Selasa, 29 Mei 2018

Cersil Sejarah China Pemberontakan Taipeng 1

----
baca juga

Dua orang penunggang kuda itu amat gagah dan mengagumkan semua orang yang
kebetulan bersimpang jalan dengan mereka. Dua ekor kuda tunggangan mereka juga
merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan kuat. Kuda-kuda itu berlari
congklang ketika mereka memasuki sebuah dusun. Laki-laki itu berusia kurang
lebih tiga puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan
gagah, dan sikapnya anggun berwibawa seperti sikap yang biasa nampak pada diri
seorang bangsawan tinggi, sikap seseorang yang merasa akan kebesaran dan
kepentingan pribadinya. Mulut dan matanya selalu nampak tersenyum ramah, namun
di balik sinar mata yang ramah itu kadang-kadang kelihatan sinar mencorong yang
aneh. Dia menunggang kuda berbulu hitam yang nampak ganas dan liar, namun
penurut di bawah kendali kedua tangannya yang kokoh kuat itu.
Adapun wanita yang menunggang kuda berbulu putih di sampingnya adalah sorang
wanita berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya masih seperti
seorang gadis yangbaru berusiadua puluh tahunan saja, masih padat dengan
pinggang yang ramping. Wajah wanita inipun masih cantik dan manis sekali dengan
setitik tahi lalat di pipinya, dan seperti juga pria itu, ia menunggang kuda
dengan tubuh yang tegak dan lemas, sikap seorang penunggang kuda yang mahir.
Pakaian sepasang suami isteri yang anggun dan gagah ini cukup mewah, dan
keduanya mengenakan sepatu kulit yang mengkilap, model sepatu boot yang biasa
dipakai oleh orang-orang kulit putih, dan mereka melindungi tubuh dari hawa
dingin dengan mantel tebal yang berkibar di belakang mereka. Suami isteri itu
melewati sebuah kedai arak dan keduanya saling pandang.
#Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar sambil minum arak agar kuda kita
tidak terlalu lelah?# tanya si wanita bertahi lalat itu kepada suaminya. Sang
suami tidak menjawab, melainkan memandang ke arah dua ekor kuda yang mereka
tunggangi. Memang kuda-kuda itu nampak lelah, penuh keringat karena mereka telah
melakukan perjalanan jauh, sejak pagi tadi dan kini sudah lewat tengah hari. Dia
mengangguk dan keduanya lalu turun dari punggung kuda, menuntun kuda mereka
menghampiri kedai arak, mengikat kendali kuda di depan kedai, lalu memasuki
kedai itu, disambut oleh seorang pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat
melihat datangnya dua orang berpakaian mewah itu.
#Selamat siang, tuan dan nyonya!# katanya penuh hormat, #Silakan duduk dan kami
akan menghidangkan masakan yang paling lezat. Arak kami paling terkenal di
seluruh daerah ini!#
#Sediakan masakan dan arak yang terbaik untuk kami, dan sediakan pula air dan
rumput yang baik untuk dua ekor kuda kami.# Pelayan itu mengerutkan alisnya,
memandang ke arah dua ekor kuda di luar.
#Akan tetapi, tuan...... kami tidak biasa mencarikan makan minum untuk
kuda......#
#Carikan saja, kami akan membayar berapa saja yang kau minta!# kata si wanita
dan pelayan itu mengangguk-angguk dan tersenyum. Kesempatan baik untuk
mendapatkan hasil tambahan, pikirnya.
#Baik, nyonya. Silakan duduk......!# pelayan itu mengantar mereka ke sebuah meja
di ujung bagian dalam yang menghadap keluar. Suami isteri itu duduk menghadapi
meja, saling berhadapan, yang pria menghadap keluar sedangkan yang wanita
menghadap ke dalam. dengan demikian, keduanya dapat meneliti pintu luar dan
pintu dalam. Dua buah buntalan yang tadi mereka turunkan dari punggung kuda dan
mereka bawa masuk, mereka letakkan di atas meja. Tak lama kemudian mereka
melihat seorang pelayan memberi rumput dan air kepada kuda mereka di luar, dan
setelah pelayan datang membawa hidangan berupa masakan yang masih panas mengepul
dan juga nasi dan arak, mereka lalu makan minum tanpa banyak cakap.
Selagi suami isteri ini makan dan minum di dalam kedai arak yang tidak berapa
besar itu, dan tidak ada tamu lain kecuali mereka di siang hari itu, tiba-tiba
terdengar suara hiruk pikuk dan banyak orang bergerak di sekeliling rumah makan.
Para pelayan kelihatan ketakutan dan mereka lari keluar dari rumah makan, Hal
ini tentu saja diketahui oleh suami isteri yang sedang makan, akan tetapi
keduanya hanya saling pandang sejenak, kemudian melanjutkan makan minum seolaholah
mereka tidak tahu akan gerakan banyak orang yang mengepung rumah makan.
Suasana yang tadinya hiruk pikuk menjadi hening, tanda bahwa orang-orang yang
berada di luar itu telah mengepung dan siap siaga. Kini muncullah seorang lakilaki
bertubuh gendut di ambang pintu depan, sikapnya berwibawa dan angkuh, dan
dia memandang ke arah suami isteri itu sambil berseru dengan suara nyaring.
#Pemberontak Ong Siu Coan! Engkau telah dikepung, menyerahlah untuk kami
tangkap!# Mendengar disebutnya nama ini, orang-orang yang tadinya nonton di luar
rumah makan itu menjadi terkejut dan mereka lari ketakutan untuk bersembunyi.
Juga para tetangga yang tadi mengintai di balik jendela, terkejut dan tak
seorangpun berani keluar dari pintu rumah. Nama Ong Siu Coan sudah terkenal
sekali di daerah Nan-king itu. Dusun itu berada di sebelah selatan kota Nan-king
dan siapakah yang tidak mengenal nama pemimpin dari pasukan pemberontak Tai peng
itu? Nama Ong Siu Coan sebagai pimpinan pemberontak Tai Peng amat terkenal
sebagai seorang pejuang yang berusaha menumbangkan pemerintah Mancu, dan
terkenal pula sebagai pelindung rakyat jelata. Kini orang-orang itu bukan takut
terhadap Ong Siu Coan, melainkan mereka takut karena maklum bahwa yang mengepung
rumah makan itu adalah pasukan pemerintah yang berpakaian preman dan karena yang
dikepung adalah Ong Siu Coan, maka tentu akan terjadi pertempuran yang hebat di
tempat itu.
Laki-laki tinggi besar yang gagah dan sedang makan di dalam kedai arak itu
memang benar Ong Siu Coan, pemimpin pasukan Tai Peng yang tadinya memakai nama
perkumpulan Pai Sang-ti Hwee (Perkumpulan Pemuja Tuhan), semacam perkumpulan
agama yang berdasarkan Agama Kristen namun sudah tidak asli lagi, bercampur
dengan Agama To dan pelajaran Khong Hu Cu. Perkumpulan itu makin lama menjadi
semakin besar dan kuat, lalu membentuk balatentara yang disebut balatentara Tai
Peng (Perdamaian Besar) yang bertujuan untuk menentang dan menumbangkan
kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Gerakan yang bersifat perjuangan inilah,
bukan agamanya, yang menarik banyak orang dari rakyat jelata untuk datang
bergabung, terutama sekali kaum petani yang merasa tertindas oleh pemerintah
Mancu.
Pria gagah itu adalah pemimpin Tai Peng. Namanya Ong Siu Coan, bukan hanya
terkenal sebagai seorang pemimpin pejuang yang disegani dan dikagumi rakyat,
namun terkenal pula di dunia persilatan sebagai seorang ahli silat yang pandai.
Dia adalah murid seorang datuk sesat yang terkenal sekali, yaitu Thian-tok
(Racun Langit), seorang di antara Empat Racun Dunia, tokoh-tokoh sesat yang amat
terkenal diwaktu-waktu yang lalu. Adapun wanita cantik bertahi lalat di pipinya
itu juga bukan orang sembarangan. Ia bernama Tang Ki, dan ia adalah puteri
tunggal dari Hai-tok (Racun Lautan), seorang di antara Empat Racun Dunia pula.
Dalam hal ilmu silat kiranya tingkat kepandaian Tang Ki ini tidak kalah oleh
suaminya, karena selain menerima gemblengan dari ayahnya sendiri,
Juga wanita perkasa ini secara kebetulan telah menemukan sebuah kitab kuno
ciptaan Tat Mo Couwsu yang terisi pelajaran ilmu silat tinggi berdasarkan ginkang
(ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa. Sudah kurang lebih dua belas
tahun mereka menjadi suami isteri di luar kehendak dan pesetujuan Hai-tok dan
mereka berhasil menghimpun kekuatan untuk memberontak terhadap pemerintah Mancu.
(Baca Giok-liong-kiam bagian pertama). Ong Siu Coan bergasil membangun
balatentara besar, bukan saja karena dia lihai, berilmu tinggi dan agama barunya
menarik perhatian banyak orang, terutama sekali karena dia mempunyai banyak
harta benda untuk membiayai perkumpulannya. Dialah yang berhasil menemukan harta
pusaka yang tersembunyi dalam rahasia pedang pusaka ini dia berhasil membentuk
balatentara dan sanggup membiayainya.
#Ong Siu Coan, meyerahlah sebelum kami terpaksa mempergunakan kekerasan!#
Kembali perwira gendut yang berpakaian preman itu membentak. perwira ini dengan
anak buahnya yang kini mengepung restoran, berjumlah kurang lebih tiga puluh
orang, adalah pasukan penyelidik atau mata-mata pemerintah yang bertugas di
sekitar Nan-king.
Sejak pagi tadi dia dan anak buahnya tahu akan munculnya pemimpin Tai-Peng di
tempat umum, maka dia sudah mempersiapkan anak buahnya untuk menghadang di dusun
itu. Kebetulan sekali suami isteri itu berhenti di rumah makan, memudahkan
mereka untuk mengepung dalam usaha menangkap pemberontak itu. Akan tetapi Ong
Siu Coan dan Tang Ki masih enak-enak makan, melanjutkan makan tanpa menghiraukan
si gendut. Melihat sikap suami isteri itu, si gendut menjadi marah. Dia segera
mencabut sebuah pistol yang tersembunyi di ikat pinggangnya, lalu melangkah
maju, diikuti oleh tiga orang perwira pembantu yang mencabut pedang. Si gendut
sambil menodongkan pistolnya maju menghampiri Ong Siu Coan dan Tang Ki, berseru
kepada anak buahnya yang berada di luar rumah makan.
#Serbu dan tangkap mereka!# Pada saat itu, Ong Siu Coan dan Tang Ki saling
pandang dan pria perkasa itu berbisik,
#Kuambil si gendut, yang lain untukmu!# Isterinya mengerti dan mengangguk. Pada
saat itu terdengar suara gaduh di luar rumah makan itu dan ternyata dua puluh
orang lebih yang menjadi anak buah si gendut dan tadi mulai bergerak hendak
menyerbu, secara tiba-tiba diserang oleh belasan orang yang memiliki gerakan
yang tangkas sehingga dalam gebrakan pertama saja beberapa orang anggauta
pasukan itu telah roboh!
Peristiwa itu mengejutkan si gendut dan diapun cepat melangkah ke depan sambil
menodongkan pistolnya kepada Ong Siu Coan, diikuti tiga orang pembantunya yang
siap menyerang dengan pedang mereka. Pada saat itu, mendadak Ong Siu Coan
menggerakkan sepasang sumpit yang tadi dipakai untuk makan dan meluncurlah dua
sinar yang cepat bukan main ke arah si gendut. Sebatang sumpit menancap di
tangan yang menggenggam pistol, dan sumpit ke dua menghunjam ulu hati! Si gendut
sama sekali tidak menyangka akan datangnya serangan itu, maka diapun terkejut
dan pistol di tangannya meledak, akan tetapi karena pada saat itu dia sudah
berada dalam keadaan sekarat oleh sumpit yang menembus jantungnya,
Peluru yang meluncur keluar dari pistol itu hanya menembus langit-langit dan
genteng dan tubuhnya lalu terjengkang dan terbanting lalu berkelojotan.
Sementara itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Tang Ki sudah menerjang
dan menyambut tiga orang pembantu perwira yang berpedang. Wanita ini tidak
bersenjata, namun gerakannya sedemikian cepatnya. Walaupun tiga orang perwira
berusaha menyerangnya dengan pedang, namun bayangan tubuh wanita itu
berkelebatan di antara tiga batang pedang dan kedua tangannya bergerak menampar.
Tiga orang itupun menjerit kesakitan dan roboh terpelanting, tak mampu bangkit
kembali karena Tang Ki telah melakukan tamparan-tamparan maut dengan kedua
tangannya yang ampuh, dan yang dijadikan sasaran adalah pelipis kepala tiga
orang itu!
Pertempuran yang terjadi di luar rumah makan itupun tidak berlangsung lama. Dua
puluh orang lebih perajurit yang berpakaian preman itu bukanlah lawan seimbang
bagi belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi itu dan dalam waktu
singkat saja mereka semua telah roboh dan tewas! Dua orang pimpinan rombongan
yang menyerbu para mata-mata pemerintah itu menerobos masuk dan memberi hormat
kepada Ong Siu Coan dan Tang Ki. Kiranya mereka adalah anggauta pemberontak yang
tersebar di mana-mana dan yang tadi melihat pimpinan mereka terancam lalu turun
tangan membantu. Ong Siu Coan mengangguk acuh kepada dua orang itu dan isterinya
yang menghadapi mereka.
#Terima kasih atas bantuan kalian,# kata Tang Ki, mewakili suaminya yang kini
telah menjadi seorang pemimpin tinggi sehingga suaminya merasa terlalu tinggi
untuk berwawancara dengan anak buah tingkat rendahan seperti dua orang pemimpin
rombongan pasukan kecil itu. #Cepat singkirkan semua mayat dari dusun ini,
lempar ke dalam hutan dan ajak semua pria dari dusun ini untuk menggabung agar
mereka terbebas dari hukuman pemerintah.# Dua orang itu mengangguk dan
menyatakan mentaati perintah, lalu mengundurkan diri. Ong Siu Coan dan isterinya
lalu meninggalkan dusun, menunggang kuda mereka melanjutkan perjalanan dengan
cepat keluar dari dusun itu.
Para anak buah pejuang itu telah mengumpulkan para penduduk dan menganjurkan
agar para penghuni laki-laki bergabung dengan mereka karena peristiwa itu tentu
akan berekor panjang. Pemerintah tentu akan mengirim pasukan besar untuk
mengadakan pembersihan di dusun itu di mana perajurit pemerintah sebanyak kurang
lebih tiga puluh orang telah tewas pada hari itu. Ong Siu Coan dan Tang Ki
membalapkan kuda menuju ke sebuah dusun yang berada di luar kota Nan-king,
sebuah dusun yang cukup besar dan mereka langsung menuju ke sebuah rumah yang
nampak bersih dan rapi walaupun sederhana saja. Kedatangan mereka disambut oleh
sepasang suami isteri yang berpakaian sederhana sepeti para petani, dengan anak
mereka, seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sebelas tahun. Melihat siapa
yang datang, suami isteri itu kelihatan terkejut dan heran, akan tetapi juga
girang sekali.
#Aihhh, angin apakah yang meniup kalian datang ke sini? Sungguh merupakan
kehormatan besar sekali bagi keluarga kami yang sederhana menerima kunjungan
pemimpin besar balatentara Tai Peng yang semakin terkenal itu!# seru tuan rumah
dengan wajah berseri dan pandang mata penuh kagum. Sementara itu, nyonya rumah
juga saling rangkul dengan Tang Ki seperti dua sahabat baik yang sudah lama
tidak saling berjumpa.
#Tan Ci Kong, engkau mengangkatku terlalu tinggi dan menurunkan dirimu terlalu
rendah!# kata Ong Siu Coan sambil tertawa setelah memberi hormat. kemudian
memandang kepada anak laki-laki itu dan berseru, #Ahh, apakah dia ini puteramu?
Sungguh seorang anak yang berbakat baik sekali!#
#Benar, dia anak tunggal kami. Bun Hong, cepat beri hormat kepada paman Ong Siu
Coan dan bibi Tang Ki. Mereka ini suami isteri yang amat lihai dan patut kau
hormati!# Anak laki-laki yang bermata tajam itu cepat maju memberi hormat dan
menyebut paman dan bibi.
#Marilah kita bicara di dalam,# kata tuan rumah dan mereka lalu masuk ke dalam
rumah sederhana yang nampak bersih dan rapi itu.
Suami isteri yang menjadi tuan rumah itupun bukan orang-orang sembarangan. Tan
Ci Kong adalah seorang pendekar besar, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang menerima
gemblengan langsung dari Siauw-bin-hud. seorang datuk Siauw-lim-pai yang selalu
bertapa dan mengasingkan diri, bahkan akhir-akhir ini bertapa sampai meninggal
dunia, tak pernah lagi keluar dan mencampuri urusan dunia.Isterinya bernama
Siauw Lian Hong, juga seorang wanita sakti karena ia adalah murid terkasih dari
San-tok (Racun Gunung), seorang di antara Empat Racun Dunia sehingga tingkat
ilmu kepandaiannya seimbang dengan tingkat Ong Siu Coan dan isterinya. Dua
pasang suami isteri ini sudah saling mengenal karena belasan tahun yang lalu
mereka adalah teman-teman seperjuangan walaupun jalan hidup mereka bersimpang.
Kalau Ong Siu Coan dan isterinya merupakan sepasang suami isteri perkasa yang
bercita-cita besar, bertekad untuk meggulingkan pemerintah penjajah Mancu, maka
Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong adalah sepasang suami isteri pendekar yang suka
akan hidup sederhana, dan selama belasan tahun semenjak menikah tidak pernah
menonjolkan diri di dunia persilatan maupun mencampuri urusan perjuangan,
melainkan hidup tenteram di dusun itu mendidik putera mereka, Tan Bun Hong yang
merupakan anak tunggal. Mereka sudah banyak mendengar akan sepak terjang Ong Siu
Coan yang merupakan ancaman bagi pemerintah Mancu, dan diam-diam mereka berdua
merasa kagum bukan main, oleh karena itu tentu saja mereka terkejut dan heran
ketika secara tiba-tiba saja tokoh pimpinan yang amat terkenal itu muncul
mengunjungi mereka. Empat orang pendekar sakti yang dulu pernah menjadi rekanrekan
seperjuangan itu kini duduk di ruangan dalam.
Tan Bun Hong, anak kecil itu oleh ayah ibunya disuruh bermain di luar dan
dilarang untuk masuk ke dalam ruangan pertemuan. Setelah mereka duduk
berhadapan, Ci Kong dan isterinya memandang dua orang tamunya dengan penuh
perhatian, sebaliknya Ong Siu Coan dengan matanya yang bersinar aneh dan tajam
juga mengamati dua orang bekas rekan seperjuangan itu penuh selidik. Dalam
usianya yang tiga puluh enam tahun, Tan Ci Kong masih kelihatan muda. Tubuhnya
nampak tegap dan kulitnya agak gelap sebagai tanda bahwa sebagai orang yang suka
bekerja di ladang dia banyak tertimpa sinar matahari. pakaiannya tetap sederhana
dan wajahnya yang jelas membayangkan kegagahan itu kelihatan penuh kesabaran dan
penuh pengertian. Juga Siauw Lian Hong masih nampak cantik manis dengan mukanya
yang berbentuk bulat dan matanya yang lebar jernih, lembut dan tajam.
#Ong-toako,# kata Ci Kong dengan sikap hormat dan menyebut toako (kakak) kepada
rekan yang lebih tua itu,
#Sudah bertahun-tahun kami mendengar bahwa engkau telah menjadi seorang panglima
dan pemimpin besar balatentara pejuang yang amat kuat. Kami kagum sekali dan
merasa heran melihat toako berdua datang berkunjung dan merasa yakin bahwa
kunjungan ini tentu mengandung maksud yang amat penting.# Ong Siu Coan saling
pandang dengan isterinya, kemudian melayangkan pandang matanya kepada tuan dan
nyonya rumah, lalu menarik napas panjang.
#Sungguh menyenangkan sekali bicara dengan suami isteri yang gagah perkasa dan
ucapanmu tadi langsung menyentuh persoalan yang sebenarnya, saudara Tan Ci Kong.
Memang sesungguhnyalah, kedatangan kami ini mengandung maksud yang teramat
penting yang mempunyai hubungan erat sekali dengan perjuangan rakyat
menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu.# Tentu saja Tan Ci Kong dan Siauw Lian
Hong menjadi tertarik sekali, akan tetapi Ci Kong yang menduga bahwa tentu Ong
Siu Coan datang untuk menarik dia dan isterinya agar suka membantu gerakannya,
mendahuluinya,
#Ong-toako, sebelumnya harap toako ketahui bahwa selama ini kami berdua hidup
sebagai petani dan hidup tenteram di dusun ini, tidak pernah mencampuri urusan
perjuangan bahkan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Kami berdua
ingin mendidik putera yang merupakan anak tunggal kami dan belum ingin
melibatkan diri dengan perjuangan.# Ucapan ini mengandung peringatan bahwa dia
dan isterinya tidak akan mau ikut membantu perjuangan Ong Siu Coan. Akan tetapi
Ong Siu Coan menggeleng kepala.
#Membantu perjuangan dengan menerjunkan diri merupakan keputusan pribadi.
Memang, sesungguhnya kami datang untuk mohon bantuanmu, saudara Ci Kong. Akan
tetapi bukan minta bantuan tenaga.# Lega rasa hati Ci Kong, akan tetapi dia pun
heran. Kalau bukan bantuan tenaga, lalu bantuan apalagi?
#Bagaimana kami dapat membantumu, Ong-toako?#
#Tuhan sendiri yang telah memberi petunjuk kepadaku, saudara Tan Ci Kong. Tuhan
sendiri yang telah memberi penerangan dan penglihatan kepadaku di waktu aku
tidur beberapa hari yang lalu......#
#Maksudmu...... engkau mimpi, Ong-toako?# tanya Ci Kong yang merasa heran dan
tidak mengerti.
#Ah, tidak...... tidak......! Aku berada dalam keadaan sadar dan aku mendengar
sendiri suara Tuhan berbisik-bisik kepadaku, amat jelas bunyinya dan beginilah
bisikan Tuhan itu kepadaku : Anakku Ong Siu Coan, perjuanganmu akan berhasil
kalau engkau memegang Giok-liong-kiam di tanganmu karena pusaka itulah lambang
kejatuhan kerajaan Mancu. Nah, demikianlah bisikan Tuhan kepadaku, saudara Ci
Kong. Karena itulah, aku dan isteriku kini datang berkunjung untuk minta
pertolongan kalian berdua, meminjam Giok-liong-kiam.#
Siauw Lian Hong mengerutkan alisnya. Pedang pusaka Giok-liong-kiam pernah
dijadikan rebutan di dunia persilatan. Pedang itu tadinya dicuri oleh seorang
pencuri pandai dari gudang pusaka istana kaisar, kemudian menjadikan rebutan
banyak orang gagah di dunia persilatan. Pedang pusaka itu dahulu diperebutkan
karena pedang itu mengandung rahasia penyimpanan harta pusaka yang amat besar
nilainya. Dan akhirnya dalam perebutan itu, ialah yang berhasil mendapatkan
pedang pusaka Giok-liong-kiam. Akan tetapi usahanya bersama gurunya untuk
memperoleh harta pusaka itu gagal karena setelah tempat penyimpanan rahasia itu
ditemukan, ternyata harta pusaka itu telah lenyap didahului orang lain.
Setelah itu, tentu saja tidak ada lagi orang yang memperebutkan Giok-liong-kiam,
sebatang pedang terbuat dari batu Giok berbentuk naga yang tidak dapat menjadi
senjata yang ampuh walaupun memang merupakan barang mahal harganya. Giok-liongkiam
kini hanya menjadi semacam benda indah atau hiasan saja, dan ia telah
menyerahkan kepada Tan Ci Kong, sebagai tanda cintanya sebelum mereka menikah
dahulu. Bagi ia dan suaminya, Giok-liong-kiam merupakan tanda jalinan cinta
kasih di antara mereka, maka, mana mungkin memberikannya kepada orang lain? Akan
tetapi karena ia telah menyerahkan pusaka itu kepada suaminya, tentu saja benda
itu telah menjadi hak suaminya dan hanya dialah yang berhak memutuskan dalam
menghadapi permintaan Ong Siu Coan. Ci Kong memandang tamunya dengan sinar mata
tajam penuh selidik, kemudian dia menjawab,
#Ong-toako, memang benar bahwa Giok-liong-kiam ada padaku, sebagai hadiah dari
isteriku. Pusaka itu merupakan lambang cinta kasih antara kami dan kami simpan
sebagai pusaka keluarga.#
#Bagus sekali kalau begitu!# Ong Siu Coan berteriak girang dan menganggukangguk.
#Kalian berdua pejuang-pejuang yang gagah perkasa, patriot-patriot
sejati yang sudah membuktikan setia baktinya kepada tanah air dengan perjuangan
kalian di masa lalu. Kalau kini lambang cinta kasih antara kalian yang sudah
menjadi suami isteri menjadi lambang perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah
laknat yang menekan rakyat, bukankah pusaka itu menjadi semakin terhormat? Kami
hanya meminjamnya saja, saudara Tan Ci Kong berdua. Kami hanya meminjam, bukan
untuk kepentingan kami, melainkan untuk perjuangan. Dengan pusaka itu di tangan
kami, tentu akan mendatangkan dukungan dari para pendekar dan mereka akan lebih
suka membantu perjuangan kita. Kalau sudah berhasil perjuangan kita, pusaka itu
akan kami kembalikan kepada kalian, karena untuk apakah pusaka itu bagi kami
pribadi? Kami pribadi tidak membutuhkannya. dan kamipun datang karena petunjuk
langsung dari Tuhan, saudara Ci Kong. Menolak perintah Tuhan merupakan dosa yang
teramat besar, dan kalau perintah itu tidak dilaksanakan, tentu kita semua
terkena hukumannya yang amat berat.#
Ci Kong saling pandang dengan isterinya, dan keduanya merasa bimbang. Tentu saja
pusaka itu sebenarnya tidaklah begitu penting sekali bagi mereka, hanya menjadi
benda peringatan saja. Dan ucapan Siu Coan tadi terlampau berat menekan batin
mereka, karena dihubungkan dengan perjuangan. Tentu saja di lubuk hati mereka,
suami isteri pendekar ini condong untuk membantu Siu Coan menentang pemerintah
penjajah Mancu yang mereka benci pula. Agaknya Ong Siu Coan yang pandai membaca
isi hati orang melalui pandang mata dan sikapnya, maklum bahwa suami isteri itu
biarpun masih ragu-ragu, namun condong membantunya.
#Kami harap saudara Ci Kong berdua dapat berpikir dengan adil dan mengingat akan
asal-usul pusaka itu. Pusaka itu dicuri orang dari gudang pusaka istana, dan
sebelum itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kita semua. Lenyapnya
pusaka itu dari istana merupakan lambang kejatuhan Kerajaan Mancu! Dan kini
tidak diperebutkan orang lagi karena harta pusaka itu telah lenyap. Kiranya
orang yang telah menemukan harta pusaka itulah yang lebih berjodoh dengan Giokliong-
kiam, tidaklah kalian berpendapat demikian?#
Ci Kong dan Lian Hong terpaksa mengangguk karena memang kenyataannya demikian.
Pusaka Giok-liong-kiam berasal dari istana kaisar dan benda itu keluar dari
istana karena dicuri orang, kemudian diperebutkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw.
Biarpun kini Giok-liong-kiam berada di tangan mereka, namun harus diakui bahwa
sebetulnya merekapun tidak berhak, karena benda itu bukan pusaka yang diturunkan
oleh nenek moyang mereka, melainkan merupakan benda curian! Dan perebutan
berakhir setelah harta pusaka yang disimpan rahasianya oleh Giok-liong-kiam
ternyata telah diambil orang lain, maka memang tepatlah kalau dikatakan bahwa
yang berhasil mendapatkan harta pusaka itu lebih berjodoh dengan Giok-liongkiam.
#Akan tetapi siapakah yang telah mendapatkan harta pusaka itu?# tanya Siauw Lian
Hong dan Ci Kong mengangguk karena pertanyaan yang sama mengaduk hatinya.
Sepasang mata Ong Siu Coan bersinar-sinar aneh ketika dia menatap wajah kedua
orang di depannya, dan suaranya terdengar halus namun penuh wibawa ketika dia
bicara.
#Apakah kalian tidak dapat menduganya? Aku telah berhasil membangun balatentara
yang amat besar jumlahnya, tidak kurang dari seratus ribu orang! Dari mana aku
dapat membiayai semua itu? Dari mana aku dapat memberi makan kepada orang
sebanyak itu, membelikan pakaian, senjata dan sebagainya? Saudara Ci Kong,
bayangkan saja berapa banyak harta yang harus dipergunakan untuk semua itu,
untuk menghimpun ratusan ribu orang?# Ci Kong dan Lian Hong saling pandang dan
mata mereka terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan juga kekaguman.
#Jadi...... kau maksudkan...... engkaulah orangnya yang telah mengambil harta
pusaka Giok-liong-kiam itu?# tanya Ci Kong. Siu Coan mengangguk dan tersenyum.
#Tidak sepenuhnya. hanya tinggal seperempat bagian saja, namun cukup besar untuk
dapat membiayai balatentara yang ratusan ribu jumlahnya. Semua orang
memperebutkan harta pusaka itu untuk kesenangan dan kepentingan pribadi, akan
tetapi aku ingin mendapatkan harta itu bukan untuk kepentingan pribadiku,
melainkan untuk kepentingan perjuangan. Karena itulah, Tuhan selalu memberi
perlindungan dan bimbingan kepadaku sampai saat ini. Dan kami sungguh
mengharapkan agar saudara Ci Kong berdua membantu pula pelaksanaan perintah dan
kehendak Tuhan.# Ci Kong dan Lian Hong kembali saling pandang. Orang ini telah
mengerahkan seluruh tenaga, pikiran dan harta miliknya untuk perjuangan! Kalau
sekarang, mereka menolak memberi pinjam Giok-liong-kiam, yang sebetulnya bukan
milik mereka melainkan sebuah benda curian yang setelah perebutan terjatuh ke
tangan mereka, sungguh hal ini amat berlawanan dengan jiwa kepatriotan mereka!
Akan tetapi, biarpun Giok-liong-kiam itu telah diberikan oleh isterinya
kepadanya, menjadi haknya, namun Ci Kong tidak mau melampaui isterinya, oleh
karena itu dia lalu berkata kepada Ong Siu Coan.
#Ong-toako, perkenankan aku berunding lebih dulu dengan isteriku di dalam.#
Tanpa menanti jawaban, Ci Kong lalu bangkit dan mengajak isterinya meninggalkan
ruangan itu untuk berunding empat mata di dalam kamar mereka. Ong Siu Coan hanya
mengangguk sambil tersenyum.
Setelah berada di dalam kamar, Ci Kong lalu bertanya,
#Bagaimana pendapatmu, Hong-moi?# Lian Hong memandang suaminya.
#Dan engkau bagaimana?# Ci Kong yang sudah mengenal baik isterinya maklum bahwa
dengan jawaban itu, isterinya sudah setuju walaupun masih meragu dan menantikan
keputusannya. Kalau isterinya tidak setuju, tentu langsung saja isterinya
mengatakan tidak setuju. Isterinya setuju, akan tetapi tidak berani lancang
karena pusaka itu telah diberikan kepada suaminya.
#Aku tidak keberatan. Bagaimanapun juga, pusaka itu adalah benda curian dari
kerajaan, dan pula, kalau hanya dipinjam untuk memperkuat perjuangan dan menarik
lebih banyak orang kuat membantu perjuangan, apa salahnya?#
#Akupun berpikir demikian,# kata Lian Hong dengan hati lega.
#Kalau begitu, kita serahkan pusaka itu sekarang juga.# Ci Kong lalu mengajak
isterinya keluar sambil membawa Giok-liong-kiam yang dibungkus dalam kain
kuning. Ong Siu Coan menyambut mereka dengan wajah berseri.
#Sungguh bijaksana sekali bahwa kalian telah menyetujui dan suka memenuhi
permintaan kami,# katanya, seolah-olah dia telah tahu lebih dulu bahwa suami
isteri pendekar itu tentu akan memenuhi permintaannya. Ci Kong menyerahkan
buntalan kain kuning itu dan berkata,
#Kami memang suka sekali menyerahkan pusaka Giok-liong-kiam untuk kau pinjam,
Ong-toako, mengingat bahwa engkau meminjamnya untuk keperluan perjuangan. Mudahmudahan
saja dengan adanya Giok-liong-kiam, balatentaramu akan menjadi semakin
besar dan kuat sehingga kekuasaan penjajah Mancu akan dapat segera dihancurkan.#
Ong Siu Coan menerima pusaka sambil tersenyum.
#Bukan hanya itu, juga kami mengharapkan agar kalian berdua sewaktu-waktu suka
datang membantu mengulurkan tangan untuk menghancurkan penjajah yang menyiksa
rakyat jelata.# Diapun membuka buntalan dan bersama Tang-ki, dia mengagumi Giokliong-
kiam yang memang teramat indah itu. Ukiran batu halus sekali berbentuk
naga itu indah bukan main, halus sekali sehingga benda itu merupakan sebuah
pusaka yang tentu amat mahal harganya. Terutama sekali orang kulit putih yang
haus akan benda-benda kuno, tentu akan membayar pusaka ini dengan harga yang
luar biasa tingginya. Setelah mendapat kenyataan bahwa pusaka itu benar Giokliong-
kiam yang asli Ong Siu Coan membuntalnya lagi dengan kain kuning, lalu
menyelipkannya di ikat pinggangnya.
#Mari kita berdoa mohon berkah Tuhan agar pusaka ini benar-benar akan membawa
kita kepada kemenangan atas kaum penjajah Mancu.# Mendengar ini, Kiki lalu
merangkap kedua tangan, menundukkan muka dan meletakkan kedua tangan di meja,
memejamkan kedua matanya. Ong Siu Coan sendiri bersedekap, menyilangkan kedua
lengan di depan dada dan menundukkan mata, kemudian terdengar dia berdoa dengan
kata-kata yang bergetar penuh perasaan. Ci Kong dan Lian Hong hanya saling
pandang, tidak tahu harus berbuat apa, hanya memandang suami isteri yang
bersembahyang di depan mereka. Baru saja Siu Coan selesai bersembahyang, tibatiba
terdengar suara bersuit lirih yang terdengar dari depan rumah itu.
mendengar ini, Siu Coan lalu berkata kepada Ci Kong,
#Ada seorang pembantu kami memberi tanda di depan rumah, harap kau suka
mengajaknya masuk, saudara Ci Kong. Tentu dia membawa berita penting sekali maka
berani menggangguku di sini.# Ci Kong bergegas keluar dan benar saja, di luar
telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar empat puluh
tahun, berpakaian seperti petani, serba hitam. melihat Ci Kong, orang itu
menjura dengan hormat.
#Tan-taihiap, bolehkah saya bertemu dan menghadap Ong-bengcu (pemimpin rakyat
Ong)?# katanya dengan sikap hormat. Diam-diam Ci Kong kagum. Anak buah Ong Siu
Coan ini gagah dan juga telah mengenalnya.
#Engkau dipanggil untuk menghadapnya di dalam,# kata Ci Kong dan tanpa banyak
cakap orang itu lalu ikut bersama Ci Kong memasuki ruangan dalam rumah itu.
begitu melihat Siu Coan, laki-laki itu memberi hormat dengan berlutut sebelah
kaki seperti perajurit dan berkata dengan suara lantang.
#Lapor kepada bengcu bahwa pasukan besar anjing Mancu telah datang ke arah dusun
ini. Agaknya ada mata-mata yang telah melaporkan tentang peristiwa di dusun
sebelah tadi. Mohon petunjuk.# Ong Siu Coan mengerutkan alisnya.
#Berapa jumlah mereka?#
#Menurut penyelidik, tidak kurang dari dua ratus orang.#
#Dan kekuatan kita yang berada di sini?#
#Hanya ada dua puluh orang, bengcu. Semua penduduk yang bergabung dengan kita
telah berangkat ke selatan.#
#Ah, mereka belum terlatih. Dan dua puluh orang cukup untuk memancing musuh
keluar dari dusun ini. dengar baik-baik. Dua orang dari kalian menyamar sebagai
kami berdua, meggunakan dua ekor kuda kami dan pancing pasukan itu agar menuju
ke hutan di sebelah timur. Setelah tiba di sana, tentu hari telah menjadi gelap.
Kalian masuk hutan dan berpencar. Kalau mereka berani mengejar, kalian lanjutkan
perjalanan dan meloloskan diri. Kami sendiri akan menggunakan kuda lain,
sediakan kuda baru, dan mengambil jalan lain. Ingat, jangan memaksa suatu
pertempuran dalam keadaan berat sebelah. Nah, laksanakan perintahku. Ambil kuda
kami dan tukar dengan yang baru.#
#Baik, bengcu!# Orang itu memberi hormat, juga memberi hormat kepada Ci Kong dan
Lian Hong, lalu cepat keluar dari dalam rumah itu.
#Apakah yang telah terjadi?# tanya Ci Kong.#Ketika kami menuju ke sini, di dusun
sebelah kami diserbu oleh tiga puluh lebih pasukan pemerintah. Untung ada anak
buahku yang bertugas di sini, dan kami telah membunuh seluruh pasukan pemerintah
yang tiga puluh orang lebih itu. Mayat-mayat mereka telah dilempar ke dalam
hutan dan semua laki-laki muda di dusun itu telah meninggalkan dusun dan
bergabung dengan kami. Akan tetapi celakanya, agaknya ada mata-mata musuh yang
berhasil lolos dan memberi laporan ke Nan-king dan kini datang pasukan dua ratus
orang lebih dari Nan-king.#
#Ah, celaka! Kalau begitu tentu mereka tahu bahwa kalian telah datang ke rumah
kami, Ong-toako!# kata Ci Kong dan wajahnya berubah khawatir. Ong Siu Coan
mengangguk, wajahnya tetap dingin.
#Itu sudah resiko pejuang, saudara Ci Kong. Maka, kukira sebaiknya kalau kalian
bergabung saja dengan kami dan sekarang juga meninggalkan rumah ini.#
#Tapi......# Ci Kong teringat akan puteranya. Bagi dia dan isterinya, tidak ada
keberatan apapun kalau ikut berjuang, karena memang merekapun menghendaki agar
tanah air mereka terbebas dari cengkeraman orang-orang Mancu. Akan tetapi lalu
bagaimana dengan pendidikan putera mereka? Pada saat itu, Tan Bun Hong datang
berlari memasuki ruangan itu, sepasang matanya yang lebar bening itu terbelalak
dan memandang ayahnya penuh ketegangan.
#Ayah, ada pasukan menyerbu dusun kita, membunuhi orang-orang dusun#.
#Ah, begitu cepat mereka tiba!# Ong Siu Coan berseru dan seperti dikomando saja,
mereka berempat, dua pasang suami isteri perkasa itu sudah berloncatan keluar
rumah. Benar saja, di ujung dusun sebelah utara terdengar suara ribut-ribut dan
teriakan-teriakan wanita ketakutan. Mereka cepat menyelinap dan melihat betapa
perajurit-perajurit dari Nan-king itu membunuhi orang seenaknya sendiri, Ci Kong
dan Lian Hong sudah siap untuk mengejar mereka. Akan tetapi Siu Coan mencegah
dan berkata lirih.
#Jangan tergesa-gesa. Lihat, tentu anak buahku akan segera bergerak memancing
mereka keluar dari sini.# Benar saja, sepasukan orang lain yang menunggang kuda
dan berpakaian petani secara tiba-tiba menyerbu. Tentu saja pasukan pemerintah
itu menjadi marah dan cepat menyambut serangan balasan orang itu, yang dipimpin
oleh seorang laki-laki dan seorang wanita yang menunggang dua ekor kuda besar
hitam dan pitih, kuda-kuda tunggangan Ong Siu Coan dan isterinya tadi. bahkan
pakaian yang dikenakan dua orang pemimpin pasukan kecil itupun serupa dengan
pakaian yang dipakai Ong Siu Coan dan isterinya.
Melihat dua orang pemimpin pemberontak ini, komandan pasukan pemerintah
berteriak-teriak untuk menangkap mereka yang dianggapnya adalah pemimpin besar
kaum pemberontak Tai peng dan isterinya. Pertempuran itu terjadi berat sebelah
karena mana mungkin belasan orang pemberontak itu melawan dua ratus lebih
pasukan dari Nan-king.Segera mereka melarikan diri ke timur, dikejar oleh
pasukan karena komandan pasukan bernapsu sekali untuk menawan dua orang pemimpin
besar pemberontak Tai Peng itu. Sudah terbayang olehnya hadiah yang amat besar
dari istana kalau dia mampu menangkap Ong Siu Coan dan isterinya! Setelah
pasukan besar itu mengejar belasan orang pemberontak yang melarikan diri ke
timur, Siu Coan lalu keluar dari tempat prsembunyiannya. Segera dua orang anak
buahnya yang tinggal di situ menghampirinya dan memberi hormat.
#Bujuk para peduduk untuk bergabung dengan kita,# pesan Ong Siu Coan. #Mereka
harus cepat dibawa ke selatan agar tidak keburu dikejar oleh pasukan penjajah.#
Dua orang itu memberi hormat dan mereka segera menemui para penduduk, dan
seperti juga penduduk dusun pertama, kini peduduk dusun inipun, terutama yang
laki-laki dan masih muda, tidak ragu-ragu lagi untuk bergabung dengan para
pejuang Tai Peng. Tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka. Kalau mereka pergi
mengungsi begitu saja, akan mengungsi ke mana? Dan tentu akan dapat dikejar oleh
pasukan pemerintah dan mereka tetap saja akan dibunuh sebagai pemberontakpemberontak.
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri hanyalah bergabung
dengan pasukan Tai Peng, dan dengan demikian mereka bahkan dapat membalas dendam
kepada pemerintah penjajah yang selama ini telah menekan keluarga mereka turuntemurun.
Demikian siasat yang dipergunakan oleh Ong Siu Coan, satu di antara siasatsiasatnya
untuk mengumpulkan kekuatan dan memperbesar jumlah anggauta
pasukannya! Kini diapun membujuk Ci Kong yang kebingungan. seperti para penghuni
lainnya di dusun itu, Ci Kong juga maklum bahwa tidak mungkin lagi dia tinggal
di dusun itu bersama keluarganya, tentu akan diancam oleh pasukan pemerintah.
Apalagi dia adalah orang yang dikunjungi oleh pimpinan besar pasukan pemberontak
Tai Peng! Tan Ci Kong cepat mengambil keputusan setelah berunding dengan
isterinya. Dia akan bergabung dengan Ong Siu Coan, membantu perjuangan sambil
melarikan diri dari dusun itu, sedangkan isterinya akan membawa putera mereka
lari mengungsi ke pegunungan Wu-yi-san, yaitu ke puncak Pek-liong-kwi-san
(Puncak Iblis Naga Putih), tempat kediaman gurunya, yaitu San-tok (Racun
Gunung).
Kepada isterinya Ci Kong berjanji bahwa dalam waktu setahun dia akan menyusul ke
puncak itu. Dengan tergesa-gesa, keluarga Tan itupun berkemas, membawa barangbarang
yang berharga dan yang perlu saja, kemudian mereka saling berpisah. Ci
Kong menunggang kuda bersama Ong Siu Coan dan TangKi, meninggalkan dusun itu
menuju ke selatan. Siauw Lian Hong bersama puteranya Tan Bun Hong, juga menuju
ke selatan, ke Pegunungan Wu-yi-san, berboncengan menunggang kuda pula.
Berakhirlah sudah kehidupan penuh damai dan ketenteraman bagi keluarga Tan Ci
Kong. Mereka mulai kehidupan baru penuh kekerasan dan tantangan, dan terpaksa
pula suami isteri itu saling berpisah. Semua ini gara-gara Ong Siu Coan yang
datang ke dusun mereka. Mereka mengira bahwa hal itu terjadi kebetulan saja,
Sama sekali tidak mengira bahwa memang Ong Siu Coan sudah memperhitungkan
kemungkinan ini dan mengatur siasat yang menguntungkan pihaknya dalam segala
kesempatan. Buktinya, peristiwa di kedua dusun itu amat menguntungkan dirinya,
memperkuat pasukan Tai Peng dengan ratusan orang penduduk dusun, yang terutama
sekali, selain memperoleh Giok-liong-kiam, juga memperoleh bantuan seorang
pendekar yang boleh diandalkan, yaitu Tan Ci Kong! Dan perhitungan Ong Siu Coan
memang tepat sekali. Setelah dia melalui orang-orangnya menyiarkan bahwa pusaka
Giok-liong-kiam kini berada di tangannya dan menjadi lambang kekuatan Tai Peng
juga lambang kehancuran pemerintah penjajah Mancu, banyak pendekar merasa
tertarik. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa pendekar Tan Ci Kong, pendekar
Siauw-lim-pai yang amat terkenal itu, kini bergabung dan bahkan menjadi pembantu
utama Ong Siu Coan,
Berbondong-bondong kaum pendekar datang menggabungkan diri membantu perjuangan
balatentara Tai peng! Dan Ong Siu Coan-pun mulai bergerak menyerang ke utara.
Tujuannya adalah merebut dan menduduki kota besar Wu-chang, kemudian Nan-king
dan setelah menguasai wilayah lembah Yang-ce sampai ke muara, akan melanjutkan
serangan menyerbu terus ke utara dan menduduki Peking, menggulingkan pusat
pemerintahan Mancu. Demikianlah rencananya. gerakannya didukung oleh banyak
petani dan pimpinan pasukan diserahkan ke tangan pendekar yang memiliki ilmu
silat tinggi. Bagaimana alasan muluk yang dikemukakan orang yang kebetulan duduk
di tingkat atas untuk membersihkan diri, tidak dapat disangkal lagi bahwa apa
yang dinamakan pemerintah sesungguhnya hanyalah sekelompok orang yang sedang
berkuasa pada saat itu.
Baik buruknya sebuah pemerintahan, kuat atau lemahnya, tergantung sepenuhnya
kepada keadaan batin sekelompok orang yang sedang berkuasa itu, dan akibat
daripada sebuah pemerintahan itu menyeret keadaan hidup rakyat banyak yang
tunduk kepada pemerintahan itu. Di dalam sebuah kerajaan, kekuasaan mutlak
berada di tangan kaisar, sehingga kuat lemahnya kerajaan itu yang digantungi
nasib rakyatnya dapat dilihat dari keadaan kaisarnya. Pada waktu itu, yang
menjadi kaisar adalah Kaisar Sian Feng yang naik tahta dalam usia sembilan belas
tahun (1851-1861). Jatuh bangunnya setiap dinasti tidak ada bedanya dengan jatuh
bangunnya setiap orang manusia. Sebab seseorang terjatuh dari kedudukannya, hal
itu disebabkan oleh ulah dirinya sendiri, dan jatuhnya sebuah negara disebabkan
oleh pemimpinnya.
Akan tetapi kalau kita melihat sejarah, seolah-olah ada Kekuasaan Tertinggi yang
sudah menentukan dan mengatur semua itu. Kalau sudah tiba saatnya seorang
manusia harus mati, ada saja yang menjadi sebab-sebabnya pula. Kerajaan Mancu
atau dinasti Ceng yang sepenuhnya menguasai daratan Cina dimulai dalam tahun
1663 dengan kaisar pertamanya Kang Si, setelah mengalami masa jayanya yang
gemilang selama kurang lebih dua ratus tahun lamanya, mulailah menyuram ketika
Kaisar Sian Feng dinobatkan menjadi kaisar. Kaisar muda Sian Feng ini berbeda
jauh dibandingkan dengan kaisar-kaisar Mancu sebelumnya, bahkan amat jauh
berbeda dari kakek buyutnya yaitu Kaisar Kian Liong. Kaisar Sian Feng ini selalu
mengejar kesenangan, terutama sekali kesenangan mengumbar nafsu berahi, bermainmain
dengan wanita-wanita cantik.
Pengejaran kesenangan merupakan suatu penyakit yang akan menyeret kita ke dalam
lingkaran setan yang berakhir dengan kesengsaraan, bahkan awal dan akhirnyapun
sudah berada dalam keadaan yang sengsara, tak puas, tak dapat menikmati keadaan
hidup. Bukan berarti bahwa kita harus menjauhi kesenangan, harus menolak dan
menghindari kesenangan. Kesenangan adalah suatu keadaan hati, dan sudah menjadi
hak setiap orang manusia untuk dapat senang. namun, kalau kita sudah diperbudak,
maka kita selalu mengejarnya dan pengejaran inilah yang jahat! Pengejaran inilah
yang menyeret kita kepada segala macam perbuatan kemaksiatan dan kejahatan.
Pengejaran terdorong oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang lebih banyak,
lebih baik, dan lebih segalanya daripada keadaan yang sudah ada.
Pengejaran membuat mata kita selalu memandang ke depan, kepada khayan, kepada
suatu keadaan atau kesenangan yang belum terdapat. Dengan demikian, yang nampak
besar, indah dan menyenangkan hanyalah sesuatu yang kita kejar dan kita ingin
dapatkan itu, dan dengan sendirinya, segala seuatu yang ada pada kita tidak lagi
nampak keindahannya, tidak lagi menyenangkan! Dan di dalam pengejaran inilah
terdapat bahaya penyelewengan, karena pengejaran membuat mata kita buta terhadap
baik buruknya tindakan atau langkah kita. Kita terjang saja segala yang menjadi
perintang atau penghalang dalam pengejaran kita, kita tendang, kita langkahi,
kalau perlu kita injak! Semua demi memperoleh sesuatu yang kita anggap akan
mendatangkan kesenangan dan kepuasan kepada kita.
Dan, sekiranya yang dikejar itu berhasil kita dapatkan, benarkah kita akan
senang dan puas, seperti yang kita idamkan? Memang senang, memang puas, namun
inipun biasanya hanya bertahan dalam waktu singkat saja. Karena penyakit itu
membuat mata kita mengejar lagi, mengejar sesuatu yang kita anggap lebih baik
dan lebih menyenangkan daripada yang sudah terdapat itu! Yang sudah terdapat itu
menjadi masa lalu dan kita ingin mendapatkan sesuatu yang masih berada di masa
depan lagi. Hal begini akan terus menguasai kehidupan kita, menjadi lingkaran
setan dari masa lampau dan masa depan, dan kita tidak pernah benar-benar hidup
karena hidup adalah saat ini, sekarang ini. Masa lalu telah mati dan tidak perlu
dikenang lagi, masa depan hanyalah khayal yang belum ada.
Kaisar Sian Feng hidup berenang didalam lautan kesenangan. Semenjak muda, dia
memang tidak tertarik oleh pemerintahan, akan tetapi sejak remaja dia sudah
mengenal kesenangan dengan wanita. Dia diangkat menjadi kaisar dalam tahun 1851,
di dalam masa keributan dan di waktu pemerintahan Mancu sedang kacau, baik
menghadapi orang-orang kulit putih yang mulai menanam kuku-kukunya di daratan
Cina, maupun menhadapi pemberontakan di dalam negeri. Kaisar Sian Feng tidak
menghiraukan semua ini, menganggap ringan dan menganggap tak mungkin ada
kekuatan yang akan mampu menghancurkan kekuasaannya. bahkan pemberontakan Tai
Peng juga dianggap sepi saja oleh kaisar muda ini. Urusan pemerintahan tidak
ditangani langsung oleh Kaisar Sian Feng, melainkan diserahkan kepada Pangeran
Kung dan para menteri. Kaisar sendiri sibuk mencari perempuan-perempuan baru,
Berpuluh selir yang muda-muda dan cantik-cantik berada di sekelilingnya setiap
saat, namun dia masih belum juga merasa cukup atau puas. Kesukaannya mengejar
kesenangan membuat dia menjadi mudah bosan. Dia bergairah dengan kaki kecil
perempuan Han, maka seringkali kaisar muda ini menyamar dengan pakaian biasa,
dengan pengawalan rahasia, mengunjungi rumah-rumah pelacuran di Peking.
Kelemahan seorang kaisar tentu saja merupakan hal yang amat penting bagi para
pembesar penjilat karena mereka dapat mempergunakan kelemahan kaisar ini untuk
kepentingan diri sendiri. melihat kesukaan kaisar terhadap wanita-wanita Han
ini, kepala thaikam (orang kebiri) yang menjabat sebagai kepala Taman Yuan-benggwan
(Taman Terang Sempurna), yaitu taman musim panas, segera bertindak dengan
cerdiknya.
Dia menghubungi kaisar dan berjanji akan mencarikan gadis-gadis Han yang cantik
dari selatan. Tentu saja kaisar merasa gembira sekali dan menyetujuinya. Oleh
karena pada masa itu terdapat peraturan istana yang melarang wanita bukan Bangsa
Mancu dimasukkan istana maka gadis-gadis Bangsa Han itu ditaruh di dalam Taman
Yuan-beng-gwan. Oleh pembesar thaikam itu, dicarikanlah gadis-gadis yang muda
belia dan cantik jelita dari daerah Nan-king, Hang-couw dan So-chouw dan
dibawalah mereka itu ke dalam taman yang amat indah itu. Taman Terang Sempurna
merupakan istana taman musim panas yang amat indah berbau bangunan asing karena
taman dan istana ini dibangun oleh seorang pendeta Italia bernama Castiglione di
jaman Kaisar Kian Liong.
Bukan main gembiranya hati kaisar muda itu. Setiap hari dia berada di taman
musim panas, bersenang-senang dengan selir-selir baru Bangsa Han yang
mengelilinginya dan lupa akan segala. Para pejabat yang mengelilinginya adalah
penjilat-penjilat yang hanya berusaha menyenangkan hati kaisar agar mereka
memperoleh hadiah atau kenaikan pangkat. Atas petunjuk mereka, di taman musim
panas itu dipelihara lebih dari tiga ratus ekor menjangan. Ramuan tanduk
menjangan dan darah segar binatang itu menjadi obat kuat bagi sang kaisar. Darah
itu ditaruh dalam mangkok kemala sebagai minuman setiap hari untuk menjaga
kekuatan kaisar muda yang setiap hari dikeroyok oleh puluhan orang selir itu!
Nafsu memang tidak ada puasnya, seperti api yang makin diberi umpan semakin
berkobar. Biarpun sudah mempunyai selir yang kini menjadi ratusan jumlahnya,
masih saja Kaisar Siang Feng tidak mau melepaskan perempuan-perempuan baru yang
belum pernah disentuhnya. Dayang-dayang istana yang terdiri dari gadis-gadis
cantik, perawan-perawan jelita, banyak yang menjadi korban keganasan kaisar ini.
Kalau melihat seorang dayang cantik, bisa saja dia timbul gairah dengan tibatiba
dan langsung diterkamnya gadis itu. Kaisar yang menjadi budak nafsu ini
tidak segan-segan untuk menggauli seorang dayang di depan selir-selirnya, hanya
sekedar memamerkan kekuatannya. Permaisuri kaisar adalah seorang wanita cantik
yang baik hati namun teramat lemah. Melihat keadaan suaminya, mulai timbul
perasaan khawatir di dalam hati permaisuri,
Apalagi melihat betapa kaisar mengumpulkan demikian banyak selir berbangsa Han
di Taman Terang Sempurna. Lebih-lebih kalau ia mengingat bahwa kaisar belum
mempunyai keturunan putera yang akan menjadi pangeran mahkota. Maka ia lalu
membujuk kaisar untuk mengambil gadis-gadis Mancu tercantik untuk dijadikan
dayang-dayang baru di dalam istana. Kaisar yang mata keranjang itu tak perlu
ditanya kedua kalinya. Tentu saja dia tertawa dan menyatakan persetujuannya atas
usul sang permaisuri. Ratusan orang perawan remaja didatangkan para petugas.
Akan tetapi setelah dipilih oleh permaisuri, yang diterima sebagai calon hanya
enam puluh empat orang perawan yang disuruh membersihkan diri, mengenakan
pakaian-pakaian baru yang indah, diajar pula tata cara dan sopan santun istana.
Pendeknya, enam puluh empat orang gadis ini digembleng secara kilat agar menjadi
dayang-dayang yang mengenal peraturan dan menyenangkan. Demikianlah, pada suatu
pagi yang cerah, setelah kaisar bangun tidur dan dilayani para dayang untuk
mandi dan bertukar pakaian, Kaisar menghadapi santapan pagi dengan pertunjukan
istimewa yang sengaja diadakan oleh permaisuri. yaitu pertunjukan lomba
kecantikan yang dilakukan oleh enam puluh empat orang perawan remaja yang
pilihan! Gadis-gadis Mancu yang cantik-cantik itu berbaris melenggang di depan
kaisar, dengan bermacam gaya dan lagak, dan semua adalah wanita-wanita yang
cantik sekali. Kaisar memandangi mereka satu demi satu dengan mata terbelalak
dan mulut menyeringai senang, seperti seorang anak kecil yang diberi mainan yang
banyak dan menyenangkan hatinya.
Berulang-ulang keluar pujian dari mulut kaisar terhadap gadis-gadis itu dan
sukarlah baginya untuk memilih mana yang paling cantik dan siapa di antara
mereka yang akan dipilihnya untukmelayaninya dan menemaninya malam hari itu.
Akan tetapi tiba-tiba pertunjukan yang amat menggembirakan itu terganggu dengan
pelaporan pengawal bahwa Pangeran Kung dan seorang panglima yang bertugas
memimpin pasukan besar di selatan minta menghadap karena ada urusan penting
sekali. Kaisar menggerakkan tangannya dengan hati tak senang, minta agar
pertunjukan itu dilangsungkan sampai habis. Gadis-gadis itu terus melangkah satu
demi satu, akan tetapi gangguan itu membuyarkan perhatian kaisar sehingga dia
hampir tidak melihat adanya seorang di antara para perawan itu, seorang gadis
yang memiliki kecantikan yang khas dan pembawaan yang amat menarik.
Gadis ini nampak menyolok sekali dan jauh berbeda dari yang lain. Kalau gadisgadis
lain itu kelihatan takut-takut dan malu-malu, ia sama sekali tidak
demikian. Dengan anggunnya ia lewat di depan kaisar, bahkan di dalam setiap
gerak-geriknya, lirikan matanya, lenggak-lenggoknya, senyumnya, ada pengendalian
dan kepribadian yang khas. Akan tetapi kaisar sudah merasa tak senang dengan
gangguan tadi sehingga dia tidak lagi memperhatikan gadis-gadis itu. Akhirnya,
setelah gadis terakhir lewat, Pangeran Kung dan panglima itu dipersilakan
masuk.dengan wajah dingin kaisar bertanya mengapa sang pangeran itu
mengganggunya di waktu sepagi itu. Pangeran Kung sambil berlutut berkata dengan
penuh hormat, dengan wajah mengandung kegelisahan dan keprihatinan besar.
#Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba yang berani mengganggu dengan
menghadap tanpa dipanggil. Akan tetapi hamba membawa laporan berita yang amat
buruk, Sri Baginda.# Kerut di dahi kaisar makin mendalam. Celaka, pikirnya,
sudah mengganggu kesenangannya, masih membawa berita buruk lagi.
#Hemm, berita apakah? katakan!#
#Panglima Thung ini datang membawa laporan bahwa pasukan kerajaan yang berjaga
di selatan telah dipukul mundur dan kini pemberontak Tai Peng telah menduduki
Nan-king dan Wu-chang. Kekuatan mereka besar sekali, didukung oleh rakyat
setempat dan dibantu oleh para petani, juga para pendekar.# Berita itu tentu
akan mengejutkan setiap orang, namun kaisar yang hanya mementingkan pengejaran
kesenangan itu hanya nampak kaget sebentar saja.
#Sungguh menyebalkan!# kata kaisar tak senang. #Kita sudah membuang banyak harta
untuk membiayai pasukan-pasukan itu, akan tetapi sekarang menghadapi
segerombolan pemberontak saja tidak becus membasminya!# Panglima Thung
mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah sekali. Sambil berlutut dan
memberi hormat dia berkata,
#Ampun, Sri Baginda. hamba sekalian, seluruh pasukan yang berjaga di selatan,
sudah mengerahkan tenaga dan mengorbankan banyak nyawa ketika menghadapi serbuan
pemberontak Tai Peng. Akan tetapi kekuatan mereka amat besar, dan yang lebih
menyulitkan lagi, rakyat membantu mereka, juga para pendekar yang berkepandaian
tinggi. Akan tetapi, kalau hamba mendapatkan bala bantuan dari kota raja, dengan
pasukan-pasukan pilihan dan perwira-perwira yang berilmu tinggi, hamba akan
mencoba untuk merebut kembali Wu-chang dan Nan-king.#
Kaisar menoleh kepada Pangeran Kung.#Bagaimana pendapatmu, pangeran?# Hal ini
memang sudah diperhitungkan oleh Pangeran Kung.
#Sri Baginda, agaknya tidak akan menguntungkan kalau kita mengerahkan seluruh
tenaga untuk menggempur pemberontak Tai Peng di selatan, karena kita harus pula
berjaga-jaga terhadap pemberontakan dari utara dan barat, juga terhadap gerakan
orang-orang kulit putih. Kalau kita mengerahkan tenaga ke selatan, tentu
kedudukan kotaraja menjadi lemah, memudahkan lawan untuk menyerbu. sebaiknya
kini kalau pasukan di selatan dikerahkan untuk menjada tapal batas saja agar
pemberontak tidak dapat maju dan sementara kita biarkan mereka menduduki kedua
kota itu sampai kita merasa kuat untuk merebutnya kembali. Hamba akan
memerintahkan agar dibentuk pasukan-pasukan baru untuk memperkuat pertahanan
kita.# Kaisar mengerutkan alisnya dan menggerakkan kedua tangan dengan tidak
sabar lagi. Kepalanya menjadi pening harus memikirkan urusan pemberontakan itu.
#Begitu juga baik, kau aturlah saja semua itu, pangeran, dan aku hanya menanti
berita yang baik-baik saja darimu. Nah, kalian keluarlah dan laksanakan tugas
sebaiknya.# Dua orang pembesar itu tidak berani membantah lagi, keduanya keluar
dan baru setelah mereka tiba di luar, keduanya saling pandang dan menggeleng
kepala.
Tanpa bicarapun kedua orang pembesar ini memiliki pendapat dan pandangan yang
sama terhadap kaisar yang sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap urusan
pemerintah, melainkan menenggelamkan diri ke dalam kesenangan pribadi belaka.
Memang hebat sekali gerakan Tai Peng. Dalam tahun 1853, setahun saja setelah Ong
Siu Coan memperoleh Giok-liong-kiam, pasukannya yang amat kuat itu menyerbu ke
utara dan dengan kekuatan penuh menduduki Wu-chang dan Nan-king dan menguasai
seluruh daerah sepanjang lembah Yang-ce bagian timur sampai ke muaranya! Akan
tetapi, sudah menjadi ciri hampir seluruh pemimpin di dunia ini, bahkan menjadi
ciri umum manusia, kemenangan selalu mendatangkan guncangan kepada batin,
membuat pertimbangan menjadi miring dan orang yang merasa menjadi pemenang itu
akan dihinggapi penyakit mabok atau gila kemenangan! Lupa diri!
Mabok kemenangan ini menimbulkan bermacam-macam sikap dan perbuatan. Ada yang
lalu mengangkat diri setinggi-tingginya, ada yang memperkuat kedudukannya, ada
pula yang berebutan kekuasaan seperti segerombolan serigala yang memperebutkan
bangkai lembu yang mereka bunuh bersama, ada yang lalu berfoya-foya untuk
berpesta pora atas kemenangannya, secara berlebihan dan tidak mengenal puas. Ada
yang melampiaskan dendamnya dan dengan kekuasaan yang ada pada dirinya, membalas
dendam dengan cara yang luar biasa kejamnya. Ong Siu Coan agaknya tidak
terkecuali. Bahkan sebagai seorang pemenang yang berhasil baik, dia bukan hanya
mabok, melainkan sudah menjadi gila dalam arti yang sedalam-dalamnya! Ong Siu
Coan bahkan mengangkat diri sendiri menjadi Kaisar dari Kerajaan Sorga yang
didirikannya,
Bahkan dia mengaku secara resmi bahwa dia adalah putera Tuhan yang kedua, adik
dari Yesus! Betapapun juga, harus diakui bahwa gerakan Tai Peng (Perdamaian
Besar) yang dipimpin oleh Ong Siu Coan itu memperoleh sukses yang gemilang.
Mula-mula, sepak terjang Tai Peng mendatangkan rasa suka dan memperoleh dukungan
para pendekar karena gerakan itu membela kepentingan rakyat kecil. mengusahakan
penghapusan kemiskinan para petani, mengangkat derajat kaum wanita dan
menghapuskan peraturan-peraturan dan tradisi-tradisi yang merendahkan martabat
wanita. Selain Tan Ci Kong yang menjadi orang kepercayaan dan pembantunya, juga
banyak sekali orang-orang pandai dan pendekar-pendekar perkasa bergabung dengan
Ong Siu Coan. ketika dia mula-mula memberi nama Kerajaan Sorga Tai Peng kepada
balatentaranya,
Dia sudah dibantu oleh banyak orang pandai, di antara pemdekar-pendekar itu
terdapat nama-nama besar yang tercatat dalam sejarah seperti Lin Feng Siang, Li
Kai Fang, Si Ta Kai, Wei Chang Hui, Yang Siu Cing, dan terutama sekali Li Siu
Ceng dan Tan Yu Ceng. mereka ini tercatat di dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh
yang memperkuat pimpinan Tai Peng dan menjadi pembantu-pembantu utama dari Ong
Siu Coan. Ong Siu Coan berhasil menduduki Nan-king, lalu menyuruh dua orang
pembantunya, yaitu Lin Feng Siang dan Li Kai Fang untuk memimpin pasukan menuju
ke utara, mempersiapkan penyerbuan besar-besaran yang tujuannya adalah
penyerbuan ke kotaraja Peking! Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat banyak
pendekar merasa kecewa dengan gerakan tai peng. Mereka melihat betapa Ong Siu
Coan membuat pengakuan-pengakuan aneh,
Seperti #putera Tuhan# dan #adik Yesus# dan bahwa dia dapat membuat hubungan
langsung dengan Tuhan, menerima petunjuk-petunjuk yang kesemuanya itu menuju ke
arah ketidaknormalan. Yang lebih daripada segalanya adalah melihat betapa Ong
Siu Coan membiarkan anak buah pasukannya melakukan segala macam perbuatan kejam,
bukan hanya membunuhi orang-orang yang dicurigai tanpa diperiksa, akan tetapi
juga merampok dan memperkosa wanita! Ong Siu Coan terlalu memanjakan anak
buahnya, dan tentu saja di antara mereka terdapat banyak orang yang memang
berwatak penjahat. Karena perbuatan-perbuatan kejam seperti memperkosa wanita
dan merampok itu tidak dijatuhi hukuman, tentu saja yang lain-lain juga terseret
karena perbuatan-perbuatan jahat yang menguntungkan dan menyenangkan diri
sendiri mudah sekali menular dan dicontoh orang lain.
Melihat kenyataan-kenyataan pahit ini, mulailah para pendekar mengundurkan diri
setelah mereka itu dengan gagah perkasa membantu penyerbuan Wu-chang dan Nanking
sampai kedua kota itu berhasil diduduki. Yang mengundurkan diri banyak
sekali termasuk pula Tan Ci Kong. Akan tetapi karena sudah merasa berhasil dan
kekuasaannya mulai nampak sebagai hasil perjuangannya, Ong Siu Coan tidak
perduli. Masih banyak orang yang suka menjadi pembantunya, pikirnya, apalagi
setelah kini dia mengangkat diri menjadi pemimpin besar, bahkan raja dari
Kerajaan Sorga Tai Peng! Kalau saja Ong Siu Coan tidak berwatak sombong dan
tinggi hati, kalau saja kesempatan yang amat baik setelah balatentaranya
memperoleh kemenangan itu dia pergunakan sebaiknya dengan memperkuat pasukan,
Bersekutu dengan para pemberontak lain yang pada waktu itu juga bermunculan di
utara dan barat, atau kalau saja dia mau bersekutu dan mempergunakan kekuatan
orang-orang kulit putih yang agaknya akan suka membantunya mengingat bahwa dia
mengaku sebagai penyiar Agama Kristen, agaknya sejarah akan membuat catatan lain
dan mugkin sekali Tai peng ini akan menguasai seluruh daratan dan berhasil pula
menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu! Akan tetapi Ong Siu Coan terlalu tinggi
hati dan mabok kemenangan, merasa bahwa balatentaranya tidak ada yang akan dapat
mengalahkannya karena dia memperoleh bimbingan dari Tuhan sendiri! Kemenangan
demi kemenangan yang dicapai oleh balatentara Tai Peng membuat Ong Siu Coan
tinggi hati dan lengah sehingga hampir saja kelengahannya itu menewaskannya pada
malam hari itu.
Malam itu gelap dan sunyi. Karena merasa aman dan tidak mungkin ada orang yang
berani mengganggunya, Ong Siu Coan dan isterinya tidur di dalam istana mereka
tanpa pengawalan pribadi. Mereka mengambil istana di Nan-king yang merupakan
istana tua namun megah menjadi tempat tinggal mereka, hidup bagaikan seorang
raja, megah dan mewah.
(Lanjut ke Jilid 02)
Jilid 02
Karena tidak ada pasukan pengawal pribadi yang melakukan penjagaan, ketika suami
isteri ini sudah tidur, tidak ada orang dalam istana itu yang melihat
berkelebatnya bayangan orang bergerak cepat sekali melayang turun dari atas
genteng istana setelah tadi dia berlompatan seperti seekor burung terbang atau
kucing saja. Para pelayan di istana itu terdiri dari orang-orang yang tidak
berkepandaian silat, maka mereka tidak mendengar atau melihat sesuatu.
Bayangan itu menyelinap dan akhirnya mengintai dari jendela kamar di mana Ong
Siu Coan tidur bersama Tang ki, isterinya. Sebagai seorang yang berasal dari
sebuah dusun di Hwa-sian, propinsi Kuang-tung, yang baru saja mengangkat diri
menjadi kaisar, Ong Siu Coan belum dapat hidup sebagai layaknya seorang raja
atau seorang pembesar tinggi. Dia masih belum mengerti dan masih hidup sebagai
orang biasa, tidur sekamar dengan isterinya tanpa ada penjagaan ketat seperti
yang biasa bagi seorang raja. Juga dia tidak memiliki selir. Hal ini bukan hanya
karena dia mencinta isterinya, akan tetapi juga karena satu di antara peraturan
agama barunya adalah melarang pria beristeri lebih dari seorang. Maka, di luar
tempat tidurnya itu tidak nampak adanya pengawal dan hal ini membuat bayangan
yang mengintai di luar kamar, mengeluarkan suara ketawa lirih mengejek.
Bayangan yang dapat bergerak seperti setan itu bertubuh sedang dan tegap,
pakaiannya indah seperti pakaian seorang pelajar, rambutnya mengkilap
terpelihara rapi, akan tetapi mukanya tertutup saputangan sutera hitam sehingga
tidak dapat dikenal, hanya sepasang matanya saja yang nampak dari dua buah
lubang pada saputangan itu, sepasang mata yang tajam dan kadang-kadang
mencorong! Pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hal ini saja menunjukkan
bahwa dia bukan seorang pencuri biasa, melainkan seorang yang sudah terlalu
percaya kepada diri sendiri, tidak membutuhkan senjata lagi karena kaki dan
tangannya sudah merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan senjata dari
baja.
Atau juga menjadi petunjuk bahwa dia adalah seorang yang sombong dan menganggap
kepandaian sendiri terlampau tinggi sehingga memandang rendah orang lain. Ketika
sepasang mata yang mencorong itu mengamati keadaan di dalam kamar yang remangremang
karena hanya diterangi lampu minyak yang dikerudungi kain hijau dan
melihat benda yang dicarinya, sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat.
Benda itu adalah Giok-liong-kiam yang diletakkan berdiri di atas sebuah meja,
bersandar pada dinding yang dihias indah dan di atas dinding terdapat gambar
Yesus. Ada dua buah lilin kecil bernyala di kedua ujung meja yang diberi tilam
sutera putih yang dipinggirnya berenda. Giok-liong-kiam seolah-olah menjadi
sebah benda keramat, benda pujaan di bawah gambar Yesus! Dan memang Ong Siu Coan
selalu menonjolkan Pedang Naga Kemala itu sebagai benda keramat,
Sebagai pusaka dan lambang kejayaan Tai Peng. Senyum simpul agaknya menghias
pada mulut yang tertutup saputangan itu karena matanya juga membayangkan
kegembiraan ketika dia melihat pedang itu. Setelah meneliti beberapa saat
lamanya dan merasa yakin bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, dan dari
suara pernapasan di dalam kamar itu dia dapat mengetahui bahwa orang-orang yang
tidur di balik kelambu itu tentu sudah pulas, orang itu lalu menggunakan kedua
tangannya untuk membuka daun jendela. Daun jendela itu terkunci dari dalam dan
terbuat dari papan kayu yang tebal dan terukir indah, karena daun jendela itu
dipasang di kamar induk dari istana itu. Tidak akan mudah orang membongkarnya
dari luar, karena engsel dan kunci jendela terbuat dari besi, buatannya kokoh
bukan main.
Akan tetapi, dengan jari-jari tangannya yang amat kuat, orang itu dapat membuka
daun jendela tanpa mengeluarkan banyak suara! Hal ini membuktikan bahwa orang
berkedok ini memang benar lihai sekali. Setelah daun jendela terbuka, dia
meloncat ke dalam kamar melalui lubang jendela, gerakannya tiada bedanya dengan
gerakan seekor kucing meloncat, ketika kedua kakinya turun ke lantai kamar, sama
sekali tidak terdengar suara berisik. Harus diingat bahwa dua orang yang tidur
di balik kelambu tempat tidur itu adalah Ong Siu Coan dan Tang Ki, dua orang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, yang telah melatih diri sedemikian
rupa sehingga panca indera mereka demikian pekanya dan biarpun tertidur nyenyak,
kalau ada suara sedikit saja yang mencurigakan sudah cukup untuk menggugah
mereka!
Akan tetapi sekali ini, mereka tidak mendengar sesuatu dan tetap tidur nyenyak,
seperti dapat diketahui oleh orang itu dengan mendengarkan pernapasan mereka
yang panjang dn halus tak terkendali. Hal ini kembali membuktikan kelihaian
orang itu. Sesaat lamanya dia berdiri saja memandang ke arah kelambu, sambil
mendengarkan pernapasan dan melihat kalau-kalau kelambu itu bergoyang. Akan
tetapi semuanya tetap hening dan dia menganggu-angguk girang, melihat ke arah
dua pasang sepatu di bawah pembaringan, sepasang sepatu pria dan sepasang sepatu
wanita. Kemudian dia menoleh ke arah meja di mana terdapat Giok-liong-kiam yang
berada dalam sarungnya. Dia melangkah maju, langkahnya juga lembut tanpa suara,
dan dilain saat dia telah mengambil pedang pusaka itu,
Mencabutnya dari dalam sarung dan matanya kembali mencorong dan berkilauan
ketika dia melihat bahwa benda itu benar Giok-liong-kiam yang dicarinya. Tak
disangkanya bahwa benda itu akan dapat dia temukan sedemikian mudahnya! Dia lalu
menyelipkan pedang itu ke balik jubahnya, di ikat pinggangnya, dan kakinya
melangkah mendekati jendela. Akan tetapi, dia berhenti dan menoleh ke arah
ranjang, lalu kakinya bergerak menghampiri. Agaknya timbul suatu keinginan yang
membuatnya menghampiri ranjang, menggunakan tangan kiri menyingkap kelambu dan
dia menjenguk ke dalam. Ong Siu Coan tidur miring membelakangi isterinya yang
tidur terlentang. Keduanya tidur pulas. Orang itu berdiri memandangi wajah dan
tubuh Tang Ki yang tertutup pakaian tidur yang tipis, dan sejenak sepasang mata
itu mengeluarkan sinar lembut.
Tangan kirinya masih menyingkap kelambu dan kini tangan kanannya bergerak ke
depan, dengan lembut meraba dan mengusap kaki Tang Ki di bagian paha. Rabaan
halus ini cukup bagi Tang Ki untuk merasakan sesuatu yang tidak wajar dalam
tidurnya. Ia membuka mata dan seketika ia mengeluarkan teriakan nyaring dan
tubuhnya sudah meloncat dan menerjang ke arah orang berkedok itu! Tang Ki adalah
seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi sekali, mungkin tidak kalah lihai
dibandingkan suaminya. Ia adalah puteri tunggal Hai-tok, seorang di antara Empat
Racun Dunia, dan selain telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat dari ayahnya,
juga ia telah mewarisi ilmu meringankan tubuh yang istimewa ciptaan Tat Mo
Couwsu yang ditemukan di dalam sebuah kitab yang bernama Hui-thian-yan-cu
(Burung Walet terbang ke Angkasa)!
Maka, terjangannya tadi, biarpun dilakukan dalam keadaan baru saja terbangun
dari tidur nyenyak, dan dari keadaan rebah terlentang, berlangsung cepat bukan
main dan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat naik, ke depan dan kedua tangannya
telah melancarkan pukulan maut ke arah kepala dan dada orang berkedok! Orang itu
sudah cepat meloncat ke belakang dia menghadapi terjangan Tang Ki dengan tenang
saja! Padahal ketika tubuhnya melayang dan memukul, Tang Ki telah menggunakan
Ilmu Pukulan Thai-lek Kim-kong-jiu, ilmu pukulan warisan dari ayahnya yang
mengandung tenaga bagaikan geledek menyambar. Akan tetapi orang itu menyambutnya
dengan gerakan yang sama sehingga kedua tangannya bertemu dengan kedua tangan
Tang Ki, saling bentur di udara dengan tenaga yang sama-sama kuat.
#Dessss......!# Akibat benturan tenaga dahsyat itu, tubuh Tang Ki terlempar
kembali ke atas pembaringan, sedangkan orang berkedok itu mengeluarkan suara
mengejek menyerupai tawa tertahan. Sementara itu, Siu Coan sudah terbangun oleh
suara dan gerakan isterinya dan terkejutlah dia melihat seorang berkedok
menyambut pukulan isterinya yang ampuh dan membuat isterinya terjengkang dan
terbanting ke atas pembaringan.
#Maling hina yang sudah bosan hidup!# bentaknya dan diapun sudah meloncat turun
dari atas pembaringan dan langsung menyerang orang berkedok itu.
Karena dia dapat menduga bahwa orang itu tentu lihai, maka begitu menyerang dia
sudah menggunakan jurus dari ilmu silat yang paling diandalkan di antara ilmuilmu
silat lain, yaitu Ngo-heng Kuan-hoan-kun yang dipelajari dari gurunya,
yaitu Thian-tok (Racun Langit). Akan tetapi, dari balik kedok kain sutera itu
terdengar suara tawa mengejek dan orang itu menyambut serangannya dengan ilmu
silat yang sama. Bahkan orang itu membalas serangan Siu Coan dengan jurus-jurus
Ngo-heng Lian-hoan-kun pula! Demikian hebat serangan orang itu membuat Siu Coan
terpaksa cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Karena kakinya
tidak bersepatu, maka gerakannya menjadi terganggu. Kaki yang tidak biasa
telanjang itu agak kaku ketika dipakai bersilat.
#Siapa kau......!# Dia membentak karena heran melihat betapa orang itu dapat
bersilat dengan Ilmu Ngo-heng Lian-hoan-kun! Dialah satu-satunya murid Thian-tok
sekarang. Kedua orang saudara seperguruannya, yaitu Koan Jit dan Gan Seng Bu
sudah tewas. Rasanya tidak mungkin gurunya telah diam-diam mengambil murid lain
sebelum gurunya itu mengambil dia sebagai murid. Akan tetapi orang berkedok itu
hanya menjawab dengan suara ketawa bergelak kemudian sekali melompat, dia sudah
menerobos keluar jendela dan melarikan diri.
#Tangkap penjahat!!# Siu Coan berteriak, juga Tang Ki yang tadi terkejut oleh
kekuatan orang itu, berteriak-teriak. Keduanya tidak dapat langsung melakukan
pengejaran karena harus mengenakan sepatu yang sebelum tidur mereka lepas, dan
membereskan pakaian. Para pelayan datang berlarian dan di antara mereka ada yang
melihat berkelebatnya orang berkedok itu. mereka menjerit-jerit dan datanglah
perajurit pengawal yang berjaga di luar. Akan tetapi ketika Siu Coan dan Tang Ki
keluar, penjahat itu sudah tidak nampak lagi bayangannya. Barulah Ong Siu Coan
sadar bahwa dia lengah dan malam itu juga dia memerintahkan agar istananya
dijaga ketat, baik di sebelah luar maupun di sebelah dalam. Kemudian dia kembali
ke dalam kamar bersama isterinya.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hatinya ketika dia mendapat kenyataan
bahwa Giok-liong-kiam telah lenyap dari atas meja! Baru dia mengerti apa yang
dikehendaki penjahat tadi memasuki kamarnya. Mencuri Giok-liong-kiam! Betapa
beraninya! Masuk ke dalam kamarnya mencuri Giok-liong-kiam! Dan berhasil pula.
Ong Siu Coan mengepal tinju, marah sekali. Akan tetapi diapun maklum bahwa
peristiwa ini tidak boleh tersiar karena tentu akan mengurangi semangat para
pembantunya. Maka, diam-diam dia lalu menyuruh buat sebatang Giok-liong-kiam
palsu, hanya meniru gagang dan sarungnya saja dan menaruh Giok-liong-kiam itu di
atas meja untuk menggantikan yang hilang.
#Aku tahu siapa maling itu!# kata Tang Ki ketika mereka berdua membicarakannya.
Suaminya memandang tajam.
#Engkau tahu? Siapa jahanam itu?#
#Menurut dugaanku, dia tentulah Lee Song Kim, bekas suhengku itu!# Memang
ayahnya, Hai-tok Tang Kok Bu, mempunyai seorang murid yang amat disayangnya,
yang bernama Lee Song Kim, seorang yang memiliki kepandaian dan kecerdikan luar
biasa. Bahkan karena Lee Song Kim maka Tang Ki sampai jauh dari ayahnya. Ayahnya
menghendaki agar dia menikah dengan Song Kim, akan tetapi Tang Ki mencinta Ong
Siu Coan dan tidak suka, bahkan benci kepada Song Kim. Hal ini membuat ayahnya
marah dan ayahnya agaknya lebih suka kepada murid itu daripada kepada puterinya.
#Lee Song Kim?# Siu Coan mengerutkan alisnya.
#Bagaimana engkau dapat menyangka demikian?#
#Ketika aku menyerangnya, dia menangkis dengan gerakan dari jurus Ilmu Silat
Thai-kek Kim-kong-jiu, dan siapa lagi kalau bukan dia yang pandai melakukan ilmu
pukulan itu?#
#Ah, engkau juga?# Siu Coan berseru kaget. #Akan tetapi ketika dia menghadapi
seranganku, dia juga mempergunakan jurus dari ilmu silatku, yaitu Ilmu Silat
Ngo-heng Lian-hoan-kun! Tak mungkin kalau Lee Song Kim dapat memainkan silat
perguruanku itu. Yang dapat melakukannya selain suhu dan aku, juga Gan Seng Bu
dan Koan Jit. Akan tetapi, Gan Seng Bu telah mati dan suheng Koan Jit......
ahhh......# Tiba-tiba Siu Coan terbelalak, memandang isterinya seperti orang
terkejut dan teringat akan sesuatu.
#Ada apakah?# tanya Tang Ki, hatinya merasa tidak enak.
#Suheng Koan Jit...... jangan-jangan dia orangnya......
#Koan Jit?# Tang Ki bertanya, matanya terbelalak dan wajahnya berobah.
#Akan tetapi, bukankah dia telah tewas tertimpa batu-batu ketika ledakan itu
membuat terowongan runtuh dan menimpa dirinya # Ia membayangkan peristiwa yang
mengerikan itu.
Ketika itu, para pendekar muda, pejuang-pejuang yang menentang pemerintah Mancu,
berusaha membebaskan para pimpinan pejuang dan tokoh-tokoh tua yang ditawan
karena terjebak oleh tipu muslihat yang diatur Lee Song Kim. Di dalam usaha
mereka itu, mereka tidak berhasil, bahkan mereka sendiri terjebak dan terancam
untuk tertawan, mati atau hidup, dan sudah tidak ada jalan keluar lagi ketika
mereka terjebak dalam terowongan di bawah tanah yang menghubungkannya dengan
tempat para pimpinan yang ditawan. Dalam keadaan tersudut dan tertodong senapansenapan
para perajurit kulit putih yang bersekongkol dengan pasukan pemerintah
Mancu, tiba-tiba muncul Koan Jit yang dengan gagah perkasa menolong mereka
dengan jalan menghadapi
para perajurit dengan alat-alat peledak di tangan! Dan Koan Jit meledakkan
terowongan itu, membuat terowongan tertutup dan para serdadu tidak dapat
mengejar mereka yang berhasil menyelamatkan diri, lolos bersama para pimpinan
pejuang, akan tetapi Koan Jit sendiri tertimbun batu-batu terowongan yang runtuh
menimpa dirinya. Benarkah Koan Jit teruruk batu-batu itu? Mereka tidak dapat
melihatnya karena ketika ledakan-ledakan terjadi, debu dan asap menggelapkan
tempat itu. Akan tetapi yang ditemukan hanyalah sebuah sepatu Koan Jit dan
agaknya tubuh Koan Jit sudah hancur lebur atau mungkin juga tertimbun runtuhan
batu-batu itu. Bagaimana mungkin sekarang Koan Jit dapat hidup kembali dan
mencuri Giok-liong-kiam?
#Akan tetapi, andaikata benar dia Koan Jit, berapapun lihainya, bagaimana dia
mampu menangkisku dengan Thai-lek Kim-kong-jiu?# Tang Ki membantah.
#Itulah yang membingungkan dan meragukan......# Siu Coan menggeleng kepalanya
dengan heran.
#Bagaimanapun juga,kita harus mencari pusaka itu dan merampasnya kembali,# kata
Tang Ki.
#Tidak mungkin...... kita berdua mana bisa pergi begitu saja seperti yang sudahsudah?
Aku adalah seorang raja dan engkau permaisuriku, tak mungkin pergi
merantau untuk mencari pencuri pedang pusaka.#
#Kita mempunyai banyak pembantu yang pandai, kita dapat mengerahkan anak buah,
mengerahkan pasukan istimewa untuk mencarinya sampai dapat.# Ong Siu Coan
menggeleng kepala.
#Kita harus bertindak cerdik. Kita tidak membutuhkan Giok-liong-kiam, yang kita
perlukan hanyalah namanya saja. dan sekarang Giok-liong-kiam bahkan tidak kita
perlukan lagi. Bukankah pusaka itu telah berhasil menarik perhatian dan
mengundang orang-orang gagah yang telah membantu gerakan kita sehingga berhasil?
Kini kita tidak memerlukannya lagi. Biarlah saja ia dibawa pergi orang lain.#
#Tapi...... kita meminjamnya dari Ci Kong! Bagaimana kalau dia memintanya
kembali?#
#Kalau dia datang memintanya kembali, barulah kepadanya kita berterus terang
bahwa pusaka itu dicuri orang. Akan tetapi kita mendapatkan banyak pusaka
rampasan dan kita boleh menggantinya dengan pusaka lain atau mengganti kerugian
dengan benda berharga lainnya. Biarlah dia yang akan berusaha mencari kembali
pusaka itu. Kita tidak membutuhkan Giok-liong-kiam lagi.#
Demikian Ong Siu Coan menyuruh isterinya menyimpan peristiwa pencurian Giokliong-
kiam itu sebagai suatu rahasia. Dia tidak ingin semua orang tahu bahwa
Giok-liong-kiam yang dipandang sebagai lambang kejayaan Tai Peng itu dicuri
orang! Biarlah semua orang mengira bahwa Giok-liong-kiam masih berada dengan
aman di dalam istananya. Memang Ong Siu Coan ini amat cerdik dan selalu
bertindak dengan penuh perhitungan demi keuntungan sendiri.
***
Gadis itu memang cantik sekali, cantik dan manis, dengan bentuk muka bulat
telur, dagu meruncing, sepasang alis yang hitam tebal panjang seperti juga
rambutnya, sepasang mata yang tajam dan bening, hidung kecil mancung dan mulut
yang amat manis dengan bibir yang selalu merah basah dan menantang. Akan tetapi,
kadang-kadang nampak sifat dingin dan kejam pada mulut itu. Untuk melengkapi
keindahan tubuh gadis itu, bentuk tubuhnya juga amat menarik, dengan pinggang
yang kecil ramping, tinggi semampai dan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan.
Gadis berusia tujuh belas tahun ini memang amat cantik manis, bagaikan setangkai
bunga yang mulai mekar. pembawaannya lincah jenaka dan segala yang nampak di
sekitarnya menjadi cerah menggembirakan. Dari bentuk pakaiannya mudah diketahui
bahwa ia adalah seorang gadis berbangsa Mancu yang pada saat itu menjadi dayang
istana Terang Sempurna di taman Yuan-beng-yuan,
Dan sebagai seorang di antara para dayang yang berada di situ, ia ditugaskan
untuk menjaga dan mengurus sebuah pondok kecil di sudut taman. Gadis itu bernama
Yehonala, sebuah nama Mancu yang berarti Anggrek Kecil. Ia adalah seorang di
antara enam puluh empat orang perawan Mancu yang didatangkan oleh permaisuri
kaisar untuk menggantikan selir-selir berbangsa Han karena permaisuri khawatir
bahwa kelak suaminya akan mempunyai keturunan putera dari bangsa Han. Akan
tetapi biarpun Yehonala amat menonjol dalam kecantikan dan sikapnya di antara
semua perawan yang dibawa ke istana, ketika kaisar memeriksa gadis-gadis itu,
datang berita yang amat tidak menyenangkan mengenai didudukinya Wu-cang dan Nanking
oleh pasukan pemberontak Tai Peng.
Maka perhatian kaisar yang terpecah dan terganggu membuat Kaisar Sian feng tidak
melihat Yehonala. Yehonala adalah puteri sulung seorang pejabat menengah
berbangsa Mancu. Gadis ini sudah banyak mengunjungi banyak tempat, mengikuti
ayahnya ketika ayahnya bertugas dan dipindah-pindahkan ke banyak kota. Hal ini
membuat Yehonala lebih berpengalaman daripada gadis-gadis Mancu yang lain, dan
ia memiliki banyak kelebihan. Bukan hanya kecantikan wajah dan kepadatan
tubuhnya, juga ia pandai merias diri dan pandai pula menyanyi dengan suara
merdu. Ia banyak mengenal lagu-lagu rakyat berbagai daerah dan pandai
menyanyikannya dengan suara yang merdu. Selain itu, juga Yehonala berakal,
cerdik dan pandangan luas dan jauh. Mula-mula ia memang merasa kecewa karena
agaknya kaisar mengacuhkannya dan tidak memilihnya menjadi selir,
Bahkan semenjak ia berada di taman itu, belum pernah satu kalipun kaisar menaruh
perhatian terhadap dirinya. Akan tetapi, ia menekan kekecewaannya dan
kecerdikannya membuat ia berusaha sedapatnya untuk menarik perhatian kaisar.
Mula-mula, selama berbulan-bulan ia mengecat, menghias dan memperbaiki pondok
kecil yang dijaganya. Ia melukis banyak bunga anggrek, bunga kesayangannya yang
menjadi namanya, dan menggantungkan lukisan-lukisan itu di dalam pondoknya. Juga
dengan uang saku yang ditabungnya, ia mulai menyuap thaikam (orang kebiri) yang
bertugas menjaga taman dan istana Yuan-beng-yuan sehingga bersahabat baik dengan
mereka. Dua tahun lamanya Yehonala bersabar dan berusaha. Sementara itu ia telah
menjadi seorang gadis yang masak dan semakin cantik saja.
Hubungannya dengan para thaikam sudah semakin erat dan para thaikam itu suka
membantunya, mencari kesempatan agar kaisar dapat melihatnya. Kesempatan itu
tiba pada suatu sore hari yang hawanya panas. Pada waktu itu, Kaisar Sian Feng
duduk di dalam tandu yang dipikul oleh delapan orang thaikam. Kaisar sedang
dalam perjalanan mengunjungi seorang selir bangsa Han yang menjadi
kesayangannya. Para thaikam yang sudah mengadakan kontak dengan Yehonala,
sengaja memikul tandu itu dengan berputar, lewat di bawah pohon-pohon wu-tung
yang teduh dan melalui pondok yang didiami Yehonala. Pada saat itu, sesuai
dengan rencana yang sudah diatur oleh Yehonala, kaisar yang duduk melenggut oleh
kantuk karena panasnya hawa, mendengar suara nyanyian merdu. Tentu saja dia
tertarik sekali dan menyingkap tirai tandu di depannya.
#Berhenti......!# kata kaisar, tertarik sekali karena begitu dia menyingkap
tirai, dia melihat sebuah pondok yang dihias amat indah, dicat baru dan di depan
pondok penuh dengan tanaman bunga beraneka warna. Sungguh merupakan sebuah
pondok yang terbagus di antara pondok yang berada di taman itu.
#Ah, sungguh mungil sekali pondok ini,# kata kaisar dan dibantu oleh para
thaikam, diapun turun dari atas tandu, lalu menghampiri pondok dan karena daun
pintu pondok terbuka, kaisar lalu masuk ke dalam. Setibanya di dalam pondok,
kembali dia tertegun. Di dalam pondok tergantung lukisan-lukisan bunga anggrek
beraneka bentuk dan warna, indah sekali dan perabot pondok itupun dicat dan
diatur penuh dengan kerapian yang nyeni. Kaisar masih mendengar suara wanita
bernyanyi, maka diapun menjenguk jendela belakang dan ia semakin terpesona.
seorang gadis Mancu dengan baju Mancu sutera merah muda sedang duduk di dekat
kolam ikan kecil di belakang pondok.
Gadis itu sedang mengipasi tubuh yang kegerahan dengan kipas sambil menyanyikan
sebuah lagu rakyat daerah Soo-chouw. Suaranya merdu sekali dan nyanyian itu
adalah nyanyian rakyat tentang seorang gadis yang sedang menanti datangnya sang
kekasih. Romantis sekali sehingga kaisar merasa terharu, hanyut oleh nyanyian
itu dan terpesona oleh kecantikan gadis itu. Heran dia mengapa selama ini dia
tidak pernah melihat dayang yang manis dan mempesona ini? Setelah Yehonala
berhenti bernyanyi, Kaisar Sian Feng lalu menghampiri gadis itu dari belakang.
Tentu saja Yehonala sudah tahu akan kehadiran kaisar, akan tetapi dengan cerdik
ia berpura-pura terkejut, membalikkan tubuh dengan sikap semenarik mungkin. Ia
nampak terkejut ketika melihat bahwa yang memujinya itu adalah kaisar sendiri.
cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.
#Mohon paduka sudi mengampuni hamba, karena tidak tahu akan kunjungan yang mulia
Sri Baginda, maka hamba tidak menyambut dengan selayaknya.# Suaranya penuh
dengan kemerduan, dengan kata-kata yang teratur dan sopan sehingga kaisar
menjadi girang bukan main. Tak disangkanya di tempat yang indah itu dia akan
bertemu dengan seorang gadis secantik dan sepintar ini. Dia tertawa bergelak.
#Nona manis, angkat mukamu dan biarkan aku melihatnya,# katanya sambil tertawa.
Yehonala tersipu malu sehinga wajahnya yang putih bersih, mulus dan cantik itu
menjadi kemerahan, menambah kemanisan wajahnya. Dengan malu-malu, senyum dikulum
ia mengangkat mukanya menengadah sambil berlutut dan Kaisar Sian Feng menjadi
girang bukan main. Kini dia dapat melihat wajah itu dengan jelas dan memang
sebuah wajah yang amat menggairahkan hatinya. Dia lalu menglur tangannya,
membelai pipi dan leher yang berkulit halus dan hangat itu.
#Siapakah namamu?# Dengan sikap tersipu malu sehingga daya tariknya menjadi
kuat, gadis itu menjawab lirih,
#Nama hamba Yehonala...... sudah dua tahun hamba mengabdi di..#
#Dua tahun?# Kaisar Sian Feng terkejut dan memaki kebodohannya sendiri. Selama
dua tahun dia membiarkan setangkai bunga yang demikian indahnya tanpa pernah
menyentuhnya, apalagi memetiknya, melihatpun belum pernah.
#Yehonala, nama indah, seindah lukisan-likisanmu. Yehonala, hari amat panas dan
aku merasa gerah sekali. Aku ingin mandi di dalam pondokmu......# Tentu saja
Yehonala menjadi girang bukan main. Tidak sia-sia semua kesabaran selama ini,
tidak sia-sia semua rencana yang telah dilakukannya. dengan girang ia lalu
mempersilahkan kaisar memasuki pondok, ia lalu mempersiapkan air harum untuk
mandi junjungannya itu dan dengan sikap malu-malu seperti layaknya seorang anak
perawan yang belum pernah berdekatan dengan pria, ia membantu kaisar mandi di
sore hari yang panas itu. Setelah merasa puas mandi, juga puas membelai dan
menciumi dara itu, kaisar mengenakan pakaiannya dan berbisik,
#Yehonala, bersiaplah engkau untuk melayani dan menemaniku malam nanti.#
Yehonala berlutut dan menyatakan kesanggupannya dengan sikap malu-malu, namun di
dalam hatinya ia bersorak penuh kemenangan. Ia harus dapat menundukkan hati
junjungannya ini, ia harus berhasil memenuhi cita-citanya, yaitu menjadi selir
terkasih kaisar,
Kalau mungkin menjadi ibu dari putera kaisar agar kelak ia dapat menjadi ibu
suri! Cita-citanya amat besar, dikandung semenjak ia dipilih untuk dibawa ke
istana kaisar. Karena pertemuannya dengan Yehonala, kaisar tidak jadi
mengunjungi selirnya dan langsung pulang ke istana. Dia telah menemukan seorang
gadis baru yang amat mempesona dan dia harus mempersiapkan diri untuk bersenangsenang
malam nanti dengan gadis itu. Diminumnya darah segar menjangan yang
dicampur dengan tanduk menjangan dan ramuan lain untuk memperkuat tubuhnya.
Sementara itu, setelah kaisar meninggalkannya, Yehonala bersenandung dengan
gembira, lalu ia pun mempersiapkan diri, mandi dengan air bunga yang harum,
kemudian menggosok-gosokkan ramuan yang dapat membuat kulit tubuhnya menjadi
halus lunak, bersih dan segar.
Ia sudah bersiap siaga ketika pada malam harinya muncul dua orang thaikam yang
diutus kaisar untuk menjemputnya. Pada jaman itu, terdapat peraturan istana yang
luar biasa. Setiap orang selir atau wanita yang dipilih kaisar untuk
melayaninya, selalu akan dijemput oleh dua orang thaikam dan dibawa kepada
kaisar dalam keadaan telanjang dan digulung selimut, kemudian dipanggul ke kamar
kaisar. Hal ini terutama sekali untuk menjamin keamanan kaisar karena di jaman
dahulu pernah terjadi kaisar dibunuh oleh seorang wanita yang dipaksa menjadi
selirnya. Peraturan ini berlaku bagi semua selir atau dayang yang dipanggil
kaisar, kecuali, tentu saja, Permaisuri yang sudah mendapatkan kepercayaan
sepenuhnya dari kaisar, yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga tidak
sepatutnya mengalami perlakuan yang merendahkan itu.
Yehonala juga diharuskan bertelanjang lalu digulung dalam selimut dan dipanggul
oleh dua thaikam, dibawa ke kamar kaisar dalam istana. Dan pada malam hari itu,
Yehonala melayani Kaisar Sian Feng. Gadis ini memang cerdik bukan main. Walaupun
ia seorang perawan yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan pria,
namun ambisinya yang besar mendatangkan kecerdikan dan ia mampu membuat kaisar
merasa terbuai dalam kenikmatan yang belum pernah dialaminya sebelum ini. Dia
sudah mulai merasa bosan dengan wanita-wanita Han yang menjadi selirnya karena
wanita Han selalu bersikap lembut, malu-malu dan pasrah sebagaimana layaknya
seorang wanita yang ingin disebut sopan. Akan tetapi Yehonala tidak demikan.
Dalam usahanya untuk menyenangkan dan memuaskan hati junjungannya, ia mau dan
sanggup melakukan apapun juga! Ia bagaikan seekor kuda yang binal dan liar, dan
hal ini merupakan pengalaman baru bagi kaisar.
Apalagi, hal yang amat diharapkannya terjadilah. Ia mulai mengandung dan yang
lebih penting daripada segalanya, setelah kandungannya terlahir, ternyata
seorang bayi laki-laki! Seorang putera kaisar, calon putera mahkota! Tentu saja
hal ini bukan hanya amat menggirangkan hati Yehonala, bahkan juga amat
membesarkan hati Kaisar dan para keluarganya. Kelahiran putera ini sekaligus
mengangkat derajat Yehonala yang tadinya hanya seorang dayang dan kemudian
menjadi selir, kini otomatis menjadi seorang permaisuri kedua, dengan kekuasaan
yang di bawah Sang Permaisuri sendiri. Agaknya sudah menjadi hal yang sukar
untuk dibantah lagi bahwa di dalam cinta asmara antara pria dan wanita, terdapat
perbedaan yang amat besar. Walaupun tidak berani pengarang mengatakan bahwa
kenyataan ini berlaku bagi semua orang, namun kebanyakan terbukti bahwa cinta
seorang pria terhadap seorang wanita banyak sekali dipengaruhi oleh nafsu
berahi,
Sedangkan cinta seorang wanita terhadap pria banyak sekali dipengaruhi oleh
kemuliaan harta benda. Karena cinta yang dipengaruhi oleh keinginan untuk
bersenang ini, baik bagi pria melalui kepuasan berahi, dan wanita melalui
kepuasan harta benda, namun jelaslah bahwa cinta kasih seperti ini hanya akan
menimbulkan bermacam masalah dan pertentangan saja. Kepuasan nafsu berahi dan
kepuasan harta benda erat hubungannya dengan kebosanan dan kekecewaan, dan kalau
sudah demikian maka selalu akan terjadi pertentangan di mana cinta kasih dapat
berbalik sama sekali menjadi kebencian! Adakah cinta kasih antara pria dan
wanita yang tanpa pamrih sehingga benar-benar merupakan cinta kasih yang murni
tanpa dikotori keinginan pribadi untuk bersenang-senang? Kalaupun ada, jarang
sekali kita melihatnya dan hal ini sungguh patut disayangkan.
Kaisar Sian Feng terlalu sibuk dengan pengejaran kesenangan, terutama sekali
kesenangan melalui pengumbaran nafsu berahi sehingga dia hampir tidak perduli
sama sekali tentang pemerintahannya. Padahal, di waktu itu, pemberontakan
terjadi di mana-mana. Bukan hanya pemberontakan-pemberontakan Tai Peng yang kini
sudah menduduki Wu-cang, Nan-king dan lembah Sungai Yang-ce sampai ke muaranya,
juga terdapat pemberontakan-pemberontakan lain yang cukup besar di sebelah utara
dan barat. Pada waktu pasukan-pasukan pemberontak Tai Peng menyerbu dan
menduduki Nan-king, yaitu pada tahun 1853, di utara terjadi pemberontakan Nianfei,
sedangkan di Kwei-cow barat terjadi pemberontakan Suku Bangsa Miau. Jelas
nampak betapa kebesaran dan kejayaan Kerajaan Ceng-tiauw yang dikendalikan oleh
Bangsa Mancu itu mulai menyuram,
Dan kelemahan dinasti itu bersumber kepada lemahnya orang yang menjadi kaisar
pada waktu itu. Desakan para pemberontak yang seolah-olah mengepung Peking,
ditambah lagi dengan makin besarnya kekuasaan ang ditanam oleh orang kulit
putih, benar-benar membuat Kerajaan Ceng terancam keruntuhan, hal yang diacuhkan
saja agaknya oleh Kaisar Sian Feng. Dan pada jaman itu, para pembesar negeri
berlomba untuk membesarkan perut, masing-masing dengan jalan korupsi, suap
menyuap, dan hanya mementingkan diri sendiri dan kesenangan pribadi belaka,
tentu saja mencontoh langkah yang diambil oleh kaisar mereka. Bagaikan sebatang
pohon, betapapun kokoh kuat dan besarnya pohon itu, kalau sudah dihinggapi
penyakit sejak dari akarnya sampai ke ujung-ujung daunnya, maka tak lama
kemudian pohon itu tentu akan menjadi rusak dan roboh juga.
***
Di lereng Pegunungan Luliang-san, di lembah Sungai Fen-ho yang sunyi, terdapat
sebuah perkampungan yang tentu akan menarik perhatian orang yang kebetulan lewat
di situ. Sejak dari pintu gerbang tembok pagar yang mengelilingi perkampungan
itum sampai kepada bangunan rumah-rumah di dalamnya, nampak kemewahan yang tidak
sesuai dengan kedaan di tempat sunyi terpencil itu. Pantas perkampungan itu
berada di kota, dimiliki oleh orang-orang atau keluarga yang kaya raya. Sebuah
bangunan besar seperti istana berada di tengah perkampungan, dikelilingi
bangunan-bangunan yang lebih kecil dan di belakang bangunan besar itu terdapat
sebuah taman yang luas dan indah. Di tengah taman terdapat sebuah panggung
beratap kayu yang besar dan luas, tanpa dinding. Bagi penduduk dusun-dusun di
sekitar Pegunungan Luliang-san,
Pemilik atau majikan perkampungan itu mereka kenal sebagai Lee-kongcu atau
mereka cukup menyebutnya Kongcu (Tuan Muda) saja, karena di seluruh pedusunan
tidak ada orang lain yang disebut Kongcu. Orang yang menjadi majikan pekampungan
itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah tiga puluh enam tahun lebih, dan
orang-orang menyebutnya kongcu hanya karena mereka tahu bahwa dia itu masih
perjaka, dalam arti kata masih belum menikah. Namanya adalah Lee Song Kim! Orang
ini memang memiliki banyak keunggulan. selain terkenal sebagai majikan kampung
yang kaya raya, juga Lee Song Kim terkenal sebagai seorang ahli silat yang
berilmu tinggi sehingga seluruh penghuni dusun-dusun di daerah pegunungan itu
merasa takut kepadanya, juga segan dan hormat karena Lee Song Kim seringkali
mengulurkan tangan membantu kepada para petani miskin. Wajahnya tampan pesolek
dengan pakaian yang selalu indah dan mewah seperti seorang pelajar yang kaya
raya.
Sikapnya selalu periang dan senyum simpul yang selalu menghias bibirnya itu
mengandung ejekan dan pandangan meremehkan kepada semua orang. Tidak
mengherankan kalau Lee Song Kim tinggi hati dan meremehkan orang lain karena
memang dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Lee Song Kim adalah
murid terkasih dari mendiang Hai-tok Tang Kok Bu, seorang di antara Empat Racun
Dunia, ayah kandung dari Tang Ki yang kini menjadi #permaisuri# dari raja kecil
Ong Siu Coan pemimpin pemberontak Tai Peng. Dari suhunya, Lee Song Kim telah
mewarisi seluruh ilmunya dan hal ini masih belum memuaskan hatinya. Sebagai
seorang murid, juga anak angkat, juga kekasih yang amat dimanja oleh Hai-tok,
Lee Song Kim minta kepada gurunya itu untuk merampaskan dan mencurikan kitabkitab
pelajaran ilmu silat tinggi dari aliran-aliran dan perkumpulan-perkumpulan
besar,
Sehingga ketika gurunya itu berusaha mencuri kitab di kuil Siauw-lim-pai,
gurunya dikeroyok oleh pendeta-pendeta lihai dan tewas. Sebagai ahli waris Pulau
Naga yang dimiliki Hai-tok, Lee Song Kim menjadi seorang yang kaya raya. Akan
tetapi diapun maklum bahwa perbuatan gurunya mencuri kitab-kitab dari berbagai
aliran persilatan telah ketahuan, maka diapun lalu menyelamatkan diri dari Pulau
Naga membawa semua harta benda yang ditinggalkan gurunya, juga semua kitab yang
telah dicuri oleh gurunya untuknya. Dia menyembunyikan diri dan menggembleng
diri selama bertahun-tahun dengan ilmu-ilmu dari kitab-kitab curian itu sehingga
tentu saja ilmu kepandaiannya menjadi semakin hebat. Kini tingkat ilmu
kepandaiannya sudah sedemikian majunya sehingga jelas melampaui tingkat mendiang
gurunya sendiri!
Akhirnya, setelah merasa dirinya kuat, Lee Song Kim berani muncul kembali.
Sebagai seorang yang mewarisi harta benda yang banyak, dia hidup sebagai seorang
yang kaya raya, membangun perkampungan itu dan biarpun dia belum juga beristeri,
namun sebagai seorang pria yang mata keranjang, di dalam gedungnya terdapat
puluhan orang pelayan wanita muda-muda dan cantik-cantik yang selalu siap
melayaninya karena mereka itu menjadi pelayan merangkap selir. Juga untuk
memperkuat diri, Lee Song Kim mengumpulkan orang-orang muda yang memiliki ilmu
silat, bahkan dididiknya, sebanyak tiga puluh orang lebih yang menjadi anak
buahnya dan tinggal di dalam rumah-rumah yang mengelilingi gedungnya di dalam
perkampungan itu. Lee Song Kim adalah seorang yang memiliki ambisi besar.
Pernah dicobanya belasan tahun yang lalu untuk mencari kedudukan dan kemuliaan
melalui Kerajaan Ceng. Dia bahkan pernah mengabdikan dirinya kepada penjajah,
mengkhianati para pejuang. Akan tetapi akhirnya ia gagal dan sebaliknya dikejarkejar
oleh pemerintah! Dia tidak sanggup lagi mencari kedudukan melalui pangkat,
maka kini ambisinya mencari cara lain. Dia ingin menjadi seorang yang akan
disebut Thian-he Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Dunia)! Karena itu,
dia menggembleng diri setiap hari dengan ilmu-ilmu dari semua aliran. Bahkan
kitab-kitab yang telah dicuri gurunya untuk dirinya, dari perkumpulanperkumpulan
besar seperti Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Kong-tong-pai dan lainlainnya,
masih belum memuaskan hatinya. Dia berpikir bahwa untuk dapat menjadi
jagoan nomor satu di dunia,
Dia harus menguasai semua ilmu silat dari aliran manapun juga agar dia dapat
menghadapi dan menguasai jago-jago dari semua aliran silat yang ada! Dan diapun
perlu menguji ilmu-ilmu yang sudah dipelajari dan dikuasainya itu, untuk melawan
tokoh-tokoh dari aliran-aliran itu sendiri. Baru setelah dia memiliki secara
lengkap ilmu berbagai aliran itu dan merasa yakin akan mampu mengalahkan semua
tokohnya, dia akan mengumumkan bahwa dialah Thian-he Te-it Bu-hiap! Dan untuk
pengangkatan diri menjadi jagoan nomor satu di dunia itupun sudah dia dapatkan
lambangnya, yaitu Giok-liong-kiam! Ya, tidak keliru dugaan Tang Ki. Lee Song Kim
inilah pencuri Giok-liong-kiam! Setelah dia mendengar berita bahwa Giok-liongkiam
terjatuh ke tangan Ong Siu Coan sebagai pimpinan pemberontak Tai Peng,
Dia lalu mengirim anak buahnya melakukan penyelidikan tentang Ong Siu Coan. Dan
ketika dia mendengar laporan anak buahnya betapa istana Ong Siu Coan di Nan-king
tidak terjaga dengan ketat, dia lalu turun tangan sendiri, pergi ke Nan-king dan
berhasil mencuri Giok-liong-kiam dengan amat mudahnya. Akan tetapi dasar mata
keranjang dan cabul, setelah berhasil mencuri pedang pusaka itu, dia tidak
segera pergi melainkan menyingkap kelambu untuk melihat sepasang manusia yang
tidur di balik kelambu. dan melihat wanita yang pernah menjadi sumoinya, yang
pernah dicintanya, tidur terlentang dalam pakaian yang tipis, dia tidak dapat
menahan diri dan meraba pahanya membuat wanita itu terbangun dan menyerangnya,
juga membangunkan Ong Siu Coan yang menyerangnya. Namun, dengan kepandaiannya
yang tinggi, dia mampu meloloskan diri.
Kalau dia menghendaki, tentu saja dia akan mampu membunuh Ong Siu Coan dan Tang
Ki selagi mereka masih tidur. Akan tetapi dia tidak mau melakukannya. Hal itu
tentu akan menimbulkan geger besar dan kalau sampai dia dimusuhi oleh Tai peng,
celakalah dia! Dia cukup cerdik untuk menggunakan kedok sehingga suami isteri
yang berhasil menjadi raja kaum Tai peng itu tidak melihat bukti bahwa dia
pencurinya. Sore hari itu, Lee Song Kim makan minum ditemani tiga orang pelayan
wanita yang paling cantik dan yang menjadi tiga orang kesayangannya. Tiga orang
wanita muda yang cantik-cantik ini seperti berlomba untuk mengambil hati kongcu
mereka, bersikap manis dan genit, menemaninya makan minum sambil bersenda gurau.
Lee Song Kim minta disediakan masakan-masakan yang serba istimewa karena dia
hendak merayakan keberhasilannya mencuri Giok-liong-kiam, walaupun hal itu masih
dirahasiakannya, baik terhadap anak buahnya sekalipun. Belum tiba saatnya untuk
menyiarkan bahwa dia kini yang memiliki Giok-liong-kiam, karena hal itu selain
akan memancing datangnya banyak tokoh yang tidak ditakutinya, namun juga
memancing datangnya Ong Siu Coan dengan pasukannya yang sama sekali yidak boleh
dipandang ringan. Selama beberapa bulan ini, dia sudah mengalahkan banyak ahli
silat dari berbagai aliran, dengan mempergunakan ilmu silat dari aliran itu
sendiri dan hal ini menambah kegembiraan hatinya. Hanya aliran-aliran silat yang
besar-besar saja yang belum dicoba ilmu silatnya.
Setelah merasa kenyang, Lee Song Kim melanjutkan pestanya di dalam kamarnya,
minum arak ditemani tiga orang kekasihnya. Dua orang memijit-mijit seluruh
badannya, memilih otot-otot yang kalau dipijit dapat melenyapkan rasa lelah,
sedangkan seorang pelayan lain duduk di atas pangkuannya, tertawa-tawa ketika
dibelainya. Tiba-tiba daun pintu diketuk orang dari luar dan terdengar seorang
anak buah minta diterima menghadap karena ada laporan penting. Pelayan wanita
yang duduk di atas pangkuan Lee Song Kim segera meloncat turun dan atas isyarat
majikannya ia membuka pintu, Lee Song Kim mengerutkan alisnya, memandang kepada
anak buahnya itu dengan hati tak senang karena dia merasa terganggu selagi
bersenang-senang dengan tiga orang kekasihnya.
#Ada urusan penting apakah yang mendorongmu untuk menemuiku?# tanyanya, siap
untuk marah-marah kalau pemuda yang bermuka hitam itu tidak memiliki alasan yang
kuat.
#Harap kongcu suka memaafkan saya,# kata pemuda itu.
#Akan tetapi mentaati perintah kongcu, saya melapor bahwa di kaki bukit ada dua
orang tosu tua yang berjalan menuju perkampungan kita. Melihat sikap dan
dandanan mereka, juga bahwa seorang dari mereka membawa pedang di punggung, saya
dapat menduga bahwa mereka bukan tosu-tosu biasa, Karena itu saya cepat lari
untuk melapor kepada kongcu.# Wajah yang tadinya membayangkan kemarahan kini
berubah cerah gembira.
#Bagus, aku harus menemui mereka!# katanya dan diapun sudah meloncat turun dan
membereskan sebatang pedang di balik jubahnya dan berkelebat keluar.
Gerakannya cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan ilmu terbang saja. Dua
orang tosu itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka
bertubuh kurus tinggi dan membiarkan rambutnya tergerai di kedua bahunya. Di
punggungnya nampak sebatang pedang bersarung butut, dan jubah tosu yang menutupi
tubuhnya berwarna kuning lusuh. Wajahnya agak muram dan jarang senyum, wajah
yang kurus nampak lonjong, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus. Adapun tosu
kedua bertubuh gendut, tidak setinggi temannya, juga jubahnya kuning dengan
bagian dada terbuka. Agaknya dia selalu kegerahan. tidak nampak dia membawa
senjata dan wajahnya yang bundar itu selalu dihias senyum, sepasang matanya yang
lebar bersinar dan berseri. Mereka melangkah tanpa berkata-kata.
Lee Song Kim memperhatikan mereka. Pengetahuannya tentang tokoh-tokoh berbagai
aliran silat memang luas. Walaupun dia belum pernah bertemu sendiri dengan dua
orang tosu ini, namun menurut hasil penyelidikannya selama beberapa tahun ini,
sejak dia masih hidup di Pulau Naga bersama Hai-tok, membuat dia tahu bahwa dua
orang ini adalah dua tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi! Bukan main girang rasa hatinya. Terbuka kesempatan baginya
untuk menguji ilmu silatnya yang didapat dari kitab pelajarannya! Diapun cepat
keluar menghadang perjalanan dua orang tosu itu. Ketika si tempat sunyi itu
tiba-tiba muncul seorang laki-laki tampan yang berpakaian mewah seperti seorang
pelajar kaya, dua orang tosu itu memandang heran dan memperlambat langkah mereka
karena laki-laki itu berdiri di tengah jalan, nampaknya sengaja menghadang
mereka.
#Jiwi totiang (bapak pendeta berdua), harap perlahan dulu berjalan, karena saya
ingin sekali bicara dengan jiwi (anda berdua),# kata Lee Song Kim dengan sikap
sopan dan ramah. Tosu tinggi kurus yang berwajah muram itu diam saja, akan
tetapi tosu gendut tertawa ramah.
#Ha-ha, ada keperluan apakah si-cu (orang gagah) menahan perjalanan dua orang
tosu seperti kami?# Diam-diam Song Kim memuji ketajaman mata tosu gendut ini.
Begitu bertemu tosu ini sudah dapat melihat bahwa dia bukan seorang pelajar
biasa, melainkan pandai ilmu silat maka tosu itu menyebut #sicu#. Akan tetapi
Song Kim memperlihatkan wajah biasa saja.
#Totiang, kalau saya tidak salah duga, ji-wi totiang adalah tokoh-tokoh dari
Kun-lun-pai, bukan?# Dua orang tosu itu saling pandang dan kerut di antara kedua
alis tosu kurus menjadi semakin dalam. Akan tetapi tosu gendut segera menjawab
sambil tertawa,
#Siancai...... pinto berdua hanyalah tosu-tosu perantau biasa saja......# Song
Kim tersenyum.
#Totiang tidak perlu merendahkan diri. Bukankah totiang berjuluk Tiong Gi Tojin
dan totiang yang kurus ini adalah Tiong Sin Tojin? Tokoh-tokoh Kun-lun-pai
tingkat tiga yang berilmu tinggi dan lihai sekali!# Dua orang tosu itu kini
nampak terkejut, bahkan tosu gendut kehilangan senyumnya.
#Sicu, siapakah engkau dan apa kepeluanmu menghadang perjalanan kami, apalagi
setelah engkau mengenal siapa adanya kami?# tanya tosu gendut, wajahnya serius.
#Saya hanya seorang laki-laki biasa saja, orang menyebut saya Lee Kongcu dan
saya paling suka dengan ilmu silat walaupun kepandaian saya masih rendah sekali.
Sudah lama saya mendengar akan kelihaian ji-wi totiang, maka setelah sekarang
ada jodoh untuk bertemu di sini, saya harap ji-wi tidak terlalu pelit untuk
mempertunjukkan ilmu-ilmu ji-wi yang tinggi untuk membuka mata saya.# Dua orang
tosu itu mengerutkan akisnya.
#Orang muda, kami hanyalah tosu-tosu yang selalu mendambakan kedamaian dan tidak
suka berkelahi. Ilmu yang kami pelajari hanya untuk menjaga diri saja. Karena
tidak ada urusan apapun di antara kita, bagaimana mungkin kami mengeluarkan ilmu
silat? Kami bukan tukang jual obat di pasar yang suka memamerkan ilmu silat,#
kata pula tosu gendut. Lee Song Kim menggeleng kepala.
#Jodoh sudah menentukan perjumpaan kita, maka ji-wi jangan menolak, harap
keluarkan imu-ilmu simpanan ji-wi untuk saya lihat.#
#Orang muda lancang!# Kini tosu kurus yang bernama Tiong Sin Tojin membentak
marah. #Minggirlah dan biarkan kami melanjutkan perjalanan!# Kembali Song Kim
menggeleng kepala.
#Tidak bisa, totiang. Sebelum ji-wi menunjukkan ilmu-ilmu simpanan ji-wi, jangan
harap akan dapat melanjutkan perjalanan.#
#Siapa yang berani melarang kami!# bentak tosu tinggi kurus, kini menjadi marah
sekali.
#Akulah yang melarang. bagaimanapun juga, ji-wi harus melayani dulu aku barang
seratus jurus!#
#Siancai, orang ini sungguh sombong dan kurang ajar, suheng. Biar pinto
menghajarnya!# kata tosu kurus.
#Hati-hatilah, sute. Agaknya dia memang sengaja mencari urusan,# kata tosu
gendut. Tiong Sin Tojin, yang tinggi kurus, segera melangkah maju dan karena dia
dapat menduga bahwa orang muda yang demikian sombong dan kurang ajar tentu
memiliki kepandaian cukup tinggi, begitu menyerang dia mengeluarkan jurus
serangan yang ampuh dan dahsyat. Kedua tangannya membentuk paruh burung yang
meruncing dan paruh burung ini mematuk-matuk ke arah jalan darah yang berbahaya
di kepala, leher dan dada secara bertubi-tubi.
#Hemm, Pek-ho-tok-hi (Bangau Putih mematuk Ikan)......!# seru Lee Song Kim
sambil mengelak ke sana-sini. karena dia sudah mengenal gerakan jurus ini, maka
tidak sukarlah baginya untuk menghindarkan diri. Tiong Sin Tojin terkejut
mendengar seruan pemuda itu yang telah mengenal jurus serangannya. Cepat dia
merubah gerakan kaki tangannya dan kini dia menyerang dengan dua buah jari
tangan kanan, yaitu telunjuk dan jari tengah, menusuk ke arah leher.
#Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan)...... Kembali Song Kim berseru dan
betapapun cepat dan dahsyatnya serangan maut itu, dengan mudah dia dapat
menangkis sambil melangkah mundur dua langkah. serangan ini pun gagal.
#Tahan dulu!# bentak Tiong Sin Tojin, #Siapakah engkau yang mengenal jurus-jurus
Kun-lun-pai? Apakah engkau seorang murid Kun-lun-pai?# Song Kim menggeleng
kepalanya.
#Bukan murid, akan tetapi aku suka sekali mempelajari jurus-jurus terlihai dari
Kun-lun-pai, bukan seperti yang kau perlihatkan tadi, totiang.#
Tiong Sin Tojin menjadi marah.
#Sudahlah, pinto tidak mempunyai urusan dengan orang gila seperti engkau.
Suheng, mari kita pergi.#
#Ha, nanti dulu, totiang. Kalau engkau tidak mau menyerang, biarlah aku yang
menyerangmu. Lihat ini Hok-thian-hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi)!# bentak
Song Kim dan diapun sudah menyerang dengan ganas sekali, menggunakan kaki
tangannya dan serangan itu datang dari atas dan bawah, amat cepatnya. Melihat
betapa pemuda itu menggunakan sebuah jurus Kun-lun-pai yang ampuh dan berbahaya,
Tiong Sin Tojin terkejut dan cepat diapun menyambut dengan elakan dan tangkisan,
Dan merasa betapa lengannya tergetar setiap kali bertemu dengan lengan lawan.
Yang membuat dia penasaran dan kaget sekali ketika melihat betapa lawan itu kini
menyerangnya terus dengan jurus-jurus pilihan dari Kun-lun-pai! Terpaksa dia
harus mengeluarkan jurus-jurus tandingan untuk memunahkan semua serangan itu dan
memang inilah yang dikehendaki oleh Song Kim. Diam-diam otaknya yang cerdik itu
mencatat semua gerakan lawan yang dapat mematahkan setiap serangannya sehingga
dari pekelahian ini dia memperoleh tambahan jurus-jurus pilihan dari Kun-lunpai.
Karena merasa tidak dapat menandingi pemuda itu dengan tangan kosong, Tiong
Sin Tojin meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya. Akan tetapi suhengnya,
Tiong Gi Tojin yang gendut, cepat mencegahnya sambil meloncat ke depan.
#Sute, barlah pinto yang maju.# Dia tidak ingin sutenya menggunakan senjata
karena mereka berdua tidak bermusuhan dengan orang she Lee ini, Untuk apa
menggunakan senjata? Pantang bagi orang-orang yang menjadi pendeta, apalagi
pendeta Kun-lun-pai yang terpandang, untuk melukai, apalagi membunuh orang tanpa
sebab. Kini, dengan mulut masih tersenyum menyeringai, tosu gendut ini
menghadapi Song Kim.
#Lee-kongcu (tuan muda Lee), sesungguhnya pinto tidak mengerti mengapa kongcu
memaksa pinto berdua untuk bertanding silat denganmu. Lebih tidak mengerti lagi
pinto melihat betapa engkau yang mengaku bukan murid Kun-lun-pai, demikian
pandai bersilat dengan ilmu silat aliran kami!#
#Tiong Gi Tojin, terus terang saja, aku adalah orang yang paling suka belajar
ilmu silat, karena itulah maka aku minta kepada ji-wi untuk memberi petunjuk
kepadaku barang seatus jurus. Karena suka ilmu silat, aku mempelajari semua
aliran, termasuk Kun-lun-pai. Sayang, sangat sedikit yang kupelajari, maka
kuharap akan memperoleh barang beberapa jurus dari ji-wi totiang.#
#Huh, kau hendak mencuri ilmu orang lain!# bentak Tiong Sin Tojin yang berdiri
di pinggir sambil mengepal tinju dengan marah.
#Mencuri......!# Tiba-tiba Tiong Gi Tojin berteriak dan memandang kepada Song
Kim dengan mata terbelalak.#Kalau begitu, pencurian kitab Kun-lun-pai beberapa
tahun yang lalu
#Benar! Tentu dia inilah pencurinya!# teriak Tiong Sin Tojin, agaknya juga baru
sadar dan teringat akan peristiwa menggemparkan tentang hilangnya beberapa buah
kitab pusaka Kun-lun-pai. #Pantas dia bukan murid Kun-lun-pai namun pandai ilmu
silat Kun-lun-pai.#
Dua orang tosu itu kini langsung menerjang Song Kim dengan serangan maut karena
mereka baru sadar bahwa tentu inilah orang yang telah mencuri kitab dari gudang
pusaka Kun-lun-pai. Song Kim merasa gembira sekali dan menyambut mereka dengan
cepat, memancing mereka untuk mengeluarkan ilmu-ilmu mereka yang paling hebat.
Dua orang tosu ini terpancing dan mereka memang menyerang dengan jurus-jurus
pilihan, tidak tahu bahwa sama saja halnya mereka mengajarkan ilmu pukulan
aliran mereka yang paling ampuh kepada laki-laki yang amat lihai ini. Dengan
serangan dua orang itu, banyak jurus yang tadinya dipahami Song Kim secara
teoritis saja, kini dia memperoleh petunjuk bagaimana harus memainkan jurus itu
dengan tepat. Dia mempermainkan dua orang tosu itu sampai lima puluh jurus lebih
tanpa merobohkan mereka, hanya menyerang untuk memncing mereka mengeluarkan
jurus pilihan aliran Kun-lun-pai.
#Tahan dulu!# bentak Tiong Gi Tojin yang melompat mundur diikuti sutenya. Dia
merasa penasaran sekali.
#Sebetulnya siapakah engkau, murid mana dan mengapa memusuhi kami orang Kun-lunpai?#
Karena melihat betapa lihainya lawan, Tiong Gi Tojin merasa perlu untuk
tahu lebih banyak tentang lawan ini, sedangkan Tiong Sin Tojin kini mencabut
pedangnya karena maklum bahwa ilmu silat tangan kosong mereka berdua agaknya
tidak akan mampu mengalahkan lawan yang lihai itu. Sementara itu, Song Kim sudah
merasa cukup menimba pengetahuan ilmu silat Kun-lun-pai dari meraka, dan melihat
betapa mereka kini telah mempersiapkan senjata, dia maklum bahwa kalau dia mainmain
terus, salah-salah dirinya sendiri yang menjadi korban karena bagaimanapun
juga harus diakuinya bahwa dua orang tosu itu amat tangguh. Maka, sambil
tersenyum diapun menjawab,
#Mau tahu aku murid mana? Nah, ji-wi totiang (dua bapak pendeta), kiranya ji-wi
(kalian berdua) belum buta dan dapat mengenal ilmu silatku!# Berkata demikian,
Song Kim memasang kuda-kuda lalu menerjang ke depan, ke arah Tiong Gi Tojin
dengan jurus dahsyat dari ilmu silat Houw-kun (Silat Harimau). Tiong Gi Tojin
terkejut dan cepat mengelak sambil mencabut sebatang kebutan dari pinggangnya
dan mengebut ke samping. Akan tetapi Song Kim sudah menubruk ke samping dan
menyerang Tiong Sin Tojin dengan cakaran kedua tangannya, persis gerakan seekor
harimau yang mencakar ke samping dengan amat kuatnya. Tiong Sin Tojin juga cepat
meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari terkaman itu dan kedua orang
tosu itu hampir berbareng berseru,
#Murid Siauw-lim-pai......??# Mereka berdua mengenal ilmu silat Siauw-lim-pai
itu, yaitu Houw-kun (Silat harimau). satu di antara ilmu-ilmu silat Siauw-limpai
yang meniru gerakan binatang-binatang buas. Akan tetapi sambil tertawa Song
Kim menyerang terus dan biarpun kedua orang lawan itu memegang pedang dan
kebutan, tetap saja dia dapat mendesak mereka dengan jurus-jurus maut dari
Siauw-lim-pai.
Hal ini tidaklah aneh, sama sekali bukan karena dia terlalu mahir dengan ilmu
silat Siauw-lim-pai, yang seperti juga dengan ilmu-ilmu silat berbagai aliran
hasil curian mendiang gurunya, hanya dikuasai beberapa bagian saja yang
tergolong tinggi tingkatnya, melainkan karena memang sebelum menguasai berbagai
ilmu silat itu, dia sendiri sudah amat lihai sebagai murid Hai-tok. ilmu silat
Siauw-lim-pai itu dia pergunakan sebagai kulit luarnya saja, akan tetapi
sebenarnya sinkang yang dipergunakan dibalik pukulan dan cengkeraman itu adalah
sinkang yang diwarisinya dari Hai-tok. Dan memang tingkatnya jauh lebih tinggi
kalau dibandingkan dengan tingkat dua orang tosu Kun-lun-pai tingkat tiga itu.
#Krrakkk......!# Tiba-tiba cengkeraman tangan kirinya tepat mengenai kepala tosu
itupun terpelanting, pedngnya terlempar dan diapun tidak mampu bergerak lagi.
Tempurung kepalanya bagian pelipis kanan Tiong Sin Tojin retak dan tertekan
masuk kedalam dan nampak kepala itu berlubang empat, bekas empat buah jari
tangan Song Kim yang mencengkeram. Tiong Sin Tojin tewas seketika. Tiong Gi
Tojin marah bukan main, menggerakkan kebutannya sehingga terdengar bercuitan dan
gulungan putih menyambar-nyambar. Namun, dengan lincahnya Song Kim dapat
menghindarkan diri, kemudian kembali tangannya yang ampuh bergerak, kini
memukuldengan tangan terbuka ke depan.
#Desss......!# Dada kiri Tiong Gi Tojin terkena hantaman telapak tangn
itu.#Uhhhh!# Tiong Gi Tojin terhuyung, darah segar keluar dari mulutnya dan
kebutannya terlempar lepas dari tangannya yang kini keduanya dipakai untuk
menekan dadanya yang kena pukul tadi.
#Ha-ha-ha, kiranya tidak berapa hebat kepandaian tosu tingkat tiga dari Kun-lunpai.
Sayang bukan tingkat pertama atau ketuanya sendiri yang dapat kuajak
bertanding,# kata Song Kim. Tiong Gi Tojin berdiri memandang kepada lawan itu
dengan mata tajam dan penuh kemarahan, kemudian tanpa mengeluarkan sepatahpun
kata, dia mengambil tubuh sutenya yang sudah menjadi mayat, memanggulnya dan
tanpa pamit diapun pergi diiringi senyum mengejek dari Lee Song Kim.
Begitu tosu gendut itu memanggul tubuh sutenya, Song Kim cepat memanggil dua
orang pembantu atau juga muridnya untuk membayangi perjalanan Tiong Gi Tojin dan
melihat perkembangan siasat yang telah dilaksanakan tadi, yaitu mengadu domba
antara Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Dia tahu bahwa di antara aliran-aliran
persilatan, dua partai persilatan itulah yang merupakan sumber ilmu silat
tinggi. Siauw-lim-pai adalah gudang ilmu silat dari para hwesio sakti seperti
mendiang Tat Mo Couwsu dan lain-lain, sedangkan Kun-lun-pai juga merupakan
gudang ilmu silat dari para pertapa dan tosu di Kun-lun-san, bahkan dari
Himalaya. Kalau dia dapat menguasai ilmu-ilmu paling tinggi dari dua partai
persilatan itu,
Dia tidak akan gentar lagi menghadapi jagoan-jagoan mereka dan dia akan lebih
mudah mencapai cita-cita yaitu mengangkat diri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap
(Jago Silat Nomor Satu di Kolong Langit)! Dengan menahan rasa nyeri pada luka di
dadanya, Tiong Gi Tojin berlari sambil memanggul jenazah sutenya. Tentu saja dia
tidak mungkin dapat kembali ke Kun-lun-pai yang jauh, dan hanya pergi ke sebuah
kuil yang menjadi cabang dari Kun-lun-pai. Pada malam harinya, tibalah dia di
kuil yang dipimpin oleh seorang sutenya, yaitu Tiong Le Tojin. Setibanya di
pintu kuil, Tiong Gi Tojin tidak kuat lagi dan diapun roboh terguling bersama
jenazah Tiong Sin Tojin. Tentu saja Tiong Le Tojin, ketua kuil Kun-lun-pai itu,
terkejut sekali melihat kedua orang suhengnya itu. Seorang telah menjadi mayat
dan seorang lagi dalam keadaan terluka berat.
#Tiong Gi suheng, apakah yang telah terjadi?# tanyanya sambil memangku kepala
suhengnya itu yang napasnya sudah empas-empis dan mukanya sudah menjadi pucat
kebiruan.
#Orang she Lee...... murid Siauw-lim-pai......# hanya demikian dia mampu
mengeluarkan suara karena diapun terkulai dan tewas menyusul sutenya. Tentu saja
pesan terakhir ini membingungkan hati Tiong le Tojin. Murid Siauw-lim-pai she
Lee. Agaknya orang she Lee itulah yang membunuh kedua orang suhengnya.
Karena pentingnya urusan Tiong Le Tojin setelah mengurus kedua jenazah suhengnya
itu sebagaimana mestinya, lalu berangkat menuju ke pusat Kun-lun-pai untuk
melaporkan tentang kematian dua orang tosu Kun-lun-pai. Disebutnya Siauw-lim-pai
merupakan hal gawat dan Tiong Le Tojin tidak berani lancang mengurusnya sendiri
ke Siauw-lim-pai. Para pimpinan Kun-lun-pai terkejut mendengar bahwa dua orang
tokoh mereka tewas di tangan seorang she Lee murid Siauw-lim-pai. Ada beberapa
orang tokoh pimpinan yang berwatak keras dan segera menyatakan untuk menuntut
balas kepada orang-orang Siauw-lim-pai, akan tetapi Tiong Tek Seng-jin, ketua
Kun-lun-pai pusat yang usianya sudah tujuh puluh tahun dan terkenal bijaksana,
sabar dan juga sakti itu, mengangkat kedua tangannya ke atas.
#Siancai-siancai-siancai......! Perbuatan menurutkan nafsu amarah merupakan
penyelewengan yang hanya akan mendatangkan malapetaka belaka. Sejak dahulu kita
sudah mengenal Siauw-lim-pai dan tahu bahwa pusat Siauw-lim-pai pusat orangorang
gagah yang berjiwa patriot dan pendekar. Karena itu, kalau ada seorang
murid Siauw-lim-pai melakukan penyelewengan misalnya, janganlah hendaknya
kesalahan itu kita timpakan kepada seluruh anggauta Siauw-lim-pai! Yang tidak
benar adalah oknumnya, bukan perkumpulannya. Mengingat akan persahabatan antara
kita dan Siauw-lim-pai, biarlah kita sampaikan saja peristiwa ini kepada Siauwlim-
pai untuk menindak murid mereka yang melakukan pembunuhan terhadap dua orang
murid kita.#
Mendengar ucapan yang halus dan mengandung penuh wibawa ini, semua pimpinan Kunlun-
pai menyadari dan mereka pun mentaati pesan itu. segera dikirim utusan ke
pusat Siauw-lim-pai untuk melaporkan peristiwa pembunuhan atas diri dua orang
Kun-lun-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah Thian Tek
Hwesio, menggantikan suhengnya, Thian He Hwesio yang sudah meninggal dunia
karena usia tua. Thian Tek Hwesio yang bertubuh pendek kecil itu berusia tujuh
puluh tahun lebih dan dia dibantu oleh Thian Khi hwesio yang bertubuh sedang dan
berusia tujuh puluh enam tahun. Tentu saja dua orang hwesio tua ini dibanru pula
oleh beberapa orang murid-murid kepala. Ketika Thian Tek Hwesio dan Thian Khi
hwesio menerima utusan Kun-lun-pai dan mendengar pelaporan mereka, keduanya
terkejut dan saling pandang.
#Omitohud...... pinceng merasa berduka sekali mendengar berita yang buruk ini.
Ingin pinceng mengetahui, siapakah nama murid Siauw-lim-pai she Lee yang
melakukan pembunuhan itu,di mana tempat tinggalnya dan apa pula sebabnya?#
Utusan Kun-lun-pai memberi hormat dan dengan jelas dia lalu menceritakan bahwa
dua orang itu tahu-tahu roboh di depan kuil Kun-lun-pai di tai-gu, dan bahwa
mendiang Tiong Gi Tojin yang ketika itu masih hidup hanya meninggalkan pesan
beberapa patah saja, yaitu : #orang she Lee..... murid Siauw-lim-pai......#
(Lanjut ke Jilid 03)
Jilid 03
#Omitohud, jadi pihak Kun-lun-pai tidak tahu siapa sebenarnya orang she Lee
murid Siauw-lim-pai itu dan apa yang menjadi sebab maka dia sampai membunuh dua
orang tosu Kun-lun-pai?#
#Benar,# jawab utusan itu, #Ketua kami dengan hormat menyerahkan kepada
kebijaksanaan locianpwe di Siauw-lim-pai untuk menyelidiki dan bertindak atas
perbuatan muridnya, dan Kun-lun-pai tidak akan mencampuri.#
#Sungguh bijaksana sekali ketuamu itu, to-yu. Akan tetapi bagaimana kami akan
dapat bertindak dan menghukum murid kami kalau kami tidak mengetahui siapa dia?
Hendaknya diketahui bahwa murid Siauw-lim-pai yang berada di luar banyak sekali,
dan tak terhitung junlah murid yang she Lee, bahkan mungkin ada cucu murid she
Lee yang tidak pernah kami ketahui atau kenal sama sekali.#
#Siancai...... kami hanya utusan, locianpwe, dan kami sudah menyampaikan laporan
dan pesan ketua kami. Kemudian terserah kepada kebijaksanaan Siauw-lim-pai. Kunlun-
pai hanya akan bertindak sebagai penonton untuk mengagumi keadilan dan
ketegasan Siauw-lim-pai yang sejak ratusan tahun menjadi sahabat kami, demikian
pesan ketua kami.#
#Omitohud...... betapa sukarnya tugas itu, akan tetapi pinceng akan mencobanya,
melakukan penyelidikan itu. Harap sampaikan salam dan hormat kami semua kepada
para pimpinan Kun-lun-pai.# Utusan itupun pergi meninggalkan Siauw-lim-pai dan
tak lama kemudian, Lee Song Kim juga mendengar akan segala laporan anak buahnya
yang melakukan penyelidikan. Hatinya merasa agak kecewa bahwa api yang
dinyalakannya antara Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tidak jadi berkobar. Kiranya
kedua pihak tidak dibakar perasaan marah, bahkan Kun-lun-pai menyerahkan
penyelidikan tentang perisriwa itu kepada Siauw-lim-pai.
Cita-citanya untuk membakar kedua perkumpulan besar itu agar mereka saling
serang sehingga dia akan dapat mempelajari gerakan-gerakan ilmu silat mereka
yang sedang bertanding, gagal. Ang-hong-pai (Perkumpulan Tawon merah) merupakan
sebuah perkumpulan sesat yang anggautanya seluruhnya terdiri dari wanita-wanita
belaka. Biarpun hanya merupakan sebuah perkumpulan wanita, namun nama Ang-hongpai
terkenal di dunia hitam sebagai perkumpulan yang kuat karena para anggauta
wanita yang jumlahnya mendekati seratus itu rata- rata memiliki ilmu silat
tinggi, ahli pula tentang penggunaan racun dan rata-rata memiliki watak kejam
dan buas, mudah membunuh dan tidak segan-segan menyiksa lawan yang tertawan.
Juga banyak di antara mereka terkenal sebagai wanita-wanita yang haus akan pria,
Suka menangkapi pria-pria muda dan celakalah pria yang sudah menjadi tawanan
mereka karena dia akan dibawa ke sarang Ang-hong-pai dan tak seorangpun tahu apa
yang menjadi nasibnya karena dia takkan pernah muncul lagi di dunia ramai!
Biarpun banyak di antara para anggauta Ang-hong-pai merupakan wanita-wanita muda
yang berwajah cantik dan bersikap genit, namun kaum pria bergidik ngeri kalau
mendengar disebutnya nama Ang-hong-pai. Terutama sekali mereka yang tinggal di
daerah kota Nan-ping di Propinsi Hok-kian. Kalau ada seorang wanita, betapa
cantikpun, mengenakan pakaian serba merah, sebagai tanda bahwa ia anggauta Anghong-
pai, maka para pemuda yang tidak memiliki kepandaian segera cepat-cepat
menyembunyikan diri, seperti anak-anak ayam melihat datangnya seekor musang.
Para hartawan di kota Nan-ping dan sekitarnya, tidak ada yang berani menolak
untuk memberi sumbangan apabila ada wanita baju merah datang ke rumah mereka,
sehingga kehidupan Ang-hong-pai terjamin oleh sumbangan-sumbangan itu, di
samping hasil perampokan atau pencurian yang mereka lakukan di tempat-tempat
yang jauh dari wilayah Nan-ping. Mereka tidak pernah mau mengganggu wilayah itu
karena mereka memperoleh sumbangan dengan dalih #menjaga keamanan#. Ada memang
terjadi beberapa kali munculnya seorang jagoan yang menganggap dirinya cukup
mampu utuk menjadi pendekar dan menentang Ang-hong-pai, akan tetapi akibatnya,
jagoan itu yang tewas dan mayatnya tak pernah dilihat orang. Maka, nama Anghong-
pai menjadi semakin tersohor dan kaum pendekar merasa lebih aman untuk
mengambil jalan sendiri dan tidak mencari perkara dengan waita-wanita liar itu.
Yang menjadi ketua dari Ang-hong-pai ketika itu adalah seorang wanita berusia
kurang lebih enam puluh tahun, akan tetapi melihat bentuk wajahnya yang masih
manis, mukanya yang belum dinodai keriput, tubuhnya yang masih padat rampng, ia
nampak seperti seorang wanita berusia tiga puluh tahun saja! Para anggauta atau
murid Ang-hong-pai menyebutnya Theng Toanio dan nama sebenarnya adalah Theng Ci.
Wanita ini masih nampak cantik dan pakaiannya selalu mewah, berwarna merah
terbuat dari sutera mahal dengan hiasan kuning emas dan garis biru. Theng Toanio
ini melanjutkan kedudukan mendiang subonya (guru wanita) memimpin Ang-hong-pai
dan karena ia nampak lebih pandai daripada mendiang subonya, maka anak buah Anghong-
pai semua taat dan tunduk kepadanya.
Theng Toanio inilah yang mulai memungut sumbangan dari para hartawan, berbeda
dengan mendiang subonya yang dahulu hanya mengandalkan kejahatan untuk membiayai
perkumpulannya. Juga kini anggaua Ang-hong-pai mendekati seratus orang
kesemuanya terdiri dari wanita-wanita cantik dengan usia tidak lebih dari tiga
puluh tahun! Theng Toanio mengusir bekas anggauta yang usianya sudah lebih dari
tiga puluh tahun. Wanita ini memang lihai sekali, lihai permainan pedangnya dan
juga amat pandai mempergunakan senjata rahasia jarum merah yang mengandung racun
tawon yang amat kuat. Perlu diketahui bahwa diwaktu mudanya, Theng Ci ini pernah
diperkosa oleh datuk sesat Thian-tok, dan agaknya pengalaman inilah membuat
Thian-tok tidak melupakan wanita ini.
Pada tahun terakhir menjelang kematiannya, datuk sesat Thian-tok, satu di antara
Empat Racun Dunia yang menjadi guru Ong Siu Coan, mencari Theng Ci di sarang
Ang-hong-pai. Mula-mula, melihat kedatangan datuk sesat yang pernah
memperkosanya, Theng Ci menjadi marah dan mengerahkan anak buahnya untuk
mengeroyok. Akan tetapi Thian-tok terlalu lihai baginya dan untuk kedua kalinya,
wanita ini terpaksa menyerah, bahkan sekali ini ia melayani segala kehendak
Thian-tok dengan sukarela karena Racun Dunia itu menjanjikan kepadanya untuk
mengajarkan ilmunya yang paling hebat. Demikianlah, selama hampir satu tahun,
Thian-tok hidup di antara para wanita di Ang-hong-pai, dan mengajarkan Ilmu
Silat Ngo-heng Lian-hoan-kun-hoat kepada Theng Ci atau Theng Toanio, juga
beberapa ilmu lain.
Setelah Thian-tok merasa bosan tinggal di situ dan pergi, Theng Toanio telah
menjadi seorang wanita yang lihai bukan main, jauh lebih lihai daripada sebelum
ia digembleng Thian-tok. Dan iapun melatih anak buahnya sehingga mereka juga
memperoleh kemajuan pesat. Semakin ditakutilah Ang-hong-pai semenjak waktu itu.
Ang-hong-pai berada di puncak sebuah bukit yang penuh dengan hutan lebat, di
luar kota Nan-king dalam Propinsi Hok-kian. Dari jauh, perkampungan Ang-hong-pai
tidak nampak saking lebatnya hutan di bukit itu. Akan tetapi, bukit yang diberi
nama Ang-hong-pai atau Bukit Tawon Merah itu terkenal sebagai tempat berbahaya
dan tidak ada seorangpun berani mencoba-coba untuk mendudukinya.
Di dalam hutan itu terdapat penuh binatang hutan yang buas, akan tetapi yang
membuat orang merasa gentar adalah rombongan tawon-tawon yang bermacam-macam di
tempat itu. Banyak di antara tawon- tawon ini berbisa. Sengatannya dapat
mengakibatkan maut dalam waktu beberapa jam saja. Dan tentu saja, selain bahaya
binatang buas dan tawon, bahaya terbesar yang mengancam mereka yang berani
mendaki bukit itu adalah perkumpulan Ang-hong-pai sendiri. Pada waktu itu,
kaisar amat lemah dan berenang di dalam kesenangan pemuasan nafsu belaka.
Kelemahan kaisar tentu mengakibatkan kelemahan pemerintahan, pejabat-pejabat
tidak terkendali sehingga mereka bagaikan kuda-kuda yang lepas dari kekangan,
berubah menjadi raja-raja kecil yang tidak memperdulikan keadaan rakyat,
Melainkan berlomba untuk menumpuk kekayaan dan memperkuat kedudukan. Adanya
gangguan kepada rakyat seperti perampok dan golongan hitam macam Ang-hong-pai,
tidak diperdulikan oleh para pejabat daerah. Bagi mereka, asal kedudukan mereka
tidak diganggu, sudahlah. bahkan banyak terjadi penjahat berkomplot dengan
pejabat, keduanya memiliki kepentingan yang sama, yaitu makmur dengan jalan
menghisap darah rakyat jelata dan tidak saling menentang, Katakanlah bagi hasil!
Theng Toanio tidak terkecuali. Iapun melihat kelemahan pemerintah, maka iapun
segera mengadakan kontak dengan para pejabat daerah, mengirimkan barang-barang
berharga sebagai tanda penghormatan dan hal ini membuat para pejabat segan untuk
menentang Ang-hong-pai,
Asal perkumpulan itu tidak mengganggu alat-alat pemerintah. Demikianlah
kedudukan Ang-hong-pai amat kuat di daerah itu, dan para pendekarpun segan untuk
menentangnya. Namun, pada suatu pagi yang sunyi dan cerah, nampak sesosok
bayangan mendaki bukit Ang-hong-san dengan lenggang seenaknya, seolah-olah dia
sedang mendaki sebuah bukit yang indah untuk pergi bertamasya, bukan sedang
mendaki bukit yang penuh dengan bahaya yang mengancam nyawanya. Bayangan itu
adalah seorang laki-laki yang belum tua, usianya tiga puluh delapan kurang
lebih, pakaiannya mewah, wajahnya tampan dan tubuhnya membayangkan kekuatan.
Rambutnya tersisir licin dan mengkilap karena minyak, mulutnya tersenyum-senyum.
Seorang pria muda yang tampan menarik dan berpakaian mewah, pesolek dan
senyumnya tentu mudah meruntuhkan benteng pertahanan hati wanita! Orang ini
bukan lain adalah Lee Song Kim! Tidak mengherankan kalau orang seperti dia sudah
tahu bahwa bukit itu adalah sarang Ang-hong-pai, karena dia adalah seorang yang
amat lihai dan memang dia naik ke puncak bukit dengan maksud mengunjungi Anghong-
pai. Lee Song Kim mendengar berita tentang Ang-hong-pai, tentang ketuanya
yang masih nampak cantik biarpun usianya sudah setengah abad lebih, tentang para
anggautanya yang berjumlah hampir seratus orang, semua wanita muda yang menarik.
Timbul keinginan hatinya untuk berkunjung dengan dua macam niat di hatinya.
Pertama, untuk menguji ilmu ketua Ang-hong-pai, kalau perlu menguasai ilmu
silatnya,
Dan kedua, kalau memang benar bahwa anggauta Ang-hong-pai terdiri dari wanitawanita
muda yang cantik, dia bermaksud menaklukkan perkumpulan itu. Pertama,
agar Ang-hong-pai dapat memperkuat kedudukannya, dan kedua, wanita-wanita itu
dapat menghibur hatinya dan memuaskan nafsunya. terutama sekali dia harus
menyusun kekuatan, karena untuk mempunyai jagoan nomor satu, harus mempunyai
kekuatan yang mendukung di belakangnya, untuk menghadapi lawan yang banyak
jumlahnya. Ang-hong-pai bukanlah perkumpulan yang besar kalau kedatangan orang
asing di bukit itu tidak mereka ketahui semenjak orang itu menginjakkan kaki di
tanjakan pertama. Mereka selalu memasang penjaga di semua sudut, secara
bergilir. Ketika para penjaga melihat munculnya seorang laki- laki yang demikian
tampannya,
Jantung mereka sudah berdebar tidak karuan, merasa gembira dan tegang sekali,
seperti sekumpulan serigala kelaparan melihat munculnya seekor domba yang gemuk
dari dalam semak-semak. Tiga orang penjaga ini ingin sekali segera menubruk pria
itu, diperebutkan. Akan tetapi mereka bukan orang-orang yang bodoh dan lancang.
Mereka dapat melihat, dari sikap dan langkah pria itu, bahwa yang mendaki bukit
ini bukanlah orang sembarangan. Mereka tidak berani sembrono. Sekali bertindak
dan gagal, tentu mereka akan mendapat kemarahan ketua mereka. Padahal, kalau
sudah marah, Theng Toanio kejam luar biasa. Mudah saja membuntungi lengan atau
kaki, atau bahkan leher orang! Maka, sambil menahan getaran hati yang penuh
dengan nafsu melihat pria yang demikian gantengnya, tiga orang ini lalu membagi
tugas.
Seorang melapor kepada ketua di atas, yang lain tetap mengintai. mereka tidak
khawatir pria itu akan dapat pergi dari bukit itu karena bukit itu, di antara
pohon-pohon besar di dalam hutan, terdapat jebakan-jebakan dan perangkapperangkap
yang penuh rahasia. Sebelum tiba ditanjakan lereng pertengahan, tentu
pria itu sudah akan masuk perangkap dan mudah saja mereka tawan! Demikian pikir
mereka, sama sekali tidak mengetahui bahwa calon korban yang mereka sangka
seekor domba gemuk yang lunak dagingnya itu ternyata adalah seekor harimau yang
tidak akan mudah dikalahkan oleh pengeroyokan segerombolan serigala betina yang
kelaparan! Bahkan mungkin segerombolan serigala betina itulah yang akan menjadi
korban terkaman sang harimau. Lee Song Kim memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
sekali.
Penglihatan dan pendengarannya, juga panca-indera yang lain, amatlah peka dan
terlatih. Maka, diam-diam dia sudah mendengar dan melihat berkelebatnya tiga
bayangan wanita di antara semak-semak belukar itu. Akan tetapi dia hanya
tersenyum saja, tidak membuat gerakan mencurigakan, pura-pura tidak tahu saja.
Namun dia sudah dapat menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah penjagapenjaga
yang sudah melihat di mendaki bukit dan tentu kini Ang-hong-pai telah
membuat persiapan untuk menyambutnya. Mengingat akan hal ini, Song Kim
tersenyum, penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dia terus melangkah maju
dengan gagah, memasuki hutan lebat itu, mendaki tanjakan pertama yang penuh
liku. Beberapa kali dia mendapatkan jalan buntu, terhalang jurang yang menganga
lebar dan mengerikan.
Bagi orang biasa demikian, akan tetapi dengan mudah Song Kim melompati jurangjurang
itu! Beberapa buah perangkap yang tertutup daun-daun dapat diketahuinya
karena sebelum melangkah, dia melemparkan batu-batu kecil dengan tenaga kuat ke
atas tanah yang akan diinj aknya. Perangkap itu bekerja dan tebukalah lubang
jebakan ketika terkena sambitan keras itu sehingga tidak sampai menjebak
tubuhnya. Dari kauh, para anggauta Ang-hong-pai mengamati gerak-geriknya dan
mereka semua terkejut melihat betapa laki-laki itu mampu melewati semua
rintangan. Makin yakin hati mereka bahwa pria itu bukan orang bisa, melinkan
orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Melihat ini, Theng Toanio cepat
mempersiapkan anak buahnya untuk melakukan penghadangan secara bertahap.
Pasukan penghadang pertama muncul ketika Song Kim tiba di lereng pertama. Dia
melihat munculnya lima orang gadis yang memegang tali hitam mengepungnya dari
belakang batang-batang pohon. Dia melihat betapa lima orang itu mengikatkan
ujung tali hitam panjang pada pinggang mereka, sedangkan tali itu mereka gulung
dan dipegang di tangan mereka. Ujung lainnya berbentuk lasso dan mengertilah dia
bahwa mereka itu adalah ahli-ahli melempar tali untuk menjerat binatang buas,
dan kini agaknya pasukan lasso ini hendak menangkapnya dengan tali hitam itu.
Dian-diam dia tersenyum dan pura-pura tidak melihat mereka. Benar saja
dugaannya. Tiba-tiba lima orang gadis itu menggerakkan tangan, dari lima jurusan
yang mengepung Song Kim, dan nampaklah lima sinar hitam ketika tali-tali itu
meluncur dengan mulut lasso terbuka lebar menyambar kepalanya.
Tentu saja dengan mudah Song Kim akan dapat melepaskan diri dari ancaman bahaya.
Akan tetapi dia sengaja membiarkan tubuhnya, lasso-lasso itu dengan cepat
memasuki kepalanya dan menjerat seluruh tubuh dari leher sampai ke kaki! Karena
lima orang gadis itu tadi melempar tali melalui di atas cabang pohon di depan
masing-masing, hal yang sudah diatur lebih dahulu, kini mereka menarik tali itu
dengan harapan agar tubuh Song Kim tertarik dan tergantung di udara, di antara
lima batang pohon. Akan tetapi, betapapun kuat mereka membetot dan menarik,
tetap saja tubuh Song Kim tidak bergeming, tidak terangkat sedikitpun. Laki-laki
itu malah tersenyum lebar dan menoleh ke sana-sini untuk melihat lima orang
gadis yang bersitegang menarik tali masing-masing.
Dengan kedua tangannya, Song Kim mengumpulkan lima helai tali yang mengikat
tubuhnya itu, mengerahkan tenaga dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring
sambil terus menarik lima helai tali itu dan akibatnya, dengan sentakan yang
mengejutkan, tubuh lima orang gadis iti kini tertarik ke atas dan tergantung
kepada cabang pohon di depan masing-masing! Mereka meronta-ronta, akan tetapi
tidak mampu melepaskan diri karena ikatan ujung tali pada ikat pinggang mereka,
yang sengaja dibuat demikian agar lawan tidak dapat merampas tali, amatlah
kuatnya. Song Kim kini melepaskan lasso-lasso itu dari tubuhnya. Dengan satu
tangan saja dia menahan tubuh lima orang gadis itu dengan cara memegang ujung
tali erat-erat, kemudian mengikat kelima ujung tali menjadi satu, mengikatnya
pada sebatang pohon.
Sekarang tubuh lima orang gadis itu tergantung setinggi satu meter dari tanah,
mereka masih meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, makin kuat saja tali
mengikat pinggang mereka. Sambil tersenyum lebar Song Kim menghampiri mereka,
mengamati mereka satu demi satu. Rata-rata mereka berusia dua puluh lima tahun,
bertubuh padat kuat dan berwajah manis. Bagaikan orang memeriksa dan menilai
ternak yang akan dibelinya, tangan Song Kim membelai tubuh gadis-gadis itu,
mengelus dagu, pipi dan leher, menowel, mencolek dan mencubit sana-sini sambil
tersenyum. Kemudian tangannya meraih dan terdengar bunyi kain robek ketika dia
merenggutkan pakaian mereka itu terlepas dari tubuh mereka, satu demi satu
sehingga kini lima orang gadis itu tergantung dalam keadaan telanjang bulat!
#Ha-ha-ha, inilah hukuman kalian yang telah berani mencoba untuk menghalangi
perjalananku. Sekali lagi kalian berani menggangguku, bukan pakaianmu yang
kurobek, melainkan kulitmu!# Setelah berkata demikian, Song Kim melanjutkan
perjalanannya mendaki bukit. Melihat sepak terjang pria itu dari tempat
persembunyiannya, Theng Toanio terkejut bukan main.
Apa yang diperlihatkan Song Kim tadi merupakan bukti bahwa orang ini memiliki
kepandaian tinggi sekali. Maka iapun tidak mau mengambil resiko dan cepat
mengerahkan semua anak buahnya, langsung dipimpinnya sendiri melakukan
penghadangan. Biasanya, untuk menghadapi lawan yang berani naik ke Ang-hong-pai,
ada beberapa lapis pasukan yang makin ke atas semakin kuat penjagaannya. Akan
tetapi sekali ini Theng Toanio tidak mau menyia-nyiakan waktu dan membiarkan
anak buahnya terancam. Ia sendiri memimpin anak buahnya. Lebih dari lima puluh
orang gadis dengan pedang di tangan berbaris di belakangnya, sedangkan
selebihnya menyusun diri sebagai pengepung dan penjaga tempat-tempat lain karena
khawatir kalau-kalau pria yang pandai itu mempunyai teman-teman yang menyerbu
dari lain jurusan.
Ada pula beberapa orang yang menolong dan melepaskan lima orang rekan yang
tergantung dalam keadaan telanjang tadi. Ketika Song Kim berjalan melalui lorong
yang kecil, di kanan kirinya semak-semak belukar, dia bersikap waspada.
Penciumannya menangkap bau yang asing, bau binatang buas! Tiba-tiba terdengan
suara gerengan yang menggetarkan gunung itu dan Song Kim berhenti melangkah.
Dari dalam semak-semak muncullah dua ekor harimau yang besar, sebesar anak sapi!
Dia tidak tahu bahwa dua ekor harimau itu memang dikerahkan oleh Theng Toanio
untuk menyerangnya. Inilah serangan pertama yang dilakukan oleh pasukan yang
dipimpin sendiri oleh Theng Toanio. Melihat Song Kim, dua ekor harimau itu
menggereng-gereng dan menghampiri Song Kim dari samping, mata mereka melirik dan
penuh kemarahan.
Song Kim berdiri tegak, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan siap karena
dia tahu betapa kuat dan cepatnya binatang ini. Dia sama sekali tidak merasa
gentar karena yakin akan kekuatan sendiri. Tiba-tiba binatang yang berada di
sebelah kirinya mengaum dan menubruk dengan terkaman yang tinggi. Song Kim
mengelak dengan menyuruk ke samping sehingga tubrukan itu luput. Harimau yang
berada di kanan mengikuti gerakan temannya, kini menerjang ke depan dengan cakar
kanan kiri menyambar buas. Kembali Song Kim mengelak dengan loncatan ke
belakang. Harimau pertama menubruk lagi. Song Kim memiringkan tubuh ke belakang,
lalu ketika tubuh harimau itu melayang di sisinya, diapun menggerakkan tangan
kanannya, memukul dengan jari terbuka ke arah dada binatang itu.
#Desss!!# Tubuh binatang itu kuat sekali, akan tetapi pukulan Song Kim juga
dahsyat sekali sehingga tubuh binatang itu terlempar dan terbanting keras.
Harimau kedua menubruk pula dari belakang. Song Kim mendengar sambaran angin
dari belakang, lalu membalikkan tubuh sambil mengayun kaki kirinya.
#Bukkk......!# Sebuah tendangan yang amat kuat mengenai perut binatang itu,
membuat tubuh binatang itu terlempar dan terbanting pula. Agaknya, pukulan dan
tendangan ini membuat dua ekor harimau menjadi ketakutan dan juga kesakitan.
Mereka mengeluarkan suara auman takut dan menyusup pergi, lenyap ditelan semak
belukar. Lee Song Kim mengebut-ngebutkan jubahnya, berdiri tegak lalu berseru
dengan suara melengking tinggi dan nyaring karena dia telah mengerahkan
khikangnya sehingga suara itu melebihi getaran auman harimau tadi dan menggema
di seluruh permukaan bukit.
#Ang-hong-pai......! Kalau masih ada lagi pertunjukanmu, keluarkanlah!#
Mendengar suara melengking ini, dan melihat betapa laki- laki itu dengan mudah
mampu mengusir dua ekor harimaunya, Theng Toanio kembali terkejut. Akan tetapi
ia memberi isyarat kepada pembantu-pembantunya untuk melanjutkan serangan
berikutnya, yaitu menggunakan alat yang paling di andalkan : lebah-lebah
beracun! Lebah-lebah yang ratusan banyaknya berada di tabung- tabung bambu yang
besar, dan di dalam tabung itulah tinggal ratu lebah dan semua telur yang telah
menetas. Lebah-lebah itu buas dan menyerang siapa saja. Akan tetapi para
anggauta Ang-hong-pai tidak takut karena mereka telah menggunakan semacam minyak
yang terbuat dari daun putih. Bau minyak ini ditakuti lebah-lebah itu sehingga
tidak seekorpun berani menganggu mereka. Kini tabung-tabung itu dibuka dan
ribuan ekor lebah merah berterbangan.
Mula-mula mereka nampak marah dan berterbangan di atas kepala para anggauta Anghong-
pai, akan tetapi karena binatang-binatabg itu mencium bau yang amat
ditakutinya,mereka lalu terbang tinggi mencari mangsa lain, dan tentu saja
mereka segera terbang menuju ke arah Song Kim yang tidak memakai minyak anti
lebah itu! Ribuan lebah merah dengan mengeluarkan suara mendengung riuh kini
menyerbu ke arah Song Kim yang berdiri tegak. Dia sudah mendengar akan keganasan
lebah-lebah merah ini, maka sebelum naik ke bukit itu, dia sudah siap siaga
untuk menghadapinya. Mula-mula dia mempergunakan jubahnya yang dilepas untuk
diputar sedemikian rupa sehingga putaran jubah itu mendatangkan angin yang amat
kuat. Lebah-lebah itu terseret oleh putaran arus angin yang dibuat oleh putaran
jubah.
Mereka ikut pula terputar-putar dan begitu Song Kim mengebutkan jubahnya dengan
kekuatan besar, lebah-lebah itupun tertiup sampai pergi jauh. Akan tetapi,
lebah-lebah itu kembali lagi. mereka kebingungan dan marah karena tabung-tabung
itu ditutup oleh para pembantu Theng Toanio. Mereka kehilangan tempat tinggal
mereka. Dengan ditutupnya tabung, maka tidak ada tanda apa-apa lagi bagi mereka
untuk menemukan sarang mereka, maka mereka menjadi marah dan kembali kepada Song
Kim untuk menyerangnya. Song Kim maklum bahwa tidak baik membunuh lebah-lebah
itu. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah dia akan membunuh semua lebah dengan
sambaran jubahnya, akan tetapi dia sayang kepada binatang-binatang yang dapat
dipergunakan sebagai senjata itu, dan juga dia tidak mau membuat kesan buruk
terhadap Ang-hong-pai.
Akan tetapi, kalau hanya menggunakan jubah untuk mengusir mereka, tentu mereka
akan datang kembali dan akhirnya dia yang akan menjadi lelah sekali, juga
menghalangi dia untuk sampai di puncak bukit. Maka dipergunakanlah cara kedua
yang sudah dipersiapkan. Setelah untuk kedua kalinya dengan jubah dia membuat
lebah-lebah itu tertiup jatuh, dia cepat menyalakan api dan membakar beberapa
batang hio biting yang sudah dipersiapkan lebih dahulu. Dia membuat hio itu dari
ramuan yang dicampur belerang. Terciumlah bau yang amat menyengat hidung dan
nampak asap mengepul tebal berwarna putih kekuningan. Tepat seperti telah
diperhitungkan oleh Song Kim, ketika lebah-lebah itu terbang kembali kepadanya,
mereka tidak berani mendekatinya, hanya berterbangan saja mengelilingi di
atasnya.
Bahkan ketika ada lebah-lebah yang terkena asap itu, mereka terbang kacau balau
seperti mabok. Song Kim memegang dupa biting yang mengeluarkan asap itu dan
dengan tenang melanjutkan langkahnya mendaki puncak. Lebah-lebah itu
mengikutinya, akan tetapi karena asap menjadi semakin banyak, merekapun semakin
menjauh. melihat ini, Theng Toanio menyuruh pembantunya untuk membuka tabungtabung
itu. Begitu tabung-tabung dibuka, tercium oleh lebah-lebah itu lalu
ditutup kembali setelah semua lebah masuk tabung-tabung itu. Song Kim tiba di
bawah puncak dan tiba-tiba muncullah Theng Toanio bersama puluhan orang anak
buahnya. Melihat wanita yang gagah dan cantik itu, dikawal puluhan orang gadis
yang manis-manis, Song Kim tersenyum dan memandang penuh perhatian dan
kekaguman. Tidak salah berita yang didengarnya.
Wanita itu nampak masih muda dan menggairahkan. Wajahnya tetap cantik, kulitnya
halus dan tubuhnya nampak padat. Sama sekali tidak dipercaya kalau wanita itu
sudah berusia enam puluh tahun! Dan belasan orang wanita muda yang agaknya
menjadi pembantu-pembantu utama ketua itu, nampak yang tercantik di antara semua
anggauta. Pakaian mereka yang serba merah itu benar-benar mengagumkan, seolaholah
Song Kim merasa berhadapan dengan sekelompok bunga yang sedang mekar dengan
indahnya! Di atas puncak, nampak dari situ, terdapat perkampungan dengan
bangunan-bangunan yang mungil, cocok untuk menjadi rumah tempat tinggal para
wanita manis itu. Song Kim tidak merasa rendah diri berhadapan dengan mereka,
maka dengan sikap tenang diapun tersenyum dan menghadapi Theng Toanio.
#Kalau tidak salah duga, aku berhadapan dengan Theng Toanio, ketua Ang-hong-pai
bersama para anggauta Ang-hong- pai yang cantik-cantik dan gagah perkasa,#
katanya. Dilihatnya betapa pandang mata para pembantu ketua itu berseri
mendengar pujiannya. Akan tetapi Theng Toanio mengerutkan alisnya dan sinar
matanya berkilat. Agaknya wanita ini masih merasa penasaran dan marah karena
semua serangannya tadi digagalkan dengan mudah oleh pendatang ini.
#Benar dugaanmu, sobat. Akan tetapi siapakah engkau yang demikian berani mendaki
bukit Ang-hong-san dan melanggar wilayah kami?#
#Aku bernama Lee Song Kim dan dikenal dengan sebutan Lee Kongcu. Aku sengaja
datang ke sini karena mendengar kebesaran nama Ang-hong-pai, untuk berkenalan
dan menjadi sahabat, juga ingin sekali menguji sampai di mana kelihaian Anghong-
pai.#
#Hemmm, dan bagaiaman pendapatmu tentang Ang-hong-pai kami?#
#Tempat yang indah, dengan perangkap-perangkap yang berbahaya, harimau buas,
lebah-lebah berbahaya, anak buah yang manis-manis dan gagah. Akan tetapi biarpun
semua itu cukup mengesankan, aku masih belum merasa puas kalau belum melihat
sendiri sampai di mana kelihaian ketuanya!#
#Lee Kongcu, engkau menantangku?# tanya Theng Toanio, mulai tertarik karena pria
ini ternyata tidak sombong dan tidak berniat buruk. Seorang pria yang menarik
sekali dan selama ini ia sendiri hanya ditemani dan dilayani laki-laki yang
lemah walaupun ia boleh memilih orang-orang yang ganteng. Belum pernah ia
berdekatan dengan pria segagah ini, kecuali tentu saja ketika ia berada di
samping Thian-tok. Akan tetapi Thian-tok hanya tinggi ilmunya saja, sebaliknya
ia seorang kakek tua yang bertubuh gendut tidak menarik sama sekali!
#Theng Toanio, aku hanya ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu.
Ketahuilah bahwa aku paling suka dengan ilmu silat, ingin aku mengenal semua
orang yang dikabarkan berilmu tinggi, dan aku ingin menaklukkan mereka semua.#
#Ehh? Menaklukkan mereka? Engkau juga ingin menaklukkan aku?#
#Maksudku mengalahkan mereka semua. Aku ingin disebut sebagai Thian-he Te-it Buhiap
(jago Silat Nomor Satu di Kolong Langit).#
#Hemmm...... engkau masih muda akan tetapi cita-citamu setinggi langit. baiklah,
aku akan melayani barang beberapa jurus. Akan tetapi, bagaimana kalau sampai
engkau kalah olehku?#
#Kalau aku kalah, biarlah engkau yang akan menentukan apa yang akan kaulakukan
terhadap diriku.#
#Dan kalau engkau menang?#
#Kalau aku menang, hal yang sudah pasti bagiku, maka Ang-hong-pai harus selalu
mentaati perintahku dan menjadi taklukanku.#
#Engkau ingin menjadi ketua di sini menggantikan aku?#
#Tidak, jangan salah mengerti, Theng Toanio. Aku hanya ingin agar Ang-hong-pai
memandang aku sebagai sekutu dan setiap saat aku membutuhkan, Ang-hong-pai harus
membantuku. Yang pertama, Ang-hong-pai harus mengakui aku sebagai ketua
kehormatan dan tiga belas orang anggautanya akan kupilih untuk menemaniku di
perkampunganku, selanjutnya setiap kali kuminta, mengganti tiga belas orang itu
dengan orang-orang baru yang pilihan.# Theng Toanio tersenyum mengejek, akan
tetapi terdengar suara cekikikan karena para gadis itu merasa senang sekali
dengan syarat ini. Agaknya mereka akan berebut untuk dapat dipilih karena siapa
orangnya tidak akan senang menemani pria yang segagah dan seganteng ini?
#Baiklah, syaratmu itu dapat kuterima. Akan tetapi kalau engkau yang kalah,
engkau harus tinggal di sini selama satu tahun untuk menjadi pelayan pribadiku.#
Song Kim tertawa.
#Ha-ha-ha, betapa senangnya menjadi pelayan pribadimu di sini, toanio, di antara
kembang-kembang merah yang begini cantik dan segar. Baik, kuterima syarat itu
dan mari kita mulai.#
#Bersenjata ataukah bertangan kosong?# tanya Theng Toanio yang masih memandang
rendah lawannya. Biarpun, lawannya tadi sudah memperlihatkan kelihaiannya, namun
ia merasa yakin bahwa kalau melawan ia dalam ilmu silat, ia tentu akan dapat
mengalahkan laki-laki itu. Selama ini belum pernah ada yang mampu menandinginya
setelah ia digembleng ilmu oleh Thian-tok. Song Kim memang ingin menguras ilmu
dari manapun juga datangnya, maka mendengar tantangan wanita itu, dia tersenyum.
#Biarlah kita main-main dengan tangan kosong dulu, kalau engkau kewalahan, baru
boleh engkau mengeluarkan senjatamu, toanio.#
Mendengar ucapan yang memandang rendah ini, lenyap senyum simpul di bibir wanita
itu dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.#Orang sombong, kalau tidak
kau jaga mulutmu, aku khawatir sebelum aku mengeluarkan senjata, engkau telah
lebih dulu roboh dan mungkin tewas!# Song Kim masih tersenyum.
#Tewas dalam pibu (adu ilmu silat) adalah hal yang lumrah, toanio dan aku tidak
akan merasa menyesal kalau aku tewas di tangan toanio, walaupun aku menyesal
karena tidak sempat bermesraan dengan nona-nona manis yang berada di sini.#
#Cukup, tak perlu banyak cakap lagi, orang she Lee. majulah!# Theng Toanio
berseru.
#Aku adalah seorang tamu, tidak pantas kalau bergerak lebih dulu. Engkaulah yang
menyerang dulu, toanio, aku hanya melayani saja,# kata Song Kim dengan sikap
tenang. Diam-diam Theng Toanio merasa kagum juga. Laki-laki ini memang gagah,
dan dia merasa gembira sekali kalau dapat memiliki seorang kekasih seperti ini.
#Sambut seranganku!# Theng Toanio membentak dan ia sudah menyerang dengan
ganasnya. Dengan gerakan yang amat cepat wanita itu sudah menotok jalan darah di
kedua pundak, leher dan dada secara bertubi-tubi. Memang hebat gerakan wanita
ini, karena selain cepat bukan main, juga tusukan jarinya yang menotok itu
mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya tenaga yang mendorongnya. Diam-diam
Lee Song Kim terkejut. Tak disangkanya bahwa ketua Ang-hong-pai begini lihainya.
Dia lalu mengelak dengan gerakan indah sekali, dan ketika tangan lawan masih
terus mengejarnya, dia menangkis dengan kibasan tangannya.
#Plak! Plak!# Dua kali tangannya bertemu dengan ketua Ang-hong-pai itu dan
keduanya meloncat mundur karena merasa betapa kuatnya tenaga yang keluar dari
telapak tangan itu.
#Bagus, agaknya engkau memiliki juga sedikit kepandaian!# bentak Theng Toanio
dan wanita ini tidak main-main lagi, maklum bahwa lawannya memang lihai, maka
iapun lalu mengeluarkan ilmunya yang ia pelajari dari Thian-tok. Begitu ia
menggerakkan kaki tangannya, kakinya bergerak-gerak dengan langkah mengandung
perubahan ngo-heng (ilmu unsur), dan kedua tangannya menyerang dengan dahsyat,
Song Kim cepat mengelak dan menangkis sambil berseru kaget.
#Heiii! Kiranya toanio ada hubungan dengan Thain-tok!# kata Song Kim. Wajah
Theng Toanio berobah merah. hatinya tidak senang dan ada perasaan malu ketika ia
diingatkan akan hubungannya dengan Thian-tok, juga ia terkejut bagaimana lakilaki
ini mengetahui akan hal itu, padahal merupakan rahasia dan tidak diketahui
orang lain kecuali para anggauta Ang-hong-pai yang tak mungkin berani membuka
rahasia itu.
#Hemmm, bagaimana engkau menduga demikian, Lee Kongcu?#
#Mudah saja! Bukankah engkau tadi menyerangku dengan Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat?
Biarpun gerakanmu dahsyat dan ganas sekali, namun aku masih mengenal silat
andalan Thian-tok itu.# Lega rasa hati Theng Toanio. Orang she Lee ini tidak
mengetahui rahasianya, hanya mengenal ilmu silat yang dipelajarinya dari Thiantok,
maka dengan cepat ia berkata,
#Mendiang Thian-tok adalah guruku.#
#Ah, kiranya toanio ini murid locianpwee itu? Pantas demikian lihai! Kalau
begitu, toanio masih saudara seperguruan dengan Ong Siu Coan?#
#Raja dari kerajaan Sorga di Nan-king itu? Ah, mana aku ada harga untuk menjadi
saudara seperguruan orang besar seperti beliau itu? Aku hanya menerima pelajaran
selama satu tahun saja dari mendiang suhu, menjelang kematiannya.#
#Akan tetapi ilmu kepandaanmu hebat, toanio. Mari kita lanjutkan permainan
kita.# Theng Toanio yang ingin sekali mengalahkan laki-laki ini agar suka
menjadi pelayan pribadinya, maju lagi menyerang. Ia mengeluarkan lagi Ilmu Ngoheng
Lian-hoan Kun-hoat untuk menyerang secara bertubi-tubi dan dahsyat.
Namun, tingkat kepandaian Song Kim jauh lebih tinggi sehingga dia mampu mengelak
dan menangkis semua serangan itu, sambil mempelajari setiap jurus, mengamati
untuk menemukan jurus yang ampuh dan pantas dikuasainya. Wanita itu terkejut
setelah lewat lima puluh jurus, ia belum juga mampu mengalahkan lawannya.
Jangankan mengalahkan, menyentuh tubuhnya saj apun tak pernah karena semua
pukulan dan tendangannya dapat dielakkan atau ditangkis. Sedangkan Lee Song Kim
juga sudah merasa puas. Ada beberapa jurus yang penting dan sudah dicatat dalam
benaknya. Ketika Theng Toanio menendang dari samping dengan gerakan memutar
tubuh, dia sengaja diam saja menanti sampai kaki yang menendang itu menyambar
dekat dan tiba-tiba saja dia telah menyambar kaki itu dan sepatu kaki itu telah
copot dan berada di tangannya.
#Ihhh......!# Theng Toanio berseru kaget dan mukanya berobah merah sekali. Song
Kim mengamati sepatu bersulam merah itu.
#Sungguh indah sekali sepatumu, toanio,# katanya sambil menyerahkan kembali
benda itu. Dengan muka merah karena dirampasnya sepatu itu tentu saja menjadi
bukti kekalahannya, Theng Toanio menerima sepatunya dan memakai kembali,
kemudian ia berkata,
#Lee Kongcu, dalam ilmu silat tangan kosong, engkau lihai sekali dan aku mengaku
kalah. Akan tetapi belum tentu aku kalah kalau kita mempergunakan senj ata.# Lee
Song Kim tersenyum.
#Tentu saja harus dicoba dulu, toanio. Nah, kaukeluarkan senjatamu, akan
kuhadapi dengan tangan kosong saja.# Theng Toanio membelalakkan matanya. Orang
ini terlalu sombong kalau akan menghadapi senjata-senjatanya dengan tangan
kosong, pikirnya. Betapapun lihainya orang ini, bagaimana mungkin dapat melawan
senjata-senjatanya? Karena merasa dipandang rendah, Theng Toanio menjadi marah.
#Bagus! Hendak kulihat bagaimana engkau menghadapi senjata-senjataku!# berkata
demikian tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan
saking tajamnya telah berada di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya
membuka kantung yang tergantung di pinggang.
Lee Song Kim memang sengaja hendak mencari kesan mendalam di perkumpulan ini,
ingin memperlihatkan ilmunya agar mereka semua tunduk dan taat kepadanya. Dia
bukan sekedar membual atau menyombongkan diri kalau hendak menghadapi Theng
Toanio yang bersenjata dengan tangan kosong. Dia sudah tahu betul sampai di mana
tingkat kepandaian lawan. ketika tadi mereka bertanding tangan kosong. Dia sudah
tahu betul sampai di mana tingkat kepandaian lawan. Ketika tadi mereka
bertanding tangan kosong, dia sudah dapat mengukur dan dia merasa yakin bahwa
biarpun lawan berpedang, dia sanggup dan akan dapat mengalahkannya. Kinipun dia
tahu bahwa selain pedangnya, wanita itu mempersiapkan senjata rahasia dan
melihat kantung di pinggang itu tempat penyimpanan senjata rahasia jarum merah
beracun yang pernah didengarnya sebagai senjata rahasia andalan ketua Ang-hongpai
#Aku sudah siap, toanio, mulailah!# katanya sambil memasang kuda-kuda yang
indah. Kaki kiri ditekuk sedikit, kaki kanan dilonjorkan ke depan dengan jarijari
kaki menghadap ke atas dan tumitnya terletak di atas tanah, tangan kiri
tergantung agak ke depan dengan jari tangan terbuka dan ibu jari ditekuk ke
dalam, tangan kanan di pinggang dengan siku ditekuk ke belakang sedikit, juga
jari tangan terbuka. Dengan kuda-kuda seperti ini dia menghadapi lawan sambil
tersenyum. Melihat lawannya sudah siap, Theng Toanio yang mulai merasa penasaran
itu segera menerjang sambil mengeluarkan teriakan dahsyat yang mengejutkan para
anggauta Ang-hong-pai kerena teriakan itu membuat jantung mereka tergetar dan
terguncang. Itulah teriakan yang disertai tenaga khikang yang disebut Sin-houw
Ho-kang.
Theng Toanio hanya berlatih selama beberapa bulan saja, maka ilmunya ini masih
belum matang, belum kuat benar, jauh berbeda dengan yang sudah dikuasai Thiantok
karena kakek itu ketika masih hidup, dapat saja membunuh orang dengan
teriakan ini tanpa menyentuhnya! Akan tetapi, karena teriakan ini dilakukan pada
saat pedangnya menyambar, maka cukup berbahaya dan Song Kim cepat meloncat ke
belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Wanita itu cepat pula
mengejar dan mengirim serangan berantai yang amat dahsyat. Perlu diketahui bahwa
sebagai ketua Ang-hong-pai, perkumpulan yang ahli tentang racun lebah, pedang
yang dipegang Theng Toanio inipun mengandung olesan racun tawon yang amat
berbahaya. Sedikit saja tergores dan terluka, maka racun itu akan bekerja dan
membuat luka itu melepuh seperti kena api.
Song Kim dapat menduga akan hal ini, maka dia selalu mengelak dan kalau
menangkis, dia menggunakan kebutan lengan bajunya. Biarpun ujung lengan baju,
namun kalau menangkis pedang membuat Theng Toanio terkejut sekali karena
pedangnya selalu terpukul menyeleweng, bahkan ujung lengan baju itu menimbulkan
angin yang keras, disusul pula oleh totokan jari tangan pria itu yang mengarah
jalan darah di pergelangan tangan atau sikunya. Memang harus diakui bahwa
tingkat kepandaian Hai-tok, guru Song Kim, dan Thian-tok, guruTheng Toanio,
adalah seimbang. Akan tetapi Song Kim telah berguru kepada Hai-tok sejak kecil,
bahkan akhir-akhir ini sebelum gurunya meninggal dunia, dia telah mewarisi
seluruh ilmu kepandaian Hai-tok. Sebaliknya, Theng Toanio hanya setahun menjadi
murid Thian-tok.
Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau kini Song Kim dapat mempermainkan
seperti tingkat guru dengan murid saja. Lebih lagi karena Song Kim telah
memperdalam ilmu-ilmunya dengan ilmu-ilmu aliran lain yang telah dicuri oleh
gurunya untuk dia. Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba Song Kim membentak
dan totokannya pada pergelangan tangan kanan Theng Toanio tak mugkin dapat
dielakkan lagi. Terdengar wanita itu memekik, pedangnya terlepas dari pegangan
karena tangannya itu beberapa detik lamanya tiba-tiba lumpuh. Theng Toanio
meloncat ke belakang, tangan kirinya bergerak dan begitu ia menyambit, sinar
merah berkeredepan menyambar ke arah tubuh Song Kim. Song Kim mirngkan tubuhnya,
beberapa batang jarum yang menyambar mukanya luput, akan tetapi banyak jarum
menyambar ke tubuhnya dan diapun berteriak.
#Aduh......!# Tubuhnya terhuyung lalu roboh terlentang dengan muka pucat!
Beberapa orang anggauta Ang-hong-pai dan Theng Toanio berseru kaget.
Theng Toanio sendiri juga khawatir kalau-kalau pria yang menarik hatinya itu
tewas oleh jarum-jarumnya. Ia hanya cepat mengobatinya. setelah mengambil
pedangnya yang tadi terlepas, Theng Toanio menghampiri tubuh Song Kim. Ketika ia
membungkuk untuk memeriksa lebih teliti, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Theng
Toanio hendak meloncat pergi, akan tetapi ia kalah cepat. Pedangnya sudah
terampas lagi oleh Song Kim yang tiba-tiba saja bergerak melompat dan berbareng
dia berhasil mencabut tusuk konde dari emas permata dari kepala Theng Toanio
sehingga rambut yang digelung itu terlepas dan terurai ke atas kedua pundaknya!
Tentu saja Theng Toanio terkejut bukan main dan mukanya menjadi merah sekali
ketika ia memandang kepada Song Kim yang sudah berdiri di depannya sambil
memegang pedang yang untuk kedua kali dirampasnya itu.
#Tapi...... tapi...... kau tadi terkena jarum-jarumku......# katanya agak
bingung melihat hal yang tidak disangka-sangkanya ini. Song Kim menarik jubahnya
dan memperlihatkan beberapa batang jarum yang menancap di jubahnya, akan tetapi
tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang tadi sudah dilindunginya dengan ilmu
kekebalan.
#Aih, engkau memang hebat, Lee Kongcu, aku mengaku kalah,# kata Theng Toanio
sambil mencabuti jarum-jarum itu, kemudian menerima kembali pedangnya dan ia
mengajak tamunya yang amat menarik hati itu untuk naik ke puncak dan memasuki
perkampungan Ang-hong-pai.
Para anggauta Ang-hong-pai menyambut kemenangan Lee Song Kim dengan gembira.
Memang mereka sudah merasa kagum sekali, apalagi melihat betapa pria ini dengan
amat mudahnya mengalahkan ketua dan guru mereka. Semua wanita kini memandang
kepada Song Kim dengan senyum manis dan sinar mata memikat, wajah mereka semua
cerah. sambil tertawa gembira Song Kim mengikuti ketua Ang-hong-pai dan mereka
lalu mengadakan pesta di bangunan besar tempat tinggal Theng Toanio.
Demikianlah, mulai hari itu, Song Kim telah menundukkan Ang-hong-pai dan
perkumpulan ini telah menjadi anak buahnya yang setiap saat siap untuk mentaati
perintahnya. Dia bukan menundukkan Ang-hong-pai dengan kepandaiannya, akan
tetapi juga dengan daya tariknya sebagai seorang pria yang pandai memikat hati,
tampan gagah dan juga berpengalaman.
Bahkan kini di perkampungannya di Lembah Fen-ho lereng Luliang-san, terdapat
pelayan-pelayan baru yang jumlahnya belasan orang, muda-muda dan cantik-cantik
akan tetapi juga lihai karena mereka adalah belasan orang anggauta Ang-hong-pai
yang dipilihnya untuk menjadi pelayan pribadinya dan juga pengawal-pengawalnya.
Demikian tunduknya Theng Toanio kepada Song Kim sehingga ketika Song Kim
memerintahkan untuk memindahkan Ang-hong-pai ke lereng Luliang-san, iapun
mentaatinya dan semenjak itu, perkumpulan ini pindah dari Nan-ping untuk
mendekati Song Kim dan hal ini memperkuat kedudukan Lee Song Kim yang mulai
menyusun kekuatan untuk mengaku diri sendiri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap.
Beberapa bulan kemudian, pada suatu pagi, seorang hwesio tua renta berjalan
seorang diri di kaki Pegunungan Luliang-san.
Hwesio ini sudah berusia lanjut, sudah hampir delapan puluh tahun, tubuhnya
sedang dan masih tegak, dan wajahnya membayangkan ketenangan dan kedamaian.
Tiba-tiba hwesio tua itu menahan langkahnya dan memandang ke kiri. Biarpun
orangnya belum nampak, namun pendengarannya yang peka dan amat tajam sudah
menangkap suara gerakan kaki yang menuju ke tempat dia berjalan. tak lama
kemudian muncullah tiga orang laki-laki yang rata-ratabberusia tiga puluh tahun,
berwajah gagah dan berpakaian rapi, akan tetapi memiliki sinar mata yang
beringas dan kejam. Di punggung mereka nampak senjata golok telanjang dan tiga
orang ini langsung menghampiri hwesio tua yang berdiri memandang mereka. Dengan
sikap kaku mereka menjura kepada hwesio itu yang cepat dibalas dengan ramah oleh
hwesio tua.
#Kami diutus oleh Lee Kongcu untuk mengundang Thian Khi Hwesio ke perkampungan
kami.# Hwesio itu memang bernama Thian Khi Hwesio dan merupakan orang kedua dari
pimpinan Siauw-lim-pai. bagaimana seorang tokoh tinggi dari Siauw-lim-pai dapat
berada di tempat itu? Seperti kita ketahui, peristiwa pembunuhan atas diri dua
orang tokoh Kun-lun-pai cukup membuat para pimpinan Siauw-lim-pai menjadi
pusing.
Yang dituduh oleh para tosu Kun-lun-pai menjadi pembunuh dua orang tokoh itu
adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang bermarga Lee. Tentu sukar bagi orangorang
Siauw-lim-pai untuk mencari siapa adanya murid yang membunuh dua orang
tosu Kun-lun-pai itu. Karena maklum betapa gawatnya urusan itu yang mengandung
bahaya perpecahan atau bibit permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai.
Maka Thian Khi Hwesio sendiri lalu berangkat meninggalkan Siauw-lim-pai untuk
mencari seorang murid Siauw-lim-pai yang bernama Tan Ci Kong. Biarpun termasuk
orang yang masih muda, usianya masih kurang dari empat puluh tahun, namun Tan Ci
Kong merupakan seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi. bahkan ilmu
kepandaiannya masih lebih tinggi dari tingkat kepandaian para pimpinan Siauwlim-
pai sendiri,
Karena pendekar ini pernah digembleng oleh mendiang Siauw-bin-hud, seorang
hwesio tua renta yang menjadi datuk dari Siauw-lim-pai. Setelah bertukar pikiran
dengan suhengnya, yaitu Thian Tek Hwesio ketua Siauw-lim-pai, Thian Khi Hwesio
berangkat sendiri untuk mengunjungi Tan Ci Kong. Pendekar ini tinggal di dusun
Tung-kang di luar kota Kan-ton. Setelah bertemu dengan pendekar itu dan minta
bantuannya agar Tan Ci Kong suka melakukan penyelidikan dan menemukan siapa
adanya murid Siauw-lim-pai she Lee yang telah membunuh dua orang tosu Kun-lunpai,
Thian Khi Hwesio lalu meninggalkan Tung-kang dan kembali ke kuil Siauw-limpai.
Di dalam perjalanan inilah dia tiba di kaki Pegunungan Luliang-san dan di
hadang oleh tiga orang yang menyampaikan undangan kepadanya.
#Omitohud, sungguh kongcu kalian itu amat baik hati sekali. Akan tetapi pinceng
tidak pernah mengenal Lee Kongcu......# Tiba-tiba dia teringat. Orang she Lee?
Jantungnya berdebar tegang.
#Lo-suhu, harap diketahui bahwa Lee Kongcu kami adalah orang yang pemurah dan
dermawan, menghargai orang-orang pandai. Ketika dia mengetahui bahwa losuhu
lewat di sini, dia mengutus kami untuk menjumpai lo-suhu dan dengan hormat
mempersilahkan lo-suhu untuk singgah di perkampungan kami.# Diam-diam Thian Khi
Hwesio merasa heran sekali bagaimana orang she Lee itu dapat mengetahui namanya
dan mengetahui pula bahwa dia lewat di tempat itu. dan nama marga Lee itu
sungguh menarik hatinya dan menimbulkan keinginan tahu untuk mengenalnya.
#Omitohud...... sungguh bahagia sekali menerima undangan seorang yang sedemikian
baik budi seperti Lee Kongcu. Baiklah, sobat, pinceng memenuhi undangan itu.#
Ketika memasuki sebuah perkampungan yang bersih dan teratur rapi, diam-diam
Thian Khi Hwesio menjadi heran dan kagum. Dia dapat menduga bahwa penghuni
perkampungan terpencil di lereng bukit ini, jauh dari pedusunan lainnya,
Tentu merupakan anggauta sebuah perkumpulan dan mungkin sekali yang menjadi
ketua atau kepalanya adalah orang yang disebut Lee Kongcu itu. Bangunan-bangunan
rumah di situ seragam dan di tengah-tengah terdapat sebuah bangunan besar.
Melihat keadaan rumah itu dari luar, orang tentu akan merasa kagum karena rumah
yang demikian indah dan besar sepatutnya hanya berada di kota besar, dihuni oleh
orang yang kaya raya. Makin tertariklah hati pendeta tua itu untuk mengenal Lee
Kongcu yang mengundangnya. Ketika tiga orang itu mengantarnya sampai di depan
pintu rumah besar, yang menyambut keluar adalah tiga orang gadis cantik yang
berpakaian serba merah, rapi dan gagah, gerakannya juga cekatan. Tiga orang
pemuda itu memberi hormat kepada mereka dan berkata,
#Harap sampaikan kepada kongcu bahwa kami telah berhasil mengundang Thian Khi
Hwesio.#
#Bagus, kalian telah melaksanakan tugas dengan baik.# kata seorang di antara
tiga gadis itu, yang bertahi lalat di dekat hidungnya, kemudian gadis itu
menjura kepada Thian Khi Hwesio, #Locianpwe, silakan masuk, Lee Kongcu telah
menanti kedatangan locianpwe.#
#Omitohud, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinceng,# kata Thian Khi
Hwesio sambil mengikuti tiga orang gadis itu. Dia makin heran. Agaknya orangorang
di sini telah mengenalnya, bukan hanya mengenal nama, akan tetapi juga
agaknya mengenal bahwa dia adalah seorang tokoh persilatan sehingga gadis-gadis
ini menyebut locianpwe. Dia tahu pula bahwa tiga orang gadis ini, yang
menyambutnya, memiliki ilmu silat yang cukup baik, jauh lebih baik ketimbang
tiga orang laki-laki yang menghadangnya di kaki bukit tadi.
Ketika dia diajak masuk ke ruangan dalam, hwesio itu mengagumi keindahan perabot
rumah. Lukisan-lukisan indah dan kuno, tulisan-tulisan sajak berpasangan yang
amat berharga bergantungan di dinding. Perabot-perabot rumahnya juga merupakan
benda yang mahal dan biasanya mengisi gedung bangsawan yang kaya raya. Siapakah
orang yang bernama Lee Kongcu ini, pikirnya. Tuan rumah itu telah menantinya di
sebuah ruangan samping. seorang laki-laki yang berusia tiga puluh delapan tahun,
berpakaian rapi dan mewah, melihat rambutnya yang licin dan mukanya yang tampan
terawat memberi kesan pesolek, sepasang matanya mencorong dan mulutnya
tersenyum. Laki-laki itu bangkit berdiri dari kursinya, memberi hormat dengan
ramah kepada hwesio tua itu.
#Selamat datang, locianpwe! Sungguh bagaikan kejatuhan bulan purnama saja
rasanya hati kami menerima kunjungan locianpwe, hal yang sudah lama sekali kami
jadikan bunga mimpi di malam hari dan kenangan di siang hari. Agaknya para dewa
mengabulkan permohonan kami dan sengaja menuntun locianpwe lewat di tempat kami
ini. Silakan duduk, locianpwe.# Hwesio tua itu memperhatikan laki-laki yang
disebut Lee Kongcu ini. Dia mengamati dari kepala sampai ke kaki, namun merasa
belum pernah bertemu dengan orang ini. Namun dia dapat menduga bahwa orang yang
pesolek dan tampan ini tentu bukan orang sembarangan. Hanya apa maksud
undangannya inilah yang membuat dia merasa heran dan tidak mengerti.
#Omitohud...... pinceng (aku) adalah seorang yang sudah tua sekali dan mugkin
pelupa. Agaknya kongcu sudah mengenal pinceng akan tetapi sebaliknya pinceng
lupa lagi siapakah kongcu ini. Dan kapankah kita pernah saling bertemu, dan di
mana?# Lee Song Kim tersenyum, bangga akan pengetahuannya yang luas sehingga dia
mengenal hampir semua tokoh persilatan di dunia dan telah memberi tahu semua
anak buahnya sehingga begitu melihat hwesio tua ini lewat, anak buahnya juga
sudah mengenalnya. Dia memandang wajah hwesio tua yang sudah duduk di depannya
sambil tersenyum.
#Siapkah yang tidak mengenal locianpwe? Locianpwe adalah Thian Khi Hwesio, wakil
ketua Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan berilmu tinggi. kalau locianpwe
hendak mengenal saya, orang memanggil saya Lee Kongcu. Melihat locianpwe lewat
di sini, timbul keinginan saya untuk mengundang makan locianpwe dan belajar
kenal lebih dekat karena hendaknya locianpwe ketahui bahwa saya adalah orang
yang amat kagum terhadap para tokoh dunia persilatan dan ingin mengenal mereka
semua. Ah, mari silakan, locianpwe. Hidangan telah dipersiapkan. Jangan
khawatir, semua hidangan ini dibuat istimewa untuk para hwesio dan pertapa yang
tidak makan daging. Dan minumannya juga teh yang amat harum dan baik. Silahkan!#
Lee Song Kim mengajak hwesio tua itu makan minum dan memang benar, masakan yang
dihidangkan tanpa daging sedangkan munumannya air teh wangi, sesuai dengan
pantangan seorang hwesio. Karena dia memang lelah dan merasa lapar, Thian Khi
Hwesio tidak sungkan-sungkan atau ragu-ragu lagi, segera makan minum, apalagi
melihat tuan rumah juga makan minum dari mangkok dan cawan dengan hidangan dan
minuman yang sama pula. Setelah makan kenyang, Lee Kongcu mengajak kakek itu ke
lian-bu-thia.
#Marilah, locianpwe, pertunjukan akan segera dimulai dan locianpwe merupakan
seorang tamu kehormatan kami di antara banyak tamu yang hadir.#
#Eh? Apakah kongcu sedang mengadakan sebuah pesta?# Laki-laki tampan itu
tertawa.
#Boleh dinamakan pesta, ya memang pesta, pesta adu silat! Marilah, locianpwe
akan menyaksikan sendiri,# katanya sambil mengajak tanunya memasuki lian-bu-thia
(ruangan bermain silat) yang amat luas dan bersih, di samping sebuah taman yang
besar dan indah pula. Ketika memasuki ruangan terbuka ini, Thian Khi Hwesio
terbelalak heran dan terkejut.
Ada belasan orang yang hadir di situ dan kesemuanya membayangkan orang-orang
yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia hanya mengenal dua orang saja di antara
belasan orang itu. Yang seorang adalah seorang kakek yang terkenal dengan nama
Kam-kauwsu (guru silat Kam), seorang tokoh persilatan aliran Bu-tong-pai yang
terkenal gagah perkasa, menjadi guru silat bayaran tinggi di Thian-cin. Dia tahu
bahwa Kam-kauwsu ini memiliki ilmu silat yang tangguh, terkenal sebagai seorang
ahli gwa-kang (tenaga luar) yang kekuatannya dibandingkan dengan kekuatan gajah!
Adapun orang kedua yang dikenalnya adalah Tan-siucai (Mahasiswa Tan), seorang
murid Pek-hwa-pai dari utara yang juga terkenal sekali sebagai seorang pendekar
dari utara, dan ahli silat yang juga merupakan seorang ahli sastera yang selalu
berpakaian sebagai seorang sasterawan.
Sasterawan tua ini amat terkenal dengan pedang tipisnya yang dapat digulung dan
dipakai menjadi sabuk. Dua orang gagah inipun terkejut melihat munculnya tuan
rumah dan seorang hwesio tua yang mereka kenal sebagai wakil ketua Siauw-limpai!
Belasan orang lain juga memandang kepada hwesio tua itu dan mereka semua
memandang kagum dan hormat ketika Lee Kongcu memperkenalkan Thian Khi Hwesio
sebagai tamu agung dan wakil ketua Siauw-lim-pai. Kalau masih ada keraguan
sedikit di hati para tamu ini, kini terhapus karena melihat betapa wakil ketua
Siauw-lim-pai sendiripun hadir sebagai tamu dari orang she Lee yang aneh dan
penuh rahasia ini. Mereka itu semua menerima undangan seperti halnya Thian Khi
Hwesio, bahkan di antara mereka ada yang datang sebagai tawanan karena dipaksa!
Namun, setelah berada di rumah laki-laki kaya raya yang aneh itu, merekapun
diberi kamar dan dibiarkan bebas sampai pada hari itu mereka semua diminta
berkumpul di lian-bu-thia setelah semua orang mendapatkan hidangan mewah di
kamar masing-masing! Ketika semua orang berkumpul di lian- bu-thia yang amat
luas itu, baru mereka tahu bahwa di tempat ini berkumpul tokoh-tokoh pilihan
dari aliran-aliran persilatan yang menjagoi di dunia kang-ouw. Apakah maksud Lee
Kongcu, demikian nama tuan rumah seperti yang mereka kenal, mengundang dan
mengumpulkan semua tokoh persilatan yang lihai ini? Thian Khi Hwesio memperoleh
tempat duduk kehormatan di dekat tuan rumah dan setelah tuan rumah duduk, Lee
Kongcu memberi tanda kepada para penjaga sambil berseru,
#Persilakan Kwa-enghiong hadir!# Tempat itu terjaga oleh anak buah Lee Kongcu
dan semua orang merasa kagum melihat betapa pemuda-pemuda yang tegap, gadisgadis
yang cantik, semua mengenakan pakaian serba indah dan seragam, berjaga di
situ dengan sikap tegak dan gagah. Mendengar perintah Lee Kongcu, dua orang lalu
memberi hormat dan masuk ke bagian belakang rumah gedung besar itu. Tak lama
kemudian merekapun datang lagi bersama seorang laki-laki yang kusut sekali
rambut dan pakaiannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang usianya sekitar lima
puluh tahun. Banyak di antara para tamu yang tidak mengenal laki- laki ini, akan
tetapi Thian Khi Hwesio yang melihat orang ini, terkejut sekali.
#Omitohud......! Kiranya Huang-ho Sin-to (Golok Sakti dari Huang-ho) juga berada
di sini!# Laki-laki yang kusut pakaian dan rambutnya itu menoleh dan ketika dia
melihat Thian Khi Hwesio, dia mengerutkan alisnya.
#Eh? Thian Ki Lo-suhu juga berada di tempat aneh ini? Tempat macam apakah ini
dan orang-orang macam apakah yang menjadi penghuninya?#
#Kwa-enghiong, silahkan duduk dan pertanyaanmu itu akan segera terjawab,# kata
Lee Song Kim dengan muka ramah. Kwa Ciok Le memandang kepada tuan rumah dan
agaknya dia teringat akan sesuatu yang tidak menyenangkan, terbukti dari
suaranya yang cukup lantang sehingga terdengar oleh semua orang,
#Hemm, sebaiknya segera terjawab sebelum kesabaranku habis dan terpaksa aku
menggunakan kekerasan!#
#Kwa-taihiap, silakan duduk dan mari kita lihat saja apa yang akan terjadi,#
kata Thian Khi Hwesio yang khawatir kalau-kalau terjadi ketegangan karena dia
mengenal watak keras dari pembasmi bajak dari Huang-ho ini. Mendengar penawaran
Thian Khi Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai yang dihormatinya itu, Kwa Ciok Le merasa
tidak enak kalau bersikap kasar terus, maka dia mengangguk dan mengucapkan
terima kasih, lalu duduk di sebelah kiri hwesio tua itu.
Lee Song Kim sendiri lalu duduk di atas sebuah kursi gading dan di sebelahnya
nampak seorang wanita yang berpakaian serba merah muda. Wanita itu kelihatannya
berusia tiga puluh tahun, wajahnya masih nampak cantik bersemangat, tubuhnya
masik padat dan ramping. Padahal, wanita ini adalah Theng Ci, ketua Ang-hong-pai
yang telah menakluk kepada Lee Song Kim dan kini menjadi pembantu Lee Kongcu
itu! Pasukan wanita yang nampak cantik-cantik dan gagah, yang kini berjaga
bersama dengan pasukan pria anak buah Lee Kongcu, adalah bekas anak buah Anghong-
pai. Di sebelah belakang Lee Kongcu, nampak duduk dua orang laki-laki
berusia kurang lebih empat puluh tahun yang juga kelihatan gagah perkasa. Mereka
itu adalah pembantu-pembantu utama dari Lee Kongcu, yang juga merupakan muridmuridnya
yang paling pandai.
#Di antara para tamu yang kami hormati sudah tahu apa sebabnya kami mengundang
berkumpul demikian banyaknya tokoh-tokoh kang-ouw dan ahli-ahli persilatan yang
berilmu tinggi. Akan tetapi kalau ada yang belum mengarti, baiklah, kami ingin
menjelaskan. Kami adalah orang yang suka sekali melihat ilmu silat, suka sekali
melihat tokoh-tokoh besar memperlihatkan ilmu silat simpanan masing-masing. kami
amat menghormati ahli silat yang pandai, karena itu, kami mohon dengan hormat
dan sangat kepada cu-wi (anda sekalian) yang hadir sudilah memberi demostrasi
ilmu silat simpanan masing-masing untuk memperkenalkan kelihaian dan untuk
membuka mata kami dan memperluas pengetahuan kita bersama. Kami persilakan
saudara yang gagah perkasa Tiat-pi Kim-wan (Lutung Emas Tangan Besi) untuk
memperlihatkan kelihaiannya! Harap cu-wi suka menyambutnya dengan tepuk tangan
untuk memberi selamat kepada pendekar perkasa Tiat-pi Kim-wan!#
Mendengar ini, sebagian dari para tamu bertepuk tangan dan seorang yang duduk di
sebelah kiri bangkit berdiri. Dia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun,
tubuhnya tinggi kurus dan mukanya yang hitam memang pantas kalau berjuluk Lutung
karena hidungnya pesek mulutnya lebar mirip monyet, sepasang matanya yang sipit
itu mengeluarkan sinar jalang dan sejak tadi matanya jelilatan menyambar ke arah
pasukan wanita yang cantik-cantik, dan mulutnya yang lebar menyeringai. Hati
orang ini girang bukan main, karena julukannya yang keren itu, Lutung Emas
Tangan besi, diperkenalkan, dan lebih bangga lagi dia disebut #pendekar
perkasa#, padahal, dia lebih pantas dinamakan tukang pukul dan jagoan di
kotanya, yaitu Ta-tung.
Setelah bangkit, dengan melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, memberi
hormat kepada Lee Kongcu, kemudian kepada semua yang hadir, keempat penjuru,
diapun memberi hormat sambil bersoja.
(Lanjut ke Jilid 04)
Jilid 04
Sikapnya memang gagah seperti seorang pendekar tulen. Biarpun orang ini sombong,
namun sesungguhnya harus diakui bahwa dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan
namanya sudah terkenal di sebelah barat kota raja sebagai seorang jagoan yang
sukar dicari tandingannya. Entah sudah berapa banyak ahli silat yang jatuh di
tangannya. Dia memiliki ilmu silat Kong-thong-pai dan Go-bi-pai, juga dia ahli
gulat Mongol sehingga ilmu silatnya yang merupakan campuran tiga aliran ini
membuat dia lihai bukan main. Kedua lengannya terkenal amat kuat sehingga dia
dijuluki lengan Besi atau Tangan besi.
Kabarnya kedua lengan itu dapat bertahan menghadapi segala jenis senjata! Karena
tertarik oleh nama besarnya, Lee Song Kim mengundangnya dan tidaklah sukar
mengundang orang ini, apalagi kalau dalam undangan itu terdapat kiriman hadiah
berupa perak! Begitu memasuki gedung Lee Kongcu, pada hari kemarin, kemudian
mendapatkan perhatian dan pelayanan istimewa, dikelilingi gadis-gadis cantik,
tanpa dimintapun segera hati orang ini condong untuk membantu dan bermuka-muka
kepada Lee Kongcu yang dianggapnya sebagai seorang hartawan yang dermawan.
Sambutan tepuk tangan membuat Tiat-pi Kim-wan merasa bangga. Hidungnya yang
pesek itu berkembang kempis, merekah dan setelah memberi hormat, diapun membuat
lompatan berputar ke tengah lapangan, memasang kuda-kuda, kembali bersoja ke
empat penjuru.
#Maafkan ilmu silatku yang buruk!# katanya merendah, padahal ucapan merendah ini
hanya menonjolkan ketinggian hatinya. Dan diapun mulai bersilat! Si Lutung Emas
ini maklum bahwa mereka yang hadir menyaksikan demonstrasinya adalah ahli-ahli
silat dari empat penjuru, mereka adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang lihai,
maka tentu saja diapun tidak mau memperlihatkan kelemahannya.
Begitu menggerakkan ilmu silat simpanannya yang biasanya hanya dia keluarkan
kalau dia terpaksa sekali, kalau dia terdesak atau menghadapi lawan tangguh. Dan
memang hebat sekali gerakan-gerakan ilmu silat ini. Pantas dia dijuluki lutung,
kiranya bukan hanya karena hidungnya yang pesek dan mukanya yang hitam,
melainkan karena kini gerakan silatnya mengingatkan orang akan gerak-gerik
seekor lutung. Mirip Kauw-kun (Silat Monyet) dari aliran Siauw-lim-pai dan
aliran lain yang memperkembangkan silat macam ini, akan tetapi juga amat jauh
bedanya. Ilmu silat ini hanya dalam hal gaya dan kecekatannya saja mirip lutung,
namun di dalamnya menyembunyikan pukulan dan cengkeraman dahsyat, bahkan
beberapa kali nampak tubuh itu bergulingan di atas lantai sambil tangannya
mencengkeram ke bawah lalu disambitkan ke atas.
Kalau yang dicengkeram itu pasir atau batu lalu disambitkan sambil melompat ke
atas, tentu saja amat berbahaya bagi musuh yang dapat terkena pasir matanya atau
tersambit batu kepalanya. Dan kedua lengan itu kalau saling beradu, yang agaknya
memang disengaja, mengeluarkan bunyi seperti dua potong besi diadu! Kalau semua
orang mengagumi ilmu silat aneh ini yang merupakan gabungan dari silat Kongthong-
pai, Go-bi-pai dan gulat Mongol, sebaliknya dengan sepasang mata hampir
terpejam, Lee Song Kim berusaha menangkap gerakan-gerakan yang dianggap paling
ampuh! Dan diam-diam diapun sudah mencatat gerakan bergulingan sambil
mencengkeram tanah dan menyambit tadi, juga gerakan tangan kiri memukul tangan
kanan mencengkeram yang ternyata kedua serangan ini hanya gertak belaka.
Karena yang menjadi inti serangan sesungguhnya adalah sebuah tendangan pendek
yang dilakukan tiba-tiba ke arah bawah pusar! Sungguh hebat sekali jurus ini,
tidak tersangka datangnya dan amat berbahaya karena sekali mengenai sasaran,
lawan dapat roboh tewas seketika, atau setidaknya tentu terluka parah dan tidak
akan mampu bangkit kembali karena tertendang bagian yang paling berbahaya dari
lawan kalau itu seorang pria! Kalau lawan seorang wanita, tendangan itu dapat
lebih ke atas mengenai perut dan dapat merusak isi perut! Setelah Lutung Emas
Tangan Besi ini selesai memperlihatkan kebolehannya, beberapa orang tamu
bertepuk tangan memuji, termasuk tuan rumah dan para pembantunya. Biarpun dia
telah mencatat beberapa gerakan yang dianggap penting dan menguntungkan, namun
Song Kim masih belum merasa puas.
#Hebat sekali ilmu silatmu, Tiat-pi Kim-wan! Tak percuma anda memiliki nama
besar di sepanjang perbatasan Ta-tung! Ah, mau aku bertaruh bahwa tentu sukar
sekali mengalahkan anda. Kalau di antara sudara yang hadir di sini mampu
menandingi dan mengalahkan ilmu silatmu, aku akan memberi hadiah seratus tael
perak!# Melihat kegembiraan tuan rumah, beberapa orang tamu saling pandang.
Seratus tail perak bukanlah jumlah yang sedikit! Dalam waktu tiga bulan belum
tentu mereka dapat memperoleh hasil sebesar itu. Mereka itu sebagian besar
adalah ahli-ahli silat yang tentu saja suka sekali berpibu (mengadu ilmu silat).
Tanpa diberi hadiah saja mereka sudah tertarik, apalagi dengan hadiah besar itu.
#Ha-ha-ha, hargaku lumayan tingginya, Lee Kongcu. Akan tetapi bagaimana kalau
yang melawanku kalah? mau diapakan yang seratus tael itu?# Song Kim tersenyum.
#Tentu saja untuk pemenangnya!# Mendengar ini, si Lutung Emas Tangan Besi
menjadi girang. Dia bersoja ke empat penjuru.
#Adakah di antara cuwi yang demikian baik hati untuk memberi kesempatan padaku
memperoleh hadiah seratus tael perak? Kalau ada tiga orang yang maju dan aku
menang tiga kali,berarti tiga ratus! Lumayan juga!# Demikian sombongnya sikap si
Lutung Emas ini sehingga dia seolah-olah membayangkan bahwa dia pasti menang
menghadapi lawan yang manapun juga dan kalau ada yang maju, dia yakin akan
menang dan mendapatkan hadiah itu. Uang sebanyak itu dan sikap si Lutung Emas
yang tinggi hati menarik banyak orang. Gatal-gatal hati dan tangan mereka untuk
menandinginya. Seorang tinggi besar yang mukanya merah seperti orang mabok
bangkit dan melompat ke tengah lapangan, lalu menghadap Song Kim sambil memberi
hormat,
#Lee Kongcu, aku bukan seorang yang kaya dan uang seratus tael bukan sedikit
bagiku. Akan tetapi kalau aku maju ini bukan demi uang itu sendiri, melainkan
ingin merasakan sampai di mana kebenaran nama julukan Tangan Besi dari Si Lutung
Emas!# Melihat orang ini maju, hati Song Kim gembira sekali. Orang ini berjuluk
Seng jiu Sin-touw (Malaikat Copet), seorang yang biarpun tubuhnya tinggi besar,
memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa. Dia ahli dalam hal ginkang (ilmu
meringankan tubuh) dan kecepatan tangannya membuat dia dijuluki Malaikat Copet.
Memang dia merupakan raja copet dan maling di daerah barat,
Namun dia seringkali mengagulkan dirinya sebagai penjahat budiman, yang katanya
mencuri untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Memang menggelikan sekali.
Menolong orang miskin termasuk perbuatan baik, akan tetapi untuk dapat berbuat
baik itu lebih dulu dia harus berbuat buruk, yaitu mencopet dan mencuri!
Mungkinlah ini? Akan tetapi tidak ada yang sempat bertanya karena takut akan
kelihaian si raja copet ini! Song Kim sudah banyak mendengar tentang tamunya
yang seorang ini. Kabarnya, si raja copet ini memiliki ilmu silat yang bersumber
kepada silat dari India, dan dia memperoleh ginkangnya dari seorang pertapa
Himalaya yang mengajarkan tentang yoga kepadanya. Maka, gembiralah ia melihat
majunya orang ini karena menurut taksiranya, tingkat Si Raja Copet ini tentu
seimbang dengan tingkat Si Lutung Emas.
#Ji-wi, keluarkanlah ilmu simpanan masing-masing agar pibu ini menjadi tontonan
yang patut ditonton oleh para locianpwe yang hadir, dan dengan hati rela dan
gembira aku akan menghadiahkan seratus tael perak itu kepada sang pemenang,#
kata Song Kim, sikapnya seolah-olah seorang pecandu ilmu silat, walaupun
sesungguhnya semua yang dilakukannya ini hanya mempunyai satu saja pamrih, yaitu
ingin dia mengumpulkan ilmu-ilmu selihai dan sebanyak mungkin untuk bekal dan
syarat baginya mengumumkan dirinya sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap (pendekar
Silat Nomor Satu di kolong Langit)! Kini dua orang yang sama-sama jangkung itu
sudah saling berhadapan. Si Lutung Emas diam-diam marah dan penasaran medengar
ucapan Malaikat Copet. Dia belum pernah berkenalan dengan orang ini, apalagi
mengenal ilmu silatnya, maka biarpun dia mendongkol, Si Lutung Emas bersikap
hati-hati sekali.
#Siapakah orang gagah yang ingin pibu denganku?#tanyanya, sikapnya cukup sopan
walaupun nada suaranya memandang rendah.
#Aku mengenalmu sebagai Tiat-pi Kim-wan, biarlah engkau mengenalku sebagai Sengjiu
Sin-touw saja. Kita hanya mengadu silat, bukan mengadu orang dan
pribadinya,# jawab Si Malaikat Copet. Mendengar bahwa lawannya adalah seorang
Sin-touw atau Malaikat Copet, Si Lutung Emas tersenyum dan sengaja melucu agar
tidak sampai kehilangan pendukung. Dia lalu sibuk memeriksa kantung-kantung
jubahnya, mengeluarkan uang dan segala barang yang dianggap berharga, lalu
menyerahkan kepada Song Kim sebagai tuan rumah.
#Tolong kongcu simpan dulu semua milikku yang tak berharga ini, khawatir kalaukalau
nanti tahu-tahu lenyap dari kantungku setelah pibu. Bukankah kalau
demikian, biar menang seratus tael, tetap saja kehilangan barang-barangku?#
Tentu saja semua penonton tersenyum, ada pula yang tertawa geli mendengar ini
dan mereka semua memandang kepada Malaikat Copet sambil tertawa. Si Malaikat
Copet yang warna mukanya sudah merah itu kini warna itu menjadi kehitaman, tanda
bahwa dia merasa marah dan malu. Song Kim tidak memberi komentar karena tidak
mau berat sebelah, tidak pula tertawa, hanya menaruh barang-barang itu di atas
meja di depannya.
#Lutung Emas, sambutlah seranganku!# bentak si Malaikat Copet dan diapun sudah
menerjang. Gerakannya cepat bukan main, kedua tangan yang bergerak itu sukar
diikuti pandang mata, tahu-tahu tangan kiri sudah menampar ke arah pelipis
sedangkan tangan kanan menyelonong ke arah lambung lawan dengan totokan keras!
#Wah, cepatnya......!# teriak Si Lutung Emas dan diapun segera meloncat ke
belakang dengan gaya seekor kera yang cekatan. Biarpun serangan kedua tangan
yang cepat itu luput, tak urung Si Lutung Emas merasa betapa ada angin pukulan
yang dingin lewat leher dan membuat bajunya di bagian perut berkibar. Maklumlah
dia bahwa lawannya, selain memiliki kecepatan yang mengejutkan juga memiliki
tenaga sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Dan dugaannya memang tepat. Baru
saja dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan pertama, lawan sudah
menerjang lagi dan tahu-tahu kedua tangan yang cepat sekali seolah-olah dua ekor
ular yang ganas itu telah menghujankan serangan bertubi-tubi, setiap pukulan,
tamparan atau cengkeraman mengandung tenaga yang amat kuat.
Seng jiu Sin-touw mengeluarkan seruan kaget dan cepat dia melindungi tubuhnya
dari serangan dengan jalan mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis!
Perkelahian itu berjalan dengan cepat sekali, akan tetapi karena penontonnya
adalah ahli-ahli silat jagoan, mereka semua dapat mengikuti perkelahian itu dan
merasa kagum. Sin-touw memang cepat bukan main, akan tetapi pertahanan Kim-wan
(Lutung Emas) juga rapat sekali sehingga semua serangan dapat digagalkan. Tibatiba
Si Lutung Emas yang menghadapi tendangan lawan, tiba-tiba terjengkang
seolah-olah terkena tendangan, padahal dia sengaja melempar diri ke belakang
untuk menghindar. tubuhnya terjengkang akan tetapi bigitu tiba di tanah, tubuh
itu bergulingan dan ketika dia mengeluarkan teriakan nyaring, ada dua benda
kecil menyambar ke arah mata Sin-touw!
#Heiiittt!!# Sin-touw berteriak dan cepat merendahkan tubuhnya. Kiranya karena
lantai itu bersih, Lutung Emas tidak dapat mencengkeram pasir atau tanah atau
kerikil, maka sebagai gantinya, dia telah merenggut lepas dua buah kancing
bajunya dan dua buah benda kecil ini meluncur menuju ke mata lawan. Pada saat
itu lawan merendahkan tubuh untuk mengelak, tubuhnya sendiri yang tadinya berada
di atas lantai, tiba-tiba menerjang ke atas dan kedua tangannya yang kuat itu
sudah menyambar, didahului oleh sebuah tendangan kakinya yang panjang! Si
Malaikat Copet mengelak dari serangan kedua tangan, maka ketika kaki itu
menendang, dia tidak sempat lagi mengelak lalu menangkis sambil mengerahkan
tenaganya.
#Dukkk!# Hebat tendangan itu, akan tetapi tangkisan itupun mengandung tenaga
yang kuat dan akibat benturan kedua tenaga itu, dua orang jagoan terdorong
mundur sampai tiga langkah! Kini Lutung Emas sudah marah sekali. Sejak tadi dia
didesak dan sekali membalas, kakinya tertangkis sampai rasanya nyeri. sambil
mengeluarkan suara menggereng dengan amat cepatnya. Song Kim menanti-nanti
sampai Lutung Emas mengeluarkan jurusnya yang ampuh tadi, yang dianggapnya
sebagai jurus terbaik.
Akhirnya, apa yang diduganya terbukti. Kiranya memang jurus itu dipergunakan
Lutung Emas untuk berusaha mengalahkan lawannya. Tangan kiri Si Lutung Emas
menyambar dengan pukulan dahsyat dibarengi tangan kanan mencengkeram ke depan.
Dua serangan ini memang hebat sekali nampaknya dan pasti dapat mengelabui lawan
yang menyangka bahwa dua tangan itu merupakan inti serangan, atau setidaknya
satu di antaranya. Maka lawan tentu akan mengerahkan tenaga dan perhatian
menghadapi dua serangan ini. Demikian pula dilakukan oleh Malaikat Copet.
Pukulan ke arah kepalanya dengan tangan kiri lawan itu dielakkan dengan
miringkan kepala, dan cengkeraman tangan kanan lawan di sambutnya dengan
tangkisan tangan kiri. Pada saat itulah tendangan pendek kaki Lutung Emas
menyambar! Bukan main kagetnya Malaikat Copet.
Dia maklum bahwa untuk mengelak atau menangkis tendangan itu tidak keburu lagi,
maka tangan kanannyapun memukul ke arah leher lawan untuk mengadu nyawa
sedangkan kedua kakinya agak ditekuk untuk memberi kekuatan tambahan pada perut
ke bawah yang sudah diisi tenaga sinkang untuk melindunginya. Si Lutung Emas
tidak ingin membunuh lawan. Biarpun tubuh di bawah pusar itu sudah dilindungi
sinkang, kalau terkena tendangannya pasti akan pecah dan lawan akan tewas. Dia
tidak mau melakukan hal ini dan mengarahkan tendangannya ke lutut kiri lawan.
Akan tetapi dia terkejut melihat betapa lawan menjadi nekat dan memukul dengan
tangan miring ke arah lehernya. Pukulan yang mengadu nyawa ini sungguh tak
pernah disangkanya, dan datangnya demikian cepatnya! Maka, satu-satunya jalan
hanya melempar tubuh ke samping untuk mengelak.
Dia tidak mugkin melempar tubuh ke belakang karena dalam posisi menendang
sehingga kalau hal itu dilakukan, dia akan terbanting dan terjengkang! Tepat
pada saat ujung sepatu Lutung Emas mengenai lutut kaki Malaikat Copet, pukulan
tangan miring itu mengenai pundak Lutung Emas. Akibatnya, Malaikat Copet
terjungkal karena lututnya terkena tendangan, akan tetapi sebaliknya lawannya
juga terpelanting oleh pukulannya pada pundak. Diam-diam Song Kim yang melihat
jelas gerakan mereka itu menjadi girang dan kagum. sekaligus dia telah menemukan
dua gerakan yang sama-sama hebat! Cepat dia bangkit dan membantu keduanya untuk
bangun. Kedua orang itu meringis kesakitan karena seperti sambungan lutut
Malaikat Copet yang terlepas, ternyata sambungan tulang pundak Lutung Emas juga
terlepas.
#Ji-wi sama-sama tangguh dan lihai, tidak ada yang kalah atau menang, biarlah
hadiah dibagi berdua, baru adil.# Semua orang menyatakan setuju dan kedua orang
itupun kembali ke kursinya, membawa lima puluh tail perak. Si Malaikat Copet
terpincang-pincang ketika menghampiri kursinya, sedangkan Si Lutung Emas juga
miring-miring jalannya seperti layang-layang yang berat sebelah. Dengan sikapnya
yang ramah dan sopan, sedikitpun tidak memperlihatkan pamrih aslinya, melainkan
memberi kesan bahwa dia memang seorang penggemar silat seratus persen. Lee Song
Kim berhasil membujuk para tamunya seorang demi seorang untuk mendemonstrasikan
ilmu-ilmu simpanan masing-masing.
Para tamu itu, di bawah pengaruh arak yang baik, berusaha menonjolkan kepandaian
silat masing-masing. Akan tetapi sudah tujuh orang yang maju mendemonstrasikan
ilmu silatnya, Lee Song Kim diam-diam kecewa karena mereka ini tidak memiliki
jurus-jurus ampuh seperti dua orang tamu terdahulu. Karena itu, dia tidak
memberi komentar apa-apa dan tidak memancing adanya pibu. Kini hanya tinggal
lima orang yang belum mendemonstrasikan ilmu silatnya. mereka itu adalah Kamkauwsu
dari Thian-cin, Tan-siucai tokoh Pek-hwa-pai, Kwa Ciok Le jagoan Kun-lunpai.
Thian Khi Hwesio sendiri, dan seorang wanita berusia kurang lebih empat
puluh tahun yang mukanya buruk dan di punggungnya terdapat sebatang pedang. Kini
Lee Song Kim menunjuk kepada wanita itu dan memperkenalkan.
#Sekarang kami mohon kepada saudari Sin-kiam Mo-li untuk memberi petunjuk kepada
kami akan kehebatan ilmu pedangnya. Silakan, lihiap.# Wanita itu bangkit
berdiri, melangkah dengan tenang ke tengah ruangan dan menjura kepada Lee
Kongcu, kemudian kepada semua orang yang memandang dengan hati tertarik.
Beberapa orang di antara mereka termasuk Thian Khi Hwesio terkejut mendengar
disebutnya nama Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti) itu karena nama itu
adalah nama seorang tokoh sesat yang terkenal kejam dan sakti, yang membuat nama
besar di dunia selatan! Tak disangkanya bahwa tokoh sesat yang ditakuti itu
ternyata hanya seorang wanita berusia empat puluh tahun dan kini bahkan hadir
sebagai tamu Lee Kongcu!
#Lee Kongcu, ketahuilah bahwa aku tidak pernah memamerkan kepandaian, dan
pedangku ini hanya dicabut kalau berhadapan dengan lawan. Entah sekarang ada
yang mau menjadi lawanku atau tidak, terserah kepada yang hadir. Kalau tidak
ada, sebaiknya aku pergi sekarang. Kalau ada, silakan maju, karena bagaimanapun
juga, aku sudah menerima kebaikan kongcu dan ingin sedikit menghibur dengan
pertunjukan pibu. Akan tetapi, pedang tidak bermata, kalau sampai kesalahan
tangan membunuh atau melukai lawan, harap jangan menjadi kecil hati.# Setelah
mengeluarkan ucapan itu, Sin-kiam Mo-li berdiri tegak, siap menanti munculnya
seorang lawan! Empat orang tamu lain yang belum memperlihatkan ilmunya tidak ada
yang mau menanggapi tantangan wanita itu.
Bukan takut, melainkan mereka sebagai jagoan-jagoan besar selain merasa tidak
mau melayani iblis betina yang haus darah itu. Semua orang maklum bahwa ahli
silat yang sudah tinggi ilmunya dapat menguasai senjata masing-masing. Biarpun
senjata tidak bermata, namun si pemegang senjata bermata,bahkan awas sekali
sehingga sulitlah dikatakan #kesalahan tangan# karena dalam keadaan bagaimanapun
juga, seorang ahli silat tinggi dapat menguasai semua anggauta badannya. Lee
Song Kim maklum bahwa di antara empat orang itu tentu tidak ada yang mau maju.
Dia sendiri ingin maju menghadapi Sin-kiam Mo-li, akan tetapi dia merasa belum
waktunya bagi dia untuk memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya. Kelak kalau
sudah tiba saatnya, sekali memperlihatkan diri, dunia harus mengakuinya sebagai
Thian-he Te-it Bu-hiap!
Maka diapun memberi isyarat kepada Theng Ci, pembantunya, untuk melayani wanita
itu. Memang hanya Theng Ci yang dianggapnya tangguh dan dapat dipercaya akan
mampu menandingi Sin-kiam Mo-li. Dua orang muridnya yang duduk di belakangnya,
belum tentu akan mampu menandingi wanita berpedang sakti itu. Theng Ci dapat
menangkap isyarat atasannya. Selama ini, sudah hampir satu tahun ia bersama anak
buahnya tinggal di perkampungan yang dibangun Lee Song Kim, menjadi pembantunya
yang dipercaya. Di antara murid-murid dan anak buahnya, banyak yang bertugas
menghibur dan melayani Lee Kongcu, tentu saja mereka yang muda-muda dan cantikcantik
saja yang dipilih Song Kim. Kini Theng Ci bangkit dari tempat duduknya
dan Song Kim juga bangkit, memperkenalkan.
#Karena tidak ada yang menyambut uluran tangan Sin-kiam Mo-li, untuk memeriahkan
pesta ini, baiklah aku meyuruh pembantuku ini untuk mewakili aku, bermain-main
sebentar dengan Mo-li agar mata kami semua terbuka menyaksikan ilmu pedang yang
hebat dari Sin-kiam Mo-li.#
Semua tamu bertepuk tangan gembira menyambut majunya Theng Ci karena mereka
semua yang sudah mendengar nama besar Sin-kiam Mo-li ingin sekali melihat
kehebatan ilmu pedang iblis betina itu. namun diam-diam mereka merasa khawatir.
Bagaimana sih tuan rumah ini? Menyuruh seorang wanita yang nampak lemah itu
untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li? Padahal, bukankah tadi Sin-kiam Mo-li
mengeluarkan ancaman bahaya pedangnya tak bermata, mungkin melukai bahkan
membunuh lawan? Juga ada yang merasa heran, termasuk Thian Khi Hwesio. Tentu
tuan rumah she Lee itu sudah maklum akan kelihaian Sin-kiam Mo-li, akan tetapi
kenapa berani mengajukan wanita pembantunya itu? Jelaslah bahwa Lee Kongcu sudah
tahu pula bahwa pembantunya akan mampu menandingi si Iblis Betina,
Kalau tidak demikian takkan disuruhnya maju. Dan kalau pembantunya saja berani
menandingi Sin-kiam Mo-li, mudah diduga bahwa tentu majikan atau ketuanya lebih
lihai lagi! Hati Thian Khi Hwesio semakin tertarik. Perkumpulannya juga sedang
berurusan dengan seorang she Lee yang membunuh tokoh Kun-lun-pai dan yang
mengaku murid Siauw-lim-pai dan kini ada seorang she Lee yang begini aneh, penuh
rahasia dan agaknya lihai sekali. Siapa tahu di antara keduanya itu masih ada
hubungan! Sementara itu, Theng Ci sudah berhadapan dengan Sin-kiam Mo-li dan
ketua Ang-hong-pai (Perkumpulan Tawon Merah) ini sudah pula mencabut pedangnya
karena tadi ia mendengar bahwa Si Pedang Sakti ini hendak mempergunakan
pedangnya. Sambil menyembunyikan pedang di bawah lengan, iapun maju dan memberi
hormat kepada Sin-kiam Mo-li.
#Mentaati perintah Lee Kongcu, aku yang ingin melayanimu bermain pedang
sebentar, Sin-kiam Mo-li.# Sin-kiam Mo-li memandang tajam kepada wanita calon
lawannya itu dan diam-diam ia terkejut. Wanita ini sudah tua, hal itu dapat
dilihat dari sikap dan pandang matanya, jauh lebih tua darinya, akan tetapi
wajah dan bentuk badan wanita ini bahkan nampak lebih muda darinya! Hal ini saja
sudah membuatnya terheran dan dapat menduga bahwa yang dihadapi tentulah seorang
wanita yang tak boleh dipandang ringan. Pada saat itu, tiba-tiba seorang di
antara para tamu mengenal Theng Ci dan diapun berseru,
#Ah, bukankah ia ketua Ang-hong-pai di luar kota Nan-ping yang amat terkenal
dengan tawon-tawon merah beracun? Mendengar ini, semua orang terkejut, termasuk
Sin-kiam Mo-li. Ia belum pernah mengenal perkumpulan itu, akan tetapi sudah
mendengar namanya dan seperti semua orang yang hadir, ia terkejut karena tidak
mengerti bahwa ketua perkumpulan yang ditakuti banyak orang itu kini menjadi
pembantu dan wakil pemuda hartawan yang aneh dan penuh rahasia itu!
#Ah, kiranya aku berhadapan dengan Ang-hong-pai-cu (ketua Ang-hong-pai) yang
terkenal itu? Sungguh mengherankan, ketua perkumpulan yang ternama kini menjadi
pembantu dan wakil Lee Kongcu yang hanya kaya raya dan penggemar ilmu silat.#
Mendengar ini, wajah Theng Ci berubah merah. Ucapan itu sama saja dengan
meremehkannya, dan mengingatkan ia betapa perkumpulannya telah ditaklukkan oleh
Lee Kongcu. Ia tidak mampu menjawab dan melihat ini, Lee Song Kim tertawa.
#Moli, kiranya bukan hanya pedangmu yang tajam, mulutmu lebih tajam lagi. Karena
tidak ada yang berani menemanimu bermain pedang, aku lalu minta bantuan Ang-hong
Pai-cu yang menjadi sahabat baikku, kenapa engkau memandang rendah kepadanya?
Lebih baik engkau perlihatkan kepandaianmu dan mengalahkannya!#
#Baik, jangan dikira bahwa aku takut menghadapi siapapun juga. Nah, pai-cu,
majulah!# Berkata demikian, Sin-kiam Mo-li menggerakkan tubuhnya ke depan dan
nampak sinar berkelebat ketika ia mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar
putih berkilauan.
#Aku di pihak tuan rumah, engkau tamu, sudah sepatutnya kalau tamu yang bergerak
lebih dulu,# kata Theng Ci. Mendengar ini, tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan
teriakan panjang dan pedangnya sudah membentuk sinar berkelebat menusuk ke arah
dada ketua Ang-hong-pai itu. Serangannya cepat sekali dan juga menagandung
tenaga kuat sehingga mengeluarkan suara berdesing. Theng Ci tidak memandang
rendah lawannya dan ia sudah siap siaga, maka begitu lawan menyerang, iapun
menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan sinkang.
#Cringgg! Trangggg......!# Dua kali pedang Sin-kiam Mo- li menyerang dan dua
kali Theng Ci menangkis. Pertemuan antara kedua pedang itu selain menimbulkan
suara nyaring, juga bunga api berpijar dan keduanya cepat menarik pedang masingmasing
untuk memeriksa apakah pedang mereka rusak. ternyata tidak dan kini Theng
Ci balas menyerang dan karena keduanya sama-sama tidak berani memandang ringan
lawan, mereka telah mengeluarkan jurus-jurus serangan simpanan yang ampuh. Kalau
orang-orang lain menonton perkelahian pedang itu dengan hati tegang dan penuh
kekhawatiran bahwa seorang di antara dua wanita itu akan roboh mandi darah,
sebaliknya Lee Song Kim merasa girang bukan main.
Dia sudah hafal ilmu pedang Theng Ci, tahu bagian-bagian mana yang lemah dan
kuat, maka melalui gerakan Theng Ci, dia dapat pula menilai gerakan lawan,
mencatat gerakan-gerakan pedang dari Sin-kiam Mo-li yang dianggap lihai dan
patut dipelajari. Dan memang ilmu pedang Sin-kiam Mo-li amat lihai, sehingga
pantas kalau ia diberi julukan Iblis betina berpedang Sakti! Biarpun Theng Ci
juga seorang ahli pedang yang amat lihai, namun setelah berkelahi selama lima
puluh jurus, mulailah Theng Ci terdesak hebat! Dan kini watak kejam Sin-kiam Moli
sehingga ia dijuluki Iblis Betina. Biarpun perkelahian itu hanya merupakan
pibu belaka, tanpa didasari benci atau permusuhan pribadi, setelah melihat
lawannya terdesak hebat, iblis betina itu sama sekali tidak memberi kelonggaran,
Bahkan menghujankan serangan-serangan mautnya dengan jurus-jurus yang paling
lihai. Tentu saja Theng Ci menjadi kewalahan, selalu menangkis sambil mundur dan
berusaha mengelak ke kanan kiri. Yang aneh adalah Song Kim. Orang ini melihat
pembantu dan wakilnya terdesak dan terancam bahaya, dia malah kegirangan karena
melihat iblis betina itu mengeluarkan jurus-jurus rahasia! Seolah-olah dia tidak
perduli sama sekali melihat nyawa pembantunya terancam bahaya maut. Sesungguhnya
tidak demikian. Song Kim memang kegirangan karena dapat melihat jurus-jurus
pilihan dari ilmu pedang Sin-kiam Mo-li, dan kalau tidak mengkhawatirkan keadaan
Theng Ci, bukan karena dia acuh, melainkan karena dia percaya penuh akan
kemampuan pembantunya. Dia percaya bahwa Theng Ci mampu menjaga diri walaupun
nampaknya sudah demikian kerepotan.
#Mampuslah!# Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li membentak, tubuhnya membuat gerakan
memutar setengah lingkaran, pedangnya meluncur ke belakang tubuhnya, akan tetapi
secara aneh pedang itu membalik dan menyambar ke arah leher Theng Ci dengan
kecepatan kilat! Ketua Ang-hong-pai ini terkejut setengah mati, tidak pernah
menduga akan datangnya serangan aneh yang tak disangka-sangkanya itu. Tidak ada
waktu lagi baginya untuk menangkis dan jalan satu-satunya untuk menghindarkan
diri dari sambaran maut itu hanyalah membuang tubuhnya ke belakang,
Bahkan terus melempar diri rebah terlentang ke atas tanah untuk kemudian
berjungkir balik! Akan tetapi, terdengar suara ketawa mengejek dari mulut Sinkiam
Mo-li yang sudah memperhitungkan hal ini, maka begitu melihat lawan
melempar tubuh ke belakang, pedangnya dengan membuat gulungan sinar telah
mengejar dan menusuk ke arah leher dari tubuh lawan yang sudah rebah terlentang
itu sebelum tubuh itu sempat meloncat lagi. Semua orang yang melihat peristiwa
ini menahan napas karena agaknya tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri bagi
ketua Ang hong-pai itu. Hanya Lee Song Kim saja yang masih melihat dengan senyum
di bibirnya. Dia melihat betapa pembantunya itu sejak tadi telah siap dengan
jarum merahnya, senjata rahasia halus yang amat berbahaya itu!
Theng Ci yang melihat sambaran pedang, hanya mampu memutar leher ke kiri dan
tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar merah halus menyambut ke arah muka
lawan. Sin-kiam Mo-li terkejut dan cepat ia menarik kepala ke belakang dan pada
saat pedangnya yang dielakkan lawan itu menusuk pundak sebagai gantinya leher,
ia sendiri merasa pahanya nyeri dan pedih sekali karena ketika ia menarik kepala
ke belakang tadi, pedang di tangan Theng Ci menusuk pahanya! Dalam waktu yang
hampir berbareng, dua orang wanita itu sama-sama menderita luka. Theng Ci
terluka pundaknya dan Sin-kiam Mo-li terluka pahanya. Dengan marah sekali Sinkiam
Mo-li sudah meloncat maju lagi begitu melihat lawannya bangkit berdiri dan
siap untuk menyerang. Akan tetapi pada saat itu Song Kim sudah berdiri
menghadang dan menghalang di antara mereka.
#Cukup sudah, kedua pihak sama terluka, tidak ada yang kalah atau menang.#
#Wuuuttt...... tappp!# Tiba-tiba saja gerakan tusukan pedang itu terhenti karena
pedang itu sudah dijepit oleh jari-j ari tangan kanan Lee Kongcu!
#Sin-kiam Mo-li, engkau sungguh lancang dan pedangmu ini berbahaya kalau tidak
dipatahkan!# Berkata demikian, Lee Song Kim menyalurkan tenaga sinkang pada
jari-jari tangan kanan yang menagkap pedang dan sekali jari tangannya menekuk,
terdengar suara keras dan pedang itupun patah menjadi tiga potong! Yang dua
potong jatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi berdenting, bagian ketiga masih
tertinggal di gagang yang masih dipegang oleh tangan kanan Sin-kiam Mo-li.
Wanita itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Tak
disangkanya bahwa orang yang dikenalnya sebagai Lee Kongcu ini ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, jauh lebih hebat dibandingkan tingkat
ilmu silatnya sendiri. Cara Lee Kongcu menangkap dan mematahkan pedangnya itu
merupakan ilmu yang tinggi, mungkin tak dapat dilakukan oleh mendiang gurunya
sendiri sekalipun! Maka, iapun tahu diri dan
#Saya telah menerima pelajaran!# Dan terpincang-pincang ia kembali ke kursinya
dan mengambil obat luka untuk mengobati luka di pahanya. Theng Ci juga kembali
ke kursinya dan mengobati luka di pundaknya, sedangkan Lee Song Kim tersenyum
dan duduk lagi, tak mau menyinggung peristiwa tadi melainkan memandang empat
orang tamu lainnya yang belum sempat memperlihatkan ilmu kepandaian mereka.
Sambil tersenyum Lee Song Kim berkata kepada mereka.
#semua tamu yang gagah perkasa telah memperlihatkan ilmu kepandaian mereka
masing-masing yang hebat sehingga menambah meriahnya suasana pertemuan ini.
Hanya su-wi yang terhormat, Kam-kauwsu, Tan-siucai, Kwa-enghiong dan Thian Khi
Losuhu yang belum sempat memperlihatkan kelihaiannya. Maka, kami mohon dengan
hormat dan sangat, sudilah kiranya Kam-kauwsu dari Thian-cin dan Tan-siucai
tokoh Pek-hwa-pai yang keduanya sudah amat terkenal namanya, menghangatkan
suasana dengan mendemonstrasikan ilmu silat mereka.# Kam-kauwsu, guru silat dari
Thian-cin itu adalah seorang yang cerdik.
Tadi dia melihat betapa lihainya tuan rumah yang penuh rahasia itu. Baru tingkat
kepandaian Theng Ci, wanita yang menjadi pembantu Lee Kongcu itu saja sudah amat
lihai dan agaknya tingkatnya sendiri tidak akan melebihi banyak. Maka, kalau
sampai dia memancing bentrokan atau pibu dengan pihak tuan rumah, mungkin diapun
akan mendapatkan malu. Juga dia tidak ingin mengadu ilmu dengan Tan-siucai. Dia
dapat melihat betapa mereka yang ilmu silatnya biasa saja, tadi tidak
dipedulikan oleh tuan rumah dan hanya mendemonstrasikan saja ilmu silatnya. Yang
diadu dalam pibu hanyalah mereka yang ilmu kepandaiannya tinggi. Maka, begitu
mendengar permintaan tuan rumah, dia mendahului Tan-siucai dan meloncat ke
tengah ruangan itu, memberi hormat kepada Lee Kongcu dan para tamu sambil
tersenyum lebar.
#Saya hanyalah seorang guru silat yang mengandalkan hidupnya dari penghasilan
mengajarkan ilmu silat sekedarnya, ada apakah yang boleh diperlihatkan? Akan
tetapi kalau untuk menghormati Lee Kongcu yang telah begitu baik hati untuk
mengundang saya, maka biarlah saya ikut pula meramaikan pesta ini dengan
permainan silat sedapat saya, harap cu-wi jangan mentertawakan.#
Tanpa menanti tanggapan, cepat guru silat Kam ini sudah memainkan ilmu silatnya.
Dia sengaja mengeluarkan tenaga sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi
berkerotokan, gerakannya mantap dan penuh tenaga, pukulan dan tendangannya juga
mengandung tenaga besar sehingga menimbulkan angin. Akan tetapi, Lee Song Kim
yang menonton penuh perhatian, menjadi kecewa. kiranya nama besar guru silat
dari Thian-cin ini hanya nama kosong belaka, seperti juga ilmu silatnya itu
hanya indah dan gagah ditonton saja, akan tetapi sebetulnya tidak ada isinya
yang menarik sama sekali. Gerakan silat biasa yang dapat dipelajari setiap
orang. Tidak ada apa-apanya yang patut untuk dicatat dan dipetik.
Dalam waktu belasan jurus saja Theng Ci akan mampu merobohkan orang ini,
pikirnya. Karena itu, diapun tidak merasa tertarik. Guru silat itu kelihatan
bersemangat benar untuk memamerkan ilmu silatnya, mengerahkan tenaganya dan
kecepatannya. Namun, tidak ada sejuruspun yang dianggap baik oleh Lee Song Kim,
maka diapun diam saja dan tidak bernafsu untuk mengadu tamu ini dalam pibu untuk
mengorek rahasia ilmu silatnya. inilah yang dikehendaki Kam-kauwsu yang cerdik
dan selmatlah dia dari kekalahan dalam pibu. Setelah dia selesai dalam bersilat,
para tamu, demi kesopanan, bertepuk tangan memuji, bahkan Song Kim juga ikut
bertepuk tangan memuji. Kam-kauwsu menjura sambil merendahkan diri, lalu mundur
dan duduk kembali di kursinya, di dalam hatinya merasa girang bahwa siasatnya
berhasil.
#Sekarang kami mohon Tan-siucai untuk memperlihatkan kepandaiannya. Kami
mendengar bahwa Tan-siucai memiliki pedang yang luar biasa, dengan sebatang
pedang pusaka yang tipis dan lemas. Kami ingin mengagumi ilmu pedang itu.# Tansiucai
sejak melihat Lee Song Kim tadi mematahkan pedang di tangan Sin-kiam Moli,
sudah merasa curiga akan iktikad tuan rumah. Maka, dia sudah merasa enggan
untuk ikut memamerkan kepandaian. ketika tuan rumah minta kepadanya untuk
memperlihatkan kepandaian, dia bangkit dan menjura kepada Lee Song Kim.
#Harap Lee Kongcu suka memaafkan, akan tetapi hari ini saya tidak mempunyai
semangat untuk bermain silat memperlihatkan kebodohan sendiri di depan para
locianpwe. Biarlah saya menjadi penonton saja.#
#Ah, mana bisa begitu. Tan-siucai? Jauh-jauh kami sengaja mendatangkan tokohtokoh
persilatan di dunia kang-ouw, selain untuk menghormati mereka, juga untuk
menikmati pertunjukan ilmu-ilmu yang tinggi. Kalau anda menolak untuk ikut
menggembirakan suasana dengan mendemonstrasikan ilmu silat anda yang terkenal
tinggi, sungguh hal itu amat mengecewakan hati kami dan para indangan yang
terhormat!# Kini Lee Song Kim juga bangkit berdiri dan menghampiri jago silat
yang berpakaian seperti seorang sasterawan itu. Mereka berhadapan dan sejenak
mereka saling pandang dengan sinar mata tajam. Tan-siucai kembali menjura,
#Terpaksa saya mengecewakan tuan rumah. Akan tetapi, saya memnuhi undangan tanpa
mengetahui bahwa kami diundang untuk diadu seperti ayam-ayam aduan. Terpaksa
saya mengecewakan dan biarlah budi kebaikan Lee Kongcu kelak dapat saya balas
dengan undangan kehormatan pula. Sekarang, perkenankan saya mohon diri......#
Akan tetapi Lee Kongcu menghadang di depannya.
#Nanti dulu, Tan-siucai. Aku tidak minta kau balas untuk beberapa cawan arakku
dan beberapa mangkok sayuran hidanganku. Akan tetapi aku tidak dapat menerima
kalau orang memandang rendah kepadaku, biarpun hal itu dilakukan oleh seorang
ternama seperti engkau.# Mendengar kata-kata keras dan sikap yang berubah kasar
ini, Tan-siucai memandang wajah tuan rumah dengan alis mata berkerut.
#Lee Kongcu, apakah maksud ucapan kongcu ini? Sungguh saya tidak mengerti,#
katanya, suaranya kinipun tegas.
#Sebagai tuan rumah yang menghormati tamu-tamunya, akupun ingin agar para tamuku
menghormatiku. permintaanku kepada tamu yang hadir untuk sekedar memperlihatkan
ilmu kepandaiannya merupakan penghormatan pula dan sudah sepatutnya kalau para
tamu memenuhi permintaan itu. Kalau engkau menolak, berarti engkau tidak
memperdulikan penghormatanku dan memandang rendah kepadaku. Memandang rendah
berarti penghinaan dan aku tidak dapat menerimanya!# Mendengar ucapan keras dan
sikap menantang ini, panaslah rasa hati Tan-siucai. Dia adalah seorang pendekar
dari utara, seorang yang biarpun selalu mengalah dan rendah hati, namun jiwa
kependekarannya bangkit kalau dia berhadapan dengan sikap sewenang-wenang.
Melihat sikap tuan rumah itu, kecurigaannya terhadap Lee Kongcu yang berkesan
buruk itu menjadi semakin tebal dan diapun memandang dengan wajah merah dan
sinar mata tajam.
#Aku tidak mengenal Lee Kongcu dan aku datang ke sini adalah atas undanganmu
sendiri. Aku hadir di sini sebagai tamu, bukan sebagai orang yang harus
menjalankan semua perintahmu, kalau sikapku ini dianggap memandang rendah dan
engkau tidak dapat menerimanya, lalu apa yang selanjutnya akan terjadi?# Biarpun
halus, ucapan ini merupakan tantangan atau menerima tantangan yang dilontarkan
Lee Song Kim tadi.
#Bagus! Kalau Tan-siucai merasa pintar sendiri dan benar sendiri, aku orang she
Lee menantangmu untuk pibu agar disaksikan oleh para locianpwe yang hadir, asal
saja Tan-siucai tidak mempergunakan lidahnya yang tajam melebihi pedangnya untuk
mengelak karena takut menerima tantanganku!# kalimat terakhir itu dikeluarkan
oleh Lee Song Kim sebagai penutup semua jalan keluar karena tentu saja pihak
lawan tidak berani menolak. Menolak berarti mengaku takut! Tan-siucai mengerti
bahwa dalam keanehan sikapnya, Lee Kongcu merupakan lawan tangguh yang berbahaya
dan dia belum tahu sebetulnya yang berada di balik sikap menantang ini karena
bagaimanapun juga, belum pernah dia merasa bermusuhan dengan orang ini.
#Bagaimana pibu ini akan dilaksanakan?# tanyanya, siap siaga karena dia maklum
bahwa tak mungkin mundur dari tantangan tuan rumah. Sementaa itu, para tamu
memandang penuh perhatian dan diam-diam Kam-kauwsu merasa girang bahwa dengan
kecerdikannya, dia tadi mampu lolos. Kwa Ciok Le yang sudah merasa tidak suka
kepada tuan rumah, dan Thian Khi Hwesio yang merasa curiga, kini diam-diam
memandang penuh perhatian.
#Tan-siucai terkenal dengan pedang tipisnya, ingin sekali aku membuktikan apakah
pedang tipisnya itu sama tajamnya dengan lidahnya,# kata Lee Song Kim yang
sengaja memanaskan hati orang
#Srattt......!# Nampak sinar berkilat dan tahu-tahu Tan-siucai telah memegang
sebatang pedang tipis yang berkilauan saking tajamnya. pedang itu diambilnya
dari pinggang karena pedang itu tadi dipakai sebagai sabuk. Gerakannya
sedemikian cepatnya sehingga seperti orang bermain sulap saja.
#Lee Kongcu, engkau sudah menantangku dan tidak baik kalau aku menolaknya. Nah,
keluarkanlah senjatamu.# Lee Song Kim tersenyum. dari anak buahnya yang
melakukan penyelidikan, dia sudah banyak mendengar tentang jagoan ini dan
biarpun belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, namun dia merasa yakin bahwa
dengan tangan kosong dia masih sanggup mengatasinya.
#Aku tetap menghormati tamu, Tan-siucai. Engkau gerakkanlah pedangmu, aku akan
menghadapimu dengan tangan kosong saja.#
Ucapan ini mengejutkan yang hadir, bahkan Thian Khi-Hwesio juga terkejut. Dia
sudah mendengar tentang Siucai ini dan maklum betapa lihai dan berbahayanya
pedang tipis itu. Dia sendiri sebagai wakil ketua Siauw-lim-pai, agaknya masih
belum begitu sembrono untuk menghadapi Tan-siucai dengan tangan kosong melawan
pedang tipis itu. Kalau tuan rumah ini bersikap sedemikian angkuhnya, tentu
benar-benar telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Maka dengan
jantung berdebar, seperti yang lain, pendeta tua ini menonton dengan perhatian
sepenuhnya. Maksud Lee Song Kim menghadapi lawan dengan tangan kosong bukan
sekedar kesombongan belaka, melainkan mengandung maksud tertentu.
Dia mendengar akan kehebatan ilmu pedang orang ini maka dengan tangan kosong,
dia mampu mengelak terus mengandalkan ginkangnya sambil memperhatikan gerakan
lawan dan mencatat jurus-jurus terampuh untuk dipelajari dan dikuasainya. Song
Kim memang sejak kecil memiliki ingatan yang kuat sekali sehingga sekali melihat
dan mencatat di dalam benaknya, takkan terlupakan lagi olehnya. Sementara itu,
Tan-siucai merasa penasaran bukan main, diam-diam juga girang. Orang she Lee ini
berbahaya dan sombong. Kini dia ditantang untuk maju menggunakan pedangnya
melawan Lee Kongcu yang bertangan kosong. kebetulan sekali, pikirnya. Banyak
yang menyaksikan dan kalau sampai pedangnya melukai atau membunuh tuan rumah
sekalipun, orang-orang kang-ouw tidak akan menyalahkannya.
#Baik, kau sambutlah pedangku, Lee Kongcu!# Hebat bukan main memang gerakan
pedang sasterawan itu, jauh lebih hebat dari pedang wanita yang berjuluk Iblis
Betina Pedang Sakti tadi. Pedangnya yang tipis itu meluncur dan berubah menjadi
sinar kebiruan menyambar-nyambar dan menciptakan gulungan sinar yang panjang.
Namun, Lee Song Kim berdiri dengan tenang saja dan baru tubuhnya bergerak
mengelak kalau ada sinar mencuat dari gulungan sinar itu yang menunjukkan bahwa
ada serangan mengarah dirinya. Dengan tepat dan mudah dia mengelak. Akan tetapi
gerakan pedang di tangan Tan-siucai itu hebat bukan main. Begitu pedang luput
mengenai sasaran, pedang itu membalik dan telah melakukan serangan susulan, dan
terus susul menyusul seperti seekor burung walet yang sedang berpesta pora
menyambari nyamuk-nyamuk dengan terbang hilir mudik dengan kecepatan yang
membuat pedang itu mengeluarkan sinar menyilaukan mata. Dalam waktu beberapa
detik saja, pedang itu telah hilir mudik mengirim serangan tidak kurang dari
tiga belas kali! Namun, semua orang kini dibuat kagum oleh Lee Kongcu.
Dia bergerak seenaknya, namun tubuhnya sedemikian ringannya sehingga ke manapun
sinar pedang menyambar, tubuhnya selalu sekelebatan lebih cepat mengelak,
seolah-olah sebelum pedang tiba, angin pedang itu sudah membuat tubuh Lee Kongcu
berpindah tempat. Hal ini membuat Tan-siucai menjadi penasaran, akan tetapi
berbareng dia maklum pula bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan memiliki
ginkang yang luar biasa. Maka, diapun lupa diri dan segera mengeluarkan jurusjurus
simpanannya yang paling ampuh. Justeru inilah yang dikehendaki Lee Song
Kim. Dia mengerahkan ginkangnya dan tubuhnya bagaikan terbang saja menyelinap di
antara gulungan sinar pedang, sambil meneliti bagian-bagian ilmu pedang milik
lawan yang dianggapnya menarik dan patut untuk dipelajarinya. Sementara itu, Kwa
Ciok Le dan Thian Khi Hwesio sudah saling berbisik-bisik.
#Lo-suhu, tuan rumah ini sungguh aneh mencurigakan. jelas, ilmunya tinggi sekali
dan apa maksudnya dia mengumpulkan kita di sini?#
#Pinceng (aku) juga belum mengerti benar, akan tetapi pinceng sedang mengingatingat,
barangkali dia ada hubungannya dengan urusan besar......#
#Pembunuhan atas diri tiong Gi Tojin dan Tiong Sin tojin, dua orang tokoh Kunlun-
pai itu?# Kwa Ciok Le melanjutkan.
#Sayapun sudah mendengar akan hal itu dan sebagai murid Kun-lun-pai saya pun
berkewajiban untuk mengadakan penyelidikan. Orang she Lee ini memang
mencurigakan. ketika saya diundang oleh anak buahnya, saya tidak mau sehingga
terjadi percekcokan, akan tetapi wanita pakaian merah yang bernama Theng Ci itu
mengeluarkan ilmu siluman. ratusan ekor lebah beracun mengeroyokku dan selagi
saya sibuk menyelamatkan diri, saya dirobohkannya dengan obat bius yang
dikebutkan dengan saputangan merah. Nah, dalam keadaan pingsan saya digotong dan
tahu-tahu tadi saya siuman dan dibawa ke tempat ini.#
#Hemmm, sungguh mencurigakan. Pembunuh para tokoh Kun-lun-pai itu juga mengaku
she Lee, akan tetapi dia mengaku murid Siauw-lim-pai.#
#Tapi, harap losuhu perhatikan. Ilmu silatnya demikian tinggi, dan saya melihat
gerakan-gerakan yang aneh, bahkan kadang-kadang ada dasar gerakan Kun-lunpai......#
Hwesio tua itu memandang penuh perhatian. Tiba-tiba dia mengepal
tinju karena pada sat itu, Lee Song Kim yang agaknya sudah merasa cukup
mempermainkan lawan, menggerakkan tangan mencengkeram ke arah pergelangan tangan
lawan yang memegang pedang. Tan-siucai dapat mengelak dengan menarik tangannya,
dengan gerakan mencengkeram yang dilakukan Song Kim itu memang mirip dengan Ilmu
Silat Naga dari aliran Siauw-lim-pai, bahkan kedudukan kakinya juga sama.
#Omitohud...... engkau benar, sicu. Apakah dia juga telah mempelajari ilmu silat
Siauw-lim-pai?# Pada saat itu, Lee Song Kim membalas serangan-serangan lawan,
dan begitu dia mengeluarkan kepandaiannya, Tan-siucai yang memegang pedang
menjadi kewalahan! Ketika Tan-siucai masih berusaha menyerang lawan dengan
tusukan pedangnya ke arah dada, Lee Song Kim membuat gerakan miring dan dari
samping dia memukul siku kanan lawan.
#Plakk!# Lengan kanan itu tiba-tiba menjadi lumpuh dan di lain saat pedang tipis
itu telah berpindah tangan! Song kim tidak berhenti sampai di situ saja, dia
lalu menggerakkan pedang itu dengan satu di antara jurus-jurus penyerangan yang
tadi dimainkan oleh Tan-sicai.
Jurus serangan ini mirip sekali, dan bahkan lebih dahsyat karena didorong oleh
tenaga sinkang yang jauh lebih kuat. Melihat ini, Tan-siucai terbelalak, mencoba
untuk mengelak dengan menjatuhkan diri ke belakang. namun, sinar pedang itu
mengejarnya terus dan tahu- tahu ujung pedang tipis telah menusuk dadanya dari
samping. tanpa mengeluarkan teriakan Tan-siucai roboh dan tewas seketika karena
pedang itu menembus jantungnya. Semua orang terbelalak, tak mengira bahwa
seorang yang lihai seperti Tan-siucai dapat tewas semudah itu di tangan tuan
rumah dan tidak mengira bahwa tuan rumah akan sekejam itu membunuh tamunya
sendiri. Lee Song Kim yang menganggap Tan-siucai kelak akan dapat menjadi
penghalang bagi cita- citanya, sudah membunuhnya dengan tangan dingin dan kini
dia berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada semua tamunya.
#Tan-siucai tewas karena ulahnya sendiri. Cu-wi (anda sekalian) tadi melihat
betapa dengan sungguh-sungguh dia berusaha membunuhku!# pada saat itu, Theng Ci
menghampirinya dan dengan berbisik-bisik wanita ini menceritakan kepadanya apa
yang didengarnya dari percakapan antara Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio!
#Mereka berdua tadi membicarakan kongcu dan menyangka kongcu pembunuh dua orang
tokoh Kun-lun-pai. mereka mempunyai niat buruk terhadap kongcu.# Mendengar ini,
Lee Song Kim diam-diam terkejut, akan tetapi dia mengangguk sambil tersenyum dan
memerintahkan anak buahnya untuk menyingkirkan mayat Tan-siucai dan membersihkan
lantai yang penuh darah. Kemudian dia melangkah maju setelah mengikatkan pedang
pada pinggangnya seperti yang dilakukan Tan-siucai tadi, menghampiri tempat di
mana Thian Khi Hwesio duduk bersama Kwa Ciok Le. Lee Song Kim menjura kepada dua
orang itu dan suaranya lantang terdengar oleh semua orang ketika dia berkata,
#Nah, sekarang tinggal ji-wi (anda berdua) yang belum memperlihatkan kelihaian.
Harap Huang-ho Sin-to si pembasmi bajak Huang-ho dan Thian Khi Hwesio yang
menjadi wakil ketua Siauw-lim-pai kini maju dan memperlihatkan kelihaian masingmasing.
Ji-wi dapat bersilat sendiri-sendiri atau bersama-sama, terserah. Dan
kami harap ji- wi tidak memandang rendah dan menolak permintaan tuan rumah
seperti yang dilakukan oleh mendiang Tan-siucai tadi.#
Sikapnya hormat, kata-katanya halus dihias senyum, namun di dalam ucapannya itu
terkandung ancaman bahwa kalau kedua orang itu menolak seperti Tan-siucai,
merekapun agaknya akan mengalami nasib seperti sasterawan berpedang itu. Suasana
menjadi tegang dan para ahli silat yang hadir kini memandang dengan sinar mata
penuh kekhawatiran. lenyaplah perasaan gembira seperti yang mereka rasakan dalam
pesta tadi. Tak mereka sangka bahwa pesta pertemuan itu akan menjadi seperti
ini. makin aneh saja kelakuan tuan rumah, dan makin penuh rahaia. mereka tidak
mengerti mengapa Lee Kongcu bersikap seperti itu, bahkan sampai membunuh seorang
di antara tamu-tamunya hanya karena tidak mau memenuhi permintaan tuan rumah,
yaitu mendemonstrasikan ilmu silat!
Di samping perasaan heran ini, juga terdapat perasaan kagum dan takut karena
baru sekarang mereka maklum bahwa Lee Kongcu ini sesungguhnya adalah seorang
ahli silat yang amat pandai. Pantas saja, Theng Ci ketua Ang-hong-pai yang
demikian lihainya itu, mau menjadi pembantunya! Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio
saling pandang. Tadi mereka telah bercakap-cakap dan mengambil keputusan untuk
membuka rahasia Lee Kongcu ini, dan kalau perlu mereka akan maju bersama untuk
menentangnya. Apalagi setelah melihat betapa Lee Kongcu membunuh Tan-siucai
dengan cara demikian kejam, sengaja membunuhnya karena tadi Tan-siucai sudah
kalah, keduanya mengambil keputusan untuk bangkit menentang orang she Lee ini.
#Lee Kongcu,# kata Kwa Ciok Le dengan suara lantang, #katakanlah terus terang,
apakah engkau orang she Lee yang telah membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai,
yaitu Tiong Gi Tojin dan Tiong Sin Tojin?#
#Dan juga orang she Lee yang setelah membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai, lalu
mengaku sebagai murid Siauw- lim-pai?# Thian Khi Hwesio menyambung sambil
memandang tajam. Mendengar ini, para tamu lainnya terkejut dan maklum bahwa
mereka menghadapi urusan besar yang gawat. Akan tetapi Lee Song Kim bersikap
tenang, bahkan dia menganggap sudah tiba waktunya untuk memperkenalkan diri. Dia
membutuhkan pembantu-pembantu untuk memperluaskan namanya ke seluruh pelosok
agar semua orang tahu bahwa kini muncul seorang jagoan yang pantas diberi gelar
Thian-he Te-it Bu-hiap! Dan maksudnya mengumpulkan semua jagoan ini bukan
sekedar mencuri jurus-jurus terampuh mereka, melainkan juga untuk mulai
memperkenalkan diri dan kelihaiannya.
#Thian Khi Hwesio, Huang-ho Sin-to dan para orang gagah yang berada di sini! Aku
tidak perlu mengaku atau menyangkal atas semua tuduhan itu. Yang penting, aku
memeberitahukan bahwa siapapun orangnya yang berani menentang Thian-he Te-it Buhiap,
maka dia akan tewas!#
#Hemm, dan siapakah Thian-he Te-it Bu-hiap itu?# tanya Kwa Ciok Le walaupun
terkejut akan kesombongan orang itu dan dapat menduga bahwa tentu orang itu yang
mengaku sebagai Orang Gagah Nomor Satu di Dunia.
#Siapa lagi kalau bukan aku?# Lee Song Kim berkata tanpa ragu-ragu atau malumalu
lagi, sambil hendak berkeruyuk.
#Akulah. Lee Kongcu, yang merupakan satu-satunya orang yang patut berjuluk
Thian-he Te-it Bu-hiap!#
#Omitohud......!# Thian Khi Hwesio berseru, kaget dan heran melihat kesombongan
orang itu. #Dan siapa kiranya yang mengaku dan mengesahkan Lee Kongcu sebagai
Pendekar Silat Nomor satu di Dunia ini?# Lee Song Kim mengeluarkan sebuah benda
dari balik jubahnya dan semua orang melihat bahwa benda itu adalah sebatang
pedang terbuat dari batu kemala yang berbentuk naga.
#Giok-liong-kiam......!#
Hampir semua orang berseru kaget. Biarpun di antara mereka belum ada yang
melihat bentuk pedang pusaka itu, namun mereka sudah mendengar tentang Giokliong-
kiam (Pedang Naga Kemala), yang pernah menggemparkan dunia persilatan
karena dijadikan perebutan di antara para orang gagah. Pedang yang lenyap dari
gudang pusaka istana itu pernah diperebutkan dan hampir semua orang kang-ouw
tahu belaka tentang pedang itu, tahu pula bagaimana bentuk dan macamnya,
walaupun hanya sedikit saja tokoh yang pernah menyaksikannya. Begitu Lee Song
Kim mengeluarkan pedang itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, semua orangpun
mengenalnya. Lee Song Kim tersenyum melihat betapa semua orang memandang kepada
pedang pusaka itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.
#Benar, ini adalah Giok-liong-kiam, lambang dari kegagahan! Dan siapa yang
menjadi pemilik Giok-liong-kiam, dialah yang patut menjadi Thian-he Te-it Buhiap!
Aku sudah menguasai hampir seluruh ilmu silat dari semua aliran, dan aku
pula yang menguasai Giok-liong-kiam, maka akulah yang berhak menjadi jagoan
nomor satu di dunia ini. Kalau ada yang menyangkal, boleh maju untuk membuktikan
sendiri!#
#Omitohud......! Bukankah Giok-liong-kiam tadinya dikuasai oleh Ong Siu Coan,
pemimpin pasukan Tai Peng yang kini menjadi kaisar dari Kerajaan Sorga yang
dibentuknya? Karena Giok-liong-kiam maka banyak orang gagah yang membantu
pasukannya sampai dia menjadi kaisar di nan-king. Bagaimana kini bisa berada di
tanganmu, Lee Kongcu?#
#Ha-ha, Ong Siu Coan itu hanya macan kertas! Mengandalkan balatentara yang besar
jumlahnya dan bantuan para ahli silat! Licik namanya! Akan tetapi aku hanya
mengandalkan tenaga sendiri. Kini Giok-liong-kiam berada padaku, maka akulah
yang pantas menjadi jagoan nomor satu".
#Dan engkau membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai menggunakan nama Siauw-lim-pai
untuk mengadu domba!# bentak Kwa Ciok Le marah.
#Omitohud...... pinceng teringat akan pencurian-pencurian kitab ilmu silat dari
partai-partai besar yang dilakukan oleh Hai-tok sampai datuk sesat itu tewas
ketika hendak mencuri kitab di Siauw-lim-si. Agaknya engkau pula yang berada di
balik semua itu, Lee Kongcu!# Lee Song Kim tersenyum, merasa tak perlu
menyangkal.
#Hai-tok pernah mengajarkan ilmu silat padaku. Akan tetapi sekarang, biar Empat
Racun Dunia bangkit lagi mengeroyok aku, aku tidak akan undur selangkahpun.
Akulah Thian-he Te-it Bu-hiap, ha-ha!#
#Keparat, engkau membunuh tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang tidak berdosa, aku
sebagai murid Kun-lun-pai harus membalaskan dendam ini!# bentak Kwa Ciok Le
sambil mencabut sebatang goloknya yang mengeluarkan sinar kehijauan saking
tajamnya. Tanpa banyak cakap lagi dia menerjang dengan goloknya, dan golok itu
berubah menjadi sinar bergulung-gulung diikuti suara mencicit ketika menyambarnyambar.
Namun Lee Song Kim dapat mengelak dengan amat mudahnya karena dia sudah
mengenal ilmu golok dari Kun-lun-pai itu. Bahkan dia mengelak dengan gaya ilmu
silat Kun-lun-pai pula, seperti yang pernah dipelajarinya melalui kitab yang
dicuri oleh mendiang Hai-tok. Melihat ini Kwa Ciok Le menjadi semakin marah dan
goloknya menyambar-nyambar ganas.
#Omitohud, orang she Lee ini jahat, terpaksa pinceng turun tangan untuk
membasminya!# Dan hwesio tua dari Siauw-lim-pai itupun menerjang maju membantu
Kwa Ciok Le.
Dia hanya mempergunakan kedua lengan jubahnya yang lebar untuk menyerang. namun
karena memang tingkat kepandaian Thian Khi Hwesio jauh lebih tinggi daripada
tingkat orang she Kwa itu, biarpun hanya dua ujung lengan jubah, ternyata
senjata istimewa ini jauh lebih berbahaya dibandingkan golok di tangan Si Golok
Sakti dari Huang-ho itu. Lee Song Kim tentu saja maklum akan kelihaian wakil
ketua Siauw-lim-pai, maka diapun cepat mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan
bergerak cepat untuk menghindarkan diri dari sambaran golok dan ujung lengan
jubah. Melihat betapa pemimpinnya dikeroyok dua orang lihai, Theng Ci memberi
isyarat kepada anak buahnya, juga dua orang murid kepala dari Lee Song Kim telah
bangkit dan mereka berloncatan ke tengah ruangan itu dalam sikap mengepung.
#Mundur semua!# Lee Song Kim berseru sambil mengelak ke sana-sini. #Biarlah aku
menghadapi pengeroyokan dua orang ini agar terbuka mata semua orang melhat
kelihaianku!#
Mendengar ini, Theng Ci memberi isyarat agar semua anak buah mundur, akan tetapi
tetap siaga dan mengepung ruangan itu dengan senjata di tangan. Kini Song Kim
yang menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu sudah neyimpan kembali
Giok-liong-kiam dan sebagai gantinya dia melolos pedang tipis yang tadi
dirampasnya dari tangan Tan-siucai, Orang ini memang lihai sekali, mampu
memainkan segala macam senjata, apalagi pedang yang memang menjadi keahliannya.
Segera tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya sehingga golok di
tangan Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le dan kedua ujung lengan jubah Thian Khi Hwesio
tidak mampu menembus gulungan sinar pedang itu,
Bahkan sebaliknya kini Song Kim mulai membalas dan setiap kali ada sinar panjang
mencuat keluar dari gulungan sinar, maka seorang di antara dua lawannya harus
cepat-cepat mengelak atau menangkis karena sinar itu merupakan serangan maut
yang amat dahsyat. Kini semua tamu yang lain menonton dengan hati penuh rasa
kagum terhadap Lee Kongcu. Tak mereka sangka bahwa tuan rumah itu ternyata
adalah seorang ahli silat yang amat tiggi ilmunya dan yang berambisi untuk
menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap, bahkan yang telah menguasai Giok-liong-kiam!
Kini orang yang lihai itu bahkan berani menghadapi pengeroyokan dua orang tokoh
Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai yang amat lihai itu, menolak bantuan dari anak
buahnya.
Lee Song Kim bukanlah seorang bodoh yang tinggi hati dan sombong. Sama sekali
bukan. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan segala tindakannya tidak ngawur,
melainkan dilakukan setelah diperhitungkannya masak-masak terlebih dahulu. Kalu
dia berani menghadapi pengeroyokan dua orang lawan itu dan menolak bantuan anak
buahnya, hal itu memang disengaja karena dia tahu benar bahwa dia mampu
mengalahkan dua orang lawannya. Dan dia melakukan ini untuk mendatangkan kesan
yang mendalam kepada orang-orang kang-ouw yang hadir di situ. Andaikata dia
tidak yakin benar akan mampu mengalahkan dua orang lawannya, tentu dia
mengandalkan anak buahnya untuk mengeroyok. Kini gulungan sinar pedang di tagan
Lee Kongcu makin panjang dan melebar, sedangkan sinar golok Kwa Ciok Le menjadi
semakin sempit,
Tanda bahwa pembasmi bajak dari Huang-ho ini sudah terdesak. Bahkan kakek Thian
Khi Hwesio juga terdesak hebat oleh sinar pedang bergulung-gulung yang amat
dahsyat itu. Thian Khi Hwesio adalah wakil ketua Siauw- lim-pai, ilmu silatnya
memang tinggi, akan tetapi dia tidak memiliki kesaktian seperti misalnya Siauwbin-
hud datuk Siauw-lim-pai itu. Memang, pemilihan ketua Siauw-lim-pai bukan
berdasarkan ketinggian ilmu silatnya, melainkan kedalaman pengetahuannya tentang
Agama Buddha karena Siauw-lim-pai bukanlah perkumpulan silat, melainkan
perkumpulan agama. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau terdapat murid-murid
Siauw-lim-pai yang bukan hwesio dapat memiliki imu silat yang lebih lihai
dibandingkan dengan para hwesio Siauw-lim-pai sendiri. Dan biarpun Thian Khi
Hwesio sudah termasuk tokoh yang lihai dari Siauw-lim-pai,
Namun usianya yang tua juga cara berlatihnya yang kadang-kadang hanya kalau ada
waktu senggang saja sebagai selingan ketekunannya memperdalam pelajaran agama,
membuat dia kehabisan tenaga setelah terjun ke dalam perkelahian melawan orang
yang amat lihai seperti Lee Kongcu itu. Kini Lee Song Kim menghadapi lawan
dengan sungguh-sungguh, bukan seperti tadi sambil mempelajari ilmu silat lawan.
Kini dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan niat merobohkan mereka. Akan
tetapi dasar dia memandang rendah lawan dan hendak memamerkan kelihaiannya,
ketika dia merobohkan Kwa Ciok Le, dia sengaja menggunakan jurus pedang dari
Kun-lun-pai! Pedang itu membabat pinggang dan ketika golok Kwa Ciok Le
menangkis, tangkisan itu membuat pedang menusuk ke atas dan leher Huang-ho Sinto
tembus oleh pedang tipis yang runcing tajam itu.
Tubuh Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le terbanting roboh terjengkang dan berkelojotan
karena lehernya hampir putus tertusuk pedang. Sebuah tendangan yang menyentuh
dada membuat tubuh itu tidak berkutik lagi! Kini Thian Khi Hwesio harus
menghadapi lawan lihai itu seorang diri saja! Hwesio ini melihat robohnya Kwa
Ciok Le, mengeluarkan seruan keras dan memperhebat serangan kedua ujung lengan
jubahnya. Namun, dua kali nampak sinar berkelebat dan dua ujung lengan jubah
itupun terbabat putus! Thian Khi Hwesio terkejut bukan main. Tak disangkanya
lawan memiliki sinkang sehebat itu, mampu membabat putus ujung lengan jubahnya
yang telah disaluri hawa sinkangnya. Namun, dia tidak menjadi gentar dan
menubruk maju dengan kedua tangan membentuk cakar garuda.
Hebat bukan main serangan kakek ini karena dua tangannya itu tidak boleh
dipandang rendah, mampu mencengkeram batu karang sampai hancur, apalagi tubuh
atau kepala lawan! Namun, Lee Song Kim sudah mengenal ilmu ini dan cepat
tubuhnya mengelak ke samping, kemudian dengan kedudukan tubuh miring itu dia
masih dapat mengirim tusukan yang menyerang dari samping, melalui pundaknya yang
direndahkan dan pedang itu memasuki dada lawan melalui celah-celah iga kirinya,
menembus jantung.
(Lanjut ke Jilid 05)
Jilid 05
Robohlah kakek itu di samping mayat Kwa Ciok Le dan lantai itupun kini penuh
dengan darah pula! Semua tamu berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat,
memandang kepada Lee Song Kim yang kini sudah berdiri dengan tegak, menyimpan
pedangnya dan kembali mengeluarkan Giok-liong-kiam.
#Aku adalah Lee Kongcu, pemegang Giok-liong-kiam yang mulai saat ini memakai
julukanThian-he Te-it Bu-hiap! Siapakah di antara kalian yang merasa tidak
setuju?# Para tamu memandang dengan wajah pucat. Mereka merasa gentar dan mereka
yang merasa kagum segera menjura dengan hormat.
#Lee-kongcu pantas menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap!# kata mereka.
#Hemm, menyatakan dengan mulut saja tidak ada gunyanya! Mulai saat ini kalian
harus mentaati semua perintahku dan menganggapku sebagai seorang pemimpin di
antara semua ahli silat, menjadi pemimpin dunia persilatan, dan Giok-liong-kiam
menjadi lambang kedudukan pemimpin. Semua orang di dunia persilatan harus tunduk
dan menghormat lambang suci ini. Siapa saja di antara kalian sekali kupanggil,
betapa jauhpun kalian tinggal, harus cepat datang menghadap, dan tugas apapun
yang kuminta, kalian harus melaksanakan sebaiknya. Akulah yang akan memimpin
dunia persilatan, akan mempersatukan antara kita semua dan memperkuat dunia
kita.# sepasang mata Lee Song Kim mencorong penuh semangat dan kegembiraan
ketika dia mengeluarkan kata-kata ini. Kam-kauwsu yang diam-diam tadi merasa
terkejut dan tidak senang melihat betapa Kwa Ciok Le dan Thian Khi Hwesio
dibunuh, tiba-tiba bangkit berdiri menjura ke arah Lee- kongcu sambil berkata,
#Saya orang she Kam sudah merasa tua dan tidak ingin lagi menghadapi kesibukan
di hari tua. Saya harap Lee-kongcu tidak mengikutkan saya, karena saya ingin
mengundurkan diri dan tinggal di dusun untuk menggarap sawah ladang saja.
Maafkan, saya akan pulang saja sekarang dan terima kasih atas segala kebaikan
kongcu.# Dia lalu melangkah lebar pergi dari tempat itu setelah memberi hormat
kepada tuan rumah. Lee Song Kim mengangkat Giok-liong-kiam tinggi-tinggi di atas
kepala dan berseru kepada para tamu lainnya.
#Aku minta cuwi yang hadir menghalangi kepergian Kam-kauwsu yang hendak
memberontak!# Sepuluh orang tamu itu bangkit berdiri, termasuk Sin-kiam Mo-li
yang terpincang-pincang dan mereka mengepung Kam-kauwsu dengan sikap mengancam!
Melihat ini, Lee Song Kim girang bukan main dan maklumlah dia bahwa mereka itu
benar-benar telah dapat ditundukkan dan kini merupakan pembantu-pembantu yang
boleh diandalkan! Sementara itu, melihat betapa para tamu tadi kini
mengepungnya, Kam-kauwsu merasa terkejut dan juga marah.
#Kalian ini orang-orang macam apakah? Sebelum datang ke sini, kalian adalah
tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa, akan tetapi apakah sekarang kalian
berubah menjadi anjing-anjing penjilat yang tidak mempunyai kebebasan dan
pendirian sendiri?# Sepuluh orang itu nampak ragu-ragu, akan tetapi mereka tetap
mengepung. mereka merasa gentar sekali terhadap Lee-kongcu yang demikian
lihainya, dan kini mendengar ucapan Kam-kauwsu yang mengejek mereka,
bagaimanapun juga mereka merasa malu dan ragu-ragu dan mereka semua menoleh ke
arah Lee-kongcu untuk menanti apa yang selanjutnya akan dikehendaki oleh orang
aneh yang membuat mereka semua gentar itu. Lee Song Kim adalah seorang yang
cerdik bukan main. Dia tidak ingin mendesak lagi sepuluh orang yang baru saja
takluk dan tunduk kepadanya itu, melainkan ingin membuat mereka menjadi semakin
takut sehingga kelak akan taat selalu kepadanya.
#Kalian mingirlah, sahabat-sahabatku yang baik, dan lihatlah betapa aku
menjatuhkan hukuman kepada orang yang berani menantangku!# kata Lee Song Kim dan
dengan langkah-langkah perlahan dia mengampiri Kam-kauwsu, pedang Giok-liongkiam
masih ditangan kanannya, diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya.
#Kam-kauwsu, lihatlah Giok-liong-kiam, ini lambang kekuasaan persilatan!
Berlututlah dan minta ampun atas sikapmu yang tidak taat, dan baru mungkin kami
dapat mengampunimu,# teriak Lee Song Kim dengan sikap penuh wibawa. Semua orang
yang berada di situ diam-diam mengharapkan Kam-kauwsu untuk mentaati perintah
ini dan berlutut minta ampun, karena mereka semua yakin bahwa Lee-kongcu yang
mengangkat sendiri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap itu bukan sekedar menggertak
belaka. Akan tetapi, Kam-kauwsu adalah orang yang keras hati. Dia seorang tokoh
Bu-tong-pai dan biarpun dia yakin akan kelihaian Lee-kongcu, namun dia masih
memiliki harga diri yang diletakkan lebih tinggi daripada nyawa. Lebih baik mati
daripada menerima penghinaan di depan banyak orang!
#Lee-kongcu, boleh jadi engkau lihai dan aku tidak dapat melawanmu. Engkau
mengangkat diri sendiri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap adalah hakmu, dan aku
tidak mau mencampurinya. Akan tetapi kalau aku disuruh berlutut minta ampun, aku
merasa keberatan. Aku bukan anak buahmu, juga bukan budakmu, bukan pula muridmu,
bagaimana mungkin aku berlutut minta ampun kepadamu? Maaf, aku tak dapat
melakukan itu dan biarkan aku pergi dari sini dan tidak mencampuri urusanmu!#
berkata demikian, Kam-kauwsu kembali melangkahkan kakinya hendak pergi dari
situ.
#Orang she Kam, semua yang menentang kami harus mati!# Tiba-tiba Lee-kongcu
membentak dan diapun menerjang dengan tangan kirinya, sedang tangan kanan tetap
memegang Giok-liong-kiam di atas kepalanya. tangan kirinya itu menampar ke arah
kepala dan biarpun kelihatannya perlahan saja, namun angin pukulan menyamabar
terlebih dahulu sebelum tanagnnya sendiri tiba. Kam-kauwsu maklum bahwa nyawanya
terancam maut, maka diapun mengambil keputusan untuk melawan sekuat tenaga.
#Lebih baik mati sebagai harimau daripada hidup sebagai anjing penjilat!#
teriaknya dan dia mengerahkan tenaga pada tangan kanannya ketika menangkis
tamparan itu. Kam-kauwsu adalah seorang ahli tenaga gwakang (tenaga luar) yang
sudah melatih lengan itu sampai berotot kuat bukan main seolah-olah lengannya
itu berotot kawat bertulang besi, juga telapak tangannya sendiri telah dilatih
memukuli pasir besi panas sehingga kulit tangan itu tebal dan kuat seperti baja.
Tangkisannya itu dimaksudkan untuk mematahkan lengan lawan.
#Dukk!# Dua buah lengan bertemu, lengan yang besar berotot melawan lengan yang
sedang saja dan berkulit halus, akan tetapi akibatnya Kam-kauwsu terhuyung dan
mengeluh karena lengannya terasa nyeri bukan main.Ternyata dengan sinkangnya
yang sudah amat tinggi dan kuat, Lee-kongcu telah meminjam tenaga luarnya untuk
menghantamnya sendiri! Akan tetapi Kam-kauwsu sudah nekat. Biarpun maklum betapa
lihainya lawan itu, dia mengeluarkan suara gerengan dan menubruk lagi, kini
menggunakan ilmu silat Bu-tong-pai, yaitu ilmu silat tangan kosong Ji-liong-jiocu
(Sepasang Naga Berebut Mustika),
Kedua lengannya bagaikan dua ekor naga yang bergerak cepat menyerang dari kanan
kiri, atas bawah, dengan sasaran pelipis kiri dan lambung kanan lawan. Gerakan
yang disertai tenaga sekuatnya ini membuat tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi
berkerotokan. Melihat jurus yang dikeluarkan Kam-kauwsu, diam-diam Lee Song Kim
terkejut dan maklumlah dia bahwa tadi dia telah ditipu oleh guru silat ini
ketika dia minta guru silat itu mendemonstrasikan ilmu silatnya. Tadi guru silat
ini tidak bersungguh-sungguh mengeluarkan kepandaiannya dan baru sekaranglah,
ketika menyerangnya, Kam-kauwsu mengeluarkan jurus ampuhnya.Akan tetapu,
mendiang Hai-tok telah mencuri kitab ilmu silat Bu-tong-pai dan dia sudah
mengenal dasar-dasarnya. Kini melihat serangan itu, dia berseru dengan nada
suara mengejek.
#Hemm, inikah Ji-liong-jio-cu dari Bu-tong-pai?# Dengan mudah dia mengelak ke
belakang sambil menangkis ke kanan kiri karena dia sudah tahu persis ke mana
arah sasaran pukulan kedua tangan lawan. Kam-kauwsu terkejut. Kiranya pemuda
aneh ini mengenal pula jurus ampuh Bu-tong-pai, bahkan tahu cara
menghindarkannya. Kalau saja Song kim tidak marah melihat ada orang berani
menentangnya sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap, tentu dia akan suka sekali
memancing agar guru silat itu mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Bu-tong-pai
untuk dipelajari. Namun, dia sudah terlampau marah dan kini dia membentak keras.
#Jurus itu tidak ada gunanya di tanganmu. Nah, kau lihat, inilah jurus Ji-liongjio-
cu itu!# Tiba-tiba Song Kim membalas serangan lawan dengan jurus yang sama
tadi! Akan tetapi jurus Ji-liong-jio-cu yang dipergunakan oleh Song Kim untuk
menyerang, kecepatan dan tenaga yang mendorongnya sama sekali tidak dapat
disamakan dengan serangan Kam-kauwsu tadi. Kam-kauwsu juga melihat serangan ini
dan tentu saja dia mengenal jurus itu. Akan tetapi betapa kagetnya karena dia
sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengelak lagi. Tahu-tahu kedua tangan
lawan telah menyambar ke arah pelipis dan lambungnya. Tidak ada waktu lagi
baginya untuk mengelak dan terpaksa dia menangkis dengan kedua lengannya,
menyambut serangan ke arah pelipis dan lambungnya.
#Dukk! Desss......!# Tubuh Kam-kauwsu terpental dan berkelojotan setelah
terbanting jatuh, dari pelipisnya mengalir darah! Kiranya tangkisannya tadi
tidak mampu menahan serangan lawan. Biarpun sudah ditangkis, ternyata sambaran
jari tangan Song Kim ke arah pelipisnya masih meluncur dan memukul tangkisan
tadi ke samping, maka pelipis kepalanya terkena jari tangan yang ampuh itu.
Tentu saja semua orang menjadi semakin gentar menghadapi kelihaian seperti itu.
Lee Song Kim mengebut-ngebutkan ujung pakaian dan membersihkan kedua telapak
tangannya, dengan sikap tenang dia lalu mengeluarkan lagi Giok-liong-kiam
mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.
#Semua orang harus menghormati Giok-liong-kiam ini sebagai lambang kebesaran
seorang Thian-he Te-it Bu-hiap. Berlututlah kalian!# Semua orang tidak ada yang
membantah lagi dan merekapun menjatuhkan diri berlutut kepada Song Kim!bPemuda
ini tersenyum penuh kemenangan
#Mulai saat ini, kalian menjadi pendukung dan pembantuku. Jangan khawatir, semua
biaya akan kupikul. Kalian harus menyebar luaskan bahwa kini muncul Thian-he Teit
Bu-hiap yang akan menjadi bengcu (pemimpin) di antara semua ahli silat.#
#Maaf, Lee-kongcu,# Seng-jin Sin-to si malaikat Copet itu berkata. #Bagi kami
mudah saja mengangkat kongcu sebagai bengcu karena kami sudah yakin akan
kemampuan kongcu. Dan kami juga dapat menyebarluaskan ini di antara golongan
kami yang memang membutuhkan pimpinan yang pandai agar kami tidak mengalami
penekanan dari pihak pemerintah dan para pendekar. Akan tetapi bagaimana
terhadap para pendekar? Buktinya, yang tadi hadir di sini saja melakukan
perlawanan sehingga terpaksa kongcu membunuh mereka. Apakah para pendekar akan
mau mengakui kongcu sebagai bengcu? Hal ini kami merasa sangsi.# Mendengar
ucapan ini, Tiat-pi Kim-wan, Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang yang hadir di
situ mengangguk membenarkan. Lee Song Kim mengepal tinju.
#Aku harus menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap yang diakui oleh semua tokoh dunia
persilatan, baik yang dinamakan para pendekar atau para tokoh kang-ouw. Kalau
ada yang tidak mau mengakui dan berani menentangku, akan kuhancurkan! Akan
kuundang mereka semua dan siapa berani menentang akan kurobohkan, akan
kuperlihatkan kepada mereka semua bahwa akulah yang paling lihai.#
#Maaf, kongcu,# kini Tiat-pi Kim-wan berkata. #Para ahli silat yang berdiri
bebas mungkin akan suka mengakui kongcu kalau sudah melihat kesaktian kongcu,
akan tetapi bagaimana dengan partai-partai persilatan yang besar seperti Siauwlim-
pai dan Kun-lun-pai? Mereka mempunyai ketua-ketua sendiri, mana mungkin
mengakui kongcu sebagai bengcu mereka.#
#Mereka harus mengakui dan aku akan kalahkan ketua-ketua mereka. memang mereka
itu sombong dan besar kepala,mereka yang menamakan diri para pendekar itu. Kalau
mereka tidak mau mengakui aku, aku akan memimpin kaum kang-ouw, meggantikan
kedudukan Empat Racun Dunia! Sekarang, bantulah aku mengirim jenazah Thian Khi
Hwesio ke kuil Siauw-lim-pai bersama jenazah Huang-ho Sin-to murid Kun-lun-pai
ini.#
#Untuk apa, kongcu?# tanya mereka terkejut dan heran. Song Kim tertawa dan
menceritakan siasatnya. Biarpun di dalam hati mereka merasa jerih, namun orangorang
yang sudah tunduk dan takluk itu tidak berani membantah dan mereka hanya
dapat mengangguk dan siap melaksanakan siasat yang direncanakan Lee Song Kim.
Thian Tek Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang bertubuh pendek kecil itu berkalikali
menyebut nama Sang Buddha untuk memadamkan api kemarahan yang bergolak di
dalam batinnya. Akan tetapi para hwesio pembantunya sudah tidak mampu menahan
kemarahan mereka. Wajah mereka menjadi merah, mata mengeluarkan sinar berkilat
dan mereka mengepal tinju. Siapa orangnya yang tidak akan marah ketika muncul
lima orang kang-ouw itu, yang datang membawa jenazah Thian Khi Hwesio, wakil
ketua Siauw-lim-pai itu sambil memberitahu bahwa yang membunuhnya adalah para
tosu Kun-lun-pai? Menurut keterangan lima orang itu yang bukan lain adalah para
pembantu baru dari Lee Song Kim, Thian Khi Hwesio terlibat dalam perkelahian
dengan Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le,
Jagoan murid Kun-lun-pai itu, yang marah-marah kepada wakil ketua Siauw-lim-pai
itu karena kematian dua orang tokoh Kun-lun-pai yang kabarnya dibunuh orang
Siauw-lim-pai. Dalam perkelahian itu, Kwa Ciok Le tewas di tangan Thian
KhiHwesio. Kemudian muncul beberapa orang tosu Kun-lun-pai yang mengeroyok
hwesio itu sehingga Thian Khi Hwesio tewas. Demikianlah cerita anak buah Lee
Song Kim kepada ketua Siauw-lim-pai dan para pembantunya. Tentu saja para
pimpinan Siauw-lim-pai marah sekali. Kun-lun-pai telah bersikap keterlaluan,
pikir mereka. Biarpun ada dua orang tokoh Kun-lun-pai yang terbunuh oleh orang
yang mengaku murid Siauw-lim-pai, namun belum ada bukti bahwa benar pembunuhnya
orang Siauw-lim-pai, kenapa sekarang mereka membunuh wakil ketua Siauw-lim-pai?
#Kita harus membereskan hal ini dengan pimpinan Kun-lun-pai!# mereka menuntut
ketua mereka.
Karena desakan para pembantunya, akhirnya Thian Tek Hwesio yang usianya sudah
tujuhpuluh tahun itu berangkat, diiringkan para pembantunya dalam jumlah belasan
orang menuju ke sebuah kuil Kun-lun-pai yang jaraknya hanya kurang lebih empat
puluh li dari biara itu. Mereka hendak menuntut kepada para pimpinan kuil itu
agar disampaikan protes mereka kepada ketua Kun-lun-pai atas peristiwa kematian
Thian Khi Hwesio. Akan tetapi, baru belasan li mereka berjalan, serombongan tosu
Kun-lun-pai yang terdiri dari belasan orang pula, dipimpin oleh Tiong Tek Sengjin,
ketua cabang Kun-lun-pai itu, dan para tosu itupun nampak marah sekali.
Begitu kedua rombongan bertemu, keduanya saling pandang dengan melotot penuh
kemarahan dan siap untuk saling hantam tanpa banyak cakap lagi! Akan tetapi,
Thian Tek Hwesio yang lebih dapat menahan kemarahannya, maju dan menjura kepada
Tiong Tek Seng-jin dan para pembantunya.
#Omitohud...... pinceng dan sudara-saudara sedang hendak mengunjungi toyu
(sobat) sekalian, kebetulan berjumpa di sini.#
#Siancai, agaknya memang kita kedua pihak memiliki niat yang serupa,# jawab
Tiong Tek Seng-jin. #Pinto dan saudara-saudara juga ingin berkunjung ke Siauwlim-
pai, kebetulan bertemu di dalam hutan ini. Cu-wi (kalian) adalah hwesiohwesio,
orang-orang beragama yang menjunjung kesucian, akan tetapi apa yang
kalian lakukan sungguh terlalu sekali. Ketika adik-adik kami Tiong Gi Tojin dan
Tiong Sin Tojin dibunuh oleh murid Siauw-lim-pai, kami masih bersikap sabar dan
menyerahkan kepada Siauw-lim-pai untuk mencari dan menghukum pembunuh itu. Akan
tetapi, pembunuh itu belum juga dihukum, kini bahkan wakil ketua Siauw-lim-pai,
Thian Khi Hwesio, membunuh pula seorang tokoh kami yaitu Kwa Ciok Le yang
berjuluk Huang-ho Sin-to (Golok Sakti Huang-ho). Apakah Siauw-lim-pai sudah
tidak memandang lagi kepada kami?# Thian Tek Hwesio membantah.
#Omitohud, kemarahan toyu tidak adil sekali. Katahuilah bahwa adik kami Thian
Khi Hwesio sedang mencari dan berusaha untuk menemukan orang she Lee yang
mengaku murid kami itu, akan tetapi di jalan bertemu dengan Huang-ho Sin-to yang
menyerangnya. Terjadi perkelahian dan Huang-ho Sin-to tewas. Hal itu biasa saja
dalam perkelahian, apalagi kalau murid Kun-lun-pai itu yang mendahuluinya. Dan
kemudian adik pinceng itu dikeroyok dan dibunuh oleh para tosu Kun-lun-pai.#
#Tidak mungkin!# kata para tosu itu dengan marah.
#Sungguh itu fitnah dan bohong besar, bahkan fakta yang diputar-balikkan!# kata
Tiong Tek Seng-jin sambil menggoyang tongkat panjangnya yang berwarna putih.
#Beberapa orang datang membawa jenazah Huang-ho Sin-to kepada pinto dan
menceritakan betapa dia dibunuh oleh Thian Khi Hwesio! Di mana dia Thian Khi
Hwesio? Seorang wakil ketua membunuh murid kami, sungguh tak tahu diri. Pintolah
lawannya, bukan seorang murid seperti Huang-ho Sin-to!#
#Omitohud, tentu toyu yang mendapatkan keterangan keliru. Thian Khi Hwesio telah
menjadi mayat ketika orang-orang mengantarkannya kepada kami dan menurut
keterangan, dia tewas dikeroyok para tosu Kun-lun-pai.# Tiong Tek Seng-jin
menjadi marah.
#Hai hwesio Siauw-lim-pai! Dengarlah baik-baik! Kami telah kehilangan tiga orang
yang kesemuanya terbunuh oleh orang-orang Siauw-lim- pai dan kini kalian bahkan
menuduh yang bukan-bukan kepada kami. Kami bukanlah pembunuh-pembunuh seperti
orag-orang Siauw-lim-pai, akan tetapi kamipun bukan pengecut-pengecut yang tidak
berani menghadapi kalian. Kita tua sama tua, majulah dan rasakan kelihaian
tongkatku!# Berkata demikian, Tiong Tek Seng-jin melangkah maju dan tongkatnya
sudah siap untuk menyerang.
#Tosu jahat!# seorang pembantu dari ketua Siauw-lim-pai itu memaki dan menyerang
dengan kepalan tangannya, akan tetapi terj angannya itu disambut oleh seorang
tosu lain. Melihat begini, tanpa diperintah lagi, Thian Tek Hwesio dan Tiong Tek
Seng-jin sudah saling terjang pula. Tiong Tek Seng-jin menggunakan sebatang
tongkat putih yang panjang, diputar cepat dan Thian Tek Hwesio, ketua cabang
Siauw-lim-pai itu menggunakan seuntai tasbeh panjang di tangan kanan, dibantu
ujung lengan kedua bajunya yang lebar dan panjang. Belasan orang tosu dan hwesio
kedua pihak juga sudah saling serang tanpa diperintah lagi dan terjadilah
pertempuran antar belasan orang itu di tengah hutan!
Tak jauh dari tempat pertempuran itu, Lee Song Kim melakukan pengintaian dan ia
tersenyum lebar, penuh kepuasan melihat betapa siasatnya telah berjalan dengan
baik dan lancar. Kini dia mencurahkan perhatiannya kepada pertempuran itu,
terutama sekali perkelahian antara Tiong Tek Seng-jin dan Thian Tek Hwesio.
ketua dari kedua cabang perkumpulan besar itu yang tentu saja memiliki ilmu
kepandaian tertinggi di antara mereka. Dia memperhatikan dan mencatat dalam
ingatannya gerakan yang mereka lakukan, untuk menambah perbendaharaan ilmu
silatnya. Akan tetapi, belum sampai ada yang roboh dalam pertempuran itu, tibatiba
terdengar suara yang amat nyaring, suara yang mengandung tenaga khikang
yang kuat sekali dan menggetarkan jantung,
#Cuwi harap mundur dan menghentikan pertempuran ini!# Semua orang tidak dapat
melawan pengaruh seruan ini masing-masing menahan serangan lalu berloncatan
mundur, menghentikan perkelahian dan semua orang memandang ke arah datangnya
suara. Di bawah pohon, tak jauh dari situ, mereka melihat seorang laki-laki yang
gagah perkasa, berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, berpakaian
sederhana seperti seorang petani, namun wajahnya tampan gagah dan tubuhnya
sedang namun tegap. Wajahnya yang tampan itu membayangkan kelembutan, namun
penuh wibawa. Melihat laki-laki ini, para hwesio Siauw-lim-pai menjadi girang
dan Thian Tek Hwesio berseru,
#Tan-taihiap......!# Laki-laki itu adalah Tan Ci Kong, seorang murid dan tokoh
Siauw-lim-pai yang amat terkenal. Menurut tingkat, sebetulnya dia masih
terhitung murid keponakan dari Thian Tek Hwesio,
Akan tetapi karena Ci Kong pernah digembleng sendiri oleh mendiang Siauw-binhud,
yaitu tokoh sakti dari Siauw-lim-pai dan kakek ini masih terhitung paman
guru ketua Siauw-lim-pai itu, maka hubungan kekeluargaan antara mereka menjadi
kacau. Karena tidak enak kalau memanggil pendekar ini sebagai murid keponakan,
padahal tingkat kepandaian Ci Kong jauh lebih tinggi, maka Thian Tek Hwesio
menyebutnya Tan- taihiap (Pendekar Besar Tan). Juga para tosu Kun-lun-pai
mengenal siapa adanya tokoh ini. Mereka semua maklum bahwa Tan Ci Kong adalah
seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, akan tetapi juga seorang pendekar budiman
yang gagah perkasa. Maka mereka mengharapkan keadilan dari pendekar besar ini
yang dalam kegagahan dan keadilannya pasti tidak akan bertindak berat sebelah.
#Cuwi semua adalah dari satu golongan, mengapa kini bertempur sendiri? Kalau ada
persoalan, mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Tidak ada masalah yang
timbul di antara dua kelompok bersahabat yang tak dapat diselesaikan dengan
musyawarah.#
#Thian Tek Hwesio dikeroyok dan dibunuh oleh para tosu Kun-lun-pai...... # kata
Thian Tek Hwesio. Ci Kong mengangkat kedua tangan.
#Harap susiok bersabar dan biarlah pihak Kun-lun-pai yang lebih dulu memberi
keterangan agar jangan disangka bahwa saya berpihak kepada Siauw-lim-pai, Nah,
totiang yang terhormat, apakah sebabnya terjadi pertentangan yang tidak
semestinya antara Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai ini?# Thian Tek Hwesio tidak
berkata-kata lagi dan melihat kebenaran ucapan pendekar itu. kini Tiong Tek
Seng-jin yang melangkah maju menghadapi ci Kong.
#Tan-taihiap, kami dari Kun-lun-pai bukanlah orang-orang yang suka mencari
permusuhan, apalagi terhadap Siauw-lim-pai yang kami anggap sebagai saudara
segolongan. Akan tetapi kesabaran ada batasnya. baru-baru ini, dua orang
anggauta kami, Tiong Gi Tojin dan Tiong Sin Tojin, dibunuh oleh orang she Lee
yang mengaku sebagai murid Siauw-lim-pai. Hal ini masih kami terima dengan
kesabaran dan kami mendatangi para pimpinan Siauw-lim-pai agar mereka menghukum
murid itu. Akan tetapi, belum juga ada kabarnya tentang Siauw-lim-pai she Lee
itu, terjadi lagi pembunuhan atas diri seorang murid kami, yaitu Huang-ho Sin-to
Kwa Ciok Le, dibunuh oleh wakil ketua Siauw-lim-pai sendiri, yaitu Thian Khi
Hwesio. Bagaimana kami harus bersabar lagi? Kami bermaksud mendatangi Siauw-limpai
untuk menuntut keadilan, akan tetapi di sini kami bertemu dengan rombongan
pimpinan Siauw-lim-pai, dan mereka bahkan menjatuhkan fitnah kepada kami,
mengatakan bahwa kami mengeroyok dan membunuh Thian Khi Hwesio. Apakah ini tidak
mendatangkan penasaran besar?# Ci Kong mengerutkan alisnya.
#Lo-cianpwe, siapakah yang menyaksikan bahwa Huang-ho Sin-to terbunuh oleh
susiok Thian Khi Hwesio?#
#Yang menyaksikan adalah orang-orang yang datang membawa mayatnya kepada kami di
kuil kami.#
#Siapakah mereka?#
#Pinto tidak mengenal mereka, akan tetapi mereka adalah orang-orang kang-ouw,
mungkin kenalan Huang-ho Sin-to, yang menyerahkan mayat, mengatakan bahwa Thian
Khi Hwesio yang membunuhnya lalu mereka pergi lagi.#
#Karena penasaran dan marah, locianpwe dan para totiang lalu pergi mendatangi
kuil Siauw-lim?#
#Benar, kami bermaksud untuk minta keadilan, akan tetapi di sini kami bertemu
dengan para hwesio Siauw-lim yang mengatakan kami telah membunuh Thian Khi
Hwesio sehingga terjadi pertempuran.# Kini Tan Ci Kong menghadapi Thian Tek
Hwesio.
#Susiok, benarkah bahwa susiok Thian Khi Hwesio terbunuh?#
#Benar, ada beberapa orang mengantar jenazahnya ke kuil kami, dan mereka
mengatakan bahwa sute Thian Khi Hwesio dikeroyok dan dibunuh oleh para tosu Kunlun-
pai. Kami lalu pergi hendak mendatangi kuil Kun-lun-pai, akan tetapi bertemu
di sini dan mereka menuduh Thian Khi Hwesio membunuh seorang murid Kun-lun-pai,
padahal menurut penuturan mereka yang membawa jenazahnya, sute Thian Khi Hwesio
yang lebih dulu diserang oleh Huang-ho Sin-to. Mereka berkelahi dan Huang-ho
Sin-to tewas, akan tetapi sute lalu dikeroyok dan tewas pula.# Ci Kong
mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya.
#Harap cuwi bersabar dan dapat merenungkan baik-baik. Ternyata kedua peristiwa
pembunuhan itu, baik atas diri Huang-ho Sin-to maupun atas diri susiok Thian Khi
Hwesio, terjadi di luar pengetahuan kedua pihak. Kedua pihak hanya mendengar
laporan dari orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ada hal-hal aneh di
sini! Ketahuilah bahwa belum lama ini susiok Thian Khi Hwesio datang kepada saya
dan minta kepada saya untuk melakukan penyelidikan terhadap orang she Lee yang
telah membunuh dua orang tosu Kun-lun-pai dan mengaku murid Siauw-lim-pai.
Ketika dia datang, yang menerima hanya istri saya karena saya sedang berada di
selatan. Ketika beberapa hari kemudian saya pulang dan mendengar akan peristiwa
itu dari isteri saya, saya lalu langsung pergi lagi hendak mencari keterangan
yang lebih jelas di Siauw-lim-pai. Tentu telah terjadi hal-hal yang aneh di
balik semua ini. Pertama, kedua orang tosu Kun-lun-pai terbunuh oleh seorang she
Lee yang mengaku sebagai murid Siauw-lim-pai. Padahal tidak ada murid she Lee di
Siauw-lim-pai yang kiranya memiliki ilmu kepandaian demikian tingginya sehingga
mampu membunuh kedua orang tokoh Kun-lun-pai itu. Dan kemudian disusul kematian
susiok Thian Khi Hwesio dan Huang-ho Sin-to. Tidak ada di antara kedua
perkumpulan yang melihat sendiri pembunuhan itu, hanya mendengar dari penuturan
orang luar yang bernada mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Aku
yakin bahwa agaknya ada hubungannya antara pembunuhan terhadap dua orang Kunlun-
pai yang pertama dengan pembunuhan terakhir ini. Dan pembunuhnya hendak
mengadu domba antara kedua golongan.#
#Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa dugaanmu itu benar, Tantaihiap?#
Tiong Tek Seng-jin membantah.
#Memang belum ada buktinya dan sayalah yang akan melakukan penyelidikan. barubaru
ini, susiok Thian Khi Hwesio telah datang mencari saya dan meninggalkan
pesan agar saya melakukan penyelidikan tentang diri orang she Lee yang mengaku
murid Siauw-lim-pai dan telah membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai. Kini tugas
saya bertambah, yaitu menyelidiki peristiwa pembunuhan diri susiok Thian Khi
Hwesio dan juga Huang-ho Sin-to. Saya mempunyai dugaan bahwa pembunuhnya
tentulah juga orang yang mengaku murid Siauw-lim-pai itu. Jelas dia bermaksud
mengadu domba. Saya harap cu-wi percaya kepada saya dan untuk sementara bersabar
menanti hasil penyelidikan saya dan jangan sampai timbul timbul salah paham di
antara kedua golongan.# Para tosu dan hwesio saling pandang lalu menganggukangguk.
#Keadaan negara sedang kacau seperti ini, sungguh amat merugikan rakyat kalau
sampai di antara golongan kita sendiri terjadi permusuhan,# demikian Ci Kong
mengakhiri bujukannya yang diterima oleh kedua belah pihak dengan penuh
pengertian.
Merekapun lalu saling berpisah, kembali ke kuil masing-masing, sedangkan Ci Kong
melanjurkan perjalanannya untuk melakukan penyelidikan. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, mula-mula Ci Kong tertarik akan perjuangan yang
dipimpin oleh Ong Siu Coan dan bersama banyak orang gagah diapun membantu
perjuangan Ong Siu Coan pemimpin pasukan Tai Peng itu, sehingga pasukan Tai Peng
berhasil menguasai beberapa daerah di selatan. Akan tetapi, setelah melihat
sepak terjang Ong Siu Coan dan pasuikannya yang tidak berdisiplin, melihat
betapa pasukan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan seperti
penjahat, Ci Kong dan banyak pendekar meninggalkan pasukan itu. Ong Siu Coan
yang sudah memperoleh kemenangan itu tidak perduli dan melanjurkan penyerbuan
pasukannya ke Peking.
Namun, akhirnya penyerbuan itu dipukul mundur dan dia lalu menjadi raja besar di
Nan-king! Itulah sebabnya Ci Kong pulang menyusul isterinya yang telah pergi ke
puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san. dan begitu tiba di sana, dia
mendengar dari isterinya akan kunjungan Thian Khi Hwesio wakil ketua Siauw-limpai
yang minta bantuannya untuk membersihkan nama Siauw-lim-pai. Biarpun kini
balatentara Tai Peng yang dipimpin Ong Siu Coan telah menduduki daerah selatan,
namun keluarga kaisar di istana agaknya sama sekali tidak merasa prihatin.
Kaisar Hsian Feng masih saja mengejar kesenangan melalui wanita- wanita cantik
sehingga dia sendiri tidak tahu betapa di istananya sendiripun terjadilah halhal
yang amat memalukan dan mendatangkan aib bagi keluarga kaisar.
Yehonala Si Anggrek Mungil, gadis cerdik dan cantik manis yang kini naik
derajatnya dari selir baru menjadi permaisuri kedua karena setahun setelah
berhasil digauli kaisar lalu mengandung dan melahirkan seorang putera, makin
lama semakin merasa tersiksa. Biarpun ia telah diangkat menjadi permaisuri kedua
sebagai ibu pangeran mahkota, dan ia hidup penuh dengan kemewahan dan
kehormatan, namun wanita muda yang berdarah panas ini merasa kesepian! Makin
jarang kaisar bermalam di dalam kamarnya, dan kalau sekali waktu kaisar
berkunjung dan menggaulinya, ia tidak pernah dapat merasa puas. Biarpun Kaisar
Hsian Feng masih muda belum tiga puluh tahun usianya, namun tubuhnya menjadi
lemah sekali. Hal ini adalah akibat dari pengumbaran nafsu secara berlebihan,
Melebihi batas kemampuan dan kekuatannya sendiri dan selalu mengandalkan obat
kuat dan obat perangsang yang diminumnya. Di dalam tubuh telah terdapat batasbatas,
ukuran dan timbangan yang sempurna, yang mengatur pembagian kekuatan
dalam tubuh. Kalau orang memaksa diri dengan bantuan obat perangsang, maka dia
merugikan diri sendiri, bahkan membahayakan kesehatan dan kesempurnaan diri
sendiri. Pertama dia akan menjadi kecanduan dan ketergantungannya kepada obat
kuat dan obat perangsang merupakan racun bagi dirinya. Tanpa bantuan obat, dia
akan kehilangan segala kekuatan dan kemampuannya. Kedua, pemaksaan dengan obat
perangsang ini akan menyedot dengan paksa kekuatan yang sebetulnya harus mejadi
cadangan, disedot habis dan tentu saja hal ini amat merusak kesehatan dan
melemahkan tubuh.
Hidupnya akan tergantung kepada obat dan sekali obat itu ditinggalkan, dia akan
menjadi mayat hidup yang tidak ada gunanya lagi. Dan betapapun baiknya obat,
apalagi obat perangsang, kalau terlalu banyak dipakai tentu akan menimbulkan
akibat-akibat sampingan yang buruk. Segala hal yang berlebihan dan tidak wajar
tentu berakibat buruk. Gairah berkobar di dalam dirinya yang tak pernah dapat
disalurkan makin bertumpuk dan membuat Yehonala menjadi pemarah dan pemurung.
Sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung seperti dilukis itu hampir
selalu berkerut, sepasang matanya menjadi suram padahal biasanya bening dan amat
tajam seperti mata burung Hong, senyumnya yang biasanya selalu menghias mulutnya
yang mungil itupun menghilang. Wajahnya muram dan lesu, seperti setangkai bunga
kurang siraman air dan menjadi kekeringan.
Li Lian Ying adalah seorang di antara para thaikam (orang kebiri) yang bertugas
di dalam istana. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, bertubuh tegap gagah,
namun wajahnya buruk, penuh bekas cacar, menjadi bopeng dan kehitaman. Namun, Li
Lian Ying ini memiliki keahlian. Dia pandai sekali menata rambut, membuat
sanggul dan meriasnya. Selain itu, diapun ahli dalam hal ilmu pijat sehingga dia
merupakan seorang hamba yang disuka oleh Yehonala karena keahliannya itu. Dan
biarpun ujud tubuh Li Lian Ying seorang pria, namun sebagai seorang thaikam,
tentu saja Yehonala tidak malu-malu lagi terhadap pria yang sudah kehilangan
kejantanannya ini, yang sudah menjadi manusia kepalang tanggung, pria bukan
wanitapun bukan.
Li Lian Ying yang cerdik dan berwatak penjilat itu tentu saja maklum akan
keadaan Yehonala yang selalu termenung dan muram. Karena kaisar jarang datang
berkunjung, pemaisuri kedua ini tidak berminat lagi untuk berdandan, padahal
dahulu ketika masih menjadi kekasih kaisar, setiap hari Li Lian Ying yang menata
rambutnya, bahkan membantunya mandi, memijatinya dan memberi nasihat-nasihat
untuk menjaga kecantikan wajah dan tubuhnya. Dia merasa kasihan, juga merasa
rugi karena kalau dapat berjasa terhadap permaisuri kedua yang royal ini, banyak
hadiah yang diterimanya. Kalau permaisuri kedua ini selalu berduka, diapun
mengalami musim kering! Pada suatu senja, ketika dia melihat permaisuri muda itu
duduk termenung dengan rambut kusut, tidak mau pergi mandi padahal tempat mandi
yang mewah telah penuh dengan air bunga, Li Lian Ying dengan hati-hati
menghampirinya.
#Sri Ratu, silakan mandi, hamba telah mempersiapkan air hangat bercampur air
mawar yang harum,# katanya dengan suara lembut dan penuh hormat. Dengan malasmalasan
Yehonala menoleh dan alisnya berkerut.
#Untuk apa aku mandi dan bersolek diri? Aku tidak ingin mandi, Li Lian Ying.
Pergilah dan tinggalkan aku sendiri, biarkan aku duduk seorang diri.# Beberapa
orang dayang yang berada di situ juga ikut membujuk, namun puteri jelita itu
bahkan sama sekali tidak menanggapi atau menjawab bujukan mereka sehingga mereka
ketakutan dan tidak lagi berani bicara. Li Lian Ying yang disuruh pergi itu
tidak beranjak dari tempat dia berlutut. Kemudin dengan suara halus ia berkata,
#Kenapa paduka membiarkan diri tenggelam di dalam duka dan nelangsa? Bukankah
semestinya paduka hidup bersuka cita karena paduka telah dikaruniai seorang
putera yang menjadi pangeran mahkota? Harap paduka ingat bahwa berduka menyesali
nasib yang baik mengundang kemurkaan Tuhan......#
#Li Lian Ying, bagaimana aku dapat bergembira? Apa artinya semua kurnia ini? Aku
tidak pernah dapat berdekatan dengan puteraku yang sejak lahir dibawa untuk
dirawat oleh ahli-ahli perawat bayi dan pendidik-pendidik yang cerdik pandai!
Dan aku hidup kesepian. Sri Baginda telah melupakan aku......# dan Yehonala tak
dapat menahan lagi tangisnya. Thaikam ini membiarkan junjungannya menangis.
setelah tangis itu mereda dan semua penyesalan telah keluar melalui air ata,
barulah dia berkata dengan halus,
#Sri Ratu, hamba mohon paduka dapat menenangkan diri. Harap paduka ingat akan
kata-kata orang bijaksana bahwa kalau dalam rumah penuh makanan lezat dan
udaranya sejuk menyegarkan, suami takkan pernah kelaparan dan malas meninggalkan
rumah. Demikian pula keadaan di sini. Kalau paduka selalu berduka dan tidak mau
merias diri, bagaimana kalau sewaktu-waktu Sri Baginda datang berkunjung? Apakah
beliau akan merasa betah di sini, melihat paduka tidak berias dan bermuram
durja? Marilah, Sri Ratu yang mulia. Marilah, hamba sekalian membantu paduka
mandi, kemudian hamba akan memijiti tubuh paduka dan mengusir semua kelelahan
lahir batin. setelah itu, hamba akan membuat sanggul yang indah pada rambut
paduka.# Mendengar ini, para dayang ikut pula membujuk dan akhirnya Yehonala
mengangguk setuju.
Ia membiarkan Li Lian Ying memondong tubuhnya dibawa ke kamar mandi dan ratu
inipun dilayani Li Lian Ying dan para dayang, mandi di air hangat yang harum
menyegarkan itu. Setelah mandi air hangat harum dan tubuhnya digosok minyak
wangi, ratu itu lalu minta dipijat oleh Li Lian Ying yang memberi isyarat kepada
para dayang untuk mengundurkan diri. Para dayang tidak berani lagi mengganggu.
Biasanya, kalau dipijat oleh thaikam itu, sang ratu lalu tertidur. Li Lian Ying
mulai memijati tubuh yang indah itu. Akan tetapi sekali ini, caranya memijati
tubuh itu lain daripada biasanya. Kalau biasanya, jari-jari tangannya yang ahli
itu hanya melemaskan otot-otot yang kaku, membuka hambatan-hambatan pada jalan
darah sehingga darah berjalan lancar kembali, Mengusir lelah dan ketegangan
dengan mengendurkan urat-urat.
Akan tetapi sekali ini lain. Dia bukan hanya ingin mengusir lelah, melainkan
ingin memberi kenikmatan kepada tubuh itu. Jari-jari tangannya membelai-belai
penuh kemesraan, didorong oleh hatinya yang memang penuh dengan gairah yang tak
terlaksana. Dia seolah-olah menggauli dan bermain cinta dengan wanita cantik itu
melalui jari-jari tangannya! Dan Yehonala mula-mula terkejut, akan tetapi karena
ia merasakan kenikmatan yang luar biasa, ia diam saja, bahkan pura-pura tertidur
membiarkan Li Lian Ying memainkan jari-jari tangannya yang luar biasa pandainya
itu! Dan berhasillah Li Lian Ying mengusir kekecewaan Yehonala, bahkan memberi
kepuasan dan kenikmatan kepada wanita muda itu sampai Yehonala tertidur pulas
dengan senyum menghias bibirnya.
Keberhasilan Li Lian Ying ini membuat dia semenjak saat itu menjadi kekasih
Yehonala! Dia menjadi hamba yang dikasihi dan kini tugas thaikam itu setiap
malam adalah menghibur Yehonala dengan jari-jari tangannya dan diapun menerima
banyak hadiah dari permaisuri muda yang kini mulai lagi bersolek dan berwajah
gembira penuh semangat hidup. Dan selain menjadi kekasihnya, juga thaikam yang
buruk rupa namun memiliki kedua tangan yang amat pandai dan lidah yang pandai
pula merayu menjilat, menjadi orang yang paling dipercaya oleh Yehonala, menjadi
tangan kanannya! Demikianlah, keadaan pemerintah Kerajaan Ceng mengalami
kerusakan luar dalam! Perkembangan kekuasaan Tai Peng di selatan seolah-olah
tidak diperdulikan oleh kaisar yang lebih mementingkan kesenangan pribadi. Para
pendatang kulit putih merasa gembira sekali melihat perkembangan pasukan Tai
Peng yang menduduki wilayah selatan itu.
Inilah keadaan yang paling menguntungkan bagi mereka. Biarkan orang-orang
pribumi itu saling hantam, itulah pendirian mereka. Dengan saling hantam, maka
mereka akan menjadi lemah dan kalau mereka lemah, maka orang kulit putih yang
dapat menarik keuntungan sebesarnya. Bermunculanlah di antara orang-orang kulit
putih itu petualang-petualang yang memancing di air keruh, mempergunakan
kesempatan dalam kesempitan. Mereka kini tidak hanya menyelundupkan candu,
melainan juga menyelundupkan senjata! Senjata api yang amat dibutuhkan kedua
belah pihak, baik pemerintah Mancu untuk membasmi pemberontak maupun pihak
pemberontak itu sendiri. Dan tentu saja senjata-senjata itu dijual dengan mahal
sekali, beberapa kali lipat harga belinya dari pabrik senjata di barat!
Orang-orang kulit putih menyebar mata-mata yang pandai, yang tugasnya untuk
mengobarkan perang saudara, untuk memperbesar pertentangan di samping meneliti
keadaan. Maka terjadilah perang sembunyi antara mata-mata ketiga pihak, yaitu
para mata-mata orang kulit putih yang tidak selalu terdiri dari orang kulit
putih, melainkan bayak pula mata-mata bangsa pribumi yang telah dapat dibeli
oleh orang kulit putih, kemudian mata-mata pemberontak Tai Peng dan mata-mata
pemerintah Mancu sendiri. Biarpun kini pasukan Tai Peng tetap bertahan di Nanking
dan daerahnya di selatan dan tidak pernah dapat menyerbu sampai lewat tapal
batas, namun pertempuran masih terus menerus terjadi antara pasukan pemeritah
maupun pasukan pemberontak. Yang celaka adalah dusun-dusun yang dilanda perang.
Setiap dusun yang dimasuki pasukan, baik pasukan pemerintah maupun pasukan
pemberontak,
Tentu terjadi korban perampokan, pembakaran, pembunuhan dan perkosaan. Pasukan
pemerintah mengamuk di dusun-dusun dengan dalih melakukan pembersihan dan
menuduh penghuni dusun sebagai anggauta pemberontak. Adapun pasukan pemberontak
mengacau dusun-dusun itu karena memang hendak melampiaskan kebuasan mereka. Pada
suatu senja, sekelompok pengungsi lari meninggalkan perkampungan mereka karena
tempat itu dilanda perang antara sekelompok pasukan pemberontak Tai Peng melawan
pasukan pemerintah yang meronda. Para penghuni dusun itu menjadi panik dan
merekapun berhamburan melarikan diri megungsi, tidak sempat lagi membawa barangbarang
berharga karena kalau keadaan sudah seperti itu, yang teringat hanyalah
menyelamatkan nyawa.
Di antara kurang lebih tiga puluh orang itu terdapat seorang wanita yang amat
menarik perhatan. Pakaiannya biasa seperti pakaian para wanita petani lainnya,
sederhana sekali. Akan tetapi yang membuat ia nampak aneh dan menonjol adalah
warna rambut dan matanya. Rambutnya kuning keemasan dan matanya berwarna biru!
Kulit tubuhnya, walaupun banyak terbakar sinar matahari seperti wanita petani
lainnya yang berada dalam rombongan pengungsi itu masih nampak putih sekali.
Jelaslah bahwa ia seorang wanita kulit putih yang tentu saja amat berbeda dari
para wanita petani dalam kelompok itu. Wanita itu, yang usianya tiga puluh tahun
lebih, nampak menggandeng seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas
tahun.
Anak laki-laki yang rambutnya hitam kulitnya kekuningan seperti anak-anak biasa,
akan tetapi sepasang mata anak inipun biru, dan bentuk wajahnya tampan sekali.
Siapakah wanita kulit putih ini? Ataukah ia seorang bule? Bukan, ia bukan bule,
melainkan seorang kulit putih aseli. Namanya adalah Sheila. Belasan tahun yang
lalu, sebelum Perang Madat terjadi, Sheila adalah puteri tunggal dari opsir
Hellway, seorang opsir pembantu Kapten Elliot yang tinggal di Kanton. Ketika
terjadi pemberontakan Perang Madat, dalam usahanya untuk melarikan diri bersama
keluarganya, opsir Hellway dan keluarganya tewas, kecuali Sheila. Sheila
dilarikan pemberontak dan nyaris diperkosa, ketika muncul seorang pendekar
bernama Gan Seng Bu, sute dari Ong Siu Coan yang kini menjadi raja kaum Tai
Peng, dan pendekar ini menolongnya.
Akhirnya, terjadilah jalinan cinta kasih antara Sheila dan pendekar Gan Seng Bu
ini. Mereka lalu menikah dan hidup di antara para pendekar yang memberontak
terhadap kerajaan Mancu, hidup sderhana di antara penduduk dusun yang menjadi
petani. Karena amat mencinta suaminya, Sheila rela merobah hidupnya, dari puteri
opsir yang biasanya hidup mewah, dihormati dan dimanja, kini hidup sederhana.
Setelah kandungannya terlahir, ia memberi nama Gan Han Le atau panggilannya
sehari-hari menurut lidah Inggrisnya, Henry. Dengan penuh cinta kasih, Sheila
merawat dan mendidik puteranya seorang diri saja. Sudah kerap kali datang
lamaran dari bermacam pria, ada penduduk dusun, ada pula teman seperjuangan
suaminya, pendekar-pendekar perkasa.
Namun semua pinangan ditolak dengan lembut oleh Sheila. Karena Gan Han Le atau
Henry merupakan seorang anak laki- laki yang manis, banyak orang menyukainya,
bahkan teman-teman seperjuangan mendiang Gan Seng Bu ada yang mengajarnya dengan
ilmu silat. Kemudian, ketika Han Le berusia tiga belas tahun, dusun itupun
dilanda pertempuran dan terpaksa Sheila mengajak puteranya untuk lari mengungsi
bersama para penghuni lain. Kelompok mereka sejumlah tiga puluhan orang masuk
keluar hutan dan naik turun gunung, dan pada senja hari itu, kelompok mereka
yang kelelahan tiba di tepi sebuah hutan. Mereka bersepakat untuk memasuki hutan
itu dan bersembunyi di situ sambil melewatkan malam melepaskan lelah untuk
melanjutkan pelarian mereka besok pagi.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika tiba-tiba
terdengar sorak sorai dan dari dalam hutan itu bermunculan belasan orang lakilaki
yang nampak buas-buas. Mereka mengenakan pakaian seragam dan memegang golok
di tangan, dan melihat pakaian mereka, para pengungsi itu menggigil ketakutan
karena tahu bahwa mereka adalah sekelompok pasukan pemberontak Tai Peng.! Mereka
sudah sering mendengar akan kekejaman pasukan ini, maka tentu saja para
pengungsi itu ketakutan dan mereka berserabutan melarikan diri. Akan tetapi,
gerombolan pasukan itu tertawa dan berteriak-teriak, dan dengan gerakan cepat
mereka lari mengepung sehingga kelompok pengungsi itu terkepung dan tidak dapat
melarikan diri lagi, kecuali bergerombol dengan muka pucat dan tubuh menggigil.
Sambil berteriak-teriak bagaikan segerombolan iblis atau binatang buas, belasan
orang pasukan Tai Peng lalu menyerbu.
Golok mereka berkelebatan dibarengi suara teriakan dan ketawa mereka dan
berjatuhanlah beberapa orang laki-laki, wanita tua dan kanak-kanak di antara
para pengungsi. Tentu saja keadaan menjadi geger, para pengungsi menjerit-jerit
dibarengi suara ketawa orang-orang kejam itu. Tentu saja mereka hendak melakukan
pesta pora seperti biasa, merampok barang bawaan para pengungsi, membunuhi
pengungsi laki-laki, wanita tua dan kanak-kanak, menawan dan memperkosa wanitawanita
mudanya. Segera Sheila menjadi pusat perhatian dan perebutan mereka.
melihat seorang wanita berambut pirang bermata biru yang demikian cantiknya,
bagaikan segerombolan harimau melihat sekor domba muda, mereka itu menyerang dan
ingin menubruk. Akan tetapi terdengar bentakan nyaring.
#Mundur semua! Yang ini untukku seorang, ha-ha-ha!# dan pemimpin gerombolan itu
seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang bermuka hitam penuh brewok,
meloncat maju. Anak buahnya tidak berani membantah dan mereka melanjutkan
pembantaian mereka sambil bersorak-sorak. Sementara itu si brewok yang kagum
melihat kecantikan Sheila, sudah menghampiri dengan muka menyeringai dan tibatiba
saja dia menubruk wanita itu dengan kedua lengan dikembangkan seperti
seekor biruang yang menyerang. Sheila merasa ngeri sekali dan berusaha mengelak
dengan loncatan kesamping, namun tangan kanan orang itu masih berhasil menangkap
tepi bajunya.
#Breetttt......!# Baju itupun robek dan terbukalah bagian dadanya. Melihat bukit
dada yang membusung itu, si komandan pasukan Tai Peng terbelalak kagum dan dia
menelan ludah yang masih segar.
#Ha-ha-ha-ha, cantik...... cantik......!# kata si brewok itu yang melangkah maju
menghampiri. Sheila mundur-mundur dengan muka pucat.
#Jangan ganggu ibuku!# Tiba-tiba Han Le yang masih kecil, baru berusia tiga
belas tahun itu, meloncat ke depan dan menggunakan kedua tangannya untuk
mendorong perut si brewok, menghalanginya mendekati ibunya.
#Minggir kau, setan cilik!# Si brewok membentak dan sekali dia menampar, pundak
anak itu terpukul membuat dia terpelanting jatuh.
#Henry......!# Sheila menjerit. Akan tetapi Han Le bangkit lagi dan menyerang si
brewok dengan marah. biarpun masih kecil, dia pernah belajar silat dan tubuhnya
kuat, semangatnya juga besar apalagi melihat ibunya teranvam. Namun, seorang
anak berusia tiga bels tahun, mana mungkin dapat melawan komandan pasukan itu
yang kuat dan pandai ilmu silat? Si Brewok yang marah itu mengelebatkan
goloknya. Si kecil Han Le berusaha mengelak, namun kalah cepat dan robohlah dia
dengan berlumuran darah karena pahanya kesabet golok sehingga celana, kulit dan
dagingnya robek.
#Henry......!# Sheila menjerit dan menubruk puteranya. Akan tetapi tiba-tiba
lengannya ditangkap orang dan tubuhnya sudah dipeluk ketat oleh si brewok yang
tertawa bergelak. Sheila meronta ketika komandan itu hendak memaksanya menerima
ciuman mulut yang lebar dan basah.
#Manusia jahat!# tiba-tiba terdengar bentakan dan tiba-tiba si brewok merasa
betapa kedua lengannya yang memeluk tubuh hangat wanita kulit putih itu menjadi
lemas, kemudian diapun terbanting roboh oleh sebuah tendangan.
Komandan brewok terkejut dan marah bukan main melihat ada orang berani
menyerangnya dan melepaskan wanita itu. Dia cepat bergulingan lalu memandang dan
matanya terbelalak ngeri melihat betapa penyerangnya tadi adalah seorang lakilaki
bertubuh jangkung yang mukanya seperti setan yang amat mengerikan! Muka itu
buruk sekali! Kulit muka itu pletat-pletot tidak karuan lagi bentuknya,
Hidungnya menyerong ke samping, mulutnya juga perot, matanya besar sebelah
karena yang sebuah seperti pernah terobek, kedua telinganyapun mengeriput kecil.
Pendeknya, muka itu menyeramkan sekali, muka yang biasa digambarkan sebagai
setan dan iblis dalam dongeng kanak-kanak! Bukan hanya mukanya yang buruk, juga
bentuk tubuhnya agak bongkok, jalannya pincang dan lengan kirinya bengkok. Kini
laki-laki itu menghampiri komandan brewok.
#Manusia jahat!# kembali terdengar suaranya. Komandan brewok itu cepat meloncat
berdiri dan goloknya dibacokkan ke arah kepala orang itu. Si muka buruk itu
tidak mengelak jauh, hanya miringkan kepala dan golok dengan kekuatan penuh
menyambar ke arah lehernya! Si brewok menyeringai girang karena goloknya tentu
akan memenggal leher si muka buruk itu.
#Takkk!# golok itu tepat mengenai leher, akan tetapi mental kembali dan pada
saat si brewok terbelalak kaget, tiba-tiba si muka buruk menggerakkan tangan
kiri tangan terbuka, menyambar ke arah dada lawan.
#Trrrakkkk......!# Tubuh si brewok terpelanting keras, dan dia roboh tak mampu
bangkit kembali karena nyawanya sudah melayang ketika jari-jari tangan yang amat
kuat itu membuat semua tulang iganya patah-patah dan jantungnya rontok!
Kini si muka buruk itu begerak ke sana-sini, mencegah gerombolan orang Tai Peng
yang melakukan pembunuhan lebih lanjut dan ke manapun juga tubuhnya bergerak dan
tangannya menyambar, tentu ada anggauta pasukan yang roboh. Demikian cepatnya
dia bergerak, tidak perduli akan serangan golok para perajurit. Satu demi satu
mereka roboh dan akhirnya belasan orang itu tewas semua terkena tamparan tangan
si muka buruk yag luar biasa lihainya. Para pengungsi memandang dengan mata
terbelalak, ada pula yang menangisi suami atau anak yang telah tewas dibacok
pasukan Tai peng tadi. Setelah semua lawan roboh dan tewas, si muka buruk lalu
membalikkan tubuhnya hedak pergi meninggalkan tempat itu tanpa bicara apapun.
Akan tetapi tiba- tiba Sheila berlari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut
di depannya.
#Taihiap, kasikanilah kami...... tolonglah anakku yang terluka parah ini......#
Di antara keremangan cuaca senja, si muka buruk memandang wajah Sheila dan dia
nampak terkejut sekali, sampai melangkah mundur dua kali.
Kemudian dia menghampiri Han Le yang roboh pingsan. Melihat luka dipaha anak
itu, dia cepat menekan jalan darah untuk menghentikan darah yang mengucur
keluar, kemudian tanpa banyak cakap dia memanggul tubuh Han Le ke atas
pundaknya, lalu melangkah pergi. Sheila bergegas mengikutinya. Para pengungsi
lain lalu mengangkut mereka yang tewas dan terluka, lalu pergi memasuki hutan
yang mulai gelap.
***
Dua orang itu berkelebat bagaikan setan saja cepatnya, tahu-tahu mereka telah
berada di tepi hutan di mana nampak belasan orang anggauta pasukan Tai Peng
berserakan. Dua orang itu berdiri saling pandang dan nampaknya terkejut, apalagi
melihat bahwa semua orang itu tewas tanpa ada tanda luka senjata tajam. Mereka
lalu cepat menghampiri dan memeriksa mayat-mayat itu.
#Hemm, bekas tangan seorang yanglihai, sute,# kata orang yang mukanya merah dan
bertubuh pendek besar, berusia kurang lebih empat puluh tahun dan mengenakan
pakaian seorang ahli silat.
#Benar, suheng. Akan tetapi lihat, dia itu agaknya belum tewas,# kata orang
kedua yang sebaya, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat. keduanya cepat
mengampiri perajurit Tai Peng yang nampaknya belum tewas seperti yang lain,
masih menggerak-gerakkan kaki tangannya. Keduanya berlutut dan si muka merah
lalu menotok beberapa jalan darah.
#Katakan, siapa yang melakukan pembunuhan ini?# tanya si muka pucat. Karena
totokan itu agaknya perajurit yang sudah sekarat tadi mampu mengerahkan tenaga
dan mengeluarkan beberapa potong kata yang terputus-putus,
#Muka...... setan...... pengungsi......# Dia menuding ke arah hutan dan
terkulai, tewas. Bagaikan kilat menyambar, kedua orang itu lalu berlompatan
memasuki hutan yang sudah mulai gelap. Dua orang ini bukan orang sembarangan,
menjadi pembantu-pembantu Ong Siu Coan dan merupakan tokoh-tokoh di antara para
perwira pasukan Tai Peng. Mereka adalah kakak beradik seperguruan yang dikenal
dengan julukan Tung-hai Siang-liong (sepasang Naga Lautan Timur). Berbeda dengan
para pendekar seperti Tan Ci Kong dan yang lain-lain, biarpun tadinya membantu
gerakan Tai Peng menyerbu dan bahkan menjatuhkan banyak kota, akan tetapi
kemudian para pendekar itu mengundurkan diri dan meninggalkan Tai Peng melihat
sepak terjang Ong Siu Coan dan pasukannya yang menyeleweng ke jalan sesat,
Masih banyak pedekar dan orang pandai yang tetap menjadi pembantu-pembantu setia
dari Ong Siu Coan. Mereka adalah orang-orang yang berambisi memperoleh kedudukan
tinggi, dan di antara mereka, termasuk Tung-hai Siang-liong. Mereka adalah dua
orang yang memiliki ilmu silat campuran antara aliran Siauw-lim-pai dan Kongthong-
pai. Keduanya terkenal dengan Ilmu Pedang Khong-thong Kiam-sut yang cepat,
dan memiliki dasar tenaga sinkang aliran Siauw-lim-pai. Karena kepandaian mereka
yang tinggi, maka Ong Siu Coan mengangkat mereka menjadi pemimpin mata-mata yang
bergerak di daerah perbatasan dan jasa mereka sudah banyak. Tidak mengherankan
kalau kini mereka cepat dapat mengetahui hancur dan tewasnya pasukan kecil Tai
Peng yang berjumlah empat belas orang itu.
Mudah bagi mereka menemukan sekelompok pengungsi yang berada di tengah hutan.
Para pengungsi malam-malam itu mengubur jenazah-jenazah dan suasana di sekitar
api unggun itu muram dan menyedihkan karena mereka berkabung. Banyak wanita yang
menangis. Akan tetapi Tung-hai Siang-liong tidak perduli. Mereka muncul di dekat
api unggun seperti setan dan si muka merah telah menyambar tengkuk seorang
pengungsi pria, mengangkatnya tinggi-tinggi. Semua orang menjadi panik,
terdengar jerit anak-anak dan para wanita yang masih belum kehilangan rasa takut
dan ketegangan hati mereka sore tadi.
#Hayo katakan, siapa yang telah membunuh para perajurit itu? Di mana adanya si
muka buruk?# bentak si muka merah. Pengungsi yang dicengkeram leher bajunya dan
diangkat tinggi-tinggi itu menggigil ketakutan.
#Am...... ampun......saya...... saya tidak mengenalnya. Dia muncul...... dan dia
membunuhi para perajurit...... kemudian bersama wanita kulit putih dan anaknya
pergi ke barat sana......#
#Brukkk!# Si muka merah membanting tubuh pengungsi itu. Tubuh itu terbanting dan
terguling ke dalam api unggun. Tentu saja dia berteriak-teriak kesakitan dan
kepanasan. Dua orang itu sudah berkelebat lenyap dan kini para pengungsi baru
berani menolong pengungsi yang kebakar pakaiannya itu sehingga dia dapat
diselamatkan dari mati terbakar.
Sementara itu, si muka buruk yang bertubuh jangkung itu memanggul tubuh Han Le
yang masih pingsan, melangkah menuju ke arah barat. Sheila mengikutinya dengan
wajah tegang dan gelisah melihat betapa orang aneh yang berilmu tinggi itu tidak
berkata apa-apa atau berbuat apa-apa terhadap puteranya yang masih terkulai di
atas pundak orang itu. Sheila adalah seorang wanita kulit putih yang berhati
tabah sekali. Sejak gadis, ia telah mengalami banyak hal yang hebat, menghadapi
ancaman-ancaman bahaya dan hidup di samping suaminya yang menjadi pejuang. Akan
tetapi, melihat puteranya dalam bahaya, ia merasa takut bukan main dan seluruh
tubuhnya terasa lemas, kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan karena ia
membayangkan bagaimana kalau sampai puteranya itu, satu-satunya orang yang kini
dimilikinya di dunia ini, tewas!
#Taihiap...... taihiap tunggulah dulu......# Akhirnya, tidak tahan melihat orang
aneh itu diam saja, Sheila berkata dengan suara memohon. Laki-laki jangkung itu
menghentikan langkahnya yang terpincang-pincang. Agaknya baru sekarang dia tahu
atau ingat bahwa ibu anak yang dipanggulnya itu sejak tadi mengikutinya. Bulan
sudah mencul dan sinar bulan menimpa muka yang buruk itu. Sepasang mata yang
besar sebelah itu mencorong. Sheila menahan rasa seramnya melihat wajah itu dan
iapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki orang yang mukanya seperti setan
itu.
#Taihiap...... tolonglah anakku...... sembuhkanlah dia, aku khawatir
sekali...... sejak tadi dia diam saja......# Sheila menahan isaknya. Ingin ia
menjerit menangis saking gelisah hatinya melihat puteranya.
#Hemmm......# laki-laki muka buruk itu kini duduk di atas batu dan menurunkan
tubuh Han Le dari atas pundaknya, mulai memeriksa. Tentu saja sejak tadi diapun
tahu bahwa anak itu hanya pingsan dan tidak berbahaya keadaannya. Akan tetapi
kini dia merasa kasihan melihat Sheila dan diapun mulai mengurut beberapa jalan
darah di tubuh anak itu. Dan diapun terkejut dan girang karena begitu menguruturut,
dia mendapat kenyataan bahwa anak ini memiliki tulang yang baik sekali,
tubuhnya memenuhi syarat untuk menjadi seorang calon pendekar! Dia memberi obat
bubuk pada luka di paha itu, dan membalutnya dengan robekan kain putih yang
bersih. Setelah menotok beberapa jalan darah, Han Le mengeluh, membuka matanya.
#Ibuuu......# keluhnya.
#Henry, anakku....... Sheila cepat menghampiri dengan girang bukan main. Pada
saat itu, terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan menyambar ke arah
mereka. Si muka buruk cepat mendorong tubuh Sheila dan Han Le yang sedang
berangkulan itu sehingga ibu dan anak itu terlempar dan terguling-guling,
sedangkan si muka buruk sediri sudah meloncat ke samping.
#Darrr....... Terdengar suara keras dan batu yang diduduki si muka buruk itupun
pecah berantakan terkena hantaman tangan seorang laki-laki muka merah dan
seorang laki-laki muka pucat. Dapat dibayangkan betapa lihainya dua orang matamata
pembantu Ong Siu Coan ini yang sekali pukul dapat menghancurkan batu besar!
Kalau pukulan mereka tadi mengenai tubuh, dapat dibayangkan betapa hebat
akibatnya, mungkin kini tubuh si muka buruk, Sheila dan puteranya sudah hancur
dan tewas!
Kini si muka buruk sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, menghadapi
dua orang itu. Setelah dia tidak melangkah dan tidak nampak pincangnya, dan
cuaca yang remang-remang agak menyembunyikan keburukan wajahnya, si muka buruk
nampak gagah perkasa ketika berdiri tegak dengan kaki terpentang menghadapi
lawan itu. Mereka saling pandang, seperti ayam aduan tengah berlaga. Dua orang
tokoh Tai Peng itu memandang penuh perhatian dan diam-diam mereka merasa heran
sekali. Melihat betapa si muka buruk tadi mampu menghindar dari serangan mereka,
jelaslah bahwa dia seorang yang berilmu. Akan tetapi mengapa mereka tidak
mengenal orang ini? Mereka sudah biasa malang melintang di dunia persilatan,
namun belum pernah mereka melihat, bahkan mendengar tentang tokoh yang wajahnya
seperti setan ini.
#Engkaukah yang telah membunuh empat belas orang tentara Tai Peng di luar hutan
itu?# si muka pucat bertaya, suaranya dingin dan pandang matanya penuh ancaman.
karena mukanya yang pucat dan putih, dia dijuluki Tung-hai Pek-liong (Naga Putih
Laut Timur), sedangkan kawannya yang menjadi suhengnya itu dijuluki Ang-liong
(Naga Merah) karena mukanya yang kemerahan.
#Benar, akulah yang melakukannya. Kiranya Tung-hai Siang-liong sekarang juga
menjadi anggauta perampok-perampok Tai-Peng!# jawab si muka buruk. Dua orang itu
terkejut dan si muka merah melangkah maju untuk memandang lebih tajam, namun
tetap saja dia tidak pernah bertemu dengan orang ini dan tak pernah mendengar
tokoh kang-ouw dengan muka seperti ini.
#Kiranya engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau?#
#Sebut saja aku Bu Beng Kwi (Setan Tanpa Nama), aku tidak terkenal seperti
kalian, akan tetapi juga tidak sesat seperti kalian yang membantu pasukan
pemberontak.#
#Bu Beng Kwi, manusia sombong! Tai Peng adalah balatentara yang akan membebaskan
rakyat dari cengkeraman penjajah Mancu! Tai Peng adalah pasukan para pejuang
yang gagah perkasa, patriot-patriot yang mulia......#
#Hemm, sudah kubuktikan kegagahan mereka ketika mereka tadi merampok, membunuh
dan mengganggu para pengungsi! Tai Peng telah diselewengkan, menjadi pasukan
ganas yang jahat, dipimpin oleh Ong Siu Coan yang miring otaknya.#
#Keparat! Apakah engkau mata-mata pemerintah, penjilat Bangsa Mancu?# bentak si
muka putih.
#Ataukah barangkali engkau mata-mata orang kulit putih# tanya si muka merah
sambil melirik ke arah Sheila.
(Lanjut ke Jilid 06)
Jilid 06
#Aku tidak membantu siapa juga kecuali mereka yang lemah tertindas dan menantang
mereka, yang jahat, siapapun juga adanya mereka.#
#Keparat, orang macam setan ini masih berlagak menjadi pendekar! Suheng, tak
perlu banyak cakap lagi, dia telah membunuh belasan orang perajurit kita, dia
harus dibasmi!# kata Tung-hai Pek-liong. Mereka mencabut pedang dan menghampiri
Bu Beng Kwi dari kanan dan kiri. Si muka setan itu berkata, suaranya lantang dan
penuh wibawa,
#Tung-hai Siang-liong, aku tidak mau bermusuhan dengan siapapun juga dan di
antara kita tidak terdapat permusuhan. Kuperingatkan kepada kalian, mundurlah
dan jangan menggangu kami sebelum terlambat.#
#Keparat Bu Beng Kwi, siapa takut kepada setan tanpa nama macam engkau?# bentak
si muka merah dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, disusul sutenya yang
juga menyerang dengan tusukan pedang ke arah dada, hampir bersamaan dengan
datangnya bacokan pedang si muka merah ke arah leher Bu Beng Kwi. Namun, hanya
nampak bayangan berkelebat dan dua serangan itu tidak mengenai sasaran. Tung-hai
Siang-liong terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya karena lawan itu tahu-tahu
telah berkelebat ke belakang mereka. Dan merekapun menyerang lagi dengan sepenuh
tenaga karena merasa penasaran. Bu Beng Kwi membiarkan mereka berdua menyerang
sampai belasan jurus, akan tetapi kedua pedang yang biasanya amat lihai dan
sukar ditemukan tandingannya itu, kini seperti permainan kanak-kanak saja
layaknya bagi si muka setan itu. Dia hanya meloncat dan menyusup ke sana-sini,
namun kedua pedang itu sama sekali tidak pernah dapat menyentuhnya.
#Tung-hai Siang-liong, sekali lagi dan untuk akhir kalinya kuperingatkan kalian.
Pergilah dan jangan ganggu aku sebelum terlambat!# Akan tetapi, dua orang itu
tidak mau mendengarkan kata-katanya dan mereka menyerang terus, lebih ganas
lagi.
#Omitohud...... ampunkan aku, terpaksa aku melawan......# terdengar Bu Beng Kwi
mengeluh dan tiba-tiba kedua lengannya dipentang dan dia menyerbu ke depan,
menyambut dua orang lawan yang menyerangnya dengan pedang mereka itu. Terdengar
suara keras, dua batang pedang itu terpental, bahkan sebatang di antaranya
patah-patah disusul terlemparnya tubuh Tung-hai Siang-liong sampai jauh ke
belakang. Mereka terbanting dan tidak bangkit kembali! Bu Beng Kwi tidak
memperdulikan lagi dua orang bekas musuh itu, melainkan menghadapi Sheila dan
anaknya. Wanita ini sudah menjatuhkan diri berlutut di depan penolongnya. Juga
Han Le yang tadi nonton dengan mata terbelalak dan kagum, kini berlutut dan
mengangkat mukanya memandang kepadanya. Sejenak Bu Beng Kwi menatap wajah anak
itu, kemudian dia berkata,
#Anak baik, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Maukah engkau?#
#Tentu saja aku mau dan terima kasih banyak atas kebaikan locianpwe,# jawab anak
itu dan diam-diam si muka setan kagum melihat sikap sopan dan baik dari anak
itu. seorang anak yang terdidik baik, pikirnya.
#Kalau begitu, engkau ikutlah denganku.# berkata demikian, Bu Beng Kwi
membalikkan tubuhnya dan terus melangkah pergi. Sampai beberapa lamanya dia
melangkah, kemudian membalik dan menatap ibu dan anak itu.
#Aku hanya mengajak anak ini untuk menjadi muridku.# Mendengar ini Sheila dan
Han Le kembali menjatuhkan diri berlutut.
#Taihiap, sampai matipun kami tidak dapat saling berpisah. Di dunia ini aku
tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bagaimana mungkin Henry anakku akan dipisahkan
dariku? Taihiap, kalau anakku kau ambil murid, aku berterima kasih sekali akan
tetapi biarkanlah aku ikut pula......# Wajah yang buruk sekali itu nampak
semakin buruk ketika dia mengerutkan alisnya.
#Akan tetapi...... aku tidak membutuhkanmu......#
#Aku mengerti, taihiap. Akan tetapi biarlah aku berdekatan dengan anakku, aku
tidak akan mengganggumu, aku bahkan akan bekerja apa saja, menjadi pembantu
rumah tanggamu, mengerjakan semua pekerjaan rumah...... tapi jangan pisahkan aku
dari anakku karena hal itu berarti membunuhku......#
#Suhu, kalau benar suhu ingin mengambil teecu sebagai murid, teecu baru mau
kalau ibu juga diperbolehkan ikut serta. Ibu tidak mempunyai keluarga lain dan
teecu sampai matipun tidak tega untuk meninggalkan ia hidup seorang diri saja.#
kata pula Han Le dengan sikap yang tegas. Kembali sinar kekaguman terpancar
keluar dari pandang mata Bu Beng Kwi. Seorang anak yang mencinta ibunya,
berbakti dan keras hati. diapun mengalihkan pandang matanya, menatap kepala
berambut keemasan yang menunduk itu dan dia menarik napas panjang, wajahnya yang
buruk itu tergores penuh penyesalan dan iba membayang di sinar matanya.
#Baiklah, asal engkau tahu saja bahwa aku adalah seorang yang hidup miskin dan
mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, nyonya, perjalanan menuju ke
tempat tinggalku terlampau jauh dan sulit kalau ditempuh dengan jalan kaki
biasa. Karena itu maafkanlah kelancanganku!# Tiba-tiba saja Sheila dan Han Le
merasa betapa tubuh mereka terangkat naik kemudian meluncur dengan amat
cepatnya. Mula-mula, mereka terkejut bukan main dan terutama sekali Sheila yang
merasa betapa tubuhnya dipanggul di pundak kanan orang itu. Melihat ke bawah,
ternyata orang itu membawanya berlompatan jauh dan cepat sekali sehingga ia
menjadi pening dan ngeri, cepat-cepat ia memejamkan kedua matanya. Akan tetapi
Han Le yang mula-mula takut, kini tidak merasa takut lagi melihat dirinya
dipanggul di pundak kiri. Dia malh membuka matanya lebar-lebar dan bersorak
gembira.
#Wahhh, aku terbang! Suhu sungguh hebat, kelak harap ajarkan ilmu terbang ini
kepada teecu!# Bu Beng Kwi memnggul tubuh ibu dan anak itu dan kedua kakinya
berlari amat cepatnya seperi terbang saja. Jurang- jurang diloncatinya dan
dengan ilmu berlari cepat yang luar biasa ini, pada keesokan harinya tibalah dia
di puncak sebuah bukit yang sunyi dan jauh dari dusun-dusun. Di puncak bukit
itu, di antara pohon-pohon besar, nampak sebuah pondok sederhana terbuat dari
kayu-kayu besar dengan kokoh kuat dan cukup luas, dikelilingi ladang yang penuh
dengan tanaman sayur-mayur dan pohon-pohon buah. Bu Beng Kwi menurunkan ibu dan
anak itu dari pundaknya.
#Kita telah tiba di rumah.# Ibu dan anak itu menggeliat karena tubuh mereka
terasa penat-penat dan kaku setelah semalam suntuk dipanggul dan dibawa lari
cepat. Akan tetapi Han Le sudah melupakan kelelahannya dan anak ini sudah
berlari-lari di sekitar rumah itu, nampaknya gembira sekali. Di lain saat dia
telah memanjat pohon buah per di mana bergantungan banyak buah yang sudah tua
dan masak. Melihat ini,legalah hati Sheila dan wanita ini merasa bahwa ia dan
puteranya kini berada di tempat aman, dan suasana di tempat itu tenang dan
tenteram, juga indah sekali pemandangannya. Bu Beng Kwi memandang ke arah Han Le
sambil tersenyum, kemudian dia menghadapi Sheila.
#Lihat, aku hidup di sini sendirian saja dan makan dari hasil ladang dan kebun.
Bagaimana seorang seperti engkau dapat hidup di tempat seperti ini?# Sheila
tersenyum, senyum yang manis sekali.
#Taihiap, aku adalah seorang wanita yang sudah banyak mengalami kehidupan yang
serba pahit dan penuh dengan kekerasan dan kesulitan. Tempat ini indah, rumahmu
juga cukup besar. Apalagi dengan kebun dan ladang sedemikian luasnya, apalagi
yang dikehendaki? Andaikata tempat tinggalmu tidak sebaik ini sekalipun, aku
akan hidup berbahagia.# Bu Beng Kwi menundukkan mukanya, tidak berani menentang
pandang mata yang kebiruan dan jernih itu. Teringat dia betapa tadi tubuh yang
berkulit lembut, halus dan hangat itu dipanggulnya, betapa bau badan wanita itu
semalam membuat dia harus mengerahkan tenaga batin untuk melawan rangsangan yang
sudah bertahun-tahun tak pernah dirasakannya.
#Engkau...... engkau seorang wanita yang tabah, dan puteramu adalah seorang anak
yang baik, berbakti, mencinta ibunya dan gagah perkasa.#
#Tentu saja, taihiap, karena mendiang ayahnya juga seorang pendekar gagah
perkasa, seorang pejuang yang berjiwa pahlawan,# kata Sheila dengan suara
mengandung kebanggaan ketika dia teringat kepada mendiang suaminya, yaitu
pendekar Gan Seng Bu. Mendengar ini, Bu Beng Kwi memundukkan mukanya lebih
dalam, lalu memutar tubuh membelakangi Sheila, agaknya hendak pergi, akan tetapi
kakinya ditahannya dan dia berkata dengan suara lirih, #Di dalam pondok terdapat
dua buah kamar, kamar depan adalah kamarku, dan kamar belakang yang besar boleh
kaupakai bersama puteramu. Di belakang terdapat dapur dan perabotnya yang
lengkap. kau dan puteramu tentu sudah lapar, kalau hendak membuat makanan, di
gudang dekat dapur terdapat semua bahan keperluannya.#
#Terima kasih, taihiap. Jangan khawatir, aku akan mengerjakan itu semua, dan aku
akan membersihkan pondok ini, kelihatan agak tidak terawat,# kata nyonya itu
sambil menyambar sebuah sapu yang bersandar pada dinding tembok depan.
#Oh.. ya, siapa nama puteramu itu?# Tiba-tiba Bu Beng Kwi yang sudah melangkah
masuk ke dalam rumah itu tiba-tiba bertanya tanpa menengok, hanya menahan
langkahnya.
#Namanya Han Le, taihiap, aku sendiri menyebutnya Henry,#
#Han Le, nama yang bagus!# kata Bu Beng Kwi sambil melanjutkan langkahnya masuk
ke dalam rumahnya.
#Shenya Gan, taihiap!# Sheila menambahkan.
#Hemmm......!# hanya itulah jawaban Bu Beng Kwi dan dia sudah menghilang ke
dalam kamarnya. Demikianlah, mulai hari itu, Sheila dan Han Le tinggal di dalam
rumah itu, dan Sheila segera bekerja keras untuk membersihkan rumah itu,
mencuci, memasak dan semua pekerjaan rumah dikerjakannya dengan baik.
Rumah itu nampak bersih semenjak Sheila tinggal di situ, dan makin lama Sheila
semakin betah tinggal di situ karena Bu Beng Kwi jarang sekali mengajak dia
bicara, bahkan jarang bertemu dengannya. pendekar yang bermuka buruk itu hanya
keluar untuk melatih ilmu silat kepada Han Le, dan tidak pernah mengganggu
Sheila, bahkan seolah-olah Bu Beng Kwi menjauhkan diri dari Sheila, seperti
orang yang takut! Hal ini membuat Sheila menjadi heran bukan main. setelah
berbulan-bulan tinggal di rumah itu, biarpun berada di bawah satu atap, namun ia
jarang sekali dapat bertemu tuan rumah. Bahkan kalau ia sengaja menemuinya untuk
melaporkan bahwa makanan siang atau malam sudah sedia, Bu Beng Kwi nampak
seperti orang gugup dan membuang muka! Sheila merasa amat kasihan kepada pria
itu.
Apakah pria itu malu kepadanya karena mukanya yang demikian buruk? Namun,
betapapun buruk wajahnya, seperti setan, orang itu jelas memiliki watak yang
amat baik, pikir janda ini. Belum pernah selama hidupnya dikenalnya seorang pria
seperti itu baik dan sopannya. dan selain memberi latihan-latihan dasar ilmu
silat tinggi kepada Han Le, juga Bu Beng Kwi melatih ilmu membaca dan menulis
kepada anak itu, di samping gemblengan moral melalui nasihat-nasihat tentang
kehidupan, tentang baik dan buruk dan tentang sifat-sifat seorang pendekar yang
gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Waktu luangnya
setelah memberi latihan kepada Han Le, masih dipergunakannya untuk bekerja di
ladang dan kebun-kebun dengan amat rajinnya. Setiap hari betapapun paginya
Sheila bangun tidur untuk menyapu dan memasak air,
Ia selalu melihat bahwa tuan rumah telah bangun terlebih dulu, dan telah sibuk
di ladang belakang rumah! Kadang-kadang Sheila merasa terharu sekali melihat
kehidupan Bu Beng Kwi ini. Ada rahasia yang tersembunyi di balik wajah yang
buruk itu, pikirnya, rahasia yang tentu amat menyedihkan sekali. Sinar mata yang
kadang-kadang mencorong itu seringkali nampak demikian penuh kepedihan hati,
Bahkan penuh penyesalan, demikian sayu dan tidak bercahaya lagi. dan agaknya Bu
Beng Kwi menanam diri dalam kesibukan sehari-hari, agaknya hendak melupakan
ssuatu. dan jelas sekali menjauhkan diri darinya, seolah-olah takut berhadapan
dengan dirinya. Semua ini merupakan teka-teki yang amat menarik bagi Sheila,
membangkitkan gairahnya untuk menyelidiki rahasia apa gerangan yang tersembunyi
di balik wajah yang amat buruk itu.
Ia merasa telah diselamatkan nyawanya, juga nyawa puteranya, dari ancaman maut
dan bahkan mungkin lebih mengerikan daripada maut. Bukan hanya sampai di situ ia
berhutang budi, bahkan Bu Beng Kwi telah memberi kehidupan yang lebih cemerlang
dan tenteram kepada ia dan puteranya. Mendidik Han Le dengan ilmu tinggi,
kesusasteraan dan pendidikan rohani. Hal ini ia ketahui semua karena setelah
malam tiba dan puteranya rebah tak jauh darinya di dalam kamar itu, ia selalu
mengorek keterangan dari puteranya tentang semua pelajaran yang diterimanya dari
Bu Beng Kwi. Bahkan dari anak itu ia menanyakan semua kata-kata yang diucapkan
Bu Beng Kwi pada siang harinya, dan apa saja yang ditanyakan penolong itu kepada
anaknya.
Dari Han Le ia mendengar bahwa Bu Beng Kwi pernah bertanya kepada Han Le tentang
semua pengalaman Han Le dan ibunya semenjak ditinggal mati ayahnya. Tentu saja
Han Le hanya mampu menceritakan apa yang dapat diingatnya saja, karena semenjak
lahir dia sudah tidak lagi dapat melihat ayahnya. Ada sesuatu yang sangat
menarik dalam pribadi Bu Beng Kwi bagi Sheila. Wajah yang amat buruk itu, tubuh
yang cacat itu, kini sama sekali tidak lagi mendatangkan rasa serem, takut atau
jijik bagi Sheila, bahkan mendatangkan perasaan iba yang mendalam. Ia merasa
kasihan dan juga penasaran mengapa seorang manusia yang memiliki budi pekerti
demikian baiknya menerima hukuman dari Tuhan dengan tubuh yang sedemikian penuh
cacat dan keburukan. Bukan itu saja, ia juga dapat merasakan betapa penolongnya
itu hidup dengan batin menderita, entah apa dan mengapa.
Pada suatu malam terang bulan Sheila tak dapat tidur. Han Le sudah sejak tadi
tidur nyenyak. Anak itu agaknya lelah sekali karena selain harus berlatih silat,
juga anak itu oleh ibunya diharuskan membantu pekerjaan Bu Beng Kwi di ladang,
Sheila gelisah tak dapat tidur walaupun sudah sejak tadi ia rebah di atas
pembaringannya. Sudah setahun ia tinggal di situ bersama puteranya, namun ia
masih merasa asing terhadap Bu Beng Kwi. Selama setahun itu, hanya beberapa kali
saja ia sempat berhadapan dengan penolongnya, lebih jarang lagi bercakap-cakap
karena kalau ia memancing percakapan, selalu Bu Beng Kwi menghindar. bahkan
untuk makan siang atau malam pun, Bu Beng Kwi minta kepada Han Le untuk
mengantar makanan ke dalam kamarnya.
Mengapa dia selalu menjauhkan diri dariku? Apakah dia tidak suka kepadaku?
Jangan-jangan dia membenci aku karena aku seorang wanita kulit putih! Pikiran
ini terus menerus menganggu hati Sheila, membuatnya gelisah bukan main. Ia sudah
berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan hati Bu Beng Kwi, membersihkan
pondok itu sehingga menjadi tempat yang enak ditinggali, menanam bunga-bunga
indah di depan rumah dan di luar jendela kamar Bu Beng Kwi, mencuci bersih
pakaian-pakaian serba putih dari orang itu, dan membuat masakan yang selezat
mungkin. Bahkan kini, dengan bantuan puteranya yang cekatan, ia berhasil
menangkapi kelinci dan membuat peternakan kelinci sehingga ia mampu
menghidangkan masakan daging kelinci yang sedap, bukan sekedar sayuran saja
seperti sebelum ia dan puteranya datang ke situ.
Aih, apakah kesalahanku kepadanya? Sheila merasa nelangsa dan rasanya ingin ia
menangis! Gila, mengapa pula menangis? Ia cepat menghapus dua titik air mata
yang sudah berkumpul di sudut matanya dan untuk mengusir kekesalan hatinya, ia
turun dari pembaringannya lalu menghampiri jendela. Dibukanya tirai jendela dan
nampaklah sinar bulan purnama di luar kamarnya. Betapa indahnya bulan purnama.
Hijau kekuningan dan nampak sejuk dan damai hening di luar. Ia menutup kembali
tirai jendela dan menurutkan dorongan hatinya ia melangkah keluar, menutupkan
kembali pintu kamar dengan hati-hati agar Han Le jangan sampai kaget dan
terbangun.
Ketika dengan langkah hati-hati ia keluar dari dalam pondok menuju ke belakang
untuk memasuki kebun dan menikmati keindahan bulan purnama, tiba-tiba ia menahan
langkahnya dan cepat bersembunyi di balik tiang rumah bagian belakang. Tiang itu
terbuat dari batang pohon besar dan ia bersembunyi di balik tiang. mengintai ke
dalam kebun. Di sana, di atas bangku panjang, ia melihat Bu Beng Kwi duduk
seorang diri dan ia terbelalak memandang karena melihat betapa penolongnya itu
menangis! Benar-benar menangis seperti anak kecil, dengan suara sesenggukan dan
kedua pundak berguncang, kedua tangan menutupi mukanya! Dengan mata terbelalak,
dan jantung berdebar kencang Sheila mengintai dan mendengar suara Bu Beng Kwi
yang diulang-ulang, suara yang mengandung isak tangis, menggetar penuh
penyesalan.
#Ya Tuhan, ampunilah saya, ampunilah saya, ampunilah saya......# Sambil
menangis, orang aneh itu terus minta ampun kepada Tuhan, kadang-kadang
menjambak-jambak rambutnya penuh penyesalan. Sheila terbelalak dan hatinya
dipenuhi rasa haru. Ia tidak tahu mengapa orang sebaik itu kini menangis dan
minta ampun kepada Tuhan, entah dosa apa yang penah dilakukannya, dosa yang kini
membuatnya demikian penuh penyesalan. Melihat orang yang amat dikaguminya itu,
orang yang dihormatinya dan dijunjungnya tinggi karena perbuatannya, karena
sikapnya itu kini menangis dan minta-minta ampun kepada Tuhan seperti itu,
Sheila merasa demikian terharunya sehingga tanpa disadarinya, air matanya
menetes turun di sepanjang pipinya. Ia seperti terpukau di tempat itu, tidak
mampu bergerak. Hatinya ingin sekali menghampiri dan menanyakan, menghibur Bu
Beng Kwi, namun kedua kakinya tidak dapat ia gerakkan. Juga ada perasaan segan
dan takut untuk mengganggu orang yang sedang tenggelam dalam kedukaan yang amat
besar itu. Berjam-jam Bu Beng Kwi menangis, meratap dan minta ampun kepada
Tuhan. Berjam-jam pula Sheila berdiri di balik tiang melakukan pengintaian.
Akhirnya, seperti orang kelelahan, Bu Beng Kwi menjatuhkan diri rebah di atas
bangku panjang, masih menangis akan tetapi makin lama, tangisnya makin lirih dan
akhirnya diapun tertidur di atas bangku panjang di dalam kebun itu!
Beberapa kali nampak tubuhnya terguncang oleh isak sebagai tangisnya, akan
tetapi dari pernapasannya dapat diketahui bahwa dia benar-benar telah tidur
nyenyak, agaknya terlau lelah oleh penyiksaan batinnya sendiri tadi. Sheila
melangkah perlahan-lahan menghampiri dan dalam jarak dua meter ia berdiri
mengamati orang itu. Tidur pulas dengan lengan kanan melintang di atas dahi,
tangan kiri tertumpang di dada. Napasnya penjang-panjang halus, kadang-kadang
masih terisak, kedua kakinya yang panjang itu tergantung di ujung bangku. Hawa
udara dingin bukan main di malam terang bulan purnama itu. Sheila menggigil dan
ia merasa kasihan sekali melihat Bu Beng Kwi yang tidur pulas di atas bangku
itu, di dalam kebun dalam hawa dingin sepeti itu. Ia lalu kembali ke dalam
rumah,
Mengambil sehelai selimut tebal dan dengan hati-hati ia menghampiri tubuh yang
pulas itu dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki. Tubuh itu bergerak lemah
akan tetapi tidak tergugah. Kalau saja tidak sedang tenggelam ke dalam kedukaan
dan penyesalan sehebat itu sehingga membuat seluruh tubuhnya lemas dan hatinya
lelah dan kepulasan telah menelannya bulat-bulat. Tentu Bu Beng Kwi yang
memiliki tubuh terlatih itu sudah terbangun ketika diselimuti Sheila. Namun
kedukaan membuat orang menjadi lemah sekali. tenaga yang dibuang sia-sia sewaktu
berduka amatlah besarnya. Sheila lalu kembali ke kamarnya dan ia tidak tidur,
teringat akan keadaan Bu Beng Kwi dan beberapa kali, setiap kali teringat ia
menitikkan air matanya karena iba dan haru. Ah, ia mau melakukan apa saja demi
untuk menghibur dan membahagiakan hati pria ini,
Pria yang demikian bijaksana dan budiman, yang telah memberi segala-galanya
kepada ia dan puteranya tanpa pamrih, tanpa minta imbalan apapun, bahkan yang
selalu menghindar agar tidak menerima sikap manis dan berterima kasih darinya.
Pada keesokan harinya, ketika Han Le sedang sibuk bekerja di ladang, ketika
Sheila sedang membawa pakaian kotor untuk dicuci di pancuran air di sebelah
kanan rumah, ia berpapasan dengan Bu Beng Kwi. Pria itu berhenti dan memandang
kepadanya, sedangkan Sheila juga berhenti dan memandang penuh perhatian. Tidak
nampak lagi tanda-tanda kedukaan yang hebat itu pada wajah yang tidak pernah
dapat memperlihatkan perasaan hati itu, akan tetapi pandang mata itu tetap saja
sayu dan bagaikan matahari tertutup awan hitam. Bu Beng Kwi mengeluarkan
segulung selimut dan memberikannya kepada Sheila sambil berkata,
#Terima kasih atas kebaikan hatimu, nyonya. Maaf, aku telah membikin repot saja.
Harap lain kali jangan perdulikan diriku, karena seorang seperti aku ini tidak
pantas menerima kebaikan dan penghormatan seperti itu.# Begitu Sheila menerima
gulungan selimut, Bu Beng Kwi membalikkan tubuh dan pergi.
#Taihiap...... tunggu dulu......!# Sheila berlari mengejar, dan Bu Beng Kwi
menghentikan langkahnya, menghadapi Sheila dengan muka ditundukkan. Kini mereka
saling berhadapan dan Sheila memandang tajam, berusaha untuk menguak tirai yang
menyembunyikan rahasia di balik wajah yang cacat itu.
#Taihiap...... namaku adalah Sheila dan aku adalah pelayanmu, ibu dari muridmu,
tidak perlu engkau menyebutku nyonya. Dan mengapa taihiap kelihatan membenciku?
Harap taihiap berterus terang agar aku dapat mengerti akan kesalahanku dan dapat
memperbaikinya, dan taihiap...... mengapa demikian berduka......?#
#Nyonya, engkau adalah seorang wanita yang bijaksana, terhormat dan mulia, jauh
bedanya dengan aku yang hina ini, dan tentang sikapku...... ah, aku tidak apaapa,
harap nyonya jangan perdulikan aku lagi......# Dan diapun cepat melangkah
pergi menuju ladang, meninggalkan Sheila yang berdiri melongo dengan hati
penasaran. Penolongnya itu demikian merendahkan diri, dan kata-katanya demikian
penuh keprihatinan. Apa saja yang membuat orang itu bersikap seperti itu? Apakah
karena wajah dan tubuhnya menjadi penuh dengan cacat seperti itu lalu merasa
rendah diri? Beberapa hari kemudian, ketika pagi-pagi sekali Sheila sedang
menyapu lantai di pekarangan depan dan Bu Beng Kwi masih bersamadhi di dalam
kamarnya setelah pagi-pagi tadi dia mengamati Han Le yang berlatih silat, muncul
dua orang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian
sederhana namun berwajah tampan dan bersikap gagah. Dua orang laki-laki muda itu
demikian terkejut ketika melihat seorang wanita kulit putih berambut kuning
keemasan dan bermata biru,
Mengenakan pakaian sederhana sedang menyapu di situ sehingga mereka berdua
terbelalak dan terpukau, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka
sendiri. Melihat dua orang pemuda itu seperti terkejut, bingung dan heran,
Sheila lalu menghampiri mereka dengan sapu di tangan, dan menegur dengan sikap
halus dan bahasa yang sopan. Dua orang muda itu saling pandang, dengan sinar
mata bertanya-tanya siapa gerangan wanita kulit putih ini. Sheila juga
memperhatikan mereka. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi besar dengan muka
gagah berbentuk persegi empat dan mukanya yang masih muda itu mulai ditumbuhi
brewok yang lebat, sepasang matanya lebar dan tajam. Orang kedua bertubuh tinggi
kurus, mukanya putih seperti muka perempuan namun tampan dan sepasang alisnya
tebal sekali, tebal dan hitam lebat.
#Kami adalah murid dari tuan rumah ini,# kata pemuda tinggi besar.
#Siapakah engkau?# sambung pemuda tinggi kurus.
#Aih, kiranya ji-wi adalah murid-murid taihiap!# Sheila berseru kaget dan
girang. #Aku bernama Sheila dan aku......aku pelayan dari taihiap......#
#Apa? Suhu mempunyai pelayan seorang wanita kulit putih? Rasanya tidak mungkin!#
kata pemuda tinggi besar. Pada saat itu terdengar suara nyaring dari sebelah
dalam, suara yang keluar dari dalam kamar Bu Beng Kwi.
#Kok Han dan Hong Can, kalian baru datang?# Mendengar suara ini, dua orang
pemuda gagah perkasa itu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke dalam rumah
dan berkata penuh hormat,
#Suhu.......# Muncullah Bu Beng Kwi , diikuti oleh Han Le yang diajak latihan
samadhi di dalam kamar gurunya itu. Sepasang mata orang aneh itu memancarkan
sinar berseri ketika dia memandang kepada dua orang muda yang berlutut.
#Han Le dan kau, nyonya, ketahuilah bahwa yang baru datang ini adalah muridmuridku
bernama Ceng Kok Han dan Li Hong Cang yang sudah hampir dua tahun turun
gunung. Kok Han dan Hong Cang, anak ini adalah Gan Han Le, sute kalian, dan
wanita ini ibunya, Gan Toanio (nyonya Gan).Bangkitlah dan beri hormat
kepadanya,# kata Bu Beng Kwi memperkenalkan. Diam-diam dua orang pemuda itu
merasa heran. Guru mereka mengambil murid anak seorang wanita kulit putih dan
biarpun sute mereka yang masih kecil itu berwajah biasa, namun sepasang matanya
yang bening tajam itu kebiruan seperti mata orang kulit putih! Mereka lalu
menjura dengan hormat kepada wanita kulit putih yang pandai berbahasa daerah itu
dan menyebutnya Gan Toanio. Sheila membalas penghormatan mereka selayaknya.
Sebagai seorang anak yang terdidik baik, oleh gurunya dan oleh ibunya, Han Le
lalu menjura pula kepada mereka.
#Ji-wi suheng (kakak seperguruan), aku Gan Han Le memberi hormat pada ji-wi dan
mohon bimbingan ilmu silat.# Ceng Kok Han dan Li Hong Cang memandang gembira.
Kiranya sute mereka itu, biar anak wanita kulit putih, biar masih kecil, namun
nampak cerdik dan pandai membawa diri. Mereka merangkul dan mengelus rambut
kepala Han Le dan merasa akrab dan sayang. Mereka semua kecuali Sheila yang
merasa sungkan dan juga ia harus menyediakan minuman untuk dua orang muda yang
baru tiba, segera masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudian, Bu Beng Kwi sudah
bercakap-cakap dengan serius bersama dua orang murid yang baru datang itu
disaksikan oleh Han Le yang mendengarkan saja.
Mereka bicara tentang hal- hal yang belum dimengertinya benar, tentang
perjuangan, pemberontakan, dan perang. Kiranya dua orang muda perkasa itu, atas
persetujuan guru mereka, seperti para pendekar lain, telah pergi meninggalkan
tempat perguruan dan ikut membantu perjuangan Ong Siu Coan yang memimpin
balatentara Tai Peng pada bulan-bulan terakhir sampai pasukan itu dapat
menduduki Nan-king dan daerah selatan sungai. Akan tetapi, akhirnya mereka
berdua menjadi muak melihat betapa pasukan-pasukan Tai Peng mulai melakukan
penyelewengan dan kejahatan dan agaknya tingkah laku mereka itu dibiarkan saja
oleh Ong Siu Coan. Seperti juga banyak para pendekar lainnya, dua orang murid Bu
Beng Kwi ini meninggalkan Tai Peng dan pulang ke tempat tinggal guru mereka.
#Demikianlah, suhu. Teecu berdua meninggalkan pasukan tai peng, melihat
penyelewengan dan kejahatan yang dilakukan oleh pasukan itu. seperti para
pendekar lain yang tadinya membantu pasukan Tai Peng sehingga gerakan itu
berhasil, teecu berdua juga sudah berusaha untuk melakukan protes dan laporan
kepada Ong-bengcu sebagai pimpinan. namun, semua laporan tidak diperhatikan,
bahkan pernah Ong-bengcu mengatakan bahwa sudah sewajarnya kalau para perajurit
mendapatkan sedikit kesenangan setelah semua jerih payah dan taruhan nyawa dalam
perang.# Ceng Kok Han menutup ceritanya. Bu Beng Kwi mengangguk-angguk.
#Sudah kuduga semua itu, Dan aku sudah mendengar desas-desus tentang sepak
terjang mereka sehingga diam-diam aku mengkhawatirkan kalian. Apalagi ketika
terjadi malapetaka yang menimpa para pengungsi yang diganggu oleh pasukan Tai
Peng, termasuk sutemu ini dan ibunya, makin yakinlah aku bahwa Ong Siu Coan dan
pasukannya bukanlah pejuang-pejuang yang dapat diharapkan akan mengangkat nasib
rakyat jelata.#
#Benar, suhu. Para perajurit Tai Peng kemasukan banyak orang-orang jahat. Mereka
memang mengaku sebagai tentara rakyat, dan mengaku bahwa mereka berjuang demi
rakyat, untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Mereka mengatakan
bahwa perjuangan mereka murni, namun nyatanya mereka melakukan perbuatanperbuatan
yang jahat, merampok, membunuh dan memperkosa, tidak memiliki
perikemanusiaan seperti binatang-binatang buas yang hanya mengenal hukum rimba.
Kini jelas dapat dilihat betapa rakyat yang hidup di daerah kekuasaan Tai Peng
bahkan menderita lebih hebat daripada sebelum daerah itu dibebaskan. Mereka
menjadi penguasa-penguasa yang lebih kejam daripada penjajah Mancu sendiri!#
kata pula Li Hong Cang. Percakapan mereka terhenti ketika Sheila masuk ke
ruangan itu membawa hidangan minuman bagi mereka semua. Bu Beng Kwi sejenak
memandang wanita itu dan setelah Sheila kembali ke dapur, dia berkata kepada Han
Le,
#Han Le, engkau bantulah ibumu. Kami akan membicarakan urusan penting yang tidak
kau mengerti.# Han Le mengangguk dan bangkit tanpa membantah. setelah tiba di
dapur, dia dihujani pertanyaan oleh ibunya. Han Le memberi keterangan sebisanya
dan mendengar bahwa dua orang suheng dari puteranya itu baru saja pulang
berjuang membantu balatentara Tai peng yang kini menduduki sebagian dari daerah
selatan, Sheila menarik napas panjang.
#Negara ini dilanda perang saudara tiada hentinya. Aih, Henry, mendiang ayahmu
dahulu juga seorang pejuang yang amat gagah perkasa.# Han Le mengerutkan
alisnya.
#Ibu, apakah ayah juga membantu pasukan Tai Peng menentang pasukan Mancu?#
#Ya, memang tujuan mereka sama, yaitu menghapuskan penjajah, akan tetapi ayahmu
tidak membantu Tai Peng.#
#Tentu ayah tidak seperti orang-orang Tai Peng yang jahat itu, ibu. Kedua
suhengku itupun meninggalkan Tai Peng karena orang-orang Tai Peng berobah jahat
sekali!#
#Kau benar, anakku. Engkau belajarlah baik-baik, agar kelak dapat menjadi
seorang gagah perkasa, seorang pendekar yang menentang kejahatan.#
#Seperti ayah, ibu?#
#Ya, seperti ayahmu, seperti gurumu yang gagah perkasa dan budiman itu.#
Sementara itu, Bu Beng Kwi masih bercakap-cakap secara serius dengan kedua orang
muridnya..
#Perjuangan seperti yang dipimpin oleh Ong Siu Coan itu tidaklah sehat lagi,#
kata Bu Beng Kwi. #Perjuangan Tai Peng yang tadinya diharapkan untuk dapat
membebaskan rakyat daripada cengkeraman penjajah, ternyata bahkan membuat rakyat
menjadi semakin celaka, seperti terlepas dari mulut harimau masuk dalam
cengkeraman serigala.#
#Memang demikianlah, suhu.# kata Ceng Kok Han. #Dan kini terjadi pemberontakan
di selatan, Suku Bangsa Nien-fei, bahkan teecu mendengar bahwa suku Miau di
Kwei-couw juga mulai bangkit dan memberontak. Kalau begini, berarti bangsa kita
bahkan akan terpecah belah tidak karuan.#
#Belum lagi diingat ancaman bangsa kulit putih dari pantai timur,# kata pula Li
Hong Cang. #Suhu, kalau dibiarkan pemerintah dihantam dari kanan kiri dan
keadaan menjadi semakin kacau, maka rakyatlah yang akan menderita hebat.
Terutama sekali harus dicegah penberontakan Tai Peng itu sampai dapat
menaklukkan semua daerah, karena bangsa kita akan mengalami nasib lebih
mengerikan lagi di bawah memuasaan orang-orang yang kini memimpin Tai Peng, yang
terdiri dari penjahat-penjahat yang bersembunyi di balik agama baru dan
perjuangan.# Bu Beng Kwi mengangguk-angguk.
#Para pendekar sudah meninggalkan Tai Peng, berarti bahwa mereka sudah melihat
kenyataan akan kejahatan orang-orang Tai Peng dan tidak mau membantu gerakannya.
Kiranya hanya para pendekar yang dapat bersatu dan bangkit menentang Tai Peng.#
#Teecu kira hal itupun tidak mudah dilakukan, suhu.# kata Ceng Kok Han. #Tai
Peng telah merupakan balatentara yang amat besar dan kuat. Kalau para pendekar
bersatu, berapa besar kekuatan mereka? Pula, karena mereka datang dari berbagai
aliran yang mempunyai pendapat berbeda, kiranya tidak mudah mempersatukan
mereka.#
#Hemm, beralasan juga kata-katamu. Lalu, bagaimana baiknya? Orang-orang muda
seperti kalian, tidak mungkin akan berpangku tangan saja melihat kelaliman Tai
Peng.#
#Teecu berdua sute telah bersepakat untuk minta pendapat dan perkenan suhu.
Teecu berdua ingin mengajak kawan- kawan seperjuangan, antara para pendekar
untuk bersama-sama membangkitkan semangat rakyat di pedesaan, perlahan-lahan
menyusun kekuatan dengan mendirikan lascar yang kuat yang bertujuan
menyelamatkan tanah air dan bangsa. Kalau perlu, laskar kami akan membantu
pemerintah Mancu untuk memadamkan semua pemberontakan yang sifatnya hanya
pengejaran ambisi tanpa mementingkan penderitaan rakyat, karena pemberontakpemberontak
macam Tai Peng dan lain- lain itu bahkan menjadi penghambat
perjuangan menumbangkan kekuasaan penjajah.#
#Membantu pemerintah Mancu, bekerja sama dengan pemerintah penjajah?# Bu Beng
Kwi berseru kaget dan memandang dua orang muridnya itu.
#Maksud suheng hanya untuk sementara, suhu,# kata Li Hong Cang.
#Untuk dapat menghancurkan kekuatan yang berbahaya seperti Tai Peng, dibutuhkan
pasukan besar dan sukarlah membentuk laskar sekuat itu untuk menentang Tai Peng.
Maka, untuk sementara, sebaiknya kalau menggunakan kekuatan pasukan pemerintah
untuk menghancurkan Tai Peng dan para pemberontak suku bangsa lain. Setelah itu,
barulah kekuatan disusun sepenuhnya untuk menumbangkan kekuasaan penjajah dari
tanah air.# Bu Beng Kwi mengangguk-angguk,
#Mungkin kalian benar. Terserah kepada kalian. Yang penting bagi kita adalah
bahwa sepak terjang kalian haruslah murni, tanpa pamrih demi keuntungan pribadi,
sepenuhnya ditujukan demi menyelamatkan rakyat dan bangsa kita. Akan tetapi,
kalau cita- cita kalian demikian besar, kalian perlu membelaj ari ilmu memimpin
pasukan, ilmu perang, bukan sekedar ilmu silat. Dan agaknya aku masih menyimpan
sebuah kitab kuno tentang ilmu perang, ilmu pusaka peninggalan Jenderal Gak Hui.
Boleh kalian miliki dan pelajari bersama ilmu perang melalui kitab kuno itu.# Bu
Beng Kwi lalu masuk ke dalam kamarnya, mengambil sebuah kitab tebal yang sudah
amat tua, menyerahkannya kepada dua orang muridnya yang menjadi gembira bukan
main. Sejenak keduanya tenggelam ke dalam kitab itu, membuka-buka lembarannya
dan membaca beberapa bagian penuh kekaguman, Kemudian Ceng Kok Han menyimpannya.
#Maaf, suhu. Teecu percaya semua tindakan suhu tentu sudah dipertimbangkan
semasaknya dan setiap perbuatan suhu berdasarkan kebijaksanaan. Akan tetapi
terus terang saja, teecu dan sute tadi merasa terkejut dan terheran-heran
melihat suhu telah mengambil murid seorang anak dari wanita kulit putih. Teecu
berdua ingin sekali mendengar sebab dan alasannya, kalau suhu tidak keberatan.#
Bu Beng Kwi mencoba untuk tersenyum, namun wajahnya yang kaku itu agaknya sudah
terlalu lama tidak tersenyum maka gerakan mulutnya tidak cukup untuk menunjukkan
sebuah senyuman.
#Pertanyaan kalian memang pantas dan sudah sepatutnya aku memberi penjelasan.
Ibu dan anak itu adalah pengungsi- pengungsi yang ketika pegi mengungsi bersama
penduduk dusun, dicegat oleh pasukan kecil Tai Peng yang mengganggu mereka.
Pasukan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan perkosaan, maka aku turun
tangan menyelamatkan para pengungsi dan membasmi para penjahat yang berkedok
pejuang itu. Anak itu terluka dan pingsan. Ketika aku hendak mengobatinya, aku
melihat bakat yang baik sekali pada tubuhnya, dan aku kasihan kepadanya. Ibunya
tidak mau berpisah dari anaknya dan nekat untuk ikut ke sini, bekerja menjadi
pelayan walaupun aku tidak menganggapnya sebagai pelayan. Sudah hampir setahun
mereka di sini dan Han Le ternyata memang cerdik dan berbakat, sedangkan ibunya
juga seorang wanita yang amat rajin. Lihat saja, bukankah pondok kita ini
menjadi bersih dan taman itu penuh dengan tanaman bunga yang indah?# Dua orang
murid itu sudah cukup mengenal watak suhu mereka. Biasanya, suhu mereka sama
sekali tidak perduli akan keadaan rumah, apalagi bunga dalam taman. Tentu ada
sesuatu yang mendorong suhunya menerima wanita kulit putih itu tinggal di situ.
Mereka memandang dengan sinar mata bertanya-tanya dan agaknya Bu Beng Kwi dapat
menduga bahwa kedua orang muridnya ini masih meragukan kehadiran Sheila dan
keterangannya tadi belum memuaskan hati mereka.
#Baiklah kalian ketahui hal lain yang mendorong aku untuk menerima ibu dan anak
itu di sini. Ketahuilah bahwa mendiang ayah dari anak itu bernama Gan Seng Bu,
seorang pendekar dan pahlawan yang pernah berjuang bersama para pendekar untuk
menentang penjajah dan juga orang kulit putih yang menjual madat.#
#Gan Seng Bu......?# Li Hong Cang berseru.
#Ah, ketika teecu membantu Tai Peng bersama para pendekar, teecu pernah
mendengar nama ini disebut-sebut dengan kekaguman. Kiranya sute cilik itu
puteranya? Dan wanita kulit putih......#
#Ia adalah isteri mendiang Gan Seng Bu. Pendekar itu pernah menyelamatkan wanita
itu ketika ia masih gadis melarikan diri bersama orang tuanya dan diserbu oleh
para pemberontak. Hampir ia menjadi korban orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Ayah ibunya tewas dan Gan Seng Bu menolongnya. Mereka saling jatuh cinta
dan semenjak itu, ia hidup di dusun di antara para pejuang dan menikah dengan
pendekar itu.# Kini kedua orang murid itu mengerti dan merekapun maklum mengapa
guru mereka menerima ibu dan anak itu. Bahkan diam-diam merekapun merasa setuju
sekali.
Bagaimanapun juga, biarpun rambutnya seperti benang emas dan matanya seperti
warna lautan yang dalam, tidak seperti orang-orang kulit putih yang merusak
hidup rakyat dengan penyebaran racun madat. Bahkan wanita itu telah hidup
belasan tahun lamanya di antara para pejuang, hidup seperti orang dusun dan kini
bahkan bekerja keras seperti seorang pelayan saja membersihkan pondok dan
memperindah suasananya. Diam-diam mereka merasa kagum sekali. Setelah beberapa
hari tinggal di situ, dua orang muda itu segera menjadi akrab sekali dengan Han
Le dan mereka memberi bimbingan kepada anak itu dalam latihan ilmu silat. Han Le
merasa girang sekali dan bangga mempunyai dua orang suheng itu. Bukan hanya
dengan Han Le, bahkan kedua orang muda itu bersikap manis terhadap Sheila.
Janda muda ini adalah sorang kulit putih, tentu saja iapun mudah menjadi akrab
dengan mereka karena baginya tidak ada pantangan dalam keakraban pergaulan
antara pria dan wanita. Apalagi melihat betapa dua orang muda itu adalah
pendekar-pendekar yang gagah perkasa, seperti mendiang suaminya, dan mereka
bersikap demikian baik terhadap puteranya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat
Sheila merasa kurang enak hati. belum sampai sebulan dua orang muda itu berada
di situ, akhir-akhir ini sinar mata mereka terhadap dirinya terasa lain olehnya.
Biasanya hanya ada keramahan dan penghormatan, namun akhir-akhir ini ia dapat
menangkap dengan naluri kewanitaannya betapa dalam sinar mata mereka terkandung
kekaguman yang berlebihan dan mendekati kehangatan dan kemesraan. Pandang mata
mereka penuh arti, juga senyum mereka tidak wajar lagi!
Sheila cukup berpengalaman sebagai seorang janda muda yang sering digoda orang
untuk dapat menangkap perasaan kagum dan suka dalam hati kedua orang muda itu
yang terpancar melalui sinar mata mereka. Tentu saja hal ini membuatnya merasa
kurang enak, walaupun tentu saja ia tidak mau menyatakan sesuatu dan bersikap
wajar saja di depan mereka. Lebih tidak menyenangkan hatinya lagi ketika ia
mendapat menyataan bahwa sejak dua orang muridnya itu pulang, Bu Beng Kwi jarang
sekali keluar dari dalam kamarnya sehingga ia jarang bertemu dengan penolongnya
itu. Akan tetapi sebaliknya, ia sering bertemu dengan dua orang muda yang
nampaknya kini makin suka mendekatinya. Pada suatu sore, ketika Sheila sedang
membersihkan daun- daun kering dari taman di depan rumah, tiba-tiba muncul Ceng
Kok Han yang tanpa banyak cakap lalu membantu pekerjaannya memunguti dan menyapu
daun-daun kering itu.
#Aih, sudahlan, Ceng-sicu. Tidak perlu kaubantu, ini pekerjaanku sehari-hari,
nanti tangan dan pakaianmu menjadi kotor saja.# kata Sheila menolak dengan
lembut dan tersenyum manis.
#Tidak mengapa, toanio, aku suka membantumu karena aku merasa kasihan kepadamu,#
jawab Ceng Kok Han. Sheila menunda pekerjaannya dan memandang kepada pemuda itu
sambil tertawa kecil.
#Engkau sungguh aneh, sicu. Kenapa kasihan kepadaku? Aku senang melakukan
pekerjaan di sini.#
#Toanio, orang cantik dan sepandai engkau ini sungguh tidak selayaknya hidup
sederhana ini, bekerja keras seperti pelayan......#
#Harap jangan berkata demikian, sicu!# Sheila berkata cepat memotong dan
suaranya mengandung penasaran.
#Ketahuilah bahwa selama bertahun-tahun ini, baru sekarang aku merasakan hidup
penuh kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan. Aku suka sekali melakukan semua
pekerjaan ini, jadi, kalau engkau merasa kasihan, hal itu tidak tepat bahkan
lucu sekali.#
#Toanio, engkau dahulu isteri seorang pendekar perkasa yang terkenal. Sekarang,
selayaknya kalau engkau menjadi seorang isteri dan ibu rumah tangga yang
terhormat dan hidup serba kecukupan. Akan tetapi sebaliknya engkau malah hidup
di tempat yang amat sunyi, jauh tetangga jauh masyarakat. Toanio, kenapa sejak
suamimu meninggal dunia, sudah belasan tahun lamanya, engkau tidak...... tidak
menikah lagi?# Mendengar pertanyaan ini, wajah yang masih cantik dan nampak jauh
lebih muda dari usianya yang sudah tiga puluh tahun lebih itu berubah kemerahan.
Sheila yang sudah mengenal pemuda ini karena sering bercakap-cakap, tahu bahwa
Ceng Kok Han adalah seorang pemuda yang gagah perkasa yang berwatak terbuka dan
jujur, suka mengeluarkan isi hatinya melalui mulut tanpa sungkan lagi. Oleh
karena itu, iapun tidak merasa tersinggung, lalu tersenyum lebar memandang
pemuda itu.
#Wah, Ceng-sicu, engkau ini aneh-aneh saja. Siapakah orangnya yang suka dengan
sungguh-sungguh mengawini aku? Seorang janda dengan seorang anak, perempuan
kulit putih pula yang pada umumnya dianggap musuh. Kalau ada, mereka itu hanya
berniat untuk mempermainkan aku saja. Karena itu aku tidak pernah menerima
lamaran mereka, sicu. Aku harus menjaga kebahagiaan hidup anakku satu-satunya
orang yang kumiliki di dunia ini.#
#Engkau terlalu merendahkan diri, toanio. Engkau seorang wanita yang biarpun
berkulit putih, namun amat cantik, bijaksana dan tidak kalah dibandingkan dengan
wanita pribumi yang manapun.# Wajah itu menjadi semakin merah, dan hatinya
terasa tidak enak karena pujian dari pemuda yang jujur itu semakin berlebihan.
#Sudahlah, sicu, harap jangan bicara tentang itu. Buktinya, sampai sekarang aku
hidup berdua saja dengan anakku dan aku tidak pernah mengeluh.#
#Akan tetapi, tanio, kalau sekiranya toanio ingin merubah kehidupan yang penuh
dengan kesepian ini, kalau saja toanio sudi menerimanya, ada seorang pria yang
dengan sepenuh hati, dengan sungguh-sungguh ingin membahagiakanmu, ingin
mempersuntingmu sebagai isteri tercinta, bukan sekedar main-main seperti yang
kukatakan tadi.# Sepasang mata yang biru itu terbelalak memandang Ceng Kok Han
penuh selidik.
#Sicu.....! Apa...... apa maksudmu......? Siapa siapa yang kau maksudkan itu?#
#Akulah pria itu, toanio. Kalau sekiranya engkau sudi menerima, aku..... aku
meminangmu untuk menjadi isteriku.# Sapu itu terlepas dari tangan Sheila.
Matanya masih terbelalak memandang dan bibirnya yang setengah terbuka itu
gemetar namun tidak dapat mengeluarkan suara. Kemudian ia memejamkan matanya,
tidak tahu harus tertawa atau menangis karena hatinya ingin melakukan keduanya.
Ia ingin tertawa karena geli hatinya bahwa seorang pemuda seperti Ceng Kok Han
menyatakan cinta kepadanya melalui pinangan, dan ia ingin menangis karena merasa
terharu mengetahui bahwa pemuda perkasa seperti Kok Han ini dapat dipercaya
kata-katanya dan tentu sungguh-sungguh merasa suka dan kasihan kepadanya,
Bukan sekedar tertarik dan bermaksud mempermainkan terdorong oleh nafsu berahi
semata. Akan tetapi ia cukup bijaksana untuk tidak melakukan keduanya, tidak
menangis dan tidak tertawa, hanya memejamkan matanya sejenak dan menguatkan
hatinya. Kemudian ia membuka matanya memandang. pemuda itu masih berdiri di
depannya, tegak dan gagah, dengan sikap menanti penuh kesabaran, menanti
jawabannya. Ah, terasa benar olehnya kasih sayang yang hangat terpancar keluar
melalui sinat mata pemuda itu dan iapun tahu benar bahwa hidup sebagai isteri
pemuda ini tentu membawa ketenangan dan ketenteraman, terlindung dengan baik.
Akan tetapi satu hal ia tahu pasti, yaitu bahwa ia tidak memiliki cinta kasih
terhadap pemuda perkasa ini, walaupun ia merasa kagum dan suka.
#Ceng-sicu, harap engkau maafkan aku. Aku adalah seorang wanita yang tidak muda
lagi, usiaku sudah hampir tiga puluh lima tahun. sedangkan engkau baru berusia
paling banyak dua puluh lima tahun. Bukan hanya selisih usia ini saja yang
membuat aku tidak berani menerima pinanganmu, sicu, melainkan karena aku......
aku......#
#Engkau telah menaruh hati kepada orang lain, mencinta orang lain?# Sungguh
seorang laki-laki yang terbuka dan terus terang, pikir Sheila. Maka iapun
mengangguk setelah mengamati hatinya sendiri. Benar, ia telah jatuh cinta kepada
orang lain. Baru sekarang kenyataan ini nampak benar olehnya. Ia telah jatuh
cinta kepada Bu Beng Kwi, kepada penolongnya, penyelamatnya, kepada pendekar
besar yang buruk rupa dan cacat tubuhnya itu! Maka, dengan penuh keyakinan iapun
mengangguk untuk menjawab pertanyaan pemuda itu. Ceng Kok Han menerima pengakuan
wanita itu dengan gagah. Dia memang merasa hatinya tertusuk kekecewaan, namun
dia menerimanya tanpa mengeluh.
#Toanio, katakanlah, dia...... dia berada di sini?# Karena ia berhadapan dengan
seorang pria yang jujur dan gagah perkasa, Sheila meras tidak perlu
menyembunyikan rahasianya dan iapun mengangguk.
#Apakah dia...... sute Li Hong Cang?# Sheila tersenyum lemah dan menggeleng
kepala. Sejenak Ceng Kok Han tertegun dan terbelalak memandang wajah wanita itu,
kemudian dia menundukkan mukanya dan pandang matanya berpancar kekaguman dan
keharuan. Dia lalu menjura dengan dalam dan penuh dengan hormat.
#Ah, toanio, aku semakin kagum kepadamu. sungguh engkau seorang wanita yang
berbudi luhur, seorang wanita yang akan dapat menjadi cahaya terang dalam
kehidupan seseorang dengan cinta kasihmu yang suci murni. Maafkan kelancanganku
tadi, toanio.# Dia menjura lagi. Sheila membalas penghormatan itu dengan hati
terharu.
#Engkaulah yang harus memaafkan aku, sicu, karena aku telah mengecewakan hatimu.
Semoga engkau kelak dapat bertemu dengan jodohmu yang sepadan dengan kegagahan
dan kebaikanmu.# Pemuda itu membalikkan tubuh dan meninggalkan Sheila yang masih
berdiri termenung. kemudian iapun melanjutkan pekerjaannya, diam-diam merasa
kagum kepada murid tertua Bu Beng Kwi itu. Pengalaman yang menegangkan hati
Sheila terulang kembali pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Ia baru saja
mandi dan berganti pakaian, terus pergi membawa pakaian kotor menuju ke pancuran
air di mana ia biasanya mencuci pakaian. baru saja ia mulai mencuci, terdengar
suara lirih memanggil namanya.
#Sheila......!# Tentu saja ia merasa terkejut sekali karena selama berada di
situ, belum pernah ada orang menyebut nama kecilnya begitu saja. Ia cepat
menoleh dan terbelalak melihat bahwa yang memanggilnya adalah Li Hong Cang,
murid kedua dari Bu Beng Kwi. Pemuda tinggi kurus dengan muka putih dan alis
tebal itu telah berdiri di dekatnya dan memandang kepadanya dengan sinar mata
memancarkan kekaguman.
#Eh, Li-sicu! Engkau mengejutkan orang saja!# kata Sheila sambil tersenyum
cerah, memaksa diri untuk bersikap biasa dan menekan debar jantungnya.
#Engkau nakal sekali. Darimana engkau mengetahui nama kecilku, sicu?# Akan
tetapi pancingannya untuk mencairkan suasana dengan senda gurau tidak ditanggapi
oleh Hong Cang yang masih saja bersikap serius dan pandang matanya yang penuh
kagum itu tidak berubah. #Aku tahu dari anakmu. Sheila, engkau sungguh cantik
jelita pagi ini, seperti dewi pagi yang gemilang. Alangkah indahnya rambutmu
itu, seperti benang sutera emas....... Sheila merasa bulu tengkuknya meremang
mendengar pujian ini. Ia tahu akan gawatnya suasana. Pemuda ini tidak main-main
dan seperti juga apa yang dilakukan Ceng Kok Han kemarin, pemuda ini berterang
memujinya dan memperlihatkan perasaan kagum dan cintanya! Karena tidak tahu
harus berbuat apa, Sheila tetap saja bersikap sendau gurau.
#Ih, sicu, jangan memuji berlebihan. Aku hanyalah seorang perempuan tua. Anakku
yang menjadi sutemu itu sudah hampir dewasa!# Ucapannya ini dimaksudkan untuk
mengingatkan dan menyadarkan kembali Hong Cang dari maboknya. Akan tetapi
agaknya pagi itu Li Hong Cang sudah mengambil keputusan, sudah nekat untuk
mengaku cintanya kepada wanita yang membuatnya tergila-gila ini.
#Sheila...... aku memujimu dari lubuk hatiku, setulus cintaku. Aku cinta padamu,
Sheila, dan kalau engkau sudi meneimanya, aku ingin hidup bersamamu sebagai
suamimu. Akan kuajak engkau tinggal di kota, hidup yang layak dan aku akan
membahagiakanmu, Sheila. Sudikah engkau menerima cintaku?, Hampir saja Sheila
tak dapat menahan ketawanya. ia merasa seperti berada di panggung saja, seperti
sedang bermain sandiwara. Baru saja kemarin kok Han menyatakan keinginannya
hendak meminang, kini hong cang menyatakan cintanya! Akan tetapi tentu saja ia
tidak berani mentertawakan pemuda yang nampaknya serius sekali itu. Maka iapun
mengambil keputusan untuk menolaknya dengan halus namun tegas untuk membuyarkan
khayal yang membuat pemuda itu bersikap demikian romantis.
#Li-sicu, maafkan aku dan harap jangan menyesal kalau aku terpaksa mengecewakan
hatimu. Aku tidak mungkin membalas cintamu, tidak mungkin dapat menerima
pinanganmu, pertama karena engkau jauh lebih muda dariku, kita tidak pantas
menjadi suami isteri. Dan kedua karena aku sudah mencinta laki-laki lain. Nah,
maafkanlah aku, sicu.# Alis yang hitam tebal itu berkerut dan muka yang putih
itu menjadi semakin pucat,
#Sheila, engkau...... engkau memilih suheng? jadi engkau mencinta suheng Ceng
Kok Han?# Sheila menggeleng kepala,
#Tidak, bukan dia yang kucinta.# Sepasang mata pendekar itu terbelalak dan
mukanya menjadi kemerahan. Tiba-tiba dia lalu menjura dengan sikap hormat,
#Toanio, maafkan kelancanganku...... engkau sungguh seorang wanita yang luar
biasa, toanio.# Li Hong Cang lalu memberi hormat lagi dan pergi meninggalkan
Sheila.
Dua hari kemudian semenjak dua orang pemuda itu menyatakan cintanya, mereka
pergi meninggalkan pondok itu. Mereka berpamit kepada Sheila dengan sikap
hormat, seperti sikap mereka ketika pertama kali datang. Tidak nampak lagi
tanda-tanda bahwa mereka pernah mengaku cinta, Sinar mata mereka kini sungkan
dan hormat, dan sikap merekapun tetap ramah ketika mereka minta diri. Sheila pun
besikap biasa dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka. Baru setelah mereka
pergi, ia merasa kehilangan karena bagaimanapun juga, kehadiran dua orang muda
itu sedikit banyak mendatangkan perubahan di tempat yang amat sunyi itu. Setelah
mereka pergi, baru ia berani bertanya kepada Han Le ke mana mereka pergi dan apa
yang hendak mereka lakukan.
#Kedua orang suhengku itu berangkat ke kota besar untuk mulai dengan perjuangan
mereka menentang pemberontak Tai Peng, ibu. Kelak kalau aku sudah besar, akupun
ingin mengikuti jejak mereka.# kata Han Le dengan sikap gagah. Dan pada sore
hari itu, ketika Sheila duduk di serambi belakang seorang diri, tiba-tiba muncul
Bu Beng Kwi di depannya.
#Toanio, kenapa engkau menyia-nyiakan kesempatan baik dan rela mengubur dirimu
di tempat sunyi ini?# Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan hati Sheila.
#Taihiap, maafkan aku, akan tetapi apa maksud pertanyaan taihiap ini? Aku tak
mengerti......#
#Engkau telah menolak cinta kasih dua orang muda seperti Ceng Kok Han dan Li
Hong Cang!# Sheila memandang dengan mata terbelalak kaget.
#Taihiap...... tahu akan hal itu?#
#Mereka mengaku kepadaku tentang cinta mereka kepadamu dan minta perkenanku
untuk meminangmu. Aku memberi perkenan, akan tetapi mereka hari ini pergi dengan
hati patah. Toanio, kenapa engkau tidak memilih seorang di antara mereka dan
meninggalkan tempat yang sunyi ini, membangun kehidupan baru yang penuh bahagia
dengan seorang di antara kedua muridku itu? Bukankah mereka itu adalah orangorang
muda yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan akan sanggup melindungimu
selamanya?# Baru sekali ini Sheila mendengar orang ini bicara demikian banyak,
dan bicara dengan suara demikian bersemangat. Akan tetapi kata-kata yang panjang
dan bersemangat ini sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bahkan baginya
merupakan benda runcing yang menusuk perasaannya. Tak terasa lagi Sheila yang
biasanya tabah itu kini menutupi mukanya untuk menyembunyikan air mata yang
bercucuran keluar dari sepasang matanya yang biru. Namun, Bu Beng Kwi telah
melihatnya dan dengan suara mengandung keheranan namun lembut dia bertanya.
#Toanio, kenapa engkau menangis?# Sheila menghapus air matanya. Lalu ia
memandang kepada laki-laki itu. Hanya sebentar mereka bertatap pandang karena Bu
Beng Kwi, seperti biasanya segera menundukkan mukanya.
#Taihiap, demikian bencikah taihiap kepadaku?# Bu Beng Kwi terkejut, sejenak
mengangkat muka, matanya mencorong memandang wajah Sheila akan tetapi lalu
menunduk kembali.
#Apa maksudmu?#
#Taihiap selalu menjauhiku, dan sekarang dengan halus mengusirku. mengapa
taihiap membenciku? Apakah karena aku seorang perempuan kulit putih? Ataukah aku
memberatkan penanggungan taihiap di sini? Kalau benar demikian, katakanlah saja,
taihiap dan aku..... aku akan pergi bersama anakku, aku..... tidak ingin
menyusahkan taihiap yang sudah demikian baik kepada kami......#
#Aku tidak membencimu, toanio. Jangan salah mengerti. Dua orang muridku itu
tertarik dan jatuh cinta kepadamu. Mereka terus terang di depanku dan minta
perkenan dariku untuk meminangmu. Tentu saja aku memperbolehkan karena aku lihat
bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi isteri orang yang bagaimanapun juga.
Akan tetapi engkau menolak mereka, memilih hidup bersunyi diri di sini? Mengapa?
# Sheila merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Ingin mulutnya meneriakkan
bahwa ia tidak mungkin dapat meninggalkan pria ini, bahwa ia tak mungkin
berpisah dari tempat ini, dari Bu Beng Kwi. Akan tetapi tentu saja ia tidak
seberani itu, karena Bu Beng Kwi sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda
keramahan kepadanya, bersikap dingin, bahkan selalu menjauhkan diri. Malah orang
yang diam-diam dipujanya, dijunjung tinggi dan dicintanya ini seperti menyuruh
dua orang muridnya untuk meminangnya!
#Aku sudah merasa senang dan berbahagia sekali di sini, taihiap. Aku tidak ingin
pergi ke manapun juga. Bukankah anakku juga berada di sini? Kami merasa suka dan
merasa aman tenteram hidup di sini, dan kesunyian di sini bahkan merupakan
keheningan yang menyejukkan hati.#
#Benarkah yang kau katakan itu, toanio# Sheila memandang kepadanya dengan sinar
mata berkilat dan wajah berseri.
#Perlukah aku bersumpah, taihap? Semenjak suamiku meninggal dunia, baru sekarang
aku merasakan kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan ketenteraman, dan aku
berbahagia sekali tinggal di sini, taihiap. Kalau boleh, aku ingin tinggal di
sini, selamanya, sampai aku mati.# Kembali Bu Beng Kwi mengangkat muka memandang
dengan sinar mata mencorong ketika mendengar ucapan ini, akan tetapi dia lalu
membalikkan tubuhnya dan berkata, #Aku girang sekali mendengar ini, toanio'. Dan
seperti orang tergesa-gesa diapun pergi meninggalkan Sheila.
#Ya Tuhan, ampunkan semua dosaku...... ya Tuhan, ampunilah saya......# Sheila
tak berani bergerak dan kini kedua pipinya basah oleh air matanya yang mengalir
turun. Sejak tadi ia mengintai dan timbul dugaannya bahwa tentu Bu Beng Kwi
seringkali meratap dan menangis seorang diri seperti itu di waktu malam,
Walaupun baru dua kali ini ia mengintai dan melihatnya. Sekali ini, ratap tangis
Bu Beng Kwi yang minta-minta ampun kepada Tuhan akan dosa-dosanya itu diseling
doa-doa dalam bahasa yang tidak dimengertinya, doa yang biasanya diucapkan oleh
para hwesio. Kiranya Bu Beng Kwi ini pandai pula berdoa seperti pendeta,
pikirnya penuh keharuan. Dosa apa gerangan yang pernah dilakukan orang ini
sehingga kini dia menyesali diri sedemikian rupa? Sukar untuk dipercaya bahwa
seorang gagah perkasa dan budiman seperti Bu Beng Kwi ini pernah melakukan dosa
yang membuat dia begitu menderita dalam penyesalan. Ingin sekali Sheila meloncat
dan berlari keluar untuk merangkul dan menghibur, menyusuti air mata orang itu,
akan tetapi tentu saja ia tidak berani.
#Akulah yang telah membunuh...... akulah yang telah merusak kehidupannya,
terkutuklah perbuatanku itu...... ya Tuhan, ampunilah hambamu ini...... aku
sudah cukup menyiksa diri, menderita, namun hukuman ini masih belum cukup untuk
menebus dosa-dosaku......# Bu Beng Kwi meratap dan menangis, bahkan menjambak
rambutnya sendiri dan ketika dia menjatuhkan diri berlutut, dia membenturbenturkan
kepalanya pada tanah sampai terdengar bunyi berdebukan yang mengerikan
hati Sheila.
Akhirnya dengan suatu keluhan panjang, tubuh Bu Beng Kwi itu terguling roboh dan
rebah terlentang tak bergerak lagi.Sheila memandang dengan bingung dan gelisah.
Tertidurlah orang itu? Ataukah jatuh pingsan? Jangan-jangan dia jatuh sakit,
pikirnya. Selagi ia merasa bimbang dan ragu, menghampiri ataukah tidak, dan
merasa serba salah, tiba-tiba nampak bayangan dua orang berkelebat datang dan
tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang laki-laki. Mula-mula Sheila mengira
bahwa yang datang itu adalah Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, akan tetapi karena
malam itu bulan hanya muncul sepotong dan cuaca remang-remang, ia tidak dapat
melihat jelas.
(Lanjut ke Jilid 07)
Jilid 07
Baru setelah dua orang itu nampak menggerakkan tangan memukul tubuh Bu Beng Kwi,
ia tahu bahwa mereka bukanlah dua orang muda itu dan iapun menjerit melihat Bu
Beng Kwi dipukul.
#Desss.....!." Jerit yang keluar dari mulut Sheila itulah yang menarik kembali
Bu Beng Kwi ke dalam alam sadar, akan tetapi dia telah terkena pukulan yang
keras sekali pada dadanya, yang membuat tubuhnya terbanting keras dan
bergulingan. Sheila menggigil dan tak kuat berdiri, berlutut dan memandang
dengan mata terbelalak penuh rasa gelisah. Akan tetapi, setelah menerima pukulan
hebat pada dadanya dan disusul tendangan keras yang membuat tubuhnya terlempar,
Bu Beng Kwi yang terkejut mendengar jeritan Sheila tadi, dapat meloncat bangun
kembali. Tubuhnya yang tinggi itu nampak bergoyang-goyang sedikit ketika dua
orang lawannya sudah berloncatan datang mendekat.
#Ha, lihat mukanya! Tentu dia ini orangnya!# terdengar seorang di antara mereka,
yang tubuhnya gendut, berkata dengan suara parau dan dalam.
#Benar, Toako, tentu dia orangnya. Hei, benarkah engkau yang berjuluk Bu Beng
Kwi?# kata yang bertubuh tinggi besar dan kedua lengannya panjang sepeti lengan
orang hutan. Bu Beng Kwi menarik napas panjang, merasa betapa dadanya nyeri.
Pukulan orang berlengan panjang tadi mengandung sinkang yang kuat dan dia tahu
bahwa dia telah menderita luka cukup parah di dalam dadanya. Bahkan mulutnya
sudah merasakan darag! akan tetapi, Bu Beng Kwi bersikap tenang ketika dia
melangkah maju menghampiri dua orang itu.
#Siapakah kalian ini, orang-orang pengecut yang tidak tahu malu menyerang orang
yang tidak bersiaga?# tanyanya, suaranya tenang namun berwibawa.
#Bu Beng Kwi, ingatkah engkau ketika engkau membunuh pasukan Tai Peng dan juga
Tung-hai Siang-liong? Kami adalah rekan-rekannya, kami tokoh-tokoh Tai Peng yang
datang untuk menghukummu. Berlututlah agar kamu menyerah dan kami bawa menghadap
pimpinan kami di Nan-king,# kata yang berperut gendut. Kini Bu Beng Kwi sudah
dapat memulihkan tenaganya dan pandang matanya sudah terang kembali. Dia melihat
bahwa dua orang itu ternyata mengenakan jubah pendeta, dan rambut mereka
digelung seperti biasa para tosu menggelung rambutnya. Akan tetapi, dia melihat
gambar pat-kwa di dada mereka dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan dua
orang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai pemberontak yang gigih dan
memiliki banyak orang pandai.
#Hemm, kiranya dua orang tosu Pat-kwa-pai!# katanya dengan senyum di kulum.
#Pantas Tai Peng melakukan penyelewengan, kiranya dibantu oleh orang-orang dari
Pat-kwa-pai yang terkenal berkedok agama dan perjuangan untuk mengelabui rakyat
jelata. Benar, aku telah membasmi pasukan kecil Tai Peng yang melakukan
perampokan dan pembunuhan terhadap para pengungsi, dan kemudian Tung-hai Siangliong
yang menyerangku juga roboh binasa. Lalu kalian mau apa?#
#Hemm, manusia sombong. engkau sudah terluka parah dan menghadapi maut, masih
saja membuka mulut besar dan tidak cepat berlutut menyerahkan diri?# bentak si
lengan panjang.
#Hiante, tak perlu banyak cakap, bunuh saja dia!# kata yang berperut gendut dan
diapun cepat menerjang ke depan, mengirim tendangan ke arah perut Bu Beng Kwi.
Si gendut ini agaknya memang ahli tendang yang amat lihai. Biarpun perutnya
gendut sekali, namun kakinya dapat terangkat tinggi, cepat seperti kilat
menyambar dan mengandung tenaga yang kuat sekali ketika dia menendang. Tendangan
ini tadi pernah membuat tubuh Bu Beng Kwi terlempar jauh. Akan tetapi sekali ini
Bu Beng Kwi telah siap siaga. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih dan
melihat datangnya tendangan, dia bukan mengelak bahkan melangkah maju menyambut
tendangan itu. Dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata, tahu-tahu
dia telah menangkap tumit kaki yang menendang itu, terus mendorong kaki itu ke
atas dengan kekuatan penuh, sedangkan tangan kanannya memukul ke arah perut
gendut itu dengan tangan terbuka.
#Hukkk!!# Tubuh si gendut itu terlempar jauh ke belakang setelah perutnya
dimasuki tangan itu. Tubuh yang gendut itu terbanting keras di atas tanah dan si
gendut itu tidak dapat bangun, hanya mengaduh-aduh memegangi perutnya yang
terasa mulas dan kepalanya yang benjol-benjol karena ketika terbanting tadi,
kepalanya bertemu dengan batu yang keras. Si tinggi besar menyerang pada detik
berikutnya, tidak mampu menolong temannya dan kedua lengannya yang panjang itu
sudah menyambar, yang kiri mencengkeram ke arah kepala Bu Beng Kwi sedangkan
yang kanan menghantam ke arah lambung. Serangannya dahsyat dan kuat bukan main
sampai terdengar suara angin bercuitan ketika kedua lengan panjang itu bergerak.
Akan tetapi Bu Beng Kwi yang sudah marah bukan main itu tidak memberi kesempatan
kepada lawan kedua ini. Sebetulnya, kalau saja Bu Beng Kwi tidak terluka karena
serangan gelap ketika dia dalam keadaan tidak sadar tadi, mungkin dia tidak akan
menurunkan tangan besi karena tingkat kepandaian dua orang itu masih jauh di
bawah kalau dibandingkan dengan tingkatnya. Begitu melihat lengan yang tadi
memukulnya menyambar, dia memapaki dengan tangan kanannya, menangkap tangan yang
mencengkeram ke arah kepalanya. Dua tangan yang jari-jarinya terbuka itu saling
bertemu dan saling cengkeram, sedangkan lengan kiri Bu Beng Kwi menagkis tangan
yang menghantam lambung, dan meneruskan tangkisan itu dengan mendorong dada
lawan dengan telapak tangan yang menangkis itu.
#Aughhhh......!# Si tinggi besar menjerit kesakitan karena lima buah jari yangan
kirinya yang saling cengkeram dengan tangan kanan lawan itu terasa nyeri dan
terdengar tulang-tulang lima jarinya patah-patah, kemudian setelah pukulannya
pada lambung tertangkis, tiba-tiba telapak tangan Bu Beng Kwi sudah mengenai
dadanya.
#Desss....... Tubuhnya terlempar dan menimpa tubuh si gendut! Dua orang tokoh
Pat-kwa-pai itu adalah orang-orang yang sudah cukup tinggi tingkatnya di
perkumpulan mereka, karena mereka adalah tokoh tingkat tiga. Maka dapat
dibayangkan betapa terkejut hati mereka ketika menghadapi Bu Beng Kwi, dalam
segebrakan saja mereka telah menderita luka parah.
Mereka menjadi ketakutan dan sambil setengah merangkak dan saling bantu,
keduanya bangkit melarikan diri tinggang langgang tanpa pamit lagi. Bu Beng Kwi
tidak melakukan pengejaran, melainkan berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang
lebar, gagah dan menakutkan lawan. diam-diam Sheila yang nonton semua peristiwa
itu, merasa kagum. Pahlawannya, penolongnya itu memang hebat bukan main! Akan
tetapi, wanita ini menjerit ketika melihat betapa tiba-tiba tubuh yang jangkung
itu terkulai dan roboh di atas tanah di dalam kebun itu! Sheila melupakan semua
rasa sungkan dan takut, lalu ia berlari menghampiri. Melihat Bu Beng Kwi rebah
miring, ia lalu berlutut dan memeriksa. ketia dalam cuaca remang-remang itu ia
melihat wajah yang pucat itu, dan darah berlepotan mengalir keluar dari
mulutnya, ia menjadi panik.
#Taihiap......!# Ia menubruk dan mengguncang-guncang pundak Bu Beng Kwi. #Ahh,
taihiap...... sadarlah......! Taihiap......!# Melihat betapa ketika diguncang
itu Bu Beng Kwi sama sekali tidak bangun, bahkan kepalanya nampak lemas terkulai
seolah-olah dia sudah tidak bernyawa lagi, Sheila menjadi khawatir sekali.
Diguncang-guncang tubuh itu, didekapnya kepala itu, dipanggil- panggilnya, namun
tetap saja Bu Beng Kwi tidak bergerak.
#Ibu, ada apakah, ibu?#
#Ahh, Henry, cepat bantu aku. gurumu telah berkelahi dan dia terluka parah. Mari
kita angkat tubuhnya ke dalam pondok,# kata Sheila ketika melihat munculnya Han
Le yang terkejut dan terbangun dari tidurnya mendengar jerit ibunya tadi. Han Le
terkejut, hampir tak dapat percaya bahwa gurunya dapat terluka patah dalam
perkelahian. namun dia tidak bertanya lebih lanjut, membantu ibunya dan dengan
sudah payah mengangkut tubuh Bu Beng Kwi yang berat itu, setengah menyeret dan
setengah mendukungnya, masuk ke dalam rumah dan erus k dalam kamar Bu Beng Kwi.
Setelah tubuh itu direbahkan di atas pembaringan dan Sheila menyalakan lma
batang lilin, ia semakin gelisah melihat betapa wajah yang buruk itu nampak sama
sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda hidup. Hanya ketika ia meraba dadanya,
jantungnya masih berdetak dan napasnya, walaupun lambat, masih berjalan.
#Cepat, kau masakkan air, Henry!# kata Sheila. Anaknya itu tanpa bertanya apapun
cepat melaksanakan perintah ibunya. Sheila menyuruh Han Le karena ia sendiri
tidak sampai hati meninggalkan Bu Beng Kwi. Ia mempergunakan kain putih yang
dibasahi dengan arak yang menghapus darah yang berlepotan di mulut Bu Beng Kwi.
Hati Sheila takut bukan main tajut bukan main, khawatir kalau-kalau penolongnya
itu tewas. membayangkan betapa penolongnya itu tewas, tak terasa lagi air
matanya bercucuran dan iapun menangus sambil merangkul leher yang kokoh kuat
itu. Ia menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu sambil menangis.
Ketika Han Le masuk membawa air panas, dia melihat ibunya menangis dalam keadaan
seperti itu dan diam-diam anak ini merasa heran, juga terharu. Dia sendiri amat
sayang kepada gurunya, akan tetapi tak pernah ia melihat ibunya demikian dekat
dengan gurunya. Diapun membantu ibunya mencuci muka, kaki dan tangan gurunya
dengan air panas, terutama sekali menggunakan kain yang direndam air panas untuk
memebersihkan dada dan tubuh atas yang telah ditelanjangi karena ketika Sheila
memeriksa, dia melihat tanda tapak tangan menghitam pada dada yang bidang itu.
Bu Beng Kwi memang terluka parah dan kalau saja dia tidak memiliki tubuh yang
terlatih dan amat kuat, tentu pukulan dahsyat yang dilakukan lawan ketika dia
dalam keadaan tidak sadar itu sudah menewaskannya. Dia belum tewas, akan tetapi
luka parah itu membuat dia tidak sadar selama tiga hari tiga malam!
Dan selama itu, Sheila tak pernah meninggalkannya lama-lama. Bahkan wanita ini
hampir tidak makan, juga tidak pernah tidur walaupun puteranya membujuknya.
Sheila merawat Bu Beng Kwi, menyuapkan air bubur encer ke dalam mulut yang masih
mampu menelan dalam keadaan setengah sadar namun masih selalu memejamkan mata
dan tak pernah mengeluarkan suara itu. Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Bu
Beng Kwi menggerakkan pelupuk matanya, tubuhnya tergetar sedikit, dan diapun
membuka kedua matanya. Dilihatnya Sheila tertidur sambil bersandar pada kursi di
dekat pembaringan, sambil berlutut di bawah pembaringannya, Sedangkan Han Le
duduk di tepi pembaringan. Anak itu tadinya melenggut karena kantuk, akan tetapi
agaknya dia merasa bahwa gurunya bergerak, maka diapun cepat mendekatkan
mukanya.
#Suhu......!# katanya lirih.
#Ssttt......# Bu Beng Kwi memberi tanda agar anak itu tidak berisik sambil
melirik ke arah Sheila yang tidur pulas bersandarkan kursi. #Jangan ribut, ibumu
sedang tidur.# Sambil berbisik Han Le berkata,
#Benar, kasihan ibu. sudah tiga hari dua malam ia tidak tidur dan baru malam ini
saking lelahnya ia tertidur dan teecu menggantikannya menjaga suhu.# Bu Beng Kwi
terkejut.
#Tiga hari tiga malam? Kau maksudkan aku pingsan selama itu......?#
#Benar, suhu. Dan ibu selama itu menjaga suhu, menyuapkan air bubur,
membersihkan tubuh suhu......# katanya dengan bangga.
#Ahhh......!# Bu Beng Kwi membuang muka agar anak itu tidak melihat betapa kedua
matanya menjadi basah. seringkali dia merasa heran mengapa semenjak bertemu
dengan Sheila, seringkali dia tidak dapat menahan mengalirnya air matanya,
bahkan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Padahal, dahulu dia tidak
pernah mengenal tangis! Walaupun pernah dia menyesal secara mendalam, namun baru
setelah dia bertemu Sheila saja dia banyak menangis. Hatinya diliputi keharuan
yang mendalam dan iapun memejamkan matanya kembali, seperti hendak mengusir
bayangan betapa wanita itu selama tiga hari tiga malam menjaganya tanpa tidur,
mungkin tanpa makan, merawatnya penuh perhatian.
Bayangan ini seperti pedang berkarat yang menghunjam dan menembus jantungnya,
membuat napasnya menjadi sesak dan kesehatannya yang belum pulih kembali itu
tidak kuat menerimanya, membuat dia terkulai dan pingsan lagi. Han Le mengira
suhunya tertidur, maka dengan hati lega karena suhunya sudah sadar dan bicara,
diapun duduk melenggut dan akhirnya diapun terkulai dan tertidur di tepi
pembaringan. Ketika Sheila terbangun, dilihatnya puteranya tertidur pulas di
tepi pembaringan, dan Bu Beng Kwi masih seperti malam tadi, rebah seperti orang
pulas atau pingsan. Akan tetapi dengan hati agak lega dilihatnya betapa tarikan
napas Bu Beng Kwi sudah panjang-panjang dan lancar, juga ketika ia menyentuhnya,
kaki tangannya sudah hangat dan merah, tidak pucat dingin seperti kemarin.
#Henry, bangunlah dan cepat masak air dan masak bubur,# katanya menggugah
puteranya. Han Le terbangun.
#Ibu, semalam suhu telah sadar dan bicara sebentar denganku.#
#Ah, benarkah? Atau engkau hanya bermimpi? Buktinya engkau tertidur pulas.# Han
Le menjadi ragu sendiri. Benarkah dia melihat suhunya sadar? Ataukah hanya mimpi
belaka? Diapun cepat turun dan pergi ke dapur, sementara Sheila pergi mencuci
muka dan membersihkan badan. Ia melakukan hal itu cepat-cepat karena tidak tega
meninggalkan Bu Beng Kwi terlalu lama. Ia sudah kembali berlutut di tepi
pembaringan dan melihat betapa orang itu masih juga belum sadar, ia memegang
tangan Bu Beng Kwi.
#Taihiap, sembuhlah, taihiap. Kasihanilah aku, karena hanya engkau seoranglah
gantungan harapanku, engkau seoranglah yang dapat membahagiakan hidupku, dapat
membimbing dan mendidik puteraku. Taihiap, kasihanilah aku dan segera
sembuhlah......# Dengan girang Sheila merasa betapa ada hawa panas menjalar dari
telapak tangan yang lebar itu ke dalam tangannya, dan ia merasa pula betapa
jari-jari yangan itu gemetar sedikit. ketika ia melihat perlahan-lahan Bu Beng
Kwi lepaskan pegangannya, kemudian membuka matanya, Sheila girang bukan main.
#Taihiap......! Engkau telah sembuh, bukan?# Bu Beng Kwi membuka matanya,
memandang kepada wajah Sheila sampai beberapa lamanya, kemudian dia menarik
napas panjang dan bangkit duduk. Ketika Sheila hendak merangkulnya dan
membantunya duduk, dengan tangannya dia menolak dan dia duduk sendiri.
#Gan, toanio, lukaku parah juga, perlu pengobatan. Akan tetapi aku sudah mampu
megobati diri sendiri sekarang, dan banyak terima kasih atas kebaikanmu selama
aku sakit, toanio. Sekarang, beristirahatlah dan biarkan muridku Han Le yang
melayaniku. Keluarlah, toanio.# Tentu saja ada perasaan kecewa di hati wanita
itu yang ingin terus melayani sampai orang itu sembuh benar. Akan tetapi,
mendengar suara yang berwibawa itu, yang bersungguh- sungguh, dan sinar mata
yang mulai mencorong itu, iapun tidak berani membantah. Pula, ia harus bertukar
pakaian dan membersihkan diri benar-benar karena selama beberapa hari ini ia
tidak sempat. Juga makan. Ia harus makan kalau tidak ingin jatuh sakit.
#Baiklah, taihiap, semoga engkau lekas sembuh.#
#Terima kasih toanio.# Setelah sekali lagi menatap wajah buruk itu dengan sinar
mata penuh kebahagiaan karena kini orang itu sudah sadar, dan wajahnya juga agak
pucat karena kurang makan dan tidur itu berseri, Sheila meninggalkan kamar itu.
Ia segera menuju dapur terlebih dahulu untuk membantu puteranya memasak bubur
encer dan air teh, kemudian menyuruh puteranya melayani Bu Beng Kwi sebaik
mungkin.
#Layanilah dia baik-baik, anakku. Dia telah sadar dan tentu akan sembuh kembali.
Ingat, kalau ada apa-apa cepat beritahu aku. Aku ingin sekali melihat dia sembuh
kembali seperti sediakala.#
#Ibu, susah benarkah hatimu ketika suhu sakit?# Han Le tiba-tiba bertanya,
tangan kanan memegang panci bubur dan tangan kiri cerek teh.
#Tentu saja, bukankah kasihan melihat dia menderita?#
#Ibu sangat mencinta suhu, ya? Seperti juga aku.#
#Tentu, Henry. Dia orang baik.#
#Dia orang baik, ibu. Apakah ayah dulu juga sebaik suhu? Suhu selalu bercerita
bahwa ayahku adalah orang yang paling baik dan paling gagah di dunia ini, dan
selalu berpesan kepadaku agar aku kelak menjadi orang gagah seperti ayahku.#
Sheila menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya.
#Ayahmu juga orang baik sekali, akan tetapi, gurumu juga tidak kalah baik.
Engkau boleh menjadi seperti ayahmu kelak, atau seperti gurumu. Sama saja.
Mereka berdualah orang-orang yang paling baik di dunia ini bagiku.#
#Ibu, berapakah usia ayah ketika dia meninggal dunia?# Sheila menatap wajah
anaknya dengan alis berkerut, tidak tahu apa yang terkandung di hati puteranya
dengan pertanyaan itu, namun ia menjawab juga,
#Masih muda sekali, Henry, baru dua puluh tahun lebih......# Anak itu memandang
ibunya dengan sinar mata tajam yang mengandung penasaran dan keheranan.
#Ayah masih begitu muda kenapa meninggal? Ibu hanya mengatakan bahwa ayah tewas
sebagai pahlawan, seorang pejuang yang gagah perkasa. Akan tetapi bagaimana
matinya, ibu? Apakah dalam pertempuran?#
Ibu muda itu menggeleng kepala. memang ia belum menceritakan tentang kematian
suaminya kepada Han Le, akan tetapi diam-diam, janda ini tidak pernah dapat
melupakan orang yang telah membunuh suaminya secara kejam. Koan Jit! Nama itu
tak pernah dapat terlepas dari ingatannya, nama yang berlumuran darah suaminya,
yang diingat dengan kebencian yang sedalam lautan dan setinggi langit. Koan Jit
pembunuh suaminya yang tercinta, Koan Jit manusia yang dianggapnya paling keji
dan paling jahat di dunia ini. Walaupun ia mendengar betapa kemudian Koan J it
tewas dalam perjuangan sebagai seorang gagah perkasa yang mengorbankan nyawa
demi keselamatan para pimpinan pejuang yang ditawan musuh, seperti yang
didengarnya dibicarakan oleh para pejuang rakyat, namun kebenciannya tak pernah
dapat terhapus dari dalam hatinya.
semula memang ia bercita-cita untuk mengusahakan agar puteranya belajar ilmu
silat sampai mencapai tingkat tinggi agar dapat membalaskan kematian ayahnya dan
agar puteranya itu kelak dapat membunuh Koan Jit yang jahat. Akan tetapi setelah
mendengar kematian Koan Jit, iapun merasa kecewa dan menyesal, dan mengambil
keputusan untuk tidak bercerita tentang musuh besar yang sudah tewas itu kepada
anaknya. Kini cita-citanya berubah dengan sendirinya, dan ia hanya mengharapkan
puteranya kelak akan menjadi seorang gagah perkasa, seorang pendekar dan
pahlawan bagi rakyatnya. Akan tetapi kini, tiba-tiba saja puteranya bertanya
tentang ayahnya. Ia tidak mungkin menyembunyikan lagi dan memang merupakan hak
mutlak puteranya untuk tahu akan keadaan mendiang ayahnya yang belum pernah
dilihatnya itu karena ayahnya tewas selagi Henry berada dalam kandungan.
#Tidak, anakku. Ayhmu tidak tewas dalam pertempurn dan hal ini memang membuat
hatiku penasaran bukan main. Kalau ayahmu tewas dalam perjuangan, selagi
bertempur dengan musuh, maka kematiannya itu akan mengharumkan namanya. Akan
tetapi tidak, ayahmu tewas karena perbuatan seorang manusia iblis yang amat
jahat, seorang manusia yang berhati kejam melebihi iblis, yang dengan curang
telah membunuh ayahmu.#
#Siapakah orang itu, ibu?#
#Namanya Koan Jit, dan dia sebetulnya adalah suheng dari ayahmu sendiri.#
#Ah! Ah, kenapa suheng membunuh sutenya? Di mana orang kejam itu sekarang, ibu?#
Wanita itu menarik napas panjang, merasa menyesal sekali.
#Dia telah mati, anakku.#
#Ahh! Bagaimana dia sampai membunuh ayah, ibu? Aku ingin sekali mendengarnya.#
Sheila lalu menceritakan tentang Gan Seng Bu, ayah puteranya yang menjadi
seorang pendekar dan pejuang yang gagah perkasa.
Thian-tok, seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang terkenal dengan sebutan
Empat Racun Dunia, mempunyai tiga orang murid. Murid pertama adalah Koan Jit
yang menjadi amat lihai dan mewarisi kejahatan gurunya, menjadi seorang tokoh
yang ditakuti seperti iblis saking jahat, cerdik dan lihainya. Murid kedua
adalah Ong Siu Coan yang sekarang menjadi pemimpin barisan pemberontak Tai peng
yang amat terkenal dan telah menguasai seluruh Nan-king dan daerahnya itu. Murid
ketiga adalah Gan Seng Bu. ternyata tiga orang murid itu mempunyai watak yang
berbeda-beda. Koan Jit menjadi seorang yang jahat dan palsu di samping
kelihaiannya. Ong Siu Coan menjadi seorang yang memiliki.ambisi besar ingin
menjadi kaisar. Gan Seng Bu berwatak sederhana dan gagah perkasa.
Biarpun gurunya seorang datuk sesat, namun dia sendiri menentang kejahatan dan
menjadi seorang pendekar, bahkan pejuang yang gagah perkasa. di dalam
perjuangannya ini, dia menyelamatkan Sheila yang kemudian menjadi isterinya.
Ketika Koan Jit menyusup dan mengekor kepada bangsa asing kulit putih, menjadi
seorang perwira dari orang barat, dia menggunakan muslihat untuk mendatangkan
Gan Seng Bu dan Sheila yang sedang mengandung ke markas pasukan barat. Di sini
Gan Seng Bu ditangkap dan dibujuk oleh orang kulit putih untuk membantu mereka
seperti Koan Jit. Namun Gan Seng Bu tidak sudi dan akhirnya dia oleh orang kulit
putih diserahkan kepada Koan Jit. Koan Jit mengajak sutenya itu mengadu
kepandaian, Gan Seng Bu melawan, namun ketika Koan J it terdesak, dia
mempergunakan pistol dan tewaslah Gan Seng Bu di tangan Koan Jit yang licik itu.
#Demikianlah, anakku. Aku membawa jenazah ayahmu ke dusun dan engkau sudah
melihat kuburannya,# kata Sheila menghentikan ceritanya. Han Le menganggukangguk.
Kuburan itu sudah dikenalnya dengan baik, Kuburan ayahnya dan dalam benaknya,
kalau dia mengingat tentang ayahnya, yang nampak hanyalah gundukan tanah itu
saja.
#Lalu bagaimana matinya Koan Jit manusia jahanam itu, ibu?# tanyanya dengan
suara mengandung kebencian. Sheila menarik napas panjang.
#Tuhan agaknya tidak menghendaki agar kita membalas dendam kematian ayahmu,
Henry. Entah apa sebabnya, aku mendengar berita bahwa manusia jahanam itu telah
berubah sama sekali. Dia bahkan membantu para pejuang, dan demi menyelamatkan
para pimpinan pejuang yang tertawan, dia rela mengorbankan nyawanya. Dia tewas
dalam usahanya yang berhasil, yaitu membebaskan para pimpinan pejuang yang
tertawan musuh.#
#Jadi kalau begitu, di antara tiga orang murid dari kakek Thian-tok itu, yang
dua orang telah tewas dan tinggal seorang lagi yang bernama Ong Siu Coan itu,
ibu? Kalau begitu, dia adalah paman guruku. Kaukatakan tadi bahwa dia telah
menjadi pemimpin pasukan besar yang berhasil?#
#Dia juga jahat sekali!# Sheila berkata. #Tahukah engkau siapa pasukan yang
telah membuat kita lari mengungsi, bahkan yang hampir mencelakakan kita pada
waktu kita lari mengungsi itu? Dan siapa pula orang-orang yang telah menyerang
gurumu sehingga terluka? Mereka itu adalah pasukan Tai Peng, dan orang-orang
yang menyerang gurumu itu adalah tokoh-tokoh Tai Peng, anak buah dari Ong Siu
Coan itulah!#
#Ahhh......!# Anak itu tebelalak, merasa kecewa sekali.
#Kalau begitu, dua orang suheng dari mendiang ayah itu jahat semua, yang baik
hanya ayah seorang, sayang dia telah meninggal dunia.#
#Benar, anakku. Akan tetapi, sekarang ada suhumu, dia seorang yang berilmu
tinggi dan berwatak baik sekali, Henry. Jadikanlah dia sebagai contoh, baik
dalam belajar ilmu silat maupun wataknya. Bukankah kedua orang suhengmu itu juga
menjadi pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang gagah perkasa? Engkau bahkan
harus dapat melebihi mereka, anakku, maka belajarlah yang giat dan taati semua
perintah gurumu.#
#Tentu saja, ibu, karena di dalam dunia ini hanya ada dua orang yang kutaati dan
kucinta sepenuh hatiku, yaitu ibu sendiri dan suhu. Bagiku, suhu merupakan
pengganti ayah dan aku selalu mentaatinya.# Sheila diam saja akan tetapi merasa
betapa ada kebahagiaan menyelinap di dalam hatinya karena penyataan anaknya ini.
Menjadi pengganti ayahnya! Dan iapun memejamkan kedua matanya, melamun dan
membiarkan semangatnya melayang-layang. Langit di barat itu merah sekali. Mugkin
inilah yang menyebabkan bukit di mana tinggal Bu Beng Kwi itu olehnya diberi
nama Bukit Awan Merah. Setiap senja, langit di barat menjadi merah seperti
terbakar, membentuk segala macam bentuk aneh-aneh, dan warna merah itu dihias
warna perak dan kebiruan di sana-sini, membat pemandangan yang luar biasa
indahnya.
Bu Beng Kwi seringkali menikmati senja di puncak uang amat sunyi, dimana
terdapat lapangan rumput dihias batu-batu hitam menonjol di sna-sini. seperti
biasa, dia duduk di atas sebuah batu yang halus dan datar, menghadap ke barat.
Akan tetpi sekali ini, dia tidak menikmati keindahan matahari terbenam seperti
biasanya, melainkan duduk melamun. telinganya masih berdengung dan suara Sheila
dan puteranya masih bergema di dalam telinganya, yaitu percakapan yang dilakukan
ibu dan anak iru beberapa hari yang lalu. Dan sejak mendengar percakapan itu, Bu
Beng Kwi lebih banyak termenung di puncak ini, seperti orang kehilangan
semangat. dan seperti juga hari-hari kenarin, setiap kali duduk termenung
seorang diri di tempat itu, dia seperti orang linglung, bicara sendiri dan
kadang-kadang mengepal tinju dan memukul tanah di depannya!
#Harus, aku harus!# Dia menggumam. #Soalnya hanya ada dua, gidup atau mati!
Hasil atau gagal! Aku tidak boleh menjadi seorang pengecut selama hidupku!#
Demikianlah, Bu Beng Kwi bicara seorang diri, tanpa memperhatikan pemandaangan
yang amat indahnya di kaki langit sebelah barat saja. Akan tetapi ketika ada
bayangan orang mendaki buki menghampirinya, dia dapat melihatnya dan seketika
sikapnya berobah. Dia cepat membereskan pakaiannya, duduk di atas batu bersila
dan bersikap biasa, walaupun dia merasa betapa jantungnya berdebar keras
sehingga terdengar nyaring berdegup di telinganya.
#Taihiap, kenapa masih di sini? Sejak tadi makanan malam telah saya persiapkan,
juga kemarin malam dan kemarin dulu malam, akan tetapi tauhiap selalu tidak
menyentuh makanan itu. Sudah beberapa hari tauhiap tidak pernah makan.
kenapakah, tauhiap? Apakah engkau masih sakit?#
#Tidak, nyonya. Saya sudah sembuh.# Sheila datang mendekat, dan duduk di atas
batu yang lebih rendah tak jauh dari batu yang diduduki Bu Beng Kwi. Sejenak
wanita itu nampak canggung dan ragu, akan tetapi ia selalu menelan ludah dan
memaksa diri menyatakan isi hatinya.
#Taihiap, maafkan kelancanganku, akan tetapi...... aku merasa seolah-olah
taihiap selalu menjauhkan diri dariku. Karena itu, timbul keraguan di hatiku,
timbul perasaan takut kalau-kalau aku telah melakukan hal-hal yang tidak
menyenangkan hatimu. Taihiap, katakanlah terus terang, apakah kehadiranku di
tempat ini sebetulnya tidak kaukehendaki? Apakah...... apakah sebetulnya taihiap
membenci aku? Katakanlah terus terang, kebetulan kita mendapat kesempatan untuk
bicara berdua di sini.# Semua ini memang sudah lama berkecamuk di dalam hati
Sheila dan baru sekarang ua kemukakan karena ia merasa tidak tahan tersiksa oleh
dugaan-digaan ini.
#Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan tidak senang, apalagi benci terhadap dirimu,
Gan-toanio.#
#Kalau begitu, kenapa engkau selalu menjauhkan diri dariku, seperti......
seperti orang yang tidak suka bertemu denganku, taihiap? Padahal aku......
aku...... selalu berusaha untuk menyenangkan hatimu......# Bu Beng Kwi turun
dari atas batu itu dan diapun duduk berhadapan dengan Sheila, di atas batu yang
rendah dan lebat. sepasang matanya yang mencorong sinarnya itu menatap wajah
Sheila penuh selidik, akn tetapi Sheila juga memandang kepadanya, tanpa raguragu
dan tidak menundukkan pandang matanya. sejenak mereka saling pandang dan
terdengar Bu Beng Kwi berkata, suaranya gemetar.
#Gan-toanio, harap engkau suka berterus terang kepadaku. kenapa engkau......
demikian baik kepadaku? Engkau bukan saja menyerahkn anakmu dengan tulus ikhlas,
akan tetapi engkaupun bekerja mati-matian di sini untuk menyenangkan hatiku.
bahkan ketika aku erluka, engkau...... ah, tidakkuat aku menerima semua kebaikan
itu. Kenapakah, toanio? Kenapa engkau lakukan semua kebaikan itu? Kenapa engkau
begini baik terhadap diriku?# Sheila menghadapi pertanyaan ini dengan tabah dan
iapun memandang dengan senyum dan wajah berseri,
#Taihiap, mula-mula aku sendiripun tidak mengerti. Mula-mula karena aku
berterima kasih kepadamu bahwa engkau telah menyelamatkan kami dari orang-orang
Tai Peng itu. Kemudian, setelah berada di sini, aku merasa berterima kasih dan
kagum kepadamu, dan akupun mersa amat iba kepadamu, taihiap. Rasa iba ini yang
membuat aku mau melakukan apa saja untukmu karena aku...... aku sayang kepadamu,
aku suka kepadamu, aku kasihan kepadamu dan aku cinta kepadamu, taihiap.#
Sebagai seorang wanita barat, walaupun merasa kikuk, Sheila tentu saja jauh
lebih terbuka daripada wanita umumnya, dan dalam hal cinta mencinta, ia merasa
berhak pula mengemukakan isi hatinya dengan terus terang. Ucapan terakhir itu
seperti pukulan yang menghantam kepala Bu Beng Kwi. Dia tersentak dan kepalanya
terdorong ke belakang, kedua matanya dipejamkan dan ada rintihan halus keluar
dari dadanya, tertahan di kerongkongannya. sejenak dia memejamkan mata dan tidak
menjawab. Sheila memandangnya dan wanita ini merasa terharu.
#Taihiap, aku adalah seorang wanita asing, berkulit putih dan myngkin engkau
berjiwa pejuang benci kepada kulit putih. Akan tetapi, kasihanilah aku karena di
tempat ini aku menemukan kebahagiaan yang selama ini tak pernah kurasakan
semenjak suamiku tewas. Aku merasa bahwa di sinilah tempatku, di sisimu, dan aku
ingin melayani semua kebutuhanmu selama hidupku, taihiap. Hanya engkau seorang
yang dapat kegantungi nasib kami, aku merasa aman tenteram, bahagia dan tidak
kekurangan sesuatu.# Terdengar Bu Beng Kwi menarik napas panjang dan bibirnya
berbisik,
#Ya Tuhan, godaan dan siksaan apalagi yang harus hamba derita sebagai hukuman
dosa hamba......?# Karena bisikannya lirih sekali dan tidak terdengar oleh
Sheila, wanita ini bertanya,
#Taihiap, apa yang kau katakan?# Inilah saatnya, pikir Bu Beng Kwi. selama
beberapa hari ini, bahkan lebih lama lagi, dia tersiksa oleh keputusan yang
harus diambilnya. memang membutuhkan keberanian yang amat besar, dan bahkan
mungkin akan mengorbankan seluruh sisa hidupnya, mengorbankan harapannya,
kebahagiaannya dan segala-galanya. Ini putusan untuk membukanya sekarang juga.
#Sheila......# Panggilan yang baru pertama kali keluar dari mulutnya itu kaku
dan asing, namun terdengar merdu bagi Sheila yang memandang dengan wajah
berseri. betapa ia sudah lama mengharapkan pendekar itu akan menyebut namanya
begitu saja, bukan nyonya atau Gan-toanio seperti biasanya, dengan sikap hormat
dan dingin sekali.
#Ya, taihiap......?# jawabnya dengan suara gemetar pula penuh harap cemas.
#Selama hidupku, aku bergelimang dengan dosa, bahkan aku tidak pernah mengerti,
tidak pernah dapat merasakan apa artinya cinta. Yang ada padaku selama itu
hanyalah nafsu semata, kejahatan, kebencian dan kekejaman. Akan tetapi sekarang,
setelah aku menjadi tua, setelah aku menjadi buruk, menjadi cacat, aku...... aku
telah jatuh cinta...... kepadamu ahhh......# Akan tetapi Sheila tersenyum dan
iapun mendekat, memegang tangan pendekar itu.
#Taihiap! Betapa bahagianya hatiku mendengar itu, taihiap! Apa salahnya kalau
orang yang semulia engkau ini jatuh cinta?#
#Akan tetapi aku sudah tua, usiaku sudah setengah abad".
#Cinta tidak mengenal usia, taihiap, cinta itu kekal dan suci
#Tapi, aku yang begini buruk, seperti setan...... siapapun merasa jijik
melihatku, apalagi seorang wanita sehalus dan selembut engkau......#
#Tidak, taihiap! Engkau seorang laki-laki sempurna, engkau mulia dan cacatmu
hanyalah cacat lahiriah belaka, hanya sedalam kulit. Siapa jijik kepadamu? Aku
tidak! Aku cinta padamu, aku kasihan kepadamu...... siapa bilang jijik......?#
Dan dalam kebahagiaannya mendengar bahwa pria yang dipujanya ini ternyata juga
mencintanya, hal yang sama sekali tak pernah dibayangkannya,
Bahkan agak mengejutkan karena tadinya ia mengira bahwa pria itu benci
kepadanya, Sheila lalu merangkul dan mencium bibir Bu Beng Kwi dengan penuh
perasaan cintanya! Sedu sedan keluar dari dalam dada Bu Beng Kwi, tertahan di
tenggorokannya dan menjadi rintihan ketika dia merasakan bibir yang lembut dan
hangat wanita itu menyentuh bibirnya. Ingin dia meronta dan menolak, namun
seluruh badannya seperti lumpuh dan dia tidak dapat menahan kedua lengannya yang
penuh gairah merangkul dan mendekap, kemudian menekan muka wanita itu ke
dadanya, seolah-olah dia ingin menyimpan tubuh wnita itu seluruhnya ke dalam
hatinya. Akan tetapi, dia sadar dan dengan cepat, namun lembut, dia melepaskan
rangkulannya, bahkan melepaskan diri dari rangkulan Sheila, bangkit berdiri dan
melangkah mundur lima langkah.
#Sheila, jangan...... jangan lagi sentuh diriku...... ah, aku mohon padamu,
jangan engkau siksa hatiku lagi...... lebih baik engkau bunuh aku sekarang juga,
Sheila......# Dan tiba-tiba Bu Beng Kwi menjatuhkan diri berlutut dan
mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, menyerahkan pedang itu kepada
Sheila, mengulurkan gagangnya ke arah wanita itu. Sheila juga bangkit berdiri
dan memandang terbelalak, mukanya pucat dan iapun cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan pria itu.
#Taihiap, apa artinya ini......?# tanyanya, penuh tuntutan karena ia sama sekali
tidak mengerti akan sikap pria itu.
#Sheila, aku seorang laki-laki yang buruk rupa, cacat, dan usiaku sudah lenjut,
sudah setengah abad lebih dan engkau masih muda, baru tiga puluh tahun lebih,
dan engkau cantik jelita. Aku tidak berhak menyeretmu ke dalam ketuaan dan
keburukan. Dan engkau berbudi agung dan mulia, sebaliknya aku..... ah, engkau
tidak tahu orang macam apa aku ini......#
#Aku tahu, taihiap. Engkau adalah seorang pria yang mulia, yang gagah perkasa,
dan dibalik kecacatanmu itu engkau menyembunykan cinta kasih yang suci, engkau
sorang berilmu tinggi, penentang kejahatan. Aku memujimu, taihiap, aku
mengagumimu dan aku mencintaimu......#
#Tidak......! Tunggu dulu, Sheila. buka matamu baik-baik dan lihatlah siapa
aku......!#
Suara itu menggetar dan tidak jelas, dan tangan kiri Bu Beng Kwi meraba mukanya,
kemudian jari-jari tangannya mengupas atau menarik kulit muka itu dan...... muka
itu berobah. Kiranya muka yang seperi setan itu, yang buruk sekali pletatpletot,
yang matanya besar sebelah, hidungnya nyerong dan mulutnya miring,
telinganya kecil, semua itu hanyalah semacam topeng yang amat tipis, seperti
kulit dan kini setelah topeng itu dilepas, nampaklah wajah yang tidak dapat
dibilang buruk, tidak cacat, dengan kulit muka agak gelap. Begitu melihat muka
ini, sepasang mata yang sudah lebar dari Sheila itu terbellak menjadi semakin
lebar, mukanya menjadi pucat seperti tidak ada darahnya lagi, bapasnya terhenti
dan bibirnya berkemak-kemik,
#...... kau...... kau...... Koan...... Koan...... Koan Jit......!# tiba-tiba ia
menjerit nyaring sekali dan tubuhnya terkulai.
#Ibuuuu...... ibuuuu......!# dari jauh terdengar suara Han Le memanggil. Karena
tidak meliht ibunya dan gurunya, anak ini mencari-cari dan akhirnya dia tiba di
kaki bukit dan memanggil-manggil. Bu Beng Kwi mengenakan lagi topengnya, lalu
mengurut tengkuk dan punggung Sheila yang tadi disambarnya dengan tangan
sehingga wanita itu tidak sampai jatuh terbanting ketika terkulai pingsan.
Begitu siuman, Sheila terisak dan teringat, lalu menutupi mulut yang hendak
menjerit lagi, kini terbelalak melangkah mundur sambil menatap wajah yang sudah
mengenakan topeng setan itu lagi.
#Mimpi...... mimpikah aku......? Taihiap...... kau...... kau
#Engkau tidak mimpi, aku bukanlah pendekar budiman seperti yang kau sangka,
Sheila. Aku adalah manusia terkutuk pembunuh suamimu, perusak kebahagiaan
hidupmu, akulah manusia iblis yang amat kejam dan jahat itu. Nah, tusuklah dada
ini dengan pedang, terimalah pedang ini dan balaslah kematian suamimu agar lega
hatimu, lega pula hatiku. Aku siap menerima hukuman di tanganmu....#
Kini tanpa ragu-ragu lagi Sheila menerima pedang itu, digenggamnya erat-erat.
Wajahnya masih pucat dan di dalam keremangan malam yang mulai tiba karena
matahari sudah sejak tadi tenggelam, ia siap menusukkan pedang itu. Ia
mengangkat muka memandang wajah itu, wajah yang amat buruk, wajah yang
mendatangkan rasa iba dan kasih sayangnya, dan tiba-tiba tangan yang memegang
pedang itu gemetar. Akan tetapi ia menguatkan hatinya, mengingat bahwa di balik
wajah itu yang hanya sehelai topeng terdapat wajah musuh besarnya, wajah yang
amat dibencinya, wajah Koan Jit pembunuh suaminya. Tangannya menjadi kuat
#Ibuuuu......!# Tiba-tiba terdengar teriakan Han Le tak jauh di belakangnya, dan
seketika tangan itu menjadi lemas kembali. Hampir saja ia membunuh orang yang
menjadi penolongnya, penolong puteranya, guru puteranya, dan laki-laki yang
dicintanya! Kembali Sheila mengeluarkan suara menjerit, suara yang melengking
karena keluar dari dalam hatinya, suara lengkingan yang mengandung rasa nyeri
bukan main, pedih perih dan duka, dan dibuangnya pedang itu seperti membuang
seekor ular yang menjijikkan. Kemudian, sambil terisak ia membalik.
#Ibu......! Ada apakah......?# Han Le sudah tiba di situ dan memegang tangan
ibunya.
#Henry...... Oohhh...... Henry anakku......!# Sheila merangkul anaknya dan
menangis tersedu-sedu.
#Ibu, ibu...... ada apakah......?# Han Le mengguncang tangan ibunya dan menjadi
bingung, juga penuh kekahawatiran. Dia melihat gurunya hanya berdiri sambil
menundukkan mukanya, seperti patung.
#Suhu ada apakah?# Akan tetapi suhunya tidak menjawab.
#Henry, mari kita pergi dari sini. sekarang juga!# Tiba-tiba Sheila, sambil
masih terisak, memegang lengan anaknya dan ditariknya anaknya, diajaknya lari
menuruni bukit itu.
#Bu, pergi ke mana? Ada apa? Mengapa?#
#Diam! Kau taati saja kata-kataku. Kita pergi sekarang juga!# Dan sambil
berlari-lari Sheila menarik tangan puteranya, diajak pergi dari situ, pergi
meninggalkan pegunungan itu, tanpa tujuan tertentu, kemana saja asal pergi jauh
meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bu Beng Kwi. Dan di sepanjang perjalanan
yang semalam suntuk tanpa pernah mau berhenti, Sheila terus menerus menangis,
membuat Han Le menjadi bingung dan khawatir sekali. Berulang kali dia bertanya
kepada ibunya.
#Ibu, apakah yang telah terjadi? Kenapa kita harus pergi meninggalkan suhu
seperti ini? Begini tiba-tiba dan kita meninggalkan semua pakaian kita?# Ibunya
diam saja, hanya terisak sambil berjalan terus, tersaruk-saruk.
#Ibu, kita hendak pergi ke manakah?# Kembali tidak ada jawaban. #
#Apakah ibu bertengkar dengan suhu? Apakah suhu melakukan sesuatu yang membuat
ibu marah? Ibu, kenapa ibu memisahkan aku dari suhu? Aku sayang kepadanya, aku
ingin belajar silar darinya. Ibu, kenapakah, ibu? Apa yang telah terjadi?# Namun
ibunya diam dalam seribu bahasa, hanya menangis dan terus menarik tangannya. hal
ini membuat hati kecil Han Le menjadi penasaran sekali. Dia berhenti melangkah.
#Ibu, berhentilah. Aku tidak ingin pergi, ibu, aku tidak mau meninggalkan suhu.#
Melihat ini, Sheila berhenti dan menahan isaknya, Di malam yang diterangi
bintang-bintang sejuta di langit itu, hatinya masih penuh dengan perasaan marah
dan kecewa, bingung dan gelisah. Sikap anaknya menambah perasaan marahnya.
#Henry, dengarkan baik-baik. Engkau boleh pilih, ikut aku atau gurumu. Kalau
engkau berat kepada gurumu, kembalilah dan biarkan aku pergi sendiri, biarkan
aku hidup atau mati sendiri......#
#Ibu......!# Henry menubruk dan merangkul pinggang ibunya sedangkan wanita itu
menangis lagi.
#Ibu, tentu saja aku akan ikut engkau. Akan tetapi setidaknya, katakanlah
mengapa kita harus pergi malam-malam begini, dengan mendadak, meninggalkan suhu?
Apakah ibu bertengkar dengan suhu#
#Ya......#
#Apa sebabnya?#
#Engkau...... engkau anak kecil, tidak boleh tahu dan tidak mengerti. Jangan
tanyakan sebabnya. Mari, kita lanjutkan perjalanan.# Melihat kenekatan ibunya,
Han Le tidak berani membantah lagi, namun diam-diam hatinya penuh dengan rasa
penasaran. Sambil melangkah, setelah mereka berdiam diri dan terus berjalan
sampai lama sekali, dia akhirnya mengeluarkan isi hatinya yang ditahan-tahan
sejak tadi, dengan hati-hati.
#Ibu, begitu besarkah kesalahan suhu sehingga ibu tidak dapat memaafkanya?#
#Aku tidak dapat memaafkannya.#
#Kenapa?#
#Jangan tanyakan itu.#
#Tapi, kata ibu, suhu adalah seorang yang paling mulia di dunia ini.....#
#Henry!# Sheila setengah menjerit. #Jangan bicarakan akan hal itu lagi, jangan
sebut-sebut dia didepanku!# Han Le tidak berani bicara lagi dan mereka
melanjutkan perjalanan, dan fajar telah mulai nampak di ufuk timur. Sementara
itu, setelah Sheila dan Han Le pergi meninggalkannya, Bu Beng Kwi merasa seolaholah
seluruh tubuhnya menjadi lumpuh. Dia roboh berlutut dan menangis seperti
anak kecil, sesenggukan dan sama sekali dia tidak mampu mengendalikan
perasaannya. Segala hal yang terjadi di masa lalu, terbayanglah dan membuat
hatinya semakin tertusuk dan perih. Sudah lama sekali dia menyesali diri, sudah
lama sekali dia kembali ke jalan benar, berubah sama sekali dari jalan hidupnya
yang lalu. Namun, belum pernah kejahatannya di masa lalu membuat dia demikian
menyesal seperti saat ini!
Belasan tahun yng lalu, dia terkenal sebagai Hek-eng-mo (Iblis Bayangan Hitam),
ketika namanya masih Koan Jit, murid pertama dari datuk sesat Thian-tok. Dia
tidak mau kalah oleh gurunya dalam kesesatan. kejahatannya membuat dia ditakuti
dan disegani orang. Tidak ada kejahatan yang tidak dilakukannya. Sampai akhirnya
dia menghambakan diri kepada orang kulit putih untuk mencari kedudukan. Dia
diangkat menjadi perwira dan memperoleh kepercayaan dan kamuliaan. Kemudian dia
membunuh Gan Seng Bu, sutenya sendiri yang dianggap sebagai orang berbahaya
baginya. Dibunuhnya dengan curang ketika dia tidak mampu mengalahkannya, yaitu
dalam perkelahian dan dia mempergunakan pistolnya. Akan tetapi akhirnya, semua
cita-citanya gagal. Dia kehilangan harta bendanya yang diambil oleh gurunya
sendiri bersama Ong Siu Coan, kehilangan semua pusaka termasuk Giok-liong-kiam.
Bahkan dia kehilangan kedudukannya, dan dalam keadaan putus asa ini, dia bertemu
dengan Siauw-bin-hud, kakek sakti tokoh besar Siauw-lim-pai, dan kakek inilah
yang menyadarkannya, memberinya sebuah ilmu silat yang berdasarkan ayat-ayat
suci dari kitab suci Agama Buddha. Dan dalam menghafal isi ayat-ayat inilah dia
tersadar dan seluruh kehidupannya berubah sama sekali. Dia menyadari semua
dosanya, menyesal dan bertaubat. bahkan dia lalu turun tangan menolong ketika
para pimpinan pejuang ditawan oleh pasukan pemerintah Ceng dan pasukan kulit
putih. Dia rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan para pimpinan pejuang
itu, membiarkan jalan terowongan menuju ke tempat tahanan itu runtuh menimpa
dirinya untuk menutup terowongan itu sehingga pasukan musuh tidak mampu melakkan
pengejaran terhadap para pimpinan pejuang yang meloloskan diri.
Dia masih teringat akan semua peristiwa itu. Tentu orang-orang, baik dari pihak
para pendekar pejuang maupun dari pasukan musuh, merasa yakin bahwa dia sudah
tewas, tubuhnya hancur dan rusak teruruk terowongan yang runtuh itu. Akan
tetapi, agaknya Tuhan belum ingin mencabut nyawanya. Ledakan alat peledak itu
entah bagaimana, tidak membuat di mati, juga ketika terowongan itu runtuh, ada
batu- batu besar yang runtuh terlebih dahulu dan batu-batu inilah yang
menyelamatkannya karena batu-batu ini menahan semua reruntuhan dari atas.
Biarpun tubuhnya luka-luka, lengannya patah-patah sehingga menjadi bengkok dan
kakinya juga patah-patah sehingga kini dia terpincang-pincang, namun akhirnya
dia dapat lolos dan membuat lubang keluar dari tumpukan batu-batu itu dan
membebaskan diri! Sampai berbulan-bulan dia rebah kesakitan, menderita antara
mati dan hidup.
Namun akhirnya diapun sembuh. Lengan kirinya bengkok-bengkok, kakinya pincang
sebelah dan punggungnya bongkok. Untung bahwa mukanya tidak cacat, akan tetapi
dia tidak mau lagi dunia mengetahui bahwa orang yang bernama Koan Jit masih
hidup. Diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia tidak mati saja. Terpaksa
dia lalu mempergunakan sebuah topeng yang tipis dan seperti kulit, untuk
menutupi mukanya dan muncullah tokoh Bu Beng Kwim sedangkan tokoh Koan Jit sudah
dianggap tidak ada kagi di dunia ini. Bahkan ketika dia mengambil dua orang
murid yang berbakat, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dia adalah Bu Beng Kwi
dan dua orang murid inipun tidak pernah melihat wajah suhu mereka sebagai Koan
Jit! Dia sudah mengambil keputusan yang tetap, bahwa dia akan mati sebagai Bu
Beng Kwi dan selamanya tidak akan pernah membuka kedoknya.
Namun, agaknya Tuhan menhendaki lain! Secara kebetulan sekali, hari itu dia
melihat pasukan Tai Peng menganggu para pengungsi. Dia turun tangan dan dia
dihadapkan dengan Sheila dan puteranya! Tentu saja dia mengenal Sheila dan sudah
ingin meninggalkannya. Akan tetapi kembali Tuhan menghendaki lain. Putera Sheila
itu terluka dan wanita itu mohon kepadanya untuk mengobatinya. Terpaksa dia
tidak dapat menolaknya, mengobati Han Le dan melihat bakat baik pada diri Han
Le, timbul keinginannya untuk mengambil anak itu menjadi murid. Bagaimanapun
juga, anak itu adalah keponakannya sendiri. Bukankah anak itu putera dari
sutenya, Gan Seng Bu, yang mati di tangannya sendiri? Biarlah dia menebus
dosanya dengan mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Han Le!
Demikanlah maksudnya, dan tidak ada maksud lain. Bahkan ketika terpaksa menerima
Sheila yang tidak dapat terpisah dari puteranya, dia tidak mempunyai niat lain.
Biarkan ibu itu menemani puteranya dan setelah tamat belajar, Han Le tentu akan
pergi bersama ibunya. Itu kehendaknya. Namun, Tuhan menghendaki lain! Tanpa
diduganya sama sekali, dia telah jatuh cinta kepada Sheila! Dahulu sekali,
ketika Sheila menjadi isteri dari sutenya, yaitu Gan Seng Bu, pernah dia
memandang wanita itu dengan kagum. Namun, ketika itu, yang timbul dalam
perasaannya hanyalah nafsu saja, nafsu berahi seperti kalau dia melihat wanita
cantik lainnya. Akan tetapi sekarang lain lagi! Dia benar-benar jatuh cinta! Dia
merasa kasihan, kagum dan juga berdosa terhadap wanita itu, yang kehilangan
kebahagiaannya karena dia!
Dan dia melihat betapa wanita itu sungguh memiliki watak yang amat halus, mulia
dan membuat dia merasa tergila-gila. Namun, semua ini ditahannya dan dia rela
tersiksa oleh cintanya ini sampai hampir setiap malam dia menangisi dirinya,
gelisah dan rindu seorang diri! Dia berniat untuk mempertahankan diri,
merahasiakan cintanya dan tidak akan mengaku, tidak akan mengganggu Sheila. Akan
tetapi, hal yang sama sekali tak pernah disangka atau diimpikannyapun
terjadilah. Sheila jatuh cinta pula kepadanya! Sheila, wanita yang demikian
cantik jelita, yang demikian halus budi pekertinya, wanita yang semulia-mulianya
wanita, masih muda dan cantik, dapat jatuh cinta kepada seorang manusia berwajah
setan seperti dia! Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercaya, tidak dapat
diterimanya.
Namun, dia melihat buktinya ketika dia dalam keadaan sakit. Betapa Sheila
menjaga dan merawatnya tanpa memperdulikan kesehatan dirinya sendiri. tidak
makan tidak tidur sampai tiga hari. dan seringkali menangisinya, mengira dia
pingsan dan tidak menduga bahwa dia mendengar semua ucapan Sheila yang jelas
menyatakan harapan dan cintanya. Hal inilah yang amat menyiksa hatinya. Dia
jatuh cinta kepada Sheila, hal ini masih belum hebat dan kiranya dia akan dapat
menahan perasaannya, diam-diam membiarkan hatinya yang menderita siksaan penuh
rindu dendam, penuh rasa cinta yang tak dapat disampaikannya. Akan tetapi,
sungguh merupakan hal yang luar bisa hebatnya, yang amat menyiksa hatinya ketika
dia mendapat kenyataannya bahwa Sheila juga mencinta dirinya, mencinta dengan
tulus ikhlas, cinta yang murni.
Cinta mereka berdua bukan sekedar cinta nafsu belaka, bukan karena dorongan
berahi. Cinta mereka digerakkan oleh sesuatu yang lebih dalam lagi, membuat
mereka masing-masing merasa betapa mereka saling membutuhkan dan agaknya tidak
akan dapat hidup bahagia kalau tidak hidup bersama. Dia harus mengakhiri siksa
keraguan ini dengan kenyataan. Sheila amat membenci kepada Koan Jit dan menaruh
dendam setinggi langit. Akan tetapi, Sheila juga mencinta Bu Beng Kwi! Maka, dia
harus membiarkan wanita ini memilih satu di antara dua. Benci atau cinta,
walaupun hal itu berarti mati atau hidup baginya. Dia harus membuka kedoknya,
memperkenalkan diri, membuka rahasianya bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit. Hal
ini membutuhkan keberanian yang luar biasa. Belum pernah selama hidupnya dia
dihadapkan dengan rasa takut dan khawatir seperti itu.
Dan dia tetap melakukannya. Dan Sheila telah memilih. Sheila tetap membenci Koan
Jit dan karena ternyata oleh wanita itu bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit, maka
Sheila telah mengambil keputusn. Pergi meninggalkannya. Pergi begitu saja,
membawa puteranya, muridnya yang amat disayangnya! Habislah sudah! Bahkan Sheila
masih menambahkan penderitaannya, yaitu bahwa wanita itu tidak mau membunuhnya!
Membiiarkan dia hidup untuk menderita siksa batin yang lebih hebat dan lebih
lama lagi. Kalau saja Sheila tadi menusukkan pedang itu, dia tentu sudah mati
dan siksaan itupun sudah habis. Kini dia menangis seorang diri, mulai disiksa
oleh perasaan sesal, kecewa, duka yang amat mendalam, merasa betapa hidupnya
kosong dan sunyi, membuat dia kesepian ditinggalkan dua orang yang paling
disayangnya dalam hidupnya. Apa bedanya ini dengan mati?
Tiba-tiba Bu Beng Kwi menghentikan tangisnya, duduk bersila sambil termenung.
Perlahan-lahan mulutnya membentuk senyum, biarpun senyum yang menyedihkan,
senyum mengandung duka. Dia tidak takut mati, kenapa takut siksaan ini? Bukankah
dia selalu mengharapkan hukuman bagi dosa-dosanya? Dan kini hukuman itu tiba,
hukuman dari satu di antara kejahatannya. Mengapa dia harus menerimanya dengan
keluh kesah? Biarlah, selamat datang hukuman, datanglah dan siksalah diriku
lahir batin, biar lunas hutangku, demikian pikiran ini menenangkan batinnya.
Diapun lalu bangkit dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari puncak bukit itu.
Setelah berjalan dengan susah payah, semalam suntuk, pada pagi harinya, Sheila
dan Han Le berhenti di tepi sebuah hutan karena sudah tidak kuat lagi bagi
Sheila untuk melanjutkan gerakan kakinya. Ia jatuh terduduk dan mengeluh sambil
memijit-mijit kedua kakinya.
#Ibu lelah......?# Han Le mendekat dan anak ini mengurut-urut betis ibunya.
Sheila merasa terharu dan merangkul anaknya sambil menangis. Sudah mendesak di
ujung lidah Han Le untuk bertanya lagi kepada ibunya tentang kepergian mereka,
namun dia teringat bahwa ibunya tidak suka mendengar pertanyaan itu, maka diapun
diam saja.
#Aku lelah dan ingin beristirahat sebentar, anakku.# Melihat ibunya merebahkan
diri begitu saja di atas rumput, Han Le merasa kasihan sekali dan dia teringat
betapa mereka tidak membawa apapun. Andaikata ada selimut, atau setidaknya baju
mantel panjang, tentu dia dapat menyelimuti tubuh ibunya yang nampak kedinginan
karena hawa udara di pagi hari itu amatlah dinginnya. Melihat betapa sebentar
saja ibunya sudah pulas, Han Le yang juga merasa lelah itu rebah di dekat ibunya
dan tak lama kemudian diapun sudah tidur pulas. Matahari telah naik tinggi
ketika Sheila terbangun dari tidurnya, Ia merasa tubuhnya hangat dan ketika ia
melihat ke bawah, ternyata tubuhnya telah tertutup selimut. Juga tubuh Han Le
yang masih pulas itu tertutup selimut tebal dan ia mengenal selimut mereka
sendiri yang mereka tinggalkan di dalam kamar mereka.
#Ehh......?# Sheila merasa terkejut dan terheran, apalagi ketika ia melihat dua
buntalan pakaian berada di dekatnya. Ketika ia memeriksanya, ternyata dua
buntalan itu terisi pakaiannya dan pakaian Han Le!
#Henry.......!" katanya mengguncang-guncang kaki Han Le. Anak itu terbangun dan
cepat duduk.
#Ada apakah, ibu?#
#Apakah semalam engkau mengambil selimut dan pakaian ini?# tanyanya. Han Le
memandang selimut yang telah menyelimuti dirinya dan buntalan pakaian itu,
menggeleng kepala dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan matanya,
mencari penuh harapan. Sheila mengerti maksudnya dan iapun menoleh ke kanan
kiri, akan tetapi keadaan di situ sunyi saja, tidak nampak seorang pun manusia.
Seperti juga Han Le, ia dapat menduga bahwa tentu yang menyelimuti mereka dan
mengantar buntalan pakaian adalah Bu Beng Kwi. Kalau bukan dia siapa lagi? dan
iapun merasa marah, menyepak selimut itu dari tubuhnya.
#Ibu, tentu suhu yang mengantar ini semua!# Ibunya mengangguk dengan mulut
cemberut, lalu mendorong buntalan pakaiannya itu dari dekatnya.
#Ibu, ini adalah pakaian kita sendiri, dan selimut kita sendiri......#
#Hemmm......# Sheila tetap cemberut. Melihat ibunya bersungut-sungut dan nampak
marah, Han Le tidak mau bicara lagi tentang suhunya dan tanpa bicara dia lalu
melipat selimutnya dan selimut ibunya, memasukkan ke dalam buntalan masingmasing.
Hatinya merasa sedih bukan main. Semalam dia masih mengharapkan ibunya
akan mereda kemarahannya dan akan kembali ke Bukit Awan Merah. Akan tetapi
sekarang, suhunya tidak mengharapkan mereka untuk kembali ke sana? Bukankah
pengiriman buntalan pakaian itu sama dengan mengusir secara halus? Tak terasa
lagi, dua titik air mata turun ke atas pipinya. cepat dua butir air mata itu
dihapusnya dengan ujung lengan baju, akan tetapi Sheila masih sempat melihatnya.
#Henry, engkau menangis?#
Anak itu memandang ibunya, menggeleng kepala. #Aku...... aku lapar, ibu, biar
aku akan mencari kelinci atau ayam didalam hutan.#
Setelah berkata demikian, Henry lalu lari ke dalam hutan, meninggalkan ibunya.
Sheila duduk termenung, tidak melihat kecerahan matahari pagi yang sudah naik
tinggi itu. Hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan, sekelilingnya nampak
buruk dan mengganggu. Ia merasa seperti baru saja direnggutkan dari surga dan
dicampakkan ke dalam neraka. dan semua ini gara-gara Koan Jit, si jahanam itu!
Makin bencilah ia kalau teringat kepda KoanJit. Anehnya, hatinya tidak dapat
membenci Bu Beng Kwi si muka buruk itu! Padahal, bukankah Bu Beng Kwi adalah
Koan Jit pula? Tidak, ia tidak dapat menerima hal ini, tidak dapat percaya.
Bagaikan mimpi saja semua itu! Bagaimana mungkin Koan Jit si muka iblis itu,
yang teramat jahatnya, sama orangnya dengan Bu Beng Kwi yang demikian budiman
dan mulia?
#Sudahlah, aku tidak mau lagi mengingatnya.# Ia menaik napas panjang. Habislah
sudah riwayat bersama Bu Beng Kwi itu, habislah sudah harapannya, habislah sudah
hidup tenang tenteram penuh damai dan bahagia di Bukit Ayam Merah. Ia tidak
perlu menceritakan hal itu kepada Henry. Anak itu masih terlalu kecil untuk
menderita kecewa dan menyesal seperti yang dideritanya.
Ia tahu betapa puteranya itu mencinta gurunya. Akan merupakan pukulan batin yang
amat hebat kalau ia memberitahu anaknya bahwa suhunya itu sebetulnya bukan lain
adalah Koan Jit, musuh besar mereka yang tadinya disangka tewas akan tetapi
ternyata masih hidup itu. Tidak, Henry tidak boleh tahu, Kelak, kalau anak itu
sudah dewasa dan memiliki kepandaian tinggi, baru akan diberitahu dan kalau
mungkin, biar anak itu yang akan membunuh Koan Jit, membalaskan kematian ayah
kandungnya. Akan tetapi, harapan untuk menjadikan Henry seorang pendekar perkasa
juga kini telah lenyap. Siapa lagi yang akan mampu mendidik Henry seperti Bu
Beng Kwi? Sheila tersentak dari lamunannya ketika muncul Han Le yang membawa
seekor kelinci gemuk dan seekor ayam hutan gemuk. Kedua binatang itu telah mati!
#Lihat, ibu! Hanya dengan sambitan batu saja aku dapat membunuh dua ekor
binatang ini. Dagingnya tentu lunak dan sedap. Dan lihat apa yang kudapatkan di
jalan tadi. Seguci garam! Tentu ditinggalkan seorang pemburu. Sungguh untung
sekali. Dengan garam ini kita dapat makan daging yang lezat!# Anak itu tertawa
gembira dan Sheila ikut pula tersenyum, menahan lidahnya yang hendak bergerak
mengatakan dugaannya bahwa agaknya yang membantu anak itu mendapatkan kelinci,
ayam dan garam, tentu sama orangnya dengan yang memberi selimut dan buntalan
pakaian pagi tadi! Karena tahu bahwa puteranya lapar dan perutnya sendiripun
lapar, tanpa banyak cakap lagi Sheila membersihkan kelinci dan ayam itu, dibantu
puteranya, dan mereka lalu memanggang daging kelinci dan ayam itu, setelah
diberi garam. Mereka makan dengan lahap dan setelah kenyang dan munum air sumber
yang berada di dalam hutan, mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan.
(Lanjut ke Jilid 08)
Jilid 08
#Ke mana kita akan pergi sekarang, ibu?# kata Henry sambil menggendong dua
buntalan pakaian itu di atas punggungnya. Sheila memandang puteranya dengan hati
penuh iba. Ia sendiri tidak tahu kemana harus pergi dan ia tahu benar bahwa
kepergiannya meninggalkan tempat yang aman tenteram bersama Bu Beng Kwi itu
berarti memulai suatu perjalanan dan petualangan yang penuh dengan kekurangan,
kesengsaraan, bahkan bahaya.
#Kemana saja, anakku, asal bisa bertemu sebuah dusun. Kita akan hidup baru, aku
akan bekerja dan kita hidup di dusun seperti dulu sebelum kita terpaksa lari
mengungsi.#
Han Le adalah seorang anak yang cerdik. Melihat betapa wajah ibunya pucat dan
lesu, sinar matanya layu, dia tidak mendesak karena maklum bahwa pertanyaannya
hanya akan membuat hati ibunya menjadi semakin berduka. Mereka berjalan terus
menuju ke selatan, melalui jalan setapak, jalan liar yang membawa mereka menuju
ke sebuah gunung yang nampak dari jauh menjulang tinggi sehingga puncaknya tidak
nampak karena tertutup oleh awan putih. Ketika mereka mulai mendaki kaki gunung
itu, dari bawah nampaklah sekelompok bangunan di lereng gunung. Giranglah rasa
hati Sheila dan dengan penuh harapan baru ia berkata kepada puteranya sambil
menuding ke arah kelompok bangunan itu,
#Kita pergi kesana, Henry!# Ketika itu matahari mulai condong ke barat dan
melihat jaraknya, mungkin pada senja hari itu mereka baru akan dapat tiba di
perkampungan yang berada di lereng gunung itu. Akan tetapi baru kurang lebih
satu jam mereka mendaki kaki gunung, tiba-tiba dari sebuah tikungan jalan muncul
tiga orang laki-laki yang usianya rata-rata tiga puluh lima sampai empat puluh
tahun. Melihat pakaian mereka yang serba ringkas, mereka itu bukanlah petani,
kalau bukan pemburu tentu orang-orang dari kalangan persilatan.
Apalagi melihat gagang golok nampak tersembul di balik pundak mereka. Diam-diam
Sheila merasa terkejut dan khawatir, karena selama ini ia sudah banyak bertemu
dengan orang-orang dan dapat menduga bahwa tiga orang itu adalah orang yang
biasa mempergunakan kekerasan. Ia menggandeng tangan anaknya, digenggamnya eraterat
dan sambil menundukkan muka, ia berjalan terus sambil menundukkan muka, ia
berjalan terus sambil mepet ke pinggir, dengan harapan agar jangan menarik
perhatian tiga orang itu. Namun usahanya itu sia-sia belaka. Biarpun ia sudah
mencoba untuk menutupi rambutnya, tetap saja nampak segumpal rambut kuning
keemasan terjuntai keluar, dan kulit tangannya yang putih itu menarik perhatian
tiga orang itu yang segera berhenti dan menghadang di depannya.
#Siapakah kalian dan hendak ke manakah?# terdengar seorang di antara mereka,
yang mulutnya tersenyum genit, matanya agak juling, menegur. Sheila mengangkat
muka memandang dan ia terkejut. Sebuah wajah yang membayangkan kekejaman,
pikirnya. Dan ketika ia mengangkat muka, tiga orang pria itu mengeluarkan seruan
kagum. Kiranya wanita yang mereka jumpai adalah seorang wanita kulit putih yang
amat cantik! Matanya kebiruan, hidungnya mancung dan bibirnya kemerahan segar.
#Kami ibu dan anak hendak pergi ke dusun di atas sana,# jawab Sheila dengan
suara lirih.
#Wah, ia tentu mata-mata Tai Peng yang mengadakan kontak dengan orang kulit
putih!# kata orang kedua yang mukanya hitam.
#Atau ia mata-mata bangsa kulit putih yang mengadakan persekongkolan dengan
pemberontak Tai Peng!# kata orang ketiga. Mendengar ucapan tiga orang itu, Han
Le yang sejak tadi memandang mereka penuh perhatian, segera maju membela ibunya,
#Ibu bukan mata-mata Tai Peng, juga bukan mata-mata pasukan kulit putih!#
#Anakku berkata benar. Kami adalah rakyat biasa yang terlunta-lunta karena
perang dan kami pergi mengungsi, mencari tempat tinggal baru. Kami hendak pergi
ke dusun di atas itu.# Tiga orang itu saling pandang lalu tertawa.
#Ha-ha-ha, manis, siapa dapat kau tipu? Engkau seorang wanita kulit putih,
mengaku rakyat? Ketahuilah, kami bertiga adalah perwira-perwira pemerintah yang
melakukan penyelidikan. Kau dan anakmu kami tangkap untuk pemeriksaan lebih
lanjut.# berkata demikian, si mata juling sudah menyodorkan tangannya untuk
menangkap lengan tangan Sheila. Wanita itu melangkah mundur.
#Jangan ganggu kami, kami tidak bersalah apa-apa!# kata Sheila dengan ketus,
akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir sekali. Baru sehari saja meninggalkan
Bukit Ayam merah, sudah bertemu gangguan. Ah, betapa aman tenteramnya tinggal di
Bukit Ayam Merah!
#Eh, engkau hendak melawan perwira pasukan pemerintah? Menyerahlah untuk kami
tangkap dan kami bawa ke markas, daripada kami harus menggunakan kekerasan!#
kata orang bermata juling, suaranya mengancam dan kini kembali dia melangkah
maju untuk menangkap lengan Sheila.
#Jangan ganggu ibuku!# Han Le sudah meloncat ke depan ibunya dan menjaga ibunya
dengan sikap gagah. Biarpun baru kurang dari setahun dia belajar silat kepada Bu
Beng Kwi, namun dia sudah dapat melihat gerakan si juling tadi yang jelas hendak
menangkap lengan ibunya dan sikapnya juga kurang ajar sekali. Melihat ini, si
juling tertawa,
#Ha-ha, anak setan, minggirlah engkau!# katanya dan diapun menampar ke arah
kepala Han Le. Akan tetapi dengan gesit, Han Le yang usianya baru hampir empat
belas tahun itu mampu mengelak ke samping. Si mata juling tidak memperdulikan
lagi kepada Han Le, melainkan menubruk ke arah Sheila. Ingin dia menangkap dan
memeluk wanita kulit putih yang cantik itu, karena sejak melihatnya, sudah
timbul berahinya. Akan tetapi, tiba-tiba Han Le meloncat ke depan dan dengan
gerakan cepat, kakinya menendang sekuat tenaga ke arah sambungan lutut kiri si
mata juling.
#Tukk......! Aduhh......!# Si mata juling juga terkejut dan sambungan lutut
kirinya yang kena tendang itu tiba-tiba menjadi lumpuh sehingga dia jatuh
berlutut dengan kaki kirinya, dan pada saat itu, tangan Han Le sudah memukul
dengan jari terkepal ke arah dadanya.
#Dukk......!# Dan tubuh si mata juling itupun terjengkang dan terbanting! Namun,
si mata juling itu termasuk seorang perwira Kerajaan Ceng yang cukup tangguh dan
memang harus diakui bahwa kekuatan Han Le belum begitu besar. Maka, pukulan itu
hanya mendatangkan rasa nyeri dan pengap saja. Si mata juling sudah meloncat
bangun dan melotot marah kepada Han Le. mata yang juling kalau dipakai melotot
nampak lucu karena bukan Han Le yang dipandangnya, akan tetapi matanya itu
melirik ke kanan.
#Bocah keparat, engkau kepingin mampus!# bentaknya.
#Bunuh dia, biar aku tangkap ibunya!# katanya kepada dua orang temannya. Karena
si juling itu ternyata merupakan pimpinan, Kedua orang itupun mentaati
perintahnya dan mereka berdua sudah menerjang maju dengan tangan dikepal. Mereka
menyerang Han Le dengan keyakinan bahwa sekali terjang dan sekali pukul saja,
kepala dan dada anak itu akan remuk dan tewas di saat itu juga. Akan tetapi
mereke kecelik.
#Wuuutt! Wuuutt!# Pukulan-pukulan mereka yang dilakukan amat kerasnya itu
mengenai angin kosong belaka! Han Le amat lincah dan gesit, dapat mengelak
dengan geseran-geseran kaki kanan kiri. Sementara itu si mata juling sudah
menubruk Sheila dengan penuh nafsu. Sheila menjerit melihat puteranya dikeroyok
dua. Ia lebih mengkhawatirkan anaknya daripada dirinya sendiri dan karena ia
memperhatikan puteranya, dengan mudah si mata juling dapat merangkul dan
memeluknya, kemudian mencoba untuk menciumnya penuh nafsu. Sementara itu, Han Le
yang dapat mengelak beberapa kali itu, berhasil pula menyelinap dan meloncat
melalui bawah ketiak si muka hitam dan melihat ibunya meronta-ronta dalam
pelukan si mata juling yang belum juga berhasil menciumnya, Han Le menjadi marah
sekali.
#Desss......!# dari belakang, Han Le memukul punggung si mata juling.
#Hekkk......!# Si mata juling terkejut dan untuk sejenak napasnya menjadi sesak.
Terpaksa dia melepaskan rangkulannya dari tubuh Sheila, membalik dan marah bukan
main.
#Apakah kalian tidak mampu membunuh binatang cilik itu?# bentaknya kepada dua
orang pembantunya. Dua orang itu menjadi malu, juga penasaran maka mereka berdua
mencabut golok dan menghampiri Han Le dari kanan kiri.
#Henry, larilah......!# Sheila menjerit ketika melihat puteranya diancam dengan
golok oleh dua orang itu. Akan tetapi, si juling sudah menubruknya lagi. Kini
Sheila dapat meloncat ke belakang dan lari ke belakang sebatang pohon, dikejar
oleh si mata juling. Pada saat dua orang yang mengepung Han Le menggerakkan
golok, tiba-tiba mereka menjerit kesakitan dan golok mereka terlepas dari
tangan! Tangan kanan mereka terasa nyeri dan kaku, seperti terkena tototkan.
mereka tidak melihat datangnya batu kerikil yang tadi menyambar dan mengenai
lengan mereka. Pada saat yang hampir bersamaan, ketika si mata juling berhasil
menangkap kembali lengan Sheila,
Tiba-tiba diapun menjerit dan melepaskan kembali lengan itu karena tangan kanan
yang menangkap itu menjadi kaku dan nyeri seperti ditotok! Sesaat dia dan dua
orang kawannya terkejut, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, si mata
juling kembali mengulang terjangannya menubruk Sheila, sedangkan dua orang
pembantunya sudah mengambil kembali golok mereka dan siap menyerang dan membunuh
Han Le. Pada saat itu, secara beruntun menyambar sinar-snar hitam kecil ke arah
tiga orang itu dan merekapun berteriak kesakitan. Topi mereka terjatuh dan di
kepala mereka tiba-tiba saja muncul benjolan-benjolan sebesar telur ayam yang
matang biru! Rasa nyeri yang hebat membuat mereka memegangi kepala sambil
mengaduh-aduh, tidak tahu apa yang menyebabkan kepala mereka terasa demikian
nyeri sehingga benjol-benjol, tidak tahu,
Saking cepatnya betapa ada batu-batu kerikil secara beruntun menyambar dengan
kecepatan yang sukar diikuti pandang mata dan mengenai kepala mereka. Rasanya
bagaikan disengat lebah besar sehingga kepala mereka berdenyut-denyut, pening
dan badan menjadi panas dingin, pandang mata menjadi kabur berkunang. Tiga orang
itu maklum bahwa kalau bukan ibu dan anak itu yang sesungguhnya merupakan orangorang
lihai, juga tentu ada orang pandai yang secara sembunyi melindungi mereka,
maka tiga orang itupun lari tunggang langgang. Mereka berada di daerah musuh,
maka mereka tidak berani banyak tingkah lagi. Melihat betapa tiga orang itu
melarikan diri, Sheila dan Han Le menjadi lega dan girang. Han Le memandang ke
kanan kiri, lalu tiba-tiba berseru nyaring.
#Suhu......! Suhu!!# Namun, hanya gema suaranya saja yang sahut menyahut, dan
tidak nampak seorangpun manusia. Keadaan sunyi, tidak ada yang bergerak kecuali
rumput dan daun-daun pohon yang bergoyang tertiup angin. Sheila Juga memandang
ke kanan kiri, mengerutkan alisnya ketika ia baru sadar bahwa besar sekali
kemungkinan mereka mendapat pertolongan dan perlindungan dari Bu Beng Kwi.
Benarkah orang itu yang melindungi mereka, seperti juga yang mengirim selimut
dan buntalan pakaian? Kelinci dan ayam hutan yang demikian mudah dirobohkan
puteranya? Dan garam itu? Hatinya merasa tidak enak. Sungguh tidak menyenangkan
dilimpahi budi oleh Koan J it, musuh besarnya!
#Sudahlah, mari kita lanjutkan pergi ke dusun di sana itu, khawatir kalau keburu
malam,# katanya sambil menggandeng tangan puteranya. Han Le masih memandang ke
kanan kiri penuh harapan, namun dia tidak membantah ketika ibunya mengajaknya
mendaki pegunungan itu, menuju ke dusun yang nampak dari bawah tadi. Ibu dan
anak ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka telah memasuki daerah perbatasan
antara daerah yang dikuasai pasukan Tai Peng dan daerah yang sebelah utara masih
dalam kekuasaan pemerintah Mancu. Juga mereka tidak mengira bahwa daerah itu
merupakan semacam medan laga antara tiga kelompok mata-mata, yaitu mata-mata
pemerintah Mancu, mata-mata pasukan Tai Peng, bahkan mata-mata yang disebar oleh
pasukan asing kulit putih!
Seringkali di sekitar daerah itu terjadi pertempuran-pertempuran, penculikanpenculikan
atau pembunuhan yang penuh rahasia karena para mata-mata itu tentu
saja merupakan orang-orang yang berkepandaian tinggi dan semua tindakan mereka
mengandung rahasia. Pada waktu itu, kekuasaan Tai Peng masih besar dan menguasai
daerah Nan-king dan sekitarnya. Pemerintah Ceng atau Mancu tidak kuasa untuk
mengusirnya, melainkan hanya berjaga-jaga di tapal batas. Akan tetapi
sebaliknya, balatentara Tai Peng tidak dapat maju ke utara. Sementara itu, pihak
asing kulit putih masih menarik keuntungan sebesarnya dari konflik itu dengan
menyelundupkan senjata gelap, dan candu. Membantu sana-sini untuk membuat perang
semakin berkobar karena dari perang saudara,
Yang mendapat keuntungan terbanyak adalah orang asing kulit putih. Perang
saudara membuat bangsa itu menjadi lemah, akhirnya mereka tinggal mudah
menundukkan pihak yang menang namun yang sudah penuh dengan luka parah itu. Maka
mata-mata yang dikirim oleh pasukan asing ke daerah pergolakan itu bertugas
selain untuk menyelidiki keadaan kedua pihak, juga untuk mengadakan hubungan
perdagangan senjata api, membantu sana-sini dan berusaha untuk memperhebat
perang saudara. Dengan tergesa-gesa, karena selain khawatir malam keburu tiba
dan juga khawatir kalau-kalau ada orang jahat mengejar mereka Sheila dan Han Le
mendaki gunung itu. Senja telah mendatang ketika mereka akhirnya tiba di depan
pintu gerbang perkampungan itu. Tiba-tiba terdengar bentakan orang dari belakang
mereka.
#Heii, berhenti! Siapa kalian berani berkeliaran di sini?# Sheila dan Han Le
berhenti dan memutar tubuh. Mereka melihat dua orang berdiri tegak dengan pedang
di tangan, dan sikap mereka mengancam. Akan tetapi ketika mereka berdua itu
melihat bahwa yang mereka bentak adalah seorang wanita cantik kulit putih dan
seorang anak laki-laki, pedang mereka yang tadi menodong itu diturunkan dan
keduanya saling pandang.
#Heii,, perempuan kulit putih! Engkau mata-mata dari pasukan orang asing kulit
putih, ya?# tanya seorang di antara mereka dengan sikap hati-hati. Bagaimanapun
juga. dia dan kawan-kawannya belum mengenal siapa wanita kulit putih itubdan
sudah sering orang kulit putih mengadakan kontak dengan kawanan mereka, untuk
menjual senjata api. Dengan sikap tenang namun ada kekhawatiran di dalam hatinya
melihat bahwa dua orang ini, seperti tiga orang yang menyerangnya tadi, jelas
bukanlah orang-orang dusun, bukan petani-petani sederhana yang jujur, Sheila
menjawab. #Kami adalah ibu dan anak yang sedang perhi mengungsi karena perang,
mencari tempat baru yang aman. Kami sama sekali bukanlah mata-mata, kami adalah
rakyat biasa.#
#Ha-ha, kami bukanlah anak-anak kecil yang mudah dibohongi. Di mana ada wanita
kulit putih berkeliaran sebagai rakyat biasa? Engkau dan anak ini menyerahlah
untuk kami bawa menghadap komnadan kami. hayo masuk!# Mereka berdua kembali
menodongkan pedang mereka ke arah Sheila dan Han Le dan mendorong mereka
memasuki pintu gerbang. Ibu dan anak itu tidak berdaya lagi. Sheila menggandeng
tangan puteranya, menariknya agar ikut masuk karena melawanpun tidak ada
gunanya. Ternyata ia telah salah masuk, pikirnya. Ini bukan perkampungan orang
dusun! Rumah-rumah itu baru dan nampak sunyi, tidak ada keluarga petani, dan di
sana-sini ada beberapa orang laki-laki yang sama kasarnya dengan dua orang yang
menangkap mereka. Ketika mereka digiring masuk, para pria itu bangkit dan
memandang, ada yang bersuit, ada yang memuji kecantikannya secara kurang ajar.
#Heii, Cun-ko, darimana kau mendapatkan mawar putih itu? Berikan saja padaku,
biar kubeli dengan satu bulan gaji!#kata seorang di antara mereka yang mukanya
brewok. Temantemannya
tertawa.
#Hushh, jangan main-main. Siapa tahu ia ini mata-mata pasukan kulit putih. Biar
komandan kita yang memutuskan nanti!# kata seorang di antara mereka yang
menangkap Sheila dan Han Le. Ibu dan anak itu digiring terus memasuki sebuah
bangunan yang paling besar yang berada di situ. Di dalam rumah itu telah
dipasang lampu-lampu yang cukup terang. Akan tetapi rumah inipun nampak kosong,
perabot-perabotnya kasar dan agaknya baru saja dibuat. Di dalam ruangan yang
besar, mereka dihadapkan kepada seorang laki-laki berusia kurang lebih lima
puluh tahun. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa,
perawakannya gagah, wajahnya bengis dan matanya lebar melotot kini menatap wajah
Sheila penuh perhatian.
#Hemm, darimana kalian mendapatkan wanita ini?# komandan itu bertanya kepada dua
orang anak buahnya tanpa memandang kepada mereka.
#Lai-ciangkun, kami melihat mereka ini berkeliaran di luar secara mencurigakan
sekali, maka kami menangkap mereka dan menghadapkan mereka kepadamu,# jawab dua
orang itu. Orang yang disebut Lai-ciangkun (perwira Lai) itu mengangguk-angguk
senang. Semetara itu, wajah Sheila berobah pucat. Seorang ciangkun? Seorang
perwira? Kalau begitu, orang-orang ini adalah anggauta-anggauta pasukan! Dan
segera ia sadar bahwa ia dan puteranya telah jatuh ke tangan pasukan Tai Peng
yang tidak mengenakan pakaian seragam! Ia sudah pernah mendengar bahwa pasukan
Tai Peng yang tidak berseragam adalah pasukan mata-mata yang lihai dan yang
kejamnya melebihi pasukannya yang seragam! Celaka, pikirnya, akan tetapi ia
berusaha untuk menenangkan hatinya.
#Eh, perempuan kulit putih, siapakah namamu dan siapa pula anak laki-laki ini?#
tanya si tinggi besar yang matanya lebar.
#Namaku Sheila dan ini anakku bernama Gan Han Le. Ciangkun, harap bebaskan kami
kembali karena seperti yang telah kuberitahukan kepada dua orang anak buahmu,
kami adalah rakyat biasa yang sedang mencari tempat tinggal baru setelah kami
lari mengungsi dari perang. Kami bukan orang jahat dan tidak mempunyai kesalahan
apapun.#
#Ha-ha-ha-ha,# komandan itu tertawa, bukan tawa ramah melainkan tawa mengejek.
#Mudah saja engkau minta dibebaskan. Engkau amat mencurigakan, seorang perempuan
kulit putih berkeliaran sampai di sini. Katakan, apakah engkau utusan pasukan
kulit putih yang harus menghubungi kami untuk menawarkan senjata api?# Sheila
menggeleng kepala.
#Tidak, sama sekali tidak. Aku tidak mempunyai hubungan dengan pasukan kulit
putih, bahkan tidak tahu siapa kalian dan pasukan apa!#
#Hemm, ketahuilah bahwa kami adalah pasukan rahasia Tai Peng yang besar dan
gagah perkasa! Hayo kau mengaku saja daripada harus kami siksa, apa maksudmu
berkeliaran di sini? Siapa mengutusmu? Lebih baik mengaku terus terang. Aku
tidak ingin menyiksa seorang wanita cantik seperti engkau.#
#Heh-heh, Lai-ciangkun, serahkan saja perempuan ini kepadaku. Tanggung ia akan
mengakui semuanya, ha-ha!# kata seorang di antara dua perajurit tadi.
#Tidak, kepadaku saja, ciangkun. aku lebih pandai menjinakkan wanita!# kata
orang kedua.
#Hemm, diam kalian, mata keranjang! Ia terlalu penting untuk diurus oleh orangorang
mata keranjang macam kalian!# Lai-ciangkun itu membentak dan bentakan ini
melegakan hati Sheila. Kiranya si raksasa ini bukan seorang laki-laki yang suka
menggagahi wanita seperti banyak pria lain di dunia yang kejam ini.
#Sesungguhnya, ciangkun. Aku sama sekali tidak berbohong. Aku memang seorang
wanita kulit putih, akan tetapi aku menikah dengan seorang laki-laki Han, dan
ini anak kami. Aku hidup sebagai seorang wanita dusun biasa, dan terpaksa kami
berdua melarikan diri ketika terjadi perang, Kani pengungsi-pengungsi yang tidak
berdosa, ciangkun. Harap suka bebaskan kami.#
#Ha-ha, tidak begitu mudah. Engkau harus kami tahan dulu dan akan kulaporkan
kepada atasanku. Terserah kepada atasan kami bagaimana keputusan mereka tentang
dirimu. Engkau bukan orang biasa, engkau seorang wanita kulit putih. Hei, kalian
berdua, bawa ia ke dalam kamar tahanan. Akan tetapi awas, ia tawanan penting,
tak seorangpun boleh mengganggunya. Ia harus diperlakukan dengan baik sampai aku
menerima keputusan dan jawaban dari atasan. mengerti?#
#Baik, ciangkun!# kata dua orang itu yang tadi sudah kena dihardik sehingga
mereka tidak berani bersikap sembarangan lagi. Tiba-tiba Han Le yang sejak tadi
hanya mendengarkan saja, berkata dengan suara lantang.
#kalian tidak boleh menawan kami! Kalian adalah orang-orang Tai peng, bukan?
Ketahuilah bahwa kami masih ada hubungan keluarga dengan pemimpin kalian!
pemimpin kalian yang bernama Ong Siu Coan itu masih keluarga dekat dengan
mendiang ayahku!# Sheila hendak mencegah anaknya bicara namun sudah terlambat,
maka iapun hanya dapat menanti dengan jantung berdebar sambil memandang kepada
raksasa itu dengan mata terbelalak.
#Tunggu dulu perwira Lai yang tinggi besar itu membentak dua orang anak buahnya
yang hendak menangkap lengan ibu dan anak itu, dan mereka berdua mundur lagi
karena merekapun terkejut mendengar ucapan anak itu tadi.
#Eh, bocah, apa artinya kata-katamu tadi?# Dia membentak sambil melotot kepada
Han Le. Anak ini sama sekali tidak merasa takut.
#Bukankah pemimpin pasukan Tai Peng bernama Ong Siu Coan? Nah, dia itu adalah
uwa seperguruanku! Karena itu, jangan kalian menganggu aku dan ibuku, karena
pemimpin kalian tentu akan marah dan menghukum kalian kalau mendengarnya.#
Perwira raksasa itu menoleh kepada Sheila.
#Benarkah apa yang dikatakan oleh anakmu ini? Coba jelaskan kepadaku.# Karena
sudah terlanjur, terpaksa Sheila mengaku, dan iapun mengharapkan bahwa nama Ong
Siu Coan akan membuat mereka takut untuk mengganggu ia dan anaknya.
#Memang benar apa yang dikatakannya. Mendiang suamiku bernama Gan Seng Bu,
seorang pejuang besar yang pernah menentang pemerintah penjajah Mancu sampai dia
tewas. Tentu kalian pernah mendengar nama Gan Seng Bu, kalau belum ketahuilah
bahwa mendiang suamiku itu adalah adik seperguruan dari pemimpin kalian, yaitu
Ong Siu Coan. Laporkan saja kepadanya dan dia akan tahu.#
Mendengar keterangan yang dilakukan dengan sikap tenang ini, si raksasa
tertegun. Memang dia pernah mendengar nama besar Gan Seng Bu, seorang pejuang
walaupun tidak pernah bekerja sama dengan Tai Peng. Keluarga seperguruan dari
pemimpinnya yang kini menjadi Maharaja di Nan-king! Perwira Lai ini bukan
seorang yang haus wanita, tidak memiliki kebiasaan memperkosa wanita. Akan
tetapi menengar bahwa ibu dan anak ini keluarga dekat dengan pemimpinnya, timbul
suatu keinginan yang amat baik menurut anggapannya. Kalau dia dapat memperisteri
wanita ini, berarti dia memiliki hubungan dekat dengan pemimpin yang kini
menjadi raja besar itu dan tentu pangkatnya akan naik dengan cepat dan mudah!
Dia lalu memberi isyarat kepada kedua orang anak buahnya.
#Kalian keluarlah dulu, biar aku menangani sendiri urusan ibu dan anak ini.# Dua
orang anak buahnya saling pandang, akan tetapi tidak berani membantah dan
merekapun keluarlah. Setelah daun pintu ditutup dan dia berada bertiga saja
dengan Sheila dan Han Le, si komandan tinggi besar merubah sikap. Dia bangkit
dari tempat duduknya dan dengan mempersilahkan ibu dan anak itu duduk diatas
bangku di depannya.
#Maaf, karena tidak tahu bahwa engkau adalah Gan-toanio, maka kami bersikap
kurang hormat dan anak buah kami menangkap toanio dan anakmu.# Lega dan girang
rasa hati Sheila. Bagaimanapun juga, pengakuan Han le itu telah untuk sementara
menolong mereka. walaupun ia tidak dapat membayangkan bagaimana sikap Ong Siu
Coan kalau sampai bertemu dengan mereka. Iapun sudah mendengar bahwa suheng dari
mendiang suaminya itu kini telah menjadi seorang raja besar. Ia mengajak
puteranya duduk menghadapi raksasa itu yang kii tidak lagi nampak menakutkan,
melainkan ramah dan mendatangkan harapan
#Nyonya, aku merasa kasihan sekali kepadamu. Aku sudah mendengar akan kebesaran
nama Gan Seng Bu sebagai seorang pendekar dan pejuang yang amat gagah perkasa.
Dan betapa nyonya telah menderita sejak dia tewas. Dapat kubayangkan betapa
banyak bahaya yang mengancam diri nyonya sebagai seorang janda muda yang cantik.
Bahkan sekarangpun nyonya masih belum terbebas dari ancaman bahaya. Siapa dapat
menjamin bahwa di dalam hati para anak buahku tidak terdapat niat yang buruk
terhadap diri nyonya yang cantik?#
#Kami percaya akan ketulusan dan kebaikan hati ciangkun yang tentu akan melarang
anak buahnya untuk berbuat jahat terhadap kami,# kata Sheila. Komandan itu
tersenyum. Dia berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya yang besar itu
membuat dia nampak gagah walaupun berpakaian preman.
#Nyonya tidak tahu. Mereka adalah pria-pria yang sudah terbiasa hidup dalam
kesukaran, kekerasan dan bahaya. Semua itu membuat mereka menjadi keras. Mereka
meninggalkan keluarga dan siapapun tidak akan dapat menyalahkan mereka kalau
mereka menjadi haus dan buas kalau melihat wanita, apalagi wanita cantik.#
Sheila mengerutkan alisnya. Teringat ia betapa setahun yang lalu, sepasukan
orang Tai Peng membasmi serombongan pengungsi dan kalau saja tidak muncul Bu
Beng Kwi, iapun tentu sudah menjadi korban kebuasan mereka terhadap wanita itu.
#Ah, kami hanya dapat mengharapkan pertolongan ciangkun.# Perwira itu
menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang besar-besar, lalu dia menatap
wajah yang cantik itu.
#Kiranya tidak mungkin kalau di antara kita tidak ada hubungan apapun, toanio.
Mereka tentu bahkan akan mencurigai aku, menganggap aku melindungi orang kulit
putih. Satu-satunya jalan adalah kalau toanio mau menjadi isteriku dengan sah.
Nah, sebagai suamimu dan ayah tiri anakmu ini, tentu saja tidak ada seorangpun
yang akan berani menganggu isteri dan anakku.#
#Ahh......!# Sheila terbelalak dan memandang dengan wajah pucat. Kiranya raksasa
inipun bukan baik dengan sewajarnya, melainkan baik karena mengandung pamrih.
dan pamrihnya sama saja dengan laki-laki lain yang hendak mendapatkan dirinya.
hanya bedanya, Lai-ciangkun ini menggunakan cara halus, memperisterinya!
Memperisteri dengan ancaman bahwa kalau tidak, maka sang perwira tidak dapat
melindunginya. Sheila bangkit berdiri dan menggandeng tangan puteranya.
#Terima kasih atas kebaikanmu dan maakan aku, ciangkun. Akan tetapi terpaksa aku
tidak dapat menerima usulmu itu. Biarlah kami pergi saja dari sini, karena
tadinya kami datang ke sini mengira bahwa di sini merupakan sebuah dusun di mana
kami dapat tinggal dan hidup sebagai petani biasa. ijinkan kami pergi dengan
aman dari tempat ini.# Wajah perwira itu berubah merah. Dia merasa malu karena
ditolak pinangannya dan juga merasa kecewa dan marah.Sepasang mata yang lebar
itu melotot seperti hendak melompat keluar dari pelupuk matanya.
#Toanio, apakah engkau tidak tahu bahwa begitu engkau keluar dari pintu gerbang
perumahan kami, engkau tentu akan disergap dan diperkosa orang? Anakmu akan
dibunuh dan engkaupun akan mati akhirnya?#
#Hemm, aku tidak percaya bahwa orang-orang yang menamakan dirinya pejuang akan
melakukan perbuatan terkutuk sepeti itu, dan aku yakin bahwa ciangkun juga tidak
akan membiarkannya saja. Ingat, pemimpin kalian yang kini menjadi raja itu tentu
tidak akan tinggal diam karena kami adalah keluarga sutenya!# Sheila hendak
menggunakan nama Ong Siu Coan untuk mengancam. Akan tetapi, kalau tadi nama Ong
Siu Coan yang disebutnya membuat sikap perwira itu berubah, kini raksasa itu
malah tertawa bergelak.
#Ha-ha-ha! Apa artinya kalian menjadi keluarga raja kami kalau beliau tidak tahu
tentang kalian di sini? Semua orang yang berada di perkampungan ini adalah anak
buahku, dan kalian akan lenyap seperti ditelan bumi. dan berita tentang kalian
takkan diketahui orang luar sama sekali.# Sheila merasa ngeri. Celaka, pikirnya,
ia dan puteranya terjatuh ke tangan orang-orang yang tidak kalah jahat dan
buasnya dibandingkan tiga orang pasukan pemerintah yang mengganggunya tadi.
Orang-orang Tai Peng ini memang jahat dan kalau ia teringat akan gerombolan
orang Tai Peng yang pernah dibasmi Bu Beng Kwi, ia bergidik. Ia seperti terlepas
dari mulut serigala memasuki guha harimau.
#Lai-ciangkun, kasihanilah kami ibu dan anak yang tidak berdosa. Kami hanya
ingin dibebaskan dan jangan diganggu, dan kami akan mengambil jalan kami
sendiri.# Ia memohon dan memandang kepada raksasa itu dengan sinar mata penuh
permohonan dan harapan. Namun, raksasa itu adalah seorang yang sudah mengeras
batinnya. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanyalah terdorong nafsu, dan
semua ini, nafsu untuk memperoleh keuntungan sebesarnya dengan adanya Sheila,
menutup semua pertimbangan lain.
#Nyonya, hanya ada dua pilihan bagimu. memenuhi permintaanku, menjadi isteriku
dengan sah dan kelak memperkenalkan aku kepada raja kami sebagai suamimu, atau
kalau engkau menolak, engkau akan kuserahkan kepada anak buahku. Ingat, anak
buahku di sini tidak kurang dari dua puluh orang, mereka semua seperti harimauharimau
kelaparan dan engkau tentu akan diperebutkan, dagingmu dirobek-robek dan
engkau akan mati dalam keadaan yang menyedihkan, dan lebih dulu anakmu akan
mereka bunuh di depan matamu. Bagaimana, engkau pilih yang mana?#
#Engkau...... engkau manusia jahat!# Tiba-tiba Han Le membentak marah sekali
melihat ibunya hanya terbelalak dengan muka pucat, dan anak ini sudah menerjang
maju dan menggunakan kepalan tangannya untuk memukul dada perwira yang tinggi
besar itu.
#Bukkk!# Pukulan itu tidak ditangkis dan mengenai dada sang perwira, akan tetapi
Han Le seperti memukul dinding yang kokoh kuat, bahkan kepalan tangannya yang
terasa nyeri.
#Ha-ha-ha, engkau setan cilik, pergilah!# Dan tangan raksasa itu menampar
mengenai pundak Han Le sehingga anak itu terbanting roboh.
#Henry......# Sheila menubruk anaknya.
#Sekali lagi, pertimbangkan baik-baik. Pilih menjadi isteriku dan hidup mulia
ataukah mampus di tangan anak buahku!# bentak sang perwira dengan sikap galak
kepada wanita yang kini berlutut sambil memeluk puteranya itu.
Sheila tidak takut mati. kehidupan demikian pahit baginya setelah melihat
kenyataan bahwa Bu Beng Kwi, pria yang dipuja dan dicintanya itu, bukan lain
adalah Koan Jit, pria yang dibencinya setengah mati. Baginya, kematian merupakan
pelepasan dari derita batinnya. Akan tetapi, biarpun ia tidak takut mati, ia
takut menghadapi kematian puteranya! Agaknya tidak ada pilihan lain baginya
untuk menuruti permintaan Lai-ciangkun. Agaknya hanya kalau ia mau menjadi
isteri Lai-ciangkun, puteranya akan dapat diselamatkan. Akan tetapi, betapa
mungkin ia melakukan hal itu? Baginya, lebih baik mati daripada disentuh pria
lain! Saking bingungnya, Sheila kini hanya bisa menangis sambil merangkul
puteranya.
#Ibu, jangan mau, jangan sudi, aku tidak takut mati!# Han Le berkata, agaknya
mengerti akan kebingungan hati ibunya. Pada saat itu, terdengar suara ributribut
dan kaki kuda di luar rumah itu disusul suara kaki bersepatu yang berat
dan ketika tiba di depan pintu rumah itu, terdengar suara nyaring.
#Hemm, di mana adanya Lai Hok?# Mendengar suara ini, Lai-ciangkun nampak
terkejut dan dia terbelalak, memandang ke arah pintu.
#Saya...... saya berada di sini......# Akan tetapi daun pintu sudah didorong
keras dari luar dan nampaklah seorang laki-laki yang bertubuh jangkung dan
bermuka kekuningan. Usianya kurang lebih lima puluh tahun dan orang ini
mengenakan pakaian tebal dengan sepatu kulit yang berat. Pembawaannya penuh
wibawa dan melihat orang ini, Lai-ciangkun yang tadinya bersikap garang itu
kelihatan takut-takut, berdiri dengan penuh hormat.
#Lai Hok, apa saja yang kau kerjakan di sini? Kami menanti-nanti pengiriman
senjata api yang telah dijanjikan itu dan sampai sekarang belum juga muncul.
Dan...... eh, siapa ini?# Orang itu agaknya baru melihat Sheila yang berlutut
sambil merangkul puteranya.
#Tai-ciangkun, ia...... ia adalah seorang tawanan yang sedang saya periksa.#
Lai-ciangkun lalu bertepuk tangan dan dua orang pengawal masuk. #Bawa dua orang
ini ke dalam kamar tahanan dan jaga baik-baik jangan sampai mereka lolos!#
#Baik, ciangkun!# kata dua orang itu, akan tetapi sebelum mereka menyeret tubuh
Sheila dan Han Le, perwira yang baru tiba itu menggerakkan tangannya.
#Nanti dulu!# Dan dia menghampiri Sheila, memandang penuh perhatian. #Bukankah
ia...... ia seorang wanita kulit putih? Bagaimana kalian menawan seorang wanita
kulit putih?# Perwira she Tang itu terkejut sekali memandang kepada Lai-ciangkun
dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia adalah seorang di antara tangan kanan
Ong Siu Coan, bahkan dia memperoleh kepercayaan untuk mengepalai pasukan yang
mengurus pembelian snjata-senjata api dari orang kulit putih, juga mengepalai
barisan mata-mata yang disebar di daerah timur. Melihat betapa tawanan anak
buahnya itu seorang wanita kulit putih, tentu saja ia terkejut dan heran, maklum
betapa gawatnya menawan seorang kulit putih!
#Tang-ciangkun, kami dapatkan ia berkeliaran di luar perkampungan kita, dan anak
buahku menangkapnya. Saya sedang memeriksanya ketika ciangkun tiba, dan kami
khawatir bahwa ia adalah seorang mata-mata yang melakukan penyelidikan terhadap
keadaan kita.# Dalam percakapan mereka itu, Sheila maklum bahwa orang yang baru
tiba ini adalah atasan Lai-ciangkun, maka kembali ia memperoleh harapan.
#Dia bohong!# katanya sambil bangkit berdiri dan menggandeng tangan anaknya.
#Aku bersama anakku adalah rakyat biasa yang melarikan diri dari perang, pergi
mengungsi, kemudian ditangkapnya dan dia mengancam agar aku menjadi isterinya,
kalau tidak, aku akan diserahkan kepada anak buahnya dan anakku ini akan
dibunuh!# Perwira tinggi yang baru tiba itu kini menghadapi Lai-ciangkun dengan
alis dikerutkan. Tentu saja dia mengenal watak anak buahnya dan hal inilah yang
selalu merisaukan hatinya. Dia adalah seorang pendekar yang bersama para
pendekar lain membantu perjuangan Tai Peng. Kalau para pendekar banyak yang
pergi meninggalkan Tai Peng setelah pasukan itu berhasil menguasai Nangking,
karena melihat kegilaan dan kejahatan para pasukan Tai Peng yang dibiarkan oleh
Ong Siu Coan, Tang Ci yang merupakan pendekar dari utara ini, tetap tinggal.
Dia memang tidak senang melihat ulah para pasukan Tai Peng, juga tidak suka
melihat sikap Ong Siu Coan yang kini menjadi raja besar yang seperti orang gila,
mengaku putera Tuhan dan kakak Yesus. Akan tetapi karena dia merasa berhak
memperoleh pangkat dan kemuliaan setelah ikut berjuang, dia menekan saja rasa
tidak sukanya dan tetap menjadi tangan kanan Ong Siu Coan. Apalagi karena raja
baru itu bersikap baik kepadanya, melimpahkan anugerah bahkan memberi kedudukan
tinggi. Maka, mendengar teriakan Sheila yang melaporkan ulah Lai-ciangkun itu,
dia percaya dan tidak merasa heran. Sebaliknya, dia merasa heran melihat seorang
wanita kulit putih begini pandai bicara dalam bahasa daerah, dan anaknya itu
jelas tidak seperti anak kulit putih, kecuali matanya yang agak biru.
#Engkau, siapakah, nyonya? Dan mengapa pula seorang wanita kulit putih seperti
engkau berada di daerah ini?Ceritakan dengan jelas, dan percayalah, tak
seorangpun akan kubiarkan mengganggumu dan engkau akan memperoleh perlakuan
patut dan adil. Aku adalah Tang Ci yang datang dari kotaraja Nan-king dan
menjadi kepercayaan Sri Baginda Kaisar di Nan-king.# Mendengar bahwa perwira
tinggi yang baru datang ini adalah seorang kepercayaan kaisar Nan-king, Han Le
segera berseru,
#Ah, kebetulan sekali kalau begitu. Bukankah kaisar itu bernama Ong Siu Coan?#
Tang Ci memandang anak itu dengan kaget.
#Benar sekali, bagaimana engkau bisa tahu?#
#Karena dia adalah supekku (uwa guruku)! Mendiang ayahku adalah sutenya!#
#Eh? Siapakah engkau? Siapakah kalian?# Sheila menarik tangan puteranya lalu
menghadapi perwira itu, setelah ia bangkit berdiri. Sejenak mereka saling
pandang.
Diam-diam Tang Ci harus mengakui bahwa wanita kulit putih yang rambutnya
keemasan dan matanya biru ini, yang mengenakan pakaian daerah sederhana dan
mukanya tanpa riasan, rambutnya juga kusut, adalah seorang wanita yang amat
cantik. Sebaliknya, Sheila juga memperhatikan pria itu. Seorang yang berusia
lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, wajahnya lonjong dengan sepasang mata
yang amat ajam. Wajah itu cerah dan amat berwibawa, wajah seorang yang
berkedudukan tinggi dan yang yakin akan kepentingan dirinya dan kekuasaannya.
Munculnya orang ini mendatangkan harapan baru, setidaknya menolongnya lepas dari
cengkeraman Lai-ciangkun dan anak buahnya, walaupun ia tidak tahu orang macam
apa perwira tinggi yang baru tiba ini. Maka iapun bercerita dengan terus terang,
seperti yang dilakukannya kepada Lai-ciangkun tadi.
#Namaku Sheila dan ini anakku Gan Han Le. mendiang suamiku adalah pendekar
pejuang Gan Seng Bu......#
#Ahhh......! Aku mengenal mendiang Gan-taihiap. Kiranya nyonya adalah isterinya?
Sungguh luar biasa sekali. Aku mendengar betapa Gan-taihiap tewas, isterinya
yang sedang mengandung membawa jenazahnya ke pedusunan dan isterinya hidup di
antara rakyat petani. Nyonya Gan, bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini?
Dan inikah puteramu, putera Gan- taihiap?# kata Tang Ci penuh kagum dan juga
girang. Memang pernah dia bertemu dengan pejuang itu yang pernah berjuang
bersama para pendekar lainnya menentang pemerintah penjajah. Sheila menghapus
dua butir air matanya. Ia merasa terharu bertemu dengan orang yang telah
mengenal suaminya.
#Kami tinggal di dusun sampai suatu hari kami terpaksa pergi mengungsi karena
adanya perang. Ini hari kami tiba di sini, dari bawah gunung kami melihat
perkampungan ini, mengira ini sebuah dusun para petani maka kami datang ke sini.
Kami mohon kebaikan hati ciangkun, mengingat bahwa ciangkun pernah mengenal
mendiang suamiku, agar suka membebaskan kami dan mengijinkan kami pergi dari
sini.#
#Akan tetapi, ke manakah engkau hendak pergi, toanio? Daerah ini berbahaya
sekali, menjadi medan pertempurn antara tiga pasukan, yaitu pasukan Tai Peng,
pasukan Mancu, dan kaki tangan pasukan asing. Engkau akan menemui bahaya.#
#Saya sudah usulkan......
#Diam kau!# bentak Tang Ci kepada raksasa itu. #Apakah matamu sudah buta maka
engkau berani sekali bersikap kurang ajar terhadap Gan-toanio? Kalau Sri Baginda
mengetahui kekurangajaranmu, engkau akan dihukum cincang tubuhmu!#
#Ampun, Tang-ciangkun......# Raksasa itu berkata dengan muka pucat.
#Sesungguhnya saya tadi tidak percaya akan keterangannya maka......#
#Tutup mulutmu! Untung aku mengenal watak kalian yang busuk sehingga tidak
merasa heran mendengar akan perbuatan kalian yang kotor. Cepat sediakan sebuh
kereta dengan empat ekor kuda terbaik untuk Gan-toanio dan puteranya, dan
persiapkan dua belas orang pasukan yang kuat untuk menjadi pengawal. Juga tukar
kudaku yang sudah lelah. Aku sendiri yang akan mengawal Gan-tonio.#
#Baik, ciangkun, baik......!# Perwira tinggi besar itu lalu pergi meninggalkan
pondok itu untuk melaksanakan perintah atasannya.
#Tapi...... tapi, ciangkun...... kami hendak dibawa ke manakah?# Sheila bertanya
setelah perwira raksasa itu keluar. Si tinggi kurus itu menarik napas panjang.
#Toanio, kalau aku membiarkan engkau dan puteramu pergi, belum sampai dua li
jauhnya, kalian tentu sudah akan menemui bahaya. Anak buah Tai Peng amat jahat,
demikian pula anak buah pasukan Mancu yang banyak berkeliaran di sini. satusatunya
tempat yang aman bagi engkau dan puteramu adalah istana di Nan-king
#Ahhh......! Ke istana kaisar baru Nan;-king......?#
#Ke istana Ong-supek?# Han Le juga berseru, kaget, girangan juga bingung, karena
belum pernah dia membayangkan akan pergi berkunjung kepada supeknya yang telah
menjadi kaisar itu.
#Ya, satu-satunya tempat yang aman dan tepat bagi kalian adalah di istana
kaisar. Toanio adalah isteri sute dari Sri Baginda, berarti masih ipar
seperguruan Sri Baginda Kaisar sendiri, sudah sepatutnya kalau toanio juga
memperoleh kemuliaan di sana. Apalagi mengingat betapa mendiang Gan-taihiap
sudah banyak jasanya dalam perjuangan.#
#Tapi...... tapi kami tidak ingin pergi ke sana, kmi ingin menjadi rakyat biasa,
hidup sebagai petani di dusun.......#
#Ibu, kenpa kita tidak ke sana saja? bukankah ibu menghendaki tempat yang aman?
Dan kabarnya, ilmu kepandaian supek amat tinggi. Tentu beliau akan suka
mengajarkan ilmu silat kepadaku,# kata Han Le yang masih merasa kehilangan
suhunya yang amat disayanginya dan yang diharapkan akan menurunkan ilmu slat
tinggi kepadanya.
#Ah, Henry, supekmu itu kini bukan orang biasa, melainkan seorang kaisar! Mana
mungkin mengajar silat kepadamu? Pula, datang begitu saja ke sana tanpa
diundang, aku merasa seperti orang yang mengganggu......
#Toanio, harap jangan berpendapat demikian. Ketahuilah, bahwa pernah Sri Baginda
berbincang-bincang tentang diri toanio dan mengharapkan agar kami dapat
menemukan toanio dan mengundangnya ke istana! Adapun tentang ilmu silat, kalau
puteramu ingin belajar, di istana banyak terdapat jagoan- jagoan silat yang amat
lihai. Dia dapat belajar sepuasnya!# Sheila kehilangan alasan lagi untuk
menolak. Dan pula, mengapa ia harus menolak? Apalagi yang diharapkan hidup di
pegunungan, di dalam dusun? Siapa yang dipandang dan siapa yang diharapkan?
Apakah ia akan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda dusun yang
bodoh? Memang, terdapat bahaya bahwa sikap Ong Siu Coan tidak akan baik terhadap
dirinya dan puteranya, akan tetapi setidaknya, ia dan puteranya terlepas lebih
dahulu dari ancaman anak buah Tai Peng yang jahat-jahat ini. Soal nanti akan
dihadapinya nanti saja, dan pada saatnya ia akan menetukan sikap dan mengambil
tindakan yang dianggap baik.
#Baiklah, tidak ada pilihan lain karena kami berada dalam kekuasaan ciangkun dan
pasukan ciangkun. Aku menyerah dan suka ikut,# akhirnya ia berkata dan Han Le
merangkul ibunya dengan girang. Sheila terharu. Anak ini membutuhkan kesenangan,
membutuhkan pendidikan. Anak ini berhak memperoleh pendidikan yang baik, berhak
hidup dalam kemuliaan, bukan selalu hidup serba kekurangan dan dalam kesukaran.
Tak lama kemudian, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sebuah kereta yang
ditarik oleh empat ekor kuda dikawal oleh Tang Ci sendiri bersama selosin
pasukan berkuda, meninggalkan bukit itu menuju ke Nan-king. Tak jauh dari situ,
sesosok tubuh manusia yang mengintai dari balik batang pohon besar, menarik
napas dalam. Dia bukan lain adalah Bu Beng Kwi, semenjak ibu dan anak itu pergi
selalu mengikuti dan membayangi dengan diam-diam, bahkan telah menolong mereka
secara diam-diam pula dari ancaman tiga orang perajurit pemerintah Mancu. Kini,
melihat ibu dan anak itu pergi dalam sebuah kereta besar, dia menghela napas.
Dia telah menggunakan kepandaiannya mengintai dan mengikuti semua peristiwa,
sejak Sheila diperiksa oleh perwira Lai yang tinggi besar, sampai munculnya Tang
Ci. Dia sudah siap untuk menolong dan membebaskan Sheila ketika diperiksa Laiciangkun.
Akan tetapi mendengar penawaran Tang Ci yang akan membawa ibu dan anak itu ke
istana kaisar dari Kerajaan Sorga, yaitu Ong Siu Coan, dan melihat kesediaan
Sheila, diapun hanya berdiam diri. Apapun yang akan diputuskan dan dilakukan
oleh Sheila, dia tidak akan menghalanginya. Dia hanya berkewajiban untuk
melindungi ibu dan anak itu, hal inipun dilakukan diam-diam dan jangan sampai
kelihatan oleh mereka. Setelah kereta pergi jauh, barulah dia menggunakan
ilmunya berlari cepat, membayangi kereta itu dari jauh. Wajahnya pucat, matanya
cekung dan sayu, membayangkan kekosongan hatinya, kosong dan sunyi, kehidupan
seperti sudah mati baginya setelah ibu dan anak itu meninggalkannya. Kini, satusatunya
keinginan yang bernyala di dalam hatinya, yang memberinya semangat untuk
tinggal hidup,
Hanyalah melindungi Sheila dan Han Le, menjaga mereka agar mereka itu hidup
dengan aman dan selamat, agar mereka itu dapat menemukan bahagia. Dia akan
menjaga mereka dengan diam-diam, menggunakan seluruh kekuatan dan kepandaiannya,
kalau perlu siap berkorban nyawa untuk mereka! Biarpun pada waktu itu, negara
sedang kacau, kehidupan rakyatpun selalu diganggu oleh keadaan perang, namun
peristiwa yang terjadi di dunia persilatan itu amat menarik perhatian para tokoh
persilatan, baik para pendekar maupun para tokoh kang-ouw. Siapa orangnya tidak
akan tertarik menerima undangan, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dari seseorang yang mengundang semua tokoh persilatan untuk menjadi saksi
pengangkatan diri orang itu sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap (Jago silat Nomor
Satu di Kolong Langit)? Peristiwa yang sungguh luar biasa sekali.
Belum pernah ada orang, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, yang
berani mengangkat diri sendiri menjadi jagoan nomor satu di dunia! Dan orang itu
memakai nama Lee-kongcu! Orangpun bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh yang
demikian sombong dan tinggi hati, yang berani mengundang tokoh-tokoh persilatan
untuk menyaksikan dia mengangkat diri seperti itu? Dia menantang seluruh tokoh
persilatan yang ada, karena pengangkatan itu sama dengan pengumuman bahwa tidak
ada orang di dunia ini yang akan mampu menandinginya! Betapa takaburnya! Dan
pesta pengangkatan diri itu diadakan di sebuah bukit di lembah Yang-ce-kiang, di
sebelah utara sungai itu, di sebuah dusun yang bernama Cu-sian, tak jauh dari
Nan-king, hanya dibatasi Sungai Yang-ce-kiang dan beberapa belas li saja di
lembah Yang-ce!
Dan tempat inipun merupakan daerah perbatasan antara wilayah yang diduduki
tentara Tai Peng dan yang masih dikuasai pemerintah Mancu, dan daerah itu
terkenal sebagai daerah di mana seringkali terjadi pertempuran, baik antara
pasukan Tai Peng dan Mancu, maupun antara mata-mata dari kedua pihak! Sungguh
berani sekali orang yang menyebut dirinya Lee-kongcu itu! Lebih gila lagi, Leekongcu
juga mengundang pembesar-pembesar dari Kerajaan Ceng, terutama sekali
pembesar militer, seolah-olah dia mengharapkan pengakuan dari pemerintah bahwa
dialah jagoan nomor satu di dunia! Apa gerangan keinginan orang itu, demikian
banyak tokoh kang-ouw berpikir, merasa tertarik sekali sehingga ketika hari yang
ditentukan tiba, banyaklah orang datang membanjiri lembah Yang-ce bagian utra
itu.
Memang ada tokoh-tokoh besar dunia persilatan, seperti ketua-ketua partai
persilatan besar, tidak sudi melayani undangan orang yang mereka anggap gila
itu, dan tidak datang sendiri. Namun, karena merekapun tertarik dan ingin
mengetahui siapa gerangan orang itu, mereka mengirim juga utusan untuk sekedar
meninjau dan mencatat peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan itu.
Bermacam-macam reaksi yang timbul akibat undangan yang disebar oleh Lee-kongcu
itu. Partai-partau persilatan besar mengadakan rapat-rapat memperbincangkan soal
itu, dan ramailah nama Lee-kongcu menjadi bahan percakaan setiap pertemuan
antara orang kang-ouw menjelang pesta itu. Dan pada saat hari itu tiba, tidak
mengherankan kalau daerah lembah Sungai Yang-ce-kiang itu menjadi ramai sekali,
didatangi orang bermacam bentuk, baik sikap maupun pakaian mereka.
Orang-orang aneh, bahkan pendeta-pendeta Agama To, juga hwesio-hwesio tua,
orang-orang yang berpakaian compang-camping seperti pengemis, dan banyak pula
orang-orang yang sikapnya bengis dan kasar, tanda bahwa mereka itu jelas sekali
datang dari golongan hitam atau penjahat-penjahat. Ada pula orang-orang yang
berpakaian pendekar, halus dan bersih, yang pria tampan dan wanita cantik
jelita, namun mereka itu membayangkan sikap yang gagah perkasa sehingga membuat
orang merasa segan dan tidak ada yang berani mencari perkara. Mencari perkara di
tempat berkumpulnya semua orang gagah dari empat penjuru itu sama dengan
mengundang penyakit untuk diri sendiri. Peristiwa itu ada juga segi yang
mendatangkan kegembiraannya, yaitu bagi mereka yang bertemu dengan wajah-wajah
lama para sahabat.
Karena keadaan negara yang dilanda perang, maka banyak di antara para tokoh
persilatan itu tidak saling bertemu selama bertahun-tahun. Kini, karena samasama
tertarik oleh ulah Lee-kongcu, mereka dapat bertemu di tempat itu. Maka
terjadilah petemuan-pertemuan yang menggembirakan di lembah yang subur itu. Leekongcu
mengundang pembesar-pembesar militer penting, juga ketua-ketua
perkumpulan silat yang besar-besar dan tidak lupa mengirim undangan pribadi
kepada murid para datuk sesat yang sudah tidak ada, yaitu murid-murid dari Empat
Racun Dunia karena dia menganggap mereka itu sebagai wakil dari dua golongan.
Guru-guru mereka adalah orang-orang golongan sesat, akan tetapi mereka sendiri,
yang menjadi murid-muridnya, terkenal sebagai orang-orang gagah dan pejuangpejuang
perkasa.
Maka tidaklah mengherankan kalau di tempat itu muncul pendekar-pendekar perkasa
seperti murid dari Tee-tok (Racun Tanah) bersama suaminya yang juga seorang
pendekar bernama Thio Ki putera ketua Kang-sim-pang. Suami isteri pendekar ini
pernah pula membantu Ong Siu Coan seperti para pendekar lain ketika tentara Tai
Peng mulai bergerak, akan tetapi merekapun meninggalkan Ong Siu Coan ketika
melihat kegilaan orang itu dan kejahatan pasukan Tai Peng. Pasangan ini sudah
berusia tiga puluh delapan tahun dan tiga puluh enam tahun, dan mereka
mmempunyai seorang anak perempuan yang kini berusia kurang lebih sebelas tahun
dan bernama Thio Eng Hui. Thio Ki kini melanjutkan pimpinan perkumpulan Kangsim-
pang (Hati Baja) yang cukup terkenal.
Mereka datang berdua saja, meninggalkan puteri mereka di rumah karena mereka
khawatir kalau-kalau di tempat pesta itu akan terjadi hal-hal yang akan
membahayakan keselamatan puteri yang baru berusia sebelas tahun itu. Selain
pasangan ini, datang pula pasangan yang dihormati banyak orang karena mereka
datang dari kota raja dan kalau isterinya merupakan seorang wanita bangsawan
yang lihai ilmu silatnya, suaminya juga seorang bangsawan yang memiliki
kedudukan tinggi. Mereka ini bukan lain adalah Ceng Hiang, puteri seorang
pangeran yang bernama Ceng Tiu Ong, juga murid keturunan keluarga Pulau Es yang
ilmu silatnya tinggi sekali.Suaminya adalah Yu-kiang, seorang bangsawan tinggi
di istana yang juga menerima undangan pribadi dari Lee-kongcu yang kita ketahui
bukan lain adalah Lee Song Kim.
Suami isteri yang usianya juga sudah mendekati empat puluh tahun itu mempunyai
pula seorang anak perempuan yang usianya sudah sepuluh tahun, bernama Yu Bwee.
Seperti juga pasangan pertama tadi, Yu-kiang dan Ceng Hiang meninggalkan puteri
mereka. Mereka datang naik kereta dan dikawal oleh pasukan pengawal istana yang
berpakaian indah sebanyak dua losin orang sehingga kedatangan mereka itu menarik
perhatian. Masih ada lagi pasangan suami isteri yang tidak kalah menariknya,
karena sepasang suami isteri ini pernah menggegerkan duna persilatan dengan
sepak terjang mereka yang gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Tan Ci
Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Seperti kita ketahui, mereka ini telah
mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Tan Bun Hong, berusia dua belas
tahun.
Ketika Tan Ci Kong membantu perjuangan Tai Peng, isterinya, Siauw Lian Hong,
tidak ikut berjuang melainkan mengajak puteranya untuk menyingkir di puncak Naga
Putih karena rumah mereka telah terancam oleh pasukan pemerintah akibat
kunjungan Ong Siu Coan yang menjadi buronan pemerintah. Ketika Tan Ci Kong
meninggalkan Ong Siu Coan karena melihat penyelewengan Tai Peng, dia juga
menyusul isterinya ke puncak itu dan selanjutnya mereka tinggal di tempat itu,
hidup sebagai petani dan pemburu. Hidup di antara penduduk gunung yang sederhana
itu mereka merasa tenteram dan semenjak meninggalkan perjuangan, baru Ci Kong
turun gunung ketika dia dikunjungi oleh Thian Khi Hwesio, dimintai bantuannya
untuk menyelidiki tentang pembunuhan terhadap orang-orang Kun-lun-pai yang
didesas-desuskan dilakukan oleh orang Siauw-lim-pai.
Kemudian Tan Ci Kong berhasil melerai dan menggagalkan perkelahian yang hampir
saja terjadi antara tokoh-tokoh Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai, karena adu domba
yang dilakukan oleh Lee Song Kim. Kemudian, dia pulang ke puncak Naga Putih
karena maklum bahwa dalam pelaksanaan tugasnya kali ini, dia perlu dibantu oleh
isterinya yang juga lihai sekali. Mereka berdua meninggalkan putera mereka dan
berangkat turun gunung karena pada waktu Ci Kong tiba di rumah, telah lebih dulu
tiba undangan dari Lee-kongcu itu. Suami isteri inipun tertarik sekali dan
merekapun langsung saja menuju ke lembah Yang-ce-kiang dan di situ mereka
bertemu dengan kawan-kawan lama sehingga terjadilah pertemuan yang amat
menggembirakan.
#Siapakah sebenarnya orang yang menamakan dirinya Lee-kongcu ini?# tanya Ciu Kui
Eng. Mereka berenam duduk di tepi anak sungai yang airnya jernih dan yang
mengalir ke arah Sungai Yang-ce-kiang yang besar.
#Akupun ingin sekali tahu siapa dia. berani sekali dia mengangkat diri menjadi
Thian-he Te-it Bu-hiap dan agaknya dia mengundang semua orang gagah di dunia.
Bahkan ada beberapa orang jenderal dia undang. Sungguh orang yang memiliki
kebernian besar sekali!# kata Ceng Hiang. Ci Kong dan isterinya saling pandang.
Mereka berdua sudah menduga siapa adanya orang yang dibicarakan itu. Ci Kong
lalu bertanya,
#Agaknya kalian akan lebih heran lagi kalau tahu siapa dia. Akupun baru menduga
saja, akan tetapi agaknya tidak akan meleset dugaanku ini. Dia itu tentulah Lee
Song Kim!#
#Eh? Si keparat yang berhati palsu itu? Dia pernah mengkhanati para pimpinan
pejuang sehingga mereka semua ditawan oleh pemerintah Ceng! Dan kini dia berani
membuat ulah seperti ini? Sungguh tak tahu diri!# kata Thio Ki kaget dan heran.
#Hemm, kulihat kepandaiannya biasa saja, paling tinggi hanya setingkat dengan
aku! Bagaimana dia berani bertingkah mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu
di dunia?# kata pula Ciu Kui Eng merasa penasaran.
#Hemm, diapun menjadi buronan pemerintah. Kini dia berani mengundang para tokoh
militer, apakah dia sudah bosan hidup?# Yu-kiang bernata.
#Harap kalian jangan memandang rendah orang ini,# kata Siauw Lian Hong yang
sudah mnerima keterangan dari suaminya tentang dugaan suaminya bahwa Lee Song
Kim inilah orangnya yang telah mengadu domba antara Kun-lun-pai dan Siauw-limpai,
bahkan membunuh tokoh-tokoh pandai dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai.
#Kita mengenal Lee Song Kim, murid Hai-tok yang amat licik itu. Kita semua tahu
betapa liciknya dia, sehingga mudah saja dia mengkhianati dan menjebak para
pucuk pimpinan para pejuang. dan murid-murid Hai-tok memang hebat. Lihat saja
Kiki, nukankah gadis yang dulu kekanak-kanakan itu sekarang telah pula menjadi
permaisuri seorang kaisar? Kurasa, kalau Lee Song Kim sekarang berani mengangkat
diri sendiri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap, tentu dia memiliki andalan yang
kuat.#
#Benar, kita tidak boleh memandang rendah orang bernama Lee-kongcu yang aku
yakin tentu Lee Song Kim itu. Sebelum mengangkat dirinya menjadi jagoan nomor
satu di dunia dengan mengundang banyak tokoh persilatan, orang yang bernama Leekongcu
itu telah membuat kegemparan. Bayangkan saja, dia telah mengadu domba
antara Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai sehingga hampir saja tokoh-tokoh kedua
perkumpulan besar itu saling hantam sendiri karena saling menyangka lain pihak
membunuh tokoh-tokoh mereka. Dan yang membunuhnya bukanlain adalah Lee-kongcu
itulah. Dia telah membunuh orang-orang terkenal Kun-lun-pai seperti tiong Gi
Tojin, Tiong Sin Tojin, dan juga Huang-ho Sin-to Kwa Ciok Le, dan dia telah
membunuh pula Thian Khi Hwesio wakil ketua Siauw-lim-pai.#
#Ahhh......!# Semua orang berseru kaget.
#Agaknya dia telah mempelajari ilmu-ilmu tinggi selama belasan tahun ni, dan
siap tahu kita jauh ketinggalan dari dia,# kata Ceng Hiang sambil mengepal
tinju. Ia pribadi mempunyai kenangan pahit dengan Lee Song Kim, dan orang itu
merupakan seorang di antara musuh yang dibencinya.
#Semua itu hanya dugaan saja dari suamiku,# kata Lian Hong, #walaupun dugaan itu
agaknya pasti benar. sebaiknya kita tunggu saja sampai saatnya tiba.#
Demikianlah, dengan hati tegang enam orang itu lalu ikut bersama rombongan tamu
memasuki perkampungan baru yang dibangun oleh Lee-kongcu untuk keperluan pesta
itu. Pesta diadakan pada pertengahan musim semi sehingga udaranya cerah dan
pemandangan indah sekali, pohon-pohon penuh daun dan bunga, dan air anak sungai
mengalir jernih. Di tempat terbuka yang merupakan kebun, di bawah pohon-pohon
besar, terdapat meja kursi yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga mengitari
sebuah panggung di mana diatur pula meja kursi untuk tamu kehormatan. Anak buah
Lee-kongcu yang berpakaian rapi dan seragam biru putih, menyambut para tamu
dengan penuh kehormatan, dan agaknya memang sudah diatur sebelumnya oleh Leekongcu.
Tanpa ragu-ragu para penyambut ini mengiringkan orang-orang penting, di
antaranya para panglima dari kota besar dan kota raja,
Termasuk Yu Kiang dan Ceng Hiang, dan juga para kepala perkumpulan besar dan
orang-orang golongan tua yang pantas dihormati karena usia dan kedudukannya,
menuju ke panggung kehormatan. Tan Ci Kong, Siauw Lian Hong, Thio Ki dan Ciu Kui
Eng yang tidak dipersilahkan ke panggung kehormatan, mengambil tempat duduk tak
jauh dari panggung agar mereka dapat menyaksikan dari dekat ulah dari tuan rumah
yang belum memperlihatkan diri itu.
(Lanjut ke Jilid 09)
Jilid 09
Dua pasang pendekar ini duduk diam saja, akan tetpi mereka memasang mata dan
memperhatikan siapa yang datang berkunjung. Diam-diam mereka merasa kagum juga
melihat betapa para tamu itu terdiri dari tokoh-tokoh pesilatan yang penting,
ketua atau wakil partai-partai besar, bahkan banyak pula terdapat pembesar
penting dari daerah dan dari kota raja!
Mereka kagum karena ternyata orang she Lee yang menamakan diri Lee-kongcu dan
mereka duga tentu Lee Song Kim itu ternyata memiliki keberanian besar dengan
mengundang demikian banyak tokoh penting. Banyak di antara para tamu yang tidak
mereka kenal. Mereka tidak tahu bahwa di antara banyak tamu yang jumlahnya
kurang lebih dua ratus orang itu, terdapat beberapa orang mata-mata, baik dari
pemerintah Mancu, dari Tai Peng, maupun mereka yang bekerja untuk orang kulit
putih. Para mata-mata itu memperoleh kesempatan baik untuk menyusup sebagai
tamu. Dengan pandang mata mereka yang tajam dan pengalaman mereka berkecimpung
dalam dunia kang-ouw selama belasan tahun, dua pasang pendekar ini dapat melihat
bahwa kalau dibuat perbandingan, di antara yang hadir itu jauh lebih banyak
golongan sesatnya daripada golongan pendekar, sehingga diam-diam mereka waspada.
Bahkan di antara para penyambut yang mewakili Lee-kongcu, Ci Kong melihat
seorang wanita cantik yang nampak berusia tiga puluh tahun lebih, anggun dan
berwibawa, Dia merasa heran sekali, karena dia mengenal wanita itu yang bukan
lain adalah Theng Ci, tokoh dari Ang-hong-pai! Pernah dia bersama gurunya, yaitu
kakek sakti Siauw-bin-hud, mendatangi perkumpulan Ang-hong-pai untuk menemui
Theng Ci, tokoh perkumpulan itu. Ketika itu gurunya, yaitu kakek sakti Siauwbin-
hud, mencari perampas pedang pusaka Giok-liong-kiam karena dialah yang
disangka perampasnya. Theng Ci merupakan seorang di antara mereka yang
memperebutkan pedang pusaka itu dan yang mengenal perampasnya. Biarpun belasan
tahun telah terlewat, ternyata wanita itu masih nampak sehat dan muda, padahal
usianya sudah mendekati enam puluh tahun.
Kalau orang she Lee itu mempuyai pembantu seperti Theng Ci, tentulah dia bukan
orang baik-baik, pikir Ci Kong. Akhirnya tamu terakhir datang dan hampir semua
bangku di kebun itu telah diduduki tamu yang merupakan setengah lingkaran
menghadap ke arah panggung di mana duduk kurang lebih dua puluh orang tamu
kehormatan. sejak tadi, serombongan pemain musik meramaikan suasana, dan
beberapa orang gadis penyanyi membuka mulut menyanyikan lagu-lagu merdu sehingga
ada semacam kegembiraan seperti yang biasa terdapat dalam sebuah pesta. Tibatiba
suara musik dan nyanyian itu menjadi lirih dan akhirnya berhenti. Lalu
rombongan pemusik itu memukul kembali alat musik mereka, kini dengan nyaring dan
di antara suara tambur dan canang itu terdengarlah teriakan orang.
#Yang terhormat Lee-kongcu akan keluar untuk menymbut para ramu!# Semua orang
memandang dan dari lorong yang menuju ke panggung itu muncullah seorang lakilaki
yang gagah perkasa dan tampan. Laki-laki itu berusia kurang dari empat
puluh tahun, wajahnya tampan dan pesolek, mulutnya dihias senyum, kumis dan
jenggotnya teratur rapi, pakaiannya dari sutera yang mahal dengan potongan
seperti seorang terpelajar atau bangsawan. Akan tetapi gagang emas sepasang
belati di pinggang dan sebatang pedang di punggung menunjukkan bahwa dia
bukanlah seorang pelajar yang lemah. Langkahnya tegap dan dia naik ke atas
panggung sambil tersenyum dan mengangguk ke kanan kiri, lagaknya seperti seorang
pembesar atau bahkan raja yang kedatangannya sudah dinanti oleh banyak orang!
Biarpun kini wajahnya yang tampan menjadi semakin gagah oleh kumis dan jenggot
yang terpelihara baik, para pendekar yang hadir di situ masih mengenal bahwa
laki-laki itu bukan lain adalah Lee Song Kim, murid datuk sesat Hai-tok Tang Kok
Bu! Siauw Lian Hong mengepal tinju, juga Ciu Kui Eng, karena kedua orang wanita
itu membenci Lee Song Kim. Tidak salah dugaan Ci Kong dan pendekar ini memandang
tajam. Kalau Lee Song Kim sudah berani mengangkat diri menjadi Thian-he Te-it
Bu-hiap, maka tentu dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Hal ini sudah dibuktikan dengan pembunuhan terhadap para tokoh Kun-lun-pai,
bahkan wakil ketua Siauw-lim-pai juga dibunuhnya! Kini dia melihat bahwa Lee
Song Kim yang berambisi untuk menjadi jago nomor satu di dunia itu sengaja
melakukan pembunuhan-pembunuhan dengan maksud mengadu domba antara Siauw-lim-pai
dan Kun-lun-pai.
Kalau kedua partai persilatan besar itu sampai bermusuhan, maka tentu akan
menjadi lemah dengan sndirinya dan dialah yang akan mendapat keuntungan, karena
akan lebih lancar jalannya menuju ke arah kedudukan yang dicita-citakan yaitu
sebagai bengcu (pemimpin rakyat) di antara tokoh-tokoh persilatan, menjadi
jagoan nomor satu di dunia persilatan! Melihat sinar mencorong keluar dari
sepasang mata Lee Song Kim, Ci Kong dapat menduga bahwa orang ini sekarang
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, dan tentu selama belasan tahun ini
telah menggembleng dirinya. Teringatlah dia akan kematian Hai-tok di tangan para
tokoh Siauw-lim-pai ketika datuk sesat itu tertangkap basah mencuri kitab-kitab
Siauw-lim-pai,
Dan diapun telah mendengar akan lenyapnya kitab-kitab pelajaran silat rahasia
dari perkumpulan perkumpulan besar. Tak salah lagi, pikirnya. tentu Lee Song Kim
dan gurunya, mendiang Hai-tok, yang telah melakukan pencurian-pencurian itu, dan
agaknya semua kitab itu telah dipelajari dan dilatih dengan baik oleh Song Kim.
Dia dapat menjadi seorang lawan yang amat berbahaya, pikirnya. Sementara itu,
Song Kim yang memandang ke sana-sini sambil tersenyum, tentu saja mengenal
wajah-wajah mereka yang pernah menjadi musuhnya, akan tapi dia bersikap biasa,
seolah-olah belum penah melihat mereka. Kemudian dia melangkah ke tepi panggung,
menghadapi semua tamu dan berkali-kali dia memberi hormat dengan bersoja ke
kanan kiri dan depan, terutama kepada para tamu kehormatan yang duduk di atas
panggung.
#Selamat datang, cuwi yang mulia! Selamat datang dan terima kasih atas kunjungan
cuwi memenuhi undangan kami. Sebelum membicarakan urusan penting yang menjadi
maksud undangan kami, kami persilakan cuwi menikmati hidangan sekedarnya!#
Setelah berkata demikian Lee Song Kim lalu duduk di atas kursi yang telah
disediakan untuknya dan para pelayan wanita yang kesemuanya adalah anggauta Anghong-
pai, segera sibuk mengeluarkan hidangan yang masih panas. Yang oleh Lee
Song Kim, dinamakan hidangan sekedarnya itu ternyata merupakan hidangan yang
serba mahal dan lezat.
Sebentar saja meja-meja itu penuh hidangan, dan terciumlah di antara bau yang
sedap dan gurih itu, bau arak yang keras dan harum. Tamupun tidak sungkansungkan
lagi, menyerbu hidangan dan mereka makan minum dengan gembira. Bahkan
para pembesar militer dari kota raja diam-diam merasa kagum melihat hidangan
yang disuguhkan itu tidak kalah royalnya dibandingkan dengan hidangan yang
keluar dalam pesta seorang bangsawan besar. Memang Lee Song Kim sengaja
mengadakan pesta besar untuk mendapatkan kesan baik dari para tamunya. Setelah
para tamu makan minum secukupnya, Lee Song Kim kembali bangkit berdiri di tepi
panggung dan memberi hormat kepada para tamunya. Semua tamu maklum bahwa kini
tuan rumah tentu akan mengumumkan maksud undangannya, maka semua orang memandang
penuh perhatian.
#Cuwi yang mulia!# katanya yang suaranya lantang, didorong oleh Tenaga khikang
yang kuat, wajahnya serius namun senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya.
#sekarang tiba saatnya bagi kami untuk membicarakan urusan penting, yaitu maksud
dari undangan yang kami kirimkan dan sebarkan untuk cuwi. Kita semua mengetahui
bahwa dewasa ini, kehidupan rakyat terancam oleh perang yang terjadi di manamana.
negara mempunyai banyak musuh. dalam keadaan sekacau ini, sudah
sepatutnyalah kalau kita, orang-orang kaum persilatan, bangkit untuk mengamankan
keadaan dan membantu pemerintah mengatasi keadaan. Bagaimana pendapat cuwi?
Tidak benarkah apa yang telah saya kemukakan tadi?#
#Akur, akur!#
#Setuju sekali!# Teriakan-teriakan menyambut ini dipelopori oleh mereka yang
memang sudah tunduk kepada Song Kim, dan diturut oleh sebagian besar golongan
sesat. Dan karena apa yang diucapkan Song Kim memang tak dapat dibantah
kebenarannya, para pendekar juga banyak yang mengangguk menyatakan setuju. Song
Kim dengan wajah berseri mengangkat kedua tangan ke atas memberi tanda kepada
semua tamu agar tenang.
#Cuwi yang mulia. Biarpun kita kaum persilatan harus bangkit, namun kalau
kebangkitan itu dilakukan secara liar dan sendiri-sendiri, tentu bahkan akan
menimbulkan kekacauan dan persaingan. Oleh karena itu, perlu kiranya kalau kita
bersatu dan untuk dapat terlaksananya persatuan di antara para tokoh dunia
persilatan, sudah semestinya kalau perlu adanya seorang bengcu yang akan
memimpin kaum kang-ouw. Tentu saja seorang pemimpin haruslah memiliki ilmu silat
tertinggi. Setujukah cuwi?# Kembali sambutan dipelopori kaki tangan Song Kim dan
diturut oleh sebagian besar para tamu. Akan tetapi banyak di antara para
pendekar yang diam saja. Kembali Song Kim mengangkat kedua tangan minta tenang.
#Cuwi tentu telah mengetahui bahwa belasan tahun yang lalu, pernah terjadi geger
ketika semua orang memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam dan pusaka itu dianggap
sebagai lambang keunggulan. Siapa yang memiliki pusaka itu dianggap memiliki
kepandaian tinggi dan pantas menjadi seorang bengcu! Pemilik Giok-liong-kiam
boleh diangkat menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap dan dingkat menjadi bengcu, karena
kalau dia sudah berhasil memiliki Giok-liong-kiam, maka berarti bahwa dia tentu
berkepandaian tinggi! Setujukah cuwi kalau kita memilih orang yang telah
memiliki Giok-liong-kiam menjadi bengcu?#
#Setuju......!# Kembali anak buahnya memelopori dan diturut oleh beberapa orang
golongan sesat.
#Nanti dulu......!# Tiba-tiba Yu Kiang, suami Ceng Hiang yang duduk dikursi
kehormatan, berseru. Semua orang memandang kepadanya, juga Song Kim membalik
menghadapi orang itu.
#Kami mendengar bahwa Giok-liong-kiam berada di tangan pemimpin pemberontak Tai
Peng yang kini mengangkat diri menjadi raja, yaitu Ong Siu Coan. Apakah ini
berarti bahwa kita harus mengangkat pemimpin pemberontak itu menjadi bengcu
sehingga kita semua akan menjadi pengkhianat dan pemberontak?#
Para pendekar juga saling pandang dengan heran. Mereka yang pernah membantu
gerakan Tai Peng sebelum mereka kemudian meninggalkan Tai Peng yang melakukan
penyelewengan, tahu belaka bahwa Giok-liong-kiam memang berada di tangan Ong Siu
Coan. Apalagi Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong. Suami isteri pendekar
ini tentu saja tahu dengan jelas tentang Giok-liong-kiam, karena merekalah yang
memberikan Giok-liong-kiam kepada Ong Siu Coan yang datang berkunjung kepada
mereka yang meminjamnya. Bagimana kini Song Kim berani mengatakan bahwa para
tamu harus memilih pemegang Giok-liong-kiam menjadi bengcu? Bukankah hal itu
berarti bahwa orang itu mengusulkan agar mereka semua memilih Ong Siu Coan
menjadi pemimpin dunia persilatan? Akan tetapi Song Kim tidak menjadi gugup
mendengar semua pertanyaan itu. Dia bahkan tersenyum cerah.
#Justeru karena Giok-liong-kiam pernah dimiliki oleh pemimpin besar Tai Peng,
maka siapa yang mampu mengambilnya dari istananya di Nan-king, berarti memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi dan pantaslah kalau menjadi pimpinan atau bengcu.
Saya yang tanggung bahwa Giok-liong-kiam bukan berada di tangan pemimpin Tai
Peng itu, melainkan di tangan seorang yang ilmu kepandaiannya melebihi Ong Siu
Coan! Pantaskah pemilik Giok-liong-kiam itu diangkat menjadi bengcu?#
#Pantas! Pantas!#
#Setuju! Setuju!# kembali kaki tangannya berteriak dan diikuti oleh banyak tamu
dari golongan sesat.
#Akan tetapi siapakah yang kini menjadi pemilik Giok-liong-kiam?# teriak Siauw
Lian Hong yang tidak sabar lagi menanti, melihat sikap Song Kim yang dianggap
sombong dan menyebalkan. Lee Song Kim memandang kepadanya lalu menjura.
#Pertanyaan pendekar wanita Siauw Lian Hong itu memang tepat, dan agaknya
menjadi pertanyaan dari cuwi yang hadir, maka baiklah saya jawab. Giok-liongkiam
kini berada di tangan Thian-he Te-it Bu-hiap. Inilah dia!# Dan diapun
mengeluarkan pedang Giok-liong-kiam itu dari balik jubahnya. Diangkatnya pedang
pusaka itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Pedang kecil berukir tubuh naga dan
terbuat dari batu giok (kemala) hujau kemerahan itu nampak mengkilap dan indah
sekali ketika dicabut dari rangkanya. Semua orang memandang kagum dengan mata
terbelalak dan Lian Hong hendak bangkit berdiri. Mukanya merah, matanya bernyala
dan penuh kemarahan.
#Pencuri keparat......!# desisnya, akan tetapi suaranya tenggelam ke dalam
kegaduhan yang terjadi setelah semua tamu melihat Giok-liong-kiam itu. Suaminya,
Tan Ci Kong segera memegang lengannya dan menariknya dengan halus agar duduk
kembali.
#Tenanglah, di sini kita tidak bisa mengaku pernah membantu Ong Siu Coan,#
bisiknya. Lian Hong mengangguk dan biarpun mukanya masih kemerahan dan matanya
bersinar marah, ia diam saja. memang, tidak mungkin di tempat terbuka seperti
itu, di mana hadir pula beberapa orang pembesar militer Kerajaan Ceng, mereka
mengaku bahwa merekalah yang meminjamkna pedng Giok-liong-kiam kepada Ong Siu
Coan, pemimpin pemberontak Tai Peng itu.
#Pedang itu palsu!# teriak seorang tamu. #Semua orang tahu pedang Giok-liongkiam
yang aseli berada di tangan raja Tai Peng di Nan-king!# Mendengar teriakan
ini, banyak pasang mata memandang ke arah pedang itu di tangan Song Kim itu
dengan penuh keraguan. Akan tetapi, Ci Kong dan Lian Hong mengenal pedang itu
dan mereka berdua merasa yakin bahwa pedang yang dipegang Song Kim itu memang
Giok-liong-kiam aseli. Song Kim tertawa sopan mendengar pedang itu disangka
palsu. Dia mengangkat pedang itu tinggi-tinggi di atas kepalanya.
#Cuwi, lihatlah baik-baik. Pedang Giok-liong-kiam ini aseli! Tanya saja kepada
para pendekar yang pernah memperebutkannya belasan tahun yang lalu. Kalau palsu,
tentu mereka akan menyangkalnya. Pedang ini aseli dan kalau ada Giok-liong-kiam
lain, baik yang berada di tangan pemimpin Tai Peng sekalipun, maka pedang itu
jelas palsu! Yang aseli berada di tangan Thian-he Te-it Bu-hiap! Dan siapa yang
menyangkal, berarti tidak percaya kepada Thian-he Te-it Bu-hiap, dan tidak
percaya sama dengan penghinaan. Nah, cuwi yang mulia. pemegang Giok-liong-kiam
adalah jagoan nomor satu, dan pantas untuk menjadi bengcu. Apakah cuwi setuju?#
Sorak-sorai menyambut kata-kata ini, tentu saja yang menjadi pelopor adalah
orang-orang yang sudah takluk kepada Lee Song Kim, diikuti oleh mereka yang
menjadi golongan sesat dan merasa kagum kepada orang she Lee itu.
#Terima kasih, cuwi. Akan tetapi, saya kira di antara para pendekar yang hadir,
ada yang tidak setuju dan siapa yang merasa lebih pandai dari Thian-he Te-it Buhiap
dan hendak menguji kepandaiannya agar dapat percaya, silakan maju.# Ini
merupakan tantangan secara berterang! Diam-diam Ci Kong terkejut. Kalau Song Kim
sudah berani mengajukan tantangan tanpa pandang bulu seperti itu, jelas bahwa
orang ini sudah merasa bahwa dia tidak mempunyai tandingan lagi! Betapa
sombongnya! Tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi besar meloncat ke atas
panggung. Panggung itu sampai mengeluarkan bunyi dan agak bergoyang ketika
tubuhnya yang berat dan kokoh kuat itu meloncat naik.
#Aku Yauw Kang mewakili Bu-tong-pai untuk menguji kelihaian orang yang berani
memakai julukan Thian-he Te-it Bu-hiap sebelum kami mengakuimu sebagai bengcu,
orang she Lee!# katanya dan suaranya sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar,
karena suara ini nyaring dan besar. Lee Song Kim menyimpan kembali Giok-liongkiam
di balik jubahnya, lalu melangkah maju menghadapi raksasa bernama Yauw Kang
itu, senyumnya melebar dan sikapnya tenang sekali, bahkan jelas memandang
rendah.
#Saudara Yauw adalah seorang tokoh Bu-tong-pai? Akan tetapi, apakah tidak ada
tokoh Bu-tong-pai lain yang lebih tinggi tingkatnya untuk maju agar para tamu
yang terhormat dapat mengagumi ilmu kepandaiannya? Harap saudara Yauw mundur dan
biarkan tokoh Bu-tong-pai yang paling lihai maju agar tidak membuang waktu.#
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara hormat dan manis, namun sesungguhnya
merupakan tamparan keras karena jelas bahwa Song Kim memandang rendah kepada
laki-laki tinggi besar berusia kurang lebih empat puluh tahun itu.
#Lee-kongcu terlalu memandang rendah Bu-tong-pai!# bentak Yauw Kang. #Ketahuilah
bahwa aku ditugaskan mewakili Bu-tong-pai dan aku adalah murid kepala pertama
yang mewakili suhu menggembleng para murid tingkat tinggi
#Bagus sekali kalau begitu,# kata Song Kim tanpa melepas senyumnya. #Saudara
Yauw adalah tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai? Dan ingin menguji kepandaian
Thian-he Te-it Bu-hiap? Baik, majulah!# Yauw Kang yang sudah marah itu memasang
kuda-kuda. Tubuhnya nampak kokoh kuat dan otot-ototnya mengembung. Tubuh yang
tertutup pakaian itu seolah-olah membesar dan matanya mengeluarkan sinar.
#Lee-kongcu, bersiaplah dan jaga seranganku!# Yauw Kang menyerang dengan gerakan
yang cepat dan kuat sekali, kedua telapak tangannya bertemu di udara
mengeluarkan suara ledakan keras dan kedua tangan itu kini melancarkan pukulan,
yang atas menghantam ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan telapak tangan,
sedangkan yang bawah menyodok ke arah ulu hati. Cepat dan dahsyat serangan ini.
#Hemm, Cun-lui-tong-thian (Guntur Musim Semi Menggetarkan Langit)!# kata Lee
Song Kim dan seperti yang sudah hafal akan jurus ini, kedua tangannya sudah
menyambut dengan tangkisan perlahan. Kedua tangan Yauw Kang yang menyerang itu
terpental dan kini Song Kim mengajukan kakinya, kemudian kedua tangannya
menyerang dengan jurus yang persis sama!
#Uhhh......!# Tentu saja Yauw Kang kaget dua kali. Pertama kali ketika dia tadi
mendengar jurus serangannya disebut dan ditangkis secara tepat oleh lawan dan
kedua kali ketika lawan menyerangnya dengan jurus Cun-lui-tong-thian pula,
dengan gerakan yang cukup cepat, kuat dan sempurna. Karena jurus itu amat
berbahaya, sekaligus mengancam dua daerah berbahaya, yaitu ulu hati dan ubunubun
kepala, maka cepat diapun menangkis pula seperti yang dilakukan oleh Song
Kim radi. Akan tetapi, tiba-tiba saja lutut kirinya tercium ujung sepatu kanan
Song Kim dan seketika itu menjadi lumpuh dan diapun jatuh berlutut dengan
sebelah kaki! Song Kim tidak melanjutkan serangannya, melainkan membungkuk
seperti membalas penghormatan orang.
#Saudara Yauw dari Bu-tong-pai tidak perlu sungkan- sungkan. berdirilah!#
katanya, seolah-olah menolak penghormatan dengan berlutut! Tentu saja wajah Yauw
Kang menjadi merah sekali. Dia merasa heran bukan main. Tuan rumah ini bukan
saja dapat memainkan jurus ampuh dari Bu-tong-pai, bahkan dapat menambah jurus
itu dengan tendangan kaki ke arah lutut! Maklumlah dia bahwa orang yang
mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu dan menjadi bengcu ini memang amat
lihai dan dia bukanlah lawannya. Akan tetapi dia tetap merasa penasaran
bagaimana orang yang bukan murid Bu-tong-pai mampu mengenal dan memainkan jurus
simpanan radi. Dia bangkit dan terpincang, menjura,
#Lee-kongcu memang lihai. Aku mengaku kalah.# katanya jujur. #Akan tetapi dari
mana engkau bisa mendapatkan jurus ilmu silat kami tadi?#
#Dia mencuri dari kita!# tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan Kun-lun-pai.
Song Kim tersenyum dan menoleh ke arah rombongan itu.
#Aku Lee Song Kim bukan tukang curi. Aku tidak mencuri jurus dari Bu-tong-pai,
tidak pernah!#
#hai-tok, hurunya, yang mencuri!# Tiba-tiba terdengar Kui Eng berteriak marah.
Seperti juga Lian Hong, sejak tadi wanita itu marah-marah dan kalau tidak
disegah suaminya, tentu ia sudah maju dan menyerang Lee Song Kim. Kembali Song
Kim tersenyum.
#Itu bukan urusanku, yang penting aku tidak mencuri. Tentu saja sebagai Thian-he
Te-it Bu-hiap, aku harus melengkapi pengetahuanku mengenai ilmu silat. Nah,
siapa yang masih merasa penasaran dan hendak menguji ilmuku, silakan maju.#
Sementara itu, kaum sesat yang memang sudah merasa kagum, ditambah semangat
mereka oleh adanya Giok-liong- kiam di tangan Lee-kongcu, kini menjadi semakin
kagum dan gembira melihat betapa orang yang hendak mereka angkat mejadi pimpinan
itu dalam segebrakan saja mampu mengalahkan tokoh kuat dari Bu-tong-pai, bahkan
dengan menggunakan jurus Bu-tong-pai pula! Hebat! Para ketua dan wakil partaipartai
tadinya seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain tidak ada yang
mau maju. Mereka menganggap bahwa tidak perlu melayani seorang yang gila
kehormatan seperti Lee Song Kim itu. Pula, mereka tidak memperebutkan sesuatu.
biarlah orang ini menjadi bengcu, mereka toh tidak akan mengakui dan hanya
golongan sesat saja yang agaknya mengakuinya. Maka,yang dinamakan #bengcu# ini
sama sekali bukan pemimpin rakyat, bukan pemimpin para tokoh dunia persilatan,
Melainkan memimpin orang-orang jahat dari golongan hitam! Akan tetapi, karena
tidak terikat oleh suatu aliran persilatan tertentu, dan karena merasa penasaran
akan kesombongan orang she Lee yang mengangkat diri sendiri menjadi Thian-he Teit
Bu-hiap dan bengcu, masih ada dua orang ahli silat dari dunia persilatan yang
bebas, berturut-turut maju dan menghadapi Lee Song Kim. Tingkat kepandaian dua
orang ini tidak lemah, bahkan masih lebih lihai dibandingkan Yauw Kang tadi.
Namun, mereka itupun bukan lawan tangguh bagi Lee Song Kim dan dalam waktu
kurang dari sepuluh jurus, seorang demi seorang dapat dirobohkan oleh Song Kim.
Mereka tidak menderita luka parah, karena Song Kim yang cerdik dan sedang
mencari dukungan itu tidak mau membuat orang membencinya dengan membuat lawan
luka parah, apalagi tewas.
#Masih adakah di antara cuwi yang merasa bahwa aku tidak pantas menjadi Thian-he
Te-it Bu-hiap dan menjadi bengcu? Kalau masih ada yang ragu-ragu dan ingin
menguji kepandaian, silakan maju sebelum pertemuan ini dibubarkan.#
#Manusia sombong!# Kui Eng membentak. Biarpun bentakan itu bercampur dengan
kegaduhan orang-orang yang memuji-muji Song Kim yang dengan amat mudahnya telah
mengalahkan tiga orang lawan yang lihai itu, namun agaknya Song Kim dapat
mendengarnya dan diapun menoleh ke arah Kui Eng. Memang terdapat perasaan suka
dalam hati Song Kim terhadap Ciu Kui Eng ini.
Belasan tahun yang lalu, ketika Kui Eng masih seorang gadis cantik jelita,
pernah ia bersama Lian Hong dan Ci Kong menyamar untuk melakukan penyelidikan ke
kota raja. Mereka bertemu dengan Lee Song Kim yang jatuh cinta kepada Kui Eng
dan melamarnya! Kui Eng tentu saja menolaknya dan Ci Kong yang marah-marah
membuat penyamaran mereka terbuka dan mereka nyaris celaka. Kini, melihat wanita
yang pernah dicintanya itu, diam-dim Song Kim tertarik. Dia sudah mendengar
bahwa Ciu Kui Eng, murid Tee-tok itu, telah menikah dengan orang yang kini
menjadi ketua Kang-sim-pang dan biarpun dia belum mengenalnya, namun dia dapat
menduga bahwa pria yang gagah dan duduk di dekat Kui Eng itu tentulah ketua
Kang-sim-pang yang menjadi suami Kui Eng itu. Dia tersenyum dan sengaja
memandang kepada mereka ketika mengeluarkan kata-kata yang lantang.
#Benarkah tidak ada lagi orang gagah yang meragukan keunggulanku? Tidak ada lagi
yang hendak menguji kepandaianku? Apakah karena tidak berani? Kami pernah
mendengar bahwa perkumpulan Kang-sim-pang memiliki banyak orang gagah perkasa.
Apakah tidak ada wakilnya di sini? Sudah lama sekali aku ingin bertemu,
berkenalan dan membuktikan apakah kaki tangan mereka sama kerasnya dengan hati
mereka!# Dengan ucapan ini Song Kim menyindir nama perkumpulan itu karena Kangsim-
pang berarti Perkumpulan Hati Baja! mendengar tantangn ini, tentu saja
betapapun sabarnya, wajah Thio Ki menjadi merah sekali.
Dialah yang ditantang dan dia tidak percaya apakah Lee Song Kim mengeluarkan
kata-kata itu hanya kebetulan saja, agaknya memang sengaja melontarkan kata-kata
itu untuk menantangnya? Dialah orang Kang-sim-pang, bahkan ketuanya! Akan tetapi
ada orang yang lebih panas hatinya dan lebih marah dari[ada dia ketika mendengar
ucapan Song Kim itu. Orang itu adalah isterinya sendiri, Ciu Kui Eng! Memang
sejak tadi Ku Eng sudahmarah kepada Song Kim. Apalagi ketika mendengar tantangan
yang jelas ditujukan kepada suaminya itu. Ia mendahului suaminya, karena melihat
kelihaian Song Kim, ia masih ragu apakah suaminya akan mampu menandingi manusia
sombong itu. Song Kim adalah murid mendiang Hai-tok, maka ialah tandingannya, ia
murid Tee-tok sehingga dapat dibilang bahwa ia setingkat dengan Song Kim. maka,
melihat sikap suaminya yang menjadi marah, ia segera bangkit dan berseru
nyaring.
#Lee Song Kim, manusia sombong, akulah lawanmu!# dan iapun hendak meloncat ke
atas panggung. Akan tetapi Thio Ki sudah memegang lengan isterinya danmencegah.
#Aku yang ditantang, biarlah aku yang akan menghadapinya!# kata Thio Ki. #Tidak
perlu engkau maju sendiri, akupun cukup untuk menghajarnya!# kata Kui Eng keras
dan ia melepaskan pegangan tangan suaminya. thio Ki melepaskan tangan isterinya
karena pada saat itu, banyak mata ditukukan kepada mereka. thio ki maklum bahwa
icapan isterinya tadi sengaja untuk mengangkat dirinya karena banyak orang
melihat dan mendengarnya.
Isterinya sengaja mengatakan bahwa tidak perlu dia maju sendiri, biar isterinya
yang maju menghajar Lee Song Kim. dengan ucapan itu seolah-olah isterinya hendak
mengakui bahwa tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkat isterinya.
Padahal, di balik itu agaknya isterinya khawatir kalau-kalau dia tidak akan
mampu menandingi song Kim! Kalau sampai dia kalah, tentu akan turun nama besar
Kang-sim-pang! Dia tahu benar bahwa isterinya lebih lihai darinya dan kalau
sampai isterinya tidak mampu mengalahkan Song Kim, apalagi dia! Kekalahan
isteinya, andaikata sampai kalah, tidak akan mengganggu kebesaran nama Kang-simpang,
tidak seperti kalau dia sendiri sebagai ketuanya yang kalah. Maka. dengan
terharu dan khawatir, dengan kedua tangan terkepal, dia duduk kembali dan
melihat saja ketika isterinya meloncat naik ke atas panggung.
Ciu Kui Eng adalah murid tunggal dari Tee-tok, seorang di antara Empat Racun
Dunia yang menjadi datuk-datuk kaum sesat. Di antara ilmu-ilmu silatnya yang
tinggi, juga Tee-tok amat terkenal oleh kehebatan ginkang (ilmu meringankan
tubuh) yang istimewa. Ketika Tee-tok tertarik kepada Kui Eng yang ketika itu
baru berusia dua belas tahun, dan bermaksud mengambil gadis itu sebagai
muridnya, ayah Kui Eng, yaitu mendiang Ciu Lok Tai hartawan di Tung-kang,
menguji Tee-tok dengan senjata api. Diserang dengan senjata api, Tee-tok dapat
menyelamatkan diri, menghindar dengan ginkangnya yang luar biasa sehingga dia
seolah-olah segesit burung walet yang sukar untuk ditembak!
Karena telah mewarisi ilmu dari gurunya, ketika melompat ke atas panggung, gaya
lompatan Kui Eng bagaikan seekor burung walet melayang saja, demikian ringan dan
cepatnya tubuh itu melayang ke atas lalu menyambar turun ke atas panggung tanpa
mengeluarkan suara seolah-olah bukan tubuh manusia melainkan seekor burung yang
hinggap di atas panggung, di depan Lee Song Kim! Semua orang terkejut dan kagum,
bahkan di antara para pendekar yang sudah mengenalnya, bertepuk tangan dengan
penuh harapan. Mereka mengenal siapa Ciu Kui Eng karena gadis perkasa ini pernah
menjadi pemimpin pasukan pejuang yang terdiri dari pekerja- pekerja pelabuhan.
Bahkan Thio Ki, yang kini menjadi suaminya, ketika itu menjadi pembantunya yang
paling tangguh.
#Hidup Ciu-lihiap!# terdengar beberapa orang berteriak gembira. Akan tetapi Song
Kim tersenyum dan sejenak menatap wajah wanita itu dengan senyum yang khas,
senyum memikat, juga sinis karena diapun memandang rendah kepandaian wanita ini.
Karena dia hendak mengambil hati banyak orang, maka dia menahan diri, ridak mau
mengeluarkan kata-kata kasar. Bahkan dia cepat menjura dengan sikap sopan dan
ramah.
#Maaf, nyonya. tidak kelirukah ini? Suamimu berada di sana, dan dia adalah ketua
Kang-sim-pang, kenapa tidak dia yang maju? Apakah engkau hendak mewakili dia
karena engkau takut dia terluka? Ataukah engkau maju karena sebagai murid Teetok
engkau hendak memperlihatkan kepandaian?# Ucapan itu dikeluarkan dengan
halus dan ramah, namun bagi Kui Eng tajam bagaikan pisau menyayat perasaannya.
Mukanya menjadi semakin merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi
tanda bahwa ia menjadi marah sekali.
#Lee Song Kim, sejak dahulu engkau memang seorang manusia yang sombong, besar
kepala, licik, curang. Aku yang naik kesini untuk mencoba kepandaianmu, mengapa
engkau menyebut-nyebut suamiku? Kalau engkau takut menghadapi aku, katakan saja,
jangan memakai banyak alasan!# Ucapan Kui Eng inipun tajam dan mengandung
sindiran.
#Aku? Takut? Ha-ha-ha, Thian-he Te-it Bu-hiap tidak perlu takut menghadapi
siapapun juga, apalagi hanya seorang wanita seperti engkau, nyonya.# kata Song
Kim sambil tertawa menutupi persaan tidak enak di hatinya. Tentu saja dia tidak
takut melawan Kui Eng, akan tetapi maksudnya tadi adalah untuk mengalahkan sumai
wanita ini dan untuk memamerkan kepandaiannya kepada wanita yang pernah
dicintanya ini, bukan untuk bertanding melawan Kui Eng! Dia tidak takut, sama
sekali tidak. Dulupun dia tidak takut melawan murid Tee- tok ini, apalagi
sekarang!
#Tak perlu banyak membual, nah, sambutlah seranganku ini!# bentak Kui Eng dan
iapun sudah menerjang dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap
dan hanya nampak bayangannya saja berkelebat ketika ia melakukan serangan ke
arah Lee Song Kim. Song Kim tentu saja tahu akan lihainya wanita murid Tee-tok
ini, maka diapun tidak berani main-main dan cepat dia mengelak sambil
menggerakkan keua tangannya menangkis dan balas menyerang. terjadilag serang
menyerang yang seru dan sedemikain cepatnya sehingga hanya mereka yang memiliki
ilmu tinggi saja dapat megikuti semua gerakan kedua orang itu. Ci Kong dan Lian
Hong, juga Ceng Hiang, dan tentu saja Thio Ki, mengikuti jalannya petandingan
itu dengan penuh perhatian. hati mereka terasa tegang karena memang perkelahian
di atas panggung itu hebat sekalim berbeda sama sekali dengan ketika Song Kim
melawan lawan-lawan yang tadi.
Ilmu silat Kui Eng sungguh tak boleh dipandang ringan, karena selain telah
mewarisi ilmu-ilmu dari Tee-tok, juga wanita ini telah mendapatkan banyak
pengalaman ketika ia aktip dalam perjuangan melawan pemerintah. Dengan
ginkangnya yang memang luar biasa, Kui Eng berusaha mendesak lawannya. Ia
mengeluarkan jurus-jurus pilihan dari Ilmu Silat Cui-beng Sin-kun yang
dipelajarinya dari Tee-tok. Ilmu silat ini merupakan ilmu silat andalan dari
Tee-tok, gerakan-gerakannya amat dahsyat dan dimainkan mengandalkan kecepatan
kilat disertai tenaga sinkang yang khusus dilatih untuk Ilmu Silat Cui-beng Sinkun
(Silat Sakti Pengejar Nyawa). Namun, biar dia tidak pernah mendapat
kesempatan mempelajari ilmu simpanan dari Tee-tok itu, Song Kim selalu dapat
menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan.
Harus diakuinya biarpun ia sudah menggembleng diri secara hebat selama ini,
namun untuk dapat mengimbangi kecepatan dan keringanan tubuh Kui Eng, dia masih
kalah setingkat. Namun, kekalahan dalam hal ginkang ini tertutup oleh
kelengkapan ilmu silatnya yang beraneka ragam dan terutama tenaga sinkangnya
yang lebih kuat daripada Kui Eng. Karena itu, semua serangan Kui Eng yang
betapapun cepatnya, semua kandas oleh elakan danntangkisannya, bahkan ketika
Song Kim mulai merobah-robah ilmu silatnya yang aneh-aneh dan serba tinggi, Kui
Eng mulai terdesak. Wanita ini mengerahkan semua tenaga danmengeluarkan semua
jurus simpanan, namun tetap saja ia sukar dapat membendung datangnya serangan
yang serba aneh dan lihai itu.
#Lee Song Kim, lihat tongkatku!# tiba-tiba Kui Eng membentak dan nampak sinar
hitam berkelebat dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sebatang tongkat seperti
sepotong ranting saja yang panjangnya kurang lebih tiga kaki, dan begitunia
menggerakkan ranting hitam ini, terdengar bunyi suara mengaung dan Song Kim
terkejut. Namun dia segera dapat menguasai dirinya dan mengelak ke sana sini,
bahkan berusaha menangkap tongkat itu dengan tangannya yang kebal. Dia tentu
saja sudah tahu bahwa keistimewaan Tee-tok adalah ilmu tongkat hitam yang
disebut Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa) dan agaknya dalam
keadaan terdesak, Kui Eng kini mempergunakan ilmu tongkat itu.
Namun, Song Kim tidak menjadi gentar. Selama ini dia telah banyak mempelajari
ilmu tongkat bahkan berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai yang
terkenal tangguh, maka melihat permainan Kui Eng, diapun tahu bahwa ilmu yang
dimainkan oleh Kui Eng mempergunakan sebatang ranting hitam itu adalah gabungan
dari ilmu pedang dan ilmu tongkat pendek. Dan dengan tenang diapun menghadapi
serangan lawan dengan kedua tangan kosong saja! Biarpun dinpinggangnya terselip
sepasang belati dan di punggungnya tergantung sebatang pedang, namun dia sengaja
menghadapi lawan bersenjata ini dengan tangan kosong. Selain dia tidak ingin
melukai wanita yang pernah dicintanya ini, juga dalam kesempatan ini dia dapat
memamerkan kelihaiannya!
Dan memang dia hebat sekali. Ci Kong sampai bengong menonton perkelahian itu.
Dia tahu betapa lihainya tongkat di tangan Kui Eng, namun tenyata Song Kim mampu
menghadapin Kui Eng dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak nampak
terancam atau terdesak! Diam-diam dia membuat ukuran dan harus diakuinya bahwa
dia sendiripun belum tentu akan mampu mengalahkan Song Kim dalam keadaannya
sepeti sekarang ini. Laki-laki itu ternyata telah menggembleng diri dan
memperoleh kemajuan yang hebat sekali, bahkan jauh lebih lihai dibandingkan
dengan mendiang Hai-tok sendiri. Apa yang dikhawaturkan Ci Kong menjadi
kenyataan. Belum sampai tiga puluh jurus sejak Kui Eng mempergunakan tongkatnya
menghadapi Song Kim,
Tiba-tiba Song Kim mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanan mencengkeram ke
arah leher wanita itu, disusul tangan kiri merampas tongkat dan kaki kanan
menendang ke arah perut. Hebat bukan main serangan ini, dilakukan dengan cepat
dan dengan tenaga sinkang yang kuat. Kui Eng terkejut. Kalau ia menghindarkan
diri dari serangan cengkeraman dan tendangan yang beruntun, tongkatnya akan
terampas. Kalau dipertahankannya tongkatnya, ia mungkin akan terkena oleh satu
di antara serangan itu. Akan tetapi untuk melepaskan tongkatnya, merupakan
pantangan baginya. Terampas senjata tongkat yang diandalkannya sama saja dengan
menyerah kalah! Maka, ia mengelak dengan menarik tongkatnya ke belakang, tangan
kirinya menangkis cengkeraman, dan agar jangan sampai terkena tendangan,
terpaksa ia menyambut tendangan itu dengan kakinya pula.
#Desss......!# Akibat adu tendangan ini, tubuh Kui Eng terlempar keluar dari
atas panggung dan hanya dengan ginkangnya yang istimewa ini dapat berjungkir
balik membuat salto sampai tiga kali maka ia tidak sampai terbanting dan dapat
turun dengan kaki lebih dulu ke bawah panggung! terdengar sorak sorai menyambut
kemenangan Song Kim ini. Kui Eng merasa penasaran dan hendak meloncat naik lagi,
akan tetapi tiba-tiba suaminya sudah ada di dekatnya, menggandengnya dan
mengajaknya kembali duduk ke tempat semula. Lee Song Kim merasa gembira akan
kemenangan itu, apalagi ketika melihat betapa makin banyak di antara tamu yang
ikut menyambut kemenangannya. Biarpun demikian, dia melihat betapa banyak pula
pendekar yang memandang kepadanya dengan alis berkerut. Juga Ceng Hiang
berbisik- bisik dengan para panglima, lalu bangkit bersama suaminya.
#Karena pesta telah bubar dan kami tidak banyak waktu untuk menonton pameran
kepandaian dan petandingan, kami akan pulang lebih dahulu,# katanya sambil
menjura kepada Lee Song Kim. Tuan rumah ini hanya tersenyum dan membalas dengan
ucapan terima kasih. Perbuatan Ceng Hiang dan suaminya ini diturut oleh panglima
lainnya, juga para pendekar yang tidak suka melihat kecongkakan Lee Song Kim,
kini bangkit dan berpamit. Tak ketinggalan pula Ci Kong, Lian Hong, Kui Eng,
Thio Ki, dan banyak lagi pendekar yang tidak mau mengakui orang seperti Lee Song
Kim menjadi pemimpin kaum persilatan. Akan tetapi yang masih tinggal di situ
cukup banyak, lebih dari dua ratus orang tamu! Mereka ini adalah orang-orang
yang termasuk golongan hitam.
Mereka sudah lama haus akan pimpinan seorang datuk yang lihai, semenjak
mundurnya Empat Racun Dunia dari dunia persilatan. Mereka kini melihat sepak
terjang Lee Song Kim, melihat betapa mudahnya Song Kim mengalahkan beberapa
orang pendekar, bahkan telah mengalahkan pula pendekar Ciu Kui Eng yang terkenal
amat lihai sebahai murid Tee-tok, mengalahkan dengan mudah pula, menghadapi
pendekar wanita itu yang memegang senjata tongkat andalannya dengan tangan
kosong saja. Timbullah kekaguman dan harapan dalam hati golongan hitam untuk
mengangkat Thian-he Te-it Bu-hiap itu sebagai pengganti para datuk, menjadi
pemimpin dari kaum sesat sehingga golongan mereka akan menjadi jaya kembali.
Melihat ini, Lee Song Kim kembali mengeluarkan Giok-liong-kiam dari balik
jubahnya.
#Saudara-saudara, kalau kalian benar mengakui aku sebagai Thian-he Te-it Bu-hiap
dan menjadi bengcu yang akan memimpin kalian, maka kalian harus memandang Giokliong-
kiam ini sebagai lambang kedudukanku, dan menghormati Giok-liong-kiam
seperti menghormati diriku sendiri. Apakah kalian setuju?# Dengan suara gemuruh,
semua orang yang hadir di situ berseru,
#Setujuu!!#
#Kalau kalian setuju, mulai sekarang, setiap kali Giok-liong-kiam ini nampak,
kalian harus memberi hormat dengan berlutut!# kata pula Song Kim. #Siapa yang
tidak setuju, boleh pergi dari sini atau boleh menentangku dan naik ke panggung
ini. Yang setuju agar cepat berlutut, dan aku akan memimpin kalian membangkitkan
kembali golongan kita seperti yang belum pernah terjadi selama ini!# Seratus
orang lebih itu lalu menjatuhkan diri berlutut, menghadap kepada Lee Song Kim,
yang mengangkat Giok-liong-kiam tinggi-tinggi di atas kepalanya. Melihat ini,
Song Kim tersenyum gembira. Tercapailah apa yang diidam-idamkannya. Dia telah
diakui menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap, bahkan diakui pula sebagai bengcu,
Biarpun masih ada para pendekar yang tidak atau belum mengakuinya, namun dia
tadi telah memperlihatkan kepandaiannya dan buktinya tida ada lagi pendekar yang
berani menentangnya. Andaikata kelak dia menghadapi tantangan mereka, dengan
anak buah yang demikian banyak, dengan para tokoh golongan hitam di belakangnya,
dia akan membasmi mereka semua! Pada sat itu, melihat orang-orang yang
berkepandaian tinggi dari golongan hitam menjatuhkan diri berlutut kepadanya,
dia merasa seperti menjadi seorang raja besar yang menerima kehormatan dari
semua anak buahnya! Dengan hati penuh kebanggaan Song Kim menyompan kembali
Giok-liong-kiam dengan hati-hati ke dalam jubahnya. Benda itu junu merupakan
lambang kekuasaannya dan dia harus menjaganya dengan hati-hati.
#Bangkitlah kalian dan duduklah kembali. Kita lanjutkan pesta ini sampai semalam
suntuk.# Semua orang bangkit dan bersorak kegirangan, apalagi ketika Song Kim
memerintahkan para anggauta Ang- hong-pai untuk melayani para tamu, juga
mengeluarkan gadis- gadis penyanyi dan penghibur sehingga suasana pesta berbeda
dari tadi. Kini pesta itu penuh kegembiraan di mana beberapa orang tamu yang
sudah mabok tidak mali-malu untuk menggoda anggauta Ang-hong-pai yang masih
muda-muda dan berparas lumayan itu. Para tamu dari golongan sesat itu rata-rata
adalah golongan kasar dan menjadi hamba dari nafsu mereka sendiri, golongan yang
suka mengejar kesenangan melalui cara apapun juga.
#Aih, kenapa engkau mencegah aku melanjutkan pertandingan itu? Biar dia memang
lihai sekali, akan tetapi aku tidak takut dan aku belum roboh!# Kui Eng menegur
suaminya ketika mereka berada di kaki bukit bersama Ci Kong dan Lian Hong.
#Thio-pangcu benar,# kata Ci Kong kepada Kui Eng. #Dia sengaja hendak
menimbulkan kesan dan memamerkan kepandaiannya. tidak baik kalau tadi kita
berkeras karena pertandingan yang diadakan hanya untuk menguji kepandaian saja,
bukan untuk berkelahi mati-matian. jugaa, di sana terdapat banyak panglima dan
pembesar, dan kulihat Song Kim mempunyai banyak sekali anak buah. bahkan
sebagian besar para tamu adalah golongan sesat yang berpihak kepadanya.#
#Akan tetapi, sudah gatal-gatal pula tanganku hendak menghajar jahanam sombong
itu!# kaya pula Lian Hong yang sama keras jatinya dengan Kui Eng.
#Apakah kita harus pergi begitu saja membiarkan dia menjadi bengcu dan menjadi
seorang yang berani berjuluk Thian-he Te-it Bu-hiap?# Ditegur oleh isterinya, Ci
Kong tersenyum. Dia mengenal watak isterinya yang keras dan membenci kejahatan,
juga mengenal watak Ciu Kui Eng yang kini menjadi isteri Thio Ki, pangcu (ketua)
dari Kang-sim-pang itu.
#Tentang dia mengangkat diri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap, dan menjadi bengcu,
biarkanlah saja. Dia boleh berjuluk apa saja, hal itu setiap orang mempunyai
kebebasan, dan semakin tinggi dia menggunakan julukan, semakin nyeri kalau dia
jatuh kelak. Juga dia boleh saja menjadi bengcu, karena hanya merupakan bengcu
dari golongan hitam, bukan dalam arti kata pemimpin takyat yang sebenarnya. Akan
tetapi ada dua hal yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pertama, dia telah
menguasai Giok-liong-kiam......#
#Hemm, bukankah pedang pusaka itu dulu milik kalian?# Kui Eng bertanya.
#Benar sejak dahulu pedang itu milik kami dan berada pada kami. Akan tetapi,
pada suatu hari muncul Ong Siu Coan, beberapa tahun yang lalu. Dia meminjam
pedang pusaka itu dan diberikan oleh suamiku,# kata Lian Hong, kini merasa
menyesal mengapa pedang pusaka itu dipinjamkan kepada Ong Siu Coan.
#Kalianpun mengerti mengapa aku memberikan pedang itu kepadanya ketika dia
meminjamnya,# kata Ci Kong kepada Thio Ki dan Kui Eng.
#Ketika itu, dia bercita-cita untuk berjuang menumbangkan kekuasaan Pemerintah
Mancu. Bukan hanya pedang pusaka Giok-liong-kiam kami pinjamkan untuk menarik
bantuan para pendekar, bahkan kita semua juga ikut pula menyumbangkan tenaga,
bukan? Baru setelah kita melihat penyelewengan pasukan Tai Peng, yang dibiarkan
saja oleh Ong Siu Coan yang mulai menjadi gila kekuasaan, kita mengundurkan
diri. Pedang itu masih ada padanya. Maka, sungguh mengherankan bagaimana Giokliong-
kiam dapat berada di tangan Lee Song Kim!#
#Dia mengatakan bahwa yang berada di tangan Ong Siu Coan itu palsu! Agaknya yang
berada di tangannya itulah yang palsu,# kata Thio Ki. Ci Kong menggeleng kepala.
#Tidak, keduanya salah. Yang berada di tangan Ong Siu Coan jelas yang aseli
karena dia menerimanya dari kami sendiri. dan yang berada di tangan Song Kim
tadipun bukan palsu!#
#Kalau begitu dia telah mencurinya dari Ong Siu Coan!# kata Kui Eng.
#Kurasa bukan begitu,# kata Lian Hong. #Lebih banyak kemungkinannya bahwa Song
Kim diberi pinjam oleh Ong Siu
Coan......#
#Mana mungkin? Bukankah antara Song Kim dan Kiki, bekas sumoinya itu, terdapat
permusuhan?# Kui Eng membantah.
#Siapa tahu apa yang telah terjadi antara mereka? Mereka adalah orang-orang
jahat dan tidak akan mengherankan kalau terjadi kerja sama antara Ong Siu Coan
dan Lee Song Kim.# jawab Lian Hong.
#Bagaimanpun juga, kita harus merampas kembali Giok-liong-kiam. Selain itu, ada
satu hal lagi yang harus kuselesaikan. Jelaslah kini bahwa orang she Lee yang
melakukan pembunuhan atas diri orang-orang Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai, yang
melakukan hal itu untuk mengadu domba antara kedua perkumpulan persilatan besar
itu, bukan lain adalah Lee Song Kim. Aku tidak dapat membiarkan saja
kejahatannya itu#
#Kalau begitu kalian hendak menentangnya? Kami akan membantu kalian!# kata Kui
Eng penuh semangat. Suaminya mengangguk, setuju dengan pernyataan isterinya. Ci
Kong menarik napas panjang.
#Terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian adalah sahabat-sahabat baik kami
sejak dahulu! Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali. Lee Song Kim sekarang
bukanlah yang dahulu. Dia telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan beraneka
ragam. Melihat perkelahian tadi saja, aku sendiri meragukan apakah akan mampu
menandinginya.#
#Aku tidak takut!# Lian Hong penasaran. #Kalau kita maju berdua, apalagi
berempat, tentu dia akan mampus!#
#Kita tidak boleh sembrono menurutkan perasaan marah,# kata pula Ci Kong. #Ingat
bahwa dia mempunyai banyak anak buah, dan aku melihat Theng Ci di sana. Dan
mengingat bahwa Theng Ci adalah tokoh besar Ang-hong-pai, melihat pula gerakgerik
para pelayan wanita yang gesit-gesit, maka aku menduga bahwa merekapun
adalah para anggauta Ang-hong- pai. Agaknya Song Kim telah bekerja sama dengan
Ang-hong-pai, atau kalau melihat sikapnya, boleh jadi dia telah menguasai Anghong-
pai Dan para anggauta itu menjadi anak buahnya. Nah, sekarang dia dibantu
lagi oleh banyak orang sesat yang lihai, bagaimana kita boleh sembarangan saja?
Kita harus menanti saat yang baik, untuk merampas kembali Giok-liong-kiam dan
kalau mungkin membasminya.# Mereka lalu berunding dan mengatur siasat, akan
tetapi belum juga mendapatkan cara terbaik untuk menyerbu tempat tinggal
sementara Lee Song Kim yang penuh dengan orang-orang golongan hitam itu. Mereka
dapat menduga bahwa tempat itu hanya merupakan tempat sementara saja dan mereka
belum tahu di mana letaknya sarang yang sesungguhnya dari Lee Song Kim. Selagi
mereka berunding nampak bayangan berkelebat.
Empat orang pendekar itu berloncatan, siap siaga menghadapi musuh. Akan tetapi
ternyata yang muncul adalah seorang wanita yang cantik sekali dan berpakaian
mewah. Wanita yang sudah mereka kenal baik karena ia adalah Ceng Hiang, puteri
pangeran yang menjadi isteri Yu Kiang itu. Mereka merasa lega dan gembira.
Biarpun ia keluarga bangsawan tinggi yang tinggal di kota raja, namun Ceng Hiang
merupakan seorang kenalan lama yang mereka kagumi. Ceng Hiang ini merupakan
satu-satunya orang yang mewarisi beberapa macam ilmu keluarga Pulau Es yang
mereka kenal, dan di luar pengetahuan mereka, ayah wanita inipun telah menemukan
kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang kemudian dipelajari dan dilatih oleh Ceng
Hiang, yaitu kitab yang berisikan Ilmu Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus
Bintang).
#Ah, kiranya kalian sedang berbincang-bincang di sini!# kata Ceng Hiang.
#Pantas aku menanti kalian di bawah sana tetap juga belum muncul. Agaknya urusan
amat penting yang kalian bicarakan di sini!# Ci Kong dan lain-lain saling
pandang dan melalui pandang mata, mereka mufakat untuk membuka rahasia mereka
kepada wanita yang mereka hormati ini.
#Kami sedang bicara tentang jahanam Lee Song Kim itu!# kata Lian Hong.
#Tentang pedang Giok-liong-kiam yang berada di tangannya?# tanya Ceng Hiang dan
kini ci Kong yang menjawab.
#Bukan hanya tentang pedang itu, akan tetapi juga tentang perbuatannya membunuh
orang-orang Kun-lun-pai dan Siauw- lim-pai untuk mengadu domba. Kami sedang
mencari siasat untuk dapat menyerbu ke tempatnya, merampas kembali pedang dan
membasmi manusia jahat itu.#
#Aih, kalau begitu sungguh kebetulan sekali!# Ceng Hiang berseru gembira sambil
duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. #Mari kita duduk dan
berunding. Aku memang mencari kalian untuk minta bantuan kalian menghadapi Lee
Song Kim!#
#Ehhh?# Kui Eng berseru. #Apa maksudmu?#
#Duduklah, dan dengarkan rencana kami.# semua orang duduk dan memandang wajah
yang cantik jelita itu ketika Ceng Hiang mulai bercerita.
#Tadi ketika meninggalkan tempat pesta, aku dan suamiku mengajak para panglima
berunding dan kami bersepakat untuk mencurigai Lee Song Kim sebagai sekutu Tai
Peng. Aku sudah mendengar bahwa Giok-liong-kiam terjatuh ke tangan Ong Siu Coan,
dan kini melihat kenyataan bahwa pedang pusaka itu berada di tangan Lee Song
Kim, maka kami merasa yakin bahwa dia tentu bersekongkol dengan Ong Siu Coan.
Agaknya orang gila itu menugaskan Lee Song Kim untuk menarik para tokoh dunia
persilatan agarndapat membantu gerakan Tai Peng yang kini macet sampai di
selatan Sungai Yang-ce-kiang saja setelah ditinggalkan oleh para pendekar yang
pernah membantunya.# Sampai di sini, Ceng Hiang memandang kepada mereka dan
empat orang pendekar itu merasa tidak enak. Bagaimanapun juga, mereka pernah
juga membantu Ong Siu Coan dan ucapan Ceng Hiang itu seperti menyindir mereka.
#Aku tahu bahwa para pendekar telah tertipu oleh Ong Siu Coan,# sambung Ceng
Hiang yang agaknya mengerti akan isi hati mereka.
#Dan karena ditinggal oleh para pendekar, Ong Siu Coan agaknya hendak
mengumpulkan kekuatan dengan perantaraan Lee Song Kim.# Thio Ki menganggukangguk.
#Agaknya dugaan itu memang memiliki kemungkinan besar sekali.# Yang lain-lain
juga mengangguk.
#Lalu apa maksudnya bantuan kami dibutuhkan?# tanya Ci Kong meragu.
#Kami telah bersepakat dengan para panglima bahwa Lee Song Kim harus dibasmi,
agar kekuatan Tai Peng tidak bangkit kembali. Malam ini kami akan menyerbu
dengan menggunakan pasukan besar, dan kuharap kalian suka membantu kami,
mengingat betapa lihainya Lee Song Kim dan dia mempunyai banyak pembantu yang
berilmu tinggi.#
#Akan tetapi...... bagaimana mungkin kami harus membantu pasukan
pemerintah......?# Kui Eng berseru.
#Maaf, engkau tentu mengerti kedudukan kami,# katanya sambil memandang kepada
puteri yang cantik itu. Cheng Hiang tersenyum manis.
#Engkaupun tentu tahu pula bagaimana pandanganku tentang penjajahan dan
perjuangan rakyat yang gagah, kalau tidak begitu, bagaimana kita dapat menjadi
sahabat? Akan tetapi, aku bukan minta kalian untuk membantu pasukan pemerintah,
melainkan untuk bekerja sama karena bukankah kita mempunyai kepentingan masingmasing?
Kalian hendak merampas kembali Giok-liong-kiam dan membasmi orang jahat,
sedangkan pasukan pemerintah hendak melumpuhkan Tai Peng yang kalian juga tahu
bukan merupakan pasukan pejuang rakyat yang bersih. Nah, dua kepentingan yang
berbeda ini, apa salahnya kalau mendekatkan kedua pihak untuk menghadapi lawan
yang tangguh?# Empat orang itu saling pandang, kemudian Ci Kong yang mengangguk.
#Kurasa ada benarnya pendapat itu. Kalau kita bergerak bersama pasukan
pemerintah menyerbu malam ini, bukan berarti kita membantu pasukan pemerintah,
melainkan kita menghadapi Lee Song Kim. Kita tidak bekerja sama melainkan
kebetulan saja mempunyai kepentingan masing-masing untuk menentang Lee Song Kim.
Aku setuju, terserah kepada yang lain.# Lian Hong, Kui Eng, dan Thio Ki akhirnya
menyetujui juga. Mereka tadi sedang kebingungan, belum mendapatkan siasat yang
tepat untuk menghadapi Lee Song Kim dan anak buahnya yang banyak, dan kini tibatiba
saja mereka seperti mendapat bantuan yang amat kuat, yaitu pasukan besar
tentara, bahkan tentu saja dibantu oleh Ceng Hiang yang mereka tahu amat lihai
ilmu silatnya!
#Akan tetapi kenapa harus malam nanti? Tidakkah lebih baik sekarang saja kita
menyerbu?# Kui Eng mengajukan usul.
#Para pnglima kini sedang mempersiapkan pasukan. Tanpa pasukan, kita kalah kuat
karena menurut penyelidikan yang kusuruh lakukan, sekarang ini sisa para tamu,
lebih dari seratus orang, masih berada di sana dan mereka itu adalah golongan
hitam yang telah setuju mengangkat orang she Lee itu menjadi pemimpin mereka.#
Terpaksa Kui Eng dan yang lain-lain bersabar, dengan kekuatan mereka saja, biar
ditambah oleh Ceng Hiang sekalipun, mana mungkin menghadapi Lee Song Kim yang
sudah mempunyai anak buah yang kuat, kini ditambah lagi orang-orang golongan
hitam yang seratus orang lebih jumlahnya?
#Mengingat akan kekuatan pihak lawan, kami akan mengerahkan sedikitnya lima
ratus orang. Pasukan itu akan menyerbu, sedangkan kita akan menghadapi Lee Song
Kim bersama para pembantunya,# kata pula Ceng Hiang. #Nah, sekarang aku harus
kembali dulu untuk membantu para panglima mengatur pasukan, dan mengabarkan
bahwa kalian sudah siap untuk membantu......#
#Eh...... nyonya Yu, maafkan,# kata Ci Kong. #Harap jangan katakan apa-apa
kepada para penglima. Kami akan menentang Lee Song Kim, akan tetapi bukan
berarti membantu pasukan Ceng, maka biarlah kami bersiap-siap di dekat sarang
musuh dan menanti tibanya penyerbuan, baru kami akan bertindak.# Ceng Hiang
tersenyum dan mengangguk-angguk.
#Kalian tidak mau dikatakan membantu pasukan pemerintah. Aku mengerti dan
baiklah. Sampai jumpa malam nanti, di tempat pertempuran.# Wanita cantik itu
lalu berkelebat dan lenyap di antara pohon-pohon. Setelah Ceng Hiang pergi, dua
pasang suami isteri itu lalu mendaki bukit dan menyusup-nyusup di antara semaksemak
belukar dan pohon-pohon agar jangan sampai kelihatan dari atas.
#Harap ingat baik-baik, kita sama sekali tidak boleh membantu perajurit pasukan
kerajaan Ceng, dan kita hanya menyerang Song Kim dan mereka yang membantunya,
berusaha merampas kembali Giok-liong-kiam dan kalau dapat membunuh orang jahat
itu. Sebelum dia mati, tentu ada saja ulahnya untuk mendatangkan kekacauan di
dunia ini,# pesan Ci Kong kepada yang lain. Setelah tiba di luar perkampungan
itu, mereka bersembunyi sambil mengintai, menanti sampai pasukan pemerintah
datang menyerbu. Sampai lama mereka menanti, dan setelah cuaca menjadi gelap
benar, pendengarn mereka yang tajam mulai menangkap pergerakan dari bawah bukit.
Gerakan itu datang dari empat penjuru dan diam-diam mereka merasa girang.
Sekali ini Lee Song Kim pasti tidak akan dapat lolos lagi karena tempat itu
telah dikepung dari empat penjuru oleh pasukan yang amat besar jumlahnya,
sedikitnya lima ratus orang menurut pemberitahuan Ceng Hiang tadi. Mereka
menanti dan makin mendekati pintu gerbang karena mereka ingin cepat-cepat
menyerbu dan mencari Lee Song Kim. Dari luar pintu gerbang masih terdengar suara
alat musik mengiringi nyanyian suara gadis-gadis penyanyi, diseling suara ketawa
dan jerit-jerit kecil suara wanita, tanda bahwa pesta itu mulai kasar dan banyak
yang sudah mabok bersikap terlalu bebas dengan para pelayan wanita. Mendengar
jerit-jerit wanita dan suara ketawa-ketawa itu, Lian Hong dan Kui Eng saling
pandang dengan muka merah dan mereka merasa semakin marah kepada Lee Song Kim.
Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Lee Song Kim bukan orang sekasar itu,
Bahkan tidak suka mabok-mabokan dan menggoda wanita di depan umum seperti yang
dilakukan para tamu yang kini menjadi anak buahnya itu. Namun, dia hendak
menyenangkan hati orang-orang itu, maka diapun tidak melarang, hanya
mengundurkan diri ke dalam kamarnya dan membiarkan mereka bersenang-senang
sesuka hatinya semalam suntuk. Selagi dia duduk termenung, menikmati
keberhasilannya hari itu, tiba-tiba dia mendengar suara dari luar jendela
kamarnya. Jendela itu diketuk orang. Diam-diam dia terkejut. Kalau ada orang
mampu mendekati jendela kamarnya tanpa dia mendengarnya sejak tadi, jelas bahwa
orang itu memiliki ginkang yang cukup hebat. Dia menghampiri jendela, akan
tetapi menahan diri untuk membuka daun jendela. Jangan- jangan seorang musuh
yang datang pikirnya.
#Siapa di luar jendela?# tanyanya perlahan. Sejenak tidak ada jawaban, lalu
terdengan suara yang parau namun terdengar jelas dari dalam kamar,
#Apakah Lee-kongcu yang berada di dalam? Aku ingin bicara dengan Lee-kongcu,
penting sekali, karena Lee-kongcu berada dalam bahaya maut. Song Kim terkejut,
akan tetapi dia lalu mengeluarkan suara ketawa.
#Hemmm, siapa engkau? Jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku! Hayo jawab, siapa
engkau?#
#Aku she Lui, kongcu tidak mengenalku, akan tetapi aku mengenalmu, Lee-kongcu.
Aku adalah satu di antara tangan kanan dan kepercayaan Sri Baginda Raja Yang
Mahabesar di
Nan-king.#
#Tai peng......??# Song Kim bertanya heran dan kaget. Mau apa orang Tai Peng
malam-malam begini menyusup ke sini? Dia lalu teringat akan Giok-liong-kiam dan
otomatis tangannya meraba benda pusaka yang berada di balik jubahnya itu. Tentu
Ong Siu Coan mengutus orang pandai untuk mencoba merampas kembali pusaka itu,
tentu mata-mata Tai Peng melihatnya dan kini Tai Peng mulai bertindak. Akan
tetapi dia tidak takut.
#Benar, kongcu. Aku she Lui adalah seorang perwira tinggi Tai Peng yang memimpin
pasukan mata-mata Tai Peng. Aku menjadi utusan pribadi Sri Baginda dan perlu
sekali bicara denganmu, sebelum terlambat. Biarkan aku masuk!#
#Hemm, takut apa?# Timbul kecongkakan hati Song Kim dan diapun berkata. #Kalau
engkau berkepandaian tentu dapat masuk sendiri. Aku menanti di dalam kamar ini!#
Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara tadi berkata.
#Baiklah, Lee-kongcu. Maafkan aku!# Tiba-tiba saja daun pintu itu terdorong dari
luar dengan amat mudah, tahu-tahu terbuka dan sesosok bayangan berkelebat loncat
ke dalam kamar. Begitu bayangan itu tiba di tengah kamar, sebatang pedang sudah
menodong lambungnya dari samping. Orang itu sama sekali tidak bergerak, juga
tidak menoleh kepada Song Kim yang telah menodongkan pedangnya itu, melainkan
berkata, #Ah, aku datang untuk menyelamatkan nyawa Lee- kongcu, akan tetapi
malah disambut dengan menodongkan pedang!# Song Kim melihat orang itu masuk
tanpa memegang senjata dan tidak mencurigakan sama sekali, maka diapun menarik
kembali pedangnya. Akan tetapi dia belum menyarungkan pedangnya ketika berkata,
#Maaf, aku tidak mengenalmu dan engkau datang begini mengejutkan dan tiba- tiba.
Tentu saja aku menjadi curiga. # Dia lalu menuding ke arah sebuah kursi dan
orang itupun duduk berhadapan dengan tuan rumah yang duduk pula di atas kursi.
Mereka berhadapan dan Song Kim melihat bahwa orang itu usianya kurang lebih lima
puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya tajam bersinar-sinar,
didahinya terdapat bekas luka memanjang dan melintang.
(Lanjut ke Jilid 10)

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru