Rabu, 30 Mei 2018

Cersil Si Bayangan Iblis

=====
baca juga
SI BAYANGAN IBLIS
Asmaraman S Kho Ping Hoo
Derap kaki kuda yang berlari congklang memecah kesunyian pagi itu di luar kota Lok-yang. Hari masih terlalu pagi dan hawa udara dinginnya bukan main, membuat para petani yang biasa bangun pagi, merasa malas untuk meninggalkan rumahnya, terutama sekali meninggalkan api unggun atau perapian di dalam rumah yang dapat menghangatkan dan menyamankan badan. Musim semi menjelang tiba dan hawa dingin musim lalu masih tertinggal.
Demikian dinginnya hawa udara pagi itu sehingga para ibu rumah tangga yang hendak memasak sesuatu dengan minyak, harus lebih dahulu mendekatkan tempat minyak ke api karena minyaknya telah membeku. Hawa dingin menyusup tulang, maka banyak orang dusun di dalam rumah mereka merasa heran dan kagum mendengar derap kaki kuda tunggal itu. Begini dingin menunggang, kuda, pikir mereka. Alangkah akan di¬nginnya bagi si penunggang.
Memang penunggang kuda itu patut dikagumi. Dia seorang pria berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Orangnya sungguh patut menunggang kuda yang tinggi besar dan gagah itu. Pria itu berperawakan agak tinggi, tubuhnya tegap dengan dada yang bidang. Dia menunggang kuda dengan tubuh tegak lurus, pinggangnya bergerak lemas sesuai dengan larinya kuda yang
2
congklang. Dari cara dia duduk itu saja mudah diketahui bahwa dia seorang ahli menunggang kuda.
Pakaiannya seperti pakaian orang kota, tidak pesolek, namun pakaian itu terbuat dari kain yang kuat dan nampak bersih, bajunya berwarna biru muda dan celananya kehijauan. Ikat pinggangnya kuning cerah seperti kain pengikat rambut kepalanya. Wajah pria ini sungguh mengesankan sebagai seorang pria yang jantan dan gagah perkasa.
Wajah itu bentuknya hampir persegi karena dagunya yang siku dengan lekuk yang dalam dan membuat dagu itu nampak keras dan kuat, ditumbuhi jenggot yang terpelihara, hanya sedikit saja di ujung dagu sedangkan lainnya dicukur licin. Mulutnya selalu membayangkan senyum penuh pengertian, dan kadang giginya nampak berkilat putih dan berjajar rapi.
Di antara hidung dan mulutnya tumbuh kumis, juga lebat akan tetapi terawat rapi, dicukur sebagian dan yang dibiarkan tumbuh hanya sepanjang bibir atas, dengan kedua ujungnya meruncing agak ke atas. Hidungnya besar dengan bukit hidung yang tinggi dan ujungnya mancung.
Sepasang matanya lebar dan hampir bulat dengan sinar yang tajam dan cerdik. Sepasang mata ini dilindungi sepasang alis yang menarik perhatian karena amat tebal dan hitam sekali.
Rambutnya juga hitam dan lebat, digelung ke atas dan diikat dengan kain berwarna kuning. Wajah pria ini lebih tepat disebut jantan dan gagah dari pada tampan. Wajah yang membuat hati
3
setiap orang wanita yang mengagumi kegagahan dan kejantanan akan menjadi terguncang dan tertarik.
Kini dia dan kudanya sudah meninggalkan dusun dan kota Lok-yang yang berada di balik bukit kecil di depan yang nampak dipenuhi pohon itu. Agaknya bukit itu subur dan berhutan. Dia lalu menyentuh perut kudanya dengan tumit, menyuruh kuda itu uutuk berlari cepat mendaki bukit. Ketika dimasuki hutan yang lebat itu, kembali dia membiarkan kudanya berjalan seenaknya. Masih terlalu pagi, pikirnya, tidak perlu tergesa-gesa.
Tiba-tiba, di bagian yang agak terbuka dari hutan itu, dia melihat dua orang berloncatan keluar dari balik batang pohon. Dua orang laki-laki yang memegang golok dan dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik. Benar saja dugaannya. Dua orang yang kelihatan kasar dan berwajah bengis itu, berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sudah menghadangnya dan seorang di antara mereka membentak nyaring.
“Berhenti!!”
Pria itu menahan kudanya dan memandang kepada kedua orang yang menghadangnya dengan senyum mengejek akan tetapi sinar matanya penuh teguran.
“Hemm, siapakah kalian dan mengapa pula menahan perjalananku?”
4
“Tak perlu banyak cakap!” bentak orang kedua yang matanya sipit sekali. “Turun dari kudamu dan berikan kuda itu kepada kami, barulah kau boleh melanjutkan perjalananmu!”
“Ehh? Kuda ini adalah kudaku sendiri, kenapa harus diberikan kepada kalian?”
“Cerewet benar kau! Turun, atau kami harus memaksamu? Engkau lebih suka mampus di bawah golok kami dari pada menyerahkan kuda?” bentak orang pertama yang bermuka hitam.
Kini sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar keras dan sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut. “Hemm, kiranya kalian ini adalah dua orang perampok, ya? Tidak tahukah kalian bahwa sejahat-jahatnya pencuri, mencuri kuda merupakan dosa yang paling berat, dan sejahat-jahatnya perampok, merampok kuda juga dapat dihukum berat, dihukum mati?”
Dua orang perampok itu menjadi marah. Mereka saling pandang dan mengangguk, sebagai isyarat bahwa mereka tidak akan bicara lagi, melainkan turun tangan saja terhadap calon korban yang banyak cakap itu. Dengan golok terangkat tinggi, kedua orang perampok itu menyerbu ke depan. Akan tetapi pria yang gagah itu nampak tenang saja, lalu berseru sambil menepuk leher kudanya.
“Hek-ma (Kuda Hitam), hajar dua ekor anjing ini!”
Kuda tinggi hesar yang disebut Hek-ma itu tiba-tiba mengeluarkan suara meringkik nyaring dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan dengan garangnya ia menubruk ke arah
5
dua orang itu! Tentu saja dua orang perampok itu terkejut bukan main.
Mereka berlompatan ke sisi untuk menghindar, akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang lagi, laki-laki perkasa itu sudah memajukan kudanya dan kakinya menyambar dua kali berturut-turut dengan kedua kakinya, dan dua orang perampok itu terlempar dan golok mereka terpental. Mereka terlempar dan terbanting keras, lalu bangkit kembali dan lari pontang panting sambil terpincang-pincang!
Pria itu tertawa bergelak, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring. Anehnya, kuda hitam itupun mengeluarkan suara meringkik seperti ikut tertawa bersama penunggangya. Jelas bahwa kuda itu merupakan seekor binatang tunggangan yang terdidik baik dan agaknya sudah biasa menghadapi pertempuran.
Memang demikianlah, pria itu adalah seorang panglima yang amat terkenal di kota raja Dia bernama Cian Hui, akan tetapi lebih dikenal dengan sebutan Cian Ciang-kun (Perwira Cian). Baru setahun lebih lamanya dia bertugas sebagai seorang panglima muda dari pasukan keamanan di kota raja yang bertugas menjaga keamanan kota raja dan sekitarnya, memberantas kejahatan yang terjadi di daerah kota raja. Bahkan dia sering dikirim oleh pemerintah pusat untuk melakukan penyelidikan ke daerah-daerah, membikin terang perkara yang gelap dan dia lebih banyak dikenal sebagai seorang penyelidik yang ulung dari pada seorang panglima muda pasukan keamanan di kota raja.
6
Sebelum menduduki jabatannya yang sekarang, Cian Ciang-kun adalah seorang perwira dalam pasukan perang yang terkenal gagah perkasa dan berani. Akan tetapi, setahun lebih yang lalu, ketika dia sedang melaksanakan tugasnya sebagai perwira, bersama pasukannya membasmi pemberontakan di daerah utara, terjadilah malapetaka menimpa keluarganya.
Isteri dan anak tunggalnya yang baru berusia duabelas tahun, ketika melakukan perjalanan ke dusun untuk menengok keluarga, dihadang perampok dan biarpun duabelas orang pengawal melakukan perlawanan sengit, akhirnya mereka semua tewas. Isteri dan anak Cian Ciang-kun juga tewas!
Setelah mendengar akan malapetaka ini, Cian Hui segera menghadap atasannya dan dia mohon agar diperbolehkan bekerja sebagai pemberantas para penjahat dan tidak lagi menjadi perwira pasukan perang. Kalau tidak diperkenankan, dia akan keluar dari pekerjaannya untuk memberantas kejahatan seorang diri saja. Permintaannya dikabulkan dan mulailah Cian Ciang-kun dikenal sebagai seorang penyelidik dan pembasmi kejahatan yang gigih.
Setahun setelah dia menjadi seorang panglima pasukan keamanan, dia telah melakukan pembersihan terhadap para penjahat dengan tegas dan keras sehingga kota raja dan sekitarnya menjadi aman. Tidak ada lagi penjahat berani beraksi karena setiap kali terjadi kejahatan, Cian Ciang-kun tidak akan berhenti menyelidik dan berusaha untuk menangkap penjahatnya dan menghukum berat, kalau perlu dibunuhnya seketika! Tanpa ampun darinya bagi para penjahat!
7
Demikianlah keadaan Cian Hui atau Cian Ciang-kun. Sampai sekarang, setahun lebih setelah dia kehilangan isteri dan anak tunggalnya, dia tidak mau menikah lagi, tinggal menduda. Bahkan dia tidak mau mengambil selir. Dan kawannya yang paling setia dalam menunai tugasnya adalah Si Hitam itu, kuda hitam yang tinggi besar dan kuat.
Para penjahat mengenal nama besar Cian Ciang-kun dan mereka semua tahu bahwa selain gigih menentang kejahatan, memiliki pasukan keamanan yang besar jumlahnya dan yang mentaatinya, juga panglima ini memiliki kecerdikan dan memiliki ilmu silat yang tinggi. Kalau sedang berpakaian seragam atau sedang dinas, dia selalu membawa pedang sebagai tanda pangkat dan juga sebagai senjata. Akan tetapi, kalau dia berpakaian preman, dia tidak pernah membawa pedang dan sebagai gantinya, untuk menjadi bekal senjatanya adalah sebatang suling baja yang terselip di pinggang dan tersembunyi dibalik bajunya.
Cian Ciang-kun mentertawakan dua orang perampok yang lari tunggang langgang itu. Dua orang penjahat kecil yang tidak memiliki kemampuan apapun seperti mereka itu sudah berani mencoba untuk merampok kuda orang! Sungguh tak tahu diri, pikirnya.
Ketika dia hendak menjalankan lagi kudanya, tiba-tiba dia melihat serombongan orang berlari ke arahnya dari depan. Belasan orang yang kesemuanya memegang golok. Orang-orang yang berwajah bengis dan jahat! Dan dia melihat pula dua orang yang tadi telah dibuatnya lari tunggang langgang.
8
Mengertilah dia kini mengapa dua orang itu tadi berani merampok, kiranya mereka itu mempunyai banyak kawan! Melihat ada tigabelas orang yang tentu akan mengeroyoknya, Cian Ciang-kun khawatir kalau-kalau kudanya terluka. Maka dia pun dengan sikap tenang namun cepat meloncat turun dari kudanya dan membiarkan kudanya di tempat itu, sedangkan dia sudah berlari ke depan menyambut mereka yang mengacung-acungkan golok dengan sikap beringas itu.
Melihat betapa orang tinggi tegap itu kini meloncat turun dari kuda dan menyambut mereka dengan sikap tenang dan di tangannya tidak nampak adanya senjata, para perampok itu menjadi lebih berani. Sambil berteriak-teriak, mereka datang menyerbu.
“Tahan......!” Bentakan menggeledek dari Cian Ciang-kun mengejutkan mereka dan tigabelas orang itu, biarpun dengan sikap masih beringas dan bengis mengancam, berhenti di depannya dan memandang kepadanya. Bentakan tadi memang berwibawa sekali dan mempengaruhi mereka.
“Aku adalah seorang yang kebetulan lewat di sini dan sedang menuju ke Lok-yang, siapakah kalian ini dan mengapa kalian mengganggu aku?”
Seorang yang bermuka berewok dan bertubuh tinggi besar, agaknya pemimpin mereka, berkata dengan suara parau. “Engkau telah berani memukul dua orang kawan kami!”
“Ah, begitukah? Akan tetapi, mereka itu hendak merampas kudaku!” Cian Ciang-kun, pura-pura tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan segerombolan perampok.
9
“Sekarang, bukan hanya kudamu yang harus diserahkan kepada kami, akan tetapi juga nyawamu!” bentak si berewok, lalu dia memberi komando kepada teman-temannya, “Keroyok dan bunuh dia!!”
Hujan senjata golok dan pedang menyambar dari segala jurusan. Akan tetapi, begitu tangan kanan Cian Ciang-kun bergerak, dia telah mencabut suling bajanya dan begitu dia menggerakkan senjata aneh ini, terdengar bunyi melengking seolah-olah suling itu ditiup dan terdengar suara nyaring, Tiga batang golok terpental dan tiga orang pengeroyok terhuyung.
Cian Ciang-kun tidak mau dikepung di tengah. Dia membobol ke kiri dan menangkis tiga batang golok dengan sulingnya, membuat golok-golok itu terpental dan tiga orang pemegang golok terhuyung, saking kerasnya tangkisannya tadi. Sebelum mereka sempat mengepung lagi, Cian Ciang-kun sudah menerjang bagaikan seekor garuda, dan yang diserangnya adalah si muka berewok! Kepalanya harus ditundukkan dulu, pikirnya.
Si berewok memegang sebatang golok besar yang kelihatan berat. Melihat betapa Cian Ciang-kun menyerangnya dengan totokan suling, si berewok sudah menggerakkan goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Trangg.....!” Golok itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan tangan perampok berewok itu. Dia terkejut setengah mati, tubuhnya terdorong ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, empat orang pengeroyok telah mengayun senjata mereka menyerang Cian Ciang-kun.
10
Terpaksa perwira yang gagah perkasa ini memutar sulingnya menangkis dan kembali empat batang golok dan pedang terpental. Kakinya menendang beruntun dan robohlah tiga orang lagi. Pada saat itu, golok besar di tangan si berewok sudah menyambarnya dari belakang. Cian Hui miringkan tubuhnya dan golok besar lewat di sampingnya. Tangan kirinya menampar dengan kerasnya.
“Bukkk!!” Punggung si berewok terkena tamparan tangan kiri Cian Hui dan diapun roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Pingsan! Melihat kehebatan calon korban itu, para perampok menjadi gentar sekali dan mereka lalu menyelamatkan si berewok, menepang mereka yang tadi terpelanting, dan merekapun lari cerai berai ke hutan lebat.
Cian Hui tidak mengejar, hanya berdiri tegak sambil tertawa. Dia menyimpan kembali sulingnya, lalu duduk di atas batu, di dekat kudanya yang sejak tadi nampak tenang- tenang saja. Memang Kuda Hitam atau Si Hitam itu sudah biasa menghadapi pertempuran, bahkan sering dibawa berperang ketika Cian Ciang-kun masih memegang kedudukannya yang dahulu, maka menghadapi perkelahian tadi, dia sama sekali tidak menjadi panik. Kuda itu tenang-tenang saja, akan tetapi jangan coba mendekatinya. Kalau dalam keadaan seperti itu ada orang asing mendekatinya, tentu dia akan menggigit atau mempergunakan kakinya untuk menyepak.
Cian Ciang-kun menarik napas panjang. Di mana-mana terdapat orang-orang jahat, pikirnya. Dia tadi sengaja bersikap lunak, tidak membunuh karena merasa bahwa dia berada di luar daerah
11
pertanggungan jawabnya. Kalau peristiwa perampokan tadi terjadi di daerah kota raja, tentu dia akan bersikap lebih keras, mungkin dibunuhnya mereka atau setidaknya akan dilumpuhkan, ditangkap dan dijebloskan penjara. Dia merasa heran sekali.
Bagaimana di luar kota Lok-yang terdapat gerombolan perampok seperti itu? Bagaimana kewibawaan para pejabat Lok-yang? Dia mencatat hal ini, dan dia akan menegur para pejabat keamanan di Lok-yang. Biarpun dia tidak bertanggung jawab, namun dia berhak menegur mereka, karena dia adalah seorang petugas keamanan dari kota raja yang mengenal dan dikenal semua pejabat pusat.
“Hemm, salahkah pendengaranku tentang Hek-liong-li?” katanya kepada dirinya sendiri.
Dia mendengar bahwa Hek-liong-li adalah seorang pendekar wanita, atau setidaknya seorang wanita yang menentang kejahatan dan yang tinggal di Lok-yang. Kabarnya, wanita itu ditakuti seluruh penjahat bahkan namanya terkenal luas di dunia kang-ouw. Akan tetapi mengapa gerombolan yang hanya merupakan penjahat-penjahat kecil tadi, yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi penjahat besar, masih berani beraksi di luar kota Lok-yang? Andaikata mereka itu berani menghadapi para petugas keamanan, apakah mereka tidak takut kepada Hek-liong-li yang kabarnya amat keras dan tidak mengenal ampun terhadap penjahat?
“Jangan-jangan Hek-liong-li hanya namanya saja yang besar, akan tetapi sesungguhnya hanya seorang pendekar wanita biasa
12
saja. Kalau begitu sungguh sia-sia aku membuang waktu dan tenaga datang ke sini.......” berbagai dugaan timbul di dalam hati Cian Ciang-kun yang sudah bangkit lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, kembali dia tertegun karena mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan dan seperti tadi, kembali dia melihat belasan orang berlarian menuju ke tempat itu. Dia mengenal beberapa orang di antara belasan orang penyerangnya yang tadi.
Timbul kemarahan di hatinya. Orang-orang keparat itu tidak tahu diri, pikirnya. Sekali ini dia tidak akan bersikap lunak lagi. Dia akan memberi hajaran keras, kalau perlu membunuh pemimpin mereka! Maka, diapun sudah siap berdiri dengan suling di tangan!
Yang datang memang orang-orang tadi, akan tetapi di antara mereka nampak dua orang yang berpakaian serba hitam dan memakai kedok hitam pula! Kedok itu hanya merupakan kain hitam yang menutupi kepala dan hanya ada dua buah lubang untuk melihat, dan lubang hidung untuk bernapas. Tubuh dua orang ini tinggi besar dan keduanya memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Begitu tiba di depan Cian Ciang-kun, para perampok itu mengepungnya, akan tetapi tidak menyerang seperti tadi hanya mengepung dalam lingkaran lebar sehingga kudanya juga ikut dikepung. Yang meloncat maju adalah seorang di antara dua orang berpakaian serba hitam berkedok hitam itu, yang tubuhnya lebih kurus. Begitu meloncat ke depan, orang sudah menggerakkan pedangnya.
13
“Singgg......!” Nampak sinar berkelebat dan bunyi berdesing nyaring. Cian Ciang-kun maklum bahwa orang ini lihai, terbukti dari gerakan pedangnya yang demikian cepat dan kuat. Diapun menggerakkan suling bajanya dan menangkis sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat pedang itu terpental.
“Trangggg......!!!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan sekali ini Cian Hui terkejut bukan main. Ketika sulingnya bertemu dengan pedang dia merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat dan sulingnya terpental walaupun orang berkedok itupun berseru kaget dan pedangnya terpental pula.
Kiranya mereka memiliki tenaga yang seimbang! Cian Hui memeriksa sulingnya. Tidak rusak dan dia mengangkat muka memandang.
Orang itu sudah melintangkan pedang di depan dada. Sebatang pedang yang bentuknya agak melengkung dan hanya tajam sebelah, gagangnya panjang, tiba-tiba orang itu mengeluarkan teriakan melengking panjang dan dia sudah menerjang secepat kilat dengan cara penyerangan pedang yang aneh karena dia memegang gagang pedang itu dengan kedua tangannya! Bukan main cepatnya pedang itu menyambar dan amat kuat karena menggunakan kedua tangan. Ketika Cian Hui cepat meloncat ke samping untuk mengelak, pedang itu membuat gerakan melengkung dan sudah datang lagi menyambar dari arah yang berlawanan dibarengi teriakan lain yang mengguntur!
“Hemmm......!” Cian Ciang-kun kembali mengelak sambil menggerakkan sulingnya menangkis dari samping. Kembali
14
terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar. Karena tidak ingin diserang terus menerus, ketika orang itu untuk ketiga kalinya membuat gerakan melengkung dengan pedangnya sehingga pedang itu kembali menyambar, Cian Hui melompat ke kanan dan tiba-tiba membalikkan, tubuhnya, membalas dengan serangan sulingnya yang menusuk ke arah mata orang itu.
Sepasang mata yang tajam mengintai dari balik ke dua lubang. Akan tetapi ternyata orang itupun dapat bergerak lincah sekali. Dia sudah merendahkan tubuhnya. Namun, suling di tangan Cian Hui sudah melanjutkan serangan dengan memukul ke bawah, ke arah ubun-ubun kepala! Orang itu meloncat ke belakang, lalu membalas dengan serangan pedangnya yang kadang-kadang dipegang dengan satu tangan, kadang-kadang dengan dua tangan itu.
Terjadilah perkelahian yang bukan main seru dan dahsyatnya. Orang itu memiliki ilmu silat yang aneh, namun harus diakui oleh Cian Hui bahwa lawannya itu pandai sekali. Diapun segera mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmu silatnya, juga silat pedang yang dimainkan dengan suling.
Ilmu silat yang dimainkan Cian Hui adalah ilmu silat keluarga Cian yang turun temurun, dari aliran utara bercampur dengan aliran pantai timur karena nenek moyangnya berasal dari Shan-tung. Ilmu silat keluarga Cian ini mengandalkan kekuatan dan keuletan, memiliki daya pertahanan yang amat kuat walaupun kurang lincah dalam daya penyerangan.
15
Pertandingan itu sungguh amat seru dan setelah lewat limapuluh jurus, tahulah Cian Hui bahwa dirinya berada dalam bahaya. Baru menandingi seorang lawan saja, dia hanya mampu mengimbanginya. Pada hal, lawannya ini masih mempunyai seorang kawan yang juga berkedok, dan anak buah mereka ada belasan orang! Akan tetapi, Cian Hui adalah seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi bahaya maut.
Hanya satu yang ditakuti di dunia ini, yalah melakukan perbuatan sesat! Selama dia berada di pihak yang benar, dia akan membela diri sampai titik darah terakhir! Maka, diapun tidak mau memikirkan apa-apa lagi kecuali mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengalahkan lawannya yang amat lihai itu. Agaknya, lawannya juga penasaran sekali dan dari gerakannya yang amat ganas, mudah diduga bahwa orang berkedok itu marah bukan main. Serangannya semakin ganas dan semua ditujukan untuk membunuhnya.
Tiba-tiba orang berkedok ke dua berkata, “Jangan bunuh dia! Kita membutuhkan dia hidup-hidup!”
Setelah berkata demikian, orang berkedok ke dua yang lebih besar tubuhnya itu sudah terjun ke dalam pertempuran dan diam-diam Cian Hui mengeluh. Orang itu memiliki gerakan yang lebih gesit daripada lawan pertama! Menghadapi desakan kedua pedang yang digerakkan secara aneh itu, Cian Hui hanya mampu melindungi dirinya dengan ilmu silatnya yang amat kuat di segi pertahanan. Sulingnya diputar seperti perisai yang melindungi seluruh tubuhnya.
16
“Tempel sulingnya!” tiba-tiba orang ke dua itu berseru.
Orang pertama menggerakkan pedangnya dengan kuat, ditangkis oleh suling Cian Hui. Perwira ini terkejut karena tiba-tiba, ketika sulingnya bertemu pedang, kedua senjata itu saling melekat! Dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan suling dari pedang lawan, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri orang ke dua sudah menyambar tengkuknya.
“Plakk!” Cian Hui roboh pingsan!
◄Y►
Cian Hui merasa bahwa dia menunggang kuda, akan tetapi tidak duduk seperti biasa, melainkan rebah menelungkup dan melintang di atas seekor kuda! Bukan Si Hitam! Kuda biasa. Dia mencoba menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi tidak berhasil dan tahulah dia bahwa kaki tangannya terbelenggu dan bahwa tubuhnya menelungkup dan melintang di atas kuda, diikat dengan perut kuda!
Dia membuka matanya perlahan, melirik ke kanan kiri dan diapun teringat. Dia telah menjadi seorang tawanan! Mereka itu kini menunggang kuda semua, melalui hutan dan dia berada di tengah-tengah.
Nampak pula olehnya dua orang berpakaian hitam dan berkedok, juga menunggang kuda berada di depan. Seorang di antara mereka menuntun Si Hitam. Diam-diam Cian Hui merasa lega. Tentu tidak ada yang dapat menunggangi Si Hitam dan mungkin sudah ada tadi yang terbanting jatuh ketika mencoba untuk
17
menunggang Si Hitam. Dan Si hitam kini mau dituntun karena melihat dia berada pula di situ. Dan dia merasa semakin lega. Dia tidak, dibunuh! Berarti ada harapan. Selagi masih hidup, dia tidak akan pernah putus asa.
Kalau mereka menawannya, berarti mereka menghendaki dia hidup dan teringatlah dia tadi akan ucapan mereka. Kata-kata mereka terdengar asing walaupun mereka mempergunakan bahasa daerah Lok-yang. Seorang di antara mereka, yang lebih besar tubuhnya, melarang kawannya membunuhnya karena mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Untuk apa? Sukar menduganya karena dia tidak mengenal siapa mereka.
Bersabarlah engkau, katanya kepada dirinya sendiri. Nanti engkau tentu akan tahu. Dia mencoba tali-tali yang membelenggu kaki tangannya. Amat kuat! Tidak ada harapan untuk meloloskan diri sekarang. Lebih baik mengaso, menghimpun tenaga baru karena dia merasa lelah sekali. Dia lalu membiarkan dirinya lemas dan memejamkan kembali matanya.
Dia teringat akan tugasnya menuju ke Lok-yang. Mencari Hek-liong-li! Dia belum pernah mengenal pendekar wanita itu, akan tetapi dia sudah mencatat tentang Hek-liong-li. Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li seorang wanita yang cantik dan masih muda. Usianya sekitar duapuluh lima tahun.
Menurut keterangan yang diperolehnya, Hek-liong-li bersama seorang rekannya yang juga amat terkenal bernama atau berjuluk Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sudah membuat nama besar dengan membasmi banyak sekali penjahat terkenal. Di
18
antara para penjahat itu terdapat datuk-datuk sesat yang sakti, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) dan Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), dua orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)! Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang wanita muda berusia duapuluh lima tahun seperti Hek-liong-li (Nona Naga Hitam) bersama Pek-liong-eng yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua, telah berhasil membasmi dan membunuh dua orang di antara Kiu Lo-mo yang kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa!
Untuk menenangkan hati dan melewatkan waktu, Cian Hui melanjutkan lamunannya mengingat-ingat tentang Hek-liong-li seperti yang didengarnya dari keterangan mereka yang pernah mendengar tentang wanita perkasa itu. Keterangan itu tidak menggambarkan wajah Hek-liong-li secara terperinci, hanya mengatakan bahwa wanita itu cantik. Tinggalnya di dalam kota Lok-yang di sebelah barat. Rumahnya besar dan indah, dan pekarangannya luas. Ada kolam ikan di depan rumah itu, dengan teratai dan di tengah kolam terdapat sebuah arca seorang puteri cantik menunggang seekor angsa.
Hanya itulah yang dia ketahui tentang Hek-liong-li yang kabarnya bernama Lie Kim Cu. Ada lagi berita yang dia dapat mengenai wanita perkasa itu. Bahwa Hek-liong-li Lie Kim Cu dahulunya adalah puteri seorang bangsawan tinggi di Lok-yang, seorang bangsawan yang kabarnya melakukan korupsi karena gila judi sehingga masuk penjara dan tewas di dalam penjara.
Betapa Lie Kim Cu, ketika itu masih seorang gadis berusia enambelas tahun, menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong, seorang
19
pangeran keluarga kaisar yang berkedudukan di Lok-yang. Kemudian, tidak jelas bagaimana beritanya karena tidak ada yang tahu, tiba-tiba saja gadis itu sudah tidak menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong lagi dan tahu-tahu telah muncul sebagai seorang wanita sakti pembasmi kejahatan!
Cian Ciang-kun, menghentikan lamunannya karena mereka telah berhenti. Ketika dia membuka mata, dia melihat bahwa rombongan itu berhenti di depan sebuah bangunan kuno, bekas kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi, yang berada di dalam hutan.
“Turunkan dia dan bawa ke kamar ruangan belakang!” kata si kedok hitam yang kurus.
Dua orang anggauta perampok segera menyeret tubuh Cian Hui turun dari atas punggung kuda. Begitu dia diturunkan dan berdiri dengan kaki tangan terbelenggu, terdengar ringkik kuda dan Si Hitam sudah melepaskan diri dan lari menghampiri Cian Hui, mencium-cium majikannya itu sambil meringkik-ringkik.
Dua orang anggauta perampok cepat menghampiri dan mereka mencoba untuk memegang kendali kuda, akan tetapi sambil meringkik marah, Si Hitam membalik dan menyepak mereka sampai tubuh kedua orang itu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting ke atas tanah dan mengaduh-aduh karena tulang iga mereka ada yang patah! Cian Hui tersenyum senang, akan tetapi lebih banyak perampok datang dan mereka mencabut senjata.
“Tenangkan kuda itu, kalau tidak akan kami bunuh!” tiba-tiba si kedok hitam yang besar berkata kepada Cian Hui.
20
Cian Ciang-kun khawatir kalau sampai kudanya dibunuh, maka diapun mengeluarkan suara bersiul panjang yang tadinya tinggi lalu menurun. Itulah isyarat bagi Si Hitam untuk menjadi tenang, dan kuda itupun tidak meringkik lagi, mengibas-ngibaskan ekornya dan tidak membantah atau meronta ketika seorang anggauta perampok memegang kendali dan menuntunnya.
Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang wanita yang usianya sekitar tigapuluh tahun, yang seorang berpakaian serba hijau dan orang kedua berpakaian warna kuning. Mereka itu cantik manis dan keduanya membawa keranjang kecil yang berisi beberapa macam daun obat. Di punggung mereka tergantung sebatang pedang.
“Heii, apa yang telah terjadi di sini?” tanya si baju hijau yang mempunyai tahi lalat kecil di dahinya.
“Kenapa orang ini dibelenggu? Kalian ini siapa?” tanya yang berpakaian kuning, yang hidungnya mancung.
Melihat munculnya dua orang wanita yang cantik itu, para anggauta perampok saling pandang dan mereka menyeringai. “Ha-ha, dua ekor kelinci datang menyerahkan diri kepada kita yang memang sedang kelaparan!”
“Tangkap mereka dan malam ini kita berpesta!”
“Aduh manisnya! Siapa yang lebih dulu menangkapnya, dia yang berhak mendapat bagian pertama!”
21
Bermacam-macam ucapan mereka yang nadanya menggoda, kurang ajar dan bahkan cabul. Adapun dua orang berkedok hitam itu hanya diam saja, memandang dari samping.
Dua orang wanita itu mengerutkan alisnya, dan mata mereka yang jeli mengeluarkan sinar marah.
“Enci, mereka ini tentu penjahat-penjahat yang pantas dibasmi. Mari kita hajar mereka!” bentak si baju kuning.
Akan tetapi, belasan perampok kasar itu, yang sudah terbiasa melakukan perbuatan maksiat dan jahat, memandang kepada kepala mereka, yaitu perampok yang berewok. Ketika kepala perampok inipun hanya menyeringai saja, mereka menjadi berani dan beramai-ramai belasan orang itu mengepung dua orang wanita itu, seperti segerombolan srigala mengepung dua ekor domba muda yang lunak dagingnya.
Akan tetapi, dua orang wanita itu sama sekali bukan dua ekor domba muda yang lunak dagingnya, melainkan dua ekor harimau muda yang ganas. Begitu keduanya bergerak, nampak bayangan hijau dan kuning berkelebatan dan pada saat itu, belasan pasang tangan dengan rakus hendak menerkam. Begitu dua orang wanita itu menampar dan menendang, para perampok itu mengaduh-aduh dan tubuh mereka berpelantingan!
Terkejutlah si berewok melihat betapa belasan orang anak buahnya jatuh bangun dijadikan bulan-bulan tamparan dan tendangan kedua orang wanita itu. Dia menggereng dan dengan golok besarnya diapun maju menerjang. Akan tetapi, dia disambut oleh wanita baju hijau yang sudah mencabut pedang
22
dari punggungnya, Terjadilah perkelahian yang seru antara si berewok dan si baju hijau, sedangkan si baju kuning masih mengamuk dikeroyok oleh para perampok.
Diam-diam Cian Hui menjadi kagum. Dua orang wanita yang manis-manis dan kelihatan halus itu, yang tadinya membawa keranjang memetik daun obat, ternyata dapat bergerak tangkas dan ilmu silat mereka lihai juga!
“Nona-nona, hati-hati, si kedok hitam itu lihai sekali!” teriaknya ketika melihat betapa dua orang berkedok itu melangkah maju.
“Kalian mundur semua!” bentak si Kedok Hitam yang bertubuh kurus.
Para perampok, juga kepala perampok berewok, berloncatan mundur dan kini dua orang bertopeng hitam itu menerjang maju dengan tangan kosong.
Si baju kuning menangkis pukulan si kedok hitam dan ia mengeluh sambil terhuyung ke belakang. Dengan marah ia mencabut pedangnya pula dan kini dua orang wanita itu dengan pedang mereka menyerang dua orang berkedok hitam itu dengan ganas.
Dua orang berkedok itupun sudah mengeluarkan senjata mereka, pedang yang agak melengkung dan bergagang panjang dan lewat belasan jurus saja, tahulah Chin Ciang-kun bahwa dua orang gadis itu akan kalah. Mereka sudah repot dan main mundur, hanya mampu mengelak dan menangkis saja.
23
Melihat ini, Cian Hui merasa khawatir bukan main. Dua orang wanita itu jelas hendak menolong dirinya, maka kalau sampai mereka itu roboh tewas atau terluka, apa lagi kalau sampai terjatuh ke tangan srigala-srigala buas itu yang akan menerkam dan merobek-robek daging mereka yang lunak, dia akan selalu merasa menyesal karena dialah yang menjadi penyebabnya.
“Heii, dua orang sobat berkedok!” teriaknya lantang. “Tidak malukah kalian menyerang dua orang gadis yang sama sekali tidak bersalah? Mereka tidak ada hubungan sedikitpun dengan aku. Kalau memang kalian gagah, jangan serang mereka dan hayo lepaskan aku, biar kita bertanding sampai seribu jurus lagi!”
Biarpun kedua tangan dan kakinya dibelenggu, namun Cian Ciang-kun masih dapat menggenjotkan tubuhnya ke atas dan tubuh itupun melompat tinggi ke arah dua orang berkedok dan dari atas, tubuhnya menubruk ke arah mereka dengan kedua kaki yang terbelenggu lebih dahulu. Diapun berseru. “Nona-nona, larilah kalian!”
Dua orang berkedok itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa Cian Hui yang sudah terbelenggu itu masih mampu melakukan penyerangan kepada mereka. Namun, tentu saja serangan itu tidak ada artinya dan mereka cepat melompat ke samping dan begitu tubuh Cian Ciang-kun turun, mereka menendang dan Cian Hui roboh terjungkal, lalu ditangkap oleh beberapa orang anak buah perampok yang menyeretnya ke dalam bangunan bekas kuil itu. Akan tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh dua wanita tadi untuk berloncatan dun melarikan dini.
24
Dua orang berkedok hitam mencoba untuk melakukan pengejaran, akan tetapi mereka merasa heran sekali melihat betapa lincahnya dua orang gadis itu bergerak di dalam hutan itu, seolah-olah mereka sudah hafal benar akan keadaan pohon-pohon dan semak-semak di situ. Sebentar saja kedua nona itu sudah lenyap.
Dua orang berkedok hitam, tidak berani mengejar terus. Mereka kurang begitu hafal akan keadaan di hutan itu dan mereka maklum bahwa menncari musuh di tempat yang demikian penuh semak belukar, amat berbahaya. Maka, merekapun kembali ke kuil tua dan membiarkan dua orang gadis itu lolos.
◄Y►
Rumah di sudut barat kota Lok-yang itu masih baru. Mungil dan indah bentuknya, memiliki pekarangan yang luas di bagian depan dan juga taman indah di sebelah kiri dan belakang. Kolam ikan penuh bunga teratai di pekarangan depan itupun indah sekali. Arca puteri cantik menunggang angsa amat halus pahatannya, dengan sikap manja puteri itu merangkul leher angsa yang panjang seperti membelai seorang kekasih.
Di sekeliling kolam tumbuh bunga-bunga mawar beraneka warna, sehingga keharuman semerbak, menyegarkan hawa di pekarangan itu. Beberapa buah bangku bercat merah hijau dan biru yang mungil berada di bawah pohon-pohon yang rindang.
Sungguh pekarangan itu membuat orang akan merasa betah berada di tempat itu. Rumah itu agaknya baru dipugar dan diperbaiki, catnya masih baru. Temboknya berwarna putih bersih.
25
Jendela dan pintunya dicat berwarna hijau muda dengan garis-garis merah. Manis sekali, akan tetapi juga menimbulkan kesan anggun.
Dan melihat bentuk atapnya yang nampak dari luar, rumah itu tentu amat luas di sebelah dalamnya. Batas pekarangan rumah itu dengan para tetangga dikelilingi pagar tembok yang tingginya tidak kurang dari dua meter dan di atas temboknya dipasangi ujung tombak-tombak meruncing yang dicat merah.
Semua penghuni kota Lok-yang, tua muda, laki perampuan, tahu belaka bahwa rumah yang indah ini adalah tempat tinggal Liong-li (Nona Naga) atau yang mereka semua sebut dengan Li-hiap (Pendekar Wanita) saja. Semua orang menghormatinya dan mengaguminya, juga para pejahat karena wanita perkasa itu dikenal sebagai seorang pembasmi kejahatan yang gigih.
Pengaruh Liong-li terhadap para penjahat lebih besar dari pada pengaruh pasukan keamanan. Tidak ada penjahat yang berani mencoba-coba untuk mendatangkan kekacauan di Lok-yang hanya takut kalau sampai bentrok dengan Liong-li! Dan wanita itu tinggal di situ bersama sembilan orang wanita lain yang menjadi anak buahnya, pelayannya, juga pembantunya.
Sembilan orang wanita itu rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai karena mereka digembleng sendiri oleh Liong-li. Merekapun semuanya manis-manis, berusia antara tigapuluh tahunan dan mereka ini mudah dikenal karena mereka selalu mengenakan baju cerah berkembang dengan warna-warna menyolok. Ada yang merah, hijau, kuning, biru dan sebagainya, tidak ada yang
26
sama sehingga kalau gadis-gadis itu berada di pekarangan depan rumah melaksanakan pekerjaan membersihkan arca, kolam atau menyapu pekarangan, mereka itu seperti kembang-kembang besar beraneka warna menambah semarak pekarangan itu.
Akan tetapi pada siang hari itu, setelah dari luar nampak masuk dua orang di antara. mereka yang berpakaian hijau dan kuning, terdengar bunyi kelinting nyaring dari dalam dan semua pembantu yang sedang bekerja, baik yang sibuk di dapur, di taman belakang atau di pekarangan, segera memasuki rumah. Suara keleningan nyaring merdu itu adalah tanda bahwa mereka dipanggil menghadap nona mereka karena ada urusan yang amat penting.
Mereka berada di sebelah dalam rumah, di ruangan belakang yang luas. Ruangan ini luas sekali dan tidak terdapat banyak perabot rumah, kecuali belasan buah bangku kecil di sudut di mana mereka kini berkumpul. Dan di dekat bangku-bangku itu terdapat pula sebuah rak berisi segala macam senjata.
Lantainya bersih, temboknya bersih dan hawanya cukup karena ruangan ini mempunyai banyak jendela yang dibiarkan terbuka, jendela yang menembus pada taman di belakang rumah. Bahkan bau semerbak harum bunga memasuki ruangan.
Sebuah lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang amat baik. Bukan hanya merupakan ruangan latihan silat, juga tempat ini dipergunakan oleh nona majikan mereka untuk mengadakan rapat dengan mereka apa bila terjadi perkara penting. Sebelum mereka berkumpul di situ, tidak lupa mereka tadi menutup semua
27
pintu luar dan samping dan belakang sehingga tidak akan ada orang luar yang dapat masuk mencuri dengar apa yang mereka percakapkan di dalam ruangan berlatih silat itu.
Pada hal, mereka tidak pernah merasa khawatir akan ada orang luar berani masuk tanpa ijin karena rumah itu dipasangi banyak perangkap dan tanda-tanda yang akan memberitahu kepada mereka apa bila ada orang asing masuk. Banyak alat rahasia dipasang nona mereka. Salah injak lantai saja akan menimbulkan bunyi kelenengan. Menyangkut sehelai benang halus dengan kaki saja akan menimbulkan bunyi bel dan sebagainya. Belum lagi perangkap yang akan membuat orang asing terjeblos ke dalam lubang di bawah tanah dan banyak macam lagi.
Hek-liong-li Lie Kim Cu memang baru saja memugar dan memperbaiki rumah tempat tinggalnya. Ia kini menjadi seorang kaya raya. Setahun yang lalu, bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay, rekannya, ia telah berhasil mendapatkan harta karun yang tak dapat dinilai berapa besarnya, dan setelah membagi harta karun itu dengan Pek-liong-eng, ia menjadi seorang yang kaya raya.
Mungkin kekayaannya tidak kalah dibandingkan dengan hartawan atau bangsawan terkaya di Lok-yang! Ia lalu memperbaiki rumahnya, dan kini di dalam rumah itu bagaikan istana saja, dengan perabot rumah yang serba indah dan mahal.
Ketika para gadis pembantunya yang oleh penduduk Lok-yang disebut sebagai Hwa I Kiu-nio (Sembilan Nona Baju kembang) berlarian datang memasuki ruangan latihan silat itu, Hek-liong-li
28
Lie Kim Cu atau disingkat Liong-li (Nona Naga) sudah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi gading yang indah sedangkan dua orang di antara para pembantunya, yaitu yang berpakaian kuning dan hijau sudah duduk di atas bangku, di depannya. Wajah mereka nampak serius, membuat mereka yang berdatangan merasa tegang.
Setelah sembilan orang pembantunya berkumpul dan duduk di depannya dengan jajaran rapi, tenang dan penuh perhatian, Liong-li berkata dengan lirih namun jelas.
“Aku memanggil kalian untuk mendengarkan pengalaman enci Kuning dan enci Hijau.” Ia menoleh kepada dua orang pembantu itu, “Kalian ceritakan kembali apa yang telah kaualami tadi.”
Liong-li selalu menyebut enci (kakak perempuan) kepada sembilan orang pembantunya, dengan menyebutkan warna pakaian mereka, dan sebaliknya, para pembantu itu menyebutnya Li-hiap (Pendekar Wanita).
Dua orang pembantu itu lalu menceritakan pengalaman mereka ketika mereka bertugas mencari daun-daun obat yang dibutuhkan nona mereka ke Bukit Kuil. Bukit itu disebut Bukit Kuil karena ada kuilnya yang kuno dan sudah tidak dipergunakan lagi itu. Di bukit itu memang terdapat banyak tumbuh-tumbuhan obat dan kedua orang wanita ini sudah hafal akan keadaan di dalam hutan di bukit itu karena seringnya mereka ditugaskan mencari daun dan akar obat.
Semua pembantu mendengarkan dengan asyik, dan Liong-li sendiri, walaupun tadi telah menerima laporan, kini
29
mendengarkan lagi penuh perhatian dan ia duduk di atas kursi gading itu sambil termenung. Bukan main cantiknya ketika ia duduk seperti itu. Pakaiannya, yang terbuat dari sutera hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak putih dan halus mulus, lebih putih dari pada warna gading kursi yang didudukinya. Wajahnya yang bulat telur dengan dagu meruncing itu nampak cerah.
Mulut yang kecil dangan bibir merah yang selalu basah itu tak pernah ditinggalkan bayangan senyum. Lesung pipinya mudah muncul, dan tahi lalat kecil di bawah mata kiri menjadi pemanis. Seorang wanita berusia duapuluh lima tahun yang mungil, cantik jelita dan manis.
Apa lagi melihat tubuh yang padat berisi itu, dengan lekuk lengkung yang sempurna, menggairahkan dan penuh kewanitaan yang hangat. Sukar membayangkan betapa di bawah kulit halus, di dalam tubuh yang menggairahkan itu tersembunyi kekuatan dahsyat dan ilmu silat yang maut! Rambutnya digelung tinggi, dihias tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil di atas bunga teratai.
Walaupun ia kaya raya, namun Liong-li tidak suka mengenakan perhiasan emas permata yang serba mahal. Bahkan hiasan rambutnya itu dari perak dan satu-satunya perhiasan yang terhitung mahal hanya sebuah gelang batu kemala hijau yang dipakai di lengan kirinya.
Setelah si baju hijau dan baju kuning selesai menceritakan pengalaman mereka, tujuh orang pembantu lain mengerutkan
30
alis. Mereka kelihatan penasaran mendengar betapa dua orang kawan mereka dikalahkan orang. Wanita baju ungu yang merupakan pembantu tertua, segera berkata kepada Liong-li dengan penuh semangat.
“Li-hiap, biarkan kami beramai pergi ke Bukit Kuil dan menghajar kawanan perampok itu!”
Kawan-kawannya mengangguk membenarkan. Ingin mereka menebus kekalahan dua orang kawan mereka!
Akan tetapi Liong-li menggeleng kepalanya. “Aku memanggil kalian agar kalian tahu duduknya perkara. Akan tetapi, bukan kewajiban kalian untuk menghadapi perkara ini, melainkan akan kuhadapi sendiri. Ada dua hal amat menarik hatiku, yaitu adanya dua orang berkedok hitam itu, dan pria yang menjadi tawanan itu.
“Kalau dua orang itu berkedok hitam, itu berarti bahwa mereka hendak menyembunyikan keadaan diri mereka, dan jelas bahwa mereka bukanlah perampok-perampok biasa. Tentu ada hal lain tersembunyi, ada rahasia di balik semua.
“Apa lagi kalau diingat betapa mereka itu dalam belasan jurus sudah mampu mendesak Huang-ci (Enci Kuning) dan Ching-ci (enci Hijau ). Ingin aku membuka kedok mereka dan mengetahui siapa mereka dan apa maksudnya mereka bersikap penuh rahasia itu. Dan kedua adalah tawanan itu. Agaknya dia seorang pendekar yang baik budi dan gagah perkasa!”
“Bagaimana Li-hiap dapat menduga demikian?” tanya si baju ungu, juga yang lain ingin tahu karena mereka semua sudah
31
mengenal nona mereka yang selain lihai sekali ilmu silatnya, juga amat cerdik.
“Hemm, mudah saja. Dia sudah menjadi tawanan dan dibelenggu kaki tangannya, namun dia masih berani melawan, itu tandanya dia gagah perkasa. Dia mencoba untuk menyelamatkan enci Hijau dan enci Kuning dan menganjurkan mereka cepat melarikan diri, ini menunjukkan bahwa dia seorang pendekar yang baik hati. Tentu dia merasa bahwa kalau sampai kedua enci tertawan musuh atau tewas, maka hal itu disebabkan karena kedua enci berusaha menolongnya. Tentu hal itu akan mendatangkan perasaan tidak enak di hati seorang pendekar.
Karena itu, selain ingin tahu, siapa adanya dua orang berkedok hitam itu, akupun ingin tahu siapa adanya pria gagah perkasa itu. Nah, kalian jagalah rumah baik-baik. Kalau ada tamu mencariku, katakan bahwa sore nanti atau malam nanti aku tentu sudah pulang. Nah, persiapkan air untuk mandi, beri wangi-wangian. Aku ingin badanku sejuk dan segar dalam menghadapi kemungkinan bahaya!”
Kurang lebih satu jam kemudian, Liong-li sudah keluar dari rumahnya, mengenakan pakaian serba hitam dari sutera halus. Kulit muka, leher dan tangannya nampak segar kemerahan karena baru saja digosok dengan kuat ketika ia mandi.
Wanita ini hampir tidak pernah mempergunakan bedak atau pemerah pipi dan bibir. Memang tidak perlu, kecuali kalau dalam suatu peristiwa penting, misalnya kalau ia diundang ke dalam pesta keluarga bangsawan di Lok-yang dan sebagainya.
32
Dalam keadaan biasa, ia tidak pernah menggunakan bedak dan gincu. Kulit mukanya sudah cukup putih mulus dan segar kemerahan. Kedua pipinya yang baru digosoknya ketika mandi tadi nampak kemerahan seperti buah delima masak, sepasang bibirnya juga sudah merah basah tanpa gincu.
Ia mengenakan baju yang agak longgar dan panjang sehingga pedang Hek-liong-kiam yang tergantung tinggi di pinggangnya itu tidak terlalu menyolok. Sepatunya juga berwarna hitam karena pakaian yang serba hitam ditambah rambutnya yang juga amat hitam itu, maka perhiasan rambut terbuat dari perak itu kelihatan amat menyolok, juga kulitnya nampak putih mulus.
Begitu keluar dari rumahnya, tiada hentinya Liong-li harus mengangguk dan tersenyum untuk membalas tegur sapa dan penghormatan orang kepadanya yang mereka lakukan dengan pandang mata hormat dan kagum. Ia lalu mengambil jalan kecil yang sunyi agar jangan banyak terganggu, dan setelah berada di luar kota Lok-yang, ia lalu cepat menuju ke Bukit Kuil yang nampak dari situ.
Tak lama kemudian ia sudah mendaki bukit itu dan ketika tiba di tepi hutan, ia meraih ranting pohon dan mengambil sebatang ranting sebesar lengannya dan panjangnya kurang lebih satu meter, lalu mempergunakan ranting kayu basah ini sebagai tongkat.
Ia sudah mengenal baik bukit ini dan tahu di mana adanya kuil tua itu. Bahkan ia melalui jalan setapak yang hanya dikenal oleh
33
orang yang sudah biasa melaluinya, jalan yang sukar akan tetapi jauh lebih dekat dari pada kalau melalui jalan biasa yang lebar.
Sementara itu, Cian Hui atau Cian Ciang-kun dimasukkan ke dalam sebuah ruangan di belakang kuil tua. Ruangan itu kotor penuh debu dan sarang laba-laba. Dia duduk di atas lantai. Kedua lengannya dibelenggu ke belakang pinggulnya, dan kedua kakinya dibelenggu pula dengan rantai sehingga kedua kaki itu hanya dapat direnggangkan selebar satu meter saja. Dia dapat berjalan, akan tetapi gerakannya amat terbatas karena kedua tangan diikat ke belakang.
Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Ketika dia melihat bahwa dua orang wanita manis ini dapat lolos dari ancaman bahaya, Cian Hui merasa girang bukan main. Dia hanya dibiarkan duduk di dalam ruangan itu, tidak diganggu dan para perampok itu hanya berjaga di luar ruangan, siap dengan senjata mereka. Dua orang berkedok itu setelah melihat dia berada di ruangan itu, lalu berkata kepada para perampok agar dia dijaga baik-baik jangan sampai lari.
“Kalau dia mengamuk lagi, kalian bunuh saja dia!” kata si kedok hitam yang kurus, kemudian keduanya pergi dan sampai tiga jam lamanya tidak pernah muncul. Pernah dia bertanya kepada para perampok yang berjaga di luar dan pertanyaan itu dia tujukan kepada si kepala perampok yang bermuka berewok.
“Hai, Berewok! Kalian sudah mengambil kudaku, kenapa aku masih ditahan di sini? Apa yang hendak kalian lakukan dengan aku?”
34
Dengan wajah geram Si berewok itu menjawab. “Jangan banyak mulut kau! Atau kau ingin kami menggebukimu seperti anjing sehingga engkau tidak mampu mengeluarkan suara lagi?”
Cian Hui tertawa bergelak, suara ketawanya menembus keluar dari kuil itu. “Ha-ha- ha-ha! Kalian ini perampok-perampok busuk, penjahat-penjahat kecil yang berlagak besar. Aku tahu bahwa kalian ini adalah antek-antek saja dari dua orang berkedok hitam tadi. Engkau tidak akan berani menggangguku tanpa si kedok hitam, Berewok! Karena itu katakan saja, siapa mereka dan apa yang mereka kehendaki dariku. Kalau engkau mengaku, kelak kalau aku dapat menundukkan mereka, tentu akan kupertimbangkan dosamu!”
“Manusia sombong! Engkau sudah seperti anjing dirantai, tinggal kita angkat tangan bunuh saja, dan engkau masih banyak lagak? Hayo kalau memang engkau berani, berontaklah. Cobalah engkau mengamuk, hemm...... aku akan senang sekali mencabik-cabik perutmu agar ususmu berantakan!” Si Berewok marah sekali. Akan tetapi yang ditantangnya hanya tertawa bergelak.
Pada saat itu terdengar derap kaki kuda di luar. “Toa-ko, kenapa harus melayani orang sombong ini? Lebih baik lagi kalau toa-ko mencoba lagi menunggangi kuda setan hitam itu sampai berhasil. Lihat, ia sudah mulai kelaparan dan lari memutari pohon dengan tidak sabar.”
Cian Hui diam-diam merasa sedih. Kudanya akan dipaksa untuk menjadi kuda tunggangan si berewok ini, dan untuk menjinakkan kuda itu, mereka menggunakan cara membuat kuda itu
35
kelaparan. Hem, aku harus membuat perhitungan untuk itu, pikirnya.
Si berewok lalu keluar dari tempat penjagaan di depan ruangan itu. Dan Cian Hui bersiul. Siulnya seperti siul iseng saja, akan tetapi diam-diam dia memberi isyarat kepada kudanya yang berada di luar kuil. Kuda itu peka sekali terhadap suara siulnya dan kalau mendengar siulnya itu, kuda itu tentu akan menjadi tenang.
Dan memang perhitungannya itu tepat. Kuda hitam itu tadinya dicancang pada sebatang pohon dan ia selalu gelisah. Bahkan karena merasa lapar, kuda itu berlarian mengelilingi pohon dan mencoba untuk membikin putus kendali yang mengikatnya. Akan tetapi, begitu Si Berewok muncul dan ia mendengar suara siulan itu. Kuda Hitam berhenti berlari dan ia menjadi tenang dan jinak. Bahkan ketika kepala perampok itu mendekatinya dan mengelus lehernya, ia diam saja.
“Nah, kuda yang baik, engkau jinaklah dan menjadi kuda tungganganku. Nanti kuberi rumput yang paling enak!” kata si berewok, perlahan-lahan melepaskan ikatan kuda itu dari pohon.
Melihat betapa kuda itu tetap jinak, Si Berewok mengira bahwa kuda itu memang betul sudah dapat ditundukkan dan dijinakkan dengan membiarkan ia kelaparan. Maka dengan girang diapun melompat ke atas punggung kuda. Disuruhnya kuda itu berjalan, dan semua ini diturut dengan taat oleh kuda hitam. Si Berewok menjadi semakin girang dan bangga.
36
“Ha-ha-ha, aku sudah berhasil menjinakkannya! Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa dan berteriak-teriak, lalu dia menarik kendali kudanya dan Si kuda Hitam pun lari ke depan.
Akan tetapi tiba-tiba saja, telinga kuda itu bergerak-gerak dan pendengarannya yang peka telah menerima isyarat melalui siulan majikannya! Dia lalu tiba-tiba membalik sehingga mengejutkan Si Berewok.
“Eh? Kenapa kembali?” Dia mencoba untuk menarik kendali akan tetapi tetap saja kuda itu tidak menurut dan berlari seperti kemasukan setan menuju ke kuil. Akhirnya Si berewok membiarkan saja, hanya memegang kendali dengan kuat dan menjepit perut kuda dengan kedua pahanya agar jangan sampai dia terpental jatuh.
Kuda Hitam itu berlari terus dan setelah tiba di depan kuil, kepala perampok mencoba untuk menarik kendali agar kuda itu berhenti berlari. Akan tetapi, kuda itu tidak berhenti, bahkan memasuki pekarangan kuil, terus melompat dan masuk ke dalam pintu kuil yang lebar dan tidak berdaun pintu lagi itu.
Tentu saja Si Berewok menjadi heran dan juga mulai takut, akan tetapi kuda itu berlari terus menuju ke arah suara siulan yang memanggilnya! Dia berlari melalui lorong, menerjang sebuah meja tua, melompati segala penghalang dan memasuki ruangan belakang!
Setelah tiba di depan kamar di mana Cian Hui ditawan, barulah dia berhenti, mendengus-dengus. Cian Hui terus bersiul dan kuda
37
itu tiba-tiba meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan, menggoyang-goyang tubuhnya.
Tentu saja Si Berewok yang berada di punggungnya terguncang-guncang, akan tetapi kepala perampok ini juga seorang ahli menunggang kuda. Dia masih dapat duduk terus di punggung kuda, mencengkeram bulu tengkuk kuda itu dan menempel terus seperti seekor lintah!
Anak buahnya yang melihat kuda itu mengamuk, pergi menjauh akan tetapi mereka memberi semangat kepada kepala rampok itu untuk terus bertahan dan agar jangan sampai terlempar dan terbanting!
Kuda itu terus meloncat-loncat seperti kemasukan setan, punggungnya dilengkungkan dan akhirnya diapun merebahkan diri ke samping! Melihat ini, Si Berewok terkejut sekali. Kalau kuda itu bergulingan, tentu dia akan terhimpit dan mampus! Maka, ketika kuda itu merebahkan diri, diapun meloncat turun. Begitu meloncat turun, kuda hitam itu menyepak dengan kaki belakangnya.
“Bukkkk!!” Pinggul dan paha Si berewok kena disepak. Tubuhnya terlempar dan terbanting pada dinding dan diapun roboh dan mengaduh-aduh, kepalanya pening, pinggulnya seperti remuk rasanya, seluruh tubuh, seperti memar dan semua tulang seperti patah-patah.
“Kuda setan! Kuda terkutuk......!” Dia memaki-maki dan Cian Hui tertawa bergelak. Setelah Cian Hui berhenti bersiul, kuda itupun menjadi tenang dan jinak kembali!
38
Pada saat itu, di luar terdengar bunyi roda kereta. Si Berewok yang agaknya baru tahu bahwa dia dipermainkan oleh tawanannya dan hendak marah, menunda kemarahannya dan diapun bangkit menyambut. Munculah dua orang berkedok hitam itu.
“Keretanya sudah siap. Bawalah dia dan lakukan seperti yang telah kami perintahkan!” kata yang bertubuh besar kepada kepala perampok yang mengangguk.
“Bagaimana dengan kuda iblis itu?” tanya si berewok kepada dua orang berkedok hitam.
“Tinggalkan di sini, biar kami yang urus. Nah, berangkatlah dan hati-hati jangan sampai dia lolos!”
Si Berewok lalu masuk ke dalam kamar, memegang lengan Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. Cian Hui bersikap tenang, akan tetapi dia memandang kepada dua orang berkedok hitam itu.
“Sobat, sungguh aku tidak mengerti apa yang kaukehendaki ini! Mengapa kalian bersikap pengecut, tidak memperkenalkan diri? Dan kalau memang aku ini musuhmu, mengapa tidak kaubunuh saja aku? Bukalah kedok kalian dan perkenalkan dirimu kepadaku!”
Akan tetapi, dua orang berkedok hitam itu hanya memberi isyarat kepada kepala perampok itu.
39
“Hayo berangkat, jangan banyak cerewet kau!” bentak kepala perampok dan bersama belasan orang anak buahnya, dia menyeret Cian Hui yang tidak berdaya itu keluar dari dalam kuil.
Ketika tiba di luar kuil, Cian Hui melihat sebuah kereta dengan dua ekor kuda siap di situ, sebuah kereta yang tidak besar dan yang tertutup. Matahari telah naik tinggi dan udara cerah sekali. Cian Hui bersikap tenang. Kalau dia dibawa pergi dari tempat ini, dengan kereta, berarti masih banyak kesempatan baginya untuk mencoba meloloskan diri dari cengkeraman mereka.
Kalau berada di tempat sepi seperti ini, tentu saja tidak mungkin dia lolos, walaupun dia dapat memerintahkan kuda hitam untuk membantunya. Terdapat bahaya kuda yang disayanginya itu akan terbunuh dan diapun tidak akan mampu meloloskan diri dengan kaki dan tangan terbelenggu seperti itu. Akan tetapi kalau kereta ini melewati tempat ramai, dan kemungkinan ini besar sekali, dia tentu akan dapat melompat keluar dan memberontak. Tentu hal ini akan menarik perhatian orang-orang dan dia mendapat kesempatan untuk diselamatkan.
Si berewok melangkah lebar ke arah kereta sambil menarik lengan Cian Hui, kemudian membentak. “Nah, masuklah, atau engkau lebih suka diseret masuk seperti seekor babi?”
Dia menyingkap tirai kereta dan membuka pintunya dan...... tiba-tiba dia terbelalak, karena di dalam kereta itu nampak duduk seorang wanita yang cantik sekali, seorang wanita yang berpakaian serba hitam dan yang tersenyum.
40
“...... eh, dewi...... eh, babi...... ah, cantiknya, manisnya........ ah, siapakah engkau dan bagaimana.......?” Kepala rampok berewok itu menjadi gagap dan salah tingkah karena dia sudah terpesona melihat wanita berpakaian serba hitam itu.
Memang seorang yang mempesonakan! Bukan hanya cantik jelita dan manis sekali, wajahnya nampak putih kemerahan dan mulus karena pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, akan tetapi juga wajah itu demikian segar dan cerah, senyumnya memikat dan seluruh ruangan kereta berbau harum seolah wanita itu setangkai bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya.
Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang manis sekali, dan sebatang ranting yang dipegangnya, ditodongkannya ke arah hidung si berewok,
“Engkaulah babinya! Babi berewok!”
“Apa......, apa kaubilang.....?” Si berewok tergagap karena dia masih terpesona, juga terkejut karena tidak menduga akan melihat seorang wanita secantik bidadari di dalam kereta itu. Suara wanita itu demikian merdunya, akan tetapi kata-katanya sungguh tidak enak didengar!
“Aku bilang engkau babi berewok yang sekarat!” Wanita itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, ranting di tangannya itu meluncur ke arah leher si berewok. Kepala rampok itu makin terbelalak, mengeluarkan pekik kesakitan dan diapun roboh terjengkang dan tubuhnya berkelonjotan dalam sekarat!
41
Melihat pimpinan mereka roboh dan berkelonjotan, belasan orang anak buah perampok. itu menjadi terkejut dan marah. Mereka semua mencabut senjata dan mengepung kereta itu. Kusir kereta, seorang laki-laki tinggi kurus juga sudah meloncat turun dan mengayun cambuknya sambil membentak,
“Haiiii! Bagaimana engkau bisa berada di dalam keretaku?”
Akan tetapi wanita itu berseru dengan suaranya yang merdu, “Kalian ini tikus-tikus kecil minggir, biar aku bertemu dengan dua ekor tikus besar berkedok itu!”
Tubuhnya meloncat dari kereta dan bagaikan seekor burung garuda saja, tubuh itu sudah meluncur keluar dan melayang ke arah dua orang berkedok yang tadi memandang dengan mata terbelalak kaget. Dua pasang mata yang tajam dan yang mengintai dari lubang kain penutup muka itu.
Begitu melihat wanita cantik berpakaian serba hitam itu meloncat bagaikan terbang ke arah mereka, dua orang berkedok itu sudah menyambut dengan pedang mereka. Seorang menusukkan pedangnya ke arah perut dan seorang lagi membacokkan pedang ke arah leher wanita cantik itu! Betapa cepat, kuat dan juga kejamnya serangan mereka itu. Agaknya mereka tidak ingin banyak bicara lagi dan langsung menyambut wanita itu dengan serangan mereka.
Cian Hui memandang dengan muka agak pucat dan mata penuh kekhawatiran. Dia tahu akan kelihaian dua orang berkedok itu dan mengkhawatirkan keselamatan wanita cantik, sedangkan dia sendiri dalam keadaan tidak berdaya sama sekali!
42
Diapun merasa terheran-heran mengapa wanita-wanita belaka yang datang bermunculan dan mencoba untuk menolongnya. Yang pertama adalah dua orang gadis cantik berbaju hijau dan kuning.
Dan sekarang muncul seorang gadis lain berpakaian serba hitam yang jauh lebih cantik lagi dari pada dua gadis cantik pertama itu! Dia sendiri dalam keadaan terbelenggu berhasil membantu dua orang gadis pertama dan mereka berhasil meloloskan diri dari pedang dua orang berkedok itu, akan tetapi bagaimana dia akan dapat menyelamatkan gadis berpakaian serba hitam ini?
“Wuuuuttt!” Pedang pertama menyambut dengan tusukan kilat ke arah perut.
“Singgg......!” Pedang kedua berdesing membacok ke arah leher.
Dan Cian Ciang-kun terbelalak! Tubuh nona berpakaian hitam itu sedang melayang dan disambut dua serangan maut itu, akan tetapi dengan gerakan yang lemas dan indah, tubuh itu dapat berjungkir balik, membuat pok-sai (salto) sampai empat kali ke atas dan dua serangan itupun luput!
Ketika tubuh meluncur ke bawah, tubuh itu didahului gulungan sinar kehijauan, yaitu sinar yang ditimbulkan oleh ranting di tangannya yang diputar cepat. Wanita cantik itu kini meluncur turun dengan kepala di bawah, dan didahului ranting yang diputar, menyerang ke arah dua orang berkedok bagaikan seekor naga menyambar turun dari angkasa!
43
Dua orang berkedok itupun terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa gadis. berpakaian hitam itu memiliki kecepatan gerakan yang demikian luar biasa, tanda bahwa ia telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi. Mereka cepat memutar pedang mereka untuk menangkis.
“Takk! Takk!” Ranting itu bertemu dengan dua batang pedang, namun ranting itu tidak patah, sebaliknya, dua orang berkedok itu berloncatan ke belakang karena ranting yang membentur pedang mereka itu terpental menyerong dan menotok ke arah pergelangan tangan mereka. Nyaris totokan itu mengenai sasaran. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan maklum bahwa gadis berpakaian hitam itu memang lihai bukan main.
“Hek.... Liong... Li...?” Seru seorang di antara mereka yang bertubuh lebih besar.
Wanita cantik itu memang Lie Kim Cu yang berjuluk Hek-liong-li (Wanita Naga Hitam). Namanya bukan saja terkenal di daerah Lok-yang di mana ia tinggal, akan tetapi juga terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang wanita sakti yang pernah merobohkan dua orang di antara Kiu Lo-mo!
Liong-li tersenyum manis dan menudingkan rantingnya kepada dua orang berkedok hitam itu. “Kalian dua ekor anjing pengecut! Hayo buka kedok kalian dan perkenalkan diri kepadaku, ataukah aku yang harus membuka kedok kalian itu dengan ranting di tanganku ini?”
Dua orang berkedok itu kini yakin bahwa mereka berhadapan dengan Hek-liong-li dan biarpun mereka berkedok, namun jelas
44
mereka itu nampak jerih, nampak dari gerakan tangan mereka yang gelisah.
“Kepung dan keroyok!” tiba-tiba mereka berteriak kepada belasan orang perampok itu.
Mendengar perintah ini, belasan orang itu lalu menggerakkan senjata mereka menyerang Liong-li. Akan tetapi, wanita cantik ini menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw, menghindarkan diri dan menyusup di antara hujan senjata, mengejar dua orang berkedok itu. Dua orang berkedok itu segera menyambutnya dengan serangan pedang, dibantu oleh para perampok.
Melihat betapa wanita cantik jelita itu ternyata adalah Hek-liong-li seperti yang tadi juga sudah diduganya, Cian Hui kagum dan gembira bukan main. Akan tetapi juga dia merasa khawatir. Dua orang berkedok itu lihai sekali dan mereka berdua mempergunakan senjata pedang, sedangkan Liong-li hanya bersenjata sebatang ranting! Di samping itu masih ada lagi belasan orang perampok yang mengeroyok wanita itu.
Timbul kekhawatiran di dalam hati Cian Hui. Bagaimanapun juga, kehebatan ilmu kepandaian wanita yang dijuluki Hek-liong-li itu baru didengarnya saja dan biarpun tadi dia kagum melihat betapa wanita itu membuat dua orang berkedok nampak gentar, namun ia masih meragukan apakah dengan hanya senjata ranting di tangan itu Hek-liong-li akan mampu mengalahkan dua orang berkedok yang dibantu belasan orang anak buah perampok.
“Suiiiittt......suiitt...... suiiiitttt!” Tiba-tiba Cian Ciang-kun mengeluarkan suara siulan nyaring melengking.
45
Itu merupakan siulan perintah dari kuda hitamnya. Kuda hitam itu masih dicancang di belakang kuil, akan tetapi begitu mendengar suara siulan ini, dia meronta dan tali pengikatnya putus, lalu dia lari congklang mengitari kuil menuju ke depan di mana terjadi perkelahian.
Cian Hui sendiri telah meloncat ke depan, kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh sehingga dia tidak dapat mempergunakan kedua tangan. Akan tetapi, kedua kakinya diikat dengan rantai yang panjangnya sekira satu meter antara kedua kakinya. Biarpun hal ini tidak memungkinkan dia untuk melakukan tendangan dengan sebelah kaki, namun dia dapat bergerak leluasa dengan kedua kakinya dan diapun kini meloncat dan kedua kakinya mendarat di dada seorang anggauta perampok.
“Desss......!” Anggauta perampok itu terjengkang dan tak mampu bangkit kembali karena selain dadanya dihantam dua buah kaki itu, juga ketika dia terjengkang, tubuh Cian Hui yang tegap tinggi itupun menimpa perutnya! Cian Hui bangkit lagi dan dengan cara yang sama, yaitu menendang dengan kedua kaki sambil meloncat ke depan, dia mengamuk!
Di dekatnya, Hek-ma (Kuda Hitam) juga meringkik-ringkik, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan menyerang perampok terdekat! Atau kalau kedua kaki depannya turun, kedua kaki belakang menyepak ke belakang dengan kekuatan yang dapat membuat orang yang disepak terlempar sampai beberapa meter jauhnya!
46
Sejenak Liong-li melirik ke arah pria tinggi tegap yang mengamuk bersama kudanya itu dan sinar kagum memancar dari sepasang mata yang indah dan jeli itu. Akan tetapi segera Liong-li mencurahkan perhatiannya kepada dua orang lawannya. Ia harus dapat membuka kedok mereka dan membuka rahasia mereka. Siapa mereka itu dan apa maksudnya menangkap dan menawan pria yang gagah itu, dan iapun ingin tahu siapa pria gagah perkasa itu.
Melihat betapa Hek-liong-li hanya memegang sebatang ranting, tidak mempergunakan pedangnya yang amat terkenal sebagai pusaka ampuh, yaitu yang disebut Hek-liong-kiam. (Pedang Naga Hitam), hati kedua orang berkedok itu menjadi besar. Mereka baru dapat merobohkan Liong-li selagi wanita itu mempergunakan rantingnya, dan belum sempat mempergunakan pedang pusakanya. Oleh karena itu, mereka berdua segera menubruk ke depan dan menyerang dengan pedang mereka secara dahsyat sekali.
Akan tetapi, dengan menggunakan ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, Liong-li seperti menari-nari saja dan selalu lolos dari sambaran sinar pedang. Bahkan beberapa kali ujung rantingnya yang menghadang, nyaris berhasil menotok pergelangan atau siku lengan lawan sehingga dua orang berkedok itu menjadi terkejut bukan main dan semakin lama mereka menjadi semakin jerih.
Liong-li mempergunakan kesempatan selagi dua orang menjadi gentar itu untuk mendesak. Ranting di tangannya berubah
47
menjadi gulungan sinar kehijauan dan dari gulungan itu kadang-kadang menyambar sinar ujung ranting.
“Lepaskan kedok itu!” Tiba-tiba Liong-li membentak dan ujung rantingnya menusuk ke arah muka orang itu dengan getaran yang membuat ujung ranting seperti berubah menjadi dua dan menyambar ke arah sepasang mata orang yang lebih besar tubuhnya.
Orang itu terkejut sekali. Matanya terancam dan kalau sampai terkena tusukan ujung ranting, tentu kedua mata atau satu diantaranya akan menjadi buta! Dia menarik kepala ke belakang untuk mengelak, akan tetapi ujung ranting itu menusuk dan mengait kedok hitam sehingga terlepas dan nampak wajah orang itu. Saat itu, tangan kiri Liong-li bergerak menyambar ke depan dan robohlah orang itu dengan tubuh terkulai lemas!
Melihat ini, orang kedua yang tubuhnya juga tinggi besar, akan tetapi tidak sebesar orang pertama, menjadi terkejut dan ketakutan. Dia lalu melompat hendak melarikan diri.
“Hemm, hendak lari ke mana engkau?” I.iong-li membentak dengan suara halus, tangan kanannya bergerak dan ranting itupun meluncur bagaikan anak panah.
“Cappp!” punggung belakang pundak kanan si tinggi besar berkedok itu tertusuk ranting dan diapun roboh.
Melihat dua orang lawannya sudah roboh., Liong-li lalu memperhatikan pria gagah yang dalam keadaan terbelenggu kaki
48
tangannya masih mampu mengamuk itu. Dan iapun disuguh pemandangan yang amat menarik, mengagumkan hatinya.
Pria itu mengamuk, meloncat dan menendang dengan kedua kakinya, tentu saja setiap kali menendang, kena atau tidak, tubuhnya terbanting ke atas tanah. Juga kuda hitam itu mengamuk membantu majikannya, menyepak, menubruk, menggigit! Belasan orang perampok itu benar-benar menghadapi kuda dan pemilik kuda yang nekat. Namun, pria itu juga menderita luka dan tubuhnya berdarah bekas bacokan golok.
Melihat hal itu, Liong-li lalu meloncat dan dua kali tangannya menampar, dua orang perampok terpelanting roboh. Beberapa kali kakinya terayun dan beberapa orang roboh pula dan akhirnya, semua perampok yang berjumlah belasan orang itupun roboh semua!
Cian Hui sudah bersiul panjang menenangkan kuda hitamnya yang kini mendekatinya dan mendengus-dengus, dan setelah perampok terakhir roboh oleh Liong-li. Kini dia dan wanita itu berhadapan dan, saling pandang. Sejenak keduanya seperti terpesona, saling pandang penuh kagum, kemudian Cian Hui berkata dengan senyum cerah.
“Hek-liong-li, alangkah senangnya mendapat kesempatan menjadi saksi akan kehebatanmu! Aku memang sedang mencarimu menuju ke Lok-yang, dan siapa sangka, engkau pula malah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman maut!”
“Siapakah engkau dan ada kepentingan apakah mencariku?” tanya Hek-liong-li dan segala penyelidikan pandang matanya
49
terhadap diri pria itu mendatangkan kepuasan. Seorang pria yang jantan dan perkasa, bisiknya dalam hati.
“Namaku Cian Hui dan aku datang dari kota raja. Ada urusan penting sekali yang mendorongku ke Lok-yang untuk mencarimu, li-hiap (pendekar wanita). Akan tetapi sampai di sini, aku dihadang dan ditawan oleh dua orang berkedok itu.”
“Siapakan mereka itu?”
“Aku sendiripun ingin sekali mengetahui..... heiiii...! Tahan dia......!” Tiba-tiba Cian Hui berseru sambil memandang ke depan karena kaki tangannya masih terbelenggu.
Mendengar ini, Liong-li cepat membalikkan tubuhnya dan ia melihat bayangan berkelebat meninggalkan tempat di mana dua orang berkedok tadi roboh. Liong-li adalah seorang wanita yang teramat cerdas. Sekilas saja ia sudah menduga bahwa tentu Cian Hui tadi terkejut melihat bayangan itu melakukan sesuatu, entah apa. Akan tetapi hal itu cukup membuat ia meloncat seperti terbang cepatnya melakukan pengejaran.
Akan tetapi, bayangan itu sudah lenyap di balik pohon-pohon dan biarpun Liong-li mengerahkan gin-kang sehingga tubuhnya berlari bagaikan terbang, tetap saja ia tidak dapat menemukan lagi bayangan itu yang menghilang seperti iblis saja! Terpaksa ia kembali ke tempat tadi dan ketika ia membungkuk untuk memeriksa tubuh dua orang berkedok itu, ternyata mereka telah tewas dan muka mereka hancur dan tidak dapat dikenal lagi!
50
“Keparat!” Liong-li memaki sambil mengepal tinju dan menoleh ke arah lenyapnya bayangan tadi.
Cian Hui meloncat-loncat seperti katak menghampiri dan melihat keadaan pria jantan itu, Liong-li lalu memungut sebatang golok milik perampok dan membabat putus belenggu kaki tangan Cian Hui. Cian Hui tidak memperdulikan luka yang dideritanya di pinggul dan pundak, dan dia cepat berlutut memeriksa mayat dua orang berkedok itu.
“Aih, sayang.” Dia menarik napas panjang. “Sungguh iblis itu lihai sekali. Tentu ada rahasia yang amat gawat sehingga dia datang dan selain membunuh dua orang berkedok ini, juga merusak mukanya sehingga tidak akan dapat dikenal lagi! Ini saja menunjukkan bahwa tentu ada hubungannya dengan rahasia yang meliputi pembunuhan di kota raja!”
“Pembunuhan di kota raja? Apa maksudmu?” Liong-li bertanya dan menatap wajah pria itu dengan tajam penuh selidik.
Cian Hui mengangguk dan kembali menghela napas panjang. “Untuk itulah sebenarnya aku pergi ke Lok-yang untuk mencarimu, Li-hiap. Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk membongkar rahasia banyak pembunuhan yang terjadi secara aneh di kota raja. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira pasukan keamanan yang bertugas membasmi kejahatan yang terjadi di kota raja.”
“Cian Ciang-kun, tidakkah lebih baik kalau kita bicara di rumahku saja? Sekarang, yang terpenting adalah menyelidiki siapa sesungguhnya dua orang berkedok ini.”
51
“8ayang mereka sudah tewas dan muka mereka tak dapat dikenal......”
“Kita bisa bertanya kepada anggauta penjahat yang masih hidup,” kata Liong-li dan iapun bangkit dan meneliti para penjahat yang rebah malang melintang itu. Ada beberapa orang di antara mereka yang belum tewas dan seorang yang perutya gendut hanya terluka pada kakinya sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya. Akan tetapi, si gendut itu mengaduh-aduh dan terbelalak ketakutan ketika Liong-li dan Cian Hui menghampirinya.
“AMPUN...... ampun..... jangan........!” dia meratap.
“Hemm, dia inilah yang agaknya amat berguna bagi kita, Li-hiap,” kata Cian Hui dan Liong-li mengangguk. Dengan cekatan Cian Ciang-kun mencengkeram rambut kepala si gendut itu dan menariknya bangun. Penjahat itu terduduk dan semakin ketakutan.
“Apa engkau tidak ingin mampus?”
“Ampunkan saya...... ampun.....”
“Kami takkan membunuhmu, akan tetapi katakan siapa adanya dua orang berkedok itu!” bentak Cian Hui dan kini jari-jari tangannya mencengkeram ke arah pelipis kepala orang itu.
Orang itu merasakan kenyerian luar biasa, lebih nyeri dari pada luka di kakinya. Dia menjerit-jerit seperti babi disembelih.
52
“Ampun...... aduh, ampun...... saya tidak tahu... mereka itu...... mereka muncul dan menaklukkan pemimpin kami, dan mereka menjanjikan hadiah besar. Kami belum pernah melihat mereka tanpa kedok......”
Cian Hui agaknya mempercaya keterangan ini, “Hayo katakan, ke mana kalian tadi diperintahkan membawaku dalam kereta itu! Awas sekali kau berbohong, kepalamu ini akan kubikin remuk!” Kembali dia mencengkeram agak kuat sehingga si gendut itu kembali menjerit kesakitan.
“Aduh, ampun...., kami.... kami diharuskan membawa....... Ciang-kun ke kota raja dan......’
Tiba-tiba terdengar bunyi desing yang kuat. Cian Hui dan Liong-li meloncat ke samping dan dua batang benda kecil panjang meluncur lewat. Dan terdengarlah teriakan, teriakan mengerikan.
Liong-li dan Cian Hui terkejut bukan main melihat si gendut yang tadi diperiksa dan juga para penjahat yang tadi masih belum tewas, setelah mengeluarkan teriakan mengerikan lalu diam tak bergerak dan tewas. Tubuh mereka tertembus anak-anak panah, seperti yang tadi meluncur dan menyerang mereka.
“Keparat!” Liong-li membentak dan iapun meloncat ke arah dari mana datangnya anak¬anak panah tadi. Akan tetapi ia hanya melihat semak-semak bergoyang, orangnya yang tadi bersembunyi di situ tidak nampak lagi bayangannya. Terpaksa ia kembali ke tempat tadi di mana ia melihat Cian Hui termenung.
53
“Sungguh penuh rahasia,” kata perwira itu. “Aku hendak dibawa ke kota raja? Dan mereka semua tewas! Orang atau orang-orang yang berdiri di belakang semua ini sungguh amat berbahaya, dan juga lihai sekali!”
Liong-li tidak menjawab mrelainkan diam-diam ia menghampiri mereka yang tadi terluka lalu terbunuh oleh anak panah. Melihat macam anak panah, ia berkesimpulan, bahwa setidaknya tentu ada dua orang yang tadi menjadi penyerang gelap. Ada enam orang anak buah penjahat yang tadinya terluka, kini tewas.
Jelas bahwa mereka yang berada di belakang layar hendak menyimpan rahasia, maka dibunuhnya dua orang yang berkedok yang ternyata juga hanya anak buah, dan dibunuhnya pula semua anak buah perampok agar mereka tidak dapat memberi keterangan apapun. Juga mereka tadi berusaha menyerang Liong-li dan dia!
“Mari kita ke Lok-yang, Li-hiap. Akan kulaporkan kepada mereka yang berwajib di sana, kemudian kita bicara di rumahmu,” kata Cian Hui.
Liong-li yang mulai tertarik sekali dengan peristiwa itu, mengangguk dan mereka mempergunakan kereta yang tadi didatangkan oleh dua orang berkedok, meninggalkan tempat itu menuju ke Lok- yang.
◄Y►
Cian Hui memandang kagum ketika dia tiba di depan rumah yang mungil itu. Liong-li dan dia baru saja pergi ke markas pasukan
54
keamanan di Lok-yang menemui komandannya. Dan tentu saja komandan ini terkejut sekali mengenal Cian Ciang-kun dari kota raja yang amat terkenal itu datang berkunjung bersama Hek-liong-li. Apa lagi ketika dia mendengar betapa Cian Ciang-kun hampir saja celaka di tangan segerombolan penjahat di Bukit Kuil.
Mendengar bahwa di sana ada belasan orang penjahat yang telah menjadi mayat, komandan itu segera mengirim pasukan untuk mengurus mayat-mayat itu dan memerintahkan pasukannya untuk mengadakan pembersihan kalau-kalau masih ada sisa anak buah perampok di sekitar tempat itu. Cian Ciang-kun menitipkan kuda hitam yang tadi mengikuti kereta dari hutan kepada komandan itu, memesan agar kuda itu diberi makan dan dirawat baik-baik. Kemudian, dengan naik kereta yang tadinya dibawa para penjahat itu mereka berdua pergi ke rumah Hek-liong-li.
Rumah itu mungil, tidak terlalu besar namun indah sekali. Pekarangannya luas, penuh dengan tanaman bunga beraneka warna. Di tengah pekarangan yang penuh bunga itu terdapat sebuah kolam ikan, penuh dengan ikan-ikan emas dan di tengah kolam yang juga dihias bunga teratai merah putih itu terdapat sebuah arca yang ukirannya amat halus. Arca serang puteri yang cantik, menunggang seekor angsa.
Baru melihat keadaan rumah mungil itu saja mudah diduga bahwa Hek-liong-li, wanita perkasa yang amat terkenal itu, tentu kaya raya! Dan dugaannya itu memang benar. Hek-liong-li menjadi kaya raya tanpa diketahui orang ketika setahun yang lalu
55
ia bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay mendapatkan harta karun yang tak dapat dinilai harganya saking banyaknya.
Ketika Cian Hui masih mengagumi keadaan rumah dan pekarangannya itu, dari dalam bermunculan sembilan orang wanita yang memakai pakaian beraneka warna dan cerah, dengan wajah mereka manis itu tersenyum gembira dan mereka menyongsong Hek-liong-li dengan gembira dan juga penuh hormat.
“Li-hiap sudah pulang......!” terdengar mereka berseru gembira dan Cian Hui terbelalak ketika dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu nona baju hijau dan nona baju kuning yang pernah mencoba untuk menolongnya ketika dia menjadi tawanan dua orang berkedok.
Kini mengertilah dia mengapa Hek-liong-li dapat muncul secara tiba-tiba dan membebaskannya dari tangan para penjahat itu. Tentu nona baju hijau dan nona baju kuning itu yang melapor kepadanya dan wanita perkasa itu lalu turun tangan sendiri menolongnya!
“Aih, kiranya dua orang nona yang gagah perkasa berada pula di sini......” katanya sambil memberi hormat kepada dua orang gadis berpakaian hijau dan kuning itu. Dua orang wanita itu dengan tergopoh membalas penghormatan Cian Hui dan si baju hijau menjawab dengan tersipu.
“Harap jangan membikin malu kepada kami. Kami telah gagal membantumu dan masih baik bahwa nona kami tidak marah kepada kami!”
56
Liong-li tersenyum memandang kepada tamunya. “Cian Ciang-kun, maafkan para pembantuku yang tidak mampu membebaskanmu. Marilah kita bicara di dalam. Kalian kenalilah baik-baik. Tamu kita ini adalah Cian Ciang-kun, seorang perwira tinggi komandan pasukan keamanan dari kotaraja yang berkedudukan tinggi!”
“Cian Ciang-kun.......!” sembilan orang wanita cantik itu memberi hormat dan suara mereka seperti sekumpulan burung yang berkicau merdu.
“Ah, nona-nona yang cantik dan gagah, harap jangan sungkan,” Perwira itu membalas penghormatan mereka.
Ketika dibawa memasuki rumah itu, diam-diam Cian Hui menjadi semakin kagum dan juga semakin yakin bahwa nona rumah tentu kaya raya. Perabot rumah yang terdapat di situ semuanya indah dan mahal. Dindingnya dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah yang dibuat oleh para seniman yang terkenal, tentu amat mahal. Lantainya ditilami permadani yang tebal. Sutera-sutera halus beraneka warna bergantungan menambah cerah dan indahnya keadaan dalam ruangan-ruangan di situ.
Liong-li mempersilakan tamunya memasuki ruangan yang luas, yang letaknya di bagian belakang. Ruangan ini luas dan kosong dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang kelihatan bermutu tinggi, beberapa buah kursi dan sebuah meja panjang berada di sudut pula sehingga ruangan itu nampak luas dan mudah diketahui bahwa ruangan ini tentulah semacam lian-bu-thia (ruangan
57
berlatih silat) yang indah. Banyak terdapat jendela di situ sehingga hawanya sejuk dan nyaman karena jendela-jendela itu menembus ke sebuah taman bunga di belakang.
Ternyata bahwa rumah mungil itu dikelilingi taman bunga! Pekarangan di depan sudah merupakan taman, di belakang, kanan dan kiri juga merupakan taman yang penuh bunga beraneka warna! Bahkan di taman belakang yang luas itu terdapat pula pondok-pondok kecil mungil tempat peristirahatan. Tempat yang indah ini dikelilingi dinding yang tinggi dan di atas dinding dipasangi tombak-tombak runcing sehingga sukar bagi orang luar untuk masuk melalui dinding pagar itu.
“Silakan duduk, Cian Ciang-kun. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan tidak akan terdengar orang lain,” kata Liong-li setelah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan tugas mereka. Tanpa dijelaskan, sembilan orang gadis cantik itu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Ada yang berjaga di sekitar luar ruangan itu, ada yang sibuk di dapur untuk mempersiapkan hidangan untuk nona majikan mereka dan tamunya.
Cian Hui menarik napas panjang. “Sudah lama aku mendengar nama besar Hek-liong-li, dan sekarang aku merasa kagum bukan main. Keadaan Li-hiap sungguh jauh melebihi apa yang pernah kudengar.”
“Hemm, jangan terlalu memuji, ciang-kun. Melebihi dalam hal apa?”
“Segala-galanya. Kelihaian, kecantikan, kekayaan Li-hiap!”
58
Liong-li tersenyum dan kedua pipinya menjadi kemerahan, tanda bahwa pujian itu mengena di hatinya. Diam-diam ia juga kagum dan girang sekali mendapat pujian seorang pria seperti yang duduk di depannya itu. Ia tahu benar bahwa pujian itu bukan sekedar rayuan, melainkan keluar dari hati yang jujur dan tulus.
“Sudahlah, Ciang-kun. Yang terpenting sekarang sebelum kita bicara, aku harus mengobati luka-lukamu lebih dulu.”
“Ah, luka-luka ini tidak seberapa, Li-hiap. Aku dahulu pernah menjadi seorang perwira perang sehingga luka-luka bagiku sudah biasa......”
“Akan tetapi luka-lukamu itu harus cepat diobati, kalau tidak, berbahaya dan dapat menjadi semakin parah. Apa lagi diingat bahwa yang melukaimu adalah penjahat-penjahat yang mungkin mempergunakan senjata kotor atau beracun. Mari, kau rebahlah di atas lantai, akan kuperiksa, ciangkun!” kata Liong-li dan di dalam suaranya terkandung perintah yang berwibawa.
Diam-diam Cian Hui merasa heran sekali mengapa dia merasa seperti mendengar perintah atasannya yang tidak mungkin dapat dibantah lagi! Dia lalu bangkit dan melangkah ke sudut ruangan, merebahkan diri di atas lantai seperti yang diperintahkan Liong-li.
Liong-li bertepuk tangan dua kali. Seorang gadis berpakaian merah muncul.
“Ang-cici (enci Merah), cepat ambilkan perabot dan obat untuk mengobati luka di tubuh Cian Ciang-kun!”
59
Gadis berpakaian merah itu mengangguk dan pergi. Liong-li lalu berlutut dekat Cian Hui dan dengan jari-jari tangan yang cekatan dan tidak ragu-ragu, ia merobek baju di bagian pundak, memeriksa luka di pundak perwira itu. Kemudian iapun merobek celana di bagian pinggul dan memeriksa luka di situ. Sementara itu, Enci Merah datang membawa sebuah panci terisi air panas dan perabot yang berupa gunting, pisau kecil, juga kain putih bersih dan obat bubuk beberapa macam dalam bungkusan.
“Sekarang pergi dan suruh enci Biru mengambilkan satu stel pakaian luar dalam yang cocok untuk Cian Ciangkun!” kata Liong-li dan kembali gadis berpakaian merah itu mengangguk lalu keluar dari situ tanpa bicara. Nampaknya ia amat patuh dan menghormati Liong-li.
Kini Liong-li bekerja. Kedua tangannya amat cekatan, lembut namun juga tidak ragu- ragu, mencuci luka-luka itu dengan air panas, kemudian menaruhkan obat bubuk putih lalu menutupi luka itu dengan semacam obat tempel yang sudah dipanaskan. Selama pengobatan ini, Cian Hui tidak pernah mengeluarkan keluhan sedikitpun, padahal ketika dicuci terasa panas dan ketika dibersihkan terasa perih. Setelah diberi obat dan ditutup koyo, baru terasa nyaman.
Ketika merawat luka-luka itu, sepasang mata Liong-li hanya ditujukan dan dipusatkan kepada luka itu. Akan tetapi setelah ia selesai memberi pengobatan, barulah nampak olehnya betapa pundak dan dada perwira itu bidang dan kokoh kuat, sedangkan pinggulnya juga penuh otot melingkar dan menunjukkan kejantanan yang mengagumkan hatinya.
60
“Nah, bahayanya sudah lewat, Ciang-kun. Untung engkau memiliki tubuh yang sehat kuat dan darah yang bersih sehingga luka-luka itu akan cepat sembuh dan kering.”
Pada saat itu, seorang gadis berpakaian serba biru memasuki ruangan dan menyerahkan setumpuk pakaian kepada Liong-li, kemudian ia keluar lagi.
“Ini pakaian bersih, harap engkau suka berganti pakaian dulu, baru kita bicara, ciang-kun,” kata pula Liong-li dan wanita ini lalu bangkit dan berjalan menuju ke sebuah jendela yang terbuka, lalu berdiri di situ dan memandang keluar.
Cian Hui memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya dan di dalam hatinya timbul suatu kemesraan yang belum pernah dialaminya selama hidupnya. Rasa kagum dan haru menyelubungi hatinya. Seorang wanita yang matang, memiliki kecantikan yang hampir sempurna, ilmu kepandaian tinggi, sikap yang anggun dan berwibawa, kaya raya, cerdik jujur terbuka, tidak berpura-pura atau bersembunyi di balik kesopanan seperti para wanita pada umumnya.
Wanita hebat! Diapun mengusir semua perasaan sungkan, membuka pakaiannya dan berganti pakaian dalam dan luar. Pakaiannya yang kotor dan robek-robek itu dia gulung dan letakkan di sudut ruangan.
Pakaian yang dipakainya itu bersih dan baru, terbuat dari sutera berwarna biru, cocok sekali dengan bentuk tubuhnya sehingga dia merasa heran. Bahkan dia menjadi semakin heran ketika merasakan betapa ada sesuatu yang tidak nyaman terasa di
61
hatinya ketika dia membayangkan bahwa mungkin ada seorang pria kawan dekat wanita hebat ini, pemilik pakaian yang kini dipakainya itu.
Tanpa menengokpun Liong-li maklum bahwa Cian Ciang-kun telah selesai berpakaian. Ia memiliki pendengaran yang amat tajam sehingga ia dapat menangkap gerakan pria itu ketika berpakaian dan selesai. Maka iapun membalikkan tubuhnya memandang dan ada pancaran kagum dalam sinar matanya memandang kepada Cian Hui yang memang nampak ganteng dan gagah dalam pakaian barunya itu.
“Engkau pantas sekali memakai pakaian itu, Ciang-kun!” ia memuji jujur sambil tersenyum.
Cian Hui mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat, “Li-hiap, terima kasih atas segala kebaikanmu. Sungguh membuat aku merasa sungkan, telah mengganggumu, menganggu pemilik pakaian ini. Aku harus menghaturkan terima kasih kepada pemilik pakaian yang kupinjam ini.”
“Itu pakaianku!”
“Tapi, ini pakaian pria dan ukurannya besar.”
Liong-li tersenyum manis sekali. “Ciang-kun, di sini aku memiliki segala macam pakaian. Memang kusediakan kalau-kalau aku membutuhkannya. Ada pakaian kanak-kanak segala umur, laki dan perempuan, ada pakaian pria dan wanita segala umur dan segala ukuran. Enci biru yang mengurus tentang pakaian itu. Maka, jangan khawatir, dan pakaian itu bukan kupinjamkan, biar
62
kaupakai saja, Ciang-kun. Nah, mari kita bicara. Aku ingin mendengar tentang keributan dan pembunuhan di kota raja itu.”
Cian Hui menghela napas dan semakin kagum. Wanita yang hebat! Diapun mulai bercerita tentang peristiwa yang terjadi di kota raja, khususnya di antara para pejabat tinggi dan di istana.
“Aku menerima tugas istimewa dari Sri baginda Kaisar sendiri untuk menyelidiki dan membongkar rahasia pembunuhan ini, Li-hiap. Akan tetapi aku menemui jalan buntu dan tidak berhasil, maka aku teringat kepadamu yang sudah kudengar sebagai seorang pendekar wanita yang sakti. Aku mohon bantuanmu, karena kiranya hanya engkaulah yang akan mampu menandingi mereka yang berdiri di belakang layar dan yang mengatur pembunuhan-pembunuhan itu.”
Cian Hui lalu menceritakan betapa selama dua bulan ini, di kota raja terjadi geger karena terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang penuh rahasia. Yang menjadi korban pembunuhan adalah para pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan tinggi dan penting dalam pemerintahan. Juga beberapa orang pangeran yang dekat dengan kaisar telah menjadi korban pembunuhan pula.
Cara pembunuhan itu dilakukan penuh rahasia, para korban adalah pejabat tinggi yang selalu dikawal pasukan pengawal. Rumah mereka siang malam dijaga pasukan pengawal. Akan tetapi tetap saja pada suatu pagi mereka ditemukan sudah tewas dengan leher putus dalam kamar mereka, bersama siapa saja yang kebetulan sekamar dengan mereka malam itu.
63
“Yang paling hebat terjadi dua minggu yang lalu, li-hiap. Seorang panglima telah terbunuh dalam kamarnya, pada hal kamar itu berada di dalam benteng! Bayangkan saja, pembunuh itu dapat memasuki benteng dan dapat membunuh Panglima Cu di kamarnya, pada hal panglima itu adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi! Dan dua orang selirnya yang tidur bersamanya juga wanita-wanita yang lihai, akan tetapi mereka bertiga tewas dengan leher putus dalam kamar itu!” Perwira itu kembali menarik napas panjang. “Sungguh merupakan tugas berat bagiku, maka aku berusaha untuk mohon bantuanmu.”
Liong-li mendengarkan dengan tekun dan sabar, tak pernah mengganggu dan setelah perwira itu berhenti bercerita, baru ia membuat gerakan, tangan kirinya diangkat ke arah kepalanya dan iapun memegangi dahinya dengan alis berkerut. Ini menandakan bahwa wanita cantik itu sedang memutar otaknya! Kedua matanya terpejam dan Cian Hui hanya memandang, tidak berani mengganggu dan dia hanya memandang dengan hati tertarik. Dia seolah-olah dapat melihat betapa isi dari kepala yang bagus bentuknya, yang dihias rambut hitam lebat itu, sedang bekerja dengan ajaib.
Tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan menatap kepadanya, membuat Cian Hui seperti silau karena sepasang mata itu kini mencorong!
“Cian Ciang-kun, apa yang kauperoleh dari hasil penyelidikanmu? Apakah semua pembunuhan itu terjadi tanpa adanya seorang pun saksi yang melihat sesuatu yang mencurigakan?”
64
“Setiap terjadi pembunuhan, aku segera menyelidiki sendiri dan sudah kucari keterangan. Akan tetapi tidak pernah ada orang lain melihat pembunuh itu, hanya ada dua orang, di tempat yang berlainan melihat bayangan iblis......,” perwira itu berhenti dan kelihatan ragu-ragu.
“Bayangan Iblis? Apa maksudmu, Ciang-kun?”
“Ketika Pangeran Cun dibunuh sebulan yang lalu, dan seorang pejabat tinggi, Menteri Pajak dibunuh seminggu kemudian, ada orang yang melihat bayangan iblis. Bayangan itu bentuknya seperti tubuh orang yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. Akan tetapi hanya bayangannya saja yang nampak di atas dinding putih, itupun hanya sebentar karena bayangan itu segera lenyap. Mungkin hanya khayal orang yang ketakutan dan tahyul, Li-hiap. Betapapun juga, berita itu membuat orang ramai menyebut pembunuh itu Si Bayangan Iblis! Akan tetapi, belum pernah ada yang melihatnya, dan semua penyelidikanku menemui kegagalan dan jalan buntu. Aku tidak pernah dapat menemukan jejak, bahkan aku tidak tahu apa yang menjadi sebab dari semua pembunuhan itu.”
“Dan engkau lalu mencariku dari kota raja ke sini, dan di tengah perjalanan engkau di- hadang perampok? Coba ceritakan tentang peristiwa perampokan terhadap dirimu, ciang-kun. Mungkin kita dapat menemukan jejak dari situ.”
“Aku juga merasa yakin bahwa ada hubungan yang erat antara semua peristiwa di kota raja itu dengan usaha penculikan yang
65
dilakukan terhadap diriku. Namun sayang, jejak itu terhapus dengan kematian semua penjahat itu.”
Cian Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya, betapa tadinya belasan orang penjahat itu hendak merampok kudanya, kemudian muncul dua orang berkedok yang lihai itu sehingga dia tertawan. Betapa kemudian muncul nona baju hijau dan nona baju kuning yang berusaha menolongnya, namun mereka berduapun kewalahan menandingi dua orang berkedok hitam sehingga mereka melarikan diri.
“Kemudian, ketika aku hendak diculik dan dibawa pergi dengan kereta, engkau muncul, Li-hiap.”
“Itulah yang kusayangkan!” seru Liong-li. “Kalau saja aku tahu bahwa engkau seorang penyelidik, bahwa semua itu ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan di kota raja, tentu aku tidak tergesa-gesa turun tangan dan membiarkan engkau mereka bawa pergi. Dengan demikian, setidaknya ada harapan untuk dapat menemukan jejak mereka.”
Cian Hui mengangguk-angguk. “Engkau benar. Akupun berpikiran demikian, akan tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berterima kasih telah kautolong dan kaubebaskan.”
“Semua sudah terlanjur. Kita harus mulai dari pertama, yaitu tanpa adanya jejak.”
“Kita? Apakah ini berarti bahwa engkau sudi untuk membantuku dan hendak menyelidiki peristiwa ini? Ah, kalau begitu terima kasih banyak Li-hiap, sungguh aku merasa gembira sekali dan
66
bersyukur!” Perwira itu lalu memberi hormat untuk menyatakan terima kasihnya.
“Tidak perlu berterima kasih, ciang-kun. Aku sudah terlibat di dalamnya, tanpa kauminta sekalipun aku harus membongkar rahasia ini. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah ada persamaan antara mereka yang telah menjadi korban pembunuhan-pembunuhan di kota raja itu?”
“Persamaan bagaimana maksudmu, Li-hiap?”
“Persamaan di antara para kurban itu, ciri khas atau sikap yang sama atau mungkin ada pertalian atau hubungan di antara mereka.......”
“Ah, benar juga......! Kenapa aku tidak ingat akan hal itu sebelumnya? Para korban itu kesemuanya dekat dengan Sribaginda Kaisar! Pangeran-pangeran yang terbunuh adalah kesayangan kaisar, dan para menteri yang menjadi kurban juga merupakan menteri-menteri yang setia. Itulah persamaan antara mereka.”
“Hemm, itu yang kucari, Ciang-kun. Kalau begitu, tentu ada komplotan yang diam-diam memusuhi kaisar, atau setidaknya ingin melihat kaisar menjadi lemah, maka mereka yang dekat dengan kaisar dan dianggap penghalang, disingkirkan satu demi satu. Dan jelas ada hubungannya antara semua pembunuhan itu dengan usaha penculikan terhadap dirimu. Karena engkau merupakan petugas dari kaisar untuk menyelidiki rahasia ini, maka engkau akan diculik.”
67
“Akan tetapi mengapa tidak mereka bunuh saja? Mengapa mereka harus menculikku? Dan dibawa ke kota raja pula?”
Liong-li menatap wajah perwira itu dengan tajam dan mulutnya tersenyum manis. “Ciang-kun, harap engkau jangan berlagak bodoh. Aku yakin bahwa engkau yang sudah dipercaya oleh Sribaginda untuk melakukan penyelidikan dan membongkar rahasia ini, tentu memiliki kecerdikan tinggi. Mustahil engkau tidak dapat menduga apa sebabnya mereka tidak membunuhmu.”
Cian Ciang-kun juga tersenyum. Memang dia tadi berpura-pura, untuk menguji kecerdikan wanita cantik jelita itu, akan tetapi, ternyata permainan sandiwaranya ketahuan!
“Baiklah, memang aku sudah mempunyai dugaan. Akan tetapi aku ingin sekali mendengar pendapatmu, li-hiap. Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Alasannya mudah diduga, hanya yang sukar adalah menemukan siapa sesungguhnya yang berdiri di belakang semua ini. Mereka tidak membunuhmu, melainkan hendak menculikmu, tentu mereka itu, pemimpin mereka, ingin lebih dahulu mengorek pengakuanmu sampai sejauh mana hasil penyelidikanmu, Ciang-kun. Mereka khawatir kalau-kalau penyelidikanmu sudah sedemikian jauhnya sehingga rahasia mereka terancam. Dan mereka hendak membawamu kota raja seperti pengakuan anggauta perampok itu. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan komplotan itu tentu berada di kota raja!”
68
Cian Ciang-kun mengangguk-angguk kagum. “Engkau hebat, Li-hiap! Memang tepat sekali, demikianlah pula pendapatku. Dan tentu di kota raja itu telah menanti Si Bayangan Iblis!”
Liong-li mengangguk. “Besar kemungkinannya demikian. Yang disebut Si Bayangan Iblis itu tak mungkin seorang di antara dua orang berkedok itu. Tentu lebih lihai. Akan tetapi, aku mempunyai perhitungan bahwa Si Bayangan Iblis itupun hanya alat saja, masih ada yang berdiri di belakang layar, yang mengemudikan semua ini.”
Perwira itu nampak termangu-mangu, dan dia meraba-raba dagunya yang halus karena dia mencukur rambut pada dagu dan mukanya, tidak berkumis atau berjenggot.
“Hal itulah yang aneh, Li-hiap. Aku memiliki jaringan penyelidik yang banyak, kuat dan terampil. Aku mengenal dan mengetahui benar keadaan di kota raja, mengenal hampir semua pejabat dan mengetahui keadaan mereka, bahkan rahasia dan keadaan rumah tangga mereka. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan di antara mereka, tentu aku mengetahuinya! Agaknya mustahil kalau yang mengemudikan semua komplotan itu tinggal di kota raja dan lolos dari pengamatan orang-orangku.”
“Bagaimana kalau mereka bersembunyi di dalam istana? Apakah pengamatanmu juga sampai menembus dinding istana, Cian Ciang-kun?”
Pertanyaan ini membuat perwira itu terbelalak, terkejut dan heran. Dia menggeleng kepala.
69
“Memang tidak sampai ke sana, akan tetapi...... ah, bagaimana mungkin..... musuh berbahaya itu bersembunyi di dalam istana? Wah, kalau begitu, keselamatan Sribaginda dalam bahaya!”
Liong-li menggeleng kepala. “Belum tentu demikian, Ciang-kun. Menurut pendapatku, komplotan itu mempunyai sasaran yang lebih luas dari pada sekedar membunuh Sribaginda Kaisar. Kalau memang itu sasarannya, tentu telah terjadi serangan atas diri beliau. Melihat betapa yang dibunuh adalah pejabat-pejabat dan bangsawan-bangsawan yang dekat dengan Sribaginda, aku lebih condong menduga bahwa pelakunya atau pimpinannya menghendaki kelemahan kedudukan Sribaginda Kaisar dan melenyapkan mereka yang memiliki kekuasaan. Ini membuat aku menduga bahwa tentu dia bermaksud menonjolkan diri atau memperbesar kekuasaannya sendiri.”
Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya dan dia mengangguk-angguk. Dia dapat melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya semua yang dikemukakan wanita itu dan hatinya merasa gelisah sekali.
“Ah, kalau benar demikian, Li-hiap, maka itu adalah permainan tingkat tinggi dan aku sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki kekuasaan untuk dapat mencampuri urusan yang menyangkut pribadi atau kekuasaan Sribaginda Kaisar.”
“Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau tidak mungkin dapat melakukan penyelidikan ke dalam istana?”
“Benar, Li-hiap. Aku adalah seorang panglima pasukan keamanan yang bertugas menumpas para penjahat di luar istana,
70
mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kekuasaanku terbatas dan aku tidak mungkin dapat memasuki istana tanpa ijin dari Sribaginda Kaisar.
“Di istana terdapat pasukan pengawal yang terbagi pula sebagai pasukan luar istana, pasukan pengawal Sribaginda, dan pasukan pengawal Thai-kam yang bertugas menjaga keamanan di bagian paling dalam di istana, sampai ke bagian puteri. Aku hanya bertugas memimpin pasukan keamanan yang bertugas mengamankan kota raja dan sekitarnya. Tugasku yang kuterima dari Sribaginda adalah mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat tinggi itu, yang terjadi di luar istana.
“Dan selama ini memang tidak pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang penghuni istana maka tidak ada alasan bagiku untuk minta ijin Sribaginda memasuki istana! Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau memang sudah terdapat bukti bahwa komplotan pembunuh itu berada, di dalam istana.”
Liong-li masih mengerutkan alisnya dan sampai lama mereka berdua berdiam diri. Wanita itu memejamkan mata dan melihat keadaannya, Cian Ciang-kun tidak berani mengganggu. Dia sendiri memikirkan kemungkinan terjadinya hal seperti yang dikemukakan wanita perkasa ini dan diapun merasa ngeri. Kalau benar ada komplotan yang bersembunyi di dalam istana, sungguh berbahaya sekali!
Tentu saja dia dapat bicara dengan para panglima pasukan yang bertugas di luar dan dalam istana, namun paling banyak dia
71
hanya minta agar mereka itu berhati-hati dan melakukan penyelidikan akan kemungkinan itu. Kepala pengawal Thai-kam tak mungkin dapat bicara karena kepala pengawal Thai-kam itu menganggap kedudukannya terlalu tinggi untuk dapat dihubungi oleh seorang panglima pasukan keamanan seperti dia!
Tiba-tiba Liong-li menepuk pahanya sendiri dan terkejutlah Cian Ciang-kun yang sedang melamun. Dia mengangkat muka memandang dan melihat betapa wajah yang cantik itu kemerahan dan matanya bersinar-sinar.
“Dapat, Ciang-kun!” seru wanita itu dan ia tersenyum lebar sehingga deretan gigi yang putih seperti mutiara nampak berkilau.
“Eh, apa maksudmu, Li-hiap?”
“Kita harus bekerja sama. Engkau dari luar dan aku dari dalam!”
“Maksudmu, engkau akan menyelundup ke dalam istana?” tanya panglima yang cerdik itu.
Liong-li mengangguk. “Hanya itulah jalannya. Engkau menyelidiki dari luar, mengamati gerak-gerik semua pejabat tinggi termasuk mereka yang memimpin keamanan di lingkungan istana. Aku sendiri harus dapat menyusup ke dalam istana, dan hal ini tentu saja baru mungkin terjadi kalau engkau membantuku. Dapat saja aku diselundupkan ke istana, atau akan lebih mudah bagiku untuk menyelidik kalau aku dapat menjadi penghuni istana sebagai dayang atau pelayan......”
72
“Ah, tidak mungkin seorang seperti engkau ini menjadi pelayan di sana, Li-hiap!” kata Cian Ciang-kun.
Kedua pipi itu menjadi semakin merah. “Kauanggap aku...... terlalu tua dan buruk rupa......?”
“Siapa berkata begitu, Li-hiap? Sama sekali sebaliknya malah! Engkau terlalu cantik jelita dan......”
“Kalau terlalu baik untuk menjadi pelayan, dapat dimasukkan sebagai dayang...... tentu saja kalau aku tidak dianggap terlalu tua untuk itu.”
“Terlalu tua sih tidak, terlalu dewasa mungkin karena para dayang itu memang biasanya masih remaja, akan tetapi yang jelas terlalu...... cantik jelita......”
“Ihh, kita bicara serius, jangan engkau merayu, Ciang-kun!” kata Liong-li dan wajah perwira itu menjadi merah.
“Maaf, bukan maksudku untuk memuji kosong, Li-hiap, melainkan akupun bicara sesungguhnya. Kalau engkau berada di dalam istana bagian puteri, engkau sepantasnya menjadi puteri atau selir Sribaginda. Maaf, bukan maksudku menghina......”
“Sudahlah, terserah kepadamu, asal aku dapat diselundupkan ke dalam istana, untuk beberapa hari saja sehingga aku mendapatkan peluang untuk melakukan penyelidikan dan pengamatan, apa lagi di waktu malam. Kalau memang komplotan itu bergerak dari dalam istana, tentu aku akan dapat memergoki mereka. Kalau engkau tidak merayu dan berkata sebenarnya, aku
73
dapat melakukan sedikit penyamaran agar pantas menjadi seorang dayang. Coba kautunggu sebentar, Ciang-kun!”
Ia bertepuk tangan dan muncullah seorang gadis berpakaian coklat. Ia muncul cepat dan berdiri di depan Liong-li dengan sikap hormat dan siap melakukan segala perintah.
“Ambil perlengkapan penyamaran ke sini. Cepat!”
Tak lama kemudian, gadis baju coklat itu kembali membawa peti hitam yang terukir indah. Baru petinya itu saja sudah merupakan sebuah benda antik yang mahal harganya, pikir Cian Ciang-kun yang sudah duduk sambil mengamati dengan hati tertarik.
Liong-li, tanpa bicara membuka tutup peti setelah si baju coklat meninggalkan ruangan itu dan iapun mengambil botol-botol dan alat-alat seperti alat kecantikan. Hanya sebentar ia bercermin sambil menata wajahnya dan sepuluh menit kemudian, Cian Ciang-kun sudah berhadapan dengan seorang wanita yang sama sekali berbeda dengan wajah Liong-li! Memang masih manis, akan tetapi tidak secantik dan seanggun tadi! Wajah seorang gadis dusun yang manis dan tidak terlalu menyolok.
“Bagaimana, Ciang-kun? Bukankah sudah pantas kalau aku mengaku sebagai seorang gadis dusun dan cocok untuk menjadi seorang pelayan atau seorang dayang di istana?”
Cian Ciang-kun bengong. Bahkan suara wanita ini berubah sama sekali! Tidak halus merdu lembut seperti tadi, melainkan suara sederhana yang hanya pantas menjadi suara seorang gadis
74
pedusunan yang kurang pendidikan dan biasa hidup sederhana. Akhirnya dia tertawa bergelak saking kagum dan girangnya.
“Ha-ha-ha, engkau seorang wanita hebat, Li-hiap! Tadi aku masih ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau engkau akan dikenal sebagai Hek-liong-li setelah berada di dalam istana dan keselamatanmu terancam. Akan tetapi dengan penyamaran yang sempurna, kuyakin takkan ada seorangpun yang tahu bahwa engkau adalah Hek-liong-li.
“Baiklah, mari kita ke kota raja dan di sana aku akan menghubungi rekan-rekanku dan mendengar kalau-kalau istana membutuhkan pembantu puteri baru sehingga engkau dapat diselundupkan ke dalam. Engkau tahu, biasanya, kalau istana membutuhkan dayang atau pembantu baru, kesempatan itu dipergunakan oleh para Thai-kam untuk menerima uang sogokan. Siapa yang paling berani mengeluarkan uang sogokan, maka dialah yang akan diterima.”
“Bagus! Tentang uang sogokan, jangan khawatir. Berapa saja mereka minta akan kubayar!” kata Liong-li gembira.
Merekapun berangkat pada hari itu juga, tentu saja tidak mengendarai kereta rampasan tadi karena hal itu tentu akan diketahui pihak lawan. Mereka menggunakan kereta lain dan dengan menyamar, tak seorangpun menyangka bahwa wanita nenek tua yang bersama Cian Ciang-kun memasuki kota raja itu adalah Hek-liong-li yang amat terkenal!
◄Y►
75
Sebelum kita mengikuti perjalanan Liong-li dan cara bagaimana ia akan menyelundup masuk ke dalam istana, sebaiknya kita mengenali lebih dahulu keadaan Kaisar Kao Cung dengan istananya yang megah.
Pada waktu itu (sekitar tahun 669), Kaisar Kao Cung adalah seorang pria berusia kurang lebih empatpuluh sembilan tahun. Seorang pria yang sebetulnya bertubuh tinggi tegap dan kuat. Akan tetapi sungguh sayang, karena dia terlalu mengumbar nafsu berahinya, terlalu membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan dan rayuan para wanita cantik yang memenuhi haremnya, maka dalam usia empatpuluh sembilan tahun saja dia sudah nampak tua dan loyo. Kaisar Kao Cung sesungguhnya baik budi dan ramah, memiliki kebijaksanaan.
Namun sayang, karena terlalu membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan, dia menjadi lemah dan malas. Dia tidak bersemangat lagi untuk mengurus tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin negara. Siang malam dia hanya bersenang-senang bersama para selirnya dan para dayang, dan dia dapat dibilang menyerahkan segala kekuasaannya dan membiarkan permaisurinya yang mengurus semua tugasnya! Dan memang harus diakui bahwa permaisurinya adalah seorang wanita yang bukan main cerdasnya, seorang wanita yang selain memiliki kecantikan luar biasa, juga memiliki otak yang tajam dan hati yang keras, ambisius dan penuh semangat!
Bahkan dapat dibilang permaisuri inilah yang pada delapan tahun yang lalu, membakar semangat suaminya yang menjadi kaisar itu
76
untuk mengerahkan bala tentara sekuatnya dan menyerang Korea.
Sejak puluhan tahun yang lain, ketika Kerajaan Tang belum berdiri, yaitu Kerajaan Sui masih berkuasa di China, kaisar-kaisar telah berusaha menundukkan Korea. Bahkan ayah dari Kaisar Kao Cung sendiri, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal sebagai pendekar bangsa dan pendiri Kerajaan Tang, selalu gagal dalam usahanya menalukkan Korea.
Akan tetapi, berkat siasat dan semangat permaisuri Kao Cung, maka Kaisar Kao Cung akhirnya berhasil menundukkan dan menalukkan Korea yang telah dibantu oleh Bangsa Jepang. Semenjak itulah, Kaisar Kao Cung yakin akan kemampuan permaisurinya dan dia pun menyerahkan hampir segala urusan pemerintahan ke tangan permaisurinya itu.
Permaisuri yang sekarang telah berusia empatpuluh tahun lebih itu makin lama semakin berkuasa dan berpengaruh sehingga hampir semua pejabat tinggi tunduk di bawah kekuasaannya. Baik mereka yang setuju atau yang tidak setuju harus mengakui bahwa banyak kemajuan dicapai setelah permaisuri ini memegang kendali pemerintahan. Tentu saja sebagai pelaku di belakang layar karena segala hal masih harus disetujui dan ditandatangani oleh Kaisar Kao Cung. Semua orang di istana tahu belaka bahwa kaisar itu menandatangani apa saja yang disodorkan permaisurinya kepadanya!
Memang, permaisuri dari Kaisar Kao Cung ini adalah seorang wanita yang hebat luar biasa. Sepak terjangnya amat menonjol
77
dan tidak mengherankan kalau kemudian namanya diabadikan dalam sejarah, walaupun di dalam sejarah, keburukannya lebih banyak ditonjolkan dari pada kebaikannya. Hal inipun mudah dimaklumi kalau diingat bahwa penyusun sejarah adalah mereka yang tidak suka kepadanya!
Seorang penyusun sejarah haruslah seorang seniman sejati! Seorang seniman sejati takkan sudi diperalat oleh golongan manapun, karena seorang seniman sejati adalah seorang manusia utuh lahir batin yang hanya mengabdi kepada kebenaran, kepada kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi penilaian karena menganggap bahwa apa yang ada selalu indah, tidak baik ataupun buruk, tidak ada perhitungan rugi untung bagi dirinya yang bebas!
Riwayat permaisuri ini memang menarik sekali sejak pemunculannya yang pertama di istana kaisar. Agar mengenal latar belakangnya, sebaiknya kalau kita mengikuti pengalamannya.
Ketika masih seorang gadis remaja, permaisuri itu bernama Bu Houw yang kemudian disebut juga Bu Cek Thian. Panggilan akrabnya adalah Bi Houw (Houw yang cantik). Ketika usianya masih remaja, kurang lebih tigabelas tahun, ia diangkut dari dusun dan dipilih menjadi seorang dayang di istana. Ketika itu, yang menjadi kaisar adalah ayah dari Kaisar Kao Cung yang sekarang, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal, yang dulu bernama Li Si Bin!
78
Karena hidup di dalam istana yang megah, serba bersih, dan setiap hari tubuhnya terpelihara baik-baik, juga karena ia diharuskan mempelajari segala seni yang patut dimiliki semua wanita cantik dalam istana, Bi Houw tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita dan pandai membawa diri. Ketika usianya mencapai, enambelas tahun, tidak ada seorang pun dayang di istana yang mampu menyaingi kecantikannya.
Bagaikan setangkai bunga, ia mulai mekar dengan indahnya, semerbak mengharum dan membuat setiap yang disentuhnya menjadi cerah dan hidup. Bahkan para puteri dan selir kaisar merasa kagum dan iri melihat kesegaran gadis remaja dari dusun yang kini pandai membawa diri ini.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bi Houw sudah melakukan tugasnya, membersihkan sebuah kamar mandi yang biasa dipergunakan oleh permaisuri. Tentu saja sepagi itu ia bekerja membersihkan kamar mandi pribadi permaisuri bukanlah suatu hal yang kebetulan saja. Ia telah memperhitungkan dan memperhatikan kebiasaan Kaisar Thai Cung. Setiap kaisar ini tidur di kamar permaisuri, sudah pasti pada pagi hari seperti itu, Sang Kaisar akan masuk kamar mandi.
Kebiasaan ini sudah diperhatikan benar-benar oleh Bi Houw, dan pada pagi hari itu, ketika seperti tidak ditengaja ia telah berada di kamar mandi, ia nampak bersih, segar dan cerah, cantik jelita dan putih kemerahan bagaikan setangkai kuncup mawar yang sedang mekar! Gadis berusia enambelas tahun!
79
Ketika kaisar memasuki kamar mandi, Bi Houw cepat berlutut dan tidak berani mengangkat muka. Setelah kaisar selesai dengan keperluannya di kamar mandi untuk membuang air kecil dan hendak keluar, dengan terampil sekali Bi Houw berlutut di depannya, dengan muka menunduk sehingga tidak nampak, memegangi dengan kedua tangannya yang mungil sebuah tempayan air yang terisi air hangat yang harum karena dicampur air mawar, menjulurkan kedua tangannya agar Sang Kaisar dengan mudah dapat mencuci tangannya.
Kaisar menunduk dan mencuci tangan. Ketika dia melihat sepasang tangan yang berkulit putih kemerahan, jari-jari tangan yang meruncing dengan kuku yang bersih mengkilap terawat baik, kemudian menunduk pula melihat rambut yang panjang hitam dan halus, yang mengeluarkan keharuman semerbak, melihat kulit leher yang nampak semakin putih mulus kemerahan di antara juntaian rambut, kaisar tertarik dan berkata lembut.
“Dayang, coba kau angkat mukamu, kami hendak melihatnya.”
Bi Houw yang sudah memperhitungkan ini, dan sudah berulang kali ia bergaya di depan cermin, dengan tenang dan lembut mengangkat mukanya, muka yang amat cantik manis bagaikan setangkai bunga baru mekar, dahinya yang halus bagaikan lilin diraut itu dihiasi anak rambut yang lembut sekali melingkar-lingkar, sepasang mata yang redup itu setengah terpejam penuh rasa takut dan malu, dihias bulu mata yang panjang lentik, dilindungi sepasang alis yang hitam kecil panjang seperti dilukis.
80
Hidung itu mancung kecil dan lucu, dan mulut amat menggairahkan, dengan sepasang bibir tipis merah membasah tanpa gincu, dihias lekuk pipi di kanan kiri yang timbul tenggelam, dagu kecil runcing berlekuk, dan lekuk lengkung dada yang sedang meranum itu membayang di balik baju tipis.
Semua ini merupakan bintik-bintik api yang menggetarkan kehangatan dan di pagi hari yang dingin itu, gairah berahi mulai membara di dalam hati Kaisar Thai Cung. Gairah berahi yang datang tiba-tiba, mendatangkan kekuatan besar yang mendorongnya untuk segera menjulurkan kedua lengannya, memondong gadis remaja itu, mendekap menciuminya, membelai dan membawanya ke atas bangku marmer di dalam kamar mandi itu.
Tanpa banyak cakap lagi, tidak seperti biasanya kalau sang kaisar memerawani seorang dayang yang beruntung menerima anugerah dipilih oleh kaisar, Bi Houw digauli oleh Kaisar Thai Cung di dalam kamar mandi, tanpa upacara lagi!
Bi Houw menyambut pria tua itu dengan menggunakan sepenuh kecerdikan dan kepandaiannya yang sudah dipelajarinya terlebih dahulu. Demikian pandainya gadis ini sehingga semua usahanya itu tidak nampak, dan Kaisar Thai Cung pada pagi hari itu memetik kesenangan dan kenikmatan yang jarang dia temukan.
Setelah kaisar meninggalkannya, Bi Houw melamun dengan hati penuh bahagia. Semua rencananya berjalan dengan baik! Kaisar telah menjatuhkan pilihannya kepadanya bahkan telah menganugerahinya dengan hubungan badan itu!
81
Pada waktu atau jaman itu, kedudukan seorang kaisar amatlah tingginya. Kaisar dianggap sebagai dewa atau bahkan Putera Tuhan yang dijelmakan di dunia untuk memimpin manusia. Oleh karena itu, seorang gadis yang dipilih kaisar seolah-olah mendapatkan keyakinan bahwa bintangnya akan menjadi terang.
Bi Houw membayangkan betapa ia tentu akan diangkat menjadi seorang di antara selir-selir utama yang jumlahnya tujuhpuluh dua orang, menggantikan seorang selir yang sudah dianggap membosankan dan akan diturunkan pangkatnya oleh kaisar.
Dari selir, ia akan berusaha agar ia dapat terus menanjak naik sehingga akhirnya akan dapat menduduki pangkat permaisuri Pertama atau Kedua. Ada dua orang permaisuri, yaitu permaisusi Istana Timur dan permaisuri Istana Barat. Ia harus berusaha mengangkat dirinya sampai menjadi seorang di antara yang dua ini!
Akan tetapi malang bagi gadis remaja itu, harapannya hampa dan penantiannya sia-sia belaka. Kaisar Thai Cung, pendiri Kerajaan Tang itu, terlalu sibuk dengan urusan pemerintahan, sibuk dengan perkembangan dan kemajuan kerajaannya.
Peristiwa yang terjadi di kamar mandi pada pagi hari itu baginya lewat begitu saja dan segera hal itu terlupa olehnya setelah terjadi. Lewat bagaikan angin lalu, karena bagi kaisar yaag mempunyai banyak urusan, yang dianggapnya lebih besar dan lebih penting, maka peristiwa dengan Bi Houw itu kecil dan tidak ada artinya sama sekali. Apakah artinya seorang gadis remaja kecil, seorang dayang bagi seorang kaisar?
82
Kekecewaan adalah bagian orang yang mengharapkan. Harapan mempunyai buah ganda, yaitu kepuasan dan kekecewaan. Kalau terpenuhi apa yang diharapkan, datanglah kepuasan. Sebaliknya, kalau tidak terpenuhi, datanglah kekecewaan.
Bi Houw yang ambisius dan penuh harapan muluk itu, tentu saja tenggelam ke dalam lautan kekecewaan karena ia sama sekali tidak diperdulikan oleh Kaisar Thai Cung. Bahkan kaisar itu agaknya sudah lupa akan peristiwa yang terjadi di pagi hari dalam kamar mandi permaisuri itu.
Betapapun ia memancing dengan kerling dan senyum kalau kebetulan ia bertemu dengan kaisar, Kaisar Thai Cung sama sekali tidak nampak bahwa dia teringat atau mengenalnya!
Di dalam kamarnya, Bi Houw hanya dapat menangis karena sesal dan kecewa. Apa lagi ia sudah terlanjur pamer kepada para dayang lain bahwa ia telah mendapat “anugerah” dari kaisar di pagi hari itu! Ia telah membisikkan kepada para dayang lainnya bahwa sebentar lagi ia akan naik derajatnya dan menjadi seorang di antara Selir Terhormat! Dan kenyataannya sungguh amat pahit, tidak semanis yang dibayangkan dan diharapkannya.
Akan tetapi, gadis remaja ini tidak menjadi putus asa. Maklum bahwa ia tidak dapat mengharapkan kenaikan derajat dari kaisar, iapun segera membuang harapan hampa itu dan matanya mulai mengerling ke arah yang lain lagi.
Pangeran Mahkota! Pangeran itu masih seorang pemuda, tampan, gagah dan tentu saja jauh lebih menarik sebagai pria dibandingkan ayahnya, Sang Kaisar. Pangeran Mahkota itulah
83
merupakan orang kedua sesudah kaisar yang paling tinggi kedudukannya di seluruh negeri.
Mulailah Bi Houw mengatur diri, mengatur lagak dan melaburi diri dengan daya pikat yang menarik, dan iapun menggunakan segala daya kecerdikannya untuk menyelidiki dan mempelajari kebiasaan Pangeran Mahkota.
Pangeran Mahkota yang kemudian menjadi Kaisar Kao Cung itu adalah seorang pemuda yang tampan dan suka pelesir. Sejak kecil dia memang dimanja dan berkecimpung di dalam kesenangan dan kemewahan. Apa saja yang dikehendakinya tentu terpenuhi!
Sungguh amat merugikan perkembangan jiwa seseorang kalau di waktu kecil dia dimanjakan oleh keadaan. Justeru kepahitan keadaan hidup, seperti jamu merupakan gemblengan yang mematangkan batin. Sebaliknya, kesenangan yang berlimpahan bahkan membius batin dan menumpulkan akal karena jarang dipergunakan untuk mengatasi kesulitan hidup.
Tempat tinggal Pangeran Mahkota merupakan bagian kompleks istana keluarga Kaisar di bagian kiri, bersambung dengan istana induk melalui sebuah jembatan dan taman indah. Di jembatan inipun, seperti juga di jalan masuk ke istana induk dari manapun juga, siang malam dijaga oleh pengawal thai-kam (laki-laki kebiri) demi keselamatan kaisar.
Dengan mempergunakan suapan berupa barang-barang berharga, Bi Houw berhasil menarik kepercayaan seorang pengawal Thai-kam sehingga ia dapat dengan leluasa
84
menggunakan jembatan itu dan diperbolehkan keluar masuk taman yang merupakan perbatasan antara istana induk dan istana Pangeran Mahkota. Pada hal, sebagai dayang atau pelayan keluarga kaisar yang bertugas di istana induk, ia tidak dibenarkan untuk melewati jembatan ini dan masuk ke daerah tempat tinggal Pangeran Mahkota.
Bi Houw juga menyelidiki kebiasaan Pangeran Mahkota dan mendengar bahwa satu di antara kebiasaan Pangeran Mahkota adalah duduk termenung di dalam taman mawar yang berdekatan dengan jembatan dan taman penghubung itu. Pangeran Mahkota itu, setelah bosan dan lelah bersenang-senang dengan gadis-gadis cantik bahkan bermain-main dengan wanita-wanita pelacur di luar istana, kadang-kadang suka menyendiri di dalam taman mawar, termenung dan menikmati hawa segar sejuk dan suasana hening.
Dalam keadaan seperti itu, dia selalu menyendiri, tidak mau ditemani pengawal atau dayang. Setelah dayang membawakan minuman dan makanan, biasanya anggur manis dan makanan kecil, dayang lalu diperintahkannya untuk pergi meninggalkannya seorang diri. Dalam keadaan menyendiri itu, Pangeran Mahkota merasa aman tenteram dan kadang-kadang keadaan menyendiri itu dia pergunakan untuk membaca kitab, baik kitab kesusasteraan, catatan sejarah maupun kitab tentang ketatanegaraan yang amat penting baginya.
Pada suatu senja yang indah. Angin semilir lembut mendatangkan hawa yang sejuk segar. Matahari menjelang terbenam, cahayanya sudah lembut lunak dan di langit bagian
85
timur nampak awan terbakar dengan sinar merah dengan latar belakang kebiruan dan di sana-sini nampak awan berpita perak berkilauan.
Pangeran Mahkota memasuki taman mawar sambil membawa kitab yang sudah dibukanya dan dibacanya sambil melangkah perlahan-lahan, menuju ke tengah taman di mana terdapat kolam ikan emas dan bangku yang menjadi tempat yang amat disukainya untuk duduk menyendiri. Memang nyaman sekali duduk di bangku yang halus itu, di dekat kolam di mana ikan-ikan emas merah, kuning dan putih berenang, dengan gaya indah, dikelilingi bunga-bunga mawar yang sedang mekar semerbak mengharum, dengan kupu-kupu yang beterbangan di sekitarnya, pohon-pohon di sana-sini yang mulai disibuki oleh suara burung yang pulang sarang.
Putera Mahkota yang berusia tigapuluhan tahun itu memang tampan dan pada senja itu dia mengenakan pakaian sutera kuning yang longgar dan indah. Ketika dia melangkah lambat menuju ke tengah taman, tiba-tiba dia menurunkan kitabnya dan berhenti melangkah. Dia mendengar suara yang lain dari pada biasanya.
Biasanya, suara yang terdengar di taman itu kalau dia memasukinya hanyalah suara teriakan burung-burung yang beterbangan pulang sarang, sesampainya di pohon mereka ini membuat gaduh dengan suara cecowetan sibuk sekali. Akan tetapi sekali ini, di antara suara burung-burung, dia mendengar suara manusia. Suara wanita yang sedang membaca sajak dengan nyanyian sederhana namun merdu bukan main, agaknya
86
terdengar aneh dan merdu sekali di taman yang sunyi itu. “......amboi burung murai nan malang, warna bulumu memang indah cemerlang, suaramu memang merdu gemilang,
namun sayang......
percuma engkau merindukan burung Hong, Raja di antara segala burung, bagimu dia terlampau agung.......”
Di taman yang indah itu, dalam suasana yang sunyi dari senja yang mengambang, suara itu terdengar aneh dan merdu sekali. Hati Pangeran Mahkota itu sudah tertarik sekali, dan jantungnya berdebar penuh keinginan tahu siapa gerangan wanita yang dapat bernyanyi semerdu itu di dalam taman mawar pribadinya. Suara itu datang dari arah kiri, maka diapun tidak jadi menuju ke kolam ikan, melainkan ke pondok ungu yang berada di sebelah kiri taman.
Pondok ungu ini adalah pondok kecil di mana dia suka menghibur diri di waktu musim panas, ditemani beberapa orang dayang atau selirnya. Biarpun dia belum memiliki isteri, namun Pangeran Mahkota ini sudah memiliki beberapa orang selir.
Akhirnya Pangeran Mahkota menemukan wanita yang tadi membaca sajak dengan suara nyanyian sederhana namun merdu itu. Ia seorang gadis berpakaian dayang. Seorang di antara para dayang ayahnya! Akan tetapi, sungguh seorang gadis remaja
87
yang bukan main! Hati pangeran itu memang sudah tertarik oleh suara tadi. Kini melihat orangnya, dia terpesona!
Dan memang Bi Houw sudah memperhitungkannya dengan masak-masak, berdasarkan penyelidikannya. Ia mendengar betapa sang pangeran itu seringkali menyatakan rasa muak terhadap para wanita yang mengelilinginya, yang berlomba untuk menarik perhatiannya dengan dandanan yang mewah, dengan riasan muka yang seperti boneka digambar!
Karena itu, dalam kesempatan yang sudah termasuk rencana siasatnya ini, Bi Houw mengenakan pakaian yang sederhana, pakaian dayang yang tidak mewah namun bersih dan rapi. Nampak jelas betapa ia segar dan cerah, karena baru saja ia mandi air dingin yang dicampur air mawar dan seluruh tubuhnya digosoknya keras-keras sehingga baik muka dan tangannya nampak masih kemerahan seperti kulit seorang bayi yang montok dan mungil.
Ketika pangeran menghampiri tempat itu, ia pura-pura tidak tahu dan sedang mengejar kupu-kupu dengan gerakan yang lincah, jenaka dan penuh kelembutan wanita, berjalan berjingkat dengan lenggang lenggok lemah gemulai ia menghampiri seekor kupu-kupu yang hinggap di setangkai bunga.
Melihat ini, Pangeran Mahkota berhenti melangkah, memandang sambil menggagumi gerak pinggul gadis remaja itu ketika berindap menghampiri kupu-kupu itu. Ditangkapnya kupu-kupu itu dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu gadis itu duduk di atas
88
bangku, membelakangi Pangeran Mahkota dan terdengar suaranya lirih manja, namun terdengar jelas oleh sang Pangeran.
“Kupu-kupu yang tampan, engkau memang seksi sekali, bersenang-senang dari bunga ke bunga lain, tanpa memperdulikan aku bunga yang kesepian menanggung rindu, haus akan jamahan dan belaianmu. Aih, kupu-kupu, sakit hatiku, ingin rasanya aku merobek sayapmu agar engkau tidak mampu terbang lagi hinggap di bunga-bunga yang lain. Akan tetapi aku tidak tega, kupu-kupu, aku tidak tega, karena aku terlalu mencintaimu! Aih, kupu-kupu, engkau pangeran yang agung sedangkan aku...... aku hanya dayang......”
Gadis itu bangkit, melepaskan kupu-kupu itu terbang kegirangan, lalu ia membalik dan...... pada saat itu ia melihat Pangeran Mahkota berdiri di depannya.
“Oohhhhh.......!” Ia mengeluh ketakutan dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki sang pangeran, memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah.
“Ampun, pangeran...... ampunkan hamba, karena hamba tidak tahu bahwa paduka berada di sini........” kata Bi Houw dengan suara gemetar namun terdengar amat merdu.
“Murai yang mungil. jangan takut, aku tidak marah kepadamu. Bangkitlah!”
“Hamba...... hamba tidak berani......” Bi Houw berkata dengan gemetar.
89
Pangeran Mahkota tersenyum, lalu menjulurkan tangan kanannya, memegang lengan Bi Houw dan menariknya bangkit berdiri. Gadis itu berdiri, tinggi badannya hanya sampai ke pundak pangeran itu dan ia menundukkan mukanya sampai dagunya menekan leher.
Dengan lembut sang pangeran menggunakan ibu jari dan telunjuk kanannya, memegang ujung dagu gadis itu dan menarik dagu itu ke atas agar dia dapat menatap wajah itu. Dan jantungnya berdenyut keras saking girangnya. Sebuah wajah yang amat cantik manis, jelita dan segar! Sejenak dia mengamati wajah yang amat menggairahkan itu biarpun Bi Houw memejamkan kedua matanya.
“Manis, bukalah matamu, aku ingin melihatnya,” bisik sang pangeran dan ketika Bi Houw membuka kedua matanya, pangeran itu seperti melihat sepasang bintang yang mempesonakan! Dari sepasang mata itu memancar cahaya yang demikian lembut, demikian dalam dan demikian menantang, mengandung janji sejuta kemesraan dan kehangatan dan Pangeran Mahkota itupun jatuhlah!
“Engkau cantik jelita...... siapakah namamu?”
“Hamba...... hamba Bi Houw......”
“Bagaimana engkau bisa berada di sini, pada hal engkau seorang dayang dari induk istana, bukan?”
“Ampunkan hamba, hamba...... amat terpesona oleh keindahan mawar di sini, ketika penjaga lengah, hamba menyelinap
90
masuk...... Hamba lupa diri ketika berada di sini, Mohon ampun, Pangeran......”
“Bi Houw, engkau tadi mengumpamakan kupu-kupu, pangeran. Siapakah yang kau maksudkan? Dan engkau mengumpamakan dirimu murai kecil, dan siapa pula burung Hong itu? Hayo jawab sejujurnya, baru aku mau mempertimbangkan apakah kelancanganmu ini patut diampuni atau tidak,” kata Pangeran Mahkota sambil tersenyum menggoda.
Bi Houw pura-pura ketakutan. “Ampunkan hamba...... ampunkan kelancangan hamba...... burung Hong itu...... dia adalah pangeran...... dan pangeran itu...... ah, pangeran itu......”
“Hayo katakan, siapa pangeran itu?! Kalau tidak berterus terang, akan kupanggil pengawal agar engkau dihukum cambuk!” Pangeran Mahkota mengancam sambil tersenyum.
Bi Houw tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan mencium kaki pangeran itu. “Ampunkan hamba, pangeran. Pangeran...... pangeran itu...... ah, beliau adalah...... paduka......! Ampunkan hamba......”
Pangeran Mahkota tertawa bergelak, senang sekali hatinya. “Aku? Jadi akukah yang membuat engkau rindu? Ha-ha-ha, nah, aku sudah berada di sini, hendak kulihat sampai di mana kebenaran pengakuanmu bahwa engkau rindu dan cinta kepadaku!” Dia membungkuk, mengangkat tubuh yang mungil itu, memondongnya dan membawa Bi Houw memasuki pondok ungu!
91
Bi Houw dengan amat cerdiknya dapat berlagak seperti seorang gadis remaja yang masih hijau, canggung, namun penuh dengan cinta kasih, penuh kemesraan, kehangatan dan kepasrahan. Namun, di balik itu, biarpun secara halus, ia menyambut pernyataan cinta pangeran itu dengan gairah yang panas menggebu, yang membuat Pangeran Mahkota itu merasa bahwa selama hidupnya baru sekali itulah dia bertemu dengan seorang gadis perawan yang membuat dia merasa seorang jantan sejati!
Dan pada senja hari itupun hati Pangeran Mahkota telah jatuh cinta! Dia bukan sekedar iseng, melainkan benar-benar terpikat dan melekat, jatuh cinta secara mendalam kepada Bi Houw atau Bu Houw. Dan semenjak pertemuan yang pertama kali itu, mereka berdua dengan hati-hati seringkali mengadakan pertemuan di taman itu dan menumpahkan perasaan cinta kasih masing-masing dengan penuh kemesraan!
Demikian pandainya Bi Houw membawa diri sehingga Sang Pangeran Mahkota merasa yakin bahwa gadis remaja jelita itu benar-benar mencintanya dengan segenap jiwa raganya, bukan seperti wanita lain yang hanya mengharapkan agar terangkat derajatnya kalau dapat berhubungan dengan dia. Dianggapnya bahwa Bi Houw sebagai seorang wanita, mencinta dia sebagai seorang pria!
Dan diapun jatuh benar-benar, dan mengambil keputusan untuk menjadikan Bi Houw sebagai isterinya, bahkan permaisurinya kelak!
92
Ketika Kaisar Tang Thai Cung meninggal dunia dalam tahun 649, maka diangkatlah Pangeran Mahkota sebagai kaisar baru, dan berjuluk Kaisar Tang Kao Cung.
Dan kini terjadilah hal yang amat berbahaya bagi Bi Houw atau Bu Houw. Memang benar bahwa Kaisar Tang Kao Cung yang baru memenuhi janjinya, yaitu dia hendak mengangkat Bu Houw menjadi Permaisuri. Akan tetapi, para pejabat tinggi di istana memperingatkan Kaisar Tang Kao Cung bahwa menurut catatan dalam istana, Bu Houw adalah seorang dayang yang pernah digauli oleh mendiang Kaisar Tang Thai Cung! Tentu saja catatan istana ini ada karena kesalahan Bu Houw sendiri yang memamerkan “kehormatan” atau anugerah yang diterimanya dari Kaisar Tang Thai Cung dahulu ketika ia digauli di dalam kamar mandi Permaisuri di suatu pagi.
Menurut peraturan istana, dayang yang sudah digauli kaisar itu, setelah kaisar meninggal dunia, haruslah melanjutkan kehidupannya sebagai seorang nikouw (pendeta wanita) dalam wihara Buddha selama hidupnya! Pada waktu itu, Agama Buddha sedang berkembang dengan pesat dan diakui oleh pemerintah sehingga memiliki pengaruh yang besar. Sebagai seorang isteri, walaupun hanya berkedudukan dayang namun sudah digauli kaisar, maka Bu Houw harus pula berkabung dengan cara hidup dalam biara itu sebagai seorang pendeta yang setiap hari hanya berdoa dan tidak boleh berhubungan dengan orang lain apa lagi dengan pria!
Akan tetapi, Kaisar Tang Kao Cung sudah terlalu mencinta Bu Houw sehingga diam-diam kaisar ini memerintahkan agar Bu
93
Houw dilindungi dan diperlakukan dengan hormat dan baik. Bahkan ia dibebaskan dari keharusan menggunduli kepalanya.
Setelah tiga tahun lewat, yaitu waktu yang dianggap sebagai masa berkabung telah habis, secara diam-diam Bu Houw dipindahkan dari dalam wihara ke dalam istana induk dan bertentangan dengan nasihat para menteri, Kaisar Tang Kao Cung memaksakan kehendaknyan untuk menikah dengan Bu Houw dan mengangkatnya sebagai Permaisuri!
Nafsu yang menguasai diri manusia ibarat api. Makin diberi umpan, makin diberi jalan, bukan menjadi kenyang dan puas bahkan menjadi semakin murka! Makin diberi semakin kelaparan dan kehausan!
Ketika masih menjadi seorang dayang, Bu Houw bercita-cita untuk diangkat menjadi selir, kemudian cita-citanya meningkat untuk menjadi permaisuri. Biarpun harapannya terhadap mendiang Kaisar Tang Thai Cung gagal, namun ia berhasil baik dalam memikat Pangeran Mahkota sehingga ia berhasil menundukkan pangeran itu dan setelah pangeran itu menjadi Kaisar Tang Kao Cung, iapun terpenuhi cita-citanya dan diangkat menjadi Permaisuri. Apakah ini merupakan tujuan terakhir dari ambisinya? Sudah puaskah nafsu keinginannya?
Jauh dari pada puas! Nafsu takkan pernah mengenal puas, tak pernah mengenal titik tujuan terakhir selama si manusianya masih hidup! Bagaikan api, takkan padam selama bahan yang dibakarnya masih ada.
94
Setelah diangkat menjadi Permaisuri, Bu Houw hanya merasa puas sementara saja, untuk kemudian nafsunya kembali berkobar untuk mencapai kekuasaan yang tertinggi! Dan agaknya ambisinya inipun mendatangkan harapan karena Kaisar Tang Kao Cung agaknya benar-benar tak berdaya menghadapi permaisurinya ini.
Kaisar Tang Kao Cung menjadi jinak dan lunak, tunduk dan taat kepada permaisurinya! Kaisar ini tanpa merasa dijadikan semacam boneka hidup oleh permaisurinya.
Mulailah Bu Houw mencampuri urusan kenegaraan, bahkan ia kini dikenal sebagai Bu Cek Thian, Permaisuri Agung yang berkuasa penuh sesudah Kaisar! Para menteri merasa khawatir sekali, namun tak seorangpun mampu mengingatkan kaisar, dan kekuasaan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.
Setelah memperoleh kekuasaan besar dan Kaisar selalu menuruti semua kehendaknya, bahkan mulai mematuhi nasihat-nasihatnya mengenai bidang pemerintahan, Bu Cek Thian tetap saja tidak merasa puas. Ada satu hal yang membuat ia merasa hidupnya tidak lengkap, bahkan merana! Suaminya, Sang Kaisar yang terlampau memanjakan nafsu berahi ketika masih muda, kini menjadi seorang suami yang lemah dan sama sekali tidak dapat menandingi dan memuaskan gairah berahinya yang menggebu dan berkobar.
Hal ini membuat Bu Cek Thian yang sudah tercapai apa yang diharapkannya itu merasa sengsara! Mulailah ia membentuk pasukan pengawal yang terdiri dari para pria kebiri dan juga
95
wanita-wanita perkasa dari orang-orang yang dapat dipercayanya, dan yang sudah bersumpah setia kepadanya. Dengan demikian, maka selain keamanannya selalu terjamin karena selalu ada sekelompok pengawal yang menjaganya, juga melalui para pengawal yang dipercaya ini, ia dapat apa saja secara rahasia karena kelompok pengawal ini menjaga agar rahasianya tidak sampai diketahui orang lain.
Setelah ia melihat kesetiaan dan kecerdikan seorang di antara para dayangnya yang bernama Siangkoan Wang-ji, ia menarik wanita ini sebagai dayang pribadi. Kepada Siangkoan Wang-ji inilah ia menumpahkan semua perasaan dan kekecewaannya, dan atas nasehat dayang setia ini pula Bu Cek Thian mulai melakukan penyelewengan untuk memuaskan gairah berahinya yang bernyala-nyala. yang tak terpuaskan oleh Kaisar Tang Kao Cung, suaminya yang dianggapnya kurang jantan dan loyo.
Melalui Siangkoan Wang-ji sebagai perantara, secara bergiliran, dengan perlindungan kelompok pengawal pribadi, mulailah diselundupkan dua orang perwira istana, kakak beradik yang bernama Thio Jiang Tiong dan Thio I Ci. Mereka adalah dua orang perwira muda yang tampan dan gagah.
Tentu saja dua orang kakak beradik ini merasa seperti kejatuhan rembulan. Mereka tidak berani membuka rahasia dan diam-diam menikmati “anugerah” dari Sang permaisuri itu. Mereka mendapatkan seorang wanita yang matang dan cantik jelita, yang menyambut mereka secara bergiliran dengan gairah yang panas, mereka mendapatkan pula hadiah-hadiah yang berharga dan tentu saja mereka merasa terhormat.
96
Di samping itu, mereka juga tentu takut sekali kalau sampai rahasia itu ketahuan oleh Kaisar. Maka, tanpa diperintah lagi, untuk mempertahankan kenikmatan dan keuntungsan itu, juga untuk menyelamatkan diri, mereka itu menutup mulut dan tidak pernah membocorkan rahasia itu.
Demikianlah riwayat singkat dari Permaisuri Bu Cek Thian yang pada waktu, biarpun tidak secara terbuka dan sah, merupakan orang yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan. Bukan hanya untuk urusan pemerintahan, juga di dalam istana, ialah yang memegang kuasa penuh. Hanya kadang-kadang saja Kaisar Tang Kao Cung memperlihatkan sikap yang sesungguhnya, sikap seorang kaisar dan seorang suami, namun pada akhirnya, dialah yang kalah pengaruh dan tunduk kepada kemauan Sang Permaisuri.
Diri permaisuri itu diliputi penuh rahasia. Para pejabat tinggi yang setia kepada kaisar, mencemaskan keadaan itu, apa lagi setelah akhir-akhir ini timbul pembunuhan-pembunuhan rahasia terhadap beberapa orang pejabat tinggi dan pengeran, para menteri yang setia menjadi semakin gelisah. Akan tetapi, para pejabat tinggi yang “terpakai” oleh Bu Cek Thian, yang dipilih menjadi orang-orang yang dipercaya oleh Sang Permaisuri, tentu saja tidak merasa cemas, bahkan diam-diam mereka merasa girang sekali karena kepercayaan Sang Permaisuri kepada mereka membuat derajat dan kekuasaan mereka terangkat naik.
Demikian besar kekuasaan Bu Cek Thian atas diri kaisar sehingga namanya terkenal di dalam sejarah. Apa lagi setelah ia
97
melahirkan seorang putera, kekuasaannya menjadi semakin besar dan Kaisar semakin tunduk kepadanya.
Hanya Bu Cek Thian atau Bu Houw atau dahulu disebut Bi Houw yang tahu, siapakah sebenarnya ayah kandung Pangeran Tiong Cung itu! Tentu saja bagi kaisar sendiri dan umum, menganggap hahwa pangeran itu adalah putera kandung Kaisar Tang Kao Cung! Akan tetapi, sebelum melahirkan pangeran itu, diam-diam Bu Cek Thian yang sudah merasa tidak puas dengan suaminya, telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang pria yang diselundupkan secara rahasia dari luar istana bagian puteri.
Bahkan seorang di antara mereka itu, termasuk seorang tukang taman muda she Ma yang kemudian tewas secara aneh karena suatu penyakit perut yang mendadak.
Dan melihat betapa hidung pangeran Tiong Cung yang besar itu serupa benar dengan bentuk hidung mendiang penjaga taman Ma, diam-diam Bu Cek Thian sendiri menduga bahwa mungkin tukang taman itulah ayah kandung puteranya yang sebenarnya.
Kalau tadinya masih ada menteri yang suka memperingatkan kaisar terhadap Bu Cek Thian, setelah wanita itu melahirkan putera yang menjadi pangeran mahkota, tentu saja tidak ada lagi yang berani mencela wanita itu di depan kaisar atau siapapun juga. Kekuasaan Bu Cek Thian sebagai lbu Suri amatlah besarnya, dan sekali Ibu Suri ini menudingkan telunjuknya, siapa saja, tidak perduli betapapun besar kedudukannya, akan ditangkap, dihukum buang ataupun dihukum mati!
98
Ketika terjadi pembunuhan-pembunuban rahasia yang menggelisahkan Kaisar, Bu Cek Thian juga menjadi gelisah dan permaisuri ini yang mengusulkan kepada kaisar untuk mengutus Cian Ciang-kun, yaitu Cian Hui yang terkenal sebagai seorang detektip ulung dan pandai itu, untuk malakukan penyelidikan dan membongkar rahasia pembunuhan yang menggelisahkan itu.
Semua pejabat pemerintah, terutama sekali yang berkedudukan tinggi, menduga-duga siapakah pembunuh misterius itu, dan siapa pula yang berdiri di belakangnya. Memang sukar untuk menduga dan keadaannya membingungkan sekali.
Kalau yang terbunuh itu hanya orang-orang yang dekat dengan kaisar misalnya, tentu akan timbul dugaan bahwa pembunuh misterius dan pengaturnya tentulah orang yang tidak suka kepada kaisar dan orang yang ingin memereteli kekuasaan kaisar dengan menyingkirkan mereka yang membantu kaisar dan yang setia kepada kaisar. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak pula pejabat tinggi yang terkenal anti dengan kebijaksanaan kaisar, yang bahkan condong membela dan mendukung kebijaksanaan Ibu Suri atau Permaisuri, juga terbunuh!
◄Y►
“Ih, kenapa rumahmu sesunyi ini, Cian Ciang-kun? Engkau seorang pejabat yang penting dan berpengaruh di kota raja, akan tetapi rumahmu yang besar ini amat sunyi. Aku hanya melihat beberapa orang pelayan saja di luar tadi dan di dalamnya begini sunyi dan lengang!” kata “nenek” tua itu yang bukan lain adalah Liong-li yang menyamar sebagai seorang nenek tua ketika
99
memasuki kota raja bersama Cian Hui. Ucapan itu keluar dari mulutnya ketika ia bersama tuan rumah itu sudah memasuki rumah gedung milik Cian Hui, dan mereka tiba di ruangan dalam, duduk berdua saja menghadapi sebuah meja marmer bundar.
Cian Ciang-kun menarik napas panjang, pria berusia empatpuluh tahun itu merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan itu. Ucapan yang amat tepat karena betapa seringnya dia merasakan kesunyian yang mencekam itu apa bila dia berada di dalam rumahnya. Begitu terasa kehilangan besar itu, kehilangan isteri dan anaknya, membuat dia merasa kesepian dan tidak berarti. Hanya kalau dia berada di luar rumahnya, sedang melakukan tugas, dia bebas dari rasa kesepian itu.
Memang hati dan akal pikiran ini selalu membutuhkan sesuatu untuk ditempel atau diikat. Kalau ada sesuatu yang dimiliki, barulah diri merasa ada artinya! Makin penting yang dimilikinya itu, makin berharga, akan semakin besar pula arti diri. Baik yang dimiliki itu berupa kedudukan, nama besar, harta benda, kepercayaan, atau orang-orang yang dicinta, apa saja yang mendatangkan kesenangan, maka hidup seakan-akan baru ada artinya karena membutuhkan dan dibutuhkan!
Inilah sebabnya, ikatan inilah yang mendatangkan rasa kecewa, sakit dan duka kalau kita ditinggalkan sesuatu yang kita miliki dan kita senangi itu, entah itu nama besar, kepopuleran, harta benda, orang yang disenangi, atau apa saja. Si-aku baru berarti dan “hidup” apa bila ada yang ditempeli atau diikatnya. Makin banyak ikatan, akan semakin hidup dan berarti rasanya! Kita lupa bahwa semua yang kita anggap, sebagai milik itu hanyalah aku-akuan
100
saja, hanya sementara saja seolah-olah hanya dipinjamkan dan sekali waktu pasti akan berpisah dari kita.”
“Aihh, habis mau bagaimana lagi, Li-hiap? Aku adalah seorang duda, kehilangan anak isteri. Dan untuk keperluanku seorang diri saja, cukup dengan bantuan dua orang pelayan pria dan seorang pelayan wanita yang kau lihat tadi,” kata Cian Hui.
Liong-li tersenyum dan karena ia tersenyum wajar, bukan senyum buatan sebagai pelengkap penyamaran, maka “nenek” itu kini nampak manis sekali!
“Cian Ciang-kun, engkau seorang yang pandai dan cerdik, mengapa bicaramu seperti seorang kakek-kakek yang lemah dan putus asa saja? Engkau masih muda, engkau jantan dan gagah menarik, memiliki kedudukan yang baik, tidak kekurangan harta benda, juga berilmu, pandai ilmu silat dan juga menjadi seorang penyelidik yang terkenal. Kalau engkau kehendaki. banyaklah gadis cantik jelita yang ingin dan suka sekali menjadi isterimu. Engkau tinggal pilih saja dan kalau engkau mempunyai seorang isteri lagi, besar harapan engkau mempunyai keturunan dan membangun sebuah keluarga baru di dalam rumahmu ini.”
“Ah, cukuplah, Li-hiap. Apa yang kau ucapkan itu sudah diucapkan pula oleh banyak sahabatku. Dan akupun pernah mencoba untuk memilih-milih seorang wanita sebagai pengganti isteriku. Namun sampai sekarang belum juga berhasil! Kalau bukan ada sesuatu pada dirinya yang tidak kusenangi, atau ada suatu sikapnya yang tidak cocok denganku, tentu ia seorang yang
101
kuanggap terlalu muda bagiku. Ahhh, semua usahaku sia-sia dan aku menjadi putus asa. Biarlah, aku tinggal menduda saja.
“Dan bagaimana dengan dirimu, Li-hiap? Jangan engkau hanya menasihati aku saja. Lihat dirimu! Engkau seorang yang cantik jelita, berilmu tinggi, kaya raya. Namun engkau tinggal membujang, tidak berumah tangga, tidak bersuami. Pada hal mencari seorang wanita seperti engkau ini di dunia hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja! Kalau ada seorang wanita yang sepersepuluhmu saja baiknya, tentu aku sudah menikah lagi!”
“Ih, ngawur! Engkau terlalu memujiku dan merendahkan dirimu sendiri, Ciang-kun. Terus terang saja, akupun amat kagum dan suka padamu. Seperti engkau inilah seorang di antara para pria yang kuanggap hebat untuk dijadikan suami.”
SEPASANG mata perwira itu terbelalak.
“Be.... benarkah itu, li-hiap? Benarkah kata-katamu itu? Aduh, kalau saja engkau suka dan mau, ah, kalau saja engkau dapat hidup di rumahku ini sebagai teman hidupku selamanya, sebagai isteriku, akan sempurnalah hidup ini!”
“Huh, melantur kau, Ciang-kun! Aku tidak mau terikat menjadi isteri siapapun, kalau menjadi teman baik sekali mungkin...... akan tetapi sudahlah, kelak saja kita bicara tentang urusan pribadi. Kita menghadapi tugas penting yang harus kita selesaikan. Nah, sekarang engkau harus mencarikan jalan bagiku agar aku dapat menyelundup ke dalam istana sebagai seorang gadis dusun yang menjadi seorang dayang, pelayan atau apa saja, Ciang-kun.”
102
Cian Hui menarik napas panjang. Hatinya dipenuhi harapan muluk! Kalau saja wanita ini dapat menjadi isterinya! Liong-li telah, berterus terang mengatakan bahwa ia kagum dan suka kepadanya, dan suka pula menjadi teman baiknya. Seorang wanita yang bukan main! Hebat!
“Baiklah, li-hiap. Aku akan menghubungi sahabatku yang boleh dipercaya dan yang bertugas di dalam istana agar engkau dapat diselundupkan di sana. Hal itu mungkin akan makan waktu dua-tiga hari dan sementara itu, harap engkau suka tinggal dulu di sini. Selama aku pergi, anggaplah ini rumahmu sendiri, li-hiap. Tiga orang pelayanku akan kupesan agar mereka mentaati semua perintahmu.”
“Tidak perlu sungkan, Ciang-kun. Asal aku mendapatkan sebuah kamar di sini sudahlah cukup dan tiga orang pelayanmu bahkan jangan mendatangi kamarku kalau tidak kupanggil. Kalau aku membutuhkan sesuatu, aku akan memanggil seorang di antara mereka. Akupun tidak bisa tinggal diam saja. Selagi engkau mencari hubungan dengan orang dalam istana itu, akupun akan menggunakan waktu dua-tiga hari ini untuk melakukan penyelidikan, terutama di waktu malam, dengan jalan meronda. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)!”
Cian Hui mengangguk-angguk. “Baiklah, Li-hiap, akan tetapi harap engkau berhati-hati karena menurut berita yang kuperoleh, Si Bayangan Iblis itu lihai bukan main dan dapat bergerak seperti iblis saking cepatnya.”
103
Malam hari itu, setelah cuaca gelap sesosok bayangan hitam berkelebat di atas wuwungan rumah gedung tempat tinggal Cian Ciang-kun. Tiga orang pelayan perwira itu sama sekali tidak melihat bayangan itu, tidak tahu bahwa bayangan itu adalah bayangan “nenek” yang menjadi tamu tuan mereka.
Memang Liong-li tidak ingin ada orang melihatnya ketika ia mulai melakukan penyelidikan di kota raja. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan sengaja menutup mukanya dengan saputangan hitam, hanya nampak sepasang matanya saja yang jeli mencorong tajam. Rambutnya juga ditutup kain hitam, bahkan pedang pusaka Hek-liong-kiam yang biasanya tidak pernah berpisah darinya, pada saat itupun tidak dibawanya dan disembunyikan di suatu tempat yang aman.
Hal ini menunjukkan bahwa Liong-li tidak ingin ada orang mengetahui bahwa si topeng hitam itu adalah Hek-liong-li! Hal ini penting sekali. Ia akan menyelundup ke dalam istana dan biarpun ia menyelundup sambil menyamar, akan tetapi siapa tahu pihak lawan bermata tajam dan lihai. Pendeknya, jangan sampai lawan mengetahui bahwa yang kini sedang bergerak di kota raja membantu Cian Ciang-kun adalah Hek-liong-li. Bergerak secara rahasia begini ia akan dapat merasa lebih leluasa.
Setelah berhasil keluar dari rumah besar itu, tubuhnya berkelebat dengan cepatnya menembus kegelapan malam dan kalau tidak kebetulan ada orang lain yang berada di dekatnya, tentu tidak akan nampak jelas bayangan hitam yang berkelebatan itu. Dan mungkin saja ia yang akan dikira tokoh yang biasa diberi sebutan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) karena memang gerakannya itu
104
seperti beterbangan saja saking cepatnya. Dan iapun tidak melalui jalan yang ramai, melainkan menyelinap dan menyusup di balik pohon dan rumah, kadang-kadang kalau terpaksa melalui bagian yang ramai ia melompat ke atas wuwungan rumah dan berloncatan dari genteng rumah yang satu ke rumah yang lain.
Demikianlah, semalam itu Liong-li melakukan perondaan. Ia melihat betapa banyaknya orang yang berkeliaran secara rahasia, maka iapun kagum melihat cara Cian Ciang-kun bekerja. Tidak salah lagi, orang-orang yang berkeliaran dan berjaga-jaga di segala tempat itu, tentulah anak buah yang disebar oleh Cian Ciang-kun!
Ia telah mendekati pula tembok pagar istana yang dijaga ketat. Alangkah kuatnya penjagaan di sana dan seekor burungpun kalau terbang lewat akan ketahuan penjaga, apa lagi seorang manusia. Agaknya, tidak akan mungkin kalau ia harus memasuki kompleks istana di balik pagar itu tanpa diketahui penjaga. Ia hanya mengelilingi kompleks istana itu dari luar pagar tembok. Hal inipun harus ia lakukan dengan hati-hati sekali karena di luar pagar tembokpun penjagaan amat ketatnya.
Tidak ada terjadi sesuatu yang menarik malam itu. Kecuali memergoki beberapa orang yang mencurigakan dan ketika ia bayangi ternyata mereka itu hanyalah maling-maling biasa yang mencari korban di malam itu, dan yang ia biarkan saja karena tidak ada hubungannya dengan tugasnya, ia tidak melihat sesuatu yang dapat dihubungkan dengan Kwi-eng-cu. Dengan hati agak kecewa dan penasaran, menjelang pagi Liong-li kembali ke rumah Cian Ciang-kun dan memasuki kamarnya tanpa
105
diketahui tiga orang pelayan. Iapun tidak tahu apakah Cian Hui sudah berada di dalam kamarnya.
Pada siang harinya Liong-li keluar dari dalam kamarnya. Ia telah mandi dan makan sarapan pagi yang ia minta dari seorang pelayan wanita. Mendengar suaranya, Cian Ciang-kun segera datang menemuinya. Perwira itupun kelihatan lelah seperti orang yang kurang tidur. Begitu bertemu, Cian Hui mempersilakan Liong-li duduk dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam setelah pelayan menghidangkan minuman dan mengundurkan diri tanpa diperintah.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu semalam, li-hiap?”
Liong-li mengangkat muka, sepasang mata yang tajam di balik penyamaran wajah nenek keriput itu menatap wajah Cian Hui penuh selidik. “Engkau tahu bahwa aku semalam meninggalkan kamarku, Ciang-kun?”
Cian Hui tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Sebelum engkau pergi, aku telah lebih dahulu meninggalkan rumah, dan tiga orang pelayanku sama sekali tidak melihat engkau pergi. Akan tetapi, ada seorang di antara orang-orangku yang bertugas jaga dan meronda malam tadi, melihat berkelebatnya bayangan hitam. Dia melapor kepadaku dan akupun menduga bahwa bayangan itu tentu engkau.”
“Kenapa aku? Bukankah mungkin bayangan itu adalah Si Bayangan Iblis?”
106
“Sudah kuceritakan kepadamu, li-hiap, bahwa Si Bayangan Iblis itu merupakan bayangan yang menakutkan tinggi besar dan juga di kepalanya ada dua tanduk! Akan tetapi, pembantuku yang melapor tadi mengatakan hahwa bayangan hitam itu hanya berkelebat cepat, akan tetapi jelas kepalanya tidak bertanduk dan juga tubuhnya ramping. Karena engkau kemarin sudah memberitahu kepadaku bahwa malam ini engkau hendak melakukan penyelidikan, maka tentu saja mudah bagiku untuk mengambil kesimpulan bahwa engkaulah bayangan itu. Tidak benarkah dugaanku, li-hiap?”
Liong-li mengangguk. “Aku melihat orang-orangmu itu, Cian Ciang-kun. Suatu usaha penjagaan yang cukup ketat dan baik. Akan tetapi aku melihat betapa di sekeliling tembok istana tidak terdapat orangmu yang berjaga melakukan pengamatan, Ciang-kun.”
Cian Hui menarik napas panjang dengan wajah kesal. “Tadinya memang ada kutaruh orang-orang di sekeliling istana, li-hiap. Akan tetapi hanya satu malam saja karena pada kesokan harinya aku ditegur oleh panglima pasukan keamanan yang bertugas untuk menjaga bagian luar istana. Pengamatan orang-orangku itu membuatnya tersinggung, seolah-olah aku tidak percaya kepada pasukan yang dipimpinnya. Terpaksa aku menghentikan penjagaan di sekeliling istana, li-hiap.”
“Hemm, sungguh sulit sekali kalau keadaannya seperti itu. Biarpun tidak mungkin orang keluar masuk melompati pagar tembok istana tanpa diketahui penjaga, namun sangat besar kemungkinannya di beberapa tempat terdapat pintu rahasia dari
107
mana orang dapat keluar masuk. Dan kalau benar terdapat pintu rahasia, maka seorang yang memiliki gerakan cepat dapat keluar masuk tanpa diketahui penjaga yang berjaga di atas tembok pagar itu.
“Semalam aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi malam ini aku akan melakukan penyelidikan lagi. Dan bagaimana dengan hasil yang kaudapatkan, Ciang-kun?”
“Sudah kuhubungi dan sahabatku itu sedang mengusahakan agar engkau dapat diselundupkan masuk sebagai seorang dayang baru, li-hiap. Dia harus lebih dulu menghubungi kepala Thai-kam dan beberapa orang pejabat yang berwenang mengurus hal itu. Paling cepat lusa baru engkau akan dapat memasuki istana.”
“Bagus, kalau begitu masih ada dua malam lagi untuk melakukan perondaan. Siapa tahu akan menemukan sesuatu. Sekarang aku minta agar engkau suka memperkenalkan nama dan keadaan orang-orang penting di dalam istana, juga aku ingin mengetahui orang-orang di luar istana yang sekiranya terancam bahaya pembunuhan Kwi-eng-cu, yaitu orang-orang yang dekat dengan kaisar. Siapa tahu, sewaktu aku meronda, orang-orang ini didatangi pembunuh.”
Dengan senang hati Cian Ciang-kun memperkenalkan nama para pejabat tinggi di dalam istana, dari Kaisar, Permaisuri, Putera Mahkota yang masih kecil, kepala Thai-kam yang ada beberapa orang komandan-komandan pasukan pengawal luar dan dalam istana, dan sebagainya lagi.
108
Juga Cian Ciang-kun memceritakan kepada Liong-li tentang kekuasaan Permaisuri atas diri Kaisar, betapa Permaisuri itu yang sekarang memegang kendali pemerintahan, walaupun yang menandatangi semua keputusan masih kaisar. Juga perwira ini dengan hati-hati menceritakan desas-desus yang didengarnya tentang penyelewengan-penyelewengan gelap yang dilakukan permaisuri.
Liong-li mendengarkan semua itu dengan tenang dan tidak merasa heran. Sudah lama ia mengetahui akan kehidupan para wanita di dalam istana seorang kaisar yang memiliki puluhan, bahkan sampai ratusan orang wanita yang melayaninya. Tidak mengherankan kalau seorang permaisuri sampai melakukan penyelewengan gelap. Suaminya, sang kaisar melakukan penyelewengan secara berterang, bukan dengan hanya seorang dua orang wanita, bahkan dengan puluhan atau ratusan orang! Betapapun juga, desas-desus itu dapat pula dicatat sebagai sesuatu yang penting karena siapa tahu, hal itu ada pula hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan misterius itu.
Ia mencatat pula para pangeran dan puteri kaisar yang tinggal di dalam istana, wajah mereka, usia mereka, nama mereka. Ia harus menghafal semua itu karena ternyata jumlah nama yang harus dikenal dan dihafalnya, terdapat puluhan orang! Sudah dapat ia bayangkan, betapa akan sukarnya menyelidiki orang sebanyak itu di dalam kompleks istana yang terjaga ketat. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir. Ia tidak akan mencari, melainkan akan memaksa dan memancing Si Bayangan Iblis untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan memperkenalkan diri kepadanya!
109
Seperti malam pertama, pada malam kedua Liong-li melakukan perondaan, dan sekali ini tempat-tempat yang ia kunjungi sudah tertentu, yaitu tempat tinggal para pejabat tinggi yang oleh Cian Ciang-kun dianggap mungkin sekali didatangi Si Bayangan Iblis. Akan tetapi, malam itupun sunyi saja, dan agaknya Si Bayangan Iblis menghentikan pembunuhan-pembunuhan misterius itu untuk sementara. Apakah si Bayangan Iblis sudah tahu bahwa ada seorang wanita sakti sedang berkeliaran melacak jejaknya?
Namun, Hek-liong-li bukan seorang yang mudah putus asa. Pada malam ketiga, kembali ia melakukan perondaan. Tengah malam telah tiba ketika bayangannya berkelebat di dekat rumah gedung tempat tinggal Ciok Tai-jin, seorang pembantu Menteri bagian Pemungutan Pajak, seorang pejabat tinggi yang menurut keterangan Cian Ciang-kun, amatlah setia dan jujur, dan karena adanya Ciok Tai-jin inilah maka rakyat tidak dikenakan pajak semena-mena, juga yang berpenghasilan besar tidak mampu mengelak dari kewajiban membayar pajak. Mereka yang bekerja di bawah Ciok Tai-jin, tidak ada yang berani menyelewengkan uang pajak, atau menerima suapan dari pedagang besar agar pajaknya diperkecil, atau menekan rakyat yang tak berdaya dengan gertakan-gertakan mengandalkan kedudukan dan kekuasaan mereka.
Penyelewengan para pejabat dapat dilaksanakan dengan lancar dan baik, segala bentuk penyelewengan atau korupsi dapat dibasmi kalau dimulai dari atas! Kalau Sang Kaisar jujur dan bersih, tidak korupsi, sudah pasti Kaisar mampu dan berani untuk bertindak tegas dan keras terhadap para Menteri yang berani melakukan korupsi. Kalau Menterinya sudah tidak korupsi, tentu
110
dia akan berani melakukan tindakan tegas terhadap para pejabat tinggi kepala daerah yang membantunya. Dan demikian seterusnya, kalau atasannya bersih, dia berani bertindak terhadap bawahannya sehinggga sampai di kalangan yang paling bawah tidak akan berani melakukan penyelewengan karena atasannya yang bersih selalu bersikap tegas.
Sebaliknya, biar ditindak dengan keras bagaimanapun juga terhadap seorang pejabat, kalau dia melihat atasannya juga menyeleweng, tentu akan sukar membuat dia jera atau sadar. Juga atasan yang menyeleweng tidak akan berani menegur bawahannya yang menyeleweng. Bagaikan seorang bapak dalam sebuah keluarga, dialah yang harus lebih dulu membersihkan diri baru dia akan dapat menegur anak-anaknya kalau mereka itu menyeleweng dan tegurannya itu akan ditaati.
Kalau si ayah penjudi, betapa mungkin dia melarang anak-anaknya agar tidak berjudi? Dia baru dapat melarang, menegur, bahkan menghukum anak-anaknya yang berjudi kalau dia sendiri tidak berjudi. Bukankah demikian kenyataannya? Sekali lagi, pemberantasan korupsi baru akan berhasil dengan gemilang kalau pembersihan dilakukan dari atas, terus menekan ke bawah!
Demikian pula halnya dengan Ciok Tai-jin, Pembantu Menteri Pajak itu. Dia seorang pejabat tinggi yang bersih dan jujur lagi setia. Bahkan saking jujurnya, namanya terkenal sebagai seorang di antara pejabat teladan atasannya sendiri, Sang Menteri Pajak akhirnya juga terseret ke arah yang baik karena atasan ini merasa malu hati terhadap pembantu atau wakilnya!
111
Dan Ciok Tai-jin ini merupakan seorang di antara mereka yang disebut oleh Cian Hui, yaitu mereka yang mungkin sekali menjadi incaran Kwi-eng-cu atau Si Bayangan Iblis karena dia adalah seorang yang setia kepada Kaisar dan penentang segala bentuk penyelewengan sehingga dia amat dihormat dan dipercaya oleh kaisar.
Liong-li sudah merasa kesal karena malam ini adalah malam terakhir kalau besok pagi ia dapat diselundupkan ke istana, dan ia belum pernah melihat sesuatu yang mencurigakan. Akan sia-sialah ia membuang waktu, tenaga dan berkorban tidak tidur selama tiga malam selama ini?
Ia bersembunyi di balik sebatang pohon yang tumbuh di kebun belakang rumah besar itu setelah tadi ia melakukan pemeriksaan di seluruh permukaan atap rumah itu tanpa berjumpa dengan sesuatu yang mencurigakan. Ia juga melihat beberapa orang petugas jaga di gardu jaga pekarangan depan, dan melihat pula beberapa bayangan orang kadang-kadang lewat di jalan depan rumah. Ia menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah anak buah Cian Ciang-kun. Akan tetapi apa artinya semua penjaga dan juga anak buah Cian Ciang-kun itu kalau benar ada seorang pembunuh yang berilmu tinggi datang? Takkan ada yang dapat melihatnya kalau pembunuh itu mempergunakan ilmunya.
Buktinya, ia sendiri dapat memasuki kebun, bahkan melakukan penyelidikan ke atas atap tanpa ada yang mengetahuinya. Andaikata ia si pembunuh misterius itu, alangkah akan mudahnya menyelinap masuk dan mencari Ciok Tai-jin untuk dibunuhnya!
112
Tubuhnya juga mulai merasa lelah, karena terbawa kesalnya hati tidak mendapatkan hasil apapun dalam penyelidikannya. Selagi ia ragu-ragu apakah tidak akan ditinggalkannya saja dan dihentikannya penyelidikannya malam itu, tiba-tiba ia terbelalak dan seluruh syaraf di tubuhnya menegang, jantung berdebar tegang dan iapun siap siaga.
Ada bayangan berkelebat dan bayangan ini jelas bukan bayangan anak buah Cian Ciang-kun, karena bayangan itu berkelebat melompati pagar tembok dan kini bayangan itu menyelinap di sebelah dalam kebun, bersembunyi di balik batang pohon! Agaknya setelah meloncati pagar tembok, bayangan itu cepat bersembunyi untuk melihat apakah keadaan di dalam pagar tembok itu aman.
Liong-li tidak berani bergerak sedikitpun agar orang itu tidak curiga. Tadi bayangan itu berkelebat cepat sekali seperti seekor burung saja ketika melayang dan melewati pagar tembok. Demikian cepatnya sehingga yang dilihatnya hanya bayangan saja dan ia tidak tahu bagaimana bentuknya, tidak tahu apakah bayangan itu memiliki tanduk ataukah tidak!
Tak lama kemudian, ia melihat lagi bayangan itu berkelebat, kini sudah dekat sekali dengan rumah gedung Ciok Tai-jin. Liong-li terkejut bukan main. Bayangan itu memang pantas disebut Bayangan Iblis karena tanpa diketahuinya, tahu-tahu bayangan itu telah menyusup dan telah dekat dengan rumah, dan kini bayangan itu berdiri dekat sinar lampu gantung di sudut rumah sehingga nampak bayangannya yang tinggi besar dan jantungnya
113
berdebar tegang ketika ia melihat dua benda hitam mencuat dari kepala bayangan itu. Bayangan itu bertanduk!
“Kwi-eng-cu (Bayangan iblis)......!” serunya dalam hati dan Liong-li cepat menyusup dan mendekat. Pada saat bayangan itu melayang naik ke atas wuwungan rumah, tubuh Liong-li juga melayang dan menyusul dengan cepat sekali karena iapun mengerahkan seluruh tenaga gin-kang sehingga tubuhnya seperti seekor naga hitam menerjang awan.
Kini si Bayangan Iblis yang terkejut nampaknya ketika tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dan seorang berpakaian serba hitam berkedok hitam yang bertubuh ramping telah berdiri di depannya! Liong-li juga memperhatikan orang itu. Memang tinggi akan tetapi tidak begitu besar, dan “tanduk” itu sesungguhnya bukan tanduk, melainkan kedok yang bagian atas kepalanya meruncing ke atas kanan kiri sehingga kalau dilihat dari jauh atau hanya sekelebatan saja memang mirip tanduk.
Akan tetapi, Liong-li tidak sempat mengamati dengan jelas, bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba saja, tanpa mengeluarkan suara, si Bayangan Iblis itu telah menerjangnya dengan gerakan yang luar biasa cepatnya!
“Hemmm......!” Liong-li melempar tubuh ke samping sambil berjungkir balik. Tentu jarang ada yang mampu menghindarkan diri dari hantaman tangan kiri disusul totokan tangan kanan tadi, pikirnya.
Si Bayangan Iblis sendiri agaknya juga terkejut dan heran. Memang jarang sekali dia bertemu orang yang mampu
114
menyelamatkan diri dari serangannya tadi. Biasanya dia tidak mau bekerja setengah-setengah, sekali serang tentu lawan roboh dan tewas, maka dia selalu mempergunakan jurus pilihan dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Namun, sekali ini dia kecelik karena orang berkedok hitam ini mampu menghindarkan diri, bahkan kini dari samping, lawannya membalas dengan serangan kaki. Kaki itu mencuat dalam bentuk tendangan yang mengarah lambungnya!
“Wuuuuttt......!” Tendangan Liong-li luput! Hal inipun memperingatkan Liong-li bahwa ia berhadapan dengan lawan yang tangguh sekali. Tendangannya tadi merupakan serangan yang dahsyat dan amat diandalkan, namun lawannya mampu mengelak dengan mudah!
“Huhh!” Suara ini keluar dari balik kedok lawannya, suara yang seperti mengejek atau mendengus, keluar dari hidung, kemudian orang itupun menyerang kalang kabut dan Liong-li semakin kagum. Bukan main hebatnya serangan lawannya, setiap gerakan tangannya mengandung tenaga yang amat dahsyat dan kuat, dan kecepatannya pun mengagumkan.
Di samping itu, gerakan silatnya juga aneh sehingga ia tidak mampu mengenalnya. Untuk mengukur tenaga lawan, ketika lengan kanan lawan itu menyambar dengan cengkeraman ke arah kepalanya, Liong-li menyambut dengan lengan kanan pula sambil miringkan tubuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.
“Dessss......!!” Hebat bukan main akibat pertemuan dua buah lengan yang dipenuhi sin-kang (tenaga sakti) yang sudah
115
mencapai tingkat tinggi itu. Tubuh Liong-li terpental dan ia harus mempergunakan kelincahannya, melakukan pok-sai (salto) sampai lima kali baru kakinya turun ke atas genteng dengan ringan. Adapun lawannya terdorong mundur dan kakinya terjeblos ke dalam genteng yang jebol!
Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih kuat, akan tetapi kini Liong-li sudah siap lagi karena orang itu sudah meloncat dan menyerangnya lagi, dan terjadilah perkelahian yang amat hebat di atas wuwungan rumah itu.
Melihat betapa lawan sangat marah dan bersemangat melakukan penyerangan, Liong-li bersikap tenang, lalu ia mainkan langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw. Tubuhnya bergerak-gerak, kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun tubuhnya dapat menyelinap di antara kedua tangan dan kaki lawan yang menyambar-nyambar dengan ganasnya!
Keributan di atas genteng ini, apa lagi ketika kaki Kwi-eng-cu (si Bayangan Iblis) tadi terjeblos ke dalam genteng, tentu saja terdengar oleh para penjaga yang segera berlarian dan mereka itu memasang obor. Bahkan ada beberapa orang anak buah Cian Ciang-kun yang kebetulan meronda lewat, segera berdatangan dan tiga orang sudah meloncat naik ke atas genteng dengan senjata di tangan.
Sejak melihat sinar-sinar obor, Kwi-eng-cu nampak gugup dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan marah ketika melihat tiga orang berloncatan naik ke atas genteng. Tiba-tiba tangan kanan kirinya bergerak dan Liong-li cepat mengelak sambil
116
mengebutkan ujung lengan bajunya ketika melihat sinar-sinar hitam kecil menyambar.
Ia terhindar dari sambaran benda-benda yang merupakan senjata rahasia itu, akan tetapi tiga orang yang berlompatan naik berteriak kesakitan dan merekapun roboh di atas genting. Liong-li meloncat dan melakukan pengejaran ketika Kwi-eng-cu melompat jauh dari atas wuwungan itu.
Terjadi kejar-mengejar di atas wuwungan, akan tetapi si Bayangan Iblis itu sudah melompat turun dan lenyap di antara pohon-pohon di dalam kebun. Liong-li juga melompat turun. Ia masih sempat melihat orang yang dikejarnya itu melompati pagar tembok, maka diapun cepat lari mengejar dan melompati pagar tembok, tidak perduli kepada para penjaga keamanan yang melihat mereka dan berteriak-teriak mengejar dengan obor di tangan kiri dan golok di tangan kanan.
Sayang malam itu gelap sehingga ketika dia tiba di luar pagar tembok rumah Ciok Tai-jin, ia kehilangan jejak. Akan tetapi, ia melihat sesosok bayangan lari di depan.
“Hemm, hendak lari ke mana kau?”' teriaknya dan iapun mengejar sambil mengerahkan tenaga. Dan sekali ini ia berhasil menyusul bayangan itu dan tiba-tiba, Bayangan itupun membalik dan menusukkan pedangnya ke arah dada Liong-li!
“Hemm......!” Liong-li mengelak dengan mudah saja dan iapun membalas dengan tendangan kakinya. Lawannya menarik pedang dan miringkan tubuh, lalu pedang di tangannya itu menyambar turun untuk memapaki kaki Long-li yang menendang.
117
Liong-li tersenyum mengejek, menarik kakinya dan kini tangan kirinya menyambar ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan kanannya menotok ke arah siku kanan yang menonjol ke samping! Gerakannya cepat sekali dan lawannya mengeluarkan seruan kaget lalu melompat be belakang.
“Hemmmm......!” Liong-li berseru juga dengan heran lalu kakinya menyambar dahsyat. Orang itu mengelak lagi, akan tetapi pinggangnya masih kena dicium pinggir sepatu Liong-li sehingga dia terhuyung, lalu dia membalikkan, tubuhnya dan lari!
“Ehhh?” Liong-li merasa semakin heran.
Orang berkedok dan berpakaian hitam ini serupa benar dengan yang ditempurnya di wuwungan rumah tadi, akan tetapi ia merasakan dengan jelas bahwa tingkat kepandaian orang pertama tadi jauh lebih tinggi dari pada kepandaian orang berpedang ini, walaupun yang kedua inipun merupakan lawan tangguh! Ia merasa curiga sekali dan menduga bahwa agaknya ada dua orang Kwi-eng-cu!
“Hemm, hendak lari ke mana kau?” teriaknya dan iapun melakukan pengejaran.
Kota raja sudah sunyi sekali karena malam sudah amat larut, sudah jauh lewat tengah malam. Hanya orang mabok saja yang masih berkeliaran di jalan raya, akan tetapi karena mereka itu mabok, tentu saja melihat dua orang lari berkejaran mereka tidak mengambil pusing.
118
Aku harus tahu di mana sarangnya, pikir Liong-li. Akan tetapi, orang itu tidak lari ke arah istana seperti yang disangkanya, bahkan yang diharapkannya, melainkan lari ke arah selatan menjauhi istana! Pintu gerbang selatan memang tidak jauh dari situ.
Biar dia lari dari pintu gerbang, pikir Liong-li. Menurut Cian Ciang-kun, pada waktu itu, pintu-pintu gerbang kotaraja di jaga ketat, maka kalau si bayangan hitam itu lari ke situ, tentu akan ketahuan dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri keluar pintu gerbang.
Akan tetapi, ia menahan seruan kagetnya ketika melihat orang yang dikejarnya itu terus saja berlari menghampiri pintu gerbang, dan setelah tiba di pintu yang tertutup itu, tubuhnya meloncat ke atas dan tidak ada seorang pun penjaga yang mencegah perbuatannya atau yang kelihatan menghadang atau berteriak menegur!
Tentu saja Liong-li tidak memperdulikan keadaan itu dan terus mengejar dengan melompat ke atas pintu gerbang pula, melalui bangunan gardu seperti yang dilakukan orang yang dikejarnya. Setelah tiba di luar pintu gerbang, ia terus mengejar karena melihat si Bayangan Iblis itu lari ke arah kiri. Akan tetapi, yang dikejarnya itu lenyap di balik sebatang pohon besar. Untung banyak bintang kini bermunculan di langit yang telah ditanggalkan awan sehingga biarpun remang-remang cuaca tidaklah terlalu gelap.
Ketika ia tiba di dekat pohon, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Ia mengelak dan membalas serangan orang itu. Kiranya si
119
Bayangan Iblis telah menyerangnya dengan pedangnya. Tendangannya membuat lawannya menarik pedang yang kini diangkat tinggi dan dibacokkan ke arahnya. Akan tetapi tanpa menggerakkan kakinya, dengan tendangan berantai, Liong-li “memasuki” dada yang terbuka itu.
“Desss!” Perut orang itu bertemu dengan tumitnya dan orang itupun terjengkang. Dia bergulingan dan menggerakkan tangan kiri. Liong-li yang mengejar, terpaksa mengelak untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia sehingga orang itu memperoleh kesempatan untuk lari lagi.
“Jangan lari kau!” bentak Liong-li akan tetapi lawan telah menghilang di balik batang pohon di depan.
Ketika ia mengejar, tiba-tiba ada lagi serangan dari kiri. Ini tidak mungkin orang yang lari tadi, pikirnya heran, apa lagi ketika serangan itu jauh lebih dahsyat dari pada orang tadi, walaupun bayangan itu masih sama gesitnya, dan juga berpedang.
Demikian cepat dan dahsyatnya serangan ini sehingga Liong-li terkejut, nyaris pundaknya terbabat pedang. Untung ia masih sempat menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw sehingga biarpun terhuyung, ia mampu menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi itu.
Kemudian, di dalam keremangan cuaca, ia melihat sebatang ranting pohon di bawah pohon di mana mereka berkelahi. Ketika pedang membabat dan berputaran untuk menutup semua jalan keluar, Liong-li menggunakan tubuhnya dan menyambar ranting
120
itu. Sambil meloncat, ujung rantingnya menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.
“Auhh!” Orang itu tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Liong-li dalam menggunakan senjata yang hanya berupa sebatang ranting itu! Tentu saja Liong-li lihai bukan main memainkan ranting karena selain ilmu pedang, juga ia telah mewarisi ilmu silat tongkat dari suhunya, yaitu Huang-ho Kui-bo yang merupakan tokoh sakti yang terkenal dengan ilmu tongkatnya! Bahkan ilmu pedangnya juga bersumber dari ilmu memainkan tongkat ini!
Namun orang itu ternyata lihai juga. Biar pun pergelangan tangan kanannya tertotok ujung ranting, sehingga pedangnya terlepas, namun pedang itu dapat disambar oleh tangan kirinya dan iapun memutar pedangnya dengan marah. Liong-li terpaksa melangkah mundur menghindarkan sambaran pedang. Akan tetapi pada saat itu, lawannya melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri memasuki sebuah hutan kecil.
Liong-li adalah seorang wanita yang selain sakti, juga cerdik bukan main. Melihat lawannya melompat ke dalam hutan yang gelap, ia tidak mau mengejar. Apa lagi ia tadi merasa dilawan oleh tiga orang yang berlainan, walaupun mereka semua mengenakan pakaian dan kedok yang sama, dan ketiganya lihai dan memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.
Ia tidak mau masuk perangkap lawan. Selain itu, iapun tidak mau menanti sampai hari menjadi terang karena ia sendiripun melakukan penyamaran dan tidak ingin dikenal orang. Maka,
121
iapun cepat memutar tubuhdan lari secepatnya menuju ke pintu gerbang.
Ia harus menyelidiki para penjaga pintu gerbang, kenapa mereka itu sama sekali tidak menegur dan tidak menghalangi ketika ia berkejaran dengan Si Bayangan Iblis keluar dari Kota raja melalui pintu gerbang tadi. Apakah para penjaga itu termasuk sekutu Si Bayangan Iblis?
Setelah Liong-li memasuki gardu penjagaan dan melihat belasan orang perajurit penjaga pintu gerbang itu, barulah ia tahu mengapa Si Bayangan Iblis mampu keluar dari pintu gerbang tanpa terganggu para penjaga. Kiranya para penjaga itu semua dalam keadaan pingsan tertotok!
Makin yakinlah hatinya bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan hanya satu orang saja! Yang bertempur dengannya tadi saja ia taksir tiga orang yang berlainan, dan mungkin lebih banyak lagi melihat bahwa ada pula yang menotok para penjaga sampai pingsan. Ia tidak menyadarkan para penjaga. Biarlah, ini bagian Cian Ciang-kun untuk menyelidiki dan menanyai mereka. Iapun terus saja memasuki kota dan menuju ke rumah Cian Ciang-kun.
Akan tetapi ketika ia melewati rumah itu, perasaannya yang peka itu memberi isyarat kepadanya dan kecerdikannya pun bekerja. Tidak, pikirnya, ia tidak boleh memasuki rumah Cian Ciang-kun! Siapa tahu kalau ada pihak lawan yang membayanginya. Kalau ia tadi mampu membayangi lawan, kini berbalik mungkin sekali lawan membayanginya sejak di luar kota tadi!
122
Kalau benar demikian, tentu mereka akan mengetahui bahwa ia tinggal di rumah Cian Ciang-kun sehingga akan terbongkarlah rahasianya! Dan hal ini berbahaya sekali! Tidak, ia harus dapat menghilangkan jejaknya sebagai si kedok hitam yang jelas menentang pembunuh misterius yang berjuluk Kwi-eng-cu itu.
Tanpa ragu dan tanpa menengok sedikitpun ke arah rumah Cian Ciang-kun maupun ke belakang, Liong-li terus saja bergerak menuju ke sebuah kuil! Tidak ada tempat yang lebih baik untuk menghilangkan jejaknya kecuali di kuil besar itu.
Pada masa itu, agama Buddha sedang berkembang dengan baiknya dan diterima oleh keluarga kaisar, maka kuil yang berada di kota raja amat besar. Banyak dikunjungi tamu, bahkan ada pula tamu-tamu yang sengaja bermalam di kuil itu. Juga di situ penuh dengan hwesio yang beribadat dan saleh.
Selama tiga hari ini, Liong-li sudah berkeliling kota dalam penyelidikannya, dan iapun tidak melewatkan kuil ini. Sudah dikunjunginya beberapa kali sebagai seorang nenek, namun tidak ada yang mencurigakan di kuil itu.
Penyelidikannya membuat ia tahu akan keadaan kuil itu, maka tanpa ragu lagi ia menyelinap masuk ke dalam ruangan depan kuil yang sunyi karena baik para tamu maupun para pendeta sudah beristirahat. Hanya meja sembahyang masih nampak ada lilin bernyala dan asap sisa hio masih memenuhi ruangan.
Ketika memasuki ruangan itu, Liong-li diam-diam melepas pakaian hitamnya, kemudian menyelinap ke tempat yang gelap dan cepat sekali ia merobah penyamarannya. Lima menit
123
kemudian, ketika ia keluar dari tempat gelap, ia telah menjadi seorang nenek keriputan yang membawa buntalan dan berjalan agak bongkok, yang masuk ke ruangan di mana para tamu yang ingin memohon sesuatu di kuil itu bermalam.
Iapun mencampurkan diri dengan para tamu perempuan yang masih tidur dalam ruangan kosong yang luas itu, tidur malang melintang dan iapun merebahkan diri memeluk buntalannya yang sesungguhnya berisi pakaian dan kedok hitamnya tadi. Ia menanti sambil berpura-pura tidur.
Tak lama kemudian ia mendengar gerakan kaki di luar ruangan, lalu sebuah kepala muncul di balik jendela. Sepasang mata yang tajam menyapu ruangan itu. Kepala seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empatpuluh tahun, bermuka persegi dan bermata tajam sekali. Ia melihat orang itu memiringkan kepala dan iapun tahu bahwa orang itu sedang melakukan penyelidikan dengan pendengarannya yang tajam terlatih. Maka iapun mengatur pernapasannya, seperti orang tidur nyenyak.
Tak lama kemudian, kepala itupun menghilang. Akan tetapi ia masih belum mau bergerak. Ia harus berhati-hati. Mungkin lawan yang membayanginya sedang mencari-cari di seluruh kuil karena ia memang tadi menghilang ke dalam kuil.
Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian, kembali kepala itu muncul dan mengamati seluruh ruangan, seluruh perempuan yang tidur, seperti hendak memilih siapa di antara mereka itu orang yang dicarinya. Dan Liong-li tetap saja tidak bergerak, bahkan ia mengeluarkan suara mendengkur lirih! Hatinya
124
tersenyum geli, akan tetapi juga memuji diri sendiri akan ketelitiannya.
Terdengar kepala di jendela itu menghela napas, agaknya kecewa karena kehilangan orang yang dibayanginya. Setelah mengamati semua orang selama hampir seperempat jam lamanya, akhirnya kepala itupun menghilang dan Liong-li mendengar langkah kaki meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa orang itu tidak ada nafsu lagi untuk menyelidiki, buktinya langkahnya berat dan acuh.
Setelah terdengar ayam berkokok dan beberapa orang di antara para tamu wanita itu, ada yang terbangun. Liong-li juga bangun dan berlagak seperti orang yang baru bangun tidur, membereskan rambutnya yang awut-awutan lalu bangkit meninggalkan ruangan itu. Sikap dan penampilannya demikian wajar sehingga tidak mencurigakan siapapun.
Siapa yang akan mencurigai seorang nenek tua yang mungkin mintakan ramalan untuk dirinya, atau mungkin juga memintakan obat untuk cucunya yang sakit, di kuil itu? Dengan terbongkok-bongkok Liong-li yang kini sudah berubah menjadi seorang nenek keriputan itu meninggalkan kuil, terseok-seok dengan muka tunduk berputar-putar dulu untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak dibayangi orang, baru ia melewati gedung Cian Ciang-kun dan memasuki pekarangan.
Tiga orang pelayan itu memandang heran. Mereka tahu bahwa majikan mereka mempunyai seorang tamu, akan tetapi setahu mereka, nenek tua yang menjadi tamu itu tidak pernah
125
meninggalkan kamarnya. Bagaimana sekarang tahu-tahu telah datang dari luar? Untung bahwa Cian Ciang-kun yang sejak pagi menanti dengan gelisah, segera menyambutnya.
“Aih, bibi, sepagi ini engkau sudah berjalan-jalan?” tegurnya dan diapun segera membimbing “bibinya” yang dari dusun itu dan diajaknya masuk.
Tiga orang pelayan itu menggeleng-geleng kepala setelah majikan mereka menggandeng nenek itu masuk. Mereka tahu bahwa majikan mereka adalah seorang yang baik budi, akan tetapi belum pernah mereka melihat majikan mereka mempunyai seorang bibi dari dusun yang sudah tua dan yang agaknya amat dihormati dan disayang oleh majikan mereka. Akan tetapi, tentu saja urusan keluarga itu tidak menarik perhatian mereka.
“Wah, engkau sungguh membuat aku menjadi gelisah bukan main, Li-hiap. Apa saja yang kaudapatkan semalam sehingga engkau sampai pulang terlambat dan sudah menyamar lagi sebagai seorang nenek?” Cian Ciang-kun yang cerdik segera dapat menduga bahwa tentu pendekar wanita itu telah menemukan sesuatu.
Liong-li lalu menceritakan apa yang telah dialaminya semalam, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cian Ciang-kun. Ketika Liong-li bercerita tentang para penjaga pintu gerbang selatan yang pingsan tertotok semua, dia cepat bertepuk tangan dan seorang pelayan pria muncul di ambang pintu.
“Cepat kau pergi keluar dan undang Teng Ciang-kun ke sini. Cepat!”
126
Pelayan itu berlari keluar dan tak lama kemudian dia sudah kembali bersama seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dia adalah Teng Ciang-kun, seorang perwira yang setia membantu Cian Ciang-kun dan tinggalnya pun di bangunan kecil sebelah depan rumah Cian Ciang-kun yang menjadi atasannya.
Teng Ciang-kun memberi hormat tanpa memperdulikan nenek tua yang duduk di situ. Dia adalah seorang petugas yang setia dan amat baik, melaksanakan segala tugas yang diperintahkan atasannya dengan taat dan tidak pernah ingin tahu akan urusan pribadi atasannya. Maka diapun acuh saja melihat hadirnya seorang nenek di situ, hal yang sebenarnya tidak wajar dan tidak seperti biasa.
“Teng Gun, cepat engkau pergi ke pintu, gerbang selatan dan selidiki kepada semua perajurit yang bertugas jaga semalam, apa yang terjadi dengan mereka. Atau lebih baik lagi engkau bawa saja komandan jaganya ke sini, katakan bahwa aku mempunyai kepentingan dengan dia. Sekarang juga!”
Teng Gun atau Teng Ciang-kun memberi hormat lalu pergi. Terdengar suara derap kaki kuda, tanda bahwa dia berkuda agar dapat melaksanakan tugas itu dengan cepat.
Sambil menanti kembalinya Teng Ciang-kun, Cian Hui melanjutkan percakapannya dengan Liong-li.
“Jelaslah sekarang bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu orang saja, Ciang-kun. Yang berkelahi dengan aku sedikitnya ada tiga orang Kwi-eng-cu yang berlainan. Hal ini dapat kukenal dari
127
tingkat kepandaian mereka. Sungguh berbahaya sekali, mereka itu semua amat lihai, terutama orang pertama yang kuhadang di atas genteng rumah Ciok Tai-jin. Terlambat sedikit saja, Si Bayangan Iblis itu tentu sudah masuk dan berhasil membunuh Ciok Tai-jin.”
“Hemm, belum tentu, Li-hiap. Ketahuilah bahwa di dalam rumah wakil Menteri Pajak itu terdapat seorang jagoan yang amat lihai, seorang murid dari orang sakti di Kun-lun-san. Kabarnya jagoan itu murid Kun-lun-pai yang amat tangguh. Karena adanya jagoan itulah maka akupun tidak melakukan penjagaan ketat di dekat rumah Ciok Tai-jin, seperti di rumah para pejabat tinggi lain yang kuanggap mungkin akan diserang oleh Kwi-eng-cu.”
“Hemm, bagus kalau begitu. Dia seorang pengawal pribadi pembesar itu?” tanya Liong-li tertarik.
“Bukan pengawal, melainkan masih anggauta keluarga. Ia adalah keponakan wanita isteri pembesar itu.”
“Hemm, seorang wanita?”
“Ia, seorang wanita yang masih muda dan cantik, sebaya dengan engkau, li-hiap. Kalau orang melihatnya, tentu tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang gemblengan dan lihai sekali. Namanya Sui In dan ia terkenal sekali. Aku sendiri belum pernah melihat kehebatan ilmu silatnya, namun dari kawan-kawan, aku dapat mengukur bahwa tingkat kepandaiannya tentu jauh melebihi tingkatku.”
128
“Wahh.......!” Liong-li berseru kagum. “Tentu hebat sekali wanita itu, dan kalau usianya sebaya denganku, tentu ia telah bersuami.......”
“Memang pernah bersuami, akan tetapi kini ia menjadi janda tanpa anak, karena suaminya menjadi seorang di antara korban-korban pertama pembunuhan Si Bayangan Iblis. “
“Ahhh......!” Liong-li termenung.
“Memang kasihan sekali wanita muda itu. Akan tetapi sudahlah, memang sudah nasibnya dan bukan hanya suaminya saja yang menjadi korban.”
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki dua ekor kuda dan tak lama kemudian muncullah Teng Ciang-kun dan seorang komandan jaga yang nampaknya berwajah kusut dan agak pucat, sinar matanya memandang ketakutan. Ketika bertemu dengan Cian Hui, dia segera memberi hormat sambil menekuk lutut kanannya dan suaranya terdengar penuh permohonan,
“Mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar peristiwa itu tidak dilaporkan kepada panglima. Sungguh mati kami tujuhbelas orang sama sekali tidak berdaya menghadapi bayangan yang bergerak demikian cepatnya, dan tahu-tahu kami sudah kehilangan kesadaran dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Baru pagi tadi kami sadar dan seperti baru bangun dari tidur saja. Semua peristiwa itu bagaikan mimpi saja, akan tetapi ketika kami saling bercakap-cakap, tahulah kami bahwa peristiwa itu bukan mimpi dan kami ketakutan, tidak berani melapor ke atasan karena kami takut dituduln lengah.”
129
“Hemm, coba ceritakan dengan sejelasnya, apa yang telah terjadi, baru akan kupertimbangkan apakah kalian patut dilaporkan ataukah tidak,” kata Cian Hui dengan suara tegas.
Komandan jaga itu menceritakan betapa semalam, ketika sebagian anak buahnya berjaga dan meronda dan sebagian lagi mengaso di gardu, tiba-tiba mereka yang berada di luar gardu berjatuhan tanpa mengeluarkan suara. Ketika para penjaga lainnya keluar, mereka disambut oleh bayangan yang berkelebatan dan merekapun roboh satu demi satu.
“Saya sendiri ketika itu sedang berada di belakang, Mendengar suara berisik di depan, saya segera berlari keluar dan sempat melihat anak buah saya terakhir roboh dan berkelebatnya bayangan.......”
“Seperti apa bayangan itu?” tanya Cian Hui.
Wajah komandan jaga itu semakin pucat dan dengan gelisah dia mengerling ke arah Liong-li, Hatinya diliputi keraguan melihat adanya seorang nenek yang tidak dikenalnya di situ, ikut mendengarkan percakapan yang memalukan itu.
“Hayo katakan. Ini bibiku sendiri, tidak perlu kau sungkan!” kata pula Cian Hui. “Seperti apa bayangan itu?”
“Dia...... dia tinggi besar, bertanduk..... Si Bayangan Iblis.....” suaranya gemetar.
“Lalu apa yang kaulakukan?”
130
“Saya mencabut pedang dan menyerang keluar, mengejar Si Bayangan Iblis dengan nekat. Akan tetapi, tiba-tiba saja pedang saya terlepas dan mata saya menjadi gelap. Tahu-tahu pagi tadi saya siuman seperti yang lain, seperti baru bangun tidur saja.”
Liong-li yang ikut mendengarkan dapat memaklumi peristiwa itu. Si Bayangan Iblis memang lihai bukan main dan memiliki keringanan tubuh dan kegesitan yang luar biasa.
Para penjaga itu adalah perajurit-perajurit biasa, bukan pasukan khusus, maka tentu saja dengan mudah dapat dirobohkan Si Bayangan Iblis tanpa mereka mampu mengenalnya. Kalau pasukan khusus yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan tentu akan lain lagi halnya, setidaknya para perajurit pasukan khusus tentu akan dapat melakukan perlawanan dan lebih banyak kemungkinan mereka akan dapat mengenal bayangan itu.
Agaknya Cian Hui juga berpendapat demikian, maka setelah dia melirik ke arah Liong-li yang nampak tidak tertarik, dia lalu berkata, “Sudahlah, engkau boleh pergi. Aku tidak akan melaporkan ke atasan, akan tetapi mulai sekarang, kalau terjadi hal-hal mencurigakan di pintu gerbang, engkau harus cepat melaporkannya kepadaku atau menyampaikan kepada pembantuku Teng Gun.”
Komandan jaga itu nampak girang mendengar ini. Bagaikan seekor ayam makan padi, kepalanya mengangguk-angguk dan diapun berpamit lalu pergi dari situ dengan hati lega.
“Bagaimana pendapatmu, Li-hiap?” setelah mereka hanya berdua saja, Cian Hui bertanya.
131
Liong-li mengerutkan alisnya. “Jelas bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu orang saja dan pembunuhan-pembunuhan misterius itu tentulah didalangi orang pandai yang mempunyai banyak anak buah! Dan mengingat bahwa mereka itu mampu bergerak leluasa dam menghilang penuh rahasia, aku semakin condong menduga bahwa mereka tentu bersembunyi di dalam istana, atau setidaknya, pemimpinnya berada di dalam istana. Bagaimana Ciang-kun, tentang rencana kita agar aku dapat diseludupkan ke istana?”
“Beres, Li-hiap! Sore hari ini juga engkau dapat dibawa ke istana. Sudah kuhubungi para pejabat di istana yang kukenal baik. Aku menceritakan bahwa engkau keponakanku dari dusun yang ingin sekali menjadi dayang, dan akhirnya kepala Thai-kam (laki-laki kebiri) yang mengepalai para dayang, yaitu Bong Thai-kam, dapat menerimamu. Ketika dia menanyakan namamu, aku mengatakan bahwa engkan she Kim bernama Siauw Hwa, akan tetapi sejak kecil biasa disebut Akim.”
“Bagus sekali nama itu, Ciang-kun!” Liong-li memuji.
“Ah, aku hanya ingat bahwa namamu memakai huruf Kim (emas), maka kupergunakan nama itu yang juga bisa dipakai sebagai nama keturunan. Sudah kupersiapkan perlengkapan yang harus kaubawa sebagai seorang gadis dusun, dan sebaiknya kalau engkau menyamar sebagai gadis dusun yang tidak terlalu cantik akan tetapi juga jangan terlalu buruk.”
132
“Kenapa begitu, ciang-kun?” Liong-li menatap wajah perwira itu sambil tersenyum. “Bagaimana kalau aku membiarkan wajahku yang aseli?”
“Wah, jangan! Berbahaya kalau begitu. Baru sehari saja di sana tentu para pangeran akan saling memperebutkanmu, engkau pantas menjadi seorang puteri!”
“Ih, engkau memuji atau merayu, ciang-kun?”
“Boleh kauanggap kedua-duanya. Akan tetapi aku bicara serius. Di istana penuh dengan pangeran-pangeran mata keranjang, dan aku mendengar di sana penuh dengan hubungan-hubungan gelap dan kotor karena para pangeran itu tidak malu atau segan untuk mengganggu selir dan dayang ayah mereka.”
“Hemmm......” Liong-li mengangguk-ngangguk. Hal inipun tidak aneh baginya karena sudah banyak mendengar akan kehidupan kotor di balik gemerlapnya kedudukan tinggi dan penuh kehormatan itu.
“Oleh karena itulah maka amat berbahaya kalau engkau kelihatan terlalu cantik di istana, Li-hiap. Bukan saja niatmu melakukan penyelidikan akan menemui banyak rintangan, juga dirimu sendiri menjadi pusat perhatian dan akan datang gangguan yang akan menyulitkan keadaan dirimu. Sebaliknya, kalau penyamaranmu itu kelihatan terlalu jelek, juga akan mencurigakan, karena bagaimana mungkin seorang gadis yang buruk rupa dapat diterima sebagai dayang?”
133
“Tidak terlalu cantik akan tetapi tidak terlalu buruk, hemmm, memang sukar sekali, akan tetapi aku tahu apa yang kaumaksudkan, Ciang-kun. Jangan khawatir, aku tidak akan nampak terlalu buruk, akan tetapi setiap orang pria di istana kalau bertemu dengan aku, sudah pasti tidak akan tertarik.”
“Harap engkau jangan khawatir, Li-hiap. Aku yang telah menerima bantuanmu, tentu tidak akan membiarkan engkau begitu saja. Syukur kalau penyelidikanmu berhasil dan rahasia pembunuhan itu dapat dipecahkan. Andaikata engkau menemui kesulitan di istana dan tidak ada jalan keluar lagi, akulah yang akan menghadap kaisar sendiri, dan aku yang akan bertanggung jawab, akan kuceritakan semua kepada kaisar sebab kehadiranmu di istana dan aku yakin, mengingat akan jasa-jasaku, kaisar akan suka memenuhi permohonanku untuk mengampuni dan membebaskanmu.”
Terharu juga hati Liong-li mendengar janji ini. Ia tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar janji kosong. Orang segagah Cian Hui ini tentu tidak akan mundur dari tanggung jawab. Akan tetapi ia tidak menghendaki tugas ini gagal seperti itu.
“Kalau aku menemui kesulitan, tidak perlu engkau menghadap kaisar, Cian Ciang-kun, akan tetapi sampaikan saja suratku ini kepada rekanku.”
“Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)?” Cian Ciang-kun segera menduga.
Liong-li tidak merasa heran. Memang dunia kang-ouw sudah mengetahui belaka bahwa Hek-liong-li dan Pek-liong-eng adalah
134
dua sekawan yang tak terpisahkan, apa lagi kalau menghadapi lawan tangguh dan bahaya besar.
“Benar, apakah engkau sudah tahu di mana harus mencari dan menemuinya, Ciang-kun?”
Cian Ciang-kun mengangguk. Sebagai seorang penyelidik terkenal di kota raja, tentu saja dia sudah menyelidiki di mana alamat pendekar luar biasa yang menjadi rekan dari Hek-liong-li itu.
“Dusun Pat-kwa-bun dekat Telaga See-Ouw di Hang-kouw?”
Liong-li mengangguk kagum. Orang ini memang pantas menjadi seorang penyelidik besar yang terkenal di kota raja. Ia menyerahkan sesampul surat yang sudah ia persiapkan kepada perwira itu.
“Hanya kalau engkau mendengar bahwa aku menghadapi kesulitan dan terancam bahaya saja kau serahkan surat ini kepadanya. Kalau tidak, harap jangan engkau mengganggu ketenteramannya, Cian Ciang-kun!”
Siang hari itu, Liong-li beristirahat dan tidur untuk memulihkan kembali tenaganya dan menghilangkan lelahnya. Ia menghadapi pekerjaan besar dan berbahaya dan ia harus memiliki tubuh yang sehat dan pikiran yang jernih kalau masuk ke dalam istana sore nanti.
◄Y►
135
Dusun Kim-tang merupakan dusun terakhir di sepanjang jalan panjang menuju ke Telaga See-ouw dan karena semua pelancong yang menuju ke Telaga See-ouw yang indah itu harus melewati dusun ini, maka dusun menjadi ramai dan penghuninya semakin banyak. Mereka membuka kedai-kedai minuman dan makanan, bahkan ada pula yang membuka rumah penginapan sederhana. Kalau ada pelancong kemalaman di tengah perjalanan, tentu mereka akan merasa senang sekali mendapatkan rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah makan di dalam dusun ini.
Karena dusun itu seringkali dikunjungi pelancong-pelancong dari kota yang hendak pesiar ke Telaga See-ouw, maka para penghuni dusun itu sudah biasa melihat orang-orang kota yang berpakaian mewah, melihat pria-pria tampan, dan wanita-wanita cantik.
Itulah sebabnya, ketika seorang wanita yang amat menarik memasuki sebuah rumah makan di dusun itu pada suatu sore, tidak ada yang merasa heran, walaupun hampir setiap orang pria yang melihat wanita ini, otomatis mengangkat muka dan sepasang mata mereka mengeluarkan sinar penuh kagum. Seorang wanita yang cantik manis dengan tubuh yang penuh lekuk lengkung yang matang menggairahkan! Seorang wanita yang membuat setiap orang pria yang berpapasan dengannya tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh dan memandang sekali lagi penuh kagum.
Wanita itu memasuki rumah makan dengan langkah perlahan dan lenggang yang gontai, tanda bahwa ia lelah. Namun lenggang
136
yang seenaknya itu bahkan membuat pinggulnya menari-nari dengan indahnya, tidak dibuat-buat, dan pinggang yang ramping itu seperti batang pohon yang-liu tertiup angin ribut sehingga meliuk-liuk ke kanan kiri dengan lenturnya!
Usianya sekitar duapuluh enam tahun. Wajahnya manis dan jelita, terutama sekali yang indah dan penuh daya tarik adalah mata dan mulutnya.
Mata itu demikian jeli dan kocak, dengan kerling-kerling yang amat tajam. Mata yang sipit namun lebar itu agaknya dapat melihat ke semua arah tanpa menggerakkan leher. Bulu matanya yang lebat melindungi mata itu sehingga ke mana arah lirikannya tidak begitu menyidik.
Dan mulutnya! Melihat mulut itu saja, bagi seorang pria yang panas, sudah merupakan suatu penglihatan yang menantang dan mendebarkan, seolah-olah mulut itu menantang untuk dicinta dan dicium. Sepasang bibir yang penuh dan lembut, dengan garis bibir melengkung seperti gendewa dipentang, kulit bibir tipis dan kemerahan selalu nampak kebasah-basahan, segar seperti buah masak dan lekuk-lekuk tipis membayang di kanan kiri mulut. Deretan gigi putih kadang-kadang mengintai dari balik belahan bibir kalau ia bicara. Bukan main!
Akan tetapi, ada sesuatu pada wanita itu yang membuat para pria yang memandang kagum, tidak berani sembarangan memperlihatkan kekaguman mereka secara kurang ajar atau tidak sopan. Wanita itu mengenakan pakaian serba hijau yang
137
ketat, yang membuat keindahan bentuk tubuhnya nampak nyata, dengan lekuk lengkung sempurna di tempat-tempat tertentu.
Dan di punggungnya, selain tergendong sebuah buntalan pakaian dari kain kuning, juga nampak gagang sepasang pedang yang disatukan! Dan sikap tenang itu, di samping sepasang pedangnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga tidak boleh dibuat sembarangan. Seorang wanita kang-ouw!
Dugaan itu tidak keliru. Wanita ini bukan lain adalah wanita yang pernah dibicarakan oleh Cian Hui kepada Hek-liong-li. Ia adalah Cu Sui In, keponakan dari isteri CiokTai-jin di kota raja. Cu Sui In memang benar murid Kun-lun-pai, yang boleh dibilang sudah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari Kun-lun-pai.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa wanita ini sejak berusia lima tahun, telah digembleng oleh seorang di antara pimpinan Kun-lun-pai. Sampai berusia duapuluh tahun, selama limabelas tahun ia belajar ilmu-ilmu yang tinggi dan ditambah pula dengan bakatnya, maka setelah dewasa iapun menjadi seorang pendekar wanita Kun-lun-pai.
Selain lihai ilmu silat tangan kosongnya, dan pandai memainkan delapanbelas macam senjata, Sui In memiliki keistimewaan dalam ilmu pedang pasangan dan iapun menerima hadiah sepasang pedang yang amat baik dari para pimpinan Kun-lun-pai ketika ia meninggalkan perguruan Kun-lun-pai yang terkenal itu.
Setelah meninggalkan perguruan, iapun diajak oleh bibinya ke kota raja. Bibinya menjadi isteri Pembantu Menteri Pajak, Ciok
138
Tai-jin, dan tentu saja sebagai seorang gadis yang amat cantik, sebentar saja pinangan datang bagaikan hujan. Akhirnya, mengingat usianya yang sudah duapuluh tahun, dan dalam keadaan yatim piatu, dia tidak menolak ketika bibinya dan pamannya memilihkan jodoh untuknya.
Jodohnya itu seorang terpelajar yang sudah lulus ujian negara dan telah diangkat menjadi seorang pejabat yang memiliki masa depan yang amat baik. Dia seorang pemuda she Cia dan tentu saja pilihan seorang pejabat tinggi yang jujur seperti Ciok Tai-jin, pemuda Cia inipun seorang pejabat yang jujur dan aetia. Dan memang benar pilihan Ciok Tai-jin, dalam waktu lima tahun saja, kedudukan, suami Sui In meningkat tinggi karena dia dipercaya oleh kaisar dan merupakan seorang pejabat yang amat baik.
Karena suaminya seorang yang lembut dan baik, maka setelah menjadi isteri Cia, Sui In mencintai suaminya dengan sepenuh hatinya. Hanya sayang, setelah menikah selama lima tahun, mereka tidak dikurniai putera. Dan hal inilah agaknya yang menciptakan kerenggangan, dalam hubungan suami isteri itu.
Cia Tai-jin, yang masih muda itu, baru berusia tigapuluhan tahun, mula-mula mengambil seorang selir dengan alasan agar mendapatkan keturunan. Akan tetapi dari seorang, lalu bertambah sampai belasan orang!
Sui In merasa terpukul dan tersiksa batinnya mulailah terdapat kerenggangan dalam hubungan di antara mereka. Sui In kecewa. Kecewa karena tidak mempunyai anak, kemudian kecewa karena ia kehilangan suaminya pula, kehilangan cintanya yang membuat
139
hatinya merasa hambar dan akhirnya iapun tidak lagi mempunyai gairah cinta kepada suaminya kecuali hanya sebagai seorang wanita yang harus bersikap manis kepada seorang pria yang telah menjadi suaminya. Hubungan di antara mereka hanya tinggal hubungan kewajiban belaka, tanpa kasih sayang lagi.
Kemudian, terjadilah malapetaka itu! Suaminya terbunuh, menjadi korban dari Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis yang sedang mengamuk dan melakukan serangkaian pembunuhan di kota raja! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Sui In yang mendapatkan dirinya menjadi seorang janda tanpa anak!
Kalau saja suaminya tidak mempunyai banyak selir, kalau hubungan di antara mereka masih seperti dahulu, belum tentu suaminya akan terbunuh penjahat! Ia tentu akan mampu melindungi suaminya. Akan tetapi suaminya mati terbunuh ketika tidur bersama seorang di antara selir-selirnya, terbunuh bersama selirnya pula. Dan iapun tidak dapat berbuat sesuatu!
Memang ada juga perasaan marah dan ia sudah berusaha untuk mencari pembunuh suaminya. Namun, seperti juga usaha semua orang yang bertugas mencari pembunuh itu, usahanya gagal dan ia tidak pernah mampu menemukan Si Bayangan Iblis walaupun pernah ia menggagalkan usaha Si Bayangan Iblis untuk membunuh pamannya, yaitu Ciok Tai-jin!
Ketika itu, iapun hanya melihat berkelebatnya bayangan yang menyeramkan itu. Ia mengejar, namun tidak berhasil menemukannya. Dan sejak itu, setelah tahu bahwa pamannya
140
juga terancam, Sui In selalu berjaga-jaga dan ia mendapatkan sebuah kamar berdampingan dengan kamar paman dan bibinya.
Rasa kecewa, duka dan marah membuat Sui In tidak enak makan tidak nyenyak tidur. Kalau saja ia mempunyai anak, maka ditinggal mati suaminya ini tentu tidak begitu hebat. Kini ia hidup menjanda, baru berusia duapuluh enam tahun, namun tidak mungkin menikah lagi!
Pada jaman itu, bagi seorang janda, apa lagi janda seorang pejabat tinggi, tentu saja merupakan hal yang memalukan dan merendahkan kalau ia menikah lagi! Setiap orang janda dipaksa oleh lingkungan dan keadaan dan kesusilaan untuk tinggal menjanda selama hidup!
Dan ia baru berusia duapuluh enam tahun, cantik manis dan bagaikan setangkai bunga sedang semerbak harum, sedang mekar-mekarnya membuat para kumbang mabok kepayang. Ia merasa seperti seekor burung dalam sangkar emas yang sempit. Ia ingin terbang, ingin bebas di udara. Akan tetapi, pamannya perlu dijaga dan dilindungi keselamatannya! Pamannya orang yang amat baik hati dan ia telah berhutang banyak budi kepada pamannya.
Dan memang Ciok Tai-jin seorang yang bijaksana. Pembesar ini cukup waspada dan dia tahu benar betapa keponakan isterinya yang kini menjadi janda setiap hari termenung dan tenggelam dalam duka, maka pada suatu malam, dia dan isterinya mengajak janda muda ini bicara dari hati ke hati.
141
“Sui In,” kata Ciok Tai-jin. “Sudah beberapa bulan sejak suamimu meninggal dunia, engkau pindah ke rumah kami dan engkau menjaga keselamatanku, terutama di waktu malam. Akan tetapi kami melihat engkau tenggelam dalam duka dan engkau jelas kelihatan tidak betah tinggal di sini. Engkau jarang makan dan setiap malam menjaga keamanan, hanya tidur sebentar di waktu siang.
“Sui In, katakanlah, apa yang kaukehendaki! Jangan sampai kami orang-orang tua yang menjadi penghalang kebahagiaanmu, kami tahu betapa nasibmu gelap dipenuhi duka, dan kami tidak ingin menambah beban penderitaan batin yang kaupikul dengan memaksamu bertugas seperti ini.”
Ditanya demikian, Sui In menangis. Bibinya merangkulnya dan setelah dapat mengatur pernapasannya yang penuh duka, Sui In lalu memberi homat kepada paman dan bibinya.
“Sebetulnya, sudah lama saya ingin bicara, akan tetapi saya takut kalau dianggap sebagai orang yang kejam dan tidak mengenal budi. Paman terancam penjahat, bagaimana mungkin saya meninggalkan paman? Ah, saya tidak tahu lagi apa yang harus saya katakan atau saya perbuat. Kalau saja saya dapat mengetahui siapa si laknat Kwi-eng-cu itu! Tentu akan saya tantang untuk mengadu nyawa!”
“Sui In, katakan saja apa sebenarnya yang kaukehendaki. Mengenai diriku dan keselamatanku, tidak perlu kaupikirkan benar. Kalau perlu, aku dapat minta bantuan panglima untuk
142
mengirim beberapa orang jagoan agar menjadi pengawal pribadiku. Katakanlah, apa sebenarnya yang kauinginkan?”
“Paman, saya ingin mencari pembunuh suamiku itu sampai dapat, agar saya dapat membalas kematian suamiku!” kata Sui In penuh semangat.
“Bukankah selama ini engkau sudah berusaha mencarinya? Bahkan bukan hanya engkau yang mencarinya. Pemerintah juga mencari dan aku mendengar bahwa Cian Ciang-kun sendiri yang turun tangan untuk mencari dan membongkar rahasia Si Bayangan Iblis.”
“Akan tetapi sampai kini tidak ada hasilnya, paman. Si Bayangan Ib1is itu terlalu lihai dan agaknya saya harus mencari bantuan.”
“Bantuan siapa, Sui In?”
“Saya mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai, paman, dan dia kini kabarnya bertapa di bukit sunyi dekat Telaga See-ouw. Saya ingin mencari dia dan minta bantuannya. Dengan bantuannya, tentu saya akan dapat menemukan Si Bayangan Iblis yang mengacau di kota raja itu.”
Ciok Tai-jin mengangguk-angguk dan meraba-raba jenggotnya. “Hemm, pikiran yang bagus, Sui In. Kenapa engkau tidak mencarinya?”
“Itulah paman, yang menjadi pemikiranku. Aku tahu bahwa paman juga terancam Si Bayangan Iblis, maka saya tidak berani
143
meninggalkan paman. Saya harus selalu melindungi paman dari serangannya.”
“Engkau benar sekali, Sui In keponakanku yang baik, kalau bukan engkau yang melindungi keselamatan pamanmu, habis siapa lagi yang dapat kami percaya?” kata bibinya yang merasa khawatir sekali akan keselamatan suaminya.
“Ah, engkau ini hanya mementingkan diri sendiri saja!” tegur Ciok Tai-jin kepada isterinya, lalu memandang keponakannya.
“Sui In, mengenai diriku, jangan khawatir. Aku akan mengundang beberapa orang jagoan untuk melindungiku. Kalau kaupikir, dengau bantuan susiokmu itu engkau akan dapat menangkap Si Bayangan Iblis, pergilah mencarinya. Apakah engkau memerlukan pasukan untuk menemanimu?”
Bukan main girang dan lega rasa hati Sui In. “Tidak perlu, paman. Saya dapat pergi sendiri saja. Kalau sudah bertemu susiok, saya akan mengajaknya ke sini, paman. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari saya, maka dengan bantuannya, tentu kami akan dapat meringkus Si Bayangan Iblis dan kematian suami saya dapat terbalas.”
Demikianlah, dengan bekal pakaian, uang dan membawa sepasang pedangnya Sui In meninggalkan rumah gedung pamannya dan melakukan perjalanan ke See-ouw. Ia tidak tahu bahwa beberapa hari setelah ia pergi, rumah gedung Pamannya diserbu Si Bayangan Iblis dan seperti telah kita ketahui, serbuan itu gagal berkat kehadiran Liong-li. Andakata tidak ada Liong-li, walaupun di situ terdapat beberapa orang jagoan pengawal yang
144
diundang Ciok Tai-jin sebagai pengganti Sui In, tentu keselamatan Wakil Menteri Pajak itu terancam bahaya maut.
Sui In yang melakukan perjalanan, pada suatu sore tiba di dusun Kim-tang dan karena sehari itu ia melakukan perjalanan cukup jauh tanpa berhenti, bahkan tidak makan siang, perutnya terasa lapar dan iapun memasuki sebuah rumah makan di dusun yang ramai itu. Biarpun ia tahu betapa banyak pasang mata pria melemparkan pandangan kagum kepadanya, Sui In yang sudah terbiasa akan hal itu, tidak perduli lalu menghampiri meja kosong yang ditunjukkan seorang pelayan yang menyambutnya.
“Toanio hendak memesan apakah? Makanan? Minuman?” tanya pelayan muda itu dan pandang matanya yang menatap wajah tamu itupun penuh dengan kekaguman.
“Aku lapar dan ingin makan. Beri nasi putih dan masakan apakah yang paling lezat dan terkenal di rumah makan ini?” Sui In sehari tidak makan dan ia ingin makan enak.
Pelayan itu segara menjawab tanpa dipikir lagi karena pertanyaan seperti itu seringkali dia dengar dari para pelancong yang datang dari kota.
“Masakan kami yang paling lezat dan terkenal adalah Ikan Lee dimasak jahe, nona. Ikan Lee dari Telaga See-ouw aseli, gemuk dan semua tulangnya dibersihkan. Juga masakan kami Udang Saus tomat amat sedap. Sup ayam jamur kami juga enak.”
“Cukup sudah. Beri aku masakan tiga macam itu, nasi putih dan air teh.”
145
“Arak, toanio (nyonya)?”
“Tidak, atau...... kalau ada anggur merah yang tidak begitu keras boleh juga beri sebotol kecil saja.”
Pelayan itu mundur dan Sui In termenung. Ketika ia menjadi pengantin baru, pernah suaminya mengajaknya pesiar ke Telaga See-ouw. Rumah makan ini belum ada, akan tetapi suaminya juga menyuruh beli masakan-masakan yang lezat dan mereka makan di perahu.
Pedih rasa hati Sui In. Betapa lamanya sudah peristiwa yang mesra itu lewat, hanya tinggal kenangan. Jauh sebelum suaminya meninggal dunia, kemesraan itu sudah lenyap tak berbekas lagi. Tidak, ia tidak menyalahkan suaminya, hanya menyalahkan nasib dirinya. Andaikata ia dikurniai putera, tentu suaminya tidak mau menengok wanita lain dan kemesraan itu dapat dipertahankan.
Sudah, ia tidak mau lagi mengenangkan semua itu. Dan baru setelah suaminya tewas, ia menemukan dirinya sendiri. Ketika menikah dengan suaminya itu, tidak ada rasa cinta dalam batinnya. Itu masalahnya cintanya adalah cinta yang ia paksakan, untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang isteri.
Dan suaminya memang seorang yang bijaksana. Banyak sudah budi diterimanya dari suaminya, bahkan kini sebagian besar harta peninggalan suaminya diberikan kepadanya. Ia menjadi seorang janda yang muda dan kaya.
Hartanya itu ia titipkan kepada pamannya, Pembantu Menteri Pajak. Dan pihak mertuanya juga mau membebaskannya, tidak
146
mengikatnya, karena memang ia tidak mempunyai anak dari keluarga Cia. Mereka itu amat baik kepadanya. Ia berhutang budi kepada keluarga Cia. Karena itu, ia baru mencari pembunuh suaminya dan membalas dendam itu!
Tak lama kemudian, lamunannya membuyar ketika pelayan datang membawakan masakan yang dipesannya. Masih mengepul panas tiga macam masakan itu dihidangkan di depannya, berikut nasi putih, air teh dan sebotol anggur merah. Hidungnya kembang kempis. Masakan itu mengepulkan uap yang sedap, juga anggur merah itu ketika dibuka tutupnya, menghamburkan bau yang harum dan lezat. Perutnya segera berkeruyuk menghadapi tantangan itu.
Sui In makan seorang diri. Pelayan tadi tidak membual. Masakan ikan Lee dengan jahe itu sedap bukan main. Daging ikannya lunak dan sama sekali tidak ada tulangnya. Gurih bukan main, dan cocok dimakan dengan bumbu penyedap kecap manis. Nasi putihnya juga hangat dan harum.
Ketika ia mencoba masakan lain, ia girang dan kagum. Udang saus tomat itupun enak. Udangnya sebesar jari kaki, dagingnya putih kemerahan dan terasa manis, dan tidak berbau amis. Juga ikan Lee itu tidak berbau amis. Pandai memang tukang masaknya. Dan sup ayam dengan jamur itupun sedap dan segar. Kuahnya enak sekali.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, biarpun sedang tenggelam dalam kenikmatan dan kelezatan makan, tetap saja Sui In tidak pernah lengah dan baik telinganya, maupun kerling
147
matanya, tidak pernah melepaskan perhatian terhadap keadaan di sekelilingnya. Oleh karena itu, iapun tahu ketika ada tiga orang tamu baru saja masuk dan duduk di meja sudut kiri dalam, hanya terpisah lima meja saja dari tempat duduknya.
Dengan kerling mata ke kiri, ia melihat bahwa tiga orang itu adalah laki-laki yang berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, ketiganya berpakaian mewah namun masih jelas dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang dunia persilatan. Yang seorang, paling tua berusia limapuluhan tahun, bertubuh jangkung dan rambutnya sudah putih semua walaupun mukanya masih nampak muda. Senyumnya anggun dan sikapnya berwibawa, sinar matanya tajam dan memerintah. Di punggungnya nampak gagang sebatang pedang.
Dua orang kawannya bersikap sebagai orang bawahan, usia mereka kurang lebih empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun. Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan mukanya dipenuhi tawa, cerah dan lucu, akan tetapi matanya menyinarkan kekejaman. Orang kedua pendek kurus condong ke arah cebol, akan tetapi mukanya bengis. Dua orang inipun membawa pedang yang tergantung di punggung.
“Heii, pelayan! Bawa arak seguci besar! Cepaaatt!!” terdengar si gendut berteriak. Pe- layan berlari-lari mendatangi dan pria jangkung itu dengan suara lembut namun tegas dan galak, memesan masakan.
Sui In tidak mau memperhatikan lagi karena si gendut itu terang-terangan memandangnya dengan sikap kurang ajar. Apalagi
148
pada saat itu, perhatiannya tertarik oleh seorang tamu baru yang memasuki ruangan itu. Seorang pria yang bukan main! Pria itu usianya kurang lebih duapuluh tujuh tahun.
Tubuhnya sedang saja, namun tegak dan gagah. Wajahnya tampan dan jantan, wajah yang agaknya sudah digembleng kekerasan hidup. Namun pakaiannya yang terbuat dari sutera putih-putih itu berpotongan pakaian seorang pelajar atau sasterawan. Pakaian itulah yang membayangkan kelembutan seorang siu-cai (sarjana), namun lekuk di dagunya membayangkan kejantanan yang kuat.
Biarpun hanya memandang sepintas lalu, diam-diam Sui In kagum. Rasa kewanitaannya tersentuh. Seorang pria yang jantan dan penuh daya tarik, pikirnya. Akan tetapi perasaan itupun hanya lewat saja, karena ia bukanlah seorang wanita yang mudah terguncang ketampanan seorang pria. Akan tetapi ia masih sempat melihat betapa pria itupun ketika duduk di mejanya, hanya terpisah dua meja dari tempatnya, menatap kepadanya dan diam-diam ia terkejut. Tatapan mata itu sungguh luar biasa.
Sepasang mata yang mencorong penuh wibawa, akan tetapi karena mulutnya tersenyum, maka wajah itu nampak lembut. Orang muda itu tentu seorang sarjana yang lembut dan pintar, pikir Sui In, akan tetapi tentu saja lemah. Seperti mendiang suaminya. Akan tetapi suaminya memang lemah sekali, bahkan lembut seperti wanita.
149
Pria di depannya ini jantan, walaupun hanya seorang sasterawan atau seorang terpelajar. Tidak membawa senjata, juga tidak nampak bayangan kekerasan. Bahkan pakaiannya yang serba putih, itu nampak bersih sekali. Sungguh jauh bedanya dengan tiga orang pria yang pertama itu, penuh kekerasan.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa dari meja di sudut kanan. Di sana sejak tadi memang ada empat orang laki-laki muda sedang makan minum dan kini agaknya mereka sudah mabok-mabokan.
Sui In tadipun sudah melihat mereka. Empat orang pemuda dari kota, mungkin putera-putera orang kaya atau orang berpangkat. Usia mereka antara duapuluh sampai duapuluh empat tahun dan lagak mereka menjemukan. Jelas bahwa mereka adalah orang-orang muda yang royal, tidak pandai cari uang akan tetapi pandai menghamburkannya.
Tadi pun mereka memandang ke arah Sui In dengan sinar mata mengandung kekurangajaran, akan tetapi Sui In tidak memperdulikan mereka, bahkan selanjutnya tidak pernah melirik ke arah meja mereka karena ia tahu bahwa pemuda-pemuda hidung belang seperti itu, sekali dilirik tentu akan menjadi semakin berani dan semakin kurang ajar. Ia tentu saja tidak takut kepada mereka, akan tetapi iapun tidak ingin memancing keributan.
“Ha-ha-ha, setiap orang dapat saja membawa pedang, untuk perhiasan!”
150
“Ha-ha, atau mungkin juga untuk lagak saja, untuk menakut-nakuti!”
Empat orang pemuda itu tertawa-tawa lagi. Seorang di antara mereka, yang kepalanya besar, terang-terangan kini memandang kepada Sui In dan bicaranya kini lebih berani. “Ia makan minum seorang diri saja, sayang seorang secantik itu. Biar kuajaknya ia makan minum bersama kita.”
“Huh, kau takkan berani! Ia tentu sudah bersuami,” kata seorang temannya yang kurus.
“Apa? Aku tidak berani mengajak seorang wanita? Hemm, biar ia gadis atau isteri orang, kalau Ji-kongcu (tuan muda Ji) yang mengajaknya, pasti ia mau! Ha-ha-ha, kalian lihat saja!”
Si kepala besar ini bangkit berdiri ditertawai oleh si kurus yang berpakaian mewah. Dua orang kawan lain yang berpakaian seperti orang-orang ahli silat hanya tersenyum-senyum saja. Agaknya mereka ini hanya pengikut dan memang mereka adalah tukang- tukang pukul pemuda she Ji itu.
Pada saat itu, Sui In sudah selesai makan dan ia merasa lega bahwa gangguan itu datang setelah ia selesai makan, karena kalau tidak tentu akan mengganggu selera makannya. Ia merasa kenyang dan puas. Ikan Lee itu memang lezat sekali, dan jahe itu membuat perutnya terasa hangat, apa lagi ditambah anggur merah.
Ia tahu bahwa gangguan datang karena percakapan yang terang-terangan dan tidak lirih itu jelas ditujukan kepadanya. Di rumah
151
makan itu, hanya ia seoranglah wanita yang makan sendirian. Ada pula beberapa orang wanita akan tetapi mereka makan dengan keluarga mereka dan kebetulan wanita yang masih muda hanya ia seorang. Siapa lagi kalau bukan ia yang mereka maksudkan?
Iapun tidak merasa heran ketika pemuda berpakaian mewah yang kepalanya besar itu dengan jalan terhuyung karena setengah mabok, menghampiri mejanya. Ia pura-pura tidak tahu, bersikap tenang saja sambil menghirup teh panas yang harum dari mangkok teh yang kecil. Akan tetapi karena kebetulan duduknya menghadap ke arah meja di mana duduk pemuda berpakaian putih, untuk pertama kalinya sejak ia melihat pemuda ini masuk, ia memandang dan pada saat itu, si pemuda berpakaian putih juga sedang memandang ke arah mejanya.
Alis yang tebal hitam dari pemuda berpakaian putih itu sedikit berkerut ketika dia melihat si kepala besar mendekati meja Sui In sambil cengar cengir. Akan tetapi, hanya sebentar saja pandang mata mereka saling bertemu karena keduanya segera mengalihkan pandang mata.
Sui In harus memperhatikan pemuda mewah yang kini sudah bediri dekat mejanya, bahkan kedua tangannya diletakkan di tepi mejanya, dengan jari-jari direntangkan seolah-olah hendak memamerkan cincin yang. memenuhi semua jari kedua tangannya, kecuali, ibu jarinya!
“APA engkau hendak menjual cincin? Tidak, aku tidak butuh cincin!”
152
Karena kata-kata ini diucapkan dengan cukup lantang dan Sui In memandang ke arah kedua tangan yang berada di tepi mejanya, si kepala besar itu terkejut dan mukanya ber¬ubah merah sekali, apa lagi karena terdengar suara ketawa temannya yang kurus, bahkan ada pula suara ketawa dari meja lain, entah siapa.
“Heh-heh, Ji-toako, engkau disangka penjual cincin di pasar, ha-ha!”
Pemuda she Ji itu merasa malu, akan tetapi dia mengira bahwa wanita cantik di depannya itu tidak sengaja menghinanya, apa lagi kini dia sudah berada dekat sekali dengan wanita itu, dan ternyata wanita itu jauh lebih cantik dari pada ketika dilihatnya dari jauh tadi. Juga ketika bicara, bibir yang menggairahkan itu bergerak¬-gerak manis sekali. Maka, biarpun merasa malu, pemuda berkepala besar itu tidak dapat marah kepada seorang wanita secantik itu.
“Toanio, aku bukan penjual cincin. Semua ini bukan barang dagangan, melainkan milikku pribadi. Ketahuilah, aku pemuda keluarga Ji, merupakan seorang pemuda yang paling kaya raya, paling royal dan tidak ada duanya di kota Tung-cu.
“Aku tidak mengenalmu. Pergilah dan biarkan aku sendiri,” Sui In berkata.
Pemuda itu masih menyeringai. “Heh-heh, moi-moi (adik) yang manis, harap jangan menjual mahal seperti itu. Marilah, aku sendiri yang mengundangmu untuk duduk makan minum dengan kami semeja. Ataukah aku yang menemanimu di sini? Hei,
153
pelayan, cepat hidangkan arak baru dan semua masakan lezat yang ada di rumah makanmu ini!”
Dia lalu duduk begitu saja dan berkata kepada Sui In. “Moi-moi, kalau perlu, rumah makan ini bisa kubeli untukmu, heh-heh!”
Sui In mengerutkan alisnya. Orang ini semakin kurang ajar, pikirnya, tidak lagi menghargainya dengan sebutan Toanio (nyonya), melainkan berani menyebut moi-moi yang manis, seolah-olah ia telah menjadi kekasihnya saja! Akan tetapi, karena tidak ingin ribut-ribut, ia masih menahan kesabarannya.
“Hemm, sekali lagi kukatakan. Aku tidak mempunyai urusan denganmu, aku tidak suka nenerima undanganmu, tidak suka makan minum bersamamu dan tidak suka engkau makan minum di mejaku ini. Pergilah dan jangan aku kehilangan kesabaranku!”
Kalimat terakhir sudah bernada keras, dan tanpa disengaja Sui In melihat pula pemuda yang berpakaian serba putih itu tersenyum sedikit. Juga tiga orang setengah tua yang duduk di sudut belakang kini memandang ke arah mejanya dengan penuh perhatian.
Gemaslah rasa hati Sui In. Ulah pemuda kepala besar ini tentu saja telah menarik perhatian orang, dan ia menduga bahwa tentu mereka semua yang berada di rumah makan itu telah memperhatikan dirinya. Sudah kepalang tanggung sekarang, tidak perlu lagi ia menjaga jangan sampai ada keributan. Akan tetapi ia tetap menuangkan lagi semangkok kecil air teh harum yang masih panas mengepul itu dan meniupinya perlahan untuk mendinginkannya sebelum diminumnya sedikit demi sedikit.
154
Si kepala besar itu sungguh tak tahu diri. Dia adalah seorang pemuda kaya raya, dan putera pejabat yang sejak kecilnya telah di manja orang tuanya dan para hamba sahayanya, sejak kecil apapun yang dikehendakinya terlaksana.
Oleh karena itu, setelah dewasa, diapun menjadi berandalan dan ingin dimanjakan siapapun juga. Dia tidak mengenal takut karena selalu bergelimang kekayaan dan kekuasaan yang membuat semua orang takut kepadanya. Mendengar ucapan Sui In, dia mengerutkan alisnya.
“Apa? Engkau berani menolak ajakanku? Nona manis, jangan sombong engkau! Kalau perlu, aku mampu membeli dirimu, aku mampu membeli seratus orang perempuan seperti engkau......”
Sui In marah sekali mendengar ucapan itu dan sebelum kalimat terakhir itu habis diucapkan, ia sudah membentak, “Pergilah!” Tangan yang memegang mangkok kecil berisi air teh panas itu bergerak dan air dari dalam mangkok menyiram ke arah muka pemuda kepala besar.
“Ouhhhhh......!”
Bagi orang yang pernah disiram mukanya dengan air panas baru akan tahu betapa nyerinya ketika air teh yang masih panas itu mengenai mata, hidung dan mulut pemuda kepala besar itu. Selagi dia bangkit dan mengeluarkan teriakan kesakitan, tiba-tiba kaki Sui In di bawah kolong meja bergerak, menendang.
“Desss......!” Perut itu tertendang dan si pemuda berkepala besar terlempar jauh! Bahkan, tubuhnya melewati meja kosong dan
155
meluncur ke arah meja di mana duduk pemuda berpakaian serba putih yang makan minum seorang diri pula.
Melihat betapa hidangan di atas mejanya terancam hancur berantakan, tiba-tiba tubuh pemuda berpakaian putih itu sudah meloncat bangun dan dengan sigapnya dia menjulurkan kedua tangan, menyambar tubuh yang melayang itu dan sekali dia melontarkan, tubuh pemuda kepala besar itu berbelok arah melayang ke arah mejanya sendiri.
“Brakkkkk......!” Meja itupun runtuh dan semua masakan tumpah dan berantakan ketika meja itu tertimpa tubuh si kepala besar.
“Aduhh...... auhhh, aduhhhh.......!” Si kepala besar mengaduh-aduh, juga si kurus yang menjadi temannya mengaduh dan menyumpah-nyumpah karena muka dan pakaiannya juga berlepotan kuah masakan. Akan tetapi dua orang teman mereka yang lain sudah dapat berloncatan menghindar dengan gerakan cepat sehingga tidak sampai ikut tertimpa atau tersiram kuah masakan!
Tiga orang setengah tua yang sejak tadi melihat, kini saling pandang. Akan tetapi Sui In sudah duduk kembali menuangkan air teh dalam mangkoknya, minum air teh panas seperti tidak terjadi sesuatu. Juga pemuda berpakaian putih tadi nampak masih duduk sambil makan minum, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu! Pada hal, menyambar tubuh yang melayang lalu melontarkan kembali ke arah yang lain membutuhkan kecekatan tangan dan juga tenaga besar.
156
Apa yang diperlihatkan oleh pemuda berpakaian putih itu sesungguhnya bukan apa-apa baginya. Seperti permainan kanak-kanak saja karena dia tentu saja dapat melakukan hal-hal yang jauh lebih sukar dari pada sekedar melemparkan tubuh si kepala besar tadi. Pemuda itu, walau nampaknya lemah seperti seorang terpelajar, seorang kongcu (tuan muda), atau seorang siu-cai (sarjana), sebetulnya adalah seorang yang memiliki nama besar dan kalaupun wajahnya jarang muncul di dunia persilatan dan orang tidak mengenalnya, namun namanya sudah terkenal di empat penjuru.
Hampir semua orang di dunia persilatan pernah mendengar namanya yang besar, yaitu nama julukannya. Dia dijuluki orang Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si Naga Putih) saja karena ke manapun dia pergi, dia selalu berpakaian putih, dan sepak terjangnya seperti seekor naga sakti!
Si Naga Putih atau Pendekar Naga Putih ini bernama Tan Cin Hay, berusia duapuluh tujuh tahun. Wajahnya yang tampan sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang pria yang gemblengan, lebih pantas kalau dia menjadi seorang terpelajar. Sikap dan gerak geriknya jnga lembut, tubuhnya sedang saja dan otot-otot yang kuat itu tersembunyi di balik pakaian sehingga tidak nampak dari luar. Pakaiannya yang serba putih amat bersih.
Satu-satunya yang membayangkan bahwa dia seorang pria jantan yang kadang berwatak keras adalah dagunya yang berlekuk, dan matanya yang kadang mencorong. Biarpun namanya terkenal sekali di dunia persilatan, namun kalau tidak perlu, jarang dia keluar ke dunia kang-ouw. Dia hidup menyendiri
157
di dusun Pat-kwa-bun tak jauh dari Telaga See-ouw, di dalam sebuah rumah gedung yang megah dan indah. Dari rumahnya ini saja dapat diketahui bahwa pendekar yang hidup menyendiri itu adalah seorang yang kaya raya.
Dan memang benar demikian. Bersama Hek-liong-li Lie Kim Cu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay pernah mendapatkan harta karun yang amat besar, tak ternilai besarnya. Mereka membagi dua dan dengan bagian harta karun itu, Pendekar Naga Putih menjadi orang yang kaya raya.
Dia seorang duda. Isterinya yang tercinta tewas di tangan penjahat, dan sejak itu, dia tidak pernah mau menikah lagi walaupun kalau dia mau banyak gadis yang akan merasa bangga dan berbahagia menjadi isterinya. Dia tampan, gagah, berkepandaian tinggi, kaya raya!
Jangankan wanita yang belum dikenalnya, bahkan wanita yang pernah bergaul dekat dengannya, yang pernah berenang di lautan asmara bersamanya, tak pernah ada yang berhasil mengikatnya sebagai suami. Tidak, dia tidak mau terikat dalam pernikahan dengan seorang wanita, walaupun dia tidak menolak untuk bercinta dengan seorang wanita yang menarik hatinya, yang bebas, dan yang tahu bahwa dia tidak akan mau menikahinya.
Dia pantang mempergunakan kekayaan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, pantang untuk menjanjikan pernikahan lalu menipunya. Dia hanya mau mendekati wanita yang sudah tahu bahwa dia tidak mau terikat, dan kalaupun
158
mereka berdua bercinta, hal itu dilakukan karena mereka saling merasa suka.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay maklum bahwa di dunia persilatan, banyak tokoh pendekar yang mencela sikapnya terhadap wanita itu. Banyak pendekar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang menganggapnya sebagai seorang yang mata keranjang, seorang perayu wanita dan tukang merusak wanita, seorang petualang cinta yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!
Namun, dia tidak memperdulikan anggapan orang. Dia sudah meneliti diri sendiri dan tidak menemukan watak seperti yang dikatakan orang terhadap dirinya. Tidak, dia tidak akan pernah memaksa seorang wanita untuk bercinta dengannya, baik memaksa dengan kekerasan atau memikatnya dengan kekayaannya, kepandaiannya atau ketampanannya.
Dia tidak pernah jatuh cinta dalam arti seperti cintanya terhadap mendiang isterinya dahulu. Dia tidak pernah ingin memperisteri seorang wanita. Dan hubungannya dengan seorang wanita terjadi karena mereka saling mengagumi, saling tertarik, dengan penuh kesadaran bahwa hubungan itu tidak akan berlanjut ke jenjang pernikahan. Dia tidak pernah menipu! Bahkan tidak jarang dia menjauhkan diri sebelum terjadi hubungan cinta kalau seorang gadis atau seorang janda benar jatuh cinta dan menginginkan menjadi isterinya.
Kini empat orang muda itu menjadi marah bukan main. Pemuda berkepala besar dan pemuda kurus yang berpakaian mewah itu adalah dua orang yang merasa diri mereka sebagai kongcu-
159
kongcu (tuan muda) yang harus ditaati semua perintah mereka. Mereka itu putera-putera orang kaya raya yang sejak kecil dimanja dan dituruti semua permintaan mereka.
Dua orang kawan mereka adalah tukang pukul mereka yang hidup bagaikan lintah, menempel kepada dua orang muda kaya itu. Ke manapun mereka berdua yang sakunya penuh uang itu pergi, tentu ada saja pemuda-pemuda tukang pukul yang mengikuti mereka sebagai pengawal dan juga sebagai pembonceng berbelanja apa saja.
“Hajar perempuan itu!” bentak si kepala besar yang masih mengaduh-aduh karena mukanya kini seperti udang direbus, kemerahan terkena kuah dan air teh panas. Dia menuding ke arah Cu Sui In dengan mata melotot lebar.
“Ia harus mencium kaki kami untuk minta ampun!” kata pula si kurus yang juga terkena percikan kuah dan kini dia sibuk membersihkan pakaiannya yang kotor dan basah.
Dua orang tukang pukul itu menghampiri Cu Sui In dengan sikap mengancam. Sui In sudah selesai makan atau memang ia sudah kehilangan seleranya, maka ia bangkit dari duduknya dan menggapai pelayan karena ia ingin membayar harga makanan dan minumannya lalu pergi dari situ secepatnya.
Seorang pelayan bergegas datang menghampirinya, akan tetapi dua orang tukang pukul itu mendorongnya sehingga terpelanting. “Pergi kau!” bentak seorang di antara dua tukang pukul itu, yang berjenggot kambing.
160
Orang kedua, yang matanya juling, berkata kepada Sui In dengan nada memerintah.
“Bocah sombong, hayo cepat berlutut mohon ampun kepada kedua orang kongcu kami, atau engkau ingin aku memaksamu berlutut?” Dia menghampiri dengan sikap mengancam.
“Berlutut dan cium kaki kedua kongcu kami!” bentak pula si jenggot kambing.
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan sinar mata yang jeli itu kini mencorong, tanda bahwa Sui In marah bukan main mendengar ucapan yang nadanya menghina itu.
“Aku tidak ingin mencari perkara, akan tetapi kalau kalian tidak cepat pergi dari sini dan menutup mulut kalian yang kotor, terpaksa kalian akan kuhajar!” katanya, lembut namun mengandung ancaman.
“Heiiiittt!” Si mata juling segera memasang kuda-kuda, kedua kaki terpentang, kedua lutut ditekuk dan pinggulnya menonjol ke belakang, kedua lengan menyilang di depan dada, dengan tangan membentuk cakar. Lagaknya yang digagah-gagahkan itu lucu sekali.
“Hyatttt......!” Si jenggot kambing juga memasang kuda-kuda, lebih gagah lagi, dengan kaki kiri diangkat dan lutut ditekuk sehingga kaki kiri menempel di samping lutut kanan sedangkan kaki kanan berjungkit, tangan kiri di depan pusar dan tangan kanan diangkat tinggi menuding langit! Seolah-olah dia hendak memainkan ilmu silat yang amat luar biasa tingginya, setinggi
161
langit. Akan tetapi karena dia tidak dapat bertahan lama dengan sebelah kaki berjungkit, maka kaki kanan diturunkan dan kini dia membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang, kedua tangan terkepal di pinggang, siap untuk menerjang!
Melihat lagak mereka, Sui In tersenyum mengejek dan menepiskan tangannya seperti orang mengusir lalat. “Sudahlah, kalian badut-badut menjemukan, aku mau pergi!” Ia lalu melangkah dan sama sekali tidak memperdulikan kedua orang yang memasang kuda-kuda dan siap menyerangnya itu.
Melihat betapa gadis itu tidak takut menghadapi kuda-kuda mereka yang gagah, dua orang tukang pukul itu marah dan ketika gadis itu lewat di antara mereka, keduanya seperti berlomba lalu menubruk maju, berlumba untuk merangkul gadis itu. Si jenggot kambing merangkul leher, dan temannya si mata juling merangkul pinggang Sui In membiarkan sampai serangan mereka itu datang dekat, lalu tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat ke depan. Dua orang yang sudah yakin akan berhasil menubruk dan merangkul itu, girang sekali.
“Bressss......!” Mereka mengaduh karena mereka ternyata saling tubruk dan saling rangkul, bahkan kepala mereka saling bertemu dengan kerasnya. Terdengar suara tertawa bergelak dan yang tertawa ini adalah Pek-liong yang tak dapat menahan kegelian hatinya melihat lagak dua orang itu, dan diapun girang dan kagum melihat kecekatan gadis manis itu.
162
“Keparat kau!” bentak si jenggot kambing sambil mencabut goloknya.
“Perempuan hina!” bentak pula si mata juling dan diapun mencabut goloknya. Akan tetapi, Sui In tetap tenang, tidak mengeluarkan senjatanya karena dara ini sudah dapat mengukur bahwa dua orang lawannya itu lebih mengandalkan kenekatan dari pada kepandaian. Mereka itu seperti dua buah tong kosong yang berbunyi nyaring.
Dengan teriakan-teriakan menyeramkan, ke dua orang itu kini menggerakkan golok mereka dan menerjang ke arah Sui In, bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan benar-benar menyerang! Namun, Sui In dengan mudahnya berloncatan mengelak.
Dua orang itu mengamuk terus, mengejar ke manapun Sui In meloncat sehingga golok mereka menyambar-nyambar dan merobohkan beberapa buah kursi yang menjadi patah-patah. Melihat ini, pemilik rumah makan itu menjadi panik. Bisa hancur semua perabotnya!
“Sudah! Sudah......, harap jangan berkelahi di sini........!” Berulang-ulang dia berteriak.
Melihat ini, Sui In merasa kasihan, maka ketika dua batang golok itu menyambar, tubuhnya merendah dan kedua lengannya berkembang, tangannya sudah menotok ke arah siku dua orang penyerangnya. Golok itu terlepas dan pada detik berikutnya, kaki kanan gadis itu terangkat dan dua kali bergerak menendang ke arah perut dua orang lawannya.
163
Kaki itu menendang dengan gerakan cepat dan indah, dua kali bergerak tanpa turun dulu. Nampaknya tendangan itu tanpa tenaga, akan tetapi, begitu mengenai perut si jenggot kambing dan si mata juling, keduanya berteriak kesakitan, dan terjengkang lalu mengaduh-aduh sambil mengelus perut mereka yang mendadak terasa mulas dan nyeri sekali!
Kini Sui In melangkah ke arah meja dua orang pemuda kaya itu, tanpa memperdulikan, lagi dua orang bekas lawan yang mengaduh-aduh. Matanya yang jeli itu menatap wajah kedua orang pemuda hartawan itu dengan sinar mencorong.
Dua orang pemuda itu berdiri menggigil ketakutan melihat betapa dua orang tukang pukul mereka roboh tak berdaya. Apa lagi melihat sinar mata gadis itu, mereka ketakutan dan kedua kaki mereka menggigil, dan ketika Sui In tiba di depan mereka, tak dapat ditahan lagi celana mereka menjadi basah! Melihat ini, Sui In merasa jijik. Tangan kirinya bergerak, dua kali ke arah muka mereka.
“Plok! Plok!” Tubuh dua orang pemuda hartawan itu terpelanting dan ketika mereka bangkit duduk sambil memegangi pipi yang membengkak dan mulut berdarah karena beberapa buah gigi mereka rontok, gadis itu sudah membayar harga makanan tanpa bicara lagi, dan melangkah pergi.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay kagum bukan main. Gadis hebat, pikirnya dan dia merasa puas. Kalau lebih banyak wanita seperti gadis berpakaian hijau itu, tentu berkuranglah laki-laki iseng yang suka mengganggu wanita dengan cara yang kurang sopan.
164
Diapun mengenal gerakan wanita itu ketika tadi menghadapi serangan dua batang golok, cara mengelak, kemudian tendangan beruntun itu.
Gerakan gadis itu mempunyai ciri khas yang datang dari sumber partai persilatan Kun-lun-pai. Gadis itu tentu seorang murid Kun-lun-pai, pikirnya. Murid yang sudah jadi, sudah matang menurut dugaannya. Tentu saja ini hanya dugaan karena untuk menentukan tingkat gadis itu, dia harus melihat gadis itu bersilat berkelahi sungguh- sungguh, terutama menggunakan ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedangnya.
Sambil tersenyum dia melihat betapa empat orang pemuda itu merangkak-rangkak, membayar harga makanan, bahkan membayar pula kerugian yang timbul karena kerusakan meja kursi dan pecahnya mangkok piring akibat perkelahian tadi. Kemudian mereka pergi dari situ, si kepala besar tidak malu-malu menangis dan mengaduh-aduh karena pipinya bengkak dan banyak giginya sebelah kanan rontok!
Akan tetapi, Cin Hay yang sudah hampir melupakan lagi gadis berpakaian hijau yang lihai dan menarik itu, dan hendak melanjutkan makan minumnya, tiba-tiba tertarik melihat sikap tiga orang pria-pria setengah tua yang tadi dia lihat makan pula di meja lain. Dari sikap mereka, diapun tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa bertualang di dunia persilatan. Akan tetapi tadi dia tidak memperhatikan mereka.
Baru sekarang dia menaruh perhatian ketika melihat betapa tiga orang itu bicara bisik- bisik dan kadang menoleh ke luar setelah
165
gadis berpakaian hijau tadi meninggalkan rumah makan itu. Alisnya berkerut. Jelas bahwa mereka itu bukan orang-orang lemah, terutama sekali orang yang berusia limapuluh tahun dan rambutnya sudah berwarna putih semua itu.
Pernah dia mendengar akan seorang tokoh sesat yang rambutnya sudah putih semua dan terkenal ahli bermain pedang, julukannya Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih). Inikah orangnya? Diapun memperhatikan dua orang yang lain. Yang seorang berperut gendut, mukanya ramah akan tetapi matanya bersinar kejam. Orang kedua kurus pendek dengan wajah bengis.
Tak lama kemudian, tiga orang ini bangkit dari meja dan membayar harga makanan, lalu bergegas mereka keluar. Cin Hay melirik ke arah meja mereka. Mereka itu belum selesai makan, akan tetapi mengapa tergesa-gesa pergi? Dan mereka tadi jelas membicarakan si nona baju hijau!
Timbul kecurigaannya dan diapun segera membayar harga makanan lalu melangkah keluar. Di luar masih terdapat beberapa orang yang tadi tertarik melihat keributan yang terjadi dalam rumah makan dan mereka itu kini sedang membicarakan gadis baju hijau dengan kagum.
Cin Hay masih sempat melihat mengepulnya debu bekas kaki tiga ekor kuda itu menuju ke utara, maka diapun berjalan dengan langkah lebar menuju ke utara. Setelah keluar dari dusun Kim-tang, sebagai seorang yang tinggal di daerah Telaga See-ouw, tentu saja dia mengenal baik daerah ini dan melihat betapa masih nampak debu bekas kaki kuda mengepul di depan, tahulah dia
166
bahwa tiga orang penunggang kuda itu menuju ke bukit hutan cemara.
Dia tahu bahwa hutan itu sunyi dan jarang dikunjungi orang karena selain di sana tidak terdapat binatang buruan, juga banyak bagian yang berbatu-batu dan tidak mendatangkan hasil apapun kecuali kayu pohon cemara. Diapun segera mengerahkan tenaga berlari cepat setelah tiba di jalan yang sunyi, membayangi tiga orang penunggang kuda itu.
Kini dia sudah kehilangan tiga orang penunggang kuda karena mereka sudah memasuki hutan di kaki bukit. Cin Hay yang merasa curiga, terus membayangi, bahkan mempercepat larinya untuk menyusul karena kalau sudah tiba di hutan, dia dapat membayangi dari jarak yang lebih dekat tanpa mereka ketahui.
Sementara itu, Sui In setelah meninggalkan rumah makan, segera melanjutkan perjalanannya. Ia ingin mengunjungi susioknya (paman gurunya) yang bertapa di Bukit Cemara itu. Susioknya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai, dan ia percaya bahwa kalau susioknya membantu, akan lebih mudah baginya untuk mencari Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) sampai dapat dan membalas dendam atas kematian suaminya, juga menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja selama ini.
Ketika Sui In tiba di luar dusun, iapun menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke bukit Cemara. Setelah hampir tiba di kaki bukit, ia merasakan sesuatu yang tidak wajar, yang membuatnya menengok dan iapun melihat tiga orang penunggang kuda membalapkan kuda mereka.
167
Ia tidak tahu siapa mereka, akan tetapi menduga bahwa tentu mereka itu orang-orang yang hendak membalaskan kekalahan empat orang pemuda kurang ajar yang dihajarnya di rumah makan tadi. Maka iapun mempercepat larinya dan tibalah ia di hutan cemara yang mulai dari kaki bukit. Akan tetapi, tiga orang penunggang kuda itu terus mengejar memasuki hutan.
Ia menjadi penasaran sekali. Tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka, dan kalau mereka itu hendak membela empat orang pemuda kurang ajar tadi, ia akan menghajar mereka pula! Maka, setelah tiba di tempat terbuka, ia berhenti untuk mengaso dan melihat siapa mereka yang melakukan pengejaran itu.
Tiga orang penunggang kuda itu berlompatan turun dari atas kuda mereka ketika melihat bahwa gadis yang mereka kejar sudah berdiri menanti di atas lapangan terbuka, dengan sikap yang gagah dan menantang! Tiga orang penunggang kuda itu sesungguhnya bukanlah tukang-tukang pukul biasa yang hendak membela empat orang pemuda tadi seperti yang disangka oleh Sui In. Sama sekali bukan!
Mereka adalah tiga orang setengah tua yang tadi makan pula di rumah makan dan mereka melihat pula ketika Sui In menghajar para pemuda kurang ajar itu. Justeru gerakan gadis itulah yang menarik perhatian mereka dan yang membuat mereka melakukan pengejaran.
Gerakan ilmu silat Sui In ketika menghadapi para pemuda jahat tadi mereka kenal sebagal ilmu silat Kun-lun-pai. Gadis itu murid
168
Kun-lun-pai dan karenanya harus mati di tangan mereka! Atau lebih tepat lagi harus mati di tangan laki-laki berambut putih itu, karena yang dua orang lainnya hanyalah merupakan para pembantunya.
Siapakah mereka bertiga itu? Dugaan Pek-liong tadi memang tidak keliru. Pria berusia limapuluhan tahun yang rambutnya sudah putih semua itu adalah Ciong Hu, berjuluk Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih), seorang tokoh sesat kenamaan. Pek-mau-kwi Ciong Hu ini terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, dan diapun terkenal jahat dan kejam. Dia tidak pantang melakukan kejahatan apapun asal perbuatan itu menghasilkan keuntungan baginya.
Adapun dua orang temannya juga bukan orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh sesat yang namanya ditakuti orang karena selain kejam, merekapun lihai sekali. Terutama mereka yang suka mengarungi Sungai Huang-ho dengan perahu, tentu akan mengenal nama mereka.
Mereka adalah dua orang kakak beradik yang suka membajak di sepanjang Sungai Kuning, maka nama julukan merekapun Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Yang berperut gendut dengan wajah cerah akan tetapi sinar matanya kejam berusia empatpuluh lima tahun dan bernama Can Kai, sedangkan yang kurus pendek berwajah bengis adalah adiknya bernama Can Kui berusia empatpuluh tiga tahun.
Melihat cara tiga orang itu berlompatan dari atas punggung kuda, Sui In terkejut juga. Ia tahu bahwa tiga orang ini tidak boleh
169
dipandang ringan, tidak seperti dua orang tukang pukul muda yang dihajarnya di rumah makan tadi, maka iapun bersikap waspada.
Ia mulai meragukan sangkaannya setelah mengetahui mereka sebagai tiga orang yang tadi ia lihat makan di restoran itu pula. Kalau mereka ini membela empat orang pemuda yang dihajarnya tadi, tentu mereka sudah bergerak tadi di sana, pikir Sui In.
Tidak, mereka mengejarnya tentu karena alasan lain. Akan tetapi ia bersikap tenang saja ketika berdiri berhadapan dengan mereka bertiga. Melihat mereka bertiga itu hanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian, sedangkan si perut gendut menyeringai dengan sikap ceriwis. Sui In lalu menegur.
“Mau apa kalian bertiga mengejarku?”
Pek-mau-kwi Ciong Hu menggerakkan tangannya. “Nona, benarkah dugaan kami bahwa engkau seorang murid Kun-lun-pai?”
Sui In mengerutkan alisnya. “Kalau benar, mengapa?”
Akan tetapi pria berambut putih itu tidak memperdulikan Sui In melontarkan balas tanya penuh tantangan itu. “Dan engkau hendak berkunjung ke pondok Giam Sun?”
Sui In merasa tidak perlu merahasiakan kunjungannya lagi karena agaknya mereka sudah mengenal susioknya. “Memang aku akan berkunjung ke tempat pertapaan Giam Susiok. Kalian siapakah?”
170
Akan tetapi tiga orang itu sudah tertawa bergelak. “Hemm, engkau murid keponakan Giam Sun?” kini Can Kai si gendut tertawa. “Bagus sekali, kalau begitu engkau harus turut dengan aku!”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Can Kai sudah menubruk ke depan. Biarpun perutnya gendut ternyata dia dapat bergerak dengan cepat sekali.
Sui In cepat mengelak dan ketika lengan kanan si gendut itu masih berusaha meraihnya, ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Plakk!” Can Kai mengeluarkan seruan kaget karena lengannya yang tertangkis itu terpental keras, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang cukup kuat.
“A Kai, jangan main-main. Cepat selesaikan ia, kita tidak mempunyai banyak waktu!” tiba-tiba Pek-mau-kwi Ciong Hu berseru dan mendengar ini, si gendut sudah mencabut pedangnya, lalu tanpa banyak cakap lagi diapun sudah langsung menerjang dengan ganas. Akan tetapi, melihat lawan menggunakan senjata, Sui In juga, sudah cepat menghunus pedang dan kini ia menangkis dengan gerakan kilat.
“Tranggg......!” Begitu kedua pedang bertemu dan tangkisan itu membuat pedang Can Kai terpental, pedang di tangan Sui In sudah meluncur dengan gerakan lingkaran yang amat cepat, menyambar dari samping membabat ke arah leher Can Kai!
171
Si gendut ini terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Wajahnya berubah agak pucat karena nyaris lehernya putus! Dia menjadi marah dan sudah menerjang lagi dengan dahsyat, sama sekali tidak berani memandang rendah lagi.
Sui In juga segera memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat indah dan kuat. Pedang di tangannya itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dari gulungan sinar itu, yang selalu menahan setiap serangan lawan, seringkali mencuat sinar yang merupakan serangan balasan yang cepat dan berbahaya bagi lawan.
Dalam waktu duapuluh jurus saja, Can Kai sudah terdesak hebat dan setiap lima kali serangan lawan dia hanya mampu membalas satu kali saja! Tentu saja dia mundur terus dan berputar-putar dan jelas bahwa kalau dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti akan roboh menjadi makanan pedang di tangan gadis Kun-lun-pai yang lihai itu!
Melihat kakaknya terdesak, Can Kui sudah mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi diapun sudah terjun membantu kakaknya. Ilmu pedang Can Kui tidak banyak berbeda dengan kakaknya, maka kini Sui In dikeroyok dua dan kalau tadi Sui In dapat mendesak lawan, kini ia harus berhati-hati karena setelah dikeroyok, tentu saja keadaan menjadi berubah! Wanita perkasa ini memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi kini serangan dua orang itu lebih cepat dan lebih sering dibandingkan serangan balasan yang dapat ia lakukan.
172
Pek-mau-kwi Ciong Hu menjadi tidak sabar. Tak disangkanya bahwa wanita ini demikian lihainya sehingga dikeroyok oleh dua orang pembantunya pun agaknya mereka tidak akan mudah memperoleh kemenangan,
“Hemm, perempuan yang sombong, terimalah kematianmu!” bentaknya dan diapun sudah mencabut pedangnya. Begitu pedangnya dicabut, nampak sinar berkilauan, tanda bahwa pedangnya itu adalah sebuah senjata yang baik dan juga tajam sekali.
Pedang itu meluncur dan merupakan segulung sinar terang menyerang ke arah Sui In yang sudah dikeroyok oleh dua orang, Sepasang Harimau Sungai Kuning itu. Cepat dan kuat sekali serangan itu sehingga Sui In menjadi terkejut bukan main karena pada saat itu ia sedang didesak oleh dua orang pengeroyoknya. Pada saat yang amat berbahaya bagi Sui In, tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping.
“Cringggg......! Ahhhh......!!” Pek-mau-kwi Ciong Hu mengeluarkan seruan kaget dan cepat memeriksa pedangnya yang hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh sinar putih itu.
Dia merasa lega bahwa pedangnya tidak rusak, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia mengangkat muka memandang kepada seorang pria muda yang berdiri di situ sambil tersenyum. Seorang pria muda berpakaian serba putih, pakaian sederhana saja dan tentu dia tidak akan menduga bahwa pemuda itu seorang ahli silat yang lihai kalau saja dia tidak melihat pedang
173
yang bersinar putih dan yang telah membuat pedangnya terpental tadi.
“Pek-liong-eng........!” serunya dengan mata terbelalak.
Tan C'in Hay tersenyum, “Dan engkau tentu Pek-mau-kwi Ciong Hu!”
“Pek-liong-eng, selama ini di antara kita tidak pernah ada permusuhan dan jalan kita selalu bersimpang. Harap engkau tidak mencampuri urusan pribadiku!” kata Pek-mau kwi Ciong Hu, sementara itu, dua orang kakak beradik Can itu masih berkelahi mengeroyok Sui In.
“Pek-mau-kwi, memang jalan kita tidak pernah bertabrakan, akan tetapi sekali ini, secara pengecut sekali kau mengeroyok seorang wanita murid Kun-lun-pai dengan dua orang kawanmu. Hal ini tentu saja tidak dapat kubiarkan saja. Aku paling benci melihat laki-laki yang curang dan pengecut!”
“Pek-liong-eng, orang lain boleh takut kepada nama besarmu, akan tetapi aku tidak! Mampuslah!” Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang dengan pedangnya. Serangannya memang hebat dan dia adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Si Naga Putih!
Sebelum dia menjadi rekan setia dari Hek-liong-li, dia sudah merupakan seorang pendekar yang berilmu tinggi, mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari mendiang Pek I Lojin. Apa lagi setelah dia memiliki pedang pusaka Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Putih), dan bersama Hek-liong-li dia menciptakan ilmu
174
pedang Sin-liong Kiam-sut, maka ilmu pedangnya dahsyat bukan main. Begitu dia menggerakkan pedang pusakanya, lenyaplah bentuk pedang itu dan yang nampak hanya sinar putih bergulung-gulung yang menimbulkan bunyi berdesing-desing dan angin menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor naga bermain-main di angkasa.
Pek-mau-kwi merasa terkejut bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, memainkan jurus-jurus pilihan, namun tetap saja sinar pedangnya terkurung dan terhimpit oleh sinar pedang lawannya. Masih untung baginya bahwa diam-diam Pek-liong mengkhawatirkan keselamatan gadis Kun-lun-pai itu sehingga perhatian Pek-liong terpecah, sebagian untuk menjaga kalau-kalau wanita perkasa itu terancam babaya. Hal ini memberi kesempatan kepada Pek-mau-kwi untuk meloncat jauh ke belakang.
“Kita pergi......!” teriaknya kepada dua orang pembantunya.
Sebetulnya, Can Kai dan Can Kui sudah mulai menghimpit lawannya. Wanita perkasa itu hanya mampu menangkis dan melindungi tubuhnya saja dan kalau dilanjutkan, ia pasti akan roboh. Akan tetapi, mendengar seruan Pek-mau-kwi, mereka terkejut.
Tadipun mereka sudah cemas mendengar pemimpin mereka menyebut nama Pek-liong-eng. Maka, tanpa banyak pikir lagi, keduanya sudah berloncatan meninggalkan Sui In dan di lain saat, mereka bertiga sudah membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
175
Pek-liong tidak mengejar, juga Sui In tidak mencoba untuk mengejar. Mereka berdiri saling pandang sejenak, pandang mata yang mengandung kekaguman. Kemudian, Sui In yang teringat bahwa baru saja ia dibebaskan dari ancaman maut, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata, “Terima kasih atas pertolongan yang diberikan sehingga aku lolos dari ancaman maut di tangan mereka.”
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tersenyum dan membalas penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan depan dada, “Tidak perlu berterima kasih, nona. Sudah sepatutnya kalau kita saling membantu apa bila menghadapi ganguan orang-orang jahat.”
“Aku...... aku bukan seorang nona......” Sui In tersipu mendengar ia dipanggil “siocia” (nona). Usianya sudah duapuluh enam tahun dan ia seorang janda!
Pek-liong masih tersenyum dan kembali mengangkat kedua tangan di depan dada memberi hormat, “Ah, maafkan aku, nyonya......”
Sui In masih tersipu akan tetapi iapun tersenyum, dan menggeleng kepalanya. “Akupun bukan seorang nyonya......”
“Ehhh......?” Kini Pek-liong terbelalak bingung. Bukan nona dan bukan nyonya, apakah ia banci......?
“Aku seorang janda,” Sui In cepat menjelaskan.
“Ah, begitu......?”
176
Keduanya terdiam. Agaknya pengakuan dirinya sebagai seorang janda itu membuat suasana menjadi canggung. Akan tetapi akhirnya Sui In dapat menguasai hatinya. Ia tahu bahwa pria di depannya itu menjadi rikuh maka tidak berani sembarangan bicara dan harus ia yang lebih dahulu bicara.
Ia mengangkat muka. Kebetulan Pek-liong juga sedang memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar lalu Sui In yang membuang pandang mata ke samping sambil memerah muka di luar kesadarannya.
“Jadi...... engkau ini yang dijuluki Pek-liong-eng itu? Namamu sudah terkenal sampai ke kota raja.”
“Ah, hanya nama kosong saja, tidak pantas untuk disohorkan,” kata Pek-liong merendah.
“Bukan nama kosong. Baru saja aku menyaksikan sendiri betapa hebatnya ilmu pedangmu, tai-hiap (pendekar besar). Aku sudah mendengar pula nama Pek-mau-kwi yang kabarnya amat lihai dan ilmu pedangnya amat berbahaya, namun dalam beberapa gebrakan saja, melawanmu, dia telah melarikan diri. Sungguh engkau memiliki kesaktian hebat, tai-hiap.”
“Wah, engkau membikin aku dua kali malu dan bingung. Engkau tidak mau disebut nona, juga tidak mau disebut nyonya, akan tetapi sebaliknya engkau menyebut aku tai-hiap! Ini tidak adil namanya. Karena malu dan canggung, aku rasanya ingin lari saja. Kalau kita ingin melanjutkan perkenalan ini sebaiknya engkau menyebut aku toako saja. Usiaku sudah duapuluh tujuh
177
tahun, tentu jauh lebih tua darimu, maka sudah sepatutnya kalau engkau menyebut toako (kakak) kepadaku.”
Sui In tersenyum. Hatinya girang bukan main. Dahulu ia sudah mengagumi nama besar Pek-liong-eng. Tadi ketika bertemu di restoran, iapun diam-diam kagum melihat pria ini karena tampan dan jantan, kemudian ia semakin kagum melihat ilmu kepandaian dan sepak terjangnya.
Dan kini, bukan saja ia berhadapan dan berkenalan dengan pendekar itu, bahkan ia diperbolehkan menyebut toako! Ia semakin kagum. Pria ini selain tampan dan gagah, jantan, berkepandaian tinggi, juga ternyata sopan dan amat ramah dan jujur!
“Baiklah, toako, akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku nona atau nyonya, melainkan siauw-moi (adik perernpuan). Usiaku sudah duapuluh enam tahun, setahun lebih muda darimu.”
“Ah, tidak mungkin!”
“Apanya, yang tidak mungkin, toako?”
“Mana mungkin usiamu sudah duapuluh enam tahun? Engkau kelihatan tidak lebih dari duapuluh tahun!” kata Pek-liong dengan sikap sungguh-sungguh sehingga wanita itu tersenyum bangga, maklum bahwa pendekar itu tidak sekedar merayu.
“Sungguh, toako. Eh, kita ini sudah saling menyebut toako dan siauw-moi, akan tetapi belum mengetahui nama masing-masing!
178
Aku hanya pernah mendengar julukanmu, belum mengetahui namamu. Aku bernama Cu Sui In, toako.”
“Cu Sui In nama yang bagus. Namaku sendiri Tan Cin Hay, In-moi (adik In). Nah, kita telah berkenalan dan menjadi sahabat. Maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa tiga orang itu tadi berusaha mati-matian untuk membunuhmu?”
Sui In menggeleng kepala. “Aku sendiri pun tidak tahu mengapa mereka memusuhi aku, toako. Mereka tadi mengejarku, setelah tiba di sini mereka hanya bertanya apakah aku murid Kun-lun-pai. Setelah aku membenarkan, mereka segera menyerangku dan berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhku. Merekapun agaknya mengenal susiokku Giam Sun yang bertapa di puncak bukit ini.”
“Susiokmu? Seorang tokoh Kun-lun-pai bertapa di bukit ini? Heran sekali, mengapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu? Pada hal, aku tinggal tidak jauh sekali dari sini.”
“Giam Susiok (Paman Guru Giam) memang bertapa mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia seperti orang bersembunyi dan tidak ada yang tahu. Aneh sekali bagaimana tiga orang itu mengetahuinya dan..... ah, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan susiok....!” Wajah manis itu nampak khawatir sekali. “Aku harus cepat melihat keadaannya!”
Setelah berkata demikian, Sui In yang mengkhawatirkan paman gurunya segera berlari mendaki bukit. Pek-liong juga tertarik sekali mendengar bahwa paman guru gadis itu bertapa di situ, maka diapun mengikuti di belakang gadis itu tanpa bicara lagi.
179
Pondok itu sederhana saja, tersembunyi di bawah pohon cemara dan semak belukar tumbuh di sekelilingnya sehingga pondok itu tidak nampak dari bawah puncak.
“Giam susiok.......!” Sui In memanggil beberapa kali di luar pondok.
Tidak ada jawaban. Sunyi sekeliling dan perasaan hati wanita itu semakin gelisah. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan pendekar ini memberi isyarat dengan pandang matanya ke arah pintu pondok, Sui In mengangguk dan mereka lalu menghampiri pintu pondok, mendorongnya terbuka.
“Susiok......!” Sui In terkejut bukan main melihat paman gurunya sudah rebah miring di atas lantai tanah pondok itu. Ia meloncat masuk diikuti Pek-liong dan keduanya berlutut dekat tubuh yang menggeletak miring.
“Dia sudah tewas,” kata Pek-liong dan Sui In mengangguk, wajahnya pucat dan matanya terbelalak.
“Lihat ini......,” kata Pek-liong menunjuk ke arah lantai dan ketika Sui In memandang sambil mendekatkan mukanya, iapun melihat betapa dekat tangan yang terkulai itu, di atas lantai tanah, terdapat tulisan. Huruf-hurufnya cukup jelas dan ia membacanya.
“Pek-mau-kwi...... Kwi-eng-cu......!”
“Aih, Kwi-eng-cu......??” Gadis itu nampak terkejut sekali sehingga Pek-liong cepat bertanya.
180
“Siapa itu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)?”
Sui In memandang dengan kedua mata basah.
“Aku...... aku mencari paman justeru...... justeru..... karena urusan Kwi-eng-cu dan ternyata paman guruku telah menjadi korban Kwi-eng-cu pula!”
Gadis itu menangis, teringat akan kematian suaminya dan kini kematian susioknya (paman gurunya), pada hal tadinya ia mengharapkan bantuan paman gurunya untuk dapat membalas dendam kepada Kwi-eng-cu.
Pek-liong membiarkan wanita itu menangis sejenak, setelah Sui In dapat menguasai dirinya, dia lalu berkata, “Sudahlah, In-moi. Susiokmu sudah tewas dan ditangisi bagaimanapun juga, tidak ada gunanya. Jauh lebih baik kalau kita segera mengubur jenazahnya.”
Sui In mengangguk dan Pek-liong lalu mencari sebuah cangkul di bagian belakang pondok itu, memilih tempat yang baik dan diapun segera bekerja, menggali lubang kuburan. Dan tak lama kemudian, jenazah Giam Sun, kakek berusia enampuluh tahun tokoh Kun-lun-pai itu telah dikubur secara sederhana. Kemudian disembayangi secara sederhana pula, tanpa alat sembahyang, hanya dengan berlutut di depan makam dan berdoa di dalam hati, namun dua orang muda itu bersembahyang dengan khidmat.
Setelah penguburan selesai, barulah Pek-liong berkata, “Nah, sekarang coba kauceritakan kepadaku siapa itu Kwi-eng-cu dan
181
apa hubungannya dengan kedatanganmu ke sini dan dengan semua peristiwa ini, In-moi!”
Sui In menarik napas panjang, terkenang akan semua peristiwa buruk yang menimpa dirinya.
“Aku tinggal di ibu kota, toako. Selama beberapa bulan ini, di kota raja timbul peristiwa yang menggegerkan, yaitu dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap beberapa orang pejabat penting. Tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh itu, hanya ada yang melihat bayangan yang bertanduk, seperti iblis. Karena itu maka pembunuh itu hanya dinamakan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) tanpa ada yang menduga siapa dia dan di mana sarangnya. Di antara banyak pejabat yang terbunuh itu, termasuk juga suamiku ......”
“Ah......! Suamimu seorang pejabat dan dia pun tewas oleh Kwi-eng-cu?”
Tentu saja Pek-liong terkejut dan kini dia memandang wajah wanita itu dengan perasaan iba. Sui In melihat pandang mata penuh iba itu, maka iapun berterima kasih dengan senyum kecil!
“Aku sudah dapat mengatasi peristiwa itu, toako. Bukan hanya suamiku yang dibunuh, akan tetapi banyak pejabat, bahkan ada pangeran yang dibunuh, pembantu menteri bahkan menteri! Kota raja menjadi geger, dan aku sendiri setelah itu menjaga keselamatan pamanku, yaitu Pembantu Menteri Pajak, karena setiap orang pejabat tinggi, apa lagi yang dekat dengan kaisar, merasa terancam dan tidak aman.
182
“Karena aku ingin sekali menangkap penjahat tukang bunuh itu, maka setelah paman mendatangkan rombongan pengawal yang cukup tangguh, aku lalu pergi ke sini untuk menghadap paman guru Giam Sun, untuk minta bantuannya bersamaku menangkap dan menghukum Kwi-eng-cu di kota raja.
“Selanjutnya, engkau tahu apa yang terjadi di sini, toako. Ahh, sungguh malang sekali nasibku. Bagaimana pula susiok yang akan kumintai bantuan, tahu-tahu telah dibunuh orang? Dan apa artinya tulisan yang agaknya sengaja dia tinggalkan di tanah itu?”
Pek-liong tertarik sekali dan diapun mengerutkan alis, mengerjakan otaknya yang sehat, yang membuat dia cerdik sekali dan waspada. Baru sekarang dia mendengar tentang pembunuhan-pembunuhan aneh di kota raja itu dan biarpun dia tidak suka mencampuri urusan pemerintah, namun peristiwa itu sungguh menarik hatinya. Terjadi kejahatan yang luar biasa beraninya di kota raja.
“In-moi, kalau boleh aku bertanya, bagaimana keadaan dan pendirian mendiang suamimu terhadap Sribaginda Kaisar?“
Ditanya tentang suaminya itu, Sui In terkejut sekali, karena hal ini tidak pernah disangkanya. Ia memandang dengan mata terbelalak.
“Apa...... apa maksudmu, toako?”
“Begini, In-moi. Aku ingin mengetahui bagaimana sikap para pejabat tinggi yang terbunuh itu. Karena engkau tentu tidak mengetahui keadaan mereka, maka aku bertanya tentang
183
suamimu. Diapun ikut pula terbunuh, berarti dia memiliki persamaan atau kepentingan yang sama dengan para pejabat lain yang terbunuh. Nah, aku ingin tahu apakah suamimu itu seorang pejabat yang...... maafkan pertanyaanku kalau kasar, apakah dia seorang pejabat yang korup?”
Secara kontan Sui In menggeleng kepala keras-keras.
“Sama sekali tidak! Baik pamanku, Ciok Tai-jin Pembantu Menteri Pajak, dan juga mendiang suamiku, mereka adalah pejabat-pejabat yang jujur dan setia, disiplin dan tidak sudi melakukan penyelewengan demi keuntungan diri pribadi!”
Pek-liong mengangguk-angguk. “Dan bagaimana sikapnya terhadap Sribaginda Kaisar? Setia sepenuhnyakah? Ataukah ada sesuatu yang membuat suamimu merasa tidak suka akan kebijaksanaan Kaisar? Secara terang-terangan atau secara sembunyi menentang Kaisar?”
Sui In menggelengkan kepalanya dan kini ia mengerti ke arah mana tujuan pertanyaan Pek-liong, maka iapun menerangkan.
“Akupun pernah melakukan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu, toako, dan akupun sudah menyelidiki tentang sikap mereka yang terbunuh. Suamiku sendiri adalah seorang yang setia dan taat kepada kaisar. Akan tetapi, yang membingungkan adalah bahwa di antara mereka yang terbunuh terdapat pula mereka yang memperlihatkan sikap tidak cocok dengan kebijaksanaan Kaisar. Jadi, pembunuhan ini jelas bukan berdasarkan pro atau anti kaisar.”
184
Pek-liong memandang wanita itu dengan kagum. Seorang wanita yang cerdik pula, pikirnya.
“Apakah di kota raja sudah ada usaha untuk menyelidiki pembunuhan-pembunuhan itu? Bagaimana dengan Kaisar sendiri?”
“Kaisar sudah memerintahkan semua petugas keamanan untuk melakukan penyelidikan. Namun tanpa hasil. Akan tetapi, sungguh aku tidak mengerti apa hubungan semua pembunuhan di kota raja itu dengan pembunuhan terhadap susiok?”
“Tentu ada kaitannya, In-moi. Setidaknya, mereka itu jelas memusuhi Kun-lun-pai. Buktinya, setelah mereka tahu bahwa engkau murid Kun-lun-pai engkaupun akan mereka bunuh. Tulisan itu menyebutkan dua nama.
“Nama Pek-mau-kwi sudah jelas. Dia adalah orang berambut putih yang memimpin pengeroyokan terhadap dirimu. Ini berarti bahwa ketika paman gurumu terbunuh, dia mengenal Pek-mau-kwi sebagai seorang di antara pembunuhnya. Melihat tingkat kepandaiannya, kiranya kalau hanya seorang diri saja Pek-mau-kwi tidak akan mungkin dapat membunuh susiokmu yang tentu lihai sekali.”
“Dalam hal kelihaian ilmu silat, susiok hanya lebih menang sedikit dibandingkan aku, akan tetapi dia berpengalaman dan cerdik, maka aku ingin minta bantuannya untuk menangkap pembunuh di kota raja.”
185
“Lebih lihai dan engkau berarti tidak kalah malawan Pek-mau-kwi. Mungkin dia dikeroyok oleh Pak-mau-kwi bersama dua orang pembantunya itu. Akan tetapi, diapun menulis nama Kwi-eng-cu! Apakah pembunuh misterius di kota raja itu datang pula ke sini, bersama Pek-mau-kwi membunuhnya?”
“Mungkin juga begitu! Sayang aku datang terlambat!” kata Sui In penuh penyesalan.
Pek-liong menggeleng kepala. Otaknya sudah bekerja karena dia tertarik sekali oleh semua peristiwa yang terjadi, baik di bukit itu maupun di kota raja seperti yang dia dengar dari Sui In.
“Engkau terlambat satu hari, In-moi. Pamanmu itu sudah tewas sedikitnya lima jam yang lalu, akan tetapi melihat luka pedang di tengkuknya, tentu dia sudah diserang orang pada hari kemarin. Dia tentu disangka mati dan ditinggalkan para pembunuhnya, maka dia masih mampu menuliskan nama-nama itu. Dan melihat betapa kita bertemu dengan Pek-mau-kwi pada hari ini, bersama dua orang pembantunya yang lihai pula itu, maka kurasa yang membunuh pamanmu adalah tiga orang tadi. Kalau dikeroyok tiga, sukar baginya untuk menang.”
“Akan tetapi, mengapa paman guruku menuliskan nama Kwi-eng-cu pula?”
“Itulah yang menjadi rahasianya. Apapun rahasianya itu, jelas bahwa antara Kwi-eng-cu dan Pek-mau-kwi ada hubungan! Jadi, kalau kita hendak menyelidiki tentang Kwi-eng-cu, kita dapat menyelidikinya melalui Pek-mau-kwi!”
186
“Kita......?” Sui In mengangkat muka, memandang dengan sinar mata penuh harap.
Pek-liong mengangguk. “Ya, aku akan pergi denganmu, In-moi. Perkara ini amat menarik hatiku. Secara kebetulan saja kita saling melihat di rumah makan itu. Kalau saja tiga orang itu tidak menimbulkan kecurigaanku dengan sikap mereka, tentu aku tidak akan membayangi mereka dan kita mungkin tidak akan saling bertemu kembali.”
Bukan main girangnya rasa hati Sui In. Ia mencari susioknya untuk membantunya menyelidiki pembunuh suaminya. Susioknya tewas terbunuh orang dan sebagai gantinya, ia mendapat bantuan dari orang yang lebih hebat dan lebih dapat dipercaya dari pada susioknya, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay!
“Terima kasih, toako! Kalau engkau yang melakukan penyelidikan, aku yakin rahasia pembunuh itu akan terbongkar dan kita akan dapat menangkapnya! Biarpun aku berduka karena kematian susiok, sebaliknya aku gembira sekali telah mendapatkan engkau sebagai penggantinya untuk membantu aku membalas dendam kematian suamiku!”
“Maaf, In-moi. Kalau aku ingin menyelidiki Kwi-eng-cu, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan balas dendam kematian suamimu, juga bukan sebagai seorang pendekar yang menentang kejahatan lalu membela para pejabat. Aku bukan pendekar, aku seorang manusia biasa yang bebas menentukan jalan hidupku sendiri. Kalau aku sekarang ikut denganmu ke kota
187
raja, hal itu adalah karena aku tertarik oleh semua ceritamu tadi, In-moi.”
“Apapun alasanmu, aku girang bahwa engkau suka pergi bersamaku ke kota raja, toako. Mari kita berangkat!” ajak wanita itu dengan wajah berseri.
“Kita singgah dulu di rumahku, In-moi. Tidak jauh dari sini. Aku harus membuat persiapan dan memberitahu orang di rumah.”
“Aih, maafkan. Aku lupa. Tentu saja engkau harus berpamit kepada keluargamu!” kata Sui In dan teringat akan hal ini, seri di wajahnya menghilang.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tertawa. “Ha-ha-ha, aku hidup seorang diri di dunia ini, In-moi, sebatang kara, tanpa keluarga. Hanya dengan para pembantu rumah tangga. Kalau aku pergi, aku harus memberitahu mereka agar mereka tidak gelisah. Pula, aku harus membawa bekal dan persiapan.”
“Tapi, toako. Seorang pria seperti engkau ini, usiamu sudah cukup dewasa, engkau pandai, engkau gagah perkasa dan wajahmu menarik, bagaimana mungkin sampai kini masih hidup membujang? Maafkan, bukan maksudku mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi seorang pria seperti engkau sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang isteri yang cantik jelita dan bijaksana, dan mempunyai beberapa orang anak yang mungil dan sehat.”
Ada bayangan gelap menyelimuti wajah Pek-liong, namun hanya sebentar saja, seperti bayangan awan yang lewat. Wajahnya
188
sudah berseri kembali, matanya bercahaya dan mulutnya ramai oleh senyum.
“Isteriku telah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu tanpa anak dan sejak itu, aku belum pernah menikah lagi.”
“Ah, engkau... seorang...... duda? Siapa sangka!”
Wajah Sui In berubah merah sekali karena ucapan itu tadi keluar begitu saja di luar kesadarannya dan baru sekarang ia merasa betapa ucapan itu amat tidak pantas keluar dari mulutnya. Untuk menutupi perasaan rikuh dan salah tingkah, ia cepat menyambung, “Isterimu tentu meninggal dunia karena sakit.”
Pek-liong menggeleng kepala. “Seperti juga suamimu, isteriku tewas dibunuh orang! Sudahlah, perlu apa kita bicara tentang hal lalu. Mari engkau singgah dulu di rumahku. Tidak begitu jauh dari sini.”
Menjelang sore, tibalah mereka di dusun Pat-kwa-bun. Begitu memasuki pekarangan rumah Pek-liong, Sui In merasa, kagum bukan main.
Tempat itu amat bersih dan terpelihara rapi. Dari pagar temboknya yang tidak begitu tinggi dan dicat merah, sampai pekarangan yang juga merupakan taman terpelihara indah, dengan air mancur di depan di tengah kolam ikan emas, dan ada sebuah arca naga putih di belakang kolam. Beberapa batang pohon membuat tempat itu sejuk dan nyaman, dan hamparan rumput juga terpelihara sehingga merupakan permadani hijau yang menyegarkan mata.
189
Rumah itu sendiri dari luar nampak kokoh. Tidak begitu besar namun indah walaupun tidak nampak mewah dari luar. Dindingnya putih bahkan jendela dari pintunya juga putih, dengan garis-garis tipis merah muda dan kuning. Gentengnya kemerahan.
“Selamat datang, Tai-hiap, Selamat datang, nona!” Dua orang pria yang berpakaian pelayan namun bersih dan dengan sikap yang gagah, dengan tubuh tegak dan tegap, menyambut mereka dengan salam hormat.
“Nona ini adalah Cu Li-hiap, menjadi tamu kehormatanku malam ini. Suruh A- liok menyiapkan hidangan yang lezat untuk tamu kita!” kata Pek-liong kepada mereka.
“Maafkan kami, Li-hiap,” kata seorang di antara mereka sambil memberi hormat kepada Sui In yang tentu saja merasa rikuh menerima penghormatan sebagai seorang pendekar wanita. Akan tetapi ia hanya mengangguk dan Pek-liong mempersilakan ia ikut memasuki rumahnya.
Setelah masuk ke dalam rumah itu, Sui In menjadi semakin kagum. Kiranya isi rumah itu berbeda sekali dengan keadaan luarnya. Semua perabot rumah di situ nampak megah dan mewah, juga terpelihara rapi. Sampai lantainya saja mengkilap seperti cermin!
Lukisan-lukisan indah, juga tulisan-tulisan indah menghias dinding. Pot-pot bunga terukir naga dan burung Hong, berdiri di sudut-sudut terisi tanaman yang segar. Sutera-sutera beraneka warna menutupi lubang-lubang dan bergantungan seperti pelangi.
190
Ruangan-ruangan yang dilaluinya ditata secara nyeni sekali, tidak kalah indahnya dibandingkan istana raja sekalipun!
Yang membuat Sui In semakin kagum adalah ketika mereka memasuki setiap ruangan Pek-liong selalu memeriksa apakah tombol rahasia menunjukkan bahwa ruangan itu bebas perangkap, jelas bahwa rumah yang indah itu penuh jebakan dan perangkap. Karena ingin tahu ia tanyakan hal ini kepada tuan rumah.
Pek-liong mengangguk, tersenyum. “Hidup seperti aku ini selalu diancam bahaya, banyak orang yang pernah kujatuhkan menaruh dendam dan setiap waktu mereka dapat datang menyerbu ke rumahku. Karena aku tidak suka menggunakan pasukan pengawal, maka aku harus mampu menjaga segala kemungkinan terhadap gangguan dari luar yang datang selagi aku tidur.”
“Ah, menarik sekali, Toako, aku tidak ingin mengetahui alat-alat rahasia di rumahmu ini yang tentu saja harus dirahasiakan, akan tetapi kalau boleh aku ingin melihat bekerjanya satu saja perangkap yang dipasang di ruangan depan itu.” Ia menuding ke depan, ke sebuah ruangan yang dihias sutera-sutera merah muda.
Pek-liong tersenyum, mengangguk dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
“Engkau boleh buktikan sendiri, In-moi. Coba kau masuki ruangan itu dengan sikap hati-hati. Engkau seorang penyerbu yang sudah menduga bahwa kamar itu dipasangi jebakan, sehingga engkau boleh berhati-hati sekali, akan tetapi engkau harus memasuki
191
ruangan itu, katakanlah untuk mengambil atau melakukan sesuatu.”
Sui In mengerutkan alisnya. “Akan tetapi...... aku tidak mau terancam bahaya maut, toako!”
Pek-liong menggeleng kepala. “Aku belum gila, In-moi. Masa aku akan mencelakaimu? Jangan khawatir, perangkap yang kupasang di rumah ini bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat orang yang berniat buruk tidak berdaya dan tertawan tanpa melukai atau menyakitinya. Engkau boleh mencabut pedangmu untuk berjaga-jaga, seperti seorang musuh tulen!”
Sui In menjadi tertarik sekali dan iapun mengangguk, mencabut pedangnya dan dengan hati-hati menghampiri kamar itu. Bahkan ia, merasa gembira karena ia seperti berada dalam suatu permainan yang menarik untuk menguji diri sendiri dan menguji keampuhan alat yang dipasang oleh Pendekar Naga Putih di dalam rumahnya.
Dengan penuh kewaspadaan, Sui In menghampiri ruangan itu. Sebuah ruangan duduk yang indah, dengan pintunya terbuka dan lantainya mengkilap, meja kursinya terukir indah ditilami bantalan. Jendela-jendela yang berada di tiga penjuru tertutup, tentu dibuka kalau ada tamu sehingga ruangan yang menembus di sebelah kiri pada sebuah taman itu tentu akan sejuk dan nyaman sekali. Dindingnya yang bersih dihiasi lukisan dan tulisan indah berbentuk syair-syair berpasangan.
Dengan pandang matanya yang tajam Sui In mengamati seluruh bagian ruangan itu, mencari-cari tanda adanya pesawat rahasia.
192
Namun semua nampak bersih dan wajar, tidak ada yang mencurigakan. Apakah lantainya yang mampu bergerak dan terdapat lubang sehingga ia akan terperosok ke bawah kalau menginjaknya. Ataukah dari jendela-jendela itu akan keluar senjata rahasia atau asap pembius yang akan membuatnya pingsan? Apakah daun pintu akan menutup sendiri begitu ia memasuki ruangan?
Berbagai kemungkinan ini ia perhitungkan ketika akhirnya berindap-indap ia melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan. Selangkah demi selangkah ia memasuki ruangan itu, setiap bagian tubuhnya menegang penuh kesiap siagaan.
Pada langkah kelima, tiba-tiba terdengar suara berderit di belakangnya. Ia cepat menoleh dan daun pintu yang tadi terbuka lebar itu kini tertutup! Ia melangkah maju lagi dan setelah tiba di tengah ruangan, tiba-tiba saja dari empat sudut ruangan itu menyambar anak-anak panah yang ujungnya berbentuk bola, juga dari atas turun anak panah bagaikan hujan.
Sui In cepat menggerakkan pedangnya, diputar melindungi tubuhnya dan semua anak panah runtuh. Setelah runtuh baru nampak olehnya bahwa anakpanah-anakpanah itu tumpul dan tidak akan melukai orang yang menjadi sasaran.
Tiba-tiba saja dari lantai yang mengkilap itu bermunculan tongkat-tongkat panjang yang menyambar-nyambar ke arah kakinya. Sui In meloncat ke atas, dan pada saat itu, kain-kain sutera merah muda yang bergantungan di langit-langit itu bergerak,
193
menyambar-nyambar sehingga mengaburkan pandangan matanya dan tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya sudah terlibat-libat oleh kain sutera yang panjang dan banyak sekali, seperti tidak ada habisnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di udara dalam libatan banyak kain sutera, seperti seekor lalat tertangkap di sarang laba-laba.
Akan tetapi, Sui In bukanlah wanita lemah. Ketika tadi kain sutera yang tadinya bergantungan sebagai hiasan itu tiba-tiba hidup dan menyambar-nyambar ke arahnya, tubuhnya terlibat-libat, ia sudah cepat membebaskan tangan kanan yang memegang pedang.
Kini, biarpun tubuhnya sudah terlibat-libat kain, lengan kanan dan pedangnya masih bebas. Ia menggerakkan pedangnya dan putuslah semua libatan kain sutera dari tubuhnya.
Ia terlepas dan jatuh ke bawah. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hebat, ia sudah berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas lantai dengan selamat dan dalam keadaan berdiri. Akan tetapi, putusnya kain-kain sutera itu menimbulkan bunyi kelenengan nyaring bertubi-tubi dan terdengar dari seluruh penjuru rumah itu.
Daun-daun jendela tiba-tiba terbuka dan enam orang pelayan pria pembantu rumah tangga itu sudah berdiri di luar jendela dengan pedang di tangan! Daun pintu yang tadi tertutup sendiripun terbuka dan Pek-liong sudah berdiri di ambang pintu dengan tersenyum! Sui In mendapatkan dirinya sudah terkepung di dalam ruangan itu!
194
Pek-liong bertepuk tangan memuji. “Hebat, engkau hebat sekali, nona. Engkau sudah dapat menghindarkan anak panah, toya dan bahkan jala kain sutera!”
Sui In menyarungkan pedangnya dan menarik napas panjang. “Aihhh, sungguh ruangan ini berbahaya sekali! Biarpun sudah dapat membebaskan diri dari semua itu, akhirnya aku terkepung di ruangan ini! Ruangan yang satu ini saja sudah begini hebat, apa lagi yang lainnya! Toako, aku mengaku kalah dan menyatakan kagum sekali. Maafkan kalau aku merusak kain-kain sutera merah muda itu.”
“Ah, tidak mengapa, In-moi.” Lalu kepada para pembantunya dia berkata, “Ganti kain¬kain sutera itu dengan yang baru dengan warna biru laut!”
Kemudian dia mengajak Sui In keluar dari ruangan itu dan mempersilakan janda muda itu ke sebuah kamar. Dia sendiri berhenti di luar pintu kamar.
“In-moi, inilah kamar tamu untukmu bermalam semalam ini. Besok pagi baru kita akan melakukan perjalanan ke kota raja. Malam ini aku akan membuat persiapan untuk perjalanan besok pagi. Makan malam nanti setelah siap dan engkau akan diberitahu oleh pembantu. Nah, beristirahatlah, In-moi.”
Setelah berkata demikian, Pek-liong meninggalkan wanita itu. Sampai beberapa lamanya Sui In berdiri di pintu kamar itu, mengikuti bayangan Pek-liong sampai lenyap di tikungan. Seorang pria yang bukan main, pikirnya. Gagah perkasa, berkepandaian tinggi, tampan dan ganteng, duda dan bebas,
195
ditambah lagi kaya-raya dan juga amat sopan. Masuk ke kamar itupun dia tidak mau!
Hatinya semakin tertarik dan dengan muka merah ia mendapatkan kenyataan betapa ia telah jatuh cinta kepada pria muda yang ganteng itu! Betapa ia mengharapkan terjadi suatu mujijat, suatu anugerah dari Tuhan. Ia seorang janda, dan Pek-liong-eng Tan Cin Hay seorang duda. Sudah tepat, bukan? Dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memasuki kamar itu. Begitu masuk, hidungnya bertemu keharuman semerbak.
Sebuah kamar yang mewah sekali. Ada dupa harum masih mengepul di atas meja, tanda bahwa dupa itu baru saja dibakar oleh pelayan. Kamar itu tidak berapa besar, namun lengkap dan enak sekali. Udaranya nyaman, masuk dari jendela yang menembus taman, dan dari lubang-lubang hawa di atas jendela. Sebuah kamar kecil menyambung kamar itu. Betapa mewahnya!
Ketika ia menjenguk ke dalam kamar mandi, tersedia sudah air jernih yang cukup banyak. Setelah menutup pintu kamar, Sui In lalu menyiram tubuhnya dengan air, mandi sekenyangnya sehingga tubuhnya terasa segar kembali, kulit tubuhnya dari muka sampai kaki tangan, menjadi kemerahan karena digosoknya dengan keras sehingga bersih dari debu.
Ia telah mengenakan pakaian bersih ketika pinta kamar diketuk dari luar, dan seorang pelayan dengan sikap hormat memberitahu bahwa makan malam telah siap, dan tamu yang dihormati itu dipersilakan datang ke ruangan makan di mana “tai-hiap” telah menanti.
196
Ketika Sui In memasuki ruangan makan, Pek-liong bangkit berdiri dan dia memandang kepada wanita itu dengan sinar mata kagum. Harus diakuinya bahwa janda muda ini memang cantik manis dan segar bagaikan setangkai bunga mawar di pagi hari, tersiram embun pagi dan bersinar cahaya keemasan matahari. Dengan ramah dia lalu mempersilakan tamunya duduk berhadapan dengannya, menghadapi sebuah meja.
Melihat pandang mata kagum itu, Sui In merasa betapa jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Untuk menenangkan hatinya, iapun segera bertanya setelah duduk.
“Sudahkah engkau membuat persiapan, toako? Dan kapan kita berangkat?”
Pek-liong mengangguk. “Sudah beres semua, In-moi. Besok pagi-pagi setelah terdengar bunyi ayam berkeruyuk, kita berangkat.”
Sementara itu, dua orang pelayan datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Sui In mencium bau masakan yang lezat dan perutnya memberontak karena memang ia telah merasa lapar. Tidak kurang dari sepuluh macam masakan dihidangkan, kesemuanya terdiri dari masakan yang mewah dan mahal.
Mereka berdua lalu makan minum dengan gembira, sambil bercakap-cakap. Sui In sama sekali tidak merasa canggung biarpun pengalaman seperti ini merupakan pengalaman pertama sejak suaminya terbunuh.
Makan malam berdua saja dengan seorang pria yang tampan dan gagah! Di dalam rumah pria itu pula! Akan tetapi, sedikitpun ia
197
tidak merasa canggung dan kaku. Hal ini karena sikap Pek-liong yang sopan dan ramah. Memang, kadang-kadang sinar mata yang tajam mencorong itu membayangkan kekaguman, namun kekaguman yang wajar, tidak mengandung kecabulan atau kekurangajaran yang biasa ia lihat dalam pandang mata kaum pria kalau memandang kepadanya.
Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang rumah itu. Juga taman bunga ini, walaupun tidak sangat luas, diatur indah sekali.
Di tengah taman, di antara beraneka macam bunga, terdapat sebuah tempat berteduh berbentuk payung, bangunan tanpa dinding, hanya atap yang berbentuk payung dan di bawahnya terdapat enam buah bangku dan sebuah meja.
Tempat itu enak sekali. Empat lampu gantung menerangi tempat itu, dan di sana-sini, di ujung taman terdapat pula lampu gantung dengan berbagai warna. Suasana amat hening dan indah, semerbak harum bunga memenuhi taman itu.
“Aduh, bagus sekali taman ini!” kata Sui In memuji.
“Mari kita duduk di sana. Engkau belum mengantuk, bukan?” kata Pek-liong dan wanita itu tertawa.
“Aih, toako. Baru saja makan kenyang, masa mengantuk dan tidur? Pula, malam baru saja tiba, belum larut.”
Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja kecil. Suasana sungguh indah dan romantis sekali. Apa lagi ketika di langit
198
muncul bulan muda yang memandikan taman itu dengan cahayanya yang lembut. Anginpun lembut sepoi-sepoi bercanda di antara bunga-bunga, membuat udara yang penuh keharuman bunga itu menjadi nyaman dan sejuk.
Suasana yang romantis seperti ini, cahaya bulan yang lembut mengandung daya yang mengairahkan, yang amat kuat mengusik hati muda, menggelitik dan membangkitkan berahi. Hal ini terasa sekali oleh Sui In ketika ia duduk dan menikmati keindahan itu, dan setiap kali pandang matanya berhenti di wajah Pek-liong, ia terpesona.
Wajah itu nampak demikian ganteng, demikian tampan sehingga hatinya luluh, rindu dendam dan gairahnya bangkit. Kalau saja pada saat itu Pek-liong maju selangkah saja, mengulurkan tangan, pasti ia tidak akan mampu menolak atau mengelak, dan akan terlena dalam pelukan pria itu dengan hati penuh kerinduan!
Akan tetapi, Pek-liong sama sekali tidak melakukan uluran tangan! Sama sekali tidak, bahkan pria mengajaknya bercakap-cakap kembali tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja, sehubungan dengan kemunculan Si Bayangan Iblis.
Bimbingan ke arah percakapan itu tentu saja membuyarkan keindahan khayal yang muncul dari gairah berahi tadi, apa lagi karena percakapan itu mengingatkan Sui In akan semua peristiwa dan malapetaka yang menimpa dirinya. Iapun tertarik dan setelah mereka barcakap-cakap, iapun menerangkan dan menceritakan segala hal yang diketahuinya dan yang bertalian dengan pembunuhan-pembunuhan misterius yang dilakukan oleh
199
bayangan yang kemudian dinamakan Si Bayangan Iblis. Waktu berjalan cepat dan tahu-tahu bulan sudah naik tinggi ketika Pek-liong mempersilakan tamunya untuk tidur.
“Besok pagi-pagi kita berangkat, maka sebaiknya kalau engkau mengaso dan tidur di kamar, In-moi. Selamat malam dan selamat tidur!”
Sui In tidak menjawab dan ada perasaan kecewa dan menyesal di dalam hatinya bahwa malam itu ia harus berpisah dari Pek-liong. Muncul kembali kerinduannya akan suatu kemesraan yang sudah lama lepas darinya, lama sebelum suaminya tewas dibunuh orang.
Dan ia ingin mendapatkan kemesraan ittu dari Pek-liong! Akan tetapi, agaknya sedikitpun Pek-liong tidak menanggapi perasaannya. Berulang tali ia menarik napas panjang penuh kekecewaan dan penyesalan ketika ia melangkah perlahan menuju ke kamarnya, setelah tadi Pek-liong meninggalkannya di taman.
Baru setelah ia merebahkan diri di atas pembaringannya, ketika suasana romantis taman bunga bermandikan cahaya bulan itu tidak mempengaruhinya, ia tersenyum! Diam-diam ia berterima kasih kepada Pek-liong yang tidak mempergunakan kesempatan itu untuk merayunya dari menjatuhkannya!
Kalau sampai hal itu terjadi, tentu ia akan merasa menyesal sekali kemudian, karena ia sedang bertugas! Tugas mencari Si Bayangan Iblis dan menumpas kejahatan itu sama sekali belum terlaksana! Suaminya tewas di tangan penjahat, juga paman
200
gurunya tewas di tangan penjahat dan penjahat itu agaknya Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis).
Sungguh tidak pantas kalau kini ia bersenang-senang mengumbar nafsu berahi. Selain tidak pantas karena baru saja kematian suaminya, juga tidak patut karena dalam melaksanakan tugas ia hanya mementingkan kesenangan sendiri, membiarkan diri menjadi budak nafsu! Kalau musuh itu telah terhukum, kalau ia sudah bebas dari tugas, hal itu akan lain lagi.
“Pek-liong, terima kasih......” bisiknya tersenyum dan janda muda inipun terlena dalam kepulasan.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru