- CersilHot Sepasang Naga Penakluk Iblis 3
- Cersildew Sepasang Pedang Penakluk Iblis 2
- Cerita Silat Mandarin Sepasang Naga Penakluk Iblis...
- Lembah Selaksa Bunga 2 Tamat
- Cerita Silat Lembah Selaksa Bunga 1 (Lanjutan Ibli...
- Cerita Hot Silat Iblis dan Bidadari 2 Tamat
- Cerita Iblis dan Bidadari 1
Jai-hwa Kongcu Lui Teng memondong tubuh yang hangat itu dengan senyum cerah di bibirnya. Gadis baju hijau yang selama ini dirindukannya kini telah berada dalam pondongannya.
Hong Ing tidak berdaya. Tubuhnya lemas tak mampu bergerak sehingga ketika Lui Teng yang memondongnya dan membawanya pergi itu beberapa kali menciumnya, iapun hanya dapat memejamkan mata saja karena tidak mampu mengelak atau meronta. Hanya pandang matanya saja bernyala penuh kebencian.
Sementara itu, Tek Hin yang juga tertotok lemas, dibawa oleh anak buah penjahat. Mereka membawa lari Hong Ing dan Tek Hin,
466
membawa mereka kembali ke Lok-yang seperti yang diperintahkan Hek-sim Lo-mo.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng maklum bahwa dia dan anak buah penjahat disuruh menyingkirkan dua orang tawanan itu agar jangan sampai diselamatkan oleh Tan Cin Hay dan Hek-liong-li. Dua orang tawanan ini masih ada gunanya, setidaknya sebagai sandera dan kalau perlu untuk memaksa dua orang muda yang lihai itu untuk menyerah. Dan dia melihat kesempatan baik terbuka baginya. Gadis baju hijau itu sepenuhnya berada di dalam kekuasaannya.
Ketika dia dan anak buahnya tiba di gedung besar tempat tinggal Hek-sim Lo-mo, dia menyuruh anak buahnya melemparkan tubuh Tek Hin yang masih tertotok itu ke atas lantai dalam kamar di mana kedua orang itu biasanya ditahan. Kemudian dia menyuruh para anak buahnya melakukan penjagaan ketat di luar gedung dan dia sendiri membawa tubuh Hong Ing yang masih dipondongnya ke atas pembaringan!
Dan tanpa malu-malu, tanpa menghiraukan Tek Hin yang rebah di atas lantai dan memandang dengan mata melotot, Jai-hwa Kong-cu Lui Teng lalu membelai-belai dan menciumi wajah Hong Ing yang masih tidak berdaya dan tidak mampu bergerak.
“Jahanam keparat! Anjing busuk hina dina. Awas kau, akan kulaporkan kepada Hek-sim Lo-mo agar engkau dihajar sampai mampus kalau kau tidak menghentikan perbuatanmu yang kotor ini!” Hong Ing hanya dapat berkata dan memaki-maki tanpa mampu mengelak ketika Jai-hwa Kongcu Lui Teng mencium mulutnya sampai lama sekali dan yang membuatnya terengah-engah.
467
Melihat itu, Tek Hin marah bukan main, juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya kalau-kalau penjahat cabul itu akan berbuat lebih jauh lagi dan memperkosa Hong Ing yang tidak berdaya.
“Anjing kotor! Akupun akan melapor kepada Hek-sim Lo-mo dan hendak kulihat bagaimana engkau akan melawan dia nanti!” katanya mengancam.
Akan tetapi yang diancam itu bahkan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, boleh saja kalian mengoceh dan mengancam. Tahukah kalian bahwa kalau dua orang bocah sombong itu sudah berhasil dibunuh, kalian berdua akan diserahkan kepadaku? Aku akan menyerahkan engkau kepada Kiu-bwe Mo-li, Tek Hin. Dan engkau, manis, engkau akan kuajak bersenang-senang sampai sepuasmu, ha-ha-ha! Sekarang akan keselidiki apakah mereka sudah berhasil membunuh dua orang bocah sombong itu!”
Jai-hwa Kongcu Lui Teng lalu berteriak memanggil penjaga. Dua orang berlari mendatangi dan dengan suara lantang Lui Teng berkata kepada mereka.
“Suruh sediakan arak dan daging ke sini untukku, dan seorang lagi pergilah cepat ke tempat perkelahian tadi. Lihat apakah dua orang bocah sombong itu telah mampus, dan cepat laporkan kepadaku!”
Dua orang penjaga itu mengangguk lalu meninggalkan kamar tawanan. Tak lama kemudian, Jai-hwa Kongcu Lui Teng sudah menghadapi hidangan yang mengepul panas dan seguci arak yang wangi.
468
“Manis, engkau lapar, bukan? Mari kita makan, kutemani engkau atau engkau menemani aku? Ha-ha-ha, katakan engkau mau makan dan aku akan membebaskan totokanmu.”
“Tidak sudi! Lebih baik aku mati kelaparan dari pada harus makan bersamamu!” kata Hong Ing, menahan turunnya air matanya karena sesungguhnya ia merasa ngeri, takut dan juga malu terhadap Tek Hin yang tadi melihat betapa ia dibelai dan diciumi penjahat itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ketakutan yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan, karena ia tidak ingin penjahat yang dibencinya itu melihat bahwa ia ketakutan.
Jawaban Hong Ing itu hanya disambut oleh Lui Teng dengan senyum-senyum saja. Dia membayangkan betapa akan manisnya kalau gadis yang kini melawan dan marah-marah, membencinya ini, kelak akan menyerahkan diri kepadanya. Makin besar kebencian dan perlawanannya, kalau kelak menyerah akan semakin terasa manis! Diapun lalu duduk menghadapi meja dan makan minum dengan lahapnya, sengaja mengeluarkan suara untuk membikin kedua orang itu tersiksa.
Akan tetapi, baik Tek Hin maupun Hong Ing sama sekali tidak mau menengok ke arah dia duduk, Tek Hin diam-diam membayangkan apa akan jadinya dengan dirinya dan Hong Ing kalau sampai Cin Hay dan Liong-li benar-benar dapat dikalahkan oleh Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya.
Dia memutar otak bagaimana agar dapat terbebas dari totokan sehingga dia dapat melakukan perlawanan. Andaikan sampai dia dan Hong Ing harus mati sekalipun dia tidak akan merasa penasaran. Akan
469
tetapi kalau harus mati dan mengalami penghinaam tanpa melawan sedikitpun juga, sungguh matinya akan penasaran sekali.
Tak lama kemudian, tepat setelah Jai-hwa Kongcu Lui Teng selesai makan minum, sisa makanan disingkirkan dan yang ditinggalkan hanya seguci arak dan cawan arak, muncullah seorang penjaga yang tadi bertugas melakukan penyelidikan ke luar kota melihat keadaan mereka yang berkelahi. Dengan wajah pucat dan napas terengah-engah karena baru saja berlari cepat-cepat, orang itu melaporkan bahwa dua orang muda itu masih dikeroyok, akan tetapi dua orang saudara kembar He-nan Siang-mo telah tewas, dan kini Beng-cu sedang memanggil banyak sekali ular!
“Saya........ takut sekali dan segera lari untuk memberi kabar ke sini, akan tetapi seorang kawan masih tinggal di sana dan mengintai untuk nanti memberi laporan susulan,” katanya mengakhiri laporannya, lalu dia mengundurkan diri keluar dari kamar itu.
Song Tek Hin sengaja tertawa bergelak dan siasat ini memang sudah sejak tadi dia rencanakan. “Ha-ha-ha, dua orang dari temanmu sudah mampus dan sebentar lagi yang lain-lain pasti akan tewas di tangan Tan-taihiap dan Hek-liong-li! Engkau sendiri, kalau saja bukan seorang pengecut dan penakut besar, kalau saja engkau berani membebaskan aku dari totokan, sudah sejak tadi tulang-tulangmu kupatah-patahkan dan kepalamu kuhancurkan, isi perutmu kukeluarkan. Ha-ha-ha!”
Wajah Jai-hwa Kongcu Lui Teng menjadi merah padam. Dia adalah seorang penjahat besar yang sudah banyak pengalamannya dan cerdik pula. Dia dapat menduga bahwa Song Tek Hin sengaja mengeluarkan
470
ucapan menghina itu untuk memancing kemarahannya dan agar dia suka membebaskan totokan itu. Akan tetapi perasaan malu membuat dia marah besar dan tidak dapat menahan dirinya. Kalau saja Tek Hin tidak mengeluarkan ucapan itu di depan Hong Ing, tentu dia akan mentertawakan saja tawanan itu, atau akan menyiksanya atau membunuhnya tanpa membebaskan totokannya.
Akan tetapi, dia diejek dan dihina di depan gadis yang membuatnya tergila-gila, maka dia merasa malu kalau tidak memperlihatkan keberaniannya, agar makian pengecut dan penakut itu dapat dihapusnya di depan gadis manis itu. Apa lagi dia tahu benar bahwa biarpun Tek Hin pandai ilmu silat, namun bagi dia masih terlalu rendah sehingga andaikata ada lima orang dengan tingkat kepandaian seperti Tek Hin mengeroyoknya sekalipun, dia tidak akan kalah. Maka, diapun dengan sekali loncat sudah mendekati Tek Hin yang menggeletak tak mampu bergerak di alas lantai.
“TIKUS busuk, masih berani engkau bermulut besar? Engkau hendak membunuhku? Kau? Hemm, hendak kulihat apa yang dapat kaulakukan kepadaku!” Berkata demikian, cepat sekali tangan Jai-hwa Kongcu Lui Teng bergerak menepuk tengkuk dan punggung Tek Hin yang seketika mampu bergerak kembali. Akan tetapi tubuhnya masih terasa kaku-kaku dan nyeri, maka dia bangkit duduk sambil menggeliat untuk melemaskan tubuhnya.
“Bukk!” Lui Teng menendangnya sehingga dia terguling-guling, “Ha, ha, hayo kau bangkit dan lawan aku, tikus sombong!” Lui Teng tertawa dan maju mendekat.
471
Inilah yang dikehendaki oleh Tek Hin dan sejak tadi memang dia sudah mencari akal bagaimana agar dia dapat dibebaskan dari totokan, Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang lihai, akan tetapi dia tidak ingin mati konyol. Kalau dia dapat bergerak dan melawan mati-matian biarpun akhirnya dia akan kalah dan tewas, dia tidak penasaran karena mati dalam perlawanan dan perkelahian. Mati sebagai seekor harimau jauh lebih berharga dari pada mati sebagai seekor babi yang tidak mampu melawan.
Kalau tendangan yang dilakukan Lui Teng tadi dimaksudkan untuk membunuh tentu kini Tek Hin sudah tidak mampu bangun kembali. Akan tetapi, agaknya Lui Teng tidak tergesa-gesa hendak membunuh Tek Hin, melainkan hendak memamerkan dulu keunggulannya di depan Hong Ing dan menghajar Tek Hin sepuas hatinya.
Tek Hin meloncat bangun dan kini tubuhnya sudah terasa ringan dan tidak kaku lagi. Maka diapun menerjang ke depan dan menyerang dengan pukulan yang didukung oleh seluruh tenaganya, menghantam ke arah dada Lui Teng. Akan tetapi, yang dipukul itu tenang-tenang saja, setelah pukulan Tek Hin menyambar dekat, barulah dia menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Dukkk!” Ketika kedua lengan bertemu, Tek Hin yang kalah tenaga merasa lengannya nyeri dan tubuhnya terdorong miring. Lui Teng menggerakkan tangan amat cepatnya dan dia sudah memukul pundak Tek Hin dengan tangan terbuka.
“Plakk!” Tubuh Tek Hin terpelanting dan sebelum dia dapat bangkit berdiri lagi, Lui Teng sudah menyusulkan tendangan ke arah punggungnya.
472
“Desss!” Kembali tubuh Tek Hin terguling-guling dan menabrak dinding ruangan itu. Ketika dia bangkit lagi, darah mengalir dari ujung bibirnya yang pecah. Akan tetapi sedikitpun Tek Hin tidak kelihatan takut dan dia sudah meloncat dan menyerang lagi, kini dengan kedua tangan bertubi-tubi melakukan serangan pukulan. Akan tetapi, kembali Lui Teng meloncat ke samping dan kakinya mencuat dengan kecepatan kilat.
“Bukk!” Perut Tek Hin tertendang dan dia terjengkang, lalu roboh terbanting keras. Dia meringis kesakitan dan kepalanya terasa pening karena kepalanya terbanting ke atas lantai, akan tetapi dia sudah merangkak dan bangkit lagi.
“Ha-ha-ha, macam engkau ini mau membunuh aku? Hayo cepat bunuh, hayo patahkan tulang-tulangku, hancurkan kepalaku dan keluarkan isi perutku, ha-ha-ha!”
Tek Hin menubruk, akan tetapi disambut dengan tendangan lagi yang membuat dia untuk kesekian kalinya terpelanting keras. Melihat betapa Tek Hin dihajar, Hong Ing berteriak dari atas pembaringan, “Pengecut besar, hayo bebaskan totokanku kalau engkau berani! Aku akan membunuhmu!”
Akan tetapi, Lui Teng menoleh dan tersenyum, “Manis, tenanglah. Engkau akan mendapat giliranmu nanti, heh-heh!”
Selagi dia menoleh, Tek Hin mempergunakan kesempatan itu untuk menerjangnya dengan serangan yang nekat. Dia berhasil menerkam dan mencengkeram dada dan leher Lui Teng yang tadi lengah karena menoleh dan bicara dengan Hong Ing.
473
“Ehh.......!!” Dia terkejut juga ketika tahu-tahu Tek Hin sudah mencekik leher dan mencengkeram dadanya. Namun dengan kecepatan luar biasa dan dengan pengerahan tenaga, Lui Teng mengangkat lututnya yang memasuki perut Tek Hin dan kedua tangannya bergerak merenggut jari-jari kedua tangan Tek Hin, lalu mendorong.
“Bressss......!” Kembali Tek Hin terjengkang dan terbanting, dan hanya secuil baju Lui Teng saja yang terobek dan tertinggal dalam tangan Tek Hin.
Kini Lui Teng menjadi marah sekali. Biarpun terkaman tadi tidak mendatangkan luka, hanya sedikit kenyerian pada kulit leher dan dada, namun cukup membuat dia mendongkol sekali dan sebelum Tek Hin dapat bangkit kembali, diapun mulai menghajar pemuda itu dengan tendangan-tendangan!
Tubuh Tek Hin terguling-guling dan darah bercucuran keluar dari hidung yang terkena tendangan, dan dia sudah tidak dapat melawan sama sekali. Tek Hin menanti datangnya tendangan atau pukulan maut yang akan merenggut nyawanya. Akan tetapi dia merasa puas karena dia sudah sempat melawan dan akan tewas sebagai seorang gagah yang kalah dalam perkelahian.
Pada saat itu, seorang penjaga berlari masuk dan munculnya orang ini menghentikan Lui Teng dari amukannya terhadap tubuh Tek Hin yang sudah tidak berdaya itu.
“Kongcu......” kata orang itu terengah-engah. Dia adalah orang yang mengintai apa yang terjadi di tempat pertempuran di luar kota. “Semua teman kongcu telah tewas! Semua tewas oleh Liong-li dan
474
pemuda pakaian putih itu! Dan sekarang mereka berdua sedang dikepung oleh barisan ular yang dikerahkan Beng-cu. Aku takut sekali dan ngeri, lalu cepat pulang untuk memberi laporan.”
Terkejut juga hati Lui Teng mendengar berita ini. Semua temannya mati? Tok-gan-liong Yauw Ban, Kiu-bwe Mo-li dan si kembar He-nan Siang-mo telah tewas oleh Tan Cin Hay dan Hek-liong-li! Akan tetapi, mereka kini dikepung ular-ular yang dikerahkan oleh Hek-sim Lo-mo! Tentu mereka akan mampus, dan bukankah di sana masih ada Hek-sim Lo-mo?
“Bawa dia keluar! Boleh kalian siksa dan bunuh dia!” katanya.
Orang itu mengangguk, lalu bangkit dan menyeret Tek Hin keluar dari dalam kamar itu. Lui Teng menutupkan pintu kamar itu dan menghampiri pembaringan di mana Hong Ing masih rebah miring dan belum dapat menggerakkan kaki tangannya, dan matanya terbelalak penuh kengerian memandang kepada pemuda cabul itu.
Lui Teng tersenyum, menggunakan jari tangannya mencolek dagu yang manis itu. “Nah, sekarang tiba giliranmu, manis. Engkau ingin bebas? Boleh, kubebaskan karena akupun tidak senang dilayani seorang wanita yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Nah, engkau boleh mencoba melawanku, atau engkau menyerahkan diri dengan suka rela melayani aku. Boleh kaupilih!”
Tiba-tiba jari-jari tangannya menotok punggung dan seketika Hong Ing dapat menggerakkan kembali kaki tangannya. Akan tetapi pada saat itu, Lui Teng sudah menubruknya, mendekap dan mencoba untuk menciumi muka dan bibirnya.
475
Ketika tiba-tiba dapat bergerak, Hong Ing segera meronta dan memukul, mendorong Lui Teng yang menciuminya penuh nafsu. Lui Teng melepaskan pelukannya sambil tertawa, melompat turun dari atas pembaringan. Timbul kegembiraannya untuk mempermainkan gadis ini, seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum diterkam dan diganyangnya.
Hong Ing juga melompat turun dan iapun mulai menyerang dengan nekat! Untuk beberapa belas jurus lamanya, Lui Teng melayaninya, mengelak dan menangkis, kemudian tiba-tiba tangannya menampar dari samping. Cepat sekali tamparannya itu dan tentu akan mengenai kepala Hong Ing kalau saja tangan itu tidak merubah arahnya, turun dan tahu-tahu mencengkeram baju di pundak Hong Ing.
“Bretttt.......!” Dengan tenaganya yang kuat sekali, sekali renggut saja baju itu terobek dan terlepas dari tubuh atas Hong Ing sehingga nampak baju dalam warna merah muda di baik baju hijau yang direnggut lepas tadi.
“Aduh, manisnya!” Lui Teng menggoda dan mencium baju itu lalu dilemparkannya baju itu ke atas meja.
Hong Ing marah bukan main, marah dan malu, akan tetapi ia tidak mempunyai sesuatu untuk menutupi tubuh atas yang hanya ditutup baju dalam yang amat tipis itu, dan dengan nekat untuk mengadu nyawa, iapun menyerang lagi. Kakinya menendang- nendang dengan cepat dan kuat.
Kembali Lui Teng melayaninya sambil mentertawakan dan menggoda sehingga Hong Ing menjadi semakin marah. Tiba-tiba, ketika kaki kanannya menendang, dari samping Lui Teng menggerakkan
476
tangannya dan berhasil menangkap pergelangan kaki gadis itu dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya mencengkeram dan merenggut dengan kuat.
“Bretttt......!” Kini celana bijau itulah yang robek-robek dan terlepas. Tali pinggang dan kancing-kancingnya putus dan di lain saat, celana hijau itu telah berada di tangannya.
Hong Ing terbelalak! Kini seluruh tubuhnya hanya tertutup oleh pakaian dalam yang tipis sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan kecuali mengamuk semakin nekat? Ia tidak lagi memperdulikan keadaan pakaiannya, hanya menyerang semakin hebat seperti seekor harimau yang tersudut. Ia ingin mati dalam perkelahian itu!
Akan tetapi, kepandaiannya jauh di bawah tingkat Lui Teng yang dengan mudah mempermainkannya. Sambil tertawa-tawa Lui Teng mengelak dan menangkis dan pada suatu saat, dia berhasil, menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu, diringkusnya ke belakang dan sekali renggut, terdengar bunyi kain robek dan kini Hong Ing sudah berada dalam rangkulannya! Akan tetapi, ketika pemuda itu mencoba untuk menciumnya, Hong Ing membuka mulut dan mencoba untuk menggigitnya! Lui Teng mengelak dan mengangkat tubuh Hong Ing, Ialu melemparkannya ke atas pembaringan!
Sekarang barulah Hong Ing ketakutan setengah mati! Ia tahu bahwa segala usahanya untuk meronta akan gagal. Orang itu terlampau kuat dan terlampau pandai. Biarpun demikian, ia mengambil keputusan untuk mempertahankan kehormatannya sampai mati, dan kalau sampai ia tidak berhasil dan diperkosa, ia akan membunuh diri!
477
Sambil menyeringai menyeramkan, Lui Teng menghampiri pembaringan, kedua tangannya mulai meraba-raba kancing bajunya dan gerakan ini membuat Hong Ing semakin ketakutan, memandang dengan mata terbelalak. Semua akalnya sudah hilang dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia hanya duduk meringkuk di sudut pembaringan paling jauh dan berusaha sedapat mungkin untuk menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.
Pada saat Lui Teng melempar bajunya yang sudah terbuka dan menjulurkan tangan ke arah Hong Ing, tiba-tiba terdengar suara keras.
“Braakkkkk......!! Daun pintu kamar itu jebol dan sesosok bayangan putih berkelebat masuk ke dalam kamar itu.
Lui Teng terkejut dan menengok untuk lebih kaget lagi sampai mukanya berubah pucat ketika dia mengenal siapa yang memasuki kamar dengan paksa itu.
Tan Cin Hay atau Pek-liong-eng!
Jai-hwa Kongcu Lui Teng menjadi ketakutan! Munculnya pemuda berpakaian putih itu hanya berarti bahwa Hek-sim Lo-mo gagal membunuh dua orang muda itu, dan mungkin malah Beng-cu itu telah tewas.
Dia menoleh ke arah jendela karena dia ingin melarikan diri, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda berpakaian putih itu. Dan menuruti hatinya yang penuh rasa takut, tiba-tiba Jai-hwa Kongcu Lui Teng meloncat ke arah jendela kamar itu untuk melarikan diri!
478
Akan tetapi, bayangan putih berkelebat didahului gulungan sinar putih dan tubuh Lui Teng terkulai di bawah jendela, mandi darah dan tewas karena jantungnya telah ditembusi pedang Pek-liong-kiam di tangan Tan Cin Hay!
Cin Hay menoleh ke arah pembaringan, Gadis itu sudah rebah telentang dalam keadaan pingsan! Saking merasa ngeri menghadapi ancaman perkosaan atas dirinya, gadis yang tabah itu akhirnya tidak tahan dan jatuh pingsan pada saat pintu kamar itu pecah berantakan. Rasa ngeri yang sudah sampai di puncaknya, porak poranda karena harapan baru yang muncul ketika daun pintu jebol, membuat Hong Ing tak sadarkan diri.
Cin Hay berdiri di tepi pembaringan. Melihat wajah yang manis itu, diam-diam Cin Hay mengerti mengapa Lui Teng tadi mati-matian hendak memperkosa gadis ini, tidak takut lagi kepada pemimpinnya.
Siapapun akan tergila-gila oleh gadis seperti ini, pikirnya. Diambilnya sehelai selimut yang masih terlipat di sudut pembaringan, lalu ditutupinya tubuh itu dengan selimut, digulungnya dan diapun memanggul tubuh Hong Ing yang sudah terbungkus selimut dan sebelum dia keluar dari kamar, dia menyambar pakaian gadis itu yang robek dan berserakan di atas lantai, lalu pakaian itu dia susupkan ke dalam gulungan selimut pula. Dan keluarlah Cin Hay dari dalam kamar itu, menuju ke ruangan dalam di mana terjadi hal lain yang hebat!
Ketika Song Tek Hin dalam keadaan seluruh tubuh nyeri-nyeri karena hajaran Lui Teng diseret oleh penjaga itu keluar kamar, dia menurut saja, akan tetapi diam-diam Tek Hin mengumpulkan kekuatannya.
479
Untung bahwa tidak ada tulang di tubuhnya yang patah-patah, dan luka-lukanya hanya luka luar saja, tubuhnya matang biru dan bengkak-bengkak, dari hidung dan mulutnya mengalir darah karena tamparan Lui Teng yang memecahkan bibirnya dan membuat hidungnya berdarah.
Dia diseret ke tengah ruangan di mana masih ada duabelas orang penjaga yang berkumpul. Wajah para penjaga itu tegang sekali karena merekapun bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan mereka khawatir kalau-kalau pimpinan mereka akan kalah oleh dua orang muda yang lihai itu. Bahkan dua orang di antara mereka tadi sudah lari untuk melapor dan minta bantuan kepada Kwa-ciangkun, komandan pasukan keamanan di benteng kota Lok-yang yang sudah menjadi sahabat baik dari Hek-sim Lo-mo!
Begitu melihat Tek Hin diseret masuk dan penjaga yang menyeretnya itu berkata, “Kong-cu telah menyerahkan orang ini kepada kita, boleh kita siksa dia sampai mampus!” Semua penjaga yang sudah ketakutan dan marah kepada musuh ini, segera mengepung dan berlumba untuk memukuli Tek Hin. Akan tetapi pemuda ini sudah sejak tadi mengumpulkan tenaga.
Kini dia tahu bahwa dia terancam bahaya maut di tangan tigabelas orang penjaga ini. Mereka tidaklah selihai Jai-hwa Kongcu Lui Teng, pikirnya, maka bangkitlah semangatnya dan diapun mengamuk, menghantam sana, menerjang sini dan tidak memperdulikan hujan pukulan yang jatuh kepada tubuhnya. Semangatnya makin berkobar ketika dia mendapatkan hasil dengan robohnya beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, dia sendiri sudah semakin lemah, dihujani
480
pukulan dan dia terhuyung ke sana-sini seperti seekor jangkerik sekarat dikeroyok sekumpulan semut.
Ketika keadaan Tek Hin gawat sekali karena kini para penjaga itu saking marahnya sudah mencabut golok masing-masing, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam didahului sinar hitam bergulung-gulung dan para penjaga itu roboh dan tewas seketika kena disambar oleh Hek-liong-kiam di tangan Liong-li!
Tek Hin masih berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, dan dia tersenyum melihat Liong-li yang berdiri dengan pedang di tangan dan semua pengeroyok telah roboh.
“Hebat...... kau wanita hebat...... aku yakin engkau pasti datang menolongku...... kau..... Liong-li yang cantik jelita dan hebat......” dan diapun terguling dan tentu akan terbanting jatuh karena pingsan kalau saja tidak cepat disambut oleh Liong-li.
Wanita ini merasa kagum sekali melihat keberanian Song Tek Hin, juga terharu mendengar pujian menjelang pingsannya tadi. Dipanggulnya tubuh itu dan dibawanya meloncat keluar.
Tiba-tiba terdengar derap banyak kaki kuda dari orang di luar gedung itu. Agaknya serombongan besar orang berkuda dan berjalan kaki menyerbu ke pekarangan gedung itu dan segera Liong-li melihat di bawah sinar bulan betapa puluhan orang menyerbu masuk pekarangan dan melihat pakaian mereka yang seragam, tahulah ia bahwa penyerbu itu adalah pasukan keamanan kota!
Selagi ia termangu-mangu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan ia melihat Cin Hay telah berdiri di dekatnya dan di pundak pemuda itu
481
terpanggul tubuh seorang gadis cantik yang dibungkus selimut! Liong-li merasa geli dan iapun mengenal gadis yang tadi menjadi tawanan bersama Tek Hin. Akan tetapi Cin Hay berkata dengan suara serius.
“Liong-li, mari kita cepat pergi. Mereka itu adalah pasukan keamanan yang telah bersekutu dengan Hek-sim Lo-mo. Mari, lewat belakang saja!”
Tubuhnya berkelebat cepat dan Liong-li juga tidak membuang waktu, cepat mengikuti Cin Hay. Dengan mempergunakan ilmu mereka berlari cepat, biarpun masing-masing memanggul tubuh orang, mereka dapat cepat keluar dari kota Lok-yang.
“Kita pergi ke petak rumput tepi sungai!” kata pula Cin Hay yang setelah tiba di luar tembok kota mempercepat larinya.
Liong-li maklum tempat mana yang dimaksudkan, tentu tempat di mana mereka tadinya menantang kepada Hek-sim Lo-mo untuk bertanding. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu menandingi Cin Hay dalam hal berlari cepat.
Bulan bersinar terang sehingga Liong-li dapat mencari tempat itu di tepi sungai kecil yang jernih airnya, dan ketika ia tiba di situ, ia berhenti melihat dari jauh betapa gadis itu merangkul leher Cin Hay sambil menangis! Liong-li menahan ketawanya dan iapun mengambil jalan lain, menuju ke tepi sungai yang agak jauh dari tempat Cin Hay, terhalang banyak semak belukar sehingga mereka tidak dapat saling lihat.
Ketika Cin Hay menurunkan “buntalan selimut” itu, Hong Ing siuman dari pingsannya. Begitu siuman, dan melihat dirinya dibungkus
482
selimut, tanpa disadarinya ia bangkit duduk dan bungkusan selimut itupun terlepas dan ia bergidik. Lalu ia teringat dan memandang ke kiri. Ia melihat Cin Hay duduk bersila di atas rumput dan pemuda ini berkata halus.
“Pakaianmu berada di dalam selimut itu, nona.”
Hong Ing terkejut, lalu teringat bahwa tadi pintu kamar itu jebol ketika ia hampir putus asa menahan Lui Teng yang hendak memperkosanya dan biarpun batinnya terguncang hebat dan pandang matanya sudah kurang terang, namun ia masih dapat melihat berkelebatnya bayangan putih dan melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang memegang sebatang pedang yang berkilauan sebelum ia jatuh pingsan!
Kini, melihat pemuda yang duduk bersila di dekatnya, pemuda yang berwajah tampan dan halus, yang berpakaian serba putih sederhana, ia teringat kesemuanya. Pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada maut! Pemuda ini telah menyelamatkan nyawanya, menyelamatkan kehormatannya! Keharuan menggenangi perasaannya.
“Apakah..... apakah engkau... Tan-taihiap?” Ia teringat akan cerita Song Tek Hin kepadanya.
Cin Hay memandang kepadanya dan tersenyum. “Namaku Tan Cin Hay, nona......”
“Ahhh..., terima kasih, taihiap...... terima kasih...” dengan hati diliputi penuh keharuan, Su Hong Ing lalu maju dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda yang bersila itu.
483
Tentu saja Cin Hay menjadi repot sekali! Dia memegang kedua pundak wanita itu, mengangkatnya bangkit agar tidak berlutut. Dilepasnya lagi pundak itu dan dia memandang penuh kagum.
Cin Hay adalah seorang laki-laki yang baru berusia duapuluh lima tahun, tentu saja penglihatan di depannya itu, wajah yang cantik manis, merasa betapa tubuh itu mengeluarkan hawa yang hangat, ditambah sinar bulan yang romantis, tak dapat dicegah lagi diapun terpesona. Sampai lama dia mengamati gadis itu, dan Hong Ing yang berterima kasih, kagum dan maklum akan pandang mata yang penuh kagum itu, menundukkan mukanya.
“Nona... kau...... kau sungguh cantik sekali...!” kata Cin Hay lirih dan suaranya tersendat-sendat.
Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang kini berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Ia merasa bahwa ia berhutang nyawa, berhutang budi kepada pemuda perkasa yang seketika menarik hatinya ini, dan seperti ditarik oleh besi semberani, gadis itupun merangkulkan kedua lengannya ke leher Cin Hay, menyandarkan mukanya di dada itu dan menangis!
Cin Hay tidak dapat berbuat lain kecuali merangkul dan memeluknya, mengelus rambutnya dan hatinya diliputi rasa kasihan dan sayang. Pada saat gadis itu merangkul dan menangis di dadanya itulah Liong-li melihat dari jauh dan gadis itupun tersenyum geli, kemudian pergi mencari tempat lain.
Ketika Liong-li menurunkan tubuh Tek Hin dari pondongan atau panggulannya ke atas rumput tebal, pemuda itu mengeluh, tanda
484
bahwa dia telah siuman dari pingsan. Begitu siuman, dia segera teringat dan cepat dia bangkit duduk.
“Li-hiap (pendekar wanita), aku......” katanya dengan sinar mata penuh kagum dan terima kasih yang mudah dilihat oleh Liong-li di bawah sinar bulan. Liong-li cepat meletakkan jari tangannya di atas bibir pemuda itu dan berkata lirih.
“Sshhhh, jangan banyak bicara dulu. Rebahlah, aku harus memeriksamu, kalau-kalau engkau menderita luka dalam atau patah tulang.”
Tek Hin merebahkan diri lagi telentang. Ah, jangankan hanya luka dalam atau patah tulang, biar mati sekalipun dia tidak penasaran kalau akhirnya dia dapat berduaan dengan pendekar wanita yang amat dikaguminya ini! Berduaan di tempat sunyi, di malam hari terang bulan, dan wanita ini sekarang meraba-raba seluruh tubuhnya dengan jari-jari tangan yang lembut dan hangat! Amboii! Sama sekali dia tidak pernah mimpi akan dapat merasakan kemesraan seperti ini dengan Liong-li!
Liong-li memeriksa seluruh tubuh Tek Hin, memijat tulang-tulangnya, meraba dengan telapak tangan untuk memeriksa kalau-kalau ada tulang patah atau luka dalam yang berbahaya. Dan ia semakin kagum. Pemuda ini bukan saja hebat semangatnya, gagah berani dan tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi selain tampan dan gagah juga memiliki bentuk tubuh yang hebat! Seorang pria yang akan mudah menundukkan hati wanita yang manapun juga, termasuk ia sendiri!
Hatinya tergerak dan ia tertarik sekali, apa lagi ia adalah seorang wanita yang masih muda, baru berusia duapuluh tiga tahun, bagaikan
485
bunga sedang mekarnya. Pengalamannya dengan para pria dahulu hanya merendahkan dan menghina dirinya. Ia hanya dijadikan korban, menjadi alat pemuas nafsu para pria itu tanpa ia merasakan sedikitpun kemesraan kasih sayang, sedikitpun tidak pernah merasakan cinta di dalam hatinya, melainkan benci yang terselubung karena terpaksa.
Kini, melihat Song Tek Hin, hatinya mekar seperti kelopak bunga menyambut embun pagi dan tanpa disadarinya, jari-jari tangannya memancarkan gelora yang timbul dari hati yang menyayang.
“Bukan main!” katanya. “Engkau tidak apa-apa! Engkau dikeroyok, dihajar oleh banyak orang, mengalami siksaan dan penahanan selama berhari-hari, sampai mukamu bengkak-bengkak, kulitmu lembam dan matang biru, akan tetapi sedikitpun engkau tidak menderita luka dalam atau patah tulang! Song-toako, engkau sungguh gagah bukan main!”
Bagaikan mimpi rasanya Tek Hin mendengar betapa dari mulut pendekar wanita yang dikaguminya itu meluncur sebutan “Song-toako” sedemikian merdunya! Merdu dan mesra.
Diapun bangkit dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis pendekar itu, “Li-hiap, jangan menumpuk budi terlampau banyak sampai aku merasa tidak kuat untuk menerimanya! Berkat pertolonganmu yang dua kali, aku kini masih hidup, dan engkau malah memuji-mujiku. Li-hiap, aku bersyukur dan berterima kasih sekali kepadamu, dan kalau dalam kehidupan yang sekarang aku tidak mampu membalas budi, biarlah di lain kehidupan mendatang aku akan menjadi kuda tungganganmu!”
486
Wajah Liong-li berubah merah membayangkan betapa pemuda ini menjadi kuda tunggangannya! “Ihh, jangan begitu, toako. Bangkitlah, engkau lebih tua dariku, dan engkau begini gagah perkasa, tidak layak kalau berlutut kepadaku!”
Liong-li memegang kedua pundak Tek Hin dan menariknya pemuda itu bangkit duduk. Tek Hin memegang kedua lengan yang begitu halus mulus kulitnya akan tetapi yang dia tahu menyembunyikan tenaga dahsyat di dalamnya. Mereka masih saling pegang, dan duduk berhadapan.
Liong-li memegang kedua pundak pemuda itu dan Tek Hin memegang kedua lengannya. Dua mata saling berpadu, penuh sinar aneh dan agaknya cahaya bulan mendorongkan pengaruhnya kepada dua hati itu sehingga tanpa diketahui lagi siapa yang mendahului, tahu-tahu mereka sudah saling rangkul!
Perasaan kagum dan iba merupakan dua di antara perasaan-perasaan yang berpengaruh kuat sekali terhadap pertumbuhan kasih sayang. Dan kasih sayang antara dua jenis yang berlawanan selalu menjadi makanan lunak bagi nafsu yang selalu mengintai untuk menerkam hati yang dilemahkan oleh perasaan kasih sayang.
Kalau dua buah hati yang haus akan kemesraan belaian kasih sayang, kalau dua buah hati yang mendambahkan curahan cinta bagaikan bunga kekeringan mengharapkan tetesan embun, kalau dua buah hati yang dirundung rindu dendam sudah saling bertemu dan bersatu padu, maka dunia ini rasanya bagaikan sorga. Waktu tidak ada lagi, ruang tidak ada lagi, aku dan engkau tidak ada lagi, yang ada hanyalah kebahagiaan yang tak dapat diukur dan digambarkan lagi.
487
Tahu-tahu pagipun sudah menjelang, sinar matahari pagi mulai memudarkan sinar bulan dan bintang-bintang di angkasa. Bersama lenyapnya cahaya bulan yang mempesona dan menyihir hati, maka kesadaranpun mulai kembali menguasai batin.
“Li-hiap......, benarkah engkau tidak mau hidup selamanya di sampingku? Begitu tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi pagi ini, setelah engkau merampas cintaku, merampas hatiku, merampas segalanya yang ada padaku?”
Liong-li yang menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, menarik napas panjang. Sepasang matanya masih sayu seperti orang mengantuk, akan tetapi bibirnya tersenyum. “Alangkah indahnya hidup ini! Alangkah akan bahagianya kalau aku dapat terus begini......!”
“Mengapa tidak, Li-hiap? Engkau dapat menjadi isteriku yang terkasih! Aku akan mencintamu selama hidupku, sebagai suamimu, dan kita akan hidup bersama selamanya......”
Liong-li menggeleng kepala. “Itu tidak mungkin, Song-toako. Sama sekali tidak mung- kin, dan karena itu, maka pagi ini aku terpaksa harus berpisah darimu. Kita harus berpisah dan biarlah semua yang terjadi menjadi kenangan manis dalam kehidupan kita.”
Tek Hin mendekap kepala itu ke dadanya erat-erat, seolah-olah kepala itu sebuah mustika dan dia tidak mau kehilangan mustika itu, hendak membenamkan di dalam dadanya agar selamanya tidak keluar lagi.
“Akan tetapi kenapa, Li-hiap? Kenapa tidak mungkin? Bukankah engkau juga mencintaku seperti aku cinta padamu, Li-hiap?”
488
Liong-li mengangkat mukanya, merangkul leher di atas itu dan menarik kepala Tek Hin turun, lalu bibirnya mengecup dagu pemuda itu, “Aku sayang padamu, Song-toako, hal ini tentu engkau ketahui dan boleh yakin. Akan tetapi, tidak semua cinta dan sayang harus berakhir dengan pernikahan.”
Ia lalu bangkit duduk dan menghadapi. pemuda itu, pandang matanya penuh kesungguhan. “Dengar baik-baik, toako. Aku tidak mungkin dapat hidup sebagai seorang isteri dan rumah tangga. Aku seorang petualang dan hidupku penuh bahaya maut. Aku tidak mau membawa engkau masuk ke dalam ancaman bahaya setiap waktu! Aku harus hidup sendirian!”
Dengan pandang mata sayu Tek Hin memandang wanita itu. Betapa cantik jelitanya, dengan rambut yang agak awut-awutan seperti itu, mata yang demikian tajam bersinar akan tetapi masih nampak kesayuannya penuh kemesraan. “Li-hiap, aku bersedia untuk hidup menghadapi tantangan bahaya maut di sampingmu!”
Kembali Liong-li menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, toako. Pernikahan bukan hanya membutuhkan cinta kasih, lebih dari pada itu! Selain cinta kasih, juga harus dilandasi saling pengertian, selera yang sama, cara hidup yang sama. Kalau tidak, maka cinta itu akan mudah goyah. Sudahlah, engkau percayalah bahwa aku, Lie Kim Cu, selamanya tidak akan melupakan Song Tek Hin. Selamat tinggal!”
Tek Hin hendak bicara, akan tetapi tiba-tiba gadis di depannya itu telah berkelebat menjadi sesosok bayangan hitam dan lenyap dengan kecepatan seperti menghilang saja!
489
Tek Hin bangkit berdiri, memandang ke empat penjuru, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu, tidak mendengar sesuatu dan dengan kedua kaki lemas dia menjatuhkan diri lagi di atas rumput, menelungkup dan hidungnya masih dapat mencium bau sedap yang ditinggalkan tubuh Liong-li, masih dapat merasakan kehangatan yang ditinggalkan tubuh wanita itu pada rumput. Kalau saja dia seorang wanita lemah, bukan seorang laki-laki jantan, tentu dia sudah menangis mengguguk!
Sementara itu di tepi sungai agak jauh dari situ, Hong Ing menangis sambil merangkul pundak Cin Hay, menyembunyikan mukanya di dada pendekar itu sehingga baju Cin Hay menjadi basah oleh air mata. Cin Hay mengelus rambut yang halus itu dan menghibur.
“Sudahlah, Ing-moi, tenangkan hatimu.”
“Tapi, tai-hiap...... begitu tegakah hatimu untuk meninggalkan aku? Aku... aku ingin ikut denganmu selamanya, tai-hiap...... tidak ingin berpisah lagi darimu..... biar aku menjadi bujangmu, menjadi pelayanmu, aku.... aku...... bukankah kita saling mencinta, tai-hiap......?” kata Hong Ing di antara isak tangisnya.
Cin Hay mengangkat muka itu dengan memegang dagunya, lalu mengecup bibir yang gemetar itu, mengecup pipi yang dibasahi air mata. “Tentu saja aku cinta padamu, Hong Ing. Engkau seorang gadis yang amat baik, gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi, sekali lagi kujelaskan bahwa aku bukan seorang yang pantas menjadi suami dan ayah. Hidupku mengharuskan aku menjadi seorang petualang, pembasmi kejahatan dan hidupku bergelimang kekerasan dan selalu terancam bahaya maut.”
“Aku tidak takut........ !”
490
“Aku percaya, akan tetapi aku yang tidak ingin melihat engkau selalu terancam bahaya. Tidak, engkau harus memperoleh jodoh yang cocok bagimu. Engkau seorang gadis yang baik, aku hanya akan berdoa untukmu, Ing-moi. Percayalah, aku selamanya takkan melupakanmu. Selamat tinggal, Ing-moi, selamat tinggal dan semoga engkau berbahagia!”
“Tai-hiap......!” Hong Ing menjerit ketika tiba-tiba Cin Hay melepaskan dirinya dan sekali berkelebat, hanya nampak bayangan putih dan pemuda itu telah lenyap.
“Tai-hiap...... aahhh, tai-hiap......!” Dan gadis itupun menangis, mengguguk sambil menelungkup di atas rumput.
Setelah tangisnya mereda, Hong Ing bangkit duduk, masih terisak dan ia berkata seorang diri, “Tai-hiap... engkau meninggalkan aku...... apa artinya lagi hidup bagiku? Tai-hiap, lebih baik aku mati saja...” Ia bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara halus di belakangnya.
“Hong Ing, jangan engkau berkata seperti itu!”
Hong Ing terkejut, penuh harap ia membalikkan tubuhnya. Kiranya yang berdiri di depannya adalah Song Tek Hin.
“Ing-moi, tenangkanlah hatimu, sabarkanlah hatimu, aku... aku tahu apa yang kausedihkan, Ing-moi. Aku sendiri juga amat kehilangan ia... ia telah meninggalkan aku pula, seperti Tan-taihiap meninggalkanmu......”
491
Hong Ing merasa hatinya seperti ditusuk karena diingatkan dengan nada penuh iba itu. Ia lalu lari menubruk Tek Hin dan menangis di dada pemuda itu, seperti seorang anak kecil.
Tek Hin merangkul dan menarik napas panjang, mengelus rambut gadis itu dengan hati penuh iba. Dia tahu bagaimana rasanya hati yang ditinggal pergi kekasih, bukan hanya ditinggal pergi, melainkan juga direnggut putus tali cinta kasihnya. Dia merasakan hal yang sama seperti yang kini diderita Hong Ing.
“Ing-moi, engkau tentu mencinta Tan-taihiap, bukan?” tanyanya halus, seperti kepada seorang adik.
Tanpa menjawab, dengan muka masih disembunyikan di dada itu, dengan pundak masih terguncang oleh isak, Hong Ing mengangguk.
“Dan Tan-taihiap terpaksa meninggalkan engkau karena dia tidak ingin engkau menjadi teman hidupnya?”
Kembali Hong Ing mengangguk, sesenggukan.
“Aku juga mengalami hal yang sama, Ing-moi. Aku mencinta Li-hiap, dan iapun sayang padaku, akan tetapi, ia terpaksa meninggalkan aku karena ia tidak ingin aku hidup selamanya di sampingnya.”
Hong Ing terheran mendengar ini dan ia lalu melepaskan diri, mundur dua langkah dan memandang kepada pemuda itu dengan muka basah air mata, kini matanya terbelalak memandang pemuda itu. “Kau...... kau juga?” hanya demikian ia bertanya.
492
Tek Hin tersenyum, senyum yang pahit sekali dan mengangguk. Hong Ing menghentikan tangisnya, kini hatinya diliputi rasa iba terhadap pemuda itu. Keduanya menunduk sampai lama.
Tek Hin menarik napas panjang. “Mereka itu benar, Ing-moi. Kita yang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin dua orang pendekar sakti seperti mereka itu mau berjodoh dengan orang-orang bodoh seperti kita? Kehidupan mereka akan menjadi pincang dan kita hanya akan menjadi beban mereka. Seekor naga tak mungkin berjodoh dengan seekor ular. Burung-burung Hong seperti mereka tidak mungkin berjodoh dengan burung-burung gagak seperti kita. Burung gagak jodohnya juga burung gagak, seperti engkau dengan aku.”
Hong Ing mengangkat mukanya dan matanya terbelalak, “Apa... apa maksudmu, toako?”
Tek Hin tersenyum, “Engkau mengalami patah hati dan kekecewaan cinta, akupun demikian, Ing-moi. Engkau tahu, aku telah kehilangan tunanganku Pouw Bi Hwa, dan sekarang aku kehilangan Hek-liong-li. Sekarang barulah aku menyadari bahwa orang yang jauh lebih pantas dan cocok untuk menjadi jodohku adalah engkau! Kita sama-sama menderita kekecewaan, bagaimana kalau kita sama-sama berusaha saling menghibur? Bersediakah engkau menjadi isteriku, Ing-moi?”
Wajah itu berubah kemerahan dan matanya semakin terhelalak. Dahulu, sudah lama sekali, ketika untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada tunangan saudara misannya, Pouw Bi Hwa, pernah diam-diam ia mengagumi pemuda ini dan merasa iri kepada Bi Hwa. Dan kini, pemuda itu secara tiba-tiba melamar dirinya untuk
493
menjadi isterinya! Setelah apa yang dialaminya bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay!
Hong Ing termenung, sukar sekali untuk menjawab. Akan tetapi kemudian ia mengangkat mukanya lagi menatap wajah pemuda itu. Mereka saling pandang dengan sinar mata penuh selidik dan mendapat kenyataan betapa mereka memang saling menaruh rasa iba.
“Toako, kita berdua baru saja mengalami hal-hal yang hebat, baru saja lolos dari maut yang mengerikan. Agaknya kita memang senasib sependeritaan, juga dalam cinta. Karena itu...... kalau memang engkau sungguh-sungguh tulus dan jujur, aku..... aku akan merasa berbahagia sekali, mendapatkan kembali harapanku untuk hidup berbahagia di sampingmu, toako.”
Tek Hin tersenyum, melangkah maju dan merangkul pundak gadis itu, diajaknya melangkah menuju ke timur di mana matahari mulai muncul dengan cerahnya. Mereka berjalan melangkah perlahan-lahan menyongsong Sang Surya, menyongsong kehangatan dan cahaya terang penuh kedamaian. Lengan kiri Tek Hin merangkul pundak dan leher Hong Ing dan perlahan-lahan, lengan kanan gadis itupun melingkar di pinggang Tek Hin
◄Y►
“Liong-li, perlahan dulu......!”
Liong-li yang sedang berlari cepat itu, menahan langkahnya dan menoleh, ia tersenyum melihat Tan Cin Hay berlari mengejarnya,
494
“Hemm, engkau, Liong-eng (Pendekar Naga)?” tegurnya dan Cin Hay tersenyum mendengar sebutan itu. Liong-li menyebutnya Liong-eng, dan memang sebutan ini cocok sekali dengan sebutan Liong-li! Biarlah mulai sekarang, setidaknya untuk Liong-li, dia berjuluk Liong-eng, singkatan dari Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih).
Mereka, tanpa berunding, duduk di atas rumput di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu. Mereka telah meninggalkan Tek Hin dan Hong Ing jauh sekali, akan tetapi masih terus mengikuti sungai dan tadi mereka berlari menyusuri tepi sungai.
“Jadi engkau juga meninggalkan dia?” tanya Cin Hay.
Liong-li menatap tajam. “Engkau juga meninggalkan gadismu baju hijau atau baju selimut itu?” ia tersenyum mengejek.
Cin Hay mengangguk serius, “Aku bukan seorang calon suami yang baik.”
“Aku juga bukan seorang calon isteri yang baik,” kata pula Liong-li. Kemudian disam- bungnya, “Liong-eng, mengapa engkau berkata bahwa engkau bukan seorang calon suami yang baik?”
“Aku pernah menjadi suami orang, akan tetapi aku seorang suami yang tidak mampu menjaga keselamatan isterinya sehingga isteri itu tewas dalam tangan manusia-manusia iblis.”
Cin Hay lalu menceritakan pengalaman hidupnya, betapa dia dan isterinya di Telaga See-ouw diganggu oleh Koan Taijin dan tukang-tukang pukulnya, yaitu See-ouw Sam-houw. Betapa dia hampir tewas
495
dan isterinya dirampas, kemudian isterinya diperkosa sampai mati, pada hal isterinya sedang mengandung tiga bulan.
Diceritakannya pula betapa dia kemudian ditolong oleh mendiang Pek I Lojin yang menjadi gurunya. Dia digembleng oleh kakek itu, kemudian dia, tujuh tahun kemudian, membalas dendam kematian isterinya, membunuh See-ouw Sam-houw dan membuat Koan Taijin menjadi seorang manusia yang tidak berguna lagi.
“Kemudian aku memenuhi pesan mendiang suhu untuk mencari Kim-san Liong-cu yang membawaku bertentangan dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu, Liong-li. Nah, entah mengapa aku menceritakan semua ini kepadamu, Liong-li, pada hal aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk merahasiakan riwayat hidupku yang buruk ini. Entah mengapa aku menaruh kepercayaan yang mutlak kepadamu. Engkau merupakan orang pertama dan orang terakhir yang mendengar riwayatku, maka kupercaya engkau akan merahasiakannya pula.”
Liong-li mendengarkan dengan terharu. Kiranya pemuda ini memiliki riwayat hidup yang cukup menyedihkan. “Percayalah, aku akan menyimpannya seperti rahasia pribadiku sendiri.”
“Akan tetapi, kuharap engkaupun cukup percaya kepadaku untuk menceritakan riwayatmu, Liong-li. Dengan demikian, kita berdua saling mengenal secara mendalam. Aku mendapat firasat bahwa bukan hanya sekali ini saja kita akan bekerja sama menentang kejahatan. Maukah engkau bercerita kepadaku, Liong-li!”
Liong-li menundukkan mukanya dan menyembunyikan warna merah yang naik ke wajahnya yang manis itu. Beberapa kali ia menarik
496
napas panjang, kemudian berkata, “Akupun menaruh kepercayaan besar kepadamu, Liong-eng. Maka biarlah engkau mendengar riwayatku dan engkaupun orang pertama dan orang terakhir yang akan mendengarnya.”
Liong-li lalu bercerita secara singkat namun padat. Betapa untuk menyelamatkan ayahnya yang korup, ia dipaksa menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong dan karena ia melawan ketika hendak digauli, ia disiksa, diperkosa secara kejam oleh pangeran itu, kemudian karena masih terus melawan, ia dijual ke rumah bordil dan oleh pemilik rumah bordil yang mempunyai tukang-tukang pukul, iapun disiksa dan dipaksa untuk menjadi pelacur!
Tanpa malu-malu lagi ia menceritakan betapa ia dipaksa melayani banyak orang, dan betapa ia diam-diam ia mengusahakan pelariannya. Betapa ia berhasil melarikan diri, dikejar-kejar dan ditolong oleh nenek Huang-ho Kui-bo yang kemudian menjadi gurunya selama tujuh tahun. Setelah selesai belajar silat, ia lalu membalas dendam dan membuat semua orang yang pernah menghinanya menjadi penderita cacat seumur hidup dengan membuntungi kaki tangannya, dan para hidung belang itu ia buntungi hidung mereka. Pangeran Coan Sui Ong ia buntungi kaki tangannya.
“Akupun dipesan oleh subo untuk mencari Kim-san Liong-cu dan dalam usaha mencari mutiara itu, aku bertemu dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu. Nah, demikianlah riwayat hidupku dan kuharap engkau sebagai satu-satunya orang yang pernah mendengarnya, akan merahasiakannya.”
497
Cin Hay atau yang kini berjuluk Liong-eng menghela napas panjang, memandang kepada kawannya itu dengan penuh perasaan iba. “Aduh, riwayat hidupmu sungguh menyedihkan sekali, Liong-li. Tentu saja aku akan merahasiakannya seperti rahasia pribadiku sendiri.”
“Tidak, Liong-eng. Engkau yang lebih menderita, karena engkau kehilangan isteri yang tercinta, bahkan kehilangan calon anak. Engkau menderita kehilangan, sedangkan aku hanya menderita penghinaan.”
“Betapapun juga, Liong-li, Kita berdua adalah dua orang yang menjadi korban kejahatan manusia yang berhati iblis. Oleh karena itu, kita harus selalu menentang kejahatan dalam bentuk apapun juga! Maukah engkau bekerja sama dengan aku dalam hal ini? Dengan bekerja sama, tentu kita menjadi lebih kuat.”
“Aku setuju, Liong-eng. Akan tetapi, tidak semua lawan perlu kita hadapi bersama. Kalau seorang di antara kita menghadapi kesulitan, bertemu dengan lawan yang amat tangguh seperti Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, barulah kita saling mengabari dan saling bantu. Setujukah engkau?”
Liong-eng atau Tan Cin Hay mengangguk. Diapun tahu bahwa kalau mereka selalu berkumpul, banyak sekali bahayanya. Mereka itu saling kagum, dan kalau terlalu sering berkumpul, bukan tidak mungkin akan terjalin hubungan yang lebih akrab dan mesra di antara mereka dan hal itu akan merupakan kelemahan mereka.
“Baik, Liong-li. Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat saling menghubungi atau mencari?”
498
“Aku berasal dari Lok-yang, maka akupun tidak akan meninggalkan Lok-yang jauh-jauh. Aku akan berada di sekitar Lok-yang, dan kalau engkau ingin bertemu atau menghubungi aku, datanglah engkau ke tepi sungai ini. Aku akan mendirikan sebuah pondok di sini untuk tempat peristirahatan, dan di tempat inilah engkau akan menemui aku. Dan bagaimana dengan kau? Kalau aku perlu denganmu, ke mana aku harus mencarimu?”
“Aku? Aku akan berada di sekitar Telaga See-ouw! Aku tidak dapat melupakan telaga yang indah itu. Kampung halamanku tidak jauh dari telaga itu di mana orang tuaku hidup bertani, dan kuburan isteriku juga berada di sana.”
“Bagus, kalau begitu semua telah disepakati. Aku girang sekali dapat menjadi sahabatmu, Liong-eng dan mudah-mudahan tidak lama lagi kita akan dapat saling bertemu kembali.” Iapun bangkit berdiri.
Liong-eng juga bangkit berdiri. “Kita berpisah sekarang, Liong-li?”
Wanita itu tersenyum, manis sekali.
“Ada pertemuan harus ada perpisahan, dan hanya perpisahan yang membuat pertemuan berikutnya menjadi teramat indahnya! Bukankah begitu?”
Liong-li tersenyum, mengangguk.
Sungguh menyenangkan sekali mempunyai seorang sahabat sejati seperti Liong-li ini, wataknya aneh akan tetapi amat gagah dan baik, pandangan luas, dan hatinya bebas. Dan yang lebih dari itu, wanita ini
499
pernah menyelamatkan nyawanya, dan dia sendiripun pernah menyelamatkan nyawanya.
“Selamat jalan dan selamat berpisah, Liong-li,” katanya sambil membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, bersoja.
Liong-li membalas penghormatan itu, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya, mendekati Liong-eng. Sambil tersenyum orang muda itu menyambut uluran tangan itu, menyambut dalam jabatan tangan yang hangat di mana kedua tangan itu saling genggam penuh getaran persahabatan.
Begitu keduanya melepaskan jabatan tangan, keduanya saling pandang, tersenyum dan keduanya lalu berkelebat lenyap, yang seorang ke utara, seorang ke selatan menurut arah sungai yang membelok ke selatan itu. Sebentar saja yang nampak hanyalah dua titik, satu hitam satu putih yang makin lama makin saling menjauhi sampai akhirnya lenyap.
◄Y►
Rumah besar di lereng bukit luar kota itu memang menyeramkan. Bentuknya seperti sebuah benteng yang dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan tebal. Di sebelah dalam pagar tembok terdapat beberapa bangunan mengelilingi bangunan induk yang besar dan kuno, seperti kuil-kuil saja. Bukit itu merupakan sebuah di antara bukit-bukit yang mengelilingi Telaga Po-yang di Propinsi Kiang-si.
Di bukit-bukit itu memang terdapat banyak bangunan kuno, peninggalan jaman dahulu, kuil-kuil tua yang sudah tidak dipergunakan sebagai kuil lagi, hanya menjadi peninggalan kuno yang
500
kadang-kadang dikunjungi orang untuk dikagumi. Akan tetapi, bangunan yang satu ini, yang terletak di lereng Bukit Merak, tidak pernah dikunjungi orang!
Semua orang di sekitar daerah itu tidak ada yang berani, apa lagi berkunjung, mendekatipun mereka tidak berani. Kecuali mereka yang mempunyai keperluan seperti pedagang beras dan kebutuhan lain untuk dikirimkan kepada penghuni bangunan besar itu.
Kalau para penduduk di sekitar tempat itu takut mendekatinya karena telah mendengar betapa para penghuni rumah besar itu bengis dan galak, juga lihai dan suka main pukul, para tokoh kang-ouw lebih takut lagi untuk mendekati tempat itu. Dunia kang-ouw sudah mengetahui bahwa rumah besar di lereng bukit yang disebut Bukit Merak itu adalah tempat tinggal dari Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka Tertawa), seorang di antara datuk sesat yang dikenal dengan sebutan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang kini merajalela di dunia persilatan setelah puluhan tahun mereka tidak pernah mencampuri urusan dunia.
Baru beberapa tahun ini Kiu Lo-mo terjun ke dunia ramai dan dunia kang-ouw menjadi gempar karena sepak terjang mereka yang menggegerkan dunia persilatan, menaklukkan seluruh golongan hitam untuk menjadi anak buah mereka di daerah kekuasaan masing-masing.
Siauw-bin Ciu-kwi yang menguasai seluruh daerah Propinsi Kiang-si, dalam waktu beberapa tahun saja sudah menalukkan sebagian besar kaum sesat dan diapun diangkat menjadi Beng-cu (pemimpin) oleh para tokoh sesat yang tidak mampu menandingi ilmu kepandaiannya yang konon amat tinggi sehingga dia dinamakan seorang yang sakti.
501
Malam itu amat sunyi di sekitar lereng Bukit Merak. Lampu-lampu gantung di atas pagar tembok dan di luar rumah-rumah besar tua itu nampak berkelap-kelip di antara kegelapan malam, menambah seramnya suasana yang amat sunyi itu. Tidak ada seorangpun penduduk di sekitar Telaga Po-yang berani mendekati Bukit Merak, apalagi sampai ke lerengnya, baru di kaki bukit itu saja mereka tidak berani. Lebih baik mengambil jalan memutar yang lebih jauh dari pada harus melalui kaki Bukit Merak.
Akan tetapi, dalam keremangan cuaca malam yang hanya disinari oleh laksaan bintang di langit, nampak empat orang laki-laki mendorong-dorong seorang hwesio, mendaki kaki bukit terus ke lereng. Beberapa kali, kalau hwesio itu berjalan kurang cepat, dia didorong oleh empat orang yang berjalan di belakangnya sambil dibentak sehingga hwesio itu terhuyung-huyung ke depan.
Hwesio itu usianya sudah enampuluhan tahun, bertubuh kurus dan bermuka pucat. Ke- palanya gundul dan jubahnya yang kuning itu agak kumal. Dia melangkah sambil merangkap kedua tangan di depan dada, agaknya dia sudah menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa, maklum bahwa dia tidak berdaya dan terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang jiwanya dikuasai nafsu iblis.
Hwesio ini bernama Loan Khi Hwesio, ketua dari sebuah kuil kecil di sebuah bukit yang berada di sebelah barat Telaga Po-yang. Sore tadi, dia kedatangan empat orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya ini, dan dengan suara kasar mereka memaksa dia harus ikut bersama mereka untuk menghadap Beng-cu di lereng Bukit Merak!
502
Lima orang hwesio yang menjadi pembantunya, hwesio-hwesio muda, tentu saja tidak merelakan dia yang menjadi ketua kuil diculik begitu saja. Mereka melawan, akan tetapi apa daya lima orang hwesio yang hanya menguasai sedikit ilmu silat menghadapi empat orang yang lihai itu? Dengan mudah lima orang hwesio itu dihajar sampai pingsan semua dan dia pun dipaksa untuk ikut mereka ke Bukit Merak.
Loan Khi Hwesio maklum siapa yang disebut Beng-cu itu. Dia sudah mendengar tentang Siauw-bin Ciu-kwi, seorang datuk besar kaum sesat yang amat sakti dan kejam. Maka, diapun pasrah dan hanya mempergunakan kekuatan batinnya untuk menghadapi ancaman bahaya maut ini.
Empat orang itu yang rata-rata berusia empatpuluh tahun, memiliki tubuh yang kokoh kuat dan wajah yang bengis, orang-orang yang sudah biasa melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Mereka adalah sebagian dari para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi, hanya merupakan pembantu rendahan saja, bukan pembantu utama yang berilmu tinggi.
Kini mereka tiba di depan pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal. Seorang di antara empat tukang pukul itu membunyikan genta dan dari dalam pintu, seorang penjaga mengintai melalui lubang daun pintu, kemudian membuka pintu gerbang itu, dibantu oleh seorang teman karena pintu gerbang itu amat berat saking tebal dan besarnya. Loan Khi Hwesio didorong masuk dan hampir saja jatuh karena kakinya tersandung batu.
503
“Hayo cepat!” bentak seorang di antara empat jagoan itu sambil menangkap lengan hwesio itu dan menyeretnya menuju ke sebuah bangunan induk di dalam tembok yang seperti benteng.
Setelah mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup terang, hwesio itu didorong masuk sampai jatuh menelungkup. Akan tetapi, dia bangkit lagi tanpa mengeluh, kedua tangan masih dirangkap depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk mohon kekuatan kepada Yang Maha Kuasa. Dia lalu mengangkat muka memandang.
Kiranya di dalam ruangan itu duduk beberapa orang yang kesemuanya memandang kepadanya, bagaikan segerombolan anjing srigala kelaparan. Loan Khi Hwesio merasa betapa dia seperti seekor kelinci yang dikepung srigala-srigala itu sehingga diam-diam diapun bergidik walaupun penyerahan dirinya kepada Tuhan telah membuat dia tidak merasa takut. Dia merasa ngeri menghadapi manusia-manusia yang pada lahirnya saja sudah nampak sedemikian mengerikan dan penuh dengan kepalsuan dan kekejaman.
Siauw-bin Ciu-kwi mudah dikenal oleh orang yang baru mendengar namanya dan belum pernah melihat mukanya. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut, nampak semakin pendek karena duduk di atas kursi yang besar dan dalam.
Dia nampak seperti seekor katak bersembunyi di dalam lubangnya. Kepalanya botak, sedemikian botaknya sehingga kelihatan gundul. Mukanya sungguh aneh. Muka yang seperti muka kanak-kanak, gemuk dengan kedua pipi tebal, akan tetapi mulutnya terus menyeringai, tersenyum lebar!
504
Seluruh wajahnya tersenyum kecuali matanya. Sepasang mata itu sama sekali tidak tersenyum, sama sekali tidak membayangkan keramahan atau kegembiraan, melainkan sepasang mata yang mencorong dengan sinar yang tajam menusuk dan mengandung kekejaman dan kecerdikan luar biasa. Agaknya karena mulutnya yang selalu menyeringai itulah maka dia dijuluki Siauw-bin (Muka Tertawa).
Di atas meja di depannya nampak sebuah guci arak besar dan di tangannya nampak cawan arak yang tak pernah kosong karena setiap kali dia meneguk isi cawan, selalu ada tangan halus yang mengisi cawan itu kembali dari guci arak. Tangan halus itu milik seorang wanita muda yang selalu duduk di samping Beng-cu itu, seorang wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun yang berwajah cantik manis, pesolek, dengan mulut penuh gairah dan sepasang mata yang indah.
Melihat seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh demikian indah, wajah manis dan sikap yang genit memikat, orang tidak akan mengira bahwa wanita ini sungguh bukan seorang wanita yang lemah! Biarpun ia dapat menjadi hangat dan penuh kemesraan, namun di balik semua keindahan itu tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat, kekejaman yang membuat seorang penjahat sekalipun menjadi ngeri, dan kepandaian silat yang membuat namanya terkenal di seluruh Propinsi Kiang-si.
Wanita yang kini seolah-olah menjadi pelayan terkasih dari Beng-cu itu terkenal dengan julukan Tok-sim Nio-cu (Nona Berhati Racun). Nama kecilnya adalah Lui Cin Si, akan tetapi di dunia kang-ouw, nama ini tidak dikenal orang, akan tetapi kalau sekali orang menyebut
505
Tok-sim Nio-cu, penjahat yang paling kejam sekalipun akan merasa serem dan takut!
Ketika Siauw-bin Ciu-kwi muncul di dunia persilatan dan bermukim di Propinsi Kiang-si, tentu saja seperti banyak tokoh kang-ouw, Tok-sim Nio-cu juga tidak sudi untuk menyerah dan takluk kepada datuk besar yang baru muncul ini. Apa lagi melihat orangnya yang tidak mengesankan, hanya seorang laki-laki setengah tua yang pendek berperut gendut dan selalu senyum-senyum seperti orang sinting.
Tok-sim Nio-cu bahkan memandang rendah dan ia menantang datuk ini. Sungguh di luar perkiraannya, menghadapi si pendek gendut itu, dalam beberapa jurus saja, kurang dari sepuluh jurus, ia sudah terjungkal roboh! Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu bukan orang yang mudah menyerah.
Tidak mudah bagi Siauw-bin Ciu-kwi untuk menalukkan wanita liar ini, yang masih merasa penasaran dan ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk mengeroyok. Baru setelah berkali-kali semua usahanya menentang Siauw-bin Ciu-kwi gagal dan berkali-kali ia dirobohkan tanpa dibunuh, akhirnya Tok-sim Nio-cu menyatakan takluk dan menyerah!
Setelah Tok-sim Nio-cu menyerah, kini ia malah menjadi seorang pembantu yang paling dipercaya oleh Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan tidak hanya itu, ia juga menjadi kekasih Beng-cu itu dan karena ini, kekuasaannya amat besar dan hanya di sebelah bawah kekuasaan sang Beng-cu! Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, ternyata si pendek gendut yang tidak dapat dibilang ganteng dan tidak memiliki banyak daya tarik sebagai seorang pria terhadap wanita itu, ternyata adalah
506
seorang pria yang jantan bagi seorang wanita haus laki-laki seperti Tok-sim Nio-cu! Seorang pria yang dapat memuaskan hatinya!
Di samping ini, juga Beng-cu itu berkenan mengajarkan beberapa jurus ilmu silat yang tinggi kepadanya, menguruknya pula dengan kemuliaan, kemewahan dan kedudukan sehingga membuat wanita genit itu benar-benar takluk dan setia! Demikianlah, wanita ini bahkan tidak malu-malu dan tidak merasa rendah untuk menuangkan arak dan melayani Beng-cu seperti seorang pelayan biasa saja, biarpun di depan banyak orang! Tentu saja tidak ada seorangpun berani memandang rendah kepadanya, yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Beng-cu!
Hanya Tok-sim Nio-cu seorang yang duduk di samping Beng-cu menghadapi meja, seperti seorang pelayan, juga seperti seorang kekasih atau isteri, karena Beng-cu tidak mempunyai isteri. Ada pula enam orang wanita muda yang menjadi semacam selir, atau dayang atau juga pelayan, menjadi penghibur Beng-cu. Mereka duduk bersimpuh di atas lantai, siap untuk melaksanakan perintah Beng-cu, baik perintah untuk bermain musik, menari, bernyanyi, atau juga beramai “mengeroyok” Beng-cu melayani segala kehendak pria pendek gendut yang amat sakti itu! Mereka adalah gadis-gadis pilihan yang mau tidak mau kini menjadi pelayan dan penghibur datuk besar itu.
Di belakang datuk itu, nampak tiga orang laki-laki yang nampak aneh dan tidak seperti manusia biasa. Memang mereka bukan manusia biasa, melainkan manusia berwatak iblis yang sejak lama menjadi tokoh-tokoh sesat di Propinsi Kiang-si. Seperti juga Tok-sim Nio-cu, mereka ditundukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dengan kekerasan dan
507
mereka baru mau sungguh-sungguh takluk setelah kalah mutlak menghadapi Beng-cu yang sakti itu.
Kini mereka menjadi pembantu-pembantu setia dari Beng-cu yang pandai mengambil hati mereka dengan melimpahkan kemuliaan dan kemewahan. Juga, menjadi pembantu Beng-cu mengangkat nama mereka lebih tinggi di dunia kang-ouw membuat mereka semakin disegani dan ditakuti orang.
Yang pertama hanya dikenal julukannya saja, yaitu Lim-kwi Sai-kong (Si Muka Singa Setan Hutan), dan memang sebelum menjadi pembantu utama Beng-cu, dia menjadi seorang penunggu hutan yang ditakuti. Usianya sudah enampuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya seperti muka singa, penuh dengan cambang bauk dan persegi menyeramkan, wajah yang penuh kegarangan dengan mata yang lebar dan sinarnya aneh.
Pakaiannya selalu hitam dari kain tebal dan tidak pernah bersih, tubuhnya juga berbau binatang hutan. Sebatang golok besar tak pernah meninggalkan pinggangnya dan sehelai rantai baja besar melilit pula pinggang itu. Biarpun dia seperti seorang hutan tulen, namun jangan dikira bahwa dia hanya buas dan mengandalkan tenaga raksasa saja, seperti seekor singa. Tidak, di samping tenaga besar dan kebuasannya, juga dia memiliki ilmu silat yang dahsyat, bahkan pandai pula mempergunakan khi-kang untuk mengeluarkan auman yang menggetarkan jantung dan melumpuhkan kaki seorang lawan!
Orang kedua kurang mengesankan sebagai seorang jagoan, apa lagi sebagai seorang pembantu utama dari Siauw-bin Ciu-kwi. Dia seorang pria berusia tigapuluh lima tahun bernama Ciong Koan dan berjuluk
508
Pek-i Kongcu (Tuan Muda Baju Putih). Pria muda ini selalu mengenakan pakaian putih, akan tetapi bukan putih sederhana, melainkan putih pesolek, rambutnya disisir licin dan diminyaki. Seorang pria yang berwajah tampan, mulutnya memiliki senyum memikat akan tetapi matanya jelas membayangkan kecabulan.
Pria berbaju putih ini dahulunya adalah seorang murid Kun-lun-pai yang memiliki keahlian bermain pedang. Dari remaja dididik untuk menjadi seorang pendekar. Akan tetapi setelah dewasa, dia runtuh oleh nafsunya sendiri, melakukan penyelewengan-penyelewengan karena diperbudak oleh berahi yang tidak wajar.
Akhirnya, dia terseret oleh lingkungan dan menjadi seorang tokoh sesat yang suka mempermainkan wanita, baik melalui rayuan dan ketampanannya, maupun melalui paksaan mengandalkan kelihaiannya. Entah berapa banyak gadis diperkosanya, isteri orang dirayunya sehingga melakukan penyelewengan. Setelah ditaklukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dia menjadi seorang pembantu setia dan kekejamannya bertambah karena selalu berdekatan dengan para datuk dan tokoh sesat.
Orang ketiga bernama Lok Hun berjuluk Hek-giam-ong, berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan sesuai dengan julukannya, yaitu Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), maka seluruh kulit tubuhnya, dari muka sampai kaki, berwarna hitam gelap. Mukanya yang hitam itu amat menyeramkan, apa lagi karena wajahnya itu amat dingin, matanya seperti tanpa sinar, mulutnya tidak pernah tersenyum dan muka itu seperti topeng saja, tidak pernah membayangkan apa yang dirasakannya. Senjata istimewanya adalah sebuah ruyung yang berat.
509
Demikianlah keadaan Siauw-bin Ciu-kwi dan empat orang pembantu utamanya. Dengan hati yang penuh penyerahan karena maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis, Loan Khi Hwesio memandang kepada mereka semua sambil berdiri dan merangkap kedua tangan depan dada.
“Hwesio sialan! Berlutut kau!” bentak Lim-kwi Sai-kong dengan suaranya yang mengguntur ketika dia melihat betapa tawanan itu berdiri saja di depan Beng-cu.
“Omitohud......!” Loan Khi Hwesio menjura sambil tetap merangkap kedua tangan depan dada. “Pinceng tidak pernah berlutut, kecuali kepada Sang Buddha......”
Para anak buah rendahan yang tadi menangkap dan mengantar hwesio itu menghadap Beng-cu, sudah disuruh keluar dan tidak boleh ikut mendengarkan dan melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Kini yang menyaksikan hanyalah Beng-cu dan para pembantunya, termasuk enam orang dayang yang menjadi pembantu dan juga selir-selirnya.
Mendengar jawaban pendeta itu, Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo dari Beng-cu, berseru, “Beng-cu, haruskah kupatah-patahkan kakinya agar dia mau berlutut?”
Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi menyeringai, kini tertawa dan menenggak secawan arak, lalu memberikan cawan kosong kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si untuk diisi kembali.
“Biarkanlah, nanti saja kalau dia tidak mau mengaku, baru kau boleh siksa dia sampai setengah mati!” kata Siauw-bin Ciu-kwi, sengaja
510
mengancam untuk mengecilkan hati hwesio itu. Kemudian dia bertanya kepada tawanan itu. “Apakah engkau yang bernama Loan Khi Hwesio?”
Loan Khi Hwesio menjura dengan sikap hormat. “Benar sekali, pinceng bernama Loan Khi Hwesio. Tidak tahu ada urusan apa maka pinceng dipaksa datang ke tempat ini?”
“Ha-ha-ha, Loan Khi Hwesio, apakah engkau benar tidak tahu atau tidak dapat menduganya? Ataukah hanya berpura-pura saja?”
“Pinceng sungguh tidak tahu dan tidak dapat menduga......”
Tiba-tiba Beng-cu itu menggebrak meja dengan marah walaupun mulutnya masih menyeringai. “Serahkan peta itu kepadaku!”
Wajah yang sudah pucat itu semakin pucat dan mata pendeta itu terbelalak memandang kepada wajah yang kekanak-kanakan itu. “Peta? Peta apakah yang kaumaksudkan?”
“Hwesio tolol!” kembali Lim-kwi Sai-kong membentak marah. “Jaga sikap dan bicaramu! Engkau menghadap Beng-cu yang berkuasa di seluruh Kiang-si! Salah sedikit saja bicaramu, kaki tanganmu akan dibuntungi dan lidahmu akan dipotong!”
Tentu saja hwesio itu menjadi semakin ngeri. “Maaf, Beng-cu. Sungguh, pinceng tidak mengerti peta apa yang dimaksudkan itu......”
Siauw-bin Ciu-kwi mendengus dan mulutnya menyeringai semakin lebar.
511
“Huh, peta apa lagi kalau bukan peta Patung Emas!”
“Peta Patung Emas? Pinceng...... tidak...... tidak tahu......”
“Brakkk!” kembali Beng-cu menggebrak meja. “Tak perlu bohong! Kami sudah tahu bahwa engkau telah mendapatkan sebagian dari peta itu. Peta yang ada gambarnya patung emas, peta harta terpendam di Telaga Po-yang! Sudahlah, tidak perlu pura-pura tidak tahu lagi. Serahkan peta itu kepadaku dan engkau akan kami bebaskan dan boleh melanjutkan pekerjaanmu di kuil tua itu! Akan tetapi kalau engkau tidak mau menyerahkan, tidak mau mengaku di mana adanya peta itu, engkau akan disiksa sampai mati!”
Seluruh tubuh pendeta itu gemetar, mulutnya terasa kering dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Sungguh, pinceng tidak menyimpannya...... pinceng tidak tahu peta itu di mana......”
“Hek-giam-ong, paksa dia mengaku di mana peta itu!” kata Siauw-bin Ciu-kwi.
Pembantunya yang menerima perintah ini bangkit dari kursinya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menjulang tinggi dan mukanya yang seperti topeng hitam itu nampak dingin dan tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi ketika dia melangkah dan mendekati Loan Khi Hwesio, sinar matanya mencorong penuh ancaman.
Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya kemak-kemik membaca doa karena dia maklum bahwa bahaya maut mengancamnya. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman siksaan, tentu saja hatinya merasa ngeri.
512
“Hwesio, sekali lagi kuulangi permintaan Beng-cu. Serahkan peta itu atau katakan di mana adanya peta itu sekarang!” kata Hek-giam-ong Lok Hun dengan muka tidak membayangkan sesuatu, tetap dingin dan suaranya juga terdengar datar saja sehingga terdengar menyeramkan, lebih menyeramkan dari pada kalau suara itu mengandung bentakan marah.
“Tidak.... tidak tahu...... pinceng tidak tahu!”
Tiba-tiba tangan Hek-giam-ong meluncur dan menangkap lengan kiri hwesio itu. “Katakan, atau akan kupatahkan jari tanganmu satu demi satu!”
Loan Khi Hwesio menggeleng kepala. “Omitohud...... maafkan... pinceng sungguh tidak tahu......!”
Hek-giam-ong yang memegang lengan kiri hwesio itu dengan tangan kanan, lalu menangkap ibu jari tangan itu dengan tangan kirinya dan menekuk ibu jari itu ke belakang punggung tangan.
“Kreekkk!” tulang ibu jari itu patah dan Loan Khi Hwesio mengeluarkan suara rintihan. mukanya yang semakin pucat itu basah dengan keringat yang keluar dari tubuhnya saking nyerinya. Kini telujuknya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya, dan satu demi satu, perlahan-lahan, kelima jari tangan kirinya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya. Loan Khi Hwesio merintih, mengerang, bahkan menjerit. Ketika kelingkingnya ditekuk patah, dia meraung dan pingsan!
Ketika dia siuman kembali, tangan kanannya sudah dipegang tangan kiri algojo itu. “Nah, sekarang katakan terus terang, di mana peta itu?
513
Kalau engkau tidak mau mengaku, jari-jari tangan kananmu akan kupatah-patahkan seperti tangan kirimu tadi!” Hek-giam-ong mengancam
Tubuh Hwsio itu menggigil. Dia kini bangkit duduk. Tangan kirinya tak dapat dia gerakkan, nyeri bukan main, rasa nyeri yang datang dari jari-jari tangan itu dan terus menerus sampai ke jantungnya. Akan tetapi, dia tetap berusaha melindungi dirinya dengan doa, walaupun kini dia mulai meragukan apakah doanya akan berguna dalam keadaan seperti itu.
Dia menggeleng kepala. “Pinceng...... tidak...... tidak tahu......” Dan diapun memejamkan kedua matanya dan mulutnya berkemak-kemik, menanti datangnya saat penyiksaan yang lebih hebat. Dan siksaan itupun datang! Seperti tadi, ibu jari tangan kanannya ditekuk ke belakang sampai mengeluarkan bunyi “krekkk!” dan tulang ibu jari itu patah sambungannya, disusul jari-jari yang lain. Baru tiga batang jari yang dipatahkan, kembali hwesio itu sudah jatuh pingsan, karena tidak dapat menahan lagi perasaan nyeri yang menusuk jantung.
Ketika untuk kedua kalinya dia siuman, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Rasa nyeri dari kedua tangannya itu menjalar ke seluruh tubuh. Dua buah tangannya sudah tidak dapat dia gerakkan lagi. Dia bangkit duduk lalu menunduk dan memejamkan kedua matanya, mohon kekuatan dari Yang Maha Kuasa, dan menyerahkan seluruh jiwa raganya.
Ketika dia tenggelam ke dalam penyerahan ini, terjadilah keanehan pada dirinya. Tadinya, dari kedua tangannya keluar denyut-denyut
514
yang amat nyeri, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk jantung. Sukar digambarkan bagaimana perasaan nyeri itu. Ada rasa panas, perih, menusuk-nusuk dan mencabut-cabut. Akan tetapi, rasa berdenyut-denyut itu kini berubah sama sekali!
Tidak lagi mendatangkan nyeri, bahkan mendatangkan nikmat! Sungguh! Tidak perlu lagi dia merintih. Denyut-denyut nyeri tadi kini bertukar denyut nikmat. Ataukah penerimaannya, alat penerimaannya yang berubah? Bukankah nyeri dan nikmat hanyalah permainan dari perasaan belaka? Penyerahannya yang sebulatnya kepada Tuhan melenyapkan perbedaan antara nyeri dan nikmat, antara enak dan tidak enak, sehingga diapun tidak tahu lagi apakah kedua tangannya itu terasa nyeri ataukah nikmat!
Loan Khi Hwesio yang memejamkan matanya itu kini tersenyum. Senyum wajar karena bebas dari rasa nyeri, bahkan merasakan kenikmatan pada kedua tangannya.
Melihat hwesio itu tersenyum, Beng-cu berpandangan dengan para pembantunya. Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang datuk besar. Dia menduga bahwa tentu hwesio yang tentu saja memiliki ilmu kebatinan yang mendalam itu agaknya sudah mampu menguasai perasaan nyeri, maka dalam keadaan semua jari tangannya patah-patah itu masih mampu tersenyum, senyum sama sekali bebas dari rasa nyeri!
“Loan Khi Hwesio, apakah engkau masih juga belum mau menyerahkan peta itu?” terdengar Siauw-bin Ciu-kwi bertanya. “Kesempatanmu untuk bebas dari maut hanya tinggal yang terakhir!”
515
Tanpa membuka matanya, Loan Khi Hwesio berkata, “Omitohud biar dibunuh sekali- pun, pinceng tidak dapat memenuhi permintaan itu. Pinceng tidak tahu di mana peta yang dimaksudkan itu......”
“Jahanam! Engkau tidak akan mati begitu saja! Giam-ong, pergunakan siksaan Selaksa Tetes Air!”
Sepasang mata dari muka yang hitam itu mengeluarkan sinar berkilat, agaknya perintah ini mendatangkan perasaan gembira di hatinya yang penuh dengan sifat yang sadis dan kejam bukan main. Dia lalu mengambil seember besar air dan menggantung ember itu. Kemudian, setelah menotok tubuh Loan Khi Hwesio sehingga pendeta ini tidak mampu bergerak, dia memaksa hwesio itu duduk di bawah ember, mengikat tubuh hwesio itu dengan sebuah bangku. Ember itu telah dilubangi kecil dan kini dari bawah ember, air menetes-netes satu-satu!
Loan Khi Hwesio sendiri tidak mengerti apa artinya hukuman seperti ini. Dia hanya merasa ada air menetes dan menimpa kepalanya yang gundul. Akan tetapi tentu saja hal itu tidak merupakan siksaan. Hanya tertimpa setetes air dan membuat kepalanya basah. Tetes demi tetes air menimpa kepalanya dan mulailah air mengalir turun dari kepala, membasahi leher. Akan tetapi hal itu tidaklah menyiksa benar. Yang lebih menyiksa adalah bahwa dia sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya, bukan hanya karena diikat pada bangku, melainkan karena tertotok. Menggerakkan kepalapun tidak mampu!
Agaknya, Beng-cu dan para pembantunya tidak lagi memperhatikan dia. Kini ada pelayan datang membawa hidangan dan mereka mulai makan minum sambil tertawa-tawa. Itukah yang dimaksudkan mereka
516
untuk menyiksanya? Memaksa dia melihat, atau lebih tepat mendengarkan orang-orang berpesta?
Hwesio yang masih memejamkan matanya itu tersenyum di dalam hati. Agaknya para penjahat ini tidak tahu bahwa dia, sebagai seorang hwesio, sudah lama sekali menalukkan nafsu makan enak. Mendengar atau bahkan melihat sekalipun orang-orang makan enak, seujung rambut dia tidak kepingin!
“Tukk......! Tukk.....! Tukkk......!!”
Terdengar keluhan keluar dari mulut Loan Khi Hwesio! Air yang menimpa kepalanya itu, setetes demi setetes, kini tidak lagi terasa seperti tetesan air biasa! Melainkan terasa amat menyakitkan. Air setetes itu seperti berubah menjadi sebutir baja yang keras dan berat!
Dia tidak tahu bahwa air yang menetes-netes satu-satu dan yang menimpa di suatu titik tertentu, memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Batu dan besi saja lama-lama akan dapat berlubang tertimpa air setetes demi setetes di tempat yang sama, apa lagi kepala orang!
Kini setiap tetes air yang menimpa kepala terasa seperti palu godam dan mendatangkan suara berdengung di telinganya, rasa nyeri yang sukar dapat dipertahankannya lagi! Dia masih menyerah, akan tetapi karena tadinya dia tidak mengira akan mengalami siksaan seperti ini, maka penyerahannya berbeda dengan tadi ketika tulang jari-jari tangannya dipatahkan. Kini dia mengaduh, mengeluh, menjerit dan meraung!
Beng-cu dan para pembantunya masih makan minum dengan lahap. Akan tetapi, diam- diam Beng-cu dan para pembantunya
517
memperhatikan keadaan pendeta yang sedang mengalami penyiksaan hebat itu dan senyum Siauw-bin Ciu-kwi melebar. Bagus, pikirnya, hwesio itu mulai merasakan hebatnya penyiksaan itu dan tidak mungkin dia mampu bertahan sampai detik terakhir!
Kini keadaan Loan Khi Hwesio semakin payah. Setiap kali air menetes dan menimpa kepalanya, tubuhnya tergoncang hebat lalu menggigil.
Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo penyiksa dan pembunuh, tahu saatnya yang tepat, maka dia sudah menghampiri hwesio itu lalu membebaskan totokannya. Begitu dibebaskan, keadaan hwesio itu semakin tersiksa. Dia berusaha mengelak dari serangan air yang menetes, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya mampu menggerakkan sedikit saja kepalanya. Kembali air menimpa dan dia meraung!
“Bodoh, membiarkan diri tersiksa seperti ini hanya karena sepotong peta yang tidak ada harganya!” Kini Siauw-bin Ciu-kwi menghampiri dan mengejek. “Peta itu hanya merupakan barang duniawi, mengapa engkau sebagai seorang pendeta masih begitu kukuh mempertahankannya? Katakanlah di mana peta itu dan engkau akan kubebaskan!”
Dalam keadaan setengah sadar dan hampir gila oleh rasa nyeri, mulut pendeta itu berkata lemah, “......pinceng..... berikan... kepada dermawan Thio...... dermawan Thio.....” Diapun terkulai dan nyawanya melayang.
Serangan air yang menetes-netes itu telah mencabut nyawanya. Lebih baik begitu kiranya bagi hwesio yang bernasib malang ini. Banyak
518
korban siksaan seperti itu bernasib lebih buruk lagi, yaitu tidak mati akan tetapi hidup sebagai seorang yang sinting,
PENGAKUAN terakhir dari hwesio itu membuat Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sungguh manjur sekali cara memaksa orang mengaku dengan air menetes itu, ha-ha-ha!”
Kemudian suara ketawanya berhenti dan dia mengerutkan alisnya, memandang kepada para pembantunya, “Dermawan Thio? Siapakah itu? Cin Si, kuserahkan tugas ini kepadamu! Carilah orang yang disebut dermawan Thio itu sampai dapat!”
Tok-sim Nio-cu tersenyum manis. “Jangan khawatir, Beng-cu. Kau serahkan urusan ini kepadaku dan tentu beres! Kalau memang benar ada orang yang dimaksudkan itu, tentu akan segera dapat kutemukan!”
Pertemuan itu berakhir dengan masuknya Siauw-bin Ciu-kwi ke dalam kamarnya sendiri, ditemani oleh enam orang dayangnya dan malam itu Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si meninggalkan sarang itu untuk melaksanakan tugas vang diberikan kepadanya.
Mayat hwesio itu dikubur tanpa upacara oleh anak buah Siauw-bin Ciu-kwi dan tak seorangpun di antara penduduk di sekitar daerah itu yang mengetahui apa yang terjadi dengan kepala kuil yang biasanya hidup tenteram dan damai itu dan ke mana dia menghilang. Para hwesio lainnya dalam kuil itupun hanya dapat bercerita bahwa kepala kuil itu diculik empat orang yang tidak mereka kenal!
◄Y►
519
Bintangnya memang sedang terang cemarlang! Dengan lenggang yang ringan dan hati penuh kegembiraan, Thio Kee San meninggalkan rumah judi itu dan pergi menuju ke Rumah Merah, yaitu sebuah rumah pelesir di sudut kota Nan-cang.
Senja telah mendatang dan dia tidak mau terlambat. Dia harus tiba di rumah pelesir itu sebelum Bi Hwa, bunga Rumah Merah itu dipesan laki-laki lain! Baru saja dia meninggalkan rumah judi dengan kemenangan yang cukup banyak di dalam saku bajunya. Bi Hwa tentu akan girang bukan main!
Thio Kee San adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun. Hidupnya membujang dan dia memiliki sebuah perahu pelesir di Telaga Po-yang di mana dia menyewakan perahu dan memperoleh nafkahnya dari pekerjaan itu. Hasil pekerjaannya itu cukup memadai, bahkan lebih dari cukup untuk keperluan hidupnya yang hanya membujang. Bahkan kelebihannya dapat dia pakai untuk memuaskan kesenangannya, yaitu berjudi dan bersenang-senang dengan wanita pelacur di Rumah Merah!
Baru beberapa bulan ini, dia akrab sekali dengan Bi Hwa, bunga Rumah Merah. Hubungan mereka bukan sekedar hubungan seorang pelacur dan langganannya. Sama sekali bukan. Lebih mendalam dari pada sekedar pelesir. Agaknya ada perasaan kasih sayang di antara mereka dan bagi Bi Hwa.
Thio Kee San adalah seorang pria yang amat mencintanya, yang memberikan apa saja kepadanya! Dan memang Kee San seorang bujangan yang tak pernah menyimpan uang. Kalau ada kelebihan
520
uangnya, dia hamburkan dan berikan kepada siapa saja yang disukanya.
Bahkan sering sekali dia mendermakan uangnya kepada kuil yang dipimpin oleh Loan Khi Hwesio, kuil di dekat Telaga Po-yang di mana dia pernah memperoleh pertolongan. Ketika dia menderita penyakit payah dan semua temannya sudah mengira bahwa dia tentu akan mati karena segala macam obat tidak ada yang dapat menyembuhkannya, kuil itulah yang menolongnya. Dia minta obat ke kuil itu dan menerima semacam obat sederhana yang kemudian ternyata mampu menyembuhkannya!
Karena itu, setiap kali dia mempunyai kelebihan uang, kalau tidak dipakai untuk bersenang-senang, tentu akan didermakan kepada Loan Khi Hwesio. Karena perbuatan inilah, maka Loan Ki Hwesio dan para hwesio di kuil itu menganggapnya sebagai orang yang amat budiman, dan menyebut dia “Dermawan Thio”!
Tentu saja hati Kee San pada sore hari itu gembira bukan main. Sudah beberapa hari dia tidak mengunjungi Bi Hwa yang menjadi kekasihnya. Bukan karena Bi Hwa enggan menerimanya kalau dia tidak membawa uang, sama sekali tidak. Akan tetapi dia sendiri yang merasa malu.
Beberapa hari ini dia memang tidak memiliki uang dan nasibnya baru sial, kalah melulu dalam perjudian. Dia malu kalau harus berkunjung ke Rumah Merah tanpa uang yang cukup di sakunya. Malu karena tidak akan dapat mengajak Bi Hwa berpesta, malu pula kepada Bibi Ciang yang mengurus Rumah Merah itu, biarpun Bi Hwa tidak akan
521
segan-segan dan tidak akan merasa sayang untuk mengeluarkan uangnya sendiri untuk mereka berdua.
Dan hari ini dia menang cukup banyak! Dapat dia pergunakan untuk bersenang-senang dengan Bi Hwa yang sudah amat dirindukannya. Bukan uang kemenangan yang cukup banyak itu saja yang akan dihamburkan bersama Bi Hwa dan sisanya akan diberikan kepada Bi Hwa semua, akan tetapi di samping itu ada sebuah benda lain yang akan dia berikan kepada kekasihnya itu.
Seperti yang sudah dibayangkannya, Bi Hwa menyambut kedatangannya dengan gembira sekali. Biarpun dia belum memberitahu akan kemenangannya, wanita itu sudah menyambutnya dengan wajah cerah, dengan senyum manis, pandang mata penuh kasih, dan dengan rangkulan dan cumbuan yang menyatakan betapa rindunya wanita itu kepadanya. Sikap ini saja sudah mengayun perasaan Kee San ke sorgaloka, karena baginya sikap ini menunjukkan bahwa wanita pelacur itu sungguh-sungguh mencinta dirinya, bukan sekedar mengharapkan uangnya!
Kegembiraan Bi Hwa bertambah ketika kekasihnya itu menceritakan tentang kemenangannya yang cukup banyak di meja judi. Mereka lalu berpesta, menghadapi hidangan yang lezat dan anggur yang sedap. Dan malam itu mereka saling melepas rindu, dan Bi Hwa berhasil membuat Kee San berjanji bahwa pria itu akan mengumpulkan uang agar dapat menebus diri kekasihnya dari Bibi Ciang sehingga mereka dapat menjadi suami isteri yang sah.
“Koko, percayalah bahwa hatiku selalu tersiksa setiap kali ada pria meniduriku dan aku teringat kepadamu. Aku benci pekerjaan ini
522
setelah aku bertemu denganmu, koko. Aku ingin menjadi isterimu, ingin menjadi..... ibu anak-anakmu......”
Kee San merasa terharu. Sampai berusia empatpuluh tahun, dia sendiri tidak pernah memikirkan berumah tangga, akan tetapi kini wanita ini, biar hanya seorang pelacur, namun sungguh amat menarik hatinya dan dia akan merasa berbahagia kalau dapat hidup bersama Bi Hwa selamanya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah bangun dari tidur dan mereka bercakap-cakap. Agaknya berat bagi Bi Hwa untuk melepas kekasihnya pergi, dan berat pula bagi Kee San untuk meninggalkan kekasihnya. Akan tetapi, dia harus pergi, harus ke telaga untuk mencari nafkah karena hari itu kabarnya banyak pengunjung datang berpesiar ke telaga. Dia mengeluarkan seluruh isi kantungnya dan diberikannya semua sisa uangnya kepada Bi Hwa. Wanita ini menjadi terharu.
“Koko, semua uang pemberianmu kusimpan dan kutabung agar kelak dapat kita pergunakan untuk menebus diriku. Harap engkau jangan lagi bermain judi, koko. Hari ini engkau menang akan tetapi hari esok berturut-turut engkau akan kalah. Demikianlah perjudian, sekali menang lima kali kalah. Engkau kumpulkan uang agar cepat dapat membebaskan diriku, koko.”
Kee San mengangguk-angguk, membenarkan ucapan kekasihnya. “Baik, Bi Hwa, mulai hari ini aku akan rajin mencari uang dan menyerahkannya kepadamu agar cepat terkumpul jumlah untuk menebus dirimu. Ah, benar, aku masih mempunyai sebuah benda yang amat berharga. Biar engkau saja yang menyimpan benda itu.”
523
“Benda berharga apakah itu, koko?” tanya Bi Hwa sambil memandang penuh perhatian ketika kekasihnya mengeluarkan sebuah gulungan kain kuning dari saku bajunya.
“Isi gulungan kain ini adalah sebuah potongan peta kuno yang kuterima dari Loan Khi Hwesio, kepala kuil di dekat telaga sana. Karena terima kasihnya kepadaku yang sudah banyak memberi derma kepada kuil, maka dia menyerahkan peta ini kepadaku.”
“Peta kuno? Untuk apa, koko? Mengapa pula amat berharga?”
“Aku sendiri tidak tahu peta apa, akan tetapi menurut Loan Khi Hwesio, banyak sekali orang memperebutkan peta ini. Kalau mereka tahu bahwa peta ini ada padaku, mereka akan berebut untuk membelinya dariku dan harganya cukup untuk menebus kebebasan dirimu!”
Mata yang indah itu terbelalak. “Sepuluh tail emas?”
“Ya, bahkan lebih dari itu! Peta ini merupakan rahasia tempat persembunyian harta karun dan ini merupakan setengah dari peta yang lengkap. Yang setengah lagi entah berada di tangan siapa. Demikian kata Loan Khi Hwesio, aku sendiri belum pernah membukanya.”
“Kenapa dia memberikan kepadamu dan tidak menjualnya saja sendiri?”
Kee San tersenyum dan merangkul kekasihnya. “Loan Khi Hwesio adalah seorang pendeta, bukan seorang pedagang. Dia menyerahkannya kepadaku, tentu merasa yakin bahwa aku akan menyerahkan sebagian hasil penjualannya untuk kuil.”
524
“Lalu bagaimana engkau akan menjualnya?”
“Kalau ada yang mencarinya, akan kutemui orangnya dan kutawarkan......, dan kita akan memiliki modal untuk berdagang, setelah kau kutebus dari Bibi Ciang. Nah, kausimpan ini baik-baik, Bi Hwa dan jangan beritahukan kepada siapapun juga tentang peta kuno ini.”
Bi Hwa menerima gulungan kain itu dan menyimpannya di tempat yang aman. Dengan penuh harapan Bi Hwa menyongsong hari baik itu, yaitu hari di mana ia dibebaskan sebagai pelacur, menjadi isteri Kee San dan mereka memulai hidup baru, dengan memiliki uang modal hasil penjualan peta kuno dan hidup berbahagia!
Sementara itu, dengan hati penuh kegembiraan karena kenangan yang amat manis dari Bi Hwa masih melekat di hati dan masih terasa di badan, Kee San menuju ke Telaga Po-yang untuk bekerja menyewakan perahunya kepada para pelancong. Seperti juga Bi Hwa, harinya penuh harapan masa depan yang amat cerah, memiliki modal berdagang, dan wanita yang dicintanya setiap hari siang malam menemaninya!
Bi Hwa akan menjadi miliknya sendiri, tidak perlu lagi dia harus membagi kekasihnya itu dengan pria-pria lain yang berani membeli, atau menyewa diri Bi Hwa seperti sekarang ini. Ingatan ini selalu menghantuinya, selalu mengganggu perasaannya. Setiap kali perahunya disewa orang, dia pasti teringat kepada Bi Hwa, yang seperti juga perahunya, dapat dipakai siapa saja yang sanggup membayar dan menyewanya!
525
Benar seperti telah didengarnya, hari itu telaga yang indah, Telaga Po-yang didatangi banyak tamu. Kee San tidak perlu menanti lama. Perahunya adalah sebuah di antara perahu-perahu terindah di telaga itu, dengan bentuk yang kokoh, tempat duduk yang bersih dan dicat baru, dengan layar yang belum ada tambalannya lagi.
Di antara para tamu yang memenuhi bandar di tepi telaga, terdapat pula seorang wanita cantik yang pakaiannya indah. Wajahnya yang manis itu dirias sehingga nampak semakin cerah, senyumnya memikat dan sepasang matanya memiliki kerling yang tajam sehingga tidak ada pria yang bertemu dengan wanita ini yang tidak memandang dengan penuh pesona dan beberapa kali menengok. Wanita berusia tigapuluh tahun dan yang memiliki daya tarik kuat ini bukan lain adalah Lui Cin Si atau Tok-sim Nio-cu (Nona Berhati Racun)!
Tidak sukar bagi wanita yang berpengalaman ini untuk mencari dermawan Thio! Ia menerima tugas dari Siauw-bin Ciu-kwi dan langsung saja ia pergi ke kuil di mana mendiang Loan Khi Hwesio menjadi ketuanya. Untung bahwa ketika anak buah Beng-cu menculik Loa Khi Hwesio dari kuil ini dan melukai lima orang hwesio di situ, ia tidak ikut sehingga para hwesio itu tidak mengenalnya.
Ia beraksi sebagai seorang ibu rumah tangga yang bersembahyang mohon berkah di kuil itu, dan dengan royal ia memberi uang sumbangan kepada hwesio penjaga yang masih kelihatan pucat karena luka pukulan yang dideritanya belum sembuh benar. Tentu saja hwesio itu merasa girang dan mendoakan kepada Lui Cin Si agar semua permintaannya dalam sembahyangan itu akan terkabul.
526
Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si untuk bertanya di mana tempat tinggal dermawan Thio yang pernah didengarnya sebagai seorang yang berbudi dan suka menderma kepada kuil. Hwesio yang sama sekali tidak menduga buruk itu menerangkan bahwa dermawan Thio bernama Thio Kee San, pemilik perahu yang suka menyewakan perahu di Telaga Po-yang.
Begitu mendengar keterangan ini, Tok.sim Nio-cu bergegas pergi meninggalkan kuil dan langsung saja ia pergi ke Telaga Po-yang dan pada pagi hari itu iapun berada di antara banyak pelacong yang memenuhi bandar Telaga Po-yang.
Di tempat ini, tidak sukar pula baginya untuk memperoleh keterangan tentang Thio Kee San. Akan tetapi karena perahu milik Kee San telah disewa orang, terpaksa ia menyewa sebuah perahu lain, sebuah perahu kecil yang didayung sendiri ke tengah telaga. Karena sudah memperoleh keterangan yang cukup jelas tentang bentuk, warna cat dan warna layar dari perahu milik Kee San, maka iapun mulai mencari perahu yang dimaksudkan itu.
Akhirnya, setelah bersusah payah mendayung perahu menyusup di antara banyak perahu di telaga, ia melihat warna perahu dan layar milik Kee San itu berada di ujung telaga yang sunyi. Tidak ada perahu lain di sana, hanya sebuah perahu itu, maka dengan cepat didayungnya perahu kecilnya itu mengejar ke sana.
Kebetulan, pikirnya, di tempat yang sepi itu ia segera dapat bertindak, tanpa diketahui orang lain, kecuali tentu saja mereka yang menyewa perahu Kee San itu. Akan tetapi itu merupakan persoalan yang mudah saja. Apa artinya beberapa orang melihat ia menculik Kee San? Kalau
527
perlu, bunuh saja mereka dan habis perkara! Soal bunuh membunuh ini merupakan makanan sehari-hari bagi seorang tokoh, sesat seperti Tok-sim Nio-cu!
Akan tetapi, alangkah terkejut rasa hati tokoh sesat ini ketika perahunya sudah mendekati perahu besar milik Kee San, ia melihat seorang laki-laki dihajar oleh tiga orang laki-laki yang tinggi besar seperti raksasa! Laki-laki itu dijadikan bulan-bulan pukulan dan tendangan mereka dan dari jauh Tok-sim Nio-cu melihat betapa laki-laki yang dipukuli itu sama sekali bukan lawan mereka, dan agaknya tiga orang tinggi besar itu memaki-maki sedangkan yang dipukuli menjerit-jerit kesakitan!
Tok-sim Nio-cu tidak tahu siapa mereka, akan tetapi melihat sikap tiga orang laki-laki tinggi besar itu, dengan mudah ia mengetahui bahwa mereka adalah ahli-ahli silat yang pandai. Oleh karena itu, tidak sukar baginya untuk menduga bahwa yang dipukuli itu tentulah orang yang dicarinya, yaitu Thio Kee San!
Wanita perkasa itu mengerahkan tenaganya dan perahu kecilnya meluncur dengan amat cepatnya. Ketika tiba di dekat perahu besar, sekali menggerakkan tubuhnya, ia telah meloncat ke atas perahu besar. Akan tetapi, bukan main marahnya hati Tok-sim Nio-cu ketika melihat bahwa laki-laki yang dipukuli itu telah tewas.
Ia memandang kepada tiga orang laki-laki tinggi besar seperti raksasa itu yang juga memandang kepadanya dengan terkejut dan heran. Siapa yang tidak heran melihat betapa tiba-tiba saja muncul seorang wanita cantik di perahu itu, muncul seperti setan saja?
528
Melihat tiga orang laki-laki yang berwajah bengis dan bertubuh raksasa ini, Tok-sim Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia sudah pernah mendengar tentang mereka ini walaupun belum pernah saling jumpa.
“Hemm, kiranya Po-yang Sam-liong (Tiga Naga dari Po-yang) yang berada di sini!” katanya dengan nada suara mengejek, senyumnya manis namun mengandung pandang mata merendahkan.
Tiga orang tinggi besar itu memang menyeramkan. Tubuh mereka hampir satu setengah, kali tubuh laki-laki normal dan tubuh itu kokoh kekar penuh otot-otot menggelembung. Mereka kini saling pandang, merasa heran betapa wanita cantik ini telah mengenal mereka.
“Heh-heh, Leng-te (adik Leng), apakah diam-diam engkau mempunyai simpanan wanita begini cantiknya dan kini ia menyusul ke sini?” berkata seorang di antara mereka yang berewok. Dia adalah Poa Seng, orang tertua di antara tiga bersaudara yang dijuluki Po-yang Sam-liong itu.
Poa Leng yang berkepala botak itu menggaruk botaknya sambil menyeringai, “Uwah, sayang aku tidak kenal dengannya. Mungkin Teng-te yang diam-diam mempunyai peliharaan yang cantik ini?”
Poa Teng yang mulutnya ompong tertawa, akan tetapi segera menutupi mulutnya yang ompong agar tidak kelihatan oleh wanita cantik itu. “Tidak, akupun tidak kenal dengannya. Sayang sekali! Akan tetapi sekarang kita berkesempatan untuk mengenalnya, bukan?” Dua orang kakaknya tertawa dan si berewok Poa Seng yang menjadi orang tertua, memandang kepada wanita itu dengan penuh selidik.
529
“Nona cantik, siapakah engkau yang telah mengenal kami? Dan mau apa engkau datang ke sini?”
Tiga orang ini tidak begitu heran bahwa wanita ini mengenal mereka. Mereka adalah tiga orang tokoh yang seolah-olah menguasai Telaga Po-yang. Semua pedagang dan pemilik perahu setiap bulan membayar “pajak” kepada mereka melalui kaki tangan mereka. Walaupun mereka sendiri jarang turun tangan ke lapangan, hanya mengutus anak buah, namun nama mereka dikenal semua orang di daerah telaga itu.
Yang membuat mereka heran adalah bahwa wanita cantik itu seorang diri berani menemui mereka dengan cara yang cukup mengejutkan, yaitu meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar, membuktikan bahwa wanita ini memiliki kepandaian. Anehnya, mereka bertiga belum pernah mengenalnya!
“Aku datang untuk mencari Thio Kee San!” jawab Tok-sim Nio-cu sambil lalu dan memandang kepada tubuh laki-laki yang menggeletak tak bernyawa lagi di atas papan perahu. Ia tidak memperkenalkan diri, seolah merasa terlalu tinggi untuk memperkenalkan nama besarnya kepada orang-orang rendahan!
Kembali tiga orang raksasa itu saling pandang dan si berewok tertawa bergelak.
“Mencari Thio Kee San? Nah, itu dia orangnya!”
Biarpun tadinya sudah menduga bahwa tentu orang yang disiksa itu Thio Kee San yang dicarinya, ketika mendengar hal ini Tok-sim Nio-cu terkejut dan marah sekali. Celaka, tugasnya menjadi kacau karena ulah tiga orang ini. Akan tetapi, tiga orang ini adalah tokoh-tokoh
530
besar Telaga Po-yang, tentu mereka membunuh Thio Kee San bukan tanpa alasan!
Jangan-jangan merekapun menghendaki peta kuno itu dari tangan Thio Kee San, dan siapa tahu mereka telah merampas peta itu! Dengan sinar mata mencorong, ia menghadapi tiga orang raksasa itu.
“Kalian berani membunuh orang yang sedang kubutuhkan?”
Mendengar ucapan itu, si botak tertawa.
“Ha-ha-ha, dia sudah mati, nona! Akan tetapi jangan khawatir, masih ada kami bertiga yang kiranya lebih dari cukup untuk menemanimu sepuasmu. Betul tidak, Seng-ko dan Teng-te?”
Dua orang itu tertawa membenarkan.
Tok-sim Nio-cu sudah marah sekali. Ingin rasanya sekali serang ia membunuh mereka itu. Akan tetapi ia adalah seorang wanita yang amat cerdik. Tidak, ia harus menahan kemarahannya. Tidak boleh ia membunuh mereka. Pertama, mereka itu masih amat berguna baginya apalagi setelah Thio Kee San tewas.
Tentu rahasia itu telah berpindah tangan, ke tangan mereka! Ia harus dapat menyelidiki hal ini dan kalau benar peta itu telah berada di tangan mereka, ia harus merampasnya dari mereka. Dan menyerang mereka di perahu ini, sungguh tidak baik. Mereka terkenal sebagai tiga orang tokoh telaga, sedikit banyak mereka tentu pandai berenang, jauh lebih pandai dari ia sendiri yang hampir tidak pandai renang.
531
Kalau berkelahi di situ dan mereka itu menggulingkan perahu, ia akan celaka! Ia harus memancing mereka mendarat, baru ia merasa aman untuk bertanding melawan mereka. Pula ia tidak boleh membunuh mereka, setidaknya seorang di antara mereka harus dibiarkan hidup sebelum peta itu dapat ia temukan.
Dengan menekan kemarahannya, Tok-sim Nio-cu kini tersenyum. Manis sekali.
“Hemm, aku tertarik kepada orang she Thio ini karena dia menjanjikan banyak uang kepadaku. Dia sudah berjanji akan menanti di bandar, akan tetapi meninggalkan aku, maka aku menyusulnya. Sekarang, dia sudah mampus, kalau kalian bertiga sejantan dia dan juga seroyal dia, tentu saja akupun lebih menyukai yang hidup dari pada yang mati.” Ia memainkan bibirnya dengan pandai sekali sehingga ketika bicara, mulutnya seperti menantang penuh gairah.
Tiga orang raksasa itu tentu saja menjadi gembira sekali. Si berewok langsung saja menggunakan lengannya yang besar dan panjang untuk merangkul pinggaug Tok-sim Nio-cu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu mencium bibir itu dengan kasar!
Tok-sim Nio-cu membalas ciuman itu penuh gairah dan memang ia adalah seorang wanita yang sudah berpengalaman. Walaupun hatinya merasa mendongkol sekali, namun ia dapat memperlihatkan sikap yang memikat. Ia meronta manja.
“Lepaskan......! Lepaskan aku, aku tidak mau kalau di sini......, lepaskan......!”
532
Sambil tertawa, si berewok yang sudah mulai panas itu melepaskan wanita yang meronta manja. “Kenapa, manis? Bukankah engkau juga suka?”
“Tentu saja aku suka, akan tetapi tidak di sini. Aku...... aku ngeri dan suka mabuk air. Pula, dengan adanya mayat itu, bagaimana mungkin hatiku bisa tenteram? Marilah kita ke darat dan di sana baru kita benar-benar dapat menikmati kesenangan. Asalkan kalian benar jantan dan royal seperti orang she Thio itu!” Berkata demikian, Tok-sim Nio-cu mengerling dengan sikap menantang.
Tiga orang bersaudara itu girang sekali. “Mari kita ke darat,” kata si berewok kepada dua orang adiknya. “Kita tinggalkan saja mayat itu di sini. Takkan ada yang menyangka kita yang melakukan.”
“Andaikata ada yang menyangkapun, perduli apa?” kata si botak.
“Benar,” kata yang ompong. “Kita katakan saja bahwa dia tidak membayar pajak dan melawan kita, lalu terpaksa kita membunuhnya!”
“Mari kita cepat pergi, kita pergunakan perahuku!” kata Tok-sim Nio-cu kepada mereka.
Mereka berempat lalu berloncatan ke atas perahu kecil itu dan melihat cara mereka meloncat dan tiba di perahu tanpa menimbulkan banyak guncangan mengertilah Tok-sim Nio-cu bahwa tiga orang ini memang lihai dan tidak boleh dipandang rendah.
Nio-cu mendayung perahunya dengan cepat, menuju ke pantai yang sepi, pantai yang merupakan sebuah hutan kecil. Setelah tiba di darat,
533
iapun meloncat ke atas daratan dengan gerakan yang demikian cekatan sehingga mengejutkan tiga orang raksasa itu.
Mereka bertigapun berloncatan ke darat dan kini sikap Tok-sim Nio-cu berubah. Ia berdiri sambil bertolak pinggang menanti mereka bertiga mendarat dan kini ia menghadapi mereka dengan sikap angkuh.
“Po-yang Sam-liong, sekarang dengarlah baik-baik. Kalian telah berlancang tangan membunuh Thio Kee San! Oleh karena itu kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu dan katakan kepadaku, mengapa kalian membunuhnya? Dengan alasan apa kalian membunuh orang she Thio itu?”
Melihat perubahan sikap ini, dan jelas kelihatan betapa wanita itu tidak menghormati mereka bahkan memandang rendah, si berewok Poa Seng marah sekali.
“Haiii, nona! Ketahuilah bahwa kami sudah biasa memberi hadiah besar kepada orang yang menyenangkan hati kami, akan tetapi akan kami bunuh orang yang membikin kami marah! Kenapa sikapmu berubah-ubah dan engkau ternyata palsu? Awas, jangan membikin aku marah karena engkau tentu akan mengalami siksaan hebat!”
Tok-sim Nio-cu yang berniat untuk menundukkan tiga orang ini agar ia dapat merampas peta yang dikehendaki, menjebikan bibirnya yang merah dan yang tadi membalas ciuman si berewok dengan panas penuh gairah. “Huh, apa artinya srigala-srigala membentak seekor singa betina? Kalian yang mencari mampus kalau kalian berani berlagak di depanku!”
534
Tiga orang itu terkejut dan marah bukan main. “Seng-ko, serahkan saja perempuan ini padaku. Aku akan membekuknya dan kita perkosa dia lalu serahkan kepada anak buah agar ia dipermainkan sampai mati!” Poa Teng yang ompong membentak, dan biarpun gigi ompongnya membuat kata-katanya tidak begitu jelas, namun cukup dimengerti oleh Nio-cu yang menghadapinya dengan mata bernyala.
Tanpa menanti persetujuan kakaknya, Poa Teng sudah menubruk dengan mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan kokoh kuat itu untuk memeluk Nio-cu, gerakannya seperti seekor biruang menyerang seekor kijang muda. Akan tetapi, tubrukan itu mengenai tempat kosong dan hampir tidak nampak olehnya ketika tubuh Nio-cu berkelebat amat cepat, meloloskan diri melalui, bawah lengan kanannya.
Poa Teng cepat membalik dan untung dia tidak terlambat karena saat itu, Nio-cu sudah membalas dengan tendangan kakinya yang cepat dan kuat. Poa Teng miringkan tu-buhnya dan lengannya yang panjang bergerak cepat ketika tangannya berusaha menangkap kaki yang menendangnya itu. Namun, kaki itu sudah ditarik kembali dan sebelum Poa Teng sempat menyerang lagi, tangan kiri Nio-cu sudah menyambar. Demikian cepatnya sambaran tangan itu sehingga tahu-tahu pipi kanan Poa Teng terkena tamparan keras.
“Plakkk!” Poa Teng terbatuk-batuk dan melangkah mundur, mukanya menjadi merah sekali. Giginya yang tinggal beberapa buah itu, kini copot lagi dua buah yang di kanan oleh tamparan tadi, dan sialnya, dua buah gigi itu copot dan meloncat ke dalam memasuki perutnya!
535
“Perempuan keparat, kubunuh kau!” bentaknya marah dan diapun menyerang kalang kabut, kedua lengannya yang panjang itu menyambar-nyambar dan jari-jari tangannya mencengkeram, kakinya yang panjang dan besar menendang-nendang.
Namun semua itu dapat dielakkan oleh Nio-cu dengan amat mudahnya karena memang ia memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi. Apa lagi wanita ini memang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah matang, membuat ia mampu bergerak seperti seekor burung walet saja.
Kalau Tok-sim Nio-cu menghendaki, agaknya tidak sukar baginya untuk merobohkan lawannya, bahkan membunuhnya. Akan tetapi ia tidak bermaksud membunuh mereka sebelum peta itu berada di tangannya. Tiga orang ini merupakan jejak terakhir untuk menemukan peta setelah orang she Thio itu tewas.
“Plak-plakk!” Kini tubuh Poa Teng terpelanting dan terbanting keras oleh tamparan yang disusul tendangan itu. Sambil bergulingan, Poa Teng sudah mencabut senjatanya, yaitu seutas rantai baja yang tadi melibat pinggangnya. Dari mulutnya mengalir darah, yaitu dari bekas dua buah gigi yang copot tadi.
“Teng-te, tahan dulu!” Si berewok Poa Seng membentak dan dia melangkah maju menghadapi Tok-sim Nio-cu, mengamati wanita itu dengan penuh selidik. “Nona, bukankah engkau ini yang berjuluk Tok-sim Nio-cu?”
Wanita itu mengangguk dan bertolak pinggang. “Benar, akulah Tok-sim Nio-cu!”
536
Tiga orang laki-laki raksasa itu terkejut bukan main mendengar nama ini. Sudah lama mereka mendengar akan nama Tok-sim Nio-cu, seorang di antara para tokoh sesat yang terkenal lihai di Propinsi Kiang-si.
“Ah, kiranya Tok-sim Nio-cu yang sudah lama kami dengar nama besarnya! Akan tetapi, sepanjang ingatan kami, kami Po-yang Sam-liong selamanya belum pernah bermusuhan denganmu! Kenapa hari ini engkau sengaja hendak menentang kami, Nio-cu?” kembali si berewok berkata, sikapnya jauh berbeda dari tadi, kini jelas agak jerih. Bukan hanya nama besar wanita itu yang membuatnya jerih, akan tetapi kenyataan betapa adiknya tadi sama sekali tidak berdaya menghadapi kelihaian Nio-cu.
“Po-yang Sam-liong, dengarlah baik-baik. Aku diutus oleh Beng-cu untuk menangkap Thio Kee San. Akan tetapi ternyata kalian telah lancang membunuhnya!”
“Beng-cu......? Kaumaksudkan...... yang terhormat Siauw-bin Ciu-kwi?” Si berewok berkata dan jelas bahwa dia dan adik-adiknya kini merasa gentar sekali. Tentu saja mereka sudah mendengar akan nama besar datuk yang menguasai hampir seluruh dunia kang-ouw di Propinsi Kiang-si!
“Benar sekali!”
“Tapi...... tapi... kami bertiga tidak pernah mengganggu beliau......., kami tahu diri dan kami hanya melakukan pekerjaan kecil di Po-yang......”
537
“Hemm, kamipun tidak perduli akan pekerjaan kalian di sini. Akan tetapi kalian sudah lancang membunuh orang yang dikehendaki Beng-cu, itu berarti menentangnya! Untuk itu kalian harus bertanggung jawab. Nah, katakan terus terang, mengapa kalian membunuh Thio Kee San?”
Tiga orang raksasa itu saling pandang, dan si berewok Poa Seng berkata lantang, “Itu urusan kami, tidak ada sangkut-pautnya denganmu, Nio-cu. Kami tidak bermaksud menentangmu atau Beng-cu yang mulia. Dia kami bunuh karena urusan kami sendiri!”
Nio-cu mengerutkan alisnya. “Hemm, tidak perlu kausembunyikan lagi. Kalian membunuhnya dan merampas sebuah peta kuno, bukan?”
Tiga orang itu kelihatan terkejut sekali. “Tidak, kami tidak merampas peta darinya!” kata Poa Seng.
Nio-cu kecewa sekali mendengar ini dan dia memandang wajah penuh berewok itu dengan tajam menyelidik. “Kalau bukan untuk merampas selembar peta, lalu mengapa kalian membunuhnya? Hayo jawab!”
“Nio-cu, bagaimanapun juga, kami bukanlah anak buahmu, bukan anak buah Beng-cu. Kami berhak hidup dan bekerja sendiri tanpa mengganggumu. Urusan kami dengan Thio Kee San adalah urusan kami sendiri dan tidak dapat kami ceritakan kepadamu.”
“Bagus! Kalau begitu, jelas kalian menantangku!”
“Apa yang akan kaulakukan?” tanya pula si berewok yang memang sudah merasa jerih.
538
“Kalau kalian tidak mau berterus terang, terpaksa aku akan membunuh dua orang di antara kalian, dan menyeret yang seorang lagi ke depan Beng-cu!”
Tiga orang itu nampak jerih, akan tetapi Poa Seng merasa betapa kehormatan dia dan adik-adiknya diinjak-injak. Bagaimanapun juga, mereka bertiga merupakan kelompok yang paling berkuasa di Po-yang, ditakuti lawan disegani lawan. Karena merasa betapa mereka kuat dan berkuasa, maka biarpun mendengar akan munculnya Siauw-bin Ciu-kwi yang mengangkat diri menjadi Beng-cu, mereka tidak mau tunduk dan tidak merasa menjadi bawahan datuk itu walaupun tentu saja mereka tidak berani menentang dengan berterang.
Kini, muncul seorang pembantu Beng-cu itu, seorang wanita lagi dan mereka dipandang rendah sekali. Namun, dia juga bukan orang bodoh. Dia sudah mendengar banyak sekali tentang Beng-cu, seorang yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa, dengan banyak pembantunya yang lihai. Menentang dengan berterang sama saja dengan mencari penyakit, bahkan dapat mati konyol.
“Nio-cu, engkau tahu bahwa selama ini kami sama sekali tidak berani dan tidak pernah menentang kekuasaan Beng-cu. Hanya kami menjauhkan diri dan bekerja sendiri di telaga ini. Sekarang, karena engkau memaksa kami untuk membuka rahasia kami sendiri yang tidak ada hubungannya denganmu, marilah kita berjanji begini saja. Kalau engkau seorang diri dapat memenangkan kami bertiga, maka kami akan menceritakan segalanya kepadamu, tanpa ada yang kami rahasiakan lagi tentang Thio Kee San itu. Akan tetapi kalau sebaliknya engkau tidak mampu menangkan kami bertiga, harap engkau tidak lagi mengganggu kami. Bagaimana?”
539
Nio-cu tahu bahwa sebetulnya tiga orang raksasa itu takut kepada Beng-cu. Akan tetapi karena ia hanya seorang diri, mereka melihat kesempatan untuk lolos, atau melakukan penentangan dengan aman.
Kalau mereka kalah, mereka akan mengaku dan tidak akan terancam nyawa mereka. Dan kalau mereka menang, tentu mereka dapat berbuat apa saja, mungkin membunuhnya dan menghilangkan jejaknya. Beng-cu tidak akan mengetahuinya! Nio-cu tersenyum mendengar usul itu.
“Kalian masih berhuntung bertemu dengan aku. Kalau kalian berhadapan dengan Beng-cu sendiri atau pembantunya yang lain, tentu kalian akan mati konyol! Baiklah, aku menerima tantanganmu!” berkata demikian, Nio-cu yang maklum akan kelihaian tiga orang itu, meloncat ke belakang sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebuah kipas di tangan kiri!
Melihat wanita cantik itu telah siap siaga dengan sepasang senjata di tangan, Po-yang Sam-liong juga tidak sungkan-sungkan lagi. Poa Seng yang berewok mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok besar yang lebar dan mengkilap tajam, dengan punggung golok berbentuk gigi gergaji. Poa Leng yang berkepala botak memegang sebatang tombak pendek, sedangkan si ompong Poa Teng memegang rantai bajanya. Mereka bertiga segera menggerakkan kaki mengepung wanita itu dari tiga jurusan, membentuk Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), satu di depan, seorang di kanan dan seorang lagi di kiri.
Tok-sim Nio-cu yang cerdik maklum akan ketangguhan tiga orang lawannya, maka iapun tidak mau keduluan. “Lihat senjata!” bentaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sekali, pedang di tangan
540
kanannya menyerang Poa Seng yang berada di depannya, kemudian kipasnya juga menyambar dengan tertutup dan gagangnya menotok ke arah dada Poa Leng di sebelah kirinya.
Dua orang itu cepat mengelak sambil menangkis dan pada saat itu, Poa Teng yang tadi berada di sebelah kanan Nio-cu sudah memutar rantai bajanya dan senjata itu menyambar ke arah kepala wanita itu. Akan tetapi Nio-cu sudah memperhitungkan bahwa kalau ia menyerang dua orang lawannya, tentu seorang pengeroyok yang tidak diserangnya akan menyerang.
Cepat ia membalik ke kanan dan pedangnya meluncur ke arah perut Poa Teng sambil merendahkan tubuh menekuk lutut. Poa Teng terkejut bukan main. Rantainya menyambar lewat di atas kepala lawan dan tahu-tahu pedang wanita itu sudah menyelonong ke arah perutnya!
“Uhhh......!” Dia berseru kaget dan melempar tubuh ke belakang.
Untung ada dua orang saudaranya yang cepat menyerang Nio-cu sehingga wanita ini tidak dapat mendesak Poa Teng yang terhuyung ke belakang ketika melempar tubuh ke belakang itu. Nio-cu sudah memutar pedangnya, menangkis dua senjata lawan yang menyerangnya, kemudian begitu tangan kirinya mengebut, sinar-sinar lembut menyambar ke arah Poa Seng dan Poa Leng!
Dua orang itu terkejut dan cepat sekali mereka melempar tubuh ke kanan kiri sambil memutar senjata. Sinar-sinar hitam lembut itu adalah jarum-jarum hitam halus yang menyambar keluar dari ujung gagang kipas ketika kipas itu dikebutkan!
541
Karena ketiga orang lawannya terhuyung, Nio-cu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Pedangnya diputar cepat, juga kipasnya menotok dan akibatnya Poa Leng yang kurang cepat mempergunakan tombak pendeknya untuk melindungi diri, telah kena di¬cium pundaknya oleh ujung pedang. Baju bagian pundaknya robek berikut kulit dan sedikit daging. Darah mengalir dan Poa Leng terhuyung ke belakang!
Melihat betapa adiknya terluka, Poa Seng terkejut. Dia memutar goloknya dengan maksud mendesak dan memberi kesempatan kepada kedua adiknya untuk melakukan serangan balasan. Namun, pedang di tangan Nio-cu juga diputar cepat dan membentuk sinar bergulung-gulung yang lebih cepat sehingga gulungan sinar pedang itu dapat memasuki gulungan sinar golok dan tahu-tahu ujung pedang itu sudah menggurat pergelangan tangan yang memegang golok!
“Auhhh......!” Poa Seng terkejut, menarik kembali goloknya, akan tetapi kaki Nio-cu yang dapat bergerak cepat sudah mengirim tendangan.
“Dukk!!” Lutut kanan Poa Seng tercium ujung sepatu dan tanpa dapat dipertahankannya pula, dia jatuh bertekuk lutut!
Dua orang adiknya menyerang membabi buta, namun gerakan mereka itu terlalu kasar dan lamban bagi Nio-cu yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi sehingga semua serangan mereka dapat dielakkan atau ditangkis. Belum lewat tigapuluh jurus, kembali pedang di tangan kanan Nio-cu menemui sasaran, sekali ini paha kiri Poa Teng yang terpelanting roboh. Darah bercucuran dari pahanya yang terobek.
542
Melibat kenyataan pahit ini, Poa Seng segera berseru, “Tahan senjata!” Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, pihaknya akan kalah dan tentu akan menderita lebih hebat lagi. Lawan ini terlampau tangguh. Pada hal, ia hanya seorang wanita dan seorang pembantu dari Beng-cu. Apa lagi kalau Beng-cu itu maju sendiri. Mengerikan! Pula, dia teringat akan kemesraan dan kehangatan yang diperlihatkan Nio-cu tadi. Kalau mereka berteman, ada harapan sekali waktu dia akan dapat menikmati kemesraan cumbuan wanita cantik itu.
Nio-cu menahan kedua senjatanya dan bagaikan bermain sulap saja, pedang dan kipasnya sudah disimpannya kembali dan ia berdiri sambil bertolak pinggang memandangi tiga orang bekas lawannya sambil tersenyum.
“Bagaimana pendapat kalian?”
Poa Seng mewakili kedua orang adiknya yang sudah terluka itu, menjura kepada Nio- cu, menarik napas panjang dan berkata, “Sungguh tidak kosong belaka nama besar Tok-sim Nio-cu, Kami mengaku kalah!” katanya dengan jujur.
“Bagus! Karena aku sendiri adalah utusan dan pembantu Beng-cu, maka kekalahan kalian itu berarti bahwa mulai saat ini kalian harus pula membantu Beng-cu dan melaksanakan semua perintahnya. Setujukah kalian?”
Tiga orang itu maklum bahwa baru melawan seorang pembantu Beng-cu saja mereka kalah, maka kalau mereka menentang Beng-cu sama dengan bunuh diri!
“Kami setuju!” kata mereka serempak.
543
“Ketahuilah bahwa aku diutus Beng-cu untuk menangkap orang she Thio, karena kami mendengar bahwa orang itu yang menyimpan peta rahasia Patung Emas! Akan tetapi ketika aku tiba di sini, ternyata kalian sudah membunuh dia! Nah, apakan kalian telah merampas peta itu? Kalau sudah, berikan kepadaku dan kalian berarti sudah berjasa besar terhadap Beng-cu.”
Tiga orang raksasa itu saling pandang dan kembali Poa Seng menghela napas panjang.
“Kami akan bercerita terus terang kepadamu, Nio-cu. Sesungguhnya sudah lama kami mendengar tentang peta rahasia harta karun bergambar patung emas itu. Namun kami menganggap berita itu hanya semacam dongeng saja. Akan tetapi, pada suatu hari kami mendengar dari seorang anak buah kami yang bertugas sebagai tukang perahu, bahwa dia melihat tanpa sengaja ketika Thio Kee San membuka sebuah gulungan ketika berada di dalam perahunya. Dari belakang, dia melihat bahwa gulungan itu berupa peta dan ada gambarnya patung emas. Thio Kee San segera menyimpan gulungan itu ketika anak buah kami mendekat. Laporan inilah yang membuat kami hari ini memaksa Kee San untuk mengaku. Akan tetapi dia berkeras tidak mau mengaku, mengatakan bahwa dia tidak memiliki peta itu. Saking kecewa dan marah, kami memukulinya dan diapun tewas. Kami tidak berhasil mengetahui di mana adanya peta itu, apa lagi merampasnya!”
Sampai beberapa saat lamanya Nio-cu mengamati wajah tiga orang itu dengan penuh selidik. Akhirnya iapun menarik napas panjang. “Kalian sungguh bodoh dan kasar, tidak mampu membujuk dia agar mengaku. Banyak cara penyiksaan yang akan membuat dia mengaku sebelum
544
dia mampus. Akan tetapi, aku percaya kepada kalian dengan keyakinan bahwa kalian pasti tidak berani berbohong. Membohongi aku berarti membohongi Beng-cu dan kalian tahu apa hukumannya!”
“Nio-cu, untuk apa kami berbohong? Selain kami tidak berani menentang Beng-cu, juga kami tadi sudah berjanji dan kami telah kalah. Kami memukuli Thio Kee San sampai mati karena kami merasa kecewa dan marah sekali. Kami mengira bahwa dia memang benar-benar tidak mempunyai peta itu.”
“Kalian bodoh! Dia memiliki peta itu!”
“Ahhh.....??” Tiga orang itu terbelalak dan jelas nampak betapa mereka menyesal sekali telah membunuh orang she Thio itu.
Sikap mereka itu menambah keyakinan hati Nio-cu bahwa mereka tidak berbohong. Tiga orang raksasa tolol itu memang tidak berhasil merampas peta. Mereka bertiga itu hanya memiliki kelebihan otot, akan tetapi kekurangan otak.
“Kini kalian mengerti bahwa perbuatan kalian membunuhnya itu berarti merugikan Beng-cu! Maka, kalian harus bertanggung jawab dan kalian kuserahi tugas untuk mencari peta itu sampai dapat!”
Tiga orang itu terbelalak. “Tapi...... tapi, Nio-cu? Bagaimana mungkin? Dia sudah mati..... dan peta itu tidak ada padanya. Sudah kami geledah seluruh badannya. Juga sebelum kami menemuinya di telaga, kami sudah menggeledah rumahnya dan tidak berhasil menemukan peta itu!”
545
Nio-cu tersenyum. ”Kalian memang bodoh, karena itu aku tidak akan meninggalkan kalian. Kalian menjadi pembantu-pembantuku, anak buahku. Aku yang akan mengatur rencananya, kalian tinggal melaksanakannya saja. Aku yakin kita akan dapat menemukan peta itu.”
Tiga orang itu kelihatan lega. Kalau Nio-cu yang menjadi pemimpin, mereka banya pembantu atau anak buah, maka segala kegagalan tentu ditanggung oleh Nio-cu. Akan tetapi Poa Seng masih merasa penasaran.
“Nio-cu, kalau Thio Kee San itu sudah mati tanpa memberi keterangan tentang peta, bagaimana kita akan dapat menemukan benda itu? Kepada siapa lagi kita bertanya kalau dia sudah mati? Harap memberi penjelasan agar kami tidak bingung dan tahu apa yang harus kami lakukan.”
“Sam-liong, coba kalian pikir. Andaikata Kee San menyimpan peta itu, setelah kalian menyiksa dan memukuli dia, sudah pasti dia akan mengaku! Untuk apa dia memberatkan peta itu kalau dia akan dibunuh? Tidak ada gunanya bagi dia, dan tidak ada benda yang cukup berharga di dunia ini yang lebih dihargai dari pada nyawa. Tidak, kalau Kee San sampai nekat menutup mulut dan lebih baik mati dari pada membuka rahasia peta itu, hal ini berarti bahwa dia tidak menyimpannya!”
Tiga orang raksasa itu saling pandang, dan pandang mata mereka bodoh, tanda bahwa mereka tidak mengerti.
“Nio-cu, kalau tidak disimpannya, lalu di kemanakan? Sungguh aku menjadi bingung,” kata Poa Seng,
546
“Aku juga!” sambung Poa Leng.
“Akupun tidak mengerti!” kata Poa Teng.
Nio-cu menjebikan bibirnya yang menggairahkan, bukan sekedar gaya melainkan memang ia mendongkol sekali.
“Kalian ini orang-orang she Poa memang bodoh sekali. Sepatutnya kalian semua bernama Poa Gong (sinting atau tolol)! Tentu saja peta itu dia serahkan kepada orang lain!”
“Diserahkan kepada orang lain?” seru Poa Seng. “Akan tetapi kalau diserahkannya kepada orang lain, kenapa dia tidak mau mengaku kami gebuki sampai mampus? Kalau dia mengaku, setidaknya dia tidak akan mati, mungkin hanya tiga perempat atau setengah mati saja.”
Nio-cu menarik napas panjang. Ia amat cerdik, maka menghadapi orang-orang yang tidak secerdik dirinya, ia menjadi kurang sabar.
“Apakah kalian tidak dapat menggunakan sedikit saja otak dalam kepala kalian? Kalau Kee San memilih mati dari pada membuka rahasia itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia amat sayang kepada orang yang diserahi peta itu. Untuk melindungi orang itulah maka dia rela kalian gebuki sampai mampus. Nah, sudah jelas, bukan? Kalian kini tinggal cari saja siapa orangnya yang paling dikasihi oleh Kee San, dan tentu kalian akan menemukan peta itu ada padanya!”
Kini Poa Seng dan kedua orang adiknya mengangguk-angguk. Barulah sadar mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang selain cantik jelita dan lihai ilmu silatnya, juga amat
547
cerdik! Dan orang sehebat ini hanya menjadi pembantu Beng-cu, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya sang Beng-cu itu!
“Hebat, Nio-cu. Engkau memang hebat bukan main!” kata Poa Seng mengangguk-angguk dan terang-terangan dia mengacungkan kedua ibu jarinya ke atas tanda kagum. Aih, kalau saja aku dapat memiliki seorang wanita seperti engkau ini, beberapa malam saja, puaslah hidupku di dunia ini!”
Biarpun ucapan itu kasar bukan main, akan tetapi wajah Nio-cu menjadi kemerahan saking bangga dan girangnya. Justeru kekasaran Poa Seng itu amat menarik hatinya, dan pujian yang keluar dari mulut kasar itu adalah pujian yang tulus tanpa maksud merayu sedikitpun.
“Bekerjalah dengan baik. Kalau engkau berhasil, siapa tahu aku begitu berterima kasih kepadamu sehingga kuanggap engkau cukup berharga untuk menjadi teman baikku.”
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Bukan hanya janjimu yang manis itu yang membesarkan semangatku, Nio-cu. Akan tetapi mulai saat ini memang kami sudah takluk kepada Beng-cu melalui engkau, dan kami akan bekerja keras untuk membuktikan bahwa kami bukan pembantu-pembantu yang tidak ada gunanya.”
“Ingat, di sini tempat pertemuan kita menyelidiki peta. Selama kita menyelidiki peta itu, setiap senja menjelang malam aku berada di sini dan kalian dapat menemui aku di sini.”
“Kenapa begini rahasia, Nio-cu? Kalau kita bertemu di bandar umpamanya, siapa yang akan berani mengganggu kita?” Poa Seng membantah.
548
“Bukan begitu, bodoh. Engkau tentu sudah mendengar betapa peta itu dijadikan perebutan oleh orang-orang kang-ouw. Biarpun kami tidak takut, akan tetapi lebih enak bekerja tanpa banyak gangguan yang hanya akan menambah pekerjaan saja. Contohnya, lihat. Bukankah tadinya aku akan dapat menangkap Thio Kee San dengan mudah, akan tetapi karena kalian juga memperebutkan peta maka pekerjaanku menjadi semakin repot?”
“Kau benar...... kau benar......!” Poa Seng mengangguk-angguk dan merekapun berpisah.
◄Y►
Setelah mendapatkan keterangan yang amat jelas dari Nio-cu yang cerdik sekali itu, dengan amat mudah Po-yang Sam-liong yang menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan siapa orang yang paling disayang oleh mendiang Thio Kee San, dapat menemukan kenyataan bahwa mendiang Thio Kee San sering kali berkunjung ke Rumah Merah, yaitu rumah pelesir milik Bibi Ciang!
Kee San sudah tidak mempunyai keluarga sama sekali, tiada ayah tiada ibu atau saudara, maka tidak ada lagi orang yang disayangnya kecuali teman-temannya. Dan dalam penyelidikan Po-yang Sam-liong, Kee San tidak mempunyai sahabat yang terlalu dekat.
Sahabat-sahahat dalam perjudian bukanlah sahabat dekat dan tidak mungkin ada perasaan sayang di antara para penjudi yang selalu memperebutkan kemenangan uang itu. Satu-satunya tempat hanyalah rumah pelesir itu! Demikian perhitungan Tok-sim Nio-cu ketika mendapat keterangan dari Po-yang Sam-liong.
549
“Tidak salah lagi!” demikian katanya kepada tiga orang pembantu baru itu. “Rumah Merah itulah tempatnya! Dia pasti mempunyai seorang kekasih atau seorang sahabat yang disayangnya, dan melihat bahwa dia rela mengorbankan nyawa dari pada mencelakai orang yang disayangnya, kiranya orang itu tentu seorang wanita. Carilah sampai dapat siapa orang yang amat disayangnya di rumah pelesir itu. Kalau perlu tangkap semua penghuninya dan paksa mereka mengaku!”
Gegerlah rumah pelesir itu ketika pada suatu malam, Po-yang Sam-liong datang berkunjung. Para tukang pukul di rumah pelesir itu tentu saja kehilangan keberanian dan kegalakan mereka ketika mengenal tiga orang datuk sesat yang menguasai daerah Telaga Po-yang itu, bahkan menyambut mereka seperti kalau menyambut orang-orang berpangkat tinggi saja.
Apa lagi ketika tiga orang raksasa itu mulai menyatakan maksud kedatangan mereka, yaitu untuk mencari tahu siapa kekasih atau sahabat baik Thio Kee San, semua orang menjadi pucat ketakutan. Mereka sudah mendengar bahwa Kee San ditemukan orang mati di atas perahunya di telaga, dan sekarang tiga orang ini bertanya siapa sahabat terbaik dari korban itu! Semua orang mengatakan tidak tahu.
“Kalian tidak tahu? Baik, kami akan memaksa kalian mengaku!” bentak Poa Seng dan semua penghuni rumah pelesir itu, Bibi Ciang, enam orang pelacur, dan lima orang tukang pukul, mereka kumpulkan dalam ruangan belakang. Mereka semua disuruh duduk di atas lantai sedangkan tiga orang raksasa itu duduk di atas kursi.
“Kalian berani menyembunyikan orang itu dari kami, ya? Nah, sekarang akan kami tanya seorang demi seorang!” kata pula Poa Seng.
550
Dia menyuruh lima orang anak buahnya menjaga para tawanan itu dan bersama dua orang adiknya dia lalu memasuki sebuah kamar.
Pertama-tama, Bibi Ciang sendiri yang dipanggil memasuki kamar. Dengan tubuh gemetar ketakutan wanita setengah tua memasuki kamar yang segera ditutup pintunya dari dalam. Semua orang yang menanti di luar merasa tegang sekali dan mereka menjadi semakin ketakutan ketika terdengar jerit kesakitan dan tangis nenek pemilik Rumah Merah itu.
“Aduuuhhh...... ampun... ampunkan saya..... sungguh mati saya tidak tahu...” nenek itu meratap ketika ia ditanya tentang peta sambil dijambak rambutnya sampai sebagian rambutnya jebol.
“Katakan, siapa kekasih dan teman terbaik dari Thio Kee San dalam rumah pelesir ini!” bentak Poa Seng sambil mengendurkan jambakannya agar wanita itu dapat menjawab.
Poa Teng sudah melibatkan rantai bajanya di leher wanita tua itu, siap untuk mencekiknya! Tentu saja semangat wanita itu sudah terbang dan hampir ia jatuh pingsan saking takutnya.
“Kekasihnya? Ah, kekasihnya yang amat disayangnya adalah Bi Hwa....., ya Bi Hwa...... bunga rumah pelesir kami......”
Rantai itu dilepaskan. Tiga orang raksasa saling pandang, lalu dengan suara agak halus Poa Seng berkata, “Ceritakan tentang hubungan mereka dan yang mana Bi Hwa ini. Cerita sebenarnya, kalau kau tidak ingin kami siksa lebih mengerikan lagi!”
551
Sambil berlutut dengan muka pucat, rambut awut-awutan dan tubuh gemetar ketakutan, Bibi Ciang lalu bercerita. “Bi Hwa adalah seorang di antara para pelacur, menjadi bunganya karena ia paling cantik dan paling laris. Dan Kee San amat mencintanya, bahkan dia ingin mengumpulkan uang untuk menebus Bi Hwa yang akan diambil sebagai isterinya......”
Bukan main girangnya hati tiga orang tokoh sesat itu mendengar ini. Tak disangkanya akan semudah itu mereka mendapatkan orang yang dimaksudkan oleh Tok-sim Nio-cu dan kembali mereka merasa amat kagum kepada Nio-cu yang memiliki perkiraan dan perhitungan sedemikian tepatnya.
Poa Seng berkedip kepada dua orang adiknya, lalu mendorong Bibi Ciang bangkit. “Hayo tunjukkan kepada kami yang mana pelacur yang bernama Bi Hwa!”
Mereka bertiga lalu mendorong Bibi Ciang keluar dari dalam kamar. Semua orang yang berada di ruangan itu, dengan muka pucat ketakutan melihat betapa Bibi Ciang keluar terhuyung-huyung, dengan rambut awut-awutan, muka pucat dan basah air mata.
Bibi Ciang dengan tangan gemetar lalu menunjuk ke arah Bi Hwa yang berada di situ bersama para pelacur lainnya. Po-yang Sam-liong memandang dan mereka melihat seorang wanita muda yang memang cantik manis, dengan riasan muka tidak setebal para wanita muda yang lain. Bahkan wanita ini menundukkan muka, diam seperti patung, tidak seperti orang-orang lain yang nampak ketakutan. Pelacur ini memang lain dari pada yang lain. Poa Seng lalu memberi isyarat kepada dua orang adiknya dan mereka bertiga lalu mengamuk!
552
Semua orang, kecuali Bibi Ciang dan Bi Hwa, mereka pukuli dan tendangi sampai mereka itu jatuh bangun dan mengeluh kesakitan. Bahkan lima orang tukang pukul itupun menerima tamparan dan tendangan tanpa berani melawan sama sekali. Setelah puas menyiksa mereka, Poa Seng menghampiri mereka satu demi satu dan bertanya dengan suara lantang.
“Hayo katakan, siapa kekasih Thio Kee San di sini?”
Semua orang yang ditanya menuding ke arah Bi Hwa yang masih berlutut dan menundukkan muka tanpa bergerak. Poa Seng lalu menjambak rambut Bi Hwa dan memaksa waanita muda itu mengangkat muka. Bi Hwa mengangkat mukanya yang pucat, akan tetapi matanya itu memandang penuh sinar kebencian, sama sekali tidak membayangkan rasa takut!
“Engkau yang bernama Bi Hwa dan engkau kekasih Thio Kee San!” bentak Poa Seng, kini melepaskan rambut itu dan tangan yang tadi menjambak, kini mengelus pipi yang halus.
Bi Hwa menjawab dan suaranya mengejutkan semua orang karena gadis ini menjawab dengan suara yang kaku dan penuh kebencian. “Dan kalian bertiga tentu pembunuh-pembunuh koko Thio Kee San! Kalian orang-orang terkutuk, kejam dan jahat! Apa kesalahan San-koko maka kalian membunuhnya?”
Melihat sikap ini, Po-yang Sam-liong saling pandang dan tertawa bergelak. Mereka merasa girang sekali karena sikap itu saja menunjukkan bahwa memang antara wanita ini dan Kee San terdapat hubungan yang erat.
553
“Ha-ha-ha!” Poa Seng tertawa. “Dan engkaupun akan mampus kalau engkau tidak mau berterus terang kepada kami!” Berkata demikian, dia mengangkat tubuh wanita itu, dipondongnya ke dalam kamar, diikuti oleh dua orang adiknya, dipandang dengan muka pucat oleh semua orang yang masih merintih dan mengerang kesakitan karena dihajar oleh tiga orang raksasa itu. Lima orang pelacur yang tadi ikut pula dihajar, menangis terisak-isak.
Sementara itu, setelah tiba di dalam kamar, Poa Seng melempar tubuh Si Hwa ke atas pembaringan. Gadis itu pucat sekali, akan tetapi matanya tetap memandang penuh kebencian. Kee San, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintanya dengan tulus dan juga dicintanya, yang menjadi gantungan harapan hidupnya, telah dibunuh oleh tiga orang ini! Apa lagi yang perlu ditakuti?
Baginya, bahkan mati menyusul kekasihnya jauh lebih baik dari pada hidup, melanjutkan hidup sebagai seorang: pelacur hina! Karena sakit hati, duka dan kebencian itu membuat Bi Hwa, seorang wanita yang lemah, saat itu tidak mengenal rasa takut sama sekali walaupun ia tahu bahwa ia berada di tangan tiga orang yang amat kejam dan jahat!
“Nah, nona manis. Sekarang katakanlah terus terang, di mana engkau menyimpan peta yang kauterima dari Thio Kee San itu? Berikan kepada kami dan kami tidak akan menyiksamu, tidak akan membunuhmu,” kata Poa Seng, suaranya tidak sekasar tadi dan mengandung bujukan.
Kini mengertilah Bi Hwa mengapa kekasihnya dibunuh. Karena peta itu! Tiga orang manusia iblis ini menghendaki peta bergambar patung emas itu! Dan Kee San menjadi korban karena pernah memiliki peta
554
itu. Dan sekarang, peta itu berada di tangannya, dan iapun terancam maut. Akan tetapi, untuk apa menyerahkan peta itu kepada tiga orang manusia ini? Ia memang sudah mendengar akan peristiwa yang amat menyedihkan itu. Bukan hanya karena kematian kekasihnya, akan tetapi juga ia sudah mendengar akan terculiknya Loan Khi Hwesio, ketua kuil.
Kekasihnya pernah mengatakan bahwa dia menerima peta itu dari Loan Khi Hwesio. Kemudian, Loan Khi Hwesio sebagai pemegang peta pertama diculik orang dan mungkin sekali dibunuh, sesudah itu, Kee San sebagai pemegang peta kedua juga dibunuh! Dan peta itu kini berada di tangannya, maka tidak aneh kalau nyawanya pun terancam.
Oleh karena itu, ia sudah lebih dulu menyingkirkan peta itu, bukan untuk menyelamatkan diri yang sudah putus harapan setelah kematian kekasihnya, melainkan untuk menyelamatkan peta agar jangan terjatuh ke tangan para pembunuh kekasihnya! Tidak! Ia tidak akan mengaku. Biar mereka membunuhnya. Ia tidak rela kalau sampai peta itu terjatuh ke tangan mereka yang membunuh kekasihnya, iapun sudah tidak mengharapkan hidup lebih lama lagi.
“Aku tidak tahu!” jawabnya ketus, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar seolah-olah ia merasa gembira dapat melihat kekecewaan pada pandang mata tiga orang itu.
“Hemm, jangan memaksa kami untuk menggunakan siksaan, nona manis. Sayang kecantikanmu. Lebih baik engkau mengaku terus terang dan kami akan menebusmu bebas dari Bibi Ciang, bahkan kami akan memberi banyak uang kepadamu. Engkau dapat membeli seorang suami yang baik dan......”
555
“Sudahlah, tidak perlu membujuk dan kalau mau siksa, mau bunuh aku, silakan. Aku tidak tahu!” Bi Hwa berseru dengan nekat.
Poa Seng memandang kedua orang adiknya. “Geledah kamarnya!”
Dua orang raksasa itu keluar dan menyeret Bibi Ciang untuk menunjukkan di mana kamar Bi Hwa. Mereka mengobrak-abrik seluruh isi kamar, bahkan merobek kasur dan bantal untuk mencari peta itu. Namun sia-sia belaka. Mereka tidak dapat menemukan peta itu.
Sementara itu, di dalam kamar, Poa Seng juga merobek-robek semua pakaian yang menutupi tubuh Bi Hwa, untuk mencari kalau-kalau peta itu disembunyikan di dalam baju. Namun diapun tidak berhasil.
Ketika Poa Leng dan Poa Teng kembali ke dalam kamar dan melaporkan kepada Poa Seng bahwa mereka tidak berhasil, tiga orang itu menjadi marah dan penasaran. Mulailah mereka menyiksa Bi Hwa. Namun, Bi Hwa tetap membisu dan kalau mengeluarkan suara, ia hanya berkata, “Aku tidak tahu!” atau kadang-kadang malah ia memaki, “Kalian ini iblis-iblis terkutuk, membunuh kekasihku yang tidak berdosa!”
Po-yang Sam-liong sampai kehabisan kesabaran. Mereka itu menyiksa sejadi-jadinya, memperkosa Bi Hwa secara bergantian, menyayat kulitnya dan sampai keadaannya lebih banyak mati dari pada hidup, Bi Hwa tetap tidak mau mengaku dan mengatakan tidak tahu! Setelah ia tidak mampu bersuara lagi, ia hanya menggeleng kepala dan pandang matanya penuh kebencian kepada tiga orang penyiksanya itu.
556
Po-yang Sam-liong menjadi semakin penasaran. Akan tetapi mereka khawatir kalau sampai terjadi wanita ini tewas di tangannya sebelum mereka berhasil menemukan peta, maka mereka lalu menggulung tubuh yang sudah sekarat itu dengan selimut, lalu meninggalkan rumah pelesir itu.
Tentu saja Bibi Ciang dan para pelacur, juga para tukang pukul, menjadi geger dan dengan berita tentang diculiknya Bi Hwa oleh orang-orang jahat segera tersiar dengan luas. Akan tetapi, tak seorangpun di antara para penghuni rumah pelesir itu berani mengatakan bahwa pelakunya adalah Po-yang Sam-liong!
Ketika Tok-sim Nio-cu menerima Po-yang Sam-liong yang membawa Bi Hwa yang sudah mendekati mati itu tanpa memperoleh hasil, Nio-cu mengerutkan alisnya dan menjadi marah sekali.
“Kalian ini benar-benar poa-gong (tolol)! Sudah kukatakan, jangan melakukan kekerasan sebelum berhasil! Lihat perempuan ini. Di tangannyalah rahasia peta itu, dan kalian membuatnya hampir mati sebelum ia mengaku di mana adanya peta itu! Hayo cepat rawat ia baik-baik sampai ia sembuh benar! Kalau sudah sembuh, nanti aku yang membujuknya.”
Po-yang Sam-liong menggunakan segala daya untuk menyembuhkan kembali Bi Hwa. Mereka tidak mengganggunya, memberi obat dan makan, melayaninya dengan sebaiknya. Akan tetapi tiga hari kemudian, setelah kesehatan wanita itu agak membaik dan kekuatannya pulih, pagi-pagi mereka mendapatkan bahwa wanita itu telah membunuh diri di dalam pondok darurat yang mereka buat di
557
hutan tepi telaga itu! Bi Hwa menggantung diri dengan sabuknya sendiri setelah ia diberi pakaian lengkap oleh Po-yang Sam-liong!
Tentu saja Po-yang Sam-liong menjadi bingung dan ketika Nio-cu datang, iblis betina inipun marah bukan main. “Dasar kalian yang kasar dan tolol! Aih, sungguh menyesal aku menyuruh kalian yang menyelidiki urusan ini. Kalian hanya menggagalkan urusan saja, bukan membantu!”
“Nio-cu, maafkan kami. Maksud kami hendak memaksa Bi Hwa mengaku, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa ia begitu keras kepala, tidak mau mengaku dan menantang segala siksaan!” Poa Seng mengepal tinju penuh penasaran dan penyesalan.
“Hemm, kalian hanya orang-orang kasar! Sudahlah, kalian boleh pulang. Akan tetapi ingat, bahwa kalian telah menjadi anak buah Beng-cu dan setiap waktu apa bila Beng-cu membutuhkan tenaga kalian, maka kalian harus siap untuk membantu.”
“Baik, Nio-cu dan terima kasih.”
Tok-sim Nio-cu meninggalkan tempat itu untuk memberi laporan kepada Siauw-bin Ciu-kwi.
Tentu saja datuk ini merasa kecewa. “Hemm, kenapa tidak kaubasmi saja Po-yang Sam-liong yang tolol itu, menggagalkan urusan saja!”
“Kedudukan dan kekuasaan mereka cukup kuat di daerah telaga, Beng-cu. Sayang kalau mereka dibasmi begitu saja. Mereka sekali waktu dapat berguna bagi kita, apa lagi mereka sudah kutaklukkan
558
dan mengaku kekuasaan Beng-cu dan sudah berjanji untuk membantu,” bantah Tok-sim Nio-cu.
Kalau saja bukan Nio-cu yang telah dianggap gagal dalam tugasnya itu, tentu Siauw-bin Ciu-kwi akan marah besar dan menghukum pembantu yang gagal itu. Akan tetapi, di samping sebagai pembantu, Tok-sim Nio-cu juga menjadi kekasihnya, seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hatinya.
Sementara itu, para pembantu yang mendengar semua cerita Nio-cu, juga merasa penasaran.
“Beng-cu, biarkan aku yang pergi mencari peta itu. Mendengar cerita Nio-cu, aku yakin bahwa peta itu masih berada di sekitar Nan-cang dan Telaga Po-yang. Agaknya pelacur itu telah menyerahkannya kepada orang lain!” kata Pek I Kongcu Ciong Koan.
Siauw-bin Ciu-kwi mengangguk-angguk. “Baik, cari dan temukanlah, Kongcu!”
Julukan Pek I Kongcu ini telah demikian terkenal sehingga Beng-cu sendiri juga lebih suka menyebutnya Kongcu seperti juga para pembantunya.
Dengan penuh keyakinan akan kemampuan sendiri, Pek I Kongcu lalu berangkat untuk melaksanakan tugasnya. Jejak itu masih jelas nampak, pikirnya. Yang terakhir peta itu berada di tangan Bi Hwa, bagaimana mungkin dapat lenyap tanpa bekas? Sudah jelas bahwa agaknya Bi Hwa telah menduga akan datangnya bahaya, maka ia segera menyingkirkan peta itu, dan ke mana lagi wanita itu menyembunyikannya kalau tidak menyerahkannya kepada orang lain?
559
Tentu seseorang yang amat dipercayanya, dan hal inilah yang harus dia selidiki.
◄Y►
Perahu itu meluncur sunyi di Telaga Po-yang. Menjelang senja itu, telaga telah ditinggalkan orang dan hanya ada satu-dua buah perahu saja yang nampak di atas telaga, yaitu perahu para nelayan yang masih mencoba-coba mengadu untung dengan mengail ikan.
Setelah meluncur ke bagian tepi dekat hutan yang rimbun, perahu itu berhenti dan penumpang tunggalnya, seorang pria muda, segera melakukan persiapan memancing ikan. Dia bukan seorang nelayan, juga beberapa buah perahu nelayan itu ditumpangi nelayan yang mengail dengan harapan tipis. Kalau pria berpakaian putih di atas perahu itu seorang nelayan, tentu tidak sebesar itu semangatnya untuk mengail.
Semua nelayan di Telaga Po-yang tahu bahwa sekarang bukan musim mengail ikan, melainkan musim mencari uang melalui penyewaan perahu kepada para pelancong. Di waktu hari cerah musim panas itu, telaga dibanjiri pelancong, bukan ikan.
Ikan-ikan. itu sudah kenyang karena setiap hari, dari pagi sampai sore, para pelancong membuang banyak sisa makanan ke dalam telaga dan ikan-ikan itu berpesta pora pula sehingga setelah telaga itu ditinggalkan para pelancong, ikan-ikan yang kekenyangan itu sudah terlalu malas untuk mencari makanan di dekat permukaan air. Beberapa orang nelayan yang mengadu untung itu agaknya memang amat kekurangan, atau mungkin hanya iseng, dari pada tidak ada yang dikerjakan sore itu.
560
Pria muda itu berusia kurang lebih duapuluh enam tahun. Pakaiannya serba putih, sederhana namun bersih. Wajahnya bersih dan tampan, juga amat sederhana dan dia lebih mirip seorang terpelajar yang miskin.
Tubuhnya sedang dan ketika dia bergerak melempar umpan di ujung mata kailnya, tubuh itu mengandung kelenturan. Akan tetapi kalau orang menentang pandang matanya, ada sesuatu pada pandang mata yang berlawanan dengan kelembutan yang nampak pada mukanya, sesuatu yang amat kuat dan berwibawa, sinar mata yang kadang-kadang mencorong, akan tetapi selalu ingin bersembunyi di balik mata yang redup.
Bagaimanapun juga, lekukan di ujung dagunya membayangkan kekuatan hatinya, dan ada tahi lalat hitam kecil di lehernya sebelah kiri. Sebuah buntalan kain berada di atas perahu kecil itu, buntalan yang agak panjang, terbuat dari kain hijau yang tebal dan kuat. Hal ini menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa melakukan perjalanan jauh dan buntalan itu adalah bekal dalam perjalanan, pakaian dan lain-lain.
Karena dia bukan nelayan, bukan pula penggemar kesenangan mengail yang biasa memancing di telaga itu, maka diapun tidak tahu bahwa sore hari seperti itu, ikan-ikan lebih senang bermalas-malasan di dasar telaga karena perut mereka sudah kenyang. Dengan sabar dia memegangi joran pancingnya. Akan tetapi setelah lewat setengah jam belum juga ada ikan yang menyambar umpannya, bahkan dia melihat ada bayangan ikan yang lumayan besarnya berenang tak jauh dari tali pancingnya tanpa memperdulikan bahwa ada orang yang memberi umpan enak, kesabarannya mulai menipis.
561
“Hemm, apakah umpannya yang tidak cocok dengan selera ikan-ikan di sini?” gerutu- nya.
Kembali ada bayangan ikan berenang di bawah permukaan air, ikan sebesar betisnya. Cepat dia menarik jorannya dan menghadang ikan itu dengan umpannya. Ikan itu hampir menabrak umpan, akan tetapi jangankan mencaplok umpan, bahkan menciumpun tidak, lewat begitu saja tanpa menoleh!
“Wah, ini namanya orang kelaparan diejek dan dipandang rendah oleh ikan!” Dia mengomel lalu mengangkat pancingnya, membuang umpan di mata kail dan diapun bangkit berdiri di dalam perahunya, dengan joran di tangan tanpa tali dan pancing lagi.
Joran itu terbuat dari bambu dan ujungnya runcing, semacam bambu sebesar jari tangan yang kuat. Matanya dengan tajam memandang ke permukaan air yang masih diterangi matahari senja yang kemerahan.
Apa yang dinanti-nantikanpun tiba. Tidak perlu dia menanti terlalu lama seperti ketika mencoba menangkap ikan dengan pancing tadi.
Seekor ikan yang sebetis besarnya meluncur lewat, perlahan-lahan dalam jarak dua meter dari perahunya. Seekor ikan yang kepalanya hitam dan ekornya kemerah-merahan, ketika berenang dan membelok, perutnya kelihatan keputihan. Tangan yang memegang joran itu menegang, bergerak dan joran itupun meluncur seperti anak panah ke arah ikan.
“Ceppp......!” Joran itu meluncur masuk ke dalam air. Tentu tidak mengenai sasaran karena ikan dapat bergerak amat cepatnya di dalam air dan menangkap ikan secara demikian tentu saja jauh lebih sukar
562
dari pada mengail seperti tadi! Akan tetapi, joran itu muncul kembali dan diujungnya nampak ikan menggelepar, perutnya ditembusi ujung joran yang runcing!
“Ha-ha, terisi juga perutku yang lapar ini!” Pria itu bicara seorang diri, mendayung perahunya mendekati jorannya dan meraih joran itu. Ikan yang sebesar betis dan cukup gemuk. Dia lalu menaruh ikan dan jorannya ke dalam perahu, mendayung perahu ke arah hutan.
Dari peristiwa itu saja mudah diduga bahwa pria muda itu bukanlah orang sembarangan. Cara dia melempar joran dan tepat mengenai ikan yang sedang berenang di bawah permukaan air, membuktikan bahwa dia seorang yang amat pandai.
Dan memang hal ini benar adanya. Pria itu bernama Tan Cin Hay dan di dunia persilatan, dia terkenal dengan julukan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih). Apa lagi ketika beberapa bulan yang lalu dia berhasil membasmi gerombolan penjahat di bawah pimpinan Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang terkenal jahat!
Hek-sim Lo-mo adalah seorang datuk besar dunia hitam yang amat lihai, dan dia dibantu oleh banyak tokoh-tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi pula. Namun, Pek-liong-eng Tan Cin Hay berhasil membasmi dan membunuh datuk itu dan semua pembantunya, bersama seorang pendekar wanita yang juga menjadi amat terkenal namanya. Pendekar wanita itu adalah Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam) dan bernama Lie Kim Cu.
Pendekar Naga Putih ini tinggal di sebuah dusun yang sunyi di dekat kota Hang-kouw, di dekat Telaga See-ouw. Kalau sekarang dia berada di Telaga Po-yang adalah karena dia sedang melakukan perantauan
563
dan lewat dekat telaga itu. Dia memang suka melancong di telaga, maka dia tidak melewatkan kesempatan itu untuk berpesiar di telaga ini dan sorenya, dia memancing ikan karena merasa perutnya lapar dan malas untuk makan di rumah makan. Telaga Po-yang terkenal dengan ikan-ikan ekor merah yang kabarnya amat lezat dagingnya.
Pendekar ini adalah seorang laki-laki yang bernasib malang, menjadi korban kejahatan. Dahulunya dia seorang putera guru yang hidup di dusun dan dia telah mempunyai seorang isteri yang amat dicintanya. Ketika dia dan isterinya yang baru mengandung muda itu berpesiar naik perahu di Telaga See-ouw, muncullah orang-orang jahat yang hendak mengganggu isterinya.
Dia melakukan perlawanan, akan tetapi tidak ada gunanya. Dia bahkan dipukul dan dilempar keluar perahu, hampir saja mati tenggelam. Adapun isterinya ditangkap dan diperkosa sampai mati oleh para penjahat! Dengan hati penuh dendam dan duka, Tan Cin Hay menjadi murid mendiang Pek I Lojin, seorang kakek sakti.
Setelah tamat belajar ilmu silat, dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang tinggi ilmunya. Dia menuntut balas, menghajar dan membunuh mereka yang pernah menghina, memperkosa dan membunuh isterinya, dan sejak itu dia menjadi seorang pendekar yang setiap saat siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan, membela rakyat kecil miskin yang menjadi korban penindasan, pemerasan dan kejahatan.
Pengalaman pertamanya sebagai pendekar yang paling hebat adalah ketika dia menentang gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Dia berhasil
564
membasmi gerombolan itu bersama Hek-liong-li, dan sejak itu, biarpun terpisah jauh, dia menjadi sahabat pendekar wanita itu dan saling berjanji bahwa kalau masing-masing menghadapi bahaya dan membutuhkan bantuan, mereka akan saling mengabari.
Demikianlah sedikit riwayat hidup Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang pada senja hari itu seorang diri berada di Telaga Po-yang dan kini dia sudah mendarat sambil membawa seekor ikan gemuk sebesar betis. Perahu kecil itu dia ikat dengan sebatang pohon dan dia sendiri lalu memasuki hutan, berhenti di tempat terbuka di mana rumputnya gemuk dan tempatnya bersih, dilindungi pohon besar dan terdapat banyak batu-batu yang enak dijadikan tempat duduk atau tidur karena batu-batu itu besar, rata dan bersih.
Tak lama kemudian, Liong-eng (Naga Putih) sudah duduk menghadapi api unggun yang terlindung antara dua batu besar, dan memanggang daging ikan segar! Dari dalam buntalannya dia mengeluarkan garam dan sekedar bumbu, sehingga kini daging ikan yang sudah dibumbui itu mengeluarkan bau yang sedap, membuat perutnya yang sudah lapar itu terasa semakin lapar. Dia masih mempunyai bekal roti kering yang cukup banyak. Roti kering dan panggang ikan saja sudah lebih dari mencukupi untuk menenangkan perut lapar.
Ketika ikan itu hampir matang dan tinggal beberapa kali balikan lagi, tiba-tiba pendengaran Liong-eng yang terlatih dan amat tajam itu menangkap gerakan dan langkah orang menghampiri tempat itu. Dia bersikap waspada, akan tetapi melanjutkan pekerjaannya seolah-olah tidak tahu bahwa ada orang menghampiri tempat itu.
565
“Siancai (damai)......! Sungguh dosamu besar sekali, orang muda! Engkau menjadi seorang penggoda yang amat kejam......!”
Liong-eng menengok dan dia melihat seorang kakek berusia enampuluh tahunan, berpakaian seperti seorang pendeta dengan rambut digelung ke atas. Biarpun kakek itu mengeluarkan suara teguran, namun wajahnya lembut dan mulutnya tersenyum ramah, dan sepasang matanya itu ditujukan ke arah ikan yang masih dipegang dan dipanggangnya. Tentu saja dia merasa heran mendengar teguran itu.
“Totiang, mengapa begitu? Apa dosaku, dan kenapa totiang mengatakan aku seorang penggoda kejam?”
KAKEK itu menghela napas, hidungnya kembang kempis dan diapun duduk di atas batu dekat Liong-eng, menikmati kehangatan api unggun yang mengusir nyamuk dan hawa dingin.
“Sejak pagi tadi pinto (aku) belum makan apapun. Perut ini terasa lapar dan tiba-tiba saja hidung ini mencium bau sedap ikan dipanggang sehingga perutku terasa semakin lapar dan tersiksa. Karena engkau yang membakar ikan, bukankah berarti engkau telah menggoda pinto dan menyiksa perut pinto? Alangkah besar dosamu, orang muda, kalau engkau tidak menebusnya dengan mengajak pinto makan malam.”
Hampir Liong-eng tertawa bergelak mendengar ucapan itu, akan tetapi dia tidak mau bersikap tidak sopan mentertawakan seorang tosu (pendeta Agama To). Dengan hormat dia lalu berkata, “Kalau memang totiang merasa lapar seperti juga aku, mari silakan makan malam bersamaku, totiang.”
566
“Siancai......! Kalau begitu, tadi engkau bukannya menggoda, orang muda, melainkan sengaja memancing dan mengundang pinto makan malam. Terima kasih, terima kasih!”
Dengan segala senang hati Liong-eng lalu mempersilakan kakek itu duduk di dekat api unggun. Panggang ikan itu sudah matang dan diapun mengeluarkan buntalan roti kering. “Silakan, totiang, mari kita makan seadanya!”
“Siancai...... terima kasih. Roti kering dan ikan panggang, diantar anggur dari He-nan. Sedaaap!”
“Sayang anggurnya tidak ada, totiang.”
“Jangan khawatir, pinto masih menyimpan anggurnya, cukup untuk kita berdua. Anggur aseli He-nan, manis dan harum!” Tosu itupun mengeluarkan sebuah guci anggur dari dalam buntalannya dan memang benar anggur itu mengeluarkan bau harum ketika dibuka tutupnya. Isinya masih hampir penuh, lebih dari cukup untuk mereka berdua.
Begitu menggigit roti kering lalu disusul secuwil daging ikan yang masih panas, mengunyahnya, tosu itu berseru, “Terima kasih kepada Tuhan! Sungguh Tuhan Maha Pengasih dan Pemurah! Belum pernah pinto makan selezat ini.......!”
Kembali Liong-eng tertawa, akan tetapi diapun melirik ke kanan karena kembali pendengarannya menangkap gerakan orang dari sana. Cuaca sudah mulai gelap dan sinar api unggun itu terbatas sekali, tidak cukup menembus kegelapan malam yang tebal.
567
“Omitohud! Dua orang makan minum seenaknya tanpa memperdulikan seorang lain yang kelaparan. Apakah itu bukan suatu dosa besar? Semoga dosa besar itu diampuni, omitohud.......”
Liong-eng menengok dan diapun tersenyum. Kiranya yang bicara itu seorang hwesio yang usianya sebaya dengan pendeta tosu yang sedang duduk di dekatnya. Hanya bedanya, kalau tosu itu menggelung rambutnya ke atas, hwesio ini mencukur gundul rambutnya. Kalau tosu itu tinggi kurus, hwesio ini agak pendek dan gendut perutnya. Keduanya sama-sama memakai pakaian pendeta yang sederhana. Liong-eng cepat bangkit berdiri dan memberi hormat.
“Selamat malam, lo-suhu. Kalau lo-suhu lapar, silakan duduk dan makan malam bersama kami, makan malam seadanya, hanya roti kering, ikan panggang dan...... anggur manis milik totiang ini.”
“Silakan, hwesio kelaparan! Ikan panggangnya lezat bukan main dan anggur pinto inipun manis dan enak. Silakan makan dan minum bersama!
“Omitohud, terima kasih...... terima kasih, semoga Sang Buddha memberkahi anda berdua!” Hwesio gendut itupun duduk di dekat api unggun, dan perut gendutnya itu agaknya tidak menjadi penghalang ketika dia duduk, bahkan dia lalu bersila dengan bentuk teratai, yaita kedua kaki di atas kedua paha.
Tanpa rikuh lagi, hwesio itu lalu mengambil roti kering dan memasukkannya ke mulutnya, dikunyah perlahan-lahan.
“Ini ikan panggangnya, lo-suhu. Silakan!”
568
Hwesio itu menggeleng kepalanya. “Omitohud...... pinceng berpantang melakukan kekejaman dan kekerasan, apa lagi membunuh. Lebih-lebih makan daging! Tidak, pinceng cukup dengan ini saja!” Dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang ternyata adalah sayur asin! Dia makan roti kering dan sayur asin itu, nampak nikmat sekali.
“Hwesio, mari kauminum anggur pinto. Ini anggur He-nan aseli, enak segar dan manis!” tosu itu menawarkan anggurnya.
Akan tetapi hwesio itu menolak sambil tersenyum ramah. “Omitohud......! Pinceng berpantang minuman keras yang akan mengeruhkan pikiran. Pinceng minum ini saja, heh-heh!” Dia mengeluarkan sebuah guci terisi air jernih dan minum air itu.
Mereka makan minum tanpa berkata-kata lagi dan akhirnya mereka merasa kenyang. Hwesio itu mengelus perutnya yang gendut. “Omitohud, pinceng mengucap syukur kepada Sang Buddha yang telah memberkahi kita semua!”
Tosu itupun menengadah, memandang langit yang dipenuhi bintang cemerlang. “Pinto berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberkahi kita semua dengan segala keindahan dan kenikmatan dalam hidup ini! Sian-cai...... sungguh jarang ada manusia yang dapat menikmati hidup yang begini indah!”
Liong-eng diam-diam tertarik sekali. Tanpa disangkanya, dalam perantauannya yang santai ini, dia bertemu dengan dua orang pendeta yang nampaknya sama-sama bijaksana, akan tetapi memiliki cara hidup yang berlainan sama sekali. Karena itu, timbul suatu akal di dalam hatinya untuk mempertemukan keduanya ini dalam suatu percakapan atau perdebatan yang tentu akan menarik sekali.
569
Dia seorang yang cerdik dan dia tadi melihat bagaimana dua orang pendeta itu memiliki kebiasaan yang amat berbeda, bahkan berlawanan ketika mereka makan dan minum. Tosu itu makan daging ikan dan minum anggur sebaliknya, hwesio itu tidak makan daging dan tidak minum minuman keras. Akan tetapi keduanya sama-sama menikmati makanan dan minuman mereka, dan keduanya tetap bijaksana dan tidak saling mencela.
“Tempat inipun indah sekali untuk melewatkan malam,” kata Liong-eng. “Enak sekali melepaskan lelah di atas batu-batu yang rata ini, terlindung oleh pohon-pohon besar. Membuat api unggun juga amat mudah karena banyak terdapat kayu kering.”
“Omitohud, engkau betul, orang muda. Pinceng ingin beristirahat di sini untuk semalam ini.”
“Pinto juga ingin menikmati malam ini di sini. Bertilamkan rumput, berdinding pohon¬pohon, beratap langit dan berlampu sejuta bintang. Siancai...... adakah yang lebih nikmat dari pada ini?”
Liong-eng tertawa, “Dan aku ingin sekali menambah pengetahuan tentang hidup ini dari totiang dan losuhu berdua, yakni kalau ji-wi (anda berdua) berkenan memberi wejangan kepadaku.”
“Omitohud......, sudah sepatutnya yang kuat membantu yang lemah, yang pandai menuntun yang bodoh, yang tua menasihati yang muda.”
“Siancai......, kalau pinto dapat memberikan sesuatu kepadamu, orang muda yang baik, pinto akan senang sekali. Daging ikan panggangmu tadi jauh lebih bermanfaat dari pada seratus wejangan kosong hampa, ha-ha!”
570
Mereka bertiga duduk di atas batu yang jaraknya ada dua meter satu sama lain sehingga mereka dapat bercakap-cakap dengan santai. Liong-eng lalu memulai dengan pancingannya.
“Ji-wi suhu adalah dua orang pendeta yang telah mengenakan jubah pendeta dan karena itu tentu telah memiliki kebijaksanaan dan keadaan hidupnya lain dari pada manusia biasa.”
“Siancai......, apa bedanya pinto dengan orang lain? Pinto juga manusia biasa!”
“Omitohud......, benar apa yang dikatakan to-yu (sahabat) ini. Pinceng juga hanya manusia biasa.”
“Akan tetapi, ji-wi (anda berdua) adalah seorang tosu dan seorang hwesio. Biarpun manusia biasa, telah memiliki pengetahuan luas tentang kehidupan dan kebatinan. Yang kuherankan adalah melihat perbedaan yang saling bertolak belakang antara ji-wi ketika kita bersama-sama makan dan minum tadi. Kulihat bahwa totiang makan daging ikan dan minum anggur, akan tetapi kulihat bahwa losuhu tidak makan daging dan tidak minum-minuman keras. Nah, yang ingin saya ketahui, mengapa ada perbedaan ini?”
Dua orang pendeta itu saling pandang. Api anggun masih bernyala besar sehingga hawa menjadi hangat dan sinar api cukup menerangi tempat itu sehingga mereka dapat saling melihat.
“Omitohud......! Hidup penuh penderitaan karena ulah manusia sendiri. Kami tidak makan daging karena melihat kenyataan bahwa daging mengandung rangsangan kepada tubuh, memperbesar nafsu hewani. Selain itu, kami pantang menyiksa, pantang menyakiti dan
571
pantang kekerasan. Dengan demikian, mana mungkin kami harus membunuh binatang hanya untuk memuaskan selera dan nafsu hewani?
“Adapun minum-minuman keras amat tidak baik untuk ketenangan batin, karena minuman keras merangsang otak, membuat orang menjadi mabok dan juga terikat. Kalau sudah melihat bahwa daging dan arak itu buruk untuk badan dan batin, mengapa kita harus memakannya dan meminumnya?”
Sambil berkata demikian, hwesio itu memandang kepada tosu di depannya, akan tetapi dengan senyum yang lebar dan ikhlas, sama sekali tidak mengejek atau menyalahkan walaupun mengandung tantangan untuk berdebat.
Liong-eng mendengarkan dengan gembira. Pancingannya mengena dan dia menanti jawaban tosu itu.
“Siancai......, memang benar bahwa hidup penuh penderitaan karena ulah manusia sendiri! Alam sudah mempunyai aturan sendiri, sehingga aturan yang diadakan manusia kadang-kadang malah berlawanan dengan aturan alam dan ini menimbulkan kekacauan pada alam yang hanya merugikan manusia sendiri!
“Pinto makan daging karena memang daging itu sudah diatur alam untuk menjadi makanan manusia. Alam juga mengatur bahwa ada beberapa macam daging yang tidak boleh dimakan, yang beracun dan yang berbahaya bagi kesehatan badan manusia. Kekerasan dan kebencian berada di dalam hati. Makan daging belum tentu berarti menyiksa atau berkeras hati!
572
“Apakah makan sayur juga tidak berarti membunuh? Siapa berani mengatakan bahwa pada sayur-sayuran itu tidak terdapat benda-benda hidup dan bernyawa? Makan sayur berarti juga membunuh dan makan banyak sekali mahluk hidup dan bernyawa! Jadi sama saja! Yang penting adalah di dalam hati! Yang penting adalah kebijaksanaan dalam memilih daging apa yang patut dimakan untuk mengenyangkan perut dan mempertahankan hidup.
“Adapun tentang anggur...... ha-ha, alangkah bodohnya kalau tidak mau meminumnya! Anggur merupakan minuman yang amat menyehatkan. Tentu saja kalau terlalu banyak menjadi racun dan amat tidak baik. Segala sesuatu yang kita, makan atau minum, betapapun baiknya, kalau terlalu banyak tentu menjadi tidak baik! Minuman keras, kalau sedikit, menjadi obat, kalau terlalu banyak menjadi racun. Tergantung kepada kebijaksanaan kita sendiri, bukan? Bukan salah minumannya atau makanannya! Pinto sudah puluhan tahun minum arak atau anggur akan tetapi tidak pernah mabok dan tidak pernah kecanduan!”
“Omitohud...... apa yang dikatakan to-yu memang benar!” kata hwesio itu menyambut sehingga Liong-eng makin gembira, mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Tak dapat disangkal bahwa di dalam sayur, di dalam air, bahkan di dalam hawa udara ini terdapat banyak mahluk hidup dan bernyawa dan kalau kita makan sayur dan minum air, bahkan menghirup udara, kita sudah membunuh dan makan mahluk-mahluk hidup bernyawa yang amat kecil sehingga tidak nampak oleh mata. Akan tetapi, setidaknya kita membunuh mahluk kecil tak nampak, yang berarti kita melakukan pembunuhan tanpa disengaja. Tidak seperti kalau
573
menyembelih sapi, babi atau ayam, sengaja kita sembelih dan kita makan dagingnya.
“Biarpun demikian, pinceng membenarkan pendapat to-yu bahwa segalanya yang menentukan adalah kebijaksanaan batin. Akan tetapi, bagaimana batin dapat menjadi bijaksana kalau batin dibiarkan menjadi hamba nafsu hewani? Nafsu akan menyeret batin sehingga batin selalu menjadi haus akan kesenangan badani!
“Tepat sekali ucapan itu, to-yu! Ada dua macam dasar ketika kita makan daging, yang pertama dasarnya adalah kebutuhan hidup, dan yang kedua dasarnya adalah mencari kenikmatan atau keenakan. Orang yang mengejar kenikmatan, baik melalui makan daging atau melalui pertapaan sekalipun, keduanya menyimpang dari jalan kebenaran!”
Liong-eng mendengarkan dengan wajah berseri. Biarpun dua orang pendeta ini bicara ramah dan agaknya seperti saling membenarkan, namun pada dasarnya, terdapat perbedaan cara atau pandangan dalam mengatur langkah hidup menuju kebenaran. Dia ingin menyelidiki lebih mendalam lagi dan melihat betapa mereka seperti hendak menghentikan perdebatan itu, diapun melempar umpan lagi.
“Maafkan saya, ji-wi suhu. Saya adalah seorang yang masih bodoh dan tidak mengerti tentang kehidupan. Kalau mendengar uraian ji-wi tadi, saya dapat menarik kesimpulan bahwa yang menyeret manusia ke dalam kesengsaraan adalah perbuatan yang ditunggangi nafsu rendah. Begitukah?”
“Siancai, benar sekali, orang muda.”
574
“Omitohud, memang demikianlah adanya,” sambung hwesio itu.
Liong-eng mengangguk-angguk. “Kalau begitu, biang keladi kesengsaraan manusia adalah nafsu-nafsu itu! Dari manakah datangnya nafsu-nafsu ini, ji-wi suhu?”
“Nafsu? Ha-ha, nafsu terlahir bersama kita, orang muda. Bukankah demikian, to-yu?”
“Omitohud, benar sekali. Nafsu terlahir bersama kita!”
Liong- eng mengerutkan alisnya. “Totiang dan suhu, bukankah kita dilahirkan di dunia, sebagai manusia ini atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa?”
“Benar sekali!” kata dua orang pendeta itu hampir berbareng.
“Dan bukankah Tuhan Maha Kasih dan Maha Adil?”
“Benar sekali!” kembali keduanya mengangguk.
“Kalau begitu, mengapa Tuhan melahirkan kita disertai nafsu yang hanya akan menyeret kita ke dalam perbuatan jahat dan yang akibatnya membuat kehidupan penuh kesengsaraan?”
“Omitohud......, orang muda, buanglah jauh-jauh pikiran menyalahkan Tuhan itu!”
“Siancai......, Tuhan Maha Kasih. Tuhan telah mengatur segalanya dengan tertib, dengan sempurna. Segala sesuatu datang dari Dia dan kembali kepada Dia! Tuhan Maha Sempurna, tidak ada kesalahan
575
setitik debupun, orang muda! Segala yang diciptakannya adalah sempurna, seperti Sang Penciptanya sendiri!”
“Tapi...... tapi... mengapa Dia menyertakan pula nafsu kepada kita? Bukankah nafsu hanya akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan?” Liong-eng membantah untuk memancing,
“Nafsu adalah nafsu, seperti juga benda dan mahluk lain. Tidak jahat dan tidak baik! Kalau bisa disebut buruk, sudah pasti ada kebaikannya. Di sinilah letaknya rahasia Im-yang. Mana bisa ada sebutan buruk kalau tidak ada sebutan baik? Kalau kita sudah mengatakan bahwa nafsu itu buruk, maka sudah pasti di lain pihak nafsu itu juga baik!” kata tosu itu.
“Akan tetapi, di mana letak kebaikannya, totiang?” Liong-eng mengejar.
“Lihat, orang muda. Tanpa adanya nafsu, bagaimana mungkin kita dapat hidup di dunia ini? Ketika manusia terlahir sebagai bayi, dia belum mampu mempergunakan alat pikiran yang sudah ada padanya, karena itu, hanya nafsu yang membimbingnya agar dapat hidup. Dia sudah dapat membedakan mana enak mana tidak enak tanpa menggunakan pikirannya.
“Setelah dia mulai memiliki kemampuan menggunakan alat berupa akal pikirannya, maka nafsu menyusup dan bersatu dengan pikiran, membentuk si aku yang selalu ingin enak menurut apa yang pernah dialaminya. Dan kalau orang sudah diperhamba nafsu, maka dia akan selalu mengejar keenakan tanpa memusingkan hal-hal lain, dan pengejaran terhadap keenakan atau kesenangan inilah yang
576
membuahkan perbuatan-perbuatan jahat, penyelewengan dan kejahatan!”
“Kalau begitu, nafsu itu jahat sekali!” seru Liong-eng. “Dan tidak ada gunanya!”
“Siancai......! Jangan bilang begitu, orang muda. Tanpa ada nafsu, bagaimana mungkin kita hidup? Ingat, apa yang menyebabkan kita dapat merasakan enak kalau makan? Kalau mendengarkan sesuatu, melihat sesuatu, mencium sesuatu, apa yang membuat kita memperoleh kenikmatan dari pancaindera kita kalau bukan nafsu? Yang mendorong kita untuk hidup adalah nafsu. Tanpa nafsu, mana mungkin kita dapat hidup?
“Omitohud......, ucapan itu benar sekali. Nafsu banya menjadi buruk kalau menjadi majikan dan memperhamba kita, akan tetapi menjadi suatu rahmat dan nikmat kalau kita yang memperhambanya. Nafsu seperti air dan api dan angin, menjadi hamba yang baik sekali akan tetapi menjadi raja yang amat bengis! Nafsu bagaikan kuda-kuda penarik kereta, kalau terkendali dapat membawa kereta kepada kemajuan, sebaliknya kalau tak terkendali dan kabur, dapat membawa kereta terjun ke dalam jurang!” kata hwesio itu.
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) itu tersenyum dan hatinya merasa girang bukan main. Tidak percuma dia menjamu dua orang pendeta ini dengan hidangan yang amat bersahaja, akan tetapi sebagai imbalannya dia telah mendengarkan percakapan yang amat mendalam dan amat penting bagi pengertian hidupnya.
577
Dia memandang kedua orang pendeta itu dan tiba-tiba saja dia tertawa geli, tak tertahankan sehingga dua orang pendeta itu memandang kepadanya dengan mata bertanya-tanya.
“Eh, orang muda, apanya yang lucu?” tanya si tosu.
“Omitohud, engkaulah yang lucu, orang muda. Kami bicara serius tentang soal-soal kehidupan yang mendalam, engkau malah tertawa seperti melihat dan mendengarkan celoteh dua orang badut di panggung!” sambung si hwesio dengan senyum polos, sama sekali tidak merasa tersinggung.
Pendekar Naga Putih adalah seorang yang bukan saja gagah perkasa, memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi dia juga pandai dalam ilmu sastra dan sudah banyak mempelajari buku-buku suci dan tahu tentang tata susila dan kebudayaan. Maka diapun menginsyapi sikapnya yang kurang patut itu maka cepat dia berdiri dan memberi hormat dengan bersoja kepada mereka berdua.
“Harap ji-wi (kalian berdua) suka memaafkan sikap saya yang lancang dan kurang patut. Akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba saja saya ingin tertawa dan merasa geli, yaitu setelah melihat keadaan tubuh ji-wi.”
“Siancai......! Ada apakah dengan tubuhku yang tinggi kurus ini?”
“Omitohud, agaknya tubuh pinceng yang pendek gendut ini yang nampak lucu?” sambung si hwesio.
“Sekali lagi maaf, ji-wi losuhu dan totiang, karena entah bagaimana, melihat bentuk tubuh ji-wi, mendadak saya menjadi geli dan ingin sekali tertawa. Totiang suka makan daging akan tetapi bertubuh kurus
578
sebaliknya losuhu yang tidak makan daging, hanya makan sayur, mengapa malah gemuk? Sungguh keadaan yang amat terbalik dan lucu!” Akan tetapi sekali ini Pek-liong-eng Tan Cin Hay tidak tertawa lagi karena dia sudah mampu menguasai perasaan hatinya.
Tosu itu tertawa. “Ha-ha-ha, apanya yang aneh, orang muda? Memang sudah semestinya begitu. Lihat saja, harimau yang suka makan daging itu tubuhnya kuat dan perutnya kecil, termasuk kurus. Sebaliknya kerbau yang hanya makan rumput dan daun-daunan, perutnya gendut! Ha-ha-ha!”
Hwesio itupun tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, omitohud! Engkau hendak memaki pinceng seperti kerbau, to-yu? Kalau ingin memaki, langsung saja, kenapa harus berbelok-belok? He, orang muda, mengapa engkau tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Lihat saja. Semua binatang yang makan sayur dan rumput saja merupakan binatang yang memenuhi segala segi kebaikan.
“Yang paling kuat di antara binatang? Gajah dan gajah pemakan rumput dan sayur, tak pernah makan daging! Yang paling tangkas dan cepat? Kuda, juga pemakan sayur dan rumput, tidak makan daging. Yang paling berguna bagi manusia? Kerbau, lembu, kambing, kesemuanya tidak makan daging, hanya rumput dan daun-daunan. Burung apa yang paling indah dan paling suaranya? Burung-burung yang tidak pernah makan daging, melainkan makan biji-bijian.
“Semua binatang yang tidak makan daging pada umumnya lembut dan baik, jinak dan tidak pernah buas. Sekarang lihat binatang yang makan daging! Paling buas dan liar? Harimau, pemakan daging. Paling licik dan menjijikkan? Ular, pemakan daging. Dan burung-burung pemakan
579
daging amat buruk dan suaranya mengerikan, seperti burung gagak, burung pemakan bangkai, dan lain-lain!”
Tosu itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, memang engkau ini pandai sekali to-yu. Tapi bagaimanapun juga, pinto lebih suka menjadi seekor harimau yang perkasa dari pada seekor babi gemuk!”
Melihat suasana menjadi panas dan tidak enak. Pek-liong-eng cepat melerai dan memberi hormat. “Sudahlah, harap ji-wi suka menghentikan percakapan mengenai makan daging dan makan sayur ini. Saya yang tadi bersalah menyinggung soal itu. Akan tetapi, kita bertiga sudah makan minum bersama, bercakap-cakap dengan akrab, akan tetapi belum saling mengenal nama......”
“Siancai......! Apa sih artinya nama, kedudukan dan penggolongan perorangan? Semua itu hanya mendatangkan garis pemisah di antara manusia!”
“Omitohud, tepat sekali ucapan itu! Begitu ada nama, maka si anu bermusuhan dengan si anu, golongan dengan golongan, bangsa dengan bangsa. Penggunaan nama adalah suatu kebodohan!” sambung si hwesio sambil tersenyum lebar.
Pek-liong-eng juga tersenyum. “Biarlah saya masuk ke dalam golongan yang bodoh saja karena saya ingin sekali mengenal nama ji-wi agar saya tahu dengan siapa saya berhadapan. Saya sendiri bernama Tan Cin Hay, tinggal di dusun luar kota Hang-kouw dekat Telaga See-ouw......”
“Omitohud, kiranya engkau adalah Pek-liong-eng, pendekar besar itu?” seru si hwesio.
580
“Tak salah lagi,” sambung si tosu. “Pinto (aku) pun sudah mendengar akan nama besar pendekar muda yang telah menghancurkan gerombolan Hek-sim Lo-mo!”
Pek-liong-eng tersenyum. Tak disangkanya bahwa namanya yang sebenarnya belum begitu dikenal itu telah menjadi terkenal karena sepak terjangnya membasmi Hek-sim Lo-mo bersama Hek-liong-li! Diapun memberi hormat dengan sikap merendah.
“Saya yang muda dan belum banyak pengalaman masih mengharapkan banyak petunjuk dari ji-wi. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah nama dan julukan totiang?” tanyanya kepada si tosu.
“Omitohud, siapa lagi tosu rakus ini kalau bukan Tiong Tosu?” seru si hwesio gendut.
Tosu itu tertawa. “Memang benar pinto di-sebut Tiong Tosu tanpa julukan apapun, dan hwesio gendut pemakan rumput ini tentulah Yong Hwesio!”
Hwesio itupun tertawa dan diam-diam Pek-liong-eng Tan Cin Hay terkejut. Biarpun dua nama itu sederhana saja, namun pernah dia mendengar akan nama mereka sebagai orang-orang yang amat pandai, sambil beribadah mereka berkelakar, sambil berkelakar mereka menentang kejahatan dan membikin gentar nama para penjahat di sepanjang pantai utara sampai ke selatan! Cepat dia memberi hormat kepada kedua orang pendeta itu.
“Ah, kiranya saya berhadapan dengan dua orang locianpwe yang nama besarnya menggetarkan kolong langit!” katanya dengan kagum.
581
Dua orang pendeta itu saling pandang dan tertawa geli. Tiong Tosu yang tinggi kurus itu memandang kepada Pek-liong-eng dengan penuh perhatian, mengamati dari kepala sampai ke kaki, agaknya terheran dan sukar dapat percaya bahwa pemuda ini mampu membasmi seorang datuk besar seperti Hek-sim Lo-mo yang merupakan seorang di antara Kiu Lo-mo atau Sembilan Iblis Tua yang merupakan datuk-datuk besar sakti.
“Tidak ada gunanya kita saling puji dan saling merendah. Taihiap adalah seorang yang gagah perkasa dan berhasil menumbangkan kekuasaan Hek-sim Lo-mo yang amat jahat dan sakti. Pinto kagum dan tunduk. Kalau boleh kami ketahui, urusan apakah yang membawa taihiap dari Telaga See-ouw datang ke Telaga Po-yang ini?”
“Pinceng (aku) juga ingin sekali tahu, karena kalau muncul seorang pendekar seperti Tan Taihiap, tentu akan terjadi urusan besar!” sambung Yong Hwesio yang gendut.
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si Naga Putih) terse-nyum. “Terus terang saja, ji-wi lo-cianpwe. Saya tidak mempunyai urusan tertentu di Telaga Po-yang ini. Saya sedang menganggur di rumah dan merasa kesal, maka saya melakukan perjalanan merantau dan setiba saya di tempat ini, hati saya tertarik dan saya berperahu mencari ikan. Tiada kepentingan khusus dan kalau tidak terjadi sesuatu, besok pagi saya akan melanjutkan perjalanan meninggalkan telaga ini. Nah, saya sudah berterus terang. Tidak tahu apakah ji-wi juga mau berterus terang? Tentu kalau dua orang tokoh besar seperti ji-wi datang ke telaga ini, dapat dipastikan ada sesuatu yang menarik.”
582
Tiong Tosu menghela napas panjang dan dia memandang ke arah tengah telaga. Bulan telah menerangi permukaan telaga. Air telaga itu tenang dan sama sekali tidak bergerak, memantulkan bulan dan sinarnya, nampak indah bukan main, sunyi dan juga penuh rahasia.
“Telaga ini menyembunyikan rahasia besar,” kata Tiong Tosu, suaranya dalam dan penuh kesungguhan, matanya tak pernah berkedip memandang ke tengah telaga, seolah dia mengharapkan munculnya mahluk aneh dari sana dengan tiba-tiba. “Pinto mendengar dongeng menarik sekali tentang telaga ini dan untuk itulah maka pinto kini datang ke sini.”
“Nanti dulu, Tiong Tosu! Apakah dongengmu itu ada hubungannya dengan Patung Emas?”
Tosu itu terbelalak memandang kepada hwesio gendut. “Yong Hwesio, jadi engkau sudah tahu?”
“Omitohud, tentu saja. Justeru untuk itulah pinceng datang ke sini. Akan tetapi lanjutkan ceritamu, nanti giliran pinceng bercerita.”
Tosu itu mulai bercerita, didengarkan penuh perhatian oleh Pek Liong dan Yong Hwesio. Dongeng itu menceritakan tentang Kerajaan Cin pada kurang lebih delapanratus tahun yang lalu.
Raja besar Cin Si Huang-ti adalah seorang raja yang keras dan aneh, yang suka dan percaya akan ilmu-ilmu gaib dan kesaktian-kesaktian. Bahkan dia berguru kepada banyak pertapa sakti dengan maksud untuk mencari ilmu menentang maut, yaitu ingin hidup abadi di dunia ini! Menurut dongeng itu, pada suatu hari dia mendaki Gunung Thai-
583
san di Shan-tung, dan di situ dia bertemu dengan seorang pertapa yang memberikan beberapa butir pel panjang usia kepadanya!
Menurut dongeng, siapa yang minum pel itu, setiap butir, usianya akan bertambah empatpuluh tahun! Cin Si Huang-ti menerima duapuluh butir, berarti dia akan dapat menambah umurnya selama delapanratus tahun! Akan tetapi, menurut pertapa itu, pel itu baru ada khasiatnya dan manjur kalau dibiarkan menghisap sari air Telaga Po-yang selama sepuluh tahun!
Cin Si Huang-ti lalu kabarnya menyembunyikan obat-obat penentang maut itu dalam sebuah patung emas dan kabarnya patung emas itu disembunyikan di sekitar telaga, atau mungkin di dalam telaga! Dan ada berita angin pula bahwa selain obat itu, disimpan pula harta karun yang amat besar jumlahnya. Akan tetapi seperti diketahui dari sejarah, Cin Si Huang-ti meninggal dunia sebelum minum obat itu, bahkan dia meninggal dalam usia yang masih belum tua benar, di bawah limapuluh tahun!
“Dongeng itulah yang membawa pinto datang ke sini,” Tiong Tosu mengakhiri cerita- nya. “Dan ada berita lagi bahwa setelah raja itu mati, muncul sebuah peta yang katanya menunjukkan di mana adanya patung emas yang disembunyikan itu.”
Pek-liong mendengarkan dengan hati tertarik. Dongeng yang nampak menarik dan bagus karena diceritakan di tepi Telaga Po-yang, pada hal dalam dongeng itu disebutkan bahwa harta dan obat sakti itu disembunyikan di sekitar Telaga Po-yang!
584
“Omitohud...... sungguh kebetulan sekali! Kedatangan pinceng ke sini justeru ada hubungannya pula dengan peta rahasia penyembunyian patung emas itu!”
“Eh, bagaimana bisa serba kebetulan itu. Ceritakan, Yong Hwesio!” kata Tiong Tosu dan Pek-liong mendengarkan semakin tertarik.
“Tak jauh dari telaga ini terdapat sebuah kuil kecil. Pinceng mengenal baik ketuanya. yaitu Loan Khi Hwesio. Baru-baru ini pinceng kedatangan seorang hwesio dari kuil itu yang minta pertolongan pinceng untuk mencari Loan Khi Hwesio yang katanya diculik orang jahat!”
“Wah? Untuk apa orang jahat menculik seorang hwesio tua?” Tiong Tosu berseru kaget dan heran, hampir tidak percaya.
“Menurut keterangan para hwesio, pada suatu hari datang empat orang penjahat ke kuil mereka dan dengan paksa membawa Loan Khi Hwesio. Para hwesio di kuil itu, sebanyak lima orang, melawan akan tetapi mereka semua roboh terluka. Loan Khi Hwesio mereka culik dan tidak pernah kembali ke kuil.”
“Eh, Yong Hwesio, apa hubungannya ceritamu tentang penculikan Loan Khi Hwesio itu dengan urusan peta patung emas?” tanya Tiong Tosu, mengerutkan alisnya.
“Hubungannya dekat sekali karena Loan Khi Hwesio itulah yang tadinya menjadi pemilik peta patung emas.”
“Siancai......!”
585
“Ahhh......!” Pek-liong menjadi semakin tertarik sedangkan Tiong Tosu terbelalak memandang kepada Yong Hwesio. “Sungguh suatu kebetulan yang menarik sekali!”
“Siapakah orang-orang jahat yang menculik Loan Khi Hwesio itu?” tanya Tiong Tosu.
“Tidak ada yang mengetahuinya, hanya para hwesio itu menceritakan bahwa mereka itu orang-orang kasar yang amat lihai dan mereka mengatakan bahwa mereka membawa Loan Khi Hwesio untuk dihadapkan kepada Beng-cu mereka.
“Dan...... peta itu......?” Pek-liong bertanya.
“Sabarlah, Tan Taihiap. Akan pinceng ceritakan semua. Menurut keterangan para hwesio kuil itu, Loan Khi Hwesio yang memiliki peta itu tidak lagi membawa peta itu dengannya, karena peta itu telah dia berikan kepada orang lain, seorang dermawan yang suka menderma kepada kuil. Dan sekarang berita yang paling aneh dan amat mengguncang perasaan pinceng. Yaitu, selagi Loan Khi Hwesio sendiri belum diketahui bagaimana nasibnya, dermawan itu telah kedapatan mati terbunuh di atas perahu sewaannya di Telaga Po-yang!”
“Siancai......!” Tiong Tosu berseru dan Pek-liong juga terkejut. Sungguh amat menarik dan penuh rahasia.
“Dermawan itu bernama Thio Kee San, seorang pemilik perahu sewaan di Telaga Po-yang. Pada suatu pagi dia kedapatan tewas terbunuh di atas perahunya. Tidak ada yang tahu siapa yang membunuhnya, hanya ada kabar bisik-bisik bahwa malam itu
586
perahunya dipakai oleh Po-yang Sam-liong, yaitu tiga orang jagoan yang menguasai Po-yang.”
“Dan peta patung emas itu tadinya berada pada Thio Kee San?” tanya Pek-liong.
“Hal itu siapa yang mengetahuinya, taihiap? Mungkin dia bawa, mungkin pula tidak. Akan tetapi, para hwesio itu menceritakan hal lain yang lebih aneh, yaitu bahwa di kota Nan-cang, tak jauh dari sini, terjadi keributan di rumah pelacuran yang bernama Rumah Merah. Po-yang Sam-liong di rumah pelesir itu, mengamuk dan menangkap seorang pelacur bernama Bi Hwa, menyiksanya kemudian membawa pergi entah ke mana. Menurut keterangan para penghuni rumah pelesir itu, Po-yang Sam-liong bertanya apakah Bi Hwa itu kekasih dari mendiang Thio Kee San.”
“Siancai, tentu ada hubungannya dengan peta rahasia itu! Agaknya mereka tidak dapat menemukan peta itu pada Thio Kee San, lalu mereka mencari orang yang paling disayang oleh Thio Kee San, maka mereka menyangka bahwa peta itu disimpan oleh pelacur Bi Hwa. Aih, lalu apa yang terjadi dengan Bi Hwa?”
“Sampai kini tidak ada yang tahu. Bi Hwa lenyap seperti juga Loan Khi Hwesio,” kata Yong Hwesio. “Ini menurut penuturan para hwesio di kuil itu.”
Tiba-tiba Pek-liong memberi isyarat kepada dua orang pendeta itu untuk menghentikan percakapan. Sebuah perahu besar meluncur di tepi telaga itu, dan di atas perahu itu kelihatan ada lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya mengamati mereka bertiga yang duduk di daratan tepi telaga.
587
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda tinggi besar yang ditunggangi seorang laki-laki muda lewat pula dekat mereka. Penunggang kuda ini tentu mahir sekali menunggang kuda. Di malam hari begini dia berani menunggang kuda dengan cepat dan cara dia duduk tegak di atas pelana kuda juga membuktikan kemahirannya.
Di bawah sinar bulan yang cukup terang, Pek-liong melihat bahwa penunggang kuda itu seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah, berpakaian serba putih seperti dia, hanya bedanya, kalau dia berpakaian secara sederhana saja, pria itu mengenakan pakaian putih dari sutera tersulam dan sepatunya mengkilat. Juga sebatang pedang tergantung di punggungnya, seperti juga lima orang laki-laki tinggi besar yang naik perahu itu, si penunggang kuda juga menoleh ke arah mereka dan mengamati mereka penuh perhatian dengan pandang matanya yang bersinar tajam.
Tiong Tosu dan Yong Hwesio saling pandang. “Agaknya kebetulan saja mereka itu lewat,” kata Tiong Tosu dan Yong Hwesio mengangguk.
“Bagaimanapun juga, pinceng tidak dapat mendiamkan saja Loan Khi Hwesio lenyap diculik orang. Pinceng mendapat perasaan buruk bahwa dia sudah tewas.”
“Siancai......, agaknya engkau benar, Yong Hwesio. Pinto juga mempunyai perasaan bahwa pelacur bernama Bi Hwa yang lenyap dibawa orang itupun agaknya telah tewas. Lalu, apa yang akan kaulakukan?”
“Omitohud, pinceng harus menyelidiki. Bukan hanya untuk merebut peta itu, karena pinceng tidak membutuhkan semua harta benda itu,
588
melainkan terutama sekali untuk menyelidiki bagaimana nasib Loan Khi Hwesio. Biarpun para hwesio tidak mengenal empat orang penyerbu itu dan mereka itu bukan Po-yang Sam-liong, namun jelas bahwa Po-yang Sam-liong, mempunyai kaitan dengan peristiwa itu. Maka, pinceng hendak mencari Po-yang Sam-liong dan minta keterangan dari mereka!”
“Siancai......! Itu bagus sekali dan pinto akan membantumu, Yong Hwesio. Kita berdua adalah orang-orang tua yang tidak membutuhkan harta benda, akan tetapi demi menentang kejahatan dan kekejaman, kita harus bertindak.”
“Bagus, Tiong Tosu. Pinceng sudah lama mendengar akan sepak terjangmu, dan senang sekali bekerja sama denganmu sekali ini!” kata Yong Hwesio dengan gembira sekali.
Melihat kegembiraan dua orang tua itu, diam-diam Pek-liong merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. “Saya harap ji-wi locianpwe (kedua orang tua perkasa) suka berhati-hati. Menurut pendapat saya, lima orang dalam perahu dan si penunggang kuda bukan kebetulan saja lewat di sini. Cara mereka memandang ke arah kita sungguh tidak sewajarnya. Saya juga mempunyai perasaan bahwa ada kekuatan besar tersembunyi di balik semua peristiwa itu dan mungkin saja mereka yang disebut Po-yang Sam-liong itu hanyalah anak buah belaka.”
“Hemm, bagaimana taihiap bisa memperoleh pendapat seperti itu?” tanya Yong Hwesio.
“Seperti yang locianpwe ceritakan tadi, Loan Khi Hwesio diculik dan tidak nampak kembali„ demikian pula Bi Hwa diculik oleh Po-yang Sam-liong dan tidak pernah kembali, sedangkan orang she Thio itu
589
dibunuh di atas perahunya. Andaikata yang mengejar peta itu empat orang penyerbu kuil atau juga Po-yang Sam-liong, tentu mereka tidak akan menculik orang. Kalau mereka menculik, itu hanya berarti bahwa mereka tidak dapat mengambil keputusan sendiri dan membawa para korban ttu kepada atasan mereka!”
“Siancai......! Ada benarnya juga keterangan Tan Taihiap ini!” kata Tiong Tosu.
“Ini hanya perkiraan saya saja, belum tentu benar. Betapapun juga, saya hanya mengharap agar ji-wi suka berhati-hati.”
“Bagaimana dengan engkau sendiri, Taihiap? Bagaimana kalau engkau suka pula bergabung dengan kami dan melakukan penyelidikan bersama?”
Pek-liong memang sudah tertarik sekali. Akan tetapi dia tidak pernah bekerja sama dengan orang lain, kecuali tentu saja dengan Hek-liong-li.
“Terima kasih, saya kira ji-wi berdua sudah lebih dari cukup untuk membongkar rahasia itu. Saya...... ah, mungkin saya akan memperpanjang tinggal saya di daerah ini. Telaga ini memang menarik sekali, banyak rahasianya,” katanya.
Tiba-tiba ketiganya berloncatan bangun dari tempat duduk di atas batu dan rumput. Sambil melompat mereka sudah mengelak dan ternyata ada tiga batang piauw, yaitu senjata rahasia runcing menyambar ke arah mereka. Untung bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli silat yang sudah lihai, maka dengan mudah mereka mampu menghindari dari serangan gelap itu.
590
Pek-liong sudah berkelebat ke kiri untuk menangkap orang yang telah menyerang mereka. Tiga batang piauw itu tadi menyambar dari kiri, dari balik sebatang pohon besar. Akan tetapi, dia hanya melibat berkelebatnya bayangan putih disusul derap kaki kuda yang lari menjauh. Dia kagum bukan main.
Si penunggang kuda baju putih itu ternyata mampu bergerak luar biasa cepatnya. Mengejar di dalam hutan itu tidak ada gunanya, apa lagi di malam hari. Dia tidak mengenal daerah itu. Maka diapun kembali dan menghampiri dua orang pendeta yang masih berdiri di situ.
“Dia adalah si penunggang kuda tadi. Dapat berlari cepat dan melarikan diri dengan kudanya,” kata Pek-liong. “Nah, sekarang terbukti kekhawatiranku tadi. Harap ji-wi berhati-hati sekali. Baru si penunggang kuda putih itu tadi saja sudah lihai bukan main! Pertama, dia mampu melepaskan tiga batang piauw sekaligus ke arah kita dan lemparannya tadi cukup bertenaga. Lihat, ini yang sebatang menancap di sini!”
Dia mencabut sebatang piauw yang menancap hampir masuk semua ke dalam sebatang pohon. Piauw itu tercabut dan di bawah sinar bulan, Pek-eng mengamati. “Ahh, piauw ini bukan saja dilempar dengan kecepatan tinggi tanda bahwa pelemparnya bertenaga besar, akan tetapi juga ujungnya mengandung racun berbahaya dan mematikan. Serangan tadi dimaksudkan untuk membunuh kita! Dan kedua, orang itu memiliki gin-kang yang amat tinggi sehingga ketika saya tadi mengejar, dia sudah lari jauh.”
Dua orang pendeta itu saling pandang lalu mengangguk-angguk, kemudian mereka berpamit. “Terima kasih atas peringatan Taihiap.
591
Setelah terjadi serangan tadi, kami berpikir untuk memulai dengan penyelidikan kami sekarang juga!” kata Yong Hwesio.
“Benar sekali, Taihiap. Kami akan pergi ke bandar dan di sana mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong, di mana mereka tinggal dan sebagainya.”
Pek-eng membalas penghormatan mereka. “Selamat jalan dan selamat bekerja, ji-wi lo¬cianpwe. Akan tetapi sekali lagi, harap ji-wi berhati-hati.”
Dua orang pendeta itu membawa buntalan mereka dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Pek-eng yang diam-diam mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua. Akan tetapi, tentu saja tidak mungkin dia harus menjaga keselamatan semua orang, apa lagi dua orang pendeta itu bukan orang sembarangan dan sudah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.
Hal ini sudah dibuktikan melihat cara mereka tadi menghindarkan diri dari sambaran piauw, demikian cekatan dan mudah sekali. Tidak sembarang penjahat saja akan mampu mengalahkan mereka, apa lagi kalau mereka maju bersama.
◄Y►
Pagi itu indah sekali. Sinar matahari sudah membakar langit di timur, mula-mula sinarnya kemerahan, makin lama semakin pucat dan akhirnya putih seperti perak dan menyilaukan mata. Tadinya cahaya kemerahan ikut membakar permukaan telaga yang tenang, kemudian permukaan itupun menjadi putih menyilaukan dan setelah matahari muncul di ufuk timur, bayangan matahari kemerahan terpantul di situ.
592
Karena air demikian diam, matahari itu seperti sebutir bola kemerahan besar yang tenggelam ke dasar telaga.
Makin terang, makin terbentuklah suatu garis putih kemilau di permukaan air. Bukit-bukit di sekeliling telaga muncul dari kegelapan, pohon-pohon nampak segar menghijau, bagaikan puteri-puteri yang baru saja mandi. Butir-butir embun di ujung daun bagaikan mutiara berkilauan di ujung telinga puteri jelita.
Burung-burung sudah sibuk sekali. Mahluk yang paling sibuk ini menyambut datangnya hari dengan kicau yang hiruk pikuk, bagaikan sekelompok wanita genit yang siap-siap pergi ke pasar. Sambil berkicau mereka beterbangan dan berloncatan dari dahan ke dahan, seolah-olah hendak meninggalkan pesan yang cerewet sebelum berangkat bekerja. Akhirnya, berkelompok-kelompok mereka itu berangkat bekerja! Mencari makan!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay menikmati keindahan alam ini. Pagi-pagi sekali dia sudah terbangun dari tidurnya yang nyenyak di tepi telaga, lalu menuju ke tengah telaga dengan perahu kecilnya, mendayung seenaknya dan setelah tiba di tengah telaga, dia membiarkan perahunya bergerak sendiri menurut aliran air yang lemah. Angin bersilir lembut sehingga permukaan telaga tidak terlalu terpengaruh.
Tiba-tiba Pek-liong-eng sadar dari lamunannya. Lorong perak yang dibuat matahari di permukaan telaga itu terguncang dan terputus. Sebuah perahu meluncur dengan cepatnya. Dia mengangkat muka memandang dan diapun terpesona. Pandang matanya bertemu dengan wajah yang amat manis, bentuk tubuh yang amat menggairahkan, dari seorang gadis yang usianya paling banyak sembilanbelas tahun!
593
Gadis itu mengenakan baju luar semacam mantel atau jubah yang lebar, diselimutkan menutupi tubuhnya. Namun karena di bagian pinggangnya diikat dengan tali sutera, maka masih nampak bentuk tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kuat-kuat, wajahnya tanpa bedak dan gincu, nampak segar dan wajar. Ia berdiri di tengah perahu sambil bertolak pinggang, tak bergerak bagaikan sebuah patung yang indah.
Jelas bahwa gadis ini sudah biasa berperahu, karena cara ia berdiri tegak dan dapat mengimbangi gerakan perahu itu saja sudah membuktikan bahwa ia pandai menguasai diri di atas perahu. Perahu itu didayung oleh seorang pemuda yang usianya duapuluh dua tahun kurang lebih, seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan pula.
Dan pemuda itu dapat dikata telanjang, karena hanya sebuah celana pendek seperti cawat saja yang menutupi tubuhnya. Nampak betapa otot-otot tubuhnya yang kekar itu menonjol ketika dia mendayung perahu, dan kulitnya yang agak kecoklatan itu menunjukkan bahwa dia banyak membiarkan kulit tubuhnya ditimpa sinar matahari. Tubuh yang amat sehat, penuh dengan gairah hidup, segar dan kokoh kuat.
“Hemm, pasangan yang serasi sekali,” pikir Pek-liong sambil mengelus dagunya mengikuti perahu itu dengan pandang matanya. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi kedua tangannya seperti otomatis menggerakkan dayungnya dan perlahan-lahan diapun mengikuti perahu yang meluncur cepat ke arah utara itu.
Dia melihat perahu di depan itu berhenti tak jauh dari pantai di ujung utara yang amat sunyi. Memang telaga itu amat sunyi pagi itu. Masih
594
terlalu pagi bagi para pelancong, dan terlalu siang bagi nelayan penangkap ikan. Hanya jauh di bandar terdapat banyak perahu yang belum dijalankan, akan tetapi bandar yang berada di ujung selatan itu terlalu jauh sehingga tidak nampak dari situ.
Perahu di depan itu membuang jangkar. Hal ini saja menunjukkan bahwa perahu itu akan lama berhenti di situ. Apakah mereka hendak mengail ikan? Ataukah...... dua orang muda yang sedang berpacaran dan mencari tempat sunyi?
Berpikir demikian, berdebar rasa jantung Pek-liong dan mukanya berubah merah. Ih, celanya kepada diri sendiri, mengapa engkau mendadak menjadi iri hati? Tak tahu malu! Dia lalu memutar perahunya, karena dia tidak ingin mengganggu orang yang hendak berpacaran. Bagaimanapun juga, tak dapat dia menahan diri untuk tidak melirik ke arah perahu mereka.
Wah! Dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Gadis itu telah menanggalkan jubahnya dan apa yang dia lihat?
Sesosok tubuh yang bukan main indahnya, yang dari jauh nampak seperti bertelanjang saja. Akan tetapi tidak, gadis itu tidak telanjang, melainkan mengenakan pakaian yang amat ketat, pakaian berwarna hitam yang menutupi dari leher sampai ke kaki, akan tetapi pakaian itu demikian tipis dan ketat sehingga semua bentuk tubuhnya tidak ada yang tersembunyi!
Melihat keanehan ini, Pek-liong tidak jadi pergi, melainkan mendayung perahunya di sekitar tempat itu saja. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, dia tadi sudah mengeluarkan alat
595
pancingnya sehingga seolah-olah dia sedang mencari tempat yang enak untuk memancing ikan.
Andaikata gadis itu tadi benar-benar telanjang, tentu dia akan melarikan diri secepat mungkin, tidak sudi mengintai orang berpacaran. Akan tetapi karena gadis itu sama sekali tidak telanjang, melainkan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian yang amat ketat, timbul keheranannya dan dia ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang muda di tempat sunyi itu.
Untung dia membawa sebuah caping untuk menahan panas di atas perahu yang tidak terlindung itu. Dia mengenakan caping itu dan dengan mudah dia mengintai ke arah perahu di depan itu dari bawah capingnya sambil berpura-pura memancing ikan.
Pemuda dan gadis itu tentu melihatnya pula, akan tetapi agaknya mereka tidak perduli sama sekali. Kemudian, gadis itu bangkit berdiri, berdiri di kepala perahu. Ia mengeluarkan sebuah pisau belati yang tajam mengkilat, dan Pek-liong melihat betapa pinggang yang ramping itu diikat ujung segulung tali hitam yang kuat.
Gadis itu kini menggigit pisaunya dan iapun terjun ke dalam air. Cara ia terjun saja menunjukkan bahwa ia memang ahli renang. Terjunnya seperti seekor katak saja dan tidak banyak air yang muncrat ketika ia terjun, juga tidak mengeluarkan bunyi nyaring seolah-olah sebatang tombak dilemparkan ke air. Dan pemuda itu duduk di perahu sambil memegangi gulungan tali, mengulur tali itu perlahan-lahan.
Ah, kini mengertilah Pek-liong. Kiranya gadis itu adalah seorang penyelam! Pinggangnya diikat tali yang ujungnya berada di perahu, dan membawa sebatang pisau tajam! Akan tetapi penyelam apakah?
596
Apakah yang diselaminya dan dicarinya? Dia semakin tertarik karena selama hidupnya belum pernah dia melihat penyelam bekerja.
Lama benar gadis itu menyelam sehingga diam-diam Pek-liong menjadi khawatir juga. Bagaimana mungkin orang menahan napas di dalam air sampai demikian lamanya? Dia sendiri, dengan sin-kang dan khi-kangnya, akan mampu menahan napas sampai selama itu, akan tetapi di udara terbuka, bukan di dalam air yang amat dalam dan dingin! Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu menarik tali perlahan-lahan dan tak lama kemudian, sebelum tali itu habis ditarik, kepala gadis itu telah tersembul di permukaan air.
Ia membuka mulut seperti seekor ikan, mengambil pernapasan, baru ia naik ke perahu dibantu oleh pemuda itu. Ternyata gadis itu kini membawa sebuah kantung yang tadi agaknya dilipat dan diselipkan pinggangnya, dan pisau itupun kini terselip di pinggang.
Ketika gadis itu berdiri di perahu, kembali Pek-liong terpesona. Kini pakaian yang ketat dan tipis itu basah lagi! Makin jelaslah bentuk tubuh yang amat indah itu tercetak! Kedua orang itu kini sibuk berjongkok di atas perahu dan membuka kantung.
Ternyata terisi batu-batuan! Dan mereka memilih dan memeriksa batu-batuan itu. Akhirnya, mereka menarik napas kecewa dan batu-batuan itu, setelah diteliti, satu demi satu dilempar keluar perahu.
Pek-liong tadinya merasa heran. Akan tetapi lalu dia teringat. Bukankah banyak orang menyukai batu-batu yang indah dan bahkan ada batu-batu indah, setelah digosok, berharga mahal? Tentu mereka itu penyelam batu-batu indah yang mereka dapatkan di dasar telaga!
597
Kini pemuda itu yang menyelam, si gadis manis menjaga di atas perahu. Pek-liong sudah tidak ragu-ragu lagi. Mereka penyelam batu-batu indah. Dan agaknya tidak mudah bagi mereka karena setelah beberapa kali menyelam, mereka agaknya baru memilih beberapa buah batu yang belum digosok. Sebagian besar dilempar kembali ke dalam telaga.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay mulai merasa jemu karena kini tidak ada lagi yang perlu diselidiki. Memang, gadis itu merupakan pemandangan yang amat menarik dan menyenangkan, akan tetapi gadis itu sama sekali tidak memperdulikannya dan juga lebih sering berada di dalam air. Kalau timbul di atas, lalu asyik meneliti batu-batuan di atas perahu. Dia mulai menggulung tali pancingnya dan mengambil keputusan untuk pergi saja ke bandar karena matahari mulai menyengat kulit.
Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sebuah perahu agak besar yang datang dengan kecepatan tinggi. Lima orang laki-laki tinggi besar berada di dalam perahu itu dan jantung dalam dada Pek-liong berdebar tegang. Dia mengenal lima orang laki-laki tinggi besar itu! Bukankah mereka yang semalam lewat dekat pantai dan memandang ke arah dia dan dua orang pendeta dengan penuh perhatian?
Kembali perhatian Pek-liong dibangkitkan dan kini melihat lima orang itu mendayung perahu mereka menuju ke arah perahu dua orang penyelam itu. Dia menjadi semakin tertarik. Kiranya lima orang itu bukan sedang mencarinya, melainkan langsung saja menghampiri pemuda dan gadis itu. Dia segera menyembunyikan mukanya di balik capingnya dan mengintai.
598
Gadis itu kini sedang mendapat giliran menyelam. Baru saja ia meloncat ke dalam air ketika lima orang itu dengan perahu besar mereka menghampiri dan ketika pemuda yang hanya mengenakan celana dalam itu melihat mereka, dia nampak terbelalak dan kaget. Pek-liong melihat betapa lima orang itu menghentikan perahu mereka dan mengait perahu kecil itu dengan kaitan besi yang bergagang panjang.
“Hayo bawa ke sini semua hasil selamanmu untuk kami pilih yang baik untuk dipersembahkan kepada Beng-cu!” terdengar seorang di antara lima laki-laki tinggi besar itu menghardik.
Pemuda itu mengerutkan alisnya. Agaknya dia bukan seorang penakut, walaupun wajahnya membayangkan kegelisahan karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat.
“Kami baru saja menyelam dan baru mendapatkan sedikit batu-batu yang belum tentu berharga karena belum jelas benar sebelum digosok. Mengapa kalian mengganggu kami yang mencari nafkah dengan susah payah?” terdengar pemuda itu membantah dengan suara lantang.
Sikap pemuda ini saja sudah mendatangkan perasaan suka di hati Pek-liong. Namun dia juga mengkhawatirkan keselamatannya, mengingat bahwa lima orang itu kelihatan begitu bengis dan jahat.
“Apa? Kalian berani membantah? Kami diutus oleh Po-yang Sam-liong!” bentak seorang di antara mereka yang hidungnya besar, seolah-olah baru saja hidung itu disengat lebah.
Mendengar disebutnya nama ini, wajah pemuda itu berubah pucat, “Akan tetapi...... biasanya mereka tidak pernah mengganggu kami
599
kakak beradik mencari batu-batu di dasar telaga!” bantahnya dan entah mengapa, hati Pek-liong merasa lebih suka kepada pemuda itu setelah mendengar bahwa pemuda itu dan gadis tadi adalah kakak beradik, bukan pacar! Kini perahunya sudah mendekat tanpa diketahui mereka yang sedang ribut mulut.
“Sudahlah jangan banyak cerewet! Serahkan hasil selamanmu kepada kami, setelah kami pilih yang terbaik untuk Beng-cu, sisanya kami kembalikan padamu!” bentak pula si hidung besar.
Ketika pemuda itu nampak ragu-ragu, si hidung besar memberi aba-aba kepada dua orang temannya, “Tangkap dia dan bawa ke sini bersama hasil selamannya!”
Perahu kecil itu sudah terkait merapat pada perahu besar dan kini dua orang tinggi besar meloncat ke perahu kecil, tangan mereka memegang sebatang golok besar. Melihat ini, pemuda itu menjadi semakin gelisah. Terpaksa dia menyerahkan buntalan kecil berisi batu-batu yang sudah dia pilih bersama adiknya tadi. Seorang di antara mereka yang meloncat ke perahunya, menyambar buntalan itu.
“Wah hanya sedikit dan batu-batu ini seperti tidak ada harganya!” katanya.
Si hidung besar menghardik. “Kalau begitu tendang saja dia ke dalam air, biarkan dia menyelam lagi agar mendapatkan lebih banyak. Kita tunggu di situ!”
Seorang penjahat menendang, akan tetapi pemuda itu sudah menghindarkan tendangan dengan meloncat ke dalam air! Pada saat itu, adiknya, gadis manis tadi muncul di permukaan air, mengambil
600
pernapasan dan tanpa menyangka sesuatu, ia memegangi tepi perahu kecil untuk naik. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia sudah dapat melihat dengan jelas.
Yang menarik tangannya ke atas bukanlah kakaknya, melainkan dua orang laki-laki tinggi besar yang sudah berada di perahunya, sedangkan kakaknya entah berada di mana! Dan sebuah perahu besar merapat dengan perahunya, tiga orang laki-laki tinggi besar lainnya berada di perahu besar itu. Kini, lima pasang mata itu terbelalak seperti hendak menelan bulat-bulat gadis yang berpakaian ketat basah itu.
“Ha-ha-ha, ikan ini sungguh mulus dan segar!” kata laki-laki yang masih memegang lengan gadis itu.
“Bawa ia naik ke sini!” kata si hidung besar, air liurnya membasahi mulut.
Gadis itu meronta, akan tetapi orang yang memegang lengannya amat kuat sehingga lengannya tidak dapat terlepas. Akan tetapi tiba-tiba kakinya bergerak menendang.
“Bukk!” Perut gendut itu terkena tendangan, cengkeramannya melonggar akan tetapi sebelum gadis itu mampu meronta melepaskan diri, orang kedua sudah merangkul dan memeluknya dari belakang. Dua lengan besar panjang yang kuat itu memeluk dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi.
“Lepaskan aku! Ah, lepaskan aku!” bentaknya, meronta-ronta dengan sia-sia.
601
Laki.laki yang merangkulnya dari belakang itu terbahak senang karena makin keras gadis itu meronta, makin terasa kehangatan dan kelunakan tubuh yang kenyal itu.
Perahu kecil itu bergerak sedikit ketika bayangan putih berkelebat dan Pek-liong sudah berada di situ.
“Lepaskan gadis itu!” bentaknya, tangannya menampar pundak laki-laki yang merangkul gadis itu.
“Plakk! Aughhh......!” Laki-laki itu berteriak kesakitan dan rangkulannya terlepas.
Pek-liong menendang dan tubuh orang itupun terlempar keluar dari perahunya, menimpa air telaga. Orang tinggi besar kedua, melihat temannya terlempar ke air, menjadi marah. Dia memang sudah marah karena perutnya ditendang gadis itu. Kini kemarahannya memuncak melihat munculnya seorang laki-laki muda berpakaian putih. Dia menggerakkan goloknya menyerang sambil memaki.
“Jahanam cilik, berani engkau mencampuri urusan kami?” Goloknya menyambar dari kanan ke kiri, akan tetapi hanya mengenai tempat kosong saja dan tiba-tiba tubuhnya juga terlempar oleh tendangan Pek-liong.
“Byurrr......!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tubuh yang tinggi besar itu menimpa air.
Gadis itu lalu meloncat pula, terjun dan berenang ke arah orang tinggi besar yang agaknya hendak menyelamatkan diri berenang ke arah perahunya. Ia tadi melihat bahwa orang tinggi besar pertama telah
602
disambar oleh kakaknya yang ternyata sudah berada di dalam air dan yang itu diseret oleh kakaknya, dibawa menyelam!
Iapun kini berenang dengan kecepatan seperti ikan, memutari tubuh penjahat kedua dan berhasil menangkap rambutnya, lalu iapun menyelam! Orang itu terbelalak, gelagapan dan berusaha untuk meronta, namun dia kalah biasa dan kepalanya berulang kali masuk ke dalam air dan mulut dan hidungnya kemasukan air yang mengalir ke dalam perut.
Sementara itu, Pek-liong sudah meloncat ke atas perahu besar. Tiga orang penjahat itu menghadapinya dengan golok di tangan.
“Kau....?” bentak si hidung besar yang agaknya mengenal Pek-liong yang semalam telah dilihatnya di daratan bersama dua orang pendeta “Siapa kau berani ntencampuri urusan kami?
“Kenapa tidak berani? Kalian orang-orang jahat, terjunlah ke air!” kata Pek-liong dan ketika tiga orang itu menggerakkan golok mereka, diapun menyambut dengan tendangan dan tamparan yang amat cepat sehingga sebelum tiga orang itu tahu apa yang telah terjadi, tubuh mereka sudah terlempar dari atas perahu besar dan terbanting ke air telaga!
Dan di situ sudah menunggu dua orang kakak beradik yang menyambutnya dengan cengkeraman dan tariknya sehingga mereka dibawa menyelam! Tiga orang ini, seperti yang dua tadi, meronta-ronta, namun karena mereka itu kalah jauh dalam hal ilmu bermain di dalam air, ketiganya sudah tidak berdaya dan sebentar saja perut mereka sudah membengkak penuh air dan merekapun sudah pingsan!
603
Melihat betapa dua orang pertama sudah pingsan, dan yang tiga orang lagi dibenam-benamkan ke air dan juga sudah tidak mampu melawan, Pek-liong khawatir kalau-kalau mereka itu tewas. Maka diapun cepat meloncat ke dalam perahu kecilnya sendiri, mendayung perahu dan menyambar pundak dua orang penjahat yang sudah pingsan, lalu melontarkan tubuh mereka ke atas perahu.
“Heiii, saudara-saudara yang baik, jangan bunuh mereka! Jangan bunuh mereka, kata- ku!” dia berteriak kepada kakak beradik yang masih membenam-benamkan kepala tiga orang itu dengan gemas.
Kakak beradik itu mengangkat muka, memandang kepada Pek-liong. Mereka tahu bah-wa pemuda berpakaian putih itu lihai bukan main, pemuda itulah yang telah melempar-lemparkan lima orang jahat itu ke dalam air. Biarpun wajah mereka masih membayangkan perasaan marah, mereka mentaati permintaan Pek-liong dan sambil menjambak rambut tiga orang penjahat yang sudah pingsan itu, mereka menyeret tiga orang penjahat itu ke dekat perahu Pek-liong.
Pendekar ini kembali mencengkeram pundak mereka satu demi satu dan melempar-lemparkan mereka ke atas perahu besar. Melihat ini, dua orang kakak beradik itu terbelalak kagum. Dibutuhkan tenaga yang luar biasa besarnya untuk melempar-lemparkan tubuh para penjahat yang tinggi besar seperti itu, dan pemuda pakaian putih itu melemparkan mereka seolah-olah melemparkan bangkai ayam saja!
Keduanya kini naik ke perahu mereka. Kembali Pek-liong terpesona. Melihat gadis itu dari dekat, melihat betapa tubuh yang indah itu, nampak lembut namun kuat, naik ke perahu dan sinar matahari membuat lekuk lengkung tubuh itu semakin jelas, dia terpesona.
604
Namun dia cepat menundukkan muka karena tidak mau memandangi tubuh orang seperti orang kelaparan. Gadis itupun cepat mengenakan baju luarnya dan menutupi pakaian ketat tipis yang basah itu.
“Biarkan saja mereka di perahu mereka. Nanti tentu ada orang-orang melihat dan menolong mereka. Dan mari kita cepat menyingkir dari tempat ini, jangan sampai teman-teman mereka datang dan mengganggu kita,” kata pula Pek-liong sambil mendayung perahunya.
Kakak beradik itu mengangguk dan merekapun mendayung perahu mereka mengikuti Pek-liong yang membawa perahunya mendarat di pantai yang sunyi, di ujung utara.
Setelah mereka berloncatan ke daratan dan menarik perahu ke tepi, kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada Pek-liong dan si kakak mengucapkan terima kasih. “Tai-hiap telah menyelamatkan kami dari gangguan mereka. Terima kasih atas budi pertolongan tai-hiap.”
Pek-liong tersenyum dan membalas penghormatan mereka, “Sudahlah, tidak perlu hal itu dibicarakan lagi. Aku hanya merasa heran mengapa kalian tadi agaknya berusaha keras untuk membunuh mereka!” Memang di dalam hatinya, Pek-liong merasa penasaran mengapa kakak beradik yang pandai dengan ilmu bermain di air itu tadi bermaksud membunuh para penjahat itu.
Kakak beradik itu saling pandang dan si kakak kembali mewakili mereka menjawab, “Tai-hiap, kami bukanlah pembunuh-pembunuh kejam, bahkan selama hidup kami belum pernah kami membunuh orang. Akan tetapi, lima orang penjahat itu...... kalau mereka tidak dibunuh, tentu mereka akan mendedam dan melapor kepada Po-yang Sam-liong dan kami...... kami tentu akan dicari dan akhirnya kamilah
605
yang akan mereka bunuh! Itulah sebabnya mengapa tadi kami berusaha membunuh mereka, tai-hiap.”
Lega rasa hati Pek-liong dan pandang matanya tidak penasaran lagi. Bahkan dia kini tersenyum dan pada saat dia tersenyum, pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu. Alangkah manisnya! Dan gadis itupun agaknya terkejut ketika pandang matanya bertaut dengan sinar mata pemuda yang gagah perkasa dan tampan itu, dan dengan tersipu ia menundukkan mukanya.
“Ah, kalau begitu kalian tidak merupakan orang-orang yang kejam. Aku melarang kalian membunuh mereka. Pertama karena tidak baik membunuh orang, apa lagi orang-orang yang sudah tidak berdaya seperti mereka tadi. Kedua, karena aku memang ingin menyelidiki mereka yang berjuluk Po-yang Sam-liong itu. Kalian jangan khawatir, tentu lima orang itu akan melaporkan bahwa mereka itu roboh oleh aku, bukan oleh kalian berdua. Siapakah kalian berdua dan mengapa pula lima orang penjahat itu mengganggu kalian? Apakah benar mereka itu pun pembantu Po-yang Sam-liong dan si apakah mereka? Siapa pula yang mereka sebut Beng-cu tadi?”
“Ting-ko, kau berilah keterangan kepada tai-hiap, aku akan mengganti pakaianku yang basah,” kata gadis itu kepada kakaknya yang mengangguk.
Gadis itu lalu membawa buntalan pakaian dan pergi mencari tempat yang dapat melindungi dan menyembunyikan dirinya untuk berganti pakaian karena pakaian ketat yang basah di balik mantel itu sungguh tidak enak. Kakaknya lalu memperkenalkan diri mereka berdua.
606
“Kami adalah kakak beradik yang sudah yatim piatu. Namaku Kam Sun Ting dan adikku itu bernama Kam Cian Li. Kami tinggal di sebuah dusun luar kota Nan-cang dan pekerjaan kami adalah mencari batu-batu indah di dasar telaga, melanjutkan pekerjaan mendiang ayah kami dan kami mempelajari ilmu menyelam dari mendiang ayah kami. Hasil kami tidak terlalu banyak, namun cukup untuk biaya hidup kami berdua dengan pantas. Kamipun tidak pernah berurusan dengan Po-yang Sam-liong walaupun kami pernah mendengar nama mereka yang tersohor, sampai dengan pagi hari ini kami secara langsung mendapat gangguan dari lima orang yang mengaku sebagai utusan mereka. Untung ada tai-hiap yang dapat menyelamatkan kami.”
Pada saat itu, gadis yang bernama Kam Cian Li itu muncul dan kembali Pek-liong-eng Tan Cin Hay harus mengakui bahwa gadis itu memang manis sekali, manis dan segar, tanpa riasan menyolok dan dengan pakaian yang sederhana saja namun bersih.
Melihat adiknya sudah berganti pakaian, Kam Sun Ting lalu berpamit kepada Pek-liong untuk berganti pakaian pula. Diapun menghilang ke balik semak belukar dan kini gadis itu yang berdiri berhadapan dengan Pek-liong dan gadis itu kelihatan malu-malu.
Ketika ia mengangkat muka dan bertemu pandang dengan pemuda berpakaian putih itu, mukanya kembali merah dan warna merah itu menjalar sampai ke leher dan telinganya, ia tersenyum simpul dan menunduk kembali. Gerakan kewanitaan yang sederhana ini menggerakkan hati Pek-liong dan diapun tersenyum, hatinya penuh gairah.
607
“Nona Cian Li, engkau duduklah,” katanya mempersilakan melihat gadis itu berdiri saja dengan sungkan dan malu.
Cian Li memandang dan senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan deretan gigi yang putih. “Terima kasih tai-hiap,” katanya lirih dan iapun memilih tempat duduk di atas sebuah batu datar yang bersih, empat-lima meter di depan Pek-liong.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay sendiri sebenarnya seorang pria yang tidak pandai banyak bicara, apa lagi kalau berhadapan dengan seorang wanita. Akan tetapi melihat sikap Cian Li, dia merasa kasihan dan dia maklum bahwa kalau tidak diperlihatkan sikap ramah, tentu gadis itu akan merasa semakin salah tingkah dan canggung.
“Nona, engkau dan kakakmu Kam Sun Ting memiliki ilmu kepandaian renang dan menyelam yang mengagumkan sekali. Apakah kalian juga pernah mempelajari ilmu silat?”
Benar saja. Setelah Pek-liong bersikap ramah, gadis itu lebih terbuka dan berani menentang pandang matanya tanpa canggung lagi.
“Ah, kami berdua hanya menerima pendidikan dari mendiang ayah kami, tai-hiap. Karena mata pencaharian kami adalah menyelam ke dalam telaga mencari batu indah, maka kami lebih banyak diajari ilmu renang dan menyelam dan menahan napas di dalam air, dan hanya sedikit saja ilmu silat, sekedar untuk membela diri.”
“Akan tetapi, kalau berada di air, engkau merupakan seorang yang tangguh sekali, nona. Penjahat yang kuat itu sama sekali tidak berdaya, bagaikan anak kecil saja kaubenam-benamkan ke dalam air.
608
Engkau sungguh hebat, dan aku sendiri tidak akan berani melawanmu kalau di dalam air.”
Gadis itu tersenyum cerah dan menutupi mulutnya. “Tai-hiap terlampau merendahkan diri. Melawan tai-hiap, satu juruspun aku tidak akan mampu bertahan!”
Pada saat itu, Kam Sun Ting keluar dari balik semak-semak, sudah mengenakan pakaian kering, dan seperti adiknya, dia berpakaian sederhana walaupun hal itu tidak mengurangi ketampanan dan kegagahannya. Kam Sun Ting adalah seorang pemuda yang ganteng. Kulitnya yang agak kecoklatan karena banyak terbakar matahari itu bahkan membuat dia semakin menarik.
“Li-moi, apakah engkau sudah mengetahui nama penolong kita?” begitu keluar, pemuda itu bertanya kepada adiknya. Yang ditanya menggeleng kepala sambil memandang kepada Pek-liong.
“Aih, benar. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Tan Cin Hay, dan aku tinggal di dusun dekat Hang-kouw, dekat Telaga See-ouw.”
“Ah, Telaga See-ouw?” seru Kam Cian Li kagum. “Kami sudah sering mendengar tentang telaga itu, katanya jauh lebih indah dari pada Telaga Po-yang ini, dan bahkan mungkin sekali di sana terdapat batu-batu yang indah dan mahal.”
Pek-liong-eng Tan Cin Hay mengangguk dan memandang gadis itu dengan sinar mata ramah sekali. “Kenapa tidak sekali-kali kalian berdua ke sana dan mengadu untung? Siapa tahu di sana kalian sekali menyelam akan menemukan harta terpendam!”
609
Tiba-tiba mereka tersentak kaget mendengar suara teriakan yang memanjang dan menyeramkan. Kakak beradik itu semakin terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat bayangan putih berkelebat ke arah dalam hutan dari mana jeritan itu tadi terdengar dan pemuda berpakaian putih di depan mereka, yang tadi duduk di atas batu, kini telah lenyap!
Mereka saling pandang, dengan mata terbelalak dan penuh kagum. Pemuda berpakaian putih itu seperti setan saja yang pandai menghilang begitu saja dari depan mereka! Akan tetapi, mereka tadi sudah berkenalan dengan Pek-liong dan mereka tahu bahwa pemuda itu bukan setan, dan mereka semakin yakin bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang sakti!
“Ting-koko, mari kita susul dia......” kata Cian Li dan iapun sudah cepat lari menuju ke arah suara tadi.
Andaikata tidak ada Pek-liong-eng yang tadi lari ke arah suara teriakan, tentu gadis itu tidak akan mengajak kakaknya menyusul. Ternyata gadis yang sampai berusia sembilanbelas tahun tidak pernah tertarik kepada pria ini, begitu bertemu dengan Pek-liong seketika telah jatuh cinta! Ia merasa kagum dan tertarik sekali, bukan hanya oleh ketampanan dan kegagahan Tan Cin Hay, melainkan terutama sekali oleh kesaktiannya dan sikapnya yang ramah.
Sementara itu, dengan mempergunakan ilmunya berlari cepat, Pek-liong Si Naga Putih telah tiba di tengah hutan. Teriakan tadi memberitahu kepadanya bahwa tentu terjadi hal yang hebat, setidaknya tentu pembunuhan atau siksaan yang mengerikan. Dan
610
tiba-tiba dia menghentikan larinya, berdiri dan memandang dengan mata terbelalak.
Di depannya, di atas rumput, dia melihat dua sosok tubuh menggeletak mandi darah dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika dia mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah Tiong Tosu dan Yong Hwesio! Dua orang pendeta itu baru semalam bersama dia makan bersama dan mengobrol di tepi pantai telaga, dan kini mereka telah menggeletak mandi darah. Tidak salah lagi, tentu mereka atau seorang di antara mereka yang tadi mengeluarkan teriakan melengking itu.
Dia cepat berlutut dekat tubuh Tiong Tosu yang paling dekat. Ternyata tosu itu telah tewas dengan leher hampir putus, agaknya terbabat senjata yang amat tajam. Dia lalu menghampiri tubuh Yong Hwesio. Pendeta ini terluka tusukan pada dadanya dan darah masih mengucur dari situ. Dan ketika dia berlutut, hwesio itu mengeluh dan membuka matanya.
“Locianpwe, apa yang terjadi......?” Pek-liong-eng bertanya.
“Syukur...... engkau mendengar...... teriakan pinceng..... Po-yang Sam-liong..... anak buah Beng-cu...... banyak orang pandai......” Hwesio itu tersengal-sengal.
“Locianpwe, siapa itu Beng-cu?” Pek-liong-eng bertanya sambil mengguncang pundak hwesio gendut itu.
“Dia...... Siauw-bin Ciu-kwi..... sakti banyak yang sakti...... oughhh...!”
611
Leher itu terkulai dan tahulah Pek-liong-eng bahwa hwesio itupun tewas. Dia merebahkannya dan pada saat itu, dia mendengar suara kaki berlari-lari ke arahnya. Dua orang datang berlarian. Dia bangkit berdiri.
“Saudara Sun Ting dan nona Cian Li, ke sini!” teriaknya memberi arah dan tak lama kemudian, mereka muncul. Jelas nampak kelegaan membayang pada wajah manis gadis itu, akan tetapi ia dan kakaknya terbelalak melihat dua sosok tubuh yang sudah tak bernyawa lagi dan yang mandi darah itu.
“Mereka terbunuh oleh teman-teman Po-yang Sam-liong,” katanya singkat.
Dia kini menjadi serius sekali. Kiranya urusan yang dihadapinya ini menjadi semakin hebat. Perebutan peta Patung Emas itu ternyata telah mendatangkan banyak korban nyawa. Dan yang berdiri di belakangnya, yang disebut Beng-cu (Pemimpin) kiranya adalah seorang sakti bernama atau berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), seorang di antara Kiu Lo-mo! Keadaan menjadi gawat sekali kalau begini, pikirnya.
Dan menurut keterangan Yong Hwesio tadi, gerombolan penjahat itu mempunyai banyak orang sakti! Hal itu sudah terbukti dengan tewasnya tosu dan hwesio yang berilmu ini secara demikian mengerikan. Mungkin oleh pedang yang sama, oleh seorang di antara mereka. Dan teringatlah dia akan penunggang kuda yang membawa pedang di punggungnya itu!
612
“Aih, Po-yang Sam-liong demikian jahat......” bisik Kam Cian Li, “Kami berdua yang tidak berdosapun tadi akan mereka bunuh......” Dalam suara ini terkandung rasa ngeri dan takut.
Mengertilah Pek-liong-eng Tan Cin Hay apa yang harus dilakukannya. Dia harus melindungi kakak beradik ini. Dia harus membongkar rahasia peta Patung Emas itu yang agaknya dengan cara bagaimanapun akan dicari oleh gerombolan yang dipimpin oleh Beng-cu, dan sudah terlalu banyak jatuh korban. Kakak beradik inipun mungkin menjadi korban berikutnya walaupun mereka tidak tahu menahu tentang Patung Emas.
Dia harus membongkar rahasia itu, harus menentang gerombolan yang jahat itu. Dan dia tahu bahwa pihak lawan amatlah berbahaya, selain memiliki banyak kaki tangan, juga di antara mereka terdapat banyak orang sakti seperti yang dipesankan oleh mendiang Yong Hwesio.
“Saudara Sun Ting, bantulah aku mengubur dua jenazah ini,” katanya.
Kam Sun Ting mengangguk, bahkan Kam Cian Li juga cepat membantu menggali lubang. “Apakah engkau mengenal mereka, tai-hiap?” tanya Cian Li ketika mereka menggali lubang bersama.
Pek-liong-eng mengangguk. “Aku mengenal mereka, karena itu, aku harus mencari Po-yang Sam-liong dan anak buah mereka.”
Tiba-tiba gadis itu melepaskan pisau yang tadi dipergunakannya untuk menggali tanah dan tanpa disadarinya, tangannya yang kotor berlumpur memegang tangan Pek-liong-eng yang telanjang karena pemuda ini menggulung lengan bajunya.
613
“Tai-hiap....., mereka...... mereka itu jahat dan berbahaya sekali! Engkau...... akan terancam bencana......”
Pek-liong tersenyum dan gadis itupun menyadari bahwa tangannya telah mengotori lengan itu, maka iapun melepaskan pegangannya dan menggali lagi dengan muka merah.
“Bukan aku yang terancam bahaya, Cian Li, melainkan engkau. Karena itu, aku harus melindungimu pula......” Gadis itu senang sekali disebut namanya tanpa nona.
“Terima kasih, tai-hiap......”
“Hushh, sudahlah, jangan menyebut tai-hiap kepadaku. Kita sudah saling berkenalan, bukan? Namaku Tan Cin Hay, tanpa tai-hiap (pendekar besar).”
“Baik, Hay-twako...... dan terima kasih......”
Kam Sun Ting diam saja mendengarkan percakapan mereka. Setelah mereka tidak bicara lagi, dia bertanya, “Tai-hiap......”
“Wah, Ting-ko, kenapa menyebut tai-hiap? Hay-ko tidak suka disebut tai-hiap walaupun dia seorang pendekar yang hebat!” tegur adiknya yang kini mulai berani dan tidak begitu malu-malu lagi.
Mau tidak mau Kam Sun Ting tersenyum dan diapun dapat menduga bahwa hati adiknya sudah jatuh oleh pendekar yang tampan dan gagah ini. “Twako, siapakah mereka ini dan mengapa mereka terbunuh?”
614
“AKUPUN baru bertemu dengan mereka malam tadi. Akan tetapi terlalu panjang untuk diceritakan. Saudara Sun Ting, kita menghadapi komplotan penjahat yang amat kejam dan juga amat lihai. Bahkan aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa kita bertiga berada dalam ancaman bahaya maut! Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita bekerja sama.”
“Dengan adanya engkau, aku tidak takut ancaman bahaya, Hay-koko!” kata gadis itu sambil tersenyum manis, seolah untuk membuktikan bahwa ia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri mendengar ucapan pendekar itu.
“Kami akan merasa beruntung dapat bekerja sama denganmu, toako,” kata pula Sun Ting dengan sungguh hati.
Diapun mengerti bahwa setelah peristiwa dengan lima orang penjahat tadi, tentu keselamatan dia dan adiknya terancam bahaya karena mereka telah berani menentang Po-yang Sam-liong! Dan seperti juga adiknya, setelah dia menyaksikan kelihaian Pek-liong-eng, hatinya menjadi besar dan dia siap untuk membantu pendekar itu menentang gerombolan penjahat.
“Kalau begitu kita harus membagi tugas,” kata Pek-liong-eng. “Ketahuilah bahwa gerombolan penjahat ini memiliki banyak orang sakti, dan dipimpin oleh seorang di antara Kiu Lo-mo, para datuk sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Oleh karena itu, untuk menghadapi mereka, aku harus mendapat bantuan seorang sahabat baikku dan aku minta agar engkau yang menyampaikan suratku kepadanya untuk mengundangnya, saudara Sun Ting.”
615
Sun Ting mengangguk-angguk mengerti. “Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?”
“Ia seorang pendekar wanita perkasa, bernama Lie Kim Cu dengan julukan Hek-liong-li, bertempat tinggal di kota Lok-yang. Rumahnya di sudut barat kota, di tepi jalan raya. Rumah itu mudah dicari karena di depannya terdapat sebuah kolam ikan dengan arca besar seorang puteri menunggang angsa, di tengah kolam yang penuh dengan bunga teratai.”
“Baik, toako. Akan kucari dan kuserahkan suratmu kepadanya,” kata Sun Ting yang diam-diam merasa heran sekali mendengar bahwa sahabat baik pendekar itu yang hendak diajak menentang para penjahat lihai adalah seorang wanita.
Pek-liong lalu membuat surat singkat dan menyerahkannya kepada Sun Ting sambil berkata, “Engkau berangkatlah sekarang juga. Biarkan nona Cian Li di sini bersamaku. Kalau pergi berdua, akan menyolok dan menarik perhatian. Pula, aku ingin nona...... eh, adik Cian Li bersikap biasa saja, pulang ke rumah untuk memancing mereka. Jangan khawatir, aku akan melindunginya.”
Kakak beradik itu mengangguk, kemudian Kam Sun Ting lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah kakaknya pergi, Cian Li memandang kepada pendekar itu. “Hay-ko, lalu apa yang menjadi tugasku? Berilah aku tugas karena akupun ingin sekali membantumu.”
Pek-liong-eng tersenyum memandang gadis itu. “Engkau pulanglah, Li-moi. Engkau bersikaplah biasa agar tidak meacurigakan, dan bawalah hasil selamanmu tadi pulang, kemudian lakukan pekerjaanmu sehari-hari seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.”
616
Gadis itu mengerutkan alisnya dan pandang matanya yang jeli itu nampak kecewa. “Akan tetapi aku aku ingin sekali membantumu, Hay-ko!”
Pemuda itu tersenyum ramah. “Justeru sikapmu yang wajar dan biasa itulah yang akan banyak membantu padaku.”
“Akan tetapi engkau...... engkau sendiri hendak ke mana?”
“Aku akan melakukan penyelidikan.”
“Aku ikut......!”
“Jangan, Li-moi. Pekerjaan ini berbahaya bukan main, dan kalau engkau pulang dan bersikap biasa, hal itu amat menolongku, Li-moi. Engkau percayalah saja padaku!”
Biarpun hatinya diliputi kekecewaan karena ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pemuda itu, dan iapun siap untuk menempuh bahaya yang bagaimana besarpun asal berada di samping Pek-liong-eng, namun Kam Cian Li tidak berani membantah lagi.
“Baiklah, Hay-ko. Nah, aku akan pulang sekarang......” iapun memandang tajam dan sejenak pandang matanya melekat pada mata Pek-liong-eng, kemudian gadis itu membalikkan tubuh dan melangkah pergi ke arah telaga. Langkahnya gontai dan Pek-liong-eng memandang kagum. Gadis itu memang memiliki bentuk tubuh yang hebat, pikirnya, akan tetapi dia lalu membayangkan bahaya yang mungkin sekali mengancam Cian Li, maka dengan sigap diapun meloncat pergi.
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan