Selasa, 31 Juli 2018

Cerita Mabuk Pendekar Pemabuk 1

=====
baca juga
01. Calon Panglima Kiang-sui
DI sekitar tahun 600, Tiongkok berada di bawah pemerintahan Kaisar Yang Ti yang lalim dan
berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kaisar ini memeras dan memaksa rakyatnya
untuk membuat bangunan-bangunan dan pekerjaan-pekerjaan raksasa dalam usahanya
memperkuat pertahanan negaranya dan juga demi kesenangannya sendiri. Kota Lokyang di
bangun kembali dengan hebat mempergunakan tukang-tukang dan ahli-ahli yang didatangkan
dari tempat jauh di sebelah selatan sungat Yangtse. Sebagian dari para pekerja ini boleh
dibilang dipekerjakan sampai mati.
Hasil pekerjaan paksa yang banyak makan jiwa rakyat Tiongkok itu masih dapat disaksikan
hingga sekarang. Kaisar Yang Ti memerintahkan untuk menggali saluran besar yang
memanjang dari utara sampai ke selatan sungai Yangtse, yakni sampai ke Hongcou.
Pekerjaan besar ini selain membutuhkan banyak sekali tenaga manusia, juga membutuhkan
banyak biaya hingga kekayaan istana kaisar dikeduk habis. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu
dan dengan kejam sekali Kaisar Yang Ti kembali memeras rakyat dengan memerintahkan
agar pajak-pajak dibayar sepuluh tahun di muka.
Selain pembuatan saluran besar itu, Kaisar Yang Ti juga memerintahkan agar supaya tembok
besar diperbaiki dan dibetulkan, yang kembali memerlukan tenaga ahli dan tukang-tukang
yang pandai serta tenaga pekerja-pekerja yang ribuan orang banyaknya.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa apabila pemimpin jahat, anak buahnya pun kurang benar.
Kaisar yang lalim itu bagaikan seorang guru memberi contoh buruk sekali kepada pembesarpembesarnya
hingga pada waktu itu, para pembesar sebagian besar merupakan pemeraspemeras
rakyat yang bahkan lebih kejam lagi dari pada Kaisarnya sendiri. Mereka
mempergunakan segala macam akal dan kesempatan untuk memperkaya diri, sama sekali
tidak memperdulikan keadaan rakyat yang diperas habis-habisan. Dan pada saat-saat yang
amat menyedihkan bagi rakyat Tiongkok inilah cerita ini terjadi.
****
Di sebelah selatan kota raja terdapat sebuah kota bernama Kiang-sui. Kota ini cukup ramai
dan besar karena dekat dengan ibukota dan di situ terdapat banyak sekali rumah-rumah
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 2
gedung yang indah dan megah. Hal ini tidak aneh oleh karena para pembesar dan hartawan
mempergunakan kesempatan untuk memakai tenaga para ahli bangunan yang didatangkan
oleh kaisar itu guna mendirikan gedung-gedungnya sendiri.
Di tengah-tengah kota Kiang-sui terdapat sebuah gedung yang terbesar dan paling megah
nampak dari luar, dan apabila orang masuk ke dalamnya, ia akan kagum melihat keindahan
gedung itu. Perumahan ini tidak hanya terdiri dari satu bangunan, akan tetapi ada beberapa
bangunan yang bentuknya menarik, ada yang bertingkat tiga, ada pula yang tidak bertingkat
akan tetapi kesemuanya indah dan merupakan sekelompok bangunan yang dikelilingi tembok
dua tombak tingginya. Kalau dilihat dari luar, yang nampak hanya dinding ini dan lotengloteng
yang bercat warna warni menyedapkan mata.
Gedung indah ini adalah tempat tinggal Residen atau Kepala Daerah di Kiang-sui yang
bernama Liok Ong Gun. Kepala daerah ini memang keturunan bangsawan dan semenjak
dahulu nenek-moyangnya memang orang-orang berpangkat yang setia dan mempunyai
kedudukan tinggi. Ia amat berpengaruh, tidak saja karena kedudukannya sebagai Kepala
daerah, akan tetapi juga karena kekayaannya. Pada waktu itu, siapa yang kaya ia berkuasa,
sedangkan Liok Ong Gun ini memang semenjak lahir boleh dibilang hidup di atas tumpukan
harta benda.
Liok Ong Gun berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan memelihara
jenggot pendek yang hitam menghias muka bagian bawah, dari bawah telinga kiri sampai ke
bawah telinga kanan. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam. Ia seorang yang pandai
dalam ilmu sastera dan silat, dan di waktu mudanya ia telah mencapai gelar siucai setelah
lulus dalam ujian di kotaraja. Dalam hal ilmu silat, iapun tidak lemah oleh karena ia menjadi
murid dari ketua cabang Go-bi-pai yang pada waktu itu meninggal dunia karena sakit.
Permainan goloknya cukup lihai dan hal ini membuat ia lebih disegani orang.
Dalam pernikahannya dengan seorang gadis bangsawan yang selain cantik juga berbudi halus,
Liok Ong Gun memperoleh seorang anak tunggal. Anak ini perempuan dan diberi nama Liok
Tin Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik seperti ibunya. Akan tetapi
beradat keras dan galak seperti ayahnya. Biarpun dalam hal kepandaian membaca dan
menulis, dara ini tidak sepandai ayahnya dan dalam hal pekerjaan tangan tidak sepandai
ibunya, namun terdengar desas-desus orang bahwa dalam hal ilmu silat, dara ini jauh melebihi
kelihaian ayahnya sendiri!
Tin Eng sebagai puteri tunggal tentu saja manja sekali dan biarpun ia disohorkan sebagai
kembang kota Kiang-sui dan banyak sekali pemuda merindukannya, akan tetapi tak
seorangpun di antara mereka berani mengajukan pinangan.
Kedudukan Liok Ong Gun memang amat kuat, selain ia sendiri memiliki kegagahan, iapun
selalu dikawal oleh pasukan perwira Sayap Garuda yang berkepandaian tinggi. Selain para
pengawal ini, iapun selalu didampingi oleh seorang kunsu atau penasehat yang cerdik pandai
bernama Lauw Lui Tek yang bertubuh gemuk.
Demikianlah keadaan penghuni gedung-gedung Kepala daerah itu dan selanjutnya masih
banyak pula para pelayan yang mengerjakan segala macam pekerjaan sehingga gedunggedung
di situ selain nampak indah juga bersih. Liok-hujin, isteri Liok Ong Gun tak pernah
mencampuri urusan suaminya dan nyonya ini selalu tinggal di dalam, mengatur rumah tangga
dan mengepalai semua pelayan yang amat taat dan tunduk terhadap nyonya yang berbudi
halus itu. Dari pelayan wanita yang bekerja di dalam kamar sampai pelayan laki-laki yang
bekerja di kebun atau di kandang kuda, semua amat taat dan setiap saat bersedia melakukan
perintah Liok-hujin dengan senang hati.
Pada suatu hari, seorang penjaga pintu gerbang melaporkan kepada Liok Ong Gun bahwa di
luar datang tiga orang tamu yang minta bertemu dengan Kepala daerah itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 3
“Siapakah mereka itu?” tanya Liok Ong Gun yang sedang duduk dengan Lauw Lui Tek dan
beberapa orang perwiranya guna membicarakan perintah kaisar untuk membangun sebuah
istana di atas bukit Bwee San sebelah timur kota Kiang-sui.
“Hamba telah bertanya tentang nama mereka, akan tetapi mereka tidak mau memberi tahu,
hanya supaya hamba melaporkan kepada taijin,” jawab penjaga itu dengan hormat.
“Tamu-tamu yang tidak mau menyebutkan namanya tak perlu diterima,” kata Lauw Lui Tek,
penasehat Kepala daerah itu dengan sikapnya yang hati-hati.
“Kenapa kau tidak usir saja mereka dan berani melaporkan kedatangan orang-orang yang
mencurigakan itu?” Liok Ong Gun menegur sehingga penjaga itu menjadi pucat.
”Ampun, taijin. Tiga orang tamu itu bukanlah orang-orang biasa, maka hamba tidak berani
bertindak sembarangan. Seorang di antara mereka adalah seorang hwesio gundul yang telah
tua dan memelihara jenggot panjang, sikapnya agung dan di pundaknya tergantung pedang.
Orang kedua juga seorang tosu tua yang gagah. Menurut pandangan hamba yang bodoh,
mereka ini bukanlah orang-orang jahat, maka hamba berani berlaku lancang memberi laporan
kepada taijin.”
Liok Ong Gun merasa heran mendengar bahwa tamu-tamunya adalah dua orang pertapa dan
seorang pemuda. Ketika Lauw Lui Tek hendak memaki penjaga itu, Liok Ong Gun
mendahuluinya dan berkata kepada penjaga tadi,
“Cobalah kau panggil mereka masuk.”
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara halus menegur,
“Liok Ong Gun, kau benar-benar memegang aturan keras sekali!”
Pembesar itu terkejut dan segera bangun dari tempat duduknya dan menuju ke ruang depan,
diikuti oleh Lauw Lui Tek dan para perwira Sayap Garuda. Ketika mereka tiba di ruangan
depan, muncullah tiga orang tamu tadi. Memang benar, ketiga orang itu terdiri dari seorang
hwesio tua yang gagah, seorang tosu tua dan seorang anak muda yang tampan sekali.
Melihat Hwesio berjubah hitam itu Liok Ong Gun merasa terkejut sekali dan ia cepat-cepat
menjura dengan hormatnya dan berkata,
“Ah tidak tahunya susiok-couw (kakek guru) yang datang. Mohon maaf sebanyaknya karena
teecu tidak mengetahui kedatangan susiok-couw terlebih dahulu hingga tak dapat
mengadakan penyambutan yang layak.”
Hwesio itu tertawa bergelak dengan senangnya. Ia menoleh kepada tosu itu dan berkata,
“Bong Bi Toyu, apa kataku tadi? Biarpun telah menjadi seorang pembesar tinggi, namun Liok
Ong Gun tidak melupakan hubungan antara guru dan murid.”
Tosu itu mengangguk-angguk puas dan tersenyum. Siapakah mereka ini? Hwesio tua itu
sebenarnya adalah seorang tokoh besar dari Go-bi-san yang bernama Seng Le Hosiang dan
kakek ini adalah paman guru dari suhu Liok Ong Gun, dengan demikian maka hwesio ini
masih terhitung paman kakek gurunya! Adapun tosu itu juga bukan sembarang orang, karena
ia ini adalah Bong Bi Sianjin, seorang yang sangat ternama dalam kalangan persilatan,
sebagai tokoh besar dari Kim Lun San yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tosu ini
adalah kawan baik Seng Le Hosiang.
Liok Ong Gun dengan amat hormatnya lalu membungkukkan diri dan berkata, Susiok-couw
dan kedua jiwi (tuan berdua) silahkan masuk dan duduk di dalam.”
Seng Le Hosiang sambil tersenyum di balik kumis dan jenggotnya yang putih itu berkata
memperkenalkan, “Ketahuilah dulu, Liok Ong Gun. Kawanku ini adalah Bong Bi Sianjin,
pertapa di bukit Kim Lun San, dan anak muda ini bernama Gan Bu Gi, murid Bong Bi
Sianjin. Untuk keperluan mereka berdua inilah maka pinceng datang menjumpaimu.”
Liok Ong Gun menjura kepada Bong Bi Sianjin dan Gan Bu Gi. Lalu ia memperkenalkan
pula Lauw Lui Tek kepada mereka, demikian pula kelima orang perwira yang berada di situ.
Kemudian mereka semua masuk ke ruang dalam dan ketiga orang tamu itu tiada habisnya
mengagumi keindahan gedung itu dan sekalian isinya. Dinding-dinding yang putih bersih
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 4
penuh digantungi lian (kain penghias dinding yang ditulis sajak) dan lukisan-lukisan indah.
Semua perabot rumah tangga tersebut dari kayu-kayu mahal yang terukir indah dan halus,
bahkan lantainya berkembang indah dan di sana-sini terbentang permadani Turki
berkembang.
“Bagus, bagus, rumahmu bagus sekali,” Seng Le Hosiang memuji dan memandang kagum.
Gan Bu Gi yang semenjak kecil berada di atas gunung juga memandang ke kanan-kiri dengan
kagum dan mata terbelalak lebar. Ia merasa malu-malu dan ketika kakinya menginjak lantai
yang berkembang dan halus mengkilap itu, ia merasa takut kalau-kalau sepatunya akan
merusak lantai maka ia berjalan dengan hati-hati sekali!
Setelah semua orang mengambil tempat duduk di ruangan tamu, Liok Ong Gun menanti
sampai pelayan datang membawa minuman.
“Susiok-couw suka minum apa? Arak wangi atau teh wangi? Juga Bong Bi Locianpwe dan
Gan-hiante ingin minum apa?” Liok Ong Gun menawarkan dengan ramah tamah.
“Arak saja, boleh keluarkan arak yang paling wangi!” kata Seng Le Hosiang dengan gembira
hingga diam-diam para perwira merasa heran mengapa ada hwesio yang suka minum arak.
Bagi Bong Bi Sianjin, tidak ada pantangan minum arak, akan tetapi dengan malu-malu Gan
Bu Gi menjawab,
“Harap taijin jangan terlalu merepotkan penyambutan. Siauwte biasanya hanya minum air
gunung.”
Jawaban pemuda yang sederhana ini membuat semua orang tersenyum dan Liok Ong Gun
merasa suka kepadanya. Ia heran melihat betapa Bong Bi Sianjin yang terkenal akan
kegagahannya itu mempunyai murid yang demikian lemah lembut.
Setelah semua orang minum, pembesar itu bertanya kepada susiok-couwnya, “Teecu merasa
mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan ini. Apakah kiranya yang dapat teecu
lakukan untuk sam-wi?”
“Sudah pinceng katakan tadi bahwa kedatanganku semata-mata hanya untuk urusan kedua
orang ini, terutama sekali untuk memperkenalkan Gan Bu Gi kepadamu. Ketahuilah, Liok
Ong Gun bahwa sahabatku Bong Bi Sianjin ini datang bersama muridnya kepadaku dengan
permintaan agar pinceng menjadi orang perantara terhadap dua hal yang hendak
kukemukakan kepadamu, yaitu pertama: sukakah kiranya kau menerima pemuda ini dan
memberi pekerjaan yang layak karena ia telah tamat belajar silat pada gurunya dan tentang
kepandaian silat patut kupuji dan dengan adanya pemuda ini di sini, agaknya kedudukanmu
akan makin kuat.”
Sambil berkata demikian, hwesio tua itu melirik ke arah para perwira yang duduk di pinggir.
“Terus terang saja aku berani menyatakan bahwa tenaganya akan jauh lebih berguna dari pada
tenaga dua puluh orang pengawalmu yang terpandai.”
Mendengar ucapan ini, tentu saja para perwira merasa mendongkol dan tak senang, akan
tetapi mereka tidak berani menyatakan dengan terang-terangan, hanya menundukkan kepala
dengan muka berubah merah. Sedangkan Kepala daerah itupun merasa tak enak hati terhadap
para perwiranya, maka ia lalu menjawabnya,
“Tentang hal itu, karena susiok-couw yang menjadi penghubung, tentu saja teecu akan
memberi pekerjaan yang layak bagi Gan-hiante sesuai dengan kepandaiannya.”
“Boleh diuji, boleh diuji!” kata Seng Le Hosiang sambil meraba jenggotnya yang putih.
“Jangan diterima demikian saja, sebelum kau menguji kepandaian. Akan tetapi hal ini boleh
dilakukan belakangan. Sekarang soal kedua. Pinceng tahu bahwa kau mempunyai seorang
puteri yang baik, dan karena pinceng sudah tahu jelas akan keadaan Gan Bu Gi ini, maka atas
persetujuan kami bertiga, pinceng dan sahabatku Bong Bi Sianjin ini bermaksud
menjodohkan Gan Bu Gi dengan puterimu! Tentu saja kalau puterimu itu belum
dipertunangkan dengan orang lain.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 5
Bukan main terkejutnya hati Liok Ong Gun mendengar ini. Tiba-tiba wajahnya menjadi
merah padam akan tetapi ia tidak berani menyatakan marahnya. Siapakah orang muda ini
yang hendak dijodohkan dengan puterinya? Mengapa susiok-couwnya demikian lancang?
Diam-diam ia memandang tajam kepada Gan Bu Gi yang menundukkan kepalanya. Memang
pemuda ini cukup tampan dan sikapnya baik akan tetapi hal ini belum cukup pantas menjadi
menantunya, menjadi suami Tin Eng puteri tunggalnya.
“Maafkan teecu, susiok-couw. Tentang hal perjodohan puteri teecu, sungguhpun puteriku itu
belum dipertunangkan, akan tetapi agaknya hal ini tidak dapat diputuskan dengan tergesagesa
dan harus mendapat pertimbangan semasak-masaknya dari teecu sekeluarga. Bukan
teecu tidak percaya kepada susiok-couw yang tentu tidak akan memuji sembarangan saja,
akan tetapi biarlah hal perjodohan ini ditunda dulu, karena betapapun juga, puteri teecu itu
baru berusia lima belas tahun dan masih terlalu muda untuk meninggalkan orang tua.”
Seng Le Hosiang tertawa terbahak-bahak dan memandang kepada Bong Bi Sianjin. “Nah, kau
telah mendengar sendiri, toyu. Pinceng hanya menjadi orang perantara, segala keputusan
tergantung dari cucu-muridku.”
Sambil mengelus-elus jenggotnya yang juga sudah putih semua, tosu ini mengangguk ke arah
Liok Ong Gun dan berkata, “Terima kasih banyak atas segala perhatianmu, taijin. Muridku
adalah seorang anak muda yang bodoh dan masih hijau serta hanya memiliki sedikit
kepandaian yang tak berarti belaka. Oleh karena pinto ingin melihat muridku yang bodoh itu
mencari pengalaman dan ikut membantu pemerintah, mengangkat nama sendiri sebagai orang
yang gagah, maka harapanku yang terutama ialah agar supaya taijin sudi menolongnya dan
memberi pekerjaan yang layak. Sudah tentu saja ia perlu diuji terlebih dahulu dan pinto
mempersilahkan kepada taijin untuk menguji.”
“Memang harus diuji!” kata Seng Le Hosiang dengan gembira.
Liok Ong Gun merasa serba salah. Ia percaya bahwa pemuda itu tentu memiliki kepandaian
berarti sungguhpun nampaknya lemah, akan tetapi ia masih ragu-ragu untuk menguji yang
tentu saja seakan-akan merupakan kekurangpercayaan terhadap Bong Bi Sianjin, terutama
sekali terhadap susiok-couwnya. Dengan ragu-ragu ia lalu mengerling kepada penasehatnya
yang selalu dapat diharapkan pertolongannya di waktu ia terdesak oleh suatu keadaan.
Lauw Lui Tek dengan tenang lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya yang gemuk ke arah
para tamu,
“Maafkan kalau saya berlancang mulut karena sudah menjadi kewajiban saya untuk
memecahkan segala persoalan yang dihadapi oleh taijin. Mendengar segala uraian jiwi losuhu
tadi, saya dapat menduga bahwa kongcu ini tentu memiliki ilmu kepandaian silat dan
yang dimaksudkan dengan pekerjaan tentulah dalam bidang keperwiraan. Sebagaimana
lazimnya apabila kami menerima seorang perwira baru, ia harus diuji lebih dulu dan cara
pengujiannya itu biasanya diadakan sebuah pertandingan adu kepandaian antara perwira baru
itu dengan kepala-kepala pengawal untuk menentukan sampai di mana tingkat kepandaiannya.
Oleh karena itu, menurut pendapat saya, hendaknya diadakan ujian seperti itu pula kepada
kongcu ini dan para pengujinya ialah kelima ciangkun yang sekarang hadir di sini.”
Mendengar ini, diam-diam kelima orang perwira Sayap Garuda itu menjadi girang. Tadinya
mereka merasa mendongkol sekali karena dirinya dipandang rendah oleh tamu-tamu itu dan
sekarang mereka mendapat kesempatan untuk melampiaskan rasa mendongkolnya. Hendak
mereka beri hajaran kepada pemuda yang datang hendak mendesak kedudukan mereka itu!
Mereka adalah panglima-panglima terkemuka di Kiang-sui yang memiliki ilmu kepandaian
silat tinggi, sedangkan pemuda itu kelihatan demikian malu-malu dan bodoh seperti pemuda
gunung. Apa susahnya mengalahkan pemuda macam itu dalam pertandingan pibu (silat)?
Sementara itu, Liok Ong Gun mengangguk-angguk dan berkata kepada Seng Le Hosiang,
“Susiok-couw, memang tepat ucapan Lauw-toako tadi dan demikianlah memang sudah
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 6
menjadi kebiasaan di sini, juga kebiasaan di kota raja apabila kaisar hendak mengangkat
perwira baru.”
Bong Bi Sianjin bangun berdiri dan berkata, “Bagus, memang seharusnya demikian, taijin.
Harap jangan berlaku sungkan dan marilah kita menyaksikan ujian itu dilaksanakan sekarang
juga.”
Liok Ong Gun lalu mempersilahkan mereka menuju ke belakang gedung di mana terdapat
kebun kembang yang indah dan di tengah-tengah terdapat pekarangan luas yang memang
dipergunakan sebagai lian-bu-tia (tempat berlatih silat). Ketika mereka beramai-ramai tiba di
tempat itu, kebetulan sekali puteri Kepala daerah itu sedang berlatih silat pedang seorang diri.
Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun, tubuhnya kecil padat, pinggangnya ramping.
Wajahnya cantik jelita dan manis sekali, diramaikan oleh sepasang mata yang lebar berseriseri
dan mulut yang manis berwarna merah delima. Rambutnya hitam dan tebal digulung ke
belakang dan dihiasi dengan bunga segar warna merah yang dipetiknya di kebun itu.
Segumpalan rambut menghias di depan telinganya, terurai sampai ke pipinya menambah
kecantikannya. Bajunya ringkas dengan lengan baju pendek sampai di bawah siku, baju itu
berwarna biru dengan pinggiran merah dan ikat pinggang warna merah pula. Celana berwarna
hijau menutupi kedua kakinya yang ringan gerakannya, sepatunya kecil berwarna hitam.
Biarpun pakaiannya itu sederhana saja, akan tetapi bahan pakaiannya terbuat dari sutera
mahal yang halus dan lemas.
Selain kembang hidup yang menghiasi rambutnya, gadis ini tidak mengenakan perhiasan lain
sebagaimana biasa dipakai oleh puteri-puteri bangsawan yang kaya. Memang Tin Eng tidak
suka memakai segala macam perhiasan emas permata yang mahal dan mewah. Namun
kesederhanaannya ini tidak mengurangi kecantikannya, bahkan membuat kejelitaannya makin
menonjol dan asli.
Tin Eng demikian asyiknya bermain silat pedang hingga ia tidak memperhatikan mereka yang
datang. Disangkanya bahwa mereka yang datang hanyalah ayahnya dan para perwira yang
sudah berada di situ dan ia tidak menghiraukannya.
Semua perwira di dalam gedung itu merasa kagum dan segan terhadap gadis itu karena
maklum bahwa ilmu kepandaian gadis itu amat tinggi, bahkan tidak berada di sebelah
kepandaian perwira yang manapun juga di kota Kiang-sui! Tadinya tak seorangpun
menyangka bahwa Tin Eng memiliki ilmu silat tinggi dan lihai dan hanya menyangka bahwa
gadis itu pernah belajar ilmu silat karena ayahnya pun seorang yang pandai ilmu silat, akan
tetapi semenjak terjadi sebuah peristiwa yang mengagumkan, barulah mereka tahu bahwa
gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Bahkan Liok Ong Gun sendiri tadinya tidak
pernah menyangka bahwa puterinya memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari
pada ilmu silatnya sendiri!
Hal itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Ketika itu, kota Kiang-sui kedatangan seorang
pencuri yang lihai sekali. Kepala daerah Liok telah mengerahkan para penjaga dan perwira
untuk menangkap pencuri itu, akan tetapi maling itu ternyata amat tangguhnya hingga tak
dapat ditangkap, bahkan ketika pada suatu malam dikepung, maling itu telah melukai
beberapa orang perwira! Dalam kesombongannya karena tidak menemukan tandingan, maling
itu akhirnya berani mendatangi gedung Liok Ong Gun untuk mencuri! Dan di tempat inilah ia
menemui tandingannya, yakni Tin Eng sendiri!
Ketika maling itu sedang mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba ia diserang oleh Tin Eng dan
mereka bertempur hebat sekali. Ribut-ribut ini terdengar oleh Liok Ong Gun yang segera
mengerahkan para perwira dan menyusul ke atas di mana dengan bengong mereka
menyaksikan sebuah pertempuran hebat antara Tin Eng dan maling itu! Bukan main kagum
hati mereka ketika akhirnya Tin Eng berhasil merobohkan maling itu yang segera dibekuk dan
dihukum. Dan semenjak malam itulah maka Tin Eng terbuka rahasianya, dan semua orang,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 7
termasuk ayah sendiri, baru maklum bahwa dara jelita itu memiliki ilmu silat yang lebih
tinggi dari pada para perwira di kota Kiang-sui.
Pada saat Liok Ong Gun dan tamu-tamunya datang di kebun itu, Tin Eng sedang berlatih silat
pedang yang mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya. Sinar pedangnya bergulunggulung
menyelimuti tubuhnya dan angin sabetan pedang menyambar-nyambar sampai jauh.
Para perwira memandang kagum, demikian pula Liok Ong Gun karena tidak mudah untuk
menyaksikan ilmu silat puterinya itu yang belum pernah mau memperlihatkan kepandaiannya
kepada siapapun juga.
Sementara itu, melihat kecantikan gadis yang hendak dijodohkan dengannya, pemuda murid
Bong Bi Sianjin tercengang dan pada saat itu yang kelihatan olehnya hanya kecantikan Tin
Eng, sama sekali tidak memperdulikan ilmu pedang yang dimainkan oleh dara itu.
Akan tetapi, Seng Le Hosiang dan Bong Bi Sianjin saling pandang dengan mata mengandung
keheranan besar. Selama mereka hidup, baru satu kali saja mereka pernah menyaksikan ilmu
pedang seperti ini, yaitu ketika mereka masih muda. Inilah ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat
yang jarang terlihat di atas dunia ini. Pencipta ilmu pedang ini telah meninggal dunia puluhan
tahun yang lalu, dan orang itu setahu mereka tidak mempunyai murid, bagaimana ilmu
pedangnya kini terjatuh kepada puteri Liok Ong Gun?
Dengan penuh perhatian, kedua kakek itu memandang ilmu pedang yang dimainkan Tin Eng.
Mereka maklum bahwa ilmu pedang itu benar-benar hebat sekali, akan tetapi sayang dara itu
masih belum sempurna kepandaiannya dan terdapat kesalahan di sana-sini, sungguhpun
mereka berdua juga tidak paham ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat (ilmu pedang garuda sakti),
namun sebagai ahli-ahli ilmu silat mereka dapat melihat kesalahan-kesalahan dan cacat dalam
permainan gadis itu.
Sementara itu, Bong Bi Sianjin tak dapat menahan lagi kegembiraannya dan berseru, “Bagus
sekali Kiam-hoat ini!”
Mendengar seruan ini, barulah Tin Eng sadar bahwa di antara rombongan terdapat orang
asing, maka ia segera melompat mundur dan menahan gerakan pedangnya. Dengan mata
mengandung keheranan ia memandang ke arah dua orang kakek dan pemuda yang tak dikenal
itu, kemudian ia mengundurkan diri dengan malu-malu.
Liok Ong Gun menghampiri puterinya dan sambil tertawa berkata, “Tin Eng, kau berhadapan
dengan susiok-couw, beliau inilah yang bernama Seng Le Hosiang, susiok dari mendiang
suhuku.”
Tin Eng terkejut sekali dan segera menjura dengan hormatnya.
“Bagus, bagus! Kau patut menjadi puteri Liok Ong Gun. Cantik jelita dan kepandaian hebat
pula! Entah siapa yang memberi pelajaran ilmu pedang tadi kepadamu.”
Tin Eng tidak menjawab, hanya memberi hormat kepada Bong Bi Sianjin dan Gan Bu Gi
ketika ayahnya memperkenalkan mereka kepadanya. Mendengar bahwa pemuda yang tampan
dan nampak malu-malu itu hendak masuk menjadi perwira dan kini akan diuji kepandaiannya,
Tin Eng merasa gembira dan segera berdiri di tempat yang agak jauh dari situ untuk
menonton. Ayahnya tak dapat melarang puterinya yang manja dan keras hati ini, maka ia
mendiamkan saja.
Di dekat tempat gadis itu berdiri, terdapat seorang pelayan muda yang sedang mencabuti
rumput pengganggu pohon kembang. Dan melihat pemuda ini, Tin Eng segera berkata,
“Gwat Kong, tolong beritahu kepada ibu bahwa aku berada di sini untuk menyaksikan ujian
perwira baru!”
Pemuda itu mengangguk dan menjawab, “Baik, siocia.” Dan sebelum ia pergi jauh tiba-tiba
Liok Ong Gun memanggilnya. Ia segera berjalan kembali dan pembesar itu berkata,
“Kalau kau masuk ke dalam, sekalian ambil dua buah kursi untuk jiwi locianpwe ini!”
“Baik, taijin,” kata pemuda pelayan itu setelah memandang sekilas ke arah Seng Le Hosiang
dan Bong Bi Sianjin.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 8
“Siapakah pemuda itu?” tanya Seng Le Hosiang kepada Liok Ong Gun. Ia merasa tertarik
karena melihat betapa sepasang mata pelayan muda itu mengeluarkan cahaya yang tajam.
“Ah, dia adalah seorang pemuda she Bun yang telah tiga tahun bekerja di sini sebagai
pelayan. Orangnya jujur, pendiam, dan pekerjaannya baik,” jawab Liok Ong Gun sambil lalu.
Sementara itu, Liok Ong Gun lalu memberi perintah kepada seorang perwiranya untuk bersiap
menguji pemuda yang hendak menjadi perwira itu. Perwira ini adalah seorang perwira yang
sudah berusia empat puluh tahun lebih dan bernama Thio Sin. Dia memang dianggap sebagai
pimpinan para panglima yang berjumlah lima orang dan kepandaiannya dianggap paling
tinggi.
“Thio-ciangkun, harap kau segera melakukan upacara ujian ini sebagaimana mestinya dan
boleh kau pilih siapakah yang diharuskan maju untuk berpibu dengan Gan-kongcu,” kata Liok
Ong Gun kepadanya.
“Biarlah siauwte maju dan mengujinya, Thio-twako,” kata seorang perwira yang bermuka
hitam dan bertubuh tinggi besar. Perwira ini adalah Lie Bong yang beradat kasar. Ia tadi
merasa penasaran dan mendongkol sekali, maka kini ia hendak menggunakan kesempatan
untuk membalas penghinaan tadi.
Thio Sin mengangguk sambil tersenyum. Ia percaya penuh kepada kegagahan Lie Bong yang
memiliki tenaga besar dan ilmu silat cukup tinggi.
“Majulah, Lie-lote, akan tetapi hati-hatilah,” kata Thio Sin.
Lie Bong berseru girang dan segera bersiap sedia. Ia membereskan topinya yang dihias bulu
garuda panjang, lalu memasukkan kuncir rambutnya ke dalam punggung bajunya dan
menyingsing lengan bajunya, kemudian ia melompat ke tengah lapangan. Di tengah lapangan
itu terdapat sebongkah batu besar yang biasanya digunakan untuk melatih tenaga. Melihat
batu besar itu dengan congkaknya Lie Bong lalu menempelkan kakinya kanannya kepada batu
itu dan sekali ia menggerakkan kaki, batu itu terlempar jauh ke bawah pohon.
Setelah melakukan demonstrasi untuk memperlihatkan kehebatan tenaganya itu, Lie Bong
lalu menjura ke arah pemuda gunung yang masih berdiri sambil tersenyum malu-malu di
dekat suhunya sambil berkata,
“Gan-kongcu, aku mendapat kehormatan untuk melayani bermain-main denganmu. Silahkan
maju!”
Gan Bu Gi berpaling kepada suhunya seakan-akan minta perkenan dan setelah Bong Bi
Sianjin mengangguk, ia lalu berjalan dengan tenang ke dalam lapangan itu, menghadapi Lie
Bong.
Pada saat itu, pelayan muda yang diperintah mengambil kursi telah datang. Biarpun hanya
disuruh mengambil dua buah kursi, pemuda itu ternyata membawa empat buah kursi. Dua
buah diletakkan di belakang kedua pendeta tua itu, sebuah diberikan kepada Liok Ong Gun
dan yang sebuah lagi lalu ia bawa menuju tempat Tin Eng berdiri dan ia memberikan kursi
kepada gadis itu!
Tak seorangpun memperhatikan pekerjaan ini dan Liok Ong Gun juga sudah lupa bahwa ia
tadi hanya memerintahkan mengambil dua buah kursi saja untuk Seng Le Hosiang dan Bong
Bi Sianjin. Mereka duduk dan memperhatikan ujian yang hendak dilangsungkan, sedangkan
pemuda pelayan yang bernama Bun Gwat Kong itu lalu melanjutkan pekerjaan mencabuti
rumput sambil kadang-kadang menengok ke arah tempat duduk Tin Eng.
“Gan-kongcu,” kata Lie Bong dengan suara keras. “Menurut kebiasaan, pibu ini dilakukan
dua kali. Pertama kali dengan bertangan kosong, dan kedua kalinya menggunakan senjata
untuk menguji kepandaian main senjata dari calon perwira. Sekarang marilah kita main-main
sebentar dengan bertangan kosong. Harap kau suka menanggalkan jubahmu yang panjang itu
agar supaya gerakanmu lebih leluasa.”
02. Pelayan Muda Kepala Daerah
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 9
Memang pemuda itu memakai jubah pendeta yang panjang dan berlengan baju lebar sekali
maka tentu saja dalam pakaian seperti itu, gerakannya akan kurang leluasa. Akan tetapi,
sambil tersenyum Gan Bu Gi menjawab,
“Ciangkun, ujian ini hanya main-main belaka, bukan? Biarlah siauwte tetap memakai jubah
ini, hanya siauwte harap ciangkun suka menaruh kasihan kepadaku.” Biarpun Gan Bu Gi
berkata demikian, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum hingga bagi Lie Bong seakan-akan
pemuda itu mengejeknya dan memandang rendah. Menghadapinya dengan pakaian seperti itu
saja berarti sudah memandangnya rendah, maka ia menjadi marah sekali.
“Kalau begitu, jangan kau menggunakan alasan bajumu itu kalau nanti kau roboh!” katanya
sambil memasang kuda-kuda.
“Seranglah, ciangkun,” kata Gan Bu Gi yang masih tenang-tenang saja dan berdiri biasa
seakan-akan tidak menghadapi lawan yang hendak menyerangnya. Tin Eng merasa geli dan
juga heran melihat sikap pemuda itu dan ia menduga bahwa dalam satu-dua jurus saja Lie
Bong tentu akan menjatuhkan.
“Awas seranganku!” Lie Bong berseru keras dan maju menyerang dengan gerakan Go-yangpok-
sit atau kambing lapar tubruk makanan. Pukulannya keras sekali dan gerakannya cepat
hingga serangan pertama ini saja agaknya sudah cukup merobohkan lawan yang kurang gesit.
Akan tetapi, dengan masih tenang pemuda itu mengelak ke samping hingga serangan lawan
mengenai tempat kosong.
Lie Bong melanjutkan serangannya dengan pukulan Siok-lui-kik-ting atau Petir sambar
kepala. Serangan kedua ini lebih hebat dan pukulan yang ditujukan ke arah kepala Gan Bu Gi
itu. Kalau mengenai sasaran mungkin akan menghancurkan kepala pemuda itu. Sekali lagi
pemuda itu mengelak dengan cepat luar biasa sehingga Lie Bong mulai merasa panas dan
penasaran.
Ia tiada hentinya menyerang bertubi-tubi, kini tidak sungkan-sungkan lagi dan mengeluarkan
serangan-serangan yang paling berbahaya. Namun sungguh mengherankan, jangankan
mengenai tubuh pemuda itu, ujung baju yang panjang dari pemuda itu saja ia tak mampu
menyentuhnya! Pemuda itu berkelebat ke kanan-kiri dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya, gesitnya melebihi burung walet dan setelah menyerang belasan jurus, belum juga
Lie Bong berhasil memukul lawannya.
Kini barulah para perwira merasa terkejut, sedangkan Tin Eng sendiri merasa kagum melihat
kelincahan pemuda itu yang ternyata memiliki ilmu gin-kang atau keringan tubuh yang luar
biasa sekali. Makin cepat Lie Bong menyerang, makin cepat pula pemuda itu bergerak
sehingga sebentar saja tubuhnya seakan-akan menjadi tiga atau empat karena cepatnya
gerakannya. Lie Bong mulai merasa pening karena ia tidak melihat dengan jelas ke jurusan
mana lawannya mengelak dan tahu-tahu lawannya telah berada di kanan, di kiri, bahkan di
belakangnya.
Tak terasa lagi Liok Ong Gun bertepuk tangan saking gembiranya.
“Gan-kongcu, balaslah, jangan sungkan!” teriaknya, lupa bahwa pertandingan itu sebetulnya
hanya merupakan ujian bagi calon perwira itu.
Mendengar ini, Gan Bu Gi berkata kepada Lie Bong,
“Ciangkun, maafkan siauwte!” Baru saja kata-kata ini diucapkan, tahu-tahu Lie Bong
memekik dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya, jatuh berdebuk dengan pantat
di depan ke atas tanah sehingga debu mengepul ke atas dan ia merasa pantatnya sakit sekali!
Ternyata bahwa ketika ia sedang memukul, secepat kilat pemuda itu mengelak dan melompat
ke samping dan ketika ia melanjutkan serangannya dengan sebuah tendangan, sambil
mengelak pemuda itu lalu mendorong tubuh belakangnya dari samping dengan tenaga yang
luar biasa besarnya sehingga tidak ampun lagi ia terbawa oleh tenaga tendangan dan dorongan
itu sehingga terlempar jauh!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 10
Terdengar suara terbahak-bahak dari Seng Le Hosiang dan Bong Bi Sianjin, dibarengi tepuk
tangan Liok Ong Gun yang merasa kagum sekali.
Dengan mendongkol, malu, dan pemasaran Lie Bong merayap bangun dan hendak melawan
dengan menggunakan senjata, akan tetapi ternyata bahwa tubuh belakangnya terasa sakit
sekali sehingga ketika ia berdiri, ia merasa bahwa tak mungkin baginya untuk maju
bertanding lagi. Ia hanya berdiri dan mengurut-urut pantatnya sambil meringis kesakitan!”
Sementara itu, empat orang perwira lainnya merasa penasaran sekali melihat betapa Lie Bong
dipermainkan demikian mudahnya oleh pemuda itu. Thio Sin sebagai kepala perwira merasa
penasaran dan melompat maju sambil menjura kepada Liok Ong Gun dan berkata,
“Taijin, oleh karena saudara Lie Bong sudah kalah dan tidak mungkin untuk melakukan ujian
senjata, biarlah siauwte sendiri yang maju untuk melakukan ujian ini.”
Liok Ong Gun mengangguk dengan girang dan Thio Sin mencabut sepasang siang-kiam
(sepasang pedang) yang tajam dan tipis. Ia terkenal sebagai ahli main siang-kiam yang jarang
mendapat tandingan maka ia yakin bahwa kini ia akan dapat mengalahkan pemuda yang
hendak mendesak kedudukannya itu. Hatinya merasa iri sekali melihat betapa Liok Ong Gun
agaknya tertarik dan kagum sekali kepada Gan Bu Gi.
Setelah melompat dengan ringan dan gesitnya kehadapan pemuda itu, Thio Sin lalu berkata
sambil menyilangkan sepasang pedangnya di dada.
“Gan-kongcu, harap kau suka mengeluarkan senjatamu agar kita dapat segera menguji
kepandaian masing-masing. “ Dengan hati–hati Thio Sin menyebut “menguji kepandaian
masing-masing” dan tidak menguji kepandaian pemuda itu, oleh karena ia menduga bahwa
pemuda itu tentu berkepandaian tinggi dan belum tentu ia dapat mengalahkannya.
Gan Bu Gi balas menjura, “Ciangkun, biarlah kau saja yang mempergunakan senjata, siauwte
akan menghadapimu dengan bertangan kosong saja. Bukankah kita hanya hendak main-main
saja?”
Thio Sin marah sekali dalam hatinya karena jawaban ini. Biarpun tidak dikeluarkan untuk
menghinanya akan tetapi maksudnya sama dengan memandang rendah. Ia adalah perwira
kelas satu di kota Kiangsui, bahkan apabila ia menjadi perwira di kotaraja, sedikitnya akan
menduduki kelas tiga. Ilmu silatnya tinggi dan sudah dikenal oleh semua orang. Apakah
sekarang ia harus menghadapi seorang pemuda gunung yang bertangan kosong ini dengan
senjatanya? Sungguh memalukan sekali. Jangankan sampai kalah, biarpun ia mendapat
kemenangan, namanya akan jatuh dan ia akan ditertawakan orang karena sebagai seorang
perwira tinggi ia melawan dan menjatuhkan seorang pemuda tak ternama yang bertangan
kosong dengan menggunakan siang-kiam! Maka ia lalu berkata,
“Gan-kongcu, aku percaya bahwa kau memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya. Akan
tetapi kalau kau tidak menghadapiku dengan senjata, terpaksa ujian ini tidak dapat
dilanjutkan.”
Mendengar ucapan ini, Bong Bi Sianjin lalu bangun dari tempat duduknya dan berkata
dengan suara keras,
“Ciangkun, kalau muridku sudah menggunakan senjata, maka pertandingan ini tidak akan
menarik lagi. Akan tetapi oleh karena memang sudah menjadi peraturan, biarlah muridku
mempergunakan senjata dan kau bersama tiga orang kawanmu itu maju berbareng hingga
pertempuran ini akan menarik dan sedap ditonton! Bu Gi, kau pergunakanlah senjatamu, akan
tetapi jangan yang tajam, cukup dengan jubahmu itu saja,” perintahnya kepada muridnya.
Gan Bu Gi mengangguk dan segera menanggalkan jubahnya yang panjang itu. Ternyata
bahwa di sebelah dalam ia memakai pakaian yang ringkas dan kini ia nampak gagah sekali. Ia
menggulung jubahnya itu dan memegang di tangan kanan, lalu berkata kepada Thio Sin,
“Ciangkun, kau telah mendengar usul suhu tadi. Harap kau dan ketiga orang kawanmu itu
maju berbareng dan marilah kita main-main sebentar!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 11
Saking marah dan mendongkolnya melihat kesombongan Bong Bi Sianjin yang mengusul
agar muridnya itu dikeroyok empat, Thio Sin tak dapat mengeluarkan kata-kata dan hanya
memandang dengan mata terbelalak marah. Akan tetapi ketiga orang kawannya tak dapat
menahan kemarahan hatinya lagi. Mereka ini adalah tiga saudara yang disebut Kiangsui Sameng
atau Tiga Pendekar Kiangsui karena sebelum mereka menjadi perwira-perwira pengawal
Liok Ong Gun, memang mereka ini merupakan tiga saudara cabang atas di kota itu.
Kepandaian mereka tidak rendah, hanya kalah sedikit saja dari Thio Sin, maka kini
mendengar kesombongan itu, mereka menjadi marah sekali dan berbareng mereka melompat
ke tengah lapangan sambil mencabut pedang masing-masing!
“Baik, kami akan maju bareng!” kata Thio Sin. “Akan tetapi, ini bukan kehendak kami.”
Kemudian ia menghadapi Liok Ong Gun untuk minta perkenan pembesar itu.
Liok Ong Gun juga merasa penasaran ketika melihat betapa para perwiranya dipandang
rendah. Ia ingin sekali melihat apakah benar-benar pemuda itu dengan sepotong jubah saja
sanggup menghadapi keempat orang perwira yang memegang pedang, maka ia lalu
mengangguk dan berkata,
“Karena mereka yang meminta, biarlah kalian mulai saja.”
Tin Eng merasa semakin kagum dan heran. Ia kagum melihat kelihaian pemuda itu dan heran
melihat keberaniannya. Ia maklum bahwa empat orang perwira ayahnya itu memiliki
kepandaian yang tidak rendah dan apabila mereka maju bersama, maka mereka merupakan
merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi diam-diam ia merasa gembira oleh karena ia
akan menyaksikan pertandingan yang benar-benar hebat.
Sementara itu, pelayan muda yang tadi masih mencabuti rumput dan hanya menonton
pertandingan yang terjadi antara Gan Bu Gi dengan Lie Bong, kini juga tertarik sekali hingga
lupa untuk melakukan pekerjaannya. Dengan tangan kiri memegang sekepal rumput yang
sudah dicabut, ia berjongkok tanpa bergerak dan nongkrong di situ sambil memandang
dengan hati berdebar.
Gan Bu Gi dengan tenangnya berdiri menghadapi empat orang perwira itu dengan jubah
tergulung dalam tangannya. Sikapnya tenang, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya
sehingga Liok Ong Gun makin lama makin kagum saja melihatnya. Pemuda yang baru
berusia paling banyak dua puluh tahun itu benar-benar mengagumkan, baik kepandaian
maupun keberaniannya.
Melihat sikap pemuda itu, Thio Sin lalu berkata sambil menahan marahnya, “Kongcu, kau
sendiri yang memilih senjatamu, jangan kau menyesal kalau nanti roboh di tangan kami.”
“Tidak akan ada penyesalan dalam hal ini dan silahkan mulai, cuwi ciangkun!” jawab Gan Bu
Gi yang memperlebar senyumnya. Pemuda ini merasa gembira sekali bukan karena
kemenangannya, akan tetapi oleh karena ia maklum bahwa Tin Eng gadis bidadari itu sedang
memandangnya dengan penuh perhatian dan ia mendapat kesempatan untuk memamerkan
kepandaiannya kepada dara jelita yang telah membetot hatinya.
Thio Sin dan kawan-kawannya lalu mulai menyerang dengan senjata mereka. Gerakan
mereka itu gesit dan cepat sekali, setiap serangan yang mereka lakukan amat berbahaya. Akan
tetapi pemuda itu dengan tenangnya lalu menggerakkan jubah di tangannya dan sekali gus
saja semua senjata lawan dapat ditangkis dengan hebat. Empat orang perwira itu merasa
terkejur sekali ketika merasa betapa tenaga yang keluar dari tangkisan itu hebat dan kuat
sekali, maka mereka lalu maju lagi mendesak dari segala jurusan dengan berpencar. Sebentar
saja pemuda itu terkepung dari empat penjuru dan datangnya serangan lawan bagai hujan.
Akan tetapi ia segera berseru keras dan Tiba-tiba jubah di tangannya yang kini menjadi
sebatang senjata yang keras dan kuat itu, diputar demikian cepatnya sehingga tubuhnya
tertutup sama sekali oleh gulungan sinat senjata istimewa ini.
Tak terasa lagi Tin Eng berseru dengan suara nyaring, “Bagus sekali!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 12
Sementara itu, pelayan muda Bun Gwat Kong yang juga merasa kagum, tak terasa pula
meremas-remas rumput digenggamannya sehingga menjadi hancur. Kini ia tidak berjongkok
lagi akan tetapi berdiri dan memandang tanpa berkedip. Ia kagum melihat kehebatan
permainan silat Gan Bu Gi dan diam-diam merasa iri hati melihat betapa senjata istimewa
pemuda itu dapat melindungi dirinya sedemikian rupa terhadap kurungan lima batang pedang
dari keempat perwira itu. Memang Gan Bu Gi hendak mendemonstrasikan kepandaiannya dan
ia hanya memperlihatkan kekuatan menahan semua serangan itu tanpa membalas sedikit pun.
Tiga puluh jurus lebih telah berjalan dan senjata empat orang perwira itu ternyata sama sekali
tidak dapat mendesak padanya. Kini barulah mereka maklum dan mengakui keunggulan
pemuda itu dan merasa kuatir karena tadinya mereka sama sekali tak pernah menyangka
bahwa pemuda gunung itu demikian lihai.
“Bu Gi, rampas senjata mereka!” Tiba-tiba Bong Bi Sianjin berseru dengan gembira.
Mendengar perintah suhunya ini, Gan Bu Gi lalu berseru keras dan gulungan baju panjang di
tangannya lalu bergerak secara luar biasa sekali. Kini baju itu bergulung-gulung dan sebentar
saja ia berhasil melibat sepasang siang-kiam dari Thio Sin dan sekali membetot, sepasang
pedang itu terlepas dari pegangan dan jatuh di atas lantai! Tiga pendekar Kiangsui terkejut
melihat ini dan sebelum mereka sempat mengelak, pedang mereka telah terlibat pula dan
terbetot sehingga terlepas dari pegangan pula!
Pada saat itu juga, Lie Bong yang berhati curang melihat kekalahan kawan-kawannya, dari
belakang lalu mengirim tusukan dengan pedangnya tanpa memberi peringatan lebih dulu.
Tin Eng yang bermata tajam dapat melihat gerakan ini dan ia tak dapat menahan jeritannya,
sedangkan pelayan muda yang berdiri di belakangnya lalu tanpa disadarinya menggerakkan
tangan yang mengepal hancuran rumput tadi. Gerakan ini dilakukannya karena ia pun melihat
hal itu dan terkejut. Maksudnya hendak mencegah kecurangan itu, akan tetapi karena ia tidak
berani maju, maka tangannya secara otomatis lalu melempar bubukan rumput itu ke arah
pedang yang ditusukkan!
Gan Bu Gi juga merasa datangnya angin tusukan senjata, maka secepat kilat ia memutar tubuh
dan menggerakkan jubahnya untuk menangkis! Semua kejadian ini terjadi cepat sekali dan
semua mata ditujukan ke arah Lie Bong dan Gan Bu Gi hingga tak seorangpun melihat
datangnya hancuran rumput itu. Dengan tenaga yang luar biasa, hancuran rumput itu
memukul pedang Lie Bong dan sambil berteriak keheranan, perwira ini merasa betapa
pedangnya disambar oleh sebuah tenaga raksasa sehingga pedangnya terlepas dari pegangan!
Sementara itu, jubah di tangan Bu Gi sudah menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi,
‘senjata rahasia’ yang membentur dan melemparkan pedang Lie Bong tadi, terpental dan
dengan tenaga yang masih hebat kini meluncur ke arah jubah Gan Bu Gi. “Brettt!” Jubah itu
tertembus oleh hancuran rumput dan menjadi bolong!
Gan Bu Gi terkejut sekali dan cepat menarik kembali jubahnya yang ketika diperiksa ternyata
telah menjadi bolong! Ia mengerling ke arah Tin Eng yang memandangnya dengan dada lega
karena pemuda itu dengan secara lihai sekali telah menyelamatkan diri. Tak seorangpun tahu
bahwa ada senjata rahasia yang aneh telah menolong pemuda itu. Orang satu-satunya yang
tahu hanyalah Gan Bu Gi sendiri dan pemuda ini pun menyangka bahwa nona jelita itulah
yang telah menolongnya, maka diam-diam ia menjadi girang sekali dan juga terkejut karena
tak disangkanya bahwa nona itu sedemikian lihai sehingga tenaga sambitannya berhasil
membuat jubahnya menjadi berlubang!
Dengan senyum manis Gan Bu Gi mengangguk ke arah Tin Eng dan berkata perlahan-lahan,
“Terima kasih!”
Hal ini membuat Lie Bong merasa heran karena tadipun ia tak mengerti mengapa tiba-tiba
pedangnya terlepas sedangkan jubah di tangan lawannya itu belum menyentuh sendjatanya.
Juga Tin Eng merasa terheran karena ia tidak mengerti mengapa pemuda itu berterima kasih
kepadanya. Yang paling merasa heran adalah si pelayan muda itu sendiri. Tanpa disengaja ia
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 13
menyambit ke arah pedang Lie Bong dan melihat betapa benda lunak yang disambitkannya itu
dapat melemparkan pedang perwira itu, bahkan menembus jubah di tangan Gan Bu Gi, ia
merasa terheran-heran dan menjadi bengong! Kemudian ia lalu pergi dari situ, masuk ke
dalam kandang kuda di mana ia duduk melamun sambil mengelus-elus kuda yang menjadi
sahabat baiknya.
Sementara itu, Thio Sin dan kawan-kawannya lalu menjura kepada Gan Bu Gi dan dengan
jujur berkata, “Gan taihiap benar-benar hebat! Kami berlima mengaku bahwa kau memiliki
ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada kami. Sudah sepatutnya kalau kau diangkat menjadi
Panglima Tertinggi di Kiangsui!”
Memang Thio Sin seorang yang cerdik. Tadinya ia merasa penasaran karena pemuda ini
dianggap sebagai pendesak kedudukannya. Akan tetapi setelah menyaksikan betapa lihainya
pemuda ini, ia merasa lebih baik menjadikannya sebagai sahabat dari pada sebagai musuh,
maka ia lalu memuji-mujinya untuk mengambil hati.
Liok Ong Gun merasa girang bukan main. Ia menghampiri pemuda itu dan melepaskan ikat
pinggang berikut pedangnya, diberikan kepada Gan Bu Gi sambil berkata, “Gan-hiante, mulai
sekarang kau kuangkat menjadi kepala perwira di daerah Kiangsui ini dan terimalah pedangku
ini sebagai tanda pangkatmu!”
Gan Bu Gi lalu menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih.
Sementara itu, Bong Bi Sianjin dan Seng Le Hosiang juga menghampiri sambil tertawa
tergelak-gelak.
“Liok Ong Gun,” kata Seng Le Hosiang. “Tugasku telah selesai dan pinceng merasa girang
sekali bahwa kau dapat menerima Gan Bu Gi. Sekarang aku hendak kembali karena masih
ada urusan lain yang harus pinceng selesaikan.”
“Pinto juga mau pergi, taijin. Tentang perjodohan itu, biarlah lain kali kita bicarakan! Bu Gi,
berhati-hatilah dalam pekerjaanmu!”
Setelah berkata demikian, dua orang kakek pertapa itu berkelebat dan bagaikan dua ekor
burung saja, tahu-tahu tubuh mereka telah berada di atas dinding yang mengelilingi gedung
itu! Sekali lagi mereka melambaikan tangan kemudian berkelebat lenyap dari situ.
Tin Eng memandang semua itu dengan kagum dan ketika ia melihat betapa Gan Bu Gi sekali
lagi memandangnya dengan mata mengandung penuh perasaan, ia menjadi malu. Wajahnya
menjadi merah dan cepat-cepat ia berlari masuk ke dalam gedung.
****
Bun Gwat Kong yang berdiri termenung di kandang kuda sambil mengelus-elus leher kuda itu
masih saja terheran-heran. Ia lalu membungkuk dan mengambil sekepal makanan kuda yang
sudah hancur, lalu ia sambitkan makanan kuda itu ke arah tiang dengan sekuat tenaga.
Dengan mudah saja benda itu melesat ke dalam tiang kayu yang keras! Bukan main herannya
sehingga ia bergidik sendiri karena ngerinya. Bagaimana ia bisa mempunyai kelihaian seperti
itu?
Memang, di luar tahunya, pemuda ini memiliki kepandaian dan tenaga lweekang yang luar
biasa sekali. Hal ini memang aneh sekali, akan tetapi baiklah kita berhenti sebentar untuk
mengikuti pengalaman pemuda ini semenjak ia masih kecil sehingga ia menjadi pelayan di
rumah gedung keluarga Liok.
Bun Gwat Kong ini sebenarnya adalah putera tunggal seorang tihu di kota Lam-hoat sebelah
selatan. Ayahnya adalah seorang tihu yang amat adil dan bijaksana, serta jujur menjalankan
tugasnya. Ketika Gwat Kong masih kecil, ayahnya, yakni Bun-tihu, memeriksa perkara
seorang hartawan yang diadukan oleh orang-orang kampung karena memeras mereka dan
merampas tanah hak milik rakyat tani. Sebagai seorang tihu yang adil, Bun-tihu menjatuhkan
keputusan yang adil, mendenda hartawan itu dan merampas tanah itu untuk dikembalikan
kepada yang berhak, orang-orang kampung yang miskin.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 14
Hal itu tentu saja membuat hartawan she Tan itu menjadi sakit hati dan dengan pengaruh
uangnya, Tan-wangwe (hartawan she Tan) itu lalu memfitnahnya kepada pembesar yang lebih
tinggi pangkatnya dan dengan curang sekali ia menyuruh seorang penjahat untuk mencuri
harta dan cap kebesaran pembesar itu lalu disembunyikan ke dalam kamar Bun-tihu.
Kemudian Tan-wangwe mendakwa tihu itu sebagai seorang kepala pencuri yang diam-diam
mengepalai serombongan pencuri untuk mengumpulkan harta kekayaan. Rumah Bun-tihu
diperiksa dan benar saja, harta dan cap yang tercuri itu telah diketemukan di dalam kamarnya,
sedangkan maling yang melakukan perbuatan itu pun lalu menyerahkan diri dan mengaku
bahwa ia adalah anak buah Bun-tihu yang menjadi kepala gerombolan maling. Tentu saja
semua ini adalah tipu muslihat Tan-wangwe yang sudah memberi suapan besar kepada
pembesar itu sehingga Bun-tihu akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman. Diam-diam maling
yang telah membantu itu dibebaskan, bahkan banyak mendapat hadiah dari Tan-wangwe.
Peristiwa ini merupakan malapetaka besar bagi keluarga Bun. Bukan hanya karena hukuman
itu, akan tetapi yang lebih menyedihkan hati Bun-tihu ialah kehancuran namanya. Nama yang
tadinya putih bersih dan yang dijaganya dengan baik itu tiba-tiba saja menjadi ternoda kotor
dan hina. Ia tak kuat menahan kesedihannya dan akhirnya membunuh diri di dalam tahanan!
Nyonya Bun telah menjadi janda yang miskin karena setelah Bun-tihu ditangkap, harta
bendanya dirampas semua dengan alasan bahwa harta benda itu datang dari hasil rampokan
dan curian. Dengan kejamnya pembesar-pembesar atasan mengusir Nyonya Bun serta putera
tunggalnya dari rumah itu. Nyonya ini lalu meninggalkan Lam-hoat dan dengan hati hancur,
nyonya bangsawan yang tidak biasa hidup melarat ini merantau ke utara.
Ketika malapetaka itu menimpa keluarganya Bun Gwat Kong baru berusia lima tahun dan
anak kecil yang belum tahu apa-apa ini hanya dapat menangis di sepanjang perjalanan karena
sebagai putera bangsawan ia pun tidak biasa melakukan perjalanan jauh dan sengsara seperti
itu! Akhirnya ibu dan anak ini setelah mengalami kesengsaraan hebat, tiba di sebuah kota di
sebelah utara Lam-hoat. Kota ini adalah kota Ki-hong dan di sinilah nyonya Bun memilih
tempat tinggal. Mereka mondok di tempat seorang petani miskin dan nyonya Bun lalu
mempergunakan kepandaiannya untuk membuat kain sulaman indah dan menyuruh puteranya
menjual hasil kerajinan tangan itu ke rumah orang-orang hartawan. Karena hasil kerjanya
memang indah dan bermutu tinggi, maka barang-barang itu laku baik dan mendatangkan
penghasilan yang cukup untuk biaya sehari-hari.
Kalau ia mau, nyonya Bun tentu saja dapat pergi ke rumah orang tua atau keluarga lainnya
yang terdiri dari orang-orang hartawan, akan tetapi nyonya ini mempunyai keangkuhan yang
tinggi dan ia tidak mau menumpangkan diri membikin repot orang lain. Selain ini, ia pun
merasa malu karena tahu bahwa nama keluarganya telah menjadi cemar karena peristiwa itu.
Hatinya berduka dan sakit sekali kalau teringat betapa suaminya telah meninggal dunia dalam
keadaan yang amat menggenaskan. Kalau dia tidak mengingat puteranya, Gwat Kong, tentu
nyonya ini telah membunuh diri pula karena sedih dan malu.
Kini ia hidup hanya untuk putera tunggalnya. Dengan rajin ia mendidik puteranya itu dalam
hal kepandaian membaca dan menulis. Gwat Kong belajar dengan tekun dan rajin sehingga ia
dapat memiliki kepandaian itu dengan baik karena otaknya memang tajam. Selama lima tahun
sehingga usianya menjadi sepuluh, Gwat Kong merupakan seorang anak yang rajin bekerja
membantu ibunya dan rajin belajar pula hingga kesedihan hati ibunya banyak terhibur
karenanya.
Akan tetapi, sudah menjadi lazimnya bagi seorang anak laki-laki untuk bermain-main dan
bergaul dengan sesama kawannya. Di waktu senggang, Gwat Kong keluar dari rumah dan
bermain-main dengan banyak kawan di kota itu dan memang sesungguhnya bahwa pergaulan
itu mempengaruhi hidup dan tabiat seseorang. Setelah banyak bergaul dengan pemudapemuda
yang nakal maka mulai berubahlah sifat Gwat Kong yang tadinya pendiam dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 15
penurut. Ia mulai malas belajar, bahkan kadang-kadang pada saat ibunya menyuruh dia
mengantarkan hasil sulaman, anak itu tidak ada di rumah, entah pergi bermain-main di mana.
Ibunya mulai berkuatir, apalagi setelah makin lama Gwat Kong makin menjadi malas, bahkan
kini berani pula pergi membawa uang yang dimintanya dari nyonya itu. Nyonya Bun mulai
menegur anaknya, akan tetapi tidak ada hasilnya. Diam-diam Gwat Kong telah kena pengaruh
pergaulan yang kurang baik.
Kawan-kawannya yang suka berjudi itu menyeretnya sehingga anak remaja yang baru berusia
sepuluh tahun itu kini gemar berjudi dan bertaruh mengadu jangkrik. Bahkan, yang lebih
hebat lagi Gwat Kong mulai belajar minum arak dengan kawan-kawannya. Dan yang aneh,
anak ini ternyata kuat sekali minum arak dan dalam beberapa bulan saja, tidak ada seorang
pun anak di kota itu yang berani bertanding minum arak dengan Gwat Kong. Oleh karena itu,
maka tak lama kemudian Gwat Kong disebut oleh kawan-kawannya ‘Ciu-siauwkoai’ atau
setan arak kecil!
Baiknya bukan hanya keburukan yang ia dapat dari pergaulannya dengan anak-anak jahat itu,
akan tetapi juga ada hasilnya yang baik yakni kepandaian silat. Ia mulai gemar belajar silat
karena selalu kalau sedang bermain-main dan berkelahi, ia menjadi korban yang menderita
kekalahan. Dan seperti juga dalam hal minum arak, dalam hal ilmu silat pun setelah ia mulai
belajar dari guru silat kota itu yang menerima bayaran, tak seorangpun di antara kawankawannya,
biar yang lebih besar sekalipun, dapat melawannya dalam perkelahian. Selain
tenaganya besar, iapun memiliki kecerdikan sehingga dapat mempergunakan sedikit ilmu silat
yang dipelajarinya dengan baik dan praktis, sedangkan sebagian besar kawan-kawannya itu
hanyalah mempelajari ilmu silat untuk dipakai berlagak belaka, bagus dilihat kalau bersilat
seorang diri, akan tetapi tidak ada gunanya jika menghadapi lawan.
Melihat keadaan puteranya ini, luka di hati nyonya Bun kambuh kembali. Tadinya hatinya
yang terluka karena peristiwa yang menimpa keluarganya itu mulai sembuh dan terhibur, akan
tetapi kini melihat keadaan puteranya, ia teringat kembali kepada suaminya dan berpikir
bahwa anaknya takkan menjadi demikian apabila suaminya masih hidup! Hal ini amat
mendukakan hatinya dan nyonya yang bernasib malang itu jatuh sakit. Barulah Gwat Kong
merasa terkejut dan menyesal sekali melihat ibunya jatuh sakit, dan sekali gus ia lalu
menghentikan kebiasaannya pergi bermain dan meninggalkan rumah itu. Ia berdiam saja di
rumah menjaga, akan tetapi terlambat. Penyakit nyonya ini bukanlah penyakit biasa, akan
tetapi penyakit yang timbul dari kesedihan hati dan akhirnya, setelah menghabiskan uang
simpanan untuk membeli obat guna menyembuhkan ibunya ternyata penyakit itu mengantar
nyonya Bun pulang ke alam baka.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya itu, dengan suara terputus-putus menceritakan
kembali peristiwa yang menimpa keluarganya kepada Gwat Kong yang telah lupa sama sekali
akan hal itu. Setelah mengubur jenazah ibunya atas bantuan beberapa orang kawan Gwat
Kong yang baru berusia dua belas tahun itu, tak pernah dapat melupakan sakit hatinya yang
timbul serentak setelah mendengar cerita ibunya. Ia bersumpah di depan kuburan ibunya
untuk membalas dendam ini kepada Tan-wangwe yang tinggal di Lam-hoat. Dengan tabah
anak yang baru berusia dua belas tahun itu lalu pergi ke Lam-hoat dan setelah mendapatkan
rumah gedung Tan-wangwe ia lalu masuk kedalam rumah itu dan memaki-maki lalu
mengamuk.
Akan tetapi, apakah daya seorang anak tanggung yang hanya memiliki kepandaian silat
pasaran? Ia dianggap anak gila yang datang mengacau dan setelah menerima gebukangebukan
dari para penjaga sehingga tubuhnya bengkak-bengkak dan kulitnya matang biru, ia
dibebaskan dan diusir bagaikan seekor anjing.
Bukan main hancur dan gemasnya hati Bun Gwat Kong menerima hinaan ini. Ia lalu keluar
meninggalkan Lam-hoat dan terus merantau ke utara. Akhirnya ia sampai di kota Kiangsui
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 16
dan setelah mencari pekerjaan di sana-sini, akhirnya ia diterima sebagai seorang pelayan di
gedung keluarga Liok, Kepala daerah Kiangsui yang kaya raya itu.
Pada waktu itu, Gwat Kong telah berusia tiga belas tahun. Dengan pikiran dewasa telah
membuat ia dapat merahasiakan keadaannya. Ia bekerja dengan rajin sekali. Sikapnya yang
sopan dan pendiam membuat ia disukai oleh Liok Ong Gun dan orang-orang yang tinggal di
gedung itu.
Cita-cita Gwat Kong hanyalah untuk bekerja dengan baik, mengumpulkan hasil upahnya
untuk kemudian dipakai biaya mencari guru silat dan kemudian membalas sakit hati orang
tuanya.
Di antara semua orang yang tinggal di gedung besar itu, yang paling menarik hatinya ialah
puteri tunggal keluarga Liok, yakni Tin Eng. Semenjak ia melihat anak perempuan itu, ia
merasa kagum sekali dan timbul perasaan yang aneh dalam dadanya. Biarpun Tin Eng selalu
memperlakukannya dengan kasar dan menyuruhnya mengerjakan ini itu dengan lagak seorang
majikan memerintah hambanya, namun selalu Gwat Kong melakukannya dengan taat dan
girang. Entah mengapa, ia merasa girang sekali apabila ia dapat melakukan sesuatu untuk
menyenangkan hati gadis cilik itu!
Dengan adanya Tin Eng inilah maka Gwat Kong seakan-akan lupa akan segala. Lupa akan
kesukaannya minum arak, lupa akan cita-citanya belajar silat dan bahkan lupa pula akan
maksudnya membalas dendam sakit hati orang tuanya! Makin lama ia tinggal di situ, makin
betahlah ia dan sedikitpun tidak ada keinginan dalam hatinya untuk meninggalkan tempat itu.
Bahkan ia bekerja makin rajin hingga ia makin disuka saja.
Ia tahu bahwa Tin Eng suka sekali akan kembang-kembang indah, maka tiap hari ia merawat
kebun kembang di belakang gedung itu, menjaganya baik-baik, menanaminya dengan bungabunga
indah dan setiap hari selain menyapu kebun itu sehingga bersih, ia pun mencabuti
rumput-rumput yang tumbuh di situ. Tanpa diperintah ia lalu menggulung lengan baju dan
mencangkuli tanah yang ditumbuhi tumbuhan liar di sebelah barat kebun itu untuk
memperluas kebun kembang.
Dan kerajinannya inilah yang mendatangkan hal yang sama sekali tak pernah diduganya dan
yang kemudian mengubah keadaan hidupnya sama sekali.
Pada suatu hari, ketika dengan rajinnya ia pagi-pagi sekali mencangkul tanah liar yang keras
karena banyak terdapat batu-batu di tempat itu, Tiba-tiba ia berseru keras karena kaget. Ia
telah memukul benda yang amat keras dengan cangkulnya dan ketika diperiksanya ternyata
cangkulnya telah patah ujungnya! Dengan heran ia lalu menggali tanah itu, karena kalau
hanya batu yang terpukul cangkulnya tadi, tak mungkin cangkul itu sampai rusak. Benar saja
dugaannya, setelah ia menggali di bawah tanah itu terdapat sebuah peti logam yang kecil,
akan tetapi berat dan kokoh kuat sekali.
03. Cinta Kasih Pelayan Muda
Dengan hati berdebar ia membersihkan peti besi itu dan ternyata bahwa tutup peti itu tidak
terkunci. Ia lalu membukanya dan karena tertutup itu rapat sekali, maka tidak ada tanah yang
masuk ke dalam peti. Akan tetapi, kalau tadinya ia menyangka akan mendapatkan harta
pusaka di dalam peti, ia kecewa, karena ternyata bahwa isi peti itu tak lain hanyalah tiga buah
kitab yang kertasnya telah menjadi kuning saking tuanya. Terutama yang sebuah dan yang
paling tebal, sudah amat tuanya dan pinggirannya telah banyak di makan kutu, akan tetapi
tulisan di dalamnya masih lengkap.
Dengan ingin tahu sekali Gwat Kong membuka-buka kitab itu satu demi satu. Kitab pertama
adalah sebuah kitab kecil yang berisi tulisan kecil-kecil dan ternyata kitab ini adalah semacam
kamus yang menerangkan arti tulisan-tulisan kuno. Kitab kedua adalah semacam kitab
pelajaran ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang yang ditulis dengan huruf-huruf amat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 17
buruk, akan tetapi mudah dimengerti isinya. Adapun kitab ketiga yang tertua dan paling tebal
itu, pada sampulnya terdapat lukisan Burung Garuda yang indah sekali dan ketika ia
membukanya ternyata bahwa kitab ini penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang bukan main
bagusnya. Akan tetapi sayang sekali, tulisan-tulisan itu agaknya dilakukan oleh seseorang di
jaman dahulu sehingga bahasanya adalah bahasa kuno yang sukar untuk dimengerti.
Gwat Kong merasa girang juga karena mendapatkan kitab pelajaran ilmu silat itu dan
mengambil keputusan untuk mempelajari ilmu silat dari buku itu. Ia segera mengubur kembali
peti kosong itu dan membawa ketiga kitab tadi ke dalam kamarnya. Kedua kitab yang besar
itu ia bawa dan kitab kecil seperti kamus itu ia masukkan ke dalam saku bajunya.
Dan pada saat itu, datanglah Tin Eng dari dalam. Ketika itu, Tin Eng baru berusia tiga belas
tahun dan Gwat Kong berusia lima belas tahun. Akan tetapi, gadis yang baru berusia tiga
belas tahun itu telah nampak cantik sekali dan ilmu silatnya telah cukup baik karena ia
mendapat didikan dan latihan dari ayahnya sendiri yang menjadi anak murid Gobi-san.
Melihat Gwat Kong membawa dua buah kitab tebal, Tin Eng segera menghampirinya dan
bertanya,
“Eh, Gwat Kong! Apakah yang kau bawa itu?”
Kalau saja yang melihat bukan Tin Eng, pemuda itu tentu segan untuk memperlihatkan kitabkitabnya,
akan tetapi ia memang ingin sekali menyenangkan hati Tin Eng, maka jawabnya,
“Siocia, tadi aku telah mendapatkan sebuah peti terpendam di dalam tanah yang berisi kitabkitab
pelajaran silat!” katanya dengan dengan wajah berseri.
Tin Eng merasa tertarik dan menghampiri lebih dekat.
“Coba kulihat kitab itu!” perintahnya dan tanpa disengaja Gwat Kong memberikan kitab yang
tertua dan yang amat tebal itu. Tin Eng membuka-bukanya sebentar, akan tetapi ia sama
sekali tidak mengerti, bahkan banyak huruf yang tak dikenalnya. Memang gadis ini kurang
pandai tentang ilmu membaca, maka sebentar saja kepalanya yang bagus itu telah menjadi
pening ketika ia membalik-balik beberapa helai kertas dalam kitab itu.
“Ah, ini adalah kitab kuno!” katanya dan perhatiannya menipis.
“Apa isi kitab itu, siocia?” tanya Gwat Kong.
Tin Eng adalah seorang gadis cilik yang cerdik dan tinggi hati. Ia tidak mau kalau sampai
pelayan ini mengetahui bahwa ia tidak mengerti atau tak dapat membaca kitab itu, maka
dengan lagak gagah ia berkata sambil mengembalikan kitab itu,
“Ini adalah kitab berisi syair zaman kuno semacam kitab To Tik King hasil karya Lo cu!”
Mendengar ini Gwat Kong menahan gelinya di dalam hati, karena biarpun ia hanya mengerti
sedikit saja akan isi kitab kuno itu, namun ia tahu bahwa kitab ini bukanlah kitab syair!
Tin Eng lalu memeriksa kitab kedua dan makin lama wajahnya makin berseri-seri.
“Inilah kitab pelajaran silat yang hebat!” serunya dengan bisikan dan kedua pipinya menjadi
merah. “Gwat Kong, kitab ini kau berikan kepadaku saja!”
“Boleh saja, siocia. Untuk apakah kitab seperti itu padaku?” jawab Gwat Kong, padahal kalau
lain orang yang minta, belum tentu akan ia berikan begitu saja.
Akan tetapi, setelah membaca halaman pertama dari kitab itu, Tin Eng lalu berkata lagi,
“Gwat Kong, kau harus merahasiakan hal ini dari siapa pun juga, bahkan kepada ayah sendiri
kau tidak boleh menceritakan tentang kitab ini, mengerti? Kitab kuno itu boleh kau simpan,
akan tetapi jangan sampai ketahuan orang lain!”
Gwat Kong mengangguk, akan tetapi ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk
mengetahui sebabnya, maka ia bertanya,
“Baik, siocia. Akan tetapi, bolehkah aku mengetahui sebabnya maka hal ini harus
dirahasiakan?”
Tin Eng memandangnya dengan mata merah. “Kau tidak perlu tahu!” katanya, akan tetapi
agaknya ia merasa bahwa ia berlaku keterlaluan, maka sambil membuka halaman pertama tadi
ia berkata, “ Ini, kau baca sendiri!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 18
Gwat Kong melihat betapa pada halaman pertama itu, di sebelah bawah, terdapat tulisan yang
tadi ia tidak memperhatikannya dan tulisan itu berbunyi demikian,
“Yang mendapatkan kitab ini berarti ada jodoh dan boleh mempelajari ilmu silat ini, akan
tetapi dengan syarat bahwa ia sama sekali tidak boleh memberitahukan kepada orang lain
tentang pelajaran ini.”
Biarpun sepintas lalu saja, Gwat Kong sudah dapat membaca habis kalimat itu, akan tetapi ia
berpura-pura tidak mengerti dan memandang dengan bodoh.
“Aku, tak dapat membacanya, siocia.”
“Ah, ya ...... aku lupa,” kata Tin Eng sambil menarik napas panjang. “Seorang pelayan muda
seperti kau tentu saja tak pandai membaca.” Kemudian ia lalu membacakan kalimat itu
kepada Gwat Kong dan berkata,
“Karena itu, kita harus merahasiakan hal ini dari siapapun juga, dan kitab syair kuno itu boleh
kau simpan atau kau bakar saja karena tiada gunanya.”
“Kalau siocia sudah mempelajari ilmu silat ini tentu akan menjadi pandai sekali,” kata Gwat
Kong dengan mata berseri.
“Sudahlah, jangan banyak mengobrol, lekas kau sembunyikan kitab tebal itu sebelum orang
lain melihatnya,” kata Tin Eng tergesa-gesa dan ia menyembunyikan kitab pelajaran silat itu
di dalam bajunya, lalu masuk ke dalam gedung dan langsung menuju ke kamarnya sendiri.
Gwat Kong juga segera masuk ke dalam kamarnya dan menyembunyikan kitab tebal itu. Dan
barulah ia teringat akan kitab kamus kecil di dalam saku bajunya, maka iapun segera
menyimpan pula kitab kecil itu. Setelah itu ia kembali ke kebun dan melanjutkan
pekerjaannya, akan tetapi hatinya selalu memikirkan penemuan kitab-kitab itu. Giranglah
hatinya memikirkan bahwa ia telah memberi kesempatan kepada Tin Eng untuk mempelajari
kitab itu dan kalau kelak Tin Eng menjadi seorang yang pandai, maka jasanyalah itu.
Setelah malam hari tiba, Gwat Kong mulai mengeluarkan kedua kitab tadi dan membukabukanya.
Alangkah girangnya bahwa kamus kecil itu adalah catatan-catatan yang
menerangkan isi kitab kuno itu sehingga ia mulai dapat membacanya dan bukan main
terperanjat dan gembiranya ketika mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu adalah pelajaran
ilmu silat tinggi terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama adalah pelajaran latihan lweekang dan ginkang, bagian kedua pelajaran ilmu
silat tangan kosong yang disebut Sin-eng Kun-hoat, bagian ketiga adalah pelajaran ilmu silat
pedang yang disebut Sin-eng Kiam-hoat! Kini mengertilah ia bahwa kitab yang dibawa oleh
Tin Eng tadi hanyalah salinan dari pada kitab kuno ini dan yang disalin hanya bagian ilmu
pedangnya saja, akan tetapi menurut dugaannya karena melihat buruknya tulisan penyalin itu,
maka salinan itupun tidak sempurna. Inilah kitab aslinya, kitab kuno peninggalan seorang
sakti yang kini dapat ia pelajari dengan pertolongan kamus kecil ini. Bukan main girangnya
hati Gwat Kong dan ia segera berlutut sambil mengangkat tinggi-tinggi kitab itu dan berbisik,
“Teecu akan mempelajari isi kitab ini, harap locianpwe memberi berkah dan ijin.”
Semenjak saat itu, setiap malam ia mempelajari isi kitab itu dengan penuh ketekunan. Ia
memperhatikan isi kitab itu dari baris pertama dan mempelajarinya dengan penuh kerajinan
dan ketekunan, dengan bantuan kamus itu. Ternyata susunan pelajaran itu rapi sekali dan ia
mulai mempelajari bagian pertama di mana terdapat pelajaran-pelajaran bersemedi dan latihan
napas untuk memperkuat lweekang dan ginkang.
Demikian pula keadaan Tin Eng. Gadis ini dengan diam-diam mempelajari ilmu silat pedang
yang tidak diketahui namanya itu di dalam kamarnya. Dengan girang ia mendapat kenyataan
bahwa ilmu pedang itu benar-benar lihai dan hebat sekali, jauh lebih tinggi dari pada ilmu
silat yang ia pelajari dari ayahnya.
Selama dua tahun lebih, Tin Eng dan Gwat Kong mempelajari isi kitab itu dalam kamar
masing-masing, akan tetapi tentu saja Tin Eng tidak tahu bahwa pemuda pelayan yang bodoh
itu pun sedang mempelajari ilmu silat yang sama dengan yang dipelajarinya, bahkan yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 19
aslinya. Gadis ini hanya melihat betapa tubuh pelayan itu makin kurus saja seperti orang sakit.
Ia tidak pernah menduga bahwa hal ini adalah karena Gwat Kong hampir tak pernah tidur di
waktu malam untuk mempelajari ilmu itu dengan penuh ketekunan.
Dan dalam hal mempelajari ilmu itu, Gwat Kong jauh lebih rajin dari pada Tin Eng dan juga
pemuda itu tidak sering terganggu karena gadis itu tinggal di dalam gedung dan sewaktuwaktu
ibunya dan ayahnya tentu datang ke kamarnya. Sedangkan Gwat Kong tidur di dekat
kandang kuda karena tugasnya pula untuk merawat kuda, jarang sekali mendapat gangguan.
Baik Tin Eng maupun Gwat Kong, keduanya tidak sadar sama sekali bahwa mereka telah
mempelajari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat yang pada ratusan tahun yang lalu telah
menggemparkan dunia persilatan! Bahkan penyalin yang buruk tulisannya itu ketika masih
hidup, merupakan jago silat yang tak terkalahkan sungguhpun ia hanya mempelajari ilmu silat
itu dengan kurang sempurna oleh karena orang itu kurang pandai menyalin isi kitab!
Kedua orang muda itu tidak tahu bahwa di dalam tubuh mereka telah memiliki ilmu
kepandaian yang amat mengagumkan. Terutama sekali Gwat Kong yang mempelajari kitab
aslinya dan yang mempelajari dari tingkat permulaan. Pemuda itu sama sekali tidak merasa
bahwa ia telah memiliki kepandaian kepandaian yang sukar diukur tingginya.
Ketika terjadi pertempuran melawan maling sakti dan berhasil mengalahkan maling itu,
barulah Tin Eng sadar akan kelihaian ilmu pedang yang secara rahasia dipelajarinya itu dan
tentu saja ia menjadi girang dan bangga sekali, akan tetapi pada waktu itu, tetap saja Gwat
Kong sendiri belum menyadari bahwa ia telah memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih
tinggi dari pada Tin Eng!
Gadis yang keras hati dan manja ini tetap memegang teguh rahasianya sehingga biarpun
ayahnya sendiri yang bertanya karena terheran melihat kemajuannya setelah ia berhasil
menangkap maling, tidak diberitahunya tentang kitab itu.
Maka tibalah saatnya Gwat Kong menyadari dan mengherankan kelihaiannya sendiri yakni
ketika terjadi pertandingan sebagai ujian terhadap pemuda Gan Bu Gi itu. Tanpa disengaja ia
menyambit dengan hancuran rumput yang digenggamnya dan ternyata bahwa berkat latihan
lweekang dari kitab itu, ia memiliki pandangan mata yang luar biasa tajamnya sehingga
bidikannya mengenai sasaran dengan tepat!
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, Gwat Kong termenung di kandang kuda sambil
mengelus-elus leher kuda itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, karena selain ia merasa
bangga dan girang mendapat kenyataan tentang kelihaian ilmu silatnya. Iapun merasa amat
gelisah.
Pemuda yang bernama Gan Bu Gi itu amat tampan dan gagah dan agaknya Tin Eng tertarik
hatinya kepada pemuda yang kini diangkat menjadi panglima dalam gedung keluarga Liok. Ia
tidak tahu tentang percakapan kedua kakek itu dengan Liok Ong Gun tentang perjodohan.
Kalau ia tahu, tentu ia akan merasa makin gelisah lagi! Diam-diam dan di luar tahunya,
pemuda yang kini menjadi pelayan ini telah terkena panah asmara yang menancap dalamdalam
di lubuk hatinya.
****
Kawan-kawan baik yang merupakan hiburan bagi Gwat Kong hanyalah kuda-kuda di dalam
kandang dan juga sebuah suling bambunya. Setahun yang lalu ketika ia membabat bambubambu
di dalam kebun kembang, ia merasa suka melihat bambu kecil yang hijau dengan
bintik-bintik kuning, maka dalam waktu senggangnya ia lalu membuat sebatang suling. Ia
tidak pandai menyuling, akan tetapi oleh karena tidak ada hiburan lain, ia mulai mempelajari
dan dapat juga meniup beberapa lagu dari suling buatan sendiri itu.
Akan tetapi ia jarang sekali meniup sulingnya. Malam hari itu, bulan bersinar terang dan
Gwat Kong membawa sulingnya menuju ke kebun kembang. Ia merasa sedih sekali malam itu
karena banyak hal yang mengganggu hatinya. Pertama-tama hal Gan Bu Gi. Telah enam
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 20
bulan lamanya pemuda tampan itu bekerja pada Kepala daerah Liok dan kini pemuda itu
selalu mengenakan pakaian panglima yang menambah kegagahannya.
Ternyata pemuda gunung yang dulu amat sederhana itu, setelah mendapat kedudukan tinggi
dan tinggal di kota besar, kini menjadi seorang pesolek. Hal ini bukan merugikan baginya,
karena ia tampak makin tampan dan makin gagah saja sehingga tidak heranlah apabila Tin
Eng merasa tertarik hatinya. Hal ini amat menggelisahkan dan menyusahkan hati Gwat Kong.
Hal kedua yang membuatnya bersedih pada malam hari itu adalah kenangan tentang dendam
hatinya terhadap Tan-wangwe.
Ia kini telah memiliki kepandaian dan seharusnya ia boleh mencoba kepandaiannya itu untuk
membalas dendam orang tuanya. Akan tetapi bagaimana ia bisa meninggalkan pekerjaan? Ia
tidak merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan, karena iapun tidak terlalu suka menjadi
pelayan seumur hidupnya, akan tetapi yang berat baginya ialah bahwa ia harus meninggalkan
Tin Eng. Tak sanggup rasanya untuk pergi meninggalkan dara jelita yang telah merebut
hatinya itu. Jangankan harus meninggalkan sampai lama dan jauh, sedangkan sehari saja tidak
jumpa, rasa hidupnya menjadi sunyi dan kosong!
Gwat Kong duduk di bawah pohon kembang sambil memandangi bulan yang nampaknya
meluncur maju, melayang-layang dan menari-nari di antara mega-mega putih. Bulan yang
bundar itu tiba-tiba berubah bentuknya, bermata, berhidung dan bermulut lalu perlahan-lahan
terbentuklah wajah Tin Eng yang tersenyum padanya. Ia menggosok-gosok matanya dan
pemandangan itu menjadi buyar lagi. Ah, ... mengapa ia demikian tergila-gila? Ia sama sekali
tidak mempunyai harapan dan mana bisa seorang pelayan rendah seperti dia menjadi jodoh
puteri Kepala daerah yang kaya raya dan berkedudukan tinggi? Berpikir tentang keadaannya
sebagai pelayan, tiba-tiba mengalir air mata dari kedua mata Gwat Kong. Teringatlah ia akan
keadaannya di masa kecil dan kalau saja ia masih menjadi putera Bun-tihu dan tinggal di
gedung besar berpakaian indah, tentu ia mempunyai banyak harapan dan tidak usah khawatir
menghadapi seorang saingan seperti Gan Bu Gi!
Akan tetapi Gwat Kong adalah seorang pemuda yang telah banyak menelan pengalaman pahit
getir sehingga hatinya menjadi kuat dan tabah. Segera ia mengusap pipinya yang basah dan
dipaksanya senyum keluar menghias bibirnya. Sambil menatap bulan di atas kepalanya, ia
berkata dalam hati,
“Kau goblok! Kalau kau masih menjadi putera tihu di Lam-hoat, mana bisa kau bertemu
dengan dia? Mungkin kau menjadi seorang pemuda pemabukan!”
Ia tersenyum lagi dan teringatlah ia akan segala pengalamannya ketika masih kanak-kanak
dan bermain gila dengan kawan-kawannya di kota Ki-hong. Ia merasa menyesal sekali karena
kesesatannya itulah yang membuat ibunya sampai meninggal dunia.
“Aku harus membalas sakit hati ayah ibuku. Harus dan secepat mungkin! Kalau mungkin
besok pagi aku harus pergi.”
Akan tetapi kembali bulan di atasnya itu berubah menjadi wajah Tin Eng yang cantik jelita,
membuat ia menjadi ragu-ragu dan keputusannya tadi menjadi goyah!
“Tin Eng ..... Tin Eng .....” ia berbisik.
Tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya, “Gwat Kong, mengapa kau menyebut-nyebut
namaku?”
Gwat Kong terkejut sekali dan menoleh. Ternyata di belakangnya telah berdiri Tin Eng yang
nampak ayu sekali tertimpa cahaya bulan purnama.
“Kau .... siocia, eh ... tidak, aku tidak menyebut-nyebut nama siapapun juga .....” jawabnya
gugup.
Tin Eng lalu duduk di atas rumput dekat Gwat Kong, membuat pemuda itu merasa berdebardebar
jantungnya. Memang Tin Eng tidak merasa sungkan atau malu-malu pada Gwat Kong
karena biarpun mereka itu majikan dan pelayan namun karena telah empat tahun mereka
tinggal bersama di satu tempat, dan hubungan mereka telah terjadi semenjak Tin Eng baru
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 21
berusia sebelas tahun dan Gwat Kong tiga belas tahun, maka Tin Eng menganggap Gwat
Kong sebagai seorang pelayan dan sahabat yang baik.
Gadis itu duduk sambil memandang bulan, wajahnya tertimpa cahaya bulan sepenuhnya, yang
menimbulkan pemandangan yang membuat hati Gwat Kong berdenyut-denyut lebih cepat
dari pada biasanya.
“Alangkah indahnya bulan itu,” kata Tin Eng dengan wajah berseri-seri.
“Nona, kau nampak gembira sekali,” kata Gwat Kong perlahan, mengagumi wajah cantik itu
selagi pemiliknya memandang bulan dan tidak memperhatikannya.
“Mengapa tidak? Hidup ini memang penuh kegembiraan,” jawab Tin Eng sambil tersenyum
manis, dan dara itu tetap memandang bulan.
Gwat Kong juga mengalihkan pandangannya kepada bulan lalu bertanya tanpa menoleh,
“Kalau begitu kau tentu berbahagia, siocia?”
“Tentu saja!” jawab yang ditanya secara langsung. “Mengapa aku tidak bahagia?”
Gwat Kong memandang kepada gadis itu lagi dan mereka bertemu pandang karena ketika
menjawab tadi, Tin Eng juga menatap wajahnya.
“Kau berhak menikmati kebahagiaan, siocia,” katanya perlahan.
“Setiap manusia berhak berbahagia,” jawab Tin Eng memandang tajam. “Gwat Kong, apakah
kau hendak berkata bahwa kau tidak bahagia?”
“Gwat Kong memandang ke arah bulan lagi. “Bahagia ...? Apakah bahagia itu ...?”
pertanyaan ini diucapkan dengan ragu-ragu dan perlahan, seakan-akan ia menggajukan
pertanyaan itu kepada bulan dan sang bulan agaknya tidak dapat menjawab karena buktinya ia
menyembunyikan dirinya di balik awan untuk menghindari pandang mata dan pertanyaan
Gwat Kong yang sulit itu!
Tin Eng merasa penasaran. “Setiap orang berhak berbahagia!” ia mengulangi. “Dan kau juga!
Mengapa kau tidak harus berbahagia? Apakah bedanya kau dan aku? Setiap hari aku makan
nasi dan kau pun juga. Aku boleh bergembira dan kau pun juga. Apakah perbedaan antara
kita?” Tiba-tiba ia sadar dan segera disambungnya cepat-cepat, “Ah, barangkali karena kau
merasa diri hanya sebagai seorang pelayan dan aku seorang puteri bangsawan. Di situkah
letak perbedaannya? Akan tetapi Gwat Kong, hal itupun tidak menjadi penghalang bagimu
untuk menikmati kebahagiaan hidup.” Memang gadis ini pandai sekali menghubungkan
sesuatu dengan filsafat hidup yang banyak dibacanya ketika ia dipaksa mempelajari ilmu
kesusasteraan oleh ayahnya.
Gwat Kong merasa tidak enak untuk melanjutkan percakapan ini, maka ia lalu berkata,
“Entahlah, siocia, akan tetapi buktinya hingga sekarang aku masih belum tahu apakah artinya
kebahagiaan, yang ada hanyalah penderitaan dan kekecewaan,” ia menghela napas.
“Kasihan kau, Gwat Kong,” kata Tin Eng dan untuk beberapa lama keduanya diam saja
memandang bulan yang telah muncul kembali, terbenam dalam lamunan masing-masing.
Tiba-tiba Gwat Kong insyaf betapa berbahagianya keadaan ini. Belum pernah ia mengadakan
percakapan semesra ini dengan gadis impiannya itu dan ia maklum bahwa kalau sampai Lioktaijin
melihat mereka duduk berdua di atas rumput menikmati cahaya bulan, akan
berbahayalah jadinya. Teringat akan hal ini, ia merasa khawatir, bukan untuk diri sendiri,
akan tetapi khawatir kalau-kalau gadis itu akan mendapat teguran dan marah dari ayahnya.
“Sudahlah, siocia, mari kita bicarakan tentang lain hal. Bagaimanakah dengan .... dengan
kitab pelajaran silat itu?”
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Tin Eng agak terkejut dan ia sadar kembali dari
lamunannya.
“Kitab itu? Ah, justru inilah maksud kedatanganku. Aku sengaja mencarimu dengan dua
maksud, Gwat Kong. Pertama-tama untuk mengucapkan terima kasihku atas penemuan kitab
pelajaran itu. Kalau bukan kau yang mendapatkan kitab itu dan menyerahkan kepadaku serta
menjaga sehingga rahasia ini tertutup baik-baik, aku takkan mendapat kemajuan sehebat ini.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 22
Gwat Kong pura-pura tidak mengerti dan bertanya, “Jadi kitab itu berguna bagimu, siocia?”
“Berguna? Bukan main! Sepuluh orang guru silat yang mengajarku belum tentu sebesar itu
gunanya! Setelah aku menangkap maling dulu itu, barulah aku merasa betapa hebatnya
kemajuan silatku, bahkan kini kepandaianku sudah lebih tinggi dari pada kepandaian ayah
sendiri!”
“Aduh, hebat sekali, siocia!” kata Gwat Kong dengan kagum dan girang.
“Karena itu, maka aku mengucapkan banyak terima kasih kepadamu dan sebagai pembalasan
budi, kalau kiranya kau perlu akan sesuatu, aku bersedia membantumu, Gwat Kong. Kau
ajukanlah permintaanmu dan aku akan memberikannya sebagai hadiah.”
Gwat Kong memandang dengan muka merah. “Apakah yang dapat kuminta, siocia? Aku ...
aku tidak membutuhkan sesuatu.”
“Uang misalnya, atau pakaian? Aku akan memberi dengan suka hati.”
Gwat Kong menggelengkan kepalanya. Pada saat itu, hanya satu hal yang dikehendaki dari
gadis itu, akan tetapi seribu ujung pedang takkan kuasa memaksanya membuka mulut, karena
yang dibutuhkan itu adalah .... hati penuh cinta kasih dari gadis itu. “Tidak, siocia, aku tidak
membutuhkan sesuatu. Terima kasih atas kebaikanmu.”
Tin Eng menghela napas panjang. “Kau mengecewakan hatiku, Gwat Kong. Dengan
demikian maka aku tetap berhutang budi kepadamu dan entah kapan aku dapat membayarnya.
Sekarang hal kedua, yaitu aku hendak minta tolong kepadamu.”
“Bagaimanakah aku yang bodoh ini dapat menolongmu, siocia?”
“Dengarlah. Kau tentu tahu sendiri betapa lihai ilmu silat Gan-ciangkun yang kita saksikan
ketika ia diuji dulu itu.”
Kalau saja cahaya bulan bukannya memang sudah pucat, tentu Tin Eng akan dapat melihat
betapa wajah pemuda itu menjadi pucat ketika mendengar kata-kata ini. “Kau maksudkan
pemuda yang bernama Gan Bu Gi itu, siocia?”
Tin Eng mengangguk. “Ya, dialah, akan tetapi jangan sekali-kali kau menyebut namanya
begitu saja, harus menyebut Gan-ciangkun karena ia telah menjadi perwira kelas satu, bahkan
menjadi panglima dari ayah. Nah, aku ingin sekali mencoba kepandaiannya, kau harus
menyampaikan kepadanya akan keinginan hatiku ini. Kalau mungkin, besok malam suruhlah
dia datang ke tempat ini untuk mengadu kepandaian dengan aku. Kalau belum mengukur
kepandaiannya dengan ilmu pedangku sendiri, aku masih belum puas.”
Untuk beberapa saat Gwat Kong tak dapat berkata-kata. Hatinya merasa perih sekali karena ia
dapat menduga bahwa gadis ini tertarik oleh ketampanan wajah panglima muda itu, maka
hendak mencoba kepandaiannya pula sebagai pembukaan isi hatinya!
“Bagaimana, Gwat Kong? Kau mau menolongku atau tidak?”
“Tentu saja, siocia. Besok pagi aku berusaha menyampaikan hal ini kepadanya. Akan tetapi,
bagaimana kalau sampai ayahmu mendapat tahu?”
“Ah, hal itu tidak mengapa. Bukankah sudah lazim bagi orang-orang berkepandaian silat
untuk mengadakan pibu (adu kepandaian)? Dan pibu inipun hanya untuk menguji kepandaian
masing-masing saja. Kalau ayah marah, biarlah aku yang menghadapinya!” Anak manja ini
memang tidak takut kepada ayahnya.
Sambil menekan hatinya yang perih, Gwat Kong mengangguk dan berkata, “Baiklah, siocia.
Mudah-mudahan ia tidak akan mengecewakanmu.”
“Eh, eh, apa maksudmu?”
“Tidak apa-apa, siocia. Maksudku mudah-mudahan dia mau menerima tantanganmu ini
sehingga kau tidak akan menjadi kecewa.”
Tin Eng lalu meninggalkan Gwat Kong yang duduk termenung di tempat semula. Kini ia
lebih berduka lagi dan makin tetap keputusannya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Akan
tetapi, betapapun juga ia harus memenuhi kehendak Tin Eng dulu dan iapun hendak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 23
menyaksikan sampai di mana kepandaian gadis itu, dan apakah ia akan dapat menandingi Gan
Bu Gi yang lihai itu.
Pada keesokan harinya, Gwat Kong mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Gan Bu Gi.
Dengan cepat ia menghampiri dan berkata,
“Gan-ciangkun, saya membawa pesan dari Liok-siocia untukmu.”
Panglima muda ini nampak tercengang dan memandang heran. Ia sudah kenal kepada pemuda
pelayan ini yang pandai membawa diri maka ia lalu bertanya, “Gwat Kong, jangan kau mainmain!
Pesan apakah yang dapat disampaikan Liok-siocia kepadaku?”
Melihat di situ tidak ada orang lain, Gwat Kong lalu berkata, “Siocia minta agar supaya
ciangkun suka datang di kebun bunga malam nanti untuk mengadu kepandaian pedang.”
Gan Bu Gi merasa makin terkejut, “Apa maksudmu? Mengadu pedang bagaimana?”
“Ah, benar-benarkah kau tidak tahu, ciangkun? Pendeknya siocia ingin mengajak pibu
kepadamu dan harap saja ciangkun suka menerima tantangan ini. Malam nanti siocia menanti
di taman bunga.”
Karena pada saat itu muncul pelayan lain, Gwat Kong lalu tinggalkan panglima muda yang
masih berdiri dengan mata terbelalak itu. Gan Bu Gi masih terlampau muda dan kurang
pengalaman untuk dapat mengetahui isi hati Tin Eng yang hendak mengukur sampai di mana
tingkat ilmu silatnya itu. Namun ia merasa girang juga mendapat kesempatan untuk bertemu,
bhakan mungkin bercakap-cakap dengan gadis yang cantik. Selama ia berada di situ sampai
enam bulan, ia hanya mendapat kesempatan sedikit saja untuk bertemu muka dengan Tin Eng.
Karena ia harus berlaku sopan dan menjaga diri agar jangan sampai tercela oleh Liok-taijin.
Pada malam hari itu, bulan masih bersinar terang, akan tetapi Gwat Kong tidak seperti
biasanya, tidak keluar dari kamarnya, karena ia tidak mau mengganggu Tin Eng yang hendak
mengadu kepandaian dengan Gan Bu Gi, sungguhpun ia ingin sekali menyaksikannya. Selagi
ia duduk termenung di dalam kamarnya tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.
Ketika ia membuka daun pintu, ternyata bahwa yang mengetuk itu adalah Tin Eng. Memang
kamar Gwat Kong yang berada di dekat kandang kuda itu tidak jauh letaknya dari kebun
kembang.
“Gwat Kong, kau harus ikut menyaksikan pibu ini hingga kalau sampai ketahuan oleh ayah
aku mempunyai saksi bahwa aku tidak bermaksud buruk dalam hal ini.”
Gwat Kong menyembunyikan rasa girangnya. Ia bergirang oleh karena tidak saja ia mendapat
kesempatan menyaksikan pertandingan, juga karena ternyata bahwa gadis itu benar-benar
berhati bersih dan hanya ingin menguji kepandaian Gan Bu Gi belaka tanpa maksud-maksud
lain.
Mereka lalu menuju ke tengah kebun kembang di mana memang terdapat lapangan berlatih
silat yang dulu dipergunakan untuk menguji kepandaian Gan Bu Gi itu. Mereka tidak usah
lama menanti, oleh karena Gan-ciangkun tak lama kemudian datang dengan sikapnya yang
gagah. Ia menjura dengan hormat kepada Tin Eng yang dibalas dengan selayaknya. Jelas
nampak kekecewaan membayang pada muka yang tampan itu ketika ia melihat Gwat Kong
berada di situ pula.
“Saya mendengar dari Gwat Kong tentang pesanan siocia maka sekarang saya datang untuk
memenuhi pesanan itu. Sebetulnya apakah kehendak siocia?” tanyanya.
“Tidak lain aku ingin mengadu kepandaian pedang denganmu, ciangkun. Marilah kita main
pedang sebentar untuk menambah pengalaman,” jawab Tin Eng singkat dan ia agak malumalu.
Gan Bu Gi tersenyum, senyum yang manis memikat dan yang membuat dada Gwat Kong
terasa panas.
“Siocia, kepandaianmu telah kusaksikan dan aku masih berterima kasih atas pertolonganmu
dulu itu. Baiklah, kalau kau masih penasaran dan hendak mengujiku, silahkan!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 24
Biarpun Tin Eng merasa heran mendengar ucapan yang tidak dimengertinya ini, akan tetapi ia
tidak mau membuang waktu lagi dan mencabut pedangnya. Juga Gan Bu Gi mencabut pedang
dari pinggangnya sedangkan Gwat Kong yang mengerti bahwa panglima itu salah sangka
ketika dulu ia membantunya terhadap serangan gelap dari perwira Lie Bong, lalu duduk di
atas rumput dan menonton mereka mengadu kepandaian.
“Silahkan menyerang, siocia,” kata Gan Bu Gi dengan tenang dan ia memasang kuda-kuda
dengan melintangkan pedang pada dadanya dan tangan kirinya diangkat ke atas dengan sikap
yang amat menarik.
“Awas pedang!” seru Tin Eng yang segera maju menyerang dan menggunakan ilmu pedang
Garuda Sakti yang baru dipelajarinya selama hampir tiga tahun itu.
04. Penolakan Jodoh Puteri Kepala Daerah
Ketika pertama kali datang di tempat itu, Gan Bu Gi sudah menyaksikan gadis ini berlatih
pedang, maka ia maklum bahwa ilmu pedang gadis ini tinggi dan lihai serta tak boleh
dianggap ringan, maka ia lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri dan
jangan sampai dikalahkan.
Tangkisan pedang di tangan Gan Bu Gi membuat Tin Eng merasa terkejut sekali karena
ternyata olehnya bahwa tenaga lweekang dari pemuda itu masih jauh melebihi tenaganya
sendiri, sedangkan gerakan pemuda itu pun gesit sekali, menandakan bahwa ginkangnya
sudah sempurna. Namun berkat ilmu pedangnya yang mempunyai gerakan-gerakan aneh dan
sukar diduga perubahannya, ia dapat mendesak pemuda itu dengan serangan-serangan kilat.
Sementara itu, begitu melihat mereka bertempur dan setelah memperhatikan jalannya
pertempuran selama belasan jurus, tahulah Gwat Kong bahwa ilmu pedang Tin Eng masih
jauh dari sempurna dan banyak sekali terdapat kesalahan-kesalahan. Ia maklum bahwa hal ini
adalah kesalahan penyalinan kitab itu yang agaknya tidak begitu paham tentang isi tulisan
kuno itu, akan tetapi harus diakui bahwa biarpun hanya salinan yang buruk, namun apa yang
telah dipelajari oleh gadis itu merupakan ilmu pedang yang kalau sudah dilatih sempurna akan
sukar menemukan tandingan! Dan ia maklum pula bahwa ternyata Gan Bu Gi mempunyai
ilmu kepandaian yang berisi dan dalam hal lweekang dan ginkang, pemuda itu jauh lebih
unggul dari pada Tin Eng.
Betapapun juga, kalau saja Tin Eng mempelajari ilmu pedang itu sedikitnya lima tahun saja,
belum tentu Gan Bu Gi akan dapat dengan mudah mempertahankan diri terhadap seranganserangan
yang aneh itu. Pada saat itu Gan Bu Gi sendiri menjadi terkejut dan ia maklum
bahwa kalau ia tidak segera mendahuluinya dan mempergunakan tenaga untuk merampas
pedang Tin Eng, mungkin sekali ia akan terkena bencana di ujung pedang lawannya karena
gerakan ilmu pedang ini benar-benar aneh dan belum pernah dihadapinya seumur hidupnya.
“Maaf, siocia!” serunya keras setelah mereka bertanding tiga puluh jurus lebih dan dengan
sekuat tenaga ia menyampok pedang Tin Eng dengan pedangnya, sedangkan tangan kirinya
diulur untuk menangkap pergelangan lengan gadis itu! Tenaga sampok dan yang disertai
tenaga lweekang, sepenuhnya ini tentu saja tak dapat tertahan oleh Tin Eng yang hanya
mendapat latihan dari ayahnya dalam hal lweekang, maka sambil berteriak kaget ia terpaksa
melepaskan pegangannya pada gagang pedangnya sehingga pedang itu mencelat ke atas
sedangkan lengannya sudah terpegang oleh lengan Gan Bu Gi.
Tin Eng merasa malu sekali dan membetot lengannya. Gan Bu Gi juga melepaskan lengan
yang halus sekali kulitnya itu dan ia menyambar pedang Tin Eng yang melayang turun, lalu
memberikan pedang itu kepada Tin Eng sambil menjura,
“Ilmu pedangmu hebat sekali, nona, hingga terpaksa aku menggunakan tenaga untuk
merampasnya. Maaf, maaf!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 25
Dengan muka merah karena jengah Tin Eng menerima pedangnya dan berkata, “Kau lihai,
ciangkun!” Lalu gadis ini berlari menuju ke dalam gedung.
Gan Bu Gi masukkan pedang dalam sarung pedangnya dan menoleh kepada Gwat Kong yang
masih duduk di atas rumput, “Gwat Kong ...”
“Ya, Gan-ciangkun.”
“Gadis itu .....”
“Kau maksudkan, Liok-siocia? Ya, mengapa dia ....?”
“Gadis itu ..... sungguh manis sekali!”
“Memang manis dan lihai ilmu pedangnya.”
“Kulihat dia itu ......”
“Teruskanlah, ciangkun, jangan malu-malu.”
“Agaknya sudah pantas kalau ia menjadi isteriku yang tercinta. Bagaimana pendapatmu, Gwat
Kong?”
Akan tetapi Gwat Kong membalikkan tubuhnya dan terdengar suaranya, “Hm ..... entahlah,
aku ingin menengok kuda di kandang. Malam ini dingin sekali, kuatir kalau-kalau mereka
gelisah.” Dan Gwat Kong lalu lari ke kamarnya di dekat kandang kuda.
Gan Bu Gi tidak memperdulikan hal ini, lalu melangkah dengan senyum di bibir, kembali ke
kamarnya yang berada di gedung sebelah timur. Hatinya puas dan lega sekali, harapannya
makin membesar dan malam itu ia mendapat mimpi indah dalam tidurnya.
****
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gwat Kong sudah membuat persiapan untuk pergi
dari situ. Ia membungkus pakaiannya yang tak seberapa banyak itu dalam sebuah buntalan
kain kuning dan bersiap untuk menghadap Liok-taijin dan minta ijin serta menyatakan terima
kasih. Wajahnya pucat sekali oleh karena selain berduka, ia juga tidak tidur semalam suntuk,
mengenang nasibnya yang buruk.
Akan tetapi, ketika ia berjalan menuju ke ruang dalam ia bertemu dengan seorang penjaga
yang berkata kepadanya, “Gwat Kong, kau beritahu taijin bahwa Seng Le Hosiang, hwesio
yang dulu datang itu, kini datang minta bertemu.”
Gwat Kong terpaksa menunda maksudnya dan menyampaikan laporan itu kepada Liok Ong
Gun yang baru saja bangun dari tidurnya. Pembesar ini lalu berdandan dan menyambut
kedatangan susiok-couwnya dengan hormat sekali.
“Liok Ong Gun, pinceng datang untuk melanjutkan urusan perjodohan dulu itu. Bong Bi
Sianjin tak dapat datang karena ia sedang menghadapi urusan penting, maka akulah yang
mewakilinya. Bagaimana dengan keadaan Bu Gi?” Hwesio ini dengan suaranya yang besar
datang-datang membicarakan urusan perjodohan dan tidak perduli sama sekali bahwa di situ
terdapat Gwat Kong dan dua orang pelayan lain.
Liok Ong Gun menjawab sambil tersenyum. “Gan-ciangkun baik-baik saja dan sebentar lagi
ia tentu akan datang ke sini. Adapun tentang perjodohan itu, susiok-couw, harus teecu
tanyakan dulu kepada isteriku dan juga kepada anak itu sendiri!”
Gwat Kong menjadi pucat karena ia maklum bahwa yang dibicarakan ini tentulah perjodohan
antara Gan Bu Gi dan Tin Eng!
“Ha ha ha! Liok Ong Gun, kau ternyata berhati lemah. Kalau kau sendiri sudah setuju, tentu
saja anak isterimu juga setuju. Bagaimanakah pendapatmu sendiri?”
Dengan terus terang Kepala daerah itu menjawab, “Bagi teecu sendiri memang Gan-ciangkun
merupakan seorang pemuda yang baik dan memenuhi syarat, akan tetapi teecu tidak mau
memutuskan sebelum mendengar pendapat anak isteri teecu.”
Pada saat itu, Gan Bu Gi yang telah diberitahu akan kedatangan hwesio itu lalu datang dan
berlutut di depan Seng Le Hosiang sebagai penghormatan.
“Bagus, Bu Gi, kau nampak makin gagah saja. Ketahuilah, kedatanganku ini mewakili
suhumu untuk mematangkan urusan perjodohanmu dengan puteri Liok Ong Gun.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 26
Merahlah wajah pemuda itu mendengar kata-kata yang terus terang ini. Ia merasa malu-malu
dan juga bergirang hati. Kemudian ia duduk di dekat hwesio itu dan Liok Ong Gun lalu
berkata kepada Seng Le Hosiang, “Apakah teecu harus memberi keputusan sekarang juga,
susiok-couw?”
“Tentu, sekarang juga. Tak usah sungkan-sungkan, tinggal menyatakan setuju atau tidak,
habis perkara. Pinceng tak dapat tinggal terlalu lama di sini.” Dari kata-katanya, dapat
diketahui bahwa hwesio tua yang lihai ini mempunyai tabiat terus terang dan kasar.
Liok Ong Gun lalu minta permisi untuk merundingkan hal itu dengan anak isterinya, lalu ia
memerintahkan dua orang pelayan yang berada di situ bersama Gwat Kong untuk
mengeluarkan arak wangi dan menjamu hwesio itu bersama Gan-ciangkun. Dua orang
pelayan itu segera mengambil arak dan hidangan pagi, dan dengan hati tak keruan rasa, Gwat
Kong lalu menuangkan arak pula pada cawan mereka.
Sambil minum arak dan makan buah kering, Gan Bu Gi menceritakan tentang pertandingan
malam tadi dengan Tin Eng. Mendengar ini Seng Le Hosiang tertawa-tawa girang sehingga
arak cawannya tumpah sedikit membasahi jubahnya. Akan tetapi ia tidak memperdulikan hal
ini, bahkan lalu berkata kepada Gan Bu Gi sambil tertawa, “Ha ha ha, kalau begitu, sudah
sepuluh bagian perjodohanmu akan berhasil. Nona itu ternyata menaruh perhatian kepadamu.
Ha ha ha! Siapakah pelayan yang baik hati dan yang menjadi perantara mempertemukan
kalian berdua itu?”
Gan Bu Gi tersenyum dan menunjuk ke arah Gwat Kong, “Dia inilah orangnya yang telah
begitu baik hati, locianpwe.”
Seng Le Hosiang memandang kepada Gwat Kong dan kembali ia tertawa besar, “Ha ha ha ....
orang seperti kau ini tidak pantas menjadi pelayan, anak muda. Hayo kau duduk di sini dan
menemani kami minum arak!”
Tentu saja Gwat Kong tidak berani melakukan hal itu dan dengan takut-takut ia menjawab,
“Ah, losuhu, mana siauwte yang rendah ini berani berlaku kurang ajar?”
“Tidak ada yang rendah atau tinggi, semua orang sama saja! Mari kau minum arak dengan
kami,“ kata hwesio itu.
Gan Bu Gi sudah maklum akan tabiat hwesio tua itu, maka ia lalu berdiri dari kursinya,
memegang lengan Gwat Kong dan menariknya perlahan.
“Marilah, Gwat Kong, mari kau minum sedikit arak agar kegirangan kami bertambah.”
Terpaksa Gwat Kong duduk di sebelah kursi Gan Bu Gi dan kedua orang pelayan kawannya
memandang dengan terheran-heran, akan tetapi mereka tidak berani ikut mencampuri hal ini
karena takut kepada Gan-ciangkun. Menghadapi secawan arak wangi dalam keadaan hati
menderita sedih, timbullah kembali nafsunya terhadap minuman keras itu. Nafsu minum arak
bermabuk-mabukan yang selama empat tahun dapat dipadamkan dan terpendam di dasar
perutnya itu, kini tiba-tiba menyala kembali dan berkobar membakar dadanya. Hanya araklah
yang akan menghilangkan rasa sedih yang menggerogoti hatinya, pikirnya sambil
menghabiskan arak secawan itu dengan sekali teguk!
Bukan main herannya kedua pelayan itu melihat betapa cara Gwat Kong minum arak
menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli minum kawakan! Juga Gan Bu Gi memandang
heran, akan tetapi Seng Le Hosiang tertawa terbahak-bahak dan memenuhi cawan pemuda itu
sampai penuh sekali.
“Ha ha ha! Betul dugaanku tadi, kau tidak pantas menjadi pelayan, dan ternyata kau seorang
laki-laki sejati. Hayo minum lagi, anak muda!” Sambil berkata demikian, hwesio yang doyan
arak ini mengangkat cawan araknya yang telah dipenuhinya dan mereka minum lagi.
Arak yang diminum oleh Gwat Kong itu adalah arak tua yang wangi dan sudah tersimpan
lama maka kerasnya bukan main. Biarpun dulu, empat tahun yang lalu, Gwat Kong kuat
sekali minum arak, akan tetapi karena dulu ia belum pernah minum arak sekeras ini dan juga
telah lama sekali perutnya tidak berkenalan dengan minuman keras, pula karena malam tadi ia
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 27
tidak tidur sama sekali dan perutnya tidak diisi, maka setelah minum enam cawan arak wangi,
ia mulai terkena pengaruh minuman keras itu. Tubuhnya bergoyang-goyang dan ia mulai
memandang kepada Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang dengan sinar mata berani dan tidak
malu-malu seakan-akan mereka itu kawan-kawan baiknya sendiri, sedangkan ia kini mulai
ikut tertawa-tawa senang.
Melihat hal ini, baik kedua orang pelayan yang melayani mereka maupun Gan-ciangkun dan
Seng Le Hosiang, merasa geli dan gembira sekali.
“Tambah arak, tambah arak!” kata Seng Le Hosiang dengan girang dan kedua pelayan itu
tidak berani membantahnya, karena mereka maklum bahwa hwesio tua ini adalah susiokcouw
dari Liok-taijin dan memiliki ilmu yang hebat sekali.
Setelah minum lagi beberapa cawan, Gwat Kong menjadi mabuk betul-betul. Ia tersenyumsenyum
dan kedukaan lenyap sama sekali dari wajahnya.
Ia mengangkat cawan dan memberi selamat kepada Gan-ciangkun, “Gan-ciangkun, kionghi,
kionghi ....”
“Nanti dulu,” kata Gan Bu Gi sambil tertawa, “Kau memberiku selamat untuk apakah?”
“Bukankah kau telah berhasil memetik setangkai bunga indah di dalam taman keluarga Liok?
Kiongho, sekali lagi kionghi (selamat) .... kau berbahagia sekali!” Dengan iringan suara
ketawa riang mereka bertiga minum kembali araknya.
“Memang perempuan itu seperti kembang ....” Gwat Kong mulai mengoceh.
“Ha ha ha! Kau pandai membuat syair agaknya,” kata Seng Le Hosiang. “Belum pernah aku
bertemu dengan pelayan sehebat kau. Teruskan, teruskan!”
Sambil tersenyum-senyum dan berdiri dari kursinya memandang ke kanan kiri seperti seorang
pemain sandiwara sedang berlagak, Gwat Kong melanjutkan kata-katanya dengan suara
merayu, “Perempuan itu bagaikan kembang ... kembang yang indah jelita ....”
“Betul, betul!” kata Gan Bu Gi yang juga sudah kemasukan ‘setan’ arak.
“Kembang indah membuat setiap laki-laki ingin memetiknya .... akan tetapi kembangnya
yang indah selalu berduri ......”
Gan-ciangkun dan Seng Le Hosiang tertawa lagi dengan girang.
“Perempuan itu bagaikan bintang di langit yang cemerlang ...” kata pula Gwat Kong yang
makin ‘panas’ otaknya. “Setiap orang ingin sekali terbang ke sana. Akan tetapi, yang tidak
bersayap jangan harap akan dapat mencapainya, dan sayap itu harus terbuat dari pada emas
permata ....”
“Eh, Gwat Kong, apakah kau tidak ingin pula memetik kembang indah juita dan terbang ke
bintang gemilang?” tanya Seng Le Hosiang sambil tertawa-tawa lagi.
“Aku ... aku pelayan hina dina yang miskin, yatim piatu yang bernasib malang, mana dapat
dibandingkan dengan dia ...? Perempuan itu akan memandang rendah kepadaku, paling
banyak hanya akan memerintah ini-itu, atau bermurah hati sedikit memberi senyum tak berarti
..... aku .... bagianku hanya di kandang kuda.”
“Ha ha ha! Jangan berkata demikian, anak muda. Kau cukup tampan dan baik, hati wanita
akan tergerak melihat mukamu,” kata Seng Le Hosiang.
Gwat Kong menggeleng-geleng kepalanya. “Tak mungkin! Aku mencintainya semenjak
pertama kali melihatnya, memujanya bagaikan dewi, akan tetapi bagaimana aku dapat
menyatakan cintaku? Kalau dia menjadi bulan, aku hanyalah sebatang rumput kering yang
hanya dapat mengharapkan cahayanya yang sejuk pada saat ia muncul. Kalau ia tidak muncul,
aku hanya boleh mengeluh dan menderita atau makin mengering!”
Tiba-tiba Gan Bu Gi bangun berdiri dan dengan mata memandang tajam ia membentak.
“Gwat Kong! Siapakah perempuan yang kaumaksudkan itu?”
Akan tetapi Gwat Kong sudah lupa betul-betul akan keadaan dirinya itu dan yang kini
mendapat jalan untuk menumpahkan semua isi hati dan kesedihannya, tidak memperdulikan
pertanyaan ini dan terus mengoceh sambil memukul-mukul, “ha ha, namanya juga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 28
perempuan! Mudah sekali terpikat oleh harta benda, kedudukan, wajah tampan! Sekali saja
melihat ketiga hal itu menjadi satu dalam diri seorang pemuda, lupalah ia akan pemuda lain
yang miskin dan hina. Padahal akulah yang memberinya kesempatan untuk mempelajari ilmu
pedang ....”
“Gwat Kong!” sambil membentak marah Gan Bu Gi mengulur tangan mendorong tubuh Gwat
Kong sehingga pemuda itu terdorong ke belakang, akan tetapi Gwat Kong tidak roboh
tertelentang, bahkan lalu berjumpalitan ke belakang, sampai empat kali dalam gerakan yang
aneh dan indah sekali. Ia jatuh berdiri dan tertawa bergelak-gelak.
Bukan main terkejutnya Gan Bu Gi menyaksikan kehebatan ginkang ini, bahkan Seng Le
Hosiang juga terperanjat. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini memiliki kelihaian
seperti itu.
“Anak muda, kau siapakah sebenarnya?” tanya Seng Le Hosiang dengan suara keras.
“Ha ha ha !” Gwat Kong tertawa terbahak-bahak. “Aku siapa? Aku adalah seorang pelayan
hina-dina, mana dapat dibandingkan dengan Gan-ciangkun. Seorang wanita akan memilih
dengan mudah. Ia tak mau memandang sebelah mata kepadaku walaupun aku yang telah
mendpapatkan kitab pelajaran pedang .... memang dia sudah lupa akan budi ....!”
Tiba-tiba terdengar seruan halus dan tahu-tahu Tin Eng sudah melompat ke ruang tamu itu
dengan pedangnya di tangan. Wajahnya merah padam karena marahnya.
“Gwat Kong! Tutup mulutmu, atau kau ingin kubunuh dengan pedang ini?” Sambil berkata
demikian gadis itu mengancam dengan pedangnya dan menggigit bibirnya dengan gemas.
“Ha ha ha!” Gwat Kong tertawa lagi. “Kau sudah lihai, dan mau bunuh aku? Silahkan, siocia,
silahkan!”
Dengan marah sekali pedang di tangan Tin Eng bergerak dan menusuk ke arah dada Gwat
Kong. Akan tetapi pemuda itu mengangkat dadanya dan menerima tusukan itu dengan kedua
mata terbuka lebar sehingga Tin Eng tiba-tiba merobah arah tusukannya, akan tetapi masih
saja mengenai lengan kanan Gwat Kong sehingga merahlah lengan bajunya karena darah
yang mengalir keluar dari luka di lengannya. Akan tetapi sedikit pun pemuda itu tidak
memperlihatkan rasa sakit maupun takut.
“Ilmu pedang itu ....” kembali ia mengoceh.
“Gwat Kong, diam! Dan pergi dari sini!” Tin Eng membentak lagi sambil menodongkan
pedangnya pada tenggorokan Gwat Kong. “Kau benar-benar mau menghinaku?”
Mendengar pertanyaan ini, Gwat Kong berseru keras dan mulai melangkah mundur perlahanlahan.
Pikirannya mulai terang dan ia dapat mengingat kembali keadaan. Bukan main
menyesalnya bahwa ia telah menimbulkan kehebohan dan bahkan menghina nama gadis yang
dicintainya. Ia mundur terus dan Tin Eng melangkah maju sambil terus mendorong lehernya.
Akhirnya, Gwat Kong menubruk pilar besar di belakangnya dan ia berdiri mepet pada pilar itu
dan berkata,
“Maaf, maaf .... siocia, maafkan aku ... ah, tidak, tidak! Aku tak dapat dimaafkan ....
bunuhlah! Teruskanlah pedangmu itu, tusukkanlah dan bunuh saja pelayan hina dina ini .....”
Entah mengapa, melihat keadaan Gwat Kong sedemikian itu tiba-tiba saja meloncat keluar
dua butir air mata dari kedua mata Tin Eng. Ia tadinya marah sekali karena sudah lama ia
mengintai dan mendengarkan segala ocehan Gwat Kong dan baru ia melompat keluar ketika
Gwat Kong menyebut tentang kitab pelajaran ilmu pedang.
Sementara itu, Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi berdiri sambil memandang peristiwa itu
dengan terheran-heran. Juga dua orang pelayan memandang dengan heran dan takut kalaukalau
pedang itu akan benar-benar menusuk tenggorokan Gwat Kong.
“Kau ... kau berani menghina, berani kau mencemarkan namaku di depan orang lain ... kau ....
benar-benar kurang ajar ....!”
Dengan dada naik turun dan napas tersengal dara yang sedang marah itu berkata dengan suara
hampir tak dapat terdengar.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 29
Gwat Kong tak berani menentang pandang mata Tin Eng, hanya memandang kepada pedang
yang mengancamnya. “Memang, aku kurang ajar dan hina dina, kau teruskanlah seranganmu,
nona.”
Pada saat yang menegangkan itu, Liok Ong Gun yang mendengar suara ribut-ribut masuk ke
dalam ruangan tamu itu dan alangkah terkejutnya melihat betapa puterinya sedang menodong
Gwat Kong dengan pedangnya dan agaknya hendak membunuh pemuda itu.
“Tin Eng!” teriaknya, “Apakah kau sudah gila?”
Mendengar teriakan ayahnya, Tin Eng sadar kembali dari marahnya dan dengan isak tertahan
ia lalu menarik kembali pedangnya dan berlari ke kamarnya di mana ia banting tubuhnya di
atas pembaringan sambil menangis.
Sementara itu, Gwat Kong yang setengah sadar setengah mabuk itu lalu berlutut di depan
Liok Ong Gun dan berkata,
“Taijin, hamba telah melakukan dosa besar, mohon taijin suka memberi maaf sebanyaknya
dan ijinkanlah hamba pergi.”
Liok Ong Gun merasa amat marah dan malu melihat betapa pelayannya yang tadinya
dianggap baik ini ternyata mendatangkan keributan sehingga menimbulkan malu kepada
keluarganya, maka tanpa banyak pikir lagi lalu berkata,
“Pergilah segera dan jangan kau muncul lagi di depanku!”
Gwat Kong bangkit berdiri lalu berjalan ke arah kamarnya dengan terhuyung-huyung,
mengambil buntalannya dan segera meninggalkan gedung itu dengan hati perih. Luka di
lengannya tak dirasakan lagi. Akan tetapi luka di hatinya terasa menyakitkan seluruh
tubuhnya. Pikirannya tidak dapat digunakan dengan baik oleh karena terkacau oleh pengaruh
minuman keras. Setelah keluar dari kota Kiangsui, ia lalu lari. Pengaruh arak membuat ia tak
sadar betapa larinya itu cepat sekali, oleh karena tanpa disengaja ia telah mempergunakan
ginkang yang selama ini dilatih dengan secara diam-diam di dalam kamarnya. Buku pelajaran
silat yang tebal itu dibawanya di dalam buntalan pakaian yang kini berada di atas
punggungnya, berikut juga sejumlah uang yang ia kumpulkan dari hasil upahnya.
Sementara itu, setelah Gwat Kong pergi, Liok Ong Gun menjura kepada susiok-couwnya
menyatakan maafnya, sedangkan hwesio tua itu dengan masih terheran-heran bertanya,
“Ong Gun, sebetulnya siapakah anak muda tadi? Ku lihat ginkangnya tidak rendah!”
Kepala daerah itu merasa heran mendengar ini. “Ginkang? Ah, pemuda itu semenjak berusia
tiga belas tahun telah berada di tempat ini sebagai pelayan dan sama sekali tidak pernah
mempelajari ilmu silat, bagaimana bisa memiliki ginkang?” Kemudian dengan singkat ia
menceritakan keadaan Gwat Kong yang rajin dan jujur.
Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi merasa heran sekali karena tadi mereka benar-benar telah
menyaksikan kepandaian Gwat Kong. Dorongan Gan Bu Gi tadi bukanlah sembarangan
dorongan, akan tetapi adalah gerakan ilmu silat yang disebut Jeng-kin-jiu-pai-san atau Tangan
Seribu Kati Menolak Gunung. Tenaga dorongan itu sedikitnya ada tiga ratus kati dan
jangankan orang yang tidak mengerti ilmu silat bahkan orang yang ilmu silatnya tidak tinggi
dan tidak memiliki lweekang sempurna, tentu akan terdorong roboh. Akan tetapi, Gwat Kong
pelayan yang dianggap bodoh tadi tidak roboh, bahkan memperlihatkan ginkang yang
mengagumkan karena dalam keadaan setengah mabuk dapat berjumpalitan empat kali ke
belakang dan jatuh dalam keadaan berdiri.
Akan tetapi karena cerita Liok Ong Gun amat meyakinkan, mereka menganggap bahwa hal
itu mungkin terjadi karena kebetulan saja dan hal itu tidak dibicarakan pula.
“Bagaimana, apakah sudah ada keputusanmu tentang perjodohan ini?” tanya Seng Le Hosiang
secara langsung oleh karena setelah ia merasa kenyang dan telah cukup lama berada di situ, ia
ingin segera pergi pula.
“Teecu berdua isteri telah setuju dan dapat menerima pinangan ini, akan tetapi sebelum teecu
bertanya kepada Tin Eng sendiri, teecu tidak berani memberi keputusan.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 30
Tiba-tiba Gan Bu Gi yang merasa amat kecewa setelah mendengar dan melihat sendiri
peristiwa yang terjadi antara Tin Eng dan Gwat Kong, diam-diam menaruh hati curiga dan
cemburu terhadap Tin Eng dan pelayan itu, maka lalu berkata cepat,
“Seng Le Locianpwe dan Liok-taijin saya harap hal ini ditunda dulu saja dan dengan
perlahan-lahan diurus, karena baru saja siocia mengalami kekagetan. Mengapa harus amat
tergesa-gesa?”
Akan tetapi Seng Le Hosiang mencelanya, “Bu Gi, kau harus tahu bahwa pinceng datang
menguruskan soal perjodohan ini untuk mewakili suhumu, dan kau tentu tahu pula bahwa
pinceng tidak biasa menunda-nunda urusan. Kau tak usah ikut-ikut membicarakan hal ini!
Bagaimana Liok Ong Gun, apakah pinceng dapat menentukan urusan ini untuk memberi
jawaban kepada Bong Bi Sianjin ?”
Didesak sedemikian rupa, terpaksa Liok Ong Gun yang sebenarnya sudah setuju untuk
mengambil Bu Gi sebagai menantu, menjawab, “Baiklah, susiok-couw, pinangan ini boleh
dianggap sudah diterima dan ikatan jodoh sudah disyahkan, hanya tentang pernikahan,
baiknya diputuskan kemudian untuk menetapkan waktunya. Teecu tidak bisa mendesak
terlalu keras terhadap anak tunggal sendiri, sungguhpun teecu dapat menduga bahwa anakku
tentu takkan keberatan terhadap hal ini.”
Barulah hati hwesio tua itu merasa lega mendengar ini. Ia tertawa tergelak-gelak dan berkata,
“Bagus, bagus! Nah, kalau begitu pinceng pergi sekarang juga dan penetapan hari pernikahan
akan ditentukan kemudian!”
Baik Gan Bu Gi maupun Liok-taijin, tak dapat menahan hwesio yang mempunyai adat kasar
dan aneh itu, hanya mengantarnya sampai di luar gedung.
Setelah itu, Liok-taijin lalu masuk ke dalam gedungnya kembali dengan maksud untuk
menegur puterinya tentang peristiwa tadi dan sekalian menyampaikan hal pinangan itu
kepadanya. Akan tetapi ketika ia tiba di luar kamar Tin Eng, ia mendengar suara isterinya
membujuk-bujuk dan suara Tin Eng menangis.
Ia masuk ke dalam kamar itu dan isterinya segera berdiri melihat ia masuk, akan tetapi Tin
Eng diam saja sambil terisak-isak di atas pembaringannya.
“Tin Eng, sungguh aku tidak mengerti melihat sikapmu tadi. Mengapa kau marah-marah dan
hendak membunuh Gwat Kong di depan para tamu?” Liok-taijin menegur puterinya.
Mendengar pertanyaan ini, bukannya menjawab bahkan Tin Eng menangis makin keras.
Ayahnya menggeleng-geleng kepala dan berkata kepada isterinya, “Coba kau lihat betapa
keras kepala anak kita ini! Sebetulnya mengapa pula ia menangis?”
“Entahlah, semenjak tadi aku bertanya akan tetapi ia hanya menangis saja, memang sukar
sekali mengurus Tin Eng!”
Kedua orang tua itu tentu saja tidak dapat tahu betapa hati dara itu merasa sakit sekali.
Ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Gwat Kong masih bergema di telinganya dan biarpun
hal ini masih membuatnya marah akan tetapi kemarahannya tidak sebesar penyesalannya
teringat akan sikapnya sendiri yang hampir saja membunuh pelayan itu, bahkan telah melukai
lengannya. Gwat Kong selama ini berlaku amat baik kepadanya dan apakah pembalasannya?
Ia teringat betapa ia pernah menyatakan berhutang budi kepada pelayan itu dan belum
membalasnya. Ia merasa kasihan kepada Gwat Kong, terutama kalau ia kenangkan ucapanucapan
pemuda tadi yang dengan terang-terangan menyatakan cinta kasihnya!
“Tin Eng,” ayahnya berkata keras. “Jangan kau berlaku seperti anak kecil! Ketahuilah, usiamu
telah enam belas tahun lebih dan kau telah menjadi seorang dewasa. Perlakuanmu terhadap
Gwat Kong tadi tidak seharusnya dilakukan oleh seorang gadis bangsawan seperti engkau.
Boleh jadi pelayan itu membuat kesalahan, akan tetapi kau tidak berhak untuk turun tangan
sendiri kepadanya di depan susiok-couw dan calon suamimu.”
Mendengar sebutan terakhir ini tiba-tiba Tin Eng serentak bangun duduk dan memandang
kepada ayahnya dengan mata masih merah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 31
Ibunya menaruh tangannya di atas pundak Tin Eng. “Anakku, kau telah dipinang untuk
dijodohkan dengan Gan-ciangkun dan menurut pandangan mata kami berdua, pemuda itu
sudah pantas untuk menjadi suamimu.”
Sebetulnya, hati Tin Eng memang amat tertarik oleh Gan Bu Gi yang selain tampan dan
gagah, juga memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi, sama sekali belum
terpikir olehnya tentang perjodohan, maka ia merasa terkejut sekali mendengar ini. Pula,
ucapan-ucapan Gwat Kong yang masih bergema di telinganya itu membuyarkan sama sekali
perasaan hatinya yang agak condong kepada Gan-ciangkun.
“Ayah, aku tidak ingin menikah dengan siapapun juga!” jawabnya keras dan dengan suara
tetap.
“Anak bodoh! Ayah ibumu telah menerima pinangan itu. Siapa lagi kalau bukan Gan Bu Gi
yang pantas menjadi menantuku?”
“Ya, pantas menjadi menantumu, ayah, akan tetapi aku tidak ingin menjadi isterinya, atau
isteri siapapun juga!” jawab Tin Eng bersikeras.
Marahlah Liok Ong Gun melihat kebandelan anaknya ini. “Tin Eng! Jangan kau berkeras
kepala! Kurang apakah pemuda seperti Gan Bu Gi? Ia cukup tampan, berkepandaian tinggi,
berkedudukan baik, dan beradat baik pula!”
Teringat dara itu kepada ucapan dan sindiran-sindiran Gwat Kong, maka dengan muka merah
ia menjawab, “Boleh jadi ia cakap, gagah, kaya, berkedudukan tinggi. Akan tetapi aku
bukanlah gadis yang tergila-gila akan kekayaan dan kedudukan maupun ketampanan dan
kegagahan. Ayah, aku tidak mau!”
Maka meluaplah kemarahan dalam hati Liok Ong Gun. Ia mengangkat tangan dan menampar
muka Tin Eng sehingga gadis itu menekap pipinya yang tertampar dan air matanya mengalir
kembali. Belum pernah ia ditampar oleh ayahnya dan hal ini amat menyakitkan hatinya.
“Anak tidak berbakti! Kau terlalu dimanja sehingga menjadi keras kepala! Aku memberi
waktu sampai malam nanti untuk kau menyehatkan kembali pikiranmu yang tersesat! Malam
nanti aku menanti jawabanmu yang memastikan dan sekali-kali kau tidak boleh banyak
berbantah dalam hal ini!” Setelah berkata demikian, Liok-taijin tinggalkan kamar itu dan
menutup pintu kamar anaknya keras-keras.
Tin Eng menjatuhkan diri di atas pembaringannya dan menangis sedih. Ibunya memeluknya
dan membujuk-bujuk. Akan tetapi gadis itu tak dapat dihibur dan menangis tersedu-sedu
sehingga habis air matanya ditumpahkan membasahi bantalnya.
05. Pertikaian Murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai
SEMENTARA itu Liok-taijin lalu memanggil kedua orang pelayan yang tadi melayani Seng
Le Hosiang. Ia menyuruh kedua pelayan ini menceritakan segala peristiwa yang terjadi pada
waktu keributan tadi. Karena takut untuk menyembunyikan sesuatu, kedua pelayan itu lalu
menceritakan segala yang mereka dengar dan lihat.
Bukan main marahnya hati Liok Ong Gun mendengar akan kekurang ajaran Gwat Kong dan
ia merasa menyesal mengapa tadi ia membiarkan pemuda itu pergi. Kalau ia tahu akan
menghukumnya. Dan yang paling menyebalkan hatinya ialah pernyataan-pernyataan dan
ucapan-ucapan Gwat Kong yang seakan-akan menyindirkan keadaan Tin Eng dan
menyatakan cinta kasihnya terhadap anaknya. Puteri tunggalnya seorang dara puteri Kepala
daerah, bangsawan dan kaya raya. Orang paling berkuasa di kota Kiangsui, dicinta oleh
seorang bujang pelayan yang rendah dan hina? Kurang ajar sekali anak itu!
Dan ketika memikirkan hal ini, teringatlah ia akan penolakan Tin Eng terhadap perjodohan
itu, maka ia menduga-duga apakah hubungannya penolakan ini dengan kekurang ajaran Gwat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 32
Kong? Makin marahlah ia dan dengan mata terbelalak ia berkata kepada dua orang pelayan
itu, “Kalian berdua harus dapat menutup mulut dan jangan diceritakan segala peristiwa yang
terjadi tadi kepada siapapun juga! Aku akan mencari dan menjatuhi hukuman kepada Gwat
Kong si keparat, dan kalau sampai ada orang luar mendengar tentang peristiwa memalukan
itu, tentu kaulah yang bocor mulut dan awas! Aku takkan memberi ampun kepadamu!”
Kedua orang pelayan itu lalu mengundurkan diri dengan ketakutan dan tentu saja mereka
tidak berani membuka mulut tentang peristiwa yang terjadi pagi tadi, jangankan kepada orang
lain, kepada isteri mereka sendiri mereka tidak berani menceritakan!
Pada malam hari itu, dengan hati penuh harapan, Liok Ong Gun masuk ke dalam kamar
puterinya bersama isterinya untuk meminta jawaban dari gadis itu. Mereka mendapatkan Tin
Eng masih duduk di atas pembaringan sambil termenung.
“Tin Eng, pikirkan baik-baik bahwa kami berdua hanya ingin menunjukkan jalan kebahagiaan
untukmu, maka sebagai seorang anak berbakti kau pun harus mendatangkan kesenangan
dalam hati orang tuamu dengan jawaban yang baik,” kata Liok Ong Gun dengan suara halus
sungguhpun hatinya masih merasa marah karena teringat akan cerita kedua pelayan tadi.
Sampai lama Tin Eng tidak menjawab, hanya memandang kepada kedua orang tuanya.
Kemudian, setelah berkali-kali menarik napas panjang, ia berkata. “Ayah, aku masih belum
bersedia untuk terikat oleh perjodohan, harap kau suka maafkan, ayah.”
Timbullah lagi kemarahan dalam hati Liok-taijin, akan tetapi ditahan-tahannya ketika ia
bertanya dengan muka merah, “Sudah kau pikirkan baik-baik?”
“Sudah, ayah,” jawab gadis itu sambil menundukkan kepalanya.
“Apakah alasanmu maka kau menampik? Apakah tidak suka kepada Gan-ciangkun?”
Tin Eng menggeleng kepalanya. “Tidak ada alasan apa-apa, ayah. Hanya aku belum ada
pikiran untuk menikah. Aku tidak suka mengubah keadaan hidupku dan ingin tinggal seperti
biasa saja.”
“Anak bandel!” Liok-taijin membentak dan kini ia tidak dapat menahan marahnya yang tadi
ditekan-tekannya. Kemarahannya meluap dan ia berkata, “Kau anak tidak berbakti yang
hanya mengecewakan dan membikin malu orang tua! Diatur baik-baik kau tidak menurut, dan
membiarkan dirimu dihina oleh cinta seorang pelayan rendah!”
“Ayah!” Tin Eng memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Hmm, kaukira aku tidak tahu? Anjing she Bun yang hina dina itu telah berani menyatakan di
depan pelayan lain dan susiok-couw bahwa ia mencintaimu! Alangkah rendahnya, sungguh
memalukan! Dan kau .... kau sekarang menolak pinangan Gan-ciangkun, bukankah ini
menimbulkan dugaan seakan-akan kau .... membalas cinta anjing itu ...??”
“Ayah ....!!”
“Tutup mulutmu, aku tidak menyangka bahwa kau membalas cintanya karena tadi pun kau
hendak membunuhnya. Akan tetapi, kalau kau menolak pinangan ini, tentu akan timbul
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 33
dugaan seperti itu dalam hatiku. Pendeknya kau harus menerima pinangan ini dan hari
pernikahan akan ditetapkan kemudian, dan kau tidak boleh membantah. Aku telah menerima
pinangan itu dan tak boleh dibatalkan lagi!”
“Ayah ...!” Akan tetapi Liok Ong Gun telah melangkah pergi, diikuti oleh isterinya yang takut
kalau-kalau suaminya marah apabila ia tinggal di kamar puterinya.
Tin Eng menangis lagi dengan sedihnya. Ia merasa mendongkol dan gemas sekali kepada
Gwat Kong karena pemuda itulah yang menimbulkan gara-gara ini. Kalau saja Gwat Kong
tidak bersikap seperti pagi tadi, tentu ia lebih mudah untuk menolak pinangan itu. Apa daya?
Ayahnya telah memaksa dan ia cukup maklum akan kekerasan hati ayahnya.
Pada keesokan harinya, ketika pelayan wanita memasuki kamar Tin Eng, ia mendapatkan
kamar itu kosong karena Tin Eng telah pergi tak meninggalkan bekas. Gegerlah di dalam
gedung itu dan ternyata kemudian bahwa Tin Eng telah minggat dari rumahnya malam tadi,
membawa beberapa potong pakaian, tanpa meninggalkan pesan sesuatu!
Liok-taijin merasa marah dan malu sekali maka ia lalu memberi perintah kepada para pelayan
dan penjaga di gedung agar hal ini jangan sampai tersiar di luar. Kemudian ia lalu memanggil
Gan Bu Gi dan memberi perintah kepada calon menantu ini untuk membawa beberapa orang
perwira dan pergi mencari Tin Eng. Juga dipesan kalau bertemu dengan Gwat Kong supaya
dibunuh saja pelayan yang menimbulkan kekacauan itu.
****
Bun Gwat Kong yang melarikan diri terus ke selatan tiba di dalam hutan dan ia duduk
beristirahat. Setelah berlari dan keluar peluh, pusingnya akibat arak itu lenyap dan ketika
duduk di tempat teduh dan mendapat siliran angin lalu, terkenanglah ia akan segala peristiwa
yang terjadi dan timbul penyesalan hebat di dalam hatinya. Ia merasa lengannya yang tertusuk
ujung pedang Tin Eng, dan tersenyumlah dia. Luka itu telah mengering, tanda bahwa tiap luka
tentu lambat laun akan sembuh, sebagaimana juga dengan hatinya yang terluka pada saat itu.
Ia maklum bahwa dengan terjadinya peristiwa itu, Tin Eng tentu amat membencinya. Ah, ini
lebih baik lagi, agar ia tidak selalu memikirkan gadis itu karena bukankah gadis itu akan
menjadi isteri orang lain, isteri Gan-ciangkun?
Mendengar siliran angin dan karena perutnya amat lapar, ia lalu berpindah tempat, mencari
tempat yang enak di bawah pohon, tertutup oleh serumpun alang-alang dan sebentar saja ia
sudah tidur pulas.
Belum beberapa lama ia tidur, tiba-tiba terdengar suara ribut tak jauh dari tempat itu sehingga
Gwat Kong terbangun dengan terkejut. Ketika ia memperhatikan, terdengarlah suara senjata
tajam beradu, tanda bahwa di dekat situ terdapat orang-orang sedang bertempur. Dengan
heran Gwat Kong mengintai dari balik rumpun alang-alang itu dan terkejutlah ia ketika ia
melihat bahwa yang bertempur itu adalah seorang tosu tua yang ia kenal sebagai Bong Bi
Sianjin, guru Gan Bu Gi yang dulu datang di gedung Liok-taijin. Tadinya ia menyangka
bahwa kakek itu sedang bertempur dengan dua orang pemuda yang gagah perkasa. Gwat
Kong belum pernah melihat pemuda-pemuda itu, akan tetapi melihat wajah mereka yang
tampan itu membayangkan kegagahan, begitu melihat ia telah merasa suka.
Sebetulnya, pertandingan yang sedang berlangsung itu hebat sekali karena gerakan Bong Bi
Sianjin dan kedua orang lawannya yang muda itu benar-benar lihai dan cepat. Kalau orang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 34
biasa yang melihatnya tentu ia akan menjadi pening dan pandang matanya menjadi kabur.
Akan tetapi, Gwat Kong tanpa menyadari keadaannya sendiri, dapat melihat jalan
pertempuran itu dengan jelas. Ia melihat betapa kedua orang muda itu terdesak hebat oleh
sepasang tangan Bong Bi Sianjin, sungguhpun keduanya menggunakan senjata pedang.
Kedua pemuda itu bertubuh tegap dan berwajah tampan, seorang di antara mereka berbaju
biru dan yang seorang pula berbaju putih. Ilmu pedang mereka gesit dan kuat sehingga
pedang yang dimainkan merupakan gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Akan tetapi
Bong Bi Sianjin yang menghadapi mereka dengan tangan kosong itu dengan tenang dapat
menghindarkan semua serangan pedang dengan ginkangnya yang tinggi hingga tubuhnya
dapat melayang di antara sinar pedang dan membalas dengan pukulan-pukulan yang
digerakan dengan tenaga khikang.
Kadang-kadang tangannya mencengkeram dengan Ilmu Eng-jiauw-kang dan angin
pukulannya ternyata kuat sekali. Kini sepasang pemuda itu telah terdesak hebat, dan tibalah
tendangan Siauw-cu-twi yang datangnya bertubi-tubi dan berhasil mengenai tangan pemuda
baju putih yang memegang pedang sehingga pedang itu terlempar ke atas! Akan tetapi,
pemuda itu ternyata hebat juga, karena ia dapat melompat ke atas dan menangkap kembali
gagang pedang itu!
“Bagus, anak muda murid Hoa-san tidak mengecewakan!” Tosu itu memuji dan mengirim
serangan lagi makin hebat sehingga kedua anak muda itu kini hanya dapat menangkis saja,
karena kedua ujung lengan tosu itu kini dugunakan sebagai senjata yang mengirim pukulan
dan totokan luar biasa!
Gwat Kong yang melihat guru Gan Bu Gi, merasa tidak senang karena betapapun juga ia
menganggap bahwa Gan Bu Gi adalah perusak kebahagiaannya. Ia mengambil tiga buah uang
tembaga dari buntalannya dan dari tempat sembunyinya ia menyambit ke arah tubuh Bong Bi
Tosu di tiga bagian!
Pada saat itu, Bong Bi Sianjin telah mendesak amat hebatnya dan telah dapat dibayangkan
bahwa tak lama kemudian tentu kedua orang muda itu akan roboh ditangannya. Tiba-tiba
nampak berkelebat tiga cahaya menuju ke tosu itu yang menjadi amat terkejut oleh karena
belum juga benda itu sampai, anginnya telah menyambar tiba terasa olehnya!
Dengan cepat Bong Bi Sianjin melompat ke kiri, akan tetapi sebuah di antara tiga senjata
rahasia itu malah melayang ke arah dada sehingga dengan cepat ia menyampoknya dengan
ujung lenagn bajunya. “Brett!” dan terkejutlah Bong Bi Sianjin karena biarpun senjata yang
ternyata hanya sebuah uang tembaga itu dapat dipukul ke samping akan tetapi ujung lengan
bajunya menjadi berlubang.
Padahal ketika menyampoknya tadi, ia telah mengerahkan lweekangnya dan jangankan baru
sebuah uang logam, bahkan baja sekalipun tak mungkin dapat membikin ujung baju itu
berlubang! Ia maklum bahwa pasti ada seorang sakti yang membela kedua pemuda lawannya
itu, maka sambil melompat mundur ia berseru, “Sahabat, terima kasih atas pertunjukkanmu
tadi. Harap suka keluar untuk bertemu muka.”
Akan tetapi, Gwat Kong diam saja dan hanya mengintai dari balik alang-alang itu tanpa
berani bergerak. Bong Bi Sianjin merasa marah sekali dan menganggap bahwa orang sakti itu
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 35
tentu memandang rendah kepadanya, maka ia lalu menjura dan berkata, “”Biarlah, kalau ada
orang pandai melindungi anak murid Hoa-san, lain kali pasti bertemu lagi!” Setelah berkata
demikian, Bong Bi Sianjin melempar pandang mengejek ke arah kedua orang muda itu, lalu
tubuhnya berkelebat dan pergi dari tempat itu.
Kedua orang muda itu lalu memandang ke arah rumput alang-alang dan sambil mengangkat
kedua tangan memberi hormat, si baju biru yang lebih tua berkata, “Inkong (tuan penolong),
kami menghaturkan terima kasih dan harap inkong sudi memperlihatkan diri.”
Akan tetapi tidak ada jawaban sehingga kedua orang muda itu saling pandang dan
mengangkat pundak masing-masing.
“Mungkin dia sudah pergi lagi, “ kata pemuda baju putih.
“Mari kita lihat,” kata yang berbaju biru.
Mereka lalu melangkah maju dan menyingkapkan rumpun alang-alang itu dan bukan main
heran hati mereka ketika melihat di situ hanya ada seorang pemuda yang berpakaian pelayan
sedang berbaring dengan sebuah buntalan digunakan sebagai bantal!
“Kaukah yang menolong kami tadi?” tanya si baju putih dengan ragu-ragu, karena ia tidak
percaya kalau anak muda ini yang berhasil mengusir tosu yang amat lihai itu.
“Siapa yang menolong?” balas Gwat Kong dengan sikap tak acuh. “Aku tidak suka kepada
tosu yang mengganggu tidurku itu dan setelah kuberi tiga potong uang tembaga barulah
pengemis tua itu pergi.” Setelah berkata demikian, Gwat Kong lalu bangun duduk dan
mengambil buntalannya.
“Ah, kalau begitu benar kau yang telah menolong kami. Terima kasih, sahabat, marilah kita
bicara di tempat yang lebih enak,” kata pemuda yang berbaju biru sambil mempersilahkan
berdiri. Sedangkan si baju putih lalu memegang buntalan Gwat Kong untuk dibawakan.
“Biarlah siauwte membawakan bungkusanmu,” katanya, akan tetapi alangkah terkejutnya
ketika ia merasa betapa beratnya bungkusan yang dipegang oleh Gwat Kong itu. Ia merasa
penasaran dan mengerahkan tenaganya untuk mengambil bungkusan itu, akan tetapi
bungkusan yang terpegang oleh pemuda berpakaian pelayan itu sama sekali tak dapat ia
gerakan. Ia maklum bahwa pemuda pelayan itu memiliki kepandaian tinggi dan tenaga
lweekang yang luar biasa maka ia lalu melepaskan buntalan itu dan membungkuk-bungkuk
memberi hormat sambil berkata, “Maaf, maaf!”
Mereka lalu keluar dari tempat itu dan berjalan menuju ke tempat dua ekor kuda yang
ditambatkan pada sebatang pohon. Ternyata bahwa kedua pemuda itu datang menunggang
kuda.
“Saudara yang gagah perkasa, kami telah berhutang budi kepadamu, karena kalau tidak ada
kau yang menolong, tentu tosu tadi tidak mau memberi ampun dan akan membinasakan kami.
Bolehkah kami mengetahui namamu yang mulia dan dari perguruan manakah kau datang?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 36
Gwat Kong merasa bingung karena tidak tahu harus menjawab bagaimana, dan tiba-tiba ia
teringat akan rasa lapar yang menyerang perutnya, maka ia bahkan balas bertanya, “Apakah di
dekat ini ada yang menjual makanan? Perutku lapar sekali!”
Kedua orang muda itu saling pandang lagi dengan mata terheran karena mereka merasa
betapa anehnya sikap Gwat Kong itu.
“Kau lapar? Ah, kebetulan sekali kami membawa arak dan roti kering.”
“Bagus! Kalau begitu biarlah aku akan membeli makananmu itu,” kata Gwat Kong sambil
mengeluarkan uang dari buntalannya.
“Ah, mengapa kau berlaku sungkan-sungkan,” kata si baju biru dan si baju putih segera
mengambil makanan dan seguci arak dari punggung kuda.
“Marilah, sahabat, makanlah roti dan arak kami ini.”
Gwat Kong menggeleng-geleng kepala. “Tidak, kalau tidak mau menerima uangku, aku tidak
berani makan makanan orang lain.”
“Akan tetapi kami bukanlah orang lain lagi, sobat baik!”
Si baju biru berseru, “Kami adalah kakak beradik, namaku Pui Kiat dan ini adikku Pui Hok
dan sudilah kau memberi tahukan namamu yang mulia.”
“Namaku Bun Gwat Kong dan aku adalah seorang bekas pelayan biasa saja. Tentang
makanan .... kalau kalian menawarkan dengan rela, aku takkan menolaknya!” Dengan girang
Pui Kiat dan Pui Hok lalu mengajak Gwat Kong duduk di atas rumput dan makan roti kering
bersama arak.
Melihat betapa lahapnya Gwat Kong minum arak, kedua saudara Pui itu menjadi makin
kagum.
“Mengapa kalian bertempur dengan tosu itu?” tanya Gwat Kong. Pui Kiat lalu menceritakan
sebab-sebab pertempuran tadi. Kedua saudara Pui ini adalah anak murid Hoa-san-pai dan
dalam beberapa bulan akhir-akhir ini pihak Hoa-san-pai memang menanam permusuhan
dengan pihak Go-bi-pai. Mula-mula hanya terjadi karena perkelahian antara anak murid saja,
akan tetapi lama kelamaan menjalar sampai ke tokoh-tokohnya, sehingga bertandinglah Seng
Le Hosiang tokoh Go-bi-pai melawan Sin Ceng Cu tokoh Hoa-san-pai yang berakhir dengan
kekalahan bagi Seng Le Hosiang.
Hwesio ini merasa penasaran dan mencari sahabat untuk membantunya, yakni Bong Bi
Sianjin tokoh Kim-san-pai itu. Oleh karena itulah, maka tiap kali Bong Bi Sianjin bertemu
dengan murid-murid Hoa-san-pai, ia selalu menyerang dan membikin malu mereka! Karena
kedua pihak tidak ada yang mau mengalah maka permusuhan itu makin menjalar, bahkan
sudah ada yang saling bunuh di antara anak murid Hoa-san-pai melawan anak murid Go-bipai!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 37
“Ah, tak kusangka sama sekali bahwa tokoh-tokoh persilatan itu tak lain hanya anak-anak
kecil yang nakal dan gemar berkelahi saja!” kata Gwat Kong terheran-heran dan menghela
napas panjang.
Kedua saudara Pui itu merasa amat heran melihat pemuda yang berkepandaian demikian lihai,
akan tetapi yang kelihatannya seperti orang bodoh dan tidak berpengalaman. “Bolehkah kami
mengetahui, Bun-taihiap ini anak murid cabang manakah?”
Gwat Kong tersenyum, bangkit berdiri sambil menyambar buntalan pakaiannya dan
menjawab, “Aku tidak mempunyai guru!” Dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah lari jauh
sekali!
Kedua saudara Pui itu hanya dapat saling pandang dengan bengong dan tiada hentinya mereka
membicarakan kehebatan dan keanehan pemuda itu, yang telah menolong mereka dari
desakan Bong Bi Sianjin.
“Bukan main!” akhirnya Pui Hok berkata. “Siapakah sebenarnya orang aneh tadi? Ia masih
muda, jauh lebih muda dari pada kita, paling banyak baru delapan belas tahun, akan tetapi
lweekang dan ginkangnya sudah sehebat itu! Suhu sendiri belum tentu dapat mengatasinya!”
Demikianlah, kedua saudara Pui itu menduga-duga kagum dan heran.
****
Sambil berlari terus menuju ke kota Kihong, Gwat Kong mulai merasa tertarik akan
penghidupan merantau. Ia kagumi kedua saudara Pui yang gagah perkasa dan merasa gembira
telah dapat berkenalan dengan dua orang pemuda itu. Kini ia maklum mengapa Seng Le
Hosiang begitu mati-matian membela Bong Bi Sianjin dan muridnya, tidak sedan-segan
mempergunakan pengaruhnya terhadap cucu muridnya, yaitu Liok Ong Gun untuk memberi
kedudukan baik kepada Gan Bu Gi serta memungut menantu pemuda itu.
Ia dapat menduga bahwa Seng Le Hosiang tentu mengharapkan bantuan Bong Bi Sianjin
dalam usahanya menghadapi pihak Hoa-san-pai, sebagaimana terbukti dari penuturan kedua
saudara Pui tadi. Karena ia memang tidak suka kepada Seng Le Hosiang dan Bong Bi Sianjin
yang timbul karena tidak sukanya kepada Gan Bu Gi, maka otomatis ia berpihak kepada
kedua saudara Pui atau kepada pihak Hoa-san-pai.
Dengan ginkangnya yang di luar pengetahuan sendiri telah mencapai tingkat tinggi itu, Gwat
Kong berlari cepat sekali hingga setelah hari mulai menjadi gelap ia tiba di kota Kihong. Ia
masih ingat di mana jenazah ibunya dimakamkan, maka ia langsung menuju ke tempat
kuburan itu dan ketika melihat betapa makam ibunya kini ditumbuhi rumput alang-alang yang
tinggi dan liar sehingga kuburan itu terlantar karena tidak terawat, ia menjadi terharu dan
bersedih. Ia merasa berdosa kepada ibunya, teringat akan segala kenakalannya ketika ia masih
tinggal bersama ibunya di Kihong. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ibunya dan
menangis sedih.
Pada keesokan harinya, ia menggulung lengan baju dan mulai membabat dan mencabut
rumput alang-alang itu, membersihkan kuburan ibunya. Kemudian ia pergi ke kota dan
membeli hio-swa dan kembang untuk bersembahyang di depan makam ibunya. Dua hari dua
malam ia tinggal di situ dan tidak tidur sedikitpun, hanya duduk bersila di depan kuburan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 38
sambil mengenangkan semua peristiwa di waktu ia masih kecil dan yang masih dapat teringat
olehnya. Ia teringat akan pesan ibunya untuk membalas dendam kepada Tan-wangwe
(hartawan Tan) yang tinggal di Lam-hwat dan yang telah memfitnah ayahnya sehingga orang
tuanya itu menerima bencana hebat yang menyebabkan semua keluarganya menderita.
Pada hari kedua, karena lelah dan mengantuk, Gwat Kong tak dapat bertahan lagi dan ia
merebahkan tubuhnya di atas tumpukan rumput alang-alang yang dibabatnya. Angin pagi
berselir membuat matanya sukar untuk menahan ngantuknya sehingga tak lama kemudian ia
tertidur dengan nyenyak.
Ia tidak tahu bahwa belum lama setelah ia jatuh pulas, enam orang yang berpakaian perwira
Sayap Garuda datang di tempat itu dan kini keenam orang itu berdiri memandangnya dan
dengan lagak mengancam. Mereka ini bukan lain ialah Gan Bu Gi sendiri dengan lima orang
kepala perwira dari gedung Kepala daerah Kiang-sui yakni Thio Sin, Lie Bong, dan Kiang-sui
Sam-eng ketiga jago dari Kiang-sui!
Melihat Gwat Kong tertidur di dekat segunduk tanah kuburan, Gan Bu Gi yang mendapat
perintah dari calon mertuanya untuk membunuh Gwat Kong segera mencabut pedangnya dan
hendak menikam dada pemuda itu.
“Tahan dulu, ciangkun!” kata Thio Sin yang melihat gerakan ini sehingga perwira muda itu
menahan pedangnya dan memandang dengan heran.
“Mengapa, Thio-twako? Liok-taijin telah memberi perintah kepada kita untuk membunuhnya,
bukan?”
“Sesungguhnya kurang sempurna kalau kita yang disebut orang-orang gagah dari Kiang-sui
harus membunuh seorang pelayan lemah yang sedang tidur pulas! Bagaimana kalau sampai
terlihat oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Biarpun tidak akan mereka ketahuinya
setidaknya kita akan merasa malu terhadap batin sendiri!”
Bu Gi yang muda itu menjadi serba salah dan mengangkat pundak. “Habis, bagaimana
baiknya ? Aku hanya hendak memenuhi tugas yang diperintahkan oleh Liok-taijin.”
“Lebih baik kita tangkap padanya, kalau dia melawan, barulah kita mempunyai alasan untuk
membunuhnya. Biarpun hendak dibunuh harus dalam keadaan sadar dan tidak sedang tidur
seperti ini!” Thio Sin lalu menghampiri Gwat Kong yang sedang tidur dan mengeluarkan
sehelai tambang yang kuat. Dengan bantuan Lie Bong dan kawan-kawan lain ia lalu mengikat
kedua lengan Gwat Kong yang masih tidur nyenyak itu dengan erat. Ternyata Gwat Kong
yang terlampau lelah dan mengantuk itu tidak merasa sama sekali betapa kedua lengannya
ditelikung ke belakang dan dibelenggu erat-erat bagaikan kerbau hendak disembelih itu.
“He, Gwat Kong! Bangunlah!” Thio Sin menggoyang-goyang tubuhnya dan ketika pemuda
itu belum juga terbangun, timbullah gemasnya. “Dasar orang malas, malas dan tolol!”
Gan Bu Gi tertawa geli, menertawakan Thio Sin yang dianggap mencari kerepotan sendiri.
Mengapa harus berlaku sungkan-sungkan terhadap seorang pelayan seperti Gwat Kong?
Sekali tusuk dengan pedang dan habis perkara!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 39
“Kau memang terlampau lemah, Thio-twako. Biarlah aku tamatkan saja pelayan malas agar
kita tidak pusing-pusing lagi.” Kembali Gan Bu Gi mencabut pedangnya, akan tetapi pada
saat itu Lie Bong telah datang membawa tempat air yang dibekalnya dalam perjalanan.
Perwira muka hitam yang tinggi besar ini lalu membuka tutup mulut tempat air itu dan
menyiram muka Gwat Kong yang telentang. Usaha ini ternyata berhasil baik karena Gwat
Kong segera terjaga dari tidurnya dengan gelagapan! Ia bermimpi naik perahu dengan ibunya
dan ketika tiba di tengah-tengah telaga, perahu itu terguling hingga ia dan ibunya tenggelam
ke dalam air yang membuatnya gelagapan.
“Tolong ...!” teriaknya sambil menggerak-gerakan tangan. Akan tetapi karena kedua
tangannya dibelenggu, maka ia membuka mata dan memandang di sekelilingnya dengan
terheran-heran. Ia melihat enam orang perwira mengelilingi sambil tertawa bergelak-gelak
karena merasa geli melihat ia gelagapan dan minta tolong tadi.
Begitu melihat orang-orang ini, maklumlah Gwat Kong bahwa ia berada dalam bahaya.
Kedatangan mereka ini tentu tidak mengandung maksud baik, pikirnya.
“Cuwi-ciangkun, kalian datang mengganggu tidurku dengan maksud apakah?” tanyanya
sambil memandang kepada Thio Sin yang sudah dikenalnya baik-baik.
“Gwat Kong, menurut perintah Liok-taijin, kau harus ditangkap,” jawab Thio Sin.
“Bukan hanya ditangkap, bahkan harus dibunuh!” kata Gan Bu Gi dengan gemas karena ia
teringat akan Tin Eng yang melarikan diri dari rumah. Dalam kesedihan dan kekecewaannya,
panglima muda ini menyalahkan Gwat Kong dalam hal ini, maka timbullah kebenciannya
semenjak Gwat Kong membuka rahasia hatinya dalam keadaan mabok itu.
Mendengar ucapan mereka yang hendak menangkap dan membunuhnya, Gwat Kong menjadi
terkejut sekali. Tanpa sengaja ia mengerahkan tenaganya dan menggerakkan kedua lengannya
yang diikat erat-erat. “Kreekkk!” dengan sekali renggut saja, putuslah semua tali yang
mengikatnya dan ia melompat berdiri lalu menyambar buntalan pakaian yang tadi ia gunakan
untuk bantal kepala!”
Bukan main terkejut dan herannya semua perwira yang mengepungnya, bahkan Thio Sin
memandang dengan melongo! Tambang yang digunakan untuk mengikat tangan Gwat Kong
itu adalah tambang yang kuat dan besar, maka mana mungkin pemuda itu dapat memutuskan
dengan sekali renggut saja?
Akan tetapi Gan Bu Gi yang sudah dapat menduga bahwa Gwat Kong memiliki ilmu
kepandaian tinggi karena dulu pernah menyaksikan kepandaian ginkang pelayan muda itu, tak
mau membuang waktu lagi dan segera menyerangnya dengan pedang di tangannya. Serangan
ini cepat dan hebat sekali dan pedangnya menyambar ke arah leher Gwat Kong. Begitu cepat
datangnya pedang yang menyambar ini sehingga semua perwira yang lain menyangka bahwa
leher Gwat Kong tentu akan putus seketika, akan tetapi bukan main heran dan terkejutnya hati
mereka ketika melihat betapa dengan amat mudahnya Gwat Kong melompat ke samping
sambil berseru, “Ayaaaa ...” dan sabetan pedang itu mengenai tempat kosong!
“Kurung, tangkap atau bunuh dia!” teriak Gan Bu Gi. “Jangan biarkan dia lolos!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 40
Mendengar perintah ini, barulah lima orang perwira Sayap Garuda itu menjadi sadar dan
segera bergerak maju dengan kedua tangan bermaksud untuk menangkap Gwat Kong. Mereka
masih merasa ragu-ragu untuk mempergunakan senjata, karena mereka merasa malu untuk
mengeroyok seorang pelayan muda yang bertangan kosong itu dengan senjata, padahal
mereka semua berenam! Akan tetapi, segera mereka merasa terkejut sekali oleh karena tubuh
Gwat Kong tiba-tiba berkelebat dan melompat tinggi sekali melewati kepala mereka dan
pemuda itu hendak melarikan diri.
“Kejar!” teriak Gan Bu Gi sambil melompat dan mengirim sebuah tusukan ke arah punggung
Gwat Kong. Pemuda ini yang belum menyadari betapa tinggi ilmu silatnya, mendengar suara
angin tusukan pedang dan otomatis tubuhnya yang sudah terlatih itu miring untuk mengelak
serangan tadi. Kemudian mengikuti gerakan tubuhnya yang sudah dapat bergerak dengan
otomatis menurut pelajaran yang dilatihnya selama ini, kaki kirinya menendang ke arah
pergelangan tangan Gan Bu Gi. Tendangan ini tak terduga sekali datangnya dan selain cepat,
juga dilakukan dalam kedudukan yang sukar sehingga Gan Bu Gi tak dapat mengelak lagi. Ia
berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangannya karena pergelangan tangannya
tertendang dengan cepat sekali oleh ujung kaki Gwat Kong!
Sementara itu lima orang perwira Sayap Garuda telah memburu dengan senjata masingmasing
di tangan, lalu maju menyerbu ketika melihat betapa Gan Bu Gi dalam sekali gebrak
saja telah kehilangan pedangnya! Kini mereka tidak merasa ragu-ragu lagi karena dapat
menduga bahwa diluar sangkaan, pelayan muda itu ternyata memiliki ilmu silat yang lihai!
Melihat hasil kelitan dan tendangannya, Gwat Kong menjadi gembira sekali. Gan Bu Gi yang
gagah perkasa itu dapat dibikin tak berdaya dalam sekali gebrakan saja! Kini dengan sikap
berani ia lalu menghadapi kelima orang perwira itu, bahkan hendak menguji kepandaian
sendiri dan menghadapi mereka dengan tangan kosong dan sikap tenang sekali.
Ketika lima orang perwira itu maju dengan senjata mereka, menyerang Gwat Kong dari
semua jurusan, tiba-tiba Gwat Kong berseru keras dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke
arah para penyerangnya. Sambil menyampok tiap senjata yang meluncur ke arahnya, ia
menggunakan tangan kiri yang digerakan ke arah kepala penyerangnya dan lima kali ia
bergerak, ternyata ia telah dapat merampas semua bulu garuda yang menghias topi para
perwira tadi! Kelima lawannya belum mengetahui hal ini akan tetapi ketika Gwat Kong
melompat jauh lalu berdiri sambil menjura dan memperlihatkan bulu-bulu itu, mereka terkejut
sekali lebih-lebih ketika mereka meraba topi mereka dan tidak mendapatkan lagi penghias
topi yang merupakan tanda pangkat itu!
“Thio-ciangkun, tanpa bulu garuda topimu, kau kelihatan seperti seorang petani saja.” Gwat
Kong menggoda. Sambil berkata demikian tiba-tiba ia menggerakkan tangannya yang
memegang bulu-bulu itu dan lima batang bulu yang bergagang runcing itu meluncur bagaikan
anak panah dan sebelum kelima orang perwira itu dapat mengelak, bulu-bulu itu dengan
tepatnya telah menancap ke topi mereka.
Mereka segera menanggalkan topi masing-masing dan ketika melihat betapa bulu-bulu itu
menancap dengan tepat seperti semula, mereka merasa makin terkejut dan heran sehingga kini
mereka memandang dengan mulut ternganga ke arah pelayan muda itu seakan-akan belum
percaya kepada pandang matanya sendiri. Topi mereka masih terpegang di tangan masingmasing!
06. Keturunan Tihu dari Lam-hwat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 41
MELIHAT hal ini, Gan Bu Gi merasa marah sekali. Dia adalah anak murid yang tersayang
dari Bong Bi Sianjin. Tokoh ternama dari Kim-san-pai yang telah membuat nama besar, maka
kalau kini ia sampai dikalahkan dengan secara demikian mudahnya oleh seorang pelayan
muda yang tidak ternama dan bodoh, alangkah akan malunya! Ia telah memungut kembali
pedangnya yang tadi terlepas karena tendangan Gwat Kong dan sambil berseru keras ia lalu
menubruk maju sambil putar-putar pedangnya dengan gerakan hebat sekali.
Memang tadi dalam segebrakan saja ia kena tertendang oleh Gwat Kong dan hal ini
sebetulnya karena ia tidak pernah menyangka bahwa Gwat Kong akan dapat bergerak
sedemikian cepatnya dan karena ia tadinya memandang rendah maka ia sampai terkena
tendangan. Akan tetapi sekarang ia telah tahu bahwa Gwat Kong bukanlah orang
sembarangan, maka selain berlaku hati-hati, iapun lalu mengeluarkan ilmu pedang Kim-san
Kiam-hoat yang memang kuat dan cepat gerakan itu. Sambil menyerang, tak lupa ia
mengerahkan tenaga lweekangnya sehingga serangannya makin lihai.
Melihat betapa sinar pedang di tangan Gan Bu Gi amat kuat dan cepat menyambar-nyambar
ke arah tubuhnya, Gwat Kong terkejut juga. Biarpun ia kini telah dapat mengetahui akan
tingkat kepandaiannya sendiri yang boleh diandalkan. Akan tetapi ia belum pernah bertempur
melawan musuh tangguh, dan boleh dibilang semua kepandaian itu masih terpendam dan
belum pernah digunakan.
Ia sama sekali belum mempunyai pengalaman bertempur, maka kini menghadapi Gan Bu Gi
yang tangguh, ia merasa jerih dan segera mengeluarkan kepandaian yang dianggapnya paling
hebat di antara semua pelajaran yang telah dipelajari dari kitab kuno itu, yakni ilmu pedang
Sin-eng Kiam-hoat. Ia berseru keras dan mencabut sulingnya yang tersembul keluar ujungnya
dari buntalan pakaian. Memang suling inilah yang selalu ia gunakan dalam latihan pedang di
kamarnya, karena sebagai seorang pelayan, dari mana ia bisa mendapatkan pedang?
Ketika ia telah memegang suling itu, hatinya menjadi tetap kembali karena memang ia telah
biasa mainkan suling ini sebagai pedang dalam latihan-latihan. Suling adalah benda yang
amat ringan. Maka ketika ia mainkan Sin-eng Kiam-hoat yang lihai, tentu saja suling itu lalu
terputar-putar hebat dan cepat sekali merupakan segulung sinar kekuning-kuningan yang
mengurungi tubuhnya sendiri.
Kagetlah Gan Bu Gi melihat ini dan ia lalu menyerbu dengan hebat. Akan tetapi gerakan
Gwat Kong amat cepatnya sehingga sukar untuk diikuti dengan pandang mata. Pedang Gan
Bu Gi tidak berdaya karena ia telah menjadi bingung ke arah mana ia harus menyerang.
Tubuh lawannya sebentar-sebentar berpindah tempat dan tanpa mengetahui bagaimana
lawannya itu bergerak, tahu-tahu ujung suling telah mengancam semua jalan darahnya
sehingga Gan Bu Gi merasa pening dan bingung.
Kelima orang perwira yang tadi telah dipermainkan oleh Gwat Kong, makin kagum dan
terheran-heran melihat sepak terjang pelayan itu. Mereka tidak dapat melihat lagi tubuh
pemuda itu karena tertutup oleh sinar sulingnya yang digerakan secara luar biasa. Mereka
hanya melihat betapa Gan Bu Gi terdesak dan terkurung oleh sinar kuning itu sehingga
panglima yang mereka anggap sudah amat gagah perkasa itu berkelahi sambil mundur dan
hanya dapat menangkis dan mengelak saja tanpa dapat membalas lawannya! Tiba-tiba mereka
mendengar Gan Bu Gi menjerit keras dan tubuh panglima itu terhuyung mundur sedangkan
pedangnya sekali lagi terpental dan terlepas dari pegangannya. Terdengar suara Gwat Kong
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 42
tertawa girang dan pemuda pelayan itu lalu melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan
mereka.
Kelima orang perwira itu segera maju menolong dan mengangkat bangun pada Gan Bu Gi
yang menolak pertolongan mereka dengan muka bersungut-sungut dan marah sekali. Ternyata
tadi bahwa ketika ujung suling Gwat Kong secara aneh sekali dan bertubi-tubi menyerang dan
mengancam jalan darahnya, dengan marah dan nekad panglima muda ini lalu memukul suling
itu sekerasnya dengan pedang untuk mengadu tenaga. Akan tetapi. Bukan suling lawan yang
terpental, bahkan telapak tangannya merasa gemetar karena ternyata bahwa tenaga lweekang
lawannya luar biasa sekali kuatnya! Kemudian, selagi ia masih belum dapat mengembalikan
dan menenangkan keadaannya, ujung suling itu telah meluncur cepat dan mengetuk pundak
kanannya sehingga ia merasa pundaknya sakit sekali sampai terasa di hulu hati! Pedangnya
terpental dan terlepas sedangkan tubuhnya terhuyung ke belakang!
Dengan marah dan bersungut-sungut, Gan Bu Gi mengajak kawan-kawannya untuk kembali
ke Kiang-sui. Ia memesan kepada kelima orang perwira itu agar jangan menceritakan
peristiwa tadi kepada siapapun juga dan hanya melaporkan kepada Liok-taijin bahwa mereka
tidak berhasil menangkap Gwat Kong yang telah melarikan diri entah ke mana. Kelima orang
perwira itu setuju karena mereka telah dipermainkan oleh bekas pelayan itu.
Sementara itu, Gwat Kong dengan hati girang sekali melanjutkan larinya ke arah selatan
karena ia hendak pergi ke Lam-hwat untuk mencari musuh besarnya, yaitu Tan-wangwe yang
telah mendatangkan mala petaka kepada orang tuanya! Ia merasa girang sekali oleh karena
sekarang ia tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya yang telah terbukti dengan
perlawanannya terhadap Gan Bu Gi tadi. Ia masih belum tahu bahwa sebenarnya bukan Gan
Bu Gi kurang lihai, akan tetapi adalah ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari itulah
yang luar biasa.
Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, sampailah Gwat Kong di kota Lam-hwat,
tempat kelahirannya dan di mana dulu ayahnya menjadi tihu yang disegani karena jujur dan
adil. Akan tetapi oleh karena ia telah dibawa pergi oleh ibunya dari kota ini ketika ia masih
amat kecil maka ia tidak ingat sama sekali tentang kota ini dan memasuki kota Lam-hwat
sebagai seorang asing yang belum pernah melihatnya.
Gwat Kong lalu mencari sebuah kamar di hotel dan oleh karena pakaiannya sebagai seorang
pelayan itu, membuat para pengurus dan pelayan hotel memandangnya dengan curiga karena
jarang sekali ada seorang pelayan bermalam di sebuah hotel, maka ia lalu keluar dan membeli
pakaian di toko pakaian. Dengan pakaian barunya walaupun yang dibeli hanyalah pakaian
sederhana, ia nampak lebih gagah. Rambutnya yang panjang dan hitam itu ia ikat dengan
sehelai sapu tangan biru yang lebar sehingga keningnya nampak lebar menambah kegagahan
wajahnya. Setelah ia mengenakan pakaian dan sepatu baru, maka semua pelayan di hotel
tempat ia bermalam itu bersikap lebih hormat kepadanya sehingga diam-diam Gwat Kong
merasa geli melihat kepalsuan ini.
Pada keesokan harinya, Gwat Kong mulai mencari keterangan tentang rumah keluarga Tanwangwe,
akan tetapi ia merasa kecewa sekali oleh karena di kota Lam-hwat tidak ada seorang
hartawan bernama Tan-wangwe, sungguhpun banyak sekali bernama keturunan Tan tinggal di
kota itu. Gwat Kong tidak putus asa dan terus menyelidiki bertanya ke sana kemari, bahkan ia
mulai bertanya tentang nama ayahnya, yakni Bun Tiang Ek yang dulu menjadi tihu di kota
Lam-hwat. Akan tetapi, oleh karena hal itu telah terjadi belasan tahun yang lalu dan kota
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 43
Lam-hwat telah banyak kedatangan orang-orang baru, maka agaknya nama ini telah dilupakan
orang! Tak seorangpun menyatakan pernah mendengar Bun-tihu ataupun Tan-wangwe.
Gwat Kong mulai merasa putus harapan dan dengan kecewa sekali ia masuk ke dalam sebuah
rumah makan dan memesan makanan. Seorang pelayan tua mengantarkan makanan yang
dipesannya. Melihat pelayan tua ini, teringatlah Gwat Kong bahwa ia telah melakukan
kesalahan, ketika mencari keterangan tadi tidak seharusnya ia bertanya kepada orang-orang
muda, yang mengetahui atau mengenal ayahnya serta Tan-wangwe tentulah orang-orang tua
yang telah lama tinggal di Lam-hwat. Maka ketika pelayan itu hendak meninggalkan mejanya
ia menahan dan bertanya,
“Lopeh (uwak), apakah lopeh sudah lama tinggal di kota ini?” Ia sengaja bertanya sambil lalu
seakan-akan untuk mengadakan percakapan biasa saja.
Pelayan tua itu memandangnya dengan bibir tersenyum. Ia menganggukan kepalanya dan
menjawab, “Tentu saja, kongcu, selama hidupku aku tinggal di kota ini, bahkan aku
dilahirkan di Lam-hwat.”
Mendengar pengakuan ini, giranglah hati Gwat Kong, akan tetapi sungguhpun ia merasa
betapa dadanya berdebar, ia berusaha agar wajahnya tetap biasa saja.
“Lopeh, marilah kau temani aku makan minum. Harap kau menambah sebuah mangkok
kosong dan sepasang sumpit lagi untukmu.”
Pelayan itu memandang heran, belum pernah ada seorang tamu minta seorang pelayan makan
bersama, dan selama puluhan tahun menjadi pelayan, baru kali ini ia mengalami pengalaman
ganjil itu.
“Maksud kongcu .... aku kau minta makan minum bersama di meja ini?” Ia menegaskan
dengan ragu-ragu.
“Ya, lopeh. Aku merasa tidak bisa makan seorang diri, kurang sedap rasanya kalau tidak ada
teman yang diajak mengobrol sambil makan minum. Marilah!”
Pelayan tua itu menengok ke kanan kiri dan di situ hanya terdapat seorang tamu lain yang
bertubuh tinggi besar dan penuh cambang bauk pada mukanya. Akan tetapi tamu ini makan di
meja lain dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan mereka.
“Kongcu, kau seorang yang ramah sekali. Akan tetapi aku tidak boleh mengganggumu dan
kalau kau ingin mengajak bercakap-cakap sambil makan, kau makanlah seorang diri, biar aku
berdiri saja di sini menemanimu bercakap-cakap.”
“Ah, kau terlalu sungkan, lopeh,” cela Gwat Kong.
“Bukan sungkan-sungkan, kongcu, akan tetapi kalau majikanku melihat aku duduk makan
minum dengan seorang tamu, tentu ia akan marah-marah dan mungkin aku kehilangan
pekerjaanku.”
Gwat Kong mengangguk-angguk dan mengambil beberapa potong uang tembaga dari saku
bajunya lalu memberikan uang itu pada si pelayan sambil berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 44
“Kalau begitu, terimalah uang ini untuk kau pakai membeli makanan nanti.”
Pelayan tua itu girang sekali dan menerima uang itu sambil mengucapkan terima kasih.
“Lopeh, kau tentu kenal dengan seorang hartawan besar yang beberapa belas tahun yang lalu
tinggal di kota ini. Ia bernama keturunan Tan dan disebut Tan-wangwe. Tahukah kau di mana
sekarang dia tinggal?”
Pelayan tua itu mengerutkan kening mengingat-ingat. “Ya, ya. Aku kenal, siapa yang takkan
mengenalnya belasan tahun yang lalu. Dulu dia adalah seorang yang terkenal paling
berpengaruh dan paling kaya di kota ini! Kongcu, apakah kau masih terhitung keluarga Tanwangwe
itu?” tanyanya tiba-tiba sambil memandang tajam.
Gwat Kong merasa girang sekali dan oleh karena ia tidak ingin memberitahukan tentang
maksudnya mencari hartawan itu, maka tanpa memperdulikan sesuatu ia lalu mengangguk
dan menjawab, “Ya, aku adalah seorang keponakannya dan tahukah kau di mana ia sekarang
tinggal?”
Tiba-tiba pelayan itu nampak berubah air mukanya mendengar bahwa Gwat Kong adalah
keponakannya Tan-wangwe. Bahkan ia lalu mengambil keluar uang tembaga pemberian Gwat
Kong tadi dan menaruh uang itu di atas meja kembali sambil berkata, “Kongcu, aku tidak
berhak menerima uangmu ini, oleh karena aku tidak dapat melayanimu lebih lagi. Aku harus
pergi ke dapur, di sana banyak pekerjaan.” Kemudian ia lalu berlari menuju ke dapur rumah
makan itu.
Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan ia menunda makanannya sambil
memandang dengan bengong.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dan ketika ia memandang, ternyata yang tertawa itu
adalah orang tinggi besar bercambang bauk itu yang kini memandang kepadanya.
“Mengapa kau tertawa?” tanya Gwat Kong penasaran sambil pandang muka orang yang
usianya telah enam puluh tahun lebih itu.
“Mengapa aku tertawa? Karena melihat kau hendak mencari keterangan sambil menyuap
dengan uang, persis seperti perbuatan Tan-wangwe di waktu dahulu. Kau memang pantas
sekali menjadi keponakannya! Ha ha ha!”
Mendengar ini, timbul lagi harapan dalam hati Gwat Kong. Orang ini tentu kenal baik kepada
hartawan itu, bahkan mungkin masih ada hubungan, kalau tidak, mana ia tahu tentang
kebiasaan menyuap uang dari hartawan itu? Maka ia segera bangun berdiri dan menjura,
“Sahabat baik, aku benar-benar perlu mengetahui keadaan Tan-wangwe, maka kalau kiranya
kau tahu tentang dia mohon kau suka menerangkan kepadaku. Marilah kita minum arak untuk
menambah kegembiraan dan aku yang muda mengundangmu dengan hormat untuk makan
bersama di mejaku.”
Kembali laki-laki tinggi besar itu tertawa bergelak. “Kau hendak mencari Tan-wangwe?
Boleh, boleh dan mudah sekali. Marilah kau ikut, akan kuantarkan ke tempat Tan-wangwe!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 45
Bukan main girangnya hati Gwat Kong mendengar ini. Tak pernah disangkanya bahwa ia
akan demikian mudah mendapatkan tempat tinggal Tan-wangwe, bahkan orang kasar ini
sanggup mengantarkannya untuk berjumpa dengan musuh besarnya itu.
Segera ia membayar makanan orang itu sekalian, lalu ia mengajak orang itu keluar. Setelah
orang itu berjalan barulah Gwat Kong melihat betapa orang itu berjalan sambil menyeret kaki
kirinya yang telah cacat. Akan tetapi, biarpun berjalan dengan sebelah kaki diseret, ternyata
orang itu dapat berjalan cepat dan gerakannya gesit, tanda bahwa dia mengerti ilmu silat.
Orang itu berjalan saja tanpa banyak berkata sehingga Gwat Kong merasa tidak enak hati.
“Sahabat, siapakah namamu? Kau telah berlaku baik untuk mengantarku menemui Tanwangwe,
seharusnya kuketahui namamu.”
“Namaku A Sam, Gui A Sam,” jawab laki-laki itu singkat.
Mereka berjalan terus dan dengan heran Gwat Kong melihat betapa mereka menuju keluar
kota.
“Masih jauhkah tempat tinggal Tan-wangwe?” tanyanya.
“Dekat di depan itu!” kata A Sam sambil menunjuk ke depan.
Gwat Kong merasa heran. Yang ditunjuk oleh laki-laki pincang itu sebuah hutan yang besar.
“Apa? Di hutan itu?”
“Ya, dan jangan kau banyak bertanya. Bukankah kau ingin bertemu dengan dia?”
Gwat Kong terpaksa menutup mulutnya dan terus mengikuti orang itu menuju ke dalam
hutan. Setelah masuk ke dalam hutan itu, yang sunyi dan liar, Gwat Kong tak dapat menahan
lagi perasaan heran dan curiganya. Ia berhenti dan bertanya,
“Sahabat, jangan kau main-main! Benar-benarkah seorang kaya raya seperti Tan-wangwe itu
tinggal di tempat seperti ini?”
Tiba-tiba A Sam berhenti pula dan tertawa terbahak-bahak dengan wajah yang menyeramkan
sekali.
“Anak muda, benar-benarkah kau keponakan Tan Kia Swi atau Tan-wangwe?”
Dengan terheran-heran Gwat Kong mengangguk.
“Dan kau ingin bertemu dengan hartawan Tan itu?”
“Benar, di mana tinggalnya?”
“Mari ku antar kau bertemu dengan si keparat itu!” Sambil berkata demikian tiba-tiba Gui A
Sam melangkah maju dan secepat kilat mengirim pukulan ke arah dada Gwat Kong. Inilah
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 46
pukulan Hek-houw-to-sim atau Macan Hitam Menyambar Hati yang dilakukan dengan tenaga
keras dan kalau saja pukulan ini mengenai dada seorang biasa, maka kalau dada itu tidak
hancur pasti sedikitnya beberapa tulang iga akan patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong
mempunyai urat syaraf halus dan perasa sekali sehingga tubuhnya dapat bergerak otomatis
sehingga begitu angin pukulan menyambar, ia telah miringkan tubuhnya sehingga pukulan
tangan A Sam itu mengenai angin.
“Eh, eh, tahan dulu kawan!” serunya kaget, akan tetapi Gui A Sam berseru marah dan
mengirim serangan lagi yang lebih hebat. Kini si tinggi besar itu memukul dengan kepalan
tangannya yang sebesar paha itu ke arah kepala Gwat Kong. Pemuda itu mulai penasaran dan
juga ingin tahu sekali mengapa orang kasar ini menyerangnya dan memusuhinya tanpa sebab!
Ia mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan yang memukul itu. A Sam hendak
kembali menarik tangannya, akan tetapi tangan itu tidak dapat terlepas dari pegangan Gwat
Kong. Dengan heran dan makin marah, A Sam lalu menggunakan tangan kirinya untuk
memukul ke lambung Gwat Kong. Pemuda itu cepat mendahuluinya dan menotok pundak kiri
sehingga tangan kirinya yang hendak memukul itu tiba-tiba menjadi lumpuh!
Akan tetapi ketika Gwat Kong melepaskan tangan kanan yang tadi dipegangnya, A Sam
dengan nekad lalu menggunakan tangan yang masih dapat bergerak ini untuk menyerang lagi!
Terpaksa Gwat Kong mempergunakan kecepatannya dan menotok pundak kanan lawannya
sehingga kini Gui A Sam berdiri dengan dua lengan tergantung tak berdaya sama sekali.
Akan tetapi ternyata keberanian orang ini hebat sekali. Dengan kedua mata melotot ia
memandang pemuda itu dan berkata, “Telah dua kali aku dikalahkan oleh orang-orang
pembela anjing setan itu, maka kalau kau mau bunuh boleh bunuh! Aku takkan malu
menghadapi Bun-tihu, karena aku telah menunaikan tugasku dengan baik dan sebagai seorang
gagah!”
Hampir saja Gwat Kong menjerit ketika ia mendengar ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia
memandang orang itu dengan mata terbelalak.
“Apa katamu? Kau kenal kepada Bun-tihu? Siapakah kau sebenarnya?”
Sambil mengangkat dadanya, A Sam menjawab, “Aku tidak takut mengaku terus terang,
karena aku tidak takut mati! Ketahuilah, hai anak muda keponakan anjing rendah Tanwangwe,
aku adalah perwira kepala penjaga dari Bun-tihu yang adil dan jujur. Pamanmu yang
jahat itu telah berhasil menghancurkan keluarga Bun bahkan akupun telah menderita cacat,
akan tetapi, nama keluargamu akan busuk selama-lamanya dan akan dikutuk oleh setiap
orang!”
Bukan main girang hatinya ketika mendengar ini. Gwat Kong lalu menghampiri dan berkata,
“Sahabat baik, kau lupa tadi dan belum bertanya namaku.”
“Aku tak perlu mengetahui nama segala anjing keluarga Tan-wangwe!”
“Juga tidak perduli kalau aku memberi tahu padamu bahwa namaku sama sekali bukan Tan,
akan tetapi aku sebenarnya bernama Bun Gwat Kong?” Sambil berkata demikian secepat kilat
kedua tangan Gwat Kong bergerak ke arah pundak A Sam dan totoknya telah dibebaskan dari
tubuh orang kasar itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 47
Sementara itu, Gui A Sam memandang kepada Gwat Kong dengan wajah pucat dan bengong,
seakan-akan ia melihat setan pada siang hari.
“Bun Gwat Kong ...?? Akan tetapi ... bukankah kau tadi mencari Tan-wangwe dan hendak
bertemu dengannya ....?”
Gwat Kong tersenyum dan mengangguk. “Aku memang mencarinya dan hendak bertemu
dengannya untuk membuat perhitungan dan membalas dendam orang tuaku.”
Tiba-tiba Gui A Sam mengeluarkan keluhan seperti orang menangis dan ia menjatuhkan
dirinya dan berlutut di depan Gwat Kong. “Bun-kongcu ... ah. Kau masih kecil sekali ketika
peristiwa itu terjadi ... bagaimana dengan ... Bun-hujin, ibumu?”
Gwat Kong dengan hati terharu mengangkat bangun laki-laki tinggi besar itu dan berkata,
“Ibu telah meninggal dunia kurang lebih lima tahun yang lalu. Gui-pepeh, di manakah
sebenarnya tempat tinggal si keparat she Tan itu?”
“Duduklah kongcu, marilah kita duduk. Kepalaku masih pening karena kenyataan yang tibatiba
ini, dan ilmu silatmu yang hebat itu benar-benar membuat aku tak mengerti. Bagaimana
kau dalam sejurus saja dapat mengalahkan aku! Hebat sekali! Ah, alangkah girangnya hati
Bun-taijin kalau dapat melihatmu, putera tunggalnya yang kini menjadi seorang gagah ini.
Dan ingin sekali melihat muka si keparat she Tan itu kalau ia masih dapat merasakan
kehebatan pembalasanmu!”
“Apa? Dia sudah tidak ada lagi?” tanya Gwat Kong dengan kaget dan kecewa.
Gui A Sam menarik napas panjang lalu menuturkan bahwa semenjak dapat memfitnah
keluarga Bun sehingga keluarga itu menjadi hancur berantakan, hartawan Tan menjadi buruk
sekali namanya. Biarpun ia hartawan besar dan berpengaruh, akan tetapi oleh karena seluruh
penduduk Lam-hwat yang amat mencintai Bun-tihu, sekarang membencinya dan bahkan
beberapa orang berusaha membunuhnya, akhirnya Tan-wangwe tidak betah tinggal di kota itu
lalu pindah ke Kang-lam. Gui A Sam sendiri yang tadinya bekerja sebagai kepala pengawal
dari Bun-tihu, mencoba untuk membalas dendam, akan tetapi bukan berhasil baik, bahkan ia
mendapat luka hebat pada kakinya sehingga ia menjadi pincang.
Ternyata beberapa tahun kemudian setelah pindah ke Kang-lam, Tan-wangwe yang bernama
Tan Kia Swi itu meninggal dunia karena sakit dan isterinya pun meninggal dunia tak lama
kemudian.
Pada waktu itu di Kang-lam menjalar penyakit menular yang hebat dan agaknya hartawan
yang jahat itu telah terlampau banyak menumpuk dosa hingga biarpun ia dilindungi oleh para
pengawal yang berkepandaian tinggi dan memiliki banyak sekali harta benda yang dapat
melindunginya pula dari musuh-musuhnya, karena dengan jalan menyuap para pembesar ia
mendapat pengaruh dan kekuasaan besar, namun akhirnya Thian yang membalas dan
menghukumnya.
Gwat Kong menarik napas panjang, “Kalau begitu, sia-sialah saja cita-citaku untuk membalas
dendam.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 48
“Tidak, kongcu, masih ada yang harus dibalas!” kata Gui A Sam dengan suara keras
menyatakan kegemasan hatinya. “Hartawan Tan itu mempunyai seorang turunan, seorang
anak perempuan, dan dia ini harus dibinasakan sebagai pengganti ayahnya!”
Bun Gwat Kong memandang A Sam dengan mata heran dan tidak setuju. “Ayahnya yang
berbuat salah, mengapa harus mengganggu anaknya yang tidak berdosa?”
“Kau keliru, Bun-kongcu! Ketika hartawan Tan itu mencelakakan ayahmu, maka yang
menderita bukan hanya ayahmu, bahkan banyak sekali para pelayan dan pekerja ayahmu ikut
pula menderita. Oleh karena setelah ayahmu diganti oleh seorang tihu lain yang curang dan
suka makan uang sogokan, maka keadilan boleh dibilang tidak ada arti di Lam-hwat. Siapa
beruang dia menang dalam segala perkara. Maka sudah sepatutnya kalau keparat she Tan itu
pun dibinasakan seluruh keturunan dan keluarganya agar habislah riwayatnya yang busuk.
Orang sejahat dia tentu mempunyai anak yang jahat pula!”
Gwat Kong tersenyum dan berkata, “Aku belum yakin benar tentang kebenaran pendapatmu
ini, Gui-pehpeh.”
“Apa? Belum yakin? Akan tetapi sudah ada buktinya, kongcu! Ketahuilah, anak tunggal
hartawan Tan itu biarpun seorang wanita akan tetapi telah menjadi iblis wanita yang amat
lihai dan jahat! Entah beberapa banyak orang-orang gagah yang menjadi korbannya. Gadis itu
kabarnya ganas dan kejam sekali, juga amat sombongnya sehingga tiap kali mendengar
adanya seorang gagah di daerah Kang-lam, ia tentu akan mendatangi dan merobohkannya
dalam pibu. Karenanya maka ia diberi nama poyokan Dewi Tangan Maut, karena banyak
sudah orang-orang kangouw terbunuh olehnya.”
Tertarik hati Gwat Kong mendengar ini, bukan untuk melimpahkan dendamnya kepada gadis
itu, akan tetapi ingin bertemu dan mencoba kegagahan gadis yang amat disohorkan oleh Gui
A Sam ini.
“Kalau saja kakiku tidak bercacat seperti ini ... ah, tentu akan kucari siluman wanita itu untuk
mengadu jiwa, biarpun aku pasti akan kalah menghadapinya,” kata A Sam sambil menarik
napas panjang dan memandang kakinya.
“Apakah dia selihai itu, sehingga kau takkan dapat menang terhadapnya?” tanya Gwat Kong.
“Dia memang lihai sekali. Tiga orang kawanku yang telah membuat nama besar, masih tak
kuat menghadapinya dan biarpun mereka mengeroyoknya, akan tetapi akhirnya ketiga orang
kawanku itu tewas di ujung pedangnya. Padahal tiga orang itu apabila dibandingkan dengan
kepandaianku mereka jauh lebih lihai.”
Diam-diam Gwat Kong tercengang mendengar ini dan ia pun merasa agak penasaran
mendengar betapa gadis itu demikian ganas dan kejam sehingga membunuh orang sedemikian
mudahnya.
“Biar aku akan mencarinya,” katanya kepada diri sendiri akan tetapi oleh karena ucapan ini
dikeluarkan dengan keras, maka Gui A Sam menjadi gembira sekali dan berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 49
“Kalau kau yang menghadapinya, pasti ia akan mampus, kongcu! Dan dengan membinasakan
iblis wanita itu, bukan saja kau berarti telah berbakti kepada mendiang ayahmu, tetapi juga
berarti melenyapkan seorang iblis, pengganggu rakyat jelata.”
Kemudian, Gwat Kong dipaksa-paksa oleh A Sam untuk bersama-sama makan minum dan
karena A Sam kini telah menjadi seorang pedagang, sehingga ia mempunyai uang cukup,
maka ia menjamu Gwat Kong dengan meriah. Dalam kesempatan ini, kembali Gwat Kong
minum arak sepuas-puasnya sehingga A Sam menjadi terheran-heran melihat betapa kuatnya
pemuda itu minum arak tanpa menjadi mabok sedikitpun.
“Kau betul-betul patut disebut Ciu hiap (Pendekar Arak), Bun-kongcu!” katanya dengan
memandang kagum.
Gwat Kong yang merasa gembira mengangguk-anggukan kepala dan berkata, “Sebuah
sebutan yang tidak buruk!”
Setelah menghaturkan terima kasih atas sebutan yang amat menggembirakan dari bekas
petugas ayahnya itu, Gwat Kong lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanannya, kini ia
langsung menuju ke Kang-lam yang memerlukan perjalanan sedikitnya setengah bulan. Gui A
Sam berpesan agar supaya pemuda itu suka memberi kabar apabila ia telah berhasil
menewaskan Dewi Tangan Maut!
****
Kita ikuti perjalanan Liok Tin Eng, dara jelita yang keras hati dan yang telah menggegerkan
keadaan gedung Liok-taijin karena diam-diam ia telah minggat dari kamarnya pada malam
harinya itu.
Sebelum mengambil tindakan nekad itu, Tin Eng, sepeninggal ayahnya yang mengeluarkan
ancaman dan memaksanya untuk menerima pinangan Gan Bu Gi, menangis sedih di dalam
kamarnya seorang diri. Ia teringat segala kelakuannya terhadap Gwat Kong dan timbullah
perasaan menyesalnya yang amat besar. Memang, kalau ia teringat pula akan segala kata-kata
pemuda pelayan itu, ia masih terasa mendongkol dan marah, akan tetapi ia harus tahu bahwa
segala ucapan itu dikeluarkan oleh Gwat Kong dalam keadaan mabok! Buktinya, kemudian
pemuda itu minta maaf dan merasa demikian menyesal sehingga tidak penasaran kalau
dibunuh. Gwat Kong bahkan minta agar supaya ia membunuhnya untuk menebus dosa. Ah,
kasihan sekali pemuda itu. Tak pernah diduganya bahwa pemuda pelayan yang jujur, rajin dan
setia itu diam-diam menaruh hati cinta kasih kepadanya!
Tin Eng menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya. Alangkah malang nasibnya!
Dipaksa menerima pinangan seorang pemuda yang sungguhpun tampan dan gagah, akan
tetapi entah mengapa, dalam perasaan hatinya tak tertarik kepada Gan Bu Gi itu, terdapat
sesuatu yang membuat ia ragu-ragu. Ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menimbulkan
ketidak percayaannya dan yang membuatnya yakin bahwa ia takkan dapat hidup bahagia
sebagai isteri Gan Bu Gi.
Adapun tentang Gwat Kong, memang pemuda pelayan itu seorang yang jujur dan baik. Akan
tetapi mencintai padanya? Gila benar! Seorang pelayan mencintai puteri Kepala daerah yang
kaya raya dan berpengaruh, lagi pula Gwat Kong hanyalah seorang pelayan yang bodoh, tak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 50
mengerti ilmu silat dan buta huruf pula. Mengingat akan hal ini merahlah muka Tin Eng
karena marah dan malu!
Ia menjadi serba salah. Ia tidak mau dipaksa kawin dengan Gan Bu Gi atau dengan siapapun
juga. Ia belum bersedia mengikat diri dengan perkawinan. Akan tetapi, untuk membantah
ayahnya pun sukar, karena ia maklum akan kekerasan hati orang tua. Kedua hal inilah yang
membuatnya mengambil keputusan untuk merantau dan meluaskan pengalaman, untuk
mengumpulkan pakaiannya yang terbaik dan semua perhiasannya untuk bekal di dalam
perjalanan. Kemudian setelah membungkus semua itu menjadi sebuah buntalan besar yang
ditalikan pada punggungnya. Ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari jendela
kamarnya, melompat naik ke atas genteng, lalu berlari pergi dengan cepat! Beberapa kali ia
menengok ke arah gedung di mana ayah dan ibunya tinggal, akan tetapi ia dapat mengeraskan
hatinya dan terus lari pergi keluar kota dan menuju ke selatan. Ia tidak lupa untuk membawa
kitab pelajaran ilmu pedang Garuda Sakti yang dimasukkan pula kedalam buntalannya.
Pedang ia gantung pada pinggang dan sekantong piauw (senjata rahasia yang disambitkan)
tergantung pula di dekat pedang.
Biarpun sudah tak bundar lagi, namun bulan masih muncul malam itu sehingga Tin Eng dapat
melanjutkan perjalanannya. Ketika berlari di dalam cahaya bulan seorang diri, di atas jalan
yang sunyi itu, ia merasa gembira seperti seekor burung yang terlepas terbang bebas di udara.
Akan tetapi menjelang tengah malam, ketika ia tiba di pinggir sebuah hutan yang sunyi dan
hawa malam yang dingin menyerang tubuhnya, ia mulai merasa tak enak dan takut.
Sebagai puteri seorang bangsawan, belum pernah ia melakukan perjalanan malam seorang diri
dan perasaan takut dan menyesal mulai menyerang hatinya. Ia tidak takut segala maling atau
perampok, akan tetapi melihat bayang-bayangan pohon dan tetumbuhan yang menghitam dan
nampak menyeramkan bagaikan setan-setan di bawah sinar bulan itu, ia benar-benar menjadi
takut dan meremanglah bulu tengkuknya. Hawa dingin mengingatkan ia kepada kamarnya
yang hangat dan enak. Biasanya pada saat seperti itu ia sudah meringkuk di bawah lindungan
selimutnya yang tebal dan halus.
07. Dewi Tangan Maut
TERINGAT akan hal ini, ia segera berhenti di bawah sebatang pohon besar dan membuka
buntalannya untuk mengeluarkan baju tebalnya yang segera dipakai untuk menahan dingin. Ia
menunda perjalanannya dan duduk di bawah pohon menanti datangnya fajar. Akhirnya karena
berduka dan lelah, ia tertidur juga di bawah pohon itu sampai pagi.
Beberapa hari kemudian, ia menjadi biasa dengan segala penderitaan ini dan dapat
melanjutkan perjalanan dengan hati ringan. Ia tidak mau lagi bermalam di udara terbuka dan
selalu menunda perjalanannya dalam sebuah kota atau kampung di waktu malam dan
bermalam dalam sebuah kamar di rumah penginapan.
Ia mendengar tentang keindahan kota Ki-ciu yang telah dikagumi semenjak lama dari bukubuku
atau penuturan orang-orang ketika ia masih tinggal di gedung ayahnya, maka ia ingin
mengunjungi tempat itu. Ia mendengar keterangan pelayan hotel bahwa untuk menuju ke Kiciu
lebih baik mengambil jalan air, yakni berlayar sepanjang sungai Liang-ho yang selain
cepat, juga mempunyai pemandangan yang indah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 51
“Memang masih ada bajak air yang suka mengganggu,” kata pelayan tua itu sambil
memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang Tin Eng. “Akan tetapi, kurasa nona
adalah seorang gagah yang tidak takut akan segala bajak pula. Kalau dibandingkan lebih
banyak perampok yang mengganggu jalan darat dari pada bajak yang mengganggu jalan air.”
“Terima kasih, lopeh,” jawab Tin Eng. “Keteranganmu ini penting sekali dan aku akan
menurut nasehatmu. Akan tetapi, di manakah adanya sungai Liang-ho itu dan apakah aku bisa
mendapat perahu untuk dipakai menyeberang?”
“Dari kota ini, nona pergilah ke barat kurang lebih dua puluh mil jauhnya, nona akan tiba di
sebuah dusun kecil di pinggir sungai Liang-ho dan di situ nona akan mendapatkan banyak
sekali perahu para nelayan yang dapat disewa. Akan tetapi, lebih baik nona memilih perahu
yang berlayar putih dan jangan menyewa perahu berlayar hitam.”
“Mengapakah, lopeh?”
“Aku mendengar bahwa kini ada perkumpulan Layar Hitam yang melakukan banyak
pemerasan dan perbuatan jahat.”
Setelah mengucapkan banyak terima kasih dan memberi persen kepada pelayan rumah
penginapan itu, Tin Eng lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke barat sebagaimana yang
ditunjukkan oleh kakek pelayan itu. Benar saja, setelah berlari cepat sejauh kurang lebih dua
puluh li, ia tiba di sebuah dusun yang cukup ramai di dekat sungai yang lebar. Rumah-rumah
para nelayan memenuhi dusun-dusun itu dan hampir di setiap rumah tentu terlihat jala yang
dijemur atau sedang dijahit dan dibetulkan oleh pemiliknya.
Di pinggir sungai terdapat banyak sekali perahu besar kecil. Benar saja sebagaimana
perkiraan pelayan hotel tadi, nampak dua macam layar pada perahu-perahu itu, baik layar
yang masih digulung maupun yang sudah dibuka itu. Ada yang berwarna hitam seluruhnya
dan ada pula yang berwarna putih. Layar-layar itu sudah penuh tambalan, lebih-lebih yang
putih. Beberapa orang nelayan bekerja di perahu masing-masing, ada yang menambal layar,
ada yang membetulkan papan perahu, ada pula yang menambal dasar perahu yang bocor.
Tin Eng menghampiri dua orang yang sedang menambal layar putih di pinggir sungai. Kedua
orang itu melihat seorang nona muda menghampiri, segera menunda pekerjaan mereka dan
bertanya,
“Apakah nona hendak menyewa perahu?”
“Ya, aku ingin pergi ke Ki-ciu, apakah kalian dapat mengantarkan aku ke sana dengan
perahumu dan berapakah sewanya?”
Kedua orang itu saling pandang dan yang memakai topi nelayan lebar lalu berkata, “Biasanya
kalau hanya menyeberang saja sih tidak mahal, nona, akan tetapi ke Ki-ciu ...” ia berhenti
sebentar mengingat-ingat. “Dulu pernah ada orang pergi ke sana dan membayar lima tail
perak.”
Tiba-tiba datang seorang tinggi besar ke tempat mereka dan orang ini sambil cengar cengir
lalu bertanya kepada Tin Eng, “Apakah nona hendak menyewa perahu? Kemanakah?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 52
Tin Eng memandang tak senang kepada orang itu dan berkata, “Aku tidak ada urusan dengan
kamu!”
Kemudian tanpa memperdulikan orang itu, Tin Eng berkata kepada kedua nelayan yang
diajaknya bicara tadi. “Begini saja lopeh, aku minta kau mengantar aku ke Ki-ciu dan untuk
itu akan kubayar sewanya secukupnya, akupun berani membayar sedemikian.”
“Lima tail perak?” kata orang tinggi besar itu menyela. “Murah amat! Sedikitnya harus lima
belas tail perak!” Sambil berkata demikian orang itu menolak pinggang dan memandang
kepada kedua orang nelayan itu dengan mata mengancam.
Tin Eng tanpa memperdulikan orang itu lalu berkata kepada dua orang nelayan tadi,
“Bagaimana? Berapakah kalian minta?”
Dengan suara berat dan menundukkan kepalanya, nelayan yang lebih tua itu menjawab,
“Sedikitnya lima belas tail perak, nona.”
Tin Eng tercengang dan ia mulai mengerling ke arah orang tinggi besar itu dengan penuh
perhatian. Ternyata orang itu berwajah kejam dan usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
matanya lebar dan bertopi nelayan pula, Melihat gerak geriknya, ia tentu seorang yang
bertenaga kuat dan mengerti ilmu silat pula. Tin Eng menduga-duga siapakah adanya orang
ini, akan tetapi ia tidak mau mencari pertengkaran maka ia lalu menjawab nelayan tua itu,
“Baiklah, lopeh aku mau membayar lima belas tail perak.”
Kedua nelayan itu memandang kepada Tin Eng dengan mata mengandung rasa kasihan, akan
tetapi tiba-tiba nelayan tinggi besar yang berdiri di belakang Tin Eng itu berkata lagi,
“Harus dibayar di muka sepuluh tail dulu, baru bisa berangkat!”
Kini Tin Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia cepat memutar tubuh menghadapi
orang tinggi besar itu sambil membentak,
“Bangsat kasar, tutup mulutmu yang busuk!”
Nelayan tinggi besar itu memandang dengan senyum menyeringai, seakan-akan memandang
rendah kepada Tin Eng, lalu berkata, “Aduh, jangan galak-galak, nona. Paling baik kau lekas
keluarkan uang muka sepuluh tail perak, kalau tidak jangan harap kau bisa menyewa perahu
di sini!”
“Orang liar! Aku tidak berurusan dengan kau dan tidak sudi menyewa perahumu! Mengapa
kau harus mencampuri urusanku. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Tin Eng gunakan
tangan kirinya untuk mendorong orang itu, akan tetapi sambil tertawa cengar cengir orang itu
berkata,
“Ah, agaknya kau mau mengenal kelihaianku!” Lalu cepat ia mengulur tangan hendak
menangkap lengan Tin Eng yang mendorongnya itu. Akan tetapi, Tin Eng tentu saja tidak
mau ditangkap lengannya begitu saja. Ia lalu menarik kembali tangannya dan mengirim
tendangan ke arah lambung nelayan kasar itu. Tendangannya tepat mengenai lambung
nelayan itu, akan tetapi biarpun nelayan itu terguling-guling sampai beberapa kali, ia tidak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 53
menjadi kapok, bahkan dengan amat marahnya ia lalu melompat bangun dan mencabut
goloknya.
“Bangsat perempuan, kau mau mampus?” bentaknya sambil menyerang, akan tetapi dengan
cepat sekali Tin Eng telah mencabut pedangnya dan sekali saja pedangnya berkelebat dalam
gerakan yang aneh, nelayan kasar itu menjerit ngeri, goloknya terlempar dan lengan
tangannya berlumuran darah.
“Bajingan kasar, kalau aku mau, lehermu telah putus!” kata Tin Eng dan nelayan itu tanpa
berani berkata apa-apa lagi lalu berlari pergi.
“Siapakah dia?” tanya Tin Eng.
Nelayan tua itu menarik napas panjang. “Kau mencari penyakit, nona. Dia adalah seorang
anggauta Layar Hitam yang telah lama merajalela di sini, dan kami perkumpulan Layar Putih
selalu diperasnya. Kami harus menyerahkan setengah bagian dari pada hasil yang kami
peroleh kepada mereka, karena itulah maka mereka yang menetapkan tarif sewa perahu.”
“Bangsat benar! Jangan kuatir, aku akan membasmi mereka!” kata Tin Eng dengan marah
sekali.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan keras yang nyaring dari atas sebuah perahu
besar, dan ketika Tin Eng dan kedua orang nelayan itu menengok, ternyata di atas perahu
besar yang berlayar putih dan masih tergulung, berdiri seorang perempuan muda dengan sikap
gagah. Perempuan itu usianya sebaya dengan Tin Eng, tubuhnya tegap langsing dan
rambutnya dikuncir panjang, akan tetapi yang pada saat itu diselipkan di dalam punggungnya.
Kepalanya memakai sebuah kopiah bulu yang halus, pakaiannya dari sutera mahal. Ia berdiri
dengan gagah dan berteriak nyaring,
“Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) ! Keluarlah untuk terima binasa!”
Teriakan ini ia keluarkan berulang-ulang. Beberapa nelayan yang bertopi seperti nelayan
tinggi besar yang dikalahkan oleh Tin Eng tadi melompat naik sambil memaki. Akan tetapi
beberapa kali saja dua kaki gadis gagah itu bergerak, empat orang nelayan yang mencoba
untuk menyerbunya itu kena ditendang dan tercebur ke dalam air.
“Ha ha!” Gadis itu tertawa keras. “Kalian ini anjing-anjing rendah, mengapa tak tahu diri dan
berani mendekati Dewi Tangan Maut? Suruh Hek-liong-ong si anjing tua itu keluar. Aku
tidak sudi berurusan dengan anjing-anjing kentut sekalian!”
Tin Eng memandang kagum dan ia bertanya kepada nelayan tua yang berdiri dengan wajah
pucat. “Lopeh, siapakah Hek-liong-ong yang ia tantang itu?”
“Hek-liong-ong adalah ketua dari perkumpulan Layar Hitam! Kalau nona itu betul-betul Dewi
Tangan Maut, akan hebatlah pertempuran nanti!”
“Siapakah Dewi Tangan Maut?” tanya pula Tin Eng dengan hati amat tertarik.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 54
Nelayan tua itu memandang kepada Tin Eng dengan mata heran karena ada orang yang belum
mendengar nama ini. “Dia adalah seorang pendekar wanita yang ditakuti orang karena gagah
berani dan ganas!”
Tin Eng merasa suka kepada nona pendekar itu, maka ia lalu berjalan lebih dekat untuk
melihat apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian, dari dusun itu keluarlah seorang laki-laki
berbaju putih bercelana hitam dan yang memakai topi seperti para anggauta Layar Hitam itu.
Tindakan kakinya tetap dan kuat, menandakan bahwa ilmu silatnya tinggi. Mukanya hitam
dan rambutnya sudah banyak yang putih, akan tetapi mukanya amat kejam dan sepasang
matanya mengeluarkan cahaya liar.
Ia diikuti oleh belasan orang anggauta Layar Hitam. Dengan langkah lebar ia lalu
menghampiri perahu di mana Dewi Tangan Maut itu masih berdiri, dan ketika nona itu
melihat kedatangan Hek-liong-ong, ia tertawa dan sambil tersenyum manis ia berkata,
“Hek-liong-ong! Aku telah datang untuk menghancurkan kau yang penuh kejahatan itu!”
Marahlah Hek-liong-ong mendengar hinaan ini. Dengan gerakan ringan sekali ia melompat ke
atas perahu besar, sedangkan dua orang kawannya pun melompat ke atas perahu kecil yang
berada di dekat perahu besar itu, siap untuk membantu Hek-liong-ong. Kedua orang ini adalah
dua orang wakil kepala Layar Hitam yang berkepandaian tinggi pula, seorang setengah tua
yang menjadi sute (adik seperguruan) Hek-liong-ong dan seorang pula masih muda dan
berkopiah putih yang juga memiliki ilmu silat tinggi.
Sementara itu, belasan orang anak buah perkumpulan Layar Hitam berdiri di tepi sungai
sambil bertolak pinggang. Agaknya hendak menghadang kalau Dewi Tangan Maut akan
melarikan diri ke atas darat! Sikap mereka mengancam dan bengis sekali.
Setelah berada di atas perahu besar dan berdiri menghadapi Dewi Tangan Maut yang
memandangnya dengan mengejek dan bertolak pinggang, Hek-liong-ong menunjuk dengan
tangan kirinya dan berkata keras,
“Dewi Tangan Maut! Kau mau merajalela di darat mengapa berlancang tangan dan
mengotorkan keadaan di sungai? Apa kau kira aku Hek-liong-ong takut kepadamu?”
“Hek-liong-ong,” jawab dara pendekar itu sambil tersenyum tenang. “Tak perlu dipersoalkan
darat atau sungai, tak perlu dipersoalkan pula tentang kau takut kepadaku atau pun tidak!
Akan tetapi yang penting ialah bahwa kau telah berlaku terlampau kejam dan berbuat
sewenang-wenang! Kau telah menyiksa seorang nelayan, menyeretnya di atas tanah dengan
berkuda sehingga orang itu hampir mati tersiksa sedangkan kemarin kau telah menyiksa pula
seorang nelayan yang kau ikat kaki tangannya dan kau tenggelamkan berkali-kali ke dalam air
sehingga ia mati! Perbuatan ini lebih kejam dari pada perbuatan binatang liar, dan setelah aku
Dewi Tangan Maut mendengar tentang hal ini, apa kau kira aku bisa mendiamkan saja
kekejaman ini merajalela, biar di atas sungai sekalipun?”
“Dewi Tangan Maut! Kau tak perlu mencampuri urusanku! Hal yang terjadi itu adalah urusan
dalam perkumpulanku sendiri dan tak seorangpun boleh mencampurinya! Aku menghukum
nelayan-nelayan yang berdosa, apakah sangkut pautnya dengan kau?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 55
Kembali nona pendekar itu tertawa menghina. “Kalau kau menghukum orang-orangmu
sendiri yang kesemuanya terdiri dari bajak-bajak dan penjahat-penjahat, aku takkan perduli
sama sekali! Akan tetapi justru yang kau siksa itu adalah nelayan-nelayan biasa, orang baikbaik
yang tidak mau menurut perintahmu!”
Makin marahlah Hek-liong-ong. Ia mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang dayung dan
membentak, “Perempuan sombong! Habis kau mau apa?”
“Bagus, bagus sudah kuduga bahwa anjing tua yang mau mampus tentu akan menyalaknyalak
dulu!” jawab nona itu sambil mencabut pedangnya.
Hek-liong-ong menyerbu dengan sepasang dayungnya yang hebat itu, akan tetapi lawannya
mengelak dengan mudah dan mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Pertempuran hebat itu ditambah pula dengan majunya dua orang wakil ketua Layar Hitam
sehingga menjadi makin seru. Gadis yang diberi julukan Dewi Tangan Maut itu benar-benar
gagah perkasa, karena biarpun dikeroyok oleh Hek-liong-ong yang mainkan sepasang dayung
secara hebat dan oleh dua orang yang mainkan golok secara buas pula.
Namun ia dapat melayani mereka dengan baik bahkan melancarkan serangan-serangan
pembalasan yang benar-benar merupakan tangan maut karena sekali saja serangan pedangnya
mengenai sasaran, pasti lawannya yang terkena akan tewas di saat itu juga. Tin Eng merasa
kagum dan juga bergidik, karena ternyata bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar ganas
sekali.
Sementara itu, belasan orang yang menjadi anak buah Layar Hitam itu kini telah bertambah
jumlahnya dan menjadi kurang lebih tiga puluh orang. Sikap mereka mengancam sekali dan
ketika mereka melihat betapa ketiga orang ketua mereka tak dapat menangkan Dewi Tangan
Maut, mereka mulai berteriak-teriak hendak maju mengeroyok.
Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru, “Tenggelamkan perahunya! Biarkan ia
tenggelam dalam air, tentu tidak berdaya!”
Tin Eng merasa terkejut mendengar maksud keji ini dan ia telah melihat betapa belasan orang
mulai menyeburkan diri ke dalam air untuk menggulingkan perahu di mana ketiga pemimpin
Layar Hitam itu sedang mengeroyok Dewi Tangan Maut.
“Cici, kau lompatlah segera ke darat! Mereka hendak menggulingkan perahu!” Tin Eng
berteriak keras sambil melompat mendekati pantai dan ketika tiga orang anggauta Layar
Hitam dengan marah menyerangnya, ia merobohkan mereka dengan sekali dorong.
Dewi Tangan Maut merasa marah sekali mendengar tentang maksud curang ini. Pedangnya
bergerak cepat dan terdengar jerit kesakitan dan darah tersembur keluar dari dada seorang di
antara ke tiga pengeroyoknya, yakni sute dari Hek-liong-ong. Korban ini roboh dengan dada
tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga. Hal ini membuat Hek-liong-ong dan seorang
kawannya menjadi jerih.
Pada saat itu perahu sudah mulai bergoyang-goyang dan Dewi Tangan Maut segera melompat
ke darat, diikuti oleh Hek-liong-ong dan anak buahnya yang mengejar. Maka terjadilah
pertempuran di darat yang lebih hebat dari pada pertempuran di atas perahu tadi. Dewi
Tangan Maut dikeroyok oleh puluhan orang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 56
Akan tetapi sambil putar-putar pedangnya, nona pendekar itu masih sempat memandang
kepada Tin Eng dan tersenyum manis sambil berkata, “Adik yang baik, terima kasih.”
Melihat betapa nona pendekar itu dikeroyok oleh demikian banyak orang yang semuanya
memegang senjata, Tin Eng menjadi tak tega dan sambil mencabut pedangnya, ia menyerbu
dan membentak,
“Kawanan tikus tak tahu malu! Jangan mengandalkan keroyokan menghina orang!”
Hebat sekali permainan pedang Tin Eng ini. Setiap kali pedangnya berkelebat, tentu senjata
seorang lawan kena dibikin terlepas dan tangan yang memegang terluka. Terdengar jerit dan
pekik karena sakit dan terkejut, bahkan Dewi Tangan Maut itu sendiri merasa kagum dan
terkejut melihat kehebatan sepak terjang Tin Eng. Akan tetapi, Tin Eng tidak seganas dia
sehingga lawan-lawan yang kena dirobohkan oleh Tin Eng tidak ada yang menderita luka
berat, sungguhpun mereka itu tak dapat maju mengeroyok pula.
Sedangkan Dewi Tangan Maut ketika melihat kehebatan Tin Eng, tidak mau kalah. Ia berseru
nyaring dan ketika pedangnya berkelebat cepat beberapa kali, robohlah tiga orang anak buah
Layar Hitam dengan dada tertembus pedang atau leher terbacok sehingga mereka tewas pada
saat itu juga.
Melihat ini Tin Eng mendapat pikiran untuk merobohkan kepala penjahat dulu, karena kalau
dilanjutkan semua anak buah Layar Hitam ini bisa mati semua dalam tangan Dewi Tangan
Maut yang ganas. Ia melompat dan cepat mengirim serangan kepada Hek-liong-ong yang
menjadi terkejut karena menghadapi serangan Dewi Tangan Maut sendiri saja ia sudah
merasa sibuk, apalagi kini ditambah oleh seorang lawan lain yang tidak kalah lihainya.
Di dalam kegugupannya, tangan kanannya tersabet oleh pedang Tin Eng sehingga sambil
menjerit, ia melepaskan dayungnya dan segera teriakannya itu disambung dengan pekik hebat
karena Dewi Tangan Maut telah menggerakkan pedangnya menabas batang lehernya. Pemuda
yang menjadi pembantunya itu melihat kejadian ini menjadi terkejut dan kesima, sehingga
sebelum ia tahu apa yang terjadi, kembali pedang Dewi Tangan Maut menyambar dan
menusuk dadanya sehingga iapun rebah mandi darah dan tewas.
Tin Eng merasa ngeri sekali dan segera ia menahan pedangnya. Akan tetapi dengan wajah
gembira, Dewi Tangan Maut mengamuk terus sehingga beberapa orang anak buah Layar
Hitam kembali menjadi korban pedangnya.
“Cici, tahan dan ampuni mereka!” kata Tin Eng sambil melompat dan menahan amukan
pendekar wanita yang ganas itu. Kemudian Tin Eng berseru kepada semua anggauta Layar
Hitam, “Lemparkan senjata dan berlututlah untuk menyerah!”
Memang semua anggauta gerombolan itu telah menjadi ketakutan dan ngeri melihat
kehebatan kedua pendekar wanita itu, maka mendengar bentakan ini mereka lalu melempar
pedang masing-masing dan berlutut minta ampun.
Dewi Tangan Maut tertawa bergelak dan sambil menggerak-gerakkan pedangnya
mengancam, ia berkata, “Untung bahwa hari ini ada bidadari penolong yang mintakan ampun
untuk jiwa anjing kalian, kalau tidak, jangan harap ada seorang pun penjahat yang dapat lolos
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 57
dari ujung pedangku! Mulai sekarang, jangan kalian berani-berani lagi mengganas. Uruslah
semua mayat ini baik-baik dan harap kalian dapat bekerja sama dengan para nelayan lain.
Kalau lain kali aku mendengar lagi akan kejahatan kalian, aku takkan mau memberi ampun
lagi, biarpun kalian berlutut seribu kali!”
Para anggauta Layar Hitam itu lalu mengangkat semua mayat dan mengurusnya baik-baik,
dibantu oleh nelayan-nelayan biasa dan anggauta-anggauta Layar Putih yang diam-diam
merasa girang sekali karena kejahatan yang selalu menekan dan mengganggu mereka itu
akhirnya dapat terbasmi sekali gus. Dewi Tangan Maut menghampiri Tin Eng dan sambil
tersenyum bertanya,
“Adik yang gagah perkasa, siapakah kau? Ilmu pedangmu sungguh-sungguh mengagumkan
hatiku!”
“Kepandaianku biasa saja, mana dapat dibandingkan dengan cici yang benar-benar
merupakan Dewi Penyebar Maut? Aku bernama Liok Tin Eng, tidak tahu cici ini bernama
siapakah?”
“Namaku Kui Hwa, she Tan. Aku anak murid Hoa-san-pai dan aku paling benci kepada
kejahatan. Adik Eng, kau ternyata berhati lemah dan sebenarnya keliru sekali perbuatanmu
tadi yang memberi ampun kepada para penjahat. Orang-orang kejam macam mereka itu harus
dibasmi, barulah keadaan menjadi benar-benar aman!”
“Akan tetapi, Tan-cici, mereka juga manusia dan kalau kiranya masih dapat diusahakan, lebih
baik mengampuni mereka agar mereka berubah menjadi orang baik-baik.”
Kui Hwa tersenyum, lenyaplah sifat galaknya, bahkan dalam pandangan Tin Eng, dara
pendekar ini nampak cantik jelita dan manis sekali, pantas disebut Dewi. “Mungkin kau
benar, adikku, akan tetapi, lebih besar kemungkinan kau akan kecele, karena biasanya orang
yang mempunyai dasar jahat sukar sekali untuk diperbaiki lagi.”
Tin Eng hanya tersenyum saja mendengar pendapat Dewi Tangan Maut itu, tidak mau
membantah sungguhpun di dalam hatinya ia tidak setuju dengan pendapat ini.
“Adik Tin Eng, sebetulnya kau hendak ke manakah maka sampai bisa datang ke tempat ini?”
tanya Kui Hwa yang ramah tamah.
“Aku hendak menyewa perahu ke Ki-ciu. Telah lama aku mendengar keindahan Ki-ciu dan
ingin merantau ke sana meluaskan pengalaman. Kebetulan sekali aku bertemu dengan
gerombolan Layar Hitam sehingga kalau seandainya cici tidak datang turun tangan, tentu aku
pun akan bertempur dengan mereka.” Tin Eng lalu menceritakan tentang pertempurannya
dengan seorang anggauta Layar Hitam yang kasar tadi.
Si Dewi Tangan Maut mengangguk-angguk dan berkata, “Memang tadi telah kulihat betapa
lihainya ilmu silatmu. Aku ingin memperkenalkan kau kepada kawan-kawanku dan biarlah
lain kali kita bertemu pula.”
Kemudian Tin Eng menyewa perahu Layar Hitam yang paling baik dan dua orang anggauta
Layar Hitam yang telah berubah amat baik dan menghormati sikapnya, lalu mendayung
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 58
perahu itu ke tengah sungai. Setelah tiba di sungai, layar dikembangkan dan perahu kecil itu
melaju menuju Ki-ciu.
Benar saja, pemandangan alam di kanan kiri sungai itu amat indahnya sehingga Tin Eng
merasa gembira sekali. Terutama apabila ia teringat kepada Dewi Tangan Maut yang kini
telah menjadi seorang kenalan baik. Ia merasa kagum kepada nona pendekar itu dan hatinya
makin gembira apabila ia ingat bahwa di dalam perantauan ini ia tentu akan bertemu dengan
orang-orang gagah seperti nona she Tan itu. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada
waktu itu Bun Gwat Kong, pelayannya yang menjadi biang keladi perantauannya ini sedang
menuju ke Kang-lam untuk mencari Tan Kui Hwa atau Dewi Tangan Maut yang menjadi
puteri dari musuh besarnya.
Juga gadis ini tidak pernah menduga bahwa ia sedang berada di dalam bahaya dan bahwa
ucapan Dewi Tangan Maut tadi yang menyatakan bahwa penjahat-penjahat itu patut dibasmi
karena dasarnya jahat akan tetap jahat! Karena di luar persangkaannya, kedua orang anggauta
Layar Hitam yang kini mengemudi perahu yang ditumpanginya ternyata mengandung maksud
jahat terhadap dirinya.
Hari telah mulai senja ketika perahu itu tiba di dalam sebuah hutan yang amat luas dan gelap.
Juga sungai menjadi lebar ketika tiba di tempat ini, akan tetapi karena tidak ada angin, maka
layar digulung dan perahu itu bergerak maju mengandalkan tenaga pendayung dari kedua
orang itu. Perahu maju perlahan-lahan dan ketika tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba perahu itu
berhenti.
Tin Eng hendak menegur kedua orang yang berhenti mendayung, akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara suitan keras dari pinggir sebelah kiri dan kedua orang itu lalu membalas suara
itu dengan bersuit keras pula. Sebelum Tin Eng dapat bertanya, kedua orang itu tiba-tiba lalu
menyeburkan diri ke dalam air dan berenang ke pantai, meninggalkan perahu yang berhenti di
tengah-tengah sungai.
Karena memang mereka tadi sengaja menghentikan perahu di tempat yang terhalang oleh
batu-batu karang yang menonjol di tengah-tengah sungai. Tin Eng merasa terkejut dan heran
sekali dan hatinya mulai merasa tidak enak.
“Hai! Kalian hendak pergi kemana?” tegurnya kepada dua orang pendayung tadi, akan tetapi
kedua orang itu telah mendarat lalu lari ke dalam hutan dan lenyap.
Tin Eng merasa bingung sekali. Untuk mendayung perahu itu ia tidak sanggup karena ia
memang tidak pernah mengemudikan perahu. Untuk melompat ke tepi pun tak mungkin
karena letaknya kedua tepi di kanan kiri itu sedikitnya ada lima belas tombak dari perahunya.
Berenangpun ia tak pandai.
Tak lama kemudian, dari pantai sebelah kiri muncullah banyak sekali orang yang membawa
perahu-perahu kecil yang segera diturunkan ke dalam air. Mereka ini ternyata adalah bajak air
yang telah mendapat berita dari dua orang anggauta Layar Hitam yang sengaja hendak
membalas dendam.
Sebelumnya para anggauta Layar Hitam itu adalah bekas-bekas bajak air yang mengandalkan
kekejaman mereka atas pengaruh bajak air ini dan mereka selalu membagi hasil-hasil
pemerasan mereka kepada bajak-bajak ini sehingga tentu saja ketika mendengar betapa tiga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 59
orang pemimpin Layar Hitam terbunuh dan perkumpulan itu diobrak-abrik oleh Tin Eng dan
Dewi Tangan Maut, mereka menjadi marah dan hendak membalas dendam.
Akan tetapi yang menarik perhatian kepala bajak itu adalah cerita kedua orang anggauta
Layar Hitam tadi bahwa gadis yang menumpang di dalam perahu mereka dan yang telah ikut
menghancurkan perkumpulannya adalah seorang gadis cantik jelita. Kepala bajak ini adalah
seorang bajak muda yang rakus akan paras cantik, maka begitu mendengar berita ini ia lalu
mengerahkan anak buahnya untuk pergi mengeroyok dan menangkap gadis itu.
Melihat orang banyak itu, Tin Eng maklum bahwa mereka tentulah penjahat-penjahat yang
bermaksud jahat, maka ia segera mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serbuan
mereka. Diam-diam ia merasa gemas sekali kepada dua orang tukang perahu tadi dan
mengakui kebenaran ucapan Dewi Tangan Maut, maka ia mengambil keputusan untuk
membasmi orang jahat ini sampai ke akar-akarnya.
Perahu-perahu kecil itu segera di dayung dan sebentar saja perahu yang ditumpangi oleh Tin
Eng dikurung dari segala jurusan. Kepala bajak yang mengenakan pakaian biru dan dengan
sepasang kampak di tangan berdiri di kepala perahu terdepan dengan sikap gagah. Di
sebelahnya berdiri dua orang tukang perahu anggauta Layar Hitam yang melapor tadi.
Tin Eng memandang ke arah mereka dengan mata merah. “He, kalian hendak berbuat
apakah?” tanyanya dengan gemas.
08. Kehilangan Kitab Pusaka
KEDUA orang anggauta Layar Hitam itu tertawa saja dan seorang di antaranya lalu berkata
dengan suara mengejek, “Nona, kau hendak kami jodohkan dengan Liang-ho Siauw-liong
(Naga Muda dari Liang-ho), tentu kau akan mengalami kesenangan besar! Ha ha ha!”
“Bangsat rendah! Kau telah mendapat ampun, apakah benar-benar kalian hendak mencari
mampus?”
Tiba-tiba kepala bajak itu tertawa dengan girang. Ia telah melihat bahwa dara muda itu benarbenar
cantik jelita, maka kini mendengar suaranya yang nyaring dan sikapnya yang gagah, ia
lalu berkata,
“Nona manis, kau telah terkurung dan berada dalam kekuasaanku, lebih baik kau menyerah
saja karena percuma kalau kau mau melawan juga!”
“Bangsat keji! Kau kira nonamu takut menghadapi tikus-tikus air semacam kau dan anak
buahmu? Naiklah kalian semua ke sini kalau hendak mencari mampus di ujung senjataku!”
tantang Tin Eng dengan tabah dan marah.
Liang-ho Siauw-liong tertawa bergelak-gelak lalu memberi perintah kepada anak buahnya,
“Tangkap padanya, akan tetapi jangan melukainya! Gunakan tali untuk menyeretnya ke air
dan kemudian mengikatnya kuat-kuat!”
Mendapat perintah ini, para bajak lalu mendayung perahu mereka mendekati perahu di mana
Tin Eng berdiri menanti dengan pedang ditangan. Mereka membawa senjata berupa tambang
dan kaitan-kaitan kayu, ada pula yang membawa dayung untuk mendorong gadis itu ke dalam
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 60
air. Dengan mata tajam Tin Eng melihat lagak itu dan hanya menjaga untuk segera bergerak
begitu ada bajak naik ke atas perahu.
Benar saja, dari sebelah kiri perahu melompat dua orang bajak yang membawa tambang,
disusul oleh tiga orang pula yang melompat ke kanan perahu. Akan tetapi mereka itu segera
menjerit kesakitan ketika Tin Eng menyambar dengan pedangnya dan begitu ia menggerakkan
tangannya, pedang itu telah melukai mereka yang segera terguling ke dalam air.
Bajak lain menjadi jerih. Tak pernah mereka sangka bahwa gadis itu selihai ini, maka kini
tidak ada yang berani mencoba untuk naik ke perahu Tin Eng lagi. Bahkan perahu-perahu
kecil itu segera di dayung menjauhi dan para bajak yang terluka tadi lalu ditolong.
“Ilmu pedangnya lihai sekali, harap tai-ong berhati-hati,“ kata dua orang anggauta Layar
Hitam tadi.
Liang-ho Siauw-liong merasa marah sekali melihat betapa lima orang anak buahnya dengan
amat mudah dijatuhkan oleh Tin Eng, maka ia lalu memberi aba-aba.
“Terjun ke air dan gulingkan perahunya!”
Tin Eng merasa terkejut sekali mendengar perintah ini. Kalau mereka benar-benar
menggulingkan perahunya, maka celakalah dia! Biarpun di darat ia tak perlu takut
menghadapi keroyokan mereka, akan tetapi kalau sampai ia terjatuh ke dalam air, jangankan
menghadapi keroyokan, baru menghadapi seorang bajak biasa yang pandai berenang saja ia
takkan berdaya sama sekali. Ia melihat betapa bajak-bajak itu meninggalkan perahunya dan
mulai terjun ke dalam air untuk berenang menghampiri perahu di mana ia berdiri.
Tin Eng teringat akan kantong piauwnya, maka dengan gemas ia lalu mengeluarkan
segenggam piauw dan memindahkan pedang ke dalam tangan kiri. Ia pernah mempelajari
ilmu melepas piauw dari ayahnya dan dalam hal kepandaian melempar piauw ia telah
memiliki kepandaian yang boleh juga. Ia membidik dengan hati-hati dan begitu tangannya
berayun ke arah bajak yang berenang di air, piauw itu tepat sekali menancap di tubuh bajak
sehingga bajak itu menjerit kesakitan dan terus tenggelam ke dalam air. Tin Eng membagibagi
hadiah dengan piauwnya itu ke seluruh penjuru. Di mana terlihat tubuh bajak bergerak di
dalam air, ia segera mengayun tangannya hingga tak lama kemudian banyak sekali bajak yang
ia tewaskan.
Dalam kegembiraannya ia telah menghabiskan banyak sekali senjata piauwnya dan ketika ia
merogoh kembali ke kantong piauw, ia merasa terkejut sekali, karena piauwnya hanya tinggal
tiga buah lagi! Ia membawa dua puluh batang piauw dan ternyata ia telah menyambitkan
tujuh belas batang yang kesemuanya mengenai sasaran dengan tepat. Kini para bajak itu tidak
berani berenang di permukaan air dan segera menyelam untuk menghindarkan diri dari piauw
gadis yang tangguh itu, sehingga Tin Eng mulai kuatir sekali.
Melihat betapa kepala bajak itu berdiri di kepala perahu dan memberi perintah, ia menjadi
gemas dan segera tangannya terayun dan sekali gus tiga batang piauwnya menyambar ke arah
kepala bajak itu dan ke arah dua orang anggauta Layar Hitam yang berdiri di dekat Liang-ho
Siauw-liong. Terdengar jerit kesakitan dan tubuh kedua orang anggauta Layar Hitam itu
terjungkal dari perahu, masuk ke dalam air sungai. Akan tetapi sambil tertawa bergelak dan
sama sekali tidak memperdulikan dua orang yang menjadi korban senjata rahasia itu, ia
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 61
menggerakkan kampak di tangan kanannya untuk menangkis piauw yang menyambar ke arah
tubuhnya sehingga senjata kecil itu terpukul jatuh ke dalam air.
Kini Tin Eng merasa betul-betul gelisah. Piauwnya telah habis dan apa dayanya? Ia melihat
ke kanan kiri dan ke dalam air, akan tetapi tidak melihat ada anggauta bajak yang berenang di
bawah permukaan air dan kini perahunya tiba-tiba mulai bergoyang-goyang.
Hampir saja Tin Eng terjatuh, ia terhuyung-huyung dan mempertahankan dirinya di atas
perahu agar supaya tidak terlempar keluar ke dalam air. Akan tetapi perahu itu makin miring
dan sebentar pula tentu terbalik. Tin Eng melihat sebuah perahu bajak kosong, yang jauhnya
tiga tombak lebih dari tempatnya, maka sambil berseru keras ia melompat ke arah perahu itu.
Akan tetapi, begitu ia turun menginjak perahu itu, ia segera terjatuh karena perahu kecil itu
tidak kuat menerima tubuhnya yang melompat dengan keras. Perahu itu terguling,
membawanya ikut terguling ke dalam air.
Tin Eng bergulat dengan air yang membuatnya tak berdaya. Beberapa kali ia terpaksa minum
air sungai dan ketika ia merasa ada tangan meraba dan hendak menangkapnya, ia memukul
dengan tangan kanannya sehingga bajak yang mencoba untuk menangkapnya itu memekik
dan melepaskan pegangannya. Biarpun berada dalam keadaan tak berdaya, namun Tin Eng
masih berbahaya dan tak mudah ditangkap.
“Biarkan dia lemas dulu!” terdengar suara Liang-ho Siauw-liong berkata keras sambil
mendayung perahunya mendekat.
Tin Eng sudah menjadi lemas sekali dan hampir pingsan. Ia masih mendengar betapa tiba-tiba
terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan para bajak itu dan ia merasa betapa tubuhnya
terikat oleh sehelai tali yang kuat, lalu tubuhnya di tarik ke sebuah perahu. Ia tak dapat
melihat lagi siapa yang melakukan ini, akan tetapi ia merasa tubuhnya diangkat ke dalam
perahu. Ia membuka mata dan melihat bahwa yang menolongnya adalah Tan Kui Hwa si
Dewi Tangan Maut.
Nona pendekar itu tersenyum dan berkata, “Untung kau belum terlalu banyak minum air,
adikku yang baik. Akan tetapi sedikit air yang memenuhi perutmu itu perlu dikeluarkan. Kau
menurutlah saja!”
Setelah berkata demikian, Kui Hwa lalu peluk tubuh Tin Eng dan menjungkirkan tubuh itu
dengan kaki ke atas dan kepala di bawah. Maka mengalirlah air dari mulut Tin Eng.
Setelah air yang memenuhi perut itu dikeluarkan, Tin Eng lalu berkata,
“Cici, Kui Hwa, mana keparat-keparat itu?”
“Mereka melarikan diri ke darat.”
“Mari kita kejar!” kata Tin Eng dengan marah sekali.
Kedua orang gadis itu lalu mendayung perahu mereka ke darat. Ternyata bahwa Kui Hwa
merasa curiga terhadap dua orang anak buah Layar Hitam yang mendayung perahu Tin Eng
dan dengan diam-diam ia lalu mengikuti perahu itu dari darat. Ia melihat betapa Tin Eng
dikeroyok, maka dapat menolong pada saat yang tepat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 62
Dengan mudah ia melompat ke dalam perahu itu dan merampas tambang yang tadinya hendak
digunakan untuk mengikat kaki dan tangan Tin Eng. Dengan kepandaiannya yang
mengagumkan, Dewi Tangan Maut itu berhasil melemparkan ujung tali yang mengikat tubuh
Tin Eng dan menolong gadis itu sebelum terjatuh ke dalam tangan bajak.
Liang-ho Siauw-liong pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut, maka melihat pendekar
wanita itu muncul ia lalu memerintahkan semua anak buahnya untuk melarikan diri.
Setelah mendarat, Kui Hwa dan Tin Eng lalu mengejar ke dalam hutan. Tak lama kemudian
mereka dapat mencari tempat tinggal para bajak itu di tengah hutan dan kedua nona itu segera
menyerbu dengan pedang di tangan.
“Serahkanlah kepala bajak itu kepadaku, cici!” kata Tin Eng yang merasa marah sekali.
Kawanan bajak menjadi kacau balau karena tidak pernah menyangka bahwa kedua orang dara
itu berani menyerbu ke dalam hutan yang liar dan gelap, maka mereka lari cerai berai.
Sedangkan kepala bajak Liang-ho Siauw-liong beserta beberapa belas orang yang memiliki
kepandaian dan menjadi pembantu-pembantunya segera mengeroyok Kui Hwa dan Tin Eng.
Akan tetapi mereka bukanlah lawan dari kedua pendekar wanita ini dan sebentar saja
beberapa orang bajak yang mengeroyok telah kena dirobohkan. Liang-ho Siauw-liong sendiri
didesak hebat oleh Tin Eng dan biarpun permainan sepasang kampak di tangannya amat lihai
dan cepat, akan tetapi menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Tin Eng, ia
menjadi terdesak hebat dan pada satu saat pedang Tin Eng berhasil membacok putus sebelah
lengannya.
Kepala bajak itu roboh pingsan dan Tin Eng merasa lega serta tidak tega untuk mengirim
tusukan yang terakhir. Ia meninggalkan tubuh lawan, dan membantu Kui Hwa mengamuk,
sehingga para bajak itu menjadi jerih dan sisanya yang masih hidup lalu melarikan diri, tak
kuat menghadapi dua ekor harimau betina yang mengamuk itu.
Kemudian Tin Eng mencari buntalan pakaiannya yang terampas dan untung sekali bahwa
buntalannya masih terdapat di situ. Hatinya menjadi lega ketika ia memeriksa buntalannya,
ternyata barang-barangnya berikut kitab pelajaran pedang Sing-eng Kiam-hoat masih ada di
dalam bungkusan.
Ia memeluk Kui Hwa dan berkata, “Cici Kui Hwa, terima kasih atas pertolonganmu tadi.
Kalau tidak ada yang menolong entah bagaimana jadinya dengan aku.”
“Ah, tak perlu kau berterima kasih, kawan! Orang-orang seperti kita harus tolong menolong.
Akupun amat membutuhkan pertolonganmu untuk menghadapi musuh-musuhku.”
“Musuh-musuhmu? Siapakah mereka, cici?”
Kui Hwa lalu menceritakan tentang permusuhan dengan orang-orang cabang Go-bi-pai.
“Kami pihak Hoa-san-pai selalu mengalah, akan tetapi orang-orang Go-bi-pai itu benar-benar
tak tahu diri dan selalu mencari permusuhan dengan kami. Terutama sekali Seng Le Hosiang
yang tiada hentinya berusaha menebus kekalahannya dan mulai menghasut orang-orang gagah
dari luar untuk memusuhi kami.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 63
Bukan main terkejutnya hati Tin Eng mendengar penuturan ini. Betapapun juga, ia boleh
dibilang seorang anak murid Go-bi-pai pula.
“Cici yang baik, terus terang saja kau telah menuturkan keburukan Go-bi-pai kepada seorang
anak muridnya!”
Kui Hwa melompat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa?? Kau juga anak
murid Go-bi? Ah, jangan kau main-main kawan. Ku lihat ilmu pedangmu sama sekali bukan
dari Partai Go-bi-san. Aku kenal baik ilmu silat Go-bi-pai, maka jangan kau mencoba untuk
mempermainkan dan membohongi aku!”
Tin Eng tersenyum, lalu berkata, “Kau lihatlah baik-baik, cici!” Setelah berkata demikian,
dara muda ini lalu bersilat dengan ilmu silat Go-bi-pai sebagaimana yang dipelajari dari
ayahnya. “Kenalkah kau ilmu silat ini?” tanyanya lalu menghentikan gerakannya.
Kui Hwa lalu mencabut pedangnya dan berseru, “Kau benar-benar anak murid Go-bi-pai!
bagus mari kita akhiri di ujung pedang!”
Tin Eng mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, “Cici yang baik, kau tadi
menyatakan heran bahwa orang-orang Go-bi-pai selalu memusuhi kalian orang-orang Hoasan-
pai. Akan tetapi melihat sikapmu ini, bukankah kau yang menunjukkan sikap
bermusuhan? Lihatlah saja, Kau mencabut pedang terhadap aku yang tidak menganggapmu
sebagai musuh, bukankah ini tidak sesuai dengan kata-katamu tadi?”
Kui Hwa tersadar dan ia cepat memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang lalu
tersenyum dan berkata dengan muka merah, “Maaf, adik Tin Eng. Baru sekarang aku melihat
seorang anak murid Go-bi-pai tidak mengambil sikap bermusuhan terhadapku, maafkan
sikapku tadi.”
Tin Eng memegang lengan Kui Hwa dan berkata,” Cici Kui Hwa, agaknya kau telah dibikin
sakit hati sekali oleh orang-orang Go-bi-pai, maka kau membenci mereka. Akan tetapi kau
lihat sekarang bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat dan memusuhimu.
Marilah kita melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bukankah kau hendak ke Kiciu?”
“Tidak, adik Tin Eng. Aku hendak kembali ke Kang-lam, dan kau lanjutkanlah perjalananmu
ke Ki-ciu. Akan tetapi, lebih baik kau ambil jalan darat saja. Dari sini kau terus ke selatan,
setelah tiba di dusun kedua kau membelok ke timur. Ki-ciu terletak kurang lebih lima puluh li
dari situ.”
“Cici, melihat mukaku apakah kau mau menghabisi saja permusuhan dengan pihak Go-bi?
Aku merasa sedih sekali melihat kau bermusuhan dengan pihak Go-bi, karena secara tak
langsung akupun anak murid Go-bi-san, sebab ayahku adalah murid Go-bi-san pula. Seperti
kau ketahui, permusuhan itu merupakan permusuhan pribadi dan jangan membawa-bawa
cabang persilatan menjadi musuh, buktinya akupun tidak memusuhi kau, cici!”
Kui Hwa menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Adikku yang baik, agaknya
kau belum banyak merantau dan belum banyak mengalami hal-hal yang mengecewakan,
sehingga kau tidak mengetahui keadaan. Permusuhan ini sudah amat mendalam dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 64
sesungguhnya bukan datang dari pihak kami. Sudah banyak kami menerima hinaan dari pihak
Go-bi, maaf, adik Tin Eng. Memang sesungguhnya jarang sekali terdapat anak murid Go-bipai
seperti kau!”
“Apakah kau pernah mengalami hinaan? Dari siapakah?”
Kembali Kui Hwa menarik napas panjang. “Kalau diceritakan sungguh membuat orang
menjadi penasaran sekali. Semenjak memiliki sedikit kepandaian silat, sudah menjadi
kebiasaan ku untuk membasmi orang-orang jahat yang mengganggu rakyat. Beberapa bulan
yang lalu pernah aku mengejar seorang jai-hwa-cat (penjahat pengganggu anak bini orang)
dan kebetulan sekali penjahat itu juga memiliki ilmu-ilmu silat dari cabang Go-bi. Ia telah
tersusul olehku dan tentu ia akan binasa di ujung pedangku, kalau saja ia tidak ditolong oleh
seorang tosu dan muridnya, yang terang-terangan membela orang-orang Go-bi-pai. Aku
dikalahkan oleh murid tosu itu dan mendapat hinaan dari mereka. Tosu itu bernama Bong Bi
Sianjin dan muridnya bernama Gan Bu Gi.”
Tin Eng merasa terkejut sekali, akan tetapi ia dapat menahan perasaan ini dan berkata,
“Hinaan apakah yang mereka lakukan terhadapmu, cici?”
“Biarlah lain kali saja kuceritakan padamu, adik Tin Eng. Sekarang telah jauh malam, lebih
baik kita melanjutkan perjalanan masing-masing.”
Tin Eng maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa dan gadis
itu yang baru saja dikenalnya masih belum percaya penuh untuk menceritakan hal itu
kepadanya. Mereka lalu berpisah dan Tin Eng melanjutkan perjalanannya menuju ke Ki-ciu
dan setelah keluar dari hutan, lalu melalui jalan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kui Hwa.
Sementara itu Kui Hwa mengambil jalan lain ke Kang-lam.
****
Dua hari kemudian Tin Eng tiba di Ki-ciu. Ia mendapat kenyataan bahwa kota ini memang
benar-benar indah sehingga gadis ini merasa amat gembira. Selain bangunan-bangunan yang
besar dan megah memenuhi kota hingga membuat kota itu nampak indah dan toko-toko besar
membuktikan kemakmuran kota itu. Juga di sepanjang pantai sungai Liang-ho yang mengalir
di dekat kota itu telah dibangun tempat istirahat yang indah, penuh ditanami kembangkembang
dan didirikan menara-menara dan bangunan lain yang amat bagus. Di situ
disediakan pula perahu-perahu kecil bagi para pelancong yang hendak menghibur hati dan
setiap hari terdengar tetabuhan yang-kim dan suling merayu-rayu.
Tin Eng bermalam dalam sebuah hotel terbesar, memilih kamar di loteng. Hanya pada malam
hari saja ia berada di dalam kamarnya, karena pada pagi dan sore hari ia selalu keluar dari
hotel untuk berjalan-jalan dan mengagumi keindahan kota dan segala pemandangannya.
Pada hari kedua, ketika ia masuk ke dalam kamarnya setelah sehari penuh berpelesir di atas
perahu dan mendengarkan tetabuhan yang merdu, ia menjadi terkejut sekali melihat bahwa
buntalan pakaiannya telah lenyap dari kamar itu.
Ia segera berteriak memanggil pelayan dan ketika pelayan datang ia memberitahukan bahwa
barang-barangnya telah lenyap. Pelayan itu menjadi pucat sekali dan berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 65
“Aneh sekali, siocia! Kami selalu menjaga di bawah dan tak seorangpun kami lihat naik ke
loteng ini. Bagaimana barang-barangmu bisa tercuri? Kalau memang ada pencuri yang
mengambilnya, dari mana ia bisa naik ke sini?”
Melihat betapa pelayan itu memandangnya seakan-akan tidak percaya kepadanya bahwa
barang-barangnya benar telah hilang, hampir saja Tin Eng menamparnya. Akan tetapi ia
menahan kemarahannya dan melakukan pemeriksaan. Ternyata buntalannya yang berisi
pakaian, perhiasan, uang dan juga kitab pelajaran ilmu pedang telah lenyap tak berbekas.
Ketika ia menjenguk ke luar jendela kamarnya, ia melihat sehelai sapu tangannya terletak di
luar jendela, maka tahulah dia bahwa pencurinya adalah seorang pandai ilmu silat yang
memasuki kamarnya dengan jalan melompat dari bawah dan masuk dari jendela.
“Celaka!” serunya marah sekali, sedangkan pelayan yang melihat hal inipun dapat menduga
pula, bahwa yang datang mencuri barang-barang tamunya tentu seorang maling yang pandai,
maka ia mulai menggigil seluruh tubuhnya.
“Bagaimana baiknya, siocia? Apakah saya harus melaporkan saja kepada penjaga kemanan?”
“Tak usah!” bentak Tin Eng marah sekali. “Aku akan mencarinya sendiri dan kalau maling
keparat itu sampai terjatuh ke dalam tanganku, kepalanya akan kuhadiahkan kepadamu!”
Dengan wajah makin pucat karena ngeri, pelayan itu lalu lari dari loteng, menuruni anak
tangga secepatnya.
Tin Eng duduk termenung. Apa daya? Kemana ia harus mencari seorang maling yang tidak
ada jejaknya? Kota Ki-ciu demikian besarnya sehingga untuk mencari seorang yang pernah
dilihatnya saja sudah merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi harus mencari seorang
maling yang belum dilihatnya sama sekali. Semua barang-barangnya berada dalam bungkusan
itu dan yang tertinggal padanya hanya pakaian yang dipakai, sedikit uang yang dibawahnya
untuk bekal siang tadi dan pedangnya. Untuk membayar sewa kamar pun ia tidak punya.
Semua ini tidak begitu menyusahkan hatinya, akan tetapi yang paling ia sedihkan ialah kitab
pelajaran ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Ia sayang kepada kitab itu melebihi seluruh barang
yang dibawanya dan kalau sampai kitab itu terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat, ia
merasa ngeri memikirkan hal ini.
Kemudian Tin Eng mengambil keputusan untuk keluar dan mencari-cari ke mana saja nasib
membawa dirinya. Siapa tahu kalau-kalau barang-barang itu dijual oleh pencuri dan terlihat
olehnya dipakai orang. Ia akan dapat mengenali barang-barang dan pakaiannya sendiri.
Malam hari itu, Tin Eng kembali berjalan-jalan di sekeliling kota, akan tetapi tentu saja ia tak
dapat bertemu dengan yang dicarinya. Akhirnya karena sedih, kecewa dan putus harapan, ia
pergi ke tepi sungai yang sunyi dan duduk seorang diri melamun, sambil mendengarkan riak
air yang berdendang tiada hentinya itu.
Ia memikirkan nasibnya yang amat buruk. Dipaksa kawin, melarikan diri untuk merantau, dan
kini seluruh barangnya habis tercuri orang. Ia mulai merasa menyesal mengapa ia
meninggalkan rumah. Akan tetapi, kalau ia kembali, ia harus tunduk kepada kehendak
ayahnya dan ia tidak mau menikah dengan Gan Bu Gi. Apalagi setelah ia mendengar dari Kui
Hwa bahwa Gan Bu Gi dan suhunya membantu orang-orang Go-bi-san dan memperbesar
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 66
permusuhan, bahkan pernah menghina kepada Kui Hwa, kawan baiknya itu. Ia tidak suka
menikah dengan panglima muda itu.
Ia lalu teringat Gwat Kong. Kasihan sekali pelayan muda itu. Kalau teringat betapa ia pernah
melukai lengan Gwat Kong dengan pedangnya bahkan pernah menodongnya dengan ujung
pedang menempel pada tenggorokan pemuda itu! Kalau teringat betapa pemuda itu
memandangnya dengan sayu dan sedikitpun tidak merasa takut, biarpun lehernya hendak
ditusuk pedang, bahkan minta kepadanya untuk membunuhnya saja. Kalau ia ingat betapa
Gwat Kong yang sedikitpun tidak merintih bahkan berkejap matapun tidak ketika menderita
luka pada lengannya. Ah, kalau ia teringat akan itu semua, timbul penyesalan besar dalam
hatinya.
Pemuda pelayan itu amat baik dan setia kepadanya, bahkan kitab ilmu pedang Sin-eng Kiamhoat
yang kini hilang itupun pemberiannya. Akan tetapi ia membalas pemuda itu dengan
tusukan pedang, bahkan dengan ancaman membunuh, hanya karena pemuda itu dengan berani
karena mabuknya, mencela di depan Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang, bahkan di dalam
mabuknya berani membayangkan perasaan cinta kasihnya kepada puteri majikannya.
Hal ini bagi Tin Eng memang dulu merupakan sebagai penghinaan. Betapa seorang puteri
tunggal Kepala daerah yang berdarah bangsawan, takkan merasa terhina kalau dicinta oleh
seorang pelayan dan tukang kebunnya sendiri. Akan tetapi sekarang ia bukanlah Tin Eng yang
dulu. Sekarang ia hanya seorang gadis perantau yang telah kehilangan semua barangnya,
seorang gadis semiskin-miskinnya karena pakaian pun hanya memiliki satu stel yang melekat
pada tubuhnya saja dan uang hanya tinggal sedikit, bahkan hutangnya pada hotel juga belum
dapat terbayar.
Kepada siapakah ia harus minta tolong? Kalau saja ia dapat bertemu dengan Gwat Kong,
pelayannya yang amat setia itu, tentu Gwat Kong akan suka menolongnya dari kesulitan ini
biarpun pemuda itu pernah hendak dibunuhnya, telah dilukainya, akan tetapi pasti pemuda itu
akan bersedia menolongnya. Hal ini ia yakin benar karena baru sekarang ia merasa betapa
besar cinta kasih pemuda itu kepadanya. Baru sekarang ia teringat betapa pemuda itu selalu
berusaha untuk menyenangkan hatinya!
Tak terasa lagi Tin Eng lalu menangis dan terisak-isak di pinggir sungai. Ia merasa berduka
sekali tanpa mengetahui dengan pasti apakah yang menimbulkan rasa duka ini. Entah karena
menyesal telah meninggalkan gedung orang tuanya. Entah karena menyesal akan
perlakuannya terhadap Gwat Kong, atau barangkali juga karena teringat akan barangbarangnya
yang hilang.
“Nona, aku hendak bicara padamu,” tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki dan Tin Eng
melompat dengan terkejut sambil mencabut pedangnya dan memutar tubuhnya. Di depannya
berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memakai pakaian hitam dan ikat
kepala hitam pula. Laki-laki itu segera menjura ketika Tin Eng mencabut pedang.
“Sabar, nona. Aku bukan datang dengan maksud jahat, bahkan hendak menolongmu
mendapatkan kembali kitabmu yang hilang.”
Tin Eng merasa gembira sekali. “Di mana kitabku itu? Siapa yang mencurinya?” pertanyaan
ini diajukan dengan suara mengancam dan pedangnya telah menggigil dalam tangannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 67
“Sabar, sabar, nona dan jangan salah sangka. Bukan aku yang melakukan pencurian itu.
Biarpun aku, Lok Ban si Tangan Seribu dianggap sebagai kepala semua pencuri dan pencopet
di Ki-ciu, akan tetapi aku belum pernah mengulurkan tangan panjang untuk mengambil milik
orang!”
“Katakanlah siapa yang mencuri barang-barangku dan di mana kitab itu?” Tin Eng mendesak
pula tidak sabar.
“Masukkan dulu pedangmu itu di dalam sarungnya, nona. Andaikata kau dapat membunuh si
Tangan Seribu sekalipun, kau takkan dapat menemukan kembali kitabmu tanpa
pertolonganku.”
Tin Eng sadar akan hal ini maka ia menekan perasaan marahnya dan memasukkan pedangnya,
lalu berkata. “Maaf, sahabat. Sekarang ceritakanlah apa sebenarnya maksud kedatanganmu
ini.”
“Seorang kawan kami secara kebetulan telah mendapat kitab itu di dalam bungkusan barangbarangmu.
Tentu saja tidak ada aturannya seorang pencuri mengembalikan barang-barang
berharga yang dicurinya, akan tetapi kitab itu ....”
“Aku tidak memperdulikan segala macam barang-barangku, asalkan kitab itu kembali
kepadaku,” kata Tin Eng memotong.
Lok Ban si Tangan Seribu itu tersenyum. “Inilah maksud kedatanganku, nona. Kami para
anggauta Perkumpulan Tangan Panjang di kota Ki-ciu biarpun melakukan pekerjaan yang
orang biasa menganggapnya jahat, akan tetapi kami memiliki cabang persilatan sendiri dan
sama sekali menjadi pantangan besar bagi kami untuk mencuri ilmu silat orang lain. Tanpa
disengaja, seorang kawan kami mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang dalam
bungkusanmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk mengembalikan kitab itu asal kau suka
memberi sedikit ‘uang lelah’ kepada kawan kami itu.”
Bukan main marahnya hati Tin Eng mendengar ini. Orang-orang telah mencuri kitabnya dan
sekarang masih hendak memeras lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa ia tidak berdaya dan
seakan-akan berada dalam kekuasaan kepala maling ini. Kalau ia menjadi marah dan
menyerang kepala maling itu, makin jauhlah harapannya untuk mendapatkan kembali kitab
itu. Sedangkan untuk menebus dan memenuhi kehendak kepala maling ini, ia tidak
mempunyai uang. Tin Eng secara cerdik menyembunyikan perasaannya dan berkata,
“Hal itu mudah sekali. Pasti aku takkan melupakan kebaikan ini dan aku rela memberikan
semua harta bendaku asalkan kitab itu bisa kembali ke tanganku. Akan tetapi, apakah
buktinya bahwa kitab itu betul-betul berada pada kawanmu? Bagaimana kalau kau menipuku?
Kalau aku melihat sendiri kitab itu, barulah aku percaya.”
“Nona, jangan kau sembarangan mengeluarkan ucapan. Aku Lok Ban biarpun menjadi kepala
maling akan tetapi tak pernah membohong atau menipu orang. Kalau kau tidak percaya, mari
kau lihat sendiri buktinya!” Sambil berkata demikian kepala maling ini lalu memutar tubuh
dan berlari keras, memberi tanda agar supaya Tin Eng mengikutinya.
Tin Eng pun melompat dan menyusul, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat pikiran yang baik
sekali. Bagaimana kepala maling ini mau mempercayainya dan membawanya ke tempat kitab
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 68
itu berada? Kalau kepala maling ini melihat bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu ia akan
menyesatkannya dan mungkin akan menjebaknya karena merasa jerih kepadanya. Oleh
karena ini ia sengaja memperlambat larinya hingga sebentar saja ia tertinggal jauh.
Beberapa kali Lok Ban menengok dan melihat betapa gadis itu tertinggal jauh sekali, ia lalu
berhenti dan membalikkan diri menghampiri Tin Eng sambil tertawa.
“Mengapa kau lari secepat itu? Jangan tergesa-gesa!” kata Tin Eng yang sengaja bernapas
tersengal-sengal. Lok Ban tertawa dan berkata dengan suara menyatakan kegirangan hatinya,
“Nona, kita telah salah jalan, seharusnya ke sana!” Sambil berkata demikian, ia lalu berlari ke
arah yang bertentangan dengan tadi dan kini ia berlari perlahan agar Tin Eng tak sampai
tertinggal lagi. Diam-diam Tin Eng merasa girang karena usahanya berhasil dan ternyata
bahwa tadi kepala maling ini benar-benar hendak mengujinya dan membawanya ke arah jalan
yang bertentangan.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di dalam sebuah rumah yang besar dan yang berdiri di
luar sebuah hutan. Ketika mereka tiba di tempat itu, di luar terdapat belasan orang yang
agaknya sedang merundingkan sesuatu. Yang sedang bercakap-cakap hanyalah tiga orang saja
sedangkan yang lain hanya mendengarkan.
Ketika melihat kedatangan Lok Ban dan Tin Eng, seorang di antara ketiga orang yang
bercakap-cakap tadi, yakni seorang yang bertubuh kecil pendek dan berkepala botak, segera
lari menyambut dan berkata kepada Lok Ban sambil memandang ke arah Tin Eng dengan
tersenyum,
“Lok-pangcu (ketua Lok), kitab itu telah dibeli oleh dua orang tuan yang baru datang itu!”
Sambil berkata demikian, ia mengangkat dan memperlihatkan sebuah kantong yang terisi
uang kepada ketua maling ini.
“Jadi kaukah yang mencuri kitab dan barang-barangku?” Tin Eng membentak marah.
“Kembalikan kitabku dan jangan menjualnya kepada orang lain kalau kau sayangi jiwamu!”
Sambil berkata demikian, Tin Eng lalu mencabut pedangnya dan melompat ke dekat si kepala
botak sambil mengancam.
“Kitab sudah berada di tangan mereka,” kata si maling yang berkepala botak itu sambil
melompat pergi dan melarikan diri, Tin Eng hendak mengejar, akan tetapi Lok Ban tertawa
dan berkata,
“Nona, kau telah didahului orang, maka kalau kau hendak mengambil kembali kitabmu, kau
boleh berusaha membelinya kembali dari kedua orang itu!”
Bukan main marahnya hati Tin Eng yang merasa dipermainkan, akan tetapi oleh karena
mendapatkan kembali kitab itu lebih penting baginya dari pada berurusan dengan segala
maling, ia lalu berlari secepatnya terbang ke arah dua orang tadi. Lok Ban terkejut sekali
melihat gerakan kaki Tin Eng ini karena jauh sekali bedanya dengan kecepatan lari gadis tadi.
Otaknya yang cerdik segera dapat menduga bahwa ia tadi kena ditipu oleh gadis itu, maka ia
lalu memberi tanda kepada semua anak buahnya yang segera lari pergi meninggalkan tempat
itu. Maling-maling ini tidak perlu lagi dengan Tin Eng maupun dengan dua orang yang datang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 69
membeli kitab, oleh karena uang pembelian kitab sudah diterima dan mereka tidak mau
mencari penyakit dan mencampuri urusan itu.
Oleh karena ini, maka yang berada di situ kini hanyalah Tin Eng dan dua orang laki-laki
pembeli kitab pelajaran Sin-eng Kiam-hoat tadi. Tin Eng memperhatikan kedua orang itu dan
ternyata mereka adalah orang-orang yang bertubuh tegap, membawa pedang pada pinggang
masing-masing dan berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sikapnya gagah sekali.
Tin Eng menjura kepada mereka dan berkata, “Jiwi harap suka mengembalikan kitab itu
kepadaku, karena kitab itu adalah milikku yang dicuri oleh gerombolan maling itu!”
Kedua orang laki-laki itu saling pandang kemudian tersenyum dan setelah mereka tersenyum
dan memandangnya, tahulah Tin Eng bahwa kedua orang inipun bukanlah orang baik-baik
karena senyum dan pandang matanya ternyata kurang ajar sekali.
“Nona, kitab ini kami beli dengan harga lima puluh tail perak!”
Tin Eng menjadi bingung. Ia tidak mempunyai uang sebanyak itu, maka terpaksa ia
menjawab,
“Maaf, pada waktu ini saya tidak membawa uang sebanyak itu. Akan tetapi, kalau jiwi pergi
ke Kiang-sui dengan membawa suratku kepada Kepala daerah Kiang-sui, jiwi akan menerima
uang pengganti seratus tail.”
Tiba-tiba berubahlah muka kedua orang itu mendengar disebutnya kota Kiang-sui. “Jadi kau
mendapatkan kitab ini di Kiang-sui, nona?” tanyanya.
“Tak perlu kalian tahu dari mana aku mendapatkan kitab ini, yang terpenting ialah bahwa
kitab itu adalah kitabku dan kalian harus mengembalikannya kepadaku!” kata Tin Eng yang
sudah menjadi tidak sabar lagi.
“Nona, kenalkah kau kepada Bu-eng-sian, Dewa Tanpa Bayangan?”
Baru kali ini Tin Eng mendengarkan nama itu maka ia menggelengkan kepala.
Orang kedua yang agaknya tidak percaya kepada sangkalan Tin Eng ini, bertanya lagi,
“Benar-benar kau tidak kenal pada Leng Po In, pengemis tua hina dina itu?”
Tin Eng menjadi hilang sabar. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan hal-hal yang tidak perlu
kumengerti. Pendeknya, betapapun juga kalian harus mengembalikan kitabku itu!” Ia
menggerak-gerakkan pedangnya.
Kedua orang itu tertawa cekakakan sambil mencabut pedang masing-masing.
“Nona manis, mudah saja kau bicara! Seandainya kitab ini tidak tercuri dari tanganmu, kalau
kami mengetahui bahwa kau membawa kitab ini, pasti kami akan turun tangan merampasnya,
baik dengan halus maupun dengan kasar. Ketahuilah bahwa guru-guru kami telah bertahuntahun
mencari kitab ini, dan karenanya lebih baik kau mengaku terus terang saja dari mana
mendapatkan kitab ini dan ada di mana pula adanya kitab tebal yang asli. Kalau kau mau
berterus terang, tentu kami takkan melupakan budimu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 70
“Siapa sudi mendengar ocehanmu! Kembalikan kitab itu!” Sambil berkata demikian, Tin Eng
menyerbu dengan pedang di tangan kanan digerakkan menyerbu, sedangkan tangan kiri diulur
untuk merampas kitab yang dipegang oleh seorang di antara mereka. Akan tetapi dengan gesit
orang itu melompat dan sebelum Tin Eng sempat mengejarnya, yang seorang lagi telah
menyerbu dan menyerangnya.
09.
“BAGUS, kalian mencari mampus!” teriak Tin Eng yang segera memutar pedangnya
sedemikian rupa menurut gerakan-gerakan Sin-eng Kiam-hoat. Sebetulnya pelajaran pedang
Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari oleh Tin Eng masih belum matang betul, akan tetapi ilmu
pedang itu benar-benar hebat. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan tidak tersangka
sehingga seakan-akan merupakan seekor Garuda Sakti yang menyambar dan menyerang
mempergunakan paruh, sepasang cakar, dan sepasang sayapnya. Biarpun kedua orang itu
mengeroyoknya dengan sengit, namun Tin Eng dapat mendesak mereka dengan seranganserangan
hebat.
“Kalau tidak dikembalikan kitab itu, kalian mampus!” Kembali Tin Eng mengancam oleh
karena sesungguhnya ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang sama sekali tidak
mempunyai permusuhan dengannya itu. Akan tetapi, kedua orang lawannya tanpa banyak
cakap mengadakan perlawanan hebat, agaknya merekapun tidak mau mengalah dan hendak
mempertahankan kitab itu dengan nyawa mereka.
“Twako, kau bawalah kitab itu kepada suhu! Biar aku yang menahan iblis wanita ini,” seru
yang seorang dan orang yang membawa kitab itu lalu melompat jauh dan lari pergi. Tin Eng
merasa marah sekali dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba orang yang lari itu berseru
girang,
“Suhu telah datang!” Dan dengan pedang di tangan ia lalu menyerbu lagi!
Tin Eng memandang dan ternyata lima orang yang usianya rata-rata empat puluh tahun berlari
seperti terbang cepatnya menyerbu ke tempat itu.
“Suhu, perempuan ini hendak merampas kitab Sin-eng Kiam-hoat!”
Mendengar ini, seorang di antara mereka yang berbaju hitam panjang berseru, “Robohkan dia,
akan tetapi jangan membunuhnya!”
Sehabis berkata demikian, orang ini lalu melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata terbuat
dari kulit yang panjang dan kuat, merupakan senjata cambuk! Juga empat orang lain
mengeluarkan senjata mereka yang hebat, karena senjata mereka itu semua berlainan. Seorang
memegang tongkat besar yang kepalanya melengkung berbentuk kepala naga, seorang lain
memegang sebuah pedang pendek, orang ketiga memegang sebatang pedang panjang dan
orang keempat memegang sebatang golok kecil. Akan tetapi gerakan mereka ternyata gesit
dan bertenaga.
Tin Eng merasa terkejut sekali dan segera memutar pedangnya untuk menghadapi lima orang
itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 71
“Jangan turun tangan!” kata pemegang cambuk kepada kawan-kawannya. “Gunakan bubuk
Ang-hoa!” Kelima orang itu lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dan ketika mereka
mengebut, maka berhamburanlah bubuk bunga merah dan bau yang amat wangi keras
menyerang hidung Tin Eng, yang tiba-tiba menjadi pening. Bumi yang dipijaknya terasa
berputar-putar dan betapapun dia menguatkan tubuhnya, akhirnya ia menjadi limbung,
terhuyung-huyung dan roboh pingsan.
Kelima orang itu tertawa dan si pemegang cambuk berkata, “Nona manis, terpaksa kami tidak
ingin kau menderita luka atau binasa!” Ia menghampiri Tin Eng untuk memondongnya. Akan
tetapi baru saja ia mengulurkan tangan, tiba-tiba ia menarik tangannya sambil berseru kaget.
Ternyata sebutir buah le mentah telah menyambar dan tepat mengenai tangannya dan
sungguhpun buah itu kecil dan tidak keras, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali.
Ia bangun berdiri, memandang ke sekelilingnya dan berseru, “Siapakah yang berani mainmain
dengan Ngo-heng-kun Ngo-hiap?” Seruan ini keras sekali sehingga menggema sampai
jauh. Akan tetapi tidak ada jawaban, hanya suara gemercik air sungai yang menjadi
jawabannya.
Ketika mereka hendak mengangkat tubuh Tin Eng tanpa memperdulikan penyambit itu, tibatiba
berhamburanlah batu-batu kecil yang tepat menghantam tubuh mereka sehingga mereka
menjadi kaget dan wajah mereka jadi pucat sekali. Si pemegang cambuk tahu bahwa ada
orang luar biasa yang datang menolong gadis itu, maka karena kitab telah berada di tangan
mereka, ia lalu memberi tanda dan kelima orang itu bersama dua orang muridnya lalu
melompat pergi dan lari dari tempat itu.
Setelah mereka pergi jauh, muncullah seorang pemuda yang tadi bersembunyi di balik sebuah
pohon yang tumbuh di dekat sungai kecil dekat tempat itu. Pemuda ini dengan tenang lalu
menghampiri tubuh Tin Eng sambil membawa seguci arak yang diturunkan dari gendongan.
Guci arak ini besar dan pada lehernya diberi gantungan sehingga mudah dibawa ke manamana.
Ia lalu berlutut membuka mulut Tin Eng dan menuangkan sedikit arak ke dalam mulut
gadis itu kemudian ia menggunakan arak pula untuk dipercikan ke arah muka Tin Eng.
Tak lama kemudian gadis itu bergerak dan membuka mata. Bukan main herannya ketika ia
melihat pemuda itu berjongkok di dekatnya. Ia melompat bangun dan berseru keras,
“Gwat Kong .....!!”
Pemuda itu tersenyum lalu berdiri dan menjura memberi hormat kepadanya.
“Liok-siocia, apakah selama ini kau baik-baik saja?” suaranya masih halus dan merendah,
seperti sikapnya dulu ketika masih menjadi pelayan di rumah keluarga Liok.
Mendengar pertanyaan dan melihat sikap Gwat Kong ini, tiba-tiba merahlah seluruh muka Tin
Eng dan tak dapat ditahannya lagi, ia segera menangis tersedu-sedu. Ia merasa malu,
menyesal dan juga gemas, karena teringat akan kitabnya yang hilang.
Ketika tadi ia duduk di tepi sungai Liang-ho, termenung memikirkan keadaan dan nasibnya, ia
merasa berduka dan mengharapkan kedatangan seorang seperti Gwat Kong yang tentu dapat
dimintai tolong. Akan tetapi setelah sekarang benar-benar Gwat Kong yang muncul dengan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 72
tak tersangka-sangka, ia menjadi makin sedih. Bagaimana pemuda lemah ini dapat
menolongnya?
Selain membutuhkan uang untuk membayar sewa kamar dan biaya melanjutkan
perantauannya, juga ia membutuhkan bantuan orang pandai seperti Dewi Tangan Maut untuk
merampas dan mencari kembali kitabnya yang hilang. Gwat Kong mempunyai apa yang dapat
digunakan untuk membantunya dalam hal-hal itu? Namun, hatinya terharu juga melihat
pelayan ini.
“Nona, janganlah kau bersedih, nona. Bagaimanakah kau bisa sampai tiba di tempat ini?”
Tin Eng menyusut air matanya dan memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.
Pemuda ini nampak lebih tegap dan air mukanya yang lebar dan jujur itu, kini nampak berseri
dan kulitnya kemerah-merahan, menandakan bahwa selain hatinya riang gembira, juga
keadaannya sehat sekali. Pakaiannya masih sederhana, walaupun bukan seperti pakaian
pelayan lagi dan rambutnya diikat pula oleh sehelai sapu tangan lebar.
“Gwat Kong, apakah kau tidak marah kepadaku?” tanya Tin Eng, sambil mengerling ke arah
lengan tangan Gwat Kong, seakan-akan hendak menembus lengan baju untuk melihat bekas
luka karena tusukan pedangnya dulu itu.
“Liok-siocia, mengapa kau ajukan pertanyaan ini? Mengapa aku mesti marah kepadamu?”
Gwat Kong memandang dengan mata terbuka lebar karena ia memang benar-benar merasa
heran.
“Aku ... aku telah melukaimu bahkan ... hampir membunuhmu.”
Gwat Kong mengerti dan ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Liok-siocia, harap kau jangan mengingatkan aku akan hal itu lagi. Aku masih merasa
menyesal sekali kepada diri sendiri karena perbuatanku yang kurang ajar itu dan kau memang
berhak untuk melukaiku, bahkan kalau kau membunuhku, akupun tidak merasa penasaran.”
“Gwat Kong, kau benar-benar seorang yang baik hati dan aku ... ah, aku seorang tak tahu budi
yang bernasib malang.”
Kembali Tin Eng mengalirkan air mata dari kedua matanya karena terharu.
“Nona, sebenarnya mengapa kau bisa berada di tempat ini? Aku mendapatkan kau dalam
keadaan pingsan dan melihat bangsat-bangsat itu berlari pergi. Kau datang dari manakah dan
hendak kemana?”
“Bangsat-bangsat itu telah mencuri kitab pelajaran ilmu pedang yang dulu kauberikan
kepadaku!” kata Tin Eng dengan gemas. “Ketahuilah, Gwat Kong, setelah kau pergi, ayah
memaksaku untuk menerima pinangan Gan Bu Gi.”
Gwat Kong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Aku telah tahu dan dapat
menduga akan hal itu, siocia, dan sekali lagi aku menghaturkan selamat kepadamu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 73
“Tariklah kembali ucapanmu itu!” kata Tin Eng sambil merengut. “Siapa yang butuh ucapan
selamat dalam keadaan seperti ini?”
“Eh eh, bukankah kau memang .... suka kepada panglima muda itu, siocia?” Gwat Kong
memandang tajam.
“Kalau aku suka, mengapa aku bisa sampai di tempat ini. Dengarlah baik-baik, Gwat Kong
dan jangan memotong penuturanku. Terus terang saja, aku memang tertarik kepada Ganciangkun
yang pandai sekali ilmu silatnya. Akan tetapi itu bukan berarti aku suka kepadanya.
Karena belum mempunyai keinginan untuk mengikat diri dengan perjodohan, maka aku
menolak kehendak ayah itu, sehingga ia menjadi marah sekali dan ... ayah telah menamparku,
satu hal yang belum pernah ia lakukan selama hidupku! Dan aku .... karena dipaksa-paksa,
aku lalu melarikan diri pada malam hari. Aku merantau sehingga sampai di Ki-ciu ini. Malang
sekali bagiku. Buntalan pakaian berikut semua uang bekal, perhiasan dan juga kitab pelajaran
ilmu pedang itu telah dicuri orang. Dalam usahaku mencarinya aku bertemu dengan kepala
maling di kota ini dan dibawa kesini untuk menerima kembali kitab yang harus ditebus.
Biarpun aku tidak mempunyai uang, aku ikut padanya dengan maksud untuk merampasnya
kembali. Tidak tahunya, kitab itu telah dijual kepada dua orang yang tidak mau
mengembalikannya kepadaku, sehingga kami bertempur dan selagi aku berhasil mendesak
dua orang itu, datanglah lima orang guru mereka yang lihai. Dan menghadapi kelima orang
itu aku tidak berdaya karena mereka mempergunakan bubuk yang disebar kepadaku dan yang
membuatku pening dan roboh pingsan. Aku tidak ingat apa-apa lagi sehingga tahu-tahu kau
berada di sini menolongku.”
“Barang-barang sudah tercuri orang, mengapa harus bersedih, siocia? Memang daerah Ki-ciu
ini banyak terdapat maling-maling yang lihai sehingga seringkali pengunjung-pengunjung
dari luar kota menjadi korban mereka.”
“Kehilangan pakaian dan barang-barang sih tidak sangat menyusahkan hatiku, sungguhpun
sekarang aku telah kehabisan uang sama sekali, hingga untuk membayar sewa kamar pun aku
tidak mempunyai uang. Akan tetapi yang paling menyusahkan hatiku ialah kitab itu.”
“Mengapa pula, siocia? Bukankah kitab itu telah berada lama di tanganmu? Apakah kau
belum hafal dan belum mempelajari semua isi kitab itu?”
Tin Eng menarik napas panjang. Sukar baginya untuk membicarakan tentang kitab itu kepada
seorang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. “Gwat Kong, biarpun aku telah hafal,
akan tetapi belum matang benar dan perlu sekali aku mempelajari lebih mendalam. Terutama
sekali, kitab itu adalah kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi dan apabila pelajaran itu terjatuh
dan dipelajari oleh seorang jahat, maka ia akan menjadi seorang penjahat yang amat
berbahaya. Aku harus mendapatkan kembali kitab itu. Lebih baik melihat kitab itu terbakar
musnah dari pada melihat ia terjatuh ke dalam tangan orang jahat.”
“Kalau begitu, mengapa tidak kau kejar saja mereka?” tanya Gwat Kong. Dan mendengar
pertanyaan yang dianggapnya bodoh ini Tin Eng berkata bersungguh-sungguh,
“Enak saja kau bicara! Mereka telah lari selagi aku pingsan dan ke mana aku harus mengejar
mereka? Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka tinggal.”
“Akan tetapi aku kenal mereka dan tahu tempat tinggal mereka, siocia.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 74
Tin Eng memandang heran. Gadis ini telah merasa biasa lagi dan sebagian besar rasa sedihnya
telah lenyap setelah bertemu dengan Gwat Kong. Karena bercakap-cakap dengan pemuda itu
membuat ia merasa seakan-akan ia kembali berada di tempat tinggal orang tuanya, seakanakan
ia tak pernah pergi dari rumah dan Gwat Kong masih menjadi pelayan ayahnya. Pemuda
itu sikapnya masih demikian polos dan menghormat. Entah bagaimana, biarpun tak ia
perlihatkan akan tetapi di dalam hatinya timbul kegirangan besar sekali setelah bertemu
dengan Gwat Kong, bekas pelayannya itu. Dan kini pemuda ini menyatakan bahwa ia kenal
dan tahu tempat tinggal kelima orang yang membawa pergi kitab ilmu pedangnya.
“Kau, Gwat Kong? Benar-benarkah kau tahu tempat tinggal mereka? Siapakah sebenarnya
mereka itu?” sambil ajukan pertanyaan ini Tin Eng memandang kepada pemuda itu dengan
kagum oleh karena semenjak ia masih kecil dan bergaul dengan pelayan ini, sudah seringkali
Gwat Kong merupakan sumber pertolongan baginya. Apalagi dalam hal mengatur taman
bunga, hanya Gwat Kong saja yang dapat memuaskan hatinya.
Pemuda itu mengangguk. “Tadi ketika aku melihat mereka pergi, aku tahu bahwa mereka itu
adalah Ngo-hiap. Lima jago tua yang amat terkenal di Ki-ciu. Mereka itu bertempat tinggal di
sebelah timur kota.”
“Bagus sekali, Gwat Kong. Kalau begitu hayo kau antar aku ke tempat mereka!”
“Jangan sekarang, siocia. Lebih baik besok pagi, karena tidak baik malam-malam mendatangi
tempat mereka. Dan pula mereka itu terkenal sebagai jagoan-jagoan yang lihai. Apakah tidak
berbahaya kalau kau datang ke sana?”
“Aku tidak takut!” jawab Tin Eng dengan sikap gagah. “Tadipun kalau mereka tidak berlaku
curang, belum tentu aku akan kalah! Pendeknya, lihai atau tidak, aku harus datang ke sana
mengadu nyawa untuk merampas kembali kitab itu!”
“Kau benar-benar hebat dan gagah sekali, Liok-siocia.” Tiba-tiba sepasang mata Gwat Kong
memandang dengan penuh kekaguman dan mesra sekali. Akan tetapi oleh karena keadaan
tidak begitu terang, Tin Eng tidak melihat pandang mata itu.
Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan berjalan di bawah sinar bulan kembali ke kota Kiciu.
Gwat Kong mengantarkan Tin Eng sampai di hotelnya dan ketika gadis itu bertanya di
mana tempat pemuda itu, Gwat Kong menjawab sambil tersenyum,
“Aku juga seorang perantau seperti kau sendiri, siocia. Akan tetapi, aku tidak bisa tidur di
hotel sebesar ini.”
“Kalau begitu, kau minta saja sebuah kamar, biar aku yang akan membayar ....” Tiba-tiba Tin
Eng menghentikan omongannya, karena ia teringat betapa ia sendiripun belum tentu dapat
membayar sewa kamarnya.
Gwat Kong mengerti akan keraguan gadis itu maka ia tersenyum dan berkata, “Jangan kuatir,
nona. Bagiku sih mudah saja, tidur di kelenteng atau di emper rumah pun cukup dan tentang
uang sewa kamarmu, tak usah kau kuatir pula, kalau memang kau telah kehabisan uang dan
semua uangmu telah dicuri orang biarlah besok kucarikan uang pembayaran sewa kamar itu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 75
Tin Eng menarik napas lega. Selalu pemuda ini dapat memecahkan kesulitannya sehingga ia
merasa berterima kasih sekali.
“Nah, selamat malam, nona. Besok pagi-pagi aku akan datang ke sini untuk mengantarkan
kau ke tempat mereka itu.”
“Selamat malam, Gwat Kong dan ... kau maafkanlah segala kekasaranku terhadapmu dulu!”
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara isak di tenggorokan.
“Jangan sebut lagi hal itu, siocia” kata Gwat Kong yang melangkahkan kaki untuk
meninggalkan ruangan hotel.
“Dan ... terima kasih kepadamu, Gwat Kong, kau .. kau baik sekali.”
Gwat Kong menengok dan tersenyum, wajahnya yang tersorot lampu di ruang hotel itu
nampak tampan dan berseri girang. “Tidurlah, siocia!” katanya, kemudian ia menghilang di
dalam gelap.
Tin Eng masuk ke dalam kamarnya dan malam itu ia tidur dengan nyenyak seakan-akan
berada di dalam kamarnya sendiri di gedung ayahnya. Biarpun semenjak siang tadi ia belum
makan, akan tetapi ia tidak merasa lapar dan semua kedukaannya lenyap kalau ia mengingat
bahwa besok pagi ia akan pergi ke tempat lima jago tua yang telah mengambil kitabnya itu
bersama Gwat Kong.
****
Mari kita ikuti dulu perjalanan Gwat Kong semenjak ia berpisah dari Gui A Sam bekas kepala
pengawal mendiang ayahnya itu. Tertarik oleh penuturan A Sam tentang diri Dewi Tangan
Maut, puteri tunggal hartawan Tan, musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, ia lalu
berangkat menuju ke Kang-lam.
Ia dapat mencari rumah hartawan Tan, akan tetapi ternyata rumah gedung itu ditutup rapat
dan tidak ada penghuninya dan ketika ia mencari keterangan, ternyata bahwa pemilik rumah
gedung itu, yakni yang disebut oleh orang-orang di Kang-lam sebagai Tan-lihiap sedang pergi
merantau. Orang memberi keterangan kepada Gwat Kong menambahkan,
“Kalau saja Tan-lihiap berada di sini, tak mungkin dua orang penjahat itu berani mengacau!”
Gwat Kong tertarik hatinya. “Penjahat yang manakah?”
“Kau belum tahukah, kongcu? Bukankah ada pengumuman ditempel di mana-mana?
Pembesar di sini telah menjanjikan hadiah besar bagi siapa yang dapat menangkap kedua
orang penjahat itu!”
“Aku baru saja datang dari luar kota, mana aku tahu akan segala peristiwa yang terjadi di sini?
Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?”
“Kalau kongcu benar-benar tertarik dan ingin tahu, lebih baik kongcu datang kepada tihu di
tempat ini untuk mendapatkan keterangan lebih jelas lagi. Aku tidak berani banyak bicara,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 76
oleh karena kedua penjahat itu lihai sekali dan pernah ada orang yang membicarakan mereka,
pada malam harinya didatangi dan dibunuh.”
Bukan main herannya hati Gwat Kong mendengar ini. Akan tetapi ia tidak bisa mendapat
keterangan selanjutnya dari orang yang ketakutan itu, maka terpaksa ia lalu mengarahkan
langkahnya ke gedung tihu.
Tihu di Kang-lam orangnya ramah tamah dan Gwat Kong disambut dengan baik sekali
olehnya sehingga pemuda ini merasa suka. Karena jarang pada dewasa itu menemui seorang
pembesar sedemikian baik dan ramah sikapnya.
“Telah hampir sebulan kota kami mendapat gangguan dua orang penjahat,” tihu itu mulai
menerangkan. “Kami telah berusaha sedapatnya untuk menangkap mereka akan tetapi selalu
gagal. Banyak orang di kota ini tak sanggup menghadapi mereka yang amat lihai. Apakah
kedatangan hiante ini hendak membantu kami?”
“Hendak saya coba, taijin dan mudah-mudahan saja tenagaku yang lemah dapat merupakan
bantuan sekedarnya.”
Melihat sikap yang sopan santun dan merendah dari Gwat Kong, berbeda dengan sikap orangorang
ahli silat lainnya, tihu itu merasa ragu-ragu akan tetapi juga girang sekali. Ia lalu
memerintahkan pelayannya untuk mengeluarkan hidangan dan arak wangi, sedangkan Gwat
Kong yang telah beberapa hari tidak mencium bau arak wangi tanpa sungkan-sungkan lagi
lalu minum dengan lahapnya.
Tihu itu merasa heran dan gembira melihat betapa Gwat Kong kuat sekali minum arak.
Berkali-kali ia memerintahkan pelayan menambah arak sehingga sebentar saja Gwat Kong
telah menghabiskan hampir lima belas cawan besar arak wangi yang amat keras. Bukan main
herannya tihu itu beserta para pelayan karena orang biasa saja belum tentu akan sanggup
menghabiskan tiga cawan tanpa terserang mabuk. Akan tetapi pemuda yang nampak halus itu
telah menghabiskan lima belas cawan besar dan tidak terlihat tanda-tanda mabuk sama sekali.
Sambil makan minum, tihu itu menceritakan kepadanya bahwa dua orang pengacau yang
datang mengganggu itu adalah dua orang jahat yang selain mencuri harta-harta benda, juga
mengganggu anak bini orang dan tidak segan-segan membunuh. Sudah enam orang menjadi
korban senjata mereka, di antranya dua orang penjaga dan seorang gadis. Bukan main
marahnya Gwat Kong ketika mendengar ini.
“Malam ini saya akan menjaga di atas rumah dan mudah-mudahan saja mereka itu akan
muncul agar dapat saya serang,” katanya.
Malam itu keadaan sunyi dan orang-orang telah pergi tidur sebelum gelap benar. Sungguhpun
mereka tidak berani meramkan mata dan selalu mendengar kalau-kalau para penjahat itu
datang ke rumah mereka. Sebelum melakukan penjagaan di atas rumah-rumah para penduduk,
Gwat Kong minta seguci arak wangi lagi karena memang arak wangi dari Kang-lam luar
biasa enaknya.
Dengan membawa seguci arak wangi dan sulingnya yang terselip di pinggang, pemuda itu
melompat naik ke atas genteng dan mulai berkeliling mengadakan penjagaan. Hawa malam
itu dingin sekali, akan tetapi oleh karena ia berteman dengan araknya, ia tidak merasa dingin.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 77
Arak itu ia minum begitu saja tanpa menggunakan cawan, langsung dituang dari mulut guci
ke mulutnya.
Menjelang tengah malam, ketika ia sedang meneguk guci araknya yang tinggal sedikit lagi,
tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah perut dan lehernya. Ia maklum bahwa itu
tentulah sambaran senjata rahasia. Akan tetapi untuk memperlihatkan kepandaiannya, Gwat
Kong tidak menghentikan minumnya dan sekali tangan kirinya bergerak cepat, ia berhasil
menangkap dua buah senjata piauw yang menyambarnya itu.
Barulah ia menurunkan guci araknya dan berkata, “Penjahat-penjahat rendah yang manakah
yang berani mengganggu orang minum arak?”
Sementara itu, kedua orang penjahat yang pada siang harinya telah mendengar bahwa ada
seorang pemuda pemabokan hendak menangkap mereka, menjadi geli sekali. Dan semenjak
tadi mereka diam-diam telah mengikuti gerak-gerik Gwat Kong yang mereka anggap tolol.
Ketika pemuda itu sedang minum araknya, mereka lalu menyerang dengan piauw tadi untuk
membuatnya mati selagi minum arak. Akan tetapi, tak mereka sangka sama sekali bahwa
pemuda itu demikian lihai sehingga dapat menangkap piauw mereka sambil minum arak.
Gwat Kong berkata lagi, “Ini, terimalah kembali piauw kalian!” Ia mengayun tangannya
secara sembarangan ke arah mereka, lalu menenggak araknya lagi tanpa perdulikan apakah
sambitannya itu mengenai sasaran atau tidak. Piauw yang disambitkan dengan tenaga
lweekangnya yang hebat itu meluncur cepat sekali dan dengan kaget kedua penjahat itu lalu
mengelak agar jangan sampai terkena senjata rahasia mereka sendiri.
Mereka menjadi marah sekali dan dengan pedang di tangan mereka lalu melompat dan
menyerang Gwat Kong yang masih minum araknya. Gwat Kong tiba-tiba melompat jauh dan
menghindarkan diri dari serangan itu sambil menurunkan guci araknya yang kini telah
kosong. Dan ketika kedua orang itu menyerangnya lagi, tiba-tiba ia menyemburkan arak dari
mulutnya yang menyerang muka kedua orang lawannya bagaikan puluhan anak panah.
Kedua orang penjahat itu sama sekali tak pernah menduga dan tentu saja mereka tidak takut
terhadap semprotan arak ini. Akan tetapi ketika serangan arak yang disemburkan dengan
tenaga lweekang itu mengenai muka mereka, kedua orang penjahat itu memekik ngeri dan
tubuh mereka terhuyung-huyung di atas genteng dan pedang mereka terlepas karena kedua
tangan digunakan untuk menutupi muka mereka yang terasa sakit sekali.
Sambil tertawa tergelak-gelak, Gwat Kong lalu menggerakkan tangan kanannya untuk
mengirim totokan sehingga kedua orang penjahat itu roboh tak berkutik lagi dalam keadaan
lemas. Sambil tertawa-tawa karena telah agak terlampau banyak minum arak sehingga
menjadi riang gembira wataknya, Gwat Kong mengempit tubuh kedua penjahat itu di tangan
kanan kiri, meninggalkan guci araknya yang telah kosong. Lalu melompat turun dan terus
membawa mereka ke gedung tihu.
Tihu dari Kang-lam yang diberitahukan tentang kedatangan pemuda itu segera
menyambutnya. Gwat Kong melemparkan dua tubuh penjahat itu ke depan kaki tihu, lalu
menjura dalam-dalam dan berkata,
“Inilah kedua orang penjahat yang mengacau Kang-lam, taijin.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 78
Bukan main heran dan girangnya pembesar itu dan ketika melihat bahwa Gwat Kong hendak
pergi lagi, lalu menahannya dan berkata, “Nanti dulu, taihiap! Kau belum menerima
hadiahmu.”
Gwat Kong tertawa bergelak, “Sudah, sudah kuterima, taijin. Hadiahnya ialah keramahtamahanmu
dan arak wangi yang amat enak itu.”
Tihu itu juga tertawa dan makin kagumlah ia terhadap pendekar muda yang aneh ini. “Kalau
begitu, biarlah kutambahkan lagi arak yang terbaik untuk kau bawa pergi. Dan kami pun
harus ketahui dulu siapa namamu, taihiap. Semenjak siang tadi, kau selalu menolak untuk
memberitahukan namamu kepada kami.”
Kembali Gwat Kong tertawa. “Apakah artinya nama? Disebut apapun saya tidak keberatan,
tajin dan tentang arak terbaik itu ..... hmmm, kalau memang taijin hendak memberi kepadaku
tentu saja kuterima dengan ucapan terima kasih.”
Tihu itu lalu memerintahkan seorang di antara pelayan yang juga memenuhi ruangan itu untuk
mengambil sebuah guci araknya yang terbuat dari pada perak dan memakai tali gantungan,
lalu memberikan benda itu kepada Gwat Kong.
“Taihiap, jangan pandang rendah guci arak ini, karena arak yang disimpan di dalam guci ini
akan dapat tahan sampai bertahun-tahun tanpa menjadi kurang kenikmatan rasanya dan segala
macam minuman apabila dimasukkan ke dalam guci ini, maka akan menjadi bersih dari
segala racun. Air beracun yang amat jahat akan menjadi air minum yang tidak berbahaya
apabali dimasukkan ke dalam guci ini karena racunnya telah dihisap oleh dasar guci. Dan
tentang namamu taihiap, kalau kau memang tidak mau memperkenalkannya, biarlah kami
memberi nama kehormatan Kang-lam Ciu-hiap (Pendekar Arak dari Kang-lam) kepadamu,”
Gwat Kong menerima guci yang berisi penuh arak terpilih itu, menggantungkan talinya pada
ikat pinggang dan tertawa girang.
“Nama yang bagus sekali! Dengan tihunya seperti taijin ini yang ramah tamah dan bijaksana,
Kang-lam merupakan kota istimewa bagiku, maka aku suka sekali disebut Kang-lam Ciuhiap.
Nah, selamat malam, taijin!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Gwat Kong telah lenyap dari depan tihu
dan para pelayannya itu sehingga mereka merasa kagum sekali. Makin besar kegembiraan
mereka ketika ternyata bahwa kedua orang yang tak berdaya itu benar-benar adalah dua orang
penjahat yang selama ini mengacau kota mereka. Segera kedua orang itu dibelenggu dan
dimasukkan ke dalam penjara.
Gwat Kong lalu pergi keluar dari kota itu dan malam itu ia tidur dengan amat nyenyaknya di
sebuah kelenteng yang berada di luar kota. Hatinya merasa amat girang oleh karena selain
mendapat kenyataan bahwa latihan-latihannya selama ini makin memajukan kepandaiannya,
juga kebaikan hati tihu itu menyenangkan hatinya.
Hanya ia merasa agak penasaran dan kecewa karena belum dapat bertemu dengan Dewi
Tangan Maut, puteri musuh besarnya yang amat disohorkan orang itu. Ia tidak berniat untuk
membalas dendam orang tuanya kepada gadis itu. Hanya ia ingin melihat sampai di mana
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 79
kelihaian gadis yang amat terkenal ini dan hendak melihat pula apakah benar-benar gadis itu
amat jahat dan kejam sebagaimana yang dikabarkan oleh Gui A Sam kepadanya.
Kalau toh ia harus menyerang gadis itu, ia akan menyerang karena kejahatannya, bukan
karena dendamnya kepada Tan-wangwe. Ucapan orang yang memberi keterangan kepadanya
tentang adanya dua orang penjahat di Kang-lam, yang berkata bahwa kalau Dewi Tangan
Maut berada di Kang-lam maka penjahat-penjahat itu tentu tak berani berlagak, menimbulkan
kesan baik terhadap gadis itu padanya.
Pada kesokan harinya, ia melanjutkan perjalanannya. Dua hari kemudian, ketika tiba di luar
sebuah hutan ia melihat serombongan orang yang terdiri dari dua belas orang-orang gagah
dikepalai oleh seorang tua yang membawa tongkat bambu, berlari-lari memasuki hutan itu.
Mereka ini semua membawa senjata pedang atau golok seakan-akan mereka hendak
menyerbu musuh. Gwat Kong merasa tertarik dan diam-diam ia mengikuti mereka dari
belakang dengan sembunyi.
Rombongan itu berhenti di depan gua besar yang berada di tengah hutan dan orang tua
bertongkat itu segera berteriak ke arah gua,
“Sahabat, keluarlah! Kami hendak bicara denganmu!”
Teriakan itu bergema di seluruh hutan, akan tetapi setelah itu sunyi karena tidak terdengar
jawaban. Tak lama kemudian, keluarlah seorang laki-laki tua dari dalam gua itu dan Gwat
Kong yang mengintai sambil bersembunyi, merasa kaget melihat keadaan orang yang aneh
itu. Orang ini telah tua sekali, tubuhnya bongkok dan tangan kanannya memegang sebuah
pedang yang mengeluarkan sinar gemilang.
Kakek bongkok ini mempunyai sepasang mata yang menakutkan dan melihat betapa sepasang
mata itu berputaran secara liar. Tahulah Gwat Kong bahwa orang ini tentu miring otaknya.
Kakek yang aneh ini lalu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara menyeramkan sekali.
Kemudian sambil menuding dengan pedangnya ia berkata tidak keruan,
“Ha ha ha, Ngo-heng-kun Ngo-koai, lima siluman jahat, kalian datang mengantarkan nyawa?
Ha ha ha!” Kakek ini lalu berjingkrak-jingkrak di atas kedua kakinya dan menari-narikan
pedangnya seperti orang atau anak kecil yang amat bergirang hati.
Orang tua bertongkat bambu yang memimpin rombongannya itu berkata dengan suara sabar,
“Lo-enghiong, jangan salah sangka. Kami adalah penduduk dusun Ma-chun yang datang
hendak minta pertolongan lo-enghiong. Dusun kami terserang penyakit kuning dan telah
banyak yang mati dan lebih banyak pula yang kini terancam bahaya maut. Karena loenghiong
telah mengambil semua akar putih yang berada di hutan ini, maka tolonglah
memberi kami obat itu untuk menyembuhkan kawan-kawan dan saudara-saudara kami.”
10.
KEMBALI terdengar suara ketawa yang menyeramkan. “Kalian memang harus mampus! Ha
ha ha, Ngo-heng-kun kelima-limanya harus mampus, mengapa minta tolong padaku? Aku
boleh menolongmu, menolong mengantarkan kalian iblis-iblis Ngo-heng ini ke neraka, ha
ha!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 80
Setelah berkata demikian, secepat kilat ia menubruk maju dan menyerang rombongan orangorang
itu. Ia mengamuk bagaikan seekor harimau gila dan pedangnya digerakkan dengan
hebat sekali.
Orang tua pemimpin rombongan itu berseru keras memberi aba-aba kepada para kawannya
untuk mengepung, sedangkan ia sendiri lalu menggerakkan tongkat bambunya yang lihai.
Ketika orang gila itu menusuk dengan pedangnya, tongkat bambu kakek itu menangkis dan
beradunya kedua senjata itu membuat kakek itu berseru keras karena terkejut. Ia merasa
tangannya perih sekali dan tongkatnya hampir terlepas dari pegangan.
“Ha ha ha!” Iblis-iblis Ngo-heng, sekarang kalian mampus!” orang gila itu tertawa-tawa dan
hendak menyerang lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebelas orang pengikut kakek bertongkat
tadi menyerbu dari belakang dan belasan golok dan pedang berkelebat menimpanya bagaikan
air hujan.
Orang gila itu ternyata lihai sekali. Ia agaknya telah mendengar angin senjata menyambar ke
arahnya, maka sambil tertawa mengerikan, ia membalikkan tubuhnya dan pedang pusaka di
tangannya itu berkelebat cepat mendatangkan sinar putih yang gemilang. Teriakan-teriakan
terdengar dan beberapa batang pedang terlepas ke atas, bahkan banyak pula golok dan pedang
yang putus karena terbabat oleh pedang orang gila itu.
“Ha ha ha! Iblis-iblis Ngo-heng, rasakan pembalasanku! Lihatlah kelihaianku!” Sambil
berkata demikian, ia lalu memutar-mutar pedangnya dan bersilat dengan gerakan-gerakan
yang aneh dan hebat sekali sehingga semua pengeroyoknya mundur takut dan jerih. Akan
tetapi orang gila itu masih terus bersilat pedang seorang diri sambil tertawa-tawa. Juga kakek
bertongkat yang memiliki ilmu silat cukup tinggi itu tidak berani maju karena maklum ia
bukan tandingan orang gila yang amat berbahaya dan lihai itu.
Gwat Kong yang melihat ilmu silat pedang orang gila itu, tak terasa pula berseru keras
sehingga semua orang menengok ke arahnya dengan heran. Ternyata bahwa orang gila itu
telah bersilat pedang Sin-eng Kiam-hoat yang biarpun tidak sempurna benar, akan tetapi
masih lebih tinggi dan hebat dari pada Sin-eng Kiam-hoat yang dimiliki oleh Liok Tin Eng.
Saking tertariknya Gwat Kong tidak memperdulikan pandangan mata terheran-heran dari
semua orang dusun Ma-chun itu dan segera melangkah maju menghampiri orang gila yang
masih saja bersilat pedang dengan cepatnya. Pemuda ini lalu mencabut keluar sulingnya dan
ia segera bersilat pula, mengimbangi permainan orang gila itu. Kakek bongkok yang berotak
miring itu ketika melihat gerakan suling Gwat Kong, tiba-tiba menghentikan permainan
pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak dan mulut berbusa.
“Kau mencuri ilmu pedangku!” teriaknya keras.
“Tidak, locianpwe, karena ilmu pedangku yang lebih asli. Ilmumu itu hanya tiruan belaka
yang tidak sempurna!” jawab Gwat Kong dengan berani.
Orang gila itu memekik keras lalu tertawa bergelak. “Kau ..... kau memiliki Sin-eng Kiamhoat!
Kau tentu orangnya iblis-iblis Ngo-heng!”
“Bukan, aku tidak kenal kepada iblis-iblis Ngo-heng!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 81
Akan tetapi orang gila itu menjadi makin marah lagi. “Kau pencuri!” Setelah memaki marah,
ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Gwat Kong dengan ilmu gerakan Sin-engtian-
ci atau Garuda Sakti Pentangkan Sayap. Serangan ini hebat sekali dan Gwat Kong yang
sudah hafal benar akan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat, melihat betapa gerakan ini biarpun
kurang tepat, akan tetapi dilakukan dengan ginkang yang luar biasa tingginya sehingga tubuh
orang gila itu lenyap terbungkus sinar pedang.
Sebagai seorang ahli ilmu pedang ini, bahkan yang memiliki kepandaian dari kitab aslinya,
tentu saja Gwat Kong tahu bagaimana harus menghadapi lawannya, maka ia lalu mainkan
gerak tipu Sin-eng-hian-jiauw atau Garuda Sakti Pentang Kuku. Sulingnya bergerak cepat dan
mengikuti gerakan pedang lawan hingga ke mana saja ujung pedang itu selalu bertemu
dengan sulingnya dan dapat disampok kembali ke arah penyerangnya.
“Maling ... pencuri ilmu ...” berkali-kali orang gila itu berteriak-teriak marah dan gerakannya
makin nekat dan buas. Dari mulutnya keluar busa putih dan sepasang matanya terputar-putar
makin cepat dan kini telah berubah merah.
“Locianpwe, jangan salah duga. Aku bukan pencuri, dan marilah kita bicarakan baik-baik,”
kata Gwat Kong sambil membalas dengan serangannya. Akan tetapi kakek gila itu tidak mau
memperdulikan ucapannya, bahkan menyerang makin hebat.
Terpaksa Gwat Kong lalu melayaninya dan kini pemuda ini tidak mau memberi kelonggaran
pula. Ia keluarkan ilmu pedangnya yang paling kuat dan karena ilmu pedang itu walaupun
sama dengan kepandaian si gila, akan tetapi lebih asli dan sempurna. Sebentar saja sulingnya
dapat mendesak pedang lawan dan beberapa kali ia berhasil menotok jalan darah lawannya.
Namun, alangkah terkejut dan herannya ketika mendapat kenyataan betapa lawannya yang
gila itu ternyata memiliki kekebalan dan tidak roboh karena totokannya yang tepat mengenai
jalan darah. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu lweekang kakek itu yang sambil
berkelahi dapat menutup jalan darahnya sehingga menjadi kebal terhadap totokan-totokan.
Sungguhpun demikian, namun tenaga totokan Gwat Kong yang kuat dengan lweekangnya
yang sudah tinggi karena dilatih secara rahasia dan luar biasa menurut petunjuk kitab
pelajarannya membuat kakek gila itu tergetar tubuhnya dan makin lama permainannya makin
menjadi lemah. Yang lebih merepotkannya, ialah karena tangan kirinya telah mati kaku dan
tak dapat digerakkan lagi sehingga permainan pedangnya kurang mendapat imbangan tubuh
yang baik. Terutama sekali ia telah menderita luka-luka di dalam tubuh yang makin
menghebat karena tidak terawat dan karena makan obat secara serampangan saja.
Tiba-tiba kakek gila itu mengeluarkan teriakan menyeramkan dan roboh pingsan dengan
pedang masih terpegang erat-erat di tangannya. Gwat Kong merasa heran sekali dan ketika ia
memeriksa, ternyata kakek itu berada dalam keadaan yang amat payah. Pemuda itu yang
tadinya merasa heran mengapa lawannya roboh tanpa kena pukulannya, kini mengerti kakek
itu memang telah menderita sakit dan luka-luka di dalam tubuh. Maka timbullah rasa kasihan
di dalam hatinya.
Ia menurunkan guci araknya dan setelah memberi minum seteguk, kakek itu membuka
matanya. Heran sekali, sinar gila yang liar itu kini lenyap dari matanya dan ia memandang
kepada Gwat Kong dengan kagum. Napasnya tinggal satu-satu dan keadaannya payah benar,
tubuhnya lemas. Akan tetapi pedangnya itu tidak pernah terlepas dari pegangannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 82
“Kau ... kau bukan anggauta Ngo-heng?” tanyanya kepada Gwat Kong.
Pemuda itu menggelengkan kepalanya. “Locianpwe, aku hanyalah seorang perantau yang
kebetulan lewat di sini saja. Orang-orang kampung itu datang hendak minta tolong kepadamu,
minta akar obat untuk menyembuhkan kawan-kawan yang menderita sakit kuning.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan sambil menggerakkan tangannya ke arah orang-orang
kampung yang memandang dengan heran dan kagum, ia berkata, “Ambillah, ambillah ... obat
itu di dalam gua ...” lalu ia menjatuhkan tangannya yang memegang pedang itu di atas tanah
lagi.
“Terima kasih, lo-enghiong,” kata kakek bertongkat tadi dan ia mengajak kawan-kawannya
memasuki gua. Akan tetapi tiba-tiba kakek gila itu berseru keras,
“Mundur semua!”
Orang-orang itu menjadi kaget, demikianpun Gwat Kong yang menyangka bahwa kakek ini
kambuh kembali penyakit gilanya. Akan tetapi, pada saat semua orang itu mundur kembali
dengan ragu-ragu, terdengar suara mendesis-desis dari dalam gua dan keluarlah belasan ekor
ular yang biarpun kecil-kecil akan tetapi bergerak maju dengan gesit, kepala terangkat dan
mendesis-desis menyemburkan uap putih. Sekali pandang saja tahulah semua orang bahwa
ular-ular itu berbahaya dan berbisa.
Selagi semua orang dusun Ma-chun tercengang dan terkesima, Gwat Kong lalu menuangkan
arak dari gucinya ke dalam mulut, lalu ia berdiri dan mendekati mulut gua yang penuh dengan
ular-ular itu. Ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah binatang-binatang itu yang
segera berkelenjetan di atas tanah dan mati. Bukan main hebatnya tenaga semburan arak dari
mulut Gwat Kong ini dan tetesan-tetesan arak yang meluncur keluar itu bagaikan anak panah
menancap dan menembus kepala ular-ular itu sehingga menyerang ke dalam benak!
Melihat kelihaian ini, orang-orang dusun Ma-chun segera memuji dengan amat kagum.
Bahkan seorang di antara mereka lalu berseru, “Dia tentu Kang-lam Ciu-hiap!”
Gwat Kong memandang heran dan bertanya, “Sahabat, bagaimana kau bisa tahu aku disebut
Kang-lam Ciu-hiap? Baru tiga hari aku mendapat sebutan itu di Kang-lam?”
Kakek bertongkat itu lalu menjura dan berkata, “Jangan mengherankan hal ini, orang muda
yang gagah. Berita memang berjalan cepat laksana angin lalu. Sebelum kau tiba di tempat ini,
namamu telah terbawa angin dan telah terdengar sampai jauh di kampung kami. Kawankawan
tadi hanya menduga-duga saja bahwa kaulah orangnya yang disebut Kang-lam Ciuhiap
karena kau selain masih muda dan lihai, juga membawa–bawa arak dan bahkan dapat
mempergunakan arak sebagai senjata yang demikian ampuhnya!”
Sementara itu, kakek gila tadi tidak tahu akan nasib semua ular peliharaannya karena ia
sendiri telah lemas dan hanya rebah di atas tanah sambil meramkan mata. Kini orang-orang
kampung itu dapat masuk gua dan tak lama kemudian mereka membawa akar-akar obat
berwarna putih.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 83
Kakek bertongkat itu menjura lagi kepada Gwat Kong sambil menghaturkan terima kasihnya.
Juga tidak lupa ia menjura kepada kakek gila yang rebah di atas tanah itu sambil
menghaturkan terima kasihnya. Kemudian ia pimpin kawan-kawannya untuk kembali ke
dusun mereka untuk segera memberi pertolongan kepada sanak keluarga yang terserang
penyakit kuning yang pada waktu itu berjangkit di dusun mereka.
Gwat Kong yang tinggal seorang diri, lalu menghampiri kakek gila itu dan berlutut.
“Bagaimana, locianpwe, apakah kau masih merasa sakit?” tanyanya.
Orang tua itu membuka mata, tersenyum sedih dan berkata, “Anak muda, siapakah namamu?”
“Aku bernama Bun Gwat Kong.”
“Tadi aku mendengar mereka menyebut Kang-lam Ciu-hiap, kaukah itu?”
Gwat Kong diam-diam merasa kagum oleh karena biarpun keadaannya demikian lemah tak
berdaya, namun kakek ini mempunyai pendengaran yang amat tajam.
“Aku mendapatkan sebutan itu di Kang-lam,” jawabnya sederhana.
“Kang-lam Ciu-hiap, sebutan yang bagus! Dulupun aku mempunyai sebutan yang cukup
gagah. Bu-heng-sian. Dewa Tanpa Bayangan! Ah ... semua itu telah berlalu, habis dimakan
usia ... tiba-tiba ia bangun dan duduk, lalu memandang tajam kepada Gwat Kong yang
membantunya karena agak sukar sekali kakek itu dapat bangun sendiri.
“Kau ....... dari manakah kau dapatkan ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat?”
“Aku mendapatkan kitab-kitabnya secara kebetulan sekali, locianpwe. Ketika aku menggali
sebuah tempat belukar di Kiang-sui.”
“Di Kiang-sui katamu? Hm, jadi kaukah yang mendapatkan kitab-kitabku? Bagus, ketahuilah,
akulah orangnya yang menyimpannya di sana dan aku pula yang menyalin kitab itu!” Setelah
bicara sampai di sini, kakek itu nampak lelah sekali dan kembali ia menjatuhkan dirinya yang
segera dipeluk oleh Gwat Kong dan dibantunya rebah di atas tanah kembali.
“Kalau begitu, teecu harus menghaturkan terima kasih kepadamu, locianpwe.”
“Tak usah, tak usah .... akupun hanya mendapatkan kitab itu ... dan kau agaknya lebih
berjodoh ... kitab aslinya sukar sekali bagiku yang setengah buta huruf .... kau lihat pedang ini
.... aku mendapatkan kitab kuno itu bersama pedang ini ...” Ia memberikan pedangnya yang
bersinar mengkilap itu dan Gwat Kong melihat sebuah gambar kepala garuda terukir pada
gagang pedang itu.
“Inilah Sin-eng-kiam ... biar kuberikan padamu ... kau lebih patut memegangnya, kau lebih
gagah dariku ...”
“Tapi, locianpwe, kepandaianmu tinggi sekali ...”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 84
“Jangan banyak cakap! Kau telah memiliki kepandaian aslinya. Hal itu sudah kuketahui ....
akan tetapi berhati-hatilah kau ... kelima iblis Ngo-heng mencari-cari kitab itu dan kau takkan
diberinya ampun ...” Setelah berkata demikian, kakek yang malang itu kembali roboh pingsan.
Gwat Kong merasa kasihan sekali dan ia lalu mengangkat tubuh kakek itu ke dalam gua.
Sehari semalam kakek itu rebah pingsan dan kadang-kadang Gwat Kong menuangkan arak ke
dalam mulutnya. Ketika siuman kembali, kakek itu nampaknya merasa terharu karena pemuda
itu masih menjaganya, maka ia lalu berkata,
“Kau ... baik sekali ... aku tak tahan lagi, tubuhku telah penuh luka di sebelah dalam akibat
pukulan-pukulan Ngo-heng ... kau berhati-hatilah ...” Dan tak lama kemudian kakek yang
tadinya menderita penyakit gila itu menghembuskan napas terakhir di pangkuan Gwat Kong.
Gwat Kong lalu mengubur jenazah kakek yang berjuluk Bu-eng-sian itu di dalam gua tadi.
Kemudian ia lalu tinggalkan gua itu sambil membawa pedang Sin-eng-kiam yang
disembunyikan di balik pakaiannya. Ia tak sempat mengetahui nama kakek itu karena ketika
ia bertanya jawabnya hanya “Bu-eng-sian ... aku Bu-eng-sian ....”
****
Demikianlah kisah perjalanan Gwat Kong dan beberapa hari kemudian, perantauannya yang
dilakukan tanpa tujuan tertentu itu membawanya sampai ke dekat kota Ki-ciu di mana secara
kebetulan ia dapat melihat Tin Eng dikeroyok oleh Ngo-heng-kun Ngo-hiap dan berhasil
menolong nona itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah datang di hotel tempat Tin Eng bermalam. Ia
takut kalau-kalau ia datang terlampau pagi. Jangan-jangan Tin Eng masih tidur, pikirnya.
Akan tetapi, ketika ia tiba di halaman hotel, ternyata nona itu telah menantinya di situ dengan
tak sabar. Nona ini bangun pagi-pagi sekali dan telah lama berdiri menanti di depan hotel.
“Mari kita berangkat!” kata Tin Eng setelah melihat Gwat Kong datang dan suara nona ini
terdengar gembira sekali.
Mereka lalu berjalan keluar dari halaman hotel, keadaan di dalam kota masih sunyi sekali
karena sebagian besar penduduknya masih tidur. Gwat Kong memang tahu di mana tempat
tinggal Ngo-heng-kun Ngo-hiap itu karena sebelum bertemu dengan Tin Eng, ia telah
melakukan penyelidikan karena hatinya tertarik dan ingin sekali ia tahu lima orang yang
agaknya pernah bermusuhan dengan Bu-eng-sian sehingga kakek itu menderita luka-luka
hebat. Biarpun tidak diminta, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa penasaran dan ingin
mencoba kepandaian mereka yang telah menjatuhkan Bu-eng-sian yang bagaimana pun juga
dianggap sebagai orang berjasa kepadanya.
Bukankah kalau kitab itu tidak disimpan di Kiang-sui ia takkan dapat memiliki ilmu pedang
dan lain-lain kepandaian itu? Dan bukankah kakek itu pun telah memberi pedang Sin-engkiam
kepadanya?
Rumah kelima orang jago ilmu silat Ngo-heng-kun itu berada di sebelah timur kota Ki-ciu
dan nama mereka ini amat terkenal. Lima jago-jago Ngo-heng-kun ini terdiri dari lima orang
gagah yang telah mengangkat saudara mempelajari ilmu silat Ngo-heng-kun bersama.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 85
Yang tertua bernama Lim Hwat dan keistimewaannya ialah permainan senjata cambuk
panjang yang amat lihai karena cambuk itu selain lemas dan kuat, juga digerakkan dengan
tenaga lweekang yang tinggi, sehingga selain dapat digunakan untuk menotok jalan darah
lawan juga baik sekali untuk membelit dan merampas senjata tajam lawan.
Orang kedua adalah adik kandungnya sendiri, Lim Can yang juga amat lihai dan menduduki
tempat kedua dalam perkumpulan itu oleh karena ia pandai sekali bersilat dengan sebatang
tongkat berkepala naga. Selain gerakannya yang amat lincah, juga tenaga gwakangnya besar
melebihi seekor kerbau jantan.
Orang ketiga biarpun bukan seorang hwesio, akan tetapi selalu menggunduli kepalanya. Ia
memiliki ilmu ginkang yang paling tinggi di antara semua saudaranya. Namanya Oey Sian
dan ia bersenjata golok yang kecil dan tipis sehingga gerakannya cepat luar biasa.
Orang keempat dan kelima adalah sepasang saudara kandung bernama Teng Ki dan Teng Li.
Teng Ki bersenjata pedang panjang, sedangkan Teng Li bersenjata pedang pendek. Juga
kedua orang ini bukanlah orang-orang yang rendah ilmu silatnya.
Selain memiliki kepandaian-kepandaian khusus ini, mereka berlima merupakan sebarisan
yang amat tangguhnya karena bersama-sama mereka membentuk sebuah ilmu silat berantai
yang disebut Ngo-heng-kun atau Ilmu Silat Lima Daya. Apabila mereka berlima bersamasama
melakukan penyerangan, maka mereka merupakan barisan Ngo-heng yang mengepung
lawan dari lima jurusan dan dalam kedudukan mereka yang amat kuat ini jarang sekali ada
lawan yang dapat mengalahkan mereka.
Mereka ini cukup kaya dan memiliki tanah yang lebar di mana para petani bekerja untuk
mereka dengan mendapat bagian sepantasnya. Dan mereka amat disegani oleh penduduk di
sekitar Ki-ciu karena selain gagah perkasa, juga mereka terkenal keras hati dan mudah
menjatuhkan tangan kepada mereka yang berani menentangnya.
Ketika Tin Eng dan Gwat Kong tiba di dekat rumah mereka, Gwat Kong berkali-kali memberi
peringatan, “Nona, harap kau berlaku hati-hati karena menurut pendengaranku, mereka itu
lihai sekali!”
Akan tetapi Tin Eng yang tabah itu hanya tersenyum dan berkata, “Tenanglah Gwat Kong dan
kalau aku bertempur menghadapi mereka jangan kau terlalu dekat agar tidak sampai terkena
senjata mereka!”
Setelah berada di depan pintu rumah mereka yang masih tertutup, Tin Eng berseru keras,
“Orang-orang Ngo-heng-kun! Keluarlah untuk membuat perhitungan!”
Dengan sikap gagah gadis itu berdiri sambil memegang pedang di tangan kanan. Dan
sikapnya yang tabah ini membuat Gwat Kong merasa kagum sekali. Seorang dara yang benarbenar
gagah perkasa, pikirnya dengan hati senang.
Tin Eng tidak perlu menanti lama karena tiba-tiba pintu rumah itu terpentang dari dalam dan
keluarlah kelima jago Ngo-heng-kun itu sambil membawa senjata masing-masing. Tadinya
mereka mengira bahwa gadis itu tentu datang dengan kawan-kawannya. Akan tetapi ketika
melihat bahwa gadis itu datang seorang diri, dikawani oleh seorang pemuda yang nampak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 86
lemah bodoh dan yang menanti di bawah pohon sambil berjongkok, mereka tersenyum
menghina.
“Nona manis, kau benar-benar bernyali besar, berani datang menemui kami! Apakah kau
belum merasa kapok setelah kami robohkan kemarin?” kata Lim Hwat sambil mengayunayun
cambuknya dan tersenyum mengejek.
“Bangsat curang!” Tin Eng memaki sambil menudingkan pedangnya kepada orang itu.
“Kalian merobohkan aku karena menggunakan kecurangan yang hanya patut dilakukan oleh
bajingan-bajingan rendah. Kalau kalian memang jantan, marilah kita mengadu kepandaian
secara jujur. Kalau tidak berani, lebih baik kembalikan kitabku dan berlutut minta maaf!”
Ucapan yang amat sombong ini membuat Oey Sian si gundul merasa marah sekali. “Apa sih
kepandaianmu maka kau berlaku begini kurang ajar?” teriaknya sambil melompat maju ke
depan Tin Eng. Akan tetapi gadis itu dengan marah lalu menyambut kedatangannya dengan
serangan pedangnya yang ditusukkan ke dada Oey Sian sehingga orang ini cepat-cepat
menangkis dengan goloknya.
Akan tetapi serangan pertama ini hanya merupakan pancingan belaka dan tiba-tiba Tin Eng
menarik kembali pedangnya dan melanjutkan dengan serangan Garuda Sakti Menyambar Air.
Pedangnya berkelebat cepat sekali menebas leher lawannya sehingga dengan seruan terkejut
Oey Sian yang tak keburu menangkis lagi itu segera miringkan kepalanya yang gundul untuk
mengelak. Pedang Tin Eng menyerempet dekat sekali dengan kulit kepalanya yang gundul
sehingga kalau kepala itu ada rambutnya, tentu rambut itu akan terbabat putus. Pedang terus
meluncur dan menyerempet pundaknya. “Breet!” Pecahlah baju Oey Sian di bagian pundak
kanannya.
Dengan muka pucat Oey Sian melompat mundur dan pada saat itu juga, keempat saudaranya
yang maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan, lalu maju mengeroyok dan
mengurungnya dari lima jurusan. Secara otomatis mereka telah membentuk barisan Ngoheng-
tin.
“Bagus, bagus! Majulah semua dan kalau perlu, keluarkan senjata racun yang kemarin. Aku
tidak takut akan kecuranganmu!”
Tin Eng sebenarnya merasa jerih menghadapi obat bubuk merah mereka, dan sengaja
mengucapkan kata-kata ini agar mereka menjadi malu. Benar saja, sebagai lima orang gagah
yang telah terkenal, menghadapi seorang gadis muda yang menantang secara berani, tentu
saja mereka merasa malu sekali apabila mereka harus menggunakan cara yang curang itu.
Mereka merasa yakin bahwa dengan Ngo-heng-tin mereka pasti akan berhasil merobohkan
gadis yang sombong dan berani ini.
Akan tetapi Tin Eng tidak merasa jerih. Ia putar-putar pedangnya dan kakinya bergerak
dengan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-san, yakni bertindak berputaran untuk menghadapi
kelima lawannya. Sedangkan pedangnya mainkan gerak tipu Garuda Sakti Mengitari Pohon
Liu. Pedang di tangannya berkelebat menimbulkan sinar pedang yang panjang dan yang
menyambar-nyambar ke arah lima orang lawannya.
Akan tetapi Ngo-heng-tin itu benar-benar lihai. Tiap kali pedang Tin Eng menyerang seorang
lawan yang berada di depannya, maka dua orang yang berada di depannya menangkis
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 87
serangan itu dan tiga orang lain yang berada di belakang lalu menyerangnya dari belakang
dengan hebatnya. Kalau gadis itu cepat memutar tubuh untuk menghadapi penyerangpenyerangnya
yang berbalik menangkis, maka seorang diantara mereka yang dibantu oleh dua
orang yang ditinggalkan dan kini berada di belakangnya itu, berbalik menjadi penyerang.
Oleh sebab ini, Tin Eng menjadi bingung sekali. Setiap serangannya dihadapi oleh dua senjata
yang menangkis dan dibarengi dengan serangan tiga orang lain dari belakang. Sungguhsungguh
merupakan hal yang amat berbahaya sekali.
Tin Eng adalah seorang gadis yang amat pemberani dan keras hati, maka tanpa mengingat
akan keadaan diri sendiri, ia lalu mengamuk dan menyerang membabi buta. Siapa saja yang
paling dekat diserangnya dengan hebat. Ia hendak menjatuhkan seorang lawan dulu yang
berada di depannya untuk kemudian menghadapi empat lawan lain.
Namun kelima saudara Ngo-heng-kun itu telah dapat menangkap maksudnya. Maka mereka
melakukan penjagaan keras dan dari belakang datanglah serangan bertubi-tubi tiap kali Tin
Eng menggerakkan pedang. Sehingga terpaksa gadis itu tidak dapat mencurahkan seluruh
perhatian dan kepandaiannya karena ia harus pula menjaga diri. Dengan terpecah-pecahnya
perhatian serta tenaga ini, ia menjadi cepat lelah dan mulai merasa pening. Keadaannya mulai
berbahaya sekali dan senjata lawan makin mendesak dan mengurung rapat.
“Ha ha ha, nona manis, kau hendak lari ke mana? Kau seperti tikus terjebak ke dalam
kurungan, ha ha ha!” Lim Hwat menyindir sambil putar-putar cambuknya yang terlihai di
antara senjata-senjata adik-adiknya.
“Menyerahlah untuk menjadi bini mudaku saja!” Oey Sian yang terkenal mata keranjang
berkata, sehingga Tin Eng menjadi marah dan mendongkol sekali. Gadis ini menggigit
bibirnya dan mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Ia rela mati dalam pertempuran ini
akan tetapi sedikitnya ia harus dapat membunuh pula seorang atau dua orang lawannya.
Akan tetapi, sebelum ia dapat menjatuhkan korban, tiba-tiba ujung cambuk Lim Hwat telah
meluncur dan membelit kedua kakinya. Tin Eng menggerakkan pedang menyabet ke arah
cambuk, akan tetapi tongkat Lim Can menangkis pedangnya itu dan berbareng pada saat itu,
Lim Hwat mengerahkan lweekangnya dan sambil berseru keras ia membetot cambuknya. Tak
dapat dicegah lagi tubuh Tin Eng terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan.
Akan tetapi sebelum terjadi hal yang lebih hebat lagi, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu Tin Eng merasa betapa tubuhnya disambar oleh sebuah tangan yang cepat dan kuat
sekali, kemudian orang itu lalu melompat keluar dari kepungan, sebelum kelima orang itu
sempat sadar dari rasa heran dan terkejut mereka.
Ketika Tin Eng diturunkan dari pondongan orang itu dan memandang, ia menjadi bengong.
Sepasang matanya yang indah dan bening itu terpentang lebar-lebar dan memandang bodoh,
sedangkan mulutnya celangap tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Ternyata bahwa
orang yang menolongnya tadi adalah Gwat Kong sendiri yang kini berdiri di depannya dengan
senyum manis di bibirnya dan seri gembira pada wajahnya.
“Jangan marah, siocia. Aku akan berusaha membalas mereka dan menebus kekalahanmu!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 88
Merahlah seluruh muka Tin Eng karena suara pemuda itu masih saja halus merendah seperti
ketika menjadi pelayannya dulu. Ia tidak dapat menjawab sesuatu, hanya memandang dengan
masih bengong ketika pemuda itu dengan tindakan kaki tenang dan perlahan menghampiri
kelima jagoan Ngo-heng-tin yang berdiri dengan heran pula.
“Ah, pantas saja nona itu berani bersikap sombong, tidak tahunya dia membawa seorang
pembantu yang pandai!” kata Lim Hwat mencoba menyembunyikan kekagumannya.
“Tentu kau pula yang kemarin mempermainkan kami?” kata Lim Can sambil memandang
tajam dan menggerak-gerakkan tongkat naganya dengan sikap mengancam.
“Ngo-wi Lo-enghiong (tuan-tuan berlima yang gagah), hal ini tidak perlu kita persoalkan
sekarang, yang terpenting ialah bahwa sebenarnya tidak sepatutnya kalau kalian yang tersohor
sebagai orang-orang gagah yang menjagoi daerah ini, merampas kitab milik seorang nona
muda. Apakah kalian tidak merasa malu, kalau hal ini sampai terdengar oleh orang-orang
gagah sedunia? Apakah benar-benar kalian yang telah memiliki kepandaian tinggi ini ingin
pula mencuri ilmu pedang nona ini?”
“Enak saja kau membuka mulut!” seru Lim Hwat dengan marah. “Siapa yang mencuri ilmu
pedang? Bukan kami, kalau tidak, kami takkan mau memberi ampun kepadanya!”
Gwat Kong memandang heran. “Bagaimana kalian bisa menyatakan bahwa kitab ilmu pedang
itu adalah hak milik kalian? Sepanjang pengetahuanku pemiliknya adalah orang yang disebut
Bu-eng-sian.”
Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba kelima orang itu lalu maju mengurung Gwat Kong,
“Di manakah setan tua itu? Apakah dia belum mampus?” tanya Oey Sian.
Gwat Kong menggeleng kepala. Kini ia ketahui nama Bu-eng-sian, maka ia berkata dengan
tenang. “Leng locianpwe telah meninggal dunia karena luka-lukanya yang diderita dan yang
disebabkan oleh pukulan-pukulan kalian yang kejam. Sebetulmya mengapakah kalian
memusuhinya? Apakah karena kitab itu?”
Terdengar seruan kecewa dari Lim Hwat. “Agaknya kau kenal baik kepada setan tua itu, anak
muda. Aku memberi nasehat agar supaya kau bicara terus terang. Ketahuilah bahwa pada
beberapa belas tahun yang lalu, kami berlima dengan Leng Po In adalah sahabat-sahabat baik
dan kami berlima bersama dia mendapatkan kitab dan pedang Sin-eng-kiam di dalam sebuah
gua di bukit Thai-san. Akan tetapi, secara curang sekali orang she Leng itu membawa lari
kitab dan pedang.
Bertahun-tahun kami berlima mencarinya dan akhirnya berhasil melukainya, akan tetapi kitab
dan pedang itu telah disembunyikan entah di mana. Kini tahu-tahu gadis ini pandai mainkan
Sin-eng Kiam-hoat. Bukankah itu berarti bahwa dia telah mencuri ilmu pedang yang menjadi
hak kami? Kitab yang kami ambil hanyalah salinan dari Leng Po In dan kami menuntut
dikembalikannya kitab asli dan pedang Sin-eng-kiam.”
Gwat Kong tidak tahu bahwa Lim Hwat membohong dalam penuturannya ini karena
sesungguhnya yang mendapatkan kitab dan pedang itu adalah Leng Po In sendiri. Mereka
berlima melihat hal ini dan berusaha merampasnya. Akan tetapi, biarpun ia tidak tahu, namun
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 89
melihat sikap mereka yang galak ini. Gwat Kong dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah
orang baik-baik, maka ia lalu menjawab,
“Nona Liok ini tanpa disengaja dapat mempelajari Sin-eng Kiam-hoat, bahkan aku sendiripun
telah mempelajarinya. Kami berdua tidak tahu menahu tentang perebutan kitab dan pedang.
Dan apabila kedua benda itu terjatuh ke dalam tangan kami yang tidak sengaja
menemukannya, maka sekarang benda-benda itu adalah menjadi hak milik kami!”
“Bangsat benar!” seru Oey Sian yang menjadi marah. “Kalau begitu, kau dan nona itu harus
mampus!”
“Cobalah!” tantang Gwat Kong sambil tersenyum tenang.
“Bunuh dia dan tangkap nona itu!” teriak Lim Hwat dan kelima orang itu kembali bergerak
dan mengurung Gwat Kong dalam lingkaran Ngo-heng-tin mereka yang lihai. Leng Po In
sendiri yang berjuluk Bu-eng-sian dulu roboh oleh karena kelihaian Ngo-heng-tin ini sehingga
mendapat luka-luka berat. Maka Gwat Kong yang tadi telah menyaksikan kehebatan barisan
Lima Daya ini, segera mencabut pedang yang disembunyikan di balik bajunya.
Melihat berkelebatnya pedang itu, kelima orang lawannya berseru hampir berbareng,
“Sin-eng-kiam!”
Gwat Kong menggerak-gerakkan pedangnya sambil tersenyum dan berkata, “Ya, memang ini
Sin-eng-kiam, akan tetapi aku menerimanya secara sah dari penemunya, yakni dari Leng
Locianpwe sendiri.”
“Kalau begitu, kitab aslinya juga berada padamu!” bentak Lim-hwat.
11.
GWAT Kong mainkan senyum pada bibirnya dan bertanya,” Kalau benar demikian kalian
mau apa?”
“Bangsat!” Lim Can memaki dan mengayunkan tongkat naga dari belakang, mulai menyerang
ke arah kepala Gwat Kong. Akan tetapi pemuda itu dengan tenangnya mengelak ke pinggir
dan berdiri diam tak bergerak, menanti datangnya serangan lawan yang lain. Serangan itu
tidak kunjung datang, karena sesungguhnya gerakan Ngo-heng-tin dilakukan dengan otomatis
yakni kalau orang yang terkurung itu melakukan serangan. Barulah orang-orang yang berdiri
di belakangnya maju menyerang sedangkan orang yang berada di depan dibantu oleh seorang
kawan terdekat melakukan tangkisan.
Gwat Kong tertawa bergelak-gelak karena mereka juga diam saja tidak mau menyerang dulu.
“Eh he, mengapa kalian berdiam saja! Apakah takut menyerangku? Kalau begitu, baiklah, aku
yang akan menyerang. Kalian berhati-hatilah!”
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri Gwat Kong mencabut sulingnya dan mulai
menyerang ke depan dengan suling itu. Sebagaimana yang ia duga, ketika dua orang lain di
belakangnya maju menyerang dengan hebat sekali. Akan tetapi Gwat Kong sudah tahu akan
hal ini, maka ia tanpa menoleh lalu mengangkat tangan kanannya dan menggunakan Sin-engKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 90
kiam utk diputar sedemikian rupa hingga tiga buah senjata lawan kena tertangkis, sedangkan
dengan sulingnya ia tetap mendesak lawan yang berada di depan.
Gwat Kong sengaja melancarkan serangan-serangannya kepada Lim Hwat yang bersenjata
cambuk panjang dan Lim Can yang bersenjata tongkat kepala naga, karena selain dua orang
ini memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi, juga senjata-senjata mereka lebih panjang
sehingga kalau dibiarkan melakukan serangan dari jarak jauh, ia akan menderita rugi. Maka ia
lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Garuda Sakti Mencari Ikan yang dimainkan oleh suling di
tangan kirinya.
Sungguhpun yang dipakai menyerang hanya sebuah suling bambu, akan tetapi oleh karena
gerakannya demikian cepat bagaikan paruh garuda menyambar-nyambar mencari sasaran
yang tepat di tubuh lawan, maka amat berbahaya bagi kedua lawannya itu. Sedangkan tiga
orang lain yang bersenjata pendek, dapat digagalkan serangan mereka oleh tangkisan pedang
Sin-eng-kiam di tangan kanannya.
Menghadapi akal Gwat Kong yang amat lihai ini, Lim Hwat dan kawan-kawannya tidak
berdaya, maka ia lalu berseru keras memberi tanda sehingga kawan-kawannya segera
merobah gerakan mereka. Kini mereka mainkan ilmu silat Ngo-heng-soan, dan mereka mulai
berlari-lari mengitari Gwat Kong! Sambil berlari mengitari pemuda yang terkurung itu,
kadang-kadang mereka melancarkan serangan-serangan yang tak terduga datangnya sehingga
terpaksa Gwat Kong mengikuti gerakan memutar itu dan mainkan pedang dan suling untuk
menjaga diri! Pergantian serangan yang tiba-tiba ini agak membingungkan pemuda itu
sehingga untuk beberapa jurus lamanya ia tidak kuasa membalas dan hanya menjaga diri
dengan kuatnya.
Sementara itu, Tin Eng memandang ke arah pertempuran itu dengan keheranan dan
kekaguman yang makin memuncak. Dadanya berdebar keras karena berbagai macam
perasaan mengaduk hatinya. Bangga, girang, heran dan malu bercampur aduk di dalam
pikiran dan hatinya. Tak pernah disangkanya bahwa Gwat Kong, pemuda yang nampak bodoh
dan jujur itu, yang selalu menurut perintahnya dan selalu berusaha menyenangkan hatinya,
ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kepandaiannya
sendiri.
Akan tetapi ia mulai merasa khawatir melihat betapa kelima orang pengeroyok Gwat Kong itu
benar-benar lihai dan kini dengan agak bingung dan gelisah ia melihat betapa kelima orang itu
sambil berlari-lari mengitari Gwat Kong menyerang dan menghujani pemuda itu dengan
serangan bertubi-tubi.
Sebetulnya, Gwat Kong sedang mencari jalan untuk memecahkan cara menyerang yang aneh
dan membingungkan ini. Akan tetapi selagi ia mencari lowongan, tiba-tiba kelima orang itu
mengubah lagi gerakannya. Dan kini mereka mengelilingi tubuh Gwat Kong dengan cara
yang berlawanan yakni tiga orang lain berlari mengitari pemuda itu dari kiri memutar ke
kanan, sedangkan Lim Hwat dan Lim Can berlari dari kanan memutar ke kiri.
Sementara itu, serangan mereka datangnya lebih gencar lagi dan kembali Gwat Kong dapat
dibikin bingung karena ia tidak tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengikuti gerakan
memutar yang berlawanan ini. Memang Ngo-heng-tin atau Barisan Lima Daya ini benarbenar
hebat dan luar biasa sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 91
Sungguhpun hatinya ingin sekali membantu Gwat Kong, akan tetapi Tin Eng tidak berani
turun tangan oleh karena ia maklum akan kelihaian lawan dan sekarang setelah pedangnya
tidak ada, ia sama sekali tidak berani membantu, takut kalau-kalau bahkan mengacaukan
perlawanan Gwat Kong.
Tiba-tiba Gwat Kong mendapat akal dan matanya mulai menjadi biasa dengan gerakan
memutar dari kelima orang lawannya itu. Ia berhenti bergerak dan kini ia berdiri diam di
tengah-tengah kurungan, membiarkan kelima orang lawannya berlari-lari makin cepat. Kalau
ada senjata lawan yang melayang ke arahnya barulah ia menggerakkan suling atau pedangnya
untuk menangkis.
Yang paling lihai di antara kelima macam senjata lawan itu adalah cambuk Lim Hwat dan
tongkat kepala naga Lim Can, maka perhatiannya ditujukan sepenuhnya ke arah kedua senjata
tersebut. Pada suatu saat, cambuk Lim Hwat menyambar ke arah dadanya dalam sebuah
sabetan keras.
Gwat Kong membuat dua gerakan yang amat cepat sambil melompat ke atas menghindarkan
kedua kakinya dari sapuan tongkat kepala naga. Gerakan ini ialah dengan sulingnya ia
menangkis ujung cambuk dan ketika suling itu diputar maka ujung cambuk melibat suling itu.
Secepat kilat Sin-eng-kiam di tangan kanannya menyambar ke arah cambuk yang tertarik dan
menegang itu dan putuslah cambuk itu di bagian ujungnya terkena babatan Sin-eng-kiam
yang tajam.
“Kurang ajar!” Lim Hwat berseru marah dan pada saat itu karena gerakan tadi membuat
kawan-kawannya terpaksa menunda lari mereka. Maka dalam keadaan kepungan itu tidak
bergerak memutar, Gwat Kong lalu menyerang dengan kuat ke arah dua orang yang
dianggapnya paling lemah di antara mereka, yakni Teng Ki dan Teng Li yang bersenjata
pedang.
Ketika sulingnya meluncur menotok pundak Teng Ki yang berpedang panjang dan pedang
Sin-eng-kiamnya diluncurkan membabat lengan Teng Li. Kedua orang itu segera menangkis
dan Oey Sian yang bersenjata golok dan berdiri di sebelah kiri Teng Li lalu menyerang
dengan goloknya ke arah leher Gwat Kong. Pemuda ini menggunakan pedangnya yang
tertangkis oleh Teng Li secepat kilat tanpa menunda lagi lalu mendahului Oey Sian dengan
tikaman pedang itu ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang golok.
Maka terdengar Oey Sian memekik kaget dan segera menggulingkan tubuhnya ke belakang
untuk menghindarkan babatan pedang kepada pergelangan lengannya itu. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Gwat Kong untuk melompat keluar dari kepungan sambil memutar
pedangnya menerjang ke tempat lowong yang tadi di tempati Oey Sian, yakni di antara Teng
Li dan Lim Hwat.
Tentu saja Lim Hwat sebagai otak barisan itu yang memimpin pengepungan tidak
membiarkan lawannya terlolos dari kepungan, maka ia lalu berteriak sambil menggerakkan
cambuknya yang telah terputus ujungnya itu untuk memaksa Gwat Kong kembali ke dalam
kurungan. Akan tetapi, Gwat Kong berseru lagi dengan nyaring dan ketika ia berjungkir balik
dengan gerakan Garuda Sakti Menembus Mega, tubuhnya mumbul tinggi dengan kaki di atas
dan kepala di bawah. Saat itu ia pergunakan untuk mengirim bacokan ke arah pundak Lim
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 92
Hwat yang tak berdaya mengelak sehingga pundak kirinya terserempet ujung pedang. Ia
berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang dengan pundak mengalirkan darah.
Gwat Kong tidak mau berhenti sampai sekian saja. Sambil mempergunakan kesempatan
selagi para pengeroyoknya kacau keadaannya. Ia lalu mengerjakan dua senjata di tangannya
dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika pedangnya berhasil memutuskan dua
buah jari tangan Oey Sian sehingga goloknya terpental jauh dan sulingnya dapat menotok
jalan darah pada pundak Teng Li sehingga orang ini roboh dengan lemas.
Dua orang pengeroyok lain, yakni Lim Can yang bersenjata tongkat kepala naga dan Teng Ki
yang bersenjata pedang panjang, memburu untuk menolong saudara-saudaranya. Akan tetapi
sekali pedang dan suling di tangan Gwat Kong bergerak, ujung tongkat yang berbentuk kepala
naga itu terbabat putus dan pedang di tangan Teng Ki terpental jauh pula karena suling Gwat
Kong dengan tepat telah menghantam pergelangan tangannya.
Demikianlah, dengan sekali gus dan dalam waktu yang luar biasa cepatnya sehingga Tin Eng
sendiri memandang dengan bingung dan mata kabur, lima orang jago Ngo-heng-tin itu kena
dikalahkan oleh Gwat Kong yang masih berlaku murah hati dan tidak membinasakan mereka.
Hanya memberi pukulan-pukulan yang membuat mereka terluka, akan tetapi cukup membuat
mereka tak dapat maju pula.
Lim Hwat sambil meringis kesakitan dan memegang-megang pundaknya yang berdarah dan
wajahnya sebentar pucat sebentar merah, lalu menjura dan membungkukkan tubuh kepada
Gwat Kong sambil berkata,
“Anak muda, kau benar-benar lihai sekali dan ternyata kau telah memiliki ilmu pedang Sineng
Kiam-hoat dan juga pedang Sin-eng-kiam telah berada di tanganmu! Siapakah sebenarnya
kau?”
Dengan sikap masih tenang dan suara biasa saja, Gwat Kong menjawab, “Aku bernama Bun
Gwat Kong atau boleh juga kau sebut Kang-lam Ciu-hiap sebagai mana orang-orang Kanglam
menyebutku.”
“Bagus, bagus! Nama ini takkan kami lupakan. Saat ini kami mengaku kalah, akan tetapi
tunggulah satu dua tahun lagi, Kang-lam Ciu-hiap. Pasti kami akan mencarimu untuk
membuat perhitungan.”
“Bun-ko, mintakan kitabku!” Tiba-tiba Tin Eng berseru dan Gwat Kong tiba-tiba merasa
betapa mukanya menjadi panas dan warna merah menjalar dari telinga kiri sampai ke telinga
kanan ketika mendengar betapa gadis itu kini menyebutnya ‘Bun-ko’!”
Sementara itu, Lim Hwat ketika mendengar ucapan Tin Eng ini, dengan tersenyum pahit lalu
mengeluarkan kitab itu dari saku bajunya sebelah dalam dan memberikan itu kepada Tin Eng
sambil berkata,
“Terimalah kitab palsu ini. Kau boleh mempelajarinya sampai seratus kali akan tetapi tidak
akan ada gunanya!” Setelah berkata demikian, kembali Lim Hwat menjura terhadap Gwat
Kong dan kemudian memberi tanda kepada empat orang saudaranya untuk masuk ke dalam
rumah yang lalu ditutupkan pintunya keras-keras.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 93
Gwat Kong menghampiri Tin Eng yang memandangnya dengan mata kagum sekali. Tanpa
berkata sesuatu, keduanya lalu berjalan menuju kota Ki-Ciu kembali. Di tengah jalan, Gwat
Kong tidak dapat menahan lagi keadaan yang sunyi di antara mereka itu, maka dengan muka
merah ia lalu berkata,
“Liok-siocia, maafkan aku yang telah menyembunyikan keadaanku darimu.”
Tin Eng memandangnya dan tersenyum. “Mengapa minta maaf? Kau hebat dan lihai sekali,
seratus kali lebih hebat dari padaku.”
Makin merahlah wajah Gwat Kong mendengar ini, karena ia merasa seakan-akan ia disindir.
“Kau juga cukup lihai, nona, hanya sayangnya kau telah mempelajari kitab yang salinan
belaka. Masih ingatkah kau akan kitab yang sebuah lagi, yang kau sebut kitab berisi sajak dan
syair kuno itu?”
Tin Eng mengingat-ingat lalu mengangguk.
“Nah, kitab yang kau anggap tidak berguna itulah sebetulnya kitab pelajaran Sin-eng Kun-
Hoat dan Sin-eng Kiam-hoat yang asli. Aku diam-diam mempelajari kitab itu sehingga dapat
juga memiliki sedikit ilmu kepandaian.”
Tin Eng makin merasa kagum dan terheran sehingga ia menunda kedua kakinya. Keduanya
berdiri di pinggir jalan, berhadapan dan saling pandang.
“Bun-ko ......”
“Nona, mengapa kau menyebutku demikian, aku masih tetap Gwat Kong yang dulu bagimu.”
Tin Eng menggelengkan kepalanya. “Jangan membuat aku merasa malu terhadap diri sendiri,
Bun-ko. Aku selalu menganggap kau sebagai orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Tidak
tahunya kau bahkan pandai membaca kitab kuno. Satu hal yang sama sekali tak pernah
kusangka. Tadinya ku kira kau buta huruf tidak tahunya kau terpelajar pula. Aku tidak berhak
menyebutmu dengan nama begitu saja.”
“Mengapa begitu? Sungguh, aku merasa tidak enak sekali mendengar sebutan itu, nona. Aku
lebih senang kalau kau sebut namaku saja!”
Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Boleh, aku akan menyebutmu biasa saja, akan tetapi
kaupun harus membuang jauh-jauh sebutan nona itu! Aku boleh kau sebut Tin Eng saja tanpa
embel-embel nona. Bagaimana?”
Dengan muka merah Gwat Kong berkata, “Baiklah, nona.”
“Hussh! Bagaimanakah ini? Mengapa menyebut baik, akan tetapi kembali menyebut nona?”
“Eh ... aku ... aku lupa, non ..” jawab Gwat Kong gugup sehingga Tin Eng memandang geli.
“Gwat Kong, kau benar-benar hebat. Aku merasa kagum sekali. Kau harus mengajarku
dengan ilmu silatmu itu!”.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 94
Setelah menyebut nama Gwat Kong seperti biasa, Tin Eng merasa biasa kembali dan
lenyaplah keraguan dan rasa malu-malu tadi. Juga Gwat Kong merasa lebih enak dan leluasa.
“Tentu ... Tin Eng, kalau kau kehendaki, aku akan dapat memberi pelajaran kepadamu
sedapat mungkin.”
Mereka duduk di pinggir jalan dan berteduh di bawah lindungan pohon. Kemudian Gwat
Kong menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendapatkan kitab itu. Betapa ia
mempelajari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat dengan diam-diam dan rajin. Ia menceritakan pula
tentang semua pengalamannya semenjak ia meninggalkan gedung Liok-taijin dan betapa ia
mendapat julukan Kang-lam Ciu-hiap.
“Kau memang patut menjadi pendekar arak, karena kau memang seorang pemabok!” kata Tin
Eng yang teringat kembali akan peristiwa di dalam gedungnya ketika ia hampir membunuh
Gwat Kong yang sedang mabok. Merahlah muka pemuda itu mendengar hal ini disebut-sebut.
“Gwat Kong, sebetulnya kau berasal dari manakah? Kau telah bertahun-tahun bekerja di
rumah orang tuaku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Apakah kau tidak
keberatan untuk menceritakan kepadaku?”
Sebetulnya Gwat Kong merasa ragu-ragu untuk menceritakan hal ini kepada siapapun juga
akan tetapi kepada Tin Eng, tiba-tiba ia timbul rasa seakan-akan gadis ini bukan orang lain
dan bahkan seakan-akan sudah seharusnya ia menceritakan keadaannya kepada Tin Eng.
Maka secara singkat ia menceritakan riwayatnya, betapa ia dahulu adalah seorang putera Buntihu
di Lam-hwat dan ayahnya difitnah orang sehingga ia dibawa pergi oleh ibunya yang
hidup penuh penderitaan. Ketika menceritakan betapa ia tersesat, mabok-mabokan dan
bergaul dengan segala orang muda yang tidak baik sehingga ibunya jatuh sakit dan meninggal
dunia di Ki-hong, tak tertahan pula Gwat Kong mengalirkan air mata yang segera disusutnya
dengan ujung lengan bajunya.
Tin Eng mendengar penuturan ini dengan hati amat terharu sehingga ia ikut pula melinangkan
air mata. Tak disangkanya bahwa Gwat Kong adalah putera seorang tihu yang adil dan jujur.
Diam-diam ia merasa girang mendapatkan kenyataan ini sungguhpun ia tidak tahu mengapa ia
boleh merasa girang.
“Sudahkah kau membalas dendam orang tuamu itu, Gwat Kong?” tanyanya.
“Musuh besar itu telah meninggal dunia hanya tinggal seorang puterinya. Bagaimana
pendapatmu tentang hal ini? Haruskah aku membalas kepada anaknya itu?”
Tin Eng merasa ragu-ragu untuk menjawab, karena iapun merasa betapa sulitnya untuk
mengambil keputusan dalam hal ini. “Dan bagaimana pendapatmu sendiri?” ia balas bertanya.
“Menurut pendapatku, puteri musuh besar orang tuaku itu tidak ikut apa-apa dan ia tidak
berdosa. Maka tidak seharusnya kalau aku membalas dendam kepadanya. Apakah
hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa keluarga ayahku? Yang bersalah adalah
ayahnya dan ia tidak tahu menahu tentang hal itu. Oleh karena inilah maka aku tidak berniat
membalas dendam kepada orang yang sama sekali tidak berdosa.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 95
Tin Eng mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kau adil dan mulia Gwat Kong. Kalau
aku sendiri menjadi puteri musuh besar itu, aku akan merasa ngeri mendapatkan musuh yang
membalas dendam seperti kau!”
Setelah agak lama mereka berdiam saja, Gwat Kong lalu bertanya,
“Dan sekarang kau hendak pergi ke manakah, Tin Eng?”
Ditanya demikian, Tin Eng kembali teringat akan semua barangnya yang telah hilang, maka
jawabnya sambil menarik napas panjang, “Entahlah, aku tidak mempunyai tujuan tetap,
apalagi sekarang setelah semua uangku tercuri orang. Untuk membayar sewa kamar saja aku
tidak mampu.”
“Akupun tidak mempunyai uang, akan tetapi apa susahnya hal ini? Kau bisa ‘pinjam’ dari
para hartawan di kota Ki-ciu.”
“Pinjam? Tanya Tin Eng heran.
Gwat Kong tersenyum. “Biarpun aku sendiri baru saja merantau dan menerjunkan diri dalam
dunia kang-ouw, akan tetapi agaknya dalam hal ini aku lebih matang dari padamu, Tin Eng.
Istilah ini digunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk mengambil sedikit uang para
hartawan untuk digunakan sebagai biaya perjalanan.”
“kau maksudkan .... mencuri? Gwat Kong! Bagaimana kau bisa memberi nasehat kepadaku
supaya menjadi pencuri?”
“Dalam hal ini, mencuri yang dilakukan oleh orang-orang kang-ouw berbeda sifatnya, Tin
Eng,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang-orang perantau di dunia kang-ouw
pekerjaannya menolong orang-orang yang perlu ditolong tanpa mengharap akan upah atau
pembalasan jasa dan dari manakah mereka bisa mendapatkan uang untuk biaya perjalanan dan
membeli makanan? Mengambil sedikit uang dari para hartawan bukan berarti apa-apa lagi
bagi hartawan itu dan kalau digunakan bukan untuk mencari kesenangan diri, maka dosanya
tidak begitu besar!”
Tin Eng menjadi geli mendengar alasan ini. “Benar-benar lucu, apakah dosa itu ada yang
besar dan kecil?”
Gwat Kong juga tersenyum mendengar ini dan pada saat itu, tiba-tiba dari jauh datang berlari
seorang laki-laki yang setelah dekat ternyata bukan lain ialah Lok Ban si Tangan Seribu,
kepala maling di kota Ki-ciu.
Melihat orang ini, Tin Eng yang sudah mengambil kembali pedangnya tadi, melompat dan
mengejar dengan pedang di tangan. Akan tetapi, kepala maling itu memang sengaja
menghampiri mereka dan datang-datang ia lalu menjura dengan hormat sekali.
“Ji-wi, harap jangan salah sangka. Kedatangan siauwte ini bukan membawa maksud buruk
akan tetapi semata-mata hendak mengembalikan barang-barang lihiap yang tadi telah diambil
oleh seorang kawan kami yang salah tangan!” Sambil berkata demikian, ia memberikan
bungkusan pakaian Tin Eng yang ternyata masih lengkap.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 96
Tin Eng menerima buntalan pakaian dan perhiasan serta uangnya itu dengan girang dan juga
terheran-heran, lalu bertanya,
“Sahabat, bagaimanakah maksudnya semua ini? Tadinya kau dan kawan-kawanmu mencuri
barang-barangku dan sekarang tanpa diminta kau mengembalikannya!”
Si raja maling itu tersenyum dan menjura lagi. “Kami tidak tahu bahwa yang kami ambil
barangnya adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, bahkan kawan baik seorang
pendekar besar seperti Kang-lam Ciu-hiap, harap saja ji-wi sudi memberi maaf kepada kami.”
Gwat Kong yang telah berdiri bertanya dengan heran, “Eh, kau juga sudah mendengar
namaku?”
Lok Ban tersenyum. “Biarpun belum lama kau membuat nama besar, taihiap, akan tetapi kami
telah mendengarnya. Bahkan kami telah menyaksikan pula betapa kau telah mengalahkan
Ngo-heng-kun Ngo-hiap yang tangguh itu. Benar-benar membuat kami merasa tunduk!”
“Kau terlalu memuji, kawan,” kata Gwat Kong merendah.
“Untuk menebus kesalahan kawan kami, kami mengundang kepada ji-wi untuk datang
menghadiri sedikit perjamuan makan yang kami adakan untuk menghormati ji-wi dan
menyatakan maaf kami. Harap ji-wi tidak menolak.”
Kedua orang muda itu saling pandang dan sambil tersenyum, kemudian mereka mengikuti
Lok Ban yang ternyata membawa mereka ke kota Ki-ciu dan dalam sebuah rumah makan
terbesar telah berkumpul belasan maling-maling yang terbesar, di antaranya si botak yang
dulu mengambil barang-barang Tin Eng. Mereka menyambut Gwat Kong dan Tin Eng dengan
penuh penghormatan dan mempersilahkan mereka duduk di kursi kehormatan.
Gwat Kong dan Tin Eng dijamu dengan penuh penghormatan oleh Lok Ban si Tangan Seribu
dan kawan-kawannya, yakni seluruh anggauta perkumpulan maling. Kedua orang muda itu
setelah mulai makan, saling pandang dengan penuh keheranan, oleh karena masakan-masakan
yang dihidangkan luar biasa enaknya dan tidak kalah oleh hidangan-hidangan orang-orang
besar atau orang-orang hartawan.
“Masakan ini sedap sekali!” seru Tin Eng yang doyan makan hidangan lezat. “Saudara Lok,
bumbu apakah yang dipakai untuk masakan-masakan ini?”
Lok Ban si Tangan Seribu tersenyum-senyum senang mendengar pujian ini, dan kemudian
berkata dengan bangga,
“Lihiap, tidak sembarangan orang dapat menikmati masakan yang memakai bumbu dari
istana kaisar ini! Kami sengaja menggunakan sisa bumbu yang dulu kami ambil dari dapur
istana kaisar untuk membuat masakan ini dan menjamu ji-wi (kalian berdua)!”
Gwat Kong tertawa. “Jadi tanganmu sudah kau ulur demikian panjang sehingga sampai di
dapur istana kaisar?”
Lok Ban tersenyum lagi. “Hanya untuk mengambil bumbu ini Ciu-hiap! Kami tidak berani
mengambil barang-barang berharga. Oleh karena itu, kami tidak dikejar-kejar dan dimusuhi
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 97
oleh perwira-perwira kerajaan. Siapa yang mau meributkan soal kehilangan bumbu masakan?
Paling-paling hanya tukang masak istana saja ribut-ribut seperti terbakar jenggotnya!” Lok
Ban tertawa, membuat Gwat Kong dan Tin Eng juga tertawa geli.
Tiba-tiba Lok Ban yang tadinya tertawa-tawa itu berubah menjadi bersungguh-sungguh dan ia
berdiri dari kursinya. Melihat kepala maling ini berdiri, semua anggauta yang hadir di situ lalu
menghentikan percakapan mereka dan keadaan menjadi hening.
“Saudara-saudara sekalian,” katanya dengan suara nyaring. “Kalian tentu telah mendengar
nama Kang-lam Ciu-hiap yang biarpun baru saja membuat nama besar, akan tetapi telah amat
terkenal. Dengan kedua mataku sendiri, aku menyaksikan bagaimana Ciu-hiap
mempermainkan dan mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap yang lihai. Setelah kini Ciu-hiap
berada di tengah-tengah kita, mengapa kita tidak minta agar supaya Ciu-hiap memimpin kita?
Aku Lok Ban si Tangan Seribu, kalau dibandingkan dengan Kang-lam Ciu-hiap, menjadi Lok
Ban si Tangan Buntung.”
“Setuju ....! Setuju ...!” Kawan-kawannya berseru gembira oleh karena mereka ini telah
percaya sepenuhnya kepada Lok Ban sehingga apa saja yang diusulkan oleh si Tangan Seribu
ini mereka anggap baik dan tepat.
Lok Ban lalu menjura kepada Gwat Kong dan berkata,
“Ciu-hiap, sebagaimana telah kau dengar sendiri, maka kami mohon sudilah kiranya mulai
sekarang Ciu-hiap menerima pengangkatan sebagai Pangcu (ketua) kami dan memimpin kami
yang bodoh!”
Gwat Kong menjadi bingung dan terkejut mendengar ini. Dia hendak diangkat menjadi kepala
maling? Pemuda itu hanya duduk dengan mata terbelalak dan mulutnya ternganga, bengong
tak dapat menjawab, hanya memandang kepada Tin Eng dengan muka bodoh.
Gadis itu tertawa geli melihat keadaan ini dan teringat akan ucapan Gwat Kong bahwa
pemuda itu juga pernah melakukan pencurian uang untuk biaya perjalanan. Maka ia segera
menggoda,
“Mengapa kau merasa sangsi? Bukankah kau juga mempunyai kesukaan untuk mencuri
seperti yang kaukatakan tadi sebelum datang ke sini? Ha ha ha, kau memang pantas menjadi
raja maling!”
Gwat Kong hendak menegur, akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa keras dan tibatiba
sesosok bayangan orang melompat ke atas loteng di mana perjamuan para maling itu
diadakan. Bayangan ini adalah seorang pemuda tinggi besar yang bermuka hitam. Matanya
lebar dan hidungnya besar, sedangkanan dua telinganyapun lebar sehingga mukanya nampak
lucu akan tetapi membayangkan kebodohan, kekasaran dan kejujuran.
“Maling-maling berpesta pora di rumah makan dengan terang-terangan, Ha ha ha!
Pemandangan yang aneh! Sungguh lucu sekali kota Ki-ciu ini.”
Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang
besar itu bergerak-gerak, mukanya berdongak dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 98
Marahlah maling botak itu yang dulu mencuri barang-barang Tin Eng melihat kedatangan
orang muda yang mengejek mereka ini. Dengan gerakan yang amat gesit, menunjukkan
bahwa ginkangnya sudah tinggi, si botak ini lalu melompat ke depan pemuda tinggi besar itu
dan membentak,
“Bangsat, kurang ajar dari manakah berani mengejek kami?”
Pemuda muka hitam itu menghentikan suara ketawanya dan menundukkan mukanya, karena
ia jauh lebih tinggi sehingga ia harus menundukkan muka untuk dapat menentang wajah
lawannya. Akan tetapi oleh karena ia benar-benar tinggi, ketika menunduk, ia melihat botak
yang licin di kepala itu sehingga kembali ia tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha! Si botak ini apakah juga seorang maling? Ha ha! Aku berani bertaruh bahwa kau
tentu seorang maling ayam!”
Biarpun merasa marah melihat datangnya orang tinggi besar yang terang-terangan hendak
menghina mereka, akan tetapi mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang lucu ini, mereka
terpaksa tersenyum. Si botak marah sekali dan sambil berseru keras ia lalu memukul perut
pemuda muka hitam itu dengan tangan kanannya.
Gerakannya memang cepat sekali oleh karena si botak ini memang sengaja mempelajari
ginkang yang amat berguna bagi pekerjaannya sebagai maling. Ia dapat berlari-lari cepat,
dapat melompat dan berlari-lari di atas genteng dan gerakannya memang luar biasa cepatnya.
Akan tetapi, dalam hal ilmu berkelahi, ia tidak memiliki kepandaian yang tinggi.
Pemuda tinggi besar itu terkejut juga melihat kecepatan gerakan lawannya. Akan tetapi ketika
melihat datangnya pukulan yang tak berapa kuat itu, ia sengaja menerima pukulan itu dengan
perutnya sambil mengerahkan sinkangnya.
“Bukk!” Pukulan itu menghantam perut si pemuda. Akan tetapi yang dipukul tidak apa-apa,
sebaliknya yang memukul terhuyung ke belakang.
Si botak marah sekali dan menyerbu lagi dengan penasaran. Akan tetapi tiba-tiba pemuda
tinggi besar itu lalu mengulurkan tangan kanannya dan karena lengannya jauh lebih panjang,
sebelum si botak dapat memukulnya, ia telah dapat menahan tubuh lawan dengan menangkap
kepala botak itu dengan telapak tangannya yang lebar.
Dengan tangan menahan kepala lawannya yang botak, ia tertawa-tawa sedangkan si botak
berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan kepalanya. Kedua tangannya memukul-mukul ke
depan, akan tetapi karena lengannya jauh lebih pendek, pukulannya itu tidak mengenai tubuh
lawan.
Sambil memperdengarkan suara ketawa geli, pemuda tinggi besar itu lalu menggerakkan
tangan kirinya dan tahu-tahu belakang leher si botak telah ditangkap lalu diangkat. Kini kedua
kaki si botak tak menginjak tanah dan bergerak-gerak dalam usahanya untuk melepaskan diri.
Sungguh pemandangan yang amat lucu, karena si botak itu bagaikan seekor kelinci yang
dipegang pada telinganya. Tak dapat ditahan pula Tin Eng terkekeh-kekeh saking geli hatinya
melihat pemandangan yang lucu ini. Juga Gwat Kong tersenyum karena ia maklum bahwa
betapapun sombongnya, pemuda tinggi besar yang lihai itu tidak berhati kejam.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 99
Buktinya, setelah tertawa bergelak, ia melemparkan tubuh si botak ke depan sehingga maling
ini jatuh bergulingan tanpa menderita luka sedikitpun. Akan tetapi, pelajaran itu sudah cukup
membuat hatinya menjadi gentar dan ia tidak berani maju lagi.
Tentu saja peristiwa ini membuat wajah Lok Ban menjadi pucat karena orang telah
mengalahkan muridnya. Orang telah menghina pestanya, berarti menghina perkumpulan
maling di Ki-ciu dan menghina Lok Ban si Tangan Seribu. Dengan gerakan ringan ia
melompat dan menghadapi pemuda tinggi besar itu sambil berkata,
“Orang gagah dari manakah datang memancing keributan? Aku Jian-jiu Lok Ban si Raja
Maling di Ki-ciu selamanya belum pernah mengganggu orang luar daerahku, mengapa orang
lain tidak memandang mukaku?”
Ucapan ini dikeluarkan oleh Lok Ban bukan dengan maksud menyombongkan diri, akan
tetapi karena ia telah melihat kelihaian orang, maka ia memperkenalkan namanya yang sudah
banyak dikenal oleh semua orang gagah di sekitar dan di daerah Ki-ciu. Akan tetapi ia kecele
kalau menyangka bahwa pemuda itu sudah mengenal nama dan mengubah sikapnya, karena
setelah mendengar ucapannya itu, ia bahkan tertawa geli dan menjawab,
“Eeeh eh, memang aneh-aneh di Ki-ciu ini. Ada raja malingnya segala macam! Jadi kaukah
raja maling di Ki-ciu? Hmmm, kebetulan sekali, aku adalah nenek moyangnya maling, maka
kau seharusnya menyebut kong-couw (kakek buyut) kepadaku!”
Terlalu sekali, pikir Lok Ban dengan marah maka ia lalu berkata, “Baiklah, kau sengaja
mencari keributan. Apa boleh buat! Lihat pukulan!” Ia mulai menyerang dengan gerakan tipu
Pek-wa-hian-to (kera Mempersembahkan Buah Tho). Serangannya selain cepat juga
bertenaga kuat maka pemuda tinggi besar itu tidak berani main-main seperti ketika
menghadapi si botak tadi.
Ia mengelak ke kiri sambil menyampok dengan tangan kanannya. Kemudian dengan
menggeser kakinya merobah bhesi (kuda-kuda) dan membalas dengan serangan yang disebut
Thi-gu-keng-te (Kerbau Besi Meluku Tanah). Serangannya ini dilakukannya dengan tenaga
yang bukan main kuatnya sehingga Gwat Kong diam-diam berkata perlahan kepada Tin Eng,
“Dia seorang ahli gwakang (tenaga kasar)! Lok Ban takkan menang!”
12.
RAMALAN ini ternyata terbukti tak lama kemudian. Biarpun memiliki ilmu kepandaian silat
yang lumayan, akan tetapi ternyata ia kalah tenaga menghadapi pemuda raksasa itu. Tiap kali
pukulannya kena tangkis, tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke samping dan ia merasa
lengan tangannya yang tertangkis sakit sekali.
Sebaliknya, tiap kali pemuda itu menghantam, Lok Ban tidak berani menangkis, hanya cepat
mengelak mempergunakan kegesitan dan keringanan tubuhnya. Celaka bagi Lok Ban bahwa
ia tidak dapat menarik keuntungan dari kecepatannya, karena pemuda itupun cukup gesit dan
memiliki ketenangan dan gerakan yang tetap sehingga tidak gugup menghadapi kegesitan Lok
Ban.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 100
Setelah bertempur dua puluh jurus lebih, akhirnya pundak kanan Lok Ban kena di dorong
sehingga tubuhnya terpental dan kemudian roboh bergulingan menabrak kursi. Juga dalam
serangan ini ternyata bahwa pemuda tinggi besar itu tidak bermaksud kejam sehingga pundak
Lok Ban tidak terluka, hanya agak biru saja karena kerasnya tangan lawan. Lok Ban juga
maklum akan hal ini, maka ia merasa bahwa ia tidak akan menang melawan pemuda itu, lalu
sambil melirik kepada Gwat Kong, raja maling itu berkata,
“Anak muda, kau boleh menghina aku Lok Ban dan kawan-kawanku. Akan tetapi kau
sungguh keterlaluan karena perbuatanmu ini berarti tidak memandang maka kepada Kang-lam
Ciu-hiap!”
Gwat Kong maklum bahwa kini tuan rumah sedang berusaha untuk minta bantuannya.
Sementara itu Tin Eng juga merasa betapa pemuda itu memang agak keterlaluan, maka ia lalu
menggunakan sumpitnya untuk menjepit sepotong daging dan sekali ia menggerakan tangan,
daging itu melesat dengan cepatnya menuju ke arah muka pemuda itu.
“Tamu tak diundang rasakanlah sedikit daging!” seru gadis itu sambil tersenyum, dan kini
sumpitnya telah menjepit sepotong daging pula, siap menyusul serangan pertama kalau gagal.
Pemuda muka hitam itu terkejut melihat menyambarnya benda kecil itu dan maklum bahwa
orang hendak menghinanya, maka ia cepat miringkan kepala sehingga daging yang
dilemparkan oleh Tin Eng itu mengenai tempat kosong. Akan tetapi daging kedua telah
menyambar tepat di tempat pemuda itu membuang mukanya, maka hampir saja ia menjadi
korban sambaran daging. Untung ia masih berlaku cepat dan menundukkan muka.
Akan tetapi kini sambaran ketiga datang menyusul amat cepat. Kali ini yang menyambarnya
adalah sepotong bakso yang bundar bagaikan pelor. Pemuda itu kaget sekali karena tahu-tahu
bakso bundar itu telah mendekati mulutnya dan telah tercium baunya yang sedap. Ia
miringkan kepalanya, akan tetapi kurang cepat sehingga bakso itu masih menghantam daun
telinganya sebelah kanan.
“Kurang ajar!” serunya sambil memandang marah kepada Tin Eng dan Gwat Kong yang
tertawa bergelak, diikuti oleh suara ketawa semua orang yang hadir.
“Bukan salahku!” kata Tin Eng menyindir. “Mengapa telingamu besar amat? Kalau telingamu
tak sebesar itu, tentu takkan kena!”
Pemuda itu menggunakan tangan untuk menyusuti telinganya yang berlumur kuah dan
mendengar ejekan ini mukanya menjadi merah. Memang telinganya besar sekali, ini dapat ia
ketahui apabila ia meraba daun telinganya.
“Jangan berlaku seperti seorang pengecut!” teriaknya sambil membelalakkan matanya yang
besar.
“Menyerang orang secara menggelap. Sungguh patut dilakukan oleh seorang maling rendah!
Kalau mempunyai kegagahan majulah, aku tidak takut segala macam Pendekar Arak maupun
setan arak!” Ia sengaja menghina Kang-lam Ciu-hiap (Pendekar Arak Dari Kang-lam) karena
memang ia belum pernah mendengar nama ini.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 101
Gwat Kong merasa suka melihat pemuda itu, karena ia maklum bahwa betapa pun kasarnya
akan tetapi pemuda itu memiliki sifat-sifat baik, yakni jujur dan tidak kejam, juga ilmu
silatnya cukup baik. Setelah mengambil keputusan di dalam hatinya, Gwat Kong lalu berdiri
mendahului Tin Eng karena bila gadis itu yang menghadapi pemuda tinggi besar ini, tentu
keadaan akan menjadi rusak.
Gwat Kong lalu menghampiri pemuda itu lalu menjura, “Enghiong (orang gagah) dari
manakah dan siapa namamu? Kepandaianmu membuat kami merasa kagum!”
Akan tetapi pemuda itu yang masih marah karena telinganya disambar bakso, lalu menjawab
dengan pertanyaan pula sambil memandang tajam. “Apakah kau juga maling?”
“Buka matamu lebar-lebar!” seru seorang yang hadir. “Orang gagah itu adalah Kang-lam Ciuhiap!
Kau berani kurang ajar?”
“Hmm, jadi inikah Kang-lam Ciu-hiap yang disebut raja maling tadi? Tak berapa hebat! Dan
karena berkumpul dengan para maling, tentu Kang-lam Ciu-hiap juga maling!” kata pemuda
tinggi besar itu dengan beraninya.
Gwat Kong tersenyum. “Sesukamulah, boleh kau sebut apa saja. Akan tetapi, siapakah kau
dan mengapa kau datang-datang membikin ribut di sini?”
“Aku adalah seorang laki-laki sejati, bukan maling bukan perampok, tak pernah mengganti
she menyembunyikan nama. Aku datang tak disengaja ke rumah makan ini dan melihat
sekumpulan maling memilih ketua! Maling yang memperlihatkan diri di muka umum, bukan
maling lagi namanya, akan tetapi perampok-perampok jahat dan aku paling benci kepada
segala macam perampok!”
Gwat Kong tersenyum lagi. “Kau benar-benar orang gagah!” Kemudian ia berpaling kepada
semua yang hadir dan berkata, “Cuwi sekalian, kalau pemuda gagah ini menjadi pangcu, akan
bagus sekali.”
“Aku mau kau jadikan raja maling? Jangan menghina, akan kuhancurkan kepalamu!” seru
pemuda itu marah sekali sambil membelalakkan matanya.
“Apa kau berani melawan aku?” tanya Gwat Kong.
“Mengapa aku takut?”
“Bagaimana kalau kau kalah?” tanya pula Gwat Kong dan sengaja memperlihatkan sikap
memandang ringan.
“Ha ha ha! Aku yang kalah terhadap kau yang lemah ini? Kalau aku kalah, aku akan pai-kui
(memberi hormat sambil berlutut) kepadamu delapan kali dan mengangkat kau sebagai guru!”
“Tak usah, tak usah mengangkat guru, hanya satu permintaanku yakni kalau kau kalah dapat
kukalahkan dalam sepuluh jurus kau harus menurut segala perintahku!”
“Sepuluh jurus? Ha ha ha! Baik, baik, kalau aku kalah olehmu dalam sepuluh jurus, kau boleh
memerintahku apa saja, aku akan menurut.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 102
“Benar-benarkah?” Gwat Kong menegaskan. “Kau takkan melanggar janji?”
Pemuda itu marah sekali. “Ucapan seorang jantan lebih berharga dari pada sepuluh ribu tail
emas!”
Kemudian ia memandang dengan senyum menghina. “Dan bagaimana kalau kau kalah dan
tidak dapat menjatuhkan aku dalam sepuluh jurus?”
“Hmm, sesukamulah, apa yang kau minta?”
“Kalau kau kalah olehku, kau kugantungi papan di dadamu yang bertuliskan bahwa kau
adalah seorang maling besar di Ki-ciu, kemudian kau harus berjalan keliling kota setengah
hari lamanya!”
“Baik, baik!” kata Gwat Kong yang segera melangkah maju mendekati. “Nah, kau jagalah
pukulanku jurus pertama!”
Sambil berkata demikian Gwat Kong menyerang dengan pukulan tangan secara sembarangan
saja. Dengan tangan kanan ia menonjok dada Nyo Leng dengan perlahan sambil berseru,
“Jurus pertama!”
Melihat datangnya jotosan ke arah dadanya itu, Nyo Leng tersenyum mengejek dan tidak
mengelak. Bahkan mengangkat dadanya itu sambil mengerahkan tenaganya. Ia hendak
membuat Gwat Kong terpental seperti si botak ketika memukul perutnya tadi.
Akan tetapi ketika pukulan Gwat Kong yang dilakukan tangan kosong tiba di dadanya, Nyo
Leng berteriak kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi ia benar-benar kuat.
Biarpun Gwat Kong tadi telah memukul uratnya, ia tidak sampai roboh dan dapat menahan
rasa sakit pada dadanya lalu melompat sambil berseru marah untuk membalas dengan
serangan pukulan tangannya yang keras itu.
Diam-diam Gwat Kong merasa kagum melihat daya tahan pemuda ini, maka ia lalu
mengelakkan diri dari pukulan lawannya, lalu menyerang lagi sambil berseru,
“Jurus kedua!” Kali ini Gwat Kong menyerang dengan mendorongkan kedua tangannya ke
arah bahu kanan kiri lawannya dengan maksud untuk mendorong jatuh pemuda itu. Nyo Leng
tidak berani berlaku semberono lagi setelah tadi merasa betapa ampuhnya bekas tangan
lawan, maka kini melihat dua tangan Gwat Kong mendorongnya, ia lalu berseru keras dan
tiba-tiba iapun mendorongkan kedua lengannya memapaki lengan Gwat Kong.
Ternyata pemuda kasar itu hendak mengadu tenaga. Sepasang lengannya yang besar dan kuat
itu yang mengandung tenaga gwakang luar biasa besarnya bagaikan tenaga kerbau jantan,
meluncur cepat dan hendak menumbuk dua tangan Gwat Kong yang menyambar ke arah
kedua pundaknya.
Akan tetapi, Gwat Kong yang cerdik tidak mau mengadu tenaga dan begitu kedua tangannya
hampir bertumbukkan dengan kedua tangan lawan, ia lalu gerakan kedua tangan ke samping
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 103
dan ketika lengan lawan meluncur lewat, secepat kilat ia memegang pergelangan tangan
lawan dan sambil memiringkan tubuh ia menarik lengan Nyo Leng itu ke depan.
Tenaga dorongan Nyo Leng sudah besar bukan main, kini ditambah oleh tarikan Gwat Kong,
maka tidak dapat tertahan lagi, tubuh Nyo Leng terdorong ke depan dengan kerasnya
sehingga kalau saja ia tidak memiliki kecepatan dan berjungkir balik dengan tangan menepuk
lantai sedangkan kaki dilempar ke atas lalu membuat pok-sai (salto), tentu mukanya akan
beradu dengan tanah. Gerakan ini membuat kagum semua orang, karena sekali lagi Nyo Leng
memperlihatkan kekuatan dan kegesitannya.
Akan tetapi baru menghadapi dua jurus serangan Gwat Kong saja ia sudah hampir mendapat
kekalahan, maka kini Nyo Leng berlaku hati-hati sekali. Ia tidak mau mengadu tenaga dan
kini mulai bersilat dengan teratur dan tenang. Dengan baiknya ia dapat menjaga diri tanpa
mau membalas oleh karena ia maklum bahwa Kang-lam Ciu-hiap ini ternyata benar-benar
lihai bukan main, sehingga ia harus mencurahkan seluruh perhatian, tenaga dan
kepandaiannya untuk menjaga diri agar jangan sampai dapat dikalahkan dalam sepuluh jurus!
Benar saja, ia telah berhasl menghindarkan serangan-serangan Gwat Kong sampai jurus ke
tujuh. Akan tetapi tiba-tiba Gwat Kong mempergunakan ginkangnya yang tinggi sekali
sehingga Nyo Leng kehilangan lawannya! Selagi ia merasa bingung terdengar suara Gwat
Kong membentak,
“Jurus ke delapan!” Dan sebelum Nyo Leng dapat menjaga diri, jalan darahnya bagian Thianhi-
hiat telah kena ditotok oleh jari tangan Gwat Kong sehingga tiba-tiba ia merasa betapa
seluruh tubuhnya menjadi lemas. Akan tetapi Nyo Leng adalah seorang yang memiliki
kemauan dan semangat baja, sehingga biarpun seluruh tubuhnya lemas sekali, ia masih dapat
mempertahankan diri sehingga tidak roboh.
Gwat Kong merasa heran sekali dan menyangka bahwa totokannya tidak mengenai dengan
tepat, maka ia berseru,
“Jurus ke sembilan! Akan tetapi ia tidak jadi menyerang karena melihat lawannya sama sekali
tidak bergerak dan ketika ia mendorong perlahan kepada pundak Nyo Leng dan memulihkan
jalan darahnya. Pemuda itu lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Kang-lam Ciu-hiap benar-benar lihai dan hebat! Teecu (murid) Nyo Leng menerima kalah!”
Dengan girang Gwat Kong mengangkat bangun pemuda itu dan mengajaknya duduk bersama
di mejanya. Kemudian ia minta pemuda itu menuturkan riwayatnya.
Ternyata bahwa Nyo Leng adalah seorang yatim piatu yang semenjak kecil suka sekali
mempelajari ilmu silat. Akan tetapi ia paling suka mengadu kepandaiannya dengan orangorang
lain yang didengarnya memiliki kepandaian tinggi sehingga kepandaiannya makin
meningkat. Karena tiap kali kalah, ia lalu mengangkat guru kepada orang yang
mengalahkannya.
Biarpun ia kasar dan tidak cerdik, akan tetapi berkat sukanya belajar silat, ia memiliki
kepandaian yang lumayan juga. Ia merantau ke sana ke mari tanpa tempat tujuan tertentu dan
biarpun ia bodoh, akan tetapi ia amat jujur dan membenci kejahatan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 104
Mendengar riwayat pemuda ini, Gwat Kong lalu berkata, “Saudara Nyo, mulai sekarang kau
harus tinggal di Ki-ciu dan memimpin saudara-saudara ini!”
No Leng berdiri dan memandang kaget, “Apa? Benar-benar aku harus menjadi raja maling?
Ah, bagaimana aku bisa menjadi orang jahat?”
“Kau salah saudara Nyo. Kau bukan menjadi orang jahat, akan tetapi dengan adanya kau yang
mengawasi semua saudara ini, kau akan mencegah terjadinya kejahatan. Kau harus melarang
semua perbuatan sewenang-wenang dan harus mengadakan peraturan bagi semua anggauta.
Biarpun menjadi maling harus memakai aturan dan melihat siapa orangnya yang diganggu.
Para dermawan yang suka menolong orang, orang-orang kang-ouw yang kebetulan lewat di
kota ini, orang-orang miskin, pembesar-pembesar yang bijaksana dan adil, mereka ini tidak
seharusnya diganggu. Hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar kejam boleh diambil
hartanya.”
Nyo Leng memandang dengan wajah berseri. “Benar juga! Kalau aku dapat mengatur
sehingga maling-maling ini tidak berbuat sewenang-wenang, berarti aku telah menghalangi
kejahatan. Boleh-boleh! Aku terima jabatan ini sekarang juga!”
Gwat Kong lalu berkata kepada Lok Ban. “Saudara Lok, kau dan kawan-kawanmu tadi minta
kepadaku utk menjadi pangcu. Hal ini tak dapat kuterima oleh karena aku tak dapat tinggal di
tempat ini dan apakah artinya seorang pemimpin yang tidak berada di sini dan tidak
memimpin dengan langsung? Kalian telah melihat kepandaian saudara Nyo Leng ini yang
ternyata lebih tinggi dari pada kepandaian kalian. Maka sekarang jabatan yang tadi kalian
tawarkan kepadaku kuserahkan kepada saudara Nyo Leng ini. Harap kalian tidak menolak.”
Lok Ban dan kawan-kawannya menyatakan persetujuannya, oleh karena mereka maklum
bahwa pemuda muka hitam itu memang lebih lihai dari pada mereka. Dan juga bahwa
pemuda itu mempunyai hati yang baik, jujur dan tidak kejam. Maka, dengan gembira mereka
lalu merayakan pengangkatan ini dengan hidangan-hidangan baru.
Semenjak terjadinya pertempuran tadi, para tamu restauran ini telah pergi jauh-jauh karena
kuatir kalau-kalau terbawa-bawa sehingga keadaan di situ menjadi sunyi. Pesta berjalan
sampai jauh malam dan akhirnya Gwat Kong dan Tin Eng mengundurkan diri dan kembali ke
hotelnya.
****
Atas permintaan Tin Eng, Gwat Kong mengawani gadis itu menuju ke kota Hun-lam.
“Di sana aku mempunyai seorang paman, yakni kakak dari ibuku,” kata gadis itu. “Aku
pernah pergi ke sana bersama ibu ketika masih kecil dan kalau tidak salah, pamanku seorang
hartawan besar yang baik hati.”
Perjalanan dilakukan tanpa tergesa-gesa dan di sepanjang jalan, Tin Eng mendapat petunjukpetunjuk
dari Gwat Kong dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berlatih dalam ilmu silat
tangan kosong dan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Tin Eng pernah mempelajari ilmu pedang
ini dengan amat tekun dan rajinnya dan walaupun yang dipelajarinya hanyalah salinan yang
kurang sempurna, akan tetapi pengetahuannya cukup untuk dijadikan dasar.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 105
Maka kini setelah mendapat petunjuk dan latihan-latihan dari Gwat Kong, ia mulai dapat
merobah permainannya dengan ilmu yang asli, sehingga ia memperoleh kemajuan yang pesat
sekali. Juga dalam hal ilmu lweekang, ia mendapat petunjuk-petunjuk menurut pelajaran
dalam kitab aslinya.
Hubungan mereka makin erat dan kini mereka bukan bersikap sebagai dua orang sahabat
karib. Biarpun dari mulut mereka tak pernah mengeluarkan ucapan yang menyatakan betapa
perasaan hati mereka, akan tetapi pandangan mata mereka telah mewakili hati masing-masing.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kota Hun-lam. Kota ini cukup besar dan ramai,
dan karena iklimnya sedang, maka banyak pengunjung dari luar kota datang bertamasya ke
situ.
Terutama sekali di sebelah barat kota terdapat sebuah telaga yang indah, yakni telaga Oei-hu
di mana banyak pelancong menghibur diri di atas perahu.
Sungguhpun Tin Eng telah lupa lagi di mana letak rumah pamannya. Bahkan telah lupa lagi
akan wajah orang tua itu, karena dulu ketika mengunjungi tempat ini ia baru berusia lima
tahun. Akan tetapi karena ia mengerti nama pamannya, mudah saja mereka mencari gedung
dari Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (hartawan Lie) oleh karena Lie-wangwe adalah
hartawan yang paling ternama di kota itu. Bukan hanya kekayaannya, akan tetapi karena ia
terkenal sebagai seorang dermawan.
Ketika Tin Eng bersama Gwat Kong diterima oleh Lie-wangwe, Tin Eng sama sekali
pangling melihat pamannya itu. Sebaliknya Lie Kun Cwan juga memandang heran karena ia
tidak pernah bertemu dengan gadis cantik dan pemuda yang gagah itu. Memang ada
persamaan antara mata orang tua itu dengan ibunya, demikian Tin Eng berpikir dengan
terharu karena ia melihat betapa wajah pamannya ini nampak seakan-akan ia sedang berada
dalam kedukaan besar.
Dengan ramah tamah Lie-wangwe mempersilahkan kedua tamunya yang muda itu mengambil
tempat duduk, kemudian dengan tenang ia berkata,
“Ji-wi (kalian berdua) ini siapakah dan keperluan apakah yang ji-wi bawa?”
“Peh-peh, apakah benar-benar aku berhadapan dengan Lie peh-peh (uwa Lie)?” tanya Tin Eng
sambil berdiri.
“Aku benar bernama Lie Kun Cwan, akan tetapi, .... siapakah nona?”
Sementara Tin Eng lalu menjura, “Ah, Lie peh-peh! Lupakah kau kepada Tin Eng?”
Untuk sejenak Lie-wangwe yang juga bangkit berdiri itu memandang dengan heran,
kemudian ia berseru,
“Apa...?? Kau ... Tin Eng anak Liok Ong Gun ...?”
“Benar, peh-peh dan apakah selama ini peh-peh dan peh-bo baik-baik saja?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 106
Mendengar pertanyaan ini tiba-tiba air mata menitik turun dari kedua mata orang tua itu. Tin
Eng terkejut dan segera bertanya,
“Ada apakah, pek-hu? Apakah yang terjadi?” tanyanya kuatir.
“Peh-bomu .... telah meninggal dunia tiga bulan yang lalu ...”
“Ah ...” Tin Eng mengeluh dengan hati terharu. Lalu keponakan dan paman ini saling tubruk
di antara hujan air mata. “Bagaimana peh-bo bisa meninggal dunia, peh-peh ...?” tanya Tin
Eng di antara tangisnya.
“Dia menderita sakit jantung ... tak dapat diobati lagi ...” Orang tua ini menarik napas
panjang. Lalu berkata sambil mengelus-elus rambut Tin Eng. “Akan tetapi semua itu telah
menjadi takdir Thian Yang Maha Kuasa .... harta benda tak dapat menghibur hati orang yang
berduka. Tak dapat menahan nyawa yang telah dipanggil oleh Thian! Sudahlah, keringkan air
matamu, Tin Eng. Tangismu hanya membuat aku merasa pilu.”
Tin Eng lalu duduk kembali di kursinya dan mengeringkan air matanya dengan sapu
tangannya.
“Nah, sekarang ceritakanlah keadaanmu, nak. Kau datang dari mana dan mengapa seorang
diri saja? Dan kawanmu ini siapakah? Apakah ayah-ibumu baik-baik saja?
Baru saja Tin Eng mengeringkan airmatanya, akan tetapi kini mendengar pertanyaan ini, ia
menangis lagi. Tangisnya bahkan lebih sedih lagi sehingga tubuhnya terisak-isak dan ia
menggunakan sapu tangan untuk menutupi mukanya. Gwat Kong menggeleng kepalanya dan
menghela napas. Ia merasa ‘bohwat’ (kehabisan akal) menyaksikan pertunjukkan tangis
menangis ini.
Kini Lie-wangwe yang nampak terkejut dan segera bertanya mengapa keponakannya itu
menangis sedemikian sedihnya. Dengan terisak-isak Tin Eng menceritakan kepada pamannya
betapa ia hendak dipaksa menikah oleh orang tuanya dan karena ia tidak suka, maka ia lalu
melarikan diri.
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm, tidak seharusnya kau membikin susah
hati orang tuamu, Tin Eng. Seorang anak wajib menurut sebagai seorang anak berbakti
terhadap orang tuanya.”
“Akan tetapi, pek-hu, kalau hendak dijodohkan dengan seorang yang tak ku suka, apakah aku
harus menurut saja?” tanya Tin Eng penasaran dan pamannya tersenyum.
“Aah, beginilah kalau anak perempuan pandai ilmu silat. Kabarnya kau memiliki ilmu silat
yang tinggi sekali, melebihi ayahmu! Benarkah?”
Tin Eng diam saja dan menundukkan kepalanya.
“Sudahlah, jangan kau berduka. Urusan ini akan kucoba damaikan dengan orang tuamu. Kau
tinggallah di sini untuk sementara waktu. Hitung-hitung menghibur hati pamanmu. Hidupku
sunyi sekali semenjak bibimu meninggal. Aku seorang bernasib malang, tidak mempunyai
anak, dan isteri meninggal dunia dalam usia belum tua, Aaah ... biarlah kau menjadi seperti
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 107
anakku sendiri, Tin Eng. Aku akan menulis surat kepada ayah-ibumu minta agar mereka tidak
terlalu memaksa.”
“Terima kasih, pek-hu.”
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments