Selasa, 31 Juli 2018

Pusaka Gua Siluman 1

=======
Pusaka Gua Siluman (Cerita Lepas)
baca juga
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Sejauh mata memandang ke utara dari Pegunungan Ala-san. yang tampak hanjalah pasir belaka, pasir yang kadang-kadang diam mati tak bergerak sama sekali, akan tetapi ada kalanya pasir itu bergerak hidup, berombak seperti air laut mengalun. Inilah padang pasir Go-bi yang luasnya sukar diukur, yang panasnya sudah banyak mematikan para penyeberang yang kurang pengalaman dan yang terkenal sebagai lautan pasir karena memang kadang-kadang apabila angin bertiup, berombak, bergulung-gulung persis lautan, hanya bukan air yang dipermainkan oleh angin, melainkan pasir, pasir halus dan bersih.
Kalau orang sengaja berjaga di tepi laut pasir ini dan memperhatikan, kiranya belum tentu sebulan sekali ia melihat manusia di daerah ini. Apa lagi semenjak pemerintah Goan-tiauw, yaitu kerajaan dari Bangsa Mongol, sudah roboh dan orang-orang Mongol sudah dihalau kembali dl tempat asal mereka, daerah ini jarang dilalui orang.
Akan tetapi pada pagi hari itu, dari afah utara kelihatan dua titik kehitaman yang bergerak ke selatan perlahan-lahan. Setelah dua titik ini makin mendekati perbatasan atau pesisir laut pasir, ternyata bahwa mereka itu adalah dua orang yang menunggang onta yang berbulu kecoklatan. Orang pertama adalah seorang kakek gundul yang berwajah keren gagah berpengaruh. Pakaian dan kepalanya yang gundul itu seperti keadaan seorang hweslo (pendeta Buddha), akan tetapi sikapnya yang keren dan gagang pedang yang tersembul di balik punggungnya menandakan bahwa dia seorang ahli silat atau yang lebih terkenal dengan sebutan orang kang-ouw.
Orang ke dua adalah seorang nona muda seorang dara remaja berusia paling banyak lima belas tahun, cantik manis dengan Sepasang mata yang berseri dan berapi-api. Mata dan bibirnya jelas membayangkan bahwa dia gadis periang yang memandang dunia ini dengan hati lapang, tabah dan penuh semangat kegembiraan. Sepert juga kakek gundul itu, gadis ni membekal pedang yang tergantung di pinggang kirinya.
Hal ini memang tidak mengherankan karena pada waktu itu, pada masa peralihan dari Kerajaan Goan-tiauw yang hancur terganti oleh Kerajaan Beng di mana-mana tidak aman dan orang selalu melakukan perjalanan dengan membawa senjata untuk membela diri. Akan tetapi, melihat cara gadis cilik itu duduk di atas ontanya, mudah saja diduga bahwa seperti kakek itu, gadis inipun memiliki kepandaian ilmu silat.
Agaknya setelah melakukan perjalanan yang jauh, lama, amat sukar dan sengsara menyeberangi lautan pasir itu, kini kakek gundul tadi menjadi gembira melihat pegunungan yang hijau indah terbentang di depan, tanda bahwa mereka sudah akan segera tiba di daratan di mana terdapat pohon dan rumput, terutama sekali air. Kegembiraannya itu diperlihatkan dengan bernyanyi-nyanyi, suaranya keras, nyaring, jenggot dan kumisnya melambai-lambai tertiup angin yang kini tidak ditakutinya lagi karena mereka sudah hampir tiba di darat, akan tetapi kata-kata nyanyiannya itu berbeda dengan sikapnya yang gagah karena kata-kata nyanyiannya adalah sajak-sajak yang sebenarnya merupakan doa-doa dalam kitab Agama Budha.
"Kami ini suara angin mengeluh, merana,
mencari ketenangan damai nan tak kunjung tiba.
ah, bukankah penghidupan di duniapun demikian pula?
Keluh-kesah, tangis, badai, juang, lara...!"
2
"lihh, kong-kong mengapa menyanyi lagu yang demikian menyedihkan?” Gadis cilik yang kedua pipinya kemerahan karena bakaran matahari itu mencela, hidungnya yang kecil mancung dikernyitkan tanda tak setuju akan nyanyian kakeknya. "Lagu apa sih itu?”
Sungguhpun kata-kata nyanyian itu menyedihkan, namun kakek itu tidak kelihatan sedih, bahkan nampak bersemangat. Dia tertawa lebar mendengar pertanyaan cucunya.
"Lee Ing, ini namanya lagu NYANYI ANGIN,” jawabnya lalu melanjutkan nyanyiannya dengan suara lebih keras lagi sehingga terdengar janggal di tempat yang amat sunyi itu.
"Dari mana dan untuk apa kita diadakan?
Kita tak dapat memberi jawaban,
kami dan kalian ini Sama saja,
apa artinya semua kesusahan kita?
Apa pula artinya semua kesenangan kita?
Bahkan cinta kasihpun tidak kekal
adanya Jalan hidup bagaikan angin lalu belaka
Sebentar bertiup, segera hilang pula!"
"Sedih.....sedih! Kong-kong, siapa sih yang mengarang lagu sedih seperti itu? Cengeng benar pengarangnya, ah!” kembali gadis yang dipanggil Lee Ing itu mencela.
“Hush, Lee Ing. Jangan bicara sembrono. Nyanyian ini adaiah nyanyian dewata yang tersembunyi di dalam angin lalu,” jawab kakek itu dengan sikap sungguh-sungguh.
"Hee? Nyanyian dewata?”
"Benar. Bagi telinga manusia biasa, memang suara angin hanya terdengar biasa pula. Akan tetapi ketika Sang Buddha masih menjadi Pangeran Sidharta, beliau mendengar nyanyian dewata ini terbawa oleh angin lalu, dan ini menjadi doa suci yang mengingatkan manusia akan keadaan hidup yang tidak kekal.”
“Ahhh, begitukah?” kata Lee Ing tertarik sekali. ’’Kalau begitu harap kau lanjutkan nyanyianmu tadi, kong-kong.”
Dua ekor onta itu berjalan perlahan-lahan. Kaki-kaki mereka bergerak dengan irama tetap dan otomatis, leher yang panjang itu bergerak-gerak maju mundur dan bibir yang njedir (ujungnya memanjang) itu masih selalu tersenyum mengejek dan sepasang mata mereka bersinarkan segala tahu. Derap kaki mereka di atas pasir tidak terdengar suaranya dan kembali kesunyian daerah pasir itu pecah oleh nyanyian kakek gundul yang melanjutkan nyanyiannya dengan suara lantang,
"Oh, putera Maya!
Kami telah berkeliling dunia,
kami telah melihat betapa banyaknya
tangis dan duka nestapa di alam dunia"
Demikianlah, di padang pasir yang sunyi mati Itu terdengar nyanyian suci yang menjadi doa dalam kitab Buddha, di mana selanjutnya menuturkan betapa dalam pendengaran Pangeran Sidharta, sang angin memohon kepadanya untuk melepaskan hidupnya sebagai pangeran yang berenang dalam kebahagiaan duniawi untuk pergi berkelana, mencari kebenaran dan mencari jalan utama untuk membebaskan manusia dari pada ikatan hidup yang menimbulkan kesengsaraan.
3
Gadis cilik itu kini tidak mencela lagi, bahkan mendengarkan dengan penuh perhatian. Memang ia tahu bahwa kong-kongnya itu seorang alim yang amat tekun mempelajari Agama Budha akan tetapi baru kali ini ia mendengar doa yang dinyanyikan demikian menarik. Mungkin karena keadaan sunyi di mana ia tidak dapat mendengar apa-apa itulah yang membuat nyanyian kong-kongnya menarik. Padahal suaranya hanya nyaring saja, tidak merdu, dan isi atau kata-kata nyanyian itu termasuk "berat” dan sukar ditangkap inti sarinya bagi seorang gadis semuda itu.
Tak terasa lagi kakek dan cucu ini sudah sampai di kaki Pegunungan Ala-san dan sudah terasa kesejukan angin yang membawa hawa air Sungai Huang-ho yang berkelok di pegunungan itu. Juga sudah mulai kelihatan pohon-pohon dan rumput-rumput di sana-sini.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan dua orang laki-laki muncul dari balik sebatang pohon besar. "Orang tua, tinggalkan onta dan barang-barangmu!” Teriakan ini keluar dari mulut seorang di antara mereka yang berjenggot, usianya empat puluh tahun lebih. Orang ke dua masih belum, begitu tua, antara tiga puluh tahunan, matanya liar mengerling kepada Lee Ing, mukanya kekuningan. Ia tersenyum-senyum ceriwis sambil berkata,
"Twako, kali ini kau jangan halangi lagi kalau aku mengambil nona ini sebagai kawan hidupku”
"Siauwte. tutup mulutmu!" hentak si jenggot yang cepat melompat menghadapi kakek gandul itu. Gerakannya gesit sekali dan gerak-geriknya menandakan bahwa dia seorang ahli silat pandai, sungguhpun ia tidak kelihatan membawa senjata tajam.
"Hwesio, turunlah dari ontamu. Hanya kalau kau meninggalkan onta dan barang-barangmu saja kau dan nona ini boleh melanjutkan perjalanan,” kata pula si jenggot sambil memandang penuh ancaman.
Tiba-tiba kakek gundul itu tertawa bergelak. "Apakah kalian ini perampok?"
"Tak usah banyak tanya, lekas lakukan apa yang kuminta.” jawab si jenggot
"Omitohud! Lucu sekali. Kucing mencoba untuk menggonggong! Bocah, sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa kau ini bukan sebangsa perampok, masa masih hendak main gertak? Kalau kalian perampok, masa malu-malu mengaku kepadaku?”
"Twako. tak perlu banyak mengobrol. Aku hendak merampas nona manis ini lebih dulu!" seru perampok yang muda. Dengan peringas-peringis ia menghampiri Lee Ing. Sinar mata gadis ini mengeluarkan cahaya berapi biarpun mulutnya masih tersenyum manis dan tangan kanannya sudah meraba kantong hitam di dekat pinggang di mana tersimpan senjata rahasia piauw.
"Lee Ing. tahan!” seru kakek itu dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat turun dari atas punggung ontanya dan tahu-tahu ia sudah berada di depan perampok yang hendak mengganggu Lee Ing. Berdiri tegak dengan gagahnya. Melihat tubuh kakek yang tegap kuat dan sikapnya yang bersemangat ini, si ceriwis menjadi ragu-ragu dan mundur lagi mendekati kawannya yang berjenggot kambing.
Kakek gundul itu melangkah maju sampai ia berhadapan dengan dua orang perampok itu sedangkan Lee Ing tetap tenang duduk di atas ontanya. percaya bahwa kakeknya tak perlu dibantu karena ia sudah maklum akan kelihaian kakeknya.
4
"Orang-orang muda, banyak pekerjaan baik dapat kalian lakukan, mengapa menjadi perampok? Banyak jalan terang mengapa memilih jalan gelap? Kulihat kalian belum biasa menjadi perampok. maka nasihatku, mundurlah sebelum terlanjur. Sekali melakukan kejahatan, nafsu akan menguasainya dan ia akan menjadi biasa, dikuasai oleh nafsu jahat. Mundur dan batalkanlah niat kalian merampok!”
"Di jaman sekacau ini, mana ada pekerjaan baik-baik? Mana ada pekerjaan halal? Pejabat-pejabat negeri melakukan korupsi, tiada bedanya dengan maling, pembesar-pembesar negeri mencekik rakyat, lebih jahat dari pada penyamun! Dari pada menjadi manusia-manusia seperti ini, lebih baik terang-terangan menjadi perampok, Sudahlah, jangan banyak cakap dan berikan barang-barang dan ontamu.” kata si jenggot, suaranya mengandung kegetiran.
Kakek itu menarik napas panjang. "Sifatmu gagah namun pandanganmu sesat orang muda. Seratus tahun Tiongkok dijajah oleh Bangsa Mongol dan baru duapuluh lima tahun lebih negaramu terbebas dari pada penjajahan. Sudah tentu saja bangsa yang baru terbebas dari pada penjajahan mengalami banyak rintangan berupa racun-racun peninggalan penjajah. Banyak bangsa sendiri yang berjiwa penjajah sehingga pembesar-pembesar main korup tanpa memperdulikan akan nasib rakyatnya sendiri. Akan tetapi adalah menjadi kewajiban orang-orang muda seperti kalian untuk berjuang terus, melenyapkan penjajah-penjajah baru bermuka bangsa sendiri ini dan bukan sekali-kali pada tempatnya kalau kalian malah menambahkan beban rakyat dengan terjun sebagai perampok!”
"Setan tua jangan banyak mulut! Tinggalkan barang-barang dan nona itu untuk menjadi punyaku!" seru perampok muda bermuka kuning yang tidak sabar lagi menanti pidato kakek itu sampai habis, lalu secepat kilat ia menyerang dengan pukulan ke arah dada lawan.
Kakek gundul itu menghela napas. "Diajar dengan kata-kata tidak mempan, perlu dihajar dengan tangan kiranya!" Cepat ia menangkis pukulan itu dan diam-diam ia kaget karena pukulan si muka kuning itu ternyata antep dan keras disertai tenaga Iweekang yang cukup lihai. Maka ia tidak berani memandang ringan, cepat membalas serangan lawan Kalau perlu orang jahat harus diingatkan dan diinsyafkan, akan tetapi kalau jalan ini tidak berhasil, harus disingkirkan agar jangan mengganggu rakyat, pikirnya.
Memang kakek ini seorang penganut Agama Budha, akan tetapi sebetulnya dia bukan pendeta dan belum melakukan pantang membunuh, apa lagi karena sebagai seorang ahli silat dia mempunyai pandangan gagah, tidak pantang membunuh penjahat. Seperti orang-orang gagah lain juga dia berpedoman "membunuh seorang penindas menolong seratus orang tertindas”.
Melihat kawannya sudah bertempur dengan kakek gundul itu dan tahu bahwa kakek itu ternyata bukan "makanan empuk”, si jenggot berseru keras dan maju menyerang pula. Dengan jari-jari terbuka ia menyerang kakek itu dan dari gerakannya ini lawannya dapat melihat bahwa si jenggot adalah eorang ahli tiam-hoat (ilmu menotok dengan dua jari. Sebaliknya, si muka kuning itu selalu melakukan gerakan tangan mencengkeram, tanda bahwa dia mahir Ilmu Kin-na-jiu-hoat atau ilmu mencengkeram (semacam yiu-yit-su).
Akan tetapi kakek gundul ini ternyata benar lihai sekali. Biarpun dikeroyok dua dan di punggungnya tergantung pedang, dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan menyambut serangan dua orang lawannya dengan dua tangan kosong pula. Ketika kakek ini menggerakkan kedua lengannya, angin dingin bersuitan dan dengan angin pukulan saja ia dapat menangkis serangan-serangan lawan.
Kaget sekali dua orang perampok itu. Si muka kuning mengeluarkan pekik tinggi seperti seekor burung, kemudian tiba-tiba tubuhnya juga m a yang ke atas seperti burung terbang dan tangan
5
kanannya mencengkeram ke arah kepala yang gundul dari lawannya. Inilah gerak tipu Hui-eng-hian-jiauw (Burung Garudi Mengulur Cakar) yang amat lihai, juga digerakkan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya sehingga kalau kepala yang gundul kelimis itu terkena cengkeraman tentu akan bolong-bolong menjadi seperti sarang lebah! Dan pada saat yang sama, bahkan lebih cepat datangnya, si jenggot memekik keras dan tangan kirinya menyambar ke depan dengan dua jari terpentang menusuk ke arah mata gundul itu dengan gerak tipu Pek-ho-tok-hi (Bangau Putih Mematuk Ikan).
Dapat dibayangkan betapa lihainya dua serangan berbareng dari depan dan atas ini sehingga Lee Ing yang duduk tenang-tenang di atas punggung ontanya menjadi kaget. Diam-diam gadis ini menyiapkan dua batang piauw (senjata rahasia) untuk membantu kakeknya apa bila perlu.
Akan tetapi kakek gundul itu tenang sekali. Kedua kakinya tidak berubah masih dalam keadaan bhesi terpentang tegak, akan tetapi tiba-tiba bagian tubuhnya yang atas tersentak ke belakang, ditekuk bagian pinggang sehingga serangan dua orang itu mengenai tempat kosong, lalu gerakan ini dilanjutkan dengan gerak tipu Heng-pai-Hud-ya (Tangan Miring Memuja Budha). kedua tangan diturunkan berbareng dengan tubuh atasnya, dengan tangan miring ia menahan ke arah pergelangan lengan dua
orang lawannya. Si jenggot masih sempat menarik kembali tangannya akan tetapi si muka kuning terlambat karena tubuhnya masih belum turun di atas tanah.
"Krekk!" Begitu lengannya tertabas oleh tangan kakek yang dimiringkan itu, ia menjerit dan pergelangan tangannya putus tulangnya.
"Pergilah menebus dosamu di depan Giam-kun (Malaikat Maut)!" bentak kakek itu yang mengirim tendangan kilat. Kakek ini terkenal dengan ilmu tendangannya dan di utara ia terkenal dengan julukan Soan-hong-twi (Tendangan Berantai) karena ilmu tendangannya sukar dilawan.
"Aauuukk!" Begitu kena tendang perutnya, tubuh si muka kuning terlempar dan jatuh berdebuk di atas tanah dengan perut seperti ditekuk, mukanya menjadi lebih kuning lagi dan ternyata nyawanya telah meninggalkan raganya!.
"Hwesio kejil Kau ini seorang pendeta akan tetapi hatimu kejam tidak pantang membunuhi” si jenggot berteriak marah melihat kawannya tewas.
"Omitohud, orang macam aku ini mana bisa menjadi pendeta? Aku bukan hwesio dan aku tidak pantang membunuh Ketika bangsa kami berjuang melawan orang Mongol, aku selalu ikut berjuang dan entah sudah berapa ratus anjing Mongol kubunuh Kawanmu tadi selain menjadi perampok juga mata keranjang dan menghina cucuku, kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi, tentu menimbulkan banyak malapetaka, terutama sekali untuk para wanita cantik."
Mendengar bahwa kakek gundul ini juga musuh orang-orang Mongol, sikap si jenggot menjadi agak berubah. "Orang tua, kau berbangsa apakah?"
"Aku adalah anggauta Suku Bangsa Hsi-sia," berkata kakek itu, nada suaranya tinggi menandakan bahwa ia merasa bangga menjadi Bangsa Hsi-sia. Memang orang boleh merasa bangga karena suku bangsa ini terkenal sebagai suku bangsa gagah perkasa yang pantang mundur menghadapi penjajahan Mongol Bangsa Hsi-sia melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan ketika bala tentara Mongol menyerbu mereka dan boleh dibilang seluruh suku bangsa ini habis musnah dibunuh oleh orang-orang Mongol yang jauh lebih banyak jumlahnya. Hanya sedikit sekali orang Hsi-sia yang dapat meloloskan diri dari pembasmian ini. di antaranya kakek gundul itulah.
6
Mendengar bahwa kakek itu Suku Bangsa Hsi-sia, lenyap sikap bermusuhan dari si jenggot. Dengan nada ingin tahu sekali ia bertanya, "Ah, siapakah nama lo-enghiong (pendekar tua)?"
"Namaku Haminto!" jawab kakek itu sederhana.
Akan tetapi mendengar nama ini, si jenggot menjadi kaget sekali dan berteriak girang. "Ah,
kiranya Haminto lo-enghiong! Aku dan kawanku yang tewas ini adalah bekas anak buah Souw-taihiap.”
Sekarang Haminto yang biasa disebut Haminto Losu itu yang kaget, juga gadis cilik itu tercengang lalu melompat turun dari ontanya menghampiri si jenggot itu. "Apa kau bicara tentang Souw Teng Wi? Di mana ayahku itu sekarang?"
Laki-laki berjenggot itu memandang kepada Lee Ing dan berseru, "Jadi nona ini puteri Souw-taihiap? Aduh celaka! Salah suteku sendiri sudah berani menghina Souw-siocia, pantas dia menerima hukuman mati. Haminto lo-enghiong dan Souw-siocia, kita adalah orang orang sendiri, harap maafkan kelancanganku dan suteku tadi." Si jenggot lalu memberi hormat.
Mereka lalu saling menuturkan keadaan masing-masing. Ternyata bahwa kakek gundul itu adalah Haminto Losu, seorang tokoh besar dari Suku Bangsa Hsi-sia yang tidak saja amat terkenal karena semangat dan kegagahannya bersama, bangsanya memerangi orang-orang Mongol, akan tetapi juga lebih terkenal lagi setelah Namilana, puteri tunggalnya, menikah dengan Souw Teng Wi. Souw Teng Wi ini adalah seorang pahlawan bangsa yang tiada hentinya memimpin para patriot untuk mengusir penjajah Mongol. Di dalam barisan pemimpin pemberontak Cu Goan Ciang yang terkenal dalam sejarah Tiongkok. Souw Teng Wi tidak asing lagi karena dialah seorang di antara pembantu-pembantu Cu Goan Ciang yang amat besar jasanya.
Souw Teng Wi gagah perkasa, murid tersayang dari partai persilatan Kun-lun-pai, yang berjiwa patriot sejati. Ketika gerakan Cu Goan Ciang mencapai puncaknya, Souw Teng Wi mengirim isterinya ke utara. Dia sedang berjuang, tidak tentu tempatnya dan memang selama ini Namilana. isterinya yang setia dan mencinta itu berjuang bersama di sampingnya. Akan tetapi ketika melihat isterinya mengandung dan perang besar berkobar hebat Souw Teng Wi menitipkan isterinya itu kepada mertuanya, yaitu Haminto Losu Dibawalah Namilana yang sedang mengandung itu oleh ayahnya kt Utara melalui padang pasir Go-bi, ke tempat aman.
Akan tetapi sungguh malang nasib Namilana. Ketika tiba saatnya ia melahirkan seorang anak perempuan, orang-orang Mongol yang terusir dari bumi Tiongkok membanjiri daerah utara dan dalam keadaan terjepit dan terusir. Bangsa Mongol ini kembali melakukan perampokan dan pembunuh an sebagai pelampiasan marah karena terpukul hancur di selatan, Terpaksa Namilana yang baru saja melahirkan itu dibawa mengungsi oleh ayahnya, melakukan perjalanan jauh dan sukar, bersembunyi-sembunyi dan mengalami banyak ketegangan. Hal ini mengguncangkan jantungnya dan karena tubuhnya masih lemah habis melahirkan anak pertama, ibu muda ini jatuh sakit yang membawa nyawanya pulang ke alam baka. Kasihan Haminto Losu yang ditinggali seorang bayi berusia beberapa bulan.
Haminto Losu memelihara cucunya dengan penuh cinta kasih dan memberi pelajaran ilmu silat kepada cucunya itu yang diberi nama Souw Lee Ing. Akan tetapi makin besar Lee Ing makin rewel menanyakan ayah bundanya. Setelah mendengar bahwa ayahnya bernama Souw Teng Wi dan menjadi pejuang di selatan, ia merengek-rengek mengajak kong-kongnya menyusul. Selalu Haminto Losu mencegahnya mengingat akan jauh dan berbahayanya perjalanan. Baru setelah Lee Ing berusia lima belas tahun dan kepandaian silatnya sudah lumayan untuk menjaga diri, ia menuruti
7
permintaan gadis itu dan berdua pergi melakukan perjalanan ke selatan bertemu dengan dua orang perampok itu.
Dengan amat terharu si jenggot itu mendengarkan penuturan singkat Haminto Losu, kemudian ia mengubur jenazah kawannya yang mati oleh kakek itu, dibantu oleh Haminto Losu. Kakek ini merasa menyesal sekali telah menendang mati bekas anak buah mantunya sendiri, akan tetapi apa mau dikata, sudah terlanjur dan si muka kuning itu memang mencari kematian sendiri.
Si jenggot itu she Lo bernama Houw. Kawannya juga bernama Houw akan tetapi she Can. Setelah mereka menjadi perampok, mereka menyesuaikan nama menjadi Lo Houw (Macan Tua) dan Siauw Houw (Macan Muda). Keduanya adalah bekas anak buah Souw Teng Wi di dalam pasukan pemberontak dan keduanya ikut pula berjuang mengusir pemerintah penjajah Goan-tiauw. Akan tetapi, setelah pemerintah penjajah berhasil terusir, terjadi perebutan kekuasaan atau perebutan pahala Mereka yang kurang kuat dilempar ke samping dan mereka yang kuat berebutan pahala seperti anjing-anjing berebut tulang. Lo Houw dan Siauw Houw termasuk mereka yang disebut "krucuk" dan terlempar ke samping, dilupakan oranglah jasa para krucuk ini, padahal di dalam pertempuran-pertempuran ketika perang dulu, justeru para krucuk ini yang akan lebih dulu mati karena berjuang paling depan!
Lo Houw dan Siauw Houw menjadi sakit hati lalu menjadi berandal di perbatasan utara itu. Sayangnya Siauw Houw si muka kuning itu timbul nafsu jahatnya dan sering kali mengganggu para wanita di daerah itu, biarpun Lo Houw sudah sering kali menasihati dan melarangnya. Akhirnya ia menemui kematiannya di tangan Haminto Losu yang gagah perkasa, mertua dari bekas pemimpinnya sendiri.
Haminto Losu menarik napas panjang. "Memang itulah sayangnya, sicu. Di waktu tenaga kita diperlukan, kita disanjung-sanjung dengan kata-kata muluk dan manis. Akan tetapi setelah cita-cita tercapai dan tenaga kita tak diperlukan lagi, orang lupa sudah kepada kita, bahkan menganggap kita sebagai bahaya bagi mereka. Aah, manusia' Akan tetapi, benar-benar kau keliru kalau hendak memuaskan sakit hatimu dengan menjadi perampok. Lo-sicu. Kau terlalu mementingkan diri sendiri."
Biarpun merasa tanduk atas kata-kata bijaksana kakek itu. Lo Houw merasa penasaran juga disebut mementingkan diri sendiri, maka bantahnya, "Lo-enghiong, mengapa aku disebut mementingkan diri sendiri? Bukankah para petugas yang korup itu yang terlalu mementingkan diri sendiri?”
"Betul, memang mereka itu manusia-manusia berhati busuk, akan tetapi kita sedang bicara tentang dirimu. Kalau sudah tahu mereka itu busuk, mengapa ditiru? Mereka memeras rakyat, mencatut uang negara demi kepentingan sendiri. Kalau sekarang kaupun merampok untuk kepentingan sendiri, apa bedanya itu? Dahulu kau rela mempertaruhkan nyawa untuk berjuang membebaskan rakyat dari pada penindasan kaum penjajah, mengapa setelah perjuangan itu berhasil baik, kau lalu merusak sendiri bangunan yang kau-bantu mendirikan dengan perjuangan? Lo-sicu, apakah kau tidak marah kalau ada orang mengatakan bahwa dahulu kau berjuang untuk diri pribadi?"
"Tentu saja' Seorang gagah berjuang demi bangsa dan negara" jawab Lo Houw tegas.
"Nah, kalau demikian, mengapa kau penasaran setelah sekarang tidak mendapat pahala? Bukankah perjuangan suci tidak mengharapkan balas jasa? Dan perjuangan belum selesai, Lo-sicu. Selama rakyat masih menderita, selama masih ada penghisapan dan penindasan antara manusia, perjuangan orang-orang gagah seperti Lo-sicu inilah untuk membasmi para koruptor, para pengisap
8
darah dan keringat rakyat sampai tercapai kemakmuran rakyat jelata di mana tidak ada lagi penindasan, tiada lagi kelaparan dan ketidak-adilan."
Kali ini Lo Houw tunduk betul-betul atas kebijaksanaan kakek gundul berbangsa Hsi-sia yang terkenal gagah perkasa itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata sambil berlinang air mata, "Lo-enghiong benar siekali! Selama ini boanpwe benar-benar tersesat dan percuma saja perjuangan bertahun-tahun di samping Souw-tai-hiap."
Haminto Losu tersenyum pahit. "Betapapun juga, aku tidak terlalu menyalahkan kau yang
disakitkan hatimu. Memang manusia-manusia yang hanya tahu enaknya saja, yang tidak ikut berjuang mati-matian membela negara akan tetapi sekarang tinggal nongkrong di atas kursi kebesaran menjilati darah dan peluh rakyat yang berceceran di sepanjang jalan, mereka itu terkutuk dan hina sekali. Yang sudah biarlah lalu, Lo-sicu. Belum terlambat bagimu untuk memperbaiki hidup untuk menebus dosa dan melanjutkan perjuanganmu sebagai seorang patriot bangsa, seorang ksatria yang gagah perkasa. Sekarang harap kau-beritahukan. di mana adanya Souw-taihiap mantuku?"
"Sayang sekali aku tidak dapat memberi keterangan di mana adanya Souw-taihiap, karena sudah lima tahun berpisah. Semenjak Souw-taihiap dimusuhi oleh para tokoh di istana dan melenyapkan diri, tak seorangpun mengetahui di mana dia berada. Ah, kalau ada Souw-taihiap, tak mungkin kami menjadi perampok dan tidak mungkin Siauw Houw tewas hari ini." Lo Houw menarik napas panjang.
"Dimusuhi pembesar istana? Aneh sekali! Bukankah mantuku itu dahulu menjadi tangan kanan Thai Cu (Kaisar) ketika kaisar menjadi pemimpin pemberontak Cu Goan Gang?"
"Souw-taihiap agaknya hendak menghalangi para koruptor dan penjilat itu dan hendak membela rakyat, maka ia dimusuhi. Adapun Thai Cu sendiri mana bisa tahu akan keadaan rakyat jelata? Thai Cu terlampau dipengaruhi pembesar-pembesar korup itu agaknya. Ahh, kalau ada Souw-taihiap di sini...."
"Lo-sicu, kalau begitu marilah kau bersama kami pergi mencari mantuku itu. Di mana kiranya dia berada menurut pendapatmu?”
"Kaum bangsawan yang menjilat Thai Cu selalu mengelilingi kaisar dan sekarang kota raja dipindah dari utara ke selatan, yaitu di Nan-king. Tak salah lagi tentu Souw-taihiap juga berada tak jauh dari Nan king. Sebaiknya kita mencari ke selatan" jawab Lo Houw.
Berangkatlah mereka bertiga ke selatan, melalui Pegunungan Ala-san terus ke selatan. Setelah tiba di tembok besar. Haminto Losu lalu menjual dua ekor onta itu. Perjalanan ke selatan memerlukan banyak biaya, pula dua ekor binatang ini tidak tepat lagi untuk melakukan perjalanan di pedalaman, terlalu lambat. Setelah menyeberangi tembok besar, tiga orang ini melanjutkan perjalanan dengan ilmu lari cepat menuju ke selatan.
Tiga orang itu melakukan perjalanan cepat. Ilmu lari cepat Lo Houw, biarpun tidak sehebat Haminto Losu, namun masih lebih tinggi daripada ilmu lari cepat Lee Ing sehingga perjalanan itu dapat dilakukan cepat. Namun tetap saja mereka harus menempuh perjalanan berbulan-bulan sebelum tiba di Pegunungan Cin-ling-san pada pagi hari itu. Pemandangan di pegunungan ini amatlah indahnya sehingga beberapa kali Lee Ing membujuk kakeknya supaya berhenti mengaso sambil menikmati pemandangan alam yang demikian indahnya. Gadis yang semenjak kecilnya tinggal di daerah Go-bi yang penuh gunung pasir ini tentu saja amat terpesona menyaksikan pemandangan alam yang indah dari tanah yang amat suburnya.
9
Tak jauh dari tempat mereka berhenti mengaso, kelihatan sebatang anak sungai yang amat jernih airnya dan pada saat itu, sepasang kijang bersama tiga ekor anaknya, minum air sungai. Tiga ekor kijang kecil itu berjingkrakan dengan lompatan-lompatan lucu dan aneh, membuat Lee Ing tertawa geli.
"Alangkah lucunya!” kata gadis ini dengan wajah berseri. Akan tetapi pada saat itu terdengar lapat-lapat suara gendewa menjepret dan lima buah anak panah menyambar dan di lain saat lima ekor binatang yang cantik itu terjungkal dengan jantung tertembus anak panah! Kijang jantan menggelepar gelepar, empat ekor kakinya bergerak-gerak lalu mengejang dan diam.
Akan tetapi kijang betina masih dapat memaksa empat kakinya bangkit berdiri, terhuyung-huyung menghampiri bangkai tiga ekor anaknya, mengeluarkan suara mengembik yang menyayat hati, lalu menciumi tiga ekor kijang kecil itu dan akhirnya iapun terguling, kakinya menyepak-nyepak dalam sakratul maut kemudianpun diam.
"Kejam sekali...!" Lee Ing melompat bangun dan berdiri tegak dengan kedua tangannya yang kecil terkepal keras. Dua titik air mata meloncat keluar di atas pipinya, la merasa ngeri dan tertusuk perasaannya melihat betapa lima ekor binatang yang indah itu terbunuh secara keji, terutama sekali ia merasa kasihan melihat induk kijang itu.
"Manusia keji!” makinya lagi.
Akan tetapi Haminto Losu dan Lo Houw melihat lain. Mereka ini bukan tertarik oleh matinya lima ekor binatang itu, melainkan tertarik akan kelihaian orang yang melepas anak panah. Dari suara menjepret tadi dapat diketahui bahwa yang melepas anak-anak panah itu hanya satu orang, dengan sekali lepas pula. Sekali lepas dapat memanahkan lima buah anak panah yang tepat mengenai dada lima ekor kijang yang berpencaran, benar-benar merupakan kepandaian ilmu memanah yang hebat. Apa lagi kalau diingat bahwa tiga ekor anak kijang tadi berpencaran dari induknya dan berloncat-loncatan amat sukar dipanah.
"Hebat ilmu memanah itu!" seru Lo Houw perlahan.
Muncullah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, mukanya segi empat, pakaiannya seperti pakaian pemburu, perawakannya tegap dan mukanya dicukur licin. Dengan gerakan lincah orang ini melompat-lompat dari gerombolan pohon menghampiri lima korbannya yang menggeletak di tepi anak sungai.
"Suheng, lihat apa yang dihasilkan oleh anak-anak panahku!" teriak orang itu girang dan bangga. "Makan besar kita kali ini!"
"Manusia keji, kau makan ini piauw-ku!"
"Lee Ing, jangan....!” Haminto Losu mencegah, akan tetapi terlambat, tiga batang piauw menyambar cepat dari tangan Lee Ing ke arah tiga jalan darah di tubuh laki-laki yang memanah lima ekor kijang tadi.
Akan tetapi laki-laki itu ternyata lihai sekali. Biarpun ia tengah membungkuk melihat lima korbannya dengan wajah girang sehingga tiga batang piauw itu menyambarnya dari belakang, namun dengan tenang-tenang saja ia menggerakkan gendewanya ke belakang tanpa menoleh dan “trak-trak-trak!” tiga batang piauw itu terpukul runtuh.
10
Haminto Losu kaget melihat ini. Kalau tidak tinggi ilmunya dan sudah mempunyai pendengaran tajam sekali, tak mungkin menangkis datangnya senjata rahasia lawan secara demikian, tanpa menoleh tanpa melihat! la memang sudah menduga bahwa pemburu itu tentulah seorang pandai, maka menyesal sekali tadi ia tidak keburu mencegah Lee Ing melepas piauw.
"Siluman betina dari mana berani bermain gila di depan Houw-cam-khoa?” pemburu itu membentak. Ia belum melihat siapa yang melepas piauw, akan tetapi mendengar bentakan Lee Ing tadi tahulah ia bahwa yang menyerangnya secara menggelap adalah seorang wanita.
Lee Ing hendak bergerak akan tetapi lengannya sudah disentuh Haminto Losu yang menyabarkannya. Akan tetapi Lo Houw tiba-tiba melompat keluar dan berseru, "Kami yang melepas piauw karena muak melihat kekejamanmu membunuhi kijang kecil. Seorang pemburu yang gagah hanya akan membunuh binatang hutan yang buas, andaikata membunuh kijang tentu hanya membunuh yang tua, tidak nanti tega membunuh tiga ekor kijang kecil!"
Suara Lo Houw terdengar marah. Memang Harimau Tua ini marah sekali mendengar orang itu memakai julukan Houw-cam-khoa yang berarti Algojo Harimau! Sementara itu Haminto Losu yang khawatir kalau-kalau terjadi salah paham dan pertengkaran, cepat menarik lengan Lee Ing dan melompat keluar. Sebelum pemburu itu sempat menjawab marah, lebih dulu Haminto Losu maju ke depan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Sicu gagah sekali, memiiiki ilmu panah yang mengagumkan dan gerakan Sian-jin-siu-cu (Dewa Menyambut Mustika) tadi benar-benar hebat. Harap maafkan cucuku yang tergerak hatinya dan tidak tega menyaksikan kijang-kijang kecil terbunuh lalu berlancang tangan menyambitkan piauw-nya.”
Melihat munculnya kakek gundul yang memujinya dan merendah minta maaf, apa lagi melihat kenyataan bahwa yang menyerangnya tadi hanyalah seorang dara cilik yang cantik manis, maka kemarahan di hati pemburu itu lenyap tiga perempat bagian, la hanya mengerling marah ke arah Lo Houw, kemudian iapun mengangkat tangan membalas penghormatan Hanfinto Losu. Pemburu inipun menyangka bahwa kakek gundul ini tentu seorang hwesio maka katanya,
"Losuhu, aku Houw-cam-khoa Lie Siong sejak kecil menjadi pemburu dan belum pernah melihat orang mencegah pemburu membunuh korbannya. Akan tetapi oleh karena losuhu demikian ramah, biarlah urusan kecil ini dihabiskan saja. Tidak tahu losuhu ini siapakah dan dari golongan mana?" Mata pemburu itu mengerling ke arah Lee Ing dengan senyum kemudian lirikannya menyambar ke arah Lo Houw penuh selidik.!
Sebetulnya Haminto Losu tidak ingin memperkenalkan diri, akan tetapi melihat pemburu itu sudah memperkenalkan nama, tidak baik kalau ia tidak menjawabnya. Sambil tersenyum merendah ia menjawab. “Lohu tidak mempunyai golongan atau partai, lohu seorang pengembara jauh dari utara, bernama Haminto dan cucuku ini..”
Tiba-tiba sikap pemburu itu berubah dan "sratt!" golok panjang di pinggangnya telah tercabut sehingga Haminto Losu menghentikan ucapannya saking heran dan kagetnya.
"Suheng, lekas ke sini ada musuh” teriak Houw-cam-khoa Lie Siong dengan nyaring, kemudian ia menudingkan ujung goloknya ke muka Haminto Losu sambil memaki, Kiraku siapa, tak tahunya sebangsa iblis biadab dari utara?"
11
“Sicu, aku dari Suku Bangsa Hsi-sia, bagaimana kau anggap biadab?” Haminto Losu berseru marah, habis kesabarannya menyaksikan sikap pemburu itu.
"Bangsa Hsi-sia atau bangsa iblis neraka, siapa perduli? Paling baik kau lekas tinggalkan bumi di mana kau berpijak, tak boleh bangsamu yang hina menginjak tanah airku?" seru pemburu itu dengan angkuh sambil melintangkan golok di depan dada.
Haminto Losu menarik napas panjang. Dia sudah mendengar berita angin bahwa semenjak orang selatan berhasil mengusir penjajah Mongol yang selama seabad lebih menjajah tanah air mereka dan membuat rakyat banyak yang menaruh dendam, maka banyak orang selatan menjadi mata gelap dan membenci setiap orang yang datang dari daerah utara di luar tembok besar. Tidak hanya orang Mongol bekas musuh itu yang dibenci, juga suku bangsa-suku bangsa lain yang tinggal di utara mereka anggap musuh besar.
"Sicu, sabarlah. Kami Bangsa Hsi-sia sejak dulu bahu-membahu dengan Bangsa Han dalam perjuangan melawan bangsa penjajah Mongol. Dan kedatanganku di Tiong-goan sekarang ini bukan bermaksud buruk, melainkan hendak mencari mantuku....."
"Cukup! Lekas balikkan ekormu dan pergi kembali ke utara! Kalau tidak, golokku takkan memberi ampun!” bentak Lie Siong.
"Kong-kong, binatang ini menghina sekali, biar kuhajar dia!” seru Lee Ing yang sudah hampir tak dapat menahan kesabarannya.
"Omitohud, kau benar-benar mendesak sekali, orang muda. Apa boleh buat, aku Haminto bukanlah seorang yang suka mencari permusuhan, akan tetapi lebih-lebih lagi bukan seorang pengecut. Marilah, biar kurasakan bagaimana lihainya golokmu!" Sambil berkata demikian, Haminto Losu mendahului cucunya, melompat ke depan menghadapi pemburu itu sambil mencabut pedangnya. Orang tua ini dapat menduga bahwa Houw-cam-khoa Lie Siong adalah seorang lihai dan bukan lawan Lee Ing, maka ia maju sendiri dan ia sudah mencabut pedangnya untuk menghadapi golok panjang lawan. Akan tetapi, dengan gerakan cepat sekali Lo Houw melompat dan mengeluarkan auman seperti harimau, pedang tajam sudah berada di tangan kanannya. Itulah pedang Lee Ing yang dipinjamnya.
"Lo-enghiong, menghadapi anjing kecil mengapa mempergunakan tongkat besar? Biarkan aku menghadapi kirik (anjing kecil) ini!” bentaknya sambil terus menyerang Lie Siong dengan tusukan pedang. Gerakannya Cepat dan kuat sekali karena datang-datang si jenggot ini sudah mainkan ilmu-pedang Kun-lun-pai, yang dulu ia pelajari dari pahwalan Souw Teng Wi. Dengan gerak tipu Kim-ke-tok-siok (Ayam Emas Mematuk Gabah) ia menusuk perut lawannya, cepat dan mengandung tenaga besar sampai terdengar angin bersiut.
Biarpun tadi ia merasa marah kepada Lo Houw yang sudah bersikap galak kepadanya, akan tetapi melihat si jenggot ini seperti orang Han, Lie Siong cepat menangkis dan melompat mundur.
"Tahan dulu, si gundul ini memang bangsa biadab yang harus diusir atau dibunuh. Akan
tetapi kau ini kulihat seorang Han, mengapa membantu bangsa biadab?"
"Jahanam tengik! Lo-enghiong ini jasanya seribu kali lebih besar dalam perjuangan mengusir orang Mongol dari pada kau yang hanya becus membunuhi kijang-kijang lemah. Cih, tak tahu malu! Kalau hendak memamerkan kepandaian, aku Lo Houw musuhmu!”
12
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah sebulan lebih aku tidak bertemu dengan harimau, aku Houw-cam-khoa Si Algojo Harimau, dan sekarang ada harimau tua gila datang mencari mampus. Bagus, kau manusia tak tahu malu memang lebih baik mampus!” Setelah mengeluarkan kata-kata sindiran ini, Lie Siong cepat mainkan goloknya dan sinar putih bergulung-gulung padat. Inilah sinar golok yang dimainkan dengan baik sekali. Diam-diam Lo Houw terkejut akan tetapi tidak mau berlaku ayal, cepat pedangnya digerakkan dan di lain saat dua orang ini sudah bertempur hebat dan seru.
"Sute, kau bertempur dengan siapa?” tiba-tiba terdengar suara keras dan belum lenyap gema suaranya orangnya sudah datang di situ, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, berusia tiga puluh lima tahun dan mukanya angker sekali. Inilah Tiat-ciang-kui Yo Ban Si Iblis Bertangan Besi, suheng dari Lie Siong. Tangan kirinya menyeret bangkai biruang yang besar dan masih hangat, binatang ini baru saja dibunuhnya. Melihat bangkai biruang itu sama sekali tidak terluka, dapat diduga bahwa ia dibunuh bukan dengan senjata tajam. Memang, Yo Ban yang memiliki kedua kepalan besi seperti julukannya, telah membunuh binatang liar yang kuat ini hanya dengan pukulan tangannya belaka!
Ketika muncul di situ melihat sutenya bertempur melawan seorang laki-laki berjenggot sedangkan di situ berdiri pula seorang kakek gundul dan seorang dara cilik, Yo Ban ragu ragu.
"Suheng, anjing tua gundul itu adalah Bangsa Hsi-sia, lekas usir atau bunuh dia!”
Aneh sekali, mendengar kata-kata sutenya ini. Yo Ban lenyap keraguannya dan sikapnya berubah keren. Ia melemparkan bangkai biruang ke samping, lalu menghampiri Haminto Losu. Tangannya diulur hendak mencengkeram pundak sambil membentak, "orang biadab pergilah kamu!”
Haminto Losu adalah seorang tua yang sedang meyakinkan pelajaran Agama Buddha. Kesabarannya besar Namun dia masih manusia biasa dan kesabaran ada batasnya Beberapa kali setelah orang mendengar bahwa dia bukan Bangsa Han. ia dihina. Sebagai seorang Hsi-sia yang terkenal gagah perkasa dan berdarah panas serta patriotik, bangun semangatnya karena bangsanya dihina.
Cepat ia mengelak lalu mencabut pedangnya sambil membentak, "Pemburu-pemburu yang kasar dan tidak tahu aturan! Jangan kira aku Haminto takut berkelahi!”
Cepat pedangnya digerakkan dan sinar kehijauan dari pedangnya bergulung-gulung mengurung lawannya yang juga sudah menggerakkan sebatang ruyung yang dicabutnya dari pinggang. Biasanya Yo Ban hanya mengandalkan dua kepalan tangannya, bahkan ketika ia menghadapi biruang tadi, ia menjatuhkan binatang itu dengan pukulan tangan kosong. Akan tetapi melihat cara kakek gundul ini menggerakkan pedangnya, tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang terlalu berbahaya kalau dilawan tanpa senjata maka ia cepat mencabut ruyungnya yang jarang ia gunakan itu.
Haminto Losu adalah seorang ahli silat terkenal di utara di antara Bangsa Hsi-sia. Selain ia pandai dalam ilmu gulat utara yang hampir menyerupai Ilmu Kin-na-jiu-hwat (ilmu tangkap seperti yiu-yit-su), juga ia pandai dalam ilmu pedang dari barat. Dari mantunya, Souw Teng Wi, ia pernah mendapat petunjuk-petunjuk dalam Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat. maka kini ilmu pedangnya adalah gabungan ilmu pedang Kun-lun dan ilmu pedang dari See-thian (dunia barat), cukup cepat dan kuat gerakannya. Bagaikan elang menyambar, pedang itu ia putar-putar di atas kepala kemudian menerjang turun bergerak membabat ke arah leher lawan disusul gerak tusukan ke arah dada.
Ilmu serangan ini kalau dalam Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat disebut Hun-ka-kim-liang (Memasang Penglari Emas), akan tetapi melihat diputar-putarnya pedang di atas kepala dan melihat kedudukan
13
kaki, terang bahwa gerak tipu ini sudah berubah banyak sehingga hanya mata seorang ahli pedang yang paham tentang Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat saja yang akan dapat mengenal ilmu ini.
Tiat-ciang-kui Yo Ban tahu menghadapi serangan berbahaya. Cepat ruyungnya diputar menangkis pedang sambil melompat mundur untuk menghindari serangan susulan yang menusuk dada itu, kemudian setelah tahu bahwa tenaganya hanya kalah sedikit oleh lawan, ia maju dengan beringas, mengirim hantaman ke arah pinggang lawan dengan gerak tipu Sabuk Kemala Melilit Pinggang, sedangkan tangan kirinya dikepal melakukan pukulan Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Mengambil Hati) ke arah dada Haminto Losu. Inilah serangan Pembalasan yang tak kalah hebatnya. Haminto Losu menggerakkan pedangnya menangkis.
"Traanggg....!" Bunga api memuncrat menyilaukan mata dan kedua orang itu melompat ke belakang memeriksa senjata masing-masing. Bentrokan senjata tadi dapat membuat lengan tangan mereka tergetar. Akan tetapi kalau Haminto Losu masih tetap pasangan kakinya, adalah Yo Ban tergempur bhesinya sehingga kaki kirinya agak tergeser, inilah menandakan bahwa Iweekangnya masih kalah setingkat oleh kakek gundul itu. Diam-diam ia merasa kaget sekali dan berlaku lebih hati-hati, Pertempuran dilanjutkan dengan seru, akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus kelihatanlah bahwa memang Haminto Losu masih menang setingkat. Baiknya kakek ini masih merasa sungkan untuk membunuh lawannya, maka beberapa kali ia membiarkan kesempatan baik terlewat begitu saja.
Di lain fihak, si jenggot Lo Houw terdesak hebat oleh Houw-cam-khoa Lie Siong. Repot sekali ia melayani golok algojo harimau itu yang mendesaknya bertubi-tubi diselingi ketawa mengejek, "Nah. nah, sebentar lagi kubeset kulitmu, macan ompong!”
Lee Ing menjadi gemas sekali melihat lagak Lie Siong. Ia tahu bahwa ilmu silatnya masih terlampau rendah untuk membantu, apa lagi sekarang pedangnya sudah dipinjam oleh Lo Houw. Akan tetapi dengan piauwnya ia dapat membantu juga dan beberapa kali ia melepaskan piauw dengan cepat untuk mengeroyok Lie Siong. Bantuan ini merepotkan Lie Siong dan keadaan Lo Houw agak longgar dari pada desakan golok lawannya. Akan tetapi, Lie Siong benar benar lihai sekali. Semua serangan piauw dapat ia tangkis atau dielakkan dengan mudah dan tak lama kemudian habislah dua puluh batang piauw bekal Lee Ing, habis disambitkan tanpa guna.
"Haha-ha-ha, mana lagi piauwmu. bocah manis? Hati-hati kau, sekarang aku belum sempat membalas, akan tetapi nanti kau harus menebus setiap piauw dengan sebuah ciuman!” Lie Siong mengejek Lee Ing sambil mendesak Lo Houw dengan goloknya.
"Jahanam keparat! Jangan kau menghina puteri dari Souw Teng Wi taihiap!” Lo Houw membentak marah sekali sambil memutar pedangnya dengan nekat.
Disebutnya nama ini benar-benar mengagetkan hati Lie Siong. Di sebelah sana terdengar jerit kesakitan dan Yo Ban terlempar ke belakang, pundaknya terluka oleh babatan pedang Haminto Losu sehingga Ruyungnya terlempar. Di saat itu juga, setelah mendengar disebutnya nama Souw Teng Wi, Lie Siong berseru kaget, dan ia tak dapat mengelak lagi ketika Haminto Losu sudah maju membantu Lo Houw dan membabat pahanya sehingga terluka dan ia roboh terguling.
"Siapa tadi menyebut nama....... Souw Teng Wi taihiap....?" Yo Ban bertanya dengan mata terbelalak lebar.
Haminto Losu berseru keras dan pedangnya menangkis pedang Lo Houw karena si jenggot yang marah sekali ini secara sembrono sudah melangkah maju untuk menusuk lawannya yang sudah roboh terluka. "Lo-sicu, tahan senjata!" kata Haminto Losu dan pedang Lo Houw terpental karena
14
tangkisannya yang keras. Kemudian Haminto Losu menghampiri dua orang lawan yang sudah terluka itu sambil berkata,
"Apakah ji-wi (tuan berdua) mengenal Souw Teng Wi?”
"Tentu saja kami tahu, dia seorang pahlawan bangsa yang terhormat, tidak seperti kau ini .... bangsa biadab....” kata Lie Siong sambil mendelik.
"Keparat, berani kau memaki kong-kongku!" bentak Lee Ing, akan tetapi Haminto Losu melarang dia berbuat sesuatu.
"Haminto, kau orang Hsi-sia jangan sombong! Tunggu guru kami datang mengambil nyawamu!” kata Yo Ban yang lalu bersuit keras sekali, memberi tanda kepada gurunya yang berada di tempat agak jauh dari situ.
"Sicu, kau yang tadi mencari urusan, bukan kami!” jawab Haminto Losu yang segera menarik tangan Lee Ing dan mengajak cucunya itu pergi. “Lo-sicu, hayo kita melanjutkan perjalanan.”
Haminto Losu tergesa-gesa pergi dari tempat itu. berlari cepat setengah menyeret tubuh cucunya. Berkali-kali Lee Ing menyatakan ketidak-puasannya, demikian pula kedengaran Lo Houw bersungut-sungut.
"Dua orang manusia itu sombong dan kurang ajar. Aku tidak puas kalau belum mengetok kepala mereka!”
"Benar sekali kau, paman Lo. Kong-kong terlalu sabar dan mengalah. Mereka yang kurang ajar, setelah mereka roboh mengapa kita yang melarikan diri terbirit-birit? Sungguh membuat penasaran dalam hati,” kata Lee Ing.
Akan tetapi anehnya. Haminto Losu tidak menjawab, bahkan mempercepat larinya sehingga tubuh Lee Ing seakan-akan diangkatnya dan Lo Houw terengah-engah mengerahkan seluruh tenaga untuk mengimbangi kakek ini dan agar jangan ketinggalan. Terus saja Haminto Losu mengajak mereka lari ke selatan, tidak memperdulikan cucunya sudah mahdi keringat dan kepalanya yang gundul itupun sudah penuh peluh, seakan-akan tidak mendengar betapa napas Lo Houw sudah mendengus-dengus seperti kerbau kepanasan. Sementara itu, matahari sudah mulai turun ke barat.
“Lo-enghiong. aku.... aku tak kuat.... lagi...I” kata Lo Houw terputus-putus dengan
napas senin kemis. Setengah hari lebih berlari-lari secepat itu memang benar-benar menghabiskan napas. Lee Ing sendiri sekarang sudah tidak lari lagi melainkan dikempit oleh kongkongnya yang juga sudah nampak lelah dan napasnya memburu.
Haminto Losu mengendorkan larinya, akan tetapi tetap tidak mau berhenti. "Kita jalan saja...” kalanya dan demikianlah.
L o Houw dipaksa melanjutkan perjalanan dengan jalan, tidak lari lagi sehingga biarpun kedua kakinya lelah, namun ia dapat "mencari napas”. Lee Ing dan Lo Houw sudah tidak bertanya-tanya lagi karena selama itu Haminto Losu tidak menjawab semua pertanyaan mereka.
Setelah malam tiba, barulah Haminto Losu berhenti berjalan. Mereka sudah melakukan perjalanan hampir dua ratus lie jauhnya dan kini tiba di lereng bukit batu karang. Akan tetapi tak jauh dari i situ, di tepi sebuah jurang, mengalir sebatang anak sungai sehingga hawa di situ amat enak dan sejuk.
15
Bagaikan tidak bertulang lagi Lo Houw dan Lee Ing menjatuhkan diri di atas tanah dan bersandar pada batu karang melepaskan lelah. Juga Haminto Losu duduk bersila mengatur napasnya diturut segera oleh L.o Houw dan Lee Ing. Tak lama kemudian Lo Houw pergi mencari air yang mereka minum dengan enaknya.
Bulan purnama muncul dan pemandangan malain itu di lereng bukit batu karang sungguh indah. Bulan bundar kuning emas merupakan lampu indah sekali, tidak saja menyinarkan cahaya yang lembut terang mengagumkan, juga mendatangkan hawa sejuk sekali. Di sana-sini muncul bintang gemerlapan menghias angkasa biru, berkedap-kedip seperti mata gadis-gadis kahyangan bermain mata kepada Dewa Bulan, akan tetapi dewa itu teguh hatinya bercahaya tenang dan tenteram. Batu-batu karang yang menjulang tinggi di lereng itu terkena cahaya bulan menjadi keputihan, indah seperti menara-menara kuno. Juga tanah menjadi keputihan, putih dan bersih. Benar-benar tempat yang pada siang harinya gundul dan kering ini sekarang disulap oleh cahaya bulan menjadi lempat yang hanya terdapat di alam mimpi. Beginilah agaknya pemandangan di permukaan bulan itu sendiri!
"Kong-kong tadi berlari-larian seperti orang ketakutan, sebetulnya apakah gerangan yang ditakutkan? Dua orang Iawan itu tidak mampu mengalahkan kong-kong, mengapa kita yang menang harus lari ketakutan?" akhirnya Lee Ing yang tak sabar lagi bertanya kepada kongkongnya. Juga Lo Houw biarpun tidak berani bertanya, memandang kepada kakek itu dan menanti jawabannya dengan mata penuh pertanyaan.
Haminto Losu menarik napas panjang. "Lee Ing, kau seperti burung yang keluar dari sarang, tidak tahu kelihaian orang-orang kang-ouw di daerah Tiong-goan ini. Aku sudah mendengar berita angin tentang adanya orang-orang kang-ouw yang anti kepada orang-orang utara yang bukan berbangsa Han, hal ini timbul sebagai akibat sakit hati dan dendam terhadap penindasan penjajah Mongoi. Kau lihat sendiri betapa dua orang pemburu tadi bernafsu sekali untuk mengusir atau membunuh aku sampai terjadi pertempuran. Kemudian aku berhasil mengalahkan mereka karena mereka terlengak dan terkejut mendengar nama ayahmu. Agaknya mereka mengindahkan ayahmu, sedangkan aku sudah melukai mereka. Coba saja bayangkan. Kalau mereka itu mengindahkan ayahmu berarti mereka itu orang segolongan sendiri dengan kau, dan aku yang lancang ini sudah melukai mereka! Kalau sampai kawan-kawan mereka datang dan memusuhi kita bukankah itu berarti aku menyeretmu ke dalam permusuhan dengan golongan sendiri? Karena aku tidak ingin hal itu terjadi, aku lebih baik pergi cepat-cepat dari tempat itu agar urusan tidak menjadi makin hebat."
Mengertilah kini Lee Ing dan Lo Houw mengapa kakek itu tadi berlari-larian sehari penuh seperti orang ketakutan. Diam-diam Lo Houw memuji pandangan kakek ini yang jauh dan mendalam. Akan tetapi Lee Ing menjadi penasaran "Kong-kong, kalau kita berada di fihak benar, mengapa takut menghadapi permusuhan? Kalau kita benar, berarti mereka yang memusuhi kita dan kita hanya membela diri. Biarkan mereka datang. aku yang akan menghadapi mereka!” Ucapan ini gagah, akan tetapi menggelikan. Gadis yang belum seberapa kepandaiannya ini, yang sekarang kelelahan sampai hampir tak dapat berdiri sungguhpun tadi ia lebih banyak digendong dari pada lari sendiri, bagaimana akan menghadapi mereka yang lihai? Baru dua orang itu tadi saja sudah amat lihai, apa lagi guru mereka!
"Enak saja kau bicara. Lee Ing. Kalau memang benar mereka itu tergolong kawan-kawan ayahmu masih mendingan karena aku dapat mengharapkan kau akan terlindung dan mereka tidak akan mau mengganggumu. Akan tetapi siapa tahu kalau-kalau mereka itu bukan kawan-kawan mantuku Souw Teng Wi sebaliknya adalah musuh-musuhnya? Tentu mereka takkan mau melepaskanmu dan aku melarikan diri tadi adalah untuk menjaga keselamatanmu cucuku. Pendeknya, sebelum kita dapat
16
bertemu dengan ayahmu dan sebelum kau berada di dekat ayahmu, hatiku akan selalu merasa gelisah. Di Tiong-goan ini jauh sekali bedanya dengan di utara, di mana kita boleh merasa aman karena aku sudah mengenal betul keadaan dan watak orang-orang di sana. Di sini, aahhh..., orang-orang kang-ouw terlalu banyak yang sakti dan hebat, mereka itu aneh-aneh wataknya, sukar diajak urusan."
Kata-kata Haminto Losu terhenti secara tiba-tiba dan wajahnya berubah pucat, tangannya cepat memegang lengan Lee Ing dan ia bersiap-siap melindungi cucunya yang dikasihinya sepenuh jiwa itu. Ia mendengar sesuatu yang belum terdengar oleh Lee Ing, bahkan belum terdengar oleh Lo Houw.
Melihat sikap kong-kongnya seperti orang ketakutan, Lee Ing menghibur, "Kong-kong. jangan takut. Andaikata mereka itu musuh ayah, biarlah mereka datang. Kebetulan sekali, kita mendapat kesempatan untuk membantu ayah membasmi musuh-musuhnya! Kalau kita kalah, sampai mati-pun aku tidak penasaran demi untuk membela ayah yang tak pernah kulihat itu, hitung-hitung aku berdarma bhakti kepada orang tua."
"Husshhh...." kata Haminto Losu, akan tetapi kata-katanya tertahan karena mendadak, seperti siluman saja, di depan mereka sudah berdiri seorang laki-laki gundul yang mukanya buruk dan menggelikan. Orang itu sukar ditaksir usianya, melihat keriput-keriput pada mukanya itu tentu usianya sudah lanjut, sedikitnya limapuluh tahun, akan tetapi sepasang matanya kocak dan bening seperti mata bocah, kepalanya gundul akan tetapi tidak sekelimis kepala Haminto Losu, melainkan di sana ada titik rambut hitam menjongat seperti duri tumbuh di padang pasir, kepala itu kecil bundar seperti bola, hidungnya bengkok ke bawah seperti tidak bertulang, mulutnya mewek dan jenggotnya pendek-pendek jarang seperti rambut di kepalanya. Ia mengenakan pakaian sederhana, gerombyongan tidak keruan bentuknya dan sikapnya seperti hwesio.
“Kau inikah puteri Souw Teng Wi?” hwesio itu yang tadinya berdiri dengan kedua lengan bersedakap, kini menudingkan telunjuk kanannya ke arah Lee Ing. Karena munculnya orang gundul ini seperti setan, begitu tiba-tiba, Lee Ing, Lo Houw dan Haminto Losu untuk sejenak ternganga saja di atas tanah. Kini mereka melompat bangun dan Lee Ing menjawab dengan suara nyaring,
"Betul aku Souw Lee Ing puteri Souw Teng Wi. Kau ini siapakah, orang tua?”
"Heh-heh-heb-heh...!” Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawanya tidak keras akan tetapi mengandung pengaruh yang mendebarkan jantung sehingga Haminto Losu kaget bukan main. Dari suara ketawanya dan munculnya yang tiba-tiba tadi saja sudah membuktikan bahwa hwesio ini adalah seorang sakti, Iweekangnya hebat dan ginkangnya tinggi sekali.
"Pantas pantas! Ayah naga tentu puterinya bukan sebangsa cacing. Kau berbakat dan bertulang baik, mari kau ikut dengan aku. nona!”
"Nanti dulu, orang tua. Kau siapakah dan mengapa aku harus ikut dengan kau? Aku hendak pergi mencari ayahku,” jawab Lee Ing, tetap tabah.
Kembali hwesio itu tertawa ngikik. Mendengar suara ketawa ini, orang yang bernyali kecil akan meremang bulu tengkuknya, seperti mendengar suara ketawa setan atau orang gila.
"Pinceng bernama Bu Lek Hwesio dan aku mengajakmu menemui ayahmu. Marilah!” Sambil berkata demikian. kedua tangannya bergerak-gerak maju dan iapun melangkah ke depan.
17
Lee Ing bergerak mundur dan Haminto Losu memegang lengan gadis itu. Akan tetapi bukan main hebatnya, semacam tenaga menarik yang seperi angin puyuh datang membetot tubuh Lee Ing dan biarpun Haminto Losu mengerahkan Iweekangnya, di lain saat tangan gadis itu sudah dipegang oleh Bu Lek Hwesio yang masih tertawa-tawa.
"Nanti dulu, sahabat!” Haminto Losu melompat ke depan menghadapi hwesio aneh itu. Haminto Losu merasa curiga dan tidak percaya kepada hwesio thi yang lihai sekali. Tidak bisa ia mempercayakan cucunya begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya baik baik. "Tanpa bukti-bukti yang nyata tidak bisa kau membawa cucuku begitu saja”
“Apakah kau yang bernama Haminto dan yang tadi melukai dua orang anak muridku?" hwesio itu bertanya, matanya disipitkan, kepala ditarik ke belakang.
Haminto Losu cepat mengangkat tangan memberi hormat. "Memang betul, aku yang rendah bernama Haminto dan tidak kusangkal bahwa tadi aku telah bertempur dengan dua orang muda sampai mereka itu terluka. Akan tetapi, adalah mereka yang terlalu mendesak dan memaksaku. Sesungguhnya kami datang ke Tiong-goan bukan dengan maksud mencari permusuhan, melainkan hendak mencari mantuku, Souw Teng Wi ayah cucuku ini. Kalau betul sahabat dapat memberi keterangan di mana adanya Souw Teng Wi, aku akan menghaturkan terima kasih dan merasa bersyukur sekali dan biarlah aku sendiri mencarinya bersama cucuku." Sudah jelas bahwa Haminto Losu berlaku mengalah dan merendah sekali, ia berlaku hati-hati karena belum tahu orang macam apakah yang ia hadapi ini, kawan ataukah lawan.
“Hemm...” Bu Lek Hwesio mengeluarkan suara di hidung, nadanya memandang rendah sekali, "dua orang muridku memang tidak keliru, semua orang utara yang biadab kalau berani menyeberangi tembok besar ke selatan, harus dibasmi habis agar jangan terulang kembali penjajahan oleh orang-orang biadab dari utara! Akan tetapi sayang mereka itu tidak teliti, kalau kau menjadi mertua Souw-taihiap tentu saja merupakan kekecualian dan boleh diampuni, akan tetapi tetap saja tidak boleh terus ke selatan. Sekarang nona Souw sudah bertemu dengan pinceng, serahkan dia kepada pinceng untuk dipertemukan dengan ayahnya. Dia bertulang baik, kiranya patut menjadi murid pinceng. Adapun kau sendiri, lebih baik lekas kembali ke utara sebelum bertemu dengan kawan-kawan lain yang takkan mau mengampunimu." Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Lee Ing dan berkata "Hayo, nona Souw, kita pergi sekarang juga!"
Tangannya bergerak perlahan, namun Lee Ing tak dapat mengelak dan tahu-tahu pergelangan tangan kanannya sudah kena dipegang oleh hwesio itu. "Nanti dulu, losuhu!” seru Lee Ing. "Biarpun kau bermaksud baik, akan tetapi aku masih belum melihat buktinya. Losuhu hendak mengambil murid kepadaku, mudah saja. Akan tetapi kong-kongku inipun seorang ahli silat yang pandai Kalau losuhu tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, untuk apa aku belajar ilmu silat darimu?”
Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh. "Keras dan jujur seperti ayahnya! Souw-siocia, kau masih belum percaya kepada pinceng? Ha-ha, boleh sekali, suruh kongkongmu itu maju, biar kita main-main sebentar. Kalau aku tidak bisa mengalahkannya dalam sepuluh jurus, anggap saja aku tidak berharga menjadi gurumu.”
Sikap yang sombong ini memanaskan perut Lo Houw. la mendahului Haminto Losu, melompat dan mengaum seperti harimau menghadapi Hu Lek Hwesio. "Hwesio sombong, coba kau-hadapi aku lebih dulu!” katanya memasang kuda-kuda.
18
“Kau siapakah?” tanya Bu Lek Hwesio dan dari sepasang matanya yang tajam itu menyambar sinar berapi-api. Haminto Losu dapat melihat ini dan hatinya tidak enak, cepat ia mendahului Lo Houw menjawab,
“Dia adalah Lo Houw, seorang pahlawan patriot yang dahulu berjuang di bawah pimpinan Souw Teng Wi.”
Bu Lek Hwesio mengangguk angguk. “Baiknya dia menyebutkan hal ini, kalau tidak jangan harap kau akan dapat bernapas lagi. Majulah!”
Lo Houw tidak menjadi gentar, dengan auman keras ia menyerbu, kedua tangannya bertubi-tubi melakukan tusukan yang merupakan totokan berbahaya. Bu Lek Hwesio tidak bergerak, tetap berdiri dengan kedua lengan menyilang di depan dada. Padahal tangan kiri dan kanan dari Lo Houw sudah bergerak dan jari jarinya sudah menotok, yang kanan mengarah leher yang kiri mengancam dada! Ketika jari-jari itu hampir menyentuh sasaran. Bu Lek Hwesio hanya miringkan sedikit lehernya, totokan pada leher itu tidak mengenai sasaran sedangkan totokan pada dadanya diterima begitu saja! “Krek!!” Lo Houw menjerit dan melompat mundur sambil memegangi jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya yang ternyata sudah patah-patah tulangnya.
Bu Lek Hwesio tersenyum mengejek dengan mulutnya yang selalu merengek itu. "Hanya begitu saja kemampuanmu?”
Lee Ing kagum bukan main, akan tetapi Haminto Losu sudah melompat sambil mencabut pedangnya. ’’Sahabat, kepandaianmu hebat. Biarlah aku yang bodoh mencoba-coba untuk memuaskan hati cucuku, pula agar aku yakin bahwa cucuku berada di tangan yang cukup kuat untuk menuntunnya mencari ayahnya."
"Majulah, orang Hsi-sia!” Bu Lek Hwesio menantang, masih tetap berdiri dengan dua lengan bersedakap tenang-tenang saja. Agaknya ia tidak bersenjata dan hendak menghadapi pedang Haminto Losu dengan tangan kosong. Haminto Losu maklum bahwa hwesio ini lihai sekali, maka ia cepat berseru "Lihat pedang!” dan melakukan serangan hebat dengan babatan pedang-nya disusul oleh tendangan Soan-hong-twi yang amat berbahaya itu.
"Bagus!” Bu Lek Hwesio berseru dan benar-benar luar biasa sekali, tidak diketahui atau dilihat gerakannya tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke kiri sehingga babatan pedang dan tendangan yang dilakukan amat cepatnya itupun tidak mengenai sasaran.
"Satu jurus!” kata Bu Lek Hwesio sombong. Haminto Losu menjadi penasaran sekali mendengar ini karena ternyata hwesio itu benar-benar hendak membuktikan bualnya kepada Lee Ing tadi bahwa dia akan dapat merobohkan Haminto Losu dalam sepuluh jurus! Bagaimana juga, Haminto Losu bukanlah seorang ahli silat biasa, melainkan seorang tokoh yang memiliki ilmu pedang hebat, di samping ini ilmu tendangannyapun terkenal ditambah ilmu cengkeraman model Mongol. Bagaimanakah ia akan dapat dirobohkan begitu saja dalam sebuluh jurus? Hwesio sombong ini biarpun kepandaiannya lebih tinggi dari padaku, akan tetapi terlalu sombong dan harus diberi malu, pikir Haminto Losu dan ia berlaku hati-hati sekali.
Kembali ia menyerang dengan pedangnya, akan tetapi kali ini serangannya hanya mempergunakan tiga bagian saja dari pada kepandaiannya, yang tujuh bagian ia pergunakan untuk menjaga diri agar jangan sampai kalah dalam sepuluh jurus. Biarpun dengan cara demikian ia tidak mungkin dapat mengirim serangan-serangan berarti, namun penjagaannya menjadi amat kuat dan kiranya tidak mungkin orang dapat merobohkan dalam sepuluh jurus, apa lagi orang itu bertangan kosong.
19
“Dua jurus!” Bu Lek Hwesio menghitung lagi sambil mengelak perlahan, biarpun ia tahu akan perubahan ini namun ia bersikap biasa seolah-olah tidak tahu. Kembali Haminto Losu menyerang, cepat sekali ia menyerang bertubi-tubi menggunakan jurus demi jurus akan tetapi semua ia lakukan dengan mengerahkan hanya tiga bagian ilmunya. Maksudnya agar supaya cepat-cepat ia menghabiskan sepuluh-jurus karena kalau sudah lewat sepuluh jurus belumi juga hwesio itu mampu mengalahkan nya berarti ia menang!
"Tiga jurus! Empat jurus..... lima jurus... enam jurus!” Karena serangan-serangan Haminto Losu bertubi-tubi dan amat cepat datangnya sambil mengelak ke sana ke mari Bu Lek Hwesio menghitung dengan cepat pula. Kembali Haminto Losu menyerang bertubi-tubi dengan gerak tipu menyerupai Kongciak-kai-peng (Merak Membuka Sayap) disusul Sian-jiu-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan) kemudian Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memutuskan Gunung).
Dengan gerakan perlahan namun selalu tepat sekali Bu Lek Hiwcsio mengelak lari dua seiangan pertama sambi I menghitung "Tujuh jurus..... delapan jurus....”
Serangan ketiga, Hun-in-toan-san itu dilakukan dengan membabatkan pedang ke arah leher. Serangan ini lebih berbahaya dari pada serangan yang sudah-sudah. Namun Bu Lek Hwesio berdiri tegak tidak mengelak sama sekali, bahkan mulutnya dengan nada mengejek menghitung, "Sembilan jurus!" Tiba-tiba pedang yang menyambar itu terhenti di tengah udara dan ternyata punggung pedang sudah kena dijepit oleh dua jari tangan kiri Bu Lek Hwesio. Karena pedangnya terhenti di tengah udara, Hamimo Losu tercengang dan tak dapat terus menyerang melainkan dengan kaget sekali berusaha menarik pulang pedangnya. Namun pedang itu seakan-akan terkait oleh jepitan baja yang amat kuat.
Haminto Losu mengerahkan tenaga, kemudian hendak menggunakan saat terakhir itu menyelesaikan jurus ke sepuluh. Namun, sebelum kakinya menendang, tiba-tiba jepitan pedang dilepaskan oleh Bu Lek Hwesio sambil berseru, "Jurus ke sepuluh!” dan... tubuh Haminto Losu terhuyung-huyung lalu roboh. Ternyata ketika pedang dilepas tiba-tiba, tubuh Haminto Losu menjadi miring dan sebeluin ia dapat memperbaiki posisinya tangan kanan Bu Lek Hwesio bergerak perlahan ke depan menyentuh pundaknya, hanya dengan sebuah jari telunjuk. Inilah ilmu totok It-ci-san (Totokan Satu Jari) yang lihai bukan main sampai Haminto Losu tak dapat mempertahankan dirinya lagi yang sudah terasa lumpuh dan jatuh duduk di atas tanah dengan lemas!
"Nona Souw, kau lihat, kongkongmu dalam sepuluh jurus roboh!” kata Bu Lek Hwesio yang berjingkrak-jingkrak kegirangan, berputar-putar dan bertepuk-tepuk tangan gembira sekali seperti bocah menang main bola!
Lee Ing yang mengkhawatirkan keadaan kong-kongnya, segera menghampiri kakek itu. Haminto Losu duduk bersila mengumpulkan napas, ketika melihat Lee Ing mendekati, cepat ia berbisik di telinga gadis itu, "Dia lihai, kau boleh turut dia dengan baik, akan tetapi hati-hati, dia tak boleh dipercaya..."
Kemudian Haminto Losu setelah memulihkan kembali jalan darahnya, melompat berdiri dan menjura sambil berkata. "Bu Lek Losuhu benar-benar sakti, aku yang bodoh mengaku kalah dan sekarang amanlah hatiku menyerahkan cucuku dalam tanganmu. Harap kau orang tua dapat segera membawanya ke depan Souw Teng Wi mantuku!"
Memang Haminto Losu mempunyai pemandangan luas dan perhitungan yang masak. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh oleh Bu Lek Hwesio yang memiliki Ilmu totok It-ci-san yang lihai dan tenaga Iweekang yang hebat. Kalau ia nekat melawan mempertahankan Lee Ing, takkan ada
20
gunanya, bahkan akan mendatangkan sikap tidak enak terhadap Lee Ing. Maka ia mengalah, mundur bukan karena takut, melainkan untuk mengatur siasat dan untuk "memberi muka" kepada Lee Ing. la tahu akan watak gadis itu yang jujur dan berani mati, kalau sampai ia bersikap bermusuh terhadap hwesio itu, tentu Lee Ing akan membelanya dan akan memusuhi hwesio itu pula. Dan ini berbahaya sekali bagi keselamatan cucunya itu.
"Nona Souw, mari kita pergi!” seru Bu Lek Hwesio tanpa memperdulikan lagi kepada Haminto Losu dan Lo Houw. Lee Ing ingin sekali mengucapkan selamat berpisah kepada kongkongnya yang ia sayang, akan tetapi ia, tidak mempunyai kesempatan lagi. Tubuhnya melayang dan seperti daun kering tertiup angin ia dipegang lengannya oleh hwesio lihai itu yang mengangkatnya lalu membawanya lari secepat terbang. Kedua kaki gadis itu tidak menyentuh tanah dan angin bertiup kencang di pinggir kedua telinganya.
Setelah hwesio itu pergi, barulah Haminto Losu membanting-banting kaki dan wajahnya yang sudah tua menjadi berduka sekali. Ditariknya napas panjang berkali-kali, lalu katanya perlahan, "Celaka... hwesio itu aku masih ragu-ragu dan tidak percaya. Lo-sicu kita harus cepat-cepat pergi mencari Souw Teng Wi. dia harus tahu bahwa anaknya pergi bersama Bu Lek Hwesio... ah, mudah-mudahan saja kekhawatiranku ini keliru dan Bu Lek Hwesio benar-benar seorang sahabat mantuku...”
Lo Houw dapat mengerti perasaan orang tua ini, karena diapun merasa curiga dan kurang percaya kepada Bu Lek Hwesio yang aneh sikapnya dan lihai itu. Tanpa menunda waktu lagi keduanya malam itu juga terus melanjutkan perjalanan ke selatan.
Setelah kekuasaan Mongol lenyap dan bumi Tiongkok dan pemerintah dikuasai oleh Kerajaan Beng-tiauw, orang-orang gagah yang tadinya ikut berjuang merasa berjasa. Maka di mana mana timbullah perkumpulan-perkumpulan orang gagah seperti cendawan di musim hujan. Segala sesuatu itu tentu berputar pada pokok atau sumbernya. Pada waktu itu, pemerintah Beng-tiauw yang batu berdiri penuh dengan pembesar-pembesar yang korup dan palsu. Mereka ini seporti anjing-anjing yang tadinya kelaparan sekarang berebut tulang. Tadinya terjajah oleh Bangsa Mongol, sekarang mereka yang tadinya ketika terjadi perang sama sekali tidak berani muncul bahkan sebagian besar menjilat-jilat pantat kaisar dan para pembesar Bangsa Mongol, sekarang setelah kekuasaan dipegang oleh bangsa sendiri lalu berebutan muncul dan mengarang cerita menonjolkan jasa-jasanya.
Maka muncullah pembesar-pembesar korup, dan tentu saja para pembesar yang memang terdiri dari patriot-patriot tulen yang tadinya berjuang membela negara dan sekarang dalam jabatannya masih merupakan pemimpin yang setia dan bijaksana bagi rakyat, dimusuhi oleh para pembesar bermoral bejat itu. Timbullah dua aliran di lingkungan pembesar, dua aliran yang memperebutkan simpati Kaisar Beng-tiauw yang pertama, Thai Cu. Dalam hal menjilat dan merebut hati, memang orang-orang yang palsu wataknya lebih pandai dari pada orang-orang yang jujur, maka condonglah hati Thai Cu kepada mereka ini yang merupakan tikus-tikus berkaki dua.
Di luar istana, para orang gagah yang mendirikan perkumpulan-perkumpulan juga terjadi perpecahan Semua orang gagah maklum belaka bahwa pendekar atau pahlawan Souw Teng Wi adalah seorang pahlawan patriot yang telah berjuang mati-matian dalam pergerakan mengusir Bangsa Mongol dan tadinya merupakan tangan kanan dari Kaisar Thai Cu ketika kaisar itu masih menjadi pemimpin pemberontak Cu Coan C'iang. Akan tetapi oleh karena para penjilat palsu itu maklum akan watak gagah perkasa dari Souw Teng Wi dan maklum pula bahwa kalau sampai orang she Souw ini mendapat kedudukan tinggi sudah tentu mereka akan dibasmi olehnya, dengan segala akal dan tipu daya mereka berusaha agar supaya Souw Teng Wi jangan diterima oleh kaisar.
21
Dan berhasillah mereka memfitnah Souw Teng Wi di depan kaisar sehingga ia dituduh hendak memberontak dan hendak merampas kedudukan kaisar. Kaisar memerintahkan penangkapannya atas diri Souw Teng Wi bekas tangan kanannya ini sehingga pendekar ini melarikan diri dan selama ini ia bersembunyi, tak seorangpun tahu di mana tempat persembunyiannya.
Para pembesar durna itu sedemikian jauh pengaruh dan siasatnya sehingga mereka berhasil pula mempengaruhi kaisar untuk mengusir putera-nya. pangeran yang gagah adil dan jujur, di mana pangeran inipun secara terang-terangan memusuhi para durna. Hal ini membuai para durna itu merasa khawatir dan mencari akal sehingga akhirnya mereka berhasil membuat kaisar mengangkat Pangeran Yung Lo sebagai raja muda dan ditempatkan di Peking, bekas kota raja Kerajaan Goan-tiauw. Pada lahirnya saja Pangeran Yung Lo diangkat sebagai raja muda, akan tetapi sebenar inilah hasil siasat para durna yang hendak menjauhkan pangeran itu dari kota raja yang baru, Nanking.
Karena timbulnya dua aliran ini, di mana tentu saja aliran pembesar-pembesar yang setia dan baik lemah sekali keadaannya, timbul pula dua aliran pada dunia kang-ouw dan terjadilah persaingan dan permusuhan. Tadinya memang orang-orang kang-ouw ini tidak mencampuri urusan pemerintahan dan seperti biasanya para orang gagah ini tidak mengacuhkan hal itu. Akan tetapi ada dua hal vang membuat orang-orang gagah bangkit dan terjadi perpecahan yang menimbulkan adanya dua aliran atau dua golongan.
Pertama-tama banyak orang gagah merasa penasaran melihat nasib pendekar besar Souw Teng Wi yang sudah demikian banyak jasanya dalam perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman raksasa penjajah, sehingga diam-diam mereka siap sedia membantu Souw-taihiap. Kedua kalinya, banyak orang kang-ouw yang berilmu tinggi terbujuk oleh kemilaunya emas permata sehingga orang-orang berilmu ini sudi menjadi kaki tangan para durna untuk membasmi siapa saja yang merintangi jalan mereka. Hal ini yang sesungguhnya menimbulkan perpecahan antara orang-orang kang-ouw sendiri sehingga sering kali terjadi pertentangan-pertentangan dan salah paham, memancing timbulnya pertempuran-pertempuran yang kadang-kadang mengorbankan banyak nyawa orang-orang kang-ouw.
Di antara para pembesar durna, yang amat berkuasa di antara mereka adalah seorang menteri muda bernama Auwyang Peng atau lebih terkenal dengan sebutan Auwyang-taijin. Usianya empat-puluh tahun lebih dan dahulu ketika Kaisar Thai Cu masih menjadi pemberontak Cu Goan Ciang, sebetulnya Auwyang Peng ini adalah seorang pembesar Kerajaan Mongol Biarpun ia seorang Han, namun dengan kepandaiannya bun dan bu (surat dan silat) ia berhasil menduduki pangkat di Kerajaan Mongol.
Ketika melihat pergerakan Cu Goan Ciang yang mendapat dukungan banyak tuan tanah makin lama makin besar dan mendekati hasil baik, Auwyang Peng tidak menyia-nyiakan kesempatan baik. Diam-diam ia menghubungi Cu Goan Ciang dan membantunya dari sebelah dalam sampai akhirnya Kerajaan Mongol tumbang. Mengingat akan jasa-jasanya inilah maka Cu Goan Ciang setelah menjadi kaisar lalu mengangkat Auwyang Peng sebagai menteri muda.
Sudah tentu saja karena Auwyang Peng menjadi pembesar dengan ada jasa betul-betul, para durna lainnya tunduk kepadanya dan ia seakan-akan diangkat menjadi pelindung dan kepala mereka. Tentu saja Auwyang- taijin menerima banyak "hadiah” dan "tanda mata” sehingga istana Auwyang-taijin amat besar menyaingi istana kaisar, juga hampir di setiap kota besar menteri muda ini mempunyai gedung. Auwyang Peng yang maklum bahwa sejak dahulu Souw Teng Wi membencinya dan menganggapnya seorang pengkhianat yang dulu telah mengekor kepada pemerintah Mongol, kini memusuhi Souw Teng Wi. Kedudukan Auwyang-taijin kuat sekali dan di tangannyalah terletak kekuasaan besar di mana banyak orang berilmu tinggi menghambakan dirinya.
22
Auwyang-taijin mempunyai seorang putera bernama Auwyang Tek. Pemuda ini bertubuh jangkung kurus, berwajah tampan dan halus. Akan tetapi isi dada pemuda itu tidak setanpan wajahnya. Pemuda ini berhati keji dan kejam melebihi ayahnya, dan selama ia mengandalkan kekuasaan ayahnya yang dibantu banyak oiang pandai, juga ia mengandalkan kepandaiannya sendiri yang memang hebat. Auwyang Tek adalah murid termuda dari Tok-ong Kai Song Cinjin, seorang pendeta dari Tibet yang amat sakti.
Seperti dapat dimaklumi dari julukannya, yaitu Tok ong (Raja Racun), pendeta ini selain lihai ilmu silatnya juga amat pandai dalam menggunakan racun-racun berbahaya untuk mengalahkan musuh. Juga Auwyang Tek memiliki kepandaian khusus yang istimewa yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), sebuah kepandaian yang amat dahsyat dan mengerikan, didasarkan tenaga lwee-kan tinggi dan hawa mujijat dari racun hitam.
Oleh karena Souw Teng Wi menyembunyikan diri, Auwyang-taijin tak dapat melampiaskan bencinya. Ribuan orang mata-mata disebarnya untuk mencari musuh besarnya ini, namun sia-sia. Souw Teng Wi seperti lenyap ditelan bumi tidak meninggalkan jejak. Namun Auwyang-taijin masih belum puas dan tetap memasang penyelidik-penyelidik di setiap kota.
Maklum akan bahayanya, orang-orang gagah yang memihak Souw Teng Wi, tidak berani menyatakan secara berlerang. Di antara banyak pendukung Souw Teng Wi di kota raja Nan-king, terdapat seorang gagah perkasa bernama Kwee Cun Gan yang berjuluk Kim-sin-kang-jiu (Berhati Emas Bertangan Baja). Julukannya ini membuktikan bahwa pendekar ini biarpun memiliki kepandaian tinggi sehingga kedua tangannya diumpamakan tangan baja, namun ia berhati emas, tanda pribudinya yang luhur. Sebetulnya Kwee Cun Gan ini masih seperguruan dengan pendekar besar Souw Teng Wi, yaitu dari partai persilatan Kun-lun-pai, akan tetapi tentu saja hal ini jarang ada orang yang mengetahuinya.
Mengingat akan jasa-jasa Souw Teng Wi terhadap tanah air, juga karena sampai sebegitu lama Souw Teng Wi tidak pernah muncul, Kwee Cun Gan diam-diam mendirikan sebuah perkumpulan rahasia di antara orang-orang gagah yang diberi nama perkumpulan Tiong-gi-pal (Perkumpulan Setia Ingat Budi). Banyak orang gagah menyokong pendiriannya ini dan menjadi anggauta Tiong-gi-pai, dan di antara pembantu-pembantu Kwee Cun Gan adalah anak keponakannya sendiri yang sudah yatim piatu bernama Kwee Tiong, ia seorang pemuda teruna, baru berusia tujuh belas tahun, akan tetapi ia telah memiliki kepandaian tinggi, hampir menyamai kegagahan pamannya! Ini tidak mengherankan oleh karena dia adalah murid terkasih dari Pek Mao Lojin, tokoh pantai timur yang terkenal sekali dan menjadi pula pendukung dari Tiong-gi-pai. Selain guru dan murid ini, masih banyak pendekar-pendekar perkasa yang secara langsung maupun tidak membantu pergerakan Tiong-gi pai.
Akan tetapi manusia ini memang macam-macam pendiriannya. Ada sebagian orang-orang gagah di dunia kang ouw, biarpun tidak langsung membantu Menteri Auwyang Peng, namun diam-diam mereka ini tidak setuju akan gerakan Tiong-gi-pai dan selalu mereka ini menganggap Tiong gi-pai sebagai perkumpulan yang tidak puas melihat negara dikemudikan oleh bangsa sendiri. Penjajah terusir dan tanah air dikuasai oleh bangsa sendiri, mengapa masih hendak mengacau? Bukankah itu berarti pro kepada penjajah Mongol? Demikianlah pendapat kelompok orang ini dan mereka ini merupakan fihak netral yang biarpun tidak membantu Auwyang-taijin namun anti kepada Tiong-gi-pai.
Sukarnya bagi Auwyang-taijin untuk membasmi Tiong-gi-pai adalah karena perkumpulan ini tidak mempunyai markas yang tetap, dibentuk secara rahasia dan bergerak secara rahasia pula. Yang sudah pasti, pusatnya berada di kota raja, di Nan-king.
23
Memang jarang terjadi bentrokan antara mereka. Bentrokan besar-besaran yang pernah terjadi dan yang sekaligus membuka mata Auwyang-taijin, bahwa ada perkumpulan Tiong-gi-pai yang tak boleh dipandang ringan terjadi kurang lebih setahun yang lalu.
Ketika itu, putra Auwyang-taijin, yaitu Auw-yang Tek, baru saja turun gunung, karena tamat pelajaran silatnya dan kembali ke kota raja bersama gurunya, Tok-ong Kai Song Cin jin. Dasar pemuda berwatak bejat, biarpun ia memiliki bakat ilmu silat yang luar biasa dan kini menjadi seorang pemuda yang kepandaiannya tinggi sekali, begitu sampai di kota raja, Auwyang Tek menjadi binal, beberapa tahun ia harus hidup terasing di atas gunung mempelajari ilmu silat, sekarang setelah tiba di kota nafsu binatangnya timbul. Dia seorang pemuda mata keranjang yang tidak segan-segan mempermainkan anak bini orang lain.
Pada suatu hari di kota raja datang serombongan pemain akrobat terdiri dari seorang laki-laki setengah tua berjenggot panjang, dua orang gadis remaja dan seorang bocah laki-laki tanggung. Empat orang ini menuju ke sebuah tempat yang ramai di pusat kota lalu menurunkan barang-barang bawaan mereka di tempat terbuka pinggir jalan, tak jauh dari jembatan Kim-niau (Jembatan Burung Emas). Pemuda tanggung itu segera membuka buntalan-buntalan besar, lalu bersama laki-laki setengah tua ia memasangi alat-alat bermain akrobat, di antaranya sebatang gala bambu yang tingginya ada lima meter, sebuah tangga dan tiga buah guci arak besar. Sementara itu, dua orang gadis yang berwajah manis-manis itu menabuh tambur dan gembreng.
Di kota raja memang banyak didatangi orang-orang dari luar kota yang mencari nafkahnya dengan jalan menjual kepandaian, ada guru-guru silat menjual obat ada pula tukang-tukang sulap dan pedagang-pedagang lain yang menarik perhatian orang dengan pelbagai pertunjukan. Akan tetapi karena rombongan ini terdapat dua orang gadis manis, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan orang-orang yang hendak menonton. Terutama sekali menonton dua orang gadis manis itu, karena semenjak dunia berkembang, tidak ada daya penarik lebih memikat dari pada wajah dara-dara ayu.
Sehelai kain bertuliskan ROMBONGAN AKROBAT LIEM terpancang di situ seperti sebuah bendera. Kemudian melihat di situ sudah berkumpul banyak sekali orang, dengan
wajah ramah berseri laki-laki setengah tua berjenggot panjang melompat bangun, menjura ke empat penjuru lalu memberi isyarat kepada dua orang gadis yang segera menghentikan pemukulan tambur dan gembreng. Mereka berdua lalu melompat pula menghampiri orang tua itu dan berdiri di sebelah kirinya, sementara itu pemuda tanggung tadi berdiri pula di sebelah kanannya.
Kalau dua orang gadis itu manis-manis berkulit putih berbibir merah, adalah pemuda tanggung itu tampan juga, keningnya lebar matanya bersinar-sinar Laki-laki berjenggo panjang itu sendiri berwajah tampan dan angker, ini semua menjadi tanda bahwa anggauta rombongan itu terdiri dari orang-orang yang bukan sembarangan.
"Cu-wi sekalian yang terhormat," laki-laki berjenggot panjang itu mulai berpidato, "terima kasih atas perhatian cu-wi yang sudi menonton pertunjukan kami yang tidak berharga. Pertama-tama kami hendak memperkenalkan diri. Siauwte (aku) sendiri adalah Liem Hoan dari daerah selatan, di sana dijuluki orang Sin-liong (Naga Sakti) akan tetapi di sini tentu saja siauwte tidak berani mempergunakan julukan itu. Di sebelah kiri siauwte ini adalah dua orang anak perempuan siauwte, Kui Lan dan Siang Lan, adapun di sebelah kanan riauwte adalah anak laki-laki siauwte bernama Liem Han Sin. Kami sekeluarga Liem bermaksud mengadakan sedikit hiburan kepada cu-wi, mudah-mudahan cu-wi tidak kecewa dan bermurah hari untuk sekedar memberi sokongan untuk penyambung perjalanan kami ke Peking.”
24
Tepuk tangan riuh menyambut pidato ini. bukan saking baiknya isi pidato, melainkan seperti biasa karena orang-orang bergembira menyambut pertunjukan akan segera dimulai. Mula-mula dua gadis enci adik yang berusia enambelas dan tujuh-belas tahun itu memperlihatkan kepandaian mereka. Kui Lan berseru nyaring, tubuhnya berjungkir balik, kedua tangan menapak tanah dan kedua kaki tegak di atas, tetap kaku seperti pilar. Siang Lan-adiknya juga mengeluarkan seruan lembut dan tubuhnya yang langsing itu melayang naik merupakan lompatan indah.
Seperti seekor burung saja ia hinggap di atas kaki encinya, berdiri tegak tersenyum-senyum dan kedua tangannya melambai-lambai memikat ke arah penonton. Pertunjukan ini sih tidak berapa hebat dan banyak orang yang sanggup melakukannya, akan tetapi yang menarik ialah karena yang melakukannya adalah dua orang gadis jelita, maka para penonton yang semua terdiri dari laki-laki itu mulai bertepuk tangan memuji! Berbareng dengan bunyi tepuk tangan, tiba-tiba tubuh Siang Lan yang berada di atas itu mencelat ke udara, berjumpalitan, demikian pula Kui Lan dengan gerakan indah sekali berjungkir balik dan ketika tubuh Siang Lan turun, dua pasang tangan bertemu.
Kini Kui Lan berdiri tegak dan di atasnya, Siang Lan berdiri berjungkir balik dengan kaki di atas dan kedua tangan di atas telapak tangan enci-nya. Dua orang gadis itu terus bermain akrobat, berjungkir balik dalam pelbagai posisi yang sulit-sulit, gerakan mereka ringan dan cepat sekali, menimbulkan gaya indah dan pemandangan yang menarik hati sehingga tepuk tangan tiada hentinya menyambut kecekatan mereka.
Setelah keduanya melompat turun dan memberi hormat kepada penonton, tiba giliran Liem Han Sin pemuda tanggung yang tampan itu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan lincah pemuda cilik ini mengambil tangga yang tingginya ada dua meter itu. melompat ke anak tangga pertama. Tentu saja tangga yang tidak dipegangi dan tidak disandarkan itu hampir roboh, akan tetapi dengan memegangi dua batang bambu tangga itu Liem Han Sin mengangkat dua kaki tangga mengatur keseimbangan badan seperti orang naik jangkungan.
Permainan ini lebih sukar dari pada tadi, membutuhkan keringanan tubuh dan tenaga besar, juga membutuhkan latihan matang. Akan tetapi dengan enaknya Han Sin melompat dari tangga terbawah ke tangga sebelah atas, terus makin ke atas, sampai pada anak tangga paling atas ia terpaksa memendekkan tubuhnya karena jarak pegangan dan anak tangga amat dekat. Makin sukarlah ia mempertahankan keseimbangan tubuhnya sehingga tangga itu berloncat-loncatan lucu ke sana ke mari. Tepuk tangan riuh-rendah menyambut permainan ini dan dari sana-sini terdengar pujian.
Kemudian Liem Hoan sendiri memperlihatkan kelihaiannya. Kini dia yang main keseimbangan tubuh, akan tetapi tidak mempergunakan tangga, melainkan mempergunakan gala bambu tadi yang begitu panjang. Bagaikan seekor kera ia memanjat batang bambu itu yang didirikan begitu saja diatas tanah. Gala bambu miring ke sana ke mari namun tidak sampai roboh dan sementara itu Liem Hoan sudah sampai di puncaknya yang lima meter tingginya itu, berdiri dengan sikap burung bangau berdiri dengan satu kaki, lalu merosot lagi ke bawah dengan cepatnya.
Pertunjukan ini hebat juga dan selain pecah tepuk sorak, juga kini uang kecil mulai membanjir di atas tanah di mana sudah disediakan kain kuning yang dibentangkan oleh Liem Han Sin. Kui Lan dan Siang Lan tersenyum senyuin memandang ke arah uang yang beterbangan ke atas kain kuning, akan tetapi tiba-tiba mereka mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat tiga buah uang tembaga lain mengeluarkan bunyi nyaring terus melesak ke dalam menembus kain kuning masuk ke dalam tanah. Kain kuning menjadi robek dan ada beberapa uang tembaga penyok-penyok kena pukulan uang tembaga yang dilemparkan dengan tenaga dalam hebat itu.
25
Kui Lan dan Siang Lan melirik ke arah orang yang melempar tiga mata uang itu dan mereka melihat wajah seorang laki-laki muda dan tampan bertubuh jangkung kurus memandangi mereka sambil tersenyum-senyum ceriwis dan pandangan matanya kurang ajar sekali. Pada saat itu, terdengar suara "Permainan bagus sekali, patut disumbang!" dan melayanglah tiga buah mata uang perak ke arah tumpukan uang itu, tepat di atas tiga bagian yang tadi terusak oleh tiga buah mata uang tembaga pemuda kurus sehingga bolong-bolong pada kain tertutup oleh mata uang perak yang berkilauan.
Dua orang gadis ini melirik dengan penuh terima kasih kepada pelempar uang tadi, seorang laki-laki setengah tua yang memiliki pandang mata berpengaruh dan keningnya amat lebar. Laki-laki ini tersenyum-senyum saja, seakan-akan tidak melihat betapa pemuda kurus jangkung tadi memandang kepadanya lengan kening berkerut.
Pemuda itu bukan lain adalah Auwyang Tek, putera Menteri Auwyang yang memang suka berkeliaran di antara rakyat kota raja. Kalau saja kesederhanaannya tidak suka berlagak seperti putera menteri ini mengandung maksud untuk mendekati rakyat dan memang merasa satu dengan rakyat, itulah baik sekali. Sayangnya Auwyang Tek yang tidak memakai peraturan dan berkeliaran seperti pemuda biasa ini mengandung maksud agar gerakannya bebas dan dia boleh berbuat apa yang ia suka! Pemuda mata keranjang ini tertarik sekali kepada Kui Lan dan Siang Lan, maka tadi ia sengaja melepas mata uang sambil mengerahkan tenaga untuk menarik perhatian dua orang gadis itu.
Sedikit pun Auwyang Tek tidak pernah mengimpi bahwa orang setengah tua yang tadi melepaskan tiga mata uang-perak, yang secara "kebetulan'“ menutupi bekas demonstrasi tenaganya di atas kain kuning, adalah Kwee Cun Gan, ketua dari Tiong-gi-pai yang ditakuti! Sebaliknya, tentu saja Kwee Cun Gan yang berjuluk Kim-sin-kang-jiu ini tahu betul siapa adanya pemuda tampan kurus jangkung yang mendemonstrasikan tiga buah mata uang sambil cengar-cengir itu.
Sesuai dengan julukannya Kim-sin-kang-jiu, (Hati Emas Tangan Baja), tergeraklah hati Kwee Cun Gan dan merasa kasihan melihat keluarga yang kehabisan bekal uang di tengah jalan sehingga terpaksa menjual kepandaian itu, maka tanpa ragu-ragu ia menyumbangkan tiga mata uang perak dan sekaligus memperlihatkan keahliannya sehingga tiga mata uang yang dilemparkan itu menutupi bekas tangan Auwyang Tek.
Liem Hoan bukanlah seorang ahli silat biasa atau pemain akrobat pasaran. Di selatan dia juga seorang tokoh kang-ouw yang terkenal Sudah banyak pengalamannya dan matanya amat tajam. Maka apa yang terlihat oleh dua orang puterinya tadi pun tidak terlepas dari pandangan matanya, membuat ia berdebar tak enak dan maklum bahwa di kota raja baru di mana ia sudah mendengar terdapat banyak sekali orang pandai ini, kedatangannya tidak disuka orang.
Cepat ia memberi isyarat kepada tiga orang anaknya untuk mengumpulkan uang dan barang-barang, berkemas untuk segera pergi. Kepada orang banyak ia menjura sambil berkata, "Terima kasih banyak kami haturkan kepada cu-wi yang sudah menaruh kasihan kepada kami dan memberi sumbangan, terutama sekali kepada para eng-hiong yang memaafkan pertunjukan kami yang tidak ada harganya tadi."
Melihat pertunjukan akan dibubarkan, orang banyak menjadi kecewa. Biarpun apa yang disuguhkan tadi sudah cukup menarik dan mengagumkan, akan tetapi terlampau sedikit dan mereka menghendaki lebih banyak lagi.
26
"Guci-guci besar sudah dikeluarkan dan belum dimainkan, apakah hanya untuk hiasan belaka?” terdengar seorang di antara para penonton mencela.
"Mungkin hanya untuk menarik hati kita supaya datang menonton!” kata orang ke dua.
"Aku ingin melihat demonstrasi silat!” orang ke tiga berteriak keras.
"Akur! Akur!! Guci harap dimainkan!” Banyak orang kini berteriak-teriak karena mereka ingin melihat permainan guci yang biasanya amat menarik.
Liem Hoan saling pandang dengan anak-anaknya, kemudian dengan terpaksa sambil tersenyum ia berkata nyaring. "Baiklah. kalau cu-wi menghendaki dan tidak mencela permainan kami yang masih rendah dan tidak berharga, siauwte akan memperlihatkan kebodohan, mengharap petunjuk-petunjuk dari cu-wi yang pandai!” Setelah berkata demikian, Liem Hoan mengambil sebuah guci dan melemparkannya ke atas.
Lemparan ini disusul oleh guci ke dua, ke tiga, dan ke empat sehingga berturut-turut empat buah guci yang beratnya masing-masing ada lima puluh kati itu melayang turun. Dengan cekatan ia menyambut guci pertama terus dilemparkan lagi ke atas. Indah sekali pemandangan ini. Guci-guci itu menari-nari di udara, ditangkap dilemparkan bergantian dengan amat teratur. Setelah melakukan demonstrasi melempar guci, tiba-tiba Liem Hoan menerima sebuah guci bukan dengan tangannya melainkan dengan...... kepalanya di bagian jidat! Memang kalau dilihat amat mustahil menerima guci seberat itu dengan jidat, akan tetapi kenyataannya memang demikian.
Seni permainan guci ini di Tiongkok merupakan seni rakyat yang sudah amat tua usianya dan agaknya Liem Hoan menguasai permainan itu baik baik. Dengan guci berdiri di atas jidatnya, kedua tangannya tetap melempai lemparkan guci yang lain. Pada saat yang baik, guci ke dua jatuh tepat di atas guci yang berada di atas jidatnya dan...... dapat diterima dengan baik hampir tidak mengeluarkan suara.
Tepuk sorak riuh-rendah menyambut permainan istimewa ini. Guci ke tiga sudah "hinggap” pula di atas guci ke dua dan pada saat guci ke empat melayang turun hendak diterima oleh guci ke tiga, tiba-tiba terdengar suara keras dari sebelah kanan dan guci ke empat itu tahu-tahu meledak pecah. Itulah pukulan Hek tok Ciang yang dilepas dari jauh oleh Auwyang Tek, akan tetapi hawa pukulannya saja sudah dapat membikin guci itu meledak pecah! Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan dari sebelah kiri terdengar seruan keras dan guci yang sudah pecah itu terdorong ke samping sehingga jatuhnya tidak menimpa Liem Hoan.
Inipun merupakan pukulan istimewa dari Kwee Cun Gan yang menolong muka guru silat itu sehingga tidak tertimpa pecahan guci dan tidak menderita malu. Dengan hawa pukulan yang dikerahkan menggunakan tenaga Iweekang tinggi, ia berhasil menolong Liem Hoan. Akan tetapi diam-diam ketua Tiong gi-pai ini terkejut bukan main menyaksikan kedahsyatan pukulan pemuda tinggi kurus putera menteri itu dan diam-diam memuji.
Adapun Liem Hoan yang melihat kejadian itu, terkejut bukan main. Cepat ia menurunkan tiga buah gucinya dan berdiri dengan muka pucat. Sedangkan Auwyang Tek yang sengaja hendak mencari perkara dan ingin mendapatkan dua orang gadis Liem yang jelita itu, melihat ada orang pandai membantu mereka, timbul kecurigaannya. Ia bersuit keras memberi tanda kepada orang-orangnya lalu berseru, "Tangkap mata-mata pemberontak, tawan dua orang gadis itu!” Ucapan ini bermaksud bahwa dua orang gadis itu harus ditawan hidup-hidup.
27
Memang, pada masa itu kaum durna berhasil menguasai kendali pemerintahan dengan jalan mempengaruhi kaisar dan sebuah di antara siasat mereka untuk menjatuhkan musuh-musuh mereka adalah fitnah busuk bahwa para musuh itu adalah pemberontak-pemberontak yang katanya hendak merebut kekuasaan Kerajaan Beng! Juga dalam menghadapi rombongan akrobat karena ingin mendapatkan dua orang gadis itu, apa lagi melihat adanya orang pandai membantu, Auwyang Tek tidak segan-segan menggunakan fitnah ini dan menyiapkan orang-orangnya.
Belasan orang pengawal istana yang sudah siap selalu menanti perintah putera menteri itu, cepat menyerbu masuk. Mereka ini seperti anjing-anjing disuruh mengambil tulang, saling berebut untuk menawan dan memeluk gadis-gadis cantik itu, dan berebut memperoleh pahala! Liem Hoan berseru keras dengan marah sambil menyerbu dan seorang pengawal yang terdepan terlempar oleh pukulannya. Juga dua orang gadis Liem itu tidak gampang-gampang ditangkap, mereka mencabut pedang dan melakukan perlawanan sengit. Demikian pula Liem Han Sin yang ternyata memiliki ilmu silat yang lumayan juga. Sementara itu, Auwyang Tek sendiri tidak mcmperdulikan lagi penyerbuan orang-orangnya untuk menawan dua orang gadis itu, melainkan melompat ke dekat orang setengah tua yang menolong Liem Hoan tadi sambil mengulur tangan kanan untuk mencengkeram dada orang itu!
Kwee Cui Gan maklum akan kelihaian pemuda yang memiliki ilmu pukulan Hek-tok-ciang ini, maka ia mengerahkan tenaganya menangkis. Dua tenaga Iweekang bertemu dan Auwyang Tek berseru keras sambil terhuyung-huyung ke belakang. Tak pernah disangkanya bahwa orang setengah tua ini demikian lihai.
"Siapa kau..?” bentaknya, lalu mengeluarkan sepasang sarung-tangan yang mengeluarkan sinar dari dalam sakunya, langsung dipakainya.
Para penonton begitu melihat lapangan pertunjukan berubah menjadi lapangan pertarungan, lari simpang-siur dan panik. Keadaan menjadi gaduh sekali dan ribut.
Sementara itu, ketika Kwee Cun Gan melihat putera menteri itu mengenakan sarung tangan, ia makin terkejut. Tahulah ia bahwa pemuda ini merupakan lawan tangguh sekali, apa lagi tadi pertemuan tangan membuat ia merasa lengannya kesemutan Biarpun ia dapat membuat pemuda itu terhuyung dan ini menyatakan bahwa dalam hal tenaga Iweekang ia sedikit lebih kuat, namun kiranya untuk menghadapi pemuda ini. ia membutuhkan ratusan jurus untuk mencapai kemenangan. Dan bertempur melawan putera menteri berikut kaki tangannya di dalam kota raja bukanlah hal main-main.
Cepat ia nengayun tangannya dan tiga buah uang logam perak meluncur cepat menyambar tiga bagian tubuh Auwyang Tek. Pemuda ini kelabakan ketika pertanyaannya tadi dijawab dengan tiga sambaran senjata rahasia. Cepat ia menggerakkan tangannya yang sudah bersarung itu menangkis. Terdengar suara nyaring dan tiga buah mata uang itu terpukul runtuh. Akan tetapi ketika ia menengok, orang setengah tua yang berjenggot tadi sudah lenyap dari depannya.
Para pengawal istana itu rata-rata memilik kepandaian tinggi, pula sebentar saja di situ sudah berkumpul puluhan orang pengawal. Tentu saja orang-orang muda seperti anak-anak Liem Hoan itu bukan lawan mereka dan sebentar saja Kui Lan dan Siang Lan sudah dapat tertawan dan diseret pergi atas perintah Auwyang Tek.
"Lepaskan saudara-saudaraku!” Han Sin berseru sambil memburu cepat dengan pedang di tangan. Akan tetapi ia dikeroyok dan terguling roboh dengan pundak terluka. Namun dengan semangat tak kunjung padam pemuda tanggung ini melompat lagi dan berlari cepat mengejar Auwyang Tek yang membawa pergi dua orang gadis tawanan itu.
28
Sementara itu, Liem Hoan setelah merobohkan empat orang pengawal, akhirnya terpaksa tak dapat mempertahankan diri dari keroyokan lagi. Sebuah bacokan pedang membuat ia terguling roboh. Baiknya sebelum para pengawal menghujankan senjata ke arah tubuhnya, berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu empat lima orang pengawal bergelimpangan dan di lain saat tubuh Liem Hoan sudah dikempit oleh Kwee Cun Gan yang membawanya pergi dengan lari cepat sekali. Baiknya Auw-yang Tek sudah tidak berada di situ karena pemuda ini lebih mementingkan urusan dua tawanan wanita itu dari pada mengurus Liem Hoan, maka guru silat akrobat itu dapat diselamatkan oleh Kwee Cun Gan.
Adapun Liem Han Sin yang mengejar untuk menolong enci-encinya. kembali roboh oleh keroyokan para pengawal. Tubuh pemuda tanggung ini sudah mandi darah, pakaiannya sudah cobak-cabik dan pedangnya sudah terpental entah ke mana. Namun dengan gigih ia menyerang terus, bersiap sedia mengadu nyawa untuk membela saudara-saudaranya.
Akan tetapi kepandaiannya belum tinggi, tubuhnya sudah lemas dan sebuah tendangan keras yang tepat mengenai lambungnya membuat ia roboh dan mengeluh kecil, terguling pingsan. Lima enam buah golok gemerlapan menyambar ke arah tubuh pemuda tanggung yang sudah mandi darah itu.
"Triungg... traanggg..... aduh.... ahh.... uakk....! Ayaaaa....!” sekalian pengawal yang
mengeroyok hendak membunuh Liem Han Sin roboh malang melintang ketika sebatang pit (alat tulis) menangkis senjata-senjata ini, kemudian pit itu mengamuk dengan totokan-totokan luar biasa. Pit itu bergerak tanpa kelihatan orangnya. Para pengawal seperti melihat setan di tengah hari dan mereka lari tunggang-langgang menyusul Auwyang Tek yang sudah lebih dulu membawa lari dua orang gadis tawanannya.
Dalam keadaan selengah pingsan Liem Han Sin melihat bahwa penolongnya adalah seorang kakek losu (pendeta lo) yang berwajah angker, tangan kanan memegang sebatang pit baja dan tangan kiri memegang sebuah kitab. Wajah tosu tua ini halus dan sikapnya seperti seorang sasterawan, namun sinar matanya tajam mengiris jantung dan tarikan bibirnya dan dagunya keras membayangkan kegagahan luar biasa. Dengan tenang kakek itu mengangkat tubuh Liem Han Sin dan membawanya pergi dari situ. Langkahnya lambat saja namun Han Sin merasa angin menyambar di kedua telinganya, sebentar saja mereka sudah keluar dari kota raja.
Inilah peristiwa "perkenalan" pertama-dari pihak Auwyang-taijin dengan Kwee cun Gan, sedangkan Kwee Cun Gan sendiri yang menolong Liem Hoan, tidak berlaku kepalang tanggung. Dia melarikan diri membawa Liem Hoan bukan karena takut, melainkan karena maklum bahwa ia sudah tidak akan dapat menolong dua orang gadis yang ditawan itu. Maka ia membawa Liem Hoan ke luar kota dan bersembunyi di kelenteng tua yang menjadi tempat persembunyian sementara. Cepat Kwee Cun Gan mengumpulkan kawan-kawannya dan pada malam hari itu dia bersama lima orang kawannya diam-diam memasuki kota raja dan berusaha menolong Kui Lan dan Siang Lan.
Dengan mudah Kwee Cun Gan mendapat keterangan bahwa dua orang gadis itu ditahan di dalam istana Menteri Auwyang Peng dan bahwa urusan ini tidak dilanjutkan kepada yang berwajib seperti yang ia sudah duga. Memang Kwee Cun Gan mempunyai banyak kawan pula di kota raja. Kawan sehaluan, yaitu anti pembesar korup dan jahat semacam Auwyang taijin Dia sudah mendengar akan watak jahat dan mata keranjang dari Auwyang Tek. maka tadi melihat dua orang gadis itu tidak dilukai melainkan ditawan, ia sudah menduga akan maksud keji Auwyang Tek.
Kwee Cun Gan didampingi oleh Liem Hoan yang sudah diobati lukanya, dan lima orang kawannya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, mempergunakan ginkang mereka dan pada tengah malam mereka menuju ke istana Menteri Auwyang di sebelah barat kota. Istana ini besar dan dikurung
29
pagar tembok yang tinggi. Para pengawal menjaga di depan pintu gcihang dan selalu meronda. Namun enam orang yang tinggi kepandaiannya ini dengan mudah melompati pagar tembok dan langsung melompat ke atas genteng. Dengan hati-hati mereka maju menyelidik.
Keadaan di atas genteng sunyi, bahkan di bawahpun amat sunyi. Agaknya semua orang sudah tidur pulas. Akan tetapi Kwee Cun Gan yang berpengalaman dan memiliki kepandaian yang paling lihai di antara mereka semua, merasa tidak enak hati. Keadaan di situ terlampau sunyi sehingga tidak wajar.
"Tunggu dulu...” bisiknya dan seorang diri ia meninggalkan kawan-kawannya di atas genteng, melompat turun dengan gerakan seperti seekor burung walet menyambar, mengagumkan enam orang kawannya. Tak lama kemudian ia melompat naik lagi ke atas genteng sambil mengempit tubuh seorang pengawal. Tadi ia menyergap pengawal ini yang sedang meronda di bagian dalam, menotok-nya dan dibawanya melompat naik.
Setelah berada di atas genteng dengan pedang ditodongkan ke tenggorokan Kwee Cun Gan memaksa peronda itu mengaku di mana adanya dua orang nona yang siang tadi ditawan.
"Di.... di kamar... kongcu....” katanya dengan tubuh menggigil, kemudian peronda itu menunjuk ke kiri ke arah sebuah kamar yang masih bercahaya, tanda bahwa di dalamnya masih dinyalakan penerangan. Liem Hoan tidak sabar lagi lalu melompat dan lari ke kamar itu.
“Liem-kauwsu, tunggu...’’ kata Kwee Cun Gan perlahan, akan tetapi guru silat yang amat mengkhawatirkan nasib dua orang puterinya itu cepat lari terus tanpa memperduiikan. seruan kawannya. Terpaksa Kwee Cun Gan. cepat menusukkan pedangnya, peronda itu tewas tanpa sempat membuka suara, kemudian bersama lima orang kawannya iapun mengejar Liem Hoan.
Dengan dada berdebar guru silat ini mendorong daun pintu dengan tangan kirinya, dan tangan kanan siap dengan pedang di tangan. Pintu terbuka dengan mudah. Cahaya lilin menerangi kamar itu, dan menyambut mata Liem Hoan yang menjadi silau. Dengan menggunakan tangan kiri melindungi matanya dari cahaya lilin, guru silat ini memandang ke arah ranjang besar yang diterangi oleh lilin di atas meja.
Tiba-tiba ia berteriak dan tubuhnya terhuyung-huyung. “Kui Lan.... Siang Lan....!” ia mengeluh dan ia tentu roboh terlentang kalau saja Kwee Cun Gan tidak cepat-cepat memeluknya. Kwee Cun Gan dan lima orang kawannya memandang ke dalam kamar, mereka menahan seruan marah dan merasa ngeri. Pantas saja ayah yang bernasib malang itu hampir pingsan melihat pemandangan di dalam kamar itu.
Apakah yang dilihatnya dan yang dilihat pula oleh Liem Hoan? Apakah betul-betul kedua orang anak daranya berada di dalam kamar itu, yang oleh peronda dikatakan bahwa itu adalah kamar Auwyang Tek? Dapat dibayangkan betapa hancur hati seorang ayah seperti Liem Hoan ketika melihat pemandangan di dalam kamar yang serba indah perabotnya itu. Di atas sebuah ranjang yang lebar, yang ditilami kain sutera merah muda dan bantal-bantalnya berkembang indah, menggeletak dua tubuh dara remaja dalam keadaan tidak bernyawa pula. Itulah Liem Kui Lan dan Liem Siang Lan, kakak beradik yang tertawan oleh Auwyang Tek dan kini terdapat telah tewas di dalam kamar, putera menteri yang keji itu.
Ketika Liem Hoan dan kawan-kawannya memasuki kamar menghampiri dua jenazah itu, ternyata bahwa dua orang gadis itu tewas oleh pukulan Hek-tok-ciang. Hal ini mudah dilihat karena pada dada dan pundak terdapat bekas tapak tangan menghitam yang menghanguskan pakaian dan kulit terus menembus daging dan tulang merenggut nyawa. Pukulan keji yang mengerikan.
30
"Jahanam keparat Auwyang....!" Liem Hoan memaki dan saking marahnya ia hanya melotot, napasnya memburu. Ia dapat menduga apa yang telah terjadi di kamar ini. Dua orang puterinya tentu menolak akan maksud keji putera menteri itu dan melakukan perlawanan sekuat tenaga untuk membela kehormatan dirinya, sehingga Auwyang Tek menjadi marah dan membunuh mereka dengan pukulan dahsyat itu.
Akan tetapi. Kwee Cun Gan berpikir lain. Tadinya iapun menduga seperti Liem Hoan meng ingat akan watak mata keranjang dan keji dari Auwyang Tek. akan tetapi ia lebih teliti. Kalau benar pemuda iblis itu membunuh dua orang gadis Liem karena mereka ini melawan kehendaknya, mengapa setelah dibunuh lalu dibiarkan saja menggeletak di dalam kamarnya di atas ranjang? Mengapa pula kamar ini kosong dan sekeliling rumah gedung itu sunyi belaka?
"Awas mungkin musuh memasang perangkap!" katanya. "Hayo lekas kita bawa pergi jenazah mereka.”
Baru saja kata-kata ini diucapkan terdengar suara ketawa dan terdengar pula suara senjata dicabut. Kwee Cun Gan kaget sekali, cepat ia menubruk ke depan, menyambar tubuh Kui Lan dan Liem Hoan menyambar tubuh Siang Lan. Kemudian serentak tujuh orang ini menerjang keluar kamar. Tempat yang tadinya sunyi sekarang ternyata telah terkurung rapat oleh barisan pengawal, dikepalai oleh Auwyang Tek sendiri. Melihat Auwyang Tek sambil memaki Iblis kejam terima pakaian enam tujuh orang pengawal di dekatnya, dapat diduga bahwa mereka ini adalah pengawal-pengawal pilihan, karena lebih mewah dari pada pakaian pengawal biasa yang memenuhi dan mengurung tempat itu.
“Harha-ha-ha, kiranya kau yang bernama Kwee Cun Gan! Ha, kalau tahu demikian, tentu siang tadi tak kuberi ampun!” kata Auwyang Tek dengan sombongnya sambil menuding ke arah Kwee Cun Gan dengan tangannya yang keduanya memakai sarung tangan.
Diam-diam Kwee Cun Gan kaget.. Sekarang dia telah dikenal, dan itu artinya pergerakannya di kota raja tidak aman dan tidak mudah lagi. Dan diam-diam dia memuji kecerdikan putera menteri ini yang selain cerdik juga memiliki kepandaian luar biasa, jarang ada seorang demikian muda telah memiliki kepandaian tinggi.
“Buka jalan darah!” seru Kwee Cun Gan kepada kawan-kawannya. Pemimpin perkumpulan Tiong-gi-pai ini sudah cukup berpengalaman. Sekilas pandang saja ia maklum akan bahayanya keadaan dia. dan kawan-kawannya, maka membuang waktu dengan bercakap cakap takkan ada gunanya. Lebih cepat lebih baik untuk segera menyelamatkan diri keluar dan kepungan. Sambil berseru demikian, Kwee Cun Gan sudah menggerakkan pedangnya, cepat sekali ia menusuk Auwyang Tek sambil memaki "Iblis kejam terima pedangku"
Di lain fihak, Auwyang Tek sudah maklum akan kelihaian pemimpin Tiong-gi-pai ini, maka ia cepat mengangkat tangan menangkis pedang. Sarung tangannya adalah benda istimewa, terbuat dari pada kulit ular putih yang sudah dimasak dengan obat dan racun. Selain kulit ini kebal terhadap senjata tajam, juga amat lemas sehingga mudah disaluri tenaga Iweekang. Sifatnya yang lemas akan tetapi kuat ini amat cocok bagi Auwyang Tek yang memiliki ilmu pukulan Hek-tok-ciang, apa lagi karena kulit ular itu sendiri mengandung bisa sehingga menambah kelihaian Hek-tok-ciang.
Pemuda ini memang lihai sekali. Telapak tangannya yang terbungkus sarung itu. jangankan memukul orang, baru menampar dengan pengerahan Ilmu Hek-tok-ciang saja, sudah cukup untuk merenggut nyawa orang dan meninggalkan tanda telapak tangan hitam pada tubuh si korban. Pedang Kwee Cun Gan yang ditangkis tangan terpental dan di lain saat kedua orang jago dari dua aliran ini sudah
31
bertempur seru dan sengit. Memang, Auwyang Tek masih kalah sedikit tenaga Iweekangnya, apa lagi ketua Tiong-gi-pai itu mempergunakan pedang panjang sehingga keadaannya lebih untung. Akan tetapi sebaliknya, Kwee Cun Gan memondong mayat Liem Kui Lan sehingga gerakannya tidak begitu gesit.
Adapun Liem Hoan yang juga memondong tubuh puterinya yang ke dua, mengamuk pula mempergunakan pedangnya Tadinya ia hendak membantu Kwee Cun Gan saking bencinya ia melihat Auwyang Tek. Akan tetapi seorang panglima pengawal sudah menyambutnya dengan senjata golok besar. Lima orang kawan Kwee Cun Gan atau anggota dari Tiong-gi-pai telah bertempur pula dikeroyok oleh banyak orang pengawal pilihan sehingga ruangan itu sebentar saja tdah menjadi medan pertempuran yang ramai.
Berkali-kali Kwee Cun Gan mendesak hebat untuk membuka jalan darah, namun Auwyang Tek yang sudah dapat menduga, mencegahnya mencari kesempatan. Pemuda ini mendesak hebat, melancarkan pukulan-pukulan Hek-tok-ciang yang hawanya mempengaruhi keadaan di sekelilingnya. Liem Hoan sendiri pada suatu saat terkena sambaran angin pukulan Hek-tok-ciang, mengeluh dan terhuyung-huyung. Seorang pengawal menusuknya dengan tombak. Baiknya Liem Hoan masih dapat menguasai diri, begitu melihat tombak meluncur, ia terus melempar diri ke belakang dan melakukan gerakan poksai (bersalto) sampai tiga kali.
"Bagus...!” Panglima pengawal yang menombaknya itu berteriak memuji Memang indah sekali gerakan Liem Hoan tadi. Dalam keadaan limbung dan lagi sedang memondong sebuah jenazah, masih dapat melakukan gerakan poksai seperti itu, benar-benar hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli akrobat yang pandai.
Juga Kwee Cun Gan mulai terdesak hebat. Jenazah yang dipondongnya merintangi gerakannya, padahal ilmu pedangnya dari Kun Lun pai itu mengandalkan kelincahan dan kecepatan gerakan. Betapapun juga, ilmu pedangnya benar-benar lihai.
Dua kali sudah seorang pengawal mencoba-coba untuk membantu Auwyang Tek, akan tetapi tiap kali seorang pengawal maju, ia roboh terkena sinar pedang yang gemilang itu. Terpaksa pengawal-pengawal yang lain mundur tak berani sembrono mendekati pertempuran hebat itu Dua orang yang bertempur ini tingkatnya sudah terlampau tinggi sehingga hawa pukulan masing-masing saja sudah tak tertahankan oleh para pengawal.
Sementara itu, lima orang kawan Kwee Cun Gan sudah terdesak hebat oleh pengeroyokan para pengawal. Biarpun mereka inipun gagah perkasa dan setiap orang dari mereka sudah merobohkan sedikitnya tiga orang lawan sehingga di tempat itu sudah bergelimpangan tubuh para pengawal, namun fihak lawan terlampau banyak dan mereka sendiri sudah luka-luka. Jalan keluar tak mungkin dibuka, pengepungan terlampau rapat. Oleh karenanya, sebuah serampangan toya membuat ia jatuh terguling bersama jenazah anaknya yang masih itu, para anggota Tiong-gi-pai ini menjadi nekat dan bertempur mati-matian. Tingkat kepandaian mereka sedikit lebih rendah dari pada Liem Hoan dan dalam pertemputan mati-matian, seorang demi seorang dari lima anggota Tiong-gi-pai ini roboh!
Kwee Cun Gan menjadi marah dan jengkel sekali. Untuk menolong anak-anak Liem Hoan, ternyata sekarang anak-anak itu tidak tertolong malah ia kehilangan kawan-kawannya! Bukan itu saja, melihat keadaannya, agaknya dia sendiri dan Liem Hoan takkan mampu keluar dari sini. Sebetulnya dia dan Liem Hoan masih dapat mempertahankan diri oleh karena Auwyang Tek berseru kepada orang-orangnya supaya yang dua ini ditawan hidup-hidup. Setelah mengetahui bahwa yang datang
32
adalah Kwee Cun Gan ketua Tiong-gi-pai, tentu saja Auwryang Tek menghendaki tokoh ini tertawan hidup-hidup agar ia dapat menikmati jasanya ini di depan ayahnya dan juga di depan kaisar.
Liem Hoan tak dapat mempertahankan diri lebih lama lagi. Beberapa kali jenazah Siang Lan terlepas dari pondongannya, akan tetapi untuk ke sekian kalinya ia selalu menyambar pula jenazah puterinya sambil mengamuk terus, tidak perduli akan luka-luka di tubuhnya. Hebat amukan guru silat ini sehingga sejak bertempur sedikitnya ada tujuh orang pengawal sudah dirobohkannya. Akhirnya, sebuah serampangan toya membuat ia jatuh terguling bersama jenazah anaknya yang masih dipeluknya.
Juga Kwee Cun Gan sudah payah sekali keadaannya, Kini Auwyang Tek dibantu oleh empat orang panglima pengawal yang cukup tangguh menggunakan tombak dan toya panjang mengurung dan mendesaknya. Ketua Tiong-gi-pai ini benar-benar gagah perkasa. Ia sudah lelah sekali, dan dua kali sudah pundaknya kena serempet hawa pukulan Hek-tok-ciang yang membuat ia merasa panas, namun pedangnya masih diputar cepat melindungi seluruh tubuhnya. Semua ini ia lakukan dengan memondong sebuah jenazah, benar-benar mengagumkan sekali.
“Ha-ha-ha, Kwee Cun Gan. Lebih baik kau melempar pedang dan berlutut menyerah Kalau kau menyerah kalah, takluk dan selanjutnya menunjukkan di mana adanya teman-temanmu, tentu kaisar akan mengampunimu,” kata Auwyang Tek mentertawakan. Namun Kwee Cun Gan tidak menjawab, melainkan memainkan pedangnya lebih cepat lagi sehingga seorang pengawal roboh terbabat pedang, putus pinggangnya berikut tombak yang tadi dipegangnya!
"Setan, kau benar-benar sudah bosan hidup!” seru Auwyang Tek marah sekali dan secepat kilat ia mengerjakan kedua tangannya, bergantian melancarkan pukulan Hek-tok-ciang ke arah lawannya. Saking marahnya, Auwyang Tek tidak perduli lagi apakah ketua Tiong-gi-pai itu akan mati terkena pukulannya. Sudah terlalu banyak pengawal tewas dalam pertempuran ini.
Pada saat itu, Kwee Cun Gan sedang menangkis serangan dari kanan kiri dengan memutar-mutar pedangnya menjadi sinar melebar dari kanan ke kiri. Ketika pukulan Auwyang Tek mencuit bunyi anginnya menyambar dari depan, ia cepat mengumpulkan tenaganya melakukan gerakan menangkis. Namun ia sudah terlalu lelah dan pukulan bertubi-tubi itu terlalu kuat. Biarpun Kwee Cun Gan berhasil menyelamatkan diri sehingga pukulan itu tidak tepat mengenai dadanya, namun hawa pukulan yang dahsyat itu membuatnya limbung.
Sodokan tombak yang hendak memasuki perutnya masih dapat ia tangkis dengan pedang sehingga tombak itu patah tengahnya, namun serampangan toya besi pada kakinya tak dapat ia hindarkan lagi dan ia roboh terguling dengan pedang masih di tangan. Namun dalam robohnya Kwee Cun Gan masih berusaha menyelamatkan diri, cepat ia bergulingan menjauhkan diri dari musuh-musuhnya dan terpaksa ia melepaskan jenazah Kui Lan yang tak dapat dipertahankannva lagi. Sambil tertawa-tawa mengejek Auwyang lek melangkah maju perlahan lahan menghampiri Kwce Cun Gan.
Pada saat itu, terdengar suara ketawa bergelak-gelak. Suara ini datangnya dari jauh akan tetapi demikian nyaring sehingga suara ketawa Auwyang Tek tertindih. Auwyang Tek tertegun, sejenak mengira bahwa gurunya yang datang. Gurunya, Tok-ong Kai Song Cinjin adalah seorang sakti yang kadang-kadang kalau ketawa juga mendatangkan pengaruh luar biasa sekali. Akan tetapi ia tahu betul bahwa pada saat itu gurunya sedang pergi ke Tibet, baru dua pekan perginya, mana mungkin sudah kembali? Betapapun juga, suara ketawa itu membuat Auwyang Tek berhenti sebentar dan melupakan Kwee Cun Gan. Ternyata suara ketawa inilah yang menolong nyawa ketua Tiong-gi-pai itu karena kalau tidak tentu ia akan mati dalam tangan Auwyang Tek dan anak buahnya.
33
Selenyapnya gema suara ketawa, terdengar bentakan keras, "Siokhu (paman), siauwtit (keponakan) datang membantu!"
Auwyang Tek tertegun karena entah dari mana datangnya tahu-tahu di depannya menghadang seorang kakek botak tua sekali yang membawa sebuah guci tuak. Begitu ia muncul, di sekitar tempat itu berbau tuak yang amat wangi dan keras. Kakek ini tertawa dan ternyata suara ketawa tadi adalah suaranya, ketawanya lembut namun nyaring menusuk telinga dan ketika ia tertawa, bau arak makin menyengat hidung sampai beberapa orang pengawal terbatuk-batuk, padahal mereka itu bukanlah orang-orang yang tidak doyan arak.
Akan tetapi bau arak ini benar-benar amat kerasnya. Hanya Auwyang Tek yang Iweekangnya sudah tinggi masih dapat menahan, dan ia marah sekali melihat kakek ini. Sebelum ia menegur, melayanglah dari atas bayangan seorang pemuda berpakaian sasterawan yang halus gerak-geriknya, di tangan kanannya nampak sebatang pedang panjang. Begitu pemuda itu turun, ia diserbu oleh para pengawal, akan tetapi sekali pedang berkelebat empat orang pengawal roboh dengan senjata patah-patah.
Auwyang Tek maklum bahwa ada orang pandai hendak menolong ketua Tiong-gi-pai, maka cepat ia berseru keras sainbil melancarkan pukulai Hek-tok-ciang sekuatnya ke arah kakek itu. Pukulan ini bukan main kerasnya sehingga pemuda yang baru turun itu nampak terkejut sekali dan melompat ke samping agar jangan terkena hawa pukulan yang luar biasa itu. Akan tetapi kakek yang dipukul itu tersenyum saja, guci arak yang berukir-kan gambar naga itu diangkat tinggi lalu dituang-nya ke mulutnya, setelah itu ia menyemburkan arak ke depan.
Semua ini dilakukan dengan gerakan lembut namun terjadi amat cepatnya. Semburan arak ini mengandung kekuatan khikang yang tidak terukur kuatnya, namun ternyata pukulan Hek-tok-ciang itu tertahan. Hawa pukulan itu tidak kelihatan, yang kelihatan hanyalah uap arak yang disemburkan itu terhenti di tengah-tengah untuk sesaat lalu maju lagi mengejar Auwyang Tek!
Karuan saja pemuda putera menteri itu kaget sekali. Maklum menghadapi seorang lawan tangguh ia cepat memutar tubuh dan melompat keluar dari ruangan itu, dikejar oleh uap arak! Akan tetapi sekejap mata Auwyang Tek sudah lenyap dari situ ditelan kegelapan malam. Juga para pengawal melihat tuan mudanya lari, berserabutan lari tergesa-gesa.
Kakek botak itu tertawa lalu menyambar tubuh Liem Hoan yang pingsan dengan jenazah Siang Lan. Adapun pemuda sasterawan yang tampan sekali itu memanggul tubuh Kwee Cun Gan yang patah tulang kakinya, tidak lupa mengempit jenazah Kui Lan. Dengan cepat sekali, kakek dan pemuda itu berkelebat dan lenyap dari ruangan yang segera menjadi sunyi itu.
Pemuda tampan berpakaian sasterawan itu bukan lain adalah Kwee Tiong, seorang pemuda yatim piatu keponakan Kwee Cun Gan. Kwee Tiong ini adalah putera Kwee Hai kakak Kwee Cun Gan, dan dahulunya juga seorang patriot pejuang yang gagah perkasa di samping isterinya, seorang murid Siauw-lim yang gagah pula. Suami isteri yang gagah ini gugur di medan juang meninggalkan Kwee Tiong yang menjadi sebatangkara dan yatim piatu. Kwee Cun Gan yang tidak menikah dan tidak mempunyai anak, lalu merawat Kwee Tiong dan memberi pelajaran ilmu surat kepada bocah itu sehingga Kwee Tiong berhasil menempuh ujian dan menjadi siucai.
Akan tetapi Kwee Cun Gan tidak memberi pelajaran ilmu silat kepada keponakannya ini, bukan karena ia tidak mau menurunkan ilmunya, melainkan karena ia ingin mencarikan guru yang pandai untuk keponakan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu. Akhirnya, ketika Kwee Tiong berusia empat belas tahun, tercapailah cita-cita Kwee Cun Gan ini dan ia berhasil mencari Pek Mao Lojin seorang kakek tua tokoh pantai timur yang sakti. Melihat Kwee Tiong, kakek itupun suka menjadi gurunya, bahkan kakek pemabokan yang luar biasa ini bersimpati kepada Tiong-gi-pai.
34
Demikianlah Kwee Tiong dibawanya ke pantai timur dan mendapat gemblengan ilmu silat tinggi oleh gurunya, Pek Mao Lojin.
Pada malam hari itu, kebetulan sekali Kwee Tiong pulang ke Nan-king untuk menjenguk pamannya yang sudah lima tahun ia tinggalkan la datang bersama suhunya. Ketika tiba di kuil tua ia mendapat kabar bahwa pamannya itu sedang menyerbu ke istana Auw-yang-taijin. Maka ia segera menyusul bersama gurunya dan berhasil menolong Kwee Cun Gan dan Liem Hoan pada saat yang tepat.
Pada keesokan harinya, mayat lima orang anggauta Tiong-gi-pai digantung oleh Auwyang Tek di tengah-tengah tempat ramai agar semua orang melihatnya dan membuat gentar mereka yang memusuhi golongannya atau golongan ayahnya. Akan tetapi, juga di tempat yang ramai ini Kwee Tiong bersama suhunya memperlihatkan kepandaian, berhasil merampas lima jenazah itu yang dibawa lari keluar kota.
“Kwee-sicu harap jangan gegabah,” berkata Pek Mao Lojin memberi nasihat kepada Kwee Cun Gan setelah mengobati bekas pukulan Hek-tok-ang yang membuat tubuh ketua Tiong-gi-pai itu sedikit banyak kemasukan hawa beracun. Pihak kaum bangsawan korup seperti Auwyang Peng itu tidak holeh dipandang ringan. Selain mereka telah berhasil mempengaruhi kaisar, juga mereka ini dibantu oleh golongan shia pai (partai kotor) yang mempunyai banyak tokoh besar. Lohu tadinya mendengar bahwa Tok ong Kai Song Cinjin. itu raja racun dari Tibet sudah pula turun gunung dan membantu golongan kan-sin (menteri dorna) yang didukung oleh para ok pa (hartawan jahat), dan terus terang saja lohu masih kurang percaya. Masa seorang tokoh besar sakti seperti Tok-ong sudi diperalat oleh orang-orang yang berkedudukan dan beruang. Akan tetapi, melihat Hek-tok-ciang dari orang -muda tadi, keraguanku lenyap. Hanya Tok-ong yang bisa mengajarkan ilmu pukulan sejahat itu.”
"Memang benar apa yang diucapkan oleh locianpwe. Siauwte sudah mendengar bahwa Auwyang Tek putera Menteri Auwyang itu adalah murid Tok-ong Kai Song Cinjin,” jawab Kwee Cun Gan.
Pek Mao Lojin mengangguk-anggukkan kepalanya yang botak. "Berbahaya sekali! Kalau Si Raja Racun itu kebetulan berada di sana, biarpun aku pertaruhkan kepalaku yang botak, sicu takkan dapat tertolong. Mulai sekarang harap sicu jangan mencari perkara dengan mereka. Memang harus menolong rakyat, akan tetapi hal ini dapat dilakukan secara sembunyi, jangan menentang mereka secara berterang sebelum fihak kita cukup kuat. Pula, lohu mendengar bahwa keadaan di Peking lebih baik, kalau Kaisar Thai Cu di sini terpengaruh oleh para kan-sin. sebaliknya para tiong-sin (menteri bijaksana) sebagian besar mengungsi ke utara untuk membantu raja muda di sana yang bijaksana. Kalau demikian halnya, bukankah lebih baik sicu sekalian membantu bintang baru yang gemilang dari pada menunggu bulan yang sudah tertutup mendung?”
"Locianpwe bicara tepat sekali, terima kasih banyak atas segala petunjuk dan pertolongan locianpwe. Akan tetapi siauwte dan kawan-kawan tidak tega meninggalkan rakyat selatan yang terhisap oleh lintah-lintah darat, buaya-buaya yang sekarang menjadi pembesar korup itu. Kami tidak akan bertindak secara berterang, akan tetapi kalau kami dapat membujuk orang-orang gagah dan menundukkan orang-orang sesat dari partai shia-pai, itupun merupakan bantuan yang besar artinya untuk mengangkai nasib rakyai dari lembah penindasan.”
Setelah memberikan janjinya untuk mendukung pergerakan Tiong-gi-pai dan untuk kelak kalau perlu menyumbangkan tenaga di bawah pimpinan Souw-taihiap yang masih dicari-cari, Pek Mao Lojin lalu mengajak pergi muridnya. Mereka hanya berkumpul tiga hari tiga malam dengan orang-orang Tiong-gi-pai. Yang paling berduka adalah Liem Hoan. Selain kehilangan dua orang puterinya. juga Liem Han Sin tidak diketahui ke mana perginya.
35
"Jangan-jangan puteraku itu menjadi korban pula..." keluhnya.
"Kurasa tidak demikian," Kwee Cun Gan menghibur, "kalau belul puteramu itu tewas, tentu jenazahnya akan digantung pula seperti jenazah kawan-kawan lain. Agaknya puteramu itu dapat melarikan diri."
Akan tetapi sepekan kemudian, pada menjelang tengah malam, Liem Hoan terbangun dari tidurnya mendengar seruan puteranya. "Ayah......!” la mengira sedang mimpi, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat wajah Liem Han Sin di luar jendela tersenyum kepadanya. Ketika ia melompat ke jendela, ia mendengar angin menyambar dan bayangan puteranya lenyap. Cepat ia menyalakan lilin dan..... di atas meja dalam kamar itu telah terdapat coretan-coretan huruf dengan tinta hitam yang indah sekali gayanya. Itulah empat baris sajak yang berbunyi demikian:
Bertemu menteri dorna, menderita sakit hati seluas lautan
Putera tunggal bertemu jodoh penuntun ke arah kemajuan
Peristiwa suka dan duka sudah ditentukan Thian
Ayah dan putera lima tahun lagi adakan pertemuan
Membaca tulisan ini, Liem Hoan menjadi terhibur. Ia maklum bahwa puteranya telah bertemu guru yang sakti dan puteranya itu akan dibawa selama lima tahun untuk menjadi murid guru itu. Hanya sayangnya, ia tidak tahu siapakah gerangan orang sakti yang membawa pergi puteranya. Akan tetapi ketika Kwce Cun Gan melihat tulisan ini, pendekar ini berseru kaget dan hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
"Betul-betul diakah yang datang? Aneh dan hampir tak masuk di akal!" katanya.
"Siapakah dia itu?” Liem Hoan bertanya tak sabar.
Kwee Cun Gan menggeleng-geleng kepalanya. “Aku belum berani memastikan bahwa beliau yang menulis sajak ini, akan tetapi coba lihat saja. Biarpun huruf-huruf ini ditulis dengan pit bulu, akan tetapi bekas bulu menggurat dalam-dalam pada meja tanda bahwa penulisnya adalah seorang ahli Iweekeh yang jarang tandigannya, dapat membuat bulu pit menjadi seperti kawat kerasnya. Pula, bentuk huruf ini aneh, tintanya mendoyong dan menyiprat ke kanan kiri demikian rata seperti ditiup atau dikipasi selagi masih basah. Akan tetapi cipratannya demikian rata seperti kembang. Di dunia ini hanya ada seorang tokoh saja yang sudah terkenal dengan senjata anehnya, pit dan kipas ... akan tetapi ia kabarnya menghilang di luar daratan, di antara pulau-pulau kosong di lautan. Bagaimana dia bisa muncul di sini..........?”
Liem Hoan nampak kaget. "Apakah yang kau maksudkan itu locianpwe Im-yang Thian-Cu...?”
Kwee Cun Gan mengangguk, kalau berkata, “Kau beruntung, saudara Liem. Kalau betul puteramu itu menjadi murid beliau, benar-benar penasaranmu telah terobati. Pada masa ini, kedudukan Im-yang Thian-cu amat tinggi, kiranya tidak kalah saktinya kalau dibanding dengan Pek Mao-Lojin yang menjadi guru keponakanku."
Demikianlah, hati Liem Hoan agak terhibur dan ia mengharapkan puteranya kelak akan menjadi orang pandai dan selain dapat membalaskan sakit hatinya, juga dapat menjadi pahlawan rakyat yang patriotik. Dan demikian pula "perkenalan" pertama antara fihak Tiong-gi-pai dengan fihak Auwyang-taijin dan semenjak itu. Auwyang-taijin mengerahkan seluruh orangnya untuk menyelidiki dan mengawasi gerak gerik perkumpulan ini.
36
Setahun telah lewat dan Liem Hoan kini menjadi anggauta Tiong-gi-pai yang biarpun berdiri dalam rahasia, makin lama makin banyak pendukungnya yang terdiri dari orang-orang kang-ouv yang merasa prihatin melihat kesengsaraan rakyat di bawah penghisapan lintah-lintah darat berupa pembesar-pembesar korup.
Karena sudah mendapat petunjuk dari Pek Mao Lojin, Kwee Cun Gan membatasi gerakannya dengan membantu rakyat yang membutuhkan pertolongan, juga ia telah mengadakan hubungan dengan Raja Muda Yung Lo, putera selir dari Kaisar Thai Cu yang mendapat tugas menjaga tapal batas utara. Raja Muda Yung Lo juga melarang orang-orang gagah memusuhi ayahnya, karena maklum bahwa ayahnya itu pada dasarnya seorang patriot, hanya pada waktu ini terpengaruh oleh para kan-sin (menteri dorna). Raja Muda Yung Lo di Peking hanya minta kepada Kwee Cun Gan supaya berusaha mencari Souw Teng Wi, bahkan menjanjikan hadiah seribu tail emas bagi siapa yang dapat membawa Souw Teng Wi, menghadap kepadanya.
Di lain fihak, Auwyang-taijin juga menjanjikan hadiah lebih besar lagi, yaitu duaribu tail dan kedudukan tinggi bagi siapa yang dapat membawa ia "pemberontak" Souw Teng Wi! Dari dua janji ini saja dapat diukur bagaimana pentingnya seorang seperti pahlawan Souw Teng Wi itu. Kurang lebih setahun setelah peristiwa yang di alami oleh keluarga Liem di kota raja. Seperti sudah diceritakan, selama itu Liem Hoan menjadi anggauta setia dari Tiong-gi-pai. la bekerja dengan baik, menjadi kepercayaan Kwee Cun Gan sendiri.
Pada Suatu hari Liem Hoan yang melakukan penyelidikan tentang Souw Teng Wi tiba di kota Ki-liang. la pergi bersama seorang anggauta Tiong-gi-pai yang dulu pernah menjadi anak buah Souw-taihiap ketika berjuang melawan penjajah Mongol. Secara kebetulan sekali mereka bertemu dengan Lo Houw yang berjalan tergesa-gesa. Thio Sek Eng, kawan Liem Hoan itu mengenal Lo Houw bekas kawan seperjuangannya dan cepat menegur.
“Lo Houw, kau hendak ke mana?” Lo Houw terkejut akan tetapi menjadi girang ketika mengenal Thio Sek Eng. Segera dua orang kawar, lama ini bercakap-cakap.
“Lo Houw, tahukah kau di mana adanya tai-hiap sekarang?” tanya Thio Sek Eng serta-merta.
"Akupun sedang mencarinya,” jawab Lo Houw, kemudian dengan suara perlahan ia melanjutkan, "Juga Haminto Losu dan Souw-siocia mencarinya...” tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya dan nampak menyesal sambil melirik ke arah Liem Hoan yang tak dikenalnya. Lo Houw merasa sudah bicara terlalu banyak.
"Apa kau bilang Haimnto Losuhu datang ke selatan bersama Souw-siocia....? Souw-siocia yang mana? Apakah benar isteri taihiap sudah mempunyai anak perempuan?” Didesak demikian itu Lo Houw menjadi bingung.
“Aku.... hanya mendengar berita angin saja, benar tidaknya entahlah" Kemudian dengan tergesa gesa ia minta diri dan pergi tanpa dapat ditunda lagi. Mendengar berita itu. Liem Hoan dan Thio Sek Eng cepat-cepat memberi kabar kepada Kwee Cun Gan yang menjadi girang sekali,
"Kita harus mencari orang tua itu, dia mertua Souw-taihiap dan terutama sekali puteri Souw-taihiap harus kita lindungi Kalau fihak shia-pai dan para kaki tangan kan-sin (menteri dorna) tahu bahwa Souw-taihiap mempunyai seorang puteri, mereka tentu akan mencoba untuk mengganggunya. Lekas panggil kawan-kawan untuk berkumpul malam nanti di Bukit Ratu Menara!”
37
Demikianlah, pada malam hari itu beberapa belas orang gagah para anggauta Tiong-gi-pai berkumpul di sebuah bukit di mana terdapat batu karang-batu karang yang bentuknya seperti menara. Malam itu bulan hanya muncul sepotong kecil saja, namun orang-orang gagah ini membuat api unggun besar sehingga keadaan di bukit itu menjadi terang. Tempat pertemuan mereka adalah di tempat terbuka, tempat duduk mereka hanya batu-batu gunung. Seorang demi seorang datang dan tanpa banyak cakap mereka mencari tempat duduk di sekeliling api unggun. Selelah cukup empat belas orang anggauta Tiong-gi-pai yang tergolong para pemuka berkumpul, Kwee Cun Gan yang memimpin pertemuan itu berkata,
"Kawan-kawan, kita berkumpul untuk membicarakan tiga hal yang amat penting. Pertama-tama adanya berita buruk bahwa para dorna telah membawa-bawa hongsiang (kaisar) sehingga beliau kena mereka pengaruhi dan menganggap Tiong-gi-pai sebagai partai pemberontak. Sekarang, thaicu (putera mahkota) sendiri yang mengepalai para suwi (pahlawan istana) berusaha menangkap kita, dibantu oleh Auw yang-taijin dan kaki tangannya.”
"Ah, tidak aneh!” Tiba-tiba seorang hwesio berkata lantang dan marah. "Thaicu bukan manusia baik-baik, segolongan dengan manusia-manusia macam Auwyang Tek dan ayahnya!” Hwesio yang usianya tiga puluh tahun lebih itu adalah Thian Le Hosiang, seorang anak murid Siauw-lim-pai yang menggabung pada Tiong-gi-pai karena bersimpati dengan usaha orang-orang gagah ini, "Sudah banyak pinceng mendengar berita buruk tentang keganasan pangeran sulung itu."
Kwee Cun Gan menarik napas panjang. "Memang sayang sekali, semenjak bergaul dengan Auwyang Tek, thaicu menjadi tersesat. Benar-benar merupakan awan gelap bagi Kerajaan Beng, mempunyai calon junjungan seperti itu. Akan tetapi kita tidak perlu takut, karena kita berada di fihak benar. Sekarang soal ke dua yang lebih menggembirakan. Raja Muda Yung Lo yang mulia telah berkenan mengirim utusan dari utara dan kabarnya pada malam hari ini akan tiba di sini Kita bersiap untuk menyambut utusan agung itu."
Mendengar ini, semua orang kelihatan gembira. Berbeda sekali dengan putera sulung atau thaicu (putera mahkota) Kerajaan Beng, Raja Muda Yung Lo yang menjabat kedudukan raja muda di Peking itu adalah seorang gagah lahir batinnya, karenanya menentang pembesar-pembesar bawahan ayahnya sendiri yang korup dan menindas rakyat. Karena didesak oleh para dorna yang meminjam tangan kaisar, kini Tiong-gi-pai berpaling ke utara dan minta bantuan raja muda itu. Dengan gembira empat-belas orang itu bercakap-cakap membicarakan hal ini dan menduga-duga siapa gerangan yang dijadikan utusan Raja Muda Yung Lo.
"Di utara terdapat banyak sekali orang gagah," kata Liem Hoan guru silat akrobat yang sering kali merantau ke utara, "Dan dengan adanya raja muda bijaksana, tentu mereka semua serempak membantu beliau. Dapat diduga bahwa utusan itu tentulah seorang yang berilmu tinggi."
Setelah cukup mempercakapkan persoalan ini, Kwee Cun Gan bicara tentang soal ke tiga. Wajahnya berubah keren dan sungguh-sungguh ketika ia berkata, "Kawan-kawan, setelah lama mencari-cari kini ada sedikit berita mengenai keluarga Souw-taihiap.” Suara berisik orang-orang itu tiba-tiba terhenti dan semua telinga mendengarkan penuh perhatian.
"Silahkan saudara Thio Sek Eng menceritakan pertemuannya dengan Lo Houw.” kata pula Kwee Cun Gan.
Thio Sek Eng yang duduk di dekat Liem Hoan lalu bercerita, “Lo Houw adalah bekas kawan seperjuanganku ketika kami dahulu berjuang di bawah pimpinan Souw-taihiap. Kemarin ketika aku dan Liem lo-enghiong berada di Ki-liang, kami melihat Lo Houw berjalan dan cepat aku tanya dia
38
tentang Souw-taihiap. Dari Lo Houw inilah aku mendengar bahwa Haminto Losu, ayah mertua Souw-taihiap seorang tokoh Bangsa Hsi-sia. telah masuk ke Tiong-goan bersama cucu perempuannya, puteri Souw-taihiap, untuk mencari Souw-tai hiap pula.”
“Di mana mereka berada sekarang?" serentak orang-orang bertanya.
"Itulah sayangnya. Lo Houw tergesa-gesa dan segera berlari pergi, tak sempat memberi tahu dengan Jelas.” Semua orang juga merasa sayang dan menyesal karena mendengar berita tentang puteri Souw-taihiap, semua orang ingin bertemu dengan puteri pendekar besar itu.
"Betapapun juga, kita sudah mendengar bahwa Souw-taihiap mempunyai seorang anak perempuan, dan lebih penting lagi, anaknya itu bersama kongkongnya sekarang telah berada di Tiong-goan (pedalaman Tiongkok). Oleh karena itu kita jangan kurang waspada, harus memberi tahu kepada seluruh kawan kita untuk membuka mata dan telinga, di mana saja mendengar adanya Souw-sio-cia, kita harus segera mendapatkannya dan melindunginya,” kata Kwee Cun Gan.
Tiba tiba Kwee Cun Gan dan Thian Le Hosiang serentak berdiri, wajah mereka tegang memandang ke arah selatan. Di antara semua yang hadir Kwee Cun Gan memiliki kepandaian yang paling tinggi, kemudian menyusul Thian Le Hosiang murid Siauw-lim-pai itu. Oleh karena itu, hanya dua orang ini yang lebih dulu mendengar sesuatu yang mencurigakan.
“Heh-heh-heh, orang-orang gagah berkumpul mengelilingi api unggun, sungguh menarik dan asyik. Heh-heh-heh!” Tiba-tiba terdengar suara ini dan Muncullah seorang gundul tua yang menggandeng tangan seorang dara cilik yang berpipi merah. Orang gundul ini bukan lain adalah Bu Lek Hwesio dan dara cilik itu tentu saja Souw Lee Ing. Sebelum datang ke tempat ini, lebih dulu Bu Lek Hwes o menotok ya-hiat di leher gadis itu sehingga seketika Souw Lee Ing kehilangan suaranya dan menjadi gagu! Kemudian ia memegang pergelangan lengan gadis itu dengan erat. Lee Ing tentu saja kaget sekali, juga heran mengapa orang gundul yang katanya hendak menjadi gurunya, juga hendak membawanya kepada ayahnya ini tahu-tahu mengandung maksud yang tidak baik, buktinya telah menotoknya dan memegang lengannya demikian erat. Mau apakah orang gundul ini, akan tetapi Lee Ing tidak berdaya, tidak kuasa berteriak, tidak dapat bergerak. terpaksa melangkah dan menurut saja sambil memandang ke arah orang-orang yang duduk mengelilingi api.
Mendengar suara Bu Lek Hwesio, orang-orang di situ menjadi kaget dan menoleh. Liem Hoan yang duduknya paling dekat, memutar tubuh dan meraba gagang pedangnya, akan tetapi hwes o gundul itu hanya tertawa-tawa saja.
"Kawan-kawan, tenang jangan bergerak!” kata Kwee Cun Gan yang merasa khawatir kawan-kawannya akan turun tangan secara lancang. Kemudian ia menjura ke arah hwesio itu dan berkata, "Losuhu yang baru datang ini siapakah dan apakah ada keperluan penting?"
Bu Lek Hwesio tertawa lagi. “Heh-heh-heh pinceng Bu Lek Hwesio, ingin bertemu dengan Kwee Cun Gan ketua Tiong-gi-pai. Bukankah kalian ini anggauta-anggauta Tiong-gi-pai? Heh-heh-heh.”
Mendengar pertanyaan ini. tahulah semua orang bahwa hwesio yang baru datang ini belum kenal Kwee Cun Gan, maka Liem Hoan cepat melangkah maju dan berkata, "Losuhu ada keperluan apa mencari Kwee pangcu (ketua Kwee) Memang kami orang-orang Tiong-gi-pai dan kalau ada keperluan, cukup losuhu bicara dengan kami untuk disampaikan kepada ketua kami.”
Liem Hoan mendahului kawan-kawannya karena ia berlaku hati-hati tidak ingin Kwee Cun Gan dikenal orang luar. Bu Lek Hwesio memandang tajam kepada Liem Hoan dan matanya menyapu ke arah pedang yang tergantung di pinggang guru silat itu. Ia pernah mendengar bahwa Kwee Cun Gan
39
adalah seorang setengah tua yang berpakaian sederhana, berjenggot panjang dan selalu membawa pedang, persis seperti orang yang kini berdiri tegak di depannya ini. Akan tetapi Bu Lek Hwesio masih ragu-ragu dan cepat ia mendorong dengan tangan kirinya ke arah dada Liem Hoan sambil berkata. "Pergilah!”
Liem Hoan adalah seorang yang kepandaian silatnya sudah tinggi menghadapi dorongan dari jarak dua meter ini ia maklum bahwa hwesio itu seorang ahli Iweekeh, maka cepat ia menangkis dengan tangannya. Akan tetapi, tetap saja dorongan angin pukulan yang dahsyat membuat kuda-kudanya tergempur dan tubuh Liem Hoan terhuyung mundur sampai tiga tindak tanpa dapat la cegah lagi.
“Heh-heh-heh-heh, kau bukan Kwee Cun Gan!” kata Bu Lek Hwesio tertawa mengejek dan maklumlah Liem Hoan dan yang lain-lain bahwa hwesio ini tadi hanya mencoba tenaga saja. Namun Liem Hoan yang merasa terhina menjadi marah. dicabutnya pedang dari pinggangnya dan cepat ia menyerang dengan tusukan ke leher hwesio itu.
"Bagus, ilmu pedangmu tidak buruki” seru Bu Lek Hwesio sambil mengelak ke kanan, akan tetapi dengan amat cepatnya Liem Hoan memutar pedang melakukan serangan membacok. Dan pada saat itu Souw Lee Ing biarpun tak dapat bersuara dan lengan kirinya sudah dipegang erat-erat, melihat ada orang menempur hwesio ini, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik dan mengirim tendangan dengan kakinya ke arah lutut Bu Lek Hwesio,hal yang tak disangka sama sekali oleh Bu Lek Hwesio.
Biarpun kepandaian Lee Ing belum tinggi namun dara cilik ini pernah menerima gemblengan Haminto Losu dan tendangan merupakan kepandaian istimewa dari Haminto Losu, maka tendangan Lee Ing ini bukan tidak berbahaya. Apa lagi gerakan pedang dari Liem Hoan juga cepat dan mantap. Dengan marah. Bu Lek Hwesio menyendal tangan Lee Ing sehingga tubuh gadis itu terayun, tendangannya gagal dan kini tubuh gadis itu dipergunakan oleh Bu Lek Hwesio untuk menangkis datangnya pedang Liem Hoan yang membacok ke arahnya.
Datangnya pedang dan tubuh demikian cepat sehingga biarpun Liem Hoan menjadi amat kaget, namun ia tak kuasa menarik kembali pedang itu. Agaknya tak dapat dicegah lagi tubuh dara cilik itu tentu akan terbacok pedang.
"Traaanggg...!” Pedang terpental dari tangan Liem Hoan dan menancap di atas lantai, bergoyang-goyang gagangnya. Liem Hoan mencelat mundur dan memandang kepada Kwee Cun Gan yang kini sudah berdiri dengan tenang. Pedangnya tetap berada di punggungnya, akan tetapi semua orang tadi melihat betapa dengan kecepatan kilat Kwee Cun Gan sudah menangkis pedang Liem Hoan lalu menyarungkan lagi pedang itu.
"Bagus sekali kiam-hoat itu.” Bu Lek Hwesio memuji melihat gerakan tadi, kemudian “sett...
sett..” kedua kakinya melangkah maju ke arah Kwee Cun Gan dan kembali tangan kirinya mendorong ke depan, ke arah dada ketua Tiong-gi-pai itu.. Kwee Cun Gan tidak mengelak maupun menangkis, melainkan mengerahkan khikangnya bertahan. Hawa pukulan Bu Lek Hwesio membalik ketika bertemu dengan sinkang yang dikerahkan oleh Kwee-pangcu, membuat Bu Lek Hwesio merasa telapak tangan kirinya tergetar.
“Heh-heh-heh-heh...” Ia tertawa terkekeh girang sekali. "Lweekangmu tinggi, kiam-hoatmu indah, tidak bisa lain, kaulah tentu orangnya yang bernama Kwee Cun Gan ketua Tiong-gi-pai yang pinceng cari!” Mendengar ini, untuk sejenak Kwee Cun Gan berdebar hatinya. Inikah utusan Raja Muda Yung Lo? Mengapa begini macamnya? Ah. tak mungkin raja muda itu mengutus seorang kasar dan sombong macam ini!.
40
"Benar, aku bernama Kwee Cun Gan. Losuhu ini datang-datang membuat ribut ada urusan apakah dengan aku orang she Kwee?” katanya terus terang.
“Heh-heh, baru saja pinceng mendengar kalian bicara tentang anak perempuan Souw Teng Wi. Nah, pinceng datang untuk menyerahkan anak perempuan Souw Teng Wi yang kalian bicarakan itu. Heh-heh-heh!” ia berkata demikian sambil mendorong Lee Ing ke depan, akan tetapi pergelangan tangan kiri gadis itu masih dipegangnya, kini lebih erat lagi. Semua orang terkejut dan serentak mereka bersiap-siap.
"Lepaskan dia!” teriak beberapa orang yang sudah mencabut pedang dan senjata lain.
“Heh-heh, gentong-gentong kosong! Kalian mau apa?” Bu Lek Hwesio mengejek sambil memencet pergelangan tangan Lee Ing lebih keras sehingga gadis itu mukanya mengernyit kesakitan.
“Saudara-saudara, tahan senjata!” Kwee Cun Gan berseru, mukanya berubah pucat ketika ia memandang kepada Lee Ing. Kemudian kepada Bu Lek Hwesio ia berkata.
"Losuhu, bagaimana kami dapat yakin bahwa nona ini benar-benar Souw-siocia?”
Bu Lek Hwesio sambil terkekeh-kekeh lalu menggerakkan tangan membebaskan totokan pada leher Lee Ing. Dara ini biarpun merasa lehernya masih sakit dan serak, cepat berkata.
“Cu-wi jangan percaya pada hwesio ini. Dia penipu, katanya hendak membawa aku kepada Souw Teng Wi, ternyata dia malah menawanku. Serang saja dia!”
Akan tetapi Kwee Cun Gan yang menjadi girang, juga kaget mendengar pengakuan gadis itu. cepat berkata kepada Bu Lek Hwesio. “Bu Lek Hwesio, kau datang membawa Souw-siocia kepada kami dengan maksud bagaimanakah?”
“Heh-heh Kwee Cun Can. Jangan kira aku menghendaki uang hadiah. Pinceng datang dengan maksud baik, mengadakan pertukaran yang adil. Pinceng hendak menukarkan bocah ini dengan Lian-cu-sam-kiam (Ilmu Pedang Tiga Tikaman Berantai).”
Kwee Cun Gan terkejut sekali. Di antara ilmu pedang Kun-lun-pai, terdapat tujuh belas ilmu pedang yang paling lihai dan jarang sekali ada anak murid Kun-lun-pai mampu memainkan. Dan Lian-Su-sam-kiam adalah tiga di antara tujuh-belas yang paling lihai itu, yang merupakan inti ilmu pedang Kun-lun-pai dan yang selama ini mengangkat nama besar Kwee Cun Gan. Biarpun namanya hanya ’’Tiga Tikaman Berantai” namun setiap tikaman mengandung dua belas pecahan sehingga ilmu pedang ini seluruhnya ada tiga puluh enam jurus yang sukar dilawan. Bagaimana ia dapat memberikan ilmu ini begitu saja kepada seorang hwesio yang dari gerak-geriknya dapat diketahui bukan orang baik-baik?
"Lopek (paman tua), jangan dengarkan omongannya! Serang dan bunuh dial” Lee Ing berseru sambil meronta-ronta, tidak perduli tangannya terasa sakit sekali. Orang-orang Tiong-gi-pai dibangunkan semangatnya oleh suara Lee Ing ini. juga mereka menganggap permintaan hwesio itu kurang ajar, dan tidak patut, maka Serentak mereka bangkit. Thian Le Hosiang yang tinggi kepandaiannya sudah memutar toyanya hendak menyerang. Akan tetapi, sambil menggereng marah Bu Lek Hwesio menggerakkan tangan dan tubuh Lee Ing kembali terayun, diputar-putar seperti kitiran cepatnya, dipergunakan sebaga senjata!
“Cu-wi enghiong, jangan perdulikan aku. Serang dia! Bunuh dia. biar aku matipun tidak apa!” Benar-benar hebat semangat bocah perempuan itu. Dia diputar-putar, selain lengannya sakit sekali rasanya, juga kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat memberi dorongan semangat kepada orang-orang Tiong gi pai. Menyaksikan kegagahan luar biasa ini. hati Kwee Cun Gan yang
41
tadinya masih meragukan apakah betul bocah itu puteri Souw Teng Wi. kini menjadi percaya dan yakin. Hanya keturunan orang gagah luar biasa yang memiliki nyali dan semangat seperti dara remaja itu.
"Tahan!” serunya keras. "Bu Lek Hwesio. aku terima syaratmu!” Bu Lek Hwesio tertawa terkekeh-kekeh, lalu melepaskan tubuh Lee Ing. Begitu dilepas, Lee Ing terhuyung-huyung karena masih pusing. Tanah yang diinjaknya berputaran seperti ada gempa bumi besar.
"Bagus. Kwee Cun Gan. Lekas keluarkan Lian-cu-sam-kiam itu untuk pinceng lihat!”
Kwee Cun Gan dengan terpaksa lalu menyuruh kawan-kawannya pergi. Kemudian dengan perlahan ia bersilat pedang yang tiga puluh enam jurus banyaknya itu di depan Bu Lek Hwesio yang memandang penuh perhatian. Bagian-bagian yang kurang dimengertinya ia minta ketua Tiong-gi-pai itu mengulang. Dengan terpaksa Kwee Cun Gan terus melayani permintaan Bu Lek Hwesio. biarpun keringatnya sudah memenuhi muka dan lehernya. Bu Lek Hwesio cerewet sekali dan ia menyuruh Kwee Cun Gan mengulang sampai setengah malam penuh. Menjelang pagi barulah ia merasa puas.
“Nah, kau terimalah bocah ini!” serunya sambil mendorong Lee Ing ke arah Kwee Cun Gan. Dara remaja yang sudah lemas karena menderita lahir batin itu roboh pingsan dalam pelukan Kwee Cun Gan, sedangkan Bu Lek Hwesio cepat melarikan diri. Di kaki gunung ia disambut oleh Thian Le Hosiang dan kawan-kawannya yang tanpa banyak cakap segera menyerangnya!
"Heh-heh-heh, orang-orang Tiong-gi-pai tak tahu malu! Mana sifat kegagahan kalian?” bentaknya sambil melawan. Kepandaiannya yang tinggi membuat dia dengan mudah merobohkan dua orang pengeroyok dan Cepat ia melarikan diri. Betapapun juga ia khawatir kalau sampai Kwee Cun Gan mengejar ke situ, sukarlah baginya meloloskan diri.
"Kawan-kawan, lepaskan dia! Janji laki-laki harus dipegang teguh!” terdengar Kwee Cun Gan berseru keras. Mendengar ini, para anggauta Tiong-gi-pai menahan senjata dan mengurungkan niat mereka mengejar dan menyerang dengan senjata rahasia. Kemudian mereka menolong kawan-kawan yang terluka lalu menghampiri Kwee Cun Gan.
“Nona ini harus kita rawat baik-baik, agaknya ia lelah sekali. Menurut pengakuannya tadi, dia benar-benar puteri Souw-taihiap.”
Lee Ing membuka matanya dan melompat bangun. “Aku memang benar puteri Souw Teng Wi, namaku Souw Lee Ing. Tadinya aku datang bersama kongkongku, Haminto Losu, akan tetapi kena tertipu oleh hwesio keparat tadi. Dia pura-pura hendak mengambil murid kepadaku dan mengajakku ke tempat ayah, tidak tahunya....”
Tiba-tiba terdengar bunyi “tarrr!!” tarrl!” seperti cambuk, akan tetapi lebih keras dan nyaring sekali, disusul suara gerengan seperti singa yang memekakkan telinga. Semua orang terkejut. Suara ini membuat jantung mereka merasa berhenti berdetik dan kedua kaki mereka emas.
"Apa itu....???” tanya seorang dengan suara gemetar. Memang hebat sekali suara tadi, membuat hati seorang yang bagaimana tabahpun menjadi takut.
"Celaka...” kata Thian Le Hosiang perlahan sekali, wajahnya pucat. ’’Jangan-jangan iblis itu..” Baru saja ia berkata demikian, terdengar suara... tar..!!” yang keras sekali, lalu kelihatan sinar hitam menyambar disusul pekik Thian Le Hosiang dan ketika semua orang melihat... ternyata kepala
42
hwesio itu sudah pecah berantakan dan tubuhnya terguling menjadi mayat. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya semua orang melihat kejadian hebat ini.
Ilmu kepandaian Thian Le Hosiang hwesio Siauw-lim-pai itu bukannya rendah, kalau dibandingkan dengan yang lain, hanya Kwee Cun Gan seorang yang dapat mengatasinya. Namun dengan sekali serang dapat menghangurkan kepalanya, benar-benar musuh hebat
Sementara itu, Kwee Cun Gan dan yang lain-lain sudah mencabut pedangnya dan memandang tajam ke depan. Entah dari mana munculnya, di dalam cuaca pagi yang remang-remang itu muncul seorang yang wajahnya seperti setan, atau lebih tepat lagi seperti singa.
Rambutnya hitam mengkilat dan panjang, digelung ke atas kepala dan dibungkus kain, matanya besar-besar dilindungi alis yang menjulang ke depan hidungnya besar dan mulutnya meringis seperti mulut singa, di dagunya tumbuh rambut menjungkat ke depan seperti janggut kambing bandot. Tubuhnya tinggi besar, tertutup oleh pakaian yang longgar dan gedobyoran. Di tangan kanannya terdapat sebatang cambuk yang mengerikan, yaitu cambuk kelabang yang pada kanan kirinya dipasangi duri-duri tajam. Cambuk inilah yang tadi berbunyi nyaring dan cambuk ini pula yang sekali dipukulkan telah menghancurkan kepala Thian Le Hosiang.
Melihat cambuk dan muka orang itu, Kwee Cun Gan menjadi pucat. Pernah ia mendengar seorang tokoh menyeramkan, seorang manusia yang dianggap iblis, bernama Toat-beng-pian Mo Hun. Dari julukan Toat-beng-pian (Pian Pencabut Nyawa) saja dapat dibayangkan betapa hebatnya joan-pian (ruyung lemas) itu. Kabarnya manusia iblis ini menyembunyikan diri di batu-batu karang dekat laut selatan, bagaimana ia bisa muncul di sini?
"Hayaaaa, si gundul lancang mulut, masa aku disebutnya iblis. Dasar dia mencari mampus sendiri!” katanya bersungut-sungut, kemudian matanya yang besar itu menjuling dan tubuhnya digerakkan sehingga baju luarnya tersingkap. Tersirab darah semua orang melihat bahwa baju luar yang tadi menggembung itu ternyata menutupi kepala seorang wanita. Kini karena jubah itu tersingkap maka kepala itu terputar ke bawah dan tergantung pada ikat pinggang dengan rambutnya yang panjang, sebuah kepala wanita yang agaknya baru saja dipotong lehernya karena masih ada tanda-tanda darah merah basah. Mata besar juling ini tertuju kepada Lee Ing yang biarpun amat tabah menjadi gemetar juga menyaksikan manusia iblis yang dahsyat ini.
"liiihhh. kepala manusia untuk apa...?” seru gadis itu tanpa terasa lagi saking jijik dan ngerinya. Iblis itu tertawa, suara ketawanya seperti singa mengaum dan Kwee Cun Gan sendiri yang lwee-kangnya sudah kuat tergetar juga oleh suara ketawa ini. Ia ingat bahwa ada ilmu lweekang yang disebut Saicu-hokang, yaitu ilmu mengeluarkan suara mengaum seperti singa yang dilakukan dengan tenaga lweekang serta khikang tinggi sekali. Orang yang meyakinkan ilmu ini sampai sempurna, sekali menggertak akan cukup menaklukkan lawan yang menjadi mengkeret nyalinya. Kalau saikong ini sudah memiliki Saicu-hokang, alangkah tinggi kepandaiannya dan tahulah Kwee Cun Gan bahwa mereka semua bukanlah lawan manusia aneh ini.
Orang aneh itu memang betul Toat-beng-pian Mo Hun, seorang tokoh besar selatan yang selama ini menyembunyikan diri di tepi laut selatan, memperdalam ilmu-ilmunya setelah ia pernah dikalahkan oleh seorang pendekar muda bernama Bu-beng Sin-kun (Tangan Sakti Tak Bernama). Dengan tekun Mo Hun ini mempelajari bermacam-macam ilmu silat untuk kelak mencari Bu-beng Sin-kun dan menebus kekalahannya. Bahkan akhir-akhir ini ia melakukan semacam ilmu hitam yang amat mengerikan Ilmu hitam ini kalau sudah dipelajari sempurna akan membuat tubuhnya kebal dan usianya panjang dan awet muda. Akan tetapi syaratnya juga gila, yaitu ia harus makan otak orang-orang muda yang sehai, otak segar dari kepala yang baru dipenggal.!
43
"Sudah lama aku ingin mempunyai murid, kau selain cantik jelita dan bertulang bersih, juga nyalimu besar Kau ikut aku!" kata Toat-beng-pian Mo Hun dan begitu jari-jari tangannya bergerak, pian kelabangnya tergulung mengkeret dan lenyap di balik bajunya, kemudian mengulurkan tangan kanan ke arah Lee Ing. Gadis ini kaget dan coba mengelak, akan tetapi lengan itu tiba-tiba mengeluarkan bunyi berkerotokan dan menjadi lebih panjang tiga puluh senti lebih! Tanpa dapat dicegah lagi pinggang Lee Ing kena dijambret lalu ditarik sehingga pada lain saat gadis itu telah dikempit pinggangnya oleh lengan kanan kakek sakti itu yang tertawa-tawa gembira.
"Muridku, haa-ha, muridku." Dengan langkah lebar kakek ini meninggalkan bukit batu karang itu. Tentu saja Kwee Cun Gian tidak mau tinggal diam saja dan cepat melompat mengejar. diikuti oleh Liem Hoan dan kawan-kawan lain.
"Locianpwe, harap sudi mendengarkan kami,” kata Kwee Cun Gan, tidak berani sembrono atau berlaku lancang. Toat-beng-pian Mo Hun menghentikan tindakannya, memutar tubuh menghadapi mereka, matanya berkedip-kedip menakutkan.
"Kalian mau apa? Ada yang iri melihat si gundul kuberi hadiah dan ingin ikut dengan dia?” kata kakek ini menyindir, mulutnya yang meringis itu makin lebar sehingga nampak dua gigi seperti taring di kanan kiri. Benar-benar kakek ini dikurniai wajah seperti iblis!
"Kawan kami Thian Le Hosiang tewas oleh locianpwe karena dia bicara lancang dan karena kepandaian locianpwe yang tinggi. Mana kami orang-orang lemah berani mengantarkan nyawa sia-sia? Akan tetapi nona itu, kami harap locianpwe sudi melepaskan dan membebaskannya!”
"Dia muridku, keparat!” kata kakek itu memandang penuh ancaman kepada Kwee Cun Gan.
“Akan tetapi dia adalah puteri tunggal dari Souw Teng Wi taihiap, kami harus melindunginya, biarpun untuk itu kami harus berkorban nyawa. Kalau dia locianpwe bawa, bagaimana kami harus mempertanggungjawabkan kalau Souw taihiap kelak menanyakan dia?”
"Mana dia, Souw Teng Wi?” tiba tiba kakek ini bertanya penuh gairah.
"kami sedang mencari-carinya, ini hari bertemu dengan puterinya kami sudah merasa amat girang, maka harap locianpwe sudi melepas kannya."
"Ha ha, bagus sekali. Jadi ini puteri orang she Souw yang menjemukan? Ha-ha, biar anaknya menjadi muridku. dia anak baik, cantik manis berkulit halus pipinya merah. Ayahnya biar kutangkap belakangan...”
Jantung Kwee Cuu Gan dan yang lain-lain serasa berhenti berdetik Celaka, pikir mereka. Tidak tahunya kakek iblis inipun memusuhi Souw Teng Wi. Kalau begini percuma saja minta dia melepaskan Lee Ing. Dengan nekat Kwee Cun Gan mencabut pedangnya, akan tetapi ia didahujui oleh Thio Sek Eng. Orang she Thio ini seperti diketahui adalah bekas anak-buah Souw Teng Wi dan ia masih mempunyai hati setia kepada pendekar itu.
Mendengar ada orang memusuhi Souw Teng Wi dan menculik puterinya, timbul keberanian dan kenekatannya. Sambil memaki, "Saikong siluman lepaskan Souw-siocia!” ia menyerbu dengan senjata siang-to (golok kembar) dengan gerakan cepat dan kuat.
Golok menyambar dari atas dan tengah, akan tetapi Mo Hun tidak bergerak, hanya tertawa bergelak dengan suara ketawanya yang seperti setan-setan menangis di neraka. Akan tetapi begitu dua
44
batang golok itu mendekati bajunya, ia menggerakkan tangan kiri ke arah golok-golok itu dan.... bagaikan dipegang oleh tangan yang tidak kelihatan tiba-tiba saja dua batang golok itu membalik tanpa dapat dicegah lagi oleh pemegangnya dan langsung menyerang leher dan dada Thio Sek Eng sendiri. Orang she Thio ini menjerit keras, dadanya tertancap golok lalu lehernya terbabat sampai hampir putus. Dilihat begitu saja, Thio Sek Eng seakan-akan mati membunuh diri, padahal sebetulnya dia terkena hawa pukulan yang lihai sekali dari Toat-beng-pian Mo Hun.
Dengan nekat dan marah Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya menyerbu. Lagi-lagi kakek itu
mengangkat tangan kiri, kini ujung lengan baju dikebut-kebutkan ke depan, angin dingin menyambar-nyambar, mula-mula dari depan menyambar keras membuat mereka tak dapat membuka mata, kemudian hawa pukulan yang mendatangkan angin itu berputaran seperti puyuh dan belasan orang itu terguncang dan terhuyung saling tabrak. Di antara putaran angin ini terdengar suara pletak-pletok dan senjata-senjata di tangan mereka patah-patah.
Hanya Kwee Cun Gan dan Liem Hoan saja yang masih dapat memegang pedangnya, biarpun mereka juga limbung dan terhuyung kesana-kemari, ini menandakan bahwa Iweekang mereka sudah lebih tinggi dari pada kawan-kawan mereka. Dan hanya Kwee Cun Gan seorang yang dapat melihat gerakan kakek itu dan dia pula yang melihat kakek itu pergi dengan langkah lebar sambil membawa Lee Ing. Yang lain-lain hanya tahu kakek itu sudah lenyap setelah angin puyuh berhenti. Dengan tubuh sakit-sakit mereka merangkak bangun, karena tadinya, kecuali Kwee Cun Gan dan Liem Hoan, sudah roboh saling tindih!
"Hebat...!” Kwee Cun Gan menghela napas. Kemudian ia membanting-banting kaki dengan gemas. "Souw-siocia dibawanya, bagaimana kita harus merampasnya kembali? Celaka... celaka, tak menduga nasib Souw-suheng (kakak seperguruan) demikian buruknya...” Tak terasa lagi sepasang mata pendekar Berhati Emas Bertangan Baja ini mengalirkan air mata? Kawan-kawannya yang mendengar dan melihat sikap ini menjadi terharu dan barulah mereka tahu bahwa sebetulnya Kwee Cun Gan masih terhitung saudara seperguruan dengan Souw Teng Wi. Kenyataan ini saja sudah menimbakan kekaguman yang makin mendalam.
“Aku harus minta bantuan para locianpwe di Kun-Iun-san.” katanya kemudian. "Kalau manusia seperti Toat-beng-pian Mo Hun sudah turun gunung, ditambah lagi dengan Auwyang Tek yang menjadi murid Tok ong Kai Song Cinjin yang kiranya malah lebih sakti dari pada Mo Hun tadi, hanya para couwsu di Kun-lun-pai saja yang dapat menandingi mereka Souw suheng sekeluarga perlu ditolong, tidak saja karena dia seorang anak murid Kun-lun-pai, akan tetapi terutama sekali karena tenaga Souw-suheng perlu didatangkan untuk memimpin kita melawan para menteri dorna. Terutama sekali, kita harus memperkuat diri untuk menghadapi merajalelanya para menteri dorna dengan kaki tangan mereka yang demikian lihai “
"Mungkinkah Mo Hun tadipun kaki tangan para kan sin?" tanya Liem Hoan ragu-ragu.
"Siapa tahu? Para pembesar korup itu sudah kelebihan harta benda yang dapat mereka hamburkan untuk mempertahankan kedudukan mereka.” Kwee Cun Gan menarik napas panjang, lalu katanya, "Aku Kwee r’un Gan hai i ini terpaksa membocorkan rahasia Ilmu Pedang Lian-cu-sam-kam kepada seorang rendah semacam Bu Lek Hwesio, kemudian terpaksa kehilangan puteri Souw-suheng. Benar-benar penasaran, aku Kwee Cun Gan kalau belum dapat membunuh Bu Lek Hwesio selama ludup akan merasa menyesal. Kawan-kawan, mari kita segera pergi, siapa tahu mata-mata Auwyang taijiin mengetahui tempat pertemuan kita ini."
Dengan hati gelisah dan kecewa, orang-orang gagah itu berpencaran turun dari bukit itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dari jauh, "Cu-wi enghiong, tunggu dulu!"
45
Mereka behenti dan menengok. Dari kaki bukit itu datang berlarian dua bayangan orang yang amat cepat dan gesit gerakannya. Kwee Cun Gan tertegun. Lagi-lagi datang orang-orang yang tinggi kepandaiannya, lawan atau kawankah yang datang lagi ini? Setelah dekat ternyata bahwa mereka itu adalah seorang laki-laki gagah setengah tua, kurang lebih empat puluh lima tahun usianya, memakai topi berbentuk batok, di sebelah kirinya berlari seorang wanita cantik dan gagah berusia empat puluh tahun lebih. Begitu berhadapan dengan Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya, orang itu menjura dengan hormat.
"Apakah siauwte berhadapan dengan para enghiong dari Tiong-gi-pai?” Perkumpulan Tiong-gi-pai adalah perkumpulan rahasia yang tidak boleh diperkenalkan kepada orang asing begitu saja, maka Kwee Cun Gan menjawab singkat.
"Sahabat siapa dan dari manakah, datang mencari siapa?"
Orang itu mengerling, kepada wanita gagah di sebelahnya sambil tersenyum, lalu memandang ke arah dua gundukan tanah yang baru digali, agaknya baru saja untuk mengubur orang, yaitu kuburan dari Thian Le Hosiang dan Thio Sek Eng yang dibuat oleh para anggauta Tiong-gi-pai baru saja sebelum mereka pergi.
"Saudara-saudara Tiong gi-pai benar-benar teliti dan hati-hati. Agaknya baru saja terjadi sesuatu yang hebat. Bekas-bekas tangan Toat-beng-pian Mo Hun masih nampak jelas, agaknya lagi-lagi pian pencabut nyawa dari iblis tua itu sudah mendapat korban di antara saudara-saudara Tiong-gi-pai. Cu-wi enghiong harap jangan menaruh curiga kepada kami, kiranya cu-wi mengenal tanda ini?” Orang itu mengeluarkan sebuah lengki (bendera tanda utusan raja) kecil dari saku bajunya. Melihat ini, Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya terkejut. Kiranya dua orang inilah utusan-utusan dari Raja Muda Yung L o di Peking.
"Harap taijin maafkan kami yang tidak mengenal dan tidak menyambut sepatutnya,” kata Kwee Cun Gan yang hendak menjatuhkan diri berlutut di depan utusan raja itu. Akan tetapi orang itu cepat-cepat memegang pundaknya sambil berkata,
"Sahabat-sahabat Tiong-gi-pai jangan terlalu banyak sungkan. Bangunlah agar kita enak bicara." Ketika kedua tangannya memegang pundak Kwee Cun Gan, ketua Tiong-gi pai ini merasa sepasang telapak tangan yang lunak, namun di dalamnya mengandung tenaga menarik yang dia sendiri tak mampu mempertahankan sehingga terpaksa ia bangkit lagi lalu menjura.
"Taijin benar-benar telah memberi pelajaran, hamba merasa tunduk.”
"Adakah kau yang bernama Kwee Cun Gan?” tanya orang itu sambil memandang tajam.
"Betul, hamba yang rendah adalah Kwee Cun Gan.”
Mendengar ini, orang itu memegang tangan Kwee Cun Gan dengan girang lalu berkata,
"Kwee sicu. Buang jauh-jauh itu segala sebutan taijin dan hamba-hambaan! Copot jantungku mendengar aku disebut-sebut taijin utusan raja. Dengarlah, aku bukan seorang pembesar biarpun kini terpilih menjadi utusan raja. Tentu Kwee-sicu dan kawan-kawan lain sudah mendengar namaku, Siok Beng Hui. Dan ini isteriku Tan Sam Nio.”
Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya makin terkejut, akan tetapi bercampur girang. Siapa pula yang belum mendengar nama Siok Beng Hui yang berjuluk Pek-kong-sin-kauw (Senjata Kaitan Sakti
46
Bersinar Putih) dan isterinya, Tan Sam Nio yang berjuluk Ang-lian-ci (Biji Teratai Merah)? Sepasang suami isteri yang mempunyai saham besar dalam jasa mengusir orang-orang Mongol di utara! Nama mereka amat terkenal karena selain Siok Beng Hui merupakan "raja kaitan” yang memiliki sepasang senjata kaitan atau gaetan luar biasa lihainya, isterinya juga terkenal dengan senjata rahasia Ang-lian-ci dengan timpukan-timpukan seratus kali lepas seratus kali kena”.
“Ah, kiranya kami berhadapan dengan Siok-taihiap dan toanio yang gagah perkasa!” seru Kwee Cun Gan girang sekali.
"Apakah benar dugaan kami bahwa tadi Mo Hun si kakek iblis datang ke sini dan menjatuhkan korban?”
"Memang betul, yang baru kami kubur adalah jenazah dua orang kawan kami yang tewas oleh iblis itu. Bagaimana Siok-taihiap bisa tahu?”
"Ketika kami berangkat, kami diikuti oleh putera kami Siok Bun. Tadi ketika kami tiba di kaki bukit, kami melihat seorang kakek yang berlari cepat Kakek itu mengempit tubuh seorang gadis remaja dan di pinggangnya tergantung sebuah kepala orang wanita. Kami menjadi curiga dan menahannya, akan tetapi ia malah menyerang dengan cambuk kelabang. Melihat kelihaiannya dan melihat cambuk itu, tahulah aku bahwa dia adalah Toat-beng-pian Mo Hun. Kami bertiga lalu mengeroyoknya karena tahu bahwa orang macam dia selalu di mana-mana melakukan hal-hal yang tidak baik. Biarpun kami tidak mengenal siapa gadis itu, kami berusaha menolongnya. Akan tetapi dia benar-benar amat lihai. Setelah kami bertiga mengurung rapat, barulah ia merasa kewalahan dan melarikan diri. Kami mengejar, isteriku melepas beberapa Ang-lian-ci akan tetapi senjata rahasia itu dipukul hancur oleh kibasan tangan kirinya. Benar-benar iblis yang jahat dan berbahaya sekali. Karena kami sedang menjalankan tugas, terpaksa kami tidak mengejar lebih jauh, hanya menyuruh putera kami Siok Bun untuk diam-diam mengikuti jejaknya dan sedapat mungkin menolong gadis remaja yang dibawa lari itu."
Orang-orang Tiong- gi-pai girang mendengar bahwa putera pendekar ini mengikuti Mo Hun untuk berusaha menolong Lee Ing. "Apa yang taihiap lakukan benar-benar tepat sekali. Hendaknya diketahui bahwa gadis itu adalah Souw Lee Ing, puteri tunggaI Souw Teng Wi taihiap,” kata Kwee Cun Gan yang kini mendapat giliran menceritakan apa yang telah terjadi di situ.
Siok Beng Hui menarik napas panjang. “Ayaa, para kan-sin itu benar-benar menjemukan sekali! Tapi lebih rendah adalah orang-orang kang-ouw yang dapat diperalat oleh mereka. Kwee-sicu, kami mendapat tugas untuk menyampaikan surat pribadi Raja Muda Yung Lo kepada kakak tirinya, putera mahkota di istana. Surat pribadi ini harus dapat kusampaikan sendiri kepada thaicu (putera mahkota). dan kami hanya menyerahkan hal ini kepada kebijaksanaan Tiong-gi-pai bagaimana harus diaturnya agar kami dapat bertemu dengan thaicu. Demikianlah pesan baginda kepada kami.”
Dengan girang Kwee Cun Gan lalu mengajak suami isteri pendekar itu menuju ke tempat persembunyiannya, yaitu di sebuah kelenteng tua di mana mereka akan membicarakan tugas itu. Kawan-kawan lain lalu bubaran, siap menanti tugas-tugas selanjutnya di tempat masing-masing.
Hubungan Kwee Cun Gan di kota raja memang luas sekali. Orang-orang yang bersimpati kepada pergerakan Tiong-gi pai bukan hanya orang-orang kang-ouw. Juga banyak pembesar-pembesar yang jujur dan berjiwa patriot menaruh simpati kepada pergerakan Tiong-gi-pai yang membela Souw Teng Wi dan memusuhi para kan-sin yang mempengaruhi para kaisar.
47
Dengan mempergunakan hubungan inilah, hubungan dengan "orang-orang dalam”, mudah saja bagi Kwee Cun Gan untuk mempertemukan utusan Raja Muda Yung Lo dengan putera mahkota, atau lebih tepat mendapatkan kesempatan untuk menghadap putera mahkota itu.
Biarpun ia sendiri tidak terpengaruh oleh para kan-sin dan kadang-kadang juga tahu bahwa para kan-sin itu adalah koruptor-koruptor besar yang menjilat-jilat hati ayahnya, namun putera mahkota tak dapat banyak bertindak. Ayahnya, kaisar, sudah terlalu mendalam menaruh kepercayaan kepada menteri-menteri dorna macam Auwyang Peng, maka kalau putera mahkota berani menentangnya, bisa berbahaya untuk diri calon pengganti kaisar itu sendiri.
Putera mahkota bukannya seorang pangeran muda, melainkan seorang yang sudah berusia hampir empat puluh tahun, la menerima kedatangan Siok Beng Hui dan isterinya di waktu senja hari di mana istana sedang sunyi. Oleh perantara dikabarkan bahwa yang datang menghadap adalah utusan raja muda di Peking yang mnembawa hadiah-hadiah bagi saudaranya, putera mahkota, maka para dorna tidak menaruh hati curiga. Kalau saja para dorna dan kaki tangannya tahu bahwa utusan itu adalah Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui, tentu mereka akan menjadi curiga dan akan berusaha mengorek rahasia kunjungan ini.
Siok Beng Hui tidak lama menghadap putera mahkota. Setelah surat pribadi Raja Muda Yung Lo diterima oleh tangan putera mahkota sendiri, suami isteri pendekar ini lalu meninggalkan istana dan segera kembali ke utara sekalian mencari tahu tentang putera mereka yang menyusul jejak kakek iblis Mo Hun.
Adapun putera mahkota setelah membaca surat dari adik tirinya, mengunci diri di dalam kamarnya dan termenung-menung laksana patung. Wajahnya berkerut membayangkan prihatin besar. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan mengeluh seperti orang berduka. Di dalam suratnya itu adik tirinya yang menjadi raja muda di utara secara terang-terangan menggambarkan keadaan pemerintah Beng yang amat menyedihkan, betapa ayahnya. Kaisar Thai Cu, telah menaruh kepercayaan yang keliru, berada di bawah pengaruh para kan-sin (menteri dorna) dan pembesar-pembesar busuk.
"Sungguh amat disayangkan,” demikian antara lain Raja Muda Yung Lo menulis. "Kerajaan Beng yang susah payah dibangun oleh ayah, yang dengan taruhan nyawa seluruh rakyat berhasil menggulingkan kekuasaan penjajah Mongol, kini dirusak dan diinjak-injak oleh para menteri dorna. Dahulu sudah sering kali ayah kuperingatkan akan bahaya yang mengancam dari para kan-sin, akan tetapi akibatnya aku malah dijauhkan atau setengah diusir, diharuskan menempati kedudukan di utara yang amat berat, setiap waktu menghadapi serbuan pembalasan dari para Mongol. Namun demi keselamatan negara dan bangsa, aku berusaha sekuat tenaga untuk berbakti kepada tanah air. sekuat tenaga kuhantam setiap usaha musuh yang hendak menyerbu ke Tiong-goan.”
Putera mahkota menghela napas panjang. Adiknya memang betul. Dahulu sebelum Yung Lo dipindahkan ke utara, ia masih tabah dan semangatnya besar. Namun semenjak adiknya yang gagah berani itu tidak ada, putera mahkota merasa dirinya lemah sekali, tidak berdaya sungguhpun ia maklum sedalam-dalamnya akan tipu muslihat para menteri dorna yang menguasai kepercayaan ayahnya.
"Ayah sudah tua, tidak akan ada gunanya lagi bagiku untuk memperingatkan beliau, takkan beliau turut. Akan tetapi kau, saudaraku. Kau adalah putera mahkota yang tak lama lagi akan menggantikan kedudukan ayah, kalau tidak dari sekarang kau bertindak, kelak kaupun akan menjadi seorang raja yang lemah tak berdaya. Namanya saja raja namun pada hakekatnya tiada lain hanya sebagai boneka di tangan para kan-sin! Tahukah kau bahwa seluruh orang gagah di negeri kita ini marah-marah kepadamu? Kau dibenci karena kelemahanmu. Karena kelemahanmu kau dianggap
48
segolongan dengan para dorna! Lekaslah bertindak, pergunakan kedudukanmu sebagai putera mahkota. Basmi sampai habis para dorna dan pembesar korup sebelum terlambat. Hanya kalau kau berani menempuh perjuangan berbahaya melawan para penjilat itu, kerajaan kita dapat diselamatkan. Lebih baik kita sendiri cepat-cepat membersihkan kotoran yang menempel di badan sebelum rakyat yang bertindak mendaulat kita. Bukankah kelak kau menjadi raja juga demi rakyat? Rakyat sekarang terhisap oleh koruptor-koruptor yang menggantikan kedudukan penjajah, mereka amat menderita, jangan kau enak-enak saja."
Isi surat Raja Muda Yung Lo yang penuh berisi peringatan pedas itu menggugah hati putera mahkota, membuatnya semalam suntuk tak dapat tidur. Beberapa kali pintu terketuk oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang datang hendak melayaninya, namun semua ia usir pergi lagi. Pada keesokan harinya, dengan muka pucat tubuh layu karena semalam tidak tidur, putera mahkota terus berdandan dan mohon menghadap ayahnya. Di depan ayahnya, dengan wajah sungguh-sungguh ia menyatakan kekhawatirannya tentang keadaan pemerintahan. Tentang berita yang didengarnya bahwa para menteri banyak yang tidak melakukan tugas sebaiknya, banyak yang berkorupsi, bahkan banyak peraturan berat di luar peraturan raja telah dilakukan oleh para pembesar untuk menindas rakyat. Bahwa banyak orang gagah merasa tidak puas.
"Bodoh, kau tahu apa?” Raja membentaknya sambil menghirup arak hangat yang disuguhkan oleh selir-selir cantik dan muda untuk menghangatkan tubuhnya yang sudah tua dan suka sakit-sakit tulang pada hawa dingin itu, "menteri-menteriku semua setia dan baik, bagaimana kau bisa mendengarkan hasutan-hasutan orang luar yang merasa iri kepada kita? Itulah omongan para musuh yang hendak memberontak, manusia-manusia macam Souw Teng Wi yang berkepala dua, ingin merebut tahta kerajaan. Kau harus hati-hati kelak kalau kau menggantikan aku, harus banyak minta nasehat menteri-menteri kita yang sudah banyak pengalaman menghadapi manusia-manusia durjana itu. Rakyat tertindas? Hah! Siapa bilang? Kita sudah berjuang mati-matian mcmbebaskan rakyat dari pada penindasan penjajah, bagaimana sekarang bisa tertindas setelah merdeka? Lihat saja keadaan rakyat di luar istana, bukankah mereka jauh lebih baik keadaannya dari pada dahulu di jaman penjajahan?”
Putera mahkota menghela napas. Diam-diam ia membenarkan isi surat Yung Lo bahwa percuma saja berunding dengan ayahnya yang sudah tua. Ayahnya hanya melihat kehidupan di dalam kota raja, pusat keramaian dan pusat perdagangan di mana orang hidup serba cukup. Apa lagi memang para menteri dorna tidak berani menjalankan peranannya di kota raja di depan hidung kaisar. Akan tetapi coba saja lihat keadaan di kampung-kampung, di dusun-dusun, biarpun ayahnya sendiri tentu akan kaget setengah mati melihat penderitaan rakyat yang tak jauh bedanya dengan masa penjajahan pemerintah Mongol.
Dengan hati berat dan semangat patah kembali, putera mahkota mengundurkan diri dari depan ayahnya, sama sekali tidak tahu betapa beberapa pasang mata yang indah jeli dari selir dan pelayan mengerling ke arahnya dengan tajam. Kerlingan maut yang amat berbahaya karena beberapa orang di antara sekian banyak juita yang setiap hari siang malam melayani dan mendampingi kaisar ini adalah kaki tangan Auwyang-taijin!
Malam hari berikutnya terjadi hal yang hebat dan ngeri. Putera mahkota kedapatan telah tewas di dalam tempat tidurnya sendiri! Tidak terdapat tanda-tanda pembunuhan, tidak ada setetes darah-pun mengalir, tidak ada luka sedikitpun. Para ahli pengobatan yang datang memeriksa hanya menyatakan bahwa putera mahkota meninggal dunia karena keracunan, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka tahu cara bagaimana pangeran sulung itu terkena racun.
49
Yang bisa menjawab hanyalah Auwyang-taijin, karena menteri dorna inilah yang minta pertolongan guru puteranya, yaitu Tok-ong Kay Song Cinjin yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Hwe sio Tibet yang sakti ini memberikan beberapa helai senjata rahasia Sai-cu-kim-mau (Bulu Emas Singa) kepada muridnya dan sebetulnya Auwyang Tek yang menyelundup ke dalam istana. Tentu saja sebagai putera menteri yang disayang kaisar, mudah saja baginya untuk memasuki bangunan istana tanpa menimbulkan kecurigaan. Dan pada malam harinya, Mempergunakan kepandaiannya yang tinggi, Auwyang Tek berhasil menyelinap ke atas genteng kamar putera mahkota dan menyerangnya dari atas dengan senjata rahasia Sai-cu-kim-mau itu. Senjata rahasia ini berupa jarum-jarum halus seperti bulu yang menembus kulit dan memasuki jalan darah, terbawa oleh aliran darah bergerak sampai ke jantung. Senjata rahasia ini mengandung racun hebat yang hanya dapat dibuat oleh seorang Raja Racun seperiti Kai Song Cinjin, dan hebatnya, saking lembutnya ketika memasuki kulit tidak meninggalkan bekas apa-apa, seperti bekas gigitan seekor nyamuk saja.
Auwyang-taijin dan para menteri menyatakan duka citanya atas meninggalnya putera mahkota ini dan mereka mempergunakan kesempatan ini untuk menimbulkan prasangka terhadap orang-orang Tiong-gi-pai!
"Hamba mendengar bahwa Tiong-gi-pai mempunyai banyak orang pandai. Siapa tahu kalau-kalau kematian thaicu bukan kematian wajar, melainkan perbuatan keji dari pada Tiong-gi-pai. Siapa lagi kalau bukan Tiong-gi-pai yang menghendaki kematian putera mahkota karena bermaksud merebut tahta kerajaan?” demikianlah antara lain suara-suara berbisa dari Auwyang-taijin dan para menteri sehingga kaisar menjadi makin benci dan marah, lalu memberi perintah kepada seluruh panglima untuk membasmi Tiong-gi-pai.
Sementara itu, para menteri juga mengusulkan agar kedudukan putera mahkota diberikan kepada putera thaicu yang sudah meninggal dunia, jadi kepada cucu baginda yang masih muda. Kaisar yang sudah terlalu percaya kepada para dorna itu berbalik curiga kepada putera-puteranya sendiri. terutama sekali kepada Raja Muda Yung Lo, maka tanpa ragu-ragu kaisar menerima usul ini.
"Orang tua, kau hendak membawaku ce mana?” Lee Ing bertanya ketika ia dapat memutar kepalanya sehingga tiupan angin kencang tidak menyesakkan napasnya. Tubuhnya masih dikempit oleh kakek iblis Toat beng-pian Mo Hun, dibawa lari cepat bukan main melalui bukit-bukit yang penuh hutan menuju ke timur.
Akan tetapi kakek itu hanya terkekeh saja tanpa menjawab, berlari-lari terus dengan cepatnya. Kepala yang tergantung di pinggangnya bergerak-gerak dan rambut yang panjang itu melambai-lambai mengerikan. Oleh tiupan angin rambut itu menyapu-nyapu muka Lee Ing yang mencium bau rambut harum tercampur bau amis darah. Menjijikkan sekali, Apa lagi ketika kepala itu bergeser ke belakang sehingga muka mayat tak bertubuh itu berhadapan dengan mukanya, melihat kulit pucat pasi, mata setengah terbuka dan bibir yang tadinya manis itu seperti menyeringai kepadanya, Lee Ing menjadi muak dan takut. Baru kali ini selama hidupnya ia merasa takut dan ngeri.
"Kakek tua, kau yang berkepandaian tinggi ternyata berhati kecil. Pengecut!” makinya tanpa berdaya karena kempitan kakek itu benar-benar erat sekali membuat ia tak dapat bergerak sama sekali. Apa lagi karena pundaknya sudah ditotok membuat kedua tangannya lumpuh.
Mendengar dimaki pengecut, kakek itu menghentikan larinya, ia melempar tubuh Lee Ing ke atas tanah seperti orang membenci. Matanya yang lebar melotot seperti mau copot dari pelupuknya. mulut yang tak pernah tertutup bibirnya itu menyeringai makin lebar.
"Selama hidup belum pernah ada orang berani memaki aku pengecut. Kau bocah setan berani berlancang mulut!” bentaknya marah sekali.
50
Lee Ing sudah berlaku nekat. Lebih baik segera dibunuh dari pada hidup tersiksa di tangan iblis ini. Ia tertawa nyaring, suara ketawanya menggema di hutan itu. Ketika tadi terlempar ke atas tanah yang penuh rumput, ia merasa betapa enaknya rebah di situ, lebih baik rebah di situ selamanya dari pada dibawa lari seperti tadi. Ia melihat di atasnya pohon-pohon raksasa dan tanpa menoleh ke sana ke mari ia dapat menduga bahwa mereka berada di sebuah hutan besar.
"Kakek iblis saikong busuk Kau lebih pengecut dari pada pengecut yang paling hina!"
Rasa heran akan keberanian gadis mi mengalahkan kemarahannya, bahkan kemarahan Mo Hun berangsur-angsur lenyap, terganti oleh keinginan tahu sampai di mana keberanian gadis cilik ini.
"Gadis bernyali naga, mengapa menganggap aku pengecut?”
"Seorang dengan kedudukan tinggi seperti ini, beraninya hanya menghina seorang anak perempuan kecil seperti aku. Tadi menghadapi tiga orang gagah kau tidak berani banyak tingkah dan melarikan diri. Huh, apakah sikapmu itu bukan sikap seorang pengecut? terhadap mereka kau takut, beranimu hanya terhadap aku bocah cilik!”
Mo Hun menjadi marah sekali, akan tetapi karena takut dianggap benar-benar hanya berani terhadap gadis itu, ia melampiaskan marahnya pada kepala wanita yang tergantung di pinggangnya. la merenggut putus rambut kepala itu, memegang kepala di tangan kiri, lalu tangan kanannya bergerak memukul dengan jari-jari tangan terbuka dimiringkan.
"Krakkk!” pecahlah kepala itu dan di lain saat tangan kanannya sudah menjumputi benda putih-putih lunak dan dimasuk kau ke mulut, terus dikunyah kelihatan enak sekali. Akan tetapi muka yang mengerikan itu nampak muram dan marah, matanya terus memandang Lee Ing.
Dapat dibayangkan betapa hebat guncangan hati gadis itu menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini. Perutnya seperti diaduk-aduk rasanya. hawanya naik ke dada terus ke tenggorokan. Hanya dengan ketabahan luar biasa saja gadis itu dapat menekan perasaannya hendak muntah-muntah karena ia merasa muak sekali. Ia maklum bahwa di samping kesukaannya makan otak manusia, kakek iblis ini sengaja hendak membikin dia ketakutan.
"Bocah lancang, siapa bilang aku takut kepada mereka? Jangankan baru ada Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui bersama anak dan isterinya, biarpun ada sepuluh Siok Beng Hui aku takkan takut! Aku. Toat-beng-pian Mo Hun selama hidup tidak takut siapa-siapa, dengan pian kelabangku ini aku sanggup memenggal leher siapapun juga!”
Setelah berkata demikian, Mo Hun mencabut piannya dan “tar-tar-tar!!” pian kelabang itu berbunyi dan menyambar dekat leher Lee Ing. Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum, bahkan berkata,
"Kau kira aku takut terhadap senjata brengsekmu itu? Hah, mau bunuh lekas bunuh, siapa takut? Sebaliknya kau yang takut kepadaku.”
"Ha-ha-ha, aku takut kepadamu?”
"Buktinya, mengapa kau menotok membikin lumpuh aku? Tentu kau takut kalau-kalau aku menyerangmu kau takkan mampu membela diri.” Kakek iblis itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar ini. Masa dia takut kepada bocah yang diculiknya ini? Benar-benar lucu, dan bocah ini benar-benar amat besar nyalinya. Pian kelabangnya bergerak cepat menyambar tubuh Lee Ing tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu Lee Ing merasa terbebas dari pada totokan.
51
Diam-diam gadis ini merasa makin kagum melihat kelihaian iblis itu dan maklum bahwa memang Toat-beng-pian Mo Hun seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Sambil berseru keras ia melompat maju dan memukulkan tangan kanannya ke arah ulu hati kakek itu.
"Mampuslah!” bentaknya.
Seperti seorang dewasa menghadapi bocah cilik yang nakal, Mo Hun hanya tertawa cengar-cengir, seakan-akan ia tidak melihat datangnya pukulan. Kalau saja Lee Ing melanjutkan pukulannya, tentu setidaknya kepalan tangannya yang kecil akan bengkak atau tulang jarinya akan patah-patah bertemu dengan dada yang sudah diisi penuh dengan tenaga Iweekang yang tinggi itu. Akan tetapi, biarpun maklum akan kerendahan ilmu silat gadis itu, Mo Hun masih belum tahu akan kecerdikan Lee Ing. Gadis cilik inipun maklum bahwa memukul seorang sakti seperti Toat-beng-pian Mo Hun adalah berbahaya sekali, maka begitu kepalan tangannya menyambar lengan kakek itu dan dengan gerakan amat aneh, cepat dan tidak terduga ia telah melemparkan tubuh kakek itu.
Toat-beng-pian Mo Hun tadi memang sengaja diam saja tidak melawan. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cilik ini akan melakukan serangan aneh ini. bukan memukul melainkan melemparkannya dengan gerakan aneh yang tidak dikenalnya. Memang itulah gerakan ilmu silat yang dipelajari oleh Lee Ing dari kakeknya, Haminto Losu ahli gulat di utara. Karena tidak mau kelihatan lucu dan kaget, Mo Hun terpaksa diam saja dan tubuhnya terlempar ke depan. Orang lain tentu akan terbanding ke atas tanah, akan tetapi Mo Hun jatuh berdiri, masih menggeragoti otak dari kepala wanita tadi.
Melihat Lee Ing berdiri memandangnya dengan ejekan menantang, ia membanting kepala itu yang otaknya sudah habis dimakan, kemudian ia mengejek,
"Bocah macam kau ini masih berani banyak tingkah? Melihat kepalamu yang mempunyai mata demikian terang indah, tentu otakmu luar biasa enaknya dan segarnya. Akan tetapi sayang kalau kepalamu dipisahkan dan tubuh yang indah itu. Aduh sayang, kalau saja aku tidak sedang meyakinkan l-jwe-hoat-sut (Ilmu Gaib Mengganti Sumsum), tentu kau dapat memberi banyak kesenangan kepadaku. Ha-ha-ha!”
Lee Ing marah sekali dan cepat melompat ke depan menyerang lagi, la telah nekat dan hendak melawan sampai mati. Kedua kepalan tangannya yang kecil bergerak-gerak memukul bertubi-tubi. Akan tetapi, sekali tangan kiri Mo Hun yang berjari panjang-panjang seperti cakar itu diangkat, dua pergelangan tangan Lee Ing sudah ditangkapnya dan gadis itu ditarik dekat.
"Aduh bagusnya kepala ini...” Tangan kanan Toat-beng-pian Mo Hun membelai-belai rambut dan kepala Lee Ing dengan mulut berliur seperti seorang kelaparan melihat kepala babi panggang.! Setiap saat dapat timbul seleranya untuk mencaplok kepala itu dan makan otak di dalamnya.
Lee Ing yang tak berdaya lagi, yang ditarik sedemikian rupa sehingga mukanya terdekap di atas dada kakek itu, menjadi kelabakan, pengap dan hampir tak dapat bernapas karena bau apak yang memuakkan keluar dari balik baju kakek iblis itu. Agaknya sudah bertahun-tahun kakek ini tak pernah mandi, jangan kata lagi memakai sabun mandi yang harum. Bajunya juga mendekil penuh bekas peluh kehitaman dan inenjadi sarang kutu.
"Kepala bagus... enak... enak... enak... hem....” Selera Mo Hun sudah timbul dan sudah gatal-gatal tangannya untuk meremukkan kepala itu mencari oraknya. Tiba-tiba tampak olehnya pipi yang
52
kemerahan dan kulit muka yang halus itu. Dijambaknya rambut Lee Ing yang hitam panjang dan ditariknya ke belakang sehingga muka gadis itu menengadah ke atas.
Alangkah ngerinya hati Lee Ing ketika mukanya berhadapan dengan muka iblis itu. Terasa olehnya dengus napas yang panas sekali dari hidung dan mulut Mo Hun, tercium olehnya bau amis dan busuk dari mulul itu, bau bangkai! Apa lagi ketika muka itu menyeringai terkekeh, hampir tak tertahan pula bau menjijikkan itu.
"Heh-heh, sayang kalau dirusak. Kau cantik sekali, cantik sekali... pipimu kemerahan. Aaahh, seperti buah masak... cantik...!” Saking tak kuat menahan bau busuk dan kemarahannya, Lee Ing mengumpulkan kekuatan lalu meludah ke arah muka itu!
"Iblis busuk, lepaskan nona itu!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tampan yang langsung menyerang Mo Hun dari belakang dengan sebuah senjata gaetan di tangan kanannya. Pemuda ini bukan lain adalah Siok Bun, putera Pek-kong sin kauw Siok Beng Hui yang ditugaskan oleh ayahnya untuk mengikuti perjalanan Toat beng-pian Mo Hun.
Karena tadinya Mo Hun melakukan perjalanan dengan berlari cepat sekali, Siok Bun tertinggal jauh. Akan tetapi pemuda yang gigih ini terus mengejar sehingga akhirnya ia dapat juga menyusul. Siok Bun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi kakek itu, namun melihat Lee Ing diperlakukan seperti itu, ia tak dapat menahan gelora darah mudanya, dengan nekat lalu maju menerjang. Entah mengapa, melihat sikap yang berani dan kegagahan luar biasa dari gadis itu, Siok Bun menjadi terharu dan tertarik, bahkan siap membela dengan mempertaruhkan nyawanya.
Sungguhpun tingkat kepandaian Toat-beng-pian Mo Hun masih jauh lebih tinggi dari pada pemuda itu, namun ilmu kauw hoat dari Siok Bun tak boleh dipandang ringan. Dia adalah putera tunggal dari Pek-kongsin-kauw Siok Beng Hui, maka gerakan gaetannya cepat dan mengeluarkan sinar putih menyilaukan mata. Gaétan ini dengau cepat dan kuatnya menyambar ke arah kepala Mo Hun.
Toat-beng-pian Mo Hun mengibaskan tangan kanannya dan ujung lengan bajunya membentur gaetan. Senjata itu terpental kembali dan Siok Bun kaget sekali karena dalam gebrakan pertama ini saja hampir senjatanya terlepas dari pegangan Sementara itu, Toat-beng-pian Mo Hun menggereng saking marahnya dan mendorong Lee Ing ke samping. Gadis ini begitu bebas lalu mencari batu dan membantu pemuda itu dengan, menyambitkan batu ke arah Mo Hun. Namun, batu-batu itu seperti, mengenai menara baja saja, terpental kembali dan ada yang pecah-pecah begitu mengenai tubuh kakek sakti itu.
"Bocah lancang, apa kau ingin menyumbangkan kepalamu? Bagus, ke sinikanlah!” Pian kelabang meluncur seperti kilat, mengeluarkan suara meledak keras dan melayang ke arah leher Siok Bun. Kalau mengenai, leher pemuda itu pasti akan tertabas putus. Siok Bun mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan gaetan.
"Traaanggg...!” Gaetan itu terlempar dan tubuh Siok Bun terhuyung-huyung ke belakang.
"Orang muda, tinggalkan kepalamu!” Pian menyambar lagi mengarah leher Siok Bun. Pemuda itu dalam keadaan terhuyung ternyata masih berlaku gesit, cepat merendahkan tubuh mengelak.
Lee Ing menjerit melihat pian itu membawa kepala Siok Bun, akan tetapi menjadi lega ketika ternyata kemudian bahwa yang "diambil” oleh pian kelabang itu bukannya kepala Siok Bun, melainkan topinya. Memang pemuda ini memakai sebuah topi batok model utara yang bentuknya bundar dan ketika ia mengelak tadi, pian itu menyambar topinya membuai rambutnya awut-awutan.
53
"Iblis, jangan membunuh dia!” Lee Ing berseru marah dan dari belakang ia menyerang dengan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Berantai) ajaran Haminto Losu kakeknya.
"Plak-plek-plak-plek!" Bertubi-tubi tendangannya mengenai betis, paha dan pantat kakek itu, akan tetapi yang ditendang tidak apa-apa, malah Lee Ing merasa kakinya sakit. Bagaimanapun juga, tendangannya ini memperlambat gerak Mo Hun sehingga sebelum pian kelabang melayang kembali, Siok Bun sudah keburu menyambar kembali gaetannya yang tadi terlempar dan dapat bersiap untuk mempertahankan diri, Ia mengerling ke arah Lee Ing yang masih pringisan karena kakinya sakit sekali menendang pantat kakek itu, lalu berkata,
"Nona, kau baik sekali..."
"Siapa yang baik? Kaulah yang terlalu baik. Lebih baik lekas lari sebelum nyawamu dicabut pula. Kakek ini jahanam benar!" jawab Lee Ing.
Akan tetapi, mana Siok Bun mau lari? Diapun seorang pemuda yang berjiwa gagah perkasa tak kenal arti takut dalam membela kebenaran. Tadi ia melihat sendiri betapa gadis itu biarpun kepandaiannya tidak seberapa, telah berani menentang kakek iblis itu untuk membantu dan menolongnya, bagaimana sekarang dia mau lari meninggalkan gadis itu seorang diri menghadapi kakek iblis yang lihai ini? Dengan gerakan cepat kembali Siok Bun menggerakkan gaetannya menyerang. Akan tetapi ia berlaku amat hati-hati. Kini tidak berani sembarangan mengadu senjatanya dengan senjata aneh dari Toat beng-pian Mo Hun. la mengerahkan seluruh ginkangnya dan mengandalkan kelincahannya untuk menyerang sambil mempertahankan diri.
Di lain flhak, Mo Hun menghadapi pemuda itu seperti seekor kucing menghadapi tikus. Ia tak pernah menggeser kaki, hanya berdiri menyeringai dan setiap kali gaetan datang menyambar, ia menangkis dan berusaha untuk melibat gaetan itu dengan pian kelabangnya. Biarpun ia berlaku lambat dan tenang-tenang seenaknya saja, namun payahlah Siok Bun untuk maju. Angin pukulan pian yang menyambar-nyambar dahsyat cukup membuat ia terhalang dan serangan-serangannya tidak ada artinya, bahkan beberapa kali hampir saja gaetannya terlibat dan terampas lagi.
“Ha-ha-ha, nona cilik. Kau lihat saja tingkah pemuda goblok ini. Kepandaiannya tidak ada artinya akan tetapi berani dia mengganggu Toat-beng-pian Mo Hun. Ha-ha-ha, biar dia keluarkan semua peluhnya dulu baru kuambil kepalanya agar otaknya tidak berbau keringat!”
Sungguhpun kepandaian Lee Ing masih terlampau rendah untuk dapat menilai pertempuran itu, namun dengan otaknya yang cerdik begitu melihat sikap Mo Hun, tahulah dia bahwa pemuda tampan itu bukan lawan kakek sakti ini.
"Tahan dulu" serunya nekat sambil melompat di depan Mo Hun. Kakek ini terpaksa menahan senjatanya. “Aku mau bicara sebentar dengan dia!” Dengan enaknya Lee Ing menghentikan dua orang yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya dari pertempuran, benar-benar hal yang lucu dan aneh. Lee Ing menghampiri Siok Bun yang juga terheran-heran.
"Kau baik sekali, siapa sih namamu?"
Melihat sikap polos gadis berpipi merah ini, makin terharu dan tertariklah hati Siok Bun. la harus membela mati-matian, tidak boleh gadis seperti ini dikorbankan kepada manusia iblis macam Mo Hun.
"Aku bernama Siok Bun, nona...."
54
"Aku Lee Ing. Souw Lee Ing anak tunggal Souw Teng Wi." Pemuda itu kelihatan terkejut sekali mendengar disebutnya nama pahlawan besar ini, saking herannya ia sampai tidak dapat berkata apa-apa. "Siok Bun. kau percayalah kepadaku, kau tidak akan menang melawan iblis jahat ini. Lebih baik kau lekas lari menyelamatkan diri."
“Aku harus melindungimu. nona, biarpun harus mengorbankan nyawa." Ucapan ini keluar dari hati pemuda itu karena begitu mendengar bahwa nona ini puteri Souw Teng Wi, ia menjadi makin kagum dan tertarik.
"Bodoh, dari pada kita dua-duanya mampus, lebih baik seorang saja. Kelak kalau bertemu dengan ayah, katakan bahwa aku mati di tangan iblis busuk bau. bangkai Mo Hun. Nah, kau pergilah cepat!"
Namun Siok Bun tetap tidak mau pergi. Sementara itu. Mo Hun yang mendengarkan percakapan ini, tertawa menyeringai penuh ejekan. Tiba-tiba pian kelabangnya berdetak di udara dan di lain saat ujung pian sudah melihat pinggang Lee Ing dan sekali disentakkan, tubuh nona itu sudah tergulung dan tertarik ke dalam kempitan lengan kirinya lagi. Benar-benar hebat sekali kepandaian Mo Hun.
Pian itu penuh duri meruncing di kanan kiri, duri-duri yang amat runcing dan tajam. Akan tetapi dapat digunakan untuk melibat pinggang gadis itu tanpa melukainya. Hal ini membutuhkan Iweekang yang sudah mencapai tingkat tinggi baru dapat orang melakukan hal itu. Namun Siok Bun tidak kenal takut dan senjata kauw-nya sudah bergerak lagi mengeluarkan sinar putih.
"Sekarang roboh kau!" Mo Hun membentak dan piannya menangkis dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar suara keras karena Siok Bun tidak berhasil menarik kembali senjatanya sehingga gaet-an itu kena digempur terlepas dari pegangannya. Pian menyambar lagi ke arah leher pemuda itu yang cepat melompat mundur hampir dua tombak jauhnya. Namun mana Mo Hun mau melepaskannya. Dengan lompatan seperti harimau melompat, kakek ini mengejar dan piannya menyambar lagi. Sekali lagi dengan susah payah Siok Bun mengelak dengan jalan melempar diri ke atas tanah dan bergulingan. Hanya satu dim terpisahnya pian itu dari leher.
"Ha-ha-ha, kau boleh juga. Dua kali dapat menghindarkan pian-ku, akan tetapi sekali lagi kepalamu pasti putus!" Toat-beng-pian Mo Hun memutar-mutar pian kelabang di atas kepalanya, kakinya cepat melompat mendekat, sedangkan Siok Bun mencoba untuk melompat menjauhi. Pada saat itu, tiga sinar merah menyambar.
"Traang traanggg. .!" tiga buah senjata rahasia Ang-lian-ci terpukul oleh pian kelabang, pecah berantakan di atas tanah. Akan tetapi serangan ini menyelamatkan nyawa Siok Bun karena tadi pian itu tidak jadi menyerang pemuda itu melainkan ditarik kembali untuk mcnyampok senjata rahasia. Menyusul sinar merah ini, dua sinar putih meluncur cepat menyerang Toat-beng-pian Mo Hun.
Inilah sepasang gaetan di tangan Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui yang bersama isterinya pelepas senjata rahasia tadi sudah berada di situ. Melihat ayah bundanya sudah datang, dengan girang Siok Bun lari mengambil gaetannya yang tadi terlempar, kemudian ia membantu ayah bundanya mendesak Mo Hun. Ternyata bahwa suami isteri gagah ini dalam perjalanan kembali ke Peking, kebetulan sekali mengambil jalan ini dan tepat dapat menyelamatkan nyawa putera mereka dari jangkauan maut Seperti ketika turun dari bukit batu karang menara, kini Mo Hun menghadapi keroyokan Siok Beng Hui seanak isteri.
Biarpun kepandaian Mo Hun masih lebih tinggi, namun ia tidak ada nafsu untuk bermusuhan dengan keluarga gagah ini. Apa lagi Ang-lian-ci yang bertubi-tubi dilepas oleh nyonya Siok Beng Hui benar-
55
benar merupakan bahaya. Oleh karena itu selelah memutar piannya sehingga tiga orang lawannya terpaksa melompat mundur, sambil mengeluarkan suara ketawa panjang Toat-beng-sin-pian Mo Hun melarikan diri.
Tiga orang itu tidak dapat mengejarnya, karena memang dalam hal ilmu lari cepat, Mo Hun masih menang setingkat dari Siok Beng Hui. sedangkan ilmu silatnya masih jauh lebih unggul. Kalau saja Siok Beng Hui maju sendiri tanpa bantuan isterinya yang selain ahli senjata rahasia Ang-lian-ci juga seorang ahli pedang yang tidak rendah kepandaiannya, tentu pendekar she Siok itu tidak akan dapat menandinginya.
Kembali Lee Ing dibawa lari cepat oleh Mo Hun. Akan tetapi gadis ini sekarang agak terhibur mengingat bahwa Siok Bun. pemuda yang gagah tampan dan baik hati itu, selamat dan tentu pemuda itu kelak akan membalaskan sakit hatinya dan menyampaikan kepada ayahnya sehingga iblis tua ini akan terbalas.
"Pengecut, menghadapi musuh kuat melarikan diri. Cih, tak tahu malu!" kembali ia mengejek. Lee Ing sudah putus harapan untuk dapat menyelamatkan diri. Dia sama sekali tidak takut mati, biarpun nanti kepalanya dipecah dan otaknya dimakan, gadis keturunan pahlawan ini tidak gentar menghadapi maut. Yang membuat ia gelisah dan meremang bulu tengkuknya adalah sikap Mo Hun yang agaknya suka kepadanya. Bahaya ini jauh lebih besar dari pada bahaya maut, dan gadis ini maklum bahwa di tangan iblis ini, ia selemah lilin, tidak berdaya apa-apa.
Oleh karena itu ia sengaja memancing-mancing kemarahan iblis ini agar dia lekas dibunuh, habis perkara, tidak menanggung kegelisahan yang hebat ini.
Kali ini Mo Hun menjawab sambil masih tetap berlari, "Siapa takut? Aku hanya tidak mau melepaskan kau. Kalau tidak ada kau yang merepotkan tentu mereka bertiga sekarang sudah menjadi setan-setan tanpa kepala. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, hanya menyombong saja pandai! Beraninya hanya menghina anak kecil seperti aku. Coba kau bertemu dengan ayah, kutanggung dalam sepuluh jurus kau akan terjungkal dan pian bobrokmu itu patah-patah menjadi selusin!"
"Tidak mungkin!" Kini Mo Hun berhenti dan melepaskan Lee Ing.
"Tidak percaya? Coba saja! Ayah baru seorang jantan gagah perkasa, tidak sudi menghina perempuan kecil. Pantas saja kau berani kepadaku, seorang bocah yang tidak berkepandaian. Coba ada ayah di sini, kau diganyang habis dalam sepu..... eh tidak, dalam tujuh jurus saja!" Memang Lee Ing pandai bicara dan sikapnya begitu sungguh-sungguh sehingga Mo Hun terkena bakarannya dan menjadi panas perutnya.
"Kau bohong! Aku mendengar Souw Teng Wi itu murid Kun-lun-pai biasa saja, hanya terkenal berani dan pandai mengalur barisan. Apanya yang lihai?"
"Hah, orang macam kau mana mengenal ayah? Ketika aku masih kecil, aku menyaksikan sendiri betapa seribu orang tentara Mongol diganyang habis oleh ayah seorang diri dalam waktu kurang dari setengah hari saja. Kau mampu berbuat begitu?"
Mo Hun tertegun. Hebat juga, pikirnya. Dia ini memang hanya pandai silat, otaknya tidak dapat dikata cerdik, bahkan mendekati tolol. Kalau tidak manusia tolol, mana ada meyakinkan ilmu yang syaratnya harus makan otak manusia? Kini ia mulai terpengaruh oleh "gertak sambal" Lee Ing.
56
"Betul demikian lihaikah Souw Teng Wi ayah-mu itu? Lihai mana dengan Pek-kong-sin-kauw Siok Beng Hui tadi?” tanyanya untuk mencari perbandingan.
Lee Ing masih ingat akan ucapan Mo Hun yang tadi bersumbar tidak takut menghadapi sepuluh orang Siok Beng Hui, maka tanpa ragu ragu ia menjawab. "Kau maksudkan laki-laki setengah tua bertopi batok bersenjata kaitan tadi? Uhh! Dua puluh orang seperti dia masih dapat dilawan oleh ayah dengan sebelah tangan kiri saja."
Mo Hun benar-benar terpukul oleh ucapan sombong ini. Dicabutnya pian kelabangnya, diayun ke atas berkali-kali. “Tar-tar-tar!” Hawa dingin pian ini menyerempetnya. Pian itu bergerak terus, kadang-kadang menyambar tanah, debu mengebul tinggi. Menyambar pohon sebesar tubuh manusia, dengan suara keras pohon itu tumbang! Akhirnya menyambar ke arah sebuah batu besar di pinggir jalan. Terdengar suara keras disusul oleh bunga api
berhamburan dan...... batu itu telah pecah di tengah! Ngeri juga hati Lee Ing menyaksikan kehebatan ilmu silat semacam ini. Akan tetapi gadis ini tertawa bergelak dengan suara nyaring.
"Tak mungkin ayahmu dapat melawan pian-ku. Tak mungkin!" seperti orang gila Mo Hun marah-marah dan kakinya mencak-mencak dibanting di atas tanah.
"Huh. pian bobrokmu ini hanya bisa untuk menakut-nakuti anjing dan babi. Tentu saja aku anak kecil tidak menang melawannya, jangan melotot macam itu kepadaku. Akan tetapi bagi ayah, yang kau perlihatkan tadi hanya mainan anak kecil belaka!"
"Bohongi Aku tidak percaya!" Mo Hun membentak marah.
"Tidak percaya? Coba kau hadapi ayah kalau minta dibeset kulitmu."
"Mana.....? Mana dia.....? Suruh ke sini!" tantang Mo Hun. Pada saat itu terselip sebuah akal yang cerdik dalam kepala Lee Ing. Biarpun dia sudah tidak mempunyai harapan terlepas dari iblis ini, akan, tetapi kalau waktunya diperpanjang, mungkin sekali waktu ia akan dapat mengakali kakek bodoh ini.
"Betul-betul kau berani kepada ayahku? Mari kuantar menjemputnya."
Tiba-tiba pian yang masih diayun-ayunkan itu berhenti, mata Mo Hun menyinarkan cahaya aneh. Dia memang sedang mempertimbangkan permintaan Tok-ong Kai Song Cinjin untuk membantu Auwyang-taijin dan kata Tok-ong, kalau dia bisa menangkap Souw Teng Wi dan menyeretnya kehadapan Auwyang-taijin, tentu ia akan mendapat hadial besar dan mungkin pangkat tinggi. Kini mendengar bahwa gadis ini hendak membawanya kepada Souw Teng Wi, tentu saja ia menjadi tertarik dan penuh perhatian.
"Gadis bernyali naga, betul-betulkah kau mengetahui di mana tempat tinggal ayahmu sekarang? Ke mana kau hendak membawaku menjumpai ayahmu?"
"Kalau kau memang jantan dan betul-betul berani bertempur melawan ayah, kau tentu tidak akan segan melakukan perjalanan jauh. Ayah tinggal di sebuah pulau kosong di laut timur."
"Di pulau kosong yang mana? Pulau apa itu dan di mana? Ada ribuan pulau di laut timur."
Tentu saja Lee Ing tidak tahu pulau apa itu karena dia sendiripun hanya mengarang saja dan selama hidupnya belum pernah melihat laut, hanya mendengar dongeng kakeknya. Akan tetapi ia tahu bahwa sungai-sungai besar memuntahkan airnya di laut timur, maka tanpa ragu-ragu dan dengan sikap sungguh-sungguh ia menjawab,
57
"Pulau itu letaknya tidak jauh dari pantai, dekat muara Sungai Huang-ho. Nama pulau kosong itu tentu saja menurut nama keturunan ayah, Souw-eng-to (Pulau Pendekar Souw)"
"Bagus, mari kita pergi mengunjungi ayahmu!” kata Mo Hun yang cepat mengempit Lee Ing dan membawanya lari cepat menuju ke Sungai Hoang-ho
Berhari-hari, bahkan berpekan-pekan mereka melakukan perjajanan. Dengan akal bulusnya lee Ing dapat membuat kakek itu percaya, bahkan kakek itu berjanji takkan mengganggunya sebelum bertanding dengan Souw Teng Wi.
"Kalau ayah sampai kalah olehmu, benar-benar kau seorang jantan yang gagah luar biasa dan aku akan suka menjadi apa saja yang kau inginkan. Jadi muridmu, atau isterimu, atau... menyerahkan otakku dengan suka rela, tentu takkan membantah lagi."
Bukan main girangnya hati Toat-beng-pian Mo Hun mendengar janji ini. Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho yang airnya sedang pasang. Mo Hun mencari tempat nelayan, membunuh seorang nelayan tua dan merampas perahunya yang masih baru dan besar, kemudian sambil mengempit tubuh Lee Ing ia melompat ke dalam perahu dan perahu itu hanyut terbawa aliran sungai yang deras. Mo Hun tidak pandai berlayar, akan tetapi kalau mengatur jalannya perahu yang sudah hanyut terbawa arus itu, tenaganya cukup besar.
Berhari-hari mereka berlayar. Kadang-kadang mendarat untuk mencari buah-buah atau binatang hutan. Dengan penuh kesabaran Lee Ing memasak daging untuk mereka berdua, setiap saat tidak lengah untuk menjaga diri dan untuk mencari lubang guna menyelamatkan diri. Namun kakek itu biarpun bodoh tahu pula bahwa ia tidak boleh lupa menjaga agar gadis itu jangan lari. Makin lama kakek ini makin tertarik oleh Lee Ing, makin tergiur oleh kecantikan aseli gadis ini. Sudah bertahun-tahun dia tidak perduli akan kecantikan wanita lagi, akan tetapi sekarang, berpekan-pekan dekat dengan Lee Ing membangkitkan cintanya terhadap wanita muda ini. Bukan cinta suci, melainkan cinta seorang berwatak rendah, cinta yang terdorong oleh nafsu.
Pada suatu malam mereka tiba di dekat muara, hanya beberapa li saja dari laut. Kebetulan udara bersih, bulan purnama menyinarkan cahayanya yang lembut. Air mengalir tenang dan angin sejuk menyegarkan badan. Entah karena angin itu, entah karena pengaruh bulan yang katanya dapat membangkitkan nafsu binatang dalam diri manusia, sejak tadi Mo Hun memandang kepada Lee Ing penuh gairah. Yang dipandang bukan apa-apanya, melainkan kepalanya. Salahnya pada saat itu Lee Ing sedang menyisiri rambutnya, sehingga bentuk kepala yang indah, kulit kepala keputih-putihan nampak di antara rambut, membuat penyakit Mo Hun kambuh pula. Penyakit selera makan otak wanita muda.
"Lee Ing...kepalamu bagus sekali."
Suaranya serak, membuat Lee Ing kaget bukan main. Sudah lama setan itu tidak pernah mengeluarkan suara seperti ini. Cepat Lee Ing menggulung rambutnya lagi dan dari bawah ia melirik ke arah kakek itu. Bulan purnama memancarkan cahaya sepenuhnya sehingga ia dapat melihat betapa wajah kakek itu berseri, matanya berapi-api mengerikan dan mulutnya meneteskan air liur!
"Orang tua. tunggu sampai kau bertemu dengan ayahku. Sudah dekat dengan laut dan sebentar lagi tentu kau akan bertemu dengan dia!” katanva memperingatkan.
Akan tetapi agaknya iblis malam yang katanya suka muncul melalui cahaya bulan, sudah menguasai hati kakek ini. la menubruk dan sebelum Lee Ing dapat menghindarkan diri, tangannya sudah
58
disambar dan ditarik. Di lain saat, kakek itu sudah membelai-belai rambut dan kepala Lee Ing, nampaknya sudah tidak tahan lagi hendak segera menggerogoti kepala itu. Merasa betapa kuku-kuku jari tangan itu mencengkeram kepalanya menimbulkan rasa nyeri, Lee Ing sibuk bukan main.
"’Locianpwe, kau...kau mau apakah.....?"
"Ha-ha-ha, aku tak tahan lagi, anak manis. Sudah tercium olehku otakmu yang manis, yang gurih, yang menyegarkan badan. Sudah terlalu lama aku tidak makan otak... ha-ha-ha!"
"Locianpwe, ingat Ayah setiap saat akan muncul!"
Ucapan ini ada pengaruhnya juga. Toat-beng-pian Mo Hun memandang ke kanan kiri dan air sungai kini mulai berombak-ombak, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ia tertawa dan mengangkat muka gadis itu untuk diejeknya bahwa gadis itu telah membohonginya, akan tetapi begitu melihat wajah gadis itu, melihat bibir yang kemerahan, melihat mata yang bening, melihat kecantikan Lee Ing, sikapnya berubah lagi.
"Kau cantik....cantik manis....sayang kalau dibunuh. Kau patut menjadi isteriku... ha-ha, kau cantik manis...!”
Seketika wajah Lee Ing menjadi pucat sekali. Kengerian kali ini hampir membuatnya pingsan. Jari-jari tangan itu tidak lagi mencengkeram kepalanya, kini mulai membelai-belai rambutnya, mukanya digerayangi dengan sikap halus. Mata kakek itu bercahaya lembut, mulut yang mengerikan itu tersenyum iblis. Lee Ing lebih takut dari pada tadi. Lebih baik kepalanya dipecahkan dan otaknya dimakan dari pada ia dijadikan isteri kakek iblis macam ini.
Secepat kilat Lee Ing meronta, mempergunakan ilmu silat yang ia pelajari dari Haminto Losu. Bagaikan seekor belut, gadis ini berhasil melepaskan pelukan kakek itu. Bukan karena ia lebih kuat, melainkan karena Toat-beng-pian Mo Hun memang sengaja melepaskannya, untuk mempermainkannya seperti tikus dipermainkan kucing. Di perahu sekecil itu di tengah sungai, hendak lari ke manakah?
"Ha-ha-ha, manisku! Jantung hatiku, jangan kau menggoda. Kau hendak lari ke manakah? Mari, ke sinilah, Lee Ing...!"
Suara Mo Hun ini seperti pisau mengiris-iris jantung, membuat tubuh Lee Ing menggigil Hampir saja gadis ini tidak kuat melakukan hal yang sudah lama direncanakan. Ketika itu perahu mulai cepat jalannya, dan air mulai berombak. Ketika ia melihat kakek itu bangkit dan bayangannya di atas perahu nampak besar dan panjang, siap hendak menubruknya, tiba-tiba Lee Ing mengerahkan seluruh tenaganya menekan pinggiran perahu sambil terus menyebur ke dalam air.
"Byuurrr....!” Perahu itu terbalik tak dapat dicegah lagi, biarpun Mo Hun sudah berusaha menekan keseimbangan perahu. Di darat kakek ini boleh jadi kuat bukan main, namun di air tidak berdaya. Ia tidak dapat mencegah perahunya terbalik, akan tetapi kakek ini memang lihai bukan main. Cepat ia dapat menyambar dayungnya dan melompat ke atas. Melihat perahu itu timbul kembali dalam keadaan terbalik, ia melompat turun di atas perahu sambil memaki-maki.
"Bocah setan, apa kau mencari mati menjadi setan air?” serunya sambil memukul-mukul dengan dayungnya ke kanan kiri sehinga air muncrat tinggi-tinggi. Kalau dayung itu mengenai Lee Ing, tentu akan pecah kepala gadis itu. Akan tetapi Lee Ing sudah lebih dulu menyelam. Tidak tahunya di bawah
59
permukaan air terdapat arus yang amat kuat dan cepatnya sehingga tubuh gadis itu terbawa arus ke depan.
Memang belum nasib Lee Ing untuk terjatuh ke dalam tangan kakek iblis ini. Dalam saat itu, ketika Mo Hun sedang mencari-cari dengan matanya, tiba-tiba ada awan menutupi bulan sehingga ketika Lee Ing timbul ke permukaan air untuk mengisap hawa, keadaan demikian gelap dan kakek itu tidak dapat melihatnya.
Arus makin santer. Tubuh Lee Ing terbawa aliran air terus ke laut! Adapun Toat-beng-pian Mo Hun yang merasa tertipu, dengan marah mendayung perahu terbalik itu ke pinggir dan melompatlah ia ke darat sambil menyumpah-nyumpah. Dari darat ia melihat-lihat kalau gadis itu timbul, akan tetapi jaraknya sudah terlampau jauh sehingga ia tidak melihat Lee Ing lagi. Ia membanting-banting kakinya lalu pergi cepat-cepat dari tempat itu.
Bagaimana dengan Lee Ing? Malang baginya, arus sungai yang terjun ke laut membawanya ke tengah dan ombak besar menerima tubuhnya, dipermainkan, diayun ke sana ke mari, dibanting ke kanan ke kiri, gadis itu kehabisan tenaga dan payah sekali! Baiknya ia di utara dulu pernah belajar berenang sehingga ia masih dapat mempertahankan diri tidak sampai tenggelam.
Setelah melalui enam propinsi besar-besar, berliku-liku naik turun gunung dan menempuh jarak puluhan ribu lie, Sungai Huang-ho atau Sungai Kuning akhirnya menumpahkan airnya di laut Po-hai. Setiap hari banyak sekali air dimuntahkan sungai itu ke dalam laut, tak pernah berhenti beratus, beribu tahun lamanya. Tidak hanya Sungai Huang-ho, masih banyak ratusan
batang sungai besar kecil menumpahkan airnya ke dalam laut. Terus mengalir tiada hentinya. Namun laut tak pernah terlalu penuh, tidak pernah meluap sampai merendam pulau-pulau. Aneh benar, sama anehnya dengan sungai-sungai yang tak pernah kehabisan air biarpun airnya terus dibuang ke dalam laut.
Jarang ada orang sudi memusingkan otak memikirkan hal ini. jarang ada yang mengagumi Pengatur Maha Besar yang mengatur semua ini demikian beres dan lancar. Dan sama sekali tak mungkin kalau ada orang yang sedang terapung di tengah laut memikirkan hal itu. Akan tetapi benar-benar ada orang terapung-apung di tengah samudera yang pada saat itu memikir akan semua ini, Dan orang itu adalah Souw Lee Ing, gadis yang berhasil nielepaskan diri dari kekuasaan manusia iblis Toat-beng-pian Mo Hun untuk merelakan diri diterima oleh kekuasaan air laut yang ganas.
Tadinya ia lelah bukan main dan sudah hampir habis harapan untuk hidup, dipermainkan oleh ombak laut yang menggelora. Pada saat tubuhnya dihempaskan ke kanan kiri bagaikan sehelai daun ringannya, tiba-tiba betisnya terasa sakit tertumbuk sebilah papan kayu tebal. Cepat Lee Ing menerkam kayu ini dan selanjutnya ia dapat bernapas lega. Papan itu merupakan penolong nyawanya, penolong sementara sebelum ia ditelan ombak memasang. Baiknya air laut mulai tenang dan ia memeluk papan itu melepaskan lelah, membiarkan dirinya dibawa hanyut oleh papan sambil... melamun!
Lee Ing seorang gadis yang berhati baja, tabah dan ia dapat menghadapi maut tanpa berkedip mata. Gemblengan kakeknya, Haminto Losu bukan percuma, kakek ini menempa dan menggemblengnya menjadi seorang gadis remaja yang berhati baja bersemangat gagah perkasa sungguhpun tingkat ilmu silatnya masih jauh untuk membuat ia patut disebut wanita gagah perkasa.
Selain ketabahan, pada dasarnya Souw Lee Ing berwatak periang, memandang dunia dan sudut terang, selalu bergembira dan dalam segala hal masih dapat mengecap kenikmatan kejadian itu, masih dapat menemukan "untung" dalam semua peristiwa, sungguhpun bagi orang lain tak mungkin ada keuntungan itu. Sebagai contoh, biarpun dirinya sudah tak berdaya, berada di tengah laut yang
60
tidak kelihatan tepinya, tak diketahui bagaimana nasib dirinya selanjutnya, namun mendapatkan sebatang papan itu Lee Ing masih merasa beruntung! Untung ada papan ini, pikirnya gembira lahir batin, sama sekali lupa akan "rugi" yang dideritanya, yakni diombang-ambingkan di tengah samudera tanpa harapan tertolong.
Tidak mengherankan apa bila seorang dara seperti Lee Ing dapat melamun dan memikirkan tentang keanehan alam. Tentang air sungai yang tiada habisnya mengalir ke laut, tentang laut tidak menjadi penuh walau menerima tumpahan air dari ratusan sungai.
Pernah ia diceritai oleh Haminto Losu bahwa air sungai terjadi dari pada hujan dan air hujan adalah penjelmaan dari pada air laut. Jadi kalau air sungai tertumpah semua ke dalam laut, sama halnya dengan "kerbau pulang ke kandang" Lee Ing adalah seorang gadis sederhana, tidak terpelajar seperti gadis-gadis jaman sekarang yang mendapat pelajaran tentang ilmu alam, mana ia dapat mengerti akan "kesederhanaan" peristiwa ini? Dianggapnya hal itu ajaib dan membuat ia makin kagum kepada Yang Maha Kuasa.
"Yang mengatur semua itu adalah Thian (Tuhan)," biasa Haminto Losu memberi penjelasannya, "Juga yang mengatur jalannya matahari bulan dan bintang di langit, yang mengatur segala benda, hidup atau mati. Mengapa burung yang bersayap dan bukan ikan? Mengapa ikan yang hidup di air dan bukan manusia? Semua ini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Juga hidup kita ini sudah ditentukan dan diatur, kita hanya tinggal menjalani saja. Oleh karena itu Lee Ing, dalam segala hal, kita harus menyerahkan nasib sebulatnya kepada Tuhan sebagai penentu dan pemutus terakhir di atas segala daya upaya dan ikhtiar, kita sebagai manusia hidup yang berakal budi."
Dalam keadaan tak berdaya itu, semua kata-kata Haminto Losu mengiang ke dalam telinganya, membuat Lee Ing berbesar hati. Gadis ini memandang ke sekelilingnya. Air, air dan air, tidak kelihatan tepi laut, yang nampak hanya buih buih air dan kepala ombak keputih-putihan seperti iblis-iblis mengerikan mengelilingi dirinya.
"Aku tidak takut," katanya keras kepada buih dan kepala ombak yang kadang-kadang membentuk benda aneh seperti binatang atau setan, "seperti juga aku, kalian semua inipun terjadi karena kekuasaan Thian. Aku tidak takut Aku masih hidup dan aku akan berusaha sedapatku sebelum menyerah kepada maut!” Benar-benar hebat gadis ini. berani menantang maut seperti itu dalam keadaan yang sudah tidak berdaya sama sekali.
Tiba-tiba kakinya tersentuh sesuatu yang bergerak dan kuat. Perasaan, dan otak gadis ini bekerja cepat. Dengan sigap ia menarik kedua kakinya dan melompat ke atas papan. Baiknya ia berlaku cepat karena seekor ikan besar dua kali dirinya menyambar lewat dekat papan dengan moncong dibuka
lebar-lebar, membuai air berombak dan papan terdorong jauh.
Lee Ing tidak menjadi takut melihat ikan besar ini, bahkan ia tertawa-tawa sambil berkata, "Hi-hi, ada makanan datang! Terima kasih kakek laut atas antaranmu daging empuk, memang perutku lapar bukan main!" Ia lalu menggerak-gerakkan tangannya ke dalam air di dekat papan untuk menarik perhatian ikan itu. Betul saja, ketika ikan itu melihat tangan Lee Ing bergerak-gerak di dalam air, ia berenang kembali dan menyambar dengan mulut terpentang lebar
"Prakk!" Secepat kilat Lee Ing membalikkan tangannya dan menghantam kepala ikan itu dengan kepalannya yang kecil tetapi keras seperti baja. Ikan itu terputar-putar di dalam air, menyabet-nyabet dengan ekornya membuat air mengalun tinggi dan hampir saja papan yang ditumpangi Lee Ing terbalik.
61
"Ha. enak ya pukulanku?" Lee Ing "mendayung" papan dengan tangan kirinya mendekati ilkan yang masih "pening", mencari kesempatan baik lalu kembali tangannya bergerak. Kini ia telah mencabut saputangan pembungkus rambutnya yang panjang. Saputangan ini setelah terkena air laut dan kering kembali, menjadi kaku. Di dalam tangan Lee Ing yang sudah melatih diri dengan tenaga Iweekang, saputangan itu merupakan senjata yang cukup kuat. Saputangan diayun, menjadi kaku seperti penggada dan "krakkl" kembali kepala ikan dihantam, sekarang lebih keras dari pada tadi. Pecahlah kepala ikan itu dan binatang yang sial ini berputaran sebentar, air menjadi merah terkena darah. Akan tetapi alangkah kecewa hati Lee melihat tubuh ikan itu tenggelam.
"Sialan!" gerutunya. "Makanan tinggal memasukkan mulut menghilang."
Tiba-tiba ia melihat sirip-sirip ikan bergerak cepat sekali dari depan. Ternyata itulah serombongan ikan hiu, ikan liar yang haus darah. Mau tidak mau Lee Ing bergidik melihat ini. Hiu yang panjangnya rata-rata dua meter ini kalau mengeroyoknya. tentu akan dirobek-robek dan dibagi-bagi oleh mereka.
Baiknya hiu itu datang karena bau darah ikan yang telah dibunuhnya, maka mereka menyerbu ke bawah dan sebentar saja tubuh ikan besar tadi telah dibuat bancakan (dikeroyok dan dimakan). Kepingan-kepingan daging ikan bercampur darah timbul ke permukaan air. Lee Ing timbul juga kegembiraannya melihat daging putih kemerahan yang terapung di dekat papan. Akan tetapi sebentar saja ikan-ikan hiu itu timbul kembali dan menyambari potongan-potongan daging itu.
"Haya.... hayooo.... binatang-binatang gembul. Jangan habiskan sendiri, dong..!" Lee Ing cepat menyambar segumpal daging yang cukup besar, mendahului moncong ikan yang sudah menyambar pula. "Ayaa, tidak kena, bung! Kau sudah cukup kenyang, bagi sedikit untuk nonamu, mengapa sih?"
Sambil tertawa-tawa Lee Ing memandang ikan yang berenang ke sekeliling "perahunya” kemudian ia membawa daging itu ke mulutnya terus digigit sepotong dan dikunyah. Mula-mula ia mengunyah dengan penuh nafsu dan selera karena perutnya memang sudah amat lapar, akan tetapi begitu daging yang dikunyah itu dimasukkan tenggorokan, kontan ia muntah-muntah. Rasa manis tercampur bau amis membuainya muntah-muntah. Akan tetapi ia dapat berpikir panjang. Keadaannya sudah cukup menderita dan berbahaya sekali, kalau ditambah lagi dengan perut kosong dan kelaparan, harapan tertolong makin tipis.
Dengan nekat Lee Ing meramkan mata dan kembali ia menggigit daging besar yang masih dipegangnya, lalu tangan kirinya memencet hidung dan daging itu dikunyah cepat terus ditelannya begitu saja. Sebelum habis segumpal besar daging itu memasuki perutnya, belum dilepasnya hidung yang dipencet, baru setelah ia mengambil air laut dengan sendokan tangan kanan dan diminumnya ia melepaskan pencetan hidungnya. Dengan cara demikian barulah ia dapat makan daging ikan mentah itu. Penciuman memegang peranan penting bagi rasa. Dengan memencet hidung, rasa yang tidak enak akan lenyap sebagian besar.
Akan tetapi setelah perutnya diisi, ia menghadapi kesukaran lain. Minum air laut membuat tenggorokannya menjadi kering dan tidak enak sekali. Rasa haus mengganggunya dan membuat leher serasa tercekik. Lee Ing menjadi kelabakan dan bingung sekali. Akan tetapi dasar ia memang tabah dan selalu gembira. Ia menghibur rasa yang amat tidak enak ini dengan berjenaka. Memandang ikan-ikan hiu yang berenang ke sana ke mari nampak segar itu. ia berkata,
"Ya Tuhan, alangkah senangnya menjadi ikan. Pada saat sekarang ini aku akan berterimakasih sekali kalau dijadikan ikan...!"
62
Sifatnya yang gembira menolong banyak. Betapapun payah keadaannya, dengan sifat periang ini tidak begitu menekan hati. Berhari-hari Lee Ing hidup dalam keadaan amat sengsara di atas papan itu. Yang paling hebat mengganggunya adalah panas terik matahari dan rasa dahaga yang mengamuk, dapat ia puaskan dengan minum air laut. Bahkan sekarang ia sama sekali tidak berani minum air laut karena setiap kali ia minum tenggorokannya makin sakit tercekik rasanya.
Agaknya Thian belum menghendaki Lee Ing tewas di situ. Buktinya, pada hari ke tiga selagi gadis ini sudah empas-empis seperti ikan dilempar di darat saking hausnya, mendung yang sudah lama membubung di udara itu pecah menjadi air hujan. Lee Ing menari-nari di atas papannya sampai hampir ia terguling kalau ia tidak buru-buru mengatur keseimbangan tubuhnya. Terguling di air di antara sekelompok ikan hiu itu sama dengan memberi umpan! Berhari-hari itu ikan hiu tetap membuntuti papan, agaknya siap menanti! saatnya makanan empuk ini tergelincir ke air.
Sambil tertawa sampai keluar air matanya Lee Ing menerima air hujan dengan mulut dan tangannya dan minum sepuas hatinya, mandi sampai basah kuyup. Akan tetapi hujan tiada hentinya dan sebentar saja suasana menggembirakan itu berubah menjadi mjenyedihkan ketika datang badai mengamuk. Cuaca menjadi gelap sekali, air bergelombang. makin lama makin tinggi dan dahsyat. Papan kecil mulai terayun-ayun, dipermainkan secara hebat, dilempar ke sana ke mari seperti sebuah bola kecil dibuat main-main oleh banyak anak nakal. Lee Ing sudah memeluk papannya lagi erat-erat, kepalanya pening, seluruh tubuh sakit-sakit dan mata tak dapat dibuka karena gempuran air laut membuat matanya sakit dan perih.
Kalau Lee Ing tidak memiliki kekerasan hati yang luar biasa sekali, tentu ia telah direnggut terlepas dari papannya yang berarti maut baginya. Akan tetapi gadis ini benar-benar hebat. Pelukannya pada papan erat sekali. Ia maklum sepenuhnya bahwa nyawanya tergantung pada papan itu. pelukannya demikian erat sehingga andaikata dia mati, kiranya kedua tangannya akan tetap memeluk papan!
Sampai semalam penuh badai mengamuk, membawa papan sampai jauh ke selatan di luar kesadaran Lee Ing. Gadis itu sudah setengah pingsan. tubuhnya lemas tak bertenaga lagi, rambutnya awut-awutan dan tangan kanannya sudah terlepas dari papan. Akan tetapi tangan kirinya masih tetap memeluk papan kuat-kuat, bahkan sudah kaku tangan kiri itu. Keadaannya menyedihkan sekali. Melihat dari jauh, orang akan mengira dia itu peri atau dewi laut yang bermain-main dengan ombak, akan tetapi dilihat dari dekat, keadaannya amat menyedihkan.
Kedua matanya meram, napasnya terengah-engah dan rambutnya tidak karuan lagi letaknya. Masih untung baginya bahwa ikan-ikan juga ketakutan dan tidak berdaya dalam badai hingga tak seekor ikanpun sempat mengganggunya. Kalau pada saat itu, dalam keadaan tak berdaya dan setengah pingsan, ada seekor ikan hiu saja lewat dekat, tentu binatang itu akan menyambar kaki Lee Ing yang tenggelam dalam air. Akan tetapi semua ikan bersembunyi jauh jauh di dasar laut.
Timbulnya Matahari pagi menenangkan laut, agaknya mengusir kekuatan-kekuatan gaib yang mengguncang dan mengamuk semalam suntuk itu. Air laut menjadi tenang, hanya bekas amukan itu masih tampak dengan adanya keriput-keriput pada permukaan laut dan kadarig-kadang ada pula pertemuan keriput air yang menimbulkan percik air membusa keputihan ke atas.
Lee Ing masih setengah pingsan memeluk papan dengan tangan kirinya. Kemudian perlahan-lahan ia menggerakkan kepala dan membuka mata Terik matahari pagi menyengat kulit leher dan mukanya, la sadar kembali dan dengan gerakan sukar ia menarik kedua kakinya, duduk di atas papan. Tangan kirinya yang memeluk papan dan yang semalam suntuk direnggut-renggut oleh ombak diluruskan ke depan Ialu digerakkan perlahan-lahan untuk melemaskan urat-urat yang kaku.
63
"Heran, aku masih hidup.....” komentarnya dengan suara berat "Yang berkuasa mengatur ombak laut, kuasa pula melindungi nyawaku. Hebat. ..!”
Tiba tiba pandang matanya tertumbuk pada benda hitam yang menjulang tinggi di tengah laut, tak jauh di sebelah kanannya Benda itu adalah dua buah batu karang yang berbentuk menara. Dilihat dari jauh tentu dikira menara buatan manusia, akan tetapi sebenarnya batu-batu karang buatan alam. Girang hati Lee Ing. Biarpun yang tampak itu bukan sebuah pulau yang subur, akan tetapi jauh lebih aman dari pada papan yang selama beberapa hari ini menjadi kawan dan penolong satu-satunya, la mendayung dengan tangannya, papan meluncur perlahan menuju batu karang.
Mendapatkan batu karang ini, timbul tenaga baru dalam diri Lee Ing. Ia memanjat dan girang melihat batu karang yang kokoh kuat itu, yang tidak bergeming menghadapi hantaman air mengombak. Lee Ing tidak melupakan papannya yang telah menolong nyawanya dan menjadi kawannya. Dibawanya papan itu naik ke atas batu karang. Memang dalam keadaan seperti itu orang akan memperhatikan hal-ha! kecil dan remeh, Juga Lee Ing demikian, timbul rasa sayang dan setia kawan dalam hatinya terhadap papan itu.
Sampai tiga hari tiga malam Lee Ing berada di sepasang menara batu karang itu. Keadaan yang amat tidak enak, akan tetapi bagi Lee Ing yang berwatak periang itu dianggap amat menguntungkan, jauh sekali lebih baik, lebih aman, dan lebih "enak" dari pada di atas papan. Di situ ia bisa tidur nyenyak, bisa berlindung dari terik matahari dengan bersembunyi di dalam celah yang terdapat di antara dua buah menara batu karang, dan dapat menangkap ikan-ikan kecil yang kebetulan lewat dekat. Di situ ia tidak khawatir akan diganggu dan dibuntuti oleh hiu-hiu yang mengancam.
Biarpun pikirannya tenang dan api kegembiraan hidupnya tak pernah padam, namun Lee Ing tidak pernah lupa untuk memikirkan jalan keluar dari "penjara" ini. Setiap kali ia naik ke puncak batu karang, memandang ke empat penjuru untuk melihat tanda-tanda apakah di dekat situ terdapat pulau atau daratan.
Pada hari ke lima, ketika ia sedang melihat-lihat ke empat penjuru seperti biasa, tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, la melihat titik hitam yang makin lama membesar dan mulai kelihatanlah bentuk-bentuk layar. Sebuah perahu layar. Benar-benar mengharukan sekali melihat sikap Lee Ing pada saat itu. Gadis ini kebingungan, dengan gagap-gagap seperti ayam hendak bertelur ia naik turun menara batu karang itu sambil memutar-mutar kain ikat rambutnya dan berteriak-teriak sekuat tenaga.
"Heeeeeiii, tukang perahu... ke sinilah...! Sahhabat baik, putar perahumu ke sini...! Aku hendak ikut...!" Demikian teriakannya berulang-ulang sambil memutar-mutar kain di tangannya. Beberapa ekor burung belibis laut sampai kaget dan terbang meninggi. Tentu rnereka ini kaget dan takut melihat mahluk aneh di atas batukarang itu!
Perahu layar makin mendekat. Lee Ing berjingkrak-jingkrak di atas batu karang, dibilang tertawa air matanya bercucuran, kalau menangis mengapa suaranya bergelak tertawa. Saking girangnya gadis ini menangis sambil tertawa. Baru ia tenang kembali setelah perahu datang dekat dan ia melihat dua orang laki-laki tinggi besar berdiri di dek, memandangnya dengan mata terbelalak. Dua orang itu yang seorang berusia tiga puluh tahun lebih, yang ke dua sudah lima puluh tahun. Muka mereka menghitam terbakar panas matahari. Mereka bukan nelayan, karena pakaian mereka seperti pakaian ahli silat.
"Benarkah apa yang kulihat ini?" Akhirnya yang tua dapat mengeluarkan kata-kata, suaranya besar dan kasar. "Seorang gadis muda cantik seorang diri di atas batu karang ini?"
64
"Entah cantik entah tidak, akan tetapi aku memang seorang gadis muda. Orang tua baik, lekas dekatkan perahumu, aku hendak ikut menumpang ke darat!” jawab Lee Ing.
Akan tetapi dua orang yang bertugas sebagai juru mudi itu tidak bergerak mendekatkan perahu, kini yang muda bertanya, suaranya kecil tinggi tidak sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, "Kau ini siluman, peri atau manusia? Kau wanita muda cantik jelita seorang diri di sini, mana bisa jadi? Jangan-jangan kau siluman ikan...."
Kini tiga orang lain datang ke dek itu, pakaian mereka serupa, seperti pakaian tentara seragam. Melihat Lee Ing, tiga orang inipun bengong terheran.
"Sam-ko, dia itu ikan duyung!" seru seorang,
"Mana bisa Ikan duyung tak berbaju, di atas gadis di bawah ikan. Dia itu lengkap gadis dari atas ke bawah, berpakaian pula," bantah yang lain.
"Tentu siluman.... siluman ikan atau siluman ular....."
Lee Ing membanting-banting kaki dengan gemasnya. Pada saat itu terdengar suara keras sekali dan parau dari sebelah dalam "Mengapa haluan perahu diputar? Ada apa ribut-ribut di atas itu?"
Lima orang anak buah perahu besar itu menghentikan keributan dan yang tua menjawab hormat, "Loya, di atas batu karang terdapat seorang gadis cantik."
"Dekatkan perahu, biarkan dia naik kalau dia orang baik-baik." Suara parau tadi terdengar pula.
Beramai perahu didekatkan, akan tetapi sebelum mereka menurunkan tali, Lee Ing yang sudah naik ke puncak batu karang dan melihat jarak perahu tidak jauh lagi, mengumpulkan seluruh kekuatan yang masih ada, mengerahkan ginkangnya dan melompat ke atas dek. Karuan saja lima orang itu menjadi kaget setengah mati, mengira "siluman" ini hendak menyerang dan makan mereka. Dayung digerakkan, golok dicabut akan tetapi Lee Ing mengangkat tangan dan berkata.
"Aku hanya mau menumpang, ikut ke darat. Mengapa kalian begini tolol? Aku orang biasa apa mata kaIian suudah buta?"
Mendengar gadis jelita itu bisa memaki-maki seperti wanita biasa, lima orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak dengan perasaan lega. Banyak lagi anak buah perahu mendatangi, ada belasan orang banyaknya. Mereka ini orang-orang kasar dan menghujankan pertanyaan kepada Lee Ing.
"Siapa nona? Bagaimana bisa berada di batu karang?" Pertanyaan-pertanyaan semacam ini diajukan bertubi-tubi sampai Lee Ing sukar menjawab.
"Satu-satu.. satu-satu kalau bertanya. Masa menggonggong menyalak seperti anjing-anjing kelaparan. Mulutku hanya sebuah mana bisa melayani begini banyak orang?" Kembali semua orang tertawa riuh-rendah mendengar jawaban-jawaban dan sikap Lee Ing yang lincah dan lucu.
"Cantik sekali.."
"Manis, menggiurkan!"
65
"Anak yang lucu!"
Banyak pujian semacam ini dilontarkan orang yang rata-rata merasa tertarik, bukan hanya oleh kecantikan Lee Ing dan sikapnya yang lincah, akan tetapi juga ingin sekali tahu bagaimana gadis itu dapat berada di atas batu karang seorang diri.
Sebelum Lee Ing menuturkan riwayatnya, tiba-tiba semua orang berdiam dan membuka jalan. Terdengar orang berkata perlahan, "Minggir, loya datang!"
Dari balik pintu manusia itu muncul seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaian nya juga seperti seorang ahli silat, malah dipunggungnya nampak tersembul dua gagang ruyung dan di pinggangnya tergantung kantong piauw, akan tetapi sikapnya lembah lembut. Ia mengerutkan kening ketika melihat Lee Ing. tanyanya tenang,
"Nona siapa? Bagaimana bisa berada di atas batu karang?"
Akan tetapi, pertanyaan yang sudah sering didengarnya bertubi-tubi dari para anak buah perahu itu tidak mengherankan hati Lee Ing, bahkan tidak dihiraukan sama sekali. Sebaliknya, orang yang baru datang itu berikut anak buahnya memandang heran kepada Lee Ing yang tidak menjawab melainkan celingukan ke kanan kiri dan hidungnya yang kecil mancung itu berkembang-Kempis, mencium-cium sesuatu seperti anjing mencium bau tulang.
Hidung belasan orang itu ikut berkembang-kempis mencium-cium, mencari apakah ada apa-apa dan kembali mereka memandang Lee Ing. Gadis ini masih mengembang kempiskan hidungnya yang bagus, lalu berkata,
"Enak.... enak.... masakan ca-udang ini enak sekali, sayang terlalu banyak jahe.... hemmm, enak, perutku lapar..!"
Pecah suara gelak ketawa mendengar ucapan Lee Ing ini. Tidak tahunya hidung kecil mancung itu mencium-cium bau masakan yang keluar dari dapur perahu ini. Orang yang dipanggil loya itu mengamat wajah Lee Ing yang agak pucat dan tubuhnya nampak lemas, lalu katanya memberi perintah,
"Sediakan makan minum untuk nona ini. kemudian bawa dia menghadapku di ruang dalam.” Setelah berkata demikian, ia pergi mentastiki bilik perahu yang besar.
Dengan gembira dan tertawa-tawa para anak buah perahu mengajak Lee Ing memasuki ruangan makan dan di situ Lee Ing dijamu dengan makanan enak.
Penciumannya memang tajam dan betul saja yang tercium olehnya tadi adalah masakan ca-udang. Tanpa sungkan-sungkan lagi Lee Ing menyerbu hidangan, makan sekenyangnya. Selama delapan hari ia hanya makan daging ikan mentah dan minum air hujan, air embun dan kadang-kadang air laut.
Setelah perutnya kenyang oleh makanan dan hangat oleh arak, timbul rasa mengantuk yang luar biasa. Ia membersihkan mulut dan bibir dengan mata melenggut, kemudian tak tertahankan lagi la merebahkan kepala di atas meja berbantal tangan. Di lain saat gadis ini sudah pulas di situ!
Anak buah perahu tidak ada yang berani mengganggu, hanya tertawa tawa lalu pergi memberi laporan kepada majikan mereka. Yang-dilapori hanya mengangguk saja dan memesan agar supaya nona itu jangan diganggu dan cepat diajak nenghadap untuk diperiksa dan ditanyai Setelah bangun dari tidurnya. Akan tetapi, selama berhari-hari Lee Ing yang menderita kesengsaraan lahir batin, mengalami ketegangan hebat dan beberapa kali terlepas dari cengkeraman maut. Sekarang ia
66
menemukan obatnya, karena obatnya bukan lain hanya tidur disertai hati aman dan perut kenyang, maka sampai sehari semalam ia tidur pula di atas kursi berbantal meja, tidak tahu bahwa perahu besar yang ditumpaningnya sudah berlayar pergi melanjutkan pelayarannya.
Perahu apakah itu dan siapa mereka yang menjadi penghuni perahu layar besar ini? Sudah bertahun-tahun perahu layar besar yang pada puncak tiang layar terdapat bendera tengkorak merah ini menjadi momok yang ditakuti oleh semua perahu-perahu besar yang berlayar di perairan Laut Po-hai. Inilah perahu bajak laut yang dikepalai oleh orang berusia empat puluh tahun lebih tadi, yang bernama Sim Kang berjuluk Siang-Pian-hai-liong (Naga Laut Bersenjata Sepasang Pian). Tidak saja Siang-pian-hai-liong Sim Kang amat terkenal akan kekejaman dan kelihaian senjata piannya, juga anak buahnya yang berjumlah tiga puluh orang rata-rata adalah bajak-bajak laut berpengalaman yang ganas dan kuat.
Di samping ini, Sim Kang masih mengandalkan putera tunggalnya, Sim Hong Lui yang juga amat lihai ilmu silatnya, kalau tak boleh dibilang lebih lihai dari ayahnya. Selain mendapatkan ilmu silat dari ayahnya, juga pemuda berusia dua puluh tahun ini mewarisi ilmu silat dari ibunya yang sudah hidup terpisah dari ayahnya, lsteri Sim Kang adalah seorang pendekar wanita anak murid Hoa-lian-pai, murid terkasih dari Lui Siu Niang-niang ketua Hoa-lian-pai di kaki Pegunungan Ta-pie-san.
Dahulu sebelum menjadi kepala bajak, Sim Kang bekerja sebagai seorang piauwsu (pengawal kiriman) yang terkenal gagah dan disegani para kaum liok-lim (golongan penjahat). Dalam usia dua puluh tahun ia telah menjunjung tinggi namanya sebagai seorang gagah. Kemudian ia berjumpa dengan pendekar wanita Yap Lee Nio yang berjuluk Hui-ouw-tiap (Kupu-kupu Terbang) dan yang menjadi seorang perampok budiman tunggal.
Sesuai dengan ajaran gurunya, Lui Siu Niang-niang ketua Hoa-lian-pai. Yap Lee Nio membantu rakyat miskin dengan jalan mencegat para saudagar, merampas sebagian barangnya dan membagi-bagikan kepada fakir miskin! Pada suatu hari ia bertemu dengan piauwsu muda Sim Kang, terjadi perebutan dan pertempuran. Keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri!
Akan tetapi semenjak Kerajaan Beng berdiri, perusahaan Sim Kang menjadi bangkrut. Isterinya hendak kembali menjadi perampok. Sim Kang tidak setuju dan terjadi percekcokan dalam krisis rumah tangga ini. Yap Lee Nio memang berwatak keras, apa lagi memang kepandaiannya lebih tinggi dari pada suaminya, la menjadi marah dan meninggalkan suami dan putera tunggalnya, yaitu Sim Hong Lui. Ditinggal oleh isterinya yang tercinta, Sim Kang menjadi rusak hatinya dan ia bahkan lalu nekat menjadi... bajak laut.
Mula-mula perbuatannya ini hanya untuk mengimbangi kesesalan isterinya, akan tetapi lambat-laun setelah ia mendapat nama terkenal, ia tidak bisa lagi melepaskan pekerjaan ini. Demikianlah, yang wanita menjadi perampok tunggal, si suami menjadi bajak laut, dan puteranya.. ke sana ke mari mengunjungi ayah bundanya untuk menerima pelajaran ilmu silat.
Watak seorang anak dibentuk oleh keadaan orang tuanya sendiri. Perpisahan suami isteri ini membuat Sim Hong Lui kurang pendidikan moral, dan pergaulan dengan para anak buah bajak membuat ia tersesat dan terkenal sebagai pemuda... ugal-ugalan perusak anak bini orang. Sayang sekali! Wajahnya tampan sikapnya halus dan kepandaiannya tinggi.
Karena Sim Hong Lui sering kali mendarat untuk menemui ibunya, dari pemuda ini Sim Kang mengetahui daratan dan mengetahui pula tentang keadaan negara, la juga mendengar tentang Souw Teng Wi yang dikejar-kejar oleh kaisar dan kaki tangannya. Sim Kang dahulu pernah menjadi
sahabat baik Souw Teng Wi ketika ia masih menjadi piauwsu.
67
la hanya ikut menyesal mendengar akan nasib buruk sahabatnya itu. Akan tetapi lebih dari itu, tidak. Sim Kang dahulu berbeda dengan Sim Kang sekarang. Dahulu sebelutn menikah ia adalah seorang pendekar gagah, akan tetapi hidup di atas lautan sebagai bajak, ditambah penderitaan dan sakit hatinya ditinggal isterinya, membuat Sim Kang berubah menjadi seorang manusia yang buas, kejam, dan gila harta.
Sebagai bajak laut yang malang-melintang di perairan Laut Po-hai. Sim Kang tentu saja mempunyai beberapa pulau kecil kosong tempatnya menyembunyikan hasil rampasannya. Pada Suatu hari ketika ia singgah di pulau kosong terpencil ini dan dari atas dek perahunya melihat anak buahnya menurun-nurunkan barang yang baru ia dapat rampas dari perahu pedagang, tiba-tiba ia melihat anak buahnya lari cerai-berai ketakutan, kembali ke perahu.
"Celaka, loya. Di depan gua penyimpan barang ada seorang gila yang lihai. Dua orang kawan telah ia bunuh," seorang di antara para bajak itu melapor.
Sim Kang dan puteranya, Sim Hong Lui cepat melompat ke darat, membawa senjata dan cepat berlari ke tempat itu. Dari jauh mereka sudah mendengar suara orang berteriak-teriak,
"Serbuuu...! Kawan-kawan seperjuangan, serbu dan ganyang habis musuh-musuh kita! Jangan takut mati. Mari kita pertahankan tanah air dengan titik darah penghabisan. Mati dalam perjuangan membela nusa bangsa adalah mati mulia. Serbuuu..!!"
Mendengar suara ini, Sim Kang terkejut. Kemudian ia dan puteranya melihat seorang laki-laki pakaiannya kotor dan compang-camping tidak karuan, rambutnya awut-awutan, mukanya penuh cambang yang tidak terpelihara, matanya liar. Orang ini usianya sebaya dengan Sim Kang perawakannya sedang. Berdiri dengan kedua kaki terpentang gagah di depan gua, tangannya menuding ke sana ke mari seakan-akan seorang jenderal perang memberi aba-aba kepada deretan pohon-pohon yang dianggap laskarnya. Tidak jauh dari kakinya menggeletak mayat dua orang anak buah bajak.
"Dari mana datangnya orang gila itu?" Sim Hong Lui membentak marah sambil mencabut pedangnya.
"Hong Lui, tunggu...!" Sim Kang mencegah namun terlambat. Gerakan pemuda itu cepat sekali. Ia telah mewarisi ginkang ibunya yang lihai, sekali tubuhnya berkelebat ia telah berada di depan orang gila itu dan pedangnya yang lebih menyerupai golok itu dikerjakan cepat menyerang. Sekaligus ia telah menyerang dengan tiga tikaman dan dua bacokan. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja dapat memecah sejurus serangan dengan lima kali pukulan berbahaya. Pemuda itu sengaja melakukan serangan ini untuk cepat-cepat membunuh orang gila yang telah menewaskan dua orang kawannya.
Orang gila itu berdiri miring, tangan kirinya masih bertolak pinggang dan tadi tangan kanannya yang menuding ke sana ke mari memberi aba-aba. Sekarang menghadapi serangan ini, ia seperti tidak tahu, tubuhnya tetap seperti tadi, tangan kirinya tetap bertolak pinggang. Hanya tangan kanan yang tadi menuding-nuding itu kini dibuka jari-jari tangannya dan lima kali ia menyentil dengan jari-jari telinjuk dan ibu jarinya.
"Ting-ting-ting-ting-ting!" Lima kali serangan pedang itu "bertemu" atau dipapaki oleh kuku jari telunjuk orang gila itu dan tiap kali pedang itu membalik bagaikan ditangkis oleh tongkat baja! Sim Hong Lui kaget setengah mati, cepat melompat ke belakang. Akan tetapi tiba-tiba tangan kanan
68
orang gila itu seperti karet molor ke depan, lebih panjang satu kaki dari pada biasanya dan tahu-tahu pundak Sim Hong Lui sudah dipegang dan sekali banting Hong Lui jatuh terguling.
"Ha-ha-ha-ha! Musuh sudah kehabisan orang! Kutu rambut macam ini dijadikan panglima. Ha-ha-ha!"
Dengan bulu roma berdiri semua menghadapi kehebatan orang ini, Sim Hong Lui mencoba untuk meraih pedangnya yang tadi terlepas dari tangan saking kerasnya ia terbanting. Kalau ia tidak memiliki kekebalan, tentu tulang-tulangnya hancur akibat bantingan tadi. Akan tetapi, sebelum tangannya sempat menyambar pedangnya, kaki telanjang orang gila itu sudah mendahului menginjak pedang dan "krakkk!" pedang itu diinjak patah-patah menjadi lima potong! Kemudian orang gila itu mengangkat kaki, menginjak kepala Hong Lui! Pemuda ini masih dapat mengelak sambil menggelundung ke kanan, akan tetapi sambil tertawa-tawa orang itu terus melangkah mengejarnya, mengancam hendak menginjak kepalanya.
Tadinya Sim Kang bengong terlongong-longong melihat kesaktian orang gila itu. Ilmu kepandaian puteranya bukanlah kepandaian biasa saja. Bahkan jarang ada orang mampu menandingi ilmu pedang Sim Hong Lui. Akan tetapi bagaimana orang gila itu dengan mudah dapat menangkis pedang dengan kuku jari kemudian merobohkan anaknya itu bagaikan orang merobohkan batang padi saja? Dan injakan pada pedang itu! Bukan main! Pedang itupun terbuat dari pada baja yang kuat sekali bagaimana kaki telanjang mampu menginjaknya sampai patah-patah menjadi lima? Dan sekarang kaki yang ampuh dan kuat melebihi kaki gajah itu sedang berusaha menginjak kepala puteranya!
"Souw Teng Wi...!!" Sim Kang berseru keras memanggil. Tadinya ia sudah ragu-ragu bahwa ia tentu menduga keliru. Memang betul begitu bertemu dengan orang gila itu, ia mengenal wajah dan potongan tubuh sahabat baiknya Souw Teng Wi, pendekar besar yang menjadi buronan. Akan tetapi menyaksikan kesaktian tadi ia sudah ragu-ragu. Ia tahu betul sampai di mana kepandaian Souw Teng Wi murid Kun-lun-pai itu, biarpun lihai, hanya setingkat dengan dia dan setingkat pula dengan Sim Hong Lui karena kepandaian pemuda itu sudah menyusulnya. Akan tetapi, benar Souw Teng Wi atau bukan, tiada salahnya mencoba memanggilnya. Apa lagi ia memang tidak ada daya lain untuk menolong nyawa puteranya.
Ternyata usahanya berhasil! Orang gila itu mendadak menghentikan pengejarannya kepada Hong Lui dan memutar tubuh menghadapi Sim Kang dengan mata terbelalak. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Hong Lui yang melompat bangun dan.... lari menjauhi orang gila itu, berhenti agak
jauh untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi. Selama hidupnya baru kali ini Hong Lui merasa ngeri!
"Siapa..... siapa memanggil namaku.....?" Orang gila itu berkata dan aneh sekali, ia kelihatan ketakutan! Sim Kang menjadi girang sekali, la melangkah maju di depan orang gila itu. Tak salah lagi, ia berhadapan dengan Souw Teng Wi, bekas sahabat baiknya.
"Souw Teng Wi, jangan takut. Lupakah kau kepadaku? Aku sahabat baikmu, Sim Kang! Dahulu menjadi piauwsu di Leng-an.”
Memang benar orang gila itu adalah Souw Teng Wi! Sungguh mengenaskan nasib pendekar besar, pejuang rakyat yang berjiwa patriot ini. Karena di fitnah ia menjadi buronan, menderita sengsara di perantauan, menyeberang laut dan tinggal di pulau-pulau kosong. Akhirnya ia menghilang dan kini ia muncul kembali dalam keadaan menyedihkan, pikirannya terganggu, seperti orang gila akan tetapi ilmu kepandaiannya meningkat beberapa kali dan menjadi orang sakti! Kini ia menatap wajah Sim Kang dengan mata liar dan tajam, kemudian agaknya ia teringat dan kenal wajah ini.
69
"Kau Sim Kang kenalanku? Mengapa kau menjadi anjing Mongol?”
"Tidak, tidak, kawan! Jangan salah sangka. Aku, dan puteraku tadi, juga kawan-kawanku semua sama sekali bukan kaki tangan Mongol. Juga bukan kaki tangan kaisar yang mengejar-ngejarmu! Tidak, kami adalah orang-orang sendiri, semua kawan baik. Seperti juga kau, kami memusuhi orang-orang Mongol dan memusuhi pembesar-pembesar jahat penjilat kaisar, sahabatku Souw Teng Wi."
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Souw Teng Wi menangis menggerung-gerung, menggosok-gosok kedua mata dengan tangannya seperti anak kecil.
"Kasihan kaisar buta, kaisar bodoh dipermainkan oleh dorna celaka. Kasihan rakyatku.......” Ia meratap-ratap.
Sim Kang adalah seorang cerdik. Dia yang menjadi bajak laut, bagaimana mau bicara tentang rakyat? Namun dia mempunyai pikiran yang amat baik, yaitu baik bagi dirinya sendiri. Ia melihat bahwa bekas pendekar besar Souw Teng Wi ini benar-benar sudah menjadi gila dan percaya kepadanya.
Melihat kepandaian Souw Teng Wi yang demikian hebat, bukankah akan menguntungkan sekali baginya apa bila ia dapat mempergunakan tenaganya? Di samping itu, puteranya akhir-akhir ini mendengar berita bahwa Kaisar Thai Cu di Nan-king menyediakan jumlah hadiah yang amat besar bagi siapa yang dapat menangkap pemberontak Souw Teng Wi.
Dengan sikap ramah-tamah dan suara halus lembut yang sudah menjadi sifatnya menyembunyikan kekejian hatinya, Sim Kang memeluk pundak Souw Teng Wi dan ikut mengeluarkan air mata. Apa lagi Souw Teng Wi yang sudah tidak beres otaknya, andaikata ia tidak gila sekalipun kiranya akan sukar melihat bahwa yang keluar dari mata Sim Kang adalah air mata buaya!
Demikianlah, terbujuk oleh sikap baik Sim Kang dalam usahanya untuk menyembunyikan diri dari kejaran kaisar, Souw Teng Wi yang sudah linglung itu menurut saja dibawa oleh "sahabat baiknya" ini ke perahu. Mulai saat itu ia ikut berlayar di atas perahu bajak. Tak seorangpun anak buah bajak berani main-main dengan Souw Teng Wi yang setiap hari hanya duduk melamun, kadang-kadang bicara seorang diri itu. Mereka menyebutnya Souw-suhu.
Beberapa hari kemudian semenjak Souw Teng Wi berada di atas perahu, Sim Kang sudah dapat memetik hasil dari pada siasatnya. Kebetulan sekali perahunya bertemu dengan perahu besar yang tiga buah banyaknya. Dari jauh saja sudah dapat dilihat bahwa itulah perahu-perahu Kerajaan Beng yang megah dan kuat. Memang Kaisar Beng sedang mengutus orangnya menuju ke seberang laut untuk mengadakan hubungan baik dengan penduduk pulau-pulau seberang lautan yang sering kali merupakan gangguan, terutama bangsa kate dari Jepang. Dalam perjalanan muhibah ini, utusan itu membawa banyak harta yang hendak dipergunakan sebagai hadiah-hadiah persahabatan.
Sudah tentu saja "ikan" segemuk ini tidak dilewatkan begitu saja oleh Sim Kang. Biarpun setiap perahu besar dijaga oleh sepasukan tentara kerajaan berjumlah lima puluh orang yang amat kuat, hati Sim Kang tidak menjadi gentar. Ia mempersiapkan anak buahnya dan memotong jalan yang ditempuh oleh tiga buah perahu layar besar itu.
"Hee, kalian ini mau apa? Apakah tidak tahu bahwa kami membawa utusan kaisar? Hayo minggir, atau kalau ada keperluan lekas panggil pemimpinmu datang menghadap taijin," tegur seorang penjaga perahu terdepan dengan suara keras. Sim Kang tertawa bergelak, tangan kirinya bergerak dan penjaga di perahu depan itu menjerit terus roboh ke dalam air.
70
"Ada bangsat... ada bajak...!” Riuh-rendah suara di atas kapal layar itu.
"Dengarkan baik-baik, para utusan kaisar!" Suara Sim Kang terdengar mengatasi kegaduhan-kegaduhan itu. "Aku Siang-pian Hai-Iiong memerintahkan agar sebuah di antara tiga kapal layar ini diserahkan kosong kepadaku. Orang-orangnya-boleh lekas pindah ke kedua perahu yang lain, baru boleh melanjutkan perjalanan tanpa gangguan. Kalau tidak segera mentaati perintah, terpaksa senjata-senjataku bicara dan contohnya sudah kalian lihat tadi!"
"Waduh, waduh sombongnya!" Terdengar bentakan dari atas perahu. "Mana sih cecongornya Siang-pian Hai-liong? Hendak kulihat sampai di mana lihainya sepasang piannya. Kalau dapat mengalahkan aku Hui-houw Twa-to (Harimau Terbang Golok Besar) baru boleh menyombongkan kepandaian!"
Sim Kang belum pernah mendengar julukan ini maka ia tertawa besar dan menantang, "Harimau terbang atau babi terbang aku tidak takut! Kalau mau mengantarkan nyawa datanglah di sini, kita boleh mengadu kepandaian."
"Kau tentu akan mengeioyok." terdengar pula suara tadi.
"Dalam pertandingan pibu seorang gagah pantang mengeroyok. Satu lawan satu!" jawab Sim Kang,
"Ha-ha, memangnya aku takut dikeroyok? Su-siok, mari kita mencoba bajak laut itu!"
Tiba-tiba dari kapal layar besar itu melayang turun dua orang. Yang seorang adalah seorang laki-laki tinggi besar bermuka kuning, inilah agaknya yang berjuluk Hui-houw Twa-to karena di pinggangnya tergantung golok besar. Orang ke dua adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, rambutnya sudah putih semua, tidak bersenjata apa-apa kecuali sebatang tongkat bambu. Gerakan dua orang ini ketika melayang turun demikian ringannya, membuktikan adanya ginkang yang lihai. Akan tetapi Sim Kang yang percaya akan kepandaiannya sendiri tidak menjadi gentar.
Laki-laki tinggi besar bermuka kuning itu segera menantang, "Bajak tak tahu diri, berani mencoba membajak perahu-perahu utusan kerajaan. Mana itu Siang-pian Hai-liong, boleh mencoba kepandaian aku orang she Ma!" Memang si tinggi besar ini adalah kepala pengawal yang bernama Ma Him berjuluk Hui-houw Twa-to dan ia segera meloloskan golok besarnya yang mengkilat, berat dan tajam.
Sim Hong Lui memapakinya sambil mencabut keluar goloknya yang kecil dan panjang. Sambil tersenyum mengejek ia membentak, "Segala gentong kosong berani menantang ayahku? Tak usah ayah yang maju, aku puteranya cukup untuk menyadarkan kau dari mimpi muluk. Terimalah ini!" Tanpa memberi kesempatan lagi Hong Lui menyerang, gerakannya cepat sekali dan golok setengah pedang itu bergerak-gerak aneh dan cepat.
"Ha-ha, anak masih bau bawang berani berlagak? Bagus!" Si Harimau Terbang menggerakkan golok besarnya menangkis keras dengan maksud sekali tangkis membuat senjata lawan terlepas.
Akan tetapi terdengar suara keras dibarengi muncratnya bunga api dan keduanya merasa tangan mereka tergetar. Baru kagetlah hati Ma Him dan ia tidak berani banyak membuka mulut lagi, melainkan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan berat. Di saat lain kedua orang jagoan ini telah bertempur seru.
Lima puluh jurus telah lewat namun keduanya masih belum ada yang kalah. Biarpun begitu, mata para ahli di situ sudah melihat perbedaan permainan kedua orang ini. Sim Hong Lui menang cepat
71
dan menang lihai ilmu silatnya, sebaliknya Ma Him menang tenaga. Kakek bertongkat bambu itu mengerutkan alisnya. Ia maklum bahwa murid keponakannya yang kasar dan bermulut besar itu akan kalah kalau dilanjutkan.
Benar saja dugaannya. Pedang di tangan Hong Lui bergerak cepat sekali sampai tak terlihat oleh Ma Him yang sudah pening. Terdengar ia mengeluh dan goloknya terlepas, lengannya keserempet senjata lawan dan berdarah, akan tetapi hanya luka kulit dagingnya saja.
Hong Lui tidak mau melepaskan lawan begitu saja. Biarpun sudah jelas bahwa lawannya kalah, akan tetapi ia belum puas kalau tidak membunuhnya. Cepat ia menerjang lawan yang sudah terluka dan tidak bersenjata itu dengan senjata yang seperti pedang setengah golok itu. dibabatkan cepat ke arah leher Ma Him.
"Traanngg!" Senjata di tangan Hong Lui terlepas ketika tertangkis oleh sebatang tongkat bambu. Ternyata kakek berambut putih sudah menolong Ma Him.
"Curang!" seru Sim Kang marah sambil melompat maju. "Mengapa perwira kerajaan tidak tahu aturan dan melakukan pengeroyokan?"
Kakek berambut putih itu tersenyum ramah. "Bukan mengeroyok, melainkan mencegah anakmu yang melanggar peraturan pibu. Sudah terang bahwa Ma Him kalah, mengapa masih mendesak hendak membunuh? Kulihat orang muda ini mewarisi ilmu pedang Hoa-lian-pai. Benar-benar Lui Siu Niang-niang sudah tersesat terlampau jauh, mengajarkan ilmunya kepada segala perampok dan bajak laut."
Sim Kang terkejut. Seperti diketahui, Lui Siu Niang-niang adalah guru dari isterinya dan ketua dari Hoa-lian-pai. Sekali melihat ilmu silat Hong Lui yang campuran itu dapat mengenal ilmu pedang Hoa-lian-pai, tentu kakek ini bukan orang sembarangan. Apa lagi agaknya malah sudah mengenal Lui Siu Niang-niang.
"Kau orang tua siapakah?"
"Lohu dipanggil Thian Te Cu, nama asli sudah lupa. Sekarang membaktikan diri kepada raja baru yang arif bijaksana, kau ini anak masih hijau hendak merajalela. Lebih baik kau dan anak buahmu menaluk dan membantu negara, memperkuat negara dari serangan lawan. Bukankah lebih baik? Kalau kalian menaluk lohu suka mintakan ampun."
Sim Kang marah sekali. "Orang tua pikun jangan mengacau! Bukankah dalam pibu tadi murid keponakanmu sudah kalah oleh puteraku?"
"Akan tetapi masih ada aku yang belum kalah..."
Sim Kang tidak menanti sampai kakek itu habis bicara. Dilihatnya bahwa kakek itu hanya memegang tongkat bambu. Tadi pedang anaknya terlepas mungkin karena anaknya sudah terlampau lelah menghadapi Ma Him yang bertenaga besar. Cepat ia menyerang kakek itu dengan sepasang piannya yang selama ini menjunjung tinggi namanya. Pertama-tama pian di tangan kirinya menyabet ke arah leher memancing kakek itu menangkis. Karena gerakannya memang cepat dan mantap, benar saja Thian Te Cu mengangkat tongkat bambu menangkis.
72
Inilah yang diharapkan oleh Sim Kang. Ia menggerakkan pergelangan tangan kirinya dan senjata pian seperti pecut itu segera melibat tongkat bambu dan pian di tangan kanannya bekerja menghantam pinggang orang selagi lawan
tidak dapat berjaga karena senjatanya terlibat pian kiri!
Sim Kang terlalu gegabah memandang ringan kakek berambut putih yang hanya memegang sebatang tongkat bambu butut itu. Thian Te Cu adalah seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang terkena bujukan menteri dorna Auwyang Peng. Bersama suhengnya (kakak seperguruannya) Ma-thouw Koai-tung Kui Ek guru Ma Him dia juga merupakan sekutu Auwyang Taijin dan tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Mana Sim Kang mampu mengalahkannya?
Diserang hebat seperti itu oleh Sim Kang, Thian Te Cu tertawa bergelak.
"Ilmu siang-pian permainan bocah ini mana ada gunanya?" Dengan tenang sekali ia mengangkat tangan kiri menangkis pian yang mengancam pinggangnya. Kembali Sim Kang menggerakkan pergelangan tangannya dan pian kedua inipun melibat lengan kakek itu.
Akan tetapi begitu kakek ini menggerakkan kedua tangan membetot, terdengar suara keras dan sepasang pian lemas itu putus di tengah-tengah seperti disambar gunting tajam! Sim Kang terhuyung-huyung ke belakang dan Thian Te Cu tertawa bergelak-gelak.
"Ha ha-ha, kepala bajak. Apakah kau masih belum mau menakluk?"
"Tunggu dulu," kata Sim Kang dengan muka pucat. "Kita masih seri. Kita masing-masing kalah satu kali menang satu kali. Tunggu, aku akan mendatangkan kawan dan pembantuku yang setia."
"Ha-ha, boleh kalau masih ada lagi," tantang Thian Te Cu memandang rendah.
Sim Kang lari memasuki bilik perahunya dan menghampiri Souw Teng Wi yang sedang duduk melenggut, sama sekali tidak ambil perduli akan suara ribut-ribut di luar tadi, la baru membuka mata ketika pundaknya dipegang dan di-guncang-guncang oleh Sim Kang yang kelihatan cemas sekali.
"Celaka, Souw-twako celaka sekali..!"
"Memang celaka anjing-anjing Mongol, biar mereka mampus. Ha-ha-ha!" jawab Souw Teng Wi.
"Bukan, bukan begitu, saudaraku. Yang datang ini adalah utusan kaisar dari Nan-king, hendak menangkapmu....."
"Celaka dua belas! Aku harus bersembunyi!" Souw Teng Wi melompat hendak lari. Memang semenjak ingatannya terganggu, selalu Souw Teng Wi hendak menyembunyikan diri, takut ditangkap.
"He, Souw-twako. Mengapa lari? Mereka bukan hanya hendak menangkapmu, juga hendak membunuh aku dan semua kawan. Kau berkepandaian tinggi, takut apakah? Kalau kau melawan, mereka itu bukan apa-apa bagimu!"
Souw Teng Wi menggeleng kepala dengan sedih. "Tidak bisa aku melawan. Kaisar bukan seorang jahat, hanya bodoh mau dipengaruhi para durna. Bagaimana aku bisa melawan Kaisar Thai Cu yang membangun Kerajaan Beng? Tak mungkin, tak mungkin. Lebih baik aku lari."
"Husshh, nanti dulu, sahabat baik. Kau tidak tahu, biarpun mereka itu utusan kaisar, namun mereka ini adalah kaki tangan para durna. Kaisar sendiri tak pernah hendak menangkapmu, semua adalah
73
gara-gara pembesar durna. Kalau sekarang kau membalas dendam kepada kaki tangan para durna bukankah berarti kau membebaskan kaisar dari pengaruh busuk?"
Memang Sim Kang cerdik sekali dan sebaliknya Souw Teng Wi sudah tak dapat berpikir apa-apa. Mendengar ini merahlah mukanya dan diangkat dadanya. "Mana mereka? Mana anjing-anjing busuk penghianat bangsa itu?" katanya. Dengan langkah tegap dan gagah seperti seorang jenderal perang Souw Teng Wi berjalan keluar diantar oleh Sim Kang. Seluruh anak buah bajak menahan napas. Mereka memang tahu bahwa "tamu" aneh ini lihai bukan main, seorang berotak miring, tetapi mana mampu menandingi kakek yang
demikian lihainya, yang dengan sekali gebrak saja sudah mengalahkan kepala mereka?
Di lain fihak, Thian Te Cu dan Ma Him menjadi bengong ketika melihat bahwa "jago" yang dibawa datang oleh kepala bajak itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya tidak karuan, rambutnya riap-riapan dan penuh bulu tak terpelihara, matanya merah liar dan menyeramkan.
Begitu tiba di tempat itu. Sim Kang lalu berkata kepada Souw Teng Wi,
"Souw-twako, itulah kapal mereka dan kakek inilah kaki tangan durna-durna itu!"
Souw Teng Wi memandang kepada Thian Te Cu dengan muka merah kemudian ia menggereng keras sekali. Beberapa orang anak bajak yang berdir. dekat terpelanting mendengar suara ini, bahkan Ma Him sendiri, juga Sim Kang dan Sim Hong Lui, menggigil seluruh tubuhnya! Hanya Thian Te Cu yang dapat menahan getaran sinkang dan khikang yang hebat ini, yang keluar dari suara Souw Teng Wi yang sedang marah. Akan tetapi kakek ini menjadi pucat karena selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan orang yang begini pandai mempergunakan gerengan singa.
"Siapa hendak menangkapku? Aku Souw Teng Wi tidak takut menghadapi segala penghianat!" Ma Him pernah melihat Souw Teng Wi. Tadipun ia merasa kenal orang gila ini, dan baru sekarang ia yakin bahwa inilah Souw Teng Wi.
"Dia pemberontak Souw Teng Wi...!" Dalam ketegangan dan kegembiraannya melihat orang buronan yang akan menghasilkan hadiah besar sekali kalau tertangkap itu, Ma Him menjadi lupa bahwa yang hendak ditangkapnya memiliki kepandaian tinggi.
Kembali terdengar gerengan dan sebelum Ma Him sempat mengelak, ia telah kena dipegang oleh Souw Teng Wi. Memang aneh sekali. Jarak antara Souw Teng Wi dan Ma Him masih ada dua meter lebih. Akan tetapi hanya dengan mengulur badan dan lengan tanpa mengubah kedudukan kaki, Souw Teng Wi telah berhasil mencengkeram pundak Ma Him dan ditariknya mendekat tanpa Ma Him dapat berdaya apa-apa.
"Kau kaki tangan durna! Ha-ha, pergilah menghadap Giam-ong!" Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ma Him telah disempal menjadi dua. Dengan memegang pundak kanan kiri, Souw Teng Wi telah menyempal tubuh itu hingga pecah di tengah-tengah, darah muncrat membasahi mukanya tanpa diperdulikannya. la tertawa terbahak-bahak seperti iblis yang amat menyeramkan.
Thian Te Cu marah dan kaget sekali. Ia segera menggerakkan tongkat bambunya dan menotok ke arah ulu hati Souw Teng Wi. Totokannya tepat
mengenai dada yang setengah telanjang itu, akan tetapi anehnya, ujung tongkat bambu itu meleset seperti mengenai kulit ular yang licin.
"Kau juga penghianat bangsa?" kata Souw Teng Wi sambil menggeser kakinya maju. "Kau juga harus mampus!”
74
Akan tetapi Thian Te Cu adalah seorang ahli silat yang lihai sekali. Serangan balasan Souw Teng Wi yang memukul kepalanya dapat ia elakkan dan lapun membalas. Segera keduanya bertempur seru dan ramai. Sementara itu di kapal layar terdengar terikan-teriakan, "Pemberontak Souw Teng Wi.....
pemberontak Souw Teng Wi......!"
Adapun Sim Kang melihat bahwa Souw Teng Wi sudah mulai ¡mengamuk, juga tidak tinggal diam. Ia memerintahkan anak buahnya untuk mendekatkan perahu pada kapal besar itu. Seorang anggauta bajak yang berlaku lancang hendak mencari jasa, menggunakan tombak menyerbu Thian Te Cu membantu Souw Teng Wi. Akan tetapi tombaknya yang mengenai punggung Thian Te Cu patah menjadi dua, dia sendiri tertangkap pinggangnya dan sekali banting tubuh bajak itu melesak ke dalam papan dan tewas, hebat sekali tenaga yang diperlihatkan oleh kakek itu dan semua bajak tidak berani sembarangan bergerak.
"Serbu kapal!" Sim Kang memberi aba-aba dan ia bersama puteranya memimpin tiga puluh orang anak buahnya mulai menyerbu kapal keraja-an. Terjadi perang tanding yang ramai karena anak buah kapal itupun tidak mau menyerah begitu saja.
Pertempuran antara Souw Teng Wi dan Thian Te Cu tidak berlangsung lama.
Tongkat bambu di tangan Thian Te Cu amat lihai dan sudah puluhan tahun entah berapa banyak korban roboh oleh senjata ini. Akan tetapi menghadapi Souw Teng Wi yang memiliki ilmu aneh dan sakti, tongkat bambu itu tidak ada artinya sama sekali. Baru dua puluh jurus Thian Te Cu mendesak secara bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dibarengi gerengan seperti setan, tongkat itu sudah dapat dirampas oleh Souw Teng Wi dan diremas-remas hancur menjadi bubuk.
Kemudian Souw Teng Wi melancarkan serangannya, menubruk seperti harimau. Dilihat begitu saja, agaknya serangan ini dilakukan dengan membabi-buta, tidak memakai peraturan silat, akan tetapi Thian Te Cu kaget bukan main karena melihat gerakan yang aneh dan lihai dibarengi hawa pukulan yang mendatangkan hawa dingin menyusup tulang. Tahulah ia bahwa Souw Teng Wi mempergunakan pukulan sakti yang mengandung hawa "Im" atau yang disebut lm-kang, sari dari pada hawa dingin.
Cepat ia menangkis, dua tangan bertemu dan masing-masing mengerahkan Iweekangnya. Namun, muka Thian Te Cu makin lama makin pucat, tubuhnya mulai menggigil.! Tidak kuat ia menerima Im-kang yang amat kuat dan dahsyat dari lawannya. Dari pucat mukanya berubah menjadi biru, matanya mendelik dan tak lama kemudian ia menjerit lalu roboh, tubuhnya kaku dan dingin tak bernyawa pula seperti ikan direndam es!
Souw Teng Wi tertawa bergelak. "Mampuskan semua penghianat! Hayo maju, Serbuuu..........!!"
Sikapnya seperti seorang pemimpin pasukan memberi aba-aba, kemudian sekali menggerakkan kaki, tubuhnya berkelebat dan melayang ke atas kapal layar kerajaan di mana telah terjadi pertempuran hebat antara anak buah bajak melawan anak buah kapal layar itu. Tadinya memang para pengawal sudah kewalahan menghadapi serbuan bajak laut yang dipimpin oleh Sim Kang dan Sim Hong Lui yang gagah perkasa. Sekarang, kedatangan Souw Teng Wi benar-benar membikin mereka jerih sekali.
Sepak-terjang Souw Teng Wi bukan sepak-lterjang manusia biasa, mayat bergelimpangan ke mana saja orang ini bergerak. Mulailah anak buah kapal melarikan diri, melompat ke dalam air laut dan berenang sedapatnya. Akan tetapi sebagian besar dari mereka tewas disambar ikan hiu yang banyak terdapat di perairan itu. Dua buah kapal layar lain sudah mendekat untuk membantu.
75
Akan tetapi begitu mendengar bahwa Thian Te Cu dan Ma Him, dua orang kepala pengawal yang diandalkan melindungi keselamatan para utusan itu sudah tewas, para pembesar yang berada di dalam kapal pertama cepat memberi perintah supaya dua kapal itu melarikan diri, kembali ke pantai. Hanya beberapa orang saja anak buah kapal yang diserbu itu dapat ditolong, yaitu mereka yang melompat ke laut dan yang beruntung tidak menjadi santapan ikan-ikan hiu. Dari mereka inilah semua orang mendengar tentang munculnya Souw Teng Wi si pemberontak sebagai seorang gila yang menyeramkan.
Ramai hal ini dibicarakan dan tak lama kemudian setelah dua kapal itu berlabuh dan orang-orangnya kembali ke kota raja, semua orang di kota raja mendengar bahwa pendekar besar Souw Teng Wi masih hidup, menjadi seorang pemimpin bajak laut yang ganas! tentu saja Auwyang-tajjin merasa kaget sekali, apalagi berita bahwa Souw Teng Wi telah membunuh Thian Te Cu. benar-benar mengejutkan semua orang, terutama jago-jago menteri dunia itu seperti Ma-thouw Koai-tung Kui Ek dan lain-lain Thian Te Cu memiliki kepandaian yang tinggi dan di dunia ini amat jarang ada orang dapat melawannya. Bagaimana Souw Teng Wi yang dulu diketahui berkepandaian biasa saja dapat menewaskannya?
Sementara itu, Sim Kang giiang bukan main, la mendapatkan sebuah kapal layar yang amat baik, juga beberapa orang anak buah kapal rampasan itu menyatakan takluk dan menjadi anak buah bajak. Mulai saat itu Sim Kang mempergunakan kapal rampasan itu dan anak buahnya bertambah banyak. Terhadap Souw Teng Wi ia menyatakan terima kasihnya, akan tetapi Souw Teng Wi mana mau tahu tentang terima kasih.
"Mereka itu penghianat-penghianat bangsa, harus dibasmi habis!" katanya.
Biarpun dengan adanya Souw Teng Wi, keadaan bajak laut Sim Kang makin kuat lagi, namun diam-diam ia tidak suka kepada bekas pemimpin pejuang ini. Watak Souw Teng Wi terlalu aneh dan kepandaiannya terlalu tinggi sehingga amat berbahaya. Dan dia sama sekali tidak dapat menguasainya.
Pernah terjadi Sim Kang menghukum seorang anak buah bajak yang diketahui mencuri barang rampasan, yaitu sebuah mainan batu giok. Sim Kang menyuruh seorang pembantunya melaksanakan hukumannya, yaitu memaku jari-jari tangan kanan orang itu pada sebuah papan, disaksikan oleh semua anggauta bajak agar yang lain takut untuk melakukan pencurian.
Jari tangan di bagian kuku dipaku atau dipantek pada papan, dapat dibayangkan nyerinya. Pantekan pertama adalah ibu jari. Baru sekali paku itu dipukul menembus kuku dan menancap papan, pencuri itu sudah melolong-lolong kesakitan dan sambatnya menyayat hati para pendengarnya. Pantekan ke dua pada kuku jari telunjuknya membuatnya meraung seperti kerbau disembelih.
Pada saat pekik ke dua ini terdengar, tiba-tiba muncul Souw Teng Wi yang tadinya ditinggal seorang diri melcnggut di ruang bawah kapal. Mata Souw Teng Wi merah berputaran liar, kemudian ia melompat, menubruk bajak yang melaksanakan hukuman, mengangkatnya dan menjungkir balikkannya, kemudian sekali banting tubuh bajak ini ambles ke dalam papan dek yang menjadi ambrol. Kepala dan tubuh bajak itu masuk terus ke bawah, hanya kelihatan dua kakinya sebatas lutut saja dan orang ini mati seketika itu juga.
Sebelum Sim Kang berani mencegah, bajak ke dua yang tadi bekerja sebagai pembantu algojo, memegangi orang yang terhukum, mendapat giliran. Souw Teng Wi nengulur tangan, orang itu menjerit ketakutan, akan tetapi orang-orang melihat tubuhnya melayang tinggi ke atas, sampai hampir sama tingginya dengan puncak tiang layar, kemudian dari atas ia jatuh melayang ke bawah
76
dengan kecepatan luar biasa. Semua orang menahan napas menanti kepala orang itu remuk terbanting ke lantai.
"Souw Teng Wi, jangan bunuh dia...!" Sim Kang berseru.
Nampaknya sudah terlambat karena begitu ucapan ini berakhir, orang yang dilontarkan itu sudah hampir terbanting ke papan dek. Akan tetapi dengan langkah lebar Souw Teng Wi sudah berada di situ dan dengan enak saja ia menerima tubuh yang terbanting itu lalu dilemparkan ke atas dek di mana orang sial ke dua itu rebah dengan muka pucat seperti mayat dan tak dapat berkata apa-apa kecuali memandang Scuw Teng Wi dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Sim Kang sudah menghampiri Souw Teng Wi. alisnya berkerut, hatinya tidak senang.
"Souw-twako, mengapa kau membunuh orang sendiri?" tanyanya, biarpun hatinya panas dan tidak senang namun suaranya tetap halus, tidak berani ia bermain kasar terhadap orang aneh itu.
"Dia manusia kejam, menyiksa orang. Aku tidak suka melihat orang disiksa, menyiksa hanya perbuatan binatang buas yang keji!" jawab Souw Teng Wi bersungut-sungut, agaknya tidak puas mengapa ia tidak boleh membunuh orang yang tadi dilontarkan ke atas.
"Kau tidak suka melihat orang dihukum, akan tetapi kau membunuh seorang pembantuku, bahkan yang seorang pula hampir kau bunuh juga. Bukankah kau keliru dengan perbuatanmu itu?"
Souw Teng Wi tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, membunuh berbeda dengan menyiksa. Membunuh musuh berarti berjasa terhadap negara, membunuh orang keji berarti menyelamatkan rakyat dari pada kekejiannya. Akan tetapi menyiksa adalah perbuatan yang membuktikan akan kerendahan budi si penyiksa. Mana kau tahu akan sifat membunuh dan menyiksa?"
Bagi Sim Kang, jawaban ini adalah jawaban kacau-balau dari seorang gila. Maka ia menjadi penasaran dan membantah lagi. "Kau tidak tahu, Souw-twako. Akulah yang menyuruh orang ini dihukum. Dia adalah seorang pencuri, mencuri sebuah barang berharga di atas kapal ini. Bukankah sudah sepatutnya seorang pencuri dihukum?" katanya sambil menudingkan jari telunjuk kepada pencuri yang kini duduk menggigil ketakutan itu. Saking takutnya melihat sikap Souw Teng Wi yang sedang kumat itu, pencuri ini sampai lupa akan rasa nyeri pada ibu jari dan telunjuknya yang terpantek pada papan.
"Mencuri apa?" tanya Souw Teng Wi, matanya yang merah ditujukan kepada Sim Kang yang menjadi bergidik melihatnya. Sim Kang mengeluarkan batu giok berbentuk burung hong yang amat indah itu, memperlihatkannya kepada Souw Teng Wi sambil berkata,
"Inilah benda berharga yang coba dicuri." Sekali menggerakkan tangan. Souw Teng Wi sudah merampas batu giok itu. menimang-nimangnya dan memandangnya sambil tertawa bekakakan.
"Ha-ha-ha-ha, bukan salahnya, melainkan salahmu sendiri. Mengapa benda seperti ini dianggap berharga? Jangan menganggap benda ini berharga dan orang lain takkan mencurinya. Jangan diperlihatkan benda ini kepada orang lain, agar tak akan ada pencuri datang. Lebih tepat lagi, jangan mengadakan barang-barang yang kau sebut berharga, siapakah yang timbul keinginan mencuri? Ha-ha-ha ha!" la menghampiri pencuri itu yang menggigil makin keras. "Kau suka benda ini? Kau anggap berharga? Lihat!" Sekali meremas, batu giok burung hong itu hancur menjadi bubuk putih. "Lihat, ini benda yang tadi, tahu? Masih inginkah kau mencurinya?" Pencuri itu menggelengkan kepala dengan muka pucat.
77
Souw Teng Wi tertawa lagi sambil melemparkan bubukan batu giok ke atas, ia lalu menari-nari di sekeliling dek kapal itu."Siapa sudi mencuri kalau orang menyatakan bahwa benda itu tidak berharga? Tentu tak ada yang ingin mencurinya!" la mengayun tangan kanannya dan “prak!” debu mengepul dan kepala singa-singaan batu itu sudah lenyap, hancur menjadi debu, yang tinggal hanya tubuh singa yang tak berkepala.
“Ha-ha-ha, sekarang siapa bilang dia berharga? Dan siapakah yang sudi mencurinya? Ha-ha-hal”
"Gila!" Suara ini terdengar dari mulut Sim Hong Lui yang saking gemasnya tak dapat menahan lidahnya. Souw Teng Wi mengerling ke arahnya dan tahu-tahu telah berada di depan pemuda itu yang menjadi pucat seketika.
"Pakaianku ini, siapa yang sudi mencurinya? Karena tidak berharga. Pakaian orang muda ini dikatakan berharga dan bagus, hati-hati, nanti ada yang mencurinya. Lebih baik dibikin tidak berharga!" Cepat sekali kedua tangan Souw Teng Wi bergerak-gerak dan di lain saat hanya terdengar suara "brett-brett-brettt!” Ketika ia menghentikan gerakan tangannya, keadaan Hong Lui lucu sekali. Celananya tinggal sepotong, bajunya compang-camping. ikat rambutnya putus, tali pinggangnya bolong-bolong, pendeknya semua barang indah yang menempel di tubuhnya tidak utuh lagi. Bahkan pedangnya sudah tidak bergagang lagi, karena gagangnya sudah remuk.
"Lihat, lihat, siapa mau mencuri barangnya? Ha-ha-ha!” Sim Kang terkejut bukan main. Benar-benar susah mengurus orang gila ini. Ia menghampiri dan menjura kepada Souw Teng Wi.
"Souw-twako memang berkata benar. Aku menerima salah dan maafkan semua kesalahan kami yang sudah membikin hatimu tidak senang." Souw Teng Wi menudingkan telunjuknya kepada Sim Kang sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, siapa bicara tentang salah benar? Kau tidak becus memimpin, tentu anak buahmu brengsek!" Setelah berkata demikian, sambil berjingkrakan orang gila ini kembali ke kamarnya di bawah dek. Sim Kang menjadi bingung sekali, la segera berunding dengan Sim Hong Lui.
"Dia harus segera diserahkan ke Nan-king,” bisik si ayah. "Kalau dia terus di sini, biarpun keadaan kita kuat, akhirnya kita bisa celaka. Lebih baik kau pergi ke Nan-king mencari hubungan untuk urusan penyerahan orang gila ini. Kalau bisa diserahkan kepada Auwyang taijin. tentu hadiahnya lebih besar lagi."
"Akan tetapi kita sudah mendapat nama buruk dengan tewasnya Thian Te Cu di kapal kita,” bantah puleranya.
"Bisa diatur. Katakan bahwa yang membunuh adalah Souw Teng Wi dan bahwa kita tadinya dipaksa olehnya, habis perkara Melihat kepandaiannya, siapa yang tidak percaya kalau kita akui dia sebagai kepala kita?"
Hong Lui mengangguk-angguk dan demikianlah, mereka mencari kesempatan baik untuk "menjual" Souw Teng Wi. Akan tetapi sebelum Hong Lui pergi meninggalkan kapal untuk mencari hubungain ke kota raja Nan-king, terjadi hal yang hebat lagi di kapal itu. Seperti sudah diceritakan sebelumnya, dari pergaulan yang tidak sehat dengan anak buah bajak, Hong Lui menjadi seorang pemuda binal dan ugal-ugalan.
Pada suatu hari dia bersama beberapa orang anak buah bajak dengan perahu-perahu kecil turun ke darat dan kembalinya membawa seorang wanita muda yang cantik sebagai tawanan. Sim Kang tahu
78
akan hal ini, akan tetapi ia mendiamkannya saja karena sudah biasa puteranya itu membawa gadis-gadis dan wanita-wanita muda sebagai tawanan ke kapal.
Akan tetapi kali ini, wanita muda itu tidak turut dengan suka rela, melainkan dipaksa. Wanita ini adalah isteri seorang nelayan yang diculik dengan paksa oleh Hong Lui, tertarik akan kecantikan wanita ini. Suaminya, si nelayan yang malang, dipukul sampai pingsan di tepi pantai. Tak seorangpun menghiraukan hal ini. Para anak buah bajak hanya tertawa-tawa melihat Hong Lui menyeret wanita itu ke dalam kamarnya. Akan tetapi Souw Teng Wi yang seperti biasa duduk melamun di kamarnya, tiba-tiba melompat bangun. Telinganya yang tajam mendengar suara wanita menangis.
Alangkah kagetnya hati Hong Lui ketika ia sedang duduk makan minum bersama dua orang bajak kaki tangannya di dalam kamar dan memaksa wanita itu untuk makan minum pula bersamanya, tiba-tiba pintu kamarnya roboh tertendang dan masuklah SouwTeng Wi! Sekali pandang saja Souw Teng Wi yang biarpun sudah gila namun jiwa ksatrianya tetap tidak meninggalkannya, tahu bahwa wanita ini tentu orang yang diculik ke situ.
"Siapa wanita ini? Mengapa menangis?” tegurnya kasar.
Dua orang bajak dan Heng Lui tak dapat menjawab dan wanita itu yang melihat masuknya seorang laki-laki aneh dan menyeramkan, jatuh berlutut dan berteriak-teriak "Kembalikan aku ke pantai... kembalikan aku kepada suamiku...!"
Souw Teng Wi meloncat ke dalam, sekali tendang meja penuh makanan itu terbalik ke atas pembaringan. "Siapa menculik dia ke sini?" bentaknya. „
"Souw-pek-pek. mereka ini.... dua orang durhaka ini yang menculiknya .. aku tidak tahu apa-apa...!"
Baru saja Hong Lui menghentikan kata-katanya, terdengar suara keras dari dua buah kepala orang yang diadu satu kepada yang lain. Dua orang bajak itu roboh terkulai dengan kepala pecah dan tak bernapas lagi.
"Antar dia kembali kepada suaminya!” bentak Souw Teng Wi dan Hong Lui tak berani berayal pula, cepat menyuruh seorang bajak njembawa wanita itu dengan perahu ke darat. Sim Kang juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Kalau begini naga-naganya, anak buahku bisa habis dibunuhi orang gila ini," pikirnya.
Semenjak itu, mereka menjaga diri hati-hati sekali agar jangan menyinggung perasaan Souw Teng Wi, menjaga agar orang gila itu tidak "kumat." Sementara itu, Hong Lui meninggalkan kapal untuk mencari hubungan dalam urusan menyerahkan pemberontak Souw Teng Wi.
Demikianlah, kapal layar itu sedang dalam perjalanan untuk menjemput Hong Lui kembali di pantai Po-hai ketika kapal ini kebetulan sekali lewat di dekat batu karang di mana Souw Lee Ing terdampar dan Sim Kang menolong gadis itu naik ke kapalnya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, saking lelahnya karena penderitaan selama delapan hari di tengah laut, setelah makan kenyang Souw Lee Ing tidur pulas di atas kursinya. Suara gaduh di perahu itu sama sekali tidak didengarnya. Ia tidak tahu bahwa kapal itu telah menuju ke pantai dan tidak tahu pula bahwa seorang pemuda tampan yang baru naik ke kapal itu memandangnya dengan sepasang mata penuh gairah, seperti mata pencuri melihat emas. Pemuda itu adalah Hong Lui yang
79
menjadi kagum bukan main menyaksikan gadis secantik itu berada di atas kapal. Belum pernah ia melihat seorang gadis secantik ini dan sekaligus hatinya jatuh bangun.
"Ayah, aku harus mendapatkan gadis ini. Dia patut menjadi isteriku! Inilah gadis idaman hatiku yang sering kujumpai di alam mimpi," katanya. Sim Kang hanya tersenyum dan berkata.
"Itu urusan mudah, urusan nanti. Sekarang lebih baik kita bicara tentang urusan yang lebih penting lagi.” Dengan ogah-ogahan Hong Lui meninggalkan gadis yang masih tidur pulas itu dan ikut dengan ayahnya ke kamar untuk bicara tentang urusan "penjualan" Souw Teng Wi.
Sementara itu, malam tiba dan keadaan di kapal sunyi sekali. Tanpa diketahui oleh siapapun juga. Lee Ing terbangun dari tidurnya karena pundaknya ditekan orang. Ketika gadis ini tersentak kaget, sebuah tangan yan berbulu dan kasar mendekap mulutnya, mencegah ia berteriak, kemudian pemilik tangan itu, seorang anak buah bajak tinggi besar, hendak memeluk dan memondongnya.
Lee Ing adalah seorang gadis kang-ouw yang cerdik. Ia maklum akan niat jahat orang ini, maka iapun tidak mau berteriak. Siapa tahu kalau ia berteriak, kawan-kawan orang ini malah hendak mencelakakannya. Ia dapat mengerti bahwa orang ini hanya bertenaga besar akan tetapi tidak pandai silat atau hanya seorang yang mengerti silat biasa saja, ini dapat dibuktikan dari gerak-gerik orang itu. Maka ia menurut saja tubuhnya dipondong dan pada saat yang baik, tangannya meluncur, terus menotok jalan darah kai-hu-hiat di pundak orang itu.
"Bukk!" Orang itu roboh tak berkutik lagi. Juga tidak dapat mengeluarkan suara. Lee Ing marah bukan main. Ia ingin memukul pecah kepala orang kurang ajar ini, akan tetapi takut kalau mendatangkan urusan besar. Segera ia meninggalkan orang itu dan menyelinap pergi. Ia tidak tahu jalan, akan tetapi ia ingin bertemu dengan majikan kapal yang kemarin bersikap lemah lembut itu, untuk melaporkan tentang kekurang-ajaran anak buahnya.
Berindap-indap ia berjalan menuruni anak tangga ke ruangan tengah dan tiba-tiba ia mendengar suara orang bercakap-cakap perlahan dari sebuah kamar. Yang membuat hatinya berdebar dan cepat ia mengintai mendengarkan, adalah terdengaraya nama "Souw Teng Wi" disebut-sebut.
Kapal sedang bergerak-gerak perlahan dipukul ombak maka biarpun Sim Kang dan puteranya berkepandaian tinggi, mereka tidak mendengar gerakan Lee Ing yang mengintai dari balik jendela bilik kapal. Lee Ing melihat dua orang duduk menghadapi meja yang dipasang di tengah bilik. Lampu minyak tergantung di pojok bergoyang-goyang. mendatangkan bayang-bayang menyeramkan di dalam kamar yang suram itu. Lee - Ing mengenal seorang laki-laki setengah tua yang membawa senjata pian dan di depan laki-laki ini duduk seorang laki-laki muda yang tampan.
"Semua sudah diatur beres, ayah. Hadiah sudah disediakan dan begitu kita menyerahkan Souw Teng Wi, mati atau hidup, kita tinggal membawa hadiah itu. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin menyerahkan orang gila itu dalam keadaan hidup," terdengar pemuda itu berkata dan Lee Ing tahu bahwa pemuda itu adalah putera orang yang ramah itu.
Sim Kang mengangguk-angguk. "Memang tidak mungkin, kepandaiannya hebat dan ia susah diurus. Akan tetapi bagaimana bisa membuat dia tidak berdaya? Jangankan dia dalam keadaan sadar, sedang tidur saja tak mungkin bisa didekati. Telinganya amat tajam pendengarannya, ada tikus lewat saja ia terbangun, marah-marah dan belum mau tidur lagi sebelum ia dapat menangkap dan membunuh tikus itu. Bagaimana kita bisa menawannya?"
Pemuda itu tersenyum lalu berkata, suaranya bisik-bisik, "Jangan khawatir, ayah. Aku sudah bertemu dengan Auwyang kongcu yang terkenal dengan ilmunya Hek-tok-ciang Auwyang-kongcu adalah
80
seorang ahli racun dan ia sudah memberi racun yang apabila di campur dengan minuman arak, sama sekali tidak kentara ataupun terasa. Nyawa si gila sudah di tanganku!"
Sim Kang tertawa girang dan ayah serta anak itu nampaknya puas sekali. Adalah Lee Ing yang berdiri menggigil di luar. Ayahnya masih hidup! Ayahnya telah gila dan sekarang hendak diracun oleh ayah dan anak ini! Ayahnya berada di dalam kapal ini! Dengan kaki gemetar Lee Ing meninggalkan tempat pengintaiannya dan berindap-indap menuruni tangga menuju ke bilik yang paling bawah. Anak buah bajak sudah pada tidur, ada yang bermain kartu di ruangan atas, akan tetapi keadaan di bawah sunyi sekali. Tiba-tiba Lee Ing mendengar suara orang bersungut-sungut.
"Pejuang-pejuang sekarang gentong kosong belaka. Tingkahnya seperti rampok, mana bisa disebut patriot sejati? Ah, masa kejayaan telah lampau... di mana pasukanku? Mengapa aku berada di kapal ini?" Kemudian disusul makian perlahan, "Bangsat Mongol penjajah laknat...! Pembesar-pembesar durna penghianat bangsa yang harus mampus!"
Berdiri bulu tengkuk Lee Ing mendengar suara ini. Semenjak ia dilahirkan, belum pernah melihat wajah ayahnya, belum pernah mendengar suara ayahnya. Bahkan ibunyapun ia tidak pernah mengenalnya karena ibunya sudah meninggal dunia ketika ia baru berusia dua bulan! Akan tetapi suara ini membuat hatinya berdebar keras. Benar-benarkah ayahnya yang bicara di dalam bilik itu? Ia menahan napas dan menolakkan pintu bilik perlahan-lahan. Pintu tidak terkunci dan terbuka. Ia melihat seorang laki-laki berpakaian compang-camping dan berambut awut-awutan dengan muka penuh berewok, duduk bersandar dinding menghadapi lilin dalam keadaan melamun.
"Siapa kau berindap-indap mengintaiku?" tanya laki-laki itu acuh tak acuh, kemudian mengangkat muka memandang. Alangkah menyedihkan muka itu bagi Lee Ing, muka yang kotor bermata merah, mulutnya membayangkan kehancuran hati.
Sebaliknya, ketika Souw Teng Wi melihat gadis itu di depannya, ia tersentak kaget bagaikan disambar petir. Ia menjadi seperti lumpuh, tak mampu berdiri hanya memandang dengan bengong. Bibirnya yang kering bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara dan aneh sekali bagi Lee Ing dari sepasang mata yang merah itu bercucur an airmata!
Lee Ing bertindak menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Souw Teng Wi. Entah mengapa, biarpun belum yakin benar apakah orang ini ayahnya, ada perasaan aneh yang memaksanya untuk berlutut dan hatinya penuh diliputi rasa kasihan kepada orang terlantar ini. Mereka kini berhadapan, saling pandang, Lee Ing berlutut dan Souw Teng Wi duduk.
"Namilana... Milana isteriku sayang... kau.... kau datang menyusulku....?" bisik-bisik ini terdengar oleh Lee Ing dan seketika itu juga air mata bercucuran dari kedua mata Lee Ing. "Milana isteriku manis... kau masih ingat kepadaku, Souw Teng Wi suamimu...?" Ucapan-ucapan ini adalah kata-kata yang seringkali keluar dari mulut Souw TengWi baik dalam tidur niaupun kalau sedang melamun, penuh rasa rindu kepada isterinya yang tercinta, isterinya yang terpaksa berpisah dari padanya ketika sedang mengandung. Kini Lee Ing tidak ragu-ragu lagi. Tak salah lagi, orang inilah adanya Souw Teng Wi, ayahnya, la menubruk ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
"Ayah... ayahku...! Aku Souw Lee Ing puteri-mu! Aku adalah anakmu, dan Namilana adalah ibuku.... ayah, ibu... ibu sudah..." Lee Ing tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ia terisak-isak di dalam pelukan ayahnya
Terjadi keanehan dalam detik-detik itu. Kegilaan seakan-akan lari pergi untuk sementara dari kepala Souw Teng Wi. Agaknya pertemuan yang amat mengharukan hatinya ini, melihat wajah gadis yang
81
seperti pinang dibelah dua dengan wajah Namilana isterinya, mendengar pengakuan bahwa gadis ini adalah puterinya, seketika itu juga ia menjadi waras.
“Apa kau bilang...? Kau ...kau anakku? Kau anak Namilana yang sedang mengandung ketika pulang ke utara....?" Souw Teng Wi berkata campur tangis sambil memandang muka puterinya.
Lee Ing tak mampu mengeluarkan suara saking terharunya. Ia hanya menatap wajah ayahnya matanya penuh air mata, bibirnya komat-kamit tanpa mengeluarkan suara. lalu mengangguk-angguk.
"Ya, Thian Yang Maha Kuasa!" Souw Teng Wi memuji nama Tuhan. "Kau... kau anakku...? Siapa namamu tadi....?
"Souw Lee Ing ....... sudah lama aku mencarimu, ayah."
Souw Teng Wi menciumi jidat puterinya, air matanya jatuh membasahi jidat itu dan ia mendekap kepala puterinya ke dadanya yang serasa hampir meledak saking bahagianya.
"Souw Lee Ing. aduh, bagus sekali namamu, anakku. Kau seperti ibumu benar.... eh, mana ibumu? Mana Namilana isteriku dan mana Haminto Losu mertuaku?" Ia teringat dan bertanya sambil memandang muka puterinya.
Lee Ing menangis makin keras sampai sesenggukan, lama baru ia bisa menjawab, "Ayahku, ibu Namilana sudah meninggal dunia ketika aku baru berusia dua bulan dan... dan kong-kong....." Lee Ing tak dapat melanjutkan kata-katanya karena terdengar Souw Teng Wi mengeluh panjang dan tubuhnya menjadi lemas. Ternyata ia pingsan menyandar dinding.
Pada saat itu, terdengar tindakan kaki orang dan muncullah Sim Kang dan Sim Hong Lui di depan pintu. Muka mereka pucat dan mereka memandang dengan mata terbelalak lebar. Melihat gadis itu memeluk Souw Teng Wi, benar-benar merupakan penglihatan yang luar biasa bagi mereka. Tadi ayah dan anak ini selesai bicara dan Hong Lui mengundurkan diri untuk kembali kepada gadis yang telah menarik hatinya.
Akan tetapi ia melihat tempat duduk gadis itu kosong dan melihat pula seorang anggauta bajak menggeletak tak berdaya karena tertotok jalan darahnya. Tentu saja Hong Lui menjadi kaget sekali dan cepat ia pergi ke kamar ayahnya memberi laporan. Berdua lalu keluar mencari dan akhirnya mereka mendengar suara di kamar Souw Teng Wi yang berada di tingkat bawah.
Ketika Lee Ing melihat ayah dan anak ini menyusul datang ia melepaskan pelukannya dari pundak ayahnya dan melompat berdiri, siap melindungi ayahnya.
“Jangan sentuh ayahku! Jangan kalian mengganggu ayah!” desisnya marah dengan mata mengancam. Tentu saja Sim Kang dan Sim Hong Lui melengak melihat sikap gadis ini.
"Ayahmu...?" Sim Kang berkata heran, "Kau... kau ini siapakah, nona?"
"Aku Souw Lee Ing dan dia ini ayahku. Awas kalau kalian berani mengganggunya, lebih dulu kubunuh kalian!”
Menggelikan sekali sikap Lee Ing ini dan Sim Kang tersenyum. Tentu saja ia sama sekali tidak takut terhadap gadis muda remaja ini, biarpun gadis ini mengaku sebagai anak Souw Teng Wi.
82
"Gadis gila jangan kau main-main! Minggirlah!" kata Sim Kang yang sama sekali tidak mau percaya bahwa gadis yang ia dapatkan terdampar di atas batu karang ini adalah anak Souw Teng Wi. la melangkah maju hendak menangkap pundak gadis itu. Akan tetapi biarpun gerakan itu cepat sekali sehingga pundak Lee Ing tertangkap tanpa gadis itu sempat mengelak sekali menggerakkan pundaknya Lee Ing telah dapat melepaskan diri! Inilah ilmu gulat yang ia pelajari dari kakeknya.
"Jangan bunuh ayahku, kalian orang-orang jahat"
Selagi Sim Kang dan Sim Hong Lui hendak menangkap gadis itu, terdengar suara "uuhh" dan tubuh ayah dan anak itu terhuyung mundur sampai ke pintu.
"Apakah kalian sudah bosan hidup hendak mengganggu Namilana isteriku?" bentak Souw Teng Wi yang sudah meloncat berdiri, sikapnya menyeramkan.
"Ayah, aku bukan ibu. Aku Souw Lee Ing anakmu..." kata Lee Ing sedih melihat ayahnya telah "kumat" pula gilanya.
"Ah, yaaa... kau Lee Ing anakku...., aduh Namilana ...Namilana isteriku, kau berada di mana....?" Dan Souw Teng Wi menangis lagi, Lee Ing ikut menangis melihat keadaan ayahnya itu.
Diam-diam Sim Kang terkejut setengah mati. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa gadis ini ternyata benar-benar puteri orang gila ini. Akan tetapi dasar ia cerdik sekali. Cepat ia merobah sikap dan menjufa sambil berkata dengan muka berseri.
"Ahh, kiranya betul puteri Souw-twako? Sungguh kebetulan. Ini namanya berkah Thian kepada kita semua. Secara tidak terduga kami telah menolong puteri Souw-twako yang terdampar di batu karang. Ah, Souw-twako. Kionghi (selamat), kiong-hi! Pertemuan yang amat membahagiakan, mengapa harus menangis sedih? Sudah sepatutnya dirayakan. Souw-twako, aku permisi dulu untuk menyiapkan perayaan pertemuanmu dengan puterimu yang
cantik ini." Ia lalu mengundurkan diri bersama Hong Lui yang terpaksa kali ini menggigit jari.
Tentu saja kalau nona ini puteri Souw Teng Wi, ia tidak berani main gila di depan Souw Teng Wi. yang lihai sekali itu. Namun diam-diam ia masih mengandung harapan besar. Souw Teng Wi diracun, mayatnya dijual kepada Auwyang-taijin dan puterinya menjadi miliknya. Aduh senangnya! Sementara itu, setelah menangis Souw Teng Wi menjatuhkan diri di lantai dan tidur pulas, sama sekali tidak bangun lagi. Lee Ing yang merasa amat kasihan melihat ayahnya, tidak mau mengganggu, bahkan duduk menjaga ayahnya dan menatap wajah ayahnya dengan cinta kasih yang besar. Setelah ia pahdang dengan seksama, hatinya girang mendapat kenyataan bahwa sebetulnya ayahnya mempunyai wajah yang tampan dan gagah sekali.
Sayang ayahnya agaknya terserang penyakit ingatan, pakaiannya tidak karuan, wajahnya kotor dan penuh rambut yang tidak terpelihara
Berkali-kali Lee Ing meneteskan air mata mengenangkan penderitaan ayahnya dan ia juga merasa gelisah kalau teringat akan percakapan Sim Kang dan puteranya yang mempunyai rencana hendak membunuh ayahnya dengan racun. Aku harus menggagalkan usaha keji mereka, aku harus membela ayah biarpun aku kehilangan nyawa untuk itu, demikian Lee Ing mengambil keputusan.
Pada keesokan harinya, ketika Souw Teng Wi bangun, ia pertama-tama kaget melihat seorang gadis cantik duduk di dekatnya. Akan tetapi Lee Ing segera memegang tangannya dan berkata lemah lembut penuh kesayangan, "Ayah, aku Lee Ing anakmu. Souw Lee Ing puteri tunggalmu."
83
Untuk sejenak Souw Teng Wi melongong dan memandang kepada Lee Ing dengan sinar mata kosong, kemudian ia mengangguk-angguk dan bersungut-sungut.
"Ya.... ya.. kau Lee Ing anakku dan ibumu Namilana telah mati...." Suara ini kosong dan sinar matanya membayangkan kedukaan dan kekecewaan besar sekali. Lee Ing terkejut dan berduka, Ia mengerti bahwa kegirangan pertemuan antara ia dan ayahnya itu menjadi hampa bagi ayahnya karena mendengar bahwa ibunya telah mati.
"Ayah, hati-hatilah, ayah. Dua orang majikan kapal itu hendak membunuhmu," bisiknya sambil memegang lengan ayahnya.
"Apa...? Hemm, biarlah. Tak seorangpun dapat membunuh aku. Ha-ha-ha!" Suara ketawanya keras menggema di kamar itu, mengagetkan Lee Ing dan gadis ini segera jatuh terduduk dengan badan serasa lumpuh. Ia telah terkena pengaruh suara ketawa penuh tenaga Iweekang yang tinggi
Souw Teng Wi menariknya bangun dan mengamat-amatinya, keningnya berkerut.
"Kau Lee Ing anakku, akan tetapi tubuhmu lemah sekali. Kau perlu dilatih supaya jangan selemah ini."
Lee Ing girang sekali. "Baik, ayah. Aku ingin sekali belajar ilmu agar menjadi kuat seperti ayah dan dapat menjaga keselamatan ayah."
"Nah, kau siaplah!" Pada saat itu dan di tempat itu juga Souw Teng Wi mulai memberi latihan ilmu silat kepada anaknya! Akan tetapi latihan ini tidak karuan awal mulanya, amat sukar bagi Lee Ing untuk mengikutinya. Ilmu silat yang diajarkan oleh ayahnya itu demikian aneh, gerakan-gerakannya sukar diikuti sehingga ia harus mencurahkan segenap perhatiannya, baru ia dapat menangkap satu dua jurus.
Selagi ayah dan anak ini sibuk berlatih, muncul Sim Kang yang tersenyum sambil menjura. "Wah, kalau ayah dan anak memiliki kegagahan, pagi-pagi sudah berlatih silat. Hebat... hebat!" Ia lalu menjura kepada Souw Teng Wi dan berkata, "Souw-twako, perjamuan untuk merayakan pertemuanmu dengan puterimu telah kami siapkan. Mari kita naik ke ruangan atas."
Souw Teng Wi mengangguk-angguk dan menggandeng tangan anaknya. Lee Ing menjadi pucat dan hatinya berdebar tidak karuan. Ia merapatkan tubuhnya kepada ayahnya dan diam-diam ia membenci orang she Sim ini yang dianggapnya sopan santun dan halus pada lahirnya, namun di dalam hati mengandung maksud keji sekali. Melihat sikap mereka yang takut-takut terhadap ayahnya, Lee Ing dapat menduga bahwa ilmu kepandaian ayahnya tentu hebat dan tentu ayahnya sanggup melindungi diri. Maka ia hendak melihat dulu perkembangannya, baru turun tangan kalau sekiranya ayahnya terancam bahaya.
Di atas dek sudah disediakan meja perjamuan, meja besar dan penuh barang hidangan. Sim Hong Lui menyambut dengan senyum ramah. Pemuda ini mengenakan pakaiannya yang paling indah hingga ia kelihatan makin tampan dan gagah. Agaknya pemuda ini mempersolek diri agar kelihatan menarik dalam pandangan gadis itu. Juga lima orang pelayan dipilih di antara bajak yang tidak begitu keren kelihatannya, termasuk orang-orang yang cukup tampan. Sim Kang segera menarik bangku mempersilahkan Souw Teng Wi dan Souw Lee Ing duduk. Lee Ing tidak mau berjauhan dari ayahnya duduk di sebelah kiri ayahnya. Kemudian Sim Kang dan Sim Hong Lui mengambil tempat duduk berhadapan dengan mereka.
84
"Souw-twako. atas berkumpulnya kembali ayah dan anak, sekali lagi aku menghaturkan kionghi," kata Sim Kang sambil menuang arak dengan kedua tangannya sendiri ke dalam cawan arak di depan Souw Teng Wi dan Lee Ing, juga ke dalam cawannya sendiri, lalu ia mengangkat cawan mengajak minum.
Souw Teng Wi tertawa bergelak.
"Sudah berapa tahun aku tak minum arak, hari ini mendapat rejeki, tak baik ditolak." Ia mengangkat cawannya, juga Lee Ing mengangkat cawannya. Gadis ini dengan amat teliti mengawasi gerak-gerik Sim Kang dan melihat bahwa tuan rumah juga minum arak yang sama, ia tidak curiga. Apa lagi ia telah mencium arak itu dan tidak mencium bau yang mencurigakan. Ia menanti sampai Sim Kang minum araknya, baru ia minum pula araknya dengan sekali teguk menyusul ayahnya.
"Arak enak, arak enak..." kata Souw Teng Wi sambil mengecap-ngecap mulutnya.
Sim Hong Lui tertawa. "Souw-pek-pek. akupun memberi selamat kepada pekpek dan kepada Souw-siauwmoi atas pertemuan yang amat menggembirakan hati ini. Harap sudi menerima penghormatan." Pemuda inipun menuang arak ke dalam cawan masing-masing. Kali ini Lee Ing lebih hati-hati dan menaruh perhatian sepenuhnya, namun tidak ada sesuatu yang mencurigakan.
Makanan lalu ditawarkan dan mulailah mereka makan minum. Lee Ing melihat jelas betapa Sim Kang makan semua hidangan, maka iapun cepat mengambilkan setiap hidangan yang dimakan oleh Sim Kang, diambil dengan sumpit dan ditaruh ke dalam mangkok ayahnya. Sikapnya seperti melayani ayahnya, padahal ia menjaga agar ayahnya jangan sampai mengambil masakan yang tidak disentuh ayah dan anak she Sim itu. Memang Lee Ing amat cerdik dan pandai mengatur sikap sehingga semua perbuatannya ini nampak wajar.
Setelah minum banyak arak, timbul kegembiraan hati Souw Teng Wi dan ia tertawa-tawa. "Kau orang baik, saudara Sim, orang baik...."
Sim Kang tertawa. "Apakah kau sudah puas Souw-twako?"
"Ha-ha, puas sekali. Arakmu enak... enak benari"
"Souw-pek-pek sambil makan minum, sudikal kau menceritakan dari mana kau mendapatkan ilmu silat yang hebat itu? Hitung-hitung penambah pengetahuan keponakanmu yang bodoh ini," tiba-tiba Sim Hong Lui bertanya.
Pertanyaannya ini sebetulnya wajar, akan tetap Lee Ing mengerutkan kening.
"Ilmu silat tentu saja didapat dari gurunyu mengapa harus ditanya lagi? Ayah sudah cukup minum, biarlah dia beristirahat. Ayah, mari kuantar ayah kembali ke kamar."
Akan tetapi Souw Teng Wi sudah setengah mabok dan kegembiraannya timbul.
"Ilmu silat? Ha- ha- ha, baru kupelajari seperdelapan bagian saja. Kalau sudah kupelajari semua, di kolong langit ini mana ada durna berani mengganggu aku? Ilmu sakti dari Gua Siluman tiada taranya di dunia ini, tiada keduanya. Baru mempelajari seperdelapan bagian, kepandaian silatku meningkat beberapa kali lipat. Ha-ha-ha!"
"Ayah, mari beristirahat."
85
Memang ayah dan anak itu hendak membongkar rahasia kepandaian Souw Teng Wi sebelum membunuhnya. Mendengar ucapan Souw Teng Wi tentang ilmu sakti di Gua Siluman, mereka bertukar pandang penuh arti.
"Gua Siluman? Ha. aku pernah mendengar tentang itu dan pernah melihatnya, Souw-twako." kata Sim Kang.
Tiba-tiba sikap Souw Teng Wi berubah sungguh-sungguh. "Tidak mungkin. Di dunia ini hanya aku seorang yang pernah melihatnya."
Melihat kecurigaan Souw Teng Wi Sim Kang cepat memancing. "Bukankah gua berbentuk tengkorak yang terdapat di Pulau Naga Hitam?"
Souw Teng Wi tertawa. "Ha-ha-ha. bukan di Pulau Naga Hitam. Gua Siluman itu adalah...."
Lee Ing menarik tangan ayahnya. "Ayah, tak tahukah kau bahwa orang hendak mengetahui di mana adanya gua itu dan kemudian mengambil ilmu itu?"
Sim Kang terkejut sekali dan Souw Teng Wi memandang dengan mata mulai liar. "Tidak, tidak, Souw-twako, puterimu salah sangka. Mana aku ada keberanian berbuat seperti itu? Aku hanya ingin tahu saja dan kalau kau keberatan menceritakan, sudahlah."
Souw Teng Wi tertawa-tawa lagi dan menowel pipi Lee Ing. "Bocah nakal, pamanmu Sim itu orang baik-baik. Ha-ha-ha. araknyapun enak...!"
"Souw-twako, arak yang kau minum tadi masih belum enak betul. Aku mempunyai simpanan secawan lagi arak yang usianya sudah seratus tahun lebih. Orang bilang siapa yang meminumnya tentu akan bertambah panjang usianya. Selama ini kusimpan saja karena aku sayang meminumnya. sekarang. dalam kesempatan sebaik ini, aku ingin kau sudi menerimanyal"
"Arak baik seratus tahun usianya? Aduh, mana dia. Lekas bawa ke sini!"
Seorang di antara para pelayan datang membawa sebuah guci kecil terisi arak yang hanya ada secawan. Untuk menghilangkan kecurigaan, Sim Kang menyuruh pelayan menuang arak itu ke dalam cawan Souw Teng Wi sampai penuh. Bau yang amat harum keluar dari cawan itu dan Souw Teng Wi kelihatan girang sekali.
"Arak bagus sekali!" katanya dan ia mengulur tangan. Akan tetapi Lee Ing menjerit dan menangkap tangannya.
"Ayah, jangan sentuh arak itul" katanya cepat. "Biar kucoba dulu!"
Sebelum Sim Kang dan Sim Hong Lui hilang kagetnya, Lee Ing menotok pelayan yang menuang arak tadi dan cepat menuangkan sisa arak dari guci kecil ke dalam mulut yang terbuka karena totokan pada leher. Begitu arak yang tinggal sedikit memasuki kerongkongan, pelayan itu berkelojotan dan mukanya berubah hitam, napasnya putus!
Sim Kang dan Sim Hong Lui kaget setengah mati, akan tetapi mereka berubah girang ketika melihat betapa Souw Teng Wi yang sudah tidak beres otaknya itu telah menyambar cawannya dan sekali tenggak saja habislah arak beracun itu ke dalam perutnya. Ternyata Souw Teng Wi tak dapat
86
menahan seleranya, tanpa memperdulikan anaknya yang sedang merobohkan pelayan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk menghabiskan araknya.
"Ayah...!" Lee Ing menjerit dan melompat hendak merampas cawan. Akan tetapi terlambat, cawan itu sudah kosong dan ayahnya berdiri tegak, memandangnya dengan senyum lebar. Tiba-tiba Souw Teng Wi tersedak dan tubuhnya terguling roboh, miring di atas lantai.
"Berhasil...!” Sim Hong Lui dan Sim Kang bersorak girang.
"Ayah..!!" Lee Ing memeluk tubuh ayahnya dan melihat betapa mata ayahnya dipejamkan mulutnya terbuka dan bau arak yang wangi memenuhi ruangan. Tubuh ayahnya kaku, hanya mukanya tidak menjadi hitam seperti muka pelayan tadi.
Mendengar suara ketawa ayah dan anak yang keji dan curang itu, Lee Ing meloncat berdiri, matanya berlinang air mata, mukanya pucat, sikapnya mengancam, kedua tangan terkepal keras.
"Iblis-iblis keji....! Kalian ayah dan anak berhati binatang! Aku harus mengadu nyawa dengan kalian!"
Sim Hong Lui tertawa. "Manis sekali bukan, ayah? Makin manis kalau marah Ayah boleh berbuat sesuka ayah dengan Souw Teng Wi si manusia gila, akan tetapi puterinya ini adalah bagianku! Aku bisa mati merana kalau tidak mendapatkan nona ini, ayah!"
Ayahnya hanya tersenyum saja. Lee Ing tak kuat menahan lagi dan dengan marah, ia menerjang, menyerang Sim Hong Lui dengan pukulan keras. Akan tetapi kepandaian Lee Ing masih jauh lebih rendah dari pada kepandaian Hong Lui yang lihai. Sekali tangkap ia telah berhasil mencengkeram tangan gadis itu dan segera menotok pundak Lee Ing Gadis itu menjadi lumpuh akan tetapi masih sempat menjerit,
"Ayaaaahhhh....!"
Sim Hong Lui tertawa-tawa dan memeluk serta memondong tubuh gadis itu, dibawa pergi berjalan meninggalkan ruangan itu hendak ke kamarnya. Lee Ing berteriak-teriak keras, namun tidak berdaya.
Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Hong Lui merasa betapa seluruh bulu dan rambut di tubuh dan kepalanya berdiri satu-satu. Suara gerengan yang sudah ia kenal baik, gerengan Souw Teng Wi kalau sedang marah! Ia cepat menoleh ke belakang dan andaikata saat itu ada kilat dari angkasa menyambarnya, ia takkan begitu kaget seperti ketika melihat pemandangan di depan matanya pada saat itu.
Souw Teng Wi telah bangun kembali! Di depannya. Sim Kang dengan muka pucat seperti mayat telah mencabut sepasang pian-nya. Souw Teng Wi menggereng-gereng, matanya merah, mulutnya berbuih, melangkah maju setindak demi setindak ke arah Sim Kang. Kepada bajak ini menyurut mundur selangkah demi selangkah pula. Tiba-tiba saking ngerinya ia merenggut kantong piauw dan menghujankan senjata-senjata rahasia ini ke arah Souw Teng Wi. Akan tetapi hanya terdengar suara “tak-tok-tak-tok” dan semua piauw itu runtuk ke bawah setelah mengenai tubuh Souw Teng Wi, bagaikan mengenai menara baja saja.
"Souw-twako,... am...... ampun.... ampun...kan aku...." Dapat juga suara ini keluar dari bibir yang sudah membiru ketakutan.
87
"Bangsat rendah, kau apakan Namilana isteri-ku...? Kau apakan Milanaku yang tercinta...?" Ternyata kegilaan Souw Teng Wi sudah kambuh pula dan kini semua kemarahan hatinya ia tumpahkan kepada Sim Kang!
Sim Kang menjerit dan dengan nekat ia mendahului lawan, menyerang dengan sepasang pian-nya. Akan tetapi dengan kedua tangan diangkat, Souw Teng Wi telah menangkap ujung pian dan sekali betot dua batang pian itu telah kena dirampas. Sim Kang hendak lari, akan tetapi Souw Teng Wi menggerakkan sebatang pian rampasan yang tepat sekali melilit leher Sim Kang, f Ditariknya pian itu dengan gerakan menyentak dan... leher Sim Kang putus, kepalanya menggelinding di atas lantai dan tubuhnya roboh. Darah mengucur seperti pancuran dari lehernya yang bolong.
Sim Hong Lui menjerit ngeri, lalu... lari secepatnya ke pinggir dek. Tanpa menoleh lagi ia lalu melempar diri ke laut. Byuurrr...! Air muncrat tinggi dan tubuh pemuda itu tenggelam tidak kelihatan lagi. Pemuda ini adalah seorang ahli dalam air maka ia terus menyelam menyelamatkan diri.
Souw Teng Wi melihat pemuda itu lari dan menceburkan diri, tak dapat mencegahnya dan mengamuk. Setiap orang anak buah bajak yang dapat dipegangnya, lalu dibanting atau dilemparkan ke dalam laut. Yang lain-lain bubar dan memilih mati di laut dari pada dalam tangan orang gila yang mengganas itu. Biarpun demikian, dua puluh orang lebih tewas di tangan Souw Teng Wi, yang lain melarikan diri, ada yang mati di laut, ada pula sebagian kecil yang dapat menyelamatkan diri.
Souw Teng Wi membungkuk di atas tubuh anaknya dan sekali pencet saja Lee Ing sudah terbebas dari totokan. Gadis ini memeluk ayahnya dan menangis sesenggukan. "Diamlah, Namilana isteriku sayang, diamlah."
Souw Teng Wi membelai-belai rambut anaknya, suaranya mengandung kesayangan besar, lemah lembut, jauh sekali bedanya dengan tadi ketika mengganas. Hati Lee Ing menjadi perih.
"Ayah, aku Lee Ing anakmu....."
"Hush, diamlah, Namilana. Kelak kita mencari anak kita Lee Ing....." Bicara Souw Teng Wi menjadi tidak karuan.
"Ayah, mari kita beristirahat. Kau lelah, tidurlah..." Anak ini dengan sabar menuntun ayahnya memasuki kamar dan Souw Teng Wi seperti anak kecil yang menurut mau saja disuruh berbaring dan tidur. Tak lama kemudian iapun sudah tidur mendengkur.
Bagaimanakah Souw Teng Wi tidak mati terkena racun? Sebetulnya, orang biasa saja, bagaimana gagahpun, tentu takkan dapat menahan kalau minum racun yang berasal dari Auwyang Tek ini. Racun itu adalah Hek-coa-tok (Racun Ular Hitam) yang luar biasa jahatnya. Akan tetapi, Souw Teng Wi telah mendapatkan ilmu yang amat aneh, yang menurut pengakuannya tadi baru dipelajari seperdelapan bagian saja.
Akan tetapi yang seperdelapan bagian ini saja sudah membuat ia lihai bukan main, mendatangkan hawa sinkang yang amat hebat di dalam tubuhnya sehingga racun jahat macam Hek-coa-tok sekalipun tidak dapat merusak isi perutnya. Ia tadi pingsan karena hawa racun itu naik dan memenuhi kepalanya, akan tetapi setelah hawa racun itu keluar dari mulut dan hidung, ia siuman kembali. Sekarang, setelah ia tertidur, arak yang bercampur racun tadi perlahan-lahan mengalir keluar dari mulutnya. Inilah kehebatan sinkang yang sudah hampir sempurna, yang dapat mencegah masuknya barang yang tak dikehendaki ke dalam perut, hanya berhenti di pencernaan dan di "retour" kembali.
88
Lee Ing cepat meninggalkan ayahnya, naik ke ruangan atas, la merasa ngeri juga melihat mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan yang amat menyeramkan. Akibat amukan ayahnya memang hebat sekali. Sambil menahan kegelian hatinya, ia melempar-lemparkan semua mayat itu ke dalam laut, lalu membersihkan lantai kapal dengan air yang ia timba dari pinggir dek. Setelah ia memeriksa baik-baik, ia mendapatkan tiga orang anak buah bajak yang bejum mati, juga tidak terluka. Mereka ini ternyata roboh pingsan sebelum disentuh oleh Souw Teng Wi saking takutnya. Girang hati Lee Ing la mengguyur kepala mereka dengan air dan mereka menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun.
"Kalian akan diampuni asal kalian mulai sekarang menurut perintahku. Betulkan tiang dan layar, jalankan terus perahu ini menuju pantai daratan."
Tiga orang itu cepat melakukan perintah ini karena mendapat jaminan dari gadis itu bahwa mereka takkan diganggu asalkan menurut perintah. Perahu berlayar lagi dengan cepat menuju ke barat. Akan tetapi menjelang senja setelah setengah hari Lee Ing berpikir-pikir, ia memerintahkan tiga orang anak buahnya untuk memutar kemudi, kembali ke timur. Tiga orang itu saling pandang, mengangkat pundak dan terpaksa melakukan perintah aneh ini.
Mengapa Lee Ing berlaku seaneh itu? Gadis ini berpikir bahwa ayahnya menjadi buronan. Seperti yang ia dengar dari percakapan Sim Kang dan puteranya, ayahnya dikehendaki para durna dan kalau ia membawa ayahnya mendarat, bukankah itu sama saja dengan ular mencari penggebuk? Lebih baik sementara ini ia membawa ayahnya merantau menyusul kakeknya. Itulah sebabnya maka ia memerintahkan anak buahnya untuk kembali ke timur, ke tengah samudera supaya jauh dari pantai, kemudian setelah cukup jauh, memutar kemudi ke utara.
Setiap hari ia melayani ayahnya yang masih bingung. Kadang-kadang Souw Teng Wi menganggap Lee Ing seperti Namilana isterinya, ada kalanya ia teringat dan menganggap Lee Ing seperti anaknya. Berkat rawatan yang setia dan berbakti dari Lee Ing, keadaannya menjadi banyak lebih baik.
Melihat pakaian ayahnya yang tidak karuan, Lee Ing mengambil se-stel pakaian Sim Kang dan menyuruh ayahnya bertukar pakaian. Souw Teng Wi tertawa geli, akan tetapi dipakainya juga pakaian itu. la nampak gagah, hanya mukanya masih penuh berewok.
Lee Ing mengambil pakaian ayahnya yang compang-camping itu, hendak ia cuci kemudian ia simpan untuk kenang-kenangan dan bahan cerita kelak kalau bertemu dengan kakeknya. Juga kelak kalau ayahnya sembuh benar, tentu ayahnya suka melihat pakaian compang-camping yang membawa riwayat itu.
Akan tetapi ketika gadis ini sedang mencuci pakaian kumal itu, tiba-tiba tangannya menyentuh benda di balik lipatan baju ayahnya. Ia cepat memeriksanya dan ternyata itu adalah sehelai kulit pohon yang digambari peta. Ada tulisan di gambar itu yang berbunyi :
GUA TENGKORAK TEMPAT PUSAKA RAHASIA.
Lee Ing menjadi girang sekali dan cepat menyelesaikan pekerjaannya, lalu membawa kulit pohon bergambar peta itu kepada ayahnya. "Ayah, aku mendapatkan ini di dalam saku bajumu sebelah dalam. Apakah artinya ini?"
Souw Teng Wi cepat menyambar benda itu, celingukan ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang. "Apa tidak ada orang melihatnya tadi? Kalau seorang di antara pelayan itu melihat, dia harus dibunuh!"
89
Lee Ing kaget dan menggeleng kepala, "Tidak ada yang melihat, ayah. Mengapakah segala rahasia ini?"
Souw Teng Wi kebetulan sedang dingin otaknya. "Kalau saja yang menemukan barang ini bukan kau anakku, kau tentu sudah kubunuh. Benda ini adalah rahasiaku yang tak boleh diketahui oleh siapapun juga. Sudah belasan tahun kusimpan sampai aku sendiri lupa di mana aku menaruhnya."
Lee Ing maklum akan watak ayahnya yang aneh, maka ia bersabar dan tidak bertanya lebih lanjut. Akan tetapi ia amat memperhatikan pelajaran-pelajaran ayahnya dan benar hebat, kepandaian Lee Ing meningkat hebat sekali setelah ia mempelajari latihan Iweekang, ginkang dan ilmu pukulan yang diberikan oleh ayahnya dengan cara yang kacau-balau. Ia maklum bahwa peta itu tentu ada hubungannya dengan kepandaian ayahnya, maka ia menanti saat yang baik.
Setelah berkumpul dengan ayahnya, Lee Ing berhasil mempelajari ilmu silat tinggi yang amat aneh. Juga gadis itu dapat menduga apa yang telah menimpa diri ayahnya. Dari ocehan-ocehan Souw Teng Wi di waktu kambuh gilanya, ditambah keterangan-keterangan ayahnya ini di waktu dingin otaknya, Lee Ing dapat menduga bahwa secara aneh ayahnya yang menjadi buronan dan merantau di luar daratan Tiongkok telah mendapatkan sebuah gua yang disebut Gua Siluman. Tentu ada rahasia hebat di dalam gua ini, di antaranya terdapat ilmu kesaktian yang baru seperdelapan bagian dipelajari ayahnya. Peta itu adalah peta yang menunjukkan di mana adanya Gua Siluman itu.
Timbul keinginan besar di hati Lee Ing untuk membongkar rahasia ini, untuk mencari Gua Siluman dan melihat dengan mata sendiri. Tentu saja sebagai seorang ahli silat yang tak pernah merasa puas dengan kepandaian sendiri, iapun ingin sekali mewarisi ilmu kesaktian yang terdapat dalam Gua Siluman.
Akan tetapi, beberapa kali ia pancing-pancing, ayahnya tetap tidak mau membuka rahasia itu. Malah memperingatkan Lee Ing.
"Lee Ing, jangan sekali-kali kau bicara tentang Gua Siluman dengan orang lain. Tempat itu berbahaya sekali, dapat masuk tak dapat keluar." Dan orang tua ini kelihatan ketakutan dan ngeri.
Setelah kapal tiba di pesisir Propinsi Liao-ning, Lee Ing menyuruh tiga orang anak buah kapal untuk minggir dan mendarat. Ia sengaja mengumpulkan dan mengambil barang-barang berharga peninggalan Sim Kang untuk dibawa sebagai bekal, lalu mengajak ayahnya, mendarat di pesisir yang amat sunyi. Girang hatinya melihat tanah gunung dan pohon.
"Kalian boleh ambil kapal ini dan pergi sesuka hati kalian," kata Lee Ing kepada tiga orang itu. "Akan tetapi kalau ada yang bertanya tentang kami, awas jangan kalian ceritakan kalau kalian masih sayang nyawa!"
Tentu saja tiga orang anak buah bajak itu girang sekali mendapat kebebasan dan cepat mereka berlutut dan berjanji akan mentaati-perintah.
"Nona telah memperlakukan kami dengan baik, tentu saja kami takkan membuka mulut. Nona dan Locianpwe ini adalah orang-orang gagah, mana berani kami membocorkan rahasia?" Kata seorang di antara mereka.
Tiba-tiba terdengar suara angin bersuitan, berkelebat sinar-sinar berkeredepan datang dari daratan dan.... tiga orang anak buah bajak itu menjerit dan roboh tersungkur! Ternyata mereka telah terserang oleh anak-anak panah dan tewas seketika itu juga! Lee Ing kaget sekali dan cepat mencari-cari dengan matanya ke empat penjuru, akan tetapi sunyi saja. Hanya pohon-pohon dan batu-batu
90
karang tinggi yang kelihatan, tidak ada gerak-gerik manusia di sekitar tempat itu. Padahal sudah jelas bahwa tentu pelepas anak-anak panah itu seorang ahli panah yang lihai.
Ketika ia menoleh kepada ayahnya, orang tua ini berdiri tegak tak bergerak, nampak tenang-tenang saja akan tetapi matanya tertuju kepada sebuah bukit batu karang yang berada di depan. Lee Ing juga menaruh perhatiannya ke situ dan benar saja, dari balik batu karang itu terdengar suara yang keras dan berpengaruh.
"Souw Teng Wi pemberontak hina, menyerahlah kau dan anakmu secara baik sebelum kami turun tangan membunuh kalian!"
Dari balik bukit itu muncullah seorang hwesio gemuk yang berkepala bundar berkalung tasbeh putih dan sikapnya angker sekali. Di sebelah kirinya berdiri seorang pemuda jangkung kurus yang bermuka tampan dan kejam. Itulah Tok-ong Kai Song Cinjin Si Raja Racun, tokoh besar dari Tibet yang menjadi tangan kanan para menteri durna. Pemuda di sebelahnya itu bukan lain adalah Auwyang Tek, muridnya. Di belakang dua orang ini muncul pula sepasukan tentara yang jumlahnya ada seratus orang, di bagian depan berjajar pasukan panah yang sudah siap mementang gendewa masing-masing!
Melihat banyak musuh, hati Lee Ing menjadi gentar. "Ayah, mari kita lari...." bisiknya.
Akan tetapi dalam keadaan yang amat berbahaya itu, tiba-tiba Souw Teng Wi berbisik dan sikapnya kelihatan waras, "Lee Ing, bawa ini dan carilah rahasia ini, letaknya di pantai Laut Kuning, di pantai batu karang seratus lie jauhnya di sebelah selatan mulut Sungai Huang-ho. Kau warisi segala isinya!"
Lee Ing tidak tahu kapan ayahnya bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia merasa ada sesuatu dimasukkan ke dalam tangannya dan ternyata itu adalah kulit pohon bersurat itu Cepat ia menyimpannya ke dalam saku baju dalam.
"Ayah, musuh terlampau banyak...." bisik Lee Ing khawatir, tidak tahu apa yang akan dilakukan ayahnya.
Tiba-tiba Souw Teng Wi tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, apa kau kira aku takut Souw Te ng Wi tak pernah mengenal takut terhadap penghianat-penghianat bangsa! Ha-ha-ha!"
"Souw Teng Wi, kau berhadapan dengan Kai Song Cinjin yang menjadi koksu (guru negara) dari Kerajaan Beng!" Terdengar pula suara yang tadi berseru dan ternyata itu adalah suara Auw-yang Tek. "Lekas kau berlutut dan menyerah sebelum terlambat"
"Ayah, mari kita lari saja...." kata pula Lee Ing yang amat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya. Ia tahu betapa ayahnya dicari sebagai pemberontak dan kalau tertangkap tentu akan menderita bencana hebat.
"Tidak!" Souw Teng Wi membentak dan mendelikkan matanya kepada Lee Ing sehingga gadis ini terkejut sekali. "Kaulah yang harus lari pergi. Hayo cepat! Apa kau tidak mentaati ayahmu dan hendak menjadi seorang anak yang tidak berbakti? Pergi lekas, pergi..!"
Lee Ing menjadi pucat dan air matanya, menitik turun ke atas pipinya. Dengan lemas ia tak dapat membantah lagi, terus melangkah mundur dan memandang kepada ayahnya dengan hati tidak karuan. Tiba-tiba ayahnya tersenyum kepadanya, senyum penuh kasih sayang dan ayahnya mengangguk-angguk, kelihatan senang sekali bahwa puterinya menuruti perintahnya, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berkata mengejek,
91
"Aku tidak mengenal Kai Song Cinjin atau siapapun juga Aku tidak sudi mengenal para penghianat dan tidak mau berlutut atau menyerah. Kalian mau apa?" Sekali lagi ia menoleh dan makin berseri wajah Souw Teng Wi melihat bahwa betul-betul Lee Ing sudah pergi tidak kelihatan bayangannya lagi, menghilang di dalam hutan di sebelah kanan.
Oleh karena perhatian Auwyang Tek dan Tok-ong Kai Song Cinjin dicurahkan kepada Souw Teng Wi, maka kepergian gadis itu tidak begitu diperdulikannya, dianggap tidak begitu penting. Yang penting adalah pemberontak Souw Teng Wi yang harus ditangkap, mati atau hidup. Inilah perintah Auwyang-taijin yang menerima laporan dari para anak buah bajak yang dapat menyelamatkan diri bahwa Souw Teng Wi yang tadinya hendak diantar ke kota raja oleh Sim Kang telah memberontak dan merampas kapal.
Auwyang-taijin adalah seorang cerdik, juga ia memiliki pembantu-pembantu yang lihai dan cerdik. Ia dapat menduga bahwa satu-satunya tempat yang mungkin didatangi oleh Souw Teng Wi dalam buronannya, tentulah ibu kota Peking di mana ia mempunyai banyak kawan, atau ke utara di mana menjadi tempat tinggal keluarga isterinya. Oleh karena itu, Tok-ong Kai Song Cinjin dan Auwyang Tek melakukan pencegatan di pantai utara Laut Po-hai.
Biarpun sudah mendengar penuturan para anak buah bajak betapa lihainya Souw Teng Wi yang sudah dapat membunuh Thian Te Cu dan membasmi hampir semua anak buah kapal, namun melihat Souw Teng Wi hanya seorang laki-laki biasa saja yang kelihatan tidak waras otaknya, Auwyang Tek timbul keberaniannya. Mendengar kata-kata Souw Teng Wi yang menantang tadi, ia lalu menerjang maju dan mengirim pukulannya Hek-tok-ciang yang amat lihai.
Tok-ong Kai Song Cinjin menyesal sekali melihat kecerobohan muridnya, akan tetapi ia tahu bahwa ilmu pukulan Hek-tok-ciang muridnya ini sudah cukup tinggi dan kuat, maka ia mendiamkan-nva saja. Adapun Souw Teng wi yang menghadapi pukulan Hek-tok-ciang ini sama sekali tidak mengelak. hanya mengangkat tangan kanan menangkis.
Dua pasang tangan kanan kiri bertemu "plak-plak!" dan tubuh Souw Teng Wi terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi Auwyang Tek terlempar ke belakang, dan jatuh terjengkang dengan muka pucat. Tok-ong Kai Song Cinjin kaget sekali dan cepat ia menotok kedua pundak muridnya sambil menyalurkan hawa sinkang untuk membantu memperkuat pertahanan dalam diri-putera menteri ini agar hawa Hek-tok-ciang yang membalik tidak menyerang jantung sendiri.
Bagi yang mengerti, memang tangkisan Souw Teng Wi tadi aneh sekali. Ilmu pukulan Hek-tok-ciang sama sekali tidak boleh ditangkis dan sama sekali tidak boleh menyentuh kulit tubuh. Tersentuh oleh pukulan Tangan Racun Hitam ini tentu akan mengakibatkan kulit menjadi hangus dan tulang-tulangnya terkena racun yang amat berbahaya.
Akan tetapi dengan enaknya Souw Teng Wi berani menangkis yang mengakibatkan orang aneh ini hanya terhuyung mundur, akan tetapi ternyata tangkisan itu telah membuat hawa pukulan Auwyang Tek membalik dan memukul dirinya sendiri! Cara Souw Teng Wi bergerak tadi amat kacau dan aneh, sama sekali tidak membayangkan adanya ilmu silat tinggi, akan tetapi harus diakui bahwa ia memiliki tenaga dalam istimewa yang membuat kulitnya kebal terhadap Hek-tok-ciang, suatu tingkat yang kiranya hanya dimiliki oleh Tok-ong Kai Song Cinjin sendiri! Hanya Raja Racun ini yang kiranya berani menangkis pukulan Hek-tok-ciang.
"Serbu dan bunuh dia!” Auwyang Tek dengan marah memberi perintah kepada pasukan di belakangnya yang sudah siap dengan gendewa mereka.
92
"Nanti dulu!" Kai Song Cinjin mencegah sambil mengangkat tangannya ke atas. Sebagai seorang tokoh besar di empat penjuru dunia kang-ouw, tentu saja ia merasa malu kalau harus mengalahkan seorang musuh saja dengan bantuan pasukan. Belum pernah selama hidupnya hwesio Tibet ini dikalahkan orang, kecuali dua puluh tahun yang lalu akan tetapi hal itu sudah lewat dan orang yang pernah mengalahkannya sekarang sudah tidak ada di permukaan bumi lagi. Tentu saja menghadapi Souw Teng Wi ia tidak menjadi jerih dan malulah ia kalau ia harus berpeluk tangan melihat Auwyang Tek mengerahkan pasukannya.
Auwyang Tek dan pasukannya tidak jadi turun mengeroyok Souw Teng Wi ketika mendengar seruan Kai Song Cinjin tadi dan mereka memandang dengan gembira, hendak melihat bagaimana caranya tokoh Tibet yang disegani ini menangkap pemberontak itu dengan kedua tangan sendiri. Selama Kai Song Cinjin menjadi jagoan dan pembantu Menteri Auwyang Peng, belum pernah ada orang menyaksikan kepandaiannya, akan tetapi semua orang yang mengenal dan tahu betapa hebatnya ilmu silat Auwyang Tek. tidak ragu-ragu lagi bahwa tingkat kepandaian gurunya tentu tinggi luar biasa.
Tingkat kepandaian Kai Song Cinjin memang sudah termasuk tingkat tokoh besar dan jarang ada orang dapat menandinginya. Di dunia ini orang yang memiliki kepandaian ilmu silat setara dengan Kai Song Cinjin boleh dihitung dengan jari. Bahkan mendiang Thian Te Cu dan suhengnya, Ma-thouw-koai-tung Kui Ek, dua orang yang sudah termasuk jagoan-jagoan kelas berat, amat segan dan takutkepada hwesio tokoh besar dari Tibet ini.
Selain ilmu silatnya yang sangat tinggi, juga kepandaiannya tentang racun amat ditakuti orang. Melihat julukannya saja, yaitu Tok-ong (Raja Racun), sudah dapat dibayangkan betapa lihainya kakek ini mempergunakan racun berbahaya. Muridnya, Auwyang Tek yang baru mempelajari satu macam ilmu pukutan beracun, yaitu Hek-tok-ciang (Pukulan Racun Hitam) sudah menggemparkan dunia persilatan.
Apa lagi gurunya Si Raja Racun ini, selain memiliki ilmu sakti Hek-tTok-ciang, masih mempunyai beberapa macam pukulan-pukulan berdasarkan Iweekang beracun seperti Ngo-tok-kun (Ilmu Sakti Lima Racun) dan Coa-tok-sin-ciang (Tangan Sakti Racun Ular), belum lagi segala macam senjata rahasia beracun seperti Toat-beng-ciam (Jarum Pencabul Nyawa), asap beracun hitam, dan lain-lain. Pendeknya menghadapi Tok-ong Kai Song Cinjin sebagai lawan adalah hal yang amat berbahaya karena setiap serangan yang dilakukan hwesio gundul dari Tibet mi merupakan jangkauan tangan setan maut yang benar-benar sukar dihindarkan.
Baiknya, sebagai seorang tokoh besar, hwesio ini tidak mau sembarangan mempergunakan racun-racunnya kalau tidak amat terpaksa. Apa lagi sekarang ia menghadapi Souw Teng Wi, seoriang buronan yang diharapkan dapas ditawan hidup-hidup untuk dibawa ke kota raja, maka iapun tidak segera mengeluarkan racunnya. Dengan tenang dan senyum memandang rendah ia melangkah maju menghampiri Souw Teng Wi. Biarpun ia tadi sudah menyaksikan betapa Souw Teng Wi dapat melawan Hek tok-ciang muridnya dengan mudah yang berarti bahwa Souw Teng Wi memiliki kepandaian tinggi, namun hwesio ini sama sekali tidak menjadi jerih.
"Souw Teng Wi, kau mengandalkan apakah melawan? Berhadapan dengan orang lain mungkin kau lihai. Akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kekerasan terhadap pinceng (aku), ooo.... kau keliru sekali! Lebih baik kau menyerah dan biar pengadilan kerajaan memberi keputusanya secara adil, dari pada kau harus mengalami hajaran pinceng."
"Hwesio gundul penghianat! Aku Souw Teng Wi adalah seorang jantan sejati, mana aku takut menghadapi gertak sambal seorang kaki tangan penghianat macam kau dan kawan-kawanmu? Ha-
93
ha-ha! Seorang patriot menghadapi perjuangan seperti mempelai menghadapi pasangannya, tahukah kau?" Merah wajah Kai Song Cinjin mendengar makian lawannya di depan pasukan.
"Pemberontak she Souw! Mulutmu kotor dan kurang ajar. Kau sendiri yang menjadi pemberontak dan buronan, kau memaki orang lain penghianat. Kerajaan sudah berdiri megah, kerajaan bangsa sendiri yang sudah merobohkan kerajaan penjajah Mongol dan pinceng membantu pemerintah bangsa sendiri. Bagaimana kau berani lancang mengatakan penghianat? Kaulah penghianat bangsa."
Akan tetapi Souw Teng Wi menerima ucapan ini dengan tertawa lebar. Ha-ha-ha-ha, tukang pukul berselimut jubah pendeta! kau kira aku tidak tahu? Seekor domba biasa berobah tabiatnya setelah masuk ke kandang penuh srigala! Seorang patriot yang berjiwa besar menjadi rusak moralnya setelah di sekelilingnya terdapat menteri-menteri durna yang jahat! Dan kau menjadi kaki tangan para durna yang hanya di mulut saja membela negara, namun pada hakekatnya hatinya palsu, penghianat-penghianat keji tak tahu malu! Semenjak kecil aku menyerahkan jiwa raga untuk membela negara dan bangsa, untuk berjuang mati-matian, akan tetapi sekarang... aku dijadikan buronan, dianggap pemberontak, siapa lagi biang keladinya kalau bukan majikan-majikanmu para durna keparat? Ha-ha-ha. majulah!"
Makin lama suara ketawa Souw Teng Wi makin serem dan aneh, sepasang matanya mulai menjadi merah dan berputar-putar liar. Bicara tentang nasib dan sakit hatinya membuat bekas pahlawan ini kambuh pula penyakit otaknya. Kini Tok-ong Kai Song Cinjin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tentu saja hwesio ini tidak tahu akan segala urusan negara, dan ia juga tidak perduli akan segala macam politik, yang ia ketahui hanya bahwa dia mengabdi kepada Auwyang Peng, seorang Menteri Kerajaan Beng yang berpengaruh, juga kaya raya dan banyak hadiahnya. ayah dari muridnya yang ia sayang.
"Kau memang minta dihajar!" bentaknya dan kakinya bergerak maju dua langkah. Begitu Kai Song Cinjin menggerakkan kedua lengannya, dari tangan kirinya menyambar angin pukulan yang dahsyat dan lengan kanannya tiba-tiba terulur panjang! Lengan ini bisa "molor" (memanjang) sampai satu kaki lebih, kuku-kuku jarinya mencengkeram pundak Souw Teng Wi.
Biarpun penyakit bingung dan gila sudah kambuh pula di kepala Souw Teng Wi, namun dalam kegilaannya ia makin lihai. Dengan gerakan aneh seperti orang mabok, ia dapat mengelak secara tepat sekali dari dua serangan ini dan Kai Song Cinjin sampai melengak kaget dan heran. Sepasang serangannya ini bernama Kwi-liong-jut-hai (Naga Siluman Keluar Dari Laut). Pukulan dengan hawa Iweekang di tangan kiri merupakan ombak lautnya dan tangan kanannya merupakan naga silumannya.
Sepasang lengannya ini biasanya jarang sekali gagal kalau menangkap orang dengan gerak, tipu Kwi-liong-jut-hai, dan andaikata ada yang dapat lolos sekalipun, orang itu harus mempergunakan ilmu yang lihai dan kecepatan yang luar biasa baru dapat selamat. Akan tetapi, Souw Teng Wi yang miring otaknya itu hanya bergerak-gerak aneh seperti orang mabok,berjingkrak-jingkrak tidak karuan dan... dapat menghindarkan serangannya.
Memang kegilaan Souw TengWi bukan kegilaan biasa. Bekas tokoh besar dalam perjuangan rakyat melawan penjajah ini adalah seorang pendekar yang berhati baja, besar semangatnya dan tak kenal takut.
Akan tetapi, melihat betapa pemimpin pejuang Cu Goan Ciang yang dahulu berjuang bahu-membahu dengannya kini menjadi permainan para durna penghianat setelah menjadi kaisar, dan dalam kesesatannya kaisar itu bahkan menangkapi dan membunuhi bekas pejuang yang gagah
94
perkasa, hati Souw Teng Wi menjadi penasaran dan berduka sekali di samping kemarahannya yang meluap-luap. Apa lagi setelah para durna itu berhasil menghasut kaisar di mana bekas kawan seperjuangan itu mengeluarkan perintah untuk menangkapnya, hati Souw Teng Wi merasa sakit sekali. Dengan hati terluka ia melarikan diri, menjadi buronan.
Tadinya Souw Teng Wi, hanya memiliki kepandaian yang tidak begitu tinggi sebagai seorang murid Kun-lun-pai, hanya ilmu pedangnya yang cukup kuat karena ilmu pedang Kun-lun memang sudah tersohor kelihaiannya. Akan tetapi setelah ia merantau di lautan, setelah ia lenyap dari dunia ramai untuk bertahun-tahun lamanya, tahu-tahu ia sekarang muncul sebagai seorang yang berotak miring namun memiliki kepandaian hebat sekali. Sesungguhnya kepandaian maupun kegilaannya ia dapatkan di dalam Gua Siluman dan hal ini akan dituturkan kemudian.
Anehnya, kelihaiannya baru muncul dan mencapai puncaknya apa bila kegilaannya kambuh. Agaknya kegilaan dan ilmu kesaktiannya itu menjadi dwi tunggal yang sekarang menguasai hati dan pikirannya.
Sementara itu, Kai Song cinjin yang dibikin penasaran karena serangan Kwi-liong-jut-hai tadi dengan secara aneh dan amat mudah dihindarkan oleh Souw Teng Wi, kini sudah melangkah maju setindak dan menyerang lagi, lebih hebat dan ganas. Jarak antara dia dan Souw Teng Wi ada dua meter dan kedua lengannya yang memukul ke depan itu tidak mengenai tlubuh lawannya, akan tetapi dari kedua tangannya yang dibuka jarinya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat sekali.
Souw Teng Wi mengerahkan Iweekangnya ke arah dada dan perut yang disambar angin pukulan. Semenjak mendapat ilmu di dalam Gua Siluman, sinkang di dalam tubuhnya secara ajaib telah menjadi kuat bukan main, membuat tubuhnya menjadi kebal luar dalam. Dengan Iweekang sehebat ini, benar saja angin pukulan lawannya yang lihai tidak dapat melukainya, hanya membuat kuda-kudanya tergempur dan ia terdorong sedikit ke belakang.
Akan tetapi, pada saat itu ia merasa hawa dingin seperti salju memasuki tubuhnya melalui tempat yang disambar hawa pukulan. Souw Teng Wi mengeluarkan suara gerengan keras dan belasan orang anak buah pasukan yang berdiri dekat bergelimpangan roboh. Juga hawa dingin yang meresap ke dalam tubuhnya lenyap terusir oleh pengerahan ilmu ini. Kai Sonj Cinjin benar-benar terkejut kali ini. Tak disangkanya bahwa pukulannya kembali kena ditangkis, bahkan robohnya belasan orang anak buah pasukan merupakan tamparan baginya.
"Setan!" makinya marah. "Kalau delapan jurus lagi pinceng tidak dapat merobohkanmu, pinceng terima kalah." Sebagai seorang tokoh besar, ia membatasi diri dan memberi kesempatan sampai sepuluh jurus kepada lawan yang dianggapnya bukan setingkat. Bahkan ada kalanya kakek gundul ini memberi kesempatan dalam dua tiga jurus saja kepada lawannya. Tentu saja ia tidak akan begini sombong kalau ia menghadapi orang setingkat. Akan tetapi. Souw Teng Wi hanya seorang anak murid Kun-lun-pai dan seorang buronan yang otaknya miring, tentu ia malu tidak mengeluarkan omongan besar memberi kesempatan sampai sepuluh jurus.
Tinggal delapan jurus lagi dan ia tahu bahwa delapan jurus itu harus ia pergunakan sebaiknya untuk merobohkan lawan yang memiliki kepandaian aneh ini. Sekarang ia tidak berlaku sungkan lagi dan secepat kilas jurus ke tiga ia isi dengan pukulan Hek-tok-ciang. Begitu kedua tangannya memukul dengan ilmu ini, saking marahnya ia tidak memakai kira-kira lagi, bahkan tidak melihat bahwa di belakang Souw Teng Wi, kurang lebih dalam jarak lima meter, berdiri beberapa orang anak buah pasukan yang tadi mengepung Souw Teng Wi.
95
Menghadapi Hek-tok-ciang yang lihai bukan main, Souw Teng Wi dengan gerakan otomatis merendahkan tubuhnya dan cepat miring lalu menggunakan kedua tangannya mendorong dari samping sebagai tangkisan terhadap serangan musuh. Terdengar jerit mengerikan dan... tiga orang anggauta pasukan yang tadinya berdiri di belakang Souw Teng Wi terjengkang dan tewas seketika. Pada leher dan muka mereka terdapat tanda jari-jari menghitam, tanda yang menyeramkan dari korban pukulan Hek-tok-ciang.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments