Kamis, 31 Mei 2018

Kasih Diatara Remaja 2 Tamat

====
baca juga
19. Terperangkap Siasat Bhok-kongcu
HOA HOA CINJIN mengeluarkan suara aneh, lalu mengomel, “Kau tahu satu tidak tahu dua,
kongcu. Apa hatimu akan senang kalau melihat nona Cia itu dibuntungi hidungnya oleh
pembantumu? Ha ha ha!”
Bhok Kian Teng menjadi pucat dan ia cepat menengok ke belakang di mana Leng Nio berdiri
dengan wajah pucat pula. “Aku .... aku hanya mengancamnya, kongcu, karena dia hendak melarikan
diri,” kata Yo Leng Nio kepada Bhok Kian Teng. Pemuda ini mengangguk, percaya akan
keterangan Leng Nio.
Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba meloncat keluar dan di lain saat ia sudah melempar tubuh
Bi Eng ke dalam ruangan itu. Tadinya Bi Eng kaget setengah mati ketika tahu-tahu ada orang
melayang ke dekatnya, akan tetapi sebelumnya ia sempat bergerak, orang itu sudah mencengkeram
pundaknya dan melemparkannya ke dalam ruangan. Terpaksa Bi Eng menggunakan ginkangnya
untuk mengatur keseimbangan tubuhnya dan turun dengan tenang sambil menghadapi Bhokkongcu.
“Hoa-ji, turunlah kau,” terdengar Hoa Hoa Cinjin berseru sambil memandang keluar.
Terdengar jawaban suara merdu dari luar yang gelap, “Tak usah, gi-hu. Biar aku di sini saja, terlalu
banyak orang menjemukan di sana.”
Koleksi Kang Zusi
Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. “Sesukamulah, akan tetapi coba kau amat-amati di luar, jangan
sampai Thio-siocia membawa bocah she Cia itu ke lain tempat.”
Pada saat itu terdengar suara nona Thio Li Hoa yang nyaring di luar pintu. “Hoa Hoa Cinjin, jangan
menjual omongan busuk. Aku datang bersama Cia Han Sin. Ayoh kaukeluarkan obat pemunah
pukulanmu yang busuk beracun!” Dan muncullah Li Hoa bersama Han Sin yang menggandeng
tangan Siauw-ong.
Diam-diam Hoa Hoa Cinjin memandang penuh perhatian dan kagetlah dia. Kenapa pemuda itu
tidak kelihatan seperti menderita sakit? Ia tahu betul bahwa beberapa hari yang lalu ia melukai
pemuda ini dengan pukulannya Tong-sim-ciang (Pukulan Menggetarkan Jantung) dan dalam waktu
sepuluh hari kalau tidak dia obati, tentu akan mati. Kenapa sekarang nampak segar bugar seperti
tidak menderita sama sekali?
Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa dengan lweekangnya yang luar biasa, ditambah daya tahan
dari racun Pek-hiat-sin-coa ditubuhnya, jangankan baru pukulan Tong-sim-ciang, biarpun pukulan
sepuluh kali lebih jahat, belum tentu akan dapat merampas nyawa pemuda ini.
“Sin-ko .....!” Bi Eng melompat dan menubruk kakaknya.
“Eh, Bi Eng .....!” Han Sin merangkul adiknya penuh kasih sayang. “Alangkah senangku bertemu
dengan kau dalam keadaan selamat di sini.”
Siauw-ong yang nampak girang sekali dan monyet ini lalu menari-nari.
“Sin-ko, banyak sekali orang jahat di dunia ini ....” kata Bi Eng dengan suara mengandung
kekecewaan dan penasaran.
“Tidak jahat, Eng-moi, tidak jahat. Mereka itu hanya tersesat dari jalan kebenaran, terpengaruh oleh
nafsu. Kalau mereka sudah insyaf dan sadar dari pada kesesatan, mereka akan menyesal dan
menjadi baik kembali. Juga tidak semua orang tersesat, Eng-moi. Contohnya, seorang pemuda yang
bernama Phang Yan Bu adalah seorang baik, juga nona Thio Li Hoa ini amat baik kepadaku.
Mereka berdua tidak bisa digolongkan orang-orang yang sesat.”
Bi Eng memandang ke arah Li Hoa dengan sinar mata penuh selidik, dan wajahnya berseri ketika
mendengar nama Phang Yan Bu. “Kau sudah bertemu dengan saudara Phang Yan Bu? Memang dia
orang baik. Koko, akupun tidak mau bilang bahwa semua orang jahat, Bhok-kongcu inipun amat
baik kepadaku.” Ia menoleh kepada Bhok-kongcu dan memperkenalkan kakaknya. “Bhok-kongcu,
inilah kakakku Cia Han Sin.”
Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya hati Bi Eng ketika melihat Bhok-kongcu tiba-tiba bangkit
berdiri dan dengan suara keren memberi perintah. “Tangkap pemuda ini.” Ia memberi perintah
kepada Huang-ho Sam-ong, maka tiga orang ini lalu melompat maju dan di lain saat kedua tangan
Han Sin sudah mereka pegang dengan kuat. Terlalu heran hati Han Sin melihat ini sehingga ia tidak
sempat bergerak, malah tidak ada niat untuk melawan.
Li Hoa melompat maju. “Bhok-kongcu, dia telah terluka hebat oleh pukulan Hoa Hoa Cinjin. Aku
minta kau suka menyuruh Hoa Hoa Cinjin mengobatinya lebih dulu. Soal lain dapat diurus
belakangan.!”
Bhok-kongcu tersenyum masam. Aha, tidak nyana nona Thio Li Hoa yang biasanya angkuh dan
memandang rendah pria, agaknya sekarang hatinya terjerat oleh keturunan Cia! Aneh .... aneh ....!”
Koleksi Kang Zusi
Merah muka Li Hoa. “Sratttt!” Pedangnya telah tercabut dan ia menudingkan ujung pedang di
depan hidung Bhok-kongcu sambil membentak.
‘Bhok Kian Teng! Orang lain boleh takut kepadamu dan gentar kepada ayahmu, akan tetapi jangan
kira aku Thio Li Hoa boleh kau hina begitu saja!” Gadis ini menggerakkan pedangnya dan
“Siuuttt!” pedang itu telah melakukan serangan hebat, menusuk leher Bhok Kian Teng. Inilah hebat.
Bhok Kian Teng atau lebih terkenal Bhok-kongcu adalah seorang yang pada waktu itu memiliki
kekuasaan dan kedudukan tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan Thio-ciangkun ayah Li
Hoa, jangankan menyerangnya, bersikap kurang ajar saja orang tidak berani. Malah Hoa Hoa Cinjin
tokoh besar yang ditakuti orang itupun bersikap hormat dan takut terhadap kongcu ini.
Sekarang Li Hoa mendamprat dan menyerangnya, ini menunjukkan betapa tabah hati nona ini.
Memang di antara gadis dan pemuda ini sudah ada permusuhan atau kebencian. Pihak Bhok-kongcu
benci karena ketika dahulu ia tergila-gila dan mencoba untuk mengganggu Li Hoa, ia menghadapi
dampratan. Pihak Li Hoa memang sudah lama benci melihat tingkah laku pemuda hidung belang
ini.
Namun ilmu kepandaian Bhok-kongcu jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian Li Hoa.
Diserang secara hebat itu, ia tersenyum saja. Cepat kipasnya ia gerakkan dan tahu-tahu ujung
pedang di tangan Li Hoa sudah “ditangkap” oleh kipas itu yang tertutup secara mendadak. Selagi Li
Hoa berusaha menarik pulang pedangnya, Hoa Hoa Cinjin melangkah maju dan sekali totok
pergelangan nona itu, pedangnya terlepas dan nona itu sendiri terhuyung-huyung dengan lemas.
Bi Eng marah bukan main. Setelah dapat menindas keheranannya, ia melangkah maju dan
membentak. “Lepaskan kakakku! Bhok-kongcu, kenapa kau bersikap begini terhadap kakakku?
Ayoh, lepaskan dia!”
Bhok-kongcu menggerakkan tangannya dan dilain saat kedua lengan Bi Eng sudah dipegangnya
sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi. “Nona Cia, menyesal sekali, aku tidak dapat memenuhi
permintaanmu ini. Jangan kau kuatir, kakakmu tidak apa-apa asal dia mau menunjukkan di mana
tempat penyimpanan warisan Lie Cu Seng. Maaf, nona. Aku benar-benar menyesal harus
mengecewakan hatimu, akan tetapi kita menghadapi urusan besar sehingga terpaksa aku
mengesampingkan perasaan pribadiku.” Suaranya benar-benar mengandung penyesalan besar dan
sinar matanya dengan lembut memandang Bi Eng, membuat gadis ini bingung dan tidak mengerti.
Pada saat itu terdengar suara tertawa bergelak dan dari luar berkelebat bayangan orang. Bayangan
ini menyerbu ke arah Huang-ho Sam-ong sambil berkata, “Han Sin, kau ikut aku!”
Kim-i Tok-ong melihat bahwa yang menyerbu ini adalah seorang kakek pengemis yang rambutnya
awut-awutan, suaranya tinggi kecil, dan tangan kirinya memegang sebuah guci arak. Melihat
pengemis tua ini datang-datang hendak menarik lengan Han Sin yang menjadi orang tangkapannya,
Kim-i Tok-ong serentak mengirim pukulan dengan tangan kirinya ke arah telinga pengemis tua itu.
Juga Ban-jiu Touw-ong dan Hui-thian Mo-ong yang serentak mengenal pengemis tua itu, cepat
mengirim serangan.
“Hemmm, tiga manusia beracun, pergilah!” Pengemis tua itu yang bukan lain adalah Ciu-ong Mokai
Tang Pok, menggerakkan guci araknya, sekali gus menangkis serangan Ban-jiu Touw-ong dan
Hui-thian Mo-ong, kemudian lengannya yang memegang guci itu ditangkiskan ke arah kepalan
tangan Kim-i Tok-ong. Serangan tiga orang itu terpental kembali dan kuda-kuda mereka gugur!
Koleksi Kang Zusi
Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak dan tiba-tiba dari mulutnya tersembur keluar sinar kuning emas
yang bukan lain adalah arak. Semburan arak ini seperti puluhan batang jarum yang menyerang
muka ketiga Huang-ho Sam-ong. Kaget bukan main tiga orang itu dan cepat mereka meloncat
mundur karena mereka sudah mendengar akan hebatnya senjata aneh dari Raja Arak ini.
Secepat kilat Ciu-ong Mo-kai sudah menarik lengan Han Sin. Akan tetapi sebelum ia dapat
membawa pemuda itu keluar, Hoa Hoa Cinjin bergerak mendekati sambil membentak, “Pengemis
busuk, di mana-mana kau mengacau saja!” Sambil berkata demikian ia menggerakkan tangan kiri
dan sinar hijau menyambar tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh Ciu-ong Mo-kai. Itulah
Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang amat ganas dari Hoa Hoa Cinjin. Hebat kepandaian Hoa
Hoa Cinjin, akan tetapi hebat pula pengemis tua itu.
Sekali ia meniup, semburan arak yang bersisa di mulutnya dengan tepat telah menahan jarum-jarum
itu sehingga terdengar suara halus ketika jarum-jarum itu runtuh di atas lantai. Sementara itu, Tunghai
Siang-mo yang tidak mau kalah dalam mencari jasa di depan Bhok Kian Teng, sudah melompat
maju. Tamu-tamu lain biarpun rata-rata berkepandaian tinggi, mereka jerih menghadapi Ciu-ong
Mo-kai dan tidak berani sembarangan turun tangan. Tung-hai Siang-mo menyerang Ciu-ong Mo-kai
dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan tunggal yang keras dan kuat.
“Ha ha, iblis-iblis timur juga menjadi anjing-anjing Mancu? Bagus!” seru Ciu-ong Mo-kai sambil
menggerakkan kedua lengan menangkis. Kedua lengannya bertemu dengan lengan lawan dan
pengemis sakti ini terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi dua orang lawannya juga terhuyung
mundur sampai tiga tindak. Dari sini saja sudah dapat diukur kepandaian tiga orang tokoh besar ini
dan ternyata dalam hal tenaga lweekang, pengemis sakti itu masih menang setingkat.
Namun diam-diam Ciu-ong Mo-kai Tang Pok mengeluh. Baru dua orang iblis ini saja sudah amat
sukar dikalahkan. Dalam pertandingan sungguh-sungguh, tak mungkin dia bisa menang dalam
waktu dua tiga ratus jurus. Apalagi di situ masih ada Hoa Hoa Cinjin.
Hoa Hoa Cinjin menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya yang tinggi. Karena sekarang Ciu-ong
Mo-kai tidak lagi memegangi lengan Han Sin, maka iapun diam saja, hanya siap untuk menghalangi
apabila pengemis itu hendak membawa pergi pemuda yang diperebutkan itu. Ciu-ong Mo-kai
menarik napas panjang, lalu memanggil muridnya.
“Bi Eng, budak tak tahu malu, kesinilah!”
Kaget sekali Bi Eng mendengar makian gurunya ini. “Suhu ....” serunya penasaran dan heran.
“Ke sini kau, pergi bersamaku!” bentak lagi gurunya. “Kau sudah begini tak tahu malu bergaul
dengan manusia-manusia rendah, memalukan aku saja. Ayoh pergi!” Ia menyambar lengan Bi Eng
yang sudah bertindak dekat, lalu membawa muridnya melompat pergi. Pengemis ini maklum bahwa
kalau ia mengajak pergi Bi Eng muridnya, takkan ada yang berani menentangnya dan pikirannya ini
ternyata tepat. Tak seorangpun melihat kepentingan dalam diri Bi Eng maka tidak ada yang berani
mengambil resiko menahan kepergian pengemis itu dengan muridnya.
“Han Sin, kalau kau membuka rahasia warisan, adikmu akan kubunuh!” terdengar Ciu-ong Mo-kai
berkata dan suaranya menandakan bahwa dia sudah tiba di tempat jauh.
“Kejar, tangkap pemberontak itu!” Bhok Kian Teng berseru marah. Tentu saja pemuda mata
keranjang yang sudah tergila-gila kepada Bi Eng itu tidak rela melihat gadis yang disayanginya itu
dibawa pergi.
Koleksi Kang Zusi
Banyak kaki tangannya mengejar keluar, akan tetapi di tempat gelap itu tidak kelihatan lagi
bayangan Ciu-ong Mo-kai dan Bi Eng. Dengan marah ditahan-tahan Bhok Kian Teng yang tadi ikut
mengejar, memasuki lagi ruangan itu dan ia memberi perintah kepada tiga orang hwesio yang sejak
tadi berada di situ, “Sam-wi losuhu harap bawa bocah she Cia ini ke dalam kamar tahanan dan
paksa sampai dia mengaku dan membuka rahasia warisan Lie Cu Seng!”
Tiga orang hwesio itu bukan lain adalah Thian-san Sam-sian, itu tiga orang hwesio yang dahulu
pernah memusuhi Cia Sun ayah Cia Han Sin di Min-san. Mereka memang sudah lama menjadi
pembantu-pembantu Bhok-kongcu. Adanya Bhok Kian Teng menyuruh mereka, karena pemuda
yang pintar ini tahu akan adanya dendam permusuhan yang terkandung di hati tiga orang tokoh
Thian-san itu terhadap keluarga Cia, maka ia maklum bahwa mereka tentu cukup tega dan kejam
untuk melakukan penyiksaan terhadap Han Sin.
“Baik, kongcu. Percayalah, pinceng bertiga pasti akan berhasil memaksa dia membuka mulut,
biarpun untuk itu pinceng harus menguliti atau membakar dia hidup-hidup!” jawab Gi Ho orang
termuda dari tiga hwesio itu.
Dengan kasar mereka menyeret Han Sin. “Tunggu dulu!” kata Hoa Hoa Cinjin. Kakek ini cepat
menggerakkan tangan menotok beberapa jalan darah di tubuh Han Sin dan pemuda ini yang masih
terlalu heran menyaksikan munculnya Ciu-ong Mo-kai dan dibawanya pergi adiknya oleh pengemis
itu, tidak mampu melindungi dirinya. Setelah menotok, Hoa Hoa Cinjin lalu mengeluarkan rantai
baja dan membelenggu kaki tangan pemuda itu. “Nah, sekarang seret dia pergi,” katanya puas.
Bhok Kian Teng mengerutkan alisnya yang bagus. “Locianpwe, perlu apa mesti begini berhati-hati?
Apakah dia berlengan enam berkepala tiga?”
Hoa Hoa Cinjin menarik napas panjang. “Pemuda ini bermata iblis dan aneh sekali, lebih baik
jangan sampai gagal.”
Sementara itu, Thian-san Sam-sian menyeret tubuh Han Sin yang sudah dibelenggu itu ke dalam.
Tiba-tiba Li Hoa melompat dan mendorong mereka dengan marah. “Mundur kalian! Jangan ganggu
dia!”
Thian-san Sam-sian sudah mengenal Li Hoa. Mereka takut menghadapi kekuasaan Thio-ciangkun,
maka dengan bingung mereka memandang Bhok-kongcu, tak tahu harus berbuat apa. Sementara itu,
setelah Bi Eng hilang, muncul kekejaman Bhok-kongcu dan lenyaplah sifat lemah lembut yang
memang palsu dan dia keluarkan hanya di depan Bi Eng. Dengan kecepatan luar biasa pemuda ini
sudah meloncat ke depan Li Hoa, kipasnya bekerja dua kali dan Li Hoa roboh tertotok, tak mampu
bergerak lagi.
“Bawa dia sekalian ke dalam kamar siksaan, biar dia menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana
jantung hatinya disiksa!” katanya sambil menyeringai, kemudian disambungnya kepada Li Hoa.
“Thio Li Hoa, kau adalah seorang puteri Thio-ciangkun, akan tetapi sikapmu benar-benar
memalukan. Apakah kau mau berpihak kepada pemberontak? Biarlah aku melancangi, kuwakili
ayahmu untuk membikin kau merasai sedikit hukuman. Kelak ayahmu akan memaafkan dan
berterima kasih kepadaku.”
Demikianlah, Han Sin diseret ke dalam kamar siksaan dan Li Hoa terpaksa harus mengikuti karena
orang menarik tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya oleh totokan Bhok-kongcu yang lihai. Gadis
itu didudukkan di pojok kamar siksa, duduk di lantai tak berdaya. Dengan sedih ia memandang
kepada Han Sin yang masih tersenyum tenang.
Koleksi Kang Zusi
Pemuda itu tidak begitu kuatir lagi setelah melihat adiknya selamat dan kini adiknya dibawa pergi
Ciu-ong Mo-kai. Biarpun sikap pengemis tua itu marah-marah, namun seribu kali lebih baik Bi Eng
pergi dengan gurunya dari pada berada di sini, di antara orang-orang yang memusuhinya. Melihat
Li Hoa memandangnya begitu sedih, Han Sin berkata perlahan, “Li Hoa, jangan kuatir. Biar dipukul
mampus tak nanti aku membuka rahasia itu.”
Pemuda itu tahu betul bahwa Li Hoa juga menghendaki warisan itu, maka ia salah kira.
Dianggapnya bahwa Li Hoa membelanya mati-matian karena tidak ingin warisan itu terjatuh ke
dalam tangan orang lain, maka ia mengeluarkan kata-kata hiburan ini.
Sementara itu, dengan muka menyeringai tiga orang hwesio itu sudah menggosok-gosok tangan,
nampaknya puas sekali mendapat kesempatan untuk membalas dendam kepada cucu Cia Hui Gan,
yang mereka anggap musuh besar karena Cia Hui Gan dahulu pernah membunuh seorang murid
mereka yang terkasih. Mereka tidak berhasil membalas kepada Cia Hui Gan karena sudah keburu
tewas, tidak dapat membalas Cia Sun pula karena ketika mereka dulu bermaksud membunuh Cia
Sun, muncul Balita yang menolong Cia Sun. Sekarang, mereka dengan mudah saja mendapat
kesempatan untuk menyiksa putera Cia Sun, tentu saja mereka yang sudah menjadi gila karena
benci dan dendam ini menjadi girang sekali.
“Eh, Orang muda she Cia. Tahukah kau siapa pinceng bertiga?” tanya Gi Ho Hosiang, yang
termuda.
“Aku belum mendapat keberuntungan berkenalan dengan losuhu bertiga yang terhormat,” jawab
Han Sin yang biasa amat menghormat orang-orang beribadat, apalagi terhadap tiga orang hwesio
yang berkepala gundul dan berpakaian sederhana, tanda manusia-manusia yang sudah menindas
hawa nafsu keduniawian.
Gi Thai Hosiang, yang tertua, tertawa mengejek. “Orang muda, kami adalah Thian-san Sam-sian
yang mempunyai dendam dan permusuhan besar dengan kakek dan ayahmu! Sekarang lekas kau
mengaku di mana adanya rahasia warisan Lie Cu Seng, kalau kau tidak mengaku, jangan harap
kami akan menaruh kasihan lagi kepada kau keturunan musuh besar kami.”
“Ah, lebih baik jangan lekas-lekas kau mengaku, agar pinceng puas menyiksamu setengah mampus.
Ha ha ha!” kata Gi Hun Hosiang sambil mengepal tinjunya.
Han Sin melengak. Inilah sama sekali tak pernah ia sangka. Mungkinkah ada pendeta-pendeta
gundul begini jahat? Benar-benar jauh bedanya dengan apa yang ia baca dalam kitab-kitab. Ia
menarik napas panjang dan sambil mendongak pemuda itu berkata, “Sam-wi losuhu. Mengapa
kalian begini jauh tersesat? Apakah kalian tidak ingat lagi ujar-ujar Sang Buddha yang kalian puja?
Dengar, lupakah kau akan kata-kata ini:
“Usirlah benci, marah, dan nafsu dari pikiranmu,
Jangan hadapi kejahatan dengan kejahatan pula,
Melainkan kalahkan kejahatan dengan kebajikan,
Hadapi kemarahan dengan cinta kasih,
hadapi kejahatan dengan kebajikan,
hadapi ketamakan dengan kedermawanan,
hadapi kebohongan dengan kebenaran.
Karena orang yang dikuasai kebencian dan
kemarahan lalu menyiksa orang lain,
sebetulnya hanyalah akan menyiksa diri sendiri.”
Koleksi Kang Zusi
“Sa-wi losuhu, sedikit ujar-ujar yang kupetik dari kitab-kitab suci agamamu ini, apakah kalian
sudah lupa lagi? Aku tidak takut kalian siksa, juga tidak sudi membuka rahasia yang bukan menjadi
hak orang lain. Akan tetapi aku betul-betul kasihan kepada kalian yang sudah menyeleweng terlalu
jauh dari pada kebenaran dan dari pada ajaranmu sendiri.
Untuk sejenak tiga orang hwesio itu melengak dan saling pandang. Mereka, pendeta-pendeta
Buddha, sekarang mendapat kuliah dari seorang pemuda yang menjadi tawanan! Tentu saja mereka
kenal ujar-ujar itu yang terdapat di dalam kitab suci Dham-ma-pa-da. Akan tetapi, sebagaimana
patut disayangkan, sebagian besar di antara orang yang mempelajari kebatinan atau agama,
hanyalah menghafal dan mempelajari kata-katanya saja tanpa memperdulikan persesuaian antara
kelakuan dan kata-kata dalam pelajaran itu.
Alangkah menyedihkan kalau melihat seseorang yang baru saja keluar dari kelenteng setelah
mendengarkan atau membaca kitab-kitab pelajaran tentang cinta kasih antara sesama, begitu keluar
dari kelenteng serta merta membuka mulut memaki orang atau memukul karena sesuatu hal yang
merugikan. Alangkah menyedihkan mendengar seseorang bicara panjang lebar tentang cinta kasih
sesama manusia, akan tetapi di dalam rumahnya sendiri selalu ribut dengan anak isteri atau saudarasaudaranya!
Ah, kalau saja manusia bisa menyesuaikan kelakuan dengan isi pelajaran kitab-kitab suci, tidak
usah seratus persen, baru sepuluh persen saja, kiranya dunia ini akan aman, tidak muncul oknumoknum
yang angkara murka, ingin menjajah dan menguasai orang lain, ingin enaknya sendiri saja
tanpa memperdulikan orang lain, tidak segan-segan mengorbankan kepentingan bangsa atau negara
lain demi kesenangan bangsa dan negara sendiri.
Inilah kiranya yang membuat Nabi Locu selalu mencela adanya pelajaran-pelajaran kebatinan,
karena agaknya sudah dapat melihat bahwa yang penting adalah si manusia. Sebelum manusia
kembali kepada asalnya, yaitu seperti watak anak-anak, putih bersih dan suci, biarpun dilolohi
(diberi makan) seribu satu macam pelajaran kebatinan, tetap akan menyeleweng dan makin tersesat.
Demikian pula tiga orang hwesio itu. Karena hati dan pikiran mereka sudah dikotori oleh benci dan
dendam, mana sedikit kata-kata Han Sin itu bisa memasuki sanubari mereka? Bahkan ujar-ujar
beberapa kitab-kitab tebal sudah mereka lupakan isinya. Dengan marah Gi Hun Hosiang malah
mengayunkan kepalan tangan memukul mulut Han Sin. “Plakk!” Anehnya, bukan Han Sin yang
roboh, melainkan Gi Hun Hosiang sendiri yang memekik kesakitan sambil memegangi tangannya
yang mendadak menjadi matang biru dan bengkak-bengkak!
Kenapa bisa begini? Tiga orang hwesio itu terkejut bukan main. Pemuda tadi sudah ditotok oleh
Hoa Hoa Cinjin, kenapa sekarang setelah dipukul malah pemukulnya yang bengkak-bengkak
tangannya? Tentu saja mereka tidak tahu bahwa totokan Hoa Hoa Cinjin tadi sama sekali tidak
mempengaruhi Han Sin.
Pemuda ini sekarang sudah memiliki kepandaian cara menyalurkan jalan darahnya, sehingga ketika
ditotok tadi, otomatis ia menghentikan jalan darahnya dan totokan itu tidak ada artinya. Ia hanya
mandah di belenggu karena tadi ia terlalu heran dan kaget. Sekarang begitu menghadapi pukulan,
otomatis pikirannya lalu memerintahkan hawa sakti di dalam tubuhnya ke arah bagian yang
terpukul sehingga tenaga pukulan Gi Hun Hosiang membalik dan melukai si pemukul sendiri.
Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang tentu saja masih belum percaya bahwa Gi Hun Hosiang tadi
memukul dengan tenaga besar dan menjadi korban hawa pukulannya sendiri. Merekapun
melayangkan pukulan dan terdengar suara “buk” dua kali ketika pukulan mereka itu mengenai
Koleksi Kang Zusi
tubuh Han Sin. Akan tetapi, dua orang hwesio inipun memekik kesakitan dan merekapun menjadi
terheran-heran dan berbareng marah dan penasaran.
“Bocah setan, kau menggunakan ilmu siluman!” pekik Gi Hun Hosiang.
“Kalian bertiga ini hwesio-hwesio murtad, sudah memukul orang masih memaki-maki lagi,” kata
Han Sin mendongkol juga. Sementara itu, Li Hoa yang menyaksikan peristiwa itupun menjadi
heran bukan main.
Thian-san Sam-sian yang menjadi marah dan penasaran, kini sibuk memikirkan cara untuk
menyiksa pemuda aneh itu. Gi Hun dan Gi Ho sudah mencabut pedang dan tasbeh masing-masing,
senjata yang mereka andalkan. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Gi Thai berkata.
“Tak usah menggunakan senjata. Bhok-kongcu tidak ingin melihat dia mampus sebelum dia
membuka rahasianya.”
Setelah berkata demikian, Gi Thai Hosiang lalu mengeluarkan tiga buah obor dan menyuruh dua
orang suhengnya menyalakan obor-obor itu. Kemudian ia mengangkat obor itu dan mengancam,
“Cia Han Sin, apakah sekarangpun kau tidak mau mengaku?”
Han Sin menggigit bibirnya. “Hwesio sesat, kau mau bunuh aku boleh bunuh, jangan harap kau
dapat memaksaku membocorkan rahasia itu.”
Gi Thai Hosiang tertawa mengejek, “Bagus, memang pinceng tidak ingin kau cepat-cepat mengaku.
Biar kau rasakan panasnya api, hendak kulihat apakah kau masih bisa menggunakan ilmu siluman
lagi.” Ia lalu mendekatkan api pada muka Han Sin.
“Sam-wi losuhu, jangan!” Li Hoa menjerit. “Tidak boleh kalian menyiksa dia sampai begitu!”
Akan tetapi, tidak seperti tadi, tiga orang hwesio itu kini tidak menghiraukan larangan Li Hoa.
“Thio-siocia harap tenang saja, pinceng bertiga hanya menjalankan perintah Bhok-kongcu.” Kata
Gi Thai Hosiang sambil mendekatkan api itu pada muka Han Sin. Pemuda itu terhuyung ke
belakang dan meramkan mata karena karena merasa amat panas pada mukanya. Akan tetapi dari
belakang ia dipapak obor oleh Gi Hun Hosiang sehingga sebentar saja tiga batang obor menyala
sudah didekatkan di sekeliling mukanya, seakan-akan kepalanya sedang dipanggang.
Muka pemuda ini menjadi merah sekali dan peluh bercucuran, namun ia hanya menggigit bibir dan
mengerutkan kening, sama sekali tidak mengeluarkan suara mengeluh. Melihat pemuda yang
dicintainya disiksa begitu rupa, Li Hoa yang tidak berdaya menolong, tidak kuasa memandang lebih
lama lagi dan gadis itu membuang muka, Air matanya tak dapat dicegah lagi, turun berlinang dan
membasahi kedua pipinya.
“Han Sin …….. kasihan kau ….” bisiknya dengan perasaan hancur.
Ia mendengar suara berdebuk dan ketika ia memberanikan hati menengok, ia melihat pemuda itu
sudah roboh bergulingan di atas lantai, akan tetapi tiga batang obor itu masih saja didekatkan pada
mukanya yang sudah menjadi merah sekali seperti udang direbus! Li Hoa tidak kuat lagi.
“Han Sin, demi keselamatanmu, kau mengakulah. Biarlah warisan terkutuk itu membawa mereka
ke neraka jahanam!”
Koleksi Kang Zusi
Han Sin membuka matanya yang menjadi merah dan bengkak, ia memandang Li Hoa dan
menggeleng kepala. “Tidak bisa, Li Hoa. Aku tidak bisa mengorbankan nyawa adikku …..” suara
Han Sin terengah-engah.
“Ha ha ha, kau masih tidak mau mengaku?” ejek Gi Thai Hosiang.
“Bunuhlah ….. bunuhlah …….. aku tidak takut ….” Jawab Han Sin. Gi Thai Hosiang marah dan
menekan obornya pada leher pemuda itu maka terciumlah bau sangit ketika kulit leher itu termakan
api dan melepuh!
“Hwesio keji, tahan!” Li Hoa berseru keras dengan suara penuh ancaman. Gadis ini adalah puteri
Thio-ciangkun yang berkuasa besar di kota raja. Biarpun tiga orang hwesio itu sudah mendapat
perkenan dari Bhok-kongcu dan kebencian mereka kepada keturunan Cia Hui Gan amat besar,
namun terhadap Thio-siocia mereka masih mempunyai rasa jerih. Gi Thai Hosiang memberi tanda
kepada dua orang sutenya untuk menunda siksaan itu. Biarpun lehernya melepuh dan sakitnya
bukan main, namun tanpa mengeluh Han Sin berdiri tegak.
“Thio-siocia hendak bicara apakah?” tanya Gi Thai Hosiang.
“Biarkan aku bicara dengan dia, tunda siksaan yang keji ini.”
Li Hoa lalu menghadap Han Sin, karena biarpun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, ia
dapat menggerakkan leher dan dapat bicara seperti biasa. “Han Sin, jangan bodoh kau. Mereka ini
mana berani membunuhmu? Bhok-kongcu takkan membiarkan kau terbunuh. Mereka akan
menyiksamu setengah mati. Untuk apa kau memberatkan warisan Lie Cu Seng atau warisan
siapapun juga lebih dari pada nyawamu? Warisan, betapapun juga, hanyalah warisan duniawi,
biarpun di sana ada kitab pelajaran ilmu silat yang bagaimana hebatpun, untuk apa disembunyikan
terus dengan taruhan nyawa? Tentang adikmu, percayalah. Tidak ada guru yang mengganggu
muridnya. Ciu-ong Mo-kai tak mungkin akan mengganggu adikmu. Diapun bukan orang goblok
yang lebih suka melihat kau disiksa sampai mati dari pada memberikan rahasia tempat warisan Lie
Cu Seng.”
“Tapi ….. tapi …. Kalau warisan terjatuh kedalam tangan orang jahat …. Kalau Eng-moi betulbetul
dibunuh suhunya …… apa artinya hidup bagiku?”
“Bodoh benar! Warisan berupa apapun juga terjatuh ke dalam tangan orang jahat, baik harta
ataupun kepandaian, itu hanya akan mempercepat mereka masuk neraka! Tentang adikmu,
andaikata dia tidak dibunuh, kalau kau mati di sini, bukankah itu sama saja? Apakah dia tidak akan
susah setengah mati melihat kau tewas? Han Sin, bukalah matamu, pergunakanlah pikiranmu.
Kalau kau menolak permintaan mereka, kemungkinan mati bagimu sudah seratus persen. Kalau
menuruti permintaan mereka, kemungkinan mati bagi adikmu hanya sepuluh persen. Kau pilih yang
mana?
Han Sin kalah debat. Ia anggap pikiran gadis ini memang tepat sekali. Iapun tidak percaya kalau
Ciu-ong Mo-kai akan membunuh adiknya kalau dia memberikan rahasia tempat penyimpanan
warisan Lie Cu Seng itu kepada Bhok-kongcu. Ia lalu mengangguk dan berkata kepada Thian-san
Sam-sian.
“Katakan kepada Bhok-kongcu bahwa aku akan membawanya ke tempat disimpannya warisan
menurut peta yang sudah kuhafal. Akan tetapi bukan sekali-kali karena aku takut akan siksaan
kalian, melainkan karena aku setuju akan kata-kata Thio-siocia tadi. Pergilah!”
Koleksi Kang Zusi
Tiga orang hwesio itu kecewa. Memang mereka boleh dianggap berjasa telah berhasil menyiksa
pemuda ini sampai mengaku, akan tetapi mereka merasa belum puas. Gi Hun Hosiang menyeringai
sambil menghampiri pemuda itu. Hatinya masih sakit karena tangan kanannya bengkak-bengkak
dan belum sembuh karena tadi ia gunakan memukul Han Sin.
“Enak saja. Dengan kedua kakimu putus kau juga masih dapat membawa Bhok-kongcu ke tempat
itu!” Ia mencabut pedangnya dan mengayun pedang ke arah kedua kaki Han Sin.
“Hwesio busuk!” Li Hoa menjerit lalu menutup matanya, tak tahan menyaksikan pemuda yang ia
cinta itu dibuntungi kakinya. Akan tetapi ia mendengar suara keras dari beradunya senjata dan
terdengar suara keras hwesio itu menjerit kesakitan. Ketika gadis itu membuka matanya, ia melihat
Bhok-kongcu sudah berada di dalam kamar itu dan Gi Hun Hosiang menggeletak dengan lengan
berlumur darahnya sendiri.
Ternyata pada saat hwesio galak itu hendak membuntungi kaki Han Sin, Bhok-kongcu yang sejak
tadi memang mengintai, segera turun tangan mencegah, malah melukai tangan Gi Hun Hosiang.
Dan ini ia kerjakan dalam sekejap mata saja, menggunakan biji-biji catur sebagai senjata rahasia.
Dapat dibayangkan betapa lihainya pemuda ini.
“Tugasmu hanya menyiksa sampai dia mengaku, tidak boleh menurutkan nafsu dan kepentingan
pribadi.” Bhok-kongcu mengomel dan Gi Hun Hosiang bersama dua saudaranya membungkukbungkuk
minta maaf lalu mundur.
Bhok Kian Teng kini menghadapi Han Sin sambil tersenyum, lalu melirik ke arah Li Hoa dengan
muka mengejek. Ia makin yakin bahwa Li Hoa ternyata jatuh cinta pada pemuda gunung itu, dan
diam-diam ia merasa sakit hati dan cemburu sekali. Pernah ia tergila-gila pada Li Hoa dan ditolak
dengan keras oleh gadis itu.
Sekarang ia melihat Li Hoa begitu menyinta Han Sin, bagaimana hati pemuda mata keranjang ini
takkan merasa sakit dan iri hati? Tapi, dasar Bhok Kian Teng orangnya luar biasa, perasaan hatinya
ini tak terbayang pada wajahnya yang tampan putih itu. Diam-diam ia memutar otak untuk
membalas sakit hati ini, maka ia tersenyum kepada Han Sin dan berkata, ”Cia Han Sin, apakah kau
seorang laki-laki yang boleh dipercaya mulutnya?”
Tentu saja Han Sin menjadi marah. ”Saudara she Bhok, aku tidak kenal kau dan tidak tahu kau
manusia bagaimana, akan tetapi percayalah bahwa aku Cia Han Sin sekali mengeluarkan omongan
takkan kutarik kembali!”
”Ha ha ha, bagus sekali. Kau benar-benar seorang laki-laki sejati. Kau tadi sudah berjanji hendak
membawaku ke tempat disimpannya warisan Lie Cu Seng. Apakah kau takkan menjilat kembali
ludahmu dan menarik kembali omongan dan janjimu itu?”
Pandai sekali Bhok Kian Teng memanaskan hati orang. Han Sin yang masih hijau itu makin marah,
dengan mata melotot ia membentak. ”Orang she Bhok, ternyata kau tidak tahu akan aturan. Apa kau
kira aku ini orang yang tidak mengikuti syarat kebajikan jin-gi-lee-ti-sin (welas asih, pribudi,
peraturan, pengertian dan kepercayaan)? Ucapan yang keluar dari mulut seorang kuncu (budiman)
lebih berharga dari pada nyawanya. Tahukah kau?”
Bhok Kian Teng bertepuk-tepuk tangan. ”Hebat .... hebat ..... pujian nona Bi Eng terhadap kakaknya
ternyata tidak berlebihan. Cia Han Sin, kau benar-benar seorang kuncu tulen.” Kemudian Bhokkongcu
menoleh pada Li Hoa dan dengan gagang kipasnya ia menotok jalan darah nona ini,
Koleksi Kang Zusi
membebaskan totokan Hoa Hoa Cinjin tadi. Setelah bebas dari totokan Hoa Hoa Cinjin tadi. Setelah
bebas dari totokan, Li Hoa meloncat bangun, memandang kepada Han Sin dengan mata berduka.
”Nona, Thio Li Hoa, benar-benar kaupun harus dipuji. Pandai sekali kau menjalankan siasatmu
sehingga bocah she Cia ini masuk perangkap dan mau mengaku di mana adanya warisan yang
diperebutkan itu. Ha ha ha, tidak percuma kau menjadi puteri Thio-ciangkun yang sudah menjerat
leher ratusan orang pemberontak. Ha ha, jangan kuatir, nona Li Hoa aku sendiri yang akan mencatat
jasa-jasamu dan menyampaikan kepada kaisar.”
Han Sin kaget sekali, mukanya menjadi pucat dan ia menoleh kepada Li Hoa. “Li Hoa, kau .... kau
....” Ia lalu menarik napas panjang untuk menindas perasaannya yang tertusuk dan amat kecewa. Di
antara sekian banyaknya manusia sesat yang mengganggunya dan melakukan perbuatan jahat, ia
masih terhibur melihat Li Hoa yang ia anggap seorang baik-baik. Dalam diri Li Hoa ia melihat
seorang sahabat baik yang melindunginya. Eh, tidak tahunya itu semua hanya siasat. Hal ini
membuktikan bahwa gadis itu malah lebih jahat dan palsu dari pada yang lain!
Sementara itu, Li Hoa mendengar kata-kata Bhok-kongcu dan melihat pandang mata Han Sin
kepadanya, penuh penyesalan dan kekecewaan, segera melangkah maju. “Han Sin .... aku ... aku
tidak begitu .... jangan kau menyangka yang bukan-bukan ....”
“Ha ha ha, nona Thio Li Hoa. Kurasa tak perlu lagi kau bersandiwara di depan bocah she Cia ini!”
Bhok-kongcu memotong cepat. “Bagus sekali siasatmu tadi, berpura-pura membelanya, berpurapura
menangis tidak tega melihat dia disiksa. Bagus pula bujukanmu sehingga dia mau mengaku.
Sekarang tak perlu lagi, dia akan membawa kita ke tempat penyimpanan warisan. Ha ha ha!”
“Orang she Bhok, kubunuh kau!” Li Hoa melompat dan menyerang Bhok-kongcu dengan pukulan
keras. Namun Bhok Kian Teng dengan mudah mengelak sambil miringkan tubuh, lalu menyampok
ke samping. Tubuh gadis itu terlempar ke atas lantai. “Eh, eh, kau berani menyerangku? Kau tentu
menghendaki warisan itu, bukan? Celaka, apakah kau hendak memberontak karena warisan itu?”
Benar-benar pandai Bhok-kongcu. Ia bisa mengatur sedemikian rupa sehingga Han Sin terpedaya
dan makin marah pemuda ini karena menganggap Li Hoa benar-benar seorang yang berhati palsu.
Memang ia percaya bahwa Li Hoa menghendaki warisan, karena bukankah dahulu gadis itu sudah
secara terang-terangan menghendaki harta warisan Lie Cu Seng? Kiranya sikap manis dahulu itu
adalah karena warisan itu!
“Gadis berhati palsu!” katanya penuh kekecewaan. Li Hoa menjadi demikian berduka dan
mendongkol dan akhirnya gadis itu hanya bisa menangis.
Pada saat itu muncullah Hoa Hoa Cinjin sambil tertawa. “Selamat, Bhok-kongcu. Dia sudah mau
berjanji hendak membawa ke tempat penyimpanan harta. Lebih baik sekarang saja suruh dia
menjadi penunjuk jalan.”
Bhok-kongcu sambil tersenyum menjawab, “Cinjin berkata benar, akan tetapi saudara Cia Han Sin
masih lelah, perlu beristirahat dulu. Sekarang kuminta kepada Cinjin sukalah memberitahu kepada
semua kawan di luar supaya pulang semua. Tentang pertempuran dan pemilihan jago diundurkan,
nanti pada cap-gwe-je-it (tanggal satu bulan sepuluh) di istana ayah di kota raja. Diminta saja
supaya masing-masing kawan membawa teman-teman baru sebanyak mungkin. Suruh Leng Nio
memberi bekal masing-masing seratus tail perak disertai ucapanku selamat jalan.”
Koleksi Kang Zusi
20. Guha Rahasia Warisan Lie Cu Seng
HOA HOA CINJIN mengangguk dan hendak keluar, akan tetapi Bhok-kongcu berkata lagi. “Harap
Cinjin menahan Tung-hai Siang-mo ji-wi loenghiong itu untuk menemani kita mengambil warisan.
“ Hoa Hoa Cinjin mengangguk lagi, diam-diam memuji Bhok-kongcu yang selalu berhati-hati.
Memang, semua orang di dunia kang-ouw mengingini warisan itu, maka bukanlah hal yang tidak
ada bahayanya kalau nanti mereka mengambilnya. Perlu penjagaan yang kuat. Memang tidak usah
menguatirkan sesuatu dengan adanya dia di situ, akan tetapi kalau dibantu pula oleh dua orang iblis
dari laut timur itu, kedudukan mereka menjadi lebih kuat lagi.
Setelah Hoa Hoa Cinjin keluar, dengan wajah berseri Bhok-kongcu lalu menghampiri Han Sin,
“Saudara Cia, harap kau maafkan bahwa kau tadi telah menderita kaget. Kami tidak bermaksud
mengganggumu, hanya warisan Lie Cu Seng itulah yang menimbulkan semua urusan ini. Sekarang
kuharap kau suka mengaso dulu dan menerima hidanganku.”
Dengan kedua tangannya sendiri Bhok-kongcu melepaskan belenggu pada kaki tangan Han Sin,
kemudian menuntun pemuda yang sudah lemas dan sakit-sakit tubuhnya ini menuju ke ruang
tengah. Ia menoleh kepada Thian-san Sam-sian supaya keluar dari situ, kemudian kepada Li Hoa ia
berkata, “Nona Thio, apakah kau juga hendak melihat aku mengambil warisan itu?” Ucapan ini
mengandung ejekan. Li Hoa yang tadi menundukkan muka sambil menangis, sekarang mengangkat
mukanya dan sepasang matanya yang indah itu memandang penuh kebencian kepada Bhok-kongcu
kemudian memandang kepada Han Sin dengan penuh keharuan.
“Han Sin, berhati-hatilah kau menjaga dirimu,” katanya perlahan. Kemudian tanpa pamit kepada
Bhok-kongcu, gadis ini melompat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri turun puncak.
Bhok-kongcu tertawa bergelak,
“Saudara Cia, kau masih belum berpengalaman. Lain kali jangan kau terlalu mudah tertipu oleh
wajah cantik dan omongan manis. Dia itu bersama adiknya, sudah terkenal amat licik dan seringkali
menggunakan kecantikan mereka untuk menggoda orang.”
Han Sin makin tak senang kepada Bhok-kongcu, juga makin kecewa kalau mengingat gadis itu.
Akan tetapi dia diam saja dan karena memang perutnya lapar dan tubuhnya lemas, ia tidak menolak
ketika orang menyuguhkan makanan dan arak. Setelah makan minum sampai kenyang, Han Sin lalu
tidur di dalam kamar yang indah.
Bhok-kongcu biarpun masih mudah namun pandangannya luas dan kecerdikkannya luar biasa.
Sekali bertemu dan melihat sikap Han Sin, ia sudah tahu bahwa pemuda Min-san itu adalah seorang
kutu buku yang terlalu banyak dipengaruhi kitab-kitab kuno dan karenanya tentulah seorang yang
selalu berusaha untuk bersikap sebagai seorang kuncu sebagaimana sering kali dimunculkan
sebagai teladan di dalam kitab-kitab. Maka ia segera memegang kelemahan Han Sin, yaitu
menyuruh pemuda itu berjanji. Ia yakin bahwa pemuda seperti itu takkan mungkin mau
mengingkari janjinya.
Ia tahu pula bahwa pemuda itu sudah menderita hebat, maka perlu diberi makan dan mengaso agar
pulih kembali tenaganya. Kalau dipaksa mencari warisan dan terlalu lelah menderita, mungkin akan
menjadi nekat karena tidak kuat menahan lagi. Itulah mengapa dia bersikap ramah dan menjamu
Han Sin, malah memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menghilangkan lelahnya dan tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah bangun dan merasa tubuhnya sehat dan
segar. Lehernya yang melepuh ternyata telah diberi obat oleh gadis pelayan atas perintah Bhokkongcu
dan bukan main manjurnya obat itu. Rasa sakit sudah lenyap, malah kulit yang melepuh
Koleksi Kang Zusi
sudah pulih kembali. Ia tidak tahu bahwa obat ini adalah pemberian Hoa Hoa Cinjin, juga ia tidak
tahu betapa Hoa Hoa Cinjin diam-diam merasa terheran-heran ketika melihat bahwa pemuda ini
sama sekali sudah terbebas dari pengaruh pukulannya.
Tentu saja sebagai seorang tokoh besar, ia tidak mau membicarakan urusan ini dengan orang lain,
karena hal ini akan merugikan namanya sendiri. Diam-diam ia menduga barangkali Li Hoa telah
berusaha minta pertolongan orang pandai untuk mengobati luka Han Sin. Mungkin Ciu-ong Mo-kai
yang telah menyembuhkannya, pikirnya. Mana ia tahu bahwa pemuda itu dengan lweekangnya
yang ajaib telah dengan sendirinya melindungi tubuhnya dari pukulannya yang beracun?
Begitu Han Sin bangun, empat orang gadis-gadis pelayan yang mudah dan cantik, dengan sikap
genit memikat memasuki kamarnya dan segera pemuda ini mendapatkan pelayanan sebagai seorang
kongcu. Han Sin menjadi likat malu-malu, namun ia sama sekali tidak mau melayani sikap mereka
yang genit-genit itu. Malah diam-diam ia menjadi jemu dan menyuruh mereka keluar setelah ia
menerima bawaan mereka, yaitu air untuk mencuci muka, makanan pagi dan minuman hangat.
Tadinya mereka berkeras hendak melayaninya. Dengan kata-kata halus, senyum manis dan kerling
mata memikat mereka membujuk, namun Han Sin tetap menyuruh mereka keluar. Dengan bibir
dicibirkan dan dengus mengejek empat orang gadis pelayan yang mendapat tugas menyenangkan
hati Han Sin itu terpaksa keluar. Han Sin segera membersihkan diri lalu makan pagi.
Ketika Bhok-kongcu memasuki kamarnya, Han Sin sudah siap. “Selamat pagi, saudara Cia. Apakah
kau sudah segar kembali? Sudah siapkah mengantar siauwte pergi?”
“Aku sudah siap,” jawab Han Sin sederhana.
Ketika mereka keluar, ternyata Hoa Hoa Cinjin dan kedua Tung-hai Siang-mo juga sudah menanti.
“Di mana tempat penyimpanan itu?” Bhok-kongcu bertanya ketika mereka sudah berada di luar
gedung.
“Menurut petunjuk peta yang sudah lenyap, tempat itu berada di lereng sebelah sana. Marilah ikut
denganku,” jawab Han Sin yang segera melangkah dengan kening berkerut, menuruni puncak.
Pemuda ini mencurahkan pikirannya, mengingat-ingat letak tempat penyimpanan itu. Di dalam peta
sudah dilukis dengan jelas, yaitu di lereng di mana terdapat sebuah batu besar berbentuk segi tiga.
Ia sudah hafal benar dan tahu ke mana harus mencarinya. Karena bukit di mana gedung Bhokkongcu
berada inipun tergambar di dalam peta, maka ia tahu bahwa ia harus menuruni puncak itu
menuju ke selatan.
Bhok-kongcu mengiringkan Han Sin, diikuti oleh Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo yang
menjadi penjaga atau pengawal. Beberapa jam setelah mereka turun dari puncak dan tiba di sebuah
hutan yang penuh pohon besar, terdengar suara berkresek di antara daun-daun pohon. Bhok-kongcu
mengira bahwa itu adalah suara binatang semcam tupai atau burung besar yang hinggap di dahan
pohon. Akan tetapi tiba-tiba Ji Kong Sek tertawa menyeramkan lalu membentak.
“Pengecut, keluarlah!” tangan kirinya bergerak dan sebatang paku atau bor yang disebut Toat-bengcui
(Bor Penyabut Nyawa) melayang ke arah pohon.
“Tahan .....!” Hoa Hoa Cinjin berseru dan lengan bajunya dikipatkan. Angin pukulan dahsyat
menyambar dan Toat-beng-hui menyeleweng arahnya, tidak mengenai tempat yang dijadikan
sasaran. Ji Kong Sek terheran dan tak senang, akan tetapi segera Hoa Hoa Cinjin berseru ke arah
pohon itu,
Koleksi Kang Zusi
“Hoa-ji, jangan main sembunyi, bisa-bisa disangka musuh. Ayoh, turunlah, ada apa kau di situ?”
Terdengar suara ketawa merdu sekali disusul suara yang bening dan manja, “Gi-hu pergi, masa
anak tidak boleh ikut?”
Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. “Bocah manja! Turunlah di sini.”
“Banyak orang di situ, aku malu, gi-hu (ayah angkat)!”
Bhok-kongcu yang segera tertarik dan kagum sekali mendengar suara yang demikian merdunya,
tersenyum bertanya, “Cinjin, apakah dia itu puteri angkatmu?”
“Betul, kongcu. Dia nakal dan bandel, bukan aku yang membawanya ke sini.” Ucapan ini seakanakan
mengandung permintaan supaya puterinya itu diperbolehkan ikut.
“Tidak apa, tidak apa. Bukankah dia itu puterimu dan boleh dibilang orang sendiri? Suruhlah dia
turun, aku sudah lama mendengar namanya dan aku ingin sekali berkenalan.”
“Hoa-ji, kalau kau tidak mau turun, kau tidak boleh mengikuti kami. Ayoh, turun!”
“Gihu, kau bilang semua laki-laki jahat belaka, biar dia itu pangeran atau sastrawan. Aku tidak mau
berkenalan dengan orang lelaki!” jawab suara itu. Kali ini tidak hanya Bhok-kongcu, malah Tunghai
Siang-mo juga tertawa bergelak.
“Betul sekali! Ha ha ha!” kata Ji Kak Touw yang panjang lehernya.
“Betul apa?” tiba-tiba terdengar suara Han Sin dengan suara mendongkol. Sifatnya sebagai “kuncu”
memberontak tiap kali mendengar pendapat yang dianggapnya salah. “Siapa berani bilang semua
laki-laki jahat belaka? Laki-laki maupun wanita sama saja, dan sudah jamak kalau ada yang tersesat
jalan hidupnya. Akan tetapi tidak kurang yang bijaksana, terutama manusia laki-laki malah.
Pernahkah orang mendengar tentang orang bijaksana atau Nabi wanita, kecuali Kwan im Pouwsat
seorang? Yang bilang laki-laki semua jahat adalah seorang sombong dan bodoh!”
Bhok Kian Teng bertepuk-tepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. “Hebat, hebat! Saudara Cia
Han Sin benar-benar hebat.”
Sementara itu wanita yang bicara tadi, yang bukan lain adalah Hoa-ji si gadis berkedok puteri
angkat Hoa Hoa Cinjin, bukan main mendongkolnya mendengar ucapan Han Sin. Tampak
berkelebat bayangan dan tubuhnya yang ringan seperti sehelai daun kering itu melompat turun dari
pohon.
Bhok-kongcu menghentikan tawanya dan mulutnya melongo. Baru sekarang ia melihat gadis
berkedok yang pernah ia dengar namanya ini. Bukan main kagumnya melihat bentuk tubuh yang
ramping dan molek itu, dengan pakaian sederhana yang ketat. Tubuh seorang gadis muda yang luar
biasa indahnya, dan kulit lengan yang keluar dari lengan baju pendek sebatas siku itu amat halus
dan putih, dihias gelang perak. Biarpun seluruh kepala ditutup kedok, Bhok-kongcu berani bertaruh
batok kepala bahwa di balik kedok itu tentu tersembunyi wajah yang cantik jelita. Hatinya
berdebar-debar dan cepat ia menjura dengan senyum manis dan suara ramah.
“Siauwte Bhok Kian Teng merasa bahagia sekali dapat bertemu dengan Hoa-kouwnio (nona Hoa)
yang sakti seperti bidadari kahyangan. Benar-benar hati siauwte dipenuhi kekaguman!”
Koleksi Kang Zusi
Hoa-ji balas menjura karena maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang amat dihormat oleh
ayah angkatnya, namun ia tidak menjawab dan Bhok-kongcu tidak tahu bahwa dibalik kedok itu,
mulut si gadis tersenyum mengejek padanya. Akan tetapi muka dibalik kedok itu menghadap
kepada Han Sin dan berkata.
“Hemm, berbeda sekali dengan adiknya. Adiknya jenaka dan cerdik, kakaknya kok begini tolol dan
sombong. Gi-hu, kau mengantar si tolol ini hendak ke manakah?”
“Kami mengikutinya, dia hendak menunjukkan di mana tempat penyimpanan .....”
“Sst. Harap Cinjin hati-hati sedikit. Siapa tahu pohon-pohon ini bertelinga,” kata Bhok-kongcu
perlahan, memotong kata-kata Hoa Hoa Cinjin. Hoa Hoa Cinjin sadar dan tidak melanjutkan katakatanya.
“Hoa-ji, mari kau ikut dengan kami.”
Nona berkedok itu mengeluarkan suara ketawanya yang merdu. “Main teka-teki, apa dikira aku
tidak tahu? Hi hi hi!”
Rombongan itu berjalan terus karena Han Sin sudah mulai berjalan terus, tidak mau memperdulikan
gadis yang memakinya tolol dan sombong itu. Semua wanita, demikian pikirnya, kecuali Bi Eng,
adalah mahluk-mahluk yang berbahaya! Ia teringat akan Li Hoa, akan Leng Nio, lalu gadis-gadis
pelayan di gedung Bhok-kongcu yang amat genit-genit menjemukan. Gadis berkedok ini, sebagai
puteri angkat Hoa Hoa Cinjin, tentu juga bukan manusia baik-baik, pikirnya.
Bhok-kongcu berjalan mendekati Hoa-ji dan mengajak gadis itu bercakap-cakap dengan sikap
memikat sekali. Sebaliknya, dari balik kedoknya, Hoa-ji memandang Bhok-kongcu dengan jemu
dan benci. Hanya apabila ia memandang kepada Han Sin saja wajahnya menjadi berseri dan
pandangan matanya bersinar kekaguman.
Ia memang kagum melihat melihat pemuda yang kelihatan lemah itu demikian gagah beraninya,
sama sekali tidak kelihatan gentar padahal berada dalam tangan orang-orang seperti Bhok-kongcu
dan Hoa Hoa Cinjin yang ia tahu amat ganas dan paling gampang membunuh orang. Tokoh yang
bagaimana gagahnya di dunia kang-ouw, kalau berada dalam keadaan seperti pemuda Min-san itu,
pasti akan pucat dan ketakutan.
Han Sin membawa rombongan orang-orang itu ke sebuah lereng di mana terdapat sebuah batu
karang besar segi tiga dan di atas batu itu, bertumpuk di lereng yang terjal, terdapat batu besar.
Yang di depan sendiri, di belakang dan agak di atas batu segi tiga, adalah sebuah batu yang amat
besar. Di depan batu segi tiga ini Han Sin berhenti.
“Di sinilah tempatnya,” katanya singkat.
Bhok-kongcu melompat maju dan melihat keadaan sekitarnya. Bukit ini tidak begitu besar, akan
tetapi tempatnya berada di bagian paling belakang dari Lu-liang-san, jadi agak terpencil dan
tersembunyi. Akan tetapi, tidak ada apa-apanya yang aneh, melainkan lereng yang terjal penuh
batu-batu yang besar. Ia menjadi curiga dan bertanya, agak ketus. “Cia Han Sin, jangan main-main.
Di tempat begini gundul, mana bisa untuk simpan harta pusaka?”
Han Sin menggeleng kepala. “Ucapan seorang laki-laki takkan ditarik kembali. Aku tidak mainmain
dan memang menurut peta di tempat inilah letaknya. Batu segi tiga ini menjadi tanda yang
amat jelas. Menurut peta di belakang batu segi tiga inilah tempatnya.” Han Sin menudingkan
telunjuknya ke arah batu itu.
Koleksi Kang Zusi
Bhok-kongcu menjadi pucat. “Di belakang ini?” Ia memandang lebih teliti. Batu segi tiga itu tidak
berapa tinggi, hanya setinggi orang. Akan tetapi tebal dan karena batu itu adalah batu hitam yang
sudah tua sekali, maka beratnya tentu paling sedikit ada dua ribu kati! Kalau tempat itu berada di
belakang batu segi tiga, berarti bahwa batu itu harus disingkirkan. Ia lalu berpaling pada Hoa Hoa
Cinjin dan bertanya,
“Cinjin, tanpa pembantu-pembantu yang banyak, bagaimana mungkin menggeser batu yang besar
ini?”
Hoa Hoa Cinjin menggulung lengan bajunya dan menjawab, “Kongcu, dalam urusan ini, tidak baik
mendatangkan banyak pembantu. Biarlah pinto mencobanya.”
Tosu tua yang bertubuh kekar ini lalu mendekati batu segi tiga dari samping. Ia melihat batu itu
hanya bersandar pada tebing karang, tidak menjadi satu dengan karang maka ia merasa masih
sanggup menggesernya. Dengan memasang kuda-kuda yang amat kuat, ia lalu menggunakan tenaga
Jeng-king-kang (Tenaga Seribu Kati) dan mendorong batu itu. Akan tetapi batu itu tidak bergeming.
Terdengar suara tertawa dan ternyata Tung-hai Siang-mo sepasang iblis itu yang tertawa.
Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran. Dikerahkan seluruh tenaga dan dari ubun-ubun kepalanya
sampai keluar uap, tulang-tulang tubuhnya berbunyi berkerotokan dan urat-urat di kedua lengannya
tersmbul seperti ular melilit-lilit. Batu besar itu bergerak sedikit, namun tetap tidak dapat bergeser.
Akhirnya terdengar suara dan batu yang sudah goyang itu membalik sedangkan kedua kaki Hoa
Hoa Cinjin amblas sampai selutut ke dalam tanah! Terpaksa tosu itu melepaskan dorongannya dan
menyusut peluh. Ia mencabut keluar kedua kakinya dan mencari injakan lain untuk mencoba pula.
“Gi-hu, batu itu terlampau berat. Tak mungkin tenaga seorang manusia menggesernya,” kata Hoa-ji
mencegah ayahnya.
“Ha ha ha, kau benar, nona berkedok. Tenaga Hoa Hoa Cinjin seorang mana mampu?” kata Ji Kong
Sek mengejek. Adapun Ji Kak Touw tertawa-tawa mendengus.
Hoa Hoa Cinjin sudah melotot. Matanya yang mempunyai sinar menakutkan, luar biasa tajamnya
itu seperti mengeluarkan api. Ia marah sekali kepada Tung-hai Siang-mo yang mengejeknya.
Melihat ini, Bhok-kongcu mendahuluinya berkata kepada sepasang iblis itu.
“Ji-wi lo-enghiong berdua yang terkenal memiliki tenaga Pai-san-ciang (Tangan Mendorong
Gunung), tentu akan dapat mendorongnya.”
Sepasang iblis itu saling pandang. Tidak enak kalau mereka diam saja tanpa turun tangan. Maka
keduanya lalu menghampiri batu itu. Tadi Hoa Hoa Cinjin mendorong dari kiri, sekarang karena di
bagian kiri itu tanahnya sudah amblong terinjak kuda-kuda kaki Hoa Hoa Cinjin, mereka
mendorong dari kanan. Berdua mengerahkan tenaga dan menyatukan kekuatan, mendorong batu
segi tiga itu.
Kembali batu bergoyang-goyang, akan tetapi tetap tidak dapat bergeser. Sampai merah muka kedua
orang itu, juga dari kepala mereka mengebul uap karena mereka mengerahkan seluruh tenaga
dalam, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya mereka menyerah dan melepaskan dorongan.
“Ha ha ha! Tenaga Pai-san-ciang kiranya hanya bisa untuk mendorong gunung-gunungan,
jangankan mendorong gunung sungguh-sungguh, mendorong batu saja tidak becus. Ha ha ha!” Hoa
Hoa Cinjin membalas kedua orang itu dengan ketawa mengejek. Hoa-ji tentu saja membela ayah
angkatnya dan nona inipun tertawa merdu dan nyaring.
Koleksi Kang Zusi
Tung-hai Siang-mo malu dan marah. “Hoa Hoa Cinjin, kau sendiri tidak becus, kenapa kau
mentertawai orang? Setidaknya tenaga kami berdua tidak kalah oeh tenagamu!” kata Ji Kak Touw
sambil melotot.
Hoa Hoa Cinjin mengangkat dada. “Begitukah? Boleh kita coba!”
“Majulah!” dua orang iblis itu memasang kuda-kuda dan siap untuk mengadu tenaga.
Hoa Hoa Cinjin melompat maju, meluruskan kedua lengan dan di lain saat sepasang lengannya
sudah bertemu dengan dua pasang lengan Tung-hai Siang-mo dan tiga orang ini saling mendorong,
mengerahkan tenaga masing-masing! Ramai sekali adu tenaga ini sampai Hoa-ji bertepuk tangan
saking gembiranya. Bhok-kongcu berusaha mencegah, namun tiga orang kakek yang sudah panas
perutnya itu mana mau saja?
Han Sin benar-benar merasa mendongkol dan jemu melihat lagak orang-orang kang-ouw yang
sedikit-sedikit menonjolkan kepandaiannya ini. Agaknya bagi para tokoh kang-ouw itu, yang
terpenting dalam hidup hanyalah memamerkan kepandaian dan bertempur untuk mencari
kemenangan! Ia melangkah maju dan berkata tak senang.
“Sam-wi ini orang-orang tua seperti bocah-bocah saja! Kalian mengaku pembantu dari Bhokkongcu,
pembantu-pembantu macam apa ini? Ikut-ikutan ke sini bermaksud membantu Bhokkongcu
mencari pusaka itu atau hanya untuk saling cakar? Masing-masing tidak mampu menggeser
batu, malah saling gempur. Kalau tenaga itu semua disatukan mendorong batu, itulah lebih baik dari
pada saling dorong seperti bocah tak tahu aturan!”
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang demikian nyaringnya sehingga pengerahan lweekang
tiga orang itu menjadi terganggu, bahkan Hoa-ji dan Bhok-kongcu sampai merasa sakit anak
telinganya. Mereka kaget bukan main dan memandang kepada Han Sin dengan bengong.
Adapun Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, ketika mendengar omongan ini lalu sadar. Tadi
mereka hampir lupa bahwa mereka berada di situ atas perintah Bhok-kongcu, bahkan mereka telah
saling adu kekuatan di depan Bhok-kongcu, lupa akan tugas mereka diajak ke situ. Segera mereka
menarik tenaga masing-masing dan memandang kepada Bhok-kongcu dengan muka merah.
Pangeran muda ini agak cemberut.
“Maaf kongcu. Pinto telah menuruti nafsu,” kata Hoa Hoa Cinjin dan dua orang iblis itupun
mengangguk-angguk di depan Bhok-kongcu.
“Hoa Hoa Cinjin, apa yang diucapkan bocah ini memang ada betulnya. Mari kita bertiga
mendorong batu keparat ini, masa tidak kuat?” kata Ji Kong Sek. Hoa Hoa Cinjin mengangguk dan
mereka lalu menghampiri batu segi tiga itu. Tenaga tiga orang yang tadinya diadu itu kini bersatu
mendorong batu. Hebat bukan main tenaga tiga orang ini. Batu itu perlahan-lahan tergeser.
Melihat bahwa di balik batu itu terdapat gua, Bhok-kongcu menjadi girang dan turun tangan ikut
mendorong, demikian pula Hoa-ji. Hanya Han Sin yang berdiri saja memandang, diam-diam ia pun
merasa girang bahwa peta itu ternyata tidak bohong. Tentu di dalam guha ini adanya pusaka rahasia
itu. Sedih hatinya kalau mengingat bahwa pusaka peninggalan ayah dan kong-kongnya, yang
diwariskan kepadanya, kini akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak berhak. Bukan
sekali-kali karena dia ingin sekali mendapatkan harta benda, melainkan menyayangkan kalau harta
pusaka jatuh ke dalam tangan orang-orang yang ia anggap tersesat ke jalan kejahatan ini.
Koleksi Kang Zusi
Harta maupun segala benda keduniaan, apabila terjatuh ke dalam tangan orang bijaksana, akan
merupakan anugerah, bagi si orang itu sendiri maupun orang-orang lain karena benda dunia malah
dapat menjadi alat untuk orang melakukan kebajikan dalam hidup. Sebaliknya, apabila terjatuh ke
dalam tangan orang-orang yang sesat, benda itu akan mendatangkan malapetaka, baik bagi si
pemilik maupun bagi orang lain, karena benda itu akan dijadikan alat untuk pengumbar nafsu!
Setelah mendapat bantuan Bhok-kongcu dan Hoa-ji yang keduanya juga memiliki tenaga lweekang
luar biasa, batu segi tiga itu terguling mengeluarkan suara keras. Han Sin yang tertarik juga akan isi
guha yang kini kelihatan jelas, merupakan sebuah guha yang bentuknya seperti mulkut naga, cepat
melangkah masuk.
Tiba-tiba terdengar suara keras sekali dan ….. batu besar yang tadinya rebah miring di atas batu
segi tiga, kini bergerak turun! Agaknya pegangan batu itu pada gunung karang telah patah karena
batu segi tiga yang merupakan ganjalnya dipindahkan.
“Celaka ……!” Bhok-kongcu berseru pucat.
“Satukan tenaga, tahan batu ini!” teriak Hoa Hoa Cinjin. Batu besar itu memang sudah turun
hendak menggencet mereka, maka dengan kedua lengan diangkat ke atas, Hoa Hoa Cinjin, kedua
Tung-hai Siang-mo, Bhok-kongcu, dan Hoa-ji menahan turunnya batu. Baiknya batu itu di bagian
atas masih menyandar kepada gunung karang sehingga bobotnya masih dapat diganjal oleh enam
pasang lengan itu. Kalau tidak ada gunung karang yang menahan, mana mereka kuat? Tentu tubuh
mereka akan tergencet gepeng.
Akan tetapi keadaan merekapun bukan tidak berbahaya. Mereka sudah menahan batu dan mereka
tidak mungkin dapat melepaskan lengan mereka dari bawah batu. Sekali mereka melepaskan diri,
batu itu akan menggencet ke bawah dan mereka akan menjadi hancur! Kalau terus melanjutkan
usaha menahan turunnya batu besar itu, merekapun takkan kuat menahan terlalu lama. Maju celaka,
mundur hancur! Bhok-kongcu agaknya maklum hal ini, maka pemuda ini sudah menjadi pucat dan
memutar otak mencari siasat.
Sementara itu, ketika Han Sin menyelinap masuk, ia melihat guha yang amat lebar dan gelap sekali.
Guha itu merupakan terowongan dan saking gelapnya ia tidak melihat apa adanya di sebelah dalam.
Selagi ia hendak memeriksa, ia mendengar suara-suara mereka yang sedang mati-matian menahan
batu. Ia menengok dan pemuda ini berdebar hatinya. Tanpa ragu-ragu lagi ia melompat sambil
berseru, “Celaka ....!” Kemudian serta merta iapun mengangkat kedua lengan dan ikut menyangga
batu. Kebetulan, tanpa disengaja tempat ia berdiri adalah di depan Hoa-ji sehingga ia hampir beradu
muka dengan gadis itu.
Mata dibalik kedok itu memandang penuh keheranan dan kekaguman.
“Kau .....” bisik Hoa-ji. “Kenapa membantu kami .......?”
“Kenapa tidak? Kalian terancam bahaya, mana bisa aku tidak membantu?” Han Sin balas bertanya
dengan heran. Setelah pemuda ini ikut menyangga batu, enam orang itu dapat bernapas seakan-akan
batu itu menjadi ringan. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka dapat menduga bahwa ini
adalah karena tenaga kedua lengan tangan Han Sin yang amat luar biasa! Dan pemuda itu masih
bisa kongkow (mengobrol)!
“Bodoh, kalau sekarang kau lari pergi, siapa yang bisa menghalangimu?” kata pula Hoa-ji.
Mendengar ini, Bhok-kongcu mendongkol sekali. Kenapa semua perempuan mengambil sikap
membela Han Sin bocah gunung itu? Ia benar-benar iri hati sekali.
Koleksi Kang Zusi
“Kau yang bodoh!” jawab Han Sin membuat heran semua orang. “Kau kira aku manusia macam
apa melihat kau dan yang lain-lain terancam bahaya maut malah pergi dan tidak menolong? Huh,
aku bukan orang macam itu.”
“Huh, kuncu tulen .....!” Semua orang terheran, juga Han Sin. Di antara mereka tidak ada yang
mengeluarkan kata-kata ini, dan anehnya, kata-kata ini keluarnya dari .... sebelah dalam guha yang
gelap itu. Akan tetapi begitu perlahan seperti bisikan dan begitu aneh suara itu seperti bukan suara
manusia. Biarpun amat perlahan namun terdengar jelas, benar-benar hebat.
Selagi semua orang terheran, dari luar terdengar suara kerincingan yang amat nyaring. Makin lama
suara kerincingan ini makin nyaring dan dekat.
“Ayah datang .......!!” seru Bhok-kongcu girang luar biasa. Mendengar ini, muka Hoa Hoa Cinjin
dan Tung-hai Siang-mo berubah pucat. Diam-diam mereka mengeluh. Biarpun mereka bertiga
memang suka membantu pemerintah baru untuk merebut kedudukan dan kemuliaan, namun diamdiam
kalau di atas pusaka rahasia peninggalan Lie Cu Seng benar-benar terdapat kitab pelajaran
ilmu silat tinggi seperti yang dikabarkan di dunia kang-ouw, mereka tentu akan berusaha
mendapatkannya.
Sekarang munculnya tokoh besar itu, Pak-thian-tok Bhok Hong yang namanya sudah membuat
semua orang ketakutan, mereka tentu saja menjadi kecewa. Biarpun mereka bertiga belum pernah
bertanding melawan Bhok Hong, akan tetapi pada masa itu di dunia persilatan hanya ada beberapa
orang saja yang dapat disejajarkan nama besarnya dengan Pak-thian-tok Bhok Hong. Ketika tentara
Mancu menyerbu ke selatan, entah sudah berapa banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw
yang roboh di tangan Bhok Hong ini. Malah kabarnya para gembong dari partai persilatan Kun-lunpai,
Khong-tong-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain sudah jatuh di bawah tangan besi
atau tangan racunnya.
Dari bawah lereng muncul seorang kakek tinggi besar yang amat angker sikapnya. Kakek itu
berusia kurang lebih lima puluh tahun, wajahnya seperti wajah pahlawan Kwan In Tiang, merah dan
gagah perkasa serta tampan. Pakaiannya seperti pakaian perang, di pinggangnya tergantung
sebatang golok. Kerincingan yang berbunyi amat nyaring itu adalah kerincingan-kerincingan perak
kecil-kecil berjumlah seratus delapan buah yang digantungkan pada pakaian serta topinya.
Anehnya, begitu kakek itu sudah datang dekat dengan tindakan yang luar biasa cepatnya,
kerincingan itu mendadak berhenti semua! Inilah keistimewaan Pak-thian-tok Bhok Hong. Sebagai
seorang cabang atas ia selalu memberi warta tentang kedatangannya dengan bunyi kerincingan itu
dan setelah dekat, dengan menggunakan kepandaian lweekang yang sudah amat tinggi ia bisa
membuat kerincingan-kerincingan itu tidak bergoyang biarpun tubuhnya bergerak-gerak dalam
pertempuran.
Melihat keadaan puteranya dan orang-orang lain yang sedang menahan batu besar itu, tanpa berkata
sesuatu Bhok Hong lalu menyelinap masuk. Tangan kanannya menyangga batu itu dan tangan
kirinya mendorong tubuh puteranya keluar. “Keluar kau dan minggir!”
Bhok-kongcu percaya akan kesaktian ayahnya, maka ia menurut saja, menggunakan tenaga
dorongan ayahnya untuk melompat keluar dan berlindung di samping pada dinding gunung karang.
Pak-thian-tok Bhok Hong memandang kepada orang-orang lain yang masih menahan batu dengan
sikap tidak acuh.
“Kalian tidak lekas menggelinding pergi, tunggu apa lagi?”
Koleksi Kang Zusi
Hoa-ji maklum bahwa batu itu akan dilontarkan oleh kakek sakti ini, memang paling selamat pergi
berlindung seperti Bhok-kongcu, maka ia lalu melepaskan kedua tangannya dan melompat keluar.
Akan tetapi, Hoa Hoa Cinjin dan dua orang iblis dari laut timur berpikir lain. Kedatangan Racun
dari Dunia Utara ini tentu menghendaki kitab rahasia di dalam guha. Maka mereka lalu melepaskan
tangan pula, akan tetapi tidak melompat keluar, sebaliknya malah melompat ke dalam guha!
Karena ditinggal oleh lima orang itu, batu yang menggencet terasa berat sekali sehingga Bhok Hong
harus mengerahkan tenaga sepenuhnya. Dia tidak tahu bahwa bantuan Han Sin memungkinkan dia
menahan batu itu. Andaikata Han Sin juga melepaskan batu, tidak mudah bagi orang sakti itu untuk
menahannya seorang diri. Sekarang, ia hanya mengira bahwa batu itu hanya kelihatan besar saja
akan tetapi tidak berapa berat, maka ia hanya menahan dengan lengan kanan sedangkan lengan
kirinya dilambaikan ke arah Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo.
“Kalian mau apa? Keluar kataku!”
Hoa Hoa Cinjin menjurah. “Bhok-taijin, pinto bertiga bertugas membantu Bhok-kongcu mencari
pusaka rahasia ......”
“Tikus-tikus macam kalian mana becus? Keluar!” Tangan kiri itu berkelebat dan ujung lengan baju
Bhok Hong bergerak tiga kali melakukan serangan totokan ke arah jalan darah maut di tenggorokan
tiga orang itu. Hebat sekali serangan ini, angin pukulannya saja sudah menderu tanda bahwa
tenaganya besar. Hoa Hoa Cinjin dan kedua Tung-hai Siang-mo tidak berani menangkis, melainkan
mengelak. Akan tetapi di lain saat, tiga kali tangan kiri Bhok Hong bergerak, menangkap belakang
leher tiga orang kakek kosen itu dan berganti-ganti mereka dilempar keluar.
Benar-benar hal ini amat ajaib, Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo pada masa itu adalah tokohtokoh
besar yang di dunia yang di dunia kang-ouw menduduki tempat tinggi. Jarang ada ahli silat
dapat melawan mereka. Apalagi Hoa Hoa Cinjin. Akan tetapi sekali gebrak saja Pak-thian-tok Bhok
Hong sudah berhasil melempar mereka. Benar-benar hal ini menunjukkan betapa tingginya tingkat
kepandaian raja muda ini. Memang ilmu silatnya aneh dan selain ilmu silat di daerah pedalaman
Tiongkok, raja muda bangsa Mongol keturunan Jenghis Khan inipun adalah seorang ahli ilmu gulat
Mongol yang sudah terkenal ketangkasan dan kekuatannya.
Kemudian Bhok Hong memandang Han Sin yang masih menyangga batu dengan kedua tangan. Ia
menjadi geli hati, tidak menyangka sama sekali bahwa tadi ia dapat menggunakan sebelah tangan
menjaga batu dan sebelah lagi melemparkan tiga orang tokoh kang-ouw, sebetulnya sepenuhnya
adalah atas bantuan Han Sin. Kalau saja pemuda ini tidak menggunakan kedua lengan untuk
menahan batu, dengan sebelah tangan saja mana Bhok Hong kuat menahan batu yang beratnya
ribuan kati itu?
“Eh, orang muda tolol. Kaupun belum pergi?” bentaknya.
“Locianpwe kuat dan kosen, akan tetapi tanpa dibantu, bisa berbahaya sekali kalau tertimpa batu
yang berat ini,” jawab Han Sin dengan tenang.
“Cia Han Sin, ayoh kau melompat keluar. Lekas kalau menyayang jiwamu!” terdengar Hoa-ji
berseru dan kembali Bhok-kongcu merasa cemburu dan iri.
Akan tetapi jawaban Han Sin membuat semua orang melengak. Pemuda itu nampak marah. “Kalian
ini pengecut-pengecut besar yang tidak tahu malu! Locianpwe yang gagah ini datang hendak
membantu, masa kalian malah meninggalkannya? Benar-benar tak kenal budi. Aku mau
membantunya, biar mati tergencet batu aku tidak takut!”
Koleksi Kang Zusi
Bhok Hong adalah seorang aneh dan di dunia kang-ouw ini, sudah seringkali ia melihat hal-hal
aneh, orang-orang berwatak lain dari pada yang lain dan yang baginya sudah tidak mengherankan
lagi. Akan tetapi baru sekarang ia bertemu dengan seorang muda yang demikian tolol dan berlagak
seperti seorang kuncu. Akan tetapi ketika mendengar suara Hoa-ji yang menyebutkan nama pemuda
itu, ia tertegun.
“Kau she Cia? Masih apanya Cia Hui Gan?”
“Beliau adalah kakekku,” jawab Han Sin, girang bahwa orang tua sakti ini mengenal kakeknya.
“Bagus, nanti kau bawa aku ke dalam!” Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya Bhok
Hong mendorong batu itu sambil berteriak keras, “Keluar!”
Han Sin merasa bahwa kakek itu mendorong batu dan ia maklum apa yang dikendaki kakek itu.
Maka iapun mengerahkan tenaganya mendorong batu itu keluar. Terdengar suara hiruk-pikuk dan
batu besar itu terdorong keluar, bergulingan ke bawah lereng. Bhok-kongcu dan yang lain, yang
berlindung di samping, merasa betapa dinding gunung karang itu bergetar seperti ada gempa bumi!
Ledakan batu besar yang menimpa batu-batu di bawah itu disusul oleh suara hiruk-pikuk dari atas.
“Ayah, awas .....! Bhok-kongcu berteriak sambil melangkah mundur. Ternyata dari atas, batu-batu
besar kecil sekarang bergulingan ke bawah, karena batu besar yang tadi menjadi penahan telah tidak
ada. Semua batu itu gugur dan melongsor ke bawah menimpa ke arah guha di mana Han Sin dan
Bhok Hong berdiri.
“Han Sin, awas .....!” di antara gemuruh suara batu-batu bergulingan itu terdengar jerit Hoa-ji.
Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo sibuk menangkisi batu-batu kecil yang
mencelat ke arah mereka berdiri.
Adapun Pak-thian-tok Bhok Hong, ketika melihat batu-batu besar kecil seperti air hujan menimpa
turun, cepat ia melangkah mundur dan kedua tangannya ia gerakan berkali-kali mendorong ke
depan. Gerakan ini mendatangkan angin dan demikian kuatnya sehingga batu-batu yang hendak
menggelinding ke dalam gua, dapat terdorong keluar. Makin lama batu-batu itu menumpuk makin
banyak dan di lain saat, guha itu sudah tertutup oleh timbunan batu-batu yang laksaan kati beratnya.
Mereka berdua seperti terpendam hidup-hidup di dalam guha itu!
Han Sin berdiri mepet dinding guha sambil memandang kagum. Ia amat kagum melihat kehebatan
kakek sakti itu. Akan tetapi makin lama keadaan di situ makin gelap dan setelah seluruh guha
tertutup timbunan batu, di situ menjadi gelap pekat.
Bhok Hong tertawa bergelak. “Ha ha ha ha, si pemberontak Lie Cu Seng sampai mampuspun masih
memusuhi aku. Akan tetapi, aku Bhok Hong masih hidup dan selama masih hidup, tak seorang pun
dapat menguasaiku. Ha ha ha!” Kemudian ia menoleh ke arah Han Sin ketika mendengar suara kaki
pemuda itu bergerak.
“Bocah she Cia! Kau datang mengantar Kian Teng mencari pusaka Lie Cu Seng. Katakan, di mana
itu? Di mana letaknya dalam guha ini.”
“Locianpwe, kau adalah seorang kakek yang gagah perkasa. Kenapa agaknya kaupun tergila-gila
oleh harta pusaka warisan orang lain? Harap kau sadar, locianpwe, bahwa barang yang bukan
haknya amat tidak baik kalau diharapkan. Dalam dunia ini, hidup hanya sekejap mata, sementara
menanti datangnya kematian kenapa tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik? Kenapa orangorang
gagah seperti locianpwe dan yang lain-lain itu memperebutkan barang yang bukan haknya?
Koleksi Kang Zusi
Apalagi sekarang locianpwe dan aku sudah seperti dikubur hidup-hidup, masa masih memikirkan
harta warisan?”
Kembali Bhok Hong tertawa bergelak dan sifat suka ketawa ini mengingatkan Han Sin akan Bhok
Kian Teng. Agaknya hanya sifat ini yang sama antara ayah dan anak itu. Akan tetapi kalau suara
ketawa Kian Teng terdengar merdu, ramah dan menyenangkan, adalah suara ketawa kakek ini
sewajarnya, keras, kasar dan juga menakutkan.
“Barangkali kau sudah gila, bicaramu sudah tidak karuan lagi. Tapi aku suka kau begini berani.
Bosan aku melihat orang-orang menyembah-nyembahku, ketakutan setengah mati. Eh, cucu Cia
Hui Gan. Harta benda sedunia ini mana kukehendaki? Aku hanya ingin menambah satu dua
pukulan warisan Tat Mo Couwsu, karena sebelum mampus aku harus dapat mengalahkan si monyet
Hui-kiam Koai-sian!”
Begitu mendengar orang menyebut monyet, sekali gus Han Sin teringat akan Siauw-ong. “Aduh,
celaka! Di mana Siauw-ong ....?” katanya bingung dan mengingat-ingat. Ia teringat bahwa monyet
itu tidak nampak lagi ketika ia disiksa oleh Thian-san Sam-sian dulu, tidak tahu ke mana perginya.
Bhok Hong tentu saja makin bingung. “Siapa itu Siauw-ong? Tidak ada Siauw-ong (Raja Kecil)
kecuali aku, Raja Muda Bhok Hong! Bocah she Cia, apa kau sudah gila?”
Han Sin sadar dan berkata, “Locianpwe, yang kusebut tadi adalah monyetku yang hilang. Akupun
tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Siapa itu Hui-kiam Koai-sian? Kenapa kau harus
mengalahkannya?”
“Duduklah Tidak ada orang orang lain di dunia ini boleh mendengarkan. Kau takkan lama lagi
hidup, maka tiada halangan kau menjadi satu-satunya orang yang mendengarnya. Aku, Pak-thiantok
Bhok Hong, selama menjagoi di daratan Tiongkok ini, entah sudah berapa ratus kali bertanding
melawan jago-jago dari seluruh pelosok dan selalu aku menang. Hanya dua kali aku menemui
tanding. Pertama-tama adalah seorang nenek pendeta sakti bernama Pek Sim Niang-niang. Kedua
adalah Hui-kiam Koai-sian yang baru-baru ini bertanding selama tiga hari dengan aku tanpa ada
yang kalah ataupun menang. Karena itu, aku harus memiliki kitab Tat Mo Couwsu yang berada
bersama benda warisan Lie Cu Seng, melihat kalau-kalau di situ terdapat jurus-jurus yang akan
dapat kupakai mengalahkan Hui-kiam Koai-sian, kemudian kalau mungkin, Pek Sim Niang-niang.
Nah, kau sudah tahu sekarang, lekas katakan di mana adanya tempat simpanan itu.”
Pada saat itu terdengar suara keras dan tahu-tahu dinding sebelah dalam guha itu berlubang.
Sesosok bayangan merayap keluar di dalam gelap, tentu saja tidak kelihatan, hanya terdengar
suaranya saja. “Heh heh heh heh! Pak-thian-tok sudah tua bangka masih gila nama besar, heh heh!”
Pak-thian-tok Bhok Hong kaget sekali. Ia tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang muncul
ini, entah manusia entah iblis. Akan tetapi ia maklum bahwa orang ini tentu berbahaya. Tanpa
banyak cakap ia lalu menyerang ke arah suara itu. Hebat sekali serangan Bhok Hong ini. Terdengar
suara keras dan batu karang yang terkena pukulannya hancur, akan tetapi orang yang diserangnya
telah dapat mengelak.
“Heh heh heh, orang Mongol! Mengadu kepandaian dalam gelap tidak ada artinya. Kalau kau betul
ingin menguji kepandaian, mari kejar aku! Heh heh heh!”
“Siluman maupun manusia, kau takkan terlepas dari tanganku!” teriak Bhok Hong sambil mengejar
ke depan dan dengan berani iapun ikut merayap melalui lubang pada dinding yang tadi jebol. Han
Sin dapat mendengar semua ini dengan jelas. Pendengarannya sudah amat tajam berkat sinkangnya
Koleksi Kang Zusi
yang tinggi, maka biarpun matanya tidak dapat melihat di dalam gelap, namun dengan
pendengarannya ia seakan-akan dapat menyaksikan semua itu. Melihat Bhok Hong mengejar masuk
ke dalam terowongan kecil, iapun mengejar pula.
21. Apakah Cia Han Sin seorang Patriot?
KURANG lebih dua puluh tombak mereka merayap, tibalah mereka pada sebuah ruangan yang
besar dan di situ terdapat sinar terang. Sinar ini sebetulnya takkan cukup untuk menerangi ruangan
itu, karena cahaya matahari yang menembus celah-celah batu karang hanya sedikit.
Akan tetapi, pada dinding itu terdapat puluhan batu yang mengeluarkan cahaya, atau sebetulnya
yang memantulkan sinar matahari, membuat cahaya itu menjadi berlipat kali terangnya. Ketika Han
Sin memandang, ternyata bahwa batu-batu itu adalah batu-batu permata yang amat besar, yang
dipasang begitu saja pada dinding karang.
Akan tetapi perhatiannya tidak tertuju kepada kemewahan yang ganjil ini. Ia memandang ke depan
dan melihat bahwa orang yang tadi mengeluarkan suara, ternyata adalah mahluk yang hampir tidak
menyerupai orang lagi. Tubuhnya sudah melengkung ke depan sampai dagunya hampir menyentuh
tanah, mukanya kerut merut tanda usia yang sangat tua dan kulitnya hitam seperti tanah. Rambutnya
sudah habis dan kepala itu sekarang tertutup kotoran-kotoran menghitam. Ia tidak berpakaian lagi,
hanya di bagian bawah tertutup akar-akar pohon yang dibelit-belitkan. Kedua tangannya panjang
seperti tangan kera.
Orang mengerikan ini sedang berdiri membungkuk sambil tertawa-tawa, sedangkan Bhok Hong
menghadapinya sambil memandang tajam. Bhok Hong mengingat-ingat, kemudian ia berseru heran.
“Bukankah kau Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar) Kui Lok?”
“Heh heh heh, matamu masih awas. Heh heh heh, orang she Bhok, kau mengagulkan diri sebagai
keturunan Jenghis Khan. Akan tetapi sekarang kau mengekor kepada orang Mancu, menjilat-jilat
pantat seperti anjing. Aha, lebih rendah dari pada anjing, heh heh heh!”
“Bangsat! Kau berani memaki aku mengandalkan apa?” bentak Bhok Hong sambil menerjang maju.
Kedua tangannya bergerak dan terdengar angin pukulan bersiutan menyambar ke arah kakek
bongkok yang bernama Kui Lok itu.
Kakek bongkok itu biarpun tubuhnya sudah bercacad, namun gerakannya gesit sekali. Tadi di
dalam gelap ia mampu mengelak dari serangan Bhok Hong, akan tetapi di tempat terang tak
mungkin ada orang dapat mengelak dari serangan tokoh besar ini, dan jalan satu-satunya hanya
menangkis. Kui Lok agaknya maklum akan hal ini, maka iapun lalu menggerakkan kedua
tangannya yang panjang untuk menangkis.
“Bledukk!”
Dalam pertempuran antara tokoh-tokoh persilatan yang besar, tidak mungkin lagi mengandalkan
kegesitan untuk mengelak. Serangan-serangan yang dilakukan terlampau lihai dan berat, sehingga
jalan satu-satunya hanyalah menindih pukulan itu dengan tangkisan. Siapa yang lebih lihai silatnya,
lebih menguntungkan kedudukannya.
Maka dalam pertempuran pertama ini, biarpun kedudukan Kui Lok lebih menguntungkan karena
gerakan atau jurusnya memang aneh sekali, namun ia kalah tenaga lweekang. Ketika dua pasang
Koleksi Kang Zusi
tangan bertemu, tubuh Kui Lok terlempar ke belakang sampai membentur dinding karang,
sedangkan tubuh Bhok Hong juga hampir terpelanting ke belakang.
“Hebat tenagamu!” seru Kui Lok.
“Setan, jurus apa yang kaugunakan tadi?” seru pula Bhok Hong kagum sekali.
Tiba-tiba tubuh Kui Lok yang terbentur karang itu membalik seperti sebuah bola karet dan tahutahu
dengan gerakan lebih aneh lagi sambil terkekeh-kekeh ia menyerang ke arah kempungan Bhok
Hong.
Racun Utara ini kaget sekali biarpun ia menggunakan hawa pukulan menangkis, namun pukulan itu
masih terus menyelonong dan hampir saja perutnya kena disodok. Sekuat tenaga ia menangkis.
Betul sodokan tangan kanan Kui Lok dapat ia pukul sampai Kui Lok meringis kesakitan, namun
tangan kiri Kui Lok yang melakukan serangan mendadak dan tidak terduga-duga itu tahu-tahu telah
mampir di lehernya.
“Plakk …..!”
“Aduhhh …..!” Teriakan aduh ini keluar dari dua mulut. Bhok Hong merasa lehernya sakit dan
pandang matanya berkunang ketika leher itu kena dipukul. Baiknya sinkang di tubuhnya sudah kuat
sekali sehingga ia dapat menyalurkan tenaga ke arah yang dipukul dan tidak menderita luka berat.
Adapun Kui Lok mengaduh karena selain tangan kirinya serasa memukul baja, juga tangan kanan
yang ditangkis keras tadi menjadi bengkak.
“Kau menggunakan ilmu silat siluman!” Bhok Hong berseru lagi, marah.
“Heh heh heh, Pak-thian-tok kena kupukul. Heh heh heh!” Kui Lok berseru kegirangan. Akan tetapi
ia tidak dapat bergirang terus karena bagaikan seekor singa menubruk, tahu-tahu Bhok Hong sudah
menerjangnya dengan kedua tangannya. Kui Lok juga mementang kedua tangan dan di lain saat dua
pasang tangan itu sudah saling cengkeram dan saling dorong!”
Melihat cara dua orang kakek ini bertempur, Han Sin menjadi geli hatinya. Kenapa mereka
berkelahi seperti dua orang bocah sedang bergelut saja? Sama sekali tidak indah dilihat, lebih indah
kalau Bi Eng bersilat dan bertempur menghadapi lawan. Sekarang mereka saling cengkeram tangan,
apa-apaan ini? Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat keadaan Kui Lok tergencet dan
terdesak hebat sekali. Tidak saja dari ubun-ubun kepalanya keluar uap putih, juga mukanya makin
lama menjadi makin hitam dan dari mulutnya sebelah kiri keluar darah!
Perasaan kasihan timbul di hati Han Sin. Terlalu sekali Bhok Hong, pikirnya. Sudah terang bahwa
kakek bongkok ini adalah penghuni guha, berarti tuan rumah. Masa ada tamu begitu kurang ajar
mendesak dan menyerang tuan rumah, bahkan hendak membunuhnya?
Ia segera meloncat ke belakang Kui Lok, dan mendorong kedua pundak Kui Lok. Ia sekarang sudah
tahu cara menyalurkan sinkang, maka begitu ia mengerahkan perhatian dan mengempos semangat,
kedua lengannya menjadi hangat dan di dalamnya mengalir hawa sinkang yang bukan main
hebatnya. Kui Lok merasai ini. Dari pundaknya datang hawa sinkang seperti air membanjir, melalui
kedua lengannya terus ke depan. Ia girang sekali dan juga heran, maka cepat ia menyalurkan hawa
ini untuk menggempur lawannya.
“Apa ini …..?” Bhok Hong berseru kaget, akan tetapi justru inilah yang mencelakakannya. Ia tidak
mengira bahwa akan datang serangan pembalasan dengan hawa sinkang begini kuatnya, maka tadi
Koleksi Kang Zusi
ia telah membuka mulut saking herannya. Begitu ia bicara, pertahanannya mengurang dan ini hebat
akibatnya. Andaikata ia mengempos seluruh tenaga dan semangatnya, belum tentu ia akan kuat
menahan. Sekarang ia merasa tenaga itu mendorong terus, membuat tenaganya sendiri membalik
dan menghantam ke arah pundak dan dadanya.
“Celaka ……!” Tubuhnya terpental bagaikan dilontarkan ke belakang dan ia roboh pingsan. Dari
mulut, hidung, dan telinganya keluar darah!
“Heh heh heh, Pak-thian-tok yang lihai mampus di tanganku. Heh heh heh!” Kui Lok menyambar
ke depan, tangannya diangkat hendak memukul kepala Bhok Hong. Tiba-tiba tangannya itu tak
dapat digerakkan dan ternyata telah dipegang dari belakang oleh Han Sin.
“Locianpwe, harap jangan membunuh orang,” kata Han Sin.
Kakek bongkok itu membalikkan tubuh dan memandang Han Sin dengan mata terbelalak. “Siapa
bilang dia orang? Dia ini iblis, dia siluman jahat! Ah, kau tidak tahu betapa jahatnya dia. Entah
sudah berapa banyak patriot-patriot perkasa tewas di tangan Pak-thian-tok Bhok Hong! Dia
keturunan Jenghis Khan dan bangsa Mongol menjajah negara kita seratus tahun lebih! Sekarang dia
membantu bangsa Mancu yang datang menjajah dan memperbudak bangsa kita. Ah, bocah she Cia.
Kalau benar kau ini cucu pahlawan Cia Hui Gan seperti pengtakuanmu terhadap Pak-thian-tok tadi,
kalau benar kau putera taihiap Cia Sun pejuang rakyat yang mulia, kenapa kau melarang aku
membunuhnya? Sebetulnya, kaulah sebagai keturunan Cia Hui Gan yang malah harus turun tangan
membunuh jahanam ini!”
Han Sin menggeleng kepala. “Keliru, locianpwe. Membunuh tidak sama dengan membunuh!”
“Eh, ngacau! Apa bedanya membunuh dan membunuh? Jangan kau coba membadut.”
“Yang kumaksudkan, membunuh musuh dalam perjuangan jauh sekali bedanya dengan membunuh
orang karena kebencian, apalagi kalau orang itu sedang pingsan tak dapat melawan. Kalau kau
membunuhnya dalam keadaan seperti sekarang, berarti locianpwe seorang pengecut!”
“Setan …..! Kakek bongkok itu menerjang hendak menyerang Han Sin yang sama sekali tidak
menangkis atau mengelak, akan tetapi pemuda ini memandang dengan sepasang matanya yang
bersinar-sinar. Kakek itu tiba-tiba mengeluh dan mengurungkan niatnya menerjang. “Matamu ….
matamu sama benar dengan mata Cia Hui Gan ….. akan tetapi luar biasa tajamnya. Kau … kau
aneh. Bocah, nanti kita bicara tentang peninggalan pahlawan Lie Cu Seng. Akan tetapi iblis ini
harus dikeluarkan dulu.”
Kakek itu lalu menyeret kedua kaki Bhok Hong keluar terowongan, kemudian ia datang kembali ke
ruangan itu dan tiba-tiba kedua tangannya memukul ke kiri, ke arah batu karang yang menonjol. Ia
menggunakan seluruh tenaganya dan …. Han Sin terkejut sekali ketika mendengar suara
berdebukan keras dan lantai yang ia injak sampai tergetar hebat.
“Apa itu …….?” tanyanya kaget.
Kakek bongkok tertawa bergelak. “Batu-batu gunung di atas tak terganjal lagi, merosot turun
menutupi terowongan. Nah, kita sekarang aman dari gangguan orang luar.”
“Habis, bagaimana kita bisa keluar ……?”
Koleksi Kang Zusi
“Bodoh siapa bicara tentang keluar? Kau dituntun oleh arwah kong-kong dan ayahmu mendatangi
tempat ini. Memang kitab itu adalah menjadi hakmu. Aku menjaga di sini sampai puluhan tahun
dan sekarang, pada saat kau hendak menerimanya, kau bicara tentang keluar! Benar-benar tak tahu
terima kasih!”
“Locianpwe, apakah artinya ini semua? Aku tidak mengerti.”
Thai-lek-kwi Kui Lok menyambar tangan Han Sin dan mengajak pemuda itu menuju ke ruangan
lain di dalam kamar-kamar di bawah tanah ini. Ternyata ruangan ini cukup lega dan terang, malah
di situ terdapat beberapa buah bangku batu yang kasar.
“Kau duduklah dan dengarkan ceritaku,” kata si kakek. Tapi baru saja ia menjatuhkan diri duduk di
atas bangku, tiba-tiba ia muntahkan darah segar dari mulutnya. Han Sin melompat dan mencoba
menolong, akan tetapi dengan isyarat tangannya Kui Lok melarang dia dekat.
“Uuhh ….. uuhh …. jahat benar Pak-thian-tok ……” keluhnya dan setelah beberapa kali muntahkan
darah, pernapasannya baru dapat berjalan normal kembali. “Iblis benar dia, dalam adu tenaga tadi ia
telah memasukkan pukulan maut yang berbisa. Ah, dia begitu lihai, siapa lagi kelak kalau bukan
kau lawannya? Uhhhh, Cia …. Cia-kongcu, berjanjilah kelak kau akan membalaskan ini …..”
Han Sin bingung. Kenapa tiba-tiba orang ini menyebutnya Cia-kongcu?
“Dia …… dia pada saat terakhir telah berhasil melukaiku, aku takkan lama lagi hidup. Berjanjilah,
kelak kau akan membalaskan ini ……”
Karena kasihan kepada Kui Lok, juga karena ia menjadi penasaran sekarang melihat kekejaman
Pak-thian-tok, Han Sin tak dapat menolak permintaan orang yang sudah menghadapi kematian.
“Dia amat kuat dan lihai, bagaimana aku dapat membalaskan?”
Dalam keadaan yang menyedihkan, sambil terengah-engah, Kui Lok masih tertawa. “Heh heh heh
….. kau …., kau merendahkan diri ….., memang keturunan keluarga Cia manusia aneh ….., tidak
apa kau merendahkan diri, asal mau berjanji.”
“Aku berjanji, locianpwe. Kalau mungkin, kelak akan kubalaskan kau untuk melukainya,” akhirnya
Han Sin berkata tenang.
Ucapan ini menyenangkan hati Kui Lok dan ia lalu bercerita. Thai-lek-kwi Kui Lok ini puluhan
tahun yang lalu bukanlah orang yang tidak terkenal. Ilmu silatnya tinggi dan terutama sekali ilmu
pukulannya yang disebut Thai-lek-jiu pernah menggegerkan dunia persilatan. Namanya tidak saja
terkenal sebagai tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi, juga ia terkenal sebagai seorang
pejuang rakyat yang gagah perkasa. Dia seorang patriot tulen yang selalu mengabdikan tenaga demi
kepentingan rakyat dan negaranya.
Seperti juga para orang gagah lain yang mencinta rakyat, Kui Lok juga amat tidak senang melihat
kelaliman kaisar dan para pembesar kerajaan Beng, biarpun kerajaan ini dipegang oleh bangsa
sendiri. Kaisar Beng yang terakhir mrpkan boneka belaka yang hidupnya hanya untuk menurutkan
hawa nafsu, bersenang-senang dengan para selir tanpa menghiraukan penderitaan rakyatnya.
Yang berkuasa adalah para thaikam yang boleh dibilang menguasai kendali pemerintahan. Korupsi
merajalela, Sogok dan suap menjadi kebiasaan yang mendarah daging, yang berpangkat mengandal
kedudukannya, yang kaya mengandalkan harta bendanya. Celakalah rakyat kecil yang miskin
karena mereka tidak mempunyai andalan. Petani-petani miskin digencet oleh tuan-tuan tanah yang
Koleksi Kang Zusi
di lain pihak juga diperas oleh para pembesar setempat dan memindahkan tekanan itu, tentu saja,
kepada para buruh-buruh taninya.
Akhirnya pemberontakan tak dapat dicegah lagi. Pemberontakan kaum tani dan rakyat kecil yang
sudah tidak kuat menahan lagi. Pemberontakan yang disebabkan oleh desakan perut yang kelaparan.
Pemberontakan-pemberontakan inilah yang akhirnya menamatkan riwayat pemerintah kerajaan
Beng, yang diakhiri dengan pembunuhan diri oleh kaisar terakhir, yaitu kaisar Cung Cen di bukit
Ceng San di belakang istananya.
Lie Cu Seng adalah seorang di antara pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang paling terkenal.
Dengan gagah berani Lie Cu Seng memimpin barisan petani, barisan rakyat kecil. Dalam barisan
inilah termasuk Thai-lek-kwi Kui Lok yang menjadi tangan kanan Lie Cu Seng pula. Kui Lok
mengalami suka duka memimpin rakyat itu, malah ikut pula menderita ketika Lie Cu Seng dikejarkejar
oleh Bu Sam Kwi yang menjadi pengkhianat dan bersekongkol dengan bangsa Mancu.
Kui Lok ikut pula melarikan diri dan akhirnya, pada saat Lie Cu Seng menemui kematiannya, Kui
Lok mendapat tugas menyelamatkan sebuah peti berisi harta pusaka yang tadinya dipergunakan
oleh Lie Cu Seng untuk membiayai perjuangannya. Di antara harta pusaka ini terdapat sebuah kitab
pelajaran ilmu silat yang amat hebat, peninggalan Tat Mo Couwsu yang paling rahasia dan yang
selama ini belum pernah ada yang mampu mempelajarinya.
Kitab ini terjatuh ke dalam tangan Kui Lok yang menyembunyikan kitab di dalam gua rahasia di
Lu-liang-san. Kemudian Kui Lok membuat peta dan memberikan peta itu kepada Cia Hui Gan,
kawan seperjuangannya. Hanya kepada Cia Hui Gan seorang rahasia ini diketahui, karena bagi
dunia luar, Kui Lok sudah lenyap dan orang menyangka bahwa pendekar ini sudah tewas dalam
pertempuran melawan orang-orang Mancu.
“Demikianlah riwayatku yang singkat, Cia-kongcu ….” Kui Lok mengakhiri ceritanya dengan
napas memburu. “Tadinya aku mengharapkan kedatangan ayahmu, Cia Sun. Kiranya aku harus
menanti sampai puluhan tahun dan sekarang kau, cucu Hui Gan, yang datang ….. agaknya roh
kakekmu yang menuntun kau ke sini, Cia-kongcu. Kaulah yang akan mewarisi ilmu silat tertinggi di
dunia ini …. Kau lihat, dahulu aku bukanlah lawan Bhok Hong si Racun Utara, akan tetapi
sekarang, biarpun kalah kuat, aku dapat menghadapinya. Dan ini karena aku baru mempelajari
seperseratus bagian dari kitab itu. Kau ternyata sudah memiliki lweekang yang hebat, melebihi
kakekmu. Ha ha, kau akan menjadi seorang taihiap yang tidak ada bandingnya! Alangkah girang
hatiku.”
“Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi taihiap, tidak ingin mempelajari kitab ilmu silat dari Tat Mo
Couwsu. Ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan bagi manusia, hanya alat untuk memukul.
Menyiksa, membunuh dan mencari permusuhan. Selama aku mempelajari kitab-kitab di Min-san,
aku hidup aman dan tenteram. Akan tetapi begitu mengenal ilmu silat dan turun gunung, hanya
permusuhan, perkelahian dan kejahatan saja kudapati. Tidak, Kui-locianpwe, aku masuk ke sini
hanya karena aku sudah berjanji kepada Bhok-kongcu untuk membawa dia ke tempat pusaka
disimpan. Setelah berhasil keluar dari sini, aku akan mencari adik perempuanku dan kuajak kembali
ke Min-san, hidup damai di sana.”
Kui Lok melongo. Benar-benar ucapan ini tidak patut keluar dari keturunan Cia Hui Gan dan Cia
Sun, dua orang ayah anak yang terkenal sebagai pendekar-pendekar, sebagai pahlawan patriot
rakyat. “Dan kau membiarkan kitab terjatuh ke dalam tangan orang-orang kang-ouw yang jahat?”
”Masa bodoh. Makin sesat seseorang, makin besar malapetaka akan menimpanya. Hukum keadilan
Tuhan akan mengatur semua itu,” jawab Han Sin sungguh-sungguh.
Koleksi Kang Zusi
Kui Lok adalah seorang patriot, juga seorang sahabat setia dari Cia Hui Gan. Melihat sikap Han
Sin, ia menjadi kecewa, sedih dan marah sekali. Tak disangkanya bahwa keturunan Cia Hui Gan
akan begini lemah. Ia mengeluh dengan suara sedih,
”Aduhai .... Cia Hui Gan dan Cia Sun, alangkah menyedihkan ..... sia-sia saja kalian dahulu
berjuang mati-matian, mengorbankan nyawa untuk negara dan rakyat. Kiranya sekarang
keturunanmu begini lemah, nama besarmu akan putus sampai di sini saja. Penghormatan terhadap
keluarga Cia sekarang akan berubah menjadi penghinaan ........”
”Kui-locianpwe, siapa akan berani menghinaku? Penghormatan atau penghinaan orang tergantung
dari pada sikap kita sendiri. Kalau kita berpegang kepada kebenaran, siapa orangnya mau
menghina?”
“Eh eh, sudah dihina dan dipaksa mengantar sampai di sini, masih juga kau belum merasa betapa
orang telah menghinamu? Apakah orang-orang seperti Bhok-kongcu, Bhok Hong dan kaki
tangannya tadi itu tidak menghinamu?”
Han Sin menghela napas. Harus ia akui bahwa semenjak turun gunung, yang ia hadapi hanyalah
penghinaan-penghinaan dari orang-orang kang-ouw. “Salahku sendiri,” katanya. “Itulah jadinya
kalau aku berhadapan dengan orang-orang ahli silat. Kalau aku berdiam saja di Min-san, tidak nanti
aku akan mendapat penghinaan. Oleh karena itu, aku akan mengajak adikku pulang saja ke Minsan.”
“Bodoh kau!” Kui Lok tak dapat menahan sabar lagi. “Kalau kau dan adikmu pulang ke Min-san,
apa kau kira mereka itu tidak dapat mendatangimu dan menghinamu? Ketika ayah bundamu tewas,
bukankah mereka itupun berada di Min-san? Toh ada orang-orang jahat datang mengganggunya!”
“Itulah kalau ayah suka mempelajari ilmu silat,” Han Sin coba membantah.
“Kau ini pemuda apakah? Jiwamu melempem! Kau tidak ada bedanya dengan seekor kacoa! Kau
ingat diri sendiri saja, mana ada harganya untuk hidup? Apa kau kira dengan menjaga diri jangan
sampai melakukan perbuatan jahat saja sudah cukup untuk membuat kau menjadi seorang kuncu?
Huh, kutu buku yang mabok filsafat! Kau benar-benar lebih goblok dari pada segala yang bodoh.
Kakekmu seorang patriot gagah perkasa, ayahmu seorang pendekar dan pahlawan yang mulia. Kau
ini orang apa? Lemah dan melempem, berjiwa tahu! Hah, muak aku mendengarmu, kau tidak patut
hidup di dunia sebagai putera seorang patriot!”
Melihat kakek ini menjadi marah-marah bukan main, Han Sin menjadi merah mukanya. Memang
bukan ia tidak tahu tentang jiwa patriot, akan tetapi ia memang terlalu “baik hati”, terlalu lemah
karena kekenyangan isi kitab-kitab filsafat kebatinan yang menyingkirkan batinnya jauh-jauh dari
pada segala kekerasan. Pemuda ini memang kurang gemblengan maka sekarang menghadapi Kui
Lok, seorang patriot sejati yang jujur, ia merasa tertusuk dan menjadi malu sendiri.
“Aku memang muda dan bodoh, mengharapkan petunjuk Kui-locianpwe yang terhormat,” katanya
perlahan.
“Nah, itu baru ucapan seorang pemuda yang mengharapkan kemajuan. Kekenyangan buku-buku
filsafat membuat kau menjadi sombong, membuat kau menjadi penerawang awang-awang, tukang
melamun dan membangun istana-istana awan di angkasa. Perbuatan kebajikan bukan cukup
dilakukan dalam lamunan, mengerti? Usir semua lamunan-lamunan kosong itu dan bertindaklah!
Sebuah kebajikan kecil yang dilakukan jauh lebih berharga dari pada seribu kebajikan besar yang
Koleksi Kang Zusi
hanya dilamunkan di dalam hati. Apa kau tahu apa kewajiban seorang manusia yang dilahirkan di
dalam dunia?”
“Menjadi seorang manusia yang menjauhkan kejahatan memupuk kebenaran. Pokoknya menjadi
seorang manusia yang baik.”
“Huh, apa artinya baik saja kalau tidak berguna? Kau boleh menjadi seorang yang suci, tidak
pernah melakukan kejahatan, akan tetapi apa artinya kalau kau tinggal di dalam hutan, jauh dari
manusia. Hidup demikian itu tidak ada gunanya, lebih baik mati! Paling-paling hatimu sendiri yang
memuji-muji bahwa kau seorang manusia baik, lalu kau menjadi sombong karenanya, merasa lebih
bersih dari pada orang lain. Uh, itu bukan sifat seorang kuncu sejati. Sebagai seorang ahli filsafat,
kau tentu tahu akan sifat Thian bukan?”
”Thian Maha Kuasa, Maha Benar, Maha Suci, Maha Adil, pendeknya, kekuasaan tertinggi di alam
semesta.”
”Cukup! Kalau kau sebut Thian itu Maha Benar dan Maha Adil, tentu Thian menyukai kebenaran
dan keadilan. Nah, kau sebagai manusia harus membantu terlaksananya kebenaran dan keadilan di
dunia ini. Di mana terjadi hal-hal tidak benar dan tidak adil, kau harus berani memberantasnya.
Baik saja tanpa ada gunanya bagi orang lain, itu kosong namanya, bukan baik lagi. Kebajikan hanya
dapat ditampung dengan jalan perbuatan yang berguna bagi sesama manusia.
Pada masa ini, hukum manusia tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum alam yaitu siapa yang
kuat dia menang. Celakalah kalau si kuat itu termasuk golongan jahat, tentu perbuatannya menjadi
sewenang-wenang. Sebaliknya, kalau si kuat itu termasuk golongan baik, barulah terdapat keadilan.
Maka, kewajibanmulah sebagai seorang pemuda untuk menggembleng diri, memperkuat diri
kemudian mengabdi kepada keadilan dan kebajikan.
Sekarang ini kejahatan merajalela, karena kekuasaan berada di tangan orang-orang sesat. Dunia
kang-ouw dikuasai manusia-manusia penjilat, manusia-manusia pengejar kemuliaan dunia seperti
Bhok Hong dan lain-lain. Kalau kau tidak memperdalam kepandaian ilmu silatmu, mana bisa kau
menghadapi orang-orang seperti mereka?”
Kui Lok berhenti sebentar untuk bernapas, karena tadi dalam keadaan bernafsu ia bicara tergesagesa
dan napasnya menjadi makin terengah-engah. Han Sin mendengarkan dengan tertarik sekali.
Baru sekarang ia mendengarkan filsafat yang baru baginya. Semua kitab agama dan filsafat yang
pernah dibacanya, hampir semua menganjurkan kebajikan dalam bentuk kehalusan budi, yang
menganjurkan dia selalu mengalah dan bersabar dalam segala hal.
Sebaliknya Kui Lok ini menganjurkan kekerasan demi keadilan. Ini lain sekali! Kui Lok
menganjurkan kekerasan untuk merebut kekuasaan, bukan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri,
melainkan kekuasaan untuk mengatasi dan mengalahkan si jahat demi keamanan orang-orang yang
tertindas.
”Kau seorang keturunan patriot sejati. Kong-kong dan ayahmu adalah patriot-patriot tulen dan
sekarang dengarlah baik-baik apa yang menjadi kewajiban seorang patriot. Seorang patriot adalah
seorang pengabdi rakyat, seorang pembela negara dan bangsa. Kalau tanah air sedang diserang
musuh, kalau tanah air sedang diancam oleh bangsa lain, seorang patriot harus membelanya matimatian.
Kalau rakyat sedang tertindas, seorang patriot harus membela dan melindungi rakyat kecil
yang tertindas itu. Dalam melakukan tugas ini kepentingan pribadi harus dikesampingkan, bukan
saja demikian, malah kalau perlu seorang patriot rela berkorban apa saja, berkorban harta,
kesenangan pribadi, bahkan berkorban nyawa.”
Koleksi Kang Zusi
Ucapan ini menggores dalam-dalam di hati Han Sin. Memang ia sudah banyak membaca tentang
patriot-patriot jaman dahulu, hanya dalam bacaan yang berupa sejarah itu tidak disertai nasehatnasehat
seperti ini. Ia mengangguk-angguk dan berkata, ”Kurasa, locianpwe, setiap orang memang
harus bersikap demikian. Itulah kebajikan.”
”Huh, bicara gampang! Kalau hanya bersikap dan berpikir saja, apa artinya? Apa kau kira mudah
melakukan semua tugas itu tanpa menggembleng diri, tanpa memodali diri dengan kepandaian
tinggi? Bagaimana kau hendak membela negara, bagaimana kau dapat mengusir musuh negara,
bagaimana kau dapat melawan melawan penjajah angkara murka? Kalau kau melihat rakyat yang
tertindas, diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang jahat yang memiliki kepandaian tinggi,
bagaimana kau bisa membela rakyat? Apakah hanya dengan omongan-omongan dan teori-teori
muluk dari kitab-kitabmu kau akan bisa membikin orang-orang jahat itu tunduk? Huh, anak Cia Sun
taihiap, kau benar-benar perlu dibakar semangatmu, perlu dicuci otakmu!”
Mendengar ucapan yang penuh semangat dan dianggapnya penuh kebenaran itu, Han Sin benarbenar
tunduk hatinya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
”Aku yang muda dan bodoh benar-benar bahagia sekali mendengar wejangan locianpwe. Akan
tetapi, kalau aku mempelajari ilmu silat tinggi, untuk menjadi patriot apakah aku harus melakukan
pembunuhan-pembunuhan? Locianpwe, terus terang saja, sifat mudah membunuh sesama manusia
dari orang kang-ouw benar-benar mengerikan hatiku dan sampai matipun kiranya aku takkan dapat
melakukan hal itu.”
Melihat sikap Han Sin, Kui Lok tertawa terbahak-bahak dan di luar tahunya Han Sin yang sedang
berlutut dan menundukkan muka, kakek itu mengusap darah yang mengalir dari mulutnya.
Sebetulnya kakek ini terluka hebat sekali di dalam tubuhnya, luka oleh hawa pukulan Pak-thian-tok
Bhok Hong.
”Ha ha ha, anakku! Anakku yang baik, Cia-kongcu kau benar-benar seorang kuncu tulen. Begini
mudah kau sadar dan insyaf akan kesalahan jalan pikiranmu. Kau telah menanam welas asih yang
besar sekali terhadap sesama manusia, itu baik sekali. Cia-kongcu, justru karena menurutkan dasar
welas asih di antara sesama manusia inilah yang kadang-kadang mengharuskan kau membunuh
orang.”
Han Sin terkejut dan mengangkat keheranan. ”Membunuh orang berdasar welas asih? Apa artinya
ini?”
Thai-lek-kwi Kui Lok mengerti akan keheranan Han Sin dan dia tertawa lagi. ”Coba kau jawab.
Andaikata kau melihat seorang yang dengan hati keji mengamuk dan membunuhi orang-orang tidak
berdosa sehingga jatuh banyak korban, apa yang hendak kau lakukan?”
Tanpa banyak ragu Han Sin menjawab dan teringat akan perbuatan Hoa Hoa Cinjin yang
membunuhi orang-orang kampung. ”Tentu aku akan mencegah dia dan menasehatinya, melarang
dia melakukan pembunuhan lebih lanjut.”
”Huh, nasehat lagi! Kalau dia tak mau dinasehati dan terus saja melakukan pembunuhan, kau mau
apa?”
”Dengan sekuat tenaga aku akan menghalang-halanginya.”
”Bagus, itu pendirian seorang gagah. Akan tetapi kalau dia tidak menurut dan malah hendak
membunuh?”
Koleksi Kang Zusi
”Akan kulawan terus, biar aku berkorban nyawa demi menolong orang-orang itu.”
”Baik sekali, tentu kau membela orang-orang yang terbunuh itu berdasarkan welas asih, bukan?
Nah, kalau si penjahat itu lebih baik mati dari pada menurut kehendakmu, apakah kau masih merasa
ragu-ragu untuk membunuhnya, yaitu andaikata kau memiliki kepandaian? Ataukah kau akan tidak
tega membunuhnya dan membiarkan dia membunuh orang-orang itu?”
Han Sin tak dapat menjawab. Di dalam hati kecilnya, harus ia akui bahwa tentu saja ia lebih
memberatkan orang-orang itu dari pada si pembunuh yang jahat. Akan tetapi untuk membunuh
orang itu ..... dia masih ragu-ragu apakah ia akan tega?
”Sekarang lain contoh lagi,” kata pula Kui Lok yang mengerti bahwa pemuda itu mulai terbuka
pikirannya. ”Andaikata kau melihat barisan-barisan asing menyerang tanah air, membakari rumahrumah
dan merampoki serta membunuh rakyat hendak menjajah tanah air kita, apakah kau juga
mau duduk memeluk lutut saja? Ataukah kau hendak menggunakan filsafat-filsafatmu untuk
menasehati barisan yang terdiri dari puluhan ribu orang itu? Ataukah kau ingin menggabungkan diri
dengan barisan para patriot bangsa dan melakukan perlawanan untuk membela ibu pertiwi dan
bangsa?”
Kembali Han Sin tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
”Seorang pemuda harus bersemangat gagah perkasa, harus berjiwa patriot pencinta tanah air dan
bangsa. Harus rajin belajar mengejar cita-cita dan membuang jauh-jauh kebiasaan yang buruk,
memupuk dan melatih diri dengan jalan kebenaran. Tentu kau sudah membaca sampai kenyang
semua ini dalam kitab-kitabmu, bukan begitu, Cia-kongcu?”
Han Sin mengangguk-angguk.
”Itu bagus sekali. Sayangnya, kau terlampau dalam terpendam dalam kata-kata emas dari kitabkitab
filsafatmu sehingga kau hanya penuh dengan teori tanpa mengenal prakteknya. Pemuda yang
tidak dapat menjadi pembela bangsa dan tanah air, pemuda macam itu tak patut menyebut diri
menjadi pemuda harapan bangsa. Segenap cita-cita harus diatasi dengan tugas suci yang utama,
yaitu kelak menempatkan diri sebagai seorang manusia yang berguna bagi masyarakat, kalau
mungkin menjadi pelindung, menjadi pemimpin, menjadi seorang yang menuntun bangsanya ke
tempat yang terang menuju kemakmuran dan ketentraman. Inilah seorang patriot sejati. Bukan
hanya mereka yang melakukan perjuangan dengan senjata saja, pendeknya semua orang, asalkan
dia itu benar-benar dengan hati ikhlas dan sebulatnya mempersiapkan diri untuk bekerja demi
kepentingan nusa bangsa tanpa menghiraukan kepentingan diri pribadi, dia adalah seorang patriot.”
”Wejangan locianpwe benar-benar amat berharga, teecu yang bodoh akan selalu
memperhatikannya,” kata Han Sin yang tidak ragu-ragu lagi menyebut diri sendiri teecu atau murid.
22. Pembicaraan Rahasia Pangeran Galdan
KUI LOK tersenyum pahit. ”Dahulu akupun seorang pemuda yang menyeleweng, Cia-kongcu. Kau
seribu kali lebih baik dari pada aku. Akan tetapi, karena pergaulanku dengan pahlawan-pahlawan
bangsa seperti Lie Cu Seng, kakekmu Cia Hui Gan, dan yang lain-lain, terbukalah hatiku.
Bahagialah orang yang dalam hidupnya dapat menempatkan diri sebagai orang yang dibutuhkan
oleh negara, oleh bangsa atau setidaknya oleh masyarakat, dan paling tidak dibutuhkan oleh orangorang
lain di sekitarnya. Orang yang sudah tidak dibutuhkan apa-apanya oleh orang lain, kecuali
oleh nafsu diri sendiri, orang demikian itu tidak ada gunanya lagi hidup ..... seperti ..... seperti aku
ini ....”
Koleksi Kang Zusi
”Kui-locianpwe, jangan kau bilang begitu,” Han Sin menghibur. ”Aku orangnya yang masih amat
membutuhkan bimbinganmu.”
”Hemmm, hatimu yang terlampau baik itu mendorongmu untuk menghiburku. Apa yang kau
butuhkan lagi dari diriku? Nasehat-nasehat seperti yang sudah kuucapkan tadi? Ah, aku bukan
seorang ahli filsafat .....”
”Tidak, Kui-locianpwe. Aku membutuhkan pelajaran ilmu silat! Sekarang terbukalah mataku.
Semua nasehat tadi memang tepat. Teecu ingin meniru jejak langkah kakek dan ayah, teecu ingin
berbakti kepada nusa dan bangsa. Teecu akan turun tangan menghadapi orang-orang yang tersesat,
orang-orang yang membikin celaka sesama manusia. Untuk semua itu, sekarang teecu tahu betulbetul,
teecu harus memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat. Dan kiranya hanya Kui-locianpwe
yang akan dapat memberi bimbingan kepada teecu.”
Tiba-tiba Kui Lok meloncat bangun, wajahnya yang kurus kering itu berseri. ”Bagus! Begini baru
pantas kau menjadi seorang she Cia! Ha ha ha, Cia Hui Gan, Cia Sun, lihatlah keturunanmu ini.
Sudah sepatutnya kalau dia menjadi ahli waris Thian-po-cin-keng. Ha ha ha!” Ia lalu berlari ke
sebuah kamar lain di dalam terowongan di bawah tanah itu, dan tak lama kemudian ia datang lagi
membawa sebuah kitab.
”Kau terimalah ini, inilah Thian-po-cin-keng (Kitab Mustika Langit). Inilah yang sebetulnya
diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw, bukan harta benda di dalam tempat ini. Terimalah dan
bersujudlah karena semenjak saat ini, kau langsung menjadi murid Tat Mo Couwsu!”
Han Sin menjatuhkan diri berlutut dan menerima kitab yang kelihatannya kuno sekali itu. Memang
dia seorang kutu buku, tentu saja melihat sebuah kitab, ia merasa seperti seorang kelaparan melihat
roti yang enak! Seperti seorang kelaparan yang terus saja makan dengan lahapnya roti yang
diberikan kepadanya. Han Sin juga sama halnya, begitu menerima kitab itu, lalu membalik-balik
lembarannya dan membaca.
Ia tidak tahu betapa Kui Lok memandang dengan terheran-heran melihat pemuda itu membaca kitab
dengan mudah seperti orang membaca cerita yang mengasyikkan saja. Padahal dia sendiri, dia harus
memeras otak setengah mati untuk dapat menangkap arti dari pada huruf-huruf kuno yang amat
sukar dibaca, sukar dimengerti, malah selama puluhan tahun ia hanya dapat memahami sebagian
kecil saja.
Melihat pemuda itu begitu tekun membaca kitab Thian-po-cin-keng, saking girangnya Kui Lok
tidak mau mengeluarkan suara berisik, tidak mau mengganggunya malah menjauhkan diri dengan
diam-diam untuk merawat lukanya. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa lukanya di dalam
dada amat parah sedangkan racun hawa pukulan tangan Bhok Hong sudah meresap ke dalam jalan
darah dan jantungnya! Karena tahu bahwa ia takkan tertolong lagi, Kui Lok kembali ke ruangan itu
dan melihat Han Sin masih terus ”tenggelam” ke dalam lautan huruf kitab kuno itu.
Berkali-kali Kui Lok menggeleng kepala dan di dalam hati terheran-heran melihat betapa Han Sin
terus membaca kitab sampai hari menjadi malam dan pemuda ini seperti tidak merasa betapa sinar
matahari telah diganti oleh sinar obor yang dibuat Kui Lok. Terus saja membaca dengan amat tekun
dan kelihatan tertarik sekali.
Mengapa Han Sin begitu tertarik? Hal ini bukan hanya disebabkan oleh karena dia memang seorang
kutu buku, akan tetapi terutama sekali karena isi pada kitab itu adalah tulisan huruf Tiongkok kuno
dan mengandung filsafat-filsafat yang lebih tinggi dari pada kitab-kitab yang pernah dibacanya!
Koleksi Kang Zusi
Di samping ini, di antara filsafat-filsafat itu diselipkan pelajaran tentang pengerahan dan
penggunaan hawa sakti dalam tubuh, malah dengan lengkap diselipkan pelajaran-pelajaran mukjizat
berdasarkan tenaga lweekang seperti Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), Imkang-
hoan-hiat (Dengan Tenaga Lemas Pindahkan Jalan Darah) dan paling akhir, di antara sajaksajak
kuno terkandung pelajaran ilmu silat Thian-po-cin-keng sendiri.
Dan semua ini, semua pelajaran yang tinggi dan aneh ini ditulis di antara filsafat-filsafat tinggi dan
sajak-sajak indah. Kalau bukan seorang ahli tak mungkin dapat menangkap dan memisahkan sari
pelajaran dari filsafat dan sajak itu! Han Sin sekali baca saja sudah dapat membedakan mana
pelajaran silat mana filsafat atau sajak indah. Inilah yang membuat ia amat tertarik sampai lupa
waktu dan lupa diri. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa semua filsafat yang terkandung di
situ adalah sejalan dengan filsafat yang pernah ia baca, malah peraturan-peraturan tentang cara
bersamadhi juga sejalan dengan cara-cara yang pernah ia latih.
Berbeda dengan Han Sin, Kui Lok bukanlah seorang ahli sastra. Huruf-huruf kuno itu baginya amat
sukar dimengerti, apalagi berisi filsafat dan sajak. Oleh karena itu, maka selama puluhan tahun itu
ia hanya berhasil menangkap sari ilmu silat Thian-po-cin-keng sebanyak dua belas jurus saja! Juga
karena sukarnya inilah maka semenjak kitab itu berada di tangan Lie Cu Seng, belum pernah ada
orang yang dapat menangkap seluruh inti sari pelajaran itu dengan lengkap, seperti hal Kui Lok.
Padahal, ketika Han Sin membaca habis, pemuda ini mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Thianpo-
cin-keng, biarpun hanya terdiri dari tiga bagian saja, namun setiap bagian mempunyai tiga puluh
enam gerakan sehingga seluruhnya terdapat tiga kali tiga puluh enam menjadi seratus delapan jurus!
Karena semalam suntuk Han Sin terus membaca, Kui Lok yang terluka hebat itu tidak kuat
mengawani terus dan tahu-tahu kakek ini sudah tertidur bersandar dinding di ruangan itu.
Menjelang pagi, kakek ini kaget dan tersadar karena mendengar angin bersiutan yang amat aneh. Ia
membuka mata dan merasa betapa dadanya amat sakit, akan tetapi segera ia melupakan rasa sakit
ini ketika melihat apa yang dilakukan oleh Han Sin.
Pemuda ini ternyata sedang menggerak-gerakkan kaki, digeser ke sana ke mari sambil memukulkan
kedua tangan secara lambat sekali dan mulutnya menyebut jurus-jurus Thian-po-cin-keng.
Hebatnya, biarpun pukulan-pukulan itu lambat saja, namun angin pukulannya bersiutan seperti
pedang menyambar!
Ketika melihat pemuda itu melakukan gerakan Jip-hai-siu-to (Masuk Laut Sambut Mustika), sebuah
di antara jurus-jurus dari Thian-po-cin-keng yang telah ia pelajari, Kui Lok melompat. ”Eh, tahan
....., jangan ......!”
Akan tetapi terlambat. Han Sin sudah melakukan gerakan itu, yaitu tangan kiri dipukulkan ke depan
lurus-lurus kemudian tangan kanan menyambar dari kanan dan ditarik ke arah dada sendiri secara
keras dan mendadak. Kui Lok mengeluh dan membelalakkan mata, akan tetapi ..... ia tidak melihat
pemuda itu roboh. Dengan penuh keheranan ia lalu melompat maju, melihat Han Sin sudah berhenti
bersilat dan sedang memandangnya dengan senyum.
Kui Lok dengan muka pucat meraba lengan dan dada Han Sin. “Kau …. Kau tidak terluka …..?
Gerakan tadi itu ….., dulu aku hampir mati karena hawa pukulanku membalik menyerang jantung
…..”
Han Sin menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, locianpwe. Ilmu ini hebat sekali, teecu merasa semua
hawa di dalam tubuh bergerak-gerak tegang. Hebat, hebat ….!” Dan pemuda ini lalu bersilat lagi.
Koleksi Kang Zusi
Kui Lok mengeluarkan teriakan perlahan dan ….. roboh terguling. Han Sin kaget dan cepat
menubruk, akan tetapi ternyata kakek itu telah menghembuskan napas terakhir dalam keadaan
tersenyum. Dari mulutnya mengalir darah yang mulai menghitam. Ternyata bahwa setelah
menderita luka hebat dari pukulan Bhok Hong yang beracun, dalam keadaan berbahaya ini Kui Lok
sekarang menerima getaran jantungnya saking heran dan girang melihat Han Sin dengan mudah
dapat mempelajari Thian-po-cin-keng, maka jantungnya menjadi pecah dan mengakibatkan
kematiannya.
“Kui-locianpwe ……!” Han Sin memanggil dan mengguncang-guncang tubuh kurus itu beberapa
kali. “Ah, dia sudah mati ……” Pemuda itu tenang-tenang saja. Ia merasa kasihan kepada kakek ini,
akan tetapi tentang mati hidup, bagi pemuda itu bukan apa-apa. Dengan sepenuh hatinya ia yakin
bahwa mati atau hidup bagi manusia adalah hal yang sudah semestinya dan wajar.
Manusia mana yang takkan mati kalau saatnya sudah tiba? Tiba-tiba ia teringat bahwa ia tidak tahu
akan jalan keluar dari terowongan itu. Ia teringat pula di dalam kitab kuno bahwa ada jalan darah
tertentu di belakang otak yang kalau dihidupkan, akan dapat membuat syaraf bagian kepala bekerja
sehingga untuk sejenak tubuh yang sudah mati dapat bekerja kembali, sehingga otomatis mata,
telinga, hidung dan mulut berikut pikiran dapat bekerja.
Ia lalu mengerahkan seluruh semangat dan hawa saktinya, miringkan kepala Kui Lok dan menotok
jalan darah ini, memutar sedikit ke kiri untuk membuka jalan darah dan memberi tenaga pendorong
dengan hawa saktinya untuk menghidupkan atau menjalankan darah yang sudah hampir tak
bergerak. Karena dorongan hawa sakti dari lweekang yang tinggi, seketika darah di bagian itu
menjadi panas dan dapat didorong menggerakkan syaraf-syaraf di bagian kepala. Benar saja, Kui
Lok mengeluh perlahan dan bulu matanya bergerak-gerak.
“Locianpwe, mohon petunjuk terakhir. Bagaimana teecu bisa keluar dari sini?” Han Sin
membisikkan kata-kata ini di telinga Kui Lok lalu ia menempelkan telinganya sendiri ke mulut Kui
Lok untuk mendengarkan jawaban. Kebetulan sekali bagi Han Sin, memang hal inilah yang jadi
pikiran Kui Lok pada saat ia menghembuskan napas terakhir tadi, maka begitu syarafnya bekerja ia
berkata lemah.
“Di ruang belakang ada Tiat-lo-han …. Dorong ke kiri .... tiga .....” hanya sampai di situ Kui Lok
sanggup mengeluarkan kata-kata, darah keburu membeku karena tidak mendapat dorongan dari
jantung yang sudah tidak bekerja lagi. Han Sin menarik napas panjang, hatinya lega, juga ada
keraguan. Terang bahwa ucapan itu masih belum habis, akan tetapi kata-kata ”tiga” itu sudah
menjadi pegangan yang kuat baginya. Setelah merebahkan mayat Kui Lok, ia lalu cepat menambah
kayu kering pada api obor yang hampir padam dan membuat api unggun.
Hatinya makin tenang karena melihat kayu-kayu kering yang terkumpul di situ, ia merasa yakin
bahwa tentu ada jalan keluar, selain jalan keluar dari depan yang sudah teruruk oleh batu-batu besar
itu. Mengingat jalan keluar ini, hatinya berdebar. Bhok-kongcu adalah seorang yang mempunyai
kekuasaan besar. Apakah tidak mungkin dia mengerahkan ribuan orang untuk menyingkirkan batubatu
itu? Ah, tentu mereka akan menyerbu ke dalam, pikirnya.
Setelah tampak sinar matahari, Han Sin lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam pemberian Giok
Thian Cin Cu yang selalu dipakai sebagai ikat pinggang, untuk membuat lubang kuburan. Digalinya
tanah di dalam ruangan itu dan berkat ketajaman Im-yang-kiam serta tenaga lweekangnya yang
besar, tak lama kemudian ia sudah dapat menggali lubang dan mengubur jenazah Kui Lok secara
sederhana.
Koleksi Kang Zusi
Setelah penguburan selesai, pemuda ini lalu memasuki lorong sampai ia tiba di ruang paling
belakang dan alangkah girangnya ketika ia melihat sebuah patung besi berdiri di pojok ruangan.
Patung itu kecil saja, paling tinggi dua kaki. Tentu inilah patung Tiat-lo-han, pikirnya. Ia melihat
patung itu menempel pada dinding karang. Cepat ia menghampiri dan berbisik, ”Tiat-lo-han, harap
kau suka menunjukkan jalan keluar untukku.”
Lalu dengan kuat ia mendorong ke kiri. Patung itu bergerak miring, akan tetapi memantul kembali
dan tidak terjadi sesuatu. Ia teringat akan kata-kata ”tiga”, maka lalu mendorong lagi untuk kedua
kalinya. Alangkah herannya ketika patung itu kini sama sekali tidak bergeming! Ia mengerahkan
tenaganya, namun tetap saja tidak dapat mendorong patung itu miring.
Han Sin menjadi gelisah. Ia meneliti patung itu dan meraba-raba. Akhirnya jari-jari tangannya
menyentuh ukiran-ukiran pada punggung patung. Cepat ia memeriksa dan ternyata di situ terdapat
ukiran beberapa buah huruf kecil yang berbunyi,
”Untuk mendorong ke dua dan ke tiga, pergunakan Heng-pai-koan-im (Puja Kwan Im Dengan
Tangan Miring) dan Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar) dengan tenaga sempurna.”
Han Sin girang sekali. Kiranya demikian. Dia sudah membaca Thian-po-cin-keng dan sekali
membaca saja dia sudah hafal sebagian besar dari seratus delapan jurus itu. Di antara yang ia ingat
adalah dua jurus yang disebut tadi. Segera ia melakukan jurus Heng-pai-koan-im untuk mendorong
patung, dilakukan dengan tangan miring. Akan tetapi, tetap saja patung tidak bergerak, hanya
bergoyang sedikit saja. Han Sin kecewa dan ia menduga bahwa tulisan ”dengan tenaga sempurna”
itu tentu ada artinya. Bisa jadi karena karena belum berlatih betul-betul, jurus Heng-pai-koan-im
yang ia lakukan tadi tidak menggunakan takaran tenaga sebagaimana mestinya.
”Aku harus berlatih dulu sampai sempurna, baru berusaha mencari jalan keluar,” pikirnya dan ia
mulai melakukan pemeriksaan di dalam terowongan itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat
banyak persediaan makanan di situ, buah-buahan dan di situ bahkan ada daging binatang yang
sudah dikeringkan. Juga banyak kayu-kayu kering bahan bakar.
”Ah, Kui-locianpwe tentu telah mengambilnya dari jalan depan. Dengan persediaan ini aku dapat
berlatih dengan tenang.”
Tidak saja bahan makan, malah airpun banyak di situ, karena dari batu karang di atas menetes
banyak sekali air jernih. Dengan menggunakan mangkok butut yang tersedia di situ sebentar saja
dapat menadahi air semangkok. Dengan hati amat tenang, Han Sin mulai melatih diri dengan ilmu
Thian-po-cin-keng, dari jurus pertama sampai terakhir.
Malah peraturan-peraturan melatih lweekang ia pelajari pula sehingga pengetahuannya tentang ilmu
ini sekarang menjadi sempurna, tidak lagi ia melatih lweekang secara ”tidak sengaja” seperti dulu.
Di samping melatih Thian-po-cin-keng, pemuda ini juga melatih Liap-hong Sin-hoat dan Lo-hai
Hui-kiam. Gerakan-gerakannya lincah dan mantap, karena memang bahan-bahan ginkang dan
lweekang pada dirinya sudah cukup. Makin matang latihannya, makin girang hatinya. Tidak
disangkanya sama sekali bahwa latihan-latihan ilmu silat itu membuat ia merasa enak sekali
tubuhnya, membuat semangatnya bangun dan timbul sifat gembiranya. Entah mengapa, ia merasa
gembira dan tidak lagi ada sifat pendiam tenang dan agak pemurung seperti yang sudah-sudah.
Ia teringat akan adiknya dan tahulah kini ia mengapa adiknya itu selalu berseri dan bergembira
jenaka. Agaknya karena latihan-latihan ilmu silat itulah. Tentu saja hal ini hanya dugaan Han Sin.
Sebetulnya hal itu tergantung dari pada watak pembawaan masing-masing, hanya harus diakui
bahwa latihan ilmu silat memang betul mendatangkan rasa nyaman dan sehat pada tubuh, juga
Koleksi Kang Zusi
membangun semangat dan mempertebal rasa kepercayaan kepada diri sendiri, mempertinggi harga
diri.
Sebulan lebih Han Sin setiap saat melatih diri. Pemuda ini memang termasuk golongan sedikit
orang yang memiliki ketekunan luar biasa. Tiada bosannya ia melatih diri dan belum merasa puas
kalau belum sempurna gerakan-gerakannya. Setelah berlatih, baru ia mendapatkan kenyataan bahwa
biarpun Thian-po-cin-keng termasuk ilmu silat yang paling tinggi tingkatnya, namun dalam ilmu
silat Liap-hong Sin-hoat ajaran Ciu-ong Mo-kai, Im-yang-kun dan Lo-hai Hui-kiam ajaran Giok
Thian Cin Cu, masing-masing mengandung keindahan dan keampuhan tersendiri.
Harus ia akui bahwa di antara semua ilmu silat yang sudah ia pelajari, Lo-hai Hui-kiam
mengandung sifat yang paling ganas mengerikan, maka diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri
takkan mempergunakan ilmu ini kalau tidak sangat terpaksa.
Pada suatu pagi ketika ia sedang membakar daging kering untuk dijadikan santapan pagi, ia
mendengar suara ”duk duk duk” yang terus menerus dan makin lama makin keras suaranya. Suara
itu datang dari luar, dari timbunan batu-batu yang menutup jalan keluar. Namun ia tidak
memperdulikan dan berlatih terus. Sampai tiga hari ia mendengar suara ini dan pada hari keempat,
ia mendengar suara itu sudah keras sekali. Tiap kali terdengar suara ”duk”, lantai terowongan itu
tergetar. Menjelang tengah hari, ia malah mulai mendengar suara-suara orang!
”Ah, Bhok-kongcu tentu mengerahkan tenaga membongkar tempat ini. Hampir empat puluh hari
aku berada di sini dan baru ia akan dapat menembus timbunan batu. Hebat memang alat rahasia
guha ini, akan tetapi lebih hebat semangat tak kenal mundur dari Bhok-kongcu.”
Tentu saja Han Sin tidak ingin diserbu oleh Bhok-kongcu dan kawan-kawannya, maka pemuda ini
lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat untuk pengabisan kali di depan kuburan Kui Lok,
kemudian ia menuju ke ruang belakang, tempat Tiat-lo-han berada.
Ia menjura kepada patung kakek tua itu. ”Tiat-lo-han, harap kali ini kau tidak pelit dan mau
menunjukkan jalan keluar.” Ia, seperti dulu, mendorong ke kiri. Patung itu bergerak dan memantul
kembali. Kemudian, Han Sin menggunakan Heng-pai-koan-im dan mendorong sambil mengatur
tenaganya dengan tepat. Terdengar bunyi ”krekk” dan patung itu bergeser selangkah. Pemuda itu
girang sekali.
”Terima kasih ......, terima kasih .......” katanya sambil tersenyum dan terbayanglah wajah Bi Eng.
Memang ia sudah amat rindu kepada adiknya itu dan setelah jalan keluar sudah dekat, ia ingin
cepat-cepat keluar untuk mencari adiknya yang tercinta itu.
Pada saat itu, sebelum ia melakukan dorongan ke tiga, terdengar suara keras sekali di depan dan
ternyata tumpukan batu-batu sudah dapat diruntuhkan. Lalu disusul suara-suara yang ramai-ramai
menyerbu ke dalam, di antaranya ia mendengar suara lengking ketawa yang menyeramkan dari Hoa
Hoa Cinjin!
Aneh sekali, pada saat itu mendadak timbul semacam pikiran dalam kepala Han Sin untuk
menggoda dan mempermainkan orang-orang itu. Dia sendiri merasa heran. Pikiran untuk
mempermainkan orang biasanya hanya terdapat dalam kepala kecil Bi Eng! Kenapa sekarang ia
seperti ketularan dan bernafsu hendak mempermainkan orang?
Ia tertawa sendiri, kemudian ia melangkah mundur, membalikkan tubuh dan mengeluarkan pekik
menyeramkan. Han Sin sudah mempelajari Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan
Bumi), maka ketika ia keluarkan ilmu ini dan memekik, suara itu menerjang keluar dan
Koleksi Kang Zusi
menimbulkan getaran serta gema yang amat hebat sampai lantai terowongan itu tergetar karenanya!
Sekali gus suara lengking ketawa yang disertai khikang dari Hoa Hoa Cinjin itu tenggelam dan
tidak terdengar lagi.
Han Sin mendengar orang-orang menjerit. Dia tidak tahu bahwa suara pekik yang ia keluarkan itu
telah merobohkan belasan orang terdepan yang kurang kuat tenaga lweekangnya!
Suara orang-orang yang riuh rendah tadi sirap, untuk sesaat kemudian terdengar kegaduhan seperti
orang-orang melarikan diri disertai jerit ketakutan, ”Ada setan ....! Ada siluman .....!!” Disusul suara
orang lari tunggang-langgang.
Han Sin tertawa geli sampai perutnya kaku. ”Ah, kiranya begini menyenangkan menggoda orang.
Pantas saja Bi Eng suka sekali menggodaku dan suka main-main.”
Pemuda ini merasa cukup menakut-nakuti orang yang pada menyerbu ke dalam guha. Ia mendengar
gerengan marah dari Hoa Hoa Cinjin, maka ia pikir tidak baik kalau ia berdiam terus di situ. Ia siap
melakukan dorongan ketiga pada patung Tiat-lo-han. Segera ia melakukan jurus Cio-po-thian-keng
(Batu Meledak Langit Gempar).
Jurus ini dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang, mendorong ke depan sambil membanting
kaki kanan dengan keras. Patung itu terdorong ke kiri dan tiba-tiba dinding batu karang sebelah
kanan berlubang sebesar tubuh orang.
Selagi Han Sin kegirangan, tiba-tiba lantai yang diinjaknya nyeplos ke bawah dan tubuhnya ikut
terbawa turun! Han Sin kaget sekali namun ia masih dapat menguasai diri, dapat dengan tenang
mengerahkan ginkangnya. Ia merasa tubuhnya terus melayang ke bawah sampai beberapa lama,
baru lantai itu berhenti dan tubuhnya tentu akan terbanting hancur kalau saja ia tidak menggunakan
ginkang.
Dengan ilmu ini, kedua kakinya yang menginjak lantai seperti dipasangi per sehingga ketika lantai
berhenti, tubuhnya terpental kembali ke atas setinggi tiga kaki, lalu ia melompat turun dengan
tenang. Lantai yang nyeplos itu lebarnya dua meter persegi dan ia mulai meraba-raba di tempat
gelap. Di empat penjuru semua dinding batu karang yang kasar. Hal ini menggirangkan hatinya,
karena ia merasa sanggup untuk merayap naik.
Setelah mengumpulkan semangat dan mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, pemuda ini lalu
mulai merayap melalui dinding kasar, seperti seekor cecak saja! Tiba-tiba ia berhenti di tengahtengah
karena mendengar suara orang-orang bicara di atas. Untuk mendapatkan tempat yang enak ia
lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam, menggores dan membuat lubang pada dinding itu untuk
tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Kemudian ia lalu memasang telinga mendengarkan.
Mula-mula ia mendengarkan suara Bhok-kongcu.
“Hemm, dia telah lolos dari sini. Yang ditinggalkan hanya harta pusaka. Tidak ada kitab. Cinjin,
bagaimana pikiranmu?”
“Bhok-kongcu, pinto sendiri masih sangsi apakah betul ada kitab yang didesas-desuskan orang itu
di sini. Kalaupun ada dan terjatuh ke dalam tangan bocah she Cia itu, apa susahnya kelak kita
merampasnya?”
“Hoa Hoa Cinjin, kau terlalu memandang rendah kitab itu. Ayah telah terluka hebat, sampai
sekarang masih beristirahat dan sakit, itu saja sudah membuktikan betapa hebatnya orang yang
tadinya berada di sini dan telah mempelajari isi kitab. Kalau kita bisa mendapatkan itu, terutama
Koleksi Kang Zusi
sekali ilmu perang, bukankah itu akan menambah kekuatan untuk melakukan rencana kita, sesuai
yang dicita-citakan oleh bangsaku? Ah, betapa inginku dapat lekas-lekas menindas dan mengusir
bangsa Mancu yang tiada bedanya dengan anjing penjilat itu dari Tiongkok!”
Han Sin terkejut mendengar ini. Setahunya Bhok-kongcu adalah seorang penting dari pemerintah
Mancu, bagaimana sekarang bersama Hoa Hoa Cinjin bicara tentang mengusir bangsa Mancu dari
Tiongkok?
“Ssttt, harap kongcu berhati-hati. Kalau ada mata-mata Mancu mendengar, bisa celaka .......”
terdengar suara Hoa Hoa Cinjin.
“Mereka semua di luar, orang-orang pengecut itu. Siapa berani masuk selain kau dan aku? Bangsa
Mancu pengecut, setelah menjajah Tiongkok malah menjilat-jilat orang Han. Mengangkat orangorang
Han sebagai pembesar dan pembantu, malah kaisar tolol itu berusaha melebur bangsanya
menjadi orang Han. Coba kau lihat, alangkah lucunya mereka itu bersikap seperti orang Han,
berbahasa Han, berpakaian Han. Ah, muak aku melihat mereka itu, kaisar dan orang-orangnya
seperti monyet-monyet meniru manusia!”
“Memang menjemukan,” kata Hoa Hoa Cinjin. “Pinto sendiri yang mempunyai darah campuran,
darah Mongol dan darah Han, tetap merasa lebih tinggi dari pada orang-orang Han. Memang,
kongcu. Tiongkok harus diperintah lagi oleh bangsa kita, baru beres.”
“Tak usah kau sangsi lagi, saat bangunnya kerajaan Mongol pasti akan tiba! Roh nenek moyang
kita, roh Yang Mulia Jenghis Khan pasti akan membantu usaha yang kurencanakan. Pangeran
Galdan takkan gagal. Kegagalannya hanya dapat dibeli oleh nyawaku!”
“Ssttt ....., pangeran ....., eh, kongcu. Harap berhati-hati. Ayahmu sendiri tak pernah berani
membuka rahasia pribadi.”
“Kau betul, Cinjin. Biarlah mulai sekarang takkan kulupakan lagi bahwa sebelum kerajaan Goan
(Mongol) bangun kembali, aku adalah Bhok Kian Teng. Biarlah pangeran Galdan bersabar dan baru
muncul kalau kerajaan kita sudah bangun.”
“Mari kita keluar, kongcu. Jangan sampai harta pusaka itu tercecer. Tentang bocah she Cia, tak usah
khawatir. Pinto akan mengejar dan menangkapnya. Lagi pula .......” Makin lama suara Hoa Hoa
Cinjin makin perlahan karena mereka berdua sudah mulai pergi meninggalkan ruang itu. Akan
tetapi setelah mengerahkan tenaga pendengarannya, Han Sin masih dapat menangkap sedikit
lanjutannya “... adiknya berada di tanganmu ........”
Han Sin menjadi gelisah. Celaka, kalau begitu Bi Eng masih berada dalam tangan Bhok-kongcu
atau sebetulnya adalah pangeran Galdan itu. Hemm, dan kongcu seorang pangeran Mongol yang
pada luarnya saja membantu pemerintah baru, akan tetapi sebetulnya hendak mengakangi daratan
Tiongkok sendiri, hendak membangun kembali kerajaan Goan-tiauw yang sudah hancur, hendak
menegakkan kembali kekuasaan Mongol sebagai penjajah di Tiongkok.
“Aduhai tanah airku ........, bangsaku ......., alangkah buruk nasib kita. Seorang musuh, penjajah
Mancu masih belum dapat kita usir, sekarang sudah ada ancaman penjajah baru, orang-orang
Mongol yang hendak kembali menindas kita ....”
Jiwa patriot yang sudah mulai bersemi di dalam hati Han Sin memberontak. Segera ia melanjutkan
usahanya, merayap naik keluar dari “sumur” itu. Diam-diam ia merasa puas bahwa jatuhnya ke situ
malah menguntungkan, karena memberi kesempatan kepadanya untuk mendengarkan percakapan
Koleksi Kang Zusi
yang maha penting. Apakah untuk keperluan macam inikah maka jebakan sumur itu dibuat oleh
pencipta gua itu?
Sementara itu, di luar guha juga terjadi hal-hal yang menarik. Untuk mengetahui ini, baiklah kita
menengok apa yang terjadi selama Han Sin terkurung di dalam guha terowongan dan mempelajari
isi kitab Thian-po-cin-keng. Telah kita ketahui bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong, juga terkurung di
sebelah luar terowongan karena pingsan dan terluka oleh tenaga gabungan dari Han Sin dan Kui
Lok.
Adapun Bhok-kongcu, ketika melihat mulut guha itu tertimbun batu-batu besar, menjadi amat
khawatir akan keselamatan ayahnya. Juga nafsunya untuk mendapatkan harta pusaka rahasia dari
Lie Cu Seng makin membesar. Cepat ia memberi perintah kepada Tung-hai Siang-mo untuk pergi
memanggil bala bantuan. Tak lama kemudian sebuah pasukan terdiri dari ratusan orang datang ke
puncak gunung itu dan pembongkaran batu-batu itu mulai dilakukan. Pekerjaan ini memakan waktu
lama sekali karena batu-batu besar itu amat berat.
Setelah sepuluh hari, barulah tubuh Bhok Hong dapat ditemukan dalam keadaan terluka dan payah
karena selama sepuluh hari tidak makan dan minum. Hanya seorang dengan kekuatan tubuh luar
biasa seperti Bhok Hong dapat menahan derita hebat ini dan tidak menjadi mati karenanya. Namun
kakek kosen ini harus beristirahat dan berobat untuk memulihkan tenaganya. Oleh puteranya ia
segera dikirim ke kota raja untuk beristirahat di gedungnya.
Kemudian Bhok-kongcu memimpin orang-orang untuk melakukan pembongkaran terus. Pekerjaan
ini tidak mudah karena ternyata bahwa batu-batu yang menutup guha sebelah dalam ini malah lebih
banyak dan lebih sukar disingkirkan dari pada batu-batu yang menutupi sebelah luar.
Bhok-kongcu yang amat bernafsu untuk segera melihat isi guha dan kalau mungkin mendapatkan
kitab rahasia yang ia idam-idamkan, memimpin sendiri pekerjaan ini, malah ia menyuruh orangorangnya
membuatkan sebuah pondok kecil di tempat itu untuk dia bermalam! Iapun mengerahkan
tenaga orang-orang kang-ouw. Selain Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, juga kongcu ini
mendatangkan Thian-san Sam-sian dan beberapa orang kosen lagi untuk membantu pekerjaan
membongkar batu-batu itu.
Pada suatu pagi ketika Bhok-kongcu sedang membongkar batu-batu yang seperti tiada habisnya itu,
tiba-tiba ia mendengar bentakan nyaring, “Bhok-kongcu, di mana kakakku?”
Bhok-kongcu berdebar hatinya dan cepat ia menoleh. Ternyata Bi Eng, gadis pujaan hatinya itu,
dengan segala kecantikannya telah berdiri di situ, wajahnya agak pucat namun kecantikannya malah
makin menonjol.
Selama ini tak pernah Bhok-kongcu dapat melupakan Bi Eng, akan tetapi karena ia menghadapi
pekerjaan yang lebih penting, untuk mendapatkan kitab rahasia yang amat ia rindukan maka
terpaksa ia menahan hatinya dan tidak pergi mencari Bi Eng yang sudah dibawa pergi oleh suhunya,
Ciu-ong Mo-kai. Sekarang, melihat kedatangan gadis ini tentu saja ia merasa kejatuhan bintang.
Cepat ia melangkah maju dengan wajah berseri dihias senyum, lalu menjura dengan sikap amat
hormat.
“Ah, Cia-siocia ....! Alangkah girang hatiku melihat kau dalam keadaan selamat. Betapa gelisahku
selama ini karena tidak tahu kau berada di mana dan bagaimana keadaanmu. Cia-siocia, kebetulan
sekali kedatanganmu ini .....”
Koleksi Kang Zusi
“Mana Sin-ko? Kau apakan dia ....??” Bi Eng bertanya pula, matanya membayangkan kegelisahan
besar.
“Nona Bi Eng, bagaimana kau bisa menyangka yang bukan-bukan? Aku tidak bermusuhan dengan
kakakmu, bagaimana aku bisa mencelakakan dia? Andaikata ada apa-apa antara aku dan dia,
melihat kau tentu aku takkan tega mengganggu kakakmu itu.”
“Bhok-kongcu, tak usah putar-putar omongan! Di mana dia?” Bi Eng tidak sabar dan membanting
kakinya.
“Sabar ....., sabarlah, nona manis. Dengan baik-baik kakakmu membawaku ke guha ini. Siapa
sangka, sesampainya di sini, ketika kakakmu sudah memasuki guha, tiba-tiba saja batu-batu besar
dari atas berjatuhan ke bawah dan menutup guha. Sekarang aku sedang memimpin orang-orangku
untuk membongkar batu-batu ini dan menolong kakakmu.”
Saking pandainya Bhok-kongcu bersandiwara, Bi Eng yang masih hijau itu tentu saja dengan
mudah dapat ditipunya. Gadis ini percaya akan semua cerita Bhok-kongcu, karenanya ia merasa
sangat berterima kasih dan ikut membantu membongkari batu-batu dengan hati gelisah.
Ia merasa khawatir kalau-kalau kakaknya takkan dapat ditolong lagi. Dengan susah payah dia telah
dapat memberi penjelasan kepada Ciu-ong Mo-kai bahwa dia sama sekali bukannya menjadi
sahabat baik Bhok-kongcu seperti yang tadinya dikira oleh kakek pengemis ini, sebaliknya Bhokkongcu
malah hendak membantunya bertemu kembali dengan kakaknya di Lu-liang-san. Ciu-ong
Mo-kai menggeleng-geleng kepala ketika mendengar penuturan muridnya.
23. Upaya Sepasang Puteri Thio-ciangkun.
“SEMUA orang kang-ouw hendak menangkap kakakmu karena ingin merampas surat wasiat
peninggalan Lie Cu Seng,” kata Ciu-ong Mo-kai Tang Pok kepada muridnya ini. “Dan di antara
semua orang kang-ouw itu, yang paling berbahaya hanyalah Bhok-kongcu itulah! Bahkan sebagian
besar orang kang-ouw itu bekerja untuk dia. Ah, Bi Eng! Kau tidak tahu orang macam apa adanya
Bhok-kongcu yang bernama Bhok Kian Teng itu. Dia putera Pak-thian-tok Bhok Hong.
Kepandaiannya tinggi sekali dan dia jahat sekali. Kalau melihat wanita ..... hemmm, aku tadinya
benar-benar gelisah melihat kau bersama orang macam dia itu.”
Wajah Bi Eng memerah ketika mendengar omongan suhunya ini. Cepat-cepat dia berkata, “Suhu,
teecu bukan tidak tahu dia seorang pemuda yang kurang baik. Akan tetapi, terhadap teecu dia sopan
sekali dan teecu ..... teecu bukan macam wanita-wanita yang menjadi pelayan-pelayannya!”
Sepasang mata gadis ini bersinar-sinar marah ketika ia berkata demikian.
Gurunya tersenyum, mengangguk-angguk, “Aku percaya kepadamu, muridku. Akan tetapi,
pendirianmu itu takkan dapat menyelamatkan kau dari pada bahaya besar yang mengancammu
kalau kau berdekatan dengan manusia macam dia. Lain kali, melihat bayangannya saja kau harus
cepat-cepat pergi jauh-jauh dari padanya.”
Bi Eng mengerutkan alisnya yang bagus. “Sebaliknya, suhu. Sekarang teecu ingin sekali kembali ke
sana, ke Lu-liang-san.”
Ciu-ong Mo-kai kaget. “Apa katamu? Mau apa kau ke sana?”
“Suhu, Sin-ko berada di sana, tidak tahu bagaimana nasibnya. Bagaimana teecu bisa meninggalkan
dia? Teecu maklum bahwa suhu hendak menyelamatkan teecu. Akan tetapi sebaliknya, teecu takkan
Koleksi Kang Zusi
bisa hidup kalau Sin-ko tidak berada di dekatku. Suhu, teecu harus kembali ke sana.” Sepasang
mata itu sekarang menjadi basah dan suaranya penuh permohonan.
“Bi Eng, apa kau gila? Di sana ada Hoa Hoa Cinjin, ada Tung-hai Siang-mo, ada Bhok-kongcu dan
kaki tangannya yang banyak serta lihai. Ke sana sama artinya dengan memasuki guha harimau yang
ganas.”
“Teecu tidak takut! Untuk menolong Sin-ko, teecu rela mengorbankan selembar nyawa. Kalau ...
kalau suhu tidak berani, biar teecu pergi sendiri!” Kata-katanya penuh semangat dan kakek
pengemis itu tertawa masam.
“Bi Eng .... bocah bodoh. Kau masih terlalu hijau, tidak bisa membedakan antara takut dan
bersiasat. Menghadapi lawan banyak yang lebih kuat dari pada kita, kita harus menggunakan siasat.
Bukannya nekat saja mengandalkan keberanian, lalu roboh dan gagal. Kalau kita nekat dan roboh,
apa kau kira kakakmu masih akan dapat ditolong?”
Bi Eng kaget dan sadar. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan memohon, “Suhu, kau harus tolong
Sin-ko. Teecu mohon petunjuk bagaimana kita harus menolongnya.”
Ciu-ong Mo-kai Tang Pok tertawa. “Tanpa kau mintapun, apa kau kira aku akan membiarkan saja
dia dicelakai anjing-anjing penjilat penjajah itu? Bi Eng, setelah mendengarkan penuturan tadi, aku
mendapat siasat yang baik sekali. Tak dapat disangkal pula, agaknya iblis muda Bhok Kian Teng itu
jatuh hati kepadamu.”
“Suhu ....!” Wajah Bi Eng menjadi merah sekali.
Tang Pok tertawa. “Apa anehnya! Setiap pria muda melihat kau tentu akan berhal demikian. Hanya
memang ajaib sekali kalau iblis muda itu betul-betul jatuh cinta kepadamu dengan wajar, dengan
murni. Tadinya kukira orang macam dia sudah mati perasaannya. Tidak bisa mengenal cinta murni
lagi, hanya menjadi budak dari nafsu buruknya. Ini kebetulan sekali. Melihat sikapnya terhadapmu
yang sudah-sudah, sekarang kau boleh kembali ke Lu-liang-san untuk melihat keadaan. Mungkin
dengan adanya kau di sana, keselamatan Han Sin lebih terjamin. Sementara itu, secara diam-diam
aku akan melindungimu dan mencari kesempatan baik untuk membawa kau dan kakakmu pergi dari
sana.”
Demikianlah, karena tahu bahwa diam-diam suhunya mengikuti perjalanannya dan melindunginya,
dengan berani dan tenang Bi Eng lalu muncul di depan Bhok-kongcu mencari kakaknya. Tentu saja
ia kaget sekali dan cepat membantu membongkar batu-batu ketika diberi tahu bahwa Han Sin
tertutup di dalam guha. Ketika Bi Eng tiba di situ, pembongkaran batu-batu sebelah luar guha sudah
selesai dan tubuh Pak-thian-tok Bhok-Hong sudah ditemukan dalam keadaan terluka hebat dan
sudah dikirim ke kota raja untuk berobat dan beristirahat, maka gadis ini tidak tahu akan hal itu
sama sekali.
Pada malam kedua, ketika dengan hati gelisah Bi Eng termangu-mangu di depan pondok
memandang ke arah guha yang masih tertutup batu-batu, tiba-tiba dari samping melayang sebuah
benda kecil yang ringan ke arah dirinya. Gadis ini mengira ada senjata rahasia, maka cepat ia
miringkan tubuh dan mengulur tangan menyambar. Dengan gerakan indah ini ia dapat menangkap
benda itu yang ternyata adalah segumpal kertas kecil saja.
Cepat ia membawa kertas itu ke bawah lampu yang tergantung di pinggir pondok setelah ia
celingukan ke sana ke mari. Akan tetapi tidak melihat bayangan orang. Ia mengira bahwa tentu
Koleksi Kang Zusi
surat itu datang dari suhunya. Ia membuka surat dan membaca, terheran ketika melihat tulisan
tangan wanita yang halus:
Mendekati Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut. Harus cepat-cepat menjauhkan diri.
Tunggu sampai pagi, aku berusaha mendapatkan kuda dan menjemputmu pergi dari sini. Urusan
kakakmu, aku tentu berusaha menolongnya. Bersiaplah!
Thio Li Hoa
Bi Eng terkejut dan terheran. Pernah ia melihat gadis yang bernama Thio Li Hoa ini, malah ketika
Han Sin muncul di Lu-liang-san, dia datang bersama Li Hoa sebagai seorang gadis yang amat baik
kepadanya. Sekarang gadis ini yang tadinya telah dirobohkan oleh Bhok-kongcu, tiba-tiba muncul
hendak mengajak dia pergi dan berjanji hendak menolong Han Sin. Diam-diam Bi Eng dapat
menduga bahwa gadis yang cantik jelita itu tentulah jatuh cinta kepada kakaknya.
“Hemmm, karena cinta kepada Sin-ko, maka kau berusaha menolong aku dan kakakku. Akan tetapi
dengan kepandaianmu, menghadapi Bhok-kongcu saja kau tidak berdaya, apalagi di sini banyak
sekali kaki tangan Bhok-kongcu seperti Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan lain-lain? Li Hoa,
kau mimpi!”
Demikian kata hatinya sambil meremas hancur surat itu. Betapapun juga, ia harus mendengarkan
dulu apa yang hendak direncanakan oleh gadis she Thio itu dalam usahanya. Aku akan menanti
sampai pagi, siapa tahu dia betul akan dapat menolong Sin-ko, pikirnya. Gurunya sendiri
mengatakan bahwa Bhok-kongcu adalah seorang pemuda jahat sekali. Sekarang Li Hoa bilang
bahwa Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut.
Akan tetapi mengapa terhadap dia pemuda itu begitu baik dan halus? Betulkah pemuda seramah dan
sehalus itu akan mengganggunya? Mukanya menjadi merah dengan sendirinya kalau ia teringat
betapa suhunya dengan terus terang bilang bahwa Bhok-kongcu cinta kepadanya! Apa itu cinta?
Dia tak pernah merasa, kecuali cinta kasihnya terhadap Han Sin. Dia selalu terkenang kepada Han
Sin dan selalu ingin berdekatan, merasa sunyi dan hampa kalau berjauhan. Dan dia rela berkorban
apapun juga, bahkan nyawanya, untuk kakaknya itu.
Bi Eng lalu teringat kepada Yan Bu. Juga pemuda itu amat baik, amat ramah dan halus. Dan
pandang mata pemuda itu ..... eh, kok ada persamaannya dengan pandang mata Bhok-kongcu jika
memandang kepadanya. Bersinar-sinar, berseri-seri namun mengandung suatu kelembutan dalam
sinar mata itu, sesuatu yang mengharap, memohon dan ...... seperti mata orang minta dikasihani.
“Aku tidak tahu tentang cinta,” pikirnya kemudian, bingung dan tidak perduli lagi. “Apakah Yan
Bu dan Bhok-kongcu mencintaiku, masa bodoh. Aku suka kepada Yan Bu, akupun .... tidak bisa
membenci Bhok-kongcu, akan tetapi cinta? Entahlah. Akan kutanyakan kepada Sin-ko tentang cinta
ini kelak .....”
Setelah malam berganti pagi, Bhok-kongcu dan orang-orangnya mulai lagi dengan pekerjaan
membongkari batu-batu. Seperti biasa pada setiap pagi, pemuda ini menemui Bi Eng untuk diajak
sama-sama ke tempat pekerjaan. Akan tetapi gadis ini masih belum keluar dari kamarnya. Ketika ia
mengetuk dan memanggil-manggil, Bi Eng menjawab dari dalam.
“Bhok-kongcu, harap kau berangkat lebih dulu. Nanti aku akan menyusul!”
“Kau kenapakah, nona? Apakah tidak enak badanmu? Ataukah kau terlalu lelah? Biar aku
panggilkan Hoa Hoa Cinjin, agar kau diperiksa dan diberi obat .....”
Koleksi Kang Zusi
Bi Eng menarik napas panjang di dalam kamarnya. Suara pemuda itu begitu halus, lemah lembut
dan penuh perhatian, terdengar amat khawatir dan mencinta. Betulkah dugaan Ciu-ong Mo-kai
bahwa Bhok Kian Teng ini mencintainya? Buru-buru ia menjawab.
“Tidak usah, Bhok-kongcu. Aku tidak apa-apa, hanya lelah sedikit dan malas bangun. Nanti kalau
sudah enakan, tentu aku akan menyusul. Kau pergilah!”
Dari dalam kamar terdengar betapa pemuda itu masih belum mau pergi, agaknya ragu-ragu.
Kemudian terdengar suaranya, “Aku .... aku amat khawatir, jangan-jangan kau sakit. Aku ingin
sekali melihatmu, nona Bi Eng. Kalau perlu akupun tidak pergi ke tempat pekerjaan. Ataukah aku
panggil seorang pelayan untuk menemanimu dan melayanimu?”
“Tak usah ...... tak usah, aku betul-betul tidak apa-apa.” Untuk melenyapkan kecurigaan orang Bi
Eng lalu membuka pintu kamarnya. Ia melihat pemuda itu seperti biasa, sudah berpakaian rapi dan
bersih, wajahnya yang putih tampan itu nampak gelisah dengan sepasang mata penuh perhatian
memandangnya. “Aku tidak apa-apa, hanya ingin mengaso lebih lama. Kau berangkatlah dulu, nanti
aku menyusul.”
Bhok Kian Teng dengan penuh kasih sayang dalam pandang matanya menatap wajah gadis itu.
Rambut Bi Eng masih kusut, juga pakaiannya kusut karena memang belum berganti pakaian dan
belum menyisir rambut. Akan tetapi dalam pandang mata pemuda yang sudah jatuh hatinya itu, ia
nampak makin jelita. Melihat betapa sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan segar,
kekuatiran Kian Teng lenyap dan berserilah wajahnya.
“Ah, syukur kau tidak apa-apa, nona. Kalau kau merasa lelah tidurlah lagi. Tak usah kau membantu.
Kalau sudah merasa enakan, dan kau ingin melihat, kau datang melihat-lihat saja orang bekerja, tak
perlu kau mengeluarkan tenaga membantu mereka. Nah, aku pergi dulu.” Ia menjura dan
mengundurkan diri.
Bi Eng bernapas lega. Semua orang sudah pergi, leluasa baginya untuk menanti datangnya Li Hoa
di situ. Gadis ini sama sekali tidak mengira bahwa Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang
cerdik luar biasa. Ketika melihat gadis yang dikasihinya itu muncul dalam keadaan sehat dan segar
dengan pipi kemerahan, malah timbul kecurigaan di dalam hatinya.
Gadis ini amat rindu kepada kakaknya dan saking besar keinginan hatinya melihat sikap kakaknya
tertolong dari dalam guha, setiap hari sampai ikut-ikut mendorong batu-batu dengan kedua tangan
sendiri. Kecuali kalau jatuh sakit, tak mungkin gadis itu mau menghentikan bantuannya.
Sekarang melihat keadaannya demikian segar dan sehat, kenapa berdiam saja di kamar dan
mengajukan alasan tidak enak badan? Akan tetapi di depan Bi Eng ia tidak menyatakan apa-apa,
malah segera pergi dan meninggalkan gadis itu seorang diri di dalam pondok.
Belum lama Bi Eng berada seorang diri di dalam pondok yang telah menjadi sunyi itu, ia
mendengar suara kaki kuda di depan pondok, disusul suara perlahan seorang wanita, “Adik Bi Eng,
lekas keluar!”
Ketika Bi Eng berlari keluar dari pondok kecil itu, ia melihat dua orang gadis cantik yang
menunggang dua ekor kuda, seekor putih, seekor hitam. Gadis yang seorang bukan lain adalah si
cantik Li Hoa yang sudah pernah dilihatnya. Akan tetapi gadis kedua belum pernah ia melihatnya.
Gadis kedua ini lebih muda dari pada Li Hoa, juga cantik dan matanya bersinar gagah.
Koleksi Kang Zusi
“Bi Eng, dia ini adalah adikku, Thio Li Goat.” Gadis bernama Li Goat itu tersenyum manis kepada
Bi Eng, lalu ia melompat turun dari kuda hitamnya dan berkata.
“Enci Bi Eng, kau pakailah kudaku. Biar aku membonceng enci Li Hoa.”
Bi Eng ragu-ragu. Hatinya tertarik melihat keramahan dua orang gadis cantik itu, akan tetapi karena
dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tidak merasa yakin apakah dia harus ikut mereka. Li Hoa
maklum akan isi hati Bi Eng, maka dengan suara perlahan dia berkata cepat,
“Bi Eng, tak usah kau ragu-ragu. Kau berada dalam bahaya besar. Bhok-kongcu sengaja
menahanmu untuk memaksa kakakmu menyerahkan kitab rahasia yang berada di dalam guha.
Marilah kau ikut dengan kami dan nanti kita berunding bagaimana baiknya untuk menolong
kakakmu.”
Biarpun masih agak ragu-ragu, akan tetapi Bi Eng dapat merasa dalam hatinya bahwa dua orang ini
tak mungkin termasuk orang-orang jahat. Maka sudah dengan sendirinya, ia lalu meloncat naik ke
atas punggung kuda hitam yang tangkas itu, sedangkan Li Goat juga meloncat ke atas punggung
kuda Li Hoa, dengan sigap tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia sudah membonceng di belakang
encinya. Melihat gerakan Li Goat yang ringan dan tangkas, diam-diam Bi Eng kagum dan maklum
bahwa dua orang enci adik itu memiliki kepandaian silat yang tinggi.
“Mari kita pergi dari sini sebelum mereka mengetahui,” ajak Li Hoa. “Kalau kita sudah berhasil
lari, mereka takkan mampu mengejar kuda-kuda pilihan kita ini!”
Bi Eng menarik kendali kudanya dan kuda itu melesat ke depan mengejar kuda putih yang
ditunggangi oleh Li Hoa dan Li Goat. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang
dibarengi bentakan,
“Nona Cia Bi Eng, jangan kau percaya bujukan mereka!”
Kuda hitam itu berjingkrak, mengangkat kedua kaki depan ke atas ketika Bi Eng yang terkejut
menahan tali kendalinya. Juga dua orang gadis itu kaget sekali. Tadi secara diam-diam mereka telah
mengintai dan melihat Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya sudah pergi ke guha,
kenapa pemuda ini tahu-tahu muncul di situ?
Memang Bhok-kongcu orangnya cerdik. Dia memang pergi ke guha, akan tetapi cepat kembali,
secara diam-diam dan bersembunyi di dekat pondok mengintai hingga ia melihat segala yang terjadi
di depan pondok.
“Orang she Bhok! Biarkan dia pergi! Dia apamukah maka kau berani menahan seorang gadis? Apa
kau tidak malu?” bentak Li Hoa dengan marah.
“Dia tawananku dan kalian ini bocah-bocah nakal tak usah mencampuri urusanku!” jawab Bhok
Kian Teng.
“Tawanan ......?” Bi Eng berseru kaget. “Aku bukan tawanan! Bagaimana kau berani bilang
demikian?”
“Nona yang baik, jangan kau mendengarkan bujukan mereka. Mereka itu dua orang gadis yang
jahat, suka mengacau .......”
Koleksi Kang Zusi
“Kurang ajar kau! Kau kira kami boleh kau hina sembarangan? Awas senjata!” bentak Li Goat yang
menggerakkan tangan kanannya dan dua buah benda yang berkilauan dengan cepat sekali
menyambar ke arah tubuh Bhok-kongcu, mengarah dua jalan darah yang berbahaya. Itulah senjata
rahasia Lian-hoa-piauw (Piauw Bunga Teratai), yang selain indah bentuknya, menyerupai bunga
dengan dironce merah, juga amat cepat sambarannya dan amat berbahaya.
Namun Bhok-kongcu adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Sambil
mengeluarkan suara tawa mengejek, dengan mudah saja ia miringkan tubuh dan dua buah senjata
rahasia itu menyambar lewat di atas punggungnya.
Sebelum Bi Eng sempat melarikan kudanya lagi, tiba-tiba Bhok-kongcu yang berada di depan
kudanya itu menggerakkan tangan menarik kendali kuda. Kuda hitam kesakitan dan merontahrontah
sehingga tak dapat ditahan lagi tubuh Bi Eng terlempar dari punggungnya.
Alangkah kaget dan marah hati Bi Eng ketika tahu-tahu ia telah diterima oleh kedua lengan tangan
Bhok-kongcu, dipondong sehingga tidak terbanting jatuh. Ia merontah-rontah dalam pelukan
pemuda itu dan berteriak-teriak, “Lepaskan aku! Lepaskan!”
Akan tetapi mana Bhok-kongcu mau melepaskannya? Malah pemuda ini lalu menotok jalan darah
gadis itu sehingga membuat Bi Eng lemas tak berdaya lagi. “Bi Eng, kau harus percaya kepadaku,
harus! Jangan dengarkan obrolan orang lain.”
Kemudian ia berseru kepada orang-orangnya dengan suara tinggi. “Ji-wi lo-enghiong Tung-hai
Siang-mo! Tolong tangkap dua orang gadis itu!”
Pada saat itu, mendadak terdengar suara keras, “Bocah she Bhok, jangan kau kurang ajar terhadap
muridku!" Muncullah tubuh Ciu-ong Mo-kai dan dari mulutnya tersembur arak ke arah muka Bhokkongcu.
Pemuda ini maklum akan kelihaian pengemis tua ini. Maka ia lalu melempar tubuh Bi Eng ke
bawah pohon sambil mengelak dari serangan semburan arak, ta¬ngannya mencabut keluar
kipasnya. la ma¬sih tersenyum mengejek melihat pengemis itu. "Aha, kiranya Ciu-ong Mo-kai si
pe¬ngemis kelaparan yang datang. Setelah menerima hajaran, kau masih belum kapok dan berani
muncul lagi?"
Ciu-ong Mo-kai mengeluarkan seruan keras dan dengan marah menyerang de¬ngan guci araknya,
dihantamkan ke arah kepala Bhok-kongcu. Pemuda ini cepat mengelak dan membalas dengan
totokan maut yang dimainkan dengan kipasnya. Sebentar saja dua orang jago tua dan mu¬da ini
saling gempur dengan hebatnya.
Bhok-kongcu boleh jadi seorang pemuda yang pada jaman itu jarang dicari tandingnya. Sebagai
putera tunggal dari Pak-¬thian-tok, tentu saja ia memiliki kepan¬daian yang tinggi juga, berkat
kecerdikan otaknya ia telah banyak mempela¬jari ilmu-ilmu silat yang luar biasa. Sa¬yangnya dia
adalah seorang pemuda mata keranjang yang terlalu suka menuruti naf¬su hatinya sehingga dalam
hal lweekang, tenaganya belum dapat dikatakan sempur¬na.
Sekarang ia menghadapi seorang tokoh besar seperti Ciu-ong Mo-kai, tentu saja biarpun dengan
ilmu silatnya ia dapat melakukan perlawanan dan bahkan dapat membalas dengan seranganserangan
maut, namun perlahan-lahan ia terdesak oleh ha¬wa pukulan-hawa pukulan yang amat
kuat dari pengemis sakti itu. la mencoba hen¬dak mempergunakan senjata rahasianya yang beracun,
akan tetapi Ciu-ong Mo-¬kai Tang Pok tidak memberi kesempatan kepadanya.
Koleksi Kang Zusi
Sementara itu dua orang iblis laut timur, Tung-hai Siang-mo, setelah men¬dapat perintah Bhokkongcu
tanpa ragu¬-ragu lagi lalu melompat maju dan kuda putih yang ditunggangi oleh Li Hoa
dan Li Goat kaget dan berdiri di atas kedua kaki belakang ketika sepasang iblis itu menghadang di
depannya.
Sambil mempertahankan diri agar jangan jatuh dari atas kuda, Li Hoa mem¬bentak, "Tung-hai
Siang-lo-enghiong, apa¬kah kalian berani kurang ajar kepada ka¬mi? Ayah akan menghukum
kalian!"
Tentu saja Tung-hai Siang-mo sudah mendengar tentang kekuasaan Thio-taijin, ayah kedua orang
gadis ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa kedudukan Bhok-¬kongcu lebih tinggi dari pada ayah
mereka. Maka mendengar ancaman Li Hoa ini, Ji Kong Sek tersenyum. "Heh-heh, nona ber¬dua
yang manis, mana kami berani kurang ajar terhadap puteri-puteri Thio-taijin? Kami hanya
menerima tugas dan perintah Bhok-kongcu supaya kalian jangan lari pergi. Kalau ayah kalian
marah, biarlah marah kepada kongcu. Heh-heh-heh!"
Li Hoa mengeluarkan seruan marah. la tahu bahwa percuma saja menggunakan nama ayahnya
untuk menggertak, dan ia¬pun tahu pula bahwa kalau ayahnya tahu akan sepak-terjangnya di sini
terhadap Bhok-kongcu dan orang-orangnya, ayahnya malah akan marah kepadanya! Maka tanpa
banyak cakap lagi gadis yang berani ini lalu memberi isyarat kepada adiknya. "Li Goat serang!"
Seperti dua ekor singa betina, enci dan adik ini lalu melompat turun dan me¬nerjang Tung-hai
Siang-mo dengan pedang mereka. Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw tertawa mengejek. Dengan girang
mereka lalu melayani dua orang nona muda yang cantik-cantik ini, menghadapi permainan pedang
mereka dengan tangan kosong saja. Memang tingkat kepandaian sepasang iblis ini tentu saja jauh
lebih tinggi, maka de¬ngan enak dan mudah mereka dapat mempermainkan Li Hwa dan adiknya.
Di lain pihak, Bhok-kongcu yang li¬hai itu ternyata tidak kuat menghadapi amukan Ciu-ong Mokai
yang hendak menolong muridnya. Jago tua ini mengeluar¬kan ilmu silatnya Liap-hong-sin-hoat
dan setelah dengan mati-matian mempertahan¬kan diri, akhirnya Bhok-kongcu mulai ter¬desak dan
permainan kipasnya kalang-ka¬but. Pada jurus ketiga puluh, dengan se¬ruan keras sekali Ciu-ong
Mo-kai menga¬yun guci araknya ke arah Bhok-kongcu sambil membentak, "Pangeran keji,
mampuslah!"
Bhok-kongcu terkejut sekali melihat sambaran guci yang amat tidak tersangka¬-sangka dan cepat
sekali ini. la mengangkat kipas menangkis sambil menusukkan jari-jari tangan kirinya ke arah mata
lawannya. Akan tetapi mendadak dari mu¬lut guci itu melesat keluar segumpal arak yang
menyambar ke arah muka Bhok-kong¬cu!
Pemuda ini berusaha miringkan kepala, namun masih ada sebagian arak yang me¬ngenai pipi dan
matanya, sehingga terpak¬sa ia meramkan mata. la merasa pipinya pedas sekali dan serangan jarijari
tangan kirinya tidak mengenai sasaran. Adapun kipas di tangan kanannya bertemu dengan guci,
mengeluarkan suara keras dan ....... senjata istimewa di tangannya itu patah-¬patah! Otomatis Bhokkongcu
melompat mundur ke belakang dan gerakannya ini amat indah dan baik karena kalau tidak
demikian, tentu ia telah tertimpa bencana oleh serangan susulan yang dilakukan oleh Tang Pok.
Pada saat itu, muncul Hoa Hoa Cin¬jin yang mengeluarkan suara marah, "Tang Pok pengemis
kelaparan! Pinto lawanmu, bukan orang-orang muda!"
Angin menyambar dahsyat ketika Hoa Hoa Cinjin menyerang. Tosu ini tidak berlaku sungkan lagi.
Tangan kanannya menggerakkan pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan tangan kiri dikepal dan
menyerang pula dengan pukulan-pukulan jarak jauh.
Koleksi Kang Zusi
"Tosu keparat! Siapa takut padamu?" Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang maklum akan kelihaian Hoa
Hoa Cinjin, segera me¬layani tosu ini dengan sungguh-sungguh. Pedang hijau di tangan tosu itu
sudah lihai, akan tetapi pukulan-pukulan tangan kirinya lebih berbahaya lagi. Namun, de¬ngan Ilmu
Silat Liap-hong-sin-hoat, Tang Pok masih dapat membuat Hoa Hoa Cinjin yang lihai itu
menghadapi tembok baja dan sukarlah baginya untuk mengalahkan pengemis sakti ini.
Menyaksikan bahwa kekuatan kedua fihak berimbang Bhok-kongcu menjadi pe¬nasaran dan tidak
sabar lagi. Li Hoa dan Li Goat kini sudah roboh tertawan oleh Tung-hai Siang-mo, akan tetapi dua
orang kakek ini tentu saja tidak sudi membantu Hoa Hoa Cinjin, karena merekapun orang-¬orang
berkedudukan tinggi sehingga mema¬lukan mengeroyok lawan. Maka setelah merobohkan Li Goat,
dua orang tua inipun hanya berdiri sambil tertawa-tawa menon¬ton. Bhok-kongcu lalu minta
bantuan mereka untuk mengantar Li Hoa, Li Goat, dan Bi Eng ke kota raja.
"Serahkan dua orang gadis Thio itu kepada ayah mereka dan ceritakan semua sepak-terjang mereka
yang tidak semesti¬nya, dan nona Cia ini harap ji-wi (kalian) bawa ke rumahku, biar mengaso di
sana," pesannya. Tung-hai Siang-mo menjadi gi¬rang dengan tugas yang ringan ini, maka mereka
segera membawa tiga orang nona muda itu pergi turun gunung.
Setelah membereskan tiga orang no¬na itu, Bhok-kongcu lalu maju membantu Hoa Hoa Cinjin.
Kipasnya sudah rusak, maka kini ia membantu dengan serangan¬-serangan senjata rahasia ke arah
Ciu-ong Mo-kai. Tentu saja serangan-serangan yang cukup dahsyat ini membuat Tang Pok menjadi
kewalahan.
Kakek pengemis ini sudah merasa bingung melihat Bi Eng di¬bawa pergi Tung-hai Siang-mo, dan
meng¬hadapi desakan Hoa Hoa Cinjin saja sudah amat berat. Sekarang ditambah lagi de¬ngan
serangan-serangan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus beracun dari Bhok-kongcu, ia kaget
dan cepat menyem¬burkan arak untuk melindungi dirinya. la tahu bahwa senjata rahasia pemuda ini
tak boleh dipandang ringan. Sebagai pute¬ra tunggal Pak-thian-tok (Racun Utara), tentu saja senjata
rahasia itu mengandung racun yang amat jahat.
Adapun Hoa Hoa Cinjin yang melihat keadaan lawannya terdesak, cepat mem¬perhebat
serangannya, malah iapun kini menggunakan jarum-jarum hijau diseling dengan pukulan-pukulan
Cheng-tok-ciang!
"Curang .... curang ....!" Berkali-kali Ciu-ong Mo-kai Tang Pok berseru sambil membuang diri ke
kanan kiri, namun percu¬ma saja karena hujan serangan itu akhirnya membuat pundak kirinya
terkena jarum hijau yang dilepas dari jarak dekat oleh Hoa Hoa Cinjin.
Tang Pok menggigit bi¬birnya menahan sakit. Seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh oleh racun
jarum itu. Cepat ia menotok jalan darah di leher ki¬ri dan mengerahkan tenaga untuk menahan
menjalarnya racun, ia memutar guci arak¬nya dengan pukulan Ciu-san-cam-liong (Dewa Arak
Membunuh Naga), jurus ter¬akhir yang paling dahsyat dari Liap-hong¬ Sin-hoat.
Guci arak itu berputar cepat se¬kali mengarah kepala Hoa Hoa Cinjin dan terus menyerang Bhokkongcu
yang berada agak jauh. Dua orang ini kaget dan cepat meloncat mundur melihat dahsyatnya
se¬rangan guci arak ini dan diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat kakek pengemis yang
sudah terluka oleh jarum hijaunya itu ternyata tidak roboh malah dapat melakukan serangan balasan
demiki¬an hebatnya.
"Mo-kai, kau hebat ......!” Tak terasa lagi ia memuji sambil melompat mundur.
Koleksi Kang Zusi
Tang Pok hanya tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat jauh, lari dari situ. Bhok-kongcu dengan
gemasnya menghujan¬kan senjata rahasia ke arah pengemis itu. Akan tetapi jaraknya sudah terlalu
jauh dan dengan sekali mengibaskan ujung le¬ngan baju kanannya, semua jarum itu da¬pat
diruntuhkan.
"Jangan-jangan dia nanti mengejar Tung-hai Siang-mo dan merampas murid¬nya,” kata Hoa Hoa
Cinjin.
Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Selain dia tidak berdaya menghadapi dua orang tua itu, juga
mereka diantar oleh sepasukan pengawal bersenjata yang sudah dipilih. Tak usah khawatir, paling
baik kita segera mengeluarkan pemuda she Cia itu."
Demikianlah, dengan bekerja siang malam, Bhok-kongcu akhirnya berhasil membongkar semua
batu-batu yang menu¬tup terowongan dan seperti telah dicerita¬kan di bagian depan, Bhok-kongcu
dan Hoa Hoa Cinjin menyerbu ke dalam, akan tetapi mereka berdua tidak mendapatkan apa-apa,
bahkan tidak melihat adanya Cia Han Sin yang sudah bersembunyi di dalam sumur!
Kita kembali kepada Han Sin. Seper¬ti telah kita ikuti bersama, pemuda ini telah menggembleng
diri dalam terowongan, mempelajari ilmu silat tinggi Thian-¬po-cin-keng. Tanpa ia sadari sendiri,
ia telah mewarisi ilmu yang hebat dan ber¬kat latihan-latihannya, kini hawa sinkang di dalam
tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya.
Setelah ia mendengar percakapan antara Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin, dan mengerti bahwa
Bhok-kongcu sebenar¬nya adalah Pangeran Mongol yang bercita-¬cita merampas kembali negara
Tiongkok, jiwa patriotnya bergolak. Ia melihat an¬caman hebat mengancam tanah air dan
bangsanya, yang tidak saja kini dicaplok oleh penjajah Mancu, malah terancam pula oleh orangorang
Mongol yang ingin men¬jajah kembali.
Akan tetapi saat itu, perha¬tiannya tertumpah pada nasib adiknya yang ia dengar telah terjatuh ke
dalam tangan pangeran Mongol, Bhok-kongcu itu. Maka dengan kemarahan ditahan-tahan, pemuda
ini lalu berjalan keluar dari tero¬wongan, tidak jadi melarikan diri!
"Awas kalian kalau adikku diganggu .....!” gerutunya. Kesabaran manusia ada batasnya dan pemuda
ini yang biasanya amat sabar, saking seringnya diganggu dan setelah mendapat gemblengan di
dalam te¬rowongan, dibangunkan semangatnya oleh Thai-lek-kwi Kui Lok, kini benar-benar
menjadi marah.
Pada saat itu Bhok-kongcu dengan kecewa karena pekerjaan berat yang sudah dilakukan itu
ternyata tidak mendatangkan hasil yang amat diharapkan, yaitu kitab rahasia yang ia rindukan,
sedang mengatur orang-orangnya untuk mengangkuti harta pusaka yang banyak terdapat di dalam
guha. Pekerjaan ini dibantu oleh Thian-san Sam-¬sian, Tok-gan Sin-kai, dan lain-lain jago¬annya.
Tung-hai Siang-mo sudah pergi mengantar tiga orang nona ke kota raja, sedang Hoa Hoa Cinjin
sudah pergi melakukan pengejaran terhadap Cia Han Sin yang mereka sangka sudah kabur dari
dalam guha.
24. Rahasia Adik Kandung Perempuan
DAPAT dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika tiba-tiba mereka melihat Han Sin
berjalan keluar dari dalam guha. Wajah pemuda ini merah sekali, sepasang matanya yang luar biasa
sinarnya itu menyapu semua orang, amat menyeramkan. Pakaiannya kumal dan compang camping,
rambutnya kusut tidak terpelihara. Akan tetapi sekali melihatnya, Bhok-kongcu segera
mengenalnya. Pangeran muda ini amat terkejut dan heran, akan tetapi ia segera dapat menekan
Koleksi Kang Zusi
perasaannya dan dengan wajah tersenyum ia melangkah maju dan menyambut Han Sin dengan
suara ramah,
"Ah, kiranya saudara Cia masih selamat. Syukur ...., syukur ......! Kami telah bersusah payah
berusaha menolongmu, membongkar semua batu untuk sebulan lebih lamanya." Akan tetapi Bhokkongcu
menghentikan langkahnya ketika melihat muka pemuda itu yang kelihatan mengancam dan
marah.
"Di mana Bi Eng? Di mana adikku itu?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Han Sin dengan nada
penuh ancaman dan sinar matanya berapi-api.
Dengan muka masih tersenyum ramah Bhok-kongcu menjawab, "Adikmu itu selamat dan berada di
kota raja menanti kedatanganmu. Saudara Cia, apakah kau sudah mendapatkan kitab rahasia itu?"
Diam-diam Han Sin terkejut. Bagaimana pemuda pangeran ini bisa tahu tentang kitab? la
menggeleng kepala. "Takkan kukatakan kepadamu, atau kepada siapapun juga. Kau bohong tentang
adikku. Kau telah menawannya. Ayoh lepaskan dia!"
Bhok-kongcu mendongkol sekali, akan tetapi masih dapat menahan kemarahannya. la tahu bahwa
Han Sin memiliki keberanian dan kekerasan hati luar biasa, maka harus dihadapi dengan lemahlembut.
"Saudaraku yang baik, seorang kuncu tak akan menjilat kembali ludah yang sudah
dikeluarkannya. Kau sudah berjanji padaku ........"
"Berjanji apa? Berjanji hendak membawamu ke tempat penyimpanan harta peninggalan pahlawan
Lie Cu Seng. Bukankah aku sudah membawamu ke sini? Ayoh, jangan banyak cakap, lekas
lepaskan adikku!"
Bhok-kongcu seorang cerdik. Melihat pemuda itu tidak mau bicara tentang kitab wasiat, ia menaruh
curiga bahwa kitab itu tentu telah ditemukan Han Sin. Maka ia lalu berkata manis,
"Saudara Cia, adikmu selamat di kota raja. Mudah saja melepaskan dia supaya berkumpul lagi
denganmu, akan tetapi kitab itu ...... kau harus berikan dulu kepadaku sebagai penukaran diri
adikmu. Bukankah ini adil?"
Kemarahan Han Sin meluap. Sepasang matanya seperti kilat menyambar ke arah wajah Bhokkongcu,
membuat kongcu itu surut dua langkah saking kagetnya. "Aku tidak mau lagi masuk
perangkapmu yang keji!'" seru Han Sin. "Aku tidak sudi berjanji apa-apa, tidak sudi menukar apaapa.
Adikku tidak bersalah, mengapa kau tawan? Ayoh keluarkan!" Dengan penuh kemarahan
pemuda ini melangkah maju menghampiri Bhok-kongcu.
Tentu saja Bhok-kongcu tidak takut menghadapi Han Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang
hanya berani dan aneh, akan tetapi lemah. Pada saat itu terdengar suara tertawa mengejek dan
majulah tiga orang hwesio, menghadang Han Sin. Mereka ini adalah Thian-san Sam-sian, yaitu Gi
Ho Hosiang, Gi Hun Hosiang dan Gi Thai Hosiang. Yang tertawa adalah Gi Hun Hosiang, yang
sudah mencabut pedang dan tasbehnya.
"Ha-ha-ha, bocah she Cia. Apakah kau masih belum kapok dan minta disiksa lagi seperti dulu?
Ingin pinceng mencokel keluar kedua matamu yang seperti mata iblis itu!"
Melihat tiga orang hwesio yang menaruh dendam kepada keluarga Cia itu sudah maju, Bhokkongcu
berkata, "Jangan bunuh dia, tangkap saja!"
Koleksi Kang Zusi
Adapun Han Sin ketika melihat tiga orang hwesio yang pernah menyiksanya ini, bangkit
kemarahannya. "Kalian ini setan-setan berwajah manusia berselimut pakaian pendeta. Kalian
mencemarkan agama dan mengotorkan dunia!" serunya marah sambil maju terus, sama sekali tidak
memperdulikan tiga orang itu.
Serentak tiga orang hwesio itu maju dan sesuai dengan perintah Bhok-kongcu, mereka tidak
menggunakan senjata, melainkan menggunakan tangan kosong untuk mencengkeram Han Sin.
Yang maju lebih adalah Gi Hun Hosiang yang menggunakan tangan kiri menampar kepala dan
tangan kanan mengcengkeram pundak.
Han Sin tidak perdulikan serangan itu, hanya menggerakkan tangan kiri mengibas ke depan dan
....... tubuh Gi Hun Hosiang terlempar sampai empat meter lebih, bergulingan dan mengaduh-aduh!
Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang kaget dan marah sekali. Serentak mereka maju mengirim
serangan dahsyat.
Namun, dengan hanya satu kali menggerakkan kedua tangannya, kembali Han Sin membuat dua
orang kepala gundul itu terpelanting dan tak dapat bangun lagi. Ternyata Thian-san Sam-sian telah
roboh dengan tulang-tulang pundak patah-patah dan menderita luka dalam yang sekaligus
melenyapkan sebagian besar dari pada tenaga dan kepandaian mereka. Biarpun Han Sin tidak
membunuh mereka, namun selanjutnya tiga orang hwesio ini tidak dapat berbuat sewenang-wenang
lagi karena mereka telah menjadi penderita-penderita cacat di sebelah dalam dadanya!
Semua orang melongo melihat kejadian ini. Akan tetapi Tok-gan Sin-kai yang tidak kenal gelagat,
masih tidak percaya dan menganggap hal itu bisa terjadi karena kesembronoan dan kebodohan
Thian-san Sam-sian. Tanpa menanti perintah lagi ia meloncat maju dan menyerang dengan
tongkatnya. Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai, ilmu tongkatnya berbahaya dan
lihai sekali.
Tentu saja Han Sin mengenal pengemis mata satu ini. Pernah dulu ia diberi hadiah Coa-kut-teng
(Paku Tulang Ular) oleh pengemis ini sampai ia menderita luka di pundaknya dan terkena racun. Ia
tahu bahwa di ujung tongkat pengemis mata satu itu terdapat alat senjata rahasia paku itu.
"Tua bangka keji, apa kau hendak menggunakan lagi paku-paku busukmu?" katanya sambil
tersenyum mengejek. Watak Han Sin benar-benar banyak berubah setelah ia "bertapa" selama
empat puluh hari di dalam guha. la kini menjadi jenaka, tidak pendiam lagi seperti dulu. Welas asih
terhadap sesama manusia memang sudah menjadi dasar wataknya, hanya sekarang ia tidak
menurutkan perasaan ini secara membuta. la bukan seorang yang bersemangat tahu lagi, ia bukan
seorang pemuda yang berjiwa lemah. Ia harus membasmi kejahatan!
Tok-gan Sin-kai yang memandang rendah pemuda ini, sudah melakukan gerakan pertama,
tongkatnya menyambar dan menusuk ke arah ulu hati Han Sin. Pemuda itu kelihatannya tidak
mengelak sama sekali, malah menanti sampai ujung tongkat mengenai kulitnya. Alangkah kagetnya
hati Tok-gan Sin-kai ketika ia merasa ujung tongkatnya meleset ketika mengenai kulit dada pemuda
itu, seakan-akan baja yang keras dan licin. Sebelum ia menarik kembali tongkatnya, Han Sin sudah
menyambar tongkat itu dan seperti mematahkan sebatang biting, ia patah-patahkan tongkat itu lalu
menjumput tujuh buah paku yang tersembunyi di pucuk tongkat.
"Makanlah paku-pakumu!" katanya sambil melemparkan paku-paku itu ke arah pemiliknya. Tokgan
Sin-kai kaget dan mencoba untuk mengelak, namun terlambat. Ia merasa sakit pada kedua
pundak, kedua siku, kedua lutut dan roboh terguling seketika itu juga. Ternyata di antara tujuh
batang paku, yang enam telah menancap di kedua pundak, kedua lengan dan kedua kaki membuat
Koleksi Kang Zusi
urat-uratnya di tempat itu putus dan selanjutnya, seperti halnya Thian-san Sam-sian, pengemis mata
satu ini juga menjadi seorang tak berguna lagi, cacat selama hidupnya!
Gegerlah semua orang yang menyaksikan kejadian ini. Bhok-kongcu hampir tak dapat
mempercayai pandangan matanya sendiri. Sekilat pikiran melintas dalam benaknya. Tentu pemuda
Min-san itu sudah menemukan kitab wasiat! Akan tetapi mungkinkah hanya dalam puluhan hari
saja sudah dapat mewarisi isi kitab dan memiliki kepandaian sehebat itu? Wajahnya menjadi pucat
ketika ia melihat Han Sin dengan langkah tegap menghampirinya dan mulut pemuda itu terus
mendesak,
"Di mana Bi Eng? Lepaskan dia!"
Bhok-kongcu bukanlah pemuda yang nekat mengandalkan kepandaian sendiri. Dia lebih
mengandalkan kecerdikannya. Melihat keadaan Han Sin, dia tidak mau berlaku sembrono, cepat ia
memberi perintah,
"Tangkap dia!".
Puluhan orang kaki tangannya yang tadinya bungkam dan tak bergerak saking herannya melihat
pemuda aneh itu merobohkan tiga orang tokoh besar secara demikian mudah, kini mendengar
perintah majikannya, serentak maju menyerang Han Sin. Pemuda ini makin mendongkol.
"Kalian semua bukan orang baik-baik!" tegurnya dan ketika kedua lengannya bergerak, orang-orang
yang mengeroyok roboh bergelimpangan. Betapapun marah hati Han Sin, pemuda ini masih tidak
tega untuk membunuh orang, maka ia membatasi tenaganya dan hanya merobohkan para
pengeroyoknya itu dengan mematahkan tulang-tulang mereka.
Keadaan menjadi ribut dan makin lama makin banyak orang roboh tumpang-tindih, membuat yang
lain menjadi jerih dan ragu-ragu untuk maju. Ketika akhirnya Han Sin terbebas dari pengeroyokan
dan tak seorangpun berani maju, ia mendapatkan bahwa Bhok-kongcu sudah tidak berada di tempat
itu lagi, kongcu yang cerdik itu ternyata telah kabur! Han Sin tidak mau perdulikan, Bhok-kongcu,
sebaliknya ia menyambar lengan seorang pengeroyok dan membentak,
"Ayoh katakan, di mana adanya nona Cia Bi Eng, adikku!" Pandang matanya yang tajam luar biasa
itu membuat, orang yang dipegangnya ketakutan setengah mati.
"Ampun, taihiap ........ nona itu dibawa oleh Tung-hai Siang-mo ke kota raja .......”
"Siapa yang menyuruh dan dibawa ke rumah siapa?"
"Bhok-kongcu yang memerintah dan ....... tentu saja dibawa ke rumah Bbok kongcu .......”
Han Sin melepaskan lengan orang, lalu pergi turun gunung tanpa banyak cakap lagi. Tujuannya
hanya satu, menolong adiknya di kota raja kemudian baru bersama adiknya melakukan perjuangan
bersama para patriot bangsa lainnya, mengusir kaum penjajah yang hendak mencengkeram tanah
air!
****
Dengan melakukan perjalanan cepat tak kenal lelah Han Sin turun dari puncak Lu-liang-san sebelah
timur dan terus menuju ke timur, ke kota raja. Ia merasa tubuhnya amat ringan dan kuat, jauh sekali
bedanya dengan sebulan yang lalu. Bukan main girangnya karena ia maklum bahwa kesemuanya ini
Koleksi Kang Zusi
adalah berkat ketekunannya mempelajari ilmu dari kitab Thian-po-cin-keng yang sudah ia bakar
ketika ia hendak keluar dari dalam guha. Kitab itu sudah dibakarnya karena ia maklum bahwa
banyak sekali tokoh kang-ouw menghendaki kitab itu, maka untuk mencegah keributan lebih lanjut,
ia membakar kitab itu sampai habis menjadi abu.
Ketika pemuda ini sedang melakukan perjalanan yang sukar melalui Pegunungan Tai-hang-san, di
lereng gunung yang amat sunyi dan indah pemandangannya, tiba-tiba ia mendengar suara orang dari
jauh. Hatinya tertarik, apa lagi ketika mendengar suara-suara itu seperti dua orang tengah berselisih.
Segera ia mengerahkan ginkang dan berlari ke arah suara itu. Makin dekat ia menjadi makin tertarik
karena mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah Hoa Hoa Cinjin! Cepat ia menyelinap dan
bersembunyi di belakang batu besar ketika sudah tiba dekat dan melihat benar-benar Hoa Hoa
Cinjin sedang bercekcok dengan seorang kakek bertopi lebar yang bertubuh jangkung kurus.
Kakek ini membawa sebuah pikulan yang ditaruhnya di tanah, pakaiannya sederhana, wajahnya
keren dan sepasang matanya bersinar-sinar. Namun mulutnya selalu tersenyum dan dari mulutnya
inilah nampak kesabaran dan kebaikan hatinya.
"Hoa Hoa Cinjin," terdengar kakek bertopi itu berkata, suaranya mengandung kehalusan dan
kesabaran, "dahulu kau menewaskan suteku Koai-sin-jiu Bhok Kim, aku diam saja karena itu
adalah urusan pribadi antara dia dan kau. Juga kau menyerang dan memukul murid keponakanku,
Ang-jiu Toanio, inipun masih kusabarkan karena mungkin sekali dia yang menyerangmu lebih dulu.
Dalam pertempuran, kalah menang bukan soal aneh dan sudah semestinya. Akan tetapi kau orang
tua sampai menghina yang muda, menghina muridku Phang Yan Bu, malah mengucapkan kata-kata
menantangku. Hemmm, tosu sombong, hal ini tidak bisa kudiamkan saja!"
Hoa Hoa Cinjin tertawa seram, melengking nyaring seperti suara setan. Kemudian ia berkata
mengejek, "Heh heh, tukang obat. Percuma saja kau berjuluk Yok-ong (Raja Obat). Ternyata kau
tidak mampu mengobati perempuan galak itu dan sekarang karena penasaran kau mencariku. Ha ha
ha! Kepandaianmu mengobati sudah kulihat, hanya kepandaianmu silat yang belum. Hendak pinto
lihat apakah sama rendahnya dengan kepandaianmu tentang pengobatan!"
Setelah berkata demikian, Hoa Hoa Cinjin bersiap untuk melakukan penyerangan. Kakek bertopi itu
yang bukan lain adalah Yok-ong Phoa Kok Tee, guru Yan Bu dan merupakan seorang tokoh yang
aneh dan jarang keluar di dunia kang¬ouw, bersikap tetap sabar.
"Hoa Hoa Cin¬jin, memang aku sengaja hendak mencoba kepandaianmu. Orang keji macam kau ini
kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi, hanya akan menimbulkan bencana saja bagi orang baikbaik."
"Tukang obat sombong, kaulah yang akan mampus!" Hoa Hoa Cinjin mengakhiri seruannya dengan
sebuah serangan kilat. Pukulannya mengeluarkan hawa menyambar dahsyat dan melihat warna
lengannya itu yang bersemu hijau, tahulah Yok-ong Phoa Kok Tee bahwa lawannya itu telah
mempergunakan Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) yang amat berbahaya.
Namun ia tidak menjadi gentar karenanya. Untuk menghadapi Cheng-tok-ciang lawan, ia lalu
menggunakan ilmu totoknya yang paling lihai, yaitu yang disebut It-yang-ci. Raja Obat ini sudah
melatih diri dengan ilmu ini puluhan tahun lamanya. Tidak saja totokan satu jari ini dapat
dipergunakan untuk mengobati orang-orang terluka dalam, akan tetapi juga dapat dipergunakan
dalam pertempuran sebagai ilmu yang dahsyat. Hawa totokannya saja cukup untuk merobohkan
orang, sehingga ilmu ini memang tepat untuk menghadapi Cheng-tok-ciang yang berbahaya.
Koleksi Kang Zusi
Pertempuran berlangsung dengan hebat, keduanya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian.
Diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat lawannya. Baru kali ini ia menghadapi lawan
yang amat tangguh, dan Ilmu Totok It-yang-ci yang sudah lama ia dengar itu, baru sekarang ia
buktikan kelihaiannya.
Di lain pihak, Phoa Kok Tee juga amat kagum. Pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh Hoa Hoa
Cinjin mengandung tenaga mukjizat yang sukar ia lawan. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya,
baru ia dapat mengimbangi saikong itu.
Sementara itu, di tempat sembunyinya Han Sin menonton pertempuran. Ingin ia muncul dan
membantu kakek bertopi. Ia maklum bahwa Hoa Hoa Cinjin jahat, akan tetapi ia tidak mengenal
kakek bertopi, bagaimana ia bisa membantu? Siapa tahu kakek bertopi itupun bukan manusia baikbaik?
Pada saat itu, pertempuran sudah mencapai puncaknya dan keduanya sudah mengeluarkan pukulanpukulan
maut yang kalau mengenai lawan tentu akan mendatangkan bencana hebat. Melihat ini,
Han Sin menjadi tidak tega juga. la tidak dapat mendiamkan saja dua orang berkepandaian tinggi
hendak saling bunuh. Dari sambaran-sambaran angin pukulan kedua fihak, sebagai seorang ahli dia
sudah tahu akan bahayanya pertempuran itu. Maka ia lalu melangkah keluar dari tempat
sembunyinya, langsung menghampiri tempat pertempuran dan membentang kedua lengan di
tengah-tengah antara mereka.
"Hoa Hoa Cinjin, di mana-mana kau hendak membunuh orang? Bagus!"
Hoa Hoa Cinjin dan Phoa Kok Tee kaget setengah mati ketika tiba-tiba mereka merasa tubuh
mereka terpental mundur, tertolak oleh tenaga dahsyat sekali namun tidak merupakan dorongan
yang berbahaya, hanya bertenaga kuat. Melihat bahwa yang datang adalah Han Sin, hampir Hoa
Hoa Cinjin melompat dan menangkapnya. Namun ia cerdik.
Menghadapi Phoa Kok Tee saja sukar baginya mencari kemenangan, apa lagi sekarang ada pemuda
aneh. Siapa tahu kalau-kalau pemuda aneh ini benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi? Tibatiba
ia mendapat akal baik. Sebagai tokoh kang-ouw tentu si tukang obat juga ingin mendengar
tentang kitab rahasia Tat Mo Couwsu atau hendak mendapatkannya. Maka ia lalu menegur.
“Kiranya Cia Han Sin! Kau telah menipu kami, setelah memasuki guha kau membawa lari kitab
pusaka peninggalan Lie Cu Seng. Ayoh, kembalikan kitab itu!”
Han Sin tertawa. “Kitab memang ada, akan tetapi bukan untuk manusia jahat. Sekarang sudah
kubakar, kukirim kembali kepada mendiang Tat Mo Couwsu. Kau mau apa?”
Melihat sikap pemuda ini menantang, Hoa Hoa Cinjin tertegun juga. Ia melirik Phoa Kok Tee,
menaksir-naksir apakah si Raja Obat itu akan membantu Han Sin kalau ia menyerang pemuda ini
dan menawannya.
“Yok-ong, pemuda ini merampas kitab pusaka, mari kita tangkap dia. Kita bagi bersama kitab itu,”
ia memancing.
Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum mengejek. “Tosu jahat, kau kira semua orang sejahat dan
seserakah engkau? Tak sudi aku orang tua menghina orang muda.”
Koleksi Kang Zusi
Bukan main mendongkolnya hati Hoa Hoa Cinjin. Ia cemberut dan mengebutkan ujung lengan
bajunya. “Sudahlah, dasar kau tua bangka tak tahu diri. Biar lain kali kita lanjutkan pertempuran
kita.” Ia lalu berkelebat dan pergi dari tempat itu.
Sementara itu, Phoa Kok Tee sudah amat tertarik ketika melihat munculnya pemuda ini. Ia hanya
menduga-duga karena iapun tidak bisa percaya begitu saja kalau pemuda ini tadi telah
mengeluarkan ilmunya untuk memisah. Masa sekali membentang lengan bisa membuat dia
terhuyung ke belakang?
“Jadi kau bernama Cia Han Sin? Kau putera mendiang Cia Sun?”
Han Sin bersikap waspada. Lagi-lagi orang mengenalnya, apakah juga hendak merampas kitab yang
sudah dibakarnya? Ia menjura. “Betul, locianpwe, aku bernama Cia Han Sin putera Cia Sun. Aku
mendengar tadi kau orang tua menyebut bahwa Phang Yan Bu adalah muridmu. Dia seorang yang
amat baik, sayang ibunya galak sekali .......”
Yok-ong tertawa. "Akupun mendengar namamu dari mereka."
Han Sin teringat akan peristiwa ketika anak dan ibu itu diserang Hoa Hoa Cinjin, maka ia segera
bertanya, "Bagaimana dengan keadaan nyonya tua itu? Apakah lukanya akibat pukulan Hoa Hoa
Cinjin sudah sembuh?"
Yok-ong menggeleng kepala. "Marilah kau ikut denganku. Ang-jiu Toanio tak tertolong lagi dan ia
berpesan kalau aku bertemu denganmu, supaya membawamu kepadanya."
"Memanggil aku? Ada apakah?"
"Entah, urusan penting katanya. Mengenai adikmu. Ayoh lekas, atau kau tidak mau memenuhi
permintaan orang yang sudah hampir mati?"
"Tentu saja aku mau!" Cepat Han Sin menjawab, apa lagi karena urusan itu mengenai diri adiknya.
Ada urusan apakah? Jangan-jangan Bi Eng tidak berada di kota raja, siapa tahu sudah berada
bersama Yan Bu!
Phoa Kok Tee cepat meloncat dan lari setelah menyambar pikulannya. Mula-mula ia berlari agak
lambat karena takut pemuda itu tertinggal. Akan tetapi, ia melihat Han Sin dengan mudah dapat
mengimbangi kecepatannya, maka ia lalu menambah kecepatan.
Ketika menoleh dan melihat Han Sin masih berada di dekatnya, kakek ini mulai terheran-heran dan
mengerahkan semua tenaga dan ginkangnya untuk berlari secepat terbang melalui jurang-jurang dan
bukit. Akan tetapi, ketika ia melirik, ia melihat pemuda itu dengan enaknya masih berada dekat di
belakangnya. Kagetlah Yok-ong dan mulai ia mengerti bahwa keturunan orang-orang gagah di Minsan
ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi!
Dua orang itu berlari cepat sekali menuruni Bukit Tai-hang-san di sebelah timur dan beberapa jam
kemudian Phoa Kok Tee membawa Han Sin masuk ke dalam sebuah hutan kecil yang penuh bunga.
Di tengah hutan terdapat sebuah pondok bambu dan keadaan di situ amat indah. Tanaman daundaun
obat dan bunga-bunga memenuhi tempat itu, burung-burung berkicau di udara dan keadaan
yang sunyi dan menyenangkan ini benar-benar amat mengamankan hati.
Koleksi Kang Zusi
Ketika mereka memasuki pintu pondok, Han Sin melihat Yan Bu duduk bertopang dagu,
nampaknya sedih benar. Pemuda ini mengangkat muka dan girang rnelihat gurunya datang bersama
Han Sin. Juga Han Sin girang dan segera menegurnya,
"Saudara yang baik, kau telah berlaku baik sekali kepadaku dan kepada adikku. Baru sekarang aku
sempat bertemu dan bercakap denganmu. Terima kasih atas semua kebaikanmu dahulu."
Yan Bu terpaksa mengusir kemuraman wajahnya dan menjawab sederhana, "Jangan berlaku
sungkan, saudara Cia. Ibu ingin sekali bertemu dan bicara denganmu. Kau sudah mau datang ini
saja menandakan kebaikan hatimu."
Phoa Kok Tee dan Yan Bu mengajak Han Sin memasuki sebuah kamar bersih di sebelah kiri dan di
atas sebuah pembaringan kelihatan Ang-jiu Toanio berbaring. Keadaannya payah dan lemah sekali,
wajahnya kurus dan pucat. Nyonya tua ini kehilangan kegarangannya dan sekarang dengan lemah ia
menoleh, memandang kepada Han Sin yang datang bersama Yan Bu dan Phoa Kok Tee. Untuk
sesaat sepasang matanya bersinar seperti orang mau marah, akan tetapi hanya sedetik dan lenyap
kembali sinar itu.
“Kau ...... kau putera Cia Sun ....” katanya perlahan.
Han Sin memberi hormat dan tidak tahu harus bicara apa. Maka ia hanya berkata perlahan,
“Menyesal sekali toanio dilukai orang jahat tanpa dapat menolong, kuharap saja toanio segera
sembuh kembali.”
“Orang muda, sebelum aku mati .... aku hendak bertanya padamu. Siapakah gadis yang selalu kau
sebut sebagai adikmu itu? Yang bernama Cia Bi Eng itu?”
Han Sin tertegun, bingung oleh pertanyaan itu. “Apa maksudmu, toanio? Bi Eng adalah adik
kandungku.”
Ang-jiu Toanio menggeleng-geleng kepalanya, nampak tidak sabar. “Bukan, sama sekali bukan.
Dia bukan adikmu, juga bukan anakku ...... Ahhhhh, apa yang terjadi dengan anakku ....?” Dan
nyonya itu menangis!
Han Sin merasa jantungnya berdebar. Ia mengerti bahwa diwaktu mudanya, nyonya ini mempunyai
urusan dengan orang tuanya, buktinya dahulu uwak Lui disaat kematiannya memperingatkan
kepadanya supaya berhati-hati terhadap orang yang bernama Ang-jiu Toanio!
“Toanio, apa maksudmu? Bi Eng itu adikku ......” jawabnya bingung.
“Katakan, apakah di dekat telinga adikmu itu ada tanda tahi lalat merah?”
Makin berdebar hati Han Sin. Juga dulu uwak Lui menyebut-nyebut tentang gadis bertahi lalat
merah dekat telinga dan gadis bertahi lalat di mata kaki kiri! Ia masih ingat akan pesan semua itu
baik-baik. “Tidak toanio, tidak ada tanda itu pada diri Bi Eng.”
Ang-jiu Toanio menarik napas panjang. “Apa kataku, dia bukan anakku ....”
“Tentu saja bukan, toanio. Dia adikku, anak ayah dan ibuku .....”
Koleksi Kang Zusi
“Bodoh! Kau tahu apa? Kau dengar baik-baik! Karena dulu tidak berhasil membalas dendam
terhadap ayahmu, aku lalu menukarkan anakku dengan anak ayah ibumu. Celakanya, anakku itu
kiranya sudah ditukar orang pula .... ah, celaka. Apa yang terjadi dengan anak perempuanku ......?”
Han Sin menjadi pucat. Jadi Bi Eng yang selama ini dianggap adiknya, orang satu-satunya di dunia
ini yang dicintainya, sebenarnya bukan adik kandungnya?
“Kalau begitu, di mana adikku yang telah kauculik itu?” tanyanya agak ketus karena ia merasa akan
perbuatan Ang-jiu Toanio yang dianggapnya keji itu.
“Dia telah dirampas seorang Mongol gundul yang memelihara harimau .... katanya hendak
dijadikan mangsa harimau .......!”
“Kau keji ......!”
Ang-jiu Toanio tersenyum lemah. “Pembalasan terhadap ayahmu. Perbuatan yang keliru. Susiok
telah menginsyafkanku. Banyak penderitaan kurasakan setelah itu, aku .... aku rindu kepadamu
anakku. Ah, kenapa kulakukan hal gila itu? Kemana sekarang anakku .......?”
Han Sin merasa kasihan sekali, akan tetapi juga hatinya sendiri tak karuan rasanya. Bi Eng bukan
adiknya! Bagaimana mungkin ini?
“Anak Cia Sun, adikmu itu, ada tahi lalat di kaki kirinya, dan anakku ..... anakku yang mungil .....
ada tanda merah di dekat telinga. Ah, anakku .... anakku .....!” Ang-jiu Toanio lalu menangis sedih
dan tak dapat bicara lagi.
Tiba-tiba wajah Han Sin menjadi merah dan sepasang matanya yang bersinar tajam itu
mengeluarkan cahaya kilat. Ia melangkah maju dan berkata, “Kalau begitu, kaulah orangnya yang
membunuh ayah bundaku, kemudian menukarkan anakmu dengan adikku!”
Mendengar ucapan ini, wajah Yan Bu menjadi pucat, akan tetapi Ang-jiu Toanio yang menangis,
sekarang mengangkat mukanya dan mendadak tertawa. “Hi hi hi, sayang sekali bukan aku! Ketika
malam itu aku datang ke kamarnya, dia dan isterinya sudah mati. Aku lalu menukarkan anak untuk
memberikan pembalasan terakhir, tapi .... tapi ..... ah, anakku ......!” Kembali nyonya ini menangis
dan kini mukanya membayangkan warna kehijauan.
Yok-ong Phoa Kok Tee melangkah maju melihat ini, lalu ia memegang nadi tangan Ang-jiu Toanio
yang kelihatan lemas, kemudian menggeleng kepalanya. “Saudara Cia, harap kau suka keluar. Dia
sudah terlalu lelah dan racun hijau makin menjalar, kasihanilah dia .....”
Yan Bu menahan isak dan menubruk kaki ibunya. Sebetulnya Han Sin masih ingin bertanya kepada
nyonya itu siapa pembunuh ayah bundanya, akan tetapi melihat keadaan Ang-jiu Toanio, ia tidak
tega mendesak lagi, lalu ia keluar dari kamar.
Ternyata Ang-jiu Toanio tidak dapat lama lagi bertahan. Beberapa jam kemudian nyonya ini
menarik napas terakhir dalam pelukan puteranya, Phang Yan Bu. Ketika Yok-ong dan Yan Bu
keluar dari kamar itu, ternyata Han Sin sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Pemuda ini sudah
lama pergi dari situ, sebelum Ang-jiu Toanio meninggal.
****
Koleksi Kang Zusi
Thio-ciangkun, perwira she Thio yang mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan Mancu,
marah-marah kepada dua orang puterinya. Pembesar ini merasa malu sekali ketika menerima dua
orang puterinya, Li Hoa dan Li Goat, yang diantar oleh Tung-hai Siang-mo sebagai utusan Bhokkongcu.
Setelah Tung-hai Siang-mo pergi membawa Bi Eng untuk menahan gadis ini di gedung
Bhok-kongcu, Thio-ciangkun lalu marah-marah kepada dua orang puterinya.
“Kalian ini benar-benar membikin malu orang tua!” bentak pembesar itu setelah puas memakimaki.
“Ayahmu dikenal sebagai seorang petugas yang setia, sekarang kau rusak namaku dengan
perbuatan-perbuatan yang tak tahu malu. Dengan menentang Bhok-kongcu dan membantu musuh,
bukankah berarti kalian ini menjadi pembantu para pemberontak? Hemm, anak-anak macam apa
kalian ini?”
Li Hoa dan Li Goat berdiri tegak di depan ayah mereka, sama sekali tidak takut. Memang dua orang
gadis ini semenjak kecil dimanja, maka mereka tidak takut biarpun ayah mereka marah besar.
Selain ini, memang mereka mempunyai pendirian sendiri dan kini dengan penuh semangat Li Hoa
menjawab,
“Ayah, yang anak berdua tentang adalah orang-orang Mongol yang mengabdi kepada pemerintah
penjajah. Yang anak berdua bela adalah orang-orang Han yang tertindas!”
Merah wajah pembesar itu dan ia membanting kakinya. “Keparat, dengan lain kata kau hendak
memaki ayahmu yang membantu pemerintah baru? Setan, memang aku membantu pemerintah baru,
karena kuanggap pemerintah Mancu bijaksana. Kau tahu apa tentang pemerintahan? Ketika negara
berada di tangan bangsa Han sendiri, keadaan kacau balau, pertahanan lemah dan rakyat sengsara.
Lihat sekarang, perubahan terjadi dan kaisar yang bijaksana telah membangun pemerintahan yang
kuat dan sanggup membikin makmur rakyat. Beras siapa yang kau makan setiap hari dan pakaian
dari mana yang kalian pakai? Semua dari hasilku mengabdi kepada pemerintah baru. Dan sekarang
kau mencela ayahmu?”
Li Hoa menjadi pucat mukanya, matanya berkilat ketika ia menghadapi ayahnya dan berkata keras.
“Ayah! Bagaimana seorang Han bisa bicara seperti ayah? Bagi aku, lebih baik miskin dari pada
menjadi penjilat penjajah!”
“Enci Li Hoa berkata benar, ayah. Betapapun juga bangsa yang terjajah merupakan bangsa yang
rendah dan terhina. Di samping enci Hoa, akupun rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah
air dari cengkeraman penjajah!” kata Li Goat, penuh semangat pula.
Kalau orang luar mendengarkan ucapan dua orang gadis ini, tentu mereka akan menjadi heran dan
tak percaya. Siapa bisa percaya ucapan-ucapan seperti itu keluar dari mulut dua orang puteri dari
Thio-ciangkun yang terkenal sebagai pembasmi kaum pemberontak, sebagai pembesar setia dari
pemerintah Mancu!
“Anak-anak setan .....!” Thio-ciangkun membanting cawan araknya sampai hancur di atas lantai.
Kemarahannya memuncak dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menampar kedua orang anaknya
yang ia sayang itu. Pada saat itu, tiba-tiba dari pintu dalam terdengar suara wanita bersajak halus
merdu suaranya.
“Biarpun sangkar diselaput emas
Sangkar tetap mengurung!
Biarpun belenggu dihias mutiara
Belenggu tetap mengikat
Koleksi Kang Zusi
Patahkan belenggu!
Hancurkan sangkar!
Biar darah rakyat bagai api membakar!
Biarpun belenggu mutiara
Biarpun sangkarnya emas
Enyahkan segera!
Kami ingin bebas!”
“Ibu .....!” Li Hoa dan Li Goat menoleh memandang seorang nyonya setengah tua keluar dari pintu
itu. Nyonya ini adalah nyonya Thio yang cantik dan lemah lembut, berwajah agak pucat namun
sepasang matanya memancarkan semangat berapi-api.
Thio-ciangkun yang tadinya marah-marah, menjadi reda. Ia cemberut dan menjatuhkan dirinya
duduk lagi di atas kursinya, lalu menarik napas panjang dan berkata perlahan. “Hemm, selalu kau
yang terlalu memanjakan mereka, yang menjadikan pikiran yang bukan-bukan dalam kepala mereka
yang kecil dan tak berotak. Sekarang, sajak apalagi yang kau ucapkan tadi?”
Nyonya itu tersenyum dan dari senyum ini dapat dengan jelas dilihat betapa cantik manisnya ketika
ia masih muda. Ia mengambil tempat duduk di samping suaminya, memandang penuh kasih kepada
kedua puterinya, lalu berkata kepada suaminya.
25. Pembersihan Pengkhianat Cin-ling-pai
”SUAMIKU, ucapan anak-anak kita tadi memang benar belaka. Coba kautanyakan kepada burungburung
dalam sangkar. Biarpun kau mengurungnya dalam sangkar emas yang indah dan mahal,
biarpun setiap hari kau memberinya makan minum secukupnya, biarpun setiap saat kau memujimujinya
dengan muka manis seperti yang dilakukan setiap penjajah kepada rakyat jajahannya, tetap
saja burung-burung di dalam sangkar itu ingin bebas merdeka. Demikian pula rakyat. Kemakmuran
duniawi yang bagaimana hebatpun yang bisa didatangkan oleh kaum penjajah kepada bangsa
terjajah, tetap saja tak dapat melenyapkan hasrat untuk merdeka. Apa sih enaknya dilolohi makanan
lezat, diselimuti pakaian mahal, oleh bangsa lain yang menginjak-injak tanah air dan bangsa? Anakanakmu
lebih benar .......” Nyonya itu lalu bernapas panjang, nampaknya sedih sekali.
"Habis kau mau suruh aku bagaimana? Suruh aku menyerahkan kepalaku untuk dipenggal sebagai
pemberontak? Apa kalian ibu dan anak sudah begitu ingin melihat aku mampus?“ akhirnya Thiociangkun
berkata penuh kejengkelan. Ia merasa diperlakukan tidak adil oleh isteri dan anakanaknya.
la sudah bekerja keras, merebut pangkat, semua ini untuk menyenangkan anak-isterinya.
la tahu bahwa isterinya dahulu adalah puteri seorang patriot pengikut Lie Cu Seng dan tahu bahwa
isterinya adalah seorang gadis pejuang. Akan tetapi karena cinta, ia mengawininya juga dan
ternyata sekarang isterinya itu menurunkan semangat kepatriotan itu kepada dua orang anaknya!
"Tidak, ayah. Kami hanya ingin melihat ayah insyaf dan meninggalkan kedudukan ini,
meninggalkan pemerintah penjajah," kata Li Hoa dengan berani.
"Huh, bicara sih gampang. Ayoh masuk ke sana."
"Ayah ada satu hal lagi," kata Li Hoa. "Bhok-kongcu telah menawan seorang gadis bernama Cia Bi
Eng dan sekarang dia dibawa oleh dua orang iblis tadi ke gedung Bhok-kongcu. Dia itu kawan baik
kami, ayah. Penangkapan itupun bermaksud keji. Harap sudi menolongnya."
Koleksi Kang Zusi
"Dia itu gadis pemberontak?" tanya Thio-ciangkun.
"Pemberontak atau bukan, melihat seorang gadis baik-baik dalam cengkeraman si keji Bhok, kau
harus berusaha menolongnya," kata nyonya Thio-ciangkun dengan suara tetap.
"Sudahlah, sudahlah akan kudayakan."
Percakapan ini ternyata telah menolong Bi Eng. Karena terdesak oleh isterinya yang amat
dicintainya dan yang selalu membela anak-anaknya, Thio-ciangkun lalu menemui seorang yang
amat dihormatnya, seorang pangeran yang selalu menjadi tempat ia bermohon, seorang yang
dianggapnya arif bijaksana dan karenanya membuat Thio-ciangkun rela menjadi abdi pemerintah
Mancu.
Pangeran ini adalah putera kaisar dari seorang selir Bangsa Han. Namanya juga nama Han dan
berjuluk Pangeran Yong Tee. Pangeran ini paling pandai menyesuaikan diri dengan Bangsa Han,
malah tak sedikitpun ada tanda bahwa dia berdarah Mancu. Wajahnya tampan, seorang ahli sastera
dan nasehat-nasehatnya dalam pemerintahan banyak mendatangkan kemajuan dalam pekerjaan
ayahnya, Kaisar dari Mancu.
Kesukaan Pangeran Yong Tee adalah berdandan sebagai seorang rakyat kecil dan melakukan
perjalanan seorang diri, keluar masuk kampung dan mempelajari perikehidupan rakyat jelata.
Sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang diperlihatkan oleh Pangeran Yong Tee inilah yang menarik
hati Thio-ciangkun, membuat perwira ini berkesan baik terhadap pemerintah Ceng yang dipimpin
oleh orang-orang Mancu itu.
Ketika Pangeran Yong Tee mendengar permohonan Thio-ciangkun untuk menolong seorang gadis
sahabat anak-anaknya yang ditawan oleh Bhok-kongcu, segera pangeran ini memenuhi
permintaannya. Dengan sepucuk surat pendek saja, para petugas di rumah gedung Bhok-kongcu tak
berani membantah dan segera mengirim Bi Eng ke istana Pangeran Yong Tee!
"Kalau Bhok-kongcu pulang, tentu terjadi hal-hal tidak enak antara dia dan aku," kata kemudian
Thio-ciangkun kepada dua orang puterinya. "Semua ini gara-gara kalian berdua. Maka lebih baik
kalian pergi kepada suhu kalian, jangan berada kota raja untuk sementara waktu agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak baik."
"Aku tidak mau pergi kepada suhu, ayah. Suhu juga hanya seorang kaki tangan Bhok-kongcu, tentu
suhu akan marah kepada kami. Kami akan pergi dari kota raja dan akan membantu para patriot yang
berusaha mengusir penjajah."
"Setan! Kau akan menjadi lawan ayahmu sendiri?"
"Bukan ayah yang kami lawan, melainkan penjajah!" Dengan kata-kata ini, Li Hoa dan adiknya, Li
Goat, lalu berpamit kepada ibu mereka dan pergi meninggalkan kota raja lagi. Memang dua orang
gadis ini jarang berada di kota raja. Kembalinya mereka ke situ hanya karena terpaksa dan tak
berdaya menghadapi Tung-hai Siang-mo yang mengawal mereka sebagai tahanan-tahanan. Juga
kalau dahulu dua orang gadis ini membantu ayah mereka, itu hanyalah ketika mereka masih muda
dan semangat yang sejak kecil ditanam dalam hati mereka oleh Nyonya Thio, belum berkobar
seperti sekarang setelah mereka banyak berhubungan dengan para patriot.
****
Koleksi Kang Zusi
Kita kembali kepada Han Sin yang meninggalkan tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee.
Hatinya tidak karuan ketika mendengarkan pengakuan Ang-jiu Toanio. Bi Eng bukan adiknya!
Hebat kenyataan ini, membuat hatinya berdebar dan perasaannya penuh diliputi kedukaan. Adiknya
sendiri mempunyai tahi lalat di mata kaki, sedangkan puteri Ang-jiu Toanio mempunyai tahi lalat di
dekat telinga, tahi lalat merah.
Ah, di mana adanya adiknya yang sesungguhnya? Di mana pula puteri Ang-jiu Toanio dan
persoalan terbesar yang dihadapinya sekarang ialah siapa yang menukar anak Ang-jiu Toanio
dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng? Anak siapa? Mengapa bisa berada bersama dia? Siapa
yang menukar anak Ang-jiu Toanio dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng, adiknya yang
cantik manis, mungil lucu dan yang ia cinta dengan sepenuh hatinya itu? Semua pertanyaan ini
berputaran dalam otaknya ketika pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Betapapun juga, yang terpenting sekarang ialah bahwa dia harus menolong Bi Eng dari tangan
Bhok-kongcu. la harus tolong Bi Eng, tak perduli gadis itu adik kandungnya sendiri atau bukan! Dia
sayang Bi Eng, dia cinta gadis itu, orang satu-satunya di dunia yang dikasihinya. Adik sendiri atau
bukan, ia tetap mencinta Bi Eng. Tiba-tiba jantungnya berdebar aneh. Bagaimana kalau dia kelak
mengetahui bahwa mereka bukan saudara kandung? Bahwa mereka sebetulnya tidak ada sangkutan
kekeluargaan apa-apa?
"Tak perlu kuberi tahu kepadanya, tak perlu," demikian ia mengambil keputusan, khawatir kalaukalau
berita itu akan membuat Bi Eng berubah sikap kepadanya.
Karena ingin segera mencari Bi Eng di kota raja, dengan melakukan perjalanan cepat, Han Sin
turun gunung dan terus menuju ke timur. Beberapa hari kemudian ia telah tiba di sebelah barat
tembok kota, di sebuah dusun kecil yang ramai. Dari jauh ia mendengar suara ribut-ribut, tanda
bahwa di dalam dusun itu terjadi pertempuran.
la mempercepat langkahnya dan segera ia melihat seorang tosu setengah tua yang bertubuh tinggi
besar memimpin empat kawannya menghadapi dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan
serdadu Mancu. Segera Han Sin mengenal bahwa lima orang tosu itu adalah tosu-tosu Cin-ling-pai,
yang memimpin adalah Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng, sedangkan empat orang
kawannya adalah tosu-tosu Cin-ling-pai gelung tiga.
Adapun dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan serdadu penjajah itu bukan lain adalah dua
orang pentolan Cin-ling-pai sendiri, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu! Tak jauh dari situ menggeletak
dua mayat manusia yang ternyata adalah Hap Tojin dan Tee Tojin, dua orang di antara Cin-ling
Sam-eng.
"Hee-sute apakah kau tidak mau menyerah? Apakah kau tetap hendak membangkang terhadap
perintah suheng-suheng yang menjadi pengganti gurumu?"
Hee Tojin menjadi merah sekali mukanya, matanya melotot merah dan suaranya menggeledek
ketika ia membantah, setelah menoleh ke arah dua orang mayat yang membujur di situ. "Dua orang
suhengku yang sudah gugur ini jauh lebih mulia dari pada kalian, dua orang pengkhianat tak tahu
malu. Siapa sudi mengaku kalian sebagai pengganti suhu? Cih, mau bunuh boleh bunuh, siapa takut
mampus?"
It Cin Cu biasanya paling suka kepada Hee Tojin, maka dengan suara sabar ia mencoba membujuk,
"Hee-sute, apa kau lupa akan hubungan kita sebagai saudara seperguruan? Insyaflah bahwa aku dan
Ji-suhengmu ini telah mengambil keputusan setelah memikirkannya masak-masak. Pemerintah baru
adalah bijaksana, dan demi keselamatan Cin-ling-pai, kau harus mengajak semua sute dan murid
Koleksi Kang Zusi
untuk membangun kembali Cin-ling-pai dan menaluk kepada pemerintah. Hee-sute, jangan
membuat kami menjadi serba susah dan terpaksa turun tangan terhadapmu."
Hee Tojin mengangkat dada dan tongkat di tangannya tergetar. "Apakah kalian lupa akan ajaran
suhu? Seorang gagah, lebih baik mati berdiri dengan senjata di tangan dari pada hidup bertekuk
lutut di depan penjajah! Lebih baik kalian yang cepat-cepat insyaf bahwa amat memalukan bagi
seorang gagah untuk mengkhianati tanah air dan bangsa sendiri, amat rendah untuk membantu
penjajah. It Cin Cu dan Ji Cin Cu, di mana jiwa satria kalian? Sudi menjadi anjing-anjing penjilat?"
It Cin Cu marah sekali. "Setan bermulut busuk! Kaulah yang lupa akan ajaran-ajaran mendiang
suhu! Bukankah setiap murid sudah bersumpah untuk menjunjung semua perintah ketua Cin-lingpai?
Setelah suhu meninggal, pinto yang menjadi penggantinya. Pinto yang menjadi ketua Cin-lingpai.
Apakah kau masih hendak membangkang?" Berkata demikian, It Cin Cu mencabut pedangnya
dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Hee Tojin memandang ragu. Dia memang seorang yang amat jujur dan setia, maka ucapan ini
benar-benar meragukan hatinya. Memang, menurut peraturan Cin-ling-pai, seorang murid harus
pertama-tama mentaati perintah ketua, biarpun harus berkorban nyawa untuk perintah itu.
Setelah Giok Thian Cin Cu meninggal dunia, memang tak dapat disangkal pula bahwa It Cin Cu
sebagai murid tertua yang menjadi penggantinya. Apa yang harus ia perbuat? Tiba-tiba dua orang di
antara tosu-tosu gelung tiga itu sudah menjatuhkan diri berlutut di depan It Cin Cu dan berkata,
"Teecu berdua tidak berani membantah perintah ketua."
Menyaksikan semua ini, bukan main mendongkolnya hati Han Sin. Pemuda ini teringat akan pesan
terakhir dari Giok Thian Cin Cu. Pesan itu selain menugaskan dia memimpin Cin-ling-pai, juga
mewariskan ilmu pedang dan terutama sekali pesan agar supaya dia bisa menjaga jangan sampai
Cin-ling-pai diselewengkan dan menjadi partai pengkhianat nusa bangsa!
Sekarang tiba saatnya. Sudah terang-terangan It Cin Cu dan Ji Cin Cu menjadi anjing penjilat
penjajah dan malah mencoba untuk membujuk sute-sutenya dan murid-murid Cin-ling-pai supaya
menaluk kepada pemerintah Mancu. Han Sin melompat keluar dari tempat sembunyinya dan
berkata nyaring,
"It Cin Cu, kau benar-benar murid Cin-ling-pai yang murtad dan seorang rakyat yang berkhianat!"
Semua orang menengok dan tercengang ketika mengenal siapa yang bicara ini. Han Sin sebaliknya
lalu menjura ke arah Hee Tojin dan berkata,
"Totiang patut dicontoh dan diberi hormat. Totiang benar-benar seorang gagah dan patriot yang
sejati."
Ji Cin Cu dengan mulut tetap melengeh seperti dulu, menjadi marah sekali melihat Han Sin
bersikap dan berkata demikian. la melangkah maju dan membentak, "Eh, kau ini pengacau cilik,
mau apa?"
Han Sin kini menghadapi dua orang tosu tua itu dan tersenyum mengejek. "Mendiang Giok Thian
Cin Cu memang berpemandangan tajam, agaknya beliau sudah menduga bahwa sepeninggal beliau,
akan ada murid-murid murtad seperti kalian. Karena itu beliau mengangkat aku sebagai
penggantinya untuk menyelamatkan Cin-ling-pai. Eh, para tosu Cin-ling-pai, aku Cia Han Sin
menjadi pelindung Cin-ling-pai dan ahli waris Giok Thian Cin Cu. Inilah buktinya!" Cepat
tangannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang tajam berkilau telah berada di tangannya.
Koleksi Kang Zusi
“Im-yang-kiam......!" seru Hee To¬jin dan bersama empat orang sutenya ia lalu berlutut. "Menanti
petunjuk pangcu (ketua).......”
"Kau telah mencuri Im-yang-kiam! Jangan bodoh, dia bohong. Dia mencuri pedang pusaka partai
kita!" kata It Cin Cu marah. Ucapan ini kembali membuat Hee Tojin dan kawan-kawannya menjadi
ragu-ragu.
"Pedang memang bisa dicuri, akan tetapi ilmu silat tidak. Lihat, bukankah ini ilmu silat Cin-lingpai?
Aku telah mewarisinya dari suhu Giok Thian Cin Cu." Han Sin lalu menggerakkan pedangnya,
dengan cepat berturut-turut ia mainkan ilmu Silat Im-yang-kun dan Cin-ling-kun. Hee Tojin tentu
saja mengenal ilmu silat ini dan ia memandang kagum, keraguannya melenyap.
Juga It Cin Cu dan Ji Cin Cu kaget setengah mati. Bagaimana suhu mereka dapat menurunkan ilmu
silat dan pedang pada pemuda itu? Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda ini hendak merusak
tugas mereka, It Cin Cu lalu berseru, "Kalau betul kau mewarisi ilmu dari suhu, coba kaukalahkan
pinto!" Berkata demikian, ia lalu menyerbu dengan pedang dan tongkatnya. Juga Ji Cin Cu yang
melihat betapa gangguan pemuda ini membahayakan kedudukannya, lalu menyerang pula.
"Curang.....!” Hee Tojin berseru. "Masa dua orang tua bangka mengeroyok seorang bocah?" Tentu
saja Hee Tojin yang tidak tahu bahwa Han Sin sudah memiliki ilmu tinggi, merasa kuatir akan
keselamatannya.
Akan tetapi Han Sin berseru, "It Cin Cu dan Ji Cin Cu, kalian benar-benar sudah buta. Kalau masih
tidak percaya, lihat dengan gerakan-gerakan apa aku sekarang menghadapi kalian.” Setelah berkata
demikian, tanpa bergerak dari tempatnya berdiri dia menggerakkan pedang Im-yang-kiam secara
aneh dan tahu-tahu sinar pedang telah gemerlapan membentur dan menangkis serangan dua orang
tosu itu. Inilah ilmu pedang hebat yang ia warisi dari Giok Thian Cin Cu, yaitu Lo-hai Hui-kiam.
"Lo-hai Hui-kiam .....!" It Cin Cu dan Ji Cin Cu berseru kaget. Mereka hanya sedikit sekali tahu
tentang ilmu pedang aneh ini, akan tetapi melihat gerakan dan sinar pedang itu, tahulah mereka dan
hal ini benar-benar membuat keringat dingin mengucur dari jidat mereka.
Adapun Hee Tojin yang melihat gerakan ini dan mendengar bahwa pemuda itu malah mahir
bermain, pedang Lo-hai Hui-kiam yang menjadi ilmu ciptaan mendiang Giok Thian Cin Cu, makin
kagum dan yakin akan kebenaran pengakuan pemuda itu. Melihat betapa para kaki tangan dua tosu
itu, serdadu-serdadu Mancu maju hendak mengeroyok Han Sin, Hee Tojin lalu berseru nyaring dan
bersama sute-sutenya lalu menyerbu maju menyerang para serdadu musuh!
Pertempuran antara Han Sin menghadapi dua orang tosu tua itu berjalan sebentar saja. Dengan Lohai
Hui-kiam, dua orang tosu itu tidak berdaya. Sebelum mereka tahu bagaimana harus menghadapi
ilmu pedang yang bersinar seperti halilintar menyambar-nyambar itu, keduanya sudah roboh dengan
pundak terluka dan tak mampu bangun kembali.
Sementara itu, para serdadu Mancu itu mana kuat menghadapi Hee Tojin dan sute-sutenya, muridmurid
tingkat dua dan tiga dari Cin-ling-pai? Hampir berbareng dengan robohnya It Cin Cu, para
serdadu itupun roboh seorang demi seorang dan akhirnya tak seorangpun tertinggal hidup. Han Sin
mengeraskan hati dan berdiri di pinggiran melihat bagaimana Hee Tojin dengan pedangnya sendiri
membunuh It Cin Cu dan Ji Cin Cu.
Pemuda ini diam-diam menaruh kasihan dan tidak tega melihat pembunuhan, namun setelah hatinya
berkeras dan semangat kepatriotannya bangkit, ia dapat membenarkan pembunuhan itu. Memang,
orang-orang berjiwa pengkhianat seperti dua orang tosu tertua dari Cin-ling-pai itu, sudah
Koleksi Kang Zusi
sepatutnya dibunuh, bahkan perlu sekali dilenyapkan dari muka bumi karena amat berbahaya bagi
keselamatan nusa bangsa.
Hee Tojin bersama empat orang sutenya lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han
Sin. Hee Tojin berkata, "Kami berlima mengucapkan syukur bahwa mendiang suhu telah
mengangkat taihiap sebagai ahli waris. Mulai saat ini, kami semua murid Cin-ling-pai taat kepada
petunjuk taihiap."
Han Sin cepat melangkah maju dan mengangkat bangun lima orang tosu itu. Hebatnya bagi para
tosu itu, begitu pemuda ini menyentuh pundak mereka, otomatis mereka berdiri karena ada tenaga
luar biasa yang memaksa mereka bangun kembali!
"Cu-wi totiang jangan berlaku sungkan terhadap orang sendiri. Biarpun aku telah menjadi ahli waris
suhu Giok Thian Cin Cu, tidak seharusnya cu-wi mengangkatku setinggi itu. Tugas kita adalah
sama, yakni mempertahankan nusa bangsa dan menolongnya dari cengkeraman penjajah. Marilah
kita berjuang bersama. Karena sebetulnya aku hanya kebetulan menjadi murid suhu, tidak berhak
aku untuk mengaku menjadi orang Cin-ling-pai. Maka biarlah sekarang kuberikan pedang pusaka
ini kepada Hee Tojin dan selanjutnya kuharap Hee Tojin suka menggantikan mendiang suhu untuk
memimpin Cin-ling-pai. Aku hanya berdiri di luar sebagai pengawas dan pembantu belaka.
Kembali tentang perjuangan, kuharap Hee Tojin su¬ka mengumpulkan semua murid Cin-ling-pai
dan memimpinnya untuk menentang pemerintahan Mancu. Sebaliknya totiang jangan menentang
secara terang-terangan karena fihak musuh amat kuat. Berjuanglah dengan sembunyi-sembunyi,
menyerang bagian-bagian yang terjaga lemah. Lebih baik lagi kalau totiang dan kawan-kawan
menggabungkan diri dengan para pejuang lain, di antaranya dapat kuperkenalkan Sin-yang Kaipang
yang dipimpin oleh pangcunya bernama Kui Kong yang amat patriotik. Kurasa semua anak
murid yang berada di bawah bimbingan Ciu-ong Mo-kai, pasti termasuk pejuang patriotik, dan
boleh dijadikan kawan seperjuangan.”
Hee Tojin menerima pedang dengan ucapan terima kasih. Setelah memberi penjelasan itu, Han Sin
lalu minta supaya para tosu itu mengubur jenasah It Cin Cu dan Ji Cin Cu secara baik-baik, juga
kalau masih ada waktu mengubur pula jenasah para serdadu Mancu. Kemudian ia sendiri lalu
melanjutkan perjalanan, menuju ke kota raja.
Belum lama ia berjalan melalui jalan yang sunyi, di sebuah persimpangan tiga, dari sebelah kanan
datang seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana. Dari pakaiannya dapat diketahui
bahwa pemuda itu adalah seorang sasterawan miskin. Yang amat menarik perhatian Han Sin adalah
mata yang bersinar lembut serta senyum yang amat ramah dan manis pada bibir pemuda itu.
Pemuda itupun memandang kepadanya dengan tertarik, dan pada saat mereka bersua, pemuda itu
cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata ramah,
"Maafkan kelancanganku menegur saudara. Apakah saudara hendak pergi ke kota raja?"
Han Sin tersenyum dan balas memberi hormat. "Sudah jamak kalau bertemu di jalan saling
menegur. Memang tepat dugaanmu, aku hendak pergi ke kota raja. Tidak tahu loheng (saudara)
hendak ke manakah?"
Pemuda itu tertawa dan makin sukalah hati Han Sin terhadapnya. Dari suara ketawanya yang wajar
dan tarikan wajah yang tampan dan terang itu dapat ia menduga bahwa pemuda ini seorang yang
berwatak halus dan jujur. "Ucapan kuno menyatakan betapa senangnya bertemu dengan sahabat
lama, akan tetapi kiranya tidak kalah senangnya bertemu dengan seorang sahabat baru yang cocok!
Saudara yang baik, kebetulan sekali aku sendiripun akan ke kota raja. Apakah kau keberatan kalau
kita melakukan perjalanan bersama?"
Koleksi Kang Zusi
Sebetulnya Han Sin ingin melakukan perjalanan secepatnya. Jika bersama pemuda ini, tentu saja tak
mungkin ia menggunakan ilmu lari cepat. Akan tetapi, untuk menolakpun ia tidak dapat, melihat
orang demikian ramah dan baik kepadanya. la tersenyum dan menjawab, "Tentu saja tidak
keberatan, malah senang sekali bertemu dengan loheng."
"Bagus ini namanya sekali bertemu sudah cocok!" Pemuda itu memegang tangan Han Sin yang
merasa betapa telapak tangan pemuda ini halus. "Saudara yang baik, aku she Yong bernama Tee,
dua puluh empat tahun usiaku dan masih membujang." Kata-katanya amat terbuka dan jujur,
menyenangkan hati Han Sin.
"Siauwte bernama Han Sin she Cia, dalam hal usia, lebih muda tiga empat tahun dari padamu."
Yong Tee tertawa lagi dengan girangnya sehingga sinar mata yang ganjil ketika ia mendengar nama
Han Sin menjadi tertutup dan tidak terlihat oleh Han Sin.
"Cia-lote, kau benar-benar menyenangkan. Melihat gerak-gerikmu, tentu kau pandai dalam hal
kesusasteraan, dan dalam perjalanan ini aku banyak mengharapkan petunjuk darimu."
"Ah, Yong-loheng terlalu merendah. Aku hanya seorang gunung, mana ada kepandaian? Sedikit
tulisan ceker ayam aku dapat, mana bisa dibandingan dengan kau orang kota? Akulah yang perlu
banyak mendapat petunjukmu, Yong-loheng."
Gembiralah dua orang pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanan
perlahan-lahan. Tiba-tiba tampak debu mengepul dari depan dan sepasukan serdadu berkuda terdiri
dari tiga puluh orang lebih mendatangi cepat dari depan. "Minggir! Minggir kalau tidak mau diinjak
mampus!" teriak serdadu terdepan sambil mengayun cambuknya.
Han Sin sudah melompat ke pinggir, akan tetapi alangkah heran hatinya ketika ia melihat Yong Tee
tidak minggir malahan berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang dan kedua matanya melotot.
"Yong-loheng, kau nanti celaka .....!” kata Han Sin, siap hendak menolong jika sahabat barunya ini
benar-benar akan diseruduk kuda.
Akan tetapi, tiba-tiba para penunggang kuda itu serentak menahan kendali kuda, membuat binatangbinatang
tunggangan itu berdiri di kaki belakang dan meringkik-ringkik. "Hai.....! Siapa berdiri di
tengah jalan menghalang dan mengacaukan barisan?" bentak suara para serdadu di sebelah
belakang.
Serdadu-serdadu di depan tentu saja mengenal siapa adanya yang bukan lain adalah pangeran Yong
Tee yang suka melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa. Tentu saja mereka tidak
berani menerjang putera junjungan mereka itu. Yong Tee marah sekali dan membentak, sikapnya
masih seperti seorang biasa,
"Begitukah sikapnya pasukan yang seharusnya menjaga keamanan? Seperti perampok-perampok
ganas? Hemmm, ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Thio-ciangkun tentang anak
buahnya ini!"
Seorang serdadu, agaknya pemimpin pasukan itu, buru-buru meloncat turun dari kudanya dan
memberi hormat kepada Yong Tee. la maklum akan watak pangeran ini dan ia tidak berani
membuka rahasia pangeran ini di depan Han Sin, maka katanya, "Kongcu yang mulia, harap sudi
maafkan kami. Karena kami tergesa-gesa hendak menuju ke dusun di depan, menjalankan perintah
Koleksi Kang Zusi
Thio-ciangkun untuk menangkap tosu-tosu Cin-ling-pai yang memberontak, maka tadi kawankawan
minta kongcu minggir. Harap maafkan dan tidak menyampaikan hal ini kepada ciangkun."
Yong Tee dengan senyum mengejek mengibaskan lengan bajunya yang lebar. "Menjadi tentara
harus ramah-ramah terhadap rakyat, jangan mengagulkan diri dan memperlakukan rakyat dengan
kasar. Makin buruk sikap tentara terhadap rakyat, akan menjadi makin besarlah pemberontakanpemberontakan.
Segala kekuatan ada pada rakyat, dan negara baru boleh dikata kuat kalau rakyat
seluruhnya mendukungnya dan mencintainya. Dan kalian sebagai alat negara harus menjadi pelopor
agar rakyat menaruh cinta kepada negara. Awas, terhadap orang-orang yang kalian katakan
memberontak tadipun jangan berlaku sewenang-wenang. Kalau memang betul mereka
memberontak, harus ada buktinya dan setelah demikianpun jangan gampang-gampang membunuh
orang. Tawan saja agar diperiksa oleh Thio-ciangkun sendiri."
Pemimpin pasukan itu memberi hormat. Yong Tee lalu berjalan pergi menghampiri Han Sin dan
mengajak pemuda ini melanjutkan perjalanan. Setelah mereka lewat, barulah rombongan serdadu
itu menaiki kuda masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Han Sin memandang kawan barunya
dengan amat kagum.
"Yong-loheng! Tak kusangka kau sedemikian berpengaruh sampai puluhan orang serdadu tunduk
kepadamu."
"Bukan, bukan aku yang berpengaruh, melainkan Thio-ciangkun. Aku kenal Thio-ciangkun yang
amat adil dan berdisiplin. Tentu saja mereka takut kalau-kalau aku mengadukan mereka kepada
Thio-ciangkun, maka mereka menjadi takut kepadaku. Ha ha, saudara Cia yang baik. Orang-orang
macam mereka itu yang kasar-kasar sewaktu-waktu memang perlu mendapat petunjuk dan teguran
keras."
Han Sin mengangguk. "Kiranya selain pandai, kaupun mempunyai jiwa yang gagah, Yong-loheng."
"Ah, sudahlah Cia-lote. Kau membikin aku malu saja."
Dua orang itu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Makin lama makin akrab hubungan mereka
dan makin tertarik hati Han Sin. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang secocok ini
dengan isi hatinya. Baik dalam persoalan filsafat, maupun kesusasteraan, bahkan dalam hal
pendirian orang-orang gagah, Yong Tee ternyata mempunyai pandangan yang amat cocok dengan
dia sendiri. Tidak heran apabila mereka sudah melakukan perjalanan sehari lamanya, hati Han Sin
demikian tunduk dan tertarik sehingga ia girang bukan main ketika Yong Tee mengusulkan untuk
bersumpah mengangkat saudara!
"Yong-loheng! Apakah dengan setulusnya hati kau mengusulkan pengangkatan saudara dengan
aku? Kau tidak tahu siapa aku. Aku adalah seorang pemuda miskin, yatim piatu, seorang dari
gunung yang bodoh. Jangan-jangan nanti kau ditertawai oleh orang-orang di kota kalau bersaudara
dengan aku!" Han Sin berkata karena dia memang benar-benar merasa kaget dan heran di samping
kegembiraan hatinya.
Yong Tee memegang pundaknya. "Kau terlalu merendah. Kau seorang jantan, seorang budiman.
Kau seorang kuncu! Kalau orang seperti kau tidak bisa disebut kuncu, tidak tahu lagi aku orang
macam apa yang layak disebut kuncu. Justeru karena kau yatim piatu, maka lebih keras lagi
keinginanku untuk menjadi saudaramu. Tentu saja kalau ....... kalau kau sudi."
"Tentu saja aku suka! Mempunyai seorang giheng (kakak angkat) seperti kau ......... ah, benar-benar
anugerah langit!"
Koleksi Kang Zusi
Demikianlah, dalam sebuah kelenteng tua, dua orang pemuda ini lalu mengangkat sumpah, menjadi
saudara angkat yang saling setia. Yong Tee menjadi saudara tua dan Han Sin menjadi saudara
muda.
Han Sin yang masih kurang pengalaman dan amat mudah tertarik oleh sikap yang baik, sama sekali
tak pernah mimpi bahwa orang yang ia jadikan saudara angkat ini adalah seorang pangeran, seorang
Putera Kaisar Mancu yang sekarang bertahta! Sama sekali tidak pernah menduga bahwa pangeran
ini telah menolong Bi Eng dari tangan Bhok-kongcu dan bahwa pangeran ini telah tahu banyak
sekali tentang dia dan sengaja mengangkat saudara untuk menariknya berdiri di pihak pemerintah
Mancu!
"Adikku, setelah kita menjadi saudara, tentu kau tidak keberatan untuk mengatakan kepadaku apa
keperluanmu datang ke kota raja dari tempat begitu jauh," pangeran itu bertanya ketika mereka
melanjutkan perjalanan.
"Aku akan mencari adikku Cia Bi Eng yang kabarnya tertawan oleh Bhok Kian Teng di kota raja,"
kata Han Sin terus terang dengan wajah muram karena ia menjadi gelisah kembali setelah teringat
akan Bi Eng.
"Bhok Kian Teng? Kau mau ke sana? Dia itu orang berbahaya, banyak sekali kawannya yang
berilmu tinggi. Apa yang bisa kaulakukan terhadap Bhok Kian Teng?" tanya Yong Tee sambil
memandang tajam.
Han Sin mengepal tinju dengan gemas. "Aku tidak takut. Kalau benar Bi Eng ia tawan dan ia tak
mau membebaskan adikku, biarpun dia mempunyai banyak kaki tangan, aku tidak takut dan pasti
aku akan dapat menangkap dia!"
"Ah, kiranya kau memiliki kepandaian silat tinggi pula, adikku. Bagus, aku makin kagum
kepadamu. Akan tetapi, kau harus berhati-hati benar menghadapi mereka."
Melihat sikap Yong Tee yang agak takut-takut itu, Han Sin lalu berkata,
"Loheng, biarlah urusan ini aku sendiri yang membereskan. Katakan saja di mana kau tinggal di
kota raja, setelah urusan selesai tentu aku akan pergi mencarimu."
"Jangan kau memandang aku begitu lemah, adikku. Biarpun aku tidak dapat menggunakan
kepandaian silat untuk menghadapi mereka, namun aku bukan seorang pengecut. Kau boleh hadapi
mereka dan aku akan menantimu di luar."
Karena tenggelam dalam pikiran masing-masing, kedua orang pemuda ini melanjutkan perjalanan
memasuki kota tanpa banyak bercakap lagi. Diam-diam Yong Tee menjadi geli seorang diri. Bi Eng
sudah aman berada di dalam gedungnya dan selama ini, hubungannya dengan nona memang sudah
seperti kakak beradik saja. Sekarang tiba saatnya untuk menguji pemuda she Cia ini yang menurut
penyelidik-penyelidiknya adalah seorang pemuda aneh yang kelihatan lemah namun memiliki
kepandaian tinggi. Kalau betul demikian, tidak percuma dia mengangkat saudara dengan Han Sin!
****
26. Amukan Di Istana Raja Muda
BHOK-KONGCU mencak-mencak ketika kembali dari Lu-liang-san ke rumahnya di kota raja
mendengar bahwa Bi Eng diminta oleh Pangeran Yong Tee. Ia mendongkol sekali, akan tetapi apa
Koleksi Kang Zusi
yang dapat ia lakukan terhadap putera kaisar? Biarpun Yong Tee hanya putera dari selir, namun
tetap saja kedudukan pangeran itu jauh lebih tinggi dari padanya. Maka ia hanya dapat menyimpan
kemarahannya dan hal ini malah memperhebat nafsunya untuk menggulingkan pemerintah Mancu
dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar dari pemerintah baru yang ia idam-idamkan, yaitu
pemerintah Mongol, berdirinya kembali kerajaan Goan yang telah gugur.
Oleh karena itu ia segera mengutus orang-orangnya untuk memanggil para tokoh kang-ouw yang
dahulu sudah berkumpul di Lu-liang-san, dan makin giat mengumpulkan pembantu-pembantu baru
terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi dengan jalan mengobral harta bendanya yang cukup
banyak.
Pada hari itu, di gedungnya sudah berkumpul banyak sekali orang kang-ouw. Di antara mereka
tentu saja hadir pula Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo, malah hadir pula Coa-tung Sin-kai, ketua
dari Coa-tung Kai-pang dari utara. Dengan adanya mereka ini, para tokoh lain tidak berani lagi
memperebutkan kedudukan orang terkuat, karena mereka tahu bahwa tingkat kepandaian Hoa Hoa
Cinjin adalah amat tinggi dan di antara mereka yang boleh dibandingkan dengan dia hanyalah
Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai.
Di situ hadir pula Thio-ciangkun yang memberi laporan kepada Bhok-kongcu bahwa ketika
pasukan yang ia kirim pergi ke dusun di mana dikabarkan orang-orang Cin-ling-pai mengadakan
kerusuhan ternyata bahwa It Cin Cu dan Ji Cin Cu dan sepasukan pengiringnya telah tewas semua
oleh orang-orang Cin-ling-pai. Tentu saja berita ini membuat Bhok-kongcu menjadi makin
mendongkol sekali.
"Orang-orang Cin-ling-pai memberontak," katanya kepada semua kaki tangannya yang hadir di situ.
"Mulai sekarang kita harus berusaha untuk membasmi mereka, kalau tidak mereka akan merupakan
gangguan besar. Setelah siauwte mengadakan perjalanan, ternyata banyak orang-orang selatan
masih mempunyai sikap memberontak. Oleh karena itu, siauwte hendak merencanakan gerakan
pembersihan dan cu-wi (tuan-tuan sekalian) masing-masing akan mendapat tugas memimpin
pasukan untuk membasmi mereka itu. Semua perkumpulan dilarang, kecuali kalau ketua-ketuanya
sudah menyatakan hendak membantu pemerintah kita. Yang membantah boleh terus dibunuh dan
mulai sekarang, rakyat tidak diperkenankan lagi membawa senjata tajam. Siauwte akan minta
kepada kaisar untuk mengeluarkan maklumat ini sehingga apa yang kita kerjakan adalah menurut
peraturan yang sah dari junjungan kita."
Karena Bhok-kongcu hanya menjamu mereka dan membagi-bagikan hadiah serta tugas, diam-diam
Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai merasa kecewa. Mengapa tidak disebut-sebut tentang
pemilihan jago nomor satu yang akan mendapat kedudukan istimewa?
Akhirnya karena tidak sabar, Ji Kong Sek berkata, "Bhok-kongcu, maafkan pertanyaanku ini. Aku
hanya menagih janji, bukankah dahulu kongcu sendiri yang berjanji tentang pemilihan tokoh nomor
satu untuk dipekerjakan di istana?"
Inilah yang dinanti-nanti oleh sebagian besar tamu di situ. Biarpun tidak mempunyai harapan untuk
merebut kedudukan jago nomor satu, sedikitnya mereka itu ingin sekali melihat perebutan
kedudukan itu dan menyaksikan pertandingan silat yang menarik.
Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Hal itu menyesal sekali harus dibatalkan, ayah tidak
menyetujui."
Hoa Hoa Cinjin melirik tak puas. "Ah, jadi Bhok-ongya hendak bertugas kembali?" Pertanyaan ini
sama dengan sangkaan bahwa raja muda yang ditakuti itu hendak merampas sendiri kedudukan
Koleksi Kang Zusi
koksu, dan memang kalau raja muda itu maju, siapa yang sanggup melawan Pak-thian-tok Bhok
Hong? Mendengar ini, semua orang yang hadir bungkam, tidak berani lagi membuka suara dan
semua mata memandang ke arah pintu yang menembus ke dalam, mencari-cari dan dengan pandang
mata bertanya di mana gerangan Pak-thian-tok yang dikabarkan sakit itu.
Kini Bhok-kongcu tersenyum. "Harap cu-wi jangan salah kira. Ayah sudah tua, sejak lama tidak
mau perduli lagi urusan dunia, mana beliau mau bercapek lelah dengan segala macam pekerjaan?
Bahkan sudah lama ayah telah pergi lagi merantau, entah ke mana karena itulah yang menjadi
kesukaannya. Akan tetapi, karena ayah sudah melarangku untuk mengadakan pemilihan jago nomor
satu di sini, terpaksa aku harus mentaati perintahnya. Ayoh cu-wi sekalian minum araknya. Hai,
pelayan, lekas ambil arak wangi dan isi semua cawan sampai penuh!"
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang, "Bhok Kian Teng lekas kaubebaskan adikku,
Cia Bi Eng!" Suara ini nyaring sekali menusuk semua telinga orang yang hadir, bahkan mengatasi
semua suara gaduh dari puluhan orang itu sehingga serentak mereka menengok.
Keadaan menjadi sunyi sekali sehingga langkah Han Sin yang tenang itu seakan¬akan terdengar
nyata. Memang Han Sin lah orangnya yang tadi berseru dari luar dan kini dengan tenang dan
pandang mata tajam, pemuda ini memasuki ruangan ini, langsung menghampiri Bhok-kongcu.
Para tamu yang tak pernah bertemu dengan Han Sin bertanya-tanya heran. Siapakah pemuda ini dan
apa maunya datang dengan sikap seperti itu? Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan
tokoh-tokoh yang tadinya ikut membantu pembongkaran batu-batu di gua rahasia di Bukit lebih
heran lagi kenapa pemuda itu begitu berani mengunjungi tempat ini?
Di samping keheranannya, juga mereka itu diam-diam girang sekali. Bhok-kongcu mencari-cari
pemuda ini, bukankah dia telah mendapatkan warisan kitab rahasia? Dicari ke mana-mana tidak
jumpa, eh sekarang tahu-tahu muncul atas kehendak sendiri!
Bhok-kongcu juga kaget sekali dan menjadi pucat. Akan tetapi pemuda ini tidak kehilangan akal
dan cepat dapat menenteramkan hatinya. la berdiri dan tersenyum. "Eh, kiranya saudara yang gagah
Cia Han Sin yang datang berkunjung. Silakan duduk dan minum arak dengan kami."
"Bhok Kian Teng, tak perlu lagi kau berputar lidah. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi
denganmu, lekas kaubebaskan Bi Eng!" kata Han Sin sambil melangkah terus maju dengan sikap
mengancam.
Sementara itu, ketika mendengar bahwa pemuda ini yang bernama Cia Han Sin, pemuda yang telah
membikin sutenya lumpuh, Coa-tung Sin-kai sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya.
Seperti diketahui, Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai dan dengan menggunakan
paku-paku rahasianya sendiri, Han Sin telah merobohkan pengemis mata satu itu.
"Keparat kiranya kau anak pemberontak she Cia!" Coa-tung Sin-kai meloncat dan sudah
menghadang di depan Han Sin.
"Awas, lo-enghiong, bocah ini lihai sekali, dia telah mewarisi kitab pelajaran Tat Mo Couwsu!"
kata Bhok-kongcu sambil duduk lagi. Pemuda bangsawan ini ternyata telah membakar hati ketua
pengemis itu dengan kata-kata ini.
"Ha, ha, ha, memang tidak baik saling gempur untuk menguji kepandaian. Biarlah bocah ini
menjadi semacam juru penguji!" kata Ji Kong Sek yang juga ingin sekali tahu sampai di mana
kepandaian ketua Coa-tung Kai-pang yang tersohor ini.
Koleksi Kang Zusi
Sementara itu, tanpa memperdulikan ucapan-ucapan orang lain. Han Sin memandang kakek di
depannya. Kakek ini usianya sudah enam puluhan, tubuhnya jangkung kurus tangan kanannya
memegang sebatang tongkat ular kering yang lidahnya menjulur keluar dan amat runcing. Sikapnya
lemah lembut dan agung, akan tetapi sepasang mata yang berminyak itu menandakan bahwa kakek
ini masih belum terlepas dari pelukan nafsu duniawi.
"Tidak tahu siapa lo-enghiong dan kenapa mencampuri urusan pribadiku dengan Bhok Kian Teng?"
tanya Han Sin, sabar. Menuruti keinginan hatinya, tidak mau ia bertengkar dengan segala macam
orang tanpa ada sebab-sebabnya.
Ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Han Sin, diam-diam kakek ini kaget bukan main.
Belum pernah selama hidupnya ia bertemu pandang dengan orang yang memiliki sinar mata seperti
ini. Diam-diam ia kagum dan melihat sikap halus Han Sin, ia merasa tidak enak kalau bersikap
terlalu kasar, apa lagi mengingat kedudukannya yang tinggi dan usianya yang jauh lebih tua.
"Orang muda, setelah kau tahu namaku, seharusnya kau cepat-cepat berlutut mohon maaf kepada
Bhok-kongcu atas sikapmu yang tidak semestinya ini. Kau berada di kota raja, di dalam rumah
Bhok kongcu, masa sikapmu seperti ini? Apa yang kauandalkan? Ketahuilah, aku adalah Coa-tung
Sin-kai dan kau bocah cilik sesungguhnya bukan lawanku ......”
Han Sin pernah diceritai oleh Li Hoa tentang gurunya maka tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan
guru Li Hoa dan Li Goat, juga ketua Coa-tung Kai-pang dan suheng dari Tok-gan Sin-kai. la
tersenyum dan menjawab. "Lo-enghiong, kalau kau masih mempunyai sedikit sifat gagah, tentu kau
tidak membenarkan Bhok Kian Teng menawan adik perempuanku yang tidak berdosa. Aku datang
bukan untuk berlaku kurang ajar, melainkan hendak minta dibebaskan adikku. Salahkah ini?"
"Hemmmmm, kau sombong. Agaknya kau memang berkepandaian dan kau sudah pula menghina
suteku. Tak dapat tidak, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, tongkatku akan memaksamu."
"Silakan!" tantang Han Sin tenang-tenang saja.
Coa-tung Sin-kai mulai marah, tapi ia masih ragu-ragu, malu untuk menyerang seorang muda yang
tak bersenjata. "Keluarkan senjatamu," katanya.
"Aku bukan tukang pukul, bukan tukang bunuh orang, mengapa harus bersenjata? Untuk menjaga
diri, Thian telah melengkapi anggauta tubuhku."
"Pemuda sombong, lihat serangan!" Coa-tung Sin-kai tak sabar lagi, tongkatnya menyambar cepat
ke arah jalan darah di pundak kiri Han Sin. Pemuda ini maklum dari sambaran tongkat bahwa
lawannya yang memiliki gerakan cepat dan tenaga dalam yang sempurna, maka ia tidak berani
main-main, dengan sigap ia miringkan tubuhnya mengelak.
Benar saja, baru saja dielakkan serangan pertama, serangan ke dua, tiga dan selanjutnya susulmenyusul
bagaikan hujan, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk balas
menyerang. Namun Han Sin tetap tenang, dengan Liap-hong-sin-hoat ia menghadapi semua
serangan kakek itu dan selalu dapat menghindarkan setiap desakan.
"He, pernah apa kau dengan Ciu-ong Mo-kai?" teriak Coa-tung Sin-kai dengan heran. Ketua
perkumpulan pengemis dari utara ini pernah bertanding melawan Tang Pok yang juga
menggunakan Liap-hong-sin-hoat maka ia segera mengenal ilmu silat yang tangguh ini, yang
membuat ia bertanding dengan Ciu-ong Mo-kai sampai hampir sehari penuh tanpa dapat merebut
kemenangan!
Koleksi Kang Zusi
"Ciu-ong Mo-kai Tang Pok adalah suhuku," jawab Han Sin masih tenang. Mendengar jawaban ini
Coa-tung Sin-kai lalu mendesak makin hebat. Masa aku tak dapat merobohkan murid Tang Pok,
pikirnya penasaran sekali. Akan tetapi ia kecelik karena Liap-hong-sin-hoat yang dimainkan oleh
pemuda ini benar-benar aneh dan luar biasa sekali.
Nampaknya pemuda itu hanya bergerak perlahan saja untuk menghadapi serangan-serangannya,
namun setiap pukulannya yang akan mampir di tubuh pemuda itu seperti menyeleweng sendiri,
seakan-akan kedua tangannya sudah tidak menuruti lagi kehendaknya! Hal ini sebetulnya bukan
karena kehebatan Liap-hong-sin-hoat, melainkan kehebatan hawa sinkang di tubuh Han Sin yang
sudah demikian kuatnya sehingga sanggup menolak hawa pukulan kakek itu dan membuat semua
pukulan meleset.
Han Sin mengerti orang yang sudah menjadi kaki tangan Bhok-kongcu bukanlah orang baik-baik.
Akan tetapi karena teringat bahwa lawannya ini adalah guru dari Li Hoa, ia merasa tidak enak juga
untuk merobohkan atau melukainya.
Setelah berkali-kali mengelak dan menggunakan hawa pukulan untuk menangkis semua serangan
lawan selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Han Sin mengeluarkan suara bentakan keras sekali
sambil mengerahkan khikang. Coa-tung Sin-kai kaget dan terhuyung mundur. Han Sin mendesak,
tangannya bergerak dan di lain saat, tongkat ular itu sudah berhasil ia rampas. Sekali tekuk tongkat
itu mengeluarkan suara "pletakk!" dan patah menjadi tiga potong, lalu dilemparkannya ke atas
tanah.
Bukan main kaget, heran, dan malunya Coa-tung Sin-kai. Dia yang menjadi ketua Coa-tung Kaipang,
yang datang-datang hendak ikut pula memperebutkan jago silat nomor satu, dalam
pertandingan dua puluh jurus lebih, malah boleh dibilang baru diserang satu jurus saja oleh seorang
pemuda hijau, telah kalah mutlak! Dengan muka merah seperti udang direbus ia lalu melangkah
mundur, tidak ada muka lagi untuk mencoba menempur Han Sin.
Terdengar suara ketawa mengejek dan dua bayangan orang berkelebat cepat, tahu-tahu Tung-hai
Siang-mo sudah berdiri di depan Han Sin. Pemuda ini mengenal sepasang iblis itu dan
kemarahannya memuncak. Sebelum mereka bergerak, ia menegur lebih dulu, "Aku datang hanya
untuk minta dibebaskannya adikku, aku hanya berurusan dengan orang she Bhok, kenapa segala
macam orang tua ikut campur?"
Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba berkata dengan nada mengejek, "Dua orang tua bangka dari utara inipun
belum tentu bisa menangkan dia."
Mendengar ini, Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw menjadi panas perutnya, Ji Kong Sek segera
mengeluarkan suara ketawanya yang menyeramkan, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menubruk maju
dengan kedua tangan dipentang dengan jari-jari terbuka seperti seekor garuda menubruk. Ji Kak
Touw juga tidak mau tinggal diam, langsung menyerang bagian bawah tubuh Han Sin sambil
menggereng seperti ringkik kuda.
Han Sin mendongkol sekali melihat sikap orang-orang tua ini. Ia menggeser kakinya mundur dan
melihat bahwa serangan mereka itu malah lebih berbahaya dari pada serangan Coa-tung Sin-kai
tadi, ia lalu menggunakan Ilmu Silat Im-yang-kun untuk menghadapi dua orang iblis yang sifat
serangannya berlawanan ini. Hanya Im-yang-kun yang mengandung dua macam sifat dapat
menghadapi daya serangan mereka.
Koleksi Kang Zusi
Terdengar suara "plak-plak!" keras sekali ketika sepasang lengan tangan Han Sin menangkisi
pukulan-pukulan kedua orang lawannya. Tung-hai Siang¬mo setelah menyerang beberapa jurus dan
dapat ditangkis, saling pandang dengan heran.
"Bukankah itu Im-yang-kun dari Cin-¬ling-pai. Bocah, Giok Thian Cin Cu itu apamu?" bentak Ji
Kak Touw.
"Giok Thian Cin Cu itu adalah suhuku pula," jawab Han Sin tenang. Semua orang terkejut
mendengar ini. Yang lebih kaget adalah Bhok Kian Teng karena ia tidak mengerti bagaimana bocah
gunung itu ternyata adalah murid dari orang-orang pandai.
Pertempuran berjalan terus dan dengan hati gelisah Bhok-kongcu melihat bahwa juga Tung-hai
Siang-mo tidak banyak berdaya. Seperti mempermainkan anak-anak kecil, Han Sin berdiri tegak
dan hanya kedua tangannya bergerak-gerak ke depan, namun dua orang iblis itu sama sekali tidak
mampu mendekatinya.
"Cinjin, bocah ini berbahaya. Harap kau suka maju dan membantu untuk menangkapnya hidup atau
mati," kata Bhok-kongcu perlahan.
Namun ucapan yang perlahan ini masih dapat terdengar oleh Han Sin yang selalu memperhatikan
agar kongcu itu tidak melarikan diri. Pemuda ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali
berkelebat ia telah meninggalkan lawannya dan tahu-tahu ia telah berada di depan Bhok-kongcu.
"Orang she Bhok, aku datang untuk minta adikku, kenapa kau bermaksud membunuhku? Di mana
Bi Eng?"
Bhok-kongcu menjawab dengan sebuah serangan kilat, menggunakan kipasnya. Kipas ini tidak saja
ia pergunakan untuk menyerang jalan darah maut di leher Han Sin, malah sekaligus dari ujung kipas
keluar jarum-jarum beracun yang menyambar ke dada pemuda dari Min-san itu.
"Keji!" Han Sin yang bermata jeli dapat melihat ini. Tangannya mengibas, jarum-jarum runtuh dan
kipas itu dapat ia cengkeram. "Krak-krak!" Hancurlah kipas itu dilain saat kedua tangan Bhokkongcu
sudah dapat ia pegang dengan erat. "Lepaskan adikku!" Han Sin membentak lagi.
Akan tetapi tiba-tiba dari arah belakangnya menyambar hawa pukulan dahsyat berturut-turut. la
terpaksa melepaskan tangan Bhok-kongcu dan memutar tubuh sambil menangkis.
"Dukk!" Tubuh Hoa Hoa Cinjin terpental, demikian pula Tung-hai Siang-mo yang tadi bersamasama
mengirim serangan dari belakang. Hebat sekali tangkisan Han Sin tadi, sekaligus membuat
tiga orang kakek itu terpental.
"Kalian memang orang-orang jahat, perlu dihajar!" Timbul amarah dalam hati Han Sin dan pemuda
ini lalu mainkan Ilmu Silat Lo-hai Hui-kiam yang dahsyat. Kedua ujung jari telunjuknya menjadi
pengganti pedang namun dua buah jari tangan ini malah lebih berbahaya lagi karena da¬pat
menotok jalan darah dari jarak jauh.
Sebentar saja Hoa Hoa Cinjin dan Tung¬hai Siang-mo menjadi sangat repot menghadapi hujan
totokan ini. Coa-tung Sin-kai juga cepat melompat maju untuk membantu sehingga sesaat kemudian
Han Sin sudah dikeroyok oleh empat orang tokoh besar yang amat disegani orang kang-ouw.
Memang amat mengherankan kalau dilihat. Seorang pemuda yang masih amat muda belia, kini
dikeroyok oleh empat orang tokoh yang biasanya merupakan jago-jago yang berkedudukan tinggi,
Koleksi Kang Zusi
bahkan yang dianggap merupakan calon-calon jago silat yang terpilih di kota raja! Dan tetap saja
mereka tak dapat berdaya banyak menghadapi Lo-hai Hui-kiam yang bukan dimainkan dengan
pedang, melainkan dengan dua buah jari tangan!
Baru tiga puluh jurus saja, dua buah jari tangan yang bergerak-gerak cepat sehingga kelihatannya
berubah menjadi puluhan banyaknya, serta yang amat berbahaya biarpun dipergunakan dari jauh,
tak dapat ditahan oleh Tung-hai Siang-mo yang sudah roboh terguling karena totokan, sedangkan
pada lain saat, Coa-tung Sin-kai juga terhuyung-huyung karena terserempet pundaknya oleh hawa
totokan dari jari tangan kanan Han Sin!
Hanya Hoa Hoa Cinjin yang kosen itulah yang masih dapat melawan, biarpun kini hanya
mempertahankan diri saja. Dari sini dapat diukur bahwa di antara empat orang tokoh itu, Hoa Hoa
Cinjin ternyata lebih kuat.
Bhok-kongcu gelisah sekali, mukanya pucat dan keringatnya mengucur. Ia menyesal sekali
mengapa ayahnya tidak berada di situ. Untuk menghadapi pemuda aneh itu kiranya hanya ayahnya
yang boleh diandalkan. Diam-diam ia lalu memberi isyarat kepada para pengawalnya yang lari
keluar dan tak lama kemudian, di luar istana itu terdengar derap kaki banyak orang. Kiranya
pengawal tadi memanggil pasukan dan kini di luar telah menjaga ratusan orang serdadu Ceng untuk
menangkap Han Sin!
"Cia Han Sin, kalau kau tidak menyerah, ratusan anak panah akan menghancurkan tubuhmu!" Tibatiba
Bhok-kongcu berseru ketika pasukannya sudah berbaris masuk dengan anak panah terpasang
pada busur setiap orang serdadu. Hoa Hoa Cinjin melompat mundur dan ketika Han Sin menoleh, ia
sudah ditodong oleh ratusan orang serdadu yang memegang busur dan anak panah.
Pemuda ini tertawa aneh, mengangkat dada menghadapi para serdadu sambil berkata pada Bhokkongcu,
"Hidup bukan punyaku mati bukan milikku, aku takut apa? Hidup mati tidak penasaran,
pokoknya aku berada di dalam kebenaran. Orang she Bhok, aku datang untuk minta kembali
adikku. Kau tidak menuruti permintaanku yang pantas, malah hendak membunuhku. Bunuhlah,
siapa takut?"
Bhok-kongcu memberi tanda dan para serdadu yang berada paling depan, segera melepas anak
panah menyambar secepat kilat, mendatangkan suara mengaung mengerikan, ke arah tubuh Han
Sin! Pemuda ini tenang-tenang saja, kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri sambil mengerahkan
sinkang untuk mengebut dan menangkis. Runtuhlah semua anak panah itu, kecuali sebatang yang
menancap di ujung pundaknya dan keluarlah darah membasahi baju!
Betapapun hebat kepandaian Han Sin menghadapi hujan anak panah itu tetap saja ia terluka biarpun
luka itu amat ringan. Ia menjadi marah, diserbunya ke depan dan sekali tangan kakinya bergerak
enam orang serdadu roboh! Keadaan menjadi kalut sekali dan Han Sin sudah bersiap mengamuk
mati-matian dalam gedung Pangeran Mongol yang menyebut diri Bhok-kongcu itu.
Pada saat itu terdengar bentakan dari luar, bentakan halus berpengaruh,
"Tahan semua senjata!"
Hebat sekali pengaruh bentakan ini. Tidak hanya para serdadu itu serentak minggir dan berdiri
tegak memberi hormat, malah Bhok-kongcu sendiri berikut kaki tangannya, Hoa Hoa Cinjin dan
yang lain-lain, cepat membungkuk-bungkuk memberi hormat, kepada orang yang membentak tadi.
Han Sin menoleh dan kaget serta herannya bukan kepalang.
Koleksi Kang Zusi
"Yong-giheng .......!” serunya, memandang dengan mata terbelalak.
Orang itu memang Pangeran Yong Tee. Ia tersenyum kepada Han Sin, lalu tanpa menghiraukan
yang lain ia menghadapi Bhok-kongcu dan berkata, "Saudara Cia ini adalah ..... saudara angkatku,
kalau ada persoalan boleh diselesaikan secara damai, tidak boleh sekali-kali menggunakan
kekerasan."
Han Sin melongo ketika melihat betapa Bhok-kongcu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut! "Mohon
paduka sudi mengampunkan. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa ..... bahwa ...... saudara Cia ....."
"Bangunlah, cukup semua itu. Cuma saja lain kali, harap tidak melakukan pengeroyokan seperti
yang baru terjadi tadi. Benar-benar amat memalukan. Hemmmm, kulihat tidak banyak gunanya
orang-orangmu ........" Pangeran Yong Tee lalu menggandeng tangan Han Sin dan menariknya pergi
dari situ. "Adikku, mari kau ikut aku ke rumahku."
Sejak tadi Han Sin bengong terheran, sekarang ia ragu-ragu. Urusannya dengan Bhok-kongcu
belum selesai, ia belum dapat menemukan Bi Eng.
"Tapi ...... adikku Bi Eng ........" bantahnya bingung.
"Serahkan urusan ini kepadaku, tentu beres. Marilah!" Yong Tee mengajak. Biarpun masih sangsi,
Han Sin yang terpengaruh oleh kejadian aneh dan sikap kakak angkatnya yang nampaknya amat
berpengaruh itu, tidak membantah dan mengikuti Yong Tee keluar dari gedung Bhok-kongcu.
Akan tetapi, ketika melihat ke mana saudara angkatnya yang aneh itu membawanya masuk yaitu ke
sebuah gedung yang amat besar, seperti istana, jauh lebih mewah dan besar dari pada gedung
tempat tinggal Bhok-kongcu, Han Sin menjadi pucat dan melepaskan pegangan Yong Tee sambil
berkata,
"Gi-heng ...... kau membawaku ke mana ini? Ke rumah siapa?"
Yong Tee tersenyum dan memegang lengan Han Sin lagi. "Ke rumah siapa lagi kalau bukan ke
rumahku? Ini rumah ibuku.
"Mari masuk ke dalam ......." Sementara itu, beberapa orang pelayan yang berada di luar sudah cepat
menyambut kedatangan Yong Tee sambil memberi hormat secara khidmat sekali.
"Gi-heng ...... kau ........ kau siapakah ......?” Han Sin bertanya gugup, sama sekali belum menyangka
bahwa saudara angkatnya adalah seorang pangeran! Akan tetapi Yong Tee tidak menjawab,
melainkan memberi perintah kepada orang-orangnya dengan ucapan, "Lekas beritahu Cia siocia
bahwa kakaknya, Cia-kongcu sudah datang!"
Tentu saja perintah yang cepat-cepat dilakukan oleh para pelayan ini membuat Han Sin kaget dan
girang luar biasa sampai ia melupakan pertanyaannya tadi. Dengan erat-erat ia genggam tangan
Yong Tee, matanya berseri dan hampir ia berteriak-teriak saking girangnya.
"Gi-heng, jadi ...... jadi adikku Bi Eng sudah berada di sini??"
Yong Tee mengangguk-angguk dengan senyum manis. "Bukankah tadi aku sudah bilang bahwa
urusan adikmu itu kauserahkan saja kepadaku tentu beres?" Digandengnya lengan Han Sin, diajak
memasuki rumah gedung besar itu. Sampai terbelalak mata Han Sin memandangi dan mengagumi
isi ruangan yang mereka masuki. Semuanya serba indah. Serba megah dan besar.
Koleksi Kang Zusi
"Sin-ko ........!” Bi Eng berlari-lari dari dalam dan langsung menubruk dan memeluk leher Han Sin
sambil menangis.
Han Sin kembali membuka matanya lebar-lebar melihat Bi Eng berpakaian amat indah. Rambut
adiknya yang hitam panjang itu digelung semodel dengan gelung Li Hoa. Indah, cantik dan manis
adiknya ini.
"Bi Eng......!” Iapun memeluk dan pada saat itu hatinya berdebar tidak karuan. Bi Eng ini bukan
adik kandungnya!
"Sin-ko, syukur kau selamat. Ah, betapa selama ini hatiku selalu gelisah dan berduka. Ternyata
Thian masih belum melupakan kita, Sin-ko. Thian telah menurunkan seorang penolong, yaitu
Pangeran Yong Tee yang bijaksana ini. Mari kita menghaturkan terima kasih kepadanya."
Begitu mendengar ucapan ini, Han Sin menjadi makin pucat dan ia melepaskan pelukan adiknya,
membalikkan tubuh memandang Yong Tee sambil berkata,
"Bi Eng! Apa katamu tali? Pangeran ....... pangeran siapa ..........?”
Bi Eng tersenyum di antara air matanya, air mata kegirangan. la memegang tangan Han Sin dan
dibimbingnya kakaknya untuk maju. Lalu Bi Eng menjatuhkan diri berlutut, mengajak Han Sin juga
berlutut. Akan tetapi Han Sin tidak mau berlutut, hanya berdiri menatap wajah Yong Tee dengan
pandang mata tajam.
"Cia-siocia, tak pernah aku mengijinkan orang berlutut kepadaku ......." tegur Yong Tee.
"Akan tetapi kali ini harap diberi kekecualian," jawab Bi Eng. "Hamba berdua kakak beradik harus
menghaturkan terima kasih kepada paduka yang mulia. Kalau tidak ada paduka, bagaimana kami
kakak beradik dapat saling bertemu .......?"
"Nona Bi Eng, jangan banyak sungkan. Ketahuilah, kita adalah keluarga sendiri. Kakakmu Han Sin
ini sekarang sudah menjadi adik angkatku, berarti kaupun adikku sendiri. Bangunlah."
Bi Eng berseru girang dan melompat bangun terus memeluk kakaknya.
"Sin-ko, betulkah itu? Kau menjadi saudara angkat ...... Pangeran?"
"Hush, adik Bi Eng, mulai sekarang tidak ada pangeran-pangeranan, kau boleh menyebutku Yongko
saja," kata pangeran itu sambil tersenyum ramah.
Akan tetapi Han Sin kembali melepaskan pelukan Bi Eng, matanya sejak tadi tidak berkedip
menatap wajah Yong Tee. Melihat sikap kakaknya seperti orang marah ini, Bi Eng melangkah
mundur dengan heran.
"Gi ...... gi-heng ...... jadi kau seorang pangeran Mancu? Kenapa kau tidak katakan hal ini
sebelumnya? Kau ...... kau telah menipuku!" kata Han Sin wajahnya pucat.
Yong Tee menaikkan alis matanya dengan senyum membayang di bibir. "Gite, kenapa kau bilang
begitu? Pangeran atau bukan, bukankah aku seorang manusia juga? Bukan kehendakku dilahirkan
sebagai seorang Pangeran Mancu, juga bukan kehendakmu dilahirkan sebagai seorang Han. Bagiku
tiada perbedaan."
Koleksi Kang Zusi
"Kau menipuku! Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan seorang pangeran dari kerajaan yang
menjajah tanah airku? Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan ....... musuh-musuhku?"
"Bukan musuhmu, adikku. Kami keturunan Aisin-gioro dari Mancu bukan musuh, juga bukan orang
lain. Kami dan bangsa Han sebetulnya masih sebangsa, Bangsa Tiongkok yang besar. Kami
bermaksud untuk membikin Tiongkok menjadi negara yang besar, megah dan makmur. Kami tidak
memusuhi rakyat yang kami cinta. Adikku Cia Han Sin, semua orang menganggap kau sebagai
putera pemberontak, sebaliknya aku pribadi amat kagum kepada kakek dan ayahmu yang sudah
kudengar riwayatnya. Orang seperti kau inilah yang kami butuhkan untuk kami ajak bekerja sama
guna kemakmuran bangsa. Bukan orang-orang berwatak penjilat berhati palsu seperti ....... orang
she Bhok dan lain-lain itu. Mari, adikku, terimalah uluran tanganku ini."
Akan tetapi Han Sin melangkah mundur, tidak mau menjabat tangan kakak angkatnya. "Tidak!
Ucapan seorang penjajah selalu manis, manis di mulut pahit di hati. Dengan ucapan manis menipu
rakyat yang dijajahnya, menjanjikan kemakmuran bersama padahal maksudnya untuk kemakmuran
rakyat dan golongan sendiri. Tidak!"
"Adik Han Sin, kau menyedihkan hatiku. Aku bermaksud baik akan tetapi kau menerima salah.
Sekali lagi kujelaskan, kerajaan ayahku sama sekali tidak memusuhi rakyat, malah hendak
membangun negara Tiongkok demi kemakmuran kehidupan rakyat."
"Bohong! Mataku telah buta! Aaahhh, mataku telah buta. Kau .... kau yang selama ini kukira
seorang yang patriotik, kiranya malah Pangeran Mancu yang hendak kubasmi!" Ia mengepal tinju
dan memandang pangeran itu dengan mata penuh kebencian dan sikap mengancam.
Pangeran Yong Tee tersenyum masam. "Begitukah? Saudaraku yang baik, kalau memang sudah tak
dapat kuyakinkan hatimu, dan kau tetap menganggap kakak angkatmu ini sebagai musuh dan
penjahat besar, marilah, kau boleh bunuh aku."
"Memang sudah sepatutnya aku membunuh anak penjajah!" Han Sin sudah menggerakkan tangan
hendak memukul, akan tetapi melihat wajah pangeran itu dengan senyum tenang memandangnya,
sinar mata yang selama ini ia kagumi dan ia cinta sebagai saudara angkat, membuat tangannya
menjadi lemas kembali. Pada saat itu, Bi Eng melompat dan memegang tangannya.
"Sin-ko, kau kenapakah? Jangan berlaku yang tidak-tidak. Kau harus tahu bahwa Pangeran ... eh,
Yong-ko ini berbeda dengan sembarang orang dan sama sekali tidak bisa dianggap musuh. Kalau
bukan oleh pertolongannya yang mengambilku dari cengkeraman orang she Bhok itu, apa kaukira
kita akan masih dapat bertemu? Sin-ko, jangan kau memusuhi dia ini, apa lagi setelah kau dan dia
bersumpah mengangkat saudara. Sin-ko, aku tahu kau bukan membenci orangnya, melainkan
membenci karena dia keluarga kaisar yang menjajah. Akan tetapi apakah karena itu kita harus lupa
akan budi?"
Han Sin menoleh perlahan kepada adiknya dan Bi Eng terharu melihat betapa wajah kakaknya ini
pucat sekali dan dari kedua matanya menitik dua butir air mata. Belum pernah ia melihat kakaknya
menitikkan air mata dan kenyataan ini menandakan betapa pada saat itu batin Han Sin tersiksa
hebat.
"Bi Eng ......," suara Han Sin lemah dan serak, "kau ...... kau bergantilah pakaian, pakaianmu sendiri
dan lekas kau menyusulku. Kutunggu di luar." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda
ini sudah melesat keluar dari ruangan istana itu.
Koleksi Kang Zusi
"Adik Han Sin ......!” Yong Tee berseru memanggil namun Han Sin tidak perduli, menengokpun
tidak.
Dengan isak tertahan Bi Eng lalu lari ke dalam kamarnya, menanggalkan pakaian indah pemberian
Yong Tee, mengganti dengan pakaiannya sendiri, malah merobah bentuk gelungnya menjadi biasa
kembali. Setelah itu ia lalu berlari keluar. Di ruang depan ia melihat Yong Tee masih berdiri seperti
patung. Ia cepat menjura dengan hormat dan berkata perlahan,
"Pangeran .....eh, Yong-ko. Ampunkanlah kakakku Han Sin, dan ampunkan aku. Aku ..... aku
selamanya takkan melupakan budimu."
Yong Tee hanya mengangguk-angguk dengan senyum pahit. Dengan isak tertahan Bi Eng lalu
berlari keluar di mana Han Sin sudah menantinya. Tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu berlarilari
pergi meninggalkan kota raja.
Yong Tee cepat dapat menenangkan hatinya. Ia lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah
beberapa orang pengawal istana. "Lekas kalian beritahu kepada para penjaga pintu gerbang supaya
pemuda dan pemudi yang baru keluar dari sini, jangan diganggu kalau keluar dari pintu gerbang.
Dan bawa dua ekor kuda terbagus dan kuat, bersama dua kantong uang emas ini berikan kepada
Han Sin dan Bi Eng itu disertai salamku. Cepat!"
Setelah utusannya pergi, Yong Tee menjatuhkan diri di atas kursi dan duduk seperti patung sampai
satu jam lebih lamanya. Berkali-kali ia menarik napas dan sinar matanya menjadi suram-muram.
Han Si dan Bi Eng menjadi heran ketika di pintu gerbang sebelah barat mereka dihadang oleh
pengawal-pengawal yang membawa dua ekor kuda. Seorang komandan pengawal berkata dengan
hormat,
"Kami diutus oleh Pangeran Yong Tee untuk memberikan dua ekor kuda dan dua kantong emas ini
disertai salam beliau untuk kongcu dan siocia."
Bi Eng meramkan matanya untuk menahan keluarnya air mata, saking terharu menyaksikan
kebaikan terakhir dari pangeran itu. Namun Han Sin mengeraskan hatinya, dengan dagu mengeras
ia menolak pemberian itu sambil berkata kepada si komandan,
"Kembalikan kuda dan uang itu kepada Pangeran Yong Tee, katakan kami sudah cukup menerima
kebaikannya dan tidak mau mengganggu lagi." Kemudian pemuda ini menarik tangan Bi Eng dan
berlari cepat, keluar dari pintu gerbang kota raja.
Setelah berlari cepat sekali sambil menarik tangan Bi Eng sampai puluhan li jauhnya, akhirnya Han
Sin berhenti karena adiknya menangis. la melepaskan tangan Bi Eng, lalu memandang adiknya itu
dengan penuh kasih sayang.
"Kau kenapa, Bi Eng?"
Bi Eng makin tersedu-sedu, mengusapi air mata yang membanjir turun di kedua pipinya. "Sin-ko
....., aku girang sekali dapat bertemu kembali dan berkumpul kembali dengan kau. Tapi ..... tapi
sikapmu terhadap Pangeran Yong Tee .... benar mengecewakan hatiku. Dia begitu baik, dia telah
menolongku, malah .... malah kudengar tadi kau sudah mengangkat sumpah bersaudara dengan dia
....."
Koleksi Kang Zusi
Han Sin mengerutkan keningnya. "Adik Bi Eng, kau tidak tahu betapa hatiku sendiri hancur
menghadapi kenyataan ini. Aku suka kepada pribadi pangeran itu. Akan tetapi kau lihatlah
kenyataan. Orang-orang seperti Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin dan para pengkhianat bangsa yang
sudah kita jumpai, semua adalah anak buah pemerintah penjajah. Kau dan aku adalah keturunan
patriot, kita harus melanjutkan jejak perjuangan nenek moyang, yang luhur dan jaya. Kita harus
menggulung lengan baju bersama para pejuang rakyat lain menyelamatkan tanah air,
menghancurkan penjajah dan antek-anteknya. Tentang Pangeran Yong Tee itu andaikata benarbenar
dia itu berhati mulia, apakah kebaikan seorang saja akan melumpuhkan semangat perjuangan
kita? Apakah kebaikan seorang Yong Tee dapat membersihkan kejahatan penjajah dan kaki
tangannya yang menindas bangsa kita? Apakah karena kebaikan seorang Yong Tee, kau dan aku
harus masuk pula menjadi sekutunya, menjadi pengkhianat bangsa?"
Bi Eng menjadi pucat ketika ia memandang kakaknya. Tanpa disadari lagi, kepalanya yang cantik
itu menggeleng-geleng keras dan bibirnya yang pucat itu berkata, "Tidak! Sekali lagi tidak! Tentu
saja aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Tapi ....,tapi ...., bagaimana aku akan tega memusuhi dia
yang begitu baik?" Dan gadis itu menangis lagi.
Han Sin menaruh tangannya di pundak Bi Eng. "Bukan hanya engkau, Eng-moi. Aku sendiripun
kiranya takkan sampai hati untuk memusuhi Yong-giheng, seorang yang kuanggap amat baik dan
malah sudah menjadi kakak angkatku. Eng-moi, marilah kita kembali dulu ke Min-san. Ketahuilah,
selama ini aku sudah mempelajari ilmu silat. Setelah semua pengalaman pahit getir selama kita
turun gunung, kita perlu beristirahat di Min-san, di sana kau boleh memperdalam ilmu silatmu,
kemudian baru kita akan berusaha menghubungi dan menggabungkan diri dengan para patriot."
Bi Eng mengangkat mukanya memandang kakaknya. "Aku sudah menduga bahwa akhirnya kau
akan menjadi seorang ahli silat, Sin-ko. Marilah kalau kau menghendaki kita pulang ke Min-san."
Sambil berjalan cepat di sepanjang perjalanan Han Sin menceritakan pengalaman-pengalamannya.
Bi Eng merasa kagum sekali, akan tetapi juga amat berduka ketika mendengar tentang Siauw-ong,
monyet peliharaan itu yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya. Ia sampai mencucurkan air
mata kalau mengingat Siauw-ong.
"Jangan bersedih, Eng-moi. Kelak aku akan membawamu turun gunung lagi dan kita cari Siauwong
di Lu-liang-san. Kukira dia berada di dalam hutan di gunung itu."
Terhiburlah hati Bi Eng dan kedua orang muda ini melanjutkan perjalanannya. Sikap Bi Eng
terhadap Han Sin masih biasa, manja dan penuh cinta kasih seorang adik. Sebaliknya, biarpun di
luarnya Han Sin masih bersikap biasa pula, namun di dalam hatinya timbul bermacam-macam
perasaan. Gadis ini bukan adik kandungnya! Seorang gadis anak orang lain, yang sama sekali tidak
dikenalnya! Sinar mata dalam pandangnya terhadap Bi Eng berubah, membuat jantungnya kadangkadang
berdetak aneh dan.cinta kasihnya terhadap Bi Eng juga mulai berubah. Biarlah pikirnya,
kelak akan kubongkar rahasia gadis ini, akan kucari siapa sebetulnya orang tuanya. Dengan pikiran
ini, Han Sin dapat menenteramkan hati dan bersikap biasa. Pemandangan di sepanjang perjalanan
nampak terang dan indah setelah kakak beradik ini berkumpul kembali, hati penuh rasa bahagia dan
tenteram.
****
27. Cinta Kasih Pangeran Yong-tee
"KELIRU, adik Eng …..! Kembali kau tidak curahkan perhatianmu ke dalam gerakan ini."
Koleksi Kang Zusi
Gadis cantik jelita itu berhenti bersilat, menarik napas panjang lalu duduk di atas bangku dalam
taman bunga itu. Kembali ia menarik napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan sutera
hijau menghapus peluh dari leher dan pipinya yang kemerah-merahan. Bibirnya menjadi merah
sekali karena pergerakan-pergerakan tadi, merah membasah, segar seperti buah masak. Sayang mata
yang jeli itu kini membayangkan rasa duka.
Si pemuda yang melatih ilmu silat, berdiri bengong. Bagaikan terkena hikmat luar biasa, ia berdiri
terpesona menatap wajah si gadis yang tertimpa sinar matahari pagi, wajah yang pada saat itu
demikian elok dan jelita seperti wajah bidadari.
Si gadis menengok, bertemu pandang. Cepat si pemuda menundukkan kepalanya.
"Eh, Sin-ko (kakak Sin)! Apa-apaan kau berdiri seperti patung di situ? Kau tentu kecewa, ya?
Memang otakku bebal, gerakan Heng-pai Kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring)
tadi bagiku amat sukar, Sin-ko."
Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Sin, sudah dapat menenteramkan hatinya. Ia mengangkat
muka, memandang kepada Bi Eng tenang-tenang. Keningnya agak berkerut.
"Bi Eng, adikku. Sebetulnya tidak ada barang sukar di dunia ini. Tergantung seluruhnya dari pada
besar kecilnya kemauan kita. Gerakan kaki dan tanganmu sudah tepat, pengaturan tenaga dan napas
juga sudah cocok sebagaimana mestinya. Akan tetapi, sayang sekali perhatianmu kurang tercurah
dalam gerakan itu. Ketahuilah, adikku. Seperti juga dalam mengerjakan sesuatu, di dalam ilmu
silatpun harus dipergunakan pencurahan pikiran ditujukan bulat-bulat kepada gerakan yang
dilakukan (konsentrasi). Karena hanya dengan konsentrasi ini, kita akan dapat melihat setiap
perubahan gerakan lawan dan dapat mengatur perkembangan gerakan kita sendiri."
Bi Eng tertawa. Gadis ini memang riang gembira sifatnya. Biarpun tadi matanya membayangkan
kedukaan, namun sekarang begitu giginya yang putih berderet rapi itu terlihat dalam ketawanya,
lenyaplah segala awan mendung. Cahaya matahari seakan-akan menjadi lebih gemilang. Dengan
lagak manja Bi Eng menyambar tangan Han Sin dan menariknya duduk di sampingnya, di atas
bangku.
"Duduklah, Sin-ko, jadi enak kita mengobrol. Kau berdiri marah-marah seperti seorang guru yang
galak terhadap muridnya yang tolol!"
Mau tidak mau Han Sin tertawa juga. Kegembiraan Bi Eng selalu menjadi sinar dalam pondok
mereka, menjadi cahaya terang dalam kesunyian di puncak Gunung Min-san, menjadi cahaya yang
selalu bersinar-sinar di dalam lubuk hatinya!
"Eh, Sin-ko. Kau ini sekarang seperti dewa saja. Bagaimana kau bisa menyelami pikiranku?
Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku tidak mencurahkan seluruh perhatian dan pikiran ke dalam
gerakan tadi padahal menurut kau sendiri, kaki tangan, tenaga dan napas yang kupergunakan sudah
tepat!"
"Pandang matamu yang membuka rahasiamu, Eng-moi."
"Pandang mataku? Ada apanya sih yang aneh?" Gadis itu menengok menatap wajah kakaknya.
Muka mereka berdekatan, hati Han Sin kembali berdebar-debar aneh. Cepat-cepat ia memalingkan
muka.
Koleksi Kang Zusi
"Pandang matamu membayangkan sesuatu yang menyatakan bahwa di dalam pikiranmu kau
mengkhawatirkan sesuatu, membuat kau gelisah dan tak dapat mencurahkan seluruh perhatian ke
dalam pelajaran tadi. Ilmu Silat Thian-po Cin-keng yang terdiri dari tiga bagian kali tiga puluh
enam jurus adalah ilmu silat yang gerakan-gerakannya selalu disesuaikan dengan batin. Karena itu
tidak mudah dipelajari. Aku hanya ingin menurunkan tiga jurus saja kepadamu. Yang tiga ini,
Heng-pai Kwan-im, Jip-hai-siu-to, dan Ci-po-thian-keng, biarpun hanya tiga macam, akan tetapi
sekali kau dapat menguasainya dengan sempurna sukarlah kau dikalahkan orang. Akan tetapi ....,
sudahlah soal itu, aku hanya ingin tahu kenapa kau agaknya mengkhawatirkan dan menyusahkan
sesuatu, adikku?"
Sinar kekaguman terpancar keluar dari pandang mata Bi Eng.
"Kau memang hebat, Sin-ko. Alangkah bangga hatiku mempunyai kakak seperti kau! Eh, dewa
yang bijaksana, setelah kau ketahui keadaan pikiranku, tentu kau tahu pula akan isi hatiku!"
Han Sin menggeleng kepalanya. "Mana aku bisa tahu apa yang terkandung dalam hatimu?" Biarpun
mulutnya berkata demikian, hati pemuda ini mengeluh. "Aduhai Bi Eng, kaupun mana bisa tahu
akan isi hatiku? Mana kau tahu bahwa kita ini bukan saudara kandung bukan sanak bukan kadang,
dan mana kau tahu bahwa aku .... aku cinta padamu?"
Bi Eng mengerut. Bibirnya diruncingkan matanya mengerling, pura-pura marah. "Kau tentu bisa
menerka. Kalau kau tidak mau menerka, aku akan marah, Sin-ko!"
Han Sin tersenyum. Senang melihat kalau "adiknya" ini sudah mengambul dan bermanja seperti itu.
"Baiklah, akan kucoba. Eng-moi, bukankah selama kita berdiam lebih dari tiga bulan di atas gunung
ini, hatimu selalu terkenang kepada tempat-tempat jauh di bawah sana? Bukankah hatimu selalu
hendak mengajak aku turun gunung seperti dulu lagi? Itukah agaknya yang selalu mengganggumu
dalam gerakan ilmu silat."
Aneh! Tiba-tiba Bi Eng menubruk Han Sin, menyandarkan kepala dengan rambut yang hitam halus
harum itu di atas dada kakaknya, dan menangis!
Akan tetapi keanehan sikap Bi Eng ini masih tidak seaneh sikap Han Sin bagi Bi Eng. Gadis itu
merasa betapa Han Sin mendekapnya, seakan-akan kakaknya itu hendak berusaha memasukkan
kepalanya ke dalam dada kakaknya! Erat-erat dan menggigil kedua tangan kakaknya itu
memeluknya dan Bi Eng merasa betapa muka kakaknya dengan panas disembunyikan ke dalam
rambutnya. Tentu saja hal ini terasa aneh sekali bagi Bi Eng. Gadis ini menggerakkan kepalanya,
menoleh ke arah muka Han Sin yang tadi dibenamkan ke dalam rambut yang gemuk itu.
Seperti baru sadar dari mimpi, Han Sin mengeluarkan keluhan aneh, melepaskan pelukannya,
melangkah mundur membuang muka tak berani menentang pandang mata Bi Eng. Gadis itu melihat
betapa wajah kakaknya pucat sekali dan betapa dua titik air mata membasahi pelupuk mata Han Sin.
Timbul kasihan di dalam hati Bi Eng, ia mengira bahwa kakaknya itu menangis dan bersikap seaneh
itu karena tadi terharu melihatnya. Ia melangkah maju dan memegang tangan kakaknya yang terasa
dingin dan gemetar.
"Sin-ko, maafkan aku .... aku hanya membuat kau susah saja. Tidak, Sin-ko. Aku takkan rewel lagi.
Aku takkan mengajak kau turun gunung selama kau belum menghendakinya. Aku akan belajar
lebih rajin lagi. Sin-ko, jangan kau marah padaku, ya?"
Koleksi Kang Zusi
Sikap manja kekanak-kanakan ini membuyarkan semua ketegangan di hati Han Sin. la kini dapat
menatap wajah adiknya lagi, dan mukanya menjadi merah sekali.
"Eng-moi, tentu akan tiba saatnya kita turun gunung. Karena akupun ingin mencari Siauw-ong,
monyet kita yang hilang tak karuan di mana adanya itu. Kukira dia tentu masih berada di sekitar Luliang-
san, di sebuah hutan yang banyak monyetnya. Akan tetapi, selain rindu kepada Siauw-ong,
aku tidak ingin mencari siapapun juga ...."
Ia berhenti sebentar, kemudian dengan pandang mata penuh selidik dan tajam sekali sampai
membuat Bi Eng berdenyut takut, ia bertanya, "Mungkin kau ingin turun karena sudah rindu sekali
kepada ......kepada teman-temanmu .....?"
"Sin-ko, kau ini aneh benar! Siapa sih temanku di dunia ini selain kau sendiri dan Siauw-ong?"
Masih saja wajah Han Sin memperlihatkan sikap penuh selidik dan aneh. "Apa .....apa kau tidak
ingin bertemu dengan .... dengan Yong Tee? Bukankah dia sahabat baikmu?"
Bi Eng membelalakkan matanya. Ia heran sekali melihat sikap Han Sin yang tidak sewajarnya dan
tidak seperti biasanya ini, dan dia sebetulnya masih terlalu bodoh untuk dapat menduga apa
sebabnya maka Han Sin berhal demikian. Namun perasaan wanitanya yang halus seakan-akan
mengerti bahwa Han Sin tak senang kalau dia bersahabat baik dengan pangeran itu, atau bahkan
dengan orang-orang lain atau tepatnya dengan laki-laki lain!! Cemburu!! Tentu saja belum sampai
pengertian Bi Eng untuk menyangka bahwa Han Sin cemburu seperti layaknya seorang pria
mencemburukan wanita pilihannya!
"Sin-ko! Kau ini bagaimana sih? Yong Tee adalah kakak angkatmu, dengan sendirinya diapun
menjadi kakak angkatku. Dan sikapku terhadapnya tak lebih tak kurang hanya seperti seorang adik,
demikianpun dia memperlakukan aku sebagai seorang adiknya!"
Akan tetapi jawaban ini masih belum mengubah sikap Han Sin yang aneh.
"Bagaimana hubunganmu dengan .... Yan Bu? Bukankah dia amat baik padamu dan kau memujimujinya?"
Bi Eng makin merasa heran. Kakaknya hari ini benar-benar aneh!
"Dia memang orang baik, seorang gagah perkasa dan pernah menolongku. Akan tetapi bagiku,
hanya habis sampai di situ sajalah. Tentu saja kalau dapat bertemu dengan dia sebagai seorang
teman kita yang baik, kita akan menjadi girang. Akan tetapi, aku tidak akan mencari-carinya ....dan
.... eh, Sin-ko, kau kenapakah? Hari ini sikapmu kok luar biasa. Tadi seperti guru galak, lalu baru
saja ketika aku menangis kau seperti .... seperti ....”
"Seperti apa .....??
Gadis itu berpikir keras, namun tak dapat memecahkan persoalan itu, hanya menggeleng kepala,
"Seperti entahlah, pendeknya aneh sekali! Dan sekarang, kau seperti hakim saja!"
Sikap aneh tadi lenyap dari muka Han Sin. Ia sudah dapat tersenyum lagi.
"Jangan marah, adikku yang baik. Aku tadi hanya main-main saja. Sssttt, dengar. Ada orang datang
......!"
Koleksi Kang Zusi
Pendengaran Bi Eng sudah amat tajam walaupun tidak setajam Han Sin. Setelah mencurahkan
perhatian, barulah ia dapat mendengar langkah kaki orang yang mendaki puncak itu. Mereka
terheran karena langkah kaki ini menunjukkan bahwa yang datang bukanlah seorang ahli silat,
kalaupun ada kepandaiannya, namun kepandaian orang yang datang ini tidak berarti.
Han Sin dan Bi Eng sudah berlari keluar dari taman, kini berdiri menanti di depan rumah mereka,
rumah peninggalan orang tua mereka. Siapakah yang datang di tempat sunyi ini? Langkah kaki
yang kelelahan makin terdengar dekat. Batu terakhir yang banyak mengelilingi puncak itu dipanjat
orang dan muncullah kepala seorang pemuda tampan berpakaian sederhana.
"Dia ....??" Berubah wajah Han Sin ketika ia mengenal orang ini.
Wajah Bi Eng berseri, tapi hanya sebentar saja. Ketika ia mengerling kepada Han Sin, segera ia
mengerutkan kening. Kakaknya nampak tak senang, bahkan kelihatan marah-marah. Dengan
tindakan cepat Han Sin menghampiri pemuda yang baru datang itu. Bi Eng cepat menyusulnya.
"Mau apa kau datang ke sini? Muslihat busuk apakah yang akan kaulakukan? Pergi!" seru Han Sin
marah.
Pemuda itu menarik napas panjang dan memandang dengan muka sedih. Sejak tadi Bi Eng melihat
bahwa orang yang datang ini diliputi kedukaan besar. la merasa kasihan, lalu memegang lengan
kakaknya dan berkata kepada orang itu,
"Yong-ko (kakak Yong), maafkan kalau kami tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya. Ada
keperluan apakah Yong-ko mendatangi tempat kami yang sunyi?"
Kembali orang itu yang bukan lain adalah Yong Tee, pangeran dari Kerajaan Mancu, menarik napas
panjang. "Terima kasih atas sikapmu yang baik, siauw-moi. Sayang sekali gi-te (adik angkat)
nampaknya masih membenci aku, sehingga agaknya perjalananku yang amat jauh dan susah payah
ini akan tersia-sia, harapanku akan musnah dalam hidupku akan hancur ...." Dan tiba-tiba pangeran
yang biasanya amat cerdik, amat tenang dan dapat menguasai segala hal itu menjatuhkan diri di atas
tanah dan ...... menangis!
Bukan main terharunya hati Bi Eng. Ingin ia menghiburnya, akan tetapi ia merasa tidak enak dan
takut kepada Han Sin. Adapun Han Sin yang menyaksikan sikap pangeran ini, heran sekali. la sudah
mengenal baik-baik watak Yong Tee, tahu bahwa kalau tidak ada hal yang amat hebat, tak mungkin
pangeran itu akan memperlihatkan sikap seperti ini, demikian lemahnya.
Tergerak hatinya, tetapi, keangkuhannya mengekangnya. Bagaimana ia bisa bersikap manis
terhadap seorang pangeran dari kerajaan yang menjajah nusa bangsanya? Untuk menutupi keharuan
hatinya melihat bekas saudara angkat yang dahulu amat dipandang tinggi dan dikasihinya, Han Sin
membentak,
"Seorang laki-laki boleh mengeluarkan peluh dan darah, pantang mengeluarkan air mata! Kau
datang mau apakah? Harap segera terangkan, atau tinggalkan kita!"
Diam-diam rasa cemburu timbul lagi dalam dada Han Sin. Harus ia akui bahwa pangeran ini amat
tampan, halus tutur sapanya, baik budinya, dan mempunyai kepandaian yang amat luas. Benarbenar
seorang pemuda yang menjadi harapan tiap orang gadis, tentu saja termasuk Bi Eng!
Agaknya perasaan cemburu inilah yang mempertebal rasa bencinya terhadap pangeran Bangsa
Mancu ini.
Koleksi Kang Zusi
Mendengar ucapan Han Sin itu, pangeran Yong Tee memaksa tersenyum masam. "Kau betul sekali,
Cia-gite. Kau adalah jauh lebih gagah dari pada aku. Aku lemah sekali ....... kali ini terpaksa kuakui
betapa lemahnya aku ...... Cia-te, aku datang untuk memohon pertolonganmu."
"Kau adalah seorang Pangeran Mancu, bagaimana bisa minta pertolonganku? Aku adalah musuh
kerajaanmu, mengerti? Kedudukan kita menempatkan kita berhadapan sebagai musuh, tak mungkin
menjajarkan kita sebagai teman atau saudara."
"Saudaraku, ucapanmu lagi-lagi tepat sekali. Akan tetapi kali ini, aku minta pertolonganmu karena
urusan pribadi, sama sekali tidak menyangkut urusan politik dan negara .....”
Melihat sikap Han Sin masih bersikeras, dan kasihan melihat sikap pangeran itu yang tak segansegan
merendahkan diri dan agaknya amat berduka, Bi Eng lalu berkata,
"Sin-ko selalu bersiap sedia menolong siapapun juga tanpa memilih bulu, asal saja pertolongan
yang dibutuhkan tidak menyimpang dari pada kebenaran. Saudara Yong, katakanlah, apa gerangan
yang menyusahkanmu?"
Yong Tee memandang kepada gadis itu dengan berterima kasih. Kemudian ia bercerita tentang
keadaan di kota raja yang sudah banyak mengalami perubahan semenjak Han Sin dan Bi Eng
meninggalkannya. Ringkasan cerita Pangeran Yong Tee adalah sebagai berikut.
Seperti telah diketahui, penyerbuan Bangsa Mancu ke daerah Tiongkok, mendapat bantuan pula
dari bangsa-bangsa lain di utara, di antaranya yang paling berjasa adalah Bangsa Mongol. Karena
itulah nama besar Raja Muda Bhok Hong atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan sebutan
Pak-thian-tok (Racun Dunia Utara), yaitu seorang pangeran Bangsa Mongol, bersama puteranya
yang bernama Bhok Kian Teng, lebih terkenal dengan sebutan Bhok-kongcu dan sebetulnya
bernama Pangeran Galdan, amat terkenal dan merupakan orang-orang yang mempunyai pengaruh
besar di Kerajaan Mancu.
Namun ternyata kemudian bahwa jalan politik Bangsa Mancu amat jauh bedanya dangan Bangsa
Mongol. Bangsa Mongol yang dulu pernah menjajah Tiongkok, merupakan penjajah yang kejam
dan mementingkan bangsanya sendiri. Sebaliknya, bangsa Mancu berusaha menyesuaikan diri,
malah melakukan banyak kebaikan untuk rakyat jelata seperti membasmi korupsi, penyuapan, dan
juga mereka ini malah menyesuaikan diri mengikuti perkembangan kebudayaan Han.
Hal ini amat mengecewakan Bangsa Mongol, di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhokkongcu
yang dibantu banyak orang pandai, juga mengandalkan nama besar dan kepandaian
ayahnya, Pak-thian-tok Bhok Hong! Apa lagi setelah pihak pemerintah Mancu muncul orang-orang
seperti Pangeran Yong Tee yang selalu berusaha merintangi perbuatan sewenang-wenang dari
orang-orang Mongol, pemberontakan orang Mongol tak dapat dicegah lagi!
Setelah berkali-kali mengalami perselisihan dengan pemerintahan Mancu, akhirnya Bhok-kongcu
atau Pangeran Galdan membawa semua anak buah dan pembantunya, melarikan diri ke utara dan di
sana dia menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Kerajaan Mancu, untuk mengusir Bangsa
Mancu dari daratan Tiongkok, bukan dengan maksud membebaskan rakyat dari pada penjajahan,
malah sebaliknya, hendak melanjutkan penjajahan nenek moyangnya dahulu, yaitu Jenghis Khan
yang maha besar!
"Banyak orang gagah dapat ia bujuk dan ikut pula memberontak, ikut lari ke utara," demikianlah
Pangeran Yong Tee melanjutkan ceritanya. "Yang tidak mau ikut, banyak yang dibunuh, di
antaranya Thio-ciangkun yang setia kepada kerajaan kami. Juga orang-orang yang ternama di
Koleksi Kang Zusi
kalangan kang-ouw banyak yang ikut terbujuk oleh Pangeran Galdan, malah di antaranya Hoa Hoa
Cinjin ikut pula memberontak." Pangeran itu lagi-lagi menarik napas pagjang, nampaknya berduka
sekali. "Yang lebih hebat lagi, puteri angkatnya, nona Hoa-ji ....., ikut pula ke utara ........"
Han Sin mengerutkan kening. "Perduli apa dengan Hoa Hoa Cinjin? Dia manusia busuk!"
Akan tetapi Bi Eng yang lebih tajam pendengarannya dan lebih halus perasaannya, memotong,
"Sin-ko, yang disedihi Pangeran Yong bukanlah Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi nona Hoa-ji itulah!"
Pangeran Yong Tee menarik napas panjang. "Adik Bi Eng, memang tepat sekali ucapannya itu.
Terus terang saja, aku ...... aku sejak lama ........ jatuh cinta kepada nona Hoa-ji, biarpun belum
kulihat mukanya ....... aku bodoh dan edan sekali, aku tergila-gila kepada seorang gadis yang selalu
bersembunyi di balik kedoknya ......"
Tadinya ia menunduk, sekarang ia mengangkat muka dan berkata, "Demikianlah, gi-te. Aku sudah
membuka rahasia hatiku yang tidak diketahui siapapun juga, bahkan ibukupun belum tahu akan
rahasia hatiku ini. Aku putus asa ...... aku sedih dan bingung sekali ........”
Aneh dalam pandangan Bi Eng, tiba-tiba wajah Han Sin berseri, malah ia seperti melihat senyum
kegembiraan membayang di balik bibir dan pandang mata kakaknya. la mengenal benar setiap
tarikan muka, setiap sinar mata atau senyum kakaknya ini. Heran benar, mengapa kakaknya
demikian gembira dan bahagia mendengar penuturan Pangeran Yong Tee?
Tentu saja nona ini tidak tahu apa yang terjadi di dalam hati Han Sin. Memang tepat dugaannya,
Han Sin merasa gembira dan berbahagia karena setan cemburu sekaligus terbang lenyap dari lubuk
hatinya ketika Pangeran Yong Tee secara terus terang mengakui cintanya terhadap nona Hoa-ji,
gadis bertopeng itu. Kalau demikian, berarti pangeran yang tampan menarik ini tidak mencintai Bi
Eng, hanya menyayangnya sebagai adik angkat belaka! Maka lembutlah kata-katanya ketika ia
bicara kepada pangeran itu,
"Pangeran, setelah mendengar ceritamu dan mengingat akan kebaikanmu yang dulu-dulu kepada
aku dan adikku, biarlah aku sanggupi untuk mencari kekasihmu itu di utara. Akan kususul nona
Hoa-ji, kulindungi dia dari pada bahaya, dan kalau mungkin akan kubawa dia pulang ke kota
rajamu. Akan tetapi dengan syarat bahwa aku tidak mau mencampuri urusan pertempuran dan
peperangan antara Bangsa Mancu dan Bangsa Mongol, karena itu bukan urusanku."
Bukan main girang hati Yong Tee. Dia tadinyä sudah putus asa, karena setelah kekasihnya itu
berdiri di pihak musuh, tiada harapan pula baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya. Nona itu
tentu akan terancam bahaya. Untuk minta tolong orang lain, ia tentu saja harus membuka rahasia
hatinya dan hal ini ia tidak inginkan. Satu-satunya harapan baginya hanyalah pertolongan Han Sin
yang ia ketahui kegagahannya.
Ia menjura. "Gi-te, aku terharu, girang dan juga kecewa mendengar kesanggupanmu. Tentu saja aku
terharu dan girang karena ternyata kau masih sudi menolongku dan terima kasih sebelumnya
kuhaturkan. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata kau sudah tidak mau mengakuiku sebagai
saudara angkatmu lagi ......”
"Hal itu sudah lewat, pangeran Harap jangan diulang lagi. Apakah kau mau memperingatkan aku
bahwa kau mengusulkan pengangkatan saudara karena hendak menarikku ke pihak Mancu, pihak
penjajah tanah airku? Tidak! Sebagai manusia secara perorangan kita memang saudara, namun
sebagai bangsa, kita berlawan karena bangsamu menjajah bangsaku. Nah, selamat berpisah,
Koleksi Kang Zusi
pangeran. Aku dan adikku baru akan turun gunung beberapa hari lagi setelah selesai latihan-latihan
kami. Mudah-mudahan saja akan dapat berhasil usahaku mencari nona Hoa-ji dan mengantarkannya
kepadamu."
Menyaksikan kekerasan hati Han Sin, pangeran itu terpaksa pergi meninggalkan puncak itu dengan
muka muram. Setelah tamu itu pergi tidak kelihatan lagi, Bi Eng mengomel, "Sin-ko, kau benarbenar
terlalu. Dahulu aku di istananya mendapat perlakuan baik sekali. Sekarang dia datang,
secawan air teh saja kita tidak keluarkan untuknya."
"Bi Eng, rumah ini adalah peninggalan ayah ....." Ia ragu-ragu dan menelan kembali kata-kata "kita"
di belakang kata-kata "ayah". "Aku tidak ingin melihat arwah ayahku marah menyaksikan anaknya
menjamu seorang pangeran penjajah."
Bi Eng tak berani membantah lagi. Gadis inipun memang mempunyai watak keras dan patriotik,
maka biarpun ia merasa menyesal bahwa mereka terpaksa memperlakukan Pangeran Mancu itu
seperti seorang musuh, namun iapun tak dapat menyalahkan sikap Han Sin. Selain ini, hatinya
sudah penuh kegembiraan bahwa beberapa hari lagi Han Sin akan mengajak dia turun gunung!
Pergi ke dunia ramai, bertemu orang-orang, mencari Siauw-ong!
"Sin-ko, kapan kita berangkat?" Dia sudah lupa akan hal-hal tadi, dan kini wajahnya berseri-seri.
Han Sin juga tersenyum melihat kegembiraan ini. "Kau harus berlatih dulu, setelah sempurna tiga
jurus Thian-po Cin¬keng itu, baru kita turun gunung."
Otomatis Bi Eng segera berlatih lagi, tanpa mengenal lelah dan bosan, dan Han Sin membantu
adiknya. Memang Han Sin ingin supaya sebelum turun gunung Bi Eng sudah memiliki tiga jurus
pukulan ajaib ini sebagai bekal, karena hanya setelah tiga jurus ini dapat dimainkan dengan
sempurna, Bi Eng akan dapat melindungi dirinya sendiri dengan baik.
Memang betul bahwa Bi Eng takkan mungkin terancam bahaya selama berada di sisinya, akan
tetapi siapa tahu keadaan di dunia ramai? Banyak sekali manusia jahat dan besar kemungkinan
sewaktu-waktu dia sendiri takkan sempat melindungi keselamatan Bi Eng sehingga gadis ini harus
memiliki jurus-jurus lihai yang akan menyelamatkan dirinya sendiri.
****
Tiga hari kemudian. Malam terang bulan yang amat indah di puncak Min-san. Bi Eng masih
berlatih silat di taman. Akhirnya Han Sin menyuruh ia berhenti.
"Hawa makin dingin, Eng-moi. Kau berhentilah, besok dilanjutkan lagi. Kau sudah maju banyak.
Kalau begini terus, dua tiga hari lagi kita bisa turun gunung."
Bukan main girangnya hati Bi Eng. Ia mengaso duduk di atas bangku. Setelah berhenti bersilat,
baru terasa olehnya betapa dinginnya. Ia lelah dan hawa dingin membuat ia mengantuk.
"Aku pergi tidur lebih dulu, Sin-ko. Besok bangun pagi-pagi dan berlatih lagi."
Han Sin mengangguk dan tersenyum. Sampai lama ia memandang ke arah adiknya yang berjalan
memasuki pondok mereka, tubuh langsing dengan rambut mengkilap tertimpa cahaya bulan. Bukan
main, pikirnya. Dan dia bukan adik kandungku, bukan apa-apaku ...... eh, bukan apa-apa? Tidak,
malah segala-segalanya! Bi Eng milik satu-satunya di dunia ini. Tanpa Bi Eng hidupnya akan
hampa. Han Sin termenung ....
Koleksi Kang Zusi
Bagaimana ia harus membuka semua rahasia itu? Apa yang akan dilakukan Bi Eng bila gadis itu
tahu akan rahasia ini? Tak boleh, bantahnya. Tak boleh aku membuka rahasia ini sebelum tahu
betul siapa sebenarnya adik kandungnya yang sejati, sebelum ia tahu betul apa yang telah terjadi di
saat kedua orang tuanya terbunuh. Siapa pembunuh mereka dan penukaran-penukaran aneh apa
yang terjadi atas diri bayi perempuan, adik kandungnya!
Tidak adanya Bi Eng di taman itu membuat ia serasa sunyi sekali. Aneh, pikirnya. Padahal Bi Eng
berada di pondok itu, tidak jauh dari situ. Begitu saja ia sudah merasa kesepian. Apa lagi kalau Bi
Eng pergi jauh meninggalkannya. Bagaimana rasanya? Tak berani ia membayangkannya.
Perlahan pemuda ini berdiri meninggalkan taman memasuki pondok, ke dalam kamarnya sendiri.
Agak jauh dari kamar Bi Eng. Rumah itu cukup besar, banyak kamarnya dan ia sengaja memakai
kamar yang berjauhan dengan kamar Bi Eng. Tergoda oleh asmara, Han Sin takut akan dirinya
sendiri!
Han Sin tak dapat tidur. Sudah lama tiap malam sukar ia meramkan matanya. Pikirannya selalu
melayang, tentu saja penuh bayangan Bi Eng yang kadang-kadang membuat ia berduka, kadangkadang
membuat ia tersenyum-senyum dalam tidurnya.
Lampu belum dipadamkannya. Tiba-tiba seluruh panca inderanya tegang. Ada suara dari
jendelanya. Orang jahatkah? Ataukah Pangeran Yong Tee .........? Hatinya berdebar. Bagaimanapun
juga, pangeran itu adalah Pangeran Mancu. Siapa tahu kalau-kalau kedatangannya tiga hari yang
lalu hanya sebagai penyelidikan dan kini datang kaki tangannya yang hendak berlaku jahat? Diamdiam
ia tersenyum mengejek. Dia tidak takut. Biarlah penjahat itu masuk!
28. Kerudung Puteri Hui
TANPA bangun dari ranjangnya, Han Sin melirik ke arah jendela. la kagum juga karena tanpa
mengeluarkan suara berisik, jendela itu dibuka orang dari luar. Agaknya dengan tenaga dorongan
yang disertai lweekang cukup tinggi. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya.
Sebuah lengan, terbungkus lengan baju sampai di bawah siku, kelihatan. Lengan tangan yang halus
putih kulitnya, runcing mungil jari-jari tangannya, lengan tangan wanita! Tiba-tiba tangan itu
lenyap dan daun jendela terbuka lebar, lalu disusul berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di
dalam kamarnya telah berdiri seorang wanita!
Wanita yang amat aneh, pakaiannya sederhana dengan potongan yang asing baginya. Pakaian itu
membungkus tubuh dengan ketat, memperlihatkan bentuk tubuh yang amat indah. Tubuh seorang
gadis muda, seperti Bi Eng. Akan tetapi muka dan kepala tertutup kain pembungkus yang terbuat
dari pada sutera tebal, yang membungkus semua tubuh bagian atas, dari kepala, muka dan leher!
Hanya di bagian matanya saja tidak tertutup kain kepala itu, memperlihatkan sepasang mata yang
luar biasa, bening seperti mata burung hong. Kini sepasang mata itu menyambar ke arahnya.
Han Sin serentak bangkit dan duduk. la maklum bahwa wanita ini, siapapun juga dia, bukanlah
orang sembarangan. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, di sebelah kiri tergantung sebuah
kantong dan tampak gagang-gagang hui-to (golok terbang) tersembul dari kantong. Di
punggungnya tergantung sebuah gendewa berikut beberapa batang anak panah! Lengkap benar
persenjataannya, seperti panglima wanita hendak maju perang!
Dua pasang mata bertemu. Han Sin terheran-heran dan bingung karena tidak tahu harus berkata apa.
Wanita ini memandang dengan tajam, seolah-olah pandang mata itu hendak menembus dada Han
Koleksi Kang Zusi
Sin. Kemudian terdengar suaranya, halus merdu tapi ketus. Kain penutup kepala dan muka di
bagian bibirnya bergerak-gerak,
"Kau yang bernama Cia Han Sin putera Cia Sun?"
Han Sin tersenyum, lalu berdiri dan menjura. Lagi-lagi seorang pengenal mendiang ayahnya,
pikirnya. Kalau bukan bekas kawan ayahnya tentulah musuh baru baginya.
"Betul, aku bernama Cia Han Sin dan mendiang ayahku Cia Sun. Kau siapakah dan apa
keperluanmu datang malam-malam? Bicaramu seperti seorang Bangsa Hui ....." Tiba-tiba Han Sin
teringat akan Balita, Puteri Hui yang katanya menjadi musuh ayahnya, "Ada hubungan apa kau
dengan Balita?"
"Sraaattt!" Wanita itu mencabut pedangnya yang gemerlapan di bawah sinar lampu. Han Sin tetap
tenang, malah kini ia duduk kembali ke atas pembaringannya.
"Cia Han Sin, sebelum kau mati di tanganku, ketahuilah lebih dahulu agar rohmu tidak penasaran.
Aku bernama Tilana, aku puteri dari wanita yang kau sebut namanya tadi. Balita adalah ibuku dan
kedatanganku ini bukan lain hendak membalaskan dendam ibuku, hendak mengambil nyawamu."
Han Sin tersenyum. "Kau dan aku tak pernah saling bertemu, tidak pernah ada permusuhan apa-apa,
kenapa kau datang-datang hendak membunuhku? Urusan lama antara ibumu dan ayahku sudah
habis karena ayah sudah meninggal dunia, kenapa kau dan aku harus pula ikut-ikut melanjutkan
permusuhan?"
Kemudian Han Sin teringat akan pesanan uwak Lui tentang orang yang bernama Balita itu, maka ia
sengaja memancing, "Pula, urusan hebat apa sih. yang membuat ibumu itu masih terus mendendam
terhadap ayahku yang sudah meninggal?"
Melihat sikap tenang-tenang saja dari pemuda yang gagah dan tampan di depannya itu, gadis
berkerudung menjadi tercengang juga. Mana ada orang mau dibunuh bersikap tenang-tenang dan
enak-enakan seperti ini, malah mengajaknya mengobrol?
"Ayahmu telah menghina ibuku! Karena aku tidak dapat membalas kepada ayahmu, aku akan
bunuh kau sebagai puteranya! Ayahnya tukang menghina wanita anaknyapun takkan banyak
bedanya!" Suara wanita ini benar-benar halus merdu, biarpun ketus sekali, namun harus diakui oleh
Han Sin bahwa suaranya amat merdu dan bicaranya dengan dialek Hui itu amat enak didengar, lucu
pula.
"Aiihh ...... aiihh ....., kau menuduh sembarangan saja. Baik ayah maupun aku bukanlah sembarang
laki-laki yang suka menghina wanita. Kau ini seorang wanita yang begini cantik jelita, kenapa
berhati kejam, hendak membunuh orang? Sayang ...........”
"Setan! Mulutmu saja sudah kurang ajar!"
"Lhoh! Kenapa kurang ajar?"
"Kau bilang aku cantik segala .........”
"Eh, eh! Apakah memuji kecantikan berarti kurang ajar?"
Koleksi Kang Zusi
"Melihat mukakupun belum, bagaimana kau bisa bilang cantik segala? Apa lagi kalau bukan karena
kau hendak kurang ajar?"
"Waduh, waduh ...... galak amat kau! Mudah saja menduga bahwa kau cantik jelita. Seorang gadis
dengan bentuk tubuh seperti kau, dengan suara halus merdu, dengan sepasang mata seperti itu, bisa
lain tentulah cantik jelita. Biarlah kita bertaruh. Kau buka kerudungmu itu, Kalau kau betul-betul
cantik jelita, berarti kau kalah dan sudahlah, kau boleh pergi dari sini dengan damai, tak perlu kita
bermusuhan. Sebaliknya, kalau dugaanku keliru, kalau kau bermuka buruk, biar aku menghaturkan
maaf kepadamu dan boleh kaupukul mukaku tiga kali!"
"Keparat! Setan!!" Wanita itu memaki, sepasang matanya berkilat-kilat. "Siapa juga, terutama kalau
dia laki-laki, yang berani membuka kerudungku, aku akan membunuhnya sampai tujuh kali!"
Mau tak mau Han Sin bergidik mendengar ini. Ucapan itu bukan main-main, apa lagi sepasang
mata itu menyatakan betapa ucapan ini keluar dari hati, bukan gertak sambal belaka.
"Hemm, nona Tilana. Lebih baik kau pulang saja kepada ibumu dan katakan bahwa aku akan
menghabisi permusuhan lama, asal saja bukan ibumu yang membunuh ayah bundaku. Aku masih
harus menyelidiki akan hal ini."
"Manusia sombong, jangan banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"
"Bukan aku yang ingin berkelahi, kau yang ingin berkelahi yang selalu membawa-bawa senjata
memasuki kamar orang, dan .......”
"Setan!" Tilana, gadis berkerudung itu lalu menubruk sambil berseru, "Lihat pedang!"
Han Sin dengan mudah dan tenang mengelak. la melihat betapa gerakan gadis ini bukan main cepat
dan kuatnya, bahkan setingkat lebih kuat dan lebih cepat dari pada Bi Eng sendiri! Diam-diam ia
merasa kagum dan merasa sayang kalau gadis selihai ini sampai tersesat. Ia tidak tega melukainya.
Ayahnya dulu pernah bentrok dengan Balita, puteri Bangsa Hui. Sekarang adalah kewajibannya
untuk menghabiskan permusuhan itu dan sekali-kali ia tidak boleh melukai gadis puteri Balita ini.
Tilana menjadi penasaran sekali. Di daerahnya, selain ibunya sendiri yang sudah hampir setingkat
dengannya, tak ada orang lain mampu menghadapi serangan-serangan pedangnya. Akan tetapi
pemuda ini, pemuda yang terlalu lemah lembut, terlalu tampan, terlalu pandai bicara manis, yang
tersenyum-senyum dan terlalu tenang ini, dengan tangan kosong menghadapi serangan-serangannya
dan selalu dapat mengelak.
"Kau lihai ....... kau galak .......!” Han Sin sengaja menggoda. Pemuda ini pada hakekatnya memang
berwatak romantis, maka kini menghadapi gadis galak, otomatis timbullah watak nakalnya yang
hendak menggodanya tanpa disertai maksud-maksud tidak sopan.
Ia sekarang malah duduk di atas bangku, membelakangi gadis itu dan tangannya merayap ke meja
mencari kuweh kering yang lalu dimakannya. Sama sekali ia tidak memperdulikan gadis itu yang
hendak menyerangnya dari belakang.
Tilana gemas sekali. "Mampus kau kali ini!" bentaknya sambil menusukkan pedangnya dari
belakang. Agak gemetar tangannya ketika melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak. Ujung
pedangnya hampir menyentuh punggung dan ........ eh, tahu-tahu pemuda itu sudah "melayang" ke
atas meja tanpa menggerakkan, kaki tangannya. Tahu-tahu seperti dipindahkan oleh tangan tak
Koleksi Kang Zusi
terlihat, tubuhnya sudah berpindah, sudah duduk di atas meja. Sebelah tangannya masih memegangi
kuweh kering yang digigitnya.
Tilana menggigit bibir. Bagaikan kilat pedangnya menyerampang, membabat pinggang pemuda itu.
Seperti tadi, tubuh pemuda itu hilang dan tahu-tahu sudah berada di atas pembaringan, kini rebah
terlentang dengan mata dimeramkan!
Tilana menjadi pucat. Belum pernah ia menyaksikan hal seperti ini. Setankah pemuda ini? Dalam
kemarahannya, gadis ini yang menganggap gendewanya menjadi perintang, melepaskan gendewa
dan anak panah, melemparkannya di atas meja. Kemudian sambil mencekal gagang pedang eraterat,
ia menubruk maju dan menikam.
"Capppp .......!" Pedangnya menusuk kasur sampai tembus! Sebelum hilang kagetnya, gadis ini
merasa tubuhnya lemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia terguling ke atas pembaringan yang sudah
kosong, jatuh terlentang. la melihat pemuda itu sambil tersenyum sudah berdiri di pinggir
pembaringan dan tangan kanan pemuda itu bergerak ke arah mukanya. Tilana menjadi kaget
setengah mati, tak terasa pula menjerit lirih penuh ketakutan,
"Jangan ..... jangan ohh...... jangan .......!”
Han Sin menjadi gemas sekali. Dia dikira orang macam apakah? Gadis ini benar-benar keterlaluan,
menyangka yang bukan-bukan kepadanya. "Bodoh! Kau sangka aku orang macam apa? Aku hanya
akan membuka kerudungmu, hendak kulihat macam apa muka orang yang galak dan suka salah
sangka .....!” Tangannya bergerak dan sekali renggut saja terbukalah kerudung yang menutupi muka
gadis itu.
Han Sin ternganga, berdiri seperti patung. Bukan main cantiknya muka gadis ini, jauh melampui
semua dugaannya. Mata yang tadi sudah nampak indah seperti mata burung hong itu kini nampak
lebih hebat lagi. Hidung yang mancung, bibir yang ..... ah, bukan main cantik dan manisnya.
Kulit muka yang sering kali tertutup itu halus sekali. Rambutnya panjang menutupi kedua telinga
yang terhias anting-anting besar dari emas murni. Hanya sebentar ia melihat muka luar biasa
cantiknya itu karena gadis itu segera bangun, duduk di atas pembaringan dan menutupi muka
dengan kedua tangannya, menangis terisak-isak sedih sekali ......!
Han Sin termangu-mangu. "Ah ....... kau maafkan aku, nona ....... maafkan aku sebesar-besarnya.
Kalau perlu, kaugamparlah mukaku. Aku ...... aku bukan bermaksud jahat, sungguh mati aku hanya
ingin melihat muka orang yang datang hendak membunuhku ......”
Mata yang indah menarik itu kelihatan ketika kedua tangan diturunkan. Mata yang penuh air mata,
tapi malah nampak makin indah seakan-akan terhias butiran-butiran mutiara, kini memandang
kepadanya dengan sinarnya yang sukar ia gambarkan.
"Kau ....... kau betul-betul tidak ...... tidak bermaksud menghinaku .....? Kau .... kau tidak bermaksud
menghina .......?" Tilana bertanya, suaranya gemetar, malah tanpa disadarinya ucapan ini dilakukan
setengahnya dalam Bahasa Hui. Baiknya Han Sin sudah, mempelajari bahasa ini, maka untuk
menyenangkan hati gadis Hui itu, iapun menjawab ke dalam Bahasa Hui sambil tersenyum,
"Tentu saja tidak. Aku bukanlah laki-laki yang suka menghina kaum wanita.....”
Terbelalak mata indah itu yang masih berlinang air mata, bibir yang mungil itu terbuka sedikit.
"Kau .... kau bisa berbahasa Hui .......?”
Koleksi Kang Zusi
Han Sin mengangguk sambil tersenyum. "Pernah aku mempelajarinya .......”
Aneh sekali, gadis itu kini memandangnya penuh selidik, dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi
sampai berkali-kali, kemudian berhenti pada mata Han Sin. Dua pasang mata bertemu pandang.
Han Sin terheran-heran karena melihat pandang mata itu kini menjadi aneh, penuh kemesraan yang
membuat ia bergidik.
Tiba-tiba, ia benar-benar merasa bulu tengkuknya berdiri ketika gadis itu dengan sedu-sedan
menubruknya, memeluknya. Ketika dengan bingung ia mencium bau semerbak harum yang amat
aneh dari rambut gadis itu, barulah Han Sin tersadar dan cepat-cepat ia menolak pundak gadis itu
perlahan-lahan. Tilana lalu menjatuhkan diri berlutut, memeluk kedua kaki Han Sin, bahkan lalu
mencium ujung kaki pemuda itu!
"No ...... nona ......, nona Tilana ...." Sukar sekali Han Sin mengeluarkan suara seakan-akan lehernya
tercekik sesuatu. "Apa ....... apa artinya ini .......?”
Tilana mengangkat mukanya dalam keadaan berlutut ia memandang ke atas dengan muka berseri
dan mata penuh cinta kasih!
"Kanda ....... kanda Cia Han Sin ...... artinya ...... artinya bahwa aku menyerahkan jiwa ragaku
kepadamu ..... aku isterimu yang bodoh, yang buruk tapi yang setia kepadamu ........!”
Kalau pada saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Han Sin akan menjadi begitu kaget
seperti setelah mendengar kata-kata ini. la mencelat ke tengah kamarnya tanpa disadarinya.
Kemudian ia menekan batinnya yang berdebar-debar tidak karuan, memaksa diri berlaku tenang.
Agaknya gadis cantik berotak miring yang memasuki kamarnya ini. Han Sin memasang muka
keren, lalu bersedakap sambil berkata,
"Nona Tilana, jangan kau main-main di sini. Kuanggap kata-katamu tadi main-main belaka.
Sudahlah, kuminta kau keluar dari sini dan jangan mengganggu aku lagi!"
Heran sekali. Tiba-tiba Tilana menjadi pucat bagaikan mayat. Gadis ini berdiri dengan tubuh
limbung. Seperti orang bingung ia mencabut pedang dari kasur dan memasangnya lagi di pinggang
dengan tangan menggigil. Kemudian, barulah ia berdiri menghadapi pemuda itu dengan muka
masih pucat. Betapa kuat ia berusaha menenteramkan hatinya, tetap saja ia masih bergemetar dan
mukanya masih pucat.
"Kanda Cia ...... kau tadi bilang apa ......? Aku ...... aku tidak begitu jelas ........ mendengar ......”
Han Sin makin bingung. Mungkinkah gadis cantik jelita seperti bidadari aneh ini benar-benar gila?
"Nona Tilana, aku bilang bahwa sudah cukup permainan ini. Harap kau suka tinggalkan aku.
Keluarlah dan jangan menggangguku lagi."
Beberapa kali mulut yang bergerak-gerak itu tak mengeluarkan kata-kata, akhirnya keluar juga
setelah dipaksa, "Tapi .... tapi ... kanda .... aku isterimu ....“
"Gila ........!” Han Sin menendang bangku sampai benda itu terlempar membentur dinding dan
bergulingan. "Siapa bilang kau ..... kau ...... isteriku ........?”
"Kanda Cia Han Sin, bukankah tadi kau ..... kau tidak bermaksud menghinaku?"
Koleksi Kang Zusi
"Memang. Kuulangi lagi, aku tidak dan sama sekali takkan mau menghinamu?" jawab Han Sin.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mau mengakui aku sebagai isterimu? Kau ....... kau sudah
membuka kerudung mukaku! Dan aku sudah bersumpah bahwa kalau ada laki-laki membuka
kerudung mukaku, hanya ada dua jalan bagiku. Hidup menjadi isterinya atau mati bersama dengan
laki-laki itu! Tadi kau telah membuka kerudung mukaku. Kalau tadi kau menjawab bahwa kau
sengaja menghinaku, tentu akan kubunuh kau lalu kubunuh diriku sendiri. Akan tetapi kau ..... kau
tidak menghinaku dan aku ......." Mukanya menjadi merah sekali, "aku suka dan rela menjadi
isterimu ......"
Kagetlah Han Sin. Baru ia tahu sekarang dan diam-diam ia menyumpahi diri sendiri. "Celaka ......!”
Tak terasa pula ia berseru. "Tapi ...... tapi, nona Tilana. Aku membuka kerudungmu hanya karena
ingin mengenal rupa orang yang hendak membunuhku tadi. Sama sekali bukan ...... bukan karena
itu ...... eh, tentang suami isteri itu .... aku tidak dapat menerima. Maaf ..... maafkan aku, tak
mungkin kita menjadi suami isteri."
Wajah yang merah tadi menjadi pucat lagi. Tiba-tiba Tilana menyambar gendewa dan anak
panahnya, lalu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya. Dengan mata berkilat dan
tangan tetap ia menodong dada Han Sin dengan anak-anak panah itu.
"Cia Han Sin! Kalau begitu berarti kau menghinaku. Bagiku tiada pilihan lagi. Kita menjadi suami
isteri dan aku rela melayanimu dengan setia sampai aku mati atau .... kubunuh engkau kemudian
kubunuh diriku sendiri." Kemudian disambungnya cepat-cepat, "Atau .... karena kau jauh lebih
pandai dariku ..... kalau aku gagal membunuhmu, biarlah aku mati di tanganmu .......!”
Han Sin adalah seorang berjiwa satria, seorang laki-laki sejati. Biarpun dalam perbuatannya
merenggutkan kain penutup muka Tilana tadi seujung rambutpun tidak ada maksud hatinya untuk
berbuat sesuatu yang jahat, sama sekali tidak bermaksud menghina, akan tetapi setelah melihat
bahwa akibatnya begini hebat, ia dengan secara jantan hendak menghadapi segala akibatnya.
Pernah ia membaca tentang kebiasaan aneh seperti ini, yaitu yang biasa dilakukan oleh kaum
bangsawan atau keluarga kerajaan Bangsa Hui. Kebiasaan aneh pada kaum wanitanya. Kalau ia
ingat bahwa Tilana adalah Puteri Balita, Puteri Hui yang amat aneh dan terkenal itu, tak perlu
diherankan lagi sumpah gadis ini yang sudah diceritakannya tadi. Dengan tenang ia lalu memangku
kedua lengan di depan dada, duduk bersandar pada meja dan berkata,
"Kalau begitu, Tilana, kau boleh bunuh aku! Aku takkan lari dari tanggung jawabku. Tanpa
kusengaja aku sudah membuka kerudung mukamu, telah melanggar pantangan yang menjadi
sumpahmu. Bagainanapun juga tak mungkin aku menjadi suamimu, dan kalau kau berkeras hendak
membunuhku ....... nah, silakan kaubunuhlah ......!”
Kedua tangan yang tadinya tetap dan sudah menarik tali gendewa itu, kini menggigil. Mata yang
tadinya berapi-api, kini mulai membasah dan tak lama kemudian air mata bercucuran keluar
mengalir di sepanjang pipi.
Kedua tangan makin lemas dan berdetaklah gendewa itu terjatuh di atas lantai! Tak dapat ia
membunuh pemuda ini. Pemuda gagah perkasa, tampan dan halus, sopan dan luhur pribudinya,
sampai-sampai mau mengorbankan nyawa sendiri demi menjaga kehormatan seorang gadis!
Bagaimana dia bisa membunuh seorang satria seperti ini? Tilana makin menggigil tubuhnya, lalu
dengan lemas ia jatuh berlutut, menangis sedih sekali.
Koleksi Kang Zusi
"Tidak ...... tidak ...... tak dapat aku membunuhmu ..... kanda Han Sin ..... kau orang termulia bagiku
......, lebih baik aku saja yang mati ....." Cepat Tilana mencabut pedangnya dan benda tajam itu
diayunkannya ke leher sendiri.
"Plakk! Traaanggg ......!” Pedang terlepas dari pegangan Tilana dan jatuh berdering di atas lantai.
"Tilana, kau seorang gagah, masih muda. Mengapa mengambil keputusan pendek dan nekat hanya
karena urusan kecil saja?" Han Sin yang menangkis pedang tadi menghibur. "Di dunia ini masih
banyak sekali pria yang gagah perkasa dan yang tentu akan bersedia menjadi suamimu ......”
Tilana menggeleng kepala. "Kaukira aku orang serendah itu, mudah sekali menukar hati bermain
cinta? Laki-laki di dunia ini hanya kau seorang bagiku. Menjadi isterimu atau menjadi isteri maut,
satu di antara dua!" Tilana memungut pedangnya lagi dan menusuk dadanya. Kembali Han Sin
mencegah pembunuhan diri ini, dan mencoba untuk menghiburnya. Makin dihibur, Tilana menjadi
makin sedih dan nekat.
Pada saat itu, tiba-tiba muncul Bi Eng! Gadis ini tadi sudah tertidur, akan tetapi kaget mendengar
suara ribut-ribut di kamar Han Sin. Cepat ia membetulkan pakaiannya, membawa pedang lalu
berloncatan cepat ke kamar kakaknya. Begitu ia membuka pintu kamar, ia berdiri termangu,
terbelalak matanya dan mulutnya celangap!
"Sin-ko ....! Apa .... apa artinya ini ....? Siapa dia?" Dengan kagum sekali Bi Eng memandang
kepada Tilana yang berdiri dengan muka pucat setelah untuk kedua kalinya pedangnya ditangkis
oleh Han Sin, iapun memandang ke arah Bi Eng.
Han Sin mendapat kesempatan baik untuk mencegah Tilana bunuh diri, maka cepat-cepat ia
memperkenalkan, "Nona Tilana, dia ini adalah adikku, Bi Eng. Eng-moi, nona Tilana ini puteri Jincam-
khoa (Algojo Manusia) Balita, puteri Hui yang sudah kita kenal namanya itu. Dia datang
hendak membunuhku atas perintah ibunya, tapi .... tapi ....."
Pada saat itu, Tilana mempergunakan kesempatan ini untuk melempar diri ke arah tembok, hendak
membenturkan kepalanya kepada dinding yang keras supaya kepalanya pecah! Bi Eng melihat ini
menjerit, lalu meloncat dan memeluk tubuh Tilana. Saking kuatnya gerakan Tilana, dua orang gadis
itu roboh terguling!
"Eh, cici yang baik. Kenapa kau hendak berlaku nekat?" tanya Bi Eng yang masih memeluknya.
Bau semerbak harum membuat Bi Eng makin kagum. Belum pernah selama hidupnya, biar di kota
raja sekalipun, ia melihat seorang gadis secantik ini. Cantik jelita luar biasa sekali, dan keharuman
yang semerbak itupun amat aneh dan menggairahkan.
Karena yang memeluknya juga seorang wanita yang agaknya menaruh kasihan kepadanya, baru
Tilana dapat menumpahkan kesedihannya. Ia menangis terisak-isak dalam pelukan Bi Eng yang
saking terharunya ikut pula menangis!
"Cici yang baik, kau kenapakah? Kenapa begini sedih? Ceritakanlah kepadaku, dan aku berjanji
akan membantumu ....." kata Bi Eng menghibur, tidak melihat betapa Han Sin berdiri dengan
bingung di sudut kamar.
"Adik Bi Eng ..... lebih baik aku mati saja .... tak kuat aku menerima penghinaan sebegini besar ...."
kata Tilana terengah-engah di antara isaknya.
Koleksi Kang Zusi
Bi Eng membelalakkan matanya, lalu mengerling tajam ke arah kakaknya yang berdiri
menundukkan muka di sudut kamar. "Siapakah yang menghinamu, enci Tilana?"
"Siapa lagi kalau bukan kakakmu itu .... kanda Han Sin telah menghinaku, menolak untuk menjadi
suamiku ..... dan menolak pula untuk membunuhku, ada jalan lain apa lagi kecuali aku membunuh
diri untuk mencuci penghinaan ini?"
Bi Eng bingung, sebentar memandang kepada Tilana, sebentar kepada Han Sin. "Sin-ko,
bagaimanakah ini? Apa sih yang telah terjadi di antara kalian .......?”
Berdebar tidak karuan hati Han Sin. Memang ia menghadapi urusan yang ruwet sekali. Akhirnya ia
bercerita dengan suara perlahan penuh penyesalan, "Dia datang hendak membunuhku atas perintah
ibunya yang menaruh dendam kepada ayah. Tanpa kusengaja .... eh, yaitu maksudku tanpa maksudmaksud
jahat kurenggut kerudung yang menutupi mukanya karena aku hendak melihat muka orang
yang datang hendak membunuhku. Nah, aku hanya berbuat begitu dan ...... eh, dia itu menuntut
bahwa aku harus menjadi suaminya, kalau tidak mau, dia akan bunuh diri. Tentu saja aku
keberatan!"
Bi Eng terheran. Lalu menoleh kepada Tilana. "Betulkah itu, cici?"
Tilana mengangguk malu.
"Kenapa kau bersikap begitu aneh? Tentu ada sebab-sebabnya ......." tanya Bi Eng.
Tilana menarik napas panjang dan berusaha keras menahan isaknya. Setelah reda tangisnya, ia
menjawab, "Adik Bi Eng, coba saja kaupertimbangkan. Aku adalah seorang gadis suci, semenjak
kecil belum pernah ada orang melihat mukaku kecuali ibuku sendiri. Aku selalu berkerudung dan di
depan ibu aku sudah disumpah bahwa aku tak akan membiarkan orang, apa lagi pria, membuka
kerudung mukaku. Kalau hal itu terjadi, yaitu kalau ada seorang laki-laki membuka kerudungku,
hanya ada dua jalan bagiku, pertama menjadi isterinya, ke dua membunuh laki-laki itu kemudian
membunuh diri sendiri untuk menebus dosa. Dia ..... kakakmu itu ........ mengingkari sumpahku, tak
mau menjadi suamiku. Membunuhnya aku tak sanggup. Diapun tidak mau membunuhku. Tidak ada
jalan lain bagiku. Kalau aku tidak bisa menjadi isterinya, biarlah aku menjadi isteri maut ....."
Kembali Tilana menangis sedih.
Bi Eng tertarik sekali dan terpukul hatinya. la merasa terharu. Diam-diam ia memuji gadis ini
sebagai seorang gadis yang memegang teguh kesucian dan kehormatannya. Sekali lagi ia
memandang Tilana. Tak ada cacadnya sama sekali. Potongan tubuh yang indah menarik, kulit yang
putih mulus, wajah yang seperti bidadari, suaranya halus merdu, kepandaiannya hebat pula. Di
dunia ini, mana ada wanita yang lebih patut menjadi jodoh kakaknya? Mana ada yang lebih patut
menjadi kakak iparnya? Sekali melihat ia sudah suka kepada Tilana.
Inilah jodoh terbaik untuk kakaknya. Memang agaknya melihat gelagat, kakaknya itu harus lekaslekas
kawin! Sikapnya akhir-akhir ini terhadap dirinya, seperti tiga hari yang lalu. Kadang-kadang
ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap kakaknya itu. Sikap yang terdorong oleh
perasaan yang luar biasa sekali, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan Han Sin.
Aneh! Memalukan! Sering kali ia merasa takut terhadap diri sendiri, takut terhadap Han Sin,
kakaknya! Kenapa tiga hari yang lalu dia mendekapku seperti itu? Kenapa hatinya sendiri berdebar
tidak karuan kalau kakaknya menyentuhnya? Padahal dahulu tidak demikian? Memang, lebih baik
Han Sin lekas menikah dan gadis ini cocok sekali menjadi jodohnya! Dalam beberapa detik saja Bi
Eng sudah mengambil keputusan, kakaknya harus berjodoh dengan Tilana!
Koleksi Kang Zusi
"Sin-ko, biasanya ..... biasanya kau suka menolong orang. Kenapa kau sekarang tidak mau
menolong cici Tilana yang patut dikasihani ini?"
Han Sin menjadi pucat dan ia memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak, seolah-olah pada
saat itu Bi Eng sudah berubah menjadi setan yang menakutkan!
"Bi Eng .....! Kau ..... kau bilang apa .....??" tanyanya gagap, tidak percaya kepada telinga sendiri.
"Sin-ko, kurasa sudah sepatutnya kau menolong cici Tilana. Sudah sepatutnya kau memenuhi isi
sumpahnya ......”
"Bi Eng! Kau gila?? Aku bersedia menolong siapa saja, akan tetapi menolong .... macam itu ...
kawin?? Tak mungkin!"
"Sin-ko! Apa salahnya kalau kau menikah dengan cici Tilana? Usiamu sudah dua puluh, bahkan
lebih barangkali. Sudah sepatutnya kalau kawin. Pula, pernahkah kau melihat seorang gadis yang
lebih baik dari pada Tilana, lebih baik dalam segala halnya? Dia seorang gadis cantik jelita, gagah
perkasa, dan setia pula. Kau harus menerimanya .....”
Bi Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Han Sin dengan muka pucat sudah melompat
keluar dan lari dari rumahnya. Hatinya menjerit-jerit. "Bi Eng ...., Bi Eng ...., mana bisa dia atau
siapapun juga melebihi engkau sendiri ....??"
Tilana mengeluh dan hendak mengambil pedangnya. Akan tetapi Bi Eng yang maklum akan
kenekatannya malah berbisik.
"Cici, jangan kau putus asa. Siapa yang lemah harus cerdik. Percayalah, aku tidak setuju dengan
pendirian kakakku, aku akan suka sekali kalau kau menjadi isterinya. Aku akan membantumu, cici
Tilana, biar aku akan membujuknya."
Tilana menggeleng kepala dan wajahnya yang cantik itu nampak sedih sekali. "Kau baik sekali, Bi
Eng. Akan tetapi akan sia-sia belaka. Dia tidak suka kepadaku dan aku ...... hanya ada satu jalan
bagiku untuk mencuci penghinaan ini, yaitu dengan kematian ......”
"Jangan, cici Tilana. Jangan putus asa. Kakakku itu, mana bisa dia tidak suka kepadamu? Mana ada
laki-laki yang tidak akan suka kepadamu? Mungkin dia itu malu-malu. Ah, biarlah aku akan
membujuknya perlahan-lahan. Kau bersabarlah dan kau tinggallah dulu di sini bersama kami."
29. Penderitaan Hati Karena Wanita
TIBA-TIBA awan gelap yang menyelimuti muka cantik itu lenyap dan kini sepasang matanya yang
tajam memandang Bi Eng penuh pengharapan. "Apakah benar-benar kau suka mempunyai kakak
ipar seperti aku? Benar-benarkah kau hendak membantuku sehingga ikatan jodoh antara aku dan
kakakmu dapat terjadi?"
Bi Eng merangkulnya. "Tentu saja! Kau cocok sekali dengan Sin-ko. Kalian akan merupakan
pasangan yang amat mengagumkan dan setimpal!"
Wajah Tilana menjadi merah. "Adikku yang baik, kalau benar-benar ucapanmu itu keluar dari
hatimu, aku mempunyai jalan ....., tapi ....... aku takut kau akan keberatan ........”
Koleksi Kang Zusi
"Jalan bagaimana? Katakanlah." Tilana mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari dalam bajunya.
Mukanya menjadi makin merah ketika ia berbisik, "Ibuku seorang ahli dan banyak tahu tentang
obat dan racun. Bungkusan ini, sedikit obat bubuk kalau sampai dapat terminum oleh kakakmu,
....... hemm ....... kurasa akan dapat membantu terlaksananya maksud kita ......."
Bi Eng menerima bungkusan itu, membukanya dan melihat sedikit obat bubuk warna putih yang
berbau wangi aneh. la tidak mengerti, termenung sebentar lalu bertanya, "Membantu bagaimana cici
Tilana? Dan apa khasiatnya obat ini? Apakah tidak berbahaya bagi Sin-ko?"
Ditanya demikian jujur oleh Bi Eng, Tilana menjadi makin malu.
"Kalau minum itu, dia ....... kakakmu itu ...... dia akan mabok dan suka kepadaku ......”
Bi Eng melengak, tidak percaya. Masa ada obat seaneh itu khasiatnya? la mengerutkan keningnya.
"Apakah ini bukan racun? Bagaimana kalau kakak nanti menjadi sakit setelah minum obat ini?"
Pertanyaan ini hanya merupakan pancingan belaka, karena Bi Eng sudah mendengar dari cerita Han
Sin bahwa kakaknya itu pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa (Ular Sakti Darah Putih) dan
racun ular itu sepenuhnya mengalir di dalam tubuh Han Sin sehingga tidak ada racun yang akan
dapat mematikan kakaknya itu. Tentu saja ia tidak takut kalau-kalau kakaknya akan celaka minum
racun.
”Jangan kau kuatir, adikku. Apa kau kira akupun suka melihat kanda Han Sin celaka? Aku ....... aku
cinta kepadanya, Bi Eng, mungkin lebih besar daripada cinta kasihmu kepadanya."
Bi Eng tersenyum girang, lalu ia mengajak Tilana ke kamarnya untuk tidur. Pada keesokan harinya
Han Sin melihat Tilana bersama Bi Eng di kamar adiknya ini, ia hanya mengerutkan keningnya,
akan tetapi diam-diam ia merasa girang bahwa Tilana tidak jadi membunuh diri. Dia amat merasa
jengah kalau teringat akan peristiwa malam tadi, maka ia sama sekali tidak berani memandang
gadis itu, malah bertanyapun tidak.
"Sin-ko, aku berhasil menghibur cici Tilana. Kau tentu tidak keberatan kalau dia tinggal di sini satu
dua hari menemaniku, bukan?"
Tanpa melirik ke arah Tilana yang pagi itu kelihatan amat segar, Han Sin mengangguk.
"Sesukamulah," lalu pemuda ini keluar lagi dari dalam rumah.
"Eh, Sin-ko. Kau mau ke mana?"
"Pergi mencari buah lengkeng. Kulihat banyak yang masak di dekat jurang itu."
"Jangan lupa tangkapkan seekor kelinci yang gemuk. Aku dan cici Tilana hendak masak daging
kelinci!"
Han Sin mengangguk. "Baiklah." la merasa heran. Apa yang tersembunyi di balik kepala yang
bagus dari Bi Eng itu? Daging kelinci adalah kesukaannya dan mengapa justru pada saat Tilana
berada di situ Bi Eng hendak memasak kelinci?
Tak sampai hati ia mengecewakan Bi Eng. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa
sekeranjang buah lengkeng dan seekor kelinci yang gemuk dan muda. Bi Eng menerima kelinci itu
dengan senyum manis sekali.
Koleksi Kang Zusi
"Kakakku yang baik, kau benar-benar menyenangkan! Kau tunggulah, cici Tilana akan mengajarku
memasak daging kelinci cara orang Hui. Kau tentu akan menikmatinya nanti!" Sambil memegang
kelinci pada dua buah telinganya, gadis ini tertawa-tawa dan berlari-lari ke dapur. Han Sin
memandang, menarik napas panjang lalu melemparkan keranjang lengkeng ke pojok ruangan,
menjatuhkan diri di atas kursi dan termenung.
Di dalam hutan tadi, ketika mencari kelinci dan lengkeng, ia sudah melamun terus tentang .....
kawin! Gara-gara Tilanalah ini. Berkumandang di telinganya ucapan Bi Eng. " ....... usiamu sudah
dua puluh, bahkan lebih barangkali sudah sepatutnya kalau kawin .....”
"Bi Eng ..... Bi Eng ......" hatinya berbisik perih, "bagaimana kau bisa membujukku supaya kawin
dengan gadis lain? Jangankan baru seorang gadis cantik seperti Tilana, biar kauturunkan dewi dari
kahyangan sekalipun, aku tetap akan memilih engkau seorang ....."
Tentu saja pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka betapa "adiknya" itu bersama Tilana telah
merencanakan sesuatu yang amat berbahaya, sesuatu yang tak dimengerti oleh Bi Eng, yang hanya
menginginkan kakaknya itu mendapatkan isteri yang cantik jelita seperti Tilana, dan terutama sekali
karena "kakaknya" itu akhir-akhir ini bersikap aneh terhadapnya dan juga karena hatinya sendiri
makin lama makin aneh!
Pesta itu dilakukan pada sore hari. Tersenyum girang juga Han Sin ketika ia dihadapkan hidangan
yang berbau nikmat, mengebul di atas meja. Ternyata seekor kelinci tadi telah menjadi empat
macam masakan yang melihatnya saja sudah membangkitkan seleranya. Apa lagi mencium baunya
yang demikian gurih dan enak. Malah ada minuman yang seperti anggur pula.
"Eh, ini apa, Eng-moi?". Han Sin mencium minuman itu. "Dari mana kau memperoleh arak?"
Bi Eng tersenyum. "Bukan arak, Sin-ko, melainkan perasan buah, hasil pekerjaan cici Tilana.
Semua inipun masakannya. Hebat, ya?"
Han Sin mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Tilana yang menundukkan mukanya yang
merah sekali, tidak berani gadis itu memandang kepadanya. Diam-diam ia menaruh hati kasihan
kepada gadis Hui itu, senang juga hatinya melihat Bi Eng ternyata dapat menarik gadis itu sebagai
sahabat.
Mereka lalu makan minum dan Bi Eng melayani kakaknya, bahkan secara halus tidak kentara gadis
ini seakan-akan sengaja membujuk kakaknya supaya banyak makan dan minum dan selalu memujimuji
Tilana tentang kecantikannya, tentang kepandaiannya. Tentu saja, dengan lihai sekali Bi Eng
telah menaruh obat bubuk ke dalam cawan minuman Han Sin. Berdebar juga ia ketika melihat Han
Sin minum anggurnya, akan tetapi hatinya lega karena kakaknya tidak apa-apa, malah memuji
perasan buah itu,
"Enak sekali .....!” Kemudian Han Sin memandang kepada pembuat minuman itu. Kebetulan Tilana
juga mengangkat muka memandangnya. Dua pasang mata bertemu untuk kesekian kalinya. Muka
Tilana berseri-seri dalam pandangan mata Han Sin, muka itu luar biasa indah jelitanya. Mata yang
bening itu setengah berkatup, bersembunyi dan mengintai dari balik bulu mata yang lentik panjang,
seperti pandang mata orang mengantuk, hidung yang kecil mancung itu agak kembang-kempis
seperti orang mau tertawa atau menangis, bibir yang mungil tersenyum-senyum malu.
"Cantik sekali ......!" Kata-kata ini keluar dari mulutnya Han Sin seperti bukan atas kehendaknya
sendiri, begitu saja terloncat. Telinganya sendiri yang mendengar ini membuatnya amat kaget,
Koleksi Kang Zusi
namun melihat Tilana tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang seperti mutiara, senang juga
hati Han Sin.
Pemuda ini sudah terpengaruh obat yang benar-benar amat mukjijat, membuat ia merasa dirinya
ringan dan enak, senang sekali. Pengaruh obat membuat pikirannya tertutup uap kemabokan dan
menonjolkan perasaan panca inderanya. Mulutnya menikmati masakan dan minuman buatan Tilana,
matanya menikmati kecantikan Tilana dan sekaligus timbul kasih sayang kepada gadis Hui itu.
Bi Eng yang juga mendengar pujian Han Sin "cantik sekali!" tadi, tersenyum penuh arti kepada
Tilana, lalu berdiri dan mengundurkan diri dari situ sambil berkata, "Aku akan mencuci mangkok
piring dulu."
Han Sin sudah mabok betul-betul, tidak sadar lagi apa yang diperbuatnya. Tilana, di lain fihak, yang
sudah jatuh hati kepada Han Sin, yang sudah melanggar sumpah sendiri bahwa dia harus menjadi
isteri Han Sin atau mati, mempergunakan kesempatan ini untuk mencuri hati pria pilihannya itu.
Ketika bangun berdiri, Han Sin terhuyung-huyung dan kiranya ia akan jatuh kalau saja tidak cepatcepat
digandeng lengannya oleh Tilana. la tertawa-tawa kecil, memandang muka gadis di
sebelahnya itu dengan kepala bergoyang goyang. "Kau cantik ..... he-he, Tilana, kau cantik dan baik
.......”
Tilana hanya tersenyum. "Kanda Han Sin, kau mengasolah ......", Dan digandengnya pemuda itu
memasuki kamarnya.
****
Semalam suntuk Bi Eng tak dapat tidur di dalam kamarnya. Hatinya tidak karuan rasanya. la sendiri
tidak tahu apakah malam itu ia merasa marah, sedih kecewa ataukah merasa girang, bahagia dan
puas! Ia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya begini risau dan tak karuan.
Ia menghendaki agar kakaknya memilih Tilana sebagai isteri. Malah tidak segan-segan ia
membantu Tilana mempergunakan obat bubuk yang mukjizat sekali, sampai-sampai kakaknya itu
menjadi mabok dan lupa diri. Ia merasa amat suka dan kasihan kepada Tilana dan ia merasa bahwa
memang gadis itu cocok sekali kalau menjadi isteri kakaknya. Akan tetapi ...... entah bagaimana, ia
sekarang merasa hatinya kosong ......!
Tiba-tiba ia kaget mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar kakaknya. Hari telah menjelang pagi.
Cepat Bi Eng meloncat keluar dari kamarnya, berlari menuju kamar kakaknya. Dan alangkah
kagetnya ia mendengar kakaknya memaki maki! Hal yang belum pernah dilakukan kakaknya
seumur hidupnya.
"Perempuan rendah, perempuan hina! Jahanam tak tahu malu, kenapa kau berada di kamarku?
Kenapa kau ..... ah, setan, kubunuh engkau!"
Terdengar gedebag-gedebug dan badan terjatuh. Agaknya Tilana sudah dipukuli Han Sin! Bi Eng
menjadi pucat sekali dan ia makin mendekati kamar. Terdengar Tilana menangis.
"Kanda Han Sin ..... bunuhlah ..... aku akan bahagia sekali kalau mati di tangan ..... suamiku ......"
"Suami ......? siluman betina! Kau mempergunakan akal busuk, kau siluman jahat. Kemarin kau
hendak membunuh diri, nah .... lekaslah kau bunuh diri. Aku tak sudi mengotori tangan membunuh
Koleksi Kang Zusi
seekor siluman ....." terdengar Han Sin memaki-maki lagi dan suara pemuda itu terdengar keras dan
marah sekali.
Bukan main marahnya hatinya Bi Eng mendengar ini. Keterlaluan sekali kakaknya menghina orang.
Sekali melompat ia sudah mendorong pintu kamar dan memasuki kamar itu. Ia melihat Tilana
menangis sambil berlutut di atas lantai, rambutnya kusut terurai, keadaannya amat mengenaskan.
Pipinya bengkak dan bibirnya yang indah itu berdarah, agaknya ia telah ditampari Han Sin. Pemuda
itu kelihatan berdiri di depan Tilana dengan mata berapi dan muka merah.
"Sin-ko, kau kejam!" bentak Bi Eng. "Kau tidak menghargai cinta kasih orang, kau malah menghina
dan memukul! Laki laki macam apa bersikap demikian?" Gadis ini marah sekali, dadanya
membusung, kepala dikedikkan dan matanya berapi api menatap wajah Han Sin, kakak yang
biasanya amat ia takuti dan taati itu.
"Bi Eng ....." Bagaikan diloloskan semua urat dari tubuh Han Sin ketika ia melihat gadis ini muncul.
"Dia .... dia itu ....., perempuan tak bermalu ......"
"Kaulah laki-laki tak bermalu! Berani berbuat tak berani bertanggung jawab!" Bi Eng memotong.
Tilana yang amat merasa terhina, dengan hati hancur melihat dan mendengar ini semua. Kemudian
terdengar ia menjerit lirih, tubuhnya berkelebat dan ia sudah meloncat lalu lari meninggalkan rumah
itu, meninggalkan puncak Min-san, lenyap di dalam kabut kegelapan pagi.
"Sin-ko! Kau telah merusak hatinya, kau telah menghancurkan perasaannya. Kenapa kau begitu
kejam?"
"Tidak ...., tidak, Eng-moi. Dialah yang mencelakai aku, dia ..... dialah yang merusak dan
menghancurkan hati dan perasaanku ....."
"Kenapa? Dia cinta kepadamu, dia menganggap dirinya sebagai isterimu. Sin-ko, kau harus
mengawini dia!"
"Tidak mungkin! Tak mungkin aku bisa mengawininya, Eng-moi ......"
"Sin-ko, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kau seorang laki-laki, harus berani bertanggung jawab.
Kau dan dia sudah sekamar ..... bagaimana kau bisa mengingkari hal ini?"
"Eng-moi ......” wajah Han Sin pucat sekali, tanda bahwa ia amat menderita batinnya, "kau tidak
tahu ....... dia menggunakan akal siluman! Aku tidak sadar apa yang telah kulakukan ........ aku
seperti mabok, mungkin aku telah gila ....."
"Apapun juga alasannya, kau harus mengawini dia, Sin-ko. Apa kau mau disebut pengrusak
kehormatan? Apakah kau mau dianggap penjahat keji pengganggu wanita? Tilana seorang gadis
terhormat, cantik dan pandai. Setelah ia sudi merendahkan diri sedemikian rupa, demi cinta
kasihnya kepadamu, Sin-ko ...... apakah kau begitu tega?"
"Eng-moi ......, kau tidak tahu ....... Bi Eng membanting kakinya dengan gemas. Gadis ini marah dan
mendongkol bahwa rencananya telah gagal, usaha pertolongannya kepada Tilana dan usahanya
untuk menjodohkan kakaknya gagal sama sekali. "Aku tahu! Aku tahu segala-galanya! Tilana telah
menceritakan kesemuanya kepadaku! Cocok dengan cerita uwak Lui dahulu. Puteri Hui, Balita,
telah jatuh cinta kepada mendiang ayah, dan ayah menyia-nyiakannya pula. Balita sakit hati, sampai
Koleksi Kang Zusi
tua tidak dapat melupakan dendamnya. Sekarang menyuruh puterinya datang membalas dendam
kepadamu, kepada keturunan ayah ....."
"Keji!" Han Sin mencela.
"Siapa bilang keji?" Bi Eng dalam marahnya tanpa disadari membela Balita.
"Aku lebih tahu watak wanita. Memang sakit hati sekali kalau cinta ditolak. Sekarang, usaha Tilana
membalaskan dendam ibunya gagal, malah kau membuka kerudung mukanya yang menjadi
sumpahnya. Dia harus kawin dengan laki-laki yang membuka kerudungnya, atau ...... mati. Kau
tidak mau membunuhnya, Tilana mengira kaupun sayang kepadanya. Sekarang, setelah apa yang
terjadi malam tadi ..... kau ...... kau menghina, mengeluarkan makian kotor, memukulnya pula. Sinko
.... kalau kau tidak mau mencari dia, lalu mengawini dia, aku ..... aku tak mau mengaku kau
sebagai kakakku lagi!” Bi Eng lalu menangis.
Pucat wajah Han Sin mendengar ini. Aduh, Bi Eng ..... Bi Eng ...... keluh hatinya. Kau tidak tahu
..... kau tidak mengerti segalanya. Kau tidak tahu bahwa cinta kasihku hanya untukmu seorang. Dan
sekarang kau malah mendorong-dorongku, membujuk-bujukku mengawini orang lain. Tanpa
disadari dua titik air mata meloncat keluar di atas kedua pipinya. Cepat Han Sin mengusapnya dan
berkata,
"Bi Eng, sudahlah. Jangan kau berduka dan marah. Agaknya sudah tiba saatnya kita turun gunung.
Mari kita tinggalkan tempat ini, aku harus memenuhi permintaan yang telah kusanggupi dari
Pangeran Yong Tee ........."
Bi Eng mengangkat mukanya. Tentu pernyataan ini akan amat menggirangkan hatinya kalau saja ia
tidak begitu marah dan kecewa. "Dan kita juga mencari cici Tilana?" desaknya.
Sambil menarik napas panjang Han Sin mengangguk. "Baiklah, kita akan mencari dia karena .....
karena dia harus mengakui segala yang telah terjadi malam tadi. Harus memberi penjelasan
kepadamu."
Watak Bi Eng memang aneh sekali. Seperti watak udara di musim hujan. Sebentar mendung,
sebentar hujan, sebentar terang benderang. Hanya beberapa jam kemudian ia sudah bisa tertawatawa
ketika bersama kakaknya ia menuruni Gunung Min-san, menuju ke dunia ramai.
Hanya Han Sin yang terus-menerus murung. Hatinya pepat, serasa ada batu besar berat sekali
menindih jantungnya. Bagaimana bisa terjadi hal hebat sedemkian antara dia dan Tilana? Dan hal
itu tidak saja disetujui oleh Bi Eng, malah agaknya gadis ini mendorong-dorongnya. Celaka dua
belas! Dan dia amat mencinta Bi Eng!
Ia mencoba membayangkan lagi apa yang telah terjadi antara dia dan Tilana. Wajahnya menjadi
merah sekali kalau ia membayangkannya. Kenapa dia sudah seperti gila? Kenapa dia dapat
membelai-belai, mencumbu rayu Tilana gadis asing itu? Ia membayangkan lagi sikap Tilana yang
amat mesra dan manis, dan kemudian, tiba-tiba Han Sin mencekal lengan tangan Bi Eng erat sekali.
"Aduhhh!" Bi Eng berteriak. "Aduh sakit lenganku, Sin-ko. Kau ini apa-apaan sih? Aneh benar
kelakuanmu. Ada apakah?"
Han Sin tersadar dan melepaskan pegangannya. "Eng-moi, aku teringat sekarang ........ tanda merah
di dekat telinganya ......, ya ......., tanda merah, jelas sekali kulihat di dekat telinga ......."
Koleksi Kang Zusi
"Apa artinya ini? Sin-ko, kau seperti orang ngelindur!" tanya Bi Eng yang terheran-heran melihat
kakaknya memandangi langit sambil merenung dan mencubit-cubit hidung sendiri.
Tiba-tiba Han Sin menatap wajah Bi Eng matanya bersinar-sinar ganjil. Untuk ke sekian kalinya Bi
Eng harus menghindar dari pandang mata kakaknya. Pandang mata kakaknya luar biasa sekali,
tajam seperti pisau, seakan-akan dapat menembus jantung.
"Eng-moi, tak salah lagi. Gadis itu ..... yang bernama Tilana itu ....... dia itulah ..... anak Ang-jiu
Toanio yang dulu lenyap! Pernah kuceritakan kepadamu, bukan? Sebelum meninggal dunia, Angjiu
Toanio menceritakan kepadaku ......" la menahan ceritanya, kaget karena sekarang baru ia
teringat bahwa ia belum menceritakan hal itu kepada Bi Eng. Menceritakan hal itu berarti membuka
rahasia bahwa Bi Eng bukanlah adik kandungnya!
Melihat sikap kakaknya yang ragu ragu, Bi Eng bertanya, "Cerita apa? Kau belum pernah bercerita
kepadaku tentang pesan Ang-jiu Toanio."
"Eh ...... eh ......, kalau begitu aku yang lupa. Begini, Eng-moi. Ketika aku bertemu dengan Ang-jiu
Toanio, sebelum dia meninggal dia pernah minta tolong kepadaku agar supaya aku mencarikan
anaknya yang hilang ketika masih bayi. Anak perempuannya itu, adik Phang Yan Bu, ada tanda
merah di dekat telinganya. Dan pada ..... diri Tilana kulihat tanda merah itu ..... yang tadinya
tertutup rambutnya ......"
Merah muka Bi Eng dan ia masih sempat menggoda, "Eh, eh, bagaimana kau bisa melihatnya kalau
tanda itu tertutup rambutnya, Sin-ko?"
Bingung dan gugup Han Sin menerima pertanyaan ini. "Aku ... eh ..... aku .... hanya kebetulan saja
aku melihatnya ....." Mukanya menjadi merah sekali. Cepat-cepat disambungnya, "Baru sekarang
aku teringat. Tak salah lagi, dialah anak Ang-jiu Toanio yang hilang. Rupanya dahulu dicuri oleh
Balita dan ......."
Kembali ia berhenti dan mukanya tiba tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada
Bi Eng. Tentu saja gadis ini menjadi makin heran, malah agak takut. Jangan-jangan otak kakaknya
ini menjadi tak beres.
"Kau kenapa, Sin-ko? Kenapa memandang padaku seperti itu?"
Han Sin kembali dapat menindas perasaannya. Siapa orangnya yang takkan gelisah dan kaget
seperti dia ketika mendapat dugaan sekarang. Dugaan yang hampir tak salah lagi. Kalau Balita
menukarkan anak Ang-jiu Toanio di rumah mendiang ayahnya di Min-san, kalau begitu ..... tak
salah lagi, Bi Eng yang berdiri di hadapannya sekarang ini tentu anak ..... Balita! Pusing ia
menghadapi kenyataan ini. Bi Eng anak Balita! Bagaimana mungkin ini? Dan di mana adanya adik
kandungnya sendiri? Betulkah sudah dimakan harimau, dijadikan umpan harimau oleh pemelihara
harimau?
"Bi Eng ....." suaranya gemetar, "apakah ..... betulkah bahwa kau tidak mempunyai tahi lalat hitam
di mata kaki sebelah kiri ......?"
Bi Eng melengak, kembali mukanya merah. "Sudah belasan kali sejak kita naik kembali ke Min-san
kautanyakan hal yang gila itu. Aku sudah bilang tidak ada, apa kau penasaran dan hendak
melihatnya?" Bi Eng membungkuk hendak membuka sepatu dan kaos kakinya. Cepat Han Sin
mencegah, dadanya berdebar.
Koleksi Kang Zusi
"Tak usah, Bi Eng, tak usah. Hanya ..... barangkali saja kau teringat bahwa di waktu kecil dahulu,
ada tanda itu di kakimu ....”
Bi Eng berdiri lagi, cemberut. "Kau ini apa-apaan lagi, koko? Masa tiada hujan tiada angin
mengurus soal ....... tahi lalat! Menurut seingatku, tak pernah ada tahi lalat pada kakiku. Laginya,
siapa sih yang suka mengingat-ingat tentang tahi lalat?"
Han Sin terdiam, terpukau dan merenung. Bingung memikirkan. Tak salah lagi, Tilana yang
sekarang menjadi puteri Balita, dia itulah anak Ang-jiu Toanio yang dulu meninggalkan dan
menukarkan anaknya itu dengan anak ibunya, adik kandungnya. Kemudian adik kandungnya yang
dicuri dan ditukar oleh Ang-jiu Toanio itu terampas oleh seorang Mongol pemelihara harimau.
Entah bagaimana nasibnya.
Dan Ang-jiu Toanio sendiri bilang bahwa anaknya itu telah ditukar lagi oleh lain orang, dan
mempunyai tanda merah pada dekat telinganya. Tentulah Balita yang menukarnya, mengira bahwa
anak Ang-jiu Toanio itu anak mendiang ibunya. Tentu dengan maksud yang sama dengan Ang-jiu
Toanio, maksud keji karena dendam!
Dengan demikian Bi Eng ini tentu anak Balita, anak musuh besar ayahnya, yang sampai sekarang
masih mendendam, buktinya mengirim Tilana untuk membunuhnya. Celakanya, ia terlibat dalam
urusan asmara yang serba membingungkan dan memalukan dengan Tilana itu! Hebat .......!
Dengan hati tidak karuan, wajah selalu murung dan hanya menjawab ocehan-ocehan Bi Eng dengan
singkat saja. Han Sin bersama adiknya itu melanjutkan perjalanannya, menuju ke timur, ke Luliang-
san, karena hendak mencari Siauw-ong yang mereka rasa pasti berada di daerah pegunungan
itu.
****
Perjalanan menuju ke Lu-liang-san dilakukan cepat oleh Han Sin dan Bi Eng. Di sepanjang
perjalanan, dua orang muda ini mendengar hal-hal yang amat aneh. Sepanjang jalan mereka
mendengar bahwa orang-orang gagah di dunia kang-ouw, sebagian besar telah bergabung dengan
bala tentara Mancu untuk membantu kerajaan ini menggempur para pemberontak di utara,
membantu melawan orang-orang Mongol! Alangkah janggalnya ini. Membantu penjajah? Benarbenar
mengherankan sekali dan berita ini mendatangkan kemarahan dan kemendongkolan di hati
mereka, terutama di hati Han Sin!
"Tak tahu malu menyebut diri patriot! Membela penjajah!" gerutu Han Sin. Bi Eng diam saja,
biarpun ia merasa juga betapa janggalnya hal ini.
Ketika mereka tiba di lereng Gunung Lu-liang-san, tiba-tiba dari sebuah hutan terdengar pekik
seekor monyet. Han Sin dan Bi Eng keduanya terkejut dan girang.
"Suara Siauw-ong ........" Bi Eng segera mengenal suara itu. la sudah hendak memanggil, akan tetapi
Han Sin cepat mencegahnya dengan isyarat tangan.
"Ssttt, jangan memanggilnya. Apa kau tidak mendengar tadi? Suaranya adalah suara keluhan dan
kemarahan. Tentu dia terancam bahaya. Hayo kita cepat pergi mencarinya, suaranya dari hutan itu
........"
Cepat keduanya berlari-lari memasuki hutan kecil dan tibalah mereka di daerah yang berbatu.
Gunung-gunungan batu berderet di tempat itu dan pemandangan indah di pegunungan ini,
Koleksi Kang Zusi
pemandangan indah dan aneh. Sekarang suara Siauw-ong terdengar jelas dan monyet itu merintihrintih.
Han Sin dan Bi Eng menghampiri tempat itu sambil berindap-indap. Tiba-tiba mereka
mendengar suara seorang wanita,
"Diamlah kau, monyet yang baik. Lukamu memang parah, racun sudah menjalar jauh, aku sudah
berusaha sedapatku. Ah, sayang sekali ..... kalau dia berada di sini ......... ah, di manakah sekarang
Han Sin berada?"
"Li Hoa ......!" Han Sin dan Bi Eng berseru hampir berbareng dan mereka segera meloncat ke atas
batu. Dari tempat ini terlihatlah oleh mereka di mana adanya Siauw-ong. Memang betul monyet itu
berada di situ bersama Thio Li Hoa, gadis cantik manis bergelung tinggi, puteri Thio-ciangkun,
gadis yang gagah perkasa dan yang jatuh cinta kepada Han Sin!
Li Hoa terkejut dan bukan main kaget dan girangnya ketika ia melihat orang yang dikenangkenangnya,
orang yang selama ini ia rindukan, ternyata telah berada di situ bersama Bi Eng.
"Kau ..... kalian ....... di sini ........?" la bertanya gagap, merah sekali mukanya karena baru saja ia
menyebut-nyebut nama Han Sin.
Akan tetapi Han Sin segera meloncat turun dan mengangkat tubuh Siauw ong. "Dia kenapa .......?"
tanyanya gelisah. Ternyata monyet kecil itu kedua kakinya dibalut, nampak pucat dan biru
kehitaman kakinya. Monyet itu meringis-ringis ketika melihat Bi Eng dan Han Sin, lalu ....... dari
kedua matanya keluar air mata. Monyet itu bisa menangis!
"Siauw-ong ......, Siauw-ong ..... kau kenapa?" Bi Eng mengusap-usap kepala monyetnya, penuh
kasih sayang, sedangkan Han Sin cepat memeriksa luka di kedua kaki. Luka itu kecil saja, seperti
tusukan jarum, akan tetapi membuat kedua kaki hitam agak mengembung. Tanda luka karena racun.
Diam-diam Han Sin terheran. Siauw-ong pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa, kenapa
terpengaruh oleh racun? Tentu racun luar biasa sekali, kalau tidak begitu, tentu racun itu akan
tertolak oleh racun Pek-hiat-sin-coa.
"Nona Li Hoa, bagaimana kau bisa berada di sini bersama Siauw-ong?" Akhirnya Han Sin bertanya
setelah memeriksa luka di kaki monyet itu.
Li Hoa sejak tadi mernandang kepadanya, dan makin lama memandang, makin mendalam cinta
kasihnya. Setelah banyak mengalami penderitaan karena berpisah dari ayahnya, perpisahan badan
dan pendapat, setelah banyak menemui orang-orang gagah, makin yakin hati gadis ini bahwa
pilihan hatinya, yaitu Han Sin pemuda gunung yang luar biasa itu, adalah tepat. Sukar mencari
seorang Han Sin ke dua di dunia ini.
Sementara itu, Han Sin dan Bi Eng juga melihat banyak perubahan pada diri Li Hoa. Gadis ini
masih cantik manis seperti dulu, akan tetapi lebih sederhana, tidak pesolek seperti dulu. Kalau dulu
ia merupakan seorang gadis bangsawan yang angkuh, sekarang ia lebih merupakan seorang gadis
kang-ouw, seorang yang gagah dan sederhana.
"Secara kebetulan saja aku mendapatkan dia," Li Hoa bercerita setelah menarik napas panjang.
"Kebetulan aku lewat di hutan ini dan aku melihat monyetmu ini bergulingan di tanah terkena
lemparan jarum rahasia seorang kakek cebol yang aneh. Aku segera mengenal monyet ini dan aku
menegur orang itu. Dia marah marah dan kami bertempur. Akhirnya ia melarikan diri dan aku
menolong monyet ini."
Koleksi Kang Zusi
"Keparat! Siapakah iblis cebol itu? Di mana dia sekarang? Biar kucekik lehernya!" Bi Eng berseru
marah. Li Hoa tersenyum mendengar ini. Masih galak, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Bi Eng
sekarang berbeda dengan Bi Eng dahulu. Mana dia bisa melawan kakek cebol itu?
"Aku sendiri tidak mengenalnya dan tidak tahu di mana rumahnya. Akan tetapi dia lihai sekali, apa
lagi jarum-jarum beracunnya," katanya.
Kemudian atas pertanyaan Han Sin tentang orang-orang gagah yang ikut membantu Kerajaan
Mancu melawan orang-orang Mongol, Li Hoa bercerita. Apa yang didengar oleh Bi Eng dan Han
Sin memang betul adanya. Para tokoh kang-ouw sebagian besar membantu pergerakan pemerintah
Mancu memerangi orang-orang Mongol yang dipimpin oleh Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu di
utara itu.
Bahkan Ciu-ong Mo-kai, guru pertama Han Sin dan Bi Eng, Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio,
orang-orang gagah Cin-ling-pai dan orang-orang gagah lain juga sudah bergabung menjadi satu
membantu pemerintah Ceng! Mendengar ini Han Sin dan Bi Eng kaget bukan main.
Li Hoa melihat keheranan mereka, lalu berkata, "Tadinya aku sendiripun merasa heran. Mungkin
kalian belum tahu bahwa aku sendiri sudah bentrok dengan ayah. Ayah membantu Pangeran Yong
Tee atau tegasnya membantu pemerintah Ceng, akan tetapi aku tidak suka melihat penjajah. Akan
tetapi, setelah melihat pemerintah Ceng, apa lagi berkat pengaruh Pangeran Yong Tee yang amat
baik, dan mengingat betapa kejamnya orang-orang Mongol kalau sampai mereka berhasil menjajah
tanah air kita, maka akupun membenarkan tindakan mereka, orang-orang gagah itu. Lebih baik
sekarang kita membantu pemerintah untuk mengalahkan bala tentara Mongol yang amat kuat.
Kemudian, soal menghalau penjajah dari manapun juga keluar dari tanah air, adalah soal ke dua.
Kalau sekarang kita menghadapi dua musuh, orang-orang Mancu dan orang-orang Mongol, kiranya
usaha perjuangan para patriot takkan berhasil."
Dengan panjang lebar Li Hoa menjelaskan kepada Han Sin yang mulai dapat mengerti mengapa
orang-orang gagah itu sekarang "tampaknya" membantu pemerintah Mancu, padahal hanya
membantu pemerintah yang berkuasa sekarang untuk mengusir bahaya yang lebih besar, yaitu
orang-orang Mongol. Setelah orang-orang Mongol berhasil dihancurkan, barulah kelak berusaha
menggulingkan pemerintah penjajah, tentu akan lebih ringan! Han Sin mulai belajar mengerti
tentang perkembangan politik.
"Akan tetapi tidak mudah," kata Li Hoa. "Selain ada pertentangan-pertentangan sendiri di dalam,
banyak pula orang-orang pandai yang membantu Bhok-kongcu. Kekuatan mereka sungguh tak
dapat dipandang ringan. Maka sekarang bertemu dengan kau, aku banyak mengharapkan
bantuanmu agar kita cepat-cepat menghancurkan bahaya yang datang dari utara itu." Ia mengerling
kepada Han Sin penuh harapan.
"Tentu saja kita harus membantu mereka. Apa lagi kalau suhu sudah berada di sana pula!" kata Bi
Eng tegas. Akan tetapi, Han Sin menghela napas, ia masih ragu-ragu. Tidak ada nafsu untuk
membantu pemerintah penjajah. Betapapun juga, ia masih tidak rela kalau harus berjuang untuk
membantu penjajah, sungguhpun pada hakekatnya itupun merupakan perjuangan menyelamatkan
bangsa dari pada ancaman penjajah baru yang lebih buas dan jahat.
"Bagaimana nanti sajalah, paling perlu sekarang aku harus mencarikan pengobatan untuk Siauwong.
Kulihat keadaannya parah sekali ........"
Tiba-tiba Han Sin menghentikan kata-katanya dan berpaling ke belakang. "Ada orang ......"
bisiknya. Li Hoa dan Bi Eng yang tidak mendengar sesuatu cepat menengok dan .... benar saja, di
Koleksi Kang Zusi
atas sebuah batu yang tinggi, entah dari mana dan kapan datangnya, di sana telah berdiri seorang
laki-laki setengah tua yang bertubuh gendut, berpakaian sebagai seorang saudagar dan sedang
tersenyum menyeringai. Matanya yang tajam bergerak-gerak lihai dan cerdik. Li Hoa segera
mengenalnya.
"Lie Ko Sianseng ........”
30. Raja Swipoa Ketemu Batunya
MEMANG benar. Orang ini adalah Lie Ko Sianseng yang berjuluk Swi-poa-ong (si Raja Swipoa),
seorang tokoh kang-ouw kenamaan yang berilmu tinggi, cerdik banyak akal. Sesuai dengan
julukannya, dia adalah seorang saudagar yang berdagang segala macam barang, segala macam
benda hidup atau mati!
"Ha ha ha, nona Thio benar bermata awas. Seorang patriot wanita yang muda dan gagah. Tentu
kawan-kawannya inipun orang-orang gagah belaka. Ha ha ha! Alangkah senangnya bertemu dengan
orang-orang muda yang pandai. Sayang ...... kulihat monyet cerdik itu sudah mau mampus."
Bi Eng tak senang mendengar ucapan ini, akan tetapi Li Hoa yang tahu akan kecerdikan "saudagar"
ini, segera berkata dengan suara manis,
”Lie Ko Sianseng, kau yang banyak pengalaman, banyak kenalan dan banyak akal, tentu dapat
menolongnya. Katakanlah, siapa kiranya dapat menolong mengobati monyet ini?"
Kembali Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng tertawa terbahak. "Kumendengar tadi bahwa monyet itu
terluka oleh jarum berbisa. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si tukang tangkap binatang berotak
miring? Kalau dia yang melukai, siapa lagi kalau bukan dia pula yang menyembuhkannya?"
Berseri wajah Han Sin mendengar ini. Cepat ia berdiri dan menjura penuh hormat. "Orang tua yang
baik budi, harap kau sudi menolong, tunjukkanlah di mana rumahnya orang pandai itu."
”Ha ha ha ha, ayahnya gagah perkasa dan halus tutur sapanya, anaknyapun begitu. Pantas menjadi
putera Cia Sun tai¬hiap!"
Kagetlah Han Sin, akan tetapi segera ia dapat menindas perasaannya. Malah ia bangga sekali.
Agaknya semua orang kang-ouw kenal belaka siapa ayahnya! "Jadi lo-enghiong mengenal
mendiang ayahku?"
"Aku seorang saudagar. Pergi datang, ke mana saja membawa untung bagi orang lain dan bagi diri
sendiri. Bagaimana tidak mengenal orang? Lai Sian si tukang tangkap binatang berotak miringpun
aku kenal, apa lagi ayahmu."
Sekali lagi Han Sin menjura. "Kalau begitu, Lie lo-enghiong yang budiman, sudikah kau
menunjukkan tempat tinggalnya Lai Sian itu?"
Swi-poa-ong mengangguk-angguk. "Boleh, ..... boleh ......, siapa tahu lain kali kau akan dapat
membantuku sebagai balasan."
Li Hoa yang sudah mengenal baik kakek penuh akal busuk itu hendak mencegah, namun Han Sin
sudah mendahuluinya, "Tentu sekali, lo-enghiong yang baik. Tidak ada budi baik yang tak
terbalas."
Koleksi Kang Zusi
"Hanya satu syaratnya. Kau boleh membawa monyet itu, ikut dengan aku ke tempat tinggal Lai
Sian, akan tetapi dua orang nona ini tak boleh turut."
Bi Eng mengerutkan kening. "Orang gendut! Kau anti benar kepada wanita! Apa sih salahnya kalau
aku ikut kakakku?"
"Ha ha ha ha! Itulah sebabnya! Apa lagi kalau ada gadis jelita galak seperti kau ini, waaahh, Lai
Sian bisa lari terbirit-birit ketakutan. Dia amat takut kepada wanita, maka kalau dua orang nona ini
ikut, biar dipaksa sampai mampus sekalipun dia takkan mau keluar, bahkan mungkin lari minggat
sebelum kita menemui dia!"
Han Sin dan Bi Eng juga maklum akan adanya orang-orang kang-ouw yang bertabiat aneh luar
biasa. Mereka lalu berunding. Han Sin memutar otak lalu bertanya kepada Li Hoa,
"Nona, di mana adanya suhu Ciu-ong Mo-kai Tang Pok?"
Sebelum Li Hoa menjawab, kakek itu sudah mendahuluinya, "Ha ha! Di mana lagi kalau tidak di
kota Ta-tung? Semua orang berada di sana, membantu orang Mancu memukul orang Mongol. Di
sana banyak arak wangi, di mana lagi si setan arak itu kalau tidak di sana?"
"Betulkah nona?" tanya Han Sin. Li Hoa mengangguk.
"Kalau begitu, bukankah kau juga hendak ke sana?"
Kembali Li Hoa mengangguk.
"Sekiranya kau tidak keberatan, biarlah adikku ini pergi bersamamu ke Ta-tung. Kalau sudah
selesai urusanku dengan Siauw-ong, tentu aku menyusul ke sana."
Dua orang gadis itu menyetujui. Memang, maksud kepergian Han Sin dan Bi Eng adalah untuk
mencari Hoa-ji, dan tentu saja di tempat pertempuran itulah kemungkinan mendapatkan Hoa-ji.
Setelah memesan baik-baik kepada Bi Eng agar supaya jangan pergi meninggalkan Ta-tung
sebelum ia menyusul ke sana, Han Sin lalu memondong Siauw-ong dan pergi bersama Swi-poa-ong
Lie Ko Sianseng. Li Hoa sempat berbisik kepadanya,
"Hati-hatilah menghadapi dia itu ...."
Adapun Li Hoa lalu mengajak Bi Eng pergi meninggalkan Lu-liang-san, menuju ke Ta-tung, kota di
mana berkumpul orang-orang gagah yang membantu pertahanan pemerintah terhadap
pemberontakan orang-orang Mongol.
Lie Ko Sianseng mengajak Han Sin keluar masuk hutan-hutan di pegunungan Lu liang-san. Di
dalam sebuah hutan besar, Han Sin melihat sebuah pondok yang aneh. Pondok ini dibangun di atas
pohon besar, seperti sarang burung. Dan seperti seekor burung setan yang besar, kepala seorang
kakek menongol keluar dari jendela rumah itu. Hanya kepalanya saja yang tampak, dengan lehernya
yang panjang, mata yang sipit yang memandang penuh curiga ke bawah!
"Haiii, Lai Sian si otak miring! Turunlah kau, di sini ada seorang pemuda ingin bertemu."
Lai Sian, orang yang berada di pondok di atas pohon itu, melirik ke arah Siauw-ong di pondongan
Han Sin. Adapun Siauw-ong yang sejak tadi merintih-rintih saja, begitu melihat kakek di atas itu,
lalu meringis dan menggereng.
Koleksi Kang Zusi
"Hi hi hi, monyet cerdik yang tolol! Ditangkap baik-baik tidak mau, dihadiahi jarum baru tahu rasa.
Mau apa dibawa bawa ke sini?"
"Lai Sian, kau turunlah, biar kita bicara baik-baik. Kalau perlu, aku sanggup membeli obat
penyembuh kaki monyet ini, biar dengan harga berlipat dari pada harga umum!"
"Makelar busuk! Tukang catut, tukang tipu! Siapa doyan uangmu yang bau keringat dan darah
manusia? Rumahku selalu terbuka, mau ada keperluan naiklah. Hi hi hi, tentu saja tidak ada tangga,
kalau mau boleh panjat pohon seperti monyet!"
Lie Ko Sianseng berbisik kepada Han Sin, "Kau lihat saja, aku akan paksa dia turun. Akan tetapi
kalau sudah diobati monyetmu, jangan kau lupa akan janjimu untuk membalas budi padaku."
Setelah berkata demikian, kakek ini tertawa bergelak, mengenjot kedua kakinya dan tubuhnya
sudah meloncat ke atas.
"Tukang catut, apa kau sudah ingin mampus?" seru Lai Sian. Tiba-tiba kedua tangan kakek cebol
itu nampak diayun dan beberapa buah jarum kecil-kecil menyambar ke arah tubuh Lie Ko Sianseng
yang sedang "melayang" naik. Han Sin terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget. Akan tetapi
Lie Ko Sianseng hanya tertawa, menggunakan jubah luarnya yang lebar itu dikebutkan. Sekaligus
semua jarum tertahan oleh "tameng" ini dan sebelum si kakek cebol sempat menyerang lagi, Lie Ko
Sianseng sudah hinggap di atas sebuah cabang dekat pondok.
"Kau masih tidak mau turun?" Lie Ko Sianseng menggunakan tangannya mendorong pondok dan
......... dengan suara keras pondok yang seperti sarang burung itu miring lalu terguling roboh ke
bawah membawa penghuninya yang tak sempat ke luar!
Pondok itu menerbitkan suara hiruk pikuk ketika terjatuh ke atas tanah dan berbareng dengan
jatuhnya terjadi hal hal yang aneh dan menggelikan. Lie Ko Sianseng berkaok-kaok dan mengaduh
kesakitan, melompat turun terhuyung-huyung sampai terjengkang saking gugup dan bingung.
Ternyata ketika ia mendorong roboh pondok itu, sarang tawon yang rupanya dipelihara oleh Lai
Sian ikut pecah dan ratusan ekor tawon kini beterbangan mengeroyok Lie Ko Sianseng, malah ada
beberapa ekor yang sudah berhasil menyengat mukanya! Tidak heran apabila saudagar gendut ini
tunggang-langgang dan mengaduh-aduh!
Sementara itu, di bawah terjadi hal yang aneh pula. Begitu rumah itu terjatuh dan pecah berantakan
tidak hanya kepala kakek cebol itu yang nampak keluar merangkak, melainkan banyak pula
binatang binatang buas yang menerjang keluar. Harimau, srigala, biruang, rusa dan lain lain. Malah
seekor harimau besar segera maju dan menerkam Han Sin, sedangkan yang lain-lain saking kaget
dan takutnya lari cerai-berai sambil mengeluarkan suara gaduh! Kiranya pondok kecil kakek itu
penuh binatang-binatang hutan!
Han Sin terkejut sekali dan cepat mengelak. Lai Sian, kakek aneh itu kini merangkak keluar dan
terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat Han Sin sibuk menanggulangi macan sedangkan
Lie Ko Sianseng kebingungan dikeroyok tawon-tawon yang marah.
"Hi hi hi, he he he, bagus bagus. Baru kalian tahu rasa sekarang, berani main-main dengan aku!"
Akan tetapi kegirangannya cepat berakhir karena dengan sebuah tendangan kilat, Han Sin berhasil
membuat macan itu terlempar jauh, jatuh berdebuk lalu lari tunggang-langgang. Sedangkan Lie Ko
Sianseng yang sudah bengkak-bengkak pipinya, berhasil pula mengusir tawon-tawon itu dengan
Koleksi Kang Zusi
melepaskan jubah dan mempergunakan jubahnya sebagai senjata. Kini Lie Ko Sianseng dengan
marah menerjang Lai Sian. "Orang gila, kau benar-benar keterlaluan!"
Segera terjadi pertempuran hebat antara si saudagar dan si cebol. Mereka sama-sama cepat
gerakannya, sama-sama ahli silat yang pandai. Han Sin yang melihat mereka bertempur mati-matian
merasa khawatir. Betapapun juga, sebetulnya tindakan Lie Ko Sianseng merobohkan rumah orang
tadilah yang keterlaluan. Cepat ia melompat maju dan berkata,
”Harap ji-wi berhenti bertempur. Kedatangan kami sebetulnya bukan untuk memusuhi tuan rumah."
Teringatlah Lie Ko Sianseng akan urusan yang lebih besar. la datang membawa Han Sin ke tempat
itu bukan semata-mata untuk mengobatkan monyet, apa lagi untuk menentang Lai Sian, ada hal
yang lebih penting lagi. Maka ia melompat mundur dan berkata, "Orang gila she Lai benar gagah!"
Lai Sian berdiri melototkan matanya. "Kalian ini datang-datang mengacau. Mau apa sekarang?"
Han Sin segera maju menjura dan berkata hormat, "Harap Lai-enghiong suka memaafkan kami.
Sebetulnya kami datang untuk mohon pertolonganmu agar suka menyembuhkan luka di kaki
monyetku ini."
Lai Sian membuang ludah. "Huh, monyet sialan! Aku suka mengumpulkan dan memelihara
binatang-binatang hutan, karena binatang-binatang itu jauh lebih baik dari pada manusia-manusia.
Monyet ini berbeda dengan monyet biasa, gerakan-gerakannya seperti mengandung ilmu silat. Aku
berusaha menangkapnya, namun gagal. Terpaksa kulukai dia. Eh, muncul siluman wanita cantik
membelanya. Kiranya monyet ini siluman!"
"Harap lo-enghiong suka bermurah hati dan memaafkan monyetku ini. Berilah obat, Lai-enghiong."
Kakek itu tertawa mengejek. "Di du¬nia ini mana ada obat dapat menyembuhkan, kau mau apa?"
Tiba-tiba Lie Ko Sianseng tertawa bergelak, membuat Han Sin menjadi mendongkol. Orang tidak
mau mengobati monyetnya, kenapa tukang catut ini malah tertawa bergelak?
"Ha ha ha, saudara Cia Han Sin, percuma saja kau minta dia mengobati. 0rang pendek cebol macam
si gila ini, mana bisa mengobati? Ha ha, Lai Sian. Bilang saja kau tidak becus, kenapa mesti aksiaksian
bilang tidak mau?"
Han Sin menjadi geli hatinya. Tahulah ia sekarang akan kelihaian si Saudagar ini, yang jelas
mempergunakan siasat memanaskan hati orang cebol yang aneh itu. Benar saja, Lai Sian
melototkan matanya sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk matanya, lalu ia membentak,
"Tukang catut busuk! Siapa percaya omonganmu yang bau? Monyet ini aku yang melukainya, masa
aku tidak dapat menyembuhkannya?"
"Ha ha ha, omong sih gampang! Tapi buktinya, dong! Kalau kau sudah benar-benar bisa mengobati
sampai sembuh, aku berani bertaruh kepala!"
Kaget sekali hati Han Sin mendengar ini. Apa Lie Ko Sianseng sudah menjadi gila? Masa
mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi Lai Sian kelihatan girang sekali.
"Baik, baik .....! Kau lihat saja, aku akan menyembuhkannya dalam sekejap mata. Dan bocah ini
menjadi saksi akan janji taruhanmu."
Koleksi Kang Zusi
Seperti seekor tikus, kakek cebol itu lalu menyelinap memasuki rumahnya yang sudah berantakan,
mencari ke sana ke mari, akhirnya membawa sebuah peti kecil. Dibukanya peti itu, dikeluarkannya
beberapa bungkus obat. Kemudian ia membuka balutan kaki Siauw-ong, menggunakan sebatang
jarum perak menusuk sana-sini, lalu tampaklah darah hitam keluar dari luka-luka di kedua kaki itu.
Han Sin memegangi Siauw-ong agar monyet yang marah-marah itu tidak banyak bergerak.
Kemudian Lai Sian menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan ...... Siauw-ong tidak memberontak
lagi, kelihatannya enak tidak sakit lagi. Warna hitam di kedua kakinya lenyap seketika! Ketika Han
Sin melepaskan pegangannya, monyet itu meloncat loncat, cecowetan akhirnya melompat ke atas
pundak Han Sin. Dia telah sembuh sama sekali!
Han Sin menjadi tegang hatinya ketika Lai Sian mengeluarkan sebatang golok dan menghadapi Lie
Ko Sianseng. "Heh heh heh, tukang catut, hayo kau berikan kepalamu kepadaku!"
Tiba-tiba Lie Ko Sianseng tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke kiri dan tahu-tahu ia telah
menangkap seekor kelinci, dipegangnya pada kedua telinganya. Entah darimana ia menyulapnya,
tahu-tahu ia telah memegang sebatang pedang pendek yang agaknya ia cabut dari balik jubahnya
yang panjang itu, diayunkannya pedang dan .......... sekali tabas saja putuslah leher kelinci yang
masih menetes-netes darahnya itu, lalu diacungkannya ke depan muka Lai Sian.
"Nih taruhanku, ambillah!" la melemparkan kepala kelinci kepada Lai Sian dengan pengerahan
tenaga. Baiknya Lai Sian cepat-cepat miringkan kepala sehingga muka kepala kelinci itu tidak
"mencium" mukanya. Ketika ia mengangkat kepala, ia melihat Lie Ko Sianseng sudah menarik
tangan Han Sin dan berlari-lari pergi dari situ.
"Curang!Tak tahu malu! Kau tadi mempertaruhkan kepala!" Lai Sian lari mengejar.
"Eh, otak miring. Aku tadi mempertaruhkan kepala, tapi siapa bilang bahwa yang kupertaruhkan
adalah kepalaku? Aku hanya bilang kepala, dan yang kumaksudkan adalah kepala kelinci itu. Sudah
lunas!"
Lai Sian berhenti mengejar, berdiri bengong. Betul juga kata-kata saudagar yang licik itu. "Setan,
kenapa kau tadi tidak bilang kepala kelinci?" Ia membentak dengan suara hampir menangis.
"Siapa salah? Kenapa kau tadi tidak tanya kepala apa yang kumaksudkan?" jawab Lie Ko Sianseng
sambil tertawa.
Han Sin menjadi geli hatinya. Kalau saja tadi Lie Ko Sianseng berjanji mempertaruhkan kepalanya,
tentu dia tidak akan membiarkan Lie Ko Sianseng melanggar janjinya. Akan tetapi sekarang
ternyata bahwa saudagar itu tidak menipu, hanya menggunakan siasat, tidak melanggar janji, maka
ia yang ditarik diajak lari hanya tertawa-tawa dan ikut berlari pergi. Dari jauh terdengar Lai Sian
memaki maki dan malahan menangis!
****
Siapa yang pernah naik kereta ditarik kuda yang berjalan di atas jalan berbatu-batu di tempat yang
amat sunyi, tentu akan mengalami kesenangan yang nikmat. Suara kaki kuda, beradunya besi tapal
kaki kuda dengan batu, menimbulkan irama yang amat sedap didengar, apa lagi di tempat sunyi.
Hal ini adalah karena jalannya empat buah kaki kuda itu amat tetap, menimbulkan irama tenang.
"Plik .... plak ..... plak keteplik-keteplak .... plik ..... plak"
Koleksi Kang Zusi
Enak sekali irama itu sehingga tidak jarang tukang-tukang gerobak kuda tertidur sambil memegangi
kendali, lenggat lenggut dibuai irama suara kaki kuda.
Di atas jalan pegunungan berbatu, tempat yang amat sunyi di kaki Gunung Lu-liang-san, terdengar
pula irama ini, memecahkan kesunyian di sekelilingnya. Udara cerah.
Segera terlihat kuda yang menarik sebuah gerobak kecil dan orang akan tertawa kalau melihatnya.
Memang pemandangan yang lucu. Kusir gerobak ini bukanlah manusia, melainkan seekor monyet
kecil yang duduk di atap gerobak! Monyet itu dengan gaya yang lucu memegangi kendali, nyengarnyengir
sambil mengeluarkan bunyi, "Ckk .... ckk .... ckk ....” dari mulut yang diruncingkan. Dia ini
bukan lain adalah Siauw-ong, monyet peliharaan Han Sin yang sudah sembuh sama sekali dari pada
luka di kakinya.
Han Sin duduk di dalam gerobak, di depan, dan di belakangnya duduklah si gendut Lie Ko
Sianseng. Hati Han Sin agak gembira, pertama karena monyetnya sudah ditemukan dan sudah
sembuh, kedua kalinya karena setelah jauh dari Bi Eng, ia tidak lagi menderita rasa tak enak
berhubung dengan pengalamannya baru-baru ini dengan Tilana. Akan tetapi, harus diakuinya
bahwa ia merasa amat rindu kepada Bi Eng.
Lie Ko Sianseng amat ramah dan baik padanya, dan kakek ini yang duduk di belakangnya tiada
hentinya bicara dan mentertawakan Lai Sian.
"Aku amat berterima kasih kepadamu, lo-enghiong. Kalau tidak ada kau yang membawaku kepada
kakek cebol itu, entah apa jadinya dengan Siauw-ong."
"Lai Sian itu memang lihai sekali. Semenjak kecil ia suka menangkapi binatang-binatang, bahkan
ular-ular berbisa menjadi permainannya. la tahu betul akan racun-racun segala macam ular."
Tahulah kini Han Sin mengapa kakek cebol ini dapat menggunakan racun yang dapat meracuni
Siauw-ong, agaknya racun itu hebat sekali, lebih hebat dari pada racun Pek-hiat-sin-coa. Diam-diam
ia bergidik. Kepandaian si cebol itu tidak seberapa hebat, akan tetapi pengertiannya tentang
penggunaan racun benar-benar berbahaya.
"Kau lebih lihai dari padanya, lo-enghiong. Budimu besar sekali, bahkan boleh dibilang Siauw-ong
berhutang nyawa kepadamu."
"Ha ha ha, manusia hidup harus saling tolong-menolong, orang muda. Aku dapat menolongmu,
tentu kaupun dapat menolongku, bukan?"
Han Sin tergerak hatinya. Teringat ia akan pesanan Li Hoa, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi
kakek ini. Ia sudah tahu akan kecerdikan saudagar ini, yang demikian lihai sehingga dapat
mempermainkan Lai Sian dengan tipu muslihatnya.
"Apakah yang dapat kulakukan untukmu, lo-enghiong? Kalau saja aku dapat melakukannya tentu
akan kuusahakan membantumu."
Lie Ko Sianseng terbatuk-batuk kecil di belakang Han Sin. "Orang muda pernahkah kau mendengar
tentang ...... surat wasiat Lie Cu Seng .......?"
Berdebar jantung Han Sin. Eh, kiranya orang ini menuju ke situ! Beberapa tahun yang lalu, banyak
orang kang-ouw mendesaknya untuk memperebutkan surat wasiat itu yang berisi pelajaran Ilmu
Koleksi Kang Zusi
Silat Thian-po-cin-keng! Dan kiranya kakek ini menolong Siauw-ong dengan maksud ini pula.
Herannya bagaimana kakek ini tahu akan segala hal yang terjadi di dunia kang-ouw.
Akan tetapi Han Sin pura-pura bersikap tenang saja. "Aku tahu, lo-enghiong, bahkan surat wasiat
itu adalah peninggalan ayahku Cia Sun kepadaku. Kenapa kau menanyakannya?"
"Heh heh heh, tidak apa-apa. Aku adalah seorang saudagar, banyak sudah aku menjualbelikan
barang-barang aneh dan indah. Orang muda, maukah kau menjual kitab itu kepadaku? Lima ratus
tael perak kubeli ..... eh, seorang pemuda banyak membutuhkan uang, biar kubayar seribu tael
perak! Bagaimana?"
Han Sin menoleh sebentar sambil tersenyum. "Sayang sekali, lo-enghiong. Kitab itu sudah kubakar
di dalam guha, karena banyak orang jahat hendak merampasnya dari tanganku."
"Apa ......?" Suara yang tadi sabar itu sekarang menjadi kasar, dan tiba-tiba Han Sin merasa betapa
jalan darah Tiong cu-hiat di belakang lehernya dan jalan darah Thai-yang-hiat di punggungnya telah
disentuh oleh ujung-ujung jari tangan! Dua jalan darah itu adalah jalan-jalan darah terpenting dan
penyerangan totokan yang tepat akan dapat mendatangkan maut. 0rang telah "menodongnya"
dengan ancaman mati! Akan tetapi ia dapat menekan perasaannya dan bersikap tenang sekali.
"Orang muda, kau tentu tidak begitu bodoh untuk membakar kitab tanpa membaca isinya. Kau tentu
sudah membacanya, bukan?"
Han Sin mengangguk. "Tentu saja!" Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan yang mengancam
jalan darahnya gemetar.
"Dan isinya tentu pelajaran ilmu silat dan ilmu perang, bukan?" kini suara kakek itu bergemetar
pula malah.
Kembali Han Sin mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?" Diam-diam Han Sin tersenyum lagi.
Jari-jari tangan itu makin menggigil dan makin menekan tubuhnya.
"Orang muda ..... kau tadi bilang hendak membalas budi padaku, ....... nah, sekarang kutagih. Aku
minta kepadamu supaya kau mengajarkan isi kitab itu seluruhnya kepadaku sebagai pembalasan
jasaku terhadap kau dan monyetmu” Kini Han Sin merasa betul betapa jari-jari tangan itu sudah
menekan keras maka maklumlah ia bahwa kakek ini sebenarnya bukan meminta, melainkan
memaksa dengan ancaman maut! Akan tetapi ia tetap tenang.
"Maaf, lo-enghiong. Permintaan ini tak dapat kupenuhi. Tadi kusanggupi permintaan yang kiranya
dapat kulakukan, akan tetapi hal ini tak mungkin dapat kulakukan. Isi kitab merupakan rahasia
bagiku, tak boleh diberitahukan kepada siapapun juga."
"Orang muda tak ingat budi! Kau harus menuruti kemauanku, karena nyawamu berada di ujung
jariku."
Han Sin tertawa geli. "Ha ha, kau aneh sekali, lo-enghiong. Mana bisa nyawa orang berada di ujung
jarimu? Nyawaku berada di tangan Tuhan, dan kalau Tuhan belum menghendakinya, siapapun juga
takkan mungkin dapat membunuhku!"
"Bodoh kau! Sekali saja jari-jari tanganku menotok, nyawamu akan melayang!"
"Kau cobalah! Apa kau merasa lebih berkuasa dari pada Tuhan?" Han Sin mengejek.
Koleksi Kang Zusi
Lie Ko Sianseng menjadi gemas. Ia tidak bermaksud membunuh pemuda ini, akan tetapi karena
melihat Han Sin berkeras kepala tidak mau memberikan isi kitab kepadanya, cepat ia lalu menotok
jalan darah di punggung pemuda itu, bukan untuk membunuh, hanya untuk membikin pemuda itu
lemas agar ia dapat memaksanya. Ia mengerahkan tenaga ke arah ujung jari telunjuk dan jari tengah
dari tangan kirinya, lalu menusuk, "Takk!" Lie Ko Sian¬seng meringis! Tubuh itu tidak bergeming,
malah jari-jari tangannya terasa sakit-sakit seperti menusuk baja saja!
Tanpa menoleh Han Sin tersenyum. Kalau saja tadi Lie Ko Sianseng menusuk jalan darah kematian,
tentu pemuda ini takkan tinggal diam dan memberi hajaran. Akan tetapi, mendapat kenyataan
bahwa yang ditotok hanya jalan darah yang tidak berbahaya, pemuda ini yang berhati welas asih,
memaafkan perbuatan itu, apa lagi karena dia memang berterima kasih kepada kakek ini.
Di lain pihak, kakek saudagar itu merasa penasaran dan heran sekali. Sekali lagi tangannya
menotok, kini di jalan darah belakang pundak untuk membuat pemuda itu kaku tanpa mengancam
nyawanya.
"Cusssss ........!" Berteriaklah kakek itu saking kagetnya. Jari tangannya menusuk daging yang
lunak dan empuk, akan tetapi yang mengandung hawa dingin membuat tulang-tulang jarinya serasa
tertusuk ratusan jarum kecil-kecil. la cepat menarik tangannya, meringis kesakitan, akan tetapi
memaksa diri tertawa bergelak!
"Ha ha, he he he ……! Tak salah sedikitpun juga dugaanku! Ternyata kau telah menjadi ahli waris
ilmu hebat dari Tat Mo Couwsu .....! Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!" Kakek ini memang
seorang yang memiliki kecerdikan luar biasa, dan perhitungan masak seperti lazimnya seorang
saudagar yang pandai. Karena itulah maka ia dijuluki Swi-poa-ong (si Raja Swipoa).
Seperti diketahui, swipoa adalah alat menghitung yang amat praktis dan cepat serta tepat, maka
julukan Raja Swipoa ini dapat membayangkan betapa cerdik dan masak perhitungannya dalam
melakukan segala macam hal. Ia memang sejak dulu merindukan kitab peninggalan Lie Cu Seng,
maka bertemu dengan Han Sin tentu saja timbul keinginan hatinya untuk memiliki kitab itu atau
setidaknya isinya.
Inilah sebabnya maka ia sengaja menolong pengobatan Siauw-ong dengan resiko besar, kemudian
menuntut pembalasan budi dari Han Sin. Dasar ia cerdik, ia tidak mau mengancam Han Sin dengan
totokan maut. Sekarang melihat bahwa ia tidak berdaya menghadapi pemuda yang ternyata telah
memiliki kepandaian luar biasa ini, ia mengganti siasat.
"Kepandaian manusia tidak ada artinya kalau keliru mempergunakannya, lo enghiong. Pula, sampai
di mana batas ilmu? Tiada habisnya dan setiap orang manusia memiliki, keistimewaan masingmasing,
maka aku tak perlu mengiri terhadap orang lain ......." Dengan ucapan ini Han Sin
menyindir kakek itu.
"Ha ha ha, kau betul ..... kau betul ......! Benar-benar hebat dan pantas sekali menjadi putera Ciataihiap.
Tampan halus, lihai dan berbudi baik, suka menolong dan ingat budi .........”
Diam-diam Han Sin mendongkol sekali. Ia sekarang dapat merasakan kelihaian kakek ini. Tipu
muslihat adalah lebih berbahaya dari pada pukulan yang ampuh, karena ilmu silat dapat dilihat dan
dihadapi, dapat dilawan. Sebaliknya tipu muslihat sukar sekali diduga apa macamnya dan dari mana
datang penyerangannya.
Benar Li Hoa, pikirnya, aku harus berhati hati menghadapi si gendut ini. Kalau sudah menanam
budi, orang macam ini tentu bukan menanam tanpa pamrih, tentu menghendaki balasan, bahkan
Koleksi Kang Zusi
dengan bunga-bunganya! Lebih baik cepat-cepat membereskan perhitungannya dengan kakek ini,
pikirnya.
"Lie Ko Sianseng, aku takkan lupa akan pertolonganmu sampai Siauw-ong menjadi sembuh.
Lekaslah kausebutkan, pekerjaan apa yang dapat kulakukan untuk membayar hutang budimu itu.
Akan tetapi tentu saja sekali lagi kutekankan bahwa aku hanya akan melakukan pekerjaan yang
tidak melanggar kebajikan, dan yang dapat kulakukan."
Merah wajah Lie Ko Sianseng. Akan tetapi dasar dia bermuka tebal, maka sambil menyengir kuda
ia berkata, "Tadi aku hanya main-main saja, Cia-taihiap." Kini ia menyebut "taihiap" untuk
mengam¬bil hati. "Aku sudah tua, untuk apa mempelajari lain ilmu silat? Selain tiada gunanya, juga
belum tentu aku sanggup, tulang-tulangku yang tua sudah terserang penyakit encok, napasku sudah
pendek! Aku hanya ingin mencoba kepandaianmu, taihiap, agar aku tidak ragu-ragu untuk
menyerahkan tugas ini kepadamu, dan aku percaya kau akan suka menolongku."
"Tugas apa? Pertolongan bagaimana?" Han Sin bertanya, hati-hati.
"Begini Cia-taihiap. Aku telah membeli barang-barang berharga, perhiasan, sutera halus, kayu
wangi, dan lain-lain berjumlah dua peti. Nah, barang-barang ini akan kuangkut ke kota Ta-tung ....."
"Kota di mana berkumpul orang-orang gagah, ke mana adikku telah pergi?" tanya Han Sin.
"Betul, hendak kujual di sana. Kau sendiri mengerti, dalam keadaan perang seperti sekarang ini,
perjalanan amat tidak aman, dan aku ..... aku merasa takut untuk membawanya sendiri ke sana ......."
"Hemm, Lie lo-enghiong memiliki kepandaian tinggi, takut apa?"
Merah muka Lie Ko Sianseng. "Ahhh, kalau aku berkepandaian tinggi, kiranya aku takkan berani
menyusahkanmu. Aku mohon pertolonganmu, karena kau sendiripun hendak pergi menyusul
adikmu ke Ta-tung, tolonglah kaukawal dua buah peti itu menggunakan gerobak ini. Maukah kau
menolongku?"
Han Sin berpikir sebentar. Ia memang harus pergi ke Ta-tung menyusul Bi Eng. Apa salahnya
dititipi dua peti? Laginya, ia dapat melakukan perjalanan dengan gerobak, lebih enak dari pada
berjalan kaki. "Baiklah, lo-enghiong. Untuk membalas budimu, aku akan mengawalnya. Padahal
dengan adanya kau, kata-kata mengawal itu tidak tepat lagi ........”
"Jangan salah duga, taihiap. Aku sendiri sih tidak ikut ke Ta-tung. Masih banyak urusan yang harus
kuselesaikan ..... eh, urusan perdagangan tentunya ........"
Han Sin diam saja, namun di dalam hatinya ia tidak percaya. Orang seperti ini bukanlah pedagang
biasa, amat cerdik dan lihai. Entah barang apa yang berada di dalam dua buah peti. Akan tetapi hal
itu bukan urusannya, lebih cepat ia mengirimkan barang-barang itu ke Ta-tung lebih baik lagi.
"Dan di mana adanya barang-barang itu? Setelah sampai di Ta-tung, kepada siapa harus
kuserahkan?"
"Barang-barang itu berada di luar hutan ini, kusimpan dalam sebuah guha. Setelah kau tiba di Tatung,
akan ada orangku menerimanya. Dia akan membawa surat kuasa dariku, semua sudah
kupersiapkan."
Koleksi Kang Zusi
Lie Ko Sianseng membawa pemuda itu ke sebuah guha di tempat yang sunyi. Benar saja. si gendut
ini setelah memasuki guha, lalu keluar membawa dua buah peti yang tidak berapa besar, akan tetapi
cukup berat. Segera dua buah peti dimasukkan ke dalam gerobak.
"Dari sini kauikuti jalan besar menuju ke timur. Hati-hatilah, Cia-taihiap. Perjalanan ini biarpun
tidak berapa jauh, akan tetapi cukup berbahaya. Setelah kau ke timur sampai di kota Tai-goan, kau
membelok ke utara. Jalan antara Tai-goan dan Ta-tung inilah yang berbahaya, kadang-kadang
muncul perampok-perampok lihai."
"Akan kulindungi barang-barangmu dengan sekuat tenaga. Jangan khawatir, lo-enghiong," jawab
Han Sin singkat. Mereka lalu berpisahan, Han Sin bersama Siauw-ong naik gerobak itu menuju ke
timur, sedangkan Lie Ko Sianseng memandang sambil tersenyum-senyum puas.
****
31. Barang Titipan Mata-mata Mongol
SENANG juga rasanya melakukan perjalanan dengan gerobak bersama Siauw ong. Sayang, pikir
Han Sin. Kalau Bi Eng ikut melakukan perjalanan ini, tentu ia akan girang sekali! Teringat akan Bi
Eng, berkerut kening Han Sin, karena sekaligus ia teringat akan sikap Bi Eng mengenai urusannya
dengan Tilana.
Ia maklum benar bahwa Bi Eng bermaksud baik. Gadis itu ingin sekali melihat kakaknya
berbahagia, mendapatkan seorang isteri cantik jelita dan pandai. Memang, siapa dapat menyangkal
bahwa Tilana adalah seorang gadis yang amat cantik dan jarang dapat dicari bandingnya? Dia
sendiri, terus terang saja, akan menerima Tilana dengan kedua tangan terbuka, akan merasa
berbahagia sekali mengambilnya sebagai isteri yang tercinta ..... andaikata ...... di dunia ini tidak ada
Bi Eng!
Bi Eng bersusah payah dan bertekad hendak menjodohkan kakaknya dengan Tilana, karena sebagai
adik kandung gadis itu hendak memenuhi tugasnya, membahagiakan kakaknya. Akan tetapi,
sebaliknya, Han Sin yang sudah tahu bahwa Bi Eng bukan adik kandungnya, bahkan bukan sanakkadang,
dia yang sudah jatuh cinta sepenuh jiwa raganya kepada Bi Eng, bagaimana dapat
memperisteri gadis lain?
Han Sin merenung. Kasihan Tilana ......! Kau ampunkan aku, Tilana. Aku sudah berbuat dosa di
luar kesadaranku. Kau sendiri yang memancing malapetaka. Aku sudah melakukan hal terkutuk .....
dan sebagai seorang jantan, seperti kata-kata Bi Eng, sudah seharusnya aku bertanggung jawab
terhadap perbuatanku. Menurut patut, aku harus bertanggung jawab dan suka menjadi suamimu,
harus melindungimu selama hidupku. Akan tetapi ..... ah, ...... Bi Eng, aku cinta padamu ......
Pada saat itu, Han Sin dengan gerobaknya dikawani Siauw-ong sudah melewati kota Tai-goan dan
sudah membelok ke utara. Daerah ini mulai berubah penuh dengan daerah yang kering dan sunyi.
Mulai jaranglah orang berjalan, malah akhirnya, beberapa puluh li lagi, Han Sin sudah tak dapat
melihat orang di atas jalanan yang amat sunyi. Hanya kadang-kadang saja ada orang-orang
menunggang kuda, sikap mereka gagah seperti orang-orang pejuang, atau orang-orang kang-ouw.
Malah ada pula yang bersikap seperti perampok-perampok, akan tetapi kesemuanya tergesa-gesa
dan tidak memperdulikan pemuda bersama monyet di dalam gerobak kecil itu.
Diam-diam Han Sin geli sendiri. Lie Ko Sian¬seng terlalu penakut. Kenapa untuk mengantar dua
buah peti itu harus merasa takut sampai minta bantuannya? Buktinya dia sudah melakukan
perjalanan jauh dan tak seorangpun mengganggu perjalanannya!
Koleksi Kang Zusi
Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari depan. Suara itu makin lama makin jelas dan dapatlah ia
menduga bahwa dari depan datang iring-iringan kereta. Roda-roda kereta itu mendatangkan suara
gemuruh. Setelah melalui tikungan, benar saja dugaannya.
Dari jauh ia melihat empat buah kereta atau gerobak yang besar dan aneh bentuknya. Gerobak ini
tertutup dengan kain tebal, tiap gerobak ditarik dua ekor kuda yang tinggi besar. Yang mengusiri
gerobak adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tinggi besar, berwajah tampan gagah dengan
kepala diikat kain kepala yang lebar. Di depan gerobak-gerobak itu terdapat seorang penunggang
kuda.
Ketika Han Sin memandang ke arah penunggang kuda di depan iring-iringan kereta ini,
berdenyutlah jantungnya, pucat mukanya. Tak salahkah penglihatannya? Penunggang kuda itu
adalah seorang wanita, berpakaian sebagai wanita Bangsa Hui dan biarpun sebagian muka di bagian
bawah tertutup kain sutera, akan tetapi mata itu ....! Jidat itu ......! Dia Tilana, tak bisa salah lagi!
Mereka sudah berhadapan. Mata yang indah bening itu memancarkan cahaya aneh ketika melihat
Han Sin, kemudian menjadi berapi-api. Han Sin pura-pura tidak mengenal Tilana, lalu turun dari
gerobaknya, menuntun kuda supaya minggir dan memberi jalan kepada iring-iringan gerobak itu.
Akan tetapi gadis berkerudung mukanya itu memberi aba-aba dalam bahasa Hui yang dimengerti
Han Sin. Gadis itu menyuruh orang-orangnya berhenti. Kemudian gadis itu sendiri melompat turun
dari kuda, sekali melompat ia telah berdiri di depan Han Sin dan merenggut kerudung dari
mukanya.
"Laki-laki berhati kejam! Kau masih berpura-pura tidak mengenal aku lagi?" bentak perempuan itu
yang bukan lain adalah Tilana! Gadis ini wajahnya agak pucat, mungkin karena pakaiannya yang
terbuat dari pada kain berwarna putih seperti orang berkabung itu. Han Sin merasa tertusuk hatinya.
"Tilana ..... aku ..........”
"Tilana sudah mati! Kau tidak lihat pakaianku, aku berkabung untuk kematian Tilana, gadis malang
yang menyerahkan jiwa raganya kepala laki-laki yang kejam, yang tidak mengenal kasihan dan
tidak mengenal cinta kasihnya. Tilana sudah mati dan sudah sepatutnya ia mati karena membiarkan
kerudungnya dibuka orang, membiarkan dirinya dihina orang .......” Suaranya menjadi terganggu
sedu-sedan yang naik dadanya, akan tetapi ditahannya sehingga tidak sampai menangis.
Orang-orang lelaki bangsa Hui yang gagal? nampaknya itupun sudah pada turun dari gerobak.
Mereka ternyata ada dua belas orang banyaknya, sikap mereka keren sekali. Seorang di antara
mereka, yang kumisnya yang paling lebat dan tubuhnya paling besar, bertanya dalam bahasa Hui,
"Nyonya Cia, siapakah orang ini, yang berani menyebut nama kecil nyonya?"
Merah muka Tilana mendengar sebutan "nyonya Cia" ini, dan Han Sin seperti ditikam belati
hatinya. Ia terharu sekali. Pemuda yang memiliki kecerdikan luar biasa ini segera mengerti atau
dapat menduga bahwa Tilana malah sudah mempergunakan sebutan nyonya Cia atau mengaku
menjadi isterinya, isteri Cia Han Sin!
"Kau ..... kau menggunakan nama ...... nyonya Cia ....??" tanyanya gagap dan wajahnya menjadi
pucat.
Tilana mengangkat dadanya, sikapnya angkuh. "Seorang wanita sejati harus memiliki kesetiaan.
Memang aku isteri Cia Han Sin, kenapa tidak menyebut diri nyonya Cia? Tapi, Cia Han Sin, seperti
Koleksi Kang Zusi
juga Tilana, telah mati! Kau ini laki-laki berhati keji, yang dengan kejam telah menghancurkan
hidup seorang gadis, malah sudah berpura-pura tidak mengenalku!"
"Nyonya, kalau dia jahat, biarlah hamba memberi hajaran kepadanya!" seru laki-laki tinggi besar
berkumis itu sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.
Han Sin makin perih hatinya. Makin jelas terbayang di depan matanya betapa ia telah berlaku tidak
adil kepada Tilana yang betul-betul mencintanya. Ia merasa amat terharu dan kedua kakinya
menjadi lemas. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tilana!
"Tilana ....., Tilana ....... aku mengaku telah berbuat dosa besar. Kau boleh siksa aku, boleh bunuh
aku ...., memang aku laki-laki kejam .......!"
Orang Hui tinggi besar itu mencabut pedangnya dan hendak membacokkan senjatanya ke leher Han
Sin. Akan tetapi Tilana membentak, "Jangan bunuh dia! Boleh cambuki dia laki-laki kejam ini!"
Orang Hui itu menyeringai, menyimpan pedangnya lalu mengayun cambuknya. "Tar! Tar! Tar!"
cambuk menari-nari di atas tubuh Han Sin. Pemuda ini hendak menebus dosa. Ia rela disiksa. Kalau
dia mau, tentu saja dengan pengerahan tenaga lweekangnya ia dapat menerima cambukan itu tanpa
merasa sakit, malah kalau ia mau, sekali renggut saja ia mampu merampas cambuk atau mengelak.
Akan tetapi hatinya terlalu sedih dan pada saat itu ia hendak menebus dosanya, maka tanpa
mengerahkan tenaga ia menerima datangnya cambukan. Pakaiannya cabik-cabik, malah kulit
tubuhnya pecah berdarah. Cambuk menghantam terus ke punggung, ke muka, sampai mukanya
berdarah, bibirnya pecah pada ujungnya. Ia terguling dan dipukul terus.
Pada saat itu, terdengar pekik dan Siauw-ong melompat turun, terus meloncat ke atas pundak si
pemukul, menggigit pundak dan merampas cambuk. Orang Hui itu berseru kesakitan, cambuknya
terampas dan ia terhuyung ke belakang. Siauw-ong melompat turun dengan cambuk di tangan,
berdiri di depan majikannya, sikapnya mengancam, memperlihatkan gigi dan mengayun-ayun
cambuk dengan pekik menantang!
"Siauw-ong, jangan! Lepaskan cambuk, pergilah ke gerobak!" Han Sin masih sempat mencegah.
Monyet itu menoleh kepada majikannya, ragu-ragu, akan tetapi bertemu pandang dengan Han Sin,
monyet itu mengeluarkan keluhan panjang melemparkan cambuk ke atas tanah lalu berlari-lari ke
gerobaknya.
Orang Hui itu mengambil cambuknya lagi, lalu mencambuki Han Sin lebih hebat pula, agaknya
untuk melampiaskan kemendongkolannya karena penyerangan monyet tadi. Sampai bergulingan
Han Sin dicambuki, tubuhnya sakit-sakit namun ia tidak melawan, juga tidak mengeluh. Akhirnya
ia jatuh pingsan di atas tanah yang berdebu, tubuhnya kotor terkena darah dan debu.
Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah gerobak besar. Gerobakgerobak
lain berada agak jauh dari tempat itu, dan ia berbaring dengan kepala di atas pangkuan
......... Tilana! Gadis itu menangis, membersihkan mukanya, mendekap kepalanya pada dada yang
berdebar-debar itu.
"Kau suamiku ...... bagaimana aku dapat membunuhmu .......?" Air mata bercucuran dan menjatuhi
muka Han Sin, air mata yang hangat dan bening.
Makin terharu hati Han Sin. Tak dapat disangkal lagi, Tilana adalah seorang wanita yang amat
cantik jelita, yang berwatak aneh, keras sekali, akan tetapi ...... amat mencintainya. Wanita lain
Koleksi Kang Zusi
mungkin akan membunuhnya. Ia telah menolak cinta kasih wanita ini, malah sudah menghinanya,
sudah mengusirnya. Akan tetapi Tilana malah mengaku sebagai isterinya, kini malah agaknya tidak
tega melihat dia disiksa.
"Tilana ......, kau terlampau baik bagiku ...... menerima cintamu ....... aku sudah berbuat dosa
kepadamu, kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah Tilana ........"
Tilana terisak, mempererat pelukannya. "Tidak ....., tidak .....! Kau laki-laki perkasa, kau terlalu
baik hati. Aku tahu, kau lihai dan kalau kau kehendaki, sepuluh orang aku dibantu seratus orangku
masih takkan mampu melukaimu seujung rambut. Akan tetapi kau sengaja mengalah, kau sengaja
membiarkan dirimu disiksa ......ah, Han Sin ......... Han Sin, aku tidak mengerti, bukankah ini berarti
bahwa kau ..... kau cinta kepadaku? Kenapa kau menolak cinta kasihku? Kenapa kau menolak
kehendak Tuhan bahwa kita ini berjodoh ......? Kenapa? Kenapa .........?"
Han Sin menggelengkan kepalanya. lalu bangun duduk sambil tersenyum sedih. "Tak mungkin,
Tilana ........, tak mungkin aku mencintai wanita lain. Memang kau baik sekali, kau cantik jelita,
halus budi, dan gagah perkasa, akan tetapi ...... sayang sekali ..... aku tak dapat mencintaimu "
Tilana menyusuti air matanya, lalu dengan mata merah ia memandang Han Sin dan bertanya, "Kau
tidak bisa mencinta wanita lain ..... berarti kau telah mencinta seorang wanita?"
Han Sin mengangguk.
"Siapa dia?" pertanyaan ini memperdengarkan kepanasan hati, membayangkan cemburu yang besar.
Han Sin menggeleng kepala. Bagaimana ia bisa menyatakan kepada Tilana bahwa ia mencinta Bi
Eng?
"Kau bohong. Kalau betul ucapanmu tadi, kau harus mengaku siapa dia yang kaucinta. Barulah aku
akan puas, baru aku mau mengalah ........"
Han Sin berpikir sebentar. Kalau ia diam saja tidak mengaku, tentu ia akan membuat Tilana makin
penasaran dan sengsara hatinya lagi.
"Aku mencinta ...... Bi Eng .......”
"Plak! Plak!" Dua kali tangan Tilana menampar pipi Han Sin, sampai panas terasa oleh pemuda itu
yang hanya tersenyum sedih.
"Kau ini laki-laki macam apa? Bagaimana bisa seorang kakak mencinta adiknya sendiri seperti
cinta kasih seorang pria terhadap wanita?"
Sudah kepalang tanggung bagi Han Sin. Ia harus membuat pengakuan, agar Tilana tidak penasaran
lagi. "Bi Eng bukanlah adikku yang sesungguhnya ....., dia ......, dia itu ..... dia itu ....... dia puteri
Balita .....”
Tilana tersentak kaget, wajahnya pucat. “Apa ...... artinya kata-katamu ini? Anak ibu hanya aku
seorang!"
Han Sin tersenyum. "Banyak rahasia terpendam, banyak hal aneh terjadi di waktu kau masih kecil,
Tilana. Sebaiknya kau tanyakan hal ini kepada Balita, orang yang selama ini kau anggap ibumu itu.
Aku sendiri masih belum tahu banyak "
Koleksi Kang Zusi
Tilana dengan muka pucat memandang Han Sin bibirnya bergerak-gerak perlahan, "Bagaimana
mungkin .....? Masa dia itu saudaraku sendiri? Kakak atau adikku .........?" Kemudian, memandangi
muka Han Sin yang masih lecet-lecet kulitnya dan berdarah, cinta kasihnya timbul dan sambil
menangis ia menubruk pemuda itu.
"Han Sin ...... suamiku, jangan kau mempermainkan aku ...... bilang bahwa semua kata-katamu itu
bohong belaka. Aku akan mengampuni kau ....., kaulah orangnya yang akan dapat membahagiakan
hidupku. Biarkan aku ikut denganmu, biar aku hidup menderita dan kekurangan di sampingmu.
Biarkan aku yang menghiburmu, yang melayanimu, mencuci pakaianmu, memasakkan makananmu
....... Han Sin, kau kasihanilah aku ........"
Han Sin sedih sekali. Andaikata tidak ada Bi Eng, alangkah akan mudah dan senangnya baginya
untuk mencinta wanita ini. Ia mengelus-elus rambut yang hitam dan halus itu, membiarkan Tilana
menangis terisak-isak di dadanya, membiarkan Tilana melampiaskan kedukaannya. Setelah reda
tangis Tilana, Han Sin berkata lemah lembut,
"Tilana, kau seorang gadis yang berhati setia. Akupun demikian, Tilana. Selama hidupku aku hanya
dapat mencinta seorang wanita saja. Aku tak dapat mengkhianati cinta kasih di hatiku sendiri,
biarpun Bi Eng belum tahu akan perasaanku ini, akan tetapi di dalam hati aku sudah bersumpah
takkan mencinta wanita lain. Biarlah kita berpisah sebagai sahabat, Tilana, tentu saja ....... kalau kau
sudi mengampuniku. Kalau tidak, kau boleh membunuhku kalau hal itu kau kehendaki ......."
"Han Sin ......." Tilana menahan isaknya. "Aku ....... aku takkan kuat hidup berpisah darimu, setelah
apa yang terjadi ....... setelah aku menjadi isterimu ....... bila kita dapat bertemu kembali setelah
perpisahan ini ........?"
"Kelak kita tentu akan bertemu kembali, Tilana. Bertemu sebagai sahabat, atau sebagai saudara.
Sekarang biarkan aku pergi, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Andaikata kita takkan
saling bersua di dalam dunia ini, akhirnya kitapun akan berkumpul di alam baka. Semua orang
akhirnya akan bersatu juga ......."
"Han Sin ......., Han Sin .... sekali bertemu aku jatuh cinta padamu, akan tetapi sekali bertemu kau
menghancurkan hatiku .........."
Han Sin hanya menarik napas panjang. Semalam suntuk Tilana menangis dan membujuk,
bermohon, merendahkan diri agar supaya Han Sin suka membawanya, suka diikutinya. Malah gadis
ini sampai menyatakan bahwa ia sudah akan merasa puas kalau diperbolehkan menjadi seorang
pelayannya, biar dia melayani Han Sin dan isterinya kelak, siapapun juga isterinya itu, asal saja ia
diperbolehkan ikut dan selalu berada di sisinya. Beginilah cinta kasih yang sudah berakar mendalam
di hati wanita.
Han Sin merasa amat terharu dan kasihan. Dia belum pernah mengenal cinta kasih wanita seperti
ini. Benar pernah ia merasai cinta kasih Li Hoa, akan tetapi tidak seperti sikap Tilana ini. Ia merasa
amat kasihan dan berusaha menghibur hati Tilana.
Pada keesokan harinya, dengan hati berat, mata merah bengkak karena banyak menangis, muka
sebagian ditutup kerudung agar tidak kelihatan oleh orang-orangnya bahwa ia masih saja menangis,
Tilana akhirnya melepaskan Han Sin. Malam tadi dia sendiri yang mengobati luka-luka di tubuh
Han Sin, malah ia menjahitkan pakaian Han Sin yang cabik-cabik bekas cambukan. Setelah tidak
ada harapan lagi untuk menahan Han Sin, Tilana mengajukan permintaan agar supaya monyet itu,
Siauw-ong dititipkan kepadanya.
Koleksi Kang Zusi
"Aku akan memeliharanya baik-baik," katanya, "biarlah untuk sementara ini dia menjadi kawanku
biar dengan adanya dia di sampingku aku akan merasa berdekatan denganmu. Pula ...... dengan
adanya dia padaku, aku merasa yakin bahwa kau tidak bohong, bahwa tentu kau akan datang
mengunjungi aku di lembah Sungai Kuning di perbatasan Propinsi Shan-si."
Memang tadinya Han Sin berjanji hendak mengunjungi tempat tinggal Tilana yaitu di lembah
Sungai Kuning. Sekarang Tilana mengajukan permintaan ini, berat baginya untuk meninggalkan
Siauw-ong. Akan tetapi, kalau ia menolaknya, tentu akan membuat Tilana tidak percaya kepadanya
dan pula, memang di dalam tugasnya yang berat mencari Hoa-ji, lebih baik kalau ia meninggalkan
Siauw-ong di tempat yang aman.
Demikianlah, setelah banyak memberi tanda dengan kata-kata dan tangan kepada monyetnya
akhirnya Siauw-ong mengerti dan mau ditinggalkan, apalagi ketika dengan halus Tilana
memondongnya dan membiarkan monyet itu duduk di pundaknya. Monyet adalah seekor binatang
yang mudah mengenal baik buruknya maksud orang dan mudah mengenal isi hati dari gerakan
orang itu. Ia merasa bahwa wanita ini tidak bermaksud buruk kepadanya, maka karena takut kepada
Han Sin, iapun tidak membantah perintah ini.
Tilana berdiri dengan Siauw-ong di pundaknya, memandang ke arah gerobak kecil yang
ditunggangi Han Sin bergerak ke utara, sampai gerobak itu lenyap di sebuah tikungan. Dengan isak
tertahan ia lalu melompat ke atas kudanya dan memberi tanda kepada orang-orangnya untuk
melanjutkan perjalanan.
****
Makin ke utara, makin terasa suasana perang. Mulai ramailah jalan, berbondong-bondong orang
menuju ke selatan. Setiap kali bertanya, Han Sin mendapat jawaban bahwa pertempuranpertempuran
mulai pecah di perbatasan. Bala tentara Mongol sudah mulai menyerang dari beberapa
tempat dan selalu mendapat perlawanan yang gigih dari barisan Mancu yang dibantu oleh orangorang
Han. Penduduk yang tidak mau ikut terseret dalam pertempuran, melarikan diri ke selatan,
mengungsi.
Memang tak dapat disangkal pula, semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiap kali terjadi
pertempuran dalam perebutan kekuasaan, tiap kali terjadi perang, yang paling hebat menderita
adalah rakyat. Bagi rakyat di daerah perbatasan ini, selalu menjadi korban. Kalau orang-orang
Mongol yang mendesak tentara Mancu keluar dari sebuah kampung, maka seisi kampung itu habis
dirampoki oleh orang orang Mongol, diambil barang-barangnya, diculiki wanita-wanitanya dan
dibunuhi orang-orang lelakinya.
Kalau orang-orang Mancu yang menang, nasib malang tidak banyak bedanya. Diperas, diambili
bahan makan untuk ransum tentara, diganggu wanitanya dan kalau membantah dicap membantu
musuh! Inilah sebabnya maka para penduduk itu merasa lebih aman mengungsi, meninggalkan
rumah dan kampung halaman, lebih aman mengungsi seanak isterinya, entah ke mana dan entah
bagaimana jadinya dan apa yang akan dimakannya. Pokoknya lebih dahulu meninggalkan tempat
pertempuran itu, meninggalkannya jauh-jauh neraka dunia itu.
Pasukan-pasukan Mancu mulai tampak, kadang-kadang berkelompok menunggang kuda, kadangkadang
berbaris tak teratur. Han Sin mulai menarik perhatian dan dicurigai. Ketika ia tiba di luar
kota Ta-tung, sepasukan tentara Mancu menyetopnya dan ia dengan gerobaknya segera dikurung.
Koleksi Kang Zusi
"Siapa kau? Dari mana dan mau ke mana? membawa apa dalam gerobak ini?" Pertanyaan bertubitubi
menghujani Han Sin yang mendongkol juga melihat sikap mereka. Mereka ini adalah tentara
Mancu, berarti tentara penjajah tanah airnya, berarti musuh-musuhnya!
"Mungkin dia mata-mata Mongol!" terdengar seorang tentara berkata.
Akan tetapi, pada masa itu, para tentara Mancu tidak berani sembarangan mengganggu orang Han.
Hal ini adalah atas perintah yang keras dari para pembesar Mancu di bawah pimpinan Pangeran
Yong Tee. Mereka, orang-orang Mancu ini, dalam menghadapi pemberontakan Mongol amat
membutuhkan bantuan orang-orang Han, terutama sekali orang-orang gagah di dunia kang-ouw,
maka pada para anak buah dipesan supaya berhati-hati dan jangan sembarangan bersikap kasar
terhadap orang-orang Han dari selatan.
"Aku orang she Cia, datang dari Lu-liang-san hendak ke kota Ta-tung. Aku membawa barang
antaran, kalian ini menghadang mau apakah? Apa mau merampok?" jawab Han Sin dengan suara
bernada marah. Tidak biasanya Han Sin bersikap sekasar ini, akan tetapi bertemu dengan tentara
Mancu yang dianggap musuhnya, timbul kebenciannya.
Seorang tentara yang menjadi pemimpin pasukan itu, maju dan berkata dengan suara halus, "Sama
sekali tidak, saudara Cia. Orang-orang selatan adalah sahabat sahabat kami. Akan tetapi, kami
bertugas di sini dan dalam keadaan perang menghadapi pemberontakan penjahat-penjahat Mongol,
kami harus berlaku hati-hati dan memeriksa setiap orang yang memasuki Ta-tung yang menjadi
tempat pertahanan."
Kemarahan hati Han Sin tidak men¬jadi reda dengan sikap halus ini.
"Kalian berperang dengan orang Mongol bukan urusanku. Aku sudah menjawab pertanyaan, sudah
mengaku she-ku, sudah memberi tahu bahwa aku mengantar barang ke Ta-tung. Kalian percaya
atau tidak, juga bukan urusanku. Harap kalian minggir dan membiarkan aku masuk kota."
Jawaban ini membikin marah semua tentara di situ. "Kasar sekali dia! Tangkap saja!" teriak seorang
yang berangasan. Akan tetapi kepala pasukan itu masih berkata halus,
"Saudara Cia, kami bersikap lunak kepadamu, kenapa kau bersikap begitu kasar? Kewajiban
kamilah untuk memeriksa isi gerobak ini. Harap kau suka membuka dua peti itu."
"Tak mungkin!" Han Sin makin marah. "Setelah menjajah tanah airku, apakah kalian masih hendak
menindas dan menghalangi pergerakan bebas seseorang? Peti-peti itu hanya titipan, bukan milikku.
Aku sendiri yang bertugas mengantar tidak berani membuka, apalagi orang lain, tentu tak
kuperbolehkan."
"Kau melawan?" Si berangasan tadi melangkah maju dan memukul kepala Han Sin. Pemuda ini
mengangkat tangan, dua lengan bertemu "dukk!" dan si berangasan menjerit kesakitan, roboh
terguling dengan tulang lengan patah-patah! Ia mengaduh-aduh dengan muka pucat.
"Seekor semut sekalipun akan melawan kalau diinjak, apalagi manusia yang tak bersalah tentu akan
melawan kalau diserang," kata Han Sin, sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan
sinar yang amat tajam menusuk dan seakan-akan berkilat-kilat, membuat semua orang yang
mengepungnya menjadi gentar juga. Kepala pasukan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang
pandai, maka cepat ia menjura sambil bertanya,
Koleksi Kang Zusi
"Maafkan kelancangan anak buahku. Sicu (tuan yang gagah) apakah mempunyai kenalan orang
gagah yang membantu pasukan kami di Ta-tung?"
Han Sin berpikir. Menurutkan perasaannya ia tidak sudi berbaik dengan mereka ini, malah ingin ia
menumpas mereka. Akan tetapi pikirannya yang sehat memaksanya bersikap lain. Ia sedang
bertugas tidak hanya harus melindungi dua buah peti titipan Lie Ko Sianseng. Ia sudah berjanji
melindunginya, kalau sampai terjadi keributan dan peti-peti itu hilang, bukankah berarti ia
melanggar janji? Pula, ia sedang mencari Hoa-ji, malah belum berkumpul kembali dengan Bi Eng.
Alangkah tidak baiknya kalau ia mencari musuh di sini.
"Aku kenal baik dengan nona Thio Li Hoa. Kalian percaya atau tidak, terserah!"
Kepala pasukan itu menjadi terkejut dan saling pandang juga anak buahnya. Nama Thio Li Hoa
siapakah yang tidak mengenalnya? Puteri Thio-taijin yang amat lihai, seorang pendekar wanita
yang gagah perkasa! Pada saat itu datang lagi serombongan orang. Mereka ini berpakaian seperti
pengemis-pengemis dan sebagian pula berpakaian sebagai tosu (pemeluk Agama To).
"Haii ....... bukankah itu Cia-taihiap dari Min-san .......??" Tiba-tiba seorang tosu tua berseru girang.
Tosu ini tua dan gagah sikapnya, rambutnya digelung satu dan sekali ia menggerakkan kaki tahutahu
tubuhnya sudah melayang dan turun di depan Han Sin. Gerakkannya ringan dan cepat seperti
burung terbang saja. Han Sin segera mengenalnya. Cepat-cepat ia menju¬ra. "Eh, kiranya Hee Tojin
berada di sini pula.........!”
Ternyata bahwa para tosu itu adalah anggauta-anggauta Cin-ling-pai dan pemimpin mereka adalah
Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng yang semenjak tewasnya para pimpinan Cin-ling-pai
yaitu Giok Thian Cin Cu, It Cin Cu, dan Ji Cin Cu, telah dianggap sebagai ketua Cin-ling-pai. Tentu
saja ia mengenal Han Sin yang menjadi tuan penolongnya.
Di lain pihak, Han Sin menjadi heran sekali. Bagaimana orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya
berjiwa patriotik sekarang tahu-tahu berada di situ dan agaknya bersatu dengan barisan Mancu?
Bukankah dahulu orang-orang gagah ini memusuhi Mancu? Lebih besar keheranan hatinya ketika ia
mengenal bahwa di antara para pengemis itu terdapat pula Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong, murid
luar Ciu-ong Mo-kai yang dahulu juga seorang patriot! Kenapa dia dan kawan-kawannya itupun
berada di Ta-tung, padahal dulu amat membenci penjajah Mancu? Benar-benar amat mengherankan
semua perubahan ini dan andaikata ia belum mendengar keterangan Li Hoa, tentu ia akan merasa
tidak senang sekali kepada mereka.
Ketika para pengemis dan tosu kang-ouw ini mendengar dari pemimpin regu tentara Mancu tentang
dua buah peti yang dibawa Han Sin, mereka mendekati gerobak Han Sin. Hee Tojin mengerutkan
keningnya dan bertanya,
"Cia-taihiap, kita adalah orang-orang sendiri. Harap kau maafkan kalau prajurit prajurit kasar ini
tadi mengganggumu. Akan tetapi, pinto rasa kaupun takkan berkeberatan memberi tahu secara
berterus terang, siapakah yang mempunyai peti peti ini dan hendak dikirimkan kepada siapa?"
Han Sin maklum bahwa dia mendekati daerah berbahaya, daerah pertempuran dan sudah
semestinya kalau para pejuang yang menjaga di situ harus berlaku waspada. Dia sendiri andaikata
menjadi seorang pejuang yang berjaga, tentu akan berlaku waspada dan tidak mudah mempercayai
orang. Sambil tersenyum ia menjawab,
Koleksi Kang Zusi
"Di jalan aku bertemu dengan Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa. Nah, dialah yang mempunyai petipeti
ini dan dia minta aku menyerahkan dua peti ini kepada seorang penerima yang akan
menyambutku membawa surat kuasanya di Ta-tung.
Terdengar seruan-seruan curiga di antara para pengemis, bahkan Hee Tojin juga memandang tajam.
"Milik Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng? Cia-taihiap, kenapa kau suka membawakan barangnya?
Itulah berbahaya sekali! Tak tahukah kau bahwa Lie Ko Sianseng itu adalah seorang kaki tangan
Mongol, orang yang dipercaya oleh Pangeran Galdan?"
Tak senang hati Han Sin mendengar ini. Andaikata mereka ini, para tosu dan pengemis kang-ouw
ini berjuang membela tanah air melawan penjajah asing, dia tentu akan turun tangan membantu
tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi mereka ini biarpun memerangi orang Mongol, nyatanya
menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mancu!
"Dia itu kaki tangan orang Mongol atau kaki tangan orang Mancu, aku tidak perduli. Bukan
urusanku." Jawaban ini membuat para tosu dan pengemis kang-ouw itu merah mukanya. Sudah
tentu saja mereka merasa disindir.
"Ah, agaknya kau tidak tahu, taihiap. Apakah kau belum bertemu dengan Ciu-ong Mo-kai?" kata
Hee Tojin.
"Siapapun juga takkan dapat merobah pendirianku tadi," jawab Han Sin. "Pendeknya, aku akan
membawa barang-barang ini ke Ta-tung, lalu mencari adikku dan pergi meninggalkan Ta-tung.
Perang antara Mancu dan Mongol bukan urusanku dan aku tidak mau ikut-ikut. Harap kalian suka
minggir dan jangan mengganggu aku."
Hee Tojin sudah mengenal kelihaian pemuda ini, malah pemuda ini adalah pewaris dari pada ilmuilmu
Giok Thian Cin Cu, jadi menurut tingkat masih terhitung paman gurunya sendiri! Juga orangorang
seperti Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong dan beberapa orang lagi di antara tosu dan pengemis
kang-ouw itu sudah mengenal Han Sin.
Akan tetapi, ada beberapa orang kang-ouw yang belum mengenalnya dan mereka inilah yang
menjadi penasaran sekali. Menghadapi seorang pemuda begini sombong, mengapa saudara-saudara
mereka itu begitu bersabar hati dan mengalah?
"Cia-taihiap, harap kau maklumi keadaan kami. Karena barang-barang ini milik Lie Ko Sianseng,
terpaksa kami harus memeriksanya, bahkan sebetulnya harus kami sita!" kata pula Hee Tojin secara
terpaksa.
Bangkit kemarahan Han Sin. "Tidak boleh! Siapapun juga tidak boleh mengganggu barang ini
selama aku masih hidup!"
Hee Tojin mengerutkan keningnya. "Cia-taihiap, kau agaknya sudah terkena bujukan Swi-poa-ong!
Kenapa kau sampai melindungi barang-barangnya seperti ini?"
Han Sin melompat dan tahu-tahu ia telah berada di atas atap gerobaknya. Dengan tenang dan gagah
pemuda ini bertolak pinggang, memandang ke sekelilingnya, kepada mereka yang mengurungnya,
lalu berkata tenang,
"Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya. Aku sudah berjanji akan mengantar barang-barang ini
sampai ke Ta-tung, dan akan melindunginya mempertaruhkan nyawa! Kalian boleh menggunakan
Koleksi Kang Zusi
alasan apapun juga, akan tetapi akupun tetap pada janjiku. Sebelum aku mati, jangan harap dapat
mengganggu barang-barang ini. Siapa hendak mencoba-coba, boleh maju!"
32. Perbedaan Pendapat Guru Dan Murid
UCAPAN ini terdengar sombong, memang Han Sin sudah marah sekali dan ia merasa menjadi
kewajibannya untuk melindungi barang-barang itu sebagai pelaksanaan dari pada janjinya. Memang
ia sudah nekat, hal ini bukan hanya karena pendiriannya sebagai seorang laki-laki yang satu kali
berjanji harus dipegang sampai mati.
Akan tetapi juga ada dua faktor penting yang mempertebal kenekatannya, yaitu pertama karena ia
merasa marah melihat orang-orang yang dulu dianggapnya patriot-patriot sejati itu sekarang mau
mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah, dan kedua kalinya karena semenjak
terjadi peristiwa dengan Tilana, ia memang merasa amat bingung dan berduka sehingga tidak
perduli lagi apakah ia akan mati ataukah hidup!
Tentu saja orang-orang yang mengelilinginya marah mendengar ini. Hee Tojin, Sin-yang Kaipangcu,
dan lain-lain tokoh yang sudah mengenal pemuda ini dan menghormatinya bukan saja
sebagai pendekar, akan tetapi juga sebagai putera Cia Sun taihiap, masih merasa ragu-ragu dan
tidak berani turun tangan. Akan tetapi, tokoh-tokoh kang-ouw yang belum mengenal Han Sin tak
dapat menahan marahnya lagi.
"Pemuda sombong, kau mengandalkan apa sih?" bentak seorang pengemis bertubuh tinggi besar.
Pengemis ini adalah seorang tokoh dari selatan, ketua dari perkumpulan pengemis Po-yang Kaipang,
namanya Can Kwan. Dia adalah seorang ahli gwakang dengan tenaga raksasa yang amat
hebat, senjatanya sebuah toya baja yang berat. Setelah membentak ia lalu melangkah maju dan
toyanya ia gerakkan menyambar ke arah kedua kaki Han Sin yang berdiri di atas gerobaknya.
Pemuda ini tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengelak, bahkan ia lalu menggerakkan kaki
kirinya menendang ke arah ujung toya yang sudah menyambar dahsyat itu. Hee Tojin yang sudah
mengenal tenaga raksasa dari Can Kwan dan tahu akan kehebatan hantaman toya, merasa khawatir
juga. Mana bisa kaki pemuda itu menahan datangnya toya dengan tendangan? Tentu akan hancur
kakinya dan diam-diam Hee Tojin merasa tidak enak hatinya. Juga para tokoh lain memandang
dengan hati tegang, membayangkan betapa kaki itu akan hancur dan tubuh pemuda itu akan
terlempar jatuh ke bawah.
"Dukkk!" Ujung toya bertemu dengan ujung kaki Han Sin dan kesudahannya membuat semua
orang berseru kaget. Bukan kaki itu yang hancur, melainkan Can Kwan yang berteriak ngeri. Toya
itu terpental menghantam pundaknya sendiri, membuat tulang pundaknya remuk dan tak dapat
dicegah lagi ia roboh terguling-gu¬ling sambil mengaduh-aduh lalu pingsan!
Gegerlah suasana di situ semua orang menjadi kaget dan marah. Beberapa orang pengemis kawankawan
Can Kwan mengayun tubuh melompat ke atas atap gerobak, dengan senjata masing-masing
menyerang Han Sin dengan maksud merobohkannya dari atas atap.
Akan tetapi, belum juga kaki mereka menyentuh atap gerobak, empat orang yang melompat
berbareng itu memekik dan roboh kembali seperti dibanting oleh tenaga raksasa. Mereka hanya
merasa ada tenaga yang menolak mereka. Tenaga ini demikian hebat dan tak dapat dilawan sampaisampai
mereka tak dapat menguasai diri ketika jatuh dan terbanting di tanah mengeluarkan suara
berdebuk. Empat orang itu meringis-ringis kesakitan, ada yang tulang kakinya patah, ada yang
perutnya mulas karena bantingan itu dan ada yang matanya berkunang-kunang dan kepala pusing!
Koleksi Kang Zusi
Makin gemparlah orang-orang yang mengurung Han Sin. Tadi mereka tidak melihat pemuda itu
menyerang lawan, hanya menggerakkan kedua tangan saja, akan tetapi tanpa menyentuh keempat
orang lawannya, ia sudah berhasil merobohkan mereka. Benar-benar hal yang hampir tak dapat
dipercaya oleh mereka, kecuali Hee Tojin dan Sin-yang Kai-pang¬cu yang keduanya sudah maklum
bahwa pemuda itu mewarisi ilmu silat Lo-hai-hui-kiam dari Giok Thian Cin Cu dan ilmu silat Liaphong
Sin-hoat dari Ciu-ong Mo-kai!
Para pengurung menjadi ragu-ragu dan jerih. Mereka saling menanti, akan tetapi tak seorangpun
berani mencoba-coba menyerang Han Sin yang masih berdiri di atap gerobaknya dengan sikap
tenang dan angker.
"Sin-ko ....!" Tiba-tiba terdengar seruan girang.
"Eng-moi .....!" Han Sin juga berseru girang ketika melihat Bi Eng datang berlari-lari bersama Li
Hoa. Di belakang dua orang gadis ini kelihatan tiga orang lagi, yaitu seorang pengemis berpakaian
tambal-tambalan berambut kusut awut awutan membawa sebuah guci arak, seorang gadis yang
cantik dan wajahnya mirip Li Hoa bersama seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Han Sin tidak mengenal gadis itu, akan tetapi ia segera mengenal pemudanya yang bukan lain
adalah Phang Yan Bu, putera dari Ang-jiu Toanio. Adapun pengemis aneh itu bukan lain adalah
Ciu-ong Mo-kai! Gadis yang berada di sisi Phang Yan Bu itu bukan lain adalah Thio Li Goat, adik
Li Hoa.
Kita sudah mengenal Li Goat ini sebagai puteri Thio-ciangkun, seorang gadis yang bersama
cicinya, Li Hoa, berjiwa patriotik seperti ibunya. Ketika orang-orang gagah yang tadinya berselisih
faham dan berlawanan, mereka yang pro dan yang anti pemerintah Ceng, kini bersatu dalam
menghadapi pemberontakan Bhok-kongcu alias Pangeran Galdan, dua orang enci adik yang gagah
perkasa ini tidak mau ketinggalan. Merekapun berangkat ke utara dan membantu pembasmian
pemberontak Mongol yang ingin menjajah kembali Tiongkok. Dalam perjuangan inilah Li Goat
bertemu dan berkenalan dengan Phang Yan Bu, dan keduanya saling tertarik, akhirnya mereka
menjadi sahabat baik.
Ketika Li Hoa muncul bersama Bi Eng di Ta-tung, Yan Bu dan Li Goat girang. sekali bertemu
dengan gadis dari Gunung Min-san ini. Phang Yan Bu masih bersikap ramah-tamah dan baik sekali
terhadap Bi Eng, sungguhpun sekarang pemuda ini menjadi ragu-ragu dalam menentukan pilihan
hatinya.
Terhadap Bi Eng diam-diam ia masih menaruh hati kagum dan tertarik. Bi Eng adalah seorang
gadis yang lincah gembira, bersemangat dan panas seperti cahaya matahari, cantik manis dan jujur.
Di lain pihak, Li Goat adalah seorang gadis cantik jelita yang pendiam, bersungguh-sungguh, sopan
dan pengetahuannya luas. Bagaikan bunga, Bi Eng adalah setangkai bunga mawar hutan yang
semerbak harum, bergoyang-goyang gembira kalau terbawa angin. Sebaliknya Li Goat bagaikan
bunga seruni yang tenang, tak mudah tergoyangkan angin, akan tetapi memiliki daya penarik
tersendiri.
Diam-diam Phang Yan Bu suka menbanding-bandingkan dua orang gadis kawan baiknya ini di
dalam hatinya, dan kadang-kadang ia mengeluh dan memaki diri. sendiri. "Kau pemuda gila, mata
keranjang, yang itu suka yang ini cinta. Bodoh, memalukan!"
Akan tetapi, pandang mata Li Goat yang kadang-kadang mengandung sinar kasih sayang
kepadanya, membuat Phang Yan Bu lebih condong kepada Li Goat. Ia dapat menduga bahwa Li
Koleksi Kang Zusi
Goat "ada hati" kepadanya, sebaliknya, Bi Eng bersikap terbuka dan riang kepadanya, seperti juga
kepada orang lain.
Bi Eng juga girang sekali ketika di Ta-tung ia bertemu dengan teman-teman lama ini. Apalagi
ketika ia bertemu pula dengan Ciu-ong Mo-kai, gurunya.
"Bi Eng, kau datang ke sini mau apa?" tanya Ciu-ong Mo-kai setelah hilang keheranannya melihat
murid yang tak tersangka-sangka ini.
Setelah memberi hormat, Bi Eng berkata manja, "Teecu (murid) bertemu dengan enci Li Hoa dan
yang menolong Siauw-ong yang terluka. Karena Sin-ko hendak pergi mencarikan obat, teecu diajak
enci Li Hoa ke sini, bertemu dengan suhu dan teman-teman sambil menanti datangnya Sin-ko."
Ciu-ong Mo-kai cemberut. "Tempat ini menjadi tempat perang. Apa-apaan kau anak kecil datang ke
sini? Tempat berbahaya, tahu?"
Bi Eng mengerling manja. "Suhu sendiri datang ke sini, kenapa teecu tidak? Apa yang diperbuat
oleh gurunya, tentu selalu diturut dan dicontoh muridnya!"
Ciu-ong Mo-kai semenjak dulu tak pernah dapat marah kepada muridnya ini. Malah sering kali Bi
Eng yang "ngambul" dan marah kepada suhunya. Sekarang mendengar jawaban muridnya ini, Ciuong
Mo-kai tertawa bergelak lalu menenggak arak wangi dari gucinya. "Aku tidak bisa berbantah
dengan kau. Tunggu saja sampai Han Sin datang, aku akan perintahkan dia membawamu pergi dari
sini, ke tempat aman!"
Demikianlah Bi Eng merasa senang berada di Ta-tung bersama orang-orang yang dikenalnya. Ia
bertemu dengan tokoh-tokoh persilatan dan merasa amat heran mengapa orang-orang yang dulu
bermusuhan sekarang bisa bekerja sama membantu pemerintah Ceng. Gadis ini biarpun masih hijau
namun berkat bimbingan Han Sin, memiliki kecerdikan pula. Maka setelah ia mendengar penuturan
Li Hoa dan yang lain-lain, ia mengerti bahwa semua ini tentulah hasil dari pada kebijaksanaan
Pangeran Yong Tee!
Pangeran itu amat bijaksana dan dengan kebijaksanaannya itulah ia dapat menarik para enghiong
sehingga orang-orang yang tadinya berjiwa patriot, orang-orang yang tadinya tidak rela melihat
tanah air dijajah bangsa lain, kini malah membantu pemerintah penjajah itu untuk menghadapi
ancaman Bangsa Mongol di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu!
Memang tepat dugaan Bi Eng ini. Pangeran Yong Tee-lah yang mengatur semua ini sehingga
tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ciu-ong Mo-kai, tosu-tosu Cin-ling-pai dan banyak kai-pang
(perkumpulan pengemis kang-ouw) yang tadinya memusuhi pemerintah Mancu, sekarang
berbondong menuju ke utara untuk menghalau ancaman Bangsa Mongol yang bermaksud menyerbu
ke selatan dan menjajah kembali daratan Tiongkok.
Tentu saja dalih-dalih yang ditonjolkan oleh Pangeran Yong Tee untuk menggugah sikap
perlawanan para enghiong ini adalah untuk membela tanah air dan bangsa dari pada penindasan
orang-orang Mongol yang terkenal kejam. Malah dikeluarkannya dalih bahwa Bangsa Mancu
adalah Bangsa Tiongkok juga, dan karena itulah maka orang-orang Mancu bersiap sedia
mengorbankan nyawa untuk melindungi tanah air Tiongkok dari pada penindasan siapapun juga.
Orang-orang gagah itu digali ingatannya akan penderitaan rakyat selama dijajah oleh orang
Mongol.
Koleksi Kang Zusi
Dengan propaganda-propaganda yang dilakukan amat pandai inilah Pangeran Yong Tee berhasil
menarik bantuan banyak orang kang-ouw. Tentu saja di pihak Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan
di Mongol, juga tiada hentinya menyebar propaganda untuk merobohkan penjajah Ceng, untuk
mengusir orang-orang Mancu dari Tiongkok dan dengan jalan ini Bhok-kongcu juga berhasil pula
menarik bantuan orang-orang gagah Bangsa Han sendiri.
Dengan demikian, maka dua orang tokoh pandai ini, Pangeran Yong Tee dari Mancu, Pangeran
Galdan dari Mongol, selain menggunakan bala tentara sendiri masing-masing, juga telah memecah
belah orang-orang Han untuk saling bertempur dan berperang sendiri, sepihak membantu Mancu,
lain pihak membantu Mongol!
Bangsa yang melupakan persatuan, tentu akan lemah sekali, demikian pula keadaan Bangsa Han di
Tiongkok di jaman dahulu. Selalu cakar-cakaran, selalu bunuh-membunuh dan bertempur di antara
mereka sendiri. Perang saudara susul-menyusul, rakyatnya sampai bingung dan sengsara
dipermainkan nafsu-nafsu berkuasa para pemimpin.
Dalam keadaan rakyat saling cakar di bawah pimpinan pembesar-pembesar yang memperebutkan
kekuasaan ini, keadaan negara menjadi lemah dalam arti menghadapi ancaman dari luar. Kalau
tidak demikian halnya, kalau rakyat bersatu padu, kekuasaan apakah di dunia ini yang dapat
mengalahkan Tiongkok yang begitu banyak rakyatnya?
Akan tetapi, karena tidak adanya persatuan sepanjang masa inilah, maka pernah Bangsa Mongol
menjajah Tiongkok sejak penyerangan pertama sampai berakhirnya Kerajaan Mongol selama dua
ratus tahun! Dan itu pulalah yang menjadikan sebab mengapa Bangsa Mancu sampai dapat
menjajah Tiongkok selama tiga ratus tahun!
Sepanjang keterangan yang diperoleh Bi Eng, pertempuran sudah terjadi di sekitar daerah Ta-tung
di bagian utara. Berkali-kali pihak Mongol hendak menerobos ke selatan melalui beberapa tempat
dan selalu mereka itu dapat dipukul mundur oleh pihak Mancu. Ta-tung dijadikan pusat pertahanan
Mancu dan di sinilah berkumpul "sukarelawan-sukarelawan" bangsa Han seperti Ciu-ong Mo-kai
dan yang lain-lain. Malah kabarnya Pangeran Yong Tee sendiri seringkali dari kota raja datang ke
Ta-tung untuk memeriksa keadaan dan memimpin sendiri siasat peperangan.
Bi Eng bertempat tinggal bersama Li Goat dan Li Hoa dan dalam pergaulannya dengan mereka
selama beberapa hari ini, tahulah Bi Eng bahwa ada "apa-apanya" di antara Li Goat dan Phang Yan
Bu. Diam-diam ia merasa girang dan bersyukur karena iapun mengerti bahwa dulu Phang Yan Bu
menaruh perhatian kepada dirinya.
Akan tetapi dia sendiri sampai sekarang tak dapat membalas cinta kasih setiap orang pria. Hanya
kepada Pangeran Yong Tee ia mempunyai perasaan yang mesra, akan tetapi inipun mungkin hanya
karena tertarik oleh sikap pangeran itu yang amat baik dan sopan kepadanya dan dia sendiri tidak
berani menentukan apakah ia mencinta pangeran itu ataukah tidak.
Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat ketika
datang seorang tentara Mancu dengan terengah-engah orang ini berkata kepada Li Hoa,
"Thio-lihiap, ada seorang muda mengamuk di luar kota dan menurut pengakuannya dia sudah
mengenal Thio-lihiap."
Bi Eng dan Li Hoa bertukar pandang Li Hoa segera bertanya, "Bagaimana orangnya?"
"Dia masih muda, tampan dan naik gerobak, menjadi pengawal barangnya Lie Ko Sianseng ....."
Koleksi Kang Zusi
"Sin-ko ....." kata Bi Eng yang segera meloncat dan berlari keluar untuk menjemput kakaknya.
Yang lain-lain sambil tertawa juga berlari mengejarnya.
Demikianlah, mereka menyaksikan betapa Han Sin berdiri tegak di atas gerobak, dikurung oleh
banyak tentara dan orang-orang gagah. Malah melihat keadaannya, tentu sudah ada yang berkenalan
dengan kelihaian dengan pemuda itu.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Bi Eng memanggil kakaknya dan Han Sin girang bukan
main melihat kedatangan Bi Eng, Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan seorang gadis yang
tak dikenalnya. Tentu mereka akan dapat melepaskan, dia dari pengurungan yang tak enak ini.
"Sin-ko, mana Siauw-ong?" Bi Eng yang tak sabar lagi sudah meloncat naik ke atas atap gerobak
dan memegang lengan kakaknya.
Berdebar jantung Han Sin mendengar pertanyaan ini dan kembali terbayang di depan matanya
pengalaman yang baru saja ia alami bersama Tilana! Bagaimana ia bisa menceritakan semua itu
kepada Bi Eng? Mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa malu dan jengah.
Alangkah lemahnya, biarpun di dalam hati yakin bahwa wanita satu-satunya yang ia cinta hanya Bi
Eng, namun begitu bertemu dengan Tilana yang cantik jelita, yang begitu mencintainya, kembali
pertahanan batinnya runtuh! Ia merasa telah mengkhianati, telah mencurangi, telah berlaku tidak
setia kepada Bi Eng.
"Sin-ko, mana dia? Mana Siauw-ong? Apa yang telah terjadi dengan dia? Apakah dia tak dapat
sembuh?" Dalam hujan pertanyaan ini terkandung isak tertahan dan kegelisahan.
"Jangan khawatir Eng-moi. Siauw ong sudah sembuh."
"Tapi mana dia?"
Han Sin yang merasa hangat hatinya karena dapat merasai pegangan tangan Bi Eng yang malah
memeluk dan mengguncang-guncangnya dalam kegelisahannya akan Siauw-ong, menghiburnya
dan berkata lirih, "Ssttt, nanti kuceritakan, semua. Lihat, kita menjadi tontonan orang disini. Lebih
baik lekas menghadap suhu."
Baru Bi Eng teringat bahwa mereka bukan hanya berdua saja di situ. Banyak sekali mata orang
memandang ke arah mereka, sebagian besar tidak sabar melihat adegan kakak dan adik ini. Sambil
menggandeng tangan Bi Eng, Han Sin meloncat turun dari atap gerobak, langsung menghadap Ciuong
Mo-kai dan memberi hormat.
Untuk beberapa detik sinar mata Ciu-ong Mo-kai bersinar kagum dan penuh keriangan melihat
pemuda itu yang sudah banyak ia dengar semenjak mereka berpisah. Diam-diam kakek ini
seringkali merasa geli hatinya betapa dulu ia sering kali putus harapan melihat Han Sin sebagai kutu
buku yang membenci ilmu silat!
Baru setelah ia mendapatkan kesempatan melihat pemuda itu melatih lweekang secara aneh luar
biasa di dalam kamarnya, kakek ini mendapat kenyataan bahwa tanpa disadari, pemuda itu telah
melatih diri menjadi seorang ahli silat yang luar biasa. Dugaannya ternyata benar karena iapun
sudah mendengar akan sepak terjang Han Sin yang amat ajaib, merobohkan orang-orang terkemuka
dan semua itu dilakukan tanpa disadari.
Koleksi Kang Zusi
Kemudian ia mendengar pula betapa pemuda ini sudah memasuki gua dan menjadi ahli waris dari
kitab peninggalan Lie Cu Seng, maka sudah sewajarnya kalau kakek ini merasa kagum dan juga
bangga. Bukankah dia sendiri orangnya yang pertama-tama melatih pemuda ini?
Betapapun juga, karena semua kehebatan itu hanya didengarnya saja dari orang lain dan tak pernah
ia sendiri menyaksikannya, maka ia masih merasa ragu ragu. Han Sin masih kelihatan sederhana
seperti dulu, halus dan merendah, hanya sepasang mata yang dulu sinarnya berkilat seperti mata
harimau di dalam gelap, sekarang menjadi makin kuat dan berpengaruh, akan tetapi penuh
ketenangan.
"Han Sin, betulkah bahwa kau mengawal barang-barang Lie Ko Sianseng dan apa sebabnya kau
ribut-ribut dengan mereka ini?" tanya Ciu-ong Mo-kai, terheran juga mengapa pemuda ini mau
membantu Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa.
"Betul suhu. Lie Ko Sianseng telah berhasil membantu teecu mencarikan obat untuk Siauw-ong
sampai sembuh dan teecu sudah berjanji untuk membalas budinya dengan mengantar dua peti ini ke
Ta tung. Biarpun tadi teecu mendengar bahwa dia adalah mata-mata Mongol, akan tetapi janji teecu
tak mungkin dapat teecu langgar sendiri. Barang-barang ini harus teecu lindungi sampai ada orang
yang berhak menerimanya," jawab Han Sin, suaranya tegas karena pemuda ini sedikit banyak
merasa tidak senang bahwa orang tua yang ia hormati itupun di sini membantu pemerintahan Ceng.
"Siapakah dia yang berhak menerima?" tanya Ciu-ong Mo-kai.
"Teecu belum tahu. Menurut Lie Ko Sianseng, di Ta-tung akan ada orang yang menerimanya."
Orang-orang di situ makin ribut. Terdengar suara-suara memprotes, "Dia tentu mata-mata Mongol!
Dia kaki tangan Lie Ko Sianseng! Tangkap .....!"
Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak, lalu menghadapi para tentara Ceng dan para pengemis kang-ouw,
"Kalian lihat siapa dia? Dia ini adalah muridku, orang sendiri!"
Akan tetapi orang-orang di situ masih ribut, akhirnya Bi Eng tak sabar lagi dan membentak, "Siapa
berani mengganggu kakakku? Dengar, dia adalah gite (adik angkat) dari Pangeran Yong Tee. Hayo,
siapa berani mengganggunya?"
Suara ribut-ribut itu serentak berhenti dan semua orang memandang dengan heran dan terkejut.
"Eng-moi ......" Han Sin menegur adiknya. Tak senang ia diperkenalkan sebagai adik angkat Yong
Tee, Pangeran Mancu penjajah itu.
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan lima orang perwira Mancu datang dengan cepat
di atas kuda mereka. Melihat pakaian mereka,lima orang tersebut adalah perwira-perwira dari
pasukan pengawal pribadi kaisar. Mereka langsung menghampiri Han Sin setelah turun dari kuda,
dengan sikap hormat seorang di antara mereka berkata,
"Pangeran muda mengirim salam Cia-taihiap dan minta maaf bahwa penyambutan atas pengiriman
dua peti dari Lie Ko Sianseng agak terlambat."
Semua orang terkejut dan heran mendengar ini. Bagaimana pula ini? Lie Ko Sianseng terkenal
sebagai mata-mata atau kaki tangan Bhok-kongcu, kenapa sekarang mengirimkan dua peti yang
agaknya akan diterima oleh utusan pangeran muda atau Pangeran Yong Tee sendiri? Tidak hanya
mereka yang mengerti akan keadaan peperangan menjadi heran, bahkan Han Sin menjadi ragu-ragu.
Koleksi Kang Zusi
"Bagaimana aku bisa yakin bahwa dua buah peti ini harus kuserahkan kepada kalian?" tanya Han
Sin dan ia sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa apapun yang akan terjadi, kalau
tidak ada tanda surat kuasa dari Lie Ko Sianseng sendiri, dia takkan mau memberikan dua peti yang
sudah diserahkan ke dalam perlindungannya itu.
Perwira tadi tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah lipatan kain. "Lie Ko Sianseng tidak keliru
mengutus taihiap, karena memang taihiap amat hati-hati. Inilah surat kuasa dari Lie Ko Sianseng."
Han Sin menerima kain bertulis itu yang berbunyi bahwa Lie Ko Sianseng memberi kuasa kepada
pembawa surat untuk mengambil dua peti batu. Han Sin mengerutkan kening. Batu? Benarkah dua
peti itu berisi batu? Kenapa dianggap benda berharga dan kenapa sampai dijadikan rebutan?
"Kuharap kalian tidak keberatan kalau aku cocokkan dulu isi surat dengan isi peti," katanya
kemudian mengambil keputusan.
Perwira itu tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Silakan ..... silakan memang pangeran muda
juga memerintahkan kami untuk memeriksa lebih dulu apakah isi peti-peti itu tidak palsu."
Han Sin lalu memasuki gerobaknya, dengan sekali renggut saja papan penutup peti terbuka dan
alangkah mendongkol dan herannya ketika ia melihat bahwa betul saja, dua peti itu terisi batu-batu
besar yang tidak berharga. Diam-diam ia mema¬ki Lie Ko Sianseng yang dianggap telah
mempermainkannya. Sebaliknya, lima orang perwira itu nampak puas, mereka membantu Han Sin
menutup kembali peti¬-peti itu dan setelah menghaturkan terima kasih kepada Han Sin, mereka lalu
memerintahkan sepasukan tentara mengawal ge¬robak berisi dua peti itu ke kota raja!
Malam itu Han Sin dijamu oleh Phang Yan Bu dan melihat pemuda ini marah-marah kepada Lie Ko
Sianseng, Ciu-ong Mo-kai tertawa, "Kau tidak tahu! Lie Ko Sianseng benar-benar lihai sekali.
Pedagang tetap pedagang, dalam perang mau¬pun damai. Di sana ia mencatut, di sini ia mencatut.
Ha, ha, ha!"
Han Sin tidak mengerti. "Apakah artinya ini semua, suhu? Dan setelah sekarang tidak ada orang
luar, teecu mohon penjelasan mengapa suhu dan orang-orang gagah yang lain datang ke tempat ini
membantu pemerintah penjajah?"
Yang berkumpul di situ hanyalah Ciu-ong Mo-kai, Hee Tojin, dua orang tosu Cin-ling-pai, dua
orang tokoh pengemis kang-ouw, Thio Li Hoa, Thio Li Goat, Phang Yan Bu, dan Bi Eng bersama
Han Sin sendiri. Setelah meneguk araknya, Ciu-ong Mo-kai menjawab perlahan,
"Aku maklum apa yang kau pikirkan, Han Sin. Tentu kau merasa heran dan penasaran kenapa kita
membantu Pemerintah Mancu. Akan tetapi, jangan kaukira bahwa kita membantu untuk berkhianat
kepada bangsa, menghambakan diri kepada penjajah. Sama sekali tidak, Han Sin. Ketahuilah bahwa
jauh lebih celaka dan berbahaya apabila orang-orang Mongol itu sampai mengalahkan Pemerintah
Mancu dan menjajah kembali di tanah air kita. Kita tidak punya pilihan lagi. Kalau dalam waktu
Mongol dan Mancu berperang kita melanjutkan usaha menggulingkan Pemerintah Mancu, itu sama
saja artinya dengan kita membantu Mongol dan amatlah berbahaya kalau sampai bala tentara
Mongol dapat menyerbu ke pedalaman. Jauh lebih baik kalau kita membantu Pemerintah Mancu
lebih dulu mengusir orang-orang Mongol yang amat kejam. Kelak mudah untuk mencari jalan
merampas kembali negara dari penjajah Mancu yang harus diakui tidak sehebat orang Mongol
menindas rakyat, bahkan ada usaha-usaha yang baik dari pemerintah baru ini."
Koleksi Kang Zusi
Panjang lebar Ciu-ong Mo-kai memberi penjelasan kepada Han Sin, akan tetapi orang muda ini
mendengarkan dengan penasaran. Ia masih muda dan belum mengerti betul akan siasat-siasat dan
politik.
Sebagai seorang gagah ia tidak bisa berpura-pura, maka kinipun ia tidak setuju dengan tindakan
orang-orang gagah itu.
"Bagaimanapun juga, penjajah tetap musuh, bagaimana aku dapat membantunya, mengeluarkan
keringat dan darah untuk membantunya?" bantahnya penasaran.
Semenjak dulu, Ciu-ong Mo-kai sering kali dibikin jengkel oleh sikap Han Sin yang dianggapnya
kutu buku yang merasa pintar sendiri. Sekarang mendengar bantahan Han Sin, kakek ini
menenggak araknya sampai terdengar bunyi menggelogok pada kerongkongannya kemudian ia
menurunkan gucinya dan berkata,
"Murid yang tidak mendengar kata kata gurunya itu melanggar peraturan namanya!" Dalam ucapan
ini Ciu-ong Mo kai menyinggung Han Sin menggunakan ujar-ujar kuno.
Han Sin adalah seorang ahli sastera, seorang yang amat memperhatikan segala macam filsafat kuno,
maka segera ia menjawab dengan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, "Dalam membela kebenaran, tak
perlu mengalah kepada guru!"
Tentu saja Ciu-ong Mo-kai yang tidak begitu hafal akan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, marah
mendengar ini, merasa dihina dan tidak dihormati sebagai guru. Tangan kirinya menepuk meja dan
.... amblaslah keempat kaki meja itu sampai satu dim lebih ke dalam lantai! Bukan main hebatnya
tenaga lweekang kakek ini.
"Bagus .....! Kalau sudah tidak mau mengaku guru kepadaku, sudahlah! Perlu apa harus ditonjoltonjolkan
menyolok mataku? Siapa tidak tahu bahwa Cia Han Sin, yang dulu pernah belajar dari
Ciu ong Mo-kai, sekarang sudah memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada si
pengemis tua bangka? Ha, ha, ha!"
"Suhu .....!" Bi Eng berseru. "Harap suhu maafkan Sin-ko ......”
"Ha, ha, ha ...... Bi Eng, kau baru patut menjadi muridku ......” kata kakek itu tertawa-tawa dan
minum lagi araknya. Semua orang, yaitu Phang Yan Bu, Li Hoa, Li Goat, para tosu dan semua yang
hadir, tidak ada yang berani mencampuri urusan ini, tidak ada yang bergerak.
"Sin-ko, kenapa kau bersikap begini terhadap suhu? Sin-ko, harap kau suka minta maaf dari suhu."
Han Sin bangkit berdiri dari kursinya, tersenyum pahit. "Eng-moi, aku memang seorang murid yang
murtad, seorang yang tak mengenal aturan. Akan tetapi, tetap saja aku belum sampai hati untuk
mengekor kepada penjahat laknat. Suhu Ciu-ong Mo-kai, pendirian teecu bukan sebagai seorang
murid kali ini, melainkan sebagai seorang yang mencinta tanah air yang terjajah. Maafkan sikap
teecu kalau suhu anggap tidak betul. Nona Thio Li Hoa, harap kau suka mengawani Eng-moi, kau
tahu bahwa aku mempunyai tugas yang sudah kujanjikan. Kau di sinilah dulu bersama nona Thio Li
Hoa, setelah dia dapat kutemukan, aku akan menjemputmu dan bersama pergi dari tempat ini!"
Dalam suara pemuda ini terkandung penyesalan besar. Memang ia amat kecewa dan menyesal.
Dianggapnya bahwa orang-orang gagah yang sudah membantu Pemerintahan Mancu itu tidak
mempunyai pendirian. Kalau saja mereka itu bangkit untuk melawan penjajah, baik penjajah
Mongol maupun Mancu, tentu ia akan siap sedia membantu, rela mengorbankan jiwa raganya.
Koleksi Kang Zusi
Bi Eng juga berduka sekali melihat keadaan kakaknya ini. Ia tidak berani mencegah karena maklum
bahwa kakaknya, berbeda dari pada biasanya, sedang marah sekali. Ia tahu pula bahwa kakaknya itu
tentu akan pergi mencari Hoa ji seperti yang dipesankan oleh Pangeran Yong Tee. Mencari seorang
di daerah musuh, di utara, bukanlah merupakan tugas ringan, bahkan amat berbahaya. Kalau ia ikut,
belum tentu ia dapat membantu, jangan-jangan malah merintangi gerakan Han Sin.
"Baiklah, Sin-ko. Kau hati-hatilah, akan tetapi, mana Siauw-ong?"
"Dia ..... dia ..... aku bertemu dengan Tilana di jalan dan Siauw-ong dibawanya. Kelak kita pergi
mengambilnya. Setelah berkata demikian, Han Sin yang tidak menghendaki adiknya itu mendesak
terus dan memaksanya menceritakan pertemuannya dengan Tilana, sudah berkelebat dan hanya
nampak bayangan putih menyambar, tahu-tahu ia sudah lenyap dari tempat itu! Hening sejenak,
kemudian Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak.
"Hebat ....., hebat ......, sama benar dengan ayahnya! Keras hati, bersemangat, tidak mudah tunduk.
Ayahnyapun dahulu menjauhkan diri dari orang lain, suka bekerja sendiri, betapapun juga .....
seratus persen patriot sejati ....." Kakek ini lalu menenggak araknya.
Bi Eng ikut dengan Li Hoa dan gadis ini tidak pernah meninggalkan Ta-tung, sungguhpun ia juga
tidak mau membantu pertempuran-pertempuran yang terjadi di daerah itu. Malah ada kalanya kalau
Li Hoa dan Li Goat serta yang lain-lain pergi dan ikut bertempur, Bi Eng tinggal seorang diri di Tatung,
melihat-lihat dan menanti kembalinya Han Sin. Tanpa Han Sin di sampingnya, tidak mau ia
ikut bertempur.
****
Di dalam perjalanannya meninggalkan Ta-tung, menyeberangi perbatasan dan memasuki wilayah
Mongol, beberapa kali Han Sin menyaksikan pertempuran antara pasukan Mongol dan pasukan
Mancu. Akan tetapi, ia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri, malah menghindarkan
diri agar jangan bertemu dengan orang orang yang membantu Mongol seperti Coa-tung Sin-kai,
Tung-hai Siang-mo, apalagi dengan Bhok-kongcu atau Pak-thian-tok Bhok Hong.
Tugasnya hanya mencari dan menemukan Hoa-ji si gadis berkedok, kalau ia melayani segala
bentrokan dengan musuh-musuh lama, tentu akan menyulitkan pekerjaannya dan memakan banyak
waktu. Tak enak meninggalkan Bi Eng terlalu lama di Ta-tung.
Biarpun demikian, beberapa kali ia sengaja menawan seorang Mongol dan memaksanya memberi
keterangan di mana adanya Hoa-ji atau Hoa Hoa Cinjin, karena ia menduga bahwa Hoa-ji tentu
tidak akan jauh dari ayahnya. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa Hoa-ji, seperti yang lainlain,
berkumpul di kaki Gunung Yin-san sebelah utara. Tempat ini sukar didatangi apalagi oleh
orang yang belum mengenal daerah gurun pasir ini. Akan tetapi, Han Sin tidak menjadi gentar dan
dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke utara.
Pada suatu hari, dalam sebuah hutan, ia mendengar lagi pertempuran di dalam hutan. Tadinya ia
hendak menyimpang, tidak mau mencampuri pertempuran itu, akan tetapi tiba-tiba telinganya yang
tajam mendengar seruan-seruan yang sudah dikenalnya. Tak salah lagi, itulah suara Li Hoa!
Pada pasukan Mancu atau Mongol ia tak usah ambil perduli, akan tetapi terhadap Li Hoa, tak
mungkin ia meninggalkannya begitu saja. Gadis itu pernah menolongnya, bahkan berlaku amat baik
kepadanya, pernah malah melindunginya dan berani mempertaruhkan nyawa untuk
keselamatannya. Gadis itu baik dengan perbuatan, pandang mata, maupun ucapan, terang
mempunyai cinta kasih kepadanya. Sekarang ia mendengar gadis ini bertempur di dalam hutan,
Koleksi Kang Zusi
mungkin sekali bertemu lawan yang tangguh, mungkin sekali terancam bahaya. Bagaimana ia bisa
berpeluk tangan saja?
Han Sin cepat berlari memasuki hutan. Betul saja dugaannya, di antara tentara Mancu yang
bertempur melawan tentara Mongol, tampak Li Hoa dengan pedangnya mengamuk hebat. Gadis
yang gagah perkasa ini dikeroyok oleh lima enam orang Mongol, namun gadis itu sama sekali tidak
terdesak. Sudah beberapa orang musuh dirobohkannya, akan tetapi selalu datang penggantinya dan
tetap saja ia dikeroyok sedikitnya lima orang lawan. Pihak Mancu mulai mendesak, apalagi di situ
selain Li Hoa, terdapat pula beberapa orang tosu yang membantu.
33. Duel menghadapi Racun Utara
DARI tempat sembunyinya, Han Sin menonton dan ketika melihat betapa Li Hoa sama sekali tidak
terancam bahaya bahkan mendesak, tidak mau muncul membantu. Ia tidak mau membantu pihak
Mancu, hanya kalau ia melihat Li Hoa terancam bahaya, ia akan keluar menolongnya, baru
sekarang ia menyaksikan pertempuran antara dua bangsa itu dan diam-diam ia merasa kagum
menyaksikan sepak terjang orang-orang Mongol.
Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian bertempur yang lumayan, dan yang paling mengagumkan
adalah kenekatan mereka. Sudah banyak orang Mongol menggeletak tak bernyawa lagi, akan tetapi
sisa pasukan itu mengamuk terus tanpa mengenal rasa takut. Agaknya mereka memang pantang
mundur dan pantang lari!
Pada saat pasukan Mongol sudah terancam sekali kedudukannya, terutama sekali karena amukan
para tosu dan Li Hoa, tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari jauh. Makin lama suara itu makin
keras dan kagetlah Han Sin ketika mendengarkan bahwa suara itu adalah suara nyaring dari banyak
kerincingan yang berbunyi terus-menerus. Teringat ia akan seorang tokoh besar yang pakaiannya
dipasangi benda-benda kecil ini. Pak-thian-tok Bhok Hong, si Racun Utara atau Raja Muda Bhok
Hong-ong, ayah dari Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan pemimpin para pemberontak Mongol!
Agaknya bukan hanya Han Sin yang merasa kaget. Juga Li Hoa, para tosu dan para anggauta
pasukan Mancu terkejut dan nampak gelisah. Di lain pihak, orang-orang Mongol bersorak girang
mendengar suara ini. Semangat mereka terbangun dan dalam keadaan nekat mereka menyerang
orang-orang Mancu yang sedang ketakutan. Pasukan Mancu cerai-berai, banyak korban yang jatuh.
Suara nyaring dari seratus delapan puluh buah kerincingan itu berhenti secara tiba-tiba dan sebagai
gantinya terdengar suara tertawa bergelak. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi
besar, bermuka tampan gagah dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi, dia masih
kelihatan muda dan gagah, pakaian perangnya indah dihias kerincingan pada pakaian dan topinya.
Di pinggangnya tergantung sebatang golok besar.
Suara ketawa ini pengaruhnya hebat sekali, sampai-sampai banyak tentara Mancu menggigil dan
senjata mereka terlepas dari tangan. Bahkan para tosu menjadi pucat, kemudian bersama sisa
pasukan Mancu, mereka mundur-mundur dan tidak berani menyerang. Sedangkan pasukan Mongol
juga berhenti berperang, lalu menjatuhkan diri berlutut, menghormat Pak-thian-tok Bhok Hong.
Dengan sikap tak sabar Pak-thian-tok menggunakan tangannya memberi isyarat supaya orang-orang
Mongol itu bangun berdiri, lalu terdengar suaranya yang nyaring, "Hayo pukul terus, hancurkan
anjing-anjing Mancu ini. Kenapa berhenti?"
Orang-orang Mongol itu tertawa, lalu mengeluarkan sorak sorai gembira dan bagaikan orang-orang
kemasukan setan mereka menyerbu pasukan Mancu yang sudah kehabisan semangat dan nyali itu.
Koleksi Kang Zusi
Melihat ini Li Hoa menggigit bibir. Ia cukup maklum akan kelihaian Pak-thian-tok Bhok Hong.
Akan tetapi, dalam peperangan, seorang gagah pantang untuk merasa gentar. Melihat keadaan para
tentara Mancu yang ketakutan sehingga kini terdesak hebat oleh orang-orang Mongol, Li Hoa
menjadi gemas sekali.
"Hayo, lawan sampai titik darah penghabisan!" teriaknya. Suaranya melengking nyaring mengatasi
sorakan musuh sehingga terdengar oleh para tosu dan para tentara Mancu. Suara nona ini
merupakan minyak yang membuat api semangat mereka berkobar lagi. Benar-benar kini orangorang
Mancu itu menjadi nekat dan begitu mereka melakukan perlawanan mati-matian, kembali
orang-orang Mongol terdesak hebat.
Apalagi Li Hoa, gadis ini dengan pedangnya merupakan seekor naga yang mengamuk. Ke mana
saja pedangnya berkelebat, tentu ada seorang musuh yang terguling. Han Sin makin kagum saja
melihat sepak terjang Li Hoa ini.
Diam-diam ia teringat akan Bi Eng. Kalau Bi Eng berada di situ, tak dapat diragukan lagi tentu Bi
Eng juga akan mengamuk seperti Li Hoa, mungkin lebih hebat lagi. Teringat akan Bi Eng, Han Sin
mengerutkan keningnya. Kenapa Li Hoa meninggalkan Bi Eng dan tahu-tahu berada di tempat ini?
Selagi Han Sin termenung, ia mendengar jerit kemarahan Li Hoa. Cepat ia mengangkat muka
memandang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong
sudah menerjang Li Hoa!
"Perempuan ganas, kau tentu anak pembesar penjilat she Thio itu? Berani bertingkah di depanku?"
Li Hoa melihat majunya Bhok Hong, cepat menusuk dengan pedangnya. Akan tetapi, tahu-tahu
ujung pedangnya itu tergetar dan ternyata telah disentil ujung jari Pak-thian-tok. Li Hoa
mempertahankan diri, namun tak sanggup. Getaran pedangnya hebat, membuat tangannya
menggigil dan di lain saat pedang itu sudah terlepas ke bawah menancap di atas tanah! Inilah yang
membuat Li Hoa menjerit marah. Dengan nekat gadis ini lalu menyerang lagi menggunakan
pukulan tangan kanan!
"Ha ha ha, perempuan liar!" Bhok Hong mengangkat tangannya menangkap pergelangan lengan Li
Hoa semudah orang mempermainkan anak-anak saja. Akan tetapi, selagi ia hendak memaksa Li
Hoa bertekuk lutut, tiba-tiba ia merasa pundaknya lemas dan tahu-tahu cekalannya terlepas. Li Hoa
sendiri merasa ditarik orang ke belakang, maka cepat-cepat ia menggunakan kesempatan itu untuk
melompat tiga tindak sambil memandang. Ternyata ...... Han Sin sudah berada di situ, menghadapi
Bhok Hong!
"Seorang dari tingkatan atas menghina gadis muda, benar-benar tak tahu malu sekali!" kata Han
Sin, suaranya tenang dan sabar, namun tajam seperti ujung pedang menusuk jantung. Merah muka
Bhok Hong mendengar sindiran ini.
la segera mengenal Han Sin. Biarpun selama hidupnya baru satu kali ia betemu dengan Han Sin,
yaitu ketika mereka berada di dalam gua rahasia di Lu-liang-san, namun karena dalam pertempuran
itu terjadilah hal-hal aneh sampai dia terluka hampir mati oleh pukulan dari Thai-lek-kwi Kui Lok
yang dibantu oleh Han Sin, maka bagaimana ia dapat melupakan wajah pemuda ini? Kenangan ini
membuat wajah Pak-thian-tok Bhok Hong makin lama makin merah, malu dan marah bercampuraduk
menjadi satu.
"Hemmm, bagus sekali. Kiranya kau yang muncul ini? Cia Han Sin, selama hidupku aku
mengandung penasaran dan dendam yang besar sekali terhadapmu. Sekarang, sengaja kucaripun
Koleksi Kang Zusi
belum tentu mudah terdapat, tahu-tahu kau telah muncul. Bagus sekali! Apakah kau sudah mewarisi
semua ilmu dari dalam gua? Peninggalan si celaka Lie Cu Seng? Ha ha, hendak kulihat sampai di
mana sih lihainya ilmu itu." Sambil bicara Bhok Hong menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Makin lama tangan itu menjadi makin merah, kemudian berubah semu hijau, lalu agak kebiruan dan
akhirnya kedua tangan itu menjadi hitam sekali, sehitam arang!
Inilah penerapan tenaga beracun yang disebut Hek-tok-sin-kang, hebatnya bukan kepalang dan
karena inilah maka ia dijuluki Racun Utara. Namun jarang sekali Bhok Hong mengeluarkan ilmu
ini karena dengan kepandaiannya yang amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu mukjijat dan dahsyat
inipun sudah jarang ia menemui tandingan. Sekarang belum juga bergebrak ia sudah mengerahkan
tenaga ini, hal itu hanya berarti bahwa ia dapat menduga bahwa pemuda di depannya ini tak boleh
dipandang ringan. Lebih hebat lagi, sambil tertawa mengejek Bhok Hong masih menggunakan
tangan kanan mencabut goloknya yang amat besar dan berat.
Melihat itu, Han Sin tenang-tenang saja. Akan tetapi, Li Hoa dengan wajah pucat lalu melompat ke
depan, memegang lengan Han Sin sambil berbisik,
"Jangan melawan ..... kau pergilah .... larilah ....!”
Namun Han Sin menggeleng kepalanya sambil tersenyum. "Jangan khawatir, Li Hoa. Aku dapat
melayaninya."
Li Hoa sudah maklum akan kelihaian Han Sin, akan tetapi melihat keadaan Pak-thian-tok, ia merasa
gentar bukan main. Mana bisa pemuda ini melawan tokoh besar yang khabarnya tak pernah
terkalahkan orang itu? Ia lalu melangkah maju menghadapi Pak-thian-tok Bhok Hong yang
keadaannya amat menyeramkan itu.
"Pak-thian-tok Bhok Hong! Apakah kau tidak malu? Kau disebut seorang tokoh besar di kalangan
persilatan, seorang yang berkedudukan tinggi, lebih tinggi dari Ciu-ong Mo-kai. Masa sekarang
kauhendak menghadapi seorang murid Ciu-ong Mo-kai dengan menggunakan semua ilmumu yang
jahat, ditambah senjata tajam pula? Ke mana kau menaruh mukamu kalau hal yang tidak patut ini
diketahui semua orang kang-ouw? Ketahuilah, Cia Han Sin sama sekali tidak mau mencampuri
urusan perang antara Mongol dan Mancu. Dia bukan musuhmu dan memang betul dengan mudah
kau dapat membunuhnya, akan tetapi kali ini akan rusak binasa nama besarmu, kau akan dipandang
sebagai seorang rendah tak tahu malu!"
Mendelik mata Bhok Hong mendengar ini. Sudah menggigil tangannya, ingin sekali dengan
pukulannya ia menghancurkan tubuh wanita yang berani mengeluarkan kata-kata seperti itu
kepadanya. Namun, ucapan itu menyadarkannya, membuka matanya bahwa memang tidak patutlah
kalau ia melawan pemuda ini seperti seorang melawan musuh yang setingkat. Untuk
menyembunyikan rasa malu dan penasarannya, ia tertawa bergelak sambil menyimpan kembali
golok besarnya.
"Ha ha ha ha ....., puteri orang she Thio yang sudah mampus ternyata sekarang tergila-gila kepada
bocah ini. Ha ha ha, kaukira aku tidak mengerti mengapa kau membelanya mati-matian! Kau cinta
kepadanya! Tapi benar pula ucapanmu tak perlu aku melawan bocah ini, mengotorkan tangan
mencemarkan nama saja. Heh, bocah she Cia. Melihat muka gadis yang membelamu mati-matian
ini, biar aku pukul kau sampai tiga kali, kalau kau bisa menahan tiga kali seranganku, biarlah
kuampunkan nyawamu!"
Baru saja ia berhenti bicara, secepat kilat dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanannya.
Pukulan ini dahsyat sekali. Angin pukulannya saja yang menyambar hebat membuat Li Hoa yang
Koleksi Kang Zusi
berdiri di samping sampai terpelanting dan hanya dengan menggulingkan diri beberapa kali di atas
tanah gadis itu bisa menyelamatkan diri!
Tentu saja lebih hebat daya serangnya kepada Han Sin sendiri yang memang dijadikan sasaran.
Hawa pukulannya mendatangkan angin dahsyat, juga didahului bau amis yang memuakkan.
Tahulah Han Sin bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Namun ia
seorang laki-laki. Ucapan Bhok Hong tadi sudah mengandung tantangan dan sikap memandang
rendah.
Biarpun dia belum memberi jawaban karena tak sempat lagi, namun di dalam hatinya ia menerima
tantangan ini dan kalau ia mengelak, ia akan merasa malu sendiri. Sambil menahan napas agar
jangan terpengaruh bau amis itu, ia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan mengangkat
lengan kirinya menangkis pukulan ini. Tenaga sinkang yang amat dahsyat, yang mengandung hawa
racun Pek-hiat Sin-coa, mengalir di lengan kirinya.
"Dukk!!" Dua lengan yang jauh bedanya, yang satu kehitaman, besar dan kuat kekar, bertemu
dengan lengan yang berkulit putih halus. Akibatnya hebat. Pak-thian-tok Bhok Hong mengeluarkan
suara menggereng seperti harimau ketika tubuhnya terhuyung-huyung mundur. Juga Han Sin
tergempur kuda-kudanya, merasa betapa hawa yang panas sekali menyerangnya. Namun berkat
sinkang di tubuhnya yang kuat, biarpun ia juga terhuyung mundur namun hawa beracun itu tidak
dapat menembus pertahanannya.
Bhok Hong kaget dan heran bukan main. Pukulannya tadi biarpun baru dikeluarkan setengahnya,
kiranya sudah cukup kuat untuk merobohkan seorang tokoh persilatan setingkat dengan Hoa Hoa
Cinjin atau setidak-tidaknya setingkat dengan Ciu-ong Mo-kai. Kenapa bocah ini hanya terhuyung
saja, bahkan ia sendiri merasa adanya tenaga tolakan dahsyat yang membuat iapun terhuyung
mundur?
la penasaran sekali, digerak-gerakkan kedua lengannya, digosoknya pula kedua telapak tangannya
dan dengan seruan keras ia sudah menyerang lagi. Serangannya amat aneh gerakannya, dua kali
tangan kirinya memukul dan mencengkeram namun ditarik kembali secara tiba-tiba dan tangan
kanannya yang betul-betul memukul secara tak terduga, yang dituju adalah pundak kiri Han Sin.
Pemuda ini bingung juga menghadapi serangan lawannya. Tadi di waktu Bhok Hong menyerang
dengan pukulan-pukulan ancaman, kalau dia mau dengan mudah saja ia akan mendahului dengan
serangan dengan jurus-jurus ilmu silat Lo-hai Hui-kiam atau Thian-po-cin-keng. Akan tetapi tadi
dalam hati ia berjanji untuk menghadapi tiga kali serangan kakek itu, kalau sekarang sebelum tiga
kali diserang ia membalas, bukankah itu berarti melanggar janji sendiri di dalam hati?
Keraguan ini membuat ia menderita rugi. Kalau tadi ia balas menyerang, setidaknya daya serangan
lawan akan berkurang. Akan tetapi karena melihat pemuda itu hanya menjaga diri dan nampak
bingung menghadapi gerakannya yang aneh,
Bhok Hong dapat mengacau pertahanannya dan pukulan ke arah pundak kiri itu datang tiba-tiba
tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi.
Terpaksa Han Sin mengerahkan seluruh sinkangnya, disalurkan ke pundak kiri untuk menerima
pukulan. la maklum akan bahayanya hal ini, akan tetapi apa boleh buat. Dengan pencurahan
segenap panca indera dan hawa semangat di dalam tubuh sampai pundaknya terasa panas sekali, ia
siap menerima pukulan itu.
Koleksi Kang Zusi
"Plakkk!" Telapak tangan yang hitam itu menampar pundak dengan tenaga yang bukan main
besarnya, tenaga dalam yang tidak kelihatan namun sebetulnya menyerang di bagian dalam tubuh.
Kalau bukan Han Sin yang menerima pukulan ini, tentu akan roboh binasa dengan jantung hangus
dan isi dada berantakan.
Dalam pukulan ini Bhok Hong menggunakan tiga perempat bagian dari tenaganya, karena kakek ini
yakin bahwa pukulannya pasti akan berhasil merobohkan Han Sin. Pula, ilmu pukulan Hek-tok-sinkang
ini memang tidak boleh sembarangan dipergunakan. Setiap kali menggunakan, kalau pukulan
ini membalik, dia sendiri akan terluka. Tadi dalam pukulan pertama ia sudah merasa betapa
pukulannya membalik. Baiknya hanya setengah bagian saja sehingga ia masih cukup tenaga untuk
menolak atau "menyimpan" hawa pukulannya yang membalik.
Bukan main hebatnya pukulan ini. Li Hoa menjerit ketika melihat betapa tubuh Han Sin tergoyanggoyang
dan wajah pemuda itu menjadi pucat sekali, kedua kakinya lemas seakan-akan hendak
roboh setiap saat. Gadis itu yang sepenuhnya memperhatikan Han Sin, tidak melihat betapa Bhok
Hong juga menjadi pucat mukanya dan bahkan kedua pundak kakek itu menggigil seperti orang
terserang penyakit demam malaria!
Han Sin meramkan matanya, mengatur napas. Ia merasa jantungnya terguncang dan hawa panas
memenuhi dadanya. Ini baik sekali karena itu berarti bahwa pukulan Bhok Hong yang tadi
membawa hawa dingin sekali, ternyata tidak sampai menguasai jantung dan isi dadanya, dapat
ditolak dengan hawa sinkangnya. Dia telah berhasil menerima pukulan kedua dengan pundaknya!
Diam-diam pemuda ini girang dan juga ada rasa bangga di dalam hatinya. Pukulan kedua tadi bukan
main dahsyat dan lihainya, namun berkat latihan-latihannya, ia berhasil menerimanya tanpa terluka
hebat di dalam dada. Memang kalau dilihat dari luar, hebat sekali bekas pukulan itu. Bajunya di
bagian pundak terlihat ada tanda lima jari tangan hitam, seakan-akan baju itu tadi dicap oleh lima
jari tangan dengan tinta bak.
"Han Sin ...... awas ....!" tiba-tiba Li Hoa menjerit ketakutan ketika melihat betapa Bhok Hong
mempergunakan kesempatan selagi Han Sin berdiri diam sambil meramkan mata, untuk menyerang
ketiga kalinya. Penyerangan yang dibarengi gerengan dahsyat karena kakek itu sudah berada di
puncak kemarahannya dan penasarannya!
Han Sin belum sempat membuka matanya, namun sebagai seorang ahli silat tinggi pemuda ini
sudah dapat mendengar angin pukulan yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan kepala dan
mengangkat tangan kiri ke atas untuk menangkis. Pukulan itu melewati kepalanya, akan tetapi tibatiba
lengan tangan kirinya sudah dicengkeram oleh tangan kanan Bhok Hong!
Han Sin memandang dengan mata berkilat. Kakek itu tertawa liar dan kembali terdengar Li Hoa
menjerit karena Bhok Hong sudah mengangkat tangan kirinya untuk mencengkeram kepala Han
Sin. Dengan tangan kiri sudah dicekal, kiranya takkan mungkin lagi pemuda itu menyelamatkan
dirinya.
Andaikata ia dapat menangkis pukulan atau cengkeraman dengan tangan kanannya, akan tetapi
lengan kiri yang dicengkeram oleh tangan yang mengandung Hek-tok-sin-kang itu, mana bisa
diselamatkan? Racun hitam dari segala macam binatang beracun akan menjalar dari tangan hitam
itu dan akan memenuhi tubuhnya, membuat ia mati dalam waktu singkat!
Han Sin bukan tidak maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Namun ia masih tenang dan
tidak terseret oleh kegemasan yang mempengaruhi hatinya. Melihat tangan kiri itu mencengkeram
ke arah kepalanya, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan di lain saat sebelum Bhok Hong
Koleksi Kang Zusi
sadar, pergelangan tangan kiri Bhok Hong sudah dicekal oleh tangan kanan Han Sin! Keadaan
mereka sekarang sama, saling dicekal pergelangan tangan kiri oleh lawan.
Li Hoa juga seorang ahli silat yang tahu akan seluk beluk tenaga lweekang (tenaga dalam). la
maklum bahwa kini dua orang itu tentu mengadu tenaga lweekang dan hal ini bahayanya seratus
kali lebih besar daripada mengadu pedang atau golok. Kalah menang hanya ditentukan oleh
kematian! Tak terasa lagi air mata bercucuran dari kedua mata gadis itu ketika melihat wajah Han
Sin yang tampan itu berkeringat, pucat dan kelihatannya menderita nyeri yang hebat.
"Han Sin ....., Han Sin ….." bisiknya lemah, tak berdaya untuk menolong.
Memang Han Sin merasa betapa lengannya sakit bukan main. Racun yang luar biasa didorong oleh
tenaga dalam yang dahsyat untuk memasuki tubuhnya dari lengan itu. Namun ia merasa lega bahwa
tenaga sinkangnya sendiri dapat menolak serangan itu, maka iapun lalu mengerahkan tenaga ke
tangan kanannya yang mencekal lengan kiri lawannya.
Kakek itu meringis kesakitan, mulutnya menyeringai, lalu menggigit bibirnya sendiri sampai
berdarah, matanya melotot memandang Han Sin dengan penuh penasaran, kemarahan, dan
keheranan. Selama hidupnya, baru kali ini dia bertemu dengan lawan begini muda namun
berkepandaian luar biasa tingginya!
Akan tetapi, keheranannya bertambah-tambah dengan hebat ketika ia melihat pemuda itu
menggerakkan bibir dan bicara kepadanya dengan suara tenang dan jelas, "Pak-thian-tok, kau
berjanji akan melepaskan aku setelah aku dapat menahan tiga kali seranganmu. Aku sudah menahan
tiga kali, kau tetap tidak mau melepaskan. Apakah kau menghendaki aku membikin serangan
balasan?"
Bukan main kaget, heran dan takutnya hati Bhok Hong. Menghadapi atau menerima
penyerangannya berturut-turut secara aneh selama tiga jurus ini saja sudah hebat. Sekarang dalam
mengadu lweekang, ternyata pemuda ini tidak berada di bawah tingkatnya. Hebatnya, malah kini
dapat bicara! Padahal dalam mengadu tenaga lweekang, bicara merupakan pantangan terbesar.
Dengan bicara, orang memecahkan perhatian dan mengeluarkan hawa, bagaimana bocah ini dapat
bicara seenaknya tanpa mengurangi tenaga perlawanannya?
Sebelum habis Han Sin bicara, kakek itu mengangguk dan meloncat mundur melepaskan
cekalannya, akan tetapi lebih dulu sebelum Han Sin menutup mulut, ia mengerahkan seluruh tenaga
mencengkeram pergelangan tangan pemuda itu dengan maksud meremukkan tulangnya!
Akan tetapi, akibatnya, ia sendiri mengeluh perlahan dan ketika melihat, ternyata tangan kirinya
sudah lumpuh karena tulang lengan kirinya itu patah oleh cekalan Han Sin. Pemuda ini maklum tadi
akan kecurangan lawan, maka dengan gemas ia sambil mempertahankan tangan kirinya,
menggunakan kesempatan untuk menggencet tangan kiri lawan sampai patah tulang lengan kiri itu!
Bhok Hong, menjadi pucat, memandang ke kanan kiri lalu berkata keras,
"Hayo, mundur! Tak perlu berperang lagi di sini!" Sekali berkelebat, kakek ini pergi tanpa pamit
lagi diikuti oleh orang-orang Mongol yang lari tunggang langgang!
Setelah Bhok Hong pergi, barulah Han Sin menjatuhkan diri terduduk di atas rumput, bersila dan
mengatur napas. Li Hoa cepat menghampirinya. Gadis ini tidak berani mengganggu, karena
maklum bahwa jika orang memulihkan tenaga menghisap hawa murni untuk mengusir hawa
beracun dari tubuh, sama sekali tak boleh diganggu.
Koleksi Kang Zusi
Hatinya merasa terharu dan kasihan sekali melihat betapa pergelangan lengan kiri pemuda itu
nampak hitam dan kulitnya seperti bekas dibakar api. Juga pundaknya sekarang kelihatan setelah
tanda hitam pada baju itu hancur menjadi abu ketika dipakai bergerak. Kulit di pundak inipun
seperti dibakar! Bukan main ngerinya kalau dibayangkan kepandaian kakek Racun Utara itu.
Li Hoa segera memberi tahu kepada semua orang Mancu supaya mengubur semua jenasah dan
membawa pulang kawan-kawan yang terluka. Ia sendiri menjaga Han Sin yang masih duduk
bersila.
Dua jam kemudian, baru Han Sin membuka matanya. la merintih perlahan lalu berkata, "Lihai .....
hebat sekali Pak-thian-tok ....." Pemuda ini memang merasa kagum sekali. Mana ia tahu bahwa
pada saat itu, jauh dari situ, Pak-thian-tok Bhok Hong pun sedang merasa menderita lebih hebat
daripadanya, muntah-muntah darah dan cepat-cepat mengobati luka di dalam dadanya?
"Han Sin ..... kau telah menolong .... nyawaku dan kau terluka hebat. Biar kubalut luka di lengan
dan pundakmu ..... “ kata Li Hoa terharu.
Meski gadis cantik ini berlutut di dekatnya. Han Sin menarik napas panjang. Teringat ia akan
pertemuannya yang pertama dengan gadis ini dahulu di jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san, ketika
ia ditawan oleh para tosu Cin-ling-pai kemudian ia ditolong oleh gadis ini. Ia merasa terharu sekali.
Gadis ini mencintanya sepenuh hati, hal ini ia tahu benar.
Kinipun ia melihat tanda-tanda air mata yang belum kering di kedua pipi Li Hoa, juga teringat ia
betapa tadi Li Hoa beberapa kali menjerit ketika melihat ia terancam bahaya, teringat betapa Li Hoa
dengan berani mati mencoba untuk melindungi dan memaki Pak-thian-tok secara berani. Boleh
dibilang gadis ini yang menyelamatkannya. Pak-thian-tok terlalu lihai, bertangan kosong saja sudah
demikian lihai, bagaimana kalau tadi tidak disindir Li Hoa dan menyerangnya dengan golok, bukan
hanya tiga kali melainkan seterusnya sampai ia binasa?
"Li Hoa, bukan aku yang menolongmu, kaulah yang berkali-kali menolongku, kau baik sekali
kepadaku. Li Hoa, kenapa kau begini baik? Kenapa banyak orang baik kepadaku?"
Li Hoa menunduk, menyembunyikan sinar mata dan kemerahan pipinya. "Orang hidup memang
harus saling berbaik terhadap sesamanya, Han Sin. Mari kubalut lukamu."
"Jangan dulu, biar kukeluarkan racunnya." Han Sin memeriksa pergelangan lengannya. Ternyata
racun hitam hanya berkumpul di bawah kulit yang terluka, tak dapat menjalar terus, tertahan oleh
darahnya yang sudah mengandung racun Pek-hiat-sin-coa. "Li Hoa, apakah kau mempunyai tusuk
konde perak?"
Li Hoa mengangguk, lalu melolos tusuk konde perak dan diberikannya benda runcing itu kepada
Han Sin. Han Sin menusuk kulit yang hitam di lengannya itu sambil mengerahkan tenaga
sinkangnya. Keluar darah hitam dari luka itu dan sebentar saja lenyap warna hitam. Han Sin
menanti sampai darah hitam habis dan terganti darah merah, baru ia menghentikan dorongan
tenaganya. Luka di pundaknya tidak sehebat luka di lengannya, maka tak perlu mengeluarkan
racun.
Setelah selesai mengeluarkan darah hitam dan mengembalikan tusuk konde perak, barulah Li Hoa
membalut lengan itu. Lukanya cukup berat, membuat lengan itu terasa sakit sekali dan tiap kali
digerakkan, urat-uratnya tertarik dan keluarlah darah dari luka di dekat urat besar di pergelangan.
Oleh karena itu, terpaksa lengan itu digantung dan saputangan besar itu oleh Li Hoa diikatkan pada
leher Han Sin.
Koleksi Kang Zusi
Menyaksikan sikap gadis yang begitu baik, gerak-geriknya yang penuh kasih sayang dan merasa
betapa jari-jari tangan itu dengan amat mesranya memasangkan balut. Begitu halusnya
menyentuhnya, melihat kulit pipi yang kemerahan dan sinar mata yang jelas mencurahkan isi hati
yang penuh kasih terhadapnya, Han Sin menarik napas panjang.
Teringatlah ia akan sikap Tilana kepadanya, juga ia merasa betapa semua itu sama benar dengan
yang ia rasakan terhadap Bi Eng. Cinta! Alangkah ganjilnya kalau cinta kasih hanya menyerang
sebelah pihak saja. Orang bisa menjadi seperti gila karena cinta. Sikapnya sendiri terhadap Bi Eng
tentu dianggap gila oleh Bi Eng. Kemudian tentang sikap Tilana, dan Li Hoa ini.
Bagai¬mana ia dapat membalas cinta mereka kalau hatinya sudah melekat pada Bi Eng? Teringat
pula ia akan Pangeran Yong Tee, yang sampai menangis karena cinta kasih pula, karena Hoa-ji si
gadis berkedok. Lebih aneh pula. Bagaimana cinta bisa menembus kedok yang menutupi muka
selalu?
"Li Hoa, kau baik sekali kepadaku. Kenapa .....?"
Li Hoa sudah selesai mengikatkan ujung pembalut ke belakang leher Han Sin, dan pada saat Han
Sin bertanya, gadis ini yang agaknya lupa diri karena gelora perasaannya, dengan mesra menyentuh
rambut yang terurai di kening pemuda itu. Kaget ia mendengar pertanyaan ini dan untuk menutupi
rasa malunya, ia menyelinap ke belakang Han Sin yang duduk di atas tanah.
"Ikatan rambutmu terlepas, biar kubereskan, bolehkah?" tanyanya lirih.
Han Sin mengangguk dan merasa betapa dari belakang, kedua tangan gadis itu dengan cekatan dan
mesra melepas tali pengikat rambutnya, mengumpulkan rambut itu dan merapikannya ke atas lalu
membungkus dan mengikatnya pula dengan beres. Terharu hati Han Sin. Alangkah baiknya Li Hoa.
Alangkah mesranya andaikata yang melakukan hal itu adalah tangan ..... Bi Eng!
"Li Hoa, kau belum menjawab pertanyaanku tadi."
Li Hoa sudah selesai mengikat rambut dan kini gadis itu berhadapan dengan Han Sin. Matanya
tajam menentang pandang mata Han Sin dan kedua pipinya kemerahan, cantik bukan main pipi dan
mata itu!
"Kau sudah tahu akan isi hatiku sejak pertemuan kita dahulu, kenapa masih bertanya lagi?"
akhirnya gadis itu menjawab setelah menundukkan mukanya.
Tergetar hati Han Sin. Gadis seperti ini cantik jelita, gagah perkasa, apalagi mencintanya, sudah
sepatutnya dibela dengan nyawa. Gadis seperti ini jarang dapat ditemui keduanya di dunia.
Terkenang ia kepada Tilana dan rasa jengah dan malu menyelubungi hatinya.
Orang macam apakah dia ini? Menurutkan nafsu hatinya, seakan-akan ia mencinta Tilana yang
harus diakui paling cantik di antara semua gadis yang pernah ia kenal. Menurutkan bisikan
sanubarinya seakan-akan ia harus membalas cinta kasih Li Hoa yang begini murni. Akan tetapi
entah bagaimana, semua bisikan dan nafsu hati dan sanubarinya itu terkalahkan oleh perasaan yang
sudah melekat di seluruh hati dan pikirannya bahwa hanya Bi Eng-lah sebetulnya yang ia inginkan
agar selalu berada di sisinya selama hidup!
Tapi hati ini mau saja bertindak sendiri. Di luar kesadarannya, tangan kanannya bergerak dan
menangkap tangan Li Hoa. Gadis itu kaget, menatap wajah Han Sin, lalu menunduk kembali
Koleksi Kang Zusi
dengan muka makin merah, akan tetapi kedua tangannya menyambut uluran tangan Han Sin. Tes ....
tes ..... dua butir air mata yang hangat menetes turun di atas tangan Han Sin.
Sampai lama mereka tidak bergerak, juga tidak bicara, hanya tangan mereka yang saling
berpegangan itu menjadi pengganti suara hati. Han Sin merasa amat tidak tega untuk mengaku terus
terang bahwa dia tak dapat menyambut cinta kasih gadis ini, selain tidak tega, juga tidak berani,
takut melihat akibat seperti yang telah terjadi pada diri Tilana. Akan tetapi, kalau ia diamkan saja
iapun merasa berdosa, seakan-akan ia menipu kasih sayang murni dari gadis itu.
"Li Hoa, kenapa kau berada di sini? Bukankah tadinya kau berada di Ta-tung? Dan bagaimana kau
meninggalkan Bi Eng ......?" Pertanyaan ini menjadi penolongnya, memecahkan suasana mesra
yang membahayakan pertahanan hatinya itu.
Li Hoa dengan malu-malu melepaskan kedua tangannya. Sinar matanya berseri dan cemerlang
ketika ia menatap wajah Han Sin. "Aku mendengar dari Bi Eng bahwa kau hendak mencari Hoa-ji
untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong Tee ......”
Han Sin mengerutkan kening. Alangkah mudahnya wanita menyebar berita. Memang ia tidak
memesan kepada Bi Eng supaya jangan bercerita tentang hal itu kepada orang lain, akan tetapi
tidaklah Bi Eng dapat mengerti bahwa hal itu adalah rahasia hati Pangeran Yong Tee?
"Jadi dia sudah menceritakannya kepadamu?" katanya perlahan.
34. Terungkapnya Misteri Puteri Cia Sun
LI HOA dapat menangkap penyesalan dalam kata-kata singkat ini, maka khawatir kalau pemuda ini
marah kepada Bi Eng, ia cepat berkata, "Hal hubungan antara Pangeran Yong Tee dan Hoa-ji
memang rahasia bagi banyak orang, akan tetapi bukan rahasia lagi bagiku dan bagi mendiang
ayahku. Mereka memang sudah mengadakan perhubungan semenjak Hoa Hoa Cinjin masih berada
di kota raja."
"Ayahmu sudah meninggal dunia?"
Li Hoa mengangguk. "Bhok-kongcu jahanam besar itulah yang membunuh ayah!" katanya dengan
wajah bengis. "Justeru karena inilah maka aku dan Li Goat mati-matian membantu bala tentara
Mancu untuk membinasakan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu itu bersama antek-anteknya!"
Han Sin mengangguk-angguk. Ia dapat menduga mengapa Thio-ciangkun, ayah Li Hoa, dibunuh
oleh Bhok Kian Teng. Ia sudah maklum bahwa Thio-ciangkun adalah seorang yang amat setia
kepada Pangeran Yong Tee, karena itu maka dimusuhi Bhok-kongcu dan dibunuh. Sama sekali ia
tidak tahu bahwa dibunuhnya Thio-ciangkun sebetulnya adalah karena gara-gara .... Bi Eng!
Seperti pernah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Bi Eng pernah tertawan oleh Bhok-kongcu
dan berada dalam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Baiknya Li Hoa yang tahu akan hal
ini mendesak ayahnya supaya minta pertolongan Yong Tee supaya minta gadis tawanan itu dari
tangan Bhok-kongcu. Inilah sebab terutama yang membuat Bhok-kongcu menaruh hati dendam
kepada Thio-ciangkun dan sebelum Pangeran Mongol ini melarikan diri ke utara dan memimpin
pemberontakan, lebih dulu ia bunuh ayah Li Hoa untuk melampiaskan kemarahan dan dendamnya.
"Akan tetapi, kenapa kau berada di sini?" tanya pula Han Sin.
Koleksi Kang Zusi
"Setelah aku mendengar dari adikmu bahwa kau pergi mencari Hoa-ji di daerah ini, aku merasa
amat khawatir. Aku cukup maklum akan kelihaianmu, akan tetapi kau tidak mengerti bahwa di sini
banyak sekali berkumpul orang-orang lihai, terutama Pak-thian-tok tadi. Aku… aku sengaja
menyusulmu untuk memperingatkan kau akan tokoh ini ....., tidak tahunya aku sendiri bertemu
dengan dia!"
Terharu sekali hati Han Sin. Ingin ia menghibur Li Hoa, ingin ia berterus terang bahwa ia tak dapat
membalas budi dan cinta kasih sebesar itu, akan tetapi ia tidak kuasa membuka mulut. Tidak tega ia
melukai hati Li Hoa. Akhirnya berkata juga dia,
"Li Hoa, terima kasih atas segala kebaikan hatimu. Kuharap sekarang kau kemball ke Ta-tung,
harap kausuka menjaga Bi Eng. Jangan kau mengkhawatirkan aku, aku dapat menjaga diriku
sendiri. Kembalilah kau .......”
Setelah tadi menyaksikan betapa Han Sin dapat melawan Bhok Hong, memang tahulah Li Hoa
bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang luar biasa sekali dan bantuannya sama sekali tidak
akan ada artinya. Juga ia dapat menangkap bahwa permintaan ini tak dapat ia bantah lagi, maka ia
mengangguk dan berkata,
"Baik-baiklah kau menjaga diri .....”
"Selamat jalan, Li Hoa."
"Sampai berjumpa kembali di Ta-tung ..., koko (kanda) ......." kata gadis itu malu-malu dan cepat ia
meloncat lalu melarikan diri pergi dari situ! Han Sin menarik napas panjang, lalu menggerutu,
"Cinta ..... cinta ..... kau suka sekali mempermainkan hati muda sesukamu ....” Sampai lama ia
merenung seorang diri, namun tetap saja tak dapat ia memecahkan persoalan sulit daripada cinta
kasih yang mempermainkannya, yang menimbulkan liku-liku asmara yang membingungkan di
sekelilingnya. Tilana ...... Thio Li Hoa ..... Bi Eng ......!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan muncullah belasan orang anggauta tentara Mancu
yang berlari-lari ketakutan. Ada di antara mereka yang pakaiannya cobak-cabik dan berdarah di
sana-sini.
"Celaka kalau muncul si jangkung pemelihara harimau ......!” terdengar seorang di antara mereka
berkata.
"Jangan-jangan orang Mongol akan mengajukan Kalisang siluman itu dan harimaunya .....!” kata
yang lain.
"Aduh ... aduh!” seorang yang.pakaiannya koyak-koyak tiba-tiba terguling dan ketika dilihat oleh
kawan-kawannya ia telah tewas!
"Sudah lima orang kawan tewas. Celaka ...., lari ......!”
Akan tetapi kembali dua orang terguling dan tewas, biarpun luka-luka mereka itu tidak hebat.
Makin ketakutanlah sisa rombongan tentara Mancu ini dan mereka cepat melarikan diri. Namun
tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Han Sin sudah berada di depan mereka.
Pemuda ini amat tertarik hatinya ketika mendengar percakapan mereka tentang seorang jangkung
berbangsa Mongol yang bernama Kalisang dan memelihara harimau. Teringat ia akan cerita
Koleksi Kang Zusi
mendiang Ang-jiu Toanio ketika hendak meninggal dunia, yaitu tentang adik kandungnya yang
diculik oleh Ang-jiu Toanio, dan kemudian adik kandungnya itu dirampas oleh seorang Mongol
gundul yang memelihara harimau!
Orang-orang Mancu yang sedang ketakutan itu makin kaget ketika tiba-tiba entah dari mana
datangnya, muncul seorang pemuda tampan di depan mereka. Han Sin tak mau membuang banyak
waktu.
"Lekas bilang, apakah siluman jangkung pemelihara harimau itu seorang Mongol yang berkepala
gundul?"
"Betul ..... " kata seorang di antara mereka. Han Sin berkelebat dan lenyap lagi. Orang-orang Mancu
menjadi pucat, saling pandang, kemudian ...... lari tunggang-langgang.
"Celaka ....., di siang hari bertemu dengan siluman-siluman berkeliaran ......” keluh mereka
ketakutan.
Han Sin berlari cepat menuju ke arah dari mana orang-orang itu datang. la tiba di sebuah hutan
berbatu-batu. la mencari-cari dengan matanya, akan tetapi tempat itu sunyi dan gelap. Tak terdengar
seekorpun binatang hutan kecuali burung-burung di udara dan di pohon-pohon. Agaknya binatangbinatang
hutan bersembunyi, sama sekali tidak berani memperlihatkan diri atau mengeluarkan
suara.
Tiba-tiba terdengar geraman yang luar biasa kerasnya. Geram harimau! Akan tetapi, bukan main
hebatnya, serasa bergoyang bumi dibuatnya. Han Sin kagum sekali. Tentu seekor harimau yang
amat besar, biarpun ia sering kali melihat harimau dan mendengar aumnya, namun belum pernah
mendengar geraman harimau sedahsyat itu.
Selagi ia hendak lari ke arah suara harimau yang agak jauh dari situ, tiba-tiba ia mendengar teriakan
orang ketakutan dari arah berlainan, yaitu dari arah gunung-gunungan yang banyak gua-guanya.
Ada orang terancam bahaya, pikirnya, dan jiwa satrianya membuat ia membelokkan kaki menuju ke
arah suara ini lebih dulu untuk menolong orang yang berteriak-teriak ketakutan itu.
Ternyata suara itu datangnya dari sebuah gua besar dan ketika ia memasuki gua itu, ia melihat
seorang laki-laki Bangsa Mancu menjerit-jerit ketakutan dalam sebuah kerangkeng beruji besi yang
amat kokoh kuat. Laki-laki ini ketakutan setengah mati, agaknya setelah mendengar auman harimau
yang masih bergema itu.
Akan tetapi munculnya seorang pemuda tampan yang tangan kirinya dibalut dan digantung
membuat ia terdiam heran biarpun tubuhnya masih menggigil dan wajahnya pucat.
"Kenapa kau di sini? Siapa yang menawanmu?" tanya Han Sin.
"Tolonglah hamba ..... orang gagah, tolonglah ......" orang itu meratap dalam Bahasa Mancu yang
dimengerti baik oleh Han Sin. Memang pemuda ini dahulu di Min-san sudah mempelajari bahasabahasa
asing di sekitar Tiongkok. "Hamba .... ditawan oleh ..... Kalisang .... dan itu dia dan ....
harimaunya sudah terdengar suaranya ...... tolonglah .......”
Girang hati Han Sin. Kiranya orang ini seorang yang akan dijadikan korban, hendak dijadikan
santapan harimau peliharaan Kalisang! Kesempatan bagus untuk mencari keterangan perihal adik
kandungnya! Cepat ia menggunakan tangan kanannya merenggut putus beberapa buah ruji besi di
belakang orang itu yang memandang dengan mata terbelalak heran.
Koleksi Kang Zusi
"Lekas keluarlah dan bersembunyilah. Kau harus lari dari jurusan lain supaya jangan jumpa di jalan
dengan harimau itu." Orang itu saking girangnya, lupa mengatakan terima kasih. Terus saja ia
meloncat keluar dan berlari sipat kuping menuju ke arah yang berlawanan dengan arah di mana
terdengar auman harimau itu. Han Sin lalu memasuki kerangkeng itu dari belakang, duduk
bersandar pada bagian yang sudah ia rusak rujinya, menanti tenang.
Suara auman harimau makin lama makin dekat dan tiba-tiba muncullah seekor harimau besar sekali
di depan gua, bersama seorang laki-laki yang aneh. Orang ini bertubuh tinggi kurus, kepalanya
gundul pelontos mengkilap seakan-akan kepala yang benjal-benjol itu digosok dan disemir selalu!
Kerut keningnya membayangkan watak yang pemarah dan lucunya, di kedua telinganya
bergantungan dua buah anting-anting! Adapun harimau itu benar-benar seekor harimau yang besar
sekali dan nampaknya amat kuat dan buas, akan tetapi jinak di dekat orang gundul tinggi kurus itu.
Inilah Kalisang, orang Mongol pemelihara macan yang pernah kita temui satu kali dalam jilid yang
lalu. Seperti telah dituturkan dalam cerita itu, Kalisang telah merampas bayi dalam gendongan Angjiu
Toanio di dalam hutan dan pada saat ia hendak memberikan bayi itu kepada harimaunya, muncul
Hoa Hoa Cinjin yang mengalahkannya dan merampas bayi itu.
Kini Kalisang memandang dengan muka muram ke dalam kerangkeng. Ia amat heran karena tadi
yang ditangkapnya untuk dijadikan mangsa harimaunya adalah seorang Mancu, musuh bangsanya.
Kenapa sekarang tahu-tahu telah berobah menjadi seorang pemuda Bangsa Han tampan? Tak
senang ia melihat mata pemuda itu yang mencorong tajam, malah harimaunya yang tadinya
menggeram melihat calon mangsanya, kini agak mendekam dan mengeluarkan gerengan takut
ketika matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu yang tidak kalah tajam dan berpengaruh!
"Ke manga pelginya olang Mancu itu? Kau ini setang dali manga belangi masuk ke sini?" tanyanya
dengan suaranya bindeng.
Geli juga hati Han Sin mendengar orang bindeng ini bicara. Kalau Bi Eng berada di sini, tentu ia
akan terpingkal-pingkal, pikirnya.
"Apa kau yang bernama Kalisang?" tanyanya tak acuh.
"Betul, aku Kalisang dan kau akang mengjadi makangang macangku! Ha ha, dagingmu lebih
empuk tengtu dali pada daging olang Mancu .....!”
Kalisang melangkah maju, mengeluarkan sebatang kunci dan membuka pintu depan kerangkeng
yang dikuncinya itu. Dengan muka menyeringai ia lalu menarik pintu kerangkeng terbuka. Akan
tetapi, ia merasa heran melihat harimaunya tidak lekas menubruk maju. Biasanya, begitu
kerangkeng dibuka, harimaunya itu terus saja menubruk maju dan menyerang calon mangsanya di
dalam kerangkeng. Sekarang ini si macan hanya menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan
matanya mencorong ke arah Han Sin.
"Anakku .....hayo maju, makang dia ..... hayoh .....!” Kalisang mendesak harimaunya.
Han Sin tidak takut sama sekali menghadapi harimau itu, akan tetapi ia merasa kurang leluasa kalau
harus melawan harimau di dalam kerangkeng yang sempit. Maka ia mendahului keluar dari
kerangkeng menghadapi Kalisang dan harimaunya dengan tangan kiri tergantung.
"Kalisang, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kedatanganku ini hanya hendak bertanya, ke
mana perginya anak perempuan yang belasan tahun yang lalu kaurampas dari tangan Ang-jiu
Toanio?" Sambil bertanya demikian, pandang mata Han Sin menyambar-nyambar dari Kalisang
Koleksi Kang Zusi
kepada harimau itu dan meremang bulu tengkuknya kalau ia membayangkan betapa adik
kandungnya itu sudah dijadikan mangsa harimau ini!
"Kau ....kau bilang apa ....?" Kalisang bertanya, wajahnya agak berubah. "Kau siapa ....?"
"Tak perlu kau mengenal aku siapa, hanya patut kauketahui bahwa anak perempuan yang masih
bayi, yang kaurampas dari tangan Ang-jiu Toanio dulu itu, dia adalah adik kandungku. Di mana
dia??" Kini di dalam suara Han Sin terkandung ancaman hebat.
Kalisang menepuk pantat harimaunya dan binatang itu kini mulai menyerang, menubruk dengan
kuat sekali ke arah Han Sin. "Heh heh, kau mau mampus masih benglagak .......!“
Akan tetapi alangkah kagetnya hati Kalisang ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan
sebelah tangan, menggeser kaki ke samping lalu tangan itu bergerak cepat, menampar mulut macan.
"Prakk!" Harimau terbanting dan mulut harimau itu hancur, giginya pada copot dan bibirnya
berdarah sampai ke hidungnya! Harimau itu kesakitan dan marah sekali. Kembali ia meloncat
dengan tubrukannya, kini kedua kakinya juga ikut mencakar.
Kembali Han Sin bergerak cepat, dua kali tangan kanannya bergerak dan "Plak! Plak!" Harimau itu
sekali lagi terbanting dan bergulingan sambil menggereng-gereng kesakitan. Ternyata semua tulang
kaki depannya telah remuk oleh tamparan Han Sin tadi! Setelah tulang kaki depannya patah-patah
dan mulutnya berikut gigi-giginya rusak, harimau besar ini tak berdaya lagi.
Kalisang membelalakkan matanya. la marah bukan main, sambil mengeluarkan seruan panjang dan
aneh ia melangkah maju dan tangan kanannya bergerak ke depan. Lengan ini terus mulur panjang
dan biarpun jarak antara dia dan Han Sin ada satu setengah meter lebih jauhnya, tangannya masih
dapat mencengkeram ke arah pundak kanan pemuda itu! Han Sin merasa heran karena belum
pernah ia melihat ilmu seperti ini, akan tetapi ia sengaja bergerak lambat dan memberi kesempatan
kepada tangan lawan untuk mencengkeram pundaknya.
Kalisang berseru kaget ketika tangannya mencengkeram pundak yang menjadi lunak seperti kapas
saja sehingga semua tenaganya amblas dan lenyap ke pundak lawan, dan lebih-lebih kagetnya
ketika tiba-tiba tangan Han Sin sudah menotok jalan darah di dekat sikunya yang sekali gus
membuat tangannya itu lumpuh! Belum sempat ia bergerak, tubuh Han Sin berkelebat dan Kalisang
roboh terguling, tak dapat bergerak lagi!
Kakek ini disamping kesakitan dan kekagetan, juga merasa heran setengah mati. Bagaimana ada
orang masih amat muda lagi, dapat membikin dia tak berdaya hanya dalam segebrakan saja? Belum
pernah selama hidupnya ia mengalami hal aneh seperti ini!
"Hayo kaukatakan, Kalisang. Di mana bocah perempuan yang kaurampas dari tangan Ang-jiu
Toanio dulu itu?" Han Sin membentak.
Kalisang berusaha bangun, akan tetapi tidak berhasil. Ia malah tidak kuasa lagi menggerakkan kaki
tangannya. Akhirnya ia mengeluh,
"Aduuhhh ...... kau hebat sekali ..... angak itu ..... sudah dingampas ...... Hoa Hoa Cingjing .....”
Han Sin melompat maju, mencengkeram lengan Kalisang demikian eratnya sampai kakek itu
meringis. Ia merasa betapa tulang-tulang lengannya seperti hancur luluh dicengkeram tangan
pemuda aneh ini.
Koleksi Kang Zusi
"Jangan bohong! Anak itu tentu sudah kauberikan kepada macanmu menjadi mangsanya!"
“..... ooohh, enggak ..... enggak ..... aduhh lepaskan lengangku ......., betung betung ..... dulu
dingampas Hoa Hoa Cingjing ..... mana aku bengani melawang dia ....?"
"Dirampas Hoa Hoa Cinjin ....? Kau maksudkan ...... Hoa-ji itu ......"
"Aku tidak tahu siapa nangmanya .... kau boleh tanyakan saja sama dia ......?"
Han Sin bangun berdiri. Sekali menyambar, ia sudah mengangkat kerangkeng itu dengan sebelah
tangan, lalu membanting kerangkeng itu di atas tubuh harimau yang masih berkelojotan di atas
tanah. Kerangkeng pecah berantakan dan kepala harimau pecah.
"Kali ini baru kerangkeng dan macanmu yang kuhancurkan. Awas, kalau ternyata kelak kau
membohongiku tentang bocah itu, aku akan mencarimu dan menghancurkan kepalamu juga, jangan
harap kau akan dapat terlepas dari tanganku!"
"Tidak ..... tidak bohong ....!" keluh Kalisang yang tidak berdaya sama sekali melihat binatang
peliharaan dan kerangkengnya hancur. Han Sin lalu meninggalkan tempat itu dan terus menuju ke
utara.
Di sepanjang jalan ia tak dapat menahan jantungnya yang berdebaran tidak karuan. Kalau betul
cerita Kalisang bahwa adik kandungnya itu dirampas oleh Hoa Hoa Cinjin, apakah tak boleh jadi
kalau adik kandungnya itu adalah Hoa-ji si gadis berkedok? Dan ia sedang mencari Hoa-ji yang
menjadi kekasih Pangeran Yong Tee. Betul-betulkah dia adik kandungku ....?
Han Sin ragu-ragu, akan tetapi sekarang semangatnya mencari Hoa-ji menjadi berlipat kali lebih
besar lagi. Ia akan mencari Hoa-ji, bukan saja hanya untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong
Tee, akan tetapi sekarang, terutama sekali, untuk membuktikan apakah Hoa-ji betul-betul adik
kandungnya yang selama ini ia cari-cari. Betapapun juga, legalah hatinya mendengar dari Kalisang
bahwa adik kandungnya tidak dimakan harimau seperti yang tadinya ia khawatirkan.
Aku harus menyerbu ke utara, kalau perlu kudatangi markas besar tentara Mongol. Harus kujumpai
Hoa-ji. Siapa tahu dia betul-betul adik kandungnya! Hati Han Sin berdebar keras. Dia merasa sudah
hampir dapat membuka rahasia ini. Rahasia Bi Eng, rahasia Tilana, dan rahasia adik kandungnya!
Mungkin rahasia kematian orang tuanya. Dengan penuh semangat, biarpun tangan kirinya masih
harus digantung, pemuda ini melakukan perjalanan cepat menuju ke utara.
****
"Ibu, ada sebuah hal yang kuharap ibu suka berkata terus terang kepadaku." Demikian Tilana
berkata kepada ibunya, begitu ia memasuki rumah dan menghadap ibunya itu. Ibunya adalah Balita,
seorang Puteri Hui yang tersohor, seorang pemimpin Suku Hui yang mempunyai nama besar di
dunia kang-ouw, apalagi akhir-akhir ini. Sepak terjangnya aneh dan ganas sekali, sungguhpun ia
pada hakekatnya membenci kejahatan dan membasminya, namun dengan cara yang ganas dan
kejam tak kenal ampun. Oleh karena itulah maka Balita mendapat julukan Jin-cam-khoa (Algojo
Manusia).
Di waktu mudanya, Balita terkenal seorang wanita cantik jelita jarang bandingnya. Akan tetapi,
seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu, setelah wanita ini menjadi rusak hatinya karena
tergila-gila kepada Cia Sun dan oleh pendekar itu cinta kasihnya ditolak, Balita menjadi buas dan
Koleksi Kang Zusi
seperti berubah ingatannya. Ia menjadi kejam, ganas sekali, dan tidak lagi memperdulikan
kecantikan dirinya.
Sekarang ia telah menjadi seorang wanita tua yang biarpun masih ada tanda-tanda bekas
kecantikannya, namun ia kelihatan seperti orang liar. Rambutnya riap-riapan panjang, pakaiannya
sederhana dan tidak karuan. Akan tetapi hebatnya, karena ia tekun memperdalam ilmunya, ia
menjadi makin lihai dan tak seorangpun Bangsa Hui yang tidak tunduk dan takut kepadanya.
Kedatangan puterinya yang sudah membuka kerudungnya itu, membuat Balita mengerutkan kening
dan memandang tajam. Cantik sekali wajah anaknya ini, cantik jelita. Mendengar ucapan Tilana
tadi, Balita makin tajam pandang matanya.
"Ada hal apa yang aku sembunyikan darimu?" balas tanyanya.
"Ibu, pernah aku mendengar ibu berkata bahwa anak ibu hanya aku seorang diri, akan tetapi .....
benarkah itu, ibu? Apakah selain aku, tidak ada lain orang anak perempuan lagi? Apakah tidak ada
adikku?"
Seketika pucat wajah Balita mendengar pertanyaan ini. Ia bergerak maju dan lengan tangan anaknya
sudah dipegangnya erat-erat, seperti seekor burung rajawali menangkap kelinci.
"Apa katamu? Dari mana kau mendengar hal itu? Dan .... eh, kenapa kau sudah membuka
kerudungmu? Tilana, kau telah melanggar sumpahmu! Hayo katakan, siapa yang membuka
kerudungmu?" Tiba-tiba saja, mungkin karena dibangkitkan kekagetannya mendengar pertanyaan
Tilana tadi, Balita menjadi marah tidak karuan.
Tilana terpukul hatinya oleh pertanyaan yang memang sudah disangka-sangkanya ini. la
menundukkan mukanya. Tidak biasa gadis ini berbohong kepada ibunya.
"Ada orang yang sudah membukanya, ibu .... akupun hendak menceritakan hal ini kepadamu. Ada
.... seorang pria yang sudah membukakannya ....."
"Setan! Dan kau sudah bunuh dia, sudah cincang hancur tubuhnya?"
Tilana menggeleng kepalanya.
Tiba-tiba Balita mencengkeram pundaknya, dan pikiran yang sudah kacau-balau dari wanita
setengah tua ini tiba-tiba teringat akan hal lain. "Eh, katakan lekas apakah kau sudah dapat
memenggal leher Cia Han Sin putera Cia Sun? Kenapa tidak kaubawa ke sini kepalanya?!?"
Tilana sudah biasa menghadapi keadaan ibunya seperti itu. Pikiran ibunya berpindah-pindah tidak
karuan. Karena soal membalas dendam kepada Han Sin ada hubungannya dengan kerudung yang
direnggut dari mukanya, maka Tilana lalu menjawab,
"Tidak, ibu. Dia terlalu lihai bagiku, kepandaiannya tinggi sekali ..... dan aku telah gagal
membunuhnya. Sedikitnya aku harus berlatih sepuluh tahun lagi kalau harus menghadapi ilmu
silatnya."
Balita menarik napas panjang dan menjatuhkan dirinya di atas bangku, nampak kecewa sekali.
Sampai lama ia diam tak bergerak, lalu terdengar ia berkata perlahan, "Cia Sun .... Cia Sun ....,
sampai kapan aku dapat membalasmu?" Dan wanita ini menangis terisak-isak.
Koleksi Kang Zusi
Tilana memeluk ibunya. "Ibu, harap kau jangan berduka, ibu ..... dan soal sakit hati itu kurasa
takkan mungkin dapat dilakukan pembalasan lagi ....”
Mendadak Balita meloncat lagi berdiri dan memandang bengis kepada anaknya. "Percuma saja
selama ini kudidik kau! Tidak becus membikin mampus anak Cia Sun. Eh, bagaimana tentang lakilaki
yang merenggut kerudungmu tadi? Kau bilang tidak membunuhnya? Kenapa kau tidak bunuh
diri atau menyerahkan diri menjadi isterinya?"
Wajah Tilana menjadi merah sekali dan dua titik air mata menetes turun di atas pipinya. "Ibu .... aku
.... aku sudah menjadi isterinya .....”
Balita membelalakkan mata. "Menjadi isterinya tanpa setahuku? Setan! Siapa itu yang menjadi
menantuku? Kalau dia tidak berharga, akan kucincang hancur tubuhnya. Hayo bilang, siapa dia
yang menjadi pilihanmu itu!"
Makin merah muka Tilana, sampai ke lehernya merah sekali. Kemudian dengan perlahan ia
menjawab, "Cia .... Cia Han Sin ......”
Balita melengak seperti disambar petir. Ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, maka ia
mendekatkan kepala dan bertanya mendesak, "Siapa kau bilang? Yang keras!"
"Dia Cia Han Sin, ibu ......”
Balita mengeluarkan jerit melengking menyayat hati, tangannya diangkat ke atas, siap hendak
dijatuhkan kepada tubuh Tilana yang sudah meramkan mata. Akan tetapi gadis yang tidak takut
mati ini tidak merasa datangnya pukulan itu, malah tiba-tiba terdengar suara berkakakan.
Ketika ia membuka mata, ibunya tertawa bergelak-gelak, tubuhnya terguncang-guncang dan
kepalanya berdongak. "Ha ha ha! Hi hi hi, kau menjadi isterinya? Ha ha, hi hi ..... Cia Sun ..... Cia
Sun, apakah sekarang kau tidak akan bangun dari dalam kuburmu? Ha ha ha!" Dan Balita lalu lari
keluar dari pondoknya, berlari-lari di sepanjang padang pasir sambil tertawa bergelak-gelak dan
kadang-kadang menangis!
Untuk sesaat Tilana melengak. Ia kaget, bingung dan heran. Sikap ibunya merupakan teka-teki
baginya. Ia cukup mengenal ibunya dan biarpun ibunya bersikap aneh, akan tetapi semua yang
diucapkan masih mudah ditangkapnya. Namun kali ini benar-benar ia tidak mengerti. Kenapa
ibunya bersikap seperti itu ketika mendengar bahwa ia sudah menjadi isteri Cia Han Sin? Karena
penasaran, apalagi karena pertanyaan pertama belum dijawab, Tilana lalu berkelebat dan lari
mengejar ibunya.
Orang-orang Hui yang melihat ibu dan anak ini berkejar-kejaran, hanya tersenyum dan mengangkat
pundak. Memang mereka itu mempunyai dua orang pemimpin ibu dan anak ini, yang luar biasa
anehnya. Betapapun juga, mereka berdua adalah pemimpin-pemimpin yang amat baik, amat mereka
takuti, amat lihai!
Tilana melihat ibunya sudah duduk di dekat batu besar dan berlindung dalam bayangan batu itu,
masih tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis.
"Cia Sun ..... Cia Sun .... apakah sekarang mayatmu tidak membalik di dalam kubur? Ha ha, hi hi hi
..... puas hatiku ....., puas .....“
Tilana berlutut di dekat ibunya. Dirangkulnya ibunya penuh kasih sayang. "Ibu, tenanglah, ibu."
Koleksi Kang Zusi
Balita memandang kepadanya, lalu tertawa lagi bergelak-gelak sambil menuding kepada Tilana,
”Kau ..... ha ha .... kau kawin dengan dia ....!"
"Ibu, kau kenapa begini, ibu? Harap kau terangkan dan sekalian jawab pertanyaanku apakah selain
aku, kau masih mempunyai seorang anak perempuan lagi."
Tiba-tiba Balita menghentikan sikapnya yang luar biasa itu, kini ia merenung dan ketika pandang
matanya bertemu dengan mata Tilana, gadis ini terkejut bukan main. Dalam pandang mata ini
lenyaplah semua kasih sayang ibunya, terganti kebencian yang mengerikan hatinya.
"Hmmm, kau mau mengerti, bocah? Memang sebaiknya kau tahu agar aku dapat menyaksikan
kehancuran hatimu. Dengar! Memang aku mempunyai seorang anak perempuan lain, anak
kandungku. Dan kau bukan anakku. Dengar, Tilana, dengar baik-baik. Kau bukan anakku, akan
tetapi kau anak Cia Sun! Ha ha ha! Kau anak Cia Sun, mengerti? Kau adik Cia Han Sin dan kau
telah menjadi isteri kakak kandungmu sendiri! Ha ha ha ha .... gadis yang sekarang bersama Cia
Han Sin, yang dianggap adiknya selama ini ... dia itulah anakku yang sejati .... dia anak kandungku
.....! Ha ha, hi hi hi .....!”
Kalau ada geledek menyambar kepalanya di siang hari terang itu, Tilana takkan sekaget ketika
mendengar ini. Pukulan hebat ini tidak kuat ia menerimanya dan seketika ia roboh terguling
pingsan!
Balita tertawa-tawa memandang tubuh Tilana yang pingsan itu. Kemudian berjalan pergi sambil
tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis sedih. Matahari bergerak perlahan, bayangan batu
karang itu makin menggeser sampai akhirnya tubuh Tilana tertimpa cahaya matahari. Namun tubuh
itu belum juga bergerak.
****
Sesosok bayangan putih bergerak perlahan memasuki kota Ta-tung. Bayangan seorang wanita muda
yang cantik jelita. Tilana! Wajah gadis ini pucat bagaikan mayat hidup, sinar matanya aneh sekali,
sayu dan terbenam dalam kedukaan hebat, rambutnya yang panjang dan tertutup kerudung agak
kusut, demikianpun pakaiannya yang berwarna putih. Sinar bulan yang menerangi mukanya yang
cantik menimpa sepasang pipi yang basah, basah air mata.
Siapa orangnya yang takkan merasa hancur hatinya, takkan merasa perih dan sakit kalbunya,
seolah-olah tertusuk ratusan jarum berbisa? Dia telah menjadi isteri ...... kakak kandungnya sendiri!
Dia telah mencintai kakak kandungnya. Cia Han Sin, orang yang dicintainya, orang yang telah
menjadi suaminya biarpun secara tak sadar ternyata adalah kakaknya sendiri!
Dan Bi Eng, nona yang dianggapnya amat baik hati, yang membantu menjadi isteri Han Sin, yang
ia anggap sebagai adik ipar yang ia sayang, ternyata malah bukan adik kandung Han Sin, tepat
seperti yang dikatakan oleh pemuda itu. Benar-benar Bi Eng adalah puteri Balita yang selama ini ia
anggap sebagai ibunya.
Dunia serasa hancur bagi Tilana kalau ia teringat akan semua ini. Untuk ke sekian kalinya, dua butir
air mata berlinang lalu menetes ke atas kedua pipinya perlahan-lahan mengalir ke bawah. Tak
diusapnya, tak diperdulikan.
Dan Han Sin mencinta Bi Eng! Bi Eng sudah begitu baik terhadapku. Dan sekarang keadaan
berbalik. Bi Eng puteri Balita, dicinta Han Sin. Dia sendiri adik kandung Han Sin sekarang tiba
Koleksi Kang Zusi
gilirannya untuk membalas budi Bi Eng dengan Han Sin! Kemudian, ah .... untuk apa lagi hidup di
dunia? Dia telah melakukan sesuatu yg amat hina. Menjadi isteri kakak kandung sendiri. Dia harus
mati!
Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Li Goat dan Yan Bu di ruangan dalam, ketika seorang
pelayan memberi tahu bahwa ada seorang wanita Hui mencari Bi Eng.
"Tilana ....." berkata Bi Eng girang dan berdebar hatinya. Cepat ia berlari keluar dan ..... benar saja.
Tilana berdiri di depan rumah seperti sebuah patung dari marmer.
"Cici Tilana ....!" Bi Eng menubruk dan memeluknya. Girang bukan main hatinya dapat melihat
gadis ini dan tidak melihat gadis ini membunuh diri karena perbuatan Han Sin.
Makin terharu hati Tilana melihat sikap Bi Eng. Benar-benar seorang gadis yang berhati tulus dan
jujur. Tak terasa lagi air matanya bercucuran ketika ia membalas pelukan Bi Eng. Bi Eng sendiri
mengira bahwa Tilana masih merasa berduka karena penolakan Han Sin, maka cepat ia
menghiburnya,
"Cici Tilana, harap kau jangan berduka. Aku senang sekali kau datang, biarlah kau tinggal dulu
dengan aku di sini. Sin-ko sedang ke utara, tak lama lagi tentu ia datang kembali dan ......,
"Bi Eng, kau mulia sekali ....., tapi aku mempunyai sebuah urusan yang amat penting, yang akan
kubicarakan denganmu. Bi Eng, maukah kau ikut dengan aku ke luar kota, ke tempat yang sunyi di
mana kita bisa bicara secara enak tak terganggu?"
"Tentu saja, cici Tilana. Biar aku pamit dulu ke dalam .....”
"Tak usahlah, urusannya penting sekali, adikku ......”
Kebetulan sekali pada saat itu Li Goat dan Yan Bu keluar. "Li Goat dan saudara Yan Bu, aku akan
pergi sebentar bersama cici ini ......." Bi Eng tak melanjutkan kata-katanya karena Tilana sudah
menggandeng dan menariknya pergi dari situ.
Li Goat dan Yan Bu saling pandang dan heran. "Siapakah wanita cantik yang aneh itu?"
"Entahlah ......." Yan Bu mengangkat pundak lalu termenung, penuh kekhawatiran, akhirnya ia
menghibur hati sendiri dan berkata, ”Tentu seorang kenalan yang baik, orang-orang seperti dia itu
memang amat terkenal di dunia kang-ouw dan banyak hubungannya. Tadi kulihat sikap mereka
amat mesra, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Sementara itu, Bi Eng dan Tilana berlari-lari cepat di malam hari itu menuju ke luar kota, kalau ada
yang melihat mereka, yang melihat ini takkan heran karena di kota ini adalah pusat tempat orangorang
kang-ouw yang aneh dan lihai, hanya mungkin mereka akan kagum sekali melihat dua orang
gadis yang amat cantik jelita ini.
35. Rahasia Bayi Perempuan Min-san
DI TEMPAT yang sunyi, tempat terbuka sehingga takkan ada orang dapat mengintai dan
mendengarkan percakapan mereka, Tilana berhenti dan gadis ini duduk di atas rumput. Bi Eng juga
duduk di depannya sambil tersenyum dan berkata,
Koleksi Kang Zusi
"Cici Tilana, kau amat aneh. Bercakap-cakap saja mengajak di tempat yang begini sunyi. Kalau kita
tadi pergi ke rumah makan sambil makan-makan kita mengobrol, kan lebih enak?"
Tilana menatap wajah Bi Eng yang cemerlang dan berseri ditimpa sinar bulan purnama itu, lalu
menarik napas. Kasihan, pikirnya. Gadis ini begini jujur, terbuka hati baik budi. Baru sekarang ia
melihat betapa mata dan bibir Bi Eng ini sama benar bentuknya dengan mata dan bibir ...... ibunya,
Balita.
Makin terharu hati Tilana. Gadis ini senasib dengan dirinya, semenjak kecil tak mengenal ibu
sendiri, dipermainkan oleh nasib yang ditimbulkan oleh orang-orang tua yang tak bertanggung
jawab. Tak terasa lagi Tilana merangkul Bi Eng dan menangis.
"Aduh, adikku, Bi Eng ......, kasihan sekali kau ......”
Bi Eng makin terheran, tak enak hatinya, ia melepaskan rangkulan Tilana dengan halus, menentang
pandangnya lalu bertanya sungguh-sungguh, "Cici Tilana harap jangan berlaku penuh rahasia, kau
membikin gelisah. Sebetulnya, ada apakah yang terjadi? Kenapa kau malah menaruh kasihan
kepadaku?"
"Adikku Bi Eng, tak tahukah engkau bahwa ..... bahwa kanda Han Sin sebetulnya hanya mencinta
kau seorang? Kaulah yang dicintanya, bukan wanita lain .......”
Merah muka Bi Eng. "Aahhh, kau ini aneh-aneh saja cici Tilana. Kalau tidak mencinta aku habis
bagaimana? Akukan adiknya!" la mencoba bergembira.
Akan tetapi Tilana memegang tangannya dan berkata sungguh-sungguh, ”Aku tidak main-main, Bi
Eng. Ketahuilah sesungguhnya kau bukanlah adik kandung kanda Han Sin, kau malah bukan apaapanya,
bukan sanak, bukan kadang ......"
"Apa ...... apa artinya ini ....." Jangan kau main gila!" Bi Eng menjadi pucat, hatinya berdebar.
"Aku bicara sesungguhnya, dan aku berterus terang karena aku suka kepadamu. Kanda Han Sin
sendiri yang berkata kepadaku tentang dirimu ketika akhir-akhir ini aku bertemu dengan dia. Malah
Siauw-ong pun di tinggalkan di tempatku. Bi Eng, kau bukanlah adik kandungnya, apakah selama
ini kau tidak merasanya? Apakah sikapnya terhadapmu sewajarnya?"
Makin pucatlah wajah Bi Eng, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia bukan adik kandung Han Sin?
Pemuda itu bukan kakaknya? Mana mungkin? Sejak ia dapat mengingat ia selalu berada di sisi
kakaknya itu.
"Tak mungkin! Kau bohong!" katanya dengan bibir menggigil. "Sejak aku dapat mengingat, dia
selalu berada di sisiku, menjadi kakakku ......”
Tilana mengangguk. "Aku mengerti, demikianpun aku, adikku. Orang yang kukira ibuku, yang
semenjak kecil kusangka, ibu kandung sendiri, ternyata orang lain dan bukan apa-apaku. Semenjak
kecil kau berada di sisi kanda Han Sin, akan tetapi tahukah kau apa yang terjadi ketika kau masih
bayi? Kau bukan adik kandungnya, Bi Eng dan hal ini aku yakin benar karena aku tahu anak siapa
kau ini, malah ibumupun masih hidup .......”
Bi Eng mengeluarkan jerit tertahan dan ia memegang tangan Tilana erat-erat seakan-akan hendak
menghancurkan tangan itu dalam cengkeramannya. Baiknya Tilana adalah seorang gadis berilmu,
kalau tidak, bisa remuk tulang tangannya dicengkeram seperti itu oleh Bi Eng.
Koleksi Kang Zusi
"Tilana! Awas kau kalau bohong ....!"
Tilana menentang pandang mata itu dan menggeleng kepala.
"Kalau begitu, siapa ibuku yang betul? Ayoh bilang, siapa dia? Aku anak siapa?"
"Ibumu adalah orang yang selama ini kuanggap ibuku. lbumu adalah Balita, Puteri Hui ......."
"Tak mungkin .....! Tak mungkin .....! Aku anak Jim-cam-khoa si iblis betina ........?"
"Memang banyak sekali hal yang kelihatan tak mungkin telah terjadi di masa kita masih kecil,
adikku. Kau memang anak tunggal Balita dan hal ini sudah diakui secara terang-terangan oleh
Balita. Lihat matamu, bibirmu, serupa benar dengan Balita. Dan kanda Han Sin juga sudah tahu
akan hal ini ....."
"Tidak bisa!! Tidak bisa jadi! Aku harus mendengar sendiri dari wanita Hui itu! Harus mendapat
keterangan yang jelas! Tak mungkin ......" Bi Eng lalu menangis terisak-isak.
Tiba-tiba ia teringat akan keterangan Han Sin tentang tahi lalat merah di dekat telinga Tilana,
tentang kenyataan bahwa Tilana ini puteri Ang-jiu Toanio. Tanpa disadarinya, tangannya
menyingkap rambut di dekat telinga Tilana dan benar saja, ia melihat tanda merah ...... Bi Eng
menjerit lirih dan merangkul Tilana lalu menangis terisak-isak lagi di pundak Tilana. Hati Bi Eng
tidak karuan rasanya. Terharu, sedih, bingung dan anehnya .... ada juga rasa girang! Ibunya masih
hidup. Dan ..... dia bukan adik kandung Han Sin!
"Bi Eng, adikku yang baik. Memang kau harus mendengar sendiri dari ibumu, dari Balita. Mari
kubawa kau ke sana, biar kupertemukan ibu dan anak yang sudah berpisah semenjak kau masih bayi
......”
Seperti dalam mimpi, Bi Eng digandeng bangun dan diajak berlari-lari oleh Tilana. la bingung dan
gelisah. Kalau Han Sin sudah mengetahui akan hal itu, kenapa diam saja tidak memberi tahu
kepadanya? Pantas saja sikap Han Sin aneh sekali. Dan menurut Tilana, Han Sin hanya mencinta
dirinya seorang! Bi Eng menjadi panas mukanya dan berdebar jantungnya.
Dan Tilana ...... ah, kalau ia ingat betapa ia sudah mendorong-dorong Han Sin supaya mengawini
Tilana ...... peristiwa di Min-san itu ....... pedih, sakit rasa hatinya. Han Sin ...... Han Sin ......, kenapa
kau diam saja? Kalau dia betul anak Balita dan Tilana ini anak Ang-jiu Toanio, di mana adik
kandung Han Sin? Apa yang telah terjadi sesungguhnya?
Di tengah perjalanan Tilana diam saja. Wajahnya yang cantik amat pucat seperti mayat dan wajah
itu layu dan murung, diliputi kedukaan maha besar. Bi Eng mencoba untuk memancing keterangan,
akan tetapi Tilana hanya menggeleng kepala, menarik napas panjang dan ...... menangis.
Tentu saja Bi Eng tidak tahu apa yang terkandung dalam hati Tilana. Gadis ini merasa dunia sudah
kiamat, matahari sudah tak bersinar lagi baginya. Ia hanya ingin hidup untuk bertemu dengan Han
Sin, untuk bertanya kepada pemuda yang sebetulnya adalah kakaknya sendiri ini, kenapa Han Sin
tidak berterus terang saja dahulu, sehingga terjadi peristiwa memalukan itu.
Kalau Han Sin dulu berterus terang bahwa dia adalah adik kandungnya, lebih baik dia mati dari
pada melakukan perbuatan yang memalukan. Kenapa Han Sin tidak mau mengaku terus terang?
Malah akhir-akhir ini di padang pasir, mengapa pemuda itu malah bersikap mesra kepadanya?
Koleksi Kang Zusi
Apakah Han Sin orang serendah itu, yang tega hati mempermainkan adik sendiri? Demikian
hinakah tabiat pemuda yang menjadi kakak kandungnya itu?
Dengan masing-masing tenggelam ke dalam lautan pikiran sendiri, dua orang gadis itu melakukan
perjalanan cepat dan akhirnya tibalah mereka di tempat tinggal Balita, di perkampungan orangorang
Hui.
Begitu tiba di tempat itu, dari sebuah pohon meloncat seekor monyet, yang langsung meloncat ke
pundak Bi Eng.
"Siauw-ong ....!" Bi Eng berseru girang, akan tetapi hanya untuk dua detik saja karena pikirannya
segera dipengaruhi oleh urusan dirinya. Ia terus mengikuti Tilana yang membawanya ke sebuah
pondok besar.
Tilana bersuit keras dan segera dari dalam pondok muncul seorang wanita setengah tua. Wanita itu
berdiri di depan pintu, memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak. Sebaliknya Bi Eng juga
terpaku di atas tanah, menatap wajah Balita, wanita Hui itu, dengan muka pucat, mata terbelalak
lebar, kedua kaki lemas dan gemetar dan bibir menggigil. Entah bagaimana, bertemu dengan wanita
ini mendatangkan getaran aneh dalam tubuhnya, seakan-akan ia sering bertemu dengan wanita aneh
ini, entah di mana ....."
Bi Eng, dia inilah ibumu, ibu kandungmu. Dia inilah orangnya yang menukar-nukar kita, ketika kita
masih bayi, dia yang membikin celaka hidupku, yang sengaja menjebloskan aku ke dalam jurang
penghinaan. Balita, di balik semua kebaikan budimu terhadap aku semenjak aku kecil, ternyata kau
menyembunyikan maksud yang amat jahat terhadap aku. Sekarang terimalah pembalasanku!"
Secepat kilat Tilana yang sudah mencabut pedangnya itu menyerang Balita.
Balita yang semenjak tadi berdiri mematung seperti kena sihir, hanya berbisik berkali-kali, "Ini ..
anakku ...? Anakku ...? Ahh ... anak kandungku ..."
Karena keadaannya seperti orang linglung inilah maka ketika serangan Tilana datang, ketika pedang
di tangan gadis itu menusuk dadanya, ia terlambat mengelak, sehingga biarpun ia sudah berusaha
mengelak, tetap saja pundaknya tertikam pedang. Darah muncrat keluar membasahi pakaiannya dan
pada saat itu terdengar jerit Bi Eng,
"Jangan bunuh dia .......!"
Pada saat itu Tilana sudah mengirim tusukan kedua, akan tetapi pedangnya terpental kembali karena
sudah ditangkis oleh Bi Eng yang berdiri menghadapinya dengan wajah keren. "Cici Tilana! Setelah
kau membawaku ke sini, setelah kau membuka rahasia ini, apakah kau hanya ingin menyuruh aku
melihat kau membunuh orang yang kausebut ibu kandungku? Tidak boleh!"
Tilana sadar dan memandang Bi Eng dengan mata terbelalak. Ia mengeluh dan berkata, "Selamat
tinggal!" Kemudian segera ia lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja bayangan Tilana lenyap di
antara pondok-pondok yang berdiri di kampung itu.
"Kau ..... kau anakku ...... tak salah lagi ......”
Mendengar bisikan ini, Bi Eng menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia membalikkan tubuhnya.
Balita sudah berdiri di dekatnya, memegang kedua lengannya dan mata itu memandang kepadanya
penuh selidik. Akhirnya, bagaikan besi dengan besi semberani, keduanya saling tubruk, saling peluk
dan keduanya menangis. Siauw-ong berdiri bingung dan menyeringai.
Koleksi Kang Zusi
"Kau anakku! Ha ha, hi hi, kau anakku!"
Bi Eng kasihan melihat orang tua ini dan tanpa berkata apa-apa ia lalu membalut luka di pundak
Balita. Kemudian ia menekan perasaan dan berkata,
"Kalau betul apa yang dikatakan Tilana bahwa aku adalah anakmu, harap kausuka ceritakan
sejelasnya mengapa semenjak kecil aku berada di Min-san."
"Aduuhh ...... anakku .... anakku ...., nasib buruk menimpaku, semua gara-gara Cia Sun ......." Balita
lalu menarik tangan Bi Eng, memasuki rumah dan sambil memangku anaknya dengan penuh kasih
sayang dan membelai-belai rambut Bi Eng, ia bercerita,
"Dulu di waktu aku masih muda sekali, aku telah dikawinkan oleh orang tuaku dengan seorang
pemuda Hui. Aku tidak suka kepadanya, akan tetapi orang tuaku memaksaku, akhirnya kawinlah
aku dengan dia. Lalu aku bertemu dengan Cia Sun ......" Balita berhenti lalu termenung, matanya
yang masih indah itu memancarkan sinar ganjil. "....... dia menjatuhkan hatiku, ..... aku ...... aku
cinta padanya dan ..... diapun membalas cintaku .... aku tergila-gila kepadanya sampai akhirnya aku
bunuh suamiku sendiri ....." Kembali Balita termenung.
Bi Eng terkejut, kemudian teringat akan keadaan Tilana dengan Han Sin, kakaknya ...... eh, bukan,
bukan apa-apa malah! "Apakah ........ apakah kau menggunakan obat bubuk putih berbau wangi
dicampur dalam minumannya?" Pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulutnya tanpa disadarinya
terbawa oleh renungannya tentang Tilana dan Han Sin.
Akan tetapi akibatnya membuat Balita kaget sekali. Wanita itu memegang pundaknya, memandang
tajam dan bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
Bi Eng menarik napas panjang. "Tilana pun menggunakan obat itu terhadap .... Han Sin ......”
Balita tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. "Sejarah terulang .... heh heh heh, sejarah
terulang pembalasan ....... pembalasan ......! Biarlah arwah Cia Sun melihat betapa dua orang
anaknya sekarang melakukan perbuatan hina, hi hi hi, kakak dan adik menjadi suami isteri ........."
Bi Eng melengak, merasa bulu tengkuknya berdiri. "...... apa .....? Apakah Tilana itu adik .....
adiknya ......?"
Mata Balita berkilat-kilat. "Siapa lagi kalau bukan adiknya? Tilana puteri Cia Sun, dan kau anakku
.....”
Jantung Bi Eng berdebar tidak karuan. Ya Tuhan, apakah yang telah ia lakukan. la telah membantu
Tilana, telah mendorong-dorong Han Sin, ia telah berusaha mati-matian menjodohkan mereka.
Mereka, kakak beradik saudara kandung!
"Bagaimana bisa begitu? Ceritakan ... ceritakan ....!" ia mendesak Balita.
"Aku bunuh suami sendiri karena cintaku kepada Cia Sun. Tapi ..., dasar laki-laki tak berbudi. Dia
meninggalkan aku, aku mengejarnya, akan tetapi dia menolakku ...., ketika kau terlahir aku lagi-lagi
mencarinya dan mohon supaya dia menerimaku, baik sebagai pelayan atau penjaga ....., akan tetapi
dia menolakku ....."
"Kejam .......!" Tak terasa seruan ini keluar dari mulut Bi Eng.
Koleksi Kang Zusi
Balita senang mendengar ini dan memeluk anaknya. "Laki-laki memang jahat, tidak setia ......”
Tiba-tiba Bi Eng tersentak kaget. "Kalau begitu ..... aku ini anakmu bersama ...... dia?"
"Bukan, anakku. Kau telah satu bulan dalam kandunganku ketika aku tergila-gila dalam
pertemuanku dengan Cia Sun. Kau anak suamiku yang kubunuh dengan terpaksa karena cinta
kasihku kepada Cia Sun. Dapat kaubayangkan betapa marah dan sakit hatiku ketika aku diusir oleh
Cia Sun, disaksikan oleh isterinya. Waktu itu isteri Cia Sun sudah mempunyai seorang anak lakilaki
......."
"Sin-ko .......”
"Ya, yang bernama Cia Han Sin itulah. Anak siluman, entah bagaimana sekarang dia bisa begitu
lihai, jauh melebihi ayahnya dulu. Dendamku tak dapat kutahankan lagi. Melihat bayi perempuan,
dan mengingat aku takkan dapat membunuh Cia Sun karena aku begitu mencintanya sampai tidak
tega membunuhnya, maka aku lalu menggunakan lain jalan. Aku menukarkan kau dengan anaknya
yang kemudian menjadi Tilana itulah. Dan kau hidup sebagai adik Cia Han Sin ........."
"Dan kau membunuh Cia Sun dan isterinya?"
"Tidak ........, tidak ....." Balita menarik napas panjang, tiba-tiba menangis terisak-isak. "Kasihan Cia
Sun ......! Aku melihat dia menggeletak mandi darah ....... Aku melepaskan kerudungku dan
kuselimutkan padanya ....... entah siapa yang membunuhnya ........"
Bi Eng tergerak hatinya. "Selimut kuning berkembang, halus sekali dan di ujungnya ada sulaman
burung merpati?" tanyanya.
"Betul ......, betul ......, itulah kerudungku ......”
Kini tak ragu-ragu lagi hati Bi Eng. Memang betul dia anak Balita. Selimut itu memang berada di
Min-san, di waktu kecilnya sering ia pakai kalau tidur.
"Ibu ........., kau memang ibuku ..... alangkah banyaknya penderitaan hidupmu .....” Bi Eng memeluk
dan keduanya saling peluk sambil menangis.
Setelah mereda tangisnya, Balita melanjutkan ceritanya. "Karena masih mendendam, setelah Tilana
menjadi dewasa, aku menyuruh membunuh Cia Han Sin putera Cia Sun. Tentu saja aku tidak
mendendam kepada engkau, anak kandungku. Akupun benci kepada Tilana karena dia itu keturunan
Cia Sun, akan tetapi oleh karena semenjak bayi berada di sisiku, aku tidak tega membunuhnya
dengan tangan sendiri. Maksudku, aku hendak menanam permusuhan antara dia dan Cia Han Sin,
biarlah kakak beradik sekandung itu saling bunuh!"
"...... tapi akhirnya mereka malah ..... berjodoh ....” Bi Eng berkata perlahan seperti dalam mimpi.
"..... dan aku aku mendorong mereka .......”
"Bagus sekali! Kau betul-betul puteriku. Ha, biarlah mereka menderita, anak Cia Sun itu. Menderita
lahir batin!" Tiba-tiba Balita menangis lagi dan entah bagaimana, Bi Eng merasa sedih sekali dan
ikut menangis.
****
Koleksi Kang Zusi
Kita tinggalkan dulu Bi Eng yang baru saja bertemu kembali dengan ibu kandungnya dan mari kita
mengikuti perjalanan Cia Han Sin yang menuju ke utara untuk mencari Hoa-ji, anak angkat Hoa
Hoa Cinjin. Kini ia mencari Hoa-ji bukan semata-mata untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong
Tee kekasih gadis itu, melainkan terutama sekali karena timbul dugaan keras di dalam hatinya
bahwa Hoa-ji itulah adik kandungnya! Kiranya takkan keliru lagi kalau menurut penuturan yang
didengarnya dari Ang-jiu Toanio, kemudian munculnya Tilana dan penuturan Kalisang. Dengan
kecerdikan otaknya Han Sin dapat merangkai semua peristiwa dahulu dalam bayangannya.
Ang-jiu Toanio bersakit hati kepada ayahnya, seperti juga Balita. Kedua orang wanita itu karena
agaknya tidak berdaya menghadapi ayahnya, lalu mengambil jalan keji untuk membalas dendam,
yaitu dengan jalan menukarkan anak.
Agaknya Ang-jiu Toanio yang lebih dulu menukarkan anaknya dengan adik kandungnya, kemudian
muncul Balita yang kemudian menukarkan anaknya dengan anak Ang-jiu Toanio, tentu saja yang
dikiranya anak Cia Sun. Dengan demikian, anak kandungnya berada di tangan Balita dan anak
Balita ditinggal di Min-san!
Tegasnya, Bi Eng adalah anak Balita, Tilana anak Ang-jiu Toanio dan adik kandungnya sendiri,
dari tangan Ang-jiu Toanio dirampas Kalisang kemudian dari tangan Kalisang dirampas Hoa Hoa
Cinjin dan menjadi seorang gadis berkedok, Hoa-ji!
Dalam penyelidikannya, ia mendengar bahwa Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan bermarkas besar
di Pegunungan Yin-san. Han Sin berlaku sangat hati-hati. Ia maklum bahwa dengan memasuki
daerah Mongol ini, ia seperti telah memasuki gua harimau dan naga.
Maka ia melakukan penyelidikan secara bersembunyi. Tidak mau ia bentrok dengan orang-orang
Mongol, karena kalau sampai diketahui ia berada di daerah ini, tentu Bhok-kongcu takkan tinggal
diam dan ia akan ditangkap atau dibunuh. Dengan adanya banyak orang-orang pandai, kalau sampai
dikeroyok, mana dia dapat menang? Pula, kalau sampai ketahuan maksud kunjungannya ini, tentu
akan makin sukar baginya untuk mencari Hoa-ji.
Pada suatu pagi Han Sin berjalan di daerah pegunungan di kaki Gunung Yin-san. Sudah semenjak
beberapa hari ia mulai bertemu dengan orang-orang Mongol dan tentara-tentara Mongol. Selalu
pemuda ini menghindarkan pertemuan dan memilih jalan sunyi untuk mendaki Gunung Yin-san.
Selagi ia berjalan dan diam-diam mengagumi pemandangan alam yang masih bebas dan asli itu,
tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di belakangnya. Cepat ia menengok, namun tidak kelihatan
sesuatu. Ia merasa ragu-ragu dan berjalan terus. Tiba-tiba terdengar pula suara langkah orang di
belakangnya. Cepat Han Sin memutar tubuh dan seperti juga tadi, tidak kelihatan orangnya.
Salahkah pendengarannya? Tiba-tiba terdengar langkah kaki di sebelah kiri, ketika ia menengok ke
kiri, langkah itu berpindah ke kanan.
"Celaka, apakah ada setan di pagi hari?" gerutunya dengan mendongkol, akan tetapi juga terheranheran.
Ia tidak perduli dan berjalan terus. Ketika ia tiba di sebuah tebing jurang, tiba-tiba dari kanan
muncul begitu saja, seakan-akan melayang dari dalam jurang, dua orang laki-laki yang luar biasa
sekali. Mereka ini merupakan dua orang laki laki kembar, kembar segala-galanya sampai rambutrambut
dan jenggotnya.
Tubuh mereka besar dan nampak kuat sekali, dengan kepala yang besar pula. Rambut tak
terpelihara, riap-riapan, hidung seperti paruh burung kakatua, mulut besar dengan gigi besar-besar
Koleksi Kang Zusi
seperti bertaring, pakaian mereka juga aneh, seperti jubah luar yang amat panjang, diikat tali
pinggang yang panjang pula. Kaki mereka memakai sepatu yang tinggi, sepatu dari kulit. Amat
menarik, kulit tubuh mereka berwarna putih sekali, putih dengan totol-totol merah.
Lebih mengherankan lagi, tangan mereka hanya berjari satu, atau tegasnya, empat buah jari tangan
telah lenyap, buntung tinggal ibu jarinya saja pada masing-masing tangan. Tapi ibu jari ini berkuku
runcing. Benar-benar makhluk yang amat mengerikan, melihatnya saja cukup membuat orang lari
ketakutan!
Han Sin terkejut juga, akan. tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya. la maklum bahwa ia
berhadapan dengan dua orang yang tak boleh dipandang ringan. Gerakan mereka kelihatan ringan
sekali, gerak kaki mereka biarpun bertubuh besar, amat cepat dan tidak mengeluarkan suara. Ini saja
sudah membuktikan bahwa dua orang yang seperti raksasa berkulit putih dengan mata agak
kebiruan ini amat lihai. Dugaannya memang terbukti karena sambil mengeluarkan suara aneh, dua
orang itu bergerak dan tahu-tahu Han Sin sudah dikurung dari kanan kiri!
Han Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali mempelajari bahasa asing, akan tetapi ketika dua
orang itu bersuara, ia sama sekali tidak mengerti bahasa apakah yang mereka gunakan. Melihat
bentuk pakaian mereka, ia menduga bahwa tentu mereka ini ada hubungannya dengan orang-orang
Hui, maka ia segera memberi hormat dan bertanya dalam bahasa Hui,
"Tuan berdua ini siapakah dan ada keperluan apa menghadang perjalananku?"
Dua orang raksasa itu saling pandang, lalu tertawa bergelak. "Kau bisa bicara Hui? Bagus .....,
bagus ......!” kata seorang di antara mereka dalam bahasa ..... Han! Biarpun suara mereka kaku dan
janggal, namun cukup dapat dimengerti.
"Maaf, kiranya ji-wi (tuan berdua) dapat berbahasa Han. Tidak tahu siapakah ji-wi yang terhormat
dan ada keperluan apa gerangan menahan perjalananku?" Han Sin mengulang dengan sikap hormat.
"Kau orang Han berkeliaran di sini, tentu mata-mata bangsa Mancu. Ayoh lekas mengaku siapa kau
dan apa keperluanmu di tempat ini!" mereka membentak dengan sikap keren dan mengancam.
Han Sin mengerutkan kening. Ia maklum bahwa setelah ia dilihat orang, tentu akan timbul pelbagai
kesukaran. Apa lagi dua orang ini kelihatan aneh dan lihai, mungkin tokoh-tokoh besar pembantu
Bhok-kongcu. Melihat mereka mengerti bahasa Hui dan pakaian merekapun seperti orang Hui, Han
Sin lalu memancing untuk membaiki mereka,
"Aku bernama Han Sin, she Cia. Apakah ji-wi sudah mengenal seorang puteri Hui bernama Balita
dan anak perempuannya bernama Tilana? Aku kenal baik mereka itu."
Dua orang itu kembali saling pandang. "Cia Han Sin? Apa hubungannya dengan Cia Sun dari Minsan?"
Celaka, pikir Han Sin. Lagi-lagi ada orang mengenal mendiang ayahnya dan melihat sikap mereka,
ia sangsi apakah mereka ini sahabat-sahabat ayahnya. Akan tetapi, bukan watak Han Sin untuk
menyangkal ayahnya sendiri. Apapun akan terjadi atas dirinya, tak mungkin ia menyangkal
ayahnya. Tidak mengakui ayah sendiri hanya untuk menyelamatkan diri adalah perbuatan pengecut
dan rendah.
"Cia Sun adalah mendiang ayahku...."
Koleksi Kang Zusi
Baru saja Han Sin berkata sampai di sini, seorang raksasa yang berdiri di sebelah kirinya
menyerang dengan hebat, memukul menggunakan tangan kanan yang berjari satu itu. Pukulan ini
hebat sekali, mendatangkan angin bersiutan dan datangnya cepat bukan main, hampir saja mengenai
kepala Han Sin. Baiknya pemuda ini sudah memiliki gerakan yang otomatis sehingga begitu
pukulan menyambar, otomatis ia sudah menarik diri dan mengelak sambil mengibaskan tangan kiri
menangkis.
"Plakk!" Han Sin terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa tangan kirinya terasa
panas dan sakit ketika bertemu dengan tangan lawan. Cepat ia melompat mundur karena raksasa di
kanannya sambil tertawa-tawa juga sudah menyerangnya dengan sama hebat dan cepatnya.
"Eh, kalian mengapa menyerangku? Apa salahku?" tanyanya, penasaran. Raksasa itu terkejut dan
heran juga melihat pemuda itu dapat menghindarkan pukulan-pukulannya.
"Kau bukan orang sembarangan," kata seorang di antara mereka. "Baiklah kauketahui agar jangan
mati penasaran. Jin-cam-khoa Balita adalah adik seperguruan kami. Nah, bocah she Cia, siaplah
untuk binasa!" Kembali mereka menyerang dengan pukulan-pukulan aneh yang datangnya cepat
dan kuat sekali.
Namun kali ini Han Sin sudah bersiap sedia. Dengan langkah-langkah Liap hong-sin-hoat ajaran
Ciu-ong Mo-kai, tubuhnya bergerak ke sana ke mari menghindarkan diri dari ancaman pukulan dua
orang pengeroyoknya. Tidak demikian saja, malah kini telunjuk tangannya dipergunakan untuk
mainkan ilmu silat Lo-hai Hui-kiam yang amat sakti.
Bukan main herannya dua orang raksasa itu ketika berkali-kali serangan mereka hanya mengenai
angin kosong belaka. Dan lebih-lebih kaget hati mereka ketika dua buah jari telunjuk pemuda itu
menyerang mereka dengan totokan yang luar biasa hebatnya sehingga angin serangannya saja sudah
terasa amat berbahaya seperti ujung dua batang pedang runcing!
Mereka berusaha mempertahankan diri, namun terhadap Lo-hai Hui-kiam, mereka benar-benar mati
kutu. Baru belasan jurus saja mereka telah terkena tusukan hawa totokan jari tangan Han Sin, cepat
mengenai pundak membuat mereka mengeluarkan gerengan kesakitan lalu melarikan diri tunggang
langgang!
"Bhok Hong-ong ......, tolong kami ......!" Mereka berseru ketakutan dan dalam anggapan mereka,
Han Sin bukanlah manusia biasa, tentu sebangsa siluman. Kalau tidak, mana bisa seorang muda
memiliki kepandaian demikian hebat dan anehnya?
Tadinya Han Sin hanya tersenyum saja membiarkan mereka pergi. Akan tetapi demi mendengar
teriakan mereka minta tolong kepada Bhok Hong-ong, hatinya tergerak. Bhok Hong adalah Pakthian-
tok ayah Bhok-kongcu. Kalau ayahnya berada di situ, tentu Bhok-kongcu juga berada di situ,
dan bukan tak mungkin kalau Hoa Hoa Cinjin berada di situ pula bersama anak angkatnya, Hoa-ji
yang ia cari-cari? Maka ia lalu cepat meloncat dan mengikuti larinya dua orang raksasa kembar itu
dari jauh. Mereka berdua itu ternyata dapat berlari cepat sekali, namun tidak sukar bagi Han Sin
untuk mengikuti mereka.
Setelah berlari-larian setengah hari lamanya, dua orang raksasa itu memasuki sebuah pondok kecil
di tengah lapangan yang kering. Nampaknya tempat itu sunyi saja. Pondok itu sendiri tidak besar,
terbuat dari papan dan gentengnyapun atap. Heran hati Han Sin. Rumah siapakah ini? Masa Bhok
Hong tinggal di dalam rumah seperti itu? Namun ia terus mengikuti dan menyelinap di belakang
rumah secara cepat dan tidak mengeluarkan suara.
Koleksi Kang Zusi
Tiba-tiba ia melihat betapa tanah di sekeliling pondok itu dalam jarak dua tiga ratus meter,
bergerak-gerak dan tiba-tiba tersembul kepala-kepala orang dari dalam tanah. Makin lama makin
banyak dan dalam sekejap mata saja pondok itu, atau lebih tepat dirinya, telah terkurung oleh
ratusan orang tentara Mongol yang bersenjata lengkap! Bukan main hebatnya baris pendam ini.
Baru sekarang Han Sin sadar bahwa dia memang dipancing oleh dua orang raksasa lihai itu dan
diam-diam ia kagum sekali melihat rapinya barisan pendam dari bala tentara Mongol. Ketika ia
menuju ke pondok itu, tidak terlihat sesuatu, tidak terdengar sesuatu. Tidak tahunya ratusan orang
serdadu bersembunyi di dalam lubang-lubang di tanah yang tertutup batu-batu, demikian indah dan
hebat tempat persembunyian itu.
Di samping kekagumannya, Han Sin menjadi panas hatinya. Apa orang mengira dia takut?
Sekarang tahulah dia bahwa Bhok-kongcu memang lihai sekali. Kiranya perjalanannya ini sudah
diketahui orang orang Mongol dan siang-siang ia telah diikuti orang.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara di dalam pondok ketika barisan itu sudah siap
mengurung rapat tanpa membuka suara, dengan sikap yang angker seperti patung batu, agaknya
menanti perintah atasan. Ia mengenal suara itu seperti suara dua orang kakek raksasa tadi yang
berkata dengan nada gelisah, "Akan tetapi, Ong-ya, bagaimana bisa menangkap dia hidup-hidup?
Dia lihai sekali dan kami ingin membunuhnya untuk membalas sakit hati sumoi (adik seperguruan)
kami Balita ....."
Terdengar suara yang dalam dan besar, suara yang gagah dan juga segera dikenal Han Sin sebagai
suara Pak-thian-tok Bhok Hong! Suara Bhok Hong menjawab si raksasa tadi, mengejek nadanya,
"Bocah macam itu saja mengapa diributkan? Tentara pendam sudah mengepungnya, dia bisa
terbang ke mana lagi? Dia sudah menjadi antek Pangeran Yong Tee, ini kesempatan baik. Tangkap
dia hidup-hidup, jadikan umpan untuk menangkap Yong Tee sendiri. Bukankah ini kesempatan baik
sekali? Tentang menangkap dia, serahkan saja kepadaku kalau kalian tidak sanggup. Ha, ha, ha,
anak patriot itu sudah menjadi anjing Mancu, apa sih hebatnya?"
Han Sin boleh dianggap lihai sekali ilmu silatnya, malah mungkin pada masa itu jarang ada tokoh
persilatan yang dapat menandinginya. Akan tetapi ia masih bisa dibilang hijau dalam pengalaman
kalau dibandingkan orang-orang seperti Pak-thian-tok Bhok Hong, masih hijau dan kalah jauh
menghadapi tipu-tipu muslihat di dunia kang-ouw yang sebetulnya jauh lebih lihai dan berbahaya
dari pada tajamnya pedang runcingnya tombak.
Mendengar ucapan yang keluar dengan nada mengejek dari mulut Pak-thian-tok Bhok Hong,
pemuda ini menjadi naik darah. Dia dimaki sebagai antek Pangeran Mancu, malah sebagai anjing
Mancu, bagaimana dia tidak akan menjadi naik darah? Apalagi ketika ia mendengar dua orang
kakek raksasa yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) Balita kemarahan Han Sin tak
dapat dipertahankan lagi. Ia menjadi nekat.
Memang, kalau dia mau, biarpun dikepung rapat oleh para tentara Mongol, agaknya
mempergunakan kepandaiannya ia masih akan dapat lolos, asal saja tokoh-tokoh di dalam pondok
itu tidak keluar menghalanginya. Akan tetapi, melarikan diri adalah soal kedua baginya pada saat
itu. Soal terpenting adalah menghadapi orang-orang yang menghinanya sedemikian rupa.
"Pak-thian-tok iblis sombong, jangan sembarangan membuka mulut!" bentaknya dan tubuh pemuda
ini meloncat ke atas lalu menerobos memasuki pondok dengan menggerakkan kedua tangan
digerakkan melakukan pukulan dengan jurus Cio-po thian-keng dari Ilmu Silat Thian-po Cin keng.
Koleksi Kang Zusi
36. Benteng Pertahanan Pangeran Galdan
"BRAKKKKK!" Papan dari pondok itu pecah berantakan ketika tubuh pemuda ini melayang ke
dalam. Ia melihat di antara asap-asap hitam yang memenuhi kamar itu, muka sepasang raksasa dan
muka seorang tua tertawa bergelak. Ia tidak mengenal orang tua bertopi seperti seorang yang
berpangkat itu, yang dicarinya adalah muka Pak-thian-tok Bhok Hong yang tidak nampak.
Saking marahnya, Han Sin berlaku ceroboh, tidak mengira bahwa ia sengaja dipancing. Tubuhnya
melayang ke dalam pondok, napasnya menjadi sesak, bau yang amat keras menyengat hidungnya!
Seketika Han Sin menjadi pening kepalanya. Cepat-cepat ia menahan napas, lalu mengerahkan
lweekangnya untuk menghembuskan keluar hawa beracun yang telah disedotnya. Ia berhasil, akan
tetapi pada saat itu ia merasa ada dua serangan menyambar dari kanan kiri. la maklum bahwa
raksasa kembar itu telah menyerangnya dari kanan kiri.
Cepat digerakkannya kedua tangan melindungi tubuh dengan gerak tipu Khai-peng-twi-san
(Pentang Sayap Mendorong Bukit) dari Ilmu Silat Thian-po Cin-keng! Hebat tangkisan ini,
terdengar dua orang raksasa itu mengeluh perlahan dan roboh bergulingan. Ternyata tangkisan ini
sekaligus membuka jalan darah mereka sehingga obat pemunah racun asap hitam yang mereka telah
pakai pemberian Pak-thian-tok menjadi hilang khasiatnya.
Mereka telah terpukul oleh pukulan sendiri yang membalik, ditambah terluka oleh hawa sinkang
yang keluar dari tangkisan Han Sin, kini menjadi lebih parah oleh karena mereka telah menyedot
asap hitam oleh hidung mereka yang sudah tak terlindung pula. Dua orang itu bergulingan dan
dalam keadaan sekarat!
Akan tetapi, karena mereka berdua bukan orang sembarangan, pukulan-pukulan mereka yang
dilakukan secara tiba-tiba dan hebat sekali kepada Han Sin yang repot menghadapi asap hitam,
sedikit banyak mendapatkan hasilnya pula. Pemuda itu memang betul dapat menangkis pukulanpukulan
itu, namun pergerakan yang membutuhkan pergerakan sinkang ini "membocorkan"
penutupan napasnya sehingga tanpa ia sadari, sedikit asap hitam beracun telah memasuki dadanya.
Hal ini diketahui setelah ia merasa napasnya sesak sekali dan kepalanya pening, hendak muntahmuntah
rasanya.
Terkejutlah hati Han Sin, maklum bahwa tubuhnya kemasukan racun. Ia mencurahkan seluruh
perhatian. Sedikit gerakan saja yang dibuat oleh orang berpakaian seperti pembesar tadi telah
menarik perhatiannya. Benar saja, "pembesar" itu yang ternyata adalah seorang Han yang menjilat,
mengekor kepada orang-orang Mongol dan sudah puas karena diberi janji akan diberi kedudukan
sehingga belum apa-apa dia sudah berpakaian sebagai pembesar, menyerangnya dengan sebatang
pedang. Dari gerakan orang ini, Han Sin dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli
pedang dari Kun-lun-pai.
Namun, Han Sin sedang marah sekali, apalagi ia sedang menderita bahaya besar dari racun, maka ia
tidak sudi membuang banyak waktu. Pada saat itu, siapa yang menyerangnya dia itulah musuhnya.
Tanpa menoleh, tangannya bergerak ke belakang diikuti tubuhnya yang diputar dan di lain saat,
lima jari tangan Han Sin sudah berhasil mencengkeram pedang yang tajam itu!
Benar-benar pemuda ini sudah mendapatkan ilmu yang sakti, sudah memperoleh kemajuan yang
luar biasa. Siapa akan mengira bahwa dalam waktu singkat, setelah berturut-turut ia mewarisi ilmu
silat yang tinggi, ia akan seberani dan sekuat itu. Orang itu tentu saja akan membelalakkan kedua
matanya saking herannya, lalu berusaha membetot pedang agar tangan pemuda itu terbabat putus.
Koleksi Kang Zusi
Akan tetapi jangan harap akan terjadi demikian, malah ketika ia cabut, pedang itu sama sekali tidak
bergeming seakan-akan sudah terpegang oleh sebuah tanggem yang kuat dan besar.
Han Sin mengerahkan tenaga pada tangannya, disentakkannya sedikit dan "krekk!" pedang itu patah
menjadi dua potong! Ujungnya berada di tangan Han Sin sedangkan pangkal dan gagangnya berada
di tangan "pembesar" itu. Murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu kaget dan penasaran, terus
membentak dan menyerang lagi.
Han Sin sudah mulai gelap matanya karena pengaruh racun, namun ia masih dapat melihat
berkelebatnya pedang buntung ke arah perutnya. Cepat ia miringkan tubuh, mengebutkan tangan
kiri yang tepat mengenai pergelangan tangan lawan sehingga pedang buntung terlepas, lalu kakinya
menendang ke depan. Orang itu menjerit ngeri, tubuhnya terpelanting keluar pondok melalui lubang
yang tadi dibuat oleh Han Sin.
Di luar pondok terdengar ia memekik kesakitan ketika tubuhnya terbanting ke atas batu-batu yang
keras. Kulitnya lecet-lecet, babak belur, dagingnya biru-biru, pakaiannya koyak-koyak, tidak patut
lagi ia menjadi pembesar, lebih menyerupai seorang pengemis gila!
"Bocah, jangan menjual lagak di sini!" terdengar bentakan keras.
Han Sin yang sudah pening itu cepat membuang diri ke kiri ketika dari kanan menyambar angin
pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Ia maklum bahwa Pak-thian tok Bhok Hong sudah keluar dari
tempat sembunyinya dan mengirim serangan dengan tangan yang mengandung Hek-tok sin-kang.
Han Sin tidak takut akan Hek tok-sin-kang karena darahnya sudah mengandung racun pek-tok dari
darah ular Pek-hiat-sin-coa. Akan tetapi, tenaga pukulan kakek berbaju perang itu amat hebat, juga
ilmu silatnya luar biasa ganas dan kuatnya, selain ini kepalanya sendiri sudah amat pening, pandang
matanya berkunang-kunang dan ia sudah terlalu lama menahan napas.
Di dalam keadaan pening dan seperti mabok itu, Han Sin masih ingat bahwa satu kali saja ia
menarik napas, tentu paru-parunya akan penuh racun dan ia akan celaka. Dia harus lari dari tempat
ini, kalau ingin selamat. Akan tetapi Pak-thian-tok Bhok Hong sudah menyerangnya,
mengurungnya rapat-rapat dengan hawa pukulan-pukulan yang amat dahsyat. Sampai berdesingdesing
angin pukulan menyambar ke arahnya dari segala jurusan! Akan tetapi, di dalam
kepusingannya, panca indera Han Sin malah dapat bekerja baik sehingga kemanapun juga lawan
menyerangnya, selalu ia dapat menangkisnya dengan tepat.
Beberapa jurus lewat dengan cepatnya dan selalu terdengar suara tangan beradu, suaranya keras
menggetarkan pondok. Bhok Hong untuk kesekian kalinya terheran-heran. Bocah ini terlalu hebat,
terlalu lihai dan harus disingkirkan dari muka bumi. Kalau tidak, nama besarnya tentu akan rusak.
Sambil mengerahkan semangat dan tenaga, Bhok Hong mendesak terus dan pada suatu saat yang
amat baik, ia memukulkan tangan kanannya ke arah ulu hati Han Sin. Pukulan yang keras, cepat,
dan mengandung tenaga maut sukar untuk dihindarkan lagi!
Namun Cia Han Sin murid tak langsung dari Tat Mo Couwsu sendiri setelah pemuda ini
mempelajari Thian-po-cin keng. Di samping ini, ia sudah pula mempelajari ilmu silat aneh dan sakti
seperti Lo-hai Hui-kiam maka tentu saja serangan maut ini tidak membuatnya kehilangan akal.
Malah menghadapi serangan maut ini Han Sin melihat jalan terbuka baginya untuk membebaskan
diri dari kepungan serangan Bhok Hong.
Ia menanti pukulan sudah datang dekat sehingga hawa pukulan sudah menghantam ulu hatinya,
cepat ia menggerakkan tangan menerima kepalan tangan lawan dengan telapak tangan,
Koleksi Kang Zusi
menggunakan hawa "menyedot" sehingga tenaga pukulan itu amblas ke dalam tangannya, akan
tetapi tenaga dorongnya yang mengandung tenaga gwakang (kasar) itu diterimanya. Berkat
dorongan tenaga kasar yang amat kuat ini tubuhnya terlempar ke belakang dan memang sudah ia
perhitungkan, tepat sekali tubuhnya itu melayang melalui lubang di papan dinding pondok tadi.
Ia mendengar Bhok Hong berseru kaget dan heran, kemudian disusul suara ketawa bergelak dari
kakek itu. Han Sin terkejut dan menduga adanya jebakan lain, namun sudah terlambat baginya.
Kepalanya terlampau pening dan begitu mendapatkan hawa segar, ia membuka penahanan
napasnya. Hal ini membuat matanya menjadi berkunang dan ia tidak dapat menjaga diri lagi ketika
tiba-tiba dari sekelilingnya banyak orang melemparkan jala ke arah tubuhnya.
Tanpa dapat mengelak lagi pemuda ini roboh terbungkus jala yang ternyata terbuat dari pada bahan
yang amat kuat, yaitu otot-otot binatang yang sudah dimasak dengan minyak sehingga ulet dan tak
mungkin dapat putus! Ketika Han Sin mencoba memberontak, ia merasa leher belakangnya sakit,
gatal-gatal dan pedih sekali, ia terkejut, maklum bahwa Bhok Hong sudah keluar dan melukainya.
Matanya gelap dan sebelum pingsan, Han Sin masih sempat mendengar suara ketawa Bhok Hong
......!
****
"Memang hebat dia ......" kata Ciu ong Mo-kai yang sedang duduk bercakap-cakap dengan para
tokoh kang-ouw yang membantu bala tentara Mancu. Mereka ini sedang membicarakan Lie Ko
Sianseng yang mengirim dua peti batu dan diterima oleh utusan Pangeran Yong Tee seperti telah
dituturkan di bagian depan. Memang tadinya Ciu-ong Mo-kai dan tokoh-tokoh lain merasa
terheran-heran mengapa Pangeran Yong Tee agaknya mementingkan barang-barang yang ternyata
hanyalah batu-batu kasar belaka. Juga mereka terheran kalau memikirkan bagaimana Han Sin mau
membawakan dua peti itu dan malah membela dengan gagahnya.
Baru sekarang, beberapa hari kemudian mereka mendengar berita dari kota raja bahwa batu-batu
kasar itu sebenarnya merupakan sebuah peta! Kalau batu-batu itu dijajar-jajar dan disusun menurut
rahasia yang ditentukan, akan tergambarlah sebuah peta daerah utara, peta yang menunjukkan
rahasia pertahanan bala tentara Mongol!
"Memang lihai si tukang catut. Entah berapa dia mendapatkan hadiah dari Pangeran Yong Tee
untuk usahanya itu," kata pula Ciu-ong Mo-kai setelah menenggak araknya.
"Kabarnya mengumpulkan keterangan-keterangan untuk membuat peta seperti itu bukannya
pekerjaan mudah," sambung seorang tosu. "Di bagian utara, bala tentara Mongol sedang
membangun sebuah benteng, dan Li Ko Sianseng memasukkan beberapa orang mata-mata sebagai
pekerja-pekerja di benteng ini. Mereka inilah yang membuat guratan-guratan pada batu-batu yang
kemudian mengumpulkan lalu mengirim batu-batu bergurat itu kepada Lie Ko Sianseng ........"
"Memang tukang catut banyak akalnya ........ ha ha ha, betapapun juga, dia orang gagah," kata pula
Ciu-ong Mo-kai dengan kagum.
Pada saat itu, datang Phang Yan Bu pemuda putera Ang-jiu Toanio. Pemuda itu memberi isyarat
kepada Ciu-ong Mo kai, minta bicara berdua. Ciu-ong Mo kai lalu bangkit berdiri, meninggalkan
kawan-kawannya dan pergi keluar bersama Yan Bu.
"Ada apakah, Phang-hiante? Kau kelihatan gelisah."
Koleksi Kang Zusi
Dengan kening berkerut Phang Yan Bu berkata, "Lo-enghiong, saya amat menggelisahkan
kepergian muridmu, nona Cia Bi Eng ......"
Ciu-ong Mo-kai Tang Pok memandang tajam. Sebagai seorang tua yang sudah berpengalaman
banyak, tentu saja ia sudah mendengar tentang perasaan pemuda ini yang dulu mencinta Bi Eng,
akan tetapi sekarang melihat pula betapa Yan Bu agaknya dekat dengan Li Goat puteri mendiang
Thio-ciangkun.
"Ada apa dengan Bi Eng?" tanyanya pendek.
"Malam kemarin ketika nona Cia bercakap-cakap dengan saya dan teman-teman lain, tiba-tiba
muncul seorang gadis asing yang tidak kami kenal. Akan tetapi, agaknya nona Cia mengenalnya
dengan baik gadis berbangsa Hui itu. Kemudian, entah apa yang mereka bicarakan, nona Cia lalu
ikut pergi bersama gadis Hui yang ia sebut namanya Tilana, katanya tidak lama perginya, tidak
tahunya ....... sampai sekarang belum juga pulang."
Biarpun di luarnya tidak kentara, malah lalu menenggak araknya, akan tetapi di dalam hatinya Ciuong
Mo-kai tertarik dan kaget juga. Disebutnya nama seorang gadis Hui sekaligus mengingatkan
kepadanya akan Balita puteri Hui itu, musuh besar keluarga Cia.
"Lalu bagaimana?" desaknya karena dari wajahnya, pemuda itu kelihatan masih mempunyai
penuturan yang menarik.
"Itulah yang menggelisahkan hati saya, lo-enghiong. Tadi gadis Hui itu muncul pula, hanya
sebentar. Kebetulan sekali aku yang melihatnya dan ia berkata kepadaku bahwa nona Cia Bi Eng
takkan kembali lagi ke sini, karena sudah berkumpul dengan ibunya. Di samping pemberitahuan ini
ia bertanya di mana adanya Han Sin.
Ketika kuberi tahu bahwa saudara Cia Han Sin pergi ke utara, ia berkelebat dan pergi. Gerakannya
cepat sekali, dan aku merasa curiga, ingin menahannya. Akan tetapi bagaimana aku dapat
melakukan hal itu terhadap seorang gadis? Karena tidak berdaya maka kuberitahukan lo-enghiong."
Ciu-ong Mo-kai makin terkejut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan Bi Eng terjatuh ke dalam tangan
Balita!
"Kau tunggu saja di Ta-tung, Phang hiante. Kalau sewaktu-waktu Han Sin muncul, beritahu bahwa
aku hendak mencari Bi Eng, mungkin ke utara. Kudengar dua orang suheng dari Balita juga
membantu Bhok Kian Teng. Bukan tak mungkin kalau Balita dan orang-orang Hui juga membantu
pasukan Mongol."
Setelah meninggalkan pesan ini, Ciu¬ong Mo-kai lalu berangkat ke utara untuk mencari Bi Eng dan
sekalian menyusul Han Sin. Kakek ini maklum bahwa kepandaian Han Sin jauh lebih tinggi dari
padanya maka lebih baik lagi memberi tahu pemuda itu tentang hilangnya Bi Eng sehingga mereka
berdua dapat mencari gadis itu.
Seperti juga Han Sin, kakek raja arak ini melakukan perjalanan cepat dan hati-hati sekali agar
jangan sampai ketahuan orang-orang Mongol. Namun, dia memandang orang-orang Mongol terlalu
rendah kalau mengira bahwa perjalanannya tidak dilihat orang. Semenjak dia meninggalkan Tatung
dan menginjak daerah Mongol, perjalanan kakek sakti ini sudah diketahui oleh para mata-mata
Mongol yang amat cerdik.
Koleksi Kang Zusi
Pada suatu hari, ketika tiba di daerah yang berhutan selagi Ciu-ong Mo kai berjalan di tempat sunyi
ini, tiba tiba terdengar suara kaki kuda dan dari belakangnya muncul seorang pemuda menunggang
kuda. Cepat bagaikan kilat kakek ini meloncat dan tubuhnya sudah lenyap bersembunyi di dalam
semak-semak. Penunggang kuda itu nampaknya tidak tergesa-gesa, kudanya berjalan perlahan saja
malah setelah memasuki hutan, pemuda yang berdandan seperti orang terpelajar dari selatan itu
bernyanyi!
"Melihat pengemis mabok
malas berkeliaran
sungguh membuat orang
jadi penasaran!
Mengejar cita-cita
itulah tugas seorang perkasa!
Warisan nenek moyang
takkan terbuang sia-sia.
Bumi kuinjak, langit kuraih
demi terlaksana cita-cita!"
Nyanyian itu dinyanyikan dengan suara yang nyaring gagah penuh semangat dan Ciu-ong Mo-kai
tersenyum mengejek ketika mengenal bahwa penunggang kuda itu bukan lain adalah Bhok-kongcu,
Bhok Kian Teng atau Pangeran Galdan pemimpin pemberontak Mongol! Tak perlu kakek itu
bersembunyi lagi karena dalam nyanyiannya tadi, Bhok-kongcu sudah menyindirnya, berarti sudah
melihat dan mengetahui tempat persembunyiannya.
"Bagus memang nyanyian cucu Jenghis Khan! Memang bersemangat dan bagus, tapi bagus untuk
siapa? Untukmu dan untuk bangsamu! Ha ha ha, kau memang seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat
dan sastera), Bhok-kongcu ..... eh, Pangeran Galdan!" kata Ciu-ong Mo-kai sambil melompat keluar
dari tempat persembunyiannya.
Pemuda itu memang Bhok-kongcu yang sudah kita kenal. Dia adalah Bhok Kian Teng putera
Pangeran Bhok Hong ong, seorang pemuda tampan yang penuh rahasia, pandai ilmu silat, pintar
dalam hal kesusasteraan, pesolek, pemuda cabul yang pandai main suling, main thioki (catur), dan
pandai pula dalam hal racun. Kini, biarpun pakaiannya masih seperti seorang pemuda Han
terpelajar, dia sebetulnya adalah Pangeran Galdan, pemimpin pemberontak Mongol yang amat
ditakuti orang.
Dengan senyum menghias bibirnya, pangeran itu menganggukkan kepalanya tanda menghormat,
tanpa turun dari kudanya.
"Eh, kiranya si raja arak yang sakti berada di sini. Ciu-ong Mo-kai, kau jauh jauh dari selatan
sampai tersesat di sini, apa yang kaucari? Apakah kau sudah begitu rendah untuk melakukan
pekerjaan mata-mata dari pemerintah penjajah Mancu? Mana sifat patriotmu dahulu?" Pangeran itu
tertawa mengejek dan tiba-tiba saja wajah yang tampan tadi berubah menyeramkan.
"Tidak ada pekerjaan yang buruk, apapun juga pekerjaan itu. Yang buruk hanya tujuannya, yang
jahat adalah pamrihnya, heh heh ....." jawab Ciu-ong Mo-kai sambil menenggak araknya tanpa
perdulikan pangeran yang ditakuti puluhan ribu orang ini.
Pangeran Galdan mengerutkan alisnya yang hitam panjang. "Ciu-ong Mo-kai, tak perlu kau
berpura-pura dan membohongi aku. Siapa tidak tahu bahwa kau tadinya berada di Ta-tung
membantu bala tentara Mancu? Apa kau hendak menyangkal bahwa kau telah menjadi kaki tangan
Mancu?"
Koleksi Kang Zusi
Kakek itu kembali tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di hutan itu. "Siapa hendak
menyangkal? Tidak ada yang perlu disangkal karena tidak ada yang perlu disembunyikan. Memang
aku berada di Ta-tung, memang aku membantu tentara Mancu! Apa salahnya? Siapa membantu
siapa apa bedanya? Di mana ada arak wangi, di situlah ada Ciu-ong! Tapi, ketahuilah, Pangeran
Mongol, kali ini aku datang ke sini bukan karena perang yang sedang berlangsung antara bangsamu
dan bangsa Mancu. Aku tersesat ke sini karena hendak mencari muridku. Hemmm, kebetulan sekali
bertemu denganmu, kau tentu tahu di mana adanya Bi Eng yang sudah tertawan oleh Balita si
perempuan Hui. Ayoh kau kembalikan muridku!"
Bhok-kongcu tersenyum kecil. "Setan arak, kau selalu memandang rendah dan menyangka buruk
kepadaku. Kalau saja aku tidak memandang kepandaianmu dan tidak sayang kepada orang selihai
engkau mana aku sudi bertemu dan bercakap-cakap denganmu? Perkara muridmu Bi Eng itu,
mudah kita urus belakangan, kalau memang betul dia berada di wilayah ini, aku yang tanggung
bahwa dia takkan ada yang mengganggu. Akan tetapi, yang terpenting sekarang, bagaimana kalau
kau membantu aku? Kau seorang patriot, apa kau suka melihat bangsa dan tanah airmu dijajah oleh
orang Mancu? Bantulah aku, mari kita membasmi penjajah itu dan mengusir orang-orang Mancu
dari tanah airmu. Bagaimana?"
Di dalam hatinya Ciu-ong Mo-kai mendongkol sekali. Hemm, orang Mongol ini betul-betul gila,
mengira aku seorang bocah. Membantumu mengusir orang Mancu sama artinya dengan
membantumu menjajah tanah airku! Akan tetapi, apa bedanya? Biarlah orang-orang Mongol dan
orang-orang Mancu berkelahi sendiri, berperang sendiri sampai habis. Membantu yang manapun
sama saja, yang penting ia harus berusaha menyelamatkan Bi Eng. Ia tertawa bergelak.
"Pangeran yang cerdik! Sudah kukatakan tadi, di mana ada arak wangi di situ ada Ciu-ong (Raja
Arak). Pangeran Yong Tee dari Mancu tahu akan kesukaanku itu, apakah kau juga dapat
menyediakan arak wangi yang paling baik?"
Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu tertawa senang. "Kalau kau ikut bersamaku, kau boleh minum
sampai pecah perutmu."
"Dan kau akan bersikap penuh hormat seperti Pangeran Yong Tee? Dan tidak akan mengganggu
wanita seperti Pangeran Yong Tee?"
Bhok-kongcu mengerutkan kening. "Pengemis kelaparan kaukira aku boleh kau bandingbandingkan
dengan segala macam pangeran cilik seperti si Yong Tee itu? Huh, Kau tidak mau
membantuku juga tidak apa!" Setelah berkata demikian, Bhok-kongcu menarik kendali kudanya,
memutar tubuh kuda itu dan membalapkan kuda itu meninggalkan Ciu-ong Mo-kai.
"He he, nanti dulu, pangeran! Belum selesai kita bercakap-cakap!" seru Ciu¬ong Mo-kai sambil
mengejar.
Bhok-kongcu mempercepat larinya kuda, menarik kendali dan mengempit perut kuda. Kuda itu
adalah kuda utara yang kuat sekali, larinya kencang seperti angin. Memang pangeran ini hendak
mencoba atau menguji kepandaian Ciu-ong Mo-kai yang hendak ditarik menjadi pembantunya itu.
Sebaliknya, Ciu-ong Mo¬kai yang melihat kesempatan baik baginya untuk menyelamatkan Bi Eng,
tentu saja merasa menyesal mengapa Bhok Kian Teng hendak pergi meninggalkannya. Kesempatan
baik ini tak boleh disia-siakan, pikirnya, maka ia lalu mengerahkan tenaga ginkangnya dan cepat
mengejar.
Koleksi Kang Zusi
Baru saja Bhok-kongcu keluar dari hutan itu, tiba-tiba tubuh kudanya tersentak berhenti. Ketika ia
menengok, ia melihat Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa sudah berada di belakangnya dan sudah
mencekal ekor kuda yang tebal dan panjang itu. Ternyata kakek aneh itu sudah berhasil menyusul
larinya kuda! Terpaksa kuda itu berhenti dan tak dapat lari lagi.
"Heh heh heh, Bhok-kongcu ..... eh, Pangeran Galdan. Kalau lohu (aku) menghendaki, bukan buntut
kuda yang kucekal, melainkan nyawa orang yang menunggangi kudanya. Kau lihat, aku tidak
mempunyai maksud buruk, heh heh heh .......!”
Bhok-kongcu tersenyum mengejek. "Kau salah duga, Ciu-ong Mo-kai. Bukan kau yang
memperlihatkan maksud baik, melainkan aku yang sengaja tidak mau mencelakaimu, karena
memang aku mempunyai maksud bersahabat dengan engkau. Lihat!" Bhok-kongcu mengeluarkan
sebuah bendera kuning dan melambaikan bendera itu. Tiba-tiba, seperti iblis-iblis di siang hari,
bermunculan tentara Mongol dari segenap penjuru dan dalam beberapa puluh detik saja tempat itu
sudah dikurung oleh ratusan orang tentara Mongol yang sudah siap dengan anak panah di gendewa
masing-masing!
Diam-diam Ciu-ong Mo-kai melengak dan kagum. Kiranya kemunculan Bhok-kongcu ini bukan
secara kebetulan, melainkan sengaja diatur dan lebih dulu sudah ada ratusan orang tentara Mongol
yang melindungi kongcu itu sehingga andaikata terjadi hal yang tidak beres, tentu dia sudah
dihujani anak panah!
"Ha ha ha ha! Pangeran Galdan benar-benar hebat sekali. Asal ada arak wangi, pengemis bangkotan
macam aku ini tentu saja suka membantu memukul orang-orang Mancu!"
Girang hati Bhok-kongcu. Ia memang sudah mendengar dan menyaksikan sendiri akan kelihaian
pengemis aneh ini yang kepandaiannya kiranya tidak kalah, atau hanya sedikit selisihnya, dengan
Hoa Hoa Cinjin. Tentu saja kalau dia bisa mendapat bantuan tenaga seperti Ciu-ong Mo-kai,
keadaannya akan menjadi lebih kuat, selain itu, juga ia melemahkan keadaan pasukan Mancu yang
kehilangan Ciu-ong Mo-kai.
"Bagus, Ciu-ong Mo-kai. Kalau benar-benar kau suka bekerja sama, jangan khawatir, arak wangi
telah tersedia untukmu. Akan tetapi kau harus bersumpah." Pangeran ini cerdik dan sudah mengenal
watak orang-orang kang-ouw dari selatan. Orang-orang kang-ouw ini menjunjung tinggi kegagahan,
selalu memegang janji, apa lagi sumpah takkan dilanggarnya biarpun harus mengorbankan nyawa!
"Aku, Ciu-ong Mo-kai, bersumpah bahwa aku selalu akan memusuhi penjajah tanah airku!"
"Dan sekarang kau memusuhi orang-orang Mancu!" sambung Bhok-kongcu yang masih belum
puas.
"Aku bersumpah memusuhi orang orang Mancu sekarang!" Ciu-ong Mo-kai bersumpah tanpa raguragu.
Memang, di dasar hatinya ia memusuhi semua bangsa yang menjajah Tiongkok, mengapa
tidak? Baik Mancu maupun Mongol, adalah musuhnya.
Girang dan puas hati Bhok-kongcu. Segera ia mengajak Ciu-ong Mo-kai menuju ke Pegunungan
Yin-san, markas besarnya. Juga ia berjanji untuk membebaskan Bi Eng apabila benar-benar ternyata
bahwa gadis itu ditawan oleh Balita.
"Jangan khawatir, dua orang suheng dari Balita bekerja sama dengan kami. Biarkan mereka
menghadapi Balita untuk minta Bi Eng, tentu akan diserahkan dengan baik," kata pangeran ini.
Koleksi Kang Zusi
Rombongan ini tak lama kemudian sudah tiba di Yin-san dan di dalam sebuah istana darurat yang
indah dan mewah, Ciu-ong Mo-kai dijamu dengan sebuah pesta. Benar saja, Bhok-kongcu
mempunyai simpanan arak yang baik. Dengan gembira Ciu-ong Mo-kai makan minum dan sama
sekali ia tidak berkeberatan untuk duduk bersama-sama dengan Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siangmo,
Huang-ho Sam-ong, dan beberapa orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal dan yang
ternyata menjadi kaki tangan Bhok-kongcu!
Selagi Bhok-kongcu dan orang-orangnya berpesta gembira, tiba-tiba datang laporan bahwa ada
sepasukan tentara utusan Pak-thian-tok mengantar seorang tawanan untuk minta keputusan
Pangeran Galdan!
Kedengarannya memang aneh bagaimana Bhok Hong sebagai ayah Pangeran Galdan, tidak berani
memutuskan sendiri atas diri seorang tawanan, melainkan minta keputusan puteranya. Memang
demikianlah. Entah bagaimana, Bhok Hong ternyata amat bangga akan puteranya.
Malah mengabarkan di antara bangsanya bahwa puteranya itu, Pangeran Galdan, adalah pemimpin
besar Bangsa Mongol, penjelmaan Raja Besar Jenghis Khan dan karenanya adalah kekasih dewata
yang harus ditaati, oleh siapapun juga, bahkan oleh dia sendiri! Tentu saja di balik keanehan
sikapnya yang seakan-akan taat dan tunduk kepada putera sendiri ini, ada maksud tersembunyi di
dalam hati Bhok Hong sebagai seorang bapak yang ingin melihat anaknya menjadi raja besar seperti
Jenghis Khan.
Dia sendiri sudah tua, pula tidak ada minat tentang pemerintahan, biarlah puteranya yang menjadi
Jenghis Khan kedua! Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan yang sedang bergembira karena berhasil
menarik tenaga baru yang amat kuat, mengerutkan kening. Kalau bukan tawanan yang amat
penting, tak nanti ayahnya sampai mengirimnya pada saat seperti itu.
"Bawa dia masuk akan kutanyai!" katanya dengan sikap agung kepada tentara pelapor.
"Ampun, pangeran. Tawanan itu terluka dan pingsan tak dapat ditanyai lagi ......."
"Jangan cerewet, bawa dia masuk kataku! Biar kulihat siapa dia!" bentak Pangeran Galdan marah.
Tentara itu cepat memberi hormat dan mundur. Tak lama kemudian masuklah empat orang tentara
yang tinggi besar, menyeret tubuh seorang laki-laki yang berada di dalam jala, menggeletak dengan
muka pucat seperti mayat. Sukar diduga siapa yang lebih kaget di antara Ciu-ong Mo-kai dan Bhokkongcu
ketika melihat siapa adanya tawanan yang pingsan seperti mati itu.
"Han Sin ........!" Ciu-ong Mo-kai tak dapat menyembunyikan kagetnya, malah kakek yang sudah
kenyang makan asam garam dunia ini seperti sengaja memamerkan kagetnya.
Pangeran Galdan menoleh ke arah kakek itu sambil tersenyum, matanya menatap tajam. "Ehem,
kau tentu mengenalnya, Ciu-ong Mo-kai ......." katanya penuh sindir.
"Tentu saja!" jawab Ciu-ong Mo-kai dengan suara wajar. "Untuk apa aku harus berpura-pura tidak
mengenalnya kalau dia itu adalah kakak dari muridku, atau hampir boleh dibilang dia itupun
muridku karena pernah belajar teori silat dariku?"
Tiba-tiba Bhok-kongcu tertawa terbahak dengan muka geli, "Dia itu belajar teori silat dari padamu?
Ha ha ha, menggelikan sekali! Ciu-ong Mo-kai, apakah kau pura-pura tidak tahu bahwa dia itu
sepuluh kali lebih lihai darimu? Ha ha, hanya ayahku yang sakti saja dapat mengalahkannya dan
menawannya!"
Koleksi Kang Zusi
"Tentu saja aku tahu, Pangeran Galdan. Memang sekarang dia telah menjadi amat lihai, dan
agaknya ayahmu yang terhormat itupun belum dapat mengalahkannya dalam pertandingan terbuka
dan jujur." Setelah berkata demikian, Ciu-ong Mo-kai menenggak araknya. Orang-orang yang
berada di situ diam-diam merasa heran sekali atas keberanian dan kelancangan mulut si pengemis
bangkotan ini yang sama sekali tidak menghormat kepada "Pangeran Keturunan Dewata"!
Adapun Bhok-kongcu sudah tidak memperdulikan Ciu-ong Mo-kai lagi. Dia mendengar laporan
dari pengawal yang membawa Han Sin tentang ditangkapnya Cia Han Sin oleh Pak-thian-tok Bhok
Hong. Kemudian dengan amat marah Bhok-kongcu mendengar laporan pula betapa di mana-mana
pasukannya dipukul hancur atau dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Mancu yang amat kuat.
"Keparat!" bentak Pangeran Galdan sambil membanting kakinya. "Sampai titik darah terakhir
dalam tubuhku, aku harus melawan dan menghancurkan Mancu!" Ia lalu memandang ke arah tubuh
Han Sin yang masih menggeletak terbungkus jala.
"Keluarkan dia dari jala, belenggu kaki tangannya tapi jangan bunuh dia. Aku harus memaksanya
untuk membantuku kalau dia masih belum bosan hidup. Hanya ada dua jalan baginya." Pangeran itu
menoleh kepada Ciu-ong Mo-kai seakan-akan kakek itu dijadikan wakil Han Sin untuk
mempertimbangkan keputusannya, "Membantuku melawan Mancu atau kupenggal kepalanya!"
Ciu-ong Mo-kai pura-pura tidak melihat atau mendengar ini. Ia terus saja menenggak araknya dan
menyambar makanan yang paling enak di atas meja. Agaknya keadaan Han Sin yang tertawan dan
berada dalam keadaan mengenaskan, entah hidup atau mati itu sama sekali tidak diperdulikannya.
Empat orang pengawal yang kuat kuat itu sudah membuka jala dan menarik tubuh Han Sin yang
sudah tak berdaya dan lemas itu keluar dari jala. Mereka mengeluarkan tali otot kerbau yang kuat
untuk mengikat kaki tangan pemuda Min-san itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar gerengan keras sekali dan tahu-tahu hujan arak menyembur ke arah
muka keempat orang pengawal. Hujan arak yang tersembur dari mulut Ciu-ong Mo-kai sama
lihainya dengan hujan jarum. Empat orang itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil
mengaduh-aduh karena mata mereka sudah seperti buta dan muka mereka sakit seperti ditusuk
ratusan jarum!
"Aduh ..... aduh ..... Aduh ...........!"
Sebelum semua orang hilang kaget mereka, tubuh Ciu-ong Mo-kai berkelebat dan tahu-tahu ia
sudah menyambar tubuh Han Sin dan dipanggulnya tubuh pemuda yang pingsan itu.
37. Kehancuran Benteng Mongol
"PENGKHIANAT busuk!" Hoa Hoa Cinjin membentak marah sekali. Semenjak tadi, melihat Ciuong
Mo-kai diterima sebagai pembantu oleh Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin sudah merasa tak
senang dan curiga. Dia sudah mengenal baik-baik pengemis tua ini, yang berjiwa patriotik sampai
ke rambut-rambutnya. Paling gigih, pengemis ini melawan penjajah, malah secara rahasia
memimpin seluruh perkumpulan pengemis di selatan untuk bangkit melawan penjajah. Bagaimana
orang seperti dia itu bisa membantu orang-orang Mancu yang sekarang menjajah tanah airnya dan
bagaimana mungkin lagi dapat menghambakan diri kepada Bhok-kongcu, seorang Pangeran
Mongol?
Kalau dia datang membantu, tentu di belakangnya terselip maksud-maksud lain yang tidak baik.
Akan tetapi tentu saja la tidak berani membantah kehendak Bhok-kongcu karena iapun maklum
Koleksi Kang Zusi
bahwa makin banyak orang pandai seperti Ciu-ong Mo-kai dapat membantu mereka, betul-betul
membantu dengan setia, akan makin baiklah. Maka Hoa Hoa Cinjin yang duduk tak jauh dari Bhokkongcu,
selama pesta berjalan, hanya diam saja dan hanya mengawani makan minum. Namun diam
diam matanya yang tajam seperti mata burung rajawali itu selalu menaruh perhatian dan mengawasi
setiap gerak-gerik Ciu-ong Mo-kai.
Maka begitu ia melihat Ciu-ong Mo kai menyemburkan arak menyerang empat orang Mongol yang
hendak membelenggu Han Sin, kemudian kakek pengemis itu menyambar tubuh Han Sin, Hoa Hoa
Cinjin mengeluarkan teriakan marah lalu menyerang dengan hebat.
Ciu-ong Mo-kai bukan seorang yang ceroboh. la memang berlaku nekat ketika menolong Han Sin,
maklum bahwa perbuatannya kali ini bukan main-main dan nyawalah taruhannya. Maka sebelum
melakukan perbuatan itu, ia telah lebih dulu menghitung-hitung dan tahu bahwa ia akan berhadapan
dengan orang-orang kosen dan lihai, terutama Hoa Hoa Cinjin. Hal ini membuat dia berlaku
waspada dan tak pernah mengalihkan perhatiannya dari sai-kong ini.
Serangan dari Hoa Hoa Cinjin amat dahsyat datangnya, merupakan sebuah pukulan tangan kanan ke
arah lambung Ciu-ong Mo-kai dibarengi dengan cengkeraman ke arah tubuh Han Sin yang
dipanggul kakek pengemis itu. Sambaran angin serangan ini sudah membuat pakaian Ciu-ong Mokai
di bagian lambung dan baju Han Sin di bagian pundak robek!
Ciu-ong Mo-kai kaget juga, akan tetapi tidak gugup. la maklum bahwa cengkeraman ke arah tubuh
Han Sin itulah yang lebih berbahaya karena pemuda itu sedang pingsan tak dapat menjaga diri.
Cepat ia mengangkat tangan menangkis cengkeraman, sedangkan pukulan ke arah lambungnya ia
hindarkan dengan sebuah gerakan mengegos yang lincah dari langkah kaki Ilmu Silat Liap hongsin-
hoat.
Ilmu silat ciptaan Ciu-ong Mo-kai ini, sesuai dengan namanya, yaitu Liap-hong-sin-hoat (Ilmu Sakti
Mengejar Angin), memang mengandalkan kecepatan dan gerakan-gerakan kaki teratur yang amat
cepat perubahannya. Dengan ilmu silat ini, tanpa balas menyerang Ciu-ong Mo-kai akan dapat
menghadapi serangan serangan orang dengan enak saja, tubuhnya menjadi licin bagaikan belut dan
trengginas, cepat bagaikan burung walet.
Akan tetapi sekarang ia menghadapi serangan Hoa Hoa Cinjin, seorang tokoh besar ilmu silat yang
tingkat kepandaiannya tidak kalah tinggi olehnya. Memang ia berhasil menangkis cengkeraman ke
arah Han Sin, akan tetapi pukulan ke arah lambungnya itu biarpun sudah dapat ia elakan, namun
sebuah terdangan kaki yang boleh dibilang berbarengan saatnya dengan pukulan itu sendiri, tak
dapat dihindarkannya lagi. Tendangan itu mengenai perut Ciu-ong Mo-kai.
Tubuh kakek pengemis ini terpental, namun hebat sekali, dia masih dapat meminjam tenaga
tendangan ini untuk terus meloncat lari dari tempat itu sambil memanggul tubuh Han Sin dan
membawa lari pula luka ringan di bagian dalam perutnya akibat tendangan tadi!
"Tangkap dia! Kejar!" Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan memerintah dengan suara marah sekali.
"Tangkap hidup-hidup!"
Masih untung bagi Ciu-ong Mo-kai bahwa pangeran itu saking marahnya dan saking bernafsu
hendak melampiaskan amarahnya kepada Ciu-ong Mo-kai dan Han Sin, mengeluarkan perintah
supaya menangkap mereka hidup-hidup. Andaikata tidak demikian, mana kakek ini mampu keluar
dari kepungan dengan tubuh masih bernyawa? Serangan senjata-senjata rahasia dan anak panah
tentu akan merenggut nyawanya dan nyawa Han Sin yang masih pingsan.
Koleksi Kang Zusi
Betapapun juga, bukanlah hal mudah bagi Ciu-ong Mo-kai untuk dapat melarikan diri. Biarpun ia
sudah berlari secepatnya, tetap saja tiga orang dapat menyusulnya, yaitu Hoa Hoa Cinjin dan kedua
saudara Tung-hai Siang-mo. Seperti telah dikenal dalam cerita yang lalu, dua orang saudara Tunghai
Siang-mo ini amat lihai, dengan maju bersama tingkat kepandaian mereka hampir menandingi
tingkat Hoa Hoa Cinjin. Maka dengan majunya dua orang ini, sekarang Ciu-ong Mo-kai dikejar tiga
orang yang amat lihai!
"Pengemis kelaparan, kauhendak pergi ke mana?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah datang dekat
sambil menyerang lagi dengan pukulan dahsyat ke arah punggung kakek pengemis itu. Juga dua
orang kakek Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Timur) sudah menyerang dari kanan kiri
sehingga Ciu-ong Mo-kai kini dikeroyok tiga!
"Ha ha ha, pentolan-pentolan kang-ouw main keroyok. Tak tahu malu!" Kakek itu tertawa
mengejek, mainkan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat sambil mempergunakan guci araknya sebagai
senjata. Dengan gagah sekali kakek ini sambil menggendong tubuh Han Sin di pundak kiri,
melakukan perlawanan mati-matian. Kadang-kadang ia menenggak arak dan menggunakan
semburan-semburan araknya sebagai senjata rahasia yang ampuh.
Setiap kali mendapat kesempatan, Ciu-ong Mo-kai lari lagi untuk menjauhkan diri dari pada
kepungan tentara Mongol. Dengan cara begini, terutama sekali karena Hoa Hoa Cinjin tidak berani
melanggar perintah Pangeran Galdan, yaitu tidak mau membunuh Ciu-ong Mo-kai, pengemis ini
dengan menderita beberapa luka di tubuhnya dapat melarikan diri sampai turun Gunung Yin-san!
Namun tiga orang kosen itu tetap membayanginya terus dan tiap kali ia tentu tersusul untuk
mengalami keroyokan dan tak dapat dicegah lagi ia tentu terkena pukulan-pukulan yang amat
berbahaya dari tiga orang itu.
Amat payah keadaan Ciu-ong Mo kai. Apa lagi pukulan terakhir dari Hoa Hoa Cinjin yang tepat
mengenai siku lengan kanannya, membuat guci arak di tangannya terlempar dan tangan itu sendiri
menjadi lumpuh karena sambungan tulang pada siku terlepas. Ciu-ong Mo-kai memindahkan tubuh
Han Sin ke atas pundak kanan dan ia masih terus melawan dengan tangan kiri sambil tertawa-tawa
mengejek! Dan hebatnya, selama itu kakek ini masih terus berhasil melindungi tubuh Han Sin
sehingga belum sekali juga tubuh pemuda pingsan ini terkena serangan tiga orang pengeroyoknya.
"He he, Hoa Hoa Cinjin pengecut curangl" Ia masih sempat mengejek. "Kalau satu lawan satu mana
kau mampu mengalahkan aku?"
Hati Hoa Hoa Cinjin panas sekali. Kalau menurut nafsunya, ingin ia mengandalkan serangan maut
untuk membunuh kakek pengemis itu. Namun ia takut akan Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan
yang amat berpengaruh dan berkuasa. Sekali pangeran itu bilang ”tangkap hidup-hidup", ia harus
dapat melaksanakannya.
Memang tentu saja amat sukar untuk menundukkan kakek pengemis ini tanpa melakukan seranganserangan
maut. Beberapa kali sudah ia melakukan penyerangan hebat, akan tetapi begitu melihat
bahwa serangannya ini akan merenggut nyawa Ciu-ong Mo-kai, ia menarik kembali serangannya
dan tentu saja hal ini membuat pertempuran menjadi amat lama.
Demikian pula halnya dengan Tung-hai Siang-mo. Mereka lebih lebih tidak berani melanggar
perintah Pangeran Galdan. Memang harus diakui kehebatan Ciu-ong Mo-kai yang benar-benar amat
"ulet". Pukulan-pukulan hebat yang biarpun mengenai tubuh orang lain sebetulnya sudah cukup
untuk merobohkan orang itu. Namun kakek ini tetap melawan dan bahkan pada saat ia
Koleksi Kang Zusi
menyemburkan arak yang terakhir, yang masih tersimpan di mulut, dan melihat tiga orang
lawannya mengelak, kakek ini masih dapat meloncat jauh dan lari lagi sambil tertawa-tawa.
"Hayo kejar aku! Hayo, kejar dan keroyok. Ha ha ha."
Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran bukan main. Kalau orang-orang kang-ouw melihat dia bersama
Tung-hai Siang-mo tak dapat menangkap seorang pengemis bangkotan yang sudah terluka di
beberapa tempat, malah sambungan siku kanannya sudah terlepas, alangkah akan malunya!
"Siang-mo, kita maju bareng dan tangkap dia!" katanya marah. Dua orang kawannya itu
menyanggupi dan cepat-cepat mereka mengejar kakek itu yang kini larinya biarpun masih cepat,
namun sudah terhuyung-huyung, napasnya empas-empis dan mukanya penuh keringat menahan
nyeri yang hebat.
Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kali ini ia takkan dapat tertolong lagi. Dia tidak perduli lagi. Dia
tidak perdulikan keselamatan sendiri. Aku sudah tua, pikirnya, tidak penasaran mati dalam
pengeroyokan Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, akan tetapi sayang kalau Han Sin sampai
tewas. Dia adalah harapan kita untuk memimpin orang-orang gagah kelak ......
Pada saat itu, secara tiba-tiba saja muncullah dari sebuah tikungan seorang laki-laki gendut
menuntun dua ekor kuda yang besar lagi kuat. Ciu-ong Mo-kai melihat bahwa orang itu yang
menyeringai aneh bukan lain adalah ..... Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng si tukang catut! Biarpun
kakek pengemis ragu-ragu akan diri Raja Swipoa itu, namun ia cepat menghampiri dan berkata,
"Lekas ...... kau selamatkan dia ini ....... aku tak kuat lagi .......”
Lie Ko Sianseng cepat menerima tubuh Han Sin, akan tetapi ia tidak lupa untuk memandang cerdik
dan bertanya, "Berapa upahnya?"
Mau tak mau Ciu-ong Mo-kai melotot kepadanya. "Tukang catut sialan! Nyawaku upahnya!"
Lie Ko Sianseng biarpun bicara namun ia tidak membuang waktu. Ia sudah meloncat ke atas kuda
sambil mengempit tubuh Han Sin. "Pengemis bangkotan, nyawamu dan doamu supaya aku selamat.
Pakai kuda ini!"
Ciu-ong Mo-kai yang sudah lelah sekali meloncat ke atas punggung kuda kedua dan sekali tepuk
saja dua ekor kuda itu sudah meloncat dan berlari cepat. Akan tetapi, melihat dua orang buronan
mereka kabur, Hoa Hoa Cinjin tentu saja tidak mau membiarkan. Terpaksa sekarang ia melanggar
pantangan Pangeran Galdan dan secepat kilat ketika tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke
arah Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng.
"Lie Ko Sianseng, kaupun menjadi pengkhianat?" Ji Kong Sek, orang pertama dari Tung-hai Siangmo
berseru terheran-heran. Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng sudah lama membantu Mongol, malah
dipercaya oleh Pangeran Galdan. Kenapa sekarang menolong Ciu-ong Mo-kai?
Melihat sinar hijau menyambar, Ciu ong Mo-kai yang kudanya berada di belakang, cepat
mengebutkan tangan kiri ke arah Lie Ko Sianseng. Ia berhasil menyampok runtuh sinar hijau ini,
akan tetapi sinar hijau yang tertuju ke arah dirinya tak sempat ia elakkan lagi. Bawah pundak
kirinya tertancap beberapa buah Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang terus memasuki daging
dan jalan darah.
Koleksi Kang Zusi
Rasa nyeri yang hebat menyerang diri Ciu-ong Mo-kai. Kakek ini menggigit bibirnya dan berkata
kepada Lie Ko Sian¬seng. Menahan rasa nyeri,
"Lekas balapkan kuda, bawa dia kepada Yok-ong Phoa Kok Tee ....... di ........"
"Aku tahu. Di Tai-hang-san, bukan?" jawab Lie Ko Sianseng yang segala tahu itu.
"Betul ..... biar aku menahan mereka, tosu-tosu bangsat itu ......"
"Ciu-ong ....... mari kau ikut lari. Kau sudah terluka hebat, kau takkan menang, kau akan mati ......"
"Ha ha ha, apakah artinya mati? Membantu Mancu atau Mongol hanya main-main belaka, akan
tetapi kali ini ... menyelamatkan dia ... hemm, sama dengan menyelamatkan bangsa, dia harapanku
.... dan untuk menyelamatkan bangsa, untuk membela tanah air .... aku ingin mati seribu kali ...."
Tiba-tiba Ciu-ong Mo-kai menampar tubuh belakang kuda yang ditunggangi oleh Lie Ko Sianseng.
Kuda itu terkejut, kesakitan dan membalap secepat keempat kakinya mampu lari! Adapun Ciu-ong
Mo-kai sendiri lalu memutar kuda, menanti datangnya tiga orang pengeroyoknya. Dengan senyum
mengejek ia menanti sampai mereka dekat, lalu berkata,
"Kalian mau tangkap aku? Tangkaplah. Akan tetapi jangan mengejar Lie Ko Sianseng, kalau kalian
mengejar, terpaksa aku melawan kalian sampai mati di tangan kalian. Hasilnya, kalian takkan dapat
menangkap Han Sin, juga kalian takkan dapat menangkapku hidup-hidup sehingga kalian akan
dihukum oleh Pangeran Galdan. Ha ha ha!"
Hoa Hoa Cinjin dan dua orang kawannya saling pandang. Mereka tahu bahwa biarpun sudah terluka
hebat, kakek pengemis ini masih tak boleh dipandang ringan dan kalau benar-benar hendak
menghalang mereka bertiga mengejar Han Sin, tentu akan terjadi pertempuran lagi. Pula, kuda yang
ditunggangi Lie Ko Sianseng luar biasa cepat larinya, tak mungkin mereka yang sudah lelah itu
dapat menyusulnya.
"Pangeran akan menyiksamu!" Hanya demikian Hoa Hoa Cinjin dapat berkata untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya. Mereka bertiga lalu kembali ke Yin-san membawa "tawanan" yang
menunggang kuda sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang bernyanyi-nyanyi sajak To-tik-keng
untuk menyindir tiga orang "pengawal" itu.
Ketika mereka berempat itu tiba di kaki Gunung Yin-san, terkejutlah mereka melihat betapa di
lereng tempat markas besar Pangeran Galdan itu ternyata telah terjadi perang hebat. Nampak asap
bergulung-gulung naik dan sorak-sorai gemuruh menandakan bahwa ada pihak yang menang. Pihak
mana yang kalah mudah diduga karena markas besar itu telah menjadi lautan api! Bukit itu penuh
dengan pasukan dan kini nampaklah nyata betapa pasukan Mongol cerai-berai dan lari turun
gunung dari segala jurusan, dikejar-kejar oleh pasukan-pasukan yang bukan lain adalah pasukan
Mancu!
Ciu-ong Mo-kai yang melihat ini tiba-tiba tertawa bergelak lalu meloncat dari kudanya dan sekuat
tenaga ia menghantam dada Hoa Hoa Cinjin! Kakek ini tadi sedang terheran-heran dan terkejut
melihat peristiwa hebat di atas gunung, maka kini dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia
diserang secara tiba tiba oleh Ciu-ong Mo-kai.
Cepat ia mengelak dan menangkis, akan tetapi terlambat dan tentu ia akan terkena pukulan maut itu
apabila dua orang saudara Tung-hai Siang-mo tidak bertindak cepat. Dua orang saudara ini melihat
Ciu-ong Mo¬kai meloncat turun, sudah dapat menduga bahwa kakek ini akan melawan, maka
Koleksi Kang Zusi
mereka lalu menyerang dari kanan kiri menggunakan senjata rahasia Toat-beng-cui (semacam bor
pencabut nyawa).
Senjata-senjata ini datang lebih cepat dari pada pukulan Ciu-ong Mo-kai pada Hoa Hoa Cinjin,
maka sebelum pukulan itu mengenai tubuh Hoa Hoa Cinjin, kakek pengemis yang sakti ini telah
lebih dulu "termakan" senjata rahasia dan terhuyung-huyung, Hoa Hoa Cinjin marah sekali,
tangannya bergerak menghantam dada dan ...... robohlah Ciu-ong Mo-kai dengan isi dada remuk.
Nyawanya melayang pada saat ia roboh.
Hoa Hoa Cinjin bertiga lalu berlari lari cepat mendaki bukit. Benar saja kekhawatiran mereka.
Ternyata markas besar tentara Mongol itu telah diserbu secara tiba-tiba oleh barisan Mancu. Hal ini
benar-benar amat mengherankan. Bagaimana bala tentara Mancu sampai bisa muncul secara tibatiba
di situ tanpa dapat diketahui lebih dahulu?
Sebetulnya hal ini adalah jasa dari "dua peti batu" yang dulu dibawa oleh Han Sin. Batu-batu itu
setelah diatur oleh Pangeran Yong Tee, merupakan sebuah peta yang menggambarkan kedudukan
tentara Mongol di Yin-san, bahkan semua tempat-tempat di mana ditaruh barisan pendam dan
tempat-tempat penjagaan para penyelidik Mongol, terdapat dalam peta itu! Karena inilah maka
menurutkan petunjuk peta, Pangeran Yong Tee berhasil menyelundupkan bala tentaranya yang
besar dan kuat sampai ke kaki Gunung Yin-san dan melakukan penyerbuan serentak.
Hoa Hoa Cinjin dan kawan-kawannya ikut pula mengamuk, akan tetapi akhirnya mereka harus
melindungi Pangeran Galdan dan bersama tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi, di antaranya
Pak-thian-tok Bhok Hong, mereka terpaksa lari turun gunung mengambil jalan belakang. Di antara
rombongan yang berhasil melarikan diri ini terdapat Hoa-ji, si gadis berkedok, anak angkat Hoa
Hoa Cinjin.
Bala tentara Mancu yang memperoleh kemenangan besar lalu mengadakan pembersihan dan
pengejaran sehingga boleh dibilang bala tentara Mongol yang tadinya amat kuat, kini sudah ceraiberai
merupakan kelompok-kelompok pasukan yang tidak ada artinya, terlepas dari pada induk
pasukan, tidak memliki pimpinan lagi.
****
Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng membalapkan kudanya tak pernah berhenti. Akhirnya, menjelang
senja, kudanya terjungkal roboh dan ..... mati. Baiknya kakek gendut ini cukup sigap untuk
melompat turun sebelum ia ikut terguling, sambil mengempit tubuh Han Sin. Ia menarik napas lega
ketika mendapatkan dirinya sudah berada dekat dengan Bukit Tai-hang-san yang dituju. Sudah
cemas hatinya kalau melihat keadaan Han Sin. Pemuda ini sepucat mayat, napasnya lemah hampir
berhenti, tubuhnya sudah dingin!
Lie Ko Sianseng yang maklum bahwa ia tidak boleh, lambat-lambatan, memaksa tubuhnya yang
gendut dan sudah lelah itu untuk berlari cepat mendaki Bukit Tai hang-san. Dia tahu di mana
tempat tinggal Yok-ong Phoa Kok Tee si Raja Obat. Tidak ada tempat kediaman tokoh kang-ouw
yang tidak diketahui oleh Raja Swipoa ini.
Kebetulan sekali si Raja Obat, Yok-ong Phoa Kok Tee, berada di atas bukit itu, tidak sedang pergi
berkelana. Tokoh kang-ouw yang kenamaan ini memang semenjak terjadi perang antara Mongol
dan Mancu, tidak meninggalkan tempat kediamannya. Dia sendiri tidak mau mencampuri perang
antara dua bangsa asing itu, akan tetapi ia tidak keberatan, malah menganjurkan ketika muridnya,
Phang Yan Bu menghadap dan minta ijin untuk ikut menggempur Mongol yang merupakan bahaya
besar yang mengancam keselamatan rakyat.
Koleksi Kang Zusi
Ketika Yok-ong Phoa Kok Tee melihat bahwa orang yang terluka parah yang dibawa Lie Ko
Sianseng adalah Cia Han Sin, cepat-cepat ia memeriksanya. Setelah meraba nadi, memeriksa dada
dan membuka pelupuk mata yang terpejam itu, kakek ini mengerutkan keningnya, lalu menggelenggeleng
kepala.
"Hebat .... memang keji Pak-thian-tok, bekas tangannya mengerikan ...."
Lie Ko Sianseng nampak gelisah. "Yok-ong kau tolonglah dia .....ini pesanan terakhir Ciu-ong Mokai
dan aku sendiri, aku amat suka orang muda ini. Berapa ongkos pengobatannya sampai sembuh,
aku bersedia menguras semua milikku untuk memberikannya kepadamu."
Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum. "Orang seperti kau ini, Swi-poa-ong, di sorga atau neraka
sekalipun tentu akan berusaha membujuk penjaga-penjaga di sana untuk menuruti kehendakmu
dengan cara menyogok!"
Merah muka Swi-poa-ong. "Sesukamulah kau mengatakan, akan tetapi dia ini bukan sanak bukan
kadang kita semua. Meskipun begitu, Ciu-ong Mo-kai sudah rela mengorbankan nyawa untuknya.
Akupun sudah menyaksikan kepandaiannya dan kegagahannya, dia inilah harapan kita kaum tua.
Terserah kepadamu kausuka mengobati atau tidak, aku hendak kembali mencari si Raja Arak .......
eh, setidaknya mencari jenasahnya untuk diurus ....."
Yok-ong Phoa Kok Tee tidak menjawab, hanya memandang bayangan yang gendut itu sambil
menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Banyak manusia aneh di dunia ini, manusia
aneh yang sukar diduga wataknya, yang kadang-kadang kelihatan jahat tapi kadang-kadang
membayangkan watak manusia sejati, seperti Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng itu. Teringatlah ia akan
muridnya yang terkasih, Phang Yan Bu dan kembali kakek ini menarik napas panjang sambil
menggerutu,
"Semua orang mengaku patriot .... semua orang ingin bertindak sebagai patriot ...." Ia maklum
bahwa memang pada dasar hati setiap orang yang berbangsa dan bertanah air, sudah ada watak
patriotik ini, watak cinta nusa bangsa, berbakti kepada tanah air.
Seperti juga pada dasar hati setiap orang memang sudah ada watak cinta orang tua, berbakti kepada
orang tua. Akan tetapi, tebal tipisnya cinta dan bakti ini, baik kepada tanah air maupun kepada
orang tua, tergantung kepada tebal tipisnya orang itu mencintai diri sendiri. Makin tebal cintanya
kepada diri sendiri, makin tipislah cintanya kepada yang lain. Namun demikian, setiap sikap, setiap
tindakan yang menyatakan jiwa patriotik memang amat mengagumkan, amat mengharukan.
Yok-ong Phoa Kok Tee memandang tubuh Han Sin yang terlentang di atas tanah di hadapannya.
Pemuda yang hebat, pikirnya. Keturunan seorang pahlawan besar. Masih begini muda sudah
mewarisi ilmu yang amat tinggi. Hal ini sudah ia ketahui karena pernah ia bertemu dan
menyaksikan kelihaian Han Sin beberapa waktu yang lalu.
"Dia masih begini muda ..., dan aku sudah amat tua .... apa salahnya kalau aku tolong dia, biarpun
harus menukar nyawa?"
Dengan keputusan bulat kakek raja obat itu lalu mengangkat tubuh Han Sin, mendudukkan tubuh
yang masih pingsan itu di bawah sebatang pohon, dan menyandarkannya di pohon itu. Kemudian
Yok-ong yang tadi ketika bertemu dengan Lie Ko Sianseng sedang membawa sebuah pikulan
keranjang obat, mengeluarkan beberapa bungkus obat dari keranjangnya.
Koleksi Kang Zusi
Tubuh Han Sin yang luka-luka lalu diobati, ada yang sengaja ia buka kulitnya dengan pisau untuk
mengeluarkan darahnya. Han Sin sama sekali tidak merasa apa-apa, masih tetap pingsan. Akan
tetapi, setelah banyak darah yang terkena racun dikeluarkan, wajahnya mulai bersinar kembali.
"Hebat ......" terdengar Yok-ong bicara seorang diri penuh kekaguman, "Hek-tok dan Cheng-tok
(Racun Hitam dan Hijau) yang amat berbahaya tertahan saja di bawah kulit tidak dapat menjalar,
benar benar luar biasa! Darah orang muda ini mengandung sesuatu yang dahsyat."
Ia memeriksa lagi dengan amat teliti. "Hemmm, semua tenaganya berkumpul di dada dan perut,
melindungi semua isinya ...... tenaga sinkang yang gaib berputaran terus ...... amat kuatnya sehingga
melumpuhkan semua syaraf ....." Kakek itu bicara terus, kadang-kadang terdengar, kadang-kadang
tidak, keningnya berkerut. Kemudian ia merasa puas dengan pemeriksaannya dan mundur sambil
berkata,
"Cia Han Sin, tidak ada lain jalan. Hanya It-yang-ci (Totokan Satu Jari) yang akan dapat membuka
lubang hawa yang tertutup sehingga hawa sinkang dapat pulih dan menyembuhkan hawa beracun
yang membekukan semua syarafmu."
la menarik napas panjang lalu duduk bersila tak jauh dari Han Sin. Kakek ini maklum bahwa ilmu
totok It-yang-ci yang dimilikinya adalah ilmu yang luar biasa dan sekali dipergunakan untuk
menolong nyawa Han Sin, mungkin sekali hal itu berarti akan mengorbankan nyawa sendiri, atau
setidaknya merusak sumber sinkang di dalam tubuhnya sendiri. Hanya dengan pengerahan tenaga
dalam yang luar biasa menggunakan It-yang-ci ia akan dapat menyembuhkan pemuda ini. Dan
sekali sumber sinkang di tubuhnya rusak oleh pengerahan tenaga yang berlebihan ini,
kepandaiannya akan lenyap pula.
Yok-ong menenteramkan batinnya, mengumpulkan semangat dalam samadhi. Setelah merasa diri
kuat betul-betul, ia membuka mata dan tiba-tiba meloncat berdiri. Sepasang matanya memancarkan
cahaya berapi, topinya yang lebar terlepas di atas tanah. Dengan gerakan lambat ia melonggarkan,
semua ikatan pakaiannya, malah membuka baju sehingga ia bertelanjang sebatas perut.
Kemudian kakek ini mengeluarkan suara aneh dan tubuhnya bergerak cepat sekali menotok dengan
jari telunjuk kanannya ke arah leher Han Sin. Totokan ini disusul oleh telunjuk kiri yang menotok
ke arah ulu hati. Kemudian disusul totokan-totokan yang amat cepat, bertubi-tubi dan dilakukan
dengan kecepatan yang membuat tubuh kakek itu seakan-akan tampak menjadi empat lima orang!
Makin lama makin cepat totokan totokan itu dilakukan dan mulailah terdengar napas terengahengah
dari kakek itu.
Seperti juga pada permulaannya yang tiba-tiba, kakek itu tiba-tiba menghentikan totokantotokannya.
Ia nampak pucat, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, napasnya terengah-engah
seperti hendak putus. Ia masih berdiri dalam sikap bersilat, matanya masih tajam menatap tubuh
Han Sin. Babak pertama dari usaha penyembuhan dengan It-yang-ci sudah ia lakukan.
Lalu perlahan-lahan kakek ini duduk bersila lagi, meramkan mata dan bersamadhi, mengumpulkan
tenaga dan mengatur napas. Ada setengah jam ia duduk diam, kemudian ia meloncat bangun lagi
dan untuk kedua kalinya ia "menyerang" Han Sin bertubi-tubi dengan totokan It-yang-ci. Masih
cepat seperti tadi penyerangannya, hanya bedanya, kalau tadi ia menggunakan tenaga Im-kang
sehingga totokannya itu biarpun cepat kelihatannya tidak memakai tenaga.
Padahal sebenarnya pengerahan tenaga dalam kali ini jauh lebih berat dari pada tadi! Sebentar saja
napasnya sudah terdengar seperti kerbau disembelih dan ketika tiba-tiba bayangan tubuhnya yang
Koleksi Kang Zusi
berkelebatan itu berhenti, mukanya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan dari muka dan
dadanya keluar keringat besar-besar. la berdiri meramkan mata, mengatur napas.
Ada perubahan pada diri Han Sin. Pemuda ini mengeluarkan rintihan perlahan, tubuhnya bergerakgerak
sedikit, pelupuk matanya terbuka. Biarpun Yok-ong sendiri meramkan mata, namun ia dapat
menangkap gerakan pemuda itu, maka dengan suara lirih seperti orang berbisik, lemah sekali, ia
berkata,
"Jangan bergerak ......"
Han Sin mengerling ke arah kakek itu dan otaknya yang cerdas segera dapat menangkap apa yang
sedang terjadi. Sinar matanya penuh keharuan dan terima kasih. Di dalam kitab Thian-po-cin-keng
ia merasa pernah membaca tentang penyembuhan secara ini, dan ia maklum pula bahwa usaha ini
akan mendatangkan bencana kepada Yok-ong!
Hanya sebentar saja ia dapat menggunakan pikirannya karena tiba-tiba kepalanya pening sekali dan
ia tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Hal ini adalah karena yang sudah terbuka hanya jalan-jalan
hawa di tubuh, sedangkan urat-urat syaraf yang menuju ke kepala masih tertutup oleh hawa beracun
yang tadinya menyerang dari banyak luka di tubuhnya.
Sampai satu jam kali ini Yok-ong duduk diam, bersila sambil memulihkan tenaganya. Kemudian ia
berdiri, tidak meloncat seperti tadi, melainkan perlahan sekali. Namun tubuhnya mengejang, dan
setiap gerakannya mengeluarkan bunyi berkerotokan di tulang-tulangnya, matanya bersinar tajam
menakutkan bahkan rambut kepalanya ada sebagian yang berdiri.
Dengan langkah perlahan sekali ia menghampiri Han Sin, kemudian dengan gerakan amat lambat
dan perlahan kelihatannya namun sesungguhnya mengandung tenaga yang berlipat kali lebih
dahsyat dari pada babak pertama dan ke dua tadi, kakek raja obat itu menotok dengan jari-jari
telunjuk kanan kiri bergantian ke arah leher, pelipis, dan ubun-ubun kepala Han Sin!
Setelah menotok dua puluh tujuh kali, keadaan kakek ini makin lama makin lemah, akhirnya selesai
juga ia melakukan pengobatannya, tubuhnya limbung terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi
mulutnya tersenyum lalu terdengar suaranya,
"Sembuh .... sembuh .... sembuh ...." Ia roboh terguling dan muntahkan darah sambil duduk bersila.
Han Sin merasa betapa hawa murni di tubuhnya sudah berjalan normal kembali, malah dengan
hawa sinkangnya ia dapat mengusir semua sisa racun yang menguasai kulit dan urat-urat tubuhnya.
la membuka mata dan melihat keadaan Phoa Kok Tee, ia mengeluarkan seruan kasihan dan cepat ia
meloncat menghampiri. Yok-ong masih duduk bersila, pangkuan dan bibirnya penuh darah yang
tadi ia muntahkan, napasnya senin kemis dan mukanya pucat, tubuhnya menggigil.
Han Sin menitikkan dua butir air mata. Orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dia,
bukan sanak, bukan kadang, bukan pula sahabatnya telah rela mengorbankan diri untuk
menolongnya. Bukan main besarnya budi ini.
Pemuda itu lalu duduk bersila pula di belakang Phoa Kok Tee menempelkan telapak tangannya
kepada punggung kakek itu untuk mengisi tubuh orang dengan hawa sinkangnya yang disalurkan
melalui kedua telapak tangan. Berkat pelajaran Thian-po-cin-keng di dalam tubuh pemuda ini
memang terkandung hawa sinkang yang luar biasa.
Koleksi Kang Zusi
Yok-ong merasa betapa dari punggungnya muncul semacam hawa hangat yang membangkitkan
kembali sumber tenaga lweekangnya yang sudah habis, maka ia dapat menggunakan kembali
tenaga yang sudah amat lemah di dalam tubuhnya itu untuk meratakan jalannya napas.
Ia menarik napas panjang dan tahu bahwa pemuda itu yang kini membalasnya, menolongnya
terhindar dari pada kematian. Namun, iapun maklum bahwa sejak saat itu ia sudah kehilangan
kepandaiannya, menjadi orang biasa yang hanya akan dapat mengobati orang dengan daun-daun
dan akar-akar obat. Tak dapat lagi menggunakan ilmu It-yang-ci, tak dapat lagi mengerahkan
tenaga dalam.
Yok-ong membuka matanya, menoleh dan tersenyum. "Cukuplah, aku tidak akan mati ....., dan kau
sudah sembuh ........”
Han Sin cepat bangun, lalu melangkah ke depan kakek itu, cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan
berkata,
"Locianpwe telah menolong nyawaku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri. Budi sebesar ini
sampai matipun aku Cia Han Sin takkan melupakan dan bagaimana aku dapat membalasnya?"
Phoa Kok Tee tersenyum pahit. "Siapa bilang bahwa aku mengobatimu karena ingin dibalas?"
"Tentu tidak, karena in-jin (tuan penolong) memang seorang yang berwatak mulia. Akan tetapi,
locianpwe telah kehilangan kepandaian, malah hampir kehilangan nyawa, bagaimana aku dapat
berhati lega lagi kalau tidak berusaha membalas budi. Katakanlah, locianpwe, budi apakah yang
dapat kulakukan kepadamu untuk membalasmu? Kalau locianpwe tidak mau memberi petunjuk,
biarlah selama hidupku aku mengabdi kepada locianpwe untuk membalas budi, akan kurawat dan
kulayani locianpwe ......"
"Hush, bocah gila! Siapa sudi dengan pelayananmu? Pula, bukan aku yang menolongmu, melainkan
Lie Ko Sianseng. Dialah yang membawamu dalam keadaan pingsan ke tempat ini. Si Raja Swipoa
itulah yang menolong nyawamu, karena kalau tidak dia menolongmu, pasti kau takkan bernyawa
lagi sekarang sudahlah, lekas kaupergi dari sini, jangan mengganggu aku lagi!"
Akan tetapi Han Sin tidak mau bangun dari situ, tetap berlutut di depan Yok-ong. "Biarlah
locianpwe akan membunuhku, aku takkan pergi meninggalkan locianpwe kecuali kalau locianpwe
memberi perintah sesuatu untuk dapat kulaksanakan sebagai pembalasan budi."
38. Patriot Bangsa Berguguran
YOK-ONG menarik napas panjang. "Hemmm, berkepandaian atau tidak apa sih artinya bagiku.
Mati atau hidup apa pula bedanya bagi seorang yang sudah setua aku? Akan tetapi, karena kau
memaksa, baiklah. Kau pergilah menghadap Pek Sin Niang-niang yang kini bertapa di Gobi-san.
Beliau adalah guruku dalam hal pengobatan. Kalau kau berhasil memintakan petunjuk kepadanya
untuk penyembuhanku karena penggunaan It-yang-ci tadi, berarti kau sudah membalasku dan
menyembuhkan aku kembali. Akan tetapi jangan kaukira akan mudah menjumpai Pek Sin Niangniang.
Beliau sudah menjadi manusia setengah dewa dan Pegunungan Gobi adalah tempat yang
amat luas. Tidak mudah mencarinya .......“
"Aku akan mencarinya sampai dapat!" Setelah berkata demikian, baru Han Sin mau bangun.
Koleksi Kang Zusi
Yok-ong Phoa Kok Tee lagi-lagi tersenyum, lalu kakek inipun bangkit berdiri dengan perlahan dan
lemah. Diambilnya topi dan pakaiannya, dipakainya semua itu dengan gerakan lemah, gerakan
seorang petani tua biasa, kemudian Dipikulnya keranjang-keranjang obatnya dan dengan langkah
gontai ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan Han Sin yang berdiri memandang dengan hati
penuh keharuan.
"Manusia budiman ........ dia inikah yang oleh Nabi Khong Cu disebut kuncu? Betul Yok-ong Phoa
Kok Tee inilah orang yang patut disebut seorang kuncu, bukankah Nabi Khong Cu pernah bersabda
bahwa:
"Seorang Budiman berhati penuh cinta kasih terhadap sesama manusia, tidak mau mencari
keuntungan diri sendiri dengan jalan merusak cinta kasihnya itu, sebaliknya malah rela
mengorbankan diri sendiri demi cinta kasihnya terhadap sesama manusia."
Demikian Han Sin berkata di dalam hatinya penuh kagum. Kakek itu menderita karena dia,
kehilangan kepandaiannya, malah mungkin pengerahan lweekang yang dahsyat dalam
menggunakan Ilmu It-yang-ci tadi berakibat lebih hebat lagi, yaitu melukainya. Mungkin sekali
kalau tidak mendapat obat yang cocok, kakek itu akan menderita sakit dan tewas!
Kagetlah hati Han Sin ketika jalan pikirannya sampai di sini. Dia telah menolongku, bagaimana aku
dapat berpeluk tangan saja melihat dia menderita? Harus kucarikan obatnya, pada Pek Sin Niangniang,
sekarang juga. Urusan lain boleh ditunda!
Keputusan dalam hati dan pikiran Han Sin ini membuat pemuda itu cepat meninggalkan tempat itu,
langsung menuju ke Pegunungan Go-bi-san di utara untuk mencari Pek Sin Niang-niang. Dalam
perjalanan ini, di sepanjang perjalanan ia mendengar tentang kekalahan yang diderita oleh pihak
Mongol.
Diam-diam ada juga kelegaan dalam hati Han Sin karena bukankah kemenangan pihak Mancu
berarti selamatnya orang-orang yang dekat dengannya seperti Bi Eng, Li Hoa, Ciu-ong Mo-kai dan
yang lain-lain? Juga kalau ditimbang-timbang, andaikata kedua pihak, Mongol dan Mancu,
berperang bukan karena berebutan tanah airnya, tentu ia seratus persen akan berdiri di pihak
Mancu!
Baru membandingkan pribadi Bhok-kongcu sebagai wakil Mongol dan pribadi Yong Tee sebagai
wakil Mancu saja, tidak sukar bagi Han Sin untuk memilih. Sayangnya kedua pihak itu perang
karena memperebutkan Tiongkok, inilah yang menjengkelkan hati Han Sin dan membuat pemuda
itu tidak mau mencampurinya.
****
Pegunungan Go-bi-san memang merupakan daerah yang amat luas, penuh dengan gunung dan
padang pasir. Han Sin yang masih lemah tubuhnya karena baru saja sembuh dari pada luka-luka
hebat, melakukan perjalanan yang amat sukar. Namun semua ini ia tempuh dengan senang, malah ia
melakukan dengan tergesa-gesa karena ingin lekas-lekas bisa bertemu dengan pertapa wanita itu
untuk mintakan obat bagi Yok-ong Phoa Kok Tee.
Kalau ia teringat akan Lie Ko Sianseng, iapun tersenyum. Ternyata banyak juga manusia baik di
dunia ini. Benar-benar tak pernah disangkanya. Lie Ko Sianseng yang tadinya ia sangka licin,
cerdik dan penuh tipu muslihat busuk, ternyata malah menolongnya seperti yang diceritakan oleh
Yok-ong. Bagaimanakah Lie Ko Sianseng dapat menolongnya? Seingatnya, ia tertawan oleh PakKoleksi
Kang Zusi
thian-tok Bhok Hong, bagaimana tahu-tahu ia bisa dibawa oleh Lie Ko Sianseng kepada Yok-ong
untuk diobati?
Pada suatu senja, ia memasuki sebuah kampung atau bekas tempat perkemahan bangsa Mongol
yang sudah kosong. Agaknya tentara Mancu sudah sampai di tempat ini dan mengusir
penduduknya, buktinya ada bekas-bekas pertempuran di kampung ini, dan bekas-bekas kebakaran.
Lumayan juga tempat ini untuk bermalam, pikir Han Sin, dari pada tidur di tempat terbuka. Ia
menghampiri sebuah bangunan sederhana yang masih utuh, dengan maksud bermalam di tempat itu.
Sudah jelas bahwa tempat ini tidak ada manusianya lagi.
Akan tetapi, ketika ia membuka daun pintu rumah itu, ia mendengar suara orang mengerang
kesakitan. Cepat ia melompat masuk dan di antara meja kursi yang malang-melintang, ia melihat
tubuh seorang laki-laki dan sekali pandang saja maklumlah Han Sin bahwa orang ini sudah tak ada
harapan disembuhkan lagi. Cepat ia berlutut di dekat orang itu dan ....
”Lie Ko Sianseng ......! Ah, bagaimana kau sampai menjadi begini ........?"
Lie Ko Sianseng membuka matanya. Mulut yang tadinya berkerinyut menahan sakit itu tiba-tiba
tersenyum lebar ketika ia melihat Han Sin.
"Kau ..... kau sudah sembuh .......? Bagus ...... tidak sia-sia ..... Ciu-ong mengorbankan nyawa
untukmu ......." Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan amat susah payah, kakek gendut itu
pingsan.
Hati Han Sin berdebar tidak karuan. Apa artinya Ciu-ong Mo-kai berkorban nyawa untuknya? "Lie
Ko Sianseng ......” la mencoba menyadarkan kakek gendut itu namun sia-sia belaka.
Kurang lebih satu jam kemudian, keadaan Lie Ko Sianseng payah sekali, akan tetapi ia siuman
kembali, bibirnya bergerak-gerak. Han Sin mendekatkan telinganya ke bibir kakek itu.
"........ adikmu dibawa ........ dia ......."
Terkejut sekali Han Sin. "Dibawa siapa?"
"Bhok-kongcu ...."
"Siapa membunuh Ciu-ong Mo-kai ....?"
"..... Bhok-kongcu ...."
"Siapa melukaimu sampai begini?"
".... Bhok-kongcu ...." Tak kuat lagi Lie Ko Sianseng menahan, tubuhnya mengejang dan di lain
saat nyawanya sudah melayang keluar dari tubuhnya.
Han Sin mengertak giginya sampai berbunyi. Dapat ia membayangkan sekarang. Tentu ketika ia
tertawan oleh Bhok Hong, ia dibawa ke tempat Bhok-kongcu. Kemudian, entah cara bagaimana,
muncul Ciu-ong Mo-kai, mungkin bersama Lie Ko Sianseng, menolongnya. Ciu-ong terbinasa
dalam usaha ini oleh Bhok-kongcu dan Lie Ko Sianseng berhasil mengantarnya ke tempat Yok-ong.
Sekarang Lie Ko Sianseng bertemu dengan Bhok-kongcu dan dilukai sampai tewas pula. Dan Bi
Eng .... Bi Eng juga dibawa Bhok-kongcu.
Koleksi Kang Zusi
"Awas kau, Bhok Kian Teng! Sekali ini kalau aku bertemu denganmu, sebelum membalas dendam
orang-orang ini, aku tidak mau sudah!"
Dengan hati penuh keharuan dan dendam Han Sin mengubur jenasah Lie Ko Sianseng. Seorang
patriot, pikirnya. Seperti juga Ciu-ong Mo-kai. Biarpun dalam kehidupan sehari-hari merupakan
seorang pedagang yang kadang kala kelihatan licik dan curang dalam mengejar untung, namun tiba
saatnya tidak segan untuk mengorbankan nyawa untuk menolong bangsa sendiri dari tangan kaum
penjajah.
Mungkin pendirian Lie Ko Sianseng mengenai peperangan antara Mancu dan Mongol sama dengan
pendirian Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain, hanya bedanya kalau Ciu-ong Mo-kai sengaja
membantu Mancu agar Mongol cepat hancur, sedangkan Lie Ko Sianseng bekerja untuk kedua
belah pihak, mempermainkan mereka dan mengadu mereka ke arah kehancuran bersama,
kehancuran dua bangsa penjajah, musuh-musuhnya!
Setelah selesai mengubur jenasah itu, ia memberi penghormatan terakhir. "Lie Ko Sianseng, harap
kau mengaso tenang, akulah yang akan membalaskan kejahatan Bhok Kian Teng," katanya seperti
sumpah.
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke Go-bi-san. Kalau Han Sin teringat akan Ciuong
Mo-kai, makin besar kemarahannya kepada Bhok-kongcu, dan juga besar penyesalannya kalau
ia mengingat betapa dalam pertemuan terakhir dengan bekas gurunya, ia berselisih dengan kakek
pengemis sakti itu.
Han Sin melakukan perjalanan cepat karena ia selain ingin segera bertemu dengan Pek Sin Niangniang
untuk mintakan obat Yok-ong Phoa Kok Tee, juga ia ingin mengejar Bhok Kian Teng. Lie Ko
Sianseng baru saja dilukai orang itu, tentu Bhok Kian Teng belum lari jauh. Biarpun tubuhnya
masih agak lemah dan belum pulih kembali seluruh tenaganya, namun untuk menghadapi Bhok
Kian Teng saja ia masih sanggup.
Tiga hari kemudian, sampailah ia dilereng Gunung Go-bi-san, sebuah di antara puncak yang
terbesar, penuh dengan batu-batu yang aneh bentuknya. Dari bawah tadi ia sudah melihat bayangan
orang berlari-lari ke atas, kadang-kadang kelihatan hanya seorang, kadang-kadang ada dua dan tiga
orang.
Ia mempercepat larinya dan akhirnya pada siang hari itu dapatlah ia menyusul. Dapat dibayangkan
betapa girang hatinya ketika ia melihat Bhok Kian Teng dan seorang gadis yang bukan lain orang
adalah Bi Eng sendiri! Bhok Kian Teng nampak kurus dan pucat, pakaiannya sudah kotor dan di
tangannya pemuda ini membawa sepasang siang-kek (sepasang tombak pendek) yang agak aneh
bentuknya, satu panjang dan satu pendek. Bi Eng juga nampak pucat dan kusut rambut dan
pakaiannya, seperti orang sedang dalam susah.
Yang membuat Han Sin terheran heran adalah sikap gadis ini terhadap Bhok Kian Teng. Sama
sekali tidak kelihatan seperti seorang tawanan, melainkan seperti seorang sahabat pemuda itu.
Mereka bercakap-cakap sambil berjalan, akhirnya kelihatan mereka duduk mengaso di bawah batu
karang yang mendoyong untuk berlindung dari terik panas matahari siang. Dan mereka duduk
bersanding sambil bercakap-cakap, nampaknya dalam suasana bersahabat!
Timbul cemburu yang hebat dalam hati Han Sin, membuat ia menjadi makin membenci Bhok Kian
Teng. Ia mempercepat larinya dan begitu tiba di tempat itu, ia segera membentak,
"Bhok Kian Teng manusia keji, bersiaplah kau menerima binasa!"
Koleksi Kang Zusi
Pangeran Mongol itu nampak kaget bukan main, wajahnya yang pucat menjadi makin pias, dan
cepat ia meloncat bangun. Ia maklum bahwa tidak ada gunanya bicara lagi dengan Han Sin, tidak
ada gunanya mencoba untuk menggunakan akal membujuknya supaya berdamai. Pemuda Mongol
ini memberi tanda dengan bersuit keras dan tahu-tahu dari balik batu tinggi itu muncul seorang
manusia yang membuat Han Sin menjadi kaget dan heran bukan main.
Orang itu tinggi sekali, hampir dua kali orang biasa, kurus kelihatannya seperti tengkorak saking
tingginya. Tanpa banyak cakap si tinggi ini menyerang Han Sin dengan dua tangannya yang
berlengan panjang sekali. Han Sin cepat mengelak, akan tetapi kedua lengan itu seperti dapat mulur
panjang, terus mengejarnya dengan pukulan yang amat keras. Han Sin cepat menangkis dengan
lengannya.
"Plakk!" Terkejutlah Han Sin ketika mendapat kenyataan bahwa kesehatannya belum pulih benar
sehingga pertemuan lengan ini membuat ia hampir terpelanting, biarpun ia melihat orang tinggi
itupun kaget dan gempur kuda-kuda kakinya. Han Sin bukan gentar karena si tinggi itu bertenaga
besar, akan tetapi gelisah karena merasa bahwa tenaganya sendiri baru pulih setengah bagian saja.
Andaikata ia tidak selemah ini, tentu sekali tangkis ia sanggup membikin si tinggi terlempar.
Sementara itu, Bhok Kian Teng tidak tinggal diam. Sambil tersenyum mengejek ia lalu
menggerakkan sepasang senjatanya yang aneh, melakukan serangan kilat yang bertubi-tubi, Han
Sin kembali mengelak sambil berusaha merobohkan pangeran Mongol itu. Namun si tinggi tidak
memberi kesempatan, ia maju dengan serangan serangan susulan yang terpaksa menuntut seluruh
perhatian Han Sin. Kakek tinggi itu benar-benar lihai dan dia sendiri belum pulih kekuatannya,
maka sebentar saja Han Sin terdesak oleh Bhok-kongcu dan pembantunya yang aneh.
Selagi Han Sin kerepotan, tiba-tiba ia berseru kaget dan wajahnya pucat. Apa sebabnya? Ia melihat
Bi Eng mencabut pedang, meloncat ke dalam pertempuran dan ........ menyerang dia dengan tusukan
tusukan hebat menggunakan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng yang telah dilatihnya di Min-san, yaitu
tiga jurus yang amat berbahaya. Hampir saja ujung pedang Bi Eng menembus dadanya biarpun Han
Sin sudah mengelak, tetap saja bajunya di bagian dada tertusuk bolong oleh pedang itu saking
hebatnya jurus Heng-pai Kwan Im yang dimainkan oleh Bi Eng.
"Eng-moi ...... kenapa kau serang aku .......??"
"Siapa Eng-moimu .........?" jawab gadis itu sambil menyerang lebih hebat lagi.
Han Sin mengelak, hampir tidak percaya kepada mata dan telinganya sendiri. Apa boleh jadi ada
gadis yang menyerupai Bi Eng, baik wajah maupun suaranya? Akan tetapi ...... tak mungkin, gadis
ini mainkan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng dan hanya tiga jurus yang dimainkannya! Siapa lagi kalau
bukan Bi Eng?
"Eng-moi ...... ingatlah ..... aku Han Sin ....." serunya sambil melompat mundur.
"....... tutup mulutmu! Tak perlu banyak bicara ......!" gadis itu membentak lagi dan mengirim
serangan ke tiga. Tak salah lagi, inilah gerakan Ciu-po-thian-keng yang pernah ia ajarkan kepada
gadis itu di Min-san! Aduh, Bi Eng ...... Bi Eng, apakah yang telah terjadi? Bagaimana kau bisa
menjadi begini?
"Nona Tilana, jangan ladeni dia, mari kita serang dan bikin mampus anak penjahat Cia Sun ini!"
terdengar Bhok Kian Teng berkata kepada gadis itu.
Koleksi Kang Zusi
Han Sin menjadi bingung. Bagaimana Bhok Kian Teng menyebut Bi Eng dengan nama Tilana?
Apakah pendengarannya sudah rusak, ataukah otaknya yang sudah menjadi gila karena luka-luka
hebat yang dideritanya? Karena tubuhnya memang masih lemah, ditambah keadaan yang amat
membingungkan dan menggelisahkan hatinya ini, apa pula para pengeroyoknya memang orang
yang berkepandaian tinggi, maka Han Sin tak dapat mengelak lagi ketika ujung pedang nona itu
menusuk ke arah perutnya! Han Sin sudah menerima nasib, ingin mati di tangan nona yang ia yakin
tentu Bi Eng ini. Akan tetapi, heran sekali ujung pedang itu tidak terus menusuk perut, melainkan
diselewengkan ke bawah dan hanya melukai kulit pahanya!
"Bi Eng ...... kau ......" Han Sin berseru girang kini tidak ragu-ragu lagi bahwa gadis ini tentulah Bi
Eng. Bagaimana tusukan yang sudah tepat akan mengambil nyawanya itu sengaja diselewengkan ke
bawah?
Akan tetapi pada saat itu, sebuah tombak dari Bhok Kian Teng menyambar ke arah lehernya.
Baiknya Han Sin masih dapat mendengar sambaran ini dan cepat ia menggerakkan tubuhnya
dimiringkan dan terhindarlah ia dari bahaya maut. Pada saat itu, karena perhatiannya masih penuh
dengan Bi Eng yang hanya bergerak mengancam dengan serangan baru di depannya, Han Sin tidak
dapat menghindar serangan si jangkung yang mencengkeram pundaknya!
Han Sin mengerahkan sinkang, tapi ia mengeluh. Biasanya, kalau saja keadaannya tidak seperti itu
dan tenaganya sudah pulih semua, dengan pengerahan sinkang ini pasti orang takkan kuat
mencengkeramnya terus. Akan tetapi kali ini, si jangkung makin memperkuat cengkeramannya
sehingga lima jari tangan si jangkung itu seakan-akan tertanam ke dalam pundaknya dan tak
mungkin bagi Han Sin untuk melepaskan diri lagi.
Tiba-tiba terdengar suara halus menyebut, "Siancai ..... siancai ....." dan disusul suara bercuitan
yang nyaring dibarengi sinar kuning emas berkelebatan bagaikan ular panjang menyambar. Sinar
kuning emas ini ternyata adalah sehelai tambang sutera panjang kecil yang melayang dari atas,
ujungnya menyentuh tangan si jangkung yang mencengkeram pundak Han Sin.
Si jangkung mengeluarkan keluhan kesakitan, pegangannya terlepas karena begitu tangannya
tersentuh ujung tali sutera itu, ia merasa seluruh tubuh seperti tersambar kilat. Tali sutera itu tidak
berhenti, terus melayang dan melibat kaki Han Sin. Sebelum Bhok Kian Teng dan dua orang
kawannya sempat menyerang lagi, tahu-tahu tubuh Han Sin sudah melayang ke atas, ditarik
tambang sutera yang dipegang oleh seorang wanita yang berpakaian sebagai seorang pendeta dan
berdiri di atas puncak bukit batu kecil.
"Kurang ajar!" Bhok Kian Teng berseru marah ketika melihat calon korbannya tertolong oleh
seorang wanita setengah tua berpakaian pendeta dan kelihatannya amat lemah. Melihat Han Sin
sudah berlutut di depan wanita itu di atas batu, pangeran ini lalu menggerakkan tangannya. Jarumjarum
hitam menyambar ke arah Han Sin dan wanita pendeta itu. Akan tetapi, ia berdiri bengong
ketika melihat betapa hanya dengan mengibaskan lengan bajunya yang lebar, wanita itu telah
membuat semua jarum runtuh di tengah jalan, jauh sebelum sampai di tempatnya.
Si jangkung juga marah, menggerakkan kedua tangan yang sudah mengangkat sebuah batu besar,
dilontarkan ke arah pendeta wanita itu. Sekali lagi wanita itu mengebutkan lengan baju dan batu itu
hancur di tengah jalan. Ketika Bhok Kian Teng dan kawan-kawannya memandang lagi, ternyata
wanita itu bersama Han Sin telah lenyap dari atas batu. Dengan amat penasaran mereka meloncatloncat
ke atas, akan tetapi tidak kelihatan bayangan wanita itu lagi, juga Han Sin tidak nampak.
Koleksi Kang Zusi
Dengan marah dan penasaran, mereka lalu pergi dari situ. Bhok Kian Teng tidak berani lama-lama
tinggal di tempat itu karena ia maklum bahwa dirinya sedang dikejar-kejar oleh orang-orang
Mancu. Ia ingin mencari kawannya yang lari cerai-berai, untuk menyusun kekuatan baru.
Siapakah pertapa wanita yang amat sakti dan yang sudah menolong Han Sin tadi? Mari kita ikuti
Han Sin untuk mengenal wanita itu. Ketika Han Sin merasa dirinya dilibat tali sutera dan ditarik ke
atas, ia maklum bahwa ada orang pandai menolongnya. Ia menurut saja karena dia sendiri sedang
bingung dan gelisah melihat keadaan gadis itu setelah berada di atas batu, pertapa wanita itu
mengajaknya pergi.
Han Sin menurut saja dan ia mengerahkan ginkangnya untuk mengimbangi kecepatan larinya
pertapa wanita itu. Ia merasa sukar untuk dapat menandingi pertapa itu. Kalau saja tenaganya sudah
pulih semua, kiranya ia takkan kalah dalam berlari cepat, sungguhpun harus ia akui bahwa selama
ini baru sekarang ia menyaksikan kepandaian yang begini tinggi.
Pertapa wanita itu beberapa kali melirik kepadanya dan sinar mata yang melembut dan halus itu
bersinar gembira. Nyata pertapa itu kagum sekali menyaksikan cara Han Sin berlari cepat. Di lain
pihak, apabila ada kesempatan, Han Sin mengerling ke arah pertapa itu. Ia mendapatkan kenyataan
bahwa pertapa itu belum tua benar, atau setidaknya belum kelihatan tua benar. Wajahnya berkulit
putih orang gadis remaja. Sukar untuk menaksir usianya. Diam-diam ia tercengang dan kaget kalau
ia teringat. lnikah Pek Sin Niang-niang?
Pertapa wanita itu mengajaknya mendaki sebuah puncak dan berhenti di depan sebuah pondok
kecil. Keadaan di tempat itu indah sekali, bersih dan hening, tepat benar untuk tempat bertapa.
Tanpa ragu-ragu Han Sin menjatuhkan diri di depan pertapa itu dan berkata,
"Teecu sekali lagi menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan cianpwe."
Pertapa itu tersenyum ramah. "Orang muda, kau siapakah? Bagaimana kau bisa sampai di tempat
seperti ini?"
"Teecu bernama Cia Han Sin dari Pegunungan Min-san. Teecu sengaja datang ke Go-bi-san untuk
mencari dan menghadap Pek Sin Niang-niang. Teecu mohon petunjuk cianpwe di mana kiranya
teecu dapat bertemu dengan Pek Sin Niang-niang."
"Orang muda she Cia, ada keperluan apakah kau hendak mencari Pek Sin Niang-niang?"
Han Sin mempunyai dugaan bahwa wanita ini tentu mempunyai hubungan baik dengan Pek Sin
Niang-niang, atau mungkin bahkan dia sendirilah pertapa itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
menuturkan maksudnya mencari pertapa itu sesuai dengan pesanan Yok-ong Phoa Kok Tee.
"Siancai ......, siancai ........" Pertapa wanita itu memuji. "Kok Tee dapat bersikap demikian di hari
tuanya, benar-benar menyenangkan sekali! Orang muda, Phoa Kok Tee itu menyuruhmu datang
mencari Pek Sin Niang-niang di sini, sebetulnya sama sekali bukan karena hendak mintakan obat
akan guna dirinya sendiri, melainkan bermaksud mintakan obat untukmu! Orang seperti kami ini,
mana masih hendak terikat oleh budi dan dendam? Kok Tee sudah kehilangan ilmunya karena
mempergunakan It-yang-ci, di dunia ini siapa bisa memulihkannya? Diapun sama sekali tidak
menghendaki pembalasanmu karena dia tidak pernah mau menanam perasaan sudah menolongmu.
Orang muda, hanya manusia yang masih mau menghambakan diri kepada pengaruh budi dan
dendam, dialah yang selalu akan menjadi barang permainan Karma. Bagi kami, tidak ada lagi istilah
menolong, yang ada hanyalah kewajiban yang harus dipenuhi, seperti kewajiban pinni (aku)
sekarang ini memenuhi pesan Phoa Kok Tee menyembuhkanmu."
Koleksi Kang Zusi
Han Sin menjadi girang sekali, juga amat terheran. Sekali lagi ia memberi hormat sambil berlutut.
"Mohon ampun bahwa teecu masih ragu-ragu tadinya bahwa teecu benar berhadapan dengan Pek
Sin Niang-niang."
"Memang pinni sendiri yang mempunyai sebutan Pek Sin Niang-niang. Phoa Kok Tee adalah murid
keponakanku. Cia-sicu, sebelum aku melanjutkan usaha Kok Tee menyembuhkanmu, perlu aku
tahu lebih dulu apa yang menyebabkan kau terluka demikian hebat sampai-sampai Kok Tee harus
mempergunakan It-yang-ci ilmu keturunan kami itu untuk menyembuhkanmu."
Dengan jujur dan jelas Han Sin menuturkan tentang tugasnya yang sudah ia janjikan kepada
Pangeran Yong Tee untuk mencari dan melindungi Hoa-ji, kemudian menuturkan betapa ia bertemu
dan bentrok dengan Pak-thian-tok Bhok Hong sampai ia terjebak dan dilukai secara curang dan
betapa dalam keadaan pingsan ia tertolong oleh Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng dibawa ke
tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee.
Pek Sin Niang-niang mendengarkan sambil mengangguk-angguk, juga kelihatan agak heran
mendengar bahwa pemuda ini sudah berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. "Ciu-ong Mo-kai
sudah lama pinni dengar sebagai seorang yang bersemangat gagah perkasa. Tentang Lie Ko
Sianseng, tidak banyak pinni mendengar. Pak-thian-tok Bhok Hong adalah seorang pandai yang
amat berbahaya, heran kau semuda ini sudah berurusan dengan dia, Cia-sicu. Tapi, sudahlah, urusan
dunia memang amat menyulitkan hidup dan meruwetkan hati dan pikiran. Harap sicu kerahkan
sinkang untuk melawan tekananku untuk mencoba dan melihat keadaanmu."
Setelah berkata demikian, dengan gerakan perlahan dan halus, pertapa wanita itu menggunakan jari
telunjuk kanannya menekan pundak Han Sin. Pemuda ini tanpa ragu-ragu mengerahkan sinkang di
dalam tubuhnya untuk melawan tekanan yang halus itu. Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaga,
namun yang keluar hanyalah setengah bagian saja. Betapapun juga, ia mendengar pertapa itu
mengeluarkan seruan perlahan, seruan terheran.
"Siancai ......, siancai ......." Pantas saja kau berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. Tak
tahunya kau telah mewarisi ilmu yang hebat sekali, orang muda .........!"
Diam-diam Han Sin kagum sekali. Hanya dengan menekan pundaknya saja pertapa ini dapat
mengetahui keadaannya, benar-benar harus diakui bahwa pertapa ini sakti dan pandai, setidaknya
ahli dalam ilmu pengobatan kalau bukan sakti dalam ilmu silatnya yang memang sudah dibuktikan
ketika menolongnya tadi.
"Ilmu It-yang-ci yang dikorbankan oleh Phoa Kok Tee sudah menyelamatkanmu, orang muda,
sungguhpun demikian, namun sebagian tenaga sinkangmu tenggelam dan Phoa Kok Tee tidak
sanggup untuk menyembuhkan ini. Itulah sebabnya ia menyuruh kau pergi menemui pinni."
"Mohon belas kasihan Niang-niang, mohon Niang-niang sudi menolong," kata Han Sin.
Pertapa itu tersenyum. "Kau telah berada di sini, sudah menjadi kewajibanku untuk coba
memulihkan keadaanmu. Memang sayang kalau kepandaian yang telah kaumiliki itu tenggelam
setengah bagian. Akan tetapi, untuk menyembuhkan sama sekali, kau harus tinggal di sini
sedikitnya satu bulan, melakukan samadhi menurut petunjuk-petunjukku ........"
Kagetlah Han Sin. "Mana bisa begitu lama ......?" Ia lalu menuturkan keadaannya, betapa ia harus
memenuhi janjinya kepada Pangeran Yong Tee untuk cepat menemukan Hoa-ji yang ia yakin
adalah adik kandungnya sendiri, betapa ia harus dapat membebaskan Bi Eng dari cengkeraman
Bhok Kian Teng, betapa ia amat cemas melihat sikap Bi Eng yang aneh.
Koleksi Kang Zusi
Kesemuanya itu ia ceritakan kepada Pek Sin Niang-niang, tanpa tedeng aling-aling lagi, malah soal
Tilana pun ia ceritakan. Entah bagaimana, terhadap pertapa wanita yang berwajah lembut ini Han
Sin menaruh kepercayaan ikhlas dan tidak ragu-ragu atau malu-malu lagi untuk membuka semua
rahasia hatinya.
"Karena semua itulah, Niang-niang, saya mengharap belas kasihanmu agar supaya saya dapat
segera pulih kembali untuk pergi mengejar Bhok Kian Teng, menolong Bi Eng dan mencari Hoa-ji
akhirnya Han Sin menutup penuturannya dengan suara memohon.
Pertapa wanita itu mendengarkan semua penuturan Han Sin dengan penuh perhatian, kadangkadang
mengangguk-angguk, kadang-kadang menggeleng-geleng, tersenyum atau menarik napas
panjang. Kemudian mendengar permohonan Han Sin, ia nampak diam termenung, seakan-akan ia
sedang mengenangkan hal-hal yang sudah lama berlalu.
"Orang muda, kau terombang-ambing dalam lautan asmara, menjadi permainan cinta kasih yang
ruwet membelit-belitmu."
Kemudian tanpa memandang Han Sin dan dengan suara perlahan seperti sedang bicara kepada diri
sendiri, pertapa wanita itu berkata, "Memang, cinta adalah hal yang amat pelik, amat ruwet dan
penuh rahasia. Semenjak jaman dahulu, cinta menjadi bahan tulisan para sasterawan, bahkan
menjadi sebab-sebab permusuhan, pertengkaran, ya ...... malah pernah cinta menimbulkan perang
besar! Bagi orang orang muda, cinta kasih bisa membikin orang sebahagia-bahagianya, bisa
membikin orang sesengsara-sengsaranya, bisa menciptakan sorga dan bisa menciptakan neraka.
Karenanya, cinta kadang-kadang dipuji puji ada kalanya dimaki-maki. Padahal, Yang Maha Kuasa
menurunkan cinta kasih di hati manusia bukan sekali-kali untuk dijadikan alat atau sebab perusak.
Cinta kasih antara dua jenis muda menimbulkan daya tarik satu kepada yang lain, mempersatukan
mereka dan dari sinilah timbulnya kembang biak sesuatu makhluk. Cinta kasih antara sesama
manusia pada umumnya mempertebal prikemanusiaan, menimbulkan setia kawan, welas asih, dan
membangkitkan pribadi-pribadi suci. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang .... setelah bersemayam
di dalam hati manusia, cinta kasih yang suci murni telah dikotori oleh pengaruh nafsu ......"
Han Sin mendengarkan sambil menundukkan kepala. Dia sendiri masih hijau dalam hal ini, dia
diombang-ambingkan cinta tanpa ia sendiri merasa. Dia jatuh bangun dengan cinta, suka menderita
karenanya.
"Cia Han Sin, pinni tidak tega membiarkan kau bergelisah tentang orang-orang yang kaucari.
Memang ada jalan untuk memulihkan tenagamu. Kau terimalah sian-tan (obat dewa) ini dan setelah
kau telan, kau harus bersamadhi mengumpulkan semua tenaga sampai pulih kembali. Dengan bakat
dan kemampuanmu, kurasa dalam waktu satu, dua hari kau akan sembuh kembali. Setelah sembuh
kau boleh terus keluar dan tinggalkan tempat ini, jangan mencoba mencari pinni, karena pinni
sekarang juga akan turun gunung."
Han Sin menerima sebutir obat pil berwarna putih mengkilap seakan-akan terbuat dari pada perak,
dan sebelum ia sempat menghaturkan terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, pertapa wanita itu
sudah berjalan pergi dari situ, tidak menoleh lagi!
39. Duel Ilmu Silat dan Ilmu Kebatinan
Ketika menuruni Pegunungan Go-bi-san, Han Sin telah sembuh sama sekali, telah pulih kembali
semua tenaganya. Ia amat berterima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, akan tetapi kepada siapa ia
harus mengucapkannya? Ia tak dapat berbuat lain kecuali berlutut dan mengangguk-anggukkan
kepala sambil mengucap terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang di depan pondok pertapa itu,
Koleksi Kang Zusi
kemudian dengan cepat ia turun gunung dan mulailah ia dengan penyelidikannya untuk mencari
Bhok Kian Teng.
Setelah muncul peristiwa Bi Eng yang begitu aneh, Han Sin ingin mendahulukan urusan ini.
Tadinya ia amat bernafsu hendak mencari Hoa-ji yang ia yakin adalah adik kandungnya, akan tetapi
setelah melihat Bi Eng bersama Bhok Kian Teng dan bersikap demikian anehnya kepadanya, ia
mengambil keputusan untuk mencari Bi Eng lebih dulu. Mengapa Bi Eng bersikap seperti itu? Dan
kenapa pula Bhok Kian Teng menyebutnya Tilana. Apa yang telah terjadi? Apakah Bi Eng, sudah
menjadi gila, ataukah dia, yang sudah miring otaknya? Han Sin benar-benar merasa gelisah
sungguhpun ada pula sesuatu yang aneh, sesuatu yang terasa di hatinya, yang membuat bulu
tengkuknya kadang-kadang meremang. Bisa jadikah Bi Eng sudah mengetahui bahwa dia puteri
Balita, maka lalu bersikap seperti itu? Ah, tak mungkin .......
Pergerakan Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng untuk memberontak terhadap pemerintah
Mancu boleh dibilang gagal. Bala tentaranya dihancurkan dan sudah cerai-berai. Akan tetapi selama
Pangeran Mongol ini belum tertangkap atau tewas, tentu akan muncul pemberontakan lain.
Memang Pangeran Galdan takkan mau menyerah begitu saja. Bhok Kian Teng diam-diam membina
lagi kekuatan, malah dengan amat lihainya ia mulai mencari-cari pembantu, menyamar sebagai
orang Han dan dengan beraninya pergi ke pelbagai tempat untuk secara rahasia menghubungi
kawan-kawan baru, kawan-kawan lama dan membangun lagi kekuatan yang sudah rusak.
Pada suatu hari Han Sin memasuki kota Potouw. Penyelidikannya yang dilakukan amat teliti,
bahkan dengan jalan menangkap dan mengancam beberapa orang Mongol yang ditemuinya di utara,
akhirnya ia dapat keterangan bahwa Pangeran Mongol itu kini berada di Potouw. Di kota ini
menyamar sebagai saudagar Han yang kaya raya. Han Sin maklum bahwa tidak akan mudah
mencari Pangeran Mongol itu, yang selain lihai dan cerdik, juga banyak sekali pembantupembantunya.
Bagaimana dia bisa mencari seorang Mongol yang menyamar di kota ini? Andaikata
benar Bhok-kongcu itu berada di Potouw, kiranya pangeran itu tentu akan melihatnya lebih dulu
dan siang-siang sudah akan bersembunyi.
Potouw adalah kota di daerah Mongol yang sudah "dibebaskan" oleh tentara Mancu. Penduduknya
terdiri dari campuran Bangsa Mongol dan Mancu, dan suku-suku bangsa lain di utara yang tidak
banyak jumlahnya. Ada juga orang-orang Han yang berdagang.
Ketika sore hari itu Han Sin memasuki kota, ia melihat ribut-ribut di pintu gerbang. Setelah dekat
dilihatnya seorang tosu tua sedang dikeroyok dan dipukuli oleh tiga orang Mancu yang berpakaian
sebagai penjaga-penjaga kota. Jelas kelihatan bahwa tiga orang Mancu itu berada dalam keadaan
mabok.
Tosu tua itu tidak mau membalas, hanya menangkis dan bergerak ke sana ke sini menghindarkan
diri dari hujan pukulan. Melihat gerakan tosu itu, Han Sin terkejut. Itulah gerakan llmu Silat Cinling-
kun dan hal ini berarti bahwa tosu itu adalah seorang anggauta Cin-ling-pai. Han Sin cepat
melangkah maju ke tempat pertempuran, menggerakkan kedua tangannya dan di lain detik tiga
orang Mancu mabok itu sudah terlempar ke kanan kiri dan jatuh berdebugan sampai kepala mereka
benjol-benjol! Orang-orang yang menonton perkelahian ini, menjadi terheran-heran melihat seorang
pemuda Han berani menentang tiga orang tentara Mancu.
Seperti biasanya, tentara-tentara yang baru saja menang perang amat ditakuti orang. Akan tetapi,
tiga orang Mancu itu sendiri sudah lari tunggang-langgang setelah bertemu dengan orang yang lebih
kuat. Tadipun andaikata tosu Cin-ling-pai itu berani melawan dan merobohkan mereka, kiranya
mereka takkan begitu banyak berlagak. Orang-orang pemabokan semacam ini memang beraninya
Koleksi Kang Zusi
hanya menghina dan menindas yang lemah atau yang tidak mau melawan. Begitu bertemu dengan
yang kuat, mereka akan lari ketakutan.
"Apakah totiang ini seorang anggauta Cin-ling-pai?" tanya Han Sin sambil mendekati tosu tua itu.
Tosu itu semenjak tadi sudah memandangnya penuh perhatian.
"Betul, dan siapakah taihiap?"
"Aku Cia Han Sin ....." Baru saja bicara sampai di situ, tosu itu sudah cepat-cepat menjura memberi
hormat.
"Ah, kiranya bengcu sendiri yang menolongku. Sudah banyak pinto yang tua mendengar nama
besar bengcu, sayang ketika bengcu mengunjungi Cin-ling-san, pinto sedang, turun gunung.
Bengcu, harap suka ikut dengan pinto untuk menjumpai Hee-susiok."
"Hee Tojin ada di sini? Di mana dia?" tanya Han Sin girang. Kalau ada tosu-tosu Cin-ling-pai di
situ, berarti dia mempunyai sahabat-sahabat, dan tentu dia akan dapat bertanya tentang Bhok Kian
Teng.
"Hee-susiok berada dalam keadaan luka parah. Mari, bengcu, harap cepat pergi sebelum orangorang
kasar itu datang membawa kawan-kawan mereka."
Berdua pergilah mereka memasuki gang yang berliku-liku, kemudian tosu itu mengajak Han Sin
memasuki sebuah rumah kecil. Di atas sebuah pembaringan kayu, duduklah Hee Tojin ketua Cinling-
pai, duduk dengan tubuh lemah, bersandarkan bantal. Napasnya tinggal satu-satu, agaknya
berada dalam keadaan yang payah sekali. Akan tetapi begitu melihat Han Sin memasuki kamarnya
bersama tosu itu, Hee Tojin nampak bersemangat.
"Cia-taihiap! Bagus kau datang .......” katanya dengan suara perlahan namun membayangkan
kegembiraannya.
Han Sin segera menghampiri tosu itu dan duduk di pinggir pembaringan.
"Hee-totiang, kenapa kau menjadi begini? Siapa yang melukaimu?" Melihat sekelebatan saja
tahulah Han Sin bahwa tosu tua ini terluka hebat oleh pukulan maut yang mengandung racun. Hawa
beracun membayang pada muka yang tua itu.
Tosu tua itu menarik napas berkali kali. "Kejadian aneh, taihiap ......, kejadian aneh sekali ..... Ciataihiap,
sebelum pinto menuturkan pengalaman pinto lebih dulu pinto bertanya, di mana adanya
adikmu, Cia-lihiap?"
Han Sin mengerutkan keningnya. "Justeru karena dialah aku berada di sini, totiang. Aku sedang
mencari adikku itu yang tertawan oleh Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng."
"Aahhh ...... kalau begitu betul dia ....... betul dia ...." Tosu itu berkata terkejut.
"Siapa yang kaumaksudkan? Apakah kau bertemu dengan adikku itu, totiang?" Han Sin bertanya
cepat.
"Bukan saja bertemu, malah ..... malah pinto terluka olehnya! Ketika pinto melihat bayangan
Pangeran Galdan di kota ini, pinto mengejarnya, dia lari dan tiba-tiba muncul ..... seorang gadis
Koleksi Kang Zusi
yang menyerang pinto secara tiba-tiba. Pinto mengenal dia sebagai Cia-lihiap, maka pinto tidak
menyangka akan penyerangan itu dan ..... dan beginilah keadaan pinto ....."
Han Sin makin kaget. Cepat ia memeriksa dada Hee Tojin dan menjadi ngeri hatinya. Bagaimana Bi
Eng memiliki pukulan beracun yang begitu keji? Itulah pukulan yang mengandung racun, pukulan
yang hanya bisa dipelajari oleh orang-orang macam Hoa Hoa Cinjin, Pak-thian-tok Bhok Hong,
atau Jin-cam-khoa Balita!
"Totiang, tidak salahkah penglihatanmu? Betulkah dia .... adikku itu yang ..... yang memukul dan
melukaimu .... ?" Wajah Han Sin menjadi pucat.
"Cia-taihiap, perlu apa pinto memfitnah orang, apalagi kalau orang itu Cia lihiap sendiri? Pinto
berani bersumpah, malah Cia-lihiap mengatakan bahwa namanya bukan Cia Bi Eng lagi, melainkan
...... eh, dia memakai nama orang Hui, kalau tidak salah, Tilana namanya."
Tak salah lagi, pikir Han Sin bingung. Dia yang menyerangku, atau Bi Eng itulah yang melukai Hee
Tojin. "Biarlah kucoba sembuhkan lukamu, totiang." Han Sin lalu menotok jalan darah di pundak
tosu itu, mengurut dada dan menggunakan hawa sinkangnya yang amat kuat mendorong keluar
hawa beracun dari tubuh tosu itu, malah menggunakan lweekangnya untuk mendorong darah yang
hitam keluar dari luka. Setelah muka tosu itu menjadi merah kembali, tanda bahwa ia terbebas dari
pada bahaya maut, Han Sin segera bertanya,
"Di manakah adanya ...... adikku itu? Dan di mana adanya Pangeran Galdan? Aku akan
mengunjunginya dan membongkar rahasia yang aneh ini."
Hee Tojin lebih dulu menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan pengobatan, kemudian tosu
ini lalu meloloskan pedangnya, pedang Im-yang-kiam yang dulu ia terima dari Han Sin. "Ciataihiap,
harap kausuka menerima pedang ini. Tiada gunanya lagi bagi pinto, karena sekarang Cinling-
pai sudah cerai-berai dan pinto tidak menjadi ketua lagi. Dalam menghadapi Pangeran Galdan
dan para pembantunya yang amat lihai, pedang ini ada gunanya, taihiap. Pinto sendiri tidak dapat
membantu, biarlah kau memberi kepuasan kepada pinto dengan hiburan bahwa biarpun pinto tidak
membantu, namun pedang Cin-ling-pai, yaitu pedang Im-yang-kiam peninggalan suhu dan pendiri
Cin-ling-pai ini sedikit banyak berjasa dalam membasmi kejahatan dan membela bangsa."
Tadinya Han Sin hendak menolak, namun mendengar ucapan bersemangat ini, ia tidak tega untuk
menolak lagi. la mengucapkan terima kasih, menerima pedang dan menggantungkan di pinggang.
"Kalau kau hendak mencari Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu, agaknya biar kau kelilingi seluruh
kota, kau takkan berhasil mendapatkannya taihiap. Pangeran Mongol itu cerdik sekali. Kau pergilah
ke sebelah barat kota, di situ terdapat sebuah gedung besar bekas rumah seorang pedagang Han
yang kaya-raya. Gedung itulah yang dibeli oleh Pangeran Galdan tanpa mengganti nama, yaitu
gedung keluarga Kwa, hartawan yang sudah pindah ke selatan itu."
"Bagus! Kalau begitu sekarang juga aku akan ke sana. Selamat tinggal, totiang."
"Harap kau berhati-hati, taihiap. Semoga berhasil," kata Hee Tojin.
Han Sin menempuh malam gelap mencari gedung itu. Gedung keluarga Kwa yang hartawan amat
dikenal orang dan sebentar saja ia sudah berdiri di depan gedung besar yang megah itu. Lampu
lampu masih bernyala dan dengan hati berdebar tegang, Han Sin menyelinap ke dalam gelap lalu
meloncat ke atas genteng rumah itu. Dengan hati-hati sekali ia memeriksa keadaan gedung
kemudian mengintai dari atas genteng, memeriksa setiap kamar. Ia melihat, pelayan-pelayan cantik
Koleksi Kang Zusi
jelita dan teringatlah ia akan pelayan pelayan yang biasa mengikuti Bhok-kong cu. Tak salah lagi,
tentu di sinilah bersembunyi orang yang selama ini menjadi gara-gara segala keributan, Bhok Kian
Teng atau Bhok-kongcu, kini terkenal dengan nama Pangeran Galdan!
Di lain saat Han Sin sudah berada di atas sebuah kamar yang terang di mana duduk Bhok Kian
Teng seorang diri menghadapi meja! Ia melihat Pangeran Mongol itu tengah menulis di atas kertas
kuning dengan huruf-huruf hitam. Huruf-huruf besar dan indah. Memang pandai sekali Pangeran
Mongol ini menulis indah. Huruf huruf bersajak pula. Saking tertarik, dari atas genteng melalui
celah-celah yang dibuatnya, ia membaca tulisan itu.
"Menjadikan Turkistan – Tibet - Sin kiang sekutu. Menghancurkan semua barisan Mancu. Setelah
seluruh Tiongkok ditaklukkan Apa sukarnya mengusir sekutu bekas taklukan?"
Membaca tulisan ini, Han Sin menjadi marah sekali. Alangkah besarnya dan kejinya cita-cita
keturunan Jenghis Khan ini. Hendak mengajak negara tetangga untuk bersekutu merampas dan
menduduki Tiongkok, kemudian memukul sekutu ini yang dianggapnya hanyalah negara-negara
bekas taklukan nenek moyangnya, Jenghis Khan! Benar-benar seorang pemuda yang bercita-cita
besar tapi amat curang dan keji.
"Bhok Kian Teng, aku datang!" Han Sin berseru perlahan. Ia melihat pangeran itu kaget dan berdiri
dari bangkunya di belakang meja, akan tetapi di lain detik Han Sin sudah berdiri di depannya, hanya
terhalang meja di mana terbentang tulisannya tadi. Han Sin berdiri dengan keren, bertolak pinggang
sambil menatap wajah pangeran itu yang kelihatan pucat dan kehilangan akal.
Akhirnya Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng dapat menguasai ketakutannya, tersenyum lebar
dan berkata ramah, "Aha, kiranya orang gagah nomor satu di kolong langit yang datang
mengunjungiku. Kebetulan sekali, saudara Cia. Aku sedang kesepian dan membutuhkan sahabat
yang cocok untuk diajak mengobrol. Saudara Cia Han Sin, kau muda dan gagah, memiliki kelihaian
luar biasa. Kenapa kau menyia-nyiakan masa muda dan kepandaianmu? Akupun masih muda dan
biarpun tidak selihai kau dalam ilmu silat, namun aku memiliki kepandaian khusus dalam hal
ketatanegaraan dan ilmu perang. Mari kita bersatu, kita bersama merebut dunia ......"
"Gila! Siapa sudi mendengar obrolanmu, Bhok Kian Teng, kau apakan Bi Eng? Kau yang sudah
membunuh Ciu-ong Mo-kai, membunuh Lie Ko Sianseng, membunuh Thio-ciangkun, membunuh
banyak pula orang-orang gagah, patriot-patriot menjadi pengkhianat-pengkhianat. Kau apakan Bi
Eng? Di mana dia sekarang? Ayoh, kau lekas mengaku dan bebaskan Bi Eng!" Han Sin marah
bukan main, suaranya keras, matanya berapi dan telunjuk kirinya ditudingkan ke muka pangeran
itu, sedangkan tangan kanannya bertolak pinggang, sikapnya menantang dan mengancam.
Namun Bhok-kongcu hanya tersenyum ramah. Matanya memandang penuh ejekan. "Aku tidak
mengganggu adikmu, tidak melihat nona Bi Eng harap kau, jangan menuduh yang bukan-bukan
....."
"Bohong! Setan pengecut. Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung resikonya,
harus berani bertang¬gung jawab. Kau seorang laki-laki pengecut, dan ......."
"Diri sendiri pengecut, memaki orang lain, cih, sungguh tak tahu malu .......” Tiba-tiba terdengar
suara mencela, suara yang nyaring halus tapi ketus, yang membuat tersirap darah Han Sin dan
pemuda ini menoleh cepat. Bi Eng sudah berdiri di belakangnya!
"Bi Eng ......!"
Koleksi Kang Zusi
Gadis ini berdiri dengan gagah dan keren, bertolak pinggang, gagang pedang tersembul di balik
pundak, sepasang matanya bernyala menatap wajah Han Sin.
"Bi Eng ..... adikku ........"
"Siapa adikmu? Cih, benar-benar tak tahu malu. Pura-pura tidak tahu lagi .......! Orang she Cia,
biarlah kubalaskan sakit hati ibuku yang sudah terhina oleh ayahmu!" Gadis itu mencabut
pedangnya, namun masih ragu-ragu melihat Han Sin berdiri seperti patung, pucat dan lemas.
"Nona Tilana, serang saja musuh kita ini!" kata Bhok Kian Teng sambil menendang meja di
depannya yang melayang ke arah Han Sin.
Tanpa menoleh Han Sin yang berdiri menghadapi gadis itu, membelakangi Bhok-kongcu,
menggerakkan kepalan tangannya ke belakang dan "brakkk!" meja dari kayu tebal itu hancur
berkeping-keping! Demikianlah hebatnya dan dahsyatnya pukulan pemuda itu, membuat Bhok Kian
Teng terkejut dan otomatis melangkah mundur saking jerihnya.
"Bi Eng, .... Eng-moi ..... kenapa kau sekarang bernama Tilana? Apa yang terjadi? Apa dosaku
terhadapmu ......? Andaikata betul kau sudah tahu ..... bahwa kau ...... bukan adik kandungku ......
mengapa kau jadi begini? Mengapa kau membenciku .....? Eng-moi ........?"
"Tutup mulutmu!" Bi Eng membentak dengan suara nyaring sambil menyerang dengan pedangnya,
menusuk tenggorokan Han Sin!
Akan tetapi bentakannya itu terdengar jelas oleh Han Sin bahwa di dalamnya terkandung isak
tangis! Pemuda ini bingung dan hancur hatinya. la cepat mengelak. Kerling matanya melihat betapa
Bhok Kian Teng sudah lenyap dari situ.
Tadinya ia hendak menangkap Pangeran Mongol itu yang ia kira tentulah menjadi biang keladi
semua peristiwa aneh ini. Akan tetapi pangeran yang licik itu sudah melenyapkan diri dan sebagai
gantinya, dari balik pintu belakang muncul tiga orang raksasa berkulit putih! la sudah mengenal
mereka, sudah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang lihai pembantu Bhok Kian Teng.
Andaikata di sini tidak ada Bi Eng yang ikut menyerangnya, tentu ia akan menghadapi dan
melayani tiga orang aneh itu mati-matian. Akan tetapi bagaimana dia bisa melawan Bi Eng?
Han Sin mengeluarkan pekik yang amat nyaring, pekik dari perihnya hati dan perasaannya, pekik
nyaring yang membuat gadis yang menyerang itu sekaligus menjadi lemas dan hampir roboh karena
kedua kakinya terasa lemas. Bahkan tiga orang aneh itupun terhuyung-huyung. Ketika mereka
sudah dapat menenangkan hati, ternyata Han Sin sudah lenyap dari tempat itu! Han Sin tidak
melihat lagi betapa gadis itu berlari memasuki sebuah kamar, membanting diri di atas pembaringan
dan menangis tersedu-sedu.
****
Berkali-kali Han Sin menyelidiki tempat itu. Akan tetapi alangkah kaget dan menyesalnya ketika
mendapat kenyataan bahwa keesokan harinya, gedung itu telah kosong! Tak seorangpun tahu ke
mana perginya Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya dan ke mana pula perginya Bi
Eng ...... ataukah bukan Bi Eng gerangan gadis itu?
Dengan hati kosong dan gelisah sekali Han Sin meninggalkan kota Potouw dan semenjak saat itu,
pikiran Han Sin menjadi tidak karuan. Terlampau berat tekanan batin yang dideritanya. Belum lagi
beres urusannya dengan Tilana yang amat berat menindih hatinya, sekarang ditambah lagi dengan
Koleksi Kang Zusi
urusan Bi Eng yang amat aneh. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Tadinya ia tinggal di Tatung,
bersama Lie Hoa dan yang lain-lain. Kenapa tahu-tahu berada di utara, berkeliaran bersama
Bhok-kongcu, mengaku bernama Tilana dan bersikap memusuhinya? Malah seakan-akan sudah
tahu bahwa dia puteri Balita, terbukti dari ucapannya hendak membalaskan sakit hati ibunya yang
telah dihina oleh ayahnya!
Dengan adanya Bi Eng di samping Bhok-kongcu, kebencian Han Sin terhadap Pangeran Mongol itu
makin memuncak. Malah sekarang ia menjadi benci sekali kepada setiap orang Mongol.
Kehancuran hatinya membuat ia berpendirian lain sekarang. Setiap kali ia bersua dengan pasukan
Mongol yang sudah cerai-berai itu, tanpa ragu-ragu lagi Han Sin lalu mengamuk dan
membasminya!
Tanpa disadari, kemarahan dan kebenciannya terhadap Bhok-kongcu membuat ia menjadi seorang
pembantu Mancu yang banyak jasanya. Setiap kali melihat orang Mongol, ia lalu menangkapnya
dan memaksanya memberi keterangan di mana adanya Pangeran Galdan. Dia terus mencari
pangeran ini dengan hati penuh dendam.
Pada suatu hari ia melihat sepasukan besar tentara Mancu menuju ke barat, melalui tapal batas
antara Mongolia dan Sin-kiang. Tentu mereka sedang mengejar-ngejar bala tentara Mongol, pikir
Han Sin. Oleh karena itu Han Sin lalu mengikuti dari jauh. Ketika menjelang senja barisan itu tiba
di selat gunung, tiba-tiba pasukan-pasukan Mongol yang dikejar itu membalik dan melakukan
serangan. Terjadilah perang di selat gunung. Barisan Mancu lebih besar jumlahnya, maka sia-sialah
bala tentara Mongol itu melakukan perlawanan.
Akan tetapi, setelah terdengar sorak-sorai riuh dari balik gunung, baru tahu orang-orang Mancu
bahwa mereka telah terjebak. Orang-orang Mongol itu ternyata telah mengatur siasat telah
bersekutu dengan suku-suku bangsa lain di daerah ini, mengerahkan pasukan-pasukan dari Sinkiang,
dari Mongolia Luar, bahkan ada pula pasukan Turkestan, lalu mengepung barisan Mancu
dari tiga jurusan! Perang tanding hebat terjadi, namun sekarang pihak Mancu yang mengalami
kerugian dan terdesak hebat.
Tadinya Han Sin hanya menonton saja pertandingan itu dari atas puncak. Ia tidak mau perduli.
Akan tetapi, ketika ia melihat bayangan Pak-thian-tok Bhok Hong, tak dapat ia menahan
kemarahannya. Segera ia berlari turun dari puncak untuk menghadapi musuh besar itu. Dari puncak
ke tempat peperangan itu bukan dekat, melalui hutan kecil dan jurang. Ketika tiba di tempat
pertempuran, Han Sin kehilangan Bhok Hong. Tidak dilihatnya lagi tokoh besar itu di antara
mereka yang masih berperang. Mayat bertumpuk-tumpuk, tanah banjir darah.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara aneh seruan orang yang memiliki khikang yang amat tinggi.
Itulah tanda bahwa tak jauh dari situ terdapat orang-orang pandai sekali sedang bertempur. Han Sin
tidak perduli akan peperangan antara orang Mongol dan orang Mancu. Ketika tiba di situ dan
berada di tengah peperangan, siapa saja yang dekat dengannya dan mencoba menyerangnya, baik
tentara Mongol maupun tentara Mancu, tentu ia robohkan dengan pukulan atau tendangan. Setelah
mendengar seruan-seruan aneh itu, Han Sin lalu berlari pergi meninggalkan gelanggang
peperangan, terus berlari cepat menuju ke sebuah hutan di mana tidak terdapat tentara yang sedang
berperang. Dari sinilah datangnya seruan-seruan tadi.
Makin dekat dengan tempat itu, makin kagetlah Han Sin, di samping keheranannya. Suara-suara itu
benar-benar hebat, membuat jantungnya tergetar dan cepat ia harus mengerahkan lweekangnya
untuk menahan getaran-getaran itu. Makin tertarik hatinya. Tentu orang-orang luar biasa yang
sedang mengadu ilmu. Setelah dekat, benar saja dugaannya.
Koleksi Kang Zusi
Ternyata Pak-thian-tok Bhok Hong sendiri yang sedang berhadapan dengan seorang kakek tua,
duduk bersila berhadapan dalam jarak tiga meter, saling bercakap-cakap mempergunakan tenaga
khikang yang hebat! Kadang-kadang mereka tertawa, juga dalam suara ketawa ini mengerahkan
tenaga untuk menindih lawan.
Dengan amat tertarik, Han Sin menyelinap di balik pohon besar dan mengintai, Bhok Hong duduk
bersila dengan tubuh tegak, matanya bersinar-sinar, mukanya tegang dan mulutnya membayangkan
kemarahan dan penasaran. Pada saat itu, terdengar kakek tua di depannya berkata, suaranya
perlahan, akan tetapi mengandung tenaga yang luar biasa,
"Pak-thian-tok, semenjak muda kita sama-sama berkelana di dunia, sama-sama melihat dan
mengalami bermacam hal. Semenjak itu kau selalu mengambil jalan sesat, sudah beberapa kali aku
menentangmu, memberi peringatan dan nasihat. Akan tetapi sampai sekarang kau bukannya
berubah. Malah makin jauh tersesat. Bhok Hong, apakah kau tidak takut akan kemurkaan Tuhan?
Apakah kau tidak mengenal Tuhan?"
Han Sin makin tertarik. Orang-orang tua ini agaknya tidak hanya mengadu ilmu kepandaian silat,
agaknya hendak berdebat pula tentang kebatinan dan tentang pengetahuan-pengetahuan yang
dalam. Filsafat-filsafat hidup, ini kesukaannya. Maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian
sambil diam-diam menduga-duga siapa gerangan kakek di depan Pak-thian-tok Bhok Hong itu.
Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dari kain putih yang kasar, rambutnya tak terurus,
akan tetapi bersih dan penuh uban seperti jenggotnya, panjang terurai ke belakang. Di dekat tempat
ia duduk bersila terdapat sebatang tongkat buruk sekali.
Menghadapi celaan kakek itu, Pak-thian-tok Bhok Hong tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring
sekali sampai Han Sin merasa betapa pohon yang disentuhnya tergetar!
"Ha ha ha ha! Hui-kiam Koai-sian! Kau bicara tentang Tuhan? Ha ha ha! Khong Cu sendiri orang
yang kalian orang-orang Han anggap sebagai nabi atau guru besar kebatinan, dia jarang sekali
menyebut-nyebut tentang Tuhan! Kurasa Khong Cu sendiri juga tidak mau tahu tentang Tuhan!"
"Kau keliru, Pak-thian-tok. Justeru karena Nabi Khong Cu amat mengenal Tuhan, amat tebal
imannya sehingga beliau menjadi amat setia dan taat kepada Tuhan, maka semua pelajaran yang
beliau ajarkan adalah sesuai dengan Ketuhanan ........”
"Koai-sian! Kau kira aku ini orang macam apa? Apa kaukira aku belum pernah membaca kitabkitabnya?
Khong Cu hanya mengajarkan tata susila hidup, mengajarkan prikemanusiaan, bukan
Ketuhanan. Pernahkah Khong Cu menyebut-nyebut tentang sabda Tuhan, tentang kegaiban Tuhan?
Itu tandanya dia tidak mau mengenal Tuhan!"
"Kembali kau keliru, Pak-thian-tok. Ketuhanan merupakan dasar kepercayaan, merupakan iman dan
pegangan bagi manusia bahwa di alam semesta ini, ada kekuasaan Tertinggi yang mengatur dan
menentukan segala sesuatu, kekuasaan tertinggi Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, yang tak
terselami alam pikiran manusia. Ketuhanan ialah iman pada Yang Maha Kuasa. Karena imannya
sudah penuh dan ketaatan dan kesetiannya terhadap Tuhan sudah mutlak, maka Nabi Khong Cu
mengajarkan tata susila hidup dan prikemanusiaan pada umat manusia."
"Apa kataku tadi? Dia hanya mengajarkan prikemanusiaan dan jangan kau campur-campur tentang
prikemanusiaan itu dengan Ketuhanan," bantah Bhok Hong.
"Diumpamakan pohon, Ketuhanan adalah akar dan batangnya, prikemanusiaan adalah cabangcabang,
ranting-ranting dan daun-daunnya. Bagaimana tidak harus dicampurkan? Karena memang
Koleksi Kang Zusi
tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ketuhanan merupakan iman kepercayaannya, adapun
prikemanusiaan merupakan jalannya atau cara membuktikan adanya iman itu. Prikemanusiaan dan
tata susila hidup bukan lain adalah prikebajikan, yang berarti pula hukum yang ditentukan oleh
Tuhan. Ketuhanan tanpa prikemanusiaan takkan berarti karena tanpa bukti perbuatan yang nyata,
sebaliknya prikemanusiaan tanpa Ketuhanan dapat menyeleweng karena tidak berdasar pada
sumber atau pokoknya. Karena itu, Nabi Khong Cu mengajarkan tentang mempertebal tata susila
hidup dan prikemanusiaan, karena kebiasaan-kebiasaan baik akan mendatangkan watak yang baik,
dan semua ini sebetulnya hanyalah jalan untuk mendekatkan orang kepada Tuhannya."
"Ha ha ha, Koai-sian, kau memang tukang omong! Omong kosong belaka! Kau sebut-sebut nama
Tuhan itu berarti bahwa manusialah yang menciptakan sebutan Tuhan! Tuhan itu apa sih? Tak
dapat kuraba, tak dapat kulihat, tak dapat kedengarkan suaranya. Mana ada Tuhan? Kalau benar
ada, Hui-kiam Koai-sian, coba kau keluarkan, biar kulihat dan kuraba dia!"
Hui-kiam Koai-sian tersenyum sabar. Han Sin yang mendengarkan di balik pohon menjadi makin
tertarik. Hebat "perang tanding" kebatinan ini, pikirnya.
"Tak salah kata-katamu tadi bahwa sebutan Tuhan, seperti juga sebutan lain yang diucapkan oleh
bibir, adalah ciptaan manusia. Demikian pula sebutan untuk Yang Maha Kuasa yang diucapkan
oleh manusia-manusia berbangsa lain dengan bahasa mereka yang berbeda. Namun, se¬perti juga
langit dan bumi, disebut apapun juga oleh bahasa apapun di dunia ini, ke¬nyataannya tetap ada
langit dan bumi itu. Demikian pula Tuhan, biarpun ada seribu satu macam sebutan di dunia ini
sesuai dengan bahasa masing-masing, sebetulnya hanyalah Satu, yaitu Yang Maha Kuasa.”
”Sekarang, kalau memang betul Tuhan itu ada, kau keluarkan biar kulihat dia, Koai-sian." Bhok
Hong menantang, mengejek.
"Bicara dengan seorang yang berwa¬tak curang memang harus siap menghadapi segala macam tipu
muslihat omongan, Pak-thian-tok. Kukatakan tadi bahwa Ketuhanan adalah soal iman, tinggal
percaya atau tidak."
"Buktikan! Buktikan kalau memang ada, jangan putar balik omongan!"
"Sabarlah, tentu saja aku bisa buktikan, akan tetapi ada syaratnya."
"Bagaimana, teruskan!" Bhok Hong menantang.
"Pak-thian-tok Bhok Hong, aku tidak berani mengatakan bahwa kau seorang yang tidak mempunyai
pikiran. Kau tentu mempunyai pikiran, bukan?"
"Tentu saja! Bahkan pikiranku lebih terang dari pada pikiranmu!"
"Tentu ....., tentu .....! Dan kaupun tentu mempunyai nyawa, ataukah ..... barangkali kau sudah tidak
bernyawa lagi ......?"
"Setan! Kalau aku tidak bernyawa tentu aku mampus. Tentu saja aku mempunyai nyawa!"
"Nah, begitulah, Pak-thian-tok. Aku sudah membuktikan kepadamu tentang adanya Tuhan, apakah
kau masih tidak mengerti?"
Bhok Hong melengak heran. "Mana dia, Tuhanmu itu? Apa maksudmu?"
Koleksi Kang Zusi
Hui-kiam Koai-sian mengelus-elus jenggotnya yang putih. "Kau tadi minta aku mengeluarkan
Tuhan. Aku akan dapat mengeluarkan Tuhan untuk kaulihat dan raba. Pak-thian-tok, asal saja
kaupun bisa mengeluarkan pikiran dan nyawamu untuk kulihat dan kuraba! Bukankah kau mengaku
bahwa aku mempunyai pikiran dan nyawa? Nah, akupun mengaku bahwa aku mempunyai Tuhan.
Kau keluarkanlah pikiran dan nyawamu, dan aku akan mengeluarkan Tuhanku. Bagaimana?"
Pak-thian-tok tak dapat menjawab. "Itu ..... hal itu ..... ah, kau telah menipu dan menjebakku!"
Hui-kiam Koai-sian menggeleng kepala. "Tidak sama sekali. Kau harus mengakui bahwa memang
ada hal-hal yang tidak kelihatan, tidak dapat diraba oleh panca indera, namun yang dapat dirasa
oleh hati kita. Dan rasa itulah yang mengenal adanya pikiran dan nyawa atau hal-hal lain yang tidak
mempunyai wujud yang dapat dilihat atau dirasa oleh panca indera."
Pak-thian-tok Bhok Hong merasa terpukul dan terdesak. Ia mendengarkan saja uraian Hui-kiam
Koai-sian yang sedang memberi "kuliah" kepadanya tentang Ketuhanan. Ia maklum bahwa di
dalam suaranya, Hui-kiam Koai-sian telah mengerahkan khikang yang takkan mungkin ditembusi
oleh penyerangan gelap dari pengaruh suara lain. Diam-diam Pak-thian-tok Bhok Hong
mengerahkan tenaga ke dalam sepasang lengannya dan bersiap si¬aga untuk melakukan
penyerangan tiba-tiba.
Hui-kiam Koai-sian agaknya tidak melihat akan tetapi Han Sin yang dapat menduga, karena
pemuda ini melihat betapa Pak-thian-tok Bhok Hong memusatkan perhatian, mengatur napas dan
kedua lengannya perlahan-lahan berubah hitam, tanda bahwa kakek itu menyalurkan tenaga Hektok-
sin-kang. Pemuda ini merasa khawatir sekali. Ia sudah mendengar nama Hui-kiam Koai-sian
sebagai pencipta ilmu Lo-hai Hui-kiam yang ia pelajari dari Giok Thian Cin Cu, maka secara tidak
langsung kakek ini boleh dibilang masih terhitung gurunya sendiri dalam ilmu silat itu. Akan tetapi
iapun maklum bahwa dalam perang tanding antara dua orang tokoh besar ini amat tidak baik kalau
ia ikut-ikut, kecuali kalau melihat kakek itu dikeroyok. Maka ia hanya memandang dengan hati
berdebar sambil mendengarkan uraian Hui-kiam Koai-sian tentang sifat sifat Ketuhanan.
”....... mau tahu kekuasaan Tuhan?" Kakek itu melanjutkan uraiannya dengan mata setengah
berkatup. "Lihatlah di sekelilingmu ...... pasir, batu, rumput, kembang, awan, matahari ..... dan apa
saja yang dapat kaulihat. Alangkah hebatnya, alangkah indahnya semua itu. Semua itu sudah terang
ada dan semua yang ada tadinya dari tiada, karena itu yang ada tentu ada yang Mengadakan! Dia
yang Mengadakan inilah Yang Maha Kuasa. Betapa gaibnya kembang-kembang itu, dengan warna
tertentu, bentuk tertentu, lihat burung-burung terbang bersayap, ikan-ikan berenang di dalam air,
semua sudah sempurna semenjak tercipta. Itulah Kuasa Tuhan!"
Hui-kiam Koai-sian berhenti sebentar, menarik napas panjang, wajahnya berseri. "Mau tahu akan
kemurahan hati Tuhan? Lihat, semua yang tampak di dunia ini diberikan kepada kita! Setiap benda
di dunia ini ada gunanya, hanya terserah kepada kemampuan kita untuk menyelidiki apa kegunaan
tiap benda itu. Dan semua itu diberikan kepada kita tanpa minta balasan! Tidak, memilih dulu.
Bangsa apapun juga, mahluk apapun juga, yang jahat maupun yang baik, semua disamakan, semua
mendapat bagian, semua diberi anugerah itu.......”
Pada saat itu, secara tiba-tiba Bhok Hong mengirim serangannya dari jauh, dengan memukulkan
kedua tangannya yang penuh hawa beracun Hek-tok-sin-kang itu ke depan, sepenuh tenaga. lnilah
penyerangan gelap yang amat berbahaya. Biarpun jarak di antara tempat mereka duduk ada tiga
meter lebih, namun penyerangan ini tak kalah berbahayanya dari pada pukulan yang menghantam
kulit dan daging secara langsung. Tenaga pukulannya mendatangkan angin yang hebat, yang
sebelum sampai pada sasarannya sudah membawa angin pukulan yang panas dan bersuara seperti
pedang diayun.
Koleksi Kang Zusi
Hui-kiam Koai-sian adalah seorang ahli silat tinggi yang banyak pengalamannya. Tentu saja,
biarpun perhatiannya tadi ditujukan kepada pembicaraannya, namun angin pukulan itu tidak
terlepas dari pendengarannya.
"Manusia curang .....!" keluhnya, maklum akan bahaya maut yang mengancamnya. Ia mengempos
semangatnya, menggerakkan tangan kiri setengah lingkaran di depan dada untuk menjaga bagian
tubuh ini sedangkan dua jari tangan kanannya ia tusukkan ke depan mengarah dada lawan untuk
menangkis atau menggempur serangan Pak-thian-tok Bhok Hong.
Han Sin membelalakkan kedua matanya. Ia mengenal gerakan yang dilakukan oleh kakek itu. Itulah
jurus Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus ke tujuh belas dari Ilmu Silat Lohai
Hui-kiam yang tiga puluh enam jurus banyaknya. Indah dan hebat gerakan itu dan ia maklum
pula bahwa memang jurus-jurus itulah yang paling tepat untuk menangkis serangan gelap yang
dahsyat dari Bhok Hong itu.
40. Pertemuan Saudara Kandung
Pemuda ini seakan-akan mendengar suara bertumbuknya dua tenaga dahsyat itu di tengah udara dan
maklum pula bahwa Hui-kiam Koai-sian menderita kerugian dalam bentrokan pertama ini. Dia
kalah persiapan dan kalah dulu, maka sebagian tenaga penyerangan Bhok Hong dapat mendobrak
pertahanan Hui-kiam Koai-sian dan terus menyerang dada kakek itu. Baiknya Hui-kiam Koai-sian
sudah menjaga diri sehingga biarpun tenaga pukulan Hek-tok-sin-kang itu mengenai dadanya,
namun sudah tertahan oleh tangan kiri yang dilingkarkan di depan dada. Betapapun juga, kakek ini
menjadi pucat seketika dan ..... muntahlah darah segar dari mulutnya!
Wajah Pak-thian-tok Bhok Hong membayangkan kegembiraan, akan tetapi mulutnya tertutup. Ia
hanya mengirim serangan lagi secara bertubi-tubi, semua dilakukan dengan tangan yang
mengandung cengkeraman-cengkeraman maut!
Biarpun Hui-kiam Koai-sian sudah terluka dan muntah darah, namun dengan tenang kakek ini
masih dapat menangkis semua serangan, malah kini mulai balas menyerang dengan Ilmu Silat Lohai
Hui-kiam yang amat lihai itu. Han Sin yang menonton pertandingan mati-matian yang dilakukan
dengan tenaga dalam sepenuhnya, dilakukan tanpa mengeluarkan suara karena semua tenaga
dikerahkan dalam pertandingan ini, diam-diam merasa amat kagum akan Ilmu Silat Lo-hai Huikiam
yang dimainkan kakek itu.
Ia baru tahu bahwa ilmu silat ini benar-benar hebat, kalau sudah dilatih secara sempurna, ternyata
yang tiga puluh enam jurus itu sudah cukup kuat untuk menghadapi serangan sedahsyat serangan
Pak-thian-tok Bhok Hong, malah dapat membalas dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya.
Makin lama serang menyerang antara dua orang kakek yang duduk bersila sejauh jarak tiga meter
itu, makin hebat. Akan tetapi anehnya, gerakan mereka makin lambat. Jangan dikira bahwa mereka
kehabisan tenaga atau kelelahan, tidak sama sekali, pukulan-pukulan yang dilakukan makin lambat
ini sebetulnya malah makin berbahaya karena itulah tanda bahwa pukulan itu mengandung tenaga
dalam yang sepenuhnya. Seakan-akan tergetar udara sekeliling dua orang kakek itu. Tanpa
diketahui dan tanpa dilihat pula, tempat duduk mereka tergeser makin dekat tanpa mereka
menggerakkan kedua kaki yang bersila!
Sementara itu, sorakan-sorakan orang yang berperang di dekat gunung masih terdengar sayup
sampai dari tempat itu. Han Sin tak dapat membedakan lagi suara-suara itu dan tidak tahu
bagaimana kesudahan perang antara barisan Mongol dan barisan Mancu. Perhatiannya amat tertarik
oleh perang tanding antara dua orang tokoh di dunia persilatan yang pada masa itu kiranya sudah
Koleksi Kang Zusi
boleh dianggap dua orang yang paling tinggi kedudukannya, tentu saja di bawah Pek Sin Niangniang
yang memiliki kesaktian luar biasa.
Tiba-tiba Han Sin dikejutkan oleh suara lengking yang luar biasa, serak seperti suara burung gagak,
seperti suara ketawa, akan tetapi lebih patut disebut ketawa iblis dari pada ketawa manusia.
"Hoa Hoa Cinjin ......" Han Sin segera mengenal suara ini dan jantungnya berdebar. Teringat ia akan
Hoa-ji dan ia mengharapkan tokoh jahat ini akan muncul bersama anak angkatnya, Hoa-ji.
Tepat seperti dugaannya. Dari jauh mendatangi dua bayangan yang cepat larinya dan tak lama
kemudian muncullah Hoa Hoa Cinjin, tosu jahat yang bermata luar biasa itu, bersama nona
berkedok, Hoa-ji! Tosu ini begitu melihat keadaan Pak-thian-tok Bhok Hong yang sedang
bertempur mati-matian melawan Hui-kiam Koai-sian, maklum bahwa dia sendiri tidak mungkin
dapat campur tangan dalam pertandingan antara dua orang tokoh besar yang kepandaiannya masih
beberapa tingkat lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
Akan tetapi, dasar orang jahat, tiba-tiba dan sayangnya Han Sin terlalu memperhatikan Hoa-ji yang
membuat jantungnya berdebar kalau teringat bahwa di bawah kedok itu bersembunyi wajah adik
kandungnya sehingga pemuda ini tidak melihat gerakan Hoa Hoa Cinjin, tosu itu mengayun
tangannya dan sinar hijau menyambar ke arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian!
Pada saat itu, jarak antara Hui-kiam Koai-sian dan Pak-thian-tok hanya tinggal dua meter lagi.
Pertandingan antara mereka sedang terjadi dengan hebatnya. Dua pasang lengan itu bergerak-gerak,
saling serang dan saling desak, angin pukulan mereka membuat rambut dan pakaian mereka
bergerak-gerak seperti tertiup angin puyuh.
Pada saat sinar hijau dari beberapa batang Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) itu menyambar ke
arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian, kakek ini kaget sekali akan tetapi ia tak sempat mengelak
karena sedang menghadapi desakan Bhok Hong. Anehnya jarum-jarum itu sebelum mengenai leher,
sudah runtuh semua ke bawah, seakan-akan tertolak semacam hawa yang ajaib. Hanya ada dua
batang yang terbangnya agak ke bawah, tepat menancap di pundak Hui-kiam Koai-sian yang
mengeluarkan rintihan perlahan. Gerakan kakek ini menjadi lambat karenanya, dan kini ia berada
dalam keadaan berbahaya, terdesak hebat oleh Bhok Hong, bahkan terkurung oleh rangkaian
penyerangan racun utara itu.
"Manusia curang .....!" Han Sin tak dapat menahan kemarahannya ketika menyaksikan hal ini dan
cepat ia melompat ke depan sebelum Hoa Hoa Cinjin sempat menggunakan jarum-jarumnya lagi.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hoa Hoa Cinjin ketika melihat pemuda yang sakti dan aneh itu
muncul. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Sin, maka begitu melihat pemuda ini muncul, cepat ia
mencabut pedangnya dan berteriak kepada Hoa-ji,
"Hoa-ji, ayoh kita gempur bocah siluman ini!"
Tanpa menjawab nona berkedok itupun mencabut pedangnya. Dua sinar gemilang berkeredepan
ketika ayah dan anak angkat itu maju menyerang Han Sin. Pemuda inipun tidak tinggal diam, cepat
meloloskan Im-yang-kiam yang dibelitkan di pinggangnya. Pertandingan seru terjadi di dekat dua
orang kakek yang masih mengadu ilmu secara mati-matian itu,
"Nona Hoa-ji, harap jangan ikut menyerangku. Aku .... aku membawa pesan Pangeran Yong Tee
untukmu ....." kata Han Sin sambil menangkis pedang Hoa Hoa Cinjin dan mengelak dari tusukan
Koleksi Kang Zusi
Hoa-ji. Nona itu nampak ragu-ragu, akan tetapi karena tidak dapat melihat wajahnya, sukarlah
untuk menduga apa reaksi kata-kata yang diucapkan Han Sin ini.
Setelah ragu-ragu sebentar, nona itu menoleh ke arah Hoa Hoa Cinjin dan ..... menyerang Han Sin
lagi lebih sengit. Pemuda itu amat cerdik, dapat menduga bahwa andaikata benar ada hubungan
antara nona berkedok ini dengan Pangeran Mancu, tentu gadis ini takut kepada ayah angkatnya,
maka setelah ragu-ragu sejenak mendengar disebutnya nama Pangeran Mancu itu, setelah
memandang kepada ayah angkatnya lalu menyerang kembali.
Hoa Hoa Cinjin menyerang lagi, bahkan kini tangan kirinya ikut pula menyerang dengan ilmu
pukulannya yang ampuh, yaitu Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) sedangkan tangan kanannya
menyerang dengan pedangnya yang cepat dan dahsyat gerakannya. Namun Han Sin selalu dapat
menghindarkan diri, malah sekali memutar pedang ia selalu dapat menangkis pedang dua orang
pengeroyoknya, membuat tangan Hoa-ji tergetar dan seperti lumpuh sedangkan Hoa Hoa Cinjin
juga tergetar telapak tangannya.
"Hoa Hoa Cinjin, kau dulu bersusah payah hendak membunuhku. Kalau aku menghendaki, apa
susahnya membalas semua itu? Akan tetapi aku tidak akan membalas ..... traaangggg!" Pedang di
tangan Hoa Hoa Cinjin terpukul hampir terlepas dari genggaman, sedangkan pedang Hoa-ji yang
menyambar leher Han Sin, dielakkan dengan menundukkan kepala secara mudah saja.
"Yang kukehendaki hanya pengakuanmu. Apakah nona Hoa-ji ini anak yang dulu kaurampas dari
tangan Kalisang si pemelihara macan?"
Hoa Hoa Cinjin nampak kaget dan marah. "Setan! Mau apa kau tanya-tanya urusan orang lain?
Hoa-ji adalah anak angkatku, kalau benar aku menyelamatkannya dari tangan pemelihara macan,
habis kau mau apa?"
Hampir saja Han Sin bersorak girang mendengar ini. Tak salah lagi, Hoa-ji adalah adik
kandungnya! Akan tetapi ia bergidik juga kalau teringat akan pertemuannya dengan gadis berkedok
ini dahulu. Gadis ini sedikit banyak sudah mewarisi sifat kejam dan liar dari ayah angkatnya.
"Hoa Hoa Cinjin, apakah kau dulu membunuh ayah bundaku di Min-san? Kau yang menghendaki
kitab wasiat, tentu kau menyerang mendiang ayahku pula!"
Keder juga hati Hoa Hoa Cinjin. Pemuda ini begini lihai, kalau saja tidak begini lihai tentu ia akan
menyombong dan mengaku saja membunuh Cia Sun dan isterinya, sungguhpun ia sama sekali tidak
melakukan hal itu dan sungguhpun ia tahu akan hal kematian mereka, akan tetapi untuk
menyangkal sama sekalipun ia merasa malu.
"Benar dulu aku datang ke Min-san. Aku tidak membunuh mereka, tapi aku tahu bagaimana mereka
tewas!" katanya kembali sambil menyerang lagi. Pada saat itu pedang di tangan Hoa-ji juga sudah
datang menusuk ke arah punggung Han Sin.
Pemuda ini kaget dan girang mendengar pengakuan Hoa Hoa Cinjin, maka cepat bagaikan kilat ia
menggunakan pedang Im-yang-kiam untuk "menempel" pedang Hoa Hoa Cinjin sehingga pedang
tosu itu tak dapat ditariknya kembali. Tangan kiri tosu itu yang memukul dengan Cheng-tok-ciang,
diterima oleh sambaran tangan Han Sin, dibarengi dengan tendangan ke arah kedua lutut tosu itu
yang serentak menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia jatuh berlutut. Pada saat itu, pedang Hoa-ji
sudah tiba, tepat menusuk punggung Han Sin. Alangkah kagetnya gadis itu ketika pedangnya
menusuk punggung yang seperti karet uletnya dan seperti baja kerasnya. Pedangnya meleset,
telapak tangannya lecet dan sakit! Cepat ia meloncat mundur dengan muka pucat.
Koleksi Kang Zusi
"Hoa Hoa Cinjin, aku tidak akan membunuhmu. Tapi kau harus mengaku bagaimana matinya ayah
bundaku."
"Kenapa kau memaksaku? Mau apa kau?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah tak berdaya itu.
"Orang tua, ketahuilah. Hal itu amat penting bagiku. Juga ketahuilah bahwa Hoa-ji ini, anak
angkatmu yang dulu kaurampas dari tangan Kalisang, dia ini bukan lain adalah anak ayah bundaku
juga, adik kandungku yang hilang semenjak kecil, ditukar oleh Ang-jiu Toanio ....."
Terdengar jerit tertahan dan Hoa ji yang berdiri di belakangnya hampir roboh terguling, pedang di
tangannya terlepas. Gadis berkedok itu menekan dadanya, kemudian lari pergi dari tempat itu.
"Hoa-ji, tunggu! Aku kakakmu sendiri, kakak kandungmu ......" Han Sin meninggalkan Hoa Hoa
Cinjin yang masih berlutut dengan mata terbelalak heran. Pemuda itu lalu mengejar Hoa-ji yang
berlari sambil menangis.
Hoa Hoa Cinjin teringat akan Bhok Hong. Kalau kakek Mongol itu tidak senang menghadapi Huikiam
Koai-sian, tentu dapat membantunya tadi menghadapi Cia Han Sin. Ia cepat menengok dan
alangkah kagetnya ketika melihat bahwa pertandingan antara dua orang kakek itu sudah mencapai
puncak yang paling berbahaya, tegang dan menentukan.
Dua orang kakek itu kini sudah duduk berhadapan dalam jarak dekat sekali, malah dua pasang
tangan itu sudah saling menempel, dua pasang telapak tangan saling tempel dan saling dorong.
Seluruh tenaga dalam dikerahkan, wajah mereka kerut-merut, penuh peluh, dari kepala mereka
nampak uap mengepul, mata mereka saling pandang tanpa berkedip, dan napas mereka sudah
terengah-engah!
Hoa Hoa Cinjin adalah seorang ahli silat tinggi, ia tahu akan arti pertandingan ini. Pertandingan
mati-matian dan seorang di antara mereka pasti akan tewas. Siapa menang dia mungkin hidup.
Keadaan mereka berimbang, keduanya berada dalam bahaya. Hui-kiam Koai-sian sudah amat tua,
namun nampaknya lebih tenang, kalau aku tidak bantu Pak-thian-tok, bagaimana Racun Utara itu
dapat menang?
Dengan keputusan ini, Hoa Hoa Cinjin yang kedua kakinya lumpuh karena tendangan Han Sin tadi,
tiba-tiba menggerakkan kedua pahanya dan tubuhnya melayang ke arah Hui-Kiam Koai-sian dari
belakang. Tangan kanannya berkelebat menghantam punggung Hui-kiam Koai-sian dengan pukulan
Cheng-tok-ciang.
"Bukkk!" Terdengar teriakan ngeri dan tubuh Hoa Hoa Cinjin terlempar ke belakang, dari mulutnya
keluar darah segar dan tosu jahat ini terbanting dengan mata mendelik, pingsan!
Perubahan hebat terjadi karena kecurangan Hoa Hoa Cinjin ini. Biarpun dengan sinkangnya yang
luar biasa Hui-kiam Koai-sian dapat merobohkan penyerang gelapnya, namun karena sebagian
tenaganya molos keluar, pertahanannya kurang kuat. Saat baik itu dipergunakan oleh Pak-thian-tok
Bhok Hong untuk menarik tangan kanannya yang tertempel pada tangan kiri lawan dan secepat kilat
jari jari tangannya mencengkeram leher Hui-kiam Koai-sian. Seketika itu juga jari-jari tangannya
amblas ke dalam leher lawan!
Akan tetapi dia sendiri yang menjerit karena pada saat itu juga yaitu dalam saat maut hendak
merenggut nyawanya, kakek gagah itu sudah berhasil menggunakan jari-jari tangan kirinya dengan
gerak tipu Hui-kiam-thian-sia (Pedang Terbang Turun dari Langit) menusuk ke arah jidat Bhok
Koleksi Kang Zusi
Hong. Jari tangan itu menancap ke dalam jidat, merusak otak dan pada saat yang hampir bersamaan
nyawa kedua orang tua yang kosen ini melayang meninggalkan tubuh mereka.
Keduanya mati dalam keadaan masih duduk bersila, berhadapan dan dalam sikap yang mengerikan.
Tangan kanan Bhok Hong masih mencengkeram leher Koai-sian sebaliknya jari tangan kiri Koaisian
menancap ke jidat Bhok Hong! Hoa Hoa Cinjin masih rebah dengan mata mendelik, telentang
pingsan di dekat tempat itu. Suasana menjadi sunyi-senyap .....!
Han Sin terus mengejar Hoa-ji yang berlari cepat memasuki hutan, melompati jurang dan mendaki
gunung-gunung batu yang licin berbahaya. Akan tetapi Han Sin terus mengejarnya sambil
memanggil,
"Hoa-ji, kau adik kandungku .... tunggulah ......!”
Akhirnya ia kehilangan Hoa-ji dan matahari sudah tenggelam, malam segera tiba dan keadaan amat
gelap. Terpaksa Han Sin menunda pengejarannya karena udara tiba-tiba menjadi amat gelapnya dan
melakukan perjalanan di daerah yang penuh jurang ini amat berbahaya. Semalam suntuk ia tidur,
mengaso di bawah batu besar. Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali begitu terang tanah ia sudah
melanjutkan pekerjaannya, mencari-cari.
Akhirnya, alangkah girang hatinya ketika ia melihat tubuh Hoa-ji berbaring miring di bawah pohon,
tidur bertilamkan sehelai saputangan lebar. Agaknya gadis itupun terhalang larinya oleh udara yang
gelap malam tadi, kemudian tertidur di situ. Han Sin cepat meloncat menghampiri dan pada saat ia
menjatuhkan diri berlutut di dekat gadis itu, Hoa-ji terjaga dan membalikkan tubuhnya terlentang.
Alangkah kagetnya ketika ia melihat pengejarnya sudah berada di situ, berlutut di dekatnya.
"Pergi kau ......! Pergi ......!" teriaknya.
"Tidak, Hoa-ji. Sudah lama kau kucari, kau ..... kaulah Cia Bi Eng, kaulah adik kandungku yang
sebenarnya. Kau anak ayah bunda kita, adikku. Buktinya ada, yaitu ada tanda tahi lalat di mata kaki
kirimu. Coba kaulihat kau bukalah kedokmu itu aku kakak kandungmu sendiri!"
Han Sin menggerakkan tangan kirinya hendak merenggut kedok di depan muka Hoa-ji, akan tetapi
tiba-tiba tangannya gemetar karena ia teringat akan pengalamannya dengan Tilana! Juga hanya
karena membuka kedok ia terlibat dalam urusan yang memusingkan dengan Tilana.
Adapun Hoa-ji ketika mendengar ucapan Han Sin ini, mengeluarkan suara keluhan perlahan, lalu
bangun duduk dan suaranya terdengar gemetar,
"..... apa kau bilang ......? Tanda di kaki kiri ......?"
Dengan kedua tangan menggigil gadis berkedok itu lalu membuka sepatu kaki kirinya, terus
membuka kaos kakinya. Han Sin tentu saja malu untuk memandang, lalu membuang muka tidak
mau memandang ke arah kaki gadis itu. Pada waktu itu, kaki gadis yang selalu tertutup rapat oleh
kaos kaki dan sepatu, merupakan bagian tubuh yang amat dirahasiakan, merupakan bagian yang tak
boleh dipandang sembarang orang apa lagi laki-laki.
Tak lama kemudian Han Sin merasa dirinya dipeluk orang dan ia mendengar gadis itu menjerit
perlahan, "Kau benar .....! Kau benar ....., aku adik kandungmu ..... ah, kakakku ..... saudaraku tidak
mimpikah aku ....?"
Koleksi Kang Zusi
Ketika Han Sin menengok, ia melihat seorang gadis cantik, tidak tertutup lagi mukanya, menangis
di pundaknya. Han Sin cepat memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya sedikit untuk dapat
memandang muka itu lebih nyata lagi. Mereka berpandangan, dua pasang mata bertemu, saling
selidik, mata kakak beradik kandung yang semenjak masih bayi dipisahkan orang. Keduanya
seakan-akan tertarik oleh sesuatu yang gaib, seakan akan merasa bahwa mereka sudah kenal baik
muka masing-masing, seperti orang yang dulu sudah kenal baik baru bertemu kembali.
"Kau ...... kau Bi Eng adik kandungku ....! Ayah ...., ibu ..... akhirnya anakmu berdua dapat saling
bertemu dan berkumpul kembali ....." Tak tertahankan pula air mata menetes turun dari sepasang
mata Han Sin ketika ia memeluk adik kandungnya.
"...... kakakku Han Sin ......, Sin ko, alangkah lamanya aku menanti-nanti saat seperti ini .......
alangkah besarnya rinduku terhadap ayah ibu ..... tidak kira ..... ayah ibuku adalah ayah bundamu
juga yang sudah lama meninggal dunia ..... ibu ......!” Dan gadis itu menangis menjerit-jerit sampai
akhirnya pingsan dalam pelukan kakaknya.
Hancur hati gadis itu ketika mendapat kenyataan bahwa ayah bundanya sudah meninggal. Semenjak
kecil ia maklum bahwa dia hanyalah anak angkat Hoa Hoa Cinjin, bahwa dia mempunyai ayah
bunda kandung. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin tak pernah mau mengaku, hanya menyatakan bahwa
ayah angkatnya itu menemukannya di dalam hutan, tidak tahu anak siapa. Alangkah besarnya rindu
hatinya kepada ayah bundanya, sering kali ia bermimpi bertemu dengan ayah bundanya. Sekarang,
ia bertemu dengan kakak kandungnya dan ternyata bahwa ayah bundanya sudah meninggal dunia.
Han Sin segera dapat mengendalikan perasaannya yang tadi terpengaruh oleh keharuan. Ia teringat
akan Hui-kiam Koai-sian yang sedang mengadu nyawa dengan Pak-thian-tok Bhok Hong, teringat
pula akan Hoa Hoa Cinjin yang terluka. Tiba-tiba ia menarik lengan adiknya. "Ayoh kita cepat
menemui ayah angkatmu itu dan minta penjelasan tentang kematian ayah bunda kita."
Hoa-ji yang sebetulnya bernama Cia Bi Eng yang "tulen" ini, tidak membantah, berlari di samping
kakaknya menuju ke dalam hutan di mana terjadi pertempuran antara dua orang tokoh besar itu.
Ketika mereka tiba di tempat itu, Hoa-ji mengeluarkan jerit tertahan melihat ayah angkatnya
menggeletak dengan wajah pucat dan merintih-rintih, terluka hebat. Betapapun juga, Hoa Hoa
Cinjin adalah ayah angkatnya yang sudah menaruh kasih sayang kepadanya semenjak ia kecil, yang
mendidiknya.
"Ayah ....." Ia menubruk, maju dan berlutut, Hoa Hoa Cinjin tersenyum pahit.
"Hoa-ji ....., habislah ..... aku kali ini ......" bisik Hoa Hoa Cinjin. Kemudian ia memandang wajah
gadis itu penuh kekaguman. "Kau ..... sudah membuka kedokmu ...... sudah terbuka rahasiamu ....?"
Sambil terisak Hoa-ji mengangguk. Sementara itu, Han Sin yang sekelebatan memeriksa keadaan
dua orang kakek sakti, menarik napas panjang dan merasa kagum sekali. Dua orang kakek itu tewas
dalam keadaan duduk bersila dan saling serang! Kemudian iapun menghampiri Hoa Hoa Cinjin
yang sudah payah pula keadaannya.
"Ayah, dia ini adalah kakak kandungku ....." Ia mendengar Hoa-ji menangis sambil memeluk
ayahnya. "Aku adalah anak dari Min-san ........"
"Sudah kuduga ..... sudah kusangka demikian .... Ang-jiu Toanio memang kejam, menukar-nukar
anak!" Hoa Hoa Cin¬jin terpaksa menghentikan kata-katanya karena menderita nyeri bukan main.
Koleksi Kang Zusi
"Ayah, katakanlah sekarang, siapa yang membunuh ayah bundaku? Apakah yang menyebabkan
kematian mereka?" Hoa-ji bertanya, mendesak.
Hoa Hoa Cinjin menggeleng kepala. "Tidak ada .... tidak ada yang membunuh ...... isteri Cia Sun
..... cemburu kepada Balita ...... marah-marah, bunuh diri .... dan Cia Sun yang mencintai isterinya
..... menjadi kalap dan bunuh diri pula .... aduhhh, selamat tinggal ......" Hoa Hoa Cinjin
menghembuskan napas terakhir dalam pelukan anak angkatnya.
"Sin-ko, apa yang menyebabkan kematiannya?" tanya gadis itu kepada Han Sin sambil memandang
penuh kedukaan karena gadis ini mengira bahwa ayah angkatnya tewas akibat pertempuran
melawan Han Sin tadi.
Han Sin dapat menangkap isi hati adiknya. "Ayah angkatmu terkena pukulan yang hebat sekali.
Tadi ketika aku meninggalkannya, aku hanya merobohkannya dengan menendang kedua lututnya.
Agaknya ia terkena luka hebat oleh seorang di antara dua kakek sakti itu."
Suara perang di lereng gunung sudah tak terdengar lagi. Agaknya sudah selesai. Memang demikian
halnya, pasukan-pasukan Mongol sudah dihancurkan dan sedang dikejar-kejar ke barat oleh
pasukan Mancu. Keadaan sunyi sekali.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan dari balik gunung-gunung batu yang
besar berlompatan beberapa orang. Yang terdepan adalah orang jangkung pembantu Bhok Kian
Teng yang lihai itu, yang dulu mengeroyok Han Sin bersama Bhok Kian Teng dan Bi Eng. Kini
manusia aneh yang tinggi seperti pohon bambu itu muncul lagi, bersama beberapa orang pembantu
Bhok Kian Teng.
Bahkan Bhok Kian Teng sendiri tampak muncul di belakang orang-orang itu. Beberapa orang di
antara mereka yang terdepan menunggang kuda, agaknya mereka ini tadi bersembunyi karena kalah
perang dan sekarang siap hendak mengawal Bhok Kian Teng pergi dari situ. Melihat mereka
datang, Han Sin diam-diam terkejut dan khawatir.
”Kalau mereka melihat ayah angkatmu dan Pak-thian-tok tewas, tentu mengira aku yang
melakukannya dan kau disangka mengkhianati mereka. Adikku, kau tunggulah di sini, biar aku
merampas seekor kuda dan kita kabur dari sini. Perjalanan ke selatan amat jauh, lebih baik kalau
kita mempunyai seekor kuda yang besar dan kuat.”
Hoa-ji hanya mengangguk saja, lalu bersembunyi. Han Sin dengan langkah lebar menghampiri
rombongan orang yang sudah melihatnya itu. Si jangkung itu begitu melihat musuh lamanya yang
dulu terlepas dari tangannya ketika ditolong Pek Sin Niang-niang, mengeluarkan suara aneh lalu
langsung menyerang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang.
Han Sin tidak mau memberi hati lagi. Sekarang setelah tenaganya pulih semua, mana ia takut
menghadapi si jangkung ini? Serangan itu ia sambut dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga.
”Plak!” Tangan si jangkung tidak terpental oleh tangkisan Han Sin, malahan menempel seperti
mengandung perekat yang kuat. Han Sin terkejut juga, mereka berdua berkutetan mengadu tenaga,
akhirnya si jangkung terpelanting dan bergulingan sampai empat lima meter ketika Han Sin
mengerahkan tenaga melemparkannya!
Orang-orang kepercayaan Bhok Kian Teng maju mengeroyok. Akan tetapi Han Sin meloncat tinggi,
sekali jambret sudah berhasil melemparkan seorang penunggang kuda dan tubuhnya sendiri turun di
punggung kuda itu.
Koleksi Kang Zusi
”Pangeran Galdan, terima kasih atas pemberian kuda ini!” kata Han Sin yang cepat membedal
kudanya dari situ. Di dekat tempat persembunyian Hoa-ji ia berseru. ”Kau loncatlah di
belakangku!”
Hoa-ji memang sudah bersiap-siap. Begitu kuda itu lewat ia meloncat dan tepat sekali ia duduk di
belakang tubuh Han Sin. Ia memeluk pinggang kakaknya dan kuda besar itu dibalapkan oleh Han
Sin cepat sekali. Dari belakang, si jangkung mencoba untuk mengejar, akan tetapi betapapun
panjang kakinya, sukar juga mengejar kuda yang dapat berlari demikian cepatnya. Apa lagi ia
memang agak jerih menghadapi pemuda yang demikian lihainya itu.
"Sin-ko kita mau pergi ke manakah? Apakah hendak kembali ke Min-san?" tanya Hoa-ji setelah
mereka berdua selamat melarikan diri dari kejaran Bhok Kian Teng dan kaki tangannya.
Han Sin menjalankan kudanya perlahan, mereka sudah tiba di perbatasan. "Adikku, terus terang
saja, sebelum aku dapat membuka rahasiamu dan mendapatkan bukti bahwa kau adalah adik
kandungku sendiri, aku memang sudah berjanji pada orang untuk membawa Hoa-ji ke selatan,
untuk menyelamatkan atau merampas dirinya dari lingkungan Pangeran Galdan. Apakah kau dapat
menerka siapa orang yang kuberi janji itu?"
Muka yang cantik itu menjadi merah sekali, akan tetapi Hoa-ji menggeleng kepalanya. "Aku mana
bisa menerka? Siapa dia?"
Han Sin menghentikan kudanya, meloncat turun sambil menarik tangan Hoa-ji. Dengan kedua
tangan adiknya dipegang, pemuda ini menatap wajah Hoa-ji dengan tajam lalu berkata dengan suara
sungguh-sungguh,
"Adikku, banyak sekali hal-hal yang harus kujelaskan kepadamu. Setelah kita saling bertemu
sebagai saudara kandung, tak perlu ada rahasia lagi di antara kita. Kau sudah mendengar tadi
ceritaku tentang keadaanmu semenjak kecil, ditukar-tukar oleh Ang-jiu Toanio, kemudian anak
Ang-jiu Toanio ditukar pula oleh Balita puteri Hui. Yang selama ini mengaku dan kuaku pula
menjadi adikku bernama Cia Bi Eng, sebetulnya adalah anak Balita! Aku sudah lama tahu akan hal
ini."
Sam¬pai di sini dia menarik napas panjang dan wajahnya muram. Teringat ia akan sikap Bi Eng
beberapa hari yang lalu, hatinya kecewa dan amat gelisah. Sampai sekarang masih belum tahu dia
apa yang menyebabkan Bi Eng bersikap seaneh itu.
"Bi Eng ......"
"Sin-ko, lebih baik kau menyebut Hoa-ji padaku. Nama itu kupakai semenjak kecil dan rasanya
tidak enak kalau tiba tiba diganti nama baru. Pula, bukankah nama Bi Eng sudah dipakai orang
lain?" bantah Hoa-ji dengan sikap manja.
Han Sin tertawa. Memang cocok dengan kehendak hatinya. Rasanya iapun akan merasa kecewa dan
janggal kalau harus memanggil Bi Eng dengan sebutan nama lain, apa lagi kalau harus memanggil
Bi Eng dengan nama barunya, Tilana! Nama Tilana ini hanya akan mengingatkan dia akan
pengalamannya yang amat ruwet dan tidak menyenangkan dengan gadis anak Ang-jiu Toanio itu!
41. Antara Dendam dan Cinta
Koleksi Kang Zusi
"BAIKLAH, Hoa-moi (adik Hoa). Terus terang tadi kukatakan bahwa ada orang yang menyuruh
aku menyelamatkan engkau dan membawa engkau ke kota raja. Karena kau tidak mau mengaku,
biarlah kukatakan bahwa orang itu adalah Pangeran Yong Tee ...."
"Ahhh ....." Hoa-ji mengeluarkan seruan perlahan, wajahnya menjadi makin merah dan ia
membuang muka, tak berani menentang pandang mata kakaknya. Bibir yang manis itu tersenyumsenyum,
akan tetapi matanya ditundukkan, nampak malu sekali.
Han Sin memegang pundak adiknya. "Hoa-moi, kau tak perlu takut, atau malu-malu. Aku sudah
tahu, atau sedikitnya sudah menduga. Pangeran Yong Tee sudah bercerita secara terus terang bahwa
ada hubungan kasih antara kau dan dia. Hanya yang amat mengherankan hatiku, bagaimana dia bisa
jatuh hati kepada seorang gadis yang selalu berkedok seperti engkau ini. Benar-benar hebat ..."
Hoa-ji mencubit lengan kakaknya. "Sin-ko, jangan kau menggoda ....."
Han Sin tertawa senang. Sedikit banyak, ada persamaan antara Hoa-ji ini dengan Bi Eng. Akan
tetapi tiba-tiba suaranya menghilang karena ia teringat akan keadaan ini yang sebetulnya amat
bertentangan dengan hatinya. Hoa-ji adalah adiknya, adik kandungnya. Bagaimana bisa berkasihkasihan
dengan Pangeran Mancu, musuh besar bangsanya? Hoa-ji agaknya merasa akan perubahan
ini dan matanya yang bening kini menatap wajah Han Sin menyelidik.
"Hoa-moi, kau sekarang mengetahui bahwa kau dan aku adalah anak dari mendiang Cia Sun,
seorang patriot sejati yang sudah mendapat nama besar di dunia, terkenal sebagai seorang pahlawan
rakyat yang tidak segan-segan mengorbankan apa saja demi nusa dan bangsa. Aku sama sekali tidak
dapat menyalahkan kau yang semenjak kecil dipelihara dan dididik oleh Hoa Hoa Cinjin, yang
kemudian menghambakan diri kepada penjajah. Akan tetapi ..... setelah sekarang kau bertemu
dengan aku, setelah sekarang kau tahu bahwa kau adalah puteri seorang patriot bangsa, sudah tentu
sekali kau harus merobah keadaan hidupmu. Kita harus melanjutkan cita-cita ayah. Tentu saja tidak
tepat kalau kau membantu Bangsa Mongol yang dulu dimusuhi ayah. Pula amat tidak tepat kalau
kita membantu Bangsa Mancu yang menjajah tanah air ...." Han Sin melihat perubahan pada wajah
adiknya, menjadi pucat ketika ia menyebut kalimat terakhir ini. Ia dapat menyelami jiwa adiknya,
akan tetapi apa boleh buat, demi kebaikan adiknya sendiri, ia harus berterus terang.
"Hoa-moi, kuatkan hatimu. Aku tahu bahwa antara kau dan Pangeran Yong Tee ada ikatan kasih.
Akan tetapi .... dia seorang pangeran Mancu! Pangeran dari bangsa yang menjajah tanah air kita!
Kalau saja dia bukan pangeran, mungkin lain lagi soalnya. Tapi dia pangeran, seorang yang
berpengaruh pula di istana, yang aktif mengatur pemerintah Mancu. Pula .... dia mengenalmu dan
cinta kepadamu sewaktu kau masih berkedok. Dia belum pernah melihat wajahmu, bagaimana dia
bisa menyatakan cinta? Aku tidak percaya akan cinta yang demikian itu!"
"Sin-ko ….!” Dalam jerit tertahan ini terkandung isak.
Han Sin menepuk-nepuk pundak adiknya.
"Aku percaya akan kemurnian cintamu terhadapnya, adikku. Dan ..... terus terang saja akupun
agaknya tidak meragukan kejujuran hati pangeran itu. Hanya ... dia Pangeran Mancu, Hoa-moi dan
ini harus kau ingat baik-baik. Bagaimanakah roh ayah dapat tenteram di alam baka kalau melihat
puterinya ... berdampingan dengan musuh bangsa ....?"
"Sin-ko ...., kau menghancurkan hatiku ...." Gadis itu mengeluh.
Koleksi Kang Zusi
Han Sin menarik napas panjang. Tentu saja ia dapat merasai kehancuran hati adiknya. Memang
berat menjadi korban cinta kalau gagal di tengah jalan. Akan tetapi Hoa-ji adalah adik kandungnya,
untuk mengingatkan, untuk mencegah penyelewengan yang tak disadari.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Hoa-ji.”
"Ke mana .....?" Gadis itu bertanya lemah, menyerah.
"Ke Ta-tung."
"Eh, bukan ke Min-san?"
Ada suara girang dalam seruan ini. Han Sin juga maklum. Ta-tung adalah kota yang dekat kota raja
dan Pangeran Yong Tee sering kali datang ke Ta-tung yang dijadikan pusat pertahanan dari
penyerbuan Bangsa Mongol. Sebetulnya ia lebih suka mengajak Hoa-ji ke Min-san, jauh dari
Pangeran Yong Tee, akan tetapi .... Bi Eng! la harus menyelidiki Bi Eng di Ta-tung, harus bertemu
dengan gadis itu yang benar-benar menghancurkan perasaannya dan membingungkan hatinya.
Karena inilah maka ia hendak mengajak Hoa-ji ke Ta-tung lebih dulu sebelum melanjutkan
perjalanan ke Min-san.
"Tidak, Hoa-moi. Kita ke Ta-tung dulu, ada urusan di sana," jawabnya singkat. Hoa-ji juga tidak
bertanya lebih lanjut.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di Ta-tung. Alangkah kecewa hati Han Sin ketika melihat
perubahan besar sekali di kota ini. Kotanya masih ramai, malah lebih ramai dari pada dahulu. Akan
tetapi di sini tidak terlihat lagi orang-orang kang-ouw yang membantu Mancu. Hanya ada beberapa
pasukan serdadu Mancu menjaga kota. Agaknya karena tentara Mongol sudah dihancurkan dan
dipukul cerai-berai di sana-sini, kota ini dianggap sudah aman dan tidak menjadi pusat pertahanan
lagi. Lebih berat rasa hati Han Sin ketika mencari keterangan di sana-sini, tak seorangpun tahu ke
mana perginya orang-orang gagah dari selatan yang tadinya membantu pertahanan bala tentara
Mancu. Tak seorangpun tahu ke mana perginya Li Hoa, Li Goat, Yan Bu, Bi Eng, para tosu dan
lain-lain orang gagah.
Dengan penuh kekecewaan, Han Sin mengajak Hoa-ji bermalam di sebuah rumah penginapan. Tak
seorangpun mengenal Hoa-ji karena gadis ini baru sekarang muncul di muka umum dengan muka
tidak tertutup. Andaikata dia berkedok seperti biasa, setiap orang serdadu Mancu tentu akan
mengenalnya sebagai puteri Hoa Hoa Cinjin yang membantu orang Mongol dan tentu akan timbul
urusan hebat!
Kakak beradik ini mendapat sebuah kamar besar dengan tempat tidur dua buah. Tadinya Han Sin
hendak minta dua kamar, akan tetapi ternyata kamar yang lain sudah tersewa orang, penginapanpenginapan
penuh sehingga terpaksa ia menerimanya juga. Bagaimanapun juga, Hoa-ji adalah adik
kandungnya. Apa salahnya tidur sekamar apalagi berpisah pembaringan?
Han Sin malam itu gelisah, tak dapat tidur. Ia melihat Hoa-ji segera tidur setelah membaringkan
tubuhnya. Bermacam pikiran mengganggu Han Sin, terutama sekali soal Bi Eng. Agaknya tak dapat
disangsikan lagi bahwa gadis itu sudah tahu akan keadaan dirinya yaitu bahwa dia adalah anak
Balita dan bernama Tilana. Akan tetapi andaikata sudah tahu akan hal itu, mengapa seakan-akan
membencinya dan malah mengeroyoknya? Mengapa pula membantu Bhok Kian Teng? Hal ini
benar-benar amat mengganggu hatinya, menggelisahkannya dan ia takkan mau sudah kalau belum
dapat membongkar rahasia baru ini. Aku harus bertemu dengannya, harus bicara dengannya dari
Koleksi Kang Zusi
hati ke hati. Ah, .... Bi Eng ...!!” Dengan pikiran ini dan nama gadis ini di bibirnya, akhirnya Han
Sin tertidur juga menjelang tengah malam.
Tiba-tiba Han Sin sadar dari tidurnya. Ada suara yang membuat ia terbangun. Otomatis tangan
kanannya menggerayang ke gagang pedang Im-yang-kiam yang ia letakkan di sebelah kanannya
sambil melirik, alangkah kagetnya melihat pembaringan Hoa-ji di sebelah kanannya telah kosong!
Hoa-ji telah meninggalkan kamar itu!
Han Sin cepat-cepat menengok ke kiri, ke arah jendela. Ternyata jendela sudah terbuka. Belum
jauh, pikirnya. Ke mana perginya Hoa-ji? Harus kukejar. Akan tetapi sebelum ia meloncat turun,
tiba-tiba ia mendengar suara orang mendekati jendela. Lilin di atas meja masih bernyala, kini
bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui jendela. Memang ia sengaja tidak memadamkan
lilin karena merasa tidak enak tidur sekamar dengan Hoa-ji tadi. Apakah orang yang mendekati
jendela itu Hoa-ji yang datang kembali? Han Sin pura-pura tidur kembali, membuka sedikit
matanya untuk mengintai ke arah jendela.
Tak lama kemudian, sesosok bayangan orang melayang masuk melalui lubang jendela itu. Tak
dapat disangkal lagi, tubuh seorang wanita!
Tapi bukan Hoa-ji! Siapa dia ....? Han Sin memperlebar sedikit matanya ketika melirik. Cahaya
penerangan lilin yang suram menimpa wajah wanita itu yang sudah berada di dekat meja dan ....
tegang-tegang seluruh urat-syaraf di tubuh Han Sin ketika mengenal wanita ini bukan lain adalah Bi
Eng! Hampir tak kuat ia menahan gelombang perasaannya, namun ia cepat mengumpulkan tenaga
menindih perasaannya, tinggal berbaring seperti orang tidur pulas, tapi diam-diam memperhatikan
gerak-gerik gadis itu.
Memang gadis itu bukan lain adalah Bi Eng! Masih manis, masih cantik jelita seperti biasa, hanya
agak pucat dan sinar matanya memancarkan kemarahan di samping kedukaan yang mendalam.
Senyum yang dulu setiap saat membayang di bibirnya kini lenyap, terganti oleh bayangan siksa
batin yang hebat.
“Bi Eng .... kasihan kau ....” demikian keluh hati Han Sin.
Akan tetapi gadis itu sebaliknya. Dengan muka beringas gadis itu mencabut pedangnya, lalu
menghampiri ranjang Han Sin! Maut membayang di mukanya, nampak jelas gigi yang dikertakkan
itu berkilat ketika bibirnya terbuka sedikit, seakan-akan mengeraskan hatinya. Sepintas gadis itu
mengerling ke arah tempat tidur Hoa-ji yang kosong, lalu bibirnya mengejek,
"Laki-laki hidung belang! Mata keranjang ....!” Ucapan ini terdesis dari bibirnya, membuat Han Sin
diam-diam merasa kaget dan heran sekali. Kenapa Bi Eng menganggapnya laki-laki mata keranjang
dan hidung belang? Apakah ada hubungan dengan peristiwa Tilana dahulu?
Bibir Bi Eng bergerak-gerak lagi berbisik-bisik dengan suara menyeramkan.
“.... sudah tahu aku bukan adiknya masih berpura-pura .... mencari kesempatan mempermainkanku
.... musuh besar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya .... laki-laki mata keranjang,
mempermainkan Kiok Hwa, sekarang punya pacar lain .... keparat ....!”
Untuk sedetik Han Sin terheran. Mempermainkan Kiok Hwa ....? Tapi pikirannya yang cerdik
segera dapat menerkanya. Agaknya Tilana yang disebut Kiok Hwa itu. Mungkin nama aselinya,
nama puteri Ang-jiu Toanio adalah Kiok Hwa!
Koleksi Kang Zusi
"Lebih baik melihat kau mampus!" Bi Eng mengangkat pedangnya, siap untuk menikam dada Han
Sin. Pemuda ini sama sekali tidak merasa takut. Sama sekali tidak mau melawan. Terlalu hancur
hatinya untuk mengingat tentang keselamatannya. Biarlah ia mati di tangan Bi Eng. Untuk apa
hidup kalau Bi Eng sudah membencinya sedemikian rupa? Jelas sekarang, Bi Eng sudah bertemu
dengan Balita, sudah tahu bahwa dia puteri Balita. Sekarang Bi Eng hendak membalas dendam
ibunya karena perbuatan Cia Sun. Selain itu, agaknya Bi Eng sudah membencinya karena ....
Tilana! Dan Han Sin tak dapat menyangkal pula. Biarlah dia mati di tangan Bi Eng. Han Sin
merapatkan matanya dan tersenyum. Aku rela mati di tanganmu, kekasihku!
Tapi ujung pedang yang runcing tidak datang-datang. Malah terdengar jerit tertahan disusul tangis.
“.... aku tak bisa ..... tak bisa membunuhnya .... ahh ......"
Han Sin membuka matanya, melihat Bi Eng menutupi muka sambil menangis terisak-isak,
pedangnya tergantung di tangan kanan, tangan kiri menutup muka!
"Bi Eng ...." Han Sin memanggil lirih.
Gadis itu terkejut, membuka tangannya. Untuk sesaat dua pasang mata bertemu. Mata Han Sin
memancarkan cahaya lembut dan mesra, penuh cinta kasih, mata Bi Eng terbelalak, kaget, malu,
duka dan marah. Kemudian gadis itu memutar tubuhnya dan meloncat ke arah jendela.
"Bi Eng ..... aku cinta padamu ....!" Han Sin berkata sambil bergerak bangun. Akan tetapi Bi Eng
hanya memperdengarkan sedu-sedan mendengar kata-kata ini dan menghilang di dalam gelap.
Han Sin meloncat ke jendela, hanya menghadapi malam yang hitam. Tidak nampak lagi bayangan
Bi Eng, juga tidak nampak bayangan Hoa-ji. Cepat ia mengambil pedang dan pakaian, lalu
melompat keluar dan mencari dua orang gadis itu, atau lebih tepat lagi, mengejar dan mencari Bi
Eng, karena dalam saat itu, kekhawatirannya akan Hoa-ji dikalahkan oleh keinginannya untuk
mengejar dan bicara dengan Bi Eng.
****
Sampai menjelang fajar Bi Eng, yang sekarang menggunakan nama Tilana itu, berlari-lari dari Tatung
sambil menangis sepanjang jalan.
"Aku tidak tega membunuhnya ..... dia tersenyum, ah .... Sin-ko, bagaimana aku .... tega
membunuhmu ......?" demikian terdengar ucapannya di antara isak tangisnya. Setelah tiba di sebuah
hutan di selatan kota Ta-tung, ia segera memasuki hutan itu. Tentu saja Bi Eng sama sekali tidak
pernah menduga bahwa orang yang hampir dibunuhnya, yang dikenangnya sepanjang perjalanan
itu, sejak tadi mengikutinya dari jauh.
Matahari telah mulai menerangi permukaan bumi ketika Bi Eng tiba di sebuah tempat terbuka,
tempat indah di mana tumbuh pohon bambu di samping dinding gunung batu yang menjulang
tinggi. Di bawah pohon-pohon bambu itu, duduklah seorang pemuda di atas batu licin bersih.
Pemuda ini berdiri sambil tersenyum ketika melihat Bi Eng datang. Seekor monyet melompat dan
hinggap di pundak Bi Eng.
"Kau baru datang? Duduklah, tentu kau lelah," kata pemuda tampan itu yang bukan lain adalah
Bhok-kongcu atau Bhok Kian Teng, juga belum lama ini disebut Pangeran Galdan.
Koleksi Kang Zusi
Bi Eng menjatuhkan dirinya di atas rumput, mengusap kepala Siauw-ong monyet itu, lalu menarik
napas panjang. Diam-diam Bhok-kongcu melihat bekas air mata di sepanjang pipi gadis itu, maka
sambil memandang tajam pemuda itu bertanya,
"Bagaimana, adik Tilana. Selesaikah tugasmu? Berhasilkah kau membunuh musuh besarmu?"
berkata demikian pemuda ini duduk di dekat Bi Eng, lalu memegang lengan gadis itu dengan sikap
mesra. Bi Eng menarik tangannya seperti tidak sengaja, akan tetapi ketika pemuda itu memegang
lagi ia menariknya dengan keras.
"Sudah berkali-kali kukatakan bahwa aku tak suka kau pegang-pegang, harap kau jangan
memaksa!”
Bhok-kongcu tersenyum, memperlihatkan giginya yang berderet rapi dan putih. "Adik Tilana, kau
tidak tahu betapa hatiku selalu penuh olehmu, betapa aku amat mencintaimu dan ingin selalu
berdekatan denganmu. Di antara tunangan dan calon suami isteri yang sudah disyahkan oleh orang
tua masing-masing, apa sih halangannya kalau hanya berpegang tangan?"
Sepasang mata gadis itu mengeluarkan sinar marah. "Memang ibuku yang menerima lamaranmu,
akan tetapi bukan aku! Aku tidak membantah karena tidak mau menyusahkan hati ibu, kau tahu
akan hal ini dan kau sudah berjanji akan memaklumi isi hatiku ini asal aku tidak memusuhimu.
Apakah kau hendak melanggar janji?”
Bhok-kongcu menghela napas. "Alangkah kerasnya hatimu, adik Tilana. Kapankah kau dapat
bersikap lebih baik kepadaku? Biarlah aku sabar menanti, akan tetapi sedikitnya berlakulah manis
kepadaku ...."
"Sikapku tergantung pada sikapmu sendiri. Jangan ceriwis, jangan kurang ajar ...."
Bhok-kongcu tertawa masam. "Baiklah, aku akan bersikap seperti anak yang baik. Toh akhirnya
kau menjadi punyaku. Eh, adikku yang manis, bagaimana dengan tugasmu malam tadi? Berhasilkah
..... ?"
Bi Eng menggeleng kepala. "Tak dapat aku membunuhnya .....”
"Hee ...?? Tak dapat membunuh musuh besar, anak orang yang sudah menghina ibumu? Tilana, .....
bagaimana ini? Apakah kau sudah berhasil memasuki kamarnya? Betul tidak bahwa dia tidur
bersama seorang gadis cantik?"
Bi Eng mengertak gigi, matanya memancarkan cahaya kemarahan. "Betul ....., dia bedebah, mata
keranjang! Benar-benar aku malu kalau mengenangkan hal itu ........ agaknya bukan perempuan
baik. Malam-malam keluar dari kamar dan pergi tanpa pamit, meninggalkan dia sendiri. Aku
berhasil masuk ke kamarnya setelah perempuan itu minggat, dia sedang tidur dan aku .... aku .... ah,
tak tega aku membunuhnya .... bagaimana aku bisa membunuh seorang yang sejak kecil kupandang
sebagai kakak kandungku .....??" Gadis itu lalu menangis.
Tiba-tiba Bhok-kongcu nampak marah sekali. "Kau .... kau mencintai dia! Celaka! Kau malah jatuh
cinta kepadanya, ..... setan!"
Bi Eng meloncat berdiri serentak, sampai membuat Siauw-ong kaget sekali. "Tutup mulutmu!
Jangan kau bicara sembarangan!" Gadis itu berdiri tegak, mukanya pucat, suaranya gemetar.
Koleksi Kang Zusi
"Ha ha ha, siapa bicara sembarangan? Kau tadi nampak marah-marah ketika bicara tentang
perempuan di kamarnya, tanda bahwa kau cemburu. Hanya orang yang mencinta saja bisa cemburu.
Kau tidak tega membunuhnya. Hemm, apa lagi artinya kalau bukan kau sudah jatuh hati kepadanya!
Tilana, jangan kau main-main. Kau adalah tunanganku, calon isteriku. Aku yang tidak
membolehkan kau tergila-gila kepada laki-laki lain. Kupegang tanganmu saja kau tidak suka dan
kau .... kau tergila-gila kepadanya. Mulai sekarang jangan bertingkah lagi, kau harus menjadi
isteriku. Kau harus ikut dengan aku." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan
tubuhnya dan di lain saat Bi Eng sudah dipeluknya!
Bi Eng menjerit dan memberontak, tapi mana bisa dia melawan kekuatan Bhok-kongcu. Pada saat
itu Bhok-kongcu mengeluarkan seruan kesakitan dan terpaksa melepaskan pelukannya. Kesempatan
ini dipergunakan Bi Eng meronta dan melompat ke depan menjauhkan diri. Ternyata Siauw-ong
tadi "turun tangan" menyerang dan menggigit pundak Bhok-kongcu ketika melihat nonanya
diganggu orang.
"Monyet keparat!" Bhok-kongcu membentak marah dan maju memukul monyet itu. Akan tetapi
Siauw-ong bukan monyet biasa, cepat mengelak dan meloncat ke belakang Bi Eng untuk
berlindung. Sementara itu, Bi Eng sudah marah sekali. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu
menggunakan kepalan tangannya, menyerang Bhok-kongcu dengan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat,
malah ketika Bhok-kongcu mendesaknya dengan ilmu silatnya yang lebih kuat, gadis ini
menggunakan beberapa jurus dari Thian-po-cin-keng yang pernah ia pelajari dari Han Sin.
"Kau hendak melawan tunanganmu?" Bhok-kongcu membentak. “Tunggu, kelak kuberitahukan
kepada Balita, tentu kau akan dihajar!"
Akan tetapi Bi Eng yang sudah marah tidak bisa ditakut-takuti lagi, terus menerjang dengan nekat.
Betapapun juga, mana bisa dia melawan Bhok-kongcu yang amat lihai, yang tingkat kepandaiannya
jauh lebih tinggi dari pada gadis itu? Segera ia terdesak mundur. Siauw-ong maklum akan bahaya
yang dihadapi nonanya, maka sambil memekik-mekik monyet inipun maju membantu Bi Eng.
Namun percuma saja, Siauw-ong bahkan dua kali kena ditendang oleh kongcu itu sampai
bergulingan. Dasar monyet berani mati dan setia, begitu bangun ia melawan pula sambil memekikmekik
seperti orang memaki-maki. Bi Eng juga melawan dengan nekat, malah kini gadis itu tidak
segan-segan menggunakan pedangnya.
"Kau mengajak mati-matian? Keparat!" Bhok-kongcu membentak marah. Ketika pedang Bi Eng
berkelebat menusuk dadanya dengan gerakan sungguh-sungguh dalam serangan maut, pemuda ini
miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak menyambar pedang, tangan kanannya bergerak pula
menangkap pergelangan lengan Bi Eng. Di lain saat, Bi Eng tak dapat bergerak pula, pedangnya
terlepas dan ia tertangkap!
"Ha ha ha, manisku, apa kau mau memberontak lagi? Benar-benar kau seekor kuda betina yang
binal!" Sambil tertawa-tawa Bhok-kongcu menowel pipi Bi Eng. Gadis itu bukan main marahnya,
marah dan takut karena pemuda cabul itu agaknya hendak berbuat lebih kurang ajar lagi. Siauw-ong
maju hendak menolong, akan tetapi sebuah tendangan membuat monyet itu terguling-guling sampai
jauh!
"Toloonggg .....!” Bi Eng tak dapat menahan ketakutannya melihat Bhok-kong¬cu merangkulnya,
sampai mengeluarkan teriakan minta tolong ini.
"Plakk!" Sebuah telapak tangan menepuk pundak kanan Bhok-kongcu, membuat pemuda itu merasa
lengan kanannya lemas dan lumpuh dan terpaksa ia tak dapat menahan ketika Bi Eng meronta dan
melompat menjauhkan diri.
Koleksi Kang Zusi
Dengan kemarahan meluap-luap Bhok-kongcu memutar tubuh dan ia berhadapan muka dengan ....
Cia Han Sin! Seketika Bhok-kongcu menjadi pucat mukanya.
"Kau ....??"
Han Sin tersenyum. ”Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng, nafsu angkara murkamu telah
membawa bangsamu ke kehancuran. Kau tidak bertobat dan hidup baik-baik menebus dosa, malah
kau menambah dosamu dengan perbuatan-perbuatan yang makin lama makin jahat dan tak tahu
malu."
"Kau .... kau hendak membunuhku .....??" Pangeran Mongol itu nampak ketakutan.
Han Sin tersenyum lebar. "Kiranya sudah sepatutnya kalau aku melakukan hal itu. Sudah berapa
kali kau berusaha membunuhku? Hanya karena aku tidak sudi mengikuti jejak hidupmu, maka aku
belum membunuhmu sampai sekarang. Akan tetapi kali ini .......“
Han Sin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena secara curang dan tiba-tiba Bhok Kian Teng
sudah mengirim serangannya. Akhir-akhir ini ia sudah mempelajari Hek-tok-ciang (Tangan Racun
Hitam) dari ayahnya, akan tetapi dasar dalam kecerdikan ia lebih unggul dari pada Pak-thian-tok, ia
dapat mengusahakan sedemikian rupa dengan segala macam obat penggosok kedua lengannya
sehingga biarpun sudah berhasil memenuhi kedua lengan tangannya dengan hawa beracun dari
Hek-tok-ciang, namun kulit kedua lengannya tetap putih mulus, tidak seperti kedua lengan Pakthian-
tok yang menjadi hitam hangus kalau mengeluarkan ilmu yang dahsyat ini!
Han Sin cepat mengelak dan di lain saat kedua orang muda itu sudah bertempur mati-matian dengan
tangan kosong. Kaget juga hati Han Sin ketika mendapat kenyataan betapa sambaran kedua tangan
pemuda Mongol itu mengandung hawa aneh yang selain kuat, juga seperti mengandung hawa
beracun yang dahsyat. Bau amis menyerang hidungnya tiap kali tangan pemuda lawannya itu
menyambar, padahal pada kedua lengan itu ia tidak melihat tanda-tanda bahwa lawannya
menggunakan pukulan beracun.
"Kau memang manusia keji!" bentaknya dan dengan pukulan-pukulan dari Thian-po-cin-keng,
sebentar saja ia sudah berhasil mendesak Bhok-kongcu sampai Pangeran Mongol itu tak mampu
membalas, hanya main mundur, main kelit dan loncat saja. Siauw-ong terdengar memekik-mekik
gembira ketika monyet ini melihat Han Sin mendesak lawannya. Akan tetapi, tiba-tiba teriakan
girangnya terhenti ketika Bi Eng menarik tangannya dan membawa monyet itu lari cepat
meninggalkan tempat itu.
"Bi Eng .....!” Han Sin terpaksa menunda desakannya kepada Bhok-kongcu ketika melihat Bi Eng
lari pergi. Ia sedang menengok ke arah Bi Eng dan hal ini dipergunakan oleh Bhok-kongcu yang
amat curang untuk mengirim serangan lagi, kini menggunakan sebuah kipas yang beracun.
Serangannya cepat dan dahsyat, mengarah lambung!
"Pengecut curang!" Han Sin terpaksa membalikkan tubuh dan menanti kipas itu dekat, tiba-tiba
tangannya bergerak menyabet dan ..... "Prakk!" Kipas itu hancur berkeping-keping terkena sabetan
jari-jari tangan Han Sin! Bhok-kongcu terhuyung-huyung mundur dengan muka pucat. Han Sin
yang sudah marah sekali melangkah maju.
Mendadak sekali sebuah lengan yang amat panjang tahu-tahu menyelonong ke tempat pertempuran
dan mencengkeram pundak Han Sin yang sedang mendesak Bhok-kongcu. Pemuda ini maklum
bahwa si jangkung sudah muncul lagi. Ia marah sekali dan cepat menggunakan tangannya
Koleksi Kang Zusi
menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Menurut perhitungan Han Sin, sekali tangkisannya ini
tentu akan mematahkan tulang lengan si jangkung.
Akan tetapi, tiba-tiba lengan yang agaknya bisa mulur mengkeret seperti karet itu tiba-tiba ditarik
menjadi pendek sehingga tangkisan Han Sin tidak mengenai sasaran. Dan pada saat itu, si jangkung
sudah menghadang di depannya, bersama dua orang lain yang segera ia kenal baik karena mereka
itu bukan lain adalah dua orang raksasa kembar yang pernah mengeroyoknya dulu, yaitu pembantupembantu
Pak-thian-tok Bhok Hong. Sekaligus ia menghadapi tiga orang lawan yang aneh dan
tinggi ilmu silatnya.
Kalau aku tak dapat menewaskan tiga orang ini, tak mungkin dapat menangkap Bhok Kian Teng,
pikir Han Sin yang cepat melakukan serangan-serangan kilat. Tiga orang lawannya juga mendesak
maju dan terjadilah pertempuran yang amat hebat.
Han Sin benar seorang pemuda berjiwa gagah. Melihat tiga orang lawannya bertangan kosong,
iapun tidak mau mengeluarkan Im-yang-kiam yang terbelit di pinggangnya. Iapun melawan dengan
tangan kosong! Malah timbul kegembiraannya karena sekarang ia mendapat kesempatan menguji
ilmu silatnya dengan ilmu silat asing yang tak pernah dilihatnya. Dan benar-benar ia mendapatkan
kenyataan bahwa ilmu silat tiga orang itu benar-benar aneh.
Si jangkung memiliki ilmu silat seperti dua ekor ular yang menyambar dari atas dan bawah, yaitu
kedua lengan tangannya yang panjang dan dapat mulur mengkerut! Adapun sepasang raksasa itu,
selain bertenaga besar luar biasa, juga ternyata merupakan ahli-ahli ilmu silat semacam Ilmu Silat
Houw-jiauw-kang (Cakar Harimau) atau Eng-jiauw-kang (Cakar Garuda) yang mengutamakan
gerakan mencengkeram, menangkap, dan membanting.
Amat berbahaya kalau sampai tertangkap oleh mereka, sungguhpun yang menangkap itu hanyalah
dua buah ibu jari dari tangan kanan kiri. Benar-benar aneh dan sukar dipercaya bagaimana orang
yang hanya memiliki dua buah jari kanan kiri dapat mempelajari ilmu silat yang mengutamakan
mencengkeram dan menangkap!
Setelah melawan tiga orang ini sambil diam-diam memperhatikan ilmu silat mereka, Han Sin
mendapat kenyataan bahwa dalam hal menyerang mereka itu tidak begitu berbahaya, akan tetapi
pertahanan mereka benar-benar amat mengagumkan. Ia sudah membalas dengan beberapa jurus dari
Thian-po-cin-keng akan tetapi setiap kali serangannya akan mengenai sasaran, tentu seorang di
antara mereka dapat menolong kawan.
Ternyata mereka itu dapat bekerja sama secara baik dan teratur. Seakan-akan mereka itu melakukan
siasat dalam barisan. Benar-benar amat mengagumkan dan kepandaian mereka ini saja sudah
membangkitkan rasa simpati di hati Han Sin yang menjadi tidak tega untuk membunuh mereka!
"Kalian pergilah, aku tidak bermusuhan dengan kalian!” katanya dalam bahasa Mongol. Hati Han
Sin sudah amat kecewa melihat bahwa selain Bi Eng yang sudah pergi entah ke mana, juga Bhok
kongcu sudah tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kongcu yang amat curang dan cerdik itu
ternyata sudah menggunakan kesempatan tadi untuk melarikan diri secara diam-diam.
Akan tetapi tiga orang pembantu Bhok-kongcu itu mana mau menyudahi pertempuran itu begitu
saja? Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari dunia utara dan barat, sekarang mengeroyok seorang
pemuda tak dapat menang, benar-benar keterlaluan dan penasaran sekali!
"Belum ada yang kalah atau menang, mana bisa berhenti?" seru si jangkung yang suaranya tinggi
kecil seperti bentuk tubuhnya. Han Sin sebagai seorang ahli silat maklum akan perasaan mereka ini,
Koleksi Kang Zusi
maka cepat ia lalu mengatur langkah langkahnya dengan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng, sedangkan
kedua tangannya lalu dikepal hanya mengeluarkan dua buah jari tangan untuk mainkan jurus-jurus
dari ilmu silat Lo-hai Hui-kiam! Bukan main hebatnya ilmu silat campuran dari dua macam ilmu
silat kelas tinggi ini. Mana bisa tiga orang itu mampu menghadapinya? Berturut-turut mereka
memekik dan roboh tertusuk jari tangan Han Sin yang hanya melukai mereka saja, tidak tega
membinasakan.
Setelah mereka roboh, cepat ia meloncat pergi dan mencari Bhok-kongcu dan Bi Eng. Ia tidak tahu
ke mana mereka itu pergi, maka dengan hati berat ia lalu mencari sekehendak hatinya saja.
Kemudian, setelah tidak berhasil usahanya mencari di sekitar daerah itu, ia kembali ke Ta-tung.
****
42. Apakah Bahagia ....?
KE MANAKAH perginya orang-orang gagah yang dulu membantu pertahanan Mancu dan
berkumpul di Ta-tung? Yong Tee yang cerdik sekali telah mengatur sehingga mereka ini ceraiberai,
ada yang ditarik ke daerah lain untuk membantu pasukan Mancu, ada pula yang diberi hadiah
dan disuruh kembali ke tempat masing-masing karena kekuatan Mongol sudah hancur. Ada pula
yang ia persilakan datang ke kota raja untuk menjadi tamu agungnya. Pendeknya, secara lihai sekali
Pangeran ini mengatur supaya para orang gagah itu tidak berkumpul menjadi satu karena mereka
melihat ancaman bahaya lain kalau orang-orang itu berkumpul menjadi satu!
Di antara mereka yang ia undang menjadi tamu agungnya adalah dua saudara Li Hoa dan Li Goat,
dan juga Phang Yan Bu. Pangeran Yong Tee maklum bahwa tiga orang muda yang gagah ini
termasuk sahabat-sahabat baik dari Bi Eng dan Han Sin oleh karena itu ia mengundang mereka ini
menjadi tamunya dan mempersilakan mereka menanti datangnya Han Sin dan Bi Eng di istananya
di kota raja. Mereka mendapat pelayanan yang amat manis dan hormat dari Yong Tee sehingga hati
orang-orang muda itu mau tidak mau tertarik dan harus mereka akui bahwa pangeran ini berbeda
dengan pembesar-pembesar lainnya, peramah dan rendah hati.
Di lain pihak, Yong Tee merasa gelisah selalu karena tidak ada berita dari Han Sin maupun Bi Eng.
Bagaimanakah keadaan Han Sin dalam mencari Hoa-ji si gadis berkedok? Ia hanya merasa gelisah
sekali, takut kalau-kalau kekasihnya itupun menjadi korban perang. Hatinya perih kalau teringat
akan pertemuan-pertemuannya dengan Hoa-ji dahulu, di taman dalam lingkungan istananya.
Pertemuan yang amat romantis, yang mesra dan juga pertemuan antara dua orang muda yang secara
rahasia dan aneh sudah saling mencinta padahal dia belum pernah melihat wajah gadis berkedok itu.
Hoa-ji yang mengajukan syarat bahwa sebelum mereka bertunangan secara syah, pangeran itu tidak
berhak membuka kedoknya dan pangeran itu dengan rendah hati dan sabar menerima syarat ini.
Secara membuta, menuturkan perasaan hatinya, Pangeran Yong Tee jatuh cinta kepada seorang
gadis yang belum pernah ia lihat wajahnya. Benar-benar aneh sekali kalau cinta sudah meracuni
hati seorang muda.
Sudah beberapa lama, setiap malam Pangeran Yong Tee duduk di dalam taman itu, mengenangkan
kekasihnya sambil mengharap-harapkan datangnya Han Sin membawa berita baik.
Pada malam hari itu, malam terang bulan, pangeran inipun duduk seorang diri di dalam taman,
berkawan arak dan bunga. Ia merenung dan mukanya yang tampan nampak muram oleh
kegelisahan. Sampai lama pangeran muda itu merenung sambil menatap bulan yang tampak
bergerak dengan megah dan halusnya di antara mega-mega, seakan akan puteri juita sedang
berjalan-jalan di tengah malam.
Koleksi Kang Zusi
Ia menarik napas panjang. Bulan tetap sama, semenjak dia masih kecil sampai sekarang, mungkin
sampai dia mati, sampai semua bunga di taman gugur, sampai dunia kiamat. Bulan akan tetap sama,
atau setidaknya, akan lebih lama keadaannya daripada dirinya dan segala di sekitarnya. Tanpa
disadari lagi, pangeran ini menggerakkan bibir mengucapkan kata-kata yang pada saat itu terasa di
hatinya :
"Kebahagiaan, di mana kau bersembunyi?
Betulkah kata orang pandai jaman dahulu,
bahwa kebahagiaan selalu pergi kalau dicari?
Padahal selalu dalam diri bersatu?
Berhasil membasmi pemberontakan,
mana itu kegirangan? Mana itu kebahagiaan?
Aahhh, hatiku penuh kedukaan
hanya karena seorang perempuan ......."
Memang keluhan Pangeran Yong Tee ini merupakan kenyataan pahit dalam kehidupan manusia.
Manusia selalu mengejar kebahagiaan, mengkhayalkan kebahagiaan hidup yang disangkanya pasti
akan tiba apa bila maksud hati tercapai. Namun khayal tetap khayal, membuyar setiap kali di
jangkau. Maksud hati boleh terlaksana, cita-cita boleh tercapai, namun kebahagiaan? Kiranya bukan
di situ letaknya, bukan dalam terlaksananya maksud hati, bukan pula dalam tercapainya cita-cita.
Mengapa? Karena maksud hati tiada putusnya, cita-cita tiada habisnya.
Terlaksana yang satu, timbul kedua. Tercapainya yang ini, belum pula yang itu, dan begitu
seterusnya. Nafsu angkara murka inilah yang selalu menguasai hati manusia yang haus akan
kebahagiaan. Padahal tidak perlu dihauskan, karena sudah berada dalam diri sendiri, sudah bersatu
dengan diri, hanya tidak terasa bagi yang belum sadar.
Menurutkan kemauan nafsu angkara murka sama halnya dengan mengisi lubang yang tak berdasar,
tidak akan pernah tamat. Bahkan makin dituruti, makin terasa kekurangannya, makin diberi minum,
makin haus. Aneh tapi nyata. Sekali lagi, menuruti nafsu sama dengan menambah kehausan bagi
yang haus, makin diberi makin kurang!
Kalau demikian halnya, pada hakekatnya, apakah gerangan kebahagiaan? Di mana letaknya?
Dibilang jauh, amatlah jauh karena dicari sekeliling dunia takkan jumpa. Dibilang dekat, teramat
dekat karena sudah ada pada diri setiap orang. Soalnya timbul karena "dicari" itulah, menjadi sulit
dan jauh karena timbul setelah "dicari"! Inilah rahasianya. Tidak dicari dia sudah ada, kalau dicari
dia menghilang. Itulah kebahagiaan!
Tuhan bersifat Adil dan Kasih. Manusia lahir sudah membawa bahagia. Ingin melihat tinggal
membuka mata, ingin mendengar tinggal membuka telinga, semua serba menyenangkan dan
karenanya serba bahagia, penuh berkah berlimpahan. Ingin petik tinggal tanam, ingin tanam tinggal
cangkul. Tanah tersedia, tangan tersedia, air tersedia. Bayangkan kalau Tuhan meniadakan air, atau
tanah, atau tangan atau hawa! Semua takkan jadi sempurna. Tuhan Maha Sempurna Maha Kasih
dan Maha Adil. Semua lengkap bagi manusia.
Akan tetapi, kenapa tetap tidak bahagia? Karena DICARI itulah. Manusia mencari YANG TIDAK
ADA! Ada ini mencari itu yang tidak ada, sudah ada itu mencari ini yang tidak ada. Memberi
makan nafsu, makin diberi makan makin lapar! Karena itu akibatnya, bahagia lenyap bersembunyi,
dilenyapkan atau disembunyikan oleh diri sendiri yang menghamba pada NAFSU.
Demikianlah dunia selalu berputar dengan segala persoalannya. Demikian pula Pangeran Yong Tee
di dalam taman bunganya yang serba indah namun tidak kelihatan indah baginya itu. Baru saja dia
Koleksi Kang Zusi
berhasil menghancurkan pemberontak Mongol. Kini beristirahat setelah berhasil usahanya.
Semestinya bahagia, semestinya senang. Namun, taman indah tidak kelihatan indah, kesenangan
perjuangan tidak menyenangkan hati. Kenapa? Karena pangeran inipun mencari YANG TIDAK
ADA, yaitu mencari kehadiran Hoa-ji disampingnya. Menjadi permainan cinta yang amat aneh.
"Hoa-ji ....." berkali-kali nama ini dikeluarkan, langsung dari hatinya melalui bibir yang menarik
napas panjang pendek berulang kali.
Pangeran Yong Tee sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, bayangan seorang wanita yang
langsing tubuhnya bersembunyi di balik pohon dan memandang kepadanya penuh kebencian.
Wanita yang masih muda, cantik jelita dengan kerudung pada kepalanya. Tilana! Gadis ini memang
Tilana, yang dengan kepandaiannya sudah berhasil menyelinap memasuki taman di luar tahunya
para penjaga istana pangeran itu. Kini dengan pandang mata penuh kebencian, Tilana mengeluarkan
tiga buah anak panah, dipasangnya pada gendewanya dan ditariknya tali busurnya ......
"Pangeran ....!"
Tilana menunda gerakannya, tidak jadi memanah pangeran itu ketika mendengar seruan ini, seruan
wanita yang melompat keluar dari tembok taman. Wanita yang baru datang ini bertopeng dan
langsung berlari menghampiri Pangeran Yong Tee, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
pangeran itu.
"Hoa-ji .....!" seruan yang keluar dari bibir pangeran itu girang bukan main, lalu ia menubruk
hendak memeluk gadis berkedok itu.
"Jangan .....! Jangan sentuh aku lagi, pangeran ....., jangan .....!"
Yong Tee terkejut dan menahan tangannya. "Hoa-ji, apakah yang terjadi? Apakah kau sudah
bertemu dengan saudara Cia Han Sin? Kau datang dari mana dan mengapa kau bersikap begini?"
Pertanyaan ini keluar dengan suara halus, mesra, dan penuh cinta kasih.
"Pangeran, ketahuilah bahwa tadinya aku datang dengan maksud membunuhmu! Tapi .... tapi aku
tidak tega .... bagaimana aku bisa membunuh seorang yang begini baik? Yang selalu kujunjung
tinggi? Yang kuketahui betul-betul isi hatinya yang baik? Ya Tuhan, mengapa aku menjadi
anaknya? Mengapa .....?" Hoa-ji lalu menangis.
Yong Tee nampak bingung sekali. Ia meraih tangan gadis berkedok itu, menariknya berdiri dan
mengajak duduk di atas bangku. "Duduklah, Hoa-ji, duduklah di sini, di sampingku seperti dahulu.
Tidak ada apa-apa yang buruk di antara kita, masih seperti dulu. Tenangkanlah hatimu dan sekarang
ceritakan apa yang menyebabkan engkau bersikap seperti ini."
Suara yang sabar, ramah dan penuh kasih sayang ini menenangkan gelora hati Hoa-ji. Gadis ini
menghentikan tangisnya, mengusap air mata menahan isak lalu bercerita. Sambil berlinang air mata
ia mengulang cerita yang ia dengar dari Han Sin.
"Dahulu, belasan tahun yang lalu, dipuncak Min-san tinggal suami isteri Cia Sun bersama dua
orang anaknya, yang sulung laki-laki bernama Cia Han Sin dan yang bungsu, masih bayi,
perempuan bernama Cia Bi Eng. Cia Sun dikenal sebagai seorang patriot bangsa, tentu saja sebutan
ini hanya berlaku bagi rakyat Tiongkok.
Pemerintah menyebutnya pemberontak! Pada suatu hari, karena pengacauan puteri Hui bernama
Balita, seorang di antara musuh-musuh Cia Sun, suami isteri Cia itu mengalami malapetaka. Isteri
Koleksi Kang Zusi
Cia Sun cemburu dan membunuh diri, disusul pembunuhan diri Cia Sun yang amat mencinta
isterinya."
Pangeran Yong Tee mendengarkan dengan hati berdebar dan amat tertarik karena apakah
hubungannya dengan Hoa-ji dengan keluarga Cia? Tidak hanya pangeran ini yang amat tertarik dan
terkejut heran, juga Tilana yang diam-diam mendengarkan cerita itu, menjadi berubah air mukanya
dan jantungnya berdebar keras. Bukankah gadis berkedok itu sedang menceritakan tentang ayah
bundanya dan kakaknya serta dia sendiri?
"Pada malam terjadinya peristiwa hebat itu, terjadi lain peristiwa yang kemudian merupakan rahasia
kehidupan tiga orang gadis. Pada malam hari yang malang itu, secara diam-diam muncul seorang
wanita kang-ouw bernama Ang-jiu Toanio yang juga memusuhi Cia Sun. Ang-jiu Toanio yang
kebetulan mempunyai seorang bayi perempuan, lalu menukarkan bayinya dengan bayi keluarga
Cia, yaitu Cia Bi Eng itu. Belum lama seperginya Ang-jiu Toanio, muncul pula Balita puteri Hui itu
membawa bayinya dan menukarkan bayinya sendiri dengan bayi yang disangkanya puteri keluarga
Cia, padahal adalah anak Ang-jiu Toanio."
Kalau saja Hoa-ji tidak demikian terharu dan Pangeran Yong Tee tidak demikian tertarik dan tegang
oleh cerita ini, tentu mereka akan mendengar jerit tertahan dari balik semak-semak, di mana Tilana
hampir pingsan mendengar cerita itu.
"Bayi keluarga Cia yang aseli, yaitu Cia Bi Eng tulen, dibawa Ang-jiu Toanio. Akan tetapi di
tengah jalan bayi ini dirampas oleh seorang pemelihara macan berbangsa Mongol bernama Kalisang
dan di lain waktu dari tangan Kalisang dirampas pula oleh Hoa Hoa Cinjin. Kau tentu dapat
menduga, pangeran, bahwa bocah itu, Cia Bi Eng yang tulen ....., setelah dipelihara oleh Hoa Hoa
Cinjin mendapatkan nama Hoa-ji ..... atau aku sendiri.”
Hoa-ji terisak-isak kembali dan Pangeran Yong Tee duduk bagaikan patung batu, tak dapat
bergerak, tak mampu mengeluarkan kata-kata saking heran dan kagetnya. Yang lebih hebat
akibatnya ketika menerima berita ini adalah Tilana dalam tempat persembunyiannya. Gadis ini
menangis dan jatuh di atas rumput. Tidak karuan rasa hatinya. Terharu, sedih, bingung, dan girang.
la girang karena ternyata bahwa dia bukanlah adik kandung Han Sin! Ini berarti dia dapat menjadi
isteri pemuda itu!
Tadi hampir saja ia membunuh Yong Tee karena ia hendak meneruskan perjuangan mendiang
ayahnya, hendak membunuh Pangeran Mancu, penjajah bangsanya! Jadi dia sebetulnya anak Angjiu
Toanio? Pantas saja dahulu Han Sin bilang dia bukan anak Balita. Jadi pemuda itu sudah tahu
bahwa dia anak Ang-jiu Toanio? Dia sudah tahu siapa Ang-jiu Toanio. Sudah mendengar pula
tentang putera Ang-jiu Toanio yang bernama Phang Yan Bu. Jadi pemuda itu kakaknya?
"Demikianlah, pangeran. Yang sekarang selalu dianggap adik Sin-ko, yang bernama Cia Bi Eng itu,
sebetulnya adalah Tilana puteri Balita, sedangkan puteri Balita yang bernama Tilana itu sebetulnya
adalah puteri Ang-jiu Toanio. Aku sudah berjumpa dengan Sin-ko kakak kandungku, sudah
mendengar bahwa kau menyuruh dia menyelamatkanku, membawaku ke sini .... akan tetapi, ......,
mendiang ayahku dianggap pemberontak, dan kau .... kau Pangeran Mancu ..... bukankah kita
berhadapan sebagai musuh besar ......?"
Yong Tee tersenyum, lalu memeluk pundak gadis berkedok itu. "Hoa-ji kekasihku. Kau tetap Hoa-ji
yang dulu, tak perduli siapa namamu sebetulnya, tidak perduli anak siapa kau dan bangsa apa. Aku
tetap mencintaimu, dan hanya kau seorang, Hoa-ji."
Koleksi Kang Zusi
Hoa-ji melepaskan pelukan pangeran itu. Tiba-tiba ia berdiri tegak dan berkata, "Pangeran Yong
Tee, hubungan kita sudah lama. Aku percaya penuh akan perasaan hatimu. Hanya satu yang
meragukan hatiku. Kau selalu mengaku cinta, padahal belum pernah melihat wajahku. Bagaimana
mungkin seorang mencinta tanpa melihat wajah? Aku takut kalau sekali kau melihat wajahku,
cintamu akan terbang lenyap ......”
Yong Tee menjawab dengan suara sungguh-sungguh, "Justeru karena tidak pernah melihat
wajahmu, aku yakin bahwa cintaku murni, Hoa-ji. Banyak macam cinta kasih di dunia ini, Hoa-ji.
Cinta kasih berdasarkan keindahan bentuk dan rupa, cinta kasih berdasarkan budi, cinta kasih
berdasarkan pamrih, dan cinta kasih berdasarkan nafsu berahi. Semua ini adalah cinta kasih yang
dijadikan kedok nafsu. Cintaku terhadapmu tidak seperti itu, melainkan cinta yang digerakkan oleh
sesuatu yang gaib, tidak memandang rupa, seperti cinta kasih ibu terhadap anaknya. Hoa-ji, apapun
juga terjadi di dunia ini, cintaku terhadapmu tak akan berubah. Agaknya memang sudah menjadi
Hukum Karma, maka kau jangan ragu-ragu lagi, dewiku ......"
Kembali Hoa-ji terisak karena amat terharu hatinya. Tangan kirinya bergerak dan sekaligus
merenggutkan kedoknya, terlepas dari mukanya. Mereka berpandangan dan Yong Tee menjadi
bengong menyaksikan wajah ditimpa cahaya bulan itu, wajah yang seakan-akan sudah dikenalnya
amat lama, yang sering kali ia jumpai dalam alam mimpi. Benar aneh, mengapa wajah di balik
kedok itu demikian cocok dengan kiraan dan dugaannya?
"Hoa-ji ....."
"Pangeran ....."
Dari tempat persembunyiannya, Tilana juga menjadi bengong. Ia melihat persamaan yang tak dapat
dibantah lagi antara wajah Hoa-ji dengan wajah Han Sin. Tidak bisa salah lagi, memang Hoa-ji
adalah adik kandung Han Sin. Dan dia bukan apa-apanya ataukah betul! Dia isterinya! Dia berhak
menjadi isteri Han Sin! Tak kuasa Tilana menyaksikan pertemuan antara sepasang merpati yang
amat asyik dan mesra itu. Dan diam-diam ia lalu meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi ketika Tilana berlari keluar dari lingkungan istana Pangeran Yong Tee, tiba-tiba tiga
bayangan orang yang amat cepat gerakannya berkelebat dan tahu-tahu tiga orang muda yang bukan
lain adalah Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat sudah berdiri di depannya dengan pandang mata
penuh selidik?
"Kau lagi yang datang di sini! Apa maksudmu memasuki lingkungan istana Pangeran Yong Tee?
Bukankah kau bernama Tilana puteri Balita yang disebut Jin-cam-khoa?"
Tilana menatap wajah Yan Bu di bawah sinar bulan purnama. Ada sesuatu yang menarik hatinya.
Agaknya karena ia tahu bahwa pemuda ini kakaknya, maka timbul simpati besar sekali.
"Kau ..... kau bernama Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio ....?" tanyanya gagap.
"Betul sekali," jawab Yan Bu heran. "Eh, di mana adanya Bi Eng? Dulu kau yang membawanya
pergi. Tentu kau tidak bermaksud baik!" tegur Li Goat yang tidak percaya kepada gadis berpakaian
aneh, berwajah cantik bukan main tapi agak pucat itu.
Tilana menundukkan mukanya sebentar. "Dia .... dia sudah kembali kepada ibu kandungnya ....."
jawabnya tidak jelas. Jawabannya tentu saja merupakan teka teki bagi tiga orang itu, apa lagi bagi
Li Hoa yang amat mengkhawatirkan keselamatan Bi Eng dan terutama Han Sin.
Koleksi Kang Zusi
"Di mana Cia Han Sin? Kau tentu tahu di mana adanya pemuda itu," tanya Li Hoa.
Tilana tiba-tiba mengangkat mukanya dan matanya yang indah tajam itu menyambar ke wajah Li
Hoa. "Mau apa kau tanya-tanya tentang Cia Han Sin? Dia itu apamu?"
Merah muka Li Hoa. Gugup juga ia ditegur begini. "Bu .... bukan apa-apa, hanya .... hanya sahabat.
Di mana dia? Lekas katakan kalau memang kau tidak bermaksud buruk."
Akan tetapi Tilana sudah membuang muka tidak mau melayani Li Hoa, sebaliknya ia kembali
memandang Yan Bu. "Kau ..... adakah kau mempunyai seorang adik perempuan?"
Yan Bu berdebar jantungnya. "Betul, bagaimana kau bisa tahu?"
"Ibu ...... eh ...... ibumu sudah meninggal?"
Kembali Yan Bu mengangguk. "Apa maksudmu bertanya tentang semua ini?"
"Dia bukan orang baik-baik!" tegur Li Goat penuh curiga dan cemburu.
"Kau ..... kau kakak kandungku ......!" Tilana berkata sambil menahan isak, akan tetapi tubuhnya
berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Eh, tunggu .....!" Yan Bu berseru kaget, hendak mengejar. Akan tetapi tangan Li Goat menyentuh
lengannya, membuat pemuda itu menengok dan terpaksa menunda niatnya. Pandang mata Li Goat
begitu aneh, seperti orang marah.
Akan tetapi tak lama kemudian kedua orang muda ini baru melihat bahwa Li Hoa tidak berada di
samping mereka. "Lho, mana cici Li Hoa?" teriak Li Goat kaget.
"Agaknya mengejar dia ......“ jawab Yan Bu. Mereka berdua mencoba untuk menyusul, akan tetapi
karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh dua orang gadis itu, mereka tidak berhasil mengejar
dan terpaksa kembali ke istana di mana mereka tinggal menjadi tamu Pangeran Yong Tee.
****
Memang dugaan Yan Bu tadi tidak keliru. Li Hoa yang menaruh curiga kepada Tilana, diam-diam
melakukan pengejaran. Ia merasa yakin bahwa Bi Eng tentu menghadapi bencana di tangan gadis
Hui itu, dan mungkin sekali gadis bangsa Hui itu tahu pula di mana adanya Han Sin. Baiknya dalam
perjalanan ini, Tilana tidak mengerahkan seluruh kepandaiannya, maka Li Hoa dapat mengikuti
terus.
Akan tetapi setelah tiba di luar pintu gerbang sebelah utara kota raja, mereka melalui daerah
terbuka. Hal ini membuat Tilana dapat melihat bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Namun
Tilana berjalan terus, hanya sedikit mempercepat larinya. Ketika melihat bahwa bayangan itupun
berlari cepat, gadis ini tersenyum mengejek. Baiklah kutunggu sampai pagi dan kulihat, mau apa
dia?
Mereka telah berada di daerah pegunungan dan Tilana berhenti di tepi sungai yang mengalir di
sebelah utara kota raja. Malam telah lewat, matahari hampir tampak, didahului cahayanya yang
kemerahan. Sambil tersenyum Tilana membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangan.
Koleksi Kang Zusi
"Sahabat di belakang, kau mengikuti aku dari kota raja, ada maksud apakah? Jangan bersikap
seperti pengecut!"
Merah wajah Li Hoa mendengar seruan ini dan melihat sikap yang mengejek dari nona cantik jelita
itu. Ia cepat keluar dari tempat sembunyinya dan dengan dua kali loncatan jauh ia sudah berdiri
tegak di depan Tilana. Gadis ini mau tak mau kagum juga menyaksikan ilmu meringankan tubuh
yang begitu hebat, juga terkejut mendapat kenyataan bahwa yang mengikutinya bukan lain adalah
gadis cantik yang di kota raja tadi bertanya tentang Han Sin. Dadanya menjadi panas.
Kalau tadinya Tilana merasa amat berduka tiap kali teringat akan hubungannya dengan Han Sin
yang dianggap kakak kandungnya, sekarang ia bahkan merasa girang kalau teringat akan hal itu.
Han Sin bukan kakak kandungnya, melainkan suaminya! Dan cinta kasihnya terhadap Han Sin
makin mendalam, tentu saja ia menjadi panas dan cemburu sekali melihat seorang gadis jelita
seperti Li Hoa bertanya-tanya tentang suaminya itu!
Li Hoa yang merasa malu karena orang yang diikutinya sudah tahu akan perbuatannya, terpaksa
muncul dan berkata dengan nada minta maaf, "Aku tidak bermaksud buruk, hanya ingin kauberi
tahu di mana adanya adik Bi Eng dan kanda Han Sin ......"
Mengenai sebutan "adik Bi Eng" dan terutama sekali "kanda Han Sin" ini, isi dada Tilana makin
panas. Namun ia tetap tersenyum manis ketika bertanya,
"Kau tanya-tanya tentang mereka. Apamu sih mereka itu?"
Muka Li Hoa menjadi makin merah. “..... bukan ..... bukan apa-apa, hanya sahabat-sahabat baik,"
jawabnya kemudian, agak gagap karena pertanyaan dari gadis Hui yang aneh ini benar-benar tak
disangka-sangkanya.
Makin cemburu hati Tilana, makin lebar senyumnya. Tak percuma gadis ini semenjak kecil menjadi
anak dan murid Balita, sedikit banyak sifat Balita sudah menurun kepadanya.
"Ehemm, kau mencinta Cia Han Sin, bukan? Katakan terus terang, kalau tidak, akupun tidak mau
memberitahu kepadamu di mana adanya Cia Han Sin dan Bi Eng."
Tentu saja Li Hoa menjadi makin jengah dan malu, malah-malah ia hampir marah. Akan tetapi
mengapa tidak berterus-terang saja, pikirnya. Lebih baik mengaku dan kemudian mendengar
keterangan gadis aneh ini di mana adanya Han Sin. Kalau ia bersitegang, tentu gadis itupun tidak
mau memberi tahu dan mungkin sekali mereka menjadi musuh. Melihat gelagatnya, musuh seperti
gadis Hui ini bukanlah musuh ringan!
"Kau tidak keliru menduga. Memang, aku cinta kepadanya. Nah, sekarang harap kau suka memberi
petunjuk di mana aku dapat menyusul dia, dan di mana pula adanya adik Bi Eng." Setelah membuat
pengakuan ini melalui mulutnya, Li Hoa tidak malu-malu lagi menentang mata Tilana. Ia terkejut
melihat betapa sepasang mata indah dari gadis Hui itu seakan-akan bernyala, akan tetapi hanya
sebentar, segera berganti pandang berseri dan mulut yang manis itu tersenyum lebar.
"Ha, jadi kau mencinta Cia Han Sin? Kau masih terhitung apakah dengan Phang Yan Bu?"
Li Hoa teringat betapa gadis ini tadi menyebut Yan Bu sebagai kakak kandung, maka tanpa raguragu
ia menjawab, "Aku adalah sahabat baiknya juga. Tilana, betulkah kau ini adik kandungnya?
Bagaimana kau bisa mengaku begitu?"
Koleksi Kang Zusi
"Hal itu bukan urusanmu. Kau tadi bilang mencinta Han Sin?" sambil berkata demikian, Tilana
meloloskan pedang dari sarung pedangnya perlahan-lahan!
Melihat gerakan ini, Li Hoa curiga dan siap-siaga. Boleh jadi ia salah duga, boleh jadi dengan
pengakuannya ini ia malah menjadikan Tilana sebagai musuh. Apa boleh buat, ia tidak dapat
mundur lagi. "Betul," jawabnya tenang, "aku mencinta Cia Han Sin."
"Mampuslah!" seru Tilana tiba-tiba dan "srattt!" pedangnya dicabut serentak lalu secepat itu pula
pedangnya sudah meluncur menusuk ke arah muka Li Hoa. Serangan ini seharusnya ditusukkan ke
dada atau leher, kalau Tilana sudah menusuk ke arah muka, itu hanya menandakan bahwa ia amat
benci dan marah.
Cepat Li Hoa mengelak. Hal ini mudah ia lakukan karena ia memang sudah menaruh curiga dan
sudah siap. Sambil melompat ke samping ia mencabut juga pedangnya. Dua orang wanita muda
cantik, sama gagah, berdiri berhadapan dengan pedang telanjang di tangan.
"Tilana, seorang gagah tidak bersikap sembunyi-sembunyi. Aku Thio Li Hoa selamanya tidak
pernah bermusuhan denganmu, semua pertanyaanmu kujawab sejujurnya. Mengapa tanpa sebab kau
menyerang?"
"Li Hoa, buka telingamu baik-baik. Cia Han Sin adalah suamiku, mengerti? Orang lain, menyebut
namanya saja tidak boleh, apa lagi seperti kau ini mengaku aku cinta. Cih, tak tahu malu!"
Sepasang mata Li Hoa bersinar marah. "Perempuan rendah, tebal sekali mukamu berani
membohong. Cia Han Sin belum menikah, bagaimana bisa mempunyai seorang isteri macam
engkau?"
Tilana makin marah, pedangnya berkelebat dan ia menyerang dengan ganas. Li Hoa menangkis dan
sebentar saja dua orang gadis cantik itu saling serang dengan nekat dan mati-matian bagaikan dua
ekor singa betina bertanding memperebutkan kelinci! Li Hoa adalah murid pertama dari Coa-tung
Sin-kai sedangkan Tilana mewarisi kepandaian Jin-cam-khoa Balita. Kepandaian mereka pada
waktu itu sudah jarang dapat ditandingi oleh gadis-gadis lain. Watak mereka sama-sama keras dan
gagah, tidak kenal takut. Maka pertandingan itu hebatnya bukan main. Dua batang pedang yang
runcing tajam itu berkelebatan menyambar-nyambar, sewaktu-waktu dapat merobek perut atau
dada, dapat memenggal leher membikin buntung tangan dan kaki!
Puluhan jurus lewat dan biarpun pertandingan masih berjalan seru sekali, namun dapat dilihat
bahwa perlahan-lahan Li Hoa makin terdesak. Ilmu pedangnya biarpun sama cepat dan kuatnya,
namun kalah ganas dan repot jugalah akhirnya Li Hoa menghadapi rangsekan yang ganas dan
dahsyat dari pedang Tilana.
Tiba-tiba Tilana mengeluarkan seruan nyaring, tangan kirinya tahu-tahu sudah menyambar sebatang
anak panah di punggungnya dan begitu tangan kirinya itu diayun, anak panah menyambar laksana
terlepas dari gendewa, ke arah dada Li Hoa! Tentu saja Li Hoa kaget sekali menghadapi senjata
rahasia ini, cepat ia menangkis dengan pedangnya.
"Traang! Anak panah terpukul runtuh, akan tetapi pada saat Li Hoa menangkis anak panah, pedang
Tilana sudah "bekerja", membabat leher Li Hoa. Gadis ini terkejut dan merendahkan tubuh, akan
tetapi tetap saja pundaknya terserempet pedang, kulitnya terkupas sedikit. Darah mengucur dan
tubuh Li Hoa terhuyung ke belakang. Tilana mengeluarkan pekik nyaring dan liar, terus mendesak
maju dengan tusukan-tusukan maut. Dua kali ia menusuk dan dua kali Li Hoa berhasil menangkis,
Koleksi Kang Zusi
akan tetapi ketika menangkis untuk ke tiga kalinya sambil mundur, Li Hoa menginjak batu bulat
dan tergelincir, roboh terguling.
"Hemm, kau mau mencinta Han Sin? Mampuslah!" seru Tilana sambil mengayun pedang, penuh
kebencian!
"Trangg!" Pedang di tangan Tilana bertemu dengan pedang lain yang pada saat itu menangkis.
Tilana kaget dan me¬mandang.
"Kau .....??" tegurnya ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya dengan muka beringas dan
penuh benci adalah ..... Bi Eng! Bi Englah yang menangkis pedang Tilana tadi, tepat pada saat Li
Hoa terancam bahaya maut.
"Ya, aku!" jawab Bi Eng dan diam diam Tilana terheran mengapa sikap Bi Eng sekarang demikian
berubah, tidak ramah dan manis seperti dulu terhadapnya, melainkan kasar dan agaknya penuh
kemarahan dan kebencian. "Jangan khawatir, enci Li Hoa, aku membantumu mengenyahkan
siluman ini!" Setelah berkata demikian, Bi Eng menggerakkan pedangnya menyerang Tilana!
"Eh ....., eh ...., apa kau gila ......?" Tilana berseru marah sambil menangkis. Akan tetapi Bi Eng
menyerang terus dan Li Hoa juga sudah menyerangnya dengan gemas. Menghadapi keroyokan dua
orang gadis ini, Tilana tentu saja terdesak. la mengeluarkan seruan nyaring dan liar, lalu menyerang
dua orang lawannya dengan dua batang anak panahnya. Ketika dua orang gadis itu dengan kaget
mengelak, Tilana lalu melarikan diri sambil memekik nyaring, setengah tertawa, setengah
menangis. Ginkangnya hebat, dua orang gadis lawannya tak dapat menyusul larinya yang amat
cepat. Semenjak kecil Tilana sudah biasa berlari-larian di gunung-gunung, hutan-hutan dan padang
pasir, tentu saja Bi Eng dan Li Hoa tidak mampu melawannya dalam hal berlari cepat.
"Adik Bi Eng, terima kasih atas pertolongamu," kata Li Hoa dengan girang. "Kau benar-benar
membuat kami merasa gelisah sekali. Selama ini kaupergi ke mana sajakah?" Li Hoa menghampiri
untuk memeluk kawan baik ini.
Akan tetapi aneh sekali. Dengan sikap keren dan pemarah, Bi Eng mengundurkan diri dan tidak
mau menerima pelukan Li Hoa. "Tak perlu berterima kasih," jawabnya singkat, "perempuan tadi
memang jahat." Setelah berkata demikian, Bi Eng membalikkan tubuhnya dan ...... pergi
meninggalkan Li Hoa!
Tentu saja Li Hoa menjadi bengong terheran menyaksikan sifat yang tidak sewajarnya ini. Dahulu
Bi Eng terkenal sebagai gadis lincah gembira yang amat peramah. Kenapa sekarang menjadi begini
dan kelihatan seperti orang berduka?
"Bi Eng, tunggu ....." katanya mengejar. Namun Bi Eng mempercepat jalannya dan kedua orang
gadis itu kini berkejaran.
Belum jauh mereka berlari-lari, dari balik batu besar muncul seorang pemuda. Melihat orang ini,
wajah Li Hoa berubah. Cepat ia mencabut pedangnya dan mempercepat larinya.
Sementara itu, ketika pemuda itu melihat Bi Eng, ia tertawa lebar.
"Ha ha ha, kalau jodoh, kemanapun juga akan bertemu. Kekasihku, benar-benar kita berjodoh,
maka dapat bertemu pula di sini. Ha ha!"
Koleksi Kang Zusi
Akan tetapi Bi Eng tidak menjawab, hanya merengut dan membuang muka. Pada saat itu Li Hoa
sudah tiba di depan pemuda tadi. Li Hoa menudingkan pedangnya membentak,
"Pemberontak keparat! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Kau membunuh ayahku,
sekarang aku akan membunuhmu!" Biarpun pundaknya masih terasa sakit karena luka akibat
pedang Tilana tadi, namun saking marahnya melihat musuh besar ini, ia lalu maju menyerang
dengan hebat.
Pemuda itu bukan lain adalah Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu. Tadi ia terlampau girang melihat
munculnya Bi Eng, yang betul-betul tak pernah ia sangka berada di tempat itu, maka ia kurang
memperhatikan Li Hoa. Sekarang, melihat bahwa gadis yang seorang lagi adalah Li Hoa, gadis
yang dulu pernah membuat ia tergila-gila kegirangannya memuncak.
"Aha, kaukah ini, nona Thio Li Hoa?" katanya sambil mengelak dengan mudah. "Kebetulan sekali,
aku sedang kesepian tiada kawan, kaupun muncul di sini. Bagus, bagus ....! Kau makin manis ....
saja .... ha ha ha .......!"
Li Hoa yang tiga kali berturut turut tidak berhasil dengan serangannya, mendengar ini menjadi
gemas sekali. Ia mengertak gigi, memegang gagang pedangnya erat-erat, lalu maju menubruk
dengan sebuah tusukan kilat.
43. Wanita Pertama dan Terakhir (Tamat)
"MAKIN liar dan ganas, makin menyenangkan ...." Bhok-kongcu yang terkenal mata keranjang itu
menggoda terus, kali ini ia mengelak sambil menggerakkan tangan, sekali pegang saja ia berhasil
menangkap pergelangan tangan Li Hoa yang memegang pedang, diputarnya cepat-cepat membuat
Li Hoa memekik kesakitan dan pedangnya terlepas. Di lain saat, sebelum Li Hoa mampu bergerak,
gadis itu sudah dipeluk oleh Bhok-kongcu!
"Lepaskan aku! Keparat keji, lepaskan ...!” Li Hoa meronta dan berteriak, namun makin ia meronta,
pelukan Bhok-kongcu makin erat pula sampai ia tak mampu berkutik lagi.
"Tak tahu malu! Lepaskan dia!" Bi Eng tiba-tiba membentak dan pedangnya membabat ke arah
leher Bhok-kongcu.
"Hayaaa, kaupun menyerangku? Celaka, diserang oleh tunangan sendiri!" Bhok-kongcu hendak
berkelakar, namun serangan ini adalah gerakan Cin-po-thian-keng yang lihai dari Ilmu Silat Thianpo-
cin-keng! Bhok-kongcu kaget sekali ketika tahu-tahu mata pedang hampir membabat lehernya.
Cepat ia meloncat ke belakang dan karena gerakan ini, pelukannya pada tubuh Li Hoa mengendur.
Hal ini tidak disia-siakan oleh Li Hoa yang cepat menggerakkan kedua tangannya.
"Dukkk!" Kepalan kanan Li Hoa berhasil "memasuki" perut Bhok-kongcu dengan tepat.
"Aduuhhh ....!” Pemuda itu terlempar ke belakang, wajahnya pucat dan biarpun tidak
membahayakan jiwanya, ternyata ia telah menderita luka dalam. la tersenyum pahit, nafsu cintanya
terhadap Li Hoa berubah seketika, berubah menjadi kemarahan dan kebencian.
"Kau berani memukulku?"
"Aku malah akan membunuhmu!" Li Hoa berteriak lagi setelah mengambil pedangnya, lalu
menubruk dengan serangannya yang dilakukan secara nekat.
Koleksi Kang Zusi
"Baik, cobalah sebelum kau kukirim menyusul ayahmu!" Bhok-kongcu mengelak dan cepat
mencabut senjatanya, yaitu sebuah kipas lebar. Beberapa belas jurus mereka bertempur dan Bi Eng
berdiri ragu-ragu, tidak membantu, hanya pedangnya masih terpegang di tangan kanan.
Pada jurus ke lima belas, Bhok-kongcu sengaja memperlambat tangkisannya, akan tetapi ketika
ujung pedang di tangan Li Hoa sudah dekat, ia cepat menggunakan sepasang gagang kipasnya
menjepit pedang itu. Selagi Li Hoa berusaha melepaskan pedangnya, tangan kiri Bhok-kongcu
datang menyambar.
"Plakk!" Tangan kiri yang putih halus, akan tetapi mengandung penuh tenaga Hek-tok-ciang itu
telah menghantam dada Li Hoa. Gadis itu menjerit ngeri dan roboh terguling, tak dapat bergerak
lagi!
"Manusia keji, di mana-mana membunuh orang!" Bi Eng berseru marah.
"Kaupun banyak rewel sekarang, lekas-lekas menjadi isteriku lebih baik, harus diberi hajaran!"
Bhok-kongcu balas membentak dan sebelum Bi Eng sempat menyerang, pemuda itu sudah
menerjangnya, tangan kiri memukul ke arah pedang dan tangan kanan menyambar pinggang Bi
Eng. Terus saja ia memanggul tubuh Bi Eng yang menjerit-jerit, memaki-maki dan meronta-ronta,
dibawa lari cepat meninggalkan tempat itu, meninggalkan tubuh Li Hoa yang tidak bergerak dan
pakaian di dadanya sudah hancur memperlihatkan kulit dada yang hangus kehitaman.
****
"Saudara Cia Han Sin!"
Han Sin terkejut mendengar panggilan ini dan cepat menengok. Ternyata Phang Yan Bu yang
memanggilnya. Yan Bu berlari datang bersama seorang gadis cantik dan gagah. Ternyata bahwa
gadis itu adalah Thio Li Goat, adik Li Hoa.
"Ah, Phang-loheng, kau hendak ke manakah?"
Akan tetapi sampai lama Yan Bu tak menjawab, hanya memandang pemuda itu yang menjadi pucat
dan kurus sekali dengan perasaan kasihan. la tidak banyak tahu tentang pemuda aneh dan sakti ini,
hanya dapat menduga bahwa banyak hal-hal yang amat sengsara terjadi menimpa keluarga Cia dan
karenanya membuat ia menaruh hati kasihan.
"Kami sedang mencari jejak adikmu. Nona Cia Bi Eng ...."
".... di mana dia........?" Han Sin memotong dengan tergesa-gesa, penuh gairah.
"Sabar dulu, saudara. Beginilah ceritanya," Yan Bu lalu menuturkan secara singkat kemunculan
Tilana yang mengaku adik kandungnya itu, lalu betapa Li Hoa mengejarnya. Agaknya hanya Tilana
yang tahu di mana adanya Bi Eng, maka kini Yan Bu dan Li Goat lalu pergi mencari.
"Aneh sikap Tilana itu, saudara Cia Han Sin. Dia mencarimu, dan dulupun dia yang membawa
pergi Bi Eng. Dia kelihatan jahat, kami amat mengkhawatirkan keselamatan Bi Eng dan .... enci Li
Hoa. Kebetulan sekali kami mendapat keterangan bahwa jejaknya berada di daerah ini."
"Kalau begitu mari kita bersama mengejarnya," kata Han Sin tidak sabar lagi. Ia tidak mau banyak
bercerita, hanya ingin lekas-lekas dapat mencari dan menemui Bi Eng. Karena Bi Englah, ia
menjadi pucat dan kurus kering, lupa makan, lupa tidur.
Koleksi Kang Zusi
Sayang sekali mereka sedikit terlambat, kalau tidak kiranya Li Hoa takkan mengalami nasib
sedemikian mengerikan. Hanya satu dua jam setelah Li Hoa roboh dan ditinggal pergi Bhok-kongcu
yang menculik Bi Eng di tempat itu muncul Han Sin, Yan Bu dan Li Goat!
"Hoa-ci ....!!" Li Goat cepat menubruk cicinya dan menangis.
Li Hoa membuka matanya, memandang tiga orang itu. Melihat Han Sin, ia berbisik, "Han Sin ...
bagus sekali kau datang .... ke sinilah kau ....”
Han Sin berlutut mendekati Li Hoa. Ngeri ia melihat dada yang sudah tak tertutup lagi karena
pakaiannya sudah hancur, akan tetapi dada itu sudah hangus kehitaman!
"Kau terpukul Hek-tok-ciang ...." katanya sedih. Teringat ia betapa baik gadis ini terhadapnya,
betapa dulu ia tertolong oleh Li Hoa, bahkan dibela dengan taruhan nyawa, betapa dulu ketika
terluka iapun dirawat oleh gadis itu. Dengan terharu ia lalu mengangkat kepala gadis itu dan
dipangkunya, lalu mengambil baju luarnya untuk diselimutkan di atas dada. Kemudian beberapa
jalan darah ia totok dan urut, bukan untuk mengobati, hanya untuk menghilangkan rasa nyeri yang
hebat.
"Terima kasih ...." Li Hoa bernapas lega, "Sekarang enakan .... tidak sepanas tadi ...." Gadis itu
memandang kepada Han Sin dengan muka berseri! "Kau .... kau baik sekali. Han Sin .... tidak
percuma .... aku mencintamu .... eh, kenapa kau kurus dan pucat? Han Sin, jaga baik-baik dirimu
..... aku ikut berduka kalau melihat kau susah ... dahulu itu, ketika kau disiksa Thian-san Sam-sian
.... aduh, sakit sekali hatiku ....."
Melihat gadis yang sudah menghadapi maut itu masih memperlihatkan kasih sayang kepadanya,
Han Sin menjadi amat terharu. Tak terasa lagi, dua butir air matanya jatuh menimpa pipi Li Hoa.
"Kau ..... kau menangis ....? Untukku ....? Ahhh, aku puas .... matipun ikhlas .... Phang Yan Bu, kau
harap bersikap baik terhadap adikku .... sebaik Han Sin ini ....” Tiba-tiba suaranya terhenti dan
napasnyapun terhenti. Han Sin cepat sekali menggerakkan tangan menghidupkan peredaran darah
dan mengerahkan sinkang untuk membantu jalan darah dan menghidupkan urat syaraf gadis itu, lalu
berbisik di telinganya.
"Di mana Bi Eng ......."
".... Bi Eng ..... dia diculik Bhok .... ke sana ....." Matanya mengerling ke arah perginya Bhokkongcu
lalu mata itu meram dan ..... napasnyapun terhenti sama sekali. Gadis itu meninggal dalam
pelukan Han Sin.
"Kalian urus jenazahnya. Aku harus mengejar Bhok-kongcu si bedebah. Bhok Kian Teng yang
membunuh Li Hoa, dengan pukulan Hek-tok-ciang. Tentu dia belum jauh!"
Yan Bu dan Li Goat mengangguk tanda setuju. Memang, siapa lagi yang dapat menghadapi Bhok
Kian Teng yang lihai itu selain Han Sin? Setelah memberikan jenazah Li Hoa kepada sepasang
orang muda itu untuk membawanya pergi, Han Sin cepat berlari seperti terbang ke arah yang
ditunjuk oleh Li Hoa tadi. Ia berlari-lari bagaikan terbang cepatnya. Segera ia sampai di daerah
yang berbatu-batu dan tahulah ia bahwa ia telah tiba dekat sungai besar.
Tiba-tiba telinganya menangkap jerit wanita, "Lepaskan aku .....!”
Koleksi Kang Zusi
Dengan jantung berdebar Han Sin berlari makin cepat lagi ke arah suara itu. Setelah melompati
beberapa buah batu besar, akhirnya ia melihat Bhok Kian Teng berjalan perlahan-lahan sambil
memondong tubuh Bi Eng yang meronta-ronta dan memaki-maki.
"Diamlah, manis ... diamlah, sayang .... bukanlah kau calon isteriku yang syah? Ibumu sendiri sudah
menyerahkan kau kepadaku. Tunggu saja, kau akan menjadi permaisuri ..... ha ha ha!" Bhok Kian
Teng membelai rambut gadis yang dipondongnya itu, yang terurai menutupi lengannya.
Hampir meledak isi dada Han Sin menyaksikan penglihatan ini. Sekali melayang ia telah tiba di
depan Bhok-kongcu sambil membentak, "Iblis bermuka manusia! Lepaskan dia!"
Pucat muka Bhok-kongcu ketika tiba-tiba ia melihat musuh yang paling ia takuti ini berdiri di
depannya.
"Kau ....? Kau ......??" Dan ia lalu lari sambil memondong tubuh Bi Eng. Anehnya, sekarang gadis
itu tidak meronta lagi, malah tidak mengeluarkan suara.
"Kau hendak membunuhku ....? Ha ha ha, tak mungkin, Cia Han Sin Aku calon raja. Aku pangeran
besar, keturunan Jenghis Khan! Ha ha ha! Dan nona Tilana ini adalah calon permaisuriku ......!”
Bukan main cemasnya hati Han Sin. Agaknya Bhok-kongcu sudah menjadi gila. Hendak
menyerang, ia takut kalau-kalau Bi Eng celaka di tangan pemuda Mongol itu. Maka ia cepat
mengejar dengan maksud merampas tubuh Bi Eng yang dipondong Bhok-kongcu. Akan tetapi
Bhok-kongcu mengerti akan maksud ini, maka ia cepat menggunakan tubuh Bi Eng untuk
menyerang Han Sin!
Han Sin cepat mengelak dan pucatlah wajahnya ketika melihat gadis itu sudah lemas, tidak
bergerak lagi. Saking kagetnya ia sampai berdiri tidak mengejar ketika Bhok-kongcu berlari terus.
Baru setelah hilang kagetnya, ia mengejar lagi.
"Orang gila, akan kuhancurkan kepalamu kalau kau berani mengganggu dia!" geramnya marah
sekali.
Bhok-kongcu sudah berlari sampai di pinggir sungai yang amat curam. Ia angkat tubuh Bi Eng dan
mengancam. "Majulah setindak lagi dan .... akan kulemparkan dia ke bawah!"
Han Sin memandang dengan mata terbelalak, menjadi seperti patung, berdiri dalam jarak lima
meter dari Bhok-kongcu, tidak berani bergerak.
" jangan .... jangan lakukan itu ..... dia tidak berdosa ......" suaranya memohon dengan gemetar.
"Ha ha ha ha! Dia isteriku, dia calon permaisuriku .... kau perduli apa .....? Aku boleh melakukan
apa yang kusuka. Lihat ....!" Tak usah diminta lagi, Han Sin memang sudah melihat hal yang amat
mengerikan hatinya. Melihat betapa baju di lambung kiri Bi Eng telah hancur ..... dan kulit lambung
yang tampak berwarna hitam! Tak salah lagi, pemuda gila itu sudah melukai lambung Bi Eng
dengan pukulan Hek-tok-ciang, tentu pada saat Han Sin muncul tadi karena sebelumnya Bi Eng
masih memaki-maki!
Muka Han Sin menjadi beringas, sebentar pucat, sebentar merah. Sepasang matanya seperti
mengeluarkan api, dan dari kepalanya mengepul uap! Melihat keadaan pemuda itu, Bhok-kongcu
sampai merasa ngeri dan ketakutan.
Koleksi Kang Zusi
"Awas kau ..... kuhancurkan kepalamu ...... kukeluarkan isi perutmu ..... kuseret kau ke neraka
jahanam ...." dengan langkah satu-satu Han Sin menghampiri Bhok-kongcu.
"Jangan dekat, kulemparkan dia nanti ke bawah!" Bhok-kongcu mengancam lagi. Akan tetapi Han
Sin tidak perduli lagi, karena ia maklum bahwa biarpun dia tidak menangkap Pangeran Mongol itu,
tetap saja nyawa Bi Eng sukar ditolong lagi. Kemarahannya meluap-luap, belum pernah selama
hidupnya Han Sin semarah itu.
Bhok Kian Teng membelalakkan matanya. Ia melihat pemuda itu selangkah demi selangkah,
lambat-lambat menghampirinya dan ..... setiap melangkah, kakinya meninggalkan bekas yang
dalam dan nyata di atas batu! Sekali saja Han Sin menggerakkan tangan, tanpa menyentuh tubuh
Bhok-kongcu, pemuda gila ini tentu akan remuk isi perutnya. Hawa sinkang sudah berkumpul
seluruhnya di dalam tangan kaki Han Sin.
Tiba-tiba Bhok-kongcu berteriak parau, "Inginkan dia? Nih, terimalah, ha ha ha ha!" Tubuh Bi Eng
ia lontarkan dengan kuat sekali ke arah Han Sin dan dia sendiri saking takut dan paniknya sudah
melompat ke belakang, ke ... tempat kosong. Tubuhnya melayang ke bawah dan terdengar pekiknya
yang menggema di lembah itu, pekik kematian karena tubuhnya disambut oleh batu-batu keras yang
runcing dan mengerikan di antara air sungai.
Han Sin cepat menyambar tubuh Bi Eng. la tidak perduli lagi kepada Bhok-kongcu. Cepat ia
memeriksa detak jantung dan pernapasan. Sepuluh jari tangannya menggigil saking tegangnya hati.
"Aduhh ....., syukur kau masih hidup, Bi Eng .... tapi ..... tapi .....”
la maklum bahwa ia takkan mungkin dapat mengobati Bi Eng. Pikirannya sekilat melayang kepada
Phoa Kek Tee si raja obat. Akan tetapi pikiran itu buyar kembali ketika ia mengingat bahwa
sekarang raja obat itu sudah kehilangan kepandaiannya karena ..... dia.
"Ahhh ..... Bi Eng ..... kalau kau mati .... akupun ikut serta ....." tiba-tiba ia teringat akan Pek Sin
Niang-niang. Ya, betul dia? Satu-satunya orang di dunia ini yang dapat dimintai tolong, hanya
pertapa wanita itulah.
Han Sin memondong tubuh Bi Eng. lalu berlari secepat terbang. Siang malam tiada henti-hentinya
ia berlari terus menuju ke Go-bi-san, tempat pertapaan Pek Sin Niang-niang.
****
"Niang-niang, tolonglah teecu .... tolonglah kalau Niang-niang tidak ingin melihat kami berdua mati
....." Han Sin dengan Bi Eng dalam pondongannya, berlutut sambil memohon-mohon dan menangis
di depan pertapa wanita Pek Sin Niang-niang yang bersikap tenang saja.
"Cia-sicu, tak layak seorang gagah mengucurkan air mata. Nona ini siapakah?"
"Oh, Niang-niang ..... dia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini ..... dia ini ya saudaraku, ya
kekasihku, ya satu-satunya orang yang kukasihi dan untuknya aku mau hidup ... Niang-niang,
tolonglah kami ....."
"Tenanglah, dan ceritakan mengapa dia sampai terluka seperti itu."
Dengan singkat Han Sin lalu menceritakan segala-galanya tentang Bi Eng yang dulu semenjak kecil
ia anggap adik kandungnya, dan tentang segala perasaannya terhadap Bi Eng serta kejadianKoleksi
Kang Zusi
kejadian yang amat merisaukan hatinya akhir-akhir ini. Setelah selesai, Pek Sin Niang-niang lalu
memeriksa luka Bi Eng sambil berkata tersenyum, "Memang kau agaknya ditakdirkan untuk
mengalami permainan asmara yang berbelit-belit, Cia-sicu. Nona ini berat lukanya, baiknya kau
sudah menghentikan jalan darahnya, kalau tidak, begitu racun menyerang jantung, dia takkan
tertolong lagi. Sekarang dia harus banyak beristirahat sambil berobat di sini. Akan tetapi,
percayalah, kalau Thian menghendaki, dia akan sembuh."
Bukan main girangnya Han Sin. Ia berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di depan
pertapa wanita itu seperti seekor ayam makan padi!
Pek Sin Niang-niang adalah bibi guru dari Raja Obat Phoa Kok Tee. Ilmunya tentang pengobatan
amat dalam, apa lagi memang pertapa ini mengutamakan ilmu pengobatan anti racun. Dengan amat
teliti ia merawat dan mengobati Bi Eng yang menjadi sadar dari pingsannya pada tiga hari
kemudian. Gadis ini amat lemah dan dadanya terasa sakit sekali. Ketika ia sadar dan melihat Han
Sin duduk di dekat pembaringannya, ia merengut dan hendak marah-marah. Akan tetapi Han Sin
menyabarkannya dan mencegah gadis itu bangun.
"Eng-moi, kau tenang dan mengasolah. Kau terluka hebat oleh Bhok-kongcu, syukur Pek Sin
Niang-niang berkenan menolongmu di sini dan memberi obat. Kau harus banyak mengaso ....."
Suara pemuda ini lemah-lembut, penuh kasih sayang. Naik sedu-sedan dari dada Bi Eng.
Selama ini memang di dalam dadanya penuh dengan cinta dan rindu kepada pemuda ini, akan tetapi
semua perasaan itu ia tekan dan coba matikan sendiri. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membenci
pemuda ini, dengan menjejalkan pikiran bahwa pemuda ini sudah berlaku tidak patut terhadap
Tilana atau yang sebetulnya bernama Kiok Hwa puteri Ang-jiu Toanio. Malah ia meyakinkan dalam
hatinya bahwa dia bukan Bi Eng, melainkan Tilana puteri Balita.
Akan tetapi semua usahanya ini selalu gagal, kalah oleh rasa rindu kepada Han Sin, bekas kakak
kandungnya. Malah sudah pernah ia memaksa hatinya untuk menerima perintah ibunya, yaitu yang
mengikat dia kepada Bhok-kongcu sebagai tunangan. Namun, makin dekat Bhok-kongcu makin
bencilah ia kepada Pangeran Mongol itu.
"Kau pergilah ..... kau pergilah ....." akhirnya ia berkata sambil menangis.
Han Sin yang maklum bahwa perasaan gadis itu amat tertekan entah oleh apa, mengalah dan keluar
dari kamar itu. Betapapun juga, hatinya lega melihat gadis itu sudah siuman.
Pek Sin Niang-niang muncul ke dalam kamar membawa semangkok bubur hangat. Bi Eng yang
melihat wanita pertapa ini, memandang kagum. Ia segera dapat menduga bahwa pertapa inilah yang
menolongnya, maka ia lalu mencoba untuk turun dari pembaringan.
"Jangan banyak bergerak, nona. Berbaringlah saja dan kau makanlah bubur ini." Pertapa itu lalu
menyuapkan bubur ke mulut Bi Eng. Akan tetapi gadis itu tidak mau menerimanya.
"Apakah ..... apakah kau Pek Sin Niang-niang ......?"
Ketika pertapa itu mengangguk Bi Eng berlinang air mata. "Niang-niang telah menolong nyawa
teecu, seharusnya teecu berlutut menghaturkan terima kasih. Bagaimana teecu berani melelahkan
Niang-niang untuk merawat teecu seperti ini.
Pek Sin Niang-niang tersenyum ramah. "Aku tidak mengenal apa itu tolong-menolong, anak baik.
Manusia hidup harus memenuhi kewajibannya masing-masing dengan sempurna, baru tak percuma
Koleksi Kang Zusi
hidup di dunia. Kewajibanku saat ini ialah merawat dan mengobatimu, sedangkan kewajibanmu
ialah taat pada pinni agar cepat sembuh."
"Tapi ..... tapi ...... harap Niang-niang menyuruh seorang pembantu saja untuk merawat teecu ....."
Bi Eng benar-benar merasa malu dan sangat tak enak kalau membiarkan pertapa tua ini turun
tangan sendiri merawatnya, seperti menyuapkan makan dan lain-lain.
Pek Sin Niang-niang tertawa girang. Boleh juga bocah ini, pikirnya.
"Boleh, akan kusuruh pembantuku. Akan tetapi kau harus berjanji bahwa kau akan taat dan tidak
membantah. Begitu barulah kau seorang anak yang baik."
"Teecu sudah menerima budi, bagaimana berani membantah," Bi Eng menyanggupi.
"Nah, pertama, kau tidak boleh bergerak dan tidak boleh turun dari pembaringan, apapun juga yang
terjadi. Ke dua, kau harus menurut segala permintaan pembantuku."
"Baiklah, Niang-niang."
"Dan sekali-kali kau tidak boleh marah-marah. Racun masih ada bekasnya di dalam tubuhmu.
Pemuda itu bukan main. Kau dipondongnya ke sini setelah melalui perjalanan empat hari empat
malam tiada berhenti-henti." Setelah berkata demikian, Pek Sin Niang-niang meninggalkan kamar
itu dan menutupkan daun pintu.
Bi Eng menanti datangnya pembantu pertapa itu yang disangkanya tentu seorang wanita pula.
Ketika pintu kamar terbuka, ia melirik dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa yang memasuki
kamar adalah .... Han Sin yang membawa mangkok bubur tadi. "Niang-niang minta kepadaku untuk
menyuapkan bubur ini kepadamu ...." kata Han Sin, "Bi Eng, kau makanlah bubur ini agar segera
sembuh."
Bi Eng hendak marah, akan tetapi teringat akan pesan Pek Sin Niang-niang, ia menahan diri, hanya
mengomel lirih, "Namaku Tilana, bukan Bi Eng ......"
"Kau tetap Bi Eng bagiku, adik Bi Eng yang baik ...."
Bi Eng terharu. "Aku bukan adik kandungmu ....."
"Aku tahu. Kau makanlah ....." Dan Han Sin lalu menyuapkan bubur ke mulut nona itu yang tak
dapat membantah lagi. Setelah bubur itu habis, Bi Eng kelihatan menderita.
"Aduh ...... aduh ..... sakit sekali perutku"
Han Sin sudah diberi tahu oleh Pek Sin Niang-niang tadi, maka ia tidak khawatir, biarpun ia
memperlihatkan muka khawatir. "Ada apakah? Bagaimana rasanya?"
"Perutku sakit, kepalaku pening ..... aahhh ...." Dan tak tertahan lagi, Bi Eng muntah-muntah.
Karena Han Sin duduk di dekat pembaringan, tak dapat dicegah lagi pakaian Han Sin tersembur
oleh isi perut yang dimuntahkan Bi Eng. Di antara bubur yang keluar lagi itu, nampak banyak darah
hitam!
"Celaka .... aku .... aku mengotorkan pakaianmu ....."
Koleksi Kang Zusi
Akan tetapi Han Sin hanya tersenyum, bahkan dengan saputangannya ia lalu membersihkan bibir Bi
Eng dan pinggir bantal yang terkena kotoran pula. "Tidak apa Bi Eng. Memang di dalam bubur
diberi obat untuk mengeluarkan darah beracun yang masih berada di dalam perutmu. Sekarang
darah itu sudah keluar semua, kaulihat. Ini berarti kau akan sembuh, adikku sayang ...."
"Aku .... aku bukan adikmu .....!”
Biarpun lemah sekali tubuhnya, Bi Eng masih bisa membentak, merengut dan matanya membelalak
marah.
"Memang bukan, lebih dari pada adik malah ..." jawab Han Sin tersenyum. "Sekarang kau tidurlah,
Bi Eng, tidurlah ..." Dengan lemah-lembut dan penuh kasih sayang, Han Sin membetulkan letak
kepala gadis itu pada bantal, lalu menarik selimut sampai ke leher Bi Eng. Gadis itu menarik terus
selimut menutupi mukanya dan di dalam selimut terdengar ia mengisak perlahan.
Di kedua mata Han Sin juga tampak dua butir air mata ketika pemuda ini perlahan-lahan
meninggalkan kamar untuk berganti pakaian. Demikianlah, dengan amat teliti dan sabar Han Sin
merawat Bi Eng di bawah pengawasan Pek Sin Niang-niang, dan sebulan kemudian sembuhlah Bi
Eng.
Seperti juga dulu ketika Han Sin berobat di situ, setelah Bi Eng sembuh, pertapa wanita itu tidak
kelihatan lagi bayangannya. Kemarin harinya ia sudah memesan Han Sin dan Bi Eng supaya hari itu
meninggalkan Go-bi-san, dan pada hari keberangkatan mereka, ia sengaja pergi, tidak bersedia
menerima ucapan terima kasih! Han Sin dan Bi Eng hanya berlutut dan dengan suara terharu
menghaturkan terima kasih kepada pertapa sakti itu. Lalu mereka turun dari Go-bi-san.
Mereka melakukan perjalanan tanpa banyak bercakap. Memang Bi Eng menjadi pendiam semenjak
berobat di Go-bi-san. Tak pernah mau bicara dengan Han Sin, malah selalu menghindarkan
pertemuan pandang mata. Anehnya, tiap kali tanpa disengaja pandang mata mereka bertemu, gadis
itu tak dapat menahan bercucurnya air matanya!
Setelah menuruni puncak Go-bi-san, Han Sin berhenti dan memegang lengan tangan Bi Eng. la tak
tahan lagi didiamkan begitu saja.
"Bi Eng ..... kita harus bicara dari hati ke hati ....."
Gadis itu berdiri di depannya, menundukkan muka. "Bicara apa lagi! Kau sudah mempermainkan
aku. Sudah lama tahu aku bukan adik kandungmu, kau diam saja. Kau putera Cia Sun, aku anak
Balita. lbuku dan ayahmu musuh besar. Dan kau ... kau ... kau suami Kiok Hwa ...."
"Kiok Hwa siapakah?"
"Yang dulu bernama Tilana, dia anak Ang-jiu Toanio. Kaupun sudah tahu akan hal itu. Kau tahu
segalanya, tapi menutup mulut ....."
"Tidak Bi Eng. Tidak demikian. Memang aku tahu bahwa kau bukan adik kandungku. Aku tidak
memberi tahu karena ..... karena ...... aku tidak ingin berpisah darimu pula, aku ingin membongkar
segala rahasia mengenai dirimu, mengenai hal-hal yang terjadi sebelum orang tuaku meninggal
dunia. Terutama sekali ....... aku tidak ingin kehilangan kau dari sampingku karena ..... karena aku
cinta padamu, Bi Eng. Aku akan mati kalau kau tinggalkan. Aku cinta padamu."
Koleksi Kang Zusi
Bi Eng mengangkat mukanya dan kedua matanya sudah penuh air mata. "Kau bohong ...." bibirnya
gemetar, "Kau laki-laki mata keranjang, kau bohong! Kau adalah suami Kiok Hwa ......"
Han Sin menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. "Bi Eng, kau sendiri menjadi saksi
betapa aku hampir saja membunuh Tilana .... atau Kiok Hwa itu karena perbuatannya yang tak tahu
malu. Entah bagaimana, agaknya dia menggunakan racun dalam minuman yang membuat aku
seperti mabok, lebih lagi, seperti gila .... aku tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu aku bangun di
sisinya. Kau tahu akan hal ini ... aku tidak cinta padanya. Kaulah satu-satunya wanita di dunia ini
yang kucinta, Bi Eng. Aku sudah menyatakan terus terang kepada Tilana itu ......"
"Tapi ..... tapi ........ kau anak musuh besar ibuku ......."
Han Sin merangkul pundak Bi Eng. "Bi Eng, urusan dahulu tak perlu kita campuri. Aku tahu, aku
merasa di dalam hatiku, bahwa kau mencintaiku pula, bukan ..... bukan seperti kakak kandung .......
aku dapat melihat itu di dalam sinar matamu, dahulu sebelum kau tahu akan hal ini. Karena
perasaanmu itulah maka kau dulu berusaha menjodohkan aku dengan Tilana. Karena kau takut jatuh
cinta kepada kakak kandung sendiri! Bukankah begitu?"
Makin deras air mata membasahi pipi Bi Eng. Mereka berpandangan, cinta dan rindu bergelora
memenuhi dada dan akhirnya dua orang muda yang sudah berkumpul semenjak masih kecil itu
mengeluarkan jerit tertahan ketika mereka saling rangkul, saling peluk sambil bertangisan.
"Sin-ko .... Sin-ko ..... bagaimana aku bisa membencimu? Kaulah satu-satunya orang di dunia ini
bagiku .... kalau saja dulu kau memberi tahu ..... takkan berlarut-larut begini ....."
"Eng-moi, kau pujaan hatiku. Kau kurang sabar menanti, Eng-moi. Kau tak tahu betapa tersiksa
hatiku itu, menahan-nahan cinta, berpura-pura seperti kakak sendiri. Alangkah sukarnya. Betapa
hancur hatiku ketika kau memaksaku dengan Tilana ....."
Disebutnya nama ini mengingatkan Bi Eng akan sesuatu. Cepat ia merenggutkan dirinya atas dada
Han Sin. "Tidak bisa ..... ! Aku anak ibuku! Bagaimana bisa aku mengkhianati ibu sendiri? Ah, Sinko,
bagaimana ini ..........??”
Han Sin maklum. "Marilah, Bi Eng. Mari kita pergi menemui ibumu. Memang kita harus mengaku
terus terang. Biarlah ibumu melihat bahwa permusuhan lama itu kita akhiri dengan ..... perjodohan.
Marilah ......"
Terhiburlah hati Bi Eng. Dengan bergandengan tangan mereka lalu pergi ke arah tempat tinggal
Balita. Andaikata harus membuat pengakuan seorang diri, agaknya Bi Eng takkan berani. Akan
tetapi, berdua dengan Han Sin, ia akan berani menempuh apapun juga.
Ketika mereka tiba di kaki bukit di mana tinggal Balita, tiba-tiba muncul seorang gadis yang
membuat kedua merpati ini berdiri seperti patung dan menjadi pucat. Di depan mereka berdiri ......
Tilana atau Kiok Hwa, gadis berkerudung itu. Tilana berdiri dengan muka lebih pucat lagi, ketika
dengan tubuh kurus dan mata layu. Tanpa disengaja Bi Eng lalu menggandeng lengan Han Sin,
seakan-akan ia takut kalau-kalau Han Sin hendak pergi bersama Tilana.
"Bi Eng, dia bukan kakak kandungmu. Dia itu musuhmu, anak musuh besar ibumu!" Tilana berkata
dengan suara lantang.
"Tidak, cici Tilana. Dia memang bukan kakak kandungku, akan tetapi dia bukan musuhku."
Koleksi Kang Zusi
Bibir Tilana gemetar. "Keparat ....., kau ..... kau juga mencintainya ......?"
Bi Eng mengangguk berani. "Karena cintaku kepadanya maka dulu aku membantumu dengan
sengaja. Kalau dulu aku tahu bahwa dia bukan kakakku sendiri, jangankan membantumu, mungkin
pedangku sudah menembusi dadamu!"
Tilana mendekap mukanya dan menjerit lirih. Pernyataan Bi Eng ini merupakan ujung pedang yang
sudah menancap dadanya. la sayang kepada Bi Eng, karena merasa berhutang budi. Ketika ia
membuka lagi tangan yang menutupi muka, ia menjadi makin pucat. Dengan bingung ia
memandangi dua orang di depannya itu.
"Han Sin ......, apakah kau masih tetap dengan cintamu? Masih tetap mencinta dia seperti
pengakuanmu dulu?"
Han Sin mengangguk pasti.
".... ahhh ..., kalau begitu...., kalian saling mencinta .... dan aku ... aku ......bagaimana .....?"
Han Sin tak dapat menjawab, hanya berdiri lemas, hatinya terharu bukan main. Bi Eng melihat hal
ini dan dia yang menjawab, "Salahmu sendiri, cici Tilana. Kau menggunakan akal busuk dan
rendah. Cinta tak dapat dipaksa melalui segala obat racun, melalui segala alat kecantikan. Cinta
demikian hanyalah cinta palsu ....."
"Tapi kau dulu membantuku .....”
"Ya, tapi bukan dengan maksud rendah seperti maksudmu. Aku membantumu karena kusangka dia
kakak kandungku sendiri, aku malah takut kalau-kalau jatuh cinta kepadanya ....." Cekalannya
kepada lengan Han Sin dipererat.
"Keparat .....!" Tilana mencabut pedangnya, sikapnya mengancam. Matanya beringas. "Han Sin,
kalau aku bunuh Bi Eng, bagaimana?"
"Aku akan melindunginya, kalau perlu aku akan lebih dulu membunuhmu."
"Kalau aku membunuhnya secara diam-diam, di luar dugaanmu?"
"Kalau begitu, aku akan membunuh diri sendiri ...."
Tilana menjerit ngeri, meloncat ke depan dan mengangkat pedangnya. Han Sin melindungi Bi Eng,
akan tetapi ia segera berteriak kaget sekali ketika melihat darah menyembur, disusul robohnya
tubuh Tilana yang ternyata telah menggorok leher sendiri dengan pedangnya!
"Tilana ......!"
"Cici Tilana ......!”
Han Sin dan Bi Eng sudah lupa akan kebencian mereka. Keduanya berlutut dekat tubuh Tilana, Bi
Eng menangis dan Han Sin kelihatan terharu sekali. Tilana masih dapat tersenyum dan hanya
matanya yang memandang mereka dengan sinar mata menyatakan harapan, "Semoga kalian
berbahagia." Beberapa menit kemudian, nampak Han Sin dan Bi Eng mengubur jenazah Tilana
dengan khidmat.
Koleksi Kang Zusi
****
"Anak durhaka! Anak tidak berbakti! Kau mau ikut dengan jahanam ini? Dia sudah melakukan
perbuatan zina dengan adik kandungnya sendiri. Ha ha ha, dia anak Cia Sun sudah berzina dengan
adik kandungnya sendiri ...."
"Tidak, ibu. Dugaanmu meleset. Cici Tilana itu bukanlah adik kandung melainkan anak Ang-jiu
Toanio. Sebelum ibu menukarkan aku dengan anak keluarga Cia, ibu sudah didahului Ang-jiu
Toanio. Adik kandung Sin-ko jatuh di tangan Hoa Hoa Cinjin, menjadi nona Hoa-ji gadis
berkedok."
"Apa ......??” Balita membentak dan menatap wajah Han Sin dengan penuh keheranan.
"Betul demikian," kata Han Sin. "Kami, aku dan adik Bi Eng, saling mencinta dan tidak ada
kekuasaan di dunia ini yang dapat memisahkan kami. Akan tetapi, sudah sepatutnya kami
menghadap locianpwe untuk mohon ijin agar kami dapat menghapus permusuhan orang-orang tua
dahulu dengan sebuah pernikahan."
"Apa .....? Anakku ..... darahku ....menikah dengan anak nyonya Cia ......?” Matanya melotot,
rambutnya riap-riapan di antara matanya.
Han Sin mendapat pikiran bagus. "Bukan hanya anak nyonya Cia, locianpwe, melainkan anak darah
keturunan Cia Sun sendiri. Alangkah baiknya, puteri dari Jim-cam-khoa Balita menikah dengan
putera dari taihiap Cia Sun."
Balita menggerakkan kepalanya dan rambut yang riap-riapan ke depan itu kini ke belakang pundak
semua. Matanya bersinar, mulutnya bergerak-gerak, kemudian ia berseru, "Bagus sekali! Seluruh
dunia kang-ouw akan mendengar, akan melihat. Lihat akhirnya putera Cia Sun mengawini puteri
Balita. Hi hi hi, Cia Sun, tengoklah. Kau dulu menolakku, sekarang puteramu memaksa mengawini
anakku. Hi hi hi, kau masih bilang tidak mencinta aku? Lihat puteramu yang lebih tampan dari pada
engkau, sekarang mencinta anakku yang tidak secantik aku. Bukankah ini pembalasan namanya?
Ha ha!"
Pada saat itu Siauw-ong meloncat turun dari pohon dan hinggap di pundak Han Sin. Hal ini
membuyarkan pikiran Balita yang cepat berubah dan berteriak,
"Monyet keparat!" Memang perempuan ini aneh. Selama Bi Eng pergi, monyet itu ditinggalkan di
situ dan Balita selalu bersikap baik. Sekarang mendadak ia membenci. ”Monyet bedebah! Eh, Cia
Han Sin anak Cia Sun, kau bilang betul-betul mencinta Bi Eng? Mau berkorban apa saja?"
"Betul, aku bersumpah bahwa aku mencinta Bi Eng, bersiap mengorbankan apa saja demi cintaku."
"Tapi tidak akan sah kalau tidak mendapat perkenanku, bukan? Hi hi hi. Bi Eng ini adalah Tilana,
puteriku yang kukandung sembilan bulan lamanya, hi hi!"
"Betul kata-kata cianpwe, memang kami datang menghadap untuk mohon perkenan."
"Aku tidak memberi ijin."
"Ibu .....!" Bi Eng memeluk kaki ibunya dan menangis. "Aku lebih baik mati ......"
Koleksi Kang Zusi
"Harap cianpwe ingat bahwa perjodohan ini akan menghapus segala permusuhan, akan menebus
segala kesalahan ayah dahulu."
"Betul ....., betul. Tapi aku masih tidak percaya. Kau betul mencintanya?"
"Aku bersumpah!"
"Lebih mencinta anakku dari pada mencinta monyet ini?"
"Sudah tentu saja ......”
"Nah, kalau begitu penggal kepala monyet ini! Ayoh penggal, sebagai bukti cintamu!"
Bukan main kagetnya Han Sin dan Bi Eng. Mereka memandang kepada Siauw-ong yang melongolongo
tidak tahu apa-apa. Bi Eng menjerit dan memeluk Siauw-ong. "Ibu, kau kejam sekali! Tarik
kembali permintaanmu."
Balita tertawa. "Tidak bisa. Sekali kata-kata dikeluarkan, tak dapat ditarik kembali. Eh, Cia Han
Sin, kau pilih satu antara dua, kau boleh mendapat persetujuanku setelah kau memenggal batang
leher monyetmu sebagai tanda cintamu terhadap Bi Eng. Kalau kau lebih sayang monyetmu dari
pada Bi Eng, nah, kau pergilah bawa monyetmu dan tinggalkan anakku di sini."
Han Sin menjadi pucat dan bingung. Beberapa kali ia memandang kepada Bi Eng yang lalu berdiri
dengan tubuh menggigil, matanya tajam menatap wajah ibunya. "Ibu, kalau kau memaksa aku
selamanya takkan mengakuimu sebagai ibu! Kau kejam sekali!"
"Bi Eng, jangan kau berkata demikian!" Han Sin mencela. Betapapun juga, ia tidak mau melihat Bi
Eng menjadi seorang anak yang mendurhakai ibunya.
"Cianpwe, apakah syaratmu itu sudah pasti. Apakah kau hendak menggunakan kekejamanku
terhadap monyetku sebagai bukti cintaku kepada anakmu?"
"Ayoh penggal, tak usah banyak cakap. Penggal lehernya dan kau akan kuambil menantu!"
Han Sin. mencabut pedangnya, menghadapi Siauw-ong yang berdiri bingung. "Siauw-ong, seorang
laki-laki harus berani mengambil keputusan. Aku harus memilih dan keputusanku tidak bisa aku
mengorbankan kebahagiaan kami berdua untuk hidupmu. Kau hanya seekor monyet dan siapa tahu
kematianmu hanya akan membebaskan aku dari pada hukuman karma. Siauw-ong, kau
ampunkanlah aku. Aku Cia Han Sin bersedia menerima hukuman, bersedia kelak menerima
pembalasanmu, demi cinta kasihku terhadap nonamu."
Secepat kilat, sebelum Siauw-ong dapat menyangkanya, pedangnya berkelebat dan Im-yang-kiam
sudah membabat putus leher Siauw-ong yang tewas tanpa dapat mengeluh lagi. Han Sin cepat
menyambar kepala monyetnya yang melayang, mencium muka itu, kemudian dengan hati-hati ia
menaruh kepala itu di atas saputangannya. Bi Eng menjerit dan menangis terisak-isak, menutupi
mukanya.
"Inilah, gak-bo (ibu mertua), inilah emas kawin yang kau minta," kata Han Sin menyerahkan kepala
Siauw-ong di atas saputangan itu, sambil memasukkan pedangnya. Bi Eng menangis dan merangkul
pundak Han Sin.
Koleksi Kang Zusi
"Sin-ko, mari kita pergi saja ..... tak tahan aku berada di sini lebih lama ...... marilah, Sin-ko ....."
Mereka berdua tak dapat menahan bercucurnya air mata.
Tiba-tiba Balita menangis. "Kau betul-betul membunuh Siauw-ong? Celaka! Kalau Tilana pergi, dia
kawanku satu-satunya sekarang kau bunuh pula. Kalian orang-orang celaka, ayoh pergi dari sini.
Minggat! Dan jangan muncul lagi di hadapanku!" Setelah berkata demikian Balita lalu memondong
tubuh dan kepala Siauw-ong yang sudah terpisah itu, dibawa masuk ke dalam pondoknya! Han Sin
dan Bi Eng lalu pergi meninggalkan tempat itu. Mereka tidak tahu betapa dari belakang pintu,
Balita memandang mereka sambil bercucuran air mata. Memandang ke arah bayangan dua orang
muda yang berjalan sambil saling memeluk pinggang, sampai bayangan itu lenyap di balik gunung
batu.
Demikianlah, sebagai suami isteri yang penuh kasih sayang, Han Sin dan Bi Eng hidup berdua di
Min-san. Hubungan mereka dengan dunia ramai hanya ketika mereka menghadiri pernikahan
Pangeran Yong Tee dan Hoa-ji, kemudian pernikahan antara Yan Bu dan Li Goat. Han Sin menolak
keras ketika Pangeran Yong Tee berusaha mengangkatnya menjadi seorang pembesar di kota raja.
Betapapun juga, di lubuk hatinya Han Sin masih tetap memandang pemerintah Mancu sebagai
musuhnya, sebagai musuh bangsanya yang kembali terjajah. Betapapun baik bangsa Mancu
menjalankan pemerintahan, namun mereka tetap bangsa penjajah dan Han Sin diam-diam menanti
saat baik, saat di mana para patriot bangsa akan bangkit dan dengan semangat menggelora akan
mengusir penjajah itu dari tanah air.
TAMAT
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru