Kamis, 31 Mei 2018

Harta Karun Kerajaan Sung 2

====

Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
HARTA KARUN KERAJAAN SUNG
Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Cun Giok menjura kepada Song Bu Tosu.
“Totiang, kami datang berkunjung bukan untuk menguji kepandaian. Kami
percaya sepenuhnya bahwa ilmu pedang Totiang berlima pasti amat tinggi
dan lihai. Kami tidak berani main-main, dan harap Totiang perkenankan kami
menghadap Ketua Thai-san-pai.”
“Tidak bisa, kalau kalian tidak mau diuji tingkat kepandaian kalian atau
seorang di antara kalian, maka terpaksa kami tidak dapat mengijinkan kalian
memasuki markas kami.”
Cun Giok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa lima orang tosu itu
agaknya berwatak keras dan seperti kebanyakan ahli silat, selalu haus untuk
menguji kepandaian dengan orang lain.
“Baiklah, Totiang, saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi
harap Totiang menaruh hati kasihan kepada saya yang bodoh.”
Setelah berkata demikian, dengan perlahan Cun Giok mencabut
pedangnya dan tampaklah sinar keemasan ketika pedang Kim-kong-kiam
berada di tangannya.
“Kim-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Emas)?” kata Song Bu Tosu
sambil memandang pedang di tangan Cun Giok dengan mata terbelalak.
“Benar, Totiang. Pedang ini pemberian mendiang Suhu Suma Tiang Bun,”
jawab Cun Giok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
Biarpun kaget melihat Kim-kong-kiam, Song Bu Tosu tentu saja tidak
merasa gentar karena melihat bahwa calon lawannya itu masih amat muda
usia sehingga betapapun pandainya tidak mungkin dapat menandinginya
yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun. Dia membuat gerakan
perlahan mengatur pasangan kuda-kuda ilmu pedang Thai-san Kiam-hoat
(Ilmu Pedang Thian-san), pedangnya menjulur lurus ke depan menyambung
pundak dan dua jari tangan kirinya menunjuk ke atas.
“Orang muda, bersiaplah dan coba tahan seranganku.”
“Saya sudah siap, Totiang. Harap Totiang tidak terlalu mendesak.”
“Sambutlah, hiaaaattt...”
Tosu itu menggerakkan tubuhnya dan pedangnya berubah menjadi sinar
yang gemilang menyambar ke arah leher Cun Giok dengan jurus San-jin-siahouw
(Orang Gunung Menahan Harimau).
Cun Giok maklum bahwa lawannya seorang ahli pedang yang amat
tangguh, maka dia pun cepat memutar tubuh ke samping sambil
mengelebatkan pedangnya untuk menangkis. Tentu saja dia membatasi
tenaganya karena dia sadar akan keampuhan Kim-kong-kiam dan tidak ingin
merusak pedang tosu itu.
“Tranggg...”
Bunga api berpijar dan merasa betapa tangannya tergetar, Song Bu Tosu
melangkah ke belakang untuk memeriksa pedangnya. Bagaimanapun juga,
melihat Kim-kong-kiam tadi, dia merasa khawatir kalau pedangnya rusak
walaupun pedangnya itu juga sebatang pedang pusaka yang ampuh. Melihat
pedangnya masih utuh tidak rusak sama sekali, tosu itu berbesar hati dan
mengira bahwa lawannya tadi telah mengerahkan seluruh sin-kangnya akan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tetapi pedangnya tidak sampai rusak. Nama besar Kim-kong-kiam itu agaknya
hanya kosong belaka.
“Hiaaattt...”
Dia menyerang lagi dengan jurus Cap-sha-kiam-ci-tian (Tigabelas Pedang
Mengeluarkan Kilat). Ini merupakan jurus ampuh dari Thai-san Kiam-hoat.
Merupakan serangan berantai yang kesemuanya terdiri dari tigabelas jurus
serangan pedang yang susul menyusul dan amat sukar bagi lawan untuk
dapat membebaskan diri dari serangan berantai susul menyusul yang amat
cepat ini.
Cun Giok membela diri dengan mengelak, berlompatan ke sana-sini,
bahkan terkadang harus bergulingan dan ada kalanya pedangnya menangkis.
Rangkaian serangan itu datang seperti hujan, seolah olah pedang di tangan
tosu itu telah berubah menjadi tigabelas batang pedang yang menyambarnyambar
seperti kilat.
Bukan main heran dan penasaran rasa hati tosu itu setelah tigabelas jurus
serangannya sama sekali tidak mengenai tubuh lawan, dan semua serangan
dapat dielakkan atau ditangkis. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan
mengeluarkan semua jurus simpanannya, namun semua hasilnya sia-sia
belaka. Karena pemuda itu hanya mengelak dan menangkis, sama sekali tidak
pernah membalas, dia merasa penasaran dan juga marah karena sikap
pemuda itu seperti mempermainkan atau memandang rendah padanya. Maka,
sambil mempercepat serangannya, dia berseru.
“Orang muda, balaslah seranganku”
Tadinya dia mengira bahwa Cun Giok tidak mampu membalas karena
terdesak olehnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk membalas
serangannya. Akan tetapi kini dia mulai menyadari bahwa pemuda itu
mengalah dan tidak mau membalas. Hal ini membuat dia penasaran sekali.
Kini Song Bu Tosu mengeluarkan jurus simpanannya, yaitu Sin-kiam-toatbeng
(Pedang Sakti Pencabut Nyawa), yaitu ilmu pedang yang tidak pernah
diajarkan kepada para murid. Yang menguasai ilmu pedang ini hanyalah Sang
Ketua dan lima orang sutenya ini. Maka dapat dibayangkan betapa dahsyat
ilmu pedang ini yang merupakan ilmu pedang simpanan dari para pimpinan
Thai-san-pai, dan hanya kalau keadaan amat mendesak baru ilmu ini
dikeluarkan. Agaknya, Song Bu Tosu yang berwatak keras itu lupa bahwa dia
hanya ingin menguji kepandaian Cun Giok. Baginya, karena sejak tadi
serangannya gagal, dia merasa dipermalukan kalau tidak mampu
mengalahkan pemuda itu.
Ketika dia mainkan ilmu pedang ini, terdengar suara berdesingan, dan
angin gerakan pedang itu menyambar-nyambar, pedangnya lenyap menjadi
gulungan sinar putih yang melingkar-lingkar. Sepasang gadis kembar itu
sampai merasa khawatir, bahkan Kui Lin yang biasanya tak kenal takut dan
galak itu kini diam dan hanya memandang dengan mata terbelalak, demikian
pula Kui Lan.
Empat orang tosu itu pun terbelalak, bukan karena kehebatan ilmu
pedang Song Bu Tosu yang juga mereka kuasai itu, melainkan karena kini
tampak pemandangan yang luar biasa dalam pertandingan ilmu pedang itu.
Tiba-tiba saja bayangan Cun Giok lenyap sama sekali dan yang ada hanya
sinar kuning emas yang bergulung-gulung mengelilingi Song Bu Tosu dan
gerakan pedangnya. Gulungan sinar pedang putih dari tosu itu makin lama
semakin mengecil dan menciut, seolah terdesak dari luar oleh sinar kuning
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
emas yang berputar mengelilinginya. Setelah beberapa lama saat lamanya,
terdengar seruan Song Bu Tosu.
“Siancai... cukup sudah...”
Bayangannya melompat jauh ke belakang dan dia sudah berdiri tegak
dengan pedang di tangan, lalu dimasukkannya pedangnya itu kembali ke
sarung pedang di punggungnya. Gulungan sinar kuning emas itu pun lenyap
dan tahu-tahu Cun Giok sudah berdiri di depan Song Bu Tosu dengan pedang
sudah disimpannya kembali.
Kini Song Bu Tosu memandang pemuda itu dengan sinar mata kagum. Dia
tadi kehilangan lawannya dan menjadi bingung, juga khawatir. Kalau
lawannya menyerangnya, maka amat berbahaya baginya. Akan tetapi
pemuda itu tidak menyerangnya sehingga dia melompat keluar dari medan
perkelahian karena merasa bahwa kalau dilanjutkan, dia pasti akan kalah.
“Pouw-sicu (Orang Gagah Pouw), ilmu pedangmu sungguh luar biasa
sekali” katanya dengan nada suara sungguh-sungguh.
“Totiang telah banyak mengalah. Terima kasih atas petunjuk Totiang,”
kata Cun Giok merendah.
“Hemm, sekarang baru tahu akan kelihaian Bu-eng-cu” kata Kui Lin
dengan lantang.
Mendengar disebutnya julukan ini, Song Bu Tosu membelalakkan
matanya.
“Ah, jadi engkaukah Bu-eng-cu yang menggemparkan kota raja itu?”
“Tentu saja Giok-ko adalah Bu-eng-cu” kata Kui Lin.
“Sekarang bagaimana? Bolehkah kami bertemu Ketua Thai-san-pai
ataukah kami enci adik juga akan kau uji?”
Kini tahulah lima orang tosu itu bahwa tiga orang muda yang datang ini
memang benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan mereka tidak ragu lagi
bahwa dua orang gadis kembar itu juga benar-benar puteri majikan Lembah
Seribu Bunga. Mereka kini bersikap lain, dan Song Bu Tosu menghela napas
panjang.
“Pouw-sicu dan Ji-wi The-siocia (Kedua Nona The), apakah kedatangan
kalian ini ada hubungannya dengan harta karun Kerajaan Sung yang ramai
dibicarakan itu?”
“Hei… bagaimana Totiang tahu?” Kui Lin bertanya heran.
“Berita itu kami dengar dibicarakan ramai di dunia kang-ouw, kabarnya
harta karun itu dicuri orang yang bertempat tinggal di Thai-san-pai. Keadaan
yang tidak menentu ini, yang mungkin membuat sebagian orang menduga
bahwa kami yang menjadi pencurinya, membuat kami mencurigai siapa saja
yang datang ke sini. Karena itu ketika kalian muncul, tentu saja kami menaruh
curiga. Sekarang kami percaya bahwa engkau adalah Bu-eng-cu dan dua
orang Nona ini puteri-puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Maka, marilah
kalian kami antarkan menghadap Suheng Thai-san Sianjin.”
Mereka lalu memasuki perkampungan Thai-san-pai yang terdiri dari
sebuah kuil besar dan beberapa bangunan kecil. Thai-san Sianjin, ketua Thaisan-
pai yang tinggal di kuil itu menerima mereka dalam sebuah bangunan
tanpa dinding yang berada di tengah sebuah taman. Ketua itu bersama lima
orang sutenya mempersilakan Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin duduk dalam
ruangan tanpa dinding yang kecil namun indah itu. Udara amat sejuknya dan
keharuman bunga di taman itu menyambut mereka.
Ketika Cun Giok bertiga memberi hormat kepada Thai-san Sianjin dan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
diperkenalkan oleh Song Bu Tosu, Thai-san Sianjin Thio Kong tersenyum
mengangguk-angguk sambil merangkap kedua telapak tangan depan dada
sebagai sambutan penghormatan.
“Siancai...” Dia berseru gembira.
“Sungguh merupakan kegembiraan besar sekali bagi Thai-san-pai dapat
menyambut kunjungan murid Suma Tiang Bun dan Pek-kong Lojin, juga dua
orang puteri Nyonya The dari Lembah Seribu Bunga. Duduklah, Pouw-sicu
dan kalian juga, dua orang Nona, dan ceritakan apa keperluan kalian bertiga
datang berkunjung ke Thai-san-pai dan ingin berjumpa dengan pinto (saya).”
“Maafkan kami bertiga yang telah mengganggu ketenangan di sini, Locianpwe.
Terus terang saja kunjungan kami bertiga ini ada hubungannya
dengan hilangnya harta karun Kejaraan Sung. Kami bertiga bertugas untuk
mencarinya...”
“Siancai...” Ketua Thai-san-pai itu memotong sambil mengerutkan alisnya
yang sudah beruban.
“Berita yang menggemparkan itu sudah pinto dengar. Akan tetapi, apakah
kalian tiga orang-orang muda ini mempunyai dugaan bahwa kami yang
mencuri harta karun itu?”
Suaranya mengandung penasaran karena kalau Thai-san-pai dituduh
mencuri, hal itu sungguh merupakan penghinaan
“Sama sekali tidak, Lo-cianpwe. Justeru kedatangan kami menghadap Locianpwe
adalah untuk mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya pencuri
yang berani mengambil harta karun yang menjadi hak para pejuang untuk
membela tanah air dari penjajahan bangsa Mongol,” kata Cun Giok.
“Siancai, pinto tidak berani sembarangan menyangka seseorang sebelum
mendengar bagaimana terjadinya pencurian itu, dan siapa yang memiliki peta
harta karun sehingga jelas siapa yang berhak. Akan tetapi, besar
kemungkinan yang merampas atau mencurinya tentulah pihak Pemerintah
Mongol.”
“Saya kira bukan, Lo-cianpwe, karena mereka pun masih mencari.”
Cun Giok lalu menceritakan betapa dahulu Thaikam Bong dari Kerajaan
Sung korup mencuri harta itu dari istana Sung dan menyembunyikan harta
karun itu lalu membuat sehelai peta. Ketika mendiang Panglima Sung Liu Bok
Eng membasminya, Liu Bok Eng mendapatkan peta itu dan sebelum dia
dibunuh para panglima Mongol, dia meninggalkan peta itu kepada puterinya,
yaitu Liu Ceng Ceng. Kemudian dia menceritakan dengan singkat betapa Liu
Ceng Ceng, dia dan seorang gadis lain tertawan oleh Panglima Mongol Kim
Bayan, dan terpaksa mereka bertiga menyerahkan peta dan bahkan
membantu panglima itu mencari harta karun. Harta karun itu akhirnya
ditemukan, berada di Bukit Sorga di dekat kota raja yang kini menjadi tempat
tinggal Cui-beng Kui-ong.
“Demikianlah, Lo-cianpwe. Tempat harta karun dapat ditemukan akan
tetapi ketika digali, yang ada hanya peti harta yang sudah kosong dan di
dalamnya terdapat tulisan ‘THAI-SAN’. Maka, jelaslah bahwa pencuri itu
bukan Pemerintah Mongol, kemungkinan besar pencurinya bertempat tinggal
di Thai-san. Maka kami mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya yang patut
dicurigai.”
Mendengar cerita Cun Giok tadi, Ketua Thai-san-pai dan lima orang
sutenya saling pandang dan kini Thai-san Sianjin menghela napas panjang.
“Siancai... Panglima Kim Bayan itu dibantu Cui-beng Kui-ong dan SongTidak
Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bun Mo-li, sepasang iblis yang sakti dan amat jahat itu? Wah, kalau bukan
Pemerintah Mongol yang mengambilnya, tentu dicuri orang yang berilmu
tinggi. Akan tetapi mungkinkah ada pencuri yang mengakui tempat
tinggalnya? Pinto kira pencuri harta karun yang amat berharga itu bukan
orang yang demikian tololnya untuk memberitahukan tempat tinggalnya.
Siapa tahu hal itu hanya untuk menyesatkan para pencarinya dan untuk
menghilangkan jejaknya, Pouw-sicu.”
“Memang kami juga sudah memikirkan kemungkinan itu, Lo-cianpwe.
Akan tetapi karena kami tidak tahu harus mencari kemana, maka terpaksa
kami melakukan penyelidikan ke Thai-san, siapa tahu pencuri itu memang
seorang yang amat sombong sehingga dia berani menentang siapa saja yang
hendak merampas harta karun dari tangannya.”
“Pouw-sicu dan The-siocia berdua, Thai-san-pai sejak dulu membenci
penjajah Mongol. Tentu saja kami tidak dapat berbuat apa-apa, karena apa
artinya kekuatan kami yang hanya kurang lebih seratus orang dibandingkan
balatentara mereka yang ratusan ribu jumlahnya. Akan tetapi, kalau ada
usaha perjuangan menentang mereka, kami pasti akan mendukung dan
membantu. Kami siap membantu kalian yang hendak mencari pencuri itu dan
merampas kembali harta karun Kerajaan Sung yang sepatutnya diserahkan
kepada para pejuang untuk membiayai perjuangan mereka mengusir penjajah
Mongol dari tanah air.”
“Bagus sekali” Kui Lin berseru gembira.
“Sekarang baru aku percaya bahwa Thai-san-pai adalah perkumpulan
para pendekar”
“Lo-cianpwe, terima kasih atas kesiapan Thai-san-pai untuk membantu
agar harta karun itu dapat dirampas kembali dan diserahkan kepada yang
berhak. Sekarang kami mohon petunjuk, siapakah kiranya tokoh di daerah
pegunungan ini yang pantas dicurigai.”
“Memang ada beberapa tokoh dari berbagai golongan yang bertempat
tinggal di daerah pegunungan Thai-san ini. Akan tetapi, untuk menduga siapa
yang kiranya mencuri harta karun itu, memang sukar. Huo Lo-sian (Dewa Api)
yang tinggal di Bukit Merah sebelah Barat pegunungan ini memang
merupakan datuk sesat. Akan tetapi dia seorang yang kaya raya sehingga
meragukan juga kalau menyangka dia yang melakukan pencurian itu.”
“Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko (Sepasang Iblis Hitam Putih) itu, Locianpwe?”
tanya Kui Lin.
“Siancai, agaknya kalian sudah menyelidiki tentang tokoh-tokoh yang
berada di pegunungan ini” kata Ketua Thai-san-pai itu.
“Sepasang Iblis Hitam Putih itu memang dapat digolongkan tokoh sesat
juga. Mereka ganas, kejam, dan tinggal di Bukit Batu sebelah utara
pegunungan. Akan tetapi entahlah, apakah mereka berdua dengan anak buah
mereka yang sekitar limapuluh orang banyaknya itu mencuri harta pusaka
Kerajaan Sung. Mereka memang terkenal suka memaksakan kehendak sendiri
dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan, akan tetapi pinto belum
pernah mendengar mereka melakukan pencurian.”
“Dan Ang-tung Kai-pang itu bagaimana, Lo-cianpwe?” tanya Pouw Cun
Giok.
“Mereka itu golongan pengemis dan biasanya mereka itu membenci
pencurian. Selain itu, biasanya mereka pun tidak suka kepada Pemerintah
Penjajah Mongol. Ketuanya, Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan)
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
merupakan kenalan baik dari kami dan sukar menuduh mereka melakukan
pencurian.”
“Selain mereka itu, apakah masih ada tokoh lain, Lo-cianpwe?”
Ketua Thai-san-pai mengangguk-angguk.
“Thai-san ini amatlah luasnya, Sicu, dan terdapat banyak tempat yang
sunyi dan baik sekali bagi mereka yang ingin mengundurkan diri dari dunia
ramai dan bertapa. Tentu banyak pertapa di daerah ini yang tidak mau
mencampuri urusan dunia dan bukan mustahil kalau di antara mereka itu
terdapat banyak orang-orang sakti. Sebaiknya sekarang kalian bertiga
mengaso dulu. Pinto melihat kedua orang Nona ini sudah tampak kelelahan.”
Ketua Thai-san-pai lalu menoleh kepada Song Bu Tosu dan berkata.
“Sute, ajaklah kedua orang Nona ini ke dalam dan suruh beberapa orang
anggauta wanita menyiapkan kamar untuk mereka.”
Song Bu Tosu mengangguk, lalu dia bangkit berdiri dan berkata kepada
sepasang gadis kembar itu dengan sikap hormat.
“Marilah, Nona-nona, pinto antar ke bangunan samping yang memang
menjadi bangunan untuk tamu yang kami hormati.”
Sepasang gadis kembar itu memandang kepada Cun Giok dan pemuda itu
mengangguk.
“Sebaiknya kalau kalian beristirahat, Lan-moi dan Lin-moi.”
Dua orang gadis itu lalu mengikuti Song Bu Tosu. Di bangunan samping
tosu itu memanggil dua orang wanita yang menjadi anggauta Thai-san-pai,
dan dua orang wanita setengah tua ini segera mengantar Kui Lan dan Kui Lin
ke sebuah kamar yang cukup rapi dan bersih.
Kini Thai-san Sianjin berkata kepada lima orang sutenya setelah Song Bu
Tosu kembali ke ruangan itu.
“Sute, kalian lanjutkanlah mengatur penjagaan yang ketat, pinto masih
ingin berbincang-bincang dengan Sicu Pouw Cun Giok.”
Setelah lima orang tosu itu keluar dari ruangan, Ketua Thai-san-pai
berkata kepada Cun Giok.
“Pouw-sicu, kalau Sicu tidak terlalu lelah, pinto ingin mengobrol
denganmu. Banyak yang ingin pinto tanyakan tentang dunia ramai yang
sudah lama sekali pinto tinggalkan. Sebelumnya, pinto ingin sekali
mengetahui bagaimana Sicu yang menjadi murid Lo-cianpwe Pak-kong Lojin
dapat melakukan perjalanan dengan gadis kembar puteri The Toanio majikan
Lembah Seribu Bunga. Maukah engkau menceritakannya kepada pinto, Sicu?”
Cun Giok hanya menceritakan bahwa dia bertemu dengan gadis kembar
itu di tepi sungai tak jauh dari Lembah Seribu Bunga. Mereka berkenalan dan
dia diajak naik ke Lembah Seribu Bunga, bertemu dan berkenalan dengan
Nyonya The, majikan lembah yang penuh rahasia itu.
“Ketika mendengar bahwa saya hendak mencari pencuri yang mengambil
harta karun Kerajaan Sung, dua orang gadis kembar itu lalu ingin ikut pergi
membantu saya. Begitulah, Lo-cianpwe.”
“Siancai, pinto sudah menduga bahwa engkau adalah seorang pemuda
yang jujur, polos dan baik hati. Terus terang saja, Sicu, pinto adalah seorang
yang sudah banyak pengalaman dan pinto melihat bahwa kedua orang Nona
kembar itu menaruh hati cinta kepadamu.”
“Eh? Bagaimana Lo-cianpwe dapat mengetahui atau menduga begitu?”
“Sicu, dari pandang mata dan sikap mereka saja pinto yakin bahwa kakak
beradik itu jatuh cinta kepadamu. Hal ini berbahaya karena mereka dapat
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bersaing untuk mendapatkan cintamu. Pinto dapat melihat pula bahwa tidak
atau belum ada perasaan cinta dalam hati Sicu kepada mereka, hanya rasa
suka sebagai sahabat saja.”
“Lo-cianpwe sungguh memiliki pandangan yang tajam dan waspada.
Saya sendiri yakin bahwa agaknya tidak mungkin saya jatuh cinta kepada
seorang wanita. Tidak lagi...”
Cun Giok menghela napas panjang, hatinya terasa hampa.
“Ah, semuda ini Sicu sudah mengalami gagal cinta agaknya. Apakah Sicu
sudah menikah? Atau bertunangan?”
“Saya pernah ditunangkan kepada seorang gadis oleh mendiang Guru
saya. Akan tetapi, tunangan saya itu mati terbunuh. Saya sudah
membalaskan kematiannya dengan memberi hajaran keras kepada
pembunuhnya. Biarpun ia sudah mati, saya akan tetap menganggap ia itulah
isteri saya.”
Tosu tua itu mengangguk-angguk.
“Sicu, engkau seorang laki-laki yang setia. Akan tetapi kesetiaanmu itu
tidak pada tempatnya. Pinto kira tunanganmu itu pun tidak akan tenang
melihat engkau menutup dirimu terhadap cinta seorang wanita.”
“Lo-cianpwe, justeru cinta yang membuat saya merasa berdosa dan
merana. Saya sudah ditunangkan dengan seorang gadis, akan tetapi saya
jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Ah, Lo-cianpwe, benarkah pendapat
bahwa cinta itu selain mendatangkan kebahagiaan, juga seringkali
mendatangkan kedukaan?”
Tosu itu tersenyum. Pertanyaan yang sebetulnya janggal karena urusan
cinta ditanyakan kepada seorang tosu. Akan tetapi sebagai seorang yang
banyak pengalaman dalam kehidupan, Ketua Thai-san-pai merasa
berkewajiban untuk menerangkan apa yang dianggapnya benar.
“Sicu, cinta kasih tidak pernah mendatangkan senang maupun susah,
walaupun cinta kasih tidak pernah terpisah dari setiap mahluk hidup. Yang
dapat mengumbang-ambingkan manusia antara suka dan duka bukanlah
cinta kasih, melainkan cinta berahi atau cinta nafsu yang tidak didasari cinta
kasih.”
“Bagaimana sifat cinta kasih, Lo-cianpwe, dan bagaimanakah yang
dinamakan cinta kasih sejati itu?”
“Cinta kasih sejati menuntun manusia untuk menyerahkan diri
sepenuhnya dalam Kekuasaan Tuhan, karena Kekuasaan Tuhan itulah ujud
cinta kasih sejati. Dituntun cinta kasih, manusia akan merelakan diri
sepenuhnya demi kesejahteraan dunia dan manusia pada umumnya, lembut
sabar dan tulus setia, tidak mementingkan diri sendiri, seperti halnya sinar
matahari, keharuman bunga, kemerduan kicau burung, kesejukan angin,
keindahan tamasya alam. Semua itu adalah Kekuasaan Tuhan dan di situ
terkandung cinta kasih. Tanpa pamrih untuk diri pribadi dan selalu
bermanfaat bagi semua mahluk, terutama manusia. Seluruh alam dan isinya
ini dicipta oleh Tuhan dengan cinta kasih. Cinta kasih bekerja setelah nafsu
mementingkan diri sendiri tidak hadir dalam hati dan akal pikiran kita.
Tindakan yang didasari cinta kasih sudah pasti benar karena dibimbing oleh
Kekuasaan Tuhan, mendatangkan perasaan iba dan sayang dalam hati
terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Seperti sinar matahari,
mendatangkan kehidupan dan kenikmatan kepada siapa saja, seperti
keharuman bunga akan tetap harum ketika dicium siapapun juga tanpa
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
memandang bangsa, agama, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, yang
berkedudukan tinggi atau rakyat jelata yang paling bawah sekalipun.”
“Alangkah indahnya, Lo-cianpwe. Lalu bagaimana sifat cinta berahi atau
cinta nafsu?”
“Cinta berahi mengandung nafsu untuk mencari kesenangan diri sendiri
dan condong untuk menganggap orang yang dicintanya itu sebagai sumber
kesenangan diri sendiri.”
“Alangkah kotornya, Lo-cianpwe. Kalau begitu, untuk apa kita
membiarkan diri dikuasai cinta berahi semacam itu? Lebih baik dimatikan
saja nafsu berahi seperti itu. Bukankah begitu, Lo-cianpwe?”
“Siancai...” Tosu itu tersenyum lebar.
“Tidak begitu, Pouw-sicu. Tidak ada nafsu yang boleh dimatikan. Nafsunafsu
memang sudah disertakan kepada manusia sejak lahir dan nafsu-nafsu
itulah yang mendorong dan menjamin keberadaan dan kelangsungan hidup
manusia. Bahkan nafsu berahi merupakan nafsu yang teramat penting,
terutama untuk jaminan perkembang-biakan manusia di dunia. Akan tetapi
kalau hubungan antara pria dan wanita hanya dilandasi nafsu berahi saja,
tanpa adanya cinta kasih sejati, maka hal itu akan menghancurkan manusia
itu sendiri. Nafsu berahi tanpa cinta kasih membuat orang mencari
kesenangan sendiri, ingin menguasai, memiliki, mendatangkan cemburu dan
dapat mengubah cintanya menjadi benci kalau yang dicinta tidak
menyenangkannya lagi. Adapun nafsu berahi yang didasari cinta kasih
membuat orang bersikap menghormati, melindungi, menyayangi, menaruh
iba, menanamkan kewajiban, kesetiaan dan mendatangkan sikap ringan sama
dijinjing, berat sama dipikul, senang sama dinikmati dan susah sama
ditanggung.”
“Terima kasih, Lo-cianpwe. Apa yang saya dengar dari keterangan Locianpwe
menerangi hati saya yang selama ini dirundung kegelapan,” kata
Cun Giok yang teringat akan Ceng Ceng. Dia mencintai gadis itu sepenuh
hati, mencinta selengkapnya.
Memang terasa olehnya ada dua macam cinta dalam hatinya terhadap
Ceng Ceng. Yang pertama adalah cinta kasih berahi yang timbul karena
kecantikan gadis itu. Adapun yang kedua adalah cinta sejati seperti yang
disinggung Ketua Thai-san-pai tadi, yang timbul karena kebijaksanaan dan
budi pekerti gadis itu. Cinta berahi dapat saja menguap bahkan beralih
kepada gadis lain, sebaliknya cinta sejati akan tetap ada, walaupun dia harus
berpisah dari yang dicintanya dan tidak dapat menjadi satu.
Dia dapat merasakan bahwa cinta kasih Ceng Ceng terhadap dirinya
tentu merupakan cinta kasih sejati seperti yang diuraikan Ketua Thai-san-pai
tadi. Buktinya, dulu Ceng Ceng pernah mengalah kepada Li Hong yang
mencintanya, bahkan biarpun ia diserang oleh Li Hong kemudian dikhianati Li
Hong yang memihak Kim Bayan, Ceng Ceng masih tetap membela Li Hong
dan rela menyerahkan peta harta karun. Ceng Ceng adalah seorang gadis
yang memiliki cinta kasih murni seperti itu
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari arah belakang
gedung rumah induk Thai-san-pai itu.
“Hemm, apa yang terjadi di sana?” kata Ketua Thai-san-pai dengan sikap
masih tenang, namun alisnya berkerut, agaknya merasa tidak senang oleh
gangguan itu.
“Lo-cianpwe, pasti terjadi sesuatu di sana”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Tiba-tiba dua orang murid memasuki ruangan itu, memberi hormat kepada
ketua mereka dan melapor.
“Suhu, beberapa orang liar memasuki perpustakaan dan mengacau di
sana, kini dihadapi oleh Lima Suhu.”
“Lo-cianpwe, biar saya yang melihat ke sana” kata Cun Giok sambil
bangkit dari tempat duduknya.
Ketua Thai-san-pai mengangguk dan Cun Giok segera mengikuti dua
orang murid itu menuju ke belakang. Di ruangan tengah dia bertemu Kui Lan
dan Kui Lin yang juga mendengar keributan itu dan mereka keluar dari kamar
mereka.
“Ada apakah, Giok-ko?” tanya Kui Lin.
“Menurut laporan dua orang ini, ada beberapa orang datang membuat
kekacauan di sini”
“Mari kita pergi lihat” kata Kui Lan dan mereka bertiga lalu mengikuti dua
orang murid Thai-san-pai itu.
Ketika mereka tiba di luar ruangan perpustakaan yang merupakan
sebagian dari taman yang cukup luas, Cun Giok dan dua orang gadis kembar
melihat kelima Thai-san Ngo-sin-kiam sedang berkelahi melawan lima orang
laki-laki tinggi besar berusia sekitar empatpuluh tahun. Lima orang tinggi
besar itu tampak garang dan pakaian mereka serba hijau dan mereka masingmasing
memegang sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti
gergaji. Ilmu silat mereka ternyata cukup hebat dan gerakan mereka liar dan
aneh sehingga agaknya mereka mampu mengimbangi permainan pedang dari
Lima Pedang Sakti Thai-san itu. Di sekitar tempat perkelahian itu tampak
belasan orang murid Thai-san-pai yang sudah terluka dan sedang ditolong
oleh para murid lainnya.
Kui Lin yang galak sudah hendak menyerbu dan membantu Ngo-sin-kiam,
akan tetapi Cun Giok memegang lengannya.
“Jangan, Lin-moi. Membantu mereka tanpa diminta akan menyinggung
harga diri mereka, dan lihatlah, mereka tidak terdesak oleh lawan.”
Dicegah oleh Cun Giok yang memegang lengannya, Kui Lin tidak jadi
menyerbu dan jantungnya berdebar, mukanya berubah kemerahan karena
pegangan tangan itu pada lengannya seolah mengandung getaran yang
menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menyimpan kembali pedangnya dan
menonton perkelahian Ngo-sin-kiam melawan lima orang musuh mereka itu.
Benar seperti yang dikatakan Cun Giok, biarpun lima orang berpakaian
hijau itu memiliki gerakan yang amat aneh dan dahsyat, golok mereka
menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk, namun ilmu pedang Ngosin-
kiam memang hebat. Mereka berlima telah menguasai ilmu pedang Thaisan-
pai dengan baik sehingga mereka bukan saja mampu menghindarkan diri
dengan elakan dan tangkisan terhadap serangan lawan, bahkan kini mereka
mulai dapat mendesak orang-orang berpakaian hijau itu. Cun Giok melihat
betapa Ngo-sin-kiam itu memiliki gerakan pedang yang teratur, saling dukung
baik dalam pertahanan maupun penyerangan. Mereka merupakan barisan
pedang yang amat tangguh, jauh lebih tangguh daripada kalau mereka maju
sendiri-sendiri.
Setelah terus mendesak lawan, akhirnya Ngo-sin-kiam dapat merobohkan
lima orang penyerbu itu. Ada yang terluka lengan atau pundaknya, ada yang
terlempar goloknya, ada pula yang terkena pukulan tangan kiri atau
tendangan. Ketika Thai-san Ngo-sin-kiam hendak melanjutkan serangan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
untuk menangkap lima orang penyerbu itu, tiba-tiba ada angin bertiup
dibarengi suara gerengan seperti binatang buas. Entah darimana datangnya,
tahu-tahu di depan lima orang tosu Thai-san-pai sudah berdiri seorang
raksasa berusia sekitar limapuluh tahun dan keadaannya sungguh amat
menyeramkan.
Laki-laki tinggi besar ini mempunyai muka yang seperti singa bentuknya,
penuh berewok dan yang mengerikan, rambut, kumis dan jenggotnya
berwarna merah. Lalu sambil membentak dengan suara melengking, raksasa
itu mendorongkan kedua tangannya yang besar beberapa kali dan lima orang
tosu Thai-san-pai itu seolah terdorong angin yang amat kuat sehingga mereka
berlima terhuyung-huyung ke belakang
Ketika Ngo-sin-kiam dapat menguasai diri, baru saja mereka hendak maju
menghadapi lawan yang tinggi besar itu, Si Raksasa rambut merah kembali
mendorongkan kedua tangannya sambil mengeluarkan bentakan melengkinglengking.
Dan, angin pukulan yang amat kuat kembali melanda lima orang
tosu itu, membuat mereka yang sudah mempersiapkan diri itu tetap saja
terdorong ke belakang, sehingga ada yang menjatuhkan diri dan bergulingan
agar terhindar dari bantingan.
“Hayo, serahkan harta karun itu kepadaku, kalau tidak, seluruh Thai-sanpai
akan kubasmi habis”
Kakek rambut merah itu berteriak dan kini dia berdiri tegak sambil
menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang lebar. Kedua telapak tangan
yang saling digosokkan itu kini berubah merah seperti api membara dan asap
putih membubung ke atas. Melihat ini, Ngo-sin-kiam terkejut dan Song Bu
Tosu berkata heran.
“Kiranya Huo Lo-sian (Dewa Api) yang sedang berkunjung Di antara
pihakmu dan pihak kami tidak pernah ada permusuhan, mengapa hari ini
anak buahmu datang membuat kacau dan melukai beberapa orang murid
kami?”
Ngo-sin-kiam sudah lama mendengar akan nama besar Huo Lo-sian, akan
tetapi baru sekarang mereka melihat orangnya yang sungguh menyeramkan.
“Ho-ho-hoh Thai-san-pai mendapatkan rejeki besar, sudah sepatutnya
membagi-bagi rejeki itu dengan teman-teman sepegunungan. Serahkan harta
karun itu, setidaknya setengah bagian, dan kami akan tetap tinggal menjadi
tetangga yang baik. Kalau kalian murka dan hendak memilikinya sendiri, aku
akan membasmi Thai-san-pai dan merampas harta karun itu”
Tiba-tiba Kui Lin yang sejak tadi sudah menahan-nahan rasa penasaran
dan kemarahannya, melompat ke depan kakek rambut merah itu. Matanya
yang jeli melotot, alisnya berkerut, mulutnya cemberut dan tangan kanan
bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri menuding ke arah muka singa itu.
“Hei, siluman jelek dan sombong. Jangan ngoceh asal membuka mulutmu
yang lebar itu saja. Siapa yang mendapatkan harta karun? Andaikata ada
yang mendapatkan sekalipun, siapa sudi membagi dengan siluman sombong
macam engkau? Boleh jadi engkau dapat menakut-nakuti anak-anak kecil,
akan tetapi aku The Kui Lin, puteri Lembah Seribu Bunga, sama sekali tidak
gentar kepadamu”
Terlambat bagi Kui Lan maupun Cun Giok untuk mencegah gadis
pemberani yang galak itu mengeluarkan ucapan menantang. Mereka berdua
hanya maju mendekati Kui Lin untuk melindunginya karena mereka tahu
betapa lihai dan berbahayanya raksasa itu.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Huo Lo-sian (Dewa Api) terbelalak memandang kepada Kui Lin. Datuk ini
lebih merasa heran daripada marah. Bagaimana mungkin seorang gadis
remaja semuda ini berani menantangnya Dengan sikap dan kata-kata
sombong pula. Saking herannya datuk ini sampai berdiri tercengang,
kemudian kemarahannya mulai berkobar, membuat dia sukar mengeluarkan
suara. Wajahnya yang seperti singa itu tampak semakin menyeramkan,
rambut, kumis dan jenggotnya yang merah itu seperti bangkit berdiri.
Sebagai seorang datuk besar, walaupun kini jarang terjun ke dunia
persilatan, dia sudah mendengar akan nama besar Lembah Seribu Bunga.
Akan tetapi sesuai dengan wataknya yang tekebur dan selalu mengagulkan
diri sendiri memandang rendah orang lain, tentu saja dia tidak gentar.
Apalagi yang muncul dari Lembah Seribu Bunga hanya seorang gadis remaja
yang masih ingusan
“Kamu... kamu bocah setan. Apa kamu sudah bosan hidup?” bentaknya
dengan mata melotot dan seperti mengeluarkan sinar berapi.
Kui Lin tersenyum mengejek.
“Kamulah yang bosan hidup. Memang kamu layak mampus karena selain
sudah tua, juga dosamu sudah bertumpuk-tumpuk. Setan-setan sudah
menunggumu di neraka”
“Lin-moi...”
Kui Lan menegur adiknya. Ia menganggap adiknya itu seolah menyulut
permusuhan dengan Dewa Api yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang
amat tinggi. Buktinya, Thai-san Ngo-sin-kiam yang berilmu tinggi itu pun tadi
kewalahan menghadapi dorongan tangan yang mengandung tenaga sakti
amat kuatnya dari datuk itu.
“Biarkan aku, Lan-ci (Kakak Lan). Aku akan menghajar siluman tua ini
agar dia tidak berani sombong lagi” kata Kui Lin yang terlampau berani
namun kurang perhitungan itu.
Huo Lo-sian sudah habis kesabarannya.
“Bocah gila, mampuslah kamu” Bentaknya dan dia sudah mendorongkan
kedua tangannya yang merah membara itu ke arah dada Kui Lin.
Dasar gadis muda yang hanya mengandalkan keberanian, seolah seekor
burung muda yang baru keluar dari sarangnya, Kui Lin tidak menjadi gentar
menghadapi serangan dahsyat itu. Ia malah mengerahkan seluruh tenaga
saktinya dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, lalu mendorongkan
kedua tangan pula menyambut serangan lawan
Biarpun Kui Lan juga seperti adiknya, tidak mempunyai banyak
pengalaman bertanding, namun ia lebih cerdik dan hati-hati. Ia dapat
menduga bahwa tidak mungkin adik kembarnya mampu menahan serangan
tenaga sakti lawan yang amat kuat itu dan bukan tidak mungkin nyawa
adiknya terancam maut, maka cepat ia lalu menjulurkan kedua telapak
tangannya, menempel punggung adiknya dari belakang dan menyalurkan sinkangnya
membantu adiknya sehingga kini yang menyambut serangan Huo
Lo-sian adalah tenaga sinkang gabungan dua saudara kembar itu.
“Wuuuuuttt...plakkk”
Kedua telapak tangan Huo Lo-sian yang seperti membara itu bertemu
dengan kedua telapak tangan Kui Lin. Kalau saja gadis ini tidak dibantu
encinya dan tenaga sepasang gadis kembar itu tidak bergabung, memang
amat berbahaya bagi keselamatan Kui Lin. Namun gabungan dua tenaga itu
cukup kuat untuk menahan gempuran lawan. Akan tetapi, bagaimanapun
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
juga, setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan tenaga raksasa
rambut merah itu, tetap saja tubuh kedua orang gadis kembar itu tergetar.
Dari dua pasang telapak tangan yang saling menempel itu kini keluar asap,
dan dua orang gadis kembar itu mandi keringat
“Wah, panas... panas...”
Kui Lin menjerit-jerit ketika merasa betapa kedua telapak tangannya
seperti menempel pada besi membara yang amat panas.
Cun Giok maklum bahwa saatnya tiba baginya untuk turun tangan
membantu dan menyelamatkan dua orang gadis itu. Dia menjulurkan kedua
tangannya dan kedua telapak tangannya menempel pada punggung Kui Lan.
Dia mengerahkan sinkangnya dan berseru.
“Lin-moi, dorong…”
Kui Lin yang merasa kepanasan segera mendorong. Kekuatannya
bergabung dengan kekuatan Kui Lan dan Cun Giok, maka dorongannya
mengandung sin-kang yang amat kuat.
“Wesss...”
Tubuh Huo Lo-sian terpental dan dia terhuyung ke belakang sampai tujuh
langkah. Sepasang matanya terbelalak kaget dan heran karena tadi dia
merasa betapa dari telapak tangan halus dan kecil dari gadis remaja itu
keluar tenaga yang amat dahsyat, yang bukan saja membuat kedua
lengannya tergetar dan nyeri, bahkan membuat dia terpental ke belakang
seperti dilontarkan. Dia merasa gentar juga. Baru tiga orang muda itu saja
sudah demikian kuatnya. Apalagi Ketua Thai-san-pai. Maka, dia lalu menoleh
kepada lima orang pembantunya.
“Kita pergi”
Dan dia pun melompat jauh, diikuti lima orang berpakaian hijau itu dan
sebentar saja mereka lenyap dari perkampungan Thai-san-pai.
“Heii, siluman rambut merah. Mau lari kemana kamu” teriak Kui Lin yang
hendak melakukan pengejaran, merasa seolah ia yang mengalahkan datuk
tadi. Akan tetapi Kui Lan segera memegang lengannya.
“Jangan dikejar” katanya.
“Wah, Enci Lan, siluman seperti dia itu yang amat sombong sebaiknya
dibasmi saja. Kalau engkau tidak menahanku, tentu ia dapat kukejar dan
kupenggal lehernya, betul tidak, Giok-ko?” kata Kui Lin sambil memandang
pemuda itu.
Cun Giok tersenyum.
“Lin-moi, aku kagum akan keberanianmu.”
“Bukan berani, melainkan nekat dan ngawur.”
Kui Lan mengomel karena ia tahu benar bahwa kalau tadi tidak dibantu
Cun Giok, tenaga mereka berdua tidak cukup untuk mengalahkan Huo Lo-sian
dan bukan tidak mungkin nyawa mereka terancam maut. Mereka bertiga lalu
kembali ke dalam gedung induk bersama Ngo-sin-kiam, menghadap Ketua
Thai-san-pai, dan lima orang tosu itu melaporkan kepada suheng mereka
tentang munculnya Huo Lo-sian.
“Siancai... Urusan harta karun mulai menimbulkan kekacauan. Pinto kira
ekornya akan menimbulkan persaingan dan perebutan.”
“Siapa tahu, kakek siluman itu malah yang menjadi pencurinya” tiba-tiba
Kui Lin berseru.
“Kiranya hal itu tidak mungkin, Lin-moi,” kata Kui Lan lembut.
“Kalau dia yang mencuri harta karun, untuk apa dia dan para
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pembantunya menyerbu ke sini dan mencari di perpustakaan Thai-san-pai?”
“Mungkin sekali, Enci Lan. Dia melakukan penyerbuan ke sini untuk
mengalihkan perhatian agar yang disangka mencuri harta karun adalah Thaisan-
pai. Huh, dikira aku tidak tahu akan akal bulusnya itu”
Kui Lin lalu memandang Cun Giok.
“Betul tidak, Giok-ko?”
“Memang segala kemungkinan bisa terjadi. Bisa seperti yang disangka
Lin-moi bahwa dia pencuri harta karun dan ingin mengalihkan perhatian
kepada Thai-san-pai. Akan tetapi mungkin juga benar seperti yang dikatakan
Lan-moi, dia hanya menduga bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta
karun maka dia ingin mencari dan merampasnya.”
Cun Giok lalu memandang Ketua Thai-san-pai.
“Lo-cianpwe, kami yang muda-muda hanya bingung dengan dugaan kami
masing-masing. Bagaimana kalau menurut pendapat Lo-cianpwe. Harap suka
memberi petunjuk kepada kami.”
“Siancai...” Kakek itu mengelus jenggotnya.
“Memang semua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Akan tetapi, Huo Losian
adalah seorang datuk sesat yang kasar dan mengandalkan kekuatan dan
kelihaian ilmu silatnya. Orang berwatak kasar seperti dia, kiranya tidak akan
dapat menggunakan cara-cara yang mengandung muslihat rumit. Maka, pinto
kira bukan dia pencuri harta karun itu.”
“Kalau begitu, Lo-cianpwe, kita sudah mendapatkan dua kenyataan, yaitu
dua di antara penghuni Thai-san, yang pertama Thai-san-pai dan kedua Huo
Lo-sian, bukan pencuri harta karun. Dengan demikian, kita dapat menjuruskan
penyelidikan kita kepada pihak lain yang berada di Thai-san ini,” kata Cun
Giok.
“Wah, aku tahu sekarang. Sudah pasti yang mencurinya adalah sepasang
iblis yang berjuluk Hek Pek Mo-ko itu. Bukankah sisa para tokoh di sini hanya
tinggal dua, yaitu Hek Pek Mo-ko dan Ang-tung Kai-pang? Menurut
keterangan Lo-cianpwe tadi, perkumpulan Pengemis Tongkat Merah itu tidak
biasa bahkan membenci pencurian dan mereka juga menentang penjajah
Mongol sehingga tidak sangat mencurigakan. Tinggal Hek Pek Mo-ko yang
patut kita curigai,” kata Kui Lin.
“Hemm, pendapat Lin-moi itu benar sekali. Aku setuju dengan
pendapatnya,” kata Kui Lan.
Hati Kui Lin gembira sekali. Biasanya, encinya itu selalu menegur dan
menyalahkannya, akan tetapi sekali ini mendukung pendapatnya. Ia berseru
girang dengan wajah berseri.
“Nah, betul bukan pendapatku? Giok-ko, mengapa kita tunggu lebih
lama? Mari kita pergi menyelidiki Iblis Hitam Putih itu”
“Tidak perlu tergesa-gesa, Nona,” kata Ketua Thai-san-pai.
“Sebentar lagi malam tiba dan perjalanan ke Bukit Batu, tempat tinggal
Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka yang berada di bagian Utara
pegunungan ini, tidaklah mudah dan cukup jauh. Kalian perlu mempelajari
perjalanan yang akan kalian tempuh, dan sebaiknya dilakukan besok pagi.”
“Lo-cianpwe berkata benar. Kita tidak perlu tergesa-gesa, Lin-moi,” kata
Kui Lan.
Malam itu, Cun Giok, Kui Lan, dan Kui Lin bermalam di markas Thai-sanpai
dan mendengarkan keterangan tentang perjalanan ke sana dari para
murid Thai-san-pai yang sudah pernah mengenal daerah Utara dimana
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
terdapat Bukit Batu.
--------
Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong yang melakukan perjalanan jauh dari
Pulau Ular yang berada di Lautan Po-hai menuju Pegunungan Thai-san,
setelah makan waktu berbulan-bulan menunggang kuda, akhirnya mereka
tiba di kaki pegunungan Thai-san. Mereka kini menjadi akrab sekali karena
dalam perjalanan panjang yang makan waktu berbulan itu, Yauw Tek
memperlihatkan sikap sopan dan budi yang baik sekali. Bahkan Ceng Ceng
juga merasa tertarik dan kagum karena ketika beberapa kali mereka dihadang
perampok dan diganggu, Yauw Tek selalu mencegah Li Hong kalau gadis itu
hendak membunuh para penjahat. Kemudian pemuda itu mengalahkan semua
perampok dengan mudah tanpa melukai mereka.
“Ingat, Hong-moi. Mereka itu menjadi jahat oleh keadaan. Para penjajah
itulah yang membuat kehidupan rakyat jelata menjadi susah dan serba
kekurangan dan hal ini mendorong mereka untuk merampok. Bagaimanapun
juga, mereka itu adalah bangsa kita sendiri, maka bersikaplah murah, jangan
sembarangan membunuh mereka. Musuh utama kita adalah penjajah Mongol.
Kalau kita sudah berhasil mengenyahkan penjajah, kuyakin kehidupan rakyat
kita akan dapat membaik dan kejahatan pun pasti berkurang.”
Ceng Ceng mengagguk-anggukkan kepalanya.
“Apa yang dikatakan Yauw-twako memang benar, Adik Hong. Banyak
sekali kejahatan terjadi karena desakan keadaan, karena kekurangan dan
penindasan. Yauw-twako berjiwa patriot dan cinta bangsa, hal itu patut
dijadikan contoh.”
“Yauw-twako, bagaimana kalau kita bertemu pasukan Kerajaan Mongol?
Apa yang akan kaulakukan?” tanya Li Hong.
“Tentu bodoh sekali kalau kita menyerang pasukan yang besar jumlahnya,
sama dengan bunuh diri. Akan tetapi kalau ada pasukan kecil mengganggu
kita, sudah sepatutnya kita basmi mereka.”
Dan Yauw Tek bukan hanya bicara saja untuk menyatakan
permusuhannya dengan Pemerintah Mongol. Dalam perjalanan mereka, setiap
kali mereka berada di kota atau desa dimana terdengar ada pembesar Mongol
yang sewenang-wenang, pemuda itu pasti turun tangan memberi hajaran
keras.
Tiga orang muda itu tiba di kaki Pegunungan Thai-san bagian Selatan.
Hari telah menjelang senja ketika mereka memasuki sebuah dusun di kaki
gunung itu. Dusun Kok-lo merupakan dusun yang cukup ramai dan memiliki
banyak penduduk. Kehidupan di dusun itu cukup makmur karena daerah ini
merupakan daerah yang subur tanahnya sehingga para penduduk yang
bekerja sebagai petani mendapatkan penghasilan yang lumayan. Bahkan
banyak pedagang hasil bumi dan rempa-rempa dari kota berdatangan ke
dusun itu untuk membeli dagangan.
Hal ini membuat dusun itu semakin maju dan selain terdapat pedagangpedagang
barang dari kota raja untuk keperluan keluarga petani, di situ
terdapat pula dua buah rumah penginapan yang lumayan besarnya, berikut
rumah makannya. Dua buah rumah penginapan berikut rumah makan ini
untuk melayani para tamu pedagang yang terpaksa harus bermalam selama
beberapa hari di situ.
Tiga orang itu merasa lega, terutama sekali Li Hong yang selama lima hari
ini mengomel terus karena mereka terpaksa bermalam di tempat terbuka
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
karena tidak ada dusun yang menyediakan rumah penginapan dan rumah
makan. Dusun-dusun yang mereka lewati selama belasan hari terdiri dari
dusun-dusun kecil dan sepi. Kini, memasuki dusun yang cukup besar dan
ramai, dan terdapat rumah penginapan berikut rumah makannya, tentu saja Li
Hong merasa gembira sekali. Ia mendahului dua temannya dan memimpin di
depan menuju ke sebuah rumah penginapan AN HOK.
Semenjak memasuki dusun itu, mereka bertiga menarik perhatian banyak
orang. Memang banyak di situ kedatangan orang-orang kota, namun belum
pernah mereka melihat dua orang gadis sejelita itu dan melihat tiga ekor kuda
yang besar dan bagus. Tiga orang muda itu memang sudah beberapa kali
terpaksa berganti kuda karena kuda mereka sudah kelelahan melakukan
perjalanan sejauh itu. Dan setiap kali berganti kuda, Li Hong pasti memilih
kuda-kuda terbaik untuk mereka bertiga. Gadis ini membawa bekal yang
cukup banyak pemberian orang tuanya di Pulau Ular.
Setibanya di depan rumah penginapan, Li Hong melompat turun dari atas
kudanya, diikuti Yauw Tek dan Ceng Ceng yang tersenyum melihat
kegembiraan Li Hong. Di dalam hatinya, Yauw Tek dan Ceng Ceng merasa
kasihan juga di samping geli melihat sikap Li Hong. Mereka tahu bahwa Li
Hong banyak menderita dalam perjalanan itu. Gadis yang sudah biasa hidup
enak di Pulau Ular itu, kini benar-benar menderita melakukan perjalanan jauh
yang melelahkan. Pantaslah kalau kini ia demikian gembira mendapatkan
sebuah dusun yang memiliki rumah penginapan dan rumah makan.
Tiga orang pelayan rumah penginapan segera menyambut dan mengurus
tiga ekor kuda itu yang mereka bawa ke kandang kuda di pekarangan
belakang rumah penginapan. Rumah penginapan itu memang mempunyai
banyak pelayan untuk melayani para pedagang yang bermalam di situ.
Seorang pelayan setengah tua menyambut mereka dengan sikap hormat dan
ramah.
“Selamat datang di rumah penginapan AN HOK kami, Kongcu (Tuan
Muda) dan ji-wi Siocia (Nona Berdua). Apakah Sam-wi (Anda Bertiga) ingin
menyewa kamar?”
“Ya, cepat siapkan sebuah kamar biasa dan sebuah yang agak besar
untuk aku dan Enciku, akan tetapi pilih kamar yang paling bersih, ganti
semua tilamnya dengan yang baru dan bersih” kata Li Hong dengan sikap
keren dan memerintah.
“Baik, Nona, akan kami siapkan sekarang,” kata pelayan itu dengan sikap
hormat.
Li Hong lalu mengambil sekeping uang dari balik ikat pinggangnya dan
memberikan kepada pelayan itu. Pelayan itu menerima dengan mata
terbelalak karena hadiah ini amat banyak dan tidak seperti biasanya para
tamu memberi hadiah setelah akan meninggalkan penginapan.
“Jangan lupa, sediakan air yang banyak untuk kami mandi, setelah itu
siapkan makan malam dengan lauk-pauk komplit dari rumah makan,”
perintah Li Hong.
“Baik-baik, Siocia, akan kami siapkan semua,” kata pelayan itu yang lalu
membawa mereka kedua buah kamar yang kosong. Dia memerintahkan
pelayan lain untuk segera mengganti tilam-tilam di kedua kamar itu, bahkan
menyuruh bersihkan lantai dan semua perabot dalam dua kamar itu.
Tiga orang muda itu lalu mandi dan bertukar pakaian, lalu mereka makan
hidangan yang sudah disediakan. Memenuhi pesanan Li Hong, hidangan itu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
cukup mewah sehingga Ceng Ceng setelah mereka selesai makan, berkata
sambil tersenyum.
“Wah, engkau royal sekali, Hong-moi, dan engkau minum banyak sekali
arak. Akan tetapi kulihat engkau sama sekali tidak mabok”
“Ih, Enci Ceng, kalau puteri Pulau Ular mabok oleh minuman arak,
sungguh memalukan. Bukankah engkau juga sama sekali tidak tampak mabok
setelah minum cukup banyak pula? Lihatlah Yauw-twako itu. Mukanya
menjadi merah seperti kepiting direbus, hi-hi-hik”
Yauw Tek yang memang merah mukanya karena melayani dua orang
gadis yang amat kuat minum arak itu, tertawa pula.
“Ha-ha, tentu saja aku tidak dapat menandingi kalian, Ceng-moi dan
Hong-moi. Dahulu, ketika kecil dan menjadi pemuda remaja, aku hidup di
antara pertapa dan pendeta, sama sekali tidak diperbolehkan minum arak.
Kalian berdua tentu saja kuat minum. Ceng-moi seorang ahli pengobatan,
tentu sebelumnya sudah menelan obat penjaga mabok, demikian pula
engkau, Hong-moi. Pulau Ular terkenal dengan racun-racunnya yang
berbahaya, tentu saja engkau dapat mengatasi pengaruh racun arak yang
bagimu kecil tidak ada artinya itu” kata Yauw Tek dan dari suaranya yang
ringan, dua orang gadis itu dapat mengetahui bahwa pemuda itu memang
agak teler (mabuk). Mereka berdua tertawa walaupun tawa Ceng Ceng tidak
selebar dan selantang Li Hong.
“Maaf, Yauw-twako, kami hanya berkelakar, bukan mentertawakanmu”
kata Li Hong.
“Yang membuat aku heran, bagaimana engkau kulihat tidak pernah
merasa janggal menanggapi segala kemewahan, seolah engkau sudah biasa
dengan kamar yang nyaman dan makanan yang mewah.”
Ceng Ceng juga memandang pemuda itu karena baru sekarang ia teringat
bahwa pemuda itu agaknya tak pernah tertarik atau heran menyaksikan
kemewahan, bahkan pakaian pemuda ini juga terbuat dari sutera halus,
seolah Yauw Tek seorang pemuda kaya raya yang biasa hidup mewah.
Yauw Tek tersenyum.
“Ah, itukah yang membuat kalian heran? Ceng-moi dan Hong-moi,
ketahuilah bahwa selama tinggal di rumah para Pendeta Lhama di Tibet
sebagai murid mereka, aku sudah terbiasa hidup mewah. Kalian tahu, banyak
di antara pendeta Lhama itu memiliki gedung yang mewah, kehidupan
mereka juga serba mewah dan kaya raya.”
Dua orang gadis itu kini baru mengerti. Tidak heran Yauw Tek bersikap
biasa saja menghadapi hidangan mewah, kiranya pernah hidup di rumah para
pendeta Lhama yang kaya raya. Mereka merasa heran juga mengapa para
pendeta di Tibet dapat hidup mewah dan kaya, tidak seperti para hwesio
(Pendeta Buddha) yang berada di kuil-kuil di Cina.
Pada keesokan harinya mereka mendapat keterangan bahwa di atas bukit
di depan, yaitu Bukit Cemara, terdapat pusat Perkumpulan Ang-tung Kaipang
(Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah).
Mereka bertiga berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Karena Ang-tung
Kai-pang merupakan satu di antara golongan yang kuat dan mungkin menjadi
pencuri harta karun, maka mereka sudah mengambil keputusan untuk
melakukan penyelidikan kepada perkumpulan pengemis yang terkenal
memiliki cabang dimana-mana.
Pagi-pagi sekali tiga orang muda itu sudah keluar dari rumah penginapan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
dan berada di jalan umum depan rumah penginapan merangkap rumah
makan itu. Tadi, mereka sudah sarapan bubur yang disiapkan oleh pelayan.
Sepagi itu, jalan umum di depan rumah penginapan itu sudah ramai dengan
orang-orang yang lalu-lalang. Mereka adalah orang-orang yang memikul
barang dagangan berupa hasil bumi daerah itu.
Selagi mereka berdiri di tepi jalan, memandang ke arah Bukit Cemara
yang menurut keterangan menjadi markas Ang-tung Kai-pang, tiba-tiba
mereka melihat serombongan orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian
pengemis, berbondong pergi ke arah timur. Mereka terdiri dari lima orang
berpakaian tambal-tambalan dan masing-masing memegang sebatang
tongkat yang berwarna merah. Mudah saja bagi Yauw Tek untuk menduga
bahwa mereka berlima itu tentulah para anggauta Ang-tung Kai-pang. Karena
mereka memang berniat mengunjungi dan menyelidiki keadaan perkumpulan
pengemis itu, maka lima orang itu menarik perhatian mereka. Dengan saling
pandang saja, ketiganya bersepakat untuk membayangi lima orang pengemis
itu.
Usia lima orang itu antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun. Biarpun di
antara mereka, yang tiga orang bertubuh kurus seperti kebanyakan pengemis,
sedangkan yang dua orang sedang-sedang saja, namun mereka itu sungguh
jauh berbeda dari pengemis biasa. Pakaian mereka memang tambaltambalan,
namun bersih dan mudah diduga bahwa mereka tentu sering
bertukar pakaian. Sepatu mereka yang berwarna hitam juga tidak butut
seperti pengemis biasa.
Gerak-gerik mereka ketika mereka berjalan tergesa-gesa itu pun
membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak lemah.
Terutama sekali tongkat mereka yang berwarna merah itu mencolok dan
membuat mereka tampak lebih mirip regu yang berpakaian seragam daripada
serombongan pengemis. Juga keberadaan mereka di dusun yang ramai itu
agaknya sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang
di jalan umum, hal ini menandakan bahwa kehadiran para pengemis di dusun
itu merupakan hal yang biasa.
Selain itu, sikap para penduduk yang tenang saja melihat mereka
membuktikan bahwa golongan pengemis itu tidak ditakuti. Ini saja sudah
membuat Yauw Tek dan dua orang gadis itu mengambil kesimpulan bahwa
para pengemis tongkat merah itu bukan golongan yang suka bertindak
sewenang-wenang, mengandalkan kekuatan mereka seperti dilakukan
banyak anggauta perkumpulan yang merasa dirinya kuat.
Lima orang pengemis itu melangkah lebar dan berjalan tanpa bicara.
Setelah tiba di pintu gerbang dusun sebelah timur, mereka tidak berhenti dan
berjalan terus. Terang bahwa mereka tidak hendak pergi ke Bukit Cemara
yang menjadi tempat asrama mereka, karena Bukit Cemara berada di sebelah
Barat sedangkan mereka kini melangkah terus menuju ke arah Timur. Tiga
orang muda itu tetap mengikuti rombongan pengemis itu dari belakang, agak
jauh karena mereka tidak ingin diketahui bahwa mereka sedang membayangi
rombongan pengemis itu.
Setelah keluar dari pintu gerbang dan berada di jalan yang sepi, lima
orang pengemis itu mulai berlari. Yauw Tek, Ceng Ceng dan Li Hong juga
berjalan cepat, terus membayangi. Tak lama kemudian mereka tiba di tepi
sebuah hutan kecil dan dari jauh sudah tampak ada dua orang sedang
berkelahi. Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun,
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tinggi kurus, pakaiannya serba putih dan dia menggunakan senjata sebatang
pedang. Adapun lawannya adalah seorang pengemis berusia sekitar
limapuluh tahun dan dia bersenjatakan sebatang tongkat merah.
Jelaslah bahwa yang sedang berkelahi itu seorang anggauta Ang-tung
Kai-pang melawan seorang yang berpakaian putih-putih dan yang memiliki
ilmu pedang cukup tangguh. Perkelahian itu memang seimbang dan ramai,
akan tetapi agaknya pengemis bertongkat merah itu mulai terdesak oleh
permainan pedang lawannya.
“Apakah lima orang pengemis itu hendak mengeroyok Si Baju Putih itu?”
kata Ceng Ceng lirih.
“Wah, biarpun aku tidak mengenal Si Baju Putih itu, kalau dia dikeroyok,
aku pasti akan membelanya” kata Li Hong.
“Ceng-moi dan Hong-moi, kuharap kalian tidak tergesa-gesa bertindak
sebelum kita mengetahui permasalahannya maka mereka itu berkelahi.
Jangan sampai kita salah tangan,” kata Yauw Tek.
Mereka mendekati lalu mengintai dari balik pohon-pohon. Lima orang
pengemis tongkat merah itu kini telah tiba dekat mereka yang bertanding,
akan tetapi mereka berlima hanya berdiri menonton pertandingan itu dan
agaknya tidak akan turun tangan membantu rekan mereka.
Laki-laki berpakaian putih itu tampak terkejut ketika dia melihat
munculnya lima orang pengemis tongkat merah. Dia agaknya tahu benar
bahwa kalau lima orang itu mengeroyoknya, dia pasti akan terancam bahaya
maut. Baru melawan seorang ini saja, dia hanya mampu mendesak setelah
bertanding lebih dari limapuluh jurus dan ini pun baru mendesak, belum
mampu melukai apalagi merobohkannya. Sebaliknya, pengemis yang sedang
bertanding itu ketika melihat lima orang rekannya, bangkit semangatnya dan
dia kini membalas desakan lawan dengan serangan-serangan maut.
Tongkatnya yang berwarna merah itu membentuk gulungan sinar merah yang
cepat dan kuat. Pria berpakaian putih itu melompat jauh ke belakang.
“Huh, orang Ang-tung Kai-pang curang. Kalian hendak mengeroyok aku?”
bentaknya sambil melintangkan pedang di depan dada.
Pengemis yang tadi menjadi lawannya menudingkan tongkat merahnya
dan menjawab.
“Ang-tung Kai-pang bukan perkumpulan orang-orang yang curang dan
suka main keroyokan”
Seorang di antara lima pengemis yang baru datang, berseru lantang.
“Manusia sombong. Kalau kami melakukan pengeroyokan, apa kaukira
sekarang engkau masih hidup?”
Bagaimanapun Si Baju Putih itu agaknya sudah gentar menghadapi enam
orang pengemis tongkat merah, maka dia lalu berkata dengan sikap
menantang.
“Baik, sekarang aku mengajukan tantangan atas nama kedua orang
pimpinan kami. Esok lusa, setelah matahari terbit, pimpinan kami akan
datang ke tempat ini dan menantang pimpinan kalian. Hendak kita lihat siapa
yang lebih unggul dan yang patut mendapatkan harta karun, majikan Bukit
Batu ataukan pimpinan Ang-tung Kai-pang di Bukit Cemara. Kalau esok lusa
pimpinan kalian tidak muncul, berarti Ang-tung Kai-pang pengecut”
Setelah berkata demikian, orang berpakaian putih itu melompat ke dalam
hutan dan melarikan diri. Pengemis yang marah tadi mengepal tinjunya
dengan marah.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Jahanam itu seharusnya tidak kita biarkan pergi”
Pengemis yang tadi berkelahi dan lebih tua di antara mereka, berkata.
“Ah, tidak ada gunanya, Sute (Adik Seperguruan). Bukankah Pangcu
(Ketua) berpesan agar kita tidak mengambil sikap bermusuhan dengan siapa
saja yang tinggal di pegunungan ini? Sudahlah, tidak perlu penasaran, akan
tetapi bagaimana kalian berlima dapat datang ke sini dan mengetahui bahwa
aku sedang bertanding?”
“Seorang rekan memberi tahu kami ketika kami sedang berada di dusun
Kok-lo, bahwa engkau sedang bertengkar di sini dengan seorang anak buah
Bukit Batu. Maka kami cepat menyusul ke sini, dan melihat Suheng (Kakak
Seperguruan) tadi bertanding dengan Si Baju Putih brengsek itu. Suheng, kita
tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Bukit Batu, bagaimana Suheng
sampai bertengkar lalu berkelahi dengan orang itu?”
Pengemis yang berjenggot seperti kambing itu menghela napas dan
mengelus jenggotnya.
“Aku pun tahu akan larangan Pangcu agar kita tidak mencari
permusuhan. Akan tetapi orang itu ketika bertemu dengan aku di sini,
langsung menghinaku dan mengatakan bahwa orang-orang Ang-tung Kaipang
adalah pencuri-pencuri, mencuri harta karun dan tidak tahu malu. Tentu
saja aku marah sekali dan kami lalu bertengkar dan berkelahi.”
“Mereka yang tak tahu malu, mereka yang tidak pantang melakukan
kejahatan, malah menuduh kita. Biarpun pekerjaan kita mengemis, mencuri
merupakan pantangan besar bagi kita. Semua orang juga mengetahuinya”
kata yang lain. Mereka berenam tampaknya marah dan penasaran sekali.
“Mari, kita laporkan kepada Pangcu. Dikiranya kita takut menghadapi
tantangan mereka”
Pada saat itu, Yauw Tek yang merasa sudah cukup mengintai, mengajak
Ceng Ceng dan Li Hong keluar dari tempat pengintaian mereka tadi. Begitu
melihat tiga orang muncul dari balik pohon-pohon, enam orang anggauta
Ang-tung Kai-pang ini melompat dengan gerakan ringan dan mereka sudah
berdiri di depan tiga orang muda itu dengan tongkat merah siap di tangan
untuk menyerang.
“Hemm, apakah kalian juga ingin mencari gara-gara dengan kami?” tanya
pengemis tertua dengan pandang mata penuh kecurigaan.
Yauw Tek cepat maju dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai
penghormatan lalu berkata lembut.
“Maafkan, kami sama sekali tidak mempunyai niat buruk. Tadi secara
kebetulan kami melihat seorang di antara kalian berkelahi melawan orang
berpakaian putih itu, maka kami tidak keluar dan bersembunyi di balik pohon.
Setelah orang itu pergi, baru kami berani menghampirl kalian.”
Enam orang pengemis itu mengerutkan alisnya.
“Kalian bertiga ini siapakah dan apa maksud kalian menghampiri dan
memperhatikan kami?”
Li Hong tidak sabar melihat sikap Yauw Tek demikian hormat kepada
enam orang pengemis itu.
“Kami tertarik mendengar ada orang menuduh kalian mencuri harta
pusaka. Benarkah kalian mencuri harta karun itu?”
“Hong-moi...” Ceng Ceng menegur adik angkatnya.
“Nona, apakah engkau juga bermaksud menghina kami?” tanya pengemis
tertua dengan suara kaku.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Li Hong membelalakkan mata dan bertolak pinggang.
“Siapa yang menghina siapa? Aku hanya bertanya, apa salahnya orang
bertanya? Kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku mencuri harta karun,
aku akan menjawab tidak karena aku tidak mencurinya. Kalau aku mencuri,
tentu akan kuakui karena aku bukan pengecut”
Dijawab seperti itu, pengemis itu gelagapan, tidak mampu bicara. Yauw
Tek yang melihat bahwa sikap dan ucapan Li Hong mungkin menyulut
kemarahan dan permusuhan, segera memberi hormat kepada enam orang
pengemis itu dan berkata dengan lembut.
“Harap Paman berenam suka memaafkan kami. Sesungguhnya, kami
bertiga tertarik sekali mendengar orang baju putih tadi bicara tentang harta
karun, karena kami bertiga justeru hendak menyelidiki, siapa pencuri harta
karun itu. Untuk penyelidikan kami inilah maka kami hendak pergi
menghadap Ketua Ang-tung Kai-pang untuk mohon petunjuk.”
Ucapan Yauw Tek menyabarkan para pengemis itu. Pengemis tua lalu
bertanya, suaranya kini juga halus.
“Siapakah kalian bertiga, dan mengapa pula kalian hendak menyelidiki
tentang pencurian harta karun yang menggemparkan dunia kang-ouw itu?”
“Lo-pek (Paman Tua), harta karun itu adalah peninggalan mendiang Locianpwe
Liu Bok Eng yang harus diberikan kepada yang berhak, akan tetapi
ternyata dicuri orang. Menjadi kewajiban kami bertiga untuk mencarinya.
Ketahuilah bahwa Nona ini bernama Liu Ceng Ceng berjuluk Pek-eng Sianli,
dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong puteri majikan Pulau Ular. Adapun aku
sendiri bernama Yauw Tek, seorang pengembara yang membantu kedua
orang gadis ini.”
Enam orang pengemis itu terbelalak. Mereka sudah mendengar bahwa
harta karun itu kabarnya milik seorang gadis pendekar berjuluk Pek-eng Sianli
dan kini gadis berpakaian serba putih di depan mereka itu adalah gadis yang
nama julukannya amat terkenal setelah terjadinya geger tentang harta karun
itu. Juga mereka mengenal betul Pulau Ular dengan majikannya yang berjuluk
Ban-tok Kui-bo dan yang dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti.
Pantas gadis itu demikian galak, kiranya puteri majikan Pulau Ular. Hanya
nama pemuda itu yang tidak mereka kenal, akan tetapi sikap pemuda itu
hormat dan lembut sehingga mendatangkan rasa suka dalam hati mereka.
“Ah, kiranya kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang
ternama. Maafkan sikap kami tadi dan kalau Sam-wi (Anda Bertiga) ingin
menghadap ketua kami, mari silakan, kami antarkan.”
Mereka bertiga lalu mengikuti enam orang pengemis itu mendaki Bukit
Cemara. Ternyata bukit yang ditumbuhi banyak pohon cemara itu merupakan
daerah subur dan di situ terdapat banyak sawah ladang penuh dengan
tanaman sayur dan buah-buahan. Dari keadaan ini saja tiga orang muda itu
dapat mengetahui bahwa para pengemis itu ternyata juga bertani dan
tampak belasan orang anggauta Ang-tung Kai-pang sedang sibuk bekerja di
sawah ladang.
Ketika mereka tiba di perkampungan Ang-tung Kai-pang di puncak bukit,
mereka pun kagum melihat betapa perkampungan itu tidak seperti daerah
kumuh yang biasa merupakan ciri tempat tinggal para pengemis.
Perkampungan itu terdiri dari puluhan bangunan rumah yang kecil sederhana,
namun teratur dan bersih, di halaman setiap rumah terdapat taman bunga
sehingga kampung itu kelihatan indah dan bersih terpelihara. Rumah induk
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
perkumpulan berada di tengah dan merupakan bangunan terbesar. Di situlah
tinggal ketua perkumpulan itu dan Yauw Tek bertiga diajak masuk ke dalam
rumah besar itu.
Mereka bertiga diterima Ketua Ang-tung Kai-pang di ruangan depan yang
luas. Pengemis tertua yang tadi berkelahi melawan orang berpakaian putih
hadir pula dalam pertemuan itu. Yang lima lainnya tidak ikut hadir. Tiga orang
muda itu memperhatikan Sang Ketua. Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti
Tongkat Setan) adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia sekitar
enampuluh tahun. Wajahnya masih membayangkan ketampanan dan
jenggotnya panjang terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana, juga tambaltambalan
namun bersih. Sikapnya penuh wibawa seorang yang biasa
memimpin banyak anak buah.
Yauw Tek dan dua orang gadis itu memberi hormat dengan merangkap
tangan depan dada, dibalas dengan hormat oleh ketua itu yang lalu
mempersilakan mereka duduk berhadapan dengannya. Kemudian dia
memberi kesempatan pertama kepada anak buahnya untuk membuat laporan.
Pengemis itu lalu melaporkan tentang pertemuannya dengan Yauw Tek
bertiga, setelah lebih dulu dia berkelahi melawan seorang anak buah dari
Bukit Batu dan lawannya itu kemudian pergi sambil menantang agar Ketua
Ang-tung Kai-pang berani bertanding melawan ketuanya pada esok lusa pagi
hari di tempat dimana mereka berkelahi tadi. Kui-tung Sin-kai mengerutkan
alisnya. Suaranya mengandung teguran ketika dia berkata kepada anak
buahnya.
“Hemm, bagaimana engkau berani mengabaikan pesanku agar jangan
membuat permusuhan, sekarang bahkan menimbulkan pertentangan
sehingga aku terbawa-bawa ditantang oleh Hek Pek Mo-ko?”
Pengemis itu menjawab dengan sikap takut-takut.
“Mohon maaf, Pangcu. Sesungguhnya saya tidak berani melanggar pesan
Pangcu, akan tetapi orang itu muncul dan tanpa sebab memaki bahwa Angtung
Kai-pang adalah pencuri-pencuri dan katanya perkumpulan kita mencuri
harta karun. Dimaki pencuri, saya tentu saja membantah sehingga terjadi
pertengkaran yang berekor menjadi perkelahian. Harap Pangcu sudi
memaafkan saya.”
“Pangcu, kami yang menjadi saksi. Bukan Paman pengemis ini yang mulai
dan menantang untuk mengadakan pertandingan antara pemimpin kedua
golongan adalah orang berbaju putih itu” kata Li Hong dengan lantang.
Ketua Ang-tung Kai-pang mengangguk-angguk dan menghela napas
sambil mengelus jenggotnya yang panjang, lalu berkata kepada anak
buahnya.
“Sudahlah, engkau boleh keluar, aku akan bicara dengan tiga orang tamu
ini.”
Setelah pengemis itu keluar, Kui-tung Sin-kai memandang kepada tiga
orang muda itu dan berkata.
“Anggauta perkumpulan kami tadi hanya mengatakan bahwa kalian
bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang sedang menyelidiki tentang
harta karun yang dihebohkan di dunia kang-ouw, dan kalian hendak minta
petunjukku tentang pencurian harta karun itu. Coba perkenalkan dulu, kalian
ini siapa?”
Yauw Tek yang menjadi wakil pembicara segera menjawab.
“Pangcu, ini adalah Nona Liu Ceng Ceng dan yang ini adalah Nona Tan Li
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Hong. Saya sendiri bernama Yauw Tek.”
“Mengapa kalian hendak menyelidiki dan mencari pencuri harta karun
yang kabarnya memperkenalkan diri sebagai penghuni Thai-san?”
Yauw Tek lalu menceritakan asal mula pencarian harta karun itu.
Bagaimana dari peta yang ditinggalkan Liu Bok Eng kepada puterinya, Liu
Ceng Ceng, tempat harta karun itu telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan,
akan tetapi ternyata hanya tinggal petinya yang kosong dan di dalam peti itu
terdapat tulisan THAI SAN.
“Nona Liu Ceng Ceng ini merasa berkewajiban untuk menemukan
kembali harta karun yang ditinggalkan mendiang ayahnya. Nona Tan Li Hong
dan saya membantunya dan kami menghadap Pangcu untuk mohon petunjuk,
siapa kiranya yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu.”
“Nanti dulu, Yauw-sicu. Katakan dulu, untuk apa kalian mencari pencuri
harta karun itu”
“Tentu untuk merampasnya kembali, habis untuk apa lagi?” jawab Li
Hong mendahului Yauw Tek.
Li Hong yang dibesarkan di Pulau Ular oleh ibu tirinya yang dulu terkenal
sebagai datuk wanita berjuluk Ban-tok Kui-bo memang berwatak keras dan
tidak mengenal segala macam aturan bersopan santun, apalagi bermanis
muka, namun ia jujur.
Kini ketua itu memandang kepada tiga orang muda itu dengan alis
berkerut, kemudian dia berkata lantang dan tegas.
“Aku pernah mendengar akan nama Liu Bok Eng sebagai seorang gagah
yang setia kepada Kerajaan Sung dan berjiwa patriot dan aku akan suka
membantunya mencari harta karun karena aku yakin bahwa dia akan
mempergunakannya demi nusa dan bangsa. Akan tetapi kalau kalian orangorang
muda mencari harta karun untuk diri kalian sendiri, jangan harap akan
mendapat dukungan dariku. Aku tidak sudi membantu orang-orang
memperebutkan harta seperti anjing-anjing kelaparan memperebutkan
tulang”
“Apa? Engkau menganggap kami ini anjing-anjing?” Li Hong sudah
merah mukanya karena ia marah sekali.
Akan tetapi Ceng Ceng menyentuh lengannya dan ketika adik angkatnya
memandangnya, ia menggeleng kepala mencegah adiknya itu bicara terus.
Kemudian ia menoleh kepada Kui-tung Sin-kai dan berkata dengan suaranya
yang lembut dan sikapnya yang ramah.
“Pangcu, agaknya Pangcu salah paham. Saya hendak menjelaskan
keadaan kami yang sebenarnya. Ketika Ayah saya meninggal dunia karena
terbunuh oleh panglima Mongol, Ayah meninggalkan sebuah peta harta karun
kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu dan
menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu para pejuang yang berjuang
membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan bangsa Mongol.
Kenyataannya harta karun itu telah dicuri atau diambil oleh orang yang
mengaku dari Thai-san. Kami bertiga mencari harta karun yang dicuri itu,
sama sekali bukan untuk kami miliki sendiri, melainkan untuk kami serahkan
kepada para pejuang seperti yang dipesan Ayah Liu Bok Eng. Kami
mendengar bahwa Ang-tung Kai-pang juga menentang Pemerintah Mongol,
maka kami percaya bahwa Pangcu tentu suka membantu para pejuang
kemerdekaan tanah air dari cengkeraman penjajah Mongol. Karena itu maka
kami berani menghadap Pangcu dan mohon petunjuk.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Mendengar ucapan Ceng Ceng, ketua Kai-pang (Perkumpulan Pengemis)
itu tersenyum dan wajahnya berubah cerah.
“Ah, sekarang aku tidak ragu akan kebenaran berita bahwa mendiang Liu
Bok Eng adalah seorang gagah perkasa yang bijaksana setelah melihat
puterinya Nona Liu, maafkan sikapku tadi. Kalau memang kalian hendak
mendapatkan kembali harta karun itu untuk diserahkan kepada para pejuang
kemerdekaan, tentu saja kami sepenuhnya mendukung. Bahkan kami bersama
seluruh anggauta yang sekitar seratus orang jumlahnya di sini, siap untuk
membantu. Bukan itu saja, kami juga dapat mengerahkan semua anggauta
yang tersebar di banyak cabang Ang-tung Kai-pang, yang ribuan jumlahnya,
untuk membantu”
“Terima kasih, Pangcu” kata Yauw Tek dengan gembira.
“Akan tetapi kami kira belum tiba saatnya kami membutuhkan bantuan
para anggauta Ang-tung Kai-pang. Untuk saat ini kami hanya membutuhkan
petunjuk Pangcu, siapa kiranya di antara para penghuni Thai-san yang patut
dicurigai sebagai pencuri harta karun itu. Kami mohon petunjuk, Pangcu.”
“Kami kira hanya ada dua golongan yang seyogianya tidak dimasukkan
daftar mereka yang dicurigai, yaitu Thai-san-pai dan Ang-tung Kai-pang. Kami
kira kedua perkumpulan ini tidak mungkin melakukan pencurian itu karena
kami berdua bukan golongan orang-orang yang murka akan harta benda.
Akan tetapi ada banyak orang atau golongan lain berada di Thai-san. Yang
terbesar dan mempunyai banyak anak buah adalah Huo Lo-sian dan anak
buahnya yang tinggal di daerah Barat pegunungan ini, dan yang kedua
adalah Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka yang tinggal di Bukit Batu
dan berada di daerah Utara pegunungan ini. Selain mereka tentu saja masih
terdapat banyak pertapa yang kabarnya memiliki kesaktian, tinggal bertapa
di tempat-tempat terasing di pegunungan yang luas ini.” Pangcu itu
menerangkan.
“Pangcu, orang berbaju putih yang berkelahi dengan anak buah Ang-tung
Kai-pang itu, katanya adalah anak buah dari Bukit Batu. Kalau begitu, dia itu
anak buah Hek Pek Mo-ko?” tanya Li Hong.
“Benar, Nona,” kata Ketua Kai-pang itu yang kini dapat mengerti bahwa
gadis ini memang memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, hal yang tidak
aneh karena ia berasal dari Pulau Ular.
“Si Baju Putih itu adalah seorang murid dari Pek Mo-ko. Dua orang iblis itu
yang disebut Hek Pek Mo-ko terdiri dari Hek Mo-ko ( Iblis Hitam ) dan Pek Moko
(Iblis Putih), masing-masing mempunyai murid sendiri. Murid Hek Mo-ko
berpakaian serba hitam dan murid Pek Mo-ko berpakaian serba putih. Akan
tetapi keduanya selalu bekerja sama seolah hanya ada satu perkumpulan.”
“Hemm, kalau begitu yang menantang Pangcu untuk mengadakan pi-bu
(adu ilmu silat) esok lusa ada dua orang, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?” Ceng
Ceng juga bertanya, nadanya khawatir.
Pangcu itu mengangguk.
“Benar, Nona Liu. Yang menantang adalah mereka berdua.”
“Ah, itu tidak adil sama sekali, Pangcu. Masa dua orang menantang
seorang?” kata Yauw Tek sambil mengerutkan alisnya yang tebal karena
merasa penasaran.
“Jangan khawatir, Pangcu. Kalau mereka maju berdua, biar aku yang akan
membantumu sehingga pi-bu itu seimbang, dua lawan dua” kata Li Hong
bersemangat.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Kalau hanya melawan dua orang berandal itu saja, aku tidak takut”
“Tenanglah, Hong-moi,” kata Ceng Ceng yang lalu bertanya kepada ketua
itu.
“Pangcu, bagaimana kepandaian Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?”
“Aku sendiri belum pernah bertanding dengan mereka berdua. Akan
tetapi menurut kabar, kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang
seimbang, Hek Mo-ko memiliki ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)
yang dahsyat dan senjata goloknya juga terkenal lihai. Sedangkan Pek Mo-ko
memiliki ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang tak kalah dahsyatnya,
dan senjatanya adalah sebatang pedang yang kabarnya juga amat tangguh.
Kukira, kalau aku menghadapi seorang di antara mereka, aku masih dapat
menandingi, akan tetapi entah kalau mereka maju berdua karena menurut
keterangan yang pernah kudengar, Hek Pek Mo-ko selalu maju bersama
sebagai pasangan yang amat kuat.”
“Pangcu, untuk menghadapi mereka besok lusa pagi, tentu Pangcu sudah
mengatur sebaiknya dan tentu ada orang lain dari Ang-tung Kai-pang yang
akan menemani Pangcu menghadapi mereka,” kata Yauw Tek.
Ketua Kai-pang itu menghela napas panjang dan menggelengkan
kepalanya.
“Murid-murid Kai-pang tidak ada yang dapat diandalkan kepandaiannya.
Tingkat mereka masih terlalu jauh untuk dapat melawan Hek Pek Mo-ko. Aku
memang mempunyai beberapa orang Sute (Adik Seperguruan) yang agaknya
memiliki tingkat yang sudah boleh diandalkan, namun pada waktu ini mereka
semua tidak berada di sini. Mereka bertugas memimpin cabang-cabang Angtung
Kai-pang di kota-kota besar. Akan tetapi, aku sendiri tidak gentar
melawan Hek Pek Mo-ko yang telah menghina dan menantang.”
Kembali Li Hong berkata, “Jangan khawatir, Pangcu. Aku besok lusa akan
menemanimu, kita berdua akan menghadapi mereka”
Ketua itu menggelengkan kepalanya perlahan.
“Tidak mungkin, Nona Tan. Nama dan kehormatan Ang-tung Kai-pang
akan tercemar kalau aku minta bantuan orang luar bukan anggauta kami
untuk menghadapi tantangan Hek Pek Mo-ko.”
“Akan tetapi siapa yang akan tahu bahwa aku bukan anggauta Ang-tung
Kai-pang, Pangcu?” bantah Li Hong.
“Kulihat di sini juga terdapat banyak wanita.”
“Memang benar di sini terdapat banyak keluarga para anggauta dan
diantara mereka terdapat pula gadis-gadis muda, akan tetapi ilmu silat
mereka rata-rata lemah, dan kalau engkau yang maju menemani aku
menghadapi Hek Pek Mo-ko, ada dua hal yang menjadi pantangan bagi kami.
Pertama, berarti kami bohong mengakuimu sebagai murid, dan kedua, murid
kami bersenjatakan tongkat merah, bukan pedang. Terima kasih atas maksud
baikmu hendak membantu, Nona Tan, akan tetapi mengingat akan pantangan
kami berbohong, terpaksa kami tidak dapat menerima bantuanmu itu.”
Sekali ini Li Hong tidak dapat membantah biarpun ia merasa kecewa dan
penasaran sekali. Ceng Ceng juga tidak melihat adanya kemungkinan untuk
membantu ketua yang kini terancam bahaya itu. Ia tahu bahwa biarpun Angtung
Kai-pang merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi
ketuanya merupakan seorang gagah yang pantang melanggar aturan mereka
sendiri.
“Pangcu,” tiba-tiba terdengar suara Yauw Tek memecahkan kesunyian
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
setelah ketua itu bicara.
“Menurut ucapan Pangcu kepada Hong-moi tadi, berarti bahwa yang
dapat membantu Pangcu menghadapi musuh yang menantang hanyalah
orang yang menjadi anggauta perkumpulan Ang-tung Kai-pang dan juga yang
menggunakan tongkat merah sebagai senjata?”
Ketua itu mengangguk-angguk, “Demikianlah keadaannya, Yauw-sicu.
Aku tentu tidak bisa mempertaruhkan nama dan kehormatan perkumpulan
kami hanya untuk mencari kemenangan pribadi. Seperti kukatakan tadi, kalau
ada seorang saja suteku di sini, kami berdua pasti akan mampu menandingi
Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi para suteku berada di tempat-tempat yang cukup
jauh dan untuk memanggil mereka membutuhkan waktu sedikitnya
seminggu. Padahal tantangan pi-bu itu harus disambut besok lusa.”
“Pangcu, biarlah aku Pangcu terima sebagai murid sehingga dengan
sendirinya aku menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang. Aku akan menemani
Pangcu menghadapi Hek Pek Mo-ko dan menggunakan sebatang tongkat
merah sebagai senjata. Dengan demikian, Pangcu tidak akan kehilangan
muka dan nama Ang-tung Kai-pang tidak akan tercemar.”
Ketua itu termenung, menghela napas dan menggelengkan kepalanya
perlahan-lahan.
“Agaknya usulmu itu sukar dilaksanakan, Sicu.”
“Hei, Pangcu” teriak Li Hong.
“Yauw-twako memberi jalan yang baik dan engkau masih saja berkeras
menolak Sebetulnya, apa sih maumu menolak semua bantuan yang kami
tawarkan? Sekarang begini saja, Yauw-twako dan Enci Ceng, kita tidak perlu
membantu Ang-tung Kai Pangcu. Kita bertiga langsung datang ke tempat Hek
Pek Mo-ko dan membasmi mereka sehingga mereka tidak dapat menantang
Ang-tung Kai-pang lagi”
“Aih, Hong-moi, mengapa engkau menjadi tidak sabaran seperti itu?”
Ceng Ceng menegur sambil tersenyum.
“Ingat, kedatangan kita ke Thai-san adalah untuk mencari pencuri dan
menemukan kembali harta karun, bukan untuk mencari permusuhan yang
hanya akan menghalangi dan menggagalkan usaha kita.”
Li Hong cemberut. “Habis, Pangcu ini bisanya hanya menolak saja, bikin
hatiku menjadi gemas”
“Pangcu, harap jelaskan, mengapa usulku tadi sukar dilaksanakan?” tanya
Yauw Tek.
“Begini, Sicu. Pertama, untuk menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang,
engkau harus memakai pakaian tambal-tambalan, ciri khas pakaian pengemis
anggauta Ang-tung Kai-pang adapun yang kedua, sebagai anggauta Angtung
Kai-pang, engkau harus menggunakan sebatang tongkat merah untuk
melawan musuh. Bagaimana mungkin kedua syarat itu dapat terpenuhi?”
Setelah berpikir sejenak Yauw Tek menjawab.
“Pangcu, aku pernah mempelajari ilmu silat menggunakan delapanbelas
macam senjata termasuk senjata tongkat sehingga untuk menggunakan
senjata itu bukan masalah bagiku. Akan tetapi untuk terus mengenakan
pakaian tambal-tambalan...”
Pemuda itu tidak melanjutkan karena takut menyinggung perasaan Kuitung
Sin-kai. Semua kini terdiam mendengar ucapan ketua itu tadi. Mereka
menjadi bingung karena alasan ketua itu membuat mereka kehabisan akal.
Untuk membiarkan ketua itu seorang diri menghadapi kedua Hek Pek Mo-ko,
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
hati mereka tidak rela. Hal itu akan membahayakan keselamatan ketua itu,
padahal Ang-tung Kai-pang merupakan perkumpulan yang kiranya akan
dapat membantu usaha mereka mendapatkan kembali harta karun.
Perkumpulan ini juga menentang penjajah Mongol dan berjiwa patriot maka
patut dibela.
“Aku ada akal”
Tiba-tiba suara Li Hong mengejutkan semua orang dan mereka
memandang kepada gadis lincah ini.
“Yauw-twako diterima menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang dan
mengenakan pakaian tambal-tambalan untuk melawan Hek Pek Mo-ko.
Setelah pi-bu itu selesai, Yauw-twako boleh menyatakan dengan resmi keluar
dari keanggautaan Ang-tung Kai-pang sehingga tentu saja dia boleh
melepaskan pakaian tambal-tambalan. Nah, bagaimana akalku itu, Pangcu?”
Kui-tung Sin-kai mengangguk-angguk, namun alisnya masih berkerut.
“Bagus sekali akal itu dan memang akal itu telah menyelesaikan masalah
pakaian pengemis. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu tongkat Yauw-sicu?
Harap diketahui bahwa Hek Pek Mo-ko itu kabarnya lihai bukan main. Senjata
mereka, baik golok Hek Mo-ko maupun pedang Pek Mo-ko, merupakan
senjata-senjata pusaka ampuh. Aku sungguh akan merasa berdosa sekali
kalau sampai Yauw-sicu cedera atau tewas dalam membantu aku
menghadapi mereka.”
“Pangcu meragukan kemampuanku, hal itu memang wajar saja. Akan
tetapi, masih ada kesempatan bagi Pangcu untuk memberi petunjuk
kepadaku dalam ilmu tongkat,” kata Yauw Tek.
“Tepat sekali,” kata Ceng Ceng.
“Sebaiknya sekarang juga Pangcu menguji ilmu silat tongkat Yauw-twako,
kalau ada kekurangannya, Pangcu dapat memberi petunjuk.”
Ketua itu mengangguk-angguk dan tampak gembira. Dia lalu mengajak
tiga orang muda itu memasuki lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang luas.
Dia mengambil dua batang tongkat merah dan menyerahkan sebatang
kepada Yauw Tek. Mereka berdiri saling berhadapan di tengah ruangan itu.
Ceng Ceng dan Li Hong menonton dan duduk di bangku dekat dinding.
“Yauw-sicu, perlihatkan ilmu tongkatmu kepadaku”
“Silakan, Pangcu” kata Yauw Tek sambil melintangkan tongkatnya depan
dada.
“Sambut seranganku, Sicu”
Ketua itu mulai menyerang dan dia menyerang dengan sungguh-sungguh
sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya. Dia benar-benar ingin
menguji ilmu tongkat pemuda itu agar yakin sampai dimana tingkat
kepandaian pemuda itu. Kalau sekiranya ilmu tongkat dari Yauw Tek tidak
berapa tinggi tingkatnya, lebih baik dia menolak bantuannya. Dia tidak ingin
pemuda itu celaka karena membantunya.
“Syuuttt….. trak-trak-trak-trak-trak”
Lima kali tongkat di tangan Kui-tung Sin-kai menyerang dengan pukulan
dan tusukan dahsyat sekali, akan tetapi kelima serangan itu selalu dapat
ditangkis dengan baik oleh Yauw Tek. Bahkan ketua itu merasa betapa kedua
tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat Dia terkejut bukan main
akan tetapi masih belum yakin dan melanjutkan serangannya dengan jurusjurus
pilihan yang dahsyat sekali.
Akan tetapi, bukan saja semua serangannya dapat dihindarkan Yauw Tek
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
dengan tangkisan kuat atau elakan yang cepat, bahkan kini pemuda itu mulai
membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah hebatnya. Gerakan
pemuda itu amat ringannya, juga mengandung tenaga sin-kang yang
membuat tangan ketua itu tergetar berulang kali. Hati Kui-tung Sin-kai
menjadi gembira sekali dan dia juga mengeluarkan seluruh jurus
simpanannya. Namun selalu Yauw Tek mampu mengimbanginya.
Sudah hampir seratus jurus lewat dan keduanya masih terus bertanding
dengan serunya. Kini, ketua itu mulai berkeringat, sedangkan Yauw Tek
masih biasa saja dan jelaslah bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ketua itu
akan kalah dan kehabisan tenaga dan napas Dia maklum akan hal ini dan
merasa sudah puas menguji ilmu tongkat Yauw Tek.
“Cukup, Sicu” katanya sambil terhuyung ke belakang ketika kedua
tongkat itu bertemu kuat sekali.
Yauw Tek menghentikan gerakannya dan dengan tongkat tersembunyi di
belakang lengan kanannya, dia memandang ketua itu dengan senyum dan
tampak masih segar.
“Bagaimana, Pangcu? Apakah aku memenuhi syarat?”
Kui-tung Sin-kai terengah-engah, wajahnya berseri dan dia merangkap
kedua tangan depan dada.
“Ah, maafkan keraguanku tadi, Sicu. Aku sungguh seperti Si Buta tak
melihat tingginya langit Kalau engkau mau membantuku dengan ilmu
tongkatmu tadi, hatiku menjadi tenang karena harus kuakui bahwa ilmu
tongkatmu membuat ilmuku tidak ada artinya sama sekali”
“Ah, Pangcu terlalu memuji,” kata Yauw Tek dan tiba-tiba dia
melontarkan tongkat merah itu ke atas.
Kui-tung Sin-kai, Ceng Ceng dan Li Hong memandang dengan heran, akan
tetapi segera mata mereka terbelalak ketika melihat betapa tongkat merah itu
kini berputar lalu melayang di udara seperti hidup dan meluncur ke arah rak
senjata, kemudian dengan tepat memasuki lubang rak senjata sehingga
tongkat itu kembali ke tempatnya semula.
Kalau hanya melempar biasa saja agar tongkat itu masuk kembali ke
lubang masih terbilang wajar. Akan tetapi apa yang diperlihatkan pemuda itu
sungguh luar biasa. Tongkat itu tadi berputar-putar di udara lalu melayang
seolah mencari sasarannya. Dua orang gadis yang baru sekarang
menyaksikan kehebatan ilmu tongkat Yauw Tek ketika melawan ketua tadi,
kini menjadi bengong dan kagum bukan main kepada sahabat baru mereka
yang memang sudah mengagumkan hati dengan sikapnya yang sopan dan
lembut.
“Wah, Yauw-twako. Ilmu aneh apakah yang kau perlihatkan dengan
tongkatmu tadi? Tongkatmu seperti hidup dan dapat bergerak sendiri.”
Seru Li Hong sambil melompat bangkit berdiri. Yauw Tek tersenyum.
“Ah, sama sekali tidak aneh. Itu adalah semacam Hoat-lek (llmu Sihir)
yang pernah kupelajari dari para pendera Lhama di Tibet,” katanya
sederhana.
“Akan tetapi... bagaimana benda mati dapat bergerak seperti hidup?”
“Benda itu digerakkan oleh kekuatan gelombang pikiran.”
“Apa dapat dikendalikan untuk menyerang musuh, Sicu?”
“Tentu saja dapat, Pangcu.”
“Aduh, hebat sekali. Aku ingin mempelajari ilmu itu, Engkau ajari aku,
ya?” kata Li Hong yang merasa kagum bukan main kepada pemuda yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
selain tampan, lembut dan sopan, ternyata juga berkepandaian tinggi.
Diam-diam ia teringat kepada kakak misannya, Pouw Cun Giok yang
pernah dicintanya sebelum ia tahu bahwa pemuda itu kakak misannya. Dan ia
membandingkan keduanya. Agaknya Yauw Tek ini tidak kalah hebat, baik
ketampanannya, sikapnya maupun kepandaiannya. Dan Li Hong kini benarbenar
telah jatuh cinta kepada pemuda yang dikaguminya itu
“Hong-moi, mempelajari ilmu yang tinggi bukan semudah membalikkan
telapak tangan,” kata Ceng Ceng.
“Membutuhkan bakat, waktu, dan ketekunan. Yauw-twako mana bisa
menggunakan banyak waktu untuk mengajarkan Hoat-lek kepadamu?”
Yauw Tek tersenyum.
“Benar seperti yang dikatakan Ceng-moi tadi, Hong-moi. Mempelajari itu
membutuhkan waktu bertahun-tahun, dan bertingkat. Pertama harus mampu
menguasai diri sendiri, lalu menguasai orang lain, kemudian menguasai
semua mahluk, baru dapat menguasai benda mati.”
Kui-tung Sin-kai dengan gembira lalu menyuruh anak buahnya
menyiapkan dua buah kamar untuk tiga orang tamunya yang kini dia hormati.
Tahulah dia bahwa bukan Yauw Tek saja yang lihai, juga dua orang gadis itu
bukanlah ahli silat sembarangan. Dia juga mengadakan perjamuan untuk
menghormati mereka dan sebelum saat pibu tiba, yaitu besok lusa, tiga orang
tamu itu diberi kebebasan sepenuhnya tinggal di perkampungan Ang-tung
Kai-pang.
Malam itu bulan bersinar terang, hampir bundar sempurna. Langit cerah
jernih tanpa ada awan menghalang sehingga permukaan Bukit Cemara itu
tampak gemilang bermandikan cahaya bulan yang lembut. Udara sejuk
dengan hembusan angin semilir lembut. Sejak bulan muncul tadi, anak-anak
diperkampungan Ang-tung Kai-pang bermain-main di luar rumah, bernyanyinyanyi
dan menari dengan gembira. Seluruh keluarga para anggauta Angtung
Kai-pang bergembira bukan hanya karena malam itu cerah dan indah,
akan tetapi juga mereka merasa gembira dan lega karena ketua mereka kini
dibantu oleh tiga orang pendekar muda yang lihai sehingga tidak perlu
khawatir dengan tantangan pi-bu dari Hek Pek Mo-ko.
Setelah malam agak larut, anak-anak disuruh masuk rumah oleh orang tua
mereka. Di dalam taman bunga di belakang gedung rumah induk tempat
tinggal ketua Ang-tung Kai-pang, tampak Ceng Ceng duduk seorang diri.
Taman itu indah sekali menerima sinar bulan, ditambah udara yang segar dan
penuh keharuman bunga, membuat Ceng Ceng seperti dalam keadaan
samadhi atau melamun. Ketika kenangan muncul dalam hatinya, teringat
akan keadaan dirinya yang telah kehilangan orang tua, kehilangan guru,
hidup sebatang kara dan kini bahkan pesan ayahnya tak dapat ia laksanakan
dengan baik, perasaan sedih menyelimuti hatinya.
Kemudian muncul bayangan Pouw Cun Giok, pemuda yang dicintanya
dan yang mencintanya. Pemuda itu ternyata telah bertunangan dengan gadis
lain. Ini berarti ia telah kehilangan segala-galanya, kehilangan orang-orang
yang dicintanya. Hatinya semakin tertekan rasa duka. Akan tetapi
kesadarannya mengingatkan bahwa membiarkan pikirannya sendiri
memperdalam rasa iba diri, hal itu hanya akan melemahkan hatinya dan
dapat berakibat mengganggu kesehatan tubuhnya. Maka, ia menghela napas
panjang berulang kali, mengumpulkan hawa udara segar dan perlahan-lahan
semua kesenduan hatinya dapat dikurangi.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Ceng-moi,” Suara Yauw Tek lembut sekali memanggil di belakangnya.
Ceng Ceng bangkit berdiri dari bangku dan memutar tubuhnya. Mereka
berdiri berhadapan. Ceng Ceng melihat betapa sinar mata pemuda itu tampak
aneh, tidak seperti biasanya. Sepasang mata itu bersinar tajam mencorong
dan bibir itu tersenyum. Wajah Yauw Tek tampak tampan bukan main. Ada
suatu dorongan kuat sekali yang membuat hati Ceng Ceng tertarik dan seolah
terpesona oleh ketampanan wajah pemuda itu. Namun, ia kembali mengambil
napas panjang dan dapat membebaskan diri dari pengaruh daya tarik ini,
walaupun jantungnya masih berdebar aneh. Ia tahu bahwa perasaan tertarik
ini terdorong nafsu berahi yang tidak wajar, maka ia segera melangkah
mundur.
“Ah, kiranya engkau, Yauw-twako,” katanya lembut.
“Silakan duduk, Twako.”
Yeuw Tek tersenyum dan kini pandang matanya biasa lembut lagi, tidak
mencorong mempesonakan seperti tadi.
“Terima kasih, Ceng-moi. Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini dan
maaf kalau aku mengganggu ketenanganmu.”
“Ah, sama sekali tidak, Twako. Aku sedang menikmati malam yang begini
indah. Bulan bersinar terang, udara sejuk menyegarkan dan keharuman bunga
sungguh membuat hati menjadi nyaman,” kata Ceng Ceng bersungguhsungguh
sambil menyedot napas panjang.
Yauw Tek memandang ke sekeliling, lalu menengadah memandang bulan
dan dia pun menyedot udara yang segar itu sehingga dada dan perutnya
penuh hawa segar.
“Benar sekali, Ceng-moi. Malam ini sungguh teramat indah.
Sesungguhnyalah kalau aku mengatakan bahwa selama hidupku yang
duapuluh dua tahun ini, baru saat ini aku menyaksikan saat yang begini indah
dan membahagiakan hatiku. Ceng-moi dapatkah engkau menerangkan
kepadaku mengapa aku saat ini memiliki perasaan yang begini berbahagia
dan segala sesuatu tampak indah sekali?”
“Twako, sesungguhnyalah kebahagiaan tidak pernah meninggalkan kita.
Kalau kita dapat menerima segala sesuatu seperti apa adanya tanpa menolak
tanpa mengharapkan, maka bahagia juga akan selalu ada bersama dengan
kita. Hanya kalau nafsu perasaan menguasai hati akal pikiran, maka segala
sesuatu tidak akan terasa bahagia lagi, karena muncul segala macam
keinginan akan kesenangan yang tak kunjung habis ingin kita raih. Yauwtwako,
engkau berbahagia saat ini karena engkau menikmati apa adanya dan
tidak menginginkan apa pun yang tidak ada padamu. Bukankah demikian,
Yauw-twako?”
Yauw Tek mengangguk-angguk dan memandang kagum.
“Pendapatmu itu memang benar sekali, Ceng-moi. Sungguh aku merasa
heran dan kagum bagaimana seorang gadis muda seperti engkau ini memiliki
pendapat tentang kebahagiaan yang sama dengan pendapat para pendeta
Lhama di Tibet dan pendapat para pertapa di Himalaya. Akan tetapi
kebahagiaan dan keindahan yang kurasakan saat ini bukan hanya disebabkan
oleh penerimaan keadaan tanpa diganggu hati akal pikiran, Ceng-moi. Aku
yakin betul bahwa kebahagiaan ini muncul dalam hatiku hanya oleh adanya
suatu sebab.”
“Eh? Apakah yang menjadi sebabnya, Twako?” Ceng Ceng mengangkat
muka menatap wajah pemuda itu.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Yauw Tek juga sedang menatapnya dan dua pasang mata bertemu dan
bertaut. Kembali Ceng Ceng merasa getaran yang amat kuat menyentuh
perasaannya dan jantungnya berdebar.
“Yang menyebabkan semua keindahan dan kebahagiaan ini adalah
engkau, Ceng-moi, dirimu...”
Kedua tangan Yauw Tek menyentuh kedua pundak gadis itu dan dia
hendak menarik dan mendekapnya. Akan tetapi, sentuhan tangan itu bahkan
seolah menyentak, membuat gadis itu terkejut dan lenyaplah getaran aneh
yang amat menarik hatinya tadi. Dengan lembut namun cepat dan kuat, ia
membebaskan kedua pundak dari pegangan tangan pemuda itu dan cepat
melangkah ke belakang.
“Tidak, Twako. Jangan sentuh aku. Sayang kalau seorang pemuda seperti
Twako terseret oleh gelombang nafsu”
Setelah berkata demikian, Ceng Ceng membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi meninggalkan taman menuju rumah induk dimana ia
bermalam.
Yauw Tek masih berdiri dan pemuda itu menundukkan kepalanya, tak
bergerak seperti sebuah patung. Agaknya sikap Ceng Ceng tadi membuat dia
terkejut, heran, dan kecewa. Tak disangkanya sama sekali gadis itu akan
menolak pendekatannya. Padahal setiap harinya, sikap Ceng Ceng demikian
ramah dan akrab. Sejak pertemuan pertama dia memang sudah kagum sekali
kepada Ceng Ceng.
Tiba-tiba terdengar gerakan kaki orang di belakangnya. Yauw Tek
menyadari keadaannya dan bersikap biasa kembali.
“Yauw-twako...”
Yauw Tek cepat membalikkan badannya dan Li Hong sudah berdiri di
depannya. Sepasang mata gadis itu bersinar dan alisnya yang hitam
melengkung itu berkerut.
“Eh, engkau, Hong-moi? Engkau juga tertarik oleh malam yang indah ini?
Duduklah, Hong-moi,” kata Yauw Tek dengan sikap ramah dan lembut seperti
biasanya.
Akan tetapi gadis itu tidak duduk dan matanya menatap wajah Yauw Tek
dengan penuh selidik.
“Twako, apa yang terjadi antara engkau dan Enci Ceng tadi?”
Ditanya dengan nada marah itu, Yauw Tek tersenyum lebar.
“Aih, Hong-moi apa maksudmu dengan pertanyaan ini?”
“Tidak perlu menyangkal, Twako. Ketika aku memasuki taman ini tadi,
aku melihat Enci Ceng berada di sini denganmu, lalu ia pergi. Apa yang kalian
lakukan, berduaan di sini?”
“Hong-moi, mengapa engkau bersikap seperti ini dan seperti menyangka
yang bukan-bukan? Kami hanya bicara biasa, tidak terjadi sesuatu yang tidak
semestinya. Akan tetapi, kalau engkau masih penasaran, engkau tanyalah
saja kepada Ceng-moi sendiri. Mengapa engkau tampak seperti orang marah,
Hong-moi?” kata Yauw Tek yang sudah tahu akan watak Ceng Ceng sehingga
dia yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak akan bicara tentang peristiwa
dengannya tadi.
“Betulkah tidak terjadi sesuatu antara kalian, Twako? Aku hanya
khawatir. Aku harap engkau tidak mengganggu Enci Ceng. Ketahuilah bahwa
selain ia Enciku yang tersayang, juga Enci Ceng telah mencinta seorang
pemuda lain, yaitu Kakak Misanku sendiri”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Yauw Tek mengembangkan kedua lengannya dan tertawa.
“Ha-ha, engkau ini lucu dan aneh. Hong-moi. Aku tidak berbuat apa-apa
terhadap Ceng-moi dan syukurlah kalau ia sudah memiliki pilihan hati. Aku
memang sayang ia sebagai seorang sahabat, Hong-moi, lain tidak”
“Dan engkau tidak sayang padaku?” Li Hong bertanya penuh iri.
“Sayang padamu? Aih, Hong-moi, apakah selama ini engkau belum
merasakan atau menyadari betapa besar rasa sayangku kepadamu?”
Yauw Tek memandang wajah Li Hong dengan tajam dan mesra. Memang
sejak pertemuan pertama dengan dua orang gadis itu, hati Yauw Tek sudah
terpikat oleh keduanya. Baik Ceng Ceng maupun Li Hong amat cantik jelita
dan mempesonakan hatinya, keduanya memiliki daya tarik yang luar biasa
dan amat kuat walaupun sifat mereka itu berbeda seperti bumi dan langit.
Ceng Ceng bagaikan air telaga yang tenang dan dalam sehingga berdekatan
dengan Ceng Ceng membuat dia merasa tenteram, aman, dan damai yang
menyejukkan hati. Sebaliknya, Li Hong bagaikan air samudera yang
menggelora sehingga dekat dengan gadis itu membuat dia bersemangat dan
gembira
“Sayangmu padaku juga sebesar sayangmu kepada Enci Ceng?” tanya Li
Hong, kini kemarahannya tadi sirna dan ia merasa senang sekali mendengar
pernyataan Yauw Tek tadi. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa terhadap
Yauw Tek timbul perasaan seperti yang ia rasakan dahulu terhadap Pouw
Cun Giok. Ia jatuh cinta kepada Yauw Tek.
“Sama besarnya tapi tak sama, Hong-moi. Kalau aku sayang Ceng-moi dan
ingin ia menjadi sahabatku yang terbaik, aku menyayangmu dan ingin agar
engkau menjadi...”
Yauw Tek tidak melanjutkan ucapannya. Tentu saja Li Hong semakin
penasaran dan tertarik. Saking tegang hatinya, ia memegang tangan Yauw
Tek, mengguncang-guncang tangan itu dan mendesak.
“Menjadi apa, Twako? Hayo katakan, engkau ingin aku menjadi apa?”
“Menjadi... menjadi... teman hidupku selamanya...”
“Ahh...”
Li Hong menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Rasanya lemas seluruh
sendi tulangnya. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya agak gemetar.
Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa senang bahagia, ada terharu,
ada pula perasaan lain yang ia tidak mengerti benar. Ia hanya menundukkan
mukanya karena baru pertama kali ini ia menerima pengakuan cinta seorang
pemuda yang memang telah menjatuhkan hatinya.
Dengan hati-hati Yauw Tek duduk pula di atas bangku, namun tidak
terlalu dekat dengan Li Hong, melainkan di ujung bangku.
“Maafkan aku, Hong-moi. Maafkan kalau ucapanku tadi menyinggung
hatimu. Ah, aku terlalu lancang dan kurang ajar. Bagaimana mungkin seorang
pemuda sebatang kara dan miskin seperti aku ini berani mencinta seorang
gadis puteri majikan Pulau Ular seperti dirimu? Maafkan aku, atau kalau
engkau tersinggung dan marah, pukullah aku, aku tidak akan melawan, Hongmoi...”
Suara pemuda itu bernada penuh sesal dan sedih. Mendengar ucapan
yang bernada sedih dari Yauw Tek, Li Hong mengangkat muka memandang.
Dua pasang sinar mata bertemu, bertaut, dan jantung Hong tergetar hebat.
Sinar mata pemuda itu demikian penuh kasih sayang, seolah membelai-belai
hatinya.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Yauw-twako, mengapa engkau berkata begitu? Tidak ada perlu
dimaafkan, dan jangan engkau terlalu merendahkan diri. Aku hargai
pernyataan hatimu tadi, bahkan aku merasa berbahagia sekali, Twako, aku
senang sekali...”
Yauw Tek menjulurkan kedua tangannya dan memegang kedua tangan Li
Hong. Seolah ada getaran keluar dari duapuluh buah jari tangan itu dan terasa
oleh keduanya. Jari-jari tangan yang hanya saling pegang itu seolah saling
cengkeram dengan penuh kemesraan.
“Aduh, terima kasih, Hong-moi Aku menjadi orang yang paling
berbahagia di dunia ini. Katakanlah, Hong-moi, engkau menerima cintaku dan
engkau juga mencintaku?”
Li Hong menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
“Aku... aku terima cintamu, Twako, dan tentang perasaan hatiku...
entahlah, saat ini belum dapat aku memastikan. Akan tetapi aku bahagia, aku
senang...” Mereka saling pandang dan bibir mereka merekah dalam senyum.
Yauw Tek tidak berani mendesak. Juga dia menahan diri membatasi
tindakannya yang mungkin akan membuat gadis yang lincah ini marah.
Kedua tangan mereka masih saling berpegangan dan ketika dengan lembut
Yauw Tek menarik, Li Hong tidak menentang dan di lain saat gadis itu telah
menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek, membiarkan pemuda itu
merangkul dan memeluknya. Mereka berdiam diri namun keduanya seolah
tenggelam dalam kemesraan. Hanya jantung mereka yang berdetak keras
seolah hati mereka yang bicara.
“Twako, dapatkah aku percaya kata-katamu, bahwa engkau sungguh
mencintaiku dan tidak akan membagi cinta dengan wanita lain?”
“Aku bersumpah demi Langit dan Bumi, disaksikan Bulan yang bersinar
terang itu, Hong-moi, bahwa aku sungguh mencintaimu dan tidak akan
membagi cintaku dengan wanita lain.”
Yauw Tek memperkuat rangkulannya dan Li Hong menghela napas
panjang.
“Aku bahagia sekali, Twako...”
“Engkau juga mencintaiku, bukan?”
“Belum saatnya aku mengatakan itu, tunggulah, Twako, sampai aku dapat
mengambil keputusan.”
Li Hong lalu melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu.
“Mari kita kembali ke rumah induk, Twako, tidak baik kalau dilihat orang
kita berdua berada di sini malam-malam begini.”
“Engkau benar sekali, Hong-moi. Memang dapat menimbulkan dugaan
yang bukan-bukan. Marilah kita kembali ke sana,” kata Yauw Tek dan mereka
bergandeng tangan meninggalkan taman menuju ke rumah Ketua Kai-pang.
Li Hong semakin girang dan bangga. Pemuda yang mencintanya itu
benar-benar seorang pemuda yang sopan dan menghormatinya. Belum
pernah ia dicinta dan diperlakukan laki-laki seperti yang dilakukan Yauw Tek.
Ia sudah hampir yakin bahwa ia jatuh cinta kepada pemuda itu, hanya tinggal
menanti waktu dan kesempatan saja untuk menyatakan perasaan hatinya
secara terbuka.
Baru sekali ini Li Hong merasa betapa indahnya suasana. Bahkan awan
putih yang mulai menutupi bulan pun tidak mengurangi keindahan itu.
Bayang-bayang pohon pun tampak indah serasi, menyenangkan dan hatinya
penuh oleh rasa bahagia.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Keindahan bukan terletak pada bendanya, juga bukan pada alat pancaindera,
melainkan dalam hati. Kalau batin sudah ditumpulkan oleh bermacam
gangguan dan nafsu, maka dia tidak akan mampu merasakan keindahan.
Wajah Li Hong masih berbinar-binar ketika ia memasuki kamar tidurnya.
Ceng Ceng yang duduk di atas bangku dalam kamar mereka itu, dan sedang
membaca kitab seperti yang biasa ia lakukan sewaktu menganggur,
mengangkat muka memandang dan ia melihat keceriaan wajah adik
angkatnya.
“Adik Hong, kulihat wajahmu berseri-seri, matamu bersinar dan mulutmu
tersenyum manis sekali. Agaknya engkau berbahagia benar, Adikku”
“Benar, enci Ceng, hatiku sedang merasa bahagia. Terlalu bahagia
sehingga jantung ini berdebar seperti hendak memecahkan dada”
“Aih, apa yang terjadi, Adikku? Aku ikut girang mendengar engkau
bahagia, akan tetapi juga ingin tahu sekali. Engkau datang dari manakah dan
mengapa kembali ke kamar begini cerah dan gembira?”
“Aku tadi berjalan-jalan di dalam taman, Enci Ceng. Wah, indah sekali
taman bunga di sini, apalagi bulan bersinar terang. Aku sungguh berbahagia
sekali”
“Hemm, Hong-moi, pasti terjadi sesuatu denganmu. Masa kalau hanya
berjalan-jalan di taman saja membuat engkau demikian bahagia? Apakah
yang terjadi denganmu?”
Li Hong tersenyum dan mengerling tajam.
“Ah, tidak terjadi apa-apa, Enci. Aku tadi bertemu Yauw-twako dan kami
berbincang-bincang...”
“Hemm, apa saja yang kalian perbincangkan sehingga membuat engkau
demikian gembira dan bahagia, Adikku?”
“Bermacam-macamlah. Eh, Enci Ceng, ketika aku memasuki taman tadi,
aku melihat engkau meninggalkan Yauw-twako di taman. Kalian bercakapcakap
di dalam taman, bukan? Apa saja yang kalian bicarakan?”
Melihat betapa Li Hong memandang kepadanya dengan sinar mata tajam
penuh selidik, Ceng Ceng tersenyum tenang.
“Mengapa engkau bertanya demikian, Adikku? Memang aku bertemu
dengan Yauw-twako di sana, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar dan
kami bercakap-cakap biasa saja.”
Li Hong menyadari bahwa pertanyaannya memang agak berlebihan,
sehingga terdengar seperti orang menaruh curiga. Maka cepat ia merangkul
kakak angkatnya itu.
“Ah, aku tidak bermaksud apa-apa, Enci. Maafkan aku... Eh, Enci Ceng
yang baik, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta itu?”
“Ih, anak nakal. Mengapa engkau tanyakan hal itu? Bagaimana aku dapat
menjawabnya?”
“Ah, Enci Ceng, aku bertanya kepadamu karena engkau pernah
merasakannya. Bukankah engkau dan kakakku Pouw Cun Giok saling
mencinta? Nah, yang kutanyakan, bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu?”
Ceng Ceng menghela napas panjang.
“Adikku, kuharap engkau jangan menyinggung tentang Giok-ko. Engkau
akan dapat merasakan sendiri kalau jatuh cinta. Akan tetapi, sebagai
kakakmu, aku peringatkan engkau, Adikku. Berhati-hatilah, jangan terlalu
mudah jatuh cinta karena kalau engkau hanya terdorong gairah kemudian
salah pilih, jatuh cinta itu mendatangkan duka. Hong-moi, melihat sikap dan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
mendengar kata-katamu, timbul dugaan di hatiku bahwa tentu ada apa-apa
antara engkau dan Yauw-twako. Benarkah?”
“Enci Ceng sayang, aku percaya sepenuhnya kepadamu, maka aku mau
bicara terus terang. Memang telah terjadi sesuatu yang teramat penting. Enci
Ceng, dia... Yauw-twako... dia mengatakan bahwa dia... dia mencintaiku”
Sepasang pipi yang berkulit halus putih itu kemerahan, matanya bersinar
dan mulutnya tersenyum malu-malu, tampak cantik sekali.
Ceng Ceng tersenyum walaupun hatinya merasa tidak nyaman
mendengar pengakuan adik angkatnya itu. Baru saja Yauw Tek mencoba
untuk merayunya dan di lain saat pemuda itu kini menyatakan cinta kepada Li
Hong. Biarpun sikap pemuda itu baik, sopan, ramah, juga gagah perkasa,
akan tetapi mengapa dia seolah mengobral cinta?
“Adikku, lalu bagaimana tanggapanmu? Apakah engkau juga
mencintanya?”
“Dia juga menanyakan hal itu, Enci. Akan tetapi aku masih ragu, aku
memang amat suka dan kagum kepada Yauw-twako, akan tetapi... aku tidak
yakin betul bagaimanakah rasanya kalau jatuh cinta. Maka tadi kutanyakan
kepadamu.”
Ceng Ceng merangkul Li Hong.
“Li Hong, Adikku, tidak ada salahnya bagi setiap orang untuk jatuh cinta.
Bahkan hidup tanpa adanya cinta akan hampa. Sungguh merupakan
kebahagiaan besar bagi seorang gadis apabila ada seorang pemuda yang
mencintanya, yang benar-benar mencintanya dengan tulus, bukan sekedar
cinta terdorong nafsu gairah berahi, dan pemuda itu juga ia cinta. Akan
tetapi, setiap orang gadis haruslah berhati-hati untuk jatuh cinta, harus
waspada agar tidak sampai hanyut oleh cinta palsu, karena hal itu akhirnya
akan menyakitkan sekali. Wanitalah yang paling menderita kalau sampai
pasangan yang tadinya saling mencinta itu akhirnya gagal dan berpisah,
bahkan saling membenci.”
“Mengapa wanita yang paling menderita, Enci?”
“Memang, pria dan wanita itu sama saja, akan tetapi sudah menjadi
kenyataan sejak sejarah berkembang bahwa dalam masalah hubungan antara
pria dan wanita, si wanitalah yang berada di pihak lemah. Kalau sebuah
perkawinan sampai gagal dan terjadi perceraian, si wanita akan dikecam dan
dipandang kurang baik di mata masyarakat, sebutan janda merupakan
sebutan yang diucapkan dengan nada mencibir dan dengan prasangka buruk,
sedangkan si pria tidak terpengaruh nama atau kehormatannya. Tidak ada
yang mencibir kalau seorang duda menikah lagi, akan tetapi kalau seorang
janda yang menikah lagi, banyak orang, terutama kaum wanita, akan mencibir
dan mengejek.”
“Wah, ini tidak adil. Harus diberantas”
Li Hong seperti terbakar, penasaran dan marah.
“Kalau ada laki-laki yang palsu cintanya dan menyia-nyiakan wanita yang
tadinya saling mencinta dengannya, akan kupecahkan kepalanya”
“Husshh, Hong-moi. Tahanlah kemarahanmu. Kalau sampai terlaksana
kehendakmu itu, kukira dunia ini akan kehilangan prianya lebih dari setengah
jumlahnya”
Ucapan Ceng Ceng ini mengandung kebenaran karena pada jaman itu,
derajat kaum wanita di Cina memang amat rendah. Pada masa itu wanita
mudah dikawini dan mudah pula diceraikan, bahkan dihargai seolah barang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
yang indah dan berharga. Akan tetapi karena cinta kaum prianya pada masa
itu seperti yang dikenal umum adalah cinta berahi, maka para pria itu mudah
bosan terhadap wanita yang tadinya dicintanya dan yang dulu
diperebutkannya dengan taruhan nyawa
“Aih, Enci Ceng, pendapatmu tentang pria tadi amat menakutkan hatiku.
Apakah Yauw-twako termasuk pria seperti itu, yang tidak menghargai
wanita, yang palsu cintanya dan mudah bosan sehingga mudah menyianyiakan
pasangannya? Rasanya aku tidak percaya, Enci”
“Aku pun mengharap dengan sangat agar Yauw-twako bukan termasuk
laki-laki yang palsu cintanya. Apalagi kalau dia menjadi laki-laki pilihan
hatimu, laki-laki yang engkau cinta. Kalau sampai dia kelak menyianyiakanmu
dan ternyata cintanya palsu, aku sendiri yang akan menghajarnya,
Hong-moi. Akan tetapi kuharap sebelum terlanjur, engkau sebaiknya berhatihati
dan setelah yakin bahwa cintanya murni dan tulus, baru engkau dapat
menerima cintanya.”
Li Hong mengangguk-angguk.
“Tadi aku pun mengatakan bahwa aku belum dapat mengambil
keputusan apakah aku mencintanya atau tidak, Enci Ceng. Kuharap saja
cintanya murni. Aku tidak ingin kelak menderita sengsara karena cinta,
seperti yang pernah diderita oleh guruku yang kini menjadi ibu tiriku itu
selama belasan tahun.”
“Akan tetapi akhirnya gurumu menemukan kebahagiaan karena
sebetulnya cinta ayah kandungmu terhadapnya adalah murni. Sudahlah,
Hong-moi, tidak baik membicarakan Yauw-twako. Yang penting engkau
berhati-hati dan jangan hanya menuruti keinginan hati, melainkan
pergunakan kewaspadaanmu sehingga engkau tidak akan salah pilih.”
Li Hong mengerutkan alisnya ketika memandang wajah kakak angkatnya.
Ia menemukan kesedihan tertahan yang tersembunyi di balik ucapan encinya
itu.
“Enci Ceng, aku yakin bahwa engkau tidak salah pilih ketika engkau
saling mencinta dengan kakak misanku Pauw Cun Giok. Dia telah
bertunangan karena diikatkan perjodohan itu oleh mendiang gurunya. Kelak,
kalau aku bertemu dengan dia, pasti aku akan menegurnya karena dia telah
membuatmu menderita dan sedih.”
Mendengar ini, Ceng Ceng tersenyum dan awan kesedihan tadi lenyap
dari wajahnya yang jelita dan penuh kelembutan.
“Aih, mengapa engkau menyinggung hal itu, Hong-moi? Aku tidak
menyalahkan siapa-siapa. Selalu ingatlah, Hong-moi bahwa hidup di dunia ini
hanya ada dua hal yang teramat penting dan yang mempengaruhi seluruh
jalan hidupmu. Kedua hal itu adalah menanam dan memetik buahnya. Segala
perbuatan kita, termasuk pemikiran dan pengucapan, merupakan benih yang
kita tanam. Karena benih itu akan menjadi pohon dan berbuah, maka
seyogianya kita menanam benih yang terbaik, berarti kita melakukan
perbuatan yang terbaik. Kemudian segala peristiwa yang menimpa diri kita,
itu bukan lain adalah memetik buah dari benih kita tanam sendiri. Oleh karena
itulah, Hong-moi, semua hal yang menimpa diriku, baik maupun buruk, adalah
hasil petikan buah dari pohon yang kutanam sendiri, entah kapan aku
menanamnya. Maka, aku tidak perlu bersedih, tidak perlu menyalahkan siapasiapa
karena sudah sepantasnyalah kalau aku memetik dan makan buah dari
hasil tanamanku sendiri.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Aduh, Enci Ceng, engkau seorang gadis yang luar biasa dan bijaksana
sekali”
“Tidak, Hong-moi. Aku pun tiada bedanya dengan engkau atau siapapun
juga, lemah dan mudah terpengaruh. Yang penting kita harus selalu waspada
setiap saat, terutama sekali, di samping waspada terhadap segala di luar diri,
harus waspada terhadap diri sendiri. Waspada terhadap apa yang kupikirkan,
apa yang kukatakan, dan apa yang kulakukan. Kewaspadaan yang terus
menerus terhadap diri sendiri ini mendatangkan kebijaksanaan, Adikku,
walaupun tidak mungkin manusia itu sempurna, namun setidaknya akan
selalu ingat untuk menanam benih terbaik melalui pemikiran, ucapan, dan
perbuatan.”
Malam telah larut dan kedua orang gadis itu tidur untuk menjaga
kesehatan dan kesiapan diri karena mereka maklum bahwa mereka masih
menghadapi banyak tantangan dalam usaha mereka mencari harta karun
yang dicuri orang.
Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali mereka telah siap. Pagi itu adalah
saat yang ditentukan oleh tantangan Hek Pek Mo-ko terhadap ketua Ang-tung
Kai-pang. Kui-tung Sin-kai sudah berdiri di halaman depan rumahnya,
dihadap para anggauta Kai-pang yang berjumlah sekitar seratus orang, tidak
termasuk anak bini mereka. Ketua itu mengenakan pakaian tambal-tambalan
baru, memegang tongkat merahnya dan tampak gagah berwibawa. Di
sebelahnya berdiri Yauw Tek, juga mengenakan pakaian tambal-tambalan
dan memegang sebatang tongkat merah. Ceng Ceng dan Li Hong yang
berada di dekat merasa lucu melihat Yauw Tek, akan tetapi juga harus
mereka akui bahwa dengan pakaian pengemis itu pun Yauw Tek tampak
tampan dan gagah.
“Para anggauta Kai-pang” seru ketua itu dengan lantang.
“Kami akan turun bukit memenuhi tantangan Hek Pek Mo-ko. Kami hanya
mengajak limapuluh orang anak buah. Yang lain, sisanya harus melakukan
penjagaan di perkampungan kita. Hari ini semua pekerjaan ditunda dan yang
penting adalah menjaga keamanan kampung. Kepada mereka yang mengikuti
kami turun bukit, sekali lagi kuperingatkan. Kalian ikut bukan untuk
bertempur, melainkan hanya untuk menjaga agar kami yang melakukan pi-bu
(adu silat) tidak sampai dikeroyok. Ingat, tanpa adanya perintah dariku,
semua dilarang turun tangan menyerang”
Setelah menyampaikan pesan dan perintahnya, rombongan itu turun
bukit. Kui-tung Sin-kai berjalan di depan, ditemani Yauw Tek, Ceng Ceng, dan
Li Hong. Di belakang mereka berjalan limapuluh orang anak buah yang semua
berpakaian tambal-tambalan dan memegang tongkat merah.
Ketika mereka tiba di tempat dekat hutan dimana kemarin dulu anggauta
Kai-pang berkelahi melawan anak buah Hek Pek Mo-ko, rombongan itu
melihat rombongan lawan sudah berada di situ. Di depan rombongan itu
berdiri dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun yang bukan
lain adalah Hek Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko bermuka hitam arang, pakaiannya juga hitam tubuhnya sedang
dan sikapnya sombong. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya
dan dia berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek. Di sebelah
kirinya berdiri Pek Mo-ko yang lebih muda beberapa tahun. Pek Mo-ko juga
bertubuh sedang, akan tetapi mukanya seputih kapur dan pakaiannya juga
serba putih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya juga
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
sombong seperti kakaknya. Di belakang mereka berdiri dua gerombolan
orang, ada yang berpakaian serba hitam dan ada yang serba putih. Jumlah
mereka sekitar limapuluh orang.
Seperti sudah disepakati sebelumnya, yang maju menghadapi dua orang
majikan Bukit Batu itu adalah Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek yang juga
berpakaian pengemis dan memegang tongkat merah. Kini mereka berdua
berdiri berhadapan dengan, Hek Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko yang berwajah hitam sambil tersenyum mengejek berkata
dengan nada tinggi hati.
“Heh-heh, engkau datang juga memenuhi tantangan kami, Kui-tung Sinkai”
Ketua Ang-tung Kai-pang masih bersikap tenang lalu berkata dengan
lantang penuh wibawa.
“Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, selama ini antara kalian dan kami tidak
pernah terjadi permusuhan apa pun dan tidak saling mencampuri urusan
masing-masing. Akan tetapi mendadak ada anak buah kalian yang menghina
anak buah kami dan memaki kami sebagai pencuri. Apa sebenarnya niat
buruk kalian, karena agaknya kalian mendukung anak buah kalian yang jahat
itu?”
“Heh-heh-heh-heh”
Pek Mo-ko tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Ketua Kai-pang.
“Bukan menuduh sembarangan, karena kami hampir yakin bahwa kalian
yang mencuri harta karun Kerajaan Sung itu”
“Hemm, tuduhan membabi buta. Apa dasar dan alasan maupun buktinya
bahwa kami melakukan pencurian itu?”
“Ha-ha-ha, alasannya sudah jelas Kalian ini hidup sebagai pengemis yang
selalu kekurangan makan, tentu saja haus akan harta benda. Kalau yang
mencuri itu tinggal di Thai-san ini, seperti pengakuan mereka, siapa lagi
pelaku pencurian itu kecuali Ang-tung Kai-pang?” kata Hek Mo-ko.
“Heii…. Babi muka hitam dan anjing muka putih. Aku tahu sekarang,
kalian sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan perhatian,
padahal sebetulnya kalian dua binatang bermulut kotor inilah yang menjadi
pencuri” seru Li Hong.
Tentu saja Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko marah sekali. Belum pernah selama
hidup mereka dimaki dengan kata-kata demikian menghina, apalagi oleh
seorang gadis muda seperti ini
“Perempuan keparat”
Hek Mo-ko mendorongkan tangan kanannya ke arah Li Hong yang
memakinya. Sinar hitam menyambar ke arah Li Hong, akan tetapi dengan
beraninya Li Hong menyambutnya dengan Hek-tok-tong-sim-ciang yang juga
mengeluarkan asap hitam.
“Derrrr...”
Hek Mo-ko terkejut ketika merasa betapa hawa pukulannya membalik,
sungguhpun Li Hong juga merasa betapa kuatnya pukulan manusia muka
hitam itu.
Ketua Kai-pang melangkah maju.
“Hek Pek, jangan menyerang lain orang. Kita selesaikan urusan antara
kita. Kami dari Ang-tung Kai-pang menyambut tantanganmu untuk
mengadakan pi-bu di sini. Dengan cara apa kalian hendak mengadu
kepandaian? Satu lawan satu? Aku yang akan maju. Kalian maju berdua? Aku
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
akan maju bersama saudara mudaku ini. Ataukah kalian mau secara
keroyokan mengerahkan orang-orangmu? Kami juga tidak akan mundur dan
sudah siap”
Hek Mo-ko memandang kepada Yauw Tek penuh perhatian. Dia merasa
heran dan curiga melihat betapa teman Ketua Kai-pang itu seorang pemuda
tampan dan tidak patut mengenakan pakaian pengemis.
“Kui-tung Sin-kai, siapakah pemuda ini? Benarkah dia anggauta Kai-pang?
Orang muda, benarkah engkau anggauta Kai-pang dan siapa namamu?”
“Aku anggauta Kai-pang baru dan namaku Yauw Tek,” kata pemuda itu
singkat.
Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko saling pandang. Kedua orang ini sudah
memperhitungkan dan maklum bahwa kalau mereka bertanding keroyokan,
pihak mereka yang akan menderita rugi. Tadi Hek Mo-ko mengalami sendiri
betapa gadis muda cantik jelita itu mampu menahan pukulan sinar hitamnya.
Padahal dia terkenal dengan pukulan Hek-kong-ciang (Tangan Sinar Hitam)
seperti juga Pek Mo-ko terkenal dengan pukulannya yang ampuh Pek-kongciang
(Tangan Sinar Putih). Nah, di pihak Ang-tung Kai-pang terdapat orangorang
muda yang lihai, semuanya ada tiga orang, berarti di pihak musuh ada
empat orang yang tinggi tingkat kepandaiannya. Sedangkan di pihak mereka
hanya ada mereka berdua. Juga mereka melihat betapa Ang-tung Kai-pang
mengerahkan anggautanya yang jumlahnya sekitar limapuluh orang,
sebanding dengan anak buah mereka sendiri.
Hek Pek Mo-ko, keduanya adalah laki-laki yang mata keranjang. Mereka
masing-masing telah memiliki lima orang isteri, akan tetapi setiap kali melihat
wanita muda yang jelita, mata mereka masih berminyak. Kini, melihat Ceng
Ceng dan Li Hong yang memiliki kecantikan luar biasa, jauh melebihi
kecantikan wanita yang pernah mereka miliki, tentu saja mereka berdua
tertarik sekali. Apalagi melihat seorang di antara dua gadis itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Alangkah senangnya kalau mereka berdua mendapatkan
dua orang gadis jelita dan sakti itu sebagai isteri dan pembantu mereka
“Kui-tung Sin-kai, kami bukan pengecut yang suka mengandalkan
keroyokan. Kami menantangmu untuk bertanding satu lawan satu, atau dua
lawan dua. Kami berdua yang akan maju. Nah, dari pihakmu siapa yang akan
menandingi kami?”
“Aku sendiri dan rekanku Yauw Tek ini yang akan menandingi kalian
berdua,” kata Kui-tung Sin-kai menjawab.
“Heh-heh-heh, bagus sekali”
Pek Mo-ko tertawa dengan sikap memandang rendah.
“Akan tetapi, sebuah pertandingan harus ada taruhannya Kui-tung Sinkai,
apa yang hendak kaupertaruhkan dalam pi-bu (adu silat) ini?”
Ketua Kai-pang itu mengerutkan alisnya dan memandang marah.
“Hek Pek Mo-ko, pihakmu yang pertama menghina kami, kemudian kalian
pula yang menantang pi-bu. Kalau kalian kalah, kalian harus menarik kembali
tuduhan kalian bahwa kami mencuri harta karun dan minta maaf kepada
kami”
“Ha-ha, baik, kami terima taruhanmu itu. Akan tetapi sebaliknya kalau
kalian kalah dan kami yang menang, engkau harus menyerahkan dua orang
nona manis itu kepada kami, untuk kami jadikan isteri kami” kata Pek Mo-ko
sambil memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng dengan mata penuh
gairah.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Li Hong merasa dadanya seperti dibakar dan hendak meledak mendengar
ucapan Pek Mo-ko itu. Tak mungkin ia mendiamkan saja hinaan itu.
“Anjing belang putih busuk”
Li Hong berteriak dan sudah melompat dengan cepat, menyerang Pek Moko
bagaikan seekor singa yang menerkam lawan. Begitu menyerang, ia telah
mempergunakan Hek-tok-tong-sim-ciang yang ampuh. Telapak tangannya
berubah menghitam dan begitu angin pukulannya menyambar, Pek Mo-ko
sudah merasakan sambaran angin pukulan yang dahsyat itu. Dia terkejut dan
cepat dia miringkan tubuh dan menangkis dengan ilmu andalannya, yaitu
Pek-tok-ciang
“Wuuutt... derrr...”
Tubuh Pek Mo-ko terdorong ke belakang dan Li Hong juga merasa betapa
lengannya tergetar. Namun ia tidak gentar dan menyerang terus. Pek Mo-ko
cepat mencabut pedangnya dan balas menyerang
“Anjing, mampuslah”
Li Hong membentak dan tampak sinar hitam menyambar ketika ia
mencabut Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun), lalu pedangnya berkelebat
menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi
mencicit mengerikan
Pek Mo-ko makin terkejut, akan tetapi dia pun bukan seorang lemah,
melainkan seorang ahli pedang yang lihai, maka dia pun melawan matimatian
sehingga terjadilah perkelahian dengan pedang yang amat seru.
Melihat betapa lihainya Li Hong, Hek Mo-ko mengkhawatirkan adiknya.
Mereka berdua memang memiliki keistimewaan, yaitu ketangguhan mereka
menjadi berlipat ganda kalau mereka maju bersama. Mereka telah
membentuk ilmu pedang dan golok yang disatukan saling bantu dalam
penyerangan dan saling melindungi dalam pertahanan. Maka Hek Mo-ko lalu
melompat dan maju mengeroyok Li Hong
“Hemm, kalian berdua manusia curang”
Terdengar seruan lembut dan bayangan putih berkelebat cepat sekali
ketika Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng sudah melompat dan terjun ke arena
pertempuran untuk membantu adik angkatnya yang dikeroyok. Ceng Ceng
yang menggunakan senjata ranting, namun karena gerakannya yang luar
biasa cepat dan ringannya, dan tenaga sin-kang tinggi yang membuat ranting
itu menjadi senjata yang kuat dan berbahaya, maka begitu diterjang oleh
gadis ini, Hek Mo-ko terpaksa melindungi dirinya dari ancaman bayangan
putih yang seolah mengepung dan mengitari dirinya itu
Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek hanya saling pandang dan Yauw Tek
menggerakkan kedua pundaknya tanda bahwa dia tidak berdaya. Memang
tidak mungkin mencegah Li Hong bertindak. Tidak mungkin mencoba untuk
menghentikan Li Hong yang mengamuk itu. Dan Ceng Ceng hanya membantu
Li Hong melihat adiknya dikeroyok. Tentu saja kedua orang gagah ini tidak
mau maju mengeroyok walaupun pi-bu itu kini salah alamat. Yang ditantang
adalah Ketua Kai-pang, akan tetapi kini yang maju adalah dua orang gadis
luar yang sama sekali bukan anggauta Ang-tung Kai-pang.
Akan tetapi melihat Yauw Tek agaknya tidak dapat menghentikan
amukan Li Hong yang kini dibantu Ceng Ceng, Kui-tung Sin-kai juga tidak
berani turun tangan dan terpaksa dia hanya menjadi penonton. Ketua Kaipang
ini pun terkejut dan kagum bukan main. Dia sudah tahu akan kelihaian
Yauw Tek, akan tetapi melihat sepak terjang dua orang gadis cantik itu ketika
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
melawan Hek Pek Mo-ko, dia benar-benar kagum. Sama sekali tidak pernah
diduganya bahwa dua orang gadis itu memiliki ilmu silat yang demikian
hebatnya sehingga mereka bedua mampu menandingi Hek Pek Mo-ko.
Sementara itu, Yauw Tek juga tidak dapat berbuat sesuatu. Dia tidak
berani menghentikan atau mencegah dua orang gadis itu, terutama Li Hong,
untuk berhenti mengamuk. Dan dipikir memang dua orang macam Hek Pek
Mo-ko itu pantas untuk diberi hajaran keras
Anak buah kedua pihak juga tercengang melihat perubahan keadaan ini.
Mereka tidak jadi melihat kedua pimpinan mereka melakukan pi-bu,
melainkan dua orang gadis jelita yang amat lihai bertanding mati-matian
melawan Hek Pek Mo-ko. Ketika Kui-tung Sin-kai memandang kepada Yauw
Tek dengan sinar mata mengandung pertanyaan dan minta pendapat, Yauw
Tek menggelengkan kepala.
“Biarkan saja, Pangcu. Tidak mungkin menghentikan Hong-moi, dan aku
kira mereka tidak akan kalah. Aku sudah siap melindungi mereka kalau
terancam bahaya.”
Legalah hati Kui-tung Sin-kai mendengar ini. Tentu saja hatinya merasa
khawatir dan tidak enak sekali kalau sampai dua orang gadis itu menderita
luka atau tewas karena membela perkumpulannya.
Perkelahian itu memang seru dan hebat sekali. Mula-mula mereka
memang bertanding secara terpisah. Pek Mo-ko melawan Li Hong, dan Hek
Mo-ko melawan Ceng Ceng. Akan tetapi dalam pertandingan satu lawan satu
ini, Pek Mo-ko kalah ganas dibandingkan Li Hong, sedangkan Hek Mo-ko
kalah cepat dari lawannya, Ceng Ceng. Maka, melihat pihaknya terdesak, Hek
Mo-ko memberi isyarat dan mereka berdua kini bekerja sama,
menggabungkan ilmu silat pedang dan golok mereka.
Begitu mereka bergabung, memang dua orang gadis itu terkejut dan agak
kewalahan. Lawan yang bergabung itu menjadi kuat bukan main, juga
mereka menggunakan penggabungan tenaga Hek-tok-ciang dan Pek-tokciang,
menambah serangan senjata mereka dengan dorongan pukulan tangan
kiri mereka yang berubah hitam dan putih.
Namun, Li Hong menyambut dengan dorongan tangan kiri dengan ilmu
andalannya, yaitu Hek-tok-tong-sim-ciang, sedangkan Ceng Ceng
mengandalkan kelebihannya dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan dan
sulit untuk dapat dijadikan sasaran.
Melihat betapa Hek Pek Mo-ko menjadi kuat sekali setelah menjadi
pasangan yang tergabung, Yauw Tek mengerutkan alisnya. Berbahaya juga
bagi dua orang gadis itu kalau keadaannya terus begini, pikirnya. Dia diam
sejenak memperhatikan jalannya pertandingan lalu dia berseru kepada dua
orang gadis itu.
“Ceng-moi, engkau bagian pertahanan dan Hong-moi di bagian
penyerangan”
Dua orang gadis itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan Yauw Tek
dengan seruan itu. Yauw Tek memang sudah memperhitungkan ketika dia
mengamati perkelahian itu. Li Hong amat ganas dengan penyerangannya,
membahayakan lawan. Sedangkan Ceng Ceng yang memiliki gerakan luar
biasa cepatnya itu, lebih kuat dalam pertahanan. Hal ini mungkin karena
watak lembut dan hati penuh kedamaian itu membuat Ceng Ceng tidak
terlalu kejam dan bahkan tidak tega untuk membunuh lawan sehingga
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
penyerangannya kurang ganas, tidak seperti Li Hong yang mengamuk seperti
seekor naga marah
Dua orang gadis perkasa itu percaya sepenuhnya kepada Yauw Tek.
Maka, mendengar seruan pemuda itu, mereka lalu mengubah cara tata kelahi
mereka. Li Hong mengamuk dan membagi-bagi serangannya kepada dua
orang lawan itu, sedangkan Ceng Ceng dengan gerakannya yang cepat
membentuk pertahanan dan rantingnya membentuk perisai yang kuat dan
yang dapat menahan atau menangkis semua serangan golok dan pedang Hek
Pek Mo-ko
Perkelahian itu semakin seru dan menegangkan. Akan tetapi juga indah
ditonton. Menakjubkan sekali melihat bayangan putih Ceng Ceng
berkelebatan seolah menjadi banyak, berkelebatan di antara bayangan hitam
dan putih dari Hek Pek Mo-ko, ditambah sinar pedang Ban-tok-kiam di tangan
Li Hong, sinar putih pedang dan golok di tangan Hek Pek Mo-ko, dan sinar
kuning dari ranting yang digerakkan Ceng Ceng.
Para anak buah kedua pihak menonton dengan penuh rasa kagum, tegang
dan juga terkejut karena semula tidak ada yang mengira bahwa dua orang
gadis cantik itu memiliki kepandaian setinggi itu. Yang paling terkejut dan
juga cemas adalah Hek Pek Mo-ko. Tadi ketika mereka bergabung, mereka
hampir yakin akan mampu mengalahkan dua orang gadis itu. Akan tetapi
sekarang ternyata pertahanan yang dilakukan gadis baju putih yang memiliki
gerakan amat ringan dan cepat itu kokoh sekali, juga serangan-serangan
gadis yang memiliki pedang hitam mengerikan itu amat berbahaya dan
ganas. Kini mereka menyadari bahwa kalau dilanjutkan, mereka akan kalah
dan mendapat malu. Maka, untuk mencari jalan agar dapat keluar dari
desakan Li Hong, Hek Mo-ko berseru memberi isyarat kepada anak buahnya.
Mendengar isyarat ini, sekitar limapuluh orang anak buah Hek Pek Mo-ko
bersorak dan mereka maju dengan senjata di tangan, hendak mengeroyok dua
orang gadis itu. Tentu saja Kui-tung Sin-kai segera memberi aba-aba kepada
anak buahnya untuk menyambut mereka. Dia sendiri juga mengamuk dengan
tongkat merahnya.
Anak buah Hek Pek Mo-ko itu pun maju dua-dua seperti pimpinan mereka.
Seorang anggauta berpakaian hitam ditemani seorang anggauta berpakaian
putih dan senjata mereka yang berlainan, yang hitam bersenjata golok, yang
putih pedang, dan mereka bergerak saling bantu dengan kompak sekali
Terjadilah pertempuran yang seru di antara anak buah kedua pihak. Yauw
Tek sendiri hanya menonton karena dia merasa kurang adil kalau dia
melawan para anak buah Hek Pek Mo-ko yang tentu saja tidak akan mampu
menandinginya.
Hek Pek Mo-ko yang sudah memperhitungkan keadaan, ketika beberapa
orang anak buah mereka datang membantu, mereka menggunakan
kesempatan selagi terjadi kekacauan itu, mereka melompat jauh ke belakang
dan melarikan diri
“Anjing-anjing busuk, kalian hendak lari kemana?”
Li Hong melompat dan melakukan pengejaran memasuki hutan.
“Hong-moi...”
Ceng Ceng hendak mengejar, akan tetapi Yauw Tek sudah berada di
dekatnya.
“Ceng-moi, biarkan aku yang mengejar Hong-moi.”
Pemuda itu memandang ke sekeliling dimana terjadi pertempuran itu.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Engkau di sini saja membantu Ketua Kai-pang.”
Sebelum Ceng Ceng menjawab, Yauw Tek sudah melompat dan mengejar
ke arah larinya Li Hong yang mengejar dua orang lawannya itu.
Pertempuran itu masih berlangsung seru. Ketika para anak buah Hek Pek
Mo-ko melihat dua orang pemimpin mereka melarikan diri, hati mereka
merasa gentar. Sudah ada belasan orang rekan mereka yang roboh. Maka
setelah tidak ada lagi yang memimpin, mereka lalu melarikan diri sambil
membawa teman-teman yang terluka dan meninggalkan lima orang rekan
yang sudah tewas.
Kui-tung Sin-kai melarang anak buahnya untuk melakukan pengejaran
terhadap lawan yang melarikan diri. Ceng Ceng sibuk memeriksa dan
mengobati sembilan orang anak buah Kai-pang yang terluka. Tidak ada yang
tewas di antara mereka. Sebelum kembali ke perkampungan mereka, Kui-tung
Sin-kai memerintahkan anak buahnya untuk mengubur mayat lima orang
anggauta Hek Pek Mo-ko.
Melihat ini, Ceng Ceng semakin suka kepada Ketua Kai-pang itu.
Sebaliknya, Kui-tung Sin-kai kagum bukan main melihat betapa cekatan dan
pandainya Ceng Ceng mengobati mereka yang terluka. Gadis yang lemah
lembut ini, selain lihai ilmu silatnya, ternyata juga merupakan seorang ahli
pengobatan yang pandai pula. Setelah semua selesai dan para anggauta Kaipang
disuruh pulang, Kui-tung Sin-kai berkata kepada Ceng Ceng.
“Nona Liu, bagaimana dengan Nona Tan dan Yauw-sicu yang mengejar
musuh tadi?”
“Pangcu, tadi ketika terjadi serbuan dari anak buah Hek Pek Mo-ko, dalam
kekacauan itu Hek Pek Mo-ko lalu melarikan diri. Hong-moi segera mengejar
mereka. Hong-moi tidak dapat dicegah, Pangcu, karena ia memang berhati
keras dan membenci Hek Pek Mo-ko yang telah menghinanya. Aku hendak
mengejar, akan tetapi Yauw-twako melarangku, menyuruh aku tinggal dan
dialah yang melakukan pengejaran.”
“Hemm, berbahaya sekali.”
Ketua Kai-pang itu mengelus jenggotnya yang panjang.
“Sekarang Hek Pek Mo-ko berada di bagian Utara pegunungan ini, di
Bukit Batu yang terletak jauh dari sini yang berada di bagian Selatan. Dua
orang itu licik dan berbahaya, aku khawatir kalau-kalau Nona Tan akan
terjebak oleh mereka.”
“Tidak perlu khawatir, Pangcu. Hong-moi memiliki ilmu silat yang amat
tangguh, cukup kuat untuk menjaga diri. Apalagi ada Yauw-twako yang
mengejarnya.”
“Syukurlah kalau begitu, hatiku tidak gelisah lagi. Nona Liu, sekarang
terbuktilah bahwa urusan harta karun Kerajaan Sung yang kabarnya dicuri
orang yang berasal dari Thai-san sudah diketahui banyak orang dan pasti
akan menggegerkan dunia kang-ouw. Hek Pek Mo-ko sudah menuduh bahwa
Ang-tung Kai-pang sebagai pencurinya. Bagaimana menurut pendapatmu?
Benarkah pendapat Nona Tan tadi bahwa agaknya Hek Pek Mo-ko sendiri
yang mencurinya dan hendak mengalihkan perhatian agar orang-orang
mengira kami yang mencurinya?”
“Biarpun perkiraan Hong-moi itu mungkin dilakukan oleh pencuri harta
karun untuk mengalihkan perhatian sehingga si pencuri sendiri tidak
dicurigai, akan tetapi menurut pendapatku, agaknya Hek Pek Mo-ko tidak
mencuri harta itu. Mereka memang mengira bahwa harta itu ada pada AngTidak
Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tung Kai-pang, maka mereka sengaja mencari permusuhan. Tentu saja
dengan harapan kalau mereka dapat mengalahkan dan menguasai Ang-tung
Kai-pang, harta karun itu akan dapat mereka miliki. Tidak, Pangcu, kukira
pencurinya adalah orang yang jauh lebih lihai dan berbahaya dibandingkan
Hek Pek Mo-ko. Orang yang berani menantang seperti pencuri itu dengan
mengaku bahwa dia datang dari Thai-san, pasti bukan orang sembarangan
dan dia sudah yakin bahwa dia mampu menandingi siapa saja yang hendak
mengganggunya.”
Mereka lalu pulang dan menanti kembalinya Li Hong dan Yauw Tek di
perkampungan Ang-tung Kai-pang.
Akan tetapi setelah menanti sehari semalam Li Hong dan Yauw Tek
belum juga kembali ke perkampungan itu, Kui-tung Sin-kai mulai merasa
gelisah. Bagaimanapun juga, Li Hong dan Yauw Tek adalah tamunya yang
telah membela Ang-tung Kai-pang sehingga mereka terlibat permusuhan
dengan Hek Pek Mo-ko. Kalau mereka tertimpa bencana, dia merasa
bertanggung jawab. Ketika dia mengemukakan kekhawatirannya kepada
Ceng Ceng, gadis itu berkata tenang.
“Harap Pangcu tenang. Aku percaya sepenuhnya kepada Hong-moi dan
Yauw-twako. Mereka pasti mampu menjaga diri dengan baik. Tentu ada
sesuatu yang sedang mereka selidiki maka mereka belum kembali ke sini.”
“Akan tetapi, bagaimana kalau sesuatu itu mengancam keselamatan
mereka? Aku merasa tidak enak sekali karena mereka terlibat karena
membela kami.”
Ceng Ceng tersenyum memandang ketua itu.
“Baiklah, Pangcu. Aku akan menyusul mereka.”
Setelah berkata demikian, Ceng Ceng berkemas lalu pergi mencari Yauw
Tek dan Li Hong. Ketika Kui-tung Sin-kai hendak menemaninya atau
menyuruh anak buahnya mengawal, Ceng Ceng menolaknya dengan halus. Ia
mengatakan bahwa ia biasa melakukan perjalanan seorang diri dan minta
agar ketua itu tidak khawatir.
--------
Dengan penuh kemarahan, Li Hong melakukan pengejaran terhadap Hek
Mo-ko dan Pek Mo-ko yang melarikan diri ke dalam hutan. Dua orang itu telah
berani menghinanya, karena itu ia tidak akan merasa puas sebelum dapat
membunuh mereka. Sebetulnya, dalam hal ilmu berlari cepat, Li Hong masih
lebih unggul dibandingkan Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi kelebihannya ini tidak
ada artinya karena ia sama sekali tidak mengenal daerah itu. Maka terkadang
ia kehilangan bayangan dua orang yang dikejarnya.
Li Hong tidak mau menghentikan pengejarannya. Ia mencari terus dan
setelah mendapatkan jejak mereka, ia mengejar terus dengan penuh
semangat. Saking semangatnya, ia tidak menyadari bahwa ia telah
melakukan pengejaran setengah hari lebih, juga tidak menyadari bahwa ia
telah jauh meninggalkan tempat pertandingan tadi. Ia telah keluar masuk
beberapa buah hutan, naik turun beberapa buah bukit dan masih terus ia
membayangi dua orang itu, seperti seorang pemburu sedang mengejar dua
ekor binatang buruannya.
Perubahan cuaca tidak disadarinya. Perlahan-lahan cuaca menjadi kurang
cerah karena matahari telah condong ke barat. Baru setelah ia memasuki
sebuah hutan lebat di lereng Thai-san itu, menyadari bahwa cuaca mulai
gelap. Hutan itu lebat, penuh pohon-pohon yang tinggi dan besar sehingga
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
sinar matahari yang mulai melemah itu sukar dapat menembus celah-celah
pohon.
Begitu menyadari bahwa hari telah mulai sore dan ia kembali kehilangan
jejak dua orang yang diburunya, Li Hong menyadari keadaannya dan ia
menjadi bingung juga. Ia berada di tengah hutan lebat, tidak akan mudah
mencari jalan pulang ke perkampungan Ang-tung Kai-pang. Ia juga
menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi melanjutkan pengejaran karena
sebentar lagi tentu gelap dan tak mungkin ia melanjutkan pengejaran. Dua
orang itu tidak akan dapat disusulnya. Ia merasa gemas dan penasaran sekali.
Ia berdiri di tengah hutan, menghentikan pengejarannya, mengepal kedua
tangan dan berkata gemas.
“Biarlah. Hari ini kalian dapat melarikan diri. Tunggu, aku akan
mendatangi sarangmu dan di sana aku akan membunuh Hek Pek Mo-ko”
Setelah berkata demikian, ia mulai mencari jalan untuk kembali ke
perkampungan Ang-tung Kai-pang. Namun ia menjadi bingung karena di
dalam hutan lebat itu ia kehilangan arah. Akan tetapi ia tidak mau kemalaman
dalam hutan lebat itu dan melangkah terus untuk dapat keluar dari dalam
hutan.
Senja telah masuk ke dalam hutan. Cuaca mulai remang-remang. Li Hong
mulai merasa khawatir. Kalau ia tidak mampu keluar dari dalam hutan
sebelum malam tiba, berarti ia harus melewatkan malam di dalam hutan lebat
dan gelap itu. Karena cuaca mulai gelap dan hatinya merasa penasaran,
jengkel dan agak bingung, kewaspadaannya berkurang. Ketika ia melangkah
di bawah sebatang pohon besar, ia menginjak tanah berumput, tiba-tiba
kedua kakinya terperosok ke sebuah lubang, disambut sebuah jala dan ia pun
terangkat ke atas di dalam sebuah jala hitam yang kuat
“Keparat”
Li Hong mengutuk. Ia telah terjerat jebakan yang agaknya dipasang orang
untuk menjebak binatang dan menangkapnya hidup-hidup. Li Hong meronta
dan meraba gagang pedangnya di punggung. Karena jala itu kuat dan ketat
membungkus tubuhnya, agak sukar baginya untuk mencabut pedangnya
guna membabat putus jala itu.
Tiba-tiba, sebelum ia berhasil mencabut pedangnya, sesosok bayangan
berkelebat dalam keremangan cuaca itu, lalu cepat sekali bayangan itu
memukul tengkuk Li Hong yang masih rebah telentang dalam jala dan
tergantung. Li Hong tidak mampu menghindarkan diri dan begitu tengkuknya
ditepuk, ia pun pingsan dan tidak tahu apa-apa lagi
Ketika siuman dari pingsannya, Li Hong mendapatkan dirinya berada
dalam pondongan seorang laki-laki tinggi besar. Tubuhnya telungkup di
pundak orang itu dan ketika dengan marah ia hendak mengerahkan tenaga
untuk meronta dan melepaskan diri, dengan kaget ia mendapatkan bahwa
kaki tangannya tidak mampu digerakkan. Ternyata ia telah tertotok secara
lihai sekali sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak dapat mengerahkan
tenaga.
Li Hong adalah seorang gadis pemberani yang cerdik. Ia tidak merasa
takut dan tidak bergerak, berpura-pura masih pingsan akan tetapi ia diamdiam
memperhitungkan segalanya. Laki-laki tinggi besar yang tak dapat
dilihat wajahnya dengan jelas karena cuaca sudah gelap itu, melangkah lebar
dan di sebelah kirinya terdapat orang kedua yang berjalan. Orang kedua ini
pun tinggi besar dan mereka berjalan tanpa mengeluarkan suara. Tak lama
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
kemudian, mereka sudah keluar dari dalam hutan itu dan berjalan di atas
jalan umum yang kasar berbatu-batu.
Tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah gubuk yang berada
di tepi jalan, di luar sebuah hutan lagi. Pemanggul tubuh Li Hong berkata
dengan suara yang kasar, dalam logat bahasa orang Mongol, kepada
temannya.
“Buka pintunya dan nyalakan lampu,” sambil memindahkan tubuh Li
Hong dari pundak kiri ke pundak kanan.
“Magu, gubuk ini punyaku, maka berikanlah gadis itu lebih dulu
kepadaku, baru kemudian engkau boleh...”
“Enak saja engkau. Siapa yang menangkap gadis ini? Perangkapku, yang
masuk perangkapku berarti milikku. Akan tetapi karena engkau rekanku dan
engkau yang punya gubuk ini, maka nanti engkau boleh mengambil bagian.
Akan tetapi aku lebih dulu. Kalau engkau tidak mau, biar aku mencari tempat
lain. Untuk bersenang-senang, tidak harus di dalam gubukmu”
“Baiklah, mari masuk,” kata orang kedua.
Mereka memasuki gubuk dan sebuah lampu dinyalakan. Si Pemanggul itu
lalu melepaskan tubuh Li Hong ke atas sebuah dipan kayu yang kasar. Tubuh
gadis itu rebah telentang di atas dipan dan kini ia dapat melihat agak jelas
wajah kedua orang laki-laki itu dan diam-diam ia merasa ngeri. Mereka itu
ternyata merupakan dua orang yang berpakaian kasar seperti para pemburu.
Wajah mereka pun tampak bengis dan kasar, dengan mata, hidung dan bibir
serba besar. Tubuh mereka juga kokoh dengan otot melingkar-lingkar di
lengan dan dada mereka yang bajunya terbuka lebar. Li Hong merasa muak
ketika tercium bau keringat dan badan mereka yang apak.
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya sekitar empatpuluh tahun
itu memandang kepada Li Hong dan mereka tampaknya terkejut dan
terpesona. Agaknya mereka tidak pernah membayangkan bahwa tangkapan
mereka ternyata seorang gadis yang demikian cantik jelitanya seperti
bidadari. Mata mereka yang melotot seperti hendak menelan dan melahap
tubuh langsing yang terbujur di hadapan mereka. Sinar mata mereka seperti
menggerayangi seluruh tubuh Li Hong, membuat gadis itu merasa ngeri.
“Wah, Magu, kita untung besar. Seorang dewi yang cantik jelita menjadi
kekasih kita. Ha-ha-ha, sungguh beruntung sekali kita”
“Ya, dan engkau cepat pergi dari sini. Baru besok malam engkau
mendapatkan giliran. Malam ini dan besok sehari aku tidak mau diganggu.
Engkau berjagalah di luar agar jangan ada yang mengganggu kita” kata
orang yang tadi memanggul Li Hong dan bernama Magu. Temannya
mengomel, akan tetapi keluar juga dan duduk di atas batu yang terdapat di
luar gubuk itu.
Sejak tadi Li Hong sudah berusaha untuk meronta, namun tubuhnya
belum juga dapat digerakkan. Rasanya lemas seluruh badannya, lemah
lunglai. Bahkan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan suara, yang terdengar
hanya suara lirih saja.
“Lepaskan aku, jahanam... lepaskan...” Ia sudah berteriak, namun karena
tidak ada tenaganya, suara itu terdengar lirih seperti bisik-bisik saja.
Akan tetapi kerut merut di tubuhnya, pandang matanya yang penuh
kebencian, agaknya dimengerti oleh Magu bahwa gadis ini dalam hatinya
menolaknya dan berusaha untuk meronta. Dia terkekeh.
“Heh-heh-heh, rupanya engkau keras nati dan tidak mau menyerah,
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
manisku. Engkau perlu dipaksa”
Dia lalu mengambil tali yang cukup kuat dari sudut gubuk itu dan dengan
tali itu dia mengikat kedua pergelangan tangan dan kedua pergelangan kaki
Li Hong, diikatkan pada keempat kaki dipan itu. Tentu saja Li Hong ingin
memberontak, akan tetapi ia masih belum mampu menggerakkan kaki
tangannya. Kembali Magu tertawa dan memandang kepadanya dengan mata
penuh nafsu.
“Manisku, aku tidak ingin memaksamu, aku ingin engkau menyerahkan
diri dengan manis”
Setelah berkata demikian, dia mengambil sebuah bungkusan dari saku
bajunya yang kotor, kemudian membawa bungkusan ke meja di sudut dimana
terdapat sebuah guci dan beberapa cawan kosong. Dibukanya bungkusan
dan dituangkan isinya, bubuk merah, ke dalam cawan lalu cawan itu diisi
minuman dari guci. Kemudian dibawanya cawan kecil berisi arak itu ke dekat
dipan dan disodorkannya cawan itu kepada Li Hong.
“Nah, minumlah arak ini, manis, dan engkau akan merasa senang dan
sehat”
Akan tetapi tentu saja Li Hong tidak sudi minum, akan tetapi ia tidak
mampu menolak dengan tangannya yang telah diikat dan terbentang. Ia
hanya berusaha untuk memalingkan mukanya dan mengatupkan mulutnya,
walaupun dengan gerakan lemah.
“Minum”
Orang itu membentak, lalu duduk di tepi dipan dan menggunakan tangan
kirinya memaksa mulut Li Hong terbuka dengan menekan rahangnya, lalu dia
menuangkan arak itu ke dalam mulut Li Hong. Gadis itu tak dapat menolak
lagi, mencoba untuk menutup kerongkongannya, namun akhirnya arak itu
memasuki perutnya dan ia tersedak-sedak.
Li Hong merasa betapa ada hawa panas mengamuk di dalam perutnya
dan hawa panas itu menjalar ke dalam kepalanya, membuat ia merasa
pening. Akan tetapi ia terkejut bukan main karena tiba-tiba saja ia merasakan
rangsangan yang amat hebat dan kuat. Ia memejamkan matanya dan
menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melawan rangsangan yang tidak
wajar itu. Biarpun selama hidupnya ia belum pernah merasakan rangsangan
seperti itu, namun nalurinya mengatakan bahwa itu merupakan pengaruh
yang tidak baik.
“Tidak... tidak...“
Berulang kali ia berseru sekuatnya, namun terdengar suara lirih saja.
Makin lama semakin pusing dan ia segera merasakan sesuatu yang
membuatnya merasa ngeri bukan main. Pakaiannya dilucuti orang. Ia masih
memejamkan matanya dan ia pun dapat menduga apa yang akan terjadi
padanya. Sesuatu yang dianggapnya lebih mengerikan daripada maut. Ia
tidak berani membuka matanya, hanya menggelengkan kepalanya dan
agaknya pengaruh totokan itu mulai berkurang karena tiba-tiba dapat
menjerit nyaring.
“Jangan... ah, jangan... tolong... tolonggg...”
Laki-laki itu terkejut juga mendengar Li Hong mampu menjerit nyaring,
akan tetapi dia tertawa dan berkata.
“Percuma engkau menjerit, manisku, tidak ada yang dapat mendengarmu,
ha-ha-ha. Mengapa engkau menjerit? Kita akan bersenang-senang”
Li Hong merasa betapa rangsangan dalam tubuhnya, terutama pada
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
otaknya, semakin kuat dan panas. Ia melawannya dengan menanamkan
dalam ingatannya sambil berbisik.
“Kalau kalian memperkosaku, kelak aku akan mencabik-cabik jantung
kalian dan melumatkan kepala kalian”
Pikiran ini merupakan hiburan satu-satunya, dan ini untuk melawan
rangsangan itu sehingga ia tidak akan menyerah dengan suka rela. Ia akan
membunuh dan menyiksa mereka, baru kemudian ia akan membunuh diri. Ini
tekadnya dan ia mengerahkan seluruh tenaga ingatannya agar tidak
merasakan apa pun yang akan terjadi dengan dirinya, hanya air matanya yang
mengucur deras.
Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di luar gubuk, disusul teriakan
mengaduh. Laki-laki yang hendak menggerayangi tubuh Li Hong itu terkejut
dan melompat ke pintu.
“Apa yang terjadi?” Dia bertanya kepada kawannya yang tadi menjaga di
luar gubuk.
Tiba-tiba daun pintu gubuk itu roboh dan sesosok bayangan berkelebat
masuk. Laki-laki yang hendak memperkosa Li Hong itu terkejut, cepat
mencabut goloknya dan menyerang. Akan tetapi bayangan itu dengan
tangkas mendahului dengan tendangan. Begitu kakinya mencuat, perut lakilaki
tinggi besar itu tertendang dan dia roboh terjengkang Penolong itu
menangkap kakinya dan sekali dia melempar, tubuh Magu yang tinggi besar
itu terlempar keluar. Penolong itu melompat keluar mengejar dan terdengar
teriakan-teriakan dua orang itu, lalu terdiam.
Li Hong yang menangis tanpa mengeluarkan suara, membuka matanya
dan ia sempat melihat penolongnya itu melemparkan penjahat itu ke luar
pintu gubuk. Karena api lampu bergerak-gerak tertiup angin yang masuk
melalui pintu yang terbuka, Li Hong tidak dapat melihat siapa penolongnya.
Setelah teriakan dua orang itu tak terdengar lagi, dara ini melihat seorang
laki-laki memasuki gubuk dan menutupkan pintu yang jebol pada lubang
pintu sehingga api lampu itu tidak lagi bergerak-gerak tertiup angin dan Li
Hong dapat melihat jelas wajah pemuda yang kini mendekati dipan.
“Twako...” serunya dengan terisak-isak.
Pemuda yang menolongnya itu adalah Yauw Tek. Cepat Yauw Tek
melepaskan tali yang mengikat kaki dan tangan Li Hong dan menepuk
pundak gadis itu. Begitu dapat bergerak, Li Hong bangkit duduk sambil
menangis dan merangkul Yauw Tek. Tadi ia ketakutan setengah mati, takut
dan ngeri, maka pelepasan ini membuat ia merasa sangat bersyukur, girang
dan juga terharu sehingga ia menangis mengguguk di dada Yauw Tek yang
merangkulnya.
Demikian terguncang batin Li Hong oleh peristiwa dan kengerian yang
tadi mengancam dan nyaris melanda dirinya, membuat ia lupa bahwa ia
masih dalam keadaan telanjang bulat karena tadi pakaiannya telah dilucuti
semua oleh Magu dan hampir tidak dirasakan Li Hong dengan cara
menanamkan dendamnya.
Setelah tangisnya mereda, Li Hong berbisik, “Yauw-twako... engkau telah
menolongku... aku berhutang budi dan nyawa kepadamu...”
“Hushh, Hong-moi, hal ini sudah wajar. Aku pasti akan membelamu dan
melindungi selamanya...”
“Selamanya, Twako...”
Lengan Li Hong merangkul leher sehingga Yauw Tek agak terkejut.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Tentu saja selamanya, Hong-moi karena aku cinta padamu.”
“Aku... aku pun... cinta padamu, Yauw-twako...”
Merangkul gadis yang telah menjatuhkan hatinya sejak pertama kali
bertemu itu, yang kini dalam keadaan bugil sehingga terasa hangat dalam
dekapannya, membuat Yauw Tek gemetar. Pengakuan cinta Li Hong terasa
merdu sekali, mengobati hatinya yang tadinya kecewa oleh penolakan cinta
Ceng Ceng. Dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Li Hong. Akan
tetapi, mendadak Li Hong memperketat rangkulannya dan membalas
ciumannya dengan panas
“Hong-moi...”
Yauw Tek terkejut dan menegur, agak menarik dan menjauhkan mukanya
dari Li Hong. Saat itu, semua pertahanan dalam batin Li Hong sudah buyar
dan hilang. Pengaruh racun perangsang yang diminumnya secara paksa kini
sedang bekerja mencapai puncaknya. Tadi daya rangsangan itu sudah
menyerangnya, namun dengan sekuat tenaga batinnya ia melawan dan
mempertahankan diri agar tidak hanyut, dengan penanaman dendam
kebencian terhadap orang yang memperkosanya itu. Akan tetapi sekarang, ia
merasa lega, girang, dan terharu ketika diselamatkan oleh Yauw Tek, pemuda
yang memang telah menarik hatinya. Ditambah lagi kesadarannya bahwa ia
ditemukan pemuda itu dalam keadaan tanpa pakaian, membuat ia mengambil
keputusan bahwa ia hanya dapat menghapus rasa malu itu dengan menjadi
isteri Yauw Tek.
Semua ini merupakan dorongan sehingga rangsangan yang dibangkitkan
racun perangsang itu menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat ia tidak ada
keinginan lain kecuali menyerahkan dirinya kepada pemuda yang dicintanya
itu. Dalam pandangannya, sepasang mata Yauw Tek itu demikian indah
cemerlang, demikian penuh wibawa sehingga membuat ia kagum dan
tunduk. Akan tetapi melihat Li Hong semakin kuat merangkulnya dengan
napas terengah-engah, Yauw Tek menarik diri ke belakang dan kedua
tangannya menahan kedua pundak gadis itu, matanya memandang tajam.
“Hong-moi, ingat dan sadarlah. Perbuatan ini kalau dilanjutkan tidak baik
sama sekali. Jangan, Hong-moi, aku hanya seorang manusia biasa, kalau
engkau bersikap seperti ini, aku tidak akan kuat bertahan Hong-moi, aku cinta
padamu dan aku tidak ingin merusak kehormatanmu, aku cinta dan hormat
padamu...”
Li Hong mendengar dan menyadari akan kebenaran ucapan itu, akan
tetapi justeru penolakan itu membuat ia semakin nekat.
“Aku pun cinta padamu, Twako. Aku ingin menyerahkan segala milikku,
kalau perlu nyawaku, kepadamu. Yauw-twako...”
Li Hong kembali menubruk, merangkul dan Yauw Tek tidak kuat bertahan
untuk menolak lagi. Dia pun balas merangkul dan keduanya tenggelam dalam
nafsu berahi, terbuai asmara yang membuat manusia lupa akan segala
sesuatu, lupa akan baik buruk, kehilangan semua pertimbangan, bahkan
kehilangan kesadaran, diri sendiri pun terlupa dan yang hidup menguasai
seluruh diri hanya nafsu berahi yang mendesak untuk disalurkan dan
dipuaskan.
Sejak jaman dahulu, para manusia yang dipilih Tuhan, menerima wahyu
untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, sejak yang primitip (kuno)
sampai yang paling modern, selalu menekankan agar manusia waspada dan
berhati-hati terhadap setan yang menguasai diri manusia melalui nafsu-nafsu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
manusia sendiri. Namun kenyataannya, jarang sekali terdapat manusia yang
mampu menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri.
Bermacam usaha yang timbul dari ulah hati akal pikiran dilakukan untuk
mengalahkan nafsu, namun sebagian besar atau hampir semua usaha itu
menemui kegagalan. Hal ini terjadi karena semua usaha itu dilakukan oleh
pikiran yang selalu mementingkan diri sendiri, mementingkan si-aku yang
selalu mengejar kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan. Maka, usaha
untuk menguasai nafsu itu pun bersumber dari keinginan untuk kepentingan
si aku. Pikiran yang mengaku-aku ini melihat betapa nafsu dapat
menjerumuskannya dan akhirnya mencelakakannya, maka timbul keinginan
untuk menghentikan hal yang membahayakan itu. Jadi, yang mendorong
menghentikan nafsu itu pun nafsu juga. Nafsu untuk menyenangkan diri,
memetingkan si aku yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri.
Nafsu sudah disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita manusia
sejak kita lahir di dunia. Nafsu itu teramat penting bagi kehidupan. Nafsu
membuat kita ingin menikmati segala sesuatu dalam kehidupan ini melalui
panca indera kita. Nafsu datang tanpa dipelajari karena memang sudah ada
pada diri kita. Setiap orang bayi sudah memiliki nafsu makan atau minum
yang amat diperlukan bagi hidupnya. Nafsu membuat dia menikmati air susu
yang diminumnya.
Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi juga sudah disertakan manusia,
menjadi alat atau menjadi peserta, juga hamba dari manusia. Nafsu ini,
seperti nafsu-nafsu lain, juga teramat penting karena dengan adanya nafsu
ini, maka manusia dapat berkembang biak. Akan tetapi kalau sampai nafsu
yang disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita untuk menjadi hamba
kita ini kita biarkan menguasai dan memperhamba diri kita, maka malapetaka
yang timbul. Nafsu berahi yang mendorong hubungan suami isteri adalah
baik, benar, dan bersih karena sesuai dengan Kehendak Sang Maha Pencipta.
Namun, kalau nafsu ini menguasai diri manusia, maka muncullah perbuatanperbuatan
yang menyimpang dari Kehendak Tuhan, seperti pelacuran,
perjinaan, pemerkosaan, dan sebagainya.
Segala perbuatan yang disebut jahat di dunia ini, segala macam
kebencian, permusuhan, perang, dan semua kejahatan umum, semua itu
adalah ulah manusia yang sudah diperhamba oleh nafsu yang menguasai
dirinya.
Masalahnya sekarang, bagaimana kita dapat terbebas dari pengaruh
nafsu? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita INGIN BEBAS dari nafsu. Lalu
siapa yang ingin itu? Yang ingin itu aku, karena aku tidak mau diperbudak
nafsu yang mendatangkan sengsara. Aku tidak mau sengsara. Aku ingin
hidup tenteram. Aku ingin hidup damai Aku ingin ini, aku ingin itu, ingin yang
lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang ada. Si aku yang ingin
tenteram ini apakah berbeda dengan si-aku yang ingin menikmati
kesenangan melalui pemuasan nafsu? Kita dipermainkan oleh pikiran sendiri,
berputar-putar dalam ruangan yang itu juga. Tetap saja pada dasarnya adalah
yang ingin senang. Menuruti nafsu agar puas berarti mengejar kesenangan.
Menghentikan nafsu agar tenteram juga berarti mencari kesenangan karena
tenteram itu mendatangkan kesenangan pula.
Lalu bagaimana? Kalau menuruti nafsu salah dan meniadakan nafsu salah,
apa yang harus kita perbuat? Yang salah adalah keinginan itu sendiri.
Keinginan mendapatkan kesenangan melalui pemuasan nafsu ataupun
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
keinginan mendapatkan kesenangan melalui penghentian nafsu. Maka, satusatunya
hal yang dapat dilakukan manusia adalah tidak menginginkan
kesenangan dalam bentuk apa pun selama keinginan itu timbul dari
pementingan diri sendiri. Kita tidak mungkin dapat menguasai nafsu. Yang
dapat menguasai nafsu itu hanyalah Sang Maha Pencipta yang menciptakan
nafsu dan memberikan itu kepada kita sebagai pelayan dalam hidup. Hanya
kalau Jiwa kita disinari Kekuasaan Tuhan, maka Jiwa itu akan dapat
melaksanakan tugas semula, yaitu menjadi Kusir (Sais) dari kendaraan yang
berupa tubuh kita. Hanya dengan bimbingan Kekuasaan Tuhan sajalah yang
akan membuat Jiwa kuat untuk mengendalikan nafsu-nafsu sehingga dengan
sendirinya, pikiran, ucapan, dan perbuatan kita tidak lagi selalu ditujukan
untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi. Jiwa yang dibimbing
Kekuasaan Tuhan saja yang mampu membebaskan kita dari perbudakan
nafsu atau membebaskan kita dari kekuasaan setan
Pada keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar mengusir
kegelapan malam dan mengangkat halimun membubung ke atas, ketika
burung-burung menyanyikan pujian bagi Sang Maha Pencipta sebelum
mereka mulai dengan kehidupan baru di hari itu, diseling kokok ayam hutan
yang membungkam segala macam jengkerik belalang dari senandung malam
mereka, Yauw Tek terbangun dari tidur nyenyak. Dia melihat dirinya tadi
rebah di dipan kayu yang kasar dalam gubuk itu. Dia terkejut ketika teringat
akan peristiwa semalam. Li Hong tidak ada di situ. Cepat dia mengenakan
pakaiannya dan keluar dari gubuk. Dilihatnya Li Hong, dengan pakaian kusut
dan rambut tidak tersisir, duduk di atas batu sambil menangis tanpa suara.
Yauw Tek cepat menghampiri dan dia menjatuhkan diri berlutut di dekat
batu dimana Li Hong duduk.
“Hong-moi... aku telah berdosa padamu... ah, Hong-moi, dosaku terlalu
besar... engkau boleh bunuh aku, Hong-moi, untuk menebus kesalahanku
padamu...” Suara Yauw Tek tergetar.
Li Hong menurunkan kedua tangannya yang tadi dipakai menutupi
mukanya. Kedua matanya basah, wajahnya agak pucat dan ia memandang
pemuda yang berlutut di depannya itu.
“Yauw-twako...”
Suara Li Hong juga gemetar dan ketika Yauw Tek mengangkat muka
memandang, melihat wajah yang memelas (menimbulkan iba) dengan
sepasang mata basah itu, Yauw Tek juga menangis tanpa suara. Air matanya
bercucuran keluar dari sepasang matanya dan dia berkata dengan suara lirih
gemetar.
“Li Hong... ampuni aku... ah, tidak, jangan, ampuni aku... bunuhlah aku
dengan pedangmu... aku akan menerima kematian di tanganmu dengan
bahagia karena telah dapat menebus dosaku...”
Dalam tangisnya, Li Hong tersenyum, menjulurkan kedua tangannya,
menarik Yauw Tek agar duduk di atas batu, di sampingnya.
“Twako, aku tidak menyesal, aku tidak marah kepadamu. Engkau tidak
bersalah, Yauw-twako. Sekarang aku ingat betul. Iblis-iblis itu memaksaku
minum arak, lalu tubuhku terasa tidak karuan... kemudian engkau
menyelamatkan aku... aku begitu bahagia... aku lupa segala... dan terjadilah
itu dengan kita. Aku sungguh tidak menyalahkanmu, dan aku tidak menyesal,
Twako. Apakah engkau menyesal?”
“Bukan salahmu, Hong-moi. Akulah yang salah, aku tidak dapat menahan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
diri, aku hanyut. Aku memang menyesal kalau sampai hal itu membuat
engkau berduka...”
“Sama sekali tidak, Twako Aku tidak berduka dan aku tidak menyesal.”
“Tapi... engkau tadi menangis...”
“Aku menangis karena bahagia, Twako. Aku kini menjadi milikmu, untuk
selamanya. Bukankah engkau sangat mencintaku, Twako?”
“Tentu saja, aku sangat mencintamu, Hong-moi.”
“Dan engkau berjanji tidak akan meninggalkan aku?”
“Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu.”
“Juga tidak akan mencinta wanita selain aku?”
Yauw Tek menggelengkan kepalanya.
Li Hong menghela napas penuh kelegaan dan kebahagiaan dan ia lalu
menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek yang merangkulnya dengan
mesra. Sampai lama mereka hanya duduk diam, kediaman yang
menenggelamkan Li Hong dalam kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya. Bagaikan dalam mimpi ia membayangkan semua yang terjadi
sejak ia terjebak dan ditawan dua orang jahat itu.
Pagi tadi, ketika ia terbangun, ia cepat berpakaian dan menyambar Bantok-
kiam lalu melangkah keluar, pikirannya masih termenung dan kacau oleh
ingatan semalam. Ia masih merasakan kemesraan yang dialaminya bersama
Yauw Tek dan merasa berbahagia sekali, merasa betapa kini ia menjadi milik
Yauw Tek dan pemuda itu menjadi miliknya. Saking terharu dan berbahagia,
ia menangis tanpa suara. Kini ia teringat akan dua orang penjahat itu.
“Yauw Twako, dimana mereka?” tanya Li Hong sambil bangkit duduk
kembali.
Yauw Tek kaget juga merasa betapa Li Hong yang tadi begitu lembut,
hangat dan pasrah dalam rangkulannya, kini menjadi tegang dan kekerasan
membayang di sinar matanya yang jernih tajam.
“Siapa maksudmu? Ah, dua orang penjahat itu? Aku sudah melempar
mereka ke dalam jurang di sana.” Dia menuding dan Li Hong lalu melompat
dari atas batu dan lari ke tepi jurang tak jauh dari situ. Yauw Tek
menyusulnya.
“Nah, itu mereka, Hong-moi. Sudah tewas” kata Yauw Tek sambil
menunjuk ke bawah jurang.
Jurang itu cukup dalam dan Li Hong melihat dua orang yang semalam
menangkapnya itu. Yang seorang rebah miring dan seorang lagi, yang
semalam memperkosanya, rebah telentang. Dengan kebencian masih
mengganjal hatinya, Li Hong mengambil sebuah batu sebesar kepala orang
lalu melontarkan batu itu ke bawah.
“Wuuuttt... prakk”
Kepala penjahat yang telentang itu pecah tertimpa batu yang ditimpukkan
dengan kuat. Batu kedua menyusul memecahkan kepala penjahat kedua.
“Mari kita kembali ke perkampungan Ang-tung Kai-pang, Twako. Tentu
Enci Ceng sudah merasa khawatir karena aku belum kembali ke sana,” kata
Li Hong setelah merasa puas dapat membalas dendam dengan
menghancurkan kepala dua orang penjahat yang menculiknya itu, walaupun
yang dihancurkan adalah kepada yang sudah menjadi mayat.
Mereka berdua lalu melakukan perjalanan cepat ke Bukit Cemara di
bagian Selatan pegunungan Thai-san. Hari telah siang ketika mereka tiba di
perkampungan Kai-pang, disambut gembira oleh Ang-tung Kai-pang.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Ah, kami gembira sekali melihat Ji-wi (Kalian Berdua) kembali dalam
keadaan selamat. Kami sudah merasa khawatir sekali karena Nona Tan
semalam tidak pulang. Bagaimana, apakah yang terjadi dengan Hek Pek Moko?”
Wajah Li Hong berubah merah dan Yauw Tek cepat berkata.
“Hek Pek Mo-ko pergi dan menghilang. Hong-moi mengejar terlalu jauh
sehingga kemalaman dan tidak dapat pulang karena malam gelap. Baru pagi
tadi kami saling bertemu dan aku mengajak ia kembali ke sini, Pangcu.”
“Pangcu, dimana Ceng-ci? Mengapa ia tidak keluar menyambut kami?”
tanya Li Hong.
“Nona Liu pergi menyusul dan mencarimu, Nona. Sampai sekarang ia juga
belum kembali,” jawab ketua itu.
Mendengar ini, Yauw Tek dan Li Hong merasa khawatir sekali dan mereka
segera berpamit kepada Kui-tung Sin-kai untuk mencari Ceng Ceng. Akan
tetapi ketua itu menahan mereka dan mengajak mereka berdua makan siang
terlebih dulu.
“Jangan khawatir, Yauw-sicu dan Nona Tan. Nanti kami akan
mengerahkan semua anak buah kami untuk berpencar dan mencari Nona Liu
Ceng Ceng. Sekarang, harap Ji-wi suka menerima hidangan, yang telah kami
siapkan untuk Ji-wi.”
Terpaksa Yauw Tek dan Li Hong menerima tawaran ini. Setelah selesai
makan minum, dua orang muda itu berkemas lalu pamit dan meninggalkan
perkampungan Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai lalu mengerahkan
sebagian anak buahnya untuk berpencar dan berusaha mencari Nona Liu
Ceng Ceng.
--------
Pada waktu itu, memang banyak tokoh-tokoh dunia persilatan
berbondong-bondong datang ke Thai-san begitu mereka mendengar berita
tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri oleh orang yang mengaku
bertempat tinggal di Thai-san. Mereka berlumba untuk memperebutkan dan
mendapatkan harta karun yang kabarnya amat banyak jumlahnya itu.
Di antara mereka yang berdatangan itu, tampak Bu-tek Sin-liong Cu Liong,
majikan Bukit Merak bersama puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Bu-tek Sinliong
adalah seorang yang tidak menginginkan harta karena dia sudah cukup
kaya raya. Akan tetapi dengan cerdiknya Cu Ai Yin dapat membangkitkan
semangat ayahnya dengan mengatakan bahwa perebutan harta karun itu
dapat mengangkat nama besar Bu-tek Sin-liong sehingga sesuai dengan
julukannya Naga Sakti Tanpa Tanding.
Sudah tiga hari ayah dan anak ini tiba di kaki Pegunungan Thai-san.
Namun mereka belum juga mendaki karena Cu Liong masih belum dapat
mengambil keputusan ke bagian mana dia harus melakukan penyelidikan.
Selama tiga hari itu, Ai Yin sudah berkali-kali mendesak ayahnya untuk mulai
mencari dan mendaki pegunungan itu, akan tetapi ayahnya masih ragu-ragu.
“Pegunungan Thai-san begini tinggi dan besar, begini luas. Kemana kita
harus mencari pencuri yang hanya meninggalkan tulisan THAI SAN?
Mencarinya dengan menjelajahi seluruh pegunungan ini kukira memakan
waktu beberapa tahun” katanya ketika puterinya merengek lagi.
Datuk ini duduk bersila di atas sebuah batu besar memandang puterinya
yang berdiri di depannya. Biarpun usianya sudah sekitar limapuluh enam
tahun, Bu-tek Sin-liong Cu Liong masih tampak gagah sekali. Tubuhnya tinggi
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
besar, mukanya merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam Kok, kumis
jenggotnya pendek terpelihara pakaiannya mewah seperti pakaian seorang
hartawan dan Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) menempel di
punggungnya. Sikapnya acuh tak acuh dan biasanya dingin. Hanya kalau dia
berhadapan dengan puteri tunggalnya yang tersayang itu dia bersikap ramah
dan memanjakan puterinya.
“Tapi, Ayah” Ai Yin merengek.
Kalau berhadapan dengan ayahnya, sikap Cu Ai Yin menjadi kekanakkanakan
dan manja. Gadis sembilanbelas tahun ini memang cantik jelita dan
daya tariknya terutama terdapat pada mulut dan matanya yang
menggairahkan. Di rambutnya yang hitam panjang dan lebat itu selalu terhias
sebatang bunga putih dan karena inilah dara ini dijuluki Pek-hwa Sianli (Dewi
Bunga Putih). Wajahnya yang bulat telur itu menjadi manis dengan adanya
setitik tahi lalat di sudut mulut sebelah kanan. Di punggungnya tergantung
sepasang hui-kiam (pedang terbang) pendek. Pakaian sutera merah muda
membungkus ketat tubuhnya yang padat dan ramping.
“Tapi apa, Ai Yin?”
“Kita sudah jauh-jauh datang ke sini, apakah hanya untuk duduk
termenung di kaki pegunungan saja? Kalau begitu, untuk apa kita capekcapek
(kelelahan) datang ke sini?” Dara itu merajuk dan bibirnya yang merah
lembut itu cemberut.
“Ha-ha-ha-ha” Datuk itu tertawa bergelak.
“Kalau engkau sudah merajuk seperti itu, aku jadi teringat kepada
mendiang ibumu. Ketahuilah, Ai Yin, bukan aku bermalas-malasan di sini.
Aku sengaja mendatangi Thai-san di bagian barat ini karena aku mendengar
bahwa Huo Lo-sian bermukim di sini. Menurut pendapatku, Dewa Api itu
merupakan orang pertama yang kucurigai sebagai pencuri harta karun. Aku
percaya kehadiranku di sini pasti akan dia ketahui dan tanpa mencarinya, dia
akan datang menemuiku di sini”
Ucapan datuk itu membayangkan keangkuhannya. Bukan dia yang
mencari Huo Lo-sian, melainkan Dewa Api itu yang akan lebih dulu mencari
dan datang kepadanya, seolah dia menganggap bahwa Dewa Api memiliki
kedudukan yang lebih rendah daripadanya. Ai Yin merasa tidak puas dengan
jawaban itu dan ia berkata dengan masih bersungut-sungut.
“Aku tidak betah tinggal menganggur di sini lebih lama lagi, Ayah. Aku
akan mendekati bukit di depan itu untuk melihat-lihat. Siapa tahu aku akan
mendapatkan petunjuk di sana.”
Setelah berkata demikian, Ai Yin meninggalkan ayahnya yang masih
duduk bersila. Ia mendaki bukit di depannya itu, tidak menyadari bahwa yang
didaki itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan
anak buahnya.
Memang benarlah dugaan Bu-tek Sin-liong Cu Liong bahwa kehadirannya
di kaki Bukit Merah yang menjadi bagian Barat Pegunungan Thai-san itu sejak
semula telah diketahui oleh Huo Lo-sian yang mendapat laporan dari anak
buahnya. Dia memesan kepada anak buahnya agar jangan mengganggu
datuk yang namanya sudah dia kenal itu.
Seperti juga Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian juga memiliki watak sombong
dan angkuh. Dia tidak mau menyambut kedatangan Majikan Bukit Merak itu
dan menunggu datuk itu yang akan datang lebih dulu mengunjunginya. Dia
hanya memesan kepada anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
melihat gerak-gerik datuk itu. Selama tiga hari tidak terjadi sesuatu karena
menurut laporan anak buahnya, datuk itu bersama seorang gadis cantik
masih saja duduk di kaki bukit dan tidak ada tanda-tanda akan mendaki bukit.
Pada hari keempat, pagi itu Huo Lo-sian mendapat laporan bahwa gadis
cantik yang tadinya bersama datuk itu mendaki bukit seorang diri.
Mendengar ini, Huo Lo-sian memerintahkan anak buahnya untuk menangkap
gadis itu karena dianggap melanggar wilayahnya.
“Tangkap gadis itu, akan tetapi jangan dibunuh”
Kata Huo Lo-sian yang merasa sayang kalau gadis yang kabarnya cantik
jelita itu dibunuh. Apalagi gadis itu datang bersama Bu-tek Sin-liong dan
akan tidak menguntungkan kalau bermusuhan dengan datuk yang namanya
sudah terkenal di dunia kang-ouw itu.
Ai Yin mendaki bukit itu dengan sikap waspada karena ia sudah
mendengar bahwa bukit itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal
Dewa Api dan anak buahnya. Ketika ia sudah mendaki di lereng tengah, ia
mendengar gerakan dari sekelilingnya, Ai Yin menghentikan langkahnya dan
siap menghadapi segala kemungkinan. Ia tetap tenang saja ketika melihat
sekitar duapuluh orang bermunculan mengepungnya. Mereka adalah laki-laki
berusia sekitar tigapuluh sampai limapuluh tahun, kesemuanya berpakaian
serba hijau dan memegang sebatang golok yang punggungnya merupakan
gergaji. Sikap mereka amat bengis menyeramkan. Tanpa rasa takut sedikit
pun terhadap sekitar duapuluh orang yang mengepungnya, Ai Yin bertanya
dengan garang.
“Siapa kalian dan mau apa kalian menghadang perjalananku?”
Seorang dari mereka, yang berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh
tinggi kurus dan berkepala botak, menjawab dengan suara tenang.
“Nona, engkau telah melanggar wilayah kami, maka menyerahlah untuk
kami hadapkan kepada majikan kami yang akan mengambil keputusan
terhadap engkau yag melanggar.”
“Hemm, aku tidak tahu siapa kalian dan tidak merasa melanggar. Aku
hanya mendaki bukit ini. Siapa sih kalian yang mengaku bahwa tempat ini
wilayah kalian?”
“Kami adalah para penghuni Bukit Merah ini, dan pemimpin kami atau
majikan kami adalah Huo Lo-sian. Mari, Nona, kami tidak menggunakan
kekerasan asalkan engkau mau menghadap majikan kami dengan sukarela.”
“Ah, kiranya ini tempat tinggal Dewa Api. Dan kalian ini anak buahnya?
Katakan kepadanya bahwa aku Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin datang sebagai
tamu. Mengapa dia tidak menyambutku malah mengerahkan anak buahnya
untuk mengepungku? Begitu sombongkah Huo Lo-sian? Ingin kuketahui
sampai dimana kepandaiannya maka dia berani begitu sombong”
Laki-laki botak itu mengerutkan alisnya. Hatinya mendongkol juga
mendengar gadis muda ini mencela pemimpinnya dan memakinya sombong,
bahkan seperti memandang rendah kepandaian Si Dewa Api.
“Nona Cu, kami tidak tahu akan semua itu. Setahu kami, engkau telah
memasuki wilayah kami tanpa ijin, engkau telah melakukan pelanggaran dan
adalah kewajiban kami untuk menangkapmu dan menghadapkanmu kepada
pimpinan kami.”
“Kalau aku tidak mau?” tantang Ai Yin.
“Kalau engkau tidak mau ikut kami menghadap pimpinan kami secara
sukarela, terpaksa kami akan menggunakan paksaan”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“He-heh… Kalian hendak menggunakan kekerasan? Menangkap aku?”
Ai Yin tertawa dan dia mencabut sepasang pedangnya lalu menantang.
“Hendak kulihat bagaimana kalian dapat menangkap aku”
Melihat sikap gadis itu, kepala regu itu menoleh kepada kawan-kawannya
lalu menggerakkan golok memberi aba-aba.
“Serbu dan ingat pesan Suhu”
Hal ini dia ingatkan karena kalau sampai gadis itu terbunuh, yang akan
mendapat marah besar tentu dia sebagai pemimpin rombongan itu. Huo Losian
sudah berpesan kepada mereka agar jangan sampai gadis itu terbunuh.
Mendengar aba-aba ini, rombongan yang terdiri dari duapuluh dua orang
itu lalu bergerak, melangkah dan mengitari gadis itu. Biarpun mereka tidak
boleh membunuh, namun melihat Ai Yin mencabut pedang, tentu saja mereka
tidak berani menyerbu dengan tangan kosong. Melihat mereka melangkah
dan mengitarinya, Ai Yin berdiri diam saja, akan tetapi matanya waspada dan
seluruh syaraf tubuhnya siap menghadapi serangan mereka.
Tiba-tiba pemimpin rombongan membuka serangan lebih dulu sebagai
isyarat kepada kawan-kawannya. Goloknya menyambar dari atas membacok
ke arah kepala Ai Yin. Gerakannya cukup cepat dan kuat. Namun bagi Ai Yin,
gerakan itu tampak lamban dan dengan mudah ia miringkan tubuh sehingga
sambaran golok itu luput. Akan tetapi pada saat berikutnya, mereka mulai
mengeroyoknya. Golok menyambar-nyambar dari semua penjuru dan Ai Yin
segera memutar pedang di kedua tangannya.
Ilmu pedang gadis ini hebat sekali. Dari ayahnya ia berhasil menguasai
Jit-seng Siang-kiam (Sepasang Pedang Tujuh Bintang), dan ketika pedangnya
itu diputar untuk melindungi dirinya, seolah-olah sepasang pedang itu
berubah menjadi tujuh bintang yang sinarnya bergulung-gulung. Terdengar
bunyi berdentingan dan para pengeroyok berseru kaget karena golok mereka
terpental hampir terlepas dari pegangan dan tangan mereka terasa panas dan
tergetar kuat.
Kenyataan itu membuat mereka semua menyadari bahwa gadis cantik
yang mereka keroyok ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali
sehingga baru sekarang mereka mengerti mengapa Dewa Api menyuruh anak
buahnya sebanyak itu hanya untuk menangkap seorang gadis muda yang
cantik. Kalau tadinya merasa heran, geli dan memandang ringan, sekarang
mereka merasa gentar dan hati-hati. Mereka lalu menyerang lebih hebat lagi
dan ulah mereka seperti segerombolan srigala yang mengeroyok seekor
harimau.
“Haiiiittt...”
Ai Yin menggunakan keringanan tubuhnya melompat keluar dari
kepungan dan begitu ia membalik, pedang kanannya meluncur ke arah
pengejar terdepan.
“Singg... cratt”
Seorang pengeroyok roboh disambar pedang dan pedang itu setelah
melukai seorang pengeroyok, lalu terbang kembali ke tangan Ai Yin Inilah
yang dinamakan “pedang terbang”. Sesungguhnya bukan pedangnya yang
dapat terbang kembali kepada pemiliknya, melainkan karena pada gagang
pedang itu dipasangi tali sutera hitam yang amat lembut sehingga tidak
tampak dan begitu disentakkan pedang itu melayang kembali ke tangan
kanan Ai Yin.
Para pengeroyok terkejut melihat seorang kawan mereka roboh. Mereka
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
kini mengepung dengan menjaga jarak dan hanya ada empat orang yang
mengepung dekat dari empat penjuru. Mereka sudah membawa obor yang
bernyala, kemudian mereka menyemburkan api begitu obor didekatkan muka
mereka. Api itu menerjang ke arah Ai Yin. Tentu saja Ai Yin terkejut bukan
main diserang dengan semburan api dari empat penjuru secara bergantian
itu. Tidak mungkin ia dapat menangkis serangan api. Ia hanya dapat
menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini. Akan tetapi
kini maju empat orang lagi dan delapan orang itu secara bergantian
menyemburkan api menyerang Ai Yin.
Ai Yin mulai merasa ngeri karena belum pernah ia menghadapi
pengeroyokan delapan orang yang menyemburkan api untuk menyerangnya.
Kalau ia melompat tinggi keluar dari kepungan, belasan orang yang lainnya
menyambutnya dengan serangan golok dan begitu ia menangkisi golok-golok
itu, delapan orang penyembur api itu sudah menyerang dan mengepungnya
lagi.
Ai Yin mulai terdesak dan sebuah tendangan ketika ia terhuyung
menjauhi api mengenai pahanya, terasa nyeri juga walaupun tidak sampai
melukainya. Rasa nyeri di pahanya membuat gerakannya kurang leluasa. Ia
menjadi marah sekali dan begitu ia mengeluarkan bentakan nyaring,
sepasang pedangnya mengamuk dan dua orang pengeroyok yang berada
terdekat roboh.
Tiba-tiba lebih banyak lagi pengeroyok yang membawa obor dan kini
mereka menancapkan tongkat obor di sekelilingnya sehingga Ai Yin
terkurung pagar obor yang bernyala-nyala. Selagi ia kebingungan, banyak tali
menyambar dan gadis itu terikat banyak tali. Ia menjadi marah dan
menggunakan sepasang pedangnya untuk memotong tali-tali itu. Akan tetapi
semakin banyak tali menyambar dan mengikatnya sehingga kedua lengannya
tak dapat digerakkan. Ia meronta-ronta dan mengerahkan tenaga untuk
membikin putus tali-tali itu, akan tetapi ternyata tali-tali itu kuat sekali.
Selagi Ai Yin meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring sekali sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Angin
bertiup kuat dan pagar api obor itu padam.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong datang dan marah sekali melihat keadaan
puterinya. Anak buah Bukit Merah segera mengepung dan mengeroyoknya
dengan golok. Akan tetapi, datuk ini dengan tangan kosong mengamuk,
menangkap dan melempar-lemparkan mereka. Seperti seekor gajah
mengamuk dalam sebuah hutan. Para pengeroyoknya berpelantingan dan
mereka menjadi gentar bukan main. Mereka mundur menjauhkan diri setelah
tidak kurang dari enam orang kawan mereka terkapar dibanting atau
dilemparkan datuk itu. Bu-tek Sin-liong hendak mengamuk terus akan tetapi
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Bu-tek Sin-liong, kalau engkau tidak menghentikan amukanmu, puterimu
ini akan kupenggal lehernya lebih dulu”
Datuk itu cepat memutar tubuhnya dan dia melihat Huo Lo-sian telah
berdiri di situ dengan golok ditempelkan pada leher Ai Yin yang berdiri lemas
dan agaknya dalam keadaan tertotok. Memang tadi, melihat amukan Bu-tek
Sin-liong, Huo Lo-sian yang datang ke tempat itu melihat bahwa kalau
dibiarkan mungkin semua anak buahnya akan terbunuh. Dia melihat Ai Yin
yang masih meronta dalam jala, maka cepat ditotoknya gadis itu dan
dikeluarkan dari jala, kemudian ditodongnya untuk menghentikan amukan BuTidak
Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
tek Sin-liong.
Melihat puterinya tertawan dan diancam Huo Lo-sian yang biarpun
namanya sudah lama dia kenal namun baru sekali ini mereka saling bertemu,
Bu-tek Sin-liong tertawa.
“Ha-ha-ha Huo Lo-sian, engkau berjuluk Dewa Api, akan tetapi ternyata
hanya seorang pengecut besar. Kaukira dengan mengancam anakku, aku lalu
takut dan tunduk kepadamu? Ha-ha, kaukira berhadapan dengan siapa, Huo
Lo-sian? Aku Bu-tek Sin-liong tidak pernah tunduk kepada siapapun juga,
tidak takut kepada segala macam setan atau dewa sekalipun. Engkau
mengancamku untuk membunuh anakku? Boleh, bunuhlah dan aku akan
menghancurkan kepalamu, kuminum darahmu, lalu kubasmi seluruh penghuni
bukit ini”
Suara Bu-tek Sin-liong lantang dan tegas, penuh wibawa menggetarkan
sehingga seorang datuk seperti Huo Lo-sian sendiri merasa gentar
mendengar ancaman itu. Dia yakin bahwa ancaman itu bukan kosong belaka.
Dia pun bukan seorang penakut, akan tetapi akan amat merugikan kalau
menanam permusuhan dengan datuk besar seperti Bu-tek Sin-liong.
“Bu-tek Sin-liong. Aku pun tidak pernah takut kepada siapa pun, juga
tidak takut kepadamu Akan tetapi aku sama sekali tidak minta engkau untuk
menyerah, melainkan kuminta jangan engkau mengamuk dan membunuhi
anak buahku”
“Anak buahmu yang mengeroyok anakku, maka aku membelanya” hardik
Bu-tek Sin-liong Cu Liong.
“Itu karena anakmu melanggar wilayah kami. Akan tetapi sudahlah,
andaikan anak buahku dianggap bersalah, engkau sudah merobohkan
beberapa orang. Apakah itu belum cukup? Aku tidak ingin bermusuhan
denganmu, bukannya karena takut, melainkan karena bermusuhan antara kita
hanya merugikan kedua pihak. Sama-sama datuk persilatan seperti kita, dan
kukira sama-sama mencari harta karun Kerajaan Sung, apakah tidak lebih
menguntungkan kalau kita berdua bergabung?”
“Kalau tidak mencari permusuhan, bebaskan anakku”
“Berjanjilah bahwa engkau menerima uluran tanganku dan bersama
anakmu menjadi tamu kami”
Setelah diam sejenak, Bu-tek Sin-liong mengangguk, “Baik, aku berjanji.”
Huo Lo-sian melepaskan totokan Ai Yin dan mengembalikan sepasang
pedang gadis itu yang tadi dia ambil. Ai Yin segera menghampiri ayahnya.
Huo Lo-sian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengangkut
dan merawat mereka yang terluka, kemudian dengan sikap ramah dia
mempersilakan Cu Liong dan Cu Ai Yin untuk mendaki ke puncak dimana
terdapat perkampungan Huo Lo-sian dan anak buahnya.
Huo Lo-sian menjamu ayah dan anak yang menjadi tamunya itu. Wanitawanita
cantik dikerahkan untuk melayani mereka bertiga makan minum.
Hidangan itu serba mewah, makanan bermacam-macam yang lezat dan
minuman anggur dan arak yang harum. Dua orang datuk besar itu kuat sekali
minum. Berguci-guci arak mengalir ke dalam perut mereka, namun keduanya
tidak pernah mabok. Hanya muka Cu Liong yang gagah itu, yang biasanya
sudah merah, menjadi semakin merah, sedangkan muka Huo Lo-sian yang
seperti singa itu juga menjadi merah seperti kebakaran karena rambut
jenggot dan kumisnya berwarna merah. Ai Yin tidak banyak minum, bahkan
ia hanya memilih minuman anggur yang tidak begitu keras.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Setelah perjamuan itu, Huo Lo-sian mengajak Cu Liong dan Cu Ai Yin
bercakap-cakap di ruangan dalam. Barulah Si Dewa Api bicara tentang harta
karun itu.
“Bu-tek Sin-liong, aku dapat menduga bahwa kedatanganmu bersama
puterimu di Thai-san tentu juga hendak mencari harta karun Kerajaan Sung.
Berita tentang harta karun itu sudah menggegerkan dunia persilatan dan
kukira sekarang sudah banyak orang yang datang berkunjung ke Thai-san
untuk memperebutkan harta karun itu. Anak buahku melaporkan bahwa
selama beberapa minggu ini banyak orang-orang kang-ouw berdatangan di
kaki Pegunungan Thai-san.”
“Tidak keliru dugaanmu, Huo Lo-sian. Memang aku dan puteriku sengaja
datang ke Thai-san hendak melihat-lihat perebutan harta karun yang
kabarnya dicuri orang dari Thai-san ini. Akan tetapi aku tidak murka akan
harta, aku hanya ingin membuktikan bahwa aku yang paling kuat di antara
mereka yang memperebutkan, maka aku bertekad hendak mendapatkan harta
karun itu, mengalahkan semua orang yang memperebutkannya.”
Huo Lo-sian tertawa dan mengangguk-angguk.
“Ha-ha-ha, bagus. Cocok sekali, Bu-tek Sin-liong. Aku juga sependapat
denganmu. Kita dapat mengangkat nama sendiri kalau berhasil mengungguli
mereka dalam memperebutkan harta karun itu Kita tidak murka mengejar
harta, akan tetapi kalau bisa mendapatkannya, kita bagi dua, lumayan juga,
bukan? Sin-liong, banyak orang akan memperebutkan harta karun dan mereka
tentu terdiri dari orang-orang pandai yang mempunyai anak buah. Maka,
kalau kita berdua bekerja sama, aku kira itu baik sekali dan menguntungkan
kita.”
Bu-tek Sin-liong mengerutkan alisnya mendengar ajakan bekerja sama ini.
Keangkuhannya tersinggung dan dia merasa tidak enak kalau harus dibantu
orang mendapatkan harta karun itu. Akan tetapi Cu Ai Yin berpendapat lain.
Ia tadi melihat sudah kekuatan Huo Lo-sian dan anak buahnya. Sedangkan
ayahnya hanya berdua dengannya saja. Kalau diingat bahwa mereka yang
mencari harta karun tentulah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka
menguntungkan sekali kalau ayahnya bergabung dengan Dewa Api dan anak
buahnya.
“Ayah, kurasa memang baik sekali kalau kita bekerja sama dengan Paman
Huo Lo-sian ini agar dapat mengimbangi mereka yang memiliki banyak anak
buah yang kuat.”
“Memang kita menghadapi lawan-lawan yang banyak dan berat, Nona
Cu. Baru yang berada di Thai-san ini saja sudah amat kuat. Thai-san-pai
memiliki murid yang cukup banyak dan kuat. Demikian pula Hek Pek Mo-ko
dengan anak buah mereka. Selain mereka, ada pula Ang-tung Kai-pang yang
terkenal kuat. Nah, Sin-liong, setelah puterimu setuju, kurasa tidak ada alasan
lagi bagimu untuk menyetujui usulku yang baik ini. Tadi, karena salah paham,
kita hampir bermusuhan, akan tetapi sekarang kita menjadi sahabat dan
bekerja sama, bukankah itu baik sekali?”
“Hemm, aku setuju, akan tetapi hanya dengan satu syarat,” kata Bu-tek
Sin-liong.
“Katakan, apa syaratnya, Sin-Hong”
“Lo-sian, aku mau bekerja sama, akan tetapi aku harus yang menjadi
pemimpin dan semua, termasuk engkau, menjadi pembantuku yang harus
tunduk terhadap semua keputusanku. Bagaimana?”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Ha-ha-ha, baiklah, Sin-liong. Kuterima syaratmu. Biarlah kalau kita
berhasil, engkau yang akan mendapatkan nama besar sebagai pemenang dan
hasil harta karun itu kita bagi dua”
Huo Lo-sian tertawa-tawa senang karena kalau Bu-tek Sin-liong mau
bekerja sama dengannya, maka dia, bertiga dengan ayah dan anak yang lihai
itu, dibantu anak buahnya, lebih besar harapannya untuk dapat menguasai
harta karun yang diperebutkan itu.
Tentu saja pada dasarnya Cu Ai Yin tidak sudi bekerja sama dengan datuk
macam Huo Lo-sian yang kasar liar bersama anak buahnya itu. Kalau ia mau,
bahkan menganjurkan ayahnya untuk bekerja sama dengan Dewa Api itu
adalah karena gadis ini ingin sekali dapat menemukan dan menguasai harta
karun. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membantu Pouw Cun
Giok
Setelah perjamuan itu, Huo Lo-sian mengajak Cu Liong dan Cu Ai Yin
bercakap-cakap di ruangan dalam. Barulah Si Dewa Api bicara tentang harta
karun itu.
Ia tidak dapat melupakan pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu. Ia
tentu akan menyerahkan harta karun itu kepada Cun Giok agar dapat
disumbangkan kepada para pejuang patriot. Nanti, apabila sudah berhasil, ia
akan membujuk ayahnya untuk menguasai semua harta karun itu dan
diserahkan kepada Cun Giok. Ayahnya amat sayang dan memanjakannya,
maka permintaannya itu tentu tidak akan ditolak.
Dalam benak Huo Lo-sian terdapat pikiran yang lain lagi. Dia membujuk
ayah dan anak itu untuk bekerja sama karena dia ingin berhasil menguasai
harta karun itu. Kalau mereka berhasil, dia akan mencari jalan dan akal untuk
menguasai harta itu semua. Akan tetapi kalau tidak mungkin, setidaknya dia
akan mendapat setengahnya dan itu sudah amat banyak sekali.
Demikianlah, di dalam dunia ini, kebanyakan manusia mendasari semua
pikiran, kata-kata, dan perbuatannya dengan pamrih untuk keuntungan atau
kesenangan dirinya sendiri. Ke-akuan yang dipertebal nafsu itu hanya
mementingkan dirinya sendiri, keuntungan diri sendiri, baik keuntungan
materi berupa uang atau harta benda, maupun keuntungan batin berupa
sanjungan, pujian, nama, dan sebagainya.
Bahkan dalam memberi pertolongan kepada orang lain atau perbuatan
yang pada umumnya disebut sebagai kebaikan, sebagian besar dilakukan
dengan dasar pementingan diri sendiri. Perbuatan baik, menolong orang dan
sebagainya baru dilakukan kalau di situ tampak kemungkinan mendapatkan
imbalan berupa keuntungan lahiriah, yaitu materi, atau keuntungan batiniah
tadi. Pamrih yang tersembunyi di balik setiap pikiran, kata-kata, atau ucapan
itulah yang membuat perbuatan itu, bagaimanapun bentuknya, menjadi palsu
dan sama sekali tidak baik. Pamrih itu membuat setiap perbuatan hanya
merupakan sarana untuk keuntungan diri pribadi. Misalnya perbuatan baik
yang dilakukan dengan pamrih agar kelak mendapatkan sorga, sama saja
perbuatan baik itu dipergunakan untuk membeli sorga. Andaikata tidak ada
janji sorga, lalu apakah perbuatan baik itu tetap akan dilakukan?
Tiga orang itu, Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin ketiganya mau
bekerja sama dengan pamrih masing-masing yang berlainan.
Karena semua orang mengejar kesenangan itulah maka dimana-mana
timbul permusuhan, pertentangan dan perebutan. Dan selama manusia masih
diperhamba nafsu keinginan mementingkan diri sendiri, maka dunia tidak
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
akan pernah ada keamanan, kedamaian dan ketenteraman. Masing-masing
berlumba untuk memenuhi keinginan diri sendiri dan jika ada yang
merintangi, maka yang merintangi itu akan ditendang.
Mereka bertiga lalu mengadakan perundingan untuk merencanakan
tindakan mereka selanjutnya dalam usaha mereka untuk mencari pencuri
harta karun.
“Tadinya kami mencurigai Thai-san-pai sebagai pencuri harta karun, akan
tetapi setelah kami menyelidiki ke sana, agaknya bukan mereka yang
melakukan pencurian itu. Sukar untuk menduga siapa sebetulnya yang telah
mencuri harta karun itu. Yang jelas, kami tidak melakukannya dan agaknya
Thai-san-pai juga tidak melakukannya. Sebagai penghuni tetap di Thai-san
hanya tinggal dua golongan lagi yang terbesar, yaitu Hek Pek Mo-ko dan anak
buah mereka dan Ang-tung Kai-pang. Terus terang saja, aku juga mencurigai
dua golongan itu. Hek Pek Mo-ko adalah sepasang iblis yang kiranya tidak
akan segan untuk melakukan pencurian, sedangkan Ang-tung Kai-pang
adalah perkumpulan pengemis dan kiranya golongan pengemis itu tidak
mustahil kalau melakukan pencurian. Selain dua golongan yang memiliki anak
buah yang cukup besar itu, masih ada beberapa orang pertapa yang
mengasingkan diri di puncak-puncak bukit yang terbesar di pegunungan ini.
Biarpun mereka itu tidak pernah mencampuri urusan dunia, namun keadaan
mereka yang penuh rahasia itu juga patut diselidiki. Nah, seperti sudah
kuceritakan tadi, anak buahku juga melihat orang-orang kang-ouw
berbondong mendatangi pegunungan ini. Bahkan baru kemarin ada
rombongan pasukan Mongol datang ke sini dan agaknya mereka itu menuju
ke utara. Sekarang terserah kepadamu, Bu-tek Sin-liong, apa yang harus kita
lakukan, kemana kita akan melakukan penyelidikan lebih dulu.”
Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk.
“Sebelum kita bertindak, sebaiknya kalau kita sebarkan anak buah untuk
melakukan penyelidikan apa yang terjadi di daerah Thai-san ini. Dengan
demikian, kalau terjadi perebutan antara dua kelompok, kita dapat
mengetahui kelompok mana yang bertanding dan siapa yang kiranya paling
mencurigakan. Kita tidak perlu turun tangan sebelum mengetahui dengan
pasti agar tidak sia-sia usaha kita.”
Huo Lo-sian setuju dengan rencana ini. Dia merasa telah bertindak keliru
ketika dia melakukan pengacauan terhadap Thai-san-pai yang tadinya dia
anggap sebagai pencuri harta karun. Akan tetapi di Thai-san-pai dia malah
mendapat malu karena dalam adu tenaga sakti, dia dikalahkan oleh dua orang
gadis dan seorang pemuda tak terkenal yang melawannya dengan tenaga
digabung. Demikianlah, Huo Lo-sian lalu menyebar anak buahnya untuk
melakukan penyelidikan secara diam-diam, melihat gerak-gerik Ang-tung Kaipang
dan Hek Pek Mo-ko, juga memantau gerakan para pendatang dari luar
daerah Pegunungan Thai-san.
--------
Pegunungan Thai-san mulai ramai didatangi banyak tokoh kang-ouw
untuk mencari harta karun yang kabarnya dicuri oleh orang yang tinggal di
Thai-san. Seperti kita ketahui, mereka yang mencari pencuri harta karun itu,
yang sudah kita kenal adalah Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Huo Lo-sian
yang kini bergabung dengan Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Cu Ai Yin, Hek
Pek Mo-ko, lalu Yauw Tek yang kini mencari Liu Ceng Ceng bersama Tan Li
Hong. Kemudian Pouw Cun Giok bersama si kembar The Kui Lan dan The Kui
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Lin.
Masih ada lagi rombongan Kim Bayan yang membawa pasukan cukup
besar, dan juga Kong Sek yang ditemani kedua gurunya, Cui Beng Kui-ong
dan Song-bun Mo-li. Selain mereka ini, masih ada rombongan atau perorangan
dari dunia persilatan yang mencoba nasib ikut pula mencari harta karun yang
kabarnya amat besar itu. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauwlim-
pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan sebagainya
tidak ketinggalan, mengirim wakil untuk ikut berlumba, atau setidaknya
meninjau keramaian mencari harta pusaka di Thai-san itu.
Setelah selama tiga hari tiga malam melakukan pencarian terhadap Yauw
Tek dan Tan Li Hong tetap saja belum dapat menemukan dua orang itu,
maklumlah Ceng Ceng bahwa ia telah salah jalan, atau mencari ke arah lain
sehingga mungkin sekali ia malah semakin jauh dari dua orang itu. Akan
tetapi hati Ceng Ceng tidak khawatir karena selain ia percaya akan
kemampuan Li Hong menjaga diri, juga tentu Yauw Tek telah menemukan
adik angkatnya itu dan dengan adanya Yauw Tek di samping Li Hong, maka
ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan mereka.
Ceng Ceng sendiri juga tidak gentar menghadapi perjalanan melalui
daerah pegunungan amat luas penuh bukit jurang dan hutan itu, daerah yang
sama sekali tidak dikenalnya. Ia tidak gentar karena memang sejak remaja
Ceng Ceng banyak melakukan perantauan seorang diri. Bagi gadis yang
biarpun baru berusia sekitar duapuluh tahun, namun memiliki pengertian
mendalam tentang kehidupan ini, yang menjadi pelindung utamanya
bukanlah ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasainya, melainkan
penyerahannya secara total lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ceng Ceng yakin benar bahwa segala sesuatunya, pada akhirnya yang
menentukan adalah Tuhan. Yang penting ia tidak melakukan kejahatan dan
sebagai seorang ahli silat keturunan pendekar besar ia tentu selalu
menggunakan ilmu silatnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,
membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat namun sewenangwenang.
Juga dengan keahliannya dalam soal pengobatan, ia dapat
menolong banyak orang. Maka siapa yang akan mengganggunya? Kalaupun
ada orang yang bertindak jahat kepadanya, kalau usahanya membela diri
tidak mampu menolongnya, ia sudah memasrahkan hidup dan matinya
kepada Yang Maha Kuasa.
Ceng Ceng terus melanjutkan perjalanannya, menjelajahi daerah Thai-san
untuk melaksanakan tugasnya yang dipesankan mendiang ayahnya, yaitu
menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada mereka
yang berhak, yaitu para patriot bangsa yang berjuang untuk membebaskan
tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol. Ia menjelajahi
dusun-dusun yang berada di sekitar kaki Pegunungan Thai-san dan setiap
kali menemukan orang yang sakit berat, Ceng Ceng dengan penuh perhatian
segera mengobatinya. Obatnya manjur sekali dan yang telah ia tolong,
sembuh dari penyakitnya dan gadis itu sama sekali tidak menuntut imbalan.
Maka namanya segera menjadi buah bibir penduduk dusun-dusun yang
dilewatinya. Ceng Ceng tidak pernah memperkenalkan julukan Pek-eng Sianli
yang dulu diberikan orang kepadanya, dan kini para penduduk dusun
memberinya sebuah julukan baru, yaitu Yok Sianli (Dewi Obat).
Pada suatu siang Ceng Ceng memasuki sebuah dusun di lereng bukit
yang paling bawah dari pegunungan itu, sebuah dusun kecil yang
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
penduduknya terdiri dari beberapa puluh keluarga petani. Kebetulan sekali
pada waktu itu penduduk dilanda penyakit perut yang sudah mengorbankan
belasan orang. Melihat ini, Ceng Ceng segera turun tangan, mengobati
mereka yang sedang sakit dan minta kepada kepala dusun kecil itu untuk
mengerahkan orang-orangnya mencari beberapa macam daun dan akar obat
untuk diminum semua anggauta keluarga penduduk agar jangan terkena
penyakit itu.
Penduduk dusun kecil itu berterima kasih sekali kepada Yok Sianli yang
namanya sudah mereka dengar. Mereka mencari daun-daun dan akar obat
yang diminta, lalu Ceng Ceng membagi-bagi obat itu agar diminum semua
orang. Saking girang dan sebagai pernyataan terima kasih mereka, kepala
dusun memberi tempat bagi gadis penolong itu untuk melewatkan beberapa
malam, mereka lalu mengadakan perjamuan selamat jalan kepada Ceng Ceng
yang hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun. Sudah lima hari ia
berada di dusun itu.
Seluruh penghuni dusun itu mengadakan perjamuan dengan gembira.
Walaupun sederhana, namun meriah sekali karena semua orang mengagumi
Ceng Ceng yang duduk di tempat kehormatan bersama kepala dusun. Namun
menjelang akhir perjamuan itu, tiba-tiba masuk dua orang wanita ke rumah
kepala dusun itu dan semua orang memandang mereka dengan heran.
Dua orang wanita itu berusia sekitar tigapuluh tahun, bertubuh ramping
padat dan wajah mereka cukup manis namun dengan alis berkerut, mata
tajam dan mulut cemberut, mereka mendatangkan kesan galak. Apalagi di
punggung mereka tergantung sebatang pedang. Pakaian mereka yang
berwarna serba hijau juga ringkas seperti pakaian para wanita kang-ouw.
Mereka tidak mempedulikan pandang mata para penduduk dusun yang
sedang berpesta itu, dan langsung saja mereka menghampiri meja dimana
kepala dusun sedang menjamu Ceng Ceng sebagai tamu kehormatan dusun
itu.
Melihat datangnya dua orang wanita baju hijau yang menghampiri
mejanya itu, Si Kepala Dusun terbelalak dan tampak marah.
“Hei… Siapakah Ji-wi (Kalian Berdua) dan mengapa kalian masuk begini
saja tanpa aturan?” dia menegur.
Seorang di antara dua wanita baju hijau itu berkata ketus kepadanya.
“Diam kamu. Kami tidak ada urusan denganmu”
Kemudian ia memandang kepada Ceng Ceng dan bertanya.
“Apakah engkau yang disebut Yok Sianli?”
Dengan senyum sabar Ceng Ceng menjawab.
“Benar, orang-orang menyebut aku Yok Sianli walaupun aku tidaklah
sehebat sebutan itu. Ada kepentingan apakah kalian mencari aku, dan
siapakah kalian ini?”
“Mari engkau ikut kami. Kami membutuhkan pertolonganmu untuk
mengobati Su-kouw (Bibi Guru) kami.”
“Ah, tidak begitu caranya orang minta tolong. Kalian seolah memaksa
dengan kasar”
Kepala dusun itu berseru marah melihat dua orang wanita itu tidak
menghormati gadis penolong yang amat dihormati di dusun itu. Melihat dua
orang wanita baju hijau itu memandang dengan mata mencorong marah
kepada Si Kepala Dusun, Ceng Ceng cepat bangkit berdiri dan berkata.
“Biarlah Paman. Mereka datang minta bantuanku, sudah semestinya aku
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pergi menolong orang yang sakit.”
Lalu kepada dua orang wanita baju hijau itu ia berkata.
“Harap kalian menunggu sebentar di luar, aku hendak berkemas
membawa pakaian dan obat-obat.”
Dua orang wanita baju hijau itu mengangguk lalu keluar dari ruangan itu
dengan langkah gesit menunjukkan bahwa keduanya adalah ahli-ahli silat
yang tangguh.
Ceng Ceng lalu memasuki rumah, mengambil pakaian dan obat dari dalam
kamar, kemudian keluar dan berpamit kepada semua penduduk dusun itu.
Beberapa orang wanita yang merasa telah diselamatkan angauta keluarganya
oleh Ceng Ceng, menangis terharu. Seluruh penduduk merasa terharu dan
kehilangan ditinggal gadis yang muncul sebagai dewi penolong itu.
Di luar rumah kepala dusun, Ceng Ceng sudah ditunggu dua orang wanita
baju hijau. Seluruh penduduk mengikuti dan mengantar kepergian Ceng Ceng
sampai di luar dusun mereka. Setelah keluar dari dusun, wanita bermata sipit
yang tadi bicara, berkata kepada Ceng Ceng.
“Hayo cepat, Bibi Guru kami sakit keras, perlu cepat ditolong” katanya
dengan nada memerintah.
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap mereka yang murung dan galak,
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Mereka sudah jauh dari dusun dan tidak ada
orang lain melihat mereka.
“Sobat, sikap kalian yang kasar dan galak ini tentu membuat lain orang
yang hendak menolong menjadi enggan”
Tiba-tiba mereka mencabut pedang dari punggung mereka dan Si Mata
Sipit mengancam.
“Kalau engkau tidak mau menolong, pedang kami yang akan
memaksamu”
Ceng Ceng merasa penasaran juga, walaupun mulutnya masih tersenyum.
Dua orang wanita ini sudah keterlaluan dan mereka agaknya perlu
disadarkan. Maka ia lalu berkata.
“Hemm, begitukah? Andaikata aku menolak, lalu kalian mau berbuat
apa?”
Dua orang wanita itu membuat gerakan dengan pedang mereka, agaknya
hendak menodong dan mengancam. Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut
karena begitu berkelebat, gadis baju putih itu lenyap dan yang tampak hanya
bayangan putih berkelebat. Sebelum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba saja
pedang di tangan mereka dirampas orang tanpa dapat mereka pertahankan,
karena lengan mereka yang memegang pedang tiba-tiba tertotok lumpuh.
Mereka terkejut dan cepat memutar tubuh. Di sana mereka melihat Ceng
Ceng berdiri memegang dua batang pedang yang dirampasnya dengan cepat
tadi.
“Hemm, belum pernah aku melihat orang minta tolong dengan sikap
seburuk kalian. Apakah aku berhadapan dengan dua orang anggauta
gerombolan penjahat?”
Setelah berkata demikian, kedua tangan Ceng Ceng yang memegang
pedang rampasan itu bergerak.
“Sing-singg...”
Sepasang pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di atas
tanah, dekat sekali dengan kaki dua orang wanita baju hijau itu. Wajah dua
orang wanita itu menjadi pucat. Sekarang baru mereka menyadari bahwa
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
yang diberi julukan Yok Sianli, selain ahli pengobatan, ternyata juga memiliki
ilmu kepandaian silat yang luar biasa. Wanita bermata sipit itu lalu
mengangkat kedua tangan depan dada, diikuti temannya dan ia berkata
sendu.
“Sianli, maafkan kami. Kami baru saja menerima musibah yang
mengakibatkan dua orang rekan kami tewas dan Bibi Guru kami terluka
parah. Karena penasaran dan sedih, maka kami lupa diri dan bersikap sangat
tidak baik kepadamu. Harap maafkan kami berdua.”
“Kalau kalian menyesali kesalahan sendiri, hal itu sudah cukup, tidak ada
yang perlu dimaafkan. Akan tetapi kuharap kalian suka menceritakan dengan
singkat siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan kalian.”
Ceng Ceng lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan
tanah dan mempersilakan dua orang wanita itu duduk pula. Mereka menghela
napas panjang, mencabut pedang dan menyarungkannya kembali, lalu duduk
berhadapan dengan Ceng Ceng.
“Kami adalah murid-murid Go-bi-pai. Ketua kami mengutus Bibi Guru
Thian-li Niocu sebagai wakil Go-bi-pai untuk meninjau ke Thai-san dimana
para tokoh persilatan katanya mencari harta karun Kerajaan Sung. Bibi Guru
mengajak kami, tujuh orang muridnya. Kemarin dulu, ketika kami bertujuh
diutus Su-kouw melakukan penyelidikan dengan berpencar, dua orang su-moi
(adik seperguruan) kami yang termuda hilang. Kami dan Su-kouw mencari
dan menemukan kedua orang murid Go-bi-pai itu telah tewas dan sebelum
dibunuh agaknya mereka diperkosa orang. Kami marah sekali dan mencari
pelakunya. Tak jauh dari situ kami menemukan orangnya yang ternyata
seorang kakek iblis, datuk besar yang tinggi sekali ilmunya dan berkelakuan
seperti iblis. Dia mengaku terang-terangan bahwa dia yang memperkosa lalu
membunuh dua orang su-moi kami itu. Bibi Guru marah sekali. Kami lalu
mengeroyoknya, akan tetapi Bibi Guru terluka sebatang panah kecil beracun
sehingga kami terpaksa melarikan diri. Kemudian, dari penduduk dusun kami
mendengar akan Yok Sianli yang ahli mengobati, maka kami mencarimu dan
telah bersikap kasar karena kami bingung dan marah, juga sedih.”
“Hemm, siapakah kakek datuk yang jahat itu?” tanya Ceng Ceng yang
dapat menduga betapa lihainya datuk itu sehingga seorang tokoh Go-bi-pai
seperti bibi guru wanita-wanita ini kalah dan terluka walaupun sudah
mengeroyok kakek itu bersama lima orang keponakan muridnya.
“Kakek iblis sombong itu adalah Cui-beng Kui-ong yang berkata bahwa
semua orang yang hendak mencari harta karun akan berhadapan dengan dia,
karena harta itu katanya milik Kerajaan Mongol dan dia mewakili kerajaan
penjajah itu.”
“Ah, kiranya Raja Iblis itu yang datang ke sini dan melakukan kekejian
itu”
“Ah, engkan sudah mengenalnya, Yok Sianli?”
Ceng Ceng mengangguk.
“Siapa tidak mengenal Raja Iblis Pengejar Roh, antek Mongol yang
memusuhi semua patriot bangsa itu? Dia memang lihai sekali, akan tetapi
kelihaiannya itu pasti akan musnah, dihancurkan kejahatannya sendiri. Mari
kita ke bibi guru kalian, siapa tahu aku akan dapat menyembuhkannya,
mudah-mudahan.”
Mereka lalu memasuki sebuah hutan kecil dimana terdapat sebuah kuil
tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Tiga orang murid wanita Go-bi-pai
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
menyambut dan Ceng Ceng lalu dibawa masuk kuil tua itu.
Thian-li Niocu berusia sekitar limapuluh tahun, berpakaian pertapa
sederhana berwarna hijau. Ia rebah di atas dipan batu yang ditilami rumput
dan daun kering, telentang dengan mata terpejam dan wajahnya agak
membiru, napasnya terengah-engah. Melihat wajah wanita itu saja, Ceng
Ceng dapat menduga bahwa wanita itu keracunan. Tanpa diminta lagi ia
segera duduk di tepi dipan batu itu dan memeriksa dengan teliti.
Setelah mendapatkan luka di pundak kanan wanita itu, luka oleh anak
panah kecil yang sudah dicabut, tahulah ia bahwa racun itu disebabkan oleh
anak panah yang melukai pundak. Anak panah yang mengandung racun. Ia
lalu dengan teliti memeriksa luka yang berwarna hitam menghijau di
sekelilingnya. Memeriksa pula detak nadi untuk menemukan racun yang
bagaimana sifatnya yang terkandung dalam tubuh melalui luka itu.
Ceng Ceng minta bantuan seorang murid Go-bi-pai untuk mendudukkan
Thian-li Niocu yang masih pingsan dan menahan kedua pundaknya dari
depan. Kemudian Ceng Ceng duduk bersila di belakang tokoh Go-bi-pai itu
dan menotok beberapa hiat-to (jalan darah) di tubuh bagian belakang, lalu
menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Si Sakit dan
mengerahkan sin-kang untuk membantunya mendorong keluar hawa beracun
dari dalam tubuhnya. Perlahan-lahan muncul uap hitam mengepul dari tubuh
Thian-li Niocu, dan tak lama kemudian ia muntahkan darah menghitam yang
mengenai baju murid yang duduk di depannya dan menahan kedua
pundaknya. Thian-li Niocu mengeluh dan Ceng Ceng membantunya rebah
telentang kembali. Thian-li Niocu siuman dari pingsannya, namun tampak
masih lemah.
Ceng Ceng mengambil obat pulung (pel) yang diberi nama Pai-tok-san
(Pel Pendorong Racun) sebanyak dua butir lalu menyuruh murid Go-bi-pai
meminumkan obat itu kepada Thian-li Niocu. Setelah minum obat itu, Thian-li
Niocu tertidur. Namun kini pernapasannya sudah normal kembali dan warna
kehijauan pada mukanya makin menghilang. Pada luka di pundak itu, Ceng
Ceng memberi obat bubuk, ditaburkan pada luka lalu pundak itu dibalut.
Setelah mengobati Thian-li Niocu, Ceng Ceng keluar dari ruangan itu dan
mencari tempat di sudut ruangan depan yang sudah dibersihkan oleh lima
orang murid Go-bi-pai dan ia lalu duduk bersila di atas tumpukan jerami
untuk memulihkan tenaganya karena tadi ia mengerahkan cukup banyak
tenaga sin-kang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh Thian-li Niocu.
Setelah lewat beberapa lamanya, Ceng Ceng mendengar orang-orang
menghampirinya. Ia membuka matanya dan melihat Thian-li Niocu diikuti
lima orang muridnya memasuki ruangan depan itu dan menghampirinya.
Ceng Ceng bangkit berdiri dan Thian-li Niocu memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan di depan dada. Ceng Ceng cepat membalas
penghormatan itu.
“Nona, para muridku memberi tahu bahwa engkau adalah Yok Sianli yang
telah menolongku dan menyembuhkan lukaku. Terimalah ucapan terima
kasihku yang setulusnya.”
“Ah, Bibi, harap jangan sungkan. Saya kira sudah semestinya kalau orang
suka saling menolong, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kebetulan
saja saya mempunyai kemampuan mengobatimu, maka hal itu merupakan
kewajaran saja dan tidak perlu Bibi berterima kasih kepada saya.”
“Siancai... menurut para murid, selain pandai ilmu pengobatan, engkau
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pun memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Luar biasa sekali seorang gadis
muda seperti engkau telah memiliki dua macam ilmu itu, dan mendengar
ucapanmu tadi, engkau pun memiliki kebijaksanaan. Mari duduk, Nona, aku
ingin sekali berbincang denganmu dan mengenalmu lebih baik lagi.”
Mereka lalu duduk di atas lantai yang ditilami jerami kering. Ceng Ceng
duduk berhadapan dengan Thian-li Niocu dan lima orang muridnya.
“Biarlah kami memperkenalkan diri lebih dulu, Nona. Aku bernama Thianli
Niocu, adik seperguruan Ketua Go-bi-pai yang menjadi seorang di antara
pengurus Go-bi-pai. Aku ditunjuk oleh Ketua kami untuk mewakili Go-bi-pai
meninjau Thai-san dimana kabarnya menjadi tempat pencuri harta karun
Kerajaan Sung yang akan menjadi ajang pencarian dan perebutan di antara
orang-orang kang-ouw. Go-bi-pai tidak menginginkan harta karun, hanya
ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi kami mengalami
bencana. Dua orang murid kami telah dihina dan dibunuh oleh seorang datuk
jahat, yaitu Cui-beng Kui-ong. Aku berusaha membalas dendam, akan tetapi
ternyata dia lihai bukan main sehingga kami tidak mampu menandinginya,
bahkan aku terluka dan nyaris tewas. Nah, kami ingin sekali mengenalmu
lebih baik, Yok Sianli. Siapakah namamu yang sesungguhnya, siapa pula
gurumu dan mengapa engkau juga berada di Thai-san ini.”
Karena orang-orang Go-bi-pai itu sudah memperkenalkan diri dengan
sejujurnya, dan Ceng Ceng juga sudah mendengar bahwa perkumpulan Gobi-
pai adalah satu di antara partai-partai persilatan yang beraliran bersih,
maka ia pun tidak ragu-ragu untuk memperkenalkan dirinya dan
menceritakan keadaannya.
“Nama saya Liu Ceng Ceng, Bibi...”
“She (marga) Liu? Dari mana asalmu?” potong Thian-li Niocu.
“Saya berasal dari Nan-king dimana mendiang orang tuaku tinggal.”
“Di Nan-king? Apa engkau masih ada hubungan keluarga dengan Liu Bok
Eng?”
Ceng Ceng tersenyum.
“Liu Bok Eng adalah mendiang ayah saya, Bibi.”
“Ahh...” Thian-li Niocu berseru.
“Kiranya engkau adalah puteri pendekar patriot yang terkenal itu. Engkau
tadi mengatakan bahwa ayah ibumu telah meninggal dunia?”
“Benar, Bibi, dan sesungguhnya, semua keributan di Thai-san ini adalah
saya yang menyebabkannya. Mendiang Ayah meninggalkan sebuah peta
kepada saya dengan pesan agar mencari harta karun pada peta itu.”
“Akan tetapi kami mendengar kabar bahwa peta harta karun itu tadinya
milik seorang wanita yang disebut Pek-eng Sianli yang bekerja sama dengan
pemerintah Mongol untuk mencari harta pusaka itu”
Ceng Ceng tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Sayalah yang diberi julukan itu, Bibi. Akan tetapi tidak benar kalau saya
bekerja sama dengan pihak Pemerintah Mongol. Karena seorang adik angkat
saya tertawan oleh seorang panglima Mongol bernama Kim Bayan, maka
untuk menyelamatkan Adik angkat saya itu, terpaksa saya menyerahkan peta
kepadanya dan terpaksa pula membantunya mencari harta karun sesuai
dengan petunjuk peta itu. Setelah tempat harta karun itu ditemukan, yaitu di
Bukit Sorga tak jauh dari kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng
Kui-ong yang menjadi antek pemerintah penjajah.”
“Hemm, pantas kalau datuk iblis itu menjadi pengkhianat bangsa” kata
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Thian-li Niocu marah.
“Selanjutnya bagaimana, Nona Liu?”
“Di tempat itu kami menemukan tempat penyimpanan harta karun, akan
tetapi peti tempat harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat
tulisan THAI SAN. Saya dan Adik angkat saya bersama seorang sahabat
berhasil meloloskan diri dan demikianlah, berita itu tersiar dan semua orang
ingin mencari pencuri dan merampas harta karun itu, Bibi.”
“Hemm, pantas ketika baru tiba di sini, kami melihat rombongan pasukan
Pemerintah Mongol. Sebetulnya, dari mana asal peta harta karun itu dan
bagaimana mendiang Pendekar Liu Bok Eng bisa mendapatkannya?”
Ceng Ceng menghela napas panjang.
“Ketika Kerajaan Sung dikalahkan bangsa Mongol, seorang pembesar
istana bernama Thai-kam (Orang Kebiri) Bong mencuri harta Kerajaan Sung.
Harta yang besar itu lalu dia sembunyikan dan dia membuat sebuah peta
untuk tempat penyimpanan harta karun itu. Karena diketahui bahwa Thaikam
Bong itu korup dan jahat, bahkan hendak menjadi pengkhianat,
berhubungan dengan bangsa Mongol, maka Ayah saya yang ketika itu
menjadi panglima, melakukan penggerebekan dan membunuh pembesar
korup yang berkhianat itu. Ayah saya menemukan peta itu, akan tetapi dia
tidak sempat mencari harta karun karena Kerajaan Sung diserang bangsa
Mongol sampai akhirnya kalah dan jatuh. Setelah Kerajaan Sung jatuh, Ayah
saya juga tidak mencari harta karun itu karena tidak mungkin dikembalikan
kepada Kerajaan Sung yang sudah tiada. Ayah hanya menyimpannya saja.
Akan tetapi agaknya rahasia itu diketahui pihak Kerajaan Mongol yang baru
berkuasa, maka Ayah lalu dipaksa untuk menyerahkan peta itu kepada
mereka. Ayah menolak dan sebelum ayah tewas, Ayah menitipkan peta itu
kepada seorang sahabat dengan pesan agar diserahkan kepada saya. Nah,
demikianlah, Bibi, maka peta itu terjatuh ke tangan Ayah lalu diberikan
kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu.”
Thian-li Niocu mengangguk-angguk.
“Ah, kiranya begitu? Kalau begitu, engkau datang ke Thai-san ini tentu
hendak mencari harta karun yang menjadi hak ayahmu dan sudah diwariskan
kepadamu?”
“Benar, Bibi. Akan tetapi bukan untuk mendapatkannya sebagai warisan.
Mendiang orang tuaku tidak membutuhkan harta karun itu, dan saya juga
sama sekali tidak menginginkannya untuk diri saya sendiri.”
“Ah, begitukah? Kalau begitu, seandainya engkau berhasil mendapatkan
harta karun itu, lalu untuk apa dan untuk siapa?”
“Saya akan melaksanakan apa yang dipesan mendiang Ayah saya yaitu
apabila saya berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan
kepada yang berhak.”
“Yang berhak? Siapakah yang berhak, Nona Liu? Harta itu milik Kerajaan
Sung yang kini telah musnah. Lalu kepada siapa harta karun itu akan engkau
berikan?”
“Menurut pesan Ayah saya, harta karun itu harus diserahkan kepada para
pejuang rakyat yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari
cengkeraman penjajah Mongol. Maka seandainya saja berhasil mendapatkan
harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada para pejuang yang
dimaksudkan itu.”
“Siancai... bagus sekali. Sungguh mengagumkan Nona Liu, jangan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
khawatir, Go-bi-pai pasti berdiri di belakangmu dan kami akan membantumu
sekuat tenaga karena kami juga akan merasa gembira sekali kalau dapat
membantu perjuangan rakyat untuk merobohkan penjajah Mongol,” kata
Thian-li Niocu dengan gembira sekali.
“Bibi, terima kasih banyak. Hati saya sudah merasa senang kalau ada
pihak yang menyetujui pendirian mendiang Ayah.”
“Kalau menurut pendapatmu, siapakah kiranya yang telah mencuri harta
karun itu, Nona Liu?”
“Masih sulit untuk menduga siapa yang melakukan pencurian itu, Bibi.
Beberapa hari yang lalu, saya datang ke Thai-san ini bersama Adik angkat
saya dan seorang sahabat. Kami pergi mengunjungi Ang-tung Kai-pang. Di
sana muncul Hek Pek Mo-ko dan Adik angkat saya terlibat perkelahian
dengan Hek Pek Mo-ko yang sikapnya jahat dan kurang ajar. Saya membantu
Adik angkat saya, melawan Hek Pek Mo-ko. Akhirnya Hek Pek Mo-ko
melarikan diri...”
“Siancai… Engkau dan Adik angkatmu dapat mengalahkan Hek Pek Moko
yang berilmu tinggi itu? Sungguh mengagumkan dan sukar dipercaya
melihat engkau masih begini muda, Nona Liu. Kemudian bagaimana?”
“Setelah mereka berdua melarikan diri, adik saya Tan Li Hong melakukan
pengejaran. Adik saya itu memang berwatak keras. Kamudian sahabat kami
menyusulnya karena khawatir kalau-kalau adik saya terjebak musuh. Setelah
menanti lama dan mereka berdua belum juga pulang, saya lalu mencari
mereka. Akan tetapi usaha saya gagal. Saya tidak dapat menemukan mereka
biarpun saya telah mencari selama beberapa hari. Akhirnya saya bertemu
dengan dua orang Cici (Kakak Perempuan) ini dan diajak ke sini untuk
mengobati Bibi. Oleh karena itu saya belum dapat melakukan penyelidikan
kepada golongan lain. Akan tetapi menurut keyakinan saya, golongan yang
sudah saya datangi, yaitu Ang-tung Kai-pang, pasti bukan pelaku pencurian
harta karun itu.”
“Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko? Kami mendengar bahwa Hek Pek Moko
merupakan datuk-datuk yang jahat dan kejam. Mungkinkah mereka yang
menjadi pencurinya?”
“Sukar dipastikan, Bibi. Hek Pek Mo-ko sendiri menuduh Ang-tung Kaipang
yang menjadi pencurinya. Ada dua kemungkinan memang. Hek Pek Moko
benar-benar bukan pencuri harta karun atau merekalah pencurinya dan
sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan kecurigaan para
pencari harta karun yang lain.”
Thian-li Niocu mengangguk-angguk.
“Nona Liu, kami kira keadaan di daerah Thai-san ini sekarang amatlah
berbahaya. Ini sudah kami rasakan sendiri. Kami melakukan penyelidikan
dengan berpencar dan akibatnya, dua orang murid kami tewas, entah masih
berapa banyak lagi orang jahat yang berilmu tinggi berkeliaran di sini. Maka,
sebaiknya kita bersama melakukan penyelidikan agar kita lebih kuat
menghadapi bahaya.”
“Su-kouw (Bibi Guru), kita harus membalas dendam kepada jahanam Cuibeng
Kui-ong atas penghinaan dan pembunuhan yang dia lakukan terhadap
dua orang Sumoi (Adik Seperguruan)” kata murid Go-bi-pai yang bermata
sipit dengan suara mengandung kesedihan dan kemarahan.
Thian-li Niocu menghela napas panjang.
“Ah, kita sudah pernah mengeroyoknya namun kita bukan tandingannya.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Kita minta bantuan Nona Liu, tentu akan dapat mengalahkannya”
“Bibi, saya sendiri pernah bertemu dan bertanding melawan datuk itu.
Saya kira saya sendiri tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi perlukah
melakukan balas dendam? Sebaiknya Bibi kelak melaporkan hal itu kepada
Ketua Go-bi-pai agar diambil keputusan. Dendam di hati merupakan racun
yang berbahaya, membuat orang terkadang menjadi kejam dan bahkan nekat.
Membiarkan dendam sama dengan membiarkan api berkobar dalam hati,
kalau tidak dapat membalas dendam kematian menjadi kecewa dan
penasaran, sebaliknya kalau mampu membalas dendam kematian akan
menghadapi dendam pula dari pihak lawan. Mengapa tidak membiarkan saja
dendam itu lewat tanpa mempengaruhi kita?”
“Ah, Nona Liu”
Murid Go-bi-pai yang bermata sipit itu berseru dengan lantang, suaranya
mengandung penasaran.
“Karena engkau tidak merasakan kehilangan adik seperguruan, tentu saja
engkau dapat berkata begitu. Akan tetapi kami yang kehilangan, bagaimana
mungkin tidak menaruh dendam?”
Thian-li Niocu hendak menegur keponakan seperguruannya, akan tetapi
Ceng Ceng yang tersenyum sudah mendahului menjawab dengan bertanya
kepada Si Mata Sipit.
“Enci yang baik, dapatkah engkau menjelaskan kepadaku, mana yang
lebih berat antara adik seperguruan dan ayah ibu?”
Tanpa berpikir lagi Si Mata Sipit menjawab.
“Tentu saja ayah ibu yang lebih berat. Ayah ibu merupakan orang-orang
pertama yang paling dekat dengan kita”
“Nah, kalau begitu ketahuilah, Enci yang baik, bahwa Ayah dan Ibuku
juga tewas dibunuh orang. Yang membunuhnya adalah Cui-beng Kui-ong
pula, bersama muridnya, yaitu Panglima Mongol Kim Bayan.”
“Siancai” Thian-li Niocu berseru kaget.
“Jadi Ayah Ibumu juga terbunuh oleh datuk sesat itu? Akan tetapi
mengapa engkau tidak membalas dendam kematian mereka, Nona Liu?”
“Seperti sudah saya katakan tadi, Bibi. Dendam itu racun yang amat
berbahaya. Saya tidak mau dibakar dendam yang akan meracuni dan merusak
diri sendiri.”
“Tapi mengapa begitu?”
Murid Go-bi-pai bermata sipit itu berseru, penuh rasa heran dan
penasaran.
“Apakah orang sejahat datuk Iblis itu dibiarkan saja merajalela dengan
kejahatannya? Bukankah sebagai pendekar silat kita berkewajiban untuk
menentang kejahatan?”
Dengan sikap tenang Ceng Ceng menjawab.
“Sesungguhnya, bukan hanya ahli silat saja yang berkewajiban untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran. Setiap manusia berkewajiban untuk
menentang kejahatan dengan hidup yang baik dan benar karena hanya
dengan demikianlah kehidupan di dunia ini menjadi tenteram dan sejahtera.
Berlandaskan kasih dalam hati, semua orang saling bantu, saling tolong dan
tidak pernah ada kebencian dan kekerasan. Saya sendiri setiap saat siap
untuk menentang kejahatan, akan tetapi harap diingat, yang ditentang itu
adalah kejahatannya, bukan manusianya. Kalau orang-orang yang sesat
hidupnya seperti misalnya Cui-beng Kui-ong itu melakukan kejahatan, sudah
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
pasti saya menentangnya. Akan tetapi saya menentangnya karena dia
melakukan kejahatan dan berbahaya bagi keselamatan orang lain, bukan saya
tentang berdasarkan dendam pribadi.”
“Siancai... Aku semakin heran dan kagum kepadamu, Nona Liu. Bahkan di
antara sekian banyaknya pendeta dan pertapa, tidak banyak yang tidak lagi
dikuasai ke-akuannya yang menimbulkan kebencian dan dendam. Kami
semakin yakin bahwa engkaulah orangnya yang pantas mendapatkan harta
karun itu untuk melaksanakan pesan ayahmu. Kami akan membantumu
sekuat kemampuan kami, Nona Liu.”
“Terima kasih, Bibi.”
Thian-li Niocu lalu berkata kepada lima orang keponakan muridnya.
“Kalian sudah mendengar pendapat Nona Liu. Semua ucapannya tadi
benar sekali, maka kalian sepatutnya mencontohnya. Kita tentu akan
menentang orang-orang sesat seperti Cui-beng Kui-ong, akan tetapi kita
menentang kejahatannya, bukan menentang orangnya untuk membalas
dendam. Sekarang yang terpenting kita membantu Nona Liu untuk
mendapatkan kembali harta karun, dan jangan membiarkan dendam
membakar hati kalian.”
Setelah Thian-li Niocu pulih kembali kesehatannya, ia bersama lima orang
muridnya menemani Ceng Ceng melanjutkan penyelidikannya di daerah Thaisan
itu. Atas permintaan Ceng Ceng, mereka menuju ke bagian Utara
pegunungan itu untuk menyelidiki Hek Pek Mo-ko karena selain sepasang
iblis ini dianggap mencurigakan, juga Ceng Ceng hendak mencari Yauw Tek
dan Tan Li Hong yang tempo hari melakukan pengejaran terhadap sepasang
iblis itu.
--------
Dalam perjalanan mereka mencari pencuri harta karun, Pouw Cun Giok,
The Kui Lan, dan The Kui Lin di sepanjang perjalanan mendengar bahwa
banyak rombongan maupun perorangan dari dunia kang-ouw berdatangan di
Pegunungan Thai-san. Bahkan di sana-sini terjadi bentrokan di antara mereka.
“Hemm, perebutan dan persaingan sudah dimulai,” kata Cun Giok.
“Mereka itu orang-orang aneh. Harta karun belum juga ditentukan
mengapa mereka sudah saling serang?” kata Kui Lin.
“Sejak dulu kita sudah mendengar bahwa orang-orang kang-ouw memang
aneh dan mereka suka sekali berkelahi. Mungkin dalam kesempatan mencari
harta karun ini mereka pergunakan untuk mengukur kelihaian masingmasing,”
kata Kui Lan.
“Memang demikianlah. Orang-orang seperti mereka itu menganggap
bahwa mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun hanya untuk berkelahi,
memperlihatkan kepandaian dan mencari kemenangan. Karena itu, orangorang
kang-ouw itu cenderung tersesat dan mengutamakan kekerasan,” kata
Cun Giok.
“Huh, tolol mereka semua itu. Seperti segerombolan anjing
memperebutkan tulang dan asyik berkelahi sehingga tidak lagi
mempedulikan tulang yang mereka perebutkan. Akhirnya, mereka itu babak
belur akan tetapi tulangnya sudah dibawa pergi pihak lain” kata pula Kui Lin.
Cun Giok tertawa.
“Ha-ha, mudah-mudahan saja kita yang menjadi pihak lain itu”
Makin naik ke lereng lebih tinggi, mereka semakin banyak mendengar
akan keributan-keributan yang terjadi di daerah Pegunungan Thai-san itu.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Lan-moi dan Lin-moi,” kata Cun Giok.
“Agaknya pencari harta karun semakin banyak dan ramai. Karena itu,
kukira lebih baik kalau untuk sementara kita mencari dengan terpencar. Aku
mencari ke arah sana dan kalian berdua ke arah yang berlawanan. Sebulan
kemudian kita bertemu kembali di perkampungan Thai-san-pai. Bagaimana
pendapat kalian?”
Kui Lin mengerutkan alisnya. Rasanya berat untuk berpisah dari pemuda
yang dikaguminya itu. Akan tetapi Kui Lan segera berkata.
“Pendapat Giok-ko benar. Dengan berpencar kita dapat lebih banyak
mengetahui keadaan dan siapa tahu, Giok-ko atau kami berdua dapat
memperoleh keterangan yang jelas tentang pencuri harta karun.”
Karena encinya sudah berkata demikian, Kui Lin tidak berani membantah,
juga tentu saja ia malu untuk mengatakan bahwa dia tidak suka berpisah dari
Cun Giok. Demikianlah, tiga orang itu berpisah menjadi dua, Cun Giok
melanjutkan penyelidikannya seorang diri, sedangkan Kui Lan dan Kui Lin
mencari ke arah lain. Sebetulnya bukan hanya alasan yang dikemukakan
kepada dua orang gadis kembar itu yang membuat Cun Giok mengambil
kebijaksanaan untuk berpencar, melainkan juga karena dia mengkhawatirkan
keadaan Li Hong dan Ceng Ceng yang belum juga dapat dijumpainya.
Setelah mereka berdua berpisah dari Cun Giok dan berjalan cukup jauh,
Kui Lin mengomel kepada encinya.
“Lan-ci, kenapa engkau setuju berpisah dari Giok-ko? Tempat ini amat
berbahaya, kalau tidak ada Giok-ko, apakah kita berdua tidak akan terancam
bahaya?”
“Ih, Lin-moi, benarkah ini engkau yang bicara? Sejak dulu aku tahu akan
keberanianmu menempuh bahaya apa pun. Akan tetapi mengapa sekarang
engkau begitu penakut? Belum juga muncul bahaya engkau sudah takut lebih
dulu.”
“Akan tetapi, Lan-ci, perjalanan kita sekali ini menempuh bahaya yang
besar. Engkau merasakan sendiri. Baru bertemu Huo Lo-sian seorang saja,
kita berdua tidak mampu menandinginya dan kalau tidak ada Giok-ko, tentu
kita sudah celaka di tangan datuk itu.”
“Sudahlah, Lin-moi, kita harus lebih percaya kepada diri sendiri. Engkau
telah bersikap lancang ketika berhadapan dengan Huo Lo-sian sehingga
hampir saja kita celaka kalau tidak dibantu oleh Giok-ko. Lain kali, kita harus
lebih berhati-hati, jangan mudah naik darah dan mencari permusuhan dengan
siapa pun. Keperluan kita ke sini adalah untuk membantu Giok-ko mencari
harta karun itu, bukan mencari permusuhan.”
Kui Lin cemberut.
“Enci Lan, datuk iblis macam Huo Lo-sian itu sudah sepatutnya kita
musuhi”
“Bukan kita musuhi, Lin-moi. Kalau dia menyerang kita, terpaksa kita
harus melawan mati-matian. Akan tetapi kalau tidak, untuk apa kita mencari
penyakit? Pendeknya, selanjutnya aku melarang engkau turun tangan
menggunakan kekerasan menyerang siapa saja sebelum aku beri tanda. Ingat
pesan Ibu, dalam perjalanan ini engkau sudah berjanji untuk menaati katakataku”
Kui Lin makin bersungut-sungut akan tetapi tidak berani membantah lagi.
“Baiklah, Enciku yang baik, mulai sekarang aku akan menaati semua
perintahmu.”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Kui Lin merajuk dan sikapnya seolah menghadap seorang puteri raja yang
harus dipatuhi dan dihormati. Mau tidak mau Kui Lan tersenyum geli melihat
sikap adiknya yang sinis itu.
“Adikku yang baik, semua yang kupikirkan, katakan atau perbuat sematamata
untuk kebaikan dan keselamatan kita berdua. Kita sekarang hanya
berdua, apakah engkau mengajak aku bertengkar? Kalau engkau tidak merasa
puas, baiklah mulai sekarang engkau yang memimpin dan aku akan memaati
semua petunjukmu”
“Ah, jangan begitu, Lan-ci. Sekarang engkau yang merajuk”
Kui Lin setengah cemberut setengah tertawa sehingga Kui Lan tertawa.
Mereka lalu berangkulan.
“Lihat, Lin-moi, matahari sudah condong ke barat. Kita harus cepat
mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam yang akan segera tiba.”
Mereka kini berlari cepat dan ketika dari atas sebuah bukit mereka
melihat rumah-rumah pedusunan bergerombol di lereng bawah, mereka cepat
menuruni bukit menuju ke dusun kecil itu.
Dusun di lereng itu hanya kecil saja, dihuni tidak lebih dari limapuluh
kepala keluarga. Melihat keadaan rumah-rumah di situ dapat diduga bahwa
penghuni dusun itu berkeadaan cukup baik. Rumah mereka kokoh dan jalan di
dusun itu pun rapi dan terawat bersih. Akan tetapi ketika dua orang gadis
kembar itu memasuki dusun, mereka terheran-heran. Matahari belum
terbenam dan cuaca masih terang, apalagi waktu itu langit pun bersih tidak
ada mendung. Akan tetapi mengapa semua pintu dan jendela rumah itu
tertutup semua dan tidak tampak seorang pun manusia di luar rumah?
“Heran, apakah dusun ini tidak ada penghuninya?” Kui Lin mengomel.
“Sstt, dengar. Kukira di dalam semua rumah itu ada penghuninya, hanya
entah mengapa masih terang begini mereka sudah menutup pintu dan
jendela. Agaknya tidak berani keluar,” kata Kui Lan.
Kui Lin diam dan memperhatikan dengan pendengarannya. Ia menangkap
juga gerakan dari dalam rumah-rumah itu. Mereka berjalan sampai ke tengah
dusun dan tetap saja tidak melihat seorang pun di luar rumah. Kui Lin merasa
penasaran dan ia melangkah ke depan sebuah rumah hendak berteriak
memanggil, namun Kui Lan mencegahnya.
“Jangan ganggu mereka, Lin-moi. Melihat sikap mereka, agaknya mereka
ketakutan. Pasti ada sesuatu yang buruk terjadi di dusun ini.”
Tiba-tiba mereka mendengar suara tangis lirih sekali. Hanya isak yang
ditahan-tahan, tangis seorang wanita yang agaknya menutupi mulutnya
dengan kain agar suara tangisnya tidak terdengar orang. Lalu ada suara lakilaki
berbisik lirih menyuruh wanita itu menghentikan tangisnya. Akan tetapi
agaknya yang menangis itu tidak dapat menahan diri sehingga isaknya
menerobos keluar dari tangan yang menutupinya. Kemudian, terdengar
jeritannya tertahan.
“Anakku... aku mau mencari anakku...”
Suara kaki berlari dan pintu sebuah rumah terdekat terbuka. Tampak
seorang wanita muda berlari keluar dengan sanggul rambut terlepas.
“Cun-nio... kembalilah...” Seorang laki-laki berlari mengejar.
Wanita itu terhuyung dan ketika tiba di depan Kui Lan dan Kui Lin, ia
tersandung dan jatuh di depan kaki Kui Lan. Kui Lan cepat menghampiri dan
membantunya bangkit berdiri. Pada saat itu, laki-laki yang tadi mengejar
sudah sampai di situ.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Siluman jahat, jangan ganggu isteriku” Dan dia lalu menerjang dan
menyerang Kui Lan.
Akan tetapi serangan itu tidak ada artinya bagi Kui Lan karena hanya
serangan seorang laki-laki biasa tanpa didukung ilmu silat dan tenaga dalam.
Dengan mudah Kui Lan mengelak dan sebelum laki-laki itu menyerang lagi,
Kui Lin telah mendorongnya dari samping sehingga tubuh laki-laki itu
terpelanting dan terguling-guling.
Biarpun tubuhnya nyeri karena terbanting-banting, laki-laki itu bangkit
kembali dan dengan nekat menyerang sambil memaki.
“Siluman jahat, kembalikan anakku dan jangan ganggu isteriku” Dia maju
lagi menerjang dan memukul.
Akan tetapi Kui Lan cepat bergerak menotoknya sehingga dia roboh
terkulai lemas, tak mampu menggerakkan kaki tangan lagi. Wanita yang tadi
lari menangis itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Lan dan Kui Lin.
“Ampunkan suami saya... ampunkan kami... mohon dikembalikan anak
kami...” Wanita itu meratap.
“Hei, kalian ini apakah sudah gila?” Kui Lin membentak.
“Masa kami dituduh menjadi siluman jahat yang menculik anak kalian”
Kui Lan berkata kepada suami isteri itu yang kini keduanya berlutut
sambil menangis.
“Kalian tenanglah dan hentikan tangismu. Sebetulnya apakah yang telah
terjadi? Kami berdua hanya kebetulan lewat saja di dusun ini, mengapa kalian
menganggap kami menculik anak kalian?”
Agaknya suami isteri itu baru menyadari bahwa mereka salah sangka,
maka wanita itu berkata.
“Ah, ji-wi Li-hiap, maafkan kami yang salah sangka... tolonglah kami, Lihiap,
selamatkan kami...” Wanita itu menangis.
“Apa yang terjadi? Hayo katakan, apa yang terjadi?” Kui Lin bertanya tak
sabar.
Kini suami itu berkata, “Harap Ji-wi memasuki rumah kami, di dalam saja
kita bicara dan kami akan menceritakan semua. Kalau di luar sini berbahaya
sekali...”
“Hemm, berbahaya apa? Siapa yang mengancam kalian? Biar
kuhancurkan kepalanya” teriak Kui Lin.
Kui Lan mengangkat bangun suami isteri itu.
“Marilah kita bicara di dalam rumah kalian.”
Mereka berempat lalu memasuki rumah. Daun pintu segera ditutup oleh si
Suami. Cuaca di Iuar masih terang, akan tetapi karena semua jendela dan
pintu ditutup, cuaca dalam rumah itu agak gelap.
“Nyalakan lampu” kata Kui Lin.
“Kami takut...”
“Tidak perlu takut. Siapa mengganggu kalian, akan kami hajar” kata Kui
Lin. Biarpun takut dan gugup, suami itu menyalakan sebuah lampu meja dan
cuaca menjadi lebih terang.
“Nah, ceritakan, apa yang terjadi di dusun ini dan mengapa semua orang
menutup pintu?” tanya Kui Lan.
Biarpun masih tampak pucat, namun kehadiran dua orang gadis cantik
jelita yang tampak pemberani itu membuat suami isteri itu agak tenang. Si
Suami kini menceritakan dengan suara lirih seperti takut kalau terdengar
orang luar rumah.
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Ketahuilah, Ji-wi Li-hiap (Pendekar Wanita Berdua), bahwa sekitar lima
hari yang lalu, dusun kami kedatangan siluman yang suka menculik anakanak
bayi. Sudah dua orang bayi yang ia culik, dan yang terakhir anak kami
yang baru berusia tiga bulan diculiknya.”
“Huh, macam apa siluman itu?” tanya Kui Lin.
“Kami sedusun tidak ada yang pernah melihatnya, Li-hiap. Pertama-tama,
lima hari yang lalu, pada malam itu hanya terdengar suara wanita seperti
menangis atau tertawa, aneh sekali dan menyeramkan. Lalu terdengar
suaranya yang serak dan menakutkan. Ia minta agar disediakan seorang bayi.
Tentu saja kami menjadi marah dan belasan orang laki-laki tua muda di dusun
ini keluar untuk melawan siluman itu. Akan tetapi kami tidak melihat adanya
orang, hanya suara tawa setengah tangis itu dan tiba-tiba ada angin
menyambar-nyambar dan kami roboh berpelantingan. Kemudian, seorang
anak bayi yang baru sebulan usianya, terdengar menangis dan ketika
keluarga dalam rumah itu memasuki kamar, anak bayi itu telah lenyap”
“Siluman keparat” Kui Lin memaki marah.
“Selanjutnya bagaimana?” tanya Kui Lan.
“Selama tiga hari, siluman itu tidak muncul, kemudian kemarin malam,
siluman itu muncul, atau lebih tepat, suaranya muncul minta seorang bayi.
Semua laki-laki dalam dusun kami, dipimpin oleh kepala dusun, berjumlah
limapuluh orang, keluar untuk melawan. Akan tetapi kemudian tampak
sesosok wanita baju putih, gerakannya demikian cepat sehingga kami tidak
dapat melihat jelas wajahnya, berkelebatan dan kami semua roboh. Untung
bahwa kami hanya menderita luka tidak parah, akan tetapi anak kami yang
berusia tiga bulan telah hilang setelah kami mendengar bunyi tangisnya.”
Kini Si Isteri itu menangis terisak-isak, teringat akan anak bayinya yang
diculik siluman.
“Lanjutkan ceritamu” kata Kui Lan.
Suami itu melanjutkan dengan wajah sedih dan takut.
“Sejak kemarin malam, kami seluruh penduduk dusun ketakutan, apalagi
ketika terdengar suara siluman itu bahwa malam ini kami harus menyediakan
seorang bayi yang usianya kurang dari tiga bulan. Kalau kami tidak
menyediakan bayi itu, dusun ini akan dibakar dan penduduknya akan
dibasmi. Karena itu, kami ketakutan dan tidak berani membuka pintu dan
jendela.”
“Siluman keparat. Aku akan membunuhnya”
Kui Lin sudah bangkit berdiri dan mengamangkan tinju ke arah pintu.
Akan tetapi Kui Lan memberi tanda kepada adiknya agar diam, lalu bertanya
kepada tuan rumah.
“Apakah permintaannya itu malam ini dipenuhi?”
“Aih, Li-hiap, orang tua mana yang merelakan anak bayinya dibawa
siluman itu? Tentu saja tidak ada yang mau memberikan anaknya walaupun
di dusun ini terdapat beberapa orang anak bayi di bawah tiga bulan.”
“Kalau begitu, sekarang juga bawalah kami kepada orang tua yang
mempunyai anak bayi kurang dari tiga bulan itu. Kami akan minta kepadanya
untuk menyerahkan anak mereka. Apakah siluman itu mengatakan dimana
anak itu harus diserahkan?”
“Ia hanya mengatakan agar anak itu diletakkan di halaman rumah dan ia
akan mengambilnya. Akan tetapi, Li-hiap, kami yakin bahwa orang tua itu
tidak akan memperbolehkan anak mereka diserahkan kepada siluman”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
“Maksudku bukan diserahkan, hanya untuk memancing agar siluman itu
datang. Kalau ia datang, kami berdua yang akan menghadapinya dan anak itu
kami jamin selamat,” kata Kui Lan dengan suara meyakinkan.
Suami isteri itu lalu mengantarkan Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah rumah
tak jauh dari situ. Setelah mengetuk pintu dan suami itu memperkenalkan diri,
daun pintu dibuka. Mereka berempat masuk dan di sini pun Kui Lin minta
agar lampu dinyalakan.
“Kami tidak berani...” kata Ibu si anak.
“Jangan takut, ada kami di sini. Kalau ada siluman atau iblis muncul, kami
yang akan menghancurkan kepalanya” kata Kui Lin galak.
Tiba-tiba anak kecil itu menangis dan cepat-cepat ibunya menghentikan
suaranya dengan memasukkan payudaranya ke dalam mulut bayi itu.
Sekarang suaminya berkata kepada Kui Lin dengan nada suara ragu dan
penasaran.
“Nona, bagaimana kami akan dapat mempercayai kesanggupanmu untuk
melindungi anak kami dan melawan siluman itu? Apakah yang Nona
andalkan untuk mengalahkannya?”
Kui Lin hendak membentaknya akan tetapi didahului Kui Lan yang
berkata.
“Kapankah siluman itu minta agar anak bayi itu dikeluarkan di halaman
rumah?”
“Mintanya... eh, setelah matahari terbenam...”
“Hemm, kalau begitu sekarang?” tanya Kui Lan sambil membuka daun
jendela sehingga tampak keadaan di luar. Memang pada saat itu, senja telah
tiba dan cuaca di luar mulai remang-remang.
Tuan rumah dan penduduk yang membawa dua orang gadis kembar itu ke
situ mengangguk dengan wajah ketakutan. Sementara itu, ibu si anak
mendekap anaknya dan menggeleng-geleng kepala.
“Tidak boleh. Anakku tidak boleh dipakai umpan...”
Kui Lan memandang adiknya, pandang mata yang mengandung isyarat
dan biasanya di antara kedua orang gadis ini memang ada hubungan batin
yang peka sekali sehingga apa yang dimaksudkan seorang dari mereka dapat
ditangkap oleh yang lain hanya dengan pandang mata saja. Lalu Kui Lan
mendekati ayah si anak tadi sambil berkata.
“Engkau menghendaki bukti bahwa kami dapat melawan siluman itu?”
“Yang penting dapat melindungi anak kami” kata tuan rumah.
Tiba-tiba dia terkulai roboh, disusul isterinya. Suami isteri itu tertotok
roboh oleh Kui Lan dan Kui Lin secepat kilat telah mengambil bayi itu dari
pondongan ibunya.
Suami isteri yang membawa dua orang gadis itu ke situ, hanya
memandang dengan terbelalak dan mereka berdua merasa bingung dan
curiga. Mereka sama sekali tidak mengenal siapa dua orang gadis yang
segala-galanya sama itu. Jangan-jangan siluman itu adalah mereka ini. Akan
tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, hanya memandang kepada ayah
dan ibu bayi itu yang rebah di atas lantai tanpa dapat bergerak.
Kui Lan memberi isyarat kepada adiknya dan Kui Lin segera membawa
bayi itu dengan selimutnya keluar rumah. Ia membentangkan selimut itu di
atas pekarangan rumah, lalu menggunakan sebagian selimut itu untuk
menyelimuti bayi yang kini menangis lagi. Kui Lan dan Kui Lin berjongkok di
belakang semak-semak yang tumbuh di halaman itu, menanti dengan penuh
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
kewaspadaan. Kui Lan sudah mencabut pedangnya, sedangkan Kui Lin
memegang dua buah batu sebesar kepalan tangan di kedua tangannya.
Mereka siap siaga untuk menyerang siluman yang akan muncul dan akan
mengambil bayi yang menangis itu.
Suami isteri pertama yang kini mengintai di balik jendela gemetar seluruh
tubuh mereka, dan suami isteri yang tertotok tadi biarpun tidak mampu
bergerak, namun mereka mampu mendengar. Mendengar tangis bayi mereka,
dapat dibayangkan betapa risau, khawatir dan sedih rasa hati mereka. Juga
kini semua penduduk mendengarkan dengan ketakutan. Mereka mendengar
tangis bayi itu dan tidak dapat melihat apa yang terjadi. Mereka
membayangkan hal yang ngeri-ngeri.
Kui Lan dan Kui Lin tidak harus menanti terlalu lama. Agaknya tangis bayi
itu menarik siluman itu datang lebih cepat. Tiba-tiba angin bertiup,
menggerakkan daun-daun pohon di pekarangan itu. Lalu terdengar suara
tawa bercampur tangis dan sesosok bayangan putih berkelebat memasuki
halaman. Inilah saat yang dinanti-nanti Kui Lan dan Kui Lin. Kui Lin segera
menyambitkan dua buah batu itu dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah
bayangan putih itu, lalu bersama Kui Lan ia melompat keluar dari balik
semak-semak, lari menghampiri bayangan itu.
“Iihhhh...”
Bayangan putih itu mengeluarkan jeritan marah dan tubuhnya mengelak
dari sambaran batu pertama lalu tangan kirinya menangkis batu kedua
sehingga batu itu pecah berantakan
Akan tetapi Kui Lan dan Kui Lin sudah berdiri di depannya membelakangi
bayi sehingga mereka berdua menghadang bayangan itu. Dalam keremangan
cuaca mereka masih dapat melihat bahwa bayangan itu ternyata adalah
seorang nenek kurus agak bongkok, mukanya putih pucat seperti mayat dan
bajunya serba putih terbuat dari kain mori kasar seperti yang biasa dipakai
orang yang sedang berkabung. Sepatunya kulit hitam berlapis besi dan
tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam.
Biarpun Kui Lan dan Kui Lin belum pernah melihat nenek yang usianya
tentu lebih dari enampuluh tahun itu, namun mereka sudah mendengar dari
ibu mereka tentang para datuk persilatan, baik dari golongan hitam sesat
maupun golongan putih berjiwa pendekar. Maka, melihat nenek yang pucat
seperti mayat dan mengenakan pakaian berkabung itu, Kui Lan langsung
berkata.
“Kiranya yang membuat kekacauan di dusun ini adalah Song-bun Mo-li
(Iblis Betina Berkabung)”
“Nenek siluman jahat. Untuk apa engkau menculik anak-anak bayi?”
Kui Lin membentak marah. Mereka berdua sudah mendengar dari ibu
mereka betapa lihainya nenek ini, namun mereka terutama Kui Lin sama
sekali tidak merasa gentar.
Nenek itu mengeluarkan suara gerengan seperti tawa bercampur tangis.
Tadinya ia marah sekali ketika ada dua buah batu menyambar dan ketika ia
menangkis satu di antaranya, terasa betapa lemparan batu itu dilakukan
orang dengan tenaga lemparan yang amat kuat. Akan tetapi ketika
berhadapan dengan dua orang gadis kembar dan ternyata dua orang gadis itu
mengenalnya, ia merasa heran. Biasanya, yang mengenal ia adalah para datuk
dan tokoh besar persilatan. Akan tetapi kini, dua orang gadis muda,
tampaknya kembar, mengenalnya, bahkan berani menghinanya dengan
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
makian. Tentu saja ia menjadi marah sekali dan ia ingin tahu lebih dulu siapa
mereka sebelum ia membunuh mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Song-bun Mo-li dan Cui-beng
Kui-ong, kakak beradik seperguruan ini tadinya membantu murid mereka, Kim
Bayan ketika Kim Bayan berusaha mendapatkan harta karun Kerajaan Sung.
Kemudian setelah tempat itu ditemukan menurut petunjuk peta yang mereka
rampas dari Ceng Ceng, ternyata peti harta karun itu kosong dan yang ada
hanya tulisan THAI SAN. Kim Bayan khawatir kalau-kalau harta karun itu
akan dimiliki kedua orang gurunya, maka dia sengaja memisahkan diri,
kemudian dia memimpin pasukan yang cukup besar untuk mencari sendiri ke
Thai-san.
Adapun sepasang Iblis Tua itu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li,
diajak oleh Kong Sek dan mereka bertiga juga pergi ke Thai-san. Setelah tiba
di kaki pegunungan, Song-bun Mo-li kumat kesukaannya untuk menghisap
darah bayi. Dahulu, hal ini dilakukan untuk memperkuat daya rendah yang
kotor guna mempelajari ilmu sesat yang dapat membuat nenek ini melakukan
sihir. Akan tetapi kemudian ia merasa kecanduan dan satu dua tahun sekali ia
kumat dan baru puas kalau sudah menghisap darah beberapa orang bayi. Di
tempat itu ia lalu mencari bayi-bayi dan kebetulan dusun di lereng itulah yang
menjadi korban.
“Hu-hu-heh-heh-heh, kalian berdua ini bocah-bocah bosan hidup sudah
mengenal aku. Hayo katakan siapa kalian sebelum aku membunuhmu dan
jangan mati tanpa nama”
Kui Lin yang marah mendahului encinya.
“Huh, nenek siluman yang jahat. Sebentar lagi engkau akan berkabung
untuk kematianmu sendiri. Bukalah telingamu dan dengarlah bahwa kami
berdua adalah penghuni Lembah Seribu Bunga”
Song-bun Mo-li terkejut juga mendengar disebutnya Lembah Seribu
Bunga yang amat terkenal di dunia persilatan, terutama bagi para datuk.
“Lembah Seribu Bunga? Apakah kalian murid-murid The Toanio, majikan
Lembah Seribu Bunga?” tanyanya.
“Kami puterinya” jawab Kui Lan.
“Ah, kiranya puteri Majikan Lembah Seribu Bunga. Pantas saja kalian
berani menentang Song-bun Mo-li. Mengingat ibu kalian, biarlah aku
mengampuni kalian, akan tetapi jangan mencampuri urusanku. Pergilah dan
jangan menggangguku atau aku akan lupa bahwa kalian adalah puteri-puteri
The Toanio Majikan Lembah Seribu Bunga”
“Huh, enak saja menyuruh kami pergi” Kui Lin berseru marah.
“Song-bun Mo-li, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk dan sore ini
bersiaplah untuk mampus tangan kami.”
Marahlah Song-bun Mo-li, apalagi melihat Kui Lan sekarang mengambil
bayi yang menangis itu, memondong dan membawanya masuk ke dalam
rumah, menyerahkannya ke dalam pondongan ibu anak itu yang sudah
terbebas dari totokan oleh Kui Lan sebelum menyerahkan anak itu. Kini
dengan cepat Kui Lan sudah berdiri di samping adiknya lagi.
“Bocah-bocah kurang ajar. Sekarang aku tidak peduli lagi kalian anak
dewa ataupun anak setan. Kalian terimalah ini”
Setelah berkata demikian, nenek itu melompat ke depan dan tongkatnya
menyambar bagaikan kilat secara bertubi kepada dua orang gadis kembar itu.
Tongkat yang menjadi gulungan sinar hitam itu mula-mula menyambar ke
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
arah dada Kui Lan dan ketika Kui Lan mengelak, tongkat itu langsung
menyambar ke arah leher Kui Lin. Gerakannya selain amat cepat, juga ganas
dan kuat sekali sehingga setiap serangan merupakan jangkauan maut.
Namun dua orang gadis kembar itu dapat menghindar dengan cepatnya,
bahkan Kui Lan segera membalas dengan sambaran pedangnya, sedangkan
Kui Lin menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Kui Lin memang
merupakan ahli ilmu silat tangan kosong tidak seperti kakaknya yang ahli
silat pedang, maka biarpun ia menyerang dengan tangan kosong,
serangannya itu berbahaya sekali. Pukulannya selain cepat juga didorong sinkang
(tenaga sakti) yang amat kuat sehingga didahului angin pukulan yang
mengandung hawa panas
“Trang… plakk… trangg... plakk!”
Dua kali tongkat hitam Song-bun Mo-li menangkis pedang Kui Lan dan
dua kali pula tangan kirinya menangkis pukulan Kui Lin. Pertemuan tenaga
antara Song-bun Mo-li dengan kedua orang gadis kembar itu membuat Kui
Lan dan Kui Lin terhuyung, akan tetapi Song-bun Mo-li juga merasa tergetar
lengannya. Hal ini menandakan bahwa biarpun nenek itu masih lebih kuat,
namun selisihnya tidak banyak.
Song-bun Mo-li merasa penasaran. Masa ia tidak mampu mengalahkan
dua orang gadis muda itu, sungguhpun mereka puteri The Toanio dari
Lembah Seribu Bunga? Tingkat kepandaiannya kalau dibandingkan dengan
tingkat kepandaian The Toanio mungkin seimbang, maka memalukan kalau ia
sampai tidak mampu mengalahkan dua orang puteri atau muridnya itu. Ia lalu
mengeluarkan bentakan nyaring dan tongkatnya digerakkan semakin cepat
sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung yang menyambar ke
arah Kui Lan dan Kui Lin menjadi serangan maut yang amat berbahaya.
Kui Lan dan Kui Lin maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan
yang amat lihai, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali. Sepasang
saudara kembar ini tentu saja memiliki kepekaan yang luar biasa antara satu
sama lain sehingga ketika bertanding, mereka pun menggunakan
penggabungan ilmu silat mereka. Pedang Kui Lan menjadi pertahanan dan
tongkat hitam nenek itu selalu tertangkis pedang, sedangkan Kui Lin yang
memiliki gerakan cepat itu melancarkan serangan bertubi-tubi dengan
pukulan-pukulan kedua tangannya dan tendangan kedua kaki berganti-ganti.
Dengan kerja sama yang amat kompak ini, biarpun tingkat kepandaian
mereka masih di bawah tingkat Song-bun Mo-li, sepasang gadis kembar itu
dapat mendesak nenek yang lihai itu. Song-bun Mo-li menjadi marah sekali. Ia
maklum bahwa kalau hanya mengandalkan ilmu silatnya, akhirnya ia sendiri
yang akan terancam bahaya. Sepasang gadis kembar itu memiliki gerakan
gesit sekali dan kerja sama mereka amat kompak yang melipatgandakan
kekuatan mereka.
Tiba-tiba Song-bun Mo-li mengeluarkan suara tangis yang menggetarkan
jantung Kui Lan dan Kui Lin. Suara tangis itu demikian kuat pengaruhnya
sehingga kedua orang gadis itu tidak kuat bertahan dan ikut menangis
Mereka mempertahankan agar tidak terisak-isak, akan tetapi mata mereka
mengeluarkan air mata yang menetes-netes membasahi pipi mereka. Akan
tetapi dengan tekad yang amat kuat keduanya masih terus mendesak Songbun
Mo-li.
Nenek itu melompat ke belakang, melempar tongkat hitamnya ke atas dan
tongkat itu meluncur ke depan, menyerang sepasang gadis kembar itu
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
bagaikan seekor ular hidup yang dapat terbang Kui Lan dan Kui Lin terkejut
sekali. Mereka berdua mengelak dan menangkis. Kui Lan mencoba untuk
mematahkan tongkat hidup itu dengan pedangnya, namun sia-sia. Tongkat
hidup itu menyambar-nyambar cepat dan kini dua orang gadis kembar itulah
yang kewalahan. Apalagi kini terdengar teriakan melengking-lengking dari
mulut Song-bun Mo-li dan teriakan ini membuat Kui Lan dan Kui Lin semakin
terdesak. Lengking itu seolah menembus gendang telinga mereka dan
menusuk jantung Kini keadaan mereka berbahaya sekali, dan agaknya tidak
lama lagi mereka berdua akan menjadi korban kekejaman Iblis Betina itu.
Selagi keadaan Kui Lan dan Kui Lin berada dalam ancaman bahaya dan
gawat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Nenek iblis keji. Engkau tidak layak dibiarkan hidup”
Dan tampak dua sosok bayangan yang langsung menerjang Song-bun Moli.
Mereka adalah dua orang pemuda yang menyerang Song-bun Mo-li dengan
pedang mereka. Gerakan mereka kuat dan cepat, dan permainan pedang
mereka lihai sekali. Song-bun Mo-li yang sedang mengerahkan kekuatan
sihirnya untuk membuat tongkatnya menyambar-nyambar dua orang gadis
kembar, tentu saja menjadi terkejut sekali. Cepat ia melompat ke belakang
menghindarkan sambaran dua batang pedang itu dan menarik tongkatnya
yang kembali terbang ke arahnya. Ia menyambut tongkat hitamnya dan pada
saat itu, dua orang muda sudah menyerangnya lagi.
“Trang-trangg...”
Tongkat hitam nenek itu menangkis, membuat dua batang pedang itu
terpental, akan tetapi ia pun terkejut karena merasa lengannya tergetar. Dua
orang muda itu memiliki tenaga sin-kang yang tidak kalah kuatnya
dibandingkan dengan sepasang gadis kembar. Baru menghadapi dua orang
gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu saja sudah amat sukar untuk
menang, apalagi kini ditambah dua orang pemuda yang sama tangguhnya.
Kalau harus menghadapi pengeroyokan empat orang muda itu, pasti ia akan
terancam maut. Maka, sambil mengeluarkan teriakan setengah tangis
setengah tawa, nenek itu melompat jauh dan menghilang di balik pohonpohon
dan tertelan cuaca yang sudah mulai gelap.
Kui Lin yang masih merasa marah dan penasaran berseru, “Nenek
siluman, jangan lari”
Kui Lin lalu bergerak hendak mengejar. Akan tetapi seorang di antara dua
pemuda itu, yang bertubuh tinggi besar, berseru dan suaranya mengandung
wibawa kuat.
“Jangan kejar, Nona. Nenek itu jahat dan licik, engkau akan terjebak”
Mendengar seruan yang penuh wibawa itu, Kui Lin menghentikan
langkahnya dan memandang pemuda yang tinggi besar itu. Kui Lan sendiri
heran melihat betapa adiknya yang biasanya bandel itu, kini agaknya
menuruti nasihat pemuda tinggi besar berpakaian biru itu. Ia memandang
pemuda yang lain.
Pemuda ini tubuhnya sedang, tidak tinggi besar seperti temannya,
wajahnya tampan dan berseri, mulutnya tersenyum, matanya bersinar-sinar.
Teringat bahwa dua orang pemuda itu telah membantu dan menyelamatkan
mereka yang tadi dalam keadaan gawat sekali, Kui Lan lalu merangkap kedua
tangan depan dada, memberi hormat dan berkata lembut.
“Ji-wi Eng-hiong (Pendekar Berdua) telah membantu kami. Kami
mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda Berdua).”
Tidak Diperjualbelikan
dikoleksi oleh : Didik – Bogor infotik.net
Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu membalas penghormatan
sepasang gadis kembar, diikuti oleh pemuda baju biru yang tinggi besar.
“Aih, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) jangan berterima kasih kepada kami.
Kami memang sedang mencari siluman itu setelah mendengar berita dari
dusun-dusun bahwa ada nenek siluman yang menculik anak-anak. Setelah
kami kebetulan lewat dan melihat ia bertanding melawan Nona berdua, tentu
saja kami turun tangan melawannya. Kami kira semua orang yang berjiwa
pendekar pasti akan menentang nenek iblis itu”
“Suheng berkata benar, nenek iblis itu adalah Song-bun Mo-li yang jahat,
harus dibasmi” kata pemuda tinggi besar dengan singkat, dan sikapnya juga
serius, tidak tersenyum-senyum dan banyak bicara seperti pemuda pertama
yang dia sebut suheng (kakak seperguruan).
“Hemm, memang Song-bun Mo-li harus dibasmi” kata Kui Lin agak marah.
“Akan tetapi mengapa engkau melarang aku ketika hendak melakukan
pengejaran agar aku dapat membunuh nenek iblis itu?”
“Maaf, aku tadi sama sekali tidak melarang, Nona. Aku hanya
memperingatkan karena mengejar Mo-li (Iblis Betina) dalam kegelapan
sungguh berbahaya sekali bagimu,” kata pemuda tinggi besar itu dengan
suaranya yang tenang.
“Lin-moi, Eng-hiong (Pendekar) ini benar, kalau engkau tadi mengejar,
mungkin engkau akan terperangkap. Song-bun Mo-li berbahaya sekali,” kata
Kui Lan mencela adiknya yang marah-marah.
“Aku tidak takut”
Kui Lin yang masih mendongkol berseru sambil memandang pemuda
tinggi besar itu.
“Ha-ha-ha, Sute (Adik Seperguruan), sekarang engkau tersandung batu
karang. Maka jangan sembarangan bertindak. Nona-nona ini adalah
pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa dan pemberani, maka
cegahanmu untuk tidak mengejar tadi tentu saja membuat orang marah. Coba
engkau membiarkan mereka tadi mengejar, mungkin sekarang Iblis Betina
Berkabung itu akan berkabung untuk kematiannya sendiri” kata pemuda baju
kuning sambil menertawakan sutenya.
Pada saat itu, terdengar suara riuh dan ketika empat orang muda itu
memandang, ternyata semua penduduk dusun itu membuka pintu rumah dan
berbondong keluar dari rumah mereka. Banyak yang membawa obor sehingga
keadaan menjadi terang. Dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enampuluh
tahun, mereka semua lalu menghampiri empat orang muda itu dan mereka
lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Eng-hiong (Pendekar) berempat telah menyelamatkan kami dari
ancaman siluman, kami menghaturkan banyak terima kasih” kata kepala
dusun yang memimpin mereka itu dan mereka semua memberi hormat dan
riuh rendah suara mereka mengucapkan terima kasih. Akan tetapi terdengar
dua orang wanita menangis menjerit-jerit.
“Kembalikan anakku... kembalikan anakku...” Dua orang wanita itu
menangis.
Kui Lan melihat bahwa seorang dari mereka adalah wanita yang pertama
kali ia lihat lari keluar dari rumahnya. Ia dapat menduga bahwa wanita yang
kedua tentulah ibu dari anak yang pertama diculik siluman. Ia sudah
mendengar bahwa iblis betina itu telah dua kali menculik bayi.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru