Selasa, 29 Mei 2018

Cerita Silat Lembah Selaksa Bunga 1 (Lanjutan Iblis dan Bidadari)

=====
baca juga
01.01. Kegalauan Gadis Pendekar
Pagi itu masih gelap kelam, remang-remang karena sinar matahari masih lemah sekali. Mataharinya sendiri
belum tampak, agaknya masih jauh di balik bukit itu, baru mengintai dengan sinarnya yang masih lemah.
Dari kaki bukit tampak bayangan seorang gadis berjalan mendaki bukit memasuki hutan. Agaknya ia sakit
karena jalannya mulai terhuyung, namun ia memaksa dirinya melangkah terus mendaki sampai di lereng
bukit yang pertama. Akan tetapi agaknya ia tidak kuat lagi dan akhirnya tubuhnya yang limbung itu roboh
terkulai, telentang dengan lemah.
Agaknya, bau tanah dan rumput yang masih basah oleh embun, amat menyejukkan dan terasa nyaman
sekali bagi tubuhnya yang lemah lunglai seperti kehabisan tenaga. Sambil rebah telentang, matanya yang
cekung di wajahnya yang pucat itu menatap ke atas, ke daun-daun pohon yang menutupi langit di atasnya.
Ia diam saja, tak bergerak, merasakan nikmatnya udara dingin yang memeluknya, bagaikan orang tidur
dengan mata terbuka.
Sinar matahari yang mulai menguat menerobos celah-celah daun pohon, menggugah burung-burung yang
semalam tidur bergerombol di antara ranting dan daun. Mulailah burung-burung itu terbangun dan hutan itu
pun mulai sibuk dengan suara kehidupan. Burung-burung berceloteh riang dan ramai, dan sinar matahari
mulai menerangi daun-daun, membuat mata wanita itu dapat menangkap burung-burung yang tadinya
hanya dapat didengar kicau mereka saja.
“Aku seperti mereka........” gadis itu menggumam dan wajahnya yang tampak pucat dan kusut itu mulai agak
bercahaya dan bola matanya bergerak-gerak mengikuti burung-burung yang berceloteh sambil meloncatloncat
dari ranting ke ranting, menggerakkan daun-daun sehingga mutiara-mutiara embun yang
bergantungan pada ujung daun-daun itu runtuh ke bawah. Ada tetesan air embun yang membasahi muka
pucat itu, menimbulkan senyum lemah karena embun dingin itu sedikit banyak mendatangkan kesegaran.
Ketika burung-burung mulai beterbangan meninggalkan pohon, agaknya hendak mulai dengan tugas
mereka sehari-hari untuk mencari makan penyambung hidup, gadis itu menahan senyumnya.
“Aku seperti mereka, terbang bebas seorang diri di dunia ini......”
Satu demi satu atau bergerombol tiga-empat ekor, burung-burung itu meninggalkan pohon besar di bawah
mana gadis itu rebah telentang. Kini tinggal tiga ekor burung yang berada di dahan paling bawah sehingga
gadis itu dapat melihat mereka dengan jelas.
Setelah memandang dengan penuh perhatian sejenak, gadis itu mengerutkan alisnya. Seekor burung betina
hinggap di ujung dahan, menyendiri, dan tak jauh darinya seekor burung betina lainnya berkasih-kasihan
dan bermesraan dengan seekor burung jantan! Keduanya bercumbu, seolah hendak pamer kepada burung
betina yang menyendiri itu.
Selagi sepasang burung yang berkasih-kasihan itu berkicau riang gembira, burung betina yang menyendiri
itu mengeluarkan bunyi bercicit lemah. Dalam pendengaran gadis itu, suara burung betina ini demikian
menyedihkan dan mengharukan! Teringat ia akan dirinya sendiri yang nasibnya sama dengan burung betina
itu! Ia terpaksa meninggalkan pemuda yang dicintanya karena pemuda itu memilih gadis lain sebagai
pasangannya!
Tiba-tiba sepasang matanya mencorong, tangan kanannya meraup dan menggenggam tanah di dekatnya
dan sekali tangannya bergerak melemparkan genggaman tanah itu ke atas, dua ekor burung yang sedang
bermesraan itu jatuh ke bawah.
“Jahanam keparat!” Gadis itu seolah-olah mendapat tenaga baru dan ia lalu bangkit duduk, memandang
kepada dua bangkai burung yang jatuh dekat di depannya. Mula-mula mata yang mencorong itu
memandang puas, akan tetapi lambat laun sinar yang tadi mencorong itu mulai meredup, kemudian alisnya
berkerut dan mata itu mulai terbelalak.
Dalam pandang matanya, dua ekor bangkai burung itu tampak sebagai jenazah sepasang orang muda,
seorang gadis cantik jelita dan seorang pemuda tampan perkasa! Kemudian, gadis itu menjerit, menangis
dunia-kangouw.blogspot.co.id
dan menjambak-jambak rambutnya yang hitam lebat sehingga sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu
menjadi riap-riapan menutupi mukanya!
“Aduh Lian Hong...... Tek Kun...... apa yang telah kulakukan ini......? Ahhh, maafkan aku...... aku...... hu-huhuu......!”
Ia menangis tersedu-sedu sampai lama, dan tangisnya makin lama semakin melemah dan
akhirnya ia terkulai pingsan dengan tubuh telentang!
Gadis itu adalah Nyo Siang Lan yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hwe-thian Mo-li (Iblis
Betina Terbang), seorang tokoh kang-ouw yang selain tinggi ilmu silatnya, juga terkenal liar dan ganas
sekali. Gadis berusia sekitar duapuluh satu tahun ini adalah murid mendiang Pat-jiu Kiam-ong. Bersama
sumoinya (adik seperguruannya) Ong Liang Hong, puteri kandung gurunya itu, ia melakukan balas dendam
dan membunuh musuh-musuh besar Pat-jiu Kiam-ong yang dibunuh secara curang oleh para musuhnya.
Dalam usaha balas dendam ini, ia bertemu dengan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun, pendekar Kun-lun-pai
yang tampan dan gagah perkasa. Baru pertama kali selama hidupnya, Nyo Siang Lan jatuh cinta kepada
Sim Tek Kun.
Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pemuda putera Pangeran Sim Liok Ong itu adalah tunangan dari Ong
Lian Hong, sumoinya! Maka, terpaksa ia meninggalkan mereka, dua sejoli yang saling mencinta. Ia pergi
dengan perasaan tidak karuan, setengah merasa bahagia karena keberuntungan sumoinya, dan setengah
lagi sengsara karena putus cinta.
Selama hampir satu bulan berlari-lari tanpa tujuan sampai akhirnya pada pagi hari itu ia terjatuh di dalam
hutan di lereng bukit itu karena kelelahan. Berhari-hari ia lupa makan lupa tidur, terombang-ambing oleh
perasaan yang menekannya, membuatnya hampir menjadi gila.
Tadi, melihat sepasang burung bermesraan di samping seekor burung betina yang kesepian, ia teringat
akan diri sendiri dan timbul amarahnya sehingga ia membunuh sepasang burung itu. Akan tetapi sepasang
burung itu dalam pandang matanya seperti berubah menjadi seorang gadis cantik dan seorang pemuda
tampan, yaitu Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun!
Tapi Lian Hong adik seperguruan yang disayangi dan dianggap seperti adiknya sendiri dan Sim Tek Kun
satu-satunya pemuda di dunia ini yang dicintanya! Maka begitu melihat bayangan mereka pada dua bangkai
burung yang dibunuhnya itu, ia terkejut, menyesal dan bersedih sekali, merasa seolah ia telah membunuh
mereka yang ia sayangi itu karena cemburu. Ia menjerit-jerit minta ampun, menangis sejadi-jadinya sampai
akhirnya ia terkulai pingsan saking tidak kuat menahan gelora hatinya.
Tubuh gadis itu tergolek pingsan, dengan rambut tergerai dan mukanya pucat sekali, matanya terpejam dan
pernapasannya demikian lemah dan halus seperti orang mati. Pakaiannya kusut dan wajahnya sebagian
tertutup rambutnya yang terurai, namun tetap saja mudah dilihat betapa cantik wajahnya dan betapa
menggairahkan tubuh gadis yang bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar dengan indahnya itu.
Nyo Siang Lan yang berjuluk Hwe-thian Mo-li memang terkenal sebagai seorang dara perkasa yang cantik
jelita, berusia duapuluh satu tahun. Tubuhnya sedang ramping dengan lekuk lengkung sempurna, kulitnya
putih kuning mulus dan lembut. Rambutnya hitam lebat dan panjang berikal mayang sehingga biarpun kini
sanggulnya terlepas sehingga tergerai, masih tampak indah. Anak rambut yang lembut melingkar di pelipis
dan atas dahinya.
Sepasang matanya bagaikan bintang, bening tajam dan agak lebar, dengan kedua ujung agak menjungat
ke atas. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya membuat setiap orang laki-laki yang memandangnya
menjadi tergila-gila. Sulit setelah sekali melihat melupakan sepasang bibir yang lembut, penuh, dan
kemerahan karena sehatnya itu dan kalau tersenyum sehingga agak terbuka, memperlihatkan deretan gigi
putih bersih dan rapi, rongga mulut dan lidah yang ujungnya merah muda dan sehat.
Siang Lan yang pingsan itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu belasan orang muncul dan
menghampirinya. Mereka itu datang dari lereng atas dan orang-orang ini mengenakan pakaian yang aneh
karena pakaian mereka itu dilukis kembang-kembang beraneka ragam dan warna sehingga nampak indah
mencolok akan tetapi juga aneh.
Biasanya hanya kaum wanita saja yang mengenakan pakaian berkembang-kembang seperti itu. Seorang di
antara mereka yang usianya sekitar empatpuluh tahun dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias
kembang-kembang hidup, berjongkok memeriksa Siang Lan.
Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan semua anggauta badannya tampak besar, kepalanya, matanya,
hidung dan mulutnya yang menyeringai, semua tampak lebih besar daripada manusia umumnya. Dia
tampak terkejut heran dan senang melihat gadis yang demikian cantiknya tergolek di situ dan ternyata
dunia-kangouw.blogspot.co.id
masih hidup. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang pingsan itu memiliki sebatang pedang dalam sarung
yang amat buruk, dia mengerutkan alisnya. Diambilnya pedang itu dan dicabutnya dari sarung pedang.
Bukan main kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang itu berkilauan saking
tajamnya. Tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang biasa dan orang yang memiliki pedang pusaka
seperti itu tentu bukan orang sembarangan pula. Maka dia menyarungkan kembali pedang itu dan
menyerahkannya kepada seorang anak buahnya. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah di kedua
pundak dan punggung Siang Lan.
Setelah itu dia sendiri mengangkat dan memanggul tubuh gadis yang lemas itu dan memberi isyarat kepada
anak buahnya untuk mengikutinya naik ke bukit itu. Anak buahnya tampak gembira dan tertawa-tawa
mengikuti pemimpin mereka yang memanggul tubuh Siang Lan naik ke arah puncak bukit. Tak lama
kemudian tibalah mereka di sebuah lembah bawah puncak yang teramat indah.
Sungguh luar biasa sekali keadaan lembah itu karena sebagian besar tanah di situ penuh dengan tanaman
bunga beraneka bentuk dan warna. Hampir semua bunga yang ada di negeri itu agaknya terkumpul di
lembah ini! Lembah yang amat luas itu dipenuhi beribu-ribu tanaman bunga sehingga kalau orang berada di
tempat itu dia akan merasa seperti berada di taman sorga! Beraneka keharuman bunga memenuhi udara,
menyegarkan pernapasan.
Di sekeliling lembah itu terdapat belasan buah rumah mungil dan di tengah-tengah terdapat sebuah rumah
besar yang dikelilingi seribu satu macam bunga. Laki-laki tinggi besar itu membawa Siang Lan yang masih
pingsan ke dalam rumah besar, lalu ia dibaringkan di atas sebuah pembaringan dalam kamar yang luas
indah dan mewah.
Sampai hari menjadi gelap Siang Lan belum juga siuman dari pingsannya. Laki-laki itu mengulang dan
memperkuat totokannya agar gadis itu tidak mampu bergerak kalau siuman nanti. Kemudian dia mengambil
air dan membasahi kepala dan leher Siang Lan dengan air dingin.
Gadis itu merintih dan bergerak. Ia siuman dari pingsannya akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa
kaki tangannya lumpuh dan tidak dapat ia gerakkan.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi tahulah ia bahwa ia berada dalam keadaan tertotok oleh seorang
ahli yang lihai sekali. Ketika ia di bawah sinar lampu meja melihat seorang laki-laki tinggi besar duduk di tepi
pembaringan, ia mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong. Ia marah bukan main, maklum,
bahwa tentu laki-laki ini yang telah menotoknya.
“Jahanam busuk dan curang! Bebaskan aku dari totokan!” ia berseru.
Laki-laki itu tersenyum, menyeringai dan tampak buruk sekali. Apalagi pakaiannya mewah dan berkembangkembang
sehingga dia tampak seperti seekor kera besar berpakaian!
“Tenanglah, manis. Engkau tidak akan diganggu, bahkan engkau akan menduduki tempat tinggi dan mulia
di sini. Sudah lama aku menanti datangnya seorang wanita seperti engkau, dan sekarang harapanku
terkabul. Engkau kupilih menjadi isteriku, menjadi isteri ketua perkumpumpulan Ban-hwa-pang
(Perkumpulan Selaksa Bunga) yang dimuliakan dan dihormati. Maka, bergembiralah engkau dan jangan
marah, jangan pula bersedih!”
Siang Lan terkejut, akan tetapi ia menjadi semakin marah karena sekarang ia tahu bahwa ia telah terjatuh
ke tangan orang-orang jahat yang berniat keji terhadap dirinya. Ia hendak diperisteri, dipaksa menjadi isteri
laki-laki menyebalkan ini. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Bergerak pun ia
tidak dapat.
“Siapa sudi menjadi isterimu?” bentaknya. Walaupun kaki tangannya tidak dapat bergerak, namun suaranya
masih lantang dan semangatnya masih tinggi karena ia sama sekali tidak merasa gentar sedikit pun. “Hayo
cepat bebaskan totokan ini dan kalau engkau memang seorang gagah, mari kita bertanding sampai seorang
di antara kita roboh dan tewas! Jangan bertindak pengecut seperti ini!”
“Hua-ha-hah!” Orang itu tertawa, agaknya senang melihat betapa gadis yang amat cantik itu ternyata juga
amat gagah berani. Dia bertepuk tangan dan masuklah lima orang wanita berusia sekitar tigapuluh tahun
yang rata-rata memiliki wajah cantik dan pakaian mereka mewah sekali.
Mereka berlima membungkuk dengan hormat di depan laki-laki tinggi besar itu dan seorang di antara
mereka bertanya.
“Apa yang harus kami lakukan, Pang-cu (Ketua)?”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Kalian jaga baik-baik gadis ini dan perlakukan ia dengan baik, jangan sampai ia tersinggung, jangan pula
melakukan gangguan apa pun. Cukupi makan minumnya dan siapkan pakaian terindah untuknya. Ingat,
gadis ini adalah calon Nyonya Ketua, calon isteriku. Aku berada di depan bersama para pembantuku untuk
membicarakan tentang persiapan pernikahan.
“Awas kalau sampai ia menjadi marah karena ada yang mengganggunya, aku akan memberi hukuman
berat dan tidak mengenal ampun. Kukira gadis ini tentu seorang yang amat lihai, oleh karena itu, untuk
menjaga segala kemungkinan, sebelum ia terbebas dari totokan, akan kubelenggu dulu kaki tangannya.”
Setelah berkata demikian laki-laki yang disebut Pang-cu itu lalu mengambil tali hitam yang terbuat dari
sutera dan mengikat kedua pergelangan kaki dan tangan Siang Lan dengan erat namun tidak sampai
mendatangkan rasa nyeri pada gadis itu. Setelah selesai baru dia keluar memesan kepada para wanita itu
untuk mencuci muka dan menyisir, menata rambut Siang Lan, menukar pakaiannya, agar gadis itu tampak
rapi.
Setelah laki-laki itu keluar, lima orang wanita itu menutupkan daun pintu lalu merawat Siang Lan. Gadis itu
memaki-maki, namun mereka tidak peduli. Mereka melucuti semua pakaian Siang Lan, memandikannya
dan membersihkan tubuhnya yang penuh debu tanpa gadis itu dapat meronta, hanya memaki-maki.
Setelah membersihkan tubuh dan menyisir rambutnya, bahkan memberi minyak harum di tubuh itu dan
membedaki mukanya, mereka untuk sementara membuka tali pengikat kaki tangan Siang Lan. Mereka
mengenakan pakaian baru pada tubuh Siang Lan, lalu mengikat lagi pergelangan tangan dan kaki gadis itu.
Akhirnya Siang Lan diam saja karena ia tahu bahwa percuma saja ia memaki-maki lima orang wanita itu
dan hal ini bahkan menghabiskan tenaganya karena dilanda kemarahan. Ia berdiam diri dan diam-diam
mengumpulkan tenaganya karena ia tahu bahwa kalau ia sampai dapat membebaskan diri dari totokan dan
belenggu, ia membutuhkan banyak tenaga untuk melawan para penjahat.
Demikian pula, ketika para wanita itu menyuapinya dengan makanan dan minuman, ia menerima untuk
menjaga kesehatan untuk memulihkan tenaga ia yang selama berhari-hari ini ia telantarkan. Tentu saja para
wanita itu menjadi lega dan merasa senang.
“Nona yang baik, beginilah seharusnya sikapmu karena sesungguhnya engkau mendapatkan
keberuntungan besar yang jarang ada gadis mendapatkannya. Tak lama lagi engkau menjadi Nyonya Ketua
kami yang dihormati semua orang, hidup terhormat, mulia dan kaya raya. Karena itu, sambutlah ketua kami
dengan manis, Nona, agar hatinya merasa senang karena kami lihat baru sekarang ini Pang-cu jatuh cinta
dan tergila-gila kepada seorang gadis.”
Di dalam hatinya Siang Lan menjadi marah sekali akan tetapi kini gadis itu mendapatkan kembali
ketenangan dan kecerdikannya. Ia tahu bahwa kalau ia marah dan memaki-maki, hal itu tidak ada gunanya
baginya.
Lebih baik ia berpura-pura menyerah agar ia dapat menyelidiki keadaan musuh. Setelah menahan napas
untuk menenangkan dan mendinginkan hatinya, mulailah Siang Lan mengubah sikap dan bertanya.
“Enci, bagaimana aku bisa berada di sini? Aku tidak ingat apa yang terjadi dengan diriku. Tolong ceritakan.”
Dengan hati senang karena gadis cantik itu kini menjadi penurut dan hal ini pasti akan menyenangkan hati
ketua mereka sehingga mereka akan diberi hadiah, seorang di antara lima wanita itu yang menjadi juru
bicara menjawab.
“Nona, sudah kami katakan tadi, engkau sungguh beruntung. Pang-cu sendiri yang menemukan engkau
menggeletak pingsan di dalam hutan, lalu Pang-cu menolongmu dan memondongmu sampai di sini.”
“Hemm, kalau dia menolongku dan berniat baik, mengapa aku dibelenggu?”
“Nona, jangan salah mengerti dan maafkan tindakan Pang-cu kami. Dia sungguh tergila-gila dan amat
sayang kepadamu. Akan tetapi karena dia belum mengenal betul siapa Nona yang dia sangka tentu Nona
amat lihai, maka terpaksa dia menjaga kcmungkinan Nona akan memberontak dan melawan. Karena itu,
katakanlah kepada kami siapa Nona dan ceritakan keadaan Nona agar kami dapat melapor kepada Pangcu,”
bujuk wanita itu.
Siang Lan memaksa dirinya untuk tersenyum. Setelah ia menerima makan dan minum, tenaganya mulai
pulih dan tubuhnya terasa segar kembali, tidak loyo seperti sebelum ia roboh pingsan dan ditangkap
penjahat.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Mudah saja menceritakan keadaan diriku, Enci, akan tetapi tidak enak terbelenggu begini. Tolong buka
dulu ikatan kaki tanganku dan kita bicara baik-baik.”
Lima orang wanita itu saling pandang dengan wajah iba akan tetapi juga khawatir, lalu pembicara tadi
berkata lembut. “Nona, bukan kami tidak merasa kasihan kepadamu. Akan tetapi kami tidak berani
melanggar perintah Pang-cu yang akan menyiksa kami sampai mati kalau kami tidak menaati perintahnya.
Kalau engkau sudah menceritakan keadaanmu, nanti kami melapor kepada Pang-cu bahwa engkau
bersikap penurut agar ikatan tangan kakimu dibuka.”
“Hemm, baiklah, aku akan sabar menanti. Akan tetapi sebelum aku memperkenalkan diri, tolong ceritakan
kepadaku tentang ketua kalian dan tentang perkumpulan di sini agar aku mengetahui dengan siapa aku
hendak menikah.”
“Wah, engkau akan merasa gembira kalau mengenal Pang-cu, Nona. Nama Pang-cu adalah Siangkoan
Leng dan dia menjadi ketua dari perkumpulan kami Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga). Pang-cu
adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat amat tinggi dan sukar dicari jagoan yang mampu
mengalahkan tombaknya. Dia dijuluki Si Tombak Maut.
01.02. Siapa Pemerkosa Misterius itu?
“Ban-hwa-pang kami telah berdiri selama puluhan tahun, pendirinya adalah mendiang Siangkoan Locianpwe,
setelah beliau meninggal perkumpulan dipimpin Pang-cu Siangkoan Leng sejak belasan tahun
yang lalu. Perkumpulan kami mempunyai anak buah sebanyak limapuluh orang lebih yang tinggal di lembah
ini bersama anak isteri mereka. Pang-cu belum pernah beristeri, maka kini memilihmu, sungguh merupakan
keberuntungan besar bagimu, Nona. Nah, sekarang giliranmu untuk memperkenalkan diri.”
Siang Lan sejak tadi harus menekan perasaan marahnya. Belum pernah ia memaksa diri bersikap lemah
dan lembut terhadap orang yang dibencinya. Dengan hati mulai panas lagi ia memperkenalkan dirinya.
“Katakan kepada ketua kalian bahwa aku bernama Nyo Siang Lan dan di dunia kang-ouw mereka menyebut
aku Hwe-thian Mo-li! Telah banyak sekali penjahat yang mampus di ujung pedangku. Katakan agar dia
membebaskan aku dan mengembalikan pedangku kalau dia tidak ingin mampus pula di tanganku!”
Lima orang wanita itu terbelalak dan terkejut. Seorang dari mereka lalu lari keluar dari kamar untuk melapor
kepada ketuanya. Tentu saja mereka terkejut dan merasa ngeri karena nama julukan Hwe-thian Mo-li telah
terkenal sebagai Iblis Betina Terbang yang amat ganas dan liar!
Tak lama kemudian masuklah Ketua Ban-hwa-pang yang namanya Siangkoan Leng itu. Begitu dia
memasuki kamar itu, dia memberi isyarat kepada oara wanita tadi untuk meninggalkan kamar.
Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar dia duduk di tepi pembaringan dan menatap wajah Siang
Lan yang kini tampak semakin cantik jelita dan tersenyum lebar.
“Aih, kitanya engkau yang berjuluk Hwe-thian Mo-li itu, Nona? Bagus, bagus! Makin mantap lagi hatiku
untuk memperisterimu, karena kita berdua suami isteri tentu akan menjagoi dunia kang-ouw dan membuat
Ban-hwa-pang menjadi semakin besar!”
Kini Siang Lan tak mampu menahan kemarahannya. Ia meronta sambil memaki. “Jahanam Siangkoan
Leng! Lepaskan aku dan ingin kulihat sampai di mana kehebatan tombakmu. Hayo, kalau engkau memang
laki-laki, kita bertanding sampai napas terakhir!”
Siangkoan Leng terkejut melihat betapa kaki tangan gadis itu mulai bergerak-gerak. Tahulah dia bahwa
pengaruh totokannya mulai memudar dan kalau gadis itu pulih kembali tenaganya, bukan tidak mungkin ia
akan mampu merenggut putus tali pengikat kaki tangannya. Maka cepat dia menghampiri dan tiga kali jari
tangannya bergerak menotok kedua pundak dan punggung Siang Lan, membuat gadis itu tidak dapat lagi
menggerakkan kaki tangannya.
“Jahanam! Laki-laki pengecut!” Siang Lan memaki-maki dengan tidak berdaya.
“Ha-ha-ha, tunggu sampai besok, sayangku. Besok engkau tentu akan menyanyikan lagu lain kalau sudah
menjadi isteriku!” kata Siangkoan Leng sambil meninggalkan kamar itu.
Gadis itu menjerit-jerit dengan makiannya dan baru berhenti setelah lima orang wanita itu memasuki kamar
lagi. Siang Lan dapat mengetahui dari pandang mata mereka bahwa lima orang wanita itu menaruh hati
dunia-kangouw.blogspot.co.id
kasihan kepadanya, namun mereka merasa ngeri dan takut akan hukuman ketua mereka, maka mereka
pun hanya berusaha untuk menghibur dan menyenangkan hati gadis tawanan itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali semua anak buah Ban-hwa-pang sudah bekerja dan sibuk
menyambut pesta pernikahan yang akan dilaksanakan besok lusa atau tiga hari setelah Siang Lan ditawan.
Siangkoan Leng yang cukup cerdik tidak mau mengunjungi kamar di mana Siang Lan berada karena dia
tidak ingin calon isterinya itu terganggu.
Hanya kadang-kadang saja dia memeriksa apakah gadis itu masih belum membahayakan dan masih dalam
keadaan terbelenggu. Karena dia tidak ingin kesehatan calon isterinya terganggu, maka dia tidak lagi
memperpanjang tubuh Siang Lan dalam keadaan tertotok.
Dia hanya menggunakan pengikat kaki dan tangan gadis itu yang teramat ulet dan kuat, yang mengikat
kedua pergelangan tangan Siang Lan. Adapun kedua kakinya terbelenggu rantai baja yang tebal dengan
gelang baja longgar mengikat kedua pergelangan kakinya.
Biarpun gadis itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, namun kiranya akan sulit baginya untuk
dapat melepaskan diri dari belenggu-belenggu ini. Akan tetapi karena belenggu itu panjang, diikatkan pada
baja di luar tembok kamar sehingga kuat sekali, Siang Lan kini dapat duduk, berdiri atau rebah di atas
pembaringan.
Tubuhnya masih agak lemah karena pengaruh totokan yang terlalu lama pada malam hari tadi. Gadis itu
tidak mengamuk lagi, melainkan bersabar menyimpan tenaga dan menanti datangnya kesempatan untuk
dapat membebaskan diri.
Ban-hwa-pang menyebar undangan, akan tetapi karena pesta pernikahan itu dilakukan mendadak, hanya
ada waktu tiga hari, tentu saja mereka hanya dapat mengundang orang-orang yang tinggal tidak amat jauh
dari Ban-hwa-pang.
Pada hari yang kedua, tempat itu telah dihias dan semua anggauta Ban-hwa-pang tampak bergembira.
Sang Ketua sendiri, Siangkoan Leng, sibuk di ruangan khusus di mana dia membuat ramuan obat dari
berbagai macam bunga. Dia memang ahli membuat obat dari bunga-bunga itu.
Demikian banyaknya bunga tumbuh di lembah itu dan dia sudah mempelajari khasiat setiap macam bunga.
Ada bunga yang dapat menyembuhkan luka beracun, ada yang dapat mencuci darah, ada yang
menguatkan tubuh, melawan bermacam penyakit. Ada pula bunga yang mengandung racun mematikan,
ada yang dapat membius, bahkan ada yang dapat diramu menjadi semacam obat perangsang yang amat
kuat.
Ruangan ini merupakan kamar pribadi dan tidak ada orang lain diperbolehkan masuk kecuali seijin
Siangkoan Leng. Pada siang hari itu, Siangkoan Leng sibuk membuat ramuan dan dia menutup daun pintu
dan jendela kamar itu agar kegiatannya jangan terganggu orang lain.
Dia membuat ramuan obat-obatan dan di antara lain dia meramu obat perangsang yang amat kuat.
Siangkoan Leng sudah memperhitungkan bahwa tidak akan mudah menundukkan seorang gadis seperti
Hwe-thian Mo-li agar menyerahkan diri secara sukarela kepadanya. Maka dia hendak menggunakan obat
itu agar gadis itu mau menyerah tanpa paksaan dan sekali menyerah, gadis itu tentu akan menjadi isterinya
yang boleh diandalkan memperkuat kedudukannya!
Saking senangnya membayangkan penyerahan diri Hwe-thian Mo-li secara sukarela kepadanya, Siangkoan
Leng meramu obat sambil tersenyum-senyum. Setelah selesai membuat beberapa ramuan bunga kering itu
menjadi bubuk halus, dia memasukkan bubukan obat itu ke dalam sebuah kantung kain kecil lalu
mengantunginya.
Tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara lembut. “Leng-te (Adik Leng)......!”
Siangkoan Leng terkejut sekali dan begitu membalikkan tubuhnya, dia melihat daun jendela sudah terbuka
dan di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tampan lembut namun
rambutnya telah hampir putih seluruhnya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Pakaiannya juga
sederhana, berwarna kuning. Laki-laki itu berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum lembut dan
matanya yang tajam itu memiliki pandangan yang menembus.
Melihat siapa yang datang, Siangkoan Leng tidak menjadi heran lagi. Bagi orang ini, tidak ada tempat yang
tidak dapat dimasukinya, pikirnya dan dia berseru dengan gembira.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Liong-ko (Kakak Liong)......!!” Dua orang laki-laki itu saling mendekati dan laki-laki yang baru datang itu
menaruh kedua tangan di atas pundak Siangkoan Leng.
“Liong-ko, sudah bertahun-tahun engkau menghilang, ke mana sajakah engkau?”
“Aku merantau ke barat, Leng-te dan baru sekarang kembali ke timur. Baru sekarang aku datang dan begitu
memasuki Lembah Selaksa Bunga aku disambut suasana pesta yang meriah. Mendengar bahwa engkau
besok pagi akan menikah, aku hampir tidak percaya dan langsung saja mencarimu ke kamar ini. Leng-te,
benar-benarkah engkau hendak menikah?”
“Benar, Liong-ko. Mari kita duduk di ruangan dalam! Pertemuan menggembirakan ini harus kita rayakan. Ah,
betapa bahagianya hatiku bahwa engkau datang pada saat aku akan merayakan pernikahanku, Liong-ko!”
kata Siangkoan Leng gembira.
Mereka keluar dari kamar itu lalu duduk menghadapi hidangan dan arak di ruangan dalam di mana mereka
bercakap-cakap dengan gembira sekali karena kakak dan adik ini sudah saling berpisah selama hampir
duapuluh tahun!
Laki-laki itu berusia sekitar empatpuluh dua tahun dan bernama Sie Bun Liong. Ketika dia berusia lima
tahun, ayahnya meninggal dunia dan ibunya yang menjadi janda diperisteri oleh Siangkoan Kok, Ketua Banhwa-
pang yang juga sudah menduda dan mempunyai putera Siangkoan Leng. Jadi, hubungan antara Sie
Bun Liong dan Siangkoan Leng sebetulnya jauh, tidak ada hubungan keluarga.
Mereka hanya saudara tiri berlainan ayah ibu. Akan tetapi karena sejak berusia lima tahun Sie Bun Liong
ikut ibunya yang menjadi isteri Ketua Ban-hwa-pang, maka dia tumbuh besar di Lembah Selaksa Bunga itu.
Mereka berdua belajar ilmu silat dari mendiang Siangkoan Kok, akan tetapi ternyata Sie Bun Liong memiliki
bakat yang jauh lebih baik sehingga dalam ilmu silat, dia selalu menjadi contoh dan pembimbing adik tirinya.
Ketika Siangkoan Kok meninggal, yang menggantikannya menjadi Ketua Ban-hwa-pang adalah Siangkoan
Leng sebagai putera kandung. Biarpun Sie Bun Liong jauh lebih lihai ilmu silatnya, namun dia yang ketika
itu berusia duapuluh tahun menganjurkan adik tirinya menjadi ketua.
Dia sendiri tidak senang menjadi ketua. Dia lebih senang memperdalam ilmu silat dan sastra, bahkan
beberapa tahun sesudah adik tirinya itu menggantikan ayah tirinya menjadi Ketua Ban-hwa-pang, Sie Bun
Liong meninggalkan Lembah Selaksa Bunga dan melakukan perantauan sampai bertahun-tahun dan baru
sekarang dia muncul, bertemu lagi dengan adik tirinya setelah mereka berdua berusia lebih dari empatpuluh
tahun.
Selama makan minum, Sie Bun Liong tidak bicara, agaknya dia tidak ingin mengganggu adiknya yang
bergembira menyambut kedatangannya. Akan tetapi setelah mereka selesai makan minum, mereka duduk
di ruangan depan yang hawanya lebih sejuk dan Sie Bun Liong bertanya.
“Leng-te, ketika aku datang, di sini sedang dihias untuk menyambut pesta pernikahanmu besok. Leng-te,
gadis manakah yang telah membuat engkau mengambil keputusan untuk menikah, padahal sejak dulu
engkau bilang bahwa engkau tidak akan mengikat diri dengan pernikahan?”
“Ah, Liong-ko, sekali ini aku benar-benar terpesona dan tergila-gila melihat calon isteriku. Dan ia itu adalah
seorang gadis kang-ouw yang amat terkenal dengan julukan Hwe-thian Mo-li, lihai dan cantik jelita.”
“Mo-li......?” Sie Bun Liong mengerutkan alisnya mendengar adiknya akan menikah dengan seorang wanita
yang berjuluk Mo-li (Iblis Betina)! Karena selama ini dia merantau dan tinggal di barat, di daerah
Pegunungan Himalaya, maka tentu saja dia tidak mengenal julukan Hwe-thian Mo-li itu.
“Ia memang seorang tokoh persilatan yang liar dan ganas, juga lihai sekali, Liong-ko. Maka aku mengambil
keputusan untuk menjadikannya isteriku agar aku dapat membimbing ia meninggalkan keganasannya.”
Sie Bun Liong mengangguk-angguk. “Hemm, niatmu itu tidak buruk. Akan tetapi dasar perjodohan harus
ada cinta kasih kedua pihak. Apa engkau mencintanya?”
“Wah, aku tergila-gila padanya, Liong-ko. Aku sungguh telah jatuh cinta begitu aku bertemu dengannya,”
kata Siangkoan Leng gembira. Kakaknya mengamati wajahnya yang tidak dapat dibilang menarik itu.
“Bagus kalau engkau begitu mencintanya. Akan tetapi bagaimana dengan gadis itu? Apakah ia juga
mencintamu?”
Ditanya begini, Siangkoan Leng tak mampu menjawab. Di dalam hatinya dia merasa bingung. Sejak dulu
dia amat takut terhadap kakaknya ini yang selalu penyabar, mengalah, namun yang segala-galanya
dunia-kangouw.blogspot.co.id
melebihi dirinya. Justeru karena kelembutan dan kebaikan hati Sie Bun Liong itulah yang membuat dia
selalu tunduk dan menurut.
“Aku...... aku belum tahu, Liong-ko. Maklumlah, wanita biasanya malu-malu untuk mengaku cinta. Akan
tetapi aku sedang membujuknya dan agaknya ia tidak menolak ketika kulamar untuk menjadi isteriku.”
“Hemm, calon isterimu itu gadis dari manakah dan di mana ia tinggal?”
Siangkoan Leng semakin bingung. Dia merasa yakin benar bahwa kalau kakaknya yang selalu menuntut
kebenaran ini tahu bahwa calon isterinya adalah gadis yang ditawannya dan dia hendak memaksanya
menjadi isterinya, tentu kakaknya akan marah sekali dan jelas akan melarangnya! Dia sudah tergila-gila
kepada Hwe-thian Mo-li dan tidak ingin dihalangi pernikahannya dengan gadis itu.
Dia harus menggunakan akal karena tidak mungkin dia dapat menggunakan kekerasan terhadap kakaknya
untuk mencapai niatnya. Dia tahu bahwa selain dia tidak akan mampu mengalahkan Sie Bun Liong, juga
sebagian anggauta Ban-hwa-pang terutama yang sudah lama, tentu tidak mau membelanya untuk
mengeroyok Sie Bun Liong yang disegani dan dihormati semua anggautanya.
“Liong-ko, Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis kang-ouw yang sudah tidak berkeluarga dan bertempat
tinggal tetap. Sejak kami bertemu, ia tidak meninggalkan tempat kita ini.”
“Ah, dia sudah berada di sini? Aku ingin melihat calon Adik Iparku, Leng-te!” kata Sie Bun Liong dengan
wajah berseri gembira dan agak kemerahan karena dia telah minum agak terlalu banyak arak. Sudah
beberapa tahun ini dia jarang minum arak sampai demikian banyaknya sehingga dia kini terpengaruh dan
agak mabok.
Siangkoan Leng terkejut sekali. “Ah, Liong-ko, mana mungkin engkau dapat menemuinya sekarang? Ia
tentu malu sekali dan memang seorang calon mempelai wanita tidak boleh menemui seorang pria sebelum
menikah, bahkan aku sendiri tidak berani menemuinya. Ia tentu akan merasa terhina, dan ia galak sekali,
Liong-ko. Bersabarlah sampai kami menikah besok. Sekarang karena aku merasa rindu sekali padamu,
mari kita minum sepuasnya sambil berbincang-bincang. Engkau harus menceritakan semua pengalamanmu
selama merantau!”
Karena alasan yang dikemukakan adiknya itu masuk akal, Sie Bun Liong tidak mau mendesak lagi untuk
bertemu dengan Hwe-thian Mo-li.
“Leng-te, dalam perjalananku ke sini, aku mendengar kabar-kabar yang tidak begitu menyenangkan tentang
Ban-hwa-pang kita. Ada yang mengabarkan bahwa kini Ban-hwa-pang merupakan perkumpulan yang
ditakuti orang, anggautanya banyak yang bertindak kasar dan kejam terhadap rakyat. Bahkan kabarnya
Ban-hwa-pang suka memeras para pedagang di kota-kota sekitar sini. Benarkah engkau melakukan hal
yang tidak patut itu, Leng-te?”
“Ah, itu hanya kabar bohong, disebarkan orang-orang yang tidak suka kepada perkumpulan kita, Liong-ko.
Kami memang menerima sumbangan, namun itu diberi secara sukarela oleh para pedagang yang merasa
keamanannya terlindung oleh Ban-hwa-pang. Kalau kami bersikap tegas dan keras, itu pun hanya terhadap
para penjahat yang mengganggu rakyat!”
“Hemm, mudah-mudahan keteranganmu benar. Biarlah, soal calon isterimu itu, biar kutemui besok. Kalau
memang ia dengan sukarela mau menjadi isterimu, aku pun tidak akan menghalangimu. Akan tetapi, aku
melarang keras kalau engkau menggunakan kekerasan dan paksaan.”
“Ah, tentu saja tidak, Liong-ko. Mari, mari minum lagi, Liong-ko!”
“Ah, sudah terlalu banyak aku minum, Adikku!”
“Liong-ko, tanpa doa restumu sebagai pengganti orang tua kita, aku tidak akan merasa tenang dan bahagia.
Marilah minum, Liong-ko, demi mendoakan kebahagiaanku bersama calon isteriku. Marilah, Liong-ko!”
Sampai malam mereka bercakap-cakap membicarakan masa lalu dan pengalaman masing-masing sejak
mereka berpisah sebagai pemuda dan kini mereka sudah sama-sama berusia empatpuluh tahunan. Mereka
bercakap-cakap dengan gembira dan minum arak. Siangkoan Leng yang memang setiap hari suka minum
banyak arak, tentu saja lebih kuat dalam hal minuman ini dibandingkan kakaknya yang sudah bertahuntahun
tidak pernah minum arak.
Akhirnya, Sie Bun Liong yang ikut bergembira menghadapi pernikahan adiknya sehingga tidak tega
menolak ajakan Siangkoan Leng untuk minum arak tanpa ukuran lagi, meletakkan kepalanya berbantal
dunia-kangouw.blogspot.co.id
lengan di atas meja dalam keadaan tidak sadar karena mabok berat. Sambil tertawa-tawa Siangkoan Leng
membantu dan memapah kakaknya keluar dari ruangan itu.
“Ha-ha-ha, Liong-ko, engkau sudah tidak kuat minum lagi! Ha-ha, marilah, mari beristirahat, engkau harus
membantuku, Liong-ko...... ha-ha-ha!” Siangkoan Leng yang hanya setengah mabok tertawa-tawa gembira.
Dia ingin menyenangkan hati kakaknya agar kakaknya itu tidak menghalangi pernikahannya, melainkan
membantunya.
Malam telah larut, bahkan setelah tengah malam, gedung tempat tinggal Siangkoan Leng telah menjadi
sepi. Semua anggauta Ban-hwa-pang yang sehari penuh tadi bekerja menghias seluruh perkampungan
mereka untuk mempersiapkan perayaan pernikahan ketua mereka, kini sudah tidur melepaskan lelah.
Siang Lan melihat betapa lima orang wanita yang menjaganya sudah tidur pulas di atas lantai. Ia sejak tadi
berusaha untuk melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangannya, namun tidak berhasil. Tali itu
terlampau kuat, agak lentur sehingga tidak dapat putus. Juga rantai baja pada kakinya amat kuat. Kini ia
duduk bersila di atas pembaringan untuk menghimpun tenaga. Ia pikir bahwa untuk melaksanakan upacara
pernikahan besok, mau tidak mau Siangkoan Leng pasti akan melepaskan ikatan kaki tangannya. Tidak
mungkin ia harus melakukan upacara pernikahan dalam keadaan terbelenggu disaksikan para tamu!
Nah, kesempatan itu, walaupun sedikit dan di sana akan terdapat banyak kaki tangan Siangkoan Leng,
akan ia pergunakan untuk mengamuk dan membebaskan diri! Untuk itu ia membutuhkan banyak tenaga
murni, maka malam ini ia duduk melakukan siu-lian (samadhi) menghimpun tenaga.
Lewat tengah malam, suasananya menjadi semakin sepi. Siang Lan yang tenggelam ke dalam samadhi
menjadi peka sekali. Ia bahkan dapat mendengar dengkur yang datang dari kamar-kamar sebelah, bahkan
pernapasan halus dari lima orang wanita pelayan di lantai itupun terdengar dengan jelas olehnya.
Tiba-tiba, pada waktu jauh lewat tengah malam, pendengarannya menangkap gerakan yang tidak wajar itu
di luar kamar itu. Ia membuka sepasang matanya dan melihat betapa lilin yang tadi bernyala di sudut kamar
telah padam. Juga lampu kecil di atas meja berkedap-kedip, apinya bergoyang.
Kemudian ada angin bertiup dan api lampu itu pun padam, membuat ruangan itu menjadi remang-remang
karena hanya mendapat sedikit sinar dari lampu yang berada di luar. Sinar itu memasuki kamar lewat daun
jendela yang telah terbuka!
Sesosok bayangan dalam cuaca remang-remang itu berkelebat mendekati pembaringan. Siang Lan cepat
mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya yang terikat untuk menyerang bayangan yang
mendekatinya itu.
“Wuuuttt......!” Pukulan gadis itu dahsyat sekali karena ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membunuh
bayangan yang ia yakin tentulah Siangkoan Leng yang berniat buruk terhadap dirinya..
“Plakk! Plakk!” Dua pukulannya itu tertangkis dan Siang Lan merasa betapa kedua tangannya bertemu
tangan yang demikian lemas dan lunak sehingga menyerap semua tenaga pukulannya. Ia terkejut sekali
akan tetapi tiba-tiba dengan cepat sekali ada tangan yang menotoknya.
Seketika ia terkulai lemas, tak mampu bergerak menggunakan kekuatan tenaga sin-kang lagi, bahkan tidak
mampu mengeluarkan suara. Demikian hebatnya totokan itu, membuat ia terheran-heran. Tubuhnya tidak
terasa nyeri, juga tidak lumpuh, akan tetapi anehnya ia tidak mampu menggunakan tenaganya!
01.03. Pembantaian Laki-laki Ban-hwa-pang
Tiba-tiba ia menjerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Jerit itu terjadi di dalam hatinya
saking kaget dan ngerinya karena ada tangan yang dengan lembut melepaskan pakaiannya dan
menanggalkan pakaian itu dari tubuhnya! Dan tangan-tangan yang gerakannya lembut namun kuat sekali
itu bahkan membuka ikatan kedua tangannya dan juga belenggu pada kakinya.
Ia kini bebas dari belenggu, akan tetapi tubuhnya tidak dapat meronta dan sama sekali tidak berdaya. Yang
terjadi kemudian membuat ia menjerit-jerit dalam hatinya.
Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan akhirnya ia jatuh pingsan karena tidak dapat
menahan rasa ngeri, marah, benci dan perasaannya hancur lebur. Pada saat itu, sebelum ia jatuh pingsan,
ia ingin mati saja. Ia telah diperkosa orang tanpa ia mampu bergerak atau menjerit.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Siang Lan tentu saja tidak tahu berapa lamanya ia dalam keadaan seperti itu dan pingsan. Ketika ia siuman,
ia mendengar suara seperti isak tangis dan ada bayangan terhuyung meninggalkan pembaringan menuju ke
jendela yang terbuka.
Pada saat itu, Siang Lan teringat apa yang telah terjadi menimpa dirinya dan tiba-tiba ia merasa betapa ia
dapat lagi menggerakkan kaki tangannya yang sudah tidak terbelenggu lagi. Cepat ia melompat turun
hendak mengejar bayangan itu, yang kini telah melompat keluar melalui lubang jendela. Akan tetapi melihat
betapa dirinya dalam keadaan telanjang bulat, ia terkejut bukan main dan menahan gerakannya yang
hendak melakukan pengejaran.
Dalam cuaca remang-remang itu, cepat ia menyambar pakaiannya yang bertumpuk di atas tepi
pembaringan. Cepat ia mengenakan pakaian dengan air mata bercucuran akan tetapi menahan suara
tangisnya. Ia menyadari benar apa yang telah terjadi. Tadi malam ia tertotok dan dalam keadaan tak
berdaya telah diperkosa orang!
Agaknya fajar telah menyingsing dan cuaca dalam kamar itu tidak segelap malam tadi. Ia melihat lima orang
wanita penjaga masih rebah di lantai dan ketika ia memeriksa, mereka pun bukan sedang tidur melainkan
pingsan tertotok pula!
Siang Lan cepat melompat melalui lubang jendela untuk melakukan pengejaran. Hatinya menangis dan
menjerit-jerit teringat akan keadaan dirinya. Akan tetapi ketika tiba di luar ia tidak melihat orang yang
semalam memperkosanya. Andaikata ia melihatnya, ia pun tidak akan mengenalnya karena semalam ia
hanya melihat bayangan orang itu dalam kegelapan.
Akan tetapi hatinya merasa yakin bahwa pelakunya sudah pasti Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang.
Kalau bukan dia, siapa lagi yang berani melakukan perbuatan keji yang terkutuk itu? Kini ia merasa hatinya
panas. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Ia merasa seperti dibakar kemarahan dan kebencian.
Tiba-tiba muncul tiga orang anggauta Ban-hwa-pang. Mereka terkejut melihat calon pengantin yang tadinya
menjadi tawanan itu telah bebas dan berada di luar kamar dengan rambut tergerai dan sepasang mata
berkilat.
“Hei......! Nona pengantin, telah terlepas......!” teriak seorang di antara mereka.
“Syuutt...... dukk!” Orang itu terjengkang dan tewas seketika karena tamparan tangan Siang Lan membuat
kepalanya retak.
Dua orang rekannya terkejut dan marah. Cepat mereka mencabut pedang akan tetapi sebelum mereka
sempat menyerang, kembali kedua tangan Siang Lan berkelebat dan mereka berdua roboh dan tewas!
Setelah membunuh tiga orang itu, Siang Lan menjadi semakin beringas seperti seekor harimau mencium
darah. Ia menyambar sebatang pedang milik anggauta Ban-hwa-pang yang tewas itu, lalu ia mulai mencari
Siangkoan Leng dengan hati penuh dendam kebencian yang membuat ia hampir gila mengingat akan
malapetaka yang menimpa dirinya semalam!
Lima orang anggauta Ban-hwa-pang muncul. Para anggauta perkumpulan itu memang mulai bangun dan
siap untuk melanjutkan persiapan perayaan pernikahan ketua mereka.
Ketika lima orang itu melihat Hwe-thian Mo-li berdiri dengan pedang di tangan, tentu saja mereka terkejut.
Mereka sudah mendengar bahwa calon pengantin itu adalah seorang gadis yang berjuluk Iblis Betina dan
lihai sekali.
Tadinya mereka mendengar dan bahwa gadis itu menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga tidak
mungkin dapat lolos. Kini, tahu-tahu gadis itu telah berada di depan mereka. Maka sambil berteriak-teriak
memanggil teman, mereka lalu mengepungnya.
“Nona, engkau hendak ke manakah? Sebagai calon pengantin, Nona tidak boleh keluar kamar......”
“Singgg...... crakkk!” Pembicara itu roboh dengan leher hampir putus terbabat pedang!
Empat orang yang lain terkejut dan marah. Mereka lalu mengeroyok dengan pedang mereka dan para
anggauta lain yang mendengar keributan itu, berdatangan berbondong-bondong. Akan tetapi pedang
rampasan di tangan Hwe-thian Mo-li menyambar-nyambar dan sinarnya bergulung-gulung. Ia mengamuk
seperti Iblis Betina benar-benar dan terdengar jeritan disusul robohnya tubuh para pengeroyok.
Darah muncrat dan membanjiri lantai! Karena ruangan itu terlalu sempit, apalagi sudah ada enam orang
malang melintang tewas disambar pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Hwe-thian Mo-li merasa tidak leluasa mengamuk. Maka ia lalu melompat keluar dan setelah tiba di
pekarangan depan rumah besar Siangkoan Leng, ia berhenti menanti sampai puluhan orang anggauta Banhwa-
pang datang mengepungnya.
“Anjing-anjing jahanam keparat! Majulah kalian semua. Hari ini kalau tidak dapat membunuh bangsat
Siangkoan Leng dan kalian semua anak buahnya, jangan sebut aku Hwe-thian Mo-li!” Ia menjerit dan
segera tubuhnya berkelebatan, pedangnya menyambar-nyambar.
Terjadilah perkelahian yang mengerikan. Puluhan orang anggauta Ban-hwa-pang itu bagaikan
segerombolan anjing serigala mengeroyok Hwe-thian Mo-li yang mengamuk seperti seekor naga. Jerit dan
teriakan susul menyusul. Tubuh para pengeroyok berpelantingan dan tewas seketika, terkena sambaran
pedang atau tamparan tangan, kiri gadis itu. Baju Hwe-thian Mo-li sudah berlepotan darah mereka yang ia
robohkan. Banjir darah di pekarangan gedung itu.
Setelah merobohkan dan membunuh lebih dari duapuluh orang pengeroyok, tiba-tiba terdengar gerengan
dahsyat dan muncullah Sang Ketua yang bertubuh tinggi besar itu.
“Perempuan iblis!” Siangkoan Leng membentak, melintangkan tombak cagaknya di depan dan
menudingkan telunjuk kirinya ke arah Hwe-thian Mo-li. “Perempuan tidak tahu diuntung! Engkau hendak
kuangkat derajatmu menjadi Nyonya Ketua Ban-hwa-pang, sekarang malah membunuhi anggauta
perkumpulanku! Engkau harus menebus dosa ini dengan nyawamu!”
Kini Siang Lan dapat melihat laki-laki itu dengan jelas dan ia bergidik muak. Kepala yang besar itu dengan
semua anggauta badan yang bulat dan besar membuat ketua itu tampak seperti seekor kera yang
menjijikkan. Mengingat bahwa orang ini semalam telah melakukan penghinaan yang sebesar-besarnya
kepadanya, telah memperkosanya, maka sepasang mata Siang Lan mencorong.
Apalagi ia melihat pedangnya tergantung di pinggang orang itu, saking marahnya ia hampir tak mampu
bicara. “Mampuslah, jahanam!” Ia menjerit dan pedangnya sudah menyerang dengan dahsyatnya.
Siangkoan Leng bukan seorang lemah, akan tetapi ketika dia menggerakkan tombaknya untuk menangkis,
terdengar bunyi berdentang dan dia terhuyung ke belakang. Dia terkejut bukan main. Ternyata gadis ini
memang lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Dia meneriaki anggauta perkumpulannya untuk
mengeroyok dan kembali Siang Lan mengamuk. Ia sengaja selalu menjauhi Siangkoan Leng yang
merupakan lawan paling tangguh. Ia mengamuk di antara para anggauta Ban-hwa-pang.
Satu demi satu para pengeroyok itu ia robohkan. Setelah terjadi pertempuran yang lebih merupakan
pembantaian itu selama hampir dua jam, akhirnya semua anggauta Ban-hwa-pang roboh dan tewas! Kini
hanya tinggal Siangkoan Leng seorang yang menghadapi Siang Lan dengan muka pucat dan merasa ngeri.
Limapuluh lebih anak buahnya tewas di tangan Hwe-thian Mo-li!
Tadi memang sengaja gadis itu menghindari Siangkoan Leng karena dengan cara demikian, tidak ada anak
buahnya yang melarikan diri. Kalau ia lebih dulu merobohkan ketuanya, maka sisa anak buahnya pasti akan
melarikan diri ketakutan. Memang Hwe-thian Mo-li sudah memperhitungkan dan mengambil keputusan
untuk membunuh semua anggauta Ban-hwa-pang!
“Jahanam busuk! Sekarang tiba saatnya aku mencincang hancur tubuhmu yang amat kotor dan jahat itu!”
Hwe-thian Mo-li berseru dan ia segera menyerang dengan cepat.
Siangkoan Leng masih merasa ngeri melihat semua anak buahnya tewas. Untuk melarikan diri pun sudah
tidak ada kesempatan lagi maka dia pun dengan nekat melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga
dan mengeluarkan semua ilmu silat tombaknya yang lihai.
Mereka bertanding di antara puluhan mayat yang berserakan. Terkadang mereka terpaksa menginjak mayat
karena pekarangan itu memang penuh dengan mayat. Sepak terjang Hwe-thian Mo-li amat mengerikan. Ia
bagaikan kesetanan, tidak mengenal ampun. Hati dan pikirannya dipenuhi dendam kebencian yang amat
hebat karena peristiwa semalam yang merenggut kehormatannya sebagai seorang gadis.
Siangkoan Leng adalah seorang yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi dan sudah memiliki banyak
pengalaman berkelahi. Dalam hal ilmu silat dan tenaga, mungkin tingkatnya tidak berselisih jauh dari tingkat
kepandaian Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi yang jelas, dia kalah jauh dalam hal gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) sehingga ketika dalam perkelahian itu Siang Lan mengerahkan seluruh gin-kangnya, pandang mata
Ketua Ban-hwa-pang itu menjadi kabur karena baginya, tubuh gadis itu seperti berubah banyak, menyerang
dari berbagai jurusan dan bayangannya sedemikian cepatnya sehingga sukar baginya untuk dapat
mengarahkan serangannya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Maka, setelah bertanding kurang lebih limapuluh jurus lamanya, Siangkoan Leng yang memang sudah
merasa jerih dan ngeri melihat betapa semua anak buahnya telah tewas, tak mampu mengelak dari
tendangan Siang Lan yang mengenai bawah perutnya. Dia berteriak mengaduh dan roboh terjengkang!
Bagaikan kesetanan Siang Lan menubruk ke depan, pedang yang berada di pinggang Siangkoan Leng itu
disambarnya dan di lain saat Lui-kong-pokiam (Pedang Pusaka Halilintar) yang bersarung buruk, pedang
pusaka pemberian mendiang gurunya, menggantikan pedang rampasan yang dibuangnya. Tampak sinar
menyilaukan mata menyambar-nyambar ke arah tubuh Siangkoan Leng. Hanya dua kali Ketua Ban-hwapang
itu menjerit dan selanjutnya, tubuhnya dicincang oleh Siang Lan yang sudah memegang pedangnya
sendiri. Mengerikan sekali keadaan tubuh Siangkoan Leng. Siang Lan terus membacoki sambil
mencucurkan air mata.
“Mampuslah, mampuslah......!” berulang-ulang ia berseru dan akhirnya ia berdiri setengah lunglai, lelah
sekali, berdiri memegangi pedangnya yang berlepotan darah memandang ke arah onggokan daging di
depannya, bekas tubuh Siangkoan Leng yang dicincang berikut tulang-tulangnya itu!
Kemudian Nyo Siang Lan memerintahkan keluar semua penghuni dalam perkumpulan Ban-hwa-pang itu.
“Hayo, semua orang keluar dan berkumpul di sini! Siapa yang tidak mematuhi perintahku ini, akan kubunuh
seperti yang lain!” bentaknya sambil mengerahkan lwee-kang (tenaga dalam) sehingga suaranya terdengar
lantang menggema sampai ke seluruh lembah itu, bahkan menggetarkan semua pondok yang berada di
situ!
Mendengar seruan ini, berbondong-bondong keluarlah keluarga para anggauta Ban-hwa-pang bersama
anak-anak mereka. Para wanita dan anak-anak itu menangis karena merasa ngeri dan ketakutan melihat
banjir darah dan mayat-mayat suami dan ayah mereka berserakan! Juga di gedung besar tempat tinggal
Siangkoan Leng, keluar belasan orang wanita yang tadinya menjadi pelayan ketua itu. Mereka semua
berlutut dan menggigil ketakutan.
Melihat puluhan orang wanita dan kanak-kanak itu, hati Siang Lan menjadi agak lemas dan kemarahannya
memudar, terganti rasa iba.
“Hemm, mana yang laki-laki? Aku tidak melihat seorang pun laki-laki di antara kalian!”
“Semua laki-laki telah tewas terbunuh, Li-hiap (Pendekar Wanita), dan ada beberapa orang yang melarikan
diri. Tinggal kami para isteri dan anak......!” jawab seorang di antara mereka yang agak tabah.
Tadi sehabis berkelahi membantai para anggauta Ban-hwa-pang, Siang Lan baru melihat betapa indahnya
tempat itu. Lembah yang penuh dengan bunga beraneka warna! Sinar matahari pagi membuat
pemandangan dari lereng itu semakin semarak dan indah sekali sehingga ia mengambil keputusan untuk
memiliki lembah ini!
“Mulai saat ini, aku yang memiliki lembah ini. Akan kubangun lembah ini. Kalian yang mempunyai anak,
bawalah semua harta milik kalian dan pergilah meninggalkan lembah. Akan tetapi kalian yang tidak
mempunyai anak, boleh tinggal di sini membantuku Aku akan mendirikan sebuah perkumpulan terdiri dari
wanita semua di lembah ini!”
Lima orang wanita yang semalam melayani Siang Lan, kemudian pingsan tertotok dan kini agaknya sudah
pulih kembali dan ikut keluar, segera maju dan berlutut di depan gadis perkasa itu.
“Lihiap, kami berlima tidak mempunyai keluarga, kami ingin ikut dan membantu Lihiap,” kata seorang di
antara mereka yang usianya sekitar tigapuluh dua tahun dan berwajah manis.
Siang Lan memang suka kepada mereka karena selama melayaninya mereka bersikap amat baik, bahkan
merasa kasihan kepadanya. Ia mengangguk, lalu bertanya kepada pembicara itu.
“Enci, siapa namamu:,”
“Nama saya Kiok Hwa (Bunga Seruni), Bwe Kiok Hwa, Lihiap.”
“Baik, kuangkat engkau menjadi pembantu utamaku. Kuterima kalian berlima sebagai para pembantuku!”
Lima orang wanita itu memberi hormat dengan girang.
Para wanita yang merasa tidak mempunyai anak atau keluarga, segera berbondong maju dan berlutut di
belakang lima orang wanita pelayan itu. Mereka berjumlah sekitar tigapuluh orang, berusia antara limabelas
sampai tigapuluh tahun.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Kami siap membantu dan menjadi anak buah Lihiap!” seorang di antara mereka berseru.
Siang Lan merasa senang.
“Bagus! Sekarang kalian semua yang ingin membantuku, kuberi tugas dengan dipimpin Bwe Kiok Hwa.
Pertama, bantulah para isteri dan anak mengurus penguburan suami dan ayah mereka. Semua jenazah
agar dikubur di luar daerah bukit ini, di kaki bukit sana. Kalian pilih saja tempat yang baik. Kedua, kalian
bantu mereka yang harus pergi meninggalkan lembah, dan atur agar mereka membawa semua barang milik
mereka, juga kalau ada simpanan harta di sini, berilah bekal secukupnya kepada keluarga yang
meninggalkan lembah. Aku tidak ingin ada laki-laki dan kanak-kanak berada di sini!
“Ketiga, bakar gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng ini. Aku tidak sudi melihatnya lagi, dan kita
akan bangun sebuah gedung baru. Kiok Hwa, kau atur agar barang-barang berharga tidak ikut dibakar
karena kita perlu untuk membiayai bangunan baru. Akan tetapi semua perabot dalam rumah ini harus
dibakar habis. Aku tidak sudi lagi melihatnya. Nah, mengertikah kalian semua akan tiga tugas itu?”
“Kami mengerti!” terdengar para wanita itu riuh menjawab. Hati mereka merasa gembira karena selama ini
para wanita di situ seolah hanya dijadikan budak, melayani para laki-laki dan terkadang diperlakukan kasar.
Kini, dengan seorang ketua pendekar wanita, mereka melihat kecerahan di masa depan mereka.
“Untuk tugas pertama dan kedua, aku minta agar dapat diselesaikan dalam tiga hari. Setelah tiga hari, di
sini tidak ada lagi wanita dengan anak-anak mereka, juga wanita yang tidak ingin menjadi anggauta
perkumpulanku. Adapun tugas ketiga, yaitu membakar gedung, harus dilakukan sekarang juga. Nah, aku
pergi dan tiga hari kemudian aku kembali ke sini!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Siang Lan lenyap dari depan para wanita itu yang
menjadi makin takut. Mereka ada yang sudah mendengar bahwa gadis itu berjuluk Iblis Betina Terbang dan
sekarang mereka menyaksikan sendiri betapa wanita itu pandai menghilang seperti iblis!
Hwe-thian Mo-li berlari menuruni lereng di mana terdapat lembah yang penuh dengan bunga itu. Setelah
tiba di lereng bawah, ia menengok dan melihat asap membubung tinggi dan tahulah ia bahwa gedung
tempat tinggal Siangkoan Leng itu mulai dibakar oleh para pembantunya. Ia membalik lagi dan memandang
ke depan. Melihat sebuah telaga kecil dengan airnya yang mengkilap tertimpa sinar matahari pagi, ia cepat
berlari menuju ke telaga itu.
Setelah tiba di tepi telaga kecil yang sunyi dan indah itu, Siang Lan yang merasa betapa tubuhnya lunglai,
menjatuhkan diri di atas rumput tebal di tepi telaga dan menangislah gadis itu. Menangis sejadi-jadinya,
tersedu-sedu, terisak sampai terengah dan merintih-rintih, bahkan tanpa ia sadari terdengar rintihannya
memilukan.
“Ibuuu...... lbu......, Ayah...... di mana kalian......? Ibu......!” Hatinya terasa seperti diremas-remas teringat
akan peristiwa semalam. Ia telah dihina, diperkosa seorang laki-laki macam Siangkoan Leng tanpa berdaya.
Ia merasa begitu terhina, kotor dan menjijikkan.
“Ibuuu......! Suhuuu......, teecu (murid) lebih baik mati saja......!” Kini ia merintih memanggil mendiang
gurunya yang mengasihinya seperti ayahnya sendiri.
Siang Lan duduk setengah rebah menelungkup, membiarkan mukanya terbenam dalam rumput dan
menjadi basah oleh air mata dan embun, tubuhnya yang terisak-isak itu bergoyang-goyang, sesenggukan
seperti seorang anak kecil. Ia telah membantai puluhan orang untuk melampiaskan dendamnya, namun
perbuatan itu ternyata tidak memuaskan hatinya, bahkan menambah ganjalan hatinya kalau ia teringat
bahwa belum tentu semua orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Ia telah membunuhi
suami orang, ayah orang, tanpa memperhitungkan apakah yang ia bunuh itu jahat atau tidak.
Sama sekali ia tidak tahu bahwa sejak ia lari meninggalkan lembah tadi, ada bayangan orang yang selalu
mengikutinya dari jauh. Kini, ketika ia menangis, meratap dan merintih di tepi telaga kecil, bayangan itu
bersembunyi di balik semak-semak, tidak begitu jauh darinya sehingga pengintai itu bukan saja dapat
melihat semua yang ia lakukan, bahkan mendengar semua ratapan dan rintihannya.
Dan, orang itu, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, wajahnya tampak pucat dan matanya
muram alisnya berkerut. Melihat Siang Lan meratap dan menangis, dia lalu menjambak-jambak rambutnya
sendiri yang sudah banyak ubannya itu sambil bercucuran air mata!
02.04. Penyesalan Seorang Pendekar
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Sie Bun Liong, jahanam busuk kau! Apa yang telah kau lakuan......? Kau layak mampus......!” Sepuluh jari
tangannya menjambak-jambak rambutnya sendiri sampai gelungnya terlepas awut-awutan, kemudian kedua
tangannya menampari kedua pipinya dari kanan kiri.
“Plak-plak-plak-plak-plak-plak! Kau layak mampus, layak mampus huu-huu-huuhh......!” Dia menangis
sambil menahan suaranya, air matanya bercucuran, kedua pipinya bengkak-bengkak oleh tamparannya
sendiri dan kedua ujung bibirnya berdarah!
Kalau orang melihat Hwe-thian Mo-li menangis mengguguk seperti anak kecil seperti itu, tentu orang yang
mengenal Hwe-thian Mo-li akan terheran-heran. Gadis yang dikenal dengan juluan Iblis Betina Terbang,
yang terkenal pemberani, tak mengenal takut, keras, liar dan ganas itu, bagaimana mungkin kini menangis
mengguguk seperti anak kecil?
Dan orang yang mengenal laki-laki yang bersembunyi itu tentu akan lebih heran. Dia adalah Sie Bun Liong
yang telah kita kenal ketika malam tadi berkunjung ke rumah adik tiri berlainan ayah ibu di Ban-hwa-pang.
Sie Bun Liong adalah seorang perantau, seorang kelana yang bertahun-tahun berkelana di daerah Tibet
dan Himalaya, seorang ahli sastra dan ahli silat yang amat pandai, kini menangis, menjambak-jambak
rambutnya dan menampari pipinya sendiri!
Sie Bun Liong maklum bahwa adiknya berlainan ayah dan ibu, Siangkoan Leng, adalah seorang laki-laki
yang lemah dan mudah diperbudak nafsu-nafsunya. Karena itu, sebelum meninggalkan Ban-hwa-pang di
mana adiknya itu menjadi ketua, dia sudah meninggalkan banyak pesan dan nasihat agar adiknya tidak
meninggalkan jalan kebenaran seperti seorang pendekar.
Namun, ketika kemarin dia menuju ke Ban-hwa-pang, dia mendengar keterangan yang kurang
menyenangkan tentang Ban-hwa-pang dari para penduduk. Maka, ketika melihat Ban-hwa-pang
mempersiapkan pesta pernikahan adiknya itu, dia sudah merasa curiga dan ingin bertemu calon pengantin
wanita untuk melihat apakah wanita itu mau menikah dengan Siangkoan Leng dengan suka rela atau
dipaksa. Kalau dipaksa, dia akan turun tangan mencegah dan melarang adiknya memaksa wanita untuk
menjadi isterinya!
Akan tetapi Siangkoan Leng melarangnya bertemu dengan calon pengantin dengan alasan yang kuat dan
karena betapapun juga Sie Bun Liong memiliki rasa sayang kepada adik tiri ini, maka dia mau diajak minum
bermabok-mabokan oleh adiknya. Dia minum sampai begitu maboknya sehingga dia tidak ingat apa-apa
lagi.
Ketika dia sadar dari keadaan setengah pingsan itu, dia merasakan tubuhnya panas dan tidak karuan.
Kepalanya berdenyut-denyut dan berdengung, perasaannya demikian gembira tidak wajar.
Dia membuka mata dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan di dekatnya rebah pula
seorang wanita dalam keadaan telanjang bulat! Dalam keremangan cuaca dalam kamar dia melihat kulit
tubuh yang putih mulus, ketika tersentuh merasakan kehangatan yang luar biasa dan mencium keharuman
yang tiba-tiba membuat gairahnya berkobar dan memuncak!
Sie Bun Liong bukan seorang laki-laki yang mudah tergiur wanita, bahkan dalam usia empatpuluh dua tahun
itu dia belum pernah bergaul secara intim dengan seorang wanita. Melihat keadaan dirinya yang juga
setengah telanjang karena pakaian luarnya bertumpuk di tepi pembaringan itu, Sie Bun Liong mencubit
lengannya sendiri karena mengira bahwa semua itu tentu hanya mimpi. Akan tetapi ternyata bukan mimpi.
“Gila!” Dia berseru dalam hatinya dan berusaha sekuatnya untuk menolak karena nalurinya mengatakan
bahwa semua ini tidak benar! Akan tetapi, semakin dilawan, gairah itu semakin kuat, seolah api yang
berkobar membakar dirinya.
Dalam keadaan seperti gila dan masih setengah sadar dia tidak mampu lagi menahan gairah berahinya dan
terjadilah peristiwa yang sama sekali tidak dikehendaki hati nuraninya. Hatinya menolak namun badannya
tidak dapat dikendalikan lagi dan terjadilah peristiwa itu. Dia telah menggauli wanita yang tidak dikenalnya
itu, wanita yang agaknya berada dalam keadaan setengah sadar atau pingsan.
Ketika pengaruh hawa rangsangan yang amat kuat itu mulai melemah, pada pagi hari itu dia segera
mengenakan pakaiannya dan turun dari pembaringan. Dia hampir gila karena penyesalan, bercampur
keheranan dan penasaran mengapa sampai terjadi hal seperti itu.
Apa yang telah terjadi? Siapa gadis itu? Apakah adiknya, Siangkoan Leng yang sengaja menyuruh gadis itu
melayaninya? Akan tetapi ketika dia keluar dari jendela kamar itu, dia mendapat kenyataan bahwa itu
merupakan kamar terbesar dan di depan pintu kamar terdapat hiasan kamar pengantin dengan kain merah!
Gadis itu adalah gadis calon pengantin, calon isteri Siangkoan Leng!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Sie Bun Liong tidak dapat menahan lagi rasa malu, marah, dan penyesalannya. Perbuatannya semalam
merupakan dosa yang tak dapat diampuni, merupakan perbuatan kotor dan hina, menyeretnya menjadi
manusia iblis yang merusak kehormatan seorang gadis! Terkutuk! Dia lalu melarikan diri, meninggalkan
Ban-hwa-pang dengan amat cepat sehingga tidak diketahui siapa pun.
Setelah berada jauh dari Ban-hwa-pang, dia berhenti, menjatuhkan diri di atas tanah lalu berlutut, menangis
dan berdoa mohon pengampunan atas dosa yang telah diperbuatnya! Akan tetapi dia juga merasa heran.
Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan hina seperti itu, memperkosa seorang gadis yang berada
dalam keadaan tidak berdaya? Sekarang baru dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu telah ditotok
sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan dan tidak mampu mengeluarkan suara!
Akan tetapi, mengapa dia mau melakukan perkosaan seperti itu? Ini sama sekali bukan dirinya. Sampai
mati pun dia tidak akan sudi melakukan hal itu. Akan tetapi mengapa dilakuannya juga?
Dia mengingat-ingat dan membayangkan apa yang terjadi kemarin sore. Dia minum-minum dengan
Siangkoan Leng, minum arak sebanyak-banyaknya karena adiknya itu membujuk dan setengah
memaksanya untuk minum, demi kebahagiaan adiknya. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi dan yang
teringat hanya peristiwa malam tadi. Malam jahanam yang membuat dia berubah menjadi iblis! Mengapa
begitu?
Sie Bun Liong duduk termenung, diam tak bergerak seolah telah berubah menjadi arca. Dia memikirkan hal
yang telah terjadi secara aneh dan luar biasa itu. Lalu dia teringat akan perasaannya ketika mulai sadar dan
mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan, di dekat seorang gadis yang rebah telentang dalam
keadaan telanjang bulat. Dia merasa tubuhnya seperti dibakar, kepalanya berdenyut, telinganya
berdengung sehingga sukar baginya untuk berpikir.
“Ah......!” Tiba-tiba dia teringat bahwa adiknya, Siangkoan Leng adalah orang yang suka sekali mempelajari
tentang semua bunga di Lembah Selaksa Bunga itu dan membuat ramuan obat dari bunga-bunga itu!
Mungkin dia telah keracunan, pikirnya! Ya, malam itu dia terpengaruh racun yang amat hebat, racun
perangsang yang amat kuat sehingga seolah melumpuhkan semua kesadaran dan pertahanan batinnya.
Dia dalam pengaruh racun perangsang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat diracuni?
Apakah ketika dia minum-minum dengan adiknya? Dan siapa yang meracuninya? Adiknya sendiri?
Rasanya tidak mungkin! Mana mungkin Siangkoan Leng meracuni kakak sendiri agar kakaknya
memperkosa gadis yang menjadi calon isterinya? Sama sekali tidak mungkin! Lalu siapa? Apa yang
sebenar telah terjadi?
Dia merasa malu, bahkan ngeri untuk kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Bagaimana dia dapat
berhadapan muka dengan Siangkoan Leng setelah dia memperkosa calon isteri adiknya itu? Lebih lagi,
bagaimana dia akan dapat berhadapan dengan gadis yang semalam telah dia perkosa?
Sampai lama sekali, setelah termenung di situ seperti orang yang kehilangan ingatan, Sie Bun Liong baru
bangkit berdiri. Dia tidak boleh berdiam diri saja, pikirnya. Dia harus menyelidiki bagaimana peristiwa
semalam itu dapat terjadi dan apa artinya semua itu.
Laki-laki bertubuh sedang dengan pakaian sederhana itu kini melangkah menuju ke Lembah Selaksa Bunga
kembali. Wajahnya yang memiliki garis-garis kehidupan mendalam dengan bentuk yang jantan dan tampan
itu kini tampak muram. Sepasang matanya yang biasanya lembut penuh kesabaran dan tenang itu kini
tampak gugup dan bingung.
Setelah agak dekat dengan perkampungan Ban-hwa-pang dia mendengar suara orang-orang berkelahi di
perkampungan itu. Dia terkejut dan cepat berlari menuju ke Ban-hwa-pang. Ketika dia tiba di sana dan
memandang ke pekarangan gedung tempat tinggal adiknya, matanya terbelalak, mukanya pucat dan
tubuhnya gemetar.
Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah, rambutnya
awut-awutan, pakaiannya berlepotan darah, memegangi sebatang pedang yang berkilauan, berdiri di
tengah pekarangan dan di sekelilinginya tampak mayat-mayat puluhan orang berserakan! Dia mendengar
Hwe-thian Mo-li mengucapkan perintah tiga macam tugas kepada puluhan orang wanita yang berlutut
menghadapnya.
Dengan hati penuh kengerian Sie Bun Liong maklum apa yang telah terjadi. Gadis yang dia gauli dalam
keadaannya yang tidak wajar dan hampir tidak sadar itu adalah calon pengantin adiknya! Agaknya gadis itu
dunia-kangouw.blogspot.co.id
memang ditawan adiknya dan agaknya hendak dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi karena gadis itu yang
disebut Hwe-thian Mo-li kabarnya amat lihai, maka gadis itu ditotok dan direbahkan dalam kamar itu.
Dan ketika dia minum-minum dengan adiknya itu, Siangkoan Leng tentu telah mencampurkan obat
perangsang yang amat kuat ke dalam arak yang diminumnya, lalu sengaja membawanya ke dalam kamar di
mana calon pengantin itu rebah dalam keadaan tertotok dan telah ditanggalkan semua pakaiannya. Ah, dia
kini dapat membayangkan apa yang terjadi.
Tidak salah lagi, tentu Siangkoan Leng sengaja menjebaknya, mungkin karena tahu bahwa dia pasti akan
melarang adiknya memaksa Hwe-thian Mo-li menikah dengannya, maka adiknya yang telah tersesat itu
menggunakan siasat seperti itu! Kalau sudah ternoda, dia mengharapkan Hwe-thian Mo-li tidak menolak
lagi, dan dia yang sudah menodai gadis itu tentu tidak lagi dapat melarang adiknya menikah dan memaksa
gadis itu menjadi isterinya!
“Lemah dan bodoh!”
Dia menggumam dan kembali dia melihat ke arah Hwe-thian Mo-li yang menghadapi para wanita itu. Dia
dapat menduga bahwa setelah terbebas dari totokannya, tentu Hwe-thian Mo-li mengamuk dan membunuhi
semua anggauta Ban-hwa-pang.
Dia bergidik melihat puluhan mayat berserakan seperti itu, dan hampir dia menjerit melihat onggokan daging
di depan gadis itu. Dia mengenal sisa pakaian dari bekas tubuh yang kini hancur tercincang itu. Tak salah
lagi, adiknya, Siangkoan Leng, juga telah dibunuh dan dicincang oleh Hwe-thian Mo-li!
Hampir saja Sie Bun Liong melompat untuk menyerang gadis yang liar dan ganas, yang telah dengan kejam
membasmi semua orang Ban-hwa-pang. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan dirinya. Apa yang hendak dia
lakukan? Membalas dendam dan membunuh gadis itu? Padahal, Hwe-thian Mo-li melakukan pembantaian
itu karena merasa dirinya diperkosa. Dialah yang menjadikan gadis itu mengamuk seperti kemasukan iblis!
Teringat akan hal ini, Sie Bun Liong merasa lemas lagi, seluruh urat syarafnya seperti dilolosi dan dia
menangis tanpa suara dengan sedih, menangisi kematian adiknya dan para anggauta Ban-hwa-pang,
menangisi perbuatannya sendiri malam tadi. Ketika dia melihat gadis itu lari meninggalkan Ban-hwa-pang
dengan cepat setelah memberi tugas kepada bekas anggauta Ban-hwa-pang, Sie Bun Liong juga lari
membayanginya.
Demikianlah, ketika Hwe-thian Mo-li menjatuhkan dirinya yang lemah lunglai di tepi telaga, kemudian
merintih dan meratap-ratap menangis sedih menyebut ayah dan ibunya, Sie Bun Liong merasa betapa
hatinya seperti ditusuk-tusuk ujung pedang. Dia menangis dan dengan menyesal dan perasaan benci
kepada diri sendiri dia menampari semuanya sampai kedua pipinya bengkak-bengkak dan kedua ujung
bibirnya berdarah.
Setelah tangisnya mereda karena kekerasan hati Siang Lan tidak membiarkan dirinya hanyut dalam
kesedihan, gadis itu bangkit duduk melamun. Mukanya pucat dan basah, juga kotor terkena tanah basah.
Dirabanya mukanya dan dilihatnya telapak tangannya yang terkena kotoran dari mukanya.
“Aku kotor...... aku kotor......!”
Ia berseru dan setelah memperhatikan keadaan sekeliling dengan penglihatan dan pendengarannya, yakin
bahwa tidak ada orang lain di sekitar situ, ia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan masuk ke dalam air
telaga. Ia menyelam lama sampai terengah-engah ketika muncul kembali dan ia menggunakan ilalang untuk
menggosoki seluruh tubuhnya dengan kuat sehingga semua kulit tubuhnya yang putih mulus menjadi
kemerahan.
Ketika tadi Hwe-thian Mo-li mulai menanggalkan pakaiannya, Sie Bun Liong terkejut dan heran, akan tetapi
segera dia memejamkan matanya. Sudah menjadi wataknya sejak dulu untuk bersikap sopan terhadap
wanita dan kecabulan nafsu berahi sebetulnya sudah lama dia jauhi. Dia hanya mengikuti gerakan gadis itu
melalui pendengarannya karena pantang baginya melihat seorang wanita menanggalkan pakaiannya.
Setelah dia mendengar suara gadis itu masuk ke dalam telaga, baru dia membuka matanya dan dia melihat
betapa gadis itu menyelam dan menggosoki badannya dengan ilalang. Dia merasa iba sekali karena dia
seolah dapat merasakan keadaan gadis itu. Agaknya gadis itu hendak membersihkan diri dari penghinaan
yang dialaminya semalam.
Kembali dia memejamkan matanya ketika gadis itu keluar dari air telaga, mengenakan pakaiannya kembali.
Dia membuka mata mendengar gadis itu kembali meratap.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Aih...... aku kotor...... kotor......! Ayah...... Ibu...... aku tidak tahan lagi menanggung derita kecemaran
ini......!” Gadis itu menangis sesenggukan.
Sie Bun Liong juga hampir tak dapat menahan dirinya. Dia ingin sekali keluar dari tempat
persembunyiannya, menemui gadis itu dan mengakui semua perbuatannya, siap menerima hukuman mati
di tangannya. Akan tetapi dia merasa malu dan...... ngeri menemui gadis itu! Bukan ngeri menghadapi
kematiannya sendiri, namun ngeri harus berhadapan muka dengan gadis yang telah diperkosanya itu,
walaupun perbuatannya itu dilakukan dalam keadaan tidak sewajarnya dan tidak sadar karena pengaruh
arak dan mungkin obat perangsang yang amat kuat.
Dengan jari-jari tangannya membentuk cakar garuda, Sie Bun Liong merobek kulit batang pohon di
depannya. Lalu membentuknya selebar wajahnya, melubangi bagian mata dan lubang hidung, kemudian
menggunakan saputangan untuk menalikan topeng kulit kayu itu di depan mukanya. Kalau dia mati di
tangan gadis itu, biarlah dia mati tanpa memperlihatkan mukanya, pikirnya.
Tiba-tiba dia terkejut dan tubuhnya berkelebat cepat bukan main ke arah Siang Lan. Tadi, begitu dia selesai
memakai topeng dan memandang kepada gadis yang tadi menangis sesenggukan, dia mendengar Hwethian
Mo-li meratap.
“Ayah...... Ibu...... tunggu...... aku ingin ikut kalian!” Dan gadis itu mencabut pedangnya!
“Syuuuuttt...... plakk!” Pedang di tangan Siang Lan yang sudah digerakkan menuju leher sendiri itu tiba-tiba
saja terpental bertemu dengan telapak tangan yang menamparnya dari samping.
Hwe-thian Mo-li terkejut bukan main dan cepat ia membuang diri ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan
kini berdiri memandang orang yang begitu berani menangkis pedangnya. Ia terkejut melihat seorang lakilaki
yang mengenakan topeng menutupi mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Melihat
rambutnya yang sudah banyak terhias uban, tentu bukan seorang pemuda lagi. Rambut itu awut-awutan,
pakaiannya sederhana, juga kusut.
Namun yang mengejutkan hati Hwe-thian Mo-li adalah kenyataan bahwa laki-laki itu mampu menangkis
pedang pusaka Lui-kong-kiam dengan tangan! Juga dalam tangkisan itu terkandung tenaga sakti yang amat
kuat, yang membuat pedangnya terpental walaupun tidak sampai terlepas dari tangannya. Dan yang
membangkitnya kemarahan Hwe-thian Mo-li adalah keberanian orang ini untuk menangkis pedangnya dan
menggagalkan usahanya membunuh diri!
“Jahanam busuk! Engkau sudah bosan hidup berani mencampuri urusan pribadiku!” bentaknya dengan
suara menggetar saking marahnya. Lupalah ia akan semua kesedihan dan keputus-asaannya, terganti
perasaan marah yang berkobar.
“Hua-ha-ha-ha! Engkau masih bisa marah padaku, berarti semangat hidupmu masih besar, kenapa mau
bunuh diri?”
“Peduli apa engkau dengan urusanku? Siapa engkau? Mengakulah sebelum kubelah dadamu dengan
pedang ini!”
“Hemm, masih kurangkah engkau membunuhi puluhan orang yang tidak bersalah kepadamu? Apakah
engkau bunuh diri karena menyesal telah membunuh banyak orang yang tidak berdosa?”
“Huh, siapa menyesal! Kalau Siang-koan Leng mempunyai seribu nyawa, aku akan membunuhnya seribu
kali! Dia jahat dan anak buahnya tentu jahat pula maka kubunuh mereka semua!”
“Siangkoan Leng hanya ingin memperisterimu, dan hal itu belum terjadi. Biarpun dia bersalah, membunuh
dia bersama anak buahnya untuk kesalahan sekecil itu sungguh tidak adil namanya!”
“Kesalahan kecil? Hem, karena engkau akan mampus pula kubunuh, boleh engkau tahu agar jangan
menjadi setan penasaran! Siangkoan Leng telah bertindak keji kepadaku, ia menghinaku dan mencemarkan
kehormatanku! Nah, sekarang bersiaplah untuk mampus menyusul arwah Si Jahanam Siangkoan Leng!”
“Dan engkau setelah membunuh aku tidak akan bunuh diri lagi?”
“Peduli apa denganmu? Yang kubunuh diriku sendiri, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku pasti akan
bunuh diri dan tidak ada seorang pun lagi yang dapat mencegahku!” Gadis itu menyerang dengan
pedangnya, gerakannya ganas, kuat dan cepat sekali. Akan tetapi dengan mudahnya orang bertopeng itu
mengelak.
“Ha-ha-ha, engkau keliru! Yang memperkosamu bukan dia!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Siang Lan menahan serangannya, memandang heran dan tidak percaya. “Engkau bohong! Siapa lagi kalau
bukan jahanam Siangkoan Leng itu?”
“Bukan dia dan bukan orang lain! Akulah yang semalam melakukan perkosaan padamu itu, Hwe-thian Moli!”
Siang Lan terbelalak, matanya mencorong penuh kemarahan akan tetapi juga terkejut bukan main
mendengar pengakuan itu. Dia telah salah sangka dan membunuh Ketua Ban-hwa-pang dan semua
anggautanya!
“Ha-ha-ha, aku yang melakukannya dan aku sama sekali bukan orang Ban-hwa-pang! Nah, apakah
sekarang engkau mau bunuh diri karena takut kepadaku?”
“Setan keparat! Iblis jahanam, aku tidak mau mati sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!” teriak
Siang Lan dengan suara menjerit saking marahnya.
02.05. Siasat Mencegah Bunuh Diri
Bukan saja orang ini mengaku sebagai orang yang memperkosanya tadi malam, bahkan kini menghinanya
dan mengatakan ia takut! Cepat seperti kilat menyambar ia menyerang dengan Lui-kong-kiam. Akan tetapi
dengan gerakan ringan sekali sambil mengeluarkan suara tawa mengejek, orang bertopeng itu mengelak
dan dengan lompatan tinggi dia menyambar sebatang ranting pohon sebesar lengannya, melompat turun
dan sudah memegang sebatang ranting yang dia pergunakan sebagai senjata.
Mereka bertanding mati-matian dan Hwe-thian Mo-li benar-benar terkejut bukan main! Pedang pusakanya
yang ampuh, yang mampu mematahkan senjata lawan terbuat dari baja murni, kini tidak berdaya
menghadapi senjata lawan yang hanya merupakan sebatang ranting pohon yang masih ada daun-daunnya!
Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmu silatnya yang
paling lihai, namun semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh orang bertopeng itu. Yang
membuat ia merasa penasaran dan semakin panas hatinya adalah mendengar betapa lawan itu terkadang
mengeluarkan suara tawa mengejek kalau serangannya gagal.
Hampir seratus jurus lewat dan mereka berdua masih terus bertanding dengan serunya. Hwe-thian Mo-li
menjadi semakin penasaran karena ia merasa betul bahwa lawannya itu hanya bertahan saja, mengelak
atau menangkis serangan-serangannya dan hanya kadang-kadang saja balas menyerang.
Agaknya lawannya yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu mempermainkannya atau sengaja hendak
menguji kepandaiannya. Ia menjadi marah sekali, akan tetapi juga penasaran dan jengkel, apalagi
mengingat bahwa laki-laki ini yang semalam memperkosanya. Hampir saja ia menangis karena ia
kehabisan tenaga.
Tiba-tiba laki-laki bertopeng itu mengubah gerakannya. Kini dia menyerang dengan gerakan yang aneh dan
bertubi-tubi yang membuat Siang Lan segera terdesak mundur.
“Roboh......!” Laki-laki itu membentak dan tiba-tiba beberapa helai daun yang masih menempel pada ranting
pohon yang dijadikan senjata itu meluncur bagaikan senjata-senjata rahasia, menyerang ke arah leher dan
kedua pundak Siang Lan!
Tentu saja gadis itu terkejut mendapat serangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka itu. Ia melompat
ke samping, akan tetapi sebuah tendangan mengenai lututnya dan sebelum ia dapat menghindar, ujung
ranting itu menotok pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dari pegangannya! Ia
terduduk karena lututnya terasa lumpuh. Ia melihat pedangnya terlempar agak jauh dan kini laki-laki itu
membuang ranting di tangannya.
“Hua-ha-ha-ha! Kiranya ilmu kepandaian Hwe-thian Mo-li hanya sebegini saja!”
Siang Lan memandang dengan mata mencorong, akan tetapi kedua matanya basah air mata. Ia khawatir
kalau-kalau peristiwa semalam terulang karena kini ia benar-benar tidak berdaya. Orang bertopeng itu
terlampau kuat baginya.
“Jahanam keparat! Aku sudah kalah! Bunuh aku!”
“Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu! Sekarang terserah engkau. Kalau engkau seorang pengecut, kau
boleh bunuh diri karena takut padaku dan aku akan mengabarkan di seluruh dunia kang-ouw bahwa nama
dunia-kangouw.blogspot.co.id
besar Hwe-thian Mo-li hanya nama kosong belaka dari seorang wanita pengecut yang tidak berani
menghadapi musibah dan kesengsaraan hidup. Akan tetapi kalau engkau benar seorang pemberani,
engkau boleh belajar ilmu silat seratus tahun lagi dan kelak boleh mencari aku untuk bertanding lagi seribu
jurus! Ha-ha-ha-ha!”
Ini merupakan penghinaan yang sudah melewati batas! Siang Lan memaksa diri bangkit dan sambil bertolak
pinggang ia menatap wajah bertopeng itu, lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka bertopeng kulit kayu
itu.
“Jahanam, keparat, penjahat busuk! Siapa takut padamu? Kalau engkau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak
takut mati! Akan tetapi kalau engkau tidak membunuhku, aku bersumpah tidak akan mati dulu sebelum aku
dapat mencincang tubuhmu. Kelak aku pasti akan mencarimu untuk membalas dendam setinggi langit
sedalam lautan ini!”
“Bagus, ha-ha-ha! Aku akan menunggumu, Hwe-thian Mo-li!”
“Buka topengmu dan katakan siapa nama dan di mana kelak aku dapat mencarimu!”
“Ha-ha-ha, topeng ini merupakan ciri khasku, dan tidak akan kubuka. Kelak kalau engkau mencariku,
engkau carilah tokoh bertopeng kulit kayu berjuluk Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi)! Tempat
tinggalku tidak tentu, akan tetapi jangan khawatir. Akulah yang akan mencarimu. Setahun sekali aku akan
mencarimu di Lembah Selaksa Bunga. Selamat tinggal!” Orang itu berkelebat lenyap dan Siang Lan tidak
dapat melakukan pengejaran, hanya mendengar suara tawanya yang bergema dan semakin jauh!
Kembali Siang Lan menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi sekali ini
ia bukan menangis karena sedih, melainkan menangis karena penasaran, marah, benci dan dendam
bergelora di dalam hati dan akal pikirannya.
“Thian-te Mo-ong, akan kubunuh kau...... Kubunuh kau.....!!” teriaknya, akan tetapi ia segera dapat
menguasai dirinya. Tidak, ia tidak akan membunuh diri.
Sekarang, tujuan satu-satunya dalam sisa hidupnya hanyalah membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong,
laki-laki bertopeng itu. Dan untuk dapat melaksanakan dendamnya, ia harus memperdalam ilmu silatnya
karena musuh besarnya itu memiliki tingkat kepandaian silat yang amat tinggi. Ia lalu memungut Lui-kongkiam
(Pedang Halilintar), menyarungkannya kembali dan melangkah perlahan mendaki bukit menuju
Lembah Selaksa Bunga.
Ia telah bersalah membunuhi para anggauta Ban-hwa-pang yang tidak berdosa dan ia merasa menyesal.
Siangkoan Leng memang sudah sepatutnya mendapat hukuman, walaupun perlakuannya kepadanya
dengan mencincang tubuhnya itu juga amat keterlaluan mengingat bahwa kesalahannya hanya
menawannya.
Ia harus membangun kembali Ban-hwa-pang, memakmurkan para anggautanya dan melatih mereka
dengan ilmu silat. Selain itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya sehingga kelak ia akan mampu membalas
dendam musuh besar yang amat dibencinya, yaitu Thian-te Mo-ong!
Ketika ia memasuki perkampungan Ban-hwa-pang, para wanita di situ terkejut melihat ketua baru itu sudah
datang lagi. Akan tetapi Siang Lan girang melihat betapa mereka itu mematuhi semua perintahnya. Setelah
rumah gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng dibakar habis, semua jenazah dikuburkan, dan para
wanita yang mempunyai anak pergi meninggalkan Ban-hwa-pang dengan mendapat bekal secukupnya,
mulailah Siang Lan membenahi perkumpulan itu.
Sebuah rumah untuknya dibangun dan setelah ia kumpulkan, ternyata ada tigapuluh lima orang wanita yang
menjadi anggautanya. Siang Lan mengatur perkumpulan itu menjadi sebuah perkumpulan wanita yang
pantang melakukan kejahatan, akan tetapi juga para anggauta tidak boleh berhubungan dengan laki-laki
selama mereka menjadi anggauta Ban-hwa-pang. Siapa yang hendak menikah tidak dilarang, melainkan
harus meninggalkan Ban-hwa-pang!
Sementara itu, laki-laki bertopeng yang telah mencegah Siang Lan bunuh diri kemudian bertempur dan
mengalahkan gadis liar itu, juga meninggalkan Siang Lan dan kini dia melangkah perlahan mendaki bukit
yang bersebelahan dengan bukit di mana terdapat Lembah Selaksa Bunga yang karena adanya lembah itu,
disebut pula Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga).
Dia melangkah satu-satu dengan santai. Topeng kayu telah ditanggalkannya dan dibuangnya dan orang itu
bukan lain adalah Sie Bun Liong. Kini dia melangkah sambil bicara seorang diri, berbantahan sendiri seperti
seorang gila!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Kamu kejam! Tak tahu malu, melakukan perbuatan biadab dengan memperkosa seorang gadis. Padahal
selama ini kamu belum pernah bergaul dengan wanita dan tampak alim. Huh, alim yang pura-pura,
munafik!” bisik mulutnya yang mengeluarkan suara hatinya.
Suara pikirannya membantah. “Aku melakukannya dalam keadaan tidak sadar! Karena mabok arak dan
dipengaruhi racun perangsang!”
“Kamu kini lebih kejam lagi! Bukan hanya menghina dengan mengalahkannya, bahkan mengejeknya dan
membiarkan ia hidup merana dengan mengandung dendam kepadamu. Kamu benar-benar jahat dan kejam
sekali!”
Sie Bun Liong menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku melakukannya dengan
sengaja walaupun dengan perasaan pedih. Semua itu kulakukan untuk menjauhkan niat bunuh diri darinya,
agar ia bersemangat tetap hidup untuk dapat membalas dendam kepadaku. Biarlah aku kelak dianggap
jahat dan kejam, semua itu kulakukan demi menyelamatkannya, untuk menebus dosa yang kulakukan
kepadanya tanpa kusengaja......”
“Huh, untuk mengakhiri penderitaannya, mengapa engkau tidak membunuhnya saja atau membiarkan ia
membunuhmu dalam perkelahian tadi? Mengapa engkau mengorbankan dirimu biar dianggap biadab, jahat
dan kejam demi mencegahnya bunuh diri? Ha-ha, aku tahu, karena engkau cinta padanya...... cinta
padanya......”
“Tidak......!”
“Engkau jatuh cinta padanya!”
“Tidak, kamu ngaco.....!”
“Kau cinta padanya...... cinta padanya...... cinta padanya......!” Suara itu seperti mengejek
mentertawakannya.
“Plakk! Bodoh kamu!” Sie Bun Liong menampar kepalanya sendiri. Dia lalu mendaki puncak bukit dan
mengambil keputusan untuk tinggal di situ secara diam-diam karena dia harus memantau keadaan dan
perkembangan Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi Ketua Ban-hwa-pang.
Kota raja Kerajaan Dinasti Beng (1368-1644) pada waktu itu dapat dibilang cukup makmur. Yang menjadi
kaisar adalah Kaisar Wan Li (1572-1620) yang ketika kisah ini terjadi menghadapi banyak masalah
gangguan pemberontakan yang terjadi di daerah selatan dan utara. Dari utara datang gangguan dari sukusuku
bangsa, yang terbesar adalah bangsa Mancu dan dari selatan datang gangguan dari perkumpulanperkumpulan
yang ingin memberontak seperti misalnya Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw. Akan tetapi
berkat kepandaian dua orang menteri yang bijaksana, maka sebegitu jauh semua masalah itu dapat
diselesaikan dan pemberontakan dapat ditindas walaupun belum dapat dipadamkan sama sekali.
Dua orang menteri yang bijaksana dan cekatan dalam sejarah sebagai menteri-menteri yang setia itu
adalah Menteri Yang Ting Ho yang menjadi penasehat Kaisar Wan Li dalam urusan ketatanegaraan, dan
yang kedua adalah Panglima Chang Ku Cing yang menjadi penasehat dalam urusan ketatanegaraan dan
keamanan negara. Tentu saja kedua orang menteri ini dibantu oleh banyak pejabat dan perwira yang setia
dan jujur, dua sifat pejabat negara yang sukar ditemukan pada waktu itu. Sebagian besar pejabat itu
merupakan orang-orang yang korup, mencuri uang negara, memeras dan menekan rakyat, bertindak
sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaan masing-masing.
Satu di antara perwira yang membantu Panglima Chang Ku Cing, yang merupakan seorang perwira
tangguh, jujur dan setia kepada atasannya, dan dengan sendirinya dia juga amat setia kepada kerajaan,
adalah Panglima Muda Kui Seng yang baru saja naik pangkat menjadi panglima muda setelah dia berhasil
meringkus tujuh orang pimpinan pemberontak Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih). Kui Seng atau lebih
dikenal dengan Kui Ciang-kun (Panglima Kui) adalah seorang laki-laki bertubuh sedang dan bersikap
gagah. Dia terkenal pemberani dan pandai mengatur pasukan sehingga dipercaya oleh Panglima Besar
Chang Ku Cing.
Kui Ciang-kun mempunyai seorang puteri bernama Kui Li Ai, seorang gadis berusia delapanbelas tahun
yang cantik jelita. Isterinya, atau ibu kandung Li Ai, telah meninggal dunia karena sakit tiga tahun yang lalu
dan sebagai pengganti isteri pertama, dia mengangkat seorang selir menjadi isteri pertama.
Sayang bahwa selir yang diangkat menjadi isteri dan baru berusia tigapuluh tahun itu, diam-diam merasa
tidak suka kepada anak tirinya, sehingga di pihak Li Ai dengan sendirinya juga timbul perasaan tidak suka
kepada ibu tiri ini. Akan tetapi perasaan tidak suka ini tidak mereka perlihatkan di depan Kui Seng.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Pada suatu senja menjelang malam, setelah makan malam, Kui Ciang-kun bercakap-cakap dengan
isterinya di halaman belakang yang terbuka dan menghadap ke taman bunga karena malam hari itu udara
panas sehingga nyaman duduk bercakap-cakap di tempat terbuka itu. Kui Ciang-kun membicarakan tentang
tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dia tawan tiga bulan yang lalu dan kini menjadi tahanan dalam
penjara pemerintah.
“Aku masih khawatir kalau mengingat para pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan itu.” katanya lirih seperti
kepada diri sendiri.
“Eh, mengapa begitu, suamiku? Bukankah karena penangkapan itu, engkau telah berjasa dan mendapat
kenaikan pangkat?”
“Benar, akan tetapi keberhasilan itu berkat bantuan Ouw-yang Sianjin yang lihai dan berjiwa patriot. Tosu
(Pendeta Agama To) dan para pendekar muda. Tanpa bantuan mereka, akan sukarlah bagiku untuk
mengalahkan tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang lihai itu.”
“Akan tetapi mereka itu telah tertangkap dan dijatuhi hukuman, mengapa pula engkau kini
mengkhawatirkannya?”
“Mereka memang sudah tertangkap dan bahkan empat orang dari mereka telah dijatuhi hukuman mati.
Akan tetapi yang tiga orang lagi masih ditahan dan belum dihukum mati. Aku merasa khawatir sekali melihat
kelemahan Sribaginda Kaisar yang tidak segera menghukum mati pula tiga yang lain itu. Justeru mereka
bertiga itu yang merupakan orang-orang terpenting di Pek-lian-kauw. Aku sudah menghadap Panglima
Besar Chang, namun beliau yang amat setia kepada kaisar malah memarahi aku, mengatakan bahwa kami
semua harus menaati perintah Sribaginda Kaisar. Ahh, aku menjadi khawatir......” Kui Ciang-kun kembali
menghela napas panjang.
“Apa yang kau khawatirkan, suamiku?”
“Sribaginda Kaisar selalu bersikap lemah terhadap Pek-lian-kauw. Bahkan beliau pernah menerima
kedatangan utusan dari Pek-lian-kauw, padahal Pek-lian-kauw selalu mencari kesempatan untuk
menjatuhkan kerajaan dan merampas kekuasaan. Juga Pek-lian-kauw, dengan berkedok agama dan
perjuangan rakyat, merupakan penipu-penipu rakyat dan suka bertindak sewenang-wenang, membodohi
dan memeras rakyat. Menurut pendapatku, Pek-lian-kauw harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Akan
tetapi sekarang, tiga orang pimpinan mereka masih ditahan dan tidak segera dihukum mati.”
“Aih, suamiku, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu? Serahkan saja semua itu kepada Sribaginda
Kaisar dan kepada Panglima Chang, atasanmu. Engkau hanya tinggal melaksanakan tugasmu,” hibur
isterinya.
Tiba-tiba terdengar jeritan wanita. Hanya terdengar satu kali saja lalu suara itu terhenti seolah-olah mulut
yang menjerit tadi dibungkam.
Biarpun jeritan itu hanya terdengar satu kali, namun Kui Ciang-kun mengenal bahwa itu adalah suara Kui Li
Ai, puterinya! Maka, cepat dia melompat dan berlari ke arah datangnya suara jeritan tadi, yaitu di dalam
taman. Dia melihat bayangan seseorang memanggul tubuh seorang gadis dan cepat dia melompat sambil
mencabut pedangnya, menghadang di depan orang itu dan membentak.
“Berhenti......!”
Di bawah sinar lampu yang tergantung di tiang lampu di taman itu, di bawah mana agaknya orang itu
sengaja berdiri dan menantinya, Kui Ciang-kun melihat bahwa orang itu adalah seorang yang berpakaian
sebagai seorang Tosu dan yang dipanggul itu bukan lain adalah Kui Li Ai, puteri tunggalnya! Tosu itu
memegang sebatang pedang yang sudah ditempelkan di leher puterinya yang tidak mampu bergerak,
agaknya dalam keadaan tertotok. Melihat bahwa yang ditawan tosu itu adalah puterinya, Kui Ciang-kun
menjadi marah bukan main.
“Siapakah engkau? Hayo cepat bebaskan puteriku atau aku akan memanggil pasukan pengawal dan
menangkapmu!” bentaknya.
“Tenang, Kui Ciang-kun dan jangan lakukan sesuatu atau anakmu ini akan pinto (aku) bunuh lebih dulu.
Anakmu pinto jadikan sandera dan ia pasti akan pinto bunuh kalau engkau tidak menuruti permintaan pinto!”
“Hemm, engkau seorang pendeta, mengapa bertindak begini jahat dan curang? Kalau hendak bicara, tidak
perlu menawan puteriku. Lepaskan ia dan kita boleh bicara!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Pinto tidak sebodoh itu, Ciang-kun. Sekarang dengarlah permintaan pinto. Engkau harus menolong tiga
orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditahan di penjara dan engkau harus dapat membebaskannya. Pinto
beri waktu tiga hari. Kalau engkau dapat membebaskan mereka, puterimu ini tentu akan kembali padamu.
Kalau tidak, terpaksa puterimu pinto bunuh!”
Setelah berkata demikian, sekali melompat tosu itu telah lenyap dalam bayangan pohon-pohon dalam
taman sambil memanggul tubuh Li Ai.
Baru melihat cara tosu itu melompat dan menghilang sedemikian cepatnya saja, tahulah Kui Ciang-kun
bahwa dia sama sekali bukan tandingan tosu itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia merasa
bingung akan tetapi juga tidak berdaya. Kalau dia mengejar dan mengerahkan pasukan, puteri tunggalnya
tentu terancam maut.
Jelas bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia tahu bahwa orang Pek-liankauw
tidak menggertak kosong belaka dan bagi mereka, membunuh orang merupakan hal yang kecil. Akan
tetapi, untuk membebaskan puterinya, dia harus dapat membebaskan lebih dulu tiga orang tokoh Pek-liankauw
yang kini masih ditahan di penjara! Tubuhnya menjadi lemas sekali, mukanya pucat dan ketika dia
melangkah kembali ke gedungnya, ke dua kakinya gemetar.
Isterinya menyongsong dengan pertanyaan. “Suamiku, apa yang telah terjadi di taman? Siapa yang tadi
menjerit?”
Kui Ciang-kun yang berwajah muram itu tidak menjawab, melainkan memberi isyarat kepada isterinya untuk
memasuki gedung mereka. Setelah mereka berdua berada dalam kamar, barulah Kui Ciang-kun
menjatuhkan diri duduk di atas kursi, menghadapi meja dan bertopang dagu dengan wajah sedih, bingung
dan gelisah.
“Celaka........” keluhnya, “celaka sekali......”
Isterinya duduk di atas kursi dekatnya. “Ada apakah, suamiku? Mengapa engkau tampak begini sedih dan
gelisah?”
“...... Anak kita...... Li Ai...... ia diculik orang......”
Isterinya kaget, “Diculik? Jadi yang menjerit tadi Li Ai? Akan tetapi mengapa tidak kau kejar? Kenapa tidak
panggil pasukan pengawal untuk membantumu?”
“Percuma, orang itu amat lihai dan...... dan dia mengancam akan membunuh Li Ai kalau aku
mengejarnya......”
“Akan tetapi...... siapa penculik itu dan apa maunya?”
“Begini........” Panglima itu berhenti sebentar dan memandang ke kanan kiri, “jangan katakan kepada
siapapun juga...... ini harus dirahasiakan...... Anak kita itu hanya dijadikan sandera dan tidak akan diganggu,
bahkan akan dibebaskan kalau dalam waktu tiga hari aku mau memenuhi permintaannya......”
“Hemm, apa permintaannya. Uang......?”
“Apa, kalau cuma uang, berapapun, aku tidak akan sebingung ini! Dia minta agar aku...... membebaskan
tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang ditahan dalam penjara itu! Kalau dalam tiga hari aku tidak dapat
membebaskan mereka, Li Ai...... ia akan dibunuh......”
02.06. Apakah Panglima Kui Pengkhianat?
Nyonya Kui terkejut dan keduanya terdiam, tenggelam ke dalam lamunan dan bayangan masing-masing
yang amat menggelisahkan. Akhirnya Nyonya Kui bertanya.
“Suamiku, apakah engkau tidak bisa membebaskan tiga orang itu?”
“Hemm, kepala penjara itu termasuk anak buahku, tentu saja aku bisa mengusahakan agar mereka dapat
dibebaskan, akan tetapi......”
“Akan tetapi apa lagi?”
“Bagaimana mungkin aku membebaskan mereka yang menjadi tokoh-tokoh pemberontak? Berarti aku
mengkhianati negara dan aku dapat dihukum mati......”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Aih!” Isterinya terkejut dan memandang suaminya dengan mata terbelalak. “Kalau begitu, jangan bebaskan
mereka!!”
Kui Ciang-kun menatap isterinya dan mengerutkan alisnya. “Dengan begitu membiarkan puteriku dibunuh
penculik? Kau ingin ia dibunuh penculik?”
“Aku...... aku tidak ingin engkau dihukum mati, suamiku!”
“Huh, sudahlah! Biar urusan ini ku pikirkan sendiri!” katanya, hatinya menahan kemarahan karena kini dia
menyadari bahwa isterinya ini tidak begitu peduli akan nasib Li Ai yang menjadi anak tiri isterinya itu.
Dia lalu meninggalkan kamar isterinya, kegelisahan dan kebingungannya bertambah dengan perasaan
marah kepada isterinya yang dianggap tidak mempedulikan nasib puterinya. Dia mengambil keputusan,
setelah semalam suntuk tidak tidur dan gelisah dalam kamarnya sendiri, untuk menyelamatkan puterinya,
kalau perlu dengan pengorbanan apapun juga!
Menjelang fajar, diam-diam ia keluar dari gedungnya dan pergi berkunjung ke rumah Perwira Ciok, anak
buahnya yang menjabat sebagai kepala penjara di mana tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu ditahan.
Dengan singkat dia menceritakan persoalannya kepada Perwira Ciok dan minta agar Sang Perwira
membantunya membebaskan tiga orang tahanan itu.
“Aih, Ciang-kun, bagaimana mungkin kita melakukan hal itu?” kata Perwira Ciok terkejut sekali.
“Apa engkau hendak mengatakan bahwa sebagai kepala penjara engkau tidak mampu melakukannya?”
tanya Kui Ciang-kun sambil menatap tajam wajah bawahannya itu.
“Bukan begitu, Ciang-kun. Maksudku, hal itu tentu akan diketahui akhirnya dan akan menerima hukuman
berat!”
“Jangan khawatir! ini kuberi surat perintah untuk membebaskan tiga orang sehingga kalau engkau
dipersalahkan, engkau tinggal memperlihatkan surat perintah. Sebagai bawahan, engkau harus menaati
perintah atasanmu sehingga bukan engkau yang dipersalahkan, melainkan aku!”
“Akan tetapi...... Ciang-kun akan dianggap pengkhianat, membantu pemberontak, dan akan dihukum berat
sekali!”
“Aku tahu, mungkin aku akan dihukum mati. Akan tetapi aku sudah siap mengorbankan nyawaku demi
keselamatan anak tunggalku. Cepat lakukan, Perwira Ciok, kalau engkau mau membalas budi kepadaku!”
Mula-mula Perwira Ciok masih ragu, akan tetapi setelah diingatkan akan budi kebaikan yang berkali-kali dia
terima dari atasannya ini, akhirnya dia mau melaksanakannya juga. Dia menerima surat perintah dari Kui
Ciang-kun itu dan pergi ke penjara, membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan mengatakan kepada
mereka bahwa yang membebaskan mereka adalah Panglima Kui Seng dan agar tiga orang tokoh Pek-liankauw
itu segera membebaskan Nona Kui Li Ai yang dijadikan sandera. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu
menyatakan sanggup dan di pagi hari buta itu mereka bertiga meloloskan diri keluar dari penjara lalu
langsung keluar dari kota raja dengan bantuan kawan-kawan mereka yang sudah siap menyambut mereka
di luar penjara!
Setelah menyampaikan surat dan perintahnya kepada Perwira Ciok, Kui Ciang-kun pulang ke rumahnya
dan dia mengurung diri dalam kamar dengan hati berdebar penuh ketegangan. Dia tidak khawatir akan
dirinya sendiri. Yang terpenting baginya adalah menyelamat Li Ai!
Dia menyadari benar bahwa perbuatannya itu tentu akan ketahuan karena lolosnya tiga orang tokoh Peklian-
kauw yang merupakan tahanan penting itu pasti akan menggemparkan. Akan tetapi, demi keselamatan
puterinya, dia siap mengorbankan apa saja, termasuk dirinya sendiri. Lebih dulu puterinya harus dapat
diselamatkan. Setelah itu, baru dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap kembali tiga orang
tokoh Pek-lian-kauw itu!
Daun pintu kamarnya diketuk dari luar, ketuan yang lirih dan hati-hati.
“Siapa?” tegurnya.
“Suamiku, makanan pagi telah disiapkan. Mari kita makan, ataukah engkau menghendaki agar sarapan
dibawa ke kamar?” terdengar suara isterinya yang tidak dapat membuka daun pintu yang dia palangi dari
dalam.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Aku tidak ingin makan dan jangan ganggu aku!” kata Kui Ciang-kun. Isterinya tidak berani mengganggunya
lagi dan meninggalkan tempat itu.
Beberapa lama kemudian, kembali daun pintunya diketuk orang dari luar.
“Siapa itu? Aku tidak mau diganggu!” Kui Ciang-kun berseru marah.
“Thai-ya (Tuan Besar), di luar datang seorang tamu yang ingin bertemu dengan Thai-ya.” terdengar suara
kepala pasukan pengawal yang bertugas jaga saat itu.
“Hemm, tentu utusan dari atasannya yang datang untuk memanggilnya atau langsung menangkapnya. Dia
telah siap untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya meloloskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu
dari penjara. Maka dia lalu mengenakan pakaian seragam lengkap dan dengan sikap gagah dia keluar dari
kamar dan terus keluar ke serambi depan untuk menemui utusan Panglima Besar Chang Ku Cing.
Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang datang bertamu adalah seorang
gadis cantik yang mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepadanya! Akan tetapi keheranan itu
segera berubah menjadi kegembiraan ketika dia mengenal siapa gadis itu. Ia adalah seorang di antara
pendekar muda yang membantu dia dan pasukannya ketika penyergapan orang-orang Pek-lian-kauw di luar
kota raja!
“Hwe-thian Mo-li......! Engkaukah ini, Nona?” serunya sambil membalas penghormatan gadis itu.
Gadis itu memang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dulu pernah ia diperkenalkan kepada Panglima Kui ini
sebagai Hwe-thian Mo-li. Seperti telah kita ketahui, beberapa bulan yang lalu Nyo Siang Lan atau Hwe-thian
Mo-li ini telah membasmi orang-orang Ban-hwa-pang. Setelah ia kemudian mendengar dari musuh
besarnya, orang berkedok yang mengaku bernama Thian-te Mo-ong, yang telah memperkosanya, bahwa
Ban-hwa-pang sebetulnya tidak bersalah besar kepadanya, Siang Lan merasa menyesal dan ia mengambil
keputusan untuk membangun kembali Ban-hwa-pang, akan tetapi hanya wanita yang menjadi anggautanya.
Setelah membenahi perkumpulan itu dan membangun sebuah rumah untuknya, Hwe-thian Mo-li yang kini
menjadi majikan Lembah Selaksa Bunga atau ketua Ban-hwa-pang itu, meninggalkan Lembah Selaksa
Bunga karena ia merasa rindu untuk bertemu dengan Ong Lian Hong, sumoinya (adik seperguruannya). Ia
ingin benar mengetahui apakah kini Lian Hong telah menikah dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim
Liok Ong itu. Ia tidak lagi merasa cemburu atau iri terhadap Lian Hong yang telah lebih dulu bertunangan
dengan Sim Tek Kun, pemuda satu-satunya yang pernah dicintanya.
Sekarang, ia bukan lagi hanya mengalah kepada sumoinya yang berjodoh dengan pemuda itu, lebih dari itu,
ia merasa tidak berharga untuk menjadi isteri Sim Tek Kun, bahkan menjadi isterinya siapapun juga. Ia
adalah seorang gadis yang telah ternoda dan keinginan satu-satunya hanya ingin membalas dendam dan
membunuh Thian-te Mo-ong yang amat lihai.
Ia ingin bertemu dengan Lian Hong, selain merasa rindu, juga ia ingin bertanya kepada sumoinya itu, di
mana adanya Ouw-yang Sianjin, susiok (paman guru) mereka, karena untuk dapat memperoleh kepandaian
yang tinggi agar dapat membalas dendam, ia ingin memperdalam ilmu silatnya dengan petunjuk Ouw-yang
Sianjin.
Entah mengapa begitu memasuki kota raja dan tiba dekat tempat tinggal Jaksa Ciok, kakek dari sumoinya
Ong Lian Hong, ia teringat akan Sim Tek Kun dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Bagaimana dia
akan bersikap kalau bertemu mereka nanti?
Ketegangan hatinya inilah yang menunda keinginannya bertemu dengan sumoinya dan sebaliknya, ia
berkunjung ke gedung Panglima Kui. Ia juga gembira ketika panglima itu masih mengenalnya walaupun
baru satu kali mereka bertemu.
“Kui Ciang-kun, bagaimana keadaan Ciang-kun selama ini? Kuharap dalam keadaan baik,” kata Siang Lan.
Tiba-tiba wajah panglima yang tadinya berseri menjadi muram karena dia teringat akan keadaannya. Dia
menghela napas panjang.
“Nona, mari silakan masuk ke dalam dan kita bicara. Terus terang saja, kami berada dalam keadaan yang
buruk sekali, tertimpa malapetaka.”
Siang Lan mengerutkan alisnya dan ia mengikuti Kui Ciang-kun memasuki gedung itu. Mereka memasuki
sebuah ruangan tertutup dan setelah duduk berhadapan, Kui Ciang-kun menceritakan semua peristiwa
yang menimpa keluarganya. Siang Lan mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar
dunia-kangouw.blogspot.co.id
bahwa puteri panglima itu diculik sebagai sandera memaksa Kui-Ciang-kun membebaskan tiga orang tokoh
Pek-lian-kauw, ia bertanya dengan hati penasaran.
“Dan engkau memenuhi permintaan mereka itu, Ciang-kun?”
Kui Seng, panglima yang sudah banyak jasanya terhadap kerajaan itu menghela napas panjang. “Habis,
apa yang dapat kulakuan, Nona? Orang Pek-lian-kauw amat kejam dan bukan hanya menggertak kosong
belaka. Kalau tidak kupenuhi permintaan mereka, aku yakin puteriku akan disiksa dan dibunuh. Maka, pagipagi
sekali tadi aku memerintahkan kepala penjara yang menjadi anak buahku untuk membebaskan tiga
orang tokoh Pek-lian-kauw itu!”
Kembali panglima itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara berat. “Kui Li Ai adalah anak
satu-satunya dari keluargaku, aku rela berkorban nyawa sekalipun untuk menyelamatkannya. Akan tetapi
untuk itu aku terpaksa menjadi seorang pengkhianat negara karena membebaskan para pimpinan
pemberontak.”
“Akan tetapi engkau sendiri mengatakan bahwa orang Pek-lian-kauw itu kejam dan jahat. Setelah engkau
membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, apakah engkau yakin mereka akan membebaskan
puterimu, Ciang-kun?”
“Mudah-mudahan mereka akan membebaskanya, Nona. Kalau tidak maka sia-sia saja aku mengorbankan
nyawaku. Maka, aku mohon kepadamu, Nona, sudilah kiranya engkau menolong puteriku Kui Li Ai itu dari
tangan mereka...... aku mohon kepadamu......” Panglima itu bangkit dari duduknya dan menjura dengan
membungkuk dalam kepada Siang Lan.
Gadis itu cepat bangkit dan membalas penghormatan yang berlebihan itu. “Tenang dan duduklah, Ciangkun.
Tentu saja aku mau membantumu. Katakan, siapa nama orang yang menculik puterimu itu, dan siapa
pula nama tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang telah kaubebaskan dari penjara?”
“Penculik itu adalah seorang tosu yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus
dan dia bersenjata sebatang pedang, kulihat ada sebuah kebutan berbulu putih terselip di ikat pinggangnya.
Wajahnya pucat dan, matanya sipit, rambutnya sudah putih semua. Dia tidak mengaku siapa namanya,
akan tetapi aku yakin bahwa dia tentu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang amat lihai. Adapun tiga orang
tawanan yang dibebaskan itu adalah tiga di antara tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw yang dulu kita tangkap.”
“Siapa nama mereka, Ciang-kun?”
“Menurut pengakuan mereka ketika mereka diperiksa dulu, nama mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok
Tosu, dan Cia Kun Tosu, tiga orang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw cabang utara yang bermarkas di
dusun Liauw-ning di lereng pegunungan sebelah timur antara kota raja dan Thian-cin. Nona, sekali lagi aku
mohon padamu, tolonglah anakku Li Ai dari tangan mereka......”
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan muncullah belasan perajurit mengiringkan seorang yang
berpakaian sebagai seorang panglima. Panglima itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi tegap
dan gagah perkasa, kumis dan jenggotnya pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak berwibawa, apa lagi
sinar matanya mencorong seperti mata seekor harimau.
Melihat panglima ini, tergopoh-gopoh Kui Ciang-kun keluar dari ruangan depan dan menyambutnya.
Panglima itu melompat turun dari atas kudanya dan memandang kepada Kui Ciang-kun yang memberi
hormat sambil berlutut sebelah kaki, Lalu memandang kepada Hwe-thian Mo-li yang berdiri di sebelah
Panglima Kui itu.
“Chang Thai-ciangkun, selamat datang dan terimalah salam hormat saya,” kata Kui Ciang-kun dengan
hormat.
“Kui Ciang-kun, bangkitlah berdiri!” bentak panglima itu yang bukan lain adalah Panglima Besar Chang Ku
Cing penasehat kaisar bagian pertahanan dan keamanan negara, juga menjadi atasan Kui Ciang-kun.
Mendengar perintah ini Kui Seng segera bangkit berdiri dengan sikap tegak siap di depan atasannya.
“Kui Ciang-kun, kami mendengar bahwa engkau telah memerintahkan kepala penjara untuk membebaskan
tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berada di penjara dan yang menanti pelaksanaan hukuman mati?”
Kui Seng mengangguk. “Benar, Thai-ciangkun!”
“Hemm, Kui Seng! Engkau telah berkhianat terhadap negara, sungguh kami sebagai atasanmu merasa
malu sekali! Pengkhianatanmu itu patut mendapat hukuman berat!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Saya siap menanggung akibatnya, Thai-ciangkun!” kata Kui Seng dan suaranya yang terdengar lantang itu
membuat hati Siang Lan merasa terharu. Sikap ini saja menunjukkan bahwa orang she Kui ini memiliki
watak yang gagah perkasa, penuh tanggung jawab terhadap kesalahannya.
“Bagus, sekarang tanggalkan tanda pangkat dan pedangmu, lalu engkau akan kubawa ke pengadilan
tentara untuk menentuan hukumanmu!” kata Panglima Besar Chang Ku Cing.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Hwe-thian Mo-li berseru sambil melangkah maju berdiri di depan Kui Seng dengan
sikap melindungi. “Ini sungguh tidak adil! Ciang-kun, tahukah engkau mengapa Kui Ciang-kun
membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw itu? Dia terpaksa melakukannya karena puterinya, Kui Li Ai, telah
diculik dan disandera orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau Kui Ciang-kun tidak mau membebaskan tiga orang
tokoh Pek-lian-kauw itu, puterinya akan dibunuh! Jelas bahwa Kui Ciang-kun bukan seorang pengkhianat.
Dia melakukannya untuk menyelamatkan puteri tunggalnya! Dia tidak pantas menerima hukuman!”
Panglima Chang mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang matanya menatap tajam wajah gadis itu.
“Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan ketentaraan?”
Biarpun Panglima Besar Chang bertanya dengan suara lantang penuh teguran, Hwe-thian Mo-li sama sekali
tidak merasa gentar dan ia menjawab dengan sikap gagah.
“Siapakah aku tidaklah penting, akan tetapi aku selalu akan membela orang yang tidak bersalah dan
menentang orang yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang!”
Diam-diam Panglima Chang merasa heran, juga penasaran sekali. Dia memperhatikan wajah gadis yang
cantik dengan sepasang mata mencorong penuh keberanian itu.
“Kui Ciang-kun! Siapakah gadis ini?” bentaknya kepada bawahannya.
“Ia adalah Hwe-thian Mo-li, seorang dari para pendekar muda yang dulu membantu menawan orang-orang
Pek-lian-kauw sehingga dapat membasmi mereka dan menangkap tujuh orang pimpinannya,” kata Kui
Seng.
Panglima Chang kaget dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya engkau seorang pendekar, Nona? Engkau
sudah pernah berjasa ikut membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw, mengapa sekarang engkau
berbalik sikap, membela Kui Ciang-kun yang jelas telah berkhianat dengan membebaskan tawanan tiga
tokoh Pek-lian-kauw itu yang berarti membantu pemberontak Pek-lian-kauw?”
“Tuduhanmu itu tidak adil, Ciang-kun! Andaikata engkau yang mempunyai anak perempuan diculik
gerombolan Pek-lian-kauw yang menuntut agar engkau membebaskan tiga orang tahanan ini, bagaimana
sikapmu? Apakah engkau akan membiarkan puterimu dibunuh begitu saja?”
“Pandanganmu itu keliru, Nona. Keamanan rakyat dilindungi oleh pemerintah, juga kesejahteraan rakyat
diatur oleh Pemerintah. Sebagai imbalannya, rakyat sudah sepatutnya setia kepada Pemerintah dan
membela kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan keluarganya. Kalau semua orang
mementingkan diri sendiri, tentu Pemerintah akan menjadi lemah dan akan mudah direbut kekuasaannya
oleh pemberontak seperti Pek-lian-kauw. Kepentingan Negara harus didahulukan karena hanya kalau
negara aman, kehidupan rakyat pun aman, kalau negaranya makmur, kehidupan rakyat pun makmur.”
“Akan tetapi aku tidak melihat kenyataan itu, Ciang-kun. Yang kulihat, kemakmuran hanya dapat dirasakan
oleh mereka yang memiliki kedudukan dan kekuasaan. Sedangkan rakyat jelata, lihat saja sendiri, banyak
yang berada di bawah garis kemiskinan, apakah itu dapat dikatakan makmur seperti kehidupan mereka
yang berpangkat dan berkuasa?” Hwe-thian Mo-li menyerang.
Mendengar ini, Panglima Besar Chang Ku Cing menghela napas panjang dan mukanya berubah
kemerahan.
“Harus kami akui bahwa pendapatmu itu ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya benar. Memang ada
dan banyak terdapat pembesar yang hanya mementingkan diri sendiri, mengejar dan mengumpulkan harta
benda tanpa mengingat keadaan rakyat, secara halus mencuri harta yang berasal dari rakyat dan
dikumpulkan pemerintah. Harta yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat melalui pembangunan yang
dibutuhkan rakyat jelata. Karena itulah dituntut kesetiaan terhadap negara.
“Panglima Kui memang seorang yang bijaksana dan tidak korup, tidak mengejar keuntungan pribadi, tidak
mencuri harta negara dan tidak menindas rakyat. Akan tetapi, dia tetap bersalah karena telah
membebaskan tiga orang tawanan, padahal, tiga orang Pek-lian-kauw itu merupakan musuh negara yang
berbahaya.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Akan tetapi, Kui Ciang-kun siap melakukan apa pun demi keselamatan puterinya, kalau perlu dia siap
mengorbankan nyawanya!” Siang Lan mencoba untuk membantah dan tetap membela Kui Ciang-kun.
“Hemm, mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong puterinya, hal itu baik saja. Akan tetapi dalam hal ini
dia mengorbankan keselamatan pemerintah dan keamanan rakyat! Kalau tiga orang pimpinan Pek-liankauw
itu lolos, berarti negara terancam pemberontakan dan kalau terjadi pemberontakan, tentu kehidupan
rakyat tidak akan aman dan akan jatuh banyak korban di antara rakyat yang tidak berdosa. Apakah
tindakannya itu benar?”
Hwe-thian Mo-li dapat melihat kebenaran dalam perdebatan Panglima Besar Chang itu, maka ia mengerling
kepada Kui Ciang-kun. Panglima ini menundukkan mukanya yang berubah pucat dan tubuhnya agak
gemetar, agaknya dia pun menyadari akan kesalahannya. Hwe-thian Mo-li menjadi kasihan dan ia
mendesak panglima besar itu.
“Thai-ciangkun, andaikata engkau yang mengalami hal seperti Kui Ciang-kun, apa yang akan kau lakukan?”
“Hemm, aku atau siapa saja di antara rakyat di negeri ini yang mengalami musibah, misalnya seperti yang
dialami Kui Ciang-kun, jalan terbaik adalah melaporkan kepada yang berwenang dan yang berwajib
menangani persoalan seperti itu. Atau kalau aku, aku tidak sudi membebaskan tiga orang tawanan itu demi
menyelamatkan anakku. Aku akan bertindak sendiri mengejar dan berusaha menolong anakku, biarpun
harus berkorban diri misalnya. Akan tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan negara!”
03.07. Akhir Pendeta Berbulu Domba
Hwe-thian Mo-li masih hendak membela Kui Ciang-kun, akan tetapi Kui Seng berkata. “Aku telah bersalah
dan sudah sepatutnya dihukum mati sebagai pengkhianat. Biarlah aku menghukum diri sendiri sebagai
pertanggungan-jawabku terhadap negara!”
Tiba-tiba dia mencabut dan menikamkan pedangnya ke dadanya sendiri. Dia roboh terkulai dan Hwe-thian
Mo-li yang terkejut dan tidak sempat mencegah itu berlutut dan melihat bahwa nyawa panglima itu tidak
mungkin dapat dipertahankan lagi. Pedang itu hampir menembus punggungnya.
“Hwe-thian Mo-li...... tolong...... tolonglah Li Ai......!” Dia terkulai dan tewas.
“Ah, mengapa dia putus harapan? Mungkin Sribaginda Kaisar dapat mengampuninya mengingat akan jasajasanya!
Akan tetapi, semua telah terjadi !” kata Panglima Besar Chang dengan suara menyesal. Setelah
dia mendengar alasan mengapa bawahannya ini sampai mau membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw,
kemarahan dan penasarannya mereda karena sebetulnya dia sayang kepada pembantunya yang gagah
dan setia ini.
Hwe-thian Mo-li tidak bicara lagi melainkan melompat cepat lenyap dari situ. Ia harus pergi menolong Li Ai,
ia sudah mendengar keterangan lengkap dari Kui Ciang-kun sebelum panglima itu tewas.
Panglima Besar Chang hanya menggelengkan kepalanya ketika isteri dan keluarga Kui Ciang-kun berlarian
keluar sambil menangis. Ramailah seluruh penghuni gedung itu menangisi kematian Kui Ciang-kun.
Panglima Chang lalu cepat memerintah anak buahnya untuk menyiapkan pasukan dan dia lalu menyuruh
beberapa perwira bawahannya untuk membawa seribu orang pasukan menuju ke dusun Liauw-ning yang
dia tahu merupakan sarang Pek-lian-kauw.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan cepat menuju ke dusun Liauw-ning. Ia merasa yakin bahwa penculik Kui Li
Ai pasti merupakan komplotan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu maka tanpa ragu lagi ia lalu berlari cepat
sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
Pek-lian-kauw terkenal dalam sejarah sebagai sebuah di antara perkumpulan-perkumpulan yang
menentang pemerintah dan sering mengadakan pemberontakan. Mereka itu berkedok sebagai sebuah
perkumpulan agama campuran antara Agama Buddha dan Agama To, dan untuk mengelabuhi rakyat
mereka menamakan diri sebagai pejuang yang memperjuangkan kemakmuran rakyat. Karena para
pemimpinnya banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga ada yang menguasai ilmu sihir, maka
banyak juga rakyat, terutama golongan yang miskin, tertarik oleh janji-janji mereka dan membantu
“perjuangan” mereka. Akan tetapi, pihak pemerintah dan juga para pendekar tahu apa yang tersembunyi di
balik kedok perkumpulan agama itu.
Mereka itu membujuk rakyat miskin untuk ikut melakukan perampokan terhadap para bangsawan dan
hartawan, dan melakukan pemerasan. Para pendekar mengetahui bahwa di balik kependetaan mereka,
dunia-kangouw.blogspot.co.id
para pemimpin Pek-lian-kauw adalah orang-orang yang kejam, tamak akan harta benda, dan sebagian
besar berwatak cabul dan suka mempermainkan wanita. Karena itulah, di mana pun mereka berada, selalu
mereka ditentang para pendekar. Karena banyak rakyat miskin yang terbujuk membantu mereka, maka
Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan pemberontak yang cukup kuat dan besar, mempunyai cabang di
mana-mana.
Dusun Liauw-ning mereka pilih menjadi cabang penting karena letaknya dekat dengan kota raja, di sebelah
timur antara kota raja dan Thiang-cin. Yang memimpin cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning adalah Hoat
Hwa Cin-jin, seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam
menyeramkan. Hoat Hwa Cin-jin ini dibantu oleh enam orang sutenya, dua di antaranya adalah Cin Kok
Tosu berusia limapuluh dua tahun yang bertubuh pendek gendut bermuka seperti monyet, dan Cia Kun
Tosu, berusia limapuluh tahun bertubuh kecil kurus bermuka tampan pucat.
Ketika Leng Kok Hosiang yang menjadi utusan Pek-lian-kauw pusat menghadap Kaisar untuk mengajak
damai dengan syarat Pek-lian-kauw tidak akan ditentang, Hoat Hwa Cin-jin dengan para sutenya telah siap
dengan anak buah mereka untuk menyerbu kota raja kalau-kalau Leng Kok Hosiang gagal atau ditawan.
Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, gerakan mereka diketahui oleh Ouw-yang Sianjin
yang melapor ke kota raja dan Panglima Besar Chang mengutus Panglima Kui memimpin pasukan
menyerang orang-orang Pek-lian-kauw itu.
Leng Kok Hosiang yang dibantu oleh Bong Te Sian-jin dan Ngo-lian Heng-te pimpinan Ngo-lian-kauw, tewas
oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, dan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun. Adapun Peklian-
kauw digempur oleh pasukan yang dipimpin Kui Ciang-kun, dibantu oleh Ouw-yang Sian-jin sehingga
tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning itu dapat ditawan hidup-hidup.
Empat dari tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu telah dihukum mati. Tiga orang dari mereka,
yaitu Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu belum dihukum mati karena Panglima Besar Chang
masih ingin mengorek keterangan dari mereka tentang di mana adanya cabang-cabang Pek-lian-kauw. Tiga
orang tawanan itu masih belum mau mengaku dan tiba-tiba mereka dibebaskan atas perintah Panglima Kui
Seng.
Mendengar ditawannya tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning dan tewasnya banyak anak
buah mereka, pimpinan Pek-lian-kauw pusat menjadi marah dan mereka lalu mengutus seorang tokoh yang
merupakan datuk dari Pek-lian-kauw pusat dan dia masih terhitung susiok (paman guru) dari para pimpinan
cabang Liauw-ning itu, membawa duaratus anak buah menuju ke Liauw-ning. Datuk Pek-lian-kauw ini
bernama Hwa Hwa Hoat-su, berusia enampuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, berwajah pucat, matanya
sipit dan rambutnya sudah putih semua. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pendeta ini juga pandai ilmu
sihir.
Begitu tiba di Liauw-ning, Hwa Hwa Hoat-su lalu melakukan penyelidikan dan dia mendapat keterangan
bahwa yang memimpin pasukan yang menyerang dan menangkap tujuh orang murid keponakannya itu
adalah Panglima Kui Seng. Dia lalu pergi mengunjungi gedung Kui Ciang-kun dan berhasil menawan Kui Li
Ai. Dia mengancam akan membunuh Li Ai yang dijadikan sandera kalau Panglima Kui Seng tidak mau
membebaskan tiga orang keponakan seperguruan yang ditawan itu.
Setelah dibebaskan, hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka, tentu saja tiga orang tokoh Peklian-
kauw itu menjadi girang sekali. Mereka dipesan oleh kepala penjara, Perwira Ciok, agar segera
membebaskan gadis bernama Kui Li Ai, puteri dari Kui Ciang-kun. Tentu saja mereka bertiga dapat
menduga bahwa tentu seorang rekan mereka dari Pek-lian-kauw yang menculik gadis itu untuk ditukar
dengan kebebasan mereka bertiga!
Ketika mereka bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw di luar dusun Liauw-ning, mereka disambut
dengan gembira oleh para anak buah Pek-lian-kauw. Mereka bertiga segera menghadap Hwa Hwa Hoat-su,
paman guru mereka yang telah menculik puteri Panglima Kui Seng untuk membebaskan mereka. Mereka
memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada pendeta Pek-lian-kauw berambut putih itu.
“Bagus!” kata Hwa Hwa Hoat-su sambil mengelus jenggotnya yang pendek putih dan mengangguk-angguk.
“Ternyata Panglima Kui Seng memenuhi permintaanku, membebaskan kalian bertiga. Kalau begitu kita juga
harus memegang janji. Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, kalian berdua cepat antarkan Nona Kui Li Ai.
kembali ke kota raja. Tugas ini penting, maka aku mengutus kalian berdua untuk melaksanakan agar gadis
itu jangan terganggu dalam perjalanan,” kata Hwa Hwa Hoat-su kepada dua orang murid keponakannya itu.
“Akan tetapi, Susiok, Panglima Kui Seng itulah yang memimpin pasukan menangkap kami bertujuh. Empat
orang Sute kami telah dihukum mati! Mengapa kita harus mengantar pulang gadis itu?” bantah Cin Kok
Tosu yang mukanya mirip muka monyet.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Hwa Hwa Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. “Hemm, aku Hwa Hwa Hoat-su tidak sudi mengingkari
janji sendiri! Hayo cepat antarkan gadis itu kembali ke kota raja, jangan sampai ada yang mengganggunya
di perjalanan!” bentak Hwa Hwa Hoat-su yang merasa sebagai seorang datuk harus memegang janjinya
untuk mempertahankan namanya sebagai seorang datuk persilatan.
“Baiklah, Susiok,” kata Cin Kok Tosu gentar melihat paman gurunya marah. “Akan tetapi di kota raja tentu
kami berdua akan ditangkap pasukan kerajaan.”
“Bodoh! Antar saja gadis itu sampai ke pintu gerbang lalu kalian cepat pergi. Ia dapat pulang sendiri setelah
tiba di pintu gerbang!”
Dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah lagi. Mereka lalu memasuki kamar di mana
gadis puteri Kui-taijin dijaga oleh empat orang anggauta Pek-lian-kauw wanita. Ketika melihat gadis itu, Cin
Kok Tosu dan Cia Kun Tosu tertegun kagum. Gadis berusia sekitar delapanbelas tahun itu bertubuh tinggi
ramping, kulitnya putih mulus, wajahnya bundar dengan sepasang mata, lebar dan indah jeli.
Kui Li Ai, gadis itu terbelalak ketakutan melihat dua orang tosu itu memasuki kamar. Pendeta yang
menculiknya tak pernah mengganggunya, bahkan tak pernah memasuki kamar di mana ia dijaga dan
dilayani dengan baik oleh empat orang wanita. Kini, melihat dua orang tosu itu, ia bangkit berdiri dan
memandang dengan sepasang mata lebar seperti mata seekor kelinci yang melihat dua ekor serigala.
Melihat gadis itu tampak ketakutan, Cia Kun Tosu yang kecil kurus dan berwajah tampan itu berkata ramah.
“Nona, jangan takut, kami berdua ditugaskan untuk mengantar Nona kembali ke kota raja.”
Mendengar ini, wajah ayu yang tadinya muram dan gelisah itu, kini berseri, mulutnya membentuk senyum
sehingga ia tampak semakin menarik.
“Mari kita pergi, Nona,” kata Cia Kun Tosu dan bersama suhengnya, Cin Kok Tosu yang pendek gendut dan
mukanya mirip muka monyet, mereka berdua lalu mengawal Kui Li Ai keluar dari perkampungan Pek-liankauw,
melewati dusun Liauw-ning menuju ke kota raja.
Di dalam hutan yang mereka lalui, Cia Kun Tosu berkata kepada Cin Kok Tosu. “Suheng, kalau kuingat
betapa Panglima Kui telah menggunakan kekuatan pasukannya membunuh banyak anak buah kita, juga
menawan kita sehingga empat orang saudara kita tewas, sungguh aku tidak terima begitu saja kalau
sekarang puterinya dibebaskan. Sungguh terlalu enak baginya!” kata Cia Kun Tosu kepada Cin Kok Tosu
setelah mereka berhenti pada siang hari itu di tengah hutan.
“Hemm, ingat akan pesan Susiok Hwa Hwa Hoat-su bahwa kita tidak boleh membunuhnya, Sute,” kata Cin
Kok Tosu memperingatkan adik seperguruannya.
“Tidak, Suheng. Bukan maksudku membunuhnya. Akan tetapi penghinaan itu harus kita balas. Anaknya
tidak akan kami serahkan kepadanya dalam keadaan utuh!”
Cin Kok Tosu dapat mengerti akan maksud sutenya, maka dia pun menyeringai. Keduanya lalu mendekati
Kui Li Ai dan terdengar jerit dan isak tangis gadis itu yang bagaikan seekor kelinci mendapat terkaman dan
serangan dua ekor serigala yang buas!
Sementara itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan berlari dengan cepat sekali menuju ke dusun Liauw-ning.
Ketika ia memasuki sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar tangis wanita. Cepat ia berlari ke tempat itu dan ia
melihat seorang gadis dengan pakaian awut-awutan sedang menangis di bawah sebatang pohon, menangis
tersedu-sedu dengan tubuh gemetar.
Siang Lan cepat menghampiri dan berjongkok di dekat gadis itu.
“Adik, engkau siapakah dan mengapa menangis seorang diri di sini?” tanyanya dengan lembut.
Gadis itu adalah Kui Li Ai. Ia mengangkat mukanya yang tadi menunduk ditutupi kedua tangan, muka yang
cantik dan pucat sekali, muka yang basah air mata. Rambut yang hitam lebat itu terlepas dari sanggulnya,
riap-riapan sebagian menutupi mukanya. Pakaiannya cabik-cabik membuat gadis itu hampir telanjang.
Melihat keadaan gadis itu, dengan hati panas karena marah Siang Lan dapat menduga apa yang telah
menimpa diri gadis itu.
“Engkau Kui Li Ai?” tanya Siang Lan melihat pakaian yang cabik-cabik itu terbuat dari sutera halus dan
mahal.
Gadis itu mengangguk, sambil sesenggukan ia berkata. “...mereka...... mereka berdua......
memperkosaku........”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Siapa mereka?!?”
“...... dua orang tosu........”
“Di mana mereka sekarang?”
Li Ai menunjuk ke suatu arah perginya dua orang itu yang baru saja meninggalkannya. Siang Lan
berkelebat dan lenyap dari depan Kui Li Ai yang bernasib malang itu. Ia marah sekali, teringat akan nasib
yang menimpa dirinya. Ia dapat merasakan betapa sakit dan hancur hati gadis puteri Panglima Kui itu, maka
dendamnya kepada pemerkosanya yang berjuluk Thian-te Mo-ong itu kini ia timpakan kepada dua orang
tosu pemerkosa Li Ai. Ia berlari cepat sekali dan tak lama kemudian ia melihat dua orang tosu berjalan
seenaknya.
Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu sedang berjalan pulang secara santai setelah mereka merasa puas dapat
memperkosa puteri Panglima Kui yang mereka benci sebagai pelampiasan dendam mereka. Tiba-tiba
mereka melihat bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita
muda yang amat cantik jelita yang memandang mereka dengan sinar mencorong dari sepasang mata yang
indah!
Hwe-thian Mo-li masih ingat bahwa dua orang tosu ini adalah dua di antara tujuh orang pimpinan Pek-liankauw
yang dulu ditawan. Ia merasa yakin bahwa tentu dua orang ini yang tadi memperkosa Kui Li Ai.
“Pendeta-pendeta palsu keparat! Tentu kalian yang telah berbuat keji terhadap Kui Li Ai tadi!” bentaknya.
Dua orang tosu itu tidak mengenal Siang Lan karena dahulu itu mereka repot menghadapi Ouw-yang
Sianjin dan para perwira sehingga mereka dan lima orang rekan mereka tertawan. Melihat seorang gadis
cantik kini memaki mereka, Cia Kun Tosu yang berwatak mata keranjang itu, setelah mendengar ucapan
Siang Lan, tertawa dan berkata.
“Ha-ha-ha, Nona manis. Memang benar tadi kami telah bersenang-senang dengan puteri Panglima Kui.
Kami akan lebih gembira kalau sekarang kami bersenang-senang denganmu!”
“Singg......!!” Dua orang tosu itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja ada sinar seperti kilat menyambar
ke arah mereka! Gadis itu telah menyerang mereka dengan pedang. Gerakannya sedemikian cepatnya
sehingga mereka tidak melihat kapan gadis itu mencabut pedang.
Mereka bukan orang-orang lemah dan cepat mereka berlompatan ke belakang untuk menghindarkan diri
dari sambaran sinar kilat itu. Cia Kun Tosu mencabut pedangnya dan juga Cin Kok Tosu mencabut
pedangnya. Keduanya siap dan Cin Kok Tosu membentak marah.
“Gadis liar! Siapakah engkau yang berani menyerang kami, dua orang pemimpin Pek-lian-kauw?”
“Huh, kalian tentu penjahat-penjahat pemberontak yang dibebaskan oleh Kui Ciang-kun yang puterinya
diculik oleh kawan kalian! Sungguh licik, jahat dan curang. Kalian sudah dibebaskan, bukannya memenuhi
janji membebaskan puteri Kui Ciang-kun, bahkan memperkosanya! Iblis-iblis jahat macam kalian tidak
pantas dibiarkan hidup lagi!” Siang Lan membentak. “Kalian hari ini akan mampus di tangan Hwe-thian Moli!”
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu bergerak cepat dan kembali pedangnya menyambar-nyambar
seperti kilat di musim hujan
Dua orang tosu itu terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan Hwe-thian Mo-li yang namanya
terkenal sebagai seorang wanita yang amat ganas dan lihai. Cepat mereka menangkis dan balas
menyerang. Akan tetapi Hwe-thian Mo-li menggerakkan pedangnya sedemikian dahsyatnya, pedangnya
berubah menjadi sinar kilat dan tubuhnya berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya
sehingga dua orang tosu itu segera terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas
menyerang.
Kecepatan gerakan Hwe-thian Mo-li membuat mereka berdua tidak sempat membalas serangan. Akan
tetapi dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu juga merupakan orang-orang yang cukup tinggi tingkat kepandaian
mereka, juga sudah memiliki banyak pengalaman bertanding. Maka, begitu mereka terdesak, Cin Kok Tosu
berseru kepada adik seperguruannya.
“Kita gunakan Im-yang Siang-kiam (Sepasang Pedang Im dan Yang)!”
Mendengar seruan suhengnya itu, Cia Kun Tosu cepat melompat ke arah belakang Siang Lan dan kini
mereka mengeroyok gadis itu dari depan dan belakang. Gerakan pedang mereka kini saling tunjang, kalau
yang satu menangkis, yang lain membarengi menyerang sehingga dengan demikian mereka berdua mulai
dunia-kangouw.blogspot.co.id
mampu untuk balas menyerang. Pertandingan menjadi seru bukan main dan mati-matian karena kedua
pihak maklum bahwa hanya dengan merobohkan lawan mereka akan mampu menang.
“Kita gunakan am-gi (senjata rahasia)!” kembali Cin Kok Tosu berseru kepada sutenya setelah bertanding
selama limapuluh jurus mereka belum juga mampu mendesak gadis yang lihai itu. Mereka lalu
mengeluarkan senjata rahasia mereka yaitu Lian-hwa-ciam (Jarum Bunga Teratai) dan mulai menyelingi
permainan pedang mereka dengan meluncurkan jarum-jarum beracun itu ke arah tubuh Siang Lan.
Mendapat serangan jarum-jarum itu Siang Lan menjadi repot. Ia terpaksa memutar pedangnya. Sinar kilat
itu menyelimuti tubuhnya dan semua jarum terpental ketika bertemu sinar pedang dan keadaan menjadi
terbalik. Siang Lan kini hanya dapat bertahan dan melindungi dirinya tanpa mendapat kesempatan untuk
membalas. Dua orang tosu itu mulai tertawa mengejek karena mereka merasa yakin bahwa sebatang jarum
saja dari mereka dapat mengenai tubuh gadis itu, maka gadis itu akan keracunan dan mereka akan
memperoleh kemenangan.
Kini Siang Lan terdesak hebat. Untung ia memiliki gin-kang (ilmu meringankan diri) yang lebih tinggi
dibandingkan dua orang lawannya dan ia memiliki sebatang pedang pusaka. Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)
di tangannya merupakan pedang yang ampuh dan amat kuat sehingga setelah bertanding hampir seratus
jurus, ujung pedang kedua orang pengeroyok itu telah buntung terbabat Lui-kong-kiam! Akan tetapi karena
mereka berdua juga lihai, dapat menggunakan pedang mereka yang ujungnya buntung itu untuk menyerang
dibantu jarum-jarum mereka, maka tetap saja Siang Lan terdesak dan keadaannya mulai gawat! Gerakan
memutar pedang untuk melindungi seluruh tubuhnya itu menguras tenaganya dan gerakannya mulai
melambat.
Karena kelambatan ini, tiba-tiba Siang Lan merasa pundak kirinya nyeri seperti digigit semut. Ia terkejut
ketika melihat bahwa pundak kirinya terkena sebatang jarum yang menancap menembus baju mengenai
pundak. Seketika ia merasa betapa pundak kirinya ngilu dan lengan kirinya seperti setengah lumpuh, sukar
digerakkan.
“Ha-ha-ha, Suheng. Ia terkena jarumku. Kita tangkap ia hidup-hidup, sayang gadis secantik ini dibunuh
begitu saja!” kata Cin Kun Tosu sambil tertawa-tawa. Mereka lalu menyerang dengan pedang dan mencari
kesempatan untuk menotok tubuh Siang Lan yang sudah mulai limbung.
Tiba-tiba ada dua buah batu sebesar kepalan tangan menyambar.
“Trangg......! Tranggg......!!”
Dua orang tosu itu terkejut sekali karena pedang mereka terpukul batu sedemikian kuatnya sehingga
mereka tidak mampu mempertahankannya lagi. Pedang itu terlepas dari tangan mereka dan terpental jauh!
Ketika mereka sedang terkejut, Siang Lan yang melihat kesempatan baik ini segera menerjang. Dua kali
Lui-kong-kiam berkelebat dan dua orang yang sedang tertegun itu tidak sempat mengelak atau berteriak
karena leher mereka sudah terbabat buntung oleh pedang Lui-kong-kiam yang digerakkan oleh Siang Lan
dengan sekuat tenaga!
03.08. Jatuh, Ditimpa Tangga Pula!
Setelah membunuh dua orang tosu itu, Siang Lan merasa kepalanya pening. Pedang itu terlepas dari
tangannya, tubuhnya terasa lunglai dan ia masih dapat melihat wajah seorang laki-laki berpakaian
sederhana, berwajah lembut dan tampan, berusia sekitar empatpuluh tahun.
Ia masih teringat akan pertolongan tadi dan dapat menduga bahwa inilah orang yang tadi telah
menolongnya. Akan tetapi kepalanya semakin pening, pandang matanya kabur dan ia pun tidak ingat apaapa
lagi. Ia tidak tahu bahwa sebelum tubuhnya terjatuh, sepasang lengan yang kuat menangkapnya lalu
merebahkannya di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ia tadi berkelahi dan di mana terdapat dua
mayat tosu yang telah terpenggal kepala mereka.
Tak lama kemudian Siang Lan sadar dari pingsannya. Ia teringat akan perkelahiannya tadi dan cepat ia
melompat bangkit berdiri. Pundak kirinya terasa perih dan ketika ia merabanya, ternyata jarum itu telah
tercabut dan lukanya telah ditempel ko-yo (obat tempel). Rasa nyerinya hilang tinggal sedikit rasa perih dan
lengan kirinya dapat ia gerakkan kembali seperti biasa! Juga pedang yang tadi terlepas kini telah berada
kembali dalam sarung pedang yang tergantung di pinggangnya! Akan tetapi mayat dua orang tosu tadi tidak
tampak pula di situ, hanya tinggal bekas darah mereka yang membasahi rumput dan tanah.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Siang Lan dapat menduga bahwa agaknya laki-laki yang dilihatnya sebelum ia tidak sadar tadi, laki-laki
yang menolongnya mengalahkan dua orang pengeroyoknya, telah mengobatinya, menyimpankan kembali
pedangnya, dan pergi dari situ sambil membawa dua mayat tosu Pek-lian-kauw! Ia merasa heran sekali.
Laki-laki itu tentu lihai bukan main karena mampu membuat dua orang tosu melepaskan pedang mereka
sehingga ia dapat membunuh mereka.
Melihat laki-laki itu membantunya, jelas bahwa dia bukanlah orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi mengapa ia
membawa pergi dua mayat tosu Pek-lian-kauw? Ia sama sekali tidak mengerti dan merasa penasaran.
Orang dengan kepandaian sehebat itu dapat ia jadikan gurunya agar ilmu silatnya meningkat sehingga
kelak ia dapat membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba ia teringat akan Kui Li Ai, puteri Kui Ciang-kun yang ia tinggalkan di tempat ia menemukannya,
yaitu di tengah hutan. Cepat Siang Lan berlari menuju ke tempat itu. Gadis itu ternyata masih berada di situ,
duduk menangis di bawah pohon.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Kui Li Ai. Ia seorang gadis bangsawan dan baru saja ia mengalami
musibah yang amat hebat bagi seorang gadis. Ia diperkosa dua orang biadab dan kini ia ditinggalkan
seorang diri di tengah hutan. Tentu saja ia tidak berani pergi karena ia tidak mengenal jalan.
Begitu mendengar Siang Lan yang menghampirinya, Kui Li Ai mengangkat mukanya yang pucat dan basah
air mata.
“Li Ai, tenangkanlah hatimu. Dua orang manusia iblis itu telah mampus di tanganku!” kata Siang Lan sambil
mendekati gadis yang malang itu.
Mendengar ini Li Ai terisak dan merangkul Siang Lan. Hwe-thian Mo-li tak dapat menahan keharuan hatinya
dan kedua matanya menjadi basah. Ia teringat akan keadaan dirinya sendiri yang mengalami musibah
seperti yang dialami Li Ai. Ia mengelus rambut gadis itu dan membiarkan Li Ai menangis sepuasnya.
Setelah tangis itu agak mereda karena Li Ai kelelahan, ia berkata dengan nada menghibur.
“Sudahlah, Li Ai, mari kuantar engkau pulang ke rumah orang tuamu,” katanya dan hatinya terasa seperti
diremas kalau ia ingat betapa ayah gadis ini telah tewas membunuh diri.
Ia tidak tega untuk memberitahuan hal ini kepada Li Ai. Gadis yang menderita pukulan batin yang luar biasa
hebatnya itu, bagaimana mungkin akan dapat menahan kalau diberi pukulan kedua yaitu berita tentang
kematian ayahnya?
Seperti orang kehilangan semangat, Li Ai hanya mengangguk. Siang Lan membantunya bangkit berdiri,
membetulkan letak pakaiannya, menyanggul rambutnya, kemudian karena Li Ai merasa lemah dan lemas
hampir tidak mampu melangkahkan kakinya, Siang Lan lalu memondongnya dan membawanya lari cepat.
Dalam kedukaannya, Li Ai terkejut dan terheran juga melihat betapa kuatnya gadis penolongnya ini
sehingga mampu nemondongnya dan membawanya berlari secepat larinya kuda! Teringat ia akan cerita
ayahnya tentang para pendekar wanita, maka sejenak ia melupakan kedukaannya dan bertanya.
“Enci...... apakah engkau...... seorang pendekar wanita?”
Siang Lan tersenyum. Bagus, pikirnya, gadis yang hancur hatinya itu mulai mau bicara, tanda bahwa ia
mulai dapat menguasai perasaannya yang tertekan hebat.
“Entahlah, Adik Li Ai, aku ini pendekar wanita ataukah iblis wanita karena orang menyebut aku Hwe-thian
Mo-li.”
“Hwe-thian Mo-li? Aih, Enci, Ayah pernah menyebut namamu sebagai seorang di antara para pendekar
yang membantu pemerintah membasmi Pek-lian-kauw!”
Setelah memasuki kota raja, hari telah menjelang senja. Karena merasa sudah kuat berjalan dan merasa
tidak enak kalau memasuki kota raja dilihat orang bahwa ia dipondong, Li Ai minta diturunkan dan mereka
berdua lalu menuju ke gedung tempat tinggal Panglima Kui. Setelah memasuki pekarangan, lima orang
perajurit pengawal yang berjaga di situ memberi hormat kepada Li Ai, akan tetapi wajah mereka tampak
muram.
Li Ai agaknya dapat melihat dan merasakan hal yang tidak wajar ini. Biasanya para perajurit itu selain amat
hormat, juga amat ramah kepadanya.
“Apa yang terjadi?” Ia seolah bertanya kepada diri sendiri dan matanya memandang ke arah serambi depan
rumahnya di mana terdapat banyak orang.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Apa yang terjadi di sana?” kembali ia bertanya.
Siang Lan merangkulnya. “Adik Li Ai, bersikaplah tenang dan kuatkan hatimu......” Suara pendekar yang
gagah perkasa ini tersendat karena ia harus menahan keharuan hatinya.
“Apa......? Mengapa......?” Li Ai seolah mendapatkan tenaga baru dan ia berlari ke arah serambi depan
rumahnya. Siang Lan cepat mengikutinya.
Setelah berada di ruangan terbuka di serambi itu, di mana terdapat banyak orang duduk diam, Li Ai melihat
dengan mata terbelalak ke sebuah peti mati yang dipasang di tengah. Wajahnya yang sudah pucat itu
menjadi semakin pucat seperti kapur dan ia lari terhuyung-huyung menghampiri peti mati. Ketika ia melihat
nama ayahnya tertulis di depan peti mati, ia menjerit dan menubruk ke depan.
“Ayaaaaahhh......!” Tubuh Li Ai terguling roboh dan tentu kepalanya akan terbentur pada peti mati kalau
Siang Lan tidak cepat menyambar tubuhnya dan memeluk gadis yang sudah jatuh pingsan itu.
Siang Lan menoleh kepada beberapa orang wanita yang berkumpul dekat peti mati sambil menangis.
Melihat pakaian mereka, ia dapat menduga bahwa mereka adalah pelayan-pelayan di gedung panglima itu.
“Di mana kamar Nona Kui? Tolong antarkan aku ke sana,” kata Siang Lan dan pelayan tua itu lalu
menunjukkan Siang Lan yang memondong tubuh Li Ai ke sebuah kamar.
Dalam kamar itu, Siang Lan merebahkan tubuh Li Ai ke atas pembaringan. Dua orang pelayan yang
agaknya menjadi pelayan pribadi Li Ai ikut masuk dan mereka menangisi nona majikan mereka.
“Siocia...... ahh, Siocia...... ia mengapa......?” tangis mereka.
“Harap kalian diam, biarkan aku menanganinya,” kata Siang Lan yang mengurut beberapa jalan darah di
pusat-pusat jalan darah seperti di telapak tangan dekat ibu jari, di dekat siku dan di pangkal lengan. Li Ai
mengeluh lirih dan begitu membua matanya, ia menjerit.
“Ayaaah...... Ayahhh, kenapa Ayahku......? Kenapa ia, Enci? Kenapa Ayahku mati......?” tangisnya.
“Tenanglah, Adikku, tenanglah. Sudah kupesan tadi, kuatkan hatimu, Adik Li Ai......” Siang Lan menghibur
dengan hati terharu.
“...... Enci...... engkau sudah tahu......?” Ketika Siang Lan mengangguk, ia melanjutkan, “......mengapa
engkau tidak memberitahu padaku tadi......?”
“Hatimu sedang sedih, aku tidak menambahkan kesedihanmu lagi. Biar engkau melihat sendiri......” kata
Siang Lan terharu.
“Ayaaahhh......!” Li Ai bangkit, turun dari pembaringan dan berlari lagi. Dua orang pembantunya sambil
menangis mencoba untuk menghalanginya.
“Siocia...... Siocia sebaiknya beristirahat di sini saja......”
Akan tetapi Siang Lan mencegah mereka. “Biarlah ia menumpahkan kedukaannya.” Dan ia sendiri lalu
mengikuti Li Ai untuk menjaga hal-hal yang tidak baik.
Li Ai berlari terhuyung menuju ke serambi depan dan sambil menjerit-jerit dan menangis mengguguk ia
berlutut di depan peti mati ayahnya. Semua orang yang berada di situ menjadi terharu dan semua wanita
yang melayat, juga para pembantu rumah tangga, ikut pula menangis. Para tamu laki-laki hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang dengan wajah muram.
Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita berusia tigapuluh tahun lebih yang mengenakan pakaian
berkabung namun rambutnya tersisir rapi dan mukanya yang cukup cantik itu masih dipulas bedak dan
gincu, suatu hal yang sebetulnya tidak lajim bagi keluarga yang berkabung.
Agaknya wanita itu keluar karena tertarik oleh suara tangis dan jeritan Li Ai. Ia menghampiri dan sambil
berdiri, memandang kepada Li Ai yang berlutut sambil menangis itu, alisnya berkerut tanda tak senang dan
begitu tangis Li Ai mereda, ia berkata dengan suara lantang.
“Li Ai, engkau baru pulang?”
Li Ai mengangkat muka memandang kepada wanita itu lalu ia berseru. “Ibuuu......!”
Akan tetapi tiba-tiba wanita yang ternyata adalah isteri Pangeran Kui itu berkata dengan sikap dingin dan
galak.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Hemm, untuk apa kautangisi Ayahmu? Kau tahu, Ayahmu mati karena engkau! Engkau anak put-hauw
(tidak berbakti), anak durhaka, belum dapat membalas budi orang tua, malah menjadi penyebab kematian
Ayahmu!!”
Li Ai terbelalak mendengar ini, lalu ia menjerit panjang dan terkulai lemas dalam rangkulan Siang Lan yang
cepat menangkap tubuhnya. Ia pingsan lagi!
Siang Lan menjadi marah bukan main.
Setelah merebahkan tubuh yang lemas pingsan itu di lantai, ia bangkit berdiri dan sekali tangannya
bergerak, ia telah menotok pundak kiri Nyonya Kui. Nyonya itu menjerit-jerit karena tiba-tiba merasa
tubuhnya nyeri semua, panas seperti terbakar dari dalam.
“Auuuuww...... aduuuhhh...... aduuhhhh...... ia...... ia memukulku......! Pengawal, tangkap perempuan jahat
ini......!!”
Lima orang pengawal maju, akan tetapi cepat Siang Lan menggunakan tangan kiri menjambak rambut
Nyonya Kui dan mencabut pedang yang ia tempelkan ke leher nyonya itu.
“Siapa yang maju akan kubunuh semua setelah lebih dulu kusembelih leher perempuan ini!” Ia mengancam
dan lima orang perajurit itu mundur ketakutan.
Siang Lan menotok pundak itu dan membebaskan totokannya, lalu membentak. “Perempuan bermulut
lancang dan jahat, siapa engkau berani bicara seperti tadi kepada Nona Kui Li Ai?”
“Aku...... aku isteri Panglima Kui......!” Nyonya Kui mencoba untuk bersikap galak berwibawa setelah tidak
merasa kesakitan lagi.
Tangan kiri Siang Lan memperkuat jambakannya sehingga nyonya itu meringis. “Tak mungkin engkau ibu
Adik Ai!”
“Aku...... aku Ibu tirinya......”
“Pantas! Engkau Ibu tiri keparat!” Siang Lan memaki dan memperkuat lagi jambakannya sehingga wanita itu
semakin kesakitan.
Para tamu itu ada yang berpangkat panglima, rekan mendiang Panglima Kui. Seorang dari mereka maju
dan berkata kepada Siang Lan dengan sikap hormat.
“Kalau kami tidak salah sangka, tentu Nona Hwe-thian Mo-li, bukan? Kami dulu membantu Kui Ciang-kun
ketika menangkap para tokoh Pek-lian-kauw dan kami mengenal Nona.”
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengangguk. “Benar, aku Hwe-thian Mo-li dan aku mengantarkan Adik Li Ai
pulang setelah kubunuh dua orang di antara tiga orang tahanan yang dibebaskan. Adik Li Ai menderita
setelah ditawan penjahat dan kini kematian Ayah kandungnya. Kenapa perempuan cerewet jahat ini malah
memaki dan memarahinya? He, perempuan busuk, apa engkau sudah bosan hidup? Aku akan
membunuhmu agar rohmu menghadap dan mohon ampun kepada Kui Ciang-kun atas kejahatan mulutmu
terhadap Adik Li Ai!”
Setelah berkata demikian, Siang Lan menempelkan pedangnya semakin ketat di leher Nyonya Kui. Wanita
itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siang Lan,
membentur-benturkan dahinya di lantai dan berkata dengan suara terputus-putus.
“Ampunkan saya...... ampunkan saya...... karena terlalu sedih saya memarahi Li Ai...... ampuni saya, Lihiap........”
Ia meratap dengan tubuh menggigil dan tanpa ia sadari saking takutnya, lantai di bawah
tubuhnya menjadi basah karena ia terkencing-kencing saking ngerinya!
Siang Lan membalikkan tubuhnya, mengangkat tubuh Li Ai yang masih pingsan dan membawanya kembali
ke dalam kamar gadis itu. Ia merawat Li Ai sehingga gadis itu siuman kembali, lalu menghiburnya. Dua
orang pembantu pribadi Li Ai membantunya dan mereka segera mempersiapkan pakaian pengganti untuk Li
Ai.
Setelah Li Ai tenang kembali, Siang Lan membujuknya agar mandi dan berganti pakaian bersih. Lalu
mengajaknya makan yang telah dihidangkan oleh dua orang pelayan itu.
“Makanlah, Adik Li Ai, mari kutemani. Ingat kesehatanmu dan sadarlah bahwa semua yang telah terjadi
tidak cukup untuk ditangisi saja. Kalau engkau merasa sakit hati, engkau harus tetap hidup sehat agar dapat
melampiaskan dendam sakit hatimu kepada mereka yang telah membuat engkau menderita.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Enci aku seorang gadis lemah bagaimana mungkin dapat membalas dendam kepada tokoh Pek-lian-kauw
yang menculikku? Sedangkan Ayahku saja tidak berdaya ketika aku diculik. Orang-orang Pek-lian-kauw
amat lihai. Kalau aku memiliki kepandaian seperti engkau........”
“Jangan khawatir, aku akan mengajarimu ilmu silat.”
“Benarkah, Enci?” terhibur juga perasaan hati Li Ai mendengar ini dan ia mau diajak makan.
Setelah Li Ai tenang kembali dan dihibur oleh Siang Lan yang merasa dekat dengan gadis itu karena
senasib, gadis itu lalu keluar bersama Siang Lan untuk melakukan upacara sembahyang di depan peti
jenazah ayahnya. Ia tidak menangis dengan suara lagi, hanya air matanya saja menetes-netes ketika
bersembahyang. Nyonya Kui tidak tampak karena setelah peristiwa tadi ia bersembunyi di dalam kamarnya.
Setelah melakukan upacara sembahyang, Siang Lan mengajak Li Ai kembali ke dalam kamarnya.
“Adik Li Ai, sekarang engkau telah kembali ke rumahmu dengan selamat. Aku pamit hendak melanjutkan
perjalanan,” kata Siang Lan.
Li Ai terkejut, bangkit berdiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Hwe-thian Mo-li. “Enci, jangan
tinggalkan aku......!” katanya sambil merangkul kedua kaki Siang Lan. “Aku tidak mau tinggal di rumah ini,
tidak mau hidup bersama ibu tiri yang membenciku.”
Siang Lan mengangkat bangun gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali. “Jangan begini, Adik Li Ai. Mari
kita bicara baik-baik. Kalau engkau tidak mau tinggal di sini, lalu bagaimana? Jangan khawatir kepada ibu
tirimu, aku sebelum pergi akan mengancamnya bahwa kalau ia berani mengganggumu, aku akan datang
memenggal kepalanya!”
“Tidak, Enci, biarpun begitu tetap saja aku akan hidup menderita di sini. Bahkan keadaanku...... sudah
begini...... kalau sampai diketahui orang, aku akan semakin dihina dan dicemooh orang. Jangan tinggalkan
aku, Enci. Kalau kautinggalkan, kukira...... lebih baik aku bunuh diri daripada hidup menanggung aib dan
malu. Aku ingin ikut denganmu, Enci, biar aku menjadi saudaramu, atau sahabatmu, atau...... pembantumu.
Aku mau mengerjakan apapun juga untukmu asal boleh ikut denganmu. Ingat, engkau hendak mengajarkan
ilmu silat padaku seperti janjimu!”
Siang Lan tersenyum. “Ikut dengan aku? Li Ai, engkau seorang gadis bangsawan, puteri seorang panglima.
Bagaimana hendak ikut aku, seorang petualang yang memiliki jalan hidup penuh kekerasan? Apakah tidak
lebih baik, kalau engkau tidak mau tinggal bersama Ibu engkau ikut dengan keluarga ayahmu? Engkau
tentu mempunyai Paman atau Bibi, saudara Ayahmu.”
“Tidak, Enci. Aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku seorang gadis yatim piatu, sudah kotor ternoda
pula, tercemar, aku malu, Enci, aku merasa rendah dan tidak sanggup menghadapi mereka. Kalau engkau
kelak mengetahui....... ah, betapa akan malunya aku! Enci, biarlah aku ikut denganmu!” Air mata menetesnetes
dari sepasang mata yang sudah merah dan membengkak itu karena terlalu banyak menangis.
Siang Lan merasa terharu sekali. Ia dapat mengerti bahwa kalau ia memaksakan pendiriannya
meninggalkan gadis ini, besar sekali kemungkinannya, Li Ai akan bunuh diri!
“Baiklah, Li Ai. Akan tetapi sebagai puteri Ayahmu, engkau tidak boleh pergi sebelum jenazah Ayahmu
dimakamkan dengan baik. Aku akan pergi dulu mengunjungi seorang sahabat baikku dan kau tinggal di sini
sampai jenazah Ayah dimakamkan.”
“Enci, malam-malam begini engkau hendak pergi? Apakah tidak lebih baik besok pagi saja?”
Siang Lan mengangguk. Benar juga tidak baik rasanya mengunjungi Ong Lian Hong di rumah Jaksa Ciok
Gun malam-malam begini. Malam itu ia tidur bersama Li Ai dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk
saling mengenal lebih akrab.
“Enci, bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang sebenarnya? Sungguh aku merasa tidak enak kalau
harus menyebutmu Enci Hwe-thian Mo-li, terutama sebutan Mo-li (Iblis Betina) itu! Bagiku engkau seorang
dewi penolong, Enci, sama sekali bukan Mo-li!” Dalam percakapan mereka itu Li Ai berkata hati-hati agar
tidak menyinggung penolongnya yang terkadang bersikap amat ganas.
Siang Lan menghela napas panjang. “Li Ai, yang menyebut aku Iblis Betina adalah golongan sesat karena
aku selalu bersikap keras terhadap mereka. Terhadap orang-orang jahat seperti dua orang tosu yang
menghinamu itu aku tak pernah memberi ampun. Karena itu mungkin aku dijuluki Hwe-thian Mo-li. Akan
tetapi aku tidak peduli. Lebih baik disebut Mo-li akan tetapi membela orang tertindas dan menentang
kejahatan daripada disebut Dewi akan tetapi hidupnya bergelimang perbuatan jahat, bukan?”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Engkau benar, Enci. Akan tetapi aku ingin mengetahui namamu yang sebenarnya. Engkau tentu memiliki
she (marga) dan nama bukan? Siapa pula Gurumu? Maukah engkau menceritakan tentang riwayatmu,
orang tuamu, sanak keluargamu dan sahabat baikmu yang akan kau kunjungi besok?”
“Baiklah, Li Ai. Karena engkau sudah mengambil keputusan untuk ikut denganku, engkau berhak
mengetahuinya. Akan tetapi sebelumnya, engkau harus berjanji tidak akan memperkenalkan atau menyebut
namaku di depan orang lain. Bagi orang lain aku ingin dikenal sebagai Hwe-thian Mo-li saja.”
03.09. Hadangan Keluarga Ibu Tiri
“Baik, Enci. Aku berjanji.”
“Aku adalah seorang yatim piatu. Ayah Ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Namaku adalah Nyo
Siang Lan.”
“Sejak berusia sepuluh tahun aku di rawat dan dididik oleh mendiang Guruku yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong
Han Cu. Guruku mempunyai seorang puteri bernama Ong Lian Hong yang selain menjadi adik seperguruan,
juga menjadi sahabat baikku. Suhu tewas dibunuh lima orang. Aku dan Adik Ong Lian Hong berhasil
membalas dendam kematian Suhu. Sekarang Su-moi Ong Lian Hong tinggal di kota raja, ia bertunangan,
mungkin sekarang sudah menikah, dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong......”
“Ah, aku sudah mendengar, Enci Siang Lan......!”
“Huss!” Siang Lan memotong. “Di sini jangan sebut namaku, aku tidak ingin terdengar orang lain. Engkau
telah mendengar apa, Li Ai?”
“Aku sudah mendengar bahwa Sim Kongcu, putera Pangeran Sim yang terkenal itu menikah dengan
seorang gadis yang lihai ilmu silatnya! Kalau tidak salah dengar, ia itu cucu Jaksa Ciok Gun, bukan?”
“Benar sekali! Sumoi Ong Lian Hong adalah cucu Jaksa Ciok. Ibunya puteri Jaksa Ciok dan ayahnya adalah
mendiang Suhu Ong Han Cu. Ah, jadi mereka sudah menikah?” Siang Lan termenung, merasa betapa
hatinya hampa dan kering. “Hemm, tahukah engkau di mana sekarang Sumoi tinggal?”
“Yang kudengar, sebagai mantu Pangeran Sim tentu saja ia tinggal bersama suaminya di rumah mertuanya
itu. Pernikahan mereka menjadi buah bibir masyarakat yang mengagumi mereka, Enci, karena pengantin
pria yang tampan, pengantin wanita cantik jelita dan keduanya merupakan pendekar-pendekar yang amat
lihai. Begitu yang kudengar dibicarakan orang. Ayah juga bercerita banyak tentang mereka setelah pulang
dari menghadiri perayaan pernikahan mereka.”
Siang Lan semakin tenggelam ke dalam lamunannya. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada
rasa girang dan bahagia membayangkan kebahagiaan Ong Lian Hong, sumoi yang dikasihinya itu, akan
tetapi ada pula perasaan haru dan sedih mengingat akan keadaan dirinya sendiri yang sudah ternoda tanpa
ia mampu membalas dendamnya kepada musuh besar itu. Awas kamu, hatinya berteriak, akan tiba saatnya
aku menghancurkan kepalamu dan membelah dadamu, Thian-te Mo-ong.
“Engkau kenapa, Enci?” Li Ai bertanya melihat perubahan muka pendekar wanita itu.
“Ah, tidak apa-apa, Li Ai. Aku hanya berpikir bahwa sebaiknya aku tidak mengunjungi mereka dulu karena
aku tidak sempat hadir dalam perayaan pernikahan mereka. Aku merasa malu dan bersalah bertemu
mereka. Setelah Ayahmu diurus pemakamannya, kita pergi meninggalkan kota raja, kalau benar-benar
sudah bulat tekadmu untuk ikut dengan aku.”
“Tentu saja aku ikut denganmu, Enci, kemana pun engkau pergi. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya,
kenapa engkau tidak menghadiri pesta pernikahan Sumoimu itu?”
“Mereka tidak tahu aku berada di mana sehingga tidak dapat mengundangku dan aku pun tidak tahu kapan
mereka menikah. Berbulan-bulan ini aku sibuk membenahi tempat tinggalku yang baru saja kudapatkan.”
“Di mana itu, Enci?”
“Di Lembah Selaksa Bunga.”
“Ah, alangkah indah nama itu.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Tempatnya pun indah, terletak di bukit kecil. Lembah itu penuh dengan beraneka macam bunga, maka
disebut Ban-hwa-san-kok (Lembah Bukit Selaksa Bunga) dan di sana aku memimpin perkumpulan wanita
Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga).”
“Perkumpulan wanita, Enci? Anggautanya semua wanita?”
“Benar, semua wanita yang tidak berkeluarga, jumlah mereka ada tigapuluh lima orang. Baru beberapa
bulan aku merampas Lembah Selaksa Bunga dari tangan orang-orang jahat.”
“Ah, aku akan senang tinggal di sana dan belajar ilmu silat darimu, Enci!”
Siang Lan tinggal di gedung keluarga Kui itu sampai tiga hari lamanya. Setelah jenazah Kui Seng
dimakamkan, ia mengajak Li Ai bercakap-cakap dalam kamarnya.
“Li Ai, engkau merupakan ahli waris tunggal dari mendiang Ayahmu. Biarpun ada Ibu tirimu, akan tetapi
yang lebih berhak adalah engkau karena engkau puterinya dan Nyonya Kui itu hanya ibu tirimu. Maka
engkaulah ahli-waris Ayahmu dan berhak menguasai semua harta ayahmu. Engkau di sini tinggal di rumah
gedung dan memiliki harta yang banyak, sedangkan kalau engkau ikut denganku, engkau akan tinggal di
sebuah bukit sunyi dan aku bukanlah orang kaya.”
“Enci, apa maksudmu dengan kata-kata ini? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak jadi
dan tidak ingin mengajakku?” tanya Li Ai dengan mata terbelalak penuh kegelisahan.
“Bukan begitu, Li Ai. Aku hanya sangsi apakah engkau akan betah tinggal di tempatku, meninggalkan
semua kemewahan ini.”
“Kenapa engkau masih merasa sangsi, enci? Bagaimanapun juga, aku tidak mau tinggal di sini bersama Ibu
tiriku. Kalau andaikata engkau tidak mau mengajakku, aku pun pasti akan pergi meninggalkan rumah ini.”
“Aku sama sekali tidak keberatan kalau engkau ikut aku, bahkan aku merasa senang. Baiklah, kalau engkau
merelakan semua harta warisanmu terjatuh ke tangan Ibu tirimu yang sikapnya terhadapmu amat buruk itu.
Kalau begitu, kemasi barangmu dan mari kita berangkat.”
“Nanti dulu, Enci!”
“Ada apalagi, Li Ai?”
“Mendengar ucapanmu tadi, seperti dibangkitkan semangatku. Ibu tiriku memang selalu membenciku,
biarpun hal itu ia sembunyikan dari mendiang Ayahku. Engkau benar, harta warisan Ayahku, tidak boleh
semuanya jatuh ke tangannya. Biarlah gedung ini karena gedung ini merupakan pemberian pemerintah
yang tentu akan diambil kembali. Akan tetapi uang Ayah, perhiasan peninggalan Ibu kandungku, semua itu
harus kubawa. Tentu kita dapat mempergunakannya di Lembah Selaksa Bunga!”
“Hemm, terserah, bukan aku yang menyuruhmu, akan tetapi aku mendukungmu, Li Ai.”
“Sebaiknya begitu, Enci, karena aku yakin Ibu tiriku tidak rela kalau aku membawa harta benda Ayah.”
Li Ai lalu pergi ke kamar pribadi ayahnya, akan tetapi ternyata kamar itu terkunci, “Hemm, kamar ini tentu
dikunci oleh Ibu tiriku. Enci, kita dobrak saja pintunya.”
“Jangan, Li Ai, lebih baik kita minta kunci itu dari Ibu tirimu. Engkau berhak memegang kunci itu.”
Mereka lalu mencari Nyonya Kui yang berada di kamarnya sendiri. Mereka melihat Nyonya Kui sedang
bicara dengan seorang laki-laki setengah tua berpakaian perwira dan ketika dua orang gadis itu memasuki
ruangan dalam, perwira itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Nyonya Kui bangkit berdiri dengan alis
berkerut akan tetapi tampak jerih melihat Li Ai muncul bersama Hwe-thian Mo-li yang ia takuti.
“Ibu, aku ingin minta kunci kamar pribadi mendiang Ayahku,” kata Li Ai.
“Aku...... tidak tahu........” jawab Nyonya Kui dengan alis berkerut.
“Ibu, jangan berbohong. Hanya mendiang Ayah, engkau dan aku yang boleh membuka kamar itu, dan aku
berhak untuk memasuki kamar Ayahku.”
“Nyonya, harap engkau tidak membuat ulah, Kui Li Ai berhak atas rumah dan semua harta benda Ayahnya.
Sebaiknya engkau serahkan kunci itu kepadanya agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan untuk
membela Adik Kui Li Ai!” kata Hwe-thian Mo-li.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Dengan jari-jari tangan gemetar wanita itu mengambil sebuah kunci dari balik ikat pinggangnya dan
menyerahkannya kepada Li Ai dengan cemberut tanpa bicara apa pun.
Li Ai menerima kunci dan bersama Hwe-thian Mo-li lalu membuka pintu kamar mendiang Panglima Kui yang
cukup luas itu. Karena sudah mengetahui di mana ayahnya menyimpan harta benda berupa uang emas dan
juga perhiasan yang dulu menjadi milik ibu kandungnya, maka langsung saja Li Ai menuju ke sebuah almari
besar dan karena ia tidak menemukan kuncinya, ia minta kepada Siang Lan untuk membukanya dengan
paksa.
Dengan mudah Siang Lan membuka pintu almari itu dan Li Ai lalu mengambil harta benda yang banyak dari
almari, membungkusnya dengan kain. Karena harta benda itu cukup banyak dan berat, maka Siang Lan
membantu membawanya dengan menggantung bungkusan kain itu punggungnya. Li Ai sendiri
menggendong buntalan berisi pakaiannya.
Setelah itu mereka berdua keluar dari gedung tanpa pamit lagi kepada ibu tiri Li Ai. Beberapa orang wanita
pelayan yang setia dan sayang kepada gadis itu, sambil menangis mengikuti Li Ai sampai di luar gedung. Li
Ai memberi beberapa potong uang emas kepada mereka karena mereka menyatakan bahwa setelah Li Ai
pergi, mereka pun akan meninggalkan gedung itu. Nyonya Kui adalah seorang wanita yang galak dan
membenci Li Ai sehingga para pelayan yang sayang kepada Li Ai juga ikut pula dibencinya.
Tadinya Siang Lan menduga bahwa mereka berdua akan menghadapi gangguan dan halangan keluar dari
gedung itu. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Mereka keluar dari gedung dan terus menuntun dua
ekor kuda yang diambil oleh Li Ai dari dalam kandang kuda sampai ke jalan raya di depan gedung.
Mereka berdua menunggang kuda dan menjalankan kuda mereka perlahan-lahan keluar dari kota raja.
Ternyata bahwa biarpun Li Ai tidak pernah belajar ilmu silat secara mendalam, sebagai seorang puteri
panglima ia cukup pandai dan sudah biasa menunggang kuda.
Akan tetapi, belum terlalu jauh mereka meninggalkan pintu gerbang kota raja dan tiba di jalan yang sepi,
mereka melihat segerombolan orang berdiri menghadang di jalan. Li Ai segera berkata kepada Siang Lan
dengan lirih dan tampak gelisah.
“Enci, yang di depan itu adalah Perwira Can yang masih ada hubungan keluarga dengan Ibu tiriku. Mau apa
mereka.....?”
“Biar aku yang menghadapi mereka!” kata Siang Lan tenang saja.
Ia juga mengenal perwira yang kini berpakaian preman itu karena dia adalah perwira yang tadi ia lihat
sedang bercakap-cakap dengan Nyonya Kui dan segera pergi setelah ia dan Li Ai memasuki ruangan itu.
Perwira setengah tua itu bertubuh tinggi dan tampak kokoh kuat, juga sinar matanya yang tajam
menunjukkan bahwa dia tentu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Yang berada di belakang Perwira Can
adalah orang-orang yang dari sikapnya yang tegak dapat diduga bahwa merekapun tentu para perajurit
yang berpakaian preman. Biarpun mereka tidak mengenakan pakaian seragam perajurit, namun limabelas
orang itu mempunyai golok yang sama dan sikap mereka adalah sikap orang-orang yang biasa berbaris
dalam pasukan.
Setelah memberi isyarat kepada Li Ai untuk berhenti dan memegangi kendali kudanya sendiri, Siang Lan
melompat turun dari atas punggung kuda dan melangkah menghampiri rombongan orang itu. Dengan
tenang ia berhadapan dengan Perwira Can dan berkata dengan suara tenang dan mengejek.
“Apakah kehendak kalian, belasan orang laki-laki menghadang perjalanan dua orang wanita?”
Perwira Can yang mempunyai sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya, menjawab dengan suara
galak. “Kami tidak ingin mengganggu kalian berdua, hanya minta agar kalian menyerahkan harta benda
yang kalian rampas dari dalam gedung Panglima Kui agar dapat kami serahkan kembali kepada
keluarganya!”
Siang Lan tersenyum. “Maksudmu diserahkan kepada keluargamu, yang menjadi isteri mendiang Panglima
itu? Ketahuilah, harta itu menjadi hak milik Nona Kui Li Ai, maka ia membawanya pergi. Kami bukan
merampas, akan tetapi kulihat kalian ini perajurit-perajurit yang agaknya ingin menjadi perampok! Perwira
Can, kalau engkau masih ingin hidup, bawa pasukanmu pergi dan jangan ganggu kami!”
“Heh, Hwe-thian Mo-li, siapa tidak tahu bahwa engkau adalah seorang Iblis Betina yang jahat? Nona Kui Li
Ai adalah seorang gadis bangsawan yang lembut, pasti engkau yang membujuknya untuk melarikan diri dan
merampas harta benda keluarga Kui!” bentak perwira itu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Siang Lan marah sekali. Tanpa banyak cakap lagi ia sudah mencabut pedangnya dan menyerang perwira
itu dengan gerakan cepat.
“Sing-tranggg......!” Perwira Can juga sudah mencabut pedangnya dan menangkis. Ternyata perwira itu
cukup tangguh dan Siang Lan segera dikepung dan dikeroyok belasan orang!
“Kalian sudah bosan hidup!” bentaknya dan begitu ia mempercepat gerakan pedangnya, dua orang
pengeroyok telah roboh mandi darah! Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar dua ekor kuda itu meringkik dan
begitu ia menoleh, ia terkejut sekali melihat Li Ai sudah ditangkap! Dua orang anak buah Perwira Can
memegangi kedua lengannya dan seorang lagi menempelkan golok di leher gadis bangsawan yang
meronta-ronta itu.
“Lepaskan, kalian orang-orang jahat! Lepaskan aku!” Li Ai meronta-ronta namun apa dayanya seorang
gadis lembut seperti ia menghadapi dua orang laki-laki yang kuat itu. Kedua lengannya telah ditekuk ke
belakang oleh dua orang itu.
“Ha-ha, Hwe-thian Mo-li, menyerahlah kalau tidak ingin melihat Nona Kui kami bunuh lebih dulu!” bentak
Perwira Can sambil menahan serangan, diikuti oleh para anak buahnya.
Sejenak Siang Lan tertegun dan merasa tak berdaya. Jelas bahwa kalau ia bergerak hendak menyerang
tiga orang yang menawan Li Ai itu, gadis itu pasti akan tewas karena sekali golok yang menempel di leher
itu digerakkan, kematian Li Ai tak dapat dihindarkan lagi!
“Enci, jangan pedulikan mereka! Mereka hanya menggertak! Mereka tidak berani membunuhku karena
keluarga Ayah tentu akan menuntut. Perwira Can, manusia busuk, hayo bunuh aku kalau kau berani! Enci,
teruskan hajar mereka, aku tidak takut mati!” teriak Li Ai.
Mendengar ini, Siang Lan tersenyum dan kembali sinar kilat pedangnya berkelebat menyambar dan dua
orang lagi pengeroyok roboh dibabat pedangnya.
Tiba-tiba tampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan Siang Lan telah muncul dua orang yang
berpakaian seperti tosu. Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, kedua tangannya memegang
siang-to (sepasang golok) sedangkan orang kedua yang berusia sekitar enampuluh lima, beberapa tahun
lebih tua daripada tosu pertama, berwajah pucat bermata sipit, rambutnya sudah putih semua dan tubuhnya
tinggi kurus, memegang pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri.
Tosu pertama yang bermuka hitam membentak, “Hwe-thian Mo-li, iblis betina, engkau harus menebus
kematian dua orang suteku dengan nyawamu!” Sepasang golok di tangannya menyambar dengan gerakan
menggunting dari kanan kiri. Siang Lan cepat menggerakkan pedangnya menangkis ke kanan kiri.
“Trang-trangg......!” Gadis itu merasa betapa tenaga tosu muka hitam ini jauh lebih kuat dari tenaga Perwira
Can sehingga akan merupakan seorang lawan yang cukup tangguh.
“Awas, Enci. Pendeta siluman muka hitam itulah yang menculikku!” teriak Li Ai yang masih dipegangi kedua
lengannya oleh dua orang anak buah Perwira Can.
Memang Li Ai benar. Perwira Can tidak berani membunuhnya karena Li Ai mempunyai dua orang paman,
adik-adik ayahnya, yang menjadi pembesar di kota raja dan kedudukan mereka lebih tinggi daripada
kedudukan Perwira Can, maka kini ia hanya dipegangi dua orang anak buah tanpa diancam golok lagi.
Melihat betapa tangkisan pedang Siang Lan dapat membuat sepasang golok di tangan tosu muka hitam itu
terpental, tosu kedua yang bermuka pucat berseru.
“Siancai! Tenaga saktimu boleh juga, Hwe-thian Mo-li!” Dan dia pun menyerang dengan pedang di tangan
kanan yang menyambar ke arah leher Siang Lan disusul ujung bulu kebutan yang tiba-tiba menjadi kaku itu
menotok ke arah ulu hati!
Sungguh berbahaya sekali serangan tosu bermua pucat itu. Cepat ia menggerakkan pedangnya untuk
menangkis pedang lawan dan tangan kirinya dengan tenaga sin-kang menangkis bulu kebutan berwarna
putih itu.
“Cringg...... plakk!” Siang Lan berhasil menangkis pedang dan kebutan, akan tetapi ia terdorong ke belakang
oleh tenaga yang amat kuat!
Tahulah ia bahwa tosu berwajah pucat ini memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main dan merupakan
lawan yang amat tangguh. Menghadapi dua orang lawan seperti itu dapat membahayakan dirinya. Akan
tetapi gadis perkasa yang tidak pernah mengenal takut ini sama sekali tidak merasa gentar, bahkan ia lalu
dunia-kangouw.blogspot.co.id
mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya untuk mengamuk
melawan dua orang tosu yang lihai itu.
Sementara itu, Perwira Can dan anak buahnya yang merasa agak gentar terhadap Siang Lan, hanya
mengepung dari jarak aman seolah hendak menutup jalan keluar gadis itu agar tidak mampu melarikan diri!
Siang Lan mengamuk mati-matian, namun ia segera terdesak karena kedua orang lawannya, terutama tosu
muka pucat, memang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Melawan tosu muka pucat itu saja belum
tentu ia dapat menang, apalagi kini dikeroyok dua, padahal kepandaian tosu muka hitam itu juga hebat
sekali.
Biarpun terdesak hebat, Siang Lan tidak mempunyai niat sedikit pun juga untuk melarikan diri. Tak mungkin
ia melarikan diri dan meninggalkan Li Ai. Ia akan melindungi Li Ai sampai tidak mampu melawan lagi!
Tekadnya yang besar ini membuat ia masih mampu bertahan, walaupun lebih banyak mengelak dan
menangkis daripada balas menyerang.
Tiba-tiba terdengar suara berdebukan dan dua orang anak buah perajurit yang tadinya memegangi kedua
lengan Li Ai, berteriak dan roboh tak dapat bergerak lagi!
Ternyata yang merobohkan mereka adalah seorang laki-laki setengah tua, berusia empatpuluh dua tahun,
bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan lembut, pakaiannya sederhana. Dia merobohkan dua orang
yang tadi meringkus Li Ai hanya dengan tamparan dari jarak jauh dan kini dia melompat dengan ringannya
ke sebelah Siang Lan.
“Hwe-thian Mo-li, lindungi dan larikan gadis itu dari sini, biar aku yang akan menghadapi dua orang sesat
Pek-lian-kauw ini!” katanya lembut namun berwibawa.
Setelah berkata demikian, dia bergerak maju dan dengan hanya menggunakan ujung lengan bajunya yang
panjang, dia menyambut serangan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu! Namun, tangkisan kain ujung
lengan baju itu membuat senjata dua orang tosu itu terpental dan mereka merasa betapa tangan mereka
tergetar hebat!
04.10. Mengapa Engkau Menangis?
Siang Lan yang telah melompat mundur, memandang penuh perhatian dan ia merasa heran sekali
bagaimana orang itu dapat mengenal julukannya. Ia belum pernah melihat orang ini dan dari beberapa
gebrakan saja tahulah ia bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi! Baru tiga jurus saja
dua orang tosu itu sudah terdorong mundur! Ia menoleh dan melihat bahwa Li Ai sudah terbebas dari
pegangan dua orang anak buah Perwira Can yang kini sudah menggeletak tak bergerak. Perwira Can yang
memang sudah gentar terhadap Siang Lan, kini mengerahkan sisa anak buahnya untuk membantu dua
orang tosu mengeroyok laki-laki yang menolong Siang Lan itu.
“Mari, Li Ai!” Ia berseru dan menyambar tubuh gadis itu, dibawanya lari ke arah dua ekor kuda mereka. Tak
lama kemudian mereka berdua sudah melarikan kuda dengan cepat melanjutkan perjalanan menuju
Lembah Selaksa Bunga.
Laki-laki yang menolong Siang Lan itu bukan lain adalah Sie Bun Liong! Peristiwa di malam jahanam di
mana dalam keadaan setengah mabok dan terpengaruh racun perangsang, secara hampir tidak sadar dia
telah melakukan perkosaan terhadap Hwe-thian Mo-li. Dia merasa amat menyesal dan duka, dan dia
mengambil keputusan untuk menebus dosanya dengan melindungi Siang Lan dan menurunkan ilmunya
kepada gadis itu agar kelak gadis itu dapat membalas dendam dan membunuh musuh besar yang telah
menodainya, yaitu Thian-te Mo-ong atau dia sendiri!
Untuk dapat mencapai keputusannya ini dengan baik, dia harus menyamar menjadi dua orang, yaitu
pertama menyamar sebagai Thian-te Mo-ong yang memakai topeng kayu dan kedua menyamar sebagai
pelindung dengan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)! Nama aselinya, Sie Bun Liong, tidak dipakainya lagi!
Melihat kehebatan lawan yang membela Hwe-thian Mo-li, dua orang tosu Pek-lian-kauw menjadi penasaran.
“Tahan!” seru tosu berwajah pucat.
Mendengar ini, semua orang menghentikan perkelahian dan tosu itu memandang tajam penuh selidik
kepada lawannya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan kami? Kami sedang membantu pasukan yang
hendak menangkap dua orang gadis yang mencuri harta milik keluarga Kui!”
Sie Bun Liong yang kini menggunakan nama julukan Bu-beng-cu, tersenyum menjawab terang. “Hwa Hwa,
engkau seorang datuk masih suka memutar-balikkan fakta.”
“Engkau mengenal kami?” bentak tosu berwajah pucat yang bernama Hwa Hwa Hoat-su, datuk sesat yang
jarang turun tangan sendiri karena sudah banyak saudara dan murid yang lebih muda mengurus semua
masalah di Pek-lian-kauw.
“Tentu saja aku mengenal kalian, Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa Cin-jin. Seperti kuatakan tadi, kalian
memutar-balikkan kenyataan. Nona Kui Li Ai membawa hartanya sendiri, peninggalan Ayahnya, yang
hendak merampok harta keluarga Kui adalah kalian orang-orang Pek-lian-kauw yang agaknya bekerja sama
dengan pasukan yang menyamar ini!”
“Keparat, siapa engkau?” bentak Hoat Hwa Cin-jin, marah dan terkejut karena kerja sama Pek-lian-kauw
dengan Perwira Can telah diketahui.
“Namaku tidak ada, sebut saja aku Bu-beng-cu!”
“Manusia sombong!” Tiba-tiba Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan...... kebutan berbulu
putih itu terbang melayang ke arah Bu-beng-cu dan seperti hidup kebutan itu menyerang ke arah mukanya.
“Hemm, permainan kanak-kanak ini kau pamerkan?” bentak Bu-beng-cu dan, sekali tangannya didorongkan
ke arah kebutan itu, senjata itu terpental dan terbang kembali ke tangan kiri Hwa Hwa Hoat-su!
Hwa Hwa Hoat-su marah dan sambil mengeluarkan gerengan, seperti seekor biruang dia sudah menerjang
maju, menggerakkan pedang di tangan kanan dan kebutan tangan kiri. Hoat Hwa Cin-jin tidak tinggal diam.
Dia sudah menerjang pula dengan siang-to (sepasang golok) di tangannya.
Bu-beng-cu menggerakkan tubuhnya yang seolah berubah menjadi bayang-bayang yang cepat sekali
gerakannya. Bayangan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata kedua orang
pengeroyoknya yang amat lihai itu.
Niat Bu-beng-cu hanya untuk menyelamatkan Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai. Dia tidak ingin bermusuhan
dengan Pek-lian-kauw atau dengan siapapun juga. Selama bertahun-tahun dia hanya memperdalam ilmu
dan bersembunyi di Pegunungan Himalaya. Sungguh tak disangka-sangkanya bahwa rasa rindunya kepada
adik tirinya, yaitu Siangkoan Leng yang menjadi Ban-hwa-pang-cu (Ketua Ban-hwa-pang) akan
mendatangkan malapetaka baginya.
Pertama-tama, dalam keadaan tak sadar dikuasai pengaruh racun perangsang dia telah memperkosa Hwethian
Mo-li yang disusul dengan dendam sakit hati gadis itu kepadanya dan sekarang, karena dia harus
melindungi Hwe-thian Mo-li, dia harus bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw, hal yang sama sekali
tidak dikehendakinya. Dia menyadari bahwa peristiwa malam jahanam itu akan membawa akibat panjang
yang akan merusak ketenteraman hidupnya.
Setelah dia merasa bahwa tentu Hwe-thian Mo-li dan Li Ai telah pergi jauh dan bebas dari ancaman orangorang
ini, maka setelah melawan dan selalu menghindarkan diri dari serangan dua orang tosu Pek-liankauw
itu. Bu-beng-cu menggunakan gin-kangnya untuk melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa
lompatan saja dia sudah meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik pohon-pohon!
Dua orang tosu itu tidak mengejar karena keduanya maklum betapa tingginya gin-kang dari orang berjuluk
Bu-beng-cu yang tidak mereka kenal itu. Bahkan nama Bu-beng-cu juga tak pernah terdengar di dunia
kang-ouw.
Perwira Can yang gagal merampas harta benda keluarga Kui yang dibawa Li Ai walaupun sudah dibantu
dua orang tokoh Pek-lian-kauw, terpaksa mengajak anak buahnya kembali ke kota raja dengan tangan
hampa. Bahkan beberapa orang anak buahnya tewas dan terluka!
Kui Li Ai merasa kagum ketika ia mengikuti Siang Lan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Sebagai seorang
gadis bangsawan yang sejak kecil hidup mewah, tentu saja ia sudah banyak melihat taman-taman yang
indah milik para bangsawan di kota raja, bahkan pernah satu kali ayahnya mengajak ia melihat taman istana
kaisar yang megah. Namun, dibandingkan lembah ini, taman bunga itu bukan apa-apa.
Lembah ini demikian luas dan alami, penuh dengan beraneka bunga, terbuka dan bebas, tidak seperti
taman-taman bunga yang terkurung pagar tembok tinggi, membuat orang merasa seperti dalam tahanan
dunia-kangouw.blogspot.co.id
atau penjara. Sedangkan di Lembah Selaksa Bunga ini, ia merasa demikian bebas merdeka, dapat melihat
jauh ke bawah bukit dan merasa seperti burung yang terbang bebas lepas melayang di udara!
Segala bentuk kesenangan yang dapat kita rasakan melalui indera kita, merupakan anugerah Tuhan
kepada kita. Dengan adanya nafsu dalam diri kita yang telah disertakan kita sejak lahir, mendatangkan
kenikmatan bagi kita. Demikian besar kasih Tuhan kepada kita. Nafsu yang terkandung dalam penglihatan
mata membuat kita dapat menikmati pemandangan yang indah-indah, bentuk dan warna yang
menyenangkan hati kita.
Melalui pendengaran telinga, nafsu mendatangkan kenikmatan kepada kita kalau kita mendengar suarasuara
merdu yang sesuai dengan selera kita. Demikian pula, melalui penciuman hidung, kita dapat
menikmati keharuman. Melalui mulut, kita dapat menikmati makanan dan selanjutnya.
Namun, justeru kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan melalui anggauta-anggauta badan kita ini yang
sering kali menjerumuskan kita. Nafsu yang menimbulkan kenikmatan dalam kehidupan, yang semestinya
menjadi peserta dan pelayan kita, kalau terlalu dibiarkan dan dimanja, dapat merajalela dan berbalik akan
memperbudak kita. Kalau sudah demikian, akan celakalah kita.
Keinginan memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu membuat kita selalu mengejar dan dalam pengejaran itu,
seringkali terjadilah pelanggaran-pelanggaran, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang amat
diinginkan. Padahal, kalau sesuatu yang kita kejar, yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan itu,
telah terdapat, maka biasanya hanya akan mendatangkan kebosanan, cepat atau lambat. Nafsu mendorong
kita untuk mencari yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih menyenangkan daripada apa yang telah kita
dapatkan. Demikianlah, kita menjadi budak pengejar kesenangan yang tak pernah mengenal puas sampai
akhirnya kita terjatuh sendiri karena pelanggaran yang kita lakuan dalam pengejaran itu.
Berbahagialah orang yang selalu merasa puas dengan apa yang diperoleh dari hasil usahanya dan
mensyukuri perolehan itu sebagai berkat dari Tuhan, kemudian dapat menyalurkan berkat dari Tuhan itu
untuk sebagian diberikan kepada orang-orang lain yang membutuhkan. Penyalur berkat Tuhan berupa
kepandaian, kekuatan, ataupun kelebihan materi, adalah orang-orang yang mengagungkan namanya
sehingga orang-orang yang menerima penyaluran berkat itu juga akan memuja dan mengagungkan nama
Tuhan.
Kesenangan yang dirasakan Li Ai ketika ia tiba di Lembah Selaksa Bunga dan melihat keindahan lembah
itu, juga tidak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian, sudah timbul perasaan bosan melihat taman
bunga alami itu. Karena sering melihat, maka lembah itu pun tampak “biasa” saja, tidak ada keanehannya,
tidak ada keunikannya, tidak ada daya tariknya lagi.
Tidak heran kalau kita mendengar betapa orang-orang gunung merindukan pantai laut dan orang-orang
pantai laut merindukan pegunungan. Orang-orang kota menyukai dusun yang hening menyejukkan, dan
orang-orang dusun menyukai kota yang ramai menggembirakan! Orang selalu menghendaki yang belum dia
miliki dan merasa bosan dengan apa yang telah mereka punyai.
Demikian pula dengan Li Ai. Kalau mula-mula ia merasa senang dan kagum melihat Lembah Selaksa
Bunga dan senang tinggal bersama Hwe-thian Mo-li di lembah itu, beberapa pekan kemudian ia sudah
merasa bosan. Apalagi kalau ia teringat akan penghidupannya yang lalu di kota raja ketika ayahnya masih
hidup.
Ia kini merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan kehormatan diri karena peristiwa perkosaan itu selalu
menghantuinya, terutama di waktu malam. Mimpi-mimpi menakutkan tentang peristiwa itu seringkali
membuat ia menjerit-jerit dan terbangun. Dahulu ia menjadi seorang gadis bangsawan yang selalu riang,
dihormati, disayang banyak orang, dan terutama sekali digandrungi banyak pemuda!
Pada sore hari itu pemandangan di Lembah Selaksa Bunga sungguh indah sekali. Matahari senja dengan
sinarnya yang lembut kemerahan memandikan lembah itu sehingga tampak kemerah-merahan dan
matahari sendiri sudah mulai turun bagaikan wajah seorang dara yang malu-malu dan hendak
menyembunyikan diri di balik tirai awan sutera putih.
Namun Kui Li Ai yang sedang termenung dan tenggelam dalam lamunannya itu, tidak lagi dapat menyadari
akan semua keindahan itu. Bahkan suasana senja seperti itu mengingatkan ia akan pertemuannya dengan
seorang pemuda yang baginya merupakan seorang laki-laki yang amat menarik, tampan dan gagah.
Pemuda itu bernama Bong Kin, putera dari hartawan Bong yang selain kaya raya, juga dekat hubungannya
dengan para pejabat.
Beberapa bulan yang lalu sebelum Panglima Kui wafat, hartawan Bong datang berkunjung, ditemani
puteranya, yaitu Bong Kin yang biasa disebut Bong Kongcu (Tuan Muda Bong). Karena tidak ingin
dunia-kangouw.blogspot.co.id
mengganggu percakapan antara ayahnya dan Panglima Kui, Bong Kongcu pamit untuk berjalan-jalan dalam
taman bunga yang terdapat di samping gedung Panglima Kui.
Pada sore hari yang hawanya panas itu, kebetulan Kui Li Ai sedang mencari angin dalam taman. Tanpa
disengaja, dara dan pemuda itu saling jumpa dan Bong Kin yang pandai bergaul itu segera
memperkenalkan diri. Karena sikapnya yang sopan dan ramah, Li Ai menyambut perkenalan itu. Perkenalan
itu disambut baik dan berlanjut menjadi persahabatan di antara mereka.
Ketika Bong Kin menyatakan cinta, Li Ai belum berani menerimanya. Ia sudah banyak menolak pernyataan
cinta dan pinangan pemuda-pemuda yang menggandrunginya. Biarpun ia belum menerima Bong Kin yang
menyatakan cinta itu sebagai pria pilihannya, namun ia sungguh tertarik kepada Bong Kin. Pemuda itu
selain sopan dan ramah, juga kata-katanya penuh madu penuh rayuan yang menggetarkan hatinya.
Li Ai menghela napas panjang. Ketika teringat kepada Bong Kin yang menjadi sahabatnya, ia semakin
terpukul dan merasa kehilangan. Ingatan akan pemuda yang telah menyatakan cinta kepadanya itu
membuat ia teringat akan keadaan dirinya yang telah ternoda. Maka tak dapat ditahannya lagi Li Ai
menangis tersedu-sedu tanpa suara karena ia menahan agar tangisnya tidak terdengar oleh orang lain.
Sebuah tangan dengan lembut memegang pundaknya. Li Ai terkejut dan mengangkat muka memandang.
Kiranya Siang Lan sudah berdiri di belakangnya.
“Li Ai, mengapa engkau menangis? Apakah engkau masih berduka karena nasibmu dahulu itu?”
Li Ai menggelengkan kepala.
“Hemm, apakah engkau merasa menyesal meninggalkan rumahmu dan tinggal di tempat sunyi ini?”
Li Ai cepat menggelengkan kepala dan menjawab. “Tidak, Enci, aku senang sekali tinggal di sini
bersamamu. Aku hanya...... sedih teringat kepada...... seorang sahabat baikku......”
“Sahabat baikmu? Siapakah itu, Li Ai?”
“Dia...... dia putera Bong Wan-gwe (Hartawan Bong) sahabat mendiang Ayahku yang tinggal di kota raja.”
“Hemm, seorang pemuda?”
Wajah ayu itu menjadi kemerahan. “Dia bernama Bong Kin dan sebelum terjadi malapetaka menimpa
keluargaku, Bong Kongcu itu telah menyatakan bahwa dia...... cinta padaku dan akan meminangku......”
“Ah, dan engkau juga cinta padanya?”
Li Ai hanya mengangguk perlahan dan menundukkan mukanya.
“Kalau begitu, biar aku mencarinya dan kuberitahuan bahwa engkau berada di sini. Kalau memang dia
mencintamu, tentu dia akan datang dan meminang ke sini.”
“Tapi...... tapi, Enci, keadaanku sekarang...... aku sudah ternoda...... bagaimana mungkin aku menjadi
isterinya?” Li Ai terisak sedih.
“Mengapa tidak mungkin? Kalau memang Bong Kongcu itu mencintamu, Li Ai, hal itu pasti bukan
merupakan halangan. Kau tunggu saja di sini, aku akan ke kota raja mencarinya dan memberitahu padanya
bahwa engkau sekarang tinggal di sini. Kalau dia mencintamu tentu dia akan datang menjemputmu di sini.”
“Akan tetapi...... kalau dia datang, apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kukatakan padanya? Apakah
aku harus berterus terang mengatakan bahwa aku telah...... telah...... dinodai dua orang tokoh Pek-liankauw
jahanam keji itu? Enci aku takut......”
“Li Ai, kalau engkau memang mencintanya, engkau tidak perlu takut dan kalau dia memang mencintamu,
dia akan memaklumi keadaanmu yang tidak berdaya dan menaruh kasihan kepadamu. Memang sebaiknya
berterus terang, karena kalau engkau sembunyikan dan kemudian dia mengetahui, hal itu sungguh tidak
baik jadinya. Nah, kautunggu saja di sini!”
Siang Lan lalu pergi meninggalkan Lembah Selaksa Bunga menuju ke kota raja. Dalam perjalanan yang
dilakukannya dengan cepat ini, Siang Lan banyak melamun. Ia tidak dapat melupakan pria yang telah
menolongnya ketika ia dikeroyok tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang lihai. Bagaimana mungkin ia dapat
melupakan orang itu? Tanpa pertolongannya, tentu ia dan Li Ai telah tewas atau terjatuh ke tangan orangorang
Pek-lian-kauw. Ia merasa menyesal sekali tidak sempat berkenalan dengan penolongnya itu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Sudah dua kali ia ditolong orang tanpa mengenal penolongnya. Yang pertama ketika ia dikeroyok oleh Cin
Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memperkosa Li Ai, ia dibantu orang yang
tidak memperlihatkan diri dengan sambitan batu ke arah dua orang lawannya itu, kemudian ketika ia roboh
pingsan, ada yang mengobatinya sehingga ia terbebas dari racun. Ia tidak sempat melihat siapa
penolongnya yang pertama itu.
Kemudian, untuk kedua kalinya ia ditolong, bahkan diselamatkan orang dan ia masih sempat melihat
penolongnya walaupun ia tidak sempat mengetahui siapa nama penolongnya itu. Apakah dia juga yang dulu
pernah menolongnya tanpa ia lihat orangnya? Ia tidak dapat melupakan wajah laki-laki penolongnya itu dan
ingin sekali ia bertemu untuk sekadar mengucapkan terima kasihnya.
Bahkan ada harapan yang lebih dari sekadar mengucapkan terima kasih, yaitu ia ingin sekali memperdalam
ilmu silatnya, berguru kepada laki-laki itu. Dari gerakan orang itu, ia tahu benar bahwa dia memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi dan kalau ia dapat berguru kepadanya, mungkin ia akan mampu kelak
membalas dendamnya kepada Thian-te Mo-ong, jahanam berkedok setan yang telah memperkosanya dan
menghancurkan kebahagiaan hidupnya. Akan tetapi, ke mana ia harus mencari penolongnya itu? Ia hanya
pernah melihatnya, mengenal wajahnya akan tetapi tidak tahu siapa namanya dan di mana tempat
tinggalnya.
Teringat akan kenyataan ini, hatinya merasa kecewa dan murung. Ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan
berlari cepat sekali menuju ke kota raja. Kalau ia sendiri tidak mungkin membangun penghidupannya yang
sudah runtuh dan mustahil dapat hidup berbahagia, setidaknya ia dapat membantu Li Ai untuk mulai hidup
baru, berbahagia bersama pria yang dicintanya!
Bong Kin atau yang biasa dipanggil Bong Kongcu (Tuan Muda Bong) adalah putera tunggal Bong Wan-gwe
(Hartawan Bong), seorang pedagang rempah-rempah yang kaya raya di kota raja. Seperti sudah lajim
terjadi, baik di kota-kota daerah atau di ibu kota (kota raja), para hartawan selalu berhubungan dekat dan
akrab dengan para pembesar atau pejabat tinggi. Dua golongan masyarakat ini memang saling
membutuhkan dan saling bantu.
Si Pembesar membantu dengan kekuasaan jabatan yang dipegangnya, sebaliknya Si Hartawan membantu
dengan harta yang dimilikinya. Kerja sama ini mendatangkan keuntungan kedua pihak. Yang kaya menjadi
semakin kaya dan Sang Pembesar pun memperoleh hasil yang ribuan kali lipat besarnya daripada gajinya
yang dia dapatkan dari pemerintah.
Demikian pula dengan Hartawan Bong. Perusahaannya, yaitu berdagang rempah-rempah menjadi semakin
besar karena dengan perlindungan pembesar yang berwenang, dia memiliki monopoli atas bermacammacam
rempah-rempah terpenting sehingga dia dapat mengendalikan harga hasil bumi itu dan memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda. Tentu saja sebagian keuntungan itu lari ke dalam kantung pembesar yang
melindunginya.
Siapa yang menderita rugi? Tentu saja pertama adalah rakyat kecil, terutama para petani yang menanam
rempah-rempah itu karena harganya ditekan serendah-rendahnya oleh Hartawan Bong sebagai pembeli
tunggalnya.
04.11. Motivasi Cinta Seorang Pemuda
Hubungan Hartawan Bong dengan para pembesar di kota raja amat dekat. Dia tidak sayang
menghamburkan uang untuk dapat mengikat persahabatan dengan para pembesar. Maka, Hartawan Bong
mengenal hampir seluruh pejabat sipil maupun militer yang berkuasa waktu itu di kota raja, termasuk
mendiang Panglima Kui Seng.
Biarpun dia tidak membutuhkan bantuan dari panglima ini, juga sebaliknya Panglima Kui tidak pernah
menerima semacam “upeti” darinya, namun tetap saja Hartawan Bong mendekatinya dengan cara
mengirimkan hadiah barang atau makanan pada waktu-waktu tertentu, seperti hari raya dan sebagainya.
Bahkan dia sering pula datang berkunjung sekadar untuk bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Bong
Kongcu bertemu dan berkenalan dengan Kui Li Ai dan pemuda hartawan itu jatuh cinta kepada Li Ai.
Bong Kongcu bukan seorang pemuda alim. Pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan gagah,
pesolek dan perayu ini terkenal di rumah-rumah pelesir termahal di kota raja. Dia sudah banyak
pengalaman dan bergaul dengan banyak wanita cantik. Akan tetapi baru sekali ini dia benar-benar jatuh
cinta kepada Kui Li Ai. Dia memang belum menikah dengan resmi walaupun sejak berusia duapuluh tahun
dia telah mempunyai beberapa orang gadis simpanan sebagai selirnya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Dia melihat keuntungan besar kalau dapat menikahi Kui Li Ai sebagai isterinya. Pertama, Kui Li Ai memiliki
kecantikan yang memang menggairahkan di samping memiliki pendidikan tinggi dan juga sebagai puteri
panglima tentu saja namanya terhormat. Kedua, kalau dia menjadi mantu Panglima Kui, tentu saja diapun
memiliki perlindungan yang kuat dan martabatnya akan naik di mata penduduk kota raja. Bahkan ayahnya
juga sudah merasa setuju sekali dan mendukungnya kalau dia ingin berjodoh dengan puteri Panglima Kui.
Akan tetapi walaupun dia sudah menyatakan cintanya kepada Li Ai, gadis itu belum menjawab, maka dia
belum berani mengajukan pinangan. Kemudian, datang malapetaka menimpa keluarga Kui dengan
diculiknya Li Ai dan berakibat kematian Panglima Kui Seng. Kemudian, Bong Kongcu mendengar bahwa Kui
Li Ai pergi bersama seorang pendekar wanita yang terkenal liar dan ganas bernama Hwe-thian Mo-li.
Tentu saja dia merasa kecewa sekali karena keinginannya untuk menikah dengan Li Ai dan menjadi mantu
Panglima Kui telah gagal! Dia tidak tahu ke mana harus mencari gadis yang dicintanya itu dan biarpun dia
telah menghamburkan uang untuk membiayai pencariannya terhadap Li Ai dengan mengerahkan orangorangnya,
tetap saja tidak berhasil menemukan gadis itu.
Bong Kongcu mencoba untuk menghibur hatinya dengan bersenang-senang dengan banyak gadis
penghibur yang cantik, namun tetap saja dia setiap hari murung teringat kepada Li Ai yang membuatnya
tergila-gila. Bagi seorang pemuda yang sedang kasmaran, tergila-gila seperti dia, tidak ada wanita lain yang
lebih cantik menarik dan menggairahkan selain gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Pada suatu pagi, ketika Bong Kin sedang duduk termenung dan teringat kepada Kui Li Ai, wajahnya muram
dan hidangan makanan kecil yang sejak tadi ditaruh oleh pelayan di depannya, di atas meja, tak
disentuhnya, muncullah seorang pelayan wanita.
“Kongcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu dengan Kongcu.”
Bong Kongcu memandang pelayannya itu dengan mata bersinar. “Seorang gadis? Ia...... Nona Kui Li
Ai......?”
“Bukan, Kongcu. Ia seorang gadis yang cantik dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Ia tidak
memperkenalkan nama, hanya bilang bahwa ia mempunyai urusan yang amat penting dan katanya Kongcu
tentu akan senang mendengarnya.”
Mendengar ini, Bong Kin lalu bangkit dan melangkah keluar dengan heran dan ingin sekali melihat siapa
gadis itu. Setelah tiba di luar dia merasa heran sekali melihat seorang gadis yang cantik jelita dan belum
pernah dilihatnya. Yang menarik hatinya, gadis ini bukan seperti gadis cantik lainnya yang pernah
dikenalnya. Gadis ini selain cantik jelita juga memiliki sikap gagah, dengan sinar mata tajam dan terutama
yang membuat ia gagah berwibawa adalah sikapnya ketika berdiri tegak memandangnya.
Sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya menambah kegagahannya. Harus dia akui
bahwa selama dia bertualang di antara para gadis cantik, belum pernah dia bergaul dengan gadis cantik
yang begini gagah sehingga memiliki daya tarik yang lain daripada gadis lain yang pernah dikenalnya.
“Nona, siapakah dan ada keperluan apa mencariku?” tanya Bong Kin dengan senyum ramah dan sikapnya
yang sopan. Dia memang pandai membawa diri, pandai pula bersikap untuk mendatangkan kesan baik
dalam hati para wanita.
“Apakah engkau yang bernama Bong Kin, putera Bong Wan-gwe?” tanya gadis itu yang bukan lain adalah
Hwe-thian Mo-li.
Pertanyaannya yang dijawab dengan pertanyaan pula itu tidak membuat Bong Kongcu menjadi marah. Dia
tetap tersenyum.
“Benar sekali, Nona. Aku bernama Bong Kin dan kalau Nona memiliki keperluan denganku, silakan masuk
dan duduk di kamar tamu di mana kita dapat bicara dengan baik, tidak berdiri saja di sini. Silakan, Nona.”
Senang juga hati Siang Lan melihat sikap dan penyambutan yang ramah dan sopan ini. Ia mengangguk dan
mengikuti pemuda itu memasuki sebuah ruangan tamu. Setelah duduk berhadapan terhalang meja besar
Siang Lan berkata.
“Bong Kongcu, aku datang sebagai utusan Nona Kui Li Ai......” Siang Lan menghentikan ucapannya ketika
melihat betapa wajah pemuda itu tampak berseri, sepasang matanya terbelalak dan dia tampak girang
sekali.
“Aih, berita ini sungguh membahagiakan sekali, Nona! Tolong katakan di mana kini Nona Kui Li Ai dan
berita apa yang engkau bawa darinya?”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Hati Siang Lan senang melihat sikap pemuda ini yang ternyata tampak girang sekali mendengar tentang Li
Ai, menandakan bahwa dia memang mencinta puteri mendiang Panglima Kui itu.
“Nona Kui Li Ai sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga, Bong Kongcu, dalam keadaan
sehat dan selamat.”
Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan tentang Li Ai yang meninggalkan rumah keluarga Kui karena
tidak suka tinggal bersama ibu tirinya yang galak. Bagaimana Li Ai kini berada di Lembah Selaksa Bunga
bersamanya.
Setelah menceritakan keadaan Li Ai, Siang Lan menatap tajam wajah pemuda yang tampan itu dan
bertanya. “Kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, Bong Kongcu, apakah benar seperti yang kudengar
dari Adik Kui Li Ai bahwa engkau cinta padanya?”
Wajah Bong Kin berubah kemerahan, akan tetapi dengan sungguh-sungguh dia berkata, “Sesungguhnya,
Nona. Aku amat mencinta Nona Kui Li Ai dan aku merasa sedih sekali akan kematian Ayahnya dan semakin
sedih ketika mendengar ia pergi meninggalkan rumahnya. Aku telah bersusah payah berusaha untuk
mencarinya selama ini, namun tidak berhasil. Maka, sungguh girang sekali hatiku mendengar bahwa ia
berada di tempat tinggalmu dalam keadaan sehat dan selamat.”
“Kedatanganku ini hendak menegaskan, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencintanya,
Kongcu?”
“Tentu saja, bahkan semakin mencintanya karena aku merasa iba kepadanya.”
“Dan engkau menginginkan agar ia menjadi isterimu, Kongcu?”
“Benar, Nona.”
“Kalau begitu, sekarang engkau boleh meminangnya, Kongcu, karena Adik Li Ai yang merasa hidup
sebatang kara telah menyatakan kepadaku bahwa kalau engkau meminangnya, ia akan menerimanya dan
kini siap untuk menjadi isterimu.”
Pemuda itu tampak semakin girang. “Aih, kedatanganmu membawa berkat bagiku, Nona! Kalau boleh aku
mengetahui, siapakah engkau, Nona? Aku pernah mendengar bahwa Adik Kui Li Ai pergi bersama seorang
pendekar berjuluk Hwe-thian Mo-li. Apakah...... apakah engkau pendekar itu, Nona?”
“Tidak salah, Kongcu. Akulah Hwe-thian Mo-li yang melindungi Nona Kui Li Ai dan ia sekarang tinggal
bersamaku di Lembah Selaksa Bunga. Setelah berunding dengannya, maka hari ini aku datang untuk minta
ketegasan darimu. Setelah kini engkau menyatakan masih mencintanya dan ingin meminangnya, maka
kuharap engkau suka berkunjung ke tempat kami agar dapat bertemu dan bicara sendiri dengannya.”
“Wah, aku senang sekali, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Aku akan segera mengunjunginya di Lembah Selaksa
Bunga. Di manakah lembah itu?”
Siang Lan menerangkan di bukit mana lembah itu terletak. Kemudian ia berpamit. “Nah, tugasku telah
selesai, aku hendak kembali ke Lembah Selaksa Bunga, menceritakan hal ini kepada adik Kui Li Ai. Kami
akan siap menyambut kunjunganmu, Bong Kongcu.”
Bong Kin mengucapkan terima kasih dan mengantar kepergian Siang Lan sampai ke depan gedungnya.
Setelah gadis itu pergi, dengan girang dia mengabarkan hal itu kepada ayah ibunya.
Bong Wan-gwe, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh gendut
berwajah ramah mendengar pemberitahuan puteranya dan dia mengerutkan alisnya. Dulu, hartawan ini
tentu saja merasa senang dan bangga ketika puteranya menyatakan bahwa puteranya jatuh cinta dan
memilih Kui Li Ai untuk menjadi calon isterinya. Pada waktu itu, Bong Wan-gwe merasa bangga kalau
memiliki mantu puteri Panglima Kui itu. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah lain.
Panglima Kui telah tiada, bahkan dia mati dalam keadaan cemar, yaitu dikabarkan bunuh diri setelah
mengkhianati negara dengan membebaskan tiga orang tawanan pemberontak Pek-lian-kauw! Tidak ada
lagi yang patut dibanggakan kalau dia mempunyai mantu gadis she Kui itu, bahkan akan menurunkan dan
merendahkan derajat dan martabatnya!
“Bong Kin, apakah sudah engkau pikir masak-masak sebelum engkau meminang Kui Li Ai? Ingat, keadaan
gadis itu tidak seperti dulu lagi. Ayahnya sudah mati dan Panglima Kui yang sudah almarhum itu bukan
seorang panglima terhormat lagi, bahkan dianggap pengkhianat. Masih banyak gadis yang ayahnya
memiliki kedudukan tinggi dan lebih terhormat untuk menjadi isterimu. Aku sanggup melamarkan!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Tidak, Ayah! Hatiku sudah bulat mengambil keputusan untuk menikah dengan Kui Li Ai. Aku amat
mencintanya, Ayah. Ia gadis yang paling cantik di dunia ini!”
Hartawan Bong menghela napas panjang. “Jadi sekarang kita akan mengajukan pinangan? Akan tetapi
kepada siapa? Siapa yang menjadi pengganti orang tuanya? Siapa yang menjadi walinya?”
“Aku akan pergi dulu mengunjungi di Lembah Selaksa Bunga untuk merundingkan hal ini dengannya, Ayah.
Setelah itu baru kita mengajukan pinangan.”
“Kin-ji (Anak Kin), engkau hati-hatilah kalau pergi ke sana!” kata Nyonya Bong khawatir.
“Ibumu benar, Bong Kin!” kata Bong Wan-gwe. “Tempat itu asing bagimu dan aku mendengar bahwa
pendekar wanita yang melindungi Nona Kui itu liar dan ganas. Melihat julukannya Si Iblis Betina Terbang,
mungkin saja ia itu memiliki watak jahat. Maka engkau harus membawa rombongan pengawal untuk
melindungimu.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan menunggang kuda, Bong Kin dikawal selosin
orang laki-laki yang biasa mengawal kiriman barang-barang berangkat meninggalkan kota raja menuju ke
bukit yang telah ditunjukkan Siang Lan. Dua belas orang pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki
ilmu silat dan memang pekerjaan mereka menggunakan kekuatan dan ilmu silat untuk mengawal dan
melindungi barang atau orang dalam perjalanan.
Pada tengah hari mereka tiba di kaki bukit yang dimaksudkan dan berhenti. Pimpinan rombongan pengawal,
seorang laki-laki tinggi besar bermuka berewok yang usianya sekitar empatpuluh tahun bernama Gu Sam,
berkata kepada Bong Kin.
“Bong Kongcu, di bukit yang disebut Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga) dulu terdapat sebuah
perkumpulan bernama Ban-hwa-pang yang sering melakukan perampasan barang yang dibawa lewat di
daerah ini. Akan tetapi sudah beberapa bulan ini tidak ada lagi orang Ban-hwa-san melakukan perampasan
dan kabarnya, Ban-hwa-pang telah dibasmi seorang pendekar wanita.”
“Hemm, bukankah yang membasmi itu pendekar wanita berjuluk Hwe-thian Mo-li?” tanya Bong Kin.
Gu Sam tampak terkejut. “Benar sekali, Kongcu! Bagaimana Kongcu dapat mengetahuinya?”
Bong Kin tersenyum bangga. “Hwe-thian Mo-li itu sahabatku! Kemarin ia datang berkunjung ke rumahku.”
Dia tidak bicara lebih lanjut, membiarkan Gu Sam dan orang-orangnya terheran-heran.
Dengan kagum Bong Kin dan para pengawalnya kini mendaki bukit dan tiba di Lembah Selaksa Bunga.
Daerah perkampungan Ban-hwa-pang yang baru, termasuk lembah yang indah itu kini dikelilingi pagar
bambu runcing yang diatur rapi dan dicat warna-warni sehingga tampak nyeni dan indah.
Di pintu gerbang, yang berada di bawah lereng, sudah berjaga belasan orang anggauta Ban-hwa-pang yang
semua terdiri dari wanita. Mereka berpakaian gagah dan terdiri dari tiga regu. Regu pertama memegang
tombak, regu kedua memegang golok dan regu ketiga memegang pedang, masing-masing terdiri dari lima
orang. Sikap mereka gagah dan wajah mereka rata-rata manis.
Melihat sikap para wanita ini, Bong Kin memerintahkan para pengawal untuk turun dari atas kuda masingmasing.
Kemudian Gu Sam melangkah maju memberi hormat kepada seorang wanita berpedang yang
agaknya memimpin tiga regu itu karena ia berdiri paling depan dan sikapnya berwibawa.
“Nona, Kongcu kami Bong Kin datang memenuhi undangan Hwe-thian Mo-li,” katanya menirukan perintah
majikannya tadi.
“Ban-hwa-pang kami pantang menerima tamu laki-laki. Akan tetapi karena Pang-cu kami sudah memesan
dan kini menunggu Bong Kongcu datang menghadap, kami persilakan Bong Kongcu masuk. Yang lain tidak
boleh masuk!”
“Akan tetapi......!” Gu Sam hendak membantah.
“Tidak ada tapi! Kaum lelaki, tanpa ijin Pang-cu, dilarang masuk perkampungan Ban-hwa-pang!” bentak
wanita itu dan limabelas orang rekannya siap meraba gagang senjata mereka.
Bong Kongcu memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk menunggu di luar dan dia lalu memasuki
pintu gapura yang segera tertutup kembali oleh para penjaga wanita.
“Sialan......!” para pengawal itu mengomel.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Entah apa yang terjadi dengan Ban-hwa-pang,” kata pula Gu Sam dan dia mengajak para rekannya untuk
menunggu dan mengaso di bawah pohon-pohon tidak jauh dari gapura perkampungan Ban-hwa-pang itu.
Sementara itu, Bong Kin diantar dua orang pengawal wanita memasuki ruangan tamu di mana Hwe-thian
Mo-li dan Kui Li Ai sudah duduk menanti. Hwe-thian Mo-li berwajah cerah gembira, akan tetapi Li Ai nampak
menundukkan mukanya karena jantungnya berdebar penuh ketegangan dan juga merasa rikuh dan tidak
enak hati. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa ia memang mengharapkan untuk dapat menjadi isteri
pemuda yang biasanya bersikap lembut dan sopan itu.
Begitu Bong Kin memasuki ruangan dan melihat Li Ai sudah duduk di situ, dia segera berseru gembira.
“Nona Kui......! Ah, betapa girang hatiku dapat bertemu denganmu di sini......!”
Hwe-thian Mo-li dan Li Ai bangkit berdiri dan membalas penghormatan Bong Kin yang sudah menjura
sambil merangkap kedua tangan depan dada.
“Bong Kongcu, silakan duduk,” kata Hwe-thian Mo-li.
Pemuda itu mengucapkan terima kasih dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan dua orang gadis
itu, dengan jarak cukup jauh dan sopan.
“Aku merasa senang bahwa Bong Kongcu benar-benar datang berkunjung, hal ini bagiku merupakan bukti
akan kesungguhan hati Kongcu. Sekarang, aku memberi kesempatan kepada Adik Kui Li Ai dan Bong
Kongcu untuk membicarakan urusan kalian berdua.” Setelah berkata demikian, Hwe-thian Mo-li bangkit
berdiri dan hendak meninggalkan ruangan tamu itu menuju ke dalam.
“Enci......!” Li Ai berseru menahan karena gadis ini merasa malu dan juga takut untuk menceritakan apa
yang telah menimpa dirinya seperti yang telah ia sepakati dengan Hwe-thian Mo-li bahwa ia akan berterus
terang kepada pemuda itu untuk menguji ketulusan cintanya.
“Li Ai, inilah kesempatan baik bagimu. Jangan sungkan dan malu, di tanganmu sendirilah terletak nasibmu
di kemudian hari.”
Setelah berkata demikian dengan cepat Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan itu, menuju ke ruangan
dalam di mana ia termenung dan duduk seorang diri. Gambaran topeng kayu yang menyeramkan itu selalu
terbayang di depan matanya dan terkadang tampak bayangan wajah laki-laki setengah tua sederhana dan
gagah yang juga penuh rahasia itu, yang telah menolongnya dan yang ingin dia temukan kembali karena ia
mempunyai keinginan untuk berguru kepada penolong yang amat lihai itu.
Setelah Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan tamu, suasana di situ menjadi hening sekali. Li Ai masih
menundukkan mukanya, tidak berani ia bertemu pandang dengan pemuda yang duduk di depannya,
padahal pemuda ini dulu pernah menjadi kenalan baiknya dan mereka sudah sering beramah tamah dan
bercakap-cakap.
Bong Kongcu yang tidak dapat menahan hatinya lagi untuk berdiam diri. “Kui Siocia (Nona Kui), benarkah
apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li?”
Terpaksa Li Ai mengangkat mukanya dan baru pertama kali ini sejak pemuda itu datang ia bertemu
pandang yang membuat kedua pipinya berubah merah. Ia melihat betapa sinar mata pemuda itu masih
seperti dulu, masih jelas membayangkan rasa kagum dan cinta kepadanya! Hanya sebentar saja sinar mata
gadis itu bertemu pandang. Ia segera menundukkan pandang matanya dan bertanya lirih.
“Mendengar apakah Bong Kongcu maksudkan?”
Tentu saja ia sudah mendengar dari Siang Lan tentang pertemuan Hwe-thian Mo-li dengan pemuda itu.
Akan tetapi ia tidak ingin mendahului percakapan tentang urusan perjodohan itu.
“Siocia, aku mendengar keterangan dari Hwe-thian Mo-li bahwa engkau sekarang berada di sini, tinggal
bersamanya. Aku merasa amat terharu dan iba melihat nasibmu kehilangan Ayahmu dan aku mendengar
dari Hwe-thian Mo-li bahwa...... bahwa sekarang engkau...... bersedia menerima...... cintaku, dan engkau
akan setuju kalau aku meminangmu untuk menjadi isteriku. Bagaimana, Kui Siocia benarkah apa yang
kudengar dari Hwe-thian Mo-li itu?”
Setelah mendengar ucapan Bong kongcu itu, rasa sungkan dan malu mulai meninggalkan perasaan Li Ai
dan kini ia mengangkat mukanya, memandang wajah pemuda itu penuh selidik karena ia ingin sekali
mendapat kepastian apakah benar-benar pemuda hartawan ini mencintanya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
04.12. Penghinaan Terhadap Gadis Muda
“Kongcu, apakah benar dan dapat kupercaya ucapanmu bahwa engkau mencintaku?”
“Aih, Siocia...... perlukah engkau tanya lagi hal ini? Sejak dulu aku mencintamu, sudah kunyatakan berulang
kali. Sampai saat ini aku tetap mencintamu, dinda Li Ai...... aku berani bersumpah bahwa hanya engkau
yang kuinginkan menjadi isteriku. Dinda Li Ai, engkau sih belum menjawab. Benarkah keterangan Hwe-thian
Mo-li bahwa engkau bersedia menerima cintaku dan akan menyetujui kalau keluargaku datang
meminangmu untuk menjadi isteriku?”
Li Ai mengangguk. “Benar, akan tetapi sebelum engkau mengambil keputusan, lebih dulu aku ingin melihat
apakah cintamu itu murni, Bong Kongcu.”
“Eh? Apa maksudmu?”
Kini dengan sinar mata tajam penuh selidik Li Ai menatap wajah pemuda dan tanpa dihantui rasa malu dan
khawatir lagi ia lalu berkata, “Ketahuilah, Bong Kongcu, bahwa ketika aku diculik oleh orang-orang Pek-liankauw,
aku telah dinodai oleh dua orang pendeta Pek-lian-kauw.”
Sepasang mata pemuda itu terbelalak, seolah tidak percaya atau tidak mengerti apa yang dimaksudkan Li
Ai.
“Kau...... di...... dinodai......?” tanyanya gagap.
“Benar, Kongcu. Dua orang tosu Pek-lian-kauw telah memperkosa aku......”
“Keparat jahanam......!!” Wajah pemuda itu menjadi pucat sekali lalu berubah merah dan dia bangkit berdiri
sambil mengepal tinju dengan marah sekali.
“Tenanglah, Kongcu. Dua orang keparat jahanam itu telah dibunuh oleh Enci...... Hwe-thian Mo-li.”
“Tenang......? Bagaimana aku bisa tenang? Keperawananmu direnggut orang-orang jahat, engkau
diperkosa....., engkau bukan perawan lagi. Ahhh......!” Pemuda itu menjatuhkan diri di atas kursi dan tampak
lemas, menundukkan muka dan menopang kepalanya dengan kedua tangan.
Li Ai hanya memandang dan keduanya berdiam diri, tenggelam ke dalam suasana yang amat tidak
mengenakkan hati. Berulang-ulang pemuda itu menghela napas panjang dan dari kerongkonganya
terdengar suara gerengan lirih seperti mengerang atau merintih.
Li Ai mulai tidak sabar melihat pemuda itu hanya berdiam diri saja sambil mengerang dengan wajah muram.
Lenyaplah semua sinar kegembiraan yang tadi tampak pada sikap dan wajah Bong kongcu. Maka ia lalu
bertanya.
“Bagaimana sekarang, Bong Kongcu? Apakah engkau masih mencintaku dan ingin meminangku sebagai
isterimu?”
Sampai beberapa saat lamanya Bong kongcu tidak dapat menjawab, hanya mengangkat muka menatap
wajah Li Ai dengan muka pucat dan sinar mata muram. Akhirnya dia berkata.
“Tentu, aku tetap mencintamu, Li Ai, marilah engkau ikut denganku ke kota raja dan menjadi selirku yang
tersayang......”
“Apa......? Selir......?”
Bong Kongcu menghela napas panjang. “Benar, Li Ai, menjadi selirku. Aku tetap mencintamu, akan tetapi
untuk meminangmu menjadi isteriku...... bagaimana mungkin setelah...... setelah engkau......”
“Tidak sudi!” Li Ai berseru lalu berlari keluar dari ruangan itu meninggalkan Bong Kongcu sambil menutupi
muka dengan tangan dan menahan suara tangisnya.
Bong Kongcu bangkit mengejar, “Li Ai......!”
Akan tetapi tiba-tiba Hwe-thian Mo-li muncul di pintu sehingga pemuda itu mundur kembali.
“Orang she Bong! Engkau telah menghina adikku Kui Li Ai! Engkau memandang rendah Adikku! Engkau
bilang hendak datang meminang ia sebagai isterimu, ternyata engkau menghinanya dengan mengatakan
dunia-kangouw.blogspot.co.id
hendak mengambilnya menjadi selirmu! Engkau pemuda berengsek, sombong dan cintamu palsu! Engkau
bilang mencinta akan tetapi merendahkan dan menghinanya!”
“Nona, aku tidak berbohong, aku memang mencintanya. Akan tetapi bagaimana mungkin ia menjadi
isteriku? Ia sudah bukan perawan lagi, hal ini tentu akan mencemarkan nama dan kehormatanku!”
“Omong kosong! Engkau tidak mencinta Li Ai, tidak mencinta orangnya! Yang kaucinta hanya
keperawanannya! Engkau munafik, berlagak terhormat akan tetapi sebetulnya engkau rendah dan hina.
Engkau kotor berlagak bersih! Engkau menganggap Li Ai yang kehilangan keperawanannya karena dipaksa
dan diperkosa orang sebagai hal yang kotor! Dan engkau sendiri bagaimana? Apakah engkau berani
mengatakan bahwa engkau tidak kehilangan keperjakaanmu? Engkau menggauli wanita-wanita dengan
sadar dan kausengaja, dan engkau masih menganggap dirimu bersih dan terhormat! Munafik berengsek!”
“Nona, engkau sungguh tidak adil! Aku sama sekali tidak menyalahkan Li Ai karena ia diperkosa dan tidak
berdaya. Akan tetapi jelas aku tidak mungkin mengambilnya sebagai isteriku. Ah, kalau saja ia tidak
menceritakan tentang perkosaan itu kepadaku, tentu ia akan kupinang sebagai isteriku......”
“Bohong! Aku mengenal laki-laki macam kamu ini! Kalau ia tidak menceritakan dan kemudian engkau
mengetahui hal itu, pasti engkau akan menceraikannya karena ia tidak berterus terang, engkau tentu akan
mengatakan ia berbohong dan menipumu. Engkau akan makin menghinanya! Jahanam busuk macam
engkau ini patut dihajar!”
“Hwe-thian Mo-li, engkau sungguh keterlaluan!” teriak Bong Kongcu dengan marah.
“Keterlaluan? Huh, kau manusia kotor bersembunyi di balik hartamu. Kaukira harta dan keadaanmu yang
terhormat itu dapat menutupi kekotoranmu? Harta, kedudukan, kepandaian, hanya pakaian saja. Kalau
dikenakan orang yang memang kotor, tetap saja tampak kekotorannya yang menjijikkan! Pergi kau,
sebelum aku kehilangan kesabaran dan kuajar engkau!”
“Hwe-thian Mo-li, aku akan mengerahkan orang-orangku untuk menghukummu karena engkau berani
menghinaku!” teriak Bong Kongcu.
“Wuut...... plak-plak......!”
“Aduhh......!! Bong Kin terhuyung ke belakang. Ke dua tangannya menutupi ke dua pipinya yang bengkakbengkak
dan darah mengalir dari ke dua ujung bibirnya yang pecah-pecah. Dia lalu berlari keluar, diikuti
Hwe-thian Mo-li yang marah-marah.
“Pergi, kau anjing Bong!” bentaknya sambil mendorong-dorong punggung Bong Kin sehingga terhuyunghuyung
menuju ke pintu gerbang perkampungan Ban-hwa-pang.
Setelah keluar dari pintu gerbang, duabelas orang pengawal segera menyambut dan mereka merasa kaget
dan heran melihat Bong Kongcu keluar terhuyung-huyung, mukanya bengkak-bengkak dan kedua ujung
mulutnya berlepotan darah. Mereka juga melihat betapa seorang gadis cantik dengan mata mencorong
muncul dan memaki Bong Kongcu, mengusirnya.
“Pergi kamu, jahanam busuk!”
Melihat selosin orang pengawalnya, bangkit semangat Bong Kongcu. Dia bukan seorang pemuda hartawan
yang biasa bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi baru saja dia dihina dan ditampar Hwe-thian Mo-li
padahal dia tidak merasa bersalah. Maka tentu saja hatinya menjadi panas dan sakit. Kini dia berkata
kepada para pengawalnya.
“Perempuan itu telah menghina dan memukulku. Kalian balaskan sakit hatiku ini!”
Mendengar perintah Bong Kongcu, selosin orang pengawal tukang pukul itu serentak maju mengepung
Siang Lan. Mereka tadi memang sudah mendongkol karena tidak diperbolehkan memasuki perkampungan
itu. Kini melihat majikan mereka disakiti dan mereka menerima perintah untuk membalaskan, kemarahan
mereka ditumpahkan kepada gadis yang memaki dan mengusir Bong Kongcu. Akan tetapi karena yang
mereka hadapi itu seorang gadis cantik, mereka kini berlumba untuk meringkusnya agar dapat mereka
serahkan kepada Bong Kongcu, biar majikan mereka itu sendiri yang menghukumnya.
Melihat betapa selosin orang itu mengepungnya lalu menjulurkan tangan seolah hendak berlumba
menangkapnya, Siang Lan menjadi marah sekali. Tubuhnya berkelebat, kedua tangannya menamparnampar
dan kedua kakinya menendang-nendang. Akibatnya, selosin orang itu mengaduh dan tubuh mereka
berpelantingan disambar tamparan atau tendangan.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Dua belas orang tukang pukul itu terkejut bukan main, akan tetapi juga marah dan penasaran sekali. Sambil
meringis kesakitan mereka bangkit dan mencabut senjata golok mereka. Pada saat itu, belasan orang
wanita anggauta Ban-hwa-pang keluar dari pintu gerbang dengan senjata di tangan. Mereka adalah tiga
regu yang bersenjata tombak, golok, dan pedang masing-masing lima orang.
Agaknya mereka hendak maju menghadapi selosin tukang pukul yang sudah mencabut golok mereka itu.
Akan tetapi Siang Lan yang tahu benar bahwa para anggautanya belum pandai dan kuat benar, tidak ingin
melihat mereka terluka. Maka ia dengan nyaring berseru.
“Kalian diam dan..... lihat saja betapa aku menghajar anjing-anjing jantan ini!”
Mendengar seruan ini, tentu saja limabelas orang anggauta Ban-hwa-pang itu tidak berani membantah dan
mereka lalu berdiri di luar pintu gerbang dengan tertib.
Siang Lan yang sudah menjadi marah sekali mengingat akan nasib Li Ai yang ditolak dan dipermalukan
Bong Kin, melihat betapa duabelas orang anak buah pemuda hartawan itu mengepungnya dengan golok di
tangan, ia cepat mencabut Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar kilat mengerikan. Akan tetapi sebelum
ia bergerak, pada saat itu ia mendengar suara berbisik.
“Hwe-thian Mo-li, tidak baik membunuhi mereka yang hanya melakukan perintah majikan mereka!”
Siang Lan terkejut. Suara itu berbisik dekat sekali dengan telinga kirinya. Ia cepat menengok ke kiri namun
tidak tampak ada orang yang berbisik itu!
Melihat gadis yang sudah mgncabut pedang itu kini tampak seperti bimbang atau bingung, duabelas orang
tukang pukul mengira bahwa ia merasa jerih menghadapi mereka. Hal ini membesarkan hati mereka dan
sambil berteriak-teriak mereka pun langsung menyerang dari sekeliling Siang Lan. Belasan golok itu
menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuh Siang Lan sehingga limabelas orang anak buah Ban-hwa-pang
yang menonton merasa ngeri karena bagaimana mungkin ketua mereka dapat lobos dari serangan
duabelas batang golok itu?
Akan tetapi, tentu saja bagi Siang Lan, serangan selosin batang golok itu bukan merupakan bahaya karena
ia melihat betapa golok-golok itu digerakkan oleh tenaga kasar yang hanya mengandalkan otot. Ia segera
memutar pedangnya dengan putaran yang luar biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya sinar kilat
bergulung-gulung menyelimuti tubuh Siang Lan.
Segera terdengar bunyi berdencingan ketika golok-golok yang menyerang itu, bertemu dengan sinar kilat,
disusul teriakan mereka yang tiba-tiba kehilangan golok mereka yang patah-patah dan terpental lepas dari
tangan mereka. Hwe-thian Mo-li sudah menggerakkan pedang dan kalau saja pada saat itu tidak terdengar
lagi bisikan. “Jangan bunuh!?' tentu pedangnya sudah membuat buntung leher selosin orang pengeroyok
itu.
Entah mengapa, suara bisikan itu amat berwibawa baginya dan Siang Lan menahan serangan pedangnya,
kemudian hanya menggerakkan tangan kiri dan kaki berulang-ulang. Untuk kedua kalinya, kini lebih kuat
lagi, mereka terpelanting roboh disambar tamparan atau tendangan!
Duabelas orang itu kini kehilangan nyali mereka. Selain tamparan atau tendangan yang mereka terima
untuk kedua kalinya ini membuat mereka patah tulang atau bengkak-bengkak, juga mereka kini baru
menyadari benar bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang amat lihai. Mereka lalu teringat
akan kabar bahwa Ban-hwa-pang telah terbasmi dan dikuasai oleh seorang wanita lihai yang berjuluk Hwethian
Mo-li. Tentu inilah orangnya!
Kini Siang Lan dengan pedang di tangan menghampiri Bong Kongcu yang berdiri dengan wajah pucat.
Pemuda ini maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia tidak takut.
“Hwe-thian Mo-li, engkau mengandalkan kepandaian silatmu untuk menghina kami yang datang sebagai
tamu!”
“]ahanam Bong! Engkau masih berani mengeluarkan ucapan menyalahkan aku? Engkau yang telah
menghina Li Ai dan engkau yang harus minta ampun, atau aku akan memenggal batang lehermu!”
“Aku tidak bersalah apa-apa!”
“Tidak mengaku salah? Engkau telah menghina Li Ai!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Siapa menghina? Aku tetap mencintanya dan mau membawanya ke rumahku sebagai selir tersayang. Aku
tidak dapat memperisterinya karena keadaannya. Aku tidak menghinanya, akan tetapi engkau yang telah
menghinaku, memukul aku dan orang-orangku. Engkau sewenang-wenang hwe-thian Mo-li!”
“Jahanam busuk!” Siang Lan marah sekali dan ia mengangkat pedangnya untuk membacokkan ke leher
pemuda hartawan itu.
Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang laki-laki telah berdiri di dekat
Siang Lan dan dia menahan lengan Siang Lan yang memegang pedang sehingga gadis itu tidak dapat
membacokkan pedangnya ke arah leher Bong Kongcu. Siang Lan terkejut sekali dan diam-diam ada
perasaan girang dan juga penasaran ketika mengenal bahwa laki-laki itu adalah orang yang telah menolong
ia dan Li Ai ketika dikeroyok orang-orang Pek-lian-kauw!
Ia merasa girang karena memang ia ingin berguru kepada orang ini, dan ia merasa penasaran karena orang
itu kini menahan lengannya yang hendak membunuh Bong Kongcu. Ia mengerahkan tenaga saktinya dan
menggerakkan lagi lengan kanannya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu membacokkan pedangnya
karena tangan kiri orang yang menahan lengannya itu kuat bukan main!
Siang Lan adalah seorang gadis yang tidak pernah takut menghadapi siapapun juga. Kini ia merasa amat
penasaran dan marah. Tangan kirinya lalu bergerak mendorong ke arah dada laki-laki yang menghalangi
niatnya membunuh Bong Kin.
“Wuut...... plakk!” Telapak tangannya bertemu dada orang itu dan menempel, akan tetapi yang didorongnya
itu sama sekali tidak terdorong dan ia bahkan merasakan betapa telapak tangan kirinya menjadi panas
seperti dibakar!
“Tidak perlu membunuh, dia tidak cukup pantas untuk dibunuh!” kata laki-laki itu dan kini dia melepaskan
tangannya dari lengan Siang Lan, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Bong Kin.
“Engkau pemuda yang tidak menghargai wanita, memandang rendah wanita yang tidak berdaya. Pergilah
dan bawa semua anak buahmu dari sini!”
Orang itu mendorong dari jarak jauh dan tubuh Bong Kin melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup
angin, lalu terbanting jatuh terguling-guling. Beberapa orang anak buahnya yang tidak begitu parah segera
menolong dan memapahnya, lalu mereka semua meninggalkan tempat itu dengan terpincang-pincang dan
saling menolong untuk naik menunggangi kuda mereka.
Kini Siang Lan berhadapan dengan laki-laki itu yang bukan lain adalah Sie Bun Liong. Semenjak terjadi
peristiwa di Ban-hwa-pang, yaitu setelah di luar kesadarannya dia memperkosa Hwe-thian Mo-li, Sie Bun
Liong yang merasa berdosa dan amat menyesal itu tidak pernah meninggalkan Hwe-thian Mo-li. Mula-mula
dia menggunakan topeng, mengaku bernama Thian-te Mo-ong, memberi semangat hidup kepada gadis itu
agar tetap hidup dan memperdalam ilmunya sehingga kelak dapat membalas dendam dan membunuh
Thian-te Mo-ong yang mengaku sebagai pelaku pemerkosaan itu.
Kemudian, Sie Bun Liong tidak pernah meninggalkan Hwe-thian Mo-li, selalu membayanginya dan dia
selalu menolong kalau gadis itu terancam bahaya. Sekarang pun dia muncul, bukan untuk melindunginya,
melainkan untuk mencegah gadis itu melakukan pembunuhan dengan kejam.
“Kenapa engkau dulu menolong aku dari pengeroyokan orang-orang Pek-lian-kauw? Bukankah engkau pula
yang dulu mengobatiku ketika aku pingsan?”
Sie Bun Liong menjawab tenang. “Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang
terancam bahaya dan menderita kesusahan.”
“Akan tetapi mengapa engkau sekarang menentangku dan menghalangi aku membunuh pemuda Bong
yang berengsek bersama anak buahnya itu?”
“Yang kutentang adalah kekejamanmu akan membunuh orang-orang yang sudah tidak berdaya, dan sudah
menjadi kewajiban setiap orang untuk mengingatkan sesamanya yang tersesat.”
Siang Lan merasa heran terhadap dirinya sendiri mengapa ia tidak menjadi marah dan tidak merasa benci
terhadap orang yang telah menghalangi niatnya membunuh Bong Kongcu dan anak buahnya tadi. Mungkin
karena aku mengharapkan dia akan membantunya memperdalam ilmu silatku, pikirnya menghibur diri
sendiri.
“Aku telah berhutang budi kepadamu, Paman. Bolehkah aku mengetahui namamu?” tanya Siang Lan.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Sie Bun Liong tersenyum mendengar gadis itu menyebutnya paman. Memang sudah sepatutnya kalau dia
menjadi paman gadis itu. Usianya sudah empatpuluh dua tahun sedangkan Hwee-thian Mo-li yang liar dan
ganas itu paling banyak berusia duapuluh dua atau duapuluh satu tahun!
“Tentu saja boleh, Nona. Namaku sendiri aku sudah lupa karena tidak kupergunakan lagi. Maka engkau
boleh mengenalku sebagai Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama).”
“Paman Bu-beng-cu, aku adalah Hwe-thian Mo-li, ketua dari Ban-hwa-pang. Karena Paman sudah berkalikali
menolongku, maka kupersilakan Paman memasuki perkampungan kami karena aku ingin
membicarakan sesuatu denganmu. Silakan, Paman.”
Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Nona. Ban-hwa-pang kini merupakan perkumpulan wanita,
bagaimana aku boleh memasukinya? Kalau engkau mempunyai kepentingan untuk dibicarakan denganku,
kita dapat bicara di sini saja.”
Siang Lan menoleh kepada belasan orang anak buah Ban-hwa-pang yang masih berdiri di depan pintu
gerbang dan memberi isyarat kepada mereka agar masuk kembali ke dalam perkampungan Ban-hwa-pang.
Setelah mereka semua masuk, ia menghadapi lagi Bu-beng-cu dan berkata sambil menatap wajah laki-laki
itu.
“Begini, Paman Bu-beng-cu. Aku telah melihat ilmu kepandaian silat Paman yang amat tinggi. Karena itu,
sejak Paman membantuku, telah timbul niat dalam hatiku untuk dapat belajar ilmu silat darimu. Demikianlah,
Paman, aku ingin berguru padamu jika Paman tidak berkeberatan.”
Bu-beng-cu mengangguk-angguk. “Hwe-thian Mo-li, engkau adalah seorang wanita yang telah memiliki ilmu
kepandaian silat yang amat tinggi dan kukira jarang ada musuh yang dapat mengalahkanmu. Kenapa
engkau masih hendak belajar silat lagi?”
“Paman Bu-beng-cu, aku harus memperdalam ilmu silatku karena aku mempunyai seorang musuh besar
yang tinggi sekali ilmu silatnya. Tanpa memperdalam ilmuku, tak mungkin aku dapat membalas dendam
terhadap musuh besarku itu. Karena itu, Paman, janganlah kepalang menolongku. Terimalah aku sebagai
muridmu dan aku selamanya akan merasa berterima kasih sekali kepadamu!”
“Hemm, Hwe-thian Mo-li, melihat kesungguhan hatimu, aku tidak keberatan untuk mengajarkan ilmu silat
untuk memperdalam ilmumu. Akan tetapi aku baru mau mengajarmu kalau engkau dapat memenuhi syaratsyaratnya.”
“Aku akan melakukan apa pun yang menjadi syaratnya, Paman Bu-beng-cu!” kata Hwe-thian Mo-li dengan
sungguh-sungguh karena baginya, tujuan utama sisa hidupnya hanya untuk membalas dendam dan
membunuh Thian-te Mo-ong!
“Syarat pertama adalah bahwa aku tidak mau kausebut guru karena aku sejak dulu tidak berkeinginan
mengambil murid. Sebut saja aku Bu-beng-cu, tanpa embel-embel Suhu, dan engkau tidak boleh
memberitahukan siapa pun bahwa engkau muridku.”
05.13. Persyaratan Belajar Ilmu Silat
“AKAN kulaksanakan syarat itu, Paman, sungguhpun syaratmu ini aneh. Baik, aku akan selalu menyebutmu
Paman Bu-beng-cu.”
“Syarat kedua, aku tidak mau tinggal di dalam perkampungan Ban-hwa-pang karena sebagai seorang lakilaki,
tidak pantas tinggal di perkampungan wanita. Aku tinggal di dalam guha di lereng sebelah utara sana.
Kalau engkau belajar ilmu, engkaulah yang harus datang ke sana setiap hari di waktu matahari mulai
bersinar. Engkau akan kuberi pelajaran dan latihan sampai siang hari.”
“Baik, Paman. Syarat kedua ini pun akan kutaati dan kulaksanakan dengan baik.”
“Sekarang syarat ketiga dan terakhir, namun aku merasa sangsi apakah engkau akan dapat memenuhi
syarat ini ataukah tidak.”
“Apakah syarat itu, Paman. Kedua syarat pertama amat mudah kulaksanakan dan betapa pun berat syarat
yang terakhir, pasti akan kutaati dan kulaksankan!” kata Siang Lan penuh semangat karena hatinya merasa
girang sekali bahwa laki-laki yang amat lihai ini sudah mau mengajarinya ilmu silat tinggi.
“Syarat terakhir ini harus kaujanjikan dengan sumpah.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Baik, Paman! Aku akan bersumpah. Katakan apa syarat itu!”
“Syaratnya adalah, setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dariku, engkau harus bersumpah kelak tidak akan
melakukan pembunuhan lagi. Selama hidupmu engkau tidak boleh lagi bersikap ganas dan kejam, mudah
membunuh orang!”
Wajah Siang Lan berubah agak pucat alisnya berkerut dan mukanya muram. Ia segera teringat kepada
Thian-te Mo-ong. Justeru ia ingin memperdalam ilmu silatnya agar kelak dapat membunuh musuh besar
yang telah merusak kebahagiaan hidupnya! Biarlah ia selamanya tidak boleh membunuh orang, asalkan ia
mencapatkan ilmu-ilmu untuk membunuh Thian-te Mo-ong!
“Paman, bagaimana kalau aku diserang orang dan terancam bahaya maut di tangan musuh itu?”
“Kalau terpaksa sekali untuk membela diri, tentu saja itu bukan merupakan kekejaman membunuh.
Maksudku kalau masih ada jalan lain engkau sama sekali tidak boleh membunuh orang. Cukup dengan
mengalahkan, merobohkan dan melukai ringan saja. Bagaimana, apakah engkau sanggup? Kalau sanggup,
bersumpahlah sekarang juga!”
Karena merasa tersudut, Siang Lan lalu nekat. Ia berlutut dan mengucapkan sumpahnya. “Aku bersumpah
untuk tidak membunuh orang lagi kecuali membela diri karena terancam bahaya. Sumpah ini berlaku untuk
semua orang di dunia, kecuali satu orang, yaitu Thian-te Mo-ong. Aku bersumpah untuk membunuhnya
karena membalas sakit hati dan membunuhnya merupakan satu-satunya keinginanku dalam hidup ini!”
Mendengar sumpah itu, Bu-beng-cu memandang dengan wajah pucat, alisnya berkerut, matanya tampak
gelisah dan dia menghela napas panjang. “Hwe-thian Mo-li, agaknya engkau tidak dapat mengampuni
musuhmu yang satu itu......”
“Mengampuninya? Hemm, mau rasanya aku membunuhnya sampai seribu kali untuk menebus dosanya
terhadap diriku! Aku menggunakan sisa hidupku ini hanya untuk membalas dendam kepadanya, Paman.
Apa pun akan kujalani untuk dapat berhasil membunuhnya!”
“Baiklah, Hwe-thian Mo-li. Harap engkau memegang sumpahmu, yaitu tidak akan membunuh siapa-siapa
lagi kecuali musuh besarmu yang satu itu.” Dia menghela napas lagi.
Memang sejak terjadi peristiwa jahanam di malam itu, dia sudah mengambil keputusan. Untuk menebus
dosanya, dia harus mati di tangan gadis ini. Akan tetapi sebagai seorang gagah, baik dia sendiri maupun
Hwe-thian Mo-li, kematiannya harus terjadi sewajarnya, yaitu dalam perkelahian. Dan dia sendiri yang akan
melatih gadis ini agar tingkat kepandaiannya cukup kuat untuk mengalahkan dan membunuhnya!
Dengan cara ini, bukan saja dia dapat menebus dosanya, juga dia dapat membuat Hwe-thian Mo-li tidak
putus asa dan memiliki semangat untuk terus hidup dan berjuang. Selain itu, dia juga dapat mengubah sifat
gadis yang tadinya liar dan ganas, mudah membunuh orang itu dengan ikatan sumpahnya. Dengan
mengorbankan dirinya kelak, dia dapat membuat banyak kebaikan, bagi dirinya sendiri, bagi Hwe-thian Moli,
juga bagi rakyat karena mereka kini terbebas dari ancaman maut di tangan Si Iblis Betina Terbang ini.
“Sekarang aku hendak kembali ke guhaku. Mulai besok pagi, setelah matahari tampak bersinar, datanglah
ke sana dan kita mulai latihan.”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Siang Lan, sekali berkelebat Bu-beng-cu telah lenyap
dari situ. Melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebatnya, Siang Lan merasa kagum
dan juga girang sekali. Ia tahu bahwa dalam hal gin-kang ia masih kalah jauh.
Siang Lan kembali ke dalam perkampungan, terus memasuki rumahnya dan ia mendapatkan Li Ai tengah
menangis tanpa suara sambil membenamkan muka pada bantal...... Melihat kedua pundaknya yang
tergoyang-goyang itu Siang Lan tahu bahwa gadis itu sedang menangis.
Ia duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak Li Ai. “Li Ai, hentikan tangismu. Tiada gunanya
menangis. Engkau masih beruntung tidak jadi berjodoh dengan pemuda macam itu.”
Li Ai bangkit dan merangkul Siang Lan, kini tangisnya mengguguk. “Enci Lan...... ahh, kenapa aku tidak mati
saja......??” rintihnya memelas.
Siang Lan dapat merasakan kepedihan di hati Li Ai, maka teringat akan keadaan dirinya sendiri, tak terasa
lagi ia pun balas merangkul dan sepasang matanya basah.
“Tenang, dan sabarlah, Li Ai, jangan putus asa. Engkau tidak menderita seorang diri. Aku pun pernah ingin
mati saja seperti engkau sekarang ini, aku pun pernah menjadi korban kebiadaban laki-laki.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Li Ai tiba-tiba menghentikan tangisnya saking terkejut dan heran mendengar ucapan Siang Lan itu.
“Kau......? Maksudmu...... engkau juga pernah diperkosa orang, Enci?”
Siang Lan mengangguk dan menghela napas panjang. “Benar, Li Ai. Dalam keadaan tertotok dan tidak
mampu bergerak, aku telah diperkosa seorang manusia iblis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.”
“Akan tetapi, engkau begini lihai, bagaimana sampai dapat terjadi hal itu?”
“Aku tertotok, dan orang itu memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dariku. Tadinya aku pun sudah putus
asa dan ingin bunuh diri saja. Akan tetapi aku teringat bahwa aku tidak boleh mati sebelum membalas
dendam, sebelum membunuh musuh besarku itu! Bangkit kembali semangatku dan aku harus
memperdalam ilmuku sehingga dapat mengalahkan musuh besarku.”
“Aih, Enci, sungguh tidak pernah kusangka bahwa engkau pun pernah mengalami malapetaka seperti aku.
Siapakah musuh besarmu itu, Enci?”
“Dia seorang pengecut benar, tidak berani memperlihatkan wajahnya yang selalu mengenakan sebuah
topeng kayu dan dia mengaku berjuluk Thian-te Mo-ong. Belum pernah aku mendengar nama julukan itu di
dunia kang-ouw. Aku tidak dapat mencarinya karena dia tidak mau memberitahukan di mana tempat
tinggalnya. Akan tetapi dia berjanji dengan penuh kesombongan bahwa setiap tahun dia akan datang
mencariku untuk mengadu ilmu.
“Aku akan memperdalam ilmuku dan aku sudah menemukan seorang guru, Li Ai, yaitu laki-laki setengah tua
yang dulu menolong kita melarikan diri ketika dikepung orang-orang Pek-lian-kauw. Dia itu lihai sekali dan
kuharap setelah mendapat gemblengannya, aku akan berhasil membunuh si keparat jahanam pengecut
Thian-te Mo-ong!” Siang Lan bicara penuh semangat sambil mengepal tinju.
Li Ai yang sudah menghentikan tangisnya karena tertarik oleh keterangan Siang Lan tadi, menghela napas
panjang. “Enci, bagaimana pun engkau masih mempunyai semangat hidup karena masih memiliki tujuan,
yaitu membalas sakit hatimu terhadap orang-orang yang telah memperkosamu. Akan tetapi aku, apa artinya
hidup ini? Dua orang yang menghinaku itu telah kaubunuh, dan namaku juga tentu akan tercemar karena
Bong Kin itu tentu akan menyiarkan tentang keadaanku yang sudah ternoda. Semua orang di kota raja akan
mendengarnya. Ah, apa gunanya aku hidup lebih lama?”
“Dia tidak akan berani, Li Ai. Aku sudah menghajarnya habis-habisan, bahkan nyaris membunuhnya. Juga
selosin orang anak buahnya telah kuberi pelajaran keras. Seandainya dia belum jera dan masih menyiarkan
berita tentang dirimu, kelak engkau masih mempunyai banyak kesempatan untuk membalas
penghinaannya!”
“Akan tetapi, apa yang dapat kulakukan terhadap orang she Bong itu, Enci? Aku seorang gadis lemah dan
tak berdaya......”
“Hemm, bukankah aku sudah berjanji untuk mengajarkan ilmu silat kepadamu? Jangan putus asa dan
buang jauh-jauh keinginanmu untuk mati itu. Hidupmu masih kau butuhkan dan dibutuhkan banyak orang.
Kelak, kalau engkau sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, engkau dapat membantuku untuk memberi
hajaran keras kepada para pria yang jahat dan yang menghina kaum wanita. Kita berdua akan malang
melintang di dunia kang-ouw, menjadi pembela kaum wanita dan penentang pria yang suka menghina
wanita.
“Bagaimana pendapatmu? Bukankah itu merupakan tujuan sisa hidup kita yang amat baik? Kita perangi
para pria yang jahat dan kita bangun Ban-hwa-pang menjadi perkumpulan wanita gagah yang melindungi
kaum wanita dari kejahatan laki-laki berengsek seperti Thian-te Mo-ong, dua orang tokoh Pek-lian-kauw
yang sudah mati di tanganku, juga orang-orang macam Bong Kin itu!”
Mendengar ini, bangkit semangat hidup Li Ai. Ia harus dapat melupakan apa yang telah terjadi kepadanya.
Dua orang jahanam yang memperkosanya itu sudah dibunuh Siang Lan, sakit hatinya telah terbalas impas
dan ia tidak perlu memikirkan dua orang musuh besar itu lagi. Adapun tentang kegagalannya berjodoh
dengan Bong Kongcu, hal itu sama sekali tidak membuat ia berduka atau kecewa karena kenyataannya, ia
belum mempunyai perasaan cinta kepada pemuda itu. Hanya sikap dan kata-kata pemuda itu yang
membuat ia merasa terhina.
“Biarpun Bong Kongcu telah dihajar oleh Siang Lan, namun pemuda yang menghinanya itu masih hidup.
Siang Lan benar, harus mempelajari ilmu silat. Kalau ia sudah kuat dan tangguh ia akan menghajar semua
laki-laki macam dua orang tosu Pek-lian-kauw, Bong Kin, dan semua hidung belang mata keranjang yang
menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa)! Sisa hidupnya kini mempunyai tujuan!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Demikianlah, mulai hari itu, setiap pagi sekali Siang Lan keluar dari perkampungan Ban-hwa-pang untuk
menerima gemblengan ilmu dari Bu-beng-cu. Pertama-tama, Bu-beng-cu mengajarkan ilmu untuk
memperkuat gin-kangnya hingga gerakannya menjadi semakin ringan dan makin cepat.
Setelah pada siang harinya ia kembali ke perkampungan, Siang Lan melatih ilmu silat kepada Li Ai yang
belajar dengan tekun sekali. Juga para anak buah Ban-hwa-pang menerima latihan agar mereka menjadi
lebih kuat. Pekerjaan semua wanita di Ban-hwa-pang mulai dari ketuanya sampai kepada anak buahnya
yang tingkatnya paling rendah, setiap hari hanya berlatih ilmu silat.
Harta yang dibawa Li Ai dari rumah ayahnya amat bermanfaat bagi Ban-hwa-pang. Perkampungan itu
dibangun, dan atas petunjuk Siang Lan dan Li Ai lembah itu ditata dan diperbaiki, tumbuh-tumbuhan bunga
beraneka macam itu diatur rapi sehingga lembah itu tampak semakin asri dan pantaslah kalau dinamakan
Lembah Selaksa Bunga.
Lembah yang luas itu dibentuk seperti sebuah taman bunga yang indah, dengan bangunan kecil-kecil
mungil, beranda-beranda yang dicat beraneka warna di dekat empang-empang ikan dan bunga teratai. Di
beranda-beranda itu digantungi lampu-lampu sehingga kalau malam tiba, lampu-lampu dengan selubung
beraneka warna itu menambah indah taman atau lembah itu. Di bagian lain dari lembah itu ditanami
tumbuh-tumbuhan obat dan ada pula bagian taman yang-liu (semacam cemara) yang mendatangkan
suasana sejuk.
Karena setiap hari hanya berlatih ilmu silat dan juga melatih Li Ai dan para anak buah Ban-hwa-pang, maka
Siang Lan lupa akan waktu. Apalagi karena Bu-beng-cu setiap hari melatih gin-kang sehingga setelah lewat
kurang lebih setengah tahun, gin-kangnya sudah maju pesat dan kini ia bahkan mampu mengimbangi
kecepatan gerakan Bu-beng-cu.
Pada pagi itu, seperti biasa Siang Lan datang ke depan guha yang menjadi tempat tinggal Bu-beng-cu.
Laki-laki itu menyambutnya dengan senyum cerah. Begitu berhadapan, Siang Lan seperti terpesona.
Laki-laki yang melatihnya akan tetapi tidak mau disebut guru itu tampak segar karena rambutnya yang hitam
panjang itu masih basah dan digelung ke atas, diikat pita kuning. Mukanya yang dicukur bersih itu tampak
lebih muda dari usianya yang sudah empatpuluh dua tahun. Pakaiannya yang sederhana namun bersih
tidak menyembunyikan tubuhnya yang sedang namun tegap. Sepasang matanya bersinar lembut mulutnya
tersenyum.
Dalam penglihatan Siang Lan pada saat itu, Bu-beng-cu tampak amat gagah dan menarik hati. Apalagi
mengingat betapa laki-laki ini selain menyelamatkannya dari bahaya juga telah menggemblengnya dengan
sungguh-sungguh walaupun tidak mau disebut sebagai guru. Sikapnya selalu lembut, pandang matanya
mendatangkan ketenangan dalam hatinya dan senyum serta sikapnya terkadang jelas menunjukkan bahwa
Bu-beng-cu menghormati dan menyayangnya.
Dan anehnya, selama setengah tahun lebih ini Bu-beng-cu sama sekali tidak pernah mengajak ia bicara
tentang keadaan diri masing-masing, seolah dia tidak suka menceritakan riwayat hidupnya dan tidak pula
ingin tahu riwayat hidup Hwe-thian Mo-li. Kalau dia bicara, yang dibicarakan tentu soal ilmu mempertinggi
gin-kang yang sedang dilatih Siang Lan!
Pagi ini, Siang Lan sengaja datang lebih pagi daripada biasanya karena ia mengambil keputusan untuk
mengajak Bu-beng-cu bicara tentang riwayat mereka masing-masing agar mereka dapat saling mengenal
lebih baik. Ia merasa berhutang budi kepada Bu-beng-cu dan ingin mempererat persahabatan karena lakilaki
itu tidak mau dianggap guru. Biarlah hubungan guru dan murid ini menjadi hubungan persahabatan
yang lebih akrab, demikian pikirnya.
Akan tetapi begitu mereka berhadapan, sebelum ia dapat mengeluarkan kata-kata, Bu-beng-cu sudah
mendahului menegurnya dengan suara ramah dan senyum tenang dan sabar. “Hwe-thian Mo-li, engkau
datang pagi benar, lebih pagi dari biasanya.”
Siang Lan tersenyum. Ia sering merasa heran sendiri mengapa ia yang biasanya mempunyai perasaan
tidak senang kepada laki-laki, apalagi semenjak cinta pertama terhadap Sim Tek Kun gagal, ia merasa tidak
enak hati dan tidak suka. Rasa suka ini hampir berubah menjadi benci terhadap pria setelah ia mengalami
peristiwa terkutuk menjadi korban perkosaan itu. Akan tetapi mengapa kalau ia bertemu dengan Bu-bengcu,
ia merasa gembira sekali? Hal ini karena ia merasa berhutang budi dan pria yang satu ini memang lain
daripada yang lain.
Biasanya setiap ia bertemu laki-laki, mata mereka itu pasti memandangnya bagaikan seekor anjing
kelaparan melihat daging seolah sinar mata itu menggerayangi seluruh tubuhnya. Akan tetapi sinar mata
Bu-beng-cu ini lain. Selalu lembut tidak pernah terlalu lama mengamati wajahnya, bahkan jarang dapat
dunia-kangouw.blogspot.co.id
bertemu pandang karena laki-laki ini selalu mengelak kalau pandang matanya bertemu dengan pandang
mata Siang Lan.
“Paman Bu-beng-cu, aku memang sengaja datang lebih pagi karena aku ingin lebih dulu membicarakan
sesuatu denganmu sebelum aku mulai terlatih.”
“Hendak membicarakan apakah, Hwe-thian Mo-li? Katakan saja karena hari ini engkau tidak perlu latihan
lagi. Hari ini aku akan menguji sampai di mana kemajuan gin-kangmu selama engkau memperdalamnya
lebih dari setengah tahun.”
“Setengah tahun lebih?” Siang Lan berseru kaget karena selama ini ia seolah telah melupakan waktu.
Setelah ia mengingat-ingat, hari ini tentu sudah setahun lewat sejak musuh besarnya berjanji untuk
menemuinya dan mengadu ilmu! “Kalau begitu, sewaktu-waktu tentu musuh besarku akan muncul
mencariku untuk membuat perhitungan dan mengadu ilmu!”
“Apakah yang ingin kaubicarakan dengaanku?” Bu-beng-cu menunju ke arah batu-batu sebesar perut
kerbau yang terdapat banyak di depan guha besar tempat tinggalnya. Mereka lalu duduk di atas batu,
berhadapan dalam jarak dua tombak.
“Begini, Paman. Te1ah lebih dari setengah tahun kita berhubungan, biarpun bukan sebagai guru dan murid
karena engkau tidak mau kusebut guru, setidaknya sebagai sahabat baik. Aku berhutang banyak budi
kebaikan darimu, akan tetapi kita tidak saling mengenal riwayat masing-masing. Oleh karena itu, aku harap
engkau suka mendengarkan riwayatku kemudian engkau menceritakan riwayatmu kepadaku sehingga
perkenalan ini menjadi semakin akrab. Kalau engkau setuju, aku akan menceritakan riwayatku lebih dulu.
Bagaimana pendapatmu, Paman?”
Bu-beng-cu menghela napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang. “Terserah kepadamu, Nona.”
Siang Lan girang sekali mendengar pria itu tidak merasa keberatan. Maka ia lalu menceritakan riwayatnya
dengan singkat tanpa ragu, akan tetapi tentu saja tidak mau bercerita tentang kegagalan cintanya dengan
Sim Tek Kun, putera pangeran yang menjadi tokoh Kun-lun-pai itu.
“Sejak kecil aku kehilangan Ayah Ibuku. Aku menjadi yatim piatu dan hidup sebatang kara. Dalam usia
sepuluh tahun, aku ditolong dan diambil murid oleh Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu dan dibawa ke Liong-cusan.”
“Hemm, pantas ilmu silatmu tinggi. Aku pernah mendengar nama besar pahlawan bangsa Pat-jiu Kiam-ong
Ong Han Cu,” kata Bu-beng-cu kagum. Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) memang terkenal
sekali sebagai seorang pendekar patriot yang amat lihai ilmu pedangnya, gagah perkasa dan berjiwa
pahlawan.
“Suhu Pat-jiu Kiam-ong yang memelihara, membesarkan dan mendidikku, maka engkau dapat
membayangkan kedukaan dan kemarahanku ketika Suhu dibunuh secara curang oleh lima orang kang-ouw
golongan sesat.”
“Hemm, siapakah mereka?”
“Mereka adalah Leng Kok Hosiang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), Toat-beng Sin-to (Golok
Sakti Pencabut Nyawa) Liok Kong, Hek-wan (Lutung hitam) Yap Cin, Shan-tung Tai-hiap (Pendekar Shantung)
Siong Tat, dan Kim-gan-liong (Naga Mata Emas) Cin Liu Ek. Aku dan Sumoi Ong Lian Hong mencari
lima orang pembunuh Suhu itu dan akhirnya kami berdua dapat membunuh mereka. Sumoi Ong Lian Hong
adalah puteri mendiang Suhu.”
“Kim-gan-liong Cin Liu Ek? Bukankah dia yang tinggal di kota Lun-cong. Akan tetapi sebelum aku tinggal di
sini, aku pernah bertemu dengan pendekar itu dan dia ternyata seorang pendekar bijaksana dan tidak
terbunuh......”
“Benar, Paman. Aku tidak membunuhnya karena ternyata di antara lima orang yang kami sangka
mengeroyok dan membunuh Suhu, ternyata Kim-gan-liong Cin Lu Ek tidak ikut membunuhnya dan dia tidak
bersalah.”
05.14. Agama, Obor Di Lorong Gelap!
Bu-beng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus sekali, kebijaksanaanmu itu sebaiknya ditingkatkan
dengan tidak melakukan pembunuhan, Hwe-thian Mo-li. Biarpun ada yang bersalah kepadamu, sebaiknya
dunia-kangouw.blogspot.co.id
engkau hanya memberi pelajaran kepadanya agar orang itu menyadari kesalahannya dan bertobat. Orang
yang melakukan perbuatan jahat ada seorang yang sedang sakit, bukan jasmaninya melainkan sakit
rohaninya. Penyakit itu dapat sembuh dan orang yang sehat pun sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit.
Orang sesat mungkin saja bertobat dan menjadi baik, seperti kemungkinan orang baik-baik tergoda dan
melakukan perbuatan jahat. Kita sama sekali tidak berhak membunuh orang.”
“Akan tetapi, seperti sumpahku, Paman, aku tidak akan membunuh orang lagi kecuali yang seorang itu,
musuh besarku Thian-te Mo-ong.”
Kembali Bu-beng-cu menghela napas panjang. “Terserah kepadamu, engkau tentu memiliki alasan kuat
untuk berkeras membunuhnya. Lanjutkan ceritamu.”
“Aku selalu menentang kejahatan dan terhadap para penjahat itu aku tidak pernah memberi ampun dan
bertindak tegas dan keras sehingga para kaum sesat di dunia kang-ouw memberi julukan Hwe-thian Mo-li
kepadaku. Aku tidak peduli akan julukan Iblis Betina, karena aku memang ganas seperti iblis terhadap kaum
sesat.
Pada suatu hari, aku jatuh pingsan di lereng Ban-hwa-san ini, aku ditangkap oleh Ketua Ban-hwa-pang dan
dikeram dalam sebuah kamar dalam keadaan tertotok. Aku tidak berdaya dan pada malam harinya......
muncul...... Thian-te Mo-ong itu...... dia...... menghina aku yang sedang tak berdaya! Karena itulah aku
mendendam kepadanya dan aku bersumpah untuk membalas membunuhnya!
“Setelah jahanam itu pergi dan aku terbebas dari totokan, aku lalu mengamuk. Kubunuh Ketua Ban-hwapang
berikut semua anak buahnya dan aku menguasai Ban-hwa-pang. Kini akulah Ketua Ban-hwa-pang
dan para anggautanya terdiri dari para wanita bekas anak buah Ban-hwa-pang lama. Aku bertemu dengan
engkau yang berkali-kali telah menolongku dan melihat kelihaianmu, aku ingin belajar ilmu silat,
memperdalam ilmuku agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas dendam kepada musuh besarku,
dan juga untuk menghadapi Pek-lian-kauw yang jahat dan yang memiliki banyak orang pandai.”
Siang Lan menghentikan ceritanya dan menatap wajah Bu-beng-cu. Ia merasa heran melihat wajah yang
biasanya cerah itu kini tampak agak muram.
Melihat Bu-beng-cu kini diam saja sambil mengerutkan alis dan menundukkan mukanya, Siang Lan
bertanya. “Paman, bagaimana dengan riwayatmu? Sekarang giliranmu untuk menceritakan riwayatmu
kepadaku.”
Bu-beng-cu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Apakah yang dapat kuceritakan?
Tidak ada suatu yang menarik tentang diriku. Apa yang ingin kauketahui?”
Siang Lan maklum bahwa orang tentu hendak menyembunyikan keadaan dirinya, maka namanya pun
sudah menunjukkan bahwa dia tidak ingin dikenal orang. Hal ini membuatnya penasaran.
“Paman, dengan menggunakan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) engkau seperti menyangkal dirimu
sendiri. Aku ingin mengetahui apakah Paman mempunyai keluarga, isteri atau anak-anak?”
Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Hwe-thian Mo-li, aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup
sebatang kara, hanya hidup berdua dengan bayanganku yang sering kali menggangguku.”
Jawaban yang aneh itu membuat Siang Lan menjadi semakin penasaran. “Apakah Paman tidak pernah
beristeri?”
“Tidak, sejak kecil aku merantau jauh ke barat dan selama ini aku hanya mempelajari ilmu silat.”
“Akan tetapi sikap Paman lembut dan kata-kata Paman teratur seperti seorang sastrawan.”
Senyum yang biasanya menghias mulut orang itu kini muncul sehingga hati Siang Lan merasa tenang. “Aku
suka mempelajari sastra dan aku sudah membaca kitab-kitab suci dari tiga agama, yaitu Hud-kauw
(Buddhism), To-kauw (Taosim), dan Khong-kauw (Confucianism).”
Diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Siang Lan mendengar bahwa Bu-beng-cu tidak
mempunyai keluarga seperti juga dirinya sendiri, dan ia pun heran akan dirinya sendiri mengapa merasa
girang mendengar akan kesendirian laki-laki itu. Kini mendengar bahwa Bu-beng-cu agaknya ahli akan
kitab-kitab tiga agama yang waktu itu memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan dan kehidupan rakyat,
dengan penasaran ia bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Paman, aku melihat betapa semua orang agaknya beragama. Akan tetapi mengapa kejahatan merajalela
dan bahkan mereka yang sudah mengenakan jubah pendeta, mengaku sebagai ahli agama, masih suka
melakukan perbuatan jahat?”
Kini wajah Bu-beng-cu bersinar dan tampak bersemangat setelah Siang Lan bicara tentang agama.
“Hwe-thian Mo-li, jangan heran melihat gejala seperti itu. Yang jahat itu bukanlah agamanya, melainkan
manusianya. Kalau ada seorang manusia mengaku beragama dan dia melakukan perbuatan jahat, maka
dia itu bukanlah seorang beragama, melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku beragama. Agamanya
hanya dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi perbuatannya. Kalau dia benar seorang beragama,
pasti dia tidak mau dan tidak berani melakukan kejahatan karena hal itu dilarang oleh semua agama.
“Demikian pula kalau ada seorang pendeta agama melakukan perbuatan jahat, dia hanya seorang manusia
yang palsu dan menggunakan pakaian pendeta dan agamanya sebagai kedok belaka. Agama merupakan
pelajaran agar manusia menjadi baik dan benar, namun pelajaran itu tidak ada artinya sama sekali kalau
tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Api atau inti semua agama itu terbukti dalam sikap dan
perbuatan sehari-hari, adapun semua upacaranya itu kalau tidak terbukti apinya, hanya menjadi asap dan
abu yang menggelapkan mata dan mengotori keadaan belaka.”
Siang Lan adalah seorang wanita yang cerdas. Biarpun hanya sedikit saja pengetahuannya tentang filsafat
dan agama, namun ucapan Bu-beng-cu itu berkesan dalam hatinya dan ia dapat mengerti maksudnya.
Akan tetapi, juga mendatangkan rasa penasaran dalam hatinya yang mendorongnya ingin mengetahui lebih
banyak lagi.
“Paman, karena demikian banyaknya terdapat orang yang beragama akan tetapi melakukan perbuatan
jahat yang dilarang agamanya, apakah tidak lebih baik kalau manusia tidak beragama saja?”
Bu-beng-cu tertawa.
“Bukan begitu, Nona. Agama merupakan obor bagi manusia yang hidup di dunia ini, dunia yang bagaikan
sebuah lorong yang gelap. Obor itu akan menerangi lorong sehingga kita dapat melihat ke arah mana kita
melangkah, karena ada jalan menuju kepada Thian (Tuhan) yang menjadi Sumber kita, akan tetapi juga ada
jalan yang membawa kita ke jurang dosa dan kehancuran.
“Agama sebagai obor itu memang amat penting dan setiap orang seyogianya memegang obor masingmasing
agar jangan salah jalan. Akan tetapi, apakah artinya obor bernyala di tangan kalau kita tidak mau
melangkah ke arah jalan kebenaran. Apa artinya semua pelajaran keagamaan kita pelajari dan kita hafalkan
kalau tidak kita laksanakan dalam hidup ini? Jadi, agama baru bermanfaat kalau kita amalkan sesuai
dengan ajarannya.
“Sebaliknya, kalau orang tidak beragama, bagaikan berjalan dalam lorong gelap tanpa mempunyai obor
penerangan, dia sudah tersesat atau jatuh tersandung. Memiliki obor tanpa melangkah atau tidak
memegang obor penerangan sama sekali, sama buruknya. Yang benar adalah membawa obor yang
menerangi jalan hidup sambil melangkah atau memiliki agama sambil mengamalkan pelajaran agamanya.”
“Ah, kalau aku tidak keliru berpendapat, seorang penjahat yang beragama itu lebih sesat dibandingkan
seorang penjahat yang tidak beragama. Betulkah itu, Paman?”
“Dua-duanya jelas tidak betul karena melakukan kejahatan. Akan tetapi dosa orang yang beragama namun
jahat lebih buruk lagi karena dia mencemarkan kebersihan agama itu sendiri. Ah, sudahlah, Hwe-thian Mo-li,
sekarang tiba saatnya aku menguji gin-kangmu. Mari kita berlumba lari sampai ke puncak bukit itu
mengambil sebuah batu kapur yang hanya terdapat di puncak lalu cepat kembali ke sini.”
Dengan gembira Siang Lan mengangguk dan setelah Bu-beng-cu memberi isyarat, mereka berdua lalu
berkelebat sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya dua sosok bayangan melejit ke arah puncak
bukit. Siang Lan mengerahkan gin-kang yang sudah maju pesat dan kini larinya jauh lebih cepat
dibandingkan setengah tahun yang lalu. Kalau ada orang melihat mereka, tentu akan terkejut dan mungkin
ketakutan, mengira bahwa dua sosok bayangan yang berkelebat itu adalah setan-setan penjaga bukit!
Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat yang selama ini ia pelajari dan latih atas bimbingan dan
petunjuk Bu-beng-cu, yaitu Yan-cu-coan-in (Walet Menembus Awan). Ia mengerahkan seluruh tenaganya
karena ia melihat betapa bayangan Bu-beng-cu juga berlari cepat di sampingnya. Setelah tiba di puncak
bukit, ia menyambar sepotong batu kapur lalu lari seperti terbang lagi, menuruni puncak menuju ke lereng di
mana tadi mereka mulai berlumba lari.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Begitu ia menghentikan gerakannya, ia melihat bahwa Bu-beng-cu juga sudah berhenti dan ternyata mereka
berdua tiba di situ dengan berbareng! Masing-masing memegang sepotong batu kapur. Melihat betapa
kecepatan mereka berimbang, Siang Lan berkata.
“Ah, engkau sengaja mengalah sehingga tidak mendahului aku, Paman Bu-beng-cu!”
Bu-beng-cu tertawa dan tampak wajahnya cerah gembira. “Sama sekali tidak, Hwe-thian Mo-li. Aku tadi juga
sudah mengerahkan seluruh kemampuan, akan tetapi ternyata tidak dapat mendahuluimu, bahkan agak
sukar bagiku untuk menjaga agar tidak ketinggalan. Aku girang sekali karena setelah sekian lama engkau
berlatih dengan tekun, hari ini tampak hasilnya. Kiraku sekarang jarang ada orang yang dapat
menandingimu dalam hal kecepatan sehingga julukanmu tepat sekali yaitu Hwe-thian (Terbang ke Langit),
walaupun julukan Mo-li (Iblis Betina) itu kini tidak cocok lagi bagimu. Engkau bukan iblis betina lagi karena
engkau sudah bersumpah untuk tidak sembarangan membunuh orang lagi.”
“Akan tetapi ada kecualinya, Paman, yaitu aku harus membunuh musuh besarku yang satu itu! Paman,
setelah sekarang aku mendapat kemajuan dalam gin-kang, tentu aku akan berhasil membunuhnya. Kalau
tidak salah perhitunganku sekarang sudah lewat setahun dan jahanam itu tentu akan datang menemuiku
sebagaimana yang dia janjikan untuk membuat perhitungan.”
Bu-beng-cu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu sampai di mana kelihaian musuhmu itu, Nona. Akan
tetapi jangan engkau terlalu yakin dulu. Memang gin-kangmu sudah maju pesat dan kiranya akan sulit bagi
musuhmu itu untuk mengalahkan kecepatan gerakanmu. Akan tetapi, dalam sebuah pi-bu (pertandingan
silat) bukan hanya kecepatan gerakan yang menentukan walaupun kecepatan itu tentu saja merupakan
bagian penting. Selain gin-kang, engkau harus lebih unggul dalam ilmu silat dan tenaga sakti. Berhatihatilah
kalau engkau bertemu dengan musuh besarmu.”
“Akan kuperhatikan nasihat Paman.”
“Nah, hari ini kunyatakan bahwa engkau telah lulus dalam pelajaran memperkuat gin-kangmu, Hwe-thian
Mo-li. Mudah-mudahan engkau akan mendapatkan manfaat dari pelajaran ini dan aku akan merasa
berbahagia sekali kalau engkau dapat memegang sumpahmu untuk tidak membunuh orang, juga kalau
mungkin menghilangkan dendammu dan keinginanmu untuk membunuh orang yang kau anggap sebagai
musuh besar itu. Aku sekarang hendak melanjutkan pertapaanku sini dan tidak ingin diganggu. Kecuali
kalau ada urusan penting sekali, harap jangan ganggu aku lagi.”
Siang Lan memberi hormat dan berkata dengan nada terharu. “Paman telah mengorbankan waktu
pertapaan Paman, sudah berulang kali menolongku, aku mengucapkan banyak terima kasih dan selama
hidupku aku tidak akan melupakan kebaikan Paman Bu-beng-cu.”
“Pulanglah, Nona, dan jaga dirimu baik-baik,” kata Bu-beng-cu, suaranya juga tergetar karena dia merasa
terharu pula mendengar suara gadis itu begitu menyentuh perasaannya.
“Engkau juga, jaga dirimu baik-baik, Paman. Selamat tinggal.” Setelah berkata demikian, Siang Lan
berkelebat dan lenyap dari depan guha tempat pertapaan Bu-beng-cu itu.
Setelah Siang Lan pergi jauh, Bu-beng-cu kini menghela napas panjang dan pandang matanya ditujukan ke
langit yang mulai cerah dengan sinar matahari pagi.
“Thian, alangkah pahitnya akibat dari kebodohan dan kelemahanku saat itu. Puji syukur kepadamu, Ya
Tuhan, bahwa Engkau telah memberi kesempatan kepadaku untuk menebus dosaku itu......”
Setelah mengeluarkan ucapan lirih dan sepasang matanya menjadi basah air mata, Bu-beng-cu atau Thiante
Mo-ong atau nama aselinya Sie Bun Liong melangkah perlahan-lahan memasuki guhanya.
Hati Siang Lan yang merasa girang sekali karena kini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu
meringankan tubuh sehingga ia mampu bergerak jauh lebih cepat daripada dahulu sebelum digembleng
oleh Bu-beng-cu. Masih teringat ia betapa dulu ia amat mengagumi kecepatan gerakan Bu-beng-cu. Akan
tetapi sekarang ketika berlumba lari, ia dapat mengimbangi gurunya itu! Ia merasa yakin bahwa kini ia pasti
akan mampu mengalahkan Thian-te Mo-ong dan membunuhnya untuk membalas dendam atas perbuatan
keji yang dilakukan atas dirinya.
Ia merasa lebih gembira lagi karena kini anak buahnya, semua wanita, yang berjumlah kurang lebih
limapuluh orang telah memperoleh kemajuan dalam ilmu silat sehingga mereka merupakan anggauta Banhwa-
pang yang tangguh. Lebih lagi, ia melihat betapa Li Ai ternyata memiliki bakat yang amat baik. Gadis ini
memang cerdik sekali dan didorong oleh sakit hatinya, ia berlatih dengan tekun sehingga setelah lewat
dunia-kangouw.blogspot.co.id
hampir setahun di Lembah Selaksa Bunga, tingkat kepandaian silatnya bahkan telah melampaui tingkat
semua wanita anggauta Ban-hwa-pang.
Melihat gadis yang dahulunya lemah-lembut itu menyukai senjata sepasang pedang, maka Siang Lan
memberi sepasang pedang yang mungil dan indah kepada Li Ai dan mengajarkan Siang-kiam-sut (Ilmu
Sepasang Pedang) di samping ilmu silat tangan kosong. Juga Li Ai sudah mulai diberi pelajaran dasar untuk
menghimpun tenaga sakti.
Belasan hari kemudian, pada suatu pagi Siang Lan sudah bangun dari tidurnya. Kini ia mempunyai
kebiasaan bangun pagi sekali karena biasanya, begitu bangun dan mandi, ia langsung pergi ke lereng di
mana terdapat guha tempat bertapa Bu-beng-cu. Maka, biarpun sekarang ia tidak lagi harus pergi ke sana
seperti yang dilakukan tiap hari selama setengah tahun, ia sudah terbiasa dan pagi hari itu ia sudah mandi
dan duduk di dalam kamarnya.
Tadi ia melamun dengan hati penasaran karena sejak berhenti latihan di depan guha Bu-beng-cu, ia
menunggu-nunggu munculnya Thian-te Mo-ong, musuh besarnya yang dulu pernah berjanji akan
mengunjunginya setiap tahun untuk membuat perhitungan. Ia ingat-ingat dan merasa yakin bahwa
sekaranglah saatnya, setahun telah lewat sejak ia bertanding melawan Thian-te Mo-ong dan kalah. Karena
kesal dan penasaran, Siang Lan kini duduk bersamadhi untuk menenangkan hati dan pikirannya. Jahanam
sombong itu pasti akan muncul, demikian ia menghibur diri sendiri. Segera ia tenggelam ke dalam
samadhinya.
Pada waktu itu seperti kebiasaan mereka setiap pagi sebelum melakukan pekerjaan sehari-hari
membersihkan rumah, taman dan bekerja di kebun sayur dan buah-buahan, limapuluh orang anggauta Banhwa-
pang asyik berlatih ilmu silat di pekarangan depan yang luas dari perkampungan mereka. Li Ai tidak
ketinggalan. Gadis ini yang dahulunya seorang gadis yang lembut, ahli seni tari, musik, nyanyi, juga
mengenal sastra, kini berpakaian ringkas dan ia berlatih silat pedang. Sepasang pedangnya menyambarnyambar
dan karena gerakannya halus indah saking terbiasa menari, maka gerakan silatnya seperti orang
menari.
Para anggauta Ban-hwa-pang juga sibuk latihan sendiri, ada yang berlatih silat tangan kosong, atau dengan
berbagai macam senjata. Mereka latihan dengan sungguh-sungguh dan ternyata tidak percuma Hwe-thian
Mo-li menggembleng anggauta Ban-hwa-pang karena mereka itu rata-rata cukup gesit.
Tiba-tiba terdengar suara tawa parau dan aneh. Ketika Li Ai dan limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwapang
itu menghentikan gerakan mereka dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang
mukanya ditutupi sebuah topeng kayu. Yang tampak hanya empat buah lubang, dua lubang hidung dan dua
lagi di atas untuk mata. Di balik dua lubang di atas itu tampak sinar mata yang mencorong. Karena kedok
atau topeng itulah maka suara tawanya terdengar parau dan aneh.
“Ha-ha-ha! Ban-hwa-pang yang tersohor itu hanya memiliki para anggauta yang begini lemah dan ilmu
silatnya rendah? Sungguh Hwe-thian Mo-li seorang ketua yang tidak becus mendidik, anak buahnya, ha-haha!”
Tentu saja semua anak buah Ban-hwa-pang menjadi marah mendengar suara parau yang mengejek itu.
Didahului oleh Li Ai mereka lalu berlari menghampiri dan mengepung orang bertopeng itu.
Li Ai menudingkan pedang kirinya ke arah muka bertopeng itu dan membentak, akan tetapi tetap saja
suaranya terdengar lembut halus. “Orang asing yang tidak mengenal aturan! Siapakah engkau yang begini
lancang memasuki perkampungan kami yang terlarang bagi kaum pria dan datang-datang menghina ketua
kami?”
“Ha-ha-ha, kalian panggil Hwe-thian Mo-li ke sini menemui aku, ia akan mengenal siapa aku!” kata Si
Topeng Kayu dengan nada suara sombong.
Akan tetapi Li Ai sudah dapat menduga bahwa orang ini pasti bukan seorang sahabat dan bukan orang
baik-baik, maka ia berkata, suaranya lebih tegas. “Engkau sudah melakukan tiga pelanggaran. Pertama,
engkau seorang pria berani masuk ke sini tanpa ijin. Kedua, engkau bersikap pengecut dengan
menyembunyikan mukamu di balik topeng, dan ketiga, engkau telah bersikap dan bicara dengan kasar
menghina ketua kami. Karena itu, kami minta engkau segera pergi meninggalkan perkampungan kami!”
“Hemm, Nona, kalian mau berbuat apa kalau aku tidak mau pergi sebelum bertemu dengan Hwe-thian Moli?”
Hati Li Ai menjadi semakin panas karena nada suara orang bertopeng itu jelas mengandung ejekan dan
tantangan!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk mengusirmu!”
“Ha-ha-ha, begitukah? Ingin aku melihat bagaimana kalian dapat mengusirku!” tantang Si Topeng Kayu.
Karena marah mendengar Siang Lan diejek, Li Ai lalu menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang
laki-laki bertopeng itu. Laki-laki itu adalah Thian-te Mo-ong dan melihat serangan gadis yang masih dangkal
dan mentah ilmu silatnya ini, dia tertawa mengejek dan dengan mudah dia mengelak sehingga serangan
sepasang pedang di tangan Li Ai tidak mengenai sasaran. Akan tetapi kini semua anak buah Ban-hwa-pang
maju mengeroyoknya!
Thian-te Mo-ong masih tertawa-tawa dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini seperti bayangan iblis.
Limapuluh orang anggauta Ban-hwa-pang itu terus mengejarnya sambil berteriak-teriak, seperti sekumpulan
anak-anak hendak menangkap seekor burung yang amat gesit. Kalau saja laki-laki bertopeng itu
menghendaki, dengan mudah dia tentu akan dapat merobohkan limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwapang
itu karena kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong. Akan
tetapi agaknya orang bertopeng itu tidak mau mencelakakan mereka.
05.15. Belajar Lagi Sepuluh Tahun!
Bagaimanapun juga dia merasa kerepotan dikeroyok puluhan wanita muda. Dia merasa ngeri sendiri dan
tiba-tiba bayangan tubuhnya melayang ke atas dan tahu-tahu dia telah berada di atas wuwungan rumah!
Para anggauta Ban-hwa-pang hanya dapat mengacung-acungkan senjata ke arahnya tanpa dapat
melakukan pengejaran.
“Ha-ha-ha-ha! Hayo siapa berani mengejar ke sini?” Thian-te Mo-ong tertawa menantang dengan suara
mengejek.
Tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring disusul berkelebatnya bayangan Hwe-thian Mo-li yang
melayang keluar dari dalam rumah. Ia terkejut dan sadar dari samadhinya ketika terdengar teriakan-teriakan
anak buahnya di luar.
Ketika ia mendengar tawa dan ejekan Thian-te Mo-ong, segera ia mengenal siapa yang bersuara parau dan
aneh itu. Musuh besarnya telah datang! Maka sambil mengeluarkan teriakan melengking ia melompat
keluar lalu memandang ke atas wuwungan rumah dengan wajah berubah merah dan sinar matanya
mencorong penuh kemarahan dan kebencian.
“Keparat jahanam Thian-te Mo-ong! Bagus kamu datang mengantarkan nyawamu ke sini!” Siang Lan
mencabut Lui-kong-kiam yang ditudingkannya ke arah muka bertopeng itu.
“Ha-ha-ha, Hwe-thian Mo-li, apakah engkau hendak mengeroyok aku bersama puluhan orang anak buahmu
itu?”
Siang Lan merasa dalam dadanya seperti dibakar. “Iblis busuk! Aku bukan pengecut macam kau!” Lalu ia
menoleh dan membentak para anggauta Ban-hwa-pang. “Hayo kalian mundur dan jangan sekali-kali
mencampuri pertandingan antara aku dan jahanam busuk bertopeng itu!”
Li Ai memberi isyarat kepada semua orang untuk menjauhkan diri dan menyimpan senjata masing-masing.
“Ha-ha-ha, bagus! Akan tetapi tetap saja aku tidak sudi bertanding di sini. Kalau engkau bukan jago
kandang, hayo kejar aku dan kita bertanding mengadu nyawa di luar perkampungan ini!”
Setelah berkata demikian, Thian-te Mo-ong lalu melayang turun dari atas wuwungan langsung saja dia
berlari cepat sekali keluar dari perkampungan Ban-hwa-pang.
“Bangsat busuk, engkau hendak lari ke mana?” Siang Lan memaki dan cepat melakukan pengejaran,
mengerahkan seluruh kekuatan gin-kangnya yang kini telah meningkat jauh.
Li Ai dan para anak buah Ban-hwa-pang hanya melihat dua bayangan berkelebat cepat ke arah pintu
gerbang lalu lenyap. Li Ai yang mengenal watak baik Siang Lan melarang para anggauta Ban-hwa-pang
untuk melakukan pengejaran dan hanya menanti saja di situ dengan hati tegang. Mereka hanya dudukduduk
bergerombol dan tidak ada semangat lagi untuk berlatih. Mereka semua maklum bahwa orang
bertopeng itu adalah musuh ketua mereka dan kini tentu ketua mereka sedang bertanding mati-matian
dengan musuh yang mereka tahu amat lihai itu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Siang Lan mengerahkan seluruh kecepatan larinya melakukan pengejaran. Akan tetapi musuh besarnya
tetap berada di depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak. Ternyata kecepatan lari mereka seimbang dan
Thian-te Mo-ong juga tidak mampu memperjauh jarak itu. Akhirnya Siang Lan yang marah sekali memungut
dua buah batu sebesar kepalannya dan setelah memindahkan pedang ke tangan kirinya, ia melontarkan
dua buah batu itu ke arah kepala dan punggung Thian-te Mo-ong.
Thian-te Mo-ong ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam. Biarpun ditimpuk dari belakang, dia
mampu mendengar desir angin timpukan itu dan cepat melompat ke samping sehingga dua buah batu itu
tidak mengenai tubuhnya. Dia berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapi Siang Lan sambil tertawa
mengejek.
“Ha-ha-ha-ha! Sebaiknya di sini kita mengadu nyawa, Hwe-thian Mo-li. Jangan mengira bahwa dengan
kecepatan dan sambitan batumu itu aku menjadi gentar!”
“Jahanam busuk Thian-te Mo-ong, bersiapkah untuk mampus di tanganku.”
Siang Lan yang sudah tak dapat menahan kesabarannya lalu menerjang dan menyerang dengan buas dan
dahsyat sekali karena ia menggunakan jurus yang paling ampuh. Ia maklum akan kelihaian lawan maka ia
pun begitu menyerang mengerahkan semua tenaganya!
Menghadapi serangan maut itu, Thian-te Mo-ong cepat mengelak dan dia melompat ke atas, menyambar
sebatang ranting pohon lalu melawan pedang Lu-kong-kiam dengan ranting sepanjang lengan itu! Mereka
saling serang dengan hebatnya karena Siang Lan berusaha mati-matian untuk merobohkan dan membunuh
musuh besar yang amat dibencinya ini. Ia sudah bersumpah di depan Bu-beng-cu bahwa ia tidak akan
membunuh orang lain kecuali Thian-te Mo-ong, maka seluruh kebencian yang berada dalam hatinya
terhadap golongan sesat kini ditimpakan seluruhnya kepada Thian-te Mo-ong.
“Singgg......!” Pedang Lui-kong-kiam meluncur dan berdesing membuat gerakan melingkar-lingkar amat
dahsyatnya. Gadis itu menggunakan jurus Liong-ong-lo-hai (Raja Naga Kacau Lautan). Lui-kong-kiam
berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing menyilauan mata dan
menyakitkan telinga.
“Bagus!” Thian-te Mo-ong yang lihai itu memuji karena memang jurus Liong-ong-lo-hai ciptaan mendiang
Ong Han Cu yang dijului Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) itu dahsyat bukan main. Thian-te
Mo-ong yang memang memiliki tingkat ilmu silat yang sudah tinggi sekali hanya merasa kagum akan tetapi
sama sekali tidak merasa gentar. Dia menghindarkan diri dari serangan maut itu dengan jurus Sian-jinhoan-
eng (Dewa Menukar Bayangan), kemudian membalas dengan totokan-totokan berbahaya dengan
ujung rantingnya.
Mereka bertanding tanpa ada orang lain yang mengetahuinya itu berlangsung selama limapuluh jurus lebih
dan mereka saling serang tanpa ada yang tampak terdesak. Siang Lan merasa penasaran sekali. Selama
setengah tahun lebih ia sudah mendapatkan kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh sehingga
gerakannya jauh lebih cepat dibandingkan dahulu sebelum digembleng Bu-beng-cu.
Dulu saja ia sudah terkenal memiliki gin-kang yang hebat. Gerakannya amat cepat sehingga dunia kangouw
memberinya julukan Iblis Betina Terbang. Setelah kini gin-kangnya meningkat banyak, tetap saja ia
tidak mampu mendesak musuh besarnya.
Dalam pertandingan itu, ia melihat jelas bahwa lawannya juga dapat bergerak cepat sekali dan agaknya
dalam ilmu gin-kang, Thian-te Mo-ong tidak kalah dan dapat mengimbanginya! Gin-kang mereka seimbang,
akan tetapi ia harus mengakui bahwa dalam hal tenaga sakti ia masih kalah kuat, bahkan jauh kalah. Hal ini
terbukti dari senjata mereka.
Ia sendiri memegang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja langka,
biasanya mudah mematahkan senjata-senjata lawan dari besi atau baja. Akan tetapi sekarang, menghadapi
sebatang ranting di tangan musuhnya, pedang itu sama sekali tidak berdaya. Apalagi mematahkannya,
bahkan kalau pedangnya dan ranting itu bertemu keras, telapak tangannya terasa pedas dan pedih. Hal ini
membuktikan bahwa tenaga sakti yang tersalur dalam ranting sungguh amat kuat!
Biarpun ia mulai ragu apakah ia akan mampu mengalahkan dan membunuh musuh besar ini, Siang Lan
tidak menjadi putus asa dan ia mengamuk seperti harimau terluka.
Tiba-tiba Thian-te Mo-ong berseru, “Hwe-thian Mo-li, kalau hanya sebegini kepandaianmu, jangan harap
engkau akan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha!” Tiba-tiba orang berkedok itu berseru nyaring.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Haiiittt......!” Tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka didorongkan ke arah Siang Lan. Gadis ini cepat
mendorong dengan tangan kiri menyambut pukulan jarak jauh itu.
“Wuuuttt...... desss......!!” Tubuh Siang Lan terpental sekitar dua meter ke belakang, akan tetapi ia dapat
berjungkir balik membuat salto sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Ia terkejut dan semakin marah.
Dengan nekat ia menyerang lagi dengan pedangnya.
“Hyaaaahh......!” Pedang itu menyambar ke arah leher Thian-te Mo-ong. Orang berkedok itu menggerakkan
rantingnya menyambut.
“Tuk!” Pedang bertemu ranting dan melekat!
Ketika Siang Lan mencoba untuk menarik pedangnya, ternyata pedang itu tertahan dan melekat pada
ranting dan pada saat itu, kembali Thian-te Mo-ong menyerang dengan dorongan tangan kirinya. Siang Lan
terkejut dan menyambut dengan tangan kirinya pula.
“Plakk......!” Tubuh Siang Lan terjengkang dan pedangnya terlepas dari pegangannya.
Ia terbanting roboh dan menggulingkan tubuhnya, lalu melompat berdiri lagi. Dadanya terasa sesak dan
pedangnya sudah berada di tangan kiri Thian-te Mo-ong. Hampir saja Siang Lan menjerit dan menangis
saking marah, kecewa, dan malu. Ia menjadi semakin nekat dan dengan tangan kosong ia menerjang lagi!
“Hemm, belajarlah lagi selama sepuluh tahun, baru engkau akan mampu menandingiku, Hwe-thian Mo-li!”
kata orang bertopeng itu dan dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam ke atas tanah di depan Siang Lan.
Pedang menancap sampai dalam dan dia melompat ke belakang sambil tertawa.
“Ha-ha-ha, setahun lagi aku akan datang menemuimu dan kita boleh bertanding lagi, kalau kau berani!”
Kemudian tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ.
Siang Lan yang maklum bahwa ia tidak mampu mengejar karena dalam dadanya masih terasa nyeri,
menjatuhkan diri di dekat pedangnya dan ia menangis! Marah, benci, kecewa, malu, dan penasaran
mengadu dalam hatinya, membuatnya merasa sedih sekali dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil
sambil memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya.
“Jahanam Thian-te Mo-ong, kubunuh kau...... kubunuh kau...., kubunuh kau......!” Ia berteriak-teriak dan
menangis lagi tersedu-sedu. Ia tidak terluka, hanya benturan tenaga dalam tadi mengguncang isi dadanya
karena ia kalah kuat.
Jelaslah bahwa ia kalah karena tenaga sin-kangnya masih jauh dibandingkan lawannya. Tanpa memiliki
tenaga sakti yang lebih kuat, tidak mungkin ia dapat menang melawan Thian-te Mo-ong. Akan tetapi sekali
ini ia tidak putus asa walaupun ia menyesal dan kecewa sekali. Ia bahkan semakin bersemangat. Ia harus
memperdalam ilmunya lagi sampai ia mampu mengalahkan dan membunuh musuh besarnya.
Sementara itu, agak jauh dari situ, Thian-te Mo-ong bersembunyi di balik batang pohon besar dan mengintai
ke arah Siang Lan yang menangis tersedu-sedu sambil memukuli tanah. Dia menghela napas berulangulang,
lalu melepaskan topengnya dan menyembunyikan topeng kayu itu di balik bajunya.
Kini tampak wajah Bu-beng-cu, wajah yang tampak muram dan sedih ketika dia memandang ke arah Siang
Lan. Sepasang matanya dikejap-kejapkan dan dua tetes air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu perlahan-lahan berbisik kepada diri sendiri.
“Aku harus membangkitkan semangatnya, harus mengembalikan harga dirinya. Suatu hari ia akan
mengalahkan aku dan membunuhku. Tidak ada lain jalan untuk membangkitkan semangatnya dan
memulihkan harga dirinya.”
Dia terus mengamati Hwe-thian Mo-li sampai gadis itu menghentikan tangisnya dan pergi dari tempat itu,
kembali ke perkampungan Ban-hwa-pang.
Setelah Siang Lan pergi, barulah Bu-beng-cu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai
oleh Bu-beng-cu. Pakaian yang longgar dengan jubah lebar yang tadi dipakai Thian-te Mo-ong dia gulung
dan dia lalu pergi perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Setibanya di perkampungan Ban-hwa-pang, Siang Lan disambut oleh Li Ai dan para anggauta perkumpulan
itu. Melihat wajah Siang Lan yang muram, para anggauta tidak ada yang berani bertanya walaupun
pandang mata mereka kepada Siang Lan mengandung keinginan tahu tentang laki-laki bertopeng yang
dikejar ketua mereka tadi.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Siang Lan diam saja dan terus memasuki rumah, diikuti oleh Li Ai. Gadis ini juga dapat melihat keadaan
maka ia tidak bertanya apa-apa ketika Siang Lan datang. Akan tetapi setelah mereka berdua memasuki
kamar, Li Ai bertanya dengan hati tegang.
“Bagaimana, Enci? Berhasilkah engkau mengejar penjahat bertopeng tadi? Engkau tentu telah dapat
membunuhnya, bukan?”
Pertanyaan itu dirasakan Siang Lan seperti menusuk hatinya. Ia menahan tangisnya dan menggelengkan
kepalanya.
“Ia masih terlalu kuat bagiku, Li Ai. Aku harus memperdalam lagi ilmuku sampai akhirnya aku mampu
mengalahkannya dan membalas dendam.”
Melihat wajah Hwe-thian Mo-li yang muram dan mendengar bahwa gadis itu gagal membunuh musuh
besarnya, Li Ai tidak berani bertanya lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang Lan sudah keluar dari perkampungan menuju ke lereng di
mana Bu-beng-cu tinggal dalam guha. Ketika ia tiba di situ, ia melihat Bu-beng-cu sudah duduk di depan
guha, di atas batu datar, bersila dan kedua matanya terpejam.
“Paman Bu-beng-cu......” Sian Lan menghampiri dan berlutut di depan gurunya itu.
Bu-beng-cu membuka matanya sejenak dia memandang kepada wajah gadis itu. Kemudian, dia berkata
suaranya terdengar lembut mesra.
“Hwe-thian Mo-li, engkau datang......?”
Mendegar suara laki-laki itu, suara yang menggetar dan penuh keakraban, bahkan terdengar begitu penuh
perhatian dan mesra, Hwe-thian Mo-li tiba-tiba tak dapat menahan isaknya. Ia menangis, menutupi muka
dengan kedua tangannya. Biarpun ia menahan suara tangisnya, namun ia terisak, kedua pundaknya
bergoyang-goyang dan air mata menetes melalui celah-celah jari kedua tangannya.
Bu-beng-cu tentu saja maklum akan penderitaan hati gadis itu. Dia memandang penuh keharuan dan
rasanya ingin dia merangkul dan menghibur gadis itu. Akan tetapi ada perasaan lega dan girang bahwa
Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan kedatangan gadis itu kepadanya menunjukkan bahwa ia tentu ingin
minta bimbingan lebih lanjut dalam ilmu silat.
Dia membiarkan gadis itu menumpahkan perasaannya dalam tangis. Setelah tangis Siang Lan mereda,
barulah dia berkata dengan lembut.
“Hemm, inikah gadis perkasa yang disebut Hwe-thian Mo-li? Sekarang menjadi seorang gadis cengeng
seperti kanak-kanak? Nona, bukan begini sikap seorang gagah. Hapuslah air matamu, hentikan tangismu
dan kita bicarakan permasalahan apa yang membuat engkau sampai menangis seperti ini. Tidak ada
masalah yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi!”
Mendengar ucapan itu, bangkit semangat Siang Lan. Ia mengusap air mata di pipi dengan kedua
tangannya, lalu memandang Bu-beng-cu dengan mata agak kemerahan.
“Paman Bu-beng-cu, aku datang untuk sekali lagi mohon pertolonganmu.”
Bu-beng-cu mengamati wajah itu dengan tajam, lalu berkata. “Engkau tentu tahu bahwa aku selalu siap
untuk membantumu, Nona. Katakan, bantuan apa yang dapat kulakukan untukmu?”
“Paman, kemarin musuh besarku datang memenuhi janjinya. Kami bertanding, aku memang dapat
mengimbangi kecepatannya. Akan tetapi akhirnya aku kalah, Paman. Aku masih jauh kalah kuat dalam sinkang
(tenaga sakti) dan juga ketika dia bersenjata sebatang ranting, dia memainkan ranting itu dengan ilmu
pedang yang aneh dan aku pun tidak mampu menandingi senjatanya yang hanya ranting pohon itu. Paman,
hanya engkaulah yang dapat menolongku. Bimbinglah aku agar ilmu pedang dan tenaga sin-kangku
meningkat sehingga kelak aku akan mampu mengalahkannya. Aku malu, Paman, dan rasanya aku hampir
putus asa......”
“Hwe-thian Mo-li, tidak ada kata ‘putus asa’ bagi seorang gagah! Kalau engkau sungguh-sungguh mau
belajar dengan tekun, bukan hal mustahil engkau akan mampu mengalahkan musuh yang bagaimana
tangguhpun. Akan tetapi, Nona, benar-benarkah engkau hendak membunuh orang yang satu itu? Mengapa
kau mendendam kepadanya? Dendam apakah itu yang membuat engkau ingin membunuhnya?”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Mendapat pertanyaan ini, Hwe-thian Mo-li menundukkan mukanya yang berubah merah. Apa yang harus
dikatakannya? Bagaimana mungkin ia menceritakan tentang aib yang dideritanya kepada orang yang ia
kagumi dan yang telah menolongku berulang kali ini? Ia takut kalau-kalau Bu-beng-cu akan berubah
pandangan terhadap dirinya, akan memandang rendah dan menganggap dirinya kotor. Bukankah Bong Kin
yang tadinya mencinta Li Ai juga berubah pandangan dan menganggap gadis itu tidak pantas menjadi
isterinya setelah Li Ai mengaku bahwa ia telah diperkosa orang?
Baru sekali ini seumur hidupnya Hwe-thi mo-li merasa takut kalau-kalau dipandang rendah dan kotor oleh
seorang laki-laki. Hal ini adalah karena ia menganggap Bu-beng-cu sebagai gurunya, sebagai
pembimbingnya dan sebagai satu-satunya pria yang dikaguminya, terutama sekali sebagai sumber
harapannya. Akan tetapi, iapun tidak mau berbohong kepada Bu-beng-cu.
Ia harus jujur dan terbuka, tidak peduli bagaimana nanti penilaian Bu-beng-cu terhadap dirinya! Ia yang
mengajarkan Li Ai untuk berterus terang mengaku bahwa ia bukan gadis lagi. Apakah sekarang ia sendiri
tidak berani mengakui hal yang sama?
“Paman, Thian-te Mo-ong adalah musuh besarku. Aku mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung
sedalam lautan kepadanya dan aku harus dapat membalas dendam ini dengan membunuhnya!”
“Hemm, Hwe-thian Mo-li, dendam sakit hati itu hanya akan merusak hatimu sendiri, bagaikan api yang akan
membakar perasaanmu. Dosa apakah yang dilakukan Thian-te Mo-ong maka engkau demikian
membencinya dan hendak membunuhnya?”
Bu-beng-cu kini menatap tajam wajah Siang Lan. Pandang mata mereka bertemu dan dengan nekat tanpa
menundukkan pandang matanya Siang Lan menjawab.
“Dia telah memperkosaku!”
Bu-beng-cu yang mengelakkan pandang mata itu. Dia menunduk.
“Hemm, begitukah......?” katanya lirih.
“Paman Bu-beng-cu, setelah Paman mendengar aib yang menimpa diriku, apakah Paman masih mau
menolongku? Apakah Paman masih mau mengajarkan ilmu untuk memperkuat tenaga sakti dan
memperdalam ilmu pedangku?”
“Kenapa engkau bertanya begitu?”
“Karena...... kukira...... Paman akan memandang rendah diriku, menganggap aku kotor dan...... tidak patut
menerima pelajaran dari paman......”
“Ah, mengapa engkau berpikir demikian, Nona? Peristiwa itu terjadi bukan karena engkau sengaja, bukan
kesalahanmu, engkau tidak berdaya. Aku sama sekali tidak memandang rendah padamu, Hwe-thian Mo-li.
Aku...... aku merasa kasihan padamu dan tentu saja aku mau memberikan seluruh kepandaianku kepadamu
kalau hal itu ada artinya bagimu.”
“Ada artinya......? Setelah terjadi peristiwa itu, aku tadinya ingin bunuh diri saja, Paman. Akan tetapi setelah
aku mengetahui siapa pemerkosa itu, aku bersumpah untuk membalas dendam dan membunuhnya.
Kemudian aku berjumpa denganmu, Paman, dan muncul harapan baru dalam hatiku. Aku tidak ingin mati
dulu sebelum dapat membunuh jahanam itu dan agaknya di dunia ini hanya Paman yang akan mampu
membantu aku memenuhi sumpahku.”
06.16. Persekongkolan Jahat Pangeran Bouw
“Aku pasti akan membantumu, Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi mendengar pengakuanmu bahwa engkau
hendak membunuh diri, membuat aku merasa ngeri. Apa artinya bagiku bersusah payah mengajarkan
semua ilmuku kepadamu, kalau akhirnya engkau hanya akan membunuh diri? Bunuh diri merupakan
perbuatan yang paling rendah dan merupakan dosa besar, di samping memperlihatkan sifat pengecut.
“Kita hidup ini bukan atas kemauan kita sendiri, melainkan ada yang menghidupkan. Karena itu, kita tidak
berhak menghentikan kehidupan kita. Yang berhak menghentikan hanyalah Dia yang telah menghidupkan
kita.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Bunuh diri hanya dilakukan oleh seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kehidupan. Apakah
engkau kelak ingin disebut seorang pengecut yang berdosa besar, berdosa dan melakukan sesuatu yang
sama sekali bukan menjadi hakmu? Kalau begitu, aku tidak mau mengajarkan apa-apa lagi kepadamu!”
“Paman Bu-beng-cu, setelah aku bertemu denganmu dan menerima pelajaranmu, juga mendengarkan
semua nasihatmu, aku menyadari bahwa bunuh diri bukan merupakan perbuatan orang gagah. Baik,
Paman, aku akan menambahkan janji dan sumpahku. Pertama, aku tidak akan membunuh diri dan kedua,
aku tidak akan sembarangan membunuh orang kalau tidak terpaksa untuk membela diri. Akan tetapi hanya
satu kecualinya, yaitu aku pasti akan membunuh Thian-te Mo-ong!”
Bu-beng-cu menghela napas lega.
“Sekarang hatiku lega, Hwe-thian Mo-li, karena aku yakin bahwa kelak engkau benar-benar akan menjadi
seorang pendekar wanita yang bijaksana. Nah, marilah kita mulai berlatih. Akan tetapi, untuk melatih agar
sin-kangmu benar-benar kuat, membutuhkan waktu lama, sedikitnya satu tahun. Dan untuk
mengembangkan dan mematangkan ilmu pedangmu, juga membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun.”
“Aku akan belajar dengan tekun, Paman, berapa lama pun sampai akhirnya akan dapat mengalahkan
musuh besarku yang amat lihai itu.”
Demikianlah, mulai hari itu, Siang Lan dengan amat tekun dan penuh semangat mulai menerima
gemblengan lagi dari Bu-beng-cu yang mengajarkan cara menghimpun dan memperkuat tenaga sakti
dengan sungguh-sungguh. Seperti juga dulu, Siang Lan datang ke lereng itu setiap pagi dan pulang setelah
tengah hari. Waktu yang tersisa ia pergunakan untuk mengajarkan ilmu silat kepada Li Ai yang juga
memperoleh banyak kemajuan. Juga para anggauta Ban-hwa-pang tekun mempelajari ilmu silat.
Pada waktu itu, sekitar tahun 1602, Dinasti Beng semakin kehilangan pamornya. Hal ini terjadi karena
banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan dari rakyat di daerah-daerah yang merasa tidak puas
dengan pemerintah. Waktu itu yang menjadi kaisar adalah Kaisar Wan Li (1572-162O) yang sudah berusia
sekitar limapuluh tahun.
Dapat dibilang bahwa seluruh pejabat pemerintah, dari para Thai-kam (Orang Kebiri), pejabat tinggi sampai
yang paling rendah, hampir tidak ada yang jujur. Semua melakukan kecurangan, korupsi dan pemerasan
terhadap rakyat, berlumba-lumba untuk memperkaya diri sendiri. Keadilan hanya digembar gemborkan
belaka oleh para pejabat. Kesejahteraan rakyat juga hanya digambarkan sebagai mimpi, namun kenyatanya
yang sejahtera, bahkan jauh lebih daripada sejahtera, adalah para pejabat dari yang rendah, terutama yang
tinggi.
Para pejabat hidup bermewah-mewah, memborong tanah sampai beratus hektar bersekutu dengan para
pedagang hartawan sehingga mereka hidup berlebihan. Rakyat kecil sama sekali tidak pernah merasakan
apa yang digembar-gemborkan para pembesar tentang kemakmuran. Mereka hidup serba kekurangan,
masih ditekan lagi oleh para pembesar daerah yang bersikap seolah menjadi raja di daerah mereka. Para
petani diwajibkan memberi sumbangan dengan ancaman hukuman kalau menolak. Penindasan dan
pemerasan terjadi di mana-mana sehingga rakyat mulai bersikap tidak setia terhadap pemerintah.
Masih untung bagi kerajaan dinasti Beng bahwa pada saat kerajaan itu tidak populer lagi di mata rakyat dan
di mana pemberontakan-pemberontakan terjadi di utara dan barat, pemerintah mempunyai dua orang
menteri yang setia dan bijaksana. Dua orang menteri itulah yang seolah merupakan tiang penyangga
sehingga pemerintah Kerajaan Beng tidak sampai ambruk.
Yang pertama adalah menteri Yang Ting Ho, menteri yang menjadi penasihat Kaisar Wan Li. Dengan
adanya Menteri Yang Ting Ho, kekuasaan para Thai-kam pejabat sipil dapat dikekang karena setidaknya
mereka takut kepada Menteri Yang Ting Ho yang terkenal jujur, setia dan pemberani. Kaisar yang lemah itu
menaruh rasa hormat yang mendalam terhadap Menteri Yang Ting Ho sehingga semua nasihat Menteri
Yang masih dipercaya dan dipatuhi kaisar.
Yang kedua adalah menteri Chang Ku Cing yang menjadi panglima besar, menguasai seluruh bala tentara
Kerajaan Beng. Panglima yang berusia limapuluh tahun lebih ini bertubuh tinggi tegap, gagah, memelihara
kumis jenggot yang pendek rapi. Dia seorang jantan yang jujur dan setia, berani memberantas segala
kemunafikan dan keburuan para pembesar yang korup.
Dengan adanya dua orang menteri ini, keadaan di kota raja tampak tenteram. Kalau ada kerusuhan, hal itu
terjadi di daerah yang jauh dari kota raja. Panglima Chang Ku Cing selalu siap dengan pasukannya untuk
menghancurkan setiap pemberontakan yang terjadi di daerah kota raja. Adapun urusan pemerintah sipil,
dengan adanya Menteri Yang, di kota raja dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur. Para pejabat hanya
dunia-kangouw.blogspot.co.id
dapat melakukan kegiatan korup mereka secara hati-hati sekali karena sekali saja ketahuan oleh menteri
Yang, mereka pasti dituntut.
Karena dua orang menteri ini merupakan penghalang bagi para pembesar yang suka menyalahgunakan
kekuasaan mereka untuk mengumpulkan kekayaan sebesar-besarnya, maka diam-diam mereka lalu
bersekutu dan mencari seorang yang mereka anggap memiliki cukup kemampuan dan kekuasaan untuk
menghadapi dua orang menteri itu.
Orang yang mereka pilih ini adalah Pangeran Bouw Ji Kong, adik tiri Kaisar Wan Li. Pangeran Bouw ini
beribu seorang puteri kepala suku Hui yang diambil selir oleh Kaisar. Sebagai putera selir, tentu saja dia
tidak mewarisi tahta kerajaan yang kemudian jatuh ke tangan Pangeran Mahkota yang kini menjadi Kaisar
Wan Li.
Biarpun tidak berani berterang, diam-diam Pangeran Bouw Ji Kong menaruh rasa iri kepada Kaisar Wan Li.
Kaisar Wan Li juga memberi kedudukan kepada adik tirinya ini sebagai penasihat kaisar di bidang
hubungan dengan suku-suku bangsa yang berada di luar daerah Kerajaan Beng. Kedudukan ini cukup
tinggi dan karena itu Pangeran Bouw Ji Kong cukup berpengaruh. Bahkan dia berani mengatur
kebijaksanaan para pembesar daerah-daerah perbatasan.
Ketika para pembesar dan hartawan yang sudah bergabung dengan para Thai-kam di istana itu
mendekatinya, tentu saja dia menerima dengan senang. Bagi pangeran Bouw Ji Kong, semakin banyak
orang yang mendukungnya, semakin baik karena bagaimanapun juga, dia sering mengharapkan suatu saat
dapat menggantikan kedudukan kakaknya sebagai kaisar!
Hubungannya dengan para pembesar dan hartawan ini membuat istana tempat tinggal Pangeran Bouw
dibangun dan amat indah, menyaingi istana kaisar sendiri! Pangeran Bouw Ji Kong melihat betapa
banyaknya pembesar yang mendukungnya, menjadi semakin ambisius untuk dapat menguasai tahta
kerajaan.
Untuk memperkuat kedudukannya, maka diam-diam dia mengadakan kontak dengan suku-suku bangsa di
utara, terutama dengan suku bangsa ibunya, yaitu suku Hui dan dengan bangsa Mancu! Ada beberapa
orang perwira tinggi yang menjadi pendukung Pangeran Bouw, di samping banyak pembesar sipil.
Tentu saja mereka semua mengetahui akan ambisi pangeran Bouw untuk berusaha menggulingkan Kaisar
Wan Li dan merampas kedudukannya sebagai kaisar. Mereka itu mendukungnya, dengan janji mendapat
imbalan pangkat tinggi kelak kalau usaha pemberontakan itu berhasil.
Selain itu, juga Pangeran Bouw mempunyai pasukan pengawal sendiri yang cukup kuat. Pasukan pengawal
yang terdiri dari kurang lebih seratus orang ini merupakan pasukan perajurit yang terlatih dan rata-rata
memiliki ilmu silat cukup tangguh.
Mereka pun mengenakan seragam yang megah, dengan ciri khas, yaitu topi berwarna kuning. Di kota raja
pasukan pengawal Pangeran Bouw ini dikenal sebagai Pasukan Topi Kuning!
Yang diserahi pimpinan pasukan ini, juga yang melatih para perajurit pengawal itu dengan ilmu silat andalan
tujuh orang tokoh kang-ouw yang amat terkenal di dunia persilatan. Mereka bertujuh saudara seperguruan
itu di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa dari Kang-lam). Julukan ini
sedikit banyak mendatangkan kejumawaan dalam hati mereka dan mereka merasa seolah menjadi datuk
tanpa tanding, sakti seperti dewa-dewa!
Tujuh jagoan ini dahulunya merupakan murid murid Thian-san-pai, akan tetapi mereka juga mempelajari
berbagai ilmu silat dari aliran lain sehingga mereka tidak lagi menggunakan nama Thian-san-pai sebagai
pusat perguruan mereka. Karena kesombongan mereka, maka para pimpinan Thian-san-pai menyatakan
bahwa mereka bertujuh tidak diakui lagi menjadi murid dan segala sepak terjang mereka bukan tanggung
jawab perguruan itu.
Kang-lam Jit-sian terdiri dari tujuh orang laki-laki yang sampai saat itu belum berkeluarga walaupun usia
mereka sudah setengah tua. Yang pertama bernama Ji Gan, berusia limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar
dengan muka persegi penuh berewok. Senjata andalannya adalah sebuah tombak berkepala naga. Orang
kedua bernama Lui Kok, berusia empatpuluh delapan tahun, tubuhnya gemuk pendek tampak bundar,
mukanya yang bulat itu tampak kekanak-kanakan, akan tetapi dia ini tidak boleh dipandang ringan karena
senjata andalannya berupa golok besar dan berat amat berbahaya.
Yang ketiga bernama Pui Song, tinggi besar bermuka hitam seperti arang dan senjata andalannya adalah
siang-kiam (sepasang pedang). Yang keempat bernama Pui Seng, adik dari Pui Song, tinggi kurus dengan
dunia-kangouw.blogspot.co.id
muka pucat dan senjatanya juga sepasang pedang. Pui Song berusia empatpuluh tujuh tahun sedangkan
adiknya, Pui Seng, berusia empatpuluh lima tahun.
Kemudian yang kelima bernama Lo Kwan, usianya empatpuluh tiga tahun, bertubuh sedang mukanya
berbentuk mirip monyet dengan hidung pesek dan bibir tebal, senjatanya adalah siang-to (sepasang golok).
Orang keenam berusia empatpuluh dua tahun bertubuh sedang dan mukanya tidak lebih baik dari Si muka
monyet Lo Kwan karena To Pan ini kulit mukanya penuh lubang-lubang burik atau bopeng (bekas penyakit
cacar).
Orang terakhir atau yang ketujuh berusia empatpuluh tahun, bertubuh sedang dan dia inilah yang paling
enak dipandang di antara mereka bertujuh karena Gu Mo Ek ini yang berkulit putih bersih memiliki wajah
yang tampan. Senjata andalannya juga sebatang pedang.
Dengan adanya Kang-lam Jit-sian ini maka Pasukan Topi Kuning merupakan pasukan pengawal yang amat
kuat karena para anggautanya dilatih oleh mereka. Juga pasukan ini mengenakan pakai seragam yang
mewah gemerlapan, hingga tampak gagah dan mentereng mengalahkan pasukan pengawal Kim-i-wi
(Pengawal Baju Emas) yang berada di istana kaisar!
Pangeran Bouw Ji Kong maklum benar bahwa kedudukan kakak tirinya, Kaisar Wan Li, sesungguhnya
rapuh dengan adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah barat dan utara. Akan tetapi berkat
kebijaksanaan dua orang menteri Chang Ku Cing dan Yang Ting Ho, maka pemerintah masih kuat.
Karena itu, setelah mengadakan perundingan rahasia dengan para sekutunya, Pangeran Bouw
memutuskan bahwa untuk mengawali langkah pertama, yang terpenting harus lebih dulu melenyapkan
kekuatan yang mendukung kaisar. Mereka yang setia kepada Panglima Chang Ku Cing dan Menteri Yang
Ting Ho, haruslah dilenyapkan sebelum kedua orang menteri itu yang mendapat giliran. Setelah mereka
semua lenyap, maka akan mudah menggulingkan kaisar Wan Li dari kedudukannya dan merampas
singgasana!
Pada suatu malam yang gelap dan sunyi karena langit masih tertutup mendung tebal dan agaknya hujan
sore tadi masih terancam hujan susulan, dua sosok bayangan orang berkelebat cepat sehingga kalau ada
yang melihatnya tentu tidak akan mengira bahwa yang berkelebat itu adalah manusia. Dua bayangan itu
dengan kegesitan luar biasa telah berhasil melewati pagar manusia Pasukan Topi Kuning yang menjaga di
sekeliling istana Pangeran Bong! Mereka berdua melayang ke atas wuwungan tanpa ada yang mengetahui.
Sementara itu, di ruangan dalam, sebuah ruangan luas yang dirahasiakan dalam istana itu. Pangeran Bouw
Ji Kong duduk di dalam ruangan itu, di kepala meja panjang dan belasan orang duduk di sekeliling meja
menghadapnya.
Pangeran Bouw Ji Kong berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Tubuhnya tinggi dengan perut gendut,
wajahnya berwibawa dan memiliki garis-garis yang menunjukkan kekerasan hatinya. Pakaiannya mentereng
dengan sulaman benang emas, seperti pakaian kaisar saja. Di pinggang kirinya tergantung sebatang
pedang.
Enambelas orang yang duduk menghadapinya itu terdiri dari tujuh Kang-lam Jit-sian dan sembilan orang
pembesar sipil dan militer. Sembilan orang itulah yahg merupakan para pembesar di kota raja yang
mendukung Pangeran Bouw Ji Kong. Sebetulnya terdapat lebih banyak lagi, namun yang diundang
berkumpul pada malam hari itu hanyalah para pendukung yang berpangkat tinggi.
Sejak tadi mereka bercakap-cakap membicarakan rencana Pangeran Bouw, akan tetapi bukan merupakan
rapat karena mereka semua masih menanti datangnya orang-orang yang mereka anggap penting sekali.
Kehadiran orang-orang itu ditunggu sejak tadi oleh Pangeran Bouw Ji Kong.
Agaknya Pangeran Bouw merasa tidak sabar karena malam semakin larut dan mereka yang dinanti-nanti
belum juga muncul. Dia memandang ke arah seorang perwira tinggi yang hadir di situ lalu menegur.
“Su-goanswe (Jenderal Su), mana mereka yang engkau laporkan kepada kami akan datang hadir?
Mengapa sampai sekarang mereka belum juga muncul?”
Su Lok atau Jenderal Su yang bertubuh tinggi besar dan memelihara kumis tikus dan jenggot panjang itu
memberi hormat lalu menjawab.
“Harap Pangeran bersabar. Saya merasa yakin bahwa mereka pasti akan hadir karena kedua pihak itu telah
memberi kepastian kepada saya. Agar tidak mencolok, maka mereka tentu datang dengan diam-diam.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Ahh, jangan-jangan mereka itu ketahuan dan tertangkap!” kata seorang pembesar sipil dengan wajah
tegang dan gelisah. Kalau sampai persekutuan mereka diketahui karena tertangkapnya utusan dari luar itu,
tentu mereka semua akan celaka.
Jenderal Su Lok Ti mengerutkan alisnya kepada pembesar yang mengatakan kekhawatirannya itu, akan
tetapi dia tidak ingin ribut berbantahan dengan seorang rekan. Dia berkata lagi kepada Pangeran Bouw.
“Harap Pangeran tidak khawatir. Pihak utara dan selatan pasti mengirim utusan-utusan yang berkepandaian
tinggi sekali sehingga tidak mungkin mereka dapat tertangkap. Saya kira sebaiknya Paduka mulai dengan
rapat ini, menjelaskan rencana Paduka kepada kami semua. Nanti kalau para utusan itu datang, dapat
dijelaskan kepada mereka keputusannya.”
Semua orang menyetujui usul ini dan Pangeran Bouw mengangguk.
“Baiklah kalau begitu. Seperti yang kita semua ketahui, pendukung Kaisar yang merupakan penghalang
besar bagi kita adalah menteri Yang Ting Ho dan Panglima besar Chang Ku Cing yang diikuti beberapa
orang pembesar yang setia kepada mereka. Sekarang yang ingin kita bicarakan, bagaimana kita harus
menanggulangi dan menyingkirkan penghalang-penghalang itu. Kalau ada yang mempunyai usul atau saran
yang baik, katakanlah.”
Seorang yang berpakaian perwira tinggi berkata penuh semangat. “Pangeran, sebaiknya kita langsung saja
mencabut akar yang menjadi penghalang itu. Kita bunuh saja Yang Ting Ho dan Chang Ku Cing!”
Semua orang terkejut mendengar saran yang radikal itu. Pangeran Bouw mengerutkan alisnya, lalu
menggelengkan kepalanya.
“Saran itu menuju ke sasaran pokok, namun tidak mungkin dilakukan. Ingat, mereka berdua merupakan
orang penting yang dekat kaisar dan mereka mempunyai banyak bawahan yang setia kepada mereka. Amat
sukar untuk dapat melenyapkan mereka karena mereka mempunyai pengawal yang kuat. Andai kata kita
dapat membunuh mereka pun, tentu akan menimbulkan kegemparan dan kita dapat dicurigai. Akan
berbahaya kalau kita ketahuan sebelum kedudukan kaisar menjadi lemah.
“Menurut kami, akan lebih baik kalau kita berusaha melemahkan kedudukan kedua orang penting itu
dengan jalan diam-diam membinasakan para pengikut mereka yang setia. Kematian pembesar lain tentu
tidak akan menimbulkan banyak kegemparan.”
“Pangeran, saya mempunyai saran yang kiranya lebih baik dan lebih aman,” kata seorang pembesar sipil
yang usianya sudah enampuluh tahun lebih.
“Kita tentu masih ingat akan kematian Panglima Kui Seng yang membunuh diri di depan Panglima besar
Chang Ku Cing. Semua orang tahu bahwa mendiang Panglima Kui Seng adalah pembantu utama yang
setia kepada Panglima besar Chang. Bahkan sudah membuat banyak jasa. Akan tetapi panglima besar
Chang mendesaknya karena demi menolong puterinya, Panglima Kui telah membebaskan tawanan dari
penjara.
“Nah, peristiwa itu tentu mendatangkan perasaan tidak senang dan penasaran dalam hati para perwira anak
buah Panglima besar Chang. Kesempatan ini kita pergunakan untuk membujuk mereka agar meninggalkan
Panglima besar Chang dan mendukung gerakan kita. Demikianlah, kalau mereka semua meninggalkan
Panglima besar Chang, berarti kedudukan mereka menjadi lemah dan mudah bagi kita untuk menyingkirkan
mereka.”
Pangeran Bouw mengangguk-angguk dan sepasang matanya bersinar gembira.
“Bagus sekali saran Ciok-taijin (Pembesar Ciok) itu. Baik, kita mencoba untuk membujuk mereka dan kalau
ada yang menolak, baru kita bunuh mereka yang menolak ajakan kita. Nah, siapa yang akan melaksanakan
pembasmian mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kita? Pekerjaan ini harus dilakukan dengan hatihati
jangan sampai ketahuan.”
“Pangeran, saya yang akan mengatur pembasmian mereka itu!” kata Jenderal Su Lok Ti.
“Wah, itu terlalu berbahaya!” cela seorang pejabat tinggi lainnya. “Kalau Su-goanswe yang mengatur, lalu
ketahuan, berarti rahasia kita semua terbongkar.”
“Tidak akan ada yang dapat mengetahui!” bantah Jenderal Su yang berwatak keras.
Terjadi perbantahan antara mereka yang hadir, ada yang pro Su-goanswe akan tetapi ada pula yang anti.
Akhirnya Pangeran Bouw mengangkat tangan memberi isyarat dan semua orang terdiam.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Kita harus bertindak hati-hati. Memang sebaiknya kalau usaha pembasmi pihak musuh itu dilakukan oleh
sekutu kita yang datang dari luar. Selain mereka mempunyai banyak orang sakti, juga seandainya mereka
tertangkap, istana tentu akan menganggap penyerangan sebagai tindakan para pemberontak di luar daerah
itu dan sama sekali tidak akan mencurigai kita,” kata Pangeran Bouw Ji Kong.
“Akan tetapi bagaimana kalau mereka kemudian mengaku tentang persekutuan mereka dengan kita,
Pangeran?” tanya seorang di antara para perwira tinggi yang berada di situ.
06.17. Kekecewaan Putera Pangeran Bouw
“Mereka tidak akan mengaku, dan andaikata mereka mengaku, Kaisar tidak akan percaya. Buktinya tidak
ada dan kaisar pasti akan lebih percaya kepadaku daripada mereka. Sudahlah, jangan khawatir. Sekarang
sudah kita tentukan. Kita akan membujuk para pendukung Panglima besar Chang dengan matinya
Panglima Kui sebagai alasan. Kalau bujukan itu telah dilaksanakan, maka siapa di antara mereka yang tidak
mau bekerja sama, akan kita bunuh satu demi satu dan yang melaksanakan adalah orang-orang dari suku
Mancu, suku Hui, dan dari Pek-lian-kauw.”
“Akan tetapi, apakah mereka sanggup melaksanakan tugas berat itu?” tanya seorang pembesar sipil.
“Ha-ha-ha, siapa yang menyangsikan kesanggupan dan kemampuan kami?” tiba-tiba terdengar suara yang
berlogat asing dan tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan dan tahu-tahu di dalam ruangm itu telah berdiri
dua orang. Agaknya mereka berdua tadi melayang masuk melalui atap yang mereka buat tanpa ada
pengawal yang melihat mereka saking cepatnya mereka bergerak.
Seorang kakek tinggi kurus berwajah pucat seperti mayat dengan rambut putih, matanya sipit dan mulutnya
menyeringai penuh ejekan membawa sebatang pedang di punggung dan sebatang kebutan putih terselip di
ikat pinggang, dan seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian serba tebal, tubuhnya tinggi besar,
mukanya berwarna merah tanpa kumis maupun jenggot, di pinggangnya tergantung sebatang golok gergaji.
Kakek itu berusia sekitar enampuluh lima tahun dan dia adalah Hwa Hwa Hoat-su, seorang datuk dari Peklian-
kauw yang berilmu tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia datang berkunjung sebagai wakil
dan utusan Pek-lian-kauw yang menjadi satu di antara para sekutu Pangeran Bouw.
Adapun laki-laki kedua bermuka merah itu adalah Hongbacu, berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Dia
bukan orang sembarangan karena dia adalah adik seperguruan dari Nurhacu, tokoh Mancu yang kelak
berhasil merobohkan kerajaan Beng dan membangun dinasti Ceng.
Hongbacu ini menjadi wakil pihak Mancu dan utusan dari Nurhacu yang diam-diam juga menjadi sekutu
Pangeran Bouw. Hongbacu memiliki ilmu kepandaian tinggi pula, di antara bangsa-bangsa di utara dia amat
terkenal karena kelihaiannya.
Pangeran Bouw yang sudah mengenal dua orang tokoh itu segera bangkit berdiri menyambut dengan
girang.
“Ah, kiranya Hwa Hwa Hoat-su wakil Pek-lian-kauw dan Saudara Hongbacu wakil dari Mancu. Selamat
datang dan silakan duduk!”
Setelah mereka berdua duduk di kursi yang memang sudah dipersiapkan untuk mereka, Hongbacu
memandang kepada para hadirin, lalu bertanya dengan heran kepada tuan rumah.
“Pangeran Bouw, saya tidak melihat Tarmalan, padahal dia adalah orang penting dalam persekutuan kita.
Kenapa dia tidak hadir malam ini?”
“Saudara Hongbacu, jangan khawatir, kami yakin bahwa dia pasti akan hadir,” jawab Pangeran Bouw.
“Heh-heh, apakah aku terlambat?” terdengar suara orang tanpa tampak orangnya.
Lalu dari jendela muncul gumpalan asap memasuki ruangan itu dan perlahan-lahan asap itu membuat
bentuk lalu berubah menjadi seorang laki-laki bertubuh sedang, berwajah tampan dan memegang sebatang
tongkat ular. Usianya sekitar limapuluh lima tahun.
Inilah Tarmalan, orang penting yang menjadi utusan suku bangsa Hui dan terkenal sebagai dukun atau ahli
sihir. Dukun Tarmalan ini masih terhitung paman dari pangeran Bouw karena ibu kandung Pangeran Bouw
yang menjadi selir Kaisar Cia Ceng ayah Kaisar Wan Li yang sekarang menjadi kaisar Kerajaan Beng,
adalah kakak tertua dari Tarmalan.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Kecuali Hongbacu dan Hwa Hwa Hoat-su yang berilmu tinggi, mereka yang duduk di situ memandang
kagum atas kemunculan Tarmalan yang luar biasa itu. Tarmalan yang menjadi dukun dari suku bangsa Hui
memang terkenal lihai, terutama ilmu sihirnya.
Setelah tiga orang tamu istimewa itu duduk, Pangeran Bouw lalu berkata kepada mereka.
“Terima kasih atas kedatangan Sam-wi (Anda bertiga) yang memang sejak tadi kami menantikan. Di dalam
perundingan kami tadi, kami telah mengambil keputusan dan kini hanya tinggal minta pertimbangan Sam-wi
apakah keputusan itu dapat diterima ataukah ada usul lain.”
“Apakah keputusan itu, Pangeran? Harap jelaskan dan akan kami pertimbangkan,” kata Hwa Hwa Hoat-su
sambit mengelus jenggotnya yang putih.
“Keputusan kami begini, Locianpwe (orang Tua Perkasa). Kekuatan pemerintah terletak kepada Menteri
Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing. Kalau mereka berdua tidak ada, maka pemerintah akan
menjadi lemah dan mudah kita gulingkan. Membinasakan dua orang tokoh itu tidaklah mudah dan akan
menimbulkan kegemparan sehingga ada bahayanya persekutuan kita ketahuan sebelum kita sempat
bergerak. Maka, kami tadi mengambil keputusan untuk melemahkan kedudukan dua orang itu dengan dua
cara, yaitu pertama membujuk para pembesar sipil dan militer yang setia kepada mereka berdua dan cara
kedua, membunuh mereka yang tidak mau bergabung dengan kita.”
“Ah, bagus sekali rencana itu!” kata Hwa Hwa Hoat-su. “Tidakkah engkau juga menyetujuinya, Sobat
Hongbacu?”
Tokoh Mancu itu mengangguk-anggukan kepalanya. “Memang tepat sekali kalau dua orang menteri itu
kehilangan pendukung mereka, kedudukan mereka tentu lemah dan mudah bagi kita untuk
menyingkirkannya sehingga Kaisar tidak lagi mempunyai pendukung setia yang tangguh.”
“Kami memang senang bahwa Sam wi agaknya sudah setuju dengan keputusan itu. Dan mengingat akan
penting dan sukarnya pekerjaan ini, maka kami mengharapkan bantuan Sam-wi untuk melaksanakannya.”
“Silakan Pangeran mengadakan pendekatan dan bujukan kepada para pembesar yang mendukung Menteri
Yang dan Panglima Chang itu, kemudian memberitahu kami siapa-siapa yang tidak mau bergabung dan
harus dienyahkan. Pekerjaan itu akan kami bagi bertiga agar dapat terlaksana lebih cepat,” kata Hwa Hwa
Hoat-su yang memandang ringan tugas itu.
“Ha-ha-ha!” Hongbacu tertawa. “Tugas semudah itu serahkan saja kepadaku. Aku akan dapat membasmi
mereka. Katakan saja kepadaku siapa-siapa yang harus dibunuh, Pangeran!”
“Heh-heh-heh, Hongbacu, tidak boleh kau borong sendiri! Aku setuju dengan pendapat Hwa Hwa Hoat-su
tadi. Tugas itu kita bagi bertiga dan kita lihat saja siapa yang lebih dulu dapat menyelesaikan tugas dengan
sempurna!” Tarmalan berkata sambil memandang kepada tokoh Mancu bertubuh tinggi besar dan bermuka
merah itu.
“Kami akan melaksanakan cara pertama, melakukan pendekatan dan membujuk para pembesar itu.
Sementara itu, Sam-wi lebih baik tinggal di sini dan tidak keluar agar jangan terlihat orang lain. Nanti setelah
kami melakukan cara pertama, baru kami akan memberitahukan siapa-siapa yang harus dilenyapkan oleh
Sam-wi,” kata Pangeran Bouw.
Semua orang setuju dan pertemuan itu ditutup dengan makan malam yang sudah dipersiapkan. Hidangan
mewah dengan arak yang harum. Sampai larut lewat tengah malam barulah pertemuan itu diakhiri dan para
pembesar sipil dan militer itu kembali ke rumah masing-masing.
Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, Tarmalan masing-masing diberi sebuah kamar mewah dalam istana
Pangeran Bouw dan sejak malam itu mereka menanti di istana, dilayani dengan baik oleh para pelayan
wanita yang khusus bertugas melayani tamu-tamu agung ini.
Pada keesokan harinya, menjelang senja, ketika Pangeran Bouw Ji Kong sedang duduk termenung
memikirkan pelaksanaan rencananya mengambil alih kekuasaan kaisar Wan Li, kakak tirinya, dia
mendengar langkah orang memasuki kamarnya. Dia menoleh dan melihat seorang pemuda memasuki
kamar itu.
Pemuda itu adalah Bouw Cu An atau yang biasa disebut Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), putera
tunggalnya. Seorang pemuda bertubuh sedang dengan pakaian seperti seorang sastrawan, wajahnya
tampan bulat, matanya lembut dan mulutnya selalu tersenyum. Wajah pemuda ini mirip wajah ibunya yang
cantik.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Hemm, engkau, Cu An?” tegur Sang Ayah dengan lembut. Karena dia hanya mempunyai seorang putera,
tentu saja Pangeran Bouw amat sayang kepada puteranya ini.
Bouw Cu An memberi hormat kepada ayahnya sebelum duduk di depan ayahnya, terhalang meja.
“Ayah, maafkan saya kalau saya mengganggu ketenangan Ayah. Akan tetapi ada hal-hal penting yang ingin
saya tanyakan dan bicarakan dengan Ayah, kalau sekiranya Ayah membolehkan.”
Pangeran Bouw tersenyum. Dia selalu merasa senang melihat sikap dan cara puteranya ini bicara, penuh
kesopanan dan hormat kepadanya di samping perasaan berbakti dan sayang kepada orang tua.
“Boleh saja, Cu An. Bicaralah! Apa yang ingin kautanyakan?”
“Sebelumnya saya minta maaf, Ayah. Saya melihat ada tiga orang tamu asing di ruangan bagian tamu dan
saya mendengar bahwa mereka adalah utusan dari Pek-lian-kauw, dari bangsa Mancu, dan suku Hui.
Apakah artinya semua ini, Ayah? Juga saya mendengar bahwa Ayah bersekutu dengan mereka untuk
menentang Sribaginda Kaisar. Benarkah ini, Ayah?”
“Cu An,” kata Pangeran Bouw dan suaranya terdengar tegas. “Engkau tidak perlu mencampuri urusan
pribadi Ayahmu. Aku melihat betapa pemerintahan Paman kaisar itu berengsek, para pejabatnya sebagian
besar melakukan korupsi, menyeleweng dan bertindak sewenang-wenang. Aku tidak mungkin tinggal diam
saja. Kekuasaan Pamanmu Kaisar harus dihentikan, kalau tidak rakyat akan menderita sengsara! Untuk
menentang pemerintahan, aku harus bersekutu dengan pihak-pihak yang memusuhi pemerintah! Engkau
tidak perlu ikut memikirkan, tidak perlu ikut campur. Engkau masih terlalu muda dan tidak tahu apa-apa.”
Bouw Cun An atau Bouw Kongcu mengerutkan alisnya yang hitam. Dia bukan hanya mewarisi wajah
ibunya, akan tetapi juga watak ibunya yang lembut dan baik, dan sejak kecil dia mempelajari sastra, telah
banyak membaca kitab-kitab suci, tahu akan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh manusia.
“Maaf, Ayah. Kalau saya tidak salah dengar, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak yang terkenal
jahat, menggunakan agama baru Teratai Putih untuk mengelabuhi rakyat. Mereka itu pembunuh dan
perampok. Adapun bangsa Mancu adalah bangsa di Utara yang kini telah menguasai seluruh daerah utara
dan merupakan ancaman bagi tanah air dan bangsa kita. Adapun dukun Tarmalan itu, menurut Ibu
merupakan orang yang kabarnya juga menjadi rekan bangsa Mancu. Bagaimana kini Ayah bersekutu
dengan mereka? Apakah tindakan Ayah itu sudah diperhitungkan benar dan tidak keliru?”
“Anak bodoh! Pek-lian-kauw dan bangsa Mancu kini memiliki kekuatan yang dapat membantu kita. Tanpa
bantuan mereka, akan sukarlah menjatuhkan pemerintahan ini. Dan engkau tahu, siapa itu Tarmalan? Dia
adalah Kakekmu, karena dia adalah Paman dariku! Dia adalah seorang pandai dan sakti dari suku Hui, dan
dapat membantu kita menentang pemerintah Pamanmu Kaisar yang lemah itu!”
“Sekali lagi maaf, Ayah. Kalaupun benar bahwa Paman kaisar Wan Li itu lemah, dipengaruhi para Thai-kam
dan para pembesar penjilat, sudah sepatutnya kalau Ayah sebagai adiknya membela Kaisar yang harus
ditentang bukanlah Kaisar, melainkan para pembesar yang menyeleweng dan korup itu. Kalau pemerintah
yang Ayah tentang, berarti Ayah akan melakukan pemberontakan.......”
“Diam.....!” Pangeran Bouw membentak marah. “Cu An, jangan lanjutkan pikiran dan bicaramu seperti itu!
Apakah engkau ingin agar rasa sayangku kepadamu berubah menjadi rasa benci?”
Cu An terkejut melihat ayahnya berkata demikian. Baru sekali ini ayahnya marah seperti itu kepadanya dan
memandangnya dengan sinar mata berapi penuh kebencian. Hal ini membuat hatinya berdua sekali. Bukan
dua karena tindakan ayahnya yang dia anggap keliru, melainkan terutama sekali karena rasa sayang
ayahnya demikian mudah dapat berbalik menjadi rasa benci.
“Maafkan saya, Ayah........” katanya halus dan dia lalu meninggalkan ruangan itu. Pangeran Bouw
menampar permukaan meja dengan perasaan kesal.
Ayah dan anak ini sama sekali tidak tahu bahwa pembicaraan mereka tadi didengar Hongbacu yang
kebetulan keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan dekat ruangan itu. Mendengar semua ucapan Bouw
Kongcu, tokoh Mancu yang tinggi besar bermuka merah itu mengepal tangannya.
Anak ini sungguh berbahaya, pikirnya, dan kalau ada orang yang sepatutnya dibinasakan, maka pemuda
inilah yang menjadi orang pertama. Kalau pemuda itu berhasil membujuk ayahnya dan Pangeran Bouw
berubah pikiran, maka semua rencana akan hancur dan dia akan mendapatkan teguran keras dari
pemimpinnya yang keras, yaitu Nurhacu.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Bouw Kongcu merasa sedih melihat sikap ayahnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa ayahnya akan
memberontak terhadap Kaisar yang masih kakak tirinya sendiri. Biasanya, sikap ayahnya selalu merasa
penasaran dan menentang para pembesar yang korup dan yang menggunakan kekuasaan mereka untuk
berlumba mengumpulkan kekayaan saja.
Sikap ini dianggapnya baik karena dia sendiri juga muak melihat para pembesar korup yang suka
sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Akan tetapi, kini ayahnya hendak memberontak dan terasa
olehnya bahwa ayahnya ingin sekali menggantikan kedudukan kaisar.
Yang amat menyedihkan hatinya, ayahnya telah bersekutu dengan orang Pek-lian-kauw dan orang Mancu,
juga dibantu Dukun Tarmalan yang menurut cerita ibunya merupakan seorang dukun bangsa Hui, masih
paman dari ayahnya, akan tetapi terkenal jahat. Bagaimana ayahnya sampai terperosok sedemikian
dalamnya, bersekutu dengan orang-orang jahat untuk memberontak terhadap Kaisar?
Menurut kepantasan, ayahnya sebagai adik tiri kaisar, mestinya membela Kaisar dari orang-orang jahat,
bukan sebaliknya bersekutu dengan mereka menentang Kaisar! Apakah ayahnya akan menjadi pengkhianat
tanah air dan bangsa?
Pemuda yang terpelajar ini maklum bahwa semua penyelewengan ayahnya itu didorong oleh ambisinya
untuk menjadi kaisar! Dan dia menjadi sedih sekali.
Sekeluarnya dari ruangan itu, Bouw Kongcu langsung keluar dari istana. Baginya, istana ayahnya menjadi
tempat yang memuakkan dan juga berbahaya, telah menjadi tempat persembunyian orang-orang jahat yang
mengatur rencana pemberontakan!
Tanah pekarangan istana ayahnya saat itu terasa panas, menembus sepatunya dan membakar telapak
kakinya. Dia bersicepat lari keluar dari pekarangan.
Empat orang perajurit pengawal yang berjaga di pintu gerbang memberi hormat kepadanya, namun tidak
dipedulikan. Padahal biasanya Bouw Kongcu bersikap ramah dan manis kepada semua perajurit pengawal
ayahnya, bahkan para pelayan dalam istana menghormati dan menyukainya karena dia bersikap manis
kepada siapapun juga tanpa memandang kedudukan mereka.
Ketika tiba di jalan besar, Bouw Kongcu seolah melihat kota raja yang terancam perang akibat
pemberontakan ayahnya. Banyak orang tewas dan banjir darah terjadi. Dia merasa ngeri dan cepat-cepat
dia keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Dia tidak tahu akan pergi ke mana. Pokoknya dia harus meninggalkan kota raja, meninggalkan istana
keluarganya, meninggalkan ayahnya sejauh mungkin agar jangan ikut ternoda kotoran akibat ulah ayahnya.
Senja telah menjelang malam. Matahari mulai terbenam di barat sehingga cahayanya yang tertinggal amat
lemah. Sebentar lagi tentu digantikan kegelapan malam. Bouw Kongcu berjalan terus dan tiba di jalan tepi
hutan yang sunyi. Teringat akan ayahnya, Bouw Kongcu berhenti melangkah dan menyandarkan tubuhnya
pada batang pohon, memejamkan mata dan berulang-ulang menarik napas panjang.
Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan Hongbacu yang tinggi besar bermuka merah, tokoh Mancu
itu, telah berdiri di depannya. Bouw Kongcu mendengar suara tawa seperti ringkik kuda dan ketika dia
membuka matanya, dia melihat Hongbacu dan merasa terkejut sekali karena dia mengenal orang tinggi
besar itu sebagai seorang di antara tiga tamu asing yang berada di istana ayahnya.
Melihat orang itu tertawa dan matanya memandangnya dengan sinar yang menyeramkan, Bouw Kongcu
dapat merasakan ancaman bahaya. Maka tanpa berkata apa pun, dia lalu memutar tubuhnya dan melarikan
diri. Dia tidak tahu ke mana akan pergi. Dia hanya ingin menjauhkan diri dari orang Mancu itu.
Akan tetapi baru belasan langkah dia melarikan diri, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu
Hongbacu telah berdiri menghadang di depannya sambil bertolak pinggang dan tertawa.
“He-he-hek! Engkau hendak pergi ke mana, Bouw Kongcu?”
Pemuda itu dari ketakutan menjadi marah dan menegur. “Bukankah engkau ini orang Mancu yang menjadi
tamu Ayahku? Kenapa engkau menghalangi perjalananku?” Dia melanjutkan dengan bentakan. “Aku
hendak pergi ke mana tidak ada urusannya denganmu. Minggir dan biarkan aku lewat, atau aku akan
melaporkan kepada Ayahku tentang kekurang-ajaranmu ini!”
“Hi-hi-he-he-hek! Justru aku mewakili Ayahmu untuk mencegah engkau pergi dan berbuat macam-macam
untuk menentang kami! Aku diminta untuk membawamu pulang.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Aku tidak mau pulang dan jangan engkau mencampuri urusan pribadiku!”
“Heh-heh-heh, engkau mau atau tidak, aku tetap akan membawamu pulang, Bow Kongcu!”
Akan tetapi Bouw Cu An sudah membalikkan tubuhnya dan lari lagi secepatnya menjauhi Hongbacu. “Haha-
hi-hik, engkau hendak lari ke mana, Bouw Kongcu?”
Kembali Bouw Kongcu hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hongbacu sudah berdiri di
depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak! Tokoh Mancu ini menyeringai dan melangkah perlahan
menghampiri pemuda itu.
“Ah, di mana-mana yang kuat menekan yang lemah!” terdengar suara lembut dan sesosok tubuh melayang
dan seorang laki-laki telah berdiri di antara Bouw Cu An dan Hongbacu, menghadapi orang Mancu itu.
Dia seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh enam tahun, berpakaian jubah tosu (pendeta Agama To)
kuning, bertubuh tinggi kurus dengan wajah tampan dan sikapnya lembut. Di punggungnya terselip
sebatang pedang, akan tetapi kalau ada orang memperhatikan pedang itu, dia tentu akan merasa aneh dan
lucu karena pedang itu hanya sebatang pedang dari bambu seperti pedang mainan anak-anak!
Akan tetapi biarpun dia tidak mengenal tosu itu, Hongbacu adalah seorang yang mempunyai banyak
pengalaman dan melihat tosu itu mempunyai sebatang pedang dari bambu, dia sama sekali tidak berani
memandang rendah. Bahkan dia merasa terkejut karena kalau seorang berani membawa senjata selemah
itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia tentu seorang yang berilmu tinggi! Setelah menatap tajam wajah
tosu itu, Hongbacu berkata.
06.18. Bangkitlah Bila Menjadi Muridku!
“Sobat, engkau seorang pendeta, tidak pantas mencampuri urusan orang lain!”
“Siancai (damai)......! Pinto (aku) tidak mencampuri urusan, hanya ingin mengetahui apa yang terjadi maka
seorang gagah seperti engkau hendak memaksa seorang pemuda yang lemah.”
“Dengarlah, tosu yang baik! Pemuda ini minggat dari rumah orang tuanya dan aku diutus Ayahnya untuk
membawanya pulang! Pantaskah kalau engkau menghalangiku?”
Tosu itu menoleh kepada Bouw Cu An. “Orang muda, benarkah engkau minggat dari rumah dan sobat ini
diutus Ayahmu untuk mengajakmu pulang?”
“Totiang (Bapak Pendeta), saya tidak percaya kalau dia diutus Ayah untuk mengajak saya pulang. Orang
Mancu ini pasti mempunyai niat jahat terhadap saya karena saya dia anggap sebagai penghalang semua
niat buruknya.”
Tosu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Dua keterangan yang berbeda dan saling
bertentangan. Sekarang begini saja, Sobat. Kaubiarkan pemuda ini pergi dan jangan ganggu dia lagi,
lanjutkan saja perjalanan masing-masing dan aku berjanji tidak akan mencampuri urusan kalian berdua.”
“Tidak bisa!” Hongbacu berseru marah. “Dia harus ikut aku pulang ke rumah orang tuanya, mau atau tidak
dia harus ikut!”
“Siancai......! Ini namanya pemaksaan sewenang-wenang dan pinto jelas tidak dapat mendiamkannya saja.”
“Bagus, Tosu usil, siapakah engkau yang berani mencampuri urusanku dan menentangku?”
“Pinto bernama Ouw-yang Sianjin, pinto tidak menentangmu, Sobat, melainkan menentang perbuatan jahat
dan sewenang-wenang.”
Ouw-yang Sianjin ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal di dunia persilatan karena dia
merupakan seorang pendekar perantau yang berilmu tinggi dan selalu menentang kejahatan. Dia adalah
sute (adik seperguruan) dari mendiang Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, ayah dari Ong Lian Hong atau guru
dari Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Pada senja hari itu, secara kebetulan saja dia melihat Bouw Kongcu didesak oleh Hongbacu, maka dia
segera turun tangan membela Bouw Kongcu.
“Ouw-yang Sianjin, tosu keparat! Engkau sudah bosan hidup!” kini Hongbacu tidak sabar lagi.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Memang pada dasarnya orang Mancu ini berwatak keras dan sombong karena bagi seluruh suku Mancu,
dia merupakan jagoan yang sudah tersohor dan jarang dapat ditandingi. Setelah membentak dia sudah
mencabut gergajinya dari pinggang.
Senjata ini menyeramkan. Sebatang golok yang lebar dan berat, berkilauan saking tajamnya dan punggung
golok itu bergigi seperti gergaji! Tanpa bicara lagi dia menggerakkan goloknya yang berat itu dengan cepat.
Golok itu mengeluarkan bunyi berdesing dan mengandung kekuatan yang dahsyat menyambar ke arah
leher Ouw-yang Sianjin.
“Yaahhhh!” Ouw-yang Sianjin cepat mengelak dan dari serangan pertama itu saja tahulah dia bahwa orang
Mancu yang menjadi lawannya itu merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun melompat ke belakang
menghindari serangan susulan sambil mencabut senjatanya yang aneh dan ringan, yaitu sebatang pedang
terbuat dari bambu! Akan tetapi begitu dia menggerakkan dan memutar-mutar pedang bambu itu, tampak
gulungan sinar yang bercuitan mengelilingi tubuhnya seperti membentuk sebuah perisai sinar!
Hongbacu merasa penasaran dan sambil mengerahkan sin-kang dia menyerang dengan goloknya dengan
maksud untuk mematahkan pedang bambu lawan. Sinar goloknya meluncur hendak menerobos gulungan
sinar pedang bambu itu.
“Singgg...... takk......!” Golok yang berat itu terpental ketika bertemu pedang bambu. Akan tetapi Ouw-yang
Sianjin juga merasa betapa tangannya yang memegang gagang pedang kayu tergetar hebat.
Keduanya terkejut dan mundur, maklum bahwa lawan memiliki sin-kang yang kuat dan seimbang.
Hongbacu sudah menerjang lagi. Ouw-yang Sianjin bergerak cepat mengelak lalu balas menyerang.
Pedang bambunya itu amat lihai dan mampu menembus kulit daging lawan yang betapa kebal pun!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan kedua orang itu sedemikian ringan dan cepatnya sehingga
tubuh mereka seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua sinar kuning dan putih
dari pedang bambu dan golok. Tenaga sakti yang mereka pergunakan sedemikian kuatnya sehingga
gerakan senjata mereka menimbulkan angin yang menyambar-nyambar dan merontokkan daun-daun
pohon di sekeliling mereka.
Bouw Cu An bersandar pada batang pohon sambil terduduk di atas tanah. Dia memandang bengong,
heran, kagum dan tegang mencekam hatinya. Bunyi pedang bambu bertemu golok terkadang
mengeluarkan getaran amat kuat sehingga Bouw Kongcu harus menutupi kedua telinganya dengan tangan
karena suara berdenting itu seolah menusuk gendang telinganya. Pandang matanya juga menjadi kabur
oleh sinar yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar itu. Jantungnya berdebar tegang karena dia
maklum bahwa kalau tosu yang membelanya itu kalah, nyawanya sendiri pasti terancam.
Lebih dari seratus limapuluh jurus mereka bertanding, kini mereka bertanding dalam kegelapan karena
malam telah tiba, atau sinar matahari tidak bersisa lagi. Keduanya mengandalkan ketajaman telinga dan
perasaan untuk berkelahi karena pandang mata tidak dapat diandalkan lagi. Biarpun sudah demikian
lamanya mereka berkelahi, tidak ada yang menang ataupun kalah. Jangankan menang, mendesak lawan
pun tidak dapat. Kekuatan mereka seimbang, baik tenaga sin-kang, gin-kang (meringankan tubuh) maupun
kehebatan jurus-jurus silat mereka.
Akan tetapi kini terdapat perbedaan. Hongbacu mulai lelah dan pernapasannya mulai memburu. Usia
mereka memang sebaya, sekitar empatpuluh enam tahun, dan tenaga mereka juga seimbang. Hanya
bedanya, dan ini merupakan perbedaan besar, kalau Ouw-yang Sianjin hidup dengan sehat dan bersih tidak
pernah menghamburkan tenaga untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, sebaliknya Hongbacu hidup
bergelimang kesenangan duniawi dan menuruti nafsu-nafsunya, terutama nafsu berahinya.
Sebagai orang yang berkedudukan tinggi dan pembantu terpercaya Nurhacu pemimpin bangsa Mancu,
Hongbacu memiliki banyak isteri. Inipun masih belum memuaskan nafsunya dan dia masih sering
menggoda wanita cantik di mana pun dia berada.
Hal ini memboroskan tenaganya dan memperlemah daya tahan pernapasannya. Maka setelah bertanding
hampir seratus tujuhpuluh jurus, dia mulai merasa lemah. Maklum bahwa kalau dilanjutnya dia akan kalah
dan tidak mungkin menang, Hongbacu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melompat jauh ke
belakang lalu dia menghilang dalam kegelapan malam!
Ouw-yang Sianjin tidak mengejar karena dia memang tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan orang
Mancu itu. Dia hanya ingin membela pemuda yang terancam tadi.
Setelah Hongbacu pergi, Ouw-yang Sianjin menyimpan pedang bambunya dan memandang kepada
pemuda yang masih duduk bersandar batang pohon. Cuaca yang gelap, hanya remang-remang mendapat
dunia-kangouw.blogspot.co.id
sinar bintang-bintang yang bertaburan di langit, membuat dia tidak dapat melihat jelas keadaan pemuda itu.
Dia menghampiri dan berkata.
“Orang muda, bahaya telah lewat. Hari telah malam, sebaiknya engkau segera pulang ke rumahmu.”
Bouw Cu An bangkit berdiri dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan ke dada lalu
membungkuk sampai dalam. “Totiang, saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Totiang.
Kalau tidak ada Totiang, mungkin sekali saya telah dibunuh oleh orang Mancu itu.”
“Sudahlah, tidak perlu berterima kasih kepada pinto, karena Sang Maha Penolong adalah Thian (Tuhan)
dan kebetulan saja tadi Thian menolongmu dengan menggunakan diriku. Sekarang sebaiknya engkau
pulang saja.”
“Totiang, saya tidak akan pulang, saya merasa ngeri untuk pulang, apalagi setelah terjadi peristiwa tadi.”
“Tidak mau pulang dan merasa ngeri untuk pulang? Aih, aneh sekali. Apakah yang telah terjadi di rumahmu,
orang muda?”
“Sesungguhnya hal ini tidak semestinya saya ceritakan kepada orang lain karena saya tidak ingin menjadi
anak yang durhaka, Totiang.”
“Kalau begitu, jangan ceritakan kepadaku.”
“Totiang, saya pernah mendengar nama Totiang. Tentu Totiang ini Ouw-yang Sianjin yang dulu pernah
berjasa membongkar rencana busuk Pek-lian-kauw. Terhadap Totiang, saya ingin berterus terang, karena
Totiang yang akan dapat mengerti.”
Bouw Cu An lalu menceritakan tentang utusan Mancu yang tadi hendak menangkapnya, yang bersama
Hwa Hwa Hoat-su utusan Pek-lian-kauw dan Tarmalan dukun suku Hui kini berada di rumah ayahnya dan
mengadakan persekutuan dengan ayahnya.
Ketika dia bercerita sampai di sini, Ouw-yang Sianjin bertanya. “Ah, siapakah Ayahmu itu?”
“Ayah saya adalah Pangeran Bouw Ji Kong, adik tiri Sribaginda Kaisar. Saya adalah putera tunggalnya,
nama saya Bouw Cu An.”
Ouw-yang Sianjin terkejut. “Ah, kiranya engkau putera Pangeran Bouw, Kong-cu? Kalau begitu, engkau
harus cepat pulang dan laporkan saja kepada Ayahmu apa yang tadi hendak dilakukan orang Mancu itu
kepadamu.”
“Tidak, Totiang, saya tidak akan pulang, saya tidak mau pulang dan melihat Ayah saya bersekutu dengan
orang-orang jahat dan mempunyai rencana jahat terhadap Kaisar........”
Tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki tosu itu. “Saya mohon agar Totiang suka
membawa saya pergi dan menerima saya sebagai murid. Tolonglah, Totiang, terimalah saya karena saya
ingin belajar ilmu silat agar kelak dapat menghadapi para penjahat........”
“Akan tetapi, Kongcu, engkau adalah seorang putera bangsawan tinggi, bagaimana mungkin engkau
menjadi murid pinto yang hanya seorang tosu perantau? Engkau akan hidup sengsara dan serba
kekurangan.” Dia menyentuh pundak pemuda itu dan hendak menariknya. “Bangkitlah, Kongcu, tidak
pantas engkau menghormati pinto seperti ini.”
“Tidak, Totiang, sebelum Totiang menerima saya sebagai murid, saya akan tetap berlutut. Saya tidak mau
pulang dan saya tidak tahu harus pergi ke mana.”
Ouw-yang Sianjin menghela napas panjang. Dia adalah seorang yang sejak muda menjauhkan diri dari
dunia ramai, tidak seperti mendiang suhengnya, yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, yang hidup sebagai
pendekar dan pejuang, bahkan menikah dan mempunyai seorang puteri.
Dia sendiri tidak menikah, bahkan selama hidupnya baru satu kali dia menerima murid, yaitu Ong Lian Hong
puteri suhengnya itu. Bahkan gadis itu pun hanya dia bimbing untuk memperdalam ilmu silatnya saja karena
Ong Lian Hong sudah menerima pelajaran dari ayahnya.
Dia seorang perantau yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Kini ada seorang pemuda bangsawan tinggi
putera pangeran dan keponakan dari kaisar Wan Li, ingin menjadi muridnya! Apalagi ayah pemuda ini
agaknya seorang pengkhianat yang hendak memberontak terhadap kaisar dan bersekutu dengan musuhmusuh
negara seperti bangsa Mancu dan perkumpulan Pek-lian-kauw!
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Akan tetapi pemuda ini luar biasa, pikirnya. Ayahnya hendak memberontak dan dia sebagai putera tunggal
menentang, bahkan meninggalkan ayahnya, ingin menjadi muridnya dan siap hidup serba kekurangan dan
sengsara. Juga sikapnya demikian lembut, baik dari ucapannya yang menunjukkan bahwa dia seorang
terpelajar maupun dari gerak geriknya. Timbul perasaan suka dan iba di hatinya terhadap Bouw Cun An.
“Baiklah, Bouw Kongcu. Kalau engkau bertekad untuk menjadi muridku dan ingin ikut denganku,
bangkitlah.”
Bukan main girang rasa hati Bouw Cu An. Dia yang masih berlutut segera memberi hormat dan berkata
dengan terharu. “Terima kasih atas penerimaan Suhu dan teecu (murid) mohon agar Suhu tidak menyebut
teecu Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw). Sebut saja nama teecu Bouw Cu An.”
“Baiklah, Cu An. Sekarang bangkitlah dan mulai sekarang juga engkau harus melatih badanmu memperkuat
daya tahan. Ikuti aku!”
Tosu itu lalu melangkah dan sengaja dia memilih jalan dalam hutan yang sukar dan penuh rintangan. Selain
gelap karena hanya diterangi cahaya bintang-bintang, juga jalan itu kasar berbatu-batu, terhalang semak
belukar yang kadang-kadang berduri. Bahkan dia mulai mendaki bukit sehingga Bouw Cu An yang sejak
kecil hidup serba enak itu merasa tersiksa sekali.
Namun, hanya badannya yang tersiksa karena hatinya masih diliputi rasa girang. Dia sudah bertekad untuk
mempelajari ilmu silat dan untuk ini dia siap untuk menderita sengsara, yaitu kesengsaraan, kenyerian dan
kelelahan badannya.
Hongbacu, tokoh Mancu itu setelah gagal menangkap Bouw Cun An, lalu melapor kepada Pangeran Bouw
bahwa pemuda itu diculik oleh seorang tosu bernama Ouw-yang Sianjin!
“Saya sudah berusaha untuk merebutnya kembali, akan tetapi tosu itu cukup lihai dan dapat melarikan
Bouw Kongcu,” demikian Hongbacu mengakhiri laporannya.
“Ah, saya tahu siapa itu Ouw-yang Sianjin!” seru Hwa Hwa Hoat-su tokoh Pek-lian-kauw. “Dia masih
mempunyai perhitungan yang harus dibayar dengan nyawanya. Dialah yang menggagalkan rombongan
kami sehingga Leng Kok Ho-siang dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw terbunuh. Sekarang dia malah
menculik putera Paduka, Pangeran. Orang itu berbahaya bagi kita semua dan harus dibunuh!”
Pangeran Bouw Ji Kong marah sekali dan dia mengerahkan anak buahnya untuk mencari puteranya yang
kabarnya diculik dan dilarikan oleh Ouw-yang Sianjin. Namun semua usahanya sia-sia. Bouw Cu An dan
Ouw-yang Sianjin tak dapat ditemukan, lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Sementara itu, sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh persekutuan itu, Pangeran Bouw Ji Kong
berusaha melakukan pendekatan kepada para pejabat sipil dan militer yang setia kepada Kaisar dan
menaati menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing. Dia berusaha untuk membujuk mereka dan
memanas-manasi hati mereka dengan penggambaran betapa buruknya pemerintah itu di bawah Kaisar
Wan Li yang sudah dipengaruhi dua orang pejabat tinggi itu. Namun, usaha ini ternyata gagal.
Setelah kurang lebih setahun melakukan pendekatan dan bujukan, hasilnya sedikit sekali. Hanya ada
beberapa orang saja yang dapat terbujuk dan menerima ajakan Pangeran Bouw untuk bergabung dan
mendukung pangeran itu. Sebagian besar menolak dan tetap setia kepada Kaisar dan dua orang pejabat
tinggi itu.
Karena cara yang pertama gagal, maka dimulailali cara kedua, yaitu membunuh para pejabat yang setia
kepada Kaisar. Untuk pekerjaan ini, diserahkan kepada tiga orang sakti yang tinggal di istana Pangeran
Bouw Ji Kong, yaitu Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan.
Bagaikan berlumba saja, tiga orang sakti itu dalam jangka waktu sebulan masing-masing telah membunuh
dua orang pejabat tinggi. Tentu saja kota raja menjadi gempar! Dalam waktu sebulan ada enam orang
pembesar yang setia kepada kaisar telah terbunuh dan pembunuhnya sama sekali tidak meninggalkan
jejak! Juga tidak ada seorang pun perajurit penjaga yang melihat Si pembunuh, bayangannya saja pun tidak
tampak!
Kaisar Wan Li pun sempat panik mendengar laporan tentang terbunuhnya enam orang pejabat tinggi secara
beruntun itu. Kaisar segera memanggil dua orang pembantunya yang paling diandalkan, yaitu Menteri Yang
Ting Ho dan Panglima besar Chang Ku Cing. Dengan tegas Kaisar Wan Li memerintahkan kepada mereka
berdua untuk melacak dan menangkap pembunuh yang membuat resah para pembesar di kota raja.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Sebelumnya, dua orang pembesar ini memang sudah amat terkejut dan penasaran. Maka, mereka berdua
sudah mendatangi rumah mereka yang terbunuh dan memeriksa sendiri keadaan mayat para pembesar
yang terbunuh dalam kamar mereka itu. Maka, setelah dipanggil kaisar dan menerima perintah yang
mengandung teguran itu, keduanya lalu berunding di gedung tempat tinggal Menteri Yang Ting Ho.
Mereka berunding berdua saja dalam sebuah ruangan tertutup. Dua orang pembantu Kaisar yang usianya
sudah sekitar limapuluh tahun itu duduk berhadapan dengan wajah muram.
“Chang Ciang-kun.” kata Menteri Yang, “menurut dugaanku, kiranya tidak salah lagi bahwa pembunuh para
pejabat tentulah orang Pek-lian-kauw. Mereka memang memiliki orang-orang sakti, dan bukan mustahil
mereka datang mengacau sebagai pembalasan karena dulu gerakan mereka yang dipimpin Leng Kok Hosiang
itu telah gagal.”
“Dugaanmu itu kiranya tidak meleset jauh, Yang Taijin,” kata Panglima Chang yang bertubuh tinggi tegap
dan tampak gagah dengan kumis dan jenggotnya yang pendek terpelihara rapi dan pakaiannya sebagai
seorang panglima tinggi. “Memang agaknya hanya Pek-lian-kauw saja yang menjadi musuh besar kita di
dalam negeri. Akan tetapi ada dua hal yang amat menarik hatiku. Pertama, enam orang yang terbunuh itu
merupakan pejabat-pejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar dan merupakan pejabat yang
mendukung kita berdua dalam kesetiaan kita kepada pemerintah. Dua orang pejabat sipil itu adalah pejabat
yang baik dan enam orang pejabat militer itu adalah bawahan dan pembantu-pembantuku.”
“Engkau benar, Ciang-kun. Dua orang itupun merupakan pembantumu yang setia. Jadi kalau begitu,
pembunuh itu sengaja hendak melemahkan kita dengan jalan membunuhi para pembantu kita?”
“Tentu saja yang mereka incar adalah Sribaginda Kaisar. Karena kita berdua yang memperkuat kedudukan
Sribaginda Kaisar, maka kitalah yang lebih dulu diserang. Bawahan kita yang setia dibunuh untuk
melemahkan kekuatan kita sehingga mereka akan mudah untuk menujukan serangan mereka dengan
sasaran utama, yaitu Sribaginda Kaisar,” kata Panglima Chang.
Menteri Yang Ting Ho mengerutkan alisnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Untuk urusan serang
menyerang dan menggunakan siasat menyerang pihak lawan dengan berbagai akal dan cara tentu saja
merupakan keahlian Panglima Chang.
“Agaknya engkau benar, Ciang-kun. Akan tetapi hal kedua apakah yang menarik hatimu?”
“Taijin, ketika kita memeriksa keadaan jenazah enam orang korban itu aku melihat keanehan.”
“Keanehan? Aku hanya melihat bahwa mereka dibunuh secara kejam sekali.”
“Aku memperhatikan penyebab kematian mereka, Taijin. Ada tiga macam sebab kematian mereka, dan
masing-masing dua orang mati dengan cara yang sama, berbeda dengan yang lain.”
“Aku tidak melihat hal itu, Ciang-kun. Aku hanya melihat bahwa mereka tewas dalam keadaan mengerikan,
ada yang lehernya putus, kepalanya remuk, dadanya luka menembus punggung......”
07.19. Misteri Pembunuhan di Kotaraja
“Nah, itulah Taijin! Dua orang di antara mereka tewas dengan leher terpenggal. Agaknya yang memenggal
leher mereka menggunakan senjata yang amat tajam dan berat sehingga leher mereka itu putus terbabat
dengan sempurna. Dua orang lagi mati dengan kepala mereka remuk, padahal tidak tampak terluka. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka berdua menerima pukulan dengan senjata lunak yang tidak meninggalkan
bekas namun dapat menghancurkan, membuktikan bahwa pelakunya memiliki sin-kang yang amat kuat.
Adapun dua orang lagi mati dengan dada terluka dan menembus punggung. Luarnya bundar menandakan
bahwa mereka berdua tentu ditusuk senjata yang kecil, mungkin tombak atau tongkat, akan tetapi jelas
bukan pedang atau golok.”
“Hemm, jadi maksudmu, mereka berenam itu dibunuh oleh tiga orang pembunuh yang memiliki keahlian
berbeda?”
“Kesimpulannya begitulah, Taijin. Mereka tentu tiga orang dan mereka memiliki kepandaian tinggi, juga
mereka kejam dan berbahaya sekali.”
“Hemm, kalau begitu, bagaimana kita harus menghadapi mereka, Ciang-kun. Kukira engkaulah yang paling
tepat untuk menanggulangi bahaya ini. Aku sendiri akan menasihati Sribaginda Kaisar untuk melipat
gandakan pasukan pengawal yang kuat dan pilihan agar setiap saat Sribaginda dilindungi dengan ketat.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Memang sebaiknya begitu, Taijin. Dan lebih penting pula, sebaiknya Sribaginda memanggil semua pejabat
tinggi mengadakan persidangan agar terdapat lebih banyak pasukan untuk menjaga keselamatan kerajaan.”
“Baik, aku akan mengemukakan hal itu kepada Sribaginda Kaisar,” kata Menteri Yang.
“Ya, dan aku akan diam-diam secara rahasia menghubungi para pendekar yang setia kepada kerajaan
untuk membantu. Karena pihak musuh juga menggunakan orang-orang sakti yang dirahasiakan, maka aku
juga akan mencari pendekar-pendekar yang akan menghadapi mereka secara rahasia pula.”
Menteri Yang dan Jenderal atau Panglima Chang telah bersepakat untuk menghadapi serangan yang
membunuh para rekan mereka. Panglima Chang mengerahkan pasukan khusus yang diperintahkan untuk
melakukan penjagaan kepada para pejabat tinggi yang setia kepada kaisar.
Beberapa hari kemudian, setelah mendapat laporan dan anjuran Menteri Yang Ting Ho, Kaisar Wan Li
mengundang para pejabat tinggi untuk datang menghadap dan mengadakan persidangan untuk membahas
peristiwa yang menggegerkan itu.
Setelah Kaisar Wan Li secara singkat menceritakan tentang pembunuhan terhadap enam orang pejabat
tinggi yang terkenal setia, dia berkata.
“Menurut pendapat kami, pelakunya tentulah orang-orang yang menentang pemerintah dan hendak
melemahkan dan membikin kacau para pejabat pemerintah. Dan mereka yang memusuhi pemerintah pada
saat ini adalah golongan pemberontak Pek-lian-kauw dan tentu saja bangsa Mancu yang kini telah
menyusun kekuatan di utara. Mungkin juga ada suku-suku di luar daerah kita yang dapat dihasut mereka.
Kita harus siap dan berusaha sekuatnya untuk membekuk pembunuh itu agar suasana menjadi tenang dan
tenteram kembali.”
Setelah berhenti sejenak dan memandang kepada para pejabat itu, Kaisar Wan Li melanjutkan. “Karena
urusan ini teramat penting dan berbahaya, maka kami telah menyerahkan penanganannya kepada
Panglima Chang Ku Cing. Bagaimana pendapat kalian? Apakah ada yang mengajukan usul yang baik?”
Pangeran Bouw Ji Kong membungkuk dengan hormat sambil bangkit berdiri dari kursinya. “Kakanda Kaisar
yang mulia. Kalau menurut perkiraan hamba, pemberontak Pek-lian-kauw maupun para suku bangsa tidak
akan berani melakukan kejahatan itu. Pek-lian-kauw telah kita gagalkan dan hancurkan usaha mereka
mengacau beberapa waktu yang lalu, maka kiranya mereka tidak akan berani gegabah mencobanya lagi.
Juga hamba yang mengawasi hubungan antara kita dan para suku bangsa di luar daerah. Hubungan itu
cukup baik dan kiranya mereka tidak akan berani merusaknya dengan pembunuhan-pembunuhan itu.
Menurut hamba, ada pihak lain yang melakukannya.”
Kaisar Wan Li memandang kepada adik tirinya itu. “Hemm, Adinda Pangeran, begitukah pendapatmu?
Coba jelaskan, pihak lain mana dan siapa yang engkau maksudkan itu?”
“Yang Mulia, sudah bukan rahasia lagi bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang menamakan
dirinya para pendekar. Banyak di antara mereka itu yang merasa tidak puas dan membenci para pejabat.
Sudah banyak pejabat di kota raja maupun di daerah yang dihajar atau bahkan dibunuh para pendekar itu,
dengan dalih bahwa pejabat itu tidak adil, sewenang-wenang, atau memeras menindas rakyat. Hamba
condong untuk menduga bahwa yang membunuh enam orang pejabat itu adalah para pendekar yang
hamba maksudkan itu.”
Kaisar Wan Li adalah seorang yang lemah dan selalu mengandalkan pendapat para pembantunya.
Mendengar ucapan adik tirinya itu, timbul keraguan dalam hatinya dan dia memandang kepada para pejabat
yang hadir.
“Kami rasakan apa yang dikemukakan Adinda Pangeran Bouw Ji Kong itu ada benarnya juga. Bagaimana
kalau menurut pendapat kalian?”
Para pejabat tinggi diam saja. Mereka sudah mengenal siapa Pangeran Bouw dan bagi para pejabat yang
sudah menjadi anak buahnya tentu setuju dengan pendapat itu. Adapun mereka yang tidak setuju, tidak
berani mencela karena mereka merasa bahwa Pangeran Bouw tidak suka kepada mereka yang tidak mau
dibujuk untuk menerima hadiah dan taat kepadanya.
Panglima besar Chang Ku Cing segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Kaisar. “Hamba tidak
dapat membenarkan perkiraan Pangeran Bouw bahwa para pendekar yang melakukan pembunuhan itu.
Para pendekar yang gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan tidak akan melakukan pembunuhanpembunuhan
terhadap enam orang pejabat itu karena hamba mengenal betul siapa mereka.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Mereka adalah pejabat-pejabat yang setia kepada Paduka, mereka bersih, jujur dan adil. Tentu Paduka
masih ingat betapa dahulu, setahun lebih yang lalu, ketika Pek-lian-kauw mempunyai niat jahat untuk
mengacau dan Leng Kok Ho-siang sebagai wakil mereka menghadap Paduka, justeru para pendekar yang
telah membantu pemerintah menghancurkan usaha jahat mereka. Hamba berani menanggung bahwa
bukan para pendekar yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, melainkan musuh-musuh negara dan
para pemberontak.”
Para pejabat yang setia kepada kaisar mengangguk-angguk membenarkan pendapat Panglima Chang ini.
Adapun para pejabat yang telah menjadi pengikut Pangeran Bouw tidak ada yang berani membantah.
Kaisar Wan Li menutup persidangan dan memberi tugas khusus kepada tiga pejabat penting. Panglima
Chang ditugaskan untuk mencari dan menangkap pembunuh itu. Menteri Yang ditugaskan untuk
menenteramkan suasana di antara para pejabat, dan Pangeran Bouw diberi tugas untuk melakukan
penyelidikan apakah para suku bangsa di luar daerah tidak ada yang melakukan aksi yang mencurigakan,
terutama dia ditugaskan untuk mengamati gerak-gerik bangsa Mancu dan memberi laporan kalau ada yang
mencurigakan.
Para pejabat menanti sampai kaisar Wan Li mengundurkan diri dari ruangan sidang, baru mereka kembali
ke gedung masing-masing. Pangeran Bouw cepat menghubungi tiga orang sakti yang bersembunyi di
istananya dan menganjurkan mereka lebih baik untuk sementara menghentikan pembunuhan dan diamdiam
meninggalkan kota raja untuk menghindar dari usaha Panglima Chang yang tentu akan mencari
pembunuh itu dengan cermat.
Berbeda dengan Pangeran Bouw Ji Kong yang masih giat karena ambisius, sebaliknya Pangeran Sim Liok
Ong yang merupakan saudara misan kaisar, tidak memegang kedudukan apa-apa, maka dia tidak ikut
dipanggil dalam persidangan yang diadakan kaisar. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa Kaisar dan para
pejabat tinggi tentu gelisah dengan adanya pembunuhan-pembunuhan rahasia itu.
Yang amat tertarik dengan terjadinya peristiwa pernbunuhan-pembunuhan terhadap enam orang pejabat
tinggi yang setia dan jujur adalah putera Pangeran Sim Liok Ong, yaitu Sim Tek Kun. Sim Tek Kun yang
berusia duapuluh empat tahun ini adalah murid Kun-lun-pai yang lihai dan terkenal di dunia kang-ouw
sebagai Kun-lun Siauw-hiap (Pendekar Muda Kun-lun) yang selalu membela kebenaran dan keadilan
sebagai seorang pendekar gagah perkasa. Juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita
dan lihai, yaitu Ong Lian Hong.
Ong Lian Hong ini adalah puteri mendiang Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) Ong Han Cu,
dan ia menjadi sumoi (adik seperguruan) Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, murid mendiang ayahnya. Dulu,
sekitar dua tahun yang lalu, Ong Lian Hong bersama Sim Tek Kun yang ketika itu belum menjadi suaminya,
dan Hwe-thian Mo-li, ia membantu Panglima Chang Ku Cing membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang
mengacau kota raja. Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong telah menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu
namun mereka belum dikaruniai anak.
Selama dua tahun ini, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong hidup bahagia dan penuh kedamaian karena
mereka tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Mereka tinggal di gedung Pangeran Sim Liok Ong
yang tidak aktip dalam pemerintahan sehingga tidak pernah mendapatkan persoalan. Akan tetapi, biarpun
demikian, mereka memperhatikan peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di kota raja, maka pembunuhanpembunuhan
yang terjadi baru-baru ini membangkitkan perasaan penasaran dan menarik perhatian
mereka. Jelas telah terjadi kejahatan dalam kota raja dan mereka tentu saja tidak dapat membiarkan hal itu
terjadi berlarut-larut tanpa ikut menyelidiki dan memberantasnya atau menangkap pembunuhnya.
Pada suatu sore, suami isteri itu duduk di serambi bersama Pangeran Sim Liok Ong. Pangeran ini berusia
sekitar empatpuluh delapan tahun dan masih tampak segar dan tampan dengan sikapnya yang lembut.
Mereka membicarakan tentang pembunuhan itu.
“Kalau menurut pendapat Ayah, mengapa enam orang pembesar itu dibunuh orang dan mengapa terjadi hal
ini? Pertanda apakah ini, Ayah?” tanya Sim Tek Kun kepada ayahnya.
“Aku mengenal baik enam orang pejabat tinggi yang terbunuh itu. Mereka semua adalah pejabat yang setia
dan jujur. Karena itu, melihat pembunuhan yang dilakukan secara diam-diam penuh rahasia itu, sangat
boleh jadi bahwa orang yang mengatur pembunuhan itu sengaja hendak melemahkan kedudukan kaisar
dengan membunuhi para pembesar yang setia. Kalau pembunuhan ini merupakan dendam pribadi, rasanya
tidak mungkin secara berturut-turut enam orang pembesar dibunuh dan mereka semua ternyata merupakan
pembantu-pembantu setia dari Sribaginda Kaisar!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Sim Tek Kun dan isterinya, Ong Lian Hong, mengangguk-angguk setuju dengan pendapat pangeran itu.
“Kalau enam orang pejabat tinggi itu terbunuh secara rahasia dan tidak ada yang mengetahui siapa
pembunuh mereka, jelas bahwa dalang pembunuhan itu mengutus orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi untuk melakukan pembunuhan itu,” kata Ong Lian Hong.
“Dugaanmu itu tentu tepat, Hong-moi. Dan kukira yang patut dicurigai adalah Pek-lian-kauw! Merekalah
yang dulu mengacau di kota raja, dan memang Pek-lian-kauw mempunyai banyak orang lihai. Agaknya
sekali ini pun pembunuhan itu dilakukan mereka untuk membikin kacau atau seperti dikatakan Ayah tadi,
untuk melemahkan pemerintah yang dipimpin Sribaginda Kaisar,” kata Sim Tek Kun.
Selagi mereka bercakap-cakap, terdengar derap kaki kuda dan roda kereta. Mereka semua memandang
dan melihat sebuah kereta memasuki pekarangan gedung itu dan para penjaga di pintu pekarangan
memberi hormat. Dari keretanya saja Pangeran Sim Liok Ong sudah mengenal siapa yang datang
berkunjung.
“Panglima Chang Ku Cing yang datang!” katanya dan mereka bertiga segera bangkit dan menyambut di luar
serambi.
Setelah kereta berhenti, benar saja yang keluar dari kereta adalah Panglima Chang Ku Cing yang berusia
sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi tegap dengan kumis dan jenggot pendek terpelihara rapi sehingga
dia tampak gagah sekali dalam pakaian panglima yang serba gemerlapan. Dia ditemani seorang pemuda
gagah berusia sekitar duapuluh lima tahun.
Pangeran Sim, diikuti putera dan mantunya, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada
yang dibalas oleh Panglima Chang. Pangeran Sim Liok Ong berkata gembira.
“Selamat datang, Panglima Chang. Mari, silakan masuk, kami merasa gembira menyambut kunjunganmu.”
“Terima kasih dan maafkan kalau saya mengganggu, Pangeran. Saya datang untuk membicarakan sesuatu
denganmu, terutama sekali dengan putera dan mantumu,” kata panglima itu sambil memandang kepada
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.
“Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam, Panglima!” kata Pangeran Sim dan mereka lalu memasuki
ruangan tamu.
Lima orang itu duduk saling berhadapan mengelilingi sebuah meja besar. Pangeran Sim lalu menutupkan
pintu depan dan belakang dari ruangan itu, memesan kepada pelayan agar mereka jangan diganggu. Tak
seorang pun boleh memasuki ruangan sebelum dipanggil.
“Saya kira Pangeran sudah dapat menduga kepentingan apa yang hendak saya bicarakan. Sebelumnya,
perkenalkan dulu. Pemuda ini adalah keponakan saya putera tunggal adik saya yang telah gugur dalam
perang. Namanya adalah Chang Hong Bu dan dia telah lulus belajar ilmu silat di kuil Siauw-lim-si.”
Pangeran Sim Liok Ong, putera dan mantunya itu memandang kepada pemuda itu penuh perhatian. Baru
sekarang Pangeran Sim bertemu dengan pemuda itu bahkan baru sekarang dia mendengar bahwa
panglima yang terkenal itu memiliki seorang keponakan yang gagah perkasa, murid Siauw-lim-pai.
Seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun yang bertubuh tegap, berwajah tampan dan gagah sikapnya
tenang dan wataknya pendiam, sinar matanya tajam berwibawa seperti mata pamannya. Ketika
diperkenalkan pemuda bernama Chang Hong Bu itu bangkit dan memberi hormat dengan membungkuk
kepada keluarga tuan rumah.
“Kami senang sekali dapat berkenalan dengan keponakanmu yang gagah, Panglima. Kalau kami tidak salah
duga, tentu kedatangan Panglima ini ada hubungannya dengan masalah yang tadi baru saja kami
bicarakan, yaitu masalah pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja. Benarkah?”
Panglima Chang tertawa dan menoleh kepada keponakannya.
“Ha-ha-ha! Kau dengar sendiri, Hong Bu! Tidak salah, bukan, keteranganku tadi, bahwa Pangeran Sim Liok
Ong adalah seorang yang amat cerdik? Baru saja kita datang beliau ini telah dapat menduga dengan tepat
maksud kedatanganku. Tentu Pangeran telah mengetahui pula apa yang kami inginkan sehubungan
dengan peristiwa itu, bukan?”
Pangeran Sim juga tersenyum. “Aih, Panglima. Saya dapat berbuat apakah menghadapi urusan kekerasan
ini? Tentu putera dan mantuku lebih tepat untuk Panglima ajak membicarakannya.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Kembali panglima Chang tertawa dan memandang kepada keponakannya, seolah hendak membuktikan
bahwa lagi-lagi pangeran itu telah dapat menebak dengan tepat.
“Memang benar, terus terang saja kami semua merasa penasaran dengan adanya peristiwa pembunuhan
itu. Karena itu, saya teringat akan puteramu Sim Tek Kun dan isterinya Ong Lian Hong yang dulu pernah
membantu kami menghancurkan para tokoh Pek-lian-kauw yang mendatangkan kekacauan di kota raja.
Bagaimana pendapatmu tentang adanya pembunuhan-pembunuhan itu, nanda Tek kun?”
Sim Tek Kun menoleh kepada ayahnya lalu memandang kepada Panglima Chang. “Seperti telah dikatakan
Ayah tadi, Paman Panglima, ketika Paman datang, kami bertiga sedang membicarakan peristiwa itu.
Menurut pendapat kami bertiga, pembunuhan-pembunuhan itu sengaja dilakukan oleh pihak yang
memusuhi pemerintah. Yang dibunuh adalah pejabat-pejabat yang setia kepada Sribaginda Kaisar, maka
pembunuhan itu agaknya dilakukan untuk mendatangkan kekacauan dan melemahkan pemerintah.
Mengingat bahwa yang dulu memusuhi pemerintah adalah Pek-lian-kauw dan mengingat pula bahwa
pembunuhan tentu dilakukan orang-orang yang lihai, maka kami menduga bahwa yang melakukan adalah
orang-orang Pek-lian-kauw.”
Panglima Chang mengangguk-angguk. “Kami semua juga mempunyai dugaan seperti itu. Pek-lian-kauw
atau bukan, yang melakukannya tentu mereka yang memusuhi pemerintah dan ingin melemahkan
pemerintah dengan membunuhi para pejabat tinggi yang setia. Perkara ini amat gawat sehingga Sribaginda
Kaisar mengadakan rapat khusus dan menugaskan saya untuk mencari dan menangkap pembunuhnya.
“Setelah kami selidiki, kami berpendapat bahwa enam orang itu dibunuh oleh tiga orang yang memiliki ilmu
berbeda aliran. Hal ini dibuktikan dengan cara tewasnya enam orang itu. Dua orang tewas dengan kepala
terpenggal, dua orang lagi tewas dengan dada tertusuk dan tembus sampai punggung, sedangkan yang
dua orang lagi tewas dengan kepala hancur isinya tanpa luka di luarnya.
“Kita berurusan dengan orang-orang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya, oleh karena itu kami yang diberi
tugas ingin minta bantuan para pendekar yang dulu juga membantu kami menghadapi orang-orang Peklian-
kauw yang lihai. Bagaimana, nanda Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong, bersediakah ji-wi (Anda berdua)
membantu kami?”
“Tentu saja kami siap membantu sekuat kemampuan kami, Paman Panglima,” kata Sim Tek Kun.
“Terima kasih, nanda Sim Tek Kun. Dengan bantuan nanda berdua isteri, kami semakin yakin bahwa
akhirnya kita akan dapat mengetahui siapa dalang pembunuhan ini dan kalau kita beruntung, akan dapat
menangkap pelaku-pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi kami teringat akan Hwe-thian Mo-li. Kalau saja kita
dapat minta bantuannya, kiranya pekerjaan ini akan menjadi semakin mudah.
“Barangkali nanda Ong Lian Hong mengetahui, di mana tempat tinggal Hwe-thian Mo-li sekarang? Saya
ingin mengutus keponakan kami Chang Hong Bu ini untuk menyampaikan permintaan saya kepadanya
untuk membantu.”
Mendengar pertanyaan ini, Ong Lian Hong mengerutkan alisnya dan sinar matanya membayangkan
kesedihan. Ia sudah mendengar pengakuan suaminya bahwa Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dahulu jatuh
cinta kepadanya. Biarpun dia tidak membalas cinta Hwe-thian Mo-li namun dia merasa bahwa Nyo Siang
Lan jatuh cinta kepadanya tanpa pernah menyatakannya dengan ucapan.
Mendengar ini Lian Hong baru menyadari mengapa sucinya itu sengaja mempermainkan ia dan Tek kun
yang telah ditunangkan kepadanya sejak dulu, membuat mereka saling bertanding dan saling mengerti
bahwa mereka telah menjadi calon jodoh sejak dulu. Dan mengapa sejak itu sucinya pergi dan tidak pernah
menjumpainya atau memberi kabar! Kini, mendengar pertanyaan Panglima Chang, tentu saja ia teringat
kepada Nyo Siang Lan dan merasa sedih.
“Paman Panglima, saya sendiri tidak pernah bertemu atau mendengar berita tentang enci Nyo Siang Lan
sejak kami bersama-sama menentang orang-orang Pek-lian-kauw itu. Saya pernah melakukan penyelidikan
dan mendengar bahwa Ban-hwa-pang di Ban-hwa-kok diserbu dan diambil alih kekuasaan ketuanya oleh
seorang gadis yang amat lihai. Mungkin sekali gadis itu adalah Enci Siang Lan, akan tetapi saya tidak
berani memastikannya.”
“Ban-hwa-kok (Lembah Selaksa Bunga)? Di manakah itu?” Panglima Chang bertanya, penuh perhatian.
“Saya sendiri tidak tahu, Paman........”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
07.20. Pemuda Murid Siauw-lim-pay
“Nanti dulu!” Tiba-tiba Sim Tek Kun memotong. “Lembah Selaksa Bunga? Saya pernah mendengar tentang
itu, kalau tidak salah, dulu ada Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga) di lembah itu, dan
pemimpinnya adalah seorang she (marga) Siangkoan yang amat lihai yang dijului Si Tombak Maut. Lembah
Selaksa Bunga itu berada di puncak Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga), sebuah di antara bukit-bukit yang
menjadi bagian dari Lu-liang-san.”
“Bagus!” kata Panglima Chang girang. “Nah, Hong Bu, engkau sudah mendengar sendiri. Nanda Sim Tek
Kun berdua isterinya kami minta bantuannya untuk ikut menyelidiki siapa yang melakukan pembunuhan itu,
dan engkau pergilah ke Lu-liang-san, cari Lembah Selaksa Bunga dan temui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang
Lan. Aku akan membuat Surat untuknya. Nah, mari kita pulang, engkau cepat berkemas dan bawa suratku.”
Panglima Chang lalu berpamit kepada Pangeran Sim, putera dan mantunya, dan bersama keponakannya
kembali ke gedungnya. Setelah panglima itu pergi, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong membuat persiapan
untuk mulai melakukan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu.
Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang yatim piatu. Ayahnya, adik Panglima Chang Ku Cing, juga
seorang perwira tinggi yang gugur dalam perang melawan pemberontak di utara. Ibunya juga meninggal
dunia karena sakit sehingga Chang Hong Bu menjadi yatim piatu. Sejak kecil dia lalu ikut pamannya yaitu
Panglima Chang Ku Cing.
Melihat bakat anak itu baik sekali untuk ilmu silat, Panglima Chang lalu mengirimnya ke Siauw-lim-pai untuk
belajar ilmu silat. Selama limabelas tahun, sejak berusia sepuluh tahun, Hong Bu digembleng ilmu silat di
kuil Siauw-lim-pai. Setelah tamat belajar dan usianya sudah duapuluh lima tahun, dia kembali ke rumah
pamannya.
Kini Hong Bu menerima tugas dari pamannya untuk mencari Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan di pegunungan
Lu-liang-san. Tentu saja dia merasa senang sekali menerima tugas ini. Setelah tamat dari Siauw-lim-pai dia
telah menjadi seorang pendekar muda perguruan silat yang amat terkenal itu.
Tentu saja dia ingin memanfaatkan semua pelajaran yang telah ditekuninya selama limabelas tahun itu
untuk bertualang di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Akan tetapi kini tugasnya yang utama adalah menemukan Hwe-thian Mo-li agar dapat menyampaikan, surat
undangan Panglima Chang. Dari gurunya, yaitu Ci kok Ho-siang yang menjadi wakil Ketua Siauw-lim-pai,
dia bukan hanya menerima pelajaran bu (ilmu silat), akan tetapi juga bun (ilmu sastra).
Hong Bu melakukan perjalanan cepat, menghindari segala gangguan dalam perjalanan karena dia harus
lebih dulu menunaikan tugas yang diberikan pamannya.
Setelah tiba di kaki pegunungan Lu-liang-san, Hong Bu mulai bertanya-tanya kepada para penduduk dusundusun
di sekitar pegunungan itu di mana adanya Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga). Karena hari telah
menjelang senja, dia melewatkan malam itu di sebuah dusun di kaki bukit, karena dia merasa tidak sopan
kalau berkunjung ke tempat tinggal orang pada malam hari. Apalagi yang dicarinya adalah seorang gadis.
Dia bermalam di rumah seorang petani tua yang duda dan sudah berusia limapuluh tahun lebih. Dari petani
inilah dia mendengar tentang Ban-hwa-pang.
Menurut kakek itu, dahulu, ketika Ban-hwa-pang masih merupakan gerombolan yang dipimpin oleh Si
Tombak Maut Siangkoan Leng, tidak ada orang berani tinggal di sekitar kaki bukit itu karena gerombolan
Ban-hwa-pang itu terkenal bengis dan kejam. Akan tetapi setelah gerombolan itu dibasmi oleh seorang
wanita sakti berjuluk Hwe-thian Mo-li, dibunuhi semua berikut ketuanya, lalu perkumpulan yang tetap
bernama Ban-hwa-pang itu kini menjadi perkumpulan yang anggautanya terdiri dari wanita semua dan
dipimpin oleh Hwe-thian Mo-li, perkumpulan itu berubah menjadi baik dan tidak pernah ada anggauta
perkumpulan itu melakukan gangguan terhadap dusun-dusun di sekitarnya.
Maka mulailah ada penduduk dusun yang pindah ke kaki Bukit Ban-hwa-san yang memiliki tanah subur
untuk tinggal dan bertani di situ. Apalagi Ban-hwa-pang kini tidak memungut pajak kepada mereka, bahkan
kalau ada yang berani mengganggu penduduk dusun Ban-hwa-pang akan turun tangan memberi hajaran
kepada pengacau itu.
Mendengar keterangan ini, hati Chang Hong Bu merasa lega. Jelaslah bahwa orang yang dicarinya, Hwethian
Mo-li, biarpun julukannya mengerikan, yaitu Iblis Betina Terbang, ternyata bukan orang jahat.
Pada keesokan harinya setelah matahari naik cukup tinggi, barulah Hong Bu mendaki bukit itu. Baru tiba di
lereng tengah saja dia sudah merasa kagum bukan main karena lereng itu sudah penuh dengan tanaman
dunia-kangouw.blogspot.co.id
bunga beraneka bentuk dan warna, dan harumnya semerbak sejak dari lereng pertama. Ratusan ekor kupukupu
dengan berbagai macam warna beterbangan seperti menari-nari di atas bunga-bunga itu.
Hwe-thian Mo-li setelah menguasai Ban-hwa-kok, dengan bantuan anak buahnya, memperindah lembah itu
dengan menanam lebih banyak bunga lagi. Akan tetapi ia membongkar dan melenyapkan semua
perangkap dan jebakan yang dulu dipasang oleh Siangkoan Leng. Bahkan jalan menuju ke puncak juga ia
suruh bangun sehingga pendakian ke puncak kini amat mudah dan menyenangkan.
Ketika Chang Hong Bu sedang menikmati pemandangan yang amat indah di lembah itu, tanpa terasa dia
sudah mendaki sampai di lereng bawah puncak. Para wanita anggauta Ban-hwa-pang sedang sibuk bekerja
di kebun sayur, maka tidak ada yang melihat datangnya pemuda ini.
Ketika Hong Bu tiba di tanah datar di bawah pondok di mana terdapat sebuah beranda bercat merah yang
indah, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang
berusia sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan, sinar matanya tajam namun
lembut. Baru melihat cara orang itu muncul begitu saja Hong Bu sudah dapat menduga bahwa dia
berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Maka dia cepat memberi hormat dengan
merangkap kedua tangan di depan dada.
Laki-laki itu adalah Sie Bun Liong atau yang mengaku bernama Bu-beng-cu kepada Hwe-thian Mo-li.
Sebetulnya, Bu-beng-cu tidak tinggal di Lembah Selaksa Bunga. Bahkan dia tidak mau sampai terlihat oleh
para anggauta Ban-hwa-pang karena dia khawatir kalau-kalau ada anggauta Ban-hwa-pang yang
mengenalnya biarpun ketika datang berkunjung kepada adik tirinya, dia datang dengan diam-diam. Akan
tetapi karena dia amat memperhatikan keadaan Hwe-thian Mo-li maka dia sering diam-diam mendatangi
Lembah Selaksa Bunga untuk melihat-lihat kalau-kalau gadis yang menjadi pusat perhatiannya itu terancam
bahaya dan membutuhkan pertolongannya.
Pada pagi hari itu, ketika dia berada di kaki Bukit Ban-hwa-san, dia melihat seorang pemuda mendaki bukit
itu. Timbul kecurigaannya. Dia tahu bahwa Hwe-thian Mo-li memiliki banyak musuh karena gadis pendekar
ini biasanya bertindak amat keras terhadap orang-orang jahat.
Bahkan adik tirinya, Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang, berikut semua anak buahnya telah dibunuh
oleh Hwe-thian Mo-li. Maka kalau kini ada pemuda yang tampak gagah perkasa mendaki Ban-hwa-pang,
dia menjadi curiga, mengira pemuda itu tentu memiliki maksud yang tidak baik. Diam-diam dia membayangi
Chang Hong Bu dan setelah Hong Bu benar-benar hendak ke puncak, setibanya di lereng bawah puncak,
Bu-beng-cu dengan cepat muncul dan menghadangnya.
Di lain pihak, Chang Hong Bu ketika melihat ada seorang laki-laki muncul di situ, dia pun merasa curiga.
Menurut keterangan petani tadi, Ban-hwa-pang kini merupakan perkumpulan wanita dan tidak ada laki-laki
boleh naik ke puncak atau jelasnya, tempat itu merupakan daerah terlarang bagi pria. Kini di sana ada
seorang laki-laki, maka tentu saja dia pun merasa curiga.
Dengan sinar mata tajam penuh selidik Bu-beng-cu bertanya, “Siapakah engkau dan ada keperluan apakah
mendaki Ban-hwa-san?”
Hong Bu mengerutkan alisnya. Dia tadi memberi hormat karena orang itu lebih tua daripada dia dan orang
itu kini tanpa membalas penghormatannya bertanya seperti menyelidik.
“Seingatku, menurut keterangan orang yang mengetahui, Ban-hwa-pang adalah perkumpulan wanita dan
tidak ada pria yang boleh memasuki daerah lembah ini. Kalau yang menyambut kedatanganku dan
menegurku seorang wanita, hal itu dapat kumengerti dan aku tentu akan menjelaskan maksud kunjunganku.
Akan tetapi yang muncul adalah seorang laki-laki, maka aku pun kiranya berhak untuk bertanya, siapakah
engkau dan mengapa engkau seorang laki-laki berada di daerah perkumpulan wanita?” kata Hong Bu
sambil memandang tajam.
“Orang muda, engkau kutanya belum menjawab malah berbalik bertanya kepadaku. Siapa aku dan apa
urusanku berada di sini tidak ada sangkut pautnya denganmu. Nah, katakan siapa engkau dan apa
maumu?”
“Urusanku juga tidak ada sangkut pautnya denganmu. Aku datang untuk bertemu dengan Hwe-thian Mo-li
dan aku tidak mempunyai urusan denganmu.”
“Hemm, mau apa engkau mencari Hwe-thian Mo-li?”
“Bukan urusanmu!” kata Hong Bu marah.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Kalau begitu, engkau tentu mempunyai niat buruk datang ke tempat ini!” Bu-beng-cu berseru.
“Mungkin engkau yang mempunyai niat buruk, bukan aku!” jawab Hong Bu.
“Bocah sombong, cepat engkau pergi dari sini atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!” kata Bubeng-
cu.
Hong Bu yang masih muda itu menjadi marah juga, dan kecurigaannya bertambah. “Engkau tidak berhak
mengusirku dan kalau hendak menggunakan kekerasan, coba saja kalau engkau mampu!”
Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong merasa ditantang. Dia memang mencurigai kedatangan Hong Bu, dan ada
sedikit rasa cemburu di hatinya. Pemuda itu tampan gagah dan masih muda, bukan tidak mungkin Hwethian
Mo-li akan tertarik hatinya kalau bertemu dengan pemuda ini, demikian bisikan hatinya yang cemburu!
“Hemm, bocah sombong, pergilah!” Bu-beng-cu mendorong dengan tangan kirinya ke arah Hong Bu.
Dorongan mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, akan tetapi bukan untuk memukul
melainkan untuk mendorong agar pemuda itu terdorong mundur, menjadi gentar dan pergi meninggalkan
tempat itu. Angin dorongan yang amat kuat menyambar ke arah Hong Bu.
Akan tetapi menghadapi serangan dorongan ini Hong Bu tidak menjadi gentar. Dia tidak mengelak, bahkan
dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya dan menyambut dorongan telapak tangan Bu-beng-cu.
“Wuuuttt...... desss!!”
Bu-beng-cu terkejut bukan main. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu mampu menyambut
dorongannya dengan tenaga yang cukup besar sehingga tubuh pemuda itu sama sekali tidak terdorong
mundur, melainkan hanya tergetar, akan tetapi dia sendiri juga mengalami getaran yang kuat. Ini
membuktikan bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang mampu mengimbangi kekuatannya sendiri!
“Bagus! Kiranya engkau memiliki kepandaian? Pantas sikapmu begini sombong!” kata Bu-beng-cu. “Nah,
mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih unggul!” Dia lalu mulai menyerang dan dua orang itu lalu
berkelahi dengan seru.
Setelah bertanding belasan jurus, dengan kaget Bu-beng-cu mengenal ilmu silat Siauw-lim-pai yang aseli
dan kokoh kuat. Ternyata pemuda itu seorang murid Siauw-lim-pai yang tingkat kepandaiannya sudah
sedemikian tingginya sehingga mampu menandingi dan mengimbanginya!
Dia merasa kagum dan mulai hilang kecurigaannya. Dia tahu benar bahwa murid Siauw-lim-pai biasanya
berwatak gagah sebagai seorang pendekar dan rasanya tidak mungkin mempunyai niat jahat.
Pasti dia mempunyai urusan penting dengan Hwe-thian Mo-li dan bukan berniat tidak baik. Akan tetapi
setelah mereka bertanding, Bu-beng-cu yang juga suka menguji ilmu silat orang lain, mulai tertarik dan ingin
melanjutkan untuk melihat sampai di mana kehebatan pendekar muda Siauw-lim-pai ini. Dia menyerang
terus dan kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.
Setelah mereka bertanding selama limapuluh jurus, barulah tampak bahwa Hong Bu masih kalah kuat dan
dia mulai mencurahkan kepandaiannya untuk bertahan dan melindungi dirinya. Pertahanannya kokoh kuat
dan sukar ditembus, merupakan ciri dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Diam-diam Bu-beng-cu menjadi semakin kagum dan dia mulai merasa suka kepada pemuda itu. Dalam
keadaan terdesak, pemuda itu tidak mau mencabut pedangnya. Hal ini saja menunjukkan kegagahannya
yang tidak mau melawan orang bertangan kosong dengan pedangnya! Seorang pemuda yang gagah
perkasa!
Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan terdengar bentakan nyaring.
“Penjahat dari mana berani mengacau di sini?” Sinar pedang berkilat menyambar ke arah Hong Bu.
Pemuda ini terkejut sekali. Dia cepat melompat ke samping sambil mencabut pedangnya.
Kembali sinar kilat dari pedang di tangan Hwe-thian Mo-li menyambar ke arah lehernya. Hong Bu
mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg......!!” Bunga api berpijar dan pedang Lui-kong-kiam di tangan Hwe-thian Mo-li terpental.
Sebelum kedua orang itu saling serang, Bu-beng-cu sudah melompat dan melerai. “Tahan pedang! Jangan
berkelahi!!”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Karena Bu-beng-cu melompat di tengah-tengah, di antara mereka, maka baik Hwe-thian Mo-li maupun
Hong Bu cepat melompat ke belakang dan menahan pedang mereka. Mereka kini berdiri saling pandang
dan melihat bahwa yang menyerangnya dengan pedang secara hebat tadi adalah seorang gadis yang
cantik jelita dan gagah, Hong Bu terkejut.
“Maaf, apakah...... apakah...... Nona yang bernama Hwe-thian Mo-li......?”
Nyo Siang Lan mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik. “Siapa
engkau dan mengapa engkau mengacau di sini dan berkelahi dengan Paman Bu-beng-bu?”
Bu-beng-cu segera berkata menengahi, “Nona, kurasa semua ini hanya merupakan salah pengertian
belaka. Pemuda ini bertemu denganku di sini dan kami sama-sama saling mencurigai. Setelah bertanding,
baru aku tahu bahwa dia ini murid Siauw-lim-pai yang tangguh dan aku tadi hanya ingin menguji
kepandaiannya. Dia datang untuk mencarimu, Hwe-thian Mo-li.”
Mendengar ini, Hong Bu menyadari bahwa dia berhadapan dengan gadis yang dicarinya dan bahkan lakilaki
gagah itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan agaknya masih keluarga dengan Hwe-thian Mo-li
yang menyebutnya paman.
Dia cepat menyimpan pedangnya dan mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat
kepada mereka berdua.
“Saya Chang Hong Bu mohon maaf sebesarnya kepada Paman dan juga kepadamu, Nona. Seperti
dikatakan Paman tadi, semua ini hanya merupakan kesalah pahaman belaka. Sayalah yang bersalah dan
mohon maaf.”
Hwe-thian Mo-li dan juga Bu-beng-cu merasa suka kepada pemuda ini yang ternyata selain gagah juga
sikapnya sopan. Akan tetapi Nyo Siang Lan masih curiga karena belum tahu apa maksud kedatangan
pemuda yang tidak dikenalnya itu ke Ban-hwa-san.
“Paman Bu-beng-cu tadi bilang bahwa engkau datang mencari aku. Padahal aku sama sekali tidak pernah
mengenalmu. Ada urusan apakah engkau mencariku?” tanya Siang Lan sambil menatap tajam wajah
pemuda itu dan ia pun menyimpan kembali pedang Lui-kong-kiam ke dalam sarung pedangnya.
“Saya datang sebagai utusan Paman Panglima Chang Ku Cing dari kota raja untuk membicarakan urusan
yang amat penting dan menyampaikan surat darinya kepadamu, Nona.”
“Ah, jadi engkau adalah utusan dari panglima Chang Ku Cing? Dan engkau pun bermarga Chang, jadi......”
kata Bu-beng-cu ragu.
“Saya adalah keponakan Panglima Chang Ku Cing,” kata Hong Bu sederhana.
“Hwe-thian Mo-li, kalau begitu, dia ini membawa berita yang teramat penting. Maka, sudah sepatutnya kalau
engkau membicarakan urusannya di Lembah Selaksa Bunga. Aku masih mempunyai urusan lain, maafkan,
aku pergi dulu!” Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu perkelebat dan cepat menuruni lereng itu. Hong Bu
memandang dengan kagum sekali.
“Bukan main lihainya Paman itu,” katanya. “Kalau tadi dia bersungguh-sungguh dan tidak banyak mengalah,
tentu aku sudah dikalahkannya.”
“Dia itu Paman Bu-beng-cu...... sahabat baik kami. Marilah, Chang Kongcu (Tuan Muda Chang), silakan ke
puncak, kita bicara di sana.”
“Baik, Nyo Siocia (Nona Nyo),” kata Hong Bu.
Siang Lan berhenti melangkah dan memandang pemuda itu dengan heran.
“Engkau mengenal namaku?”
“Tentu saja, Nona. Namamu Nyo Siang Lan, bukan? Paman Panglima yang memberitahu dan beliau
mengetahui namamu dari isteri Saudara Sim Tek Kun.”
“Ah, Lian Hong......” Siang Lan berseru. “Kongcu, bagaimana keadaan adikku Ong Lian Hong?”
“Setahuku, mereka semua itu baik-baik saja. Sebelum ke sini aku diajak Paman Panglima untuk
mengunjungi mereka. Paman minta kepada mereka untuk membantu Paman melakukan penyelidikan, dan
menanyakan alamatmu. Setelah Paman diberitahu bahwa mungkin engkau berada di sini, Paman lalu
mengutus aku untuk mencarimu di sini, Nona.”
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Apakah mereka sudah mempunyai putera?”
“Setahuku belum, Nona,” Hong Bu merasa heran melihat gadis itu seolah tidak mempedulikan urusan yang
dia bawa dari panglima Chang, melainkan sibuk bertanya tentang Ong Lian Hong dan suaminya. Tentu
hubungannya dengan mereka itu baik sekali.
Setelah tiba di bangunan mungil di tengah perkampungan Ban-hwa-pang yang dipenuhi taman-taman
bunga serba indah, Hong Bu dipersilakan duduk di sebuah ruangan terbuka di samping rumah Siang Lan.
Gadis itu sengaja menerima pemuda itu di ruangan terbuka sehingga tampak dari sekelilingnya karena ia
merasa tidak pantas mengadakan pertemuan dengan seorang pemuda asing di tempat tertutup.
Keharuman bunga semerbak memenuhi ruangan itu. Begitu duduk berhadapan kembali Siang Lan
menghujani pemuda itu pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan Lian Hong dan suaminya!
Akhirnya, Hong Bu mendapat kesempatan untuk menyerahkan surat pamannya kepada Siang Lan. Gadis
itu membuka surat dan membacanya. Kemudian ia meletakkan surat di atas meja, memandang kepada
Hong Bu dan berkata.
07.21. Dua Hati Mulai Berbicara
“Chang Kongcu, Panglima Chang dalam suratnya minta bantuanku untuk ikut mencari pembunuh yang
melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi di kota raja. Dan dia menulis bahwa engkau
dapat memberi penjelasan kepadaku tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja. Sebetulnya,
peristiwa penting apakah yang terjadi sehingga Chang Goan-swe (Jenderal Chang) sampai minta
bantuanku?”
Hong Bu lalu bercerita tentang pembunuhan-pembunuhan itu dengan jelas. “Pembunuhan terhadap enam
orang pejabat tinggi itu merupakan peristiwa gawat sehingga menarik perhatian Sribaginda sendiri. Paman
Panglima mendapat tugas untuk mencari dan menemukan pembunuh-pembunuh itu.”
“Kenapa begitu penting dan apakah ada banyak pembunuh?”
“Menurut penyelidikan, enam orang yang terbunuh itu adalah para pejabat tinggi yang setia kepada
Sribaginda Kaisar sehingga pembunuh ini berbau pemberontakan atau setidaknya ada usaha untuk
melemahkan pemerintah maka para pejabat tinggi yang setia dibunuh. Menurut perkiraan, yang membunuh
enam orang pejabat itu ada tiga orang karena kematian mereka dengan tiga cara yang berbeda.”
Pemuda itu lalu menceritakan secara rinci penyebab kematian enam orang itu. Dua orang mati dengan
leher terpenggal, dua orang dengan dada tertembus dan berlubang, sedangkan yang dua lagi mati dengan
isi kepala hancur tanpa ada luka.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengerutkan alisnya. “Hemm, kalau begitu pembunuhan-pembunuhan itu
ditujukan kepada para pembantu setia Sribaginda Kaisar dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Aku tidak akan merasa heran kalau kemudian diketahui bahwa pembunuh-pembunuh itu
adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Perkumpulan itulah yang biasa memberontak dan mereka memiliki
banyak orang pandai.”
“Paman Panglima juga berpendapat demikian, Nona. Akan tetapi kalau mereka itu orang-orang Pek-liankauw,
bagaimana mereka dapat bergerak bebas di kota raja? Mereka tidak mungkin dapat bersembunyi di
rumah-rumah penginapan karena semua sudah diperiksa dan digeledah.”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh, lalu mereka berdua dikejutkan suara yang bergema nyaring, datangnya
dari arah pintu perkampungan itu.
“Hwe-thian Mo-li! Keluarlah engkau untuk menerima pembalasan kami!”
Dengan gerakan ringan dan cepat sekali Siang Lan melompat keluar, diikuti oleh Hong Bu. Mereka segera
melihat dua orang kakek berpakaian seperti pendeta yang diiringkan sepuluh orang anak buah mereka.
Hwe-thian Mo-li terkejut karena ia mengenal dua orang kakek itu dengan baik. Mereka adalah Hoat Hwa
Cin-jin, tokoh Pek-lian-kauw dan yang lain adalah Hwa Hwa Hoat-su yang merupakan datuk sakti dari Peklian-
kauw. Tentu saja sepuluh orang di belakang mereka itu adalah para anggauta Pek-lian-kauw. Melihat
mereka, Hwe-thian Mo-li segera berseru kepada para wanita anggauta Ban-hwa-pang yang sudah berlarian
menuju ke situ.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
“Kalian semua mundur dan jangan turut campur!”
Ia melarang anak buahnya untuk ikut menghadapi dua orang tokoh Pek-lian-kauw dan anak buahnya
karena maklum bahwa anak buahnya yang belum lama ia latih ilmu silat, bukanlah tandingan orang-orang
Pek-lian-kauw sehingga kalau mereka maju melawan, sama saja dengan bunuh diri!
“Siapa mereka, Nona?” bisik Hong Bu yang belum banyak pengalaman.
“Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw,” jawab Siang Lan dan dengan tenang dan tabah ia melangkah
maju menghampiri duabelas orang itu, diikuti Hong Bu yang terkejut dan waspada ketika mendengar bahwa
mereka itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw.
Kini dua orang muda itu sudah berhadapan dengan duabelas orang Pek-lian-kauw itu. Hwe-thian Mo-li
segera menegur dengan suara nyaring.
“Kiranya Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa Cin-jin! Hemm, kalian berdua pemberontak-pemberontak Peklian-
kauw, datang ke Ban-hwa-kok ini mau apakah?”
“Iblis betina Hwe-thian Mo-li! Dosamu telah bertumpuk-tumpuk! Engkau telah membunuh Leng Kok Hosiang
yang menjadi utusan kami, juga engkau telah membunuh Cia Kun Tosu dan Cin Kok Tosu para
keponakan murid kami, bahkan engkau telah membunuh Siangkoan Leng sahabat kami dan merampas
Lembah Selaksa Bunga! Dosamu terlalu besar maka kami datang untuk menghukummu. Serahkan
nyawamu untuk menebus dosa-dosamu!” kata Hwa Hwa Hoat-su dengan marah.
Hwe-thian Mo-li tersenyum mengejek. “Pendeta palsu! Kalian ini memakai pakaian pendeta dan
menggunakan nama pendeta, semua itu hanya seperti serigala berbulu domba! Siapa tidak tahu bahwa
Pek-lian-kauw adalah pemberontak dan penjahat yang berkedok sebagai pejuang, menipu rakyat jelata?
“Kalian ini memutar balikkan fakta. Aku membunuh Leng Kok Ho-siang karena dia jahat dan curang,
membunuh guruku Pat-jiu Kiam-ong, juga dia menjadi utusan pemberontak Pek-lian-kauw. Dia sudah patut
dihukum mati sampai seratus kali!
“Aku memang membunuh Cia Kun Tosu dan Cin Kok Tosu, orang-orang Pek-lian-kauw yang bejat
akhlaknya itu. Mereka itu keponakan muridmu? Pantas! Mereka itu tukang pemerkosa wanita dan sayang
aku hanya dapat membunuh mereka satu kali! Juga si keparat Siangkoan Leng, dia sudah sepantasnya
dibunuh! Dia itu sahabatmu, ya? Memang sudah sepatutnya, anjing bersahabat dengan serigala dan
buaya!”
Hong Bu sendiri sampai terkejut mendengar ucapan Siang Lan yang demikian galak dan berani! Sungguh
keberanian luar biasa, memaki-maki dua orang datuk Pek-lian-kauw seperti itu!
Dapat dibayangkan betapa panas dan marahnya hati dua orang datuk Pek-lian-kauw itu. Tak mereka
sangka bahwa Hwe-thian Mo-li bukan saja lihai ilmu silatnya, ternyata mulutnya lebih lihai lagi berdebat
sehingga mereka merasa tidak mampu menandingi ketajaman mulut yang pandai melontarkan kata-kata
amat menghina dan menyakitkan hati itu.
“Perempuan iblis keparat!” Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan kebutan itu terbang
meluncur ke arah Siang Lan dan menyerang dengan dahsyatnya!
Namun, dengan tenang saja Siang Lan bergerak dan sinar pedangnya berkilat menangkis. Kebutan yang
dikendalikan dengan kekuatan sihir itu mengelak, agaknya Hwa Hwa Hoat-su jerih untuk mengadu
kebutannya dengan pedang lawan yang berkilat.
Kemudian, pendeta ahli sihir itu sudah menerjang ke depan, membantu kebutannya dengan serangan
pedangnya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya sehingga pedang itu berubah
menjadi sinar yang menyambar ke arah leher Siang Lan. Gadis ini cepat memutar pedangnya menangkis
dan karena ia sudah mengenal kelihaian pendeta ini, ia pun menangkis dengan pengerahan tenaga sakti
sepenuhnya.
“Trangggg......!!” Bunga api yang besar berpijar menyilauan mata dan Hwa Hwa Hoat-su terkejut bukan
main.
Dia pernah bertanding melawan gadis ini dan kini dia mendapat kenyataan bahwa tenaga sakti gadis ini
agaknya jauh lebih kuat dibandingkan sekitar satu-dua tahun yang lalu. Kemudian belum hilang kagetnya
karena pedangnya terpental dan tangannya tergetar hebat, Siang Lan sudah membalas dengan seranganserangan
yang bertubi, hebat dan dahsyat.
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Biarpun Hwa Hwa Hoat-su kini menangkap kebutannya dengan tangan kiri, lalu melawan dengan sepasang
senjatanya, namun tetap saja dia terdesak oleh Siang Lan yang mengamuk bagaikan seekor naga betina!!
Akan tetapi, Hwa Hwa Hoat-su adalah datuk Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia merupakan utusan
dari Pek-lian-kauw pusat untuk memimpin gerakan Pek-lian-kauw yang diam-diam bersekutu dengan
Pangeran Bouw Ji Kong di kota raja. Maka tidak mudah bagi Siang Lan untuk mengalahkannya dan kini
keduanya saling serang dengan sengit dan mati-matian.
Melihat betapa Hwa Hwa Hoat-su belum dapat mendesak gadis itu, Hoat Hwa Cin-jin segera mencabut
siang-to (sepasang golok) dan melompat hendak mengeroyok. Akan tetapi tiba-tiba Chang Hong Bu
melompat dan menghadapinya dengan pedang di tangan!
Hoat Hwa Cin-jin tadinya memandang rendah pemuda yang datang menyambut bersama Siang Lan. Dia
mengira hanya Hwe-thian Mo-li saja yang merupakan lawan tangguh. Maka melihat pemuda itu kini berani
menghadapinya dengan pedang di tangan, dia membentak.
“Bocah tolol, apakah engkau sudah bosan hidup berani menghadang Hoat Hwa Cin-jin?” Bentakannya ini
mengandung tenaga sihir untuk menjatuhkan nyali lawan sehingga terdengar menggetar seperti auman
seekor harimau. Namun Hong Bu tersenyum.
“Hoat Hwa Cin-jin, engkaulah yang tidak akan selamat karena kejahatanmu!”
“Mampus kau!” bentak Hoat Hwa Cinjin yang cepat menyerang dengan sepasang goloknya.
Hong Bu mengelebatkan pedangnya menangkis lalu balas menyerang sehingga dua orang ini sudah
berkelahi mati-matian, saling serang dengan hebat karena mereka mengeluarkan jurus-jurus maut yang
amat berbahaya bagi lawan. Setelah lewat belasan jurus, Hoat Hwa Cin-jin merasa kecelik karena ternyata
pemuda lawannya itu tangguh bukan main?
Hoat Hwa Cin-jin kini maklum bahwa dia dan rekannya menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan
agaknya akan sukar untuk dapat mengalahkan, apalagi membunuh mereka. Maka dia lalu memberi aba-aba
kepada sepuluh orang anak buahnya.
Mendapat isyarat aba-aba ini, sepuluh orang itu lalu mencabut golok masing-masing dan mereka mulai
maju mengeroyok. Lima orang mengeroyok Siang Lan dan lima orang lagi mengeroyok Hong Bu.
Setelah mereka mengeroyok, baru tahulah Siang Lan dan Hong Bu bahwa sepuluh orang itu bukan anak
buah Pek-lian-kauw biasa, melainkan orang-orang Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian
yang cukup tinggi. Gerakan mereka cepat, tenaga mereka juga kuat dan ilmu golok mereka lihai sekali.
Kini Siang Lan dan Hong Bu mulai terdesak. Siang Lan tidak berani menyuruh anak buahnya yang
menonton dari jarak jauh untuk mengeroyok, karena dara perkasa ini maklum bahwa anak buahnya masih
terlalu lemah untuk bertanding melawan orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai itu.
Bantuan anak buahnya tidak ada gunanya baginya, bahkan akan mengambil banyak korban menewaskan
para anak buahnya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali melakukan perlawanan dengan nekat.
Demikian pula Hong Bu. Biarpun terdesak, pemuda ini memiliki jurus-jurus pertahanan yang amat kokoh
sehingga tidak mudah bagi para pengeroyok untuk melukai atau merobohkannya. Akan tetapi tentu saja
sekarang dia tidak ada kesempatan untuk membalas serangan mereka yang datang bertubi-tubi itu.
Demikian juga dengan Siang Lan. Walaupun ia lebih kuat dan keadaannya tidak separah Hong Bu karena ia
masih mampu membalas, namun tetap saja ia terdesak hebat.
Pada saat yang amat gawat bagi Siang Lan dan Hong Bu itu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Bubeng-
cu sudah berada di situ. Tangannya memegang sebatang ranting kayu dan dia menggunakan ranting
itu untuk mengamuk.
Mula-mula dia menerjang ke arah para pengeroyok Siang Lan dan dalam waktu beberapa jurus saja dia
telah membuat lima orang anak buah Pek-lian-kauw itu terpaksa melepaskan golok karena tangan mereka
terluka oleh tusukan ranting yang ternyata keras seperti baja! Setelah membuat lima orang pengeroyok
Siang Lan itu tidak mampu lagi mengeroyok, dia lalu menerjang ke arah para pengeroyok Hong Bu. Seperti
juga tadi, rantingnya menyambar-nyambar dan lima orang itu berteriak kesakitan dan berlompatan
menjauh?
Melihat kejadian ini, dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi terkejut dan jerih, apalagi ketika mereka
mengenal laki-laki yang membantu Hwe-thian Mo-li ini sebagai orang yang dulu juga pernah membantu Iblis
dunia-kangouw.blogspot.co.id
Betina Terbang itu ketika mereka berdua menyerangnya. Laki-laki yang bernama Bu-beng-cu! Maka, kedua
orang itu maklum bahwa kalau mereka melanjutkan perkelahian, mereka berdua tentu akan celaka.
Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu berseru nyaring dan mereka membanting dua buah benda peledak.
Terdengar dua kali ledakan keras dan tampak asap hitam mengepul tebal memenuhi tempat itu.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Chang Hong Bu, dan Bu-beng-cu segera berlompatan menjauhi asap
karena mereka maklum bahwa bukan tidak mungkin asap dari bahan peledak itu mengandung racun karena
Pek-lian-kauw memang terkenal pandai menggunakan alat peledak dengan asap beracun.
Setelah asap menghilang, dua belas orang penyerang itu sudah menghilang. Siang Lan hendak mengejar
bersama Hong Bu, akan tetapi Bu-beng-cu mencegah mereka.
“Musuh yang sudah kalah dan melarikan diri tidak perlu dikejar.”
Siang Lan memandang Bu-beng-cu dengan sinar mata bersyukur. Betapa baiknya orang ini, pikirnya. Bukan
hanya mau melatih ilmu silat kepadanya sehingga tingkatnya naik dengan cepat dan hal ini dapat ia rasakan
ketika ia melawan Hwa Hwa Hoat-su tadi.
Dahulu, satu tahun setengah yang lalu, ketika ia melawan kakek datuk Pek-lian-kauw itu, ia merasa
kewalahan dan terdesak. Akan tetapi tadi ia sama sekali tidak merasa berat walaupun juga tidak mudah
mengalahkan kakek itu. Ia baru repot ketika datang lima orang yang mengeroyoknya. Selain
menggemblengnya dengan ilmu silat tinggi, juga Bu-beng-cu beberapa kali menolong dan
menyelamatkannya dari bahaya!
“Paman, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu. Engkau selalu muncul pada saat yang tepat.
Terima kasih, Paman!” Sinar mata gadis itu jelas membayangkan kekaguman dan rasa terima kasih yang
besar.
Hong Bu juga kagum sekali kepada laki-laki itu. Ketika dia bertanding melawan Bu-beng-cu yang hendak
mengujinya, dia juga sudah menduga bahwa orang ini memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi tidak
disangkanya setelah benar-benar bertanding, tadi dia menyaksikan betapa hanya dengan sebatang ranting
Bu-beng-cu dapat membuat lima orang yang mengeroyoknya dan lima orang lagi yang mengeroyok Siang
Lan, dalam beberapa gebrakan saja mundur semua! Padahal dia merasakan sendiri betapa lima orang itu
juga cukup kuat dengan ilmu golok mereka yang lihai.
“Saya juga mengucapkan terima kasih, Paman Bu-beng-cu. Kalau tidak ada Paman yang datang menolong,
mungkin saya sudah celaka di tangan para pengeroyok itu,” kata Hong Bu sambil memberi hormat.
“Ah, tidak perlu berterima kasih, ilmu pedangmu sendiri juga cukup lihai,” kata Bu-beng-cu sederhana. “Nah,
sekarang aku mau turun dari sini menyelesaikan urusanku sendiri.” Setetah berkata demikian, Bu-beng-cu
membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
“Nanti dulu, Paman!” kata Siang Lan. “Sore ini aku ingin mengundangmu makan di sini. Mari kita makan
sama-sama, Paman, untuk merayakan kemenangan kita menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw tadi.”
Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, Nona. Biar lain kali saja. Sekarang aku ingin
memeriksa keadaan di Lembah Selaksa Bunga ini karena aku khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-kauw
masih penasaran dan lain waktu akan datang untuk membalas kekalahannya pada Ban-hwa-pang.”
“Apa yang hendak Paman lakukan?”
“Sebuah tempat yang menjadi pusat perkumpulan merupakan markas atau asrama atau juga benteng.
Harus diperkuat, kalau perlu dengan perangkap dan jebakan agar tidak mudah diserbu orang luar. Aku akan
merencanakan dan membuatkan sarana pertahanan itu dan untuk itu aku harus membuat rencana dan
gambarnya. Nah, aku pergi dulu, Hwe¬thian Mo-li!” Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu sudah berkelebat
pergi.
Hong Bu memandang kagum, kemudian menghela napas dan berkata.
“Bukan main! Hebat sekali paman Bu-beng-cu itu. Dia seorang pendekar yang gagah perkasa, budiman,
dan...... aneh.”
“Memang Paman Bu-beng-cu memiliki watak yang aneh, Kongcu......”
“Ah, sungguh tidak enak mendengar engkau menyebutku kongcu, Nona. Setelah kita berkenalan dan
menjadi sahabat, bahkan tadi telah bersama menghadapi musuh dan mungkin juga akan bersama
dunia-kangouw.blogspot.co.id
menghadapi musuh bila membantu Paman Panglima di kota raja, haruskah engkau bersikap sungkan dan
menyebutku Kongcu?”
“Engkau ini aneh dan mau menang sendiri!” Siang Lan menegur akan tetapi sambil tersenyum manis.
“Engkau sendiri menyebut aku Siocia (Nona), mengapa aku tidak boleh menyebutmu Kongcu (Tuan
Muda)?”
“Baiklah, aku yang bersalah. Nah, kalau engkau tidak keberatan, aku akan menyebutmu moi-moi (Adik
perempuan). Bagaimana pendapatmu, Lan-moi (Adik Lan)?”
Siang Lan tersenyum. “Baik, dan aku akan menyebutmu Koko (Kakak laki-laki). Begitu kehendakmu, Bu-ko
(Kakak Bu)?”
Hong Bu tersenyum dan jantungnya berdebar. Sejak pertama dia sudah tertarik dan kagum sekali kepada
Siang Lan. Kini dia semakin kagum dan timbul perasaan suka yang mendalam, yang membuat jantungnya
berdebar. Belum pernah dia merasakan hal seperti ini.
Dalam usianya yang duapuluh lima tahun itu Hong Bu belum pernah bergaul dekat dengan wanita. Akan
tetapi dia maklum bahwa kehadirannya di situ merupakan hal yang melanggar kesopanan karena lembah
Selaksa Bunga merupakan perkampungan wanita.
“Lan-moi, engkau baik sekali. Sekarang kukira sudah tiba saatnya bagiku untuk pulang ke kota raja. Akan
tetapi aku memerlukan jawabanmu untuk kusampaikan kepada Paman Panglima.”
“Oh, ya...... akan tetapi tunggu dulu, Bu-ko. Tadi aku mengajak Paman Bu-beng-cu makan, dia tidak mau.
Barang kali engkau mau makan bersamaku sore ini? Pula, hari sudah sore, sebentar lagi malam tiba.
Bagaimana kalau engkau bermalam di sini semalam, besok pagi-pagi baru turun bukit dan kembali ke kota
raja? Tentang jawabanku kepada Pamanmu, tentu saja aku suka membantunya dan aku pasti akan pergi ke
sana mengunjungi adikku Ong Lian Hong.”
Hong Bu girang bukan main mendapat tawaran makan dan bermalam di situ. “Akan tetapi, Lan-moi......
apakah...... apakah aku tidak melanggar kesopanan kalau aku bermalam di Lembah Selaksa Bunga?”
Siang Lan tersenyum dan hatinya merasa senang. Pemuda ini selain tampan gagah dan ilmu silatnya tinggi,
juga sopan. Jarang terdapat pemuda seperti ini.
“Aih, Bu-ko! Melanggar kesopanan atau tidak itu tergantung dan pikiran dan sikap seseorang. Bukankah
begitu? Aku mengundangmu karena engkau tamuku, utusan Panglima Chang Ku Cing yang terhormat,
karena hari hampir malam dan tidak semestinya engkau turun bukit dalam keadaan gelap. Siapa berani
menganggap kita melanggar kesopanan?”
“Terima kasih, Lan-moi. Engkau sungguh bijaksana dan baik sekali.”
Tanpa ragu lagi Hong Bu lalu mandi, makan, dan bermalam di situ. Dia merasa senang karena para
anggauta Ban-hwa-pang juga terdiri dari para wanita yang bersikap gagah dan sopan. Dia tahu bahwa
mereka belum memiliki ilmu silat yang tinggi karena belum lama Hwe-thian Mo-li memimpin mereka. Akan
tetapi dia percaya bahwa perkumpulan Lembah Selaksa Bunga ini kelak akan menjadi perkumpulan yang
besar.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru