- Pedang Ular Merah 1
- Pembakaran Kuil Thian Lok Si
- PEDANG SINAR EMAS 9 TAMAT
- PEDANG SINAR EMAS 8
- Pedang Sinar Emas 7
- Pendekar Sinar Emas 6
- Pedang Sinar Emas 5
- Cersil Laris Pedang Sinar Emas 4
- Cersil Mandarin Hebring Pedang Sinar Emas 3
- Cersil Anyar Pedang Sinar Emas 2
- Pedang Sinar Emas 1
- Pedang Keramat Thian Hong Kiam
- Ouwyang Heng-Te 2 Tamat
- Ouwyang Heng-Te 1
- kun lun Hiap Kek
- Naga Merah Bangau Putih
- Mestika Golok Naga 3 Tamat
- Mestika Golok Naga 2
- Mestika Golok Naga 1
Jilid 3
UNTUK mempercepat waktu, ia melakukan perjalanan naik kuda dan sengaja memilih kuda
yang baik dan kuat. Ia membalapkan kudanya dan mengaso untuk makan atau tidur saja dan
juga kadang - kadang untuk memberi kesempatan kepada kudanya makan rumput dan
beristirahat sejenak.
Jalan yang dilaluinya amat sunyi, karena sebagaimana telah dituturkan di depan, tidak
ada orang yang berani melewati jalan yang menjadi daerah operasi perampok tunggal Sin
kiam-koai- jin itu! Akan tetapi piauwsu itu merasa girang dan juga heran sekali karena
sampai beberapa hari kemudian, ia tidak melihat tanda - tanda adanya gangguan dari Sinkiam
koai-jin. Ia mempercepat larinya kuda dan sebelas hari kemudian ia telah tiba di
hutan terakhir, sudah dekat dengan dusun Tiang.seng an di kaki gunung Fu niu !
Biarpun hari telah mulai senja Lai piauwsu tidak menghentikan kudanya yang sudah lelah.
Hatinya berdebar girang dan ia ingin sekali lekas lekas keluar dari hutan itu. Kalau
saja la bisa sampai di dusun yang ditujunya pada sore hari itu. Alangkah mujurnya !
Akan tetapi, tiba-tiba kudanya berjingkrak aneh dan ketika ia memandang, la melihat di
depan kudanya berdiri seorang yang kurus dan tinggi, berpakaian sutera hitam dan
mukanya ditutup pula dengan sutera hitam sampai di bawah matanya ! Benar-benar
merupakan iblis yang mengerikan!
Lai Siong Te menjadi pucat dan cepat ia melompat turun dari kudanya yang berjing-krak
ketakutan itu. Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat kepada orang berpakaian hitam
dan berkedok hitam pula itu.
"Mohon maaf apabila siauwte mengganggu sahabat !* katanya dengan sikap merendah sekali,
dan sungguhpun ia dapat menduga bahwa iblis inilah tentunya yang disebut sin-kiam koai
jin akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu. "Siauwte takut kemalaman dan hendak
melanjutkan perjalanan ke dusun Tiang seng-an di luar hutan.'*
Tiba tiba orang berkedok itu tertawa bergelak dan suara ketawanya terdengar aneh, parau
dan tinggi. Kemudian orang itu bicara dengan hidung dipencet !
"Ha. ha, ha. ! Lai Siong Te, kaukira aku tidak tahu siapa kau dan apa perlumu lewat di
tempat ini ? Lekas kautinggalkan bungkusan patung itu, atau kautinggalkan kepalamu
Boleh kau pilih!” Sambil berkata demikian, orang itu mencabut pedangnya dan silaulah
mata Lai Siong Te melihat pedang yang bercahaya terang. Tak salah lagi, pikirnya dengan
hati berdebar-debar, inilah dia Sin-kiam koai jin !
"Maaf" katanya, "sungguh tajam pandangan matamu. Akan tetapi sesungguhnya siauwte tidak
tahu siapakah sebenarnya orang gagah yang berdiri di hadapanku ?"
Orang itu menyabet-nyabetkan pedangnya sehingga terdengar suara suitan nyaring sekali.
"Kau lihat pedang ini ? Nah, terkalah siapa aku!"
"Apakah kau yang disebut Sin-kiam koai jin?”
Orang itu tertawa kembali, "Dan kau berani lewat di sini tidak takut kepada Sin kiam
koai jin? Sungguh besar nyalimu, orang she Lai!"
"Harap saja koai-hiap jangan mengganggu siauwte,"Lai piauwsu mencoba membela diri.
"Yang siauwte bawa hanyalah sebuah patung yang harus di pasang di kuil Thian - hok -
si. Karena patung suci ini siauwte bawa dengan melakukan tugas yang mulia, maka siauwte
tidak mengambil jalan memutar, harap saja koai hiap sudi memaafkan."
"Orang cerewet ! Tak usah banyak membuka mulut, lekas kautinggalkan patung itu dan
pergi dari sini " Kembali Sin-kiam-koai-jin menggerakkan pedangnya. Melihat gerakan
pedang yang cepat dan berkilat itu tahulah Lai piauwsu bahwa ia bukanlah lawan orang
yang tinggi ilmu silatnya itu. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengalah dan
memberikan patung itu kepada Sin-kiam koai-jin.
Bagi seorang yang menghendaki kemajuan dalam pekerjaannya, syarat terutama baginya
ialah menaruh rasa cinta dan hati setia kepada pekerjaan yang dipegang atau
dllakukannya.Terutama bagi seorang seperti Lai Siong Te yang bekerja menjadi piauwsu.
Pekerjaannya sebagai pelindung barang barang yang diantar atau dikawalnya membuat ia
harus sanggup melindungi barang barang itu dengan keras kalau perlu mempertaruhkan
nyawanya. Oleh karena inilah maka ia menjadi seorang piauwsu yang ternama dan dipercaya
oleh mereka yang mengirimkan barang - barang berharga. Gin-houw Piauwkiok (Perusahaan
ekspedisi macan perak) amat disegani dan mendapat kepercayaan penuh oleh karena semua
orang tahu bahwa bagi Lai Piauwsu, barang barang yang dilindunginya baru dapat terampas
darinya apabila kepalanya telah terlepas dari tubuhnya atau nyawanya telah meninggalkan
tubuhnya !
Kini dalam tugasnya mengantarkan sebuah patung Buddha ke kuil Thian - hok si, ia telah
diganggu oleh Sin kiam-koai jin yang minta patung itu dengan paksa, tentu saja ia tidak
mau menyerah begitu saja dan ketika penjahat berkedok itu menyerangnya ia cepat
mengelak dan mencabut goloknya yang telah lama menjaga nama perusahaan ekspedisinya.
Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Sin-kiam koai jin itu luar biasa cepatnya
dan karena pedang di tangan penjahat itupun pedang pusaka yang luar biasa, sebentar
saja Lai piauwsu terdesak hebat. Piauwsu ini maklum akan ketajaman pedang lawan, maka
seberapa bisa ia menghindarkan goloknya beradu dengan pedang lawan. la telah memiliki
pengalaman dalam pertempuran-pertempuran besar dan dengan mengandalkan ketenangan dan
kegagahan tangannya, untuk beberapa lama ia masih dapat mempertahankan diri. Akan
tetapi, piauwsu ini maklum pula bahwa pertahanan ini takkan berlangsung lama. Pedang di
tangan Sin - kiam koai jin sangat cepat gerakannya dan merupakan gulungan sinar pedang
yang mengelilingi tubuhnya dan menjepitnya sehingga tiada jalan keluar lagi baginya.
“Sin kiam-koai hiap, kalau kau berkeras hendak menggangguku biarlah aku mengorbankan
nyawaku sebagai seorang piauwsu sejati!" Lai piauwsu dengan gemas sekali dan memutar
goloknya dengan sekuat tenaga dan gerakannya biarpun tidak cepat namun mengandung
tenaga yang lemas dan kuat. inilah ilmu golok Lo - han to yang merupakan ilmu golok
mempertahankan diri yang kuat sekali.
"Lai Siong Te manusia goblok ! Kau hendak menukarkan nyawamu dengan patung ? Ha ha ha,
mampuslah !" Sambil berkata demikian, penjahat berkedok itu cepat menyerang dengan
sebuah tusukan kilat ke arah leher Lai piauwsu, Lai Siong Te mengelak ke kiri, akan
tetapi dengan gerakan cepat sekali Sin-kiam koai jin telah menyusulkan dua serangan,
yakni tangan kanan yang memegang pedang menyabet ke arah leher sedangkan tangan kiri
didorongkan ke depan.
Lai Siong Te menjadi terkejut sekali. Dorongan tangan kiri itu mengeluarkan angin yang
memukul di bagian dalam dadanya maka cepat ia melempar diri ke kanan dan terpaksa
menyabetkan goloknya untuk menangkis bacokan lawan pada lehernya.
"Traang!" Sekali saja beradu, golok di tangan Lai Siong Te telah putus menjadi dua!
"Ha, ha, ha! Lai Siong Te, kau masih tidak mau memberikan patung itu!"
"Kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat merampas patung ini!”jawab
piauwsu yang gagah itu.
"Orang gila ! Kalau begitu mampuslah!" Pedang yang berkilat itu menyambar, Lai Siong Te
tak dapat mengelak lagi, maka piauwsu ini dengan mata dipentang lebar-lebar menanti
datangnya maut. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan hitam yang panjang bagaikan
seekor naga menyambar dan menangkis pedang itu. Terdengar suara keras sekali dan bunga
api berpijar. Sin kiam koai jin berseru kaget dan melompat mundur. Tangkisan tadi
membuat pedangnya terpental ke belakang! Lai Siong Te menengok. Ia melihat seorang
wanita tua sekali berdiri dengan tongkat panjang di tangan. Tongkat dari kayu biasa
yang agak kemerahan warnanya, bengkak bengkok dengan kepala berbentuk seperti naga.
Nenek tua ini rambutnya sudah putih seluruhnya, pakaiannya seperti pakaian pertapa,
berwarna putih dengan garis leher hitam. Biarpun ia sudah nampak tua, dengan rambut
putih dan keriput di mukanya, namun mukanya masih kemerah-merahan dan terutama sekali
sepasang matanya tajam bukan main mengeluarkan pengaruh yang menakutkan.
'Siluman wanita dari manakah berani berlaku kurang ajar terhadap Sin-kiam-koai-hiap?*
bentak penjahat berkedok itu dan matanya di balik kedok sutera hitam itu bersinar-sinar
merah.
'Bocah she Ang, kali ini benar benar kau tersesat jauh. Bukankah suhumu sudah memberi
peringatan terakhir ? Pergilah dan minta ampun kepada suhumu karena kalau kau
melanjutkan kesesatanmu, aku Li Bi Hong tidak akan ragu-ragu untuk mewakili gurumu
melenyapkan kau dari permukaan bumi !" kata nenek tua itu dengan suara berpengaruh. Lai
Siong Te melihat betapa penjahat itu menjadi terkejut dan suaranya berobah ketika tahu
siapa nenek itu terdengar suara,
“Jadi kau orang tua yang disebut Pat jiu Toanio Li Bi Hong? Suhu seringkali menyebutnyebut
namamu sebagai seorang tua yang sangat bijaksana dan pendekar besar, akan
tetapi,mengapa sekarang kau hanya merupakan seorang nenek tua yang jail dan suka
menyampuri urusan orang lain! Pat jiu Toanio Li Bi Hong, apakah kaukira aku Ang Koan
takut kepadamu? Aku mengingini patung yang dibawa oleh Lai Siong Te, apakah hubungannya
hal ini dengan kau orang tua!"
Li Bi Hong tersenyum mengejek dan heranlah hati Lai piauwsu ketika melihat betapa nenek
itu masih mempunyai gigi penuh dan kuat! "Ang Koan," kata nenek itu, "suhumu sendiri,
Lui-kong-jiu Keng Kin Tosu tidak berani bicara demikian kurang ajar terhadap aku yang
ia anggap sebagai saudara tua. Kau sebagai murid satu-satunya telah tiga kali diberi
peringatan dan banyak menyusahkan hati orang tua itu, akan tetapi kau tidak sadar
bahkan makin tersesat! Sudah menjadi kewajibanku untuk memberi hajaran kepadamu,
bagaimana kau anggap aku jail? Pula, tentang patung ketahuilah, hai bocah lancang!
Patung itu dibawa oleh Lai piauwsu yang setia untuk diserahkan kepada kuil Thian-hok si
di kaki gunung Fu niu, dan tahukah kau siapa yang berada di kuil itu? Akulah orangnya
yang membangun kuil itu dan aku yang berhak menerima patung itu. Kau mau bicara apa
lagi sekarang ?"
Tidak saja Sin kiam Koai jin yang terkejut mendengar keterangan ini, bahkan Lai Siong
Te semenjak tadi sudah tertegun. Ia sudah lama mengenaI dan mendengar nama orang-orang
yang terkenal sebagai tokoh tokoh persilatan tingkat tinggi seperti Pat jiu Toanio dan
Lai-kong jin, sungguhpun ia belum pernah melihat orangnya. Lebih-lebih heran dan
terkejutnya bahwa patung itu ternyata harus diserahkan kepada ketua Thian Hok si yang
bukan lain adalah Pat Jiu Toanio sendiri!
Akan tetapi Sin kiam Koai jin memiliki keberanian luar biasa. Ia tidak takut kepada Pat
jiu Toanio dan biarpun sudah mendengar keterangan tersebut, namun ia masih merasa
sayang kalau harus melepaskan patung itu, setelah tadi hampir saja patung itu dapat
dirampasnya. Sambil berseru nyaring, tiba tiba dengan cara yang sangat pengecut sekali
tanpa memberi peringatan lebih dulu, ia bergerak cepat dan mengirim serangan kilat ke
arah nenek tua itu.
Lai piauwsu menjadi terkejut sekali, akan tetapi tidak demikian halnya dengan nenek
yang diserang itu. Dengan tenang nenek itu lalu mengangkat tongkat merahnya dan sekali
saja ia menggerakan tongkat dengan perlahan, pedang Sin - kiam Koai-Jin telah dapat
dibentur kembali. Sebelum AngKoan dapat mengetahuinya, tongkat yang bagaikan naga hidup
itu luar biasa cepatnya telah mendorongnya sehingga tepat mengenai dadanya dan
membuatnya terhuyung - huyung ke belakang !
"Ang Koan, itu baru peringatan pertama. kau kembalilah ke Heng san dan minta ampun
kepada suhumu!”
Akan tetapi tanpa menjawab, Ang Koan yang menjadi makin marah itu lalu menyerang lebih
hebat lagi, dengan gerak tipu yang disebut membabat rumput Membunuh Ular! Serangan ini
begitu lihainya, karena pedang yang berkilauan itu menyambar-nyambar dan bertubi-tubi
membabat ke atas dan ke bawah, mengancam kedua kaki dan pinggang nenek itu.
"Hm, kau mengeluarkan tipu - tipu yang paling sadis untuk membunuhku? Bocah lancang
jangan kau mengimpi!" Tiba - tiba tubuh nenek itu berkelebat cepat dan tubuhnya telah
melompat ke atas bersandarkan tongkatnya yang tertancap di tanah sehingga pedang
berkali kali membacok tongkat dan mengeluarkan suara keras. Akan tetapi sama sekali
tongkat itu tidak bergeming ! Bahkan, dari atas nenek itu lalu mengebutkan ujung lengan
bajunya ke arah kepala Ang Koan ! Hebat sekali pukulan ini karena angin pukulannya saja
membuat pakaian Lai piauwsu yang berdiri jauh menjadi berkibar. Apalagi Ang Koan yang
terkena pukulan langsung. Kepalanya terasa disambar petir dan untuk kedua kalinya
terhuyung-huyung ke belakang.
"Nah, itu peringatan kedua kali dan yang terakhir!" kata Pat-jiu Toanio. "Kembalilah ke
Heng-san atau mati di sini, tinggal kau pilih!"
"Siluman perempuan! Siapa takut mati!" tiba-tiba Sin-kiam koai jin menyerbu lagi dengan
pedangnya. Akan tetapi Pai-jiu Toanio yang sudah menurunkan kakinya di atas tanah,
memegang tongkat itu pada ujungnya dan mendahului lawannya menusuk ke depan. Tongkat
itu jauh lebih panjang dari pada pedang dan digerakkan dengan cepatnya maka sebelum
pedang di tangan Ang Koan dapat mengenai nenek itu, lebih dulu ujung tongkat telah
menotok dadanya.
"Duk!* suara beradunya ujung tongkat dengan dada ini perlahan saja akan tetapi akibat
hebat sekali. Sin kiam Koai- jin Ang Koan terlempar ke belakang sampai satu tombak
lebih, pedangnya terlepas dari pegangan, kemudian ia roboh tak berkutik lagi. Ternyata
sekali totokan saja nyawanya telah melayang meninggalkan raganya!
Pat jiu Toanio Li Bi Hong menghela napas panjang dan mengomel.
"Terlalu sekali kau, Ang Koan, telah memaksaku melakukan pembunuhan ! Biarlah kau
terbebas dari siksa dan derita dunia!"
Nenek ini lalu berpaling kepada Lai Siong Te yang telah menjatuhkan diri berlutut di
depannya. "Lai piauwsu kau urus baik-baik jenazah Ang Koan ini. Aku telah mendengar dan
menyaksikan kegagahan serta kesetiaanmu. Berikan kepadaku patung itu !"
Lai piauwsu tidak ragu-ragu lagi dan segera mengeluarkan patung kecil yang indah dan
berat itu. Terbelalak matanya ketika nenek itu memutar kaki patung, karena segera
terbukalah sebuah lubang rahasia di bawah patung dan keluarlah emas besar yang gemilang
cahayanya. "Ah, benda macam ini yang membuat manusia-manusia beriman lemah menjadi mata
gelap !”
Lai Siong Te benar - benar tidak mengira bahwa patung itu sebenarnya menyembunyikan
emas yang demikian banyaknya. Pantas saja amat berat, pikirnya dan pantas saja Sin.
kiam Koai jin menghendakinya.
"Lai-piauwsu bukalah kedoknya dan ambil pedangnya itu !” nenek itu memerintah.
Ketika Lai Siong Te membuka kedok sutera yang menutup muka Ang Koan, kembali ia
terkejut sekali, wajah penjahat yang tampan itu ternyata telah cacad mengerikan, yaitu
hidungnya telah copot dan bolong! Ia bergidik, mengambil pedang dan kembali menghampiri
Pat jiu Toanio yang dipandangnya dengan mata mengandung penuh pertanyaan.
"Dulu dia adalah anak yang baik" kata nenek itu yang maklum akan tuntutan pandang mata
Lai piauwsu. 'la adalah murid tunggal dari Lui - kong jim (Tangan Dewa Geledek) Keng
Kin Tosu di Heng-san. Akan tetapi setelah tamat pelajarannya, ia minggat turun gunung,
melakukan segala macam kejahatan yang hebat. Keng Kin Tosu telah tiga kali memberi
peringatan dan yang terakhir malah ia memotong hidung murid itu akan tetapi ternyata
dia lebih suka mati dari pada menjadi orang baik-baik! Sayang sekali!" Ia memandang
pedang yang berkilauan di tangannya.
"Pedang baik! Hui - liong - kiam yang ampuh" katanya pula. "Sayang terjatuh dalam
tangan seorang berhati rendah. Lai piauwsu, terimalah pedang ini sebagai tanda terima
kasihku kepadamu. Kau seorang gagah dan jujur lagi setia, maka kau berhak menerima
pedang ini.”
"Akan tetapi, teecu tidak memiliki kepandaian tinggi, apa artinya pedang pusaka sebaik
ini berada dalam tangan teecu?" Lai-piauwsu membantah dan merendahkan diri.
"Lai piauwsu, sampai di manakah tinggi rendahnya kepandaian? Sedikit kepandaian
ditambah kejujuran dan kebersihan hati jauh lebih tinggi nilainya dari pada banyak kepandaian
yang terbenam dalam lumpur kesombongan dan kejahatan. Terimalah Hui liong-kiam
ini dan apabila kelak kau anggap tidak perlu lagi kau memegangnya, boleh kau sampaikan
atau berikan kepada seorang gagah yang kau pandang patut memegangnya." Setelah berkata
demikian, tubuh nenek tua itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata Lai Siong Te.
Piauwsu ini menghela napas dengan kagum, lalu mengubur jenazah Ang Koan, kemudian
membawa pedang itu kembali ke rumahnya.
"Demikianlah, Sim taihiap, aku selalu merasa tidak puas bahwa pedang yang demikian
baiknya berada di dalam tanganku yang kurang pandai menggunakannya. Apalagi semenjak
kecil aku lebih biasa memainkan golok dari pada pedang. Hari ini secara kebetulan aku
dapat bertemu dengan kau yang muda, gagah dan bijaksana. Oleh karena itu, pedang ini
kuserahkan kepadamu dengan ikhlas dan tentu takkan mendapat teguran dari Pat - jiu
Toanio Li Bi Hong karena tindakanku ini sudah cukup tepat.
Akhirnya Tiong Han tak dapat menolak pemberian pedang Hui liong kiam itu, apalagi
setelah ia mendengar penuturan tentang asal-usul pedang itu. Dari suhunya ia pernah
mendengar nama-nama seperti Pat . jiu Toanio Li Bi Hong juga Lui kong jiu Keng Kin Tosu
di Heng - san adalah sahabat baik suhunya, ia menghaturkan terima kasihnya dan sampai
dua hari ia tinggal di rumah Lai piauwsu.
Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanannya mencari adiknya untuk minta kembali pedang
pusaka Ang coa-kiam. Hatinya menjadi lega setelah memiliki pedang Hui liong-kiam oleh
karena ia maklum bahwa tanpa pedang pusaka di tangannya, sukarlah baginya untuk
mengimbangi kelihaian Ang-coa-kiam pedang ular merah itu!
Sekarang marilah kita menengok keadaan Tiong Kiat, adik kembar dari Tiong Han, pemuda
berilmu tinggi yang telah tersesat ke jalan kejahatan itu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan terjadi perpecahan dalam hubungan antara
Tiong Kiat dan Kui Hwa, karena gadis ini merasa cemburu. Di dalam pertempuran, Tiong
Kiat telah berhasil melukainya dan kemudian pemuda ini melarikan diri dari Kui Hwa.
la berlari dengan cepat. Untuk beberapa lama hatinya merasa kecewa dan juga berduka
harus berpisah dari Kui Hwa. Semenjak turun gunung, ia melakukan perjalanan berdua
dengan sumoinya atau kecintaannya itu dan selalu bergembira. Akan tetapi kini ia harus
melakukan perantauan seorang diri.
Namun, beberapa hari kemudian, timbul lagi kegembiraannya, bahkan ia kini merasa
seperti seekor burung yang terbang bebas terlepas dari ikatan. Kalau dulu dengan adanya
Kui Hwa disampingnya, ia selalu masih harus membatasi diri, takut-takut dan mengalah
terhadap kekasihnya yang amat cemburu. Akan tetapi sekarang tanpa ada seorangpun yang
akan melarangnya, nafsu jahat yang menguasai diri pemuda sesat ini makin meluap dan
membuat lupa daratan. Ia boleh melakukan apa saja tanpa ada orang yang akan
menghalanginya !
Tak lama kemudian, di dunia kaum hek-to (jalan gelap atau penjahat) muncullah seorang
penjahat muda yang amat menggemparkan dengan perbuatan - perbuatannya yang rendah dan
ganas. Penjahat muda ini selalu memperkenalkan perbuatannya dengan lukisan sebuah
pedang, bukan lain pedang Ang coa kiam, karena penjahat ini memang Sim Tiong Kiat
adanya. Kalangan kang ouw menjadi gempar pula setelah beberapa orang gaga yang hendak
menangkapnya tidak saja gagal, bahkan menderita luka oleh pedang Ang coa-kiam.
Perbuatan apakah yang dilakukan oleh Tiong Kiat ? Bukan lain adalah pengumbaran nafsu
jahatnya, menjadi penjahat jai-hwa-cat (pemetik bunga) pengganggu anak bini orang dan
apabila ia sedang membutuhkan uang, ia selalu mengambilnya dari peti uang hartawan
hartawan. Tiap kali ia mengganggu rumah orang, selalu ia membuat gambar di atas tembok.
Gambar ini dibuatnya dengan mengguratkan pedangnya dalam tembok, melukis sebatang
pedang lalu menambahkan tiga buah huruf "Ang Coa Kiam" di bawah pedang itu ! Di dalam
kesombongan dan kesesatannya Tiong Kiat telah menggila dan tidak ragu-ragu ataupun
takut-takut lagi untuk mempergunakan nama pedang pusaka yang namanya menjadi benda
keramat dari Kim.liong-pai itu!
Biarpun Tiong Kiat telah bertemu dengan banyak wanita cantik namun diam-diam di sudut
hatinya ia tidak dapat melupakan gadis yang dulu dijumpainya terluka di dalam hutan.
Gadis yang telah ditolongnya akan tetapi yang kemudian menjadi korban nafsu jahatnya
pula. la tidak dapat melupakan EngEng gadis yang belum diketahui siapa namanya dan dari
mana datangnya itu. Entah bagaimana, ia selalu terbayang dan terkenang kepada gadis itu
dengan hati berkasihan dan juga rindu. Baginya, tidak ada seorangpun di antara para
wanita itu yang memiliki daya penarik lebih tebal dari pada gadis di hutan rimba itu.
Di dalam perantauannya, ia mengharap-harapkan untuk bertemu dengan gadis itu. Kalau ia
bisa menjadi istriku dan selama hidup berada di sampingku, aku takkan perdulikan lagi
lain perempuan, pikir Tiong Kiat dalam rindunya. Tanpa disadarinya pemuda ini telah
jatuh hati dan mencintai Eng Eng, gadis yang telah dipatahkan hatinya, yang telah
dihancurkan hidupnya, gadis yang kini sedang merantau, mencari-cari untuk membalas
dendam. Ia tidak tahu betapa setiap kali duduk melamun, Eng Eng menggigit-gigit
bibirnya dan bersumpah di dalam hatinya untuk menghancurkan kepala laki laki yang telah
merusak hidupnya itu! Kalau saja Tiong Kiat tahu siapa Eng Eng dan apa yang kini
terkandung dalam hati gadis ini, mungkin ia akan merasa takut dan ngeri!
Pada suatu hari, Tiong Kiat tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai sungai Yang-ce
di propinsi Hopak. Ketika ia memasuki kota tak seorangpun akan mengira bahwa dia adalah
Ang Coa Kiam, nama julukan penjahat muda yang amat ditakuti orang itu. Tiada orang akan
mengira bahwa pemuda yang tampan dan lemah lembut seperti putera bangsawan ini adalah
penjahat yang suka mengganggu anak bini orang dan suka melakukan pencurian besarbesaran?
Pakaiannya berwarna biru dan terbuat dari sutera mahal dan halus. Bajunya
dihias dengan pinggiran berwarna kuning emas dengan sulaman yang indah sedangkan rambut
di kepalanya yang hitam terbungkus dengan kain kepala yang berwarna kuning dan bersih
sekali. Pedang Ang-coa kiam tersembunyi di bawah bajunya, hanya tampak ujungnya sedikit
menonjol di bawah baju. la cakap sekali dalam pakaian yang mahal ini.
Dengan muka gembira dan mata berseri-seri, Tiong Kiat berjalan di sepanjang jalan raya
dalam kota I-kiang. Ia sedang gembira, kantongnya penuh uang. Ia tidak butuh uang dan
tidak perlu mencuri di kota ini. Ia ingin beristirahat dan menghibur diri, maka begitu
masuk ke kota, ia lalu menyewa kamar dalam hotel terbesar di kota itu, kemudian
bertanya kepada pelayan hotel dimana terdapat tempat pelesiran di kota itu.
Pelayan itu memandangnya sambil tertawa gembira. "Kongcu agaknya baru datang dan belum
pernah datang ke kota ini? Kebetulan sekali kalau begitu, karena kedatangan kongcu di
Kota ini tidak rugi ! Di sini terdapat tempat pelesiran yang amat indah, kongcu. Dan
keindahan tempat itu sudah terkenal sampai ke kota raja !"
*Eh, kau bicara dalam rahasia, lopek,” kata Tiong Kiat kepada pelayan setengah tua itu.
"Katakan sajalah, di mana adanya tempat itu dan apakah keindahannya?"
"Di sebelah barat dalam kota ini, kongcu. Di bagian sungai yang membelok. Di situ
dijadikan tempat pelesiran yang indah sekali dan banyak orang dari luar kota datang
sengaja untuk bermain perahu sambil menikmati arak I-Kiang dan mendengarkan nyanyian
bidadari bidadari I-Kiang."
"Apa katamu ? Bidadari - bidadari I-Kiang, siapakah mereka itu?"
Kembali senyum gembira bermain di bibir pelayan itu.
"Aah, benar-benar kongcu telah menyia-nyiakan hidup dan masa mudamu ! Siapa orangnya
yang belum pernah mendengar bidadari-bidadari I-Kiang? Kalau belum pernah mendengar
suara nyanyian mereka, sedikitnya tentu telah mendengar akan nama mereka."
Pelayan itu lalu menuturkan dengan gerakan kaki tangan, ia merasa girang sekali dapat
menuturkan semua itu kepada seorang tamu muda yang nampaknya tampan dan kaya raya
karena ia mengharapkan hadiah besar. Menurut penuturan pelayan ini, ternyata bahwa di
kota itu memang terdapat tempat pelesiran sebagaimana yang disebutkan tadi.
Air sungai Yang-ce masuk ke dalam kota itu dengan aliran perlahan karena banyak
tikungan. Dan karena sungai itu amat lebarnya, di sepanjang pantainya dibangunlah oleh
orang-orang kaya tempat-tempat peristirahatan yang indah. Banyak orang berpelesir, di
atas air naik perahu - perahu yang banyak disewakan orang di tempat itu. Air yang
tenang membuat tempat itu merupakan tempat sunyi untuk bersenang diri memancing ikan.
Disamping keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini, yang merupakan daya penarik
terbesar agaknya adalah rumah kapal milik Cia-ma, seorang janda tua yang kaya. Rumah
ini didirikan di atas air, yakni di pinggir sungai itu dan bentuknya seperti kapal
besar. Kalau orang berada di tingkat atas dan memandang ke arah air sungai Yang-ce yang
mengalir perlahan, orang akan merasa seakan-akan sedang berada di atas perahu besar.
Keindahan rumah inipun sesungguhnya tidak akan mendatangkan banyak pelancong dari luar
kota, akan tetapi terutama sekali adalah "bidadari-bidadari" yang menjadi anak angkat
Cia ma ! Sebetulnya semenjak ditinggal mati oleh suaminya dengan peninggalan beberapa
ratus tail perak, janda tua ini tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak mempunyai anak
dan akhirnya ia lalu bekerja sebagai penghibur para pelancong. Dibelinya budak-budak
belian, yakni wanita wanita muda yang cantik, diajarnya gadis gadis itu menari dan
bernyanyi atau mainkan alat musik, kemudian ia dapat menarik hati dan isi saku para
pelancong yang datang di tempat itu.
Sebentar saja Cia ma telah dapat mengumpulkan banyak uang, akhirnya ia dapat mem-bangun
sebuah rumah kapal di tepi sungai Yang ce. Telah banyak gadis gadis cantik datang dan
pergi dari rumahnya. Datang sebagai budak belian dan kalau kebetulan gadis itu bernasib
baik, maka akan datang seorang hartawan yang suka kepadanya dan menebusnya dengan
bayaran tinggi untuk dijadikan bini muda.
Pada waktu itu, di antara anak-anak angkat Cia ma, yang paling terkenal adalah tiga
orang gadis yang dibelinya dari selatan. Gadis ini amat cantik, pandai menulis dan
bersisir, pandai menari, bernyanyi dan menabuh musik. Oleh karena itu, tidak mudahlah
bagi seorang laki laki untuk dapat menghibur hati mendekati tiga bunga peliharaan Cia
ma ini. Cia ma tidak sembarangan mengeluarkan tiga bunga peliharaannya ini kalau tidak
dengan bayaran yang amat tinggi. Dipasangnya tarip-tarip tertentu untuk tiga orang
gadis ini, terutama sekali gadis pertama yang bernama Li Lan. Untuk dapat melihat waiah
cantik Li Lan dan melihatnya menari di depan mata? Keluarkan uang lima belas tail perak
! Mau mengajak Li Lan duduk di satu meja dan menemani minum arak? Keluarkan dua puluh
lima tail ! Menyuruh gadis ini membunyikan kim sambil bernyanyi di samping anda ?
Keluarkan lima puluh tail ! Dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, siapakah yang
kuat membayar uang sebanyak itu untuk bersenang-senang dengan Li Lan ? Hanya orangorang
yang betul - betul kaya. Dan si kaya inipun belum tentu berani, karena Li Lan
telah disanjung-sanjung dan menjadi pujaan banyak pejabat dan bangsawan, Seringkali
terjadi perebutan perhatian dari Li Lan oleh dua orang hartawan sehingga timbul
permusuhan yang mendalam antara mereka. Dan orang-orang tolol ini tidak tahu bahwa di
belakang mereka, Li Lan yang diperebutkan itu mentertawakan mereka.
"Akan tetapi, kongcu, tidak sembarang orang berani mengunjungi rumah kapal itu kecuali
mereka yang mempunyai banyak emas dan perak." Pelayan hotel itu melanjutkan
penuturannya.
Selama ia bercerita, Tiong Kiat mendengarkan dengan hati tertarik.
"Mengapa begitu, lopek ?" tanyanya. "Bukankah tempat itu menjadi tempat hiburan umum."
'Di sana Cia - ma merupakan orang yang amat berpengaruh. Selain dia mempunyai sahabat
sahabat di antara pembesar, juga dia mempergunakan tenaga tiga orang jagoan yang
bertugas menjaga keamanan. Banyak sudah laki-Iaki yang berani menggoda bidadaribidadari
itu padahal kantongnya kosong, telah dihajar oleh jagoan-jagoan di rumah kapal
dan dilemparkan keluar dari pintu !*
Makin tertarik hati pemuda itu mendengar cerita ini. Sebuah rumah pelesiran yang aneh
pikirnya. Pada sore harinya ia lalu keluar dari hotel dan menuju ke tempat pelesiran di
pinggir pantai sungai Yang ce itu.
Benar saja di situ ramai sekali, penuh dengan orang-orang yang hilir mudik, berpelesir
dengan perahu dan ada pula yang hanya duduk di pinggir pantai. Memang hari itu begitu
ramainya, karena malam nanti bulan akan keluar sepenuhnya. Betul-betul tempat wisata.
Segala macam terdapat di situ dijual orang. Menara-menara yang mungil bangunan-bangunan
yang indah, bahkan terdapat pula sebuah kelenteng kecil di ujung kiri! Dan yang paling
menonjol serta menarik perhatian, adalah sebuah rumah berbentuk kapal. Itulah rumah
kapal dari Cia ma yang diceritakan oleh pelayan tadi !
Tiong Kiat berjalan mendekati rumah kapal itu. Benar saja di depan pintu nampak sebuah
meja besar di mana duduk berkeliling tujuh orang laki-laki kelihatan galak dan kuat. la
tidak tahu yang manakah tiga orang jagoan yang menjadi kepala penjaga. Ketika ia sedang
berjalan di dekat rumah kapal itu, terdengar suara tertawa merdu. la cepat menengok ke
atas dan di tingkat atas nampak duduk beberapa orang gadis cantik dengan pakaian mewah
sedang tertawa-tawa dan bercakap cakap. Untuk sesaat Tiong Kiat memandang ke arah
mereka, akan tetapi hatinya kecewa ! Penuturan pelayan tadi terlampau dilebih-lebihkan.
Lima orang gadis yang duduk di atas itu biarpun tak dapat disangkal berwajah cantik,
namun tidak cukup menarik bagi Tiong Kiat. Muka mereka ditutupi bedak tebal dan pemerah
bibir dan pipi bagaikan anak-anak wayang yang hendak tampiI ke depan panggung!
Lenyaplah seketika keinginan hatinya tadi yang hendak mengunjungi rumah kapal itu. Ia
menjadi sebal dan dibelokkan kakinya menuju ke tempat perahu - perahu yang disewakan.
(Selanjutnya tidak bisa terbaca)
Ia lalu menyewa sebuah perahu dan mendayung perahunya dengan gembira, akan tetapi
kegembiraannya tidak berlangsung lama. Biarpun tempat itu makin ramai dikunjungi orang,
namun Tiong Kiat menjadi bosan. Diantara sekian banyak wanita yang berada disitu tak
seorangpun yang terlihat cantik dalam pandangan matanya dan membuat ia tidak tertarik
sama sekali. Sial baginya, ternyata dalam kota ini tidak ada tempat yang indah. Dengan
kecewa ia lalu mendayung perahunya ke pinggir dengan kesalnya hendak kembali ke hotel
dan tidur agar besok dapat melanjutkan perjalanannya pagi-pagi.
Akan tetapi tiba - tiba gerakan tangannya yang mendayung perahu menjadi tertahan. Ia
mendengar bunyi musik mengiringi suara nyanyian yang luar biasa merdunya. Ada tiga
suara wanita yang bernyanyi bersama, akan tetapi biarpun tiga suara itu sama merdunya,
tetap saja ada satu suara yang menggerakkan hati, lekukan suara dan gayanya berbeda
dengan yang lain. Tak terasa lagi Tiong Kiat mendekatkan perahunya ke arah rumah kapal,
karena dari situlah keluarnya suara nyanyian itu.
Sambil duduk di atas perahunya yang sudah menempel pada tepi sungai, Tiong Kiat duduk
termenung mendengarkan nyanyian itu. Alangkah merdunya, alangkah halusnya napas yang
terdengar menyelingi suara nyanyian. Tentu cantik sekali orang yang mempunyai suara
merdu ini, pikirnya. Namun tetap saja ia masih merasa ragu-ragu untuk masuk ke rumah
itu, takut kalau-kalau ia akan kecewa. Bagaimana kalau wajah penyanyi itu buruk dan
tidak menarik seperti gadis-gadis yang tadi dilihatnya ? Siapa tahu kalau-kalau yang
bernyanyi ini seorang diantara mereka itu?
Suara nyanyian berhenti, akan tetapi musiknya masih terus berbunyi. Tiba-tiba Tiong
Kiai melihat betapa semua mata memandang ke atas rumah kapal dan terdengar pujian penuh
kekaguman, ia pun menengok dan apa yang dilihatnya membuat hatinya berdebar-debar tidak
karuan. Ia melihat tiga orang gadis menjenguk dari jendela kamar rumah kapal dan
melambai-lambaikan tangan kepada orang orang di bawah yang mengagumi mereka. Mereka ini
nampaknya seperti puteri puteri kerajaan yang melambai kepada rakyat yang menghormat
mereka, padahal mereka ini bukan lain adalah bunga-bunga hidup dari Cia ma yang
mendapat sebutan tiga bidadari dari I-Kiang! Biarpun tiga orang gadis ini benar-benar
cantik jelita dan tidak penuh bedak mukanya seperti lima orang gadis lain yang
dilihatnya tadi, namun Tiong Kiat tak akan menjadi terpesona kalau saja ia tidak
melihat seorang di antara mereka yakni yang berdiri di tengah. Tak salah lagi, pikir
Tiong Kiat, itulah gadis yang dulu dijumpainya di dalam rimba raya! Itulah gadis yang
pernah ditolongnya, pernah diganggunya dan juga selama ini tak pernah Ienyap dari
bayangan ingatannya!
Memang sesungguhnya gadis itu yang bukan lain adalah Li Lan, memiliki wajah yang banyak
persamaannya dengan wajah Suma Eng atau Eng Eng! Hanya bedanya adalah sinar mata dan
tarikan bibir mereka. Kalau sinar mata Eng Eng mengandung kegagahan dan membayangkan
kekerasan hati, adalah sinar mata Li Lan mengerling-ngerling dengan genit dan memikat
hati. Kalau bibir Eng Eng selalu nampak membayangkan keangkuhan hatinya, hanya indah
kalau sedang tersenyum atau tertawa saja, adalah bibir Li Lan tak pernah ditinggalkan
senyum menantang!
Bukan main girangnya hati Tiong Kiat ketika ia melihat gadis ini. Dengan cepat ia lalu
meninggalkan perahunya, membayar tukang perahu dengan royal sekali, kemudian setelah
membetulkan letak pakaiannya yang mewah dengan tindakan kaki lebar ia menghampiri rumah
kapal itu.
Penjaga-penjaga pintu yang tadi duduk di situ kini telah ramai bermain maciok dan
permainan ini diselingi oleh suara tertawa mereka yang riuh gembira. Dengan tindakan
tenang tiong Kiat naik anak tangga dan memperhatikan mereka, hendak terus memasuki
pintu. Akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka melompat dan berdiri di depan
pintu menghadangnya.
"Perlahan dulu, kongcu," kata-katanya cukup sopan karena penjaga ini dapat melihat
pakaian orang yang mewah. "Agaknya kongcu orang baru dan sudah menjadi peraturan kami
bahwa setiap pendatang baru harus memberitahukan nama, kedudukan dan memperlihatkan isi
sakunya!"
Tiong Kiat maklum bahwa untuk menundukkan manusia-manusia kasar ini tidak cukup dengan
memperlihatkan uang belaka. Tanpa memperlihatkan kepandaiannya, mereka tentu akan
berusaha memerasnya dan akan berani pula menghinanya. la tidak ingin kegembiraannya
terganggu oleh pertentangan. Sambil tersenyum ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan
tujuh potong uang perak yang kecil akan tetapi cukup berharga dan berkata,
“Jangan khawatir, aku bukan seorang pelit, Lihat !” Sambil berkata demikian tangan yang
menggenggam tujuh potong uang itu bergerak ke arah meja. Bagaikan tujuh butir peluru
perak potongan-potongan uang itu meluncur cepat dan menancap di atas meja yang keras !
Tentu saja tujuh orang penjaga itu menjadi tertegun dan untuk beberapa lama mereka
menatap wajah pemuda yang tampan, kaya dan gagah ini. Akan tetapi kepala penjaga yang
berkumis jarang masih belum puas. Dia adalah seorang jagoan yang ditakuti orang,
biarpun tamu yang memiliki kedudukan tinggi selalu akan bersikap menghormat kepadanya
dan bicara dengan manis budi. Kini melihat si pemuda asing ini datang-datang
memperlihatkan kepandaian dan tenaganya, tentu saja hal ini tidak menyenangkan hatinya,
sungguhpun ia tidak dapat menjadi marah karena pemuda ini telah memperlihatkan
keroyalannya. Orang ini she Ma dan disebut Ma kauwsu (guru silat she Ma) karena memang
dia dulunya bekerja sebagai seorang guru silat, di samping dua orang sutenya yang
disebut Cin - kauwsu dan Kwee kauwsu. Tiga orang guru silat inilah yang menjadi tiga
jagoan, kepala dari penjaga rumah kapal.
Ma kauwsu tersenyum dan menghampiri meja. la menggerakkan tangan kanannya sambil
mengerahkan tenaga dan sekali ia menarik uang yang menancap di atas meja itu, tujuh
potong perak itu telah berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lalu menghampiri
Tiong Kiat dan berkata. “Kongcu, pertunjukanmu bagus sekali, tetapi dihadapanku
pertunjukan itu tak berarti apa-apa dan tidak cukup untuk dijadikan modal menakut -
nakuti kami! Kami dapat menerima hadiahmu yang royal, akan tetapi tidak bisa menerima
sikap jagoan dari siapapun juga. Lihat, apakah artinya potongan-potongan perak yang
empuk ini?" Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga dan meremas tujuh potong
perak di tangannya itu dan ketika ia membuka kembali tangannya, ternyata bahwa tujuh
potong perak itu telah menjadi satu merupakan segumpal perak yang tidak karuan
bentuknya! Tiong Kiat tersenyum mengejek, panas juga hatinya. Akan tetapi tetap saja ia
tidak mau membikin ribut karena ia ingin sekali bertemu dan bergembira dengan gadis
yang disangka Eng Eng itu.
“Bagus sekali, sobat," katanya "Tenagamu kuat seperti tenaga kerbau. Akan tetapi yang
kau remas adalah benda mati, kukira kalau dipergunakan untuk meremas benda hidup tidak
ada gunanya sama sekali !"
“Begitu pendapatmu ? Benda hidup apa kiranya?" tanya Ma kauwsu dengan hati geli karena
mengira bahwa pemuda yang hanya mengerti sedikit ilmu silat ini benar benar buta tidak
dapat melihat betapa ia memiliki tenaga Thlat se- ciang ( Bubuk Pasir Besi ) !
"Benda hidup seperti...... tanganku ini misalnya I" jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan
tangan kanannya yang berkulit halus dan putih seperti tangan wanita.
Terdengar suara ketawa riuh rendah karena tujuh orang penjaga itu semua tidak tahan
untuk tidak tertawa geli.
"Kongcu jangan kau main-main!* kata seorang penjaga. “Tangan Ma twako itu dapat memukul
pecah kepala harimau dengan sekali pukul seperti yang dilakukan oleh Bu Siong (pendekar
ternama dahulu kala) dapat meremas besi sampai hancur dan tadipun dengan sekali remas
saja tujuh potong uang perak sampai menjadi segumpal apa lagi tanganmu yang halus ? Ah,
hati-hati kongcu, kalau tanganmu rusak bukankah para bidadari di atas akan menjadi
kecewa dan marah kepada kami !”
"Betul kata kawanku itu, kongcu. Aku tidak ingin menyombong, akan tetapi janganlah
menantangku untuk meremas tanganmu yang halus ini !" kata Ma-kauwsu, karena
sesungguhnya iapun tidak suka mencelakakan langganan baru yang royal dan nampaknya kaya
ini.
Akan tetapi sudah tetap dalam hati Tiong Kiat bahwa orang ini harus ditundukkannya.
Maka sambil tersenyum la lalu mengeluarkan lima potong uang perak lagi dari sakunya.
"Ma-twako,” katanya kepada Ma kauwsu sambil memandang wajah guru silat tersebut, “Mari
kita bertaruh sedikit. Biarkan kau remas sekuatnya, kalau sampai aku kesakitan, kau
boleh ambil uang perak ini. Namun bila tidak, janganlah kalian membantah apa yang
kuperintahkan!”
Ma kauwsu memandang kepada kawan-kawannya dan mereka menganggap bahwa pemuda yang
tampan ini tentu agak miring otaknya, akan tetapi ia tetap tidak ambil pedului dan
berpikir untuk memberi pelajaran kepada kongcu ini. Lumayan, lima potong perak bukan
sedikit pikirnya. Dipegang sedikit saja pemuda ini tentu akan berkaok-kaok kesakitan.
“Baiklah, akan tetapi kalau sampai kesakitan jangan menyalahkan kepadaku.”
“Tentu saja tidak " jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangannya. "Nah, kauremaslah
yang keras!'
Ma kauwsu lalu menjabat tangan pemuda ini dan mulai memencet dengan sedikit tenaga.
“Jangan ragu-ragu, Ma-twako, yang keraslah!" kata Tiong Kiat ketika merasa betapa
pencetan itu tidak bertenaga sama sekali.
Ma kauwsu menjadi penasaran dan kini ia mulai mengerahkan tenaga Thiat se-ciang, akan
tetapi tetap saja pemuda itu tidak kelihatan menderita sakit, bahkan kembali menyuruh
ia mempergunakan tenaganya ! la lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan memeras
sekuatnya dan tiba-tiba ia terkejut sekali. Tangan yang halus itu tiba-tiba menjadi
licin dan lemas sekali seperti kapas ! Terkejutlah hatinya karena ia maklum bahwa
pemuda ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki Iweekang yang tinggi. Ini
tentulah ilmu jui-kut kang (ilmu melepaskan tulang dan melemaskan tubuh) yang lihai.
Cepat ia mengendorkan remasannya karena takut kalau-kalau tenaga Thiat se ciang akan
terbentur kembali dan melukai tangannya sendiri. Akan tetapi terlambat ! Tiba-tiba
Tiong Kiat mengeluarkan serangan dengan tenaga Iweekeng dan sekarang dialah yang
meremas tangan guru silat yang kasar dan besar itu.
Terdengar Ma kauwsu menjerit kesakitan seperti kerbau disembelih. Tangan kanannya
terasa panas, sakit dan kaku. Ketika Tiong Kiat melepaskan tangannya, tangan Ma kauwsu
menjadi merah dan bengkak !
“Masih belum mengenal orang?" Tiong Kiat membentak dan kini ia berdiri bertolak
pinggang dengan sikap yang gagah sekali.
Ma kauwsu dan keenam orang kawan-kawannya berdiri terbelalak saking heran dan
terkejutnya. Terutama sekali Ma kauwsu, Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu menjadi terheranheran.
Melihat betapa mereka masih terheran-heran dan agaknya menduga-duga siapa dia,
timbul kesombongan Tiong Kiat. Dicabutnya pedangnya dan berkatalah dia,
"Masih belum juga mengenal pedang ini? Ataukah harus kalian rasakan dulu ketajamannya?"
Melihat sinar merah dan bentuk pedang itu pucatlah muka ketiga orang kepala penjaga ini
"Ang coa kiam......." bisik Ma kauwsu dan serta merta dia dan kedua orang adiknya
menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Kiat ! Empat orang anak buah mereka juga
menjadi terkejut dan cepat berlutut.
"Maafkan kami yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata
taihiap, ampunkaan kekurangajaran kami kepada taihiap karena kami tidak mengenal
taihiap."
"Sudah, tak perlu banyak peradatan ini." kata Tiong Kiat sambil menyarungkan pedangnya
kembali. "Ma - twako, kau boleh ambil uang itu untuk membeli obat tanganmu dan ingat
kalau aku berada di sini. jaga jangan memperbolehkan orang lain masuk. Mengerti ?"
"Baik, taihiap, baik!" jawab tujuh orang penjaga yang sudah ditundukkan itu.
Pada saat itu pintu terbuka dari dalam dan seorang wanita tua yang pakaiannya masih
mewah sekali keluar. Nenek ini memandang kepada Tiong Kiat dengan penuh perhatian dan
keningnya berkerut ketika ia melihat betapa para penjaganya berdiri di hadapan Tiong
Kiat dengan kepala tunduk dan sikap menghormat sekali.
"Siapakah kongcu yang tampan ini?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Cia - ma
sendiri.
"Kongcu ini adalah Ang........"
Akan tetapi kata-kata Ma kauwsu ini diputuskan oleh jawaban Tiong Kiat yang cepat
mengerling tajam kepadanya. Pemuda ini menjura kepada Cia ma dan berkata.
"Aku adalah seorang pelancong bernama Tiong Kiat, she Sim. Tadi ketika aku berperahu,
aku mendengar suara nyaring yang amat merdu dan kemudian melihat tiga orang bidadari
ada diatas. Hatiku tergoncang dan ingin sekali aku belajar kenal dengan mereka, atau
lebih tepat lagi, dengan yang berbaju hijau.”
Wanita itu tersenyum. "Ahh, kongcu maksudkan Li Lan? Masuklah, Sim kongcu. Kebetulan
sekali belum ada tamu dan tentu Li Lan anakku akan suka berkenalan dengan kongcu yang
tampan !"
Mereda berdua masuk ke dalam dan pintu ditutup lagi.
"Kongcu ingin bertemu dengan Li Lan, bunga cantik di daerah Ini ? Ah, kongcu beruntung
sekali mendapat kesempatan ini, karena biarpun kongcu akan menjelajah di seluruh
Propinsi Hopak, takkan mungkin kongcu bertemu dengan gadis secantik Li Lan! Akan
tetapi, apakah yang kongcu kehendaki ? Melihat dia menari ? Mendengarkan dia bernyanyi?
Ataukah kongcu ingin minum arak bersama dia sambil mendengarkan dia mainkan kim ? Yang
pertama dapat dilaksanakan dengan pembayaran lima belas tail, yang kedua dua puluh lima
tail dan yang ketiga lima puluh tail. Yang mana kongcu kehendaki ?"
Sambi tersenyum Tiong Kiat merogoh saku bajunya sebelah dalam. Ia mengeluarkan uang dan
menaruh uang itu di atas meja, di depan Cia ma. Nenek itu membelalakkan matanya dan
tiada habisnya ia menatap tumpukan uang di atas meja itu. Bukan lima belas tali perak,
atau lima puluh tail perak, akan tetapi lima potong uang emas yang harganya lebih dari
tiga ratus tail perak yang bertumpuk di atas meja, berkilauan cahayanya membuat silau
pandangan mata nenek yang mata duitan ini.
"Ambillah uang itu, Cia ma. Akan tetapi dengar keinginanku. Aku ingin semua bidadari
yang berada di dalam rumah kapal ini menghiburku dengan tari-tarian dan nyanyian ! Dan
Li Lan menemaniku minum arak dan berada di sini. Hanya aku seorang yang mendapat
hiburan, tidak boleh ada orang lain. Mengerti ?*
Nenek ini mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam yang makan padi. "Baik.
baik, kongcu. Malam ini hanya kongcu seorang yang akan mendapat hiburan di sini. Tiada
orang lain!" Nenek itu lalu berlari-lari ke dalam setelah menyaur uang itu dari meja.
Terdengar ia berteriak - teriak memanggil semua anaknya dan sebentar saja ruangan itu
penuh dengan gadis - gadis yang jumlahnya semua ada empat belas orang! Akan tetapi
Tiong Kiat tidak memperdulikan mereka semua, karena pandangan matanya hanya tertuju
kepada seorang, yakni gadis berbaju hijau, Li Lan yang mirip sekali dengan Eng Eng!
Li Lan telah diberi tahu oleh Cia-ma betapa royal dan kayanya pemuda itu dan ketika ia
menyaksikan dengan mata bintangnya betapa tampan dan gagah pemuda yang hendak
berkenalan dengannya, senyumnya melebar dan sinar matanya gembira.
"Selamat datang, kongcu. Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan besar bagiku telah
mendapat perhatian kongcu yang budiman." Suara ini terdengar merdu bagaikan musik yangkim
dan pada saat Tiong Kiat baru sadar bahwa gadis ini bukan gadis yang dulu
ditolongnya di dalam rimba. Akan tetapi ia menjadi girang juga, karena Li Lan memiliki
wajah serupa dengan gadis yang ditolongnya itu, bahkan tidak kalah cantiknya dan malah
jauh lebih manis dan menarik.
Tanpa malu-malu lagi karena memang sudah biasa, Tiong Kiat melangkah maju dan memegang
tangan Li Lan yang halus. Tercium olehnya bau harum semerbak dari rambut gadis itu yang
membuat hatinya menjadi makin mabok.
Cia - ma sibuk memberi perintah agar hidangan yang lezat dikeluarkan, arak yang paling
baik berikut daging yang paling empuk. Kemudian para gadis itu lalu mengambil alat
musik dan sebentar saja ruangan itu berobah menjadi tempat pesta yang meriah. Ada yang
menari, bernyanyi dan Tiong Kiat makan-minum ditemani oleh Li Lan yang makin lama makin
menarik hatinya.
Demikianlah, pemuda yang tersesat ini dilayani seperti seorang raja muda di tempat itu.
Belum pernah ada tamu yang demikian dihormati seperti Tiong Kiat dan hal ini tidak
aneh, Cia-ma puas hatinya karena mendapatkan uang sekian banyaknya, adapun gadis gadis
itu gembira sekali dapat melayani seorang pemuda yang tampan dan gagah, berbeda dengan
para pembesar, tua - tua bangka yang sesungguhnya menyebalkan hati mereka ! Para
penjaga, Ma kauwsu dan kawannya, patuh sekali terhadap perintah Tiong Kiat. Mereka
tidak memperkenankan siapa saja memasuki rumah kapal itu, biarpun yang hendak masuk itu
hartawan atau pembesar yang sudah menjadi langganan tetap.
"Menyesal sekali," kata Ma kauwsu terhadap mereka. "malam hari ini tidak menerima tamu,
karena tempat ini telah diborong oleh seorang pelancong."
Biarpun hati mereka kecewa namun mereka tidak berani membantah dan pulanglah mereka
dengan hati mengkal. Siapakah orangnya yang begitu kurang ajar berani memborong tempat
itu ?
Akhirnya bukan mereka saja yang mendongkol dan gelisah. Juga Cia ma menjadi sibuk
sekali pikirannya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lama sekali tidak mau
keluar lagi dari rumah kapal ! Sudah tiga malam Tiong Kiat berada di tempat itu, dan
pemuda ini masih saja belum mempunyai keinginan meninggalkan Li Lan ! Akan tetapi
bagaimana Cia-ma berani mengusirnya ? Pemuda itu royal sekali, tiap hari mengeluarkan
uang emas dan lebih-lebih lagi gelisahnya hati Cia - ma ketika mendengar dari para
penjaganya bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang - coa - kiam yang telah tersohor
namanya !
Sebaliknya, Li Lan dan kawan - kawannya sama sekali tidak merasa kecewa. Mereka bahkan
senang sekali melayani pemuda yang selain tampan dan gagah, juga royal sekali membagibagi
hadiah itu. Li Lan nampaknya suka sekali dan tak dapat berpisah dari Tiong Kiat,
demikian pula pemuda itu telah tergila-gila kepada Li Lan. Bukan karena kecantikan Li
Lan atau pandainya mengambil hati, akan tetapi terutama sekali karena wajah Li Lan
hampir sama dengan wajah Eng Eng, gadis yang dulu ditolongnya dan yang diam-diam
dicintainya itu.
Betapapun juga akhirnya persediaan uang di dalam saku baju Tiong Kiat menjadi habis.
“Cia Ma,” katanya. "aku akan pergi sebentar mengambil buntalanku yang di hotel dan
sebentar lagi aku akan kembali. Jangan perbolehkan lain orang masuk kesini," katanya.
Malam itu ia keluar bukan hanya untuk mengambil pakaiannya di hotel, akan tetapi juga
untuk mengambil banyak uang emas dari peti uang seorang hartawan !
Sementara itu, sebelum pemuda itu kembali, Cia-ma lalu mengadakan perundingan dengan Li
Lan dan kawan-kawannya.
"Celaka!" kata nenek ini dengan wajah gelisah. "Kalau Sim kongcu terus-menerus
memborong tempat ini, kita akan celaka."
"Mengapa begitu, Cia-ma?" bantah Li Lan."Bukankah Sim kongcu amat royal dan memberi
hadiah kepada kita? Kita tidak boleh membantah kehendaknya, lagi pula, apa yang dapat
kita lakukan terhadap seorang gagah seperti Ang coa-kiam?"
"Anak bodoh !" nenek itu mencelanya. "Betapapun juga. dia akhirnya akan bosan dan
pergi. Dan nama kita rusak di pandangan mata semua pembesar! Penolakan para pembesar
yang hendak mengunjungi kalian, berarti penghinaan dan tentu saja mereka merasa sakit
hati kepada kita. Kalau tidak ada perlindungan dari pada mereka, apakah daya kita?
Celaka!"
"Sudahlah Cia-ma, tak perlu kita mencari penyakit dan permusuhan terhadap Ang-coa kiam.
Bahkan aku hendak mempergunakan tenaganya untuk membasmi musuh-musuhku."
"Jangan, Li Lan! Jangan kau menimbulkan gara-gara, nanti kita celaka semua."
Akan tetapi gadis cantik itu hanya mainkan bibirnya, tersenyum manis. Menjelang tengah
malam datanglah Tiong Kiat dengan membawa uang sekantong besar! Mulailah lagi pesta
pora yang amat meriah. Para penjaga juga ikut kebagian rejeki karena Tiong Kiat membagi
- bagi hadiah bagaikan orang membuang pasir belaka.
Pada keesokan harinya, gegerlah kota I-kang karena seorang hartawan besar telah
kecurian uang banyak sekali dan pada dinding kamar terlukis pedang Ang coa-kiam!
Sebentar saja hal ini terdengar oleh para penjaga rumah kapal, akan tetapi apakah yang
dapat mereka perbuat? Mereka hanya saling lirik dan tersenyum girang karena dalam diri
Tiong Kiat, mereka mendapatkan seorang pemimpin yang selain royal, juga amat boleh
diandalkan!
Juga Cia.ma dan anak anaknya mendengar akan pencurian yang dilakukan oleh Ang-coa. kiam
Sim Tiong Kiat ini, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bertanya.
Cia-ma hanya menarik napas berulang-ulang dan berkata seorang diri, "Celaka, celaka!
Rumahku kemasukan harimau ganas dan aku tak berdaya sama sekali untuk mengusirnya!"
Sementara itu, di dalam kamarnya, sambil menangis Li Lan menuturkan kepada Tiong Kiat,
"Telah dua tahun aku mendendam sakit hati yang amat besar dan sekarang Thian Yang Maha
Kuasa telah mempertemukan aku dengan kongcu, sungguh satu kebahagiaan besar. Aku
percaya dengan penuh keyakinan bahwa kalau memang betul kongcu mencinta kepadaku yang
hina dina dan rendah ini, pasti jahanam-jahanam busuk she Lui itu dapat dibasmi!"
"Apakah kau masih meragukan cintaku manis?" kata Tiong Kiat sambil memeluk Li Lan.
"Katakanlah siapa yang pernah menimbulkan sakit hati kepadamu kalau perlu akan kuhajar
adat kepada mereka."
"Hanya menghajar adat? Kau harus bunuh mereka, kongcu. Ya, mereka itu jahanam yang
menjerumuskan diriku ke dalam jurang kehinaan ini, mereka itu harus dibunuh !" Muka
yang manis itu menjadi kemerahan dan matanya yang bening dan indah itu bersinar-sinar.
"Kau makin cantik saja kalau marah, Li Lan. Apakah yang telah diperbuat oleh orangorang
she Lui kepadamu maka kau ingin aku membunuh mereka ?” Biarpun pemuda ini
membicarakan soal pembunuhan dengan lidah ringan, namun di dalam hatinya ia terkejut
juga. karena sesungguhnya, di dalam kesesatannya, belum pernah ia membunuh orang begitu
saja secara kejam. Tentu saja ia pernah membunuh rombongan perampok dan orang jahat
akan tetapi apabila ia melakukan percurian atau gangguan, tak pernah ia membunuh orang.
Dengan gaya manja dan memikat hati Li Lan lalu menuturkan pengalamannya. "Kongcu, kau
adalah seorang mulia dan gagah. Kalau tidak kepadamu, kepada siapa lagi aku dapat
mengharapkan pertolongan? Dahulu aku bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lui yang
kaya raya. Hidupku penuh kebahagiaan sungguhpun pekerjaanku hanya sebagai pelayan
belaka. Akan tetapi malapetaka menimpa diriku ketika majikanku yang muda dan tua, yakni
Lui wangwe dan puteranya, Lui kongcu, secara kurang ajar dan kejam sekali telah
mempermainkan aku yang lemah dan tak berdaya ! Aku berada di dalam gedung mereka
sebagai budak belian, aku yatim-piatu dan berada di dalam kekuasaan mereka. Apakah
dayaku? Kemudian setelah rahasia kedua orang jahanam itu terbuka, mereka menjadi malu
dan menyingkirkan diriku dengan menjualku kepada Cia ma." Adapun Tiong Kiat yang
mendengar penuturan ini, menjadi marah dan juga tersinggung hatinya. Ia marah karena
kejahatan keluarga Lui ayah dan anak itu dan merasa tersinggung karena ia teringat
kepada gadis yang ditolongnya di dalam rimba raya itu.
"Kongcu, telah lama dendam ini terkandung dalam hatiku. Pada saat itu juga, ingin
sekali aku membunuh diri, akan tetapi aku teringat bahwa aku akan menjadi setan
penasaran kalau belum dapat membalas kejahatan mereka. Aku bersumpah hendak membalas
dendam dulu sebelum mati dan sekarang setelah aku bertemu dengan kau, kongcu, tidak ada
keinginan mati pada hatiku. Aku ingin selama hidupku berada di sampingmu, akan tetapi
kebahagiaanku takkan lengkap apabila sakit hati ini tidak terbalas. Kongcu yang
tersayang, kalau saja kau suka menolongku membalaskan sakit hati ini, aku Li Lan akan
menghambakan diriku kepadamu sampai selama hidupku.”
Menghadapi bujuk dan cumbu rayu gadis cantik ini, lumerlah hati Tiong Kiat. Tanpa pikir
panjang lagi ia menyanggupi permintaan kekasihnya ini dan pada malam hari itu, ia
keluar dengan pedang Ang Coa Kiam di tangan ! Dan pada keesokan harinya gegerlah
kembali kota I-kiang ketika orang mengetahui bahwa hartawan Lui dan puteranya telah
terbunuh mati di dalam kamarnya! Hartawan Lui terkenal sebagai seorang hartawan yang
dermawan dan jujur, maka peristiwa ini tentu saja menggemparkan sekali. Apa lagi ketika
di tembok korban-korban itu terdapat lukisan pedang Ang coa-kiam! Sungguh Tiong Kiat
telah menjadi mata gelap dan sombong sekali. Biarpun ia masih berada di kota l-kiang
dengan berani mati ia mengakui dengan lukisan itu bahwa pembunuhan itu dialah yang
melakukannya. Kegemparan ini sampai juga ke telinga orang - orang gagah di dunia kangouw
dan marahlah mereka yang mendengar akan hal ini. Kalau sampai sebegitu lama orangorang
kang ouw tidak bertindak memusuhi Tiong Kiat adalah karena mereka itu masih
memandang nama besar Ang coa kiam pedang pusaka dari Kim liong pai. Semenjak puluhan
tahun yang lalu, Kim-liong-pai, terkenal sebagai cabang persilatan yang terpandang
tinggi. Nama Bu Beng Sianjin sebagai pendiri cabang ini amat disegani dan dihormati,
juga anak - anak murid Kim-liong pai terutama sekali Lui Thian Sianjin amat terkenal
sebagai tokoh kang ouw yang gagah perkasa dan budiman. Oleh karena ini nama Ang coakiam
yang menjadi jai-hwa-cat dan pencuri masih diragu-ragukan oleh para tokoh kangouw.
Akan tetapi sepak terjang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat akhir-akhir ini benar-benar
menggemparkan sekali, terutama sekali setelah pembunuhan Lui wangwe ayah dan anak. Yang
paling marah adalah seorang gagah yang tinggal di kota I-Kiang, karena ia berada
terdekat dengan peristiwa itu terjadi. Orang gagah ini bernama Lo Ban Tek yang berjuluk
Thiat gu (Kerbau besi). Dia adalah seorang gagah perkasa, murid dari Kun.lun pai yang
menyembunyikan diri di kota ini dan bekerja sebagai seorang pandai besi, pembuat tombak
dan golok. Ia telah mendengar tentang pencurian uang seorang hartawan yang dilakukan
oleh penjahat yang melukiskan pedang Ang coa kiam ditembok, akan tetapi masih bersabar
dan tidak mau mencampuri urusan itu. la menganggap urusan pencurian itu soal kecil
saja, karena untuk meributkan pencurian yang terjadi dalam rumah seorang hartawan ?
Mungkin benar-benar anak murid Kim liong-pai itu sedang lewat dan kehabisan bekal lalu
mengambil uang hartawan itu, hal ini sudah biasa terjadi dan tidak sangat hebat. Akan
tetapi, ia mendengar bahwa seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Ang coa-kiam Sim
Tiong Kiat telah beberapa hari lamanya berdiam di rumah kapal dan kemungkinan pula
terlibat dalam pembunuhan atas hartawan Lui dan putranya. Kaget dan marahlah Lo Ban Tek
mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang baik hati dan dermawan, maka
hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau menarik perhatiannya dan membuat ia
menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau bukan, murid Kim liong pai atau bukan,
kalau sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia
selidiki dan harus turun tangan.
Demikianlah, pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil
membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho - kut - pian
(Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena setiap hari
dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang memandangnya dengan
heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek keluar dengan membawa ruyung
yang mengerikan itu. Orang itu memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia
berjalan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu
akan terjadi sesuatu yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan
makin tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke rumah
kapal !
Apakah si pendiam ini mau berpelesir? Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal
bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada anak istri
dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya membuat golok dan tombak
dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan apakah ia rugi atau untung dalam
pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini
merupakan kejadian yang menarik hati.
Pada saat itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga
tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ sambil
mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri Lui-wangwe dan
betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali.
Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar
pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.
"Orang-orang rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan
dia !*
Ma-kauwsu dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban
Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya, dan
dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia mengerti ilmu
silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sambil
memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya !
“Eh, saudara Lo, kau kenapakah? Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh
mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!” Ma kauwsu menegur sambil bangkit
dari tempat duduknya.
“Tidak usah banyak bicara!” Lo Ban Tek membentak dengan marah. “Siapa sudi .... (tidak
terbaca jelas nih..) Hayo kalian anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan
minta dia keluar. Kalau tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!”
Bukan main marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan
jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan bangsawan
pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang pandai besi biasa
berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga, tentu saja mereka merasa panas
dalam perut!
“Pandai besi hinadina she Lo ! Apakah otakmu sudah menjadi miring? Ataukah kau sudah
bosan hidup” bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi itu,
diikuti oleh dua orang adiknya.
“Kalian ini kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur !" teriak Lo
Ban Tek makin marah. 'Panggil saja jai-hwa cat she Sim itu keluar dan kalian pergilah
jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata !" Akan tetapi mana tiga orang
jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar? Terutama sekali Kwee kauwsu
yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu
melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,"Pergilah
orang gila!"
Pukulan ini adalah gerak tipu Go-houw pok it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan
dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee kauwsu
berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung aneh itu, tetap
saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya yang berat itu.
Akan tetapi, terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan
begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri, agak
merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.
"Ngek!* Kwee kauwsu merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas
saking sakitnya dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek
diayun tepat mengenai pantatnya.
"Blek!" tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh
tendangan anak kecil. Setelah berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas
tanah dengan pantat di bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu
duduk seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis
bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan ! Bukan main sakitnya
pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian ini amat
mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di luar dugaan mereka.
Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya sehingga Kwee kauwsu dapat
berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut golok masing-masing dan tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu! Gerakan Ma kauwsu dan Cin-kauwsu amat
ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih agak terpincang-pincang dan merasa
seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi beban yang berat sekali.
"Bangsat rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek.
"Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang penjahat
besar yang mengacau di kota sendiri? Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban Tek tidak mencari
permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!" Sambil berkata demikian, Si
Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang banyak terdapat di pinggir
sungai dan sekali ia mengayun coa kut-pian di tangannya, batu itu telah kena dihantam
sehingga menerbitkan suara keras dan menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang
guru silat itu memandang, ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah !
Bukan main terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya
dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula ? Mereka bertiga, biarpun
diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat memecahkan batu
itu dengan seratus kali pukul ! Oleh karena kaget dan kagum, mereka hanya berdiri
tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka juga terpengaruh oleh kata kata
pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi
oleh orang.orang seluruh kota, apalagi akan menghadapi pembesar - pembesar, ah berat
juga !
Pada saat itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal.
"Anjing kelaparan dari manakah berani mengacau dan menantangku ?" Baru habis ucapan itu
dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah berdiri dihadapan
Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan ! Berdebar juga hati Lo Ban
Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda tampan ini. la memandang dengan
penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat cakap, gagah dan tampan, berpakaian
serba biru yang indah sekali. Juga pedang di tangan pemuda ini benar-benar Angcoa.
kiam, pedang pusaka Kim liong pai, karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan
tokoh Kun lun - pai tentang pusaka ini.
"Anak muda, kau sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang coa-kiam dan Kim
Liong pai untuk melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang bisa
dijatuhkan oleh Lui Thian Sianjin kepadamu? Aku tidak percaya bahwa kau adalah anak
murid Kim Iiong pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam itu?"
Sim Tiong Kiat tersenyum mengejek. "Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim
Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah yang
mewakili Kim liong-pai. Bukankah Ang coa-kiam di tanganku ini menjadi bukti terkuat?"
"Aku tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim liong-pai, apalagi yagg sudah
dipercayai untuk memegang Ang coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang pusaka) dan
kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang - orang lemah dan menindas
kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin, sucouw dari Kim-liong.pai.
Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja yang telah kaulakukan ?'
Tertegun juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik
gurunya dan keadaan Kim Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia bertanya,
"Siapakah kau, hai, manusia kasar yang bosan hidup? Siapa kau yang berpura-pura
mengerti tentang keadaan Kim-liong.pai ?"
"Mengapa aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai? Aku adalah murid Kim kong Tianglo di
Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan kau
sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."
Di dalam hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid
dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang
tokoh Kun Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah
beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun lun.pai itu ketika Kim Kong Tianglo
mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak
mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.
'Saudara Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu.
Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang tidak
menyenangkan hatimu?'
Lo Ban Tek tersenyum mengejek. "Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah
dapat mencemarkan nama baikmu."
"Apa?" Tiong Kiat mencela marah, "Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat baik,
akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah orang-orang
lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya? Apakah perbuatan ini
merugikanmu? Atau merugikan orang Iain? Saudara Lo, kalau kau merasa irihati, marilah
ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari bidadari rumah kapal. Tak perlu urusan macam
ini menimbulkan bentrokan diantara kita.*
"Cih ! Aku bukanlah orang macam itu ! Aku tidak meributkan urusan cabul ! Aku datang
hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya ? Apakah hal ini
kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula !"
"lebih dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang. "Anjing tua
dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh ! Mereka telah berlaku kurang ajar
dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan yang kini terpaksa menjadi
seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah orang-orang semacam ini tidak boleh di
bunuh ? "
"Dari siapakah kau mendengar akan obrolan itu? Tentu dari mulut perempuan busuk itu
bukan ? Ha, ha, ha? Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang baik
mana yang busuk ! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan kotor itu dengan
keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si perempuan yang kau bela matimatian
itu ! Memang, dulu dia adalah seorang pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia
bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan berani bermain gila dengan pelayan-pelayan lakilaki
yang ada di rumah itu! Lui wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika
diusir, ia diberi uang secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau
menikah dengan siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah
yang tidak tahu? Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe ? Ha, ha,
benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu
merah!"
"Bangsat, tutup mulutmu!* Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah sekali.
"Orang she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo
Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"
Sambil berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyung-nya.
Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi girang
karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika
dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak terbabat putus, bahkan dari
benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga Iawannya ini benar-benar besar dan tidak
boleh dipandang ringan! Maka ia lalu berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang
Ang coa.kiamsut yang hebat, pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang
yang luar biasa sekali.
Lo Ban Tek terkejut dan kini ia tidak ragu ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar
murid Kim liong pai yang pandai.
"Hm, kau benar-benar murid Kim liong-pai ! Kalau kau bukan murid Kim liong-pai, masih
tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong
pai dapat tersesat begini rupa, ah aku harus mengadu jiwa dengan kau.” iapun mainkan
ruyungnya dengan ilmu silat Kun. lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat,
dapat mengimbangi gerakan pedang lawannya.
Hebat sekali jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee
berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong ! Kepandaian Ang Coa kiam Sim Tiong
Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin mereka terheran-heran
adalah kepandaian tukang besi itu ! Siapa kira bahwa di I-kiang terdapat seorang
pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban
Tek pandai besi yang sederhana dan kasar belaka ! Maka malulah ketiga orang itu, karena
kalau ilmu kepandaian mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian
dua orang ini mereka boleh dibilang masih anak-anak! Thiat gu Lo Ban Tek bertempur
dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi Tiong Kiat masih merasa
ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja. Pemuda ini masih merasa sungkan
untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia gentar juga menghadapi akibat-akibatnya.
Kalau sampai ia menanam bibit permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram
lagi!
Akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban
Tek menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak boleh
dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga tenaga orang she
Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung ini berarti bahaya maut
bagi Tiong Kiat!
Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang
luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat. Ketika
pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua kakinya sehingga
Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk
melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan indahnya. Akan tetapi kembali Lo Ban
Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak tipu Dewa Awan
Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong Kiat masih terapung di
udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan sendiri !
Namun kini Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus
dan harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun
kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung menyambar, ia
segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya membarengi mengirim
tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.
Lo Ban Tek merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat
kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik kembali
senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas tanah dan ujung
pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan Lo Ban Tek!
Orang she Lo ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong
lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang
dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan pedangnya
sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan melukai pundaknya!
"Lo Ban Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka
memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran ini!"
Akan tetapi kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan
kapok, ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata
mendelik ia membentak,
"Jahanam durhaka ! Kaukira aku orang she Lo takut mati? Lebih baik aku mati dalam
usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat engkau
melakukan kejahatan tanpa terhukum!" Setelah berkata demikian, kembali ruyungnya
menyambar dan kali ini dengan serangan nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri
lagi !
Tiong Kiat terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi
demikian nekad, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras.
Pedangnya meluncur ke depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek. Si
Kerbau Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang ketika
tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan napas terakhir
dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik memandang kepada Tiong
Kiat!
Pemuda ini bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan
ditutupkannya saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia
telah membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang? Orang orang Kun-lun-pai
tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu hanya akan membuat
hidupnya menjadi tidak tenteram. Rasa menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi
merah, dadanya terasa sakit. la marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia
melakukan pembunuhan, marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.
"Kionghi taihiap, kionghi ! ilmu silatmu hebat sekali!" tiba - tiba ia mendengar pujian
dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya. Ketika ia menengok, ia
melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya dan memberi selamat sambil
menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali. Kedua kakinya cepat bergerak
bergantian dan tubuh tiga orang guru silat terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan
perasaan sakit, takut dan kaget.
Kemarahan Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah
tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun – lun-pai.
Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di telinganya,
bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak berdosa. Bahwa
sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya. Kemarahannya makin
memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya sampai jebol.
Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang coa kiam sehingga putus
dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air.
Cia-ma berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat
menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu terlempar keluar
jendela dan.... byur ! tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang ce, diiringi pekik
mengerikan dari nenek itu.
Bagaikan seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang baikbaik,
dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu, tangannya bergerak
menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air melalui jendela ! Sebentar saja
habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam air, sehingga sibuklah orang-orang di
bawah untuk menolong "bidadari-bidadari" itu keluar dari air. Mereka kini tidak
kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi sebaliknya sebagai
seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan, riap-riapan menutupi muka
yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar
matanya, muka yang cowong dengan kulit muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak
!
Orang terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalab Li Lan. Gadis ini
berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja melepaskan
rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya. Bajunya Iepas-lepas
sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis ini tahu betul bahwa Tiong
Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus dan harum, maka siasat terakhir untuk
menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.
"Perempuan hina ! Jadi kau telah menipuku, ya ! Aku telah tertipu sehingga membunuh
orang-orang yang tidak berdosa!"
"Bagimu tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe
tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan suara
memilukan.
"Kau telah membohong! Kaukatakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang
mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan rendah.
Kubunuh kau!”
"Bunuhlah, kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta
sepenuh jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?” Ia
menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. ”Bunuhlah…”
Tiong Kiat mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya
dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut Li Lan,
dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti orang-orang lain,
bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari cepat sekali keluar dari rumah
kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama sekali tidak berani bergerak!
Gegerlah kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara
akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana perginya.
Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka bertiga tadi
ditendang oleh Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sampai terguling-guling, maka mereka tidak
dianggap kawan penjahat muda itu dan dibebaskan oleh para pembesar ! Kalau saja mereka
tidak ditendang oleh Tiong Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan
dari Ang-coa kiam !
Tiong Kiat melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang
dan ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu
tiada hentinya menyesali nasib dirinya.
Peribahasa kuno menyatakan bahwa kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap
seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya menyanjung-nyanjung
kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal lagi apabila keadaan kita
menjadi sengsara. Demikian pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang
merpati berada dalam keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak
mengenal keadaan, tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun
terjatuh di dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!
Akan tetapi cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong
Kiat sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan
gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga apa saja
yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu ditinggalkan, dan bahkan kini
mereka melakukan perantauan tanpa tujuan, berjalan jauh dengan keadaan miskin dan
sengsara sekali. Dalam keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan.
la mulai cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya.
Setiap hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali.
Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia menjadi
mendongkol. Pemuda mata keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak
pernah berhias, tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan.
Kalau tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini
terbuka sama sekali. Manusia manakah yang tidak bercacad? Memang dalam keadaan biasa,
cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan, akan
tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak nyata! Setelah
kini melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa ia
telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan gadis yang
dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul, masih cantik Kui Hwa
sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui Hwa adalah sewajarnya, karena
semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek, adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu
oleh bedak dan gincu dan minyak wangi !
Mulailah Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban
baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang dimulai
semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia dahuIu tidak
melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah mengawinkan dengan
seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia!
Pada suatu hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak
beristirahat, kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah
pohon dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi
sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu hanya
terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan bentakan Tiong Kiat.
"Perempuan tak tahu diri, perempuan pembawa celaka ! Kalau tidak karena kau, aku tak
usah lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan
lebih cepat lagi."
"Sim kongcu… " kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya, "kalau aku
menjadi beban... . kenapa tidak kau bunuh saja...? Bunuhlah aku kongcu .. .agar aku
terhindar dari siksaan lahir dan batin ini ...."
"Kalau kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak
sudi membunuh perempuan macam kau !"
"Ah, dunia sudah kacau balau !" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu seorang
wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri tak jauh dari
mereka. "Dahulu laki laki selalu bersikap lemah lembut terhadap wanita, akan tetapi
anak-anak muda sekarang demikian kasar dan kejamnya !"
Tiong Kiat terkejut. Ia memandang deegan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa
adanya nenek yang berambut putih ini. "Nenek tua, mengapa kau mencampuri urusan orang
lain ? Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia pergi. Aku tidak butuh
lagi padanya!"
Ketika Li Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan
berlutut di hadapan nenek itu sambil menangis!
"Suthai…Tolonglah aku, bawalah aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini…!”
"Kasihan kau anak yang tersesat jauh......" nenek itu berkata sambil mengelus-elus
kepala Li Lan. "Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."
Mendengar ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang. "Bagus, bagus! Nenek tua kau telah
berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha, ha, ha!"
"Orang muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke
jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!" Sepasang mata nenek itu memandangnya
dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata mereka bertemu, terkejutlah Tiong
Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya,
pemuda ini mencabut pedangnya dan berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang
itu.
"Ha, ha, ha! Dengan pedang dan tenaga di tangan, siapa akan dapat menggangguku?"
Tiba-tiba berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat.
"Ang coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat. Tiong Kiat terkejut
sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini telah berada di
hadapannya.
"Bagus, jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari kim
liong pai?”
"Siapakah kau yang mengenal pedangku?” tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.
"Orang durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?”
Begitu mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali
pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya tahu
bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun lun pai dan juga sahabat
baik suhunya di Liong san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan membunuhnya. Oleh
karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!
Tiong Kiat sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa
tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin sendiri!
Melihat berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan
tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang coa-kiam hampir saja terlepas dari
pegangan Tiong Kiat! Pemuda ini cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia
lalu menyerang lagi. Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh
sekali nenek itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya
digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis sekaligus!
Gentarlah hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena
malu dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan
pergi dari hutan itu.
Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas panjang dan berkata.
"Sayang, sayang .. ! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh
merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan lapuk."
la lalu menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah.
"Coba kauceritakan segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh
bayangan gelap, dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri
menjadi seorang pendeta."
Sambil terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang
disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia telah
membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui. Pat-jiu Toanio
mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu selesai menuturkan
semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata.
"Menurut patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau
ringan bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan
menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau boleh
menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."
Demikianlah, Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah
berada di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu niu. Ia
mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun mempelajari
ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!
Tadinya hal ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk
memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya, setelah
ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan jauh lebih
besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumab kapal Cia ma! Makin
tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu Toanio, bahkan sedikit demi
sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.
Di lereng gunung Ta-pie san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia
adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di Wuhan dan
dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta pie san. Wajahnya yang tampan itu tampak
berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, tampak kekesalan
hati yang mendidih dihatinya.
Pemandangan alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak
terlihat oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya, se-akanakan
melayang - layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa raya.
Sungguh tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang
ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat tinggal di
kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena ini, ia tidak
mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang menggemparkan itu.
Sudah berapa hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta pie-san ini. la merasa gelisah,
kecewa dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat? Hatinya sedih bukan
kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta Tiong
Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih dari itu!
Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah merasa seakan-akan
menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti ayah mereka.
Pada hari itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa
keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di dunia lain,
atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia akan semua
pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama dengan Ta.pie-san
ini. Ia teringat akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan
Tiong Kiat. lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu
senja hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan
permainan di lereng Gunung Liong-san. Mereka berdua suka sekali bermain-main perangperangan
saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau panglima panglima
pemimpin barisan. Adakalanya Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah
yang terserang sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau
sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka seakanakan
menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain perang-perangan, intai
mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak.
Lui Thian Sianjin, suhu mereka, pernah menceritakan bahwa ayah mereka adalah seorang
pahlawan dan patriot bangsa yang gugur dalam pemberontakan menggulingkan pemerintahan
yang korup. Oleh cerita yang singkat dan tidak jelas inilah maka Tiong Han dan Tiong
Kiat suka sekali bermain perang-perangan, menjadi pahlawan seperti ayah mereka!
Pada saat itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia
mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta sepenuh
hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya, merampas pedang
Ang coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya! Ia merasa bahwa kini ia akan dapat
mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada hentinya ia memperdalam
kepandaian ilmu pedang Ang coa-kiamsut dari kitab yang dibawanya. Ia telah hampir dapat
menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu pedangnya maju dengan pesatnya.
Ketika ia teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu
menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang kemudian
mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang didudukinya.
Bagaikan dalam mimpi, ia lalu melangkah maju di pinggir jurang, lalu ia bernyanyi,
seperti ketika masih kecil bersama Tiong Kiat di lereng Bukit Liong san. Bulan sepotong
sudah mulai timbul dari timur, angin gunung hanya meniup perlahan saja, mendatangkan
suara berkereseknya daun-daun yang bahkan menambah rasa sunyi yang mencekam hatinya.
Bagaikan terpimpin oleh perasaan halus yang tak disadarinya, Tiong Han bernyanyi dengan
suara keras, sepenuh dadanya, sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya meniru gaya
seorang panglima seperti yang ia lakukan bersama adiknya ketika mereka masih kecil
dulu.
Pedang telanjang di tangan
berlumur darah musuh jahanam !
Anak panah beterbangan
bagai maut mengintai nyawa
Pasukan musuh di sana?
Serbu…! Maju gembira!
Inilah tugas tiap ksatrya !
Mati? Hanya gugur bagai bunga
Aku hanya ingin menang…menang !
Biar takkan mendapat Jasa
Biar takkan menerima pahala.
Tidak peduli, aku ingin menang !
Aku ingin menjadi pahlawan.
Seperti ayah....... seperti ayah…!
Tiong Han bernyanyi penuh semangat, seperti dulu ketika masih keciI. Bunyi sajak ini
sesungguhnya sudah berbeda dari pada aslinya karena banyak yang berobah dan baris
terakhir “seperti ayah" adalah tambahan sendiri dari Tiong Han dan Tiong Kiat. Keduanya
merasa bangga sekali akan ayah mereka, sungguhpun mereka tidak tahu dan tidak ingat
lagi bagaimana rupa ayah mereka!
Tiong Han tidak tahu sama sekali bahwa pada saat bernyanyi, seorang pemuda sedang
berjalan mendaki jalan kecil dari timur. Ketika mendengar ia bernyanyi, pemuda itu
berhenti bertindak dan diam bagaikan patung! Akhirnya setelah Tiong Han menyanyikan
baris terakhir dari sajaknya, pemuda yang berpakaian biru kehitaman itu berlarl
menghampirinya dan berseru dengan suara terharu.
"Engko Han…!"
Tiong Han yang sudah mengakhiri nyanyiannya cepat menengok dan terkejutlah kedua
matanya ketika ia melihat Tiong Kiat berlari-lari naik seperti dulu ketika masih kecil!
“Tiong Kiat…..!”
Keduanya berdiri berhadapan, saling pandang, kalau dilihat oleh orang lain seperti
seorang pemuda berdiri di depan cermin, demikian serupa, sebentuk dan segaya! Kemudian
terdorong oleh keharuan hati, kedua orang muda itu lalu saling tubruk dan saling peluk
dengan penuh kemesraan dan keharuan hati. Tiong Han tak dapat menahan Iagi bertitiknya
air mata dari sepasang matanya ketika ia merangkul adiknya. Akan tetapi ketika matanya
memandang kebawah dan terlihat olehnya gagang pedang Ang coa-kiam, hatinya seperti
tertusuk oleh pedang itu dan ia melepaskan pelukannya.
“Tiong Kiat, anak nakal, ke mana saja kau selama ini?" tanyanya dengan pandangan
menegur seperti biasa ia lakukan dahulu bila adiknya berlaku nakal.
Mendengar teguran dan pertanyaan ini Tiong Kiat melangkah mundur dua tindak. Walau
iapun terpengaruh oleh keharuan hatinya, akan tetapi ia sekarang teringat Iagi akan
kesalahan-kesalahannya terhadap kakaknya ini, ia memandang tajam dan bertanya dengan
suara dingin,
"Han.ko, mengapa kau berada di sini ?" la melirik ke arah pedang yang tergantung di
pinggang kiri Tiong Han. "Apakah kau disuruh oleh suhu untuk menyusul dan
menangkapku ?" Ia memandang makin tajam dan kepalanya agak dimiringkan, pandangan
matanya penuh selidik.
"Tiong Kiat, tak perlu aku berbohong kepadamu. Kepergianmu dari Liong-san membuat suhu
menjadi marah sekali, terutama sekali karena kau membawa pergi pedang Ang-coa kiam yang
menjadi pedang pusaka Kim-liong pai, Mengapa kau berani melakukan hal itu, adikku ?
Mengapa ?"
Tiong Kiat tertawa mengejek dan tangan kirinya menepuk-nepuk pedang Ang-coa-kiam "Tiong
Han," ia tidak menyebut kakak. "aku adalah murid yang terpandai, maka berhak mewarisi
pedang ini. Habis, apakah sekarang kehendakmu ?"
Dua orang pemuda yang sama rupa sama bentuk itu berdiri berhadapan dalam keadaan
tegang. Tiong Kiat dengan pandangan mata menantang sedangkan Tiong Han dengan mata
berduka.
"Tiong Kiat, kau harus kembalikan pedang itu. Aku disuruh oleh suhu untuk mengambil
kembali pedang itu. Sadarlah bahwa kau tidak berhak mengambil pedang pusaka itu begitu
saja tanpa ijin dari suhu."
Akan tetapi Tiong Kiat melangkah mundur tiga tindak dan tiba-tiba ia mencabut pedang
Ang-coa.kiam dan berkata,
"Tiong Han! Selama beberapa bulan ini, pedang inilah kawan satu-satunya dariku yang
telah melindungi keselamatanku. Bagaimana aku bisa mengembalikannya begitu saja? KaIau
pedang ini kau ambil aku akan merasa sunyi, seakan-akan ditinggalkan seorang sahabat
yang paling baik."
Berobah wajah Tiong Han mendengar ini. "Tiong Kiat, di mana........ sumoi? Aku tidak
melihatnya!"
Tiong Klat tersenyum pahit. "Kau mencari tunanganmu?”
"Jangan kurang ajar!" Tiong Han membentak. "Aku tidak menganggapnya sebagai tunangan
lagi. Aku rela melepaskannya untuk menjadi jodohmu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa
dia tidak berada di sini, bersamamu. Apakah kau telah meninggalkannya pula?” Pandangan
pemuda ini menjadi tajam dan keras.
"Siapa meninggalkannya? Kami hanya memilih jalan masing-masing. Kalau kau mau
mencarinya ke kota Hang yang, kau akan dapat bertemu dengan dia dan kau boleh
mengambilnya sebagai istrimu!"
Mendongkol juga hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Tiong Kiat, tak perlu kita
melanjutkan percakapan tentang sumoi. Yang paling penting sekarang ialah pengembalian
pedang itu. Suhu menghendaki agar supaya aku mengambil kembali pedang Ang coa kiam dan
membunuhmu. Akan tetapi asal saja kau mengembalikan pedang itu dan berjanji takkan
melakukan kesesatan, aku takkan mengganggumu."
Tiong Kiat tertawa bergelak mendengar omongan ini. "Tiong Han, biarpun suhu sendiri
yang datang mengambil pedang ini, agaknya ia takkan dapat mengambilnya begitu saja
tanpa membuktikan bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi dari padaku. Siapa yang
memiliki kepandaian ilmu pedang Ang coa kiamsut lebih tinggi, dialah yang berhak
memiliki pedang ini ! Aku memegang pedang ini, nah, apakah kau memiliki keberanian
untuk menentangku. Apakah kau tidak tahu bahwa pemegang pedang ini harus dihormati dan
ditaati oleh semua anak murid Kim-liong-pai?"
"Tiong Kiat, jangan kau berkeras! Lebih baik kembalikan pedang itu dan kalau kau
menginginkan sebatang pedang yang baik, kau boleh ambil pedangku Hui - liong - kiam
ini. Aku tidak bisa menyerangmu, kau adalah adikku dan kau tahu betapa besar cinta
kasihku kepadamu. "
"Jangan omong kosong ! Aku memegang Ang.coa-kiam, kalau kau mau menjadi murid Kim-liong
pai yang mendurhaka, kau boleh melawan aku !"
Sedih benar hati Tiong Han menyaksikan sikap adiknya ini. Terpaksa ia merogoh saku
bajunya dan mengeluarkan kitab Ang coa.kiam coansi.
"Kau Iihat ini, Tiong Kiat ! Akulah yang lebih berhak dari padamu, karena kitab pusaka
ini dipercayakan kepadaku oleh suhu !"
Terbelalak mata Tiong Kiat memandang kepada kitab Iapuk di tangan kakaknya itu. Ketika
ia hendak pergi, ia telah mencari-cari kitab ini, akan tetapi ia tak terdapat olehnya.
Kalau saja ia dapat memiliki kitab itu, tentu ilmu pedangnya akan menjadi maju pesat
sekali. Otaknya yang cerdik bekerja cepat dan ia lalu tersenyum ramah kepada kakaknya.
"Han-ko, terpaksa aku mengakui keunggulanmu karena kau memegang kitab itu. Baiklah aku
akan kembalikan Ang coa kiam kepadamu, akan tetapi kau harus memberi pinjam kitab itu
selama beberapa bulan kepadaku agar adikmu ini dapat melanjutkan pelajaran ilmu
pedang."
Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Tiong Kiat. Kitab ini tidak boleh
kuberikan kepada siapapun juga. Lekas kau berikan pedang itu padaku."
"Berikan? Mari, terimalah!" Akan tetapi ucapan ini disambung dengan gerakan menusuk
dengan pedangnya ke arah dada kakaknya! Sungguh kejam dan jahat sekali hati pemuda yang
sudah tertutup oleh hawa nafsu busuk itu.
Baiknya Tiong Han sudah berlaku waspada. la kenaI baik adiknya yang cerdik dan semenjak
kecil memang mempunyai banyak akal licin ini. Ia cepat mengelak, menyimpan kitabnya dan
mencabut pedang Hui-liong-kiam.
"Tiong Kiat, dengan hati perih terpaksa aku harus memberi hajaran kepadamu dan
mengambil kembali pedang itu dengan paksa!” katanya sambil membalas dengan serangan
yang kuat.
"Ha, ha, ha ! Baik mari kita mencoba siapa yang lebih kuat diantara kita." jawab Tiong
Kiat memandang rendah, oleh karena ia tahu bahwa kepandaiannya masih lebih menang dari
pada kakaknya.
Akan tetapi begitu mereka bergebrak selama beberapa jurus saja terkejutlah Tiong Kiat.
Ilmu pedang kakaknya ini sudah maju jauh sekali, bahkan tenaga lweekangnya lebih mantap
dan berisi dari pada dulu! Ia menjadi gemas, mengertak gigi dan melakukan serangan
mati-matian, menggerakkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Beberapa kali ia sengaja
mengadu pedang Ang-coa-kiam untuk membabat putus pedang di tangan Tiong Han, akan
tetapi biarpun bunga api berpijar menyilaukan mata, pedang Hui-Iiong kiam itu ternyata
tidak rusak sedikitpun juga. Pertempuran dilanjutkan dengan amat sengitnya. Serangmenyerang
terjadi, desak mendesak antara kedua saudara kembar itu. Mereka sama lincah,
kuat dan sama mahir ilmu pedangnya. Hanya ada sedikit perbedaan, yakni kalau Tiong Kiat
menyerang dengan mati-matian dengan nafsu merobohkan dan membunuh kalau perlu dalam
usahanya untuk merampas kitab Ang coa kiam coansi, adalah Tiong Han bertempur dengan
terpaksa. Hatinya tidak tega untuk melukai adiknya yang amat dicintanya ini, dan ia
hanya mempertahankan diri dan serangan balasannya hanya ditujukan untuk merampas
pedang!
Sesungguhnya, setelah mematangkan ilmu pedangnya dari kitab yang dibawanya, kemajuan
Tiong Han luar biasa sekali dan ia telah dapat melampaui kepandaian adiknya. Banyak
jurus-jurus rahasia yang menjadi bagian-bagian tersulit dari ilmu pedang Ang.coakiamsut
telah dipelajarinya sedangkan Tiong Kiat belum pernah mempelajari jurus-jurus
ini. Kalau Tiong Han mau menyerang mati-matian seperti adiknya, tak dapat disangsikan
Iagi bahwa ia pasti akan menang. Akan tetapi keraguannya membuat ia selalu bahkan
terdesak oleh Tiong Kiat!
"Engko Han yang baik," Tiong Kial berkata mengejek, "biarpun kepandaianmu sudah maju,
tetap saja kau takkan dapat menangkap aku. Lebih baik kau serahkan kitab itu agar aku
tidak akan berdosa melukaimu!"
"Kau buta oleh nafsu jahatmu, Tiong Kiat." Tiong Han menjawab sambil menangkis sebuah
sambaran pedang adiknya. Pertempuran dilanjutkan Iebih hebat lagi, karena Tiong Kiat
kini menyerang Iebih bernafsu. la merasa penasaran juga karena telah bertempur lebih
dari lima puluh jurus, belum juga Tiong Han dapat dikalahkan. Padahal dulu, di dalam
latihan, ia dapat mengalahkan kakaknya ini dalam waktu tiga puluh jurus saja.
Bukan main hebatnya pertempuran kakak beradik ini, dua saudara kembar ini. Gulungan
sinar pedang Ang coa kiam yang berwarna merah bergulat dengan sinar pedang dari Hui
liong kiam, merupakan dua ekor naga yang saling membelit. Pertempuran ini hanya
disaksikan oleh bulan, angin dan pohon pohon di sekitar mereka. Seratus jurus terlewat
dan Tiong Han makin terdesak saja. Tiba-tiba serangan kilat yang amat hebat dari Tiong
Kiat dan yang ditangkisnya kurang cepat membuat pedang Ang - Coa kiam meleset dan
melukai pundak Tiong Han ! Bajunya di bagian pundak terbabat robek, berikut sedikit
daging dan kulitnya sehingga mengucurkan darah dari pundak Tiong Han !
"Serahkan kitab itu !" Tiong Kiat membentak sambil menahan serangannya. Betapapun juga,
ia tidak ingin membunuh kakaknya dan timbul rasa kasihan di hatinya melihat betapa
wajah kakaknya menjadi meringis menahan sakit.
"Tiong Kiat, kau terlalu!" Tiong Han menegur dan kini pemuda inilah yang mendahului
maju menyerang adiknya.
Tiong Kiat menangkis dan sebentar kemudian terkejutlah dia karena gerakan pedang Tiong
Han bukan main kuat dan hebatnya, penuh dengan gerakan dan gaya yang aneh dan tak dapat
terduga sama sekali olehnya ! la merasa seakan-akan pedang Hui-liong-kiam berobah
menjadi banyak sekali, mengelilingi dan menyerang ke arah dirinya dari segenap
penjuru ! Barulah Tiong Kiat tahu bahwa kepandaian kakaknya sudah mencapai tingkat
tinggi sekali ! Akan tetapi terlambat ia sadar akan kesombongannya karena sebelum ia
tahu apa yang terjadi, ia merasa perih sekali pada lengan kanannya dan tahu-tahu
pedangnya telah pindah ke tangan kiri Tiong Han dan Iengan bajunya telah robek berikut
kulit lengannya yang mengalirkan darah lebih banyak daripada darah yang mengucur dari
pundak Tiong Han.
"Aduh..." Tiong Kiat mengeluh. kemudian saking jengkel, marah dan malunya ia lalu
menjatuhkan diri di atas tanah, menutupi mukanya dan menangis!
Tiong Han tidak merasa heran melihay kelakuan adiknya ini. Semenjak dulu ketika mereka
masih kecil, tiap kali dia marah kepada adiknya atau memukulnya, Tiong Kiat selalu
menangis seperti itu. Dan juga ia tidak merasa heran ketika mendengar adiknya meratap.
"Ayah ibu, mengapa kalian tidak membawa aku mati saja! apa artinya hidup bersama
seorang kakak yang kejam terhadap adiknya sendiri?”
Memang, sikap Tiong Kiat ini benar benar lucu dan bersifat kekanak-kanakan, akan tetapi
memang pemuda ini memiliki kelemahan hati yang akhirnya menjadi kebiasaan, bahkan
seringkali dipergunakan sebagai siasatnya untuk mengalahkan hati kakaknya ! Kali
inipun, melihat haI adiknya sedemikian rupa, biarpun Tiong Han maklum bahwa hal itu
mungkin hanya siasat, hatinya tersinggung dan sambil mengalirkan air mata, ia menubruk
dan memeluk Tiong Kiat!
"Adikku, jangan kau berduka. lni ambillah pedangku Hui.liong-kiam ! Kau sudah
menyaksikan sendiri bahwa ketajaman dan keampuhannya tidak kalah oleh Ang.coa-kiam.
Mana lenganmi, biar aku balut agar jangan banyak darah yang keluar !" sambil berkata
demikian, Tiong Han lalu merobek pinggir Jubahnya dan membalut lengan tangan Tiong Kiat
yang memandang dengan muka terharu. Alangkah baik hatinya kakaknya ini. Lukanya sendiri
di pundak tidak dlperhatikan, sebaliknya malah membalut luka di tangannya.
"Han ko, bisakah kau memaafkan aku yang sudah menyakiti hatimu?" tanyanya dengan
terharu, rasa haru yang timbul dari hati murninya, bukan pura-pura.
"Mengapa tidak, adikku? Semenjak dahulu aku telah memaafkanmu bahkan tadipun aku
terpaksa melukaimu. Ilmu pedangmu terlampau kuat!"
"llmu pedangmu yang hebat Han-ko! Apakah serangan tadipun merupakan jurus jurus dari
Ang coa kiam sut."
Tiong Han mengangguk dan melanjutkan pekerjaan membalut lengan tangan adiknya. Ia
sedang menundukkan mukanya, tidak melihat betapa kini sinar mata Tiong Kiat telah
berobah menjadi liar lagi, ditujukan dengan mata penuh nafsu ke arah baju kakaknya,
seakan-akan hendak menaksir di mana kakaknya menyembunyikan kitab ilmu pedang yang amat
diinginkannya itu.
"Han-ko, terima kasih atas pemberianmu pedang Hui liong-kiam ini. Biarlah kau bawa
kembali pedang Ang-coa-kiam yang sial itu !"
Tiong Han tersenyum. "Adikku, jangan kau kira bahwa kau boleh mempergunakan pedang hui
liong kiam sesuka hatimu. Ketahuilah bahwa pedang itu datang dari Heng.san, tadinya
punya Lui-kong-jiu Keng Kim Tosu dan penggunaan pedang itu berada di bawab
pengurusannya dan juga pengawasan Pat-jiu Toanio Li bi Hong ! hati-hatilah dan jangan
kau bertindak nyeleweng, karena kalau sampai mereka tahu bahwa pedang ini dipergunakan
untuk kejahatan, mereka tentu akan turun tangan kepadamu !"
"Aduh......!" Tiong Kiat mengeluh dan Tiong Han cepat memegang tangan kanan yang
terluka itu. "Sakitkah? terlalu eratkah aku membalutnya?" la memeriksa lengan yang
telah dibalutnya itu, sambil mendekatkan mukanya.
Tiba-tiba sekali diluar persangkaannya, tangan kiri Tiong Kiat bergerak dan menotok
dengan cepat sekali jalan darah pada punggungnya! Tiong Han tak dapat mengeluarkan
suara lagi dan roboh terguling dalam keadaan lemas tak berdaya menggerakkan seluruh
tubuhnya! Hanya matanya saja memandang ke arah adiknya dengan mata menyesal sekali.
"Engko Tiong Han, terpaksa aku merobohkanmu, karena ketahuilah, aku ingin sekali
mendapatkan kitab ilmu pedang Ang.coa kiamsut itu ! Bukan untuk memilikinya dan
mempergunakan pengaruhnya, akan tetapi untuk mempelajari ilmu pedang itu lebih sempurna
lagi ! Pedang Ang coa.kiam kutinggalkan kepadamu, biarlah aku merasa puas dengan Hui
Iiong kiam ini saja. Akan tetapi kitab Ang coa kiamsut kubawa !" ia lalu mengulurkan
tangan menggeledah, akhirnya ia mendapatkan kitab itu di saku baju Tiong Han. Dengan
girang ia membalik - balik lembaran kitab itu, lalu menyimpannya di dalam saku bajunya.
"Han-ko. aku masih mengingat budi dan ikatan persaudaraan maka aku takkan membunuhmu.
Jangan kau persalahkan adikmu yang hanya ingin memperdalam ilmu kepandaiannya. Pedang
Hui-liong-kiam kubawa berikut kitab ini. Besok siang kau akan sehat kembali dan
pulanglah ke Liong-san mengembalikan pedang Ang coa-kiam kepada suhu! Nah, selamat
tinggal saudaraku yang budiman !"
Tiong Kiat memondong tubuh Tiong Han yang lemas itu dan meletakkannya di bawah sebatang
pohon besar. Pedang Ang-coa-kiam ia masukkan ke dalam sarung pedang Tiong Han yang
masih tergantung di pinggang. Kemudian ia berdiri dan memandang kepada kakaknya.
Kasihan juga hatinya melihat betapa kakaknya rebah terlentang tak berdaya. Darah merah
mengalir pada pundaknya. Akan tetapi ia teringat bahwa kini kepandaian kakaknya sudag
lebih tinggi dari padanya. Kalau kakaknya pulih kembali dari pengaruh totokannya dan ia
masih berada di situ, tentu ia akan kalah lagi dan terpaksa mengembalikan kitab itu.
Maka ia lalu berlari pergi dari tempat itu.
Dewa penjaga gunung Ta.pie san agaknya marah menyaksikan kejahatan adik terhadap
kakaknya ini. Bulan yang tadinya bersinar terang tiba-tiba berubah mendung tebal. Tiong
Kiat menjadi bingung karena sukar sekali untuk menuruni bukit-bukit yang banyak jurangjurangnya
di dalam gelap. Dan tak lama kemudian saat ia maju perlahan mencari jalan,
hujan turunlah dengan lebatnya bagaikan dituangkan dari atas!
'Jahanam benar!" Tiong Kiat menyumpah-nyumpah dan terpaksa mencari tempat perlindungan
di bawah sebatang pohon yang besar. la memperhitungkan bahwa totokannya yang tepat
mengenai jalan darah sui-mo-hiat di punggung Tiong Han, akan membuat tubuh kakaknya
menjadi lemas sampai sedikitnya besok siang baru bisa lenyap. Sementara ini, ia merasa
aman. Besok pagi-pagi terang tanah, ia dapat turun gunung dan sebelum kakaknya sadar ia
telah berada di tempat jauh !
Akan tetapi semalam itu ia tidak dapat beristirahat. Pertama-tama karena hujan yang
turun telah membuat tubuhnya menjadi basah kuyup, terutama sekali lengannya yang
terluka itu biarpun telah dibalut, kini air telah merayap masuk dan membuat lukanya
terasa perih dan sakit sekali. Kembali ia mengumpat caci kepada hujan, kepada bulan,
kepada malam gelap. Tiba tiba ia teringat dan wajahnya menjadi pucat! Kakaknya rebah
terlentang di bawah pohon itu dan tentu terserang oleh hujan lebat pula. Dan kakaknya
berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat bergerak sama sekali! Ah, bagaimana kalau
kakaknya itu sampai tewas? Hujan dan hawa dingin menyerangnya. Luka itu masih terus
mengalirkan darah ! Berdebar jantung Tiong Kiat. Kalau kakaknya tewas, maka berarti
dialah yang membunuhnya! Tidak, tidak ! la tidak mau menjadi pembunuh kakaknya !
Sambil mengerang Tiong Kiat lalu bangkit berdiri hendak kembali ke tempat di mana Tiong
Han rebah tadi. Hendak dijaga dan dirawatnya Tiong Han sampai besok pagi, agar kakaknya
itu tidak ditinggalkan dalam keadaan terancam bahaya maut. Akan tetapi terpaksa ia
harus membatalkan kehendak hatinya itu. Tak mungkin kembali ke tempat tadi dalam malam
gelap dan hujan Iebat ini. la tidak tahu Iagi ke mana harus mencari jalan. Akhirnya
dengan hati khawatir sekali ia menjatuhkan diri, duduk kembali di bawah pohon.
Hujan turun terus sampai keesokan harinya, pagi pagi baru reda. Tiong Kiat tidak jadi
turun gunung dan kembali ke tempat kemarin malam untuk menengok kakaknya. Hatinya
gelisah sekali. Berdebar jantungnya penuh kengerian kalau ia membayangkan betapa Tiong
Han akan didapatinya di bawah pohon dalam keadaan kaku tak bernyawa lagi ! Ia
mempercepat tindakan kakinya.
Akan tetapi ia menjadi melongo keheranan ketika tiba di tempat itu, ternyata ia tidak
melihat Tiong Han Iagi ! Mungkinkah ini? Mungkinkah Tiong Han dapat melepaskan diri
dari pada totokannya ? Tidak bisa jadi! Dengan hati gelisah Tiong Kiat memandang ke
kanan kiri, lalu berjalan masuk ke dalam hutan di dekat tempat itu dengan hati-hati.
Kalau kakaknya muncul, ia akan melarikan diri.
Tiba tiba ia mendengar suara wanita menangis, diiringi oleh kata-kata pedas seperti
orang memaki maki. Ia mempercepat tindakan kakinya menuju goa batu karang darimana
suara itu terdengar. la cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat seorang wanita
muda keluar dari goa itu sambil menyeret tubuh seorang laki laki.
Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa tubuh yang diseret itu bukan lain adalah tubuh
Tiong Han yang masih lemas! Dan yang menyeret itu ia kenal sebagai gadis cantik jelita
yang dulu telah ditolong dan kemudian diganggunya di dalam hutan !
Memang gadis ini bukan lain adalah Suma Eng atau Eng Eng ! Sebagai mana telah
dituturkan di bagian depan, Eng Eng telah bertemu dengan Tiong Han dan mengira bahwa
pemuda ini adalah yang telah mengganggunya sehingga gadis ini menyerang Tiong Han
dengan hebat. Kemudian Tiong Han melarikan diri dan Eng Eng selalu berusaha mencari
pemuda ini. la mencari keterangan dan mengikuti ke mana juga jejak pemuda ini nampak.
Sampai berbulan-bulan ia tidak berhasil bertemu dengan Tiong Han. Akhirnya ia mendengar
bahwa pemuda yang dicarinya itu berada di puncak gunung Ta-pie-san, maka tanpa membuang
waktu lagi ia lalu mengejar ke atas dan pada senja hari itu ia tiba di lereng bukit Ta
pie san.
Akan tetapi, malam hari itu ia tidak dapat mencari Tiong Han karena hujan turun dengan
derasnya. Betapapun juga, gadis yang keras hati ini terus merayap naik dan akhirnya di
dalam hujan lebat, ia melihat tubuh seorang laki-laki menggeletak telentang di bawah
pohon. Ia tidak mengira bahwa itu adalah tubuh pemuda yang dicarinya, karena malam
gelap dan hanya diterangi oleh berkelebatnya sinar kilat. Timbul perasaan kasihan di
dalam hatinya dan dipondongnya tubuh pemuda yang tak berdaya itu ke sebuah gua di dalam
hutan. Ia melihat betapa pundak pemuda itu terluka, maka ia segera membalutnya dengan
baik-baik. Ketika ia melihat pedang tergantung di pinggang Tiong Han, diam diam ia
memuji pedang bagus itu.
Pada keesokan harinya, ketika malam gelap telah pergi dan ada penerangan masuk ke dalam
goa, ia memandang pemuda itu dan alangkah terkejutnya ia bahwa pemuda yang ditolong itu
bukan lain adalah Tiong Han, pemuda yang selama ini dicari-carinya! "Jahanam terkutuk!
Kiranya kau ini!"
Tiong Han mengalami penderitaan yang luar biasa. Ketika tadi ia ditinggalkan oleh Tiong
Kiat, tubuhnya lemas tak berdaya dan luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah.
Ketika hujan turun menimpanya ia berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi hawa
dingin dan rasa sakit, pada pundaknya membuatnya jatuh pingsan. Ia tidak tahu bahwa dia
telah ditolong oleh Eng Eng. Kini ia telah siuman dan pengaruh totokan itu sudah makin
lemah sehingga ia dapat bicara dan menggerakkan sedikit tangan kakinya. akan tetapi
masih belum mampu bangun. Iapun terkejut sekali ketika melihat Suma Eng yabg
dikenalnya.
'Nona Suma Eng kaukah yang menolongku? Terima kasih..."
'Bangsat besar ! Sim Tiong Han ... baru sekarang aku dapat bertemu dengan kau ! Dosamu
telah terlampau besar dan agaknya Thian sudah memberi kesempatan kepadaku untuk
mencincang hancur kepalamu!" Gadis itu tertawa bergelak. akan tetapi suara ketawanya
disusul oleh tangis yang mengharukan. "Aku akan membunuhmu... aku akan menghancurkan
kepalamu! Tidak, tidak, aku akan menyiksamu, akan membiarkan tubuhmu diterkam dan
dipakai berebutan binatang-binatang hutan. Biar burung-burung hantu menarik keluar
matamu, biar srigala-srigala hutan mencabik-cabik dagingmu !”
Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menjambak rambut Tiong Han dan diseretnya pemuda
itu keluar dari goa, Tiong Han merasa ngeri sekali. la merasa yakin bahwa gadis ini
tentulah seorang gadis liar dan gila! Akan tetapi apakah dayanya? la masih setengah
berada dalam pengaruh totokan Tiong Kiat dan tak mungkin baginya untuk menggerakkan
tubuh melakukan perlawanan!
Dan pada saat Eng Eng menyeret tubuh Tiong Han sambil menjambak rambutnya ini,
menariknya keluar goa, datanglah Tiong Kiat yang segera bersembunyi di balik pohon.
Pemuda ini mcmandang dengan mata terbelalak dan menahan nafas. Wajahnya berobah pucat
sekali.
Setelah Eng Eng berada di luar goa, di dalam keadaan yang sangat terang itu ia
memandang ke arah wajah Tiong Han. Diam-diam ia mendongkol sekali ketika melihat wajah
yang tampan itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia begitu benci kepada
pemuda yang merusak hidupnya ini dan sebelum membunuhnya ingin sekali menyiksanya
dengan rasa takut. Akan tetapi pemuda ini hanya memandangnya dengan heran dan mulutnya
bahkan tersenyum. Ia melihat betapa Tiong Han menarik napas maka ia melepaskan
jambakannya dan berkata.
"Ha, kau menarik napas ! Baru sekarang kau merasa menyesal atas perbuatan dahulu
bukan ? Sungguh matamu buta. kau berani mati sekali telah berbuat tidak patut
terhadapku. Tak tahukah kau siapa aku ? Manusia terkutuk, aku Suma Eng tak boleh dihina
begitu saja. Aku telah bersumpah sebelum dapat mencarimu dan membalas dendam, aku
takkan berhenti berusaha ! Aku tidak mau mati dulu sebelum dapat menghancurkan mukamu!
Dan sekarang kau telah berada di dalam tanganku!” Kembali gadis itu tertawa kemudian
disusul oleh tangisnya yang memilukan.
"Nona Suma, aku tidak menyesali perbuatanku yang sudah-sudah, karena sepanjang
ingatanku, aku tak pernah berbuat dosa terhadapmu ataupun terhadap siapapun juga. Aku
Sim Tiong Han adalah seorang laki laki sejati, mana mungkin aku mengganggu seorang
wanita. Aku kasihan melihatmu, nona."
Eng Eng menengok dan memandang dengan mata terbelalak. "Kasihan?*
"Aku kasihan melihat kau, seorang gadis muda yang agaknya menjadi murid orang pandai,
ternyata menderita sakit. Entah kejadian atau malapetaka apa yang telah menimpa dirimu
dan yang telah membuat pikiranmu tidak waras lagi."
"Kaukira aku gila? Bangsat terkutuk, jahanam keparat, kubunuh kau!" Eng Eng menghunus
pedangnya yang bersinar merah dan diangkatnya pedang itu ke atas.
Tiong Han memandangnya dengan senyum, "Nona Suma Eng semenjak kita bertemu didalam
hutan di dalam keadaan yang aneh dulu itu dan kemudian kau menyerangku tanpa alasan,
aku tak pernah melupakan kau. Sikapmu yang aneh itu benar-benar membingungkan aku. Kita
belum pernah bertemu, akan tetapi kau tiba-tiba saja memusuhi dan hendak membunuhku.
Ah, sungguh di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh”
"Ha, kau takut mati?*
"Tidak ada orang yang takut mati atau takut hidup, karena hidup dan mati tidak berada
di tangan manusia. Mati di dalam tangan seorang seperti kau bukan hal yang terlalu
buruk," la tersenyum. 'Hanya sayangnya aku selalu akan merasa penasaran karena belum
tahu apa sebabnya nona Suma Eng yang pandai dan cantik begitu membenci Sim Tiong Han
yang rendah."
Tiba-tiba sinar mata Eng Eng mengeras ketika ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik.
"Kau masih berpura-pura ataukah aku yang mimpi? Orang she Sim, kau dulu bertemu dengan
aku di dalam hutan, bukan ?"
"Betul, kau berada dalam keadaan pingsan dan kehujanan."
"Kau lalu membawaku ke kuil tua bukan?"
Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya menyelimuti tubuhmu dengan mantelku,
agar jangan terserang air hujan. Aku tidak tahu adanya kuil di tempat itu, kalau tahu
tentu kau akan kubawa ke sana agar terhindar dari serangan hujan lebat. Aku hanya
menyelimutimu dan ketika kau siuman, tiba-tiba kau menyerang dan melukai pundakku,"
"Bohong !" tiba-tiba Eng Eng menampar dan "plak!" pipi Tiong Han terkena tamparan keras
sehingga pemuda yang masih lemas ini tak dapat menahan. Darah segar mengalir keluar
dari bibirnya.
"Manusia pengecut! Kau telah berani melanggar dosa, berani berbuat akan tetapi tidak
berani mengaku. Laki laki macam apakah kau ini? Kau telah membawaku ke kuil ketika aku
sedang pingsan dan kau..... kau telah berbuat hina kepadaku! Karena itu aku harus
menghancurkan kepalamu sebelum aku menghabiskan nyawaku sendiri!"
"Nona, tidak salahkah kau? Apakah orang terkutuk itu orang lain?"
“Bangsat! Kaukira aku dapat melupakan muka orang?" ia menatap dengan tajam dan merasa
yakin bahwa pemuda yang dulu menghinanya adalah orang inilah!
Tiba-tiba Tiong Han teringat kepada Tiong Kiat dan ia menghela napas dengan hati perih!
"Ah. Mungkinkah…..? Ya Tuhan mengapa kau tersesat sedemikian jauhnya...?"
"Apa maksudmu? Siapa tersesat?” Eng Eng bertanya.
"Sudahlah, nona. Kalau kau mengira bahwa orang yang berbuat tidak patut terhadapmu itu
adalah aku, maka bunuhlah aku ! Aku takkan menyangkal lagi dan memang barangkali akulah
orang itu!"
"Kau mengaku?"
“Ya, boleh, kau sebutkan aku mengaku. Boleh bunuh saja dan habis perkara!"
Tiba-tiba Eng Eng menangis sedih. Entah mengapa, setelah melihat wajah dan sikap Tiong
Han, rasa bencinya lenyap secara aneh. Kalau tadi ketika Tiong Han tidak mau mengaku,
ia menjadi penasaran dan marah, adalah sekarang setelah pemuda itu mengaku, ia sendiri
merasa ragu-ragu! Sungguh aneh, tadi ketika Tiong Han menyangkal dan membuatnya merasa
yakin bahwa pemuda inilah orangnya yang berdosa, ia tidak melihat perbedaan sedikitpun
dan wajah pemuda yang mengganggunya dengan wajah pemuda dihadapannya ini. Akan tetapi
sekarang timbullah keraguan besar. Tak mungkin pemuda yang bersikap halus, sabar dan
gagah ini melakukan perbuatan sedemikian rendahnya! Dan kini ada sesuatu yang
membisikinya bahwa bukan inilah orangnya yang berdosa! Ada satu titik perbedaan antara
orang di kuil itu dengan pemuda ini, akan tetapi Eng Eng tidak tahu dan tidak ingat
lagi apakah perbedaan itu. Akan tetapi pemuda ini telah mengaku dan harus dibunuh untuk
membalas dendam hatinya. Kemudian dia akan membunuh diri sendiri, karena untuk apa
hidup lebih lama lagi menanggung derita batin yang hebat? la akan selalu merasa dirinya
kotor dan tidak berharga lagi!
Tiba-tiba Eng Eng menangis terisak-isak, menutupi mukanya dengan kedua tangannya,
sehingga Tiong Han merasa heran sekali.
"Nona Suma Eng mengapa menangis? Kau telah menganggapku orang yang berdosa telah
mencelakakan hidupnya. Nah bunuhlah, aku takkan merasa penasaran mati di tanganmu
setelah aku ketahui apa sebabnya kau hendak membunuhku."
"Kau .... kau bohong! Bersumpahlah bahwa kau bukan yang melakukan hal itu dan aku akan
melepaskanmu!"
Tertegun Tiong Han mendengar ini. Tentu saja ia ingin bersumpah untuk menyatakan
kebersihan dirinya akan tetapi ia teringat kepada Tiong Kiat! Ia tahu bahwa gadis ini
tentu telah diganggu oleh Tiong Kiat dan hatinya hancur memikirkan kejahatan dan
kesesatan adiknya itu. Kalau ia bersumpah, tentu gadis ini akan mencari Tiong Kiat dan
dia sendiri pun tidak akan dapat memaafkan Tiong Kiat untuk perbuatannya yang biadab
itu.
la menggeleng kepala. "Tidak, nona. Aku tidak dapat bersumpah,"
Tiba-tiba Eng Eng menjadi marah lagi. "Begitu ? Hm, kau seorang pengecut! Tadi kau
menyangkal bahwa kau yang melakukan perbuatan itu, sekarang kau bahkan tidak berani
berkata terus terang ! Kau…kau menyebalkan hatiku !” Kembali Eng Eng menampar dan untuk
kedua kalinya bibir Tiong Han berdarah ! Pipi pemuda yang telah ditampar dua kali oleh
tangan Eng Eng yang mengandung tenaga hebat itu telah menjadi bengkak.
"Bunuhlah saja, nona….”
"Tentu saja kubunuh kau laki laki pengecut!" Diangkatnya pedang di tangannya dengan
maksud untuk memenggal leher Tiong Han.
Akan tetapi pada saat itu sebutir batu melayang cepat dan tepat menangkis pedangnya
itu. "Trang !* Eng Eng terkejut sekali dan cepat melompat ke arah pohon besar dari mana
batu tadi melayang. Ia melihat berkelebatnya bayangan orang melompat pergi dari situ,
maka cepat ia berlari menyusul.
Ternyata bahwa Tiong Kiat yang menyambit dan menangkis bacokan pedang Eng Eng tadi.
Betapapun juga Tiong Kiat merasa terharu sekali melihat dan mendengar betapa Tiong Han
membela dan melindungi namanya ! Alangkah mulianya hati kakaknya itu. Kakaknya telah
dikhianati, telah ditotok dan dilukai, bahkan telah dicurinya pula kitab yang dibawa
oleh kakaknya. Dan sekarang, kakaknya masih berusaha melindunginya dari nama busuk.
Bagaimana ia dapat membiarkan kakaknya terbunuh oleh gadis liar ini ? Melihat Eng Eng
mengangkat pedangnya, cepat Tiong Kiat lalu menggunakan kepandaiannya, menyambit dengan
batu untuk menangkis pedang itu. Ia telah mempergunakan sepenuh tenaganya, dan percaya
bahwa pedang di tangan nona itu tentu akan terpukul jatuh dan terlepas. Siapa kira
pedang itu tidak terlepas bahkan batu yang dipergunakan untuk menyambit itu ketika
beradu dengan pedang telah terpentaI jauh !
Ketika Eng Eng melompat mengejar, lebih kaget lagi hati Tiong Kiat karena sebentar saja
gadis itu sudah hampir dapat mengejarnya ! Tak jauh dari tempat tadi, terpaksa ia
berhenti dan dengan pedang Hui-Iiong kiam di tangan, ia menanti kedatangan Eng Eng.
Setelah gadis itu tiba di hadapannya, ia terpesona oleh kecantikan yang murni dari
gadis ini. Hatinya berdebar. Alangkah jelitanya gadis ini, dan alangkah gagahnya. Untuk
kedua kalinya, Tiong Kiat merasa betapa hatinya berdenyut aneh. Pandangan matanya
melembut dan senyumnya menjadi mesra sekali.
Di lain fihak, ketika Eng Eng menghadapi pemuda ini wajahnya berubah pucat sekali. la
merasa seakan-akan berada di dalam mimpi, atau seakan-akan melihat seorang iblis di
siang hari. Tak terasa pula ia menengok ke belakang ke arah tempat tadi. Dari jauh ia
masih melihat Tiong Han rebah miring di atas rumput.
Apakah pandangan matanya sudah menjadi rusak? Mengapa ada dua orang yang demikian sama
dan serupa segala-galanya?
"Siapa kau? Mengakulah, siapa kau?" tanyanya dengan bibir gemetar.
'Nona sudah Iupa lagikah kau kepadaku ? Kita pernah saling bertemu."
"Di kuil..„...?"
Tiong Kiat mengangguk. “Ya, di kuil……”
Eng Eng merasa kepalanya pening. Bumi yang dipijaknya serasa berputaran dan ia
terhuyung-huyung ......
Tiong Kiat melompat mendekat dan hendak memeluknya, akan tetapi Eng Eng mengelak dan
berkata,"Jangan sentuh aku !”
'Nona, aku........ aku cinta kepadamu. Maafkanlah aku, aku ... aku menyesal sekali
telah melukai hatimu. Ikutlah aku, jadilah istriku dan kuperlihatkan padamu bahwa aku
akan menjadi suami yang baik untuk menebus dosaku ..."
"Terkutuk! Jadi kaulah orangnya?" sambil menjerit nyaring Eng Eng lalu menyerang dengan
pedang merahnya. Tiong Kiat cepat mengelak dan melompat mundur.
"Nona, pikirlah baik-baik. Hal itu telah terjadi. Kau adalah istriku, dan aku takkan
menyia-nyiakanmu, aku akan mengawinimu, kita menjadi suami istri yang bahagia.
Pikirlah."
Dengan muka merah dan mata bercahaya bagaikan berapi-api, Eng Eng memandang wajah
pemuda itu dengan penuh perhatian. Sungguhpun bentuk tubuh wajahnya serupa benar dengan
Tiong Han, namun kini ia melihat perbedaannya. Tahi lalat kecil di atas dagu pemuda ini
! Ya, benar, inilah orangnya. la masih teringat akan wajah pemuda ini, dan tahi lalat
itu! Inilah titik yang tadi meragukan hatinya ketika Tiong Han mengaku sebagai seorang
yang berdosa. Inilah orangnya! Dan sinar mata penuh gairah serta bibir yang tersenyum
memikat ini, ah, alangkah besar perbedaannya dengan Tiong Han.
"Keparat jahanam ! Aku sudah bersumpah akan menghancurkan kepalamu!" la menyerang lagi
dengan hebatnya.
Terkejut juga hati Tiong Kiat ketika melihat datangnya serangan ini. Ia cepat memutar
Hui liong kiamnya dengan sekuat tenaga, berusaha memukul pedang gadis itu agar terlepas
dari pegangan. Akan tetapi alangkah herannya ketika pedang itu tidak rusak atau
terlepas. Bahkan ketika Eng Eng menyerang lagi dengan penuh kebencian, pedang di tangan
gadis itu berobah menjadi segulung sinar merah yang dahsyat sekali ! Hampir sama dengan
pedang Ang coa kiam. Bukan! Apalagi setelah ia menghadapi gadis ini beberapa jurus,
makin gelisah hatinya. Ilmu pedang gadis ini benar-benar kukoai (ganjil), gerakannya
demikian kacau balau dan setiap Jurus yang agaknya ia merasa seperti mengenalnya,
ternyata perkembangannya jauh berbeda dengan gerak atau jurus yang lajim. Gerakan gadis
ini seakan-akan menjadi kebalikan dari pada ilmu pedang biasa. Namun kelihaiannya
bahkan lebih dari ilmu pedang biasa. Nampak kacau balau, namun di dalam kekacauan itu
tersembunyi daya serang dan kekuatan yang membingungkannya.
Terpaksa Tiong Kiat lalu mengeluarkan kepandaiannya dan ia melawan dengan penuh
perhatian dan hati-hati sekali. la makin kagum dan rasa sayangnya makin tebal. Gadis
ini jauh lebih cantik dari pada Kui Hwa, dan jauh lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan,
ilmu pedang gadis ini belum tentu berada di bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Aduh,
alangkah bahagianya kalau ia bisa menjadi suami gadis yang cantik dan gagah perkasa
ini.
"Nona...... tahan dulu, nona! Biarkan aku bicara sebentar.."
"Anjing hina dina, kau masih mau bicara apa lagi?” berkata Eng Eng dengan marah, akan
tetapi ia menahan pedangnya juga karena ia ingin sekali mendengar bicara pemuda yang
menghancurkan kehidupannya ini.
'Nona, tidak bisakah kau memaafkan aku? Aku cinta kepadamu dan biarpun aku telah
dikuasai oleh nafsu sehingga berlaku salah kepadamu, akan tetapi aku bersumpah bahwa
aku menyesal sekali, dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus dosaku. Aku akan
memberi kebahagiaan kepadamu, biarlah aku berlaku seperti pelayanmu, biarlah aku
melindungimu sampai di hari tua. Nona …"
"Tutup mulut dan mampuslah!” Eng Eng menjerit makin marah dan kini dua titik air mata
berloncat keluar dari pelupuk matanya. Ia menyerang dengan sepenuh semangatnya,
mengerahkan kepandaian dan tenaganya sehingga Tiong Kiat menjadi sibuk sekali. Pemuda
ini maklum bahwa tanpa membalas, ia akan celaka. Maka kini, ia merubah gerakan
pedangnya dan membalas serangan gadis itu. Terjadilah pertandingan yang luar biasa
sekali serunya.
Akan tetapi, ilmu pedang gadis itu terlalu ganas dan kuat bagi Tiong Kiat. Kalau saja
ia tidak sedang bingung dan tidak telah terluka lengannya oleh pedang Tiong Han
kemarin, mungkin ia akan dapat bertahan sampai puluhan atau sampai seratus jurus. Akan
tetapi kini ia hanya dapat bersilat sambil mundur, terus terdesak hebat oleh gadis yang
ganas sekali gerakan pedangnya itu.
'Akan kubeset kulitmu, kukeluarkan isi dadamu!" berkali-kali Eng Eng berseru sambil
memperhebat serangannya.
Akhirnya Tiong Kiat tidak tahan lagi menghadapi Eng Eng. Dengan seluruh tenaga yang
masih ada, ketika pedang merah di tangan Eng Eng meluncur dan menusuk ke arah ulu
hatinya, ia lalu menyampok pedang ini dengan pedangnya. Tenaga sampokannya keras sekali
dan biarpun pedang di tangan Eng Eng tidak terlepas namun terpental sehingga gadis ini
mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur untuk menghindarkan diri dari serangan
balasan yang mendadak.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tiong Kiat. Ia cepat melompat jauh dan berlari
pergi dari situ!
"Jahanam busuk, kau hendak lari kemana ?" Eng Eng cepat mengejar,
Tiong Kiat tidak berani melawan lagi. Biarpun ia sanggup menjaga diri dan menahan
serangan gadis ini, akan tetapi ia merasa gelisah kalau teringat kepada Tiong Han. Tak
lama lagi Tiong Han akan bebas dari totokan dan kalau kakaknya itu turun tangan,
celakalah dia!
Dengan secepatnya ia melarikan diri, Rasa takut membuat larinya Iebih cepat dari pada
biasanya. Namun Eng Eng juga memiliki ginkang serta ilmu lari cepat yang tinggi
tingkatnya sehingga gadis ini merupakan bayangan yang tak pernah tertinggal jauh oleh
Tiong Kiat !
Ketika tiba di sebuah hutan kecil, Eng Eng kehilangan bayangan pemuda itu dan ia terus
mengejar turun. Padahal pemuda itu bersembunyi di dalam serumpun alang-alang lebat.
Melihat gadis itu sudah melewatinya, Tiong Kiat cepat keluar dan berlari mengambil
jalan ke arah lain.
Bukan main panas dan penasaran rasa hati Eng Eng ketika ia tidak dapat mencari Tiong
Kiat. Pemuda itu telah lenyap bagaikan ditelan bumi. Kecewa sekali hatinya. Ia hendak
melanjutkan pengejarannya, akan tetapi ia lalu teringat kepada Tiong Han, maka ia lalu
kembali naik ke atas bukit itu.
Ketika ia tiba di tempat itu, ia mendapatkan Tiong Han sudah bangun dan duduk di bawah
pohon. Pemuda ini sedang membersihkan pipi dan bibirnya yang berdarah karena tamparantamparan
Eng Eng tadi. Biarpun nampaknya masih lemas dan agak pucat namun kesehatannya
sudah pulih kembali. Totokan itu telah dapat dilepaskannya sebelum waktunya dengan
pengerahan tenaga dalamnya.
Bukan main malu dan terharu hati Eng Eng ketika ia melihat pemuda ini. Melihat betapa
pipi pemuda itu menjadi bengkak dan kemerahan bekas tamparannya, hampir saja ia tidak
dapat menahan air matanya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menghampiri Tiong Han
yang telah berdiri dan memandangnya dengan tenang.
"Aku ........ aku telah berlaku salah… harap kau suka maafkan padaku," kata Eng Eng
dengan suara gagap juga.
“Tidak apa nona Suma. Sudah sewajarnya kau sebenci itu kepadaku. Bahkan sekarang juga
aku masih bersedia untuk menerima, biar akan kau bunuh juga."
"Akan tetapi mengapa ?? Mengapa kau melindungi orang itu? Siapakah dia?"
Tiong Han menarik napas panjang. Setelah gadis ini bertemu sendiri dengan Tiong Kiat,
ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi.
"Dia adalah adik kembarku, Sim Tiong Kiat.”
"Akan tetapi, dia yang berbuat dosa, mengapa kau yang mengakuinya dan membiarkan aku
melakukan kesalahan kepadamu?" Eng Eng berkata penuh penasaran.
Tiong Han mencoba tersenyum. "Lupakah kau nona, bahwa tadinya aku telah menyangkal akan
tetapi kau tidak percaya kepadaku? Setelah aku menduga bahwa perbuatan keji itu tentu
dilakukan oleh Tiong Kiat, sudah sepatutnya kalau aku yang menerima hukumannya. Aku
rela mati untuknya, aku adalah kakaknya dan juga pengganti orang tuanya. Kami berdua
telah menjadi yatim piatu semenjak kecil, hidupnya hanya bersandar kepadaku dan kalau
ia menjadi tersesat, tanggung jawabku pulalah itu." Entah mengapa, pemuda ini
menceritakan segala hal kepada Eng Eng dan akhirnya ia menjadi demikian berduka
memikirkan Tiong Kiat sehingga ia hanya menundukkan mukanya.
"Kau lemah, kau terlalu baik hati." Eng Eng mencela. "Manusia macam adikmu itu harus
dibasmi dari muka bumi! Aku akan mencarinya sampai dapat, biar berlari ke neraka akan
kukejar!" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu membalikkan tubuh dan hendak lari dari
situ.
"Nanti dulu nona…" Tiong Han menahan dan terkejutlah Eng Eng ketika melihat betapa
dengan sekali lompatan saja pemuda ini telah berada di hadapannya! Ah, kepandaiannya
hebat juga pikirnya.
"Kuharap kau jangan pergi mencari Tiong Kiat,* katanya.
Marahlah Eng Eng dan dicabutnya pedangnya, mengeluarkan sinar kemerahan. "Apa? Kau
masih juga hendak membela adikmu yang durhaka dan jahat itu? Sim Tiong Han, kalau kau
masih mabok dalam kelemahan hati dan kasih sayang terhadap adik secara membuta boleh
kau merasai pedangku ! Tak perduli siapa yang hendak membela si pendurhaka Tiong Kiat
dia adalah musuhku!'
"Nona kaukira aku seorang yang demikian jahat? Adik kandungku telah berbuat dosa besar
terhadapmu, apakah aku bahkan hendak menambag dosa itu dengan memusuhimu? Tidak, nona
Suma Eng, tidak. Biarpun kau hendak membunuhku, aku takkan melawan. Dosa adikku adalah
dosaku juga karena akulah yang mendidiknya semenjak kecil. Aku mencegahmu mengejar
Tiong Klat, hanya karena…. aku kuatir kalau kalau kau malah akan menjadi korban di
ujung pedangnya. Ketahuilah bahwa dia telah merampas kitab ilmu pedang Ang coa-kiamsut
dan apabila ia telah dapat menamatkan pelajarannya dalam ilmu pedang itu, sukar bagimu
untuk dapat mengalahkannya !"
"Sombong! Siapa takut menghadapi Ang-Coa kiamsut palsu? Mau tahu Ang coa-kiam? Inilah
pedang ular merah yang asli!” Ia memperlihatkan pedangnya. "Mau tahu ilmu pedang Ang
coa kiamsut yang sesungguhnya ? Lawanlah ilmu pedangku, karena hanya ilmu pedangku saja
yang disebut Ang-coa-kiamsut!”
Tiong Han tertegun mendengar ini dan ia memandang ke arah pedang ini dengan penuh
perhatian. "Pokiam (pedang pusaka) yang baik sekali, akan tetapi bukan Ang-coa kiam,
nona. Inilah Ang coa-kiam yang menjadi pedang pusaka dari Kim liong pai, peninggalan
dari sucouw Bu Beng Sianjin!” Ia mencabut pedangnya dan memperlihatkannya kepada Eng
Eng juga. Kini gadis itu yang memandang dengan penasaran. Lalu ia tersenyum menghina.
"Hm, pedang buruk seperti ular itu kau sebut Ang.coa kiam? Dan kau mau bilang bahwa kau
juga ahliwaris dari ilmu pedang Ang coa kiamsut?”
"Memang betul, nona. Aku adalah murid dari Kim liong pai dan tentu saja ilmu pedangku
adalah ilmu pedang Ang-Coa-kiam-sut!"
"Hm, marilah kita sama membuktikan mana pedang Ang coa-kiam tulen dan mana Ang coa
kiamsut asli!” bentak nona itu yang sudah menjadi marah dan ia menyerang dengan
hebatnya.
Juga Tiong Han merasa penasaran sekali. Dalam hal urusan pribadi yang menyangkut
persoalan Tiong Kiat, ia memang mau mengalah dan juga ia merasa amat kasihan kepada
gadis yang menjadi korban adiknya ini, akan tetapi kalau orang menganggap pedang dan
ilmu pedangnya palsu, itu sudah keterlaluan sekali. Ia hendak membuktikan bahwa pedang
dan ilmu pedangnya bukan palsu, maka iapun lalu menangkis dan terjadilah pibu (mengadu
kepandaian ) yang hebat dan seru sekali di tempat sunyi itu.
-0oo-dw-oo0-
Jilid 4
SEPERTI juga halnya Tiong Kiat, kini Tiong Han merasa bingung dan terkejut menghadapi
ilmu pedang gadis ini yang amat aneh dan ganas luar biasa. Baiknya ia sudah mendapat
kemajuan pesat dalam ilmu pedangnya dan sudah mempelajari bagian pertahanan yang kuat
sekali, kalau tidak tentu ia akan termakan senjata gadis yang hebat ini.
Juga Eng Eng menjadi makin kagum. Ia dapat merasakan bahwa ilmu kepandaian pemuda ini
masih lebih tinggi dari pada kepandaian Tiong Kiat dan tiba-tiba ia merasa sesuatu yang
aneh terasa dalam hatinya. Pemuda ini luar biasa sekali dan amat menarik hatinya. Sopan
santun, lemah lembut dan manis budi. Jujur dan berbudi mulia, setia kepada saudara dan
kini ternyata ilmu kepandaiannya tinggi pula! Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan
Tiong Kiat. Bagaikan bumi dan langit, ia melihat wajah pemuda itu demikian pucat dan
darah masih nampak di bibirnya. Juga pemuda itu mendapat Iuka parah di pundaknya, maka
hatinya menjadi tidak tega untuk mendesak lebih hebat.
"Sudahlah, ilmu pedangmu baik juga. Aku tidak keberatan kau namakan ilmu pedangmu itu
Ang coa-kiamsut!" kata Eng Eng sambil menarik kembali pedangnya.
"Akan tetapi ilmu pedangmu juga hebat, ganas dan lihai sekali, nona!" seru Tiong Han
dengan kagum dan gembira. "Aku harus menanyakan ini kepada suhu! Bolehkah aku
mengetahui dari perguruan manakah nona dan siapakah suhumu yang mulia?"
"Suhuku sudah mati, namanya Hek sin-mo. Sudahlah Sim Tiong Han, kita berpisah di sini.
Aku hendak mengejar adikmu yang jahat!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu lompat
pergi dari tempat itu. Tiong Han terlampau heran dan terkejut mendengar nama Hek sin mo
sehingga ia hanya berdiri bengong dan tidak mencegah gadis itu pergi. sungguhpun
hatinya terasa berat sekali. Ia pernah mendengar dari suhunya tentang seorang tokoh
tinggi di dunia kang-ouw yang bernama Hek sin mo dan kakek ini terkenal sebagai seorang
pendekar aneh yang sakti dan juga gila ! Bahkan suhunya pernah bercerita kepadanya
bahwa sucouwnya, yakni Bu Beng Siansu, kenal baik bahkan bersahabat dengan si gila Hek
sin mo itu !
Tiba - tiba ia mendengar senjata beradu dibarengi bentakan-bentakan nyaring yang
dikenalnya sebagai suara Eng Eng ! Cepat Tiong Han melompat menuruni lereng dan
dilihatnya Eng Eng tengah dikeroyok oleh tiga orang yang menyerangnya dengan seru
sekali.
Siapakah mereka ini ? Bukan lain adalah Thian-te Sam-kui. Tiga Iblis Bumi Langit yang
terkenal lihai. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ban Yang Tojin orang
kedua dari tiga iblis itu, telah terbabat putus lengan kirinya oleh Eng Eng. Dan juga
orang ketiga dari mereka, Ban Hwa Yong si penjahat pemetik bunga, telah bertemu dengan
Tiong Han dan telah diusir dan dikalahkan ketika Ban Hwa Yong sedang mengamuk dan
dikeroyok oleh rombongan piauwsu dari Gin houw piauwkiok. Ketika Ban Hwa Yong dan Ban
Im Hosiang melihat saudara mereka yang putus lengannya, keduanya menjadi marah sekali.
Mereka bersumpah untuk membalas dendam kepada Suma Eng gadis yang telah melukai Ban
Yang Tojin dan mulailah mereka mencari gadis itu.
Akhirnya mereka mendapatkan jejak Eng Eng dan menyusulnya ke puncak gunung Ta-pie san.
Kebetulan sekali ketika mereka telah tiba di lereng itu, mereka melihat Eng Eng sedang
berlari turun.
"Bangsat perempuan, bagus sekali iblis sendiri telah menyerahkan kau ke dalam tangan
kami !" seru Ban Yang Tojin dengan marah sekali ketika ia melihat musuh besar yang
telah membuat lengannya menjadi buntung.
"Jangan bunuh dulu, jiwi suheng !" berkata Ban Hwa Yong sambil tersenyum menyengir dan
memandang kagum kepada tubuh yang indah bentuknya serta wajah yang cantik manis itu.
"Tangkap saja dan berikan padaku bunga ini.”
Eng Eng marah sekali melihat tiga orang ini. Ketika melihat Ban Yang Tojin ia menduga
bahwa yang dua orang lagi tentulah Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong. Ia memang mencaricari
tiga orang Thian-te Sam-kui ini untuk membalas sakit hati keluarga Ting Kwan Ek
dan orang-orang yang telah terbunuh oleh tiga iblis ini di kota Hun leng, yakni para
piauwsu dari Pek-eng piauwkiok.
"Bagus Thian-te Sam kui. Tanpa dicari kalian telah datang sendiri mengantarkan kepala,
Ting- twako dan istrinya telah lama menanti kalian di alam baka!” Sambil berkata
demikian Eng Eng lalu menggerakkan pedangnya yang berobah menjadi scgulung sinar merah
yang dahsyat sekali.
Di antara tiga orang iblis ini, hanya Ban Yang Tojin yang sudah merasakan kelihaian
pedang gadis itu, maka ketika Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong menyaksikan ilmu pedang
ini, mereka diam-diam merasa terkejut sekali, bahkan Ban Hwa Yong tidak berani mainmain
lagi. juga tidak berani memandang rendah. Segera ia mengeluarkan sepasang
senjatanya yang lihai, yakni kaitan besi yang berbahaya itu. Ban Yang Tojin
mengeluarkan tombaknya yang berujung bintang, sedangkan Ban Im Hosiang juga menghunus
pedangnya. Karena maklum bahwa gadis ini mempunyai ilmu kepandaian yang tidak boleh
dipandang ringan, maka tanpa malu-malu Iagi Thian-te Sam - kui lalu mengeroyoknya !
Untung saja bahwa pertempuran ini terjadi di atas lereng gunung yang sunyi sekali, jauh
dari masyarakat ramai. Kalau pertempuran itu berlangsung di tempat ramai, Thian - te
Sam - kui tentu akan merasa malu sekali. Mereka adalah tokoh - tokoh kang-ouw yang amat
terkenal dan seorang di antara mereka saja jarang ada orang berani melawan, apalagi
bertiga. Dan kini, menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita ini Thian te Samkui
sampai maju bertiga mengeroyoknya!
Suma Eng atau Eng Eng sudah mewarisi ilmu kepandaian Hek sin-mo yang luar biasa maka
ilmu pedangnya tinggi dan lihai sekali. Jangankan baru seorang dua orang ahli silat
biasa saja, biarpun menghadapi sepuluh orang pengeroyok lebih yang memiliki kepandaian
biasa,agaknya tak mungkin para pengeroyoknya dapat menangkan dia.
Akan tetapi, kali ini Eng Eng menghadapi Thian te Sam kui, Tiga Iblis Bumi Langit yang
termasuk tokoh tokoh tinggi dalam pengalaman. Orang pertama dari Thian te Sam-kui yakni
Ban Im Hosiang, adalah seorang hwesio tua yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi dan
kuat, lagi pula semenjak puluhan tahun kegemaran hwesio ini adalah berpibu. Tiap kali
terdengar olehnya ada seorang jagoan, biarpun tempat tinggalnya jauh, selalu ia akan
mendatangi jagoan itu untuk diajak mengadu kepandaian ! Dan boleh dibilang selalu ia
mendapat kemenangan di dalam pibu ini. Bahkan ia pernah berani menaiki gunung Kun lun
san dan Gobi-san untuk mencoba kepandaian para tokoh Kun-lun pai dan Gobi.pai !
Sungguhpun ia dikalahkan dalam pibu namun kepandaiannya cukup dikagumi oleh tokoh
persilatan yang lain.
Orang kedua adalah Ban Yang Tojin yang pandai sekali mainkan senjata tombak berujung
bintang. Tosu ini sudah dua kali kalah oleh Eng Eng, bahkan dua kalinya nona gagah itu
telah membabat putus sebelah lengannya, maka tentu saja hatinya menjadi amat sakit dan
ia menerjang nona itu dengan kebencian luar biasa dan sangat bernyala-nyala.
Orang ketiga Ban Hwa Yong, juga lihai sekali ilmu silatnya. Senjatanya yang merupakan
sepasang kaitan itu amat sukar dilawan dan sukar pula dijaga.
Dengan dikeroyok oleh tiga orang lihai ini, tentu saja Eng Eng merasa terkurung rapat
dan terdesak hebat, Hanya keberanian dan semangatnya yang Iuar biasa saja yang membuat
gadis ini dapat mempertahankan diri dengan baik, bahkan dapat pula membalas dengan
serangan serangan yang tak kalah hebatnya. llmu pedangnya dan gerakan tubuhnya sungguh
membuat Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong terkejut dan gentar sekali. Belum pernah selama
hidupnya Ban im Hosiang menyaksikan ilmu pedang seperti ini. Padahal ia seringkali
menyombongkan pengalamannya dan mengaku telah mengenal segala macam ilmu silat yang ada
di dunia ini !
Ban Yang Tojin mulai merasa girang karena ia percaya penuh bahwa kepandaian mereka
bertiga pasti akan berhasil membalaskan sakit hatinya terhadap gadis yang telah
membuatnya menjadi cacad selamanya itu. Ia mendesak hebat sekali dengan tombaknya dan
boleh dibilang, di antara mereka bertiga, serangan tosu ini yang paling sengit.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras.
"Ban Hwa Yong penjahat cabul, kau berada di sini ? Hm, tentu kalian bertiga ini yang
disebut orang Thian-te Sam-kui !' Berbareng dengan seruan itu, kembali berkelebat
gulungan sinar merah dari pedang seorang pemuda.
Kini dua gulungan sinar pedang merah itu menahan serangan Thian te Sam kui !
Begitu melihat berkelebatnya sinar merah dari pedang Tiong Han dan setelah melihat tipu
gerakan ilmu pedang Tiong Han, Ban Im Hosiang lalu berseru keras.
"Tahan dulu ! Yang baru datang bukankah murid dari Kim Iiong pai dan yang kau pegang
itu bukankah Ang.coa-kiam?"
Eng Eng dan Tiong Han menahan pedang mereka, Tiong Han menghadapi Ban im Hosiang dan
berkata sambil tersenyum sinis.
“Betul, aku yang muda adalah murid dari Kim-liong-pai dan pedang ini adalah Ang-coa
kiam. Saudaramu Ban Hwa Yong telah bertemu dengan aku dan melihat watak dari adikmu
yang buruk, tak perlu kita bicara lagi."
"Anak muda yang sombong ! Terhadap lain orang kau boleh menyombongkan ilmu pedangmu
dari Kim-Iiong pai, akan tetapi aku tidak takut, biarpun kau memegang pedang Ang coakiam!"
Seru Ban Im Hosiang marah dan mendongkol sekali. "Kami memusuhi iblis wanita ini
yang liar dan ganas, yang telah membacok putus lengan suteku. Ada sangkut paut apakah
dengan kau murid Kim Iiong pai ?"
"Thian te Sam-kui, dengarlah baik-baik, biarpun aku tidak mempunyai urusan dengan
kalian dan urusanmu dengan nona ini tidak ada hubungannya denganku, namun sebagai murid
Kim liong pai, aku selalu berada di pihak yang benar. Kalian adalah orang-orang
berkepandaian tinggi yang menyalahgunakan kepandaian, berlaku jahat dan kejam
sebagaimana yang dilakukan oleh Ban Hwa Yong, maka terpaksa aku akan membela nona ini!"
Tiba-tiba Ban Hwa Yong tertawa bergelak,” Ha,ha,ha, Ang-coa-kiam! Dulu ketika kita
bertemu, aku masih belum kenal sebenarnya Ang-Coa kiam. Kau bilang aku jahat, penjahat
cabul? Ha, ha, ha! Siapa tidak tahu bahwa Ang coa kiam adalah seorang pengganggu
perempuan yang lebih ganas dari padaku? Kau lebih cabul dari padaku, sungguh lucu
sekali kau masih dapat memaki-makiku! Seperti seorang perampok besar memaki seorang
maling kecil! Ang-coa-kiam, kita adalah orang-orang segolongan yang memiliki kesukaan
yang sama, Kalau kau tergila-gila kepada bunga indah ini, biarlah aku mengalah atau
tidak bisakah kita bagi rasa?"
Bukan main marahnya Tiong Han mendengar ucapan manusia cabul itu. Akan tetapi berbareng
hatinya menjadi perih juga karena ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan oleh penjahat
cabul ini tentulah adiknya, Tiong Kiat ! Maka ia tidak dapat menjawab, hanya berkata
kepada Eng Eng.
"Nona, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!"
Eng Eng semenjak tadi memang telah habis sabar melihat Tiong Han bercakap-cakap dengan
penjahat itu. Mendengar omongan Ban Hwa Yong, ia juga dapat menduga bahwa yang
dimaksudkan oleh penjahat itu tentulah Tiong Kiat, sehingga kembali Tiong Han menjadi
korban perbuatan adiknya dan dia yang mendapat nama busuk! Ia merasa kasihan kepada
pemuda ini, maka ketika mendengar ucapan Tiong Han, Eng Eng tidak menjawab lagi, hanya
melompat maju dan menyerang dengan hebatnya, ia disambut oleh Ban Yang Tojin yang
dibantu oleh Ban Hwa Yong. Adapun Sim Tiong Han, yang bergerak maju mendapat lawan Ban
Im Hosiang, orang terpandai dari Thian.te Sam-kui.
Pertempuran berjalan lebih ramai dari pada tadi. Akan tetapi tidak berlangsung lama.
Ban Im Hosiang yang menghadapi Tiong Han, sebentar saja terdesak hebat. Ilmu pedang
Ang-coa kiamsut telah dipelajari oleh pemuda ini sampai tingkat tinggi. Telah delapan
puluh bagian lebih ilmu pedang itu ia kuasai dan kini karena ia mainkan ilmu petang itu
dengan pedang Ang.coa.kiam, tentu saja kelihaiannya bertambah-tambah. Biarpun Ban Im
Hosiang mempunyai kelebihan dalam tenaga Iweekang, namun kelebihan ini ditutup oleh
kekalahannya dalam hal pedang. Pedangnya-pun bukan pedang buruk, namun kalau
dibandingkan dengan Ang-coa-kiam, pedangnya itn tidak berarti sama sekali. Hwesio ini
tahu akan kelemahan pedangnya, maka iapun bersilat dengan amat hati hati, tidak berani
mengadu mata pedangnya dengan mata pedang Ang coa-kiam.
Pertempuran yang terjadi di antara Eng Eng yang dikeroyok dua oleh Ban Yang Tojin dan
Ban Hwa Yong, lebih seru lagi. Gadis ini sekarang dapat mengamuk lebih hebat daripada
tadi karena sesungguhnya yang paling berat dilawan adalah Ban Im Hosiang. Dua orang
pengeroyoknya, yang seorang sudah kehilangan lengan kiri dan yang kedua, yakni Ban Hwa
Yong yang mata keranjang dan sayang akan kecantikan gadis ini, tidak menyerang dengan
sekuat tenaga. Ban Yang Tojin telah mengganti senjatanya, karena ia telah maklum akan
keampuhan pedang gadis itu, namun tetap saja tombak bintangnya yang sekarang tiba-tiba
putus ujungnya ketika beradu dengan keras sekali dengan pedang merah di tangan Eng Eng.
Dan sebelum Ban yang Tojin dapat mengelak, ujung pedang di tangan Eng Eng telah menusuk
paha kanannya sehingga tosu ini roboh sambil mengeluarkan teriakan keras. Kalau saja
luka di pahanya itu disebabkan oleh tusukan pedang biasa, mungkin ia masih akan dapat
melarikan diri. akan tetapi bekas tusukan pedang merah di tangan Eng Eng mendatangkan
rasa panas dan sakit luar biasa sehingga ia hanya rebah sambil merintih-rintih !
Bukan main kagetnya Ban Hwa Yong melihat betapa suhengnya telah roboh. la memutar
sepasang besi kaitannya dengan cepat untuk melindungi diri, akan tetapi sebuah sabetan
dari Eng Eng telah membuat sebuah dari kaitannya putus pula ! Ban Hwa Yong melompat ke
belakang dan pada saat itu terdengar lain teriakan dan tubuh Ban Im Hosiang terlempar
karena tendangan Tiong Han! MeIihat haI ini, Ban Hwa Yong lalu melemparkan kaitannya
yang telah putus itu ke arah Eng Eng kemudian cepat melarikan diri dari situ. Eng Eng
mengangkat pedangnya menangkis, kemudian sebelum Tiong Han dapat mencegahnya, gadis ini
dengan gerakan kilat melompat ke dekat Ban Im Hosiang. Sekali pedang merahnya
berkelebat, putuslah leher hwesio itu! Setelah itu, kembali pedangnya berkelebat
dibarengi bentakannya yang keras ke arah leher Ban Yang Tojin maka tewaslah orang
pertama dan kedua dari Thian te Sam kui yang pernah menggoncangkan dunia kang ouw. Eng
Eng hendak mengejar Ban Hwa Yong, ternyata bahwa penjahat itu telah lenyap tidak dapat
ia ketahui ke mana perginya.
“Mengapa kau tidak mengejarnya?" gadis berkata menyesal dan kecewa kepada Tiong Han.
Adapun pemuda ini yang memang masih agak lemah, kini menjadi makin pucat melihat
keganasn Eng Eng ini, ia tidak menjawab pertanyaan yang mengandung teguran itu, bahkan
dialah yang kini menegur sambil mengerutkan keningnya.
"Nona, mengapa kau begitu kejam? Mengapa kau membunuh lawan-lawan yang sudah terluka
tak berdaya? Apakah kesalahan mereka terhadapmu sehingga kau demikian ganas terhadap
Thian-te Sam-kui?"
"Lagi-lagi kau memperlihatkan kejernihan hatimu," gadis ini mencela. "Kau mudah terharu
dan tergerak hatimu menyaksikan sebuah peristiwa yang hanya merupakan akibat dari pada
sebab yang lebih mengerikan lagi. Tentu sedikitpun tidak terduga atau terpikir olehmu
mengapa aku berlaku sedemikian ini yang kau anggap ganas dan kejam."
Merahlah wajah Tiong Han. Memang ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis
aneh ini dengan Thian-te Sam-kui. Menurut pendengarannya tadi, gadis ini pula yang
telah membuntungkan lengan Ban Yang Tojin dan disangkanya itulah sebenarnya maka Thiante
Sam kui datang memusuhi Eng Eng.
"Maaf nona, memang aku belum mengerti. Tolong kau ceritakanlah kepadaku agar hatiku
tidak penasaran lagi."
"Mungkin kau sudah tahu akan sifat-sifat buruk ketiga orang penjahat ini. Sebab pertama
timbulnya permusuhan antara mereka dan aku disebabkan oleh Ban Yang Tojin." Gadis ini
dengan jelas lalu menceritakan betapa Ban Yang Tojin mengganggu dan merampok Pek-eng
piauwkiok dan betapa ia telah menolong Ting kwan Ek dan mengusir Ban Yang Tojin.
Kemudian Ban Yang Tojin dengan bantuan kedua orang saudaranya itu datang membalas
dendam karena kekalahannya dan di luar tahu Eng Eng lalu ketiga orang Iblis itu
membasmi Pek-eng-piauwkiok dan membunuh seluruh keluarga Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin,
bahkan lalu membawa lari Nyonya Ouw yang muda lagi cantik.
Setelah mendengar penuturan Eng Eng marahlah Tiong Han. "Hm, kalau begitu, sayang
sekali kita melepaskan Ban Hwa Yong lari. Dia juga patut dilenyapkan dari muka bumi
ini!" Ia lalu menceritakan kepada Eng Eng betapa iapun pernah bertempur dengan Ban Hwa
Yong telah membunuh Lo Kim Bwe atau Nyonya Ouw yang diculiknya itu, yakni ketika Ban
Hwa Yong bertempur menghadapi keroyokan piauwsu dan Gin houw-piauwkiok.
"Lo Kim Bwe memang sudah sepantasnya mengalami kematian di tangan penjahat itu," kata
Eng Eng yang memang merasa gemas dan benci sekali kepada nyonya muda yang genit itu.
Maka diceritakanlah kepada Tiong Han akan segala pengalamannya ketika ia berada di
rumah Ting Kwan Ek yang dianggapnya sebagai kakak sendiri itu.
Tak terasa lagi keduanya berjalan perlahan menuruni bukit Ta-pie san sambil bercakapcakap
dengan asyik sekali, sama sekali tidak merasa kikuk atau asing seakan-akan mereka
telah bertahun-tahun menjadi kenalan karib, Tiong Han makin tertarik hatinya terhadap
gadis ini dan diam-diam ia memaki adiknya yang sudah begitu keji terhadap gadis seperti
ini.
“Nona Suma Eng ketahuilah bahwa antara suhumu dan sucouwku masih terdapat ikatan
persahabatan yang amat erat. Sucouwku adalah Bu Beng Sianjin, apakah suhumu tidak
pernah menceritakan padamu tentang sucouw?”
Gadis itu menggeleng kepala. Bercakap-cakap dengan Tiong Han mengenai masa Iampau
membuat ia seakan-akan berjalan dengan seorang yang telah lama di nanti-nanti, dikenang
dan diharapkan kedatangannya. la merasa bahagia tenteram dan semua pemandangan di atas
bukit itu nampak indah dan berseri. Ia merasa seakan-akan berada di dalam perlindungan
yang kuat yang dapat dipercaya penuh, yang membuat ia merasa seperti seorang anak kecil
dipangkuan ibunya. Alangkah bahagianya kalau ia selalu dapat berada di dekat pemuda
yang sopan, halus dan juga lihai ini ! Akan tetapi tiba tiba wajahnya yang cantik
jelita itu menjadi merah sampai ke telinganya. Ia teringat lagi kepada Tiong Kiat dan
teringat lagi akan keadaan dirinya yang sudah terhina oleh Tiong Kiat.
Tiong Han kebetulan mengerling dan menatap wajahnya, maka pemuda ini dapat melihat
perobahan pada muka Eng Eng.
"Ada apakah nona ? Apakah kau Ielah dan ingin istirahat ?"
"Tidak, aku....... aku harus berpisah darimu. Kan baik sekali, Sim twako dan aku akan
selalu menyebutmu twako karena kau baik, baik seperti twako Ting Kwan Ek yang sudah
mati. Akan tetapi, aku harus pergi, aku harus mencari adikmu yang jahanam itu untuk
kuhancurkan kepalanya !"
Muramlah wajah Tiong Han yang tadinya sudah nampak gembira, ia menarik napas berulang
ulang dan dengan menyesal sekali berkata, "Apa yang dapat kukatakan ? Tiong Kiat memang
telah berlaku jahat sekali. Kau berhak penuh untuk membalas dendam...... dan aku.......
ah, apa yang dapat kukatakan?"
Pemuda ini lalu menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar untuk mengaso karena
ucapan Eng Eng tadi seketika itu juga menimbulkan semua kelelahan yang tadi tidak
terasa olehnya, ia memandang dengan sedih ketika gadis itu meninggalkannya setelah
menengok tiga kali seakan gadis itupun merasa menyesal harus berpisah darinya.
Perasaan kecewa, menyesal, duka, ditambah oleh kelelahan karena pertempuran-pertempuran
tadi sedangkan luka pada pundaknya oleh tusukan pedang adiknya masih belum sembuh
membuat Tiong Han tertidur di bawah pohon itu. Angin berhembus perlahan mengipasi
tubuhnya sehingga tidurnya makin nyenyak.
Tiba tiba ia merasa betapa pedang di pinggangnya bergerak. Cepat ia membuka mata dan
melompat bangun. Ternyata ia telah dikurung oleh lima orang berpakaian sebagai tosu dan
sudah tua-tua dan ketika ia meraba pinggangnya ternyata bahwa pedangnya itu berikut
sarungnya telah dibawa oleh seorang tosu yang nampak tertua dan yang mempunyai sinar
mata berpengaruh. Kelima orang tosu itu bagaikan patung berdiri mengurung dan
memandangnya dengan sinar mata tajam!
"Apa… apa artinya ini? Siapakah ngowi Suhu ?” tanya Tiong Han dengan gagap.
"Ang coa.kiam, bukalah matamu lebar-lebar! Kami adalah tosu-tosu dari Kun lun pai!"
Akan tetapi, lima orang tosu tokoh Kun-lun.pai itu menjadi heran ketika melihat betapa
pemuda ini memandang mereka dengan tak mengerti.
"Harap maafkan apabila teecu tidak mengetahui akan kedatangan ngowi suhu. Akan tetapi,
mengapakah pedang teecu dirampas dan apakah maksud kedatangan ngowi ini?"
"Ang coa-kiam!" tosu yang merampas pedangnya membentak. "Pinto adalah Gan Tian Cu dan
sudah lama pinto mengenal suhumu Lui Thian Sianjin di Kim liong-pai ! Kalau tidak
memandang muka suhumu, sekarang juga kau tentu telah kami bunuh tanpa banyak bertanya
lagi. Akan tetapi, karena kau adalah anak murid Kim-liong-pai dan pedang Ang. coa-kiam
berada di tanganmu, pinto masih hendak memberi kesempatan kepadamu. Mengapa kau
membunuh seorang anak murid kami berdasarkan kejahatan dan kesesatanmu? Murid kami itu
adalah seorang yang menjunjung tinggi keutamaan dan mendengar tentang kesesatan Ang
coa-kiam, dia sengaja datang menegurmu, akan tetapi kau bahkan telah menjatuhkan tangan
maut kepadanya."
"Totiang, apakah artinya semua ini?" Tiong Han memandang dengan heran dan penasaran,
"teecu tak pernah bertemu dan tak pernah bertempur dengan seorang anak murid Kun-lunpai,
bagaimana teecu dapat membunuh seorang murid Kun- lun-pai ?”
"Ang-coa-kiam! Kau telah berani memakai nama julukan Ang-coa kiam, meninggalkan tanda
gambar pedang ini pada tiap tempat kau melakukan kejahatan. Suatu perbuatan yang amat
berani dan sombong ! Akan tetapi sekarang ternyata dihadapan pinto kau berlaku amat
pengecut. Kau telah membunuh Lo Ban Tek murid kami di kota l-kiang, apakah kau masih
mau menyangkal lagi ?"
Lenyaplah keheranan Tiong Han dan hatinya tertusuk sekali, karena ia telah merasa yakin
bahwa yang melakukan hal itu tentulah adiknya, Tiong Kiat ! Maka lemaslah tubuhnya
lenyaplah semangat perlawanannya. Apakah yang hendak dikata? Menyangkal? Sama dengan
mendakwa adiknya sendiri. Mengaku? Dia tidak melakukan perbuatan itu.
"Totiang, apakah yang hendak totiang lakukan terhadap diriku ?' tanyanya perlahan.
"Kau harus ikut dengan kami ke Kun-lun-pai dan di sana para ketua akan menjatuhkan
hukumannya! Tinggal kau pilih saja, ikut dengan patuh atau melawan dengan kekerasan
kami dapat membunuhmu di tempat ini juga!" Kata Gan Tian Cu dengan suara tegas.
"Untuk apa aku melawan ? Marilah kalau ngowi totiang hendak membawaku ke Kun lun pai,
aku akan ikut dengan patuh." Demikianlah, Tiong Han lalu diikat kedua tangannya dengan
tali sutera yang amat kuat. Pemuda ini menurut saja, kemudian kelima orang tosu itu
lalu mengajaknya berjalan cepat turun dari Ta pie.san, menuju ke Kun -lun-san.
Akan tetapi baru saja rombongan itu tiba di kaki gunung Ta pie san yang mereka
tinggalkan, tiba tiba berkelebat bayangan putih yang didahului oleh sinar merah
menyambar ke arah lima orang tosu itu! Gan Tian Cu dan sute-sutenya (adik-adik
seperguruannya) adalah tosu-tosu tua yang memiliki kepandaian tinggi, maka melihat
sinar pedang itu, mereka cepat melompat mundur untuk mengelak.
"Jangan, nona Suma Eng, jangan serang mereka!" Tiong Han cepat menggerakkan tubuhnya
dan sekali bergerak saja tali-tali yang kuat itu terlepas dari kedua tangannya. Ia
terpaksa melakukan ini untuk mencegah Suma Eng yang hendak menyerang Gan Tian Cu.
Dengan mata menyala dan dada berombak, wajahnya merah penuh kemarahan, Eng Eng menunda
serangannya dan memandang kepada lima orang tosu itu dengan marah sekali. Tiong Han tak
terasa lagi mengulur tangannya dan memegang lengan Eng Eng yang memegang pedang.
"Jangan nona, jangan . .., mereka adalah tosu-tosu dari Kun lun pai !" Tiong Han
mencegah sambil memegang erat lengan tangan Eng Eng.
“Tidak perduli! Biarpun mereka tosu-tosu dari neraka sekalipun aku tidak takuti! Mereka
mengandalkan keroyokan untuk menangkapmu sungguh pengecut !"
Sementara itu, Gan Tian Cu dan kawan-kawannya tadi merasa terkejut sekali melihat
kehebatan seorang gadis cantik jelita yang memegang pedang merah menyilaukan mata.
Lebih-lebih kaget mereka ketika melihat betapa dengan sekali gerakan saja ikatan pada
kedua tangan Tiong Han telah putus dan tangannya sudah terlepas! Alangkah hebatnya
kepandaian dan tenaga pemuda itu yang tadi menyerah demikian patuhnya.
“Nona, siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan kami, pendeta-pendeta dari Kunlun.
pai ?'
Sebelum Eng Eng menjawab Tiong Han mendahuluinya,
"Ngowi totiang, ini adalah nona Suma Eng murid dari Hek sin mo yang terkenal!"
Terbelalak mata kelima orang tosu itu, karena sesungguhnya nama Hek sin-mo merupakan
nama yang amat terkenal dan dikagumi oleh semua tokoh persilatan. Gan Tian Cu
mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat kepada murid orang sakti itu dan
berkata,
"Nona, harap kau tidak salah sangka. Pinto berlima datang sengaja hendak membawa pemuda
ini yang telah berdosa besar telah membunuh Lo Ban Tek, anak murid dari Kun-lun pai.
Kami datang untuk membawanya ke Kun.lun-san agar mendapat pengadilan dari para ketua
Kun-lun-pai. "
"Apa buktinya bahwa Sim twako telah membunuh anak murid Kun lun-pai ?' tanya Eng Eng
yang belum hilang kemarahannya.
"Nona, nama Ang coa kiam telah amat terkenal. Pemuda ini tidak hanya membunuh Lo Ban
Tek murid kami, bahkan ia telah terkenal sebagai seorang jai hwa cat dan pencuri yang
amat jahay dan keji! ia telah membunuh keluarga Lui wangwe yang dermawan, hanya untuk
memenuhi permintaan seorang pelacur rendah. Murid Kami Lo Ban Tek datang untuk
menegurnya akan tetapi bahkan dibunuhnya ! Nona, kau adalah murid seorang pendekar,
seorang locianpwe yang ternama, maka sudah menjadi kewajibanmu pula untuk membasmi
orang-orang macam Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang.coa-kiam murid Kim-liong-pai yang
durhaka ini. Bagaimana seorang murid dari Hek sin-mo locianpwe dapat bersahabat dengan
seorang jahat seperti dia ini?"
"Pendeta-pendeta tersesat, bukalah matamu baik-baik!* Eng Eng berseru marah sekali dan
menggerakkan pedangnya. "Dia ini bukanlah Sim Tiong Kiat dan........"
"Nona Suma ....... !" Tiong Han mencegahnya membuka rahasia adiknya.
Akan tetapi Eng Eng tidak memperdulikannya dan melanjutkan kata-katanya, "dan orang
yang melakukan semua kejahatan yang kau sebutkan tadi, orang jahat yang menggunakan
nama julukan Ang-coa kiam bukanlah dia ini, akan tetapi adiknya!"
"Apa..„.„apa maksudmu, nona?" Gan Tian Cu bertanya dengan heran, demikian pula adiknya
membelalak matanya dengan kaget.
"Eng-moi........ jangan…”Tiong Han mencoba lagi untuk mencegah Eng Eng membuka rahasia
adiknya dan dalam kegugupannya sampai lupa dan menyebut nona itu Eng-moi (adik Eng).
Eng Eng menengok dan menatap wajah pemuda itu. Sepasang matanya yang indah itu tampak
terbaru, akan tetapi bibirnya dirapatkan dengan gemas. "Orang lemah...." katanya
perlahan, kemudian ia berpaling kepada Gan Tian Cu lalu berkata.
"Totiang, bukan kau saja yang salah pandang, bahkan aku sendiri pun tadinya telah salah
sangka. Orang muda ini bernama Sim Tiong Han, dan Sim Tiong Kiat si jahanam adalah adik
kembarnya. Adiknya itulah orang yang harus kau cari dan kau tangkap bukan Sim twako
ini."
"Akan tetapi....pedang Ang-coa-kiam berada di tangannya dan....... dan mengapa kau
tidak mau memberitahukan keadaan yang sebenarnya?" tanyanya kemudian kepada Tiong Han.
Pemuda ini menghela napas. Tak perlu lagi ia menyembunyikan hal yang sebenarnya.
"Totiang keterangan nona ini memang benar. Tiong Kiat adalah adikku dan kalau ia telah
melakukan dosa terhadap Kun-lun.pai biarlah aku sebagai kakak kandungnya yang
bertanggung jawab dan menerima hukumannya Pedang ini belum lama kuterima dari padanya."
Bukan main herannya hati Gan Tian Cu mendengar ini. "Aah, mengapa begitu? Orang muda,
hampir saja kau membuat kami melakukan kedosaan besar, menghukum orang yang tidak
bersalah. Baiknya datang Suma Iihiap ini yang berani berkata terus terang ! Sim
enghiong pinto dapat memaklumi pembelaan dan pengorbananmu terhadap seorang adik. Akan
tetapi, perbuatanmu ini benar benar keliru sekali. Benar seperti dikatakan oleh Suma
lihiap tadi, kau terlalu lemah ! Kelemahan dan kasih sayang hatimu terhadap adikmu
telah menggelapkan pertimbangan dan keadilanmu! Apa kaukira dengan mengorbankan nyawa
untuk membela adikmu itu, kau telah melakukan suatu tindakan yang bijaksana ?
Sebaliknya, anak muda, sebaliknya kau bahkan menambah kejahatan kepada dunia ! Dengan
tindakanmu ini, seakan-akan kau membela penjahat yang mengacaukan dunia ! pikiranmu
cupat sekali, Sim enghiong. Karena kasih sayangmu terhadap adik, kau membiarkan adikmu
merajalela dan mencelakakan orang-orang yang seharusnya patut kau bela. Di manakah
keadilanmu ? Di manakah kegagahanmu ?"
Terpukul hati Tiong Han mendengar ucapan pendeta ini dan ia menundukkan mukanya yang
pucat.
"Sim enghiong," kata lagi Gan Tian Cu yang merasa penasaran melihat kelemahan hati
pemuda yang demikian gagah, "kau benar-benar telah memalukan nama Kim liong-pai yang
besar. Ketahuilah bahwa pendirian seorang pendekar, di dalam membela kebenaran dan
keadilan tidak ada hubungan saudara maupun keluarga. Yang benar harus dibela,
sungguhpun orang lain yang belum dikenalnya, yang salah harus dilawan biarpun saudara
atau keluarga sendiri ! Bahkan kaIau di dalam Kim-liong-pai terdapat seorang yang
nyeleweng adalah kewajibanmu untuk mencegah dan melenyapkan pendurhaka itu. Kewajibanmu
untuk menangkap adikmu itu demi membersihkan nama Kim-liong-pai, demi menjaga baik nama
ayahmu dan demi sifatmu sebagai pendekar pembela rakyat! Nah, cukup pinto bicara, kau
turut atau tidak terserah, akan tetapi pinto takkan berhenti berusaha untuk menangkap
adikmu." Maka pergilah Gan Tian Cu dengan empat orang adik seperguruannya.
Ucapan itu mendorong dua titik air mata mengalir keluar dari mata Tiong Han yang masih
menundukkan mukanya. Terbangun semangatnya dan ia berkata kepada Eng Eng yang masih
memandangnya dengan terharu. "Nona benar juga ucapan Gan Tian Cu totiang. Aku akan
mencari Tiong Kiat, hendak kutangkap dan kubawa kembali ke Kim liong pai,
menyerahkannya kepada suhu."
"Bagus, akan tetapi aku tidak mau kalah dulu baik olehmu maupun oleh pendeta Kun lun
pai tadi. Gan Tian Cu hendak menangkap Tiong Kiat untuk dibawa ke Kun-Iun-pai, kau
hendak menangkapnya untuk kau bawa ke Liong san. Akan tetapi, akulah yang berhak
menghancurkan kepalanya untuk membalaskan dendam hatiku !' Setelah berkata demikian,
gadis itu lalu melompat pergi, meninggalkan Tiong Han yang memandang sayu.
"Tiong Kiat.... Tiong Kiat, ...... tidak kusangka bahwa nasibmu akan demikian buruknya…
adikku, mengapa kau tersesat sejauh ini…?"
Dengan kaki lemas, Tiong Han lalu menuruni bukit Ta pie-san dalam perjalanannya mencari
adiknya untuk membawanya dengan paksa ke Liong san, di mana suhunya telah menanti. la
merasa penasaran mengapa Tiong Kiat telah berpisah dari Kui Hwa, padahal tadinya ia
mengharap supaya adiknya itu hidup berbahagia dengan sumoinya atau bekas tunangannya
itu. Apakah Kui Hwa yang menyebabkan Tiong Kiat menjadi tersesat ? Panas dadanya ketika
ia mendapatkan pikiran ini. Siapa tahu ? Mungkin Kui Hwa yang menjadi biang keladinya !
la teringat akan kata-kata Tiong Kiat bahwa kini Kui Hwa dapat dicari di kota Heng
yang. Maka iapun lalu tujukan perjalanannya ke kota Heng-yang untuk mencari Kui Hwa dan
untuk bertanya kepada sumoinya itu mengapa Tiong Kiat dan Kui Hwa dapat berpisah.
Sebelum Tiong Han yang hendak mencari sumoinya, yakni Can Kui Hwa, tiba di tempat itu,
marilah kita mendahuluinya menengok keadaan nona yang malang nasibnya ini.
Dalam buku jilid kedua telah diketahui bahwa setelah melihat Tiong Kiat melakukan
perbuatan hina terhadap Gu Loan Li, gadis yang mereka tolong dari tangan kepala
gerombolan Sorban Merah sehingga Loan Li membunuh diri, Kui Hwa menjadi marah sekali
dan menyerang Tiong Kiat. Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan pemuda yang
berkepandaian Iebih tinggi tingkatnya itu dan telah dikalahkan. Setelah Tiong Kiat
meninggalkannya Kui Hwa yang putus asa lalu teringat akan permintaan para anggauta
gerombolan Sorban Merah yang hendak mengangkatnya menjadi kepala.
Ia lalu kembali ke kota Heng yang dan diterima baik dan dengan gembira oleh para
pengurus Perkumpulan Sorban Merah itu. Setelah melihat gadis ini mengalahkan dan
menewaskan kepala mereka, yakni Hek pa cu Teng Sun, para thauwbak dan anak buah
gerombolan Sorban Merah amat mengaguminya. Perkumpulan Sorban Merah mempunyai anggota
yang banyak jumlahnya dan semenjak dipimpin oleh Hek pa cu Teng Sun, perkumpulan ini
telah menghasilkan banyak uang, yang didapat dengan jalan terang maupun gelap, Kui Hwa
sendiri menjadi terkesiap ketika ia melihat peti penuh dengan barang perhiasan yang
amat besar nilainya disodorkan kepadanya oleh para thauwbak.
"Mulai sekarang, tidak boleh lagi ada pelanggaran-pelanggaran," katanya dengan suara
keras. "Tidak boleh melakukan sesuatu yang jahat dan siapapun juga diantara anggauta
ada yang melanggar akan berkenalan dengan pedangku !"
Gadis ini karena tidak mempunyai harapan untuk kembali ke rumah ayahnya dan tidak
mempunyai perlindungan lalu membeli sebuah rumah besar dan memasang merk papan nama
Perkumpulan Sorban Merah. Ia lalu mengatur anak buahnya untuk melakukan pekerjaanpekerjaan
yang baik, misalnya menjaga keamanan kota, mengawal kiriman-kiriman barang
dan Iain-lain. Pengaruh Perkumpulan Sorban Merah sudah besar sekali, akan tetapi kalau
tadinya perkumpulan ini ditakuti dan disegani orang, sekarang orang orang
menghormatinya sebagai perkumpulan orang-orang yang gagah yang boleh mereka andalkan
bantuannya.
Diantara para thauwbak (pembantu pemimpin) dan anggauta Sorban Merah, banyak juga yang
merasa tidak puas dengan peraturan-peraturan keras ini, karena mereka ini memang
mempunyai watak yang busuk seperti Hek-pacu Teng Sun. Maka diam-diam orang-orang ini
lalu melarikan diri dan mencari seorang yang mereka harapkan menjadi pemimpin mereka.
Orang ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Teng Sun yang bernama Kim-pacu Gak Kun
si Macan Tutul Emas dan yang menjadi kepala rampok di pegunungan Pek-ma san, tak jauh
dari kota Heng yang.
Untuk menyesuaikan dirinya sebagai kepala dari Perkumpulan Sorban Merah yang terdiri
dari anggauta-anggauta ahli bermain golok, Kui Hwa kini mengganti senjata pedangnya
dengan golok pula. la bahkan memberi pelajaran ilmu silat golok yang baru kepada anak
buahnya, yang dimainkan berdasarkan ilmu pedang Ang coa kiamsut yang lihai. Maka tentu
saja para anggauta Sorban Merah mendapat kemajuan yang hebat sekali dan kedudukan
perkumpulan ini makin kuat saja.
Kui Hwa merasa senang dengan kedudukannya yang baru ini. Selain dapat penghormatan dari
semua anak buahnya, iapun terkenal sekali di kota Heng yang sebagai seorang wanita
perkasa yang selain cantik jelita juga gagah berani dan berbudi. Banyak hati pemudapemuda
Heng yang, baik yang pandai ilmu silat maupun yang tidak, jatuh hati kepadanya
dan banyak pula gadis yang kini disebut Can pangcu (ketua Can) ini menerima pinangan.
Akan tetapi semua pinangan ini ditolaknya dengan manis. Di dalam hatinya sebenarnya Kui
Hwa menderita hebat. Hatinya telah terluka perih oleh perbuatan Tiong Kiat, pemuda yang
amat dikasihinya itu. Dan ia merasa amat menyesal mengapa ia jatuh hati oleh bujukan
Tiong Kiat yang ternyata tidak berbudi itu. Sering kali ia terkenang kepada Tiong Han
dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau ia menikah dengan suhengnya ini. Ia
menyesal bukan main, akan tetapi nasi telah menjadi bubur, apa hendak dikata?
Bukan Kui Hwa tidak ada niatan membangun rumah tangga, menikah dengan seorang pemuda
yang baik, akan tetapi ia merasa ragu-ragu setelah kegagalannya dengan Tiong Kiat.
Pula, sebagai seorang gadis berkepandaian tinggi, tentu saja takkan merasa puas kalau
menikah dengan seorang pemuda yang lemah, yang tidak mengimbangi ilmu kepandaiannya.
Dan pula, ia merasa malu karena ia telah berIaku sesat bersama Tiong Kiat.
Pada suatu hari, ketua Kui Hwa tengah duduk di dalam rumah perkumpulannya dan bercakapcakap
dengan beberapa orang pembantunya, membicarakan tentang pekerjaan-pekerjaan yang
diserahkan kepada perkumpulannya, tiba tiba seorang anggauta Sorban Merah berlari
masuk. Terkejutlah Kui Hwa dan kawan-kawannya ketika melihat anggauta ini pakaiannya
berlumuran darah dan ternyata bahwa darah itu menetes turun dengan derasnya dari
telinga kirinya yang telah dipotong orang!
"Apakah yang telah terjadi dengan dirimu?" tanya Kui Hwa dengan suara tenang. Ia
menduga bahwa tentu ada orang jahat yang mengganggu anak buahnya ini.
"Celaka, pangcu (ketua) kawan-kawan kita pengikut-pengikut mendiang Hek-pa cu yang
melarikan diri kini telah datang dan merupakan rombongan perampok bersorban biru,
dipimpin oleh Kim-pa cu Gak Kun sendiri! Hamba dan beberapa orang yang bertugas menjaga
keamanan kota, mereka serbu dan banyak kawan kita yang binasa! Kim-pa cu Gak Kun
menantang kepada pangcu untuk menyambutnya di sebelah barat kota Heng-yang !" Setelah
menuturkan hal ini, anak buah Sorban Merah ini lalu jatuh tersungkur dalam keadaan
pingsan.
Naiklah kedua alis Kui Hwa mendengar dari para thauwbak tentang Kim pa cu Gak Kun ini
sebagai suheng dari Hek pa cu Teng Sun yang telah dibunuhnya. Memang ia telah siap
sedia menghadapi pembalasan dari perampok ini. Akan tetapi sama sekali tidak pernah
diduganya bahwa anak buah Sorban Merah yang diam diam melarikan diri, kini ternyata
telah bergabung dengan penjahat ini dan membentuk gerombolan Sorban Biru, kemudian
datang menyerbu dan membikin kacau kota Heng yang ! Marah sekali gadis ini dan cepat ia
lalu masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian yang ringkas berwarna biru gelap, lalu
membawa goloknya.
Pada saat itu, datanglah tergopoh-gopoh kepala kota dan tikoan. Kedua orang pembesar
ini telah mendengar tentang kerusuhan yang ditimbulkan oleh Gerombolan Sorban biru yang
mulai merampoki rumah rumah penduduk di pinggir kota dan mengganggu wanita-wanita.
"Can pangcu, harap kau suka lekas tolong usir mereka!" kata kepala kota dengan wajah
pucat.
"Kalau perlu bantuan, aku dapat mengerahkan penjaga kota !" menyambung tikoan sambil
memandang kepada Kui Hwa dengan kagum. Belum pernah ia melihat Kui Hwa segagah dan
secantik ini, dalam pakaian yang ringkas dan mencetak tubuhnya itu.
'Harap jiwi taijin suka tenang" jawab Kui Hwa. "Tak usah diserahkan penjaga kota,
biarlah aku dan pembantu-pembantuku menyelesaikan urusan ini. Percayalah, tak lama lagi
akan kubawa kepala perampok she Gak itu kehadapan jiwi taijin!"
Setelah berkata demikian Kui Hwa lalu menghampiri anak buahnya yang buntung telinganya
itu. Setelah mendapat perawatan kawan-kawannya, orang ini siuman kembali. "Berapa
banyak kiranya jumlah gerombolan itu?" tanyanya.
"Maaf, pangcu hamba kurang jelas akan tetapi sedikitnya tentu ada tiga puluh orang."
jawab anggauta Sorban Merah itu.
”Pangcu, apakah aku harus mengumpulkan kawan-kawan yang bertugas di berbagai tempat?”
tanya seorang thauwbak.
"Tidak usah, berapa orang yang berada disini?”
"Hanya ada sembilan orang dengan pangcu sendiri."
"Sudah cukup, mari kita berangkat!" Jawab Kui Hwa dengan gagah. Gadis itu bukan
menyombong akan tetapi karena ia melihat bahwa di antara delapan orang anak buahnya.
Yang empat adalah thauwbak-thauwbak yang telah menerima latihan-latihan ilmu golok
darinya. Baginya lebih baik membawa empat orang thauwbak ini dari pada membawa empat
puluh orang anggauta biasa yang ilmu goloknya masih rendah.
Beramai-ramai sembilan orang ini berlari cepat menuju ke sebelah barat kota. Ketika
mereka tiba di gerbang kota, sudah terdengar oleh mereka jerit tangis penduduk yang
diganggu oleh para penjahat Sorban Biru itu. Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ini.
Ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga kawan-kawannya tertinggal jauh.
Begitu ia tiba di tempat kerusuhan itu, gegerlah keadaan di situ di antara penjahat.
Setiap kali melihat seorang penjahat bersorban biru, golok di tangan Kui Hwa menyambar
dan menjeritlah penjahat itu dan terguling roboh dengan tubuh hampir terbelah dua !
Empat orang penjahat telah menjadi korban golok Kui Hwa dan tiba tiba dari sebuah rumah
melompat keluar seorang laki-laki pendek besar yang berseru keras.
"Bangsat wanita! Kaukah yang bernama Can Kui Hwa dan yang telah membunuh suteku Teng
Sun?"
Kui Hwa memandang orang itu dengan penuh perhatian. Ia adalah seorang laki-laki yang
bertubuh agak pendek, akan tetapi tegap dan nampaknya bertenaga besar. Sorban serta
ikat kepalanya berwarna biru, demikianpun celananya, sedangkan bajunya berwarna putih
dengan garis-garis merah. Senjata yang dipegangnya adalah sebatang tongkat bercabang.
Inilah dia Kim-pa-cu Gak Kun yang namanya amat terkenal dan yang oleh anak-anak buah
Sorban Merah disohorkan memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Kui Hwa sebenarnya tentu saja lebih pandai memainkan pedang dari pada permainan golok.
Memang ia adalah anak murid Kim Liong pai yang khusus mendapat pelajaran ilmu pedang
Ang coa kiamsut yang lihai. Akan tetapi gadis ini setelah ditinggalkan oleb Tiong Kiat,
menjadi sadar dan insaf akan kesesatannya. la maklum bahwa sebagai seorang murid Kim
liong-pai, ia telah melakukan pelanggaran besar sekali. Sering kali setiap malam ia
menguras air mata dari kedua matanya karena menyesal dan merasa berdosa serta malu,
terutama sekali terhadap ayahnya dan suhunya, Lui Thian Sianjin. Oleh karena itu, ia
merasa malu untuk mengaku sebagai murid Kim liong pai lagi. Ia anggap dirinya terlampau
hina dan rendah menjadi murid Kim-liong.pai dan kalau ia masih memegang pedang serta
mainkan ilmu silat Ang-coa-kiamsut, maka itu berarti bahwa ia hanya akan mengotori dan
mencemarkan nama Kim-Liong pai dan ilmu pedang Ang-coa kiamsut belaka! Oleh karena
inilah yang terutama sekali maka ia lalu berganti senjata dan melatih ilmu golok
ciptaan sendiri berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut !
Kini menghadapi laki laki bersorban biru yang menjadi suheng dari Teng Sun, ia lalu
membentak. 'Kaukah yang bernama Kim-pa cu Gak Kun? Kalau kau berdiam di hutan melakukan
pekerjaan merampok, itu masih tidak apa, akan tetapi sekarang kau memimpin orangorangmu
untuk mengganggu Heng yang, apakah kau sudah bosan hidup? Mari kuantar kau
menjumpai adikmu Hek pa cu !"
Marahlah Gak Kun mendengar ucapan ini. "Perempuan sombong ! Kalau kau minta maaf
kepadaku dan suka turut ucapanku, aku Kim pa cu masih sayang akan kecantikanmu.
Serahkan kedudukan pangcu dari Perkumpulan Sorban Merah kepadaku dan kau akan kuangkat
menjadi permaisuriku !"
"Anjing tak tahu malu !" bentak Kui Hwa yang menjadi merah mukanya. Ia lalu mengayun
goloknya dan menyerang dengan sengit. Gak Kun menangkis dengan tongkatnya yang istimewa
itu dan bertempurlah mereka dengan serunya. Pertempuran itu demikian hebatnya dan
senjata mereka berkelebatan mengerikan sehingga para anak buah Gak Kun dan para
anggauta Sorban Merah hanya berani menonton dari jauh. Dengan berdebar kedua fihak ini
menonton pertempuran yang dilakukan oleh ketua masing-masing dengan senjata siap di
tangan !
Segera Kui Hwa mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang she Gak ini jauh lebih
tinggi daripada kepandaian Teng Sun. Tongkat bercabang pada gagangnya itu betul-betul
lihai sekali karena gagangnya dapat dipergunakan untuk menangkis golok dan ujung
tongkat itu bergerak cepat dengan serangan-serangan totokan keatas jalan darah.
Ternyata bahwa orang she Gak ini telah mempelajari thiam hoat (ilmu menotok jalan
darah) yang lihai. Kui Hwa berlaku hati-hati sekali dan memutar goloknya untuk
melindungi tubuh dan melakukan serangan balasan yang cukup menggetarkan hati Gak Kun.
Kepala Sorban biru ini benar-benar tak pernah mengira bahwa gadis ini benar-benar luar
biasa pandainya. Ia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, ia masih
kalah. la kalah gesit dan gerakan senjatanya kalah cepat, tetapi Gak Kun masih dapat
melawan mengandalkan dua macam kepandaiannya yang istimewa, yakni menotok dan
menendang. Tendangannya ini adalah ilmu tendang yang mirip dengan Soan - hong - twi
(tendangan kitiran angin) yang dilakukan bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian
sedangkan tongkatnya tetap digerakkan mengancam dari atas !
Dengan seruan keras sekali Gak Kun yang menjadi penasaran karena semua serangannya
dapat digagalkan oleh lawannya, tiba-tiba mengayun kaki kirinya menendang dengan hebat.
Tendangan yang dilakukan ahli ini berbahaya sekali karena dikerahkan dengan penuh
tenaga. Tendangan ke arah dada ini dielakkan oleh Kui Hwa dengan miringkan tubuh ke
kiri sambil menggeser kaki kiri ke depan, goloknya diputar di atas kepala dengan sikap
mengancam tubuh atas lawannya, akan tetapi sebetuInya gadis ini sedang melakukan
gerakan yang disebut Naga Sakti Menyabetkan Ekornya dengan berlaku lambat sambil
menanti tendangan susulan lawan. Benar saja, ketika tendangan kirinya tidak berhasil
mengenai lawan Gak Kun berseru lagi dan tiba-tiba ketika kaki kirinya turun ke atas
tanah, tendangan kanannya menyusuI cepat dibarengi dengan totokan tongkatnya pada
pundak gadis itu. Inilah yang dinanti-nanti oleh Kui Hwa dalam gerakannya Naga Sakti
Menyabetkan ekornya tadi. Begitu melihat kaki kanan bergerak, goloknya yang diputarputar
di atas kepala itu lalu menyambar cepat ke bawah, membabat dan menyambut
tendangan kaki kanan lawan. Tubuhnya ditarik ke bawah dan kaki kanannya secepat kilat
menendang pergelangan tangan kanan lawan yang sedang menusukkan tongkat itu !
Bukan main hebatnya serangan balasan dari Kui Hwa ini. Gerakan gadis ini demikian tibatiba
dan tak tersangka-sangka sehingga Gak Kun tak dapat menolong dirinya lagi. Biarpun
ia berusaha menarik kembali kakinya dengan cepat, namun tetap saja golok itu mengejar
kakinya. Hampir berbareng dengan ujung kakinya yang berhasil menendang pergelangan
tangan lawannya, ujung goloknya juga berhasil mencium betis Gak Kun ! Kim pa cu Gak Kun
menjerit keras dan sambil melepaskan tongkatnya, tubuhnya jatuh terguling dalam keadaan
pingsan ! Kaki kanannya hampir-hampir putus karena sabetan golok itu sedangkan
pergelangan tangannya juga pecah tulangnya karena tendangan Kui Hwa !
Kemudian Kui Hwa mengamuk hebat. Para penjahat Sorban Biru tadinya masih hendak melawan
dan mengeroyok, mengandalkan jumlah yang lebih banyak. Akan tetapi begitu Kui Hwa dan
delapan orang pembantunya menyerbu, pihak sorban biru dibabat dengan mudah bagaikan
orang membabat rumput saja ! Larilah penjahat-penjahat itu pontang-panting, sebagian
besar cepat membuang senjata dan berlutut minta ampun. Dengan kemenangan besar ini, Kui
Hwa menyuruh anak buahnya membawa para tawanan ke kota. Namanya makin terkenal dan
dipuji-puji orang, dan semenjak hari itu, tidak pernah ada penjahat yang berani
mencoba-coba mengganggu kota Heng Yang lagi. Juga barang barang yang dikawal oleh
anggauta sorban merah, selalu tidak terganggu perampok di jalan.
Nama Can Kui Hwa sebagai seorang pangcu (ketua) yang cantik dan gagah, terdengar sampai
jauh, karena tiap pelancong atau pedagang yang telah datang mengunjungi kota Heng yang
setelah pergi meninggalkan kota itu, tentu menceritakan hal nona itu kepada para
kenalannya. Diantara para pelamar di kota Heng-yang terdapat seorang sasterawan muda
she Siok yang tampan dan sopan santun. Siok kongcu ini telah menempuh ujian di kota
raja dan lulus dengan baik sehingga ia mendapat gelar siucai, akan tetapi oleh karena
di dalam hatinya pemuda terpelajar ini amat benci melihat pembesar-pembesar yang
melakukan korupsi dan tidak melakukan tugasnya dengan baik, ia tidak mau menerima
pengangkatan dan tidak mengejar kedudukan, sebaliknya bahkan kembali ke Heng-yang di
mana ia hidup dengan ibunya yang telah janda. Siok siucai, lengkapnya siok Un Leng,
mencari nafkah hidupnya dengan mengajar anak-anak di kota itu. Ia bekerja membuka
sebuah sekolah di rumahnya mengajar membaca dan menulis pada anak-anak dengan mendapat
upah yang sederhana. Sesungguhnya diantara sekian banyak pemuda yang mengaguminya,
hanya Siok-siucai saja yang menarik hati Kui Hwa. Pemuda tampan, berpemandangan luas,
sikapnya halus dan sopan santun, pendeknya seorang calon suami yang baik sekali. Akan
tetapi yang mengecewakan hati Kui Hwa dan yang membuat ragu-ragu adalah bahwa pemuda
ini tidak mengerti ilmu silat ! Memang harus ia akui bahwa begitu melihat pemuda she
Siok yang baru beberapa bulan datang dari kota raja ini, hatinya sudah amat tertarik.
Memang Siok Un Leng baru sebulan lebih datang dari kota raja dan secara kebetulan saja
ia melihat Kui Hwa menunggang kuda lewat di depan rumahnya. Dan keesokan harinya,
pemuda ini lalu minta kepada ibunya untuk melamar gadis itu !
Tentu saja ibunya terkejut bukan main.
"Leng-ji (anak Leng), apakah kau sudah gila? Kau tidak tahu siapa gadis itu? Dia adalah
Can-pangcu, ketua dari Sorban Merah!"
Un Leng tersenyum. "Habis mengapa ibu ? Apakah dia bukan manusia?*
"Tentu saja dia manusia, bahkan manusia yang Iebih mulia dari pada orang kebanyakan!
Dia seorang gagah perkasa, berpengaruh dan menjadi pangcu dari sebuah perkumpulan orang
gagah. Bagaimana aku berani meminang untukmu? Leng-ji, lebih baik kucarikan nona yang
lebih sesuai untukmu, yang pandai menyulam dan membaca, bukan seperti Can-pangcu yang
pandai mainkan golok !"
"Tidak, ibu. Melihat nona itu, aku tahu bahwa dialah orang yang akan dapat
membahagiakan anakmu."
Ibunya menghela napas panjang, "Aneh sekali kau ini, Leng-ji. apakah kau tidak takut
melihat goloknya yang tajam?"
Mendengar ini Un Leng tertawa bergelak sehingga ibunya menjadi terheran. Puteranya ini
agaknya telah berobah semenjak lima tahun pergi ke kota raja !
“Ibu ini aneh-aneh saja. Kalau Can-siocia memang algojo yang biasa menyembelih orang
barangkali akupun tidak takut. Apa lagi dia seorang berhati mulia dan gagah perkasa
seperti ibu katakan tadi. Sudahlah ibu, tolonglah anakmu dan pinanglah dia."
“Aku tidak berani, anakku. Kita orang miskin, bagaimana aku harus melamar seorang yang
kaya raya dan berpengaruh seperti Can Siocia?”
Akan tetapi Un Leng membujuk terus sehingga akhirnya berangkatlah ibu yang mencinta
anaknya ini, mengajukan pinangan kepada Kui Hwa. Di luar dugaannya semula, nona ini
menerimanya dengan penuh penghormatan dan dengan muka merah kemalu-maluan. Nona ini
tidak menolaknya mentah-mentah hanya menyatakan bahwa ia belum ingin mengikat diri
dengan perjodohan dan mohon kepada nyonya itu agar supaya tidak kecewa dan menyesal.
Setelah tiba di rumah, ibu ini mengomeli puteranya. "Kau membikin malu ibumu saja !
Nona Can begitu baik dan ramah tamah. Biarpun ia tidak menolak dengan kasar, akan
tetapi alasannya belum ingin menikah itu telah merupakan penolakan yang halus."
Akan tetapi Un Leng tidak putus harapan. Pemuda yang lama tinggal di kota raja ini
memang seorang pemberani dan tanpa malu-malu dia lalu mengunjungi rumah perkumpulan
sorban Merah untuk berkenalan dengan Can pangcu ! Tentu saja Kui Hwa merasa terkejut
dan heran sekali melihat keberanian pemuda ini. Timbul kemarahan di dalam hatinya
karena ia mengira bahwa pemuda ini tentu sebangsa pemuda mata keranjang yang kurang
ajar. Tidak tahunya, setelah mereka berjumpa, Un Leng bersikap sopan santun dan pemuda
ini pandai sekali bercakap-cakap dan pengetahuannya luas sekali sehingga Kiu Hwa merasa
suka bergaul dengan dia !
Mulailah mereka berkenalan dan tidak saja Un Leng seringkali datang berkunjung bahkan
kini Kui Hwa seringkali datang ke rumah Un Leng untuk mengobrol dengan pemuda itu dan
ibunya ! Tentu saja nyonya Siok menjadi terheran-heran akan tetapi diam-diam nyonya ini
girang sekali karena kalau Can pangcu menjadi sahabat puteranya, sedikitnya mereka akan
lebih disegani oleh para tetangga.
Pada suatu hari, ketika Un Leng bercakap-cakap di rumah Kui Hwa, pemuda ini berkata,
"Nona Can, kuharap kau tidak berkecil hati dan tidak mengira yang bukan-bukan ketika
ibuku datang mengajukan pinangan kepadamu. Sesungguhnya terus terang saja aku
mengagumimu sebagai seorang gadis gagah perkasa yang berani memimpin perkumpulan besar
ini. Kau patut dipuji dan penolakan dulu tidak mengecilkan hatiku. Dapat menjadi
sahabatmu saja sudah merupakan hal yang amat membahagiakan hatiku.'
Kui Hwa merasa terharu mendengar ini. Pemuda ini benar-benar seorang yang baik dan
sopan.
“Saudara Un Leng harap kau suka maafkan padaku. Sesungguhnya, seperti yang pernah
kukatakan kepada ibumu, aku belum mempunyai niat untuk mengikat diriku dengan
perjodohan. Kau seorang yang baik dan aku suka bersahabat dengan kau. Adapun tentang
pernikahan........ agaknya selama hidupku aku takkan menikah !"
Un Leng memandang tajam lalu berkata perlahan, "Nona, tentu saja kalau sampai tiba
waktunya kau menikah, kau tentu akan memilih seorang suami yang memiliki kepandaian bu
(ilmu silat), bukan seorang siucai yang Iemah seperti aku!"
Kui Hwa terkejut karena pemuda ini ternyata dapat meraba isi hatinya. Akan tetapi ia
harus bersikap jujur terhadap pemuda yang baik hati ini.
"Ada betulnya juga kata-katamu itu, saudara Un Leng. Kau tentu mengerti sendiri bahwa
suami isteri baru bisa hidup rukun apabila mempunyai kesukaan yang sama. Kurasa sukar
juga kalau kesukaan si isteri memegang golok sedangkan kesukaan si suami memegang
tangkai pena!" Gadis ini tersenyum dan ucapannya itu dimaksudkan sebagai sebuah
kelakar.
Akan tetapi Un Leng memandang dengan tajam dan berkata dengan sikap bersungguh-sungguh.
"Kau keliru, nona. Mempelajari permainan golok bukanlah termasuk kesenangan, akan
tetapi lebih tepat sebagai penjagaan diri terhadap gangguan orang-orang jahat.
Sebaliknya mempelajari menggerakkan tangkai pena merupakan sebuah kesenian dan
mempertinggi peradaban sebagai manusia. Tangkai pena tidak berbahaya, berbeda dengan
golok yang biasanya hanya mendatangkan malapetaka, bunuh membunuh dan balas membalas
karena dendam !" Pemuda ini nampak bersemangat sekali.
"Kau berat sebelah, saudara Un Leng." kata Kui Hwa dan matanya berkata, "Kau tahu apa
tentang ilmu silat ?" akan tetapi mulutnya berkata lain, "Tangkai pena bukanlah benda
yang tidak berbahaya, bahkan kurasa lebih berbahaya dari pada mata golok. Kalau orang
menggunakan golok untuk menyerang maka lawan yang diserang dapat melihatnya dan
mempunyai kesempatan untuk melawan. Akan tetapi, berapa banyaknya orang yang mendapat
celaka serumah tangga hanya oleh coretan pena seorang pembesar yang melakukan serangan
dan fitnah secara sembunyi ?"
Un Leng cemberut. Ia merasa sebal sekali terhadap pembesar-pembesar yang jahat dan yang
tepat seperti dikatakan oleh gadis ini. "Oleh karena itulah aku tidak sudi menjabat
pangkat !" serunya gemas. "Akan tetapi, tidak semua orang sejahat yang aku katakan
tadi, nona."
Kui Hwa tersenyum geli melihat kemarahan Un Leng. "Ingat Siok siucai yang terhormat
demikian pula dengan pemegang golok. Tidak semua sejahat seperti yang kau katakan
tadi !”
Mereka saling pandang dengan marah, kemudian berbareng tertawa geli. "Ha, kita ini
seakan akan mewakili dua fihak yang bertentangan, fihak bu dan bun (ahli sastera) !"
kata Un Leng. Juga Kui Hwa tertawa dan gadis itu makin suka kepada pemuda yang baik
budinya ini. Sayang sekali dia tidak pandai ilmu silat, pikirnya. Kalau Un Leng pandai
ilmu silat agaknya tidak akan kecewa menjadi istri pemuda ini. Akan tetapi, tiba - tiba
ia teringat lagi akan kesesatannya bersama Tiong Kiat dahulu dan wajah gadis ini
berubah murung sekali.
“Aku takkan menikah selama hidupku," hatinya berkata dan tanpa disadarinya, bibirnya
juga membisikkan kata-kata ini sehingga terdengar oleh Un Leng.
“Nona mengapakah kau berduka? Agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu dan yang
membuat kau putus asa. Dapatkah kau menceritakan hal itu kepada sahabatmu ini ?" Kui
Hwa menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Tak mungkin, saudara Un Leng. Tak mungkin kuceritakan kepada siapapun juga." Dalam
keadaan hati tertekan berdiamlah kedua orang sahabat ini.
Sebagaimana telah dituturkan di depan, Can Kui Hwa sebagai pangcu dari Sorban Merah
yang cantik jelita dan gagah, terkenal sampai jauh dari daerah Heng-yang. Hal ini
menarik hati orang-orang gagah, terutama mereka yang masih muda dan belum menikah,
karena bukankah pangcu wanita yang cantik dan masih gadis itu merupakan kembang yang
amat menarik hati ? Muda, cantik, kaya raya menjadi ketua dari perkumpulan yang
berpengaruh!
Dan di antara mereka yang mendengar nama Can Kui Hwa yang mengagumi dari jauh terdapat
juga Ban Hwa Yong, si penjahat pemetik bunga yang lihai itu ! Seperti telah diketahui
orang ketiga dari Thian-te Sam kui ini telah kehilangan dua orang suhengnya yang tewas
dalam tangan Eng Eng dan Tiong Han. Biarpun ia sendiri ditinggal mati oleh kedua orang
suhengnya, Ban Hwa Yong menjadi gelisah dan gentar sekali menghadapi kejaran Suma Eng,
nona yang hebat dan lihai sekali itu. Timbul pikiran dalam kepalanya untuk mencuci
tangan, untuk berhenti melakukan kejahatan dan kesukaannya mengganggu anak isteri
orang. Ia ingin mencari seorang gadis yang baik, mendirikan rumah tangga yang aman dan
meninggalkan dunia kang ouw karena ia merasa bahwa keselamatannya amat terancam.
Ketika Ban Hwa Yong mendengar nama Can Kui Hwa tergeraklah hatinya. Ia sudah mendengar
bahwa Perkumpulan Sorban Merah merupakan perkumpulan yang kuat, berpengaruh dan kaya.
Dan sekarang ketuanya adalah seorang gadis yang cantik jelita, yang masih belum
menikah. Ah, inilah yang dibutuhkannya. lsteri cantik dan gagah, kedudukan yang kuat,
dan harta cukup! Dengan hati girang dan penuh harapan ia lalu berangkat ke Heng-yang
dengan maksud memperisteri gadis yang menjadi pangcu itu.
Ketika Ban Hwa Yong tiba di rumah perkumpulan itu, ternyata ia mendapat keterangan
bahwa Can-pangcu yang dicarinya sedang pergi keluar kota.
"Kemanakah dia pergi?* tanya Ban Hwa Yong.
Anggaota Sorban Merah yang menjaga pintu memandang kepada orang yang berwajah tua itu
dengan curiga. Orang ini tinggi kurus dengan muka seperti seekor burung, hidungnya
seperti hidung kakatua dan mukanya jelek pandangan matanya liar sedangkan di
pinggangnya tergantung sepasang senjata yang aneh, yakni sepasang kaitan yang
menyeramkan.
“Siapakah saudara ini dan ada keperluan apa mencari pangcu?" tanyanya dengan curiga.
Ban Hwa Yong tertawa bergelak. "Aku sahabat dari pangcumu dan kelak kamu tentu akan
lebih mengenalku dengan baik. Sebutkan saja di mana adanya pangcumu itu."
“Pangcu sedang berjalan jalan naik kuda ke hutan sebelah barat kota," akhirnya penjaga
itu menjawab juga. Ban Hwa Yong lalu berlari pergi dengan cepatnya sehingga penjaga itu
menjadi kagum. Jai hwa-cat (penjahat pemetik bunga) ini Ialu berlari menyusul ke hutan
di luar kota Heng-yang di mana merupakan hutan kecil yang amat indah dan banyak
terdapat bunga bunga yang berkembang.
Pada saat itu, Kui Hwa sedang duduk di bawah pohon bersama Siok Un Leng, pemuda
sasterawan yang menjadi sahabat baiknya itu. Mereka datang berkuda dan kini kedua ekor
kuda itu mereka lepaskan di tempat yang banyak rumputnya agar binatang itu dapat makan
rumput dengan seenaknya. Adapun mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Un Leng
membaca sajak-sajak yang digubahnya sendiri dan Kui Hwa mendengarkan dengan penuh
kegembiraan dan kekaguman. Memang gadis ini suka sekali akan kesusasteraan sungguhpun
ia sendiri hanya mempelajari sedikit saja dari ibunya. Keduanya nampak rukun dan cocok,
sungguh merupakan pasangan yang baik sekali. Akan tetapi selama itu, Kui Hwa selalu
menghindarkan diri dari percakapan tentang pernikahan dan pernyataan kasih sayang
pemuda itu selalu ditolaknya dengan halus. Ia maklum bahwa hatinya runtuh juga
menghadapi pemuda yang selain tampan, juga sopan dan baik sekali ini, akan tetapi dia
mengeraskan hati dan rasanya karena ia merasa yakin bahwa tak mungkin ia yang sudah
melakukan kesesatan itu dapat menjadi isteri Un Leng! Tiba-tiba terdengar bentakan
keras di sebelah belakang mereka.
"Pemuda kurang ajar dari manakah yang telah berani bermain gila dengan Can pangcu?"
bentakan ini keras dan parau dan ketika Un Leng dan Kui Hwa menengok sambil melompat
berdiri, ternyata di hadapan mereka berdiri seorang laki-laki jangkung yang bermuka
tajam seperti muka kakatua. Laki laki ini bukan lain adalah Ban Hwa Yong yang memandang
dengan mulut menyeringai menjemukan sekali.
Dengan pandang mata merah penuh cemburu, Ban Hwa Yong lalu menggerakkan kaitan di
tangan kanannya untuk menyerang Un Leng, akan tetapi golok Kui Hwa menangkis kaitan
ini.
"Bangsat hina dina! Siapakah kau dan apa maksud kedatanganmu mengganggu kami?" bentak
Kui Hwa yang kagum juga melihat betapa Un Leng nampak tenang saja dan tidak takut
biarpun tadi hampir menjadi kurban senjata kaitan itu.
“Can pangcu harap jangan marah." jawab Ban Hwa Yong yang memandang ringan, “Aku Ban Hwa
Yong dari tempat yang ratusan lie jauhnya sengaja datang hendak bercengrama dan
mengajakmu bercakap-cakap. Akan tetapi oleh karena di sini ada orang lain maka kuharap
bocah ini pergi segera dari sini agar kita dapat bicara lebih leluasa lagi.”
Bukan main gemasnya hati Kui Hwa mendengar ucapan yang sifatnya kurang ajar dan
memandang rendah ini.
“Pemuda ini adalah sahabat baikku dan dia boleh pula mendengar apa yang akan keluar
dari mulutmu yang busuk. Lekas bilang apa maksud kedatanganmu sebelum golokku menghajar
dan memutuskan lehermu !"
"Aduh galak benar !" Ban Hwa Yong tertawa. "Akan tetapi makin galak makin bertambah
manis ! Nona Can, terus terang saja kedatanganku ini hendak meminangmu menjadi
istriku ! Aku masih bujangan dan tentu tidak enak hidup sendiri seperti engkau ini, apa
lagi kalau memegang kedudukan sebagai pangcu. Serahkan saja pekerjaanmu itu kepadaku,
calon suamimu dan kau akan hidup berbahagia!”
"Anjing bermulut lancang!" Kui Hwa tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat goloknya
bergerak membacok kepala Ban Hwa Yong. Akan tetapi, sambil tersenyum-senyum Ban Hwa
Yong mengelak dan bertempurlah kedua orang ini dengan ramainya. Ban Hwa Yong terkejut
juga melihat permainan golok nona itu karena benar-benar kuat dan berbahaya. Akan
tetapi, sepasang kaitannya digerakkan secara luar biasa sekali sehingga Kui Hwa segera
terdesak hebat, kalau saja gadis itu memegang pedang dan tidak berada dalam keadaan
semarah itu, takkan mudah bagi Ban Hwa Yong untuk mengalahkannya. Akan tetapi dalam
keadaan semarah itu Kui Hwa kehilangan kewaspadaannya dan sama sekali tidak
memperhatikan bahwa sesungguhnya lawannya ini lihai sekali dan tidak boleh dipandang
ringan.
Golok di tangannya diputar sedemikian rupa dan hanya satu saja kehendaknya yakni
membunuh manusia kurang ajar ini.
Akan tetapi dengan kaitannya yang lihai Ban Hwa Yong dapat menahan golok Kui Hwa dan
pada satu saat yang baik ketika kaitannya dapat membuat golok gadis itu belum sampai
menyerang lagi, tiba-tiba kaitan di tangan kanannya bergerak cepat ke arah dada Kui Hwa
dan, "bret!" terkaitlah baju gadis itu pada bagian dada dan terbawa kain robek itu
dikaitan sehingga nampak sebagian dada gadis ini!
Bukan main terkejutnya hati Kui Hwa. Ia menjerit perlahan dan mukanya menjadi malu
sekali, sesaat kemudian mukanya berubah merah sampai ke telinganya ketika ia mendengar
betapa Ban Hwa Yong tertawa terkekeh-kekeh !
Pada saat itu terjadilah hal aneh yang sedetikpun tak pernah disangka oleh Kui Hwa.
Terdengar bentakan nyaring dan bayangan yang cukup gesit melompat dari belakangnya dan
menyerang Ban Hwa Yong dengan sebatang golok ! Orang ini bukan lain adalah Un Leng !
Ternyata bahwa pemuda ini marah sekali melihat Kui Hwa dipermainkan dan dihina oleh Ban
Hwa Yong. Ia cepat berlari menghampiri kudanya dan dari balik pelana kuda
dikeluarkannya sebatang golok besar yang tajam sekali dan ketika ia melihat betapa baju
Kui Hwa terkait robek, kemarahannya memuncak. Ia lalu menyerang hebat yang segera
ditangkis pula oleh Ban Hwa Yong. Penjahat inipun tertegun sebentar karena tak
disangkanya bahwa pemuda yang nampak Iemah ini ternyata pandai juga mainkan golok.
Biarpun terheran-heran, Kui Hwa cepat melompat ke belakang dan membalikkan tubuhnya.
Dilepasnya kain pengikat rambutnya disambung dengan saputangan lebar dan dilibatkannya
kain itu pada dadanya untuk menutupi bagian tubuh yang telanjang itu. Kemudian ia cepat
menengok dan melihat betapa Un Leng mempertahankan diri mati-matian dari desakan
sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong yang lihai.
Berdebar aneh dada Kui Hwa ketika ia menyaksikan bahwa betapapun juga, pemuda
sasterawan yang disangkanya hanya seorang kutu buku yang lemah itu ternyata memiliki
ilmu silat yang tidak rendah! Akan tetapi senjata di tangan penjahat itu benar-benar
berbahaya sekali dan keadaan Un Leng juga sudah mulai terdesak, maka Kui Hwa lalu
melompat maju dan kini goloknya menyambar-nyambar bagaikan setan maut mengancam nyawa
Ban Hwa Yong. Penjahat ini sekarang tak dapat tertawa lagi. Menghadapi dua orang ini,
benar-benar ia merasa kewalahan dan setelah melawan sampai empat puluh jurus dalam
waktu mana keselamatannya terancam hebat ia lalu melompat dan melarikan diri. Kui Hwa
yang marah sekali hendak mengejar akan tetapi Un Leng berkata.
“Tak usah dikejar lawan yang sudah kalah dan ketakutan !"
Kui Hwa tidak jadi mengejar Ban Hwa Yong dan memandang kepada Un Leng dengan pandang
mata kagum. Un Leng menyimpan kembali goloknya di bawah sela di atas kudanya kemudian
ketika ia kembali kepada Kui Hwa ia berkata,
"Maaf bahwa aku terpaksa memperlihatkan kebodohanku nona."
“Saudara Siok Un Leng, mengapa kau selama ini berpura-pura tidak mengerti ilmu silat?
Kepandaianmu cukup baik dan.......mengapa kau menyembunyikan kepandaian itu padaku?"
Un Leng tersenyum. "Tak ingatkah betapa aku tidak suka akan kekerasan? Aku mempelajari
ilmu silat hanya untuk penjagaan diri seperti yang tadi telah kulakukan menghadapi
penjahat itu, bukan sekali-kali untuk kusombongkan dan kujadikan alat mencari
permusuhan. Tidak nona, aku lebih suka menggerakkan tangkai pena daripada menggerakkan
golok yang mengerikan itu !"
Kui Hwa memandang kagum dan hatinya merasa girang sekali. Inilah pemuda yang patut
dipercayainya dan yang akan dapat melindunginya selama hidupnya. "Saudara Un
Leng....... kalau aku tahu......"
"Nona, setelah sekarang kau mengetahui keadaanku, biarlah di sini kuulangi pinanganku
dahulu. Bagaimana? Sudikah kau menerimaku sebagai suamimu? Kita menjauhkan diri dari
segala urusan dunia, kita pindah ke tempat aman, mendirikan rumah tangga yang aman dan
damai, tidak mengenal tajamnya senjata. Sudikah kau...?" Sambil berkata demikian dengan
mesra dan halus, pemuda itu melangkah maju dan memegang tangan Kui Hwa. Untuk sesaat
gadis itu memandang mesra. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat kepada Tiong Kiat.
Direnggutnya tangannya dan ia berkata,
"Tidak........ tidak ! Jangan dekati aku Un Leng ...... aku....... aku tidak
berharga...... !" ia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis!
'Nona apakah kau akan maksudkan kepergianmu dari Kim liong.pai, minggat bersama dengan
ji-suhengmu (kakak seperguruan kedua)? Itukah yang kauanggap bahwa kau tidak berharga
lagi?'
Kui Hwa terkejut dan memandang dengan mata basah !
'Apa ....? Kau sudah tahu akan hal itu ?'
Un Leng mengangguk, 'Sebelum kembali ke Heng-yang di kota raja aku telah mendengar akan
hal itu. Peristiwa yang terjadi di Gunung Liong-san, mengenai diri anak-anak murid Kim
liong-pai yang terkenal tentu saja mudah tersiar di kalangan kang-ouw. Aku teIah
mendengarnya semua, nona, tak perlu kau menuturkannya lagi."
"Kau........ kau sudah tahu selama ini . .dan kau ....... tidak memandang rendah dan
hina kepadaku........?'
Un Leng tersenyum. 'Kalau aku memandang rendah, apakah aku mau mendekatimu, menyuruh
ibuku meminangmu sebagai istriku?"
Makin deras air mata mengalir dari mata Kui Hwa,”Saudara Siok...... aku bukan seorang
baik-baik, aku telah menjalankan kesesatan bersama manusia jahanam yang menjadi
suhengku itu, aku telah meninggalkan suhu meninggalkan ayah, membatalkan pertunanganku
dengan twa suheng secara paksa ....aku gadis tak tahu malu, yang sudah melanggar
kesusilaan, aku tak berharga lagi. ...tahukan kau akan semua ini ?'
Un Leng berkata sungguh-sungguh. "Aku sudah tahu, nona, akan tetapi aku tidak
menganggap kau tidak berharga. Seorang yang sudah sadar dari pada kesesatannya adalah
seorang bijaksana. Aku mengagumimu dan aku… aku tertarik dan cinta padamu."
Saking terharunya Kui Hwa lalu menubruk kaki Un Leng, berlutut sambil menangis. Ia
berterima kasih sekali, juga terharu dan girang karena selama berkenalan, ia maklum
bahwa hatinya telah jatuh pula terhadap pemuda ini. Un Leng menarik napas panjang dan
mengelus-elus rambut Kui Hwa, membiarkan kekasihnya melepaskan tekanan batin dengan air
matanya.
Ketika mereka kembali ke kota Heng yang dengan wajah gembira dan penuh bahagia,
keduanya lalu menuju ke rumah perkumpulan Sorban Merah. Kui Hwa telah bermufakat untuk
menerima pinangan Nyonya Siok untuk yang kedua kalinya dan telah setuju pula bahwa dia
akan ikut suaminya dan mertuanya untuk pindah ke kota raja di mana suaminya akan
mencari pekerjaan. Ia telah mengambil keputusan pula untuk meletakkan jabatannya
sebagai ketua perkumpulan Sorban Merah.
Akan tetapi, ketika ia dan Un Leng berjalan memasuki pekarangan rumah perkumpulan itu,
ia melihat seorang pemuda bangkit berdiri dari bangku di ruang depan dan kini pemuda
itu berdiri menanti kedatangan mereka dengan wajah tenang. Pucatlah wajah Kui Hwa
ketika ia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan tak terasa pula ia
menahan tindakan kakinya. Ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan
senyum tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah atau membenci. Terharulah hati Kui
Hwa dan tak terasa lagi ia lalu berlari ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan
pemuda itu ! Un Leng hanya memandang heran dan mengerutkan kening, karena ia tidak
mengenal pemuda itu, cepat memegang kedua pundak Kui Hwa, membangunkannya sambil
berkata.
"Eh, sumoi mengapa kau begini? Berdirilah dan mari kita bicara dengan baik."
Kui Hwa tak dapat menahan berlinangnya air matanya, ia tidak berani menentang pandang
mata pemuda yang bukan lain adalah Tiong Han ini. Ia merasa malu sekali kepada bekas
tunangan dan suhengnya ini, yang selalu bersikap baik terhadapnya.
"Twa suheng...... kau...... kau dapat memaafkan aku ? Kau tidak marah dan tidak benci
kepadaku ?"
Tiong Han menggeleng kepalanya dan tersenyum tenang, sungguhpun senyumnya bukanlah
senyum gembira.
"Mengapa aku harus benci dan marah kepadamu, sumoi ? Kau adalah adikku, adikku yang
kusayang semenjak kita masih anak-anak. Aku hanya kasihan melihatmu, sumoi." Kemudian
barulah Tiong Han merasa bahwa mereka tidak patut bicara urusan pribadi mereka di depan
seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengangkat muka memandang kepada
Un Leng yang sudah menghampirinya dengan senyum dan pandang mata kagum. Un Leng menjura
dan cepat dibalas oleh Tiong Han.
“Ah tidak tahunya kau adalah Sim Tiong Han, orang gagah dari Kim-liong pai. Aku ini Un
Leng, adalah seorang yang bodoh." Seru pemuda sasterawan ini dengan sikap hormat.
Melihat sikap dan kesederhanaan pemuda ini, Tiong Han merasa suka dan cocok, hanya ia
belum mengerti apakah hubungan antara pemuda ini dan sumoinya. Akan tetapi Kui Hwa
segera menjelaskan,
'Suheng, dia ini adalah....sahabatku, seorang yang jujur dan banyak berjasa terhadap
diriku yang hancur dan perasaanku yang luka oleh kejahatan ji suheng."
Tiong Han menghela napas dan keningnya berkerut. "Sumoi terus terang saja, aku sudah
bertemu dengan Tiong Kiat dan aku datang ini hanya hendak bertanya kepadamu mengapa kau
meninggalkan Tiong Kiat dan membiarkan dia tersesat sedemikian jauhnya!"
Mendengar nada suara Tiong Han, diam-diam Kui Hwa terkejut sekali. Dari suara pemuda
ini, ia dapat menduga bahwa suhengnya ini biarpun tidak menaruh hati dendam kepadanya,
namun merasa tidak senang mengapa dia berpisah dari Tiong Kiat dan tentu menyangka yang
bukan-bukan. Maka ia cepat menuturkan pengalamannya dengan Tiong Kiat, betapa Tiong
Kiat telah melakukan perbuatan rendah terhadap seorang gadis yang ditolongnya sehingga
mereka menjadi berselisih dan bertempur. Kemudian diceritakannya bahwa Tiong Kiatlah
yang pergi meninggalkannya dan betapa ia lalu menjadi ketua dari Perkumpulan sorban
Merah.
Mendengar semua penuturan ini, kembali Tiong Han menarik napas panjang berkali-kali.
"Ah, sumoi, kalau begitu adikku itulah yang jahat dan tersesat. Kasihan sekali nasibmu
yang buruk." Dan diam-diam pemuda ini makin terheran melihat betapa Kui Hwa dapat
menuturkan semua pengalamannya ini di depan Un Leng, seakan-akan di antara mereka tidak
terdapat rahasia lagi. Ia menduga-duga dan ketika Kui Hwa memaksanya untuk bermalam di
situ menikmati hidangan yang dikeluarkan dibantu pula oleh Un Leng, terpaksa ia
menerimanya. Ia kagum juga melihat betapa kuat dan teratur perkumpulan yang dipimpin
oleh sumoinya dan betapa semua anggauta Sorban Merah amat tunduk dan taat kepadanya.
Di dalam kesempatan itu, Un Leng mendapat pikiran yang amat baik. Diam-diam ia
memberitahukan pikirannya ini kepada Kui Hwa dan gadis ini dengan muka kemerah-merahan
hanya menganggukkan kepala dan kemudian ia sengaja meninggalkan ruangan dimana Tiong
Han berada untuk memberi kesempatan kepada Un Leng untuk bicara berdua saja dengan
suhengnya.
"Sim taihiap" kata Un Leng ketika mereka selesai makan dan duduk menghadapi meja dengan
cawan terisi arak. "Sebelumnya kuharap kau sudi memaafkan aku apabila kau anggap aku
berlaku lancang. Telah kuceritakan kepadamu bahwa aku adalah murid dari Kim-l-sin-kai
(Pengemis Sakti Baju Kembang) di kota raja yang juga kau tahu telah kenal baik dengan
suhumu. Biarpun aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi seperti juga suhu,
aku benci akan perkelahian dan permusuhan. Aku lebih suka hidup damai dan tenteram
dengan penaku. Nah, kau telah mengetahui keadaan sumoimu. Seperti juga kau, aku kasihan
sekali kepadanya. Akan tetapi kalau kau berkasihan sebagai seorang suheng terhadap
sumoinya, adalah aku berkasihan kepadanya sebagai seorang pemuda terhadap seorang gadis
yang telah merebut hatiku! Ya terus terang saja, taihiap, diantara sumoimu dan aku
telah ada persesuaian paham dan kami telah bermupakat untuk menjadi suami-istri ! Oleh
karena itu, mengingat bahwa Hwa moi jauh dari orang tua, maka kiranya kau menjadi
wakilnya ! Kepadamulah sebagai wali Hwa - moi kuajukan pinanganku harap saja kau sudi
menolong kami.”
Tiong Han tersenyum dan memandang tajam. "Saudara Siok bukan main girangnya hatiku
mendengar ucapan yang terus terang ini! Sebelum kau menceritakan kepadaku, aku sudah
dapat menduga lebih dulu, dan pengakuanmu ini menandakan bahwa kau memang jujur dan
bersifat jantan. Kau telah mendengar tentang riwayat sumoi dengan adikku, namun kau
dapat memaafkan dan masih dapat menghargainya, ini menandakan bahwa cintamu terhadapnya
suci dan tulus. Akan tetapi, aku hanya menjadi suhengnya bagaimana aku berani berlaku
lancang bertindak sebagai walinya ?"
Un Leng berbangkit dari bangkunya dan menjura kepada Tiong Han yang dibalas cepat-cepat
oleh pemuda ini.
"Terima kasih banyak, taihiap. Sungguh pun benar pula ucapanmu tadi agaknya kau lupa
bahwa Hwa moi sesungguhnya telah diberikan kepadamu oleh orang tuanya sebagai calon
jodohmu. Kau berhak penuh atas dirinya dan berhak pula menjadi walinya. Kalau kau sudi
menerima permohonanku, berarti kau telah melepas budi besar terhadap kami."
Terpaksa Tiong Han menerimanya dengan hati girang. Kui Hwa lalu dipanggil dan dengan
muka kemerah-merahan gadis ini lalu menjura kepada suhengnya yang kini menjadi walinya
itu. Para anggauta Sorban Merah lalu dikumpulkan dan setelah Tiong Han diperkenalkan
sebagai suheng dan wali dari Kui Hwa, Tiong Han lalu mengumumkan dengan suara lantang
tentang perjodohan antara kedua orang muda itu. Semua anggauta Sorban Merah menerima
berita ini dengan girang sekali. Akan tetapi kegirangan ini segera terganti kekecewaan
ketika Kui Hwa menyatakan bahwa setelah menikah, terpaksa meninggalkan perkumpulannya
dan menyerahkan perkumpulannya ini kepada beberapa orang thauwbak yang paling tua dan
cukup bijaksana.
Dengan disaksikan oleh Tiong Han, beberapa hari kemudian dilangsungkanlah pernikahan
sepasang orang muda itu dengan sangat sederhana, akan tetapi cukup meriah karena
diramaikan dan dihadiri oleh anggauta Sorban Merah dan para sahabat-sahabat di kota
Heng-yang.
Setelah itu, pada keesokan harinya, Tiong Han minta diri dari sepasang suami-istri ini
untuk melanjutkan perjalanannya mencari adiknya. Kui Hwa mengantarkan kepergiaan
suhengnya ini dengan air mata berIinang. Ia kini mendapat kenyataan betapa bijaksana
dan mulia hati twa suhengnya ini dan diam-diam ia menyumpahi dirinya yang telah
terpikat oleh bujukan-bujukan iblis dari mulut ji-suhengnya.
0-oodwoo-0
Pada waktu itu, pemerintah kerajaan Tang mempunyai hubungan baik sekali dengan suku
bangsa Ouigour, yakni nenek moyang suku bangsa mongol. Raja bangsa Ouigour ini bernama
Huayen khan, seorang yang sudah mempelajari kebudayaan Tiongkok dan selain pandai
menulis huruf Tiongkok juga terkenal sekali dengan ilmu silat dan ilmu memanahnya yang
tinggi.
Huayen-khan mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan Tang, menukar kulit binatang dan
bulu binatang dengan gula dan kain sutera. Pernah dua kali Huayen-khan datang
mengunjungi kaisar Tang yang bernama Tai Cong, dan di kota raja kepala suku bangsa
Ouigour ini disambut dengan segala kehormatan, bahkan Kaisar Tai Cong lalu mengadakan
perayaan pesta untuk menghormati kunjungan Huayen khan ini. Di dalam pesta ini, setelah
Huayen-khan minum banyak arak wangi yang dihidangkan dan kepalanya telah menjadi agak
ringan dan kegembiraannya membesar, ia berkata kepada Kaisar Tai Cung,
"Saya lihat pengawal-pengawal paduka membawa busur dan anak panah. Agaknya ilmu panah
dari kerajaan paduka amat maju dan hebat !" Kepala suku bangsa Ouigour ini lalu tertawa
bergelak.
Kaisar Tai Cung terkenal sebagai seorang yang amat bijaksana, pandai memerintah,
dicinta oleh rakyat karena adilnya dan selain itu iapun amat cerdik. Mendengar ucapan
Huayen-khan ini, Kaisar Tai Cung sudah tahu akan maksudnya, karena iapun maklum akan
kepandaian Huayen-khan dalam ilmu panah. Sambil tersenyum ia berkata.
"Betapapun pandainya para pengawalku, agaknya masih harus mendapat banyak petunjuk dari
padamu, khan yang baik."
Huayen-khan tertawa bergelak sambil menenggak cawan araknya yang segera diisi pula
sampai penuh oleh seorang dayang pelayan.
"Paduka pandai sekali merendahkan diri. Kita sedang bergembira, apa salahnya bermainmain
sedikit dengan ilmu panah ? Harap paduka tidak berlaku sungkan dan sudi memanggil
seorang ahli panah terpandai dari dalam tembok besar."
Sambil tertawa juga, Kaisar Tai Cong lalu menyuruh seorang pengawal memanggil kepala
pengawal yang bernama Ciok Kwan. Tak lama kemudian, Ciok Kwan datang menghadap. Huayenkhan
memandang kepada perwira ini dengan kagum. Ciok Kwan adalah seorang perwira yang
masih muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian rapi dan nampak gagah
sekali karena potongan tubuhnya memang tegap dan besar. Sebagai seorang kepala pengawal
bagian panah, di punggungnya tergantung busur besar dan anak-anak panah dengan bulu
warna merah."Seorang perwira yang gagah !" Huayen Khan berkata memuji sehingga Tai Cong
tersenyum girang.
"Ciok ciangkun." kata kaisar, "tamu agung kita Huayen-khan ini ingin sekali menyaksikan
kepandaian memanah darimu, maka cobalah kau memperlihatkan kepandaianmu. Huayen-Khan
sendiri adalah seorang ahli panah yang terkenal, maka permainan ini tentu takkan
merugikanmu, bahkan kau tentu akan mendapat petunjuk-petunjuk yang baik dari padanya."
Tentu saja Ciok Kwan tidak berani membantah dan ia mengerling ke arah kepala suku
bangsa Ouigour itu. Ia telah mendengar nama besar Huayen-khan akan tetapi melihat
orangnya, timbul keraguannya. Raja bangsa Ouigour ini nampak kasar, bercambang bauk dan
agaknya telah mabok arak mana dapat memberi petunjuk tentang ilmu panah? Kaisar dan
tamunya lalu keluar dari ruangan dalam, menuju ke taman bunga di sebelah kanan istana,
diikuti oleh para pengawal dan pelayan. Dengan sikapnya yang sopan, Ciok Kwan lalu
menuju ke tempat terbuka dan berpikir-pikir cara bagaimana ia akan memperlihatkan
kemahirannya mainkan panah. la memandang ke kanan ke kiri dan berdongak pula memandang
ke atas. Tiba-tiba Huayen khan tertawa berkata,
"Ciok-ciangkun, apakah kau mencari-cari matahari untuk menjadi sasaran anak panahmu?
Ha, ha, ha!"
Huayen khan adalah seorang kasar dan kata-katanya ini hanya kelakar belaka. Kaisar Tai
Cung mengerti akan hal ini, maka sambil tertawa kaisar ini berkata juga.
"Huayen khan yang gagah, apa kaukira sekarang ini masih ada orang-orang sakti seperti
Panglima Po Gwan?" Panglima Po Gwan adalah seorang tokoh dalam dongeng Tiong kok yang
demikian tinggi ilmu panahnya sehingga dikabarkan orang bahwa panglima ini pandai
memanah bintang di langit !"
Huayen-khan juga tertawa mendengar ucapan kaisar ini, tanda bahwa kepala suku bangsa
Ouigour ini tidak asing akan dongeng-dongeng dan sejarah purba dari Tiongkok. Akan
tetapi, sebaliknya, Ciok Kwan yang semenjak kecil mempelajari bu (lima silat) dan sama
sekali tidak pernah mempelajari bun (ilmu surat) merah kedua telinganya mendengar
percakapan orang-orang besar ini. la mengira bahwa Huayen khan mengejeknya dan diamdiam
iapun merasa gemas sekali mengapa kaisar bahkan membumbui ejekan tamu, orang yang
dianggapnya kasar dan biadab ini!
"Hamba adalah seorang yang bodoh dan anak panah hamba hanya dapat dipergunakan untuk
menangkap burung di atas itu!" kata Ciok Kwan sambil menudingkan telunjuknya ke atas.
Semua orang melihat ke atas dan ternyata sekawanan burung terbang tinggi sekali di
udara.
"Hamba akan menurunkan burung ketiga dari depan!* seru Ciok Kwan dan seruannya itu
dibarengi oleh menjepretnya tali busurnya. Sebatang anak panah dengan cepat sekali
mendesing ke udara dan tak lama kemudian betul saja, burung yang terbang di barisan
ketiga dari depan nampak terkulai kepalanya dan jatuh ke bawah bagaikan sepotong batu.
Ketika dilihat, burung itu telah tertembus dadanya oleh anak panah tadi, Semua pengawal
berseru gembira menyaksikan ketangkasan kepala mereka ini. Kaisar Tai Cung mengangguk
girang, akan tetapi Huayen-khan berkata.
"Memanah burung yang besar itu benar-benar mengagumkan orang!" Sambil berkata demikian,
ia mengulur tangan ke belakang dan seorang di antara para pengawalnya lalu memberikan
busur dan sebatang anak panah. "Aku hanya dapat memanah binatang yang kecil-kecil
saja." Ucapan ini seperti diucapkan untuk dirinya sendiri dan pujian itu sama sekali
tidak cocok dengan tarikan wajahnya yang memandang rendah.
"Kalau paduka membolehkan saja ingin mencabut ekor burung kecil warna hitam yang sedang
terbang itu!"
"Kaisar Tai Cung menengok ke arah yang ditunjuk oleh Huayen khan dan ia terkejut
sekali. Yang dituding oleh tamunya adalah seekor burung walet yang beterbangan di udara
gesit sekali. Bagaimana orang dapat memanah burung yang terkenal amat gesit dan tangkas
ini ? Apa lagi hanya membobolkan ekornya,jauh lebih sukar dari pada kalau memanah jatuh
burung itu.
Tentu saja kami tidak melarangnya, hanya, dapatkah burung segesit itu dipanah jatuh
ekornya saja?"
Huayen-khan tertawa bergelak, membidikkan anak panahnya, menanti sampai burung walet
itu terbang mendekat, kemudian terdengar anak panahnya meluncur cepat sekali merupakan
sinar hitam karena anak panahnya ini belakangnya memakai ronce-ronce warna hitam. Semua
orang menahan napas dan Ciok Kwan sendiri berdebar hati, karena iapun tidak percaya
bahwa Huayen-khan akan berhasil. Akan tetapi, terdengar sorak-sorai dari para pengawal
dan pengiring kepala suku bangsa Ouigour ini ketika terdengar burung walet menjerit
lalu terbang cepat sekali tanpa ekor ! Beberapa helai bulu ekornya itu telah copot dan
bodol terbabat oleh anak panah yang dilepas oleh Huayen-khan!
"Bagus, hebat sekali ilmu panahan khan yang baik !" Kaisar itu memuji dan diam-diam ia
bersukur bahwa kerajaannya tidak bermusuhan dengan Huayen-khan yang pandai sekaIi
mainkan anak panah ini.
Huayen-khan tertawa bergelak. "Walet hitam sekecil itu perlu apa dibunuh? Dicabut
ekornya saja ia akan menjerit ketakutan dan lari secepatnya. Ha, ha, ha !"
Kaisar Tai Cung juga tersenyum karena ia maklum akan maksud kata-kata Huayen khan yang
lihai ini. Memang, pada waktu itu, terdapat suku bangsa Cou yang dipimpin oleh Piloko,
seorang yang terkenal juga dalam ilmu silat sehingga ia mendapat julukan Yan-ong (Raja
Burung Walet). Juga Piloko dan suku bangsanya bersahabat dengan pemerintah Tang tetapi
di dalam perdagangannya dengan pemerintah Tang, Piloko mendapat saingan keras sekali
dari Huayen-khan sehingga dua orang pemimpin suku bangsa ini menjadi saling benci dan
timbul permusuhan di antara mereka ! Oleh karena itu, ucapan Huayen-khan ini tentu saja
menyinggung diri Piloko yang dianggapnya burung walet tadi. Inipun agak tepat, karena
di dalam peperangan pernah pasukan Piloko terpukul mundur oleh Huayen-khan dan terpaksa
melarikan diri. Hanya berkat kebijaksanaan campur tangan Kaisar Tai Cung saja maka
peperangan tidak dilanjutkan dan tidak menghebat, akan tetapi di dalam hati masingmasing
masih terdapat dendam dan kebencian.
Setelah menerima hadiah-hadiah dari kaisar, Huayen khan lalu mengundurkan diri,
diiringkan oleh sekalian pengawalnya, keluar dari istana hendak kembali ke tempat
tinggalnya sendiri, yakni di lembah Sungai Salenga di utara.
Kaisar Tai Cung memberi perintah kepada Ciok Kwan untuk membawa sepasukan pengawal,
mengiringkan perjalanan Huayen-khan sampai keluar ibu kota.
Pada saat rombongan ini tiba di luar tembok ibu kota, tiba-tiba sepasukan orang-orang
tinggi besar yang bertopi putih sambil berseru keras datang menyerbu ! Jumlah mereka
banyak sekali dan ternyata bahwa mereka ini adalah pasukan suku bangsa Cou yang
dipimpin oleh Piloko ! Mereka telah menanti saat yang baik untuk melakukan pembalasan
dan karena dendam mereka sudah memuncak, maka mereka tidak segan-segan lagi untuk
menyerang Huayen-khan di Iuar tembok ibu kota kerajaan Tang!
'Atas nama kaisar, harap jangan mengganggu tamu agung kami !" Ciok Kwan berulang-ulang
memberi peringatan dan berseru keras, akan tetapi Piloko tidak memperdulikan seruan itu
bahkan segera berteriak.
"Ciok ciangkun ! Harap kau menarik kembali pasukanmu dan masuk ke dalam kota. Kami
tidak ada persoalan dengan kau dan pasukanmu dan biarkan kami membereskan urusan lama
dengan Huayen khan !" Setelah berkata demikian Piloko memberi aba-aba dan menyerbulah
anak buahnya, menyerang Huayen khan yang hanya dikawal oleh dua puluh orang anak
buahnya. Pertempuran hebat terjadi ramai sekali Ciok Kwan menjadi ragu-ragu karena
selain ia merasa mendongkol kepada Huayen khan, juga ia gentar menghadapi Piloko dengan
anak buahnya yang sedikitnya ada lima puluh orang itu ! Maka ia berdiri diam saja di
pinggir dan hal ini tentu saja diturut oleh pasukannya yang tidak berani lancang turun
tangan tanpa aba-aba dari pemimpinnya.
Betapapun juga, Ciok Kwan lalu menyuruh dua orang anak buahnya untuk melaporkan
peristiwa ini kepada kaisar dan minta putusan kaisar.
Celakalah keadaan Huayen-khan. Biarpun ia sendiri gagah perkasa, namun pada saat itu ia
masih setengah mabok dan anak buahnya yang hanya dua puluh orang itu tentu saja tidak
dapat menandingi sepak terjang lima puluh orang anak buah Piloko yang pilihan! Seorang
demi seorang anak boah Huayen-khan roboh mandi darah dan Huayen khan sendiri sudah
terkurung rapat. Namun kepala suku bangsa Ouigour ini memang mengagumkan. Dalam keadaan
terjepit seperti itu, ia sama sekali tidak mau berseru minta tolong kepada Ciok Kwan.
Juga ia melakukan perlawanan dengan gigih sekali, memainkan goloknya yang diputar
dengan hebatnya.
Pembantu Piloko tentu saja takkan berdaya menghadapi Huayen khan yang kosen kalau di
situ tidak ada Piloko yang mengeroyoknya pula. Kepandaian silat Piloko tinggi juga dan
permainan sepasang tombak pendek di tangannya cukup cepat dan kuat. Namun ia harus
mengakui bahwa ia masih kalah jauh oleh Huayen-khan dan setelah mengeroyok dengan lima
orang kawan-kawannya saja baru ia dapat mengimbangi permainan golok dari orang kasar
bangsa Ouigour ini! Golok Huayen-khan telah berlumur darah, karena banyaklah sudah
musuh yang roboh di tangannya. Akan tetapi sekarang ia telah merasa lelah perlahanlahan
ia terdesak hebat dan kurungan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu makin
merapat !
Adapun Ciok Kwan masih sedia berdiri di situ menjadi penonton. Ia mengagumi kegagahan
Huayen-khan akan tetapi ketika ia melihat gerakan sepasang tombak Piloko, ia menjadi
gentar juga. Baiknya utusan-utusannya belum juga kembali, sehingga ia mendapat alasan
cukup kuat untuk tinggal menjadi penonton dan belum membantu Huayen khan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Huayen-khan, tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring dan berkelebatlah sinar putih yang menyilaukan mata. Segebrakan saja
terguling dua orang pengeroyok Huayen khan oleh sinar putih yang ternyata adalah sinar
pedang yang amat cepat gerakannya itu !
Huayen khan mengerling dan giranglah ia ketika melihat bahwa penolongnya bukanlah Ciok
Kwan melainkan seorang pemuda bukan perajurit yang berpakaian biru dan berwajah tampan
dan gagah sekali.
"Ha, ha. ha ! Orang muda yang gagah, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini !" Dalam
keadaan seperti itu, Huayen-khan masih dapat tertawa, sungguh mengagumkan hati pemuda
ini yang bukan lain adalah Sim Tiong Kiat adanya!
Di dalam perantauannya, tibalah Tiong Kiat di luar tembok kota raja sehingga ia melihat
pertempuran itu. Ia melihat betapa seorang tua tinggi besar bercambang bauk yang hebat
juga ilmu goloknya, dikeroyok oleh orang-orang suku bangsa Cou yang banyak jumlahnya.
Di sana sini nampak banyak mayat bertumpuk-tumpuk bahkan masih terjadi pertempuran
hebat sekali oleh kedua fihak yang tidak berimbang jumlahnya itu. Ketika Tiong Kiat
melihat Ciok Kwan dan pasukannya yang berpakaian mewah akan tetapi tidak berbuat
sesuatu menghadapi pertempuran hebat itu, ia menjadi sebal sekali. Memang telah lama
Tiong Kiat membenci para perajurit pemerintah yang lagaknya sombong itu. Melihat ilmu
golok Huayen-khan dan kegagahan kepala suku bangsa Ouigour ini, timbul simpatinya dan
segera ia mengambil keputusan untuk membelanya.
Di dalam dada pemuda ini memang masih ada keadilan dan tentu saja menghadapi dua pihak
yang bertempur, tanpa mengetahui sebabnya, ia akan berpihak pada yang Iemah. Pihak
Huayen-khan jauh lebih sedikit jumlahnya, maka lalu ia membela pihak ini.
Ketika mendengar ucapan Huayen khan, Tiong kiat menjadi gembira dan cepat ia mainkan
pedangnya. Melihat betapa diantara para pengeroyok, sepasang tombak pendek Piloko
paling lihai, Tiong Kiat lalu menyerang orang ini. Piloko menjadi marah sekali dan
cepat ia menangkis sekuat tenaga dengan tombak kirinya. "Trang !" dan putuslah tombak
kiri di tangan Piloko itu, yang membuatnya menjadi terkejut sekali sehingga wajahnya
berubah pucat.
"Ha, ha, ha!" Huayen-khan tertawa bergelak. Setelah kini menghadapi pengeroyok kawankawan
musuhnya, ia mengganda dengan tertawa saja. Ia menjadi geli melihat betapa tombak
Piloko terbabat buntung oleh pedang pemuda gagah itu. "Walet hitam yang tadi ekornya
telah buntung, sekarang sayapnya brondol lagi. Ha, ha, ha, kau tidak lekas terbang
minggat?"
Piloko menjadi jerih sekali melihat kegagahan Tiong kiat, maka ia segera berseru keras
dalam bahasa Cou, mengajak pergi kawan-kawannya, ia sendiri lalu mendahului melompat
pergi dan berlari cepat, diikuti oleh kawan-kawannya yang hanya tinggal tiga puluh
orang lebih lagi.
Baru saja rombongan Piloko melarikan diri, datanglah pasukan dari dalam kota yang
mendapat perintah dari kaisar untuk memisahkan pertempuran itu dan membujuk kedua pihak
supaya berdamai, biarpun harus dengan kekuatan senjata, Huayen-khan tidak memperdulikan
Ciok Kwan dan pasukannya, bahkan tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang menjadi
korban, melainkan memeluk bahu Tiong Kiat sambil tertawa bergelak.
"Ha, ha, ha, dibandingkan dengan kau, semua orang ini hanya kecoa-kecoa pemakan bangkai
belaka. Orang seperti kau inilah yang sepantasnya duduk di sebelah kananku. Orang muda
yang gagah, maukah kau pergi bersama Huayen-khan ke utara dan duduk makan minum dengan
aku ?"
Melihat sikap yang kasar ini, Tiong Kiat makin tertarik. Orang ini gagah dan jujur dan
juga mendengar nama Huayen-khan, tahulah ia bahwa ini adalah kepala suku bangsa Ouigour
yang gagah berani. Maka timbul hati sukanya dan iapun lalu menurut saja ketika
tangannya digandeng oleh Huayen-khan dan diajak naik kuda yang sudah disediakan oleh
anak buahnya. Ketika rombongan orang Ouigour ini hendak berangkat Huayen khan menoleh
dari kudanya, memandang kepada Ciok Kwan sambil tersenyum mengejek.
"Ciok-ciangkun, benar saja seperti pengakuanmu tadi. Anak panahmu hanya dapat
dipergunakan untuk menjatuhkan seekor burung besar yang lambat terbangnya. Akan tetapi
menghadapi seekor burung walet yang kecil dan gesit, anak panahmu menjadi tumpul. Ha,
ha, ha !" la lalu menarik kendali kudanya dan mengajak Tiong Kiat mengaburkan kuda
mereka pergi dari situ.
Ciok Kwan mendongkol sekali akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan ? Untuk menyerang
dan menyergap orang-orang ini tentu saja ia tidak berani karena tidak ada perintah dari
kaisar. Untuk bertindak seorang diri terhadap kepala suku bangsa Ouigour ini lebih
jerih karena maklum bahwa kepandaiannya takkan dapat menangkan orang kasar itu. Dengan
marah dan mendongkol ia Ialu memimpin pasukannya untuk kembali ke kota raja untuk
membuat laporan kepada kaisar.
Huayen-khan ternyata merasa suka sekali kepada Tiong Kiat. Ia mengajak pemuda ini ke
utara dengan segala kehormatan dan di sepanjang jalan pemuda ini diperlakukan sebagai
orang setingkat dengannya !
Ketika mereka tiba di tempat perkemahan suku bangsa Ouigour, Tiong Kiat menjadi kagum
sekali melihat betapa suku bangsa ini menempati perkemahan yang baik dan mempunyai
anggauta yang banyak sekali jumlahnya. Lagi pula, setiap orang laki-laki bertubuh
tinggi besar dan tegap, selalu membawa senjata tajam dan nampaknya mengerti ilmu silat.
Sungguh merupakan pasukan yang kuat dan baik. Akan tetapi yang lebih menyenangkan
hatinya adalah ketika ia melihat wanita-wanita yang berada di situ. Berbeda dengan yang
laki-laki para wanita Ouigour rata-rata berkulit bersih, bermata bening dan berhidung
mancung, pendek kata cantik-cantik!
Rombongan Huayen khan berjalan perlahan dan pemimpin besar itu menjalankan kudanya
perlahan-lahan sambil mengangkat tangan ke kanan ke kiri membalas penghormatan semua
anak buahnya yang menyambutnya sepanjang jalan. Tiong Kiat yang menjalankan kudanya di
sebelah Huayen-khan, menjadi berdebar bangga karena seakan-akan juga menerima
penghormatan besar itu.
Tiba-tiba dari jurusan depan nampak seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya
sehingga debu mengebul tinggi, kuda itu berlari cepat sekali dan Tiong Kiat memandang
bagaikan terpesona. Memang hebat sekali pemandangan yang nampak di depan matanya itu.
Kuda itu berbulu kemerah-merahan, sedangkan penunggangnya adalah seorang gadis yang
berpakaian merah lagi sehingga kuda dan penunggangnya itu nampaknya seperti api yang
bernyala-nyala. Yang membuat Tiong Kiat merasa kaget adalah kecepatan larinya kuda itu
sehingga ia merasa kuatir kalau kuda ini menubruk kudanya dan kuda yang ditunggangi
oleh Huayen khan. Akan tetapi, Huayen-khan memandang dengan tertawa lebar saja dan
ketika kuda merah itu sudab tiba di depan Huayen khan tanpa mengurangi kecepatan
larinya tiba-tiba saja gadis baju merah itu menahan kendali kuda dan menjepit perut
kudanya dengan kedua kakinya dan... mendadak kuda itu berhenti berlari ! Kuda itu
meringkik seakan-akan kegirangan dan Tiong Kiat sukar untuk dapat mempercayai apa yang
dipandangnya dihadapan itu. Ia merasa terheran-heran dan kagum. Tidak saja kagum
melihat kecantikan gadis baju merah ini, akan tetapi juga heran melihat cara gadis itu
menghentikan kudanya.
Tidak sembarang orang dapat menghentikan larinya kuda yang secepat itu dalam cara
demikian mendadak. Kalau gadis itu tidak memiliki tenaga besar dan kepandaian naik kuda
yang luar biasa, tak mungkin ia akan dapat menghentikan kudanya secara itu!
Gadis itu sama sekali tidak menghormat Huayen-khan, bahkan datang-datang ia lalu
menegur Huayen khan.
"Kau membawa benda apakah untukku?"
Huayen khan tertawa bergelak. "Ang Hwa (bunga Merah) kaukira aku akan lupa kepadamu?"
Huayen khan mengeluarkan sebuah kotak berukir dari dalam bungkusan di atas sela kudanya
dan melemparkannya kepada wanita itu. Lemparan ini keras dan cepat akan tetapi gadis
itu menangkap peti kecil ini dengan gerakan yang Iihai sekali sehingga kembaIi Tiong
Kiat memujinya.
'Bagus !" katanya tak terasa lagi.
Ang Hwa sedang membuka peti itu dan ketika ia mendengar pujian ini, ia menutup petinya
dan memandang ke arah Tiong Kiat. Ia nampak tercengang seakan-akan baru sekarang ia
melihat pemuda ini.
"Ha, ha, ha !" Huayen-khan tertawa pula. "Ang Hwa, kau lihat Sim enghiong ini. Bukankah
ia gagah dan tampan sekali."
Akan tetapi sambil merengut, Ang Hwa menegurnya, ”mengapa kau membawa seorang Han ke
sini?"
"Ang Hwa, jangan terburu-buru memandang rendah! Pemuda Han ini bukanlah sembarang
pemuda dan kalau tidak ada dia, belum tentu hari ini aku dapat pulang !"
Kemudian Huayen-khan lalu menceritakan tentang penyerbuan Piloko di luar tembok kota.
"Ha, ha, ha! Ang Hwa, kalau kau melihat betapa seorang panglima kerajaan Tang she Ciok
itu berdiri seperti patung, sungguh menyebalkan. Sayang kau tidak ikut dalam
rombonganku. Kalau kau ikut, tentu akan kau lihat betapa Piloko si walet itu diusir
tunggang langgang oleh Sim-enghiong yang gagah perkasa ini ! Ha, ha, ha !"
Ang Hwa mengerutkan kening. "Kau diserbu oleh Piloko di luar tembok kota raja dan kau
tidak mendapat bantuan dari kaisar Tang? Hm, siapa tahu kalau hal itu adalah siasat
kaisar sendiri membiarkan serigala dan harimau berkelahi sambil bersembunyi dan kalau
keduanya sudah lelah dan terluka lalu muncul untuk menangkap mereka ?'
Tiong Kiat merasa tak senang mendengar betapa kaisarnya dituduh berlaku curang, akan
tetapi ia makin kagum saja karena ternyata bahwa selain cantik jelita dan berkepandaian
cukup tinggi, gadis inipun ahli dalam siasat peperangan dan berotak cerdik pula.
Siapakah gadis ini, pikirnya. Tentu setidaknya puteri dari Huayen-khan !
"Aku mendengar bahwa Piloko memang bermusuhan dengan suku bangsamu, maka tanpa dibujuk
oleh orang lain, ia akan menyerang rombongan Huayen-khan di manapun juga." kata Tiong
Kiat tanpa membela langsung kepada kaisar bangsanya.
Ang Hwa memandang tajam kepadanya, kemudian melirik ke arah pedang yang tergantung di
pinggang Tiong Kiat.
"Hm, kau membawa-bawa pedang dan kau telah membantu rombongan kami. Akan tetapi aku
belum menyaksikan ilmu pedangmu. Malam nanti terang bulan, aku ingin sekali menyaksikan
sampai di mana kehebatan ilmu pedangmu!” Sambil berkata demikian, ia lalu memutar
kudanya dan membalapkan kudanya dan mendahului rombongan Huayen khan !
Huayen khan tertawa bergelak dengan gembira sekali "Ha, ha sim-enghiong, dia memang
keras kepala. Kau harus melayaninya malam nanti !"
"Akan tetapi. Huayen khan, aku tidak suka mainkan pedang untuk ditonton,” jawab Tiong
Kiat.
"siapa yang mau menonton ilmu pedang ? Dia mengajakmu mengadu ilmu kepandaian karena
dia sendiripun seorang ahli pedang."
Tiong Kiat tertegun, akan tetapi Huayen-khan tidak memberi kesempatan padanya untuk
bicara lagi, karena dia telah majukan kudanya sehingga rombongan itu maju terus menuju
perkemahan besar di depan.
Setelah memasuki perkemahan, kembali Tiong Kiat tertegun ketika melihat banyaknya
gadis-gadis pelayan yang cantik menyambut Huayen-khan, bahkan di antara mereka ini
banyak sekali yang datang dari pedalaman, yakni gadis gadis bangsa Han !
"Bersenanglah dan anggap saja ini sebagai rumahmu sendiri !" kata Huayen-khan.Tiong
Kiat mendapat tempat di sebuah kemah yang cukup besar, dilayani oleh belasan orang
gadis pelayan yang cantik-cantik. Tentu saja pemuda mata keranjang ini merasa gembira
sekali dan merasa seakan-akan telah memasuki kahyangan yang penuh dengan bidadaribidadari.
Malam harinya setelah bulan muncul, Huayen khan datang memasuki kemahnya dan
mengajaknya keluar menikmati pemandangan di kebun kembang yang terdapat di tepi sungai.
Ketika mereka tiba di tempat itu, benar saja pemandangan amat indahnya. Bunga bunga
telah mekar dan di bawah sinar bulan purnama, keadaan di situ nampak indah menyenangkan
sekali. Ketika Tiong Kiat melihat bayangan merah berdiri di tempat itu, dikelilingi
oleh para pelayan, teringatlah ia akan janji Ang Hwa yang hendak mencoba ilmu
pedangnya, diam-diam Tiong Kiat menggigit bibirnya. Ia akan memperlihatkan
kepandaiannya agar dapat dikagumi oleh Ang Hwa yang cantik jeIita dan oleh para pelayan
itu.
Memang benar seperti yang dikatakan oleh Huayen-khan tadi, karena begitu ia mengajak
Tiong Kiat duduk di atas bangku-bangku batu yang telah disediakan di tempat itu, Ang
Hwa lalu menghampiri mereka dan berkata kepada Tiong Kiat,
"Sim enghiong, harap kau suka memperlihatkan kepandaianmu agar hati kami tidak raguragu
lagi bahwa tamu kami bukanlah seorang pemuda Han yang lemah dan tiada guna
belaka!” Gemaslah hati Tiong Kiat, bukan saja gemas melihat sikap gadis cantik yang
memandang rendah ini, akan tetapi gemas pula melihat gadis yang benar-benar jelita dan
menarik hati ini. Kalau saja ia tidak mengira bahwa gadis ini putri dari Huayen khan,
tentu telah dipeluknya dan dibawa Iari ke dalam kemahnya!
"la bangkit berdiri dan berkata dengan senyum. "Nona sudah menjadi kebiasaanku sekali
aku mencabut pedang, aku tentu harus memperoleh hasil. Menghadapi seorang musuh, darah
musuh pada pedangku adalah hasil pencabutan pedangku. Oleh karena terhadapmu aku tak
dapat berIaku demikian maka apakah hadiahnya apabila aku mendapat kemenangan?"
Ang Hwa memandangnya dengan matanya yang indah, sungguhpun matanya nampak berseri,
namun bibirnya tetap memperlihatkan kekerasan hati dan kesombongannya.
"Katakan dulu, bagaimana kalau kau kalah? Pembayaran apakah yang akan kau pertaruhkan?'
Tiong Kiat tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini sedemikian sombongnya,
seakan-akan sudah yakin akan kemenangannya sehingga berani mengajaknya bertaruh!
"Darahku yang kupertaruhkan." kata Tiong Kiat. "Biarlah aku terluka oleh pedangmu kalau
ilmu pedangku terlalu rendah untuk menghadapi ilmu pedangmu."
Tiba-tiba Huayen khan tertawa bergelak. "Ang Hwa, kau terlalu sombong! Mana bisa kau
menangkan Sim enghiong? Sim-enghiong, biarlah aku mewakilinya menjawab. Kalau kau
menang, aku akan menyerahkannya kepadamu semalam penuh dan ia harus menurut!"
Kali ini benar-benar Tiong Kiat terkejut dan mukanya menjadi marah sekali. Bagaimana
Huayen khan dapat menawarkan anaknya seperti itu? Benar ia tidak mengerti akan sikap
dan watak orang orang Ouigour ini! Akan tetapi ia masih penasaran dan bertanyalah ia
kepada Ang Hwa,
"Nona ucapan tadi dikeluarkan oleh Huayen-khan, bukan olehku."
"Sekali kata-kata sudah diucapkan, takkan ditarik kembali. Aku bersedia menurut
perintah kalau aku kalah olehmu!" jawab Ang Hwa dengan singkat, dan gadis ini lalu
mencabut sebatang pedang yang mengkilap dan melompat ke tengah pelataran.
Bukan main girangnya hati Tiong Kiat mendengar ini. Gilakah orang-orang ini? Dengan
terang-terangan Huayen khan mempertaruhkan kehormatan puterinya sedangkan Ang Hwa
sendiri dengan terang-terangan bersedia mentaati perintah itu ! Ia lalu mencabut
pedangnya dan dengan lompatan ringan sekali ia telah berada di depan Ang Hwa,
'Nona, silakan kau mulai lebih dulu menyerangku !" tantangnya. la mengira bahwa biarpun
kepandaian menunggang kuda nona ini hebat, namun ilmu pedangnya tentu tidak berapa
berbahaya. Akan tetapi ia kecele kalau berpikir demikian, karena begitu gadis itu
menggerakkan pedangnya, Tiong Kiat merasa terkejut sekali. Gerakan pedang gadis itu
sama sekali tak boleh disebut lemah! Bukan main bahkan pedangnyapun bukan pedang biasa,
melainkan pokiam (pedang pusaka) yang kuat sehingga ketika beradu dengan Hui Iiong
kiam, hanya bunga-bunga api yang berpijar sedangkan pedang gadis itu sama sekali tidak
menjadi rusak! Timbul kegembiraan di hati Tiong Kiat dan berbareng ia merasa tertarik
dan suka kepada gadis ini. Sukarlah menjumpai gadis yang keras hati, cantik, tinggi
kepandaiannya seperti Ang Hwa. Apalagi di tempat ini, dalam lingkungan orang-orang
Ouigour yang kasar.
Pada waktu itu, Tiong Kiat telah menamatkan pelajaran Ang-coa kiam dari kitab Ang coa
kiam coansi yang dirampasnya dari tangan Tiong Han. maka tingkat ilmu pedangnya sudah
mencapai tingkat yang tinggi sekali. Bahkan Tiong Han sendiri belum tentu sekarang
dapat melawan pemuda ini yang telah berhasil mewarisi seluruh ilmu pedang Ang coa-kiamsut,
kepandaian ilmu pedang pusaka dari Kim-liong pai !
Tadinya Tiong Kiat hanya mempermainkan Ang Hwa dan mainkan ilmu pedangnya untuk
bertahan saja. Ia bertambah heran ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu
adalah ilmu pedang yang mirip sekali dengan Kun lun kiamhwat! Bagaimana seorang gadis
Ouigour dapat mempelajari ilmu pedang dari Kun lun-pai? la ingin cepat-cepat
menyelesaikan pibu ini agar dapat bicara berdua dengan gadis yang menarik hatinya ini.
Cepat ia merubah gerakan pedangnya dan sebentar saja terdengar Ang Hwa berseru
terkejut. Pedang di tangan pemuda ini tiba-tiba lenyap menjadi segulung sinar putih
yang gerakannya aneh dan gesit sekali seperti seekor naga bermain di angkasa. Betapapun
Ang Hwa memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja gulungan
sinar pedang itu mengurung dirinya, membuat pandangan matanya kabur dan kepalanya
pening!
Baru sekarang ia percaya akan kehebatan ilmu pedang Tiong Kiat. Tiba-tiba ia merasa
sampokan hebat sekali yang membuat pedangnya terlepas dari tangan dan ketika sinar
pedang lawannya itu lenyap, ternyata Tiong Kiat telah berdiri di hadapannya dengan
pedangnya yang terlepas dan berada di tangan kiri pemuda itu! Tiong Kiat tersenyum dan
mengembalikan pedang itu kepada Ang Hwa yang menerimanya dengan muka merah.
Huayen khan menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum.
'Bagus, bagus Sim-enghiong. Malam ini kau telah dapat menundukkan bunga merah sungai
Selonga ! Aku rela memberikannya semalam kepadamu, kau gagah dan cukup berharga untuk
itu. Ha, ha, ha ! bawalah, bawalah dia ke kemahmu, Sim-enghiong !" Setelah berkata
demikian, kepala suku bangsa Ouigour ini lalu meninggalkan mereka, Tiong Kiat berdiri
bengong dengan muka merah dan juga merasa terheran-heran. Akan tetapi ketika ia melihat
betapa gadis itu memandangnya dengan mesra dan bibirnya tersenyum. Ketika melihat
betapa Tiong Kiat menatap wajahnya gadis ini menjadi merah mukanya dan menundukkan muka
dengan kemalu-maluan, akan tetapi matanya mengerling dan menyambar dari pinggir,
membuat pemuda itu menjadi runtuh betul imannya. Dengan girang Tiong Kiat lalu memegang
tangan Ang Hwa dan diajaknya masuk ke dalam kemahnya.
Setelah tiba di dalam kemahnya, mereka duduk berhadapan dan Tiong Kiat yang merasa
Iebih terheran-heran dari pada gembira itu Ialu bertanya.
*Nona, sungguh aku heran sekali melihat kau. Ilmu silatmu tadi sudah terang berasal
dari Kun-lun-pai dan melihat wajah dan juga bicaramu kau Iebih pantas menjadi gadis
bangsa Han dari pada menjadi seorang gadis Ouigour. Sesungguhnya, bagaimana kau sampai
bisa berada di tempat ini ?*
Ang Hwa tersenyum dan memandang kepada Tiong Kiat dengan kagum.
"Sim enghiong, kau gagah sekali dan ilmu pedangmu saja sudah cukup menundukkan hatiku.
Oleh karena itu, tiada salahnya aku menceritakan riwayatku dan percayalah hanya
kepadamu saja aku mau bercerita."
Ang Hwa adalah puteri tunggal seorang guru silat bangsa Han, anak murid Kun-lun-pai.
Ayahnya telah membunuh seorang Pembesar tinggi karena istrinya bermain gila dengan
pembesar itu. Tentu saja ia menjadi orang buruan pemerintah dan guru silat she Ang ini
melarikan diri bersama anaknya ke utara. Akhirnya ayahnya bertemu dengan Huayen khan
dan menjadi pembantunya. Akan tetapi, ketika Ang Hwa berusia lima belas tahun, ayahnya
telah meninggal dan ia terserang penyakit berat, sehingga akhirnya gadis ini menjadi
yatim piatu dan ikut dengan Huayen khan yang amat mengasihinya.
"Demikianlah, Sim-enghiong, maka sampai sekarang aku berada di sini. Cita-citaku hanya
untuk membalas dendam, tidak kepada pembesar tinggi yang sudah terbunuh oleh ayahku
akan tetapi kepada pemerintahan Tang terutama kaisarnya yang telah membuat ayah
menderita sengsara di tempat asing ini."
"Akan tetapi, bukankah suku bangsa Ouigour bersahabat dengan pemerintah Tang ?" tanya
Tiong Kiat.
"Benar, akan tetapi itu hanya siasat belaka, keadaan kami belum kuat benar untuk
melakukan penyerangan dan jalan terbaik adalah bersahabat dengan kaisar kerajaan Tang."
Tiong Kiat berpikir bahwa tentu Ang Hwa kini diaku anak oleh Huayen-khan. Kalau ia
dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi menantu Huayen khan, tentu pengaruhnya akan
besar dan kelak ia akan mendapat kesempatan menggantikan kedudukan Huayen khan !
Alangkah senangnya menjadi raja dari suku bangsa ini. Akan tetapi, ia tidak senang
mendengar betapa Huayen-khan diam-diam hendak menyerang dan menggulingkan kerajaan
Tang. Betapapun juga, Tiong Kiat masih mempunyai darah pahlawan. Ia maklum akan
kebijaksanaan Kaisar Tai Cung, dan biarpun ia tidak mundur untuk melakukan pekerjaan
rendah seperti jai-hwa cat dan pencuri, namun untuk menghianati Kaisar Tai Cung, ia
tidak sudi ! Kalau aku dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi mantu dari Huayenkhan,
aku akan dapat membujuknya dan mempengaruhinya sehingga selamanya suku bangsa ini
akan menjadi sahabat baik dari pemerintahan Tang, pikirnya.
la memandang gadis itu yang makin lama nampak makin cantik menarik. Tak terasa lagi ia
mengulurkan tangan memegang lengan gadis itu dan Ang Hwa mendiamkan saja, bahkan
tersenyum menantang!
"Alangkah bahagiaku dapat menerima kehormatan ini," kata Tiong Kiat sambil mengagumi
mata yang bening itu. "Akan tetapi aku benar-benar masih merasa heran mengapa Huayen
khan suka menyerahkan puterinya kepada seorang asing seperti aku. Bukankah ini agak
terlalu….terlalu mudah? Aku ingin menikah dengan kau secara resmi, Ang Hwa, kau cukup
pantas menjadi istriku yang tercinta."
Kini Ang Hwa memandang dengan mata terbelalak. "Puterinya ? Puterinya yang mana
maksudmu, Sim-enghiong ?"
"Eh, bukankah kau menjadi puteri Huayen-khan?"
Ang Hwa menggeleng kepalanya. "Aku bukan puterinya, juga tidak diaku anak olehnya. Aku…
aku telah menjadi isterinya."
Bagaikan disengat ular berbisa, Tiong Kiat menarik kembali tangannya yang memegang
lengan Ang Hwa. Pemuda ini kalau sudah tertarik hatinya oleh seorang wanita, ia tidak
akan memperdulikan apakah wanita itu anak orang ataupun puteri orang. Akan tetapi
menghadapi Huayen khan yang menyerahkan istri sendiri kepadanya ini baginya merupakan
haI yang aneh dan hebat sekali, yang membuatnya menjadi ngeri juga.
"Apa..... ?? Kau istrinya? Mengapa... mengapa ia memberikan kau kepadaku untuk
melayaniku malam ini? Bagaimana mungkin ada perbuatan yang gila ini ?"
Ang Hwa tersenyum menarik dan kini dialah yang menghampiri Tiong Kiat dengan sikap
menarik sekali. "Pemuda bodoh. Apa salahnya hal itu kami lakukan? Biarpun aku menjadi
isterinya, akan tetapi dia telah berjanji takkan mengikatku. Aku boleh bebas sesuka
hatiku. Aku ....... aku dengan suka sendiri melayanimu dan dia....ah, bukankah dia
mengharapkan bantuanmu untuk mengguIingkan kaisar Tang? Kau suka kepadaku, aku
sendiripun kagum melihatmu dan suamiku itu ingin menarik tenagamu. bukankah kita
bertiga sudah merupakan tiga serangkai yang cocok sekali ?"
Pucatlah muka Tiong Kiat mendengar ini. Ia menjadi marah sekali Jadi orang telah
sengaja menggunakan istri sendiri sebagai umpan agar ia mau berlaku khianat terhadap
kaisarnya ?
"Tidak, tidak ! Kalian sudah gila ! Jangan harap akan dapat menarikku melakukan
penghianatan! Kalau Huayen-khan hendak menyerang negaraku, lebih dulu dia akan
berhadapan dengan aku sebagai musuhnya!"
Ang Hwa menjadi pucat. Senyumnya masih mengembang di bibir, akan tetapi sepasang
matanya yang bening kini bernyala-nyala.
"Bagus sekali ! Kau tidak dapat menerima kebaikan orang !" Setelah berkata demikian,
Ang Hwa melompat keluar dari tenda.
Tiong Kiat merasa curiga, cepat ia mengambil bungkusan pakaiannya dan hendak keluar
dari tenda akan tetapi di luar tenda itu ternyata telah terkurung oleh pasukan Ouigour
yang dipimpin oleh Huayen khan sendiri bersama istrinya. Ang Hwa!
"Orang she Sim!” kata Huayen-khan dengan suara besar. "Kau telah menghina isteriku dan
menolak kebaikanku. Kau tidak mau membantu kami? Baik, jangan harap akan dapat keluar
dari sini dalam keadaan bernyawa!" Sambil berkata demikian, Huayen khan telah
menodongnya dengan anak panahnya yang lihai.
Akan tetapi Tiong Kiat tidak menjadi gentar. Ia tersenyum pahit dan berkata,"Kukira aku
telah membantu seekor domba yang patut dibela, tidak tahunya di balik kedok domba itu
tersembunyi muka serigala yang jahat! Huayen-khan, betapapun juga, aku Sim Tiong Kiat
masih tetap seorang Han yang tidak nanti mau melakukan pengkhianatan terhadap negara
dan bangsa sendiri!" SambiI berkata demikian Tiong Kiat cepat mencabut pedangnya.
Baiknya ia berlaku cepat, karena belum habis ucapannya keluar dari mulut, tiga batang
anak panah yang dilepas sekaligus oleh Huayen-khan telah menyambar ke arahnya! la cepat
memutar pedangnya dan dengan menerbitkan suara nyaring, tiga batang anak panah itu
dapat dipukul jatuh semua.
Huayen khan terkejut sekali. Belum pernah ia melihat ada orang yang dapat menangkis
tiga anak panahnya secara demikian mudahnya, maka ia lalu cepat memberi aba-aba kepada
para anak buahnya. Tiong Kiat mendahuluinya dan cepat menerjang dari samping kiri. Ia
maklum bahwa untuk melakukan perlawanan dan menghadapi Huayen khan, Ang Hwa dan sekian
banyaknya pasukan Ouigour, adalah hal yang tidak mungkin dan betapapun tingginya ilmu
silatnya, kalau ia melawan ribuan orang ini, akan sama halnya dengan membunuh diri.
Maka ia lalu menerjang ke kiri untuk menjauhi Huayen khan dan Ang Hwa. Begitu ia
menerjang, pedangnya telah menjatuhkan tiga orang perwira Ouigour sehingga para
pengepung di bagian ini menjadi jerih dan mundur. Tiong Kiat melompat ke dalam gelap
dan mengamuk serta merobohkan para penghadangnya! Keadaan menjadi geger dan di mana
saja pemuda itu lari dan dihadang, pasti robohlah beberapa orang!
Akhirnya setelah merobohkan dua puluh orang penghadang lebih, pemuda ini dapat
membobolkan pengepungan dan melarikan diri di dalam gelap! Terdengar teriakan-teriakan
di belakangnya dari mereka yang mengejarnya, akan tetapi siapakah yang dapat menyusul
pemuda yang memiliki ilmu berlari cepat ini? Sebentar saja, suara yang mengejarnya
makin lemah dan tak terdengar lagi.
Tiong Kiat melarikan diri terus ke selatan. Tujuan perjalanannya adalah kota raja,
karena sebelum bertemu dengan Huayen-khan, ia pun ingin sekali melihat kota raja.
Hatinya merasa kecewa dan timbullah kedukaan di dalam dadanya. Teringat ia kepada Suma
Eng, nona yang sampai pada saat itu juga masih selalu ia kenangkan dengan penuh
kerinduan hati. Betapapun banyaknya wanita yang dijumpainya, tak seorangpun di antara
mereka yang dapat dibandingkan dengan Suma Eng. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia
dahulu telah mengganggu Suma Eng, karena kalau tidak, tentu nona itu tidak akan
memusuhinya dan mungkin sekali ia akan dapat menjadi sahabat baik nona itu. Gemas ia
kalau teringat kepada Ang Hwa, gadis yang ternyata menjadi isteri Huayen khan yang amat
tidak tahu malu itu.
Ia ingin masuk ke kota raja dan kalau mungkin, akan memberitahukan kepada pemerintah
akan maksud Huayen khan yang hendak memberontak itu. Teringat kepada Eng Eng dan Ang
Hwa, hatinya menjadi kesal dan ia tidak tertarik oleh gadis-gadis yang dijumpainya di
dalam perjalanannya.
Pada suatu hari ia tiba di kota Hong-bun, sebuah kota kecil di sebelah kota raja.
Ketika ia sedang berjalan memasuki kota itu ia melihat Iima orang tosu jubah kuning
berjalan cepat bersama seorang panglima bertubuh tinggi besar dan nampak gagah sekali.
Melihat lima orang tosu ini, terkejutlah hati Tiong Kiat. Sungguhpun ia belum pernah
melihat lima tosu ini namun melihat pakaian mereka yang berwarna kuning dan melihat
pula tongkat bambu yang berada di tangan mereka, dengan mudah ia menduga bahwa mereka
ini tentulah Go bi Ngo koat-tung (Lima Tongkat Aneh dari Go-bi) yang telah amat
terkenal namanya karena ilmu silat mereka yang amat tinggi. Juga hatinya tertarik
sekali ketika melihat panglima yang gagah itu.
Timbullah dalam hati Tiong Kiat ingin mengetahui apakah yang hendak dilakukan oleh lima
orang tosu itu. Maka diam-diam ia lalu mengikuti mereka dari jauh. Ternyata bahwa enam
orang itu menuju keluar dari kota dan akhirnya mereka menuju ke barat melewati sebuah
hutan kecil dan masuk ke dalam dusun di kaki gunung keciI. Di luar dusun ini terdapat
sebuah benteng besar, dan temboknya sudah nampak menjulang tinggi dari jauh.
Panglima itu dan lima tosu baju kuning tadi lalu memasuki pintu benteng yang dijaga
oleh belasan orang perajurit. Terpaksa Tiong Kiat bersembunyi di balik pohon karena
tentu saja ia tidak dapat masuk. Hatinya makin terheran-heran. Terang sudah panglima
tadi adalah Panglima kerajaan, mengapa lima orang tosu ini ikut masuk ke dalam benteng?
Ada keperluan apakah para pendeta itu memasuki benteng yang penuh dengan perajurit?
Tiong Kiat adalah seorang perantau yang tidak tentu tujuannya, maka setiap kali melihat
kejadian yang ganjil, ia takkan puas sebelum dapat mengetahui sebab-sebabnya. Ia lalu
mencari jalan masuk dan berjalan sambil bersembunyi di balik pepohonan mengitari tembok
benteng itu. Seperti biasa pada waktu negara tidak sedang mengalami perang, penjagaan
tembok benteng tidak dilakukan dengan keras dan akhirnya, di sebelah belakang benteng
itu Tiong Kiat melihat tembok yang tidak terjaga dan nampaknya sunyi saja. Ia lalu
mengeluarkan kepandaiannya, melompat dengan gesit ke atas tembok yang tinggi itu.
Setelah mendekam di atas tembok beberapa lama sambil mengintai ke dalam ia melihat
bahwa di bagian belakang itu hanya lapangan rumput yang agaknya dipergunakan sebagai
tempat latihan perang-perangan, maka ia lalu melompat ke dalam dengan gerakan amat
ringan. Tiba-tiba ia mendengar suara orang dan cepat ia bersembunyi di belakang kandang
kuda yang penuh dengan kuda-kuda tinggi besar. Dua orang nampak mendatangi sambil
membawa rumput makanan kuda.
"Sungguh aneh sekali Oei ciangkun itu," terdengar seorang diantara kedua orang penjaga
itu berkata. "biasanya kalau ada orang tertangkap lalu dihukum mati atau dikirim ke
kota raja untuk diadili. Akan tetapi siluman wanita itu bahkan diharuskan mendapat
perlakuan yang baik."
"Lo Siang, kau tahu apa?" kata orang kedua. "Siluman wanita itu demikian cantik jelita,
masih muda pula. Takkan lebih dari dua puluh tahun, bagaikan kembang sedang mekarnya.
Siapa yang tega untuk membunuhnya? Lagi pula ilmu silatnya demikian lihai sehingga
kalau tidak ada lima orang tosu Gobi Ngo-koai tung itu, siapa yang mampu menangkapnya ?
Dan Oei ciangkun sendlri masih muda, belum beristeri.... hem ! Siapa tahu?"
"Apa maksudmu, Lo Siang ?"
“Oei ciangkun gagah perkasa, tawanan ini seorang gadis cantik jelita, apalagi?
sudahlah, Lo Kui, kita menanti saja dibagikannya arak wangi ! Ha, ha. ha !"
Tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu seorang pemuda entah dari mana datangnya,
telah berdiri di depan mereka ! Sebelum mereka sempat membuka suara kedua tangan Tiong
Kiat menyambar jalan darah mereka di bagian ya-hu hiat dan lemaslah tubuh mereka,
sedangkan ketika mereka menggerakkan mulut untuk berteriak minta pertolongan kepada
kawan-kawan ternyata tak ada sedikitpun suara dapat keluar dari tenggorokan mereka.
Tiong Kiat tidak mau mengganggu atau melukai kedua penjaga ini, karena sesungguhnya ia
masuk ke benteng ini hanya untuk memuaskan ingin tahunya saja, dan tidak ada permusuhan
sesuatu antara dia dan tentara kerajaan. Akan tetapi, ketika ia mendengar percakapan
antara kedua orang penjaga ini, hatinya tertarik sekali. Jadi lima orang tosu itu betuI
adalah Gobi Ngo-koai tung ? Tiong Kiat makin tertarik ketika mendengar tentang
ditangkapnya seorang gadis cantik yang berkepandaian tinggi. Ia ingin sekali melihat
gadis ini! Dengan hati-hati sekali ia lalu menyeret kedua orang penjaga itu dan
menyembunyikan mereka di dalam kandang kuda, kemudian ia lalu melanjutkan
pemeriksaannya dan berindap-indap menghampiri bangunan besar yang berada di tengah
benteng. Ketika terdengar suara riuh dan tindakan kaki banyak orang, ia cepat
bersembunyi lagi. Sebentar kemudian muncullah tiga barisan yang dengan gagahnya menuju
ke lapangan rumput di belakang itu. Mereka ini hendak mulai dengan latihan mereka,
dipimpin beberapa perwira.
Setelah barisan-barisan itu lewat, Tiong Kiat menyelinap ke belakang bangunan besar,
sekali ia enjotkan tubuhnya ia telah berada di atas genteng, bersembunyi di wuwungan
yang tinggi. Kemudian setelah maju lagi beberapa jauhnya, ia mendengar suara seorang
wanita berseru nyaring.
"Aku sudah kalah tertangkap, mau apa lagi ? Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah siapa
takut mati ? Hanya sayang sekali bahwa kalian ini orang-orang gagah ternyata hanyalah
pengecut-pengecut besar yang melakukan pengeroyokan atas diri seorang wanita untuk
memperoleh kemenangan !"
"Nona yang baik," terdengar suara yang tenang dan besar," mengapa kau berkeras hendak
memusuhi kami? Kami tidak mempunyai maksud buruk terhadap kau dan apakah kesalahan
beberapa anggauta kami itu tak dapat kau maafkan ? Kalau saja kau suka membantu
pekerjaan kami, bukankah hal ini bagus sekali dan kau berarti akan dapat berbakti
kepada negara?"
Tiong Kiat makin tertarik dan hatinya berdebar-debar. Ia seperti pernah mendengar suara
wanita yang nyaring dan keras ini. Cepat ia lalu menghampiri ke arah suara itu dan
membuka genteng mengintai ke dalam. Hampir saja ia mengeluarkan seruan kaget ketika ia
menjenguk ke bawah. Ternyata bahwa wanita itu benar-benar adalah Suma Eng! Nona yang
siang malam menjadi buah kenangannya ini duduk di atas bangku dengan sikap marah,
sedangkan di sekelilingnya, seakan-akan mengurungnya, duduk panglima yang dilihatnya
tadi bersama kelima Gobi Ngo-koai tung!
Bagaimanakah Eng Eng sampai terjatuh ke dalam tangan mereka ini? Baiklah kita mengikuti
pengalamannya secara singkat melanjutkan penuturan ini. Setelah Eng Eng berpisah dengan
Tiong Han untuk mencari jalan masing-masing dalam usaha mereka berdulu-duluan mencari
Tiong Kiat, gadis ini langsung menuju ke kota raja. Ia pikir bahwa seorang pemuda jahat
seperti Tiong Kiat tentu akan memilih tempat yang ramai dan indah, maka ia lalu menuju
ke kota raja untuk mencari jejak pemuda yang dibencinya itu.
Karena ia belum pernah pergi ke kota raja dan Eng Eng merasa tertarik sekali oleh
pemandangan di sebelah barat Propinsi Hopak yang bertapal batas dengan Propinsi Shansi
di sebelah barat dan dengan Mongolia di sebelah utara, maka ia telah salah jalan
bukannya langsung ke kota raja, akan tetapi lewat di sebelah barat kota raja dan terus
ke utara! tanpa disadarinya ia telah melewati kota raja dan kini berada di sebelah
utaranya !
Demikianlah, maka pada suatu hari tibalah ia di kota Hong-bun, kota yang jauh letaknya
dari benteng itu. Ketika ia sedang berjalan sambil melihat-lihat, tiba-tiba dari depan
mendatangi lima orang tentara kerajaan yang berjalan saling bergandengan dan melihbat
jalan mereka yang terhuyung-huyung itu, mudah diduga mereka berada dalam keadaan mabok,
Eng Eng tidak memperdulikan mereka, akan tetapi sebaliknya lima orang tentara itu
ketika melihat Eng Eng dan ketika gadis itu hendak mengelak ke kiri, mereka sengaja
bergerak ke kiri pula dan dengan sengaja menghadang perjalanan gadis ini. Marahlah Eng
Eng dan dengan muka merah ia membentak.
"Kawanan anjing, apakah kau mau mengganggu orang di tengah jalan ? Minggir !*
Akan tetapi sambil tertawa-tawa, lima orang tentara itu lalu berebut maju untuk memeluk
atau meraba tubuh gadis yang cantik jelita ini. Akan tetapi, bukan main hebatnya
akibatnya kekurang-ajaran mereka ini. Terdengar suara bak bik buk, disusul oleh pekik
mereka dan tubuh mereka terlempar ke kanan kiri terkena tendangan kedua kaki Eng Eng !
Bagaikan babi-babi disembelih, kelima orang kurang ajar ini mengaduh-aduh dan tak dapat
bangun lagi.
Pada hari itu, memang banyak anak buah tentara dalam benteng diberi kesempatan keluar
dari benteng dan jumlah mereka ini ada puluhan orang. Ketika mendengar suara ributribut
dan melihat lima orang tentara dipukul oleh seorang gadis cantik, kawan-kawan
mereka yang berada di kota itu, menjadi marah sekali dan sebentar saja Eng Eng dikurung
oleh puluhan orang anggauta tentara. Mereka ini mula-mula mempergunakan tangan kosong
hendak menangkap gadis ini dan menawannya, akan tetapi apakah artinya keroyokan orangorang
yang hanya kuat tenaga akan tetapi tidak memiliki ilmu kepandaian berarti itu
terhadap Eng Eng? Gadis ini menggerakkan kaki tangannya seperti kitiran cepatnya dan
bagaikan rumput dibabat, robohlah para pengeroyoknya.
Hal ini membuat para tentara menjadi marah sekali. Mulailah mereka mencabut golok
mereka.
"Gadis liar ! Menyerahlah sebelum kami melukaimu !" teriak seorang perwira.
"Bangsat pengecut ! Kalian yang mencari perkara, mengapa aku harus menyerah? Siapa
takut kepada golokmu yang tumpul itu ?" Eng Eng membentak. Maka menyerbulah para
pengeroyoknya, kini dengan senjata tajam di tangan. Namun, tetap saja mereka bukanlah
lawan Eng Eng. Gadis ini mencabut pedangnya dan ketika sinar merah dari pedangnya
berkelebat, terdengar suara keras dan golok-golok di tangan para pengeroyoknya terbabat
putus, runtuh bagaikan daun bambu jatuh berhamburan !
Tentu saja para tentara ini menjadi terkejut sekali. beberapa orang di antaranya cepat
melarikan diri ke benteng untuk memberi laporan kepada Oei-ciangkun, panglima yang
menjadi komandan di dalam benteng itu. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang menerima
kedatangan kawan-kawan baiknya, yakni Gobi Ngo koai-tung yang bernama Iucu, karena
mereka sesungguhnya telah membuang nama asal dan memakai nama yang sederhana saja yakni
Thian It Tosu, Thian ji Tosu, Thian Sam Tosu, Thian Si Tosu dan Thian Go Tosu. Kelima
orang tosu dari Go bi-san ini memang pendeta-pendeta yang berilmu tinggi dan
penggantian nama mereka ini sesungguhnya ada alasan yang amat kuat bagi mereka. Dahulu,
sebelum perkumpulan agama yang disebut Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) belum lenyap
dan belum dihancurkan oleh Kaisar Tai Cung yang melihat gejala gejala tidak baik dalam
perkumpulan agama ini. Kelima orang pendeta ini sebetulnya menjadi pengurus-pengurus
terkemuka dari Pek-lian-kauw. Oleh karena Pek-lian kauw sudah hancur dan musnah, maka
untuk melindungi dirinya, mereka melarikan diri ke Go bi san dan menukar nama, sehingga
kini terkenal sebagai Gobi Ngo-koai - tung yang amat lihai.
Adapun Oei-ciangkun ini sebenarnya, bernama Ui Sun dan ia dulu secara bersembunyi
adalah seorang pemeluk agama Pek lian-kauw. Ketua pendeta wanita yang masih muda dan
cantik sekali bagaikan bunga teratai, sesungguhnya diam-diam mengadakan perhubungan
dengannya dan menjadi kekasihnya. Akan tetapi Oei Sun pandai sekali menyembunyikan
dirinya dan berlindung di balik kedudukannya sebagai panglima yang memimpin puluhan
ribu tentara, Setelah kekasihnya itu tewas dalam pembasmian Pek lian-kauw dan
perkumpulan ini bubar, diam-diam Oei Sun masih mengadakan perhubungan dengan Gobi Ngo
koai-tung yang bersembunyi di pegunungan Go-bi-san.
Demikianlah antara Oei ciangkun dan Gobi Ngo-koai-tung terdapat hubungan yang erat
sekali, maka tidak mengherankan apabila pada hari itu mereka berlima datang mengunjungi
Oei ciangkun di dalam bentengnya. Gobi Ngo-koai tung telah membuat nama besar maka
selain Oei ciangkun boleh dibilang tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa mereka
adalah bekas-bekas pemimpin Pek lian kauw.
Oei ciangkun dan kelima orang tamunya sedang bercakap-cakap ketika datang laporan
tentang seorang gadis yang mengamuk hebat di kota Hong-bun. Panglima ini menjadi marah
dan bersama Go bi Ngo koai-tung ia cepat naik kuda menuju ke Hong bun. Di situ benar
saja ia melihat seorang gadis muda yang cantik sekali tengah mainkan pedangnya yang
mengeluarkan cahaya merah membabat putus setiap golok yang menghadangnya sehingga
tempat pertempuran itu telah penuh dengan potongan golok dan tubuh para tentara yang
terluka! Biarpun tak seorang di antara para pengeroyok ini ditewaskan oleh Eng Eng,
namun pemandangan ini cukup hebat dan mengerikan.
"Gadis liar dari manakah berani melawan tentara pemerintah?" bentak Oei ciangkun yang
telah mencabut golok besarnya dan menyerbu ke arah tempat pertempuran itu. Melihat
majunya Oei ciangkun, semua tentara lalu mengundurkan diri, hanya mengurung tempat itu
dari jauh, memberi tempat yang cukup luas bagi pemimpin. Semua tentara kini telah
menjadi gembira untuk menonton pertempuran yang pasti akan menarik hati ini !
Eng Eng menengok dan memandang kepada panglima yang baru datang. la melihat seorang
laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, berpakaian indah dan gagah sekali, keningnya
lebar, matanya tajam dan goloknya yang dipegangnya besar dan nampak berat sekali, ia
dapat menduga bahwa orang ini tentulah komandan dari pasukan kerajaan, maka sebagai
seorang gadis yang telah tahu akan artinya perbuatan yang melawan alat pemerintah, ia
tidak mau menyerang panglima itu. Ia tahu bahwa ia dapat dianggap sebagai seorang
pemberontak yang berdosa besar, maka sebelum ia menyerang, ia hendak melihat dulu
bagaimana sikapnya panglima ini.
"Aku bukan melawan tentara pemerintah, akan tetapi membela diri. Kalau anak buahmu maju
hendak menggangguku, apakah aku harus berdiam diri saja tidak melawan ? Lima orang anak
buahmu dalam keadaan mabok telah menggangguku di jalan, dan aku hanya memberi hadiah
tendangan perlahan saja kepada mereka. Akan tetapi semua orang-orangmu secara tak tahu
malu sekali lalu maju mengeroyokku. Siapa mau dipegang oleh tangan-tangan mereka yang
kotor dan bau ? Aku melawan dan akhirnya terjadi pertempuran ini. Nah, kau boleh pikir
sendiri, siapa yang salah?"
Oei ciangkun tertegun. Belum pernah ia melihat seorang gadis sehebat ini ! Bahkan
kekasihnya yang dulu, yakni pemimpin Pek lian-kauw yang cantik bagaikan dewi kahyangan
itu, kalau dibandingkan dengan nona ini, masih belum dapat dikata melebihi! 'Nona,
betapapun juga, kau telah merobohkan banyak anggautaku dan kau telah melakukan
perlawanan. Tahukah kau bahwa untuk dosa ini saja kau dapat dijatuhi hukuman mati ?
Lebih baik kau menyerah dan mari ikut dengan kami ke benteng untuk diperiksa perkaranya
lebih lanjut."
"Kau ini siapakah maka berani memerintah kepadaku? Kalau kau menginsafi kesalahan anak
buahmu, seharusnya kau yang minta maaf kepadaku, baru aku mau menghabiskan perkara
sampai di sini saja."
"Nona, kau sombong sekali. Kau berhadapan dengan seorang panglima kerajaan, dan untuk
kebaikanmu sendiri, kau harus tunduk kepadaku."
Eng Eng yang berwatak keras itu makin marah. "Panglima kerajaan ? Jangankan baru itu,
biar kau menjadi panglima langit sekalipun, aku takkan mau tunduk begitu saja kalau aku
tidak bersalah. Mengerti?”
"Bagus, hendak kulihat sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersombong di
depanku?" Oei Sun yang segera menggerakkan golok besarnya, melakukan serangan ancaman
kepada Eng Eng. Gadis ini dengan sengaja lalu menyambut datangnya golok ini dengan
pedangnya. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar ke atas. Akan tetapi
keduanya menjadi terkejut. Oei Sun terkejut karena biarpun ia telah menggunakan seluruh
tenaganya yang besar namun tidak nampak gadis itu terpengaruh bahkan ia merasa
tangannya tergetar. Sebaliknya Eng Eng terkejut karena melihat betapa golok itu tidak
menjadi rusak oleh bacokan pedang merahnya.
Karena maklum atas ketangguhan lawan masing-masing, keduanya lalu maju dan terjadilah
pertempuran yang hebat sekali, Oei Sun bertenaga besar sedangkan goloknya yang besar
itu berat sekali, maka gerakannya menimbulkan angin yang bersuitan.
Goloknya diputar dan menyambar antep membuat pakaian Eng Eng berkibar karena angin
sambarannya. Akan tetapi gadis itu bagaikan seekor burung walet lincahnya, bergerak
demikian cepat sehingga ia nampak seperti beterbangan diantara sambaran golok. Bahkan
pembalasan yang dilakukan oleh serangan pedang Eng Eng, sebentar saja membuat Oei San
menjadi sibuk sekali.
Belum juga tiga puluh jurus mereka bertempur, Oei Sun sudah menjadi kewalahan terdesak
hebat dan hanya dapat menangkis dan melindungi tubuhnya dengan putaran goloknya.
Sesungguhnya, kalau Eng Eng mau gadis ini pasti akan dapat merobohkan Oei Sun. Akan
tetapi selama perantauannya di dunia kang.ouw, gadis ini telah mendapat banyak
pengalaman dan telah mendengar banyak urusan, sehingga ia maklum bahwa sekali-kali ia
tidak boleh melukai atau menewaskan seorang panglima kerajaan.
Kalau para anggauta tentara yang menonton pertempuran itu tidak mengerti bahwa gadis
yang lihai itu telah mengalah dan tidak mau mendesak lawannya, adalah Go bi Ngo-koaitung
yang merasa terkejut sekali. Mereka ini cukup maklum akan kelihaian Oei Sun, akan
tetapi sekarang menghadapi gadis pedang merah ini ternyata sahabat mereka ini kalah
jauh.
Thian it Tosu, yang tertua di antara mereka dan yang selalu menjadi pemimpin, tiba-tiba
mendapat pikiran yang amat baik. la mendekati adik-adiknya dan membisikkan sesuatu.
"Dia Iihai sekali, alangkah baiknya kalau dapat membantu kita." Setelah berkata
demikian, ia dan keempat orang adiknya lalu melompat ke medan pertempuran sambil
berkata,
"Lihiap (nona gagah) harap suka melihat muka kami dan hentikanlah pertempuran ini. Kami
adalah Go-bi Ngo-koai tung, dan Oei-ciangkun ini adalah sahabat baik kami." sambil
berkata demikian Thian it Tosu lalu mengebutkan lengan bajunya sebelah kiri untuk
menangkis pedang merah Eng Eng.
Ketika ujung lengan baju itu mengenai ujung pedang, Eng Eng merasa tangannya tergetar,
maka tahulah ia bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi, di dalam
kepala gadis ini tidak ada kata-kata takut, maka ia lalu menjawab,
"Aku yang muda dan bodoh tidak kenal dengan Go-bi Ngo koai tung sungguhpun aku
mendengar nama mereka yang besar. Soalnya bukan kenal atau tidak, akan tetapi dalam
pertempuran ini soalnya adalah salah dan benar. Aku tidak merasa bersalah, dan kalau
ciangkun ini mau menghabiskan urusan sampai di sini, minggirlah dan biarkan kupergi."
"Tidak bisa begtu mudah, lihiap.” kata pula Thian It Tosu, "Siapapun juga yang salah,
kau telah melakukan perlawanan terhadap tentara negeri, ini sudah menjadi satu dosa
yang besar sekali. Kalau kau suka ikut ke benteng, biarlah kami berlima yang akan
membujuk kepada sahabat kami Oei ciangkun untuk memaafkanmu."
"Aku tidak mengemis maaf !" teriak Eng Eng marah karena kini jelaslah baginya bahwa
lima orang tosu ini terang-terangan berpihak pada Oei ciangkun,"Di dalam kebenaran, aku
tidak takut kepada siapapun juga !"
"Ngowi totiang, tolong dan bantulah aku menangkap gadis liar ini !" seru Oei Sun dengan
marah dan ia lalu menggerakkan goloknya lagi.
Eng Eng menangkis dan kini gadis inipun menjadi marah sekali. Kalau tadi Eng Eng hanya
ingin mempermainkan saja kepada lawannya ini, sekarang ia membalas dengan serangan maut
yang amat berbahaya.
Oei Sun terkejut sekali dan agaknya ia takkan dapat menangkis atau mengelak lagi, akan
tetapi tiba-tiba meluncur dua buah tongkat bambu yang menangkis pedang Eng Eng.
Gadis ini melompat mundur dan segera memutar pedangnya menghadapi keroyokan Oei Sun dan
Go bi Ngo-koai tung itu. Ternyata bahwa nama besar Go-bi Ngo koai-tung bukanlah nama
kosong belaka.
Ilmu tongkat mereka luar biasa sekali gerakannya dan tongkat bambu di tangan mereka
merupakan senjata penotok yang amat hebat. Kalau hanya menghadapi mereka seorang,
agaknya Eng Eng masih akan dapat menandingi mereka, akan tetapi kini ia menghadapi lima
orang sekaligus, masih ditambah pula oleh Oei Sun yang kepandaiannyapun tidak rendah.
Maka Eng Eng menjadi terdesak hebat.
Sungguhpun ia menggigit bibir dan melakukan perlawanan sekuat tenaga, namun dalam jurus
ke tiga puluh, tiba-tiba pedangnya terjepit oleh empat batang tongkat dan tongkat
kelima menyambar tangan kanannya! Terpaksa untuk menolong tangannya, Eng Eng melepaskan
pedang itu yang segera dirampas oleh Thian It Tosu!
Gadis ini terkurung di tengah-tengah dan tidak bersenjata lagi.
'Bagaimana, lihiap, apakah kau tidak mau ikut kami ke benteng untuk bicara secara
baik?" tanya Thian it Tosu.
Eng Eng bukanlah orang bodoh yang menurutkan nafsu hati atau kemarahan. la tahu
sepenuhnya bahwa kalau ia melawan terus dengan tangan kosong, ia akan mati konyol.
Tentu saja ia tidak mau hal ini terjadi. Ia ingin melihat perkembangan selanjutnya dan
baru berlaku nekad kalau sudah tidak ada jalan keluar lagi. Pula, mereka ini agaknya
tidak berniat buruk terhadap dirinya. Maka ia lalu menganggukkan kepala dan
demikianlah, mereka semua lalu menuju ke dalam benteng. Oei Sun minta kepada Eng Eng
untuk berangkat lebih dulu. diiringi oleh semua perwira dan pasukannya, dengan alasan
bahwa ia dan Go-bi Ngo koai tung mempunyai urusan di kota Hong-bun. Padahal sebenarnya
ia dan kelima kawannya hendak mencari keterangan di kota itu tentang diri Eng Eng,
kuatir kalau-kalau nona gagah itu mempunyai kawan-kawan yang lain. Akan tetapi ketika
mereka mendapat kepastian bahwa nona itu tidak mempunyai kawan lain, mereka lalu cepat
kembali ke benteng. Dan tanpa mereka ketahui, dalam perjalanan ke benteng inilah Tiong
Kiat melihat lalu mengikuti mereka dengan sembunyi.
Akan tetapi, Oei Sun dan lima orang tosu itu kecewa hatinya, mereka ternyata tak
berhasil membujuk Eng Eng. Gadis ini tetap tidak mau menurut, dan tidak mau membantu
mereka.
"Aku adalah seorang perantau, untuk apa aku ikut-ikut dengan urusan ketentaraan ? Aku
tidak sudi membantu pekerjaan orang lain, apalagi pekerjaan dalam ketentaraan yang
tidak kumengerti sama sekali."
“Nona Suma " kata Oei Sun, "kuharap kau suka berlaku bijaksana dalam hal ini. Kau tahu
bahwa kami telah berlaku murah kepadamu dan kami takkan melanjutkan urusan kesalahanmu
yang telah melawan dan melukai anggauta ketentaraan kami dan sebagai gantinya, kami
hanya ingin kau tinggal di sini dan membantu apabila kami mengadakan pertempuran
melawan musuh-musuh kami. Kau tak perlu ikut memikirkan persoalannya, hanya kami
kekurangan tenaga yang cukup untuk menghadapi musuh. Percayalah bahwa kami hendak
berjuang untuk maksud yang suci buktinya kelima orang pendeta inipun telah membantu
kami ! Tinggal kau pilih saja membantu kami dan terbebas dari tuntutan kami atas
kesalahanmu tadi !"
0ooo-dw-ooo0
Jilid 5
“Sesukamulah, akupun hanya mengajukan dua buah usul. Melepaskan aku pergi atau
membunuhku, terserah!" jawab Eng Eng dengan berani.
Untuk beberapa lama keenam orang itu saling pandang dengan putus asa. Kemudian Thian It
Tosu berbangkit dari tempat duduknya dan tersenyum.
"Suma lihiap, pinto (aku) kagum sekali melihat keberanianmu. Biarlah, kalau kau tidak
mau membantu, kami akan melepaskanmu. Terimalah pedangmu kembali. Hanya saja, pinto
percaya penuh bahwa kelak apabila kau melihat kami membutuhkan bantuan, pasti kau akan
membantu tanpa diminta lagi seperti watak seorang gagah."
Eng Eng terheran-heran dan juga terharu. Ia menerima pedang itu, dililitkan pada
pinggangnya karena pedang merah ini amat tipis dan dapat digulung.
“Totiang, ucapanmu ini lebih jujur dan gagah. Tentang bantuan itu tentu saja tak usah
dikatakan lagi. Aku bukanlah seorang yang tidak ingat akan kebaikan orang. Hanya aku
tidak mau terikat di tempat ini, karena aku suka bebas seperti burung di udara,"
Setelah berkata demikian, Eng Eng lalu menjura dan bertindak keluar dengan tindakan
gagah, tanpa memperdulikan wajah Oei ciangkun yang nampak kecewa dan muram. Panglima
ini memang kalah pengaruh dengan Thian it Tosu dan ia maklum bahwa tindakan Thian it
Tosu itu mengandung sesuatu maksud tersembunyi.
Tiba-tiba masuk seorang penjaga yang melaporkan bahwa dua orang penjaga ditemukan dalam
keadaan tertotok di kandang kuda. Oei ciangkun dan kelima orang tosu itu terkejut
sekali. Akan tetapi sebelum mereka keluar dari ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara
orang dan atas,
'Maafkan siauwte yang berlaku lancang, datang tanpa diundang !” Dan melayanglah tubuh
Tiong Kiat bagaikan seekor burung ke dalam ruangan itu. la menjura kepada Oei-ciangkun
dan Go-bi Ngo-koai-tung, lalu berkata.
"Siauwte Sim Tiong Kiat dari Kim liong pai telah mendengar tentang penawaran yang
ditolak oleh nona Suma tadi. Kalau ciangkun percaya kepadaku berilah kesempatan
kepadaku untuk berbakti kepada negara !”
Oei Sun masih memandang penuh curiga akan tetapi kelima Gobi Ngo koai tung itu dengan
girang lalu menjura kepada Tiong Kiat. "Ah, tidak tahunya Sim-taihiap yang datang.
Duduklah…!"
Memang Tiong Kiat ingin sekali menebus semua dosa-dosanya dengan menjadi seorang
perajurit yang berbakti kepada negara. Selain ini ia tadi telah melihat Eng Eng dan
biarpun ia merasa rindu sekali kepada gadis ini, namun ia maklum bahwa Eng Eng amat
benci kepadanya dan apabila bertemu, pasti akan berusaha untuk membunuhnya.
Tadi ia melihat betapa Eng Eng tidak sanggup melawan Gobi Ngo koai tung, buktinya gadis
itu tertawan dan pedangnya terampas, maka kalau ia dapat bersahabat dengan orang-orang
gagah ini, tidak saja ia akan terlindung dari pada pembalasan Eng Eng, bahkan ia juga
akan terlindung dari pada kejaran orang-orang Kun Iun-pai, dari kejaran Tiong Han dan
juga suhunya.
Kalau ia sudah dapat menjadi seorang panglima perang kerajaan, siapakah yang berani
mengganggunya? Pula, tadi Eng Eng sudah berjanji hendak membantu Oei ciangkun dan
kelima Gobi Ngo-koai-tung, maka kalau ia berada disitu, bukanlah banyak harapan kelak
Eng Eng akan bertemu dengannya dalam keadaan bersahabat?
Sementara itu, Go-bi Ngo koai tung sudah mendengar tentang pemuda ini karena sebagai
orang-orang kang-ouw, mereka mendengar juga peristiwa yang terjadi pada Kim-liong-pai.
Orang-orang yang "nyeleweng" akan tetapi berkepandaian tinggi macam Tiong Kiat inilah
yang mereka butuhkan! Mereka membutuhkan orang macam ini karena memang sebetulnya Oei
ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung ini merencanakan sebuah pemberontakan !
Sebagaimana telah disebutkan di depan Oei ciangkun yang bernama Oei Sun adalah seorang
penganut agama Pek lian-kauw yang dahulu ketika perkumpulan agama ini belum dibasmi
oleh pemerintah, Oei Sun telah menjadi kekasih pemimpin Pek-lian-kauw yang cantik dan
genit. Adapun Go bi Ngo koai-tung yang kini membantunya juga dahulunya merupakan
pendeta-pendeta Pek-lian-kauw yang berpengaruh.
Kelima orang pendeta ini sekarang telah mendapat nama besar sebagai pendeta-pendeta
berkepandaian tinggi yang bertapa di Pegunungan Go bi-san, maka tak seorangpun dapat
menduga bahwa mereka ini adaIah bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw yang berbahaya.
Siapa pula yang dapat menyangka bahwa Oei Sun, panglima tentara kerajaan yang amat
gagah dan sudah banyak jasanya itu sebetulnya adalah penganut agama Pek-lian kauw yang
jahat?
Oei Sun bersama kelima orang kawannya, yakni Go bi Ngo koai-tung, diam-diam
merencanakan pemberontakan terhadap kaisar sebagai pembalasan atas pembasmian Pek lian
kauw, juga dengan tujuan terutama membangun kembali agama Pek lian kauw. Tentu saja
mereka tidak berani berterang membangun kembali Pek lian kauw. Rencana mereka amat
besar. Karena kebetulan sekali Oei-ciangkun mendapat tugas menjaga di tapal batas utara
dan mengepalai sepuluh ribu orang tentara, maka diam-diam Oei Sun mengadakan hubungan
dengan Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang hendak memberontak itu. Di samping
hubungan rahasia ini Oei Sun juga melakukan siasat yang amat cerdik. Ia bersekongkol
dengan Huayen-khan yang menyuruh orang-orangnya mengadakan kekacauan di sana sini, yang
kemudian ditindas oleh Oei Sun dengan amat mudah. Hal ini lalu dibesar-besarkan,
dijadikan berita hebat dan ia membuat laporan-laporan ke kota raja bahwa orang-orang
jahat dan Mongol tengah mengadakan kekacauan akan tetapi telah dapat dibasminya. Dan
untuk memperkuat pertahanan, Oei Sun mengajukan permohonan untuk minta tambah barisan
dan ransum dan juga uang untuk biaya-biaya barisan.
Tentu saja karena ia telah berjasa membasmi pengacau-pengacau yang sesungguhnya
pengacau palsu dan buatan Oei Sun bersama Huayen khan, kaisar di kota raja merasa amat
suka kepadanya dan percaya penuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, barisan di bawah
pengawasan Oei Sun sudah meningkat sampai seratus ribu orang ! Diam-diam Oei Sun dan
Go-bi Ngo koai-tung lalu mengumpulkan dan memanggil bekas anggaota Pek Iian-kauw yang
sudah tersebar dan kocar-kacir. Mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan
juga. Oei Sun lalu mengangkat orang-orang Pek-lian kauw yang jumlahnya empat puluh
orang lebih ini menjadi perwira-perwira pembantunya dan bekerja di dalam barisannya
sebagai pemimpin-pemimpin ! Di samping itu, juga Oei Sun dan lima orang pendeta-pendeta
itu mencari-cari kawan, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi di kalangan Iioklim.
tentu saja mereka memilih orang-orang yang mengambil jalan hek to (jalan hitam,
yakni penjahat-penjahat). Orang-orang inipun diangkat menjadi kepala-kepala barisan,
diberi pangkat sesuai dengan kepandaian mereka. Sim Tiong Kiat telah kena tertipu oleh
keadaan di dalam benteng itu, oleh sikap Oei Sun yang ramah-tamah dan oleh kelima orang
pendeta yang semuanya memperlihatkan sikap seolah-olah mereka ini adalah orang-orang
gagah pembela negara !
Hati pemuda ini merasa girang sekali, karena ia ingin menunjukkan kepada orang-orang
terutama kepada Eng Eng kedua kalinya kepada kakaknya, kepada semua orang, kepada
dunia, bahwa dirinya adalah seorang patriot sejati. Bahwa Sim Tiong Kiat pada
hakekatnya adalah seorang gagah yang patut dihormati.
Apalagi setelah Oei Sun mencoba kepandaiannya, dicobanya sendiri, kemudian bahkan
dicoba pula oleh Thian It Tosu, orang pertama dari Go bi Ngo.koai tung, dan berakhir
dengan kemenangan Tiong Kiat dengan ilmu pedangnya Ang coa kiamsut yang luar biasa,
Tiong Kiat lalu dipeluk dengan penuh rasa bangga oleh Oei Sun.
"Saudara Sim yang gagah, sungguh aku merasa seakan-akan kejatuhan bulan purnama dapat
bertemu dengan kau ! Kaulah yang akan merupakan bantuan terutama ke arah tercapainya
cita-cita kita bersama."
"Cita-cita ? Cita cita apakah, Oei ciang-kun ?" Tanya Sim Tiong Kiat tak mengerti.
Oei Sun menjadi merah mukanya. Ia merasa telah terlanjur bicaranya, akan tetapi Thian
lt Tosu yang amat cerdik segera menolongnya.
"Tentu saja cita-cita kita untuk membersihkan negara dari para pengacau dari utara dan
memenangkan semua pertempuran !”
'Setuju, setuju !” empat orang pendeta yang lain berseru girang dan pelayan lalu
dipanggil untuk menambah arak dan daging. Oei Sun mengerti akan maksud suhengnya itu.
Memang mereka sudah mendengar tentang Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat, murid dari Kimliong-
pai yang tersesat dan melakukan perbuatan jahat sebagai jai hwa-cat dan pencuri.
Akan tetapi mereka belum yakin benar apakah pemuda ini mau diajak untuk memberontak
terhadap pemerintah kaisar.
"Saudara Sim, apakah kau tidak ada keinginan untuk menjadi seorang perwira?
Kepandaianmu cukup hebat dan kau cukup patut untuk menjadi seorang panglima yang lebih
tinggi pangkatnya dari padaku sendiri."
Mendengar kata-kata Oei Sun ini merahlah wajah Tiong Kiat, bukan hanya karena jengah,
akan tetapi terutama sekali karena bangga dan senang.
"Ah, Oei ciangkun, mana orang seperti aku dapat menjadi panglima? Aku hanya mengerti
sedikit ilmu silat kasar mana aku dapat memimpin pasukan? Aku dapat diterima membantu
di sini saja sudah cukup menyenangkan hatiku."
"Ah, kau terlampau merendahkan dirimu sendiri, saudara Sim. Apakah susahnya ilmu
peperangan? Kalan kau mau memberi petunjuk kepadaku tentang ilmu pedang, apa susahnya
mempelajari ilmu peperangan diriku? Bukankah baik sekali kita saling menukar ilmu
kepandaian kita, saudara Sim?"
"Bagus sekali, kalau Oei ciangkun sudi memimpin aku yang bodoh, aku Sim Tiong Kiat akan
mengerahkan seluruh tenagaku untuk membantu."
"Baik, Sim ciangkun! Sekarang juga kau menjadi perwira pembantuku !” Berdebar hati
Tiong Kiat mendengar ini, apa lagi ketika panglima itu menyuruh seorang perajurit
mengambilkan seperangkat pakaian perwira yang indah untuknya. Ah, dia telah menjadi
perwira, telah disebut Sim ciangkun oleh panglima itu sendiri ! Bukan main senangnya
hati pemuda yang masih hijau ini.
Setelah mengenakan pakaian perwira, Sim Tiong Kiat benar-benar nampak gagah dan tampan
sekali. Oei Sun lalu memperkenalkan perwira baru ini kepada semua perajurit yang
disuruhnya berbaris. Kemudian ia menjamu perwira baru ini dengan segala kemewahan, di
mana Tiong kiat sempat berkenalan dengan banyak perwira yang gagah perkasa. Tadinya ia
merasa amat heran bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang telah menjadi perwira akan
tetapi setelah mendengar bahwa orang orang gagah ini sengaja datang membantu Oei Sun
untuk mengusir pengacau, hatinya menjadi makin girang.
Demikianlah, semenjak hari itu, Tiong Kiat berdiam di dalam benteng, menjadi seorang
perwira yang paling disayang oleh Oei ciangkun, menjadi seorang di antara pemberontakpemberontak
itu, atau lebih tepat lagi, calon-calon pemberontak. Melihat betapa sikap
Tiong Kiat amat patriotis dan kata-katanya menunjukkan betapa bersemangat adanya pemuda
ini Oei Sun dan kawan-kawannya belum berani berterus terang kepada Tiong Kiat.
"Oei-ciangkun," kata tiong Kiat dengan suara bersungguh-sungguh kepada Oei Sun, "aku
mempunyai suatu rahasia yang amat penting. Tadinya aku berniat untuk membuka rahasia
ini dihadapan kaisar, akan tetapi oleh karena sekarang aku menjadi perwira di benteng
ini dan kau adalah komandanku, hal ini lebih baik kuberitahukan kepadamu saja.”
"Rahasia apakah itu, Sim ciangkun ?" tanya Oei Sun memandang tajam.
"Ketahuilah Oei ciangkun, bahwa sebetulnya Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang
berpura-pura baik dengan Hong-siang ( kaisar ) sebenarnya mempunyai rencana jahat dan
bersiap-siap hendak menyerbu ke selatan!”
Oei ciangkun nampak terkejut. Tentu saja Tiong Kiat tidak pernah menyangka bahwa
kekagetan panglima ini bukan karena mendengar berita itu, melainkan karena tak
dikiranya Tiong Kiat sudah mengetahui akan hal ini ! Akan tetapi Oei ciangkun juga
bukan seorang yang bodoh. Ia dapat menetapkan hatinya dan bersikap seakan-akan berita
ini bukan hal yang amat berat.
"Bagaimana kau bisa tahu, Sim ciangkun? Hal seperti ini memerlukan ketelitian, tidak
boleh menuduh secara sembrono saja. Apakah kau mempunyai bukti-buktinya ?"
"Tentu saja, Oei ciangkun." Dan Sim Tiong Kiat lalu menceritakan pengalamannya ketika
ia menolong Huayen khan dari keroyokan Piloko, kepala suku bangsa Cou dan anak buahnya
hingga ia dibawa ke perkemahan Huayen khan dan dapat mengetahui rahasia itu karena
pengakuan Ang Hwa dan Huayen khan sendiri. Oei ciangkun mengangguk-angguk. Tentu saja
ia telah mengerti akan hal ini semua, bahkan ia sendiripun terhitung seorang diantara
mereka yang pernah menerima "kebaikan hati" Huayen khan untuk dilayani oleh Ang Hwa,
istri kepala suku bangsa Ouigour itu ! Akan tetapi Oei ciangkun memang cerdik, apa lagi
setelah ia berkumpul dengan lima orang suhengnya, ia mendapat tambahan pengalaman dan
akal.
"Sim ciangkun, sesungguhnya kami semua di sini telah mengetahui akan hal ini. Tadi aku
berpura-pura tidak tahu untuk mencobamu saja. Ternyata kau seorang laki laki sejati.
Akan tetapi, sayang sekali kau belum tahu tentang siasat-siasat peperangan, maka kau
berlaku keras. Sungguhpun aku telah mengetahui rahasia Huayen khan itu, akan tetapi aku
bahkan mendekatinya dan memperlakukannya dengan baik dan manis, sesuai dengan sikap
kaisar kita pula."
Tiong Kiat mengerutkan keningnya. "Mengapa begitu Oei-ciangkun?"
Panglima she Oei itu tertawa bergolak. "Sim ciangkun, karena kau baru kuberi pelajaran
ilmu perang bagian mengatur barisan, dan tata tertib barisan, belum sampai kepada
siasat-siasat peperangan, maka tentu saja kau belum dapat mengerti tentang siasat
perang yang kami jalankan.
Ketahuilah bahwa dalam ilmu perang, siasat yang dilakukan oleh Huayen-khan adalah
siasat Bertopeng Kulit Domba, yakni pada luarnya ia kelihatan lunak, akan tetapi
disebelah dalamnya sebetulnya ia amat berbahaya.
Akan tetapi untuk menghadapi siasat ini, kitapun mempergunakan siasat yang hampir sama
sifatnya, yakni siasat yang kunamakan membawa pedang di dalam selimut, yang artinya,
pada luarnya kita pura-pura tidak melihat rencananya dan tidak berjaga-jaga padahal
sebetulnya diam-diam kita sudah siap sedia untuk menumpasnya pada saat srigala itu
muncul dari balik topeng kulit domba, mengertikah kau, Sim ciangkun ?"
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan