Pedang Ular Merah
Karya : Kho Ping Hoo
Djvu : Widodo & Dewi KZ
Converter : Hendra & Dewi KZ
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
Jilid 01
Pegunungan tai hang san di perbatasan Mongolia merupakan daerah pegunungan yang amat
luas dan di situ penuh dengan hutan-hutan liar yang jarang dikunjungi manusia. Di
puncak bukit yang paling ujung yakni di bagian barat terdapat sebuah hutan yang benarbenar
masih liar dan belum pernah ada manusia berani memasukinya. Hutan ini terkenal
menjadi sarang binatang buas, terutama sekali banyak terdapat ular berbisa semacam ular
yang berkulit merah dan tidak terdapat di lain bagian dunia akan tetapi yang banyak
terdapat di hutan itu, membuat hutan itu dinamakan hutan ular merah.
Pada suatu pagi yang sejuk dengan sinar matahari yang cerah terdengarlah suara nyaring
dan merdu dari seorang anak perempuan berusia paling banyak enam tahun, anak itu mungil
dan cantik sekali dengan sepasang matanya yang bening kocak dan dua kuncir rambutnya
yang panjang dan hitam. Tiap kali ia menggerakkan kepalanya, kuncirnya itu menyabet ke
kanan ke kiri dan kalau kuncirnya melewati pundak lalu jatuh bergantung di atas
pundaknya ke depan, ia tampak lucu dan manis. Sambil memetik bunga-bunga hutan yang
beraneka warna, anak ini bernyanyi dengan merdu. Akan tetapi sungguh mengherankan
suaranya yang amat merdu itu bcrlawanan sekali dengan kata-kata nyanyiannya yang dapat
membuat orang melengak saking heran tidak mengerti.
Aku bukan dewata bukan pula setan
Akan tetapi baik dewata maupun setan
Takkan dapat menguasai aku
Biar dewata berbisik, biar setan menggoda
Aku tak hendak patuh. tak sudi tunduk.
Aku tertawa kalau ingin menangis.
Menangis kalau ingin tertawa
Siapa peduli ? Aku adalah aku
Bukan dewata, Bukan pula setan !
Tidak hanya kata-kata saja yang aneh, juga nyanyiannya itu terdengar lucu dan sumbang.
Namun anak perempuan itu agaknya merasa suka akan nyanyian ini dan dianggapnya enak
dinyanyikan, buktinya ia bernyanyi dengan wajah gembira dan mengulangi nyanyian itu
berkali-kali.
Tiba-tiba dua ekor kupu-kupu yang indah sekali sayapnya beterbangan mengelilingi bungabunga
itu. Anak perempuan ini berhenti menyanyi dan biarpun matanya memandang kagum
kcpada dua ekor kupu-kupu itu, namun kedua tangannya masih bekerja mengumpulkan kembang
mawar hutan.
"Aduh…!" tiba-tiba ia memekik kesakitan ketika ibu jari tangan kanannya tertusuk oleh
duri kembang. Saking kagetnya ia menarik keras tangan itu yang tentu saja membuat
lukanya lebih besar dan dalam. Duri kcmbang itu ternyata runcing besar dan kuat. Darah
mengalir dari ibu jarinya dan terasa amat pedih dan sakit. Seperti seorang anak kecil
yang manja, rasa sakit ini membuat anak itu marah dan ia lalu membuang kembang-kembang
tadi kemudian mcnangis keras.
"Ha, ha, ha, ha !” terdengar suara tertawa bcrgelak dari atas pohon menyaingi suara
tangis, anak itu tiba-tiba menghentikan tangisannya dan sambil menengok ke atas pohon
ia berkata cemberut, "Suhu mcmang kejam! Aku terluka dan terasa sakit, mengapa ditertawakan
?"
Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dari atas pohon itu melayang turun seorang
kakek yang tinggi besar dan berkulit muka kchitaman. Sepasang matanya lebar dan
bersinar liar seperti mata harimau, baju dan rambutnva tidak karuan, awut-awutan dan
tidak terpelihara. Benar-benar mengherankan betapa tubuh yang tinggi besar itu dapat
melompat turun dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah di depan anak perempuan itu,
telapak kakinya sama sekali tidak menerbitkan suara, seperti kucing melompat saja
layaknya!
kembali ia tertawa terbahak-bahak di depan anak perempuan itu yang menjadi makin marah.
Sambil membanting-banting kakinya yang kecil, ia bertanya, "Mengapa suhu tertawa ?"
"He, bukankah kau tadi menangis, Eng Eng? Kalau ada yang mcnangis, harus ada yang
tertawa. Aku tertawa kalau ingin menangis dan menangis kalau ingin tertawa, bukankah
kau sudah tahu ? Dan kau, mengapa kau menangis?" Pertanyaan ini diajukan dengan muka
yang bodoh dan melihat sinar mata kakek ini, mudah saja orang menduga bahwa dia memang
seorang yang miring otaknya, seorang yang tidak waras pikirannya !
"Aku tidak seperti suhu. Aku menangis atau tertawa tentu ada sebabnya. Dan sekarang aku
menangis karena jari tanganku terluka oleh duri bunga itu !" Anak yang disebut Eng Eng
itu lupa bahwa pada saat itu ia sudah tidak menangis lagi. Akan te-tapi ibu jarinya
benar-benar terasa amat sakit dan perih sehingga mukanya yang berkulit halus itu
mengerinyit.
Kakek itu sudah biasa dibantah oleh muridnya dan hal ini sama sekali tidak dipedulikan,
bahkan ia lalu tertawa-tawa dan melihat ibu jari muridnya,"Tertusuk duri ? Kau tentu
mengganggu kembang itu, kalau tidak tak rnungkin ia akan menusukmu dengan durinya, Ha.
ha ha.."
"Sudablab. suhu. Aku yang kesakitan, kau menggoda saja. Memang aku yang bersalah,
memetik kembang tanpa melihat karena tertarik oleh dua ekor kupu-kupu yang beterbangan
itu.”
Kakek itu menengok dan ketika melihat dua ekor kupu-kupu beterbangan dengan lincah
gembira, ia berkata, "Mereka itukah yang mengganggumu ?” Ia lalu menggerakkan kedua
tangannya bergantian ke arah kupu-kupu yang terbang sejauh dua tombak dari tempat ia
berdiri dan aneh sekali ! Tiba-tiba seperti tertiup oleh angin besar, kedua kupu-kupu
itu terbangnya kacau balau dan melayang ke arah kakek tadi ! Kakek itu mengulurkan
tangan kirinya dan kini kedua kupu-kupu itu jatuh ke atas telapak tangannya, hinggap
disitu tak dapat terbang lagi, hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat pergi dari
situ.
“Bagus, bagus, suhu!" seru anak perempuan itu dan ia bertepuk tangan. Untuk sesaat ia
terlupa akan sakit pada ibu jarinya, akan tetapi baru saja ia bertepuk tangan, la
mengeluh karena lupa jarinya serasa sakit.
"Aduh..aduh..!" Dan ia menangis lagi.
Kakek itu lalu melemparkan sepasang kupu-kupu tadi ke atas dan kedua binatang ini
segera dapat terbang lagi dengan cepat, pergi dari tempat yang berbahaya ini, sedangkan
kakek itu tertawa lagi ha-ha-hi-hi.
'Sakitkah...? Sakitkah....... " ia menghampiri sambil tertawa terus.
"Tentu saja sakit, kalau tidak masa aku menangis?
Kakek yang aneh itu lalu memegang tangan muridnya dan ketika ia melihat ibu jari yang
terluka, ternyata bahwa ujung duri kembang itu ketika tadi tangan dibetot keras, telah
patah dan tertinggal di dalam daging, nampak membayang di kulit ibu jari. Kakek itu
memencetnya dan anak itu berseru mengaduh-aduh. Air mata anak itu mengalir turun
membasahi kedua pipinya yang merah.
'He, he, he, he! Siapa bilang sakit? Tidak sakit sama sekali. Aku tidak merasakan sakit
sama sekali." katanya.
Anak perempuan itu cemberut. "tentu saja suhu tidak merasa sakit. akan tetapi aku
merasa sakit setengah mati!"
"Bohong tidak sakit. tidak sakit ! Hayo kau harus menurut aku, bukankah kau muridku?
Katakan tidak sakit" Kakek yang miring otaknya itu berkata keras sambil memandang
kepada muridnya dengan sepasang mata yang dilebarkan. Biarpun mulutnya masih cemberut,
anak itu menurut juga dan berkata keras,
"Tidak sakit !" Akan tetapi kctika kakek itu memijit ibu jarinya lagi ia berjengir
kesakitan.
'Jangan pura - pura !" kakek itu mencela. "Salah sama sekali. Kalau mulutmu bilang
tidak sakit, hati dan pikiranmu juga harus berkata tidak sakit. Hayo ulang terus sampai
kau benar benar tidak merasa sakit lagi !"
Berkali - kali anak perempuan itu berkata. "Tidak sakit, tidak sakit !' Akan tetapi
masih saja kulit mukanya berkerut menahan sakit. "Sudahlah, suhu, lekas keluarkan duri
itu dari dalam ibu jariku," ia mengeluh.
"Tidak, kalau kau masih merasa sakit aku tidak mau mengeluarkannya Ha, ha, ha ! Hayo
kau mengerahkan semangatmu sambil menginjak langit menghadap bumi."
Kalau orang lain yang mendengar perintah ini, tentu takkan mengerti dia. Akan tetapi
anak perempuan itu memang sudah mendapat pelajaran yang aneh-aneh dari kakek itu, maka
mendengar perintah suhunya ini, ia lalu bergerak jungkir balik dan tahu-tahu anak itu
sudah berdiri dengan kedua kaki lurus ke atas kepala di bawah. Ia menggunakan dua
tangannya untuk mewakili kakinya dan menjaga tubuhnya. Dapat diduga bahwa anak ini
telah seringkali berlatih seperti itu, buktinya dapat menginjak langit menghadapi bumi,
yakni berdiri jungkir balik dengan mudah sekali dan tubuhnya sama sekali tidak
bergoyang-goyang.
Keseimbangan badannya tidak terganggu sama sekali. Otomatis setelah tubuhnya berada
dalam keadaan seperti itu, kedua matanya lalu dimeramkan dan jalan-jalan pernapasannya
demikian halus dan lambat seperti orang dalam semadhi atau tidur nyenyak !
"Nah, sekarang kumpulkan seluruh ingatan dan perasaanmu lalu kau berkata lagi tidak
sakit" Kakck itupun membuat gerakan dengan tubuhnya dan tahu-tahu tubuhnya telah
jungkir balik kepala dibawah dan kedua kaki di atas. Kalau anak perempuan itu masih
mempergunakan dua tangan untuk menahan tubuhnya, adalab kakek ini sama sekali tidak
mempergunakan tangannya dan ketika tubuhnya berjungkir balik, kepalanyalah yang menahan
tubuhnya. Akan tetapi ketika kepala itu tiba di atas tanah, sama sekali tidak
mengeluarkan suara seakan-akan kepalanya berubah empuk dan berdaging.
Anak perempuan itu masih merasakan betapa ibu jarinya sakit berdenyut-denyut akan
tetapi biarpun kalau bicara kepada suhunya ia nampaknya seperti pembantah dan bandel,
sesungguhnya ia amat taat dan sayang kepada suhunya itu. Maka ia lalu mengerahkan
seluruh kckuatan hati dan pikirannya dan tiga kali ia berkata, "Tidak sakit, tidak
sakit, tidak sakit!" Kctika ia berkata sampai dua kali, ibu jarinya masih terasa sakit,
akan tetapi pada saat itu semua pikiran dan perasaannya telah terkumpul dan terpengaruh
oleh kata katanya sendiri, ditambah dengan kcmauannya yang keras sekali, maka pada
ucapan ke tiga kalinya, benar saja rasa nyeri di ibu jarinya telah lenyap sama sekali !
"Tidak sakit, suhu !" katanya lagl dan suaranya yang terdengar gembira Itu meyakinkan
kepada suhunya bahwa kali ini anak itu benar benar tidak merasa sakit lagi.
"Angkat lengan kananmu ke sini !" ia memerintah. Anak itu menurut, menggeser lengan
kiri ke bawah kepala dan rnengangkat tangan kanannya yang diacungkan kepada suhunya.
Dengan demikian anak itu kini hanya menahan tubuhnya dengao satu tangan saja !
Dengan gerakan dan gaya yang enak saja seakan-akan ia sedang berdiri biasa di atas
kedua kakinya, kakek yang mcnahan tubuh dengan kepalanya itu lalu menangkap tangan
muridnya. Ia memijit-mijit ibu jari yang terluka di sekitar luka itu sehingga darah
menitik keluar. Akan tetapi ujung duri tadi kini terbawa keluar dan dengan mudah
dicabut oleh kakck itu yang mempergunakan giginya. Selama pengobatan ini, anak
perempuan itu sama sekali tidak pernah mengeluh bahkan rnukanya tidak menunjukkan rasa
sakit lagi. Memang kemauannya telah bulat, hati dan pikiran berikut perasaan telah
dapat dikuasai oleh keyakinan dan kcmauannya sehingga benar beoar rasa sakit itu
menghilang !
Sambil mengobati luka di tangan muridnya, kakek itu tiada hentinya tertawa - tawa dan
muridnya diam saja sambil meramkan mata. Kalau ada orang yang mendengar ketawa itu dan
melihat guru dan murid ini berjungkir balik seperti itu tentu orang itu akan berlari
tunggang langgang dan mengira telah melihat setan di dalam hutan yang liar ini!
Siapakah sebenarnya kakek yang miring otaknya ini dan siapa pula anak perempuan yang
mungil dan manis itu ?
Kakek yang gila itu bukanlah orang sembarangan. Ia tak pernah mau menyebutkan namanya,
maka di dunia kangouw ia dijuluki orang Hek Sin mo (Iblis Sakti Hitam) karena tingkah
lakunya aneh sepcrti Iblis dan mukanya kehitam-hitaman. Banyak orang kang ouw baik para
pendekar silat maupun para penjahat, meremang bulu tengkuknya kalau teringat kepadanya,
oleh karena Hek sin-mo ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Ilmu
silatnya yang aneh akan tetapi sukar dikalahkan, ditambah oleh kelakuannya yang aneh,
membikin ia amat ditakuti dan dianggap sebagai tokoh persilatan yang mengerikan. Hanya
satu hal yang membuat semua orang menaruh hati segan kepadanya, yakni kejujurannya yang
luar biasa.
Memang kakek ini berotak miring. Dulu dia adalab seorang nelayan muda yang jujur keras
hati dan mudah marah serta gemar berkelahi. Ketika ia masih muda, pada suatu hari ia
dikalahkan oleh seorang pendekar pedang sehingga ia menjadi takluk dan menganggap
pendekar itu sebagai suhunya. Kemudian ia mengikuti pendekar itu ke sebuah pulau di
sebelah timur pantai laut Tiongkok. Ketika ia bersama pendekar itu memasuki pulau yang
dicarl, pemuda yang tadinya bernama Hek Houw (Macan Hitam) ini tersasar memasuki sebuah
gua yang disebut gua siluman. Dan aneh sekali, sekeluarnya dari goa ini telah menjadt
gila akan tetapi juga ia telah memiliki ilmu silat yang amat luar biasa. la telah
menemukan ilmu kepandaian mujijat dan yang demikian hebat pengaruhnya sehingga otaknya
menjadi miring ! Semenjak saat itu ia berlari pergi dari pendekar yang dianggap suhunya
itu dan merantau ke seluruh penjuru daratan Tiongkok seperti seorang gila !
Yang hebat ialah bahwa ilmu kepandaiannya makin lama makin tinggi. la melatih lweekang
dan bersamadhi. dalam keadaan jungkir balik dan melatih ilmu silat dengan cara yang
aneh, jauh berbeda dengan Ilmu silat biasa, bahkan boleh dibilang segala gerakannya
berlawanan dan terbalik daripada ilmu silat biasa ! Akan tetapi, Hek Sin mo tak pernah
mempergunakan senjata, sungguhpun tiap kali senjata lawannya terampas olehnya ia dapat
mainkan senjata apa saja dengan amat aneh seperti anehnya Ilmu pukulannya! Hek Sin-mo
tidak pernah mencari musuh, namun di mana saja ia berada dan bertemu dengan orang
pandai ia Selalu mengalahkan orang pandai itu. la pernab dalam perantauannya tersesat
jalan sampai ke puncak Go-bi-san dan bertemu dengan lima tokoh Go-bi-pai yang berilmu
tinggi. Melihat gerak - geriknya yang aneh, lima orang tokoh Go-bi pai itu mencobanya
seorang demi seorang. Dan apakah akibatnya! Seorang demi seorang kelima tokoh Go bi-pai
itu roboh oleh Hek Sin.mo ! Masih banyak sekali orang-orang pandai yang sudah memiliki
ilmn silat tinggi, kena dikalahkan oleh Hek Sin-mo, dan satu hal yang mcmbuat nama Hek
Sin-mo makin terkenal adalah bahwa tidak seorangpun diantara jago-jago yang
dirobohkannya ini menderita luka berat atau binasa. Tentu saja hal ini amat
menggemparkan kalangan kang ouw.
Sekalipun mereka yang dikalahkan tidak mau mengaku dan menyimpan rahasia kekalahannya
terhadap seorang gila, namun lambat laun orang-orang mendengar juga.
Anak perempuan yang kecil itu adalah murid tunggalnya. Anak ini bernama Suma Eng dan
selalu disebut Eng Eng oleh suhunya. anak yang mungil dan manis ini mempunyai riwayat
yang amat menyedihkan. Ia kini telah menjadi seorang anak yatim piatu, tak berayah ibu
lagi. Ibunya adalah putri seorang pembesar militer, yakni Suma Cian-bu dan ibunya
bernama Suma Lilian. Sungguh amat mengharukan bahwa puteri pembesar ini telah menjadi
korban dan dinodai oleh seorang pemuda ahli silat yang berwatak buruk yakni yang
bernama Gak Bin Tong. Perbuatan terkutuk dari Gak Bin Tong ini menghancurkan kehidupan
Suma Lilian karena putri perwira ini telah mengandung. Suma Lilian pergi merantau
dengan hati hancur dan pikiran seperti gila ! Setelah anaknya lahir, yakni Suma Eng
lahir dan anak itu dibawa pergi oleh seorang pendekar yang merasa kasihan melihat
keadaan anak itu, Suma Lilian lalu merantau seperti orang gila untuk mencari dan
membalas dendam kepada Gak Bin Tong yang mencela-kakan hidupnya. Akhir dari
perantauannya ini, Suma Lilian bertemu dengan seorang tua gila yakni Hek Sin mo !
Biarpun Hek Sin-mo seorang gila, namun ia masih memiliki pribudi dan merasa kasihan
melihat Suma Lilian. Nyonya muda yang sengsara ini ia ambil murid dan diberi pclajaran
Ilmu silat. Akhirnya, Suma Lilian bertemu juga dengan Gak Bin Tong dan berhasil
membunuh manusia durjana ini, akan tetapi ia sendiripun menjadi korban dan tewas
berbareng dengan orang yang mencelakakannya atau yang sesungguhnya adalah ayah daripada
anak itu ! (semua peristiwa di atas dituturkan dalam buku Jl LlONG J1O CU).
Setelah Suma Lilian meninggal dunia, Hek Sin mo lalu mencari anak kecil yang
ditinggalkan oleh muridnya itu, dan setelah bertemu Hek Sin mo lalu membawa pergi anak
itu yakni Suma Eng, putri tunggal dari Suma Lilian dan Gak Bin Tong ! ( Inipun
diceritakan dalam buku Ji LiONG JIO CU).
Demikianlah sedikit riwayat yang dipersingkat oleh karena riwayat ini telah dituturkan
dalam buku Ji Liong Jio Co. Suma Eng atau selanjutnya kita sebut Eng Eng saja, semenjak
kecil hidupnya di bawah asuhan Hek Sin-mo yang memang telah berobah pikirannya dan
tidak waras otaknya. Memang harus dikasihani anak kecil ini karena wataknyapun menjadi
aneh, Sungguhpun otaknya sehat. Ia tidak tahu tentang ayah ibunya, bahkan sedikitpun
tidak terkandung dalam pikirannya untuk menanyakan hal ini kepada suhunya. Hal ini ada
baiknya bagi anak itu sendiri, oleh karena andaikata ia bertanya juga, suhunya pasti
takkan dapat menuturkannya dan hanya akan tertawa saja, seperti telah dituturkan di
bagian depan, Eng Eng suka sekali bernyanyi dan tentu saja ia hanya bisa menyanyikan
lagu lagu karangan suhunya yang gila ! Juga Eng Eng diberi pelajaran ilmu silat yang
amat aneh, bahkan dilatih pula lweekang dan samadhi secara terbalik, dengan kaki di
atas dan kepala di bawah. Kejadian yang telah dituturkan di bagian depan, ketika Eng
Eng terluka oleh duri kembang, biarpun nampaknya hanya orang gila saja yang memaksa
orang menyatakan tidak sakit padahal ibu jarinya terasa amat sakit dan perih namun
sesungguhnya kegilaan ini mengandung pelajaran kcbatinan yang amat tinggi! Secara tak
sadar, yaitu tanpa diberi penjelasan atau pelajaran tentang teorinya, anak kecil itu
telah mendapat pelajaran bagaimana cara untuk menguasai pikiran dan perasaan. Bagaimana
cara untuk memperkuat semangat dan batin sehingga jiwa dan batinnya tidak dipengaruhi
oleh perasaan raga, sebaliknya dengan keteguhan iman dan batin, Eng Eng bahkan dapat
mengalahkan perasaannya yang harus tunduk kcpada suara batinnya, Sungguhpun anggota
tubuhnya terasa sakit namun berkat kemauan yang keras dan batin yang teguh rasa sakit
itu dapat tunduk padanya dan tidak terasa sama sekali olehnya. Memang sungguh
mengherankan betapa seorang anak sekecil itu, tanpa disadarinya dan dengan cara yang
amat aneh, telah dapat menguasai dan memiliki ilmu tinggi yang hanya dapat dicapai dan
dimiliki oleh seorang pertapa yang telah bertapa selama bertahun-tahun !
Hek Sin-mo sengaja memilih hutan yang liar dan sunyi itu karena dia memang tidak suka
tinggal di tempat ramai. Di mana saja ia berada, selalu orang-orang, terutama anak-anak
kecil yang tidak tahu siapa adanya kakek tua yang gila ini, mengganggunya seperti
biasanya orang gila diganggu dan dipermainkan orang. Di tempat yang sunyi ini, dimana
tidak ada lain manusia kecuali dia dan muridnya, ia boleh berbuat sekehendak hatinya,
boleh menangis kalau ingin tertawa dan boleh tertawa kalau ingin menangis. Muridnya tak
pernah metertawakannya, bahkan sering kali membantunya menangis atau tertawa !
Eng Eng mendapat latihan ilmu silat yang aneh, ilmu ginkang yang tinggi dan ilmu
lweekang yang lebih aneh lagi. Selain Ilmu silat, Eng Eng tidak mendapat pelajaran lain
oleh karena Hek Sin.mo adalah seorang yang buta huruf, maka otomatis Eng Eng juga buta
huruf, bahkan anak perempuan yang patut dikasihani ini sama sekali tidak tahu bahwa di
dunia ini orang dapat mencatat dan menuliskan kata-kata yang keluar dari mulut ! Akan
tetapi kekurangan ini ditutup oleh kecantikannya yang wajar dan murni, bakatnya dalam
hal gerakan ilmu silat yang kadang-kadang membuat suhunya berlonjak-lonjak dan menari
kegirangan, dan disamping itu sungguh mengherankan bahwa Eng Eng mempunyai bakat yang
baik dalam hal melukis. Pernah anak ini secara iseng-iseng menggurat-guratkan jari
telunjuk yang terlatih dan dengan tenaga dalam yang mengagumkan ia telah membuat coratcoret
pada kulit sebatang pohon besar. Sambil tersenyum-senyum dan tertawa ha ha hi hi,
Eng Eng mulai melukis wajah suhunya. Ia telah mengguratkan garis-garis tubuh suhunya
dari kepala sampai kaki dan tak lama kemudian pada batang pohon besar itu berdiri
gambar Hek Sin-mo yang bagus dan cocok sekali !
Karena adat suhunya yang aneh, Eng Eng bcrwatak jenaka itu seringkali menggodanya. Anak
ini tidak tahu akan arti sopan santun, dan tidak tahu pula apa yang dinamakan perbuatan
kurang ajar. Pernah ia mengganggu suhunya yang sedang tidur dan menggunakan sebatang
rumput untuk mengilik-iliki hidung suhunya. Kakek ini dalam tidurnya merasa gatal -
gatal pada hidungnya, dan beberapa kali ia mengebutkan tangannya untuk mengusir benda
yang menggatalkan hidungnya tanpa membuka matanya. Eng Eng menahan kegelian hatinya dan
terus mempermainkan suhunya ! Akhirnya suhunya bangun dan menyumpah-nyumpah terus
mengamuk pada lalat lalat yang dikira tadi mengganggunya. Kasihan binatang - binatang
kecil itu karena tiap kali kakek itu mengebutkan tangannya yang lebar, lalat - lalat
itu mampus dan hancur tubuhnya !
Kini setelah Eng Eng menggambar suhunya pada pohon besar itu, ia memandang gambarnya
dengan puas dan tertawa-tawa senang. Tiba-tiba ia mendengar desir angin dan maklum
bahwa suhunya datang. Cepat anak yang nakal ini bcrsembunyi di dalam semak belukar
untuk melihat bagaimana sikap suhunya kalau melihat gambar itu. Benar saja, Hek Sin-mo
muncul dengan langkahnya yang lebar , Pada waktu itu, senjakala telah tiba dan dalam
keadaan yang hampir gelap, kakek ini melihat bayangan orang pada batang pohon besar itu
ia nampak tercengang dan segera membentak.
"Ei. eh, orang gila dari mana berani lancang memasuki hutanku ?"
Akan tetapi tentu saja gambar itu tidak dapat menjawab, bahkan bergcrakpun tidak! Hek
Sin-mo menjadi marah dan mcmbentak lagi.
"Orang gendeng! Kau siapa dan mengapa tidak menjawab? Hayo pergi dari sini!"
Tiba-tiba "orang" itu menjawab "Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apakah ?" Suara ini
terdengar aneh dan menyeramkan. Eng Eng yang bersembunyi di semak belukar yang berada
di belakang pohon itulah yang menjawab. Gadis cilik yang telah mempunyai ilmu khikang
tinggi ini telah mempergunakan tenaga perut untuk mengeluarkan suara yang besar dan
parau, berbeda dengan suaranya sendiri dan dengan tenaga khikangnya ia telah dapat
mengirimkan suaranya ke pohon itu!
Hek Sin-mo memandang dengan mata terbelalak. Orang tua ini karena tak dapat menjaga
kesehatan, biarpun ia berilmu tinggi, maka kedua matanya sudah kurang sempurna daya
penglihatannya.
“Tidak mau pergi? Aku akan melemparmu keluar !" Dan ia lalu menyerbu dengan pukulan
tangan kanannya ke arah bayangan itu. Pukulan Hek Sin – mo ini tak perlu mengenai
tubuh. baru saja angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan orang yang sudah
begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Ia melihat betapa batang pohon itu bergoyang dan
daun-daun rontok ke bawah, akan tetapi "orang" itu sama sekali tidak bergerak, seakanakan
angin pukulannya itu hanya angin gunung yang sejuk saja!
Tentu saja hal ini membuat Hek Sin - mo melengak dan juga marah sekali. Ia tidak pernah
mau membunuh orang dan dalam setiap pertempuran, kepandaiannya yang aneh sudah
cukup tinggi untuk merobohkan lawan lanpa melukainya. Tadipun ketika ia mengerahkan
pukulan, ia tidak berniat melukai "orang" itu dan hanya ingin menggunakan angin
pukulannya untuk melemparkan orang itu agar menjadi takut dan pergi. Sama sekali tak
pernah disangkanya betapa "orang” itu dapat menerima hawa pukulannya dengan tersenyumsenyum
dan tidak bergoyang sedikitpun.
Sekali lagi ia memukul dengan tenaga lebih besar dan kini hasilnya hanyalah daun-daun
yang jatuh seperti hujan menimpa di atas kepalanya. batang pohon itu bergoyang-goyang
keras dan terdengar suara cekikikan seakan-akan mengejeknya! Kini Hek sin mo benarbenar
kehabisan akal dan kemarahannya yang semenjak puluhan tahun sudah dapat menjadi
jinak di dasar hatinya, kini timbul dengan hebatnya. Sepasang matanya liar memandang,
mulutnya berbusa dan kedua tangannya menggerak-gerakkan jari tangan dengan sikap
mengerikan sekali.
"Kau menantang dan mencari mati !" serunya dan berbareng dengan seruan ini, tubuhnya
menubruk ke depan. kedua tangan ditumbukkan ke arah dada "orang" itu sekuat tenaga !
"Blek ._...! Kraak- !" Tentu saja ke-dua tangannya tidak mengenai "orang" itu dan hanya
mcnghantam batang pohon besar yang menjadi tumbang setelah mengeluarkan
suara hiruk pikuk !
Eng Eng yang bersembunyi di belakang po-hon itu, tentu saja menjadi terkejut sekali
ketika melihat betapa pohon itu tiba-tiba menjadi tumbang dan menimpa ke tempat ia
bersembunyi ! Gadis cilik tiu cepat melompat keluar dari semak-semak dan hendak
menjauhkan diri, akan tetapi pohon yang penuh dengan cabang besar-besar dan daun itu
roboh dengan cepat dan biarpun Eng Eng sudah mengelak tetap saja ia masih kena terpukul
oleh cabang dan ranting sehingga ia terpelanting ke tempat yang jauh ! Eng Eng memekik
keras dan pekikan ini bukan karena pukulan cabang pohon, melainkan karena begitu ia
jatuh di atas tanah, la merasa betapa betisnya amat panas dan sakit sekali. Ketika ia
melihat, ternyata bahwa betisnya telah tergigit oleh seekor ular merah yang berbahaya !
Ia memekik lalu tak sadarkan diri lagi !
Sementara itu Hek Sin-mo yang masih berdiri bengong melihat betapa "orang" yang
diserangnya itu ternyata menempel pada batang pohon, terkejut mendengar jeritan Eng
Eng. Cepat ia melompat dan melihat muridnya menggeletak dengan betis masih tergigit
oleh seekor ular merah ia berseru marah sekali. Sekali injak saja hancur luluh tubuh
ular itu beserta kepalanya. dan ia lalu menyambar tubuh muridnya dibawa keluar dari
semak-semak.Dengan bingung Hek Sin mo meletakkan muridnya di dekat tempat di mana pohon
tadi berdiri. Ia menggoyang-goyang tubuh muridnya dan memanggil-manggil namanya, akan
tetapi Eng Eng tidak bergerak dan menyahut seperti "orang" di batang pohon tadi. Hek
Sin – mo sudah lama tinggal di hutan ini ia melihat seekor harimau besar mati seketika
ketika terkena gigitan ular merah. Kini melihat keadaan muridnya, hatinya menjadi
gelisah dan sedih sekali. Akan tetapi, anehnya sungguhpun hatinya menangis, yang keluar
dari mulutnya hanya suara ketawa bergelak - gelak yang menyeramkan dan dari kedua
matanya keluar air mata berderai derai!
Ia melihat muka muridnya pucat sekali dan ketika merobek celana di bagian betis
ternyata betis anak itu telah mengembang besar dan berwarna merah seperti darah. Bukan
main marahnya Hek Sin-mo. Tiba-tiba ia berdiri lagi dan kembali ia menginjak-injak
tubuh ular merah yang sudah hancur lebur. Kemudian ia membuka semak-semak dan mencaricari
ular merah. Hendak dibunuhnya semua ular-ular merah yang berada di hutan itu. Kebetulan
sekali ia melihat seekor ular merah yang merayap pergi ketakutan dari dalam
semak. Cepat ia melangkah maju dan kembali ular itu harus mengalami nasib yang
mengerikan, tubuhnya lumat dan hancur lebur oleh injakan kaki kakek gila ini.
Ketika Hek Sin-mo kembali ke tempat dekat pohon itu matanya tertarik oleh lubang yang
berada di bawah pohon yang tumbang. Ternyata bahwa pohon itu tumbang dengan akarnya dan
di bawab akar pohon terdapat lobang yang besar. Ia maju mendekat dan alangkah marahnya
ketika ia melihat puluhan ekor ular merah berada di dalam lobang itu ! Tanpa
memperdulikan bahaya lagi ia lalu mengulur tangannya dan mencengkeram puluhan ular
merah kecil itu dan alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ular-ular itu
telah mati !
Ia membanting ular-ular itu dan mengeluarkan semua ular dari dalam lobang. Tak
seekorpun ular merah yang masih hidup dan semuanya ada tiga puluh ekor lebih. ketika
bangkai - bangkai ular itu sudah dikeluarkan semua, ia membelalakkan matanya melihat
benda yang bersinar merah sekali berada di dasar lobang. Tanpa rasa takut sedikitpun,
Hek Sin mo mengambil benda itu dan ternyata bahwa benda itu adalah sebatang pedang yang
bersinar merah ! Pedang itu lemas, dapat digulung akan tetapi berkilauan dan tajam
serta runcing sekali. Melihat pedang ini timbul sebuah pikiran dalam kepala Hek sin mo.
Ia menghampiri muridnya dan dengan hati - hati ia lalu menusukkan ujung pedang pada
betis Eng Eng yang mengembung itu. Maksud Iblis Sakti Hitam ini untuk membuka kulit
betis dan mengeluarkan bisa ular. la tidak mengerti tentang ilmu pengobatan dan hanya
mengira-ira saja, akan tetapi alangkah girangnya ketika baru saja batang pedang itu
ditusukkan ke dalam betis, tiba-tiba ia melihat betis itu mengempis kembali ! Saking
kaget dan herannya, ia tidak mencabut pedang itu dan membiarkan ujung pedang menancap
pada betis Eng Eng! Perlahan akan tetapi tentu warna merah yang menyelimuti kulit tubuh
gadis cilik itu melenyap dan mukanya yang pucat kini menjadi bercahaya kembali.
"Aduh aduh ...," bibir Eng Eng mulai menggetar dan mengeluh.
bukan main girangnya hati Hek Sin-mo dan tiba-tiba ia menangis keras. Menangis, lalu
bangun berdiri dan menari-nari! Tentu saja orang gila ini tidak tahu bahwa pedang itu
sebetulnya mengandung bisa yang menjadi lawan dari pada bisa ular. Ular-ular merah yang
mati di dekat pedang itu menyatakan bahwa bisa pedang itu lebih lihai dari pada bisa
ular dan ketika pedang itu menusuk betis Eng Eng maka otomatis bisa ular yang
menguasainya menjadi lenyap dan tidak bahaya lagi !
Eng Eng bangun dan melihat ke arah betisnya. Ia merasa betisnya panas dan sakit akan
tetapi cepat ia lalu berjungkir balik dengan mengerahkan tenaga mengusir rasa sakit
itu. Sungguh lucu dan mengerikan melihat Hek Sin-mo menangis terisak-isak sambil
menari-nari sedangkan Eng Eng masih berjungkir balik dengan pedang masih tertancap pada
betisnya. Pengerahan tenaga lweekang yang dilakukannya sambil berjungkir balik ini
ternyata dapat mendorong keluar darah berikut sisa-sisa bisa ular sehingga pedang yang
bersinar merah itu menjadi lebih merah karena darah yang menyembur keluar dari betisnya
!
Hek Sin mo menghampiri muridnya dan mencabut pedang itu.Ia membersihkan pedang itu
dengan bajunya, kemudian sambil berjingkrak-jingkrak ia menciumi pedang itu.
"Ang coa kiam (Pedang Ular Merah) yang baik. Ang-coa kiam yang cantik manis.......”
karena ucapan ini dikeluarkan sambil menangis, maka ia terdengar seperti seorang pemuda
yang merindukan kekasihnya. Sebenarnya kakek itu sedang menyatakan kegembiraan dan
terima kasihnya kepada pedang itu.
Luka di betis Eng Eng menjadi sembuh dan pedang itu menjadi pedang kesayangan gadis
kecil ini. Oleh karena ilmu silat yang ia pelajari dari suhunya bukanlah ilmu silat
tangan yang dapat pula memainkan segala senjata, maka ia hanya sayang kepada pedang itu
karena indahnya. Ia tidak mempelajari ilmu pedang yang khusus, akan tetapi bila Eng Eng
sedang gembira dapat mainkan pedang itu dengan gerakan yang aneh dan cepat sekali.
Gerakannya, seperti juga gerakan suhunya, kacau balau dan nampaknya tidak teratur, akan
tetapi pada dasarnya kekuatan dan kecepatannya yang amat mengagumkan. Pedang di
tangannya menjadi segulung sinar merah yang gerakannya aneh dan menyeleweng ke sana ke
mari sukar sekali diikuti oleh pandangan mata.
Karena kesalahan seekor ular merah yang menggigit betis Eng Eng, guru dan murid ini
amat benci kepada ular merah, dan ular merah di hutan itu hampir habis oleh pembasmian
kedua orang ini. Di mana saja mereka melihat ular merah, tanpa ampun lagi binatang itu
tentu mereka binasakan.
Demikianlah, di dalam hutan yang liar itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, Hek Sinmo
melatih muridnya dan boleh dibilang ia menumpahkan seluruh kepandaiannya kepada
murid ini. Sepuluh tahun kemudian, apabila mereka berlatih silat, Hek Sin-mo sudah
terdesak hebat oleh muridnya dan ia hanya dapat mempertahankan diri sampai napasnya
menjadi senin kemis karena makin tua makin lemahlah dia.
Kesukaan Hek Sin mo membunuh ular merah menjadi kebiasaan dan kesukaan yang berakar di
dalam hatinya. Setelah agak sukar mencari ular merah di dalam hutan itu, kakek ini
mulai mencari ular merah di hutan berikutnya! Dan kegemarannya yang aneh inilah yang
menamatkan riwayatnya.
Pada suatu hari Eng Eng nampak gelisah oleh karena semenjak siang tadi ia tidak melihat
suhunya. Hari telah mulai gelap dan gadis ini mulai mencari-cari suhunya sambil
memanggil-manggil dengan suaranya yang nyaring. akhirnya ia mendapatkan suhunya
menggeletak di depan sebuah goa yang gelap, dan di kanan kirinya menggeletak hampir
seratus ekor ular merah dalam keadaan hancur dan putus-putus ! Ternyata bahwa tak
disangka-sangka Hek Sin - mo menjumpai tempat sembunyi ular-ular merah yang menjadi
musuh besarnya itu, yakni di dalam sebuah goa. Ular-ular yang belum terbunuh dan yang
sisanya masih kurang lebih seratus ekor itu, pada lari mengungsi dan bersembunyi di
dalam goa itu.
Ketika Hek Sin mo melihat seekor ular keluar dari goa itu, cepat ia menginjaknya sampai
hancur. Dan tiba-tiba saja, banyak sekali ular merah menyerbu keluar dari goa itu.
Melihat itu, Hek Sin - mo tidak menjadi takut, bahkan ia lalu lertawa bergelak dan
mengamuk menghadapi serbuan ular ular merah ini. Betapapun lihainya, menghadapi hampir
seratus ekor ular itu, akhirnya terkena beberapa kali gigitan ular merah. Berkat
kekuatan dan kelihaiannya, ia tidak segera roboh dan masih mengamuk terus sehingga
saking girang dan gembiranya ia memegang ular terakhir dan membunuhnya dengan.....
menggigit kepala ular itu sampai remuk! Akan tetapi, bisa ular yang sudah mulai
menyerang jantungnya, membuat ia roboh dan menggeletak tak bernyawa bersama ular
terakhir yang masih digigitnya.
Melihat keadaan suhunya ini, Eng Eng memeluk dan menangis sedih. Ia memang tidak
seperti suhunya. Kalau hatinya sedih biarpun beberapa kali telah dicobanya, ia tidak
dapat tertawa dan selalu menangis! Kini ia menangis terisak-isak,ia tidak mengerti
bahwa seorang manusia kalau sudah mati harus dikubur, dan hanya kekhawatirannya melihat
mayat suhunya menjadi korban binatang buas saja yang membuat ia mengangkat tubuh
suhunya dan meletakkannya di dalam gua. Ia masih belum tahu bahwa suhunya telah mati
dan dikiranya sedang tidur atau pingsan saja. Maka tiap hari ia menjaga tubuh suhunya
dan sepekan kemudian, setelah suhunya tidak juga bangun bahkan tubuhnya mulai membusuk
menyiarkan bau yang amat tidak enak, barulah ia dapat menduga bahwa suhunya takkan
bangun lagi ! Selama sepekan, Eng Eng tidak keluar dari goa, tidak makan,tidak tidur,
hanya menjaga suhunya dengan setia dan hati berduka. Ketika matahari menerangi keadaan
di dalam gua dan ia melihat tubuh suhunya membusuk dan hidungnya mencium bau yang amat
memusingkan, ia tidak kuat menahan dan akhirnya Eng Eng rebah pingsan di dekat mayat
suhunya!
Ketika ia siuman kembali, ia berjalan terhuyung-huyung keluar dari goa seperti seorang
pemabok. Tubuhnya lemas, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit yang
terdengar dari mulutnya hanyalah bisikan yang merupakan keluhan menyayat hati.
"Suhu ..... suhu. ... suhu „..." Akhirnya kakinya memba wanya ke pinggir sebuah anak
sungai dan melihat air yang jernih itu gadis ini lalu berlutut dan mencelupkan
kepalanya kedalam air ! Sampai setengah hari lamanya ia duduk termenung di pinggir anak
sungai, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bingung, sedih, lapar, dan juga hawa
mayat membuatnya pening sekali. Kemudian jalan pikirannya dapat ia pergunakan dan
karena teringat akan keadaan binatang - binatang yang mati dan bangkainya berbau
seperti bau mayat suhunya, ia dapat juga menduga bahwa suhunya tentu telah mati. Ia
menangis lagi tersedu sedan dan bagaikan seorang gila ia lalu lari keluar dari hutan
itu !
Segila-gilanya Hek Sin-mo, karena ia pernah hidup di dunia ramai dan tahu akan adat
istiadat dan kesopanan, maka biarpun ia tidak memperdulikan pakaian sendiri, untuk
muridnya ia selalu mencarikan pakaian yang bersih dan baik. Apalagi setelah Eng Eng
menjadi dewasa dan melihat betapa cantiknya murid yang amat dikasihaninya itu, ia
meninggalkan hutan dan bagaikan seorang iblis ia memasuki rumah - rumah orang dusun
yang kaya dan mencuri pakaian yang indah-indah. Oleh karena itulah maka Eng Eng selalu
mengenakan pakaian yang cukup sopan dan indah.
Akan tetapi oleh karena Hek Sin-mo mencari pakaian tanpa melihat potongannya, diantara
banyak pakaian itu terdapat pula pakaian laki-laki dan anehnya, Eng Eng juga tidak
memperdulikan perbedaan potongan pakaian itu. Kadang-kadang gadis ini mengenakan
pakaian wanita dan kadang-kadang mengenakan pakaian laki-laki. scorang gadis yang
sementara tinggal di dalam hutan liar bersama kakek gila, tentu saja tidak tahu mana
baju untuk wanita dan mana untuk laki laki. Jangankan tentang model pakaian terakhir,
lebih baik jangan ditanyakan kepadanya! Ketika Eng Eng berlari keluar dari hutan dengan
hati bingung dan berduka, ia kebetulan mengenakan pakaian laki-laki dan rambutnya
tertutup oleh ikat kepala untuk laki-laki maka ia kelihatan seperti seorang pemuda yang
amat tampan wajahnya. Gadis ini semenjak kecil tidak mengenal bedak atau yanci (pemerah
pipi, bibir), maka kulit mukanya putih halus sewajarnya. Ia tidak membawa apa-apa
melainkan pedang Ang coa-kiam yang dibelitkan pada pinggang karena pedang ini memang
lemas sekali. Ketika dibawa oleh suhunya yang gila Eng Eng telah berusia enam tahun dan
biarpun semenjak itu sampai dewasa ia selalu berada dalam hutan, jauh dari masyarakat
ramai,akan tetapi ia masih ingat akan keadaan di dunia dan tahu bahwa selain dia dan
suhunya, di dunia ini masih banyak manusia lain dengan rumah-rumah besar.
Memang pada waktu pertamakali ia bertemu dengan dusun semenjak turun gunung, ia merasa
kagum dan terheran-heran. Juga ia merasa gembira sekali melihat orang-orang yang
tinggal di dusun itu. Sebaliknya, semua orang yang dijumpainya di jalan juga
memandangnya dengan heran dan kagum. Ia merupakan seorang pemuda yang tampan dan yang
tersenyum pada setiap orang yang memandangnya, pemuda yang nampak tolol karena menengok
ke kanan ke kiri memandangi rumah-rumah bagaikan seorang dusun yang bodoh masuk ke
kantor besar!
Pada suatu hari, Eng Eng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Telah beberapa kali ia
pernah melihat sebuah rumah makan dl dalam dusun dan melihat betapa banyak orang makan
di dalam rumah makan itu. Akan tetapi ia sendiri belum pernah makan di rumah makan dan
selalu apabila merasa lapar ia makan seperti yang biasa ia lakukan dengan suhunya,
yakni mencari buah - buahan di hutan atau menangkap kelinci lalu dipanggang dagingnya.
Kali ini, ketika ia memasuki dusun itu hidungnya mencium bau daging panggang yang amat
sedap. Ia menghampiri rumah makan di pinggir dusun itu dan sampai lama berdiri di depan
pintunya, menikmati bau sedap yang keluar dari dapur makan. Seorang pelayan yang
melihat dia berdiri di depan pintu cepat menghampirinya. Seperti biasa, melihat orang
yang pakaiannya cukup indah, pelayan itu berlaku ramah tamah dan manis budi.
"Silakan masuk, kongcu. Masih banyak bangku kosong. Silakan!"
Eng Eng belum pernah makan di rumah makan dan tidak tahu cara bagaimana memesan
makanan, tidak tahu pula bahwa makanan yang dihidangkan di situ harus dibayar! Kini ada
orang yang dengan manis mempersilakannya masuk, tentu saja ia mengangguk tersenyum dan
mengikuti pelayan itu masuk ke dalam rumah makan. Gerakan tangan pelayan itu membuatnya
mengerti bahwa la dipersilakan masuk, maka tanpa banyak sungkan lagi Eng Eng lalu
mengambil tempat duduk di atas bangku. Seorang laki-laki muda yang berpakaian seperti
piauwsu (pengantar barang ) kebetulan duduk di atas bangku itu. Tentu saja orang yang
sedang makan mi ini menjadi terheran melihat betapa seorang pemuda tampan tanpa permisi
tahu-tahu menduduki bangku di mejanya dan memandangnya dengan mata jenaka !
Memang perbuatan Eng Eng yang tak disengaja ini amat aneh dalam pandangan orang itu.
Ruang rumah makan itu masih kosong dan banyak meja dan bangku yang belum terisi tamu
akan tetapi "pemuda" ini duduk di bangku di meja yang telah dipakai orang! Piauwsu muda
itu mengira bahwa "pemuda" tampan ini hendak memperkenalkan diri kepadanya maka ia lalu
mengangguk ramah yang dibalas oleh Eng Eng dengan anggukan kepala pula ! Piauwsu itu
menanti sampai mengganggunya memperkenalkan diri akan tetapi pemuda tampan itu duduk
tanpa membuka mulut, hanya tersenyum-senyum saja dengan tarikan mata yang manis dan
lucu, "Sahabat," piauwsu itu menjadi tak sabar dan berkata, "aku adalah Ting Kwan Ek
wakil kepala piauwkiok dari kota Han leng"
Eng Eng mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menjawab, "Bagus, bagus kau tentu
lapar sekali !”
Tentu saja Ting piauwsu menjadi melongo mendengar ucapan ini. Apakah ia salah dengar?
"Maaf, sahabat," katanya, "apakah maksudmu?"
Eng Eng memandang ke arah mangkok mi-nya yang sudah hampir kosong lalu berkata
lagi,”Kau tentu lapar sekali, makanmu amat gembul!”
Memang gadis ini sudah biasa makan berdua dengan suhunya dan ucapan seperti ini sudah
biasa ia keluarkan kepada suhunya. Akan tetapi, ia menjadi tidak mengerti mengapa orang
yang mengaku Ting Kwan Ek ini ketika mendengar kata - katanya menjadi merah mukanya dan
terbatuk-batuk seakan-akan ada mi yang melintang dan mengganjal kerongkongannya !
"Kalau makan jangan terburu-buru, selain kau bisa tercekik karenanya juga makanan ini
sukar menjadi hancur di dalam perut sehingga kau akan sukar buang air pula?" Eng Eng
memberi nasehat yang seringkali ia dengar dari suhunya dulu.
Kini Ting Kwan Ek benar - benar menjadi melongo. la merasa marah, heran dan juga
bingung. Gilakah pemuda ini? Tak mungkin, mukanya begitu terang dan sinar matanya
lembut dan tajam, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa otaknya miring. Apakah pemuda
ini sengaja hendak mempermainkannya? Akan tetapi hal ini meragukan pula, karena sikap
pemuda tampan ini demikian sungguh-sungguh. Ah, barangkali dia seorang perampok tunggal
yang tinggi kepandaiannya dan sengaja datang hendak mencari perkara !
Dalam pekerjaannya sebagai piauwsu, Tan Kwan Ek sudah seringkali bertemu dengan
penjahat-penjahat yang berilmu tinggi dan berwatak aneh, maka kini tlmbul perkiraannya
bahwa pemuda tampan Inl tentulah seorang dari golongan hek-to ( jalan hidup golongan
penjahat) yang datang hendak mengganggunya. Ia bersikap hati-hati dan merasa bahwa
lebih baik menjauhi permusuhan dengan orang ini. Ia berdiri dan berkata, 'Maaf sahabat,
karena aku mengganggumu lebih baik aku pindah ke lain meja." Piauwsu ini lalu
mengangkat rnangkok dan sumpitnya dan duduknya pindah ke lain bangku. Akan tetapi Eng
Eng menganggap hal inl biasa saja, sama sekali tidak mau memperdulikan orang lain.
Hanya saja ia merasa kecewa mengapa orang itu tidak mau membagi makanannya dengan dia
dan membawa pergi mangkok terisi mi itu !
Pelayan yang tadi menyambutnya lalu menghampirinya dan karena pemuda ini sejak tadi
tidak memesan makanan ia Ialu berkata,”Kongcu, kau hendak makan apakah ?"
Eng Eng memandangnya dengan heran lalu bertanya, "Kau punya makanan apa?" Pelayan itu
menyebutkan nama beberapa macam masakan sehingga Eng Eng menjadi bingung. Kemudian ia
memutar tubuhnya dan sambil menuding ke arah mangkok mi di depan piauwsu tadi, ia
berkata,"Aku ingin makan seperti yang dimakannya itu !'
Pelayan tersenyum geli dan piauwsu itu menjadi makin merah mukanya. Benar - benar orang
muda yang tampan itu telah berlaku kurang ajar sekali dan benar - benar hendak mencari
perkara dengan dia. la maklum bahwa orang ini tentulah seorang dari kalangan perampok
yang sengaja hendak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan dia. Sebagal seorang piauwsu
ia mengerti bahwa dirinya tentulah dimusuhi oleh para perampok, dan tentu pemuda ini
sedang memancing-mancing kemarahannya. Akan tetapi, Ting piauwsu biarpun usianya baru
tiga puluh tahun, namun ia telah mempunyai banyak pengalaman. la pura-pura tidak
mendengar omongan Eng Eng ini dan melanjutkan makan mi-nya, diselingi dengan meneguk
cawan araknya.
Tak lama kemudian pelayan datang membawa semangkok mi. Karena Eng Eng sudah merasa amat
lapar, maka cepat ia menyikat habis mi semangkok itu. Ting piauwsu memperhatikan cara
Eng Eng makan dan hatinya berdebar. Mi yang dihidangkan itu masih amat panas, akan
tetapi pemuda tampan ini dapat makan begitu saja tanpa merasakan panas dan
mempergunakan sumpitnya juga istimewa. Orang Iain tentu akan mempergunakan sepasang
sumpit untuk menjepit mi, akan tetapi pemuda tampan ini hanya rnemakai sebatang sumpit
saja. Sumpit yang hanya sebatang ini digerakkan dengan cepat dan dengan dua kali
putaran saja mi yang panjang-panjang itu telah membelit sumpit dan ketika sumpit
diangkat, mi semangkok itu telah terangkat semua dari mangkok lalu dimakan seperti
orang menggerogoti paha kelinci yang gemuk !
Melihat cara Eng Eng makan mi, makin yakinlah hati Ting piauwsu bahwa pemuda itu
tentulah seorang penjahat yang kejam dan yang sengaja datang hendak mengganggunya.
Sebagai seorang piauwsu, memang sudah sering kali ia bertempur melawan perampok
perampok dan seringkali pula merobohkan para penjahat. Piauwkiok (perusahaan pengawal
barang) yang dipegangnya, yakni Pek Eng Piauw-Kiok(Ekspedisi Garuda Putih) dari kota
Hun-leng sudah amat terkenal sebagai sebuah perusahaan ekspedisi yang besar dan kuat.
Bendera piauwkiok yang bersulam seekor burung garuda putih sudah merupakan bendera yang
garang dan jarang sekali ada perampok berani mengganggu barang-barang yang dikirim
apabila melihat bendera ini berkibar di kendaraan barang. Yang paling disegani oleh
para penjahat, adalah ketua dan wakil ketua Pek Eng Piauw Kiok. Ketuanya adalah seorang
ahli silat bernama Ouw Teng Sin yang menjadi suheng (kakak seperguruan) dari Ting Kwan
Ek sendiri. Ouw piauwsu berjuluk Pek eng - to (Golok Garuda Putih) dan karena
julukannya inilah maka perusahaan piauwkiok yang dipimpinnya memakal nama Pek Eng
Piauwkiok. Sudah hampir dua puluh tahun Ouw-piauwsu mendirikan perusahaan di kota
Hun.leng dan mendapat banyak kemajuan. Nama perusahannnya sudah amat terkenal dan
mendapat kepercayaan besar. Apalagi setelah sepuluh tahun yang lalu ia dibantu oleh
sutenya (adik seperguruannya) yakni Ting Kwan Ek yang kepandaiannya sudah hampir
setingkat dengan kepandaian Ouw-piauwsu, maka perusahaan ini berjalan makin lancar.
Selain pandai dalam hal ilmu silat, Ting piauwsu adalah seorang yang cerdik dan pandai
mengurus perusahaan. Dengan bantuan Ting Kwan Ek, Ouw - piauwsu dapat duduk dengan enak
di rumahnya dan menyerahkan segala pekerjaan kepada adik seperguruannya itu.
Kini setelah dalam perjalanannya, Ting Kwan Ek berteme dengan Eng Eng, piauwsu yang
cerdik dan baik hati ini lalu sengaja menjauhkan diri. Hal ini bukan karena ia berhati
kecil dan penakut, akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang melakukan tugas yang
amat penting. Ia tidak mau mengacaukan tugasnya dengan melibatkan diri dalam pertempuran
atau meladeni pancingan serta kehendak pemuda tampan yang nampaknya mencari
perkara dengan dia itu. Tugas ini adalah tugas mengirimkan sebuah benda yang tak
ternilai harganya dari kota raja ke Hun leng dan benda berharga itu kini telah
tersimpan baik-baik di kantong bajunya sebelah dalam.
Ketika ia melihat Eng Eng sedang makan mi dengan enaknya dan begitu mi semangkok habis,
lalu minta tambah semangkok lagi sambil berkata berkali kali, "Enak… enak…! Ting Kwan
Ek tidak mau membuang waktu lagi. la menaruh sepotong uang perak di dekat mangkoknya
yang sudah kosong. kemudian dengan tergesa - gesa ia bertindak keluar.
Eng Eng tanpa menengok dapat mendengar bahwa orang yang tadi duduk menjauhinya telah
melangkah keluar, akan tetapi tanpa memperdulikannya ia menyerang mi dalam mangkok
kedua dengan lahap dan nikmatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara ribut - ribut di luar
rumah makan. biarpun ia menjadi amat tertarik ketika suara rebut-ribut itu disusul oleh
suara beradunya senjata, ia belum mau berdiri melihat sebelum mi dalam mangkoknya
habis.
Ternyata bahwa ketika Ting piauwsu melangkah keluar dari rumah makan, tiba-tiba
mendengar bentakan orang,
”Ting Kwan Ek, perlahan dulu jalan !"
Ting piauwsu cepat menengok dan ia amat terkejut ketika melihat bahwa yang menegurnya
adalah seorang tosu (pendeta To) tua berjanggut hitam berdiri menghadang di depannya.
“Ban Yang Tojin !” hatinya berteriak, akan tetapi, saking kagetnya, mulutnya ikut pula
berseru menyebut nama yang amat menyeramkan hatinya ini. Siapakah orangnya tidak
menjadi gugup melihat Ban Yang Tojin, apalagi kalau orang itu membawa barang berharga
seperti yang dibawa oleh Ting Kwan Ek.
Ban Yang Tojin adalah orang kedua dari tiga saudara seperguruan yang terkenal dengan
sebutan Thian te Sam-kui (Tiga Setan Langit Bumi) dan telah menggemparkan kalangan
kang-ouw karena selain mereka ini berkepandaian tinggi sekali, juga sepak terjang
mereka amat ganas. Orang pertama adalah seorang hwesio(pendeta Budha) yang bernama Ban
Im Hosiang, sedangkan orang ketiga adalah seorang laki laki setengah tua dan pesolek
bernama Ban Hwa Yong. Biarpun ketiga orang saudara seperguruan ini terkenal sebagai
tiga setan yang selalu saling membantu, namun mereka berlainan, baik melihat rupa,
pakaian, maupun kesukaan masing-masing. Ban Im Hosiang adalah seorang hwesio gundul
yang amat sakti dan kesukaannya adalah mendatangi to-koh-tokoh persilatan untuk
menantang pibu (mengadu kepandaian) akan tetapi kemudian ia menjatuhkan tangan maut.
Sebagian besar orang yang sudah berpibu dengan dia, tentu akan tewas atau sedikitnya
menjadi penderita cacat selama hidupnya!
Oleh karena itu, apabila ada seorang ahli silat yang mendengar akan kedatangan hwesio
itu, lebih dulu ia telah pergi dan menjauhkan diri. Orang kedua adalah Ban Yang Tojin
ini yang rnempunyai kesukaan untuk merampok. Akan tetapi ia bukanlah perampok biasa
yang cukup merasa puas dengan hasil rampokan berupa benda benda berharga yang kecil
seperti perhiasan-perhiasan, permata dan emas dan yang dijadikan korbannya selain
adalah pembawa-pembawa benda yang amat besar harganya! Adapun Ban Hwa Yong adalah
seorang berusia empat puluh tahun yang selalu berpakaian rapi dan indah, ia pesolek
sekali dan kesukaannya mengganggu anak bini orang! Ia adaiah seorang penjahat pemetik
bunga (jai hwa - cat) yang banyak dikutuk orang karena kekejamannya !
Ting Kwan Ek adalah seorang piauwsu yang sudah banyak merantau dan mengalami hal-hal
yang berbahaya, akan tetapi kali ini ketika tahu-tahu ia berhadapan dengan Ban Yang
Tojin, ia menjadi pucat juga. Kalau saja ia tidak sedang membawa patung Buddha dari
emas yang disembunyikan di dalam saku baju dalamnya, tentu ia tidak akan merasa gelisah
bertemu dengan Ban Yang Tojin. la telah mendengar bahwa tosu ini selamanya tidak mau
rnengganggu orang, kecuali kalau ia sedang berusaha merampok orang itu ! Kini tosu
jahat ini tahu-tahu muncul dan menegurnya pada saat ia membawa benda yang amat berharga
itu maka tentu saja tosu ini telah tahu akan benda berharga yang dibawanya!
"Ban Yang Totiang !" la menekan rasa takutnya dan menjura sambil memberi hormat.
Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku telah bertemu dengan totiang di tempat
ini.”
Tosu itu tersenyum dan senyumnya membuat Ting piauwsu merasa dingin pada belakang
lehernya. Senyumnya itu merupakan senyum ejekan yang penuh arti.
“Ting piauwsu, apakah arti penghormatan besar? Hanya berarti dan berguna bagi sikepala
angin, orang sombong yang tidak tahu bahwa dibalik penghormatan besar itu tersembunyi
maksud-maksud tertentu ? Bagiku penghormatan besar tiada gunanya seperti angin lalu,
hanya terasa selama penghormatannya masih berada di depan muka, memandang dengan sinar
mata merendah, mulutnya memuji-muji. Palsu celaka! Aku tidak butuh penghormatan, baik
yang sudah lalu, sekarang, maupun kelak. Tidak butuh, apalagi dari seorang seperti
engkau yang mempergunakan penghormatan untuk menyembunyikan sesuatu. Ha, ha, ha !”
Ting Kwan Ek adaiah seorang gagah. Biarpun ia maklum bahwa tosu ini amat berbahaya,
namun kata - katanya yang amat tajam itu menyakiti hatinya dan membuatnya mendongkol
sekali. Namun ia masih menahan sabar dan bertanya dengan suara tetap halus, "Maaf,
totiang, kalau kiranya aku melaku-kan sesuatu tanpa kusadari yang membuat totiang
menjadi tersinggung. Akan tetapi, sepanjang ingatanku yang dangkal, kita belum pernah
bertemu dan belum pernah berurusan. bolehkah aku mengetahui sebetulnya apakah yang
totiang kehendaki dari orang seperti aku?'
"Yang ku hendaki? Ha, ha. ha, tak laku, tanggalkanlah penghormatanmu berikut disaku
bajumu."
Biarpun ia sudah menduga bahwa tosu ini berniat buruk, akan tetapi pucat jugalah wajah
Ting Kwan Ek ketika tosu itu menyatakan niatnya merampas benda berharga yang dibawanya
dengan demikian terang-terangan. Ia bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan dan
dengan hati-hati ia lalu melangkah mundur dua tindak sambil menjura dan berkata,
"Totiang, sepanjang ingatanku baik aku sendiri maupun Pek - eng Piauwkiok, belum pernah
menganggu kepadamu orang tua. Tentu totiang maklum bahwa aku bersedia memberikan semua
barang yang menjadi milikku apabila totiang membutuhkannya, akan tetapi sebagai seorang
piauwsu, tidak mungkin aku memberikan sesuatu yang bukan milikku. Harap saja totiang
suka memandang nama piauwkiok kami dan menjaga tali persahabatan antara orang kang
ouw."
"Tikus kecil, siapakah kau ini maka berani menyebut - nyebut tentang tali persahabatan
dengan aku? Tak usah banyak membuka mulut, hayo lekas kau keluarkan isi sakumu sebelum
aku menjadi tak sabar dan minta kau mengeluarken semua isi perutmu !"
'Ban Yang Totiang" jawab Ting Piauwsu marah. “Tak kusangka bahwa seorang pertapa
seperti totiang dapat mengeluarkan ucapan serendah itu !”
'Bangsat rendah, kau perlu diberi pelajaran' ucap Ban Yang Tosu sambil mencabut keluar
senjatanya, yakni sebatang baja runcing yang panjangnya tiga kaki dengan ujungnya
berbentuk bintang.
“Ingin aku melihat pengajaran macam apa yang hendak kau berikan." kata Ting Kwan Ek
tenang sambil mencabut keluar goloknya yang lebar. Seperti juga suhengnya Ting piauwsu
adalah seorang ahli golok yang pandai dan permainan goloknya yang berdasarkan Pek eng
to hwat (ilmu golok garuda Putih) amat terkenal kelihaiannya.
Dengan mengeluarkan tertawa mengejek, tiba-tiba Ban Yang Tosu lalu menyerang hebat
dengan senjatanya yang aneh bentuknya itu. Gerakan serangannya selain cepat, juga berat
sekali sehingga ketika Ting piauwsu menangkis dengan goloknya, piauwsu ini merasa
betapa goloknya terpental dan telapak tangannya terasa pedas dan panas ! Kembali tosu
itu tertawa mengejek dan senjatanya meluncur lagi, kini menyambar ke arah muka Ting
piauwsu, mendatangkan angin dingin menyambar muka lawan. Ting Kwan Ek tidak mendapat
kesempatan menangkis lagi, maka dengan cepat dan sambil mengeluarkan seruan terkejut,
ia lalu membuang diri ke belakang menendangkan kaki kanan ke depan untuk menjaga
serangan susuIan lalu mengayun tubuhnya itu ke belakang dengan gerak tipu Burung Walet
Menyambar Ikan. Dengan gerakan ini ia berjungkir balik dan terus melompat ke belakang
sehingga ia dapat terhindar dari bahaya maut.
"Ha, ha, ha Ting Kwan Ek, kau masih tidak mau meninggalkan patung Buddha Itu?” seru Ban
Yang Tojin sambil melangkah maju.
"Aku takkan menyerah sebelum putus napasku !” kata Ting Kwan Ek dengan gagah dan
piauwsu ini mendahului lawannya mengirim serangan dengan goloknya. la membuka serangan
dengan gerak tipu pek-eng kai-peng (Garuda Putih membuka Sayap) sebuah tipu serangan
dari ilmu golok Pek-eng to-hwat. Ketika tosu itu mengelak dengan mudah, Ting piauwsu
lalu menyusul dengan serangan bertubi-tubi yang dihadapi dengan tertawa bergelak oleh
tosu yang lihai itu. Tiba-tiba Ting Kwan Ek menjadi terkejut ketika lawannya
mempercepat gerakan senjatanya dan cepat ia terdesak hebat.
"Tidak kau serahkan patung itu?" tosu itu masih mengejeknya, akan tetapi Ting piauwsu
tentu saja tidak mau mengalah. Patung itu adalah mllik seorang pembesar tinggi yang
telah mempercayainya. Kalau ia mengalah dan memberikan benda itu kepada tosu perampok
ini, tidak saja namanya dan nama Pek eng Piauwkiok akan tercemar, akan tetapi juga ia
harus mempertanggung-jawabkannya di depan pembesar itu.
Maka, mendengar seruan Ban Yang Tojin ia tidak menjawab, hanya memutar goloknya lebih
cepat lagi untuk melindungi tubuhnya dan juga untuk membalas dengan serangan nekad dan
mati-matian. Terdengar Ban Yang Tojin tertawa panjang dan dibarengi dengao gerakan
senjatanya yang llhai, la membentak.
"Lepas senjata!"
Dua senjata itu bertumbuk nyaring bunga berpijar dan tahu-tahu golok Ting piauwsu telah
terlepas dari pegangan dan melayang ke atas!
Tiba-tiba nampak berkelebat bayangan yang ringan sekali gerakannya dan bayangan itu
melompat ke atas dan dalam sekejap mata golok yang terlempar ke atas itu telah
dipegangnya !
Bayangan ini bukan lain adalah Eng Eng yang semenjak tadl menonton pertempuran itu
bersama pelayan yang tadi melayaninya.
Sambil tersenyum-senyum, Eng Eng memandang kepada Ting Kwan Ek dan berkata, "Hm, kau
agaknya lebih pandai makan mi daripada mainkan golok! Menghadapi seekor kambing bandot
tua berjenggot hitam seperti ini saja, kau sudah kepayahan !"
Ting Kwan Ek merasa sangat mendongkol mendengar ucapan ini, akan tetapi diam-diam iapun
mengharapkan pertolongan pemuda tampan yang bersikap aneh ini. Juga ia merasa senang
mendengar betapa pemuda ini memaki Ban Yang Tojin sebagai kambing bandot berjenggot
hitam! Padahal sama sekali Eng Eng tidak berniat memaki atau membenci tosu itu. la
tidak tahu mengapa kedua orang itu bertempur, hanya yang ia ketahui bahwa kepandaian
Ting Kwan Ek masih jauh lebih rendah daripada kepandaian lawannya. Melihat per-mainan
silat Ban Yang Tojin, tlmbul kegembiraan dalam hati Eng Eng untuk mencoba kepandaian
tosu ini.
Sebaliknya, ketika melihat gerakan pemuda ini dan mendengar ia dimaki kambing bandot,
tentu saja Ban Yang tojin merasa marah sekali,
“Eh, tikus kecil! Kenapa kau berani berlaku lancang mencampuri urusanku? Hayo lekas
pergi sebelum aku menjadi marah dan menelanjangimu di depan orang banyak!" Sesungguhnya
di antara binatang yang pernah dilihatnya di dalam hutan, Eng Eng memang paling takut
dan benci terhadap binatang tikus. Ketakutan dan kebencian yang berdasarkan kejijikan.
Maka kini mendengar ia dimaki tikus kecil, dan bahkan akan ditelanjangi pula, tentu
saja senyumnya menghilang terganti oleh kemarahan yang membuat gadis yang manis Itu
cemberut. Ia tidak tahu bahwa Ban Yan Tojin mengira ia seorang pemuda tulen, kalau tosu
itu mengetahui bahwa pemuda ini sebenarnya seorang gadis, kiranya tidak akan
mengeluarkan hinaan seperti itu.
"Kau ini monyet tua yang bermuka kambing ! Kau berani menghinaku. maka sebelum kau
pergi, kau harus meninggalkan jenggotmu lebih dulu?" Sambil berkata demikian Eng Eng
menggerakkan golok di tangannya ke arah muka Ban Yang Tojin. Angin menyambar dan tosu
itu merasa betapa dinginnya sambaran angin golok itu. Ia terkejut sekali dan cepat
mengelak, akan tetapi golok Itu menyambar sangat dekat sehingga terlambat sedikit saja
jenggotnya akan benar-benar terbabat habis. Bukan main marahnya dan ia tahu pula bahwa
pemuda yang nampak tampan dan lemah-lembut ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang
jauh lebih tinggi dari pada Ting Kwan Ek.
"Bagus klranya kau sengaja membela orang she Ting itu ! Aku harus robohkan kau dulu
dengan beberapa gebukan !” Katanya dan segera ia menyerang kalang kabut.
Akan tetapi tak lama kemudian tosu ini berseru kaget, juga Ting Kwan Ek berseru karena
kagum dan heran. Dengan amat cepatnya Eng Eng bergerak melayani tosu itu akan tetapi
gerakannya benar-benar kacau balau seperti gerakan orang yang tidak pandai silat.
Bahkan goIoknya yang dipegang secara sembarangan itu digerakkan dengan ngawur saja, dan
bukan hanya dipergunakan untuk menusuk dan membacok, akan tetapi juga untuk mengemplang
dengan punggung golok. Hal ini tidak mengherankan, karena memang begitulah orang yang
tidak pandai ilmu silat akan tetapi anehnya, biarpun gerakannya kacau balau setiap
gerakan merupakan tangkisan, elakan ataupun serangan yang amat berbahaya! Biarpun Ban
Yang Tojin sudah mengeIuarkan seluruh ketangkasan dan tenaganya, namun ia masih belum
berhasil mendesak lawannya. Jangankan mendesak bahkan senjatanya itu belum dapat
menyentuh ujung baju lawannya. Sebaliknya golok di tangan Eng Eng itu seakan-akan
bermata dan selalu mengikuti jenggotnya ! Berkali-kali "pemuda” yang nakal itu berseru
sambil tersenyum.
"Jenggotmu, jenggotmu! Tak pantas rnonyet berjenggot seperti kambing! Tinggalkan
jenggotmu !"
Sebenarnya, ilmu silat yang dipelajari oleh Eng Eng dari suhunya, yaitu Hek Sin-mo yang
gila, adalah semacam ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat yang amat tlnggi dan lihai
sekali.
Setiap gerakan dari ilmu silat ini berkembang sesuai dengan gerakan lawan dan untuk
setiap serangan maupun tangkisan lawan, selalu dengan otomatis menimbulkan gerakan
pembalasan yang luar biasa sekali. Akan tetapi, dasar ilmu silat ini tertutup oleh gerakan
luar yang benar-benar kacau balau dan gerakan kacau balau ini sesungguhnya tak
pernah dipelajari oleh Eng Eng. Baik Hek sin mo maupun Eng Eng, membuat gerakan kacau
balau dengan sengaja sesuai dengan watak mereka yang bebas, namun demiklan, di balik
gerakan kacau balau ini, keaslian ilmu silatnya sendiri masih tidak berobah dan tetap
menjadi dasar gerakan yang amat kuat.
Kalau dibandingkan, sesungguhnya ilmu kepandaian Ban Yang Tojin tidak seharusnya kalah
oleh Eng Eng yang masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman bertempur. Akan
tetapi, tosu ini yang selamanya hi-dup belum pernah menghadapi seorang lawan yang
memiliki ilmu silat seaneh itu, menjadi bingung dan pikiran serta ketenangannya dapat
dlkacaukan oleh gerakan-gerakan Eng Eng. Selain itu, memang dalam mempelajari ilmu
Iweekang, Eng Eng melatih diri dengan cara terbalik sehingga biarpun dibandingkan
dengan Ban Yang Tojin ia masih kalah latihan, namun apabila senjata mereka beradu Ban
Yang Tojin merasakan getaran yang amat luar biasa dan yang membuat tangannya tergetar!
Semua ini ditambah lagi dengan ejekan yang diucapkan Eng Eng dan yang membuatnya makin
tak dapat mengendalikan ketenangan-nya, maka kini ia berada dalam keadaan terdesak.
Yang amat membuatnya mendongkol adalah golok di tangan lawannya itu benar-benar
mengancam jenggotnya dan tentu saja hal ini berarti pula mengancam lehernya!
Setelah mendesak tosu itu sehingga mundur tiga empat langkah, tiba-tiba Eng Eng
melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya, sambil membentak, "Lepas
jenggotmu!" Serangan ini benar-benar hebat sekali dan golok di tangannya berkelebat
menyilaukan mata.
Ban Yang Tojin terkejut sekali. Ia menangkis dengan senjatanya, akan tetapi begitu
senjata golok itu tertangkis, golok ini terpentlal miring dan masih terus melanjutkan
tuju-annya ke arah jenggot dan tenggorokannya! Ban Yang Tojin tak keburu menangkis lagi
dan cepat memutar tubuh mengelak akan tetapi terlambat.
"Bret!" Golok di tangan Eng Eng telah makan pundak kirinya, membuat kulit dan sedikit
daging pundak yang terobek bersama dengan bajunya!
Ban Yang Tojin terbelalak kaget dan menahan sakit. la tidak saja merasa pundaknya sakit
dan perih, akan tetapi juga merasa malu tercampur heran bagaimana seorang anak muda
yang lemah lembut seperti itu dapat melukainya dalam pertempuran kurang dari tiga puluh
jurus! Ia lebih merasa malu dari pada sakit, maka sambil melompat jauh ia berseru,"Ting
piauwsu ! Lain kali aku akan datang lagi membayar kebaikanmu dan pembelamu ini !”
Eng Eng tertawa geli lalu menyerahkan golok yang masih berlepotan darah itu kepada
pemiliknya. "Jangan terlalu banyak makan sebaliknya perbanyaklah latihan golokmu!"
katanya kepada Ting Kwan Ek. Piauwsu itu kini tidak mendongkol atau marah mendengar
ucapan Eng Eng yang berkali-kali seperti menghinanya itu. Ia sedang terheran-heran
memikirkan siapa adanya pemuda yang aneh ini dan amat kagumlah ia menyaksikan
kepandaian pemuda yang dapat mengalahkan Ban Yang Tojin secara demikian aneh dan mudah.
Ting Kwan Ek menjura dengan penuh hormat lalu berkata, "Taihiap telah menolong nyawaku
dari bahaya maut dan kepandaian taihiap telah membuka mataku dan membuat hatiku merasa
kagum sekali. Percayalah, taihiap pertolonganmu takkan mudah kulupakan begitu saja. Aku
Ting Kwan Ek, dan juga semua anggauta Pek - eng Piauwkiok bukanlah orang - orang yang
mudah melupakan kawan atau lawan. Mohon tanya nama taihiap agar dapat kucatat dalam
kepalaku."
Ucapan ini sukar sekali dimengerti maksudnya oleh Eng Eng, akan tetapi ketika mendengar
Ting piauwsu menanyakan namanya, ia tertawa dan mukanya berseri jenaka ketika ia meniru
jawaban suhunya tentang namanya.
"Siapa aku dan siapa namaku? Aku adalah aku!" Ia lalu tertawa dengan bebas kemudian ia
lalu bernyanyi perlahan sambil berjalan pergi. Tentu saja, Ting Kwan Ek menjadi
bengong, demikianpun pelayan dan orang-orang lain yang berada di situ, apa lagi ketika
Ting piauwsu mendengar nyanyian itu.
la mengerutkan keningnya. Gilakah pemuda ini ? ataukah sengaja mempermainkannya? Ia
maklum bahwa memang banyak sekali terdapat orang - orang luar biasa dan sakti di dunia
ini, orang-orang yang mempunyai watak yang amat aneh dan berbeda dengan manusia biasa,
akan tetapi belum pernah ia menyaksikan atau bertemu dengan orang seaneh pemuda tampan
ini ! Dengan penasaran ia lalu mengikuti pemuda yang pergi dengan langkah lambat itu
sambil memperhatikan kata-kata yang dinyanyikan oleh Eng Eng.
Aku bukan dewata, bukan pula setan!
Akan tetapi baik dewata maupun setan
Takkan dapat menguasai aku.
Biar dewata berbisik, biar setan menggoda
Aku tak hendak patuh tak sudi tunduk.
Aku tertawa kalau ingin menangis
Menangis kalau ingin tertawa.
Siapa perduli! Aku adalah aku.
Bukan dewata Bukan pula setan!
Ting Kwan Ek terkejut sekali mendengar nyanyian ini. Kata - kata nyanyian ini
mengingatkan ia akan seorang tokoh yang amat ditakuti oleh orang di dunia Kang - ouw.
la pernah mendengar suhengnya bercerita bahwa di dunia persilatan terdapat seorang aneh
yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan luar biasa, juga beradat aneh dan
dianggap berotak miring. Ia segera mempercepat langkah kakinya mengejar.
"Taihiap, tunggu dulu!" Ia berseru.
Eng Eng menoleh dan melihat betapa piauwsu itu mempercepat langkah mengejarnya, ia
tertawa geli lalu berlari cepat! Ting piauwsu merasa gemas sekali melihat dirinya
dipermainkan, ia lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi Eng Eng juga
mempercepat larinya sehingga jarak diantara mereka tak banyak berobah. Ting Kwan Ek
merasa makin penasaran. Kalau dalam hal ilmu silat ia memang kalah jauh, akan tetapi
apakah ia mau kalah juga dalam ilmu berlari cepat? Di dunia Kang ouw. ia telah mendapat
julukan Hui ma (Kuda Terbang) karena ia memang telah mempelajari ilmu berlari cepat
yang disebut Couw yang hui (Terbang di Atas Rumput) sehingga biarpun diadu balap dengan
seekor kuda, belum tentu ia kalah. Akan tetapi sekarang, betapapun ia mengerahkan
kepandaiannya, tetap saja ia tidak dapat mengejar pemuda tampan itu.
"Taihiap, sudahlah jangan mempermainkan aku lagi. Aku menerima kalah!" ia berseru
sambil menahan napasnya yang terengah-engah.
Tiba - tiba terdengar Eng Eng tertawa dan ketika ia menggerakkan kedua kakinya tubuhnya
mencelat ke atas dan berjungkir balik di udara, lalu melompat ke belakang dan berdiri
di depan Ting Kwan Ek!
Piauwsu ini memang sejak tadi sudah merasa heran sekali melihat pemuda tampan ini. la
menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda yang lemah lembut, bersuara merdu seperti
wanita, akan tetapi yang bersikap aneh dan berkepandaian Iuar biasa tlngglnya Ini ?
Kini melihat Eng Eng tersenyum-senyum di hadapannya dan bertanya, "Kenapa kau mengejar
dan mengikutiku. Kau mau apakah sebetulnya?"
“Maaf taihiap. Sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk. Kalau aku tidak salah
sangka, taihiap tentu mempunyai hubungan dengan Hek Sin-mo orang tua yang luar biasa
itu, bukan ?”
Sebetulnya Eng Eng tidak pernah tahu siapa nama suhunya, akan tetapi dulu suhunya
pernah sambil tertawa-tawa berkata, "Ha, ha ha, orang - orang gila itu menyebutku Hek
Sin mo ! Nama yang bagus. ha ha !"
Kini mendengar Ting piauwsu menyebut nama suhunya, ia melengak dan cepat menjawab, "Hek
Sin-mo adalah suhuku !" SambiI berkata demikian, karena merasa panas Eng Eng lalu
merenggut kain pengikat kepalanya dan menggunakan kain itu untuk meng-hapus peluh di
mukanya. Kemudian ia memakai lagl pengikat kepalanya. Untnk sesaat Ting Kwan Ek
memandang dengan kagum. Belum pernah ia melihat seorang pemuda yang mempunyai rambut
sebagus itu.
Hitam panjang dan bagus sekali, seperti rambut seorang wanita.
"Dan bolehkah kiranya aku mengetahui nama taihiap ? Juga kalau taihiap sudi aku
mempersilakan taihiap supaya suka menjadi tamu kehormatan Pek-eng Piauwkiok di Hunleng."
Eng Eng tidak mengerti apakah yang disebut piauwkiok dan mengapa orang ini menjadikan
dia sebagai tamu kehormatan. Akan tetapi melihat wajah orang yang bersungguh-sungguh
dan tidak mengandung bayangan jahat, ia merasa suka berkenalan dengan Ting piauwsu ini.
"Baik, baik ! Memang aku tidak mempunyai seorangpun kenalan di tempat ini."
Bukan main girangnya di dalam hati Ting Kwan Ek. Kini ia telah dapat menduga bahwa
pemuda ini agaknya tidak waras otaknya, akan tetapi melihat ilmu silatnya yang sangat
tinggi, maka kalau ia bisa menarik tenaga pemuda ini dipihaknya, ia boleh berhati lega.
la masih merasa ngeri akan ucapan Ban Yang Tojin yang mengancam hendak membalas dendam.
Baru menghadapi Ban Yang Tojin seorang saja, ia tidak berdaya. la yakin bahwa Ban Yang
Tojin akan datang bersama Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong! Bagaimana ia bisa menghadapi
Thian-te Sam-kui yang terkenal ganas dan lihai? Kepada siapa ia harus minta bantuan?
Pemuda murid Hek Sin-mo ini sudah membuktikan kepandaiannya dan kalau saja ia bisa
mendapat bantuan pemuda ini, alangkah baiknya!
"Kalau begitu, marilah kita berangkat, taihiap. Kota Hun - leng tidak berapa jauh lagi
dari sini."
Demikianlah Eng Eng lalu mengikuti Ting Kwan Ek menuju ke Hun-leng. Sampai pada saat
itu, Eng Eng belum memberitahukan namanya dan Ting piauwsu juga tidak berani
mendesaknya, takut kalau kalau pemuda aneh ini menjadi marah dan membatalkan niatnya
mengunjungi Hun-leng.
Pek eng-to Ouw Tang Sin si golok garuda putih adalah seorang berusia kurang lebih empat
puluh lima tahun. Biarpun ia sudah termasuk golongan tua, namun melihat potongan
tubuhnya yang kekar kuat dan mukanya yang gagah, ia masih nampak muda dan terhitung
tampan menarik. Ouw Tang Sin yang kini lebih terkenal dengan sebutan Ouw piauwsu
setelah mengepalal Pek eng Piauwkiok, sesungguhnya adalah seorang ahli silat yang
mempunyai jiwa gagah dan budlman. Akan tetapi ia mempunyai cacat batin, yakni bersifat
mata keranjang, lstrinya masih muda berusia dua puluh lima tahun dan cantik pula. Akan
tetapi agaknya Ouw - piauwsu masih belum puas dan masih selalu main - main di Iuar
sungguhpun ia tidak mau melakukan gangguan mengandaIkan kepandaiannya. Betapapun juga
ia kini mempunyai banyak uang, wajahnya tampan, namanya terkenal. maka mudahlah baginya
untuk mencari kekasih di luar. Hal ini rnembuat istrinya selalu menaruh hati cemburu.
Ouw Tang Sin tinggal di rumah yang besar dan di situ ia membuka kantor piauwkiok. Juga
Ting Kwan Ek, sutenya, setelah bekerja membantunya lalu pindah bersama isteri dan dua
orang anaknya di rumah itu pula, menempati bangunan sebelah kiri. Sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan, setelah Ting-piauwsu datang membantu, Ouw plauwsu menjadi
malas dan jarang sekali menguruskan piauwkiok, cukup ia serahkan kepada sutenya saja.
la Iebih senang pergi main-main dengan kawan-kawannya bermain judi atau mencari kekasih
baru di lain kota !
Selain Ouw piauwsu dan Ting piauwsu berdua yang mengepalai perusahaan ekspedisi ini,
disitu terdapat juga pembantu yang jum-lahnya sampai dua puluh orang. Barang-barang
yang dipercayakan kepada Pek eng Piauwkiok amat banyak dan barang barang ini harus
dikirimkan ke banyak tempat. Untuk mengirimkan barang-barang kecil yang begitu
berharga, cukup dilakukan oleh para pembantu.
Serombongan diantar oleh sedikitnya lima orang piauwsu dan cukup ditancapi bendera
garuda Putih tanda bahwa barang-barang itu dilindungi oleh Pek eng Piauwkiok. Untuk
benda-benda kiriman yang berharga, maka barulah Ting piauwsu turun tangan sendiri untuk
mengawal barang itu. Dua puluh orang pembantu ini boleh juga disebut murid-murid dari
Ouw piauwsu karena biarpun ketika masuk bekerja di situ mereka telah memiliki
kepandaian silat yang sudah diuji oleh Ouw piauwsu, namun mereka masih mendapat latihan
- latihan ilmu golok Pek eng to yang Iihai ! Oleh karena pengaruh Pek eng Piauw-kiok
masih besar dan namanya makin terkenal, maka sampai bertahun - tahun belum pernah
kiriman barang yang mereka kawal itu diganggu oleh penjahat. Perampok - perampok akan
berpikir masak-masak dahulu sebelum berani meraba kumis harimau, yakni sebelum
mengganggu barang yang dilindungl oleh Pek-eng Piauwkiok.
Pada hari itu kebetulan Ouw Tang Sin berada di rumah. Ketika ia melihat Ting Kwan Ek
datang bersama seorang pemuda yang tam-pan dan bermuka putih, ia merasa heran, lain
bangun menyambut.
"Bagaimana, sute? Tidak ada gangguankah di jalan dan apakah patung itu sudah kau bawa
dengan aman !" tanyanya tanpa mem-perdulikan Eng Eng karena disangkanya bahwa pemuda
itu tentu seorang langganan saja.
"Aman ? Ah, suheng, hampir saja celaka. Jangankan patung itu, bahkan nyawaku sendiri
hampir saja melayang dalam tangan Ban Yang Tojin."
Ouw Tang Sin menjadl pucat. "Apa ? Orang kedua dari Thian te Sam-kui itu turun tangan
kepadamu? Dan bagaimana selanjutnya?"
Ting piauwsu lalu menggerakkan tangannya dan Eng Eng yang mendengarkan percakapan itu
dengan sikap tidak mengacuhkan, "kalau tidak ada In-kong (tuan penolong) yang gagah
perkasa ini tentu sutemu sekarang hanya tinggal nama saja dan nama besar Pek - eng
Piauwkiok kita akan hancur!"
Baru sekarang Ouw Tang Sin menengok dan memandang kepada Eng Eng. Ia merasa heran dan
masih belum mengerti akan maksud ucapan sutenya. Dengan cara bagaimanakah seorang
pemuda lemah seperti ini menolong nyawa sutenya?
"Apa maksudmu, sute? Bagaimanakah kong-cu (tuan muda) ini dapat menolongmu?"
Ting piauwsu dapat mengerti mengapa suhengnya menjadi heran, dan dengan senyum bangga
ia ber kata,”Tentu saja dengan mengalahkan Ban Yang Tojin!"
Kini benar-benar Ouw Tang Sin melongo.
"Apa? Ban Yang Tojin kalah dengannya..? Sute, jangan kau main – main!"
Ting piauwsu tertawa dan sambil menjura ia berkata kepada Eng Eng.
"Taihiap, perkenalkanlah. Inl adalab su-hengku yang bernama Ouw Tang Sin, kepala dari
Pek-eng Piauwkiok. Dan suheng, kongcu ini adalab ...... " Sampai di sini Ting Kwan Ek
nampak bingung karena sesungguhnya ia belum tahu siapa nama penolongnya yang muda ini!
Eng Eng tersenyum, mengangguk kepada Quw Tang Sin dan berkata,”Suhu menyebutku Eng Eng
dan kalau tidak salah namaku adalah Suma Eng."
Tentu saja Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek saling pandang dengan heran. Di mana ada orang
memperkenalkan namanya dengan tambahan kata kata kalau tidak salah? Bagaimana orang
bisa merasa ragu - ragu atas namanya sendirl? Dan pula, nama Eng Eng lebih patut
dipergunakan oleh seorang wanita! Setelah untuk sejenak berdiri melenggong, akhirnya
Ting piauwsu ingat masih saja berdiri berhadapan maka buru-buru ia lalu mempersilakan
Eng Eng duduk.
Dengan tidak sabar Ouw Tang Sin lalu bertanya kepada sutenya tentang peristiwa yang
terjadi. Ketika Ting piauwsu menceritakan betapa ia hampir terbunuh kemudian betapa
Suma Eng mengalahkan Ban Yang Tojin, Ouw Tang Sin merasa sukar sekali untuk dapat
percaya omongan adik seperguruannya.
Pada saat itu, muncullah dua orang wanita dan dua orang anak kecil. Mereka ini adalah
nyonya Ting, nyonya Ouw, dan kedua orang anak dari Ting piauwsu. Nyonya Ting adalah
seorang wanita yang berwajah sabar dan manis budi, nyonya Ouw juga berwajah cantik,
akan tetapi dalam pandangan Eng Eng adalah seorang wanita muda yang cantik dan genit.
Sepasang mata nyonya Ouw yang bening itu mengerling kepadanya dengan genitnya.
Sebagai seorang wanita, tentu saja Eng Eng lebih senang berkenalan dengan wanita pula,
maka ketika ia diperkenalkan, ia lalu bangkit berdiri, menghampirl mereka dan ia lalu
memegang tangan nyonya Ting dan nyonya Ouw sambil berkata,
"Cici, aku girang sekali dapat berkenalan dengan kalian!" Eng Eng masih ingat bahwa
terhadap seorang wanita yang lebih tua, harus menyebut cici!
Bukan main kagetnya semua orang melihat perbuatan ini. Ting Kwan Ek, Ouw Tang Sin
sampai melompat bangun dari tempat duduk mereka dengan mata terbelalak. Sedangkan kedua
orang nyonya muda itu tersipu-sipu dan muka mereka menjadi merah sekali. Nyonya Ting
memandang marah, akan tetapi nyonya Ouw memandang wajah yang tampan itu dengan senyum
di bibir dan kembali kerling matanya menyambar ganas !
Akan tetapi Eng Eng tidak memperdulikan ini semua karena ia merasa tidak tahu akan
perasaan hati mereka. Ia lalu melihat anak bungsu dari keluarga Ting, seorang anak
perempuan berusia lima tahun. Sambil tersenyum Eng Eng lalu berjongkok, mencium anak
ini dan menggendongnya dan menimang-nimangnya.
"Adik yang manis? Mari bermain-main dengan cici."
Empat orang yang tadinya melongo itu kini saling pandang dan meledaklah suara ketawa
mereka. Eng Eng menjadi terheran dan cepat memandang, lalu bertanya "Eh.. eh, apakah
yaug kalian ketawakan ?”
Nyonya Ting lalu memegang tangannya dan berkata, "Sesungguhnya, bukankah kau seorang
perempuan ?"
"Eh, cici, kau ini aneh benar. Siapa bilang bahwa aku adalah seorang laki laki !"
Ting piauwsu memukul-mukul kepalanya sendiri sambil tertawa geli, lalu berkata,
"Sungguh lucu dan sungguh bodoh aku ini. Mengapa mataku seperti buta, tidak tahu bahwa
kau adalah seorang lihiap (pendekar wanita)? akan tetapi, mengapa kau diam saja dan
tidak mau menyangkal ketika aku menyebutmu-taihiap? Ah, nona, kau benar-benar telah
mempermainkan aku !"
"Siapa yang mempermainkan orang? Dan mengapa kau mengira bahwa aku seorang laki-laki?"
tanya Eng Eng sambil menurunkan anak perempuan itu dari gendongan,
"Pakaianmu.. siapa yang mengira bahwa kau seorang wanita??"
'Mengapa pula pakaianku? Aku memang sudah seringkali mengenakan pakaian seperti ini,"
jawab Eng Eng.
Tiba tiba teringatlah Ting Kwan Ek bahwa gadis perkasa ini adalah murid dari Hek Sin-mo
yang miring otaknya, maka kembali timbul dugaannya kalau - kalau gadis ini juga gila
seperti gurunya! Ia berkata kepada suhengnya.
"Suheng, Suma lihiap ini adalah murid tunggal dari Hek Sin mo !”
Ouw piauwsu tercengang mendengar ini dan iapun timbul dugaan seperti yang dipikirkan
oleh sutenya, Ting piauwsu tentu saja tidak mau menyatakan keinginannya mendapat
bantuan dari Eng Eng di depan gadis itu, maka ia lalu berkata kepada istrinya.
"Suma lihiap tentu lelah, kau antarkanlah dia ke kamarnya, agar supaya dia bisa
beristirahat." Diam-diam ia mengejapkan matanya kepada istrinya itu. Eng Eng tidak
membantah karena ia Iebih senang bercakap-cakap dengan nyonya Ting yang nampak manis
budi itu, sedangkan nyonya Ouw yang bernama Lo Kim Bwe itu semenjak tadi memandang
dengan muka merah dan terheran-heran.
Setelah Eng Eng masuk ke dalam bersama Ting hujin ( Nyonya Ting ) OuW Tang Sin menghela
napas dan berkata,
"Sute, sungguh sukar untuk percaya bahwa dia bisa mengalahkan Ban Yang Tojin. Dan dia
seorang wanita pula!"
"Akupun heran sekali, suheng. baru sekarang aku tahu bahwa dia adalah seorang wanita!
Sikapnya benar-benar aneh sekali, jangan-jangan dia........" Ting Kwan Ek lalu menunjuk
ke arah keningnya sendiri.
"Gurunya terkenal sebagai seorang sakti yang berotak miring." kata Ouw piauwsu yang
duduk kembali. Lo Kim Bwe lalu menyuruh pelayan mengeluarkan minuman untuk mereka
berdua, kemudian nyonya muda yang cantik dan genit ini lalu masuk ke ruang dalam untuk
ikut bercakap-cakap dengan tamu mereka yang aneh itu.
"Suheng. betapapun juga, dia benar benar berkepandaian tinggi." la lalu menceritakan
tentang jalannya pertempuran antara Eng Eng dan Ban Yang Tojin sehingga Ouw piauwsu
merasa makin terheran-heran.
"Celaka, kau telah menanam bibit permusuhan dengan Thian te Sam kui, bagaimana kalau
mereka datang mengganggu kita ?"
"Akupun mengkhawatirkan haI ini, suheng. Oleh karena itulah maka aku rnembujuk murid
Hek Sin-mo itu untuk suka datang ke sini. Agaknya dia tidak waras otaknya atau memang
aneh adatnya. Kalau kita bisa mengikatnya disini kita boleh mempunyai pembantu yang
boleh dipercaya."
Ouw Tang Sin mengangguk- angguk menyatakan setuju atas siasat sutenya itu, namun dengan
perlahan ia berkata, "Aku masih ragu-ragu dan biarlah aku mencari kesempatan untuk
menguji kepandaiannya. Dalam menghadapi Thian-te Sam kui, kita harus berhati-hati. Kau
sudah tahu akan keganasan mereka, sute."
"Tentu, suheng. Akan kubujuk agar supaya Suma Eng suka melayani kau menguji kepandaian
dan sementara itu lebih baik kita jangan menerima pengiriman barang barang berharga dan
untuk sementara waktu, aku tidak akan pergi dari Hun • leng sehingga sewaktu - waktu
datang bahaya, kita bisa menghadapinya bersama-sama."
Sementara itu, setelah berada di dalam kamar bersama nyonya Ting, Eng Eng lalu
melepaskan ikat kepala dan buntalannya, kemudian atas permintaan nyonya Ting, ia menceritakan
semua pengalamannya semenjak kecil dan hidup di dalam hutan bersama suhunya.
Nyonya Ting yang baik hati merasa sangat terharu dan tahulah ia kini bahwa Eng Eng sama
sekali bukannya berotak miring, akan tetapi adatnya yang aneh timbul oleh karena ia
tidak mengetahui tata susila kehidupan masyarakat ramai.
la minta agar supaya Eng Eng berganti pakaian dan setelah buntalan dibuka, ia melihat
bahwa di antara pakaian dara perkasa itu terdapat beberapa stel pakaian wanita yang
cukup Indah, hasil curian Hek Sin-mo.
"Adik Eng Eng yang baik, sesungguhnya seorang wanita harus mengenakan pakaian wanita
pula, karena pakaian yang kau pakai tadi adalah pakaian untuk laki laki. Kecuali kalau
memang kau hendak menyamar agar memudahkan perantauanmu, tiada halangan kau mengenakan
pakaian laki-laki.”
Sambil tertawa-tawa karena tidak mengerti betul Eng Eng lalu mengenakan pakaian wanita
dibantu oleh Ting hujin yang baik hati dan ramah tamah. Setelah ia mengenakan pakaian
itu, Ting hujin sendiri memandang kagum dan beberapa kali mengeluarkan ucapan memuji.
Memang kecantikan yang dimiliki oleh Eng Eng adalah kecantikan yang wajar, kecantikan
yang sama sekali tidak tersentuh Oleh bantuan Iuar berupa bedak ataupun yanci. Bahkan
gadis ini tidak pernah menyisir rambutnya akan tetapi oleh karena selama tinggaI di
dalam hutan ia selalu mandi dan mencuci rambutnya dengan semacam daun yang berbusa,
rambutnya bersih, hitam dan halus. Kini nyonya Ting yang merasa kagum meIihat
kecantikannya dan sayang melihat kemurnian dan ketulusannya, lalu menghias gadis itu
seperti menghias seorang calon pengantin. Makin bertambah kemolekan Eng Eng dan ketika
nyonya Ouw masuk ke dalam kamar kecantikan nyonya muda yang banyak dibantu oleh hiasan
ini nampaknya muram dan tidak berarti! la berdiri dengan mata terbelalak heran dan
kagum.
"aduh hampir aku tak dapat percaya bahwa pemuda tampan tadi kini telah menjadi seorang
gadis cantik jelita" katanya. Sambil tersenyum-senyum ia menghampiri, Eng Eng merasa
tidak enak dan entah mengapa, ia tidak suka kepada nyonya muda yang berbe-dak tebal,
bermata genit dan berbau harum menyolok di hidung karena memakai wangi-wangian ini.
Demikianlah, semenjak hari itu Eng Eng menjadi murid nyonya Ting, menerima pelajaran
tentang tatasusila dan kesopanan seorang wanita. Baru sekarang terbuka matanya terhadap
kehidupan manusia di dunia ramai. Karena menganggap bahwa Eng Eng sudah cukup dewasa
untuk mempelajari kesopanan dan batas persoalan laki-laki dan wanita. Nyonya Ting lalu
memberi keterangan tentang segala macam hal itu. Berbeda dengan nyonya Ouw yang pandai
ilmu silat, Nyonya Ting ini adalah seorang terpelajar dan dengan halus ia memberi
pelajaran kepada Eng Eng tentang prikemanusiaan dan sopan-santun. Bahkan ia hendak
memberi pelajaran ilmu membaca kepada Eng Eng akan tetapi Eng Eng tidak suka dan tidak
sabar mempelajarinya.
Eng Eng merasa suka tinggal di samping nyonya Ting yang manis budi. Ia duka pula kepada
kedua anak kecil putera dan puteri Ting - piauwsu dan memberi pelajaran dasar-dasar
ilmu silat kepada mereka. Perhubungannya terhadap Ting piauwsu dan Ouw piauwsu tetap
baik dan terbuka. Biarpun ia kini telah mendengar dari nyonya Ting tentang kekurangajaran
laki-laki terhadap wanita, namun kebe-basannya masih belum dapat dikekang dan ia
bergaul dengan kedua orang kepala piauwkiok dengan ramah dan terbuka. la tidak merasa
sungkan untuk makan bersama-sama mereka, untuk duduk mengobrol sampai jauh malam!
Tentu saja kecantikan gadis ini dan keramahan serta kejenakaannya memabokkan kepala
Ouw-piauwsu yang terkenal mata keranjang! Hatinya berdebar-debar keras apabila ia
bercakap-cakap dengan Eng Eng dan gadis ini mengobral senyumnya yang manis, sungguhpun
senyum itu bersih dan jujur.
Kalau dulu nyonya Ouw, yakni Lo Kim Bwe tergila gila kepada Eng Eng ketika dara
pendekar ini datang sebagai seorang pemuda, kini rasa cintanya ini berobah kebencian
yang hebat berdasarkan cemburu terhadap Eng Eng yang ramah tamah dan manis budi
terhadap laki-laki yang manapun, juga membuat hati Lo Kim Bwe menjadi panas dan ia
menyangka bahwa suaminya bermain gila dengan Eng Eng! Kim Bwe adalah puteri seorang
perampok besar. Lima tahun yang lalu ketika Ouw Tang Sin sedang mengantarkan barang
berharga ke kota raja, di tengah hutan ia di-ganggu oleh kawanan perampok yang
dikepalai oleh Lo Beng Tat, perampok yang telah terkenal karena ilmu silatnya yang
tinggi. Lo Beng Tat mempunyai banyak sekali anak buah sedikitnya ada lima puluh orang
perampok yang menjadi kaki tangannya.
Ouw Tang Sin tentu saja tidak mau menyerah dan dibantu oleh anak buahnya, ia melakukan
perlawanan hebat sehingga banyak sekali perampok yang tewas oleh amukannya. Akan tetapi
ia harus menyerah karena tidak saja kepala perampok she Lo itu tangguh sekali, juga ia
dikeroyok oleh banyak orang. Enam orang kawannya tewas dalam pertempuran itu dan ia
sendiri kena ditawan oleh Lo Beng Tat.
Lo Beng Tat merasa kagum melihat kegagahan Ouw piauwsu. Perampok ini mempunyai dua
orang anak, yakni yang sulung seorang laki-laki bernama Lo Houw yang me-miliki
kegagahan seperti ayahnya. Anak kedua yang bungsu, bernama Lo Kim Bwe yang cantik
jelita dan juga pandai ilmu silat pula. melihat kegagahan Ouw piauwsu timbul niatan
untuk mengambil mantu piauwsu ini.
Dengan perantaraan seorang perampok tua kepala rampok itu menyampaikan kehendaknya
kepada Ouw Tang Sin. Tentu saja Ouw piauwsu tidak sudi menerima "pinangan" ini. Ia
memang belum menikah sungguhpun usianya telah tiga puluh tahun lebih, akan tetapi siapa
mau dipunggut mantu seorang kepala rampok ? Dan pula, seorang perampok yang hidup
seperti orang liar di dalam hutan mana bisa mempunyai seorang anak gadis yang patut dan
cantik?
Akan tetapi, ketika ia melihat Kim Bwe, puteri kepala rampok itu, ia menjadi melongo!
Gadis yang berusia dua puluh tahun itu benar-benar cantik jelita seperti puteri
bangsawan, matanya kocak dan pinggangnya ramping. Ditambah oleh gaya Kim Bwe yang
memang genit menarik, hati Ouw piauwsu yang mata keranjang ini dengan mudah jatuh
terpikat. Akhirnya ia menerima juga dan dikawinkanlah mereka di dalam hutan itu ! Tak
lama kemudian, Ouw piauwsu lalu mengajak istrinya pulang ke Hun-leng dan melanjutkan
pekerjaannya.
Dua bulan kemudian semenjak Eng Eng tinggal di rumah Pek-eng Piauwkiok, Baik Ouwpiauwsu
maupun Ting piauwsu selama dua bulan itu tidak berani meninggalkan rumah, takut
kalau datang gangguan dari Ban Yang Tojin dan kawan – kawannya. Antaran barang-barang
dilakukan oleh anak buah mereka saja.
Pada suatu bari, Ouw piauwsu dan Ting piauwsu bercakap - cakap dengan Eng Eng yang kini
mengenakan pakaian wanita yang ringkas dan mencetak tubuhnya sehingga tidak saja ia
nampak manis molek, akan tetapi juga nampak gagah sekali.
"Suma lihiap, kau tentu sudah maklum bahwa keadaan kami dan perusahaan kami berada
dalambahaya dan ancaman. Ban Yang Tojin yang dulu pernah kau kalahkan." kata Ting Kwan
Ek kepada Eng Eng.
"Ting twako, mengapa orang macam Ban Yang Tojin saja harus ditakuti ? Kalau dia memang
penasaran, biarkan ia datang ke sini untuk mencari penyakit !" jawab Eng Eng. Memang,
atas permintaan Ting hujin, Eng Eng selanjutnya menyebut twako (kakak) kepada Tingpiauwsu.
Akan tetapi kepada Ouw Tang Sin ia tidak mau menyebut kakak, dan bahkan
menyebut "Ouw piauwsu" saja ! Entah mengapa mungkin perasaan wanitanya yang halus,
sungguh ia sendiri tidak tahu mengapa ia merasa kurang suka kepada Ouw Tang Sin dan
isterinya. Namun, ia selalu ingat akan pelajaran yang diterimanya dari Ting hujin bahwa
seorang wanita harus dapat menyimpan perasaan hatinya dan jangan memperlihatkan apa
yang dipikir dan dirasainya kepada orang lain. Oleh karena ini ia dapat menekan
perasaan tidak sukanya dan bersikap biasa terhadap Ouw Piauwsu dan nyonyanya.
“Nona, kau tidak tahu .' kata Ouw Tang Sin mendengar gadis itu memandang rendah Ban
Yang Tin. 'Ban Yang Tojin hanyalah orang kedua dari tiga iblis yang terkenal dengan
nama Thian-te Sam-kui. Kita telah menyakiti hati Ban Yang Tojin dan aku merasa kuatir
kalau-kalau Ban Yang Tojin akan datang mengganggu kita bersama dua orang saudaranya
yang lebih lihai lagi, yaitu Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong. Kalau sampai mereka
bertiga datang, mereka ini sama sekaIi tidak boleh dipandang rendah !"
"suma lihiap,” Ting piauwsu menyambung, "Sesungguhnya kami merasa amat bersyukur dengan
adanya kau di sini, karena dengan kepandaianmu kami merasa aman dan mengandalkan
bantuanmu yang amat berharga untuk menghadapi iblis iblis jahat itu. Aku sendiri telah
menyaksikan kepandaianmu, akan tetapi suheng belum pernah menyaksikannya. Maka, apabila
kau tidak berkeberatan, marilah kau layani suheng main-main sebentar agar pengetahuan
kami yang rendah mendapat tambahan dan kita dapat mengukur pula sampai dimana kekuatan
kita untuk menghadapi mereka."
Seandainya dua bulan yang lalu, Ting Kwan Ek bicara seperti ini mungkin Eng Eng tidak
akan mengerti betul maksudnya akan tetapi Eng Eng telah mendapat keterangan yang jelas
setiap harinya oleh nyonya Ting tentang keadaan di dunia ramai dan ditambah oleh kecerdikannya,
maka tahulah dia bahwa orang she Ouw itu masih belum percaya kepadanya. Ia
tersenyum dan bangkit berdiri, lalu berkata, "Baiklah akupun ingin sekali menyaksikan
kehebatan Pek eng to hwat seperti yang pernah kudengar dari cici !" Ia selalu menyebut
Ting hujin dengan panggilan cici atau kakak perempuan.
Ouw Tang Sin tersenyum puas, dan ia memang sudah bersiap untuk melakukan pibu ini.
Pakaian yang dipakainya ringkas dan pendek sedangkan goloknya memang selama ini tak
pernah berpisah dari pinggangnya dalam persiapannya menjaga datangnya musuh tangguh. Ia
lalu melompat berdiri di tengah lapangan lian bu thia (ruang belajar silat) yang berada
di tengah ruangan besar itu sambil mencabut goloknya.
"Bagus, nona. Silakan kau maju memperbaiki sedikit kepandaian!"
Pada saat itu, Lo Kim Bwe muncul dari pintu dalam dan nyonya muda yang juga pandai
silat ini lalu menonton dengan hati tertarik. Lo Kim Bwe sendiri memlliki ilmu silat
siang-to (sepasang golok) yang cukup lihai, maka kini melihat suaminya hendak mengadu
kepandaian dengan nona Suma Eng yang diam-diam dibenci dan dlcemburuinya, ia
memperhatikan dengan mata tajam. Seperti juga suaminya, nyonya yang pandai ilmu silat
inipun telah bersiap untuk menjaga kedatangan musuh-musuh yang tangguh. Bahkan ia telah
memberi kabar kepada ayah dan kakaknya untuk datang melakukan penjagaan.
Eng Eng menghampiri Ouw Tang Sin yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya,
sepasang kaki, dipentang teguh dan goloknya melintang di depan dada. Dengan secara
sembarangan saja Eng Eng lalu berdiri dekat dengan piauwsu itu, lalu berkata,"Nah, kau
maju dan seranglah, Ouw piauwsu, Masih menanti apalagi ?"
"Mana senjatamu, nona? Keluarkanlah senjatamu agar mataku terbuka dan menyaksikan
kelihaianmu."
"Aku tidak biasa menggunakan senjata kalau tidak terpaksa, demikianlah pesan suhuku.
Hayo kau seranglah, kalau kiranya aku tidak tahan menghadapi golokmu, tanpa kau minta
aku akan mengeluarkan senjata."
Diam-diam Ouw Tang Sin merasa mendongkol juga karena ucapan ini bersifat memandangnya
rendah sekali. la lalu majukan kakinya dan menggerakkan tangan kirinya, kemudian
berseru,"Nona, awas golok !" berbareng dengan ucapannya ini, ia menyerang dengan
goloknya, menggunakan gerak tipu Pek eng-tho sim (garuda Putih Mencuri Hati).
Dengan gerakan yang cepat sekali goloknya berkelebat menyambar ke arah dada Eng Eng
yang masih berdiri dengan tenang, seakan-akan tidak memperdulikan berkelebatnya golok
yang menyilaukan mata. Melihat betapa Eng Eng sama sekali tidak mengelak sedangkan
goloknya sudah mendekati dada, Ouw-piauwsu menjadi terkejut sekali dan cepat ia menahan
serangannya. Orang yang dapat menahan gerakan golok yang cepat itu secara tiba-tiba
sudah menunjukkan bahwa ilmu silatnya cukup baik dan tenaganya sudah sempurna, karena
ia dapat menguasai tenaga dalam goloknya. Tentu saja Ouw piauwsu tidak tega untuk
melukai dada nona cantik yang menarik hatinya itu.
“Eh, nona, mengapa kau tidak mengelak?” tanyanya heran sambil menahan serangannya.
Suma Eng tersenyum mengejek, “Mengapa harus mengelak? Golokmu masih jauh dan tidak
dielak juga ternyata kau tarik kembali. Mengapa aku harus bersusah payah mengelak?”
“Kalau diteruskan bukankah kau akan terluka berat?” tanya pula Ouw piauwsu dengan
mendongkol juga, merasa dipermainkan.
“Kalau kau teruskan seranganmu, tak usah kau suruh tentu akan kuhindarkan bahaya itu.”
“Kau tabah sekali, nona. Nah awaslah seranganku ini !”
Kini Ouw Tang Sin tidak berlaku sungkan lagi dan ia mulai menyerang dengan gerak tipu
Garuda Putih Menyambar Air. Goloknya mula-mula diangkat ke atas dan agaknya hendak
membabat pinggang akan tetapi tiba- tiba goloknya meluncur ke bawah dan membabat
pergelangan kaKi orang ! Eng Eng seperti juga tadi, berdiri dengan sembarangan saja dan
ketika golok itu hampir membabat kakinya ia tidak melompat, melainkan mengangkat kaki
kirinya dan memapaki golok itu dari atas ! Memang luar biasa sekali cara menyambut
golok dengan kaki ini. Dengan gerakan yang melebihi cepatnya sambaran golok; kaki yang
diangkatnya ini menginjak dengan tiba-tiba dan kalau sambaran golok dilanjutkan golok
itu tentu akan kena diinjak-injak sebelum mengenai sasaran.
Ouw Tang Sin terkejut dan juga heran. Tentu saja ia tidak mau membiarkan goloknya
terinjak, karena hal ini berarti merupakan penghinaan baginya. Ia menarik kembali
goloknya dan ia membacok bertubi - tubi sambil mengeluarkan gerak tipu Garuda Putih
Bermain di Awan, sebuah cabang dari ilmu golok Pek-eng-to-hwat yang lihai. Goloknya
menyambar-nyambar dengan cepat sekali, berobah menjadi seguluug sinar putih yang lebar
dan mendatangkan angin membuat rambut Eng Eng berkibar-kibar. Diam-diam Eng Eng memuji
dan maklum bahwa ilmu kepandaian Ouw piauwsu masih lebih tinggi setingkat dari pada
ilmu silat Ting Kwan Ek.
Akan tetapi hasil serangan - serangan dari Ouw Tang Sin, ini tidak ada sama sekali
bahkan akibatnya membuat Ting Kwan Ek dan juga Lo Kim Bwe menjadi bengong saking
herannya. Mereka hanya melihat tubuh Eng Eng bergerak dengan aneh seperti orang menarinari
melenggok ke kanan kiri, kadang- kadang melompat atau menyampok dengan tangannya.
Akan tetapi biarpun gerakan tubuh ini nampak aneh dan tidak teratur sama sekali, namun
sedikitpun golok di tangan Ouw piauwsu tak pernah mengenai sasaran. Beberapa kali
punggung golok itu terkena sampokan tangan Eng Eng dan Ouw piauwsu merasa betapa
tangannya tergetar secara aneh !
Sebetulnya Eng Eng sedang menghadapi Ouw Tang Sin dengan ilmu silat tangan kosong yang
disebut Kwan-im jip-pek-to (Dewi Kwan Im Menyambut atau Masuk Dalam Ratusan Golok) dan
mempergunakan ginkang yang sudah sempurna itu untuk menghindarkan diri dari sambaran
golok. Akan tetapi oleh karena ilmu silat ini hanya sebagai dasarnya saja, sedangkan
gerakannya dilakukan dengan bebas, maka nampaknya tidak karuan dan membingungkan lawan.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Eng Eng untuk membalas dengan serangannya. Gerakan
golok lawan benar-benar cepat dan bertubi-tubi sehingga ia hanya dapat mengerahkan
seluruh kepandaiannya untuk mengelak dan menjaga diri saja. Ouw Tang Sin adalah seorang
ahli silat kawakan yang sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran besar dan ilmu
silat serta tenaganya termasuk tingkat tinggi. Sampai lima puluh jurus lebih Ouw Tang
Sin menyerang, namun sedikit juga belum pernah dapat menyerempet ujung baju dara
perkasa itu! Diam-diam Ouw Tang Sin terkejut dan tunduk betul. Kini ia tidak ragu-ragu
lagi dan mulai percaya akan penuturan sutenya. Siapakah orangnya yang dapat menghadapi
goloknya dengan tangan kosong sampai lima puluh jurus tanpa terdesak sama sekali! Ia
mengalami hal yang aneh dalam pertempuran menghadapi Eng Eng ini. Sebagian besar dari
serangannya gagal di tengah jalan, bahkan gagal sebelum serangan itu dilancarkan.
Beberapa kali, baru saja goloknya hendak digerakkan untuk menyerang, agaknya nona itu
sudah maklum dan, dapat menduga sehingga selalu mendahuluinya dengan pemasangan kaki
atau tangan ke arah jalan darah pada nadi tangannya yang memegang golok. Dangan
demikian, apabila serangan ia teruskan, sebelum goloknya mengenai tubuh lawan, terlebih
dulu nadinya akan terkena tiamhwat (ilmu totokan) gadis yang. sangat lihai itu.
Eng Eng merasa gemas juga melihat betapa Ouw piauwsu belum juga mau mengaku kalah.
Menurut patut, setelah dilawan dengan tangan kosong sampai lima puluh jurus tanpa bisa
mendapat kemenangan, piauwsu itu sudah harus mengaku kalah. Agaknya orang ini perlu
diberi bukti, katanya dalam hati.
Memang Ouw Tang Sin belum merasa puas dan pula ia telah “jatuh hati” terhadap gadis
cantik jelita yang pandai sekali ini. Berpibu melawan Eng Eng dianggapnya sebagai suatu
kesempatan yang baik sekali untuk berdekatan dengan gadis itu. Selain demikian, iapun
hendak mendesak gadis itu sekuatnya agar supaya gadis ini memperlihatkan kepandaiannya
yang terlihai, karena dengan jalan ini akan lebih tebal kepercayaannya untuk
mengandalkan bantuan Eng Eng menghadapi Thian - te Sam- kui yang tangguh.
Demikianlah dengan membuta dengan kenyataan bahwa gadis itu berlaku murah dan mengalah
terhadapnya. Ouw Tang Sin memutar goloknya makin cepat lagi, mengeluarkan gerak tipu
simpanan dari ilmu golok Pek-eng-to-hwat, Tiba-tiba ia merasa terkejut dan silau
matanya karena entah dengan gerakan bagaimana, tahu-tahu gadis itu telah memegang
sebatang pedang yang ketika digerakkan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata !
Ketika melihat sinar pedang bergulung mengarah lehernya, Ouw Tang Sin cepat menangkis
dengan goloknya, akan tetapi bagaikan mempunyai mata, pedang itu dapat mengelak dari
benturan dan kini menerobos ke bawah hendak menusuk perutnya ! Ouw Tang Sin terkejut
sekali karena gerakan serangan ini seperti serangan sungguh-sungguh dan agaknya
perutnya akan tertembus pedang kalau ia tidak cepat bertindak. Untuk mengelak tidak ada
waktu lagi, maka ia cepat menyabetkan goloknya ke bawah, ke arah pergelangan tangan
lawan! Pikirnya, kalau gadis ini melanjutkan serangannya, tentu pergelangan tangannya
akan terbabat putus oleh goloknya!
“Trang?” Bunga api menyambar dan Ouw Tang Sin cepat melepaskan gagang goloknya. Ketika
ia membacok ke bawah tadi, ia telah menggunakan tenaga, maka ketika ditimpa dari atas,
tenaga bacokan ke bawah menjadi berlipat kekuatannya sehingga tangannya terasa panas
dan sakit. Setelah goloknya terlepas dan ia melihat ke bawah ternyata bahwa goloknya
telah dapat dipatahkan menjadi dua oleh pedang yang luar biasa dan yang bersinar
kemerah-merahan itu !
Akan tetapi, ketika ia memandang kepada Eng Eng dengan senyum kagum gadis itu sudah
bertangan kosong lagi, entah kapan ia menyimpan pedangnya yang luar biasa tadi.
“Hebat, hebat!” Seru Ouw Tang Sin sambil menjura. “setelah kau bersenjata, dalam tiga
jurus saja kau berhasil mengalahkan aku! Ah, nona Suma Eng, kini aku tidak ragu-ragu
lagi dan terimalah hormat serta kagumku. Kau benar-benar lihai!”
Eng Eng tidak melayani pujian ini, hanya tersenyum dan dengan tenang duduk kembali ke
atas bangku.
“Baru kali ini aku melihat pedangmu yang hebat, lihiap.” Kata Ting Kwan Ek dengan
girang. “Pedangmu bersinar merah dan dapat kau lilitkan seperti ikat pinggang, benarbenar
luar biasa. Pedang apakah gerangan pusakamu itu, Suma lihiap?”
Eng Eng tersenyum puas dan girang mendengar orang memuji pedangnya. “Pedangku ini oleh
suhu diberi nama Ang-coa-kiam ( Pedang Ular Merah ). dan jarang sekali kupergunakan
kalau tidak perlu.”
Mendengar nama pedang ini, Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek saling pandang dengan heran.
“Nona Suma Eng, pedang Ang-coa-kiam adalah pusaka milik Kim liong.pai di Liong san.
Bagaimana bisa terjatuh di dalam tanganmu ?” Ouw Tang Sin berseru.
Tentu saja Eng Eng tidak tahu apakah yang disebut Kim - liong - pai ( Partai Naga Emas)
dan di mana letaknya bukit Liong san, maka ia hanya memandang sambil mengerutkan alis
karena Ouw piauwsu menyatakan bahwa pedang itu milik orang lain.
Ting Kwan Ek yang lebih cerdik lalu memandang kepada suhengnya dengan sinar mata
mencela, kemudian ia buru buru berkata kepada Eng Eng. “Suma lihiap, tentu saja
pedangmu itu bukan milik orang lain. Hanya saja memang betul bahwa Kim-liong-pai
memiliki sebuah pedang pusaka yang namanya juga Ang-coa-kiam. Bolehkah kami melihat
pedangmu itu sebentar saja? Kami pernah melihat Ang.coa kiam dari Kim-liong-pai maka
dapat kami mengenal pedang itu.”
Eng Eng mengeluarkan pedangnya dan memberikan senjata itu kepada Ting Kwan Ek. Dengan
kagum kedua orang piauwsu itu bergantian memeriksa pedang yang luar biasa itu dan Ouw
piauwsu segera berkata.
“Ah, bukan ? Pedang ini bukan pedang pusaka dari Kim-liong pai ! Pedang Angcoa-kiam
yang menjadi pedang pusaka Kim-liong-pai berbentuk seekor ular merah yang runcing
ekornya dan kepalanya menjadi gagang. Pedang ini sama sekali tidak berbentuk ular,
hanya warnanya yang agak sama dengan Ang- coa kiam dari Kim.liong-pai !”
Ting Kwan Ek mengangguk - angguk dan mengembalikan pedang itu kepada Eng Eng. “Memang
bukan, akan tetapi kurasa belum tentu Kalah ampuhnya dengan Ang-coa-kiam dan Kim-Liongpai.”
“Jangan bilang demikian, sute. Ang-coa- kiam dari Kim- Liong-pai luar biasa sekali dan
telah terkenal di empat penjuru dunia. Apa lagi kalau dimainkan oleh anggota Kim liongpai
yang memiliki ilmu pedang Ang coa-kiam- sut,” kata Ouw-piauwsu.
Ting piauwsu tidak menjawab, hanya di dalam hatinya ia menyesal mengapa suheng-nya
sebodoh itu, karena ucapan ini sama artinya dengan merendahkan nilai pedang dara
perkasa itu.
Akan tetapi, karena belum lama terjun dalam dunia ramai, Eng Eng tidak merasa demikian,
hanya di dalam hati ia ingin sekali mencoba kelihaian perkumpulan Kim liong- pai dengan
pedangnya yang bernama Ang coa-kiam itu.
Pada saat itu, dari luar mendatangi dua orang laki-laki yang seorang sudah tua akan
tetapi bertubuh tinggi besar, bermuka penuh cambang bauk dan sikapnya kasar sekali,
pakaiannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli silat, dan di pinggangnya
tergantung sepasang golok yang lebar dan berat. Orang kedua masih muda, berusia paling
banyak dua puluh lima tanun, juga bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
“Cihu, Kami datang?” seru orang muda itu sambil tertawa menyeringai dan matanya tajam
mengerling ke arah Eng Eng,
“Ayah! Adik Houw!” Lo Kim Bwe yang masih duduk di situ segera melompat berdiri dan
dengan wajah girang menyambut kedatangan kedua orang ini. Ouw Tang Sin juga cepat
berdiri menyambut dengan muka berseri-seri, sedangkan Ting piauwsu juga berdiri dan
memberi hormat kepada orang tua yang baru datang.
Orang tua tinggi besar yang bersikap gagah dan galak seperti Thio Hui tokoh perkasa di
jaman Sam-kok ini bukan lain adalah ayah dari nyonya Ouw Tang Sin yang bernama Lo Beng
Tat. Adapun pemuda yang tinggi besar bermuka hitam itu adalah adik dari Lo Kim Bwe dan
bernama Lo Houw, Kedua orang ini sengaja datang atas undangan Lo Kim Bwe guna membantu
dan memperkuat kedudukan Ouw Tang Sin yang mengkhawatirkan datangnya gangguan dari
Thian-te Sam-kui.
Ketika mereka berdua ini diperkenalkan kepada Eng Eng, Lo Houw memandang dengan
sepasang mata yang lebar. Pandangan ini mengandung kekaguman dan juga kurang ajar
sekali sehingga Eng Eng menjadi merah mukanya. Perasaan wanitanya membuatnya merasa
malu dan jengah, ia tidak berani menentang pandangan mata orang yang kurang ajar ini.
“Nona Suma Eng, sungguh aku merasa beruntung dan girang sekali mendapat kesempatan
bertemu dan berkenalan dengan kau.” kata Lo Houw yang pemberani dan sudah biasa
menghadapi wanita ini, kemudian ia berpaling kepada Ouw Tang Sin dan bertanya, “Cihu
(kakak ipar). mengapa kau tidak dulu- dulu memberi kabar bahwa ada nona Suma Eng di
rumahmu? Kau harus menceritakan padaku bagaimana nona itu bisa berada di sini. Siapakah
ia dan darimana datangnya dan untuk berapa lama ia tinggal di sini?”
Ting Kwan Ek mengerutkan keningnya dan hatinya mendongkol sekali. Diam-diam ia takut
kalau Eng Eng menjadi marah, akan tetapi ketika ia mengerling ke arah nona itu, ia
melihat Eng Eng menahan senyum dan gadis ini tanpa berkata sesuatu apapun lalu pergi
dari situ, kembali ke kamar yang berada dekat kamar Ting hujin.
Eng Eng merasa mendongkol sekali, akan tetapi melihat muka kedua orang piauwsu yang
menjadi tuan rumah, ia dapat menekan kemarahannya. Kalau tidak melihat muka kedua orang
tuan rumah, tentu ia sudah memberi hajaran kepada laki - laki kasar dan kurang ajar
itu. Setelah mendengar keterangan dan pelajaran tentang sopan santun, Eng Eng dapat
merasa bahwa orang tinggi besar bermuka hitam memang kurang ajar dan tidak sopan.
Melihat muka Eng Eng yang menjadi merah dan matanya menyinarkan kemarahan, Ting hujin
lalu bertanya,
“Eh, adik Eng, kau kenapakah? Tidak seperti biasa, kegembiraan yang biasa lenyap sama
sekali dari wajahmu, terganti oleh cahaya kemarahan. Ada terjadi apakah gerangan?”
Di antara serumah itu hanya nyonya Ting yang ramah tamah dan manis budi, ini saja yang
membuat Eng Eng merasa suka tinggal di rumah itu. Ia telah menganggap nyonya muda ini
seperti kakaknya sendiri, dan tidak pernah merahasiakan perasaannya Nyonya Ting juga
merasa amat sayang dan kasihan kepada nona yang bernasib malang yang sama sekali masih
hijau dan gelap akan keadaan kehidupan dunia ramai.
“Cici, kalau kau tidak berada lagi di dalam rumah ini, aku sebetulnya sudah tidak suka
lagi tinggal di sini. Hanya kau seorang yang kupercaya dan kusayangi, dan hanya Ting
twako yang kuhormati karena iapun menghormati kepadaku. Akan tetapi yang lainlain.......
dan terutama sekali dua orang yang baru datang itu! Yang muda sungguh
mempunyai mata kurang ajar sekali.”
“Hush, jangan keras-keras, adik Eng! Mereka itu adalah keluarga dari Kim Bwe! Mereka
itu datang atas undangan nyonya Ouw untuk memperkuat kedudukan kita dan kepandaian
mereka cukup tinggi. Yang tua adalah ayah dari Kim Bwe bernama Lo Beng Tat, sedangkan
yang muda bernama Lo Houw adik dari Kim Bwe.”
“Perduli apa!” Eng Eng mencela. “Siapapun juga adanya orang itu, tidak patut ia
memandangku seperti orang kelaparan!”
Nyonya Ting tersenyum geli. 'Salahmu sendiri adik Eng mengapa engkau mempunyai wajah
demikian cantik jelita dan tubuhmu demikian molek dan ramping?”
Eng Eng memandang kepada nyonya Ting sambil cemberut. “Cici, apakah engkau juga hendak
menggodaku?”
Nyonya muda itu tertawa,“Sudahlah, adik Eng.” Ia menghibur, “bersikaplah sabar, Kalau
dia tidak melakukan atau mengeluarkan ucapan yang menghina, perlu apa kau harus marahmarah?
Anggap saja ia seperti patung, habis perkara! Mereka belum mendengar tentang
kelihaianmu, maka mereka berani bersikap kurang ajar.”
Akan tetapi, pada waktu itu, di luar terjadi pembicaraan yang amat menarik perhatian,
Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin menceritakan kepada kedua orang tamu itu bahwa Eng Eng
adalah seorang dara perkasa yang berkepandaian tinggi dan yang mereka harapkan untuk
dapat menghadapi Thian-te Sam kui.
“Ah, cihu, jangan kau main-main !” kata Lo Houw sambil tersenyum menyeringai. “Thian te
Sam-kui adalah tokoh-tokoh kang- ouw yang amat dahsyat dan menakutkan. Terus terang
saja, ketika aku mendengar bahwa kau bermusuhan dengan Thian-te Sam-kui, aku merasa
terkejut dan seram. Kalau saja musuh itu orang-orang lain, aku tidak takut
menghadapinya. Akan tetapi Thian te Sam-kui.....? hm, sungguh harus kunyatakan bahwa
Ting-piauwsu kurang hati-hati sehingga bisa bentrok, dengan mereka !”
Ting piauwsu merasa mendongkol sekali, akan tetapi Lo Beng Tat yang sudah tua dan
berpengalaman, lalu mencela puteranya. “Tak perlu hal ini dibicarakan lagi. Yang
terpenting sekarang kita harus dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka itu.
Kalau nona tadi memang berkepandaian tinggi dan mau membantu, alangkah baiknya, karena
makin banyak kawan makin baik. Kalau kiranya perlu dapat juga aku mencari kawan yang
akan membantu kita.
“Kurasa dengan kita berdua dan dibantu oleh cihu dan Ting piauwsu, kita akan cukup
menghadapi mereka !” kata Lo Houw yang selalu menyombongkan kepandaiannya sendiri.
“Adapun nona itu.. hm, dia memang cantik jelita seperti bidadari dan nampak gagah, akan
tetapi kepandaiannya.? Aku masih meragukannya !”
“Houw te (adik Houw), jangan kau memandang rendah.” kata Ouw piauwsu, “aku sendiri
sudah mencoba kepandaiannya dan ternyata golokku tidak berdaya terhadap dia !”
Kata-kata ini mencengangkan Lo Beng Tat dan Lo Houw karena mereka ini sudah tahu akan
kepandaian Ouw Tang Sin. Agaknya mereka tidak dapat mempercayai ucapan ini. Akan tetapi
belum ada orang membuka mulut, tiba- tiba Kim Bwe berkata dengan muka berseri,
“Aku sudah memikirkan hal ini berhari-hari dan sekarang setelah adik Houw datang, makin
kuatlah kehendak hatiku ini. Ayah, bagaimana kalau adik Houw dijodohkan dengan nona
Suma Eng ? Selain ia cantik dan gagah sehingga cocok untuk menjadi isteri adik Houw,
juga ikatan ini akan membuat dia lebih bersungguh-sungguh membela kita .”
Serta merta Lo Houw menyatakan setujunya. Ia tertawa lalu berdiri dan menjura kepada
kakak perempuannya dengan sikap lucu yang dibuat-buat sambil berkata.
“Enci Kim Bwe, tidak percuma aku mempunyai saudara tua seperti kau ini ! Terima kasih,
enci yang baik, terima kasih ! Kalau memang hal ini dapat berhasil, selama hidupku aku
akan menjadi adikmu yang berbakti .”
Akan tetapi Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin mengerutkan kening, dan di dalam hati masingmasing,
kedua orang ini tidak setuju dengan usul ini. Ting Kwan Ek tidak setuju oleh
karena dalam pandangannya Lo Houw tidak pantas menjadi suami Eng Eng. Sedangkan Ouw
Tang Sin yang sudah tergila-gila kepada Eng Eng, tentu saja tidak senang mendengar
gadis ini hendak dijodohkan dengan lain orang! Akan tetapi tentu saja mereka tidak
berani menyatakan ketidak-setujuan mereka karena merasa tidak berhak.
Lo Beng Tat berpikir sebentar, kemudian tertawa girang. “Bagus, Kim Bwe, memang bagus
sekali pikiranmu ini. Akupun tidak keberatan mempunyai seorang nyonya mantu secantik
dia.”
Kim Bwe merasa girang sekali. Dia memang sengaja hendak merangkap perjodohan ini agar
supaya Hatinya terlepas dari pada cemburu terhadap Eng Eng dan suaminya.
“Adik Ting,” katanya kepada Ting piauwsu “karena kau dan isterimu lebih dekat
hubungannya dengan Eng Eng, maka kuharap kau suka menyuruh isterimu menjadi perantara
dan wakil nona itu untuk menerima pinangan ini dan membicarakannya dengan nona Suma
Eng.”
Ting Kwan Ek merasa tidak enak sekali.akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab. “Kami
tentu saja tidak berhak sama sekali untuk memutuskan hal ini dan tak dapat kami memaksa
kepada nona Suma Eng untuk menerima atau menolaknya. Segala keputusan tergantung kepada
pikiran nona itu sendiri. Akan tetapi tentu saja isteriku tidak akan merasa keberatan
untuk menyampaikan pinangan ini.” Setelah berkata demikian, ia lalu masuk ke dalam
ruangan sebelah kiri.
Melihat kedatangan Ting piauwsu, Eng Eng lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri dengan
hati masih mendongkol dan gemas kepada muka hitam yang dianggapnya menjemukan itu.
Ketika Ting Kwan Ek memberitahukan kepada isterinya tentang usul pinangan itu,
isterinya mengerutkan keningnya dan berkata sambil menarik napas panjang, “Ah, benarbenar
mencari perkara dan kesulitan ! Baru saja Eng Eng telah datang dan menuturkan
dengan marah betapa Lo Houw bersikap tidak menyenangkan. Gadis itu agaknya amat benci
melihat muka dan pandangan mata Lo Houw yang dianggapnya kurang ajar.” la lalu
menuturkan kepada suaminya tentang percakapan antara dia dan Eng Eng tadi.
“Ah, sukar sekali kalau begitu Akan tetapi isteriku, betapapun juga, kau harus
menyampaikan pinangan ini kepada Suma lihiap. Diterima atau tidak, bukanlah urusan
kita. Suheng telah menyerahkan urusan ini kepada kita untuk disampaikan kepada yang
bersangkutan, mau tidak mau kita harus melakukan. Kau yang pandai saja bicara agar Suma
lihiap tidak menjadi marah.”
“Baiklah, akan kucoba.” Kata isterinya dengan hati rusuh karena ia dapat menduga dengan
penuh keyakinan bahwa Eng Eng pasti akan marah mendengar pinangan ini, ia maklum bahwa
gadis itu masih belum tahu betul tentang tata susila kehidupan dan masih kasar, apalagi
tentang jodoh dan pinangan, dalam hal ini benar-benar Eng Eng masih belum mengerti.
Benar saja, betapapun hati - hatinya menyampaikan pinangan itu kepada Eng Eng di dalam
kamar gadis ini, Eng Eng menyambut dengan mata memancarkan cahaya berapi dan mukanya
menjadi merah sekali.
“Apa ?” teriaknya keras sehingga terdengar sampai di luar kamar. “Si muka hitam yang
kurang ajar itu minta aku menjadi isterinya? Minta aku menjadi seperti cici terhadap
Ting twako? Gila! Dia gila, kurang ajar dan berani mati ! Akan kutampar mukanya yang
hitam untuk kelancangannya itu !”
Eng Eng marah sekali. Tanpa ia ketahui sebabnya, mendengar bahwa ia diminta menjadi
isterinya si muka hitam menimbulkan perasaan malu, jengah, terhina dan yang bergabung
menjadi perasaan hebat. Ia hendak melompat keluar dan memberi hajaran kepada si muka
hitam, akan tetapi nyonya Ting cepat mencegahnya dan berkata,
“Adik Eng, jangan kau marah. Urusan ini dapat dibereskan dengan amat mudah. Kalau kau
tidak setuju, kau berhak menolak dan habis perkara ! Mengapa mesti marah-marah?”
“Tidak ! Aku harus memberi hajaran kepada monyet hitam itu, agar supaya ia dapat tahu
siapa aku dan tidak berani kurang ajar lagi !” Sambil berkata demikian, ia melompat
keluar dari kamarnya.
Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika melihat bahwa di luar kamarnya telah
berdiri Lo Houw si muka hitam itu sendiri! Pemuda ini nampaknya marah akan tetapi
melihat Eng Eng, kemarahannya itu mereda dan kembali mulutnya menyeringai membuat
mukanya yang sudah hitam itu semakin tambah memburuk.
“Nona yang manis! Aku tidak merasa sakit hati melihat kemarahanmu, karena sudah
biasanya seorang gadis menjadi marah kalau dilamar orang. Kemarahan yang timbul karena
malu-malu. Betul tidak?”
“Monyet hitam, kalau kau tidak lekas menutup mulut dan pergi dari sini, akan
kuhancurkan kepalamu!” Bentak Eng Eng dengan alis berdiri.
“Aduh galaknya!” Lo Houw mengejek seakan - akan melihat seorang anak kecil yang sedang
marah. “Kau belum tahu siapa aku, nona. Aku Lo Houw dijuluki orang Si Ruyung Maut, dan
kalau baru menghadapi keroyokan sepuluh orang saja, aku takkan mudah menyerah. Apa lagi
seorang nona manis seperti engkau ini! Ha, ha, ha, makin marah kau menjadi makin cantik
saja !”
Eng Eng tak dapat menahan kesabarannya lagi dan hendak menerjang, akan tetapi nyonya
Ting yang sudah keluar pula, segera menubruk dan membujuk. “Eng Eng jangan ......!
Jangan kau berkelahi di dalam rumah, hal ini amat tidak baik. Bersabarlah kau, adikku.”
Kemudian ia berpaling kepada Lo Houw dan berkata dengan suara kaku,
“Adik Lo Houw, kuharap kau suka berlaku sopan dan jangan mengganggu tamu kita.”
Dengan muka berubah gelap karena malu, Lo Houw hendak mengundurkan diri akan tetapi Eng
Eng sudah memberontak dari pelukan nyonya Ting dan berkata keras,
“Aku tidak sudi mengalah begitu saja ! Aku bukan tamu lagi ! Hei, monyet hitam, kalau
kau memang gagah, keluarlah dan mari kita membuat perhitungan di luar!” Sambil berkata
demikian. Eng Eng lalu berlari Keluar dari rumah itu dan berdiri di halaman depan,
menanti datangnya seorang yang dibencinya.
Mendengar suara ribut-ribut ini, semua orang keluar pula dan kebetulan sekali ketika
Eng Eng keluar dari rumah itu, ia bertemu dengan Lo Beng Tat dan Ouw Tang Sin yang
masih berada di ruang depan, Ouw Tang Sin menjadi bingung mendengar dan melihat
kemarahan Eng Eng, akan tetapi Lo Beng Tat yang berwatak kasar, menjadi marah sekali
mendengar betapa puteranya dimaki-maki oleh Eng Eng. Ia bangkit berdiri dan sekali ayun
tubuhnya, ia telah berdiri di depan gadis itu.
“Nona Suma !” Bentaknya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Eng Eng,
“karena mendengar kata-kata anak perempuan dan mantuku bahwa kau adalah seorang gadis
baik-baik aku dengan sesungguh hati mengajukan pinangan padamu untuk puteraku. Apakah
salahnya hal ini ? Mengapa kau menjadi marah marah tanpa sebab? Misalnya kau tidak
setuju, kau boleh menolak dengan sopan dan baik-baik, tidak menjadi marah-marah seperti
gadis gila!”
“Bangsat tua bangka, apa kau kira aku takut kepadamu ? Jangan banyak membuka mulutmu
yang kotor !Eng Eng membalas dengan makian, karena ucapan Lo Beng Tat ini bagaikan
minyak yang menambah berkobarnya api kemarahan dalam hatinya.
Lo Beng Tat adalah seorang kepala rampok yang ganas, kasar dan tak kenal takut. Ia
terkenal dengan ilmu golok kembar dan juga memiliki tenaga yang besar sekali. Tingkat
kepandaiannya, apabila dibandingkan dengan Ouw Tang Sin mantunya mungkin masih menang
setingkat terutama sekali dalam tenaga karena sesungguhnya raksasa tua ini tenaganya
amat mengejutkan orang. Kini mendengar makian seorang gadis muda kepadanya, tentu saja
ia menjadi marah sekali. Sekali ia menggerakkan tangan kanan, sepasang golok telah
tercabut yang segera dipegang olen kedua tangannya. Golok ini lebar dan tajam sekali
berkilauan menyilaukan mata.
“Kau mencari mampus!” teriak Lo Beng Tat yang segera menyerang dengan sepasang
goloknya. la memutar sepasang goloknya bagaikan kitiran cepatnya, golok kanan mengancam
kepala, sedangkan golok kiri diputar menyerang pinggang lawan!
“Bagus, tua bangka, perlihatkanlah keburukan ilmu silatmu!” Eng Eng mengejek dan begitu
tubuhnya berkelebat, ia telah dapat mengelak dari serangan dua batang golok itu. Lo
Beng Tat mengejar lagi dan melanjutkan serangannya bertubi-tubi. Ouw Tang Sin menjadi
makin bingung. Untuk mencegah mertuanya, ia tidak berani, akan tetapi kalau dilanjutkan
pertempuran itu, berarti fihaknya telah ada perpecahan, dan bagaimana nanti kalau
musuh-musuh yang ditakutinya itu datang mengganggu? Juga Ting Kwan Ek, Kim Bwe, dan
semua orang yang keluar tak berani turun tangan mencegah pertempuran itu. Ting piauwsu
hanya memandang dengan muka pucat dan diam-diam ia amat benci kepada Lo Houw yang
dianggap menjadi gara- gara dan biang keladi semua ini.
Setelah menghadapi sepasang golok besar Lo Beng Tat sampai dua puluh jurus lamanya, Eng
Eng harus mengakui bahwa ilmu golok orang tua ini benar - benar berbahaya. Ia lalu
berseru keras dan sinar merah berkelebat ketika ia mengeluarkan pedangnya, Ting Kwan Ek
sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang gadis itu, maka ia segera berseru.
“Suma lihiap, harap kau jangan menurunkan tangan kejam !”
Akan tetapi sambil menggerakkan pedangnya yang luar biasa, Eng Eng menjawab sambit
tersenyum mengejek, “Ting - twako, apa kau kira monyet tua ini tidak akan melukai aku
dengan goloknya, kalau ia mampu melakukan hal itu?”
Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu membalas dengan pedangnya yang luar biasa
gerakannya. Sejak tadi, Lo Beng Tat sudah merasa terheran-heran dan kaget sekali. Belum
pernah ia menyaksikan ilmu silat seperti yang dimainkan oleh gadis itu ketika
menghadapi sepasang goloknya. Ia terkenal memiliki ilmu golok yang ganas sekali, akan
tetapi gadis itu, dengan tangan kosong dapat menghadapi sepasang goloknya, dengan
gerakan tubuh yang aneh, kadang-kadang terhuyung-huyung seperti orang mau jatuh, kadang
seperti menari-nari.
Namun goloknya tetap saja dapat dielakkan dengan amat cepat dan tak terduga-duga. Kini
melihat gadis itu memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerah-merahan dan yang
gerakannya amat luar biasa makin terkejut. Ia mencoba untuk menangkis dengan golok kiri
dan membalas menyerang dengan golok kanan, akan tetapi ketika pedang itu membentur
golok kirinya pedang itu melesat ke samping dan mendahului golok kanannya, menyambar ke
arah lengan tangan kanannya! Ia cepat melompat mundur sambil menarik tangan kanannya
dengan muka pucat. Hampir saja tangan kanannva menjadi korban dalam gebrakan pertama
setelah gadis itu memegang pedangnya.
Eng Eng tidak mau memberi hati kepada lawannya dan terus maju menyerang sehingga
sebentar saja Lo Beng Tat terdesak hebat, memutar dua batang goloknya untuk melindungi
tubuhnya, sambil menggerakkan kedua kakinya mundur teratur.
Bukan main gelisahnya Ting Kwan Ek melihat hal ini. Kalau sampai orang itu terluka,
tentu hal ini akan menjadi semakin hebat dan besar sekali kemungkinannya bahwa dia akan
terlibat dan akan bertentangan dengan keluarga suhengnya! Ia lalu membisiki telinga
isterinya dan terdengarlah kemudian nyonya Ting berseru.
“Adik Eng, dengarlah omonganku, pandanglah mukaku, jangan kau membunuh atau melukai
orang!” Suara nyonya Ting ini terdengar mengharukan dan mengandung isak tangis sehingga
pengaruhnya jauh lebih besar bagi Eng Eng dari pada ucapan Ting piauwsu tadi. Memang
kepada nyonya ini Eng Eng amat menyayang dan menghormatinya, maka begitu mendengar
seruan ini, ia memutar otaknya dan berpikir mengapa nyonya Ting melarangnya membunuh
atau melukai orang yang dianggapnya jahat ini. Pengetahuannya yang amat dangkal tentang
hubungan kekeluargaan dan sebagainya, membuat ia tidak mengerti mengapa nyonya Ting
seakan-akan membela orang tua ini, Akan tetapi, untuk melanggar larangan ini, ia tidak
tega, karena dari suara nyonya itu, ia maklum bahwa nyonya Ting sedang berada dalam
keadaan yang amat Cemas dan berduka karena pertempuran ini.
“Baiklah cici, aku hanya akan memperlihatkan bahwa adikmu tidak boleh dibuat
permainan !” Ia lalu menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi dan terdengarlah suara
keras dibarengi pekik Lo Beng Tat. Sebuah goloknya yang kanan, terlepas dari pegangan
dan terlempar ke udara ! Sebelum ia tahu bagaimana lawannya dapat melakukan hal ini,
tangan kiri Eng Eng sudah bergerak, didahului oleh tusukan pedangnya yang cepat sekali
hendak menancap ke ulu hati lawan ! Tentu saja bagi Lo Beng Tat gerakan pedang yang
mengancam ulu hatinya itu lebih penting untuk diperhatikan karena lebih berbahaya, maka
cepat la mengelak ke kanan untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tidak
tahunya bahwa serangan pedang ini hanya pancingan belaka, karena Eng Eng lebih
mengutamakan tangan kirinya yang dengan tepat telah menotok urat nadi tangan kiri Lo
Beng Tat yang memegang golok.
“Aduh'!” Kepala rampok itu berseru kesakitan dan sebentar saja golok kirinya telah
pindah tangan !
Eng Eng menghentikan gerakannya dan kini sambil menimang-nimang golok besar di tangan
kirinya, ia tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.
“Kalau tidak memandang muka ciciku yang baik, bukan hanya golok yang kurampas,
melainkan kepala orang!” katanya sambil tersenyum manis.
Lo Beng Tat hanya berdiri melongo saking heran dan terkejut, kemudian ia sadar dan
menudingkan golok kanannya ke arah Eng Eng.
“Kau benar seorang yang tidak kenal budi, seorang perempuan liar yang baru keluar dari
hutan dan tidak tahu aturan ! Berbulan- bulan kau tinggal di rumah kami, makan nasi
kami, mendapat perlakuan yang baik dan manis budi! Sekarang bahkan kami mempunyai
pikiran untuk menarik kau sebagai seorang anggauta keluarga, akan tetapi apakah
balasanmu? Kau menghina ayahku, dan mencaci maki adikku, sungguh, hari ini aku harus
mengadu jiwa dengan kau, perempuan liar !” Sambil berkata demikian, Lo Kim Bwe
menggerakkan sepasang goloknya dan menyerang Eng Eng dengan kalang kabut ! Terdengar
Ouw Tang Sin, Ting Kwan Ek, dan nyonya Ting berseru membujuk, akan tetapi Lo Kim Bwe
tidak perdulikan semua itu dan terus menyerang dengan hebatnya.
“Jangan takut, enci Bwe, aku membantumu!” seru Lo Houw yang sudah mengeluarkan
ruyungnya dan menyerang Eng Eng pula dengan gerakan yang berat dan kuat sekali.
“Celaka !” Ting Kwan Ek berseru bingung. “Bagaimana baiknya sekarang ?”
Ouw Tang Sin juga menjadi bingung dan serba salah, akan tetapi ia hanya mengangkat
pundak karena tidak berdaya.
“Eng Eng, sekali lagi, kuharap kau tidak melukai mereka !” Nyonya Ting berseru kembali.
Akan tetapi kini kemarahan Eng Eng sudah banyak mereda setelah ia berhasil mengalahkan
Lo Beng Tat. Sambil tersenyum-senyum ia menyambut serangan kedua saudara Lo itu dengan
senjata golok yang tadi dirampasnya dari Lo Beng Tat. Golok itu masih dipegang di
tangan kiri dan ternyata bahwa gerakan tangan kirinya memainkan golok itupun amat
mengagumkan ! Terbelalak mata Lo Beng Tat yang terkenal sebagai ahli golok ketika ia
menyaksikan betapa dengan golok di tangan kiri, Eng Eng menjawab seruan nyonya Ting
tadi dan kini ia memutar goloknya demikian rupa sehingga tubuhnya lenyap di tengah
gulungan sinar putih dari golok itu. Baik Kim Bwe maupun Lo Houw tak dapat melihat
bayangan Eng Eng dan yang mereka lihat Hanyalah bayangan sinar putih dari golok itu
yang menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa dan menimbulkan hawa
dingin!
Baru saja bertempur tiga puluh jurus lebih sepasang golok di tangan Kim Bwe telah
terpental jauh dan nyonya muda yang genit ini terpaksa melompat mundur.
“Mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak mau membantu isterimu ?” bentaknya dengan
mulut cemberut dan mata berapi kepada suaminya.
Ouw Tang Sin menjadi bingung dan serba salah. Tidak membantu, bagaimana? Yang bertempur
melawan Eng Eng adalah isteri dan iparnya, akan tetapi kalau membantu, ia sudah merasa
jerih terhadap kelihaian Eng Eng !
“Ha, agaknya kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu, bukan ?” Kim Bwe mendesak
marah.
Terpaksa Ouw Tang Sin mencabut senjatanya, akan tetapi Ting Kwan Ek mencegah. “Jangan,
suheng, apakah kau hendak membikin keadaan menjadi makin kusut ?”
Ouw Tang Sin makin menjadi ragu-ragu dan pada saat itu, terdengar jeritan ngeri dari Lo
Houw karena ujung golok Eng Eng telah menggurat mukanya sehingga mukanya berlumuran
darah dari jidat sampai ke dagu ! Eng Eng sengaja memberi hajaran hebat kepada pemuda
muka hitam itu. Memang ia hanya menggaris saja sehingga kulit muka pemuda Itu pecah dan
biarpun ia tidak menderita luka hebat, namun terpaksa wajahnya akan bercacad dengan
goresan dari atas ke bawah untuk selamanya ! Lo Houw melempar ruyungnya dan mendekap
mukanya dengan kedua tangannya. Darah mengalir melalui celah - celah jarinya.
“Bangsat perempuan keji!” Kim Bwe berteriak dan ia melompat maju hendak menyerang Eng
Eng dengan mati matian !
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak yang amat mengerikan.
Sebatang piauw yang merupakan kilat hitam menyambar ke arah dada Kim Bwe ! Tiba- tiba
Eng Eng berseru keras dan nona perkasa ini menubruk maju menangkap tangan Kim Bwe dan
menariknya kuat kuat sehingga nyonya muda itu terseret jatuh dan piauw yang
menyambarnya itu lewat sambil mengeluarkan bunyi melengking lalu menancap pada tiang
pintu, bergoyang-goyang mengerikan !
Eng Eng melepaskan tangan Kim Bwe dan tubuhnya melesat ke arah dari mana datangnya
piauw (senjata rahasia vang disambitkan) tadi. Orang-orang hanya melihat bayangannya
saja berkelebat keluar dan sebentar kemudian lenyaplah gadis itu ! Ting Kwan Ek dan Ouw
Tang Sin cepat mengejar dan tak lama kemudian mereka melihat Eng Eng yang masih
memegang golok bertempur melawan seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh
tahun yaag mengenakan pakaian mewah dan indah gerakannya. Laki-laki ini amat gesitnya,
dan senjatanya adalah sepasang tombak yang ada Kaitannya.
Melihat laki-laki ini Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin menjadi pucat.
“Ban Hwa Yong !” mereka berseru dengan suara tertahan. Memang laki - laki itu adalah
Ban Hwa Yong saudara termuda dan Thian-te Sam-kui. Ketika Ban Hwa Yong mendengar seruan
ini dan melihat bahwa yang datang adalah Ouw piauwsu dan Ting piauwsu, ia tertawa
bergelak, menyerang Eng Eng dengan cepat dan hebat sehingga terpaksa Eng Eng melompat
mundur. Ban Hwa Yong menggerakkan tubuhnya melompat pergi sambil berkata,“Ha, ha, ha!
Jiwi - piauwsu dari Pek - eng Piauwkiok! Bagus sekali, kulihat di sini terdapat dua
bunga indah yang kalian harus persembahkan kepadaku pada hari besok!” Setelah berkata
demikian, lalu lompat pergi.
“Bangsat pengecut!” Eng Eng bergerak mengejar, akan tetapi dari arah Ban Hwa Yong
meluncurlah tiga batang piauw hitam. Memang Ban Hwa Yong telah terkenal akan
keahliannya melepaskan berbagai macam senjata rahasia dan lemparannya dengan tiga
batang piauw ini tidak boleh dipandang ringan. Tidak saja ia memiliki kepandaian
menyambit piauw yang disebut ilmu melepas piauw “seratus kali lepas seratus kali
mengenai sasaran”, juga piauw itu telah direndam dalam racun yang amat berbahaya.
Sambitannya juga cepat sekali datangnya, begitu cepat sehingga sukar sekali untuk
dikelit.
Akan tetapi Eng Eng bukan murid Hek Sin-mo yang luar biasa ilmu kepandaiannya dan
ginkangnya kalau ia dapat dijadikan korban oleh hanya sambaran tiga batang piauw itu.
Piauw itu menyambar ke arah tiga tempat. Yang pertama menyambar ke arah ulu hatinya
dengan kecepatan luar biasa, piauw kedua menyambar ke arah sisi kanannya setinggi
kepalanya, adapun piauw ketiga menyambar ke arah sisi kirinya setinggi pahanya. Inilah
sambitan piauw yang disebut “mengurung harimau menutup pintu guanya”. Dengan cara
serangan piauw seperti ini seakan- akan jalan keluar bagi yang diserang telah tertutup
sama sekali. Mengelak ke kiri akan terserang oleh piauw ke tiga. Mengelak ke kanan akan
diserang oleh piauw ke dua!
Adapun Eng Eng yang menghadapi serangan ini, tetap saja tenang sekali. Sambil tersenyum
mengejek, ia menggerakkan goloknya, menyampok piauw yang meluncur ke arah ulu hatinya,
tangan kanan yang tidak bersenjata diulurkannya ke atas, menangkap piauw yang terbang
di sebelah kanannya lalu langsung disambitkan ke depan kembali, sedangkan kaki kirinya
dengan gerakan istimewa sekali menendang ke arah piauw vang melayang sebelah kirinya,
mengirim kembali piauw itu ke depan! Berbareng dengan tiga gerakan ini, yakni gerakan
kedua tangan dan kaki kiri, tiga batang piauw itu dapat “diretour” kembali ke arah
penyerangnya!
Ban Hwa Yong terkejut sekali melihat kelihaian Eng Eng ini. dan tanpa banyak cakap lagi
ia lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu!
Eng Eng melompat mengejarnya akan tetapi ternyata Ban Hwa Yong telah menghilang di
balik rumah-rumah orang! Ting Kwan Ek mengejar Eng Eng dau setelah menjura ia berkata,
“Suma lihiap, amat besarlah budimu yang telah kaulimpahkan kepada kami sekeluarga dari
Pek - eng Piauwkiok. Sungguh aku merasa menyesal sekali atas kejadian di rumah tadi,
dan harap kau sudi kiranya memberi ampun kepada mereka dan suka kembali ke rumah kami.”
Akan tetapi Eng Eng menggelengkan kepala, melemparkan goloknya yang dirampasnya dari Lo
Beng Tat ke atas tanah dan menjawab,
“Tidak Ting-twako. Aku tidak sudi kembali ke rumah kotor itu! Sampaikan salamku kepada
cici!” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berjalan pergi.
“Lihiap, pakaianmu masih berada di kamarmu.” kata Ting Kwan Ek dengan gelisah dan
bingung.
“Biarlah, lain kali kuambil l” jawab gadis itu yang segera berlari pergi. Ting-piauwsu
tidak berdaya, hanya berdiri tunduk dengan kecewa sekali.
Ouw Tang Sin menghampiri sutenya dan sambil memegang lengan sutenya, ia berkata. “Sute,
kaumaafkanlah aku banyak-banyak. Aku benar-benar merasa menyesal sekali, akan tetapi
apakah yang dapat kita lakukan?”
Kedua orang ini lalu kembali ke rumah mereka dan mereka disambut oleh semua orang
dengan gelisah. Ternyata bahwa piauw yang disambitkan oleh Ban Hwa Yong ke arah Kim Bwe
itu diberi sehelai kertas yang berisi ancaman mengerikan seperti berikut ;
Thian - te Sam kui takkan berhenti berusaha sebelum Pek eng Piauwkiok musnah dan hancur
lebur beserta seluruh anggautanya ! Tunggulah besok pagi-pagi sebelum terang !
Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin saling pandang dengan wajah pucat.
“Kaulah yang mencari perkara!” Kata Ouw Tang Sin kepada isterinya yang sementara itu
sedang merawat luka di muka Lo Houw. Isterinya tidak menjawab hanya, cemberut saja
sambil melepas kerling membenci ke arah suaminya.
Ting Kwan Ek, Ouw Tang Sin dan Lo Beng Tat lalu mengadakan perundingan. Mereka
mengumpulkan anggauta.anggauta mereka yang pada waktu itu hanya ada sepuluh orang saja,
karena yang lain sedang menjalankan tugas mengantar barang. Ketika terjadi keributan
tadi, para pembantu mereka itu hanya menonton saja tanpa berani ikut turun tangan.
“Kita harus mengadakan persiapan untuk menyambut mereka,” kata Lo Beng Tat. Orang tua
ini untung juga bahwa kini terdapat alasan baginya untuk melupakan kekalahannya
terhadap Eng Eng. Dengan menghadapi ancaman Thian - te Sam - kui maka peristiwa yang
tadi terjadi memang tak perlu dipikirkan lagi dan semua pikiran harus dahulukan kepada
bahaya yang mengancam hebat.
“Sudah terang bahwa Thian-te Sam-kui besok pagi-pagi hendak datang menyerbu, dan tak
usah kita menyombongkan diri, karena sesungguhnya kepandaian mereka masih lebih tinggi
dari pada kita. Kalau kita lawan begitu saja, biarpun kita berjumlah lebih banyak,
agaknya sedikit sekali harapan untuk menang.”
“Habis, bagaimana baiknya, gakhu (ayah mertua) ? Untuk memanggil bantuan sudah tidak
ada waktu lagi,” kata Ouw Tang Sin gelisah.
“Memang tidak ada waktu,” menyambung Ting Kwan Ek dengan gemas dan menggigit bibir.
“Akan tetapi, betapapun juga kita harus menghadapi mereka dengan senjata di tangan.
Lebih baik mati seperti harimau dari pada disembelih seperti babi !”
Ucapan yang bersemangat ini membangunkan keberanian semua orang, dan Lo Houw yang kini
sudah diobati lukanya, berkata, “Biarlah kita maju berbareng. Ada ayah, cihu, Tingpiauwsu,
aku sendiri dan enci Kim Bwe. Kita berlima dibantu oleh semua saudara, para
piauwsu yang jumlahnya sepuluh orang, masa kita tak dapat mengusir mereka itu semua?”
Lo Beng Tat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Takkan ada gunanya. Biarpun jumlah kita
ada lima belas orang, akan tetapi kalau kita maju secara keroyokan, belum tentu kita
akan dapat menang. Kita harus mempergunakan siasat!”
Sebagai seorang kepala rampok, Lo Beng Tat tentu saja memiliki banyak akal dalam
menghadapi musuh - musuh tangguh. Ia lain mengajukan siasatnya yang didengar oleh semua
orang dengan penuh perhatian,
“He, kau berempat !” Lo Beng Tat menunjuk kepada empat orang piauwsu yang duduknya
paling depan seperti memerintah kepada anak buahnya sendiri saja, karena kepala rampok
ini memang sudah biasa memerintah para perampok yang menjadi kaki tangannya. “Kalian
keluarlah dan jaga baik-baik di luar, di atas genteng di empat penjuru. Siasat yang
hendak kita bicarakan tak boleh terdengar oleh orang lain, takut kalau-kalau fihak
musuh akan mencuri dengar!” Empat orang piauwsu itu mengerti maksud orang tua ini dan
mereka lalu keluar.
“Nah, dengar baik-baik. Besok pagi-pagi, tiga orang itu tentu akan datang bersama, dan
kita berlima yang mengerti ilmu silat boleh duduk menanti di ruang depan yang lebar
itu, Ting piauwsu, lebih baik kau suruh isteri, anak-anakmu. dan para pelayan yang
lemah lebih dulu menyingkir ke lain tempat agar tidak menimbulkan hal-hal yang
membutuhkan tenaga bantuan kita. Kemudian para piauwsu yang pandai melepas anak panah
atau senjata rahasia lain, bersembunyi merupakan baihok (barisan pendam) mengurung
ruangan itu. Apa bila ketiga orang iblis itu sudah datang dan hendak turun tangan, aku
akan memberi tanda dengan lambaian tangan dan para piauwsu harus serentak menyerang
dengan senjata rahasia. Nah dengan serangan tiba - tiba itu, ditambah oleh serangan
kita, mustahil kita takkan dapat mengalahkan mereka.”
Diam-diam Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin merasa malu dan tidak setuju dengan cara yang
curang dan pengecut ini, akan tetapi pada waktu yang amat terdesak dan berbahaya,
agaknya tidak ada lain jalan lagi yang lebih baik.
Semua orang menyetujui siasat ini dan segera setiap orang piauwsu diharuskan
mempersiapkan diri. Kebetulan sekali pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar
dan ternyata rombongan piauwsu yang pergi ke Kanglam mengantar dan mengambil barangbarang
telah kembali. Akan tetapi, apakah yang terdapat dalam kendaraan mereka ? Bukan
barang berharga, melainkan mayat tiga orang piauwsu! Rombongan ini berdiri dari lima
orang piauwsu yang terpilih pandai dan mereka kembali dari Kanglam membawa beberapa bal
kain sutera yang mahal. Ketika rombongan ini hendak memasuki kota Han- leng mereka
dicegat oleh Thian te Sam-kui ! Ketiga iblis ini selain mencabut dan merobek- robek
bendera Pek-eng Piauwkiok, juga membunuh tiga orang piauwsu, merampas barang-barang dan
setelah mengerat daun telinga kedua piauwsu yang lainnya, mereka lalu menyuruh dua
orang piauwsu itu masuk ke dalam kota Hun-leng, membawa jenazah ketiga orang kawannya!
Sambil merintih-rintih kedua orang piauwsu ini menuturkan pengalamannya kepada Tingpiauwsu
dan Ouw piauwsu yang menjadi marah dan sakit hati sekali. Sambil mengepal
tangan mereka berjanji hendak menghancurkan Thian-te Sam-kui pada esok hari atau mereka
siap untuk menerima kematian di tangan ketiga orang Iblis Bumi Langit yang lihai itu!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di perusahaan Pek eng Piauwkiok itu semua orang
telah bersiap sedia. Di atas genteng, terpisah menjadi dua rombongan di kanan kirlr
telah siap dua belas orang piauwsu yang memegang anak panah, menjaga di atas ruang
depan itu. Lo Beng Tat dengan garangnya telah duduk di kursi tengah sambil menaruh
sepasang goloknya di atas meja, Lo Houw telah siap pula dengan sepasang ruyung di
tangan. Lo Kim Bwe juga duduk di situ dengan sepasang goloknya pula. Adapun Ouw piauwsu
dan Ting piauwsu dengan wajah tegang juga telah berkumpul di situ dengan senjata di
tangan.
Keadaan sunyi sekali, karena hari masih amat pagi. Yang terdengar hanya kokok ayam
jantan dan kicau burung-burung pagi. Semua berdiam diri, tidak berani mengeluarkan
suara, dan memasang telinga dengan penuh perhatian, menanti datangnya ketiga iblis yang
menakutkan itu.
Untuk lebih memperkuat penjagaan mereka Ting piauwsu telah melepaskan tiga ekor anjing
peliharaan di luar pekarangan depan. Semua orang merasa gelisah dan boleh dibilang
hampir semalam penuh tak seorangpun dapat meramkan mata.
Tiba-tiba terdengar anjing-anjing penjaga yang menggonggong keras dan riuh, akan tetapi
dengan mendadak pula suara mereka lenyap seakan-akan leher ketiga anjing itu dicekik
oleh tangan yang kuat ! Keadaan menjadi sunyi kembali dan semua orang yang bersiap di
ruang depan itu, makin gelisah dan memandang keluar dengan hati berdebar. Lo Beng Tat,
jago tua itu kini telah mengambil golok yang ditaruh di atas meja, dipegangnya dengan
kedua tangannya.
Tiba-tiba dari luar menyambar tiga bayangan hitam dan bayangan-bayangan ini langsung
menubruk ke arah Lo Beng Tat, Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek ! Ketiga orang ini terkejut
sekali. Lo Beng Tat mengayun goloknya membacok, demikian Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek
membacok ke arah bayangan yang menyambar ke arah mereka.
“Crap ! Crap ! Crap !” Darah muncrat membasahi lantai dibarengi oleh jatuhnya tiga
bayangan yang menyerang itu, ketika golok ketiga orang ini mengenai sasarannya. Mereka
semua memandang dan hampir saja Ting Kwan Ek mengeluarkan seruan keras saking kagetnya
ketika melihat bahwa tiga bayangan yang menubruk tadi bukan lain adalah tiga ekor
anjingnya yang tadinya menjaga di luar dan yang tadi masih terdengar gonggongannya.
Kini tiga ekor anjing itu telah menggeletak di atas lantai dengan tubuh hampir terbelah
dua dan darahnya membanjir di tempat itu!
Ting Kwan Ek dan Ouw.Tang Sin cepat menyeret bangkai ketiga anjing itu dan
melemparkannya keluar ruangan. Pada saat ituv terdengarlah suara ketawa bergelak dari
luar dan muncullah seorang hwesio yang gemuk dan bundar.
“Ha, ha, ha I Para piauwsu dari Pek - eng Piauwkiok ! Kalian semua hanyalah anjinganjing
kaki dua yang pengecut dan nasib kalian takkan jauh bedanya dengan tiga ekor
anjing kaki empat itu, Ha, ha, ha !” Dengan tenang dan enaknya, hwesio gendut itu
memasuki pekarangan depan lalu berjalan melenggang ke ruang depan menghampiri tuan
rumah yang sudah siap dan berdiri dengan senjata di tangan itu.
-o0dw0o-
JILID II
“HM, yang datang bukankah Ban Im Hosiang ketua dari Thiau-te Sam-kui?" Tanya Lo Beng
Tat sambil menenangkan hatinya yang berdebar. "Harap kau suka memandang mukaku, kalau
mantuku Ouw Tang Sin telah melakukan pelanggaran, aku sanggup mintakan maaf !"
Hwesio itu tertawa lagi bergelak-gelak, "Lo Beng Tat, kau seorang kepala rampok telah
menyerahkan anakmu kepada seorang piauwsu, hal ini sudah amat ganjil dan menunjukan
bahwa kau bukan seorang yang dapat dipercaya! Mana ada harimau yang mengawinkan anaknya
pada seekor ular yang menjadi musuhnya? Aku tidak mau memandang muka seorang yang tak
berharga seperti kau! Pula Pek-eng Piauw-kiok telah menghina Thian-te Sam-kui, maka
hari ini harus hancur dan musnahl"
"Hwesio keparat !" Lo Beng Tat yang berwatak kasar itu memaki marah. "Siapa takut
padamu? Kau telah memilih jalan Kematianmu." Sambil berkata demikian Lo Beng Tat
memberi tanda dengan tangan kanan dengan mengacungkan goloknya itu kepada Ban Im
Hosiang. Pada saat itu terdengarlah bunyi "srr srr !!" susul menyusul dari atas genteng
karena enam orang di sebelah kiri dan enam orang di sebelah kanan telah melepaskan anak
panah ke arah tubuh yang gendut dari Ban Im Hosiang itu. Hwesio ini terkejut juga, akan
tetapi benar-benar mengagumkan gerakannya yang amat tenang dan cepat. Biarpun tubuhnya
dan sudah terancam oleh belasan batang anak panah itu, ia masih berlaku sigap sekali.
Dengan seruan keras ia mengenjot kakinya dan tubuhnya mumbul bagaikan se- buah balon
karet tertiup angin, kemudian ia menarik kedua kakinya ke atas sehingga lututnya
menempel pada perutnya dan kedua tangannya yang tertutup oleh lengan baju yang lebar
dan panjang digerakkan sedemikian rupa sehingga dua potong lebihan kain itu merupakan
segulung sinar putih yang melindungi seluruh tubuhnya.
Lo Beng Tat dan yang lain lain melihat dengan mata terbelalak betapa semua anak panah
itu runtuh ke atas lantai ketika terkena sambatan gulungan sinar itu. Lo Beng Tat
terkejut cekali dan dengan hati kecut ia melihat hwesio iiu telah turun kembali sambil
tertawa bergelak-gelak,
"Ha, ha, ha! Lo Beng Tat, perampok rendah, Kau tidak malu mempergunakan akal pengecut"
"Hujani anak panah " teriak Lo Beng Tat ke atas, akan tetapi tidak ada anak panah lagi
yang melayang turun, sebaliknya mereka lalu mendengar ribut ribut di atas genteng. Tak
lama kemudian, nampak tubuh orang dilemparkan dari atas dan ketika tubuh orang-orang
itu jatuh berdebuk di atas lantai, ternyata bahwa mereka ini adalah para piauwsu yang
tadi membokong dan atas, dalam keadaan tidak bernyawa pula ! Dua belas orang piauwsu
itu semuanya telah ditewaskan dan kini mayat mereka bertumpuk-tumpuk di depan Lo Beng
Tat!
Bukan main kagetnya semua orang menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini dan ketika
terdengar suara tertawa mengejek dari atas, maka nampaklah berkelebat bayangan Ban Hwa
Yong melompat dari atas genteng sebelah kiri dan bayangan Ban Yang Tojin dari genteng
sebelah kanan. Ternyata bahwa kedua oranc inilah yang telah menewaskan para piauwsu
tadi. Kini Thian-te Sam kui ketiga iblis itu, lengkap ketiga tiganya telah hadir di
situ ! Ban Yang Tojin dengan senjatanya tombak berujung bintang di tangan, sedangkan
Ban Hwa Yong dengan sepasang senjatanya yang melengkung ujungnya seperti kaitan. Bahkan
Ban Im Hosiang sambil tertawa besar juga sudah mengeluarkan senjatanya yang hebat,
yakni sebatang pedang perak yang berkilau saking tajamnya.
Merasa bahwa tidak ada gunanya untuk bercakap pula dengan tiga orang musuh yang datang
dengan nafsu memburuh ini. Ting piauwsu lalu bersetu keras dan melompat maju, menyerang
dengan goloknya. Juga Ouw piauwsu, Lu Kim Bwe, Lo Houw, dan Lo Beng Tat cepat pula maju
mengeroyok tiga orang lawan itu.
"Suheng, jangan dirusak bunga indah ini!" Ban Hwa Yong tertawa berkata kepada koedua
suhengnya, kemudian manusia cabul ini lalu menubruk maju menghadapi Lo Kim Bwe yang
menyerangnya dengan sepasang goloknya. Sekali saja Ban Hwa Yong menangkis dengan
sepasang senjatanya, kedua golok itu terlempar dari tangan Kim Bwe dan sebelum nyonya
muda cantik ini sempat mengelak, Ban Hwa Yong telah mengulur tangan kirinya
menangkapnya! Kim Bwe hendak melawan akan tetapi dengan gerakan yang cepat, Ban Hwa
Yong sudah menotok pundak nyonya ini sehingga tubuh Kim Bwe menjadi lemas tidak berdaya
lagi. Sambil tertawa bergolak Ban Hwa Yong lalu mengalihkan senjata di tangan kanan
semua dan menggunakan tangan kiri nya untuk memeluk tubuh nyonya itu dan mengempitnya
dengan cara yang kurang ajar sekali
"Bangsat rendah lepaskan isteriku " Ouw Tang Sio maju menyerangnya dengan golok yang
dimainkan secara hebat sekali.
Melihat gerakan ini, Ban Hwa Yong maklum bahwa ilmu golok Ouw piauwsu tak boleh dibuat
permainan, maka dengan tangan kanan ia menangkis keras. Biarpun Ouw-piauwsu merasa
betapa tangannya sampai tergetar karena tangkisan itu, namun ia masih dapat
mempertahankan goloknya dan tidak sampai terlepas. Ia lalu menyerang lagi dengan hebat.
Ban Hwa Yong sedang mengempit tubuh Kim Bwe, maka tentu saja gerakannya tidak leluasa
lagi dan ia hanya dapat menggerakkan senjatanya menangkis.
"Twa - suheng, tolong bereskan dulu cacing ini “ serunya sambil tertawa dan ketika Ban
lm Hosiang menggerakkan pedangnya dari samping, Ouw Tang Sin cepat menangkis pedang
yang bersinar terang ini.
"Trangl" golok di tangan Ouw Tang Sin terlepas ke atas lantai, bukan golok itu saja,
bahkan jaga lengannya yang tadi memegang golok, telah terputus oleh pedang itu sebatas
sikunya, Ouw Tang Sio menjerit ngeri dan pada saat itu, Ban Hwa Yong menyusulkan pula
dengan serangan senjatanya dan terkaitlah perut Ouw-piauwsu oleh senjata itu. Sekali
Ban Hwa Yong menarik tangannya, robeklah perut Ouw-piauwsu, tubuhnya roboh dan
menggeletak dengan perut terbuka, tewas pada saat Itu juga.
Sementara itu, setelah menolong sutenya, Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin mengamuk
hebat dan tentu saja para lawannya yang berkepandaian jauh di bawah tingkat kepandaian
mereka itu bagaikan rumput kering menghadapi api. Sebentar saja Ting Kwan Ek terguling
mandi darah, demikian pula Lo Houw dan Lo Beng Tat. Belum sampai dua puluh jurus,
seluruh isi rumah dan pemimpin Pek-eng Piauwkiok telah tewas semua, kecuali Kim Bwe
yang masih dikempit oleh lengan kiri Ban Hwa Yong.
Tiga Iblis Bumi Langit ini lalu melakukan perampokan, mengambil semua barang berharga,
bahkan lalu membunuh semua orang yang berada di dalam rumah itu ! Celakalah nyonya Ting
dengan anak-anakya, karena nyonya ini biarpun telah dibujuk oleh suaminya, tetap tidak
mau meninggalkan rumah itu. Ketika Ban Hwa Yong melihat nyonya Ting, timbul pula
pikiran jahatnya untuk menculik nyonya yang muda dan manis Ini, akan tetapi nyonya Ting
melakukan perlawanan hebat sehingga ia lalu dibunuh berikut anak-anaknya yang masih
kecil. Benar-benar musnah dan hancur lebur Pek-eng Piauwkiok, cocok dengan ancaman tiga
orang Iblis jahat itu. Benar-benar mengerikan sekali! Tidak kurang dari dua puluh orang
melayang nyawanya di dalam tangan Thian tu Sam-koi!
Sambil tertawa-tawa, rnembawa hasil rampokan dan menculik Kim Bwe, tiga orang manusia
yang berhati iblis itu meninggalkan rumah itu dan dengan cepatnya melarikan diri keluar
kota Hun - leng. Para tetangga yang mendengar teriakan - teriakan dan pertempuran itu,
cepat menyembunyikan diri dan biarpun keadaannya sudah sunyi, mereka masih tidak berani
keluar dari pintu .
O0odwo0O
Belum lama setelah ketiga orang iblis itu pergi, nampak bayangan yang ramping dan gesit
melompat memasuki pekarangan Pek-eng Piauwkiok. Bayangan ini adalah Eng Eng yang hendak
mengambil pakaiannya lebelum melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran melihat keadaan
yang amat sunyi di sekitar rumah itu, dan ketika ia memasuki ruangan depan gadis ini
berdiri terbelalak bagaikan patung. Ia melihat tumpukan tubuh manusia yang sudah
menjadi mayat dan darah memenuhi ruangan itu! Ketika melpat para piauwsu, Lo Beng Tat,
Lo Houw, dan Ouw Tang Sin menggeletak menjadi mayat hatinya tidak merasa apa paa, akan
tetapi ketika ia melihat Ting Kwan Ek berada di situ pula rebah mandi darah dengan
tangan kanan masih memegang goloknya bukan main kagetnya.
"Ting - twako........” serunya dan cepat
ia melompat ke dekat tuouh Ting piauwsu. dilihatnya Ting piauwsu membuka mata dan
menggerak. gerakkan bibirnya.
"Ting-twako, siapa yang melakukan perbuatan ini?" tanya Eng Eng sambil berjongkok di
dekat tubuh orang yang bernasib malang itu.
Ting Kwan Ek masih dapat menggerakkan bibirnya dengan amat lemah, dan akhirnya dapat
juga bibir itu mengeluarkan kata kata yang perlahan sekail, "Thian-te Sam-kui...!"
Setelah berkata demikian agaknya ia telah mengerahkan tenaganya terlalu banyak untuk
menahan nyawanya, maka tiba-tiba ia menjadi lemas dan menghembuskan nafas yang
terakhir!
Mengalirlah air mata dari kedua mata Eng Eng. Ia teringat kepada suhunya yang meninggal
dunia. Di dalam dunia ini, baginya hanya Ting Kwan Ek dan isterinya yang dianggap
sebagai manusia-manusia baik dan sayang kepadanya. Eng Eng mengambil colok yang masih
dipegang oleh tangan Ting Kwan Ek, lalu katanya penuh kegemasan. "Ting - twako, aku
akan membunuh tiga iblis itu dengan golokmu ini!"
Setelah berkata demikian, ia lalu melompat ke dalam rumah dan melihat nyonya Ting
menggeletak di dekat anak-anaknya yang semuanya telah menjadi mayat. Eng Eng menubruk
mayat nyonya Ting dan menangis tersedu sedu. Baru kali ini selama hidupnya Eig Eng
merasa amat sedih dan hancur hatinya. Kembali la berjanji kepada nyonya Ting untuk
membunuh tiga iblis jahat itu. Kemudian setelah mengambil bungkusan pakaiannya, Eng Eng
lalu melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sekali memasuki hutan.
Iu betlari cepat sekali sehingga setelah mata hari naik tinggi, ia telah memasuki hutan
ke tiga di atas pegunungan yang indah pemandangannya. Dasar sudah menjadi nasib orang
kedua dari Thian-te Sam-kui, atau memang karena dosa-dosanya sudah bertumpuk-tumpuk,
maka orang kedua itu, yakni Ban Yang Tojin, telah memisahkan diri dari kedua orang
saudaranya dan berada di dalam hutan itu. Demikianlah ketika Ban Yang Tojin sedang
berjalan di dalam hutan itu, hendak pergi ke kota Tit-le di mana tinggal seorang
sahabatnya tiba-tiba bayangan seorang yang ramping tubuhnya tahu-tahu telah berkelebat
dan telah berdiri di depannya !
Ban Yang Tojin terkejut dan heran melihat seorang gadis cantik dan gagah sekali telah
berdiri di depannya dengan memegang sebatang golok besar. Tojin itu biarpun tidak
tergila-gila wanita seperti sutenya, Ban Hwa Yang akan tetapi melihat dara muda yang
cantik sekali ini mau tak mau ia memandang dengan mata terbelalak kagum. Sebelum ia
sempat bertanya, gadis itu telah mendahuluinya dan bertanya dengan suaranya yang merdu
dan nyaring sekali,
"Orang tua, siapakah kau dan kenalkah kepada Thian-te Sam-kui?"
Ban Yang Tojin tercengang, akan tetapi ia lalu tersenyum girang. Ia pikir bahwa gadis
ini tentulah telah mendengar dan mengagumi nama dia dan kedua saudaranya dan kini
mencari untuk minta menjadi murid. la lalu tertawa bergolak sambil mendongakkan kepala
ke atas, komudiao la berkata.
"Nona, kau mencari tiga orang gagah itu? Ha, ha, ha! Tidak jauh ! Aku adalah Bin Yang
Tojin, orang ke dua dari Thiante Sam- kui (Tiga iblis Bumi Langit) ! Kau mencari kami
apakah hendak belajar ilmu ulat ? Kebetulan sekali, nona, aku memang sedang mencari
murid yang cocok, dan agaknya kau lah yang patut menjadi muridku !”
Mendengar suara tosu ini. Eng Eog memandang tajam dan teringatlah ia kini bahwa tosu
ini adalah tosu yang pernah bertempur dengan dia dan bahkan telah ia kalahkan ketika ia
membantu Ting Kwan Ek ! Mendengar ucapan totu itu, diam - diam ia menjadi geli, karena
ternyata bahwa tosu ini tidak mengenalnya lagi. Dulu ketika ia bertempur dengan Ban
Yang Tojin, ia mengenakan pakaian seperti seorang pemuda, dan tentu saja tosu itu tidak
mengenalnya yang kini telah berubah menjadi seorang gadis ! Akan tetapi, berbareng
deogan kegelian hatinya, iapun merasa marah sekali karena kalau saja ia tidak lupa akan
muka tosu ini dan tahu bahwa inilah orangnya yang menjadi biang keladi kebinasaan
seluruh keluarga Pek-ong Piauwkiok, tentu ia tak perlu bertanya lagi.
"Bagus sekali " Serunya dengan wajah berubah merah saking marahnya, "Jadi kau sengaja
menanti di sini untuk menunggu aku mengambil nyawamu? Mana kedua orang saudaramu agar
aku dapat membasmi sekalian?" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menggerakkan
goloknya dan sambil menyerang dengan hebatnya !
Tentu saja Ban Yang Tojin menjadi sangat terkejut. Akan tetapi la masih memandang
rendah kepada gadis cantik ini dan cepat ia mengelak. Alangkah terkejutnya ketika golok
di tangan nona itu biarpun sudah dapat meng- hindarkannya namun dilanjutkan pula dengan
serangan menyerong yang amat berbahaya. Tosu ini cepat melempar tubuhnya ke belakang
menggunakan gerak loncat Kera Tua Melompati Cabang dan hampir saja ujung golok memakan
tubuhnya. Keringat dingin keluar dari jidatnya dan cepat tosu itu lalu mencabut
senjatanya yang istimewa, yakni tongkat runcing yang berbintang ujungnya.
"Eh eh, siapakah kau dan kenapa kau menyerangku tanpa sebab ?”
"Tidak ada hal yang tak bersebab," jawab Eng Eng tenang, "lupakah kau kepada Pek-eng
Piauwkiok yang baru saja kaubinasakan secara keji ? Dan lupakah kau pula ketika golokku
masih memberi ampun kepadamu, tidak memenggal lehermu, akan tetapi hanya melukai
pundakmu ? sekarang aku tidak menghendaki sedikit kulit pundakmu, melainkan menghendaki
kepalamu" Eng Eng lalu menyerbu lagi dan Ban Yang Tojin tidak mendapat kesempatan
barang sedikitpun untuk mengeluarkan seruan heran dan terkejut. Ia kini teringat lagi
dan terbukalah bahwa gadis ini adalah "pemuda" yang dulu pernah melukainya dan yang
membantu Ting Kwan Ek
"Perempuan rendah! Jadi kaukah orangnya yang dulu membantu anjing she Ting? Bagus, kau
telah menyerahkan diri tanpa dicari lagi!" Memang tosu ini merasa amat benci dan dendam
terhadap "pemuda" yang telah melukainya dan semenjak dia dikalahkan oleh Eng Eng tosu
Ini lalu melatih diri dan terutama sekali ia melatih ilmu pukulan Pek-lek-ciang dengan
tekunnya. Tenaga lweekang kakek ini sekarang jauh lebih tinggi dan kuat daripada dulu,
sedangkan ilmu pukulannya Pek-lek-ciang benar - benar amat berbahaya. Ia dapat
merobohkan lawan dari jarak jauh hanya dengan hawa pukulannya ini.
Akan tetapi, setelah mereka bertempur belasan jurus lamanya, tahulah Ban Yang Tojin
bahwa dalam hal ilmu mainkan senjata la masih jauh berada di bawah tingkat gadis aneh
ini. Sepasang tombak bintangnya sama sekali tidak berdaya dan belum juga dua puluh
jurus mereka bertempur, ia tidak kuasa menyerang lagi. Gerakan golok di tangan gadis
itu benar-benar aneh dan luar biasa sekali, sukar diikuti oleh pandangan mata dan sukar
pula diduga ke mana perobahan gerakannya. la hanya dapat melindungi tubuhnya dengan
sepasang tombaknya dengan jalan memutarnya secepat mungkin, merupakan benteng yang
kuat. Agaknya gulungan sinar golok di tangan Eng Eng merupakan halilintar yang hendak
memecah dan menembus awan dari gerakan sepasang tombak bintang. Golok itu berkelebatkelebat
ke atas, ke bawah, dari kanan dan kiri, pendeknya amat sukar dijaga.
Ban Yang Tojin tidak sempat mempergunakan ilmu pukulan Pek-lek-ciang yang
diandalkannya, karena gadis itu tidak memberi kesempatan scdikitpun juga kepadanya.
Tosu ini memutar otak, mencati jalan keluar dari pada kepungan sinar golok ini. Pada
saat sinar golok Eng Eng menyambar ke arah mukanya dengan cepat Ban Yang Tojin
menggerakkan kedua tombaknya yang berbintang, dengan gerak tipu OranrgTua Menutup
Pintu, la berhasil menjepit golok lawannya, ia mengerahkan tenaga Iweekangnya untuk
mematahkan golok di tangan gadis itu, lalu menggerakkan sepasang senjatanya untuk
diputar sedemikian rupa supaya gadis itu melepaskan goloknya. Akan tetap., tiba-tiba
Eng Eng berseru keras sekali dan tenaga yang luar biasa dahsyatnya keluar dari golok
yang terpegang oleh Eng Eng. Kini gadis inilah yang menguasai keadaan dan Eng Eng
membalas gertakan lawan, mempergunakan tenaga "menempel" lalu memutar goloknya cepat
sekali dari kanan ke kiri! Ban Yang Tojin tak dapatt mempertahankan serangan ini dan
sepasang senjatanya ikut berputar, kemudian dengan mengeluarkan suara keras, sepasang
tombak berbintang ini patah menjadi empat potong!
Bukan main marahnya tosu itu. Ia menyambitkan sepasang senjatanya yang tinggal gagang
itu ke arah lawannya akan tetapi dengan amat mudahnya Eng Eng mengelak dan kemudian
goloknya diputar amat cepatnya menyerarg Ban Yang Toiin dengan gerak gerak tipu yarg
paling lihai!
Tadi ketika masih memegang sepasang senjata saja tosu itu sudah terdesak hebat dan
tidak mampu mengimbangi permainan golok Eng Eng apa lagi sekarang satelah bertangan
kosong ! Ia berusaha hendak melarikan diri, akan tetapi sinar golok gadis lihai itu
mengurungnya rapat-rapat dan tidak memberi jalan keluar sama sekali. Karenanya Ban Yang
Tojin lalu berlaku mati-matian, dan sambil mengelak dan melompat ke sana ke mari, ia
berusaha untuk melancarkan terangan pukulan Pek-lek-ciang yang hebat.
Betapapun tinggi ilmu kepandaian Eng Eng gadis ini belum mempunyai banyak pengalaman
bertempur dan ia tidak dapat menduga bahwa lawannya yang sudah tidak berdaya ini masih
memiliki kepandaian simpanan yang jahat dan berbahaya sekali, maka ia berlaku lalai. Ia
terlalu girang karena sudah hampir berbasil membunuh seorang di antara musuh-musuh Ting
Kwan Ek, membalaskan sakit hatinya, dengan seruan keras gadis Ini lalu menyerang dengan
sabetan golok dari atas ke arah kepala lawannya, la hendak membelah kepala tosu itu
menjadi dua. Gerakan ini cepat sekali dan biarpun Ban Yang Tojin cepat mengelak, golok
itu masih menyembur hebat ke arah pundaknya. Di dalam keadaan berbahaya dan tidak
berdaya itu, Ban Yang Tojin lalu melakukan serangan balasan mati-matian dan tangan
kanannya lalu mengerahkan pukulan Pek-lek-ciang yang dilakukan dengan sepenuh tenaganya
!
Akibatnya hebat sekali untuk kedua fihak. Terdengar Ban Yang Tojin memekik ngeri dan
lengan kirinya sebatas pundak terbabat putus. Akan tetapi, tangan kanannya yang
dipukulkan dengan gerakan mendorong ke arah dada Eng Eng juga mendapat hasil baik.
Biarpun tangan itu tidak sampai menyentuh dada gadis itu, namun hawa pukulannya yang
hebat itu telah menghantam dengan telak sekali, sehingga Eng Eng terjengkang ke
belakang, goloknya terlepas dan pegangan dan setelah terhuyung-huyung, Eng Eng
bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan pingsan!
Hampir eaja Ban Yang Tojin tak dapat menahan rasa sakitnya. Darah mengucur bagaikan
pancuran dari pundak kirinya yang telah tak berlengan lagi itu. Akan tetapi, sambil
menggigit bibirnya hingga berdarah dalam menahan rasa sukitnya, tosu ini masih cukup
bertenaga untuk mengambil golok Eng Eng yang terlempar ke atas tanah dan bermaksud
hendak membacok tubuh bekas lawannya itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan dari jauh aan nampak sesosok bayangan
orang yang amat cepat berlari bagaikan terbang menuju ke tempat itu. Ban Yang Tojin
merasa khawatir kalau kalau orang itu merupakan musuh, maka tanpa banyak cakap lagi ia
melarikan diri pergi dari situ, meninggalkan tubuh Eng Eng yang masih menggeletak
pingsan, dan meninggalkan juga lengan kirinya yang sudah putus!
Bayangan ini adalah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali. Pakaiannya berwarna
biru muda dengan leher dan pinggir lengan baju warna putih, ikat kepala berwarna merah.
Karena pakaiannya itu terbuat dari pada sutera halus, maka ia nampaknya makin cakap dan
mewah. Di pinggangnya tergantung gagang pedang yang berukir gambar liong yang indah
sekali.
Ketika pemuda ini melihat berkelebatnya tubuh seorang tosu yang putus lengan kirinya,
ia hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia melihat Eng Eng yang menggeletak di atas
rumput seperti majat. Ia menahan kakinya dan matanya teibelulak kagum memandang ke arah
wajah yang jelita dan tubuh yang ramping mengulurkan hati itu. Ia menghampiri lalu
berlutut di dekat tubuh gadis itu. Ketika melihat muka yang pucat dan pakaian Eng Eng
di bagian dada remuk dan robek, ia menjadi terkejut sekali. Tanpa ragu-ragu ia]u
diangkatnya tubuh itu dan dibawanya ke dalam hutan itu, di mana terdapat sebuah
bangunan bobrok bekas sebuah kuil tua. Ia memondong tubuh gadis itu ke dalam kuil dan
meletakkan di atas lantai yang bersih Tempat ini memang menjadi tempat tinggalnya
sementara ia berada ditempat itu.
"Ah, kasihan." bisiknya perlahan, "pukulan Pek-lek ciang! Sungguh jahat sekali"
Kemudian dengan jati - jari tangan gemetar, pemuda itu lalu merobek baju Eng Eng untuk
memeriksa luka akibat pukulan Pek-lek- ciang yang lihai. Kulit tubuh gadis itu hanya
nampak merah saja, akan tetapi pemuda ini cukup maklum bahwa gadis yang mempunyai wajah
seperti bidadari dan potongan tubuh luar biasa indahnya ini telah menderita pukulan dan
terluka di sebelah dalam ! Ia memeriksa dada gadis itu dan tak lama kemudian terlihat
ia berkelebat keluar dari kuil bobrok itu dan masuk ke dalam hutan. Ia mencari-cari dan
setelah matahari sudah condong ke barat, nampak ia kembali ke kuil membawa banyak
sekali daun-daun obat
Ternyata Eng Eng masih belum siuman dari pingsannya, dan pemuda itu dengan cekatan
sekali lalu memeras daun-daun itu dengan kedua tangannya, memberi minum perasan daun
obat itu kepada Eng Eng dengan paksa, Lalu ampas daun itu ditempelkannya ke atas dada
Eng Eng yang nampak merah. Kemudian ia lalu mengurut dan menotok jalan darah di pundak
dan punggung gadis itu. Semua ini dilakukan dengan tangan gemetar, dada berdebar dan
kadang-kadang la meramkan kedua matanya, tidak tahan ia melihat keindahan tubuh yang
nampak di depan matanya !
Iblis adalah menggoda atau pembujuk hati manusia dan dia akan selalu akan muncul dan
menggoda manusia apabila manusia itu sedang berada di tempat sunyi, berada seorang diri
dan terutama sekali apabila manusia itu sedang menghadapi atau melihat sesuatu yaog
merangsang atau menarik hatinya. Oleh karena tahu akan sifat sifat iblis penganjur
segala kejahatan dunia ini Nabi LOCU pernah bersabda demikian :
"Jangan memperlihatkan sesuatu yang merangsang dan menimbulkan nafsu, agar manusia
tidak tergoda hatinyal"
Dan juga Nabi KHONG Cu pernah bersabda;
"Berhati - hatilah apabila kau sedang berada seorang diri"
Memang, tepat sekali wejangan - wejangan ini bagi manusia untuk ingat bahwa pikiranpikiran
dan nafsu-nafsu timbul waktu berada seorang diri dan menghadapi sesuatu yang
neutmbulkan nafsu. Amatlah berbahaya bujukan iblis pada saat-saat seperti itu.
Apalagi kalau orang ysng terbujuk itu tidak memiliki iman yang kuat, dan kesadarannya
akan baik dan buruk sudah menyuram. Nafsu yang dibangkitkan oleh iblis akan sedemikian
kuatnya sehingga ia tidak memperdulikan lagi akan segala pelanggaran, tidak perduli
akan prikemenusiaan, dan ia akan menjadi buta dan lupa daratan karena di- pengaruhi
oleh nafsu.
Pemuda baju biru itupun demikian. Setelah ia berhasil mengobati Eng Eng, melihat wajah
yang cantik jelita itu, melihat bagian tubuh yang menggiurkan hatinya, ia tidak dapat
menahan bujukan iblis. Ia lupa segala telinganya penuh oleh pendengaran suara iblis
yang terdengar merdu sekali, bagaikan telinga seorang pemabok mendengar musik. Matanya
seakan-akan tidak sewajarnya lagi, bagaikan mata seorang yang sedang kelaparan melihat
roti atau lebih tepat lagi, seperti mata seekor anjing kurus melihat tulang.
Harus dikasihani nasib Eng Eng. Dalam keadaan pingsan dan terluka ia bertemu dengan
seorang "penolong" yang ternyata merupakan seorang pemuda yang lemah iman, seorang yang
telah lupa akan asal mulanya yang suci murni.
Menjelang tengah malam, Eng Eng siuman dari pingsannya. Ia terkejut sekali ketika
melihat bahwa ia berada dalam pelukan seorang laki-laki! Tempat itu diterangi oleh api
unggun yang bernyala dari setumpuk kayu kering sehingga ia hanya melihat samar-samar
wajah seorang laki laki muda yang amat tampan, seorang pemuda yang berkulit muka putih,
bermata tajam, berbibir merah dan berpakaian biru muda! Kemudian gadis ini roboh
pingsan lagi, tidak kuat menahan pukulan hatin yang luar biasa, malapetaka yang datang
kepadanya, yang lebih mengerikan dan pada maut sendiri!
0o-dw-o0
Perguruan silat Kim-liong-pai terletak di puncak Gunung Liong-san dan nama Kim-liongpai
sudah amat terkenal di dunia persilatan sebagai cabang ilmu silat yang luar biasa.
Dulu ketika ketua Kim-liong-pai masih berada di tangan seseorang yang luar biasa yang
berjuluk Hu beng Siansu, cabang persilatan ini boleh dibilang menjagoi seluruh kangouw,
tidak kalah terkenalnya dengan cabang cabang ilmu silat lain seperti Kun-lun-pai atau
Go-bi pai yang besar.
Semenjak Bu Beng Siansu lenyap dari permukaan bumi, tak seorangpun mengetahui di mana
adanya kakek sakti itu yang telah mencuci tangan dan tidak mau mencampuri urusan dunia,
maka Kim - liong pai jatuh ke tangan anak muridnya.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kim-liong-pai dipimpin oleh cucu murid Bu Beng Siansu
yang hidup sebagai seorang tosu (Pendeta Agama To) dan sudah berjuluk Lui Thian Sianjin
pada waktu mudanya Lui Thian Sianjin mempunyai belasan orang anak murid. Akan tetapi
ketika beberapa orang di antara murid - muridnya itu melakukan pelanggaran dan
penyelewengan, ia menjadi marah dan putus asa. Dibubarkannyaiah murid muridnya itu dan
masih baik bahwa mereka itu mempelajari ilmu pedang Kim liong-pai yang disebut Ang-coakiamsut
(Ilmu Pedang Ular Merah) sebanyak enam puluh bagian saja! Ang- coa-kiamsut
adalah ilmu pedang warisan dari Bu Bng Siansu, dan ilmu pedang ini terkenal sebagai
raja ilmu pedang di seluruh dunia kangouw. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu pedang
ini, oleh karena gerakannya amat sulit dan perkembangannya amat luas pula untuk dapat
mainkan Ang-coa-kiamsut orang harus lebih dulu memiliki ginkang dan lweekang tingkat
tinggi. Bahkan Lui Thian Sianjin sendiri hanya dapat mewarisi delapan puluh bagian dari
Bu Beng Siansu sucouw (guru besar) Kim-hong-pai ia mendapat tinggalan kitab ilmu pedang
itu, namun tetap saja ia tidak dapat mewarisi seluruhnya.
Setelah bertahun tahun tiduk mau menerima murid, ketika berusia lima puluh tahun lebih,
diam-diam Lui Thian Sianjin merasa gelisah sendiri. Dari suhunya, ia dulu pernah
mendapat pesan bahwa sebelum mati ia harus dapat mewariskan Ang coa kiamsut kepada
seorang murid yang benar-benar baik. Akhirnya ia mulai mercari murid lagi dan kini ia
memilih dengan amat hati-hati. Akhirnya ia menemukan sepasang anak kembar yang baru
berusia lima tahun, dari keluarga Sim yang telah tewas semua karena pemberontakan.
Kedua anak itu adalah anak laki-laki, bernama Sim Tiong Han dan Sim Tiong Kiat, ia
mengambil kedua orang anak yang dilihatnya berbakat baik ini, lalu melatihnya ilmu
silat.
Selain kedua orang anak kembar ini, Lui Thian Sianjin juga mengambil seorang murid
perempuan yang bernama Can Kui Hwa. Usianya ini sebaya dengan Sim Tiong Kiat, dan juga
memiliki bakat yang luar biasa. Can Kui Hwa adalah anak dari seorang murid Kim- liong -
pai juga yang bernama Can Kong dan yang kini menjadi guru silat di kota Sam koan. Empat
belas tahun kemudian, ketiga orang anak ini telah menjadi dewasa. Kalau orang tidak
mempunyai perhubungan dekat dengan sepasang pemula kembar itu, akan amat sukarlah
baginya untuk membedakan. Keduanya sama benar, baik wajah maupun bentuk badan. Sama
tampan, bermuka putih dengan mata tajam dan bibir merah, alis mata tebal dan pantang.
Ada sedikit tanda pada Tiong Kiat yang menjadi tanda pengenal, yakni sebuah tahi lalat
kecil hitam di atas dagunya, tepat di bawah bibir. Juga watak kedua orang ini jauh
berbeda. Tiong Iian yang lebih tua beberapa jam dari adiknya berwatak pendiam dan lemah
lembut. Sebaliknya, Tiong Kiat jenaka, gembira, juga nakal sekali. Semenjak kecilnya,
seringkali Tiong Kiat menggoda kakaknya, akan tetapi Tiong Han yang amat mencinta
adiknya selalu mengalah.
Namun, di dalam pelajaran ilmu silat Tiong Kiat lebih maju daripada kakaknya. Memang
anak ini luar biasa sekali bakatnya dalam hal ilmu silat. Harus diakui bahwa
kecerdikannya tidak melebihi Tiong Han, namun agaknya ia berdarah ahli silat, karena
gerakannya demikian lemas dan cepat. Ini pula yang membuat Lui Thian Sianjin amat
sayang kepadanya, sungguhpun seringkali kakek ini termenung dan mengerutkan keningnya,
karena ia masih meragukan watak daripada Tiong Kiat. Tidak seperti Tiong Han, kakek ini
sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya.
Juga Kui Hwa memiliki bakat yang amat baik, sungguhpun ia tidak dapat mengimbangi bakat
Tiong Han, apalagi kalau dibandingkan dengan Tiong Kiat, ia kalah jauh. Setelah dewasa
ia menjidi seorang gadis yang cantik manis. Sikapnya gembira dan jenaka seperti Tiong
Kiat, sehingga kedua anak ini menjadi sahabat baik. Perhubungan gadis ini terhadap
Tiong Kiat jauh lebih erat apabila dibanding, kan dengan hubungannya terhadap Tiong
Han.
Setelah mendapat gemblengan ilmu ailat selama empat belas tahun, kepandaian ilmu silat
dan ilmu pedang ketiga orang murid itu mencapai tingkat tinggi. Lebih - lebih Tiong
Kiat, ia telah mewarisi ilmu pedang Ang coa kiamsut sampai tujuh puluh bagian lebih,
sedangkan Kui Hwa hanya memiliki lima puluh bagian, sedangkan Tiong Han sendiri paling
banyak hanya mewarisi enam puluh bagian. Di dalam latihan nampak sekali perbedaan itu,
baik Tiong Han maupun Kui Hwa tidak dapat mengimbangi permainan pedang Tiong Kiat yang
luar biasa.
Tentu saja suhu mereka menjadi girang sekali, merasa bahwa ia telah cukup mewariskan
ilmu pedang itu dan karenanya Kim-liong- pai tak usah dikhawatirkan lagi akan tinggal
nama saja ! Akan tetapi, kadang - kadang ia merasa gelisah dan berdebar dadanya kalau
ia melihat Tiong Kiat, karena bagaimanakah kelak kalau ternyata ia salah pilih. Siapa
yang akan dapat memasang kendali pada hidungnya atau dengan lain kata-kata siapa yang
akan dapat menundukkannya ?
Dan apa yang dikuatirkan oleh kakek ini terbukti. Setelah dewasa dan ingin agar supaya
ilmu pedang Ang coa.kiamsut tidak sampai terpecah-pecah, Lui Thian Sianjin mengusulkan
agar supaya Tiong Han dijodohkan dengan Kui Hwa ! Pemuda itu karena sudah tiada ayah
bunda lagi, hanya menyerahkan nasibnya kepada suhunya yang amat dihormatinya, adapun
ayah Kui Hwa, yakni Can Kong beserta isterinya, juga tidak keberatan.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, terjadilah peristiwa yang amat menggemparkan itu!
Peristiwa yang amat menyedihkan hati Lui Thian Sianjin, menghancurkan hati Tiong Han,
dan memarahkan hati Can Kong . Dengan cara yang tidak tahu malu sekali, Tiong Kiat
telah melarikan diri bersama dengan sumoinya, yakni Kui Hwa! Dan yang lebih hebat lagi,
adalah kedua orang muda ini telah "menyikat" pedang mustika yang menjadi barang pusaka
di Kim liong-pai, yakni pedang Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah) warisan dari Bu Beng
Siansu, guru besar dari Kim-liong-pai.
Lui Thian Sianjin ketika membaca surat yang ditinggalkan oleh Tiong Kiat yang
menyatakan bahwa ia dan sumoinya telah bosan tinggal di gunung itu dan ingin merantau
bersama serta membawa pedang pusaka dengan menyatakan bahwa ia sebagai murid terpandai
berhak untuk memiliki pedang itu, kakek ini duduk bagaikan patung, mukanya pucat dan
napasnya memburu! Yang lebih hebat lagi adalah sedikit "embel-embel" dalam surat itu
bahwa tak perlu orang mencari mereka, karena mereka sudah saling mencintai
Tiong Han cepat membujuk suhunya agar suka bersabar dan menenangkan pikiran.
"Sudahlah, suhu, harap jangan banyak berduka dan marah. Adikku itu masih amat muda dan
masih hijau sehingga ia mudah dikuasai oleh nafsu. Ampunkanlah dia suhu." Pemuda ini
berkata dengan mata basah.
Tosu itu memandang kepada Tiong Han dengan mata heran hampir ia tidak percaya akan
pendengarannya. "Apa...?" Katanya dengan suara parau. "Kau... kau yang dihina dan
diperlakukan seperti itu, kau masih minta ampun untuknya........?”
Tiong Han menundukkan mukanya. "Dia adalah adikku suhu, oraag satu - satunya di dunia
harus teecu cinta, sayang, dan bela."
"Dan.. tunanganmu... ? Ah, Tiong Han benar - benar kau lebih berhasil menguasai hati
dan perasaan dari pada aku yang sudah tua bangka. Tidak sakitkah hatimu karena
tunanganmu dibawa pergi oleh adikmu sendiri?"
Tiong Han menggelengkan kepalanya dan walaupun mukanya berobah pucat la menjawab dengan
tenang, "Tidak, suhu. Hal ini tidak mengherankan teecu."
Kakek itu berdiri dari duduknya. "Apa katamu .,? Jadi kau sudah tahu akan hal busuk dan
memalukan itu? Dan kau diam saja tidak memberitahukan kepadaku?"
Tiong Han melihat suhunya menjadi marah, lalu menjatuhkan diri dan berlutut.
"Suhu, ampunkan adik Tiong Kiat. Sesungguhnya ........ sudah sebulan yang lalu teecu
tanpa disengaja melihat perhubungan erat antara Tiong Kiat dan sumoi. Dan ... dan ...
agaknya karena teeecu telah mengetahui akan hubungan rahasia mereka itulah yang membuat
meteka pagi hari ini melarikan diri. Hanya satu hal yang teecu sayangkan, mengapa Tiong
Kiat begitu sembrono membawa pergi pedang pusaka Ang-coa.kiam."
Lui Thian Sianjin membanting-banting kakinya. "Gila ... Gila..! Mengapa aku seperti
buta mataku? Semenjak dahulu aku sudah ragu-ragu dan menaruh hati curiga terhadap watak
adikmu! Sekarang.. ah, Tiong Han, hanya kaulah yang dapat menolongku. Hanya kau satusatunya
orang yang akan dapat membelaku dan membuat aku dapat meninggalkan dunia ini
dengan rela."
"Apakah maksud ucapan suhu ini?"
"Bersumpahlah, muridku, bersumpahlah dengan saksi bumi dan langit! Bersumpahlah bahwa
kau akan menjunjung tinggi nama Kim-liong-pai, akan berlaku sebagai seorang pendekar
gagah yang menjunjung tinggi kebajikan, prikemanusiaan dan membela keadilan."
"Teecu bersumpah untuk melakukan semua nasihat suhu itu."
"Dengarlah kau harus bersumpah untuk memenuhi dua macam tugas berat yang harui
kaulakukan, baik sewaktu aku masih hidup maupun sesudah aku mati."
"Teecu bersedia untuk bersumpah, harap suhu beritahukan apakah adanya dua macam tugas
itu."
“Pertama, kau harus berusaha dan mencari atau merampas kenbali sampai dapat pedang
Angcoa - kiam dari tangan Tiong Kiat dan membawa pedang itu ke mana juga kau pergi,
menjaga dengan seluruh kehormatan."
"Bagaimana teecu dapat melakukan hal ini, suhu? Suhu maklum sendiri bahwa ilmu
kepandaian Tiong Kiat masih lebih tinggi dari pada teecu, apalagi karena sekarang ia
telah memiliki pedang Ang coa . kiam. Bagaimana teecu dapat memenuhi tugas ini dan
merampas pedang pusaka Ang-coa kiam”
"Bersumpah lah dulu bahwa kau mau melakukan hal itu!" kata Lui Thian Sianjin tidak
sabar. "Hal kekalahanmu terhadap dia mudah dibicarakan kemudian."
"Baiklah, suhu, teecu bersumpah bahwa tecu akan mencari dan merampas pedang Ang - coa -
kiam sampai dapat. Teecu takkan berhenti berusaha sebelum pedang itu dapat terampas
oleh teecu"
"Bagus, itu sumpah pertama, kau harus mendapatkan kembali pedang itu agar nama Kimliong-
pai jangan sampai ternoda karena orang telah menyalah gunakan pedang pusaka itu.
Dan sumpah kedua, kau harus mencari dan membunuh Sim Tiong Kiat !”
Pucatlah muka Tiong Han mendengar permintaan suhunya ini. Ia memandang kepada suhunya
dengan mata terbelalak dan tak dapat menjawab, hanya menggeleng - gelengkan kepalanya
saja.
"Tiong Han! Ucapkanlah sumpahmu!"
"Ti..dak, ,suhu ..teecu tak dapat melakukan hal ini! Teecu tidak sanggup "
Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menjatuhkan mukanya di atas tanah dan meratap
serta mintakan ampun untuk adiknya. Sungguh harus dikasihani pemuda yang berhati penuh
kasih sayang terhadap adik kembarnya ini. Air matanya membasahi seluruh mukanya dan
karena ia membentur-benturkan jidatnya di atas tanah, maka mukanya kini menjadi kotor.
"Tiong Han!" suhunya membentak marah. "Kalau aku tidak sudah tua dan kekurangan tenaga,
pasti aku sendiri yang akan kurun gunung dan mereiri murid murtad itu untuk kubunuh
sendiril Akan tetapi, di Kim-lioog-pai kini tinggal kaulah ahli waris satu-satunya yang
kiranya kuat dan dapat melakukan tugas ini!"
Sampai beberapa lama tidak terdengar pemuda itu berkata kata, hanya ia menangis
terisak-isak seperti seorang anak kecil. Ia tak kiasa membuka mulut, bagaimanakah la
dapat membunuh Tiong Kiat? Bagaimana ia dapat bertega hati membunuh adiknya yang
dikasihi nya sepenuh hati dan jiwanya? Tiong Kiat merupakan sebagian dari pada tubuhnya
sebagian daripada nyawanyal
"Ampun, suhu........ ampunkanlah teecu dan ampunkan adikku Teecu tidak sanggup, tidak
sampai hati melakukan tugas ini dan apakah dosa Tiong Kiat maka harus dibunuh? Terhadap
Kim-liong pai, kesalahannya hanya mencuri pedang pusaka, tidak cukupkah kalau teecu
bersumpah mengambil kembali pedang itu ? Ampunkanlah dia suhu!"
"Tiong Han, kau terlalu lemah ! Kau bilang Tiong Kiat tidak begitu besar salahnya
terhadap Kim liong-pai ? Soal pedang bukanlah soal terutama, akan tetapi yang paling
hebat adalah perbuatannya yang melanggar adat, melanggar kesopanan, melanggar
prikemanusiaan melanggar prikebajikan. Dia sudah berani membawa lari tunangan kakaknya
apakah kau mau bilang bahwa manusia macam itu tidak seharusnya dibunuh ?"
"Suhu, beribu ampun apabila pendapat tecu lain dengan pendapat suhu. Bukan sekali-kali
teecu membutakan mata dan membela adik sendiri tanpa alasan. Memang sesungguhnya
pembuatan Tiong Kiat yang melarikan sumoi itu amat tidak sopan dan kurang ajar. Akan
tetapi, siapakah yang tak terluka hatinya oleh perbuatan ini? Siapakah yang terhina dan
siapa pula yang dirugikan ? Kalau ada orapg yang seharusnya merasa sakit hati, maka
orang itu hanya teeculah. Akan tetapi, suhu, teecu tidak merasa sakit hati kepadanya
teecu tidak merasa terhina, bahkan teecu dengan rela hati mengalah, biar sumoi menjadi
jodoh Tiong Kiat, sudab cukup cocok dan pantas ! Biarlah, hitung-hitung teecu
mencarikan jodoh untuk adik teecu, apa salahnya ? Bukankah dengan demikian tidak ada
urutan sakit hati lagi, tidak ada keharusan hukuman mati terhadap Tiong Kiat?" Pemuda
itu berbicara dengan bernafsu sekali, nafsu yang terdorong oleh rasa sayangnya terhadap
Tiong Kiat dan dalam kesungguhan membela adiknya itu.
Pertapa itu mengelus elus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. la duduk
termenung dan pandangan matanya melayang jauh.
"Kalau begitu, terpaksa aku harus memaksa tulang belulangku yang sudah reyot dan lapuk
ini untuk turun gunung dan bekerja sendiri. Ah... tidak kusangka akan menjadi demikian
nasibku..... . Tiga orang murid tersayang kugembleng dan kulatih selama.... belasan
tahun.. bersusah payah....... tanpa....mengharapkan pembalasan sedikit jugapun .... dua
orang dari pada mereka menikam hatiku dan melarikan diri, siap merusak nama baikku,
nama baik Kim-liong-pai. Sekarang kau pula tidak bersedia membelaku, ah Su-couw tentu
akan menerima rohku dengan teguran hebatl" Kakek ini lalu menundukkan mukanya dan untuk
menyembunyikan sesuatu dari pandangan mata Tiong Han, akan tetapi pemuda itu sudah
melihat bahwa suhunya telah mengalirkan dua titik air mata. Suatu hal yang amat langka
terjadi, karena ia maklum betapa suhunya ini pantang mengalirkan air mata.
"Suhu...” kata Tiong Han terharu. "Teecu sama sekali bukan tidak mau membela suhu,
karena suhu tentu sudah maklum dan cukup mengerti bahwa teecu bahkan bersedia membela
suhu dengan taruhan nyawa sekalipun! Hanya yang membuat tecu ragu ragu, sndah patutkah
Tiong Kiat dibunuh, karena kesalahannya terhadap teecu yang sudah lama teocu maafkan
itu ?"
"Sudahlah, sudahlah.. mana kau ada... hati untuk mengganggu adikmu yang tercinta
walaupun ia amat jahat dan menyeleweng ? Kalau ia sampai mencemarkan nama Kim-liongpai,
kaupun tidak akan terbawa bawa tentu saja kau lebih berat kepada adikmu daripada
kepadaku ataupun kepala Kim-liong- pai. Sudahlah ...... "
Bukan main perihnya rasa hati Tiong Han mendengar sindiran suhunya ini. Ia lalu memberi
hormat lagi, kemudian ia berdiri dan berkata,
"Suhu, teecu bermohon diri. Tecu hendak mencari Tiong Kiat dan hendak minta kembali
pedang pusaka Ang-cong-klam, juga tecu hendak mencegah segala kejahatan atau
penyelewengannya, kalau perlu dengan nyawa teecu !" Setelah berkata demikian Tiong Han
lalu menggerakkan tubuh hendak berlari turun.
"Tiong Han, tunggul" tiba-tiba suhunya membentak dm ketika pemuda itu memutar tubuhnya,
Lui Thian Sianjin melemparkan sesuatu kepadanya. Tiong Hin cepat menyambut benda itu
dan ternyata bahwa yang diberikan kepadanya adalah sebuah kitab yang terbungkus dengan
sutera putih.
"Pedang Ang coa-kiam telah berada di tangan Tiong Kiat. Satu - satunya benda yang dapat
melawan pedang itu hanyalah kitab ini. Pelajarilah baik - baik dan dengan adanya kitab
itu di tanganmu, maka kedudukanmu dalam Kim liong-pai masih lebih tinggi dari pada
pemegang pedang Ang coa kiam. Menurut peraturan di Kim.liong-pai, seperti kau juga
sudah mengetahuinya, sebagaimana yang dipesankan dahulu oleh mendiang sucouw kita,
semua murid Kim-liong-pai harus tunduk dan taat kepada pemegang dua buah pusaka Kimliong-
pai, pertama-tama sekali kepada pemegang dari kitab ilmu pedang Ang-coa-kiamcoan-
si sebagai pemimpin tertinggi, dan kedua kepada pemegang pedang Ang.coa kiam
sebagai pemimpin kedua. Tiong Kiat juga tahu akan peraturan ini dan kalau dia hendak
mempergunakan haknya sebagai pemegang pedang Ang-coa kiam, maka menurut aturan, la
masih harus tunduk dan taat kepada pemegang kitab Ang-coa-kiam-coan-si . Nah, kau
pergilah."
Adapun Can Kong, ayah dari Can Kui Hwa, ketika mendengar berita tentang puterinya yang
melarikan diri sama Sim Tiong Kiat menjadi marah sekali. Tanpa dapat dicegah lagi oleh
isterinya yang menangis dan meratap lalu membawa pedangnya keluar dari rumah untuk
mencari anaknya dan Tiong Kiat.
"Terkutuk !" makinya dengan muka merah "Aku harus mencarl dan membunuh sepasang anjing
itu!" Ayah ini merasa malu sekali malu terhadap suhunya, malu terhadap calon mantunya,
dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana puteri tunggalnya bisa melakukan perbuatan yang
rendah itu? Dan kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak.
0o-dw-o0
Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya berlari bagaikan dua ekor burung garuda
melayang turun dari Gunung Liong - san. Kalau dilihat dail jauh, mereka ini nampak
bagaikan dua ekor burung saja dan bagaikan dua titik yang makin lama makin membesar.
Akan tetapi setelah kedua sosok bayangan ini datang dekat, ternyata mereka adalah
sepasang orang muda dan elok sekali, sepasang pemuda dan pemudi yang amat sedap dilihat
karena mereka ini benar-benar tampan dan cantik.
Pemuda itu adalah Sim Tiong Kiat, pemuda yang berusia dua puluh tahun yang amat tampan.
Tubuhnya sedang, dadanya bidang, mukanya yang bundar dengan dagu tajam itu berkulit
putih bersih kemerah-merahan bagaikan muka seorang wanita. Sepasang matanya berkilatkilat
dan bersinar tajam sekali, dengan gerakan yang liar dan tiada hentinya bergerak.
Alisnya tebal dan panjang menghitam, nampak makin jelas pada wajahnya yang putih
bagaikan dicat. Hidungrya mancung dan bibirnya merah den berbentuk indah. Benar benar
seorang pemuda yang amat cakap dan tampan. Hanya tarikan mulut dan dagunya saja yang
membayangkan kegagahan dan ketinggian hati, sikap mukanya selalu memandang rendah dan
mengejek orarg lain yang dipandangnya. Pakaiannya berwarna biru dengan ikat kepala dan
pinggir leher berwarna merah menambah kegagahannya. Sarung pedang yang Indah sekali
tergantung di pinggang kirinya. Inilah Sim Tong kiat, murid dari Kim-liong-pai yang
melarikan diri itu, dan pedang ynng tergantung di pinggangnya itu sdalnh pedang Angcoa-
kiam, pedang pusaka Kim liong-pai yang dicuri dan dibawanya pergi,
Dara yang berjalan di sebelah kirinya cantik sekali. Wajahnya manis dan potongan
tubuhnya langsing dan penuh hampir mendekati sebutan montok. Ikat kepalanya biru,
pakaiannya merah, agak kehitaman. Di atas telinga kanannya terhias oleh bunga bungaan
dari sutera yang indah. Bibirnya selalu tersenyum manis dan sepasang matanya kocak,
kalau mengerling nampak nyata kegenitannya, kegenitan yang tidak menjemukan, bahkan
yang merupakan senjata istimewa dari pada kecantikannya, karena sukarlah bagi seotang
pria untuk bertahan menghadapi serangan kerling semanis itu. Gadis itu bukan lain
adalah sumoi (adik seperguruan) dari Sim Tiong Kiat yang bernama Can Kui Hui, pu'eri
tunggal dari Can Kong.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, biarpun oleh suhu dan ayahnya ia di
tunangkan dengan Tiong Han namun di dalam hatinya, Kui Hwa, tidak menyetujui
pertunangan ini, karena semenjak kecil ia telah tertarik kepada Tiong Kiat. Setelah
menjadi dewasa rasa suka ini berobah menjadi cinta kasih yarg mendalam. Watak Tiong
Kiat yang gembira dan jenaka, cocok sekali dengan wataknya, tidak seperti Tiong Han
yang pendiam dan bersikap sungguh - sungguh. Apalagi dari fihak Tiong Kiat ada jawaban
maka kakak beradik seperguruan ini saling jatuh cinta dan makin lama hubungan mereka
makin erat.
Sungguh amat disayangkan bahwa gadis y«ng cantik itu memiliki sifat genit, dan demikian
pula Tiong Kiat mempunyai watak yang mata keranjang. Hubungan mereka yang amat erat
pergaulan mereka yang bebas lepas di atas puncak Liong san, kesempatan-kesempatan yang
terbuka dan watak mereka yang romantis merupakan kekuatan yang maha besar mendobrak
daya tahan iman mereka yang muda. Ditambah lagi oleh kata - kata manis dari Tiong Kiat
yang agaknya berbakat pula untuk mencumbu rayu wanita, maka jatuhlah hati Kui Hwa.
Mereka lupa daratan, tak acuh kepada bisikan - bisikan dan teguran hati nurani sendiri
dan akhirnya merela melakukan hubungan yang melanggar batas - batas kesopanan dan
kesusilaan!
Sesungguhnya mereka tidak ada niat sama sekali untuk lari minggat dari puncak gunung
itu. Sungguhpun Kui Hwa amat mencintai Tiong Kiat, namun ia tidak berani membantah
kehendak suhu dan ayahnya dalam hal ikatan jodohnya dengan Tiong Han. Akan tetapi,
ketika pada malam hari itu tanpa disangka sangka Tiong Han melihat mereka berdua sedang
berkasih-kasihan, keduanya menjadi malu dan gelisah sekali. Memang Tiong Han segera
pergi dan berlaku biasa pura-pura tidak melihat mereka, namun mereka tetap saja takut
kalau-kalau Tiong Han akan melaporkan hal itu kepada Lui Thian Sianjin atau kepada Can
Kong.
Demikianlah mereka lalu mengambil keputusan untuk minggat saja, Untuk menjaga agar
kelak tidak menghadapi kemurkaan Lui Thian Sianjin dan juga karena memang suka kepada
pedang pusuka Ang coa kiam, Tiong Kiat lalu mencuri pedang itu, bahkan secara kurang
ajar dan berani sekali meninggalkan surat untuk suhunya, mengakui terus terang bahwa
dia mengambil pedang pusaka dan bahwa ia dan sumoinya akan pergi karena telah saling
menyinta.
“Suheng, bagaimana kalau twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mengejar kita?” Kata Kui
Hwa sambil memegang tangan Tiong Kait dengan sikap manja ketika mereka berjalan
berdampingan di dalam sebuah hutan di kaki Gunung Liong san.
"Hwa moi, mengapa kau takut ? Han-ko tidak akan mengejar kita, karena tidak tahukah kau
bahwa dia sebenarnya juga tidak menaruh rasa cinta kepadamu, kalau bukan demikian
mengapa dia tidak menegur kita ketika dia melihat perhubungan kita? Pula kalau sampai
dia mengejar juga apa sih yang harus ditakuti ? Menghadapi kau saja belum temu dia akan
menang, apalagi terhadap aku. Dan masih ada pokiam (pedang mustika) ini"
“Takut sih tidak, koko (kanda). Akan tetapi......” Kui Hwa menahan langkahnya dan
hendak menundukkan mukanya yang bersemu merah.
Tiong Kiat juga berhenti dan juga memegang tangan kekasihnya itu "Akan tetapi apa..
moi... moi ?”
“Kalau twa-suheng datang, aku.... aku merasa malu. Bukankah aku sudah dipertunangkan
dengan dia?. Aku .... .... aku malu,"
Tiong Kiat merenggutkan tangannya dari tangan Kui Hwa dan keningnya berkerut, “Kau
menyesal? Kalau kau masih menyayangkan pertunanganmu dengan dia kau boleh kembali"
Terbelalak mata Kui Hwa ketika ia memandang wajah pemuda itu. Kemudian melangkah maju
dan memeluk kekasihnya sambil menjatuhkan jidat pada dada Tiong Kiat. “Tega benar kau
berkata begitu kepadaku, koko. Mengapakah kau tidak percaya kepadaku? Masih belum
cukupkah pengorbananku? Aku memutuskan pertunangan yang telah dijadikan oleh suhu dan
ayah, telah meninggalkan suhu dan meningalkan ayah untuk ikut padamu, telah dengan rela
menyerahkan jiwa raga kepadamu, kini tega benar kau mengeluarkan kata-kata seperti itu"
Tiong Kiat mengelus-elus kepala Kui Hwa dan membelai rambutnya dengan sentuhan mesra,
“Hwa moi, kita sudah bersumpah sehidup semati, dengan disaksikan oleh bulan dan bintang
kita telah menjadi suami isteri, mengapa kau masih mau memperdulikan orang lain?
Biarkan Han-ko datang mengejar kalau ia berani. Kau jangan ikut-ikut, aku sendiri yang
akan menghadapinya”
Kui Hwa mempererat pelukanrya dan bisiknya, "Kekasihku.. aku tak dapat mencintai orang
lain, dan aku hanya menyerahkan nasib hidupku kepadamu. Aku akan turut kepadamu, ke
mana juapun kau pergi! Aku bersedia hidup sengsara asal saja berada di sampingmu. Hanya
satu hal ...jangan sekali – kali kau menyia-nyiakan cintaku, koko jangan sekali-kali
kau bermain gila dengan wanita lain. Kalau terjadi hal seperti itu, akan kubunuh wanita
itu dan aku akan meninggalkanmu!"
Tiong Kiat tersenyum dan berkata jenaka, "Bagiku di atas dunia ini hanya ada seorang
wanita, yakni engkaulah. Bagaimana aku dapat bermain dengan wanita lain? Wanita mana
yang dapat menyamaimu? Wanita mana yang mempunyai mata seindah ini, bibir semanis ini,
dan rambut sehalus ini?" Sambil berkata demikian ia membelai mata, bibir dan rambut
gadis itu. "Tidak, aku akan tetap setia padamu seperti juga setiamu kepadaku, Hwa-moil"
Akan tetapi di dalam Hatinya, Tiong Kiat mentertawakan sumoinyia ini, sungguhpun ia
berdebar juga mendengar ancaman yang diucapkan Kui Hwa, karena ia maklum bahwa gadis
ini tentu akan membuktikan ancamannya itu.
Karena buaian cumbu rayu dan kasih sayang, sepasang orang muda ini melakukan perjalanan
dengan amat gembira. Mereka tidak memperdulikan lagi akan bahaya yang mungkin datang
dari kejaran Tiong Han maupun suhu mereka. Kui Hwa amat percaya kepada kekasihnya,
karena dara inipun maklum akan kelihaian Tiong Kiat. Misalnya suhu mereka mengejar,
dengan kekuatan mereka, agaknya guru mereka sendiripun takkan dapat mengganggu
kebahagiaan mereka.
Akan tetapi beberapa belas hari kemudian, ketika sepasang orang muda ini akan pesiar di
sebuah telaga, mengaso di pinggir telaga melihat orang-orang berpesta di atas perahu
alangkah terkejutnya hati mereka ketika tiba- tiba Can Kong berdiri di hadapan mereka
dengan pedang terhunus di tangan kanan.
"Ayah... !" Kui Hwa berseru dengan wajah pucat dan gadis itu menghampiri ayahnya hendak
berlutut, akan tetapi Can Kong menggerakkan pedangnya dan membacokkan pedang itu ke
arah leher Kui Hwa! Biatpun kepandaian Kui Hwa lebih tinggi dari pada ayahnya, namun
bacokan yang dilakukan oleh ayahnya dan diserangkan kepadanya yang sedang berlutut itu,
agaknya tak dapat dielakkan lagi !
"Traang........!" terdengar suara keras dan pedang di tangan Can Kong tinggal gagangnya
saja. Ternyata bahwa pedangnya yang mengancam nyawa puterinya sendiri itu tehh kena
ditangkis oleh Tiong Kiat yang mempergunakan pedang Ang-coa kiam. Dapat dibayangkan
betapa tajam dan ampuhnya pedang Ang-coa-kiam. Baru saja terbentur sekali, pedang di
tangan Can Kong telah dibabat putus !
"Anjing.. anjing rendah tak tahu bermalu l" Can Kong berseru dengan nafas terengahengah.
'Kalian harus mampus.” kemudian dengan nekad Can Kong lalu menubruk Kui Hwa
uuruk mencekik lehernya .
"Ayah... ! Ampunkan anakmu, ayah..."
Kui Hwa mengeluh tanpa berani melawan, akan tetapi kembali Tiong Kiat yang menolongnya
Sebuah sampokan lengan kanan pemuda ini membuat tubuh Can Kong terpental dan terhuyung
- huyung mundur ke belakang hampir jatuh! Memang, kepandaian Can Kong masih kalah jauh
kalah dibandingkan dengan kepandaian Tiong Kiat, baik ilmu pedang, maupun tenaga
lweekangnya.
"Suheng," kata Tiong Kiat yang menyebut "kakak seperguruan" karena memang Can Kong juga
murid dari Lui Thian Sianjin, "tidak ada harimau makan anaknya, apalagi manusia!"
"Anjing she Sim!" Can Kong marah sekali sehingga sepasang matanya seakan-akan
mengeluarkan cahaya api dan mulutnya mengeluarkan buih. "Kau telah melakukan perbuatan
rendah melarikan anak gadis orang, masih dapat memberi nasihat kepadaku? Saat ini kalau
bukan kau, tentu aku yang akan mampus!" Setelah berkata demikian, Can Kong kembali
menyerang, dan kali ini ia menyerang Tiong Kiat dengan sepenuh tenaga!
"Ayah... !" Kui Hwa menjerit dan hanya dapat menangis. Ayahnya sudah nekad benar dan
menyerang secara bertubi-tubi dan mata gelap.
Tiong Kiat telah menyimpan kembali pedangnya dan sesungguhnya ia tidak berani untuk
membalas serangannya orang tua yang nekad itu. Akan tetapi, karena Can Kong menyerang
dengan mati-matian, ia menjadi repot juga.
"Can suheng, mengapa kau berlaku seperti anak kecil. Biarkan kami berdua pergi. Aku
masih menghormatimu sebagai seorang subeng dan kalau boleh, sebagai orang tua sendiri,
akan tetapi kesabaran ada batasnya “ kata Tiong Kiat sambil menangkis sebuah pukulan
dengan tenaga sepenuhnya sehingga Can Kong merasa betapa lengannya sakit sekali dan
kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
"Bangsat rendah ! Binatang tak bermalu !' Can Kong memaki lagi tanpa memperdulikan rasa
sakit pada lengannya, ia menyerbu kembali dengan ilmu pukulan Kim-liong pai yang
berbahaya bagi lawannya
"Kau mencari penyakit sendiri" kata Tiong Kiat dengan marah karena ia anggap orang tua
ini amat keterlaluan.
"Koko, jangan...!" Kui Hwa berseru akan tetapi terlambat. Tiong Kiat telah membalas
serangan lawannya dan ketika tubuhnya bergerak cepat, sebuah tendangannya yang lihai
telah mengenai lambung Can Kong dengan hebatnya. Tubuh Can Kong terlempar jauh dan
roboh ke dalam air telaga !
"Ayah...” Kui Hwa menjerit dan menolong ayahnya, akan tetapi pada saat itu, diantara
perahu-perahu yang bergerak ke sana ke mari di atas telaga, meluncur cepat sebuah
perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang hwesio gemuk, sekali ia mengulurkan tangannya
tubuh Can Kong yang hampir tenggelam itu telah berpindah ke dalam perahu.
"Siapa pemuda itu, siapa pula gadis itu dan siapa kau” tanya pendeta Buddha ini kepada
Can Kong yang napasnya sudah empas-empis.
Can Kong membuka matanya dan ketika ia melihat hwesio gemuk itu ia tersenyum pahit. Ia
mengenal hwesio ini yane bukan lain adalah seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal,
la bernama Cin Kun Hosiang, tokoh dari Bu-tong-pai, hwesio perantau yang menjadi
pendekar besar penolong rakyat sehingga namanya amat terkenal, baik di kalangan rakyat
maupun di dunia kang-ouw.
"Cin suhu, celakalah... hancur nama ....baikku oleh anjing-anjing tak bermalu itu.
Perempuan itu adalah puteri tunggalku, sedangkan pemuda itu adalah suteku sendiri.
Mereka.. mereka minggay....... dan......."
Orang tua itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia menjadi lemas dan pingsan
karena luka pada lambungnya yang hebat akibat tendangan Tiong Kiat.
Bukan main marahnya Cin Kun Hosiang mendengar keterangan ini. Dengan tangan kiri
memondong tubuh Can Kong. Ia lalu melompat ke pantai, mengagumkan sekali gerakannya ini
karena tubuhnya yang gendut itu seakan- akan amat ringan. Ketika berhadapan dengan
Tiong Kiat yang memandang dengan sikap dingin dan Kui Hwa yang masih mengucurkan air
mata, hwesio itu lalu menurunkan tubuh Can Kong yang masih pingsan itu di atas tanah.
Kui Hwa hendak menubruk ayahnya, akan tetapi hwesio itu mengebutkan ujung lengan
bajunya ke arah gadis itu sambil berkata,
"Jangan mengotori ayahmu dengan tanganmu yang bernoda"
Kui Hwa terkejut sekali karena ujung lengan baju itu mengeluarkan hawa pukulan yang
amat kuat. Akan tetapi dengan lincahnya ia dapat mengelak dan memandang kepada hwesio
itu dengan marah.
"Kepala gundul. Siapakah kau maka berani sekali kau berkata demikian kepadaku?"
bentaknya.
Hwesio itu tertawa bergelak. "Pinceng Cin Kun Hosiang paling benci kepada orang orang
jahat, akan tetapi lebih benci lagi kepada seorang anak durbaka. Kau adalah seorang
anak perempuan yang mendurhaka terhadap orang tua, seorang anak gadis tak bermalu yang
menodai nama keluarga ! Percuma saja kau dilahirkan di atas dunia, lebih baik sekarang
juga kau meninggalkan dunia agar nama baik ayahmu tidak sampai menjadi buah tutur orang
1"
"Keparat” bentak Kui Hwa. "Aku pernah mendengar nama Cin Kun Hosiang sebagai tokoh Butong-
pai yang tersohor, akan tetapi ternyata kau hanya seorang kepala gundul ysng
berpura-pura alim dan orang yang lancang yang suka mencampuri urusan rumah tangga orang
lain. Kau kira aku takut kepadamu?" Kui Hwa menjadi marah sekali oleh karena ucapan itu
didengar oleh orang - orang yang kini mulai berkumpul menonton mereka. Ia merasa dihina
dan dibikin malu sekali, maka setelah mencabut pedangnya ia lalu menyerang hwesio gemuk
itu.
Cin Kun Hosiang ketika melihat datangnya serangan yang cukup hebat mi, diam- diam
menjadi terkejut. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Kim-liong-pai akan tetapi ia
pernah melihat Can Kong bermain silat dengan pedang dan karena tingkat Can Kong masih
rendah, maka hwesio ini merasa sanggup untuk menghadapinya,
Kini melihat gerakan Kui Hwa, selain terkejut iapun merasa heran bagaimana gadis ini
memiliki ilmu pedang yang jauh lebih hebat dari pada ilmu pedang ayahnya! Akan tetapi
ia tidak tempat banyak berpikir dan cepat pula ia mencabut senjatanya, yakni sebatang
tongkat pendek yang tadinya terselip di pinggangnya.
Pertempuran hebat terjadi di pantai telaga itu antara Cin Kun Hosiang dan Kui Hwa.
Kalau dibandingkan antara kedua orang yang sedang bertempur ini, maka kepandaian mereka
boleh dibilang berimbang kuatnya. Hwesio gemuk itu lebih menang dalam hal tenaga
lweekang dan pengalaman, akan tetapi Kui Hwa menang jauh dalam kecepatan dan kehebatan
gerakan pedangnya. Pedangnya melupakan seekor burung elang yang menyerang dan
menyambar-nyambar dan semua penjuru, sedangkan tongkat di tangan Cin Kun Hosiang
merupakan seekor induk ayam yang melindungi anak anaknya dari serangan elang itu.
Gerakannya tidak cepat dan amat tenang, akan tetapi sekali digerakkan, cukup untuk
membikiu pedang Kui Hwa terpental kembali.
Betapapun juga, karena kalah lihai ilmu silatnya, hwesio gendut itu terdesak hebat oleh
Kui Hwa, sungguhpun takkan mudah bagi Kui Hwa untuk merobohkan lawannya. Diam-diam Cin
Kun Hosiang merasa kaget sekali. Jarang sekali hwesio ini bertemu dengan lawan yang
sedemikian tangguhnya. Banyak sudah ia mengalami pertempuran menghadapi penjahatpenjahat
oan perampok-perampok, akan tetapi selalu ia memperoleh kemenangan. Jarang ada
orang yang sanggup menghadapi tongkatnya yang digerakkan dengan tenaga lweekangnya yang
sudah tinggi. Akan tetapi siapa kira bahwa kini menghadapi puteri Can Kong seorang dara
jelita yang masih muda sekali, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas
serangan gadis ini.
Cin Kun Hosiang menjadi kekhi (gemas) juga. Pada saat pedang Kui Hwa menyambar dari
atas, ia cepat menangkis dengan tongkatnya, dan membarengi dengan serangan pukulan
tangan kirinya ke arah dada gadis itu! Inilah serangan dari ilmu pukulan Lwee-khiciang-
hoat yang luar biasa hebatnya, karena pukulan ini dilakukan dengan pengerahan
tenaga khi-kang. pukulan ini tidak perlu mengenai tubuh, hawa pukulannya saja cukup
mengalahkan lawan. Yang paling hebat adalah pukulan ini takkan terasa oleh lawan dan
tidak melukai tubuh luar, namun menyerang dan melukai tubuh bagian dalam.
Untung bagi Kui Hwa selama itu, Tiong Kiat memandang pertempuran dengan penuh
perhatian. Ketika ia melihat betapa Kui Hwa dapat mendesak lawannya dan meyakinkan
bahwa kekasihnya itu pasti akan dapat mengalahkan Cin Kun Hosiang, ia merasa lega dan
tidak mau turun tangan membantu. Akan tetapi ketika melihat gerakan pukulan hwesio itu,
ia menjadi terkejut sekali."Awas pukulan Lwee-khi!" teriaknya memperingatkan Kui Hwa
dan berbareng ia mengirim pukulan dengan tenaga khikangnya ke arah hwesio itu. Cin Kun
Hosiang terkejut ketika merasa angin pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar dari
samping. Ia terpaksa menarik kembali pukulannya itu dan mencoba menjejak, akan tetapi
Kui Hwa yang merasa marah sekali kepada lawannya, tidak memberi hati dan ketika
pedangnya meluncur ke depan biarpun Cin Kun Hosiang mencoba untuk mengelak, tetap saja
ujung pedang itu menancap ke pundaknya sebelah kanan. Ketika Kui Hwa mencabut
pedangnya, Cin Kun Hoaiang terhuyung ke belakang, kemudian roboh mandi darah dalam
keadaan pingsan.
Tiong Kiat memegang tangan kekasihnya, menariknya sambil berkata, "Hayo kita pergi, moi
moi" Kui Hwa beberapa kali menengok ke arah ayahnya, akan tetapi ia hanya terisak sedih
dan mengikuti kekasihnya yang berlari cepat.
Setelah jauh dari tempat itu, Kui Hwa berhenti berlari, menjatuhkan diri di atas rumput
dan menangis tersedu-sedu. Tiong Kiat menghampirinya, lalu memeluknya.
"Koko mengapa kau melukai ayah? Bagaimana kalau kalau ia mati ? Ah, kau yang
membunuhnya"
Tiong Kiat mnmegang kedua pundak Kui Hwa dan memaksa gadis itu memandangnya. “Kui Hwa,
pikirlah baik-baik. Dalam keadaan seperti itu, kau hanya tinggal memilih, ayahmu atau
aku ! Dia telah menyerangku mati- matian, dan kaupun tahu bahwa tadinya aku selalu
mengalah. Akan tetapi, kalau aku terus mengalah, bukan dia yang roboh pasti aku yang
roboh, pasti akulah yang telah dirobohkannya. Kalau aku yang terluka, apakah ayahmu
akan mau melepaskan aku begitu saja tanpa membunuhku lebih dulu?”
Mendengar ucapan ini, Kui Hwa menundukkan mukanya sambil terisak-isak menahan
kepedihan.
“Aku aku menyesal sekali, koko....... Bagaimanakah nasioku menjadi begini ? Aku
bermusuh dengan ayah sendiri......."
Tiong Kiat menghiburnya, menggunakan tangannya untuk menghapus air mata kekasihnya yang
mengalir turun di sepanjang pipinya, lalu mendekap kepalanya.
"Jangan takut, moi-moi. Bukankah ada aku yang akan selalu melindungimu? Tidak apalah
kalau ayahmu membencimu, bukankah sudah ada aku seorang yang akan mencinta dan
membelamu selama hidupku?"
Terhibur juga hati Kui Hwa mendengar ucapan yang penuh cinta kasih ini.
"Koko, betul-betulkah kau akan tetap mencintaiku selama hidupmu? Tidak akan tertarik
oleh gadis lain yang lebih cantik dari pada aku ?" bisiknya manja.
"Aku bersumpah, moi-moi. Bukankah sudah berkali - kali aku menyatakan bahwa aku
mencintamu dengan segenap nyawaku?" kata Tiong Kiat kepada Kui Hwa yang merem melek
terayun oleh bujuk rayu yang dikeluarkan dengan suara halus dan yang cukup kuat untuk
merobohkan hati seoiang gadis ini. Demikianlah amat berbahaya kalau seorang gadis hanya
membuka telinga untuk mendengarkan bujuk rayu seorang pemuda, tanpa membuka kewaspadaan
hatinya dan kewaspadaan matanya untuk dapat melihat apakah yang tersembunyi di balik
senyum manis, dan apa yang terdengar di balik cumbu rayu itu. Sekali ia telah terjebak
dan masuk perangkap sukarlah baginya untuk keluar kembali.
"Koko, sekali lagi aku mohon kepadamu, janganlah kau melupakan aku, jangan meninggalkan
aku, dan jangan pula kau bermain gila dengar wanita lain. Aku takkan kuat menahannya
dan aku lebih baik mati dari pada harus berpisah dengan kau, dari pada harus melihat
engkau berkasih-kasihan dengan wanita lain. Akan kubunuh wanita itu !"
"Jangan khawatir, kekasihku, tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih manis dan lebih
setia dari padamu!"
Terhiburlah hati Kui Hwa dan anak ini telah melupakan lagi ayahnya yang ditinggalkan
dalam keadaan terluka parah. Tidak teringat lagi ia apakah ayahnya akan mati akibat
tendangan kekasihnya itu, ataukah masih hidupi Bahkan Kui Hwa tidak perduli lagi akan
nama Cin Kun Hoaiang yang sudah ia lukai. Pada hal kalau pikirannya sadar, ia akan
mengeluarkan keringat dingin kalau teringat betapa telah melukai seorang pendekar yang
sudah tersohor namanya, seorang gagah yang dicintai oleh orang - orang kang - ouw, yang
mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang tentu saja takkan tinggal diam.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, merantau tanpa arah tujuan tetap. Di mana saja
mereka mendengar ada tempat yang bagus dan menyenangkan, mereka lalu mendatangi tempat
itu. Keadaan mereka tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang melakukan
perjalanan berbulan madu.
0o-dw-o0
Akan tetapi, tepat sebagaimana yang di ajarkan oleh para cerdik pandai dan para
bijaksana di jaman dahulu, bahwa segala sesuatu mengenai tindakan dalam hidup, harus
dilakukan dengan hati suci, bersih dari pada Lima Sifat yang dipergunakan sebagai garis
dan batas hidup. Lima Sifat itu adalah Jin, Gie, Lee, Ti, Sin. Demikianlah dengan
hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa. Kedua orang muda ini melakukan hubungan hanya
karena dorongan nafsu semata, nafsu yang membikin buta mata batin mereka, yang
melumpuhkan keteguhan iman mereka. Dan semua penyelewengan ini terjadi karena tidak
adanya Lee, karena tidak adanya peraturan. Mereka telah melanggar Lee, melanggar
peraturan yang diajarkan oleh para bijaksana. Hubungan mereka setelah dewasa melampaui
kesopanan dan sama sekali melanggar peraturan kesopanan dan kesusilaan. Akibatnya
mereka terkena bujukan iblis, dan kemudian mereka bahkan meninggalkan suhu dan orang
tua, minggat dan melakukan pelanggaran peraturan yang kedua. Ketiga kalinya mereka
hidup seperti suami isteri di luar pernikahan yang sah, dan hal ini lebih - lebih
melakukan pelanggaran peraturan yang amat buruk. Semenjak jaman dahulu, orang orang di
negeri Tiongkok selalu berpegang teguh kepada peraturan, terutama sekali dalam hal
hubungan antara laki - laki dan wanita, dan bagaimana bukti kebaikannya? Bagi seorang
rakyat Tiongkok, pernikahannya hanya terjadi satu kali selama mereka hidup. Jarang
sekali, hampir tidak ada, terjadi perceraian - perceraian, dan suami isteri hidup rukun
sampai di hari tua.
Setel ih melakukan perjalanan beberapa bulan saja, mulai lunturlah "cinta kasih” yang
didengungkan oleh mulut Tiong Kiat terhadap Kui Hwa. Biarpun kini pemuda itu sama
sekali tidak menyatakan kelunturan cinta kasihnya dalam kata kata, namun pandangan mata
dan sikapnya membuat Kui Hwa amat gelisah. Gadis ini benar-benar mencinta Tiong Kiat,
bahkan telah membuktikan cintanya itu dengan memberatkan pemuda itu dari pada ayahnya.
Berkali - kali mulai timbul percecokan dan perbantahan diantara mereka karena soal
kecil saja dan hati Kui Hwa makin lama makin gelisah dan sedih. Ia membujuk - bujuk
kekasihnya itu untuk menghentikan perantauan mereka dan tinggal di dalam sebuah kota,
mencari rumah dan hidup berumah tangga sebagaimana yang diidam-idamkan oleh semua gadis
di dunia ini. Akan tetapi Tiong Kiat selalu menyatakan tidak setuju.
"Aku tidak betah tinggal di rumah. Kalau kau merasa lelah ikut aku merantau, marilah
kita mencari rumah dan kau beristirahat di situ. biar aku melanjutkan perantauan
seorang diri."
Semenjak mendapat jawaban ini, Kui Hwa tidak berani lagi bicara tentang menghentikan
perantauan mereka. Ia juga tidak membantah ketika melihat Tiong Kiat mendatangi rumah
gedung orang-orang hartawan untuk mencuri emas dan perak guna dipakai membiayai
perjalanan mereka. Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di luar kota
Heng-yang. Baru saja mereka berjalan mematuki pagar dusun, tiba-tiba terdengar jeritanjeritan
dan mereka melihat dua orang wanita sedang berlari ketakutan, dikejar oleh
seorang laki-laki tua yang membawa golok yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dua orang
wanita itu adalah orang-orang dusun, akan tetapi yang seorang biarpun berpakaian
sederhana seperti pakaian orang dusun, ternyata masih muda dan amat cantiknya. Adapun
wanita kedua sudah setengah tua, berlari sambil menggandeng dan menarik lengan gadis
cantik manis itu.
Melihat bahaya maut mengancam kedua orang wanita itu, Tiong Kiat dan Kui Hwa segera
turun tangan. Kui Hwa melompat ke dekat kedua orang wanita itu untuk melindungi mereka,
adapun Tiong Kiat cepat menyerbu laki-laki bergolok itu. Akan tetapi, alangkah herannya
ketika sekali saja mengulur tangan, golok itu dengan mudah telah dapat dirampasnya.
Ternyata laki laki itu seorang dusun yang lemah dan sama sekali tidak pantas menjadi
orang jahat yang mengganggu dan mengancam wanita! la menyangka bahwa mungkin orang ini
berotak miring, maka bentaknya,"Orang gila darimana berlaku kurang ajar kepada orang
perempuan?”
Akan tetapi orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu, menjadi
marah dan menegur Tiong Kiat dengan mata merah,
"Orang muda, kau perduli apakah dengan urusan rumah tangga orang lain? Mereka adalah
istri dan anakku, aku hendak membunuh mereka kemudian membunuh diri sendiri, ada
hubungan apakah dengan engkau?"
Tiong Kiat tersenyum jenaka. "Kakek lucu, kau ingin mati mengapa mengajak orang lain?
Bila kau memaksa anak istri untuk ikut sertamu mati, sungguh pengecut!”
Kakek itu makin marah,”mengapa kau bilang aku pengecut!”
“Itu karena kau takut hidup, takut menghadapi kesukaran, maka kuanggap kau pengecut!
Sudah terang bahwa anak istrimu tidak sudi mati, akan tetapi kau hendak memaksa mereka.
Dengan perbuatan ini, kembali kau pengecut, jadi dua kali pengecut !" Mendengar ucapan
ini, tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu menjadi muram dan laki-laki itu menjatuhkan
diri duduk di atas tanah dan menangis! Kedua orang wanita yang dikejar-kejar tadi lalu
berlari menghampiri dan bertangis-tangisanlah ketiga orang itu ! Tentu saja Tiong Kiat
dan Kui Hwa hanya bisa saling pandang dengan heran dan geli hatinya.
"Eh, ah, bagaimana pula ini?" Kui Hwa kini maju bertanya. "Seperti anak keciI saja
kalian ini. Tadi berkejar-kejaran sekarang bertangis-tangisan! Kesusahan apakah yang
mengganggu kalian? Beritahukan kepada kami, pasti kami akan dapat membantu kalian."
Ketiga orang itu mengangkat muka memandang kepada dua orang muda itu dan setelah kini
melihat dari dekat, diam diam Tiong Kiat mengerling kagum ke arah gadis dusun yang
benar benar cantik sekali itu ! Karena menangis sepasang pipi gadis itu menjadi
kemerah-merahan dan bibirnya demikian menarik dan indah sehingga diam-diam Tiong Kiat
menelan ludah !
"Kami adalah orang orang yang tertimpa kemalangan hebat," kata kakek itu. "Loan Li
puteri kami yang hanya seorang ini telah terlihat oleh Hek pa cu (Macan Tutul Hitam)
dan telah dipinang ! Kami tidak melihat jalan keluar, maka kupikir lebih baik kami
binasa daripada anak kami menjadi korban Hek pa cu !
"Hm, siapakah Hek pa cu itu? Orang macam apakah dia ?" tanya Tiong Kiat sambil
memandang gadis yang bernama Loan Li itu.
Kini kakek itu yang memandang heran. "jiwi tentu datang dari tempat jauh maka belum
pernah mendengar nama Hek pa cu Tong Sun ! Dia telah dikenal baik olen seluruh penduduk
di sekitar daerah Heng-yang. Dialah pemimpin dari gerombolan Sorban Merah yang terkenal
!”
'Kalau begitu mengapa pula kau menolak pinangannya? Bukankah ia seorang ternama seperti
katamu tadi? Terima saja pinangannya, habis perkara !" kata Kui Hwa.
"Tidak ...... tidak sudi....... lebih baik mati!” gadis cantik berkata dan wajahnya
berobah pucat, sambiI menggoyang - goyangkan kedua tangan ia menyatakan tidak setuju.
"Nah, itulah yang menggelisahkan hatiku. Anakku tidak mau menjadi bini muda Hek pa cu
dan penolakan ini berarti kematian yang mengerikan bagi kami bertiga. Dari pada mati
disiksa oleh kaki tangan Hek pacu lebih baik aku sendiri yang menjadi algojo atas nyawa
kami bertiga."
"Hm, orang macam apakah Hek pa cu ini sehingga ia demikian berkuasa ?" kata Tiong Kiat.
"Empek, jangan kau takut, kebetulan sekali aku adalah seorang ahli menangkap se-....
(ketikan tidak bisa terbaca karena terlalu gelap)
“Kami keluarga Gu, namaku Gu Seng, bertempat tinggal di dusun ini. Banyak terima kasih
karena taihiap dan lihiap sudi menolong kami. Akan tetapi, Hek.pa cu adalah seorang
yang kejam dan tangguh sekali, adapun kaki tangannya amat banyak jumlahnya.
Bagaimanakah jiwi dapat menghadapinya?"
"Tak usah kuatir lopek " kata Kui Hwa, "biarpun seandainya terdapat seratus orang Hek
pa-cu kami berdua sanggup untuk mencabuti kumis dan ekor mereka!"
Dengan girang tiga orang itu berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian mereka lalu
kembali ke rumah mereka dan menanti dengan hati berdebar-debar.
"Hwa moi, agaknya Hek-pa-cu ini amat jahat dan berpengaruh. Lebih baik kita mendatangi
sarangnya dan membasminya sama sekali agar daerah ini terhindar dari pada kejahatannya.
Biarlah gadis itu dibawa ke sarang mereka dan diam-diam kita mengikutinya, Setelah tiba
di sarang mereka, barulah kita turun tangan, menolong gadis itu dan sekalian
menghancurkan sarang mereka. Bagaimana pendapatmu?"
"Memang sebaiknya demikian, koko. Akan tetapi, hal ini perlu kita beritahukan kepada
keluarga Gu, agar mereka tidak menjadi terkejut dan gelisah, dan mengerti akan siasat
kita."
Menjelang malam, kedua orang muda ini mendatangi rumah keluarga Gu, dan memberi-tahukan
siasat mereka itu. Karena keluarga Gu tidak melihat jalan keluar dari pada ancaman ini,
maka tentu saja mereka menurut segala petunjuk dan kehendak penolong mereka!
Dan pada malam hari ini, datanglah serombongan orang laki-laki yang bertubuh tinggi
besar berpakaian seragam dengan sorban merah. Mereka ini adalah anak buah dari Hek -
pacu yang datang membawa sebuah tandu untuk mengambil Loan Li. Jumlah mereka lima belas
orang, semuanya nampak seram dan galak. Penduduk kampung itu yang sudah mendengar
tentang kehendak Hek pa cu untuk mengambil Loan Li, siang-siang sudah menutup pintu dan
yang berani keluar hanyalah orang-orang lelaki yang berdiri di depan rumah dengan sikap
menghormat. Mereka memandang kepada rombongan orang-orang itu dengan ketakutan,
bagaikan melihat serombongan macan tutul yang galak.
Dengan hati tidak karuan rasa, Gu Seng dan istrinya menyambut kedatangan rombongan itu
dan dengan memaksa diri menarik muka manis dan ramah tamah, mereka lalu menghidangkan
minuman dan makanan. Akan tetapi pemimpin rombongan itu menolak hidangannya sambil
berkata, “Orang she Gu tak perlu menyambut kami. Yang penting segera suruh anakmu
berias dan masuk ke dalam tandu, ikut dengan kami. Twako sudah tidak sabar lagi, dan
besok siang kau boleh datang ke hutan sebelah barat untuk menerima penghormatan dari
twako serta hadiah-hadiah!"
Dengan wajah pucat dan kedua kaki gemetar, loan Li lalu berjalan keluar, dibimbing oleh
ibunya, lalu setengah memaksa ibunya menyuruh gadis itu memasuki tandu yang sudah
tersedia di depan rumah. Rombongan itu sambil tertawa - tawa melihat gadis ini dan
kemudian tandu lalu dipanggul dan dibawalah gadis itu keluar dari dusun memasuki hutan
sebelah barat !
Diam diam dua bayangan orang mengikuti gerak gerik rombongan Sorban Merah ini. Mereka
bukan lain adalah Tiong Kiat dan Kui Hwa. Mereka mengikuti rombongan itu memasuki hutan
dan ternyata bahwa rombongan itu membawa loan Li ke sebuah rumah besar yang terdapat di
dalam hutan itu. Akan tetapi, ketika Kui Hwa dan Tiong Kiat mengintai dari atas
genteng, mereka melihat bahwa gadis itu dimasukkan ke dalam kamar yang terjaga kuat,
sedangkan di tempat itu tidak nampak bayangan Hek-pa cu ! Kemudian mereka mendengar
dari pembicaraan para penjaga itu bahwa Hek-pa-cu sebetulnya tinggal di kota Heng-yang
dan keesokan harinya baru akan datang menjemput calon bini mudanya !
Terpaksa sepasang orang muda ini melewatkan malam itu di dalam hutan, akan tetapi
karena mereka berdua dapat saling menghibur maka malam itu dilewatkan dengan penuh
kegembiraan. Pada saat seperti itu dalam bujuk dan cumbu rayu Tiong Kiat yang tampan
dan manis bahasa, lenyaplah segala keraguan hati Kui Hwa dan cinta kasihnya terhadap
Tiong Kiat makin mendalam.
Pada keesokan harinya, baru saja matahari muncul dan burung-burung berkicau riuh rendah
menyambut datangnya siang, terdengarlah suara gemuruh dari luar hutan. Suara ini
ternyata adalah sorak-sorai yang penuh kegembiraan dari serombongan anggauta-anggauta
Sorban Merah terdiri dari empat puluh orang lebih. Mereka mengiringkan seorang laki -
laki tinggi besar yang berusia hampir empat puluh tahun, berbaju biru, bercelana hitam
dan sorbannya merah sekali. Orang ini berjalan dengan langkah yang gagah dan yang
mendatangkan rasa seram pada orang yang melihatnya, adalah sepasang matanya yang liar
dan senjatanya yang luar biasa. Senjatanya ini adalah sebuah penggada yang aneh dan
mengerikan bentuknya, bulat memanjang dengan ujung tiga meruncing. Penggada ini nampak
berat sekali, akan tetapi biarpun senjata besar ini tergantung pada pinggangnya, ia
berjalan dengan enak saja, seakan-akan senjata itu hanya merupakan benda yang ringan
saja. Inilah dia Teng Sun yang berjuluk Hek pa cu Si Macan Tutul Hitam, kepala dari
gerombolan Sorban Merah yang amat terkenal dan ditakuti oleh orang !
Ketika Hek.pa cu dengan rombongan telah tiba di dekat rumah besar itu, tiba tiba dari
atas pohon melayang turun dua orang muda yang dengan tenang berdiri di depan kepala
gerombolan ini. Teng Sun tercengang melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda
tampan berdiri di depannya maka ia membentak keras,
“Jiwi siapakah dan ada keperluan apa kiranya menghadang perjalanan kami?"
“Kaukah yang bernama Hek pa cu Teng Sun ?' tanya Tiong Kiat.
"Benar dugaanmu saudara muda yang gagah. Siapakah kalian ini dan keperluan apakah yang
membawamu datang ke tempat ini ?”
“Hek pa cu! Tak usah kau tahu siapa kami, akan tetapi kedatangan kami ini untuk
menamatkan riwayatmu yang buruk ! Kau telah memaksa gadis she Gu untuk menjadi bini
mudamu ! Apakah ini laku seorang jantan ? Kau mempergunakan pengaruhmu untuk menakutnakuti
penduduk dusun, untuk mengganggu anak bini orang. Sungguh tidak patut !"
Tiba-tiba Hek-pa-cu Tang Sun terbahak-bahak tertawa mendengar makian-makian ini. la
anggap sangat lucu seorang pemuda yang tampak lemah bersama dengan seorang gadis cantik
ini berani memaki dan menentangnya ! Bahkan orang orang kang-ouw yang ternama saja
masih akan berpikir-pikir dulu untuk menantangnya bagaimana dua orang muda yang masih
seperti kanak-kanak ini berani berlaku kurang ajar kepadanya ?
"Ha, ha, ha, bocah yang masih hijau! Kau perduli apakah dengan segala urusan dan
kesenanganku? Kalau kau mau mengambil gadis she Gu itu, ambillah. Aku rela
melepaskannya asal saja kau tinggalkan kawanmu itu sebagai gantinya !"
Bukan main marahnya Tiong Kiat mendengar ini, akan tetapi ia kalah dulu oleh Kui Hwa
yang juga menjadi luar biasa marahnya.
"Jahanam besar, kau sudah bosan hidup!” teriak Kui Hwa dan tahu - tahu ia telah
menyerang Hek-pa-cu dengan pedangnya! Gerakannya amat cepat bagaikan kilat menyambar
sehingga kepala perampok itu terkejut sekali. Ia cepat mengelak, akan tetapi ujung
sorbannya masih terbabat ! Tak disangkanya bahwa gadis cantik ini mempunyai kepandaian
demikian hebatnya, maka tahulah dia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Cepat ia
menarik senjatanya yang hebat itu dan bertempurlah mereka dengan seru.
Sementara itu, Tong Kiat juga sudah mencabut pedang Ang coa-kiam dan sekali ia memutar
pedangnya, dua orang anggauta Sorban Merah roboh mandi darah! Anak buah gerombolan
Sorban Merah itu berteriak teriak marah dan semua mencabut golok mereka, akan tetapi
kembali beberapa orang roboh oleh Tiong Kiat ketika pemuda ini menerjang ke depan!
Dalam waktu yang amat singkat saja sudah ada delapan orang yang binasa di ujung pedang
Ang coa-kiam ! Penjahat-penjahat itu menjadi gentar juga dan merasa ragu-ragu untuk
mengeroyok Tiong Kiat.
"Moi moi, kau uruslah anjing-anjing ini, biar aku menolong nona Gu!” Tiong Kiat berseru
dan tanpa menanti jawaban kekasihnya, ia lalu berlari ke arah rumah besar di mana Loan
Li ditahan. Di situ ia disambut oleh beberapa orang penjaga, akan tetapi mereka
bukanlah lawan Tiong Kiat yang lihai, maka bertumpuk-tumpuklah mayat anak buah Sorban
Merah, ketika pemuda ini mengamuk sambil menyerbu ke dalam rumah. Sementara itu,
pertempuran yang terjadi antara Kui Hwa dan Teng Sun berjalan amat serunya, Hek.pa cu
Teng Sun ternyata memang pandai dan kosen. Senjatanya yang besar dan berat itu diputar
sedemikian rupa, mendatangkan angin besar dan celakalah Kui Hwa kalau satu kali saja
senjata itu mengenai tubuhnya! Senjata ini beratnya sedikitnya ada dua ratus kati dan
dimainkan dengan tenaga yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi Kui Hwa mempergunakan
ginkangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan - akan merupakan seekor burung yang
menyambar-nyambar dari segala jurusan. Pedangnya berkelebat-kelebat merupakan segulung
sinar putih dan tubuhnya kadang kadang mumbul ke atas, melayang dan menyambar dari atas
dengan kecepatan luar biasa!
Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, Teng Sun merasa terdesak hebat. Pedang di
tangan dara manis itu benar-benar amat lihai. Gerakan pedang yang cepat, ditambah pula
oleh ginkang yang luar biasa membuat gadis itu kadang-kadang lenyap dari depan matanya.
Kalau saja Teng Sun tidak bersenjata penggada yang besar dan berat yang diputar-putar
sedemikian rupa sehingga Kui Hwa harus berlaku hati-hati, tentu kepala gerombolan inii
sudah roboh sejak tadi !
"Kawan-kawan, bantulah menangkap gadis liar ini !” Teng Sun berseru keras kepada
kawannya karena la benar-benar telah kewalahan sekali. Beberapa orang tauwbak (pemimpin
gerombolan pembantu-pembantunya) yang semenjak tadi berdiri bengong menonton
pertempuran itu, bergerak maju hendak mengeroyok. Mereka adalah empat orang yang
bertubuh tinggi besar yang dipilih oleh Hek-pa cu Teng Sun sebagai pembantupembantunya.
Akan tetapi belum juga mereka dapat menggerakkan golok, tiba - tiba Kui
Hwa berseru nyaring dan keras. Tubuhnya melompat ke atas sampai hampir dua tombak, dan
dengan gerakan Merak Sakti Mematuk Ular, pedangnya meluncur dari atas ke bawah,
melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya ! Gerakan ini benar benar
mengandalkan ginkang yang sempurna, sehingga tidak terduga sama sekali oleh Hek pa.cu
Teng Sun. Percuma saja ia mengangkat penggadanya untuk menghantam tubuh yang melayang
ke atas itu, karena baru saja ia mengangkat penggadanya, pedang di tangan Kui Hwa telah
menyambar dan menancap di tenggorokannya !
Hek-pacu Teng San mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, tubuhnya terhuyung
- huyung, penggadanya terlepas dari pegangan dan ia lalu roboh tak bernapas lagi!
Dengan wajah keren, Kui Hwa menghadapi empat orang tauwbak dan para anak buah
gerombolan dengan pedang di tangan.
"Siapa telah bosan hidup? Hayo majulah ! Biarlah hari ini pedangku membasmi gerombolan
Sorban Merah sampai ke akar akarnya !" Sikapnya demikian gagah dan garang sehingga
empat orang tauwbak itu saling pandang dan kemudian mereka berempat lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Kui Hwa! Kawan kawannya yang puluhan banyaknya ketika melihat
empat orang pemimpin itu berlutut, segera menjatuhkan diri pula berlutut sambil
meletakkan senjata di atas tanah. Inilah tanda menyerah dan takluk terhadap gadis yang
gagah perkasa itu. "Lihiap yang gagah perkasa. Sepak terjangmu demikian gagah dan amat
mengagumkan hati kami seluruh anggauta Sorban Merah. Lihiap jauh lebih gagah dari pada
Hek-pa-cu Teng Sun, maka kami seluruh anggauta Sorban Merah menyerah dan mohon ampun
dari lihiap. Sudilah kiranya lihiap memimpin kami orang orang bodoh menggantikan
kedudukan Hek-pa cu!"
Untuk sesaat, gadis itu berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang-orang
yang tinggi besar dan galak itu kini semua berlutut memberi hormat kepadanya, bahkan
memilihnya sebagai kepala mereka ! Ia tak dapat menjawab, dan akhirnya ia berkata
perlahan,
"Aku Can Kui Hwa bukanlah keturunan perampok bagaimana kalian mau mengangkat aku
menjadi kepala perampok ?"
"Lihiap, harap jangan salah sangka," berkata seorang diantara empat orang tauwbak itu,
"Sesungguhnya rombongan Sorban Merah bukanlah gerombolan perampok. Perkumpulan kami
dulunya merupakan perkumpulan orang orang gagah yang bekerja dengan cara jujur, menjaga
keamanan kampung - kampung dari serbuan perampok, mengawal pengiriman barang barang
atau orang-orang hartawan yang melakukan perjalanan Jauh, dan di samping pekerjaan itu,
kami memperdalam kepandaian silat. Semenjak Hek pa-cu datang dan merampas kedudukan
ketua, kami diselewengkan dan terpaksa mengikuti jejaknya. Kami kini telah bertobat,
dan asal saja lihiap sudi memimpin kami, perkumpulan Sorban Merah akan menjadi
perkumpulan yang baik lagi."
Akan tetapi pada saat itu, Kui Hwa teringat kepada Tiong Kiat, maka ia segera bertanya,
"Di manakah adanya kawanku tadi? Dan bagaimanakah dengan nasib nona Gu Loan Li?"
"Kawanmu itupun hebat dan ganas sekali lihiap. Banyak kawan kami telah mati di dalam
tangannya. Nona Gu yang ditahan di dalam kamar, telah dirampas dan dibawa lari oleh
kawanmu itu."
"Kalau begitu biarlah urusan pengangkatan ketua ini nanti saja dibicarakan lagi setelah
aku dapat bertemu dengan kawanku. Dia adalah suhengku dan kalau kalian hendak mencari
seorang pemimpin, dialah orangnya, bukan aku !" setelah berkata demikian, sekali ia
menggerakkan kedua kakinya, Kui Hwa telah lenyap dari situ, membuat para anggota Sorban
Merah menjadi makin kagum saja.
Dengan cepat Kui Hwa berlari kembali ke dusun tempat tinggal Loan Li. Akan tetapi,
ketika ia tiba di rumah keluarga Gu Seng, ternyata bahwa keluarga itu masih menantinanti
dan Tiong Kiat bersama nona Gu belum juga tiba di rumah itu!
Kui Hwa menjadi heran dan juga bercuriga. Tanpa berkata sesuatu kepada keluarga yang
memandang penuh kegelisahaan itu, ia melompat pergi dan kembali ke dalam hutan. Ia
mencari-cari sampai hari menjadi gelap, akan tetapi ia tak melihat bayangan suhengnya
dan nona Gu yang ditolongnya itu. Akhirnya ia kembali lagi ke dusun dan menuju ke rumah
keluarga Gu. Lalu apakah yang didengarnya? Keluh kesah dan tangis yang memilukan ! Kui
Hwa merasa tak enak hati sekali dan cepat ia masuk ke dalam rumah itu lalu menuju ke
ruang belakang. la melihat Gu Seng duduk sambiI menangis dan ketika melihat Kui Hwa
datang, kakek itu berkata, "Tidak ada gunanya pertolonganmu nona. akhirnya anakku
tertimpa bencana juga!" Kui Hwa terkejut sekali. Ia memegang lengan kakek itu dengan
keras sehingga Gu Seng memandangnya dengan kaget dan kesakitan.
"Hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dan di mana adanya suhengku !"
Kakek itu memandang heran. "Nona, benar-benarkah kau tidak tahu? Suhengmu telah
mengantarkan Loan Li pulang dengan selamat, akan tetapi begitu masuk ke kamarnya Loan
Li telah menggantung diri sampai mati! Ternyata ........ kau dan suhengmu ........
datang terlambat..... dan dia .... anakku itu telah menjadi korban keganasan Hek pa
cu .......!" Kakek itu mendekap mukanya dan menangis lagi.
Kui Hwa menjadi pucat air mukanya, dan setelah termenung sebentar, mengerahkan otak
untuk berpikir, ia lalu memegang lagi tangan kakek itu dan berkata, "Apakah yang
terjadi ? Mengapakah Loan Li menggantung diri !"
"Inilah suratnya, lihiap. Kau bacalah sendiri , „, ,” Kakek itu memperlihatkan sehelai
kertas yang ditinggalkan oleh Loan Li yang bernasib malang. Surat itu ternyata ditulis
dengan tangan gemetar, merupakan empat baris pantun sederhana yang berbunyi demikian:
Mengusir harimau dengan pertolongan srigala Apa bedanya ?
Hanya satu Jalan membebaskan diri dari noda. Tinggalkan raga !
"Aku juga tidak tahu apakah artinya tulisan ini lihiap. Akan tetapi ia menyebut tentang
membebaskan diri dari noda, maka mudah sekali diduga bahwa ia tentu telah menjadi
korban keganasan Hek-pa-cu !" kata Gu Seng dengan suara sedih.
Akan tetapi wajah Kui Hwa makin pucat. Jari-jari tangan yang memegang surat itu
menggigil sehingga surat itu terlepas dan melayang turun.
"Di mana suhengku!” tanyanya dengan suara berat dan bibir gemetar.
Gu Seng yang baru berduka tidak melihat perobahan ini dan ia berkata, "Taihiap tentu
sedang beristirahat di ruang depan. Maafkanlah kami yang tidak dapat menghormat dan
menjamu kalian yang telah menolong kami."
Akan tetapi Kui Hwa telah pergi, tanpa menanti habisnya ucapan itu. Dan ketika ia
berdiri di depan Tiong Kiat yang duduk menghadapi arak di ruang depan, Kui Hwa
merupakan seekor singa betina yang marah sekali!
"Moi-moi, kau baru datang? Bagaimana dengan Hek pa cu? Sudah kau kirim ke neraka?” Ia
bertanya sambil tersenyum manis.
Akan tetapi Kui Hwa memandang bagaikan hendak menelan suhengnya itu. Matanya
memancarkan sinar berapi dan ia berkata tegas dan singkat,
"Ji-suheng, mari kita keluar. Tidak perlu kita ribut-ribut di rumah orang!" Setelah
berkata demikian, Kui Hwa melompat keluar dan menanti suhengnya di tempat sunyi dalam
dusun itu.
Tak lama kemudian, tampak bayangan Tiong Kiat berkelebat dan pemuda ini berdiri di
hadapannya dengan tenang sungguhpun senyumnya yang tadi telah lenyap.
"Ada apakah, sumoi ? Sikapmu aneh sekali."
Sebagai jawaban Kui Hwa menghunus pedangnya.
'ji-suheng, ingatkah kau bahwa aku telah mengorbankan segalanya karena setiaku
kepadamu? Aku telah mengorbankan guru, ayah, keluargaku, kehormatan dan namaku jiwa
ragaku, semua kukorbankan demi cintaku kepadamu. Kau, tentu tahu, bukan ?"
"Tentu saja, moi-moi, kita memang sudah saling mencinta dan......."
"Jangan sebut - sebut tentang cintamu !" Kui Hwa memotong marah. “Kau tentu masih ingat
akan sumpahmu untuk bersetia ? Dan sekarang apakah yang telah kaulakukan kepada gadis
she Gu itu?”
Di dalam kegelapan senja Tiong Kiat mencoba untuk bersenyum.
"Apa maksudmu, sumoi? Gadis she Gu itu sudah kutolong dan kukembalikan kepada orang
tuanya."
“Bohong! Pengecut yang berani berbuat tak berani mengaku! Telah lama semenjak siang
hari kau membawa Loan Li kembali ke rumahnya akan tetapi sampai senja baru kau datang
bersama dia! Sebelum kau membawanya pulang, ke mana kau bawa dia dan apa yang telah kau
perbuat ! Mengapa Loan Li datang - datang lalu membunuh diri ? Apa kaukira aku begitu
bodoh, ji suheng ? Kau telah menyalahi janji, melanggar sumpah. Kau seorang laki-laki
mata keranjang, berhati cabul, menjadi hamba nafsu jahat! Kau laki-laki tak beriman.
perusak kehidupan orang lain, kaulah yang membunuh Loan Li!"
Tiong Kiat terdesak sekali oleh tuduhan-tuduhan ini, dan tiba - tiba dengan suara gagah
ia berkata, "Sumoi kau terlalu sekali ! Apakah dengan adanya hubungan antara kita, aku
harus mengikatkan kakiku kepadamu? Apakah aku tidak boleh hidup dengan bebas lagi ?
Harus selalu menurut dan menjadi budakmu? Memang kuakui bahwa aku telah mengadakan
perhubungan dengan Loan Li! Akan tetapi, dia juga mencintaiku ! Su moi, ketahuilah,
seorang laki-laki tak dapat mengikat hatinya kepada seorang perempuan saja ! Ini memang
sudah menjadi sifat jantan, lihatlah buktinya. Lihatlah sifat jantan pada seekor ayam,
pada binatang - binatang lain yang jantan! Lihat pula kepada raja dan para bangsawan.
Cukupkah dengan seorang saja perempuan disampingnya? Ha, ha, moi - moi yang manis
jangan kau cemburu, aku akan tetap mencintamu, moi-moi!”
'Bangsat besar!" Kui Hwa menjadi marah sekali. "Aku sudah bersumpah akan membunuh
perempuan yang main gila dengan kau dan karena perempuan she Gu itu sudah mati sekarang
kaulah gantinya !" Setelah berkata demikian, Kui Hwa menyerang Tiong Kiat dengan
hebatnya !
Tiong Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga menjadi penasaran dan marah. Ia mencabut
pedangnya dan berkata,
"Sumoi, kau ikut aku meninggalkan perguruan bukan karena kupaksa! Sekarang kau hendak
memisahkan diri dari aku, bukan pula atas paksaanku. Kau memang berkepala batu! Tidak
tahu dicinta orang!" Sambil berkata demikian, ia mainkan pedangnya dengan gerakan yang
paling lihai. Memang, kepandaian Kui hwa masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan
ilmu silat Tiong Kiat. Apalagi pedang di tangan Tiong Kiat adalah pedang pusaka
Ang.coa-kiam yang amat tajam dan kuat. Baru beberapa jurus saja terdengar suara keras
dan pedang di tangan Kui Hwa terlempar kesamping. Tiong Kiat masih berlaku murah dan
sengaja tidak mau mematahkan pedang bekas kekasihnya itu.
Biarpun telah kehilangan pedangnya, dengan nekad Kui Hwa masih maju menubruk, Tekadnya
hendak membunuh atau dibunuh! Namun Tiong Kiat telah melompat pergi sambil
mentertawakannya. Kui Hwa mengejar, akan tetapi pemuda itu telah menghilang di dalam
gelap !
Kui Hwa menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis. Sampai setengah malam ia menangis
sedih, terisak-isak mendekam di atas tanah itu.
Ia merasa menyesal sekali,menyesal, kecewa dan juga bersedih. Betapapun juga ia amat
mencinta pemuda itu yang kini sudah meninggalkannya. Pada keesokan harinya, Kui Hwa
yang saking hampir putus asa dan tidak tahu harus pergi ke mana, ia teringat akan
permintaan anggauta Sorban Merah agar ia suka memimpin mereka. Timbul harapan baru
padanya dan ia lalu menjumpai para tauwbak dan anak buah Sorban Merah yang menerimanya
dengan gembira sekali. Semenjak hari itu, Kui Hwa diangkat menjadi kepala dari
gerombolan Sorban Merah !
0o-dw-o0
Adapun Tiong Kiat yang kini telah dapat memisahkan diri dari Kui Hwa, melanjutkan
perantauannya seorang diri. Pada hari-hari pertama ia memang kesepian dan merasa amat
rindu kepada Kui Hwa. Beberapa kali ia ingin kembali kepada sumoinya itu, ingin minta
maaf dan berbaik kembali, akan tetapi keangkuhan hatinya menahannya melakukan hal yang
dipandangnya lemah ini.
Akan tetapi, lambat laun dapat juga ia menghilangkan rindunya. Apalagi setelah ia
melihat wanita-wanita lain dan dapat menghibur hatinya dengan mereka ini. Tiong Kiat
adalah seorang pemuda yang sebetulnya tidak mempunyai hati buruk. Ia cukup berwatak
gagah dan budiman. akan tetapi sayang sekali, ia gila perempuan ! Dan kegilaannya dalam
hal ini kadang-kadang merangsangnya sedemikian kuatnya sehingga hati nurani dan
kebijaksanaannya tertutup! Di dalam perantauannya, tiap kali bertemu dengan kejadian
yang tidak adil, dengan kekejaman-kekejaman dan penindasan, selalu ia turun tangan
membela fihak yang tertindas. Dengan kejam sekali ia membasmi orang-orang jahat tanpa
mengenal ampun lagi karena sesungguhnya ia amat benci akan kejahatan. Pernah ia
membasmi sampai habis rombongan perampok yang dua puluh orang jumlahnya. Semua ia bunuh
dan tak seorangpun anggauta perampok terlepas dari pada Ang-coa-kiam di tangannya !
Banyak hartawan yang kikir dan yang suka mengandalkan pengaruh uangnya untuk berlaku
sewenang-wenang ia bakar rumahnya, dan merampas harta bendanya untuk dibagi-bagikan
kepada rakyat miskin! Banyak pula bangsawan dan pembesar yang korup dan tidak
bijaksana, ia datangi dan ia ancam sambil mencukur rambutnya atun bahkan memotong
sebuah telinganya !
Akan tetapi, di samping semua kebaikan ini, banyak pula ia melakukan pelanggaran
kesusilaan. Di mana saja ia berada, la selalu mengadakan perhubungan dengan wanitawanita,
baik perempuan golongan pelacur maupun wanita baik - baik, dan tidak perduIi
apakah hubungan itu berjalan atas dasar sama suka ataupun dengan paksaan ! Banyak pula
wanita yang jatuh hati kepadanya, karena memang Tiong Kiat memiliki wajah yang tampan
dan gagah. Pendeknya, ia menuntut penghidupan sebagai seorang hiapkek (pendekar) yang
gagah dan cabul !
Sungguh amat sayang betapa seorang pemuda gagah perkasa yang memiliki dasar amat baik
seperti Tiong Kiat, dapat terjerumus sampai demikian dalam. Perbuatan-perbuatan baik
yang dilakukannya telah dinodainya sendiri. Kebajikan dan kejahatan tak dapat berjalan
sama. Kebaikan akan lenyap sifatnya apabila dilakukan di samping kejahatan, seperti
sebuah lukisan indah yang terkena noda kotor. Sebaliknya, kejahatan takkan lenyap
sifatnya biarpun disampingnya orang melakukan pula kebaikan, seperti sebuah lukisan
yang buruk takkan menjadi baik biarpun akan diberi pigura yang betapa indahpun.
Demikianlah, pada suatu hari dengan kebetulan sekali ia bertemu dengan Suma Eng, atau
Eng Eng, gadis gagah perkasa yang roboh pingsan terkena pukulan Pek-lek-jiu dari Ban
Yang Tojin yang telah dikalahkannya. Melihat keadaan gadis itu, timbullah rasa kasihan
dalam hati Tiong Kiat dan segera ia memondong tubuh Eng Eng dan dibawanya ke tempat
tinggalnya di dalam hutan itu. Memang telah beberapa pekan ia tinggal di hutan
ini.Dengan sungguh-sungguh ia lalu mengohati gadis yang ternyata menderita luka berat
didalam dadanya itu. Tiong Kiat memang pernah mempelajari sedikit ilmu pengobatan,
yakni pengobatan yang khusus untuk mengohati luka-luka di sebelah dalam, ilmu
pengetahuan yang amat penting bagi orang perantau dan ahli silat. la dapat menolong
nyawa Eng Eng akan tetapi sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda yang
mata keranjang ini mana dapat tahan menghadapi kecantikan Eng Eng yang memang luar
biasa sekali? Melihat wajah yang cantik Jelita dan manis, melihat tubuh yang
menggiurkan, tidak kuatlah ia menahan nafsu jahatnya. Melihat luka di dada gadis itu,
Tiong Kiat dapat menduga bahwa gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali karena kalau
tidak memiliki Iweekang yang tinggi, pasti orang akan mati terkena pukulan sehebat itu!
Sampai setengah malam pemuda ini termenung. Perang hebat terjadi di dalam hatinya,
perang antara nafsu jahat dan hati nuraninya. Nafsu jahat mendorongnya agar ia
melakukan perbuatan jahat terhadap gadis cantik yang ditolongnya ini, sedangkan hati
nuraninya berbisik agar ia tidak mengganggu gadis ini. Akhirnya hati nuraninya kalah
dan Eng Eng telah menjadi korban kelemahan hati pemuda itu !
Pada keesokan harinya, Tiong Kiat amal menyesal atas perbuatannya. Ia maklum bahwa
gadis ini bukanlah gadis sembarangan, dan baru sekarang ia merasa takut akan
perbuatannya sendiri. Ia melarikan diri, meninggalkan Eng Eng yang masih pingsan di
dalam kuil itu. Baru kali ini Tiong Kiat melarikan diri karena ketakutan. Ia tidak tahu
akan kepandaian Eng Eng, tidak tahu apakah gadis itu memiliki ilmu silat yang luar
biasa. akan tetapi entah bagaimana, ia merasa takut dan menyesal sekali. Mungkin karena
ia merasa amat kasihan kepada Eng Eng, merasa betapa hatinya amat tertarik kepada gadis
yang tidak berdaya dan pingsan itu ! Biasanya, ia mengenangkan wanita-wanita yang
menjadi korbannya dengan hati senang dan gembira. Akan tetapi, kali ia mengenangkan
wajah Eng Eng dengan menyesal dan amat malu!
Sementara itu marilah kita ikuti perjalanan Eng Eng. Ketika pagi-pagi itu ia sadar dari
pingsannya, ia mendapatkan dirinya berada di kuil bobrok seorang diri. Hancurlah rasa
hati dan pikirannya, dan ia menangis tersedu-sedu. Ingin ia mencabut pedang dan
membunuh diri akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan isaknya dan pandangan matanya
menjadi liar. kalau ada orang yang melihat pandangan matanya ini, tentu orang itu akan
menjadi terkejut sekali. Nafsu membunuh terbayang pada matanya. "Aku akan bunuh
dia...... aku akan bunuh dia......." ucapan ini terulang beberapa kali oleh bibirnya
yang gemetar. Wajahnya pucat sekali dan ia merasa tubuhnya lemah. Ketika meraba
dadanya, ia menyentuh ampas daun-daun obat yang ditempelkan pada lukanya.
Dengan gemas ia merenggut obat itu dan membantingnya di atas tanah. Sesungguhnya, iapun
maklum bahwa orang telah menoIongnya dan kini lukanya di dalam dada sudah sembuh, hanya
tinggal bekasnya saja. Akan tetapi oleh karena ia marah, jengkel, gemas dan berduka,
dadanya terasa amat sesak lagi. Kini rasanya jauh lebih sakit dari pada ketika ia
terpukul oleh Ban Yang Tojin. Yang terasa perih bukan kulit dan daging dada, melainkan
dalam sekali, jauh di dalam dada dan kepalanya!
Dengan air mata bercucuran, Eng Eng jalan terhuyung huyung keluar dari dalam kuil
bobrok. ia mengerahkan tenaga kakinya dan berlari untuk menyusul atau mencari orang
yang telah menolongnya akan tetapi juga yang telah menghancurkan hidupnya. Nafsu
membunuh menyesakkan nafasnya dan kepalanya menjadi panas dan pening sekali. Setelah ia
berlari cepat beberapa lamanya, rasa panas dari kepalanya itu menjalar turun dan
membuat seluruh tubuhnya terasa panas membara, seakan api di dalam tubuhnya bernyalanyala!
Akhirnya dara yang sengsara itu tidak kuat menahan lagi. Kepalanya berdenyut-denyut,
pandangan matanya berkunang, segala sesuatu dihadapannya serasa terputar-putar, bumi
yang diinjaknya bergoyang-goyang bagaikan air laut terayun-ayun. la mencoba untuk
mempertahankan dirinya, akan tetapi sia-sia. Tubuhnya terguling dan tanpa mengeluarkan
sedikitpun suara Eng Eng jatuh pingsan lagi! Kali ini bukan roboh pingsan karena Iuka
pukulan, melainkan oleh pukulan yang datang dari hatinnya sendiri sehingga luka akibat
pukuIan Ban Yang Tojin telah merekah kembali.
Sampai berapa lama ia pingsan, Eng Eng tak dapat ingat lagi. Ketika ia siuman dan
membuka matanya perlahan, ia merasa betapa kepala dan mukanya menjadi basah. Ternyata
hujan turun di dalam hutan itu dan biarpun hari masih siang, namun hutan nampak gelap
oleh mendung. Sukarlah baginya untuk membuka mata karena air hujan menyerang kedua
matanya dari atas. Ia melindungi matanya dengan tangan dan memandang ke atas. Alangkah
herannya ia ketika melihat seorang Iaki-Iaki tengah berlutut di dekatnya dan ternyata
bahwa tubuhnya telah ditutupi selimut. Ketika Eng Eng memperhatikan, penutup tubuhnya
itu bukan selimut melainkan sehelai mantel warna biru. Orang itu sendiri kini telah
menjadi basah kuyup karena air hujan!
Untuk sesaat Eng Eng tidak mengenal orang ini, karena air hujan manghalangi pandangan
matanya. Akan tetapi ketika ia memandang dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia melompat
bangun.
"Kau....... ! Manusia jahanam, bagus kau datang mengantarkan nyawa! Setelah berkata
demikian, Eng Eng lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat!”
Laki-laki itu adalah seorang pemuda yang tampan sekali dan pakaiannya berwarna biru.
Tidak salah lagi pikir Eng Eng. inilah laki-laki yang telah mendatangkan malapetaka
atas dirinya ! Biarpun ia merasa heran mengapa laki-laki ini berani muncul lagi, namun
ia tidak banyak pikir dan cepat menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Hujan yang turun telah membuat tubuhnya terasa segar dan karena yang membuat ia
menderita adalah hati dan pikirannya, maka ketika pingsan tadi, keadaannya sudah
menjadi banyak baik. Apa lagi ketika ia masih siuman, pemuda yang tadi berlutut di
dekatnya telah menotok dan mengurut pundaknya berkali-kali kemudian pemuda itu untuk
beberapa lama telah memegang tangannya dan menyalurkan hawa di dalam tubuh untuk
membantu gadis itu pulih kembali jalan darahnya.
Pemuda itu sesungguhnya mirip sekali dengan Tiong Kiat, karena dia adaIah Tiong Han!
Ketika tadi melihat seorang dara jelita rebah pingsan di dalam hutan, ia menjadi
terkejut dan merasa kasihan sekali. Sekali memandang saja maklumlah Tiong Han bahwa
gadis itu menderita luka, maka ia cepat maju untuk memberi pertolongan. Ketika hujan
turun dengan lebatnya, pemuda ini tidak pergi dari situ hanya mengangkat tubuh Eng Eng
ke bawah pohon besar dan mempergunakan mantelnya untuk menyelimuti tubuh orang dan
berusaha mengohati gadis itu yang ternyata berhasil baik sekali. Tidak disangkanya sama
sekali setelah siuman gadis itu menyerangnya dengan demikian ganasnya !
Tiong Han telah berbulan-bulan mencari jejak Tiong Kiat untuk minta kembali pedang
Ang.coa kiam sesuai dengan perintah suhunya. Di sepanjang jalan, ia tidak pernah Iupa
untuk mempelajari ilmu pedang dari kitab Ang-coa-kiam coansi. Dengan bantuan kitab ini,
maka ilmu pedangnya banyak mendapat kemajuan.
Ia mendengar keterangan orang-orang yang di jumpai di jalan, bahwa ada seorang pemuda
yang serupa benar dengannya memasuki hutan itu, maka cepat-cepat Tiong Han mengejar ke
dalam hutan. Tidak disangkanya bahwa ia tidak bertemu dengan adiknya, sebaliknya
melihat seorang gadis cantik yang rebah terluka hebat di dalam hutan.
Melihat serangan Eng Eng, Tiong Han terkejut bukan main. Serangan itu menunjukkan bahwa
gadis ini memiliki ilmu pedang yang amat luar biasa. Cepat Tiong Han mengelak, akan
tetapi sinar pedang gadis itu mengejarnya bagaikan kilat cepatnya sehingga ia cepat
melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari bencana. Namun pedang itu terus
mengejarnya dan menyerang dengan serangan berbahaya yang bertubi tubi datangnya !
"Eh, eh, tahan dulu nona ! Mengapa kau menyerangku tanpa sebab? Apakah salahku
terhadapmu ?" tanya Tiong Han sambil melompat ke belakang dengan gerak tipu Le-hi-ta
teng (Ikan Le Melompat Tinggi) Dengan cara mengelak ini ia dapat menjauhkan diri dan
untuk sementara dapat bernafas karena terlepas dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Keparat jahanam!” Dengan nafas terengah-engah saking marahnya, Eng Eng menudingkan
pedangnya. "Kau masih bertanya-tanya lagi? Anjing bermuka manusia kalau aku tidak
membunuhmu sekarang juga, aku tidak bernama Suma Eng lagi ! Akan kuhancurkan tubuhmu
menjadi makanan srigala !" Kembali ia menubruk maju dan menyerang dengan cepat kembali.
Tiong Han terpaksa mencabut pedangnya dan menangkis. Ia maklum bahwa kalau ia
menghadapi gadis ini dengan tangan kosong saja, ia pasti akan roboh dan benar-benar
akan dicincang sampai hancur oleh gadis berotak miring ini. Akan tetapi ia merasa
kasihan sekali. Mungkin gadis ini tiba-tiba menjadi gila karena telah menderita luka
hebat, pikirnya. "Nona, aku tidak kenal padamu. Baru sekarang kita bertemu muka, kau
telah salah lihat, nona !"
"Bangsat rendah ! Pengecut besar ! Kau lebih pengecut daripada anjing ! Anjing yang
menggigit masih melingkarkan ekornya (karena takut) akan tetapi kau berpura-pula baru
sekarang bertemu denganku. Bagus, akan kuantar kau ke neraka, hendak kulihat apakah di
sana kau masih akan dapat menyangkal pula !" kembali ia menyerang, dan Tiong Han yang
merasa makin terkejut melihat gerakan pedang yang luar biasa anehnya itu, dengan cepat
menangkis dan melindungi dirinya. Ia makin terheran-heran karena gerakan pedang gadis
ini pada dasarnya hampir bersamaan dengan Ang coa.kiamsut yang dipelajarinya akan
tetapi yang aneh sekali adalah perkembangannya, karena ilmu pedang gadis itu benar
benar ilmu pedang yang aneh. Sama sekali terbalik daripada ilmu pedang yang pernah
dipelajarinya !
'Nona, nona..... kau tenang dan sabarlah ! Aku bersumpah, selama hidupku, aku Sim Tiong
Han belum pernah bertemu dengan kau. belum pernah aku mendengar nama Suma Eng !
Bagaimanakah kau bisa menuduhku yang bukan-bukan? Kesalahan apakah yang telah kuperbuat
terhadapmu?”
"Bagus! Namamu yang hina dina akan teringat selalu olehku sehingga kalau kali ini aku
tidak berhasil, lain kali aku masih ada kesempatan untuk mencari dan membunuhmu! Kau
tak perlu bersumpah, sumpah laki - laki hina dina macam engkau tiada harganya!
Mampuslah!" Eng Eng menyerang lagi, kali ini dengan gerak tipu yang paling berbahaya!
Hujan masih turun dengan lebatnya dan pertempuran berjalan makin seru. Tiong Han yang
hanya menangkis dan mengelak saja, terdesak hebat. Selain ilmu pedang nona ini benar
benar aneh dan berbahaya, juga pedang di tangan Eng Eng yang mengeluarkan sinar merah
amat Iihai ! Beberapa kali pedang Tiong Han bertemu dengan pedang Eng Eng dan ketika
pemuda itu memperhatikan, ia terkejut sekali karena pedangnya telah gompal di beberapa
bagian !
"Nona, sabarlah, kau masih terluka! Berbahaya bagimu kalau terus mengerahkan tenaga
lweekang!" Ia masih berseru memperingatkan biarpun ia berada dalam bahaya. Betapa pun
juga Tiong Han merasa amat kasihan kepada gadis ini yang masih disangkanya gila.
Akan tetapi jawaban dari Eng Eng adalah serangan yang mengganas. Tiong Han menangkis
akan tetapi pedangnya terbabat putus menjadi dua dan pedang di tangan Eng Eng menyambar
cepat ke arah lehernya dibarengi seruan girang dari gadis itu! Tiong Han menjatuhkan
diri, pundaknya terserempet pedang sehingga terluka. Akan tetapi ia lolos dari bahaya
maut karena begitu ia menjatuhkan diri ia lalu menggelundung dengan gerakan Trenggiling
Turun dari Lereng ! Setelah dapat menjatuhkan diri, ia cepat melompat dan lari secepat
mungkin !
"Jahanam hina dina, jangan lari!" Eng Eng berseru mengejar, akan tetapi ia mengeluh
kesakitan dan terpaksa duduk di bawah sebatang pohon karena dadanya terasa sakit dan
napasnya sesak. Betul seperti yang dikatakan Tiong Han tadi, pengerahan tenaga dalam
membuat lukanya kambuh kembali, ia merasa amat sakit pada dadanya dan cepat gadis ini
lalu berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kaki di atas lalu mengerahkan tenaga
dan mengatur nafas.
Beginilah caranya melatih lweekang dan pernafasan sebagaimana yang dipelajarinya dari
suhunya, yakni Hek Sin-mo ! Sampai beberapa lama ia berjungkir balik dan baru ia
berhenti mengatur pernafasannya setelah merasa dadanya ringan dan tidak sakit lagi.
Barulah ia duduk beristirahat dan ia mempergunakan tenaga hatinnya untuk melawan
keinginannya hendak menangis saking sedihnya.
"Aku tak boleh terlalu bersedih, aku harus sembuhkan luka ini, aku harus dapat hidup
beberapa lama lagi untuk membalas penghinaan ini! Tiong Han... Tiong Han... sebelum aku
dapat menghancur-leburkan tubuhmu mencincang kepalamu, aku takkan berhenti
berusaha....... Tiong Han...!” Ia mendekap dadanya dan cepat mengatur nafasnya panjangpanjang
karena kesedihan membuat dadanya terasa sesak dan sakit lagi.
Menjelang senja, hujan berhenti dan nampaklah tubuh seorang wanita yang layu dan lemah
lunglai berjalan keluar dari hutan itu. Wanita ini adalah Eng Eng.
Sementara itu, Tiong Han berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia masih merasa
terharu, kagum dan juga heran. Ia merasa terharu, melihat keadaan nona yang benar-benar
kenal ilmu pedangnya itu. Tiada hentinya sambiI berlari ia memikirkan gadis itu.
Siapakah gadis itu? Alangkah cantik manisnya dan alangkah lihai ilmu silatnya. Kalau
saja ia membalas serangan gadis itu dan memiliki pedang yang baik, agaknya kepandaian
mereka berimbang. Belum tentu ia akan dapat menangkan gadis itu karena ia dapat
membayangkan betapa hebat dan lihainya gadis itu kalau tidak sedang terluka dadanya. Ia
benar - benar merasa kagum sekali, dan hatinya tertarik. Bayangan gadis itu tak dapat
ia usir dari depan matanya. Akan tetapi ia merasa heran sekali, karena mengapakah gadis
itu marah-marah dan membencinya ? Mengapa gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk
membunuhnya ?
Mengapa ia disangka telah berbuat sesuatu yang amat jahat kepada gadis Itu ? Apakah ia
disangka orang yang telah melukai dada gadis itu ? Ah, Tiong Han menghadapi teka teki
yang amat sulit dalam diri Eng Eng. Namanya Suma Eng, alangkah indah nama itu. Akan
tetapi mengapa sikap gadis itu demikian aneh? Gilakah dia ? Tak mungkin, gadis yang
bicara demikian jelas dan yang dapat bersilat demikian Iihai, sungguhpun ilmu silatnya
amat aneh tak mungkin gila!
Demikianlah Tiong Han benar-benar menjadi bingung. Akan tetapi ia tidak berani
mendekati gadis itu, karena ia yakin bahwa gadis itu takkan berhenti sebelum dapat
membunuhnya. Hal yang amat menyakitkan hati dan membuatnya berduka. Setelah berlari
jauh, barulah Tiong Han merasa betapa pundaknya perih karena pundak itu sudah terluka
dan lecet kulitnya. Terasa amat panas luka itu dan ketika ia memandang, ia menjadi
terkejut sekali. Ternyata luka itu kini menjadi bengkak.
"Ah, lihai sekali ! Agaknya pedang itu mengandung bisa pula !" Katanya dalam hati.
Cepat-cepat ia membuka bungkusannya dan mengeluarkan obat pemunah bisa. Setelah menelan
dua butir pel putih dan menghancurkan obat bubuk dengan arak yang dibawanya dalam
sebuah guci kecil untuk dipergunakan sebagai obat luar, ia merasa lega. Ternyata bisa
yang terkandung oleh pedang gadis itu tidak berapa jahatnya.
Beberapa hari kemudian ketika ia tiba di luar sebuah dusun, Tiong Han mendengar suara
ribut-ribut dan ketika ia telah tiba di tempat itu, ia melihat seorang laki-laki tinggi
kurus yang hidungnya seperti burung kakaktua dan bersenjata sepasang besi kaitan sedang
dikeroyok oleh banyak orang. llmu silat laki laki itu benar-benar lihai dan tujuh orang
yang berpakaian seragam piauwsu (pengawal barang kiriman ) itu biarpun mengeroyok
dengan senjata golok dan pedang, sama sekali tidak berdaya menghadapinya.
Tiong Han yang sedang merasa sedih dan menyesal karena pikirannya masih penuh dengan
bayangan Suma Eng, tadinya tidak begitu tertarik hatinya. Akan tetapi karena ia melihat
betapa di atas tanah menggeletak tubuh seorang wanita cantik yang sudah menjadi mayat
dan ada pula dua orang piauwsu yang merintih-rintih dengan tubuh terluka berat, ia
menjadi tertarik dan segera melompat menghampiri.
Pada saat itu ia tiba di tempat pertempuran, laki-laki bersenjata kaitan itu sedang
mendesak para pengeroyoknya dengan senjatanya yang luar biasa dan dengan satu sabetan
keras, ia kembali telah merobohkan seorang pengeroyok !
"Ha, ha, ha! Buka matamu lebar-lebar, hendak kucongkel matamu !" kata laki laki itu dan
kaitannya cepat menyambar ke arah mata orang yang telah roboh terlentang itu! Akan
tetapi tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Ia
cepat berpaling untuk melihat siapa orang yang dapat mendorongnya tanpa ia ketahui
lebih dulu itu.
Ternyata di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan yang robek baju pada pundaknya
dan pundak itu terluka karena masih tampak tanda-tanda darah dan kulit pundak tertutup
oleh obat.
"Sabar dulu, kawan " kata Tiong Han kepada orang tinggi kurus yang bukan lain adalah
Ban Hwa Yong orang ketiga dari Thian-te Sam kui !
"Bangsat rendah! Kau berani sekali mencampuri urusan Ban Hwa Yong, tokoh besar dari
Thian-te Sam-kui ?" teriak Ban Hwa Yong marah dan cepat kaitannya menyambar ke arah
leher Tiong Han ! Pemuda ini melihat gerakan lawannya yang cepat dan kuat, segera
melompat mundur dengan marah sekali. Akan tetapi Ban Hwa Yong tidak memberi kesempatan
kepadanya dan cepat melangkah maju mengejar dan menyerangnya secara bertubi - tubi.
Sepasang kaitannya menyambar-nyambar dan senjata ini memang berbahaya sekali, karena
penyerangannya berbeda dengan senjata-senjata lain, bukan dari depan bahaya yang
datang, melainkan dari belakang dan dari samping. Senjata ini dipergunakan untuk
menggali dan sekali saja tubuh tergait oleh kaitan yang kuat dan runcing sekali itu,
akan robeklah kulit dan daging !
Diam-diam Tiong Han merasa terkejut sekali. Tak disangkanya lawan ini demikian
lihainya. Ia pernah mendengar nama Thian-te Sam kui, tiga orang iblis bumi langit yang
terkenal jahat, maka kini menghadapi seorang diantara iblis ini, la tahu bahwa ia harus
turun tangan ! Akan tetapi, dengan pundak terluka dan bertangan kosong, bagaimana ia
bisa menghadapi seorang tokoh dari Thian- te Sam-kui yang berkepandaian tinggi?
Akan tetapi, Tiong Han mengerahkan ginkangnya dan mengandalkan kelincahan gerakan
tubuhnya untuk menghindarkan setiap serangan lawan. Sampai tiga puluh jurus Tiong Han
dapat menghadapi lawannya dan dapat juga melakukan serangan balasan dengan pukulanpukulan
dari ilmu silat Kim-liong pai. Ban Hwa Yong merasa penasaran sekali. Betulkah
dia tidak dapat merobohkan seorang pemuda bertangan kosong yang sudah terluka dan
tampaknya lemah? Ia berseru marah dan mempercepat gerakan senjatanya, menyerang dengan
gerak tipu yang paling dahsyat. Kewalahan jugalah Tiong Han menghadapi Jai-hwa-cat
(penjahat penculik bunga) ini!
Tiba tiba seorang piauwsu yang paling tua usianya, melemparkan sebatang pedang ke arah
Tiong Han sambil berseru,"Hohan (orang gagah) silakan kau menggunakan pedangku ini!"
Bukan main girangnya hati Tiong Han melihat berkelebatnya pedang ini. Ban Hwa Yong juga
melihat pedang yang dilemparkan ini, maka ia cepat mendesak Tiong Han dengan pukulan
kaitan kiri, sedangkan kaitan kanan dipergunakan untuk memukul ke arah pedang itu!
Tiong Han cepat mempergunakan gerak tipu Dewa Awan Menyambut Pelangi. Ia miringkan
tubuh untuk menghindari sabetan senjata kiri lawan, kaki kanannya bergerak cepat
menendang pergelangan tangan kanan Ban Hwa Yong dan dengan tangan kiri diulur cepat
menangkap pedang itu ! Ban Hwa Yong terpaksa menarik kembali kaitannya yang tadi hendak
dipergunakan untuk memukul pedang karena ujung sepatu lawannya mengancam pergelangan
tangan dan sementara itu, Tiong Han telah melompat ke belakang dan kini pemuda ini
telah memegang sebatang pedang yang berkilauan tajamnya!
Semua piauwsu dan orang orang dusun yang menonton pertempuran itu bersorak memuji
melihat ketangkasan dan keindahan gerakan Tiong Han tadi. Akan tetapi Tiong Han
sebaliknya memandang kepada pedang yang dipegangnya sambil berkata kagum, "Pokiam
(pedang pusaka) yang bagus !"
Baru saja ia menutup mulutnya, angin yang keras menyambar dari kanan-kiri dan kini
sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong telah menyambarnya dengan gerak tipu Menutup
Pintu Menggencet Lawan ! Akan tetapi, dengan gerakan indah sekali Tiong Han
menggerakkan pedang di tangan kanannya, memutarnya merupakan sinar melengkung dari
kanan ke kiri.
"Trang! Trang !" Bunga bunga api memancar keluar ketika sepasang kaitan itu sekaligus
terbentur oleh pedang ini dan Ban Hwa Yong merasa betapa telapak tangannya kesemutan.
Ia menjadi terkejut sekali, apalagi ketika tlba-tiba matanya silau oleh sinar pedang
Tiong Han yang kini membalas dengan serangan-serangan hebat!
Harus diketahui semenjak turun gunung dan mempelajari ilmu pedang Ang coa-kiam sut dari
kitab peninggalan sucouwnya, ilmu kepandaian pemuda ini telah maju pesat sekali.
Apalagi kini yang dimainkannya adalah sebatang pedang pusaka, maka tentu saja
gerakannya amat hebat dan pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar putih yang
menyilaukan mata.
Ban Hwa Yong mempertahankan diri sampai dua puluh Jurus, akan tetapi sekarang ia
bertempur sambil mundur teratur, terus terdesak hebat tanpa dapat berdaya lagi. Akan
tetapi, betapapun keuletannya boleh dipuji. Ia telah puluhan tahun merantau dan
menjagoi di dunia kang-ouw, sudah mengalami banyak sekali pertempuran, maka ia telah
dapat mempertahankan diri dengan amat kuatnya.
Baru setelah bertempur selama dua puluh tujuh jurus terdengar suara keras dan kaitan di
tangan kanan Ban Hwa Yong terpental jauh ke atas! Penjahat cabul ini mengeluarkan
teriakan keras dan tiba - tiba la merogoh sakunya dengan tangan kanan dan tiga buah
senjata rahasia berbentuk paku hitam menyambar kearah jalan darah di tubuh Tiong Han!
Pemuda ini cepat memutar pedangnya untuk menangkis paku-paku itu akan tetapi kesempatan
itu dipergunakan oleh lawannya untuk melompat dan berlari pergi secepat mungkin seperti
orang dikejar setan! Tiong Han yang tidak ingin mencari permusuhan, melihat lawannya
berlari ketakutan, tidak mau mengejar, bahkan lalu menghampiri piauwsu tua yang memberi
pinjam pedang itu.
"Lo-enghiong. pedangmu ini benar - benar bagus sekali. Terima kasih atas bantuanmu "
Tiong Han mengembalikan pedang itu. akan tetapi piauwsu itu memegang lengannya dengan
muka girang sekali dan berkata,
"Tak usah berlaku sungkan, hohan. Pedang pusaka ini telah berpuluh tahun berada di
tanganku dan sesungguhnya aku tidak berharga untuk memiliki pedang ini. Biarlah untuk
pertolonganmu kepada kami, pedang ini kami persembahkan kepadamu !"
Tentu saja Tiong Han menjadi terkejut sekali. Ia merasa malu dan sungkan, karena
bagaimanakah ia dapat menerima pemberian pedang mustika begitu saja dari orang yang tak
dikenalnya ?
Piauwsu itu melihat keraguannya, maka ia lalu berkata,"Orang muda yang gagah. Marilah
kau ikut kami dan mari kaudengarkan penuturan kami agar kau dapat mengerti betapa besar
jasamu tadi ! Kau telah menghindarkan penyembelihan besar-besaran terhadap keluarga
piauwkiok (perusahaan ekspedisi) kami !"
Karena ia merasa letih dan juga pundaknya terasa perih, terutama sekali karena ia ingin
mendengar siapakah adanya wanita cantik yang mati di situ dan mengapa tokoh Thian. te
Sam-kui itu sampai bentrok dengan kawanan piauwsu ini, maka Tiong Han tidak menampik
undangan ini, dan beramai ramai mereka lalu pergi ke rumah piauwkiok yang tidak jauh
dari situ. Seperti telah kita ketahui, ketiga Thian-te Sam kui setelah berhasil
membasmi dan membunuh semua keluarga Pak eng piauwkiok di kota Hun-leng, tiga manusia
iblis ini lalu melarikan diri sambil menculik Lo Kim Bwe atau nyonya Ouw Tang Sin yang
cantik jelita dan genit. Atau lebih tepat lagi, yang membawa lari Kim Bwe adalah Ban
Hwa Yong si penjahat cabul.
Oleh karena memang ketiga orang penjahat ini mempunyai kesukaan sendiri-sendiri maka
setelah keluar dari kota Hun leng mereka lalu berpisah dan mengambil Jalan masingmasing,
Ban Hwa Yong yang membawa Kim Bwe lalu melanjutkan perjalanannya. Girangnya
bukan main, ketika ia mendapat kenyataan bahwa wanita yang diculiknya ini tidak seperti
yang lain-lainnya. Biasanya wanita yang diculik dan dipermainkannya selalu melawan dan
berduka atau bahkan ada yang nekad membunuh diri, akan tetapi Kim Bwe tidak demikian.
Perempuan ini tidak nampak bersedih meskipun keluarganya telah terbasmi semua, bahkan
ia nampaknya suka melakukan perjalanan dengan Ban Hwa Yong!
"Sayang kau dan suheng - suhengmu tidak mau menunggu dulu kedatangan dara yang cantik
jelita seperti bidadari !" katanya kepada penjahat cabul itu, dan ia lalu menceritakan
perihal Eng Eng kepada Ban Hwa Yong. Penjahat ini hanya tertawa saja dan berkata.
"Betapapun juga, ia tidak mungkin secantik engkau manisku !"
Demikianlah sampai sebulan lebih Kim Bwe melakukan perjalanan menurut saja ke mana
penjahat itu membawanya. Ban Hwa Yong nampaknya amat sayang kepadanya dan sebaliknya
Kim Bwe juga memperlihatkan kasih sayangnya. Padahal semua sikap Kim Bwe ini hanya
dilahir saja. Ia merasa melawan tiada gunanya, dan berarti sama dengan membunuh diri.
Sesungguhnya ia amat benci kepada laki-laki ini, bukan hanya karena Ban Hwa Yong telah
membunuh semua keluarganya termasuk ayah dan adiknya yang tercinta, akan tetapi
terutama sekali karena Ban Hwa Yong berwajah buruk. Kalau saja laki-aki yang
menculiknya ini seorang laki laki muda yang tampan, bukan tak mungkin Kim Bwe akan
dapat menerimanya dan melupakan sakit hatinya!
Diam diam Kim Bwe selalu mencari kesempatan baik untuk membunuh jai hwa cat ini.
Pertama-tama karena Ban Hwa Yong amat tinggi ilmu kepandaiannya, kedua kalinya karena
penjahat cabul itu selalu berlaku hati-hati sekali.
Pada suatu hari, ketika mereka berdua sedang berjalan hendak memasuki dusun Cia-kengbun,
mereka melihat serombongan piauwsu menyusul mereka dan mendahului masuk ke dalam
dusun itu. Mereka itu terdiri dari sembilan orang dan karena mereka ini menunggang kuda
mengiringi sebuah kereta barang, maka mudah dilihat dari bendera di atas kereta bahwa
mereka adalah piauwsu-piauwsu dari perusahaan Gin-houw piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi
Macan Perak). Piauwsu yang termuda ketika lewat, berpaling dan memandang ke arah Kim
Bwe dengan penuh perhatian, lalu tersenyum. Kim Bwe melihat wajah piauwsu muda yang
tampan itu, membalas senyum ini. la melakukan hal ini dengan sengaja, bahkan ketika
rombongan piauwsu itu telah lewat, Kim Bwe mengeluarkan saputangan dari dalam bajunya
dan melambaikan ke arah piauwsu muda tadi !
Tentu saja Ban Hwa Yong menjadi cemburu dan marah sekali. Hampir saja ia memukul muka
kekasihnya itu, akan tetapi Kim Bwe segera berkata, "Mengapa kau marah-marah? Gin houw
piauwkiok adalah piauwkiok yang amat terkenal, dan orang-orangnya memiliki ilmu
kepandaian yang amat lihai. Mereka pernah datang di tempat tinggalku dan mengenal
mendiang suamiku. Sebagai kenalan-kenalan lama, tidak bolehkah aku memberi salam kepada
mereka ?" Kemudian ia sengaja membikin panas hati Ban Hwa Yong. "Kurasa lebih baik kita
jangan masuk ke dusun itu dan melewatinya saja dengan mengambil jalan lain, karena
kalau para piauwsu itu melihat aku berjalan bersamamu, mereka tentu akan merasa curiga
dan kalau mereka menyelidiki celakalah kau !”
Benar saja, usahanya memancing-mancing dan membikin panas hati Ban Hwa Yong untuk
mengadudombakan penjahat ini dengan para piauwsu itu, telah mendapat hasil baik. Ban
Hwa Yong yang merasa cemburu menjadi benci kepada piauwsu - piauwsu itu, apalagi
mendengar Kim Bwe memuji – muji. Kini mendengar ucapan nyonya muda ini, mukanya menjadi
merah saking marahnya,
"siapa yang celaka? Aku? Mengapa aku yang celaka?" tanyanya penasaran.
"Karena kepandaian mereka benar-benar tinggi ! Mendiang suamikupun tidak dapat
mengalahkan ilmu silat pemimpin-pemimpin Gin-houw-piauwkiok,” kata Kim Bwe pula.
Ban Hwa Yong hampir saja membanting-banting kakinya. "Suamimu ? Hm, cacing tanah itu
bisa apa sih! Kau lihat saja nanti, akan kubasmi habis pemimpin-pemimpin Gin houw -
piauwkiok dan kuratakan dengan bumi perusahaan mereka seperti halnya Peng.engpiauwkiok!
Akan tetapi kalau di situ terdapat wanitanya yang cantik seperti engkau,
engkau harus mengalah dan membiarkan aku membawanya!"
Bukan main girangnya hati Kim Bwe mendengar bahwa usahanya mengadu domba ini berhasil,
akan tetapi ia berpura-pura memperlihatkan muka marah mendengar ucapan terakhir dari
Ban Hwa Yong.
"Dasar mata keranjang ! Orang yang selalu mencari wanita cantik seperti kau, mana bisa
menangkan piauwsu-piauwsu dari Gin-houw piauwkiok ?'
Ucapan ini merupakan minyak yang menyiram api kemarahan Ban Hwa Yong sehingga tanpa
banyak Cakap lagi penjahat cabul ini lalu memegang lengan tangan Kim Bwe dan membawanya
lari cepat memasuki dusun itu !
Memang sesungguhnya dalam kata - kata Kim Bwe kepada Ban Hwa Yong tadi, tidak semuanya
bohong. Pemimpin Gin houw-piauwkiok memang kenal dengan Pak.eng piauwkiok milik
suaminya. Ketua dari Gin-houw-piauwkiok itu adalah seorang piauwsu setengah tua,
berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah dan kuat. Piauwsu ini bernama
Lai Siong Te seorang gagah yang amat pandai bermain pedang. Oleh karena kegagahannya,
nama Gin - houw - piauwkiok amat terkenal dan tidak sembarang perampok berani
mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu-piauwsu dari Gin-houw-piauwkiok.
Bendera piauwkiok yang bersulam lukisan harimau dari benang perak itu merupakan tanda
yang ditakuti oleh para perampok.
Lai Siong Te memang pernah berkunjung ke Hun leng dan berkenalan dengan Ouw Teng Sin
dan Ting Kwan Ek, kedua piauwsu dari Pek-eng-piauwkiok itu. Bahkan pernah ia melihat
Kim Bwe yang ketika itu masih menjadi nyonya Ouw Teng sin. Di dalam perjalanan tadi,
Lai Siong Te tidak ikut karena piauwsu tua ini sekarang jarang sekali mengantar sendiri
barang-barang yang dilindungi oleh piauwkioknya. Cukup dilakukan oleh anak buahnya dan
murid-muridnya saja. Tentu saja untuk mengawal barang-barang amat berharga kadangkadang
ia sendiri turun tangan.
Ketika rombongan piauwsu itu tiba Lai Siong Te menyambut dengan gembira karena
mendengar bahwa rombongan itu tidak menemui kesulitan sesuatu di dalam perjalanan.
Sebagai seorang ketua yang pandai, ia lalu memerintahkan para pelayan untuk menyediakan
minuman dan hidangan sebagai hiburan kepada para pegawainya.
Pada saat - saat orang-orang itu sedang makan minum tiba tiba datang seorang piauwsu
yang menghadap Lai Siong Te dengan muka pucat dan memberi laporan,
"Celaka, Lai piauwsu, di perempatan sebelah selatan itu ada seorang laki-laki dan
seorang wanita yang memaki-maki dan menantang semua piauwsu dari Gin-houw piauwkiok !"
Mendengar ucapan ini, marahlah para piauwsu muda yang berada di situ. Tanpa menanti
jawaban kepala piauwsu itu, dua orang piauwsu muda telah lari sambil mencabut pedang
mereka ! Benar saja di tengah jalan perempatan, tak jauh dari rumah piauwkiok itu,
tampak seorang laki-laki tinggi kurus dengan seorang wanita muda yang cantik sekali
berdiri sambil memaki-maki.
"Manakah tikus-tikus dari Gin-houw piauwkiok? Biar mereka maju ke sini hendak kuhi-tung
berapa helai kumisnya!"
Seorang di antara piauwsu muda ini adalah seorang muda yang tadi telah tertarik oleh
kecentilan Kim Bwe dan telah bertukar pandang dan senyum dengan nyonya muda itu, maka
ia lalu main ke depan bersama kawannya dan membentak.
"Manusia kurang ajar dari manakah yang berani datang menghina nama piauwkiok kami?
Siapakah namamu dan mengapa kau datang-datang ngaco belo seperti orang gila?"
Melihat piauwsu muda yang tadi telah berani bermain mata dengan Kim Bwe, Ban Hwa Yong
marah sekali. "Ha. ha, ha, begini sajakah macamnya tikus - tikus dari Gin houwpiauwkiok?
Tidak tahunya hanya tikus selokan yang kotor, pemakan kecoa dan kotoran!"
Bukan main marahnya kedua orang piauwsu muda itu mendengar hinaan ini. Biarpun yang
ditanya belum memberitahukan namanya namun kekurangajarannya membuat keduanya tak sabar
lagi. Serentak mereka maju menyerang dengan pedang di tangan. Akan tetapi, dengan
bertangan kosong Ban Hwa Yong maju menyambut serangan mereka dan baru lima jurus saja,
ia berhasil merampas pedang seorang di antaranya dan begitu pedang rampasan ini
digerakkan, robohlah kedua orang piauwsu muda itu dengan luka pada lengan dan pundak!
Ban Hwa Yong tertawa bergelak dan hendak maju membunuh kedua orang ini. Akan tetapi
pada saat itu terdengar bentakan keras,
"Penjahat kejam jangan main gila di sini!" Ban Hwa Yong tidak memperdulikan bentakan
ini, pedangnya terus hendak membacok leher kedua piauwsu muda yang telah dilukainya
itu, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih yang menyilaukan, menangkis
pedangnya.
"Traang!" terdengar suara keras tahu-tahu pedang itu telah terbabat putus! Ban Hwa Yong
terkejut dan marah sekali. Ia cepat memutar tubuhnya dan ternyata bahwa yang membabat
putus pedangnya itu tadi adalah seorang tua yang bersikap tenang.
"Hm jadi inikah orang she Lai yang menjadi pemimpin dari Gin houw piauwkiok? Kau berani
membikin putus pedang rampasan di tangan Ban Hwa Yorg bagus sekali!"
Sementara itu, Lai Siong Te biarpun berhasil membuat putus pedang tadi, namun ia merasa
tangannya tergetar, maka ia tadi menjadi terkejut juga. Kini mendengar nama orang
tinggi kurus yang berhidung bengkok ini, makin terkejutlah dia. Ia telah mendengar nama
Thian te Sam- kui dan tahu bahwa tiga orang iblis itu amat lihai, maka sering kali ia
memberi nasihat kepada anak buahnya agar supaya menjauhi tiga iblis itu, Tidak tahunya
sekarang orang termuda dari pada tiga iblis itu datang sendiri mencari perkara ! la
cepat menjura dan berkata,
"Maaf, maaf, tidak tahunya kami berhadapan dengan Ban taihiap yang terkenal gagah
perkasa! Setelah sekarang aku mengetahui dengan siapakah aku berhadapan aku harap
sudilah kiranya taihiap memberi maaf kepada murid-muridku yang telah berlaku kurang
ajar. SiIakan taihiap datang ke rumah kami yang buruk untuk menerima penghormatan kami
dan beristirahat !” Ucapan ini amat merendah dan sesungguhnya telah membuat hati Ban
Hwa Yong menjadi dingin. Penjahat ini mempunyai hati yang suka sekali mendapat pujian
orang. Melihat sikap merendah dari piauwsu tua itu, dia melihat betapa semua orang
memandangnya dengan takut-takut dan penuh hormat, ia sudah menjadi bangga sekali
sehingga ia tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus, Lai-piauwsu. Baiknya kau masih mengenal orang dan dapat membedakan mana
ulat mana naga ! Kalau tidak, aku khawatir Gin houw - piauwkiok akan tinggal namanya
saja hari ini!"
Biarpun Lai Siong Te merasa mendongkol sekali mendengar kesombongan ini, namun ia
menekan perasaan marahnya dan hanya tersenyum saja. Agaknya semua akan berjalan beres
dan damai kalau saja Kim Bwe tidak bertindak. Nyonya muda ini merasa kecewa sekali. Ia
sengaja hendak mengadu-dombakan kedua orang ini agar supaya Ban Hwa Yong dikalahkan dan
ia dapat terlepas dari pada orang yang dibencinya itu.
Maka ketika ia melihat betapa Lai Siong Te memperlihatkan sikap lemah dan mengalah dan
Ban Hwa Yong sudah reda marahnya, ia cepat melangkah maju, memungut pedang seorang
piauwsu yan tadi dirobohkan oleh Ban Hwa Yong, kemudian berkata dengan nyaring,
"Lai-lo enghiong, lupakah kau kepadaku? Aku adalah isteri dari Ouw Teng Sin dari Pek
eng - piauwkiok ! Seluruh keluarga Pek - eng piauwkiok telah terbunuh mati oleh jahanam
terkutuk ini, maka tolonglah kau membantuku membalas dendam kepada jahanam ini " Sambil
berkata demikian Kim Bwe menggerakkan pedang itu menusuk dada Ban Hwa Yong !
Jai-hwa cat ( penjahat cabul ) ini terkejut, heran dan marah bukan main. Ia mengelak
sambil melompat ke belakang dan tahu - tahu ia telah mencabut sepasang kaitannya,
senjatanya yang amat diandalkan dan memang amat berbahaya itu. Lai Siong Te dan muridmuridnya
ketika mendengar ucapan nyonya muda itu, terkejut sekali dan serentak mereka
lalu maju sambil mengeluarkan senjata masing - masing.
Namun mereka kalah cepat oleh Ban Hwa Yong, karena dengan gerakan yang amat hebat, la
mendesak maju dan tiba tiba terdengar pekik mengerikan dari mulut Kim Bwe ketika
sepasang kaitan baja di tangan penjahat cabul itu telah mengenai tubuhnya. Kaitan di
tangan kanan menancap dan mengait lehernya. sedangkan kaitan kiri menembus Iambungnya!
Ketika Ban Hwa Yong menarik kembali senjatanya tubuh Kim Bwe terkulai dan roboh tak
bernafas lagi.
"Ha. ha, ha, perempuan hina ! Kau mencoba mengkhianati Ban Hwa Yong ? Dasar kau mencari
mampus !" Setelah berkata demikian, ia mengangkat kaitannya untuk menangkis pedang Lai
Siong Te yang sudah maju menyerangnya dengan marah sekali.
"Ban Hwa Yong, kau benar-benar berhati kejam sekali! Hari ini aku Lai Siong Te pasti
mengadu jiwa denganmu!”
"Tua bangka ! Tak usah kau mengejek, aku memang sudah mengambil keputusan untuk
menjadikan Gin houw-piauwkiok seperti Pek-eng piauwkiok yang sudah musnah! Bersiaplah
kalian untuk mampus di tangan Ban Hwa Yong yang perkasa !" Kaitannya bergerak cepat dan
masih baik bagi Lai Siong Te bahwa ia memegang sebuah pedang pusaka, karena kalau
tidak, tentu ia takkan dapat bertahan lama menghadapi penjahat yang lihai itu.
Ketika melihat ketua dan guru mereka terdesak hebat oleh Ban Hwa Yong, para piauwsu
yang lain serentak lalu maju mengeroyok sehingga sebentar saja Ban Hwa Yong setelah
dikeroyok oleh tujuh orang piauwsu termasuk Lai Siong Te ! Akan tetapi penjahat Itu tak
merasa gentar, bahkan sambil tertawa-tawa ia menghadapi para pengeroyoknya dengan gagah
sekali.
Dan pada saat itulah Sim Tiong Han pemuda tokoh Kim liong-pai itu datang dan akhirnya
berhasil mengusir Ban Hwa Yong !
Setelah mendengar penuturan tuan rumah, Tiong Han menarik napas panjang dan berkata
agak menyesal, "Sayang sekali aku tidak tahu akan hal ini sebelumnya, kalau aku tahu,
pasti aku takkan membiarkan penjahat kejam itu melarikan diri ! Akan tetapi biarlah
akan kuingat dia dan kalau sampai aku dapat bertemu lagi dengan dia pasti akan
kubereskan jahanam itu!"
Ketika Lai Siong Te mendengar bahwa pemuda yang bernama Sim Tiong Han ini adalah murid
dari Kim liong pai, ia cepat-cepat menyatakan hormatnya dan berkata, "Tidak heran bahwa
ilmu silatmu sedemikian hebat, Sim-taihiap ! Tidak tahunya kau adalah murid dari Kim -
liong - pai ! Hanya sayang sekali kau tidak membawa pedang Ang coa-kiam, pedang pusaka
dari Kim Iiong pai itu. Kalau kau membawa pedang itu, tak usah kau memperkenalkan diri,
pasti mataku yang tua akan mengenalmu, karena aku pernah melihat dan menyaksikan
kelihaian pedang Ang coa. kiam ketika aku masih muda dulu.”
Tiong Han menghela napas. "Itulah sebabnya mengapa aku turun gunung. Lai piauwsu.
Pedang pusaka kami telah lenyap dicuri orang ! Maka tolonglah kau mendengar dan melihat
kalau kalau ada orang yang membawa bawa pedang itu beri kabarlah kepadaku ! Aku akan
mencari ke utara."
"Tentu saja, taihiap, kami akan membantumu. Dan untuk sementara sebelum kau dapat
menemukan kembali Ang coa.kiam kau pakailah pedangku Hui-liong-kiam ini! Aku
persembahkan kepadamu dengan hati rela, karena kau lebih pantas menggunakan pedang ini
taihiap."
Tiong Han memandang kepada pedang yang diletakkan di atas meja di depannya itu, "Pedarg
baik." katanya. 'Tidak mudah mendapatkan pedang pusaka seperti ini, Lai piauwsu.
mengapa kau memberikannya kepadaku? Sungguh aku merasa sukar untuk dapat menerimanya."
Lai Siong Te tertawa bergelak, "Memang demikianlah sifat seorang gagah, dia tidak ingin
memiIiki barang orang lain betapapun indah dan berharga barang itu ! Aku hargai sikapmu
ini taihiap. Akan tetapi, pedang ini kuberikan dengan rela hati. Dengan setulusnya aku
memberikan pedang ini kepadamu, karena untuk apakah orang tua seperti aku memiliki
pedang ini? Seperti seekor domba memakai tanduk kerbau saja ! Dan pula, dengan
memberikan pedang ini kepadamu berarti bahwa aku tidak melanggar janjiku kepada pemberi
pedang ini !"
Tertarik hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Siapakah pemilik pedang ini dan mengapa
diberikan kepadamu, Lai piauwsu ?”
Piauwsu itumenarik napas panjang. "Seorang gagah, seorang wanita yang luar biasa."
Kemudian Lai Siong Te menuturkan kepada pemuda itu tentang riwayat pedang yang tajam
dan keramat itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Lai Siong Te sudah menjadi
seorang piauwsu di daerah Santung. Namanya sudah cukup terkenal sebagai seorang piauwsu
yang jujur dan baik, yang menjaga barang kiriman dengan sungguh-sungguh, bahkan yang
berani yang bertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi barang yang
dipercayakan kepadanya untuk dikirim.
Pada waktu itu di sepanjang lembah sungai kuning. Sebelah selatan kota Cin-an, terkenal
sebagai tempat yang amat berbahaya dan jarang sekali ada yang berani melalui jalan ini.
Telah beberapa lamanya tempat itu menjadi daerah yang ditakuti karena munculnya seorang
perampok tunggal yang berjuluk Sin-kiam-koai-jin (Manusia Aneh Berpedang Sakti). Bahkan
Lai piauwsu sendiri tidak berani melalui tempat ini dan selalu mengantarkan barangbarang
berharga dengan jalan memutar. Telah banyak sekali orang-orang gagah mencoba
untuk mengusir perampok ini, akan tetapi akibatnya mereka itu roboh seorang demi
seorang di tangan Sin-kiam-koai-jin yang kosen.
Pada suatu hari seorang bangsawan tinggi memanggil Lai piauwsu dan ketika piauwsu ini
datang menghadap bangsawan itu berkata kepadanya,
"Lai piauwsu, aku mempunyai sebuah benda yang harus diantarkan ke kuil Thian hok-si di
dusun Tiang sen an di kaki Gunung Fu-niu. Akan tetapi, benda itu harus sudah sampai di
kuil itu dalam waktu lima belas hari. Sanggupkah kau mengantarkan benda itu ke tempat
tersebut dalam waktu kurang dari lima belas hari? Kalau kau berhasil membawa benda itu
sampai di tempatnya dengan selamat dan tidak terlambat, berapa saja biayanya akan
kubayar, bahkan akan kuberi hadiah besar kepadamu. Akan tetapi awas, kalau benda itu
sampai hilang kau akan ditangkap dan dihadapkan ke depan pengadilan, karena benda itu
amat berharga !"
Lai Siong Te terkejut mendengar bahwa ia diharuskan membawa benda ke tempat itu dalam
waktu sedemikian cepatnya, akan tetapi sebagai seorang yang telah banyak makan asam
garam dunia ia dapat menetapkan perasaannya dan bertanya,
"Benda berharga apakah yang hendak taijin kirim ?"
"Jadi kau sanggup!" Pembesar ini berkata, "Lai piauwsu, hal ini bukan perkara kecil dan
ketahuilah bahwa hanya kepada kau seorang aku menaruh harapanku, kalau kau tidak
sanggup, terpaksa aku harus melarang kau membuka piauwkiok di kota ini, karena apakah
artinya bagi kotaku mempunyai seorang piauwsu yang tidak sanggup membawa benda itu ke
tempat yang sudah ditentukan? Ketahuilah bahwa benda itu adalah sebuah patung Buddha
yang amat berharga dan suci dan harus segera diantar ke kuil tersebut, karena lima
belas hari lagi kuil itu selesai dibangun dan hendak dibuka. Patung itu perlu sekali
berada di sana sebagai pengesahan pembukaan kuil itu, dan aku telah berhutang budi
kepada kuil itu sebelum diperbaiki. Ketika anakku sakit, aku berkaul di kuil itu bahwa
aku akan memperbaikinya dan menaruhkan sebuah patung Buddha dari kota raja apabila
anakku sembuh. Sekarang anakku sembuh, maka aku harus membayar kaul itu. Nah, sekarang
kau tahu persoalannya dan Sanggupkah kau?”
Lai siong Te berpikir - pikir. Untuk menuju ke dusun di kaki Gunung Fo-niu, la harus
melewati lembah Sungai Kuning di mana terdapat perampok tunggal yang ditakuti orang
itu. Akan tetapi ia hanya membawa sebuah patung Buddha, tentu benda itu takkan menarik
perhatian seorang perampok. Untuk apakah patung bagi seorang perampok? Dan pula mungkin
sekali perampok yang bernama Sin kiam- koai jin itu tentu takkan mau mengganggu benda
suci seperti patung itu. Untuk mengambil jalan memutar, tidak mungkin sama sekali
karena tentu akan terlewat waktu yang lima belas hari itu.
'Baiklah, taijin. Hamba sanggup melakukan perintah ini, bukan karena hamba takut diusir
dari kota ini, akan tetapi mengingat bahwa tugas yang baik dan suci, maka hamba
memberanikan diri untuk melakukannya.
Demikianlah, agar jangan menarik perhatian Lai Siong Te membawa patung itu dan
berangkat seorang diri menuju ke barat. Patung itu kecil saja, tingginya hanya satu
setengah kaki, terbuat dari pada perak bakar yang amat halus ukirannya. Dihitung dari
harga bahannya, tidak amat berharga, entah kalau dipandang dari sudut seninya. Lai
piauwsu membungkus patung dalam sebuah kain tebal warna kuning dan digendongnya patung
itu pada pundaknya.
0oo-dw-oo0
Jilid 3
UNTUK mempercepat waktu, ia melakukan perjalanan naik kuda dan sengaja memilih kuda
yang baik dan kuat. Ia membalapkan kudanya dan mengaso untuk makan atau tidur saja dan
juga kadang - kadang untuk memberi kesempatan kepada kudanya makan rumput dan
beristirahat sejenak.
Jalan yang dilaluinya amat sunyi, karena sebagaimana telah dituturkan di depan, tidak
ada orang yang berani melewati jalan yang menjadi daerah operasi perampok tunggal Sin
kiam-koai- jin itu! Akan tetapi piauwsu itu merasa girang dan juga heran sekali karena
sampai beberapa hari kemudian, ia tidak melihat tanda - tanda adanya gangguan dari Sinkiam
koai-jin. Ia mempercepat larinya kuda dan sebelas hari kemudian ia telah tiba di
hutan terakhir, sudah dekat dengan dusun Tiang.seng an di kaki gunung Fu niu !
Biarpun hari telah mulai senja Lai piauwsu tidak menghentikan kudanya yang sudah lelah.
Hatinya berdebar girang dan ia ingin sekali lekas lekas keluar dari hutan itu. Kalau
saja la bisa sampai di dusun yang ditujunya pada sore hari itu. Alangkah mujurnya !
Akan tetapi, tiba-tiba kudanya berjingkrak aneh dan ketika ia memandang, la melihat di
depan kudanya berdiri seorang yang kurus dan tinggi, berpakaian sutera hitam dan
mukanya ditutup pula dengan sutera hitam sampai di bawah matanya ! Benar-benar
merupakan iblis yang mengerikan!
Lai Siong Te menjadi pucat dan cepat ia melompat turun dari kudanya yang berjing-krak
ketakutan itu. Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat kepada orang berpakaian hitam
dan berkedok hitam pula itu.
"Mohon maaf apabila siauwte mengganggu sahabat !* katanya dengan sikap merendah sekali,
dan sungguhpun ia dapat menduga bahwa iblis inilah tentunya yang disebut sin-kiam koai
jin akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu. "Siauwte takut kemalaman dan hendak
melanjutkan perjalanan ke dusun Tiang seng-an di luar hutan.'*
Tiba tiba orang berkedok itu tertawa bergelak dan suara ketawanya terdengar aneh, parau
dan tinggi. Kemudian orang itu bicara dengan hidung dipencet !
"Ha. ha, ha. ! Lai Siong Te, kaukira aku tidak tahu siapa kau dan apa perlumu lewat di
tempat ini ? Lekas kautinggalkan bungkusan patung itu, atau kautinggalkan kepalamu
Boleh kau pilih!” Sambil berkata demikian, orang itu mencabut pedangnya dan silaulah
mata Lai Siong Te melihat pedang yang bercahaya terang. Tak salah lagi, pikirnya dengan
hati berdebar-debar, inilah dia Sin-kiam koai jin !
"Maaf" katanya, "sungguh tajam pandangan matamu. Akan tetapi sesungguhnya siauwte tidak
tahu siapakah sebenarnya orang gagah yang berdiri di hadapanku ?"
Orang itu menyabet-nyabetkan pedangnya sehingga terdengar suara suitan nyaring sekali.
"Kau lihat pedang ini ? Nah, terkalah siapa aku!"
"Apakah kau yang disebut Sin-kiam koai jin?”
Orang itu tertawa kembali, "Dan kau berani lewat di sini tidak takut kepada Sin kiam
koai jin? Sungguh besar nyalimu, orang she Lai!"
"Harap saja koai-hiap jangan mengganggu siauwte,"Lai piauwsu mencoba membela diri.
"Yang siauwte bawa hanyalah sebuah patung yang harus di pasang di kuil Thian - hok -
si. Karena patung suci ini siauwte bawa dengan melakukan tugas yang mulia, maka siauwte
tidak mengambil jalan memutar, harap saja koai hiap sudi memaafkan."
"Orang cerewet ! Tak usah banyak membuka mulut, lekas kautinggalkan patung itu dan
pergi dari sini " Kembali Sin-kiam-koai-jin menggerakkan pedangnya. Melihat gerakan
pedang yang cepat dan berkilat itu tahulah Lai piauwsu bahwa ia bukanlah lawan orang
yang tinggi ilmu silatnya itu. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengalah dan
memberikan patung itu kepada Sin-kiam koai-jin.
Bagi seorang yang menghendaki kemajuan dalam pekerjaannya, syarat terutama baginya
ialah menaruh rasa cinta dan hati setia kepada pekerjaan yang dipegang atau
dllakukannya.Terutama bagi seorang seperti Lai Siong Te yang bekerja menjadi piauwsu.
Pekerjaannya sebagai pelindung barang barang yang diantar atau dikawalnya membuat ia
harus sanggup melindungi barang barang itu dengan keras kalau perlu mempertaruhkan
nyawanya. Oleh karena inilah maka ia menjadi seorang piauwsu yang ternama dan dipercaya
oleh mereka yang mengirimkan barang - barang berharga. Gin-houw Piauwkiok (Perusahaan
ekspedisi macan perak) amat disegani dan mendapat kepercayaan penuh oleh karena semua
orang tahu bahwa bagi Lai Piauwsu, barang barang yang dilindunginya baru dapat terampas
darinya apabila kepalanya telah terlepas dari tubuhnya atau nyawanya telah meninggalkan
tubuhnya !
Kini dalam tugasnya mengantarkan sebuah patung Buddha ke kuil Thian - hok si, ia telah
diganggu oleh Sin kiam-koai jin yang minta patung itu dengan paksa, tentu saja ia tidak
mau menyerah begitu saja dan ketika penjahat berkedok itu menyerangnya ia cepat
mengelak dan mencabut goloknya yang telah lama menjaga nama perusahaan ekspedisinya.
Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Sin-kiam koai jin itu luar biasa cepatnya
dan karena pedang di tangan penjahat itupun pedang pusaka yang luar biasa, sebentar
saja Lai piauwsu terdesak hebat. Piauwsu ini maklum akan ketajaman pedang lawan, maka
seberapa bisa ia menghindarkan goloknya beradu dengan pedang lawan. la telah memiliki
pengalaman dalam pertempuran-pertempuran besar dan dengan mengandalkan ketenangan dan
kegagahan tangannya, untuk beberapa lama ia masih dapat mempertahankan diri. Akan
tetapi, piauwsu ini maklum pula bahwa pertahanan ini takkan berlangsung lama. Pedang di
tangan Sin - kiam koai jin sangat cepat gerakannya dan merupakan gulungan sinar pedang
yang mengelilingi tubuhnya dan menjepitnya sehingga tiada jalan keluar lagi baginya.
“Sin kiam-koai hiap, kalau kau berkeras hendak menggangguku biarlah aku mengorbankan
nyawaku sebagai seorang piauwsu sejati!" Lai piauwsu dengan gemas sekali dan memutar
goloknya dengan sekuat tenaga dan gerakannya biarpun tidak cepat namun mengandung
tenaga yang lemas dan kuat. inilah ilmu golok Lo - han to yang merupakan ilmu golok
mempertahankan diri yang kuat sekali.
"Lai Siong Te manusia goblok ! Kau hendak menukarkan nyawamu dengan patung ? Ha ha ha,
mampuslah !" Sambil berkata demikian, penjahat berkedok itu cepat menyerang dengan
sebuah tusukan kilat ke arah leher Lai piauwsu, Lai Siong Te mengelak ke kiri, akan
tetapi dengan gerakan cepat sekali Sin-kiam koai jin telah menyusulkan dua serangan,
yakni tangan kanan yang memegang pedang menyabet ke arah leher sedangkan tangan kiri
didorongkan ke depan.
Lai Siong Te menjadi terkejut sekali. Dorongan tangan kiri itu mengeluarkan angin yang
memukul di bagian dalam dadanya maka cepat ia melempar diri ke kanan dan terpaksa
menyabetkan goloknya untuk menangkis bacokan lawan pada lehernya.
"Traang!" Sekali saja beradu, golok di tangan Lai Siong Te telah putus menjadi dua!
"Ha, ha, ha! Lai Siong Te, kau masih tidak mau memberikan patung itu!"
"Kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat merampas patung ini!”jawab
piauwsu yang gagah itu.
"Orang gila ! Kalau begitu mampuslah!" Pedang yang berkilat itu menyambar, Lai Siong Te
tak dapat mengelak lagi, maka piauwsu ini dengan mata dipentang lebar-lebar menanti
datangnya maut. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan hitam yang panjang bagaikan
seekor naga menyambar dan menangkis pedang itu. Terdengar suara keras sekali dan bunga
api berpijar. Sin kiam koai jin berseru kaget dan melompat mundur. Tangkisan tadi
membuat pedangnya terpental ke belakang! Lai Siong Te menengok. Ia melihat seorang
wanita tua sekali berdiri dengan tongkat panjang di tangan. Tongkat dari kayu biasa
yang agak kemerahan warnanya, bengkak bengkok dengan kepala berbentuk seperti naga.
Nenek tua ini rambutnya sudah putih seluruhnya, pakaiannya seperti pakaian pertapa,
berwarna putih dengan garis leher hitam. Biarpun ia sudah nampak tua, dengan rambut
putih dan keriput di mukanya, namun mukanya masih kemerah-merahan dan terutama sekali
sepasang matanya tajam bukan main mengeluarkan pengaruh yang menakutkan.
'Siluman wanita dari manakah berani berlaku kurang ajar terhadap Sin-kiam-koai-hiap?*
bentak penjahat berkedok itu dan matanya di balik kedok sutera hitam itu bersinar-sinar
merah.
'Bocah she Ang, kali ini benar benar kau tersesat jauh. Bukankah suhumu sudah memberi
peringatan terakhir ? Pergilah dan minta ampun kepada suhumu karena kalau kau
melanjutkan kesesatanmu, aku Li Bi Hong tidak akan ragu-ragu untuk mewakili gurumu
melenyapkan kau dari permukaan bumi !" kata nenek tua itu dengan suara berpengaruh. Lai
Siong Te melihat betapa penjahat itu menjadi terkejut dan suaranya berobah ketika tahu
siapa nenek itu terdengar suara,
“Jadi kau orang tua yang disebut Pat jiu Toanio Li Bi Hong? Suhu seringkali menyebutnyebut
namamu sebagai seorang tua yang sangat bijaksana dan pendekar besar, akan
tetapi,mengapa sekarang kau hanya merupakan seorang nenek tua yang jail dan suka
menyampuri urusan orang lain! Pat jiu Toanio Li Bi Hong, apakah kaukira aku Ang Koan
takut kepadamu? Aku mengingini patung yang dibawa oleh Lai Siong Te, apakah hubungannya
hal ini dengan kau orang tua!"
Li Bi Hong tersenyum mengejek dan heranlah hati Lai piauwsu ketika melihat betapa nenek
itu masih mempunyai gigi penuh dan kuat! "Ang Koan," kata nenek itu, "suhumu sendiri,
Lui-kong-jiu Keng Kin Tosu tidak berani bicara demikian kurang ajar terhadap aku yang
ia anggap sebagai saudara tua. Kau sebagai murid satu-satunya telah tiga kali diberi
peringatan dan banyak menyusahkan hati orang tua itu, akan tetapi kau tidak sadar
bahkan makin tersesat! Sudah menjadi kewajibanku untuk memberi hajaran kepadamu,
bagaimana kau anggap aku jail? Pula, tentang patung ketahuilah, hai bocah lancang!
Patung itu dibawa oleh Lai piauwsu yang setia untuk diserahkan kepada kuil Thian-hok si
di kaki gunung Fu niu, dan tahukah kau siapa yang berada di kuil itu? Akulah orangnya
yang membangun kuil itu dan aku yang berhak menerima patung itu. Kau mau bicara apa
lagi sekarang ?"
Tidak saja Sin kiam Koai jin yang terkejut mendengar keterangan ini, bahkan Lai Siong
Te semenjak tadi sudah tertegun. Ia sudah lama mengenaI dan mendengar nama orang-orang
yang terkenal sebagai tokoh tokoh persilatan tingkat tinggi seperti Pat jiu Toanio dan
Lai-kong jin, sungguhpun ia belum pernah melihat orangnya. Lebih-lebih heran dan
terkejutnya bahwa patung itu ternyata harus diserahkan kepada ketua Thian Hok si yang
bukan lain adalah Pat Jiu Toanio sendiri!
Akan tetapi Sin kiam Koai jin memiliki keberanian luar biasa. Ia tidak takut kepada Pat
jiu Toanio dan biarpun sudah mendengar keterangan tersebut, namun ia masih merasa
sayang kalau harus melepaskan patung itu, setelah tadi hampir saja patung itu dapat
dirampasnya. Sambil berseru nyaring, tiba tiba dengan cara yang sangat pengecut sekali
tanpa memberi peringatan lebih dulu, ia bergerak cepat dan mengirim serangan kilat ke
arah nenek tua itu.
Lai piauwsu menjadi terkejut sekali, akan tetapi tidak demikian halnya dengan nenek
yang diserang itu. Dengan tenang nenek itu lalu mengangkat tongkat merahnya dan sekali
saja ia menggerakan tongkat dengan perlahan, pedang Sin - kiam Koai-Jin telah dapat
dibentur kembali. Sebelum AngKoan dapat mengetahuinya, tongkat yang bagaikan naga hidup
itu luar biasa cepatnya telah mendorongnya sehingga tepat mengenai dadanya dan
membuatnya terhuyung - huyung ke belakang !
"Ang Koan, itu baru peringatan pertama. kau kembalilah ke Heng san dan minta ampun
kepada suhumu!”
Akan tetapi tanpa menjawab, Ang Koan yang menjadi makin marah itu lalu menyerang lebih
hebat lagi, dengan gerak tipu yang disebut membabat rumput Membunuh Ular! Serangan ini
begitu lihainya, karena pedang yang berkilauan itu menyambar-nyambar dan bertubi-tubi
membabat ke atas dan ke bawah, mengancam kedua kaki dan pinggang nenek itu.
"Hm, kau mengeluarkan tipu - tipu yang paling sadis untuk membunuhku? Bocah lancang
jangan kau mengimpi!" Tiba - tiba tubuh nenek itu berkelebat cepat dan tubuhnya telah
melompat ke atas bersandarkan tongkatnya yang tertancap di tanah sehingga pedang
berkali kali membacok tongkat dan mengeluarkan suara keras. Akan tetapi sama sekali
tongkat itu tidak bergeming ! Bahkan, dari atas nenek itu lalu mengebutkan ujung lengan
bajunya ke arah kepala Ang Koan ! Hebat sekali pukulan ini karena angin pukulannya saja
membuat pakaian Lai piauwsu yang berdiri jauh menjadi berkibar. Apalagi Ang Koan yang
terkena pukulan langsung. Kepalanya terasa disambar petir dan untuk kedua kalinya
terhuyung-huyung ke belakang.
"Nah, itu peringatan kedua kali dan yang terakhir!" kata Pat-jiu Toanio. "Kembalilah ke
Heng-san atau mati di sini, tinggal kau pilih!"
"Siluman perempuan! Siapa takut mati!" tiba-tiba Sin-kiam koai jin menyerbu lagi dengan
pedangnya. Akan tetapi Pai-jiu Toanio yang sudah menurunkan kakinya di atas tanah,
memegang tongkat itu pada ujungnya dan mendahului lawannya menusuk ke depan. Tongkat
itu jauh lebih panjang dari pada pedang dan digerakkan dengan cepatnya maka sebelum
pedang di tangan Ang Koan dapat mengenai nenek itu, lebih dulu ujung tongkat telah
menotok dadanya.
"Duk!* suara beradunya ujung tongkat dengan dada ini perlahan saja akan tetapi akibat
hebat sekali. Sin kiam Koai- jin Ang Koan terlempar ke belakang sampai satu tombak
lebih, pedangnya terlepas dari pegangan, kemudian ia roboh tak berkutik lagi. Ternyata
sekali totokan saja nyawanya telah melayang meninggalkan raganya!
Pat jiu Toanio Li Bi Hong menghela napas panjang dan mengomel.
"Terlalu sekali kau, Ang Koan, telah memaksaku melakukan pembunuhan ! Biarlah kau
terbebas dari siksa dan derita dunia!"
Nenek ini lalu berpaling kepada Lai Siong Te yang telah menjatuhkan diri berlutut di
depannya. "Lai piauwsu kau urus baik-baik jenazah Ang Koan ini. Aku telah mendengar dan
menyaksikan kegagahan serta kesetiaanmu. Berikan kepadaku patung itu !"
Lai piauwsu tidak ragu-ragu lagi dan segera mengeluarkan patung kecil yang indah dan
berat itu. Terbelalak matanya ketika nenek itu memutar kaki patung, karena segera
terbukalah sebuah lubang rahasia di bawah patung dan keluarlah emas besar yang gemilang
cahayanya. "Ah, benda macam ini yang membuat manusia-manusia beriman lemah menjadi mata
gelap !”
Lai Siong Te benar - benar tidak mengira bahwa patung itu sebenarnya menyembunyikan
emas yang demikian banyaknya. Pantas saja amat berat, pikirnya dan pantas saja Sin.
kiam Koai jin menghendakinya.
"Lai-piauwsu bukalah kedoknya dan ambil pedangnya itu !” nenek itu memerintah.
Ketika Lai Siong Te membuka kedok sutera yang menutup muka Ang Koan, kembali ia
terkejut sekali, wajah penjahat yang tampan itu ternyata telah cacad mengerikan, yaitu
hidungnya telah copot dan bolong! Ia bergidik, mengambil pedang dan kembali menghampiri
Pat jiu Toanio yang dipandangnya dengan mata mengandung penuh pertanyaan.
"Dulu dia adalah anak yang baik" kata nenek itu yang maklum akan tuntutan pandang mata
Lai piauwsu. 'la adalah murid tunggal dari Lui - kong jim (Tangan Dewa Geledek) Keng
Kin Tosu di Heng-san. Akan tetapi setelah tamat pelajarannya, ia minggat turun gunung,
melakukan segala macam kejahatan yang hebat. Keng Kin Tosu telah tiga kali memberi
peringatan dan yang terakhir malah ia memotong hidung murid itu akan tetapi ternyata
dia lebih suka mati dari pada menjadi orang baik-baik! Sayang sekali!" Ia memandang
pedang yang berkilauan di tangannya.
"Pedang baik! Hui - liong - kiam yang ampuh" katanya pula. "Sayang terjatuh dalam
tangan seorang berhati rendah. Lai piauwsu, terimalah pedang ini sebagai tanda terima
kasihku kepadamu. Kau seorang gagah dan jujur lagi setia, maka kau berhak menerima
pedang ini.”
"Akan tetapi, teecu tidak memiliki kepandaian tinggi, apa artinya pedang pusaka sebaik
ini berada dalam tangan teecu?" Lai-piauwsu membantah dan merendahkan diri.
"Lai piauwsu, sampai di manakah tinggi rendahnya kepandaian? Sedikit kepandaian
ditambah kejujuran dan kebersihan hati jauh lebih tinggi nilainya dari pada banyak kepandaian
yang terbenam dalam lumpur kesombongan dan kejahatan. Terimalah Hui liong-kiam
ini dan apabila kelak kau anggap tidak perlu lagi kau memegangnya, boleh kau sampaikan
atau berikan kepada seorang gagah yang kau pandang patut memegangnya." Setelah berkata
demikian, tubuh nenek tua itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata Lai Siong Te.
Piauwsu ini menghela napas dengan kagum, lalu mengubur jenazah Ang Koan, kemudian
membawa pedang itu kembali ke rumahnya.
"Demikianlah, Sim taihiap, aku selalu merasa tidak puas bahwa pedang yang demikian
baiknya berada di dalam tanganku yang kurang pandai menggunakannya. Apalagi semenjak
kecil aku lebih biasa memainkan golok dari pada pedang. Hari ini secara kebetulan aku
dapat bertemu dengan kau yang muda, gagah dan bijaksana. Oleh karena itu, pedang ini
kuserahkan kepadamu dengan ikhlas dan tentu takkan mendapat teguran dari Pat - jiu
Toanio Li Bi Hong karena tindakanku ini sudah cukup tepat.
Akhirnya Tiong Han tak dapat menolak pemberian pedang Hui liong kiam itu, apalagi
setelah ia mendengar penuturan tentang asal-usul pedang itu. Dari suhunya ia pernah
mendengar nama-nama seperti Pat . jiu Toanio Li Bi Hong juga Lui kong jiu Keng Kin Tosu
di Heng - san adalah sahabat baik suhunya, ia menghaturkan terima kasihnya dan sampai
dua hari ia tinggal di rumah Lai piauwsu.
Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanannya mencari adiknya untuk minta kembali pedang
pusaka Ang coa-kiam. Hatinya menjadi lega setelah memiliki pedang Hui liong-kiam oleh
karena ia maklum bahwa tanpa pedang pusaka di tangannya, sukarlah baginya untuk
mengimbangi kelihaian Ang-coa-kiam pedang ular merah itu!
Sekarang marilah kita menengok keadaan Tiong Kiat, adik kembar dari Tiong Han, pemuda
berilmu tinggi yang telah tersesat ke jalan kejahatan itu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan terjadi perpecahan dalam hubungan antara
Tiong Kiat dan Kui Hwa, karena gadis ini merasa cemburu. Di dalam pertempuran, Tiong
Kiat telah berhasil melukainya dan kemudian pemuda ini melarikan diri dari Kui Hwa.
la berlari dengan cepat. Untuk beberapa lama hatinya merasa kecewa dan juga berduka
harus berpisah dari Kui Hwa. Semenjak turun gunung, ia melakukan perjalanan berdua
dengan sumoinya atau kecintaannya itu dan selalu bergembira. Akan tetapi kini ia harus
melakukan perantauan seorang diri.
Namun, beberapa hari kemudian, timbul lagi kegembiraannya, bahkan ia kini merasa
seperti seekor burung yang terbang bebas terlepas dari ikatan. Kalau dulu dengan adanya
Kui Hwa disampingnya, ia selalu masih harus membatasi diri, takut-takut dan mengalah
terhadap kekasihnya yang amat cemburu. Akan tetapi sekarang tanpa ada seorangpun yang
akan melarangnya, nafsu jahat yang menguasai diri pemuda sesat ini makin meluap dan
membuat lupa daratan. Ia boleh melakukan apa saja tanpa ada orang yang akan
menghalanginya !
Tak lama kemudian, di dunia kaum hek-to (jalan gelap atau penjahat) muncullah seorang
penjahat muda yang amat menggemparkan dengan perbuatan - perbuatannya yang rendah dan
ganas. Penjahat muda ini selalu memperkenalkan perbuatannya dengan lukisan sebuah
pedang, bukan lain pedang Ang coa kiam, karena penjahat ini memang Sim Tiong Kiat
adanya. Kalangan kang ouw menjadi gempar pula setelah beberapa orang gaga yang hendak
menangkapnya tidak saja gagal, bahkan menderita luka oleh pedang Ang coa-kiam.
Perbuatan apakah yang dilakukan oleh Tiong Kiat ? Bukan lain adalah pengumbaran nafsu
jahatnya, menjadi penjahat jai-hwa-cat (pemetik bunga) pengganggu anak bini orang dan
apabila ia sedang membutuhkan uang, ia selalu mengambilnya dari peti uang hartawan
hartawan. Tiap kali ia mengganggu rumah orang, selalu ia membuat gambar di atas tembok.
Gambar ini dibuatnya dengan mengguratkan pedangnya dalam tembok, melukis sebatang
pedang lalu menambahkan tiga buah huruf "Ang Coa Kiam" di bawah pedang itu ! Di dalam
kesombongan dan kesesatannya Tiong Kiat telah menggila dan tidak ragu-ragu ataupun
takut-takut lagi untuk mempergunakan nama pedang pusaka yang namanya menjadi benda
keramat dari Kim.liong-pai itu!
Biarpun Tiong Kiat telah bertemu dengan banyak wanita cantik namun diam-diam di sudut
hatinya ia tidak dapat melupakan gadis yang dulu dijumpainya terluka di dalam hutan.
Gadis yang telah ditolongnya akan tetapi yang kemudian menjadi korban nafsu jahatnya
pula. la tidak dapat melupakan EngEng gadis yang belum diketahui siapa namanya dan dari
mana datangnya itu. Entah bagaimana, ia selalu terbayang dan terkenang kepada gadis itu
dengan hati berkasihan dan juga rindu. Baginya, tidak ada seorangpun di antara para
wanita itu yang memiliki daya penarik lebih tebal dari pada gadis di hutan rimba itu.
Di dalam perantauannya, ia mengharap-harapkan untuk bertemu dengan gadis itu. Kalau ia
bisa menjadi istriku dan selama hidup berada di sampingku, aku takkan perdulikan lagi
lain perempuan, pikir Tiong Kiat dalam rindunya. Tanpa disadarinya pemuda ini telah
jatuh hati dan mencintai Eng Eng, gadis yang telah dipatahkan hatinya, yang telah
dihancurkan hidupnya, gadis yang kini sedang merantau, mencari-cari untuk membalas
dendam. Ia tidak tahu betapa setiap kali duduk melamun, Eng Eng menggigit-gigit
bibirnya dan bersumpah di dalam hatinya untuk menghancurkan kepala laki laki yang telah
merusak hidupnya itu! Kalau saja Tiong Kiat tahu siapa Eng Eng dan apa yang kini
terkandung dalam hati gadis ini, mungkin ia akan merasa takut dan ngeri!
Pada suatu hari, Tiong Kiat tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai sungai Yang-ce
di propinsi Hopak. Ketika ia memasuki kota tak seorangpun akan mengira bahwa dia adalah
Ang Coa Kiam, nama julukan penjahat muda yang amat ditakuti orang itu. Tiada orang akan
mengira bahwa pemuda yang tampan dan lemah lembut seperti putera bangsawan ini adalah
penjahat yang suka mengganggu anak bini orang dan suka melakukan pencurian besarbesaran?
Pakaiannya berwarna biru dan terbuat dari sutera mahal dan halus. Bajunya
dihias dengan pinggiran berwarna kuning emas dengan sulaman yang indah sedangkan rambut
di kepalanya yang hitam terbungkus dengan kain kepala yang berwarna kuning dan bersih
sekali. Pedang Ang-coa kiam tersembunyi di bawah bajunya, hanya tampak ujungnya sedikit
menonjol di bawah baju. la cakap sekali dalam pakaian yang mahal ini.
Dengan muka gembira dan mata berseri-seri, Tiong Kiat berjalan di sepanjang jalan raya
dalam kota I-kiang. Ia sedang gembira, kantongnya penuh uang. Ia tidak butuh uang dan
tidak perlu mencuri di kota ini. Ia ingin beristirahat dan menghibur diri, maka begitu
masuk ke kota, ia lalu menyewa kamar dalam hotel terbesar di kota itu, kemudian
bertanya kepada pelayan hotel dimana terdapat tempat pelesiran di kota itu.
Pelayan itu memandangnya sambil tertawa gembira. "Kongcu agaknya baru datang dan belum
pernah datang ke kota ini? Kebetulan sekali kalau begitu, karena kedatangan kongcu di
Kota ini tidak rugi ! Di sini terdapat tempat pelesiran yang amat indah, kongcu. Dan
keindahan tempat itu sudah terkenal sampai ke kota raja !"
*Eh, kau bicara dalam rahasia, lopek,” kata Tiong Kiat kepada pelayan setengah tua itu.
"Katakan sajalah, di mana adanya tempat itu dan apakah keindahannya?"
"Di sebelah barat dalam kota ini, kongcu. Di bagian sungai yang membelok. Di situ
dijadikan tempat pelesiran yang indah sekali dan banyak orang dari luar kota datang
sengaja untuk bermain perahu sambil menikmati arak I-Kiang dan mendengarkan nyanyian
bidadari bidadari I-Kiang."
"Apa katamu ? Bidadari - bidadari I-Kiang, siapakah mereka itu?"
Kembali senyum gembira bermain di bibir pelayan itu.
"Aah, benar-benar kongcu telah menyia-nyiakan hidup dan masa mudamu ! Siapa orangnya
yang belum pernah mendengar bidadari-bidadari I-Kiang? Kalau belum pernah mendengar
suara nyanyian mereka, sedikitnya tentu telah mendengar akan nama mereka."
Pelayan itu lalu menuturkan dengan gerakan kaki tangan, ia merasa girang sekali dapat
menuturkan semua itu kepada seorang tamu muda yang nampaknya tampan dan kaya raya
karena ia mengharapkan hadiah besar. Menurut penuturan pelayan ini, ternyata bahwa di
kota itu memang terdapat tempat pelesiran sebagaimana yang disebutkan tadi.
Air sungai Yang-ce masuk ke dalam kota itu dengan aliran perlahan karena banyak
tikungan. Dan karena sungai itu amat lebarnya, di sepanjang pantainya dibangunlah oleh
orang-orang kaya tempat-tempat peristirahatan yang indah. Banyak orang berpelesir, di
atas air naik perahu - perahu yang banyak disewakan orang di tempat itu. Air yang
tenang membuat tempat itu merupakan tempat sunyi untuk bersenang diri memancing ikan.
Disamping keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini, yang merupakan daya penarik
terbesar agaknya adalah rumah kapal milik Cia-ma, seorang janda tua yang kaya. Rumah
ini didirikan di atas air, yakni di pinggir sungai itu dan bentuknya seperti kapal
besar. Kalau orang berada di tingkat atas dan memandang ke arah air sungai Yang-ce yang
mengalir perlahan, orang akan merasa seakan-akan sedang berada di atas perahu besar.
Keindahan rumah inipun sesungguhnya tidak akan mendatangkan banyak pelancong dari luar
kota, akan tetapi terutama sekali adalah "bidadari-bidadari" yang menjadi anak angkat
Cia ma ! Sebetulnya semenjak ditinggal mati oleh suaminya dengan peninggalan beberapa
ratus tail perak, janda tua ini tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak mempunyai anak
dan akhirnya ia lalu bekerja sebagai penghibur para pelancong. Dibelinya budak-budak
belian, yakni wanita wanita muda yang cantik, diajarnya gadis gadis itu menari dan
bernyanyi atau mainkan alat musik, kemudian ia dapat menarik hati dan isi saku para
pelancong yang datang di tempat itu.
Sebentar saja Cia ma telah dapat mengumpulkan banyak uang, akhirnya ia dapat mem-bangun
sebuah rumah kapal di tepi sungai Yang ce. Telah banyak gadis gadis cantik datang dan
pergi dari rumahnya. Datang sebagai budak belian dan kalau kebetulan gadis itu bernasib
baik, maka akan datang seorang hartawan yang suka kepadanya dan menebusnya dengan
bayaran tinggi untuk dijadikan bini muda.
Pada waktu itu, di antara anak-anak angkat Cia ma, yang paling terkenal adalah tiga
orang gadis yang dibelinya dari selatan. Gadis ini amat cantik, pandai menulis dan
bersisir, pandai menari, bernyanyi dan menabuh musik. Oleh karena itu, tidak mudahlah
bagi seorang laki laki untuk dapat menghibur hati mendekati tiga bunga peliharaan Cia
ma ini. Cia ma tidak sembarangan mengeluarkan tiga bunga peliharaannya ini kalau tidak
dengan bayaran yang amat tinggi. Dipasangnya tarip-tarip tertentu untuk tiga orang
gadis ini, terutama sekali gadis pertama yang bernama Li Lan. Untuk dapat melihat waiah
cantik Li Lan dan melihatnya menari di depan mata? Keluarkan uang lima belas tail perak
! Mau mengajak Li Lan duduk di satu meja dan menemani minum arak? Keluarkan dua puluh
lima tail ! Menyuruh gadis ini membunyikan kim sambil bernyanyi di samping anda ?
Keluarkan lima puluh tail ! Dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, siapakah yang
kuat membayar uang sebanyak itu untuk bersenang-senang dengan Li Lan ? Hanya orangorang
yang betul - betul kaya. Dan si kaya inipun belum tentu berani, karena Li Lan
telah disanjung-sanjung dan menjadi pujaan banyak pejabat dan bangsawan, Seringkali
terjadi perebutan perhatian dari Li Lan oleh dua orang hartawan sehingga timbul
permusuhan yang mendalam antara mereka. Dan orang-orang tolol ini tidak tahu bahwa di
belakang mereka, Li Lan yang diperebutkan itu mentertawakan mereka.
"Akan tetapi, kongcu, tidak sembarang orang berani mengunjungi rumah kapal itu kecuali
mereka yang mempunyai banyak emas dan perak." Pelayan hotel itu melanjutkan
penuturannya.
Selama ia bercerita, Tiong Kiat mendengarkan dengan hati tertarik.
"Mengapa begitu, lopek ?" tanyanya. "Bukankah tempat itu menjadi tempat hiburan umum."
'Di sana Cia - ma merupakan orang yang amat berpengaruh. Selain dia mempunyai sahabat
sahabat di antara pembesar, juga dia mempergunakan tenaga tiga orang jagoan yang
bertugas menjaga keamanan. Banyak sudah laki-Iaki yang berani menggoda bidadaribidadari
itu padahal kantongnya kosong, telah dihajar oleh jagoan-jagoan di rumah kapal
dan dilemparkan keluar dari pintu !*
Makin tertarik hati pemuda itu mendengar cerita ini. Sebuah rumah pelesiran yang aneh
pikirnya. Pada sore harinya ia lalu keluar dari hotel dan menuju ke tempat pelesiran di
pinggir pantai sungai Yang ce itu.
Benar saja di situ ramai sekali, penuh dengan orang-orang yang hilir mudik, berpelesir
dengan perahu dan ada pula yang hanya duduk di pinggir pantai. Memang hari itu begitu
ramainya, karena malam nanti bulan akan keluar sepenuhnya. Betul-betul tempat wisata.
Segala macam terdapat di situ dijual orang. Menara-menara yang mungil bangunan-bangunan
yang indah, bahkan terdapat pula sebuah kelenteng kecil di ujung kiri! Dan yang paling
menonjol serta menarik perhatian, adalah sebuah rumah berbentuk kapal. Itulah rumah
kapal dari Cia ma yang diceritakan oleh pelayan tadi !
Tiong Kiat berjalan mendekati rumah kapal itu. Benar saja di depan pintu nampak sebuah
meja besar di mana duduk berkeliling tujuh orang laki-laki kelihatan galak dan kuat. la
tidak tahu yang manakah tiga orang jagoan yang menjadi kepala penjaga. Ketika ia sedang
berjalan di dekat rumah kapal itu, terdengar suara tertawa merdu. la cepat menengok ke
atas dan di tingkat atas nampak duduk beberapa orang gadis cantik dengan pakaian mewah
sedang tertawa-tawa dan bercakap cakap. Untuk sesaat Tiong Kiat memandang ke arah
mereka, akan tetapi hatinya kecewa ! Penuturan pelayan tadi terlampau dilebih-lebihkan.
Lima orang gadis yang duduk di atas itu biarpun tak dapat disangkal berwajah cantik,
namun tidak cukup menarik bagi Tiong Kiat. Muka mereka ditutupi bedak tebal dan pemerah
bibir dan pipi bagaikan anak-anak wayang yang hendak tampiI ke depan panggung!
Lenyaplah seketika keinginan hatinya tadi yang hendak mengunjungi rumah kapal itu. Ia
menjadi sebal dan dibelokkan kakinya menuju ke tempat perahu - perahu yang disewakan.
(Selanjutnya tidak bisa terbaca)
Ia lalu menyewa sebuah perahu dan mendayung perahunya dengan gembira, akan tetapi
kegembiraannya tidak berlangsung lama. Biarpun tempat itu makin ramai dikunjungi orang,
namun Tiong Kiat menjadi bosan. Diantara sekian banyak wanita yang berada disitu tak
seorangpun yang terlihat cantik dalam pandangan matanya dan membuat ia tidak tertarik
sama sekali. Sial baginya, ternyata dalam kota ini tidak ada tempat yang indah. Dengan
kecewa ia lalu mendayung perahunya ke pinggir dengan kesalnya hendak kembali ke hotel
dan tidur agar besok dapat melanjutkan perjalanannya pagi-pagi.
Akan tetapi tiba - tiba gerakan tangannya yang mendayung perahu menjadi tertahan. Ia
mendengar bunyi musik mengiringi suara nyanyian yang luar biasa merdunya. Ada tiga
suara wanita yang bernyanyi bersama, akan tetapi biarpun tiga suara itu sama merdunya,
tetap saja ada satu suara yang menggerakkan hati, lekukan suara dan gayanya berbeda
dengan yang lain. Tak terasa lagi Tiong Kiat mendekatkan perahunya ke arah rumah kapal,
karena dari situlah keluarnya suara nyanyian itu.
Sambil duduk di atas perahunya yang sudah menempel pada tepi sungai, Tiong Kiat duduk
termenung mendengarkan nyanyian itu. Alangkah merdunya, alangkah halusnya napas yang
terdengar menyelingi suara nyanyian. Tentu cantik sekali orang yang mempunyai suara
merdu ini, pikirnya. Namun tetap saja ia masih merasa ragu-ragu untuk masuk ke rumah
itu, takut kalau-kalau ia akan kecewa. Bagaimana kalau wajah penyanyi itu buruk dan
tidak menarik seperti gadis-gadis yang tadi dilihatnya ? Siapa tahu kalau-kalau yang
bernyanyi ini seorang diantara mereka itu?
Suara nyanyian berhenti, akan tetapi musiknya masih terus berbunyi. Tiba-tiba Tiong
Kiai melihat betapa semua mata memandang ke atas rumah kapal dan terdengar pujian penuh
kekaguman, ia pun menengok dan apa yang dilihatnya membuat hatinya berdebar-debar tidak
karuan. Ia melihat tiga orang gadis menjenguk dari jendela kamar rumah kapal dan
melambai-lambaikan tangan kepada orang orang di bawah yang mengagumi mereka. Mereka ini
nampaknya seperti puteri puteri kerajaan yang melambai kepada rakyat yang menghormat
mereka, padahal mereka ini bukan lain adalah bunga-bunga hidup dari Cia ma yang
mendapat sebutan tiga bidadari dari I-Kiang! Biarpun tiga orang gadis ini benar-benar
cantik jelita dan tidak penuh bedak mukanya seperti lima orang gadis lain yang
dilihatnya tadi, namun Tiong Kiat tak akan menjadi terpesona kalau saja ia tidak
melihat seorang di antara mereka yakni yang berdiri di tengah. Tak salah lagi, pikir
Tiong Kiat, itulah gadis yang dulu dijumpainya di dalam rimba raya! Itulah gadis yang
pernah ditolongnya, pernah diganggunya dan juga selama ini tak pernah Ienyap dari
bayangan ingatannya!
Memang sesungguhnya gadis itu yang bukan lain adalah Li Lan, memiliki wajah yang banyak
persamaannya dengan wajah Suma Eng atau Eng Eng! Hanya bedanya adalah sinar mata dan
tarikan bibir mereka. Kalau sinar mata Eng Eng mengandung kegagahan dan membayangkan
kekerasan hati, adalah sinar mata Li Lan mengerling-ngerling dengan genit dan memikat
hati. Kalau bibir Eng Eng selalu nampak membayangkan keangkuhan hatinya, hanya indah
kalau sedang tersenyum atau tertawa saja, adalah bibir Li Lan tak pernah ditinggalkan
senyum menantang!
Bukan main girangnya hati Tiong Kiat ketika ia melihat gadis ini. Dengan cepat ia lalu
meninggalkan perahunya, membayar tukang perahu dengan royal sekali, kemudian setelah
membetulkan letak pakaiannya yang mewah dengan tindakan kaki lebar ia menghampiri rumah
kapal itu.
Penjaga-penjaga pintu yang tadi duduk di situ kini telah ramai bermain maciok dan
permainan ini diselingi oleh suara tertawa mereka yang riuh gembira. Dengan tindakan
tenang tiong Kiat naik anak tangga dan memperhatikan mereka, hendak terus memasuki
pintu. Akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka melompat dan berdiri di depan
pintu menghadangnya.
"Perlahan dulu, kongcu," kata-katanya cukup sopan karena penjaga ini dapat melihat
pakaian orang yang mewah. "Agaknya kongcu orang baru dan sudah menjadi peraturan kami
bahwa setiap pendatang baru harus memberitahukan nama, kedudukan dan memperlihatkan isi
sakunya!"
Tiong Kiat maklum bahwa untuk menundukkan manusia-manusia kasar ini tidak cukup dengan
memperlihatkan uang belaka. Tanpa memperlihatkan kepandaiannya, mereka tentu akan
berusaha memerasnya dan akan berani pula menghinanya. la tidak ingin kegembiraannya
terganggu oleh pertentangan. Sambil tersenyum ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan
tujuh potong uang perak yang kecil akan tetapi cukup berharga dan berkata,
“Jangan khawatir, aku bukan seorang pelit, Lihat !” Sambil berkata demikian tangan yang
menggenggam tujuh potong uang itu bergerak ke arah meja. Bagaikan tujuh butir peluru
perak potongan-potongan uang itu meluncur cepat dan menancap di atas meja yang keras !
Tentu saja tujuh orang penjaga itu menjadi tertegun dan untuk beberapa lama mereka
menatap wajah pemuda yang tampan, kaya dan gagah ini. Akan tetapi kepala penjaga yang
berkumis jarang masih belum puas. Dia adalah seorang jagoan yang ditakuti orang,
biarpun tamu yang memiliki kedudukan tinggi selalu akan bersikap menghormat kepadanya
dan bicara dengan manis budi. Kini melihat si pemuda asing ini datang-datang
memperlihatkan kepandaian dan tenaganya, tentu saja hal ini tidak menyenangkan hatinya,
sungguhpun ia tidak dapat menjadi marah karena pemuda ini telah memperlihatkan
keroyalannya. Orang ini she Ma dan disebut Ma kauwsu (guru silat she Ma) karena memang
dia dulunya bekerja sebagai seorang guru silat, di samping dua orang sutenya yang
disebut Cin - kauwsu dan Kwee kauwsu. Tiga orang guru silat inilah yang menjadi tiga
jagoan, kepala dari penjaga rumah kapal.
Ma kauwsu tersenyum dan menghampiri meja. la menggerakkan tangan kanannya sambil
mengerahkan tenaga dan sekali ia menarik uang yang menancap di atas meja itu, tujuh
potong perak itu telah berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lalu menghampiri
Tiong Kiat dan berkata. “Kongcu, pertunjukanmu bagus sekali, tetapi dihadapanku
pertunjukan itu tak berarti apa-apa dan tidak cukup untuk dijadikan modal menakut -
nakuti kami! Kami dapat menerima hadiahmu yang royal, akan tetapi tidak bisa menerima
sikap jagoan dari siapapun juga. Lihat, apakah artinya potongan-potongan perak yang
empuk ini?" Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga dan meremas tujuh potong
perak di tangannya itu dan ketika ia membuka kembali tangannya, ternyata bahwa tujuh
potong perak itu telah menjadi satu merupakan segumpal perak yang tidak karuan
bentuknya! Tiong Kiat tersenyum mengejek, panas juga hatinya. Akan tetapi tetap saja ia
tidak mau membikin ribut karena ia ingin sekali bertemu dan bergembira dengan gadis
yang disangka Eng Eng itu.
“Bagus sekali, sobat," katanya "Tenagamu kuat seperti tenaga kerbau. Akan tetapi yang
kau remas adalah benda mati, kukira kalau dipergunakan untuk meremas benda hidup tidak
ada gunanya sama sekali !"
“Begitu pendapatmu ? Benda hidup apa kiranya?" tanya Ma kauwsu dengan hati geli karena
mengira bahwa pemuda yang hanya mengerti sedikit ilmu silat ini benar benar buta tidak
dapat melihat betapa ia memiliki tenaga Thlat se- ciang ( Bubuk Pasir Besi ) !
"Benda hidup seperti...... tanganku ini misalnya I" jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan
tangan kanannya yang berkulit halus dan putih seperti tangan wanita.
Terdengar suara ketawa riuh rendah karena tujuh orang penjaga itu semua tidak tahan
untuk tidak tertawa geli.
"Kongcu jangan kau main-main!* kata seorang penjaga. “Tangan Ma twako itu dapat memukul
pecah kepala harimau dengan sekali pukul seperti yang dilakukan oleh Bu Siong (pendekar
ternama dahulu kala) dapat meremas besi sampai hancur dan tadipun dengan sekali remas
saja tujuh potong uang perak sampai menjadi segumpal apa lagi tanganmu yang halus ? Ah,
hati-hati kongcu, kalau tanganmu rusak bukankah para bidadari di atas akan menjadi
kecewa dan marah kepada kami !”
"Betul kata kawanku itu, kongcu. Aku tidak ingin menyombong, akan tetapi janganlah
menantangku untuk meremas tanganmu yang halus ini !" kata Ma-kauwsu, karena
sesungguhnya iapun tidak suka mencelakakan langganan baru yang royal dan nampaknya kaya
ini.
Akan tetapi sudah tetap dalam hati Tiong Kiat bahwa orang ini harus ditundukkannya.
Maka sambil tersenyum la lalu mengeluarkan lima potong uang perak lagi dari sakunya.
"Ma-twako,” katanya kepada Ma kauwsu sambil memandang wajah guru silat tersebut, “Mari
kita bertaruh sedikit. Biarkan kau remas sekuatnya, kalau sampai aku kesakitan, kau
boleh ambil uang perak ini. Namun bila tidak, janganlah kalian membantah apa yang
kuperintahkan!”
Ma kauwsu memandang kepada kawan-kawannya dan mereka menganggap bahwa pemuda yang
tampan ini tentu agak miring otaknya, akan tetapi ia tetap tidak ambil pedului dan
berpikir untuk memberi pelajaran kepada kongcu ini. Lumayan, lima potong perak bukan
sedikit pikirnya. Dipegang sedikit saja pemuda ini tentu akan berkaok-kaok kesakitan.
“Baiklah, akan tetapi kalau sampai kesakitan jangan menyalahkan kepadaku.”
“Tentu saja tidak " jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangannya. "Nah, kauremaslah
yang keras!'
Ma kauwsu lalu menjabat tangan pemuda ini dan mulai memencet dengan sedikit tenaga.
“Jangan ragu-ragu, Ma-twako, yang keraslah!" kata Tiong Kiat ketika merasa betapa
pencetan itu tidak bertenaga sama sekali.
Ma kauwsu menjadi penasaran dan kini ia mulai mengerahkan tenaga Thiat se-ciang, akan
tetapi tetap saja pemuda itu tidak kelihatan menderita sakit, bahkan kembali menyuruh
ia mempergunakan tenaganya ! la lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan memeras
sekuatnya dan tiba-tiba ia terkejut sekali. Tangan yang halus itu tiba-tiba menjadi
licin dan lemas sekali seperti kapas ! Terkejutlah hatinya karena ia maklum bahwa
pemuda ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki Iweekang yang tinggi. Ini
tentulah ilmu jui-kut kang (ilmu melepaskan tulang dan melemaskan tubuh) yang lihai.
Cepat ia mengendorkan remasannya karena takut kalau-kalau tenaga Thiat se ciang akan
terbentur kembali dan melukai tangannya sendiri. Akan tetapi terlambat ! Tiba-tiba
Tiong Kiat mengeluarkan serangan dengan tenaga Iweekeng dan sekarang dialah yang
meremas tangan guru silat yang kasar dan besar itu.
Terdengar Ma kauwsu menjerit kesakitan seperti kerbau disembelih. Tangan kanannya
terasa panas, sakit dan kaku. Ketika Tiong Kiat melepaskan tangannya, tangan Ma kauwsu
menjadi merah dan bengkak !
“Masih belum mengenal orang?" Tiong Kiat membentak dan kini ia berdiri bertolak
pinggang dengan sikap yang gagah sekali.
Ma kauwsu dan keenam orang kawan-kawannya berdiri terbelalak saking heran dan
terkejutnya. Terutama sekali Ma kauwsu, Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu menjadi terheranheran.
Melihat betapa mereka masih terheran-heran dan agaknya menduga-duga siapa dia,
timbul kesombongan Tiong Kiat. Dicabutnya pedangnya dan berkatalah dia,
"Masih belum juga mengenal pedang ini? Ataukah harus kalian rasakan dulu ketajamannya?"
Melihat sinar merah dan bentuk pedang itu pucatlah muka ketiga orang kepala penjaga ini
"Ang coa kiam......." bisik Ma kauwsu dan serta merta dia dan kedua orang adiknya
menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Kiat ! Empat orang anak buah mereka juga
menjadi terkejut dan cepat berlutut.
"Maafkan kami yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata
taihiap, ampunkaan kekurangajaran kami kepada taihiap karena kami tidak mengenal
taihiap."
"Sudah, tak perlu banyak peradatan ini." kata Tiong Kiat sambil menyarungkan pedangnya
kembali. "Ma - twako, kau boleh ambil uang itu untuk membeli obat tanganmu dan ingat
kalau aku berada di sini. jaga jangan memperbolehkan orang lain masuk. Mengerti ?"
"Baik, taihiap, baik!" jawab tujuh orang penjaga yang sudah ditundukkan itu.
Pada saat itu pintu terbuka dari dalam dan seorang wanita tua yang pakaiannya masih
mewah sekali keluar. Nenek ini memandang kepada Tiong Kiat dengan penuh perhatian dan
keningnya berkerut ketika ia melihat betapa para penjaganya berdiri di hadapan Tiong
Kiat dengan kepala tunduk dan sikap menghormat sekali.
"Siapakah kongcu yang tampan ini?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Cia - ma
sendiri.
"Kongcu ini adalah Ang........"
Akan tetapi kata-kata Ma kauwsu ini diputuskan oleh jawaban Tiong Kiat yang cepat
mengerling tajam kepadanya. Pemuda ini menjura kepada Cia ma dan berkata.
"Aku adalah seorang pelancong bernama Tiong Kiat, she Sim. Tadi ketika aku berperahu,
aku mendengar suara nyaring yang amat merdu dan kemudian melihat tiga orang bidadari
ada diatas. Hatiku tergoncang dan ingin sekali aku belajar kenal dengan mereka, atau
lebih tepat lagi, dengan yang berbaju hijau.”
Wanita itu tersenyum. "Ahh, kongcu maksudkan Li Lan? Masuklah, Sim kongcu. Kebetulan
sekali belum ada tamu dan tentu Li Lan anakku akan suka berkenalan dengan kongcu yang
tampan !"
Mereda berdua masuk ke dalam dan pintu ditutup lagi.
"Kongcu ingin bertemu dengan Li Lan, bunga cantik di daerah Ini ? Ah, kongcu beruntung
sekali mendapat kesempatan ini, karena biarpun kongcu akan menjelajah di seluruh
Propinsi Hopak, takkan mungkin kongcu bertemu dengan gadis secantik Li Lan! Akan
tetapi, apakah yang kongcu kehendaki ? Melihat dia menari ? Mendengarkan dia bernyanyi?
Ataukah kongcu ingin minum arak bersama dia sambil mendengarkan dia mainkan kim ? Yang
pertama dapat dilaksanakan dengan pembayaran lima belas tail, yang kedua dua puluh lima
tail dan yang ketiga lima puluh tail. Yang mana kongcu kehendaki ?"
Sambi tersenyum Tiong Kiat merogoh saku bajunya sebelah dalam. Ia mengeluarkan uang dan
menaruh uang itu di atas meja, di depan Cia ma. Nenek itu membelalakkan matanya dan
tiada habisnya ia menatap tumpukan uang di atas meja itu. Bukan lima belas tali perak,
atau lima puluh tail perak, akan tetapi lima potong uang emas yang harganya lebih dari
tiga ratus tail perak yang bertumpuk di atas meja, berkilauan cahayanya membuat silau
pandangan mata nenek yang mata duitan ini.
"Ambillah uang itu, Cia ma. Akan tetapi dengar keinginanku. Aku ingin semua bidadari
yang berada di dalam rumah kapal ini menghiburku dengan tari-tarian dan nyanyian ! Dan
Li Lan menemaniku minum arak dan berada di sini. Hanya aku seorang yang mendapat
hiburan, tidak boleh ada orang lain. Mengerti ?*
Nenek ini mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam yang makan padi. "Baik.
baik, kongcu. Malam ini hanya kongcu seorang yang akan mendapat hiburan di sini. Tiada
orang lain!" Nenek itu lalu berlari-lari ke dalam setelah menyaur uang itu dari meja.
Terdengar ia berteriak - teriak memanggil semua anaknya dan sebentar saja ruangan itu
penuh dengan gadis - gadis yang jumlahnya semua ada empat belas orang! Akan tetapi
Tiong Kiat tidak memperdulikan mereka semua, karena pandangan matanya hanya tertuju
kepada seorang, yakni gadis berbaju hijau, Li Lan yang mirip sekali dengan Eng Eng!
Li Lan telah diberi tahu oleh Cia-ma betapa royal dan kayanya pemuda itu dan ketika ia
menyaksikan dengan mata bintangnya betapa tampan dan gagah pemuda yang hendak
berkenalan dengannya, senyumnya melebar dan sinar matanya gembira.
"Selamat datang, kongcu. Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan besar bagiku telah
mendapat perhatian kongcu yang budiman." Suara ini terdengar merdu bagaikan musik yangkim
dan pada saat Tiong Kiat baru sadar bahwa gadis ini bukan gadis yang dulu
ditolongnya di dalam rimba. Akan tetapi ia menjadi girang juga, karena Li Lan memiliki
wajah serupa dengan gadis yang ditolongnya itu, bahkan tidak kalah cantiknya dan malah
jauh lebih manis dan menarik.
Tanpa malu-malu lagi karena memang sudah biasa, Tiong Kiat melangkah maju dan memegang
tangan Li Lan yang halus. Tercium olehnya bau harum semerbak dari rambut gadis itu yang
membuat hatinya menjadi makin mabok.
Cia - ma sibuk memberi perintah agar hidangan yang lezat dikeluarkan, arak yang paling
baik berikut daging yang paling empuk. Kemudian para gadis itu lalu mengambil alat
musik dan sebentar saja ruangan itu berobah menjadi tempat pesta yang meriah. Ada yang
menari, bernyanyi dan Tiong Kiat makan-minum ditemani oleh Li Lan yang makin lama makin
menarik hatinya.
Demikianlah, pemuda yang tersesat ini dilayani seperti seorang raja muda di tempat itu.
Belum pernah ada tamu yang demikian dihormati seperti Tiong Kiat dan hal ini tidak
aneh, Cia-ma puas hatinya karena mendapatkan uang sekian banyaknya, adapun gadis gadis
itu gembira sekali dapat melayani seorang pemuda yang tampan dan gagah, berbeda dengan
para pembesar, tua - tua bangka yang sesungguhnya menyebalkan hati mereka ! Para
penjaga, Ma kauwsu dan kawannya, patuh sekali terhadap perintah Tiong Kiat. Mereka
tidak memperkenankan siapa saja memasuki rumah kapal itu, biarpun yang hendak masuk itu
hartawan atau pembesar yang sudah menjadi langganan tetap.
"Menyesal sekali," kata Ma kauwsu terhadap mereka. "malam hari ini tidak menerima tamu,
karena tempat ini telah diborong oleh seorang pelancong."
Biarpun hati mereka kecewa namun mereka tidak berani membantah dan pulanglah mereka
dengan hati mengkal. Siapakah orangnya yang begitu kurang ajar berani memborong tempat
itu ?
Akhirnya bukan mereka saja yang mendongkol dan gelisah. Juga Cia ma menjadi sibuk
sekali pikirannya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lama sekali tidak mau
keluar lagi dari rumah kapal ! Sudah tiga malam Tiong Kiat berada di tempat itu, dan
pemuda ini masih saja belum mempunyai keinginan meninggalkan Li Lan ! Akan tetapi
bagaimana Cia-ma berani mengusirnya ? Pemuda itu royal sekali, tiap hari mengeluarkan
uang emas dan lebih-lebih lagi gelisahnya hati Cia - ma ketika mendengar dari para
penjaganya bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang - coa - kiam yang telah tersohor
namanya !
Sebaliknya, Li Lan dan kawan - kawannya sama sekali tidak merasa kecewa. Mereka bahkan
senang sekali melayani pemuda yang selain tampan dan gagah, juga royal sekali membagibagi
hadiah itu. Li Lan nampaknya suka sekali dan tak dapat berpisah dari Tiong Kiat,
demikian pula pemuda itu telah tergila-gila kepada Li Lan. Bukan karena kecantikan Li
Lan atau pandainya mengambil hati, akan tetapi terutama sekali karena wajah Li Lan
hampir sama dengan wajah Eng Eng, gadis yang dulu ditolongnya dan yang diam-diam
dicintainya itu.
Betapapun juga akhirnya persediaan uang di dalam saku baju Tiong Kiat menjadi habis.
“Cia Ma,” katanya. "aku akan pergi sebentar mengambil buntalanku yang di hotel dan
sebentar lagi aku akan kembali. Jangan perbolehkan lain orang masuk kesini," katanya.
Malam itu ia keluar bukan hanya untuk mengambil pakaiannya di hotel, akan tetapi juga
untuk mengambil banyak uang emas dari peti uang seorang hartawan !
Sementara itu, sebelum pemuda itu kembali, Cia-ma lalu mengadakan perundingan dengan Li
Lan dan kawan-kawannya.
"Celaka!" kata nenek ini dengan wajah gelisah. "Kalau Sim kongcu terus-menerus
memborong tempat ini, kita akan celaka."
"Mengapa begitu, Cia-ma?" bantah Li Lan."Bukankah Sim kongcu amat royal dan memberi
hadiah kepada kita? Kita tidak boleh membantah kehendaknya, lagi pula, apa yang dapat
kita lakukan terhadap seorang gagah seperti Ang coa-kiam?"
"Anak bodoh !" nenek itu mencelanya. "Betapapun juga. dia akhirnya akan bosan dan
pergi. Dan nama kita rusak di pandangan mata semua pembesar! Penolakan para pembesar
yang hendak mengunjungi kalian, berarti penghinaan dan tentu saja mereka merasa sakit
hati kepada kita. Kalau tidak ada perlindungan dari pada mereka, apakah daya kita?
Celaka!"
"Sudahlah Cia-ma, tak perlu kita mencari penyakit dan permusuhan terhadap Ang-coa kiam.
Bahkan aku hendak mempergunakan tenaganya untuk membasmi musuh-musuhku."
"Jangan, Li Lan! Jangan kau menimbulkan gara-gara, nanti kita celaka semua."
Akan tetapi gadis cantik itu hanya mainkan bibirnya, tersenyum manis. Menjelang tengah
malam datanglah Tiong Kiat dengan membawa uang sekantong besar! Mulailah lagi pesta
pora yang amat meriah. Para penjaga juga ikut kebagian rejeki karena Tiong Kiat membagi
- bagi hadiah bagaikan orang membuang pasir belaka.
Pada keesokan harinya, gegerlah kota I-kang karena seorang hartawan besar telah
kecurian uang banyak sekali dan pada dinding kamar terlukis pedang Ang coa-kiam!
Sebentar saja hal ini terdengar oleh para penjaga rumah kapal, akan tetapi apakah yang
dapat mereka perbuat? Mereka hanya saling lirik dan tersenyum girang karena dalam diri
Tiong Kiat, mereka mendapatkan seorang pemimpin yang selain royal, juga amat boleh
diandalkan!
Juga Cia.ma dan anak anaknya mendengar akan pencurian yang dilakukan oleh Ang-coa. kiam
Sim Tiong Kiat ini, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bertanya.
Cia-ma hanya menarik napas berulang-ulang dan berkata seorang diri, "Celaka, celaka!
Rumahku kemasukan harimau ganas dan aku tak berdaya sama sekali untuk mengusirnya!"
Sementara itu, di dalam kamarnya, sambil menangis Li Lan menuturkan kepada Tiong Kiat,
"Telah dua tahun aku mendendam sakit hati yang amat besar dan sekarang Thian Yang Maha
Kuasa telah mempertemukan aku dengan kongcu, sungguh satu kebahagiaan besar. Aku
percaya dengan penuh keyakinan bahwa kalau memang betul kongcu mencinta kepadaku yang
hina dina dan rendah ini, pasti jahanam-jahanam busuk she Lui itu dapat dibasmi!"
"Apakah kau masih meragukan cintaku manis?" kata Tiong Kiat sambil memeluk Li Lan.
"Katakanlah siapa yang pernah menimbulkan sakit hati kepadamu kalau perlu akan kuhajar
adat kepada mereka."
"Hanya menghajar adat? Kau harus bunuh mereka, kongcu. Ya, mereka itu jahanam yang
menjerumuskan diriku ke dalam jurang kehinaan ini, mereka itu harus dibunuh !" Muka
yang manis itu menjadi kemerahan dan matanya yang bening dan indah itu bersinar-sinar.
"Kau makin cantik saja kalau marah, Li Lan. Apakah yang telah diperbuat oleh orangorang
she Lui kepadamu maka kau ingin aku membunuh mereka ?” Biarpun pemuda ini
membicarakan soal pembunuhan dengan lidah ringan, namun di dalam hatinya ia terkejut
juga. karena sesungguhnya, di dalam kesesatannya, belum pernah ia membunuh orang begitu
saja secara kejam. Tentu saja ia pernah membunuh rombongan perampok dan orang jahat
akan tetapi apabila ia melakukan percurian atau gangguan, tak pernah ia membunuh orang.
Dengan gaya manja dan memikat hati Li Lan lalu menuturkan pengalamannya. "Kongcu, kau
adalah seorang mulia dan gagah. Kalau tidak kepadamu, kepada siapa lagi aku dapat
mengharapkan pertolongan? Dahulu aku bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lui yang
kaya raya. Hidupku penuh kebahagiaan sungguhpun pekerjaanku hanya sebagai pelayan
belaka. Akan tetapi malapetaka menimpa diriku ketika majikanku yang muda dan tua, yakni
Lui wangwe dan puteranya, Lui kongcu, secara kurang ajar dan kejam sekali telah
mempermainkan aku yang lemah dan tak berdaya ! Aku berada di dalam gedung mereka
sebagai budak belian, aku yatim-piatu dan berada di dalam kekuasaan mereka. Apakah
dayaku? Kemudian setelah rahasia kedua orang jahanam itu terbuka, mereka menjadi malu
dan menyingkirkan diriku dengan menjualku kepada Cia ma." Adapun Tiong Kiat yang
mendengar penuturan ini, menjadi marah dan juga tersinggung hatinya. Ia marah karena
kejahatan keluarga Lui ayah dan anak itu dan merasa tersinggung karena ia teringat
kepada gadis yang ditolongnya di dalam rimba raya itu.
"Kongcu, telah lama dendam ini terkandung dalam hatiku. Pada saat itu juga, ingin
sekali aku membunuh diri, akan tetapi aku teringat bahwa aku akan menjadi setan
penasaran kalau belum dapat membalas kejahatan mereka. Aku bersumpah hendak membalas
dendam dulu sebelum mati dan sekarang setelah aku bertemu dengan kau, kongcu, tidak ada
keinginan mati pada hatiku. Aku ingin selama hidupku berada di sampingmu, akan tetapi
kebahagiaanku takkan lengkap apabila sakit hati ini tidak terbalas. Kongcu yang
tersayang, kalau saja kau suka menolongku membalaskan sakit hati ini, aku Li Lan akan
menghambakan diriku kepadamu sampai selama hidupku.”
Menghadapi bujuk dan cumbu rayu gadis cantik ini, lumerlah hati Tiong Kiat. Tanpa pikir
panjang lagi ia menyanggupi permintaan kekasihnya ini dan pada malam hari itu, ia
keluar dengan pedang Ang Coa Kiam di tangan ! Dan pada keesokan harinya gegerlah
kembali kota I-kiang ketika orang mengetahui bahwa hartawan Lui dan puteranya telah
terbunuh mati di dalam kamarnya! Hartawan Lui terkenal sebagai seorang hartawan yang
dermawan dan jujur, maka peristiwa ini tentu saja menggemparkan sekali. Apa lagi ketika
di tembok korban-korban itu terdapat lukisan pedang Ang coa-kiam! Sungguh Tiong Kiat
telah menjadi mata gelap dan sombong sekali. Biarpun ia masih berada di kota l-kiang
dengan berani mati ia mengakui dengan lukisan itu bahwa pembunuhan itu dialah yang
melakukannya. Kegemparan ini sampai juga ke telinga orang - orang gagah di dunia kangouw
dan marahlah mereka yang mendengar akan hal ini. Kalau sampai sebegitu lama orangorang
kang ouw tidak bertindak memusuhi Tiong Kiat adalah karena mereka itu masih
memandang nama besar Ang coa kiam pedang pusaka dari Kim liong pai. Semenjak puluhan
tahun yang lalu, Kim-liong-pai, terkenal sebagai cabang persilatan yang terpandang
tinggi. Nama Bu Beng Sianjin sebagai pendiri cabang ini amat disegani dan dihormati,
juga anak - anak murid Kim-liong pai terutama sekali Lui Thian Sianjin amat terkenal
sebagai tokoh kang ouw yang gagah perkasa dan budiman. Oleh karena ini nama Ang coakiam
yang menjadi jai-hwa-cat dan pencuri masih diragu-ragukan oleh para tokoh kangouw.
Akan tetapi sepak terjang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat akhir-akhir ini benar-benar
menggemparkan sekali, terutama sekali setelah pembunuhan Lui wangwe ayah dan anak. Yang
paling marah adalah seorang gagah yang tinggal di kota I-Kiang, karena ia berada
terdekat dengan peristiwa itu terjadi. Orang gagah ini bernama Lo Ban Tek yang berjuluk
Thiat gu (Kerbau besi). Dia adalah seorang gagah perkasa, murid dari Kun.lun pai yang
menyembunyikan diri di kota ini dan bekerja sebagai seorang pandai besi, pembuat tombak
dan golok. Ia telah mendengar tentang pencurian uang seorang hartawan yang dilakukan
oleh penjahat yang melukiskan pedang Ang coa kiam ditembok, akan tetapi masih bersabar
dan tidak mau mencampuri urusan itu. la menganggap urusan pencurian itu soal kecil
saja, karena untuk meributkan pencurian yang terjadi dalam rumah seorang hartawan ?
Mungkin benar-benar anak murid Kim liong-pai itu sedang lewat dan kehabisan bekal lalu
mengambil uang hartawan itu, hal ini sudah biasa terjadi dan tidak sangat hebat. Akan
tetapi, ia mendengar bahwa seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Ang coa-kiam Sim
Tiong Kiat telah beberapa hari lamanya berdiam di rumah kapal dan kemungkinan pula
terlibat dalam pembunuhan atas hartawan Lui dan putranya. Kaget dan marahlah Lo Ban Tek
mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang baik hati dan dermawan, maka
hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau menarik perhatiannya dan membuat ia
menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau bukan, murid Kim liong pai atau bukan,
kalau sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia
selidiki dan harus turun tangan.
Demikianlah, pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil
membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho - kut - pian
(Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena setiap hari
dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang memandangnya dengan
heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek keluar dengan membawa ruyung
yang mengerikan itu. Orang itu memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia
berjalan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu
akan terjadi sesuatu yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan
makin tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke rumah
kapal !
Apakah si pendiam ini mau berpelesir? Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal
bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada anak istri
dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya membuat golok dan tombak
dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan apakah ia rugi atau untung dalam
pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini
merupakan kejadian yang menarik hati.
Pada saat itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga
tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ sambil
mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri Lui-wangwe dan
betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali.
Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar
pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.
"Orang-orang rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan
dia !*
Ma-kauwsu dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban
Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya, dan
dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia mengerti ilmu
silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sambil
memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya !
“Eh, saudara Lo, kau kenapakah? Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh
mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!” Ma kauwsu menegur sambil bangkit
dari tempat duduknya.
“Tidak usah banyak bicara!” Lo Ban Tek membentak dengan marah. “Siapa sudi .... (tidak
terbaca jelas nih..) Hayo kalian anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan
minta dia keluar. Kalau tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!”
Bukan main marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan
jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan bangsawan
pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang pandai besi biasa
berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga, tentu saja mereka merasa panas
dalam perut!
“Pandai besi hinadina she Lo ! Apakah otakmu sudah menjadi miring? Ataukah kau sudah
bosan hidup” bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi itu,
diikuti oleh dua orang adiknya.
“Kalian ini kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur !" teriak Lo
Ban Tek makin marah. 'Panggil saja jai-hwa cat she Sim itu keluar dan kalian pergilah
jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata !" Akan tetapi mana tiga orang
jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar? Terutama sekali Kwee kauwsu
yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu
melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,"Pergilah
orang gila!"
Pukulan ini adalah gerak tipu Go-houw pok it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan
dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee kauwsu
berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung aneh itu, tetap
saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya yang berat itu.
Akan tetapi, terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan
begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri, agak
merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.
"Ngek!* Kwee kauwsu merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas
saking sakitnya dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek
diayun tepat mengenai pantatnya.
"Blek!" tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh
tendangan anak kecil. Setelah berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas
tanah dengan pantat di bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu
duduk seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis
bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan ! Bukan main sakitnya
pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian ini amat
mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di luar dugaan mereka.
Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya sehingga Kwee kauwsu dapat
berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut golok masing-masing dan tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu! Gerakan Ma kauwsu dan Cin-kauwsu amat
ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih agak terpincang-pincang dan merasa
seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi beban yang berat sekali.
"Bangsat rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek.
"Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang penjahat
besar yang mengacau di kota sendiri? Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban Tek tidak mencari
permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!" Sambil berkata demikian, Si
Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang banyak terdapat di pinggir
sungai dan sekali ia mengayun coa kut-pian di tangannya, batu itu telah kena dihantam
sehingga menerbitkan suara keras dan menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang
guru silat itu memandang, ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah !
Bukan main terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya
dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula ? Mereka bertiga, biarpun
diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat memecahkan batu
itu dengan seratus kali pukul ! Oleh karena kaget dan kagum, mereka hanya berdiri
tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka juga terpengaruh oleh kata kata
pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi
oleh orang.orang seluruh kota, apalagi akan menghadapi pembesar - pembesar, ah berat
juga !
Pada saat itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal.
"Anjing kelaparan dari manakah berani mengacau dan menantangku ?" Baru habis ucapan itu
dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah berdiri dihadapan
Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan ! Berdebar juga hati Lo Ban
Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda tampan ini. la memandang dengan
penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat cakap, gagah dan tampan, berpakaian
serba biru yang indah sekali. Juga pedang di tangan pemuda ini benar-benar Angcoa.
kiam, pedang pusaka Kim liong pai, karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan
tokoh Kun lun - pai tentang pusaka ini.
"Anak muda, kau sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang coa-kiam dan Kim
Liong pai untuk melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang bisa
dijatuhkan oleh Lui Thian Sianjin kepadamu? Aku tidak percaya bahwa kau adalah anak
murid Kim Iiong pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam itu?"
Sim Tiong Kiat tersenyum mengejek. "Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim
Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah yang
mewakili Kim liong-pai. Bukankah Ang coa-kiam di tanganku ini menjadi bukti terkuat?"
"Aku tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim liong-pai, apalagi yagg sudah
dipercayai untuk memegang Ang coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang pusaka) dan
kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang - orang lemah dan menindas
kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin, sucouw dari Kim-liong.pai.
Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja yang telah kaulakukan ?'
Tertegun juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik
gurunya dan keadaan Kim Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia bertanya,
"Siapakah kau, hai, manusia kasar yang bosan hidup? Siapa kau yang berpura-pura
mengerti tentang keadaan Kim-liong.pai ?"
"Mengapa aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai? Aku adalah murid Kim kong Tianglo di
Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan kau
sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."
Di dalam hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid
dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang
tokoh Kun Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah
beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun lun.pai itu ketika Kim Kong Tianglo
mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak
mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.
'Saudara Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu.
Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang tidak
menyenangkan hatimu?'
Lo Ban Tek tersenyum mengejek. "Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah
dapat mencemarkan nama baikmu."
"Apa?" Tiong Kiat mencela marah, "Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat baik,
akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah orang-orang
lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya? Apakah perbuatan ini
merugikanmu? Atau merugikan orang Iain? Saudara Lo, kalau kau merasa irihati, marilah
ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari bidadari rumah kapal. Tak perlu urusan macam
ini menimbulkan bentrokan diantara kita.*
"Cih ! Aku bukanlah orang macam itu ! Aku tidak meributkan urusan cabul ! Aku datang
hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya ? Apakah hal ini
kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula !"
"lebih dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang. "Anjing tua
dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh ! Mereka telah berlaku kurang ajar
dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan yang kini terpaksa menjadi
seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah orang-orang semacam ini tidak boleh di
bunuh ? "
"Dari siapakah kau mendengar akan obrolan itu? Tentu dari mulut perempuan busuk itu
bukan ? Ha, ha, ha? Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang baik
mana yang busuk ! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan kotor itu dengan
keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si perempuan yang kau bela matimatian
itu ! Memang, dulu dia adalah seorang pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia
bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan berani bermain gila dengan pelayan-pelayan lakilaki
yang ada di rumah itu! Lui wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika
diusir, ia diberi uang secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau
menikah dengan siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah
yang tidak tahu? Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe ? Ha, ha,
benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu
merah!"
"Bangsat, tutup mulutmu!* Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah sekali.
"Orang she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo
Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"
Sambil berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyung-nya.
Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi girang
karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika
dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak terbabat putus, bahkan dari
benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga Iawannya ini benar-benar besar dan tidak
boleh dipandang ringan! Maka ia lalu berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang
Ang coa.kiamsut yang hebat, pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang
yang luar biasa sekali.
Lo Ban Tek terkejut dan kini ia tidak ragu ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar
murid Kim liong pai yang pandai.
"Hm, kau benar-benar murid Kim liong-pai ! Kalau kau bukan murid Kim liong-pai, masih
tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong
pai dapat tersesat begini rupa, ah aku harus mengadu jiwa dengan kau.” iapun mainkan
ruyungnya dengan ilmu silat Kun. lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat,
dapat mengimbangi gerakan pedang lawannya.
Hebat sekali jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee
berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong ! Kepandaian Ang Coa kiam Sim Tiong
Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin mereka terheran-heran
adalah kepandaian tukang besi itu ! Siapa kira bahwa di I-kiang terdapat seorang
pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban
Tek pandai besi yang sederhana dan kasar belaka ! Maka malulah ketiga orang itu, karena
kalau ilmu kepandaian mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian
dua orang ini mereka boleh dibilang masih anak-anak! Thiat gu Lo Ban Tek bertempur
dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi Tiong Kiat masih merasa
ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja. Pemuda ini masih merasa sungkan
untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia gentar juga menghadapi akibat-akibatnya.
Kalau sampai ia menanam bibit permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram
lagi!
Akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban
Tek menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak boleh
dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga tenaga orang she
Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung ini berarti bahaya maut
bagi Tiong Kiat!
Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang
luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat. Ketika
pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua kakinya sehingga
Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk
melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan indahnya. Akan tetapi kembali Lo Ban
Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak tipu Dewa Awan
Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong Kiat masih terapung di
udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan sendiri !
Namun kini Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus
dan harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun
kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung menyambar, ia
segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya membarengi mengirim
tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.
Lo Ban Tek merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat
kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik kembali
senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas tanah dan ujung
pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan Lo Ban Tek!
Orang she Lo ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong
lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang
dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan pedangnya
sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan melukai pundaknya!
"Lo Ban Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka
memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran ini!"
Akan tetapi kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan
kapok, ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata
mendelik ia membentak,
"Jahanam durhaka ! Kaukira aku orang she Lo takut mati? Lebih baik aku mati dalam
usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat engkau
melakukan kejahatan tanpa terhukum!" Setelah berkata demikian, kembali ruyungnya
menyambar dan kali ini dengan serangan nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri
lagi !
Tiong Kiat terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi
demikian nekad, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras.
Pedangnya meluncur ke depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek. Si
Kerbau Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang ketika
tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan napas terakhir
dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik memandang kepada Tiong
Kiat!
Pemuda ini bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan
ditutupkannya saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia
telah membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang? Orang orang Kun-lun-pai
tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu hanya akan membuat
hidupnya menjadi tidak tenteram. Rasa menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi
merah, dadanya terasa sakit. la marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia
melakukan pembunuhan, marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.
"Kionghi taihiap, kionghi ! ilmu silatmu hebat sekali!" tiba - tiba ia mendengar pujian
dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya. Ketika ia menengok, ia
melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya dan memberi selamat sambil
menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali. Kedua kakinya cepat bergerak
bergantian dan tubuh tiga orang guru silat terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan
perasaan sakit, takut dan kaget.
Kemarahan Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah
tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun – lun-pai.
Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di telinganya,
bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak berdosa. Bahwa
sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya. Kemarahannya makin
memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya sampai jebol.
Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang coa kiam sehingga putus
dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air.
Cia-ma berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat
menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu terlempar keluar
jendela dan.... byur ! tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang ce, diiringi pekik
mengerikan dari nenek itu.
Bagaikan seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang baikbaik,
dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu, tangannya bergerak
menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air melalui jendela ! Sebentar saja
habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam air, sehingga sibuklah orang-orang di
bawah untuk menolong "bidadari-bidadari" itu keluar dari air. Mereka kini tidak
kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi sebaliknya sebagai
seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan, riap-riapan menutupi muka
yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar
matanya, muka yang cowong dengan kulit muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak
!
Orang terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalab Li Lan. Gadis ini
berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja melepaskan
rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya. Bajunya Iepas-lepas
sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis ini tahu betul bahwa Tiong
Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus dan harum, maka siasat terakhir untuk
menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.
"Perempuan hina ! Jadi kau telah menipuku, ya ! Aku telah tertipu sehingga membunuh
orang-orang yang tidak berdosa!"
"Bagimu tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe
tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan suara
memilukan.
"Kau telah membohong! Kaukatakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang
mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan rendah.
Kubunuh kau!”
"Bunuhlah, kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta
sepenuh jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?” Ia
menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. ”Bunuhlah…”
Tiong Kiat mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya
dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut Li Lan,
dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti orang-orang lain,
bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari cepat sekali keluar dari rumah
kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama sekali tidak berani bergerak!
Gegerlah kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara
akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana perginya.
Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka bertiga tadi
ditendang oleh Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sampai terguling-guling, maka mereka tidak
dianggap kawan penjahat muda itu dan dibebaskan oleh para pembesar ! Kalau saja mereka
tidak ditendang oleh Tiong Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan
dari Ang-coa kiam !
Tiong Kiat melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang
dan ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu
tiada hentinya menyesali nasib dirinya.
Peribahasa kuno menyatakan bahwa kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap
seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya menyanjung-nyanjung
kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal lagi apabila keadaan kita
menjadi sengsara. Demikian pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang
merpati berada dalam keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak
mengenal keadaan, tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun
terjatuh di dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!
Akan tetapi cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong
Kiat sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan
gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga apa saja
yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu ditinggalkan, dan bahkan kini
mereka melakukan perantauan tanpa tujuan, berjalan jauh dengan keadaan miskin dan
sengsara sekali. Dalam keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan.
la mulai cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya.
Setiap hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali.
Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia menjadi
mendongkol. Pemuda mata keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak
pernah berhias, tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan.
Kalau tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini
terbuka sama sekali. Manusia manakah yang tidak bercacad? Memang dalam keadaan biasa,
cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan, akan
tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak nyata! Setelah
kini melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa ia
telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan gadis yang
dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul, masih cantik Kui Hwa
sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui Hwa adalah sewajarnya, karena
semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek, adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu
oleh bedak dan gincu dan minyak wangi !
Mulailah Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban
baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang dimulai
semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia dahuIu tidak
melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah mengawinkan dengan
seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia!
Pada suatu hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak
beristirahat, kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah
pohon dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi
sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu hanya
terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan bentakan Tiong Kiat.
"Perempuan tak tahu diri, perempuan pembawa celaka ! Kalau tidak karena kau, aku tak
usah lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan
lebih cepat lagi."
"Sim kongcu… " kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya, "kalau aku
menjadi beban... . kenapa tidak kau bunuh saja...? Bunuhlah aku kongcu .. .agar aku
terhindar dari siksaan lahir dan batin ini ...."
"Kalau kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak
sudi membunuh perempuan macam kau !"
"Ah, dunia sudah kacau balau !" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu seorang
wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri tak jauh dari
mereka. "Dahulu laki laki selalu bersikap lemah lembut terhadap wanita, akan tetapi
anak-anak muda sekarang demikian kasar dan kejamnya !"
Tiong Kiat terkejut. Ia memandang deegan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa
adanya nenek yang berambut putih ini. "Nenek tua, mengapa kau mencampuri urusan orang
lain ? Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia pergi. Aku tidak butuh
lagi padanya!"
Ketika Li Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan
berlutut di hadapan nenek itu sambil menangis!
"Suthai…Tolonglah aku, bawalah aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini…!”
"Kasihan kau anak yang tersesat jauh......" nenek itu berkata sambil mengelus-elus
kepala Li Lan. "Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."
Mendengar ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang. "Bagus, bagus! Nenek tua kau telah
berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha, ha, ha!"
"Orang muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke
jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!" Sepasang mata nenek itu memandangnya
dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata mereka bertemu, terkejutlah Tiong
Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya,
pemuda ini mencabut pedangnya dan berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang
itu.
"Ha, ha, ha! Dengan pedang dan tenaga di tangan, siapa akan dapat menggangguku?"
Tiba-tiba berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat.
"Ang coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat. Tiong Kiat terkejut
sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini telah berada di
hadapannya.
"Bagus, jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari kim
liong pai?”
"Siapakah kau yang mengenal pedangku?” tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.
"Orang durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?”
Begitu mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali
pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya tahu
bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun lun pai dan juga sahabat
baik suhunya di Liong san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan membunuhnya. Oleh
karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!
Tiong Kiat sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa
tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin sendiri!
Melihat berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan
tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang coa-kiam hampir saja terlepas dari
pegangan Tiong Kiat! Pemuda ini cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia
lalu menyerang lagi. Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh
sekali nenek itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya
digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis sekaligus!
Gentarlah hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena
malu dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan
pergi dari hutan itu.
Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas panjang dan berkata.
"Sayang, sayang .. ! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh
merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan lapuk."
la lalu menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah.
"Coba kauceritakan segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh
bayangan gelap, dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri
menjadi seorang pendeta."
Sambil terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang
disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia telah
membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui. Pat-jiu Toanio
mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu selesai menuturkan
semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata.
"Menurut patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau
ringan bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan
menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau boleh
menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."
Demikianlah, Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah
berada di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu niu. Ia
mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun mempelajari
ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!
Tadinya hal ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk
memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya, setelah
ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan jauh lebih
besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumab kapal Cia ma! Makin
tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu Toanio, bahkan sedikit demi
sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.
Di lereng gunung Ta-pie san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia
adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di Wuhan dan
dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta pie san. Wajahnya yang tampan itu tampak
berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, tampak kekesalan
hati yang mendidih dihatinya.
Pemandangan alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak
terlihat oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya, se-akanakan
melayang - layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa raya.
Sungguh tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang
ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat tinggal di
kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena ini, ia tidak
mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang menggemparkan itu.
Sudah berapa hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta pie-san ini. la merasa gelisah,
kecewa dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat? Hatinya sedih bukan
kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta Tiong
Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih dari itu!
Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah merasa seakan-akan
menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti ayah mereka.
Pada hari itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa
keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di dunia lain,
atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia akan semua
pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama dengan Ta.pie-san
ini. Ia teringat akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan
Tiong Kiat. lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu
senja hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan
permainan di lereng Gunung Liong-san. Mereka berdua suka sekali bermain-main perangperangan
saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau panglima panglima
pemimpin barisan. Adakalanya Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah
yang terserang sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau
sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka seakanakan
menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain perang-perangan, intai
mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak.
Lui Thian Sianjin, suhu mereka, pernah menceritakan bahwa ayah mereka adalah seorang
pahlawan dan patriot bangsa yang gugur dalam pemberontakan menggulingkan pemerintahan
yang korup. Oleh cerita yang singkat dan tidak jelas inilah maka Tiong Han dan Tiong
Kiat suka sekali bermain perang-perangan, menjadi pahlawan seperti ayah mereka!
Pada saat itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia
mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta sepenuh
hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya, merampas pedang
Ang coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya! Ia merasa bahwa kini ia akan dapat
mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada hentinya ia memperdalam
kepandaian ilmu pedang Ang coa-kiamsut dari kitab yang dibawanya. Ia telah hampir dapat
menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu pedangnya maju dengan pesatnya.
Ketika ia teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu
menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang kemudian
mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang didudukinya.
Bagaikan dalam mimpi, ia lalu melangkah maju di pinggir jurang, lalu ia bernyanyi,
seperti ketika masih kecil bersama Tiong Kiat di lereng Bukit Liong san. Bulan sepotong
sudah mulai timbul dari timur, angin gunung hanya meniup perlahan saja, mendatangkan
suara berkereseknya daun-daun yang bahkan menambah rasa sunyi yang mencekam hatinya.
Bagaikan terpimpin oleh perasaan halus yang tak disadarinya, Tiong Han bernyanyi dengan
suara keras, sepenuh dadanya, sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya meniru gaya
seorang panglima seperti yang ia lakukan bersama adiknya ketika mereka masih kecil
dulu.
Pedang telanjang di tangan
berlumur darah musuh jahanam !
Anak panah beterbangan
bagai maut mengintai nyawa
Pasukan musuh di sana?
Serbu…! Maju gembira!
Inilah tugas tiap ksatrya !
Mati? Hanya gugur bagai bunga
Aku hanya ingin menang…menang !
Biar takkan mendapat Jasa
Biar takkan menerima pahala.
Tidak peduli, aku ingin menang !
Aku ingin menjadi pahlawan.
Seperti ayah....... seperti ayah…!
Tiong Han bernyanyi penuh semangat, seperti dulu ketika masih keciI. Bunyi sajak ini
sesungguhnya sudah berbeda dari pada aslinya karena banyak yang berobah dan baris
terakhir “seperti ayah" adalah tambahan sendiri dari Tiong Han dan Tiong Kiat. Keduanya
merasa bangga sekali akan ayah mereka, sungguhpun mereka tidak tahu dan tidak ingat
lagi bagaimana rupa ayah mereka!
Tiong Han tidak tahu sama sekali bahwa pada saat bernyanyi, seorang pemuda sedang
berjalan mendaki jalan kecil dari timur. Ketika mendengar ia bernyanyi, pemuda itu
berhenti bertindak dan diam bagaikan patung! Akhirnya setelah Tiong Han menyanyikan
baris terakhir dari sajaknya, pemuda yang berpakaian biru kehitaman itu berlarl
menghampirinya dan berseru dengan suara terharu.
"Engko Han…!"
Tiong Han yang sudah mengakhiri nyanyiannya cepat menengok dan terkejutlah kedua
matanya ketika ia melihat Tiong Kiat berlari-lari naik seperti dulu ketika masih kecil!
“Tiong Kiat…..!”
Keduanya berdiri berhadapan, saling pandang, kalau dilihat oleh orang lain seperti
seorang pemuda berdiri di depan cermin, demikian serupa, sebentuk dan segaya! Kemudian
terdorong oleh keharuan hati, kedua orang muda itu lalu saling tubruk dan saling peluk
dengan penuh kemesraan dan keharuan hati. Tiong Han tak dapat menahan Iagi bertitiknya
air mata dari sepasang matanya ketika ia merangkul adiknya. Akan tetapi ketika matanya
memandang kebawah dan terlihat olehnya gagang pedang Ang coa-kiam, hatinya seperti
tertusuk oleh pedang itu dan ia melepaskan pelukannya.
“Tiong Kiat, anak nakal, ke mana saja kau selama ini?" tanyanya dengan pandangan
menegur seperti biasa ia lakukan dahulu bila adiknya berlaku nakal.
Mendengar teguran dan pertanyaan ini Tiong Kiat melangkah mundur dua tindak. Walau
iapun terpengaruh oleh keharuan hatinya, akan tetapi ia sekarang teringat Iagi akan
kesalahan-kesalahannya terhadap kakaknya ini, ia memandang tajam dan bertanya dengan
suara dingin,
"Han.ko, mengapa kau berada di sini ?" la melirik ke arah pedang yang tergantung di
pinggang kiri Tiong Han. "Apakah kau disuruh oleh suhu untuk menyusul dan
menangkapku ?" Ia memandang makin tajam dan kepalanya agak dimiringkan, pandangan
matanya penuh selidik.
"Tiong Kiat, tak perlu aku berbohong kepadamu. Kepergianmu dari Liong-san membuat suhu
menjadi marah sekali, terutama sekali karena kau membawa pergi pedang Ang-coa kiam yang
menjadi pedang pusaka Kim-liong pai, Mengapa kau berani melakukan hal itu, adikku ?
Mengapa ?"
Tiong Kiat tertawa mengejek dan tangan kirinya menepuk-nepuk pedang Ang-coa-kiam "Tiong
Han," ia tidak menyebut kakak. "aku adalah murid yang terpandai, maka berhak mewarisi
pedang ini. Habis, apakah sekarang kehendakmu ?"
Dua orang pemuda yang sama rupa sama bentuk itu berdiri berhadapan dalam keadaan
tegang. Tiong Kiat dengan pandangan mata menantang sedangkan Tiong Han dengan mata
berduka.
"Tiong Kiat, kau harus kembalikan pedang itu. Aku disuruh oleh suhu untuk mengambil
kembali pedang itu. Sadarlah bahwa kau tidak berhak mengambil pedang pusaka itu begitu
saja tanpa ijin dari suhu."
Akan tetapi Tiong Kiat melangkah mundur tiga tindak dan tiba-tiba ia mencabut pedang
Ang-coa.kiam dan berkata,
"Tiong Han! Selama beberapa bulan ini, pedang inilah kawan satu-satunya dariku yang
telah melindungi keselamatanku. Bagaimana aku bisa mengembalikannya begitu saja? KaIau
pedang ini kau ambil aku akan merasa sunyi, seakan-akan ditinggalkan seorang sahabat
yang paling baik."
Berobah wajah Tiong Han mendengar ini. "Tiong Kiat, di mana........ sumoi? Aku tidak
melihatnya!"
Tiong Klat tersenyum pahit. "Kau mencari tunanganmu?”
"Jangan kurang ajar!" Tiong Han membentak. "Aku tidak menganggapnya sebagai tunangan
lagi. Aku rela melepaskannya untuk menjadi jodohmu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa
dia tidak berada di sini, bersamamu. Apakah kau telah meninggalkannya pula?” Pandangan
pemuda ini menjadi tajam dan keras.
"Siapa meninggalkannya? Kami hanya memilih jalan masing-masing. Kalau kau mau
mencarinya ke kota Hang yang, kau akan dapat bertemu dengan dia dan kau boleh
mengambilnya sebagai istrimu!"
Mendongkol juga hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Tiong Kiat, tak perlu kita
melanjutkan percakapan tentang sumoi. Yang paling penting sekarang ialah pengembalian
pedang itu. Suhu menghendaki agar supaya aku mengambil kembali pedang Ang coa kiam dan
membunuhmu. Akan tetapi asal saja kau mengembalikan pedang itu dan berjanji takkan
melakukan kesesatan, aku takkan mengganggumu."
Tiong Kiat tertawa bergelak mendengar omongan ini. "Tiong Han, biarpun suhu sendiri
yang datang mengambil pedang ini, agaknya ia takkan dapat mengambilnya begitu saja
tanpa membuktikan bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi dari padaku. Siapa yang
memiliki kepandaian ilmu pedang Ang coa kiamsut lebih tinggi, dialah yang berhak
memiliki pedang ini ! Aku memegang pedang ini, nah, apakah kau memiliki keberanian
untuk menentangku. Apakah kau tidak tahu bahwa pemegang pedang ini harus dihormati dan
ditaati oleh semua anak murid Kim-liong-pai?"
"Tiong Kiat, jangan kau berkeras! Lebih baik kembalikan pedang itu dan kalau kau
menginginkan sebatang pedang yang baik, kau boleh ambil pedangku Hui - liong - kiam
ini. Aku tidak bisa menyerangmu, kau adalah adikku dan kau tahu betapa besar cinta
kasihku kepadamu. "
"Jangan omong kosong ! Aku memegang Ang.coa-kiam, kalau kau mau menjadi murid Kim-liong
pai yang mendurhaka, kau boleh melawan aku !"
Sedih benar hati Tiong Han menyaksikan sikap adiknya ini. Terpaksa ia merogoh saku
bajunya dan mengeluarkan kitab Ang coa.kiam coansi.
"Kau Iihat ini, Tiong Kiat ! Akulah yang lebih berhak dari padamu, karena kitab pusaka
ini dipercayakan kepadaku oleh suhu !"
Terbelalak mata Tiong Kiat memandang kepada kitab Iapuk di tangan kakaknya itu. Ketika
ia hendak pergi, ia telah mencari-cari kitab ini, akan tetapi ia tak terdapat olehnya.
Kalau saja ia dapat memiliki kitab itu, tentu ilmu pedangnya akan menjadi maju pesat
sekali. Otaknya yang cerdik bekerja cepat dan ia lalu tersenyum ramah kepada kakaknya.
"Han-ko, terpaksa aku mengakui keunggulanmu karena kau memegang kitab itu. Baiklah aku
akan kembalikan Ang coa kiam kepadamu, akan tetapi kau harus memberi pinjam kitab itu
selama beberapa bulan kepadaku agar adikmu ini dapat melanjutkan pelajaran ilmu
pedang."
Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Tiong Kiat. Kitab ini tidak boleh
kuberikan kepada siapapun juga. Lekas kau berikan pedang itu padaku."
"Berikan? Mari, terimalah!" Akan tetapi ucapan ini disambung dengan gerakan menusuk
dengan pedangnya ke arah dada kakaknya! Sungguh kejam dan jahat sekali hati pemuda yang
sudah tertutup oleh hawa nafsu busuk itu.
Baiknya Tiong Han sudah berlaku waspada. la kenaI baik adiknya yang cerdik dan semenjak
kecil memang mempunyai banyak akal licin ini. Ia cepat mengelak, menyimpan kitabnya dan
mencabut pedang Hui-liong-kiam.
"Tiong Kiat, dengan hati perih terpaksa aku harus memberi hajaran kepadamu dan
mengambil kembali pedang itu dengan paksa!” katanya sambil membalas dengan serangan
yang kuat.
"Ha, ha, ha ! Baik mari kita mencoba siapa yang lebih kuat diantara kita." jawab Tiong
Kiat memandang rendah, oleh karena ia tahu bahwa kepandaiannya masih lebih menang dari
pada kakaknya.
Akan tetapi begitu mereka bergebrak selama beberapa jurus saja terkejutlah Tiong Kiat.
Ilmu pedang kakaknya ini sudah maju jauh sekali, bahkan tenaga lweekangnya lebih mantap
dan berisi dari pada dulu! Ia menjadi gemas, mengertak gigi dan melakukan serangan
mati-matian, menggerakkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Beberapa kali ia sengaja
mengadu pedang Ang-coa-kiam untuk membabat putus pedang di tangan Tiong Han, akan
tetapi biarpun bunga api berpijar menyilaukan mata, pedang Hui-Iiong kiam itu ternyata
tidak rusak sedikitpun juga. Pertempuran dilanjutkan dengan amat sengitnya. Serangmenyerang
terjadi, desak mendesak antara kedua saudara kembar itu. Mereka sama lincah,
kuat dan sama mahir ilmu pedangnya. Hanya ada sedikit perbedaan, yakni kalau Tiong Kiat
menyerang dengan mati-matian dengan nafsu merobohkan dan membunuh kalau perlu dalam
usahanya untuk merampas kitab Ang coa kiam coansi, adalah Tiong Han bertempur dengan
terpaksa. Hatinya tidak tega untuk melukai adiknya yang amat dicintanya ini, dan ia
hanya mempertahankan diri dan serangan balasannya hanya ditujukan untuk merampas
pedang!
Sesungguhnya, setelah mematangkan ilmu pedangnya dari kitab yang dibawanya, kemajuan
Tiong Han luar biasa sekali dan ia telah dapat melampaui kepandaian adiknya. Banyak
jurus-jurus rahasia yang menjadi bagian-bagian tersulit dari ilmu pedang Ang.coakiamsut
telah dipelajarinya sedangkan Tiong Kiat belum pernah mempelajari jurus-jurus
ini. Kalau Tiong Han mau menyerang mati-matian seperti adiknya, tak dapat disangsikan
Iagi bahwa ia pasti akan menang. Akan tetapi keraguannya membuat ia selalu bahkan
terdesak oleh Tiong Kiat!
"Engko Han yang baik," Tiong Kial berkata mengejek, "biarpun kepandaianmu sudah maju,
tetap saja kau takkan dapat menangkap aku. Lebih baik kau serahkan kitab itu agar aku
tidak akan berdosa melukaimu!"
"Kau buta oleh nafsu jahatmu, Tiong Kiat." Tiong Han menjawab sambil menangkis sebuah
sambaran pedang adiknya. Pertempuran dilanjutkan Iebih hebat lagi, karena Tiong Kiat
kini menyerang Iebih bernafsu. la merasa penasaran juga karena telah bertempur lebih
dari lima puluh jurus, belum juga Tiong Han dapat dikalahkan. Padahal dulu, di dalam
latihan, ia dapat mengalahkan kakaknya ini dalam waktu tiga puluh jurus saja.
Bukan main hebatnya pertempuran kakak beradik ini, dua saudara kembar ini. Gulungan
sinar pedang Ang coa kiam yang berwarna merah bergulat dengan sinar pedang dari Hui
liong kiam, merupakan dua ekor naga yang saling membelit. Pertempuran ini hanya
disaksikan oleh bulan, angin dan pohon pohon di sekitar mereka. Seratus jurus terlewat
dan Tiong Han makin terdesak saja. Tiba-tiba serangan kilat yang amat hebat dari Tiong
Kiat dan yang ditangkisnya kurang cepat membuat pedang Ang - Coa kiam meleset dan
melukai pundak Tiong Han ! Bajunya di bagian pundak terbabat robek, berikut sedikit
daging dan kulitnya sehingga mengucurkan darah dari pundak Tiong Han !
"Serahkan kitab itu !" Tiong Kiat membentak sambil menahan serangannya. Betapapun juga,
ia tidak ingin membunuh kakaknya dan timbul rasa kasihan di hatinya melihat betapa
wajah kakaknya menjadi meringis menahan sakit.
"Tiong Kiat, kau terlalu!" Tiong Han menegur dan kini pemuda inilah yang mendahului
maju menyerang adiknya.
Tiong Kiat menangkis dan sebentar kemudian terkejutlah dia karena gerakan pedang Tiong
Han bukan main kuat dan hebatnya, penuh dengan gerakan dan gaya yang aneh dan tak dapat
terduga sama sekali olehnya ! la merasa seakan-akan pedang Hui-liong-kiam berobah
menjadi banyak sekali, mengelilingi dan menyerang ke arah dirinya dari segenap
penjuru ! Barulah Tiong Kiat tahu bahwa kepandaian kakaknya sudah mencapai tingkat
tinggi sekali ! Akan tetapi terlambat ia sadar akan kesombongannya karena sebelum ia
tahu apa yang terjadi, ia merasa perih sekali pada lengan kanannya dan tahu-tahu
pedangnya telah pindah ke tangan kiri Tiong Han dan Iengan bajunya telah robek berikut
kulit lengannya yang mengalirkan darah lebih banyak daripada darah yang mengucur dari
pundak Tiong Han.
"Aduh..." Tiong Kiat mengeluh. kemudian saking jengkel, marah dan malunya ia lalu
menjatuhkan diri di atas tanah, menutupi mukanya dan menangis!
Tiong Han tidak merasa heran melihay kelakuan adiknya ini. Semenjak dulu ketika mereka
masih kecil, tiap kali dia marah kepada adiknya atau memukulnya, Tiong Kiat selalu
menangis seperti itu. Dan juga ia tidak merasa heran ketika mendengar adiknya meratap.
"Ayah ibu, mengapa kalian tidak membawa aku mati saja! apa artinya hidup bersama
seorang kakak yang kejam terhadap adiknya sendiri?”
Memang, sikap Tiong Kiat ini benar benar lucu dan bersifat kekanak-kanakan, akan tetapi
memang pemuda ini memiliki kelemahan hati yang akhirnya menjadi kebiasaan, bahkan
seringkali dipergunakan sebagai siasatnya untuk mengalahkan hati kakaknya ! Kali
inipun, melihat haI adiknya sedemikian rupa, biarpun Tiong Han maklum bahwa hal itu
mungkin hanya siasat, hatinya tersinggung dan sambil mengalirkan air mata, ia menubruk
dan memeluk Tiong Kiat!
"Adikku, jangan kau berduka. lni ambillah pedangku Hui.liong-kiam ! Kau sudah
menyaksikan sendiri bahwa ketajaman dan keampuhannya tidak kalah oleh Ang.coa-kiam.
Mana lenganmi, biar aku balut agar jangan banyak darah yang keluar !" sambil berkata
demikian, Tiong Han lalu merobek pinggir Jubahnya dan membalut lengan tangan Tiong Kiat
yang memandang dengan muka terharu. Alangkah baik hatinya kakaknya ini. Lukanya sendiri
di pundak tidak dlperhatikan, sebaliknya malah membalut luka di tangannya.
"Han ko, bisakah kau memaafkan aku yang sudah menyakiti hatimu?" tanyanya dengan
terharu, rasa haru yang timbul dari hati murninya, bukan pura-pura.
"Mengapa tidak, adikku? Semenjak dahulu aku telah memaafkanmu bahkan tadipun aku
terpaksa melukaimu. Ilmu pedangmu terlampau kuat!"
"llmu pedangmu yang hebat Han-ko! Apakah serangan tadipun merupakan jurus jurus dari
Ang coa kiam sut."
Tiong Han mengangguk dan melanjutkan pekerjaan membalut lengan tangan adiknya. Ia
sedang menundukkan mukanya, tidak melihat betapa kini sinar mata Tiong Kiat telah
berobah menjadi liar lagi, ditujukan dengan mata penuh nafsu ke arah baju kakaknya,
seakan-akan hendak menaksir di mana kakaknya menyembunyikan kitab ilmu pedang yang amat
diinginkannya itu.
"Han-ko, terima kasih atas pemberianmu pedang Hui liong-kiam ini. Biarlah kau bawa
kembali pedang Ang-coa-kiam yang sial itu !"
Tiong Han tersenyum. "Adikku, jangan kau kira bahwa kau boleh mempergunakan pedang hui
liong kiam sesuka hatimu. Ketahuilah bahwa pedang itu datang dari Heng.san, tadinya
punya Lui-kong-jiu Keng Kim Tosu dan penggunaan pedang itu berada di bawab
pengurusannya dan juga pengawasan Pat-jiu Toanio Li bi Hong ! hati-hatilah dan jangan
kau bertindak nyeleweng, karena kalau sampai mereka tahu bahwa pedang ini dipergunakan
untuk kejahatan, mereka tentu akan turun tangan kepadamu !"
"Aduh......!" Tiong Kiat mengeluh dan Tiong Han cepat memegang tangan kanan yang
terluka itu. "Sakitkah? terlalu eratkah aku membalutnya?" la memeriksa lengan yang
telah dibalutnya itu, sambil mendekatkan mukanya.
Tiba-tiba sekali diluar persangkaannya, tangan kiri Tiong Kiat bergerak dan menotok
dengan cepat sekali jalan darah pada punggungnya! Tiong Han tak dapat mengeluarkan
suara lagi dan roboh terguling dalam keadaan lemas tak berdaya menggerakkan seluruh
tubuhnya! Hanya matanya saja memandang ke arah adiknya dengan mata menyesal sekali.
"Engko Tiong Han, terpaksa aku merobohkanmu, karena ketahuilah, aku ingin sekali
mendapatkan kitab ilmu pedang Ang.coa kiamsut itu ! Bukan untuk memilikinya dan
mempergunakan pengaruhnya, akan tetapi untuk mempelajari ilmu pedang itu lebih sempurna
lagi ! Pedang Ang coa.kiam kutinggalkan kepadamu, biarlah aku merasa puas dengan Hui
Iiong kiam ini saja. Akan tetapi kitab Ang coa kiamsut kubawa !" ia lalu mengulurkan
tangan menggeledah, akhirnya ia mendapatkan kitab itu di saku baju Tiong Han. Dengan
girang ia membalik - balik lembaran kitab itu, lalu menyimpannya di dalam saku bajunya.
"Han-ko. aku masih mengingat budi dan ikatan persaudaraan maka aku takkan membunuhmu.
Jangan kau persalahkan adikmu yang hanya ingin memperdalam ilmu kepandaiannya. Pedang
Hui-liong-kiam kubawa berikut kitab ini. Besok siang kau akan sehat kembali dan
pulanglah ke Liong-san mengembalikan pedang Ang coa-kiam kepada suhu! Nah, selamat
tinggal saudaraku yang budiman !"
Tiong Kiat memondong tubuh Tiong Han yang lemas itu dan meletakkannya di bawah sebatang
pohon besar. Pedang Ang-coa-kiam ia masukkan ke dalam sarung pedang Tiong Han yang
masih tergantung di pinggang. Kemudian ia berdiri dan memandang kepada kakaknya.
Kasihan juga hatinya melihat betapa kakaknya rebah terlentang tak berdaya. Darah merah
mengalir pada pundaknya. Akan tetapi ia teringat bahwa kini kepandaian kakaknya sudag
lebih tinggi dari padanya. Kalau kakaknya pulih kembali dari pengaruh totokannya dan ia
masih berada di situ, tentu ia akan kalah lagi dan terpaksa mengembalikan kitab itu.
Maka ia lalu berlari pergi dari tempat itu.
Dewa penjaga gunung Ta.pie san agaknya marah menyaksikan kejahatan adik terhadap
kakaknya ini. Bulan yang tadinya bersinar terang tiba-tiba berubah mendung tebal. Tiong
Kiat menjadi bingung karena sukar sekali untuk menuruni bukit-bukit yang banyak jurangjurangnya
di dalam gelap. Dan tak lama kemudian saat ia maju perlahan mencari jalan,
hujan turunlah dengan lebatnya bagaikan dituangkan dari atas!
'Jahanam benar!" Tiong Kiat menyumpah-nyumpah dan terpaksa mencari tempat perlindungan
di bawah sebatang pohon yang besar. la memperhitungkan bahwa totokannya yang tepat
mengenai jalan darah sui-mo-hiat di punggung Tiong Han, akan membuat tubuh kakaknya
menjadi lemas sampai sedikitnya besok siang baru bisa lenyap. Sementara ini, ia merasa
aman. Besok pagi-pagi terang tanah, ia dapat turun gunung dan sebelum kakaknya sadar ia
telah berada di tempat jauh !
Akan tetapi semalam itu ia tidak dapat beristirahat. Pertama-tama karena hujan yang
turun telah membuat tubuhnya menjadi basah kuyup, terutama sekali lengannya yang
terluka itu biarpun telah dibalut, kini air telah merayap masuk dan membuat lukanya
terasa perih dan sakit sekali. Kembali ia mengumpat caci kepada hujan, kepada bulan,
kepada malam gelap. Tiba tiba ia teringat dan wajahnya menjadi pucat! Kakaknya rebah
terlentang di bawah pohon itu dan tentu terserang oleh hujan lebat pula. Dan kakaknya
berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat bergerak sama sekali! Ah, bagaimana kalau
kakaknya itu sampai tewas? Hujan dan hawa dingin menyerangnya. Luka itu masih terus
mengalirkan darah ! Berdebar jantung Tiong Kiat. Kalau kakaknya tewas, maka berarti
dialah yang membunuhnya! Tidak, tidak ! la tidak mau menjadi pembunuh kakaknya !
Sambil mengerang Tiong Kiat lalu bangkit berdiri hendak kembali ke tempat di mana Tiong
Han rebah tadi. Hendak dijaga dan dirawatnya Tiong Han sampai besok pagi, agar kakaknya
itu tidak ditinggalkan dalam keadaan terancam bahaya maut. Akan tetapi terpaksa ia
harus membatalkan kehendak hatinya itu. Tak mungkin kembali ke tempat tadi dalam malam
gelap dan hujan Iebat ini. la tidak tahu Iagi ke mana harus mencari jalan. Akhirnya
dengan hati khawatir sekali ia menjatuhkan diri, duduk kembali di bawah pohon.
Hujan turun terus sampai keesokan harinya, pagi pagi baru reda. Tiong Kiat tidak jadi
turun gunung dan kembali ke tempat kemarin malam untuk menengok kakaknya. Hatinya
gelisah sekali. Berdebar jantungnya penuh kengerian kalau ia membayangkan betapa Tiong
Han akan didapatinya di bawah pohon dalam keadaan kaku tak bernyawa lagi ! Ia
mempercepat tindakan kakinya.
Akan tetapi ia menjadi melongo keheranan ketika tiba di tempat itu, ternyata ia tidak
melihat Tiong Han Iagi ! Mungkinkah ini? Mungkinkah Tiong Han dapat melepaskan diri
dari pada totokannya ? Tidak bisa jadi! Dengan hati gelisah Tiong Kiat memandang ke
kanan kiri, lalu berjalan masuk ke dalam hutan di dekat tempat itu dengan hati-hati.
Kalau kakaknya muncul, ia akan melarikan diri.
Tiba tiba ia mendengar suara wanita menangis, diiringi oleh kata-kata pedas seperti
orang memaki maki. Ia mempercepat tindakan kakinya menuju goa batu karang darimana
suara itu terdengar. la cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat seorang wanita
muda keluar dari goa itu sambil menyeret tubuh seorang laki laki.
Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa tubuh yang diseret itu bukan lain adalah tubuh
Tiong Han yang masih lemas! Dan yang menyeret itu ia kenal sebagai gadis cantik jelita
yang dulu telah ditolong dan kemudian diganggunya di dalam hutan !
Memang gadis ini bukan lain adalah Suma Eng atau Eng Eng ! Sebagai mana telah
dituturkan di bagian depan, Eng Eng telah bertemu dengan Tiong Han dan mengira bahwa
pemuda ini adalah yang telah mengganggunya sehingga gadis ini menyerang Tiong Han
dengan hebat. Kemudian Tiong Han melarikan diri dan Eng Eng selalu berusaha mencari
pemuda ini. la mencari keterangan dan mengikuti ke mana juga jejak pemuda ini nampak.
Sampai berbulan-bulan ia tidak berhasil bertemu dengan Tiong Han. Akhirnya ia mendengar
bahwa pemuda yang dicarinya itu berada di puncak gunung Ta-pie-san, maka tanpa membuang
waktu lagi ia lalu mengejar ke atas dan pada senja hari itu ia tiba di lereng bukit Ta
pie san.
Akan tetapi, malam hari itu ia tidak dapat mencari Tiong Han karena hujan turun dengan
derasnya. Betapapun juga, gadis yang keras hati ini terus merayap naik dan akhirnya di
dalam hujan lebat, ia melihat tubuh seorang laki-laki menggeletak telentang di bawah
pohon. Ia tidak mengira bahwa itu adalah tubuh pemuda yang dicarinya, karena malam
gelap dan hanya diterangi oleh berkelebatnya sinar kilat. Timbul perasaan kasihan di
dalam hatinya dan dipondongnya tubuh pemuda yang tak berdaya itu ke sebuah gua di dalam
hutan. Ia melihat betapa pundak pemuda itu terluka, maka ia segera membalutnya dengan
baik-baik. Ketika ia melihat pedang tergantung di pinggang Tiong Han, diam diam ia
memuji pedang bagus itu.
Pada keesokan harinya, ketika malam gelap telah pergi dan ada penerangan masuk ke dalam
goa, ia memandang pemuda itu dan alangkah terkejutnya ia bahwa pemuda yang ditolong itu
bukan lain adalah Tiong Han, pemuda yang selama ini dicari-carinya! "Jahanam terkutuk!
Kiranya kau ini!"
Tiong Han mengalami penderitaan yang luar biasa. Ketika tadi ia ditinggalkan oleh Tiong
Kiat, tubuhnya lemas tak berdaya dan luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah.
Ketika hujan turun menimpanya ia berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi hawa
dingin dan rasa sakit, pada pundaknya membuatnya jatuh pingsan. Ia tidak tahu bahwa dia
telah ditolong oleh Eng Eng. Kini ia telah siuman dan pengaruh totokan itu sudah makin
lemah sehingga ia dapat bicara dan menggerakkan sedikit tangan kakinya. akan tetapi
masih belum mampu bangun. Iapun terkejut sekali ketika melihat Suma Eng yabg
dikenalnya.
'Nona Suma Eng kaukah yang menolongku? Terima kasih..."
'Bangsat besar ! Sim Tiong Han ... baru sekarang aku dapat bertemu dengan kau ! Dosamu
telah terlampau besar dan agaknya Thian sudah memberi kesempatan kepadaku untuk
mencincang hancur kepalamu!" Gadis itu tertawa bergelak. akan tetapi suara ketawanya
disusul oleh tangis yang mengharukan. "Aku akan membunuhmu... aku akan menghancurkan
kepalamu! Tidak, tidak, aku akan menyiksamu, akan membiarkan tubuhmu diterkam dan
dipakai berebutan binatang-binatang hutan. Biar burung-burung hantu menarik keluar
matamu, biar srigala-srigala hutan mencabik-cabik dagingmu !”
Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menjambak rambut Tiong Han dan diseretnya pemuda
itu keluar dari goa, Tiong Han merasa ngeri sekali. la merasa yakin bahwa gadis ini
tentulah seorang gadis liar dan gila! Akan tetapi apakah dayanya? la masih setengah
berada dalam pengaruh totokan Tiong Kiat dan tak mungkin baginya untuk menggerakkan
tubuh melakukan perlawanan!
Dan pada saat Eng Eng menyeret tubuh Tiong Han sambil menjambak rambutnya ini,
menariknya keluar goa, datanglah Tiong Kiat yang segera bersembunyi di balik pohon.
Pemuda ini mcmandang dengan mata terbelalak dan menahan nafas. Wajahnya berobah pucat
sekali.
Setelah Eng Eng berada di luar goa, di dalam keadaan yang sangat terang itu ia
memandang ke arah wajah Tiong Han. Diam-diam ia mendongkol sekali ketika melihat wajah
yang tampan itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia begitu benci kepada
pemuda yang merusak hidupnya ini dan sebelum membunuhnya ingin sekali menyiksanya
dengan rasa takut. Akan tetapi pemuda ini hanya memandangnya dengan heran dan mulutnya
bahkan tersenyum. Ia melihat betapa Tiong Han menarik napas maka ia melepaskan
jambakannya dan berkata.
"Ha, kau menarik napas ! Baru sekarang kau merasa menyesal atas perbuatan dahulu
bukan ? Sungguh matamu buta. kau berani mati sekali telah berbuat tidak patut
terhadapku. Tak tahukah kau siapa aku ? Manusia terkutuk, aku Suma Eng tak boleh dihina
begitu saja. Aku telah bersumpah sebelum dapat mencarimu dan membalas dendam, aku
takkan berhenti berusaha ! Aku tidak mau mati dulu sebelum dapat menghancurkan mukamu!
Dan sekarang kau telah berada di dalam tanganku!” Kembali gadis itu tertawa kemudian
disusul oleh tangisnya yang memilukan.
"Nona Suma, aku tidak menyesali perbuatanku yang sudah-sudah, karena sepanjang
ingatanku, aku tak pernah berbuat dosa terhadapmu ataupun terhadap siapapun juga. Aku
Sim Tiong Han adalah seorang laki laki sejati, mana mungkin aku mengganggu seorang
wanita. Aku kasihan melihatmu, nona."
Eng Eng menengok dan memandang dengan mata terbelalak. "Kasihan?*
"Aku kasihan melihat kau, seorang gadis muda yang agaknya menjadi murid orang pandai,
ternyata menderita sakit. Entah kejadian atau malapetaka apa yang telah menimpa dirimu
dan yang telah membuat pikiranmu tidak waras lagi."
"Kaukira aku gila? Bangsat terkutuk, jahanam keparat, kubunuh kau!" Eng Eng menghunus
pedangnya yang bersinar merah dan diangkatnya pedang itu ke atas.
Tiong Han memandangnya dengan senyum, "Nona Suma Eng semenjak kita bertemu didalam
hutan di dalam keadaan yang aneh dulu itu dan kemudian kau menyerangku tanpa alasan,
aku tak pernah melupakan kau. Sikapmu yang aneh itu benar-benar membingungkan aku. Kita
belum pernah bertemu, akan tetapi kau tiba-tiba saja memusuhi dan hendak membunuhku.
Ah, sungguh di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh”
"Ha, kau takut mati?*
"Tidak ada orang yang takut mati atau takut hidup, karena hidup dan mati tidak berada
di tangan manusia. Mati di dalam tangan seorang seperti kau bukan hal yang terlalu
buruk," la tersenyum. 'Hanya sayangnya aku selalu akan merasa penasaran karena belum
tahu apa sebabnya nona Suma Eng yang pandai dan cantik begitu membenci Sim Tiong Han
yang rendah."
Tiba-tiba sinar mata Eng Eng mengeras ketika ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik.
"Kau masih berpura-pura ataukah aku yang mimpi? Orang she Sim, kau dulu bertemu dengan
aku di dalam hutan, bukan ?"
"Betul, kau berada dalam keadaan pingsan dan kehujanan."
"Kau lalu membawaku ke kuil tua bukan?"
Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya menyelimuti tubuhmu dengan mantelku,
agar jangan terserang air hujan. Aku tidak tahu adanya kuil di tempat itu, kalau tahu
tentu kau akan kubawa ke sana agar terhindar dari serangan hujan lebat. Aku hanya
menyelimutimu dan ketika kau siuman, tiba-tiba kau menyerang dan melukai pundakku,"
"Bohong !" tiba-tiba Eng Eng menampar dan "plak!" pipi Tiong Han terkena tamparan keras
sehingga pemuda yang masih lemas ini tak dapat menahan. Darah segar mengalir keluar
dari bibirnya.
"Manusia pengecut! Kau telah berani melanggar dosa, berani berbuat akan tetapi tidak
berani mengaku. Laki laki macam apakah kau ini? Kau telah membawaku ke kuil ketika aku
sedang pingsan dan kau..... kau telah berbuat hina kepadaku! Karena itu aku harus
menghancurkan kepalamu sebelum aku menghabiskan nyawaku sendiri!"
"Nona, tidak salahkah kau? Apakah orang terkutuk itu orang lain?"
“Bangsat! Kaukira aku dapat melupakan muka orang?" ia menatap dengan tajam dan merasa
yakin bahwa pemuda yang dulu menghinanya adalah orang inilah!
Tiba-tiba Tiong Han teringat kepada Tiong Kiat dan ia menghela napas dengan hati perih!
"Ah. Mungkinkah…..? Ya Tuhan mengapa kau tersesat sedemikian jauhnya...?"
"Apa maksudmu? Siapa tersesat?” Eng Eng bertanya.
"Sudahlah, nona. Kalau kau mengira bahwa orang yang berbuat tidak patut terhadapmu itu
adalah aku, maka bunuhlah aku ! Aku takkan menyangkal lagi dan memang barangkali akulah
orang itu!"
"Kau mengaku?"
“Ya, boleh, kau sebutkan aku mengaku. Boleh bunuh saja dan habis perkara!"
Tiba-tiba Eng Eng menangis sedih. Entah mengapa, setelah melihat wajah dan sikap Tiong
Han, rasa bencinya lenyap secara aneh. Kalau tadi ketika Tiong Han tidak mau mengaku,
ia menjadi penasaran dan marah, adalah sekarang setelah pemuda itu mengaku, ia sendiri
merasa ragu-ragu! Sungguh aneh, tadi ketika Tiong Han menyangkal dan membuatnya merasa
yakin bahwa pemuda inilah orangnya yang berdosa, ia tidak melihat perbedaan sedikitpun
dan wajah pemuda yang mengganggunya dengan wajah pemuda dihadapannya ini. Akan tetapi
sekarang timbullah keraguan besar. Tak mungkin pemuda yang bersikap halus, sabar dan
gagah ini melakukan perbuatan sedemikian rendahnya! Dan kini ada sesuatu yang
membisikinya bahwa bukan inilah orangnya yang berdosa! Ada satu titik perbedaan antara
orang di kuil itu dengan pemuda ini, akan tetapi Eng Eng tidak tahu dan tidak ingat
lagi apakah perbedaan itu. Akan tetapi pemuda ini telah mengaku dan harus dibunuh untuk
membalas dendam hatinya. Kemudian dia akan membunuh diri sendiri, karena untuk apa
hidup lebih lama lagi menanggung derita batin yang hebat? la akan selalu merasa dirinya
kotor dan tidak berharga lagi!
Tiba-tiba Eng Eng menangis terisak-isak, menutupi mukanya dengan kedua tangannya,
sehingga Tiong Han merasa heran sekali.
"Nona Suma Eng mengapa menangis? Kau telah menganggapku orang yang berdosa telah
mencelakakan hidupnya. Nah bunuhlah, aku takkan merasa penasaran mati di tanganmu
setelah aku ketahui apa sebabnya kau hendak membunuhku."
"Kau .... kau bohong! Bersumpahlah bahwa kau bukan yang melakukan hal itu dan aku akan
melepaskanmu!"
Tertegun Tiong Han mendengar ini. Tentu saja ia ingin bersumpah untuk menyatakan
kebersihan dirinya akan tetapi ia teringat kepada Tiong Kiat! Ia tahu bahwa gadis ini
tentu telah diganggu oleh Tiong Kiat dan hatinya hancur memikirkan kejahatan dan
kesesatan adiknya itu. Kalau ia bersumpah, tentu gadis ini akan mencari Tiong Kiat dan
dia sendiri pun tidak akan dapat memaafkan Tiong Kiat untuk perbuatannya yang biadab
itu.
la menggeleng kepala. "Tidak, nona. Aku tidak dapat bersumpah,"
Tiba-tiba Eng Eng menjadi marah lagi. "Begitu ? Hm, kau seorang pengecut! Tadi kau
menyangkal bahwa kau yang melakukan perbuatan itu, sekarang kau bahkan tidak berani
berkata terus terang ! Kau…kau menyebalkan hatiku !” Kembali Eng Eng menampar dan untuk
kedua kalinya bibir Tiong Han berdarah ! Pipi pemuda yang telah ditampar dua kali oleh
tangan Eng Eng yang mengandung tenaga hebat itu telah menjadi bengkak.
"Bunuhlah saja, nona….”
"Tentu saja kubunuh kau laki laki pengecut!" Diangkatnya pedang di tangannya dengan
maksud untuk memenggal leher Tiong Han.
Akan tetapi pada saat itu sebutir batu melayang cepat dan tepat menangkis pedangnya
itu. "Trang !* Eng Eng terkejut sekali dan cepat melompat ke arah pohon besar dari mana
batu tadi melayang. Ia melihat berkelebatnya bayangan orang melompat pergi dari situ,
maka cepat ia berlari menyusul.
Ternyata bahwa Tiong Kiat yang menyambit dan menangkis bacokan pedang Eng Eng tadi.
Betapapun juga Tiong Kiat merasa terharu sekali melihat dan mendengar betapa Tiong Han
membela dan melindungi namanya ! Alangkah mulianya hati kakaknya itu. Kakaknya telah
dikhianati, telah ditotok dan dilukai, bahkan telah dicurinya pula kitab yang dibawa
oleh kakaknya. Dan sekarang, kakaknya masih berusaha melindunginya dari nama busuk.
Bagaimana ia dapat membiarkan kakaknya terbunuh oleh gadis liar ini ? Melihat Eng Eng
mengangkat pedangnya, cepat Tiong Kiat lalu menggunakan kepandaiannya, menyambit dengan
batu untuk menangkis pedang itu. Ia telah mempergunakan sepenuh tenaganya, dan percaya
bahwa pedang di tangan nona itu tentu akan terpukul jatuh dan terlepas. Siapa kira
pedang itu tidak terlepas bahkan batu yang dipergunakan untuk menyambit itu ketika
beradu dengan pedang telah terpentaI jauh !
Ketika Eng Eng melompat mengejar, lebih kaget lagi hati Tiong Kiat karena sebentar saja
gadis itu sudah hampir dapat mengejarnya ! Tak jauh dari tempat tadi, terpaksa ia
berhenti dan dengan pedang Hui-Iiong kiam di tangan, ia menanti kedatangan Eng Eng.
Setelah gadis itu tiba di hadapannya, ia terpesona oleh kecantikan yang murni dari
gadis ini. Hatinya berdebar. Alangkah jelitanya gadis ini, dan alangkah gagahnya. Untuk
kedua kalinya, Tiong Kiat merasa betapa hatinya berdenyut aneh. Pandangan matanya
melembut dan senyumnya menjadi mesra sekali.
Di lain fihak, ketika Eng Eng menghadapi pemuda ini wajahnya berubah pucat sekali. la
merasa seakan-akan berada di dalam mimpi, atau seakan-akan melihat seorang iblis di
siang hari. Tak terasa pula ia menengok ke belakang ke arah tempat tadi. Dari jauh ia
masih melihat Tiong Han rebah miring di atas rumput.
Apakah pandangan matanya sudah menjadi rusak? Mengapa ada dua orang yang demikian sama
dan serupa segala-galanya?
"Siapa kau? Mengakulah, siapa kau?" tanyanya dengan bibir gemetar.
'Nona sudah Iupa lagikah kau kepadaku ? Kita pernah saling bertemu."
"Di kuil..„...?"
Tiong Kiat mengangguk. “Ya, di kuil……”
Eng Eng merasa kepalanya pening. Bumi yang dipijaknya serasa berputaran dan ia
terhuyung-huyung ......
Tiong Kiat melompat mendekat dan hendak memeluknya, akan tetapi Eng Eng mengelak dan
berkata,"Jangan sentuh aku !”
'Nona, aku........ aku cinta kepadamu. Maafkanlah aku, aku ... aku menyesal sekali
telah melukai hatimu. Ikutlah aku, jadilah istriku dan kuperlihatkan padamu bahwa aku
akan menjadi suami yang baik untuk menebus dosaku ..."
"Terkutuk! Jadi kaulah orangnya?" sambil menjerit nyaring Eng Eng lalu menyerang dengan
pedang merahnya. Tiong Kiat cepat mengelak dan melompat mundur.
"Nona, pikirlah baik-baik. Hal itu telah terjadi. Kau adalah istriku, dan aku takkan
menyia-nyiakanmu, aku akan mengawinimu, kita menjadi suami istri yang bahagia.
Pikirlah."
Dengan muka merah dan mata bercahaya bagaikan berapi-api, Eng Eng memandang wajah
pemuda itu dengan penuh perhatian. Sungguhpun bentuk tubuh wajahnya serupa benar dengan
Tiong Han, namun kini ia melihat perbedaannya. Tahi lalat kecil di atas dagu pemuda ini
! Ya, benar, inilah orangnya. la masih teringat akan wajah pemuda ini, dan tahi lalat
itu! Inilah titik yang tadi meragukan hatinya ketika Tiong Han mengaku sebagai seorang
yang berdosa. Inilah orangnya! Dan sinar mata penuh gairah serta bibir yang tersenyum
memikat ini, ah, alangkah besar perbedaannya dengan Tiong Han.
"Keparat jahanam ! Aku sudah bersumpah akan menghancurkan kepalamu!" la menyerang lagi
dengan hebatnya.
Terkejut juga hati Tiong Kiat ketika melihat datangnya serangan ini. Ia cepat memutar
Hui liong kiamnya dengan sekuat tenaga, berusaha memukul pedang gadis itu agar terlepas
dari pegangan. Akan tetapi alangkah herannya ketika pedang itu tidak rusak atau
terlepas. Bahkan ketika Eng Eng menyerang lagi dengan penuh kebencian, pedang di tangan
gadis itu berobah menjadi segulung sinar merah yang dahsyat sekali ! Hampir sama dengan
pedang Ang coa kiam. Bukan! Apalagi setelah ia menghadapi gadis ini beberapa jurus,
makin gelisah hatinya. Ilmu pedang gadis ini benar-benar kukoai (ganjil), gerakannya
demikian kacau balau dan setiap Jurus yang agaknya ia merasa seperti mengenalnya,
ternyata perkembangannya jauh berbeda dengan gerak atau jurus yang lajim. Gerakan gadis
ini seakan-akan menjadi kebalikan dari pada ilmu pedang biasa. Namun kelihaiannya
bahkan lebih dari ilmu pedang biasa. Nampak kacau balau, namun di dalam kekacauan itu
tersembunyi daya serang dan kekuatan yang membingungkannya.
Terpaksa Tiong Kiat lalu mengeluarkan kepandaiannya dan ia melawan dengan penuh
perhatian dan hati-hati sekali. la makin kagum dan rasa sayangnya makin tebal. Gadis
ini jauh lebih cantik dari pada Kui Hwa, dan jauh lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan,
ilmu pedang gadis ini belum tentu berada di bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Aduh,
alangkah bahagianya kalau ia bisa menjadi suami gadis yang cantik dan gagah perkasa
ini.
"Nona...... tahan dulu, nona! Biarkan aku bicara sebentar.."
"Anjing hina dina, kau masih mau bicara apa lagi?” berkata Eng Eng dengan marah, akan
tetapi ia menahan pedangnya juga karena ia ingin sekali mendengar bicara pemuda yang
menghancurkan kehidupannya ini.
'Nona, tidak bisakah kau memaafkan aku? Aku cinta kepadamu dan biarpun aku telah
dikuasai oleh nafsu sehingga berlaku salah kepadamu, akan tetapi aku bersumpah bahwa
aku menyesal sekali, dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus dosaku. Aku akan
memberi kebahagiaan kepadamu, biarlah aku berlaku seperti pelayanmu, biarlah aku
melindungimu sampai di hari tua. Nona …"
"Tutup mulut dan mampuslah!” Eng Eng menjerit makin marah dan kini dua titik air mata
berloncat keluar dari pelupuk matanya. Ia menyerang dengan sepenuh semangatnya,
mengerahkan kepandaian dan tenaganya sehingga Tiong Kiat menjadi sibuk sekali. Pemuda
ini maklum bahwa tanpa membalas, ia akan celaka. Maka kini, ia merubah gerakan
pedangnya dan membalas serangan gadis itu. Terjadilah pertandingan yang luar biasa
sekali serunya.
Akan tetapi, ilmu pedang gadis itu terlalu ganas dan kuat bagi Tiong Kiat. Kalau saja
ia tidak sedang bingung dan tidak telah terluka lengannya oleh pedang Tiong Han
kemarin, mungkin ia akan dapat bertahan sampai puluhan atau sampai seratus jurus. Akan
tetapi kini ia hanya dapat bersilat sambil mundur, terus terdesak hebat oleh gadis yang
ganas sekali gerakan pedangnya itu.
'Akan kubeset kulitmu, kukeluarkan isi dadamu!" berkali-kali Eng Eng berseru sambil
memperhebat serangannya.
Akhirnya Tiong Kiat tidak tahan lagi menghadapi Eng Eng. Dengan seluruh tenaga yang
masih ada, ketika pedang merah di tangan Eng Eng meluncur dan menusuk ke arah ulu
hatinya, ia lalu menyampok pedang ini dengan pedangnya. Tenaga sampokannya keras sekali
dan biarpun pedang di tangan Eng Eng tidak terlepas namun terpental sehingga gadis ini
mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur untuk menghindarkan diri dari serangan
balasan yang mendadak.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tiong Kiat. Ia cepat melompat jauh dan berlari
pergi dari situ!
"Jahanam busuk, kau hendak lari kemana ?" Eng Eng cepat mengejar,
Tiong Kiat tidak berani melawan lagi. Biarpun ia sanggup menjaga diri dan menahan
serangan gadis ini, akan tetapi ia merasa gelisah kalau teringat kepada Tiong Han. Tak
lama lagi Tiong Han akan bebas dari totokan dan kalau kakaknya itu turun tangan,
celakalah dia!
Dengan secepatnya ia melarikan diri, Rasa takut membuat larinya Iebih cepat dari pada
biasanya. Namun Eng Eng juga memiliki ginkang serta ilmu lari cepat yang tinggi
tingkatnya sehingga gadis ini merupakan bayangan yang tak pernah tertinggal jauh oleh
Tiong Kiat !
Ketika tiba di sebuah hutan kecil, Eng Eng kehilangan bayangan pemuda itu dan ia terus
mengejar turun. Padahal pemuda itu bersembunyi di dalam serumpun alang-alang lebat.
Melihat gadis itu sudah melewatinya, Tiong Kiat cepat keluar dan berlari mengambil
jalan ke arah lain.
Bukan main panas dan penasaran rasa hati Eng Eng ketika ia tidak dapat mencari Tiong
Kiat. Pemuda itu telah lenyap bagaikan ditelan bumi. Kecewa sekali hatinya. Ia hendak
melanjutkan pengejarannya, akan tetapi ia lalu teringat kepada Tiong Han, maka ia lalu
kembali naik ke atas bukit itu.
Ketika ia tiba di tempat itu, ia mendapatkan Tiong Han sudah bangun dan duduk di bawah
pohon. Pemuda ini sedang membersihkan pipi dan bibirnya yang berdarah karena tamparantamparan
Eng Eng tadi. Biarpun nampaknya masih lemas dan agak pucat namun kesehatannya
sudah pulih kembali. Totokan itu telah dapat dilepaskannya sebelum waktunya dengan
pengerahan tenaga dalamnya.
Bukan main malu dan terharu hati Eng Eng ketika ia melihat pemuda ini. Melihat betapa
pipi pemuda itu menjadi bengkak dan kemerahan bekas tamparannya, hampir saja ia tidak
dapat menahan air matanya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menghampiri Tiong Han
yang telah berdiri dan memandangnya dengan tenang.
"Aku ........ aku telah berlaku salah… harap kau suka maafkan padaku," kata Eng Eng
dengan suara gagap juga.
“Tidak apa nona Suma. Sudah sewajarnya kau sebenci itu kepadaku. Bahkan sekarang juga
aku masih bersedia untuk menerima, biar akan kau bunuh juga."
"Akan tetapi mengapa ?? Mengapa kau melindungi orang itu? Siapakah dia?"
Tiong Han menarik napas panjang. Setelah gadis ini bertemu sendiri dengan Tiong Kiat,
ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi.
"Dia adalah adik kembarku, Sim Tiong Kiat.”
"Akan tetapi, dia yang berbuat dosa, mengapa kau yang mengakuinya dan membiarkan aku
melakukan kesalahan kepadamu?" Eng Eng berkata penuh penasaran.
Tiong Han mencoba tersenyum. "Lupakah kau nona, bahwa tadinya aku telah menyangkal akan
tetapi kau tidak percaya kepadaku? Setelah aku menduga bahwa perbuatan keji itu tentu
dilakukan oleh Tiong Kiat, sudah sepatutnya kalau aku yang menerima hukumannya. Aku
rela mati untuknya, aku adalah kakaknya dan juga pengganti orang tuanya. Kami berdua
telah menjadi yatim piatu semenjak kecil, hidupnya hanya bersandar kepadaku dan kalau
ia menjadi tersesat, tanggung jawabku pulalah itu." Entah mengapa, pemuda ini
menceritakan segala hal kepada Eng Eng dan akhirnya ia menjadi demikian berduka
memikirkan Tiong Kiat sehingga ia hanya menundukkan mukanya.
"Kau lemah, kau terlalu baik hati." Eng Eng mencela. "Manusia macam adikmu itu harus
dibasmi dari muka bumi! Aku akan mencarinya sampai dapat, biar berlari ke neraka akan
kukejar!" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu membalikkan tubuh dan hendak lari dari
situ.
"Nanti dulu nona…" Tiong Han menahan dan terkejutlah Eng Eng ketika melihat betapa
dengan sekali lompatan saja pemuda ini telah berada di hadapannya! Ah, kepandaiannya
hebat juga pikirnya.
"Kuharap kau jangan pergi mencari Tiong Kiat,* katanya.
Marahlah Eng Eng dan dicabutnya pedangnya, mengeluarkan sinar kemerahan. "Apa? Kau
masih juga hendak membela adikmu yang durhaka dan jahat itu? Sim Tiong Han, kalau kau
masih mabok dalam kelemahan hati dan kasih sayang terhadap adik secara membuta boleh
kau merasai pedangku ! Tak perduli siapa yang hendak membela si pendurhaka Tiong Kiat
dia adalah musuhku!'
"Nona kaukira aku seorang yang demikian jahat? Adik kandungku telah berbuat dosa besar
terhadapmu, apakah aku bahkan hendak menambag dosa itu dengan memusuhimu? Tidak, nona
Suma Eng, tidak. Biarpun kau hendak membunuhku, aku takkan melawan. Dosa adikku adalah
dosaku juga karena akulah yang mendidiknya semenjak kecil. Aku mencegahmu mengejar
Tiong Klat, hanya karena…. aku kuatir kalau kalau kau malah akan menjadi korban di
ujung pedangnya. Ketahuilah bahwa dia telah merampas kitab ilmu pedang Ang coa-kiamsut
dan apabila ia telah dapat menamatkan pelajarannya dalam ilmu pedang itu, sukar bagimu
untuk dapat mengalahkannya !"
"Sombong! Siapa takut menghadapi Ang-Coa kiamsut palsu? Mau tahu Ang coa-kiam? Inilah
pedang ular merah yang asli!” Ia memperlihatkan pedangnya. "Mau tahu ilmu pedang Ang
coa kiamsut yang sesungguhnya ? Lawanlah ilmu pedangku, karena hanya ilmu pedangku saja
yang disebut Ang-coa-kiamsut!”
Tiong Han tertegun mendengar ini dan ia memandang ke arah pedang ini dengan penuh
perhatian. "Pokiam (pedang pusaka) yang baik sekali, akan tetapi bukan Ang-coa kiam,
nona. Inilah Ang coa-kiam yang menjadi pedang pusaka dari Kim liong pai, peninggalan
dari sucouw Bu Beng Sianjin!” Ia mencabut pedangnya dan memperlihatkannya kepada Eng
Eng juga. Kini gadis itu yang memandang dengan penasaran. Lalu ia tersenyum menghina.
"Hm, pedang buruk seperti ular itu kau sebut Ang.coa kiam? Dan kau mau bilang bahwa kau
juga ahliwaris dari ilmu pedang Ang coa kiamsut?”
"Memang betul, nona. Aku adalah murid dari Kim liong pai dan tentu saja ilmu pedangku
adalah ilmu pedang Ang-Coa-kiam-sut!"
"Hm, marilah kita sama membuktikan mana pedang Ang coa-kiam tulen dan mana Ang coa
kiamsut asli!” bentak nona itu yang sudah menjadi marah dan ia menyerang dengan
hebatnya.
Juga Tiong Han merasa penasaran sekali. Dalam hal urusan pribadi yang menyangkut
persoalan Tiong Kiat, ia memang mau mengalah dan juga ia merasa amat kasihan kepada
gadis yang menjadi korban adiknya ini, akan tetapi kalau orang menganggap pedang dan
ilmu pedangnya palsu, itu sudah keterlaluan sekali. Ia hendak membuktikan bahwa pedang
dan ilmu pedangnya bukan palsu, maka iapun lalu menangkis dan terjadilah pibu (mengadu
kepandaian ) yang hebat dan seru sekali di tempat sunyi itu.
-0oo-dw-oo0-
Jilid 4
SEPERTI juga halnya Tiong Kiat, kini Tiong Han merasa bingung dan terkejut menghadapi
ilmu pedang gadis ini yang amat aneh dan ganas luar biasa. Baiknya ia sudah mendapat
kemajuan pesat dalam ilmu pedangnya dan sudah mempelajari bagian pertahanan yang kuat
sekali, kalau tidak tentu ia akan termakan senjata gadis yang hebat ini.
Juga Eng Eng menjadi makin kagum. Ia dapat merasakan bahwa ilmu kepandaian pemuda ini
masih lebih tinggi dari pada kepandaian Tiong Kiat dan tiba-tiba ia merasa sesuatu yang
aneh terasa dalam hatinya. Pemuda ini luar biasa sekali dan amat menarik hatinya. Sopan
santun, lemah lembut dan manis budi. Jujur dan berbudi mulia, setia kepada saudara dan
kini ternyata ilmu kepandaiannya tinggi pula! Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan
Tiong Kiat. Bagaikan bumi dan langit, ia melihat wajah pemuda itu demikian pucat dan
darah masih nampak di bibirnya. Juga pemuda itu mendapat Iuka parah di pundaknya, maka
hatinya menjadi tidak tega untuk mendesak lebih hebat.
"Sudahlah, ilmu pedangmu baik juga. Aku tidak keberatan kau namakan ilmu pedangmu itu
Ang coa-kiamsut!" kata Eng Eng sambil menarik kembali pedangnya.
"Akan tetapi ilmu pedangmu juga hebat, ganas dan lihai sekali, nona!" seru Tiong Han
dengan kagum dan gembira. "Aku harus menanyakan ini kepada suhu! Bolehkah aku
mengetahui dari perguruan manakah nona dan siapakah suhumu yang mulia?"
"Suhuku sudah mati, namanya Hek sin-mo. Sudahlah Sim Tiong Han, kita berpisah di sini.
Aku hendak mengejar adikmu yang jahat!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu lompat
pergi dari tempat itu. Tiong Han terlampau heran dan terkejut mendengar nama Hek sin mo
sehingga ia hanya berdiri bengong dan tidak mencegah gadis itu pergi. sungguhpun
hatinya terasa berat sekali. Ia pernah mendengar dari suhunya tentang seorang tokoh
tinggi di dunia kang-ouw yang bernama Hek sin mo dan kakek ini terkenal sebagai seorang
pendekar aneh yang sakti dan juga gila ! Bahkan suhunya pernah bercerita kepadanya
bahwa sucouwnya, yakni Bu Beng Siansu, kenal baik bahkan bersahabat dengan si gila Hek
sin mo itu !
Tiba - tiba ia mendengar senjata beradu dibarengi bentakan-bentakan nyaring yang
dikenalnya sebagai suara Eng Eng ! Cepat Tiong Han melompat menuruni lereng dan
dilihatnya Eng Eng tengah dikeroyok oleh tiga orang yang menyerangnya dengan seru
sekali.
Siapakah mereka ini ? Bukan lain adalah Thian-te Sam-kui. Tiga Iblis Bumi Langit yang
terkenal lihai. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ban Yang Tojin orang
kedua dari tiga iblis itu, telah terbabat putus lengan kirinya oleh Eng Eng. Dan juga
orang ketiga dari mereka, Ban Hwa Yong si penjahat pemetik bunga, telah bertemu dengan
Tiong Han dan telah diusir dan dikalahkan ketika Ban Hwa Yong sedang mengamuk dan
dikeroyok oleh rombongan piauwsu dari Gin houw piauwkiok. Ketika Ban Hwa Yong dan Ban
Im Hosiang melihat saudara mereka yang putus lengannya, keduanya menjadi marah sekali.
Mereka bersumpah untuk membalas dendam kepada Suma Eng gadis yang telah melukai Ban
Yang Tojin dan mulailah mereka mencari gadis itu.
Akhirnya mereka mendapatkan jejak Eng Eng dan menyusulnya ke puncak gunung Ta-pie san.
Kebetulan sekali ketika mereka telah tiba di lereng itu, mereka melihat Eng Eng sedang
berlari turun.
"Bangsat perempuan, bagus sekali iblis sendiri telah menyerahkan kau ke dalam tangan
kami !" seru Ban Yang Tojin dengan marah sekali ketika ia melihat musuh besar yang
telah membuat lengannya menjadi buntung.
"Jangan bunuh dulu, jiwi suheng !" berkata Ban Hwa Yong sambil tersenyum menyengir dan
memandang kagum kepada tubuh yang indah bentuknya serta wajah yang cantik manis itu.
"Tangkap saja dan berikan padaku bunga ini.”
Eng Eng marah sekali melihat tiga orang ini. Ketika melihat Ban Yang Tojin ia menduga
bahwa yang dua orang lagi tentulah Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong. Ia memang mencaricari
tiga orang Thian-te Sam-kui ini untuk membalas sakit hati keluarga Ting Kwan Ek
dan orang-orang yang telah terbunuh oleh tiga iblis ini di kota Hun leng, yakni para
piauwsu dari Pek-eng piauwkiok.
"Bagus Thian-te Sam kui. Tanpa dicari kalian telah datang sendiri mengantarkan kepala,
Ting- twako dan istrinya telah lama menanti kalian di alam baka!” Sambil berkata
demikian Eng Eng lalu menggerakkan pedangnya yang berobah menjadi scgulung sinar merah
yang dahsyat sekali.
Di antara tiga orang iblis ini, hanya Ban Yang Tojin yang sudah merasakan kelihaian
pedang gadis itu, maka ketika Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong menyaksikan ilmu pedang
ini, mereka diam-diam merasa terkejut sekali, bahkan Ban Hwa Yong tidak berani mainmain
lagi. juga tidak berani memandang rendah. Segera ia mengeluarkan sepasang
senjatanya yang lihai, yakni kaitan besi yang berbahaya itu. Ban Yang Tojin
mengeluarkan tombaknya yang berujung bintang, sedangkan Ban Im Hosiang juga menghunus
pedangnya. Karena maklum bahwa gadis ini mempunyai ilmu kepandaian yang tidak boleh
dipandang ringan, maka tanpa malu-malu Iagi Thian-te Sam - kui lalu mengeroyoknya !
Untung saja bahwa pertempuran ini terjadi di atas lereng gunung yang sunyi sekali, jauh
dari masyarakat ramai. Kalau pertempuran itu berlangsung di tempat ramai, Thian - te
Sam - kui tentu akan merasa malu sekali. Mereka adalah tokoh - tokoh kang-ouw yang amat
terkenal dan seorang di antara mereka saja jarang ada orang berani melawan, apalagi
bertiga. Dan kini, menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita ini Thian te Samkui
sampai maju bertiga mengeroyoknya!
Suma Eng atau Eng Eng sudah mewarisi ilmu kepandaian Hek sin-mo yang luar biasa maka
ilmu pedangnya tinggi dan lihai sekali. Jangankan baru seorang dua orang ahli silat
biasa saja, biarpun menghadapi sepuluh orang pengeroyok lebih yang memiliki kepandaian
biasa,agaknya tak mungkin para pengeroyoknya dapat menangkan dia.
Akan tetapi, kali ini Eng Eng menghadapi Thian te Sam kui, Tiga Iblis Bumi Langit yang
termasuk tokoh tokoh tinggi dalam pengalaman. Orang pertama dari Thian te Sam-kui yakni
Ban Im Hosiang, adalah seorang hwesio tua yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi dan
kuat, lagi pula semenjak puluhan tahun kegemaran hwesio ini adalah berpibu. Tiap kali
terdengar olehnya ada seorang jagoan, biarpun tempat tinggalnya jauh, selalu ia akan
mendatangi jagoan itu untuk diajak mengadu kepandaian ! Dan boleh dibilang selalu ia
mendapat kemenangan di dalam pibu ini. Bahkan ia pernah berani menaiki gunung Kun lun
san dan Gobi-san untuk mencoba kepandaian para tokoh Kun-lun pai dan Gobi.pai !
Sungguhpun ia dikalahkan dalam pibu namun kepandaiannya cukup dikagumi oleh tokoh
persilatan yang lain.
Orang kedua adalah Ban Yang Tojin yang pandai sekali mainkan senjata tombak berujung
bintang. Tosu ini sudah dua kali kalah oleh Eng Eng, bahkan dua kalinya nona gagah itu
telah membabat putus sebelah lengannya, maka tentu saja hatinya menjadi amat sakit dan
ia menerjang nona itu dengan kebencian luar biasa dan sangat bernyala-nyala.
Orang ketiga Ban Hwa Yong, juga lihai sekali ilmu silatnya. Senjatanya yang merupakan
sepasang kaitan itu amat sukar dilawan dan sukar pula dijaga.
Dengan dikeroyok oleh tiga orang lihai ini, tentu saja Eng Eng merasa terkurung rapat
dan terdesak hebat, Hanya keberanian dan semangatnya yang Iuar biasa saja yang membuat
gadis ini dapat mempertahankan diri dengan baik, bahkan dapat pula membalas dengan
serangan serangan yang tak kalah hebatnya. llmu pedangnya dan gerakan tubuhnya sungguh
membuat Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong terkejut dan gentar sekali. Belum pernah selama
hidupnya Ban im Hosiang menyaksikan ilmu pedang seperti ini. Padahal ia seringkali
menyombongkan pengalamannya dan mengaku telah mengenal segala macam ilmu silat yang ada
di dunia ini !
Ban Yang Tojin mulai merasa girang karena ia percaya penuh bahwa kepandaian mereka
bertiga pasti akan berhasil membalaskan sakit hatinya terhadap gadis yang telah
membuatnya menjadi cacad selamanya itu. Ia mendesak hebat sekali dengan tombaknya dan
boleh dibilang, di antara mereka bertiga, serangan tosu ini yang paling sengit.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras.
"Ban Hwa Yong penjahat cabul, kau berada di sini ? Hm, tentu kalian bertiga ini yang
disebut orang Thian-te Sam-kui !' Berbareng dengan seruan itu, kembali berkelebat
gulungan sinar merah dari pedang seorang pemuda.
Kini dua gulungan sinar pedang merah itu menahan serangan Thian te Sam kui !
Begitu melihat berkelebatnya sinar merah dari pedang Tiong Han dan setelah melihat tipu
gerakan ilmu pedang Tiong Han, Ban Im Hosiang lalu berseru keras.
"Tahan dulu ! Yang baru datang bukankah murid dari Kim Iiong pai dan yang kau pegang
itu bukankah Ang.coa-kiam?"
Eng Eng dan Tiong Han menahan pedang mereka, Tiong Han menghadapi Ban im Hosiang dan
berkata sambil tersenyum sinis.
“Betul, aku yang muda adalah murid dari Kim-liong-pai dan pedang ini adalah Ang-coa
kiam. Saudaramu Ban Hwa Yong telah bertemu dengan aku dan melihat watak dari adikmu
yang buruk, tak perlu kita bicara lagi."
"Anak muda yang sombong ! Terhadap lain orang kau boleh menyombongkan ilmu pedangmu
dari Kim-Iiong pai, akan tetapi aku tidak takut, biarpun kau memegang pedang Ang coakiam!"
Seru Ban Im Hosiang marah dan mendongkol sekali. "Kami memusuhi iblis wanita ini
yang liar dan ganas, yang telah membacok putus lengan suteku. Ada sangkut paut apakah
dengan kau murid Kim Iiong pai ?"
"Thian te Sam-kui, dengarlah baik-baik, biarpun aku tidak mempunyai urusan dengan
kalian dan urusanmu dengan nona ini tidak ada hubungannya denganku, namun sebagai murid
Kim liong pai, aku selalu berada di pihak yang benar. Kalian adalah orang-orang
berkepandaian tinggi yang menyalahgunakan kepandaian, berlaku jahat dan kejam
sebagaimana yang dilakukan oleh Ban Hwa Yong, maka terpaksa aku akan membela nona ini!"
Tiba-tiba Ban Hwa Yong tertawa bergelak,” Ha,ha,ha, Ang-coa-kiam! Dulu ketika kita
bertemu, aku masih belum kenal sebenarnya Ang-Coa kiam. Kau bilang aku jahat, penjahat
cabul? Ha, ha, ha! Siapa tidak tahu bahwa Ang coa kiam adalah seorang pengganggu
perempuan yang lebih ganas dari padaku? Kau lebih cabul dari padaku, sungguh lucu
sekali kau masih dapat memaki-makiku! Seperti seorang perampok besar memaki seorang
maling kecil! Ang-coa-kiam, kita adalah orang-orang segolongan yang memiliki kesukaan
yang sama, Kalau kau tergila-gila kepada bunga indah ini, biarlah aku mengalah atau
tidak bisakah kita bagi rasa?"
Bukan main marahnya Tiong Han mendengar ucapan manusia cabul itu. Akan tetapi berbareng
hatinya menjadi perih juga karena ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan oleh penjahat
cabul ini tentulah adiknya, Tiong Kiat ! Maka ia tidak dapat menjawab, hanya berkata
kepada Eng Eng.
"Nona, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!"
Eng Eng semenjak tadi memang telah habis sabar melihat Tiong Han bercakap-cakap dengan
penjahat itu. Mendengar omongan Ban Hwa Yong, ia juga dapat menduga bahwa yang
dimaksudkan oleh penjahat itu tentulah Tiong Kiat, sehingga kembali Tiong Han menjadi
korban perbuatan adiknya dan dia yang mendapat nama busuk! Ia merasa kasihan kepada
pemuda ini, maka ketika mendengar ucapan Tiong Han, Eng Eng tidak menjawab lagi, hanya
melompat maju dan menyerang dengan hebatnya, ia disambut oleh Ban Yang Tojin yang
dibantu oleh Ban Hwa Yong. Adapun Sim Tiong Han, yang bergerak maju mendapat lawan Ban
Im Hosiang, orang terpandai dari Thian.te Sam-kui.
Pertempuran berjalan lebih ramai dari pada tadi. Akan tetapi tidak berlangsung lama.
Ban Im Hosiang yang menghadapi Tiong Han, sebentar saja terdesak hebat. Ilmu pedang
Ang-coa kiamsut telah dipelajari oleh pemuda ini sampai tingkat tinggi. Telah delapan
puluh bagian lebih ilmu pedang itu ia kuasai dan kini karena ia mainkan ilmu petang itu
dengan pedang Ang.coa.kiam, tentu saja kelihaiannya bertambah-tambah. Biarpun Ban Im
Hosiang mempunyai kelebihan dalam tenaga Iweekang, namun kelebihan ini ditutup oleh
kekalahannya dalam hal pedang. Pedangnya-pun bukan pedang buruk, namun kalau
dibandingkan dengan Ang-coa-kiam, pedangnya itn tidak berarti sama sekali. Hwesio ini
tahu akan kelemahan pedangnya, maka iapun bersilat dengan amat hati hati, tidak berani
mengadu mata pedangnya dengan mata pedang Ang coa-kiam.
Pertempuran yang terjadi di antara Eng Eng yang dikeroyok dua oleh Ban Yang Tojin dan
Ban Hwa Yong, lebih seru lagi. Gadis ini sekarang dapat mengamuk lebih hebat daripada
tadi karena sesungguhnya yang paling berat dilawan adalah Ban Im Hosiang. Dua orang
pengeroyoknya, yang seorang sudah kehilangan lengan kiri dan yang kedua, yakni Ban Hwa
Yong yang mata keranjang dan sayang akan kecantikan gadis ini, tidak menyerang dengan
sekuat tenaga. Ban Yang Tojin telah mengganti senjatanya, karena ia telah maklum akan
keampuhan pedang gadis itu, namun tetap saja tombak bintangnya yang sekarang tiba-tiba
putus ujungnya ketika beradu dengan keras sekali dengan pedang merah di tangan Eng Eng.
Dan sebelum Ban yang Tojin dapat mengelak, ujung pedang di tangan Eng Eng telah menusuk
paha kanannya sehingga tosu ini roboh sambil mengeluarkan teriakan keras. Kalau saja
luka di pahanya itu disebabkan oleh tusukan pedang biasa, mungkin ia masih akan dapat
melarikan diri. akan tetapi bekas tusukan pedang merah di tangan Eng Eng mendatangkan
rasa panas dan sakit luar biasa sehingga ia hanya rebah sambil merintih-rintih !
Bukan main kagetnya Ban Hwa Yong melihat betapa suhengnya telah roboh. la memutar
sepasang besi kaitannya dengan cepat untuk melindungi diri, akan tetapi sebuah sabetan
dari Eng Eng telah membuat sebuah dari kaitannya putus pula ! Ban Hwa Yong melompat ke
belakang dan pada saat itu terdengar lain teriakan dan tubuh Ban Im Hosiang terlempar
karena tendangan Tiong Han! MeIihat haI ini, Ban Hwa Yong lalu melemparkan kaitannya
yang telah putus itu ke arah Eng Eng kemudian cepat melarikan diri dari situ. Eng Eng
mengangkat pedangnya menangkis, kemudian sebelum Tiong Han dapat mencegahnya, gadis ini
dengan gerakan kilat melompat ke dekat Ban Im Hosiang. Sekali pedang merahnya
berkelebat, putuslah leher hwesio itu! Setelah itu, kembali pedangnya berkelebat
dibarengi bentakannya yang keras ke arah leher Ban Yang Tojin maka tewaslah orang
pertama dan kedua dari Thian te Sam kui yang pernah menggoncangkan dunia kang ouw. Eng
Eng hendak mengejar Ban Hwa Yong, ternyata bahwa penjahat itu telah lenyap tidak dapat
ia ketahui ke mana perginya.
“Mengapa kau tidak mengejarnya?" gadis berkata menyesal dan kecewa kepada Tiong Han.
Adapun pemuda ini yang memang masih agak lemah, kini menjadi makin pucat melihat
keganasn Eng Eng ini, ia tidak menjawab pertanyaan yang mengandung teguran itu, bahkan
dialah yang kini menegur sambil mengerutkan keningnya.
"Nona, mengapa kau begitu kejam? Mengapa kau membunuh lawan-lawan yang sudah terluka
tak berdaya? Apakah kesalahan mereka terhadapmu sehingga kau demikian ganas terhadap
Thian-te Sam-kui?"
"Lagi-lagi kau memperlihatkan kejernihan hatimu," gadis ini mencela. "Kau mudah terharu
dan tergerak hatimu menyaksikan sebuah peristiwa yang hanya merupakan akibat dari pada
sebab yang lebih mengerikan lagi. Tentu sedikitpun tidak terduga atau terpikir olehmu
mengapa aku berlaku sedemikian ini yang kau anggap ganas dan kejam."
Merahlah wajah Tiong Han. Memang ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis
aneh ini dengan Thian-te Sam-kui. Menurut pendengarannya tadi, gadis ini pula yang
telah membuntungkan lengan Ban Yang Tojin dan disangkanya itulah sebenarnya maka Thiante
Sam kui datang memusuhi Eng Eng.
"Maaf nona, memang aku belum mengerti. Tolong kau ceritakanlah kepadaku agar hatiku
tidak penasaran lagi."
"Mungkin kau sudah tahu akan sifat-sifat buruk ketiga orang penjahat ini. Sebab pertama
timbulnya permusuhan antara mereka dan aku disebabkan oleh Ban Yang Tojin." Gadis ini
dengan jelas lalu menceritakan betapa Ban Yang Tojin mengganggu dan merampok Pek-eng
piauwkiok dan betapa ia telah menolong Ting kwan Ek dan mengusir Ban Yang Tojin.
Kemudian Ban Yang Tojin dengan bantuan kedua orang saudaranya itu datang membalas
dendam karena kekalahannya dan di luar tahu Eng Eng lalu ketiga orang Iblis itu
membasmi Pek-eng-piauwkiok dan membunuh seluruh keluarga Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin,
bahkan lalu membawa lari Nyonya Ouw yang muda lagi cantik.
Setelah mendengar penuturan Eng Eng marahlah Tiong Han. "Hm, kalau begitu, sayang
sekali kita melepaskan Ban Hwa Yong lari. Dia juga patut dilenyapkan dari muka bumi
ini!" Ia lalu menceritakan kepada Eng Eng betapa iapun pernah bertempur dengan Ban Hwa
Yong telah membunuh Lo Kim Bwe atau Nyonya Ouw yang diculiknya itu, yakni ketika Ban
Hwa Yong bertempur menghadapi keroyokan piauwsu dan Gin houw-piauwkiok.
"Lo Kim Bwe memang sudah sepantasnya mengalami kematian di tangan penjahat itu," kata
Eng Eng yang memang merasa gemas dan benci sekali kepada nyonya muda yang genit itu.
Maka diceritakanlah kepada Tiong Han akan segala pengalamannya ketika ia berada di
rumah Ting Kwan Ek yang dianggapnya sebagai kakak sendiri itu.
Tak terasa lagi keduanya berjalan perlahan menuruni bukit Ta-pie san sambil bercakapcakap
dengan asyik sekali, sama sekali tidak merasa kikuk atau asing seakan-akan mereka
telah bertahun-tahun menjadi kenalan karib, Tiong Han makin tertarik hatinya terhadap
gadis ini dan diam-diam ia memaki adiknya yang sudah begitu keji terhadap gadis seperti
ini.
“Nona Suma Eng ketahuilah bahwa antara suhumu dan sucouwku masih terdapat ikatan
persahabatan yang amat erat. Sucouwku adalah Bu Beng Sianjin, apakah suhumu tidak
pernah menceritakan padamu tentang sucouw?”
Gadis itu menggeleng kepala. Bercakap-cakap dengan Tiong Han mengenai masa Iampau
membuat ia seakan-akan berjalan dengan seorang yang telah lama di nanti-nanti, dikenang
dan diharapkan kedatangannya. la merasa bahagia tenteram dan semua pemandangan di atas
bukit itu nampak indah dan berseri. Ia merasa seakan-akan berada di dalam perlindungan
yang kuat yang dapat dipercaya penuh, yang membuat ia merasa seperti seorang anak kecil
dipangkuan ibunya. Alangkah bahagianya kalau ia selalu dapat berada di dekat pemuda
yang sopan, halus dan juga lihai ini ! Akan tetapi tiba tiba wajahnya yang cantik
jelita itu menjadi merah sampai ke telinganya. Ia teringat lagi kepada Tiong Kiat dan
teringat lagi akan keadaan dirinya yang sudah terhina oleh Tiong Kiat.
Tiong Han kebetulan mengerling dan menatap wajahnya, maka pemuda ini dapat melihat
perobahan pada muka Eng Eng.
"Ada apakah nona ? Apakah kau Ielah dan ingin istirahat ?"
"Tidak, aku....... aku harus berpisah darimu. Kan baik sekali, Sim twako dan aku akan
selalu menyebutmu twako karena kau baik, baik seperti twako Ting Kwan Ek yang sudah
mati. Akan tetapi, aku harus pergi, aku harus mencari adikmu yang jahanam itu untuk
kuhancurkan kepalanya !"
Muramlah wajah Tiong Han yang tadinya sudah nampak gembira, ia menarik napas berulang
ulang dan dengan menyesal sekali berkata, "Apa yang dapat kukatakan ? Tiong Kiat memang
telah berlaku jahat sekali. Kau berhak penuh untuk membalas dendam...... dan aku.......
ah, apa yang dapat kukatakan?"
Pemuda ini lalu menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar untuk mengaso karena
ucapan Eng Eng tadi seketika itu juga menimbulkan semua kelelahan yang tadi tidak
terasa olehnya, ia memandang dengan sedih ketika gadis itu meninggalkannya setelah
menengok tiga kali seakan gadis itupun merasa menyesal harus berpisah darinya.
Perasaan kecewa, menyesal, duka, ditambah oleh kelelahan karena pertempuran-pertempuran
tadi sedangkan luka pada pundaknya oleh tusukan pedang adiknya masih belum sembuh
membuat Tiong Han tertidur di bawah pohon itu. Angin berhembus perlahan mengipasi
tubuhnya sehingga tidurnya makin nyenyak.
Tiba tiba ia merasa betapa pedang di pinggangnya bergerak. Cepat ia membuka mata dan
melompat bangun. Ternyata ia telah dikurung oleh lima orang berpakaian sebagai tosu dan
sudah tua-tua dan ketika ia meraba pinggangnya ternyata bahwa pedangnya itu berikut
sarungnya telah dibawa oleh seorang tosu yang nampak tertua dan yang mempunyai sinar
mata berpengaruh. Kelima orang tosu itu bagaikan patung berdiri mengurung dan
memandangnya dengan sinar mata tajam!
"Apa… apa artinya ini? Siapakah ngowi Suhu ?” tanya Tiong Han dengan gagap.
"Ang coa.kiam, bukalah matamu lebar-lebar! Kami adalah tosu-tosu dari Kun lun pai!"
Akan tetapi, lima orang tosu tokoh Kun-lun.pai itu menjadi heran ketika melihat betapa
pemuda ini memandang mereka dengan tak mengerti.
"Harap maafkan apabila teecu tidak mengetahui akan kedatangan ngowi suhu. Akan tetapi,
mengapakah pedang teecu dirampas dan apakah maksud kedatangan ngowi ini?"
"Ang coa-kiam!" tosu yang merampas pedangnya membentak. "Pinto adalah Gan Tian Cu dan
sudah lama pinto mengenal suhumu Lui Thian Sianjin di Kim liong-pai ! Kalau tidak
memandang muka suhumu, sekarang juga kau tentu telah kami bunuh tanpa banyak bertanya
lagi. Akan tetapi, karena kau adalah anak murid Kim-liong-pai dan pedang Ang. coa-kiam
berada di tanganmu, pinto masih hendak memberi kesempatan kepadamu. Mengapa kau
membunuh seorang anak murid kami berdasarkan kejahatan dan kesesatanmu? Murid kami itu
adalah seorang yang menjunjung tinggi keutamaan dan mendengar tentang kesesatan Ang
coa-kiam, dia sengaja datang menegurmu, akan tetapi kau bahkan telah menjatuhkan tangan
maut kepadanya."
"Totiang, apakah artinya semua ini?" Tiong Han memandang dengan heran dan penasaran,
"teecu tak pernah bertemu dan tak pernah bertempur dengan seorang anak murid Kun-lunpai,
bagaimana teecu dapat membunuh seorang murid Kun- lun-pai ?”
"Ang-coa-kiam! Kau telah berani memakai nama julukan Ang-coa kiam, meninggalkan tanda
gambar pedang ini pada tiap tempat kau melakukan kejahatan. Suatu perbuatan yang amat
berani dan sombong ! Akan tetapi sekarang ternyata dihadapan pinto kau berlaku amat
pengecut. Kau telah membunuh Lo Ban Tek murid kami di kota l-kiang, apakah kau masih
mau menyangkal lagi ?"
Lenyaplah keheranan Tiong Han dan hatinya tertusuk sekali, karena ia telah merasa yakin
bahwa yang melakukan hal itu tentulah adiknya, Tiong Kiat ! Maka lemaslah tubuhnya
lenyaplah semangat perlawanannya. Apakah yang hendak dikata? Menyangkal? Sama dengan
mendakwa adiknya sendiri. Mengaku? Dia tidak melakukan perbuatan itu.
"Totiang, apakah yang hendak totiang lakukan terhadap diriku ?' tanyanya perlahan.
"Kau harus ikut dengan kami ke Kun-lun-pai dan di sana para ketua akan menjatuhkan
hukumannya! Tinggal kau pilih saja, ikut dengan patuh atau melawan dengan kekerasan
kami dapat membunuhmu di tempat ini juga!" Kata Gan Tian Cu dengan suara tegas.
"Untuk apa aku melawan ? Marilah kalau ngowi totiang hendak membawaku ke Kun lun pai,
aku akan ikut dengan patuh." Demikianlah, Tiong Han lalu diikat kedua tangannya dengan
tali sutera yang amat kuat. Pemuda ini menurut saja, kemudian kelima orang tosu itu
lalu mengajaknya berjalan cepat turun dari Ta pie.san, menuju ke Kun -lun-san.
Akan tetapi baru saja rombongan itu tiba di kaki gunung Ta pie san yang mereka
tinggalkan, tiba tiba berkelebat bayangan putih yang didahului oleh sinar merah
menyambar ke arah lima orang tosu itu! Gan Tian Cu dan sute-sutenya (adik-adik
seperguruannya) adalah tosu-tosu tua yang memiliki kepandaian tinggi, maka melihat
sinar pedang itu, mereka cepat melompat mundur untuk mengelak.
"Jangan, nona Suma Eng, jangan serang mereka!" Tiong Han cepat menggerakkan tubuhnya
dan sekali bergerak saja tali-tali yang kuat itu terlepas dari kedua tangannya. Ia
terpaksa melakukan ini untuk mencegah Suma Eng yang hendak menyerang Gan Tian Cu.
Dengan mata menyala dan dada berombak, wajahnya merah penuh kemarahan, Eng Eng menunda
serangannya dan memandang kepada lima orang tosu itu dengan marah sekali. Tiong Han tak
terasa lagi mengulur tangannya dan memegang lengan Eng Eng yang memegang pedang.
"Jangan nona, jangan . .., mereka adalah tosu-tosu dari Kun lun pai !" Tiong Han
mencegah sambil memegang erat lengan tangan Eng Eng.
“Tidak perduli! Biarpun mereka tosu-tosu dari neraka sekalipun aku tidak takuti! Mereka
mengandalkan keroyokan untuk menangkapmu sungguh pengecut !"
Sementara itu, Gan Tian Cu dan kawan-kawannya tadi merasa terkejut sekali melihat
kehebatan seorang gadis cantik jelita yang memegang pedang merah menyilaukan mata.
Lebih-lebih kaget mereka ketika melihat betapa dengan sekali gerakan saja ikatan pada
kedua tangan Tiong Han telah putus dan tangannya sudah terlepas! Alangkah hebatnya
kepandaian dan tenaga pemuda itu yang tadi menyerah demikian patuhnya.
“Nona, siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan kami, pendeta-pendeta dari Kunlun.
pai ?'
Sebelum Eng Eng menjawab Tiong Han mendahuluinya,
"Ngowi totiang, ini adalah nona Suma Eng murid dari Hek sin mo yang terkenal!"
Terbelalak mata kelima orang tosu itu, karena sesungguhnya nama Hek sin-mo merupakan
nama yang amat terkenal dan dikagumi oleh semua tokoh persilatan. Gan Tian Cu
mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat kepada murid orang sakti itu dan
berkata,
"Nona, harap kau tidak salah sangka. Pinto berlima datang sengaja hendak membawa pemuda
ini yang telah berdosa besar telah membunuh Lo Ban Tek, anak murid dari Kun-lun pai.
Kami datang untuk membawanya ke Kun.lun-san agar mendapat pengadilan dari para ketua
Kun-lun-pai. "
"Apa buktinya bahwa Sim twako telah membunuh anak murid Kun lun-pai ?' tanya Eng Eng
yang belum hilang kemarahannya.
"Nona, nama Ang coa kiam telah amat terkenal. Pemuda ini tidak hanya membunuh Lo Ban
Tek murid kami, bahkan ia telah terkenal sebagai seorang jai hwa cat dan pencuri yang
amat jahay dan keji! ia telah membunuh keluarga Lui wangwe yang dermawan, hanya untuk
memenuhi permintaan seorang pelacur rendah. Murid Kami Lo Ban Tek datang untuk
menegurnya akan tetapi bahkan dibunuhnya ! Nona, kau adalah murid seorang pendekar,
seorang locianpwe yang ternama, maka sudah menjadi kewajibanmu pula untuk membasmi
orang-orang macam Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang.coa-kiam murid Kim-liong-pai yang
durhaka ini. Bagaimana seorang murid dari Hek sin-mo locianpwe dapat bersahabat dengan
seorang jahat seperti dia ini?"
"Pendeta-pendeta tersesat, bukalah matamu baik-baik!* Eng Eng berseru marah sekali dan
menggerakkan pedangnya. "Dia ini bukanlah Sim Tiong Kiat dan........"
"Nona Suma ....... !" Tiong Han mencegahnya membuka rahasia adiknya.
Akan tetapi Eng Eng tidak memperdulikannya dan melanjutkan kata-katanya, "dan orang
yang melakukan semua kejahatan yang kau sebutkan tadi, orang jahat yang menggunakan
nama julukan Ang-coa kiam bukanlah dia ini, akan tetapi adiknya!"
"Apa..„.„apa maksudmu, nona?" Gan Tian Cu bertanya dengan heran, demikian pula adiknya
membelalak matanya dengan kaget.
"Eng-moi........ jangan…”Tiong Han mencoba lagi untuk mencegah Eng Eng membuka rahasia
adiknya dan dalam kegugupannya sampai lupa dan menyebut nona itu Eng-moi (adik Eng).
Eng Eng menengok dan menatap wajah pemuda itu. Sepasang matanya yang indah itu tampak
terbaru, akan tetapi bibirnya dirapatkan dengan gemas. "Orang lemah...." katanya
perlahan, kemudian ia berpaling kepada Gan Tian Cu lalu berkata.
"Totiang, bukan kau saja yang salah pandang, bahkan aku sendiri pun tadinya telah salah
sangka. Orang muda ini bernama Sim Tiong Han, dan Sim Tiong Kiat si jahanam adalah adik
kembarnya. Adiknya itulah orang yang harus kau cari dan kau tangkap bukan Sim twako
ini."
"Akan tetapi....pedang Ang-coa-kiam berada di tangannya dan....... dan mengapa kau
tidak mau memberitahukan keadaan yang sebenarnya?" tanyanya kemudian kepada Tiong Han.
Pemuda ini menghela napas. Tak perlu lagi ia menyembunyikan hal yang sebenarnya.
"Totiang keterangan nona ini memang benar. Tiong Kiat adalah adikku dan kalau ia telah
melakukan dosa terhadap Kun-lun.pai biarlah aku sebagai kakak kandungnya yang
bertanggung jawab dan menerima hukumannya Pedang ini belum lama kuterima dari padanya."
Bukan main herannya hati Gan Tian Cu mendengar ini. "Aah, mengapa begitu? Orang muda,
hampir saja kau membuat kami melakukan kedosaan besar, menghukum orang yang tidak
bersalah. Baiknya datang Suma Iihiap ini yang berani berkata terus terang ! Sim
enghiong pinto dapat memaklumi pembelaan dan pengorbananmu terhadap seorang adik. Akan
tetapi, perbuatanmu ini benar benar keliru sekali. Benar seperti dikatakan oleh Suma
lihiap tadi, kau terlalu lemah ! Kelemahan dan kasih sayang hatimu terhadap adikmu
telah menggelapkan pertimbangan dan keadilanmu! Apa kaukira dengan mengorbankan nyawa
untuk membela adikmu itu, kau telah melakukan suatu tindakan yang bijaksana ?
Sebaliknya, anak muda, sebaliknya kau bahkan menambah kejahatan kepada dunia ! Dengan
tindakanmu ini, seakan-akan kau membela penjahat yang mengacaukan dunia ! pikiranmu
cupat sekali, Sim enghiong. Karena kasih sayangmu terhadap adik, kau membiarkan adikmu
merajalela dan mencelakakan orang-orang yang seharusnya patut kau bela. Di manakah
keadilanmu ? Di manakah kegagahanmu ?"
Terpukul hati Tiong Han mendengar ucapan pendeta ini dan ia menundukkan mukanya yang
pucat.
"Sim enghiong," kata lagi Gan Tian Cu yang merasa penasaran melihat kelemahan hati
pemuda yang demikian gagah, "kau benar-benar telah memalukan nama Kim liong-pai yang
besar. Ketahuilah bahwa pendirian seorang pendekar, di dalam membela kebenaran dan
keadilan tidak ada hubungan saudara maupun keluarga. Yang benar harus dibela,
sungguhpun orang lain yang belum dikenalnya, yang salah harus dilawan biarpun saudara
atau keluarga sendiri ! Bahkan kaIau di dalam Kim-liong-pai terdapat seorang yang
nyeleweng adalah kewajibanmu untuk mencegah dan melenyapkan pendurhaka itu. Kewajibanmu
untuk menangkap adikmu itu demi membersihkan nama Kim-liong-pai, demi menjaga baik nama
ayahmu dan demi sifatmu sebagai pendekar pembela rakyat! Nah, cukup pinto bicara, kau
turut atau tidak terserah, akan tetapi pinto takkan berhenti berusaha untuk menangkap
adikmu." Maka pergilah Gan Tian Cu dengan empat orang adik seperguruannya.
Ucapan itu mendorong dua titik air mata mengalir keluar dari mata Tiong Han yang masih
menundukkan mukanya. Terbangun semangatnya dan ia berkata kepada Eng Eng yang masih
memandangnya dengan terharu. "Nona benar juga ucapan Gan Tian Cu totiang. Aku akan
mencari Tiong Kiat, hendak kutangkap dan kubawa kembali ke Kim liong pai,
menyerahkannya kepada suhu."
"Bagus, akan tetapi aku tidak mau kalah dulu baik olehmu maupun oleh pendeta Kun lun
pai tadi. Gan Tian Cu hendak menangkap Tiong Kiat untuk dibawa ke Kun-Iun-pai, kau
hendak menangkapnya untuk kau bawa ke Liong san. Akan tetapi, akulah yang berhak
menghancurkan kepalanya untuk membalaskan dendam hatiku !' Setelah berkata demikian,
gadis itu lalu melompat pergi, meninggalkan Tiong Han yang memandang sayu.
"Tiong Kiat.... Tiong Kiat, ...... tidak kusangka bahwa nasibmu akan demikian buruknya…
adikku, mengapa kau tersesat sejauh ini…?"
Dengan kaki lemas, Tiong Han lalu menuruni bukit Ta pie-san dalam perjalanannya mencari
adiknya untuk membawanya dengan paksa ke Liong san, di mana suhunya telah menanti. la
merasa penasaran mengapa Tiong Kiat telah berpisah dari Kui Hwa, padahal tadinya ia
mengharap supaya adiknya itu hidup berbahagia dengan sumoinya atau bekas tunangannya
itu. Apakah Kui Hwa yang menyebabkan Tiong Kiat menjadi tersesat ? Panas dadanya ketika
ia mendapatkan pikiran ini. Siapa tahu ? Mungkin Kui Hwa yang menjadi biang keladinya !
la teringat akan kata-kata Tiong Kiat bahwa kini Kui Hwa dapat dicari di kota Heng
yang. Maka iapun lalu tujukan perjalanannya ke kota Heng-yang untuk mencari Kui Hwa dan
untuk bertanya kepada sumoinya itu mengapa Tiong Kiat dan Kui Hwa dapat berpisah.
Sebelum Tiong Han yang hendak mencari sumoinya, yakni Can Kui Hwa, tiba di tempat itu,
marilah kita mendahuluinya menengok keadaan nona yang malang nasibnya ini.
Dalam buku jilid kedua telah diketahui bahwa setelah melihat Tiong Kiat melakukan
perbuatan hina terhadap Gu Loan Li, gadis yang mereka tolong dari tangan kepala
gerombolan Sorban Merah sehingga Loan Li membunuh diri, Kui Hwa menjadi marah sekali
dan menyerang Tiong Kiat. Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan pemuda yang
berkepandaian Iebih tinggi tingkatnya itu dan telah dikalahkan. Setelah Tiong Kiat
meninggalkannya Kui Hwa yang putus asa lalu teringat akan permintaan para anggauta
gerombolan Sorban Merah yang hendak mengangkatnya menjadi kepala.
Ia lalu kembali ke kota Heng yang dan diterima baik dan dengan gembira oleh para
pengurus Perkumpulan Sorban Merah itu. Setelah melihat gadis ini mengalahkan dan
menewaskan kepala mereka, yakni Hek pa cu Teng Sun, para thauwbak dan anak buah
gerombolan Sorban Merah amat mengaguminya. Perkumpulan Sorban Merah mempunyai anggota
yang banyak jumlahnya dan semenjak dipimpin oleh Hek pa cu Teng Sun, perkumpulan ini
telah menghasilkan banyak uang, yang didapat dengan jalan terang maupun gelap, Kui Hwa
sendiri menjadi terkesiap ketika ia melihat peti penuh dengan barang perhiasan yang
amat besar nilainya disodorkan kepadanya oleh para thauwbak.
"Mulai sekarang, tidak boleh lagi ada pelanggaran-pelanggaran," katanya dengan suara
keras. "Tidak boleh melakukan sesuatu yang jahat dan siapapun juga diantara anggauta
ada yang melanggar akan berkenalan dengan pedangku !"
Gadis ini karena tidak mempunyai harapan untuk kembali ke rumah ayahnya dan tidak
mempunyai perlindungan lalu membeli sebuah rumah besar dan memasang merk papan nama
Perkumpulan Sorban Merah. Ia lalu mengatur anak buahnya untuk melakukan pekerjaanpekerjaan
yang baik, misalnya menjaga keamanan kota, mengawal kiriman-kiriman barang
dan Iain-lain. Pengaruh Perkumpulan Sorban Merah sudah besar sekali, akan tetapi kalau
tadinya perkumpulan ini ditakuti dan disegani orang, sekarang orang orang
menghormatinya sebagai perkumpulan orang-orang yang gagah yang boleh mereka andalkan
bantuannya.
Diantara para thauwbak (pembantu pemimpin) dan anggauta Sorban Merah, banyak juga yang
merasa tidak puas dengan peraturan-peraturan keras ini, karena mereka ini memang
mempunyai watak yang busuk seperti Hek-pacu Teng Sun. Maka diam-diam orang-orang ini
lalu melarikan diri dan mencari seorang yang mereka harapkan menjadi pemimpin mereka.
Orang ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Teng Sun yang bernama Kim-pacu Gak Kun
si Macan Tutul Emas dan yang menjadi kepala rampok di pegunungan Pek-ma san, tak jauh
dari kota Heng yang.
Untuk menyesuaikan dirinya sebagai kepala dari Perkumpulan Sorban Merah yang terdiri
dari anggauta-anggauta ahli bermain golok, Kui Hwa kini mengganti senjata pedangnya
dengan golok pula. la bahkan memberi pelajaran ilmu silat golok yang baru kepada anak
buahnya, yang dimainkan berdasarkan ilmu pedang Ang coa kiamsut yang lihai. Maka tentu
saja para anggauta Sorban Merah mendapat kemajuan yang hebat sekali dan kedudukan
perkumpulan ini makin kuat saja.
Kui Hwa merasa senang dengan kedudukannya yang baru ini. Selain dapat penghormatan dari
semua anak buahnya, iapun terkenal sekali di kota Heng yang sebagai seorang wanita
perkasa yang selain cantik jelita juga gagah berani dan berbudi. Banyak hati pemudapemuda
Heng yang, baik yang pandai ilmu silat maupun yang tidak, jatuh hati kepadanya
dan banyak pula gadis yang kini disebut Can pangcu (ketua Can) ini menerima pinangan.
Akan tetapi semua pinangan ini ditolaknya dengan manis. Di dalam hatinya sebenarnya Kui
Hwa menderita hebat. Hatinya telah terluka perih oleh perbuatan Tiong Kiat, pemuda yang
amat dikasihinya itu. Dan ia merasa amat menyesal mengapa ia jatuh hati oleh bujukan
Tiong Kiat yang ternyata tidak berbudi itu. Sering kali ia terkenang kepada Tiong Han
dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau ia menikah dengan suhengnya ini. Ia
menyesal bukan main, akan tetapi nasi telah menjadi bubur, apa hendak dikata?
Bukan Kui Hwa tidak ada niatan membangun rumah tangga, menikah dengan seorang pemuda
yang baik, akan tetapi ia merasa ragu-ragu setelah kegagalannya dengan Tiong Kiat.
Pula, sebagai seorang gadis berkepandaian tinggi, tentu saja takkan merasa puas kalau
menikah dengan seorang pemuda yang lemah, yang tidak mengimbangi ilmu kepandaiannya.
Dan pula, ia merasa malu karena ia telah berIaku sesat bersama Tiong Kiat.
Pada suatu hari, ketua Kui Hwa tengah duduk di dalam rumah perkumpulannya dan bercakapcakap
dengan beberapa orang pembantunya, membicarakan tentang pekerjaan-pekerjaan yang
diserahkan kepada perkumpulannya, tiba tiba seorang anggauta Sorban Merah berlari
masuk. Terkejutlah Kui Hwa dan kawan-kawannya ketika melihat anggauta ini pakaiannya
berlumuran darah dan ternyata bahwa darah itu menetes turun dengan derasnya dari
telinga kirinya yang telah dipotong orang!
"Apakah yang telah terjadi dengan dirimu?" tanya Kui Hwa dengan suara tenang. Ia
menduga bahwa tentu ada orang jahat yang mengganggu anak buahnya ini.
"Celaka, pangcu (ketua) kawan-kawan kita pengikut-pengikut mendiang Hek-pa cu yang
melarikan diri kini telah datang dan merupakan rombongan perampok bersorban biru,
dipimpin oleh Kim-pa cu Gak Kun sendiri! Hamba dan beberapa orang yang bertugas menjaga
keamanan kota, mereka serbu dan banyak kawan kita yang binasa! Kim-pa cu Gak Kun
menantang kepada pangcu untuk menyambutnya di sebelah barat kota Heng-yang !" Setelah
menuturkan hal ini, anak buah Sorban Merah ini lalu jatuh tersungkur dalam keadaan
pingsan.
Naiklah kedua alis Kui Hwa mendengar dari para thauwbak tentang Kim pa cu Gak Kun ini
sebagai suheng dari Hek pa cu Teng Sun yang telah dibunuhnya. Memang ia telah siap
sedia menghadapi pembalasan dari perampok ini. Akan tetapi sama sekali tidak pernah
diduganya bahwa anak buah Sorban Merah yang diam diam melarikan diri, kini ternyata
telah bergabung dengan penjahat ini dan membentuk gerombolan Sorban Biru, kemudian
datang menyerbu dan membikin kacau kota Heng yang ! Marah sekali gadis ini dan cepat ia
lalu masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian yang ringkas berwarna biru gelap, lalu
membawa goloknya.
Pada saat itu, datanglah tergopoh-gopoh kepala kota dan tikoan. Kedua orang pembesar
ini telah mendengar tentang kerusuhan yang ditimbulkan oleh Gerombolan Sorban biru yang
mulai merampoki rumah rumah penduduk di pinggir kota dan mengganggu wanita-wanita.
"Can pangcu, harap kau suka lekas tolong usir mereka!" kata kepala kota dengan wajah
pucat.
"Kalau perlu bantuan, aku dapat mengerahkan penjaga kota !" menyambung tikoan sambil
memandang kepada Kui Hwa dengan kagum. Belum pernah ia melihat Kui Hwa segagah dan
secantik ini, dalam pakaian yang ringkas dan mencetak tubuhnya itu.
'Harap jiwi taijin suka tenang" jawab Kui Hwa. "Tak usah diserahkan penjaga kota,
biarlah aku dan pembantu-pembantuku menyelesaikan urusan ini. Percayalah, tak lama lagi
akan kubawa kepala perampok she Gak itu kehadapan jiwi taijin!"
Setelah berkata demikian Kui Hwa lalu menghampiri anak buahnya yang buntung telinganya
itu. Setelah mendapat perawatan kawan-kawannya, orang ini siuman kembali. "Berapa
banyak kiranya jumlah gerombolan itu?" tanyanya.
"Maaf, pangcu hamba kurang jelas akan tetapi sedikitnya tentu ada tiga puluh orang."
jawab anggauta Sorban Merah itu.
”Pangcu, apakah aku harus mengumpulkan kawan-kawan yang bertugas di berbagai tempat?”
tanya seorang thauwbak.
"Tidak usah, berapa orang yang berada disini?”
"Hanya ada sembilan orang dengan pangcu sendiri."
"Sudah cukup, mari kita berangkat!" Jawab Kui Hwa dengan gagah. Gadis itu bukan
menyombong akan tetapi karena ia melihat bahwa di antara delapan orang anak buahnya.
Yang empat adalah thauwbak-thauwbak yang telah menerima latihan-latihan ilmu golok
darinya. Baginya lebih baik membawa empat orang thauwbak ini dari pada membawa empat
puluh orang anggauta biasa yang ilmu goloknya masih rendah.
Beramai-ramai sembilan orang ini berlari cepat menuju ke sebelah barat kota. Ketika
mereka tiba di gerbang kota, sudah terdengar oleh mereka jerit tangis penduduk yang
diganggu oleh para penjahat Sorban Biru itu. Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ini.
Ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga kawan-kawannya tertinggal jauh.
Begitu ia tiba di tempat kerusuhan itu, gegerlah keadaan di situ di antara penjahat.
Setiap kali melihat seorang penjahat bersorban biru, golok di tangan Kui Hwa menyambar
dan menjeritlah penjahat itu dan terguling roboh dengan tubuh hampir terbelah dua !
Empat orang penjahat telah menjadi korban golok Kui Hwa dan tiba tiba dari sebuah rumah
melompat keluar seorang laki-laki pendek besar yang berseru keras.
"Bangsat wanita! Kaukah yang bernama Can Kui Hwa dan yang telah membunuh suteku Teng
Sun?"
Kui Hwa memandang orang itu dengan penuh perhatian. Ia adalah seorang laki-laki yang
bertubuh agak pendek, akan tetapi tegap dan nampaknya bertenaga besar. Sorban serta
ikat kepalanya berwarna biru, demikianpun celananya, sedangkan bajunya berwarna putih
dengan garis-garis merah. Senjata yang dipegangnya adalah sebatang tongkat bercabang.
Inilah dia Kim-pa-cu Gak Kun yang namanya amat terkenal dan yang oleh anak-anak buah
Sorban Merah disohorkan memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Kui Hwa sebenarnya tentu saja lebih pandai memainkan pedang dari pada permainan golok.
Memang ia adalah anak murid Kim Liong pai yang khusus mendapat pelajaran ilmu pedang
Ang coa kiamsut yang lihai. Akan tetapi gadis ini setelah ditinggalkan oleb Tiong Kiat,
menjadi sadar dan insaf akan kesesatannya. la maklum bahwa sebagai seorang murid Kim
liong-pai, ia telah melakukan pelanggaran besar sekali. Sering kali setiap malam ia
menguras air mata dari kedua matanya karena menyesal dan merasa berdosa serta malu,
terutama sekali terhadap ayahnya dan suhunya, Lui Thian Sianjin. Oleh karena itu, ia
merasa malu untuk mengaku sebagai murid Kim liong pai lagi. Ia anggap dirinya terlampau
hina dan rendah menjadi murid Kim-liong.pai dan kalau ia masih memegang pedang serta
mainkan ilmu silat Ang-coa-kiamsut, maka itu berarti bahwa ia hanya akan mengotori dan
mencemarkan nama Kim-Liong pai dan ilmu pedang Ang-coa kiamsut belaka! Oleh karena
inilah yang terutama sekali maka ia lalu berganti senjata dan melatih ilmu golok
ciptaan sendiri berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut !
Kini menghadapi laki laki bersorban biru yang menjadi suheng dari Teng Sun, ia lalu
membentak. 'Kaukah yang bernama Kim-pa cu Gak Kun? Kalau kau berdiam di hutan melakukan
pekerjaan merampok, itu masih tidak apa, akan tetapi sekarang kau memimpin orangorangmu
untuk mengganggu Heng yang, apakah kau sudah bosan hidup? Mari kuantar kau
menjumpai adikmu Hek pa cu !"
Marahlah Gak Kun mendengar ucapan ini. "Perempuan sombong ! Kalau kau minta maaf
kepadaku dan suka turut ucapanku, aku Kim pa cu masih sayang akan kecantikanmu.
Serahkan kedudukan pangcu dari Perkumpulan Sorban Merah kepadaku dan kau akan kuangkat
menjadi permaisuriku !"
"Anjing tak tahu malu !" bentak Kui Hwa yang menjadi merah mukanya. Ia lalu mengayun
goloknya dan menyerang dengan sengit. Gak Kun menangkis dengan tongkatnya yang istimewa
itu dan bertempurlah mereka dengan serunya. Pertempuran itu demikian hebatnya dan
senjata mereka berkelebatan mengerikan sehingga para anak buah Gak Kun dan para
anggauta Sorban Merah hanya berani menonton dari jauh. Dengan berdebar kedua fihak ini
menonton pertempuran yang dilakukan oleh ketua masing-masing dengan senjata siap di
tangan !
Segera Kui Hwa mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang she Gak ini jauh lebih
tinggi daripada kepandaian Teng Sun. Tongkat bercabang pada gagangnya itu betul-betul
lihai sekali karena gagangnya dapat dipergunakan untuk menangkis golok dan ujung
tongkat itu bergerak cepat dengan serangan-serangan totokan keatas jalan darah.
Ternyata bahwa orang she Gak ini telah mempelajari thiam hoat (ilmu menotok jalan
darah) yang lihai. Kui Hwa berlaku hati-hati sekali dan memutar goloknya untuk
melindungi tubuh dan melakukan serangan balasan yang cukup menggetarkan hati Gak Kun.
Kepala Sorban biru ini benar-benar tak pernah mengira bahwa gadis ini benar-benar luar
biasa pandainya. Ia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, ia masih
kalah. la kalah gesit dan gerakan senjatanya kalah cepat, tetapi Gak Kun masih dapat
melawan mengandalkan dua macam kepandaiannya yang istimewa, yakni menotok dan
menendang. Tendangannya ini adalah ilmu tendang yang mirip dengan Soan - hong - twi
(tendangan kitiran angin) yang dilakukan bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian
sedangkan tongkatnya tetap digerakkan mengancam dari atas !
Dengan seruan keras sekali Gak Kun yang menjadi penasaran karena semua serangannya
dapat digagalkan oleh lawannya, tiba-tiba mengayun kaki kirinya menendang dengan hebat.
Tendangan yang dilakukan ahli ini berbahaya sekali karena dikerahkan dengan penuh
tenaga. Tendangan ke arah dada ini dielakkan oleh Kui Hwa dengan miringkan tubuh ke
kiri sambil menggeser kaki kiri ke depan, goloknya diputar di atas kepala dengan sikap
mengancam tubuh atas lawannya, akan tetapi sebetuInya gadis ini sedang melakukan
gerakan yang disebut Naga Sakti Menyabetkan Ekornya dengan berlaku lambat sambil
menanti tendangan susulan lawan. Benar saja, ketika tendangan kirinya tidak berhasil
mengenai lawan Gak Kun berseru lagi dan tiba-tiba ketika kaki kirinya turun ke atas
tanah, tendangan kanannya menyusuI cepat dibarengi dengan totokan tongkatnya pada
pundak gadis itu. Inilah yang dinanti-nanti oleh Kui Hwa dalam gerakannya Naga Sakti
Menyabetkan ekornya tadi. Begitu melihat kaki kanan bergerak, goloknya yang diputarputar
di atas kepala itu lalu menyambar cepat ke bawah, membabat dan menyambut
tendangan kaki kanan lawan. Tubuhnya ditarik ke bawah dan kaki kanannya secepat kilat
menendang pergelangan tangan kanan lawan yang sedang menusukkan tongkat itu !
Bukan main hebatnya serangan balasan dari Kui Hwa ini. Gerakan gadis ini demikian tibatiba
dan tak tersangka-sangka sehingga Gak Kun tak dapat menolong dirinya lagi. Biarpun
ia berusaha menarik kembali kakinya dengan cepat, namun tetap saja golok itu mengejar
kakinya. Hampir berbareng dengan ujung kakinya yang berhasil menendang pergelangan
tangan lawannya, ujung goloknya juga berhasil mencium betis Gak Kun ! Kim pa cu Gak Kun
menjerit keras dan sambil melepaskan tongkatnya, tubuhnya jatuh terguling dalam keadaan
pingsan ! Kaki kanannya hampir-hampir putus karena sabetan golok itu sedangkan
pergelangan tangannya juga pecah tulangnya karena tendangan Kui Hwa !
Kemudian Kui Hwa mengamuk hebat. Para penjahat Sorban Biru tadinya masih hendak melawan
dan mengeroyok, mengandalkan jumlah yang lebih banyak. Akan tetapi begitu Kui Hwa dan
delapan orang pembantunya menyerbu, pihak sorban biru dibabat dengan mudah bagaikan
orang membabat rumput saja ! Larilah penjahat-penjahat itu pontang-panting, sebagian
besar cepat membuang senjata dan berlutut minta ampun. Dengan kemenangan besar ini, Kui
Hwa menyuruh anak buahnya membawa para tawanan ke kota. Namanya makin terkenal dan
dipuji-puji orang, dan semenjak hari itu, tidak pernah ada penjahat yang berani
mencoba-coba mengganggu kota Heng Yang lagi. Juga barang barang yang dikawal oleh
anggauta sorban merah, selalu tidak terganggu perampok di jalan.
Nama Can Kui Hwa sebagai seorang pangcu (ketua) yang cantik dan gagah, terdengar sampai
jauh, karena tiap pelancong atau pedagang yang telah datang mengunjungi kota Heng yang
setelah pergi meninggalkan kota itu, tentu menceritakan hal nona itu kepada para
kenalannya. Diantara para pelamar di kota Heng-yang terdapat seorang sasterawan muda
she Siok yang tampan dan sopan santun. Siok kongcu ini telah menempuh ujian di kota
raja dan lulus dengan baik sehingga ia mendapat gelar siucai, akan tetapi oleh karena
di dalam hatinya pemuda terpelajar ini amat benci melihat pembesar-pembesar yang
melakukan korupsi dan tidak melakukan tugasnya dengan baik, ia tidak mau menerima
pengangkatan dan tidak mengejar kedudukan, sebaliknya bahkan kembali ke Heng-yang di
mana ia hidup dengan ibunya yang telah janda. Siok siucai, lengkapnya siok Un Leng,
mencari nafkah hidupnya dengan mengajar anak-anak di kota itu. Ia bekerja membuka
sebuah sekolah di rumahnya mengajar membaca dan menulis pada anak-anak dengan mendapat
upah yang sederhana. Sesungguhnya diantara sekian banyak pemuda yang mengaguminya,
hanya Siok-siucai saja yang menarik hati Kui Hwa. Pemuda tampan, berpemandangan luas,
sikapnya halus dan sopan santun, pendeknya seorang calon suami yang baik sekali. Akan
tetapi yang mengecewakan hati Kui Hwa dan yang membuat ragu-ragu adalah bahwa pemuda
ini tidak mengerti ilmu silat ! Memang harus ia akui bahwa begitu melihat pemuda she
Siok yang baru beberapa bulan datang dari kota raja ini, hatinya sudah amat tertarik.
Memang Siok Un Leng baru sebulan lebih datang dari kota raja dan secara kebetulan saja
ia melihat Kui Hwa menunggang kuda lewat di depan rumahnya. Dan keesokan harinya,
pemuda ini lalu minta kepada ibunya untuk melamar gadis itu !
Tentu saja ibunya terkejut bukan main.
"Leng-ji (anak Leng), apakah kau sudah gila? Kau tidak tahu siapa gadis itu? Dia adalah
Can-pangcu, ketua dari Sorban Merah!"
Un Leng tersenyum. "Habis mengapa ibu ? Apakah dia bukan manusia?*
"Tentu saja dia manusia, bahkan manusia yang Iebih mulia dari pada orang kebanyakan!
Dia seorang gagah perkasa, berpengaruh dan menjadi pangcu dari sebuah perkumpulan orang
gagah. Bagaimana aku berani meminang untukmu? Leng-ji, lebih baik kucarikan nona yang
lebih sesuai untukmu, yang pandai menyulam dan membaca, bukan seperti Can-pangcu yang
pandai mainkan golok !"
"Tidak, ibu. Melihat nona itu, aku tahu bahwa dialah orang yang akan dapat
membahagiakan anakmu."
Ibunya menghela napas panjang, "Aneh sekali kau ini, Leng-ji. apakah kau tidak takut
melihat goloknya yang tajam?"
Mendengar ini Un Leng tertawa bergelak sehingga ibunya menjadi terheran. Puteranya ini
agaknya telah berobah semenjak lima tahun pergi ke kota raja !
“Ibu ini aneh-aneh saja. Kalau Can-siocia memang algojo yang biasa menyembelih orang
barangkali akupun tidak takut. Apa lagi dia seorang berhati mulia dan gagah perkasa
seperti ibu katakan tadi. Sudahlah ibu, tolonglah anakmu dan pinanglah dia."
“Aku tidak berani, anakku. Kita orang miskin, bagaimana aku harus melamar seorang yang
kaya raya dan berpengaruh seperti Can Siocia?”
Akan tetapi Un Leng membujuk terus sehingga akhirnya berangkatlah ibu yang mencinta
anaknya ini, mengajukan pinangan kepada Kui Hwa. Di luar dugaannya semula, nona ini
menerimanya dengan penuh penghormatan dan dengan muka merah kemalu-maluan. Nona ini
tidak menolaknya mentah-mentah hanya menyatakan bahwa ia belum ingin mengikat diri
dengan perjodohan dan mohon kepada nyonya itu agar supaya tidak kecewa dan menyesal.
Setelah tiba di rumah, ibu ini mengomeli puteranya. "Kau membikin malu ibumu saja !
Nona Can begitu baik dan ramah tamah. Biarpun ia tidak menolak dengan kasar, akan
tetapi alasannya belum ingin menikah itu telah merupakan penolakan yang halus."
Akan tetapi Un Leng tidak putus harapan. Pemuda yang lama tinggal di kota raja ini
memang seorang pemberani dan tanpa malu-malu dia lalu mengunjungi rumah perkumpulan
sorban Merah untuk berkenalan dengan Can pangcu ! Tentu saja Kui Hwa merasa terkejut
dan heran sekali melihat keberanian pemuda ini. Timbul kemarahan di dalam hatinya
karena ia mengira bahwa pemuda ini tentu sebangsa pemuda mata keranjang yang kurang
ajar. Tidak tahunya, setelah mereka berjumpa, Un Leng bersikap sopan santun dan pemuda
ini pandai sekali bercakap-cakap dan pengetahuannya luas sekali sehingga Kiu Hwa merasa
suka bergaul dengan dia !
Mulailah mereka berkenalan dan tidak saja Un Leng seringkali datang berkunjung bahkan
kini Kui Hwa seringkali datang ke rumah Un Leng untuk mengobrol dengan pemuda itu dan
ibunya ! Tentu saja nyonya Siok menjadi terheran-heran akan tetapi diam-diam nyonya ini
girang sekali karena kalau Can pangcu menjadi sahabat puteranya, sedikitnya mereka akan
lebih disegani oleh para tetangga.
Pada suatu hari, ketika Un Leng bercakap-cakap di rumah Kui Hwa, pemuda ini berkata,
"Nona Can, kuharap kau tidak berkecil hati dan tidak mengira yang bukan-bukan ketika
ibuku datang mengajukan pinangan kepadamu. Sesungguhnya terus terang saja aku
mengagumimu sebagai seorang gadis gagah perkasa yang berani memimpin perkumpulan besar
ini. Kau patut dipuji dan penolakan dulu tidak mengecilkan hatiku. Dapat menjadi
sahabatmu saja sudah merupakan hal yang amat membahagiakan hatiku.'
Kui Hwa merasa terharu mendengar ini. Pemuda ini benar-benar seorang yang baik dan
sopan.
“Saudara Un Leng harap kau suka maafkan padaku. Sesungguhnya, seperti yang pernah
kukatakan kepada ibumu, aku belum mempunyai niat untuk mengikat diriku dengan
perjodohan. Kau seorang yang baik dan aku suka bersahabat dengan kau. Adapun tentang
pernikahan........ agaknya selama hidupku aku takkan menikah !"
Un Leng memandang tajam lalu berkata perlahan, "Nona, tentu saja kalau sampai tiba
waktunya kau menikah, kau tentu akan memilih seorang suami yang memiliki kepandaian bu
(ilmu silat), bukan seorang siucai yang Iemah seperti aku!"
Kui Hwa terkejut karena pemuda ini ternyata dapat meraba isi hatinya. Akan tetapi ia
harus bersikap jujur terhadap pemuda yang baik hati ini.
"Ada betulnya juga kata-katamu itu, saudara Un Leng. Kau tentu mengerti sendiri bahwa
suami isteri baru bisa hidup rukun apabila mempunyai kesukaan yang sama. Kurasa sukar
juga kalau kesukaan si isteri memegang golok sedangkan kesukaan si suami memegang
tangkai pena!" Gadis ini tersenyum dan ucapannya itu dimaksudkan sebagai sebuah
kelakar.
Akan tetapi Un Leng memandang dengan tajam dan berkata dengan sikap bersungguh-sungguh.
"Kau keliru, nona. Mempelajari permainan golok bukanlah termasuk kesenangan, akan
tetapi lebih tepat sebagai penjagaan diri terhadap gangguan orang-orang jahat.
Sebaliknya mempelajari menggerakkan tangkai pena merupakan sebuah kesenian dan
mempertinggi peradaban sebagai manusia. Tangkai pena tidak berbahaya, berbeda dengan
golok yang biasanya hanya mendatangkan malapetaka, bunuh membunuh dan balas membalas
karena dendam !" Pemuda ini nampak bersemangat sekali.
"Kau berat sebelah, saudara Un Leng." kata Kui Hwa dan matanya berkata, "Kau tahu apa
tentang ilmu silat ?" akan tetapi mulutnya berkata lain, "Tangkai pena bukanlah benda
yang tidak berbahaya, bahkan kurasa lebih berbahaya dari pada mata golok. Kalau orang
menggunakan golok untuk menyerang maka lawan yang diserang dapat melihatnya dan
mempunyai kesempatan untuk melawan. Akan tetapi, berapa banyaknya orang yang mendapat
celaka serumah tangga hanya oleh coretan pena seorang pembesar yang melakukan serangan
dan fitnah secara sembunyi ?"
Un Leng cemberut. Ia merasa sebal sekali terhadap pembesar-pembesar yang jahat dan yang
tepat seperti dikatakan oleh gadis ini. "Oleh karena itulah aku tidak sudi menjabat
pangkat !" serunya gemas. "Akan tetapi, tidak semua orang sejahat yang aku katakan
tadi, nona."
Kui Hwa tersenyum geli melihat kemarahan Un Leng. "Ingat Siok siucai yang terhormat
demikian pula dengan pemegang golok. Tidak semua sejahat seperti yang kau katakan
tadi !”
Mereka saling pandang dengan marah, kemudian berbareng tertawa geli. "Ha, kita ini
seakan akan mewakili dua fihak yang bertentangan, fihak bu dan bun (ahli sastera) !"
kata Un Leng. Juga Kui Hwa tertawa dan gadis itu makin suka kepada pemuda yang baik
budinya ini. Sayang sekali dia tidak pandai ilmu silat, pikirnya. Kalau Un Leng pandai
ilmu silat agaknya tidak akan kecewa menjadi istri pemuda ini. Akan tetapi, tiba - tiba
ia teringat lagi akan kesesatannya bersama Tiong Kiat dahulu dan wajah gadis ini
berubah murung sekali.
“Aku takkan menikah selama hidupku," hatinya berkata dan tanpa disadarinya, bibirnya
juga membisikkan kata-kata ini sehingga terdengar oleh Un Leng.
“Nona mengapakah kau berduka? Agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu dan yang
membuat kau putus asa. Dapatkah kau menceritakan hal itu kepada sahabatmu ini ?" Kui
Hwa menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Tak mungkin, saudara Un Leng. Tak mungkin kuceritakan kepada siapapun juga." Dalam
keadaan hati tertekan berdiamlah kedua orang sahabat ini.
Sebagaimana telah dituturkan di depan, Can Kui Hwa sebagai pangcu dari Sorban Merah
yang cantik jelita dan gagah, terkenal sampai jauh dari daerah Heng-yang. Hal ini
menarik hati orang-orang gagah, terutama mereka yang masih muda dan belum menikah,
karena bukankah pangcu wanita yang cantik dan masih gadis itu merupakan kembang yang
amat menarik hati ? Muda, cantik, kaya raya menjadi ketua dari perkumpulan yang
berpengaruh!
Dan di antara mereka yang mendengar nama Can Kui Hwa yang mengagumi dari jauh terdapat
juga Ban Hwa Yong, si penjahat pemetik bunga yang lihai itu ! Seperti telah diketahui
orang ketiga dari Thian-te Sam kui ini telah kehilangan dua orang suhengnya yang tewas
dalam tangan Eng Eng dan Tiong Han. Biarpun ia sendiri ditinggal mati oleh kedua orang
suhengnya, Ban Hwa Yong menjadi gelisah dan gentar sekali menghadapi kejaran Suma Eng,
nona yang hebat dan lihai sekali itu. Timbul pikiran dalam kepalanya untuk mencuci
tangan, untuk berhenti melakukan kejahatan dan kesukaannya mengganggu anak isteri
orang. Ia ingin mencari seorang gadis yang baik, mendirikan rumah tangga yang aman dan
meninggalkan dunia kang ouw karena ia merasa bahwa keselamatannya amat terancam.
Ketika Ban Hwa Yong mendengar nama Can Kui Hwa tergeraklah hatinya. Ia sudah mendengar
bahwa Perkumpulan Sorban Merah merupakan perkumpulan yang kuat, berpengaruh dan kaya.
Dan sekarang ketuanya adalah seorang gadis yang cantik jelita, yang masih belum
menikah. Ah, inilah yang dibutuhkannya. lsteri cantik dan gagah, kedudukan yang kuat,
dan harta cukup! Dengan hati girang dan penuh harapan ia lalu berangkat ke Heng-yang
dengan maksud memperisteri gadis yang menjadi pangcu itu.
Ketika Ban Hwa Yong tiba di rumah perkumpulan itu, ternyata ia mendapat keterangan
bahwa Can-pangcu yang dicarinya sedang pergi keluar kota.
"Kemanakah dia pergi?* tanya Ban Hwa Yong.
Anggaota Sorban Merah yang menjaga pintu memandang kepada orang yang berwajah tua itu
dengan curiga. Orang ini tinggi kurus dengan muka seperti seekor burung, hidungnya
seperti hidung kakatua dan mukanya jelek pandangan matanya liar sedangkan di
pinggangnya tergantung sepasang senjata yang aneh, yakni sepasang kaitan yang
menyeramkan.
“Siapakah saudara ini dan ada keperluan apa mencari pangcu?" tanyanya dengan curiga.
Ban Hwa Yong tertawa bergelak. "Aku sahabat dari pangcumu dan kelak kamu tentu akan
lebih mengenalku dengan baik. Sebutkan saja di mana adanya pangcumu itu."
“Pangcu sedang berjalan jalan naik kuda ke hutan sebelah barat kota," akhirnya penjaga
itu menjawab juga. Ban Hwa Yong lalu berlari pergi dengan cepatnya sehingga penjaga itu
menjadi kagum. Jai hwa-cat (penjahat pemetik bunga) ini Ialu berlari menyusul ke hutan
di luar kota Heng-yang di mana merupakan hutan kecil yang amat indah dan banyak
terdapat bunga bunga yang berkembang.
Pada saat itu, Kui Hwa sedang duduk di bawah pohon bersama Siok Un Leng, pemuda
sasterawan yang menjadi sahabat baiknya itu. Mereka datang berkuda dan kini kedua ekor
kuda itu mereka lepaskan di tempat yang banyak rumputnya agar binatang itu dapat makan
rumput dengan seenaknya. Adapun mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Un Leng
membaca sajak-sajak yang digubahnya sendiri dan Kui Hwa mendengarkan dengan penuh
kegembiraan dan kekaguman. Memang gadis ini suka sekali akan kesusasteraan sungguhpun
ia sendiri hanya mempelajari sedikit saja dari ibunya. Keduanya nampak rukun dan cocok,
sungguh merupakan pasangan yang baik sekali. Akan tetapi selama itu, Kui Hwa selalu
menghindarkan diri dari percakapan tentang pernikahan dan pernyataan kasih sayang
pemuda itu selalu ditolaknya dengan halus. Ia maklum bahwa hatinya runtuh juga
menghadapi pemuda yang selain tampan, juga sopan dan baik sekali ini, akan tetapi dia
mengeraskan hati dan rasanya karena ia merasa yakin bahwa tak mungkin ia yang sudah
melakukan kesesatan itu dapat menjadi isteri Un Leng! Tiba-tiba terdengar bentakan
keras di sebelah belakang mereka.
"Pemuda kurang ajar dari manakah yang telah berani bermain gila dengan Can pangcu?"
bentakan ini keras dan parau dan ketika Un Leng dan Kui Hwa menengok sambil melompat
berdiri, ternyata di hadapan mereka berdiri seorang laki-laki jangkung yang bermuka
tajam seperti muka kakatua. Laki laki ini bukan lain adalah Ban Hwa Yong yang memandang
dengan mulut menyeringai menjemukan sekali.
Dengan pandang mata merah penuh cemburu, Ban Hwa Yong lalu menggerakkan kaitan di
tangan kanannya untuk menyerang Un Leng, akan tetapi golok Kui Hwa menangkis kaitan
ini.
"Bangsat hina dina! Siapakah kau dan apa maksud kedatanganmu mengganggu kami?" bentak
Kui Hwa yang kagum juga melihat betapa Un Leng nampak tenang saja dan tidak takut
biarpun tadi hampir menjadi kurban senjata kaitan itu.
“Can pangcu harap jangan marah." jawab Ban Hwa Yong yang memandang ringan, “Aku Ban Hwa
Yong dari tempat yang ratusan lie jauhnya sengaja datang hendak bercengrama dan
mengajakmu bercakap-cakap. Akan tetapi oleh karena di sini ada orang lain maka kuharap
bocah ini pergi segera dari sini agar kita dapat bicara lebih leluasa lagi.”
Bukan main gemasnya hati Kui Hwa mendengar ucapan yang sifatnya kurang ajar dan
memandang rendah ini.
“Pemuda ini adalah sahabat baikku dan dia boleh pula mendengar apa yang akan keluar
dari mulutmu yang busuk. Lekas bilang apa maksud kedatanganmu sebelum golokku menghajar
dan memutuskan lehermu !"
"Aduh galak benar !" Ban Hwa Yong tertawa. "Akan tetapi makin galak makin bertambah
manis ! Nona Can, terus terang saja kedatanganku ini hendak meminangmu menjadi
istriku ! Aku masih bujangan dan tentu tidak enak hidup sendiri seperti engkau ini, apa
lagi kalau memegang kedudukan sebagai pangcu. Serahkan saja pekerjaanmu itu kepadaku,
calon suamimu dan kau akan hidup berbahagia!”
"Anjing bermulut lancang!" Kui Hwa tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat goloknya
bergerak membacok kepala Ban Hwa Yong. Akan tetapi, sambil tersenyum-senyum Ban Hwa
Yong mengelak dan bertempurlah kedua orang ini dengan ramainya. Ban Hwa Yong terkejut
juga melihat permainan golok nona itu karena benar-benar kuat dan berbahaya. Akan
tetapi, sepasang kaitannya digerakkan secara luar biasa sekali sehingga Kui Hwa segera
terdesak hebat, kalau saja gadis itu memegang pedang dan tidak berada dalam keadaan
semarah itu, takkan mudah bagi Ban Hwa Yong untuk mengalahkannya. Akan tetapi dalam
keadaan semarah itu Kui Hwa kehilangan kewaspadaannya dan sama sekali tidak
memperhatikan bahwa sesungguhnya lawannya ini lihai sekali dan tidak boleh dipandang
ringan.
Golok di tangannya diputar sedemikian rupa dan hanya satu saja kehendaknya yakni
membunuh manusia kurang ajar ini.
Akan tetapi dengan kaitannya yang lihai Ban Hwa Yong dapat menahan golok Kui Hwa dan
pada satu saat yang baik ketika kaitannya dapat membuat golok gadis itu belum sampai
menyerang lagi, tiba-tiba kaitan di tangan kanannya bergerak cepat ke arah dada Kui Hwa
dan, "bret!" terkaitlah baju gadis itu pada bagian dada dan terbawa kain robek itu
dikaitan sehingga nampak sebagian dada gadis ini!
Bukan main terkejutnya hati Kui Hwa. Ia menjerit perlahan dan mukanya menjadi malu
sekali, sesaat kemudian mukanya berubah merah sampai ke telinganya ketika ia mendengar
betapa Ban Hwa Yong tertawa terkekeh-kekeh !
Pada saat itu terjadilah hal aneh yang sedetikpun tak pernah disangka oleh Kui Hwa.
Terdengar bentakan nyaring dan bayangan yang cukup gesit melompat dari belakangnya dan
menyerang Ban Hwa Yong dengan sebatang golok ! Orang ini bukan lain adalah Un Leng !
Ternyata bahwa pemuda ini marah sekali melihat Kui Hwa dipermainkan dan dihina oleh Ban
Hwa Yong. Ia cepat berlari menghampiri kudanya dan dari balik pelana kuda
dikeluarkannya sebatang golok besar yang tajam sekali dan ketika ia melihat betapa baju
Kui Hwa terkait robek, kemarahannya memuncak. Ia lalu menyerang hebat yang segera
ditangkis pula oleh Ban Hwa Yong. Penjahat inipun tertegun sebentar karena tak
disangkanya bahwa pemuda yang nampak Iemah ini ternyata pandai juga mainkan golok.
Biarpun terheran-heran, Kui Hwa cepat melompat ke belakang dan membalikkan tubuhnya.
Dilepasnya kain pengikat rambutnya disambung dengan saputangan lebar dan dilibatkannya
kain itu pada dadanya untuk menutupi bagian tubuh yang telanjang itu. Kemudian ia cepat
menengok dan melihat betapa Un Leng mempertahankan diri mati-matian dari desakan
sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong yang lihai.
Berdebar aneh dada Kui Hwa ketika ia menyaksikan bahwa betapapun juga, pemuda
sasterawan yang disangkanya hanya seorang kutu buku yang lemah itu ternyata memiliki
ilmu silat yang tidak rendah! Akan tetapi senjata di tangan penjahat itu benar-benar
berbahaya sekali dan keadaan Un Leng juga sudah mulai terdesak, maka Kui Hwa lalu
melompat maju dan kini goloknya menyambar-nyambar bagaikan setan maut mengancam nyawa
Ban Hwa Yong. Penjahat ini sekarang tak dapat tertawa lagi. Menghadapi dua orang ini,
benar-benar ia merasa kewalahan dan setelah melawan sampai empat puluh jurus dalam
waktu mana keselamatannya terancam hebat ia lalu melompat dan melarikan diri. Kui Hwa
yang marah sekali hendak mengejar akan tetapi Un Leng berkata.
“Tak usah dikejar lawan yang sudah kalah dan ketakutan !"
Kui Hwa tidak jadi mengejar Ban Hwa Yong dan memandang kepada Un Leng dengan pandang
mata kagum. Un Leng menyimpan kembali goloknya di bawah sela di atas kudanya kemudian
ketika ia kembali kepada Kui Hwa ia berkata,
"Maaf bahwa aku terpaksa memperlihatkan kebodohanku nona."
“Saudara Siok Un Leng, mengapa kau selama ini berpura-pura tidak mengerti ilmu silat?
Kepandaianmu cukup baik dan.......mengapa kau menyembunyikan kepandaian itu padaku?"
Un Leng tersenyum. "Tak ingatkah betapa aku tidak suka akan kekerasan? Aku mempelajari
ilmu silat hanya untuk penjagaan diri seperti yang tadi telah kulakukan menghadapi
penjahat itu, bukan sekali-kali untuk kusombongkan dan kujadikan alat mencari
permusuhan. Tidak nona, aku lebih suka menggerakkan tangkai pena daripada menggerakkan
golok yang mengerikan itu !"
Kui Hwa memandang kagum dan hatinya merasa girang sekali. Inilah pemuda yang patut
dipercayainya dan yang akan dapat melindunginya selama hidupnya. "Saudara Un
Leng....... kalau aku tahu......"
"Nona, setelah sekarang kau mengetahui keadaanku, biarlah di sini kuulangi pinanganku
dahulu. Bagaimana? Sudikah kau menerimaku sebagai suamimu? Kita menjauhkan diri dari
segala urusan dunia, kita pindah ke tempat aman, mendirikan rumah tangga yang aman dan
damai, tidak mengenal tajamnya senjata. Sudikah kau...?" Sambil berkata demikian dengan
mesra dan halus, pemuda itu melangkah maju dan memegang tangan Kui Hwa. Untuk sesaat
gadis itu memandang mesra. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat kepada Tiong Kiat.
Direnggutnya tangannya dan ia berkata,
"Tidak........ tidak ! Jangan dekati aku Un Leng ...... aku....... aku tidak
berharga...... !" ia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis!
'Nona apakah kau akan maksudkan kepergianmu dari Kim liong.pai, minggat bersama dengan
ji-suhengmu (kakak seperguruan kedua)? Itukah yang kauanggap bahwa kau tidak berharga
lagi?'
Kui Hwa terkejut dan memandang dengan mata basah !
'Apa ....? Kau sudah tahu akan hal itu ?'
Un Leng mengangguk, 'Sebelum kembali ke Heng-yang di kota raja aku telah mendengar akan
hal itu. Peristiwa yang terjadi di Gunung Liong-san, mengenai diri anak-anak murid Kim
liong-pai yang terkenal tentu saja mudah tersiar di kalangan kang-ouw. Aku teIah
mendengarnya semua, nona, tak perlu kau menuturkannya lagi."
"Kau........ kau sudah tahu selama ini . .dan kau ....... tidak memandang rendah dan
hina kepadaku........?'
Un Leng tersenyum. 'Kalau aku memandang rendah, apakah aku mau mendekatimu, menyuruh
ibuku meminangmu sebagai istriku?"
Makin deras air mata mengalir dari mata Kui Hwa,”Saudara Siok...... aku bukan seorang
baik-baik, aku telah menjalankan kesesatan bersama manusia jahanam yang menjadi
suhengku itu, aku telah meninggalkan suhu meninggalkan ayah, membatalkan pertunanganku
dengan twa suheng secara paksa ....aku gadis tak tahu malu, yang sudah melanggar
kesusilaan, aku tak berharga lagi. ...tahukan kau akan semua ini ?'
Un Leng berkata sungguh-sungguh. "Aku sudah tahu, nona, akan tetapi aku tidak
menganggap kau tidak berharga. Seorang yang sudah sadar dari pada kesesatannya adalah
seorang bijaksana. Aku mengagumimu dan aku… aku tertarik dan cinta padamu."
Saking terharunya Kui Hwa lalu menubruk kaki Un Leng, berlutut sambil menangis. Ia
berterima kasih sekali, juga terharu dan girang karena selama berkenalan, ia maklum
bahwa hatinya telah jatuh pula terhadap pemuda ini. Un Leng menarik napas panjang dan
mengelus-elus rambut Kui Hwa, membiarkan kekasihnya melepaskan tekanan batin dengan air
matanya.
Ketika mereka kembali ke kota Heng yang dengan wajah gembira dan penuh bahagia,
keduanya lalu menuju ke rumah perkumpulan Sorban Merah. Kui Hwa telah bermufakat untuk
menerima pinangan Nyonya Siok untuk yang kedua kalinya dan telah setuju pula bahwa dia
akan ikut suaminya dan mertuanya untuk pindah ke kota raja di mana suaminya akan
mencari pekerjaan. Ia telah mengambil keputusan pula untuk meletakkan jabatannya
sebagai ketua perkumpulan Sorban Merah.
Akan tetapi, ketika ia dan Un Leng berjalan memasuki pekarangan rumah perkumpulan itu,
ia melihat seorang pemuda bangkit berdiri dari bangku di ruang depan dan kini pemuda
itu berdiri menanti kedatangan mereka dengan wajah tenang. Pucatlah wajah Kui Hwa
ketika ia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan tak terasa pula ia
menahan tindakan kakinya. Ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan
senyum tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah atau membenci. Terharulah hati Kui
Hwa dan tak terasa lagi ia lalu berlari ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan
pemuda itu ! Un Leng hanya memandang heran dan mengerutkan kening, karena ia tidak
mengenal pemuda itu, cepat memegang kedua pundak Kui Hwa, membangunkannya sambil
berkata.
"Eh, sumoi mengapa kau begini? Berdirilah dan mari kita bicara dengan baik."
Kui Hwa tak dapat menahan berlinangnya air matanya, ia tidak berani menentang pandang
mata pemuda yang bukan lain adalah Tiong Han ini. Ia merasa malu sekali kepada bekas
tunangan dan suhengnya ini, yang selalu bersikap baik terhadapnya.
"Twa suheng...... kau...... kau dapat memaafkan aku ? Kau tidak marah dan tidak benci
kepadaku ?"
Tiong Han menggeleng kepalanya dan tersenyum tenang, sungguhpun senyumnya bukanlah
senyum gembira.
"Mengapa aku harus benci dan marah kepadamu, sumoi ? Kau adalah adikku, adikku yang
kusayang semenjak kita masih anak-anak. Aku hanya kasihan melihatmu, sumoi." Kemudian
barulah Tiong Han merasa bahwa mereka tidak patut bicara urusan pribadi mereka di depan
seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengangkat muka memandang kepada
Un Leng yang sudah menghampirinya dengan senyum dan pandang mata kagum. Un Leng menjura
dan cepat dibalas oleh Tiong Han.
“Ah tidak tahunya kau adalah Sim Tiong Han, orang gagah dari Kim-liong pai. Aku ini Un
Leng, adalah seorang yang bodoh." Seru pemuda sasterawan ini dengan sikap hormat.
Melihat sikap dan kesederhanaan pemuda ini, Tiong Han merasa suka dan cocok, hanya ia
belum mengerti apakah hubungan antara pemuda ini dan sumoinya. Akan tetapi Kui Hwa
segera menjelaskan,
'Suheng, dia ini adalah....sahabatku, seorang yang jujur dan banyak berjasa terhadap
diriku yang hancur dan perasaanku yang luka oleh kejahatan ji suheng."
Tiong Han menghela napas dan keningnya berkerut. "Sumoi terus terang saja, aku sudah
bertemu dengan Tiong Kiat dan aku datang ini hanya hendak bertanya kepadamu mengapa kau
meninggalkan Tiong Kiat dan membiarkan dia tersesat sedemikian jauhnya!"
Mendengar nada suara Tiong Han, diam-diam Kui Hwa terkejut sekali. Dari suara pemuda
ini, ia dapat menduga bahwa suhengnya ini biarpun tidak menaruh hati dendam kepadanya,
namun merasa tidak senang mengapa dia berpisah dari Tiong Kiat dan tentu menyangka yang
bukan-bukan. Maka ia cepat menuturkan pengalamannya dengan Tiong Kiat, betapa Tiong
Kiat telah melakukan perbuatan rendah terhadap seorang gadis yang ditolongnya sehingga
mereka menjadi berselisih dan bertempur. Kemudian diceritakannya bahwa Tiong Kiatlah
yang pergi meninggalkannya dan betapa ia lalu menjadi ketua dari Perkumpulan sorban
Merah.
Mendengar semua penuturan ini, kembali Tiong Han menarik napas panjang berkali-kali.
"Ah, sumoi, kalau begitu adikku itulah yang jahat dan tersesat. Kasihan sekali nasibmu
yang buruk." Dan diam-diam pemuda ini makin terheran melihat betapa Kui Hwa dapat
menuturkan semua pengalamannya ini di depan Un Leng, seakan-akan di antara mereka tidak
terdapat rahasia lagi. Ia menduga-duga dan ketika Kui Hwa memaksanya untuk bermalam di
situ menikmati hidangan yang dikeluarkan dibantu pula oleh Un Leng, terpaksa ia
menerimanya. Ia kagum juga melihat betapa kuat dan teratur perkumpulan yang dipimpin
oleh sumoinya dan betapa semua anggauta Sorban Merah amat tunduk dan taat kepadanya.
Di dalam kesempatan itu, Un Leng mendapat pikiran yang amat baik. Diam-diam ia
memberitahukan pikirannya ini kepada Kui Hwa dan gadis ini dengan muka kemerah-merahan
hanya menganggukkan kepala dan kemudian ia sengaja meninggalkan ruangan dimana Tiong
Han berada untuk memberi kesempatan kepada Un Leng untuk bicara berdua saja dengan
suhengnya.
"Sim taihiap" kata Un Leng ketika mereka selesai makan dan duduk menghadapi meja dengan
cawan terisi arak. "Sebelumnya kuharap kau sudi memaafkan aku apabila kau anggap aku
berlaku lancang. Telah kuceritakan kepadamu bahwa aku adalah murid dari Kim-l-sin-kai
(Pengemis Sakti Baju Kembang) di kota raja yang juga kau tahu telah kenal baik dengan
suhumu. Biarpun aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi seperti juga suhu,
aku benci akan perkelahian dan permusuhan. Aku lebih suka hidup damai dan tenteram
dengan penaku. Nah, kau telah mengetahui keadaan sumoimu. Seperti juga kau, aku kasihan
sekali kepadanya. Akan tetapi kalau kau berkasihan sebagai seorang suheng terhadap
sumoinya, adalah aku berkasihan kepadanya sebagai seorang pemuda terhadap seorang gadis
yang telah merebut hatiku! Ya terus terang saja, taihiap, diantara sumoimu dan aku
telah ada persesuaian paham dan kami telah bermupakat untuk menjadi suami-istri ! Oleh
karena itu, mengingat bahwa Hwa moi jauh dari orang tua, maka kiranya kau menjadi
wakilnya ! Kepadamulah sebagai wali Hwa - moi kuajukan pinanganku harap saja kau sudi
menolong kami.”
Tiong Han tersenyum dan memandang tajam. "Saudara Siok bukan main girangnya hatiku
mendengar ucapan yang terus terang ini! Sebelum kau menceritakan kepadaku, aku sudah
dapat menduga lebih dulu, dan pengakuanmu ini menandakan bahwa kau memang jujur dan
bersifat jantan. Kau telah mendengar tentang riwayat sumoi dengan adikku, namun kau
dapat memaafkan dan masih dapat menghargainya, ini menandakan bahwa cintamu terhadapnya
suci dan tulus. Akan tetapi, aku hanya menjadi suhengnya bagaimana aku berani berlaku
lancang bertindak sebagai walinya ?"
Un Leng berbangkit dari bangkunya dan menjura kepada Tiong Han yang dibalas cepat-cepat
oleh pemuda ini.
"Terima kasih banyak, taihiap. Sungguh pun benar pula ucapanmu tadi agaknya kau lupa
bahwa Hwa moi sesungguhnya telah diberikan kepadamu oleh orang tuanya sebagai calon
jodohmu. Kau berhak penuh atas dirinya dan berhak pula menjadi walinya. Kalau kau sudi
menerima permohonanku, berarti kau telah melepas budi besar terhadap kami."
Terpaksa Tiong Han menerimanya dengan hati girang. Kui Hwa lalu dipanggil dan dengan
muka kemerah-merahan gadis ini lalu menjura kepada suhengnya yang kini menjadi walinya
itu. Para anggauta Sorban Merah lalu dikumpulkan dan setelah Tiong Han diperkenalkan
sebagai suheng dan wali dari Kui Hwa, Tiong Han lalu mengumumkan dengan suara lantang
tentang perjodohan antara kedua orang muda itu. Semua anggauta Sorban Merah menerima
berita ini dengan girang sekali. Akan tetapi kegirangan ini segera terganti kekecewaan
ketika Kui Hwa menyatakan bahwa setelah menikah, terpaksa meninggalkan perkumpulannya
dan menyerahkan perkumpulannya ini kepada beberapa orang thauwbak yang paling tua dan
cukup bijaksana.
Dengan disaksikan oleh Tiong Han, beberapa hari kemudian dilangsungkanlah pernikahan
sepasang orang muda itu dengan sangat sederhana, akan tetapi cukup meriah karena
diramaikan dan dihadiri oleh anggauta Sorban Merah dan para sahabat-sahabat di kota
Heng-yang.
Setelah itu, pada keesokan harinya, Tiong Han minta diri dari sepasang suami-istri ini
untuk melanjutkan perjalanannya mencari adiknya. Kui Hwa mengantarkan kepergiaan
suhengnya ini dengan air mata berIinang. Ia kini mendapat kenyataan betapa bijaksana
dan mulia hati twa suhengnya ini dan diam-diam ia menyumpahi dirinya yang telah
terpikat oleh bujukan-bujukan iblis dari mulut ji-suhengnya.
0-oodwoo-0
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan