan bala tentara Nucen. Panglima Besar Sung yang terkenal gagah perkasa Gak Hui, merampas pedang ini dan selanjutnya pedang ini jatuh dari tangan ke tangan panglima-panglima besar sampai yang terakhir sekali, puluhan tahun yang lalu, terjatuh ke dalam tangan seorang panglima she Bu yang kemudian menjauhkan diri dari pergaulan ramai dan menjadi pertapa di Wuyi-san bernama Bu Tek Cinjin. Dia pergi bertapa diikuti oleh dua orang kawannya, juga panglima-panglima yang berilmu tinggi, she Yap dan she Kui Aklirnya tiga orang ini menjadi kakek-kakek pertapa dan amat disegani orang, terkenal dengan sebutan Wuyi Sam-lojin (Tiga Orarg Kakek Gunung Wuyi).
Rupanya takdir sudah menentukan bahwa di antara tiga orarg kakek berusia lima puluh tahun ini akhirnya terjadi perpecahan. Dan sebab perpecahannya benar- benar membikin kaget seluruh dunia kaag-ouw, sebab yang amat memalukan dan tak masuk di akal yaitu sebabnya adalah karena...... seorang gadis! Gadis itu seorang yatim piatu yang hidup sengsara, menjadi pelayan seorang kaya raya digoda oleh majikannya, melarikan diri dan hendak membunuh diri di dalam hutan. Akan tetapi ketika tubuhnya sudah tergantung dengan leher diikat dengan ikat pinggang sendiri, datang Wuyi Sam-lojin menolong dan menyelamatkan nyawanya. Kemudian gadis ini dibawa ke Wuyi-san dan di sinilah mulai terjadinya percekcokan. Mereka saling berebut untuk mengangkat gadis itu sebagai..... murid, tak mau saling mengalah sampai terjadi adu kepandaian yang hebat.
Dan gadis itu lari ke dalam pondok, ketakutan dan makin berduka karena dia hanya menimbulkan keributan di antara tiga orang kakek sakti yang tadinya hidup tenteram. Dapat dibayangkan betapa menyesal dan sebal hatinya karena ia mengira bahwa tiga orang kakek itu memperebutkannya untuk maksud yang tidak baik. mengira bahwa tiga orang kakek ini tergila-gila kepadanya!
Oleh karena itu. ketika akhirnya tiga orang tua ini agak mereda nafsu marahnya dan mencari gadis itu, mereka mendapatkan gadis itu telah tewas dengan leher hampir putus di dalam pondok. Gadis itu dengan nekat telah membunuh diri, menggorok leher sendiri menggunakan pedang pusaka yang tergantung di tembok!
Bu Tek Cinjin marah sekali. ”Kita menolong gadis ini hanya untuk membunuhnya! Alangkah rendahnya! Pedang ini menjadi saksi akan kebodohan kita!" Ia lalu mengusir dua orang sahabatnya itu yang pergi berpencaran dengan marah pula. Pedang pusaka itu lalu disimpan oleh Bu Tek Cinjin dan pada gagangnya diukir dua huruf "Cheng Hoa" yaitu nama gadis yang tewas itu! Demikianlah, mulai saat itu pedang pusaka rampasan Gak Hui dari Suku Bangsa Nucen yang tadinya tidak diketahui apa namanya sekarang menjadi Cheng-hoa-kiam.
Tiga orang kakek dari Wuyi-san yang sakti itu setelah berpencaran; tidak pernah dapat melupakan peristiwa itu. Mereka saling marah dan berpisah karena berebut murid, maka setelah mereka hidup sendiri-sendiri mereka masing-masing mengambil seorang murid. Bu Tek Cinjin menjadi guru Thian Te Cu, kakek she Yap menjadi guru Thai Khek Sian, sedangkan kakek she Kui menjadi guru Gan Yan Ki yang kemudian menjadi tokoh besar dunia kang-ouw pula. Sayang sekali Gan Yan Ki ini meninggal dalam usia tigapuluh tahun lebih, mengikuti isterinya yang telah meninggal lebih dulu karena sakit. Lebih sayang lagi. ilmunya yang tinggi, yang ia pelajari dari kakek she Kui, hanya sebagian saja yang dapat ia turunkan kepada putera tunggalnya yang baru berusia tiga-belas tahun. Puteranya ini adalah Gan Tui yang kemudian lebih terkenal dengan nama Beng Kun Cinjin!
143
Rupa-rupanya permusuhan atau dendam karena urusan kecil antara "tiga orang kakek” ini turun-temurun. Setelah mereka tidak ada lagi di dunia, murid-murid mereka juga tidak akur malah bersaing. Terutama sekali Thai Khek Sian murid kakek Yap yang sudah mewariskan seluruh kepandaiannya, selalu mencari kesempatan untuk mengadu kepandaian dengan dua orang murid lain. Akan tetapi ia kalah jauh oleh Gan Yan Ki maupun oleh Thian Te Cu. Dengan hati sakit akhirnya Thai Khek Sian merantau ke barat, mempelajari ilmu silat tinggi dari partai hitam dan kembali dengan membawa ilmu yang amat tinggi dan menyeramkan. Akan tatapi, tetap saja ia harus mengakui keunggulan Thian Te Cu yang masih terhitung suhengnya itu.
Pedang Cheng-hoa-kiam tetap dijadikan rebutan. Tadinya oleh Bu Tek Cinjin pedang itu diberikan kepada Thian Te Cu. Beberapa kali Thai Khek Sian mencoba untuk merampasnya, akan tetapi selalu ia kalah oleh Thian Te Cu, sungguhpun kekalahan itu hanya terjadi setelah melalui pergulatan yang sengit dan seni. Boleh dibilang tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya Thian Te Cu lebih matang tenaga dalamnya dan lebih murni hawa sakti di dalam tubuhnya.
Makin tua mereka makin dingin terhadap urusan pedang itu. Akhirnya ketika Gan Yan Ki meninggal dunia, sebagai seorang suheng. apa lagi sebagai seorang yang mulai tertarik oleh iimu kebatinan. Thian Te Cu menjadi kasihan dan datang menengok. Ia amat kasihan melihat Gan Tui, malah ia lalu memberikan pedang Cheng-hoa-kiam kepada Gan Tui dan menurunkan beberapa macam ilmu pukulan kepada anak yang baru belasan tahun usianya itu.
Demikianlah riwayat singkat dari Cheng-hoa-kiam. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, pedang Cheng-hoa-kiam itu oleh Gan Tui atau Beng Kun Cinjin diberikan kepada murid perempuannya, Kwee Goat. Kemudian ketika Beng Kun Cinjin tersesat dan tergila-gila oleh Kui Hui Niang sehingga rela diperalat oleh penjajah menjadi kepala pengawal, pedang itu dibawa oleh Kwee Sun Tek yang menyelamatkan Thio Wi Liong. Kemudian pedang itu dirampas oleh Bu-ceng Tok-ong dari tangan Kwee Sun Tek, kemudian dari tangan Raja Racun ini diambil kembali oleh Thian Te Cu.
Karena mengingat akan riwayat pedang itu yang membawa nama orang yang menjadi biang keladi permusuhan antara tiga orang saudara sendiri. Thian Te Cu membiarkan saja pedang itu dibawa pergi oleh Tok-sim Sian-li, sungguhpun kalau dia mau, tentu saja dengan mudah ia dapat mencegahnya.
Demikian pula, tentu saja Thai Khek Sian terheran-heran melihat pedang Cheng-hoa-kiam berada di tangan muridnya yang baru, Kun Hong. dan diam-diam ia pun heran sekali mengapa Thian Te Cu mendiamkan saja pedang beriwayat itu diambil oleh Kun Hong, padahal dahulu beberapa kali ia mencoba untuk merampas selalu gagal. Alangkah banyaknya perubahan pada sikap Thian Te Cu, pikirnya.
Cerita tentang pedang ini yang dituturkan oleh Thai Khek Sian kepada Tok-sim Sian-li, oleh wanita ini disampaikan pula kepada Kun Hong. Pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah, kalau begitu, Thian Te Cu sebetulnya masih suheng (kakak seperguruan) dari sucouw. Yang tidak kumengerti mengapa pedang yang katanya oleh Thian Te Cu diberikan kepada Gan Tui atau Beng kun Cinjin kemudian berada pada Kwee Sun Tek? Benar-benar aku tidak mengerti!"
144
"Aku sendiripun tidak mengerti, dan Thai Khek Siansu sendiri tidak dapat menceritakan hal itu. Sudah amat lama dia tidak mengadakan hubungan, baik dengan Thian Te Cu maupun dengan GanTui yang kemudian bernama Beng Kun Cinjin."
"Beng Kun Cinjin itu, apakah juga selihai sucouw atau Thian Te Cu? Dan dia sekarang di mana?”
"Aku sudah mendengar tentang dia. Lihai juga biarpun tidak selihai Thai Khek Siansu tentunya. Pernah dia membasmi Lima Siluman Huang-ho dan banyak sudah orang-orarg kang-ouw yang kalah olehnya. Dahulu dia amat ganas dan suka berkelahi, suka sekali mencoba kepandaian orang lain. Sayang aku sendiri belum pernah bertemu dengan dia sehingga belum dapat mengatakan sampai di mana lihainya. Akan tetapi pernah aku mendengar dia diangkat menjadi koksu oleh Kaisar Mongol dan akhir-akhir ini katanya ia meninggalkan kedudukannya dan entah berada di mana tak seerangpun pernah membicakannya lagi. "
Entah mengapa, hati Kun Hong tergerak dan ia ingin sekali mengetahui siapakah Beng Kun Cinjin dan orang macam apa adanya dia. Nama Gan Tui dan Beng Kun Cinjin amat menarik hatinya, apa lagi orang itu pernah diwarisi beberapa macam ilmu pukulan oleh Thian Te Cu. Ingin ia bertemu dengan orang itu. Tentu saja baik dia sendiri maupun Tok-sim Sian-li tak pernah menyangka bahwa sesungguhnya Beng Kun Cinjin Gan Tui itu bukan lain adalah ayah pemuda itu!
Maklum bahwa di bawah bimbingan Thian Te Cu tentu ilmu kepandaian Wi Liong amat tinggi, Kun Hong lalu belajar dengan amat tekun sehingga menyenangkan hati Thai Khek Sian. Apalagi di situ terdapat Tok-sim Sian-li yang merayu hati gembong Mo-kauw itu supaya menurunkan ilmunya yang tinggi-tinggi kepada Kun Hong.
Sementara itu. telah terjadi perobahan besar dalam pimpinan bala tentara Mongol yang pada waktu itu sedang berkembang hebat dan melakukan penyerbuan ke barat sampai menggegerkan setengah dunia. Seperti telah dituturkan di bagian depan ketika Beng Kun Cinjin Gan Tui masih aktip membantu pergerakan bala tentara Mongol, bala tentara yang perkasa ini sedang melakukan penyerbuan ke barat. Kemudian Beng Kun Cinjin mendapatkan ketidaksetiaan Kiu Hui Nian dan membuat ia mata gelap, membunuh Hui Niang yang dicintainya itu lalu minggat tidak kembali ke kota raja.
Jengis Khan kecewa mendengar bahwa Beng Kun Cinjin melarikan diri karena kakek itu sebetulnya merupakan tenaga bantuan yang amat kuat. Akan tetapi kehilangan seorang pembantu saja tidak melemahkan bala tentara Mongol yang hebat. Sebagian besar dari negara barat ditundukkan dan dikalahkan, negara- negara besar mereka gilas hancur seperti Sin-kang, Iran, Afganistan. Kota-kota besar jatuh satu demi satu dalam penyerbuan bala tentara Mongol. Akhirnya setelah puas dengan petualangannya. Jengis Khan memimpin bala tentaranya kembali ke timur melalui Pegunungan Ural di sebelah utara Laut Kaspia menuju Sin-kiang.
Setelah tiba kembali di Mongol, Jengis Khan menumpahkan dendam hatinya kepada Suku Bangsa Hsi-hsia yang tidak memperlihatkan kesetiaannya dan tidak mau menbantu secara memuaskan ketika bala tentara Mongol itu menyerbu ke barat. Suku Bangsa Hsi-hsia yang pernah ditundukkan itu kini diserbu lagi, banyak orang dibunuh tanpa pilih bulu. Malah ibu kota Hsi-hsia dijatuhkan, dibakar dan semua penduduknya, tidak ada kecualinya tua muda besar kecil laki perempuan dibunuh! Akan tetapi di tengah-tengah kekejian ini, Jengis Khan meninggal dunia dalam usia tujuh puluh dua tahun.
145
Akan tetapi kematian pemimpin besar Bangsa Mongol ini tidak melemahkan semangat mereka. Di bawah pimpinan putera ke tiga dari Jengis Khan yang bernama Oguthai, bala tentara Mongol malah mengadakan penyerbuan ke selatan yaitu Kerajaan Cin. Perang hebat terjadi selama tiga tahun lebih. Akan tetapi juga bala tentara Kerajaan Cin dihancurkan dan seluruh kerajaan terjatuh ke dalam tangan bala tentara Mongol. Semenjak jatuhnya Kerajaan Cin (tahun 1234) seluruh Tiongkok utara menjadi wilayah Kerajaan Mongol. Tiongkok selatan masih tetap menjadi wilayah Kerajaan Sung.
Setelah Kerajaan Cin roboh rakyat Tiongkok baru dapat bernapas lagi karena perang dihentikan. Biarpun tidak dapat dikatakan bersahabat, namun antara pemerintah Mongol dan pemerintah Sun tidak terjadi perang, hanya saling menjaga tapal batas masing-masing. Rakyat mulai dapat bekerja lagi tentu saja di utara harus tunduk kepada pemerintah baru. pemerintah penjajah baru, yaitu Kerajaan Mongol. Mengapa bala tentara Mongol tidak menyerang terus ke selatan? Oleh karena seperti juga ayahnya, Oguthai Khan amat tertarik oleh dunia barat dan melakukan penyerbuar besar-besaran ke dua menuju ke barat. Iran ditundukan, Rusia selatan dikalahkan. Kota-kota besar Kiey dan Moskou direbut dan dibakar (tahun 1240), terus menyerang Polandia, bahkan sampai menghancurkan dan membakar kota Pest di Hongaria.
Karena kesibukan-kesibukan di barat inilah maka balatentara Mongol untuk sementara tidak menghiraukan Kerajaan Sung di selatan dan rakyat boleh menarik napas lega, karena untuk sementara waktu tidak ada perang. Biarpun begitu terasa sekali pertentangan dan persaingan, juga terasa di dunia kang-ouw adanya fihak yang bertentangan, sebagian mengakui Kerajaan Mongol sebagai kerajaan baru yang baik, sebagian pula tetap setia kepada Kerajaan Sung dan menentang pengaruh Mongol.
Di puncak Wuyi-san. Wi Liong sedang duduk berlutut di atas lantai menghadap suhunya Thian Te Cu. Mereka berada di dalam kamar guru besar itu. kamar sempit yang agak gelap akan tetapi bersih karena memang kamar batu ini tidak ada apa-apanya seperti sebuah gua yang menyeramkan. Apa lagi melihat Thian Te Cu duduk bersila di atas pembaringan batu, kelihatan seperti tengkorak hidup, benar-benar menyeramkan. Muka kakek ini makin kurus saja bersinar kehijauan. Bibirnya masih selalu tersenyum mengejek dan matanya memandang lembut. Pakaiannya berwarna putih melibat-libat tubuh yang kurus dan kuku-kuku jarinya yang panjang-panjang itu sampai melingkar-lingkar. Benar-benar seorang yang kelihatan menyeramkan dan aneh.
"Wi Liong, pengalamanmu setahun yang lalu itu kuharap sudah dapat membuka hatimu untuk menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak.ada manusia yang terpandai. Di atas puncak Gunumg Thai san masih ada awan dan di atas awan masih ada bulan, bahkan di atas bulan masih ada bintang-bintang dan matahari, tanda bahwa kekuasaan alam tiada terbatas. Demikian pun dengan kepandaian manusia, sudah tinggi ada yang lebih tinggi, sudah pandai ada yang iebih pandai. Kepandaian manusia juga merupakan sebagian kecil dari pada kekuasaan alam, oleh karena itu kita sekali-kali tidak boleh merasa diri sendiri paling pandai"
Wi Liong menundukkan mukanya. Ia teringat akan peristiwa setahun lebih yang lalu, pengalaman pahit sekali ketika untuk pertama kalinya ia mendapat penghinaan dan kekalahan. Seperti telah dituturkan, setahun yang lalu ketika suhunya mengasingkan diri di dalam kamar. Wi Liong turun dari puncak Wuyi-san untuk memenuhi permintaan pamannya, yaitu untuk mencari keterangan perihal seorang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui, dan kebetulan sekali di dalam sebuah rumah makan Tung-
146
thian di kota Ningpo ia bertemu dengan Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang hampir celaka menghadapi Cheng In dan Ang Hwa dua orang nona utusan Pek-go-to.
Kemudian Wi Liong mengalahkan dua orang nona itu dan Kam Ceng Swi membawanya pergi dari Ningpo karena tokoh Kun-Iun ini takut kalau- kalau Thai Khek Sian datang melakukan pembalasan atas kekalahan dua orang utusannya. Akan tetapi Wi Liong yang baru saja turun gunung, sebagai seorang pendekar muda yang belum berpengalaman dan belum pernah mendengar nama Thai Khek Sian, mana merasa takut? Ia bahkan cepat kembali ke Ningpo dikejar oleh Kam Ceng Swi yang merasa khawatir sekali karena kakek ini merasa amat sayang dan suka kepada Wi Liong.
Dugaan dan kekhawatiran Seng-goat-pian Kam Ceng Swi ternyata betul sekali. Ketika mereka memasuki kota Ningpo, dari jauh sudah kelihatan, asap bergulung naik dan orang-orang panik berlari-larian sambil bercerita bahwa rumah makan Tung-thian dibakar siluman!
Dengan hati tabah Wi Liong mempercepar larinya menuju ke rumah makan itu. Makin dekat dengan rumah makan, makin sunyilah karena orang-orang yang tinggal berdekatan agaknya ketakutan dan lari bersembunyi. Sekarang sudah kelihatan api bernyala membakar rumah makan di mana tadi Wi Liong makan minum dan loteng tempat berpibu tadi sudah mulai runtuh.
"Kurang ajar." Wi Liong memaki marah, "siapakah yang berhati keji membakar rumah makan umum?" Pemuda ini tidak memperhatikan Kam Ceng Swi yang tertinggal di belakang karena orang tua ini kelihatan jerih sekali, dapat menduga bahwa yang dimaksudkan orang-orang dengan "siluman" tentulah Thai Khek Sian atau anak buahnya
Betul saja setelah dekat dengan tempat kebakaran itu. Wi Liong melihat serombongan wanita-wanita cantik dan muda sebanyak tigabelas orang berbaris rapi dan menarik, dengan pedang terhunus di tangan. Yang berjalan paling depan adalah Cheng In dan Ang Hwa dan di tengah-tengah mereka berjalan seorang laki-laki yang amat aneh dan menggelikan, lucu sekali keadaan orang itn. Usianya sudah enampuluh tahun lebih namun kelihatan masih muda, bertubuh kekar, berkulit hitam sekali dan kepalanya gundul pelontos. Celananya hitam.diikat dengan ikat pinggang mutiara indah, akan tatapi ia tidak berbaju!
Sepatunya juga indah, demikian pula celananya terbuat dari pada sutera mahal. Pendeknya, sebatas pinggang ke bawah ia merupakan seorang yang betul-betul pesolek dan gagah, akan tetapi dari pinggang ke atas amat sederhana, telanjang dan tak terpelihara. Kuku-kuku jari tangannya runcing, kalau di-beri warna merah tentu seperti tangan perempuan! Matanya lebar bundar, mukanya halus tidak ada rambutnya, sama halusnya dengan kepalanya yang gundul licin itu.
Inilah dia Thai Khek Sian. seorang di antara gembong-gembong Mo-kauw kelas teratas! Sudah puluhan tahun dia jarang sekali keluar dari tempat bertapanya, yaitu Pulau Pek-go-to. Semua keperluannya disediakan dan dilayani oleh belasan orang selir-selirnya yang cantik-cantik lagi muda. Memang, sebagian besar orang kang-ouw tahu belaka bahwa Thai Khek Sian adalah seorang bandot tua yang anehnya amat disuka oleh wanita-wanita muda! Ada yang bilang dia mempunyai ilmu. pandai mempergunakan guna-guna pengasihan untuk membikin wanita- wanita muda tergila-gila. Tentu saja berita ini kosong belaka.
147
Boleh jadi dahulunya di waktu muda Thai Khek Sian memang gagah dan tampan, hitam-hitam manis, akan tetapi dia sekarang sudah tua, biarpun tubuhnya masih kekar tetap saja kelihatan tuanya. Kalau dilihat macamnya wanita-wanita muda yang menjadi selirnya dan wanita-wanita lain yang menjadi kekasihnya, mudah saja diketahui mengapa Thai Khek Sian disuka. Tentu karena wanita-wanita itu memang genit dan cabul, juga mereka mendekati Thai Khek Sian dengan banyak maksud, pertama-tama tentu saja karena dengan kedudukan mereka menjadi selir, mereka akan dihormati dan disegani orang-orang, melebihi kedudukan seorang isteri pembesar tinggi. Juga Thai Khek Sian memiliki harta benda yang besar, membuat para selirnya dapat hidup secara mewah dan berlebihan.
Selain ini, juga mereka ini ingin sekali mewarisi ilmu kepandaian Thai Khek Sian yang memang amat tinggi dan luar biasa. Di samping semua alasan ini, masih ada hal lucu dan aneh lagi yang membuat wanita-wanita muda itu suka diselir kakek-kakek ini, yaitu bahwa Thai Khek Sian yang aneh itu sama sekali tidak perduli kalau selir-selirnya berlaku serong, tidak perduli selir-selirnya suka kepada laki-laki lain asal saja terhadap dia bersikap manis dan menurut! Memang sukar dicari keduanya laki-laki seperti Thai Khek Sian ini.
"Heh-heh. puas hatiku dapat membasmi rumah makan bangsat itu'' Wi Liong mendengar orang gundul aneh itu bicara seorang diri. "Sayangnya tidak ada Seng-goat-pian di sini, kalau ada akan kupatahkan batang lehernya dan kepalanya kujadikan penghias pintu gapura. Biar kapok dia menghina selir-selirku!"
Mendengar ucapan ini. tahulah Wi Liong bahwa orang aneh ini yang disebut Thai Khek Sian dan amat ditakuti Kam Ceng Swi. Kemarahannya memuncak.
"Manusia siluman bertangan keji, kau harus dibasmi!" bentak Wi Liong sambil melompat maju, menerjang dan menyerang Thai Khek Sian yang diapit di kanan kirinya oleh Cheng In dan Ang Hwa. Ia dapat menduga bahwa orang gundul hitam itu tentu berilmu tinggi maka Wi Liong tidak berani memandang ringan. Begitu melakukan serangan, ia mengerahkan semua tenaga memukul dada orang gundul hitam itu.
"Buk! Buk!”
Wi Liong terkejut setengah mati karena tubuhnya terpental ke belakang dan kedua tangannya sakit sekali, bengkak-bengkak dan ototnya terkilir! Adapun orang gundul hitam itu mundur tiga langkah, membuka matanya lebar-lebar dan membentak, "Hee...... kau murid siapa?" Ia melangkah maju dengan tangan terkepal.
Cheng In dan Ang Hwa cepat melompat maju menghalangi Thai Khek Sian. Cheng In berkata.
"Harap ampunkan dia, dia masih muda, kasihan kalau dibunuh......"
"Siapa dia ini?" bentak Thai Khek Sian.
Kalau saja Cheng In mengatakan terus terang bahwa inilah pemuda yang mengalahkan mereka di loteng rumah makan, tentu Thai Khek Sian tak-kan mau memberi ampun dan akan membunuhnya. Akan tetapi entah bagaimana, melihat munculnya Wi Liong, dua orang wanita muda itu menjadi tidak tega untuk melihat pemuda ganteng itu tewas.
148
”Dia tentu orang muda yang merasa diri berkepandaian dan tidak suka melihat rumah makan dibakar. Sudahlah, harap lepaskan dia. tidak ada harganya untuk kita membunuh orang macam ini." kata pula Cheng In.
Sementara, itu, Ang Hwa menghampiri Wi Liong dan berbisik. "Bodoh mana kau bisa melawan Thai Khek Siansu? Hayo lekas pergi dan lain kali harap jangan lupa kepada kami....”.
Wi Liong masih belum lenyap rasa kagetnya, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tinggi ilmunya, ia tidak mau melawan lagi, apa pula kedua tangannya sudah bengkak-bengkak. Tanpa banyak cakap ia lalu pergi dari tempat itu. Tentu saja ia tidak suka membawa-bawa nama gurunya dan tidak mengaku bahwa dia murid Thian Te Cu. karena hal ini berarti akan merendahkan nama besar gurunya.
Thai Khek Sian tertawa bergelak, "Hemm. pantas kalian melindunginya, dia memang tampan!" Kemudian sambil mengerutkan kening, dia berkata lagi, "Ah, mengapa tadi dilepas sebelum ditanya? Pukulannya tadi...... aneh kalau dia bukan murid Thian Te Cu atau Gan-susiok......" Yang dimaksudkan Gan-susiok oleh kakek ini tentu saja Gan Yan Ki ayah Gan Tui. "Hayo kejar dia! Seret ke sini, hendak kutanya!" bentaknya.
Biarpun amat sayang kepada Wi Liong, baik Cheng In, Ang Hwa maupun selir yang lain, tak seorangpun berani membantah perintah Thai Khek Sian. Membangkang berani mati, demikian hukum di tangan tokoh Mo-kauw ini. Maka, mendengar ini, cepat Cheng in dan Ang Kwa mengepalai sebelas orang selir lain untuk berlari cepat mengejar Wi Liong yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Andaikata tersusul, tentu Cheng In dan kawan-kawannya akan menyeretnya kembali, takkan terpengaruh oleh ketampanan wajah pemuda itu. Akan retapi biarpun mereka mencari sampai jauh dan cermat, mereka tidak berhasil mendapatkan Wi Liong.
Ke mana perginya pemuda ini? Bukan lain Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang menolongnya Kebetulan sekali Kam Ceng Swi yang tidak berani mendekat Thai Khek Sian, melihat dari jauh akan semua kejadian itu. Ketika ia melihat Wi Liong dapat melepaskan diri dengan selamat dari tangan kakek siluman itu. ia cepat menemui Wi Liong dan mengajaknya bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng yang pengurusnya telah ia kenal baik. Di sini aman karena wanita-wanita Pek-go-to itu tidak mau memasuki kelenteng. Juga Kam Ceng Swi merawat kedua tangan Wi Liong, memberinya obat Kun-lun-pai yang memang amat manjur terhadap luka-luka kena pukulan atau urat-urat yang terkilir. Wi Liong amat berterima kasih kepada tokoh Kun-lun ini.
"Lo-enghiong berkata benar. Thai Khek Sian itu ternyata memiliki ilmu seperti iblis." kata Wi Liong.
Kam Ceng Swi menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tidak ada batasnya. Melihat kepandaian dua orang wanita kaki tangan Thai Khek Sian. aku sudah takluk, kemudian melihat kepandaianmu yang membuat aku kagum sekali. Kini bentemu dengan Thai Khek Sian, entah di dunia ini siapa orangnya yang akan dapat melawan dia. Guruku sendiri, Kun-lun Lojin yang menjadi ketua dari Kun-lun-pai, pernah menyatakan bahwa ilmu kepandaian Thai Khek Sian sukar dicari lawannya. Mungkin hanya susiok-couw yang bertapa di belakang puncak dapat menandinginya, inipun belum tentu. Kembali ia menarik napas panjang, teringat akan anak pungutnya ketika ia mengobati tangan Wi Liong.
149
"Anak muda, sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?"
Wi Liong juga amat tertarik kepada orang tua yang baik budi ini. Teringat ia kepada Kwee Sun Tek pamannya, dan dibandingkan dengan pamannya, orang tua ini sama baiknya, berbudi dan ramah-tamah serta jenaka pula. Oleh karena itu ia merasa tidak perlu membohong, jawabnya terus terang,
"Aku hendak mencari seorang di kota raja memenuhi permintaan pamanku."
"Ke kota raja di utara?" Kam Ceng Swi mengerutkan keningnya. "Di sana tidak begitu baik keadaannya, orang muda. Orang-orang selatan amat dicurigai dan salah-salah kau akan ditangkap. Bukan hanya serdadu-serdadu Mongol itu yang membenci orang selatan seperti kita, malah orang-orang kang-ouw di utara yang sudah menjadi kaki tangan Mongol, juga selalu memusuhi kita. Kau tahu, orang-orang seperti Thai Khek Sian itupun kabarnya membantu pemerintah Mongol.......”
Wi Liong menjawab tenang. "Tidak apa, lo-enghiong......"
"Wi Liong, terhadap kau aku merasa seperti berhadapan dengan keluarga sendiri, jangan kau menyebut lo-enghiong (orang tua gagah) segala. Sebut saja paman, lebih sedap didengar."
Wi Liong tersenyum. Benar-benar kakek ini menarik hati dan menyenangkan.
"Baiklah. Kam-siok-siok (paman Kam). Sebetulnya aku memenuhi perintah paman Kwee Sun Tek untuk mencari keterangan perihal orang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui yang kabarnya menjadi panglima di istana Kaisar Mongol."
"Aahhh......., dia.......?" Kam Ceng Swi mengerutkan kenangnya. "Untuk apakah kau mencari dia?'
"Paman Kwee belum memberi tahu kepentingannya, hanya minta supaya aku menyelidiki di mana dia sekarang berada."
"Kalau begitu tak usah kau ke utara. Wi Liong."
"Eh, kenapakah? Apa dia sudah mati?"
"Tidak. Dia itu dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang sekali, ia dapat dibujuk oleh Kaisar Mongol menjadi kaki tangannya, malah menikah segala di istana! Sungguh memalukan dan mengecewakan sekali, apa lagi kalau diingat bahwa hal itu terjadi setelah dia menjadi seorang hwesio!"
"Apa dia sekarang masih di istana. Kam-siok-siok?" tanya Wi Liong, dalam hati terheran-heran mengapa pamannya menyuruh dia mencari orang macam itu.
"Kurasa tidak. Pernah aku mendengar bahwa dia telah meninggalkan Jengis Khan beberapa tahun yang lalu dan semenjak itu tak seorangpun mendengar di mana adanya Beng Kun Cinjin." Memang Kam Ceng Swi dahulu tidak mendapat kesempatan mendengar tentang perbuatan Beng Kun Cinjin
150
terhadap murid-muridnya, juga tidak tahu bahwa Kwee Sun Tek itu murid Beng Kun Cinjin. Kalau ia mendengar akan hal itu tentu ia sudah menceritakannya kepada Wi Liong.
"Kalau begitu memang percuma saja aku pergi ke utara, " kata Wi Liong.
"Memang tidak ada gunanya. Semenjak melarikan diri dari istana. Beng Kun Cinjin tentu saja dianggap musuh dan dicari oleh.orang-orang Mongol. Maka dapat dipastikan bahwa dia tentu melarikan diri ke selatan. Kalau hendak mencari dia, sebaiknya di selatan menanyakan kepada orang-orang kang-ouw di daerah selatan tentu ada yang tahu."
Wi Liong menurut akan petunjuk ini. Mereka lalu berpisah setelah Wi Liong menghaturkan terima kasihnya dan berjanji kelak akan mengunjungi Kun-lun-san. Akan tetapi dia tetap menyembunyikan nama gurunya karena tahu bahwa gurunya tidak menghendaki namanya disebut-sebut di luaran. Dia sendiri lalu kembali ke Wuyi-san, menceritakan pengalamannya kepada Kwee Suu Tek kemudian setelah suhunya keluar, ia bercerita pula sambil menangis tentang kekalahannya yang amat memalukan terhadap Thai Khek Sian.
"Tentu saja kau kalah. Mana bisa menang melawan susiokmu?” komentar Thian Te Cu singkat, membuat Wi Liong terkejut bukan main.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru