baca juga
- Harta Karun Kerajaan Sung 2
- Harta Karun Kerajaan Sung 1
- Pendekar Tanpa Bayangan 5 Tamat
- Pendekar Tanpa Bayangan 4
- Pendekar Tanpa Bayangan 3
- Pendekar Tanpa Bayangan 2
- Pendekar Tanpa Bayangan 1
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
HARTA KARUN KERAJAAN SUNG
Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
“Kami akan mencoba untuk menolong dua orang bayi itu. Akan tetapi
kemana kami harus mencari? Kami tidak tahu dimana iblis betina itu berada,”
katanya dengan lembut dan penuh rasa iba.
Seorang laki-laki muda berkata lantang.
“Saya tahu tempatnya. Siang tadi ketika saya berburu binatang di hutan
sebelah selatan itu, saya melihat nenek berpakaian putih duduk bersila di
bawah sebatang pohon besar. Karena saya takut, saya tidak berani mendekat
dan melarikan diri secepatnya.”
“Bagus. Kalau begitu mari kita ke sana. Siapa tahu kita masih akan dapat
menolong dua orang bayi itu dan membunuh iblis betina keparat itu” seru Kui
Lan dan para penduduk dusun yang kini berbesar hati dengan adanya empat
orang pendekar yang mampu mengalahkan dan mengusir siluman itu, lalu
siap ikut dengan membawa obor.
Beramai-ramai hampir semua laki-laki penduduk dusun itu mengikuti
empat orang pendekar menuju ke hutan seperti yang ditunjukkan oleh
pembicara tadi. Tak lama kemudian mereka tiba di bawah pohon besar itu.
Akan tetapi Song-bun Mo-li tidak berada di situ dah ketika mereka mencaricari,
terdengar jerit memilukan dari dua orang ayah yang menemukan mayat
anak-anak bayi mereka. Dua mayat itu tergeletak di atas rumput dalam
keadaan mengerikan. Tubuh mereka telah kering kerontang tinggal kulit
membungkus tulang, seperti serangga yang telah dihisap semua cairan dari
tubuhnya.
Mereka lalu membawa pulang dua mayat itu, disambut tangis riuh oleh
para wanita di dusun. Kepala dusun mempersilakan empat orang pendekar itu
untuk mengaso dan memberi dua buah kamar yang cukup besar untuk
mereka berempat. Kemudian, empat orang itu ditinggalkan sendiri dan kepala
dusun sibuk mengurus perkabungan dan persiapan penguburan dua orang
bayi itu untuk dimakamkan esok hari. Kesempatan itu dipergunakan oleh
empat orang muda itu untuk bicara dan saling memperkenalkan diri. Mereka
duduk berhadapan di sekeliling meja.
Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu memandang kepada
sepasang gadis di depannya dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia
melihat betapa kedua orang gadis itu persis sama dan dia merasa dapat
menduga bahwa mereka tentulah gadis kembar. Juga pemuda tinggi besar
berpakaian biru, dia juga menatap wajah kedua orang gadis dengan heran
dan kagum.
“Ih, mengapa kalian berdua memandang kami seperti orang melihat
hantu?”
Kui Lin membentak dan bibirnya cemberut. Pemuda yang berbaju kuning
tertawa.
“Heh-heh-heh, sama sekali bukan seperti hantu, Nona, melainkan seperti
bidadari. Sepasang bidadari dari sorga”
Kui Lin memandang marah dan bibirnya cemberut.
“Eh, kalian mau kurang ajar, ya?”
“Lin-moi...”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Kui Lan menegur adiknya yang hendak marah. Ia sendiri menganggap
pemuda baju kuning itu tidak kurang ajar karena ucapan itu dilakukan dengan
sikap berkelakar dan pandang matanya juga tidak kurang ajar.
“Suheng, harap engkau hentikan main-main itu agar orang tidak salah
menilai kepada kita” pemuda baju biru juga menegur suhengnya.
Pemuda baju kuning itu masih tersenyum, akan tetapi dia cepat bangkit
dan menjura kepada dua orang gadis itu dan berkata, sekarang bersungguhsungguh
walaupun suaranya masih mengandung kegembiraan.
“Nona berdua, maaf kalau tadi aku berkelakar sehingga dianggap kurang
ajar. Sesungguhnya kami berdua merasa kagum, terkejut dan heran setelah
sekarang dalam keadaan terang kami melihat betapa kalian berdua begitu
serupa, sukar dibedakan satu dengan yang lain. Tentu kalian adalah saudara
kembar. Perkenalkanlah, kami berdua adalah murid-murid Bu-tong-pai yang
diutus ketua kami untuk mewakili Bu-tong-pai datang ke Thai-san melihat
keramaian orang-orang mencari harta karun Kerajaan Sung. Namaku adalah
Liong Kun dan ini suteku bernama Thio Kui.”
Karena tidak ingin adiknya kembali memperlihatkan kegalakannya, Kui
Lan berkata.
“Kiranya Ji-wi Eng-hiong adalah murid-murid Bu-tong-pai. Perkenalkan,
aku bernama The Kui Lan dan ini adik kembarku bernama The Kui Lin. Kami
berdua adalah puteri majikan Lembah Seribu Bunga.”
“Ah, pantas kalian memiliki ilmu silat yang hebat. Kiranya datang dari
Lembah Seribu Bunga yang terkenal” kata Liong Kun kagum.
“Apakah Nona berdua juga hendak memperebutkan harta karun itu?”
Kembali Kui Lin berkata dengan nada mengejek.
“Siapa datang ke Thai-san hanya untuk nonton keramaian? Ucapan
seperti itu bohong. Semua yang datang ke sini sudah pasti mempunyai
keinginan untuk memperebutkan harta karun itu. Bu-tong-pai tentu tidak
terkecuali”
Thio Ki yang berwatak penyabar, pendiam namun berwibawa itu tidak
ingin kalau suhengnya bertengkar dengan Kui Lin karena kedua orang itu
agaknya memiliki watak yang sama, yaitu lincah, jenaka, namun keras dan
pemberani. Maka dia cepat mendahului suhengnya.
“Sesungguhnya benar seperti yang engkau katakan, Nona The Kui Lin.
Kami mendapat tugas dari ketua kami untuk meninjau keadaan di sini dan
membantu pihak yang benar dalam perebutan itu.”
“Hemm, siapakah pihak yang benar itu?”
Kui Lin bertanya sambil menatap wajah Thio Kui yang gagah dengan
tubuhnya yang tinggi besar dan tegap.
“Ketua kami mengatakan bahwa harta pusaka itu milik Kerajaan Sung,
maka harus dijaga agar jangan terjatuh ke tangan Kerajaan Mongol,” kata
Thio Kui pula.
Liong Kun yang lincah melanjutkan.
“Benar, Nona-nona, kami mendengar bahwa harta karun Kerajaan Sung itu
dahulunya ditemukan oleh mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, seorang
panglima Sung yang setia, juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Maka
kami diutus untuk membantu pihak yang benar untuk menentang mereka
yang ingin memiliki harta karun itu untuk kepentingan sendiri atau untuk
diserahkan kepada Pemerintah Mongol.”
“Itu baik sekali,” kata Kui Lan sambil mengangguk.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Kami berdua juga ingin membantu puteri dari mendiang Lo-cianpwe Liu
Bok Eng untuk mendapatkan harta karun itu. Nona Liu Ceng Ceng dan para
pendekar sahabatnya bermaksud untuk menyerahkan harta karun itu kepada
para pendekar patriot yang memperjuangkan pembebasan tanah air dan
bangsa dari penjajah Mongol.”
“Hebat” Liong Kun berseru dengan gembira sekali.
“Kami mendukung sepenuhnya dan akan membantu kalian berdua sekuat
tenaga kami. Bukankah begitu, Sute?”
Thio Kui mengangguk.
“Apa yang dikatakan Suheng tadi memang benar. Kami dari Bu-tong-pai
akan membantu sekuat tenaga agar harta karun itu dapat diserahkan kepada
para pendekar patriot untuk menentang penjajah Mongol.”
Karena satu tujuan, mereka menjadi akrab dan sepasang gadis kembar itu
lalu menceritakan bahwa mereka tadinya melakukan penyelidikan bersama
Pouw Cun Giok Si Pendekar Tanpa Bayangan dan kini mereka mencari secara
berpisah untuk sebulan kemudian bertemu di Thai-san-pai.
“Pendekar Tanpa Bayangan? Bukankah dia itu yang pernah
menggegerkan kota raja karena membunuh Panglima Besar Kong Tek Kok,
Panglima Mongol itu dan para perajurit yang mengeroyoknya?”
“Benar, dan masih ada lagi pendekar-pendekar muda yang tadinya
bersama Giok-ko, yaitu Liu Ceng Ceng puteri mendiang Lo-cianpwe Liu Bok
Eng, dan adik angkatnya bernama Tan Li Hong, puteri dari Ban-tok Kui-bo
dari Pulau Ular,” Kui Lin menerangkan.
“Wah, bagus sekali kalau begitu” kata Liong Kun.
“Memang kita golongan bersih perlu bersatu karena kita pasti akan
berhadapan dengan golongan sesat yang amat kuat. Tadi saja, baru muncul
seorang nenek iblis itu sudah demikian lihai.”
“Memang kami juga berpikir demikian,” kata Kui Lan.
“Masih banyak pihak yang sependapat dengan kita, yaitu membantu agar
harta itu tidak terjatuh ke tangan orang-orang sesat dan penjajah Mongol.
Thai-san-pai sudah menyatakan akan membantu. Memang, hanya dengan
bersatu dengan para pendekar kita akan dapat menentang golongan sesat
sehingga harta karun itu akan dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu
Liu Ceng Ceng yang menerima warisan dari ayahnya, mendiang Lo-cianpwe
Liu Bok Eng. Kita membantu Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng karena ia
bermaksud menyerahkan harta karun itu kepada para pejuang yang akan
menentang penjajah.”
“Kami siap” kata Liong Kun penuh semangat.
“Kalau begitu, sebaiknya kita berempat pergi ke Thai-san-pai untuk
bertemu kembali dengan Giok-ko, kemudian kita bersama mengadakan
hubungan dengan mereka yang sehaluan,” kata Kui Lin.
Demikianlah, mereka berempat setuju untuk pergi ke Thai-san-pai. Setelah
melewatkan malam di dusun itu, pada keesokan harinya mereka
meninggalkan dusun dan pergi ke Thai-san-pai. Hubungan antara mereka
berempat menjadi semakin akrab sehingga kini dua orang murid Bu-tong-pai
itu menyebut moi-moi (adik) kepada Kui Lan dan Kui Lin, sedangkan kedua
orang gadis kembar itu menyebut “twako” (kakak).
--------
Berita yang tersebar cepat di dunia kang-ouw tentang harta karun
Kerajaan Sung itu membikin geger. Karena berita itu hanya mengatakan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bahwa harta karun yang amat besar jumlahnya itu dicuri orang yang tinggal
di Thai-san, maka banyak tokoh kang-ouw mendatangi Thai-san. Akan tetapi
karena berita itu tidak menyebutkan siapa pencurinya, maka semua orang
menjadi bingung dan hanya menduga-duga sehingga timbul saling tuduh dan
pertikaian dimana-mana.
Rombongan pertama yang tiba di Thai-san adalah Panglima Besar Kim
Bayan dengan pasukannya. Karena dia sudah memisahkan diri dari gurugurunya,
yaitu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang dianggap hendak
menguasai sendiri harta karun yang diperebutkan, maka Kim Bayan
membawa pasukan besar berjumlah duaratus orang lebih ke Thai-san.
Sebelum rombongan dan orang-orang lain datang, dia sudah menyebar orangorangnya
yang menyamar dengan pakaian preman untuk melakukan
penyelidikan, mencari siapa yang patut dicurigai mencuri harta karun
Kerajaan Sung yang tadinya berada di Bukit Sorga tempat tinggal Cui-beng
Kui-ong.
Namun, setelah berminggu-minggu dia menyebar para perajuritnya dan
tidak juga mendapatkan keterangan yang jelas, Kim Bayan mulai mencari
akal. Dia memang seorang panglima ahli perang dan juga amat cerdik, maka
dia lalu mengatur muslihat bersama para perwira pembantunya. Dia ingin
mengetahui siapa saja yang datang ke Thai-san untuk memperebutkan harta
karun, karena dari para anak buahnya dia mendengar bahwa ada beberapa
rombongan orang dan perorangan kang-ouw datang ke pegunungan itu.
Lebih baik mereka itu diadu domba, pikirnya, selain untuk melemahkan
mereka, juga untuk memancing keluar pencuri harta karun. Maka dia lalu
menyuruh anak buahnya yang diharuskan mengganti pakaian seragam
dengan pakaian sipil biasa, berpencar ke seluruh bagian pegunungan itu dan
menyebar berita bahwa harta karun itu berada di tangan perkumpulan Thaisan-
pai.
Berita itu cepat tersiar dan didengar oleh para pendatang. Mendengar
bahwa harta karun yang dicari-cari itu berada pada Thai-san-pai, tentu saja
mereka semua berbondong-bondong datang ke perkumpulan itu.
Akan tetapi, sebelum ada yang tiba di Thai-san-pai, lebih dulu The Kui
Lan dan The Kui Lin bersama Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid Butong-
pai, tiba di situ. Mereka disambut Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua
Thai-san-pai. Ketika sepasang gadis kembar itu memperkenalkan bahwa dua
orang pemuda itu murid Bu-tong-pai, maka ketua itu menyambut mereka
dengan gembira. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Thio Kui, murid Butong-
pai yang tinggi besar gagah itu masih satu marga dengan dia, yaitu
marga Thio. Kakek ini semakin senang hatinya mendengar dari sepasang
gadis kembar bahwa dua orang murid Bu-tong-pai itu siap membantu pihak
yang berniat mendapatkan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan
kepada para patriot pejuang.
“Lo-cianpwe, apakah Twako Pouw Cun Giok belum kembali ke sini?”
tanya Kui Lin setelah mereka semua duduk di ruangan dalam.
“Belum,” jawab Ketua Thai-san-pai.
“Sebetulnya pinto juga mengharapkan kedatangannya karena ada berita
yang gawat dan mengancam Thai-san-pai.”
“Ah, berita apakah itu, Lo-cianpwe?” tanya Kui Lan sambil menatap
wajah kakek itu.
Thai-san Sianjin menghela napas panjang.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Entah siapa yang menyebar berita, akan tetapi agaknya dimana-mana
terdapat berita bahwa harta karun Kerajaan Sung itu berada di sini seolah
kami Thai-san-pai yang mencurinya.”
“Keparat. Ini mestinya fitnah yang disebarkan Hek Pek Mo-ko yang kita
curigai, untuk mengalihkan perhatian” kata Kui Lin marah.
“Atau oleh Huo Lo-sian yang dulu pun telah mencurigai bahwa yang
mengambil harta karun itu adalah Thai-san-pai,” kata Kui Lan.
“Jangan khawatir, Lo-cianpwe. Kalau ada yang datang menuduh Thaisan-
pai, aku dan Enci Lan yang akan menghajar mereka” kata Kui Lin galak.
“Lo-cianpwe, kami berdua juga siap untuk membantu Thai-san-pai” kata
Thio Kui.
Ketua itu mengangguk-angguk. “Terima kasih atas janji bantuan kalian
berempat. Akan lebih besar hati kami kalau Pouw-sicu datang membantu.”
Untuk menjaga segala kemungkinan dengan tersiarnya berita itu, Ketua
Thai-san-pai lalu memanggil semua murid Thai-san-pai yang berjumlah
seratus orang lebih dan menyuruh mereka semua waspada dan menghentikan
penyelidikan, berkumpul ke perkampungan mereka dan melakukan penjagaan
ketat siang malam.
Pada keesokan harinya, para murid Thai-san-pai melaporkan kepada ketua
mereka bahwa di luar perkampungan mulai berdatangan orang-orang kangouw.
Akan tetapi mereka itu agaknya masih hendak melihat perkembangan
dan belum ada yang mencoba untuk memasuki perkampungan Thai-san-pai.
Mungkin mereka merasa gentar juga karena Thai-san-pai merupakan sebuah
partai persilatan besar yang cukup disegani.
Biarpun mereka tertarik oleh berita yang mendorong mereka untuk
mendatangi Thai-san-pai, namun hati mereka masih diliputi keraguan.
Rasanya sulit diterima bahwa Thai-san-pai, perkumpulan yang selain
mempelajari ilmu silat, juga mempelajari Agama To itu melakukan pencurian
harta karun. Mereka saling menanti munculnya satu pihak yang mulai
menuntut atau menentang Thai-san-pai.
Para murid Thai-san-pai memberi laporan kepada ketua mereka bahwa
yang telah tampak berkumpul di sekeliling perkampungan mereka adalah
rombongan anggauta Ang-tung Kai-pang berjumlah tigapuluh orang yang
dipimpin sendiri oleh ketuanya, Kui Tung Sin-kai dan bersama mereka tampak
pula beberapa orang wanita murid Go-bi-pai. Juga tampak lima orang tokoh
Hoa-san-pai, yaitu yang dikenal dengan julukan Hoa-san Ngo-heng-tin
(Barisan Lima Unsur Hoa-san).
Pada hari-hari berikutnya, muncul Huo Lo-sian bersama Bu-tek Sin-liong
dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Juga muncul Kong Sek yang datang
bersama Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-Ii. Kim Bayan yang sengaja
menyebar berita itu tidak tampak karena dia hanya ingin melihat
perkembangannya setelah dia menyebar berita itu. Banyak anak buahnya
yang menyamar sebagai orang biasa melakukan pengintaian untuk melihat
apa yang terjadi. Selain rombongan tokoh-tokoh dan datuk-datuk itu, terdapat
belasan orang kang-ouw yang datang secara pribadi untuk mengadu untung
mencari harta karun Kerajaan Sung.
Liu Ceng Ceng dan enam orang murid Go-bi-pai, satu di antaranya Thianli
Niocu, sudah berkunjung ke Ang-tung Kai-pang. Ia disambut Ketua Kaipang
itu dan ketika Ceng Ceng memperkenalkan Thian-li Niocu sebagai tokoh
Go-bi-pai bersama lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai menyambut dengan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
hormat dan gembira. Apalagi ketika mendengar bahwa Go-bi-pai dan Angtung
Kai-pang sehaluan, yaitu membantu Ceng Ceng menemukan harta karun
Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, mereka menjadi
lebih akrab.
Kedatangan rombongan Ang-tung Kai-pang yang disertai Ceng Ceng itu
menarik perhatian Hoa-san Ngo-heng-tin. Thian-huo Tosu, orang pertama dari
lima saudara seperguruan itu, segera menghampiri Ceng Ceng dan memberi
hormat.
“Siancai Nona Liu Ceng Ceng juga berada di sini?”
Ceng Ceng tersenyum dan membalas penghormatan Thian-huo Tosu.
“Totiang, sayalah orang pertama yang berhak mengurus tentang harta
karun itu karena mendiang ayah saya telah mewariskannya kepada saya.
Apakah Totiang berlima juga hendak ikut memperebutkan harta karun itu?”
Wajah Thian-huo Tosu berubah merah. Kalau bukan Ceng Ceng yang
bertanya demikian, dia tentu sudah marah.
“Siancai Nona seperti tidak mengenal kami dari Hoa-san-pai saja. Kami
tidak murka akan harta benda. Kami diutus oleh Suheng, Ketua Hoa-san-pai
untuk melihat keadaan setelah mendengar tentang harta karun itu. Bukan
untuk ikut berebut. Bahkan kami sudah mendengar bahwa harta karun itu
merupakan peninggalan mendiang Pendekar Liu Bok Eng kepadamu. Suheng
berpesan kepada kami untuk bertanya kepadamu, apakah Nona
menginginkan harta karun itu untuk diri Nona sendiri?”
Ceng Ceng tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya.
“Untuk apa aku harta karun sebanyak itu? Tidak, Totiang. Biarpun
mendiang Ayah mewariskan peta harta karun itu kepada saya, namun kalau
saya berhasil menemukannya, akan saya serahkan kepada para patriot
pejuang untuk mengusir penjajah”
“Siancai. Bagus sekali, sungguh kami merasa kagum. Akan tetapi
mengapa Nona datang bersama rombongan Ang-tung Kai-pang dan kalau
tidak salah, bukankah para wanita itu murid-murid Go-bi-pai. Bagaimana
kalian dapat datang bersama?”
“Totiang, ketahuilah, Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga mendukung
saya untuk mendapatkan harta karun dan diserahkan kepada para patriot
pejuang. Karena sepaham dan sehaluan, maka kami datang bersama.”
“Bagus Sungguh kami berbahagia mendengarnya. Kalau begitu, engkau
boleh memasukkan kami ke dalam barisan para pendukungmu, Nona Liu.
Kami berlima akan siap siaga di sini untuk sewaktu-waktu membantumu jika
diperlukan. Akan tetapi engkau sekarang datang di sini, apakah berita bahwa
Thai-san-pai yang mengambil harta karun itu benar, Nona?”
“Saya kira berita itu bohong, Totiang. Tentu Totiang sendiri tidak percaya
kebenaran berita itu. Kita mengenal nama besar Thai-san-pai, bahkan saya
mengenal nama besar Thai-san Sianjin. Tidak mungkin mereka yang
mengambil harta itu. Biarlah malam nanti saya akan menyelinap ke dalam dan
menemui Thai-san Sianjin.”
“Baik sekali kalau begitu, Nona. Pinto sendiri juga sulit untuk percaya
bahwa Thai-san-pai murka akan harta benda.”
Pihak Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga merasa girang mendengar
bahwa Hoa-san-pai juga berdiri di pihak mereka, dengan demikian maka
kedudukan mereka yang ingin menyumbangkan harta karun itu untuk
keperluan perjuangan membebaskan tanah air dan bangsa dari belenggu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
penjajahan bangsa Mongol, menjadi semakin kuat.
Malam itu langit gelap oleh mendung. Sesosok bayangan putih berkelebat
cepat sekali, sukar diikuti pandang mata dan bayangan yang bukan lain
adalah Ceng Ceng itu, dapat melompati pagar tembok yang mengelilingi
perkampungan Thai-san-pai dengan mudah. Tidak ada murid Thai-san-pai
yang melakukan penjagaan ketat melihat berkelebatnya bayangan putih itu.
Setelah melewati kebun belakang tanpa terlihat dan tiba di rumah induk
yang merupakan kuil Agama To yang cukup besar dan berada di tengah
perkampungan, Ceng Ceng menyelinap masuk setelah melompati dinding
belakang. Kuil merangkap rumah tinggal Thai-san Sianjin itu besar dan saat
itu tampak sunyi. Hal ini adalah karena para murid semua berada di luar,
melakukan penjagaan secara bergilir dengan ketat agar jangan sampai
perkampungan mereka kebobolan.
Ketika ia melompat ke dalam sebuah ruangan yang luas di tengah kuil itu,
dalam cuaca remang-remang karena ruangan yang luas itu hanya diterangi
dua batang lilin besar yang bernyala, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Penjahat dari mana berani masuk ke sini?”
Bentakan itu ditutup dengan serangan pukulan yang amat kuat dan cepat,
dilakukan oleh Kui Lin yang lebih dulu melihat Ceng Ceng karena ia kebetulan
hendak keluar dari dalam kamarnya mencari angin di tempat terbuka.
Serangan Kui Lin itu dahsyat sekali. Gadis ini memang seorang ahli silat
tangan kosong yang pandai dan telah memiliki tenaga sakti yang cukup kuat.
Mendapatkan serangan ini, Ceng Ceng berkelebat mengelak. Kui Lin terkejut
melihat betapa gadis berpakaian putih yang diserangnya itu dapat mengelak
sedemikian ringan dan cepatnya.
“Tangkap penjahat”
Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thio Kui sudah muncul, menyerang
Ceng Ceng dengan pedangnya. Kembali Ceng Ceng terkejut karena serangan
pemuda tinggi besar berbaju biru itu pun dahsyat sekali. Ia terpaksa
mengerahkan gin-kangnya berkelebat cepat untuk mengelak. Akan tetapi kini
dua orang penyerangnya itu mengejar dan menyerangnya secara bertubi-tubi.
Kui Lin dan Thio Kui terkejut dan kagum melihat betapa bayangan gadis
berpakaian putih itu berkelebatan amat cepatnya sehingga sampai beberapa
jurus, serangan mereka selalu hanya mengenai tempat kosong.
“Tahan, sobat. Kalian berdua salah sangka, aku bukan penjahat” kata
Ceng Ceng lembut sambil berkelebat menjauh.
Kui Lin hendak melanjutkan serangan, akan tetapi Thio Kui berkata
kepadanya.
“Lin-moi, biar kita mendengar dulu keterangannya”
Heran sekali. Biasanya Kui Lin yang galak itu sukar menerima nasihat
orang, akan tetapi sekali ini suara Thio Kui baginya demikian berwibawa
sehingga ia menahan diri lalu memandang kepada Ceng Ceng dergan sinar
mata penuh curiga.
“Nah, katakan siapa engkau dan mau apa engkau malam-malam masuk ke
sini seperti pencuri” katanya galak.
“Hei, ada apakah?” terdengar seruan kaget dan muncullah Kui Lan dan
Liong Kun yang terbangun mendengar ribut-ribut itu.
Mereka kini berdiri dekat Kui Lin dan Thio Kui dan memandang kepada
Ceng Ceng dengan heran. Bagaimanakah tahu-tahu ada gadis cantik
berpakaian putih berada di ruangan tengah itu, padahal di luar kuil dan di
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
perkampungan itu terjaga ketat oleh para murid Thai-san-pai?
Melihat munculnya dua orang muda lagi dan gadis yang baru muncul itu
serupa benar dengan gadis pertama, Ceng Ceng dapat menduga bahwa
mereka tentu saudara kembar. Bukan hanya wajah mereka yang serupa, akan
tetapi bentuk badan dan pakaian serta tata rambut mereka persis sama. Ia
yakin bahwa mereka yang tinggal di kuil Thai-san-pai ini pasti orang-orang
muda yang berjiwa pendekar. Tadi pun ia sudah merasakan betapa
dahsyatnya serangan pemuda tinggi besar dan gadis cantik itu. Ia lalu
mengangkat kedua tangan di depan dadanya lalu berkata dengan lembut dan
ramah.
“Kumohon maaf kepada kalian berempat dan kepada semua warga Thaisan-
pai atas kelancanganku memasuki kuil ini malam-malam dan tanpa ijin.
Hal ini terpaksa kulakukan melihat keadaan yang mengancam Thai-san-pai.
Aku bukan penjahat dan bukan lawan, melainkan kawan. Aku sengaja
menyelundup ke sini dengan niat untuk menghadap Thai-san Sianjin dan
membicarakan hal yang amat penting mengenai harta karun Kerajaan Sung.”
Melihat gadis yang amat cantik dan sikapnya amat lembut itu, kecurigaan
empat orang muda itu berkurang dan Kui Lan bertanya halus.
“Sobat, katakan dulu siapakah engkau?”
“Namaku Liu Ceng Ceng...”
“Aih, engkau puteri mendiang Panglima Kerajaan Sung yang terkenal
bernama Liu Bok Eng itu?” kata Kui Lan.
“Benar, mendiang Liu Bok Eng adalah Ayahku.”
“Wah, kami sudah mendengar banyak sekali tentang engkau dari Twako
Pouw Cun Giok” seru Kui Lin.
“Apakah Giok-ko berada di sini?”
Ceng Ceng bertanya dan jantungnya terasa berdebar.
“Tadinya dia bersama kami berkunjung ke Thai-san-pai ini, akan tetapi
kini dia melakukan penyelidikan terpisah dan belum kembali ke sini.”
Terdengar suara banyak orang memasuki ruangan itu. Ternyata Thai-san
Sianjin sendiri bersama belasan orang muridnya datang ke ruangan itu, siap
dengan senjata di tangan.
“Apa yang terjadi? Siapakah Nona ini?” tanya Thai-san Sianjin dengan
heran.
“Lo-cianpwe, Nona ini adalah Nona Liu Ceng Ceng...”
“Ah, puteri mendiang Panglima Liu Bok Eng, pewaris peta harta karun
itu? Nona, kami sudah mendengar tentang Nona dari Sicu Pouw Cun Giok.
Akan tetapi... malam-malam begini Nona datang, ada keperluan apakah?”
“Maafkan saya, Lo-cianpwe. Sesungguhnya saya bermaksud menghadap
dan bicara denganmu, dan karena di luar perkampungan terdapat banyak
orang kang-ouw, saya tidak ingin diketahui orang dan menyelinap masuk ke
sini.”
“Tidak mengapa, Nona. Mari kita bicara di ruangan dalam” kata Ketua
Thai-san-pai itu.
Dia menyuruh para muridnya untuk keluar lagi melakukan penjagaan,
kemudian dia mengajak Ceng Ceng, kedua gadis kembar dan dua orang
saudara seperguruan Bu-tong-pai itu memasuki sebuah ruangan lain. Setelah
mereka duduk mengelilingi meja besar, Ceng Ceng berkata.
“Lo-cianpwe, saya mendengar berita yang mengatakan bahwa harta
karun itu berada di sini...”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Nanti dulu, Nona Liu. Sebaiknya Nona mengenal dulu tamu-tamu kami
ini. Dua orang nona ini adalah The Kui Lan dan The Kui Lin, sepasang gadis
kembar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Adapun dua orang pemuda ini
adalah Liong Kun dan Thio Kui, dua orang murid perguruan Bu-tong-pai. Nah,
sekarang lanjutkan ceritamu.”
“Seperti saya katakan tadi, saya mendengar berita tentang harta karun
Kerajaan Sung yang dikabarkan berada di sini...”
“Kabar itu bohong, fitnah belaka” kata Kui Lin.
“Lin-moi, biarkan Enci Ceng Ceng melanjutkan ceritanya,” kata Kui Lan.
Ceng Ceng tersenyum. Di bawah sinar lampu yang terang, ia segera dapat
membedakan mana Kui Lan dan mana Kui Lin. Ia melihat persamaan watak
antara Kui Lin dan Li Hong, lincah, bersemangat, dan galak. Sedangkan Kui
Lan berwatak tenang dan serius.
“Lo-cianpwe, mungkin semua orang sudah mendengar bahwa mula-mula
mendiang Ayah saya mewariskan peta harta karun kepada saya. Kemudian
peta dirampas Panglima Kim Bayan dan saya dipaksa untuk membantunya
mencari harta karun. Akan tetapi setelah tempat harta karun ditemukan,
hanya ada peti kosong yang terdapat tulisan huruf THAI SAN. Maka banyak
orang kang-ouw berdatangan ke sini. Saya sendiri juga menyelidiki ke sini
dan saya bertemu dengan Thian-li Niocu dari Go-bi-pai bersama lima orang
muridnya. Ternyata mereka dari Go-bi-pai mendukung dan hendak membantu
saya menemukan harta karun itu. Kemudian saya mendengar bahwa harta
karun itu berada di Thai-san-pai. Saya dan Thian-li Niocu tentu saja tidak
mempercayai berita itu. Melihat betapa perkampungan Thai-san-pai telah
dikepung banyak orang yang tentu berniat merebut harta karun yang
dikabarkan berada di sini, maka saya diam-diam lalu menyelundup ke sini
untuk bertemu dan bicara dengan Lo-cianpwe.”
Thai-san Sianjin menghela napas panjang.
“Siancai… entah siapa yang menyebar berita bohong itu dan entah apa
maksudnya mengabarkan bahwa harta karun itu berada di sini. Akan tetapi
kami siap menghadapi segala kemungkinan. Tentu saja kami akan
menyangkal dan membela diri. Kebetulan sekali kedua Nona The datang
bersama dua orang gagah murid Bu-tong-pai ini yang siap membela kami.”
“Harap Lo-cianpwe tidak khawatir. Untuk mendapatkan kembali harta
karun agar saya dapat memenuhi pesan mendiang Ayah, yaitu menyerahkan
harta karun itu kepada para patriot pejuang, saya didukung banyak pihak.
Bukan saja Go-bi-pai yang mendukung, melainkan juga Hoa-san-pai dan Angtung
Kai-pang yang kini telah berada pula di luar perkampungan ini.”
“Siancai. Itu bagus sekali” kata Thai-san Sianjin.
“Karena itu, Lo-cianpwe, apabila terjadi sesuatu yang buruk menimpa
Thai-san-pai, kami sudah siap untuk membantu. Dan saya kira, hanya mereka
dari golongan sesat saja yang mempunyai niat buruk terhadap Thai-san-pai.
Mereka yang terdiri dari golongan bersih atau para pendekar pasti tidak mau
memusuhi Thai-san-pai tanpa alasan yang kuat dan hanya karena desasdesus
itu saja,” kata Ceng Ceng.
“Akan tetapi, kami merasa dikepung tanpa mengetahui apa yang mereka
kehendaki, tidak tahu pula apa yang akan mereka lakukan terhadap Thai-sanpai.
Hal ini sungguh membuat hati kami merasa tidak tenang. Apa yang
sebaiknya kami lakukan dalam keadaan seperti ini?” kata Ketua Thai-san-pai
sambil memandang kepada lima orang muda itu.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Maaf, Lo-cianpwe, kalau menurut pendapat saya, hal ini tidak boleh
dibiarkan begitu saja. Kita harus bertindak” kata Thio Kui.
“Aku setuju sekali” kata Kui Lin bersemangat.
“Kalau Lo-cianpwe diam saja, tentu mereka itu semakin percaya bahwa
Thai-san-pai merasa bersalah dan benar-benar telah mengambil harta karun
itu. Mereka telah memasuki wilayah Thai-san-pai, sebaiknya usir saja mereka,
kalau tidak mau pergi secara halus, kita usir dengan kekerasan. Kami akan
membantumu, Lo-cianpwe”
“Bagus, saya juga siap” kata Liong Kun dengan gembira dan penuh
semangat.
“Maaf, Lo-cianpwe dan saudara-saudara sekalian,” kata Ceng Ceng
dengan tenang dan lembut.
“Menggunakan kekerasan hanya akan memancing permusuhan dan
perkelahian yang pasti akan menjatuhkan banyak korban. Karena harta karun
itu belum diketahui berada dimana, maka pertempuran itu sama saja dengan
memperebutkan karung kosong. Sebaiknya, besok pagi Lo-cianpwe membuka
gerbang depan lalu keluar dan mengundang mereka yang mengepung itu
untuk bicara di luar perkampungan. Di situ Lo-cianpwe dapat menyangkal
desas-desus itu, kalau ada yang tidak percaya dan hendak menggunakan
kekerasan, barulah kita membela diri. Para bijaksana mengatakan bahwa
barang siapa memulai sebuah permusuhan, dialah yang bersalah. Jadi,
biarkan mereka yang menggunakan kekerasan, kita membela diri dan saya
yakin banyak yang akan mendukung Thai-san-pai.”
“Sungguh mengagumkan pendapat Enci Ceng Ceng” kata Kui Lan.
“Saya setuju sekali”
Ketua Thai-san-pai juga setuju dan merasa lebih tenang. Malam itu tidak
terjadi sesuatu dan Ceng Ceng bermalam di situ, sekamar dengan Kui Lan
dan Kui Lin sehingga mereka bertiga dapat bercakap-cakap, mempererat
perkenalan dan semakin banyak mengetahui keadaan masing-masing. Dari
percakapan dua orang gadis kembar itu, dengan hati senang Ceng Ceng
dapat melihat bahwa Kui Lan tertarik kepada Liong Kun, sedangkan Kui Lin
tertarik kepada Thio Kui. Hal ini terungkap dari suara dan tarikan muka dua
orang gadis kembar itu ketika bicara tentang dua orang pemuda Bu-tong-pai
itu.
Ia juga merasa girang mendengar mereka bercerita tentang Pouw Cun
Giok, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir karena tidak mendengar
tentang adik angkatnya, Li Hong, dan Yauw Tek. Akan tetapi ia berharap agar
kedua orang itu dalam keadaan selamat dan mereka berdua tentu akan
mendengar pula berita tentang adanya harta karun di Thai-san-pai dan
mendengar ini, mereka pasti akan datang pula di Thai-san-pai.
Dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu pun dengan hati
kagum dan senang mendengar tentang diri Ceng Ceng dan pengalaman
gadis cantik jelita dan lembut itu ketika terpaksa menyerahkan peta harta
karun peninggalan ayahnya kepada Kim Bayan untuk menolong Tan Li Hong
yang menjadi tawanan Kim Bayan. Menceritakan ketika ia bersama Pouw Cun
Giok membantu Kim Bayan mencari harta karun lalu mendapatkan peti harta
karun telah kosong.
“Huh, si keparat jahanam Kim Bayan” Kui Lin memaki marah.
“Kalau aku bertemu dengan dia, pasti akan kupukul remuk kepalanya”
“Aih, Adik Kui Lin, mengapa engkau agaknya demikian benci kepada
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Panglima Kim Bayan?” tanya Ceng Ceng heran.
“Enci Ceng Ceng,” kata Kui Lan.
“Ayah kandung kami tewas oleh pasukan yang dipimpin Panglima
Mongol Kim Bayan.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk, lalu berkata memperingatkan kepada
Kui Lin.
“Adik Kui Lin, kalau besok Ketua Thai-san-pai mengadakan pertemuan,
andaikata Panglima Kim Bayan muncul, harap engkau tidak memancing
keributan dengan menyerang dia, karena hal itu akan dapat menggagalkan
usaha Thai-san-pai untuk melepaskan diri dari fitnah. Kalau engkau tidak
mampu menahan kesabaran dan menyerang Kim Bayan, mungkin saja hal itu
bagaikan api dapat menyulut kebakaran lain dan Thai-san-pai menjadi ajang
pertempuran.”
“Enci Ceng Ceng berkata benar, Lin-moi. Engkau tidak boleh
mengacaukan pertemuan besok karena dengan begitu, berarti kita tidak
membantu Thai-san-pai, malah sebaliknya mendatangkan malapetaka kepada
Thai-san-pai,” kata Kui Lan.
Kui Lin cemberut.
“Baiklah, memang aku tukang membikin kacau”
Ceng Ceng dan Kui Lan hanya tersenyum melihat ulah gadis yang galak
dan manja itu.
Pada keesokan harinya, ketika matahari naik cukup tinggi, pintu gerbang
Thai-san-pai dibuka dan keluarlah Thai-san Sianjin dari dalam, diiringkan oleh
lima orang sutenya, yaitu Song Bu Tosu, Song Tek Tosu, Koa Lai Kim Tosu,
Wong Kian Tosu, dan Wong Han Tosu. Di sampingnya keluar pula Ceng Ceng,
Kui Lan dan Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Para murid Thai-san-pai dengan
senjata lengkap mengiringkan ketua mereka, hampir seratus orang banyaknya
karena sebagian kecil masih melakukan penjagaan di sekeliling
perkampungan mereka.
Berita tentang keluarnya ketua Thai-san-pai segera terdengar oleh semua
orang yang sedang berada di sekitar perkampungan Thai-san-pai dan
berbondong-bondong mereka datang memasuki halaman depan
perkampungan yang luas. Diam-diam Thai-san Sianjin dan lima orang
sutenya, juga lima orang muda yang mendampinginya, mengamati siapa yang
datang berkumpul.
Thai-san Sianjin merasa terkejut juga ketika melihat betapa banyaknya
para tokoh kang-ouw yang kini berkumpul di luar pekarangan depan
perkampungan Thai-san-pai. Yang membuat dia dan lima orang sutenya, juga
lima orang muda yang menjadi tamunya, merasa agak khawatir adalah
hadirnya dua rombongan, yaitu Huo Lo-sian dan anak buahnya yang
didampingi Bu-tek Sin liong Cu Liong, majikan Bukit Merak dan puterinya Cu
Ai Yin
Para pimpinan Thai-san-pai itu memang tidak mengenal Ai Yin, akan
tetapi mereka tahu siapa kakek tinggi besar muka merah itu. Rombongan
kedua yang membuat mereka terkejut adalah rombongan yang terdiri dari tiga
orang, yaitu Kong Sek, Cui-beng Kui-ong, dan Song-bun Mo-li. Mereka
memang tidak mengenal Kong Sek, akan tetapi mereka tahu siapa kakek dan
nenek itu, yang merupakan datuk sesat yang amat terkenal dan ditakuti di
dunia kang-ouw.
Selain dua rombongan ini, masih ada beberapa orang tokoh sesat yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
hadir, termasuk para tokoh sungai telaga (golongan pembajak) dan para tokoh
rimba persilatan (golongan perampok). Akan tetapi, perasaan Thai-san Sianjin
Ketua Thai-san-pai menjadi tenang ketika dia melihat pula hadirnya mereka
dari golongan bersih, partai-partai persilatan yang terdiri dari para pendekar
seperti Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, Hoa-san Ngoheng-
tin dari Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang dan beberapa orang hwesio
yang mereka duga adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Kemudian baru muncul
Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka.
Setelah berada di luar dan berhadapan dengan banyak orang itu, Thai-san
Sianjin lalu menjura dan dengan sikap tenang dia berkata.
“Saudara-saudara sekalian. Kami Thai-san-pai tidak sedang mengadakan
perayaan dan tidak menyebar undangan, akan tetapi Saudara-saudara
berdatangan dari semua penjuru dan memasuki wilayah kami tanpa
memberitahu. Ada kepentingan besar apakah yang membuat Saudara
sekalian datang dan mengepung tempat kami?”
Huo Lo-sian tertawa bergelak sambil menghadapkan mukanya ke atas
dan perutnya bergelombang.
“Hua-ha-ha, Ketua Thai-san-pai, jangan pura-pura bodoh dan
menyembunyikan kenyataan. Beritanya sudah tersebar bahwa Thai-san-pai
yang mencuri harta karun itu Aku sudah menduga sejak semula. Hayo
serahkan setengahnya kepadaku dan aku akan membantumu mengusir
semua orang ini”
“Heh, Lo-sian. Jangan lupa, akulah yang akan mengalahkan semua orang
ini kalau mereka berani campur tangan” kata Bu-tek Sin-liong dengan lantang
dan dia memandang ke sekeliling sikapnya menantang.
“Ho-ho, nanti dulu, Huo Lo-sian”
Tiba-tiba muncul Hek Mo-ko, didampingi Pek Mo-ko.
“Kalau harta karun itu berada di Thai-san, maka sudah sepantasnya kalau
dibagi rata kepada semua penghuni Thai-san termasuk kami. Ini baru adil
namanya dan kami menuntut bagian kami sebagai penduduk Thai-san”
“Hi-hi-heh-heh-heh...”
Terdengar suara melengking setengah tawa setengah tangis yang keluar
dari leher Song-bun Mo-li sehingga membuat banyak orang merasa serem.
“Kui-ong, dengar itu orang-orang sinting bicara seenak perutnya sendiri,
heh-heh-hi-hik”
“Hemm, kalian orang-orang tidak tahu malu. Membicarakan harta karun
yang menjadi hak milik kami” kata Cui-beng Kui-ong dengan suaranya yang
berat dan mengandung wibawa kuat sekali.
Mendengar ini, Ceng Ceng yang berdiri di samping Thai-san Sianjin
berkata dengan suaranya yang lembut namun nyaring sehingga terdengar
banyak orang.
“Cui-beng Kui-ong, bicara tentang hak milik, siapa yang mempunyai hak
milik atas harta karun itu? Aku berada di sini, apakah engkau tidak malu
mengatakan bahwa harta karun itu hak milikmu?”
Banyak suara terdengar memberi sambutan atas ucapan Ceng Ceng itu,
terutama mereka yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah Pek-eng Sianli,
puteri mendiang Liu Bok Eng yang dianggap berhak atas harta karun itu. Kuitung
Sin-kai yang sudah tahu dari Ceng Ceng tentang harta karun itu, berkata
lantang.
“Hemm, siapa pun sudah mendengar bahwa harta karun itu yang berhak
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
adalah bekas Panglima Liu Bok Eng yang diwariskan kepada puterinya, Pekeng
Sianli Liu Ceng Ceng. Kemudian harta karun itu dicuri orang yang
mengaku sebagai penghuni Thai-san. Sungguh lucu kalau sekarang ada orang
lain yang mengakui sebagai haknya”
Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong memandang kepada ketua Ang-tung
Kai-pang dengan mata melotot, lalu dia menghardik.
“Pengemis kotor jangan ikut campur”
Tangannya yang memegang tongkat bergerak, menudingkan tongkat
berujung runcing itu ke arah Kui-tung Sin-kai dan tiba-tiba ada sinar hitam
kecil meluncur dari ujung tongkat itu ke arah leher ketua Kai-pang itu
“Tringg...”
Sinar hitam itu adalah sebatang panah kecil dan menyambar cepat,
namun Kui-tung Sin-kai bukan orang sembarangan. Dia sudah mengangkat
tongkat merah dengan gerakan menangkis dan panah kecil itu tertangkis dan
terpental jauh
“Hi-hi-heh-heh, Kui-ong. Mengapa melayani segala macam jembel busuk?
Harta karun berada di Thai-san-pai, mari kita bekuk ketuanya dan paksa dia
menyerahkan harta itu kepada kita, hi-hi-hik” Song-bun Mo-li melangkah
maju. Cui-beng Kui-ong juga maju diikuti Kong Sek yang sudah mencabut
pedangnya.
“Ho-ho, perlahan dulu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li. Kami juga
berhak atas harta karun itu karena harta itu sudah berada di Thai-san. Kami
penghuni Thai-san sejak dulu”
Terdengar bentakan, Hek Mo-ko bersama Pek Mo-ko sudah melompat ke
depan, diikuti barisan anak buah mereka
“Ha-ha, kami juga tidak mau ketinggalan. Kalau Thai-san-pai mau
membagi dengan kami, kami akan membantu Thai-san-pai untuk mengusir
kalian” kata pula Huo Lo-sian.
“Hai, kalian semua dengarlah baik-baik” tiba-tiba Kong Sek berseru
dengan suara lantang.
“Harta karun itu tadinya berada di Bukit Sorga, tempat kediaman dan
milik Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li. Oleh karena itu
mereka berdualah yang sesungguhnya berhak atas harta itu. Kini ada yang
mencurinya dan pencurinya adalah Thai-san-pai, maka jangan halangi kami
untuk merampasnya kembali dari Thai-san-pai”
“Kong Sek, manusia tak mengenal malu. Engkau sejak dulu belajar ilmu
dari Ayahku, engkau murid Ayahku, bagaimana kini engkau mengaku murid
kakek dan nenek iblis ini?”
Cu Ai Yin membentak marah sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah
pemuda yang tadinya menjadi suhengnya, bahkan biarpun belum sah,
menjadi tunangannya itu. Sambil tersenyum mengejek Kong Sek menjawab.
“Ayahmu adalah calon ayah mertuaku, sedangkan guruku sekarang
adalah Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li”
“Keparat” Bu-tek Sin-liong membentak sambil menatap wajah Kong Sek
dengan mata terbelalak marah.
“Siapa sudi mempunyai mantu atau murid seorang jahanam macam
kamu?”
Keadaan menjadi tegang, dan agaknya Thai-san-pai akan menghadapi
penyerbuan banyak pihak yang agaknya percaya bahwa harta karun itu
berada di Thai-san-pai dan ingin berlumba merebutnya.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Pada saat itu, tanpa memperlihatkan diri, Pouw Cun Giok juga berada di
situ. Dia bersembunyi di atas sebuah pohon besar dan hanya mengintai untuk
menyaksikan apa yang sedang terjadi. Diam-diam dia telah melakukan
penyelidikan setelah berpisah dari kakak beradik kembar The Kui Lan dan The
Kui Lin. Kemudian, mendengar berita bahwa harta karun berada di Thai-sanpai,
dia datang pula ke tempat itu, hanya tidak memperlihatkan diri.
Demikian pula dengan Yauw Tek dan Li Hong. Mereka datang pula ke situ
dan Li Hong tadinya ingin keluar dari persembunyian untuk menemui kakak
angkatnya, Ceng Ceng, dan membantunya membela Thai-san-pai. Akan
tetapi Yauw Tek menahannya dan menganjurkannya untuk tetap
bersembunyi, mengintai dan melihat perkembangan selanjutnya. Li Hong kini
telah mengalami perubahan yang tentu akan mengherankan hati mereka yang
telah mengenalnya. Dahulu ia merupakan seorang gadis yang berwatak liar
dan galak, tidak dapat dikendalikan siapa pun. Akan tetapi kini, setelah ia
menyerahkan dirinya dan menjadi kekasih Yauw Tek, ia seolah-olah menjadi
jinak dan penurut.
Melihat keadaan menjadi tegang dan gawat, Thian-li Niocu dan lima
orang muridnya dari Go-bi-pai, segera maju dan menggabungkan diri dengan
tuan rumah, yaitu Thai-san-pai. Mereka berdiri dekat Ceng Ceng dan
memandang kepada Cui-beng Kui-ong dengan mata berapi karena dendam
dan marah teringat akan dua orang murid wanita yang telah dihina dan
dibunuh kakek iblis itu
“Totiang, kami dari Go-bi-pai akan membantu Thai-san-pai menghadapi
para iblis dan manusia sesat yang hendak mengganggu” kata Thian-li Niocu
setelah memberi hormat kepada Thai-san Sianjin. Ketua Thai-san-pai
membalas penghormatan itu sambil membungkuk hormat dan senang.
Setelah orang-orang Go-bi-pai maju membela Thai-san-pai, kini mereka
yang berjiwa pendekar dan tahu bahwa Ceng Ceng bermaksud mendapatkan
harta karun untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, berbondong
menggabungkan diri dengan Thai-san-pai. Mereka adalah lima orang Hoa-san
Ngo-heng-tin, Ang-tung Kai-pang, dan beberapa orang tokoh bersih dunia
kang-ouw. Hanya lima orang hwesio (Pendeta Buddha) dari Siauw-lim-pai
yang sejak tadi hanya diam saja, kini masih berdiri, agaknya tidak memihak
dan hanya ingin melihat perkembangan keadaan yang menegangkan itu.
Perlu diketahui bahwa Pemerintah Kerajaan Boan (Mongol) berusaha
mendekati Siauw-lim-pai. Keluarga Kaisar Mongol sebagian besar beragama
Buddha, maka dengan sendirinya mereka itu condong berbaik dengan para
pendeta Buddha (Hwesio). Apalagi karena mereka mengetahui bahwa Siauwlim-
pai yang menyebarkan Agama Buddha juga dikenal sebagai tempat
penggemblengan para pendekar yang tangguh. Pemerintah Mongol bersikap
longgar kepada para hwesio, bahkan membebaskan mereka dari pajak dan
kewajiban lain yang memberatkan.
Oleh karena sikap yang baik dari Pemerintah Mongol inilah yang membuat
para pimpinan Siauw-lim-pai berhati-hati dan memesan kepada para
muridnya agar bersikap bijaksana dan lunak, tidak memperlihatkan sikap
bermusuhan atau menentang pemerintah Kerajan Mongol. Ini pula yang
menyebabkan lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu kini hanya sebagai penonton
yang tidak berpihak.
Melihat betapa banyaknya orang yang menggabungkan diri dengan Thaisan-
pai, rombongan Huo Lo-sian, Hek Pek Mo-ko, dan Cui-beng Kui-ong
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
menjadi ragu. Keadaan Thai-san-pai kini sungguh kuat. Selain Thai-san-pai
sendiri merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, kini yang
bergabung dengan mereka adalah wakil-wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai,
Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang, masih ditambah lagi dengan adanya Liu
Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, dua orang gadis kembar The Kui Lan
dan The Kui Lin dari Lembah Seribu Bunga, dan beberapa orang pendekar lain
yang bersikap membela Thai-san-pai. Bukan saja Thai-san-pai kini menjadi
kuat sekali, akan tetapi mereka pun masih harus berhadapan dengan para
saingan yang hendak memperebutkan harta karun.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk yang gila ilmu silat dan
gila bertanding. Kini, melihat banyaknya tokoh persilatan berkumpul di situ,
kedua tangannya sudah gatal-gatal rasanya karena ingin sekali dia untuk pibu
(mengadu ilmu silat) dengan mereka. Dia tidak peduli akan harta karun,
tidak membutuhkan harta karun. Yang dibutuhkan adalah mempertahankan
nama julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding). Dia ingin
membuktikan bahwa tidak percuma dia berjuluk Tanpa Tanding. Dengan
gagah dia lalu melangkah maju dan memandang ke sekeliling.
“Sobat sekalian” katanya lantang.
“Aku Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak peduli apakah harta karun itu ada
ataukah tidak. Akan tetapi setelah di sini berkumpul banyak tokoh persilatan
yang terkenal, aku tidak mau sia-siakan kesempatan ini. Aku tantang siapa
saja yang berani maju untuk bertanding ilmu silat dengan aku untuk
menemukan siapa yang pantas menjadi Thian-te Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat
Nomor Satu di Kolong Langit)”
Biarpun tantangan ini membuat merah muka para datuk yang tentu saja
tidak takut melawan Bu-tek Sin-liong, namun pada saat itu mereka hanya
memikirkan harta karun dan sama sekali tidak ingin bertanding hanya untuk
mencari kemenangan kosong belaka.
Pada saat itu, Pouw Cun Giok mengambil keputusan untuk bertindak. Dia
tahu bahwa orang-orang yang biasanya disebut para datuk dan tokoh dunia
persilatan itu sudah dimabok harta karun yang kabarnya menghebohkan itu.
Untuk mendapatkan dan memperebutkan itu, agaknya mereka siap untuk
mengadu nyawa. Hal ini amat berbahaya karena darah mereka sedang panas.
Kalau tantangan Bu-tek Sin-liong itu ada yang menyambutnya, bukan tidak
mungkin perkelahian itu akan menjalar dan orang-orang akan nekat menyerbu
Thai-san-pai untuk merebut harta karun yang dikabarkan berada di Thai-sanpai.
Biarpun banyak yang membela Thai-san-pai, namun pertempuran besar
itu pasti akan menjatuhkan banyak korban terbunuh.
Dengan pengerahan gin-kang yang memang menjadi keahliannya
sehingga dengan gin-kangnya yang amat tinggi itu dia dapat bergerak cepat
sekali sehingga bayangannya sukar diikuti dengan pandang mata dan dia
mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), Pouw Cun Giok melompat
ke hadapan mereka dan berkelebatan bagaikan seekor burung menyambarnyambar.
Semua orarg terkejut karena hanya melihat bayangan yang
berkelebat ke sana sini, lalu terdengar suaranya lantang.
“Para Lo-cianpwe dan Saudara sekalian. Jangan mudah ditipu berita
bohong yang disebarkan orang untuk memancing kekacauan. Harta karun itu
tidak berada di Thai-san-pai. Harap Cu-wi (Anda Sekalian) menyadari ini dan
jangan tertipu. Harta karun itu berada di tangan orang yang sengaja
menyebarkan fitnah kepada Thai-san-pai agar Cu-wi saling tuduh dan saling
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bentrok di sini. Kalau Cu-wi memaksa dan menuduh Thai-san-pai, terpaksa
aku yang muda dan bodoh akan membelanya”
Setelah berhenti bicara, Cun Giok juga berhenti bergerak cepat dan kini
dia telah berdiri dekat Thai-san Sianjin.
“Giok-ko...”
Seruan ini keluar dari mulut Ceng Ceng, Kui Lan, dan Kui Lin. Mereka
girang melihat munculnya pemuda ini. Terutama sekali Ceng Ceng, begitu
pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cun Giok, hati mereka
berdua tergetar.
“Bu-eng-cu Pouw Cun Giok Jahanam busuk”
Kong Sek memaki dan dia hendak langsung menyerang, akan tetapi Cuibeng
Kui-ong memegang lengannya dan mencegahnya. Orang-orang yang
belum mengenal Cun Giok, terkejut mendengar disebutnya Bu-eng-cu (Si
Tanpa Bayangan) karena nama ini menjadi amat terkenal setelah peristiwa
pembunuhan atas diri Panglima Kong Tek Kok dan banyak perajurit di kota
raja. Melihat Thai-san-pai terancam, Hoa-san Ngo-heng-tin maju dan dengan
lantang Thian-huo Tosu berkata.
“Kami dari Hoa-san-pai tidak mencari permusuhan, akan tetapi kami
percaya bahwa Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu. Maka kalau
mereka difitnah, kami siap membelanya”
Biarpun tidak mengeluarkan kata-kata, namun sikap para murid Go-bi-pai
dan Ang-tung Kai-pang, juga beberapa orang pendekar, tampak dari sikap
mereka bahwa mereka siap bertempur membela Thai-san-pai.
Thai-san Sianjin kini mengangkat kedua tangan depan dada, memberi
hormat kepada semua orang, lalu berkata.
“Sobat sekalian, percayalah bahwa kami sama sekali tidak tahu apa-apa
tentang harta karun, apalagi mencurinya. Kalau kami mencurinya, tidak
mungkin para orang gagah di sini membela kami. Maka, kami harap kalian
tidak sembarangan menuduh dan mempercayai berita bohong, dan
memancing keributan dan permusuhan di sini. Kalau memang ada yang
mencuri harta karun dan mengaku tinggal di Thai-san, marilah kita berlumba
mencarinya, dan tidak saling bermusuhan memperebutkan barang yang tidak
ketahuan dimana adanya”
“Siapa yang butuh dan peduli akan harta benda? Sekarang, selagi kita
berkumpul, hayo aku tantang siapa saja yang berani pi-bu (mengadu ilmu
silat) dengan aku, Bu-tek Sin-liong, silakan maju”
Terdengar kakek gagah perkasa yang gila bertanding itu berseru. Akan
tetapi, semua orang menganggap ucapan Thai-san Sianjin tadi benar dan
mereka tidak peduli akan tantangan Bu-tek Sin-liong. Selain agak jerih
menyambut tantangan Majikan Bukit Merak ini, juga mereka semua datang ke
Thai-san karena tertarik kepada harta karun Kerajaan Sung, bukan untuk
mengadu ilmu yang mungkin akan mendatangkan maut bagi mereka. Mati
untuk sesuatu yang tidak ada artinya, sungguh bodoh. Mereka lalu mulai
bubaran meninggalkan tempat itu. Ai Yin ingin sekali menemui Cun Giok,
akan tetapi ayahnya sudah menarik lengannya, diajak pergi dari situ bersama
Huo Lo-sian dan yang lain-lain.
Sementara itu, dengan ramah dan hormat Thai-san Sianjin mempersilakan
mereka yang tadi berpihak dan mendukung Thai-san-pai untuk masuk dan
berbincang-bincang di bangunan induk Thai-san-pai. Yang menerima
undangan itu adalah Thian-li Niocu dari Go-bi-pai dan lima orang muridnya,
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Kui-tung Sin-kai, Hoa-san Ngo-heng-tin, The Kui Lan dan The Kui Lin bersama
dua orang murid Bu-tong-pai Liong Kun dan Thio Kui, Liu Ceng Ceng, dan
Pouw Cun Giok.
Setelah semua orang duduk dalam ruangan yang luas, Thai-san Sianjin
mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka semua. Para tamu yang
dihormati itu dijamu minuman dan Ketua Thai-san-pai itu lalu berkata dengan
ramah.
“Terima kasih atas pembelaan Cu-wi yang terhormat, terutama sekali atas
kepercayaan Cu-wi bahwa kami sungguh tidak mengambil harta karun itu.
Kami juga mendengar bahwa harta karun peninggalan Kerajaan Sung itu
kabarnya dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Kalau hal itu benar,
marilah kita masing-masing menyelidiki karena Thai-san itu luas sekali. Akan
tetapi tentu Cu-wi sudah mengetahui bahwa sesungguhnya yang berhak
memiliki adalah Nona Liu Ceng Ceng ini, yang menerima peta sebagai
warisan ayahnya, yaitu Panglima Kerajaan Sung, mendiang Liu Bok Eng.
Sekarang, kami harap Nona Liu suka menceritakan kembali asal-usul harta
karun itu kepada kami semua agar kami mengetahui lebih jelas, juga niat
Nona Liu mendapatkan harta karun itu.”
Semua mata memandang kepada Ceng Ceng. Cun Giok tidak berani
memandang langsung karena setiap kali bertemu pandang dengan gadis
yang dicintanya itu, hatinya tergetar. Dia merasa bahwa dia telah melukai
perasaan hati gadis itu ketika dahulu menceritakan bahwa dia telah
bertunangan dengan gadis lain, padahal antara dia dan Ceng Ceng sudah
terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam. Akan tetapi dalam pandang
mata Ceng Ceng kepadanya, sama sekali tidak terkandung penyesalan atau
kemarahan, hanya keharuan yang membuat Cun Giok semakin tunduk, iba
dan haru memenuhi hatinya.
Kemudian terdengar Ceng Ceng bercerita dengan suaranya yang selalu
lembut dan tenang itu.
“Cu-wi yang terhormat, saya akan menceritakan dengan singkat saja.
Harta karun itu adalah harta Kerajaan Sung yang dikorup atau dicuri oleh
Thaikam Bong yang dulu berkuasa dalam istana. Harta itu lalu disembunyikan
oleh Thaikam Bong dan dia membuat sehelai peta untuk tempat
persembunyian harta itu. Ketika Ayah sebagai panglima menyerbu dan
membinasakan thaikam yang korup, jahat dan yang bersekutu dengan orang
Mongol itu, Ayah menemukan peta itu dan menyimpannya. Kemudian
sebelum Ayah dan Ibu tewas dikeroyok pasukan yang dipimpin Panglima
Mongol Kim Bayan dan para pembantunya, Ayah meninggalkan peta itu
kepada saya. Dengan cara yang licik Panglima Kim Bayan dapat memaksa
saya dan Twako Pouw Cun Giok ini dengan menawan adik angkat saya Tan
Li Hong. Kami terpaksa menyerahkan peta dan membantunya mencari harta
karun. Ternyata harta karun itu ditanam di Bukit Sorga akan tetapi setelah
kami temukan, peti tempat harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan
THAI-SAN di dalamnya. Kami berhasil meloloskan diri dan sejak itulah tersiar
berita bahwa harta karun itu dicuri orang dari Thai-san maka semua orang
lalu berbondong-bondong datang ke Thai-san. Kami sendiri juga datang ke
Thai-san karena saya merasa berkewajiban untuk menemukan harta karun itu
dan memenuhi pesan Ayahku bahwa harta karun itu harus saya serahkan
kepada yang berhak menerimanya.”
“Siapa yang berhak menerimanya itu? Nona Liu, harap jelaskan agar kita
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
semua mengetahui dan merasa yakin bahwa kami berada di pihak yang
benar,” kata Thai-san Sianjin.
“Seperti yang sudah saya ceritakan kepada siapa saja, saya sendiri atau
mendiang Ayah sama sekali tidak menginginkan harta karun itu untuk diri
kami sendiri. Harta karun itu milik Kerajaan Sung, maka jangan sampai
terjatuh ke tangan Pemerintah Mongol atau ke tangan orang lain. Yang berhak
menerimanya adalah para patriot yang akan berjuang untuk membebaskan
tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol.”
Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.
“Kalau demikian tujuannya, kami semua siap untuk membantumu
menemukan harta karun itu, Nona Liu” kata mereka.
Mereka lalu bersepakat untuk mencari secara berpencar dan kalau ada
yang menemukan tanda-tanda dimana adanya harta karun itu, mereka akan
memberi kabar melalui Thai-san-pai agar mereka dapat bersama-sama
merampas harta karun itu untuk diserahkan kepada Liu Ceng Ceng agar
dapat disumbangkan kepada para patriot pejuang. Setelah bersepakat,
mereka pun berpamit.
Yang masih tinggal di Thai-san-pai kini adalah Pouw Cun Giok, Liu Ceng
Ceng, The Kui Lan, The Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Enam orang muda
ini mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap dan saling berkenalan. Kui
Lin dengan lincahnya memperkenalkan dua orang murid Bu-tong-pai kepada
Cun Giok. Dalam suasana gembira, mereka mengatur rencana pencarian harta
karun itu.
“Enci Ceng Ceng, kami berdua akan membantumu dan kami akan
mencari. Kalau berhasil, tentu kami akan memberi kabar melalui Thai-sanpai,”
kata Kui Lan.
“Kami berdua akan menemani kalian, Adik Lan dan Lin” kata Liong Kun
gembira.
Ceng Ceng dan Cun Giok tersenyum. Dua orang pemuda Bu-tong-pai itu
sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagum dan sukanya kepada dua
orang gadis kembar itu.
“Baiklah, dan terima kasih atas bantuan kalian,” kata Ceng Ceng.
Dua pasang orang muda itu setelah berpamit kepada Ceng Ceng dan Cun
Giok, juga kepada pimpinan Thai-san-pai, lalu meninggalkan perkampungan
itu, melakukan perjalanan berempat untuk menyelidiki harta karun yang
masih belum diketahui dimana tempatnya dan siapa pula pencurinya.
Seperti dengan sendirinya, tanpa berunding dan bersepakat, Cun Giok
dan Ceng Ceng juga berpamit kepada tuan rumah untuk melanjutkan
penyelidikan mereka.
“Mudah-mudahan kalian berdua memperoleh hasil yang baik, Pouw-sicu
dan Liu-siocia. Pinto juga akan menyebar murid Thai-san-pai untuk
melakukan penyelidikan lagi,” kata Ketua Thai-san-pai.
Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan berdua, keluar dari
perkampungan Thai-san-pai tanpa mengeluarkan suara. Padahal, seribu satu
macam ucapan yang memenuhi hati mereka, akan tetapi entah mengapa,
sukar rasanya untuk bicara setelah mereka kini berdua saja. Karena merasa
seperti terjebak ke dalam suasana hening dan macet ini.
Sebagai seorang wanita, Ceng Ceng merasa sukar dan malu untuk
membuka pembicaraan. Akan tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak
nyaman rasanya di hati sehingga ia menarik napas panjang dua kali. Tarikan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
napas panjang yang halus ini tidak terlewatkan oleh pendengaran Cun Giok.
Dia tiba-tiba merasa betapa canggung dan tidak enaknya suasana itu dan dia
merasa telah membuat gadis yang dikasihinya ini menderita yang dinyatakan
dengan helaan napas panjang dua kali tadi.
“Ceng-moi...”
“Giok-ko...”
Entah siapa yang mendahului, akan tetapi keduanya berhenti melangkah
dan saling pandang. Agaknya, hanya dengan menyebut nama itu saja sudah
mewakili segenap perasaan yang menekan menyatakan diri
“Ceng-moi, mari kita mengaso sebentar. Duduklah,” kata Cun Giok sambil
menghampiri sekumpulan batu yang cukup besar sehingga mereka dapat
duduk di atas batu.
Setelah mereka duduk, Cun Giok mendapatkan ketenangan hatinya
sehingga tanpa ketegangan seperti yang dia rasakan tadi, dia bertanya.
“Ceng-moi, cukup lama kita saling berpisah. Bagaimana keadaanmu
selama ini?”
“Terima kasih kepada Thian (Tuhan), aku selalu dalam lindungan-Nya dan
baik-baik saja. Bagaimana dengan engkau, Giok-ko?”
“Aku juga baik-baik saja, Ceng-moi.”
Pertanyaan pertama mereka itu saja yang dikeluarkan dengan suara
penuh perhatian sudah menunjukkan betapa mereka itu selalu saling
memikirkan dan saling mengkhawatirkan.
“Ceng-moi, mengapa engkau hanya seorang diri saja? Mana Adik
angkatmu, mengapa... Li Hong tidak bersamamu?”
Ceng Ceng tersenyum dan melihat senyum itu saja, belum mendengar
jawabannya, sudah membuat hati Cun Giok lega. Ah, baru sekarang dia
merasakan betapa dekat dengan Ceng Ceng mendatangkan kedamaian dan
agaknya tiada hal yang dapat merisaukannya karena sikap gadis itu selalu
demikian tenang, sabar, dan penuh senyum tulus seolah tidak ada masalah
apa pun yang akan mampu menggoyahkannya.
“Adikku yang manis dan bengal itu. Entah kenapa ia menghilang dan
tidak kembali padaku. Akan tetapi aku tidak khawatir, Giok-ko, karena ada
Yauw-twako yang mengejarnya dan sekarang tentu Yauw-twako sudah
menemaninya.”
“Yauw-twako? Siapa itu? Apa yang terjadi?” tanya Cun Giok heran.
“Panjang ceritanya, Giok-ko. Akan tetapi yang lain itu nanti kuceritakan,
sekarang berita yang amat menggembirakan dulu untukmu.”
“Eh? Berita baik untukku? Apa itu, Ceng-moi?”
“Ketahuilah bahwa Adik Tan Li Hong itu adalah piauw-moimu (adik
misanmu).”
“Apa? Bagaimana...?”
“Giok-ko, ayah dari Li Hong, yaitu Tan Kun Tek yang dulu tinggal di Senghai-
lian, adalah kakak dari mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian.”
Cun Giok terbelalak akan tetapi hatinya girang.
“Ah, sungguh menggembirakan, Li Hong yang nakal dan galak itu adikku
sendiri. Ya, aku ingat bahwa Suhu pernah bilang Ibu mempunyal seorang
kakak dekat Nan-king, akan tetapi karena tak pernah bertemu, aku lupa lagi.
Kiranya kakak Ibuku itu ayah Li Hong. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat
mengetahui hal itu, Ceng-moi?”
“Aku ikut Hong-moi ke Pulau Ular untuk bertemu dengan ibunya yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
sudah kita kenal. Ingat waktu kita berdua berkunjung ke pulau berbahaya
itu?”
“Tentu saja aku ingat. Ibu Li Hong adalah Ban-tok Kui-bo...”
“Bukan, Giok-ko. Ketika kita berkunjung ke sana, Ban-tok Kui-bo adalah
gurunya, bukan ibunya. Akan tetapi sekarang ia telah menjadi ibunya, ibu
tiri.”
“Eh? Aku tidak mengerti. Kaubilang tadi Li Hong itu puteri pamanku...”
“Benar. Paman Tan Kun Tek itu dahulu sebelum menikah dengan ibu
kandung Hong-moi, adalah pacar Ban-tok Kui-bo yang kini berganti julukan
Ban-tok Niocu. Nah, ketika Paman Tan Kun Tek menikah dengan gadis lain, ia
menjadi marah. Ia mendendam dan ketika Paman Tan Kun Tek mempunyai
seorang anak perempuan, yaitu Adik Tan Li Hong, ia lalu menculik anak itu,
dibawanya ke Pulau Ular dan diambil murid.”
“Ah, kasihan sekali Hong-moi”
“Akan tetapi semua itu kini berakhir dengan kebahagiaan bagi keluarga
itu, Giok-ko. Setelah Hong-moi dewasa, Ban-tok Niocu menceritakan semua
itu dan membiarkan Hong-moi mencari ayah ibunya. Bahkan mereka berdua
telah menyelamatkan Paman Tan Kun Tek dan isterinya yang ditawan Kim
Bayan. Akhirnya Paman Tan Kun Tek dan isterinya tinggal di Pulau Ular dan
Ban-tok Niocu menjadi isteri Paman Tan Kun Tek. Mereka menjadi satu
keluarga yang bahagia dan tidak terdapat permusuhan lagi di antara mereka.
Nah, ketika aku berkunjung ke Pulau Ular bersama Hong-moi, Paman Tan Kun
Tek yang mendengar disebutnya namamu, lalu menceritakan tentang
mendiang ibumu kepada kami. Wah, Hong-moi merasa terharu dan gembira
bukan main ketika mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya dan ia
ingin sekali segera bertemu dengan kakak misannya, Giok-ko”
Cun Giok tertawa.
“Ha-ha, anak nakal itu kiranya adikku sendiri. Akan tetapi, dimana ia
sekarang dan siapa orang yang kausebut Yauw-twako tadi, Ceng-moi?”
“Begini, Giok-ko. Aku dan Hong-moi meninggalkan Pulau Ular dan pergi
ke Thai-san untuk mencari harta karun seperti juga semua orang setelah
mendengar bahwa harta karun itu dicuri orang yang mengaku tinggal di Thaisan.
Akan tetapi kami berdua ditemani seorang pemuda bernama Yauw Tek.
Sebelum kami berangkat, anak buah Pulau Ular melaporkan bahwa ada
seorang pemuda berperahu dikeroyok oleh banyak pasukan Mongol dalam
empat buah perahu besar. Mendengar ini kami lalu pergi menolongnya. Dia
terluka akan tetapi tidak parah dan setelah kami selamatkan, dan kami bawa
ke pulau, dia menceritakan bahwa dia bernama Yauw Tek dan sejak kecil
ayah ibunya telah meninggal. Dia merantau sampai ke Himalaya dan
mempelajari ilmu silat dari para pertapa di sana, kemudian dia belajar pula
dari para Pendeta Lhama di Tibet. Ilmu silatnya hebat juga. Ketika mendengar
bahwa aku dan Hong-moi hendak mencari harta karun yang dicuri orang dan
berada di Thai-san, dia menyatakan hendak ikut dan membantu. Sikapnya
baik dan sopan sekali, maka kami tidak keberatan dia menyertai kami.”
“Hemm, menarik sekali. Lalu bagaimana, Ceng-moi?”
“Kami bertiga mengunjungi Ang-tung Kai-pang dan perkumpulan itu
ditantang Hek Pek Mo-ko. Karena Hek Pek Mo-ko amat lihai, maka Yauw Tek
lalu membantu Ang-tung Kai-pang, bersama Kui-tung Sin-kai akan
menghadapi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi ketika mereka berhadapan, Hek Pek
Mo-ko memperlihatkan sikap yang kurang ajar. Hong-moi marah dan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
menyerang mereka, aku membantunya. Hek Pek Mo-ko melarikan diri dan
Hong-moi melakukan pengejaran. Karena khawatir kalau-kalau Hong-moi
terjebak, maka Yauw Tek mengejarnya. Setelah menanti beberapa lama dan
mereka belum kembali, aku lalu ikut mengejar. Akan tetapi aku tidak dapat
menemukan mereka dan sampai sekarang aku berpisah dari mereka. Nah,
begitulah, Giok-ko.”
“Hemm, Hong-moi memang terlalu berani sehingga terkadang kurang
perhitungan dan hal ini dapat membahayakan dirinya sendiri. Aku akan
mencarinya... hemm, mari kita pergi mencarinya, Ceng-moi. Aku khawatir
kalau ia mengalami hal yang membahayakan.”
“Jangan khawatir, Giok-ko. Aku yakin bahwa dengan adanya Yauwtwako,
ia akan selamat. Yauw-twako benar-benar lihai, Giok-ko, dan selain
dari itu... mereka berdua... agaknya kalau aku tidak salah kira, mereka berdua
itu saling mencinta.”
Cun Giok mengangguk-angguk.
“Hemm, begitukah? Syukurlah kalau ia menemukan seorang pemuda yang
tepat untuk menjadi calon suaminya.”
“Kalau engkau merasa khawatir, mari kita mencari mereka, Giok-ko.
Ketika itu, Hong-moi pergi mengejar Hek Pek Mo-ko, dan kedua iblis itu
melarikan diri, kukira mereka itu pasti kembali ke tempat tinggal mereka yaitu
di sebelah Utara pegunungan ini. Tentu Hong-moi dan Yauw-twako juga
mengejar ke arah sana.”
“Ceng-moi, aku sungguh gembira sekali mendengar bahwa Li Hong
adalah adik misanku sendiri. Dengan demikian aku harap ia tidak akan marah
lagi kepadaku.”
“Tidak, Giok-ko. Ia juga gembira sekali mendengar bahwa engkau adalah
kakak misannya. Ia tidak marah kepadamu, engkau tidak bersalah apa-apa,
Giok-ko. O ya, engkau belum menceritakan tentang pengalamanmu sejak
berpisah dari kami. Kemana saja engkau pergi, Giok-ko?”
Wajah Cun Giok berubah muram karena dia teringat akan peristiwa yang
menyebabkan kematian tunangannya. Maka, beberapa lamanya dia tidak
mampu memberi jawaban.
“Giok-ko, maafkan aku kalau pertanyaanku tadi mengganggumu. Kalau
engkau tidak ingin menceritakan, sudahlah, aku tarik kembali pertanyaanku
tadi.”
Cun Giok menghela napas beberapa kali, menenangkan perasaannya baru
menjawab.
“Aku yang minta maaf, Ceng-moi. Apa yang kualami memang membuat
hatiku menjadi menyesal dan sedih sekali karena aku telah berbuat dosa yang
besar sekali kepada tunanganku Siok Eng. Dosaku yang tak dapat diampuni
lagi karena aku menyebabkan tunanganku itu, ayahnya, juga encinya dan
kakak iparnya, mengalami kematian yang mengenaskan...”
Cun Giok menundukkan mukanya karena merasa betapa kedua matanya
menjadi basah oleh air mata.
“Aih, Giok-ko... Engkau mengejutkan hatiku. Mereka tewas? Mengapa,
Giok-ko? Engkau harus ceritakan padaku agar hatiku tidak merasa
penasaran.”
Cun Giok lalu dengan nada sedih menceritakan tentang terbasminya
keluarga Siok Eng oleh putera Kim Bayan yang bernama Kim Magu dan
temannya yang bernama Kui Con, di Cin-yang. Betapa mereka itu tewas garaTidak
Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
gara dua orang pemuda anak pejabat itu tergila-gila kepada Siok Eng dan Siok
Hwa namun ditolak sehingga mereka lalu menggunakan paksaan, menculik
dua orang wanita itu dan membunuh Siok Kan dan Chao Kung. Kemudian
tunangannya, Siok Eng dan encinya itu pun tewas di tangan kedua orang
muda itu.
“Aih, sungguh keterlaluan dua orang pemuda itu. Giok-ko, aku ikut
merasa berduka dengan malapetaka yang menimpa keluarga tunanganmu
Betapa malang nasibmu, Giok-ko...” kata Ceng Ceng dan tiba-tiba ia teringat
akan peristiwa yang ia alami di Cin-yang dahulu.
“Ah, aku teringat sekarang akan dua orang pemuda yang kauceritakan itu,
Giok-ko. Dan aku pun teringat akan keluarga Siok yang mereka ganggu. Ah,
aku pernah bertemu dengan tunanganmu itu, encinya, kakak iparnya, dan
ayahnya”
“Benarkah itu, Ceng-moi?” tanya Cun Giok.
“Aku pernah mendengar akan peristiwa itu dan sudah menduga bahwa
engkaulah orangnya yang menolong mereka.”
“Sama sekali tidak kusangka bahwa Enci Siok Eng adalah tunanganmu,
Giok-ko. Aku sudah memberi hajaran cukup keras kepada dua orang pemuda
she Kim dan she Kui itu, dan aku menitipkan keluarga Siok kepada Kepada
Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam yang terkenal adil. Yo-thaijin berjanji akan
melindungi keluarga itu. Bagaimana dua orang pemuda jahat itu dapat
mengganggu lagi?”
“Ceng-moi, Yo-thaijin itu juga dibunuh oleh Panglima Kim Bayan sebelum
peristiwa yang menimpa keluarga Siok terjadi.”
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.
“Ah, sungguh jahat sekali Kim Bayan, bahkan puteranya juga amat jahat.
Kiranya setelah kuberi hajaran kepada mereka, masih juga belum jera.”
“Akan tetapi sekarang mereka takkan dapat melakukan kejahatan lagi,
Ceng-moi.”
“Engkau telah membunuh mereka, Giok-ko?”
Cun Giok menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Ceng-moi. Aku telah banyak belajar darimu dan aku tidak mau
membunuh orang yang tidak dapat melawan. Akan tetapi aku telah membuat
mereka menjadi orang-orang yang tidak mungkin dapat melakukan kekejaman
mengganggu orang lagi.”
Tiba-tiba Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan, dan ketika Cun Giok
memandang kepadanya, gadis itu memejamkan kedua matanya dan sepasang
alisnya berkerut.
“Ceng-moi, ada apakah...?”
Ceng Ceng sejenak tidak menjawab. Ia sedang melawan dan mendorong
keluar perasaannya sendiri yang tiba-tiba muncul. Tadi ia merasa betapa
diam-diam ada kegirangan menyelinap dalam hatinya mendengar bahwa Siok
Eng, tunangan Cun Giok, telah tiada. Ia merasa betapa jahatnya perasaan ini
sehingga untuk melawannya, ia mengeluarkan seruan dan memejamkan
kedua matanya. Ia merasa betapa jahatnya perasaan itu, bergirang
mendengar tunangan Cun Giok tewas. Akhirnya ia dapat menenangkan
hatinya, membuka kedua matanya dan menghela napas panjang. Kedua
matanya basah dan wajahnya berubah kemerahan. Ketika ia melihat betapa
Cun Giok memandang kepadanya dengan heran dan khawatir, ia berkata lirih.
“Giok-ko, sudahlah, tidak baik mengenang kembali peristiwa lalu yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
hanya mendatangkan perasaan duka dan mungkin akan mendatangkan
perasaan dendam dan benci yang akan meracuni hati kita sendiri. Lebih baik
kita sekarang melanjutkan perjalanan mencari Adik Li Hong, dan menyelidiki
tentang harta karun itu. Aku merasa yakin bahwa harta karun itu pasti berada
di pegunungan ini, entah dimana dan entah siapa yang kini menguasainya.”
Cun Giok menghela napas panjang.
“Engkau benar sekali, Ceng-moi. Mari kita lanjutkan perjalanan.”
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan mereka, menuju ke arah utara
untuk mencari Li Hong.
--------
Yauw Tek duduk di atas akar pohon yang tersembul memanjang dari
permukaan tanah di luar hutan kecil dan Li Hong duduk di sebelahnya.
Mereka berada di sebuah lereng yang tinggi dan pemandangan indah
terbentang di bawah, depan mereka. Sejenak Yauw Tek mengamati wajah Li
Hong, wajah yang jelita dan melihat rambut halus melingkar di leher yang
putih halus itu, dia tidak dapat menahan gelora hatinya dan membelai rambut
halus di leher gadis itu. Li Hong menggelinjang dan menoleh kepada pemuda
itu, tersenyum senang melihat betapa pandang mata pemuda itu penuh kasih
sayang kepadanya.
“Hong-moi, engkau sungguh cantik jelita...” bisik Yauw Tek dan Li Hong
merasa senang bukan main.
Selama ini, sejak peristiwa di dalam gubuk dimana karena pengaruh obat
perangsang Li Hong menyerahkan diri kepada Yauw Tek, hubungan antara
mereka berdua menjadi semakin mesra dan akrab. Yauw Tek selalu
memperlihatkan sikap yang amat menyenangkan hatinya. Pemuda itu amat
mencintanya, juga menghormatinya, sikapnya selalu sopan sehingga ia pun
semakin jatuh cinta. Mendapat pujian itu, yang seringkali diucapkan Yauw
Tek dengan pandang mata penuh kagum dan kasih sayang, Li Hong
tersenyum dan di lain saat ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu
pemuda itu yang merangkulnya.
“Koko, katakan bahwa engkau masih mencintaku,” bisiknya.
“Aih, Hong-moi, mengapa engkau berkata demikian? Kata masih mencinta
itu menunjukkan seolah cintaku kepadamu belum hilang dan kelak akan
hilang. Tidak, Hong-moi, aku bukan masih mencintamu, melainkan selama
hidupku akan mencintamu, bahkan setelah mati kelak aku ingin selalu
bersamamu.”
Mendengar ini, Li Hong menghela napas dengan hati merasa bahagia
sekali dan ia menyandarkan kepala di dada yang bidang itu dan memejamkan
matanya. Bibirnya tersenyum manis.
“Koko, aku ingin engkau ikut bersamaku ke Pulau Ular menemui Ayah dan
kedua orang Ibuku dan di sana engkau dapat melamarku dengan resmi. Kita
langsungkan pernikahan di sana.”
“Moi-moi, apakah engkau sungguh mencintaku?”
Mendengar pertanyaan ini, Li Hong menegakkan diri dan memandang
wajah pemuda itu dengan heran dan penasaran.
“Koko, kenapa engkau bertanya begitu? Bukankah aku telah menjadi
isterimu walaupun hal itu belum diresmikan orang tuaku? Tentu saja aku
mencintamu”
“Engkau akan tetap mencintaku walaupun andaikata aku orang macam
apa, bangsa apa, golongan apa dan siapapun juga orang tuaku?”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Aneh-aneh pertanyaanmu ini, Koko. Bukankah orang tuamu telah tiada?”
“Jawab dulu pertanyaanku tadi, Moi-moi. Jawabanmu amat penting
bagiku.”
“Baiklah, Koko. Aku tetap mencintamu walaupun engkau bangsa apa pun
dan siapa pun orang tuamu. Aku telah menjadi isterimu dan selama hidupku
aku akan tetap menjadi isterimu yang dicinta dan mencinta. Hanya kematian
yang dapat memisahkan kita” jawab Li Hong dengan tegas.
“Hong-moi...”
Yauw Tek merangkulnya dan mencium dahi gadis itu dengan mesra.
“Bahagia sekali hatiku mendengar jawabanmu, sungguh tidak keliru aku
memilihmu menjadi kekasih dan calon isteriku”
“Akan tetapi, mengapa engkau bertanya seperti itu, Koko?”
“Ini ada hubungannya dengan permintaanmu tadi, Hong-moi.
Permintaanmu agar aku ikut denganmu ke Pulau Ular dan melamarmu kepada
orang tuamu.”
“Akan tetapi, bukankah hal itu sudah semestinya, Koko? Bukankah kita
menghendaki menjadi suami isteri yang resmi, diresmikan orang tuaku?”
“Tentu saja, Moi-moi, aku ingin hidup denganmu sebagai suami isteri
yang diresmikan orang tua. Akan tetapi tidak sekarang.”
“Koko, apakah engkau ingin mencari harta karun itu lebih dulu?”
“Bukan hanya itu, Hong-moi.” Pemuda itu menghela napas panjang lalu
melanjutkan.
“Hong-moi, aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya aku berbohong
ketika mengatakan bahwa orang tuaku telah meninggal dunia. Sebenarnya,
Ayah Ibuku masih hidup. Karena itu, urusan pernikahan, untuk meminangmu
maksudku, harus dilakukan oleh orang tuaku kepada orang tuamu.”
“Ah, bagus sekali. Aku ikut girang bahwa ayah ibumu masih ada, Koko.
Siapakah mereka dan dimana mereka tinggal? Mari kita menghadap mereka,
Koko”
Yauw Tek menggelengkan kepalanya.
“Sekarang belum dapat aku menceritakan, Moi-moi. Bersabarlah, kelak
engkau pasti akan mengetahui dan yakinlah, pada suatu hari orang tuaku
pasti akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu di Pulau Ular untuk
menikahkan kita secara resmi.”
“Akan tetapi, Koko...”
Yauw Tek mendekap muka Li Hong dan menciumnya.
“Bersabarlah, Hong-moi. Engkau cinta dan percaya padaku, bukan? Aku
berjanji, setelah selesai urusanku di sini, engkau pasti akan kuajak menemui
orang tuaku”
Li Hong terpaksa mengangguk walaupun hatinya merasa penasaran dan
heran sekali. Ia tidak ingin memaksa dan, membikin kekasihnya menjadi tidak
senang.
Tiba-tiba Li Hong melompat dari pangkuan Yauw Tek, tangan kirinya
meraih ke kantung senjata rahasianya dan cepat ia mengambil beberapa
batang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang menjadi senjata rahasianya
yang ampuh. Akan tetapi Yauw Tek menangkap lengannya.
“Tenang, Moi-moi. Jangan sampai salah menyerang bukan musuh”
Li Hong memandang ke arah jajaran pohon besar darimana ia tadi
mendengar gerakan orang. Muncul lima orang yang memiliki gerakan ringan,
berpakaian seperti petani biasa namun sikap mereka gagah berwibawa. Lima
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
orang itu dengan gesit berlompatan ke depan Yauw Tek dan tiba-tiba mereka
menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap hormat sekali.
Yauw Tek memandang tajam dan mengerutkan sepasang alisnya.
“Hemm, ada kepentingan apa kalian menghadap tanpa dipanggil?”
tanyanya.
Seorang di antara lima orang itu, yang bertubuh tinggi kurus, berusia
sekitar limapuluh tahun, berkata setelah menempelkan dahi ke atas tanah.
“Mohon beribu ampun, Pangeran. Karena ada berita penting sekali, maka
hamba berlima memberanikan diri menghadap tanpa dipanggil. Ampunkan
kalau kami mengganggu.”
“Cepat katakan. Ada berita penting apakah?”
“Ada berita bahwa harta karun telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan
dan pasukannya. Kini mereka sedang bergerak membawa harta karun turun
gunung, di sebelah selatan lereng sana.”
Orang itu menunjuk ke arah lereng tak jauh dari situ.
“Hemm, bayangi dan selidiki, kerahkan pasukan untuk membayangi,
jangan lepaskan mereka.”
“Baik, Pangeran. Hamba mohon pamit.”
“Pergilah”
Lima orang itu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan.
Li Hong masih berdiri terbelalak. Matanya terbuka lebar-lebar menatap wajah
Yauw Tek dan mulutnya ternganga. Ia seolah telah berubah menjadi patung
saking kaget dan herannya. Ia merasa seperti bermimpi, Yauw Tek seorang
pangeran?
“Hong-moi...” Yauw Tek mendekat dan merangkulnya.
Li Hong melangkah mundur.
“Kau... kau... seorang Pangeran? Akan tetapi mengapa...”
Yauw Tek maju, menangkap tangan Li Hong dan menariknya sehingga
gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukannya.
“Hong-moi, ingat ucapanmu tadi. Engkau mencintaku dan akan selalu
mencintaku tak peduli aku ini orang apa?”
Li Hong merasa lemas dan membiarkan dirinya dipeluk.
“Akan tetapi, kalau engkau seorang pangeran, mengapa engkau
menyamar sebagai Yauw Tek? Siapakah engkau? Dan mengapa seorang
pangeran berada di sini dan... dan... memperisteri aku...?”
“Mari kita duduk lagi, Hong-moi dan akan kuceritakan semua tentang
diriku. Percayalah, aku tidak akan membohongimu, aku cinta padamu, Hongmoi.”
Li Hong menjadi tenang kembali, walaupun jantungnya masih berdebar
penuh keheranan dan ketegangan. Ia duduk di atas akar pohon dan Yauw Tek
duduk di depannya.
“Dengarlah pengakuanku, Hong-moi dan kuharap engkau tidak akan
menyesal mempunyai seorang calon suami seperti aku yang telah
membohongimu. Aku adalah Pangeran Youtechin, sejak kecil aku suka
mempelajari ilmu silat, terutama dari para Pendeta Lhama di Tibet. Belasan
tahun aku bahkan tinggal di sana. Ayahku adalah Pangeran Banagan, masih
adik tiri dari mendiang Kaisar Kubilai Khan. Ketika aku setahun yang lalu
pulang ke kota raja, dan mengetahui bahwa aku telah mempelajari berbagai
ilmu, Ayah menugaskan aku untuk mengabdi Kerajaan Goan kami, dengan
persetujuan Kaisar, bahkan aku mendapatkan tanda kekuasaan dari Kaisar.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Aku bertugas mengamankan negara dan mengamati para pembesar kami
yang menyeleweng. Aku telah melaporkan banyak pembesar yang korup dan
jahat, dan dari istana telah dikeluarkan perintah untuk menangkapi dan
menghukum mereka. Karena itu, diam-diam aku dimusuhi banyak pembesar
dan panglima yang menganggap aku sebagai ancaman bagi kedudukan
mereka. Diam-diam mereka itu berusaha untuk membunuh atau
menyingkirkan aku.”
“Karena itukah engkau dulu dikepung dan dikeroyok di perairan Pulau
Ular?”
“Ya, itu satu di antara usaha mereka membunuhku.”
“Akan tetapi mengapa engkau berperahu dekat Pulau Ular dan ketika
kami tolong, engkau mengaku bernama Yauw Tek?”
“Dalam perjalananku memang aku menyamar sebagai seorang pemuda
Han bernama Yauw Tek. Terus terang saja, Hong-moi, aku mendengar berita
tentang harta karun peninggalan Kerajaan Sung maka aku mewakili
pemerintah untuk menyelidiki dan mendapatkan harta karun itu. Aku sudah
melakukan penyelidikan dan mendengar betapa Panglima Kim Bayan yang
ditugaskan pemerintah, berniat untuk menguasai harta karun untuk dirinya
sendiri. Setelah mendengar bahwa asal mula peta harta karun itu menjadi
millk Nona Liu Ceng Ceng, maka aku mengambil kesimpulan bahwa sumber
pertama yang akan dapat memberi keterangan jelas tentang harta karun itu
adalah Nona Liu. Para pengikutku yang melakukan penyelidikan memberitahu
bahwa Nona Liu berada di Pulau Ular, maka aku lalu menggunakan perahu
menyusul ke sana. Akan tetapi setelah dekat, aku dikepung pasukan dan
dikeroyok sehingga terluka. Untung ada keluargamu yang menolongku, Hongmoi.
Ketika aku mendengar bahwa Nona Liu dan engkau akan menyelidiki ke
Thai-san mencari harta karun, aku lalu menawarkan diri membantu dan kalian
menerimaku. Itulah kesempatan baik bagiku untuk mendapatkan harta karun
itu agar dapat kuserahkan kepada pemerintahan kami.”
“Akan tetapi... Ko... eh, Pangeran...”
“Hush, Hong-moi. Jangan sebut aku pangeran. Sekarang ini aku masih
tetap Yauw Tek bagimu. Kelak kalau engkau sudah menjadi isteriku dan
tinggal di istana Ayah, boleh saja aku disebut Pangeran. Nah, engkau tadi
hendak berkata apa, Hong-moi?”
“Koko, harta karun itu adalah peninggalan Kerajaan Sung, mengapa
engkau hendak menyerahkannya kepada Kerajaan Mongol? Bukankah yang
berhak adalah Kerajaan Sung atau pendukungnya?”
“Hong-moi, peraturan dalam perang, harta benda yang kalah menjadi hak
milik yang menang, maka harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milik
Kerajaan Mongol. Kerajaan Sung sudah terbasmi dan tidak ada lagi, bukan?
Dan jangan lupa, aku adalah seorang Pangeran Mongol, maka sudah menjadi
kewajibanku untuk membela Kerajaan Mongol. Aku tidak menyalahkan Nona
Liu Ceng Ceng dan teman-temannya kalau hendak menyerahkan harta itu
kepada para pejuang, akan tetapi sekarang ini sudah tidak ada perang
sehingga yang kalian sebut pejuang itu bukan lain adalah pemberontak.
Apakah kalian menghendaki perang lagi yang selalu menyengsarakan rakyat
jelata?”
“Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku tidak mengerti soal perang dan sebetulnya
aku tidak begitu peduli. Aku hanya terbawa oleh Enci Ceng Ceng dan kakak
misanku Pouw Cun Giok.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Akan tetapi sekarang engkau adalah keluargaku, Hong-moi, keluargaku
terdekat. Engkau isteriku walaupun belum diresmikan orang tua kita. Kalau
urusan harta karun ini sudah selesai, orang tuaku pasti akan mengirim utusan
untuk meminangmu dari orang tuamu di Pulau Ular, dan kita menikah dengan
resmi. Maka, sekarang juga engkau harus mengambil keputusan, Hong-moi,
engkau akan membantu aku, atau membantu orang lain?”
Setelah berkata demikian, Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu
merangkul Li Hong. Gadis itu balas merangkul.
“Sudah tentu aku membantumu, Koko, akan tetapi aku minta dengan
sangat, jangan engkau memusuhi dan mencelakakan kakak angkatku Enci
Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok.”
“Aku berjanji tidak akan memusuhi mereka, Hong-moi, tentu saja kalau
mereka yang memusuhi aku, aku harus membela diri. Bukankah engkau juga
akan membela aku kalau aku dimusuhi orang?”
Li Hong hanya mengangguk, namun hatinya merasa risau sekali.
“Sekarang, mari kita hadang rombongan Kim Bayan yang katanya telah
menemukan harta karun itu. Kalau ternyata dia hendak menguasai sendiri
harta itu, akan kuhukum dia”
Mereka lalu cepat meninggalkan tempat itu dan menuju ke arah yang
ditunjuk anak buah pangeran itu yang sebetulnya terdiri dari jagoan-jagoan
istana yang menyamar.
---------
Di sebuah antara bukit-bukit yang tersebar banyak sekali di Pegunungan
Thai-san, Kim Bayan mengumpulkan para perwira pembantunya yang belasan
orang banyaknya, dan pasukannya yang tidak kurang dari duaratus orang
jumlahnya. Dengan para pembantunya dia mengadakan perundingan.
“Siasat kita untuk mengadu domba di Thai-san-pai telah gagal. Dan
agaknya memang Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu,” kata Kim Bayan
yang diam-diam mengintai ketika semua orang berkumpul di depan pintu
gerbang Thai-san-pai.
“Kita harus mencari siasat yang lebih baik untuk memancing keluar
pencuri harta karun itu sehingga kita dapat merampasnya.”
Setelah berunding sampai lama akhirnya mereka menemukan siasat yang
mereka anggap baik sekali untuk memancing keluar pencuri aseli harta karun
yang diperebutkan itu.
“Kita siarkan bahwa kita telah menemukan harta karun itu dan kita bawa
turun gunung. Tentu mereka akan berbondong datang dan berusaha
merampasnya dari kita. Kita tinggal melihat saja, kalau ada mereka yang tidak
datang mencoba merampas harta karun, berarti di antara mereka itulah
pencurinya. Kalau harta karun sudah ada padanya, tentu dia tidak percaya
akan berita itu dan tidak akan mengganggu kita,” kata Kim Bayan.
Setelah semua setuju dan pasukan maklum akan siasat yang dimainkan
pemimpin mereka, mulailah mereka menyiarkan kabar bahwa harta karun
sudah ditemukan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin Panglima Kim
Bayan dan bahwa pasukan akan membawa harta karun itu turun gunung.
Kalau berita bahwa harta berada di Thai-san-pai cukup menimbulkan
kekacauan, berita kedua ini lebih menggemparkan lagi. Berita pertama hanya
merupakan dugaan bahwa Thai-san-pai pencurinya, tanpa adanya bukti.
Akan tetapi kini Panglima Kim Bayan telah menemukan harta karun dan
pasukannya sedang membawa harta karun itu turun gunung. Berarti sekarang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
ada buktinya dan tentu saja semua orang yang mencari harta karun itu
menjadi gempar dan berbondong-bondong mereka hendak melihat sendiri
dan kalau mungkin merampasnya.
Setelah mempersiapkan segalanya, pada suatu pagi, rombongan pasukan
yang dipimpin Panglima Kim Bayan menuruni gunung mengawal sebuah
gerobak dorong dimana terdapat dua buah peti besar. Melihat betapa
beberapa orang perajurit mendorong kereta itu dengan sukar, bahkan ada
yang membantu dengan menariknya dari depan, maka dapat diketahui bahwa
dua buah peti hitam itu tentu berat sekali.
Kim Bayan dan dua belas orang perwira pembantunya menunggang kuda
berada di depan, diiringkan dua losin perajurit berkuda. Di bagian
terbelakang ada dua losin perajurit berkuda lagi yang dipimpin seorang
perwira. Puluhan orang perajurit yang lain berjalan kaki. Kereta atau gerobak
dorong itu berada di tengah, dijaga ketat. Dalam perjalanan menuruni gunung
yang hanya dapat dilakukan secara lambat ini, rombongan itu beberapa kali
mendapat gangguan mereka yang mencoba untuk merampas peti. Akan
tetapi pengganggu itu dengan mudah dipukul mundur oleh Kim Bayan dan
para perwiranya, ada yang tewas dan yang lainnya melarikan diri.
Diam-diam Kim Bayan mencatat mereka yang telah berusaha merampas
peti sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencuri harta karun. Mereka
yang telah mencuri dan memiliki harta karun itu pasti tidak akan mau
mencoba merebut peti itu dan dapat menduga bahwa peti itu kosong. Hanya
yang belum mendapatkan harta karun sajalah yang akan mencoba untuk
merebut peti yang dibawanya turun gunung. Dia tinggal memperhatikan dan
mencatat saja siapa-siapa yang tidak muncul untuk merampas peti.
Merekalah atau seorang di antara mereka yang menjadi pencurinya
Makin ke bawah, semakin banyak orang yang berusaha merampas petipeti
di atas gerobak itu. Bahkan mulai bermunculan para datuk dan
perkumpulan besar.
Yang pertama muncul adalah Ang-tung Kai-pang yang dipimpin sendiri
oleh Kui-tung Sin-kai. Mereka terdiri dari sekitar tujuhpuluh orang dan mereka
menghadang di bagian lereng yang terbuka dan landai, merupakan padang
rumput yang luas. Kedua rombongan itu berhadapan dan Panglima Kim Bayan
membentak nyaring.
“Hei… Kalian ini rombongan pengemis mau apa menghadang pasukan
kami?”
Kui-tung Sin-kai melangkah maju menghadapi Kim Bayan dan dia berkata
dengan suara tidak kalah nyaringnya.
“Panglima Kim Bayan, tinggalkan peti harta karun itu, baru engkau dan
pasukanmu boleh melanjutkan perjalanan turun gunung”
“Setan busuk…. Pengemis kotor… Berani engkau hendak merampas harta
milik kerajaan?”
“Bukan kami yang merampok, melainkan engkau, Panglima Kim Harta
karun itu yang berhak adalah keluarga Liu, akan tetapi engkau telah
merampoknya. Kami hanya ingin mengembalikan kepada yang berhak”
“Ho-ho, keparat. Minggirlah, pengemis, jembel busuk”
Kim Bayan melompat turun, diikuti dua belas orang perwira pembantunya
dan mereka telah mencabut golok. Biarpun dari sikap Kui-tung Sin-kai itu Kim
Bayan tahu bahwa harta karun itu tidak berada pada Ang-tung Kai-pang,
namun dia merasa perlu untuk membasmi perkumpulan pengemis yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bersikap menentang Kerajaan Mongol itu. Kim Bayan sudah melompat dan
menyerang Kui-tung Sin-kai dengan goloknya. Ketua Ang-tung Kai-pang ini
pun menggerakkan tongkat merahnya, menangkis dan balas menyerang. Dua
belas orang perwira pembantu Kim Bayan juga disambut para pimpinan
pembantu dari Ang-tung Kai-pang. Terjadilah pertempuran, apalagi ketika
anak buah Ang-tung Kai-pang juga bertempur melawan para perajurit anak
buah Kim Bayan.
Akan tetapi, ilmu silat Kim Bayan masih terlalu tangguh bagi Kui-tung Sinkai
sehingga dia mulai terdesak oleh sinar golok yang bergulung-gulung. Juga
para pembantunya tidak kuat melawan para perwira. Apalagi anak buah Angtung
Kai-pang yang kalah banyak jumlahnya, sedangkan para perajurit yang
menjadi anak buah Kim Bayan itu merupakan perajurit pilihan yang tangguh
dari balatentara Mongol.
Banyak anggauta Ang-tung Kai-pang yang roboh tewas atau terluka.
Ketika Kui-tung Sin-kai sendiri mengalami terluka pada pundaknya, ketua ini
maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pasti pihaknya kalah dan
akan jatuh lebih banyak korban lagi. Maka, dengan hati menyesal, Kui-tung
Sin-kai lalu melompat ke belakang dan memberi isyarat kepada para
pembantu dan anak buahnya untuk mundur dan melarikan diri.
Sambil mengeluarkan sorak kemenangan dan membantu kawan-kawan
yang terluka, pasukan yang dipimpin Kim Bayan itu melanjutkan perjalanan.
Setelah mereka pergi, barulah para anggauta Ang-tung Kai-pang muncul
untuk merawat teman yang terluka dan mengurus teman yang tewas.
Penghadangan selanjutnya dilakukan oleh rombongan Thai-san-pai yang
lebih kuat dan merupakan lawan berat bagi Kim Bayan dan pasukannya.
Rombongan murid Thai-san-pai itu dipimpin sendiri oleh Thai-san Sianjin Thio
Kong, dibantu lima orang sutenya dan memimpin anak buah sebanyak
delapanpuluh orang lebih
“Hemm, agaknya Thai-san-pai yang menghadang perjalanan pasukan
Kerajaan. Mau apa kalian?” bentak Kim Bayan.
“Kim Bayan manusia licik. Para murid kami yang menyelidiki melaporkan
bahwa engkaulah yang menyebar fitnah, mengatakan bahwa kami Thai-sanpai
yang mencuri harta karun Kerajaan Sung. Tidak tahunya engkau sendiri
yang diam-diam hendak melarikan harta karun itu. Tinggalkan harta karun itu
atau terpaksa kami menggunakan kekerasan”
“Heh, Ketua Thai-san-pai Apakah kalian hendak memberontak terhadap
Kerajaan Goan (Mongol)?”
“Tidak ada yang memberontak. Akan tetapi engkau yang mencuri harta
karun yang bukan hakmu. Tinggalkan harta karun itu dan pergilah dari
wilayah kami”
Kedua pihak bertempur dan sekali ini Kim Bayan harus mengakui bahwa
dia mendapat lawan yang amat kuat. Dia sendiri bertanding mati-matian
melawan Thai-san Sianjin. Akan tetapi permainan golok besarnya sukar dapat
menembus sepasang pedang yang dimainkan oleh Ketua Thai-san-pai dengan
cepat dan kuat itu. Sebaliknya, dia mulai terdesak oleh lawan. Demikian pula,
permainan pedang lima orang sute dari Ketua Thai-san-pai tidak tertandingi
duabelas orang perwira dan dua orang di antara mereka bahkan telah terluka.
Biarpun jumlah perajurit lebih banyak daripada jumlah murid Thai-san-pai,
namun murid-murid itu telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi
sehingga pertempuran di antara kedua pihak itu berlangsung seru.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Selagi Kim Bayan merasa khawatir karena pihaknya terdesak dan dia akan
membuka rahasia bahwa kedua buah peti itu kosong sehingga tidak ada yang
perlu direbutkan dan dipertentangkan untuk menghemikan pertempuran,
tiba-tiba muncul Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.
Tanpa banyak cakap, kedua orang ini sudah melompat dekat gerobak.
Mereka hendak merampas dua buah peti, akan tetapi enam orang perajurit
menghadangnya dengan tombak di tangan. Hek Pek Mo-ko mengeluarkan
suara tawa mengejek dan mengamuk. Kasihan para perajurit itu. Tentu saja
mereka bukan lawan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang amat lihai dan sebentar
saja mereka berenam roboh. Akan tetapi selagi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko
sambil tertawa hendak merampas peti, tiba-tiba muncul Huo Lo-sian, Bu-tek
Sin-liong, dan Cu Ai Yin
“Ha-ha-ha, Iblis Hitam Putih tak tahu malu. Jangan seenaknya saja
mengambil harta karun” bentak Huo Lo-sian sambil tertawa.
Melihat munculnya Huo Lo-sian, Pek Mo-ko marah sekali dan cepat dia
menyerang dengan dorongan telapak tangannya yang seputih kapur. Uap
putih yang amat kuat menyambar ke arah Huo Lo-sian. Akan tetapi majikan
Bukit Merah ini tidak gentar dan menyambut dengan dorongan tangannya
pula.
“Desss...”
Kedua orang datuk ini terpental ke belakang. Ternyata tenaga sakti
mereka berimbang dan Huo Lo-sian yang juga sudah tahu betapa lihainya Pek
Mo-ko, segera mencabut senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok
besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Pek Mo-ko juga telah
mencabut pedangnya dan dua orang datuk itu segera saling serang dengan
dahsyatnya.
Pertemuan golok dan pedang menimbulkan suara berdentang nyaring
diikuti percikan bunga api. Pek Mo-ko menyelingi serangan pedangnya
dengan dorongan telapak tangan kiri yang seputih kapur. Kalau telapak
tangan itu dipukulkan, maka ada semacam uap putih meluncur ke arah lawan.
Itulah Ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang menjadi andalan Pek
Mo-ko. Akan tetapi lawannya kini adalah Huo Lo-sian yang berilmu tinggi,
maka setiap kali Pek Mo-ko mengirim serangan Pek-tok-ciang, Huo Lo-sian
menangkis dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan sin-kang (tenaga
sakti) sehingga setiap kali dua tenaga sakti ini bertemu, kedua orang datuk
itu terdorong mundur tanpa menderita luka. Mereka kini berusaha matimatian
untuk mengalahkan lawan dan pertandingan berlangsung seru dan
mati-matian.
Orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu kemurkaan mengejar harta
benda, beranggapan bahwa hanya harta benda atau uang yang akan dapat
membahagiakan hidupnya, bagaikan orang buta. Mereka sama sekali tidak
merasa bahwa mereka sudah dicengkeram daya rendah harta benda dan mau
melakukan apa saja, halal maupun haram, untuk mendapatkannya. Padahal,
harta benda yang diperebutkan secara haram itu karena bukan hak miliknya
sehingga dapat dikatakan merampas atau merampok, hanya akan
mendatangkan kesengsaraan belaka kepada mereka.
Yang kalah dan mati dalam perebutan itu jelas tidak akan dapat
menikmati harta benda, demikian pula kalau dia sampai terluka parah dan
menjadi cacat. Yang menang dan mendapatkan harta benda itu pun akan
selalu tersiksa karena selalu terancam orang lain yang hendak merampas
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
benda itu atau terancam oleh mereka yang hendak membalas dendam atas
warganya yang telah dikalahkan, dilukai atau dibunuh dalam perebutan harta
benda itu. Orang-orang yang menjadi hamba nafsu seperti ini menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan uang, baik melalui penipuan, pencurian,
perampokan, korupsi dan sebagainya lagi.
Berbeda dengan orang yang menjadi majikan dari nafsunya, mengatur dan
mengendalikannya, tidak akan membuta dalam mencari uang, karena
nafsunya terkendali sehingga selalu mencarinya dengan cara yang benar,
cara yang halal, dapat membedakan antara mencari dan mencuri atau
menipu. Mencari uang dengan jalan yang benar merupakan kewajiban bagi
manusia karena memang hidup ini tidak mungkin tanpa menggunakan uang.
Akan tetapi bukan berarti dia harus mencari uang dengan jalan mencuri atau
merampas hak orang lain atau menipu.
Sementara Pek Mo-ko bertanding mati-matian melawan Huo Lo-sian, Hek
Mo-ko berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong. Dia sebetulnya merasa gentar
menghadapi datuk besar majikan Bukit Merak ini, akan tetapi karena mereka
sudah berhadapan, terpaksa dia melawan dan menyerang dengan golok di
tangan kanan dan dengan pukulan Hek-tok-ciang di tangan kiri. Bu-tek Sinliong
adalah seorang yang paling suka bertanding mengadu ilmu. Lebih lihai
lawannya, dia lebih gembira melayaninya, maka dengan gembira dia lalu
menerjang Hek Mo-ko dan keduanya sudah saling serang dengan dahsyatnya.
Pertempuran di tempat itu menjadi semakin seru. Pihak Thai-san-pai
mendesak pihak pasukan yang dipimpin Kim Bayan, sedangkan Hek Mo-ko
dan Pek Mo-ko terdesak oleh Bu-tek Sin-liong dan Huo Lo-sian. Adapun Cu Ai
Yin yang tadinya hanya menonton saja, ketika teringat kepada Pouw Cun
Giok dan keinginannya untuk menyerahkan harta karun itu kepada pemuda
itu, lalu melompat dengan gerakan ringan mendekati dua buah peti yang
berada di atas kereta. Akan tetapi sebelum ia sempat menyentuh peti harta
karun itu, selosin orang perajurit yang bertugas menjaga harta karun itu,
segera menyambutnya dengan pengeroyokan.
Selosin orang perajurit ini merupakan perajurit pilihan yang memiliki
kepandaian ilmu silat lumayan maka mereka ditugaskan menjaga dan
mempertahankan dua buah peti itu. Ai Yin mengamuk dengan siang-kiam
(sepasang pedang) pendek dengan gerakan yang amat cepat sehingga yang
tampak hanya gulungan sinar sepasang pedangnya, membuat selosin orang
perajurit itu terkejut dan saling bantu untuk menyelamatkan diri dari
sambaran sinar pedang gadis perkasa itu.
Baru saja Ai Yin merobohkan tiga orang perajurit yang mengeroyoknya,
tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dan menangkis pedang Ai Yin
yang menyambar-nyambar.
“Tranggg...”
Ai Yin terkejut karena tangkisan itu cukup kuat dan ketika ia memandang,
ia menjadi marah sekali karena yang menangkisnya itu adalah Kong Sek,
murid ayahnya atau suhengnya sendiri.
Akan tetapi Kong Sek tidak menjawab. Cintanya terhadap Ai Yin kini
memudar setelah dia mendapat kenyataan betapa Ai Yin lebih condong
membela Pouw Cun Giok dan bahkan memusuhinya. Dia sudah melepaskan
harapannya untuk berjodoh dengan gadis itu. Maka, tanpa bicara dia lalu
menyerang dengan pedangnya, membantu perajurit yang mengeroyok Ai Yin.
Ternyata Kong Sek tidak datang seorang diri. Seperti telah diketahui,
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pemuda ini telah menjadi sekutu Cui-beng Kui-ong dan kini dia hendak
menggunakan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli menginginkan harta
karun itu untuk membantunya membalas dendamnya terhadap Pouw Cun
Giok. Maka, kini pun dia tidak muncul sendiri. Ketika dia membantu para
perajurit menahan Ai Yin yang hendak mengambil atau merampas harta
karun, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli cepat melompat dekat kereta
atau gerobak yang memuat dua buah peti hitam.
Empat orang perajurit menyambut mereka akan tetapi sekali kakek dan
nenek iblis itu menggerakkan tangannya, empat orang perajurit itu memekik
dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika. Akan
tetapi baru saja dua orang kakek dan nenek iblis itu membunuh empat orang
perajurit, sebelum mereka sempat menghampiri dua buah peti dalam gerobak,
tampak bayangan yang gerakannya cepat seperti terbang meluncur ke arah
gerobak dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berada di atas gerobak.
Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok yang datang bersama Ceng
Ceng. Akan tetapi hanya Cun Giok sendiri yang melayang ke atas gerobak
dan sebelum ada yang sempat mencegah, Cun Giok mengerahkan tenaga,
menghantam ke arah dua buah peti hitam itu.
“Wuuuttt... brak-brakk...”
Dua buah peti itu pecah berantakan dan batu-batu kerikil yang berada
dalam peti-peti itu berhamburan.
“Peti itu hanya berisi batu-batu”
Terdengar banyak orang berteriak, dan teriakan ini sekaligus
menghentikan semua orang yang berkelahi. Mereka menahan senjata,
melompat ke belakang dan menghampiri gerobak, lalu dengan mata
terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang sudah pecah dan batubatu
kerikil yang berhamburan
Bukan hanya mereka yang tadinya berkelahi kini memandang bengong.
Juga rombongan-rombongan pencari harta yang baru datang seperti Angtung
Kai-pang, Go-bi-pai, dua orang murid utusan Bu-tong-pai yaitu Liong
Kun dan Thia Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin, mereka semua
kini memandang dengan heran melihat betapa dua buah peti yang
diperebutkan itu hanya berisi batu-batu kerikil
“Kita semua tertipu. Panglima Kim Bayan hanya membawa peti harta
karun palsu” seru Pouw Cun Giok lantang.
Semua orang yang tadinya berkelahi kini mengomel panjang pendek,
merasa tertipu dan dipermainkan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat
menyalahkan Kim Bayan, karena mereka sendirilah yang datang menghadang
dan mencoba untuk merampas harta karun yang mereka kira benar-benar
telah ditemukan panglima itu dan pasukannya.
Yang merasa amat marah adalah Cui-beng Kui-ong. Dia mengeluarkan
suara gerengan dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah berdiri di depan
Panglima Kim Bayan. Mukanya merah dan tubuhnya yang kurus itu seperti
menjadi semakin bongkok, akan tetapi sikap dan suaranya penuh wibawa
ketika dia membentak.
“Kim Bayan, apa yang kaulakukan ini? Hanya dengan pangkatmu sebagai
panglima, engkau berani mempermainkan kami?”
Panglima Kim Bayan cepat memberi hormat kepada gurunya dengan
membungkuk sampai dalam.
“Maafkan saya, Suhu. Bukan maksud saya mempermainkan Suhu dan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Subo. Siasat ini saya pergunakan untuk memancing mereka yang mencari
harta karun. Yang datang hendak merampas dua peti itu pasti bukan
pencurinya. Dengan jalan ini saya dapat mengetahui siapa yang menjadi
pencurinya, yaitu mereka yang tidak datang mencoba untuk merampas petipeti
ini.”
“Dan engkau melakukan siasat ini tanpa memberi laporan kepadaku?
Apakah engkau bermaksud untuk mendapatkan harta itu bagi dirimu sendiri?
Engkau membikin malu kami berdua”
“Dia pantas dihukum” terdengar Song-bun Moli berseru dengan suaranya
yang serak dan tinggi.
Biarpun dia berhadapan dengan suhu dan subonya, akan tetapi Kim Bayan
teringat bahwa dia adalah seorang panglima kerajaan dan biarpun dua orang
kakek nenek itu pun merupakan orang-orang berjasa dan dianugerahi Kaisar,
namun mereka tidak memiliki kedudukan resmi. Maka, kini dihina di depan
orang banyak, dia menjadi malu dan bangkit melawan.
“Suhu dan Subo, saya adalah panglima kerajaan, tidak akan merampas
harta karun untuk diri sendiri. Akan tetapi Suhu dan Subo bukan utusan
kerajaan, sepatutnya membantu kami mencari harta karun itu untuk
diserahkan kepada Yang Mulia Sribaginda Kaisar”
“Bangsat! Berani engkau menuduh kami? Jangan dikira kami tidak tahu
bahwa usahamu mencari harta karun ini sama sekali bukan atas perintah
Sribaginda Kaisar. Engkau memang tidak pantas lagi menjadi murid kami”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cui-beng Kui-ong menerjang
menyerang Kim Bayan, muridnya sendiri itu dengan tongkatnya. Kim Bayan
terkejut. Tak disangkanya kakek itu berani menyerangnya. Biarpun dia murid
kakek itu, namun dia berkedudukan sebagai seorang panglima kerajaan. Akan
tetapi kakek itu sudah menyerangnya, maka cepat dia menggunakan golok
yang masih dipegangnya untuk menangkis.
“Tranggg...”
Bunga api berpijar, akan tetapi disusul teriakan Panglima Kim Bayan yang
roboh berkelojotan karena sebatang anak panah kecil sudah menancap di
tenggorokannya. Tak lama kemudian panglima itu pun diam dan tewas.
Sebetulnya Kim Bayan tentu saja sudah tahu bahwa di ujung tongkat
gurunya itu tersembunyi anak panak kecil yang beracun. Akan tetapi dia
sama sekali tidak pernah mengira bahwa gurunya tega untuk membunuhnya,
apalagi selain murid kakek itu dia pun seorang panglima kerajaan. Akan
tetapi ternyata Cui-beng Kui-ong yang berwatak aneh itu sama sekali tidak
mempedulikan semua itu dan langsung membunuh muridnya sendiri yang dia
anggap menghina dan mempermalukannya karena dia dan Song-bun Moli
juga tertipu dan ikut menghadang, bahkan tadi hampir saja merampas dua
buah peti yang ternyata isinya hanya batu kerikil.
Melihat Kim Bayan dibunuh kakek itu, para perwira yang membantu Kim
Bayan menjadi terkejut dan marah. Tentu saja mereka mempunyai rasa setia
kawan kepada Kim Bayan, maka mereka memberi isyarat kepada para
perajurit untuk mengepung Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Kong Sek
berdiri di luar kepungan karena tadi dia bertanding melawan Cu Ai Yin dan
kini setelah perkelahian berhenti dia memandang dengan sinar mata penuh
kebencian kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi Ai Yin tetap berhadapan
dengan dia, agaknya siap menentangnya kalau pemuda ini hendak
menyerang Cun Giok. Semua orang kini mengarahkan perhatiannya kepada
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
kakek dan nenek iblis itu yang dikepung para perwira dan perajurit mereka.
Melihat sikap para perwira dan perajurit itu, Cui-beng Kui-ong
mengerutkan alisnya dan membentak marah.
“Heh, kalian mau apa? Apakah kalian buta, tidak mengenal siapa kami
dan berani hendak menentang kami?”
Seorang perwira yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, menjawab
lantang.
“Kami semua mengenal siapa Ji-wi (Kalian Berdua), akan tetapi Ji-wi
telah membunuh panglima kami, berarti Ji-wi memberontak terhadap
kerajaan dan harus kami tangkap”
“He-he-heh… Kui-ong, tikus-tikus ini hendak menangkap kita. Mari kita
kirim mereka ke neraka menyusul Bayan”
Song-bun Moli terkekeh. Kakek dan nenek itu siap untuk membasmi para
perwira dan perajurit itu, sedangkan semua orang yang berada di situ hanya
menonton dengan hati tegang.
“Tahan...”
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua sosok tubuh berkelebat dan
seorang pemuda dan seorang gadis sudah berdiri di depan Cui-beng Kui-ong
dan Song-bun Moli. Mereka adalah Yauw Tek dan Li Hong. Para perwira dan
perajurit yang segera mengenal pemuda itu sebagai Pangeran Youtechin,
segera menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.
Kakek dan nenek itu tidak banyak mengenal para pangeran, akan tetapi
mereka mengenal Pangeran Youtechin karena pangeran muda ini dikenal
sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi tentu saja
mereka berdua tidak merasa lebih rendah derajatnya dan tidak menyambut
pangeran itu dengan penghormatan yang berlebihan. Mereka berdua hanya
menghormati Kaisar, apalagi Cui-beng Kui-ong yang menganggap dirinya
sebagai penasihat Kaisar dan sudah memiliki jasa besar. Maka kini
menghadapi Yauw Tek atau Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong berkata
dengan sikap angkuh.
“Pangeran, mengapa Pangeran menahan kami berdua yang hendak
memberi hajaran kepada tikus-tikus ini?”
“Cui-beng Kui-ong. Lihat, dengan siapa engkau berhadapan?”
Yauw Tek membentak dan dia mengeluarkan sebuah kim-pai (lencana
emas) dan memperlihatkannya kepada Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli.
Cui-beng Kui-ong terkejut sekali melihat lencana emas yang ada cap dari
kaisar itu karena lencana itu menandakan bahwa dia berhadapan dengan
orang yang telah diberi kekuasaan oleh Kaisar dan dapat bertindak atas nama
Kaisar Maka, dia seolah kini berhadapan dengan Kaisar sendiri. Cepat Cuibeng
Kui-ong memberi hormat dan Song-bun Moli mengikutinya.
“Maaf, kami tidak tahu bahwa Paduka adalah utusan Sribaginda Kaisar
yang diberi Kim-pai, Pangeran Youtechin. Kami siap mentaati perintah
Paduka”
Semua orang juga terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah
seorang Pangeran Mongol yang memiliki kekuasaan besar. Terutama sekali
Ceng Ceng. Ia terkejut dan heran, sama sekali tidak pernah mengira bahwa
Yauw Tek adalah seorang pangeran yang menyamar. Pada saat itu, Li Hong
menghampiri Ceng Ceng dan keduanya saling rangkul.
“Hong-moi... dia... dia itu... pangeran?” Ceng Ceng berbisik.
Li Hong mengangguk dan tersenyum.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan, Enci Ceng.”
Dalam suara gadis ini terdapat kebanggaan dan diam-diam Ceng Ceng
ikut merasa senang melihat adik angkatnya berbahagia. Karena perhatian
mereka ditujukan kepada Yauw Tek dan kakek nenek iblis itu, maka Ceng
Ceng belum sempat mempertemukan Li Hong dengan Cun Giok, kakak misan
gadis dari Pulau Ular itu.
Kini Yauw Tek atau Pangeran Youtechin berkata kepada Cui-beng Kuiong.
“Cui-beng Kui-ong, engkau bersalah membunuh seorang panglima
kerajaan. Sepatutnya engkau ditangkap dan diadili, akan tetapi mengingat
bahwa Kim Bayan adalah muridmu, biarlah kami menganggap bahwa
pembunuhan itu dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya, tidak ada
sangkut pautnya dengan pemerintah. Akan tetapi kalian berdua harus
memperlihatkan bukti bahwa kalian tidak bermaksud memberontak terhadap
kerajaan dengan membantu kami mencari harta karun”
“Baik, kami siap membantu Paduka dan terima kasih atas kebijaksanaan
Paduka, Pangeran” kata Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang kini
tampaknya “mati kutu” menghadap seorang pangeran yang memegang
sebuah Kim-pai tanda kekuasaan dari Kaisar.
Kini Yauw Tek memutar tubuhnya menghadapi mereka yang telah
berkumpul di situ. Mereka semua kini memandang pemuda yang ternyata
seorang pangeran yang besar kekuasaannya sehingga sepasang kakek nenek
iblis seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli juga gentar dan tunduk
kepadanya. Mereka itu adalah Huo Lo-sian dan Bu-tek Sin-liong dan anak
buah Bukit Merah, Ketua Thai-san-pai dan para muridnya, para utusan Go-bipai,
juga utusan Kun-lun-pai, Ketua Ang-tung Kai-pang dan para
anggautanya, Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka, Liong Kun dan Thio Kui
dua orang murid dan utusan Bu-tong-pai dan dua orang gadis kembar Kui Lan
dan Kui Lin, Ceng Ceng dan Cun Giok yang kini ditemani Li Hong, dan
beberapa tokoh lain yang tertarik datang ke Thai-san-pai untuk melihat
keadaan dan juga ingin sekali ikut mencari harta karun. Dengan suara lantang
Pangeran Youtechin lalu berkata kepada mereka.
“Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Kita semua tahu untuk apa kita
berbondong-bondong datang ke Thai-san ini. Jelas bahwa kita semua datang
dengan satu tujuan, yaitu mencari dan mendapatkan harta karun yang kita
kira berada di sini karena setelah tempat penyimpanan harta itu didapatkan
di Bukit Sorga, yang ditemukan hanya peti kosong yang ada tulisan THAI SAN
di dalamnya. Tentu Cuwi mengetahui bahwa harta karun itu sebetulnya
menjadi hak milik Pemerintah Kerajaan...”
“Harta karun itu adalah harta karun Kerajaan Sung”
Tiba-tiba ada suara wanita berseru lantang memotong ucapan pangeran
itu. Ketika semua mata memandang, ternyata yang berseru itu adalah seorang
gadis muda cantik jelita yang gagah perkasa, di rambutnya terdapat
setangkai bunga putih. Bu-tek Sin-liong Cu Liong memandang puterinya, Pekhwa
(Dewi Berbunga Putih) Cu Ai Yin dengan bangga atas keberanian
puterinya itu walaupun sebetulnya dia tidak setuju puterinya membela
Kerajaan Sung yang sudah jatuh. Dia adalah seorang tokoh yang tidak mau
melibatkan diri dengan urusan kerajaan.
Yauw Tek atau Pangeran Youtechin menoleh dan memandang kepada Ai
Yin, matanya mencorong dan dia tersenyum.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Kerajaan Sung telah dikalahkan Kerajaan Goan yang kini berkuasa, dan
menurut peraturan perang, semua milik yang kalah menjadi barang rampasan
dan menjadi hak milik yang menang. Apalagi tadinya harta itu merupakan
harta curian seorang Thai-kam korup dari Kerajaan Sung, dan disembunyikan
di Bukit Surga dekat kota raja. Maka, pemerintah yang berhak memiliki harta
karun itu.”
“Harta dari kerajaan mana pun berasal dari milik rakyat, maka rakyat pun
berhak atas harta karun itu”
Tiba-tiba ada yang berseru dan sekali ini yang berseru dengan suara amat
nyaring karena mengandung tenaga sakti, adalah Pouw Cun Giok. Yauw Tek
menengok dan dia melihat betapa pemuda tampan dan gagah yang bicara
lantang itu berdiri dekat Ceng Ceng dan Li Hong, maka dia dapat menduga
bahwa tentu pemuda itu yang bernama Pouw Cun Giok dan berjuluk Bu-engcu
(Pendekar Tanpa Bayangan). Dia tersenyum dan memandang kagum
karena sudah banyak dia mendengar pujian Li Hong yang bercerita tentang
Pouw Cun Giok. Dia mengangguk dan berkata, suaranya juga nyaring seperti
suara Cun Giok tadi karena sekali ini, Pangeran Mongol itu mengerahkan sinkang
sehingga suaranya lantang sekali.
“Tepat sekali ucapan... Bu-eng-cu tadi. Saudara tentu Bu-eng-cu Pouw
Cun Giok yang terkenal itu, bukan? Memang tepat, harta milik pemerintah itu
berasal dari rakyat, maka sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk
kepentingan rakyat pula. Dan penggunaan untuk rakyat itu harus diatur oleh
pemerintah, kalau tidak akan terjadi perebutan dan kekacauan. Pemerintah
Kerajaan Goan juga bermaksud menggunakan harta itu untuk kesejahteraan
rakyat jelata. Akan tetapi kami sangsi apakah kalau harta karun itu terjatuh ke
tangan Cu-wi, juga akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat? Ataukah
hanya untuk kepentingan golongan sendiri dan pribadi, atau juga untuk
menimbulkan kekacauan sehingga akibatnya bahkan merugikan rakyat?”
Hening sejenak setelah Pangeran Youtechin berhenti bicara. Dia lalu
melanjutkan.
“Akan tetapi karena harta karun itu sampai sekarang belum ditemukan,
dan kita bersama tidak tahu apakah harta itu benar-benar ada, maka biarlah
kita berlumba untuk menemukannya. Setelah ditemukan, baru kita bicarakan
siapa yang berhak atas harta itu”
Bagaimanapun juga, mereka yang berada situ merasa segan untuk
berterang menentang pangeran yang menjadi wakil Kerajaan, karena
menentang seorang wakil Kaisar dapat berarti pemberontakan. Maka, satu
demi satu rombongan itu pergi.
Li Hong kini saling pandang dengan Cun Giok. Mereka berdiri berhadapan
dan hati keduanya diliputi perasaan terharu.
“Li Hong, benarkah keterangan Ceng-moi bahwa engkau adalah adik
misanku...?”
Akhirnya Cun Giok bertanya. Li Hong yang cepat dapat menguasai
keharuan hatinya, tersenyum, mengangguk dan berkata.
“Tentu saja benar, Piauw-ko (Kakak Misan). Mendiang ibumu yang
bernama Tan Bi Lian adalah adik kandung Ayahku yang bernama Tan Kun
Tek dan yang dulu tinggal di Seng-hai-lian.”
“Ah, senang sekali aku mempunyai seorang adik sepertimu, Hong-moi”
kata Cun Giok sambil tersenyum.
“Aku juga bangga mempunyai seorang kakak sepertimu, Giok-ko” kata Li
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Hong.
Kedua orang muda itu saling menghampiri dan mereka berangkulan
seperti kakak dan adik. Tiba-tiba terdengar suara lembut.
“Li Hong, aku hendak melanjutkan perjalanan. Engkau mau ikut denganku
ataukah dengan mereka?”
Li Hong melepaskan rangkulannya dan memutar tubuhnya. Tentu saja ia
mengenal suara Yauw Tek, kekasihnya.
“Tentu saja aku ikut denganmu, ko-ko” katanya, lalu ia berpaling kepada
Cun Giok dan Ceng Ceng.
“Giok-ko, Enci Ceng, aku harus ikut dengan dia, kemana pun dia pergi.
Aku... tak dapat hidup tanpa dia”
Setelah berkata demikian, gadis itu melompat dan bersama Pangeran
Youtechin ia lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Cui-beng Kui-ong,
Song-bun Moli, dan Kong Sek. Cun Giok dan Ceng Ceng memandang sampai
bayangah Li Hong menghilang di antara pohon-pohon, lalu mereka saling
pandang.
Tanpa bicara pun mereka berdua dapat merasakan dan tahu bahwa adik
mereka yang tabah, liar dan galak itu agaknya telah jinak terhadap Yauw Tek
atau Pangeran Mongol itu. Jelas bahwa keduanya saling mencinta. Mereka
berdua merasa khawatir dan diam-diam mendoakan semoga Li Hong dapat
hidup berbahagia dengan Pangeran Mongol itu.
Cun Giok dan Ceng Ceng mendengar langkah orang dan ketika mereka
memandang, ternyata yang menghampiri mereka adalah Kui Lan, Kui Lin dan
dua orang pemuda murid Bu-tong-pai, yaitu Liong Kun dan Thio Kui yang
sudah mereka kenal baik ketika mereka semua berada di Thai-san-pai.
“Aih, kita semua dibohongi jahanam Kim Bayan itu” kata Kui Lin.
“Untung engkau muncul dan membuka rahasia itu dengan memukul
hancur peti-peti itu. Kalau tidak, wah, kita semua akan memperebutkan petipeti
yang berisi batu-batu tak berharga”
“Lin-moi, siasat Kim Bayan itu membuat kita merasa ragu apakah harta
karun itu ada ataukah hanya kabar angin saja. Kim Bayan menggunakan
siasat itu agaknya karena sudah putus asa dalam mencari harta itu,” kata
Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar, gagah dan bersuara berat
serius itu.
“Pendapat Thio-twako (Kakak Thio) itu agaknya memang benar sekali
bahwa mendiang Kim Bayan sudah putus asa maka menggunakan siasat itu
untuk memancing keluar semua pencari harta agar diketahui siapa kiranya
yang telah mendapatkan harta itu,” kata Cun Giok.
“Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa harta karun itu memang ada,
hanya dimana disembunyikannya, itulah yang harus kita cari,” kata Ceng
Ceng.
“Kiranya mendiang Ayahku tidak akan mempertahankan harta karun itu
dengan nyawa Ayah dan Ibu kalau harta itu tidak ada, dan tidak akan
meninggalkan peta itu kepadaku. Ayah amat setia kepada Kerajaan Sung dan
amat membenci penjajah, maka dia bercita-cita membantu perjuangan
mengusir penjajah dengan menyerahkan harta karun itu,” kata Ceng Ceng
dengan suara lembut namun yakin.
“Enci Ceng Ceng benar,” kata Kui Lan yang pendiam.
“Harta karun itu pasti ada dan kita harus mencarinya lagi. Sebaiknya kita
berpencar mencarinya.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Baiklah, kita berpencar dan mencari dengan teliti. Sebaiknya setelah ada
yang menemukan, langsung dibawa ke Thai-san-pai, karena semua yang
mendukung niat Ceng-moi pasti akan singgah dulu di sana untuk mencari
keterangan sebelum mereka meninggalkan Thai-san. Di sana kita semua akan
membicarakan bersama kepada siapa harta karun itu harus diserahkan,” kata
Pouw Cun Giok.
Semua orang menyatakan setuju dan mereka pun berpencar
meninggalkan tempat itu. Cun Giok pergi bersama Ceng Ceng, sedangkan
gadis kembar itu pergi bersama dua orang pemuda murid Bu-tong-pai.
--------
Malam itu bulan sedang purnama. Bulatan kuning emas itu merupakan
bola emas yang memancarkan cahayanya yang lembut ke permukaan
pegunungan Thai-san, membentuk bayang-bayang dan perpaduan antara
gelap dan terang, mendatangkan pemandangan yang indah tak terlukiskan.
Hawa sejuk menyusup di antara pohon-pohon di puncak-puncak banyak bukit
yang terdapat di pegunungan Thai-san yang luas.
Suasananya menjadi tenteram, sunyi mencekam, indah romantis, akan
tetapi juga mendatangkan sesuatu yang penuh rahasia, yang membuat orang
merasa kagum, terpesona, hanyut dan terkadang juga seram. Suara gemersik
daun-daun pohon yang ditiup angin semilir, suara gemericik air yang turun
dari sumber air membentuk anak sungai berair jernih dan dingin, suara
binatang dan serangga malam yang menciptakan musik ajaib, semua itu
dapat menyihir manusia yang kebetulan berada di tempat itu.
Cun Giok dan Ceng Ceng duduk di tepi sebuah tebing jurang yang amat
dalam. Mereka nemilih tempat ini untuk mengaso dan melewatkan malam
karena tempat ini amat indah. Dari tepi jurang itu mereka dapat memandang
ke depan bawah tanpa terhalang pohon-pohon besar. Bulan purnama
menciptakan tamasya alam di depan sana, membuat kedua orang muda ini
terpesona dan sejak tadi hanya duduk setengah samadhi karena terpesona
keindahan alam. Mereka seolah kehilangan diri dan bersatu dengan alam.
Mereka merupakan sebagian dari alam di malam yang luar biasa indahnya itu.
Cun Giok termenung ketika merasa dirinya tenggelam ke dalam
keindahan malam syahdu itu. Dia teringat akan apa yang pernah dikatakan
Ceng Ceng tentang kemurahan Tuhan Maha Pencipta bagi manusia. Kalau
kita berada dalam, keadaan seperti itu, seolah diri terlebur menjadi bagian
dari alam semesta, tampaklah jelas betapa segala ciptaan Tuhan itu diberikan
kepada manusia untuk kesejahteraan hidup manusia di atas bumi ini.
Semua isi alam ini diperuntukkan manusia, bahkan membantu kehidupan
manusia sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk memeliharanya, untuk
melestarikannya. Air, hawa udara, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain
merupakan kebutuhan hidup kita, akan tetapi betapa kita, sadar mau pun
tidak, mengotori dan merusaknya. Bahkan semua keindahan itu tidak terasa
lagi karena hati akal pikiran kita dipenuhi harta benda yang kita puja sebagai
sumber kesenangan.
Pengejaran harta benda yang kita puja-puja itu menimbulkan permusuhan
dan segala bentuk kejahatan, membuat dunia menjadi panas dan manusia
menjadi tipis prikemanusiaannya. Manusia hanya mementingkan apa yang
menempel pada dirinya. Padahal, segala bagian alam yang berada di luar kita
itu seharusnya kita pelihara seperti kita memelihara anggauta badan kita,
karena semua yang di luar kita itu juga merupakan penunjang dan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
penyambung hidup kita.
“Giok-ko, lihat...”
Tiba-tiba suara Ceng Ceng membuyarkan renungannya. Cun Giok
memandang gadis yang duduk di sebelah kirinya itu dan melihat Ceng Ceng
memandang dengan penuh gairah ke depan sana. Cun Giok tersenyum.
“Memang indah sekali, Ceng-moi. Aku juga sudah mengaguminya sejak
tadi.”
“Bukan itu maksudku, Giok-ko. Lihat puncak bukit di sana, yang sebelah
kiri itu”
Ceng Ceng menudingkan telunjuknya. Cun Giok mengikuti arah itu
dengan pandang matanya. Di sana terdapat sebuah puncak bukit yang
tampak hitam bermandikan cahaya keemasan. Indah sekali.
“Bukit itu juga indah, merupakan bagian dari semua keindahan ini, Cengmoi.”
“Sadarlah sejenak, Giok-ko. Keluarlah dari pesona keindahan itu dan
pandang dengan akal pikiranmu. Seperti apakah bentuk puncak yang hitam
itu?”
Cun Giok memandang dengan penuh perhatian ke arah puncak bukit yang
ditunjuk, memperhatikan bentuk lekuk-lengkung garis puncak bukit yang
hitam itu. Dan dia pun berseru.
“Ah, bukankah bentuknya seperti seekor naga? Memanjang dan berlekuklekuk,
itu yang di kiri seperti ekornya dan kepalanya di sebelah kanan...”
“Benar, Giok-ko... dan sekarang lihat bukit di kanan itu, lihat puncaknya
seperti tadi...”
Suara gadis itu agak gemetar sehingga Cun Giok menjadi tertarik sekali,
juga merasa heran. Dia cepat memandang bukit yang di kanan, bukit yang
sejajar dengan bukit pertama dan mencurahkan perhatiannya memandang ke
puncak bukit kedua itu. Mula-mula memang hanya tampak puncak yang
hitam dengan garis-garis lengkung yang berbeda dengan yang pertama.
Kalau yang pertama memanjang seperti naga, yang kedua ini hanya
bergerombol di tengah, mencuat di sana-sini. Khayalnya berkembang dan dia
lalu berkata.
“Ceng-moi, yang kedua itu merupakan bentuk seekor ayam, ayam jantan
karena ekornya menjulang ke atas dan memanjang...”
“Bukan ayam, Giok-ko, melainkan Burung Hong...”
Suara gadis itu kini semakin gemetar seolah dalam keadaan tegang dan
terharu. Mendengar suara itu, Cun Giok mengalihkan perhatiannya kepada
wajah gadis itu yang tampak terlongong memandang puncak kedua bukit itu
berganti-ganti. Mulutnya agak terbuka dan wajahnya tampak tegang.
“Burung Hong? Ceng-moi, mengapa engkau tampak begini tegang? Apa
yang terjadi?”
Karena khawatir, Cun Giok menjulurkan tangannya memegang lengan
Ceng Ceng. Seperti tanpa disadari, Ceng Ceng membalas, memegang tangan
pemuda itu dan meremasnya dengan kuat sehingga Cun Giok terpaksa
mengerahkan tenaga agar tangannya tidak cidera.
“Giok-ko... apakah engkau tidak ingat...? Peta itu... ada gambar naga dan
burung Hong... bukankah ini cocok sekali dengan keadaan dua buah bukit di
sana itu...?”
Cun Giok berdebar. Baru dia teringat dan kembali dia mengamati dua
buah bukit itu. Memang tepat seperti yang tertera di peta. Kedua puncak itu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
merupakan gambar naga dan burung Hong dan... tempat penyimpanan harta
karun itu tentu berada di sebelah selatan kedua bukit itu, di antara bukit-bukit
lain.
“Aih, engkau benar, Ceng-moi Kalau begitu, mungkin sekali harta karun
itu memang disimpan di sini. Peti kosong yang berada di Bukit Sorga itu
memang sengaja ditanam oleh Thaikam Bong untuk mengelabuhi para
pencari harta dan tulisan THAI SAN itu merupakan petunjuk bahwa hartanya
berada di sini. Bukan dicuri orang Thai-san seperti yang kita semua mengira.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk.
“Ahh, mudah-mudahan saja benar demikian, Giok-ko. Menemukan harta
karun itu amat penting artinya bagiku, karena hal itu berarti aku telah
menaati dan melaksanakan pesan Ayah.”
Mereka berdua tidak bicara lagi, akan tetapi sampai jauh lewat tengah
malam mereka masih duduk dan memandang ke arah dua buah bukit itu. Di
dalam hati, mereka kini merasa gembira dan timbul harapan baru. Kemudian
mereka tidur bergilir. Seorang tidur dan yang lain berjaga sambil duduk di
dekat api unggun.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah bangun dan ketika sinar
matahari mulai mengirim sinarnya menerangi bumi, dan mereka memandang
ke arah dua bukit itu, Ceng Ceng berseru kaget.
“Giok-ko, lihat...”
Cun Giok memandang ke arah dua bukit yang ditunjuk Ceng Ceng, dan
dia terkejut karena puncak dua buah bukit yang semalam di bawah sinar
bulan purnama tampak jelas membentuk naga dan burung Hong, kini
gambaran itu hilang sama sekali. Di kedua puncak itu kini hanya tampak
gerombolan pohon yang mencuat ke sana-sini, sama sekali tidak tampak
sebagai naga dan burung Hong.
“Eh, mana naga dan burung Hong itu, Ceng-moi?”
Ceng Ceng menghela napas panjang.
“Aku tidak tahu, Giok-ko. Mungkin di bawah sinar bulan, gerombolan
pohon itu tampak seperti bentuk naga dan burung Hong,” kata Ceng Ceng
kecewa.
“Ataukah kita terlalu terpengaruh gambar di peta sehingga
membayangkan dua gambar itu?”
Mendengar suara gadis itu seperti orang kecewa dan menyesal, juga ada
nada sedih, Cun Giok merasa iba dan tiba-tiba dia teringat akan gambar pada
peta itu.
“Ah, Ceng-moi, coba ingat baik-baik isi peta yang telah dirampas Kim
Bayan itu. Bukankah di bawah gambar naga dan burung Hong itu ada bulatan
besar? Nah, bukankah bulatan itu dimaksudkan bulan purnama? Jadi, puncak
dua buah bukit itu hanya berbentuk naga dan burung Hong kalau ada bulan
purnama”
Wajah gadis itu berseri dan seolah baru melihat wajah itu untuk pertama
kalinya, Cun Giok terpesona. Wajah yang baru bangun tidur itu, dengan
rambut agak awut-awutan dan pakaian kusut, tanpa bedak gincu, tampak
aseli dan kecantikannya bagaikan setangkai bunga mawar di waktu pagi
masih segar oleh embun. Melihat pemuda itu memandangnya seperti orang
terkesima atau hilang ingatan, kulit muka Ceng Ceng berubah kemerahan dan
tersipu karena ia baru ingat bahwa ia belum mencuci muka. Tentu ia tampak
kusut dan buruk sekali.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Aih, aku mau cuci muka... eh, mandi dulu, Giok-ko” katanya sambil
bangkit dan memutar tubuhnya.
“Di sebelah sana ada sumber air, di balik batu besar itu, Ceng-moi.”
“Aku tahu, kemarin aku sudah melihatnya,” kata Ceng Ceng yang segera
menuju ke batu besar sambil membawa buntalan pakaiannya.
Mereka bergantian mandi dan bertukar pakaian sambil mencuci pakaian
kotor. Setelah itu mereka kembali duduk di tepi jurang.
“Hi-hi-hik...”
Ceng Ceng menahan tawanya dan menutupi mulutnya, namun suara
tawanya masih terdengar oleh Cun Giok.
“Ceng-moi, mengapa engkau tertawa?”
“Aku mendengar suara ayam jantan berkeruyuk,” kata gadis itu sambil
tersenyum.
Cun Giok memusatkan pendengarannya sejenak.
“Aku tidak mendengar ayam jantan berkeruyuk,” katanya heran.
“Dimana kau mendengarnya?”
“Di sini, dekat saja,” kata Ceng Ceng sambil menahan tawa dan menunjuk
ke arah perut Cun Giok.
Cun Giok terbelalak, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.
“Ha-ha-ha, wah, memalukan, buka rahasia saja” Dia menepuk perutnya.
“Memang sejak malam tadi aku merasa lapar, Ceng-moi.”
“Hemm, perut lapar tidak perlu malu, Giok-ko. Aku sendiri pun merasa
lapar. Akan tetapi di tempat seperti ini, dimana kita bisa mendapatkan
makanan?”
“Ceng-moi, lihat di lereng bawah itu. Ada kepulan asap, agaknya di sana
ada sebuah desa atau setidaknya ada orang tinggal di sana. Mari kita ke sana,
mencari makanan dulu baru melanjutkan penyelidikan.”
Mereka lalu menuruni puncak bukit itu dan tepat dugaan Cun Giok, di
lereng bukit itu terdapat sebuah dusun kecil yang tertutup pohon-pohonan,
hanya terdiri dari belasan rumah. Mereka adalah petani-petani sederhana
yang menggantungkan nafkahnya dari menggarap tanah di lereng itu yang
cukup subur.
Seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang menjadi tua-tua di
dusun itu, menyambut Cun Giok dan Ceng Ceng dengan ramah penuh
kekeluargaan yang akrab. Sudah menjadi watak orang-orang dusun yang
lugu, sederhana dan jujur, yang hidup tenteram dan bahagia karena tidak
banyak keinginan, selalu menyambut tamu, apalagi yang asing, dengan
ramah tamah. Mereka merasa terhormat kalau ada ‘orang kota’ mengunjungi
mereka, dan tanpa ragu-ragu mereka akan menghidangkan apa saja yang
mereka miliki untuk tamu mereka.
Demikian pula laki-laki itu, setelah Cun Giok dan Ceng Ceng
memperkenalkan diri sebagai pelancong yang kehabisan makanan dan
hendak membeli makanan, tua-tua dusun itu serta-merta menghidangkan
makanan sederhana yang dimilikinya dan mengajak dua orang tamu itu
makan bersama. Ketika Ceng Ceng hendak membayar harga makanan dan
minuman yang dihidangkan, laki-laki itu mengerutkan alis dan menolak keras,
bahkan tampak tersinggung dan segera Ceng Ceng minta maaf.
Ketika mereka mengobrol setelah makan, iseng-iseng Ceng Ceng bertanya
kepada tuan rumah.
“Paman, apakah nama dua buah bukit yang berjajar di sana itu?” Ia
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
menunjuk ke arah dua buah bukit yang semalam ia tonton bersama Cun Giok.
Petani itu memandang keluar melalui jendela dan melihat dua buah bukit itu.
“Ah, dua bukit itukah, Nona? Orang-orang menyebutnya Bukit Kembar
karena mereka berdiri berdampingan dan besarnya sama. Akan tetapi dua
buah bukit itu mempunyai nama, yang satu adalah Liong-san (Bukit Naga)
dan yang lain Hong-san (Bukit Burung Hong).”
Mendengar ini, berdebar jantung dua orang muda itu. Tadi setelah pagi
tiba dan mereka memandang ke puncak dua buah bukit itu, bentuk naga dan
burung Hong lenyap sehingga mereka hampir putus asa dan menganggap
penglihatan mereka semalam dipengaruhi harapan mereka setelah melihat
gambar peta. Akan tetapi kini ternyata bahwa dua buah bukit itu benar-benar
bernama Bukit Naga dan Bukit Burung Hong. Mereka berdua saling pandang
penuh arti, lalu Cun Giok bertanya kepada petani itu.
“Paman, mengapa kedua bukit itu disebut Bukit Naga dan Bukit Burung
Hong?”
Petani itu tersenyum lebar sehingga tampak giginya yang sudah banyak
yang ompong.
“Dua buah bukit itu memang aneh, Kongcu. Kalau malam bulan purnama,
gerombolan di puncaknya berbentuk naga dan burung Hong. Menurut
dongeng, jaman dahulu dua bukit itu katanya menjadi tempat tinggal kedua
binatang suci itu.”
Wajah Ceng Ceng dan Cun Giok berseri. Bukan main girang rasa hati
mereka. Kini mereka yakin bahwa dua bukit itulah yang dimaksudkan dalam
gambar peta.
Mereka segera pamit dari tua-tua dusun itu, dan setelah mereka berdua
pergi, baru petani itu menemukan uang emas tiga keping di atas meja. Dia
terkejut karena tiga keping uang emas itu merupakan harta yang besar
baginya. Dia mengejar keluar untuk mengembalikannya kepada dua orang
tamunya, akan tetapi dua orang itu sudah tidak tampak lagi bayangan
mereka. Hal ini sungguh terlalu aneh bagi petani itu. Bagaimana mungkin dua
orang muda itu dapat menghilang begitu saja?
Ketika dia menceritakan kepada para penghuni dusun, orang-orang
sederhana yang masih tebal kepercayaan mereka akan adanya dewa dewi
yang suka menolong manusia, merasa yakin bahwa pemuda dan pemudi yang
ikut makan di rumah kepala atau tua-tua dusun itu, pasti seorang dewa dan
seorang dewi. Buktinya, mereka meninggalkan emas dan pandai menghilang.
“Tidak salah lagi” seru tua-tua itu.
“Mereka pasti dewa dan dewi penunggu Liong-san dan Hong-san. Baru
melihat pemuda yang begitu tampan dan gagah, juga gadis yang demikian
cantik jelita dan lembut, aku sudah curiga bahwa mereka berdua itu bukan
manusia biasa”
Seluruh penduduk dusun kecil itu lalu melakukan sembahyang untuk
menghormati dan berterima kasih kepada Dewa dan Dewi penunggu Bukit
Naga dan Bukit Burung Hong.
Sampai belasan hari Cun Giok dan Ceng Ceng mencari harta karun setelah
merasa yakin bahwa harta itu pasti berada di daerah itu karena mereka telah
menemukan Bukit Naga dan Bukit Burung Hong. Ada tiga bukit kecil di
sebelah selatan kedua bukit itu, dan agaknya tiga bukit ini yang digambar
dalam peta. Mereka berdua menjelajahi tiga bukit itu dan sekitar tiga minggu
kemudian, pada suatu pagi mereka tiba di bukit tengah dari ketiga bukit itu.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Sudah dua kali mereka mencari di bukit ini dan pagi hari itu, dari kaki bukit
mereka melihat betapa puncak bukit itu dikepung hutan lebar yang tumbuh di
sekeliling bukit. Mereka menembus hutan dan tiba di puncak bukit yang
landai dan penuh lapangan rumput yang luas.
Mereka melihat bahwa di ujung lapangan rumput terdapat tebing puncak
dan di tebing itu terdapat tiga buah guha. Guha-guha di pinggir kanan kiri
tampak jelas, merupakan guha besar yang mulut guhanya terbuka seperti
mulut raksasa ternganga. Akan tetapi guha di tengah tertutup semak belukar
dan berduri. Kini mereka berdiri di depan guha yang tertutup semak belukar
itu dan mengamati penuh perhatian.
“Rasanya tidak mungkin menyimpan harta karun di tempat seperti ini,”
kata Cun Giok.
Ceng Ceng diam saja tidak menjawab, hanya berdiri memandang ke arah
guha itu dengan alis berkerut dan penuh perhatian. Karena gadis itu tidak
menjawab, Cun Giok menoleh dan memandang kepadanya. Dia melihat
betapa gadis itu kini tampak kurus. Wajahnya sama sekali tidak
memancarkan kegembiraan. Kini dia teringat betapa selama mereka berdua
melakukan perjalanan, jarang sekali Ceng Ceng tersenyum atau tertawa, pada
hal biasanya gadis ini dahulu selalu berwajah ceria.
Baru sekarang Cun Giok menyadari betapa gadis itu telah mengalami
berbagai rintangan, halangan dan jerih payah yang sia-sia selama melakukan
pencarian harta karun itu. Bahkan beberapa kali terancam bahaya maut.
Semua usaha mati-matian itu tidak juga menemukan hasil. Dia sendiri sudah
tiada nafsu lagi untuk mencari harta karun yang belum dapat dipastikan ada
itu. Akan tetapi agaknya Ceng Ceng tak pernah putus asa sehingga tubuhnya
tampak kurus dan wajahnya kehilangan cahayanya, bahkan agak pucat
karena lelah dan juga karena tidak tentu makannya.
Tiba-tiba saja hati Cun Giok merasa pedih penuh keharuan dan iba
terhadap gadis itu yang dicintainya semenjak pertemuan pertama itu.
Memandang wajah yang amat disayangnya itu, wajah yang tampak demikian
menyedihkan, tak terasa lagi Cun Giok menghela napas panjang dan berat.
Dia merasa sangat iba hepada Ceng Ceng, dan harus diakuinya bahwa cinta
kasihnya semakin mendalam. Dia ingin melihat gadis yang mengalami banyak
penderitaan ini berbahagia. Akan tetapi bagaimana mungkin? Ceng Ceng
kehilangan ayah bunda dan gurunya, yang tewas terbunuh. Bahkan
kehilangan harapannya ketika gadis ini saling mencinta dengan dia dan
kemudian ternyata dia telah bertunangan dengan Siok Eng.
Akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah mengeluh bahkan tidak pernah
merasa sakit hati atau dendam. Gurunya, Im Yang Yok-sian, terbunuh oleh Li
Hong tanpa ada kesalahan apapun, akan tetapi Ceng Ceng tidak mendendam,
bahkan sebaliknya ia pernah mengorbankan peta untuk menyelamatkan gadis
pembunuh gurunya itu. Bahkan kemudian ia mengangkat Li Hong sebagai
adiknya. Di dunia ini, mana ada gadis sebijaksana, sebaik hati, dan selembut
Ceng Ceng? Sedangkan dirinya sendiri?
Ah, tampak jelas bahwa dia sama sekali tidak sepadan dengan Ceng
Ceng, sama sekali tidak berharga untuk menjadi pendamping hidup gadis itu.
Dia seorang pemuda gagal, seorang laki-laki yang tidak mampu melindungi
calon istrinya sendiri. Walaupun belum menikah resmi dengan Siok Eng dia
menganggap dirinya telah menjadi duda setelah Siok Eng terbunuh. Dia
seorang pemuda sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa Apa yang dapat
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
diharapkan dari seorang pemuda seperti dia bagi seorang gadis seperti Ceng
Ceng?
“Giok-ko, lihat semak belukar yang menutupi guha ini. Di sekeliling
tempat ini tidak ada semak belukar seperti itu” Suara gadis itu terdengar
sungguh-sungguh.
“Ada apa dengan semak-semak itu, Ceng-moi? Kulihat itu hanya semak
belukar biasa,” kata Cun Giok tidak mengerti sambil memandang semak
belukar itu baik-baik akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang aneh.
“Kalau di suatu tempat tumbuh semak seperti itu, tentu di sekeliling sini
terdapat pula semak yang sama. Akan tetapi lihat sekeliling sini, tidak ada
lagi semak seperti itu”
“Hemm, jadi...?” Cun Giok tetap tidak mengerti.
“Berarti, semak belukar yang menutupi guha ini sengaja ditanam orang,
Giok-ko. Bukan tumbuh alami, melainkan sengaja ada orang mencari semak
belukar dan berduri untuk ditanam dengan sengaja di sini agar menutupi
guha ini”
“Ah, jadi maksudmu, orang sengaja menutupi guha ini dengan semak
belukar yang ditanam agar jangan ada orang memasuki guha ini?”
“Tepat. Dan itu berarti bahwa di balik semak belukar, di dalam guha itu,
tentu ada sesuatu yang disembunyikan dan yang menyembunyikan tidak
ingin ada orang dapat memasuki guha”
Cun Giok terbelalak, “Maksudmu... harta karun itu?”
Ceng Ceng mengangguk.
“Mudah-mudahan begitu, Giok-ko. Kemungkinan itu ada, bukan?”
Cun Giok mengamati wajah gadis itu dengan tajam.
“Ah, Ceng-moi, mengapa engkau pantang menyerah? Sudah banyak
penderitaan dan kekecewaan kau alami untuk mencari harta karun itu.
Engkau tampak begini kurus, Ceng-moi. Ah, aku khawatir kalau engkau
sampai jatuh sakit. Mengapa tidak kau sudahi saja pencarian yang tiada
gunanya ini?”
Ceng Ceng memandang Cun Giok dengan alis berkerut dan sepasang
matanya yang biasanya lembut dan bening itu kini memancarkan sinar
penasaran.
“Giok-ko, apakah engkau belum mengerti? Ingat keadaanku sekarang ini.
Aku yatim piatu, tiada sanak keluarga, hidup sebatang kara, seakan
kehilangan pegangan. Satu-satunya yang masih ada dan merupakan
harapanku, tujuan hidupku dan pembangkit semangatku, hanyalah memenuhi
pesan mendiang Ayah. Kalau aku berhasil melaksanakan kehendak dan pesan
Ayahku, menemukan harta karun itu dan menyerahkannya kepada mereka
yang berhak seperti yang ditunjuk Ayahku, yaitu para pejuang membebaskan
bangsa dan tanah air dari penjajah, maka hidupku akan berarti dan aku akan
merasa berbahagia. Kalau tidak berhasil, lalu apa artinya hidupku ini?
Melaksanakan tugas memenuhi pesan terakhir Ayahku merupakan satusatunya
pegangan hidupku”
Cun Giok merasa terharu sekali. Dia dapat membayangkan betapa
menyedihkan keadaan gadis ini. Dia sendiri juga orang yatim piatu, akan
tetapi dia tidak pernah dapat mengingat bagaimana rupa ayah ibunya.
Ayahnya tewas terbunuh sebelum dia lahir, dan ibunya meninggal ketika
melahirkannya. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang ayah Ibunya
sehingga kalau dia mengingat akan ayah ibunya, hatinya tidak demikian sakit
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
rasanya. Akan tetapi gadis ini ditinggal mati ayah ibunya setelah ia dewasa.
“Ceng-moi... aku… aku akan selalu membelamu... kalau engkau tidak
keberatan ditemani seorang... duda... aku berjanji akan selalu menemani dan
mendampingimu, selalu membelamu...”
Ceng Ceng menghela napas panjang, dan ada sedikit cahaya terpancar
pada wajahnya yang agak kurus. Ucapan Cun Giok itu bagaikan obat
penyejuk dalam hatinya karena ucapan itu secara tidak langsung menyatakan
cinta pemuda itu kepadanya. Ia dapat merasakan bahwa pemuda itu merasa
sungkan untuk berterang menyatakan cintanya karena dia merasa bahwa dia
sudah menjadi duda dengan kematian Siok Eng, walaupun dia belum menjadi
suami Siok Eng, hanya tunangan saja.
Diam-diam Ceng Ceng merasa terharu dan nilai pemuda itu semakin
tinggi dalam pandangannya, karena jelas bahwa Cun Giok setia kepada
tunangannya yang telah mati, menganggap tunangannya itu sebagai istrinya
dan menganggap dirinya sebagai seorang duda.
“Terima kasih, Giok-ko. Aku tahu bahwa engkau seorang sahabat yang
baik sekali, yang membantuku sejak dulu. Sekarang marilah kita bongkar
semak belukar ini, aku ingin menyelidiki ke dalam guha.”
“Baik, Ceng-moi”
Tanpa banyak cakap lagi, Cun Giok mencabut Kim-kong-kiam. Tampak
sinar pedang keemasan bergulung-gulung menyambar-nyambar ketika dia
menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat sekali. Batang, ranting, dan
daun-daun semak belukar yang berduri itu terbang berhamburan ketika
disambar sinar pedang dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, seluruh
tumbuh-tumbuhan semak yang menghalangi guha itupun sudah dibabat
bersih. Kini tampaklah mulut guha yang lebarnya sekitar tiga tombak dan
tingginya dua tombak.
Ceng Ceng membantu Cun Giok dengan melempar-lemparkan onggokan
semak yang telah dibabat, menggunakan sebatang kayu sehingga terbuka
jalan menuju ke mulut guha. Mereka lalu maju menghampiri guha dan begitu
tiba di depan guha, keduanya berhenti dan memandang ke dalam guha
dengan mata terbelalak. Di lantai guha itu mereka melihat kerangka manusia
berserakan malang melintang. Ketika dihitung mereka mendapatkan bahwa
semua ada delapan buah kerangka yang masih utuh, ada yang telentang,
telungkup, dan ada pula yang miring. Di dekat kerangka-kerangka ini tampak
pula cangkul dan sekop, alat-alat untuk menggali tanah
“Ceng-moi, agaknya mereka ini pernah mencari harta karun dan mencoba
untuk menggali di sini. Akan tetapi mengapa mereka semua tewas di sini?”
Cun Giok memandang ke sebelah dalam guha yang agak gelap karena
tidak mendapatkan sinar matahari itu.
“Awas, Ceng-moi...”
Cun Giok berseru. Dia melihat sepasang benda kecil mencorong kehijauan
di sebelah dalam guha dan benda itu bergerak ke arah mereka dengan
mengeluarkan suara mendesis-desis.
“Ular, Giok-ko...” Ceng Ceng juga berseru kaget.
Pada saat itu, seekor ular yang besarnya tidak kurang dari paha seorang
dewasa, dengan kepala besar yang mengeluarkan sinar hijau, sepasang
matanya mencorong kehijauan, dan moncongnya mengeluarkan bunyi
mendesis-desis, bergerak cepat menghampiri mereka.
“Mundur, Ceng-moi”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Cun Giok berseru dan dia bergerak ke depan Ceng Ceng untuk melindungi
gadis itu. Setelah dekat, tiba-tiba ular itu berhenti, lalu kepalanya meluncur ke
depan, menyerang Cun Giok. Moncongnya terbuka lebar memperlihatkan
gigi-gigi yang runcing melengkung ke dalam. Dengan tenang namun cepat
dan kuat, Cun Giok menebaskan pedangnya ke arah kepala ular itu.
“Singgg... takk”
Cun Giok terkejut bukan main ketika pedangnya mental seperti tertangkis
benda yang amat kuat. Pedang pusakanya, Kim-kong-kiam, yang dapat
membabat putus senjata-senjata lawan yang terbuat dari besi atau baja, kini
tidak mampu memecahkan kepala ular yang memilikl kekebalan itu. Ini aneh,
luar biasa sekali. Hampir Cun Giok tidak percaya sehingga sejenak dia
mengamati pedangnya dan menjadi lengah.
“Awas, Giok-ko” Ceng Ceng berseru namun terlambat.
Ekor ular yang panjang itu telah membelit-belit tubuh Cun Giok. Pemuda
ini terkejut namun sebelum dia sempat menggerakkan kedua tangannya,
tubuh ular yang besar dan panjang itu telah membelit kedua lengannya
sehingga menempel pada tubuhnya dan tidak dapat digerakkan lagi. Cun
Giok berusaha membebaskan diri, namun sia-sia. Dia mengerahkan sin-kang,
namun tubuh ular itu ulet dan dapat melar sehingga tenaga dalamnya juga
tidak mampu membuat ular itu mengendurkan libatan tubuhnya. Padahal,
ular itu kini sudah mendekatkan moncongnya pada kepala Cun Giok, siap
untuk mencaplok kepala itu
Sejak tadi Ceng Ceng yang merasa jijik dan geli melihat ular besar itu,
hanya berdiri menjauh. Akan tetapi kini melihat Cun Giok terancam bahaya, ia
cepat melompat ke depan dan dua kali tangan kanannya menggerakkan
tongkat menusuk ke arah mata ular yang hendak mencaplok kepala Cun Giok
itu.
“Cres Cres”
Darah mengucur dari sepasang mata ular yang agaknya kesakitan sekali
sehingga libatan tubuhnya pada Cun Giok mengendur. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Cun Giok untuk meronta lepas dan dia cepat
menggerakkan pedangnya, sekali ini yang dijadikan sasaran adalah leher ular
itu.
“Crakk”
Sekali sabet saja, leher ular itu putus. Tubuh yang panjang menggeliat
dan melingkar-lingkar. Cun Giok menggunakan kakinya untuk menendang
tubuh ular itu keluar guha. Dengan menahan kejijikannya, Ceng Ceng
menggunakan tongkatnya untuk mencokel dan melempar keluar kepala ular
itu.
“Tahan Ceng-moi...” seru Cun Giok menahan.
Ceng Ceng mengurungkan niatnya dan memandang Cun Giok dengan
heran. Cun Giok memperhatikan kepala ular itu lalu berkata kepada Ceng
Ceng.
“Lihat, Ceng-moi. Ular itu sudah mati akan tetapi kepalanya masih
mengeluarkan cahaya kehijauan. Yang lebih hebat, pedangku tadi tidak dapat
melukai kepala ular itu. Kukira tentu ada sesuatu di dalam kepala ular itu”
Ceng Ceng terbelalak.
“Aih, aku teringat, Giok-ko. Dulu pernah Suhu Im-yang Yok-sian bercerita
bahwa ada sebuah benda yang disebut Liong-cu-giok (Batu Kemala Mestika
Naga), semacam batu giok langka yang bisa terdapat dalam kepala ular yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
sudah ratusan tahun umurnya”
“Wah, kalau benar ada kemala mustika seperti itu, alangkah
beruntungnya kita.”
Cun Giok lalu berjongkok memeriksa kepala ular. Dilihatnya sepasang
mata yang sudah terluka oleh tusukan tongkat Ceng Ceng itu pun sudah
kehilangan sinar hijaunya yang tadi mencorong ketika ular itu masih hidup.
Akan tetapi kepalanya masih mengeluarkan cahaya seperti tadi. Dengan hatihati,
menggunakan pedangnya, dia menoreh kulit kepala ular. Ternyata kulit
itu dapat terkelupas, menandakan bahwa setelah ular itu mati, kepalanya
kehilangan kekebalannya. Dengan hati-hati dia membelah kepala ular itu dan
tampaklah sebuah benda sebesar telur ayam, mengkilap dan mencorong
mengeluarkan cahaya kehijauan. Ceng Ceng memungut benda itu dan
memeriksanya.
“Aih, Giok-ko, kurasa tidak salah lagi. Inilah yang disebut Liong-cu-giok
seperti yang diceritakan mendiang Suhu Im-yang Yok-sian. Menurut cerita
Suhu, benda ini selain amat kuat dan tidak dapat tergores senjata tajam mana
pun, juga dapat mengisap segala macam racun, merupakan obat yang
mujarab sekali terhadap orang yang keracunan. Kiong-hi (selamat), Giok-ko.
Engkau beruntung sekali menemukan mustika ini”
Ceng Ceng menyerahkan batu kemala itu kepada Cun Giok, akan tetapi
Cun Giok tidak mau menerimanya.
“Ambillah, Ceng-moi. Liong-cu-giok itu lebih pantas menjadi milikmu
sebagai seorang ahli pengobatan.”
“Tapi, Giok-ko. Engkau yang menemukannya dan engkau yang berhak
memiliki. Benda ini merupakan mustika yang langka sekali dan tidak dapat
dinilai harganya”
Cun Giok tersenyum.
“Menurut pendapatku, tidak ada benda di dunia ini yang cukup berharga
bagimu, Ceng-moi. Ambillah, aku rela memberikannya kepadamu. Pula, kukira
engkau memang berhak memilikinya karena kalau tidak ada engkau yang tadi
menyerang kedua mata ular itu, mungkin sekali sekarang aku telah ditelan
ular dan berada dalam perutnya”
Ceng Ceng menghela napas panjang.
“Baik, Giok-ko. Terima kaslh. Engkau memang baik sekali.” Ia
memasukkan batu kemala itu ke dalam ikat pinggangnya.
“Nah, sekarang aku tahu, Ceng-moi. Tentu delapan orang ini mencari
harta karun di sini akan tetapi mereka semua tewas oleh ular besar tadi. Mari
kita tinggalkan saja tempat menyeramkan ini.”
Dia memandang ke arah delapan buah kerangka manusia itu.
“Nanti dulu, Giok-ko. Batu kemala ini memang amat berharga, akan tetapi
batu kemala ini hanya untuk kita, untuk aku karena telah kauberikan
kepadaku. Akan tetapi, untuk kepentingan Ayah Ibuku, aku harus
menemukan harta karun itu, agar kematian Ayah Ibu yang mempertahankan
peta dengan nyawa mereka, tidak sia-sia.”
“Akan tetapi, kemana lagi kita akan mencari, Ceng-moi?”
“Giok-ko, kukira pendapatmu tentang delapan orang yang mati di sini
tidak begitu cocok. Lihat, alat-alat menggali itu berada di dekat masingmasing,
berarti mungkin mereka tewas terbunuh ketika masih memegang alat
menggali itu. Dan lihat alat-alat cangkul dan sekop juga linggis itu. Pada mata
alat itu masih terdapat gumpalan tanah. Ini berarti bahwa mereka sedang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
atau habis menggali tanah ketika mereka terbunuh. Juga, kurasa mereka
tidak dibunuh ular tadi. Kalau dibunuh ular, tentu mayat mereka sudah habis
dimakan ular itu dalam waktu sekian lamanya. Pula, delapan orang yang
semua memegang alat seperti cangkul, sekop dan linggis itu, tentu akan
melakukan perlawanan terhadap ular yang menyerang mereka. Sebelum
mereka semua terbunuh, mereka tentu dapat pula melarikan diri keluar guha.
Bagaimana pendapatmu, Giok-ko?”
Cun Giok memandang kagum.
“Engkau hebat, Ceng-moi. Semua perkiraanmu itu tepat sekali dan
sungguh bodoh aku tidak dapat melihat semua tanda itu. Lalu kesimpulannya
bagaimana?”
“Menurut pendapatku, kesimpulannya begini. Mungkin ketika mereka
memasuki guha ini, belum ada ular besar itu dan belum ada pula semak
belukar depan guha. Agaknya mereka menggali di sini dan sebelum kita
menarik kesimpulan lebih lanjut, baiknya kita buktikan dulu apakah
perkiraanku itu benar. Mungkin mereka menggali di lantai guha ini, menggali
bukan untuk mengambil sesuatu, melainkan untuk menyimpan sesuatu
Bagaimana?”
Wajah Cun Giok berseri.
“Ah, kalau begitu, harta karun itu berada di lantai guha ini?” Dia
menunjuk ke bawah.
“Mari kita buktikan, Giok-ko”
Mereka lalu bekerja. Mula-mula mereka memindahkan kerangka delapan
orang itu ke luar guha. Kemudian mereka mempergunakan cangkul dan sekop
untuk menggali lantai guha. Hati mereka gembira dan jantung mereka
berdebar tegang ketika mendapat kenyataan betapa lantai guha itu tidak
keras, berarti lantai itu bukan dari tanah berbatu, melainkan tanah lunak. Hal
ini memperbesar kemungkinan bahwa tempat itu memang pernah digali
orang. Mereka menjadi tambah bersemangat dan menggali dengan cepat.
Akhirnya cangkul mereka bertemu dengan benda keras dan setelah tanah
di atasnya dibersihkan, tampaklah sebuah peti besi. Pemuda dan gadis itu
lalu menarik peti itu dari kanan kiri, mengangkat peti dan menaruhnya di
mulut guha yang lebih terang. Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar,
keduanya lalu membuka peti itu dan... mereka terpesona, mata mereka silau
oleh harta benda yang terdapat di dalam peti. Bahkan perak pun tidak ada,
yang ada hanya emas, semuanya dari emas. Perhiasan-perhiasan beraneka
macam, terbuat dari emas permata yang biasanya hanya dipakai oleh para
permaisuri, selir Kaisar dan para puteri istana. Di bagian bawah terdapat
emas beratus-ratus kati.
“Ayah, akhirnya aku dapat memenuhi pesanmu”
Ceng Ceng berseru dan ia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di
samping peti harta karun itu. Ketika Cun Giok yang merasa terharu
mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan lembut, Ceng Ceng
mengangkat muka dan begitu melihat Cun Giok, ia pun menubruk dan mereka
saling berangkulan. Ceng Ceng menangis di dada pemuda itu.
Sejenak Cun Giok membiarkan gadis itu menangis karena itulah yang
terbaik bagi gadis yang agaknya sudah lama dihimpit berbagai kepahitan
hidup. Biarlah Ceng Ceng melampiaskan semua kepahitan itu melalui air
matanya yang membanjir dan membasahi baju sampai membasahi dadanya.
Air mata itu seolah menembus kulit dadanya dan menyirami perasaan hatinya
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
mendatangkan kesejukan dalam hatinya sendiri yang juga dihimpit banyak
kepahitan hidup.
Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang gadis yang sudah memiliki
kekuatan batin sehingga setelah melalui tangisnya itu ia menumpahkan
semua perasaannya, kini ia sudah tenang kembali. Ia menarik mukanya dari
dada Cun Giok, melepaskan rangkulannya dan sambil mengusap sisa air mata
yang menempel di pelupuk matanya, ia berkata lembut.
“Giok-ko, maafkanlah kelemahanku. Karena merasa girang dan
berbahagia menemukan harta karun ini dan dapat memenuhi pesan Ayahku,
maka aku menjadi lemah dan menangis. Lihat, aku membuat bajumu menjadi
basah. Maafkan aku, Giok-ko.”
“Ah, tidak apa-apa, Ceng-moi. Aku ikut bersyukur bahwa engkau dapat
menemukan harta karun ini.”
“Berkat bantuanmu, Giok-ko.”
“Tidak, Ceng-moi. Tadi pun aku ragu apakah harta karun ini ada dan
apakah berada di sini. Engkau yang tampaknya begitu yakin dan ternyata
engkau benar. Menurut pendapatmu, apa yang terjadi dengan harta karun
dan delapan kerangka manusia itu, Ceng-moi?”
“Melihat tanda-tanda tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya
Thaikam Bong yang mencuri harta ini dari istana Kerajaan Sung, sengaja
menyembunyikan peti harta karun ini di sini. Delapan orang itu tentu orangorangnya
yang mengerjakan penggalian untuk menyimpan harta karun.
Kemudian, karena tidak ingin ada orang mengetahuinya, dan agar jangan ada
yang membocorkan rahasianya itu, dia lalu membunuh delapan orang itu,
setelah harta karun ditanam dengan baik. Dan Thaikam yang korup itu pula
yang sengaja menanam semak belukar di depan guha untuk mencegah orang
memasuki guha. Dan dia membiarkan mayat delapan orang itu di dalam guha
karena kalau ada orang yang nekat membabat semak belukar masuk guha,
tentu akan takut kalau melihat delapan buah kerangka manusia itu.
Kemudian, menurut perkiraanku, agar dia tidak lupa tempat ini, dia sengaja
membuat peta itu.”
“Akan tetapi, mengapa di Bukit Sorga dekat kota raja itu terdapat peti
yang di dalamnya ada tulisan THAI SAN?”
“Agaknya Thaikam Bong memang cerdik dan licik. Dia juga
memperhitungkan bahwa peta yang dibuatnya itu mungkin membawa orang
ke Bukit Sorga yang berada di sebelah selatan kota raja. Dan mungkin karena
dia sudah tua, dia hendak mewariskan peta itu kepada orang lain dan dia
memberi tanda THAI SAN pada peti itu kalau-kalau pewarisnya salah
memperhitungkan dan mendapatkan peti kosong itu. Juga tentu saja dia
hendak mengelabuhi orang-orang lain, kalau-kalau peta itu terjatuh ke tangan
orang lain.”
“Bagus, Ceng-moi. Jasamu sungguh besar sekali terhadap Kerajaan.
Engkau telah membantu Kerajaan dengan menemukan kembali harta karun
yang menjadi hak milik Kerajaan. Aku akan melaporkan kepada Sribaginda
Kaisar akan jasa besarmu ini agar engkau mendapat imbalan yang
sepantasnya”
Yang bicara itu adalah Yauw Tek atau Pangeran Youtechin yang tiba-tiba
muncul dan sudah berdiri di hadapan Ceng Ceng dan Cun Giok. Ceng Ceng
dan Cun Giok memandang kepada Pangeran Mongol itu, lalu kepada Li Hong
yang datang dan berjalan perlahan menghampiri mereka. Li Hong tersenyumTidak
Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
senyum dan tampak canggung dan malu-malu. Akan tetapi melihat betapa
Cun Giok dan Ceng Ceng memandang kepadanya, ia segera berkata kepada
mereka sambil tersenyum, namun ucapannya terdengar tegas.
“Enci Ceng dan Giok-ko, jangan memandang kepadaku seperti itu. Urusan
harta karun adalah urusan yang dapat dibicarakan antara Enci Ceng dan
Pangeran, sama sekali aku tidak ikut campur. Hanya kuminta Pangeran tidak
memusuhi kalian dan kuharap saja agar urusan itu dapat diselesaikan dengan
cara damai. Enci Ceng adalah kakak angkatku dan Giok-ko adalah kakak
misanku, kalian berdua di satu pihak adalah kakak-kakakku, dan di lain pihak,
Pangeran Youtechin adalah... calon suamiku. Karena itu, dalam urusan harta
karun ini aku tidak mencampuri. Aku akan membantu kalian berdua kalau
memperebutkan harta karun dengan orang lain, demikian pula aku akan
membantu Pangeran Youtechin kalau dia berebutan dengan pihak lain. Nah,
terserah, akan tetapi harap dapat menyelesaikan urusan ini dengan damai
tanpa permusuhan.”
Cun Giok dan Ceng Ceng merasa terharu. Bagaimanapun juga, Li Hong
sudah bicara dengan sejujurnya, mengakui bahwa ia telah menerima
pangeran itu sebagai calon suaminya. Mereka harus menghormati cinta kasih
Li Hong yang dijatuhkan kepada pangeran, pemuda yang tampan dan lihai,
juga berpenampilan lembut itu. Ceng Ceng maju menghampiri Li Hong dan
dua orang gadis itu saling rangkul.
“Hong-moi, aku mengerti dan tidak akan membawamu dalam urusan ini,”
kata Ceng Ceng sambil mencium pipi adik angkatnya itu.
Setelah mencium adik angkatnya, Ceng Ceng lalu menghadapi Pangeran
Youtechin dan berkata lembut.
“Pangeran...”
“Ah Ceng-moi. Biarlah engkau mengenal aku sebagai Yauw Tek saja.”
“Akan tetapi engkau adalah seorang Pangeran, maka sudah semestinya
kalau aku menyebutmu Pangeran. Pangeran, kata-katamu tadi keliru. Aku
mencari harta karun sama sekali bukan untuk pemerintah Kerajaan Mongol,
dan juga harta karun itu milik Kerajaan Sung. Mendiang ayahku menyita dari
seorang Thaikam yang korup, menyita petanya maka dapat dikatakan bahwa
harta karun itu yang berhak adalah mendiang ayahku. Sebagai pewarisnya,
akulah yang berhak memiliki harta karun ini. Kukira hal ini tidak perlu
kujelaskan lebih banyak karena ketika engkau muncul sebagai Yauw Tek,
engkau sudah mendengar semua.”
“Aku mengerti, Ceng-moi. Akan tetapi perlu kauingat bahwa harta karun
itu berasal dari milik Kerajaan Sung yang telah dikalahkan Kerajaan Goan
kami, maka semua milik Kerajaan Sung yang kalah sudah sewajarnya menjadi
rampasan dan milik kerajaan yang menang. Selain itu, harta karun itu
terdapat di Thai-san yang juga menjadi wilayah Kerajaan Goan, maka pemilik
yang berhak dan sah adalah Kerajaan Goan,” bantah Pangeran Youtechin.
“Nanti dulu, Pangeran Youtechin”
Cun Giok berkata penasaran akan tetapi suaranya tetap halus karena dia
ingat bahwa pangeran itu adalah calon suami adik misannya dan harus dia
akui bahwa pendapat pangeran itu dipandang dari pihak Kerajaan Mongol
memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi dipandang dari
pihak rakyat Han tentu saja membuat hatinya penasaran.
“Pendapatmu itu memang benar, akan tetapi itu kebenaran pemerintah
yang menang dan menjadi penjajah. Tentu engkau tahu benar bahwa harta
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
karun itu didapatkan oleh Kerajaan Sung yang telah jatuh dari milik rakyat
jelata. Maka setelah kerajaan itu jatuh, sudah sepatutnya kalau harta karun
itu dikembalikan kepada rakyat. Adapun tempat ditemukannya harta karun
ini, yaitu Pegunungan Thai-san, sejak jaman dahulu adalah milik rakyat jelata
dimana mereka terlahir dan mati. Ini adalah tanah air dan tanah tumpah
darah rakyat jelata, maka segala sesuatu yang didapatkan di tanah air ini
adalah hak milik rakyat. Kami membantu Adik Liu Ceng Ceng mendapatkan
harta karun yang petanya ditinggalkan ayahnya dan setelah kami temukan,
bagaimana mungkin hendak kau minta begitu saja untuk diserahkan kepada
kerajaanmu? Ini sungguh tidak adil”
Sebelum Pangeran Youtechin menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa
aneh. Tawa yang keluar dari dua mulut, akan tetapi begitu aneh tawa itu
sehingga menyeramkan, apalagi yang satu tawanya seperti tangis. Muncullah
sepasang kakek dan nenek iblis yang bukan lain adalah Cui-beng Kui-ong dan
Song-bun Moli
“Heh-heh, Pangeran, mengapa Paduka masih mengajak mereka bercakapcakap?
Rampas saja harta karun itu, kami akan membantu Paduka dan
hadiahnya bagi saya cukup serahkan gadis ahli obat itu kepada saya” kata
Cui-beng Kui-ong.
“Hi-hik, benar sekali, Pangeran. Dan serahkan pemuda itu sebagai hadiah
kepada saya” Song-bun Moli tidak mau kalah.
Akan tetapi pada saat itu tampak banyak orang berlompatan dan sebentar
saja puluhan orang sudah berdiri di belakang Cun Giok dan Ceng Ceng.
Mereka adalah rombongan Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai yang
diwakili Thian-li Niocu dan para muridnya, Bu-tong-pai yang diwakili oleh
Liong Kun dan Thio Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin. Tampak
pula Bu-tek Sin-liong Cu Liong bersama puterinya, Cu Ai Yin, akan tetapi
datuk ini berdiri di tempat netral, agaknya tidak berpihak kepada siapa pun.
“Pangeran, mereka itu hendak memberontak terhadap kerajaan kita” kata
Kong Sek dengan nada marah.
Agaknya, melihat Cun Giok, dia sudah tidak sabar untuk berdiam diri dan
hendak mempergunakan kekuatan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan
Song-bun Moli untuk membunuh Cun Giok sebagai balas dendam terhadap
kematian ayahnya. Akan tetapi Pangeran Youtechin memberi isyarat dengan
tangan agar Kong Sek dan dua orang kakek nenek iblis itu tidak turun tangan.
Lalu dia memandang kepada mereka yang baru datang itu. Thai-san Sianjin
Thio Kong, ketua Thai-san-pai berkata dengan lantang namun cukup
menghormat.
“Pangeran, kami sama sekali tidak hendak memberontak terhadap
pemerintah. Kami hanya membenarkan Nona Liu Ceng Ceng bahwa harta
karun itu adalah berasal darl rakyat jelata dan harus kembali kepada rakyat
yang menjadi pemiliknya. Ada pun harta karun itu ditemukan di Thai-san,
maka kami Thai-san-pai yang sudah ratusan tahun tinggal di sini, dapat
mengatakan bahwa tempat ini merupakan daerah wilayah kami. Kami
percaya bahwa pemerintah tentu menghormati hak rakyat atas daerah yang
menjadi kekuasaannya.”
“Kami mendukung Nona Liu Ceng Ceng, dan kalau ada yang hendak
merampas harta karun milik rakyat dari tangannya, kami siap untuk
membelanya” kata Thian-li Niocu wakil dari Go-bi-pai. Terdengar suara
berisik karena semua yang diam-diam anti penjajahan mendukung Ceng
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Ceng.
Menghadapi semua ucapan itu dan melihat puluhan pasang mata
memandangnya dengan sikap penasaran, Pangeran Youtechin tampak tenang
saja. Berbeda dengan Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang
sudah marah dan ingin menerjang dan mengamuk, Pangeran itu kembali
memberi isyarat kepada tiga orang pengikutnya untuk berdiam diri, kemudian
dengan sikap tenang dan suaranya lantang namun mulutnya tersenyum dia
berkata.
“Kami mengerti bahwa kalian tidak hendak memberontak terhadap
pemerintah, dan kami juga tidak ingin bermusuhan dengan para tokoh dunia
kang-ouw. Kalian menghendaki harta karun untuk diberikan kepada rakyat
jelata, sebaliknya pemerintah menghendaki harta karun itu juga hendak
dipergunakan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mengatur negara dari rakyat,
untuk mensejahterakan rakyat memerlukan biaya yang amat besar. Harta
karun itu memang peninggalan Kerajaan Sung, maka setelah Kerajaan Sung
kalah, maka dengan sendirinya harta karun itu menjadi milik kerajaan kami
yang menang. Aku, Pangeran Youtechin, sama sekali tidak menginginkan
harta itu untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk diserahkan kepada
kerajaan, kepada pemerintah”
Ketika pangeran itu berhenti sebentar, kesempatan ini dipergunakan oleh
Cun Giok untuk menjawab.
“Pangeran Youtechin, kami tidak dapat membantah kebenaran ucapan
Paduka, akan tetapi kebenaran itu dipandang dari pihak kerajaan. Adik Ceng
Ceng juga memiliki kebenaran pendiriannya sendiri. Ia menerima warisan
peta dari ayahnya dengan pesan khusus, maka sebagai anak yang berbakti
tentu saja ia harus melaksanakan pesan atau perintah yang diwariskan
ayahnya. Adapun kami semua yang membela Adik Ceng Ceng juga
mempunyai kewajiban, yaitu berbakti kepada bangsa dan tanah air, membela
kepentingan rakyat, maka kami mendukung niat Adik Ceng Ceng untuk
mengembalikan harta karun kepada rakyat jelata.”
Pangeran Youtechin mengangguk-angguk.
“Dua pihak memiliki alasan dan pendirian masing-masing, itu hal yang
wajar. Tidak ada yang dapat disalahkan karena alasan masing-masing benar.
Kalian adalah pendekar-pendekar yang setia membela kepentingan rakyat
akan tetapi lupa bahwa kalian juga berkewajiban untuk membela dan setia
kepada pemerintah yang berkuasa dan berwenang. Adapun kami tentu saja
berkewajiban untuk berbakti kepada pemerintah kerajaan kami dan sekaligus
juga mementingkan kesejahteraan rakyat yang akan dilaksanakan dan diatur
oleh pemerintah.”
“Pangeran, kita hajar saja pemberontak-pemberontak ini” kata Cui-beng
Kui-ong yang sudah tidak sabar lagi.
“Cui-beng Kui-ong, kami bukan pemberontak. Kami tidak takut kepadamu
demi membela hak kami” Ketua Thai-san-pai juga berseru lantang.
Li Hong yang melihat betapa kedua pihak mulai panas, meninggalkan
Ceng Ceng dan melompat ke dekat Pangeran Youtechin. Ia menatap wajah
pangeran itu dan berkata lirih.
“Pangeran, jangan memusuhi kakak misanku Pouw Cun Giok dan kakak
angkatku, Liu Ceng Ceng. Ingat akan janjimu kepadaku”
Pangeran itu tersenyum, menyentuh lengan Li Hong dan mengangguk.
Kemudian dia menoleh ke arah Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Sek yang agaknya sudah siap dengan senjata masing-masing.
“Aku perintahkan kalian jangan menyerang siapapun juga sebelum aku
kehendaki”
Kakek dan nenek itu terpaksa mentaati, mereka mengangguk dan bahkan
melangkah ke belakang. Biarpun dengan bersungut-sungut karena dia tidak
diberi kesempatan menyerang musuh besarnya, yaitu Pouw Cun Giok, Kong
Sek terpaksa mundur pula mengikuti kakek dan nenek iblis itu. Setelah itu,
Pangeran Youtechin kembali menghadapi Ceng Ceng, Cun Giok para tokoh
kang-ouw yang mendukung mereka.
“Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian). Sesungguhnya, yang
langsung berurusan tentang harta karun adalah Nona Liu Ceng Ceng dan
kami. Nona Liu Ceng Ceng sebagai pewaris ayahnya yang akan
melaksanakan pesan ayahnya dan kami sebagai wakil kerajaan yang
bertindak atas nama Sribaginda Kaisar. Ketahuilah bahwa kami sama sekali
tidak berniat untuk bermusuhan dengan Nona Liu Ceng Ceng yang
merupakan sahabat baik kami dan terutama sekali ia adalah kakak angkat
dari calon isteriku, Nona Tan Li Hong. Juga kami sama sekali tidak ingin
bermusuhan dengan para pendekar dan tokoh kang-ouw yang mendukung
Nona Liu Ceng Ceng. Kami harap Cu-wi (Anda Sekalian) juga tidak
mengambil sikap bermusuhan dengan kami. Sama sekali bukan berarti bahwa
kami merasa takut. Kami tidak takut, akan tetapi kalau sampai di antara kita
terjadi bentrokan dan pertempuran, lalu kami tewas, akibatnya akan hebat.
Kami adalah wakil pemerintah yang mendapat hak dari Sri Baginda Kaisar,
maka kalau sampai kami tewas di tangan kalian, tentu kalian dianggap
pemberontak dan pemerintah akan mengerahkan bala tentara untuk
membasmi kalian. Ini bukan gertakan belaka, melainkan peringatan agar hal
itu tidak sampai terjadi. Sekarang begini saja. Karena kedua pihak memiliki
alasan masing-masing yang kuat, maka pertentangan karena perebutan harta
karun itu kita selesaikan dengan cara yang adil dan gagah seperti biasa
dilakukan di dalam dunia persilatan. Agar jangan menimbulkan banyak
korban dan permusuhan besar, maka aku, Pangeran Youtechin dan dalam hal
ini menjadi utusan istimewa dari Sri Baginda Kaisar, mengajak Nona Liu Ceng
Ceng untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) untuk menentukan siapa yang
menang dan berhak mendapatkan harta karun itu. Tentu saja, Nona Liu Ceng
Ceng boleh memilih wakilnya yang akan bertanding melawanku.”
Mendengar ucapan yang panjang lebar dari pangeran itu, para tokoh
kang-ouw dan anak buah mereka saling berbisik sehingga keadaan menjadi
agak berisik. Namun pada umumnya, mereka terkesan dan menganggap
pangeran itu bicara dengan adil dan gagah seperti sikap seorang pendekar
tulen. Diam-diam mereka merasa heran. Tadinya, dalam anggapan mereka,
semua orang Mongol, terutama para pembesar dan bangsawannya, adalah
orang-orang yang angkuh, sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi
sekarang muncul seorang pangeran selain tampan juga bersikap ramah dan
dapat mengambil keputusan bijaksana dan adil, tidak hendak mencari
kemenangan sendiri.
Para pimpinan rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw seperti
Thai-san Sianjin Thio Kong Ketua Thai-san-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin, Kuitung
Sin-kai Ketua Ang-tung Kai-pang, Thian-li Niocu tokoh Go-bi-pai, dua
orang pemuda wakil Bu-tong-pai dan yang lain-lain mengangguk-angguk
kagum dan setuju dengan peraturan yang dikemukakan Pangeran Youtechin
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
untuk mencegah pertempuran dan permusuhan dengan pi-bu. Bahkan Bu-tek
Sin-liong yang berwatak keras dan jujur, tidak berpihak itu tak dapat
menahan kegembiraannya untuk menonton orang mengadu ilmu silat dan
berseru.
“Bagus. Bagus sekali diadakan pi-bu itu”
Ceng Ceng melangkah maju hendak menyambut tantangan pi-bu itu, akan
tetapi Cun Giok memegang lengannya.
“Giok-ko, akulah yang berkepentingan dan aku yang ditantang pi-bu”
kata Ceng Ceng.
“Ceng-moi, kepentinganmu adalah kepentinganku juga, dan tadi
Pangeran Youtechin mengatakan bahwa engkau boleh mewakilkan orang lain
untuk bertanding melawannya. Biarlah aku yang mewakilimu, Ceng-moi.”
Tanpa menanti jawaban, Cun Giok melompat ke depan pangeran itu.
“Pangeran, akulah yang mewakili Nona Liu Ceng Ceng untuk bertanding
melawanmu” katanya lantang.
“Ah, sudah kuduga engkau yang akan maju, Pouw Cun Giok. Aku gembira
sekali karena aku tahu bahwa engkau yang berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa
Bayangan) dan merupakan lawan yang amat lihai dan aku senang sekali tidak
harus bertanding melawan Nona Liu Ceng Ceng”
Kata Pangeran Youtechin yang sudah banyak mendengar tentang Cun
Giok dari Li Hong. Memang dia ingin sekali mengukur sampai dimana
kepandaian pendekar yang dipuji-puji oleh Li Hong yang merupakan adik
misan pendekar itu.
Setelah berkata demikian, Pangeran Youtechin menoleh kepada para
pembantunya dan berkata dengan nada tegas.
“Sekali lagi kuperintahkan agar kalian tidak ada yang campur tangan
dalam pi-bu ini”
Melihat sikap Pangeran Youtechin ini, Cun Giok segera memutar tubuh
menghadapi para pendukung Ceng Ceng dan berseru dengan lantang.
“Aku mohon Cu-wi (Anda Sekalian) dapat menjaga nama dan kehormatan
kita dan tidak turun tangan membantuku dalam pi-bu ini”
Kini dua orang pemuda yang tampan gagah itu saling berhadapan dalam
jarak kurang lebih tiga meter. Karena keduanya maklum bahwa mereka
berhadapan dengan lawan tangguh, Pangeran Youtechin mendengar
kelihaian Cun Glok dari Li Hong, sebaliknya Cun Giok mendengar akan
kelihaian pangeran itu dari Ceng Ceng, kedua orang pemuda itu tidak berani
memandang rendah lawan.
Pangeran Youtechin lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki
terpentang dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan terbuka di kanan kiri
pinggang. Cun Giok juga memasang kuda-kuda yang disebut pembukaan
‘Menunggang Kuda’ yang sama karena itulah kuda-kuda terbaik untuk
menghadapi serangan tangan kosong lawan. Melihat betapa pangeran itu
tidak mencabut pedang, Cun Giok juga tidak mencabut pedangnya. Setelah
dalam kedudukan memasang kuda-kuda seperti itu untuk sejenak dan hanya
saling pandang dengan sinar mata tajam seolah hendak mengukur
kepandaian lawan lewat pandang mata masing-masing, Pangeran Youtechin
berkata.
“Bu-eng-cu, silakan”
Ucapan ini merupakan tantangan halus agar lawan mulai menyerang.
“Pangeran, aku telah siap, silakan” Cun Giok balas menantang.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Mendengar ini, Pangeran Youtechin perlahan-lahan menggerakkan kedua
tangan di kanan kiri pinggang itu ke atas seperti menarik sesuatu yang berat
ke atas sampai depan dada, lalu membalikkan kedua tangan seperti menekan
benda berat ke bawah. Dengan gerakan ini dia menghimpun tenaga sakti
menjalar ke dalam kedua lengan tangannya.
Melihat ini, Cun Giok mengangkat kedua tangan tinggi ke atas kepala lalu
menurunkan perlahan-lahan dan mengumpulkan pula tenaga saktinya, siap
menyambut serangan lawan karena dari gerakan pangeran tadi dia dapat
menduga bahwa lawan akan menyerang dengan pukulan tenaga sakti. Benar
saja dugaannya ketika pangeran itu berseru nyaring.
“Sambut seranganku ini”
Pangeran Youtechin menggerakkan tangan kanannya mendorong ke
depan tanpa mengubah posisi kakinya, lalu disusul dorongan tangan kiri.
“Wuuuttt Wuuuttt”
Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Cun Giok, akan tetapi
Si Pendekar Tanpa Bayangan ini sudah menyambut dengan dorongan kedua
tangannya pula.
“Syuuuttt Syuuuttt”
Dari kedua telapak tangannya juga menyambar tenaga yang tak kalah
hebatnya.
“Dess Desss”
Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang pemuda itu merasa
betapa tubuh mereka tergetar. Mereka merasa penasaran dan kini mereka
saling serang menggunakan tenaga sakti, menyerang dalam jarak tiga meter.
Angin pukulan mereka menderu-deru sampai terasa oleh mereka yang
menonton, akan tetapi tak seorang pun dari mereka berdua yang dapat
terdorong oleh serangan lawan. Karena merasa penasaran, tiba-tiba kedua
orang pemuda itu berseru nyaring sambil mendorongkan kedua tangan
mereka.
“Wuuuuttt... bresss”
Dua tenaga dahsyat bertemu dan keduanya terpental dan terhuyung ke
belakang sampai tiga langkah. Ternyata tenaga sakti mereka seimbang dan
hal ini diketahui pula oleh para tokoh yang menjadi penonton.
Pangeran Youtechin merasa penasaran sekali. Selama dia meninggalkan
Tibet, dalam perantauannya belum pernah dia bertemu orang yang mampu
menandingi kekuatan tenaga saktinya. Maka, biarpun dengan wajah berseri
karena disamping rasa penasarannya, dia juga merasa kagum dan gembira
mendapatkan lawan seimbang, dia lalu melompat dan kini berhadapan
langsung dengan Cun Giok. Dia kini menyerang dengan pukulan langsung
dengan jurus Hio-te-hoan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), tangan
kanannya meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada lawan. Serangan
ini cepat dan kuat sekali.
Cun Giok juga mengerahkan tenaga dan cepat dia menangkis dengan
jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung, Timbun Lautan) yang merupakan
tangkisan dan sekaligus ketika tangan kiri menangkis serangan lawan,
tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah ke arah kepala pangeran
itu.
“Haitt”
Pangeran Youtechin cepat mengelak dengan gerakan Kim-le-coan-po (lkan
Emas Terjang Ombak), lalu sambil membalikkan tubuh dia balas menyerang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
dengan jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti Sabetkan Ekor), kakinya mencuat
dalam tendangan kilat yang hebat sekali. Saking cepatnya datangnya
tendangan, Cun Giok tidak sempat mengelak dan menggunakan lengannya
untuk menangkis.
“Dukkk”
Kini keduanya serang menyerang dengan gerakan cepat dan kuat
sehingga terdengar bunyi dak-duk-dak-duk berulang-ulang. Hebat bukan
main pertandingan silat tangan kosong itu. Puncak pertandingan adalah
ketika Pangeran Youtechin bersilat dengan ilmu silat Pat-hong-hong-i
(Delapan Penjuru Angin), yang dilawan oleh Cun Giok dengan ilmu silat Ngoheng-
kun. Tidak kurang dari limapuluh jurus mereka saling serang dalam
keadaan seimbang.
Tiba-tiba terdengar suara berdebuk dua kali dan keduanya terhuyung ke
belakang. Keduanya terhuyung dengan muka berubah agak pucat. Cun Giok
menekan dada kiri dengan tangan kanan sedangkan pangeran itu menekan
dada kanan dengan tangan kirinya. Ternyata dalam saat yang hampir
berbareng, Cun Giok terpukul dada kirinya dan Pangeran Youtechin terpukul
dada kanannya Sejenak keduanya menggosok-gosok bagian dada yang
terkena pukulan.
“Pangeran, ilmu silatmu sungguh hebat, aku merasa kagum” kata Cun
Giok dengan jujur.
“Jangan terlalu merendahkan diri, Bu-eng-cu. Aku juga terkena
pukulanmu. Keadaan kita masih seimbang. Mari kita tentukan siapa yang
lebih unggul dengan senjata kita”
Setelah berkata demikian, pangeran itu menghunus pedangnya yang
indah dan yang ujungnya bercabang. Cun Giok juga mencabut Kim-kong-kiam
yang bersinar emas.
“Silahkan, Pangeran” kata Cun Giok.
Li Hong sejak tadi mengamati pertandingan silat tangan kosong itu
dengan muka penuh kecemasan. Hatinya merasa lega ketika kedua orang
muda itu sama-sama terhuyung ke belakang dan agaknya hanya menderita
luka ringan oleh pukulan masing-masing. Akan tetapi begitu melihat mereka
berdua sudah mencabut pedang, kekhawatirannya memuncak dan ia tidak
menahan diri lagi lalu berseru.
“Giok-ko, jangan bunuh suamiku. Pangeran, jangan bunuh kakak
misanku”
Gadis ini setelah berseru nyaring lalu menangis. Akan tetapi agaknya
seruan yang nyaring, itu tidak didengarkan atau tidak diperhatikan dua orang
muda itu karena Pangeran Youtechin telah mulai menyerang dengan
pedangnya. Cun Giok menangkis dengan cepat.
“Tranggg...”
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua orang muda yang merasa
betapa tangan mereka tergetar, cepat memeriksa pedang masing-masing.
Akan tetapi ternyata pedang mereka tidak rusak oleh benturan yang amat
kuat tadi. Maka kembali mereka sudah saling menyerang. Ceng Ceng
merangkul Li Hong dan menghiburnya.
“Hong-moi, jangan cengeng. Malu ditonton banyak orang. Tenanglah,
kukira mereka tidak akan saling bunuh karena mereka berdua menyayangmu.
Kalau hanya terluka, hal itu sudah wajar dalam sebuah pi-bu. Mudahmudahan
saja, siapa pun di antara mereka yang kalah, tidak akan menderita
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
luka parah.”
Pertandingan pedang itu benar-benar mengasyikkan akan tetapi juga
menegangkan untuk ditonton. Bergantian mereka menyerang dengan
menggunakan jurus-jurus terampuh.
“Hyaatt...”
Pangeran itu menyerang dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan
Kilat). Pedangnya diputar lalu tiba-tiba pedang itu meluncur ke arah
tenggorokan lawan. Cun Giok cepat menggerakkan jurus In-mo-sam-bu
(Payung Awan Tiga Kali Menari) dan beruntun dia menangkis pedang
pangeran itu yang menyerang bertubi-tubi sampai tiga kali. Terdengar bunyi
berdenting-denting ketika berturut-turut kedua pedang itu beradu.
Kemudian Cun Giok membalas. Dia menyerang dengan jurus Liu-sengkan-
goat (Bintang Mengejar Bulan), serangannya berkelanjutan karena begitu
dielakkan lawan, pedangnya terus melakukan pengejaran kemana pun lawan
bergerak. Diserang secara berkelanjutan itu, Pangeran Youtechin merasa
kewalahan dan terpaksa dia memutar pedangnya untuk melindungi dirinya.
Dia menangkis dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Cahaya Putih Menutup
Matahari) sehingga kembali terdengar suara berdentangan ketika sepasang
pedang itu saling bertemu dan mengeluarkan bunga api yang berpijar-pijar.
Setelah mereka bertanding pedang selama limapuluh jurus lebih, tiba-tiba
Pangeran Youtechin mengubah gerakan pedangnya dan kini dia mainkan ilmu
pedang Liap-in-kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Awan) yang gerakannya
aneh dan pedang itu sukar dibendung karena menyerang dengan bertubitubi.
Menghadapi ilmu pedang yang hebat ini, Cun Giok lalu mainkan Ngoheng
Kiam-sut (ilmu Pedang Lima Anasir) yang sudah disempurnakan oleh
Pak-kong Lojin, kakek gurunya yang kemudian juga menggemblengnya.
Dua macam ilmu pedang itu sama dahsyatnya. Lima orang tokoh Hoa-sanpai,
yaitu Thian-huo Tosu, Thian-kim Tosu, Thian-bhok Tosu, Thian-sui Tosu,
dan Thian-tho Tosu yang dikenal sebagai Hoa-san Ngo-heng-tin juga mahir
ilmu pedang Ngo-heng. Akan tetapi melihat Cun Giok mainkan ilmu pedang
Ngo-heng itu, mereka terkagum-kagum. Memang pada dasarnya bersumber
sama, akan tetapi pada ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu terdapat
banyak kembangan yang tidak mereka kenal dan mereka harus mengakui
bahwa Ngo-heng Kiam-sut yang dimainkan Cun Giok sungguh amat dahsyat
dan jauh lebih rumit.
Dua orang muda itu memang hebat. Tingkat ilmu silat dan tenaga sakti
mereka berimbang sehingga sukarlah mendesak lawan. Setelah bertanding
kurang lebih seratus jurus, Cun Giok yang sudah mengambil keputusan untuk
memenangkan Ceng Ceng walaupun dia akan membuat kecewa adik
misannya, segera mulai mengerahkan gin-kang yang dikuasainya.
Memang dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), Cun Giok telah
memiliki tingkat yang amat tinggi sehingga karena kecepatan gerakannya,
dia mendapat julukan Bu-eng-cu atau Si Tanpa Bayangan Maka, begitu dia
mengerahkan gin-kangnya dan memainkan Ngo-heng Kiam-sut, Pangeran
Youtechin terkejut bukan main. Dia merasa seolah-olah bertanding melawan
bayangan yang kadang-kadang lenyap dan tahu-tahu berada di belakang atau
kanan kirinya. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar pantas disebut
Pendekar Tanpa Bayangan karena memiliki gin-kang yang luar biasa. Dia
memutar pedangnya dengan cepat namun tetap saja dia dibuat pusing
dengan kecepatan gerakan lawannya.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Para penonton kini memandang dengan penuh kagum. Dua gulungan
sinar pedang itu bagaikan seekor naga emas dan naga perak melayanglayang
dan saling belit, saling sambar dengan dahsyatnya. Kalau tubuh Sang
Pangeran masih tampak dan berkelebatan terbungkus sinar pedang, tubuh
Bu-eng-cu Pouw Cun Giok benar-benar lenyap tak tampak bayangannya.
Pangeran Youtechin melawan mati-matian dan lebih mengandalkan
telinganya daripada matanya karena tubuh lawan yang tidak dapat dilihatnya
itu masih dapat dia tangkap dengan pendengarannya.
“Cringgg...”
Tiba-tiba terdengar bunyi berdencing nyaring, tampak bunga api berpijar
disusul teriakan Pangeran Youtechin karena dia merasa pergelangan tangan
kanannya tertotok dan pedangnya terpental ke atas. Sebelum dia sempat
menangkap kembali pedangnya yang terbang karena dihantam pedang
lawan, Cun Giok sudah mendahuluinya melompat ke atas dan ketika dia turun
kembali, pedang milik pangeran itu telah berada di tangan kirinya.
Dengan terampasnya pedang, semua orang juga mengetahui bahwa
pangeran itu telah dikalahkan Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang mewakili Liu
Ceng Ceng. Pangeran Youtechin juga mengakui hal ini dan diam-diam dia
kagum dan berterima kasih kepada Cun Giok yang telah mengalahkannya
tanpa melukainya. Dia tahu bahwa jika Cun Giok mau, dia tentu sudah roboh
terluka.
Li Hong melompat dan sudah berada dekat Cun Giok. Ia menjulurkan
tangannya minta pedang pangeran itu dikembalikan. Cun Giok dapat
menanggapi gerakan Li Hong tanpa kata itu. Dia menyerahkan pedang
rampasan kepada adik misannya. Li Hong menerima pedang dan
menghampiri Pangeran Youtechin. Diserahkannya pedang itu kepada Sang
Pangeran sambil berkata lembut.
“Pangeran, engkau telah kalah.”
Pangeran Youtechin menerima pedang itu sambil menghela napas
panjang. Dia memandang kepada Pouw Cun Giok yang telah berdiri dekat
Ceng Ceng, lalu berkata nyaring agar terdengar oleh semua orang yang
berada di situ.
“Bu-eng-cu, kami mengaku kalah dan sesuai dengan perjanjian, harta
karun itu boleh dimiliki Nona Liu Ceng Ceng dengan sah. Kalau ada pihak
yang hendak merebutnya, kami akan membantu Nona Liu untuk menentang
mereka”
Mendengar ucapan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun
Moli mengerutkan alisnya dan merasa penasaran sekali. Akan tetapi tentu
saja mereka berdua tidak berani menentang pangeran yang memegang tanda
kekuasaan Kaisar.
“Pangeran, kami mohon diri, akan kembali ke Bukit Sorga,” kata Cui-beng
Kui-ong dan dengan muka keruh dia dan Song-bun Moli berkelebat dan
lenyap dari situ.
Kong Sek yang merasa penasaran sekali, terutama kepada Pouw Cun Giok
namun juga merasa tidak berdaya untuk membalas dendam karena tingkat
kepandaian Cun Giok jauh melampaui tingkatnya, memandang kepada
Pendekar Tanpa Bayangan dengan mata mencorong penuh kebencian. Dia
lalu menudingkan telunjuknya kepada musuh besarnya itu dan berkata
dengan marah.
“Jahanam Pouw Cun Giok, kau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku datang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
mengambil kepalamu untuk membalas kematian ayah”
Setelah berkata demikian, dia memberi hormat kepada Pangeran
Youtechin lalu meninggalkan tempat itu. Kini Liu Ceng Ceng menghadapi
para tokoh kang-ouw yang tadi berdiri di belakangnya dan yang
mendukungnya, mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat
lalu berkata.
“Cu-wi yang budiman, saya Liu Ceng Ceng atas nama mendiang ayah Liu
Bok Eng berterima kasih sekali atas dukungan Cu-wi sehingga harta karun itu
dapat saya peroleh untuk memenuhi pesan terakhir ayahku. Karena sekarang
urusan mengenai harta karun telah dapat diselesaikan, maka saya harap tidak
akan terjadi lagi keributan dan pertengkaran mengenai harta karun. Sekali
lagi, banyak terima kasih saya ucapkan kepada Cu-wi yang budiman.”
Para tokoh kang-ouw senang mendengar ucapan gadis itu dan mereka
lalu meninggalkan bukit itu. Diam-diam Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan
muridnya, Cu Ai Yin, juga telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit.
Kini yang masih berada di depan guha hanya Pouw Cun Giok dan Liu
Ceng Ceng, berhadapan dengan Pangeran Youtechin dan Tan Li Hong.
Pangeran Youtechin memandang Li Hong dengan wajah muram lalu berkata
dengan suara mengandung kesedihan.
“Dinda Li Hong, sekarang sebaiknya engkau pulang dulu ke Coa-to (Pulau
Ular). Aku harus kembali ke kota raja untuk mempertanggung-jawabkan
kegagalanku mengemban tugas mendapatkan harta karun seperti yang
diperintahkan Sribaginda Kaisar.”
Li Hong memegang kedua lengan pangeran itu, menatap wajah pangeran
muda itu penuh kasih sayang lalu berkata.
“Tidak, Pangeran. Aku harus ikut bersamamu ke kota raja”
Pangeran itu merangkul kekasihnya.
“Jangan, Adinda. Engkau pulanglah ke Pulau Ular dan tunggu di sana.
Percayalah, kalau aku dapat terbebas dari hukuman karena gagal
melaksanakan tugas, aku akan memberitahu kepada ayahku tentang
perjodohan kita dan ayah pasti akan mengirim orang untuk menyampaikan
pinangan secara resmi kepada orang tuamu dan kita dapat menikah dengan
resmi.”
“Tidak, tidak, Pangeran”
Li Hong berkeras dan menyandarkan mukanya di pundak pangeran itu.
Sepasang matanya menjadi merah dan tangisnya sudah berada di ambang
pelupuk matanya.
“Kalau engkau terhukum, biarlah aku menemanimu. Kita pertanggung
jawabkan bersama. Aku akan membelamu sampai mati, Pangeran...” Li Hong
menangis tersedu-sedu di dada Pangeran Youtechin.
Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang dengan terkejut dan heran.
Mereka tertegun menyaksikan adegan itu. Melihat Li Hong menangis
demikian sedihnya merupakan penglihatan yang luar biasa anehnya. Betapa
kuat perkasanya cinta. Cinta membuat Li Hong yang tadinya merupakan
seorang gadis yang pemberani, keras hati dan ganas itu menjadi demikian
lemah dan cengeng. Hampir mereka tidak percaya kalau tidak menyaksikan
sendiri keadaan Li Hong di saat itu.
Di samping keheranannya, hati Ceng Ceng yang lembut tersentuh dan ia
merasa terharu sekali. Ia tidak ingin melihat cinta kasih antara Li Hong dan
Pangeran Youtechin berantakan mengakibatkan Li Hong hidup menderita
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
sengsara karena pangeran itu gagal mendapatkan harta karun. Maka dengan
hati tetap ia melangkah maju menghampiri pangeran dan adik angkatnya itu,
lalu berkata lembut.
“Pangeran, engkau adalah seorang gagah yang mencinta negara dan
mengemban tugas untuk mendapatkan harta karun dengan setia. Demikian
pula aku mengemban tugas dari mendiang ayahku tercinta dengan setia.
Keadaan dan kedudukan kita berdua sesungguhnya tidak banyak berbeda.
Mengingat akan keadaan ini, apalagi mengingat bahwa engkau adalah calon
suami adik angkatku, bagaimana aku tega membiarkan engkau gagal
melaksanakan tugas dan terancam hukuman? Mengingat bahwa
kemenanganku memperebutkan harta karun ini tidak sepenuhnya murni
karena aku dalam pi-bu diwakili Giok-ko, dan kalau aku maju sendiri
melawanmu agaknya aku akan kalah, maka sudah adil kalau aku membagi
harta karun ini denganmu. Dengan begini, tugasmu tidak sepenuhnya gagal,
demikian pula tugasku. Ambillah setengah dari harta karun itu, Pangeran”
Pangeran Youtechin menatap wajah. Ceng Ceng dengan mata terbelalak.
“Apa? Engkau... rela membagi harta karun ini demi... keselamatanku,
Nona Liu Ceng Ceng?”
Ceng Ceng tersenyum.
“Bukan hanya demi keselamatanmu, Pangeran, akan tetapi terutama
sekali demi Adikku Li Hong.”
“Enci Ceng...” Li Hong menubruk dan merangkul Ceng Ceng penuh rasa
haru akan tetapi juga bahagia.
“Terima kasih, Enci Ceng Ceng... sungguh engkau seorang yang bijaksana
dan berhati mulia...”
Ceng Ceng balas merangkul.
“Hong-moi, Pangeran Youtechin benar, sebaiknya engkau menunggu di
Pulau Ular. Engkau harus memberitahu tentang perjodohanmu dengan
Pangeran Youtechin kepada orang tuamu dan menunggu datangnya lamaran
di sana. Aku yakin, Pangeran Youtechin adalah seorang laki-laki sejati yang
tidak akan mengingkari janjinya kepadamu. Giok-ko, tolonglah bagi isi peti
harta karun itu menjadi dua agar yang separuh dapat dibawa Pangeran
Youtechin ke kota raja.”
Cun Giok hanya mengangguk. Dalam hatinya dia merasa penasaran, akan
tetapi juga kagum dan terharu karena dia maklum sepenuhnya bahwa Ceng
Ceng melakukan hal itu demi kebahagiaan Tan Li Hong. Dia lalu
mengeluarkan semua isi peti dan membaginya separuh.
“Silakan bawa yang separuh itu, Pangeran,” kata Ceng Ceng setelah
kedua bagian harta karun itu dibungkus kain.
Pangeran Youtechin mengangguk dan memberi hormat kepada Ceng
Ceng.
“Nona Liu Ceng Ceng, benar apa yang dikatakan Adinda Tan Li Hong.
Engkau adalah seorang pendekar wanita yang berhati mulia dan bijaksana.
Sayang sekali bahwa kita berdiri di dua pihak yang bertentangan. Akan tetapi
aku merasa bangga dan bahagia mengetahui bahwa Adinda Tan Li Hong
mempunyai seorang kakak angkat sepertimu. Terima kasih atas kerelaanmu
ini.”
Pangeran Youtechin lalu mengambil sebuah buntalan kain dan
digendongnya di punggung. Lalu dia berkata kepada Li Hong.
“Dinda Li Hong, engkau tunggulah di Pulau Ular dan aku akan segera
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
mengirim utusan untuk meminangmu. PercayaIah, aku tidak akan menyianyiakan
cintamu dan kepercayaan Nona Liu Ceng Ceng kepadaku. Nah,
selamat berpisah untuk sementara.”
Setelah berkata demikian, pangeran itu lalu pergi dari situ, diikuti
pandang mata tiga orang muda, Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong.
“Ceng-moi, sekarang bagaimana rencanamu? Kemanakah engkau akan
membawa harta karun itu?” tanya Cun Giok kepada Ceng Ceng setelah
bayangan pangeran itu lenyap di balik pohon-pohon.
“Untuk sementara ini, harta karun itu akan kusimpan dulu, Giok-ko, sambil
mencari keterangan dan menanti siapa pimpinan rakyat pejuang yang pantas
menerimanya,” kata Ceng Ceng.
“Enci Ceng, akan berbahaya sekali kalau engkau sendiri yang menyimpan
harta karun itu, karena tentu akan banyak orang jahat yang akan mencoba
untuk merampasnya darimu. Sebaiknya, kaubawa harta itu ke Pulau Ular. Di
sana harta karun itu akan aman dan tidak ada orang berani sembarangan naik
ke Pulau Ular untuk merampas harta karun. Pula, kita dapat bertanya kepada
ayah dan terutama kepada Ibu Ban-tok Niocu, pimpinan pejuang mana yang
sekiranya pantas menerima harta karun itu. Pula, bukankah engkau kakak
angkatku dan dengan sendirinya ayah ibuku juga menjadi ayah ibumu?”
“Ucapan Hong-moi itu benar sekali, Ceng-moi. Memang tidak ada tempat
yang lebih aman dan tepat untuk menyimpan harta karun itu daripada Pulau
Ular.”
“Dan aku pun membutuhkan bantuanmu untuk ikut meyakinkan hati ayah
ibuku akan perjodohanku dengan Pangeran Youtechin, bahwa aku tidak salah
pilih, Enci Ceng,” bujuk pula Li Hong.
Ceng Ceng tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, aku akan membawa harta karun itu ke Pulau Ular. Aku akan
pergi bersamamu, Hong-moi. Dan engkau sendiri, Giok-ko, engkau hendak
pergi kemanakah?”
Pertanyaan Ceng Ceng itu membuat Cun Giok mengerutkan alisnya.
Kemana dia hendak pergi? Dia tidak mempunyai keluarga dan tidak ada
sesuatu lagi yang harus dikerjakan, maka sejenak dia tidak dapat menjawab.
“Aku... aku... akan melanjutkan perantauanku, Ceng-moi.”
“Tidak, Enci. Ceng Giok-ko juga pergi bersama kita ke Pulau Ular”
Tiba-tiba Li Hong berkata dengan nada suara tegas.
“Eh, Hong-moi, mengapa kau berkata begitu?” Cun Giok bertanya.
“Engkau harus menemani kita pergi ke Pulau Ular, Giok-ko”
“Harus?”
Cun Giok mengerutkan alisnya. Biarpun hatinya ingin sekali pergi
bersama mereka karena berat sekali rasanya kalau dia harus berpisah dari
Ceng Ceng, akan tetapi dia merasa penasaran juga kalau dipaksa.
“Ya, harus” kata Li Hong.
“Ada dua hal yang mengharuskan engkau ikut bersama kami ke Pulau
Ular, Giok-ko. Pertama, kami membawa harta karun dan engkau tahu betapa
para tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi mengincar harta karun itu.
Engkau tentu tidak tega membiarkan kami berdua menghadapi rintangan dan
terancam bahaya dalam perjalanan. Kedua, engkau adalah keponakan ayahku,
ayah dan ibu amat mengharapkan bertemu denganmu, dan apakah engkau
tidak ingin bertemu dan memberi penghormatan kepada pek-hu (uwa) dan
pek-bomu?”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Ditodong seperti ini, Cun Giok kehabisan kata untuk dapat menolak atau
membantahnya. Alasan-alasan yang dikemukakan Li Hong amat kuat dan
menolak dua alasan itu akan membuat dia menjadi seorang yang tega
membiarkan dua orang gadis itu terancam bahaya dan membuat dia seorang
muda yang tidak sopan dan tidak menghormati uwaknya sendiri, kakak
mendiang ibunya
“Adik Li Hong, jangan terlalu memaksa Giok-ko. Kalau dia tidak mau...”
“Baiklah, aku ikut kalian ke Pulau Ular” kata Cun Giok dan ucapannya ini
disambut senyum lebar dua orang gadis itu. Mereka lalu berangkat,
meninggalkan Pegunungan Thai-san dan Cun Giok yang menggendong
buntalan harta karun itu di punggungnya.
Dua hari kemudian, pada suatu siang mereka bertiga baru meninggalkan
daerah Pegunungan Thai-san dan tiba di kaki pegunungan. Dari lereng paling
bawah yang mereka tinggalkan tadi mereka melihat genteng banyak rumah,
menandakan bahwa di sana terdapat perumahan orang, mungkin sebuah
dusun yang lumayan keadaannya karena rumah-rumahnya sudah memakai
genteng. Mereka kini menuju ke perumahan itu untuk mencari makanan
karena perut mereka sejak pagi tadi belum terisi.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar
tahu-tahu sudah berdiri menghadang di tengah jalan. Laki-laki itu berusia
sekitar limapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya merah dan
ditumbuhi jenggot dan kumis pendek yang terawat baik sehingga tampak
gagah. Tiga orang muda itu segera mengenalnya karena dia adalah Bu-tek
Sin-liong Cu Liong majikan Bukit Merak.
“Dia Bu-tek Sin-liong,” bisik Cun Giok kepada Ceng Ceng dan Li Hong.
Dua orang gadis itu sudah mendengar akan nama besar datuk ini, maka
mereka bersikap waspada. Setelah mereka bertiga tiba di depan datuk itu,
Pouw Cun Giok yang sudah mengenalnya karena dia pernah hampir dua
tahun yang lalu ditolong oleh Cu Ai Yin, puteri datuk itu di Bukit Merak,
melangkah maju dan memberi hormat kepadanya.
“Kiranya Lo-cianpwe Bu-tek Sin-liong yang berada di sini.”
Dengan sikap acuh tak acuh datuk itu memandang kepada dua orang
gadis cantik di samping Cun Giok, kemudian dia berkata kepada pemuda itu.
“Pouw Cun Giok, engkau masih ingat kepada kami?”
“Tentu saja, Lo-cianpwe dan Adik Cu Ai Yin pernah menolong saya di
Bukit Merak,” kata Cun Giok, masih menduga-duga apa maksud datuk itu
menghadang perjalanannya.
Dua orang gadis itu memandang penuh curiga dan mereka menduga
bahwa datuk itu tentu bermaksud merampas harta karun yang digendong
Cun Giok di punggungnya.
“Pouw Cun Giok, aku hendak bicara penting sekali denganmu dan engkau
harus dapat memberi keputusan sekarang juga”
Cun Giok mengerutkan alisnya. Dia sekarang dapat menduga pula bahwa
datuk ini, seperti para tokoh lain, tentu menginginkan harta karun itu, maka
dia berkata dengan sikap tetap hormat.
“Lo-cianpwe, hendaknya Lo-cianpwe maklum bahwa harta karun itu
bukanlah hak milik kami, melainkan hak milik rakyat yang akan kami serahkan
kepada yang berhak kelak.”
“Huh, siapa peduli akan harta karun” bentak Bu-tek Sin-liong.
“Harta karun itu tidak ada artinya bagiku. Yang terpenting bagiku adalah
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
urusan puteriku, Cu Ai Yin.”
“Ada apakah dengan Adik Cu Ai Yin, Lo-cianpwe?” tanya Cun Giok heran
dan dia memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah gadis itu ikut datang
bersama ayahnya.
“Pouw Cun Giok, sekarang juga engkau harus ikut denganku ke Bukit
Merak dan kita langsung saja rayakan pernikahan puteriku denganmu”
“Menikah...?”
Ucapan ini keluar dari mulut tiga orang, yaitu Cun Giok, Ceng Ceng, dan
Li Hong karena mereka sungguh terkejut mendengar ucapan datuk itu.
“Maaf, Lo-cianpwe, saya sungguh tidak mengerti apa yang Lo-cianpwe
maksudkan. Kenapa saya harus ikut ke Bukit Merak dan... menikah dengan
Adik Cu Ai Yin?”
“Kenapa? Engkau masih bertanya kenapa?” bentak Bu-tek Sin-liong
dengan mata melotot dan mukanya menjadi semakin merah.
“Masih berpura-pura suci lagi. Pouw Cun Giok, engkau tinggal pilih,
menikah dengan Ai Yin atau mati di tanganku”
Cun Giok menjadi semakin penasaran, juga Ceng Ceng dan Li Hong
memandang heran. Li Hong sudah menjadi marah sekali, akan tetapi dua
orang gadis itu diam saja, hanya mendengarkan karena mereka tidak tahu
urusannya.
“Lo-cianpwe, sebelum saya memilih, harap jelaskan dulu mengapa Locianpwe
hendak memaksa saya menikah dengan puterimu,” kata Cun Giok
dengan sikap masih sabar.
“Bocah tak tahu diri, tidak mengenal budi dan kurang ajar Ai Yin telah
menyelamatkanmu ketika engkau pingsan di dekat sungai dan tentu akan
mati dimakan binatang buas kalau tidak ditolong Ai Yin dan dibawa ke
tempat tinggal kami. Kemudian untuk kedua kalinya Ai Yin menolongmu
ketika engkau akan dibunuh oleh Kong Sek. Semua itu dilakukan puteriku
karena ia jatuh cinta padamu. Akan tetapi apa yang telah kau lakukan?
Dengan kurang ajar engkau menciumi mulutnya ketika Ai Yin dalam keadaan
tidak sadar, dan membuka punggung bajunya. Karena itu, engkau harus
menikah dengannya atau aku akan membunuhmu sekarang juga”
“Lo-cianpwe, dengarkan dulu penjelasanku...”
“Tidak perlu penjelasan lagi. Pilih saja, mau menikah dengan Ai Yin atau
mati?”
Datuk itu sudah mencabut Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) dari
pinggangnya dengan mata mengancam.
“Lo-cianpwe, saya mengakui bahwa Nona Cu Ai Yin memang telah
berkali-kali menolong saya. Saya kagum dan suka padanya bahkan kami
berdua telah menjadi sahabat baik. Akan tetapi saya hanya menjadi
sahabatnya, tidak ingin menjadi suaminya. Dalam hal perjodohan ini harap
Lo-cianpwe tidak memaksa karena perjodohan yang dipaksakan hanya akan
mendatangkan kesengsaraan kepada puterimu sendiri kelak.”
“Berarti engkau menolak mengawininya setelah engkau ciuminya dan...”
“Hal itu dapat saya jelaskan, Lo-cianpwe” kata Cun Giok yang dapat
menduga bahwa Ai Yin tentu sudah bercerita kepada ayahnya tentang
peristiwa itu.
“Engkau menolak berarti mati.”
Bu-tek Sin-liong sudah tak dapat menahan diri dan hendak menyerang.
“Ayaaahhh... Jangan...”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Tiba-tiba terdengar jeritan dan muncullah Cu Ai Yin, gadis pendekar yang
cantik dan berjuluk Pek-hwa Sianli itu. Mukanya agak pucat dan basah,
tampak jelas bahwa ia tadi menangis. Gadis itu sudah berdiri menghadang di
antara Bu-tek Sin-liong dan Pouw Cun Giok, menghadapi ayahnya dan
berkata.
“Ayah, sudah kukatakan bahwa Cun Giok sama sekali tidak bersalah. Dia
tidak bertindak kurang ajar kepadaku. Ketika dia... mencium mulutku, hal itu
dia lakukan untuk memberi pernapasan kepadaku karena napasku berhenti
setelah aku tenggelam dalam air, dan dia membuka punggung bajuku untuk
mengobati luka di punggungku yang terkena anak panah. Dia tidak bersalah,
Ayah dan hal ini sudah kuceritakan kepadamu, mengapa Ayah masih hendak
memaksanya?”
“Hemm, Ai Yin, bukankah engkau mengaku bahwa engkau cinta kepada
pemuda tak tahu diri ini?” ayahnya menegur.
“Ayah, hal itu bukan alasan untuk memaksa dia menikah denganku. Aku
sekarang mengerti bahwa Cun Giok menyayangku sebagai seorang sahabat.
Ayah, aku tidak suka dipaksa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku.
Kalau Ayah hendak memaksa, lebih baik aku mati di depan Ayah”
Gadis cantik itu pun mencabut sepasang pedangnya. Sejenak ayah dan
anak ini saling tatap dengan pandang mata tajam. Kemudian Bu-tek Sin-liong
membanting kakinya dengan jengkel.
“Anak bodoh...”
Dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan marah.
Ai Yin membalikkan tubuh menghadapi Cun Giok. Kedua matanya basah.
Lalu ia memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng, kemudian ia berkata lirih
kepada Cun Giok.
“Cun Giok, kau maafkan Ayahku...”
“Tidak mengapa, Ai Yin. Justeru aku yang minta maaf kepadamu,” kata
Cun Giok dengan hati terharu karena dia telah membuat gadis itu kecewa.
Kini dia tahu bahwa Ai Yin telah mengaku cinta padanya kepada ayahnya.
Ai Yin tidak menjawab, hanya memutar tubuh dan berlari cepat mengejar
ayahnya. Suasana hening setelah ayah dan anak itu pergi jauh.
Ceng Ceng yang berwatak lembut dan peka itu merasa terharu dan
kasihan kepada Cu Ai Yin. Ia dapat menduga bahwa Pek-hwa Sianli itu telah
jatuh cinta kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi pemuda itu tidak membalas
cintanya. Ia pun merasa yakin karena sudah mengenal watak pemuda itu
bahwa Cun Giok benar-benar hendak menyelamatkan nyawa Cu Ai Yin ketika
‘mencium’ dan membuka punggung bajunya, tidak ada niat lain yang tidak
senonoh. Ia lalu teringat kepada Siok Eng, tunangan Cun Giok yang telah
tewas dalam keadaan menyedihkan itu dan dari pergaulannya dengan Cun
Giok, Ceng Ceng juga dapat merasakan dan tahu bahwa kesetiaan Cun Giok
terhadap Siok Eng bukan karena cinta, melainkan karena Cun Giok seorang
laki-laki sejati yang menghargai dan memegang teguh janji perjodohan itu
Pemuda itu ditunangkan dengan Siok Eng dan tidak menolak karena
hendak menyenangkan dan berbakti kepada guru dan ayah angkatnya,
mendiang Suma Tiang Bun. Kemudian ia teringat kepada Li Hong yang kini
berdiri di dekatnya. Juga gadis ini pernah tergila-gila kepada Cun Giok yang
ternyata sekarang adalah kakak misannya sendiri. Li Hong demikian mencinta
Cun Giok sampai hampir membunuhnya karena cemburu. Akan tetapi ia
bersyukur bahwa Li Hong telah mendapatkan penggantinya, yaitu Pangeran
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Youtechin yang tampan dan gagah.
Teringat akan itu semua, dan teringat kepada dirinya sendiri yang tak
dapat ia sangkal juga amat mencinta Cun Giok, Ceng Ceng menarik napas
panjang. Betapa banyak gadis yang jatuh hati kepada Pendekar Tanpa
Bayangan ini.
“Enci Ceng Ceng, kenapa engkau menghela napas panjang?” tanya Li
Hong.
Ceng Ceng mengerling kepada Cun Giok yang melangkah sambil
menundukkan muka dan alisnya berkerut seperti orang sedang melamun.
“Aku kasihan sekali kepada puteri Bu-tek Sin-liong itu, Hong-moi. Ia
seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga berwatak baik dan
jujur.”
“Bagaimana engkau bisa tahu bahwa ia baik dan jujur, Enci Ceng?”
“Ia telah menyelamatkan nyawa Giok-ko sampai dua kali, itu berarti ia
berwatak baik. Dan kata-katanya ketika mencegah ayahnya menyerang Giokko
tadi menunjukkan bahwa ia seorang yang jujur. Sungguh patut dikasihani.
Aih, betapa cinta telah banyak memakan korban, menghancurkan
kebahagiaan banyak orang...”
“Ah, tidak semua cinta gagal dan menyengsarakan orang, Enci Ceng.
Contohnya aku sendiri. Aku mencinta Pangeran Youtechin dan dia pun
mencintaku, dan kami berdua bahagia dan akan menjadi suami isteri yang
berbahagia” Ia berhenti sebentar lalu menoleh kepada Cun Giok dan
melanjutkan kata-katanya.
“Dan lihat Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok ini, dan engkau
sendiri, Enci Ceng. Bukankah kalian berdua saling mencinta dan
berbahagia?”
“Hong-moi...” Cun Giok menegur.
“Kenapa Giok-ko? Bukankah aku bicara jujur dan apa adanya? Engkau
tidak dapat menyangkal bahwa engkau sejak dulu mencinta Enci Ceng Ceng,
dan sebaliknya Enci Ceng Ceng juga mencintamu. Ingat, Giok-ko, janjiku dulu
masih berlaku sehingga sekarang, yaitu bahwa apabila engkau menyianyiakan
cinta Enci Ceng Ceng dan tidak mau menikahinya, aku akan
melupakan bahwa engkau ini kakak misanku dan engkau akan kumusuhi”
“Hong-moi...”
Kini Ceng Ceng yang menegur dan wajah gadis ini menjadi merah sekali.
Cun Giok menghela napas panjang. Menghadapi Li Hong yang jujur, dia tidak
dapat merahasiakan atau menyembunyikan keadaan hatinya lagi. Dan
memang sebaiknya dia berterus terang agar dapat didengar pula oleh Ceng
Ceng, karena dia akan selalu merasa tidak tenang sebelum menyampaikan
pikiran yang menekan dan selalu mengganggu perasaannya mengenai
hubungan cintanya dengan Ceng Ceng.
“Adik Li Hong, engkau sungguh keterlaluan”
Ceng Ceng menegur dengan suara halus.
“Cinta dan pernikahan tidak dapat dipaksakan, mengapa engkau hendak
memaksa Giok-ko?”
“Enci Ceng Ceng, sejak dulu aku tahu benar bahwa engkau dan Giok-ko
saling mencinta. Kemudian Giok-ko mengatakan tidak mungkin berjodoh
denganmu karena dia sudah mempunyai seorang tunangan. Akan tetapi
sekarang, tunangannya itu telah meninggal dunia, maka tidak ada halangan
lagi bagi kalian berdua untuk berjodoh dan menikah. Kalau Giok-ko
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
mengingkari cintanya kepadamu, terpaksa akan kutentang dia”
“Hong-moi dan Ceng-moi, biarlah aku menggunakan kesempatan ini
untuk membuat pengakuan. Aku tidak mengingkari bahwa sejak pertemuan
pertama dengan Ceng-moi, aku telah jatuh cinta kepadamu Ceng-moi.
Kemudian aku teringat akan ikatan perjodohanku dengan tunanganku Siok
Eng dan aku tidak bisa mengingkari atau mengkhianati perjodohan kami itu.
Aku telah berterus terang kepadamu, Ceng-moi, bahwa di antara kita tidak
mungkin terdapat ikatan perjodohan karena aku telah bertunangan.
Kemudian, Eng-moi ternyata telah tewas. Aku merasa berdosa kepadanya
karena tidak mampu melindunginya dan biarpun kami belum menikah, aku
menganggap diriku telah menjadi seorang duda. Inilah sebabnya mengapa
aku menjadi ragu, apakah aku pantas menjadi jodoh Ceng-moi. Pertama, aku
adalah seorang duda yang hidup sebatang kara dan miskin. Kedua, aku
merasa berdosa kepada Siok Eng yang telah menantiku dengan setia sampai
tewas terbunuh...”
“Akan tetapi engkau tidak bersalah, Giok-ko Dan engkau sudah
membalaskan kematiannya, bukan? Kukira sekarang tiada salah dan
halangannya lagi bagi engkau dan Enci Ceng Ceng untuk mengikat
perjodohan”
Mendengar ucapan Li Hong itu, Ceng Ceng lalu bicara dengan suara
bernada serius untuk menghentikan adik angkatnya itu bicara lebih banyak
tentang urusan perjodohan yang hanya membuat ia dan Cun Giok merasa
tidak enak saja.
“Sudahlah, Hong-moi, aku minta dengan sangat agar kita tidak
membicarakan lagi urusan itu. Mari kita lanjutkan perjalanan kita ke Pulau
Ular”
Mendengar ucapan yang bernada kering dan melihat wajah Ceng Ceng
yang mengerutkan alis sehingga sikapnya berbeda dari biasanya yang ramah,
Li Hong tidak berani membantah lagi dan mereka bertiga lalu melanjutkan
perjalanan dengan cepat.
Karena Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong merupakan orang-orang muda
yang lihai sekali dan mereka melakukan perjalanan cepat, maka dalam
perjalanan itu mereka tidak menemui rintangan dan tidak lama kemudian
mereka telah menyeberang dengan perahu ke Pulau Ular.
---------
Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu menyambut kedatangan tiga
orang muda itu dengan gembira dan lega melihat betapa Li Hong dan Ceng
Ceng kembali ke Pulau Ular dengan selamat. Apalagi setelah mereka melihat
betapa mereka berhasil mendapatkan harta karun Kerajaan Sung yang
diperebutkan itu.
Ketika Li Hong memperkenalkan Pouw Cun Giok dan pemuda itu memberi
hormat kepada kakak ibunya, Tan Kun Tek memegang kedua pundak pemuda
itu dengan terharu dan girang.
“Aih, Cun Giok, sungguh bahagia sekali rasa hatiku dapat bertemu
dengan putera Adikku Tan Bi Lian. Selama bertahun-tahun ini hatiku ikut
merasa berduka mendengar akan nasib kedua orang tuamu. Aku tidak pernah
bertemu dengan ibumu semenjak ia menikah dan pergi mengikuti ayahmu.”
“Saya yang mohon maaf kepada Paman dan Bibi karena baru saya ketahui
dari Adik Li Hong bahwa mendiang ibu saya mempunyai seorang kakak.”
Ban-tok Niocu yang pernah bertemu dengan Cun Giok dan mengagumi
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pemuda itu juga menyambut dengan gembira. Perjamuan keluarga diadakan
untuk menyambut mereka dan mereka sekeluarga lalu makan minum dengan
gembira.
Setelah makan mereka duduk di ruangan dalam dan di sini Ceng Ceng
diminta untuk menceritakan keberhasilannya menemukan harta karun dari
peta yang diwariskan ayahnya kepadanya. Dengan terkadang dibantu
tambahan keterangan dari Li Hong dan Cun Giok, Ceng Ceng menceritakan
semua pengalamannya di Thai-san sehingga ia akhirnya, dengan bantuan
Cun Giok, mendapatkan setengah dari harta karun itu.
Tan Kun Tek dan dua orang isterinya mendengarkan dengan penuh
perhatian dan merasa kagum. Akan tetapi mendengar bahwa akhirnya Ceng
Ceng hanya mendapatkan setengah harta karun itu, Ban-tok Niocu merasa
penasaran dan dengan alis berkerut ia bertanya.
“Ceng Ceng, mengapa engkau hanya mendapatkan setengahnya?”
“Yang setengahnya lagi diambil oleh Pangeran Youtechin” kata Li Hong
dengan bersemangat dan wajahya berseri.
“Eh, mengapa begitu? Bukankah harta karun Kerajaan Sung itu menjadi
hak milikmu karena petanya diwariskan mendiang ayahmu kepadamu, Ceng
Ceng?” tegur Ban-tok Niocu.
“Siapa pula itu Pangeran Youtechin?” tanya Tan Kun Tek heran.
Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang, merasa tidak enak kalau harus
memberitahu bahwa pangeran itu adalah pemuda yang dulu bernama atau
dikenal sebagai Yauw Tek dan yang kini menjadi calon suami Li Hong.
Mereka berdua memandang kepada Li Hong dengan pandang mata menuntut
agar Li Hong yang memberi penjelasan dan pengakuan. Dengan gaya yang
lincah, Li Hong yang maklum akan isi hati kakak misan dan kakak angkatnya,
segera berkata kepada ayah dan kedua ibunya.
“Begini persoalannya, Ayah dan Ibu berdua. Sebetulnya, setelah
mengetahui bahwa Enci Ceng Ceng berniat menyerahkan harta karun kepada
wakil rakyat pejuang, para tokoh yang tadinya ikut memperebutkan harta
karun lalu mendukung Enci Ceng Ceng. Semua orang mencari harta karun
akan tetapi akhirnya, Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok dan Enci Ceng
Ceng yang berhasil menemukan peti berisi harta karun Kerajaan Sung itu.
Kemudian muncul Pangeran Youtechin yang minta agar harta karun
diserahkan kepadanya sebagai wakil Kerajaan Goan dan utusan istimewa dari
Kaisar.”
“Huh, enak saja. Dasar Pangeran Mongol yang curang dan jahat” kata
Ban-tok Niocu marah.
“Tidak, Ibu, tidak jahat” Li Hong cepat membela pangeran itu.
“Buktinya, dia tidak mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun,
bahkan melarang dua orang pembantunya yang lihai, Cui-beng Kui-ong dan
Song-bun Moli yang hendak merampas harta karun. Dia minta harta karun itu
secara baik-baik, mengajukan alasan yang masuk akal.”
“Hemm, alasan masuk akal bagaimana yang dia ajukan?” Kini Tan Kun
Tek bertanya kepada Li Hong.
“Begini, Ayah. Pangeran Youtechin mengatakan bahwa harta pusaka itu
tadinya milik Kerajaan Sung, akan tetapi karena Kerajaan Sung telah kalah
oleh pasukan Mongol maka semua harta miliknya menjadi barang rampasan
Kerajaan Goan (Mongol). Pula, harta karun itu ditemukan di Thai-san yang
juga menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kerajaan Goan, maka sudah
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
semestinya menjadi hak milik Kerajaan Goan yang diwakili Pangeran
Youtechin. Maka, alasannya itu tak dapat dibantah kebenarannya dan cukup
kuat,” kata Li Hong.
“Dan engkau lalu menyerahkan setengah bagian harta karun itu
kepadanya, Ceng Ceng?” tanya Ban-tok Niocu.
“Tidak, Ibu.”
Ceng Ceng juga menyebut ibu kepada Ban-tok Niocu karena ia menjadi
saudara angkat Li Hong dan otomatis menjadi anak angkat tiga orang tua di
Pulau Ular itu.
“Pangeran Youtechin berdebat dengan saya, masing-masing mengajukan
alasan. Saya sebagai pelaksana pesan terakhir Ayah dan dia sebagai utusan
istimewa Kaisar. Masing-masing tidak mau mengalah dan akhirnya Pangeran
Youtechin menantang untuk diadakan pi-bu satu lawan satu. Yang menang
berhak memiliki harta karun itu.”
“Hemm, aneh sekali. Bagaimana seorang Pangeran Mongol bersikap
segagah itu?” tanya Ban-tok Niocu heran.
“Memang Pangeran Youtechin seorang pendekar, Ibu” kata Li Hong.
“Dia pantang bertindak curang, tidak mau mengerahkan pasukan untuk
merampas harta karun melainkan mengajak pi-bu secara adil seperti seorang
pendekar”
“Lalu bagaimana?” Tan Kun Tek ingin sekali mendengar kelanjutan cerita
itu.
“Kakak Pouw Cun Giok mewakili saya dalam pi-bu itu. Pangeran itu lalu
bertanding melawan Giok-ko. Mula-mula adu tenaga sakti, setelah ternyata
sin-kang mereka berimbang kekuatannya, mereka lalu bertanding silat tangan
kosong. Juga dalam pertandingan ini mereka berimbang.”
“Wah, hebat juga Pangeran Mongol itu” kata Ban-tok Niocu yang sudah
tahu akan kelihaian Cun Giok.
“Memang pangeran itu lihai sekali, Ibu” kata Li Hong bangga.
“Kemudian mereka bertanding ilmu pedang. Biarpun ilmu pedang mereka
seimbang juga, namun Giok-ko memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
yang lebih tinggi sehingga akhirnya Pangeran Youtechin mengakui
kekalahannya,” Ceng Ceng melanjutkan.
“Tentu saja… Giok-ko berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), ginkangnya
tidak ada yang dapat menandinginya. Kalau tidak demikian, belum
tentu pangeran itu kalah” kembali Li Hong berkata dan jelas suaranya
membela Sang Pangeran.
“Nah, kalau Cun Giok menang, berarti harta karun itu menjadi milikmu
semua, mengapa hanya setengah dan mengapa pula yang setengah
diserahkan kepada pangeran itu?” Ban-tok Niocu bertanya penasaran.
“Kalau tidak saya serahkan setengahnya, pangeran itu sebagai utusan
istimewa Kaisar tentu akan menerima hukuman berat karena tugasnya
mengalami kegagalan,” kata Ceng Ceng.
“Akan tetapi, peduli apa dia mau digantung atau dipenggal kepalanya?
Kenapa kalian begitu melindungi seorang pangeran Mongol yang menjadi
wakil Pemerintah Kerajaan Mongol?” tegur Ban-tok Niocu kepada gadis yang
kini menjadi anak angkatnya itu.
“Ibu, kami tidak berurusan dengan Pemerintah Goan, melainkan urusan
pribadi. Kami tidak ingin Pangeran Youtechin dihukum karena selain dia
bertindak adil dan tidak menggunakan kekerasan merampas harta karun
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
dengan pengerahan pasukan yang tentu tidak akan mampu kami lawan, juga
mengingat bahwa Pangeran Youtechin itu adalah... calon ipar saya,” kata
Ceng Ceng.
“Calon iparmu? Ceng Ceng, apa maksudmu dengan kata-kata itu?” tanya
Tan Kun Tek dan semua orang memandang Ceng Ceng dengan mata
terbelalak heran.
“Ayah, dengan membagi harta karun, Enci Ceng Ceng telah bertindak
bijaksana dan adil. Berarti Enci Ceng Ceng dapat melaksanakan
kewajibannya terhadap mendiang ayah kandungnya, dan Pangeran Youtechin
juga dapat melaksanakan tugasnya sebagai utusan Kaisar. Dan dengan
demikian, tidak terjadi pertempuran besar, karena kalau pemerintah
mengerahkan pasukan, tentu kami semua tidak mampu melawan. Selain itu,
hendaknya Ayah dan Ibu berdua mengetahui bahwa aku telah... bertunangan
dengan Pangeran Youtechin...”
“Gila” bentak Ban-tok Niocu dengan marah.
“Li Hong, gilakah engkau? Bagaimana engkau memilih seorang Pangeran
Mongol menjadi calon jodohmu? Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan
pandai, keturunan terhormat, apakah kurang pendekar-pendekar sakti yang
gagah perkasa untuk menjadi jodohmu? Mengapa seorang Pangeran
Mongol?”
“Li Hong,” kata Tan Kun Tek yang juga terkejut namun suaranya lebih
lembut karena dia merasa tidak berhak memutuskan mengingat bahwa dia
baru saja bertemu dengan anak kandungnya yang tumbuh dewasa di bawah
asuhan Ban-tok Niocu di Pulau Ular.
“Coba kau jelaskan, bagaimana engkau sampai memilih pangeran itu
sebagai calon suamimu?”
Biarpun tiga orang tuanya tampak terkejut dan agaknya tidak suka
mendengar ia akan berjodoh dengan pangeran itu, Li Hong tetap tenang dan
tersenyum.
“Ayah dan kedua Ibu, mantu seperti apakah yang kalian inginkan?”
“Tentu saja seorang pendekar seperti kakak misanmu ini” kata Ban-tok
Niocu.
“Ya, kami menginginkan mantu seorang pendekar budiman,” kata Tan
Kun Tek dan isterinya yang sejak tadi diam saja hanya mengangguk-angguk
membenarkan suaminya.
“Hemm, seorang pendekar seperti Yauw Tek itu?” tanya Li Hong.
“Yang sudah kalian kenal kehebatannya itu?”
“Ya, seperti Yauw Tek itu. O ya, mengapa kalian tidak menceritakan
tentang Yauw Tek yang dulu menemani kalian berdua pergi mencari harta
karun? Kemana dia dan bagaimana dengan dia?” kata Ban-tok Niocu.
“Ayah dan Ibu berdua, ketahuilah bahwa Yauw Tek itu bukan lain adalah
Pangeran Youtechin,” kata Li Hong.
“Apa...?” Tiga orang tua itu terkejut.
“Kalau begitu, ketika dia ke sini itu, dia memang sengaja menyamar dan
bermaksud buruk?” tanya Ban-tok Niocu.
“Sama sekali tidak, Ibu,” Li Hong membela kekasihnya.
“Dia memang mendengar bahwa Enci Ceng Ceng, pemegang peta harta
karun itu, berada di sini. Sebagai utusan Kaisar yang bertugas menemukan
harta karun itu, tentu saja dia ingin mendekati Enci Ceng Ceng dan
menyelidikinya. Akan tetapi ketika dia sudah dekat dengan pulau kita ini, dia
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bertemu dengan pasukan pemerintah. Pangeran Youtechin belum lama
kembali dari perantauannya ke barat sejak remaja, maka pasukan itu tidak
mengenalnya. Dan Pangeran Youtechin yang sedang menyamar juga tidak
memperkenalkan diri, maka dia dikeroyok sehingga terluka dan kita
menolongnya.”
“Akan tetapi, Li Hong, bagaimana ceritanya sampai engkau... mengambil
keputusan bertunangan dengan seorang Pangeran Mongol? Tidak kelirukah
pilihanmu itu?” Tan Kun Tek bertanya sambil mengerutkan alisnya dan
Nyonya Tan juga menggelengkan kepalanya tanda kurang setuju.
Jantung dalam dada Li Hong berdebar kencang dan mukanya berubah
merah ketika ia teringat akan pengalamannya dengan Yauw Tek atau
Pangeran Youtechin. Tentu saja ia tidak mau menceritakan kepada siapapun
juga bahwa ia telah berhubungan sebagai suami isteri dengan kekasihnya itu
Melihat Li Hong agaknya ragu dan malu, Ban-tok Niocu tidak sabar dan
berkata kepada Ceng Ceng.
“Ceng Ceng, engkau yang melakukan perjalanan bersama Li Hong dan
Yauw Tek tentu tahu apa yang telah terjadi. Ceritakan kepada kami”
Ceng Ceng lalu bercerita dengan singkat.
“Ketika itu kami bertiga, saya, Hong-moi dan Pangeran Youtechin yang
kita kenal sebagai Yauw Tek membantu pihak Ang-tung Kai-pang
menghadapi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko beserta anak buah mereka. Kami
berhasil mengusir Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, dan sepasang iblis itu melarikan
diri. Adik Li Hong mengejar mereka sedangkan saya lalu sibuk mengobati
orang-orang Ang-tung Kai-pang yang terluka. Yauw Tek lalu pergi menyusul
Hong-moi. Nah, demikianlah dan selanjutnya, saya kira Adik Li Hong sendiri
yang akan dapat menceritakan dengan jelas.”
“Apa yang diceritakan Enci Ceng itu benar,” kata Li Hong.
“Aku amat benci kepada Hek Pek Mo-ko dan melakukan pengejaran untuk
membunuh mereka. Akan tetapi setelah mengejar sampai hari menjadi gelap,
aku kehilangan jejak mereka. Dalam sebuah hutan aku terjebak dalam
perangkap lalu tahu-tahu aku tertotok pingsan. Ketika aku siuman, aku telah
berada dalam sebuah gubuk, kaki tanganku terikat dan di situ terdapat dua
orang laki-laki yang menyeramkan dan tampak jahat sekali. Mereka itu
bersikap kurang ajar, memaksa aku minum sesuatu yang membuat tubuhku
tidak karuan rasanya dan... dan mereka melucuti pakaianku. Dalam keadaan
yang amat gawat tanpa aku dapat melakukan sesuatu itu, tiba-tiba muncul
Pangeran Youtechin dan dua orang itu dibunuhnya. Aku ditolong oleh
pangeran itu. Nah, Ayah dan Ibu berdua tentu mengerti mengapa aku
bertekad untuk berjodoh dengan Pangeran Youtechin. Pertama karena kami
memang mencinta, dan kedua... bagaimana aku dapat menikah dengan lakilaki
lain kalau Pangeran Youtechin telah melihatku dalam keadaan seperti itu,
bertelanjang bulat? Akan tetapi yang lebih penting, aku menilai dia seorang
yang bertabiat baik sekali, dan kami berdua saling mencinta”
Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya hanya dapat saling pandang.
Walaupun di dalam hati mereka terdapat perasaan yang kurang puas memiliki
seorang mantu Pangeran Mongol, akan tetapi merekapun maklum akan
kekerasan hati Li Hong. Dilarang dan ditentang tentu akan percuma karena
kalau sudah memiliki kemauan, gadis itu tidak mungkin dapat dilarang lagi.
Apalagi Tan Kun Tek dan Nyonya Tan merasa tidak memelihara dan mendidik
Li Hong sejak kecil sampai dewasa, mereka tentu saja merasa tidak enak
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
kalau melarang. Mereka pun menyadari bahwa di bawah bimbingan Ban-tok
Niocu yang sebelum menjadi Niocu (Nona) berjuluk Mo-li (Iblis Betina) yang
ganas dan kejam, Li Hong menjadi seorang gadis yang amat keras hati. Hanya
Ban-tok Niocu yang masih penasaran itu berani bicara, akan tetapi ia
bertanya kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, untuk memuaskan hatinya.
“Cun Giok dan Ceng Ceng, aku percaya kepada kalian berdua. Maka
sekarang katakanlah sejujurnya, benarkah, apa yang dikatakan Li Hong
bahwa Pangeran Youtechin itu seorang pemuda yang baik?”
Ceng Ceng dan Cun Giok saling berpandangan, lalu mereka menoleh dan
memandang Li Hong.
“Giok-ko dan Enci Ceng, katakanlah yang sebenarnya. Kalau memang
kalian melihat Youtechin sebagai seorang pemuda yang brengsek dan jahat,
jangan tutup-tutupi, katakan yang sebenarnya” kata Li Hong menantang.
Gadis ini memang sudah nekat karena andaikata orang tuanya dan
seluruh manusia di dunia ini tidak setuju, tetap saja ia akan menikah dengan
Pangeran Youtechin. Karena sesungguhnya, ia sekarang pun telah menjadi
isteri Pangeran Mongol itu.
Akhirnya Ceng Ceng bicara. Ia memang melihat bahwa Yauw Tek atau
Pangeran Youtechin itu seorang pemuda yang baik dan pantas menjadi suami
Li Hong. Memang ada sedikit hal yang mengecewakan hatinya, yaitu
pangeran itu mudah mengobral dan menyatakan cinta. Dulu baru saja dia
menyatakan cinta kepadanya dan ditolaknya, di lain saat dia telah
mengalihkan dan menyatakan cintanya kepada Li Hong. Mungkin sudah
demikianlah watak seorang pemuda bangsawan tinggi, pikirnya, sehingga
akan terdengar amat aneh dan apabila seorang pangeran memiliki isteri
kurang dari lima orang
“Ayah dan berdua Ibu, saya telah melakukan perjalanan bersama Adik
Hong dan Pangeran Youtechin dan saya berani menyatakan bahwa Pangeran
Youtechin adalah seorang yang baik budi, juga gagah perkasa dan sama
sekali tidak membenci kita bangsa Han.”
Tan Kun Tek mengangguk-angguk, lalu memandang Cun Giok.
“Bagaimana dengan pendapatmu, Cun Giok?”
“Pek-hu (Uwa), saya belum pernah bergaul dengan dia, akan tetapi saya
dapat menerangkan bahwa ketika saya bertanding melawannya, dia memiliki
ilmu silat yang amat tangguh. Kalau saja saya tidak unggul dalam gin-kang,
belum tentu saya dapat mengalahkannya. Juga dia gagah perkasa, tidak mau
melakukan pengeroyokan dan dengan jujur mengakui kekalahannya.”
Mendengar keterangan Ceng Ceng dan Cun Giok, lega dan giranglah hati
Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu. Tan Kun Tek lalu berkata.
“Akan tetapi, kalau dia seorang pangeran yang berkedudukan tinggi,
bagaimanakah perjodohan itu akan diaturnya? Biarpun dia bangsawan tinggi,
kita tidak ingin menikahkan puteri kita tanpa disertai peraturan umum. Kita
tidak mau merendahkan diri dan harus menjaga kehormatan kita”
“Tentu saja” kata Ban-tok Niocu menyambut ucapan suaminya.
“Biarpun dia pangeran, dia harus mengajukan pinangan secara resmi
untuk menghormati keluarga kita”
“Harap Ayah dan berdua Ibu tidak khawatir,” kata Ceng Ceng membela
adiknya.
“Saya dan Giok-ko yang menjadi saksi ketika Pangeran Youtechin berjanji
kepada Adik Li Hong untuk mengirim pinangan secara resmi.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Bagus… Kalau begitu tidak ada masalah dan kami bertiga pasti
menyetujuinya perjodohan itu” kata Tan Kun Tek dan wajah Li Hong berseriseri
dan kedua pipinya tampak kemerahan sehingga ia kelihatan cantik jelita
sekali. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata, mengeluarkan ucapan yang
mengejutkan semua orang.
“Ayah dan berdua Ibu, aku tidak mau melangsungkan pernikahan kalau
tidak berbareng dengan pernikahan Enci Ceng Ceng”
“Hong-moi...”
Ceng Ceng berseru setengah menjerit karena terkejut dan heran.
“Ha-ha, engkau ini aneh sekali, Li Hong. Bagaimana kalau Ceng Ceng
belum mempunyai tunangan atau pilihan hatinya? Sampai kapan engkau akan
menunggu?” kata Tan Kun Tek.
“Ayah, Enci Ceng Ceng sudah yatim piatu dan sebatang kara. Karena ia
menjadi enci angkatku, dengan sendirinya ia menjadi anak angkat Ayah dan
berdua Ibu. Maka sudah seharusnya kalau Ayah yang menjadi wali dan
sebagai Ayah angkatnya bersedia menerima pinangan dari calon suaminya”
kata pula Li Hong tanpa mempedulikan gerakan tangan Ceng Ceng yang
memprotesnya.
“Aih, jadi ia sudah mempunyai pilihan? Tentu saja kami bertiga senang
sekali menjadi walinya dan mewakili orang tuanya yang sudah tidak ada
untuk menerima pinangan itu. Siapa yang akan datang meminang?”
“Yang meminang adalah Ayah sendiri” kata Li Hong sambil cekikikan
menahan tawa.
“Hei, gilakah engkau, Li Hong? Aku mengajukan pinangan kepada aku
sendiri? Bagaimana ini? Apakah engkau sudah mabok?” tanya Tan Kun Tek
heran dan kedua orang wanita itu pun memandang anak perempuan mereka
dengan bingung.
“Ayah menerima pinangan sebagai wali atau wakil Enci Ceng Ceng, dan
Ayah mengajukan pinangan sebagai wali atau wakil Kakak Pouw Cun Giok.
Dia juga sudah yatim piatu dan sebatang kara, maka sudah semestinya kalau
Ayah sebagai uwanya mewakilinya, bukan?”
Tan Kun Tek menjadi bingung.
“Wah... ini... ini bagaimana? Bagaimana dilaksanakannya? Masa aku
mengajukan pinangan kepadaku sendiri?”
“Hi-hik, mudah saja diatur urusan itu” tiba-tiba Ban-tok Niocu berkata.
“Koko, engkau mewakili Cun Giok mengajukan pinangan atas Ceng Ceng,
dan akulah yang menjadi wakil Ceng Ceng untuk menerima pinangan itu.
Beres, bukan?”
“Bagus… bagus… Sekarang bereslah sudah” Li Hong bersorak.
Semua orang tertawa, kecuali Cun Giok dan Ceng Ceng yang hanya
menundukkan muka mereka yang berubah kemerahan.
“Nanti dulu”
Tan Kun Tek berkata sehingga mereka yang tertawa berhenti dan
memandang kepadanya.
“Jangan tertawa dan bergembira lebih dulu. Sebagai wakil-wakil dua
orang yang akan berjodoh, sudah semestinya kita bertanya dulu kepada yang
bersangkutan. Cun Giok, bagaimana kalau aku menjadi walimu dan
mengajukan lamaran kepada Ceng Ceng?”
Cun Giok semakin menunduk dan menahan senyum malu-malu.
“Hei, bagaimana ini? Giok-ko, mengapa engkau begini malu-malu seperti
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
seorang gadis saja? Hayo jawablah pertanyaan Ayah” kata Li Hong.
“Benar, Cun Giok, jawablah, apakah engkau bersedia untuk dijodohkan
dengan Ceng Ceng?” desak Tan Kun Tek.
Cun Giok melempar pandang ke arah Ceng Ceng yang masih menunduk.
Dia khawatir kalau-kalau akan menyinggung hati gadis itu. Maka dengan hati
tegang dia terpaksa mengangguk dan menjawab lirih sekali.
“Saya... bersedia, Pek-hu...”
“Apa jawabmu? Kurang jelas, Cun Giok. Jawablah yang jelas, engkau
bersedia atau tidak?” desak Tan Kun Tek yang pura-pura tidak mendengar.
“Saya... bersedia” kata Cun Giok lebih lantang.
“Bagus” kata Tan Kun Tek yang kini dengan gaya lucu menghadap ke
arah isterinya yang kedua.
“Ban-tok Niocu, aku mewakili Pouw Cun Giok untuk melamar anak
angkatmu Liu Ceng Ceng. Bagaimana, apakah lamaranku itu dapat
kauterima?”
“Nanti dulu, akan kutanyakan kepada yang bersangkutan. Liu Ceng Ceng,
engkau sudah mendengar sendiri lamaran dari Pouw Cun Giok yang diwakili
uwanya. Sekarang jawablah dengan jelas, apakah engkau bersedia untuk
dijodohkan dengan Pouw Cun Giok?”
Tanpa mengangkat mukanya, Ceng Ceng semakin menundukkan muka
dan menjawab dengan suara menggetar.
“Saya... bersedia...”
“Bagus… Selamat, Enci Ceng...” Li Hong bersorak dan merangkul Ceng
Ceng.
Akan tetapi pada saat itu, Ceng Ceng menangis tersedu-sedu. Gadis ini
merasa terharu sekali karena teringat akan ayah ibunya yang tidak dapat
menyaksikan kebahagiaannya itu. Li Hong maklum dan sambil merangkul
Ceng Ceng ia ikut menangis. Nyonya Tan juga mendekati mereka dan
merangkul sambil menangis terharu. Hanya Ban-tok Niocu yang memandang
sambil tersenyum, akan tetapi tanpa ia sadari kedua matanya menjadi basah.
Melihat kekasihnya menangis tersedu-sedu, Cun Giok juga teringat
kepada orang tuanya dan dia merasa kasihan kepada Ceng Ceng dan juga
terharu, maka dia menundukkan mukanya dan menahan suara tangisnya,
akan tetapi air mata menetes-netes ke atas sepasang pipinya.
Sejenak Tan Kun Tek membiarkan keharuan mereka larut melalui air mata,
kemudian dia berseru.
“Hei, apa-apaan ini? Kita mestinya bergembira ria, mengapa malah
bertangis-tangisan? Hayo cepat hapus air matamu dan kita harus rayakan
kebahagiaan ini dengan minum arak untuk mengucapkan selamat kepada tiga
orang calon pengantin kita”
Mendengar teriakan ini, semua orang mengusap air mata mereka dan tak
lama kemudian, dengan mulut tersenyum namun mata basah, keluarga itu
minum arak merayakan kebahagiaan mereka.
--------
Tepat seperti yang telah dijanjikannya, tak lama kemudian utusan resmi
dari Pangeran Banagan datang ke Pulau Ular. Rombongan ini diutus Pangeran
Banagan di kota raja untuk mengajukan pinangan puteranya, Pangeran
Youtechin, kepada Tan Li Hong. Rombongan yang membawa mas kawin amat
mewah dan berharga itu disambut dengan kehormatan oleh keluarga Majikan
Pulau Ular. Pinangan diterima dan keluarga itu minta disampaikan usul
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
mereka agar upacara pertemuan pengantin diadakan dan akan dirayakan di
Pulau Ular sebagai pasangan pengantin kembar, yaitu Tan Li Hong
berpasangan dengan Pangeran Youtechin, dan Liu Ceng Ceng berpasangan
dengan Pouw Cun Giok. Juga keluarga itu mengusulkan hari perkawinan agar
disampaikan kepada keluarga Pangeran Youtechin.
Usul dari keluarga Pulau Ular itu diterima baik. Dan demikianlah,
beberapa bulan kemudian, pada waktu yang telah ditetapkan, Pulau Ular
tampak meriah sekali. Semua tempat berbahaya yang dipasangi jebakan telah
disingkirkan sehingga pulau itu menjadi tempat yang indah menyenangkan.
Tamu-tamu dari kalangan persilatan datang mengalir, termasuk partai-partai
persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai,
Hoa-san-pai, Thai-san-pai, dan lain-lain. Apalagi yang menikah adalah Liu
Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok yang banyak dikenal di dunia kang-ouw dan
dihormati banyak golongan. Juga tamu-tamu para bangsawan untuk
menghormati pernikahan Pangeran Youtechin hadir sehingga pulau itu
menjadi tempat pesta yang amat meriah.
Di antara mereka yang datang berkunjung, terdapat pula The Toanio,
majikan Lembah Seribu Bunga dengan dua orang puterinya, The Kui Lan dan
The Kui Lin yang kembar, bersama tunangan mereka yang sudah diresmikan
Liong Kun dan Thio Kui, dua orang pemuda pendekar Bu-tong-pai itu. Bu-tek
Sin-liong Cu Liong dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, penghuni Bukit
Merak, juga diundang, akan tetapi mereka tidak datang hanya mengirim
utusan mengantarkan sumbangan karena datuk itu masih merasa penasaran
bahwa Pouw Cun Giok tidak bersedia menjadi suami puterinya, dan Cu Ai Yin
merasa malu untuk menghadiri hari pernikahan itu, di samping merasa
kecewa karena cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Setelah berdiam di Pulau Ular selama sepekan, sepasang mempelai
meninggalkan pulau itu. Li Hong diboyong suaminya ke kota raja dimana
keluarga Pangeran Youtechin akan menyambut sepasang mempelai itu
dengan pesta meriah yang dihadiri oleh keluarga istana dan para pembesar.
Ada pun Pouw Cun Giok dan Ceng Ceng juga meninggalkan pulau. Tan
Kun Tek dan dua orang isterinya sudah minta dengan sangat agar mereka
berdua tinggal di Pulau Ular, akan tetapi sepasang mempelai baru itu
menolak dengan halus. Ceng Ceng ingin bersama suaminya kembali ke Nanking
ke bekas rumah orang tuanya yang disita pemerintah daerah. Berkat
surat perintah yang mereka terima dari Pangeran Youtechin, mereka akan
dapat memiliki kembali rumah itu tanpa ada yang berani mengganggu
mereka. Atas nasihat Tan Kun Tek dan dua orang isterinya, harta karun yang
dibawa Ceng Ceng dan Cun Giok dari Thai-san itu disimpan di Pulau Ular,
tempat yang aman dan kelak akan mereka serahkan kepada yang berhak,
yaitu kalau muncul pimpinan sejati bagi rakyat jelata untuk berjuang
mengusir penjajah Mongol dari tanah air.
Demikianlah kisah ini diakhiri dengan catatan pengarang bahwa pikiran
manusia terombang-ambing antara suka dan duka. Tidak ada suka yang
berkelanjutan dan mulus, tidak ada pula duka yang berkelanjutan dan tiada
perubahan. Ada kalanya orang merasa hidup ini sengsara, untuk kemudian
berubah dengan perasaan bahwa hidup ini senang. Karena hidup ini tidak
terlepas dari pengaruh Im-Yang (Positive Negative), maka suka dan duka
saling bergantian muncul dalam kehidupan manusia seperti munculnya siang
dan malam.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Namun bagi manusia yang lahir batinnya menyerah kepada Kekuasaan
Tuhan, maklum bahwa suka duka itu hanya ulah pikiran belaka, maka dia
yang berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, akan menerima segala apa pun
yang terjadi pada dirinya dengan sabar dan bersyukur karena baik pahit
maupun manis ternilai oleh pikiran, semua yang terjadi itu sudah dikehendaki
Yang Maha Kuasa dan di balik semua itu dia yakin ada hikmahnya yang amat
berharga baginya. Maka dia tidak akan tenggelam dan putus asa di kala
datang duka dan tidak akan mabok dan lupa diri di kala datang suka.
T A M A T
Solo, Medio 1963
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan