Rabu, 25 Juli 2018

Pedang Ular Merah 3 Tamat

====

Tentu saja Tiong Kiat mengerti baik akal sederhana yang disebut siasat oleh Oei
ciangkun ini, akan tetapi ia belum merasa puas. "Oei ciangkun, mungkin kalau menghadapi
lawan yang besar dan berat, kita perlu menggunakan siasat seperti itu. Akan tetapi
apakah bahayanya Huayen-khan dan anak buahnya? Kalau kau mau, sekali pukul saja dengan
bala tentara kita, mereka akan kocar-kacir dan dapat dihancurkan bukan?"
"Kau tidak tahu Sim-ciangkun. Kita tidak menghadapi bangsa Ouigour saja, masih banyak
sukubangsa yang memberontak. Misalnya bangsa Cou yang dipimpin oleh Pikolo, mereka
itupun diam-diam bahkan lebih jahat dari pada bangsa Ouigour. Kalau ada kesempatan,
bangsa Cou inilah yang hendak memberontak lebih dulu. Akan tetapi, semua ini tidak ada
artinya kalau dibandingkan dengan bangsa Monggol yang merupakan bahaya paling besar
dari utara, karena bangsa Monggol mempunyai bala tentara yang amat kuat dan besar
jumlahnya. Betapapun juga adalah suatu kesalahan dan kepicikan besar apabila kita
selalu memperhatikan batu batu besar di waktu kita berjalan dan mengabaikan batu-batu
kecil. Karena kalau kita berbuat begini, akhirnya kita akan jatuh tersandung oleh batu
kecil yang tidak kita sangka akan menjatuhkan kita ! Kalau tidak ada ancaman dari fihak
Mongol yang kuat, kita tak perlu berpayah payah memperlihatkan muka manis kepada orangorang
seperti Huayen-khan atau Pikolo. Akan tetapi, pada saat kita menghadapi lawan
berat seperti barisan Mongol, biarpun hanya rombongan-rombongan kecil seperti orangorang
Ouigour dan Cou, cukup merupakan kawan yang membesarkan hati."
Kini baru Tiong Kiat merasa amat kagum mendengar uraian yang amat luas den mendalam
ini. Ia yang masih hijau dalam soal siasat peperangan tentu saja menganggap panglima
she Oei ini benar benar amat pandai dan luas pengetahuannya. Semenjak hari itu ia lebih
tekun mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun, sebaliknya tidak raguragu
untuk memberi petunjuk dan pelajaran ilmu silat dan pedang kepada panglima yang
sudah memiliki kepandaian tinggi itu.
Kita tinggalkan dulu Tiong Kiat yang telah masuk perangkap dan tidak sadar bahwa
sesungguhnya ia bahkan membantu gerakan calon-calon pemberontak Pek-lian-kauw yang amat
berbahaya itu. Marilah kita mengikuti perjalanan Suma Eng atau Eng Eng yang
meninggalkan benteng di mana tadinya ia tertawan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai tung.
Juga gadis ini tidak mengira bahwa baru saja ia terlepas dari tangan orang orang Peklian-
kauw, dan mengira bahwa Oei Sun benar benar seorang panglima yang jujur dan gagah,
dan Gobi Ngo koai-tung adalah tokoh-tokoh dari Go-bi-san yang selain berkepandaian
tinggl juga telah berlaku baik kepadanya hingga mau melepaskannya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, barulah Eng Eng mendengar dari seorang
penduduk dusun bahwa ia telah salah jalan, maka ia lalu mengambil jalan memutar dan
kini menuju ke selatan, untuk pergi ke kota raja dalam usahanya mencari Tiong Kiat.
Akan tetapi ketika ia melewati sebuah daerah yang kering dan tandus, di mana tanahnya
tidak subur karena banyak tertutup salju, tiba-tiba ia bertemu dengan serombongan orang
yang bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Orang orang ini bersenjata golok besar
dan jumlah rombongan yang merupakan barisan ini tidak kurang dari delapan puluh orang.
Di belakang pasukan ini masih terdapat rombongan Iain yang lebih besar, yang membawa
kereta dan keledai, agaknya keluarga dari rombongan yang di depan.
"Berhenti !” seru dua orang yang mengepalai pasukan itu, dua orang yang bertubuh tinggi
besar, bersenjata golok dan mukanya hampir sama. "Nona yang kelihatan gagah berani
melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini, kau tentu mempunyai hubungan dengan
benteng Oei-ciangkun !”
Eng Eng mengerutkan keningnya, "Kalau ada hubungan bagaimana dan kalau tidak ada
hubungan kalian perduli apa ?" tanyanya sambil tersenyum mengejek. Ia merasa lucu
sekali mengapa dua orang laki laki tinggi besar ini yang selama hidupnya belum pernah
dilihatnya, begitu bertemu telah memperlihatkan sikap membenci.
"Kawan Oei ciangkun atau bukan, terang dia adalah seorang nona Han, tangkap saja
jadikan bujang, habis perkara, twako !” seru seorang lain yang berdiri di belakang.
"Orang-orang Han telah memperlihatkan sikap palsu terhadap kita, untuk apa kita berlaku
sungkan lagi?”
Ucapan ini dikeluarkan dengan sengaja dalam bahasa Han agar Eng Eng dapat mengerti
maksudnya, akan tetapi suaranya kaku dan janggal, hingga Eng Eng yang mendengarnya
menjadi makin geli.
"Kalian ini orang apa begini galak-galak?" tanyanya.
"Kami adalah orang-orang suku bangsa Cou yang telah dikhianati dan dicurigai oleh
orang-orang Han yang tadinya kami anggap sahabat-sahabat baik."
"Eh, eh, nanti dulu kawan. Orang orang Han itu bermacam macam, jangan disamaratakan.
Tidak semua orang Han berwatak khianat dan curang. Akan tetapi sudahlah, aku tidak
mempunyai urusan dengan kalian. Minggirlah dan jangan mencari perkara dengan aku."
"Enak saja kaubicara. Apa kaukira kau dapat melepaskan diri dari kami begitu saja?
Jangan kau main-main, nona. Kami orang-orang suku bangsa Cou tidak boleh dipermainkan
oleh kamu orang-orang Han seperti suku bangsa Ouigour !"
Akan tetapi Eng Eng tetap melayani kedua orang kepala pasukan yang galak ini sambil
tersenyum-senyum. "Eh, eh. kalian benar-benar galak. Dengan cara bagaimanakah kalian
hendak menghalangi aku? Coba, aku ingin sekali menyaksikannya."
Kedua orang ini saling pandang, karena betapapun juga, kalau gadis Han yang cantik dan
tabah ini melawan, mereka merasa tidak enak untuk melayani seorang gadis muda. Akan
tetapi, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti burung segera
melompat maju dan berkata.
"Biarlah aku yang menangkap gadis liar ini!" katanya dan dengan cepat ia menubruk maju
sambil mengeluarkan kedua tangannya hendak mencengkeram pundak Eng Eng.
Eng Eng melihat bahwa cengkeraman ini adalah semacam ilmu silat utara yang mengutamakan
sergapan dan cengkeraman atau cekikan, maka sambil mengeluarkan suara ejekan, tubuhnya
tiba-tiba melejit dan bagaikan angin lalu ia telah dapat membuat si mata burung itu
menangkap angin !
Dan sebelum si mata burung dapat mengetahui bagaimana cara gadis itu bergerak, tibatiba
terdengar suara keras dan dagunya telah kena digaplok oleh Eng Eng ! Orang itu
merasa seakan akan dunia hendak kiamat ! Bumi yang dipijaknya serasa terputar-putar,
pohon-pohon di sekelilingnya seakan-akan hendak roboh menimpanya dan matahari di
angkasa menjadi dua berkejar-kejaran.
Akan tetapi dia adalah seorang perwira bangsa Cou yang telah melatih diri bertahun
tahun maka ia dapat mengerahkan tenaga dan mengatur rasa pening pada kepalanya dan rasa
berdenyut perih pada dagunya yang membengkak terkena tamparan Eng Eng tadi.
"Perempuan liar, rasakan pembalasanku !" katanya dan tangannya meraba pinggang mencari
goloknya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika goloknya telah lenyap dari pinggangnya
dan ketika ia memandang ke depan, bukan main herannya. Ternyata bahwa goloknya telah
berada di tangan gadis yang lihai itu yang telah merampas goloknya dan kini sambil
menodongkan ujung golok pada dada si mata burung, Eng Eng tersenyum menantang.
"Hayo balaslah ! Hendak kulihat bagaimana hebatnya pembalasanmu !”
Tentu saja si mata burung tak dapat berkata sesuatu dan tak dapat berbuat sesuatu,
hanya memandang dengan mulut celangap !
Dua orang pemimpin pasukan yang tadi menegur Eng Eng adalah tangan kanan dari Piloko
sendiri. Mereka ini adalah kakak beradik yang ahli sekali dalam permainan golok selain
tenaga mereka yang besar juga ilmu golok mereka amat disegani kawan-kawannya maupun
lawannya. Kini melihat betapa dengan segebrakan saja seorang gadis cantik dan muda ini
dapai mengalahkan si mata burung, bahkan dapat merampas goloknya dengan mudah dan
cepat, mereka menjadi heran dan marah.
"Hem, tentu kau adalah seorang wanita di kalangan kang ouw yang membantu Oei ciangkun.
Nona, menyerahlah sebelum golokku bicara !" mengancam orang pertama.
'Jangan ngimpi !” Eng Eng mengejek. "Kita melakukan perjalanan masing-masing tak saling
kenal tidak saling perduli. Mengapa tahu-tahu kalian memusuhi dan hendak menggangguku ?
Ketahuilah, jangankan baru kalian berdua biar puluhan orang pasukanmu ini maju, jangan
harap akan dapat mengalahkan aku !"
"Sombong !" teriak orang termuda diantara dua pemimpin ini. Tubuhnya bergerak cepat dan
tahu-tahu ia telah mencabut golok dan menyerang Eng Eng. Gadis ini tadi memegang golok
rampasannya di tangan kiri dengan sikap acuh tak acuh dan sembarangan sekali. Akan
tetapi ketika golok lawannya menyambar, tangan kirinya bergerak dan goIok rampasannya
berubah menjadi sinar putih yang membentur golok lawannya itu sehingga hampir saja
golok lawannya terpental dan terlepas dari pegangan! Tentu saja orang ini terkejut
sekali dan mukanya menjadi merah ketika Eng Eng tersenyum mengejek.
"Apa kataku? Kau terlalu lemah, kawan ! Sebaliknya kalian berdua maju berbareng atau
kerahkan pasukanmu untuk mengeroyokku !"
Bukan main marahnya dua orang pemimpin pasukan Cou ini. Sambil berseru garang, keduanya
lalu mengayun golok dan menyerang Eng Eng dari kanan kiri. Akan tetapi, mana bisa dua
orang kasar ini menghadapi Eng Eng yang memiliki kepandaian tinggi? Biarpun gerakan
mereka cukup cepat dan kuat namun sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan suara ketawa
mengejek, Eng Eng dengan amat mudahnya dapat menghindarkan diri dari serbuan mereka.
Kadang-kadang ia menggunakan golok di tangan kirinya untuk menangkis akan tetapi lebih
sering ia mempergunakan ginkangnya yang luar biasa itu untuk mengelak dari seranganserangan
kedua lawannya. Tubuhnya lenyap merupakan bayangan yang membingungkan kedua
orang lawannya. Pada waktu itu Eng Eng menggunakan baju putih dengan pinggiran merah,
juga saputangan yang mengikat rambutnya berwarna merah, demikian pula celananya,
berwarna merah hingga ia nampak manis dan cantik sekali.
Orang-orang bangsa Cou memiliki watak yang jujur dan tidak curang. Para perajurit yang
tadinya masih merupakan barisan, kini setelah melihat betapa dua orang pemimpin mereka
bertempur melawan seorang gadis Han yang cantik jelita dan lihai sekali, mereka lalu
mengurung dan duduk berjongkok sambil tertawa-tawa dengan senangnya seakan-akan mereka
sedang menonton pertunjukan yang amat menarik tanpa bayar ! Ketika mereka melihat
betapa Eng Eng berkelebatan bagaikan seekor kupu-kupu yang cepat dan ringan sekali
beterbangan diantara sambaran dua batang golok dari kedua orang pemimpin mereka,
terdengarlah pujian pujian dan sorakan-sorakan riuh rendah.
"Lihai sekali!”
"Bukan main hebatnya !"
Dan masih banyak lagi kata-kata pujian dalam bahasa Cou yang tidak dimengerti oleh Eng
Eng, Akan tetapi sikap mereka ini benar-benar menggembirakan hati Eng Eng, sehingga
timbullah kesan baik di dalam hati gadis ini terhadap orang-orang Cou yang jujur itu.
Ia menjadi tidak tega untuk melukai dua orang pengeroyoknya ini, dan hanya
mempermainkan mereka saja sambil tersenyum-senyum manis. Entah mengapa semenjak
pertemuannya dengan Tiong Han dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Han bukanlah pemuda
yang dibencinya, ia menjadi amat tertarik kepada pemuda itu dan kalau tadinya ia
memandang penghidupan ini nampak gelap dan menyedihkan, kini seakan-akan di dalam
kegelapan itu timbul cahaya terang dan di dalam kesedihan itu nampak sesuatu yang
membesarkan harapan dan menimbulkan kegembiraannya.
Dulu cita-cita hidupnya hanya satu, yakni membunuh Tiong Kiat dan mencari Thian te Sam
kui untuk membalas dendam. Kalau cita-cita ini sudah tercapai, agaknya ia takkan suka
hidup lagi !
Akan tetapi sekarang, entah mengapa, bayangan Tiong Han, pemuda yang lemah-lembut sopan
santun, berbudi mulia, dan berkepandaian tinggi itu selalu nampak di depan matanya dan
menimbulkan harapan serta pegangan hidup. Kini sering kali Eng Eng merasa demikian
gembira sehingga bunga-bunga seakan-akan tersenyum kepadanya, daun-daun hijau seakan
akan melambai-lambai dengan ramahnya.
Kini menghadapi kedua orang lawannya iapun sedang bergembira, maka tidak henti-hentinya
ia tersenyum hingga menambahkan kekaguman bagi semua orang Cou yang menonton
pertempuran itu. Gadis lihai itu tidak saja dapat mempermainkan dan melayani dua orang
pemimpin mereka dengan golok di tangan kiri bahkan masih mempunyai kesempatan untuk
tersenyum-senyum!
Lima puluh jurus telah lewat dan selama itu, jangankan melukai gadis aneh itu,
menyentuh ujung bajunya saja kedua orang pemimpin rombongan bangsa Cou itu tidak
sanggup.
Sebaliknya Eng Eng juga tidak pernah membalas serangan mereka. Kini Eng Eng telah
merasa cukup dan mulai menjadi bosan. Pada saat itu, dari kanan kirinya, kedua orang
lawannya mengangkat golok dengan cepat dan kuatnya lalu diayun ke arah kepala gadis itu
!
Akan tetapi Eng Eng masih dapat tertawa dan berkata, "Perlahan dulu, sahabat!" Gadis
ini dengan gerakan yang amat lemas dan gaya yang amat manis lalu mainkan gerak tipu
yang disebut Burung Hong Membuka Sayap. Kaki kirinya diangkat ke atas kaki kanan
berdiri di atas ujung sepatunya. Tangan kiri yang memegang golok diayun ke kiri dengan
gerakan cepat untuk menangkis serangan golok dari kiri, adapun tangan kanannya
berbareng dengan tangan kiri, bergerak pula ke kanan dengan jari-jari terbuka, dan
sebelum lawannya yang berada di kanannya tahu apa yang terjadi, ia telah mengeluh dan
goloknya terlepas dari pegangan !
Juga goloknya, tidak dapat menahan tenaga tangkisan Eng Eng dan goloknya terlempar jauh
!
Orang di sebelah kanan tadi kini meringis-ringis sambil memegangi siku kanannya yang
telah terkena bacokan tangan Eng Eng sehingga ia merasa lengannya sakit sekali dan
lumpuh!
Adapun orang di sebelah kirinya kini berdiri dengan mata terbelalak, penuh keheranan
dan juga kekagetan melihat betapa goloknya tadi terdorong sedemikian hebatnya oleh
golok lawannya !
"Hayo maju ........ tangkap dan keroyok !"
Orang yang sikunya lumpuh itu mengeluarkan aba-aba, akan tetapi para perajurit Cou
ragu-ragu untuk maju melawan gadis yang sedemikian lihainya itu.
"Mundur semua, jangan berlaku kurang ajar !” tiba-tiba terdengar suara orang yang amat
berpengaruh dan dari belakang para perajurit itu melompatlah seorang yang tinggi,
melompati kepala para perajurit itu dan dengan ringan sekali ia turun di depan Eng Eng.
Gadit ini memandang dan diam-diam ia mengakui bahwa ginkang dari orang yang baru datang
ini cukup lumayan. Ia bersiap sedia, karena maklum bahwa kepandaian orang yang baru
datang ini, apabila dibandingkan dengan kepandaian dua orang pengeroyoknya tadi, amat
jauh lebih pandai!
Akan tetapi, ia menjadi terheran ketika melihat betapa orang tinggi yang sudah setengah
tua ini menjura dengan penuh hormat kepadanya, lalu berkata dalam bahasa Han yang ramah
tamah dan lancar sekali,
"Lihiap, mohon kau sudi memaafkan kelancangan dan kekasaran orang orangku yang tidak
tahu aturan. Maklumlah bahwa orang-orang yang telah disakiti hatinya oleh orang orang
lain yang tadinya dipandang sebagai sahabat-sahabat baik, tentu saja mudah marah. Terus
terang saja kami, suku bangsa Cou amat kecewa dan penasaran melihat sikap bangsamu,
orang-orang Han. Kami telah dikhianati, orang-orang Han tanpa melihat keadaan dan tanpa
alasan yang kuat, telah memilih dan memihak kepada orang-orang Ouigour yang selalu
mengganggu kami. Banyak saudara-saudara kami yang tewas oleh pasukan Oei-ciangkun yang
kuat, semua ini hanya karena hasutan dari Huayen-khan, pemimpin suku Ouigour yang
membenci kami itu !"
Mendengar uraian panjang lebar yang tidak dimengerti betul itu, Eng Eng menjadi
bingung. Akan tetapi melihat wajah orang tua ini yang amat berduka dan tampak
bersungguh-sungguh, ia tidak berani main-main. Ia melempar golok rampasannya tadi dan
membalas penghormatan Piloko.
"Aku adalah seorang perantau yang sama sekali tidak mengerti semua itu. Sebenarnya
siapakah saudara dan mengapa pula rombongan saudara tiba di tempat yang miskin ini?"
"Aku bernama Piloko, dan semua ini adalah orang-orangku, yakni suku bangsa Cou yang
amat menderita. Sebelum aku melanjutkan penuturanku, sudilah kiranya lihiap
memperkenalkan diri. Siapakah lihiap, datang dari mana dan benarkah lihiap tidak
mempunyai hubungan dengan benteng tentara kerajaan yang dipimpin oleh Oei-ciangkun?"
"Sudah kukatakan tadi, aku adalah seorang perantau bernama Suma Eng. Pekerjaanku hanya
membasmi orang jahat dan menolong orang yang tertindas, bagaimana aku dapat terikat
oleh hubungan dengan sepihak? Ceritakanlah kesusahanmu, saudara Piloko, mungkin aku
dapat membantumu."
Bukan main girangnya hati Piloko mendengar ucapan ini. Lagi pula diam-diam ia telah
menyaksikan kepandaian Eng Eng yang dengan demikian mudahnya mempermainkan dua orang
pembantunya. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat melawan
kepandaian nona ini, maka kalau saja ia dapat menarik tenaga nona ini untuk membantunya
hal itu tentu amat baiknya.
Pada saat itu terdengar seruan perlahan dari seorang wanita. Para perajurit yang duduk
memberi jalan dan nampaklah seorang wanita setengah tua datang membawa sebatang pedang
telanjang di tangannya. Wajahnya nampak berduka dan juga gelisah, akan tetapi ketika ia
melihat Piloko berdiri berhadapan dengan Eng Eng dan bercakap-cakap dalam suasana
damai, ia menjadi lega kembali dan pedangnya cepat ia sarungkan di pinggang.
"Nona Suma Eng, ini adalah Yamani isteriku yang setia. Lihat biarpun ia tidak memiliki
kepandaian, namun mendengar aku datang ke sini menghadapi orang yang disangka lawan
berbahaya, ia lupa kebodohannya dan datang membawa-bawa pedang!" kata Piloko
memperkenalkan istrinya kepada Eng Eng, lalu disambungnya ketika ia memperkenalkan Eng
Eng kepada istrinya.
"Yamani, jangan kau gelisah. Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah
perkasa, yang mungkin belum pernah kau jumpai di alam mimpi sekalipun! Lihiap ini
bernama Suma Eng dan kepandaiannya mungkin sepuluh kali lebih lihai dari pada
kepandaianku."
Dengan singkat, Piloko lalu menceritakan kepada istrinya tentang kegagahan Eng Eng yang
dikeroyok dua oleh pembantunya yang disebutnya kasar dan lancang tidak bisa mengenal
orang.
Mendengar cerita suaminya ini, Yamani lalu menghampiri Eng Eng dan memegang lengannya.
"Ah, lihiap, sungguh berbahagia sekali rasanya dapat bertemu dengan seorang pendekar
wanita yang sudah lama menjadi buah mimpi padaku. Aku seringkali mendengar cerita
tentang pendekar-pendekar wanita, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorangpun,
harap kau mau memaafkan semua kesalahan kawan-kawan kami dan marilah kita bercakapcakap
di dalam kendaraanku yang biarpun kecil akan tetapi lebih enak dari pada di
sini." Sambil berkata demikian, dengan amat ramah tamah, Yamani lalu menarik lengan Eng
Eng. Gadis ini tak dapat menolak karena semenjak bertemu, ia telah merasa suka kepada
nyonya bangsa Cou ini yang selain ramah tamah, juga amat manis mukanya.
Setelah duduk berhadapan di dalam kendaraan sambil makan hidangan yang disuguhkan oleh
Yamanl yang ramah tamah, Eng Eng lalu mendengar penuturan sepasang suami istri kepala
suku bangsa Cou ini. Ia mendengar betapa suku bangsa Cou selalu mendapat perlakuan
kejam dan hinaan daripada suku bangsa Ouigour dan Mongol, dan betapa akhir-akhir ini
tentara kerajaan nampaknya bahkan memusuhi mereka dan membantu orang orang Ouigour yang
menahan suku bangsa Cou yang kecil jumlahnya.
"Perkampungan kami yang terakhir kemarin telah diserang pula oleh Huayen khan dibantu
oleh pasukan dari Oei ciangkun. Terpaksa kami sekarang mengungsi dan mau tidak mau
harus menetap di daerah yang tandus dan tidak subur ini." kata Piloko sambil menghela
napas.
'Bagi kami sih tidak begitu berat karena kami berdua tidak mempunyai anak." sambung
Yamani dengan suara mengharukan.
"Akan tetapi kalau kuingat keadaan bangsaku…lihatlah mereka yang mempunyai anak-anak
kecil, ah... bagaimana akan jadinya dengan kami...?" Menangislah Yamani dengan
sedihnya.
"Diam kau !" Piloko tiba-tiba membentak dengan muka merah. "Apa artinya tangis saja
dalam keadaan seperti ini!"
Istrinya terdiam dan dengan wajah pucat dan sepasang mata terbelalak ia memandang
kepada suaminya. Semenjak mereka kawin puluhan tahun yang lalu, baru kali ini Piloko
membentaknya sedemikian kasarnya.
Melihat pandang mata isterinya, luluhlah kemarahan Piloko dan ia ingat bahwa ia tadi
telah bersikap terlalu kasar, apa lagi di depan seorang tamu ia cepat memegang kedua
tangan isterinya dan berkata,
'Yamani maafkan suamimu....... aku terlampau tertindih oleh kedukaan sehingga lupa
diri. Maafkanlah......" Yamani hanya mengangguk-angguk karena tidak kuasa mengeluarkan
kata-kata dari kerongkongan yang telah penuh oleh sedu sedan yang ditahan-tahannya.
Melihat keadaan mereka ini, bukan main terharunya hati Eng Eng. Ia merasa penasaran dan
marah sekali kepada orang-orang Ouigour yang sewenang-wenang. Terutama sekali ia merasa
penasaran dan kecewa mendengar betapa pasukan kerajaan dari Oei-ciangkun membantu
pekerjaan terkutuk dari pasukan Ouigour itu.
Mendengar betapa orang-orang lelaki dan anak-anak bangsa Cou dibunuh dan orang-orang
wanita yang muda-muda diculik secara kurang ajar, darah dalam tubuh Eng Eng sudah
bergolak saking marahnya. Ia berdiri dari bangkunya, dan berkata.
"Saudara Piloko, jangan khawatir. Aku akan membantumu dan biarlah aku memberi latihan
ilmu golok kepada pasukanmu, kemudian mari kita menyerbu dan membalas kejahatan orangorang
Ouigour itu !”
Mendengar ucapan ini, Piloko dan Yamani segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis
gagah itu saking girang dan bersyukurnya. Eng Eng cepat membangunkan mereka dan
berkata.
"Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Biarlah untuk sementara
aku ikut dengan kalian sampai kalian dapat merampas kembali kampung yang diserobot oleh
bangsa Ouigour !"
Demikianlah, untuk beberapa pekan lamanya, di daerah tandus itu, Eng Eng melatih ilmu
golok kepada anak buah Piloko. Bahkan Piloko sendiri, juga Yamani dan banyak lagi
wanita-wanita bangsa Cou yang kebanyakan manis-manis dan cekatan, ikut pula belajar
golok yang diajarkan oleh pendekar wanita itu.
Sementara itu, Piloko menyuruh penyelidik-penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan bekas
kampung mereka yang telah dirampas oleh orang-orang Ouigour.
Pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa kampung itu telah ditinggalkan oleh tentara
kerajaan dan juga oleh pasukan-pasukan yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan, dan
hanya terjaga oleh sepasukan orang Ouigour yang tak berapa kuat. "Lihiap, kampung kita
tidak terjaga kuat. Sekarang besar sekali kesempatan kita untuk menyerbu dan
merampasnya kembali.”
Eng Eng setuju, maka berangkatlah pasukan Cou dipimpin oleh Eng Eng dan Piloko. Adapun
rombongan keluarganya tidak berangkat bersama pasukan ini, melainkan menanti di tempat
itu sampai kampung mereka dapat terampas kembali. Kini keluarga ini tidak begitu takut
lagi ditinggal seorang diri oleh suaminya dan ayah mereka itu sedikit-sedikit telah
mempelajari ilmu silat.
Karena perjalanan dilakukan cepat dan tidak membawa keluarga seperti ketika mereka
pergi mengungsi, dalam waktu sehari semalam saja sampailah pasukan ini di kampung
tempat tinggal mereka.
Terjadilah perang tanding yang hebat dan ramai. Akan tetapi, jangankan baru pasukan
Ouigour yang hanya terdiri dari seratus orang lebih, biarpun di situ ada pasukan induk
yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan mudah
pasukan yang dipimpin oleh Eng Eng ini !
Terutama sekali sepak terjang Eng Eng mengerikan hati orang-orang Ouigour, maka dalam
pertempuran yang tak berapa lama, kocar-kacirlah orang-orang Ouigour ini, meninggalkan
kawan-kawan yang tewas maupun yang terluka. Dengan mendapat kemenangan besar, orangorang
Cou lalu masuk ke dalam kampung mereka dan menduduki kampung sendiri. Mereka
segera turun tangan memperbaiki rumah-rumah yang dulu dirusak, kemudian mereka
beristirahat.
Pada keesokan harinya, Eng Eng dan Piloko naik kuda untuk menjemput keluarga Cou.
Pasukan kuda mereka ditinggalkan dan diharuskan menjaga kampung itu dengan kuat
sedangkan sebagian pula melanjutkan usaha memperbaiki rumah-rumah yang rusak.
Eng Eng merasa gembira sekali. Baru sekarang ia merasa bahwa hidupnya tidak percuma. Ia
mempunyai tugas dan usaha untuk menuntun dan menolong kehidupan ratusan orang Cou yang
ternyata benar-benar jujur dan baik itu.
Melakukan perjalanan bersama Piloko sambil bercakap-cakap, mendengar ucapan yang ramah
dan hormat, melihat pandangan mata yang penuh rasa terima kasih itu, ah, Eng Eng merasa
seakan-akan berjalan dengan seorang paman atau ayah sendiri!
Bodoh sekali dia, pikirnya, mengapa tidak dari dulu menghubungi masyarakat ramai dan
melakukan sesuatu demi kebaikan orang-orang itu? Sesungguhnya banyak sekali yang harus
dilakukan, karena di dunia ini penuh dengan hal-hal yang amat ganjil, penuh dengan
penindasan dan kekejaman, penuh dengan orang-orang yang patut dikasihani dan ditolong
serta juga orang-orang yang patut dibasmi karena jahatnya!
"Suma lihiap, jasamu amat besar dan budimu terhadap bangsaku takkan dapat kami lupakan
selamanya.” kata Piloko. "Ah, saudara Piloko apa perlunya segala ucapan sungkan ini.
Aku suka membantumu dan membantu bangsamu yang tertindas."
“Ah, alangkah akan bahagia hatiku kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak perempuan
seperti kau !"
"Kau tidak punya anak, saudara Piloko ?” Kepala suku bangsa Cou itu menghela napas.
"Dulu punya seorang anak perempuan akan tetapi ia meninggal dunia karena penyakit
demam. Semenjak itu, aku dan isteriku menganggap semua anak buahku sebagai anak kami
dan yang harus kami jaga dengan segenap nyawa dan raga."
Eng Eng tidak menjawab, akan tetapi diam-diam ia juga berpikir. Alangkah senangnya
kalau dia masih mempunyai ayah ibu pula, biarpun ayah ibu bangsa Cou seperti Piloko dan
Yamani ! Semenjak kecil ia merindukan cinta kasih ayah bunda yang tak pernah
dirasakannya. Ingin sekali ia berkata kepada Piloko bahwa ia suka menjadi anak orang
ini akan tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dan hanya diam saja sambil menarik napas
panjang. Ketika mereka tiba di perkampungan baru di daerah tandus itu, senja telah
mulai mendatang. Mereka memasuki kampung, dan dengan amat heran mereka melihat tempat
itu sunyi saja tidak kelihatan seorangpun! Piloko menjadi pucat menyangka bahwa kampung
ini tentulah mengalami malapetaka sewaktu ditinggal pergi.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara-suara orang seperti dikeluarkan oleh orang-orang
yang sedang bertempur. Eng Eng melompat turun dari kudanya dan berlari cepat ke arah
suara itu yang datang dari luar dusun sebelah barat.
Ketika ia tiba di situ, ia menjadi marah bukan main melihat Yamani dan beberapa orang
wanita lain dengan mati-matian sedang mengeroyok seorang laki-laki yang melayani mereka
sambil tertawa-tawa mengejek. Sambil mengelak dari serangan golok para wanita itu, laki
laki ini menowel sana mencolek sini, memilih wanita-wanita muda dengan cara yang amat
kurang ajar.
"Bangsat Ban Hwa Yong!” Eng Eng memaki marah. "Kau benar-benar harus dibikin mampus!"
Sambil berkata demikian, Eng Eng minta golok dari seorang wanita yang tadi ikut
mengeroyok penjahat itu dan sambil melompat cepat ia menerjang penjahat cabul itu.
Gadis ini makin lama makin merasa sayang kepada pedangnya, maka ia tidak mau mengotori
pedangnya dengan darah bangsat yang dibencinya ini. Pula ia merasa yakin bahwa dengan
sebatang golokpun ia akan dapat mengalahkan Ban Hwa Yong.
Sementara itu, Ban Hwa Yong menjadi kaget setengah mati ketika melihat Eng Eng, gadis
yang pernah dirasai kelihaiannya dan yang telah menewaskan kedua suhengnya. Ban Im
Hosiang dan Ban Yang Tojin. Ia menjadi jerih dan juga marah sekali terhadap gadis ini,
maka sambil berseru keras ia mencabut sepasang senjata kaitannya dan memutar sepasang
senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.
Yamani dan teman-temannya ketika melihat penjahat yang lihai itu menggunakan senjata
dan melihat datangnya Eng Eng cepat-cepat mengundurkan diri dan menonton sambil berdiri
di tempat yang cukup jauh agar jangan mengganggu Eng Eng dan jangan sampai terkena
sambaran senjata penjahat yang lihai itu.
Bahkan Piloko sendiri tidak berani turun tangan karena ia tidak berani mengganggu Eng
Eng yang nampaknya sudah kenal penjahat ini dan belum pernah Piloko melihat nona
pendekar itu demikian marah. Ia lalu didekati oleh istrinya yang menceritakan dengan
singkat bahwa sebelum Piloko dan Eng Eng pulang, penjahat ini datang memasuki kampung
dan melihat betapa penduduk kampung itu hanya wanita-wanita saja. Ban Hwa Yong lalu
hendak berlaku kurang ajar. Ia hendak mengangkat diri menjadi pemimpin orang-orang itu
dan memilih gadis-gadis yang tercantik untuk melayaninya.
Tentu saja orang-orang wanita Cou itu menjadi marah sekali lalu beramai-ramai
mengeroyoknya. Akan tetapi tentu saja mereka ini bukan lawan Ban Hwa Yong yang kosen.
Biarpun penjahat itu dikeroyok oleh beberapa orang wanita yang dipimpin oleh Yamani
namun dengan tangan kosong ia menghadapi keroyokan golok itu dengan amat mudahnya
bahkan ia masih dapat mengganggu para pengeroyoknya !
Memang agaknya dosa Ban Hwa Yong sudah terlampau bertumpuk-tumpuk sehingga dusun yang
nampaknya tenang dan penuh wanita sehingga ia merasa aman dan gembira itu, tidak
tahunya adalah tempat tinggal dari Suma Eng, gadis yang dibencinya dan juga amat
ditakutinya. Kini Eng Eng telah maju dengan amat marah.
Gadis ini menggerakkan goloknya dengan sekuat tenaga, dibacokkan ke arah kepala Ban Hwa
Yong sambil mengerahkan lweekangnya. Ban Hwa Yong menangkis dan mencoba untuk membalas
dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi, baru tangkisannya saja sudah membuat
ia merasa makin jerih.
Ketika ia menangkis tadi, ia merasa betapa tangannya yang memegang kaitan yang
ditangkiskan menjadi kesemutan dan pedas sekali. la masih mempertahankan diri sampai
dua puluh jurus dengan harapan bahwa karena gadis itu memegang golok, tentu tidak
berapa lihai. Tidak tahunya, rangsekan gadis itu makin hebat saja dan golok yang
dimainkan seolah-olah telah berobah menjadi lima batang !
Akhirnya Ban Hwa Yong tak kuat menahan dan sambil berseru keras ia lalu melepaskan
beberapa batang jarum rahasia yang dijemputnya dengan tangan kiri dari saku bajunya
akan tetapi Eng Eng dengan amat mudahnya mengelakkan diri.
Ketika gadis ini hendak menyerang lagi, Ban Hwa Yong melompat jauh dan melarikan diri.
Akan tetapi mana Eng Eng mau melepaskan penjahat ini ?
"Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana?" serunya dan secepat burung melayang, tubuhnya
berkelebat mengejar. Sebentar saja dua orang ini sudah lenyap dari pandangan mata semua
orang yang menonton pertempuran itu.
"Lekas, kejar mereka dan bantu Suma lihiap!” kata Yamani kepada suaminya dengan
gelisah.
Akan tetapi Piloko yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari isterinya,
tersenyum. "Kau jangan kuatir, lihiap takkan apa-apa. Bangsat itu pasti akan mampus di
tangan Suma lihiap.”'
Memang ramalan Piloko ini tidak kosong belaka. Biarpun Ban Hwa Yong memiliki ginkang
yang tinggi dan pandai menggunakan ilmu lari cepat Co sang-hui (Terbang di Atas
Rumput). Namun sebentar saja Eng Eng telah dapat mengejarnya !
Terpaksa Ban Hwa Yong memutar tubuhnya dan bersiap sedia dengan kaitannya,
"Bangsat rendah, mampuslah kau!” seru Eng Eng dan cepat gadis ini menyerang dengan
goloknya, menggunakan golok di tangan kanan untuk membacok ke arah leher sedangkan
tangan kirinya siap untuk mengirim pukulan susulan.
Ban Hwa Yong makin gugup. Tak terasa keringat dingin mengalir turun dari balik bajunya.
Ia menangkis bacokan itu dengan kaitan di tangan kanan sambil menggeser kaki kanan,
kaitan kirinya menyambar ke arah perut Eng Eng ! Akan tetapi, gadis yang sudah sangat
marahnya ini lalu menggerakkan kaki kiri menendang tepat mengenai pergelangan tangan
kiri Ban Hwa Yong.
"Krek !”
Ban Hwa Yong menjerit ketika tulang pergelangan tangannya patah terkena tendangan Eng
Eng yang mengerahkan tenaga luar biasa itu ! Kaitan kiri terlepas dan terlempar jauh.
Sebelum kaitan kanannya dapat sempat bergerak, golok Eng Eng sudah menyambar dan tanpa
dapat berteriak lagi. Ban Hwa Yong manusia durhaka dan keji itu telah roboh dengan
kepala terpisah dari tubuh!
"Ting twako, harap kau sekeluarga dapat puas dan tenang. Musuh-musuhmu telah tewas
semua!" kata Eng Eng sambil memandang ke angkasa, seolah-olah ia bicara dengan arwah
dari Ting Kwan Ek, piauwsu yang terbunuh sekeluarganya oleh Thian-te Sam kui yang kini
telah ditewaskannya semua itu !
Kemudian Eng Eng lalu melempar goloknya dan melompat kembali ke arah dusun, piloko dan
orang-orang perempuan di situ menyambutnya dengan amat lega dan gembira apalagi ketika
mendengar bahwa penjahat itu telah dapat ditewaskan. Eng Eng menceritakan siapa adanya
penjahat itu, maka semua orang menjadi kagum mendengar ini, lebih-lebih ketika
mendengar bahwa penjahat itu adalah seorang di antara Thian te Sam kui yang pernah
didengar namanya oleh Piloko.
Kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan keluarga yang semua berwajah
girang dan berseri ini lalu berangkat kembali ke kampung mereka yang telah dapat
dirampas kembali dari tangan orang-orang Ouigour. Kedatangan keluarga dalam keadaan
selamat ini menambah kegembiraan orang-orang Cou yang sedang membangun kembali dusun
mereka, dan menambah pula rasa terima kasih mereka kepada Suma Eng yang mereka beri
nama julukan "Bunga Dewa "!
Dikalangan orang Cou ini dahulu memang terdapat kepercayaan tentang adanya bunga dewa
yang sakti sekali yang sering kali diturunkan oleh dewata untuk menolong manusia. Bunga
dewa yang diturunkan ke dunia oleh dewa ini sering kali menjelma menjadi manusia gagah
atau menjelma menjadi pertapa-pertapa. Dengan diberi nama julukan bunga dewa berarti
bahwa orang-orang Cou merasa amat berterima kasih dan amat menjunjung tinggi gadis ini!
Setelah suku bangsa Cou bisa merampas kembali kampung mereka dan memperbaiki rumahrumah
di kampung itu. Eng Eng merasa bahwa tugasnya menolong orang ini sudah selesai.
Akan tetapi, sebelum ia berpamit untuk meninggalkan Piloko dan anak buahnya, kepala
suku bangsa Cou itu bersama istrinya berkata kepadanya dengan suara mengandung
permohonan.
"Lihiap, kami mengharap dengan sangat sukalah lihiap tinggal bersama kami, tidak saja
untuk melanjutkan latihan ilmu golok kepada kami, akan tetapi terutama sekali untuk
menakuti orang-orang Ouigour. Kalau tiada lihiap di sini kami pasti akan diserangnya
lagi dan sekali ini mereka tentu akan membuat pembalasan hebat. Bagaimana kami dapat
melawan mereka kalau sampai tentara Han membantu mereka?"
Eng Eng berpikir bahwa kekuatiran ini beralasan juga.
“Biarkan mereka datang, saudara Piloko, akan kubasmi mereka semua, kalau mereka berani
datang mengganggu lagi. Baiklah aku akan tinggal untuk sementara di sini, akan tetapi
sesungguhnya aku mempunyai tugas amat penting yakni mencari seorang musuh besarku.
Kalau aku tinggal di sini, berarti hbal itu kutunda-tunda. Maka tolonglah menyuruh
beberapa orangmu untuk membantuku dan mewakili aku menyelidiki di mana adanya orang
yang kucari-cari itu." ia lalu memberi keterangan tentang Sim Tiong Kiat yang berjuluk
Ang coa kiam, dan memberi gambaran pula tentang bentuk muka dan tubuh pemuda musuh
besarnya itu. Piloko dengan girang lalu menyanggupi, bahkan segera memilih kawankawannya
yang pandai sebanyak lima orang untuk disuruh menyelidiki di mana adanya Sim
Tiong Kiat itu.
Eng Eng tinggal serumah dengan Piloko dan Yamani dan hubungannya dengan nyonya rumah
ini makin erat saja seperti enci adik atau bahkan seperti ibu dan anak.
Dari Yamani Eng Eng mempelajari banyak sekali kepandaian bahasa Cou, kerajinan tangan
dan juga menerima nasihat-nasihat tentang kehidupan dari nyonya yang sudah banyak
pengalaman hidup ini.
Tepat seperti yang dikuatirkan oleh Piloko, dua pekan kemudian datanglah serbuan yang
sangat besar-besaran dari pasukan Ouigour yang dipimpin sendiri oleh Huayen khan dan
Ang Hwa !
Ketika itu Eng Eng dan Piloko yang ditemani oleh Yamani sedang duduk di belakang rumah
menyaksikan latihan ilmu golok yang dilakukan oleh belasan orang pemimpin pasukan.
Tiba-tiba seorang penjaga dengan napas terengah-engah datang melaporkan.
"Dari balik bukit di timur datang pasukan Ouigour yang jumlahnya kurang lebih dua ratus
orang, dikepalai sendiri oleh Huayen khan dan seorang wanita muda yang cantik
berpakaian merah."
"Ang Hwa si perempuan lacur !" kata Piloko dan Yamani hampir berbareng dengan muka
kaget.
"Siapkan barisan, perkuat penjagaan di empat pintu gerbang dan sisa barisan semua
bersiap di pintu timur !" Piloko memberi perintah kepada para pembantunya yang sedang
berlatih golok itu. Pemimpin-pemimpin pasukan itu cepat pergi untuk mengatur pasukan
masing-masing dan Piloko lalu berkata kepada Eng Eng !
"Nah, Suma-lihiap sekaranglah saatnya kami mohon bantuanmu karena tanpa bantuanmu kami
semua pasti akan celaka ditangan Huayen khan dan Ang Hwa. Selain jumlahnya pasukan
mereka lebih besar, juga Huayen khan dan Ang Hwa amat lihai."
Akan tetapi dengan tenang Eng Eng lalu mengajak kepala suku bangsa Cou itu dan istrinya
untuk segera keluar dan ikut menjaga di pintu gerbang sebelah timur. "Siapakah orang
yang kau sebut Ang Hwa itu?” tanyanya ketika mereka telah tiba di tempat yang dituju di
mana para perajurit Cou telah siap sedia dengan golok di tangan.
"Ang Hwa adalah puteri seorang ahli silat Kun Iun pai yang telah menjadi isteri dari
Huayen-khan. Mungkin kepandaiannya tidak kalah oleh Huayen khan, terutama sekali
pedangnya yang amat ganas." Jawab Piloko.
Mendengar ini, Eng Eng menjadi tertarik sekali. Ingin ia menyaksikan sampai di mana
kelihaian Huayen khan, terutama orang yang bernama Ang Hwa itu. Sambil menanti
kedatangan tentara musuh, Eng Eng mendengar keterangan Piloko tentang kejahatan dan
kecabulan Ang Hwa yang biarpun sudah menjadi istri Huayen khan, namun masih suka
bermain gila dengan laki laki lain setahu suaminya! Tentu saja Eng Eng menjadi sebal
mendengar ini dan timbullah rasa benci dalam hatinya terhadap Ang Hwa yang dianggapnya
tidak tahu malu.
Sebelum kelihatan barisan Ouigour itu, sudah nampak debu mengebul dan suara sorakan
mereka, Eng Eng berpesan kepada Piloko, "Jangan bergerak dulu. lihat apa yang hendak
mereka lakukan. Kalau memang betul Huayen khan dan Ang Hwa berniat buruk, biar aku
merobohkan mereka dulu agar semangat barisannya menjadi patah."
Piloko menurut dan memberi perintah kepada para pembantunya, akan tetapi di dalam
hatinya diam-diam ia merasa ragu-ragu apakah mungkin Eng Eng dapat merobohkan Huayenkhan
dan Ang Hwa seorang diri saja.
Ia telah maklum bahwa ilmu kepandaian Huayen khan sendiri jauh lebih tinggi dari pada
ilmu kepandaiannya, apa lagi Ang Hwa yang disohorkan orang amat ganas dan kejam itu.
Biarpun ia telah menyaksikan kelihaian Eng Eng, namun sukarlah dapat dipercaya adanya
seorang gadis yang dapat menghadapi Huayen-khan dan Ang Hwa!
Tak lama kemudian dari sebuah tikungan di luar dusun, nampaklah barisan Ouigour itu
muncul dengan segala kegagahan. Huayen-khan sendiri naik kuda abu-abu disamping kuda
putih yang dinaiki Ang Hwa dan kedua orang ini nampak gagah dan keren.
Melihat dua orang musuh besar ini, Piloko merasa marah dan juga gentar. Telah berkalikali
ia merasai kelihaian Huayen khan, biarpun ia mengeroyok orang ini, selalu ia
menderita kekalahan.
Sementara itu, Huayen-khan memandang kepada Piloko dengan muka merah dan menudingkan
golok besarnya sambil berkata,
"Piloko, manusia tak tahu malu! Apakah kau telah bosan hidup maka kau telah berani
sekali berlaku curang dan menyerang pasukanku selagi aku tidak ada? Ketika kami
merampas kampungmu, kami masih berlaku murah tidak membunuhmu. Akan tetapi kau
melepaskan kesempatan dan kekuatan tentara yang lebih besar jumlahnya untuk menyerang
kembali kampungmu. Sungguh hal ini aku tak dapat membiarkan saja dan hari ini aku harus
dapat memenggal lehermu dengan golokku."
Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou yang kaku. Eng Eng yang sudah mempelajari
bahasa ini, dapat mengerti maksudnya, maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian, akan
tetapi tetap waspada.
“Huayen khan, bisa saja kau memutar balikkan duduknya perkara. Sudah kau katakan juga
bahwa kau telah merampas kampungku mau bicara apa lagi ? Kau telah mengaku dan
memperdengarkan kejahatanmu sendiri. Kau selalu menindas dan memusuhi bangsaku yang
lebih kecil jumlahnya, sedangkan seekor semutpun kalau diinjak-injak sarangnya akan
mengamuk dan melawan seekor gajah, apalagi pula seorang manusia? Kami merampas kembali
kampung kami sendiri, dipandang dari sudut keadilan siapapun juga, ini sudah menjadi
hak kami dan kau boleh mengatakan apa juga, namun tetap kampung ini adalah tempat
tinggal kami."
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek. Ternyata yang tertawa adalah wanita cantik
yang berkuda putih di samping Huayen-khan, yakni Ang Hwa.
"He, he, sekarang Piloko berani membuka mulut besar, agaknya burung walet yang sudah
habis bulunya itu kini telah tumbuh sayap.”
"Ha, ha, ha !!" Huayen-khan tertawa bergelak mendengar ejekan isterinya ini.
"Kau betul sekali, manis. Biar aku putuskan lagi sayapnya yang baru tumbuh itu. Ha ha,
ha !" Sambil berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sebatang anak
panah telah terlepas dari busurnya, menyambar Piloko!
Memang Huayen khan adalah seorang ahli main panah. Akan tetapi piloko yang mendapat
julukan Yan ong (Raja WaIet) memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi.
Begitu melihat berkelebatnya anak panah yang menyambar, lebih dulu ia telah dapat
melompat ke kiri. Anak panah itu lewat di samping tubuhnya dan menancap ke atas tanah
sampai ke gagangnya.
Akan tetapi, dengan amat cepatnya, tiga batang anak panah menyambar lagi, kini ketiga
bagian tubuh Piloko !
"Manusia curang!” tiba - tiba berkelebat bayangan tubuh yang amat langsing dan tahutahu
tiga batang anak panah itu telah kena ditendang runtuh oleh Eng Eng yang tahu-tahu
telah berdiri di depan Piloko dan menghadapi Huayen khan dengan mata bersinar marah.
“Ha, ha, ha, pantas saja Piloko berani berlagak, tidak tahunya ia telah mempunyai
seorang selir yang cantik dan gagah perkasa. Eh, kau nona yang cantik dan gagah,
mengapa kau begitu merendahkan diri ikut pada Piloko yang miskin?"
Bukan main marahnya hati Eng Eng mendengar hinaan ini. Akan tetapi ia teringat akan
penuturan PiIoko tentang Huayen-khan dan istrinya yang ternyata masih muda, cantik yang
jelas berasal dari selatan itu, maka katanya dalam bahasa Han sambil tersenyum
mengejek.
"Huayen khan, aku adalah seorang gadis kang ouw pembasmi orang-orang jahat seperti kau
mana bisa dibandingkan dengan isterimu? Agaknya kau selalu memandang rendah kepada
setiap orang wanita, karena mengingat akan istrimu sendiri yang kau biarkan bermain
dengan laki laki lain !" Biarpun omongan yang dikeluarkan oleh Eng Eng ini disertai
senyum simpul, akan tetapi tajamnya melebihi ujung pedang yang menikam dada Huayen khan
dan Ang Hwa. Dua orang ini belum pernah dihina orang seperti ini, tentu saja mereka
menjadi marah sekali. Huayen khan saking marahnya tidak dapat berkata sesuatu, hanya
kedua tangannya saja yang bergerak secepat kilat dan lima batang anak panah melayang ke
arah tubuh Eng Eng! Gadis ini memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan
sekali.
Bagi orang lain, anak-anak panah itu datangnya amat cepat dan sukar sekali diikuti oleh
pandangan mata sehingga amat sukar dilihat.
Akan tetapi bagi Eng Eng, ia dapat melihat jelas datangnya anak panah ini. Dua batang
melayang agak rendah, mengarah perut dari kanan kiri. Dua lagi mengarah dada dari kanan
kiri dan sebatang lagi menuju ke arah kepalanya !
Karena anak-anak panah ini datangnya berbareng maka Eng Eng lalu mengeluarkan suara
keras dan tubuhnya bergerak amat mengagumkan dan mengherankan.
Sekali bergerak saja, kedua kakinya dengan tendangan berantai telah memukul runtuh dua
batang anak panah, dan lagi yang menuju ke arah dadanya dapat ditangkap oleh kedua
tangannya dan yang menuju ke kepalanya dapat dielakkan sambil menundukkan mukanya!
Selagi semua orang terheran-heran, Eng Eng berseru lagi dengan nyaring,
"Keledai tua, kau makanlah sendiri anak panahmu !” sambil berkata demikian, dua
tangannya terayun ke depan dan dua batang anak panah yang tadi ditangkap dengan
tangannya kini melayang bagaikan kilat menyambar ke arah pemiliknya.
Huayen-khan masih bengong menyaksikan kelihaian Eng Eng menghindarkan diri dari
serangan lima batang anak panahnya. Kini melihat sinar terang menyambar ke arah
perutnya, ia kaget sekali dan cepat ia lalu melompat turun dari kudanya karena tidak
ada jalan untuk menangkis atau mengelak lagi. Ia selamat dari tusukan anak panahnya,
akan tetapi kudanya yang berbulu abu-abu meringkik keras lalu roboh, keempat kakinya
berkelojotan lalu diam!
Ternyata bahwa Eng Eng melepaskan dua batang anak panah yang disambitkannya itu kedua
jurusan, sebatang ke arah Huayen khan dan yang kedua ke arah kuda itu yang tepat
mengenai dada dan menembus jantung! Bukan main marahnya Huayen khan melihat kejadian
ini. Saking marahnya, ia sampai menjadi lupa mempergunakan pikiran sehat lagi. Bila ia
tidak begitu marah, tentu ia dapat mengetahui bahwa gadis di depannya ini sama sekali
tidak boleh dibuat permainan dan tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Akan tetapi ia sedang marah sekali dan nama Huayen-khan bukanlah nama yang baru saja
muncul. Dia adalah seorang tokoh yang amat terkenal, bahkan bangsa Mongol dan Tartar
sendiri merasa keder mendengar nama ini.
Orang-orang Mongol memberi julukan "Panah setan" kepadanya, sedangkan orang-orang
Tartar memberi nama poyokan "Golok Peminum darah".
Tentu saja kini baru bertemu pertama kali sudah diperhina dan dipermainkan oleh seorang
gadis muda, kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok besarnya dan menerjang maju sambil
berseru keras. Dalam kemarahan dan juga kesombongannya ia memandang ringan kepada lawan
ini, sehingga ia lupa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu.
Oleh karena semua anggauta pasukannya amat takut dan taat kepada Huayen-khan yang galak
dan keras, maka mereka tidak ada yang berani turun tangan dan hanya menanti sampai
kepala mereka merobohkan gadis fihak musuh yang lancang dan berani itu. Akan tetapi
ternyata kali ini Huayen khan kecele besar sekali. Baru saja goloknya menyambar, tibatiba
berkelebat sinar merah dan ia merasa seakan-akan pangkal lengannya akan copot dari
pundaknya!
Lengannya tergetar hebat dan matanya menjadi silau oleh cahaya api yang berpijar keluar
dari goloknya yang beradu dengan pedang merah di tangan nona itu.
Ketika ia cepat menarik kembali golok besarnya, ternyata golok besarnya itu rompal
sedikit karena beradu dengan pedang itu. Bukan main kagetnya hati Huayen-khan. Golok
besarnya adalah sebuah golok pusaka yang ampuh dan keras, bagaimana sekarang sampai
dapat gempal sedikit ketika beradu dengan pedang nona yang nampaknya amat tipis dan
tidak kuat itu? Akan tetapi Eng Eng tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak
melamun, karena segera pedang merah di tangannya itu berobah menjadi segulung sinar
merah yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga merah mengamuk!
Huayen khan bukan anak kemarin sore yang baru kali ini menghadapi lawan tangguh, maka
ia cepat memutar goloknya, mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan sambil menangkis dan
mengelak, iapun membalas dengan serangan-serangan kilat yang tak kalah berbahayanya.
Akan tetapi, baru bertempur lima belas jurus saja, seperti orang-orang lain yang pernah
menghadapi Eng Eng dalam pertempuran, kepala Huayen-khan telah menjadi pening dan
pandangan matanya kabur.
Ia menjadi bingung sekali karena sesungguhnya gerakan pedang dari gadis ini luar biasa
anehnya. Tampaknya demikian kacaunya seperti orang mabok memutar pedang, tetapi di
dalam kekacaubalauan ini tersembunyi daya tempur yang luar biasa kuatnya, gerakannya
kacau, akan tetapi setiap serangan amat cepat dan berbahaya sedangkan ilmu silat pedang
yang nampak kacau balau itu ternyata amat sukar untuk dipecahkan dan amat sukar untuk
diserang.
Setelah ia dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, Ang Hwa yang melihat
keadaan suaminya mulai terdesak hebat dan bingung oleh sinar pedang yang merah itu,
menjadi tidak sabar. Sambil mengeluarkan suara keras ia lalu melompat turun dari
kudanya, menghunus pedangnya dan menyerbu. Melihat betapa Eng Eng dikeroyok, piloko
hendak turun tangan. Akan tetapi, Eng Eng berseru.
“Saudara Piloko, biarlah dua ekor anjing ini kau serahkan kepadaku. Lebih baik kau
pimpin kawan-kawan untuk mengusir musuh-musuhmu itu !"
Piloko tidak berani membantah, maka ia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya.
Mulailah orang orang Cou itu bersorak sambil menyerbu orang-orang Ouigour yang tidak
menyangka-nyangka sama sekali. Terjadilah perang tanding yang amat ramai dan hebat,
perang tanding yang kacau balau di luar pintu gerbang dusun itu. Piloko dan isterinya
mengamuk hebat, memimpin kawan-kawan mereka menyerbu musuh yang menjadi kacau karena
tidak mendapat pimpinan dari kepala mereka. Adapun Huayen-khan dan Ang Hwa yang
mengeroyok Eng Eng, tiba-tiba menjadi terkejut sekali ketika Eng Eng mengeluarkan pekik
yang nyaring dan gerakan pedang merahnya makin hebat saja.
Sekali sabet sambil mengerahkan tenaga, golok di tangan Huayen khan patah sampai di
gagangnya dan ketika kakinya terayun ke arah Ang Hwa, nyonya muda ini menjerit ngeri
dan tubuhnya terpental sampai tiga tombak jauhnya. Baiknya Ang Hwa pernah mendapat
latihan ilmu Iweekang yang cukup tinggi dari cabang persilatan Kun-lun pai, maka
biarpun ia menderita luka di dalam lambung dan mulutnya mengeluarkan darah, namun
ketika tertendang tadi ia masih sempat mengerahkan tenaga penolakan hingga lukanya
tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, sepak terjang Eng Eng ini sudah cukup membuat
hati mereka menjadi gentar sekali.
"Serang dia !” seru Huayen khan kepada para pembantunya yang segera menyerbu dan
mengeroyok Eng Eng. Sebentar saja Eng Eng dikeroyok oleh sepuluh orang Ouigour yang
terkenal memiliki kepandaian lumayan.
Akan tetapi, begitu pedang Eng Eng menyambar-nyambar di sana-sini terdengar seruan
kesakitan, disusul robohnya orang-orang yang mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan
saja Eng Eng telah membabat roboh lima orang pengeroyok dengan cara sama mudahnya
dengan orang membabat rumput saja !
Huayen khan yang pergi menolong istrinya menjadi makin gelisah melihat betapa orangorangnya
banyak yang menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu. la segera
memondong tubuh Ang Hwa yang masih pingsan dan melompat ke atas kuda putih, kuda
tunggangan Ang Hwa yang terkenal baik dan cepat sekali larinya, lalu berseru.
"Mundur semua !"
Setelah memberi aba-aba mundur ini, Huayen-khan lalu membalapkan kudanya lari dari
tempat itu. Piloko dan Yamani tidak berani mengejar, adapun Eng Eng yang tadinya ingin
mengejar dan menewaskan dua orang itu, tidak mempunyai kesempatan karena ia masih
dikeroyok dan dikurung oleh orang orang Ouigour. Ketika ia berhasil merobohkan tiga
orang pengeroyok dengan sekali serangan sehingga yang lain menjadi jerih dan mundur,
ternyata kuda putih yang ditunggangi oleh Huayen-Khan telah lenyap dari situ, hanya
suara derap kakinya saja terdengar sudah amat jauh.
Orang-orang Ouigour ketika mendengar aba-aba yang dikeluarkan oleh Huayen-khan tidak
mau membuang banyak waktu lagi, lalu melarikan diri meninggalkan mereka yang tewas dan
terluka.
Pertempuran kali ini adalah pertempuran pertama yang mendatangkan kemenangan besar
sekali bagi fihak bangsa Cou, maka tentu saja mereka menjadi amat gembira. Makin
kagumlah semua orang terhadap Eng Eng, bahkan malam itu lalu diadakan perayaan untuk
merayakan kemenangan itu serta untuk menghormati Eng Eng.
Dalam perayaan ini, Piloko dan Yamani mengajukan usul, yakni mengangkat Eng Eng sebagai
kepala suku bangsa Cou!
Akan tetapi Eng Eng cepat menolak dengan manis sambil berkata,
"Kalian ini sungguh keterlaluan. Bagaimana seorang gadis muda yang bodoh seperti aku
hendak dijadikan kepala suku bangsa? Memang tak perlu kusangkal lagi bahwa mungkin
dalam ilmu silat, aku mempunyai kepandaian paling tinggi diantara kalian semua. Akan
tetapi, kepandaian silat saja masih belum bisa membikin orang menjadi seorang kepala
suku bangsa ! Bagaimana aku berani menerimanya? Untuk mengatur diriku sendiri yang
sebatang kara ini saja bagiku masih amat membingungkan, bagaimana aku harus mengatur
penghidupan ratusan orang? Ah, tidak, saudara piloko, maafkan saja, pengangkatan ini
aku sama sekali tidak berani terima.”
Tiba-tiba Piloko menangis sambil berkata dengan perlahan, akan tetapi terdengar oleh
semua orang yang berkumpul di situ.
"Ah, memang nasib bangsaku amat buruk. Agaknya sudah menjadi takdir bahwa suku bangsa
Cou harus lenyap dari muka bumi ini. Tadinya kita mengira bahwa Bunga Dewa akan
membebaskan kita dari penderitaan dan kehancuran, akan tetapi setelah dia menolak, sama
artinya dengan keputusan dari langit bahwa bangsa Cou harus lenyap. Kalau Suma Iihiap
tidak mau memimpin kita, akhirnya tentu kita akan ditinggalkan dan..... kalau sampai
terjadi hal demikian, lalu bangsa Ouigour atau bangsa lain menyerang kita, apa yang
dapat kita lakukan? Sudahlah…memang sudah nasib kita yang amat buruk, keselamatan kita
hanya tergantung kepada Suma lihiap saja dan sekarang dia tidak mau menerima permintaan
kita…"
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara terisak-isak tertahan sehingga semua orang menjadi
terharu dan di sana-sini terdengar suara tangis orang-orang perempuan, termasuk Yamani.
Eng Eng menarik napas panjang. "Saudara Piloko, kau tidak adil! Dengan omonganmu ini,
bukankah berarti bahwa kalian hendak mengikat diriku disini? Aku sendiri sudah cukup
menderita, hidup sebatang kara, tidak tentu tujuan, tidak tahu apakah yang akan terjadi
dengan diriku, ditambah kalian hendak mengikat aku di sini, lalu apakah aku tidak
berhak pula untuk mencari kebahagiaan hidup ? Semenjak kecil aku sudah hidup penuh
kepahitan, kegetiran, kesengsaraan dan sekarang…setelah aku berjasa.... ah, masihkah
aku harus menambah beban hidupku dengan memikirkan kehidupan ratusan orang bangsamu…?”
Bicara sampai di sini, Eng Eng teringat akan keadaannya sendiri dan karena terharunya,
menangislah gadis pendekar ini! Ia menubruk dan merangkul Yamani, lalu menangis
tersedu-sedu, belum pernah ia menangis sesedih itu.
Gadis perkasa ini memang selamanya belum pernah menjadi demikian sedihnya, dan baru
kali ini, di tengah orang-orang yang bersimpati kepadanya, yang memilihnya sebagai
kepala, ia demikian terharu sehingga ia menangis dengan hati terasa bagai diremasremas!
"Diamlah, nak. Maafkan kami yang terlalu mengingat keadaan sendiri. Diamlah, anakku
yang baik, kau memang pantas dikasihani." kata Yamani sambil mendekap kepala gadis itu.
Eng Eng makin merasa terharu dan mendengar hiburan ini, tangisnya makin menjadi. Ia
merasa betapa suara Yamani itu penuh dengan kasih sayang, dan ia yang selama ini merasa
rindu akan kasih sayang seorang ibu, kini tiba-tiba merasa bahwa alangkah baiknya dan
senangnya kalau Yamani menjadi ibunya!
"Tidak, tidak. Kalian tidak salah apa-apa, memang sudah seharusnya aku melindungi dan
membantu kalian orang-orang baik dan tertindas ini. Biarlah aku menjadi anakmu, biarpun
aku tidak menjadi kepala, akan tetapi sebagai anakmu aku akan membelamu. Siapa saja
yang berani mengganggu ayah bundaku juga bangsaku, akan kuhajar habis-habisan!”
Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou maka semua orang dapat mendengar dan mengerti
artinya. Bukan main girangnya semua orang, terutama sekali Piloko dan Yamani sendiri.
Mereka saling pandang dan hampir tak dapat mempercayai pendengaran mereka. Yamani lalu
memeluk Eng Eng sambil berkata.
"Anakku... Eng Eng anakku sayang…"
"Aku... dan juga kau, ayah. Jangan khawatir, aku akan memberi latihan ilmu silat kepada
kawan-kawan kita. Sebelum keadaan kawan-kawan kuat dan boleh diandalkan, aku takkan
meninggalkan kalian semua."
Bukan main girangnya Piloko mendengar betapa gadis pendekar ini menyebutnya ayah.
Wajahnya berseri-seri. la merasa seakan-akan anaknya yang dulu telah meninggal dunia
karena sakit kini telah hidup kembali. Matanya yang biasanya bermuram ini kini
menitikkan dua butir air mata.
"Anakku, kau baik sekali. Terima kasih kepada Dewa yang agung yang telah mengirim bunga
dewa kepadaku. Alangkah besar kehormatan yang kunikmati dapat menjadi ayah dari bunga
dewa !” Setelah berkata demikian, Piloko lalu berlutut dengan kedua tangan terangkat ke
atas sebagai penghormatan dan pernyataan terima kasih kepada penghuni langit !
Melihat hal ini, Yamani dan semua orang yang berada di situ, lalu ikut pula berlutut
seperti yang dilakukan oleh Piloko.
Melihat kesungguhan wajah dan sikap mereka, Eng Eng merasa betapa tulang rusuknya
menjadi dingin, maka iapun lalu ikut berlutut seperti yang dilakukan oleh ayah dan Ibu
angkatnya serta sekalian orang Cou yang berada di situ.
Mulai hari itu, Eng Eng mulai melatih ilmu silat lebih lanjut kepada orang-orang Cou
yang belajar makin giat dan rajin lagi sehingga mereka mendapat kemajuan pesat. Selama
itu tidak nampak gangguan lagi dari fihak Ouigour sehingga orang orang Cou hidup dengan
aman dan tenteram, menyangka bahwa Huayen-khan telah mendapat hajaran dan tidak berani
muncul lagi. Akan tetapi dugaan mereka ini sebetulnya salah sekali, karena orang
seperti Huayen-khan tak mungkin dapat mengalah begitu saja.
Baiknya hal ini dapat diduga oleh Eng Eng yang sengaja untuk sementara waktu tidak mau
meninggalkan Piloko dan anak buahnya.
Sementara itu, para penyelidik yang disuruh oleh Piloko untuk mencari jejak Sim Tiong
Kiat seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng ternyata kembali nihil.
Mereka telah merantau ke selatan sampai ke kota raja, akan tetapi tidak dapat mencari
pemuda itu di kota raja atau kota-kota lain,
Hal ini tentu saja amat mengecewakan hati Eng Eng dan membuat dia makin malas untuk
mencari Tiong Kiat, karena setelah lima orang penyelidik itu merantau ke selatan dan
mencari-cari tidak juga berhasil dia sendiri yang tak begitu mengenal daerah ini, harus
mencari ke manakah?
Akan tetapi ia tidak putus asa karena nama Ang.coa kiam Sim Tiong Kiat adalah nama yang
mulai terkenal di kalangan kang ouw sedangkan anak buah Piloko telah minta pertolongan
orang orang gagah di kalangan kang-ouw untuk memberi berita ke utara apa bila sewaktuwaktu
mendengar tentang penjahat muda itu.
Eng Eng merasa yakin bahwa sekali waktu ia pasti akan berhadapan muka dengan pemuda
musuh besarnya itu !
Sama sekali ia tidak pernah mengimpi bahwa pada waktu itu, Tiong Kiat tidak berada di
tempat jauh, bahkan sama sekali tak pernah menduga bahwa tak lama lagi ia akan
berhadapan muka sama muka dengan pemuda itu dalam keadaan yang amat tak tersangka!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam rencana dan usaha mereka untuk
berkhianat, Oei Sun atau Oei ciangkun bersama Go bi Ngo-koai tung, diam-diam mengadakan
pesekutuan rahasia dengan Huayen-khan pemimpin suku bangsa Ouigour dan juga diam-diam
telah mengadakan perjanjian dengan bangsa Mongol di utara.
Huayen-khan dan Ang Hwa yang menderita kekalahan hebat dari Piloko yang dibantu Eng
Eng, menjadi amat sakit hati dan mereka teringat kepada Oei-ciangkun. Setelah
mengadakan perundingan mereka itu lalu membawa sisa pasukan menuju ke benteng di lereng
bukit dekat kota Hong-bun.
Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Oei-ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung akan
tetapi Sim Tiong Kiat merasa tidak enak juga ketika ia melihat kedatangan Huayen-khan
dan Ang Hwa yang pernah bertempur dengan dia. Sebaliknya kepala suku bangsa Ouigour itu
menjadi kaget sekali melihat Sim Tiong Kiat berada di dalam benteng ikut pula
menyambutnya, bahkan telah mengenakan pakaian sebagai seorang perwira ! Akan tetapi Ang
Hwa memandang dengan wajah berseri lalu berkata girang.
"Ah, tidak tahunya Sim taihiap sudah berada di sini pula! Sungguh menggirangkan sekali.
Kalau aku tahu sudah dulu-dulu aku datang ke sini. Mengapa kau tidak memberi kabar
tentang adanya Sim-taihiap di sini, Oei ciangkun ?" katanya kemudian sambil mengerIing
tajam ke arah Oei-ciangkun.
Oei Sun tertegun. Panglima ini dapat menduga bahwa tentu dahulu pernah terjadi sesuatu
antara Sim Tiong Kiat dan nyonya yang cabul ini.
"Siapa tahu bahwa kalian sudah saling mengenal ?" tanyanya menggoda.
"Kami sudah saling mengenal dengan baik sekali !" jawab Ang Hwa sambil menyambar Tiong
Kiat dengan sinar matanya yang tajam.
Ketika Oei Sun menengok ke arah Huayen khan, orang tua ini mengangguk dan berkata,
"Kenalan lama, kenalan baik !" Kemudian ia lalu menarik tangan Oei ciangkun diajak
masuk ke dalam, meninggalkan isterinya bersama Tiong Kiat. Setelah berada di dalam, ia
berbisik kepada Oei Sun.
"Oei ciangkun, bagaimana pemuda itu bisa menjadi seorang perwiramu? Kenal betulkah kau
kepadanya? Setahuku, ia amat setia kepada kaisar!" Dengan singkat dan cepat Huayen khan
lalu menuturkan peristiwa keributan di dalam tendanya dahulu, di mana Tiong Kiat
menyatakan tetap setia kepada kaisar sehingga menolak tawaran Huayen-khan yang
memberikan istrinya untuk melayaninya!
Oei Sun mengangguk-angguk. "Aku sudah menduga demikian, akan tetapi belum tentu ia
betul-betul bersetia. Orang yang sudah menjadi jai-hwa-cat dan sudah suka menjalani
jalan hek.to (jalan hitam, penjahat) tak mungkin dapat mempunyai hati setia. Aku amat
sayang akan kepandaiannya yang tinggi dan perlahan-lahan aku sedang menarik dan
membujuknya. Kalau sampai dia bisa berobah sikap dan membantu kita, bukankah dia
merupakan tenaga yang amat baiknya?"
Huayen-khan mengangguk-angguk. "Memang demikianlah kehendakku dahulu, akan tetapi Ang
Hwa tidak berhasil sehingga diantara dia dan kami bahkan timbul pertempuran hebat.
Terus terang saja, akupun merasa kagum sekali melihat ilmu silatnya." Oei Sun memandang
keluar di mana Ang Hwa dengan sikap yang genit dan menarik sedang bercakap-cakap dengan
Tiong Kiat. Tak dapat disangkal lagi dan amat mudah dilihat betapa pemuda itu memandang
kepada Ang Hwa dengan mata amat tertarik. Oei ciangkun tersenyum dan berkata,
"Kurasa Ang Hwa bukannya tidak berhasil sama sekali. Kau lihat saja bukankah ikan emas
itu sudah masuk dalam perangkapnya ?"
Huayen khan juga memandang keluar dan iapun dapat melihat betapa sesungguhnya Tiong
Kiat amat tertarik oleh Ang Hwa dan sedang memandang kepada nyonya muda itu dengan
mesra.
"Huayen-khan sebetulnya apakah keperluanmu datang ke benteng ? Melihat wajahmu dan
semua orang orangmu agaknya kau telah mengalami kekecewaan besar."
"Kekecewaan ? Bukan hanya kecewa, bahkan aku telah mengalami kekalahan besar, banyak
orangku tewas bahkan Ang Hwa sendiri hampir saja tewas dalam peperangan itu."
Oei ciangkun terkejut. "Apa katamu ? Apakah rombonganmu telah bertemu dengan pasukan
dari kota raja?"
"Kami telah dipukul habis-habisan oleh orang-orang Cou."
"Apa ? Piloko ? Tak mungkin, bagaimana dia bisa memukul pasukanmu ?"
"Inilah yang amat menyebalkan ! Kalau pasukan kota raja yang mengalahkan pasukanku itu
sih tidak berapa menjengkelkan. Akan tetapi pasukan Cou ! Ah, sungguh bisa bikin orang
mati karena gemas. Pasukan Cou sekarang rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi dan
diantara mereka terdapat seorang gadis Han yang luar biasa lihainya sehingga aku dan
Ang Hwa hampir saja celaka di dalam tangannya." Huayen khan lalu menceritakan tentang
pertempuran itu.
Oei-ciangkun makin terheran. "Apakah gadis itu masih muda, cantik dan langsing,
berpedang merah ?"
Kini Huayen-khan yang terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ? Betul, memang gadis itu
cantik jelita, tidak kalah oleh Ang Hwa dan pedang merahnya lihai sekali."
Oei-ciangkun tak perlu menceritakan kepada Huayen-khan tentang Eng Eng yang pernah
tertawan olehnya, hanya berkata setelah berpikir sebentar.
"Bagus sekali, aku mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa kita tidak mengadukan Sim
ciangkun dengan gadis pembela Piloko itu ? Dengan jalan demikian, bukankah sekali tepuk
mendapat dua ekor burung ? Di satu fihak kita dapat menguji kesetiaan Sim-ciangkun
kepadaku, dan kedua kita dapat pula membalaskan sakit hatimu terhadap orang-orang Cou.
Juga mereka itu perlu dibasmi karena kalau tidak akan mendatangkan bahaya di hari
kemudian bagi rencana kita !"
Akan tetapi, ketika Oei - ciangkun dan Huayen-khan mengadakan perundingan dengan Go-bi
Ngo koai-tung, pada saat itu juga Ang Hwa sendiri telah berhasil menawan hati Tiong
Kiat untuk kedua kalinya dan nyonya muda ini dengan sikap yang amat menarik menuturkan
bahwa ia dihina oleh Piloko sehingga hampir saja nyawanya melayang. Tiong Kiat yang
mulai mabok oleh kecantikan dan gaya Ang Hwa, tanpa disadarinya telah memberi
kesanggupan bahwa ia tak akan membiarkan sakit hati itu dan akan membunuh Piloko. Tiong
Kiat mengeluarkan janji ini karena ia telah mendengar dari Oei ciangkun betapa Piloko
adalah kepala suku bangsa Cou yang hendak memberontak dan membikin kekacauan hingga
sudah patut dibasmi.
Go-bi Ngo-koai-tung menganggap usul Oei ciangkun untuk menyuruh Tiong Kiat membantu
orang-orang Ouigour membasmi Piloko dan anak buahnya amat baik.
Demikianlah, beramai-ramai mereka lalu mendatangi Tiong Kiat yang sedang bercakap-cakap
dengan amat asyiknya dengan Ang Hwa.
"Sim ciangkun." Oei Sun mulai berkata dengan muka sungguh-sungguh,"seperti pernah
kukatakan kepadamu, orang orang Cou yang dikepalai oleh Piloko amat jahat dan
berbahaya. Sekarang Piloko telah melatih orang-orangnya dan baru saja ia telah
menyerang Huayen khan dan menimbulkan banyak kematian dan kerusakan. Kalau tidak lekaslekas
dibasmi, tentu kelak orang-orang Cou itu akan berani menyerang benteng kita,
bahkan mungkin sekali akan berani memasuki tembok besar dan mengganggu rakyat. Oleh
karena itu, aku harap kau suka memimpin sepasukan perajurit, bersama-sama dengan
pasukan Ouigour yang menjadi penunjuk jalan, menggempur orang-orang Cou itu. Kalau
mungkin bunuh atau tawan Piloko atau setidaknya biarlah merasai kelihaian kita."
Sambil mengerling ke arah Ang Hwa, Tiong Kiat menjawab.
"Baiklah, Oei ciangkun. Urusan orang-orang Cou ini mudah saja, biarlah aku yang akan
membikin beres. Bilakah aku berangkat?"
Hampir berbareng Huayen-khan dan Oei ciangkun berkata. "Sekarang juga, lebih cepat
lebih baik."
Akan tetapi tiba-tiba Ang Hwa berkata,"Lebih baik besok pagi saja, karena pasukan kita
perlu beristirahat. Lagi pula, akupun akan ikut sendiri untuk membalas dendam!"
Kerling mata yang penuh arti dari nyonya muda ini ke arah suaminya membuat Huayen-khan
diam-diam menghela napas. Ia maklum bahwa isterinya telah jatuh hati kepada pemuda she
Sim ini dan iapun tahu sepenuhnya bahwa istrinya menghendaki agar diperbolehkan
berdekatan dengan Sim Tiong Kiat!
"Memang betul juga," akhirnya Huayen-khan, suami tua bangka ini berkata, "pasukan kami
yang telah terpukul itu amat lelah dan perlu beristirahat."
Demikianlah, selanjutnya dapat diduga bahwa Tiong Kiat telah terjerumus dalam perangkap
yang di pasang oleh Huayen khan dan Ang Hwa.
Pemuda itu tergila-gila kepada Ang Hwa yang sengaja bersikap amat manis kepadanya. Kini
Tiong Kiat tidak menolak seperti dulu, karena kalau dulu ia anggap sikap manis Ang Hwa
itu untuk menyeretnya ke jurang penghianatan terhadap kaisarnya, kini nyonya muda yang
cantik ini bersikap manis karena memang suka kepadanya, dan karena mengharapkan
bantuannya untuk membalas dendam kepada bangsa Cou. Dan menurut anggapan Tiong Kiat,
Piloko dan pasukannya memang pantas digempur da dibinasakan agar jangan mengganggu dan
mengacau rakyat!
Pada keesokan harinya, berangkatlah Tiong Kiat memimpin sepasukan perajurit yang
berjumlah dua ratus orang, didahului oleh sepasukan kecil perajurit Ouigour sebagai
penunjuk jalan. Ang Hwa tetap berada di dekatnya.
Hal ini disetujui oleh Huayen khan dan Oei ciangkun, karena diam-diam Ang Hwa merupakan
seorang penilik untuk menyaksikan bagaimana sikap pemuda itu dalam menghadapi Piloko
dan gadis pendekar yang membelanya.
Mereka tiba di hutan dekat dengan dusun yang menjadi tempat tinggal orang-orang Cou dan
di situ mereka berhenti. Tiong Kiat mengadakan perundingan dengan Ang Hwa dan orangorang
Ouigour yang menjadi pembantu Huayen khan.
"Lebih baik kita serbu mereka malam hari ini juga." usul Ang Hwa yang sudah tak sabar
lagi menanti lebih lama.
"Hal itu berbahaya sekali." kata Tiong Kiat yang biarpun belum mempunyai pengalaman
dalam perang, namun sudah mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun.
"Mereka lebih faham tentang keadaan daerah ini. Pertempuran di malam hari yang gelap di
tempat yang belum kita ketahui baik keadaannya, amat berbahaya bagi pasukan kita. Lebih
baik kita menanti di hutan ini sampai besok pagi baru menyerang."
"Apa sukarnya?" Ang Hwa berkata dengan bibir cemberut dan pandangan mata mengejek. "Apa
kau takut? Jumlah tentara kita lebih banyak, kita serbu kampung mereka dengan tiba-tiba
dan kalau mereka lari kita lalu bakar rumah-rumah mereka. Bukankah hal itu akan menjadi
beres? Serahkan saja Piloko kepadaku dan kau menghadapi gadis liar yang membantunya
itu. “
Dikatakan takut dan diejek oleh kekasihnya yang baru ini, panaslah hati Tiong Kiat. Ia
maklum bahwa memang sesungguhnya pasukannya tidak usah takut kalah, akan tetapi
bertempur dalam gelap itu akan menjatuhkan lebih banyak korban di fihaknya, dan hal ini
tadinya hendak dicegahnya.
"Baiklah, kita serbu sekarang !" Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu memberi abaaba
dan menyerbulah pasukan kerajaan yang dua ratus orang jumlahnya, dibantu oleh tiga
puluh orang lebih pasukan Ouigour yang hendak menuntut balas.
Jauh sebelum pasukan ini tiba di dusun tempat tinggal orang Cou, penduduk kampung itu
telah mendengat berita tentang penyerbuan ini dari para peronda. Piloko dan Eng Eng
cepat mengatur persiapan.
"Ayah," Kata Eng Eng di tengah-tengah kesibukan itu. "kau bawalah teman keluarga wanita
dan anak-anak menyingkir ke arah gunung di sebelah selatan itu. Biar aku memimpin kawan
kawan untuk mempertahankan diri !”
Piloko maklum bahwa siasat Eng Eng ini memang tepat. Dari penjaga dan peronda, mereka
mendengar bahwa penyerbu-penyerbu itu berjumlah dua ratus orang lebih, maka kalau
keluarga tidak diungsikan lebih dulu, maka akan berbahaya sekali keadaannya. Di samping
menghadapi musuh, juga mereka terpaksa harus melindungi keluarga mereka. Kalau keluarga
mereka sudah diungsikan lebih dulu ke atas gunung, tentu pertahanan akan dapat
dilakukan lebih kuat lagi.
Tanpa banyak cakap lagi Piloko Ialu mengumpulkan semua keluarga yang sudah siap pula
mengangkut barang-barang yang terpenting seperti pakaian dan lain lain kemudian dengan
hanya membawa sepuluh orang kawan laki-laki, Piloko lalu mengajak mereka keluar dari
pintu gerbarg sebelah selatan dan melarikan diri di malam gelap menuju ke gunung di
sebelah selatan.
Mereka tidak berani mempergunakan obor, oleh karena hal ini tentu akan terlihat oleh
musuh. Karena mereka sudah paham akan daerah itu, biarpun di malam gelap, dapat juga
mereka mencari jalan dan bergerak maju dengan cepat.
Adapun Eng Eng cepat mengatur persiapan. Ia memasang barisan pertahanan di kanan kiri
depan pintu gerbang utara dari mana penyerbu itu datang, dan diam-diam ia memasang
barisan panah di dalam kampung, bersembunyi di belakang rumah-rumah sebanyak tiga puluh
orang ahli anak panah.
la telah mengatur siasatnya dengan suara gagah dan nyaring.
“Kawan-kawan, musuh yang datang menurut laporan adalah orang-orang Ouigour yang dibantu
oleh tentara kerajaan. Aku sendiri bingung mendengar bagaimana tentara kerajaan sampai
membantu perbuatan orang Ouigour yang memusuhi kita, akan tetapi tak perlu hal itu
dibicarakan lagi. Sekarang dengarlah baik-baik. Pihak musuh berjumlah dua ratus orang
lebih berarti dua kali lebih banyak dari pada kita. Orang-orang yang bersembunyi di
luar kampung, apa bila nanti melihat mereka menyerbu, jangan bergerak dulu dan biarkan
sebagian dari tentara musuh memasuki kampung. Setelah itu barulah aku akan memberi
tanda menyerang. Adapun kawan-kawan yang bersembunyi di dalam kampung, begitu melihat
musuh masuk, harus segera mengerjakan busur dan anak panah menyerang dari balik-balik
rumah. Akan tetapi harap hati-hati, tiap kali sepuluh batang anak panah harus segera
mencari tempat persembunyian lain. kalian sudah dilatih dan sudah tahu bagaimana harus
berbuat!”
Demikianlah, orang-orang Cou yang gagah berani ini menanti datangnya musuh dengan hati
berdebar. Mereka sama sekali tidak merasa gelisah dan takut karena mereka berbesar hati
dengan adanya "Bunga Dewa" di tengah-tengah mereka, apa lagi setelah Eng Eng berkata
sebagai penutup pesannya.
"Jumlah mereka lebih banyak, akan tetapi kita tak perlu takut ! Akan kita perlihatkan
bahwa kita bangsa Cou tidak takut mati dan tidak boleh dibuat permainan !"
Barisan penyerbu menjadi girang ketika melihat keadaan di luar kampung ini sunyi saja.
Mereka mengira bahwa orang-orang Cou tentu sudah tidur nyenyak, maka sambil menghunus
senjata mereka menyerbu ke dalam dusun melalui pintu gerbang utara yang mereka
robohkan. Di dalam serbuan itu, Eng Eng dari tempat sembunyinya hanya melihat seorang
perwira Han bersama Ang Hwa memimpin barisan menyerbu ke dalam, akan tetapi karena
gelap ia tidak tahu bahwa perwira itu sebetulnya Sim Tiong Kiat.
Setelah tentara musuh yang memasuki kampung kira-kira ada lima puluh orang tiba-tiba
Eng Eng mengeluarkan pekik yang amat nyaring dan ia sendiri lalu melompat turun dari
sebuah pohon di mana ia bersembunyi ! Kawan-kawannyapun mengeluarkan pekik dahsyat dan
keluarlah seratus orang Cou menyerang musuh yang baru datang. Perang hebat terjadi dan
ternyata keadaan sungguh terbalik. Bukan orang-orang Cou yang kaget menghadapi serbuan
tiba-tiba, melainkan para penyeranglah yang benar-benar menjadi kaget karena diserang
secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou dari kanan kiri ! Dan berbareng dengan keributan
hebat di luar kampung itu, ketika Tiong Kiat hendak membawa keluar kembali pasukannya
tiba-tiba beberapa orang perajuritnya terjungkal dengan dada tertembus anak panah.
Kacau balau keadaan dalam kampung dan Tiong Kiat menjadi pucat. Mereka telah terjebak
dan terkurung ! la lalu melompat turun dari kudanya dan memberi perintah.
"Lepas api bakar semua rumah!"
Hebat sekali pertempuran di luar kampung. Kurang lebih seratus lima puluh tentara Han
dibantu oleh tiga puluh tentara Ouigour diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou
yang jumlahnya hanya tujuh puluh orang lebih.
Eng Eng mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Kemana saja tubuhnya bergerak, dan
pedangnya berkelebat, terdengar pekik mengerikan disusul oleh robohnya seorang tentara
kerajaan atau tentara Ouigour !
Juga kawan-kawannya mempergunakan ilmu golok yang mereka pelajari untuk mengadakan
perlawanan sengit. Kalau saja yang menyerang itu semua adalah bangsa Ouigour biarpun
jumlahnya lebih banyak, tak dapat ragukan lagi bahwa orang-orang Cou ini pasti akan
memperoleh kemenangan besar.
Akan tetapi yang mereka hadapi adalah tentara kerajaan dan kali ini Tiong Kiat membawa
pasukan pilihan yang rata-rata anggautanya telah mempelajari ilmu silat dengan amat
baiknya, maka pertempuran itu berjalan seru dan ramai sekali.
Hanya Eng Eng saja seorang yang merupakan pencabut nyawa yang tak dapat dihalangi lagi.
Baik perajurit biasa maupun perwira muda dari tentara kerajaan atau tentara Ouigour,
apabila kebetulan berhadapan dengan gadis ini, tak dapat menahan lebih dari tiga
gebrakan! Pasti akan terjungkal dalam keadaan tewas!
Kegagahan luar biasa inilah yang membuat pertempuran itu menjadi seimbang, karena
selain sepak terjang gadis pedang merah ini membikin gentar hati pasukan musuh, juga
membesarkan semangat orang-orang Cou yang bertempur penuh semangat dan tak kenal takut!
Bertumpuk-tumpuk mayat dan orang terluka ditimbulkan oleh pertempuran ini, korban yang
jatuh fihak penyerbu banyak sekali, dan juga fihak Cou banyak jatuh korban sehingga Eng
Eng mulai merasa kuatir.
Tak disangkanya bahwa fihak penyerbu benar-benar lihai dan rata-rata memiliki ilmu
silat yang terlatih. Ia menjadi marah sekali melihat betapa fihaknya sudah banyak
berkurang dan bagaikan seorang gila Eng Eng memutar pedangnya lebih cepat lagi sambil
berseru berkali-kali.
"Akan kubasmi kalian anjing-anjing rendah!" Makin banyak korban yang roboh di bawah
sambaran pedangnya dan makin jerihlah para pengeroyoknya.
Akan tetapi tiba-tiba Eng Eng melihat cahaya terang dari dalam kampung yang makin lama
makin besar. Ketika ia menengok, alangkah kagetnya melihat bahwa kampung itu telah
menjadi lautan api. Api bernyala tinggi dan asap telah memenuhi udara, bergulung-gulung
di atas kampung yang menjadi terang.
"Terkutuk, mereka membakar rumah-rumah!" seru Eng Eng dengan pucat dan bagaikan seekor
burung walet terbang, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya, melompat cepat dan
berlari masuk ke dalam kampung.
Tepat di pintu gerbang, ia bertemu dengan dua orang yang juga berlari keluar dari dalam
kampung. Mereka ini bukan lain adalah Tiong Kiat dan Ang Hwa !
Juga Tiong Kiat dengan amat kaget mendengar dari seorang perajurit bahwa di luar anak
buahnya telah diamuk oleh seorang gadis yang amat gagah perkasa dan bahwa banyak sekali
perajuritnya yang tewas oleh gadis ini. Tiong Kiat telah berhasiI membakar semua rumah
dan membunuh semua tentara Cou yang tadi bersembunyi di belakang rumah rumah dengan
anak panah mereka, sungguhpun untuk tiga puluh orang musuh itu ia kehilangan hampir
semua perajuritnya yang telah memasuki dusun !
Ketika mendengar bahwa tentaranya di luar kampung menghadapi bencana maut yang disebar
oleh seorang gadis Cou yang amat sakti, ia lalu cepat berlari keluar bersama Ang Hwa
dan kebetulan sekali bertemu dengan seorang gadis yang bukan lain adalah Suma Eng!
Untung Eng Eng tidak mengenal perwira ini, akan tetapi ia tidak perduli siapa adanya
perwira ini. Dengan kebencian luar biasa karena perwira ini yang memimpin orangnya
membakar semua rumah di dalam kampung, Eng Eng lalu maju menerjang dengan pedang
merahnya. Ketika perwira itu menangkis dengan sebatang pedang yang bercahaya putih
barulah Eng Eng melihat mukanya dan mengenalnya.
"Kau...??" tanyanya dengan tertegun akan tetapi segera disusul dengan kata-kata yang
menunjukkan kebencian besar, "Bangsat jahanam ! Sekarang tiba saatnya aku mencabut
nyawamu !"
Juga Tiong Kiat kaget sekali ketika melihat bagwa gadis yang mengamuk itu bukan lain
adalah Suma Eng. Pantas saja para perajuritnya kocar kacir karena yang dihadapi adalah
Eng Eng, gadis yang telah dikenal baik kelihaiannya ini !
"Sim-taihiap, dia inilah perempuan hina yang telah melukaiku ! Lekas kau robohkan dia
untukku !" kata Ang Hwa sambil maju membantu Tiong Kiat dengan pedangnya.
"Anjing betina, kau belum mampus?" Eng Eng membentak gemas. "baiklah biar sekarang kau
mampus bersama anjing jantan ini !" la lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga
Ang Hwa terpaksa melompat mundur karena silau matanya. Ia tidak sekuat Tiong Kiat yang
dapat menangkis dan menghadapi pedang merah itu.
Adapun Tiong Kiat sendiri menjadi serba salah dan bingung. Pertemuan dengan Eng Eng Ini
benar-benar tak pernah disangkanya, ia tidak takut terhadap ilmu pedang gadis ini,
karena biarpun harus diakui bahwa Eng Eng lihai sekali ilmu pedangnya, namun ia yang
kini sudah menyempurnakan Ang-coa kiamsut dari Kim-liong.pai, tak usah takut akan
kalah. Yang menggelisahkannya adalah kenyataannya bahwa hatinya tidak mengijinkannya
untuk melukai apa lagi membunuh gadis yang dicintainya. Baru melihat gadis ini membantu
suku bangsa Cou yang memberontak saja, hatinya telah menjadi sakit dan tenaganya Iemas.
Ah, bagaimana gadis ini sampai menjadi tersesat dan membantu pemberontak ?
Sebaliknya, Eng Eng yang membenci setengah mati kepada pemuda ini, menyerang dengan
nekad tidak memperdulikan keselamatannya sendiri. Ang Hwa kini hanya memaki-maki sambil
menyerang kadang kadang saja dari belakang karena ia tidak berani menghadapi gadis ini
dengan langsung. la mengharapkan agar Tiong Kiat dapat mengalahkan gadis ini.
Melihat sepak terjang Eng Eng, makin sedihlah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa gadis
ini bersedia mengadu nyawa dengan dia dan kenyataan betapa hebatnya kebencian gadis itu
terhadapnya. Benar-benar membuat ia sering kali tak dapat tidur di waktu malam.
Sekarang kembali Eng Eng telah memperlihatkan kebenciannya dengan serangan-serangan
maut yang benar-benar berbahaya, tidak saja berbahaya baginya, bahkan juga berbahaya
bagi Eng Eng sendiri. Gadis itu melakukan serangan dengan sepenuh tenaga dan
kepandaiannya, sama sekali tidak perduli lagi bahwa serangan-serangan hebat itu membuat
sebagian pertahanannya banyak terbuka.
Tiong Kiat maklum bahwa kalau diteruskan mau tidak mau iapun harus mengadu nyawa. Kalau
bukan dia, tentu gadis ini yang menggeletak tidak bernyawa menjadi korban pedang
pusaka. Dan hal ini ia tidak menghendakinya. Ia cinta kepada Eng Eng, akan tetapi ia
lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat beberapa orang pembantunya berada di situ, ia
lalu berseru keras,
"Keluarkan perintah menarik mundur pasukan ! Kejar keluarga musuh yang melarikan diri,
tangkap mereka semua !”
Tiong Kiat ketika memberi perintah membakari rumah tadi mendapat kenyataan bahwa di
situ tidak terdapat seorangpun keluarga bangsa Cou, maka sekarang ia mendapat akal
baru. la dapat menduga bahwa Piloko tentu mengantar keluarga itu mengungsi buktinya
semenjak tadi ia tidak melihat kepala suku bangsa Cou itu.
Dalam keadaan terjepit dalam pertempuran mati-matian melawan Eng Eng, ia sengaja
mengeluarkan perintah ini untuk menakut-nakuti hati Eng Eng. Memang siasatnya ini
tepat. Mendengar perintah ini Eng Eng menjadi pucat. Betapapun bencinya kepada Tiong
Kiat dan betapapun besar nafsunya untuk membunuh pemuda ini, akan tetapi mengingat akan
keselamatan keluarga suku bangsa Cou yang terancam, ia melupakan kepentingannya
sendiri.
"Jahanam, kejam!" bentaknya marah dan secepat kilat Eng Eng melompat keluar dari dusun
itu. Dilihatnya bahwa kawan-kawannya masih bertempur seru melawan musuh yang kini
mendapat bantuan dari perajurit perajurit kerajaan yang tadi membakar-bakari itu berada
dalam keadaan terdesak hebat.
"Mundur!" teriak gadis itu dan karena ia mengerahkan khikangnya, maka suaranya amat
tinggi melengking mengatasi segala kegaduhan pertempuran itu. "Ke selatan, lindungi
keluarga !”
Mendengar aba-aba ini, orang-orang suku bangsa Cou lalu cepat melarikan diri ke
selatan, Eng Eng sengaja lari paling belakang. Gelombang perajurit musuh yang mencoba
untuk mengejar, disambutnya dengan sinar pedangnya yang dengan mudah membabat roboh
beberapa orang perajurit, sehingga para pengejar itu menjadi gentar dan mundur.
Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Eng Eng dan kawan-kawannya untuk melarikan
diri secepatnya mendaki bukit di selatan itu.
Tiong Kiat dan pasukannya tidak berani mengejar, karena mereka merasa bingung di daerah
tak dikenalnya ini, apalagi dalam keadaan segelap itu. Mereka takut akan jebakanjebakan
musuh. Untuk apa mengcjar? Bukankah ia telah mendapat kemenangan, telah
merampas dusun itu, membakar habis rumah-rumah orang Cou dan mengusir mereka? Demikian
pikir Tiong Kiat. Apalagi fihak orang-orang Cou terdapat Eng Eng yang memimpin, maka
semua nafsunya untuk membasmi orang-orang Cou menjadi lenyap. Kalau tidak ada Eng Eng
tak dapat disangsikan lagi, Tiong Kiat tentu akan mengejar terus sampai orang terakhir
dari suku bangsa Cou terbunuh.
Demikianlah, pada keesokan harinya Tiong Kiat membawa sisa pasukannya yang telah tewas
setengahnya lebih itu kembali ke benteng. Ang Hwa berlaku lebih manis kepadanya karena
dianggapnya Tiong Kiat telah berhasil membalas dendam, sungguhpun wanita ini masih
merasa penasaran karena Eng Eng tak dapat tertawan atau terbunuh,
Adapun Eng Eng yang memimpin sisa anak buahnya mendaki gunung, setelah mendapat
kenyataan bahwa musuh tidak mengejar lagi lalu ia berhenti dan mengumpulkan
perajuritnya. Ternyata bahwa jumlah mereka tinggal lima puluh orang lagi, Eng Eng
merasa berduka sekali karena dalam pertempuran ini, ternyata hampir lima puluh orang
telah tewas! Tiga puluh orang di dalam dusun dan dua puluh di luar dusun. Dan di antara
lima puluh orang yang dapat melarikan diri, terdapat pula yang luka-luka. Hampir saja
gadis yang gagah ini mengucurkan air matanya.
Sambil menggigit bibir Eng Eng bersumpah di dalam hatinya bahwa sewaktu-waktu ia pasti
akan dapat membekuk batang leher Tiong Kiat dan sekarang lebih banyak lagi alasan
baginya untuk membalas sakit hatinya terhadap pemuda itu.
Mereka beristirahat di lereng gunung dan menjelang fajar, dari atas bukit turunlah
Piloko dan sepuluh orang kawannya. Malam tadi ia melihat dari atas bukit betapa dusun
mereka terbakar. Hati mereka gelisah sekali akan tetapi apakah daya mereka ? Piloko
tidak berani meninggalkan keluarga yang berada di puncak bukit, maka dengan hati
gelisah sekaIi ia menanti sambil menghibur orang-orang perempuan yang mulai menangis
dan mengeluh panjang pendek melihat dusun mereka terbakar itu.
Ketika bertemu ayah angkatnya, Eng Eng memeluk Piloko dan menjatuhkan mukanya pada dada
ayah angkat ini. Keduanya merasa terharu sekali.
"Ayah... aku tak dapat mempertahankan...kampung kita...dan lima puluh orang kawan kawan
kita..."
Piloko tak dapat berkata sesuatu, hanya menepuk-nepuk pundak anak angkatnya sebagai
usaha menghibur.
"Bunga dewa tak perlu berkecil hati !" tiba-tiba seorang diantara para perajurit
berkata. "Biarpun dusun kita terbakar dan beberapa kawan kita gugur, akan tetapi jumlah
korban di fihak musuh Iebih banyak lagi ! Kita harus merasa bangga karena baru kali ini
tentara kerajaan yang terkenal gagah perkasa, ternyata menghadapi kita mereka menderita
kerugian lebih besar, biarpun tadinya jumlah mereka dua kali lebih besar daripada
jumlah kita !”
Mendengar ucapan ini, semua orang menyatakan setuju, bahkan Piloko sendiri lalu
menghibur Eng Eng dengan gagah. "Ucapan tadi benar, anakku. Mengapa kita harus berkecil
hati? Mati dalam perang guna membela bangsa dan mempertahankan kehormatan bangsa adalah
mati yang amat berharga. Laki-laki gagah yang manakah tidak ingin gugur di dalam
peperangan membela tanah air dan bangsa? Percayalah, arwah dari kawan-kawan kita yang
tewas, pada saat ini tentu tersenyum-senyum melihat betapa mereka tidak tewas dengan
sia-sia, bahwa pertempuran yang menewaskan mereka itu ternyata membawa kemenangan.”
Terbangun semangat Eng Eng mendengar ini. "Ayah kau benar sekali. Maafkan kelemahan
hatiku. Dusun yang sudah musnah biarlah, kita sekarang mencari tempat dan membangun
lagi."
"Marilah kita naik ke puncak dan membuat pertahanan di sana. Siapa tahu kaIau-kalau
musuh akan mengejar kita." kata Piloko. Maka naiklah mereka ke atas bukit itu, disambut
oleh tangisan keluarga-keluarga yang tidak melihat suami atau ayah mereka ikut datang!
Eng Eng dan Piloko dengan bantuan Yamani menghibur keluarga yang kehilangan ayah atau
suami dengan berbagai kata - kata bersemangat.
Di dalam perjalanan mendaki bukit ini, dengan girang sekali Eng Eng mendapat kenyataan
bahwa gunung ini amat suburnya dan amat baik untuk dijadikan tempat tinggal bagi
keluarga besar itu. Puncaknya yang bertanah subur dan luasnya beberapa li itu
dikelilingi oleh jurang yang amat terjal dan jalan satu-satunya untuk naik hanya
melalui jalan batu karang yang kanan kirinya penuh dengan hutan-hutan di dalam jurang!
Hanya puncak-puncak pohon saja yang sampai di jalan batu karang itu. Selain jalan batu
karang ini, tidak ada jalan yang dapat membawa orang sampai ke puncak!
"Ayah, tempat ini bagus sekali ! Dengan menduduki puncak, biarpun diserang oleh ribuan
musuh, kita dapat menghancurkan mereka dengan amat mudahnya!" kata Eng Eng.
Piloko adalah seorang yang semenjak kecilnya seringkali menghadapi pertempuranpertempuran.
Sekali pandang saja ia maklum akan maksud kata-kata anak angkatnya ini. Ia
mengangguk-angguk membenarkan. Memang dengan penjagaan beberapa belas orang saja di
puncak, di atas jalan tunggal itu bersenjata batu-batu dan panah, mereka akan dapat
menghalau musuh dengan amat mudah.
Jalan itu tidak berapa lebar, hanya dapat dinaiki oleh sejajar yang terdiri dari lima
orang. Biarpun musuh berjumlah banyak, namun hanya lima orang yang dapat maju paling
depan dan sebelum tiba di puncak, dari atas dengan mudah saja orang dapat melempar batu
untuk membuat orang orang atau musuh yang mencoba naik itu terusir pergi!
Sekali lagi sibuklah suku bangsa Cou ini membangun gubuk gubuk di atas puncak. Dengan
amat girang mereka mendapat kenyataan bahwa di puncak yang subur itu banyak terdapat
pohon-pohon buah dan juga binatang-binatang hutan, Eng Eng lalu mengatur penjagaan di
atas mulut jalan tunggal itu dan tempat iti dijaga oleh dua puluh orang secara bergilir
dan terus menerus siang malam!
Semenjak mereka tinggal di atas puncak bukit itu, telah dua kali pasukan Ouigour dan
pasukan dari Oei-ciangkun mencoba untuk mendaki ke atas, akan tetapi dengan amat
mudahnya mereka ini dihalau dan terpaksa membatalkan niatnya ketika dari atas jalan
tunggal itu menggelinding batu-batu bagaikan hujan lebatnya! Jalan naik lain telah
dicari, akan tetapi sia-sia belaka sehingga akhirnya tidak ada lagi pasukan musuh yang
berani naik.
"Aku harus mengajukan protes kepada Kaisar Tai Cung atas serangan-serangan tentara
kerajaan yang membantu Ouigour!" kata Piloko dengan marah dan penasaran sekali.
"Bagaimana kalau kau nanti ditangkap di kota raja?" tanya Eng Eng kuatir,
"Tidak mungkin! Tak mungkin kalau dari kerajaan yang besar sudi melakukan kerendahan
yang hina itu. Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Kaisar Tai Cung dan melihat
sikapnya sungguh aku tidak mengerti mengapa sekarang tentaranya mau mengganggu
rakyatku. Aku harus pergi ke kota raja dan minta agar segala gangguan ini dihabiskan !"
Karena kehendak Piloko tak dapat dibantah lagi, akhirnya Eng Eng berkata, "Baiklah
ayah. Aku akan ikut dengan kau ke kota raja! Biar aku yang menjadi pembela dan
pengawalmu. Kita berdua dapat pergi dengan hati aman karena keluarga kita berada di
tempat yang sentosa. Bilakah kita berangkat, ayah ?"
'Besok!” jawab ayah angkatnya dengan tegas. Demikianlah pada keesokan harinya, dari
atas puncak, melalui jalan tunggal itu, turunlah Piloko yang mengenakan pakaian
kebesaran bersama Eng Eng. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat dan turun dari atas
gunung itu, langsung menuju ke selatan, kota raja untuk menghadap Kaisar Tai Cung!
Ketika Tiong Kiat dan Ang Hwa kembali ke benteng membawa berita kemenangan yang telah
berhasiI membasmi dusun orang-orang Cou dan mengusir mereka ke puncak gunung, Huayenkhan
merasa gembira sekali. Juga Oei Sun menjadi gembira karena ternyata bahwa Tiong
Kiat merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, tetapi Go-bi Ngo-koai. Tung dan
Oei Sun menjadi penasaran sekali ketika mendengar bahwa gadis gagah perkasa yang
membantu Piloko bukan lain adalah Suma Eng, nona yang pernah tertawan oleh mereka itu.
"Nah apa kataku dulu?” kata Oei ciangkun kepada Go bi Ngo-koai-tung dengan suara
menyesal setelah mereka berada sendiri, "nona itu hanya mendatangkan kesulitan belaka.
Kalau dulu kita tidak melepaskannya, tidak nanti kita sampai kehilangan seratus orang
dalam pertempuran itu."
Thian It Tosu menarik napas panjang. "Mungkin dia tidak tahu bahwa tentara yang
membantu Huayen-khan adalah tentara kita. Kalau kemarin kita yang maju, belum tentu ia
suka melawan kita. Akan tetapi sudahlah sekarang Piloko sudah kehilangan banyak orang
dan ia telah mengungsi di atas puncak bukit. Apakah artinya beberapa orang Cou itu bagi
gerakan kita ?"
Akan tetapi ternyata Huayen khan tidak berpikir demikian. Kepala suku bangsa Ouigour
ini masih belum merasa puas kalau belum dapat melenyapkan Piloko dari muka bumi ini.
Oleh karena itu, diam-diam ia lalu memimpin orang-orangnya untuk menyerbu ke atas
gunung. Akan tetapi, ternyata ia menerima hukuman berat dari usaha ini, karena dari
atas turunlah batu bagaikan hujan yang melukai banyak orang-orangnya bahkan ada
beberapa orang perajurit tewas karena terjungkal ke dalam jurang !
Kembali Huayen-khan minta pertolongan Oei Sun yang menyuruh sepasukan tentara menyerang
ke atas gunung. Sama saja, pasukan inipun menderita karena hujan batu dan semenjak itu,
Oei-ciangkun maupun Huayen-khan tidak berani lagi mengganggu benteng di puncak gunung
dari orang-orang Cou ini.
Sementara itu, Ang Hwa tetap saja mendekati Sim Tiong Kiat tanpa mengenal malu lagi
sehingga tak seorangpun di antara orang-orang yang berada di benteng itu tidak tahu
akan adanya hubungan antara perwira she Sim yang baru ini dengan Si bunga Merah, isteri
dari Huayen-khan, kepala suku bangsa Ouigour yang sudah tua itu.
Pada suatu hari, selagi Tiong Kiat duduk di ruang dalam bersama Ang Hwa, Huayen khan
dan Go bi ngo koai tung, seorang penjaga datang memberi laporan bahwa di luar benteng
terdapat lima orang tosu yang minta bertemu dengan Sim Tiong Kiat.
Pemuda itu mengerutkan kening. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang pergi keluar
benteng, katanya untuk urusan dinas yang tak diketahui olehnya, dan Oei-ciangkun telah
menyerahkan komando tertinggi kepadanya sebagai wakil Oei ciangkun. Siapakah tosu-tosu
yang datang mencarinya ? Tiong Kiat menjadi bimbang, lalu ia bertanya!
"Siapakah mereka itu? Datang dari mana dan perlu apa mencari aku ?”
"Kami sudah bertanya Sim ciangkun. Akan tetapi tosu-tosu yang kelihatan galak itu hanya
menjawab bahwa mereka ingin bertemu dengan orang yang bernama Sim Tiong Kiat. Mereka
tidak mau memberi tahu sama sekali siapa adanya mereka."
Tiong Kiat menjadi makin curiga.
"Sim ciangkun," tiba-tiba Thian It Tosu, orang pertama dari Go-bi Ngo-koai-tung
berkata, "mengapa ciangkun ragu-ragu ? Keluarlah dan jumpai orang-orang itu. Biar pinto
berlima mengantar ciangkun dengan diam-diam dan pinto berlima mengintai dari balik
pintu gerbang. Kalau terjadi sesuatu yang mencurigakan, tentu pinto berlima takkan
tinggal diam."
"Aku tidak takut sama sekali terhadap siapapun juga, ngowi totiang, hanya aku tadi
merasa ragu-ragu apakah baik aku meninggalkan benteng selagi Oei cangkun tidak ada?'
"Kalau mereka dipersilakan masuk, akan lebih kurang baik lagi." kata Huayen-khan yang
menaruh curiga.
Akhirnya keluarlah Tiong Kiat, dikawani oleh Ang Hwa yang tidak mau ditinggal,
sedangkan Huayen-khan tentu saja bersembunyi di dalam tidak mau memperlihatkan diri,
oleh karena ia takut kalau-kalau ada yang melihat ia bersekongkol dengan Oei-ciangkun.
Adapun Go bi Ngo-koai.tung lalu mengintai dari belakang daun pintu gerbang yang lebar
dan diam-diam mereka menjadi terkejut ketika melihat siapa adanya lima orang tosu itu!
Akan tetapi, baik Tiong Kiat maupun Ang Hwa, tidak mengenal tosu-tosu ini. Tiong Kiat
yang melihat lima orang tosu setengah tua yang berdiri dengan tenang dan berjajar rapi
sambil memandang tajam, cepat keluar dari pintu dan merangkapkan kedua tangannya.
Setelah memberi hormat, ia berkata, "Tidak tahu siapakah ngo-wi totiang yang terhormat
dan kehormatan manakah yang diberikan kepada orang seperti aku sehingga ngowi jauh-jauh
datang mencariku?"
Gan Tian Cu dan empat orang sutenya, lima tokoh Kun-lun pai itu saling pandang dan
saking herannya, Gan Tian Cu berkata perlahan kepada adik-adik seperguruannya. "Memang
serupa benar, pantas saja banyak orang salah duga!"
Tentu saja Tiong Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tosu itu, akan tetapi
Gan Tian Cu segera memandangnya dengan mata tajam dan membentak.
"Ang coa kiam ketahuilah bahwa pinto berlima datang dari Kun-lun pai ! Tentu kau masih
ingat kepada murid kami yang bernama Lo Ban Tek yang kau bunuh secara sewenang-wenang
di kota Ikiang! Pinto berlima datang untuk minta pertanggungan jawabmu atas perbuatanperbuatanmu
yang terkutuk !”
Berbeda dengan Tiong Han ketika menghadapi tuduhan kelima orang tosu ini, Tiong Kiat
tersenyum mengejek dan bertanya,"Aha, jadi tegasnya kalian berlima ini jauh-jauh datang
dari Kun-lun san hanya untuk membalas dendam atas kematian Lo Ban Tek manusia kasar
itu? Apakah yang hendak kalian lakukan terhadapku? Hendak membunuhku?"
Mendengar pertanyaan yang merupakan tantangan ini, merahlah wajah Gan Tian Cu. "Orang
she Sim, kami datang untuk membawamu ke Kun lun san agar kau menerima putusan dan
hukuman dari para ketua Kun lun-pai. Kalau kau melawan, terpaksa kami akan menggunakan
kekerasan !”
"Tosu sombong ! Aku Sim Tiong Kiat tidak pernah takut kepada siapapun juga ! Benar aku
telah membunuh Lo Ban Tek karena ia yang datang mencari dan menantangku. Ia mampus
karena memang kepandaiannya masih rendah, kalau dia lebih pandai dari padaku, bukankah
aku yang akan mati di tangannya? Kalau seandainya aku yang akan mati, apakah kalian ini
juga mau ribut-ribut mengurus perkara ini? Ah, benar-benar kalian ini pendeta-pendeta
yang telah kehilangan keadilan, dan hanya bertindak menuruti nafsu hati dan membela
golongan sendiri."
"Bisa saja kau memutar lidah, pemuda penuh dosa! Kalau Lo Ban Tek tewas dalam sebuah
pibu, biarpun yang dihadapi dalam pibu itu seorang muda jahat seperti engkau, kami
takkan sudi mengotorkan tangan kepadamu. Akan tetapi, murid kami itu tewas karena
hendak membela kebenaran dan hendak memberantas manusia jahat seperti engkau. Bagaimana
kami takkan turun tangan ? Sudahlah, manusia cabul dan jahat, lebih baik kau menyerah
dan ikut dengan kami ke Kun-lun san, dari pada kami terpaksa harus menggunakan
kekerasan."
Sebagai jawaban atas ucapan ini, Tiong Kiat tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya
bergerak. Hui liong-kiam (Pedang Naga Terbang) telah berada di tangannya, berkilau
terkena cahaya matahari.
"Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaian dari orang Kun-lun-pai maka kalian
menjadi sesombong ini ? Apakah kalian hendak maju bersama? Silakan, aku tidak takut!"
Tiong Kiat sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk memanaskan hati para pendeta itu.
Gan Tian Cu melompat maju dan mencabut pedang dengan tangan kanan dan sebuah hudtim
(kebutan) dengan tangan kiri. "Ang coa-kiam kami masih memandang muka Lui Thian Sianjin
yang kami hormati maka kami masih bersikap ramah dan murah terhadapmu. Akan tetapi
sikapmu yang kurang ajar ini menghapus semua penghormatan yang masih ada dalam hati
kami! Lui Thian Sianjin pasti akan memaafkan kami apabila ia melihat sikap muridnya
yang murtad !"
"Sudahlah, tosu tua, untuk apa banyak mengobrol lagi? Pergunakan pisau pemotong rumput
dan pengusir lalat itu kalau kau memang berani !” Sambil berkata demikian, dengan sikap
amat menghina Tiong Kiat lalu menggerak-gerakkan pedangnya di depan muka pendeta itu.
Gan Tian Cu marah sekali dan cepat ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah
tenggorokan Tiong Kiat sedangkan kebutan di tangan kiri menyusul dengan sebuah serangan
menotok ke arah lambung. Inilah gerak tipu yang disebut Ji.liong jut tong (Dua Naga
Keluar dari Gua) yang amat lihai.
Pedang di tangan Gan Tian Cu adalah sebatang pedang pusaka juga dan kini digerakkan
dengan cepat sehingga hanya merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah tenggorokan
lawan, sedangkan kebutan itu biarpun nampaknya lemas dan lembut, namun digerakkan oleh
tangan Gan Tian Cu yang memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, kini menjadi semacam
senjata penotok yang lebih keras dari pada baja dan amat berbahaya !
Tiong Kiat maklum bahwa hudtim ini bahkan lebih berbahaya dari pada pedang itu.
Serangan pedang itu sekali kelit saja dapat dihindarkan, akan tetapi belum tentu dengan
kebutannya. Karena biarpun dapat dikelit, ujung kebutan itu tiba-tiba dapat digerakkan
menjadi lemas untuk menyambar ke arah leher atau pundak !
Akan tetapi, tidak percuma Tiong Kiat sudah menyempurnakan ilmu pedang Ang-coa-kiam-sut
dari kitab ilmu pedang yang benar-benar amat lihai.
Kalau tokoh besar ilmu persilatan menghadapi Tiong Kiat dengan senjata lain, mungkin
akan dapat ia mengimbangi ilmu pedang pemuda jago Kim liong.pai ini.
Akan tetapi, Gan Tian Cu mempergunakan pedang pula, dan biarpun telah dibantu pula oleh
permainan hudtimnya yang juga amat lihai, namun menghadapi ilmu pedang dari pemuda ini,
sebentar saja Gan Tian Cu maklum bahwa ilmu pedang Kun lun kiam hoat masih kalah
lihai !
Ketika menghadapi serangan dengan gerak tipu Ji liong-jut tong tadi, Tiong Kiat cepat
menundukkan tubuhnya dan pedangnya dari kiri diputar ke kanan, sekaligus membabat ke
arah pedang dan kebutan lawan dengan gerak tipu yang disebut angcoa-sin-jauw (Ular
Merah Mengulur Pinggang).
Yang nampak hanya sinar putih panjang dan kuat saja menyambar dari kiri ke kanan dan
terdengar suara keras dua kali ketika Hui-liong-kiam itu membentur pedang dan kebutan
di tangan Gan Tian Cu.
Kedua pihak merasa betapa benturan itu mengakibatkan tenaga mereka menjadi tergetar dan
kesemutan, tanda bahwa Iweekang dari pemuda ini sudah mencapai tingkat yang tidak
berada di sebelah bawah tingkat Gan Tian Cu.
Gan Tian Cu merasa betapa pedangnya ketika terbentur oleh pedang lawannya, pedangnya
itu mengeluarkan bunyi aneh dan terpentalnya seperti tertendang. Ia maklum bahwa ilmu
pedang lawannya ini benar-benar lihai sekali dan pedang yang dipegang oleh pemuda itu
ketika digerakkan, agak menggetar dan mempunyai gaya atau tenaga menendang.
Hebat sekali ! Akan tetapi Gan Tian Cu adalah tokoh kelas dua di Kun lun-pai, maka
tentu saja ia tidak mau tunduk dan tidak merasa takut menghadapi lawan yang masih muda
ini. Sambil berseru keras, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Kun-lun.pai yang paling
istimewa. Juga hudtimnya digerakkan dengan gencar sekali sehingga kini hudtim dan
pedang seakan-akan telah berobah menjadi enam buah senjata yang menyerang dari segala
jurusan.
Tiong Kiat merasa terkejut juga. Ia maklum bahwa seandainya ia belum memperdalam ilmu
pedangnya dari kitab yang dirampasnya dari Tiong Han, agaknya ia takkan dapat menangkan
pendeta yang kosen ini. Baiknya ia telah mempelajari ilmu pedang sampai seluruhnya dan
telah menemukan jurus rahasia yang belum pernah dipelajarinya dari Lui Thian Sianjin.
Kini ia mengeluarkan jurus-jurus ini yang ternyata bukan main hebatnya.
Tubuhnya lenyap dalam bungkusan sinar pedang yang menjadi amat panjang, lebar dan kuat
sekali bagaikan seekor naga sakti yang bermain-main diantara awan yang ditimbulkan oleh
kebutan dan pedang lawannya !
Benar saja menghadapi ilmu pedang Ang coa-kiamsut yang dimainkan dengan sempurna ini,
Gan Tian Cu mengeluh dan menjadi amat kaget. Betapapun ia mengerahkan tenaga dan
kepandaian, tetap saja terdesak hebat, dan tidak sanggup membalas, hanya mempertahankan
diri saja, itupun dengan susah payah!
Empat orang sutenya yang menyaksikan, betapa suheng mereka terdesak hebat dan terancam
bahaya, mengingat bahwa pertempuran itu bukan semacam pibu yang tak boleh dibantu,
melainkan semacam penangkapan atas diri seorang penjahat yang lihai, segera mencabut
pedang dan menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran !
Betapapun lihainya Tiong Kiat menghadapi lima orang tokoh Kun lun pai ini ia menjadi
kewalahan juga. Harus diketahui bahwa lima orang ini kepandaiannya tidak kalah olehnya
baik ginkang maupun Iweekangnya. Pemuda ini hanya menang dalam hal ilmu pedang, dan
keunggulan dalam memainkan pedang inilah yang membuat ia dapat mendesak Gan Tian Cu.
Akan tetapi, kini dikeroyok lima tentu saja ia menjadi sibuk juga.
"Sim ciangkun, jangan kuatir, kami membantu !" Berbareng dengan terdengarnya seruan
ini, dari balik pintu gerbang benteng melayang keluar lima bayangan orang yang cepat
sekali gerakannya dan lima batang tongkat bambu dengan gerakan luar biasa telah menahan
lima pedang dari Gan Tian Cu dan empat orang sutenya.
"Sungguh menggelikan ! Tosu ternama dari Kun lun pai mengeroyok seorang muda ! Mana ada
aturan ini ?” kata Thian It Tosu setelah lima orang tosu dari Kun lun pai itu menjadi
terkejut dan melompat mundur. Lima orang tosu Kun lun-pai kini berhadapan dengan lima
orang tosu yang bukan lain adalah Go-bi Ngo. koai.tung !
Gan Tian Cu dan empat orang sutenya memandang dan biarpun mereka belum pernah melihat
Go bi Ngo-koai tung namun melihat jumlah mereka lima orang dan senjata mereka tongkat
bambu, Gan Tian Cu dapat menduga-duga lalu mengangkat tangan memberi hormat.
"Kalau pinto tidak salah lihat, bukankah pinto berhadapan dengan Go-bi Ngo koai tung
yang terhormat?"
Thian It Tosu tertawa bergelak. "Bagus Gan Tian Cu, kau memang bermata tajam. Kami
berlima memang datang dari Go-bi dan tongkat buruk ini memang telah berhasil mengangkat
nama kami. Pinto mendengar bahwa Gan Tian Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kun lun-pai,
seorang yang amat lihai dan menjunjung tinggi aturan di dunia kang-ouw. Akan tetapi
hari ini pinto benar-benar melihat keganjilan yang amat lucu. Bagaimana Gan Tian Cu
yang menganggap diri sebagai seorang diantara pemimpin partai Kun lun yang besar
mengeroyok seorang pemuda yang telah menjadi perwira kerajaan? Gan Tian Cu tidak
tahukah kau bahwa orang tidak boleh memusuhi seorang perwira kerajaan ? Apakah kau dan
kawan-kawanmu ini mempunyai maksud untuk memberontak ?”
Bukan main marahnya Gan Tian Cu dan sute-sutenya mendengar ucapan ini.
”Go bi Ngo.koai! Sesungguhnya terbalik sama sekali pertanyaan yang kauucapkan itu.
Semestinya kami yang berhak bertanya kepada kalian berlima. Siapakah orangnya di dunia
kang.ouw yang belum pernah mendengar nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat? Apakah benarbenar
kalian berlima tidak mempunyai telinga dan mata? Perlukah kiranya kami beberkan
semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Ang coa kiam? Kita semua telah mengaku
menjadi pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian, yang semenjak keciI mempelajari
ilmu silat untuk dipergunakan sebagai penegak keadilan dan kebesaran. Ang.coa.kiam
adalah seorang pemuda yang jahat dan telah banyak mendatangkan keonaran dan banyak
melakukan dosa, mengapa sekarang dapat bertemu dengan kalian di benteng ini ? Bagaimana
ia dapat menjadi seorang perwira kerajaan ? Apakah benar-benar kalian tidak pernah
mendengar tentang semua kejahatannya ?”
Thian It Tosu tersenyum dan berkata dengan tenang. ”Gan Tian Cu, manusia manakah di
dunia ini yang tidak jahat dan berdosa ? Pinto tidak suka membongkar-bongkar rahasia
dan kesalahan orang, apalagi Sim-ciangkun ! Biar apapun juga yang hendak kaukatakan
tentang dia, buktinya sekarang Sim ciangkun telah menjadi seorang perwira, yang berarti
bahwa dia telah berada di jalan benar, menjadi seorang gagah yang setia dan membela
negara ! Bagiku, seratus kali lebih baik seorang berdosa yang kembali ke jalan benar
daripada seorang yang mengaku-aku suci akan tetapi belum tahu bagaimana isi perutnya!”
Tentu saja Gan Tian Cu dan sute-sutenya tahu betul bahwa mereka telah disindir dan
dimaki habis-habisan oleh Thian It Tosu, maka marahlah Gan Tian Cu.
”Go-bi Ngo koai! Kami berlima datang untluk berurusan dengan Ang coa kiam Sim Tiong
Kiat dan sama sekali kami tidak mempunyai sangkut paut dengan kalian berlima! Maafkan,
kami tidak ada banyak waktu lagi untuk mengobrol dengan kalian!” Setelah berkata
demikian, Gan Tian Cu dan empat orang sutenya lalu menyerbu lagi dan menyerang Tiong
Kiat yang telah siap sedia. Pemuda ini biarpun maklum bahwa lima orang lawannya amat
sukar dan berat dilawan, namun ia tidak mau minta tolong kepada Go bi Ngo koai-tung.
Kecuali kalau mereka turun tangan sendiri tanpa diminta, tentu saja dia takkan
menolaknya. Kini melihat serangan kelima orang tosu itu, iapun menggerakkan pedangnya
sambil membentak, ”Tosu tosu siluman, apa kaukira aku takut menghadapi kalian
berlima ?”
Kembali pertempuran hebat terjadi. Akan tetapi tentu saja melihat Tiong Kiat berada
dalam bahaya, Thian It Tosu dan para sutenya tidak mau tinggal diam begitu saja. Mereka
lalu menggerakkan tongkat dan menyerbu membantu Tiong Kiat sehingga pertempuran menjadi
makin seru.
Akan tetapi kali ini pertempuran tak seimbang lagi. Kepandaian Go-bi Ngo koai Tung
cukup tinggi, tidak berselisih banyak dengan tingkat kepandaian lima orang tokoh Kun
lun-pai itu. Maka serbuan mereka yang membantui Tiong Kiat tentu saja membuat Gan Tian
Cu dan empat orang adik seperguruannya menjadi kewalahan dan terdesak hebat.
”Go-bi Ngo koai, tidak kelirukah pandanganku ?” tiba tiba Gan Tian Cu sambil menangkis
tongkat Thian It Tosu berseru keras. ”Ilmu tongkatmu mengingatkan aku akan ilmu tongkat
dari Pek lian kauw!”
Seruan yang keras ini tidak saja membuat Go bi Ngo-koai-tung menjadi terkejut, bahkan
Tiong Kiat sendiri pun menjadi kaget sekali sehingga ia melompat mundur dan menunda
penyerangannya sambil memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan ke arah Go bi
Ngo koai tung.
Nama Pek lian-kauw memang amat terkenal di kalangan kang-ouw dan tak seorangpun yang
tidak mengingat nama ini dengan hati penuh kebencian. Pek lian kauw di masa jayanya
telah banyak mengorbankan orang-orang gagah, diadu domba dan juga diseretnya ke dalam
jurang kehinaan, bahkan perkumpulan ini telah mengadakan pemberontakan besar.
Go bi Ngo koai tung menghadapi lima orang tosu Kun lun pai itu dengan mata menyalanyala
saking marahnya. ”Gan Tian Cu, mulutmu benar-benar busuk ! Apa hubungannya Pek
lian kauw dengan pertempuran ini ? Kita orang-orang gagah harus dapat melihat kenyataan
di depan mata, tidak menyinggung urusan yang telah lalu ! Sekarang kami berlima adalah
sahabat, pembantu, dan pelindung dari panglima Oei yang mengepalai pasukan besar dari
tentara kerajaan. Kami adalah orang-orang yang membela negara dan kalian bertempur
dengan kami karena kalian hendak berhianat hendak mengganggu seorang perwira !”
Gan Tian Cu tertawa bergelak. ”Ha, ha ha ! Apa jadinya kalau pemimpin tentara terdiri
dari pelarian-pelarian Pek lian kauw dan penjahat-penjahat wanita seperti Ang coa-kiam?
Ha, ha, Go-bi Ngo-koai tung, pantas saja Ang coa-kiam lari ke tempat ini, tidak tahunya
ada orang-orang macam kalian di sini !”
”Tosu bangsat, tutup mulutmu !” teriak Thian It Tosu, sambil maju menyerang dengan
tongkat bambunya. Gan Tian Cu menangkis dan kini lima orang tosu dari Kun lun pai itu
bertempur melawan lima orang tosu dari Go bi san yang sesungguhnya adalah pelarianpelarian
dari Pek lian-kauw ini ! Bukan main ramainya pertempuran ini, dan Tiong Kiat
hanya berdiri dengan pedang di tangan, ragu-ragu untuk maju bergerak. La masih merasa
heran dan terkejut mendengar bahwa Go-bi Ngo-koai-tung adalah pelarian-pelarian Pek
Iian kauw, maka ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah terang bahwa Gan Tian Cu dan
kawan-kawannya adalah musuh-musuhnya yang hendak mencelakakannya, akan tetapi kalau
betul Go bi Ngo-koai.tung itu adalah orang-orang Pek lian kauw, ia sendiri merasa
sangsi dan juga ngeri untuk membantu mereka!
Gobi Ngo koai tung merasa mendongkol sekali melihat betapa Tiong Kiat berdiri saja
seperti patung batu dan tidak membantu mereka. Akan tetapi ternyata bahwa ilmu tongkat
dari Go-bi Ngo koai ini benar-benar Iihai sekali. Kalau saja bekas-bekas pengurus Pek
lian-kauw itu hanya bersilat biasa saja, mempergunakan ilmu silat yang wajar, belum
tentu Gan Tian Cu dan adik-adiknya akan kalah. Akan tetapi Go-bi Ngo-koai-tung tidak
percuma pernah menjadi pengurus-pengurus dari Pek-Iian kauw, agama gelap yang menipu
rakyat berdasarkan ilmu hitam.
Kini menghadapi lawan tangguh, diam-diam Thian It Tosu memberi tanda rahasia kepada
adik-adiknya dan berobahlah ilmu silat mereka. Terdengar mereka mengeluarkan bisikanbisikan
perlahan seperti berdoa dan tiba-tiba Gan Tian Cu dan adik-adik seperguruannya
melihat dengan hati gelisah dan kaget betapa lima orang lawan mereka itu nampak makin
lama makin tinggi besar dan tongkat bambu mereka juga menjadi amat besar dan panjang!
Gan Tian Cu yang lebih matang ilmu batinnya dari pada keempat orang sutenya, masih
dapat mempertahankan semangat dan ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk
melenyapkan bayangan yang aneh ini dan hendak memperingatkan kepada keempat orang
sutenya bahwa yang dilihat ini hanyalah bayangan dari ilmu sihir belaka.
Akan tetapi terlambat. Saking takut dan kagetnya, adik-adik seperguruannya itu menjadi
kacau balau permainan pedangnya dan berturut-turut mereka mengeluh dan terjungkal
karena terkena totokan tongkat bambu yang lihai dari lawan mereka !
Gan Tian Cu hendak mengamuk dan mengadu nyawa, akan tetapi dikeroyok lima tentu saja ia
tak berdaya. Apa lagi, karena melihat keempat orang sutenya telah dirobohkan,
semangatnya menjadi turun dan hatinya terguncang, maka kini iapun melihat lima orang
lawannya itu menjadi makin besar dan mengerikan !
Beberapa jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi akhirnya iapun roboh tak dapat
berkutik lagi, terkena totokan pada jalan darahnya bagian thian-yu-hiat seperti apa
yang telah dialami oleh empat orang adik seperguruannya!
Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengebul dan Oei Sun atau Oei ciangkun datang
berkuda, diiringi oleh sepasukan pengawalnya. Melihat ribut-ribut di depan pintu
gerbang ia segera membalapkan kudanya dan ketika melihat betapa Go-bi Ngo-koai-tung
telah merobohkan lima orang tosu, ia lalu melompat turun dan dengan heran sekali
bertanya. ”Apakah yang telah terjadi ?”
Akan tetapi pada saat itu, Thian It Tosu dengan marah sedang mencela Tiong Kiat. La
menghadapi pemuda ini dan dengan suara keras ia berkata,
”Sim ciangkun, di mana rasa setiakawanmu? Kau tahu sendiri bahwa pinto berlima dengan
susah payah melawan lima orang Kun lun pai ini, semata-mata hanya untuk membantu dan
melindungimu. Akan tetapi, akhirnya kau bahkan mengundurkan diri dan berdiri sebagai
penonton saja, sama sekali tidak mau membantu kami. Apakah artinya ini ?’
Merahlah muka Tiong Kiat mendengar teguran ini. Memang ia harus akui bahwa sikapnya
tadi benar-benar amat buruk dan patut dicela, akan tetapi ia masih ragu-ragu karena
teringat akan tuduhan Gan Tian Cu terhadap Go-bi Ngo-koai-tung.
”Totiang apakah betul ucapan Gan Tian Cu tadi bahwa totiang berlima adalah bekas orangorang
Pek lian kauw?” tanyanya dengan kening berkerut.
”Kalau betul, mengapa? Apakah kami tidak berhak untuk hidup ? Sim ciangkun, ingat bahwa
kau sendiri dahulunyapun terkenal dengan julukan Ang coa kiam yang ditakuti orang. Akan
tetapi sekarang kaupun menjadi seorang perwira yang memilih jalan benar apakah kami
tidak berhak pula melakukan kebaikan itu?”
Oei ciangkun yang mendengar pertengkaran ini, menjadi pucat dan cepat menghampiri
mereka.
”Sim-ciangkun, siapa bilang bahwa ngo-wi totiang ini bekas antek-antek Pek-lian kauw?”
tanyanya dengan suara keren.
Sim Tiong Kiat tentu saja tak pernah menyangka bahwa Oei Sun sendiri adalah bekas
seorang tokoh Pek-lian-kauw, maka kini mendengar pertanyaan ini, ia segera mencari
kawan untuk menghadapi lima orang pendeta Pek lian-kauw itu.
”Yang bilang adalah Iima orang tosu Kun-lun pai itu dan anehnya, Go bi Ngo-totiang ini
tidak membantah bahkan mengaku betul!” jawabnya lalu mendekati Oei ciangkun untuk
menghadapi lima orang tosu itu bersama.
Akan tetapi Oei ciangkun tidak memperhatikan Go-bi Ngo-koai-tung, sebaliknya lalu
menghampiri lima orang tosu Kun-lun-pai yang masih menggeletak dalam keadaan tidak
berdaya itu, lalu bertanyalah dia kepada Tiong Kiat,
”Ada keperluan apakah lima orang tosu Kun-lun-pai ini datang ke sini ?”
”Mereka datang mencariku untuk menawanku, karena ada sesuatu permusuhan antara mereka
dan aku. Pernah aku membunuh seorang murid mereka dan agaknya mereka merasa dendam dan
hendak menghukumku,” jawab Tiong Kiat sejujurnya.
“Dan Go-bi Ngo totiang membantumu ?” tanya pula Oei ciangkun.
Tiong Kiat mengangguk.
“Lima tosu Kun-lun pai ini sudah tahu bahwa kau seorang perwira kerajaan dan mereka
tetap menyerangmu?” tanya lagi Oei Sun. Kembali Tiong Kiat mengangguk membenarkan.
Oei Sun berpaling kepada beberapa orang pengawalnya dan memberi perintah singkat.
”Bunuh mereka semua !” Tiong Kiat terkejut sekali dan hendak mencegah. Tak disangkanya
Oei Sun akan menghukum mati kepada lima orang tosu Kun-lun-pai itu, karena kalau sampai
lima orang tosu Kun lun pai itu tewas, hal ini bukanlah perkara kecil. Mereka adalah
tokoh-tokoh Kun lun dan kalau sampai dibunuh, tentu akan membangkitkan kemarahan orang
gagah seluruh dunia !
Akan tetapi Oei Sun memegang tangannya dan menariknya masuk ke dalam benteng. ”Marilah,
Sim-ciangkun dan jangan perdulikan lagi urusan kecil itu. Mereka adalah pemberontakpemberontak,
karena orang-orang yang berani memusuhi seorang perwira di dalam benteng,
mereka itu berarti memberontak terhadap Hongsiang sendiri. Jangankan seorang perwira,
baru terhadap seorang perajurit biasa saja rakyat tidak boleh melawan !”
Pada saat itu, para pengawal Oei ciangkun telah menggerakkan tombak mereka ditusukkan
ke arah ulu hati kelima orang tosu Kun-lun-pai itu, maka tanpa dapat mengeluarkan suara
sedikitpun, lima orang tokoh Kun lun-pai yang bernasib malang itu tewas dalam keadaan
yang amat menyedihkan !
Tiong Kiat merasa menyesal sekali akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? La memandang
kepada Oei Sun dan terpaksa ikut masuk ke dalam benteng. Di ruang dalam, duduklah
mereka bertujuh. Gobi Ngo koai tung, Oei Sun, dan Tiong Kiat. Lain orang tidak boleh
masuk, bahkan Huayen khan dan Ang Hwa sendiripun diminta berada di luar dulu karena ada
hal yang amat penting hendak mereka bicarakan.
Setelah mereka mengambil tempat duduk berkatalah Oei Sun kepada Tiong Kiat dengan air
muka sungguh-sungguh.
”Sim ciangkun, kau telah cukup maklum betapa besar kepercayaanku kepadamu dan bahwa kau
telah kuanggap sebagai seorang kawan kerja, seorang murid, juga seorang guru. Oleh
karena itu, harap kau suka berpikir tenang dan menggunakan pertimbangan yang sehat. Aku
sendiri tidak tahu apakah benar kelima totiang ini dahulunya pernah menjadi orang-orang
Pek lian kauw atau bukan. Hal itu sekarang bukan merupakan persoalan lagi. Pernah
menjadi orang Pek lian kauw ataupun tidak pernah, yang sudah pasti kelima totiang ini
membantu perjuangan kita, membantu pemerintah dan negara. Dalam menghadapi perkara
besar dan perjuangan mulia tak perlu kita menggali-gali urusan lama. Bukankah aku
sendiri tidak pernah mencari tahu tentang keadaan dirimu sebelum datang di sini?”
Oei Sun memang pandai sekali bicara dan kalau sampai Tiong Kiat dapat terjerumus ke
dalam perangkap, semua itu terutama sekali adalah oleh karena Tiong Kiat tertarik dan
tertipu oleh omongan-omongan manis yang diucapkan oleh Oei ciangkun secara pandai
sekali. Kinipun, pemuda itu mengerutkan kening dan tak dapat membantah kebenaran
omongan Oei Sun. Tiong Kiat teringat akan keadaannya sendiri. Bukankah iapun seringkali
melakukan hal-hal yang amat tidak baik apabila dipandang dari sudut kebenaran ?
Bahkan sampai sekarangpun, ia berani bermain gila dengan Ang Hwa di depan Huayen khan,
berarti mengganggu seorang isteri di depan suaminya! Dia sendiri seorang yang banyak
melakukan kesesatan, bagaimana ia dapat memburukkan orang-orang lain hanya karena
mereka pernah menjadi orang Pek Iian kauw?
”Oei ciangkun ternyata mengeluarkan ucapan gagah sebagai seorang laki laki sejati, Simciangkun.
Memang pinto harus mengaku bahwa pinto berlima dahulu memang pernah menjadi
pendeta Pek lian-kauw, akan tetapi apakah salahnya itu? Apakah salahnya memeluk sesuatu
agama tertentu? Ah, sudahlah, tak perlu pinto membela agama Pek Iian kauw yang sudah
diburukkan orang lain, karena pinto percaya bahwa agama Pek Iian-kauw sungguhpun sudah
dicemarkan orang, kelak pasti akan bangun kembali, akan terlihat kemurniannya bagaikan
emas jatuh di dalam lumpur. Sekarang yang penting kita melihat ke depan, melihat
kenyataan sekarang. Benar dan tepat sekali apa yang dikatakan oleh Oei ciangkun tadi
bahwa kita adalah orang-orang sepaham dan seperjuangan, mengapa kita harus saling
menuduh ?”
Didesak oleh omongan-omongan yang terdengar penuh cengli (aturan) ini, mau tidak mau
Tiong Kiat terpaksa harus menyatakan betul. La berdiri dan menjura kepada Thian It Tosu
dan kawan-kawannya.
”Maafkan aku, totiang. Sekarang aku merasa bahwa aku telah melakukan kebodohan besar
sekali. Maafkan bahwa tadi aku tidak membantu ngowi totiang menghadapi pendeta-pendeta
Kun Iun pai, dan terima kasih bahwa ngowi totiang telah membantuku menghadapi mereka.”
Ia berhenti sebentar lalu berpaling kepada Oei Sun dan berkata.
”Hanya sayang sekali lima orang tokoh penting dari Kun lun-pai telah dibunuh, aku
kuatir sekali hal ini akan berekor panjang. Mereka itu adalah tosu tosu tingkat dua
dari Kun- lun pai bukanlah hal ini berbahaya sekali?”
Oei Sun tersenyum. ”Mereka telah melakukan pemberontakan dan satu-satunya hukuman bagi
pemberontak adalah hukuman mati ! Dan lagi, siapakah yang tahu bahwa mereka itu lewat
di sini ? Seandainya ada yang tahu, mengapa kita takut? Kita adalah alal-alat negara,
dan orang orang gagah akan membantu kita kalau orang orang Kun lun pai datang membikin
onar !’
Demikianlah, dengan secara pandai sekali Oei Sun tidak saja dapat menghilangkan
keraguan hati Tiong Kiat dan menjauhkan diri sendiri dari dugaan bahwa dia juga adalah
seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw, akan tetapi juga ia dapat membersihkan nama kelima
orang pendeta itu.
”Aku ada berita yang jauh lebih penting dari pada urusan lima orang tosu dari Kun-lun
pai itu.” akhirnya Oei ciangkun membuka oleh-olehnya yang didapatkan dari pada
perjalanannya tadi.
Tiong Kiat dan kelima Go-bi Ngo koai-tung dengan penuh perhatian mendengarkan.
”Lebih dulu tolong kau panggil masuk Huayen khan dan isterinya, Sim ciangkun. Mereka
juga berhak mendengarkan,” kata pula Oei ciangkun.
Ketika Tiong Kiat keluar dari kamar itu untuk memanggil Huayen-khan dan Ang Hwa, Oei
Sun cepat berkata kepada Go bi Ngo koai-tung. ” Lain kali harap berlaku lebih sabar
terhadap dia. Kita amat memerlukan bantuannya. Aku mendengar kabar bahwa seorang murid
dari Kim-liong pai, mungkin kakak dari Sim Tiong Kiat ini, kini muncul dan menjadi
pembantu utama dari Gak ciangkun. Siapa tahu kalau Sim ciangkun ini akan dapat kita
pergunakan untuk menghadapi kakaknya yang kabarnya amat lihai itu !”
Thian It Tosu dan adik-adik seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja karena mereka
tidak mendapat kesempatan untuk bicara lagi.
Tiong Kiat telah masuk diikuti oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Nyonya muda ini cemberut
ketika ia berkata kepada Oei-ciangkun.
”Ah, sekarang kau agaknya sudah tidak percaya lagi kepadaku !” Kalau orang lain yang
mendengar sikap dan ucapan ini, tentu orang itu akan merasa heran bagaimana seorang
nyonya muda yang boleh dibilang menjadi tamu di benteng itu, bicara macam itu terhadap
komandan benteng! Akan tetapi bagi mereka yang berada di situ, tidak merasa heran lagi,
karena seperti juga dengan Tiong Kiat, Ang Hwa mengadakan hubungan pula dengan Oei Sun.
”Ha ha, perundingan rahasia selamanya tidak boleh terdengar oleh lain orang !” Huayen
khan berkata sambil tertawa. Sungguhpun diam-diam di dalam hatinya amat mendongkol,
akan tetapi kepala suku bangsa Ouigour yang licin ini tidak memperlihatkan perasaannya.
”Dengarlah kawan-kawan semua.” Kata Oei Sun sambil menghadapi Tiong Kiat, ”di dalam
perjalananku melakukan penyelidikan, aku mendengar berita yang amat mengejutkan hati.
Aku mendengar keterangan para penyelidik rahasia yang kusebar dimana-mana bahwa Gak
ciangkun kini telah diangkat oleh Hong siang menjadi Jenderal. Gak-goanswe (Jenderal
Gak) kini memimpin barisan besar melakukan penjagaan di tapal batas sebelah barat.”
”Berita seperti itu apa salahnya? Bukankah itu baik sekali.” Tanya Tiong Kiat dengan
heran.
”Belum habis Sim ciangkun. Memang kalau hanya sampai di situ saja amat bagus, akan
tetapi ternyata hal ini berkembang dengan hebatnya. Kini Gak goanswe secara diam-diam
telah mengadakan persekutuan dengan tentara Tartar yang amat besar jumlahnya. Mereka
berdua itu kini telah menyusun kekuatan di sebelah barat untuk dipergunakan menyerbu ke
kota raja!”
”Sungguh tak berbudi!’ seru Tiong Kiat. ”Sudah diberi pangkat tinggi masih hendak
memberontak !”
”Sama sekali bukan tidak berbudi, Sim ciangkun.” Kata Oei Sun. ”Hal itu hanya
menunjukkan betapa tinggi cita-cita Gak goanswe. Orang yang bercita-cita tinggi saja
yang akan mendapat kemajuan di dunia ini. Akan tetapi, betapapun juga, kita harus
menggempur pasukan Gak goanswe itu sebelum merupakan bahaya besar bagi kita.” ”Maksudmu
tentu bahaya besar bagi kerajaan, Oei ciangkun.” Tiong Kiat berkata.
”Ah ya, tentu saja bagi kerajaan. Kita harus mendahuluinya memukul karena menurut
berita, kini barisannya menjadi amat kuat dan besar sekali jumlahnya, dipecah-pecah
menjadi beberapa bagian dan menjaga di tempat-tempat mengelilingi kota raja, merupakan
ancaman yang berbahaya sekali.”
”Tentu, kita harus memukulnya ” kata Tiong Kiat mengangguk-angguk. ”Akan tetapi, kau
lebih tahu tentang keadaan mereka, maka terserahlah bagaimana hendak diaturnya.”
”Menurut penyelidikan, Gak goanswe telah memasang sepasukan tentara di tapal batas kota
raja sebelah utara, jadi tepat di sebelah selatan kita. Mungkin sekali selain untuk
mengurung kota raja dalam persiapannya memberontak, pasukan ini diadakan untuk
menghalangi barisan kita dari utara apabila hendak membantu kota raja. Oleh karena itu,
aku memberi tugas kepadamu, Sim ciangkun untuk membawa lima ratus orang tentara dan
memukul pasukan ini. Huayen khan dan pasukannya boleh membantumu dari belakang.”
”Baik, Oei-ciangkun.” Jawab Tiong Kiat dengan gembira sekali.
-o0o d w o0oJilid
6
MEMANG semenjak ia menjadi perwira di benteng Oei Sun, pemuda ini banyak sekali
terhanyut hatinya. Ia merasa amat berdosa bukan karena mengingat akan semua
perbuatannya yang dulu, bukan karena ia telah membunuh beberapa orang dan mengganggu
banyak wanita, akan tetapi ia merasa amat berdosa dan berduka apabila ia teringat Suma
Eng, gadis yang boleh dibilang tak pernah ia lupakan ini. Sekarang setelah ia menjadi
seorang perwira, ia merasa telah berjasa kepada negara, merasa telah melakukan
perbuatan yang amat baik dan bijaksana, perbuatan yang akan menghapus dosanya terhadap
Suma Eng itu! Apa lagi sekarang ia akan memimpin pasukan memukul barisan pemberontak
dari Jenderal Gak ! Alangkah mulianya pekerjaan ini, alangkah besarnya, jauh lebih
besar apabila dibandingkan dengan kecilnya dosa yang ia lakukan terhadap Eng Eng !
Maka bersiap-siaplah Tiong Kiat, memilih sepasukan tentara sebanyak lima ratus orang,
menentukan komandan-komandan regu dan setelah mendapat nasehat dan siasat dari Oei Sun,
berangkatlah Tiong Kiat dengan barisannya menuju ke selatan untuk menyerbu pertahanan
barisan Gak goanswe!
Pemuda ini dalam pakaian perwira, menunggangi kuda putih pemberian Ang Hwa. Ia
menunggang kuda di depan, tampak gagah sekali dan wajahnya yang tampan itu berseri
gembira.
Barisannya berbaris rapi, didahului oleh regu berkuda yang bertugas sebagai penyelidik
dan pelopor. Bendera besar dengan huruf OEI untuk menghormat dan menjadi tanda bahwa
barisan ini adalah barisan dari benteng di bawah pimpinan Oei Sun, berkibar tinggi di
atas punggung kuda, dipegangi oleh seorang perajurit. Bendera-bendera lain yang agak
kecil dengan sulaman huruf SIM tanda bahwa barisan ini dalam pergerakannya dipimpin
oleh seorang perwira she Sim.
Kurang lebih seratus li di sebelah selatan tempat itu, di lembah Sungai Kim-seng kiang
( Sungai Bintang Mas ) yang menjadi anak sungai dari Sungai Sungari yang besar, memang
menjadi tempat pertahanan sepasukan tentara kerajaan yang berjumlah tiga ratus orang
lebih.
Pasukan ini, melakukan penjagaan di tapal batas antara Tiongkok pedalaman dan Mongolia.
Memang pasukan ini adalah sebagian dari pada pasukan Jenderal Gak yang mendapat tugas
penuh untuk menjaga keamanan kota raja di bagian luar.
Jenderal Gak ini mulai timbul kecurigaan hatinya terhadap Oei Ciangkun yang memimpin
barisan di utara, maka ia bersiap-siap untuk menyelidiki dan kalau perlu menggempur dan
melucuti senjata pasukan di bawah pimpinan perwira she Oei itu.
Maka sebagai penjagaan, ia lalu mengirim pasukan ini ke lembah Sungai Kim seng, untuk
menjaga kalau-kalau kecurigaannya itu terbukti sehingga kota raja dapat dilindungi. Ia
tak dapat mengerahkan semua pasukan di tempat ini, karena selain Oei-ciangkun yang
diduganya hendak memberontak, terdapat musuh-musuh yang lebih berbahaya lagi, bangsa
Tartar yang mulai nampak gejala hendak menyerang ke pedalaman. Tentara Tartar jauh
lebih besar dan lebih kuat daripada tentara pimpinan Oei ciangkun maka perlu sekali
dijaga seluruh tapal batas di sebelah barat dan utara.
Tiga ratus lebih tentara yang menjaga di tapal batas dan di lembah Sungai Kim-seng ini
dipimpin oleh seorang perwira tua bernama Ma Goan. Ma Goan atau perwira Ma ini biarpun
sudah berusia hampir lima puluh tahun namun ia masih nampak kuat dan angker. Tubuhnya
pendek akan tetapi tegap dan besar, dengan perut yang besar dan bulat, tertutup oleh
pakaian perang yang tebal dan indah.
Ma Goan telah menjadi tentara semenjak berusia dua puluh tahun, dan pengalamannya dalam
pertempuran selama tiga puluh tahunan inilah yang membuat ia dapat memanjat naik sampai
menduduki pangkat perwira dan memimpin tentara sebanyak tiga ratus orang lebih.
Padahal ia berasal dari dusun dan hanya mengerti sedikit mata surat, hampir buta huruf.
Akan tetapi memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan oleh pengalamannya yang berpuluh
tahun itu ia mengerti juga sedikit hoat sut (ilmu sihir) yang dipelajari dari orang
India ketika ia bertugas di tapal batas sebelah barat. Adapun siasat-siasat perang tak
usah disangsikan lagi, karena pengalaman memang Iebih nampak manfaatnya dari pada
pelajaran mati, pengalaman adalah pelajaran yang hidup, pelajaran yang otomatis
mendarah daging.
Ma Goan terkenal ahli dalam permainan senjata golok gagang panjang yang besar dan berat
sekali. Di dalam pertempuran berkuda, senjata macam ini amat praktis dan juga berbahaya
sekali, karena selain panjang juga berat dan tajam. Tak terhitung banyaknya perwira dan
panglima musuh yang roboh di bawah sambaran golok di tangan Ma Goan yang perkasa.
Selain bintang-bintang yang diterimanya sebagai tanda kegagahan dari kaisar dan
panglima-panglimanya, juga Ma Goan sudah menerima tanda kegagahan dari musuh yakni
berupa cacad-cacad dan bekas-bekas luka di leher, pundak, dan pipi kanannya. Di bagianbagian
tubuh ini kulitnya telah sobek oleh pedang lawan dan kini menjadi cacad yang
bahkan menambahkan keangkerannya.
Ma Goan tidak sempat membuat benteng pertahanan di lembah sungai Kim seng itu hanya
menyuruh anak buahnya memasang tenda-tenda di bawah pohon-pohon siong yang besar.
Kemudian ia memasang penjaga-penjaga di empat penjuru dan setiap hari melatih
barisannya, sebagian pula menebang pohon untuk dibuat perahu-perahu dan tiang bangunan
tempat tinggal. Perahu-perahu amat penting bagi mereka, karena hubungan yang paling
cepat dan mudah dengan barisan lain adalah melalui sungai ini.
Pada pagi hari itu, Ma Goan yang berada di dalam tendanya, mendapat laporan dari
penjaga terdepan bahwa kurang Iebih lima li dari situ sedang mendatangi barisan
kerajaan yang berjumlah besar dan pada benderanya terdapat tanda bahwa barisan itu
adalah barisan yang datang dari benteng Panglima Oei dan dipimpin oleh perwira Sim.
"Berapa banyak jumlahnya tentara mereka?" tanya Ma Goan dengan sikap masih tenang,
sungguhpun di dalam dadanya ia berdebar mendengar laporan ini. Inilah pasukan-pasukan
dari Oei Sun yang dikabarkan hendak memberontak itu!
"Menurut perkiraan saya, sedikitnya ada lima ratus orang ciangkun." jawab pelapor itu.
"Hm, minta semua komandan regu untuk datang ke sini. Cepat !”
Pelapor itu cepat berlari keluar dan tak lama kemudian, tujuh orang perwira pembantu
telah datang menghadap.
"Pasukan pemberontak telah mulai datang. Kita belum tahu kehendak mereka, maka jangan
sembarangan turun tangan. Bagi pasukan kita menjadi tiga bagian. Sebagian akau kupimpin
menyambut kedatangan mereka, yang dua bagian bersembunyi di kanan kiri hutan. Kalau
pasukan yang kupimpin terjadi perang dengan mereka, baru kedua pasukan di kanan kiri
membantu dan memukul dari kedua samping. Kekuatan musuh lebih besar hampir dua kali
kekuatan kita. Dengan serangan menggapit dari kanan kiri, tetap belum tentu kita kalah.
Kalau sampai terjadi apa-apa dan kalah atau tewas dalam pertempuran sebagian pasukan
boleh mundur menggunakan perahu-perahu kita, minta bantuan kepada benteng di lembah
Sungai Sungari. Mengerti ?"
Semua pembantunya menyatakan mengerti. Maka Ma Goan segera membubarkan mereka untuk
melakukan tugas masing-masing. Dia sendiri setelah barisan dibagi tiga, lalu memimpin
barisan dari seratus orang ini untuk menuju ke utara memapaki barisan yang berbendera
OEI dan SIM itu.
Di luar hutan siong, kedua barisan itu bertemu. Ketika Tiong Kiat melihat pasukan
berbendera GAK dan MA dan melihat pakaian tentara itu menunjukkan bahwa mereka adalah
tentara kerajaan, diam-diam ia segera memberi perintah agar supaya Huayen-khan dan Ang
Hwa menyuruh barisan mereka bersembunyi di belakang. Dia sendiri lalu memberi perintah
kepada anak buahnya agar supaya jangan bergerak lebih dulu.
"Tunggu sampai aku bertempur dengan panglima yang memimpin pasukan pemberontak di depan
itu. Kalau ia dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku, barulah barisan boleh maju
menyerbu ! Kalau sebelum sepuluh jurus panglima itu telah roboh aku akan mencoba agar
pasukan di depan itu suka takluk dan memihak kita !"
Ini adalah siasat perang yang ia pelajari dari Oei Sun yang disebut siasat "membunuh
ular tanpa merusak kulitnya".
Memang Oei Sun amat membutuhkan tenaga tentara untuk maksud dan cita-citanya, maka
kalau saja pemimpin pasukan musuh dapat dibinasakan sehingga pasukannya menjadi jerih
dan kacau sampai dapat menaluk dan menjadi tentara taklukan, hal itu tentu saja amat
baiknya !
Tentu saja pendirian Tiong Kiat jauh berlainan dengan kehendak Oei Sun. Bagi Tiong
Kiat, kalau sampai tentara Gak goanswe yang dianggapnya memberontak itu sampai takluk
tanpa perang, dan dapat "insaf" alangkah baiknya hal itu. Tidak perlu terjadi bunuhmembunuh
antara bangsa sendiri !
Tak lama kemudian, kedua barisan itu berhenti kurang lebih seperempat li jauhnya satu
kepada yang lain. Tiong Kiat membedal kudanya maju. Sebaliknya Ma Goan sambil menyeret
golok gagang panjangnya juga mengaburkan kudanya memapaki perwira pemberontak itu.
"Apakah yang di depan ini seorang perwira dari barisan Gak goanswe, pemberontak hina
dina itu?”
Mendengar suara yang berkumandang dan keras itu, tahulah Ma Goan bahwa dia berhadapan
dengan seorang ahli silat yang telah memiliki khikang yang tinggi. Akan tetapi ia
menjadi amat marah mendengar ucapan itu.
"Perwira bermulut lancang !” ia membalas. "Kau tentulah seorang perwira gadungan (yang
tidak diangkat oleh kaisar) dari barisan Oei manusia tak tahu diri itu, bukan? Lekas
turun dari kudamu dan menyerah sebelum aku Ma Goan memenggal lehermu dan membasmi
tentaramu!”
Tiong Kiat merasa heran dan juga marah sekali. Bagaimanakah perwira yang memimpin
barisan pemberontak ini begitu berani memakinya sebagai perwira gadungan dan bahkan
memaki-maki nama Oei Sun pula? la tertawa mengejek dan berkata.
"Perwira pendek! Kau mengandalkan apamukah maka bicara begitu sombong? Apakah kau
mengandalkan golok pemotong babi di tanganmu itu?"
Ma Goan pikir tak perlu bicara banyak-banyak dengan pemberontak ini, maka dengan cepat
ia lalu berseru.
"Makanlah golok pemotong babiku ini, babi !" Dengan amat cepatnya golok di tangannya
itu menyambar ke arah dada Tiong Kiat sehingga pemuda itu terkejut juga. Tak diduganya
bahwa lawan yang pendek tangannya itu ternyata dapat menggerakkan golok gagang panjang
demikian cepatnya. Ia belum sempat mencabut pedangnya dan untuk mengelakkan diri di
atas kuda, tak mungkin sama sekali melihat datangnya serangan yang benar-benar amat
lihai itu. Maka sambil berseru keras, ia lalu berjumpalitan dari atas kudanya sehingga
terhindar dari sabetan golok.
Melihat betapa perwira muda itu dapat melompat dan berjumpalitan dengan ilmu lompat
Naga Hitam Menembus Awan dengan gerakan yang amat indah dan cepat, kembali Ma Goan
tertegun. Lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba tubuh pemuda yang sudah turun ke atas
tanah itu kini berkelebat ke arahnya dan sinar pedang yang putih berkilau menyambarnyambar
dengan hebatnya.
Ia cepat memutar golok panjangnya akan tetapi tiba-tiba kudanya meringkik keras dan
cepat ia melompat turun. Baiknya ia melakukan hal ini, karena kalau tidak, dalam
segebrakan itu tadi ia tentu akan terjungkal dari kuda dan binasa di bawah ujung pedang
lawannya.
Ternyata bahwa Tiong Kiat telah berhasil membabat dua buah kaki belakang kuda yang
ditunggangi oleh Ma Goan itu! Pemuda ini tadi berpikir bahwa melihat gerakan ilmu golok
panjang dari perwira pendek itu, agaknya sukar baginya untuk mendapat kemenangan.
Selain lawannya amat lihai, juga lawannya lebih pandai bertempur di atas kuda dan
senjata lawannya jauh lebih panjang maka ia cepat menyerang kuda itu sehingga kini
lawannya terpaksa harus melayaninya di atas tanah!
Adapun Ma Goan dengan amat marah segera memutar golok panjangnya dan menyerang pemuda
itu. Tiong Kiat menyambutnya dengan senyuman mengejek, akan tetapi tak lama kemudian
senyuman mengejek ini lenyap dari bibir Tiong Kiat ketika ia mendapat kenyataan bahwa
kepandaian Ma Goan ini ternyata benar-benar tak boleh dipandang ringan!
Ilmu silat perwira pendek ini hebat sekali dan golok panjang di tangannya merupakan dua
macam senjata yang berbahaya. Apabila golok itu dibalikkan, maka gagang golok itu dapat
dipergunakan sebagai senjata toya yang ditotokkan dan kemplangannya dapat mendatangkan
maut ! Juga tenaga dan kegesitan Ma Goan yang sudah tua itu mengagumkan sekali, Tiong
Kiat menggigit bibirnya dan memutar pedangnya makin cepat, kini setelah lima belas
jurus tak dapat mengalahkan Ma Goan ia mulai mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari
Ang-coa kiamsut !
Sementara itu, barisannya yang melihat betapa perwira pendek itu ternyata tangguh dan
dapat menahan serangan Sim ciangkun sampai lima belas jurus lebih, segera perwira
pembantu memberi aba-aba dengan teriakan keras dan panjang- panjang.
"Serbuuuuuuuu !”
Maka majulah lima ratus orang perajurit itu bagaikan gelombang menderu dan dengan pekik
sorak riuh rendah dan tangan mengangkat senjata yang berkilauan terkena sinar matahari,
kedua barisan bertemu di luar hutan dalam pertempuran yang hebat sekali !
Pertemuan dua barisan yang menimbulkan perang hebat itu ditambah lagi dengan sorak
sorai dari kedua pasukan yang bersembunyi di kanan kiri, yakni pasukan pendam yang
telah diatur semula oleh Ma Goan.
Agak terkejut dan kacau balau pasukan Tiong Kiat ketika tiba-tiba muncul barisan musuh
dari kanan kiri ini dan pertempuran dilakukan dalam keadaan kacau. Akan tetapi oleh
karena memang pasukan yang dipimpin oleh Tiong Kiat lebih besar jumlahnya, hampir dua
kali lebih banyak, mereka dapat melakukan perlawanan kuat sekaIi.
Ma Goan, perwira pendek yang gagah itu, ketika melihat betapa pasukannya tetap saja
tidak dapat mendesak musuh yang besar jumlahnya dan kini fihak musuh sudah mulai
mendekati pintu benteng dan mulai mengancam pertahanan, menjadi gelisah sekali. Apa
lagi karena Tiong Kiat mendesaknya dengan hebat.
Serangan pedang pemuda yang dilawannya itu benar-benar di luar dugaannya. Ia telah
mengetahui akan kelihaian Oei Sun dan agaknya ia masih dapat menghadapi Oei Sun. Siapa
tahu kepandaian pemuda yang menjadi pembantu Oei ciangkun ini ternyata lebih lihai dari
pada perwira pemberontak itu sendiri.
Setelah merasa bahwa dengan ilmu silatnya tidak mungkin dapat mengalahkan lawannya yang
lihai itu, Ma Goan lalu memberi aba-aba yang memerintahkan pasukannya mundur dan
melarikan diri mempergunakan perahu-perahu yang telah siap di pinggir sungai. Ia
sendiri lalu memutar golok panjangnya untuk mencari jalan keluar dari kepungan Tiong
Kiat.
Akan tetapi ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang dimainkan oleh Tiong Kiat sudah sempurna.
Boleh dibilang semua ilmu kepandaian yang dituliskan di dalam kitab ilmu pedang Kim
Liong pai itu telah dipelajari semua sehingga dalam hal ilmu pedang, kepandaian Tiong
Kiat tidak kalah oleh Lui Thian Sianjin sendiri!
Dalam usaha Ma Goan untuk menerjang keluar dari kurungan sinar pedang yang hebat itu
sia-sia belaka bahkan kini pedang di tangan Tiong Kiat makin cepat gerakannya dan hebat
sekali serangan-serangannya. Ma Goan tak dapat berdaya lagi dan ketika sebuah
tangkisannya meleset, pundak kirinya terbabat ujung pedang Hui-liong kiam di tangan
Tiong Kiat sehingga sepotong daging pundaknya berikut baju perangnya terbawa oleh
pedang !
Ma Goan berseru keras saking sakitnya akan tetapi ia telah dapat mengumpulkan tenaga
batinnya dan dengan sedikit ilmu hoatsut (sihir) yang pernah dipelajarinya, ia berkata
dengan suara berpengaruh.
"Orang muda, Iihat pedangmu itu. Bukankah itu telah berubah menjadi seekor ular putih?
Lihat baik baik!"
Tiong Kiat yang tidak mengira sama sekali bahwa lawannya mempergunakan ilmu sihir tak
dapat mencegah keinginan hatinya untuk memandang ke arah pedangnya dan alangkah
kagetnya ketika ia melihat Hui-liong kiam itu benar-benar telah berubah menjadi seekor
ular putih ! Pedang itu kini merupakan seekor ular yang ia pegang pada ekornya dan
dengan gerakan-gerakan yang amat menggelikan, ular itu lalu membalikkan tubuh dan
dengan mulut terbuka hendak menyerangnya sendiri !
Tentu saja Tiong Kiat menjadi kaget sekali dan cepat cepat ia melempar ular itu ke atas
tanah. Akan tetapi, apa yang dilihatnya ? Ketika ular putih itu dibanting jatuh di atas
tanah, terdengar suara nyaring dan ternyata ular putih itu telah berobah lagi menjadi
pedang Hui liong kiam yang berkilauan !
Baru tahulah Tiong Kiat bahwa la telah kena tertipu oleh lawannya. Ia cepat menyambar
pedangnya Iagi, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang, ternyata bahwa Ma Goan
telah pergi dari situ dan tidak kelihatan bayangannya lagi ! la mendongkol sekali dan
cepat ia lalu menyerbu dalam gelanggang pertempuran, membabat para perajurit musuh yang
mulai melarikan diri, dikejar oleh pasukannya ! Tiong Kiat dan pasukannya mendapat
kemenangan besar. Hampir separuh dari pada barisan pemberontak, anak buah Gak goanswe
telah dapat ditewaskan dan sebagian lagi melarikan diri, ada yang melalui darat, ada
yang menggunakan perahu. Benteng dapat dirampas dan sejumlah besar perbekalan musuh
dapat dirampas pula. Dengan membawa kemenangan besar yang pertama kali ini, Tiong Kiat
memimpin pasukannya kembali ke Oei-ciangkun.
Oei Ciangkun sendiri bersama Go bi Ngo Koai Tung menyambut pasukan yang menang perang
ini. Huayen khan dan Ang Hwa yang juga telah bertempur hebat dan banyak merobohkan
perajurit musuh menjadi amat bangga akan tetapi Tiong Kiat hanya tersenyum-senyum saja.
Pikirannya penuh dengan pengalamannya ketika bertempur melawan Ma Goan tadi.
Baiknya ia sudah melukai Ma Goan. Kalau lawannya itu belum terluka dan ketika ia
melemparkan pedangnya yang berobah menjadi ular tadi, bukankah amat berbahaya baginya
kalau lawannya itu menyerangnya? Oei Sun yang mempunyai pandangan tajam dapat melihat
kemuraman wajah kawannya, maka ia lalu berkata.
“Saudaraku Sim, mengapa kau yang menang perang dan berhasil baik dalam gerakanmu kali
ini, agaknya nampak muram?"
“Oei-ciangkun, biarpun pasukan kita menang akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa
segala jerih payahku bertahun-tahun yang lalu, ilmu silat yang kupelajari dengan rajin
dan tak mengenal lelah ternyata tidak berdaya sama sekali menghadapi ilmu siluman dari
seorang perwira musuh !"
Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu menceritakan kepada Oei Sun dan Ngo koai tung
tentang pertempurannya melawan Ma Goan. Mendengar penuturan ini, Thian lt Tosu tertawa
bergelak.
"Ha, ha, ha, Sim ciangkun. Kukira apa menimbulkan kemuraman pada wajahmu, tidak tahunya
kau memikirkan sedikit ilmu kepandaian anak kecil itu! Ha. ha, ha. apa sih sukarnya
kepandaian macam itu saja? Anak kecilpun bisa."
Ketika Tiong Kiat memandang kepada Thian It Tosu, tiba tiba tosu itu memandangnya
dengan mata terpentang lebar seperti yang dilakukan oleh Ma Goan tadi, kemudian sebelum
Tiong Kiat mengerti apa yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh tosu ini, orang tertua
dari Go-bi Ngo-koai tung itu berkata,
"Sim-ciangkun, sungguh kau gagah sekali pulang dan masuk ruang ini naik seekor
harimau!"
Tiong Kiat menjadi makin bingung. Gilakah tosu ini? Akan tetapi tiba-tiba ia merasa
betapa bangku yang didudukinya bergerak-gerak dan ketika ia memandang ke bawah, hampir
saja ia berteriak karena kagetnya. Yang diduduki sejak tadi itu bukan sebuah bangku
biasa, melainkan seekor harimau yang besar !
"Nah, Sim ciangkun, bukankah pedangmu itu telah menjadi seekor ular putih lagi
sekarang?”
Tiong Kiat menengok ke arah pedang yang tergantung di pinggangnya, dan alangkah
kagetnya melihat bahwa yang tergantung di pinggangnya bukan Hui liong-kiam di dalam
sarung pedang, melainkan seekor ular putih! Berubah wajah Tiong Kiat dan ia telah
melakukan gerakan cepat sekali melompat turun dari harimau besar itu dan hendak
melemparkan pedangnya. Akan tetapi Thian It Tosu menggerakkan tangannya dan
berkata,"Sim ciangkun, sabarlah. Semua itu hanyalah bayangan belaka! Harimau dan ular
lenyap, yang kau duduki sebuah bangku biasa dan pedangmu masih Hui-liong-kiam yang
ampuh !” Betul saja, harimau dan ular itu tak nampak lagi dan kini mata Tiong Kiat
melihat benda-benda biasa. Ia menjadi heran dan merahlah mukanya.
“Hebat," katanya menarik napas panjang,”Totiang, kau benar-benar lihai sekali.
Bagaimanakah manusia bisa mempelajari ilmu seperti itu?"
“Sim ciangkun, apakah kau ingin mempelajari ilmu sihir seperti itu ?"
"Tentu saja, totiang. Akan girang sekali hatiku kalau aku dapat memiliki kepandaian
yang aneh itu hingga lain kali bertemu dengan lawan seperti Ma Goan, aku takkan
mendapat malu lagi."
“Akan tetapi," tiba-tiba Oei Sun berkata,”kau mempelajari ilmu ini, berarti kau
mempelajari ilmu dari Pek lian-kauw." Sambil berkata demikian, Oei Sun memandang tajam
sekali, kemudian setelah ia melihat keraguan di wajah Tiong Kiat, ia menyambung. "Akan
tetapi aku sendiri pernah mempelajari ilmu itu saudara Tiong Kiat. Kau lihatlah baikbaik
bukankah yang kududuki inipun seekor harimau yang gagah dan besar sekali?" Tiong
Kiat memandang dan.... betul saja ! Oei Sun bukan duduk di atas bangku yang tadi lagi,
melainkan di atas seekor harimau yang besar !
Oei Sun segera menyimpan kembali ilmunya dan berkata sambil tertawa. "Saudara Tiong
Kiat, terus terang saja aku sendiri pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian kauw.
Kau lihat, Pek lian-kauw adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang memiliki
kepandaian tinggi dan dulu dibasmi hanya karena hasutan orang-orang yang merasa iri
hati dan yang berkali-kali dikalahkan oleh Pek-lian kauw."
"Akan tetapi… aku mendengar bahwa perkumpulan itu telah melakukan kejahatan-kejahatan
hebat..." kata Tiong Kiat.
Thian It Tosu tertawa bergelak. "Ha, ha, ha. Sim-ciangkun, kau benar-benar masih hijau
dan belum berpengalaman. Mana ada orang-orang yang membenci sesuatu membicarakan soalsoal
baik tentang yang dibencinya ? Kami akui bahwa tentu saja ada dahulu anggautaanggauta
Pek lian kauw yang jahat dan menyeleweng akan tetapi dunia manakah yang tidak
ada kambing hitamnya ? Menurut pandanganmu, Sim-ciangkun, apakah pinto berlima dan juga
Oei ciangkun ini patut disebut orang-orang jahat?"
Tiong Kiat harus mengakui kebenaran kata-kata ini dan kini ia tidak begitu benci lagi
mendengar nama Pek-lian-kauw. Kemudian dengan amat pandainya Thian It tosu dan Oei Sun
memuji-muji Pek Iian kauw dan menyatakan penyesalannya terhadap pemerintah yang dapat
dihasut oleh orang jahat sehingga Pek lian-kauw dibasmi. Tiong Kiat diam-diam terkena
juga oleh bujukan dan hasutan ini dan diikutinya pula bahwa pemerintah kurang bijaksana
dalam urusannya menghadapi Pek Iian kauw ! Apalagi setelah Thian It Tosu menyatakan
hendak memberi pelajaran ilmu gaib kepadanya, makin sukalah hati Tiong Kiat terhadap
orang orang Pek-lian-kauw yang dianggapnya benar-benar orang gagah yang setia terhadap
negara dan bangsa !
Telah lama kita meninggalkan Tiong Han, pemuda bernasib malang yang banyak mengalami
penderitaan batin karena perbuatan adiknya yang amat disayanginya itu. Semenjak
pertemuannya dengan sumoinya, Can Kui Hwa yang sudah mendapat jodoh dengan pemuda Un
Leng dan mendengar penuturan sumoinya itu tentang perlakuan Tiong Kiat terhadapnya,
Tiong Han merasa makin sedih dan juga gemas.
Bagaimana Tiong Kiat sampai menjadi demikian jahat ? Aku harus dapat mencarinya, aku
harus menangkapnya dan membawanya kepada suhu ! Pikiran Tiong Han sudah tetap, karena
kalau makin banyak adiknya melakukan perbuatan jahat, ia merasa bertanggung jawab juga
dan merasa ikut berdosa.
Sampai berbulan-bulan ia merantau mencari jejak adiknya, dan akhirnya ia mendengar
bahwa Tiong Kiat telah menjadi seorang perwira ! Tentu saja ia merasa heran sekali akan
tetapi oleh karena berita ini ia terima dari orang-orang suku bangsa lain yang tinggal
di utara dan keterangan mereka itu hanya samar-samar ia belum percaya benar. Betapapun
juga, ia lalu mengejar ke utara.
Dari seorang di antara para pedagang yang seringkali melakukan perjalanan jauh ke
utara, ia mendengar tentang seorang perwira yang bekerja dalam benteng panglima Oei di
dekat Sungai Sungari. Tiong Han masih belum percaya kalau adiknya bisa menjadi perwira
akan tetapi oleh karena tidak tahu harus mencari ke mana ia pergi juga ke daerah itu.
Di sepanjang jalan ia mendengar tentang pertempuran antara suku bangsa Cou melawan suku
bangsa Ouigour, akan tetapi berita ini tidak begitu menarik perhatiannya, ia hanya
bertanya-tanya di mana adanya benteng dari panglima she Oei yang menjaga tapal batas
sebelah utara ini.
Pada suatu pagi, tibalah ia di kota yang hanya terpisah sepuluh li dari benteng di mana
orang yang dicarinya berada! Kota ini kecil saja akan tetapi di situ banyak terdapat
orang-orang berdagang atau lebih tepat bertukar barang dengan penduduk di utara ini.
Juga terdapat rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan.
Ketika Tiong Han memasuki kota ini, ia menjumpai keganjilan-keganjilan ketika beberapa
orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan belum pernah dilihatnya selama hidup,
ketika bertemu dengan dia lalu memberi hormat! Akan tetapi oleh karena sudah terlalu
sering mengalami hal aneh, Tiong Han bahkan menjadi girang sekali karena yakinlah bahwa
Tiong Kiat pasti berada di tempat yang tidak jauh! Ia maklum bahwa orang-orang yang
memberi hormat kepadanya itu tentu mengira bahwa dia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi,
untuk kesekian kalinya, ia mengalami hal yang tidak enak saja yang ditimbulkan oleh
persamaan mukanya dengan adiknya yang manis itu. Ketika ia berjalan dengan tindakan
tenang di depan sebuah toko obat, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua melompat
keluar dari toko itu, mencabut golok dan menyerangnya dengan kalap sambil
berseru,”Bangsat rendah! Kembalikan anakku....!" Orang yang kalap itu menyerangnya dari
samping dengan golok dibacokkan ke arah dadanya. Tentu saja serangan ini sama sekali
tak membikin gugup pada Tiong Han, akan tetapi benar-benar membuatnya merasa kaget dan
heran. Ia cepat mengelak dan berkata,
"Sahabat, perlahan dulu. Ada urusan baik dibicarakan dulu, jangan terburu nafsu
menyerang orang di jalan!”
"Manusia tidak tahu malu! Iblis bermuka manusia mau bicara apalagi? Hanya ada dua
pilihan bagimu, hidupkan kembali anakku atau kau harus mampus menyusul anakku....!" Dan
kembali golok yang agaknya telah berhari-hari diasah sehingga menjadi berkilat tajamnya
itu menyambar ke arah leher Tiong Han.
Kembali dengan amat mudahnya serangan itu dapat dielakkan oleh Tiong Han dan karena
pemuda ini merasa mendongkoI juga dengan sekali menggerakkan tangan ia melakukan tipu
gerakan Kim liong jiauw (Naga Emas Mengulur Kuku) dan dengan amat mudahnya terampaslah
golok itu dari tangan penyerang.
”Sabar…sabar, sahabat. Jangan main-main dengan golok tajam,' sambil berkata demikian
Tiong Han menjepit golok itu di antara tangannya dan sekali ia mengerahkan tenaga,
terdengar bunyi pletak dan patahlah golok itu pada tengah-tengahnya. Ia melempar
potongan golok itu ke atas tanah. Akan tetapi baru saja ia hendak menghadapi
penyerangnya untuk ditanyai keterangan tentang kelakuannya yang aneh ini datanglah
berlari-lari lima orang tentara yang cepat memberi hormat kepadanya dan tanpa banyak
cakap, lima orang tentara itu lalu menyeret kedua tangan penyerang itu. 'Bangsat she
Sim ....! Biarpun aku akan mati lihat saja, rohku akan menjadi setan penasaran dan akan
mengejarmu selalu.....! Kau perusak rumah tangga, pengganggu wanita, kau manusia…" Baru
saja memaki sampai di situ, seorang di antara lima orang penangkapnya itu mengayun
tangan menampar mulutnya. Orang itu mengeluh dan menundukkan mukanya. Darah mengalir
dari mulut dan hidungnya!
Melihat orang itu diseret-seret dan mendengar kata-katanya, Tiong Han dapat menduga
bahwa kembali Tiong Kiat telah membuat gara-gara. Ia merasa kasihan sekali kepada orang
tua itu. Dengan beberapa lompatan saja ia telah dapat mengejar.
"Lepaskan dia !" serunya dengan keras. Ia telah siap sedia untuk memukul tentara yang
lima orang banyaknya itu kalau mereka melawan, akan tetapi kembali mereka memberi
hormat, dan hanya memandang dengan terheran.
"Akan tetapi... Sim-ciangkun......." kata seorang diantara mereka.
Tiong Han merasa sebal sekali. Ia maklum bahwa Tiong Kiat agaknya benar-benar telah
menjadi seorang perwira dan lima orang tentara ini tentulah anak buahnya.
"Lepaskan dia, dan pergilah kalian !" Ia berseru lagi dengan marah.
Lima orang itu lalu mengangkat pundak lalu meninggalkan tempat ini tanpa berani banyak
cakap lagi. Adapun orang tua itu kini memandang kepada Tiong Han dengan mata
terbelalak.
"Kau melepaskan aku.......apakah kau hendak menghukum aku dengan tanganmu sendiri ?
Orang muda tidak berbudi, jangan kaukira bahwa aku takut mati setelah apa yang
kaulakukan terhadap puteriku !"
Tanpa bertanya lagi Tiong Han sudah dapat menduga apa yang telah dilakukan oleh Tiong
Kiat terhadap puteri dari orang ini. Mukanya berobah merah saking marah dan gemasnya
terhadap Tiong Kiat.
"Sudahlah, lebih baik kau pulang saja. Orang yang berbuat dosa pasti akan mendapatkan
hukumannya !" Setelah berkata demikian, Tiong Han lalu meninggalkan orang itu yang
menjadi begitu terheran-heran mendengar ucapan Tiong Han tadi sehingga ia hanya berdiri
dengan mulut melongo di tengah jalan! Sementara itu, Tiong Han melanjutkan
perjalanannya. Ia ingin sekali bertanya kepada orang tadi di mana ia dapat menjumpai
Tiong kiat tetapi ia tidak ingin mendengar kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh
Tiong Kiat. Lebih baik bertanya kepada orang lain saja pikirnya.
Ketika melihat sebuah rumah makan yang cukup besar, masuklah Tiong Han ke dalam rumah
makan itu. Ia memesan makanan dengan sikap biasa sungguhpun pelayan yang membungkukbungkuk
di depannya dengan luar biasa hormatnya itu menimbulkan sebal dalam hatinya.
Hem, agaknya semua orang di tempat ini menghormat sekali kepada Tiong Kiat, kecuali
orang yang menyerangnya tadi tentunya. Di dalam restoran itu telah banyak tamu dan ada
beberapa orang berpakaian perwira duduk di sudut sambil bersendau gurau. Ketika Tiong
Han masuk, mereka memandang dan ada yang tersenyum, akan tetapi tak lama kemudian
mereka saling pandang dengan muka menyatakan keheranan besar. Mereka hanya memandang
saja dan amat memperhatikan Tiong Han, akan tetapi pemuda ini pura-pura tidak melihat
mereka dan makan masakan pesanannya dengan tenang. Setelah ia selesai makan dan hendak
keluar dari rumah makan itu, tiba-tiba tiga orang perwira yang semenjak tadi
melihatnya, berdiri dan menghampirinya. "Ah, Sim ciangkun, apakah benar-benar kau tidak
kenal lagi kepada kami? Kami kira kau tadi main-main, akan tetapi ternyata sampai
sekarang benar-benar tidak menyapa kami. Benar-benar lucu sekali kau ini, keluar dari
benteng dengan pakaian preman, dan berlaku pura-pura tidak mengenal kawan. Apakah
artinya ini?"
Tiong Han mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Sam wi ciangkun, kalian telah salah
lihat. Sim ciangkun kiranya masih berada di dalam benteng, dan aku sendiripun ingin
sekali menjumpainya. Maukah sam - wi menolongku untuk menemui Sim-ciangkun, adikku
itu!”
Untuk sesaat, ketiga orang perwira itu tertegun dan mengira bahwa pemuda ini memang
benar Sim Tiong Kiat yang masih berpura-pura atau hendak menggoda mereka. Akan tetapi
setelah melihat kesungguhan tarikan wajah Tiong Han, mereka saling pandang lalu
berkata,”Marilah ikut kami ke benteng."
Tiga orang perwira itu lalu mengajak Tiong Han keluar dari rumah makan dan langsung
menuju ke benteng di luar kota. Tiong Han berdebar jantungnya. Akhirnya dapat juga ia
mendapatkan tempat persembunyian adiknya itu dan bermacam-macam pikiran teraduk di
dalam kepalanya, memikirkan dan membayangkan bagaimana penyambutan Tiong Kiat
kepadanya. Bagaimana kalau Tiong Kiat melawan?
Aku harus melakukan pertempuran mati-matian kali ini, pikir Tiong Han sambiI menggigit
bibirnya. Tentu kepandaiannya telah amat maju dengan bantuan kitab ilmu pedang itu akan
tetapi belum tentu aku kalah olehnya. Kali ini, ia turut ke Liong san menghadap suhu
dengan baik-baik, atau . aku akan bertempur mati-matian!
Ia tidak tahu sama sekali bahwa Tiong Kiat sudah dapat menduga kedatangannya ini! Tadi
ketika ia masih makan di rumah makan lima orang tentara yang tadi menangkap orang yang
menyerangnya ketika kembali ke dalam benteng dan melihat Tiong Kiat, mereka menjadi
heran sekali dan cepat menceritakan pengalaman mereka kepada Sim ciangkun.
Tiong Kiat terkejut sekali dan menjadi pucat, akan tetapi ia segera menetapkan hatinya
dan berkata,
"Aku memang mempunyai seorang saudara yang sama benar mukanya dengan aku. Di mana dia
sekarang ?"
'Kami tidak tahu, Sim ciangkun. Mungkin masih di dalam kota. la amat lihai…dan....dan
dia sengaja melepaskan orang she Phoa itu !"
'Sudahlah jangan banyak cakap, dan jangan mencampuri urusanku." Tiong Kiat membentak
sehingga lima orang tentara itu cepat-cepat meninggalkan perwira yang mereka segani
ini.
Tiong Kiat menggigit-gigit bibirnya, kebiasaan yang dilakukan apabila ia sedang
gelisah. la merasa malu terhadap kakaknya, karena lagi-lagi kakaknya mendengar tentang
perbuatan yang tidak patut, bahkan kakaknya pula yang hampir saja menjadi korban.
Tadinya ia hendak membanggakan kedudukannya kepada Tiong Han, hendak memperlihatkan
kepada kakaknya itu bahwa betapapun juga, dia kini telah memiIih jalan baik dan
terhormat, telah menjadi seorang perwira pembela nusa bangsa.
Akan tetapi, apa yang didapati oleh Tiong Han ? Baru saja muncul di dekat benteng telah
diserang oleh orang she Phoa itu karena orang she Phoa itu marah dan menaruh hati
dendam kepadanya !
Tiong Kiat teringat betapa ia telah mempermainkan anak gadis she Phoa itu sehingga
gadis itu mengandung. Karena malu dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Kiat tidak mau
mengawininya, gadis itu lalu membunuh diri dengan menggantung diri di dalam kamarnya.
Tiong Kiat sudah mendengar betapa ayah dari gadis itu amat marah dan mengancam hendak
menyerangnya apabila bertemu.
Oleh karena itu, jarang sekali Tiong Kiat pergi ke kota itu, takut kalau kalau orang
she Phoa itu menimbulkan ribut yang akan memalukannya saja. Dan tidak disangkasangkanya
sekarang orang she Phoa itu bertemu dengan Tiong Han dan menyerangnya! Ah,
alangkah akan marahnya Tiong Han, kakaknya yang baik budi itu. Dan Tiong Kiat menjadi
amat kecewa terhadap diri sendiri. Mengapa aku tak dapat menahan nafsu jahatku? Mengapa
aku tidak bisa menjadi sebaik dia ?
Sudah terlambat, pikirnya. Langkah pertama telah membawanya ke jalan sesat, yakni
ketika ia mengadakan hubungan dengan sumoinya, Kui Hwa. Setelah itu, terpaksa ia
melakukan perjalanan di atas jalan yang sesat. Ah, kalau saja bisa menjadi istriku ....
! ia mengeluh. Dengan nona itu disampingku, aku akan mendapat kekuatan baru, mendapat
semangat baru dan aku berani menghadapi dunia dan mencari jalan baru yang baik.
Akan tetapi, kembali ia mengeluh sedih. Ia telah merusak kebahagiaan sendiri, ia telah
melenyapkan kemungkinan dan pengharapannya untuk dapat menjadi suami dari seorang gadis
seperti Suma Eng.
la telah menyakiti hati gadis itu, bahkan kini gadis itu telah menjadi pembantu dari
Piloko, telah menjadi musuhnya ! Ah, ia mau menukarkan apa saja, bahkan kedudukannya
sebagai perwira, bahkan mengurangi usianya, asal saja ia dapat bersatu dan berbaik
dengan Suma Eng yang berada di puncak gunung, tempat suku bangsa Cou bertahan itu !
Demikianlah, pikiran Tiong Kiat melamun dan melayang-layang tidak keruan. Selagi ia
duduk bertopang dagu, ia dikejutkan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo koai tung yang datang
dengan tiba-tiba. Oei Sun berkata.
"Saudaraku yang baik, mengapa kau melamun saja ? Di luar telah menanti kakakmu. Ah,
hampir saja aku dan Ngo-wi suhu ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Kakakmu
itu begitu sama dengan kau !”
"Benar, Sim ciangkun, memang aneh sekali. Belum pernah pinto melihat persamaan muka dan
bentuk badan seperti kau dan pemuda yang menantimu di luar itu." Kata Thian lt Tosu.
Juga tosu yang lain, Thian Ji Tosu dan adik-adiknya, ikut menyatakan keheranan mereka.
"Akan tetapi, agaknya dia tidak mempunyai maksud yang baik, Sim ciangkun.” kata Thian
Ngo Tosu, orang termuda dari Go-bi Ngo koai-tung.
Tiong Kiat memandang kepada enam orang itu dengan tajam, lalu berkata sungguhsungguh."
Betapapun juga, dia adalah kakakku, orang yang gagah perkasa dan baik, jauh
lebih baik daripadaku. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi antara dia dan aku,
kuharap Iak-wi jangan ikut campur. "
Oei Sun dan kawan-kawannya saling pandang, kemudian panglima pemberontak ini berkata
sambil tersenyum. ”Siapa yang hendak mencampuri urusan dua orang kakak beradik? Apalagi
dua orang saudara kembar seperti kau dan saudaramu itu, Sim ciangkun. Asal saja dia
tidak akan mengganggumu."
Tiong Kiat lalu bertindak keluar dan betul saja, Tiong Han sudah berdiri di luar pintu
gerbang benteng, berdiri dengan sikapnya yang keren, tenang, dan juga gagah.
Di luar tahu semua orang, baik Tiong Han maupun Tiong Kiat merasai keharuan besar di
dalam dada masing-masing ketika keduanya saling pandang. Hubungan darah mereka masih
terlampau dekat sehingga tak mungkin dapat dilenyapkan oleh watak dan keadaan yang
berlainan jauh sekali itu.
"Han-ko. ! Sampai begini jauh kau masih mencariku juga?" pertanyaan dari Tiong Kiat ini
mengandung penyesalan besar dan juga mengandung teguran mengapa kakaknya itu tidak
menaruh kasihan kepadanya.
"Tiong Kiat, sampai ke ujung nerakapun aku akan mencarimu, karena aku sudah bersumpah
akan membawamu kembali ke Liong San." Jawab Tiong Han dengan suara tenang akan tetapi
perlahan karena ia kuatir kalau-kalau suaranya yang mengandung keharuan itu akan
terdengar oleh adiknya.
"Han-ko, kau terlalu sekali! Apakah kau tidak mau memberi kesempatan kepada adikmu
sendiri untuk merobah kehidupannya? Aku memang pernah melakukan kesesatan, akan tetapi
kaulihatlah, Han-ko." Tiong Kiat menunduk dan memandang ke arah pakaiannya dan mencoba
tersenyum ramah kepada kakaknya. "Lihatlah, bukankah adikmu gagah sekali memakai
pakaian perwira ini? Han-ko, berilah kesempatan kepadaku. Aku hendak merobah hidupku,
bahkan sudah kurobahnya. Bukankah aku sekarang sudah menjadi seorang baik-baik ?
Menjadi seorang perwira yang mengabdi kepada negara ?"
Akan tetapi Tiong Han menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Kau takkan berobah,
adikku. Hanya pakaianmu saja yang berobah. Lupakah kau kepada gadis anak pemilik toko
obat? Kau takkan berobah, Tiong Kiat, sayang sekali !"
Merahlah wajah Tiong Kiat, mendengar disebutnya gadis ini. "Kau maksudkan orang gila
she Phoa itu ? Ah, Han ko, dia adalah seorang yang miring otaknya, dan…"
"Tiong Kiat ! Miring otaknya atau tidak, sudah terang bahwa kau masih mengumbar nafsu
jahatmu. Dan akupun tidak datang untuk mengurus perkara orang itu. Lebih baik kau ikut
dengan aku, bertemu dengan suhu. Mungkin sekali suhu akan memaafkan kau, atau akan
memberi jalan yang baik."
"Han-ko, sekali lagi, aku memohon kau menaruh kasihan kepada adikmu. Aku mengaku bahwa
aku telah melakukan banyak dosa dan bahwa seringkali aku tak dapat mengendalikan nafsu
yang menguasai diriku. Akan tetapi, Han-ko. Kalau kau membawaku kepada suhu, tentu aku
akan dibunuh. Aku tidak takut mati. Han-ko... akan tetapi biarkanlah aku menebus dosadosaku
dengan mati di medan pertempuran sebagai seorang pahlawan bangsa. Han-ko, kita
adalah keturunan seorang pahlawan, seperti yang pernah dikatakan suhu, ayah kitapun
seorang pahlawan dan aku…"
“Tutup mulut ! Jangan kau menyebut-nyebut nama ayah! Kau tidak berhak menjadi puteranya
setelah kau mencemarkan nama keluarga dengan semua perbuatanmu yang terkutuk !” Tiong
Han benar-benar marah, kemarahan yang timbul dari kesedihan hebat karena diingatkan
kepada ayahnya. Semenjak kecil ia menjadi kakak, ayah dan ibu terhadap adiknya ini dan
sekarang adiknya ternyata menjadi seorang jahat sekali dan ia sendiri mendapat tugas
untuk membawanya untuk dihukum! Siapa yang takkan bersedih dan hancur hatinya ?
Tiong Kiat memang memiliki watak yang palsu. Sikap yang minta dikasihani tadi
sebetulnya hanya setengah pura-pura saja. Ia hanya ingin menjaga agar kakaknya itu
tidak melanjutkan niatnya menangkapnya dan suka pergi lagi dengan aman. Sebetulnya ia
sama sekali tidak takut, bahkan ia merasa yakin bahwa ia akan dapat melawan kakaknya
kini. Tidak percuma kitab ilmu pedang Ang-coa-kiamsut berada di tangannya sedemikian
lamanya. Kini mendengar ucapan Tiong Han timbul juga marahnya. Nampaklah kini senyumnya
senyum mengejek yang semenjak dahulu dimilikinya senyum jahat yang sudah dikenal baik
oleh Tiong Han.
"Han ko, kau memang sungguh terlalu! Kau mendesak padaku tanpa mengenal kasihan dan
ampun. Sungguh percuma mempunyai seorang kakak seperti kau! Kau tidak tahu bahwa
sebetulnya aku masih sayang kepadamu dan aku minta dengan baik-baik agar kau jangan
mengganggu aku lagi. Han-ko, terus terang saja, sekarang kepandaian adikmu bukan
seperti dulu lagi. Kau takkan menang bertanding ilmu pedang melawan aku dan selain dari
pada itu aku adalah seorang perwira. Di dalam benteng ini terdapat ribuan orang
perajurit yang akan mengeroyokmu atas perintahku belum lagi adanya perwira-perwira yang
kepandaiannya bahkan tidak di bawah kepandaianku! Kau pergilah, Han-ko."
Akan tetapi kembali Tiong Han menggelengkan kepalanya. "Aku hanya mau pergi kalau kau
suka ikut, Tiong Kiat. Dosamu telah terlalu banyak dan sudah menjadi kewajibanku untuk
membawamu kembali kepada suhu, biarpun untuk tugas itu aku harus menggeletak tak
bernyawa di sini aku takkan mundur setapakpun."
"Kau benar-benar keras kepala, Han-ko. Betapapun juga tentu saja aku masih berat
nyawaku dari pada nyawamu. Nah, majulah, hendak kulihat bagaimana kau akan mengalahkan
aku?" kata Tiong Kiat akhirnya sambil mencabut pedangnya yang berkilauan putih, yakni
pedang Hui-liong-kiam yang dulu ia terima dari Tiong Han.
"Kali ini kau atau aku, Tiong Kiat!" kata Tiong Han yang cepat mencabut pedang Ang coa
kiam.
Untuk sesaat keduanya saling pandang dengan harapan terakhir kalau-kalau saudaranya
akan mengalah, akan tetapi setelah mereka yakin bahwa pandang mata masing-masing yang
bernyala dan bersemangat itu, hampir berbareng keduanya lalu maju menerjang,
menggerakkan pedang dengan hebat!
Sebentar saja, keduanya lenyap ditelan gelombang sinar pedang merah dan putih yang
saling membelit. Bukan main hebatnya pertandingan antara dua orang murid terpandai dari
Kim liong-san ini.
Sebetulnya kalau dinilai dari kepandaiannya mungkin Tiong Kiat masih menang tingkat.
Memang pemuda ini lebih baik bakatnya dari pada kakaknya maka dengan kitab Ang coakiamsut
berada di tangannya, ia telah mewarisi seluruh ilmu pedang itu dan gerakannya
juga lebih lemas dan cepat dari pada Tiong Han. Akan tetapi, Tiong Han memiliki
ketenangan dan tenaga serta semangatnya agak lebih menang. Hal ini bukan karena Tiong
Kiat kurang melatih tenaga Iweekang dan semangat, melainkan karena pemuda ini banyak
main gila maka tanpa disadarinya, tenaga Iweekangnya banyak melorot. Kemenangan dalam
hal inilah yang membuat Tiong Han dapat mengimbangi permainan pedang adiknya yang
benar-benar lihai itu.
Pertempuran sudah berjalan seratus jurus dan biarpun dengan pedang Hui-liong kiam Tiong
Kiat sudah mulai dapat mendesak pedang Ang coa kiam di tangan kakaknya, namun napasnya
mulai senin kemis dan peluhnya telah membasahi jidatnya.
Telah sejak tadi Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai-tung berada di tempat itu menyaksikan
pertempuran yang bukan main hebatnya ini. Mereka menonton bagaikan kena pesona karena
sesungguhnya belum pernah mereka menyaksikan pertandingan pedang sehebat itu. Apalagi
pedang yang dimainkan oleh sepasang saudara kembar ini mengeluarkan sinar putih dan
merah sehingga nampak sekali kehebatan ilmu pedang itu.
Tadinya Oei Sun dan kelima orang pendeta itu tidak mau mencampuri urusan Tiong Kiat
sebagaimana yang telah dipesan oleh perwira muda itu, dan ketika melihat betapa pedang
Tiong Kiat mampu mendesak hebat lawannya, merekapun berdiri menonton saja dengan kagum.
Akan tetapi ketika Go-bi Ngo koai melihat Tiong Kiat yang hampir kehabisan napas dan
berpeluh, sedangkan lawannya masih tenang dan kuat, mereka mengerutkan kening.
"Lawan dari Sim ciangkun ini tidak boleh dibuat main-main. Kalau kita tidak membantu
dan Sim-ciangkun roboh binasa, bukankah merupakan satu kerugian besar ?' kata Thian It
Tosu kepada adik-adiknya. Mereka menyatakan setuju dan diam-diam Iima orang tosu ini
mengeluarkan tongkat masing-masing, siap sedia untuk menyerbu.
Oei Sun mendapat sebuah pikiran baik. "Jangan bunuh dia…" katanya perlahan. "tangkap
saja, siapa tahu kita akan dapat mempergunakan tenaganya pula!” Thian It Tosu
mengangguk dan setelah memberi isarat kepada adik-adiknya mereka bersama lalu menyerbu
dan tiba-tiba menyerang Tiong Han dengan hebat sekali.
"Ngowi totiang jangan membantuku !” Tiong Kiat masih mencoba untuk berseru keras lalu
disambungnya "Jangan bunuh dia !"
Akan tetapi, kelima orang pendeta itu sudah bergerak dan serangan mereka yang dilakukan
berbareng, ditambah serangan dari Tiong Kiat sendiri, membuat Tiong Han kewalahan
sekali. Ia masih mencoba untuk memutar pedang merahnya guna membabat putus tongkattongkat
itu, akan tetapi ternyata lima tongkat butut itu tidak dapat terbabat putus!
Tentu saja ia menjadi kaget sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh
kepandaiannya, menghadapi keroyokan ini ia amat terdesak dan keadaannya amat berbahaya.
'Ngowi totiang jangan celakai saudaraku !” Tiong Kiat masih mencoba untuk mencegah lima
orang pendeta Pek Iian-kauw itu, akan tetapi terlambat karena Tiong Han melepaskan Ang
Coa kiam dan roboh dengan tubuh lemas. Ia telah terkena totokan tongkat Thian It Tosu
yang amat lihai.
"Pinto terpaksa merobohkannya, Sim ciangkun karena keadaanmu tadi amat berbahaya. Mana
bisa kami mendiamkannya saja?" kata Thian It Tosu.
"Dan pula, apapun juga yang menjadi sebab pertempuran dan perselisihanmu dengan
saudaramu, sebagai seorang gagah ia harus mengerti bahwa melawan seorang perwira
berarti memberontak terhadap kaisar! Untuk perbuatannya ini ia harus dijatuhi hukuman
militer !” kata Oei Sun kepada Tiong Kiat. Tiong Kiat menjadi pucat wajahnya. Ia
menengok ke arah Tiong Han yang masih rebah tak dapat bergerak itu dan rasa iba
memenuhi dadanya.
"Jangan, Oei ciangkun. Kuminta kepadamu, demi persahabatan kita, jangan kau menjatuhkan
hukuman kepada kakakku ini. Ia memang keras hati akan tetapi…ia jauh lebih baik dari
padaku. Harap kau suka ampunkan dan lepaskan dia…"
Oei Sun memungut pedang Ang coa kiam yang tadi terlepas dari tangan Tiong Han,
”Pedang bagus…!” katanya.
"ltu adalah Ang coa-kiam pedang pusaka perguruan kami." kata Tiong Kiat.
Oei Sun tercengang, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Kiat. "Jadi pedang inikah
yang telah mengangkat namamu sehingga kau dijuluki Ang coa-kiam, Sim ciangkun? Kalau
begitu, harus kau yang memiliki pedang ini."
Tiong Kiat menerima pedang itu dan tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada Oei
Sun sambil mengharapkan keputusan tentang kakaknya.
"Saudara Sim, biarpun kakakmu sudah melakukan pelanggaran dan dengan mengacau di depan
benteng berarti ia telah menghina aku dan pasukanku, akan tetapi kalau saja dia suka
membantu kita dan berbakti kepada negara, tentu dengan sukahati aku akan membebaskannya
dari segala hukuman."
Tiong Kiat berpikir sejenak dan berserilah mukanya. Mengapa tidak ? Kalau Tiong Han
dapat mengikuti jejaknya, menjadi seorang perwira, tentu hubungan mereka menjadi baik
kembali dan ia tak usah takut menghadapi pembalasan dari fihak Kun lun pai atau musuhmusuh
yang lain. Ia lalu menghampiri kakaknya dan cepat membebaskan totokan yang
dilakukan oleh Thian It Tosu tadi. Tiong Han menggeliat dan setelah jalan darahnya
pulih kembali, ia lalu melompat bangun, Tiong Kiat segera memeluknya.
"Han-ko, dengarkah kau tadi? Oei ciangkun yang bijaksana dan budiman ini tidak saja
suka mengampuni kesalahanmu, bahkan ia bersedia mengangkatmu menjadi seorang perwira
seperti aku. Han ko, marilah kita lupakan yang sudah-sudah dan kita bersama membuka
hidup baru di sini mengikuti jejak mendiang ayah kita!”
Tiong Han memandang kepada Oei Sun dan kepada lima orang pendeta yang merobohkan dia
tadi. la mencoba tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.
"Tak kusangka bahwa di dalam benteng terdapat pendeta yarg lihai dan tak pernah kukira
pula bahwa orang-orang pemerintah suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Sebuah
tugas dari suhu yang diserahkan kepadaku saja sampai hari ini aku tak dapat
memenuhinya, bagaimana aku dapat menerima tugas lain dari pemerintah? Tidak, Tiong Kiat
jangan kau mencoba membujukku. Kalau kau suka ikut dengan aku ke Liong-san, mungkin
kelak aku akan kembali ke sini untuk menghaturkan terima kasih kepada kawan-kawanmu
ini, dan mungkin pula aku akan menggantikan kau mengabdi kepada negara !"
"Benar-benar keras kepala, Ngo wi totiang, tangkap saja dia, akan kuberi hukuman yang
layak !" kata Oei Sun. Go-bi Ngo-koai tung bergerak, akan tetapi Tiong Kiat melompat
dan mencegah mereka.
"Jangan…! Oei ciangkun, jangan tahan dan hukum dia ! Harap kau memandang mukaku !"
Oei Sun mengangkat pundaknya, "Kau terlalu lemah, Sim ciangkun. Biarlah memandang
mukamu, aku maafkan dia. Akan tetapi pedangnya harus dirampas, jangan kau kembalikan
kepadanya. Orang keras kepala seperti ini berbahaya sekali membawa pedang pusaka. Nah
suruhlah dia pergi dari sini!"
Tiong Kiat memandang kepada kakaknya dan tak sampai hatinya untuk mengusirnya. Ia
merasa kasihan sekali, akan tetapi yang dikasihani memandang tajam dan keras.
"Baik Tiong Kiat, kali ini aku mengaku kalah dan gagal. Akan tetapi, sekali aku telah
bersumpah, aku tetap akan melanjutkan usahaku dan tugasku ini. Pasti akan datang
saatnya aku membawamu kembali ke Liong san menghadap suhu !" setelah berkata demikian,
Tiong Han memutar tubuhnya dan berlari pergi.
Malu, sedih, dan kecewa rasa hati Tiong Han setelah ia meninggalkan benteng panglima
Oei. la telah gagal menangkap Tiong Kiat, bahkan pedang Ang coa kiam telah dirampas.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaikan seorang yang kehilangan semangat ia
berjalan masuk keluar hutan, lupa lelah lupa lapar dan lupa tidur. Berhari-hari ia
berjalan tak tentu tujuan. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu pedang, sekarang Tiong Kiat
sudah lebih pandai dari padanya. Untuk menghadapi Tiong Kiat seorang diri saja, sudah
merupakan hal yang amat berat dan belum tentu ia akan dapat menangkan adiknya.
Apalagi sekarang keadaan Tiong Kiat amat kuat. Selain telah menjadi seorang perwira
yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak boleh diserang oleh orang biasa, juga
disamping itu masih ada lagi orang-orang pandai seperti lima orang pendeta itu di dalam
benteng yang selalu akan membantu Tiong Kiat. Bagaimana ia akan dapat menunaikan
tugasnya ? Bagaimana ia akan bisa menangkan Tiong Kiat?
Tiong Han benar-benar merasa bingung dan serba salah. Kalau ia nekad menyerbu lagi
untuk menghadapi Tiong Kiat akan merupakan usaha yang sia-sia belaka, bahkan ia akan
mendapat malu lagi. Untuk kembali kepada suhunya, ia tidak berani.
Ketika ia sedang berjalan dengan tubuh terasa lemas dan pikiran melayang jauh, tibatiba
terdengar bentakan nyaring. "Bangsat muda, bagus sekali kau datang mengantarkan
nyawa !”
Tiong Han terkejut sekali dan cepat mengangkat muka. Ternyata dihadapannya telah
berdiri seorang nenek tua yang memandangnya dengan mata merah sekali. Nenek ini
rambutnya telah putih, digelung ke belakang dan mukanya kelihatan galak sekali, apa
lagi sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi itu. Pakaiannya seperti pakaian
pertapa dari kain putih yang kasar. Nenek ini berdiri dan memegang sebatang tongkat
yang bengkak-bengkok dan kepalanya berbentuk aneh seperti kepala naga.
Tiong Han tidak mengenal nenek ini, akan tetapi melihat sikap dan pandang mata nenek
yang luar biasa itu, ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan seorang yang
pandai. Cepat pemuda ini lalu mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil berkata,
"Maafkan teecu kalau teecu tidak tahu dengan siapakah teecu berhadapan? Dan kesaIahan
apa pulakah yang teecu lakukan sehingga membikin marah kepada suthay ?”
Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang ramah ini, nenek itu menjadi makin marah.
"Bangsat bermulut manis! Dengan wajahmu yang tampan dan mulutmu yang manis itu agaknya
kau telah menipu dan membujuk banyak wanita! Kedosaanmu telah bertumpuk-tumpuk, dan
manusia macam kau ini amat berbahaya ! Tidak saja kau telah melempari nama perguruanmu
dengan kotoran, bahkan kau juga membawa-bawa nama pemilik pedang Hui liong kiam yang
telah kaucemarkan ! Hayo kaukeluarkan Hui liong kiam dan kaukembalikan kepadaku !"
"Suthai…maaf........teecu tidak membawa Hui-liong kiam…sudah teecu berikan…..." Tiong
Han berkata gagap dan ia menjadi bingung sekali. Tak dapat ia menceritakan bahwa Huiliong
kiam telah ia berikan kepada Tiong Kiat, dan iapun dapat menduga bahwa kembali
nenek ini salah lihat disangkanya ia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi anehnya, mengapa
nenek ini tahu bahwa dia telah menerima pedang Hui liong kiam yang sudah lama
diberikannya kepada Tiong Kiat? Siapakah nenek ini? Tiba-tiba teringatlah ia dan
mukanya menjadi berseri.
"Ah, pernah Lui piauwsu bercerita tentang dia…" pikirnya, kemudian ia menjura lagi
sambil berkata. "Apakah teecu bukannya berhadapan dengan Pat jiu Toanio Li Bie Hong
yang ternama?"
Tiba-tiba nenek itu tertawa dan suara ketawanya merdu dan nyaring seperti suara ketawa
seorang gadis muda. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata dengan suara bentakan marah
sekali.
"Orang jahat, jangan coba berpura-pura. Dulu aku masih memberi ampun kepadamu akan
tetapi sekarang jangan harap lagi !" Dan sebelum Tiong Han dapat berjaga diri tahu-tahu
tongkat yang panjang itu melayang dan menyambar ke arah kepalanya !
Tiong Han terkejut sekali. Sambaran tongkat itu biarpun masih jauh telah mendatangkan
angin pukulan yang hebat sekali. Maklumlah dia bahwa sekali saja kepalanya terkena
pukulan tongkat ini, nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia cepat membuang diri ke
belakang dan kemudian melompat menjauhkan diri. Akan tetapi ternyata bahwa Pat jiu
Toanio telah berada dihadapannya tanpa ia ketahui kapan bergeraknya. Sekali lagi
tongkat nyonya tua itu bergerak, kini menotok ke arah dadanya.
Tiong Han benar-benar merasa bingung, ia tidak mempunyai pedang lagi. Sedangkan
seandainya Ang-coa kiam berada di tangannya juga tak mungkin ia dapat menangkan nenek
yang gerakan tongkatnya luar biasa sekali ini, apalagi kini ia bertangan kosong.
Menghadapi serangan tongkat kedua ini kembali ia mengelak ke kiri akan tetapi sungguh
tak disangka sama sekali karena tongkat itu tiba-tiba diputar dan kini yang berbentuk
kepala naga itu menyerangnya dengan kecepatan yang tak dapat diduga. Sebelum Tiong Han
dapat mengelak, tongkat itu telah mengenai bajunya. Akan tetapi Tiong Han bukanlah
seorang pemuda yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja. la telah digembleng hebat
oleh Lui Thian Sianjin. Cepat ia mengumpulkan tenaga Iweekangnya ke arah paha kanannya
yang disambar tongkat sambil membarengi menggunakan kedua tangan menyampok tongkat itu.
Ketika tongkat itu mengenai paha, tongkat itu membal kembali karena paha Tiong Han
telah menjadi keras dan kuat seperti karet dan dibantu oleh sampokannya, tongkat itu
terpental.
"Bagus, kepandaianmu tidak jelek, sayang watakmu kotor sekali!" Setelah berkata
demikian Pat jiu toanio lalu memutar tongkatnya dengan cepat sekali. Berkali-kali Tiong
Han minta agar supaya nenek itu suka mendengarkan bicaranya akan tetapi semua katakatanya
tidak diperdulikan, bahkan didengarpun tidak oleh nenek yang sudah marah ini.
Pat jiu toanio memang mempunyai watak keras dan aneh dan penjahat penjahat ia tidak
mengenal ampun. Apalagi terhadap penjahat muda yang disangkanya Sim Tiong Kiat ini. Ia
sengaja mencari-cari Tiong Kiat untuk diberi hukuman. Kemarahannya terhadap Tiong Kiat
memuncak ketika ia bertemu dengan Lui Thian Sianjin dan mendengar keluh kesah orang tua
ini, lalu mendengar sepak terjang Tiong Kiat yang jahat. Apalagi akhir-akhir ini ia
mendengar betapa pemuda ini telab melakukan kejahatan dengan menggunakan pedang Hui
liong-kiam! Ia merasa bertanggung jawab kalau pedang Hui-liong kiam sampai jatuh ke
tangan penjahat.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah merampas pedang Hui liong-kiam
dari tangan penjahat Sin-kiam Koai-jin Ang Kun, murid murtad dari Lui-kong-jiu Kong Kin
Tosu, Pat jiu Toanio lalu memberikan pedang itu kepada seorang piauwsu yang gagah,
yakni Lui Siong Te. Kemudian Lui-piauwsu ini yang tertolong oleh Tiong Han, lalu
memberikan pedang itu kepada Tiong Han yang kemudian memberikannya pula kepada Tiong
Kiat sebagai penukar pedang Ang coa kiam.
Pat jiu Toanio ketika mendengar bahwa pedang Hui liong-kiam dipergunakan oleh penjahat,
cepat mendatangi Lui piauwsu dan marah sekali. Kemudian ia mendengar bahwa pedang itu
oleh Lui piauwsu diberikan kepada seorang muda she Sim yang gagah perkasa. Maka nenek
ini lalu mengejar ke utara untuk mencari penjahat yang telah memakai pedang itu dan
untuk berbuat jahat dan tak disangka-sangka ia bertemu dengan Tiong Han.
Betapapun tinggi kepandaian Tiong Han, menghadapi Pat-jiu Toanio yang kepandaiannya
masih mengatasi Lui Thian Sianjin apa lagi bertangan kosong, tentu saja pemuda itu
menjadi sibuk sekali. la hanya dapat menghindarkan diri dari serangan nenek itu selama
dua puluh jurus saja dan pada jurut ke dua puluh satu, Pat jiu Toanio berhasil menotok
pundaknya dan robohlah Tiong Han tanpa dapat bergerak lagi. Ia telah kena ditotok jalan
darahnya dengan ilmu totok satu jari yang luar biasa dan lemaslah semua tubugnya
seperti telah diloloskan semua urat-uratnya.
Pat jiu Toanio tertawa lagi. la pukul-pukulkan tongkatnya di atas tanah dekat kepala
Tiong Han sehingga debu mengebul ke atas. "Hm, ingin sekali aku menghancurkan kepalamu
dengan tongkat ini. Akan tetapi kau harus membuat pengakuan lebih dahulu di depan meja
sembahyang, agar dosa-dosamu tidak terlalu berat dan rohmu tidak terlalu tersiksa."
Tanpa menanti jawaban, nenek ini lalu mengempit tubuh pemuda itu dengan tangan kirinya
dan berlarilah ia secepat angin menuju ke dalam hutan. Setelah tiba di sebuah bio
(kuil) kecil dan rusak, ia segera masuk dan melemparkan tubuh Tiong Han ke depan meja
sembahyang yang telah dibersihkan orang dan telah dipasangi hio dan lilin.
Dengan menepuk pundak dan punggung Tiong Han, Pat jiu Toanio membebaskan pemuda ini.
Tiong Han bangun dengan tubuh lemas.
"Hayo berlutut di depan meja sembahyang !" bentak Pat-jiu Toanio dengan suara keras dan
bengis. Tiong Han hanya tersenyum lalu bangkit berdiri sambil berkata, "Pai jiu Toanio,
biarpun aku telah kau kalahkan dan berada di dalam kekuasaanmu jangan harap untuk
membuat aku menjadi ketakutan dan menurut saja sekehendakmu. Aku Sim Tiong Han tidak
takut mati !"
"Bangsat sombong, berlutut kau !" kaki dari nenek ini dengan cara cepat dan luar biasa
sekali bergerak melakukan tendangan berantai yang tepat mengenai belakang lutut Tiong
Han. Pemuda ini merasa betapa tenaga kakinya lenyap dan terpaksa ia jatuh berlutut di
depan meja sembahyang !
"Bangsat muda, jangan kau berani main-main di depan Pat jiu Toanio! Kau tidak tahu
bahwa perbuatan ini kulakukan untuk menolong rohmu yang tersesat! Kalau aku tidak
mengingat bahwa kau adalah murid Kim liong pai, apakah kau kira aku akan sudi
melelahkan diri seperti ini? Kupecahkan saja kepalamu di dalam hutan dan habis
perkara ! Hayo sekarang kau mengakui semua perbuatanmu yang jahat, semenjak kau
melarikan diri bersama sumoimu dari Liong san sampai sekarang. Setelah itu kau harus
minta ampun di depan meja sembahyang ini kepada Thian sehingga rohmu takkan terlalu
disiksa di neraka ! Aku tidak menghendaki kau mati penasaran, lebih baik kau mati
dengan penuh kesadaran bahwa kematianmu ini untuk menebus dosa !"
Akan tetapi biarpun tahu bahwa ia takkan terhindar dari kematian di tangan nenek yeng
lihai dan galak ini, Tiong Han tetap tersenyum ketika berkata,
"Pat jiu Toanio, apakah kau menghendaki aku mengakui kebohongan di depan meja
sembahyang ? lngat, kaulah yang berdosa kalau membohong, karena kau yang memaksaku!”
“Apa maksudmu ?" tanya nenek itu dengan sikap mengancam.
"Aku memang benar murid dari Kim liong pai, akan tetapi aku tidak pernah melakukan
dosa-dosa yang kau sebutkan tadi."
"Bangsat, berani benar kau membohong ! Pengecut kau, berani berbuat tak berani
bertanggung jawab? Manusia seperti engkau ini sudah seharusnya dibikin mampus!" Setelah
berkata demikian, Pat jiu Toanio lalu mengangkat tongkatnya hendak dipukulkan ke arah
kepala pemuda itu, adapun Tiong Han yang merasa bahwa melawan tiada gunanya lagi, hanya
meramkan kedua matanya.
"Li suthai....„ tunggu…!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dari dalam kuil bobrok
itu muncullah seorang pendeta wanita yang masih muda dan berwajah cantik.
Pat jiu Toanio menahan tongkatnya dan Tiong Han cepat menengok. Pemuda ini
membelalakkan kedua matanya memandang kepada pendeta wanita yang baru muncul itu.
Hatinya berdebar keras karena pada penglihatan pertama ia mengira bahwa pendeta wanita
yang muda dan jelita ini adalah Suma Eng! Akan tetapi setelah bertemu pandang, tahulah
ia bahwa biarpun pendeta wanita ini cantik dan memiliki air muka hampir sama dengan Eng
Eng, sesungguhnya bukan gadis gagah itu.
"Li Lan, mengapa kau menahanku membikin mampus penjahat ini?" tanya Pat-jiu Toanio
dengan pandang mata tajam penuh tanya. "Apakah bimbinganku selama ini sia-sia belaka
dan hatimu masih terisi oleh manusia jahanam ini?"
"Ah, tidak, tidak ! Harap jangan salah sangka, Li suthai! Teecu hanya ingin mencegah
pembunuhan yang salah alamat. Ketahuilah, pemuda ini sama sekali bukan Sim Tiong
Kiat !”
Pendeta wanita ini memang Li Lan, bekas kekasih Tiong Kiat yang disia-siakan dan
kemudian dipungut murid oleh Pat jiu Toanio, Kalau lain orang dapat salah lihat dan
mengira Tiong Han orang lain, tidak demikian dengan Li Lan. Wanita ini pernah mencinta
Tiong Kiat dengan seluruh jiwa raganya, maka sekali lihat saja ia akan mengenal apakah
pemuda itu Tiong Kiat atau bukan. Tadi ia sedang berlatih diri dan bersamadhi di dalam
kamar di kuil itu, akan tetapi ketika mendengar bentakan bentakan Pat-jiu Toanio dan
jawaban lemah dari Tiong Han, hatinya tertarik lalu ia melompat keluar.
Sekali pandang saja biarpun tadinya ia tertegun dan terkejut melihat persamaan rupa
pemuda ini dengan bekas kekasihnya, ia tahu bahwa pemuda ini bukan Tiong Kiat dan bahwa
gurunya telah salah lihat.
Pat-jiu Toanio menjadi terkejut, lalu marah ketika mendengar seruan Li Lan tadi. "Li
Lan, jangan kau mencoba untuk menolong pengecut ini dari kematian. Mataku belum buta
dan sekali mau melihat orang, aku takkan melupakannya lagi."
"Sungguh Li suthai, pemuda ini bukan Tiong Kiat !" kata Li Lan yang segera menghampiri
Tiong Han sambil berkata,"Tiong Kiat pernah bercerita kepadaku bahwa ia mempunyai
seorang saudara kembar, bukankah kau ini orangnya?"
Tiong Han masih saja tersenyum sedih dan biarpun ia tidak tahu siapa adanya gadis yang
mukanya seperti Eng Eng ini ia dapat menduga bahwa gadis inipun tentu seorang bekas
korban kebiadaban adiknya yang jahat.
"Kauwnio mengapa kau datang menghalangi Pat jiu Toanio yang hendak membunuhku? Biarlah
ia membunuhku kalau memang dia percaya bahwa aku adalah orang yang dicari-carinya."
Pat jiu Toanio melompat dengan muka pucat. "Apa ?? Betulkah kau bukan Sim Tiong Kiat
yang jahat itu ?”
"Pat jiu Toanio, tadi aku pernah menyebut namaku, akan tetapi agaknya kau terlalu marah
sehingga tidak memperhatikan. Aku adalah Sim Tiong Han, kakak dari Sim Tiong Kiat yang
kau cari-cari itu. Ketahuilah bukan hanya kau yang marah kepada adikku itu, bahkan aku
sendiri telah lama mencari-carinya akan tetapi akhirnya bahkan menerima kekalahan dan
hinaan daripadanya." Pemuda ini menarik napas panjang dengan muka muram.
Dengan tergopoh-gopoh, Pat-jiu Toanio lalu mengetuk kedua lutut Tiong Han untuk
menyembuhkan pemuda itu.
"Aduh, maafkan aku yang sudah tua, anak muda! Jadi kau ini murid Lui Thian Sianjin yang
mendapat tugas mencari murid murtad itu? Ada juga Lui Thian bercerita kepadaku, akan
tetapi dia tidak mengatakan bahwa kau adalah kakak dari sikhianat itu dan bahwa mukamu
sama benar dengan penjahat muda itu."
"Toanio, kami adalah saudara kembar, salahkah aku kalau muka kami bersamaan ?"
Pat jiu Toanio menghela napas berkali-kali, "Jadi kau telah bertemu dengan dia dan
dikalahkan ? Karena itukah maka kau seperti orang nekad dan rela mati di bawah
tongkatku? Apakah kau sudah putus asa ?"
"Benar, Toanio. Tidak saja aku kalah, bahkan pedang pusaka Ang-coa kiam yang kubawa
terampas pula dan agaknya selama hidupku aku takkan dapat menunaikan tugas yang
dipercayakan oleh suhu kepadaku. Karena penjahat yang dikejar-kejar adalah adik
kembarku sendiri bukankah hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa aku sengaja tidak mau
menyerang adikku ? Bahwa aku sengaja melindunginya?"
"Hm, jangan gelisah dan kuatir, orang muda. Aku sudah sampai di sini, tunjukkan saja di
mana adanya adikmu yang jahanam itu. Aku yang akan menamatkan riwayatnya!"
"Tidak ada gunanya, Toanio. Tetap saja orang akan mengira bahwa aku melindungi adikku
sendiri. Pula, penangkapan atas diri Tiong Kiat harus kulakukan sendiri, tidak boleh
orang Iain. Betapapun juga, dia adalah adik kandungku, dan aku tidak rela melihat dia
binasa di tangan orang lain."
Pat-jiu Toanio menggeleng-geleng kepalanya. "Kau orang muda yang aneh tapi jujur dan
berbudi mulia. Sim Tiong Han, kalau kau ingin mengalahkan adikmu mengapa kau tidak
minta belajar silat dari aku ?"
Tiong Han tertegun. Tak disangkanya bahwa nenek yang galak ini akan mau memberi
pelajaran ilmu kepandaian kepadanya. Tentu saja ia menjadi girang dan cepat menjatuhkan
diri berlutut.
"Kalau suthai sudi menolong teecu, tentu saja teecu akan merasa girang dan bersukur
sekali."
Terdengar suara ketawa yang merdu dari nenek ini. "Anak lucu! Kalau gurumu melihat,
tentu kau akan ditegur mengapa tidak dari tadi tadi minta belajar ilmu silat dari
padaku. Dulu ketika aku masih seringkali mengadakan pertemuan dan mengobrol dengan
gurumu tentang ilmu silat pernah kami mencoba kelihaian Ang coa kiamsut yang menjadi
kepandaian pusaka dari Kim-liong pai. Pada waktu itu kira-kira dua puluh tahun yang
lalu memang aku tidak dapat memecahkan bagian-bagian terakhir dari Ang coa-kiamsut yang
lihai. Pada waktu itu, selain Hek-sin-mo orang aneh itu dan Lui-kong jin Keng Kin tosu
tokoh dari Hongsan, tak seorangpun dapat mengalahkan atau memecahkan Ang-coa-kiamsut.
Akan tetapi, selama ini aku mencari-cari dan akhirnya aku dapat menciptakan ilmu silat
tangan kosong yang terdiri hanya dari dua belas jurus yang kunamai Kong jiu cap ji kun
[Silat Tangan Kosong Dua Belas Macam). Biarpun hanya dua belas jurus, akan tetapi kalau
kau dapat mempelajarinya dengan baik kurasa dengan tangan kosong kau akan sanggup
menghadapi pedang di tangan adikmu itu!"
Tiong Han merasa girang sekali dan mulai saat itu juga ia mempelajari ilmu silat itu di
kuil bobrok. Ternyata bahwa dua belas jurus pukulan itu ternyata mempunyai perkembangan
yang Iuas sekali dan Tiong Han harus akui kehebatan ilmu silat ini. Selain ilmu silat
ini, iapun menerima petunjuk-petunjuk tentang ginkang dari nenek itu sehingga ilmu
meringankan tubuh dari Tiong Han makin maju saja.
Selama lima hari, terus menerus ia berlatih diri dan karena ia memang berbakat, dan
telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, dalam waktu Iima hari saja ia telah dapat
mainkan Kong jiu cap ji-kun dengan amat baiknya.
Pada senja hari kelima, Pat jiu Toanio Li Bie Hong sengaja minta pemuda itu
memperlihatkan ilmu silat yang baru dipelajarinya itu, ditonton pula oleh Li Lan yang
sementara itu telah kenal baik dengan Tiong Han. Pendeta wanita ini amat suka kepada
Tiong Han yang halus dan sopan santun dan diam-diam ia mengakui betapa jauh perbedaan
antara Tiong Han dan Tiong Kiat. Tiong Han memenuhi permintaan gurunya yang baru dan ia
berniat dengan bersungguh-sungguh, mengeluarkan segala gerak tipu dari dua belas jurus
ilmu silat itu.
"Bagus, bagus, suci Bie Hong! Kong-jiu cap ji-kun yang kauciptakan ini benar-benar
hebat dan kau mempunyai ahli waris yang benar benar cocok dan pantas mewarisi ilmu
silat ini !" Ucapan ini dikeluarkan dan terdengar jelas, akan tetapi orangnya tidak
kelihatan dan baru setelah gema suaranya lenyap, berkelebatlah bayangan hitam dan tahutahu
di depan mereka berdiri seorang kate yang bermuka aneh dan berpakaian hitam
seluruhnya !
IniIah Lui kong jiu Keng Kin Tosu, tokoh di Heng san yang berkepandaian tinggi sehingga
mendapat julukan Lui kong jiu atau Si Tangan Geledek !
Usia orang ini sudah tua, akan tetapi wajahnya nampak berseri, tanda bahwa ia adalah
seorang yang berwatak gembira. Semenjak dahulu ia memang menganggap Pat jiu Toanio
sebagal saudara tua, bahkan ia selalu memanggil "enci" kepada nenek itu.
"Aha, Keng Kin Tosu, baru sekarang kau muncul ! Kukira kau akan bersembunyi di dalam
gua menanti kematianmu setelah kau kecewa karena salah menerima murid." kata Pat-jiu
Toanio yang kemudian berkata kepada Tiong Han dan Li Lan.
"Berilah hormat kepada susiok kalian. Dia ini jelek-jelek adalah Lui-kong Jiu Keng Kin
Tosu, orang nomor satu dari Heng san yang mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi dari
pada aku sendiri !"
Li Lan tentu saja belum pernah mendengar nama ini, dan ia memberi hormat karena gurunya
yang memperkenalkan. Akan tetapi Tiong Han sudah seringkali mendengar suhunya di Liongsan
menyebut-nyebut dan memuji setinggi langit nama Keng Kin Tosu ini, maka dengan
girang ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu kate itu.
Keng Kin Tosu mengangguk-angguk. Dengan tangan kiri ia menjambret baju pada pundak Li
Lan dan sekali ia menarik, pendeta wanita muda ini tak terasa lagi terangkat bangun
karena ada tenaga raksasa terasa olehnya menarik tubuhnya ke atas. Dengan tangan
kanannya, tosu itu melakukan haI yang sama kepada Tiong Han, akan tetapi pemuda ini
yang maklum bahwa susiok yang aneh ini sedang mengujinya, lalu mengerahkan tenaganya,
maka segera terdengar suara kain robek. Ternyata bahwa bajunya bagian pundak itu yang
tidak dapat bertahan dan menjadi robek terbawa oleh jepitan dua jari kakek itu.
Keng Kin Tosu tersenyum dan kini ia tidak menggunakan jari tangan menjepit baju
melainkan menggunakan semua jari jari tangan kanannya untuk memegang pundak Tiong Han
dan ditariknya pemuda itu bangun. Kembali Tlong Han terkejut. Kalau tadi ia merasa
tenaga raksasa menarik bajunya, sekarang ia merasa betapa tangan susioknya itu dingin
seperti salju yang menempel dan menyedot pundaknya sehingga ia merasa pundaknya
membeku! Cepat-cepat ia mengerahkan sinkangnya yang disalurkan ke arah pundak kanannya
dan ketika ia merasa betapa tangan susioknya itu merupakan jepitan yang mencengkeram
pundaknya dan menariknya ke atas dengan tenaga yang tak terkira besarnya, ia cepat
mempergunakan tenaga Thi su-cui (Tenaga Gunung Baja) untuk memberatkan tubuh sehingga
kedua kakinya seakan-akan berakar pada tanah!
Ketika tosu itu nampaknya tertegun dan menahan kembali tenaganya mengangkat, Tiong Han
cepat mengalirkan Iweekangnya sehingga pundaknya yang masih tersentuh oleh jari tangan
Keng Kin Tosu itu tiba - tiba menjadi lemas seperti kapas!
"Ha, ha, ha, bagus, bagus !" kata Keng Kin Tosu dan tiba-tiba sekali dua buah jari
tangannya menekan, disusul pula oleh jari tangan kiri yang kini memegang pundak pemuda
itu. "Bangunlah, anak muda yang gagah !” bentaknya. Tiong Han terkejut sekali karena
betapapun ia mengerahkan lweekang, tetap saja jari-jari tangan kakek itu dapat menembus
pertahanannya, dan sedlkit pencetan saja pada jalan darah di pundaknya, seketika itu
juga buyarlah semua tenaganya dan dengan mudah tubuhnya terangkat ke atas ! Namun
karena Tiong Han memang sudah berjaga-jaga dan terlatih baik, tubuhnya yang terangkat
itu masih tetap berada dalam keadaan berlutut ! Lagi-lagi Keng Kin Tosu memuji. "Bagus
sekali, sekarang awaslah tubuhmu akan terbanting !"
Sambil berkata demikian, orang tua ini menggerakkan kedua tangannya dan tubuh Tiong Han
mencelat ke atas sampai dua tombak lebih ! Tiong Han terkejut sekali dan cepat ia
mengerahkan ginkangnya, menggerakkan pinggang, dibantu oleh kaki tangannya, sehingga
tubuhnya yang tadinya terlempar ke atas dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kini
dapat berjungkir balik dan ketika ia turun ke bawah, kedua kakinya seakan-akan tidak
mengeluarkan suara sedikitpun juga !
"Ha, ha, ha, enci Bie Hong ! Ternyata kau pun telah memberikan ilmu Teng-peng touw itu
kepada pemuda ini. Muridmu benar-benar hebat, enci !"
”Keng Kin, sayangnya dia bukan muridku yang betul." kata Pat-jiu Toanio sambil menghela
napas, 'aku hanya menyerobotnya saja dan memberi tambahan ilmu silat karena merasa
kasihan kepadanya. Dia ini sebetulnya adalah murid pertama dari Lui Thian Sianjin, si
tua bangka dari Liong-san itu."
Sepasang alis yang masih hitam dari Keng Kin Tosu Si Tangan Geledek itu terangkat naik.
"Aku mendengar tentang murid Lui Thian yang tersesat dan murtad, seperti halnya muridku
si Ang Kun ! Bukan yang inikah?"
"Bukan, bukan, Keng Kin. Bukan yang ini melainkan adiknya. Kalau dia ini murid murtad
yang kau maksudkan itu tentu dia sudah binasa di tanganku seperti yang terjadi dengan
muridmu itu, Keng Kin !'
Tosu itu tersenyum pahit. "Memang tanganmu keras sekali terhadap orang-orang muda yang
sesat, enci Bie Hong. Akan tetapi memang baik sekali. Siapakah pemuda ini dan bagaimana
bisa kejatuhan bintang, menerima warisan ilmu darimu?”
Dengan singkat Pat jiu Toanio Li Bie Hong lalu menceritakan riwayat Tiong Han dan
tentang kegagalannya menangkap Tiong Kiat adiknya yang murtad itu. Mendengar penuturan
ini Keng Kin Tosu tergerak hatinya.
"Kasihan Lui Thian Sianjin, mengalami nasib yang lebih buruk dari padaku. Muridnya
tidak saja jahat, bahkan mencemarkan nama baik Kim liong-pai yang telah diangkat tinggi
oleb locianpwe Bu Beng Siansu. Lebih kasihan lagi pemuda ini yang harus menjadi algojo
dari adik kembarnya sendiri. Memang begitulah kehidupan di atas dunia, anak muda isinya
hanya penderitaan belaka. Akan tetapi kalau kau kuat imanmu, segala macam cobaan dan
penderitaan itu sesungguhnya ada manfaatnya. Aku kasihan kepadamu dan merasa sudah
menjadi kewajibanku untuk membantumu mengalahkan adikmu yang jahat itu. Agaknya akupun
mempunyai beberapa macam kepandaian yang masih dapat menambah pengertianmu."
Tiong Han menjadi girang sekali dan cepat cepat ia menjatuhkan dirinya berlutut lagi di
depan tosu kate yang aneh ini. "Banyak terima kasih teecu ucapkan atas kemuliaan buat
suhu. Tentu saja teecu akan menerima petunjuk-petunjuk suhu dengan segala perhatian dan
rasa sukur."
Demikianlah, kembali dengan tekunnya Tiong Han menerima latihan-latihan beberapa macam
ilmu silat dari Keng Kin Tosu, dan seperti juga Pat jiu Toanio, Keng Kin Tosu memberi
pelajaran dari ilmu silatnya yang paling tinggi. Pemuda itu menerima dua macam ilmu,
yakni ilmu pukulan tangan kosong yang di sebut Pek Iui kong cianghwat (Ilmu Silat Sinar
Geledek Putih) dan ilmu pedang yang disebut Kim kong.kiamsut (Ilmu Pedang Sinar Emas).
Juga dua macam ilmu silat ini dapat dimainkan dengan baik sekali oleh Tiong Han setelah
melatih diri selama tiga pekan saja!
Keng Kin Tosu menjadi amat girang dan setelah melihat pemuda itu menamatkan
pelajarannya, ia segera memanggil Tiong Han dan di depan Pat jiu Toanio, ia berkata.
"Enci Bie Hong, ternyata murid kita ini tidak mengecewakan. Sebetulnya kedatanganku ini
membawa berita yang amat penting, yang merupakan panggilan bagi kita untuk turun
tangan. Akan tetapi setelah melihat murid kita ini, aku mendapat pikiran baik sekali.
Sudah sepatutnya kalau dia yang mewakili kita untuk tugas penting ini."
"Keng Kin. jangan bicara seperti orang rahasia. Omonganmu seperti teka teki saja. Hayo
jelaskan, apakah itu yang kau maksudkan dengan tugas penting?” Pat jiu Toanio mendesak
dengan tak sabar lagi.
"Aku mendengar berita dari seorang perwira bahwa kini terdapat panglima dengan
barisannya yang amat besar jumlahnya sedang merencanakan pemberontakan! Hal ini
berbahaya sekali karena pemberontak-pemberontak itu kabarnya bersekutu dengan orangorang
Mongol di utara. Jendral Gak yang gagah perkasa itu kini memimpin pasukannya
untuk menggempur dan mencegah pemberontak-pemberontak itu melakukan rencana mereka yang
busuk. Oleh karena itu, kita harus membantunya dan sekarang tidak ada jalan yang lebih
tepat selain menyuruh Tiong Han mewakili kita."
Pat jiu Toanio mengerutkan keningnya, "Sungguh menjemukan sekali penghianat itu.
Siapakah gerangan panglima pemberontak itu? Bagaimana dia bisa bersekutu dengan bangsa
asing untuk mencelakai negara sendiri? Sungguh tak tahu malu!"
"Aku tidak mendengar siapa namanya, hanya menurut berita, ada orang-orang Pek Iian kauw
yang ikut menyokong gerakan itu."
"Apa! Jahanam Pek-lian kauw berani mengacau lagi! Ah, kalau begitu Tiong Han harus
pergi. Mereka harus dibasmi !" kata-kata Pat jiu Toanio ini amat bersemangat sehingga
diam diam Tiong Han menjadi kagum melihat betapa dua orang tua ini masih demikian gagah
dan bersemangat membela negara.
”Tentu saja teecu bersedia untuk pergi melakukan tugas yang diperintahkan oleh jiwi
suhu." kata Tiong Han.
"Memang seharusnya begitu, Tiong Han, jadi tidak percuma aku dan enci Bie Hong
mewariskan kepandaian kami kepadamu. Soal adikmu itu biarlah ditunda dulu saja. Pertama
karena adikmu adalah seorang perwira dan pada masa ini kita amat membutuhkan tenaga
perwira-perwira pembela negara. Kedua, tugasmu pergi membantu Jenderal Gak ini jauh
lebih penting daripada urusan pribadi. Setelah tugas ini selesai, barulah kau
selesaikan urusan dengan adikmu yang jahat itu."
Tiong Han tidak berani membantah dan ia lalu mendengarkan perintah suhu kate yang lihai
ini. la diharuskan menyusul barisan Jenderal Gak dan menawarkan bantuannya untuk
menghancurkan barisan pemberontak dan menyampaikan pesan bahwa Lui kong jiu Keng Kin
Tosu dan Pat jiu Toanio Li Bie Hong selalu memperhatikan perjuangan menghancurkan
pemberontak ini dan siap untuk turun tangan sendiri apabila perlu!
Setelah menerima banyak nasihat, berangkatlah Tiong Han mencari Jenderal Gak dan
barisannya. Mudah saja untuk mencari barisan jenderal Gak yang amat terkenal ini, dan
beberapa hari kemudian ia disambut oleh jenderal Gak sendiri yang berkedudukan di
lembkah Sungai Sungari. "Kebetulan sekali, saudara Sim, memang kami membutuhkan tenaga
bantuan orang-orang gagah seperti kau ini. Aku girang sekali bahwa yang menyuruh kau
datang membantu adalah Lui-kong jiu Keng Kin Tosu dan Pat-jiu Toanio yang sudah kukenal
baik. Bahkan akupun mengenal baik suhumu Lui Thian Sianjin. pihak musuh mempunyai
banyak sekali pembantu yang pandai dan kedudukan mereka amat kuat. Susahnya, dalam
waktu kacau ini, ada saja yang menjadi gangguan. Orang orang jahat pada muncul dan
memancing ikan di air keruh. seperti halnya gerombolan Sorban Merah yang bersembunyi di
dalam hutan sebelah barat itu. Benar-benar menjemukan! Mereka itu memang benar
melakukan penyerbuan secara diam-diam terhadap fihak pemberontak, akan tetapi aku
paling tidak suka dengan bantuan pasukan liar itu. Tanpa dipimpin, mereka itu bukan
merupakan bantuan, bahkan mengacaukan rencanaku."
Tiong Han mendengarkan dengan sabar jenderal tua yang pandai bicara ini. Atau tetapi
mendengar disebutnya Sorban Merah ia menjadi tertarik sekali.
"Siapakah yang menjadi kepala Sorban Merah ini, goanswe?"
"Siapa tahu? Gerombolan liar ini macam itu siapa yang perduli? Akan tetapi mereka itu
benar-benar mengacaukan rencanaku. Sebetulnya aku memang sengaja memancing pasukan
pemberontak agar terus bergerak ke selatan tanpa diganggu. Kalau mereka sudah
menyeberangi Sungai Sungari barulah aku akan memotong jalan pulang mereka sehingga
dengan leluasa kita boleh membasminya. Siapa tahu Sorban Merah gerombolan liar itu
merusak rencana, melakukan serbuan-serbuan sendiri yang tidak berarti sehingga
menimbulkau kecurigaan barisan pemberontak yang hendak bergerak ke selatan!"
'Mengapa tidak membubarkan mereka saja?'" tanya Tiong Han.
"Itulah sukarnya. Biarpun jumlah mereka tidak banyak namun ternyata rata-rata mereka
memiliki ilmu golok yang lihai dan kalau digunakan kekerasan, amat tidak baik. Mereka
bukan musuh dan kalau sampai terjadi pertempuran berarti kita mencari musuh baru. Ini
tidak bijaksana sekali."
"Goanswe, maafkan kalau aku lancang. Akan tetapi, aku bersedia untuk menemui kepala
mereka dan membujuknya agar supaya tidak bertindak menurut kehendak sendiri."
Gak goanswe memandang tajam. "Kau sanggup ?”
Tiong Han tersenyum. "Tentu saja, goanswe. Malahan, kalau tidak salah aku tahu siapa
orang yang menjadi pemimpin mereka. Biarlah aku berangkat besok pagi-pagi dan dalam
sehari saja aku akan sanggup membuat laporan yang memuaskan. Kedua orang guruku tidak
percuma mengirim aku ke sini, Goanswe."
Jenderal itu tidak tersenyum, akan tetapi wajahnya yang nampak keren dan galak itu
berseri, "Baiklah, besok pagi kau pergi dan sekarang mengasolah !"
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong Han sudah masuk ke dalam hutan sebelah
barat perbentengan bala tentara jenderal Gak. Benar saja seperti keterangan yang ia
dengar sebelumnya, hutan itu amat luas dan liar di sana sini nampak gunung-gunung kecil
yang menjadi benteng di pinggir Sungai Sungari yang lebar.
Beberapa kali Tiong Han melihat bayangan orang berkelebat di balik pohon yang besarbesar,
akan tetapi ditunggu-tunggu tak seorangpun nampak muncul. Tiong Han tersenyum
dan melanjutkan perjalanan, masuk makin dalam di hutan itu, bayangan-bayangan orang
makin banyak, akan tetapi tetap saja tidak ada orang muncul. Matanya yang tajam dapat
melihat betapa bayangan-bayangan itu benar-benar mengenakan Sorban Merah yakni ikat
kepala terbuat daripada kain merah, dan pada pinggang mereka tergantung golok. Biarpun
bayangan-bayangan itu berkelebat cepat dan ia hanya melihat sekejap mata saja namun ia
telah dapat melihat dengan jelas. Hatinya makin berdebar. Tak salah lagi, melihat
pakaian dan ikat kepala mereka orang-orang ini adalah anak buah dari sumoinya !
Bagaimanakah mereka yang dulu tinggal di Heng-yang ini bisa sampai di tempat ini? Dan
bukankah sumoinya yakni Can Kui Hwa, dan suaminya, Siok Un Leng telah pindah ke kota
raja?
Karena orang-orang itu main bersembunyi saja, dan ditunggu-tunggu tak juga ada yang
muncul akhirnya Tiong Han menjadi hilang sabar.
“Perkumpulan Sorban Merah yang pernah kukenal biasanya terdiri dari orang-orang gagah.
Akan tetapi yang sekarang berada di hutan ini mengapa begini pengecut tidak berani
bertemu dengan orang ? Apakah yang sekarang ini Sorban Merah palsu ?”
Baru saja ia menutup mulutnya, dari depan, belakang, kanan dan kiri bersiutan bunyi
anak panah yang menyambarnya dari balik pohon-pohon. Tiong Han menggeser kakinya
sehingga keadaan tubuhnya berubah. Dengan gerakan ini ia dapat mengelakkan diri dari
sambaran panah dari belakang dan depan. Adapun dua batang anak panah dari kanan kiri,
dengan cara yang amat mengagumkan dapat ditangkapnya dengan kedua tangan !
Tiong Han mempergunakan tenaga jari-jari tangannya mematahkan dua batang anak panah itu
yang lalu dilemparkannya ke atas tanah kemudian ia berseru Iagi.
"Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin Sorban Merah, bukan untuk mencari
permusuhan ! Beginikah caranya Sorban Merah menyambut datangnya tamu? Hayo keluarlah
pemimpin Sorban Merah ataukah kalian menghendaki aku turun tangan ?" Ucapan ini
sekaligus merupakan sesalan, bujukan, dan juga ancaman.
Tiba-tiba terdengar seruan keras dan sesosok bayangan hitam melompat keluar dari balik
sebatang pohon besar. Setelah bayangan ini berada di depan Tiong Han, pemuda itu
meIihat bahwa di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berwajah
galak dan gagah sekali. Orang ini berpakaian ringkas berwarna hitam dengan sorban warna
merah darah dan golok besarnya tergantung di pinggang.
"Pemuda liar dari manakah berani sekali memasuki wilayah kami dan mengeluarkan omongan
besar?” bentak orang bersorban merah ini.
Tiong Han tersenyum dan cepat memberi hormat sambil menjura. "Sahabat, aku adalah
seorang utusan dari benteng Gak goanswe. Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin dari
Sorban Merah."
Orang itu memandang dengan mata curiga dan mulutnya menyeringai dengan mengejek.
Ternyata ia tidak mau percaya akan keterangan Tiong Han.
“Kau? Utusan dari Jenderal Gak ? Siapa mau percaya obrolanmu ini ? Pakaianmu bukan
seperti seorang perwira atau perajurit. Jangan kau mencoba membohongi aku!” Kemudian
dengan sikap mengancam ia memandang tajam dan berkata, "Lebih baik kau mengaku bahwa
kau adalah seorang mata-mata dari barisan pemberontak!”
"Kau benar-benar galak, sahabat. Sebaliknya, kau ini siapakah ? Apakah kau juga seorang
anggaota Sorban Merah?" tanya Tiong Han sambil memandang ke arah sorban yang berwarna
merah darah itu.
Sepasang mata yang lebar dari orang itu terputar merah. "Anggauta biasa? Dengar, pemuda
bermata buta, aku adalah pemimpin pasukan Sorban Merah yang pada saat ini telah
mengurungmu! Aku adalah Louw Tek si Kerbau Besi, orang yang telah menewaskan banyak
sekali anggaota pemberontak. Hayo lekas berlutut kurantai dan kubawa menghadap kepada
ketua kami !"
Tiba-tiba Tiong Han tertawa geli. "Kukira pemimpin seluruh kesatuan Sorban Merah tidak
tahunya hanya pemimpin pasukan kecil saja. Eh, Low twako, aku bukan seorang taklukan.
Aku adalah utusan dari Jenderal Gak. Hayo jangan kau main-main dan lekas antarkan aku
kepada ketuamu."
"Orang yang tidak mempunyai kepandaian tidak boleh dipercaya menjadi utusan Jenderal
Gak dan sama sekali tidak patut menghadap ketua kami sebagai tamu. Kalau kau dapat
menahan kedua kepalan tanganku, baru kau boleh menghadap sebagai tamu ketua kami."
Sambil berkata demikian, Louw Tek memperlihatkan sepasang tinjunya yang besar dan kuat.
Tiong Han tersenyum, "Begitukah? Baiklah kau boleh mempergunakan kepalanmu yang seperti
tahu lunaknya itu untuk memukulku sampai dua kali pukulan, akan tetapi kaupun harus
dapat mempertahankan diri dari pukulan balasanku."
"Boleh !” Si Kerbau Besi menantang. "Siapa yang roboh, dia kalah !” Memang Louw Tek ini
selain kasar dan jujur, juga mempunyai kesukaan berkelahi dengan siapa saja yang
ditemuinya, dan sebelum dikalahkan, ia tidak akan dapat merobah sikapnya yang memandang
ringan.
Tiong Han berdiri tegak dan mengangkat dada. "Pukullah sesuka hatimu !"
Sebelum memukul, Louw Tek memandang ke sekeliling lalu berkata dengan suara
keras,"Kawan-kawan perhatikan baik-baik, kalian menjadi saksi. Kalau orang ini bermain
curang, tentu dia mata-mata pemberontak dan lekas hujani anak panah!”
Kemudian ia menghadapi Tiong Han, memasang kuda-kuda dan berseru keras,"Awas pukulan !"
Kedua lengannya bergerak cepat dan "buk! Buk!!" dua kali kepalan tangannya bergantian
jatuh di dada Tiong Han. Akan tetapi pemuda ini hanya tersenyum saja, sama sekali tidak
mengejapkan mata menerima pukulan-pukulan itu. Tentu saja Si Kerbau Besi menjadi heran
sekali.
"Sudah kaupukulkah? Ah, aku tidak merasa sama sekali."
"Pemuda sombong, coba kurasakan pukulan tanganmu yang seperti bubur itu !" kata Louw
Tek dengan muka merah dan ia memperteguh kuda-kudanya, melambungkan perut dan dadanya
sambil menahan napas !
Tiong Han menjadi geli sekali. "Kau benar-benar seperti kerbau, bukan kerbau besi,
melainkan kerbau tanah lempung! Awas, rebahlah !" Sambil berkata demikian, Tiong Han
mendorong dada orang itu dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sedikit tenaga
dalamnya. Louw Tek mempertahankan diri, akan tetapi sia-sia saja. Ia merasa seakan-akan
diseruduk seekor gajah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting ke belakang
seperti sehelai daun kering tertiup angin !
Terdengar seruan marah dan dari balik pepohonan berlompatan keluar orang-orang
bersorban merah yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Mereka ini mengurung Tiong Han
dengan sikap mengancam, bahkan ada beberapa orang telah menghunus golok. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Mundur semua!”
Hebat sekali pengaruh bentakan ini, karena bagaikan disengat ular berbisa, orang-orang
itu melompat ke belakang dengan terkejut, lalu berdiri dengan tegak dan sikap
menghormat. Bahkan Louw Tek yang masih meringis-ringis kesakitan sambil mengurut
pantatnya yang menimpa batu ketika terjatuh tadi, kini sudah berdiri tegak dengan sikap
hormat.
Tiong Han menengok dan alangkah girangnya ketika ia melihat Kui Hwa dan Un Leng berlari
mendatangi sambil tertawa-tawa. Di belakang mereka berlari pula sepasukan Sorban Merah
yang diantaranya banyak sudah mengenal Tiong Han.
"Suheng…!” Kui Hwa girang sekali dan berlari-lari menghampiri kakak seperguruannya.
Juga Un Leng menghampiri Tiong Han sambi1 tersenyum girang.
"Sumoi! Saudara Un Leng! Sudah kuduga akan melihat kalian di sini." kata Tiong Han
dengan girang sambil memegang tangan Kui Hwa dan Un Leng.
Louw Tek dan kawan-kawannya berdiri bengong dan menjadi pucat, akan tetapi Tiong Han
yang melirik ke arah mereka berkata kepada suami istri pemimpin pasukan Sorban Merah
itu. "Sumoi, anak buahmu benar-benar teliti sekali. Tidak mudah bagiku untuk meyakinkan
mereka bahwa aku tidak bermaksud buruk. Benar-benar kau mempunyai pasukan yang
berdisiplin, sumoi."
Bukan main girang dan bersukurnya hati Louw Tek dan anak buahnya mendengar ucapan Tiong
Han ini.
"Pangcu (ketua), enghiong (orang gagah) ini adalah utusan dari Jenderal Gak!" kata Louw
Tek kepada Kui Hwa. "Akan tetapi sebelum mempercayainya dengan membuta, saya telah
mencobanya dulu, tidak tahu bahwa dia adalah suheng dari pangcu. Mohon maaf."
"Tidak apa, tidak apa. Lekas atur penjagaan dan biarkan kami bertiga bercakap-cakap di
sini."
Setelah semua orang pergi, Kui Hwa lalu menuturkan kepada Tiong Han bahwa dia dan
suaminya, Un Leng, telah pindah ke kota raja. Akan tetapi, ketika mereka mendengar
bahwa ada barisan penjaga tapal batas utara memberontak, ia lalu bersama suaminya
mengumpulkan semua bekas anggauta Sorban Merah dan membentuk pasukan untuk melakukan
perang gerilya dan mengganggu barisan pemberontak itu.
"Dengan jalan ini aku hendak menebus semua kesalahan-kesalahanku yang dahulu twasuheng."
kata Kui Hwa.
'Bukan itu saja, memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai putera ibu pertiwi untuk
mengabdi dan membela tanah air, mengusir pengacau-pengacau yang hendak merusak keamanan
negara dan bangsa." kata Un Leng.
Tiong Han menjadi terharu sekali. "Kalian memang orang-orang yang baik dan pantas
sekali menjadi suami istri. Akan tetapi, sumoi, mengapa kau dan suamimu tidak mau
menggabungkan pasukanmu dengan pasukan pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Gak ?
Bukankah dengan persatuan, maka kekuatan akan menjadi lebih besar?”
"Siapa yang dapat mempercayai barisan pemerintah, suheng ? Barisan pemberontak yang
bergerak dari utarapun tadinya barisan pemerintah. Sesungguhnya, pada waktu sekarang
ini sukar sekali untuk membedakan mana pemberontak dan mana pengawal negara yang
setia !'
Tiong Han menghela napas, kemudian berkata,"Kata-katamu memang merupakan kenyataan yang
amat pahit, sumoi. Akan tetapi, percayalah kepadaku bahwa Jendral Gak benar-benar
adalah seorang panglima yang berjiwa besar dan setia kepada negara. Kalau tidak, masa
kedua orang guruku menyuruh aku datang kepadanya ?" Setelah Tiong Han menuturkan
riwayatnya secara singkat, Kui Hwa dan suaminya tidak membantah lagi dan berbondongbondonglah
anggauta Sorban Merah yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu berbaris
mengikuti Tiong Han, Kui Hwa, dan Un Leng menuju ke benteng tentara pemerintah.
Tentu saja Jenderal Gak menjadi tertegun melihat betapa pemuda itu benar telah kembali
pada senja harinya sambil membawa serta semua anggauta Sorban Merah. Akan tetapi ketika
ia mendengar bahwa pemimpin pasukan gerilya ini bukan lain adalah sumoi sendiri dari
Tiong Han, ia tertawa bergelak.
"Memang murid-murid dari Lui Thian Sianjin di Kim liong-pai ternyata gagah perkasa dan
berjiwa patriot sejati. Hanya sayangnya aku mendengar bahwa ada juga murid dari orang
tua itu yang murtad dan sesat."
"Murid itu adalah adik kembarku, Goanswe !" kata Tiong Han.
Jenderal Gak memandang tajam sekali dengan pandang mata penuh selidik, kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Sesungguhnya aku sudah tahu akan hal itu,
saudara Sim yang baik. Jawabmu yang singkat tadi, yang menyatakan pengakuanmu, sekarang
melenyapkan keraguan hatiku. Tadinya aku curiga dan sangsi sebagaimana yang harus
kulakukan sebagai seorang petugas yang berhati-hati. Aku curiga kepadamu, karena siapa
tahu kalau-kalau kau tidak memihak kepada adik kandungmu sendiri? Nah sekarang
kujelaskan bahwa adikmu yang jahat itu sekarang bahkan menjadi tangan kanan dari
pemimpin pemberontak."
Hal ini sama sekali tidak pernah diduga-duga oleh Tiong Han, maka mendengar keterangan
ini hampir saja ia melompat.
"Apa? Dan belum lama ini aku bertemu dengan dia dibenteng panglima Oei !"
"Justru Oei ciangkun atau Oei Sun itulah pemberontaknya ! Dia adalah bekas pemimpin
Pek-lian kauw, sekarang mengadakan pemberontakan dengan bantuan Go bi Ngo-koai tung
yang sesungguhnya dahulu adalah tokoh-tokoh Pek lian-kauw yang dikejar-kejar oleh
pemerintah. Dan celakanya, sekarang adikmu sendiri, Ang coa kiam yang namanya terkenal
itu menjadi pembantunya pula.
Ketika Tiong Han mengerling ke arah Kui Hwa, ia melihat adik seperguruannya ini hanya
duduk mendengarkan sambil menundukkan mukanya.
Jenderal Gak yang banyak pengalaman dalam hal peperangan dan memiliki siasat yang
lihai, sengaja melakukan gerakan memancing yang disebut "memancing serigala memasuki
perangkap". Ia hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja terhadap barisan Oei Sun,
dan pasukan-pasukan kecil inipun dipimpin oleh perwira-perwira rendahan, pertempuran
dilakukan sambil mundur sehingga Oei Sun makin besar hati dan mengejar terus ke
selatan.
Bahkan dengan sengaja Jenderal Gak lalu membuat pertahanan yang amat lemah di sebelah
utara Sungai Sungari hanya terdiri dari seribu orang tentara. Di tempat itu, Jenderal
Gak menyuruh orang-orangnya membuat perahu sebanyak-banyaknya untuk memancing Oei Sun.
Ternyata pancingannya ini berhasil dan Oei Sun yang mendengar tentang pembuatan perahu
ini, diam-diam merasa girang sekali.
"Jenderal Gak ternyata seorang yang bodoh." katanya sambil tertawa, "kita ingin
menyeberang dan sekarang dia yang membuatkan perahu. Ha, ha, ha !" Juga Go bi Ngo koai
tung tidak mempunyai dugaan buruk.
"Biarkan mereka membuat perahu sampai banyak dan cukup, baru kita datang merampasnya."
kata Thian It Tosu.
Tentu saja percakapan mereka ini terjadi di luar tahunya Tiong Kiat yang masih belum
sadar bahwa ia telah salah memilih tempat. Pemuda ini kurang memperhatikan keadaan
kawan-kawannya, bahkan ia tidak memperdulikannya lagi. Yang penting baginya ialah
bermain dengan Ang Hwa, memburu binatang bersenda gurau atau bermain pedang !
Kurang lebih tiga pekan kemudian, ketika perahu-perahu yang dibuat oleh orang-orang
jenderal Gak sudah banyak, menyerbulah barisan yang dipimpin oleh Oei Sun sendiri.
Karena barisan ini jauh lebih besar jumlahnya, juga karena barisan jenderal Gak sudah
dipesan lebih dulu agar jangan banyak melakukan perlawanan dan mengundurkan diri
melalui darat di sepanjang lembah Sungai Sungari sambil meninggalkan semua perahu, maka
pertempuran tidak berjalan lama dan semua perahu telah dapat terampas oleh Oei Sun!
Korban yang jatuh tidak banyak, karena memang pasukan-pasukan pembuat perahu itu tidak
melakukan perlawanan gigih.
Demikianlah, dengan girang sekali pasukan-pasukan Oei Sun lalu mempergunakan perahuperahu
itu untuk menyeberangi sungai dan mendaratlah mereka semua di pantai selatan
dengan selamat. Dengan semangat penuh dan harapan besar Oei Sun lalu menggerakkan
barisannya maju ke selatan ! Sama sekali Oei Sun tidak menduga tidak lama setelah
barisannya menyeberangi Sungai Sungari, nampak pasukan-pasukan lain yang besar
jumlahnya berkumpul dan membuat pertahanan di tepi sungai sebelah selatan. Inilah
barisan-barisan yang sengaja disediakan oleh Jenderal Gak untuk menghadang jalan pulang
dari barisan pemberontak itu apabila kelak dipukul mundur! Tiga hari kemudian, barulah
barisan pemberontak yang jumlahnya telah meliputi sepuluh ribu orang itu menghadapi
perlawanan hebat dari Jenderal Gak ! Nampak puluhan ribu tentara kerajaan berbaris
menghadang perjalanan di sebelah selatan. Bendera kerajaan berkibar-kibar dan bendera
besar yang bertuliskan huruf "Gak", amat megahnya berkibar di mana-mana, tanda bahwa
barisan-barisan itu berada di bawah pimpinan Jenderal Gak.
Melihat besarnya barisan musuh Oei Sun lalu membuat aba-aba berhenti dan pasukannya
lalu diatur membuat pertahanan yang kuat. Akan tetapi tiba-tiba datang beberapa orang
perajurit penyelidik yang dengan wajah pucat membuat laporan bahwa terdapat banyak
sekali tentara musuh di belakang, di kanan dan di kiri. Pendeknya, secara tidak terduga
sekali barisan mereka telah terkepung oleh barisan-barisan yang besar jumlahnya dari
tentara kerajaan yang mengibarkan bendera Gak !
"Jahanam besar ! Jenderal Gak telah memancing dan memperdayai ! Kita harus melawan
mati-matian dan memerintahkan membuat tenda-tenda dan sekitar tempat itu dikurung oleh
penjaga-penjaga yang merupakan benteng penjagaan amat kuat.
Sementara itu, Tiong Han yang menyaksikan kelihaian siasat dari Jenderal Gak ini,
merasa amat kagum. Ia mengerti bahwa memang dalam sebuah perang besar, tidak boleh
terlalu menurutkan perasaan sendiri atau dipengaruhi oleh urusan pribadi. Kalau tadinya
ia berlaku nekad dan menerjang benteng musuh untuk mencari adiknya, tentu siasat dari
Jenderal Gak ini akan terancam bahaya dan musuh mungkin akan merasa curiga. Setelah
keadaan musuh terkurung, ia lalu menghadap Jenderal Gak dan bertanya.
"Gak goanswe, mengapa tidak terus memukul hancur mereka saja ? Mau menanti apa lagi ?
Aku sudah tidak sabar untuk segera membekuk adikku yang jahat !"
Gak goanswe tersenyum, "Saudara Sim, Pasukan-pasukan yang kita kurung itu tadinya
adalah anak buah dari barisan kerajaan sendiri, jadi kawan-kawanku juga. Sekarang
mereka diselewengkan oleh Oei Sun, mungkin dalam keadaan tidak sadar, atau dalam
keadaan terpaksa. Mengapa mesti membasmi mereka semua ? Barisan-barisan itu merupakan
tubuh dan ekor dari seekor ular. Ke mana saja kepalanya bergerak, tubuh dan ekor akan
mengikutinya. Kalau yang menjadi biangkeladinya dapat dibasmi kurasa semua prajurit itu
akan dapat diinsafkan dari kesesatan mereka. Buat apa harus bunuh-membunuh antara
saudara dan kawan-kawan sendiri ?”
"Habis apakah yang akan dilakukan sekarang ? Apakah menanti sampai mereka mencari jalan
keluar dengan kekerasan ?"
Jenderal itu menggeleng-geleng kepalanya. "Kita kurung mereka dengan rapat sampai
mereka kehabisan ransum. Kalau mereka mencari jalan keluar, kita pukul mereka kembali
lagi di dalam kurungan. Kita akan mengurung terus sampai mereka menyerah, yakni Oei Sun
dan kaki tangannya."
"Jadi kita memberi syarat, yakni penyerahan diri dari Oei Sun dan kaki tangannya ?"
Jenderal tua itu mengangguk. "Dan kaulah yang akan menjadi utusanku !"
"Aku?"
"Ya, kaulah orangnya saudara Sim. Tidak ada utusan yang lebih baik daripada engkau
sendiri. Kau pandai menjaga diri dan kalau seandainya mereka mengganggumu dan
menahanmu, barulah aku akan turun tangan. Akan tetapi kurasa Oei Sun takkan begitu
bodoh mengorbankan keselamatannya untuk mengganggumu seorang."
"Baik, Gak-goanswe. Akan tetapi…."
"Tentang adikmu ?”
"Ya, bagaimanakah kalau aku bertemu dengan dia ? Bolehkah aku turun tangan ?”
Gak-goanswe menggelengkan kepalanya. "Jangan saudara Sim. Hal itu hanya akan
mengakibatkan pertempuran dan kedudukanmu sebagai utusan terancam. Utusan tidak boleh
diserang dan juga tidak boleh menyerang fihak tuan rumah. Ingat, kita dalam keadaan
perang, tidak boleh menurutkan nafsu hati mengurus urusan pribadi."
Tiong Han menarik napas panjang, "Baiklah, akan kuperhatikan baik-baik."
Demikianlah, setelah menerima pesanan-pesanan dari Gak-goanswe bagaimana harus bicara
terhadap Oei Sun, pada pagi hari keesokan harinya Tiong Han berangkat. Ia mengenakan
pakaian ringkas warna putih dengan leher baju biru, ikat kepala hijau muda. Ia tidak
membawa senjata karena memang semenjak menerima gemblengan ilmu silat dari Pat jiu
Toanio dan Lui kong-jiu tak perlu lagi ia mengandalkan bantuan senjata ! Yang
dibekalnya hanyalah sehelai bendera putih yang bertuliskan huruf GAK dan dibawahnya
bertuliskan huruf UTUSAN.
Dengan gerakan kaki ringan dan cepat sekali Tiong Han memasuki daerah terkepung. Markas
dari Oei Sun terletak sedikitnya lima lie dari tempat kepungan dan untuk menuju ke
markas kepala pemberontak itu, Tiong Han harus melalui daerah berhutan yang cukup liar.
la berjalan sambil membayangkan bagaimana nanti penerimaan Tiong Kiat kalau bertemu
dengannya. la masih sukar untuk dapat percaya bahwa adiknya itu kini telah menjadi
pembantu kepala pemberontak.
Ia dapat mengenal watak Tiong Kiat. Memang benar semenjak kecil adiknya ini nakal,
mudah marah, akan tetapi gembira dan tidak licik. Harus diakui bahwa setelah dewasa
Tiong Kiat mempunyai watak buruk dan mata keranjang akan tetapi adiknya itu diam-diam
masih menjunjung tinggi ayah mereka. Sejak kecil Tiong Kiat begitu bangga nampaknya
apabila membicarakan ayah mereka yang kabarnya dahulu menjadi panglima gagah !
"Tiong Kiat, Tiong Kiat…sekali ini aku tidak dapat mengampunimu…" keluhnya.
Ia maklum bahwa kalau sekali lagi bertanding, ia pasti akan dapat memukul mati adiknya
itu, karena ilmu-ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari kedua orang gurunya
yang baru memang khusus untuk memecahkan Ang-coa kiam.
la tahu dengan baik bagaimana harus mengalahkan Tiong Kiat, dan pukulan-pukulan yang
dipelajarinya bukanlah pukulan biasa-biasa, melainkan pukulan-pukuIan maut yang takkan
dapat ditahan pula oleh Tiong Kiat!
Ketika ia telah tiba di pinggir hutan dan puncak-puncak tenda barisan pemberontak telah
nampak samar-samar, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkelahi. Cepat Tiong Han lari
ke tempat itu dan alangkah terkejut dan herannya ketika ia melihat tiga orang sedang
berhadapan, yakni Eng Eng, Tiong Kiat, dan seorang nyonya cantik yang tidak dikenalnya!
Bagaimana Eng Eng bisa sampai di tempat itu?
Marilah kita mengikuti sebentar perjalanan Eng Eng sebelum tiba di tempat itu yang
membuat Tiong Han berdiri di belakang pohon sambil berdiri bengong saking herannya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan Eng Eng bersama ayah angkatnya, yakni
Piloko kepala suku bangsa Cou, turun dari gunung di mana seluruh keluarga Cou bertahan
dari serangan orang-orang Ouigour dan lain-lain. Piloko mengajak anak angkatnya menuju
ke kota raja untuk menghadap kaisar dan menyampaikan protes tentang bantuan tentara
kerajaan yang menyerang orang-orang Cou membantu orang Ouigour bertindak sewenangwenang.
Tanpa banyak halangan kedua orang ini tiba di kota raja dan dengan mudah Piloko yang
sudah dikenal itu diterima oleh Kaisar Tai Cung sendiri. Sebagai anak angkat Piloko,
Eng Eng juga diperkenankan masuk menghadap kaisar sehingga gadis ini menjadi bingung
dan sungkan-sungkan memasuki ruangan yang indah dan menghadapi keagungan kaisar itu.
Akan tetapi, apa yang mereka dengar dari kaisar benar-benar merupakan guntur di siang
hari. Dari kaisar, Piloko dan Eng Eng mendengar tentang pemberontakan Oei Sun dan bahwa
tentara kerajaan yang membela Huayen-khan itu sebetulnya adalah pemberontak-pemberontak
yang bersama Huayen-khan merencanakan penyerbuan ke kota raja!
Akan tetapi kaisar menghibur mereka sambil menyatakan bahwa kini barisan besar yang
dipimpin oleh Gak goanswe telah mulai bergerak untuk menghancurkan pemberontak itu
berikut tentera yang dipimpin oleh Huayen-khan. Bahkan dianjurkan kepada Piloko untuk
menggabungkan anak buahnya dengan Gak goanswe untuk bersama-sama memerangi para
pemberontak dan orang orang Ouigour.
Piloko keluar dari istana kaisar dengan hati lega ternyata bahwa kaisar tidak memusuhi
bangsanya. Akan tetapi Eng Eng keluar dengan hati panas sekali. Kebenciannya terhadap
Tiong Kiat memuncak setelah ia mengetahui bahwa pemuda yang dibencinya itu ternyata
adalah seorang pemberontak.
Ia minta kepada ayah angkatnya agar supaya pulang lebih dulu, karena ia hendak menyusul
Jenderal Gak dan hendak membantunya menghancurkan pemberontak. Pertemuan Eng Eng dengan
kaisar membangunkan semangatnya, demikian katanya kepada Piloko. Padahal yang benar
merupakan dorongan kepadanya ialah keinginannya hendak membalas dendam kepada Tiong
Kiat dan ia merasa kuatir kalau-kalau ia didahului oleh orang lain !
Kalau sampai barisan pemberontak itu dapat dihancurkan oleh Gak goanswe dan Tiong Kiat
binasa dalam perang, bukankah ia selamanya akan merasa kecewa tidak dapat membalas
orang itu dengan kedua tangannya sendiri? Piloko tidak merasa keberatan sungguhpun ia
merasa menyesal tidak dapat mengawani anak angkatnya itu karena keluarga-keluarga Cou
di atas bukit itu harus dilindunginya, maka berangkatlah Eng Eng menuju ke utara terus
mencari barisan-barisan dari Jenderal Gak. Ketika ia melihat dan mendengar betapa
barisan pemberontak itu telah terkurung di sebelah selatan Sungai Sungari, ia menjadi
girang sekali.
Tentu Tiong Kiat berada di dalam daerah terkurung itu, pikirnya. Lebih baik aku
mendahului Jenderal Gak, sebelum pemberontak diserang dan dihancurkan, aku lebih dulu
memasuki daerah terkurung untuk mencari jahanam itu!
Dengan pikiran ini, Eng Eng lalu mempergunakan kepandaiannya di waktu malam gelap ia
menerobos masuk ke dalam daerah kepungan tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang
mengepung daerah itu.
Gadis yang berani ini lalu melewati malam di dalam hutan dan begitu malam gelap telah
terusir pergi oleh sinar pagi, ia lalu keluar dan hutan untuk mulai usahanya mencari
Tiong Kiat.
Memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa hari itu harus terjadi peristiwa besarbesaran.
Dengan cara kebetulan sekali, pada pagi hari itu Huayen-khan dan Ang Hwa naik
kuda memasuki hutan itu berdua saja. Eng Eng segera bersembunyi dan diam-diam
menghampiri mereka ketika kedua orang ini menahan kuda dan turun lalu bercakap-cakap di
bawah pohon-pohon yang rindang.
"Ang Hwa, ternyata Oei Sun yang tolol itu telah membawa kita kepada kehancuran !
Seluruh barisan telah terkurung. Kita harus berdaya untuk melepaskan diri, isteriku.”
"Enak saja kau bicara. Bagaimana kita bisa melepaskan diri dalam keadaan terkurung
seperti ini? Paling baik kita berusaha sekuat tenaga untuk membantu Oei ciangkun
mencari jalan keluar!"
"Bodoh! Mana bisa kita melawan Gak goanswe? Tidak tahukah kau bahwa Gak goanswe
memiliki kepandaian tinggi dan para perwiranyapun gagah perkasa? Lebih baik begini, Ang
Hwa, aku dan kau diam-diam melarikan diri dan menyerah kepada Gak goanswe?"
"Tentu saja kita akan dihukum sebagai pemberontak."
"Belum tentu. Kita bisa menggunakan alasan bahwa kita telah dibodohi oleh Oei Sun dan
tokoh-tokoh Pek lian kauw itu."
Sebelum Ang Hwa menjawab, berkelebat bayangan biru dan tahu tahu Tiong Kiat telah
berdiri di hadapan mereka! Wajah pemuda ini membuat Huayen khan memandang pucat.
"Pengkhianat, apa katamu tadi?" pemuda ini membentak. Ternyata bahwa kepandaiannya yang
tinggi membuat kedatangannya tidak diketahui oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Tentu saja
Eng Eng yang masih bersembunyi dapat mengetahui kedatangan pemuda ini dan hatinya
berdebar keras. Ingin sekali ia melompat keluar dan menyerang pemuda yang dibencinya
ini, akan tetapi ia hendak melihat dulu apakah yang akan terjadi antara tiga orang itu.
Ternyata bahwa sampai saat itupun Tiong Kiat masih belum sadar bahwa yang mengurung
mereka adalah tentara kerajaan yang asli ! Menurut keterangan Oei Sun, yang mengurung
adalah tentara Gak yang memberontak dan mereka menanti datangnya bala bantuan yang
datangnya dari kota raja ! Dan tadi ia hanya mendengar sebagian saja ucapan Huayen khan
yakni bagian di mana Huayen Khan menyatakan hendak menyerah kepada Jenderal Gak. Tentu
saja ia menjadi marah sekali.
Ketika Ang Hwa melihat munculnya kekasihnya ini, ia cepat mendekati Tiong Kiat,
merangkul lengannya dan dengan manja dan genit ia berkata,
"Tua bangka ini hendak mengkhianati kita dan hendak menyerah kepada musuh !"
Huayen khan tertawa bergelak dan kumisnya berdiri saking marahnya. "Perempuan busluk
dan rendah !" makinya. Ia ingin mengeluarkan banyak kata-kata, akan tetapi hanya
terengah-engah saking marahnya. Cepat ia mengeluarkan busurnya dan segera tersusul oleh
suara menjepretnya lima batang anak panah ke arah Ang Hwa ! Tiong Kiat sudah maklum
akan kelihaian anak-anak panah kepala suku Ouigour ini maka sejak tadi ia telah
mencabut pedangnya. Sekali cabut ia telah mengeluarkan dua buah pedang, yakni pedang
Ang coa kiam di tangan kanan dan pedang Hui-liong kiam di tangan kiri.
Di tempat persembunyiannya, Eng Eng menjadi pucat, ia mengenal pedang yang dulu dibawa
oleb Tiong Han. Sekarang pedang ini berada di tangan Tiong Kiat. Apakah yang telah
terjadi dengan Tiong Han??
Dengan sekali menggerakkan kedua pedangnya, semua anak panah dari Huayen khan dapat
dipukul jatuh oleh Tiong Kiat yang tertawa menyindir. "Huayen-khan, kau benar-benar
pengecut besar! Ternyata kau hanya pandai menggunakan anak-anak panah terhadap kawan
sendiri. Pengkhianat dan pengecut !"
"Orang she Sim! Kaulah yang pengecut dan manusia tidak tahu malu! Telah lama kau
mempermainkan istri orang, apakah hal ini patut dilakukan oleh seorang gagah? Ha, ha,
ha, manusia macam kau mau menganggap diri sebagai seorang gagah seorang patriot,
seorang perwira…ha, ha, ha, seorang perwira? Sungguh lucu!" Ia menggerakkan kedua
tangannya lagi dan menjepretlah gendewanya, melayangkan Iima buah anak panah lagi, ke
arah Tiong Kiat dengan hebatnya.
Tiong Kiat yang menjadi amat merah mukanya mendengar makian dan ejekan tadi memutar
kedua pedangnya dengan cepat dan setelah lima batang anak panah itu dapat diruntuhkan,
ia lalu menyerbu ke depan sambil berseru,
"Huayen khan, manusia hina dina! Kubunuh kau, bangsat tua bangka!"
"Benar, Sim-taihiap, bunuh saja monyet tua ini. Aku sudah bosan melihat macamnya!” kata
Ang Hwa yang juga menjadi merah mukanya.
Huayen khan kembali tertawa bergelak, mencabut golok besarnya dan melawan mati-matian.
Akan tetapi memang ia bukan tandingan Tiong Kiat yang kini sudah memiliki Ang coa
kiamsut seluruhnya. Baru belasan jurus saja Huayen khan tak kuat melawan lagi dan
ketika Tiong Kiat menyerangnya dengan gerak tipu Ang coa kan goat (Ular Merah Mengejar
Bulan) terdengar teriakan ngeri dan Huayen khan roboh mandi darah dengan ulu hati
tertembus pedang Ang coa kiam!
Kepala suku bangsa Ouigour ini tewas pada saat itu juga, menjadi korban daripada
keserakahannya sendiri hendak menguasai Tiong kok dengan mengorbankan istrinya sendiri
menjadi permainan orang!
Ang Hwa menjadi girang sekali dan nyonya muda yang cantik ini lalu memeluk dan
merangkul leher Tiong Kiat, dan diciumnya muka pemuda itu dengan penuh kasih sayang.
"Koko yang baik, sekarang aku bisa menjadi isterimu !” katanya dengan manja dan genit.
Pada saat itu, Eng Eng yang sudah tak dapat menahan sebalnya menyaksikan peristiwa yang
amat rendah itu, melompat keluar dengan pedang di tangannya.
"Iblis bermuka manusia, orang she Sim, di sinilah aku harus melenyapkan kau dari muka
bumi. Manusia tak tahu malu, yang membunuh orang dengan kejam setelah bermain gila
dengan istrinya ! Cih, di dunia tidak ada keduanya laki-laki macam kau yang bermoral
bejat ini!”
Tiong Kiat tidak saja amat terkejut ketika melihat Eng Eng muncul, juga dampratan gadis
ini membuat ia menjadi pucat dan tertegun.
Ia menggerakkan pundaknya sehingga pelukan dan rangkulan kedua tangan Ang Hwa terlepas.
Dengan muka merah Tiong Kiat berkata kepada Eng Eng.
"Ah kiranya Suma siocia! Aku ...... Jangan menyangka yang bukan-bukan, nona. Orang
ini.... dia adalah Huayen khan yang hendak memberontak dan mengkhianati kawan-kawan
sendiri. Dia hendak menyerahkan diri kepada pemberontak dan ......dan…" Tiong Kiat
menjadi bingung dan gagap karena tiba-tiba teringat bagaimanakah nona Suma Eng ini bisa
masuk ke daerah yang terkurung itu !
'Pandai saja memutar lidah ! Kaukira aku tidak mendengar semua yang diucapkan tadi ?
Kaukira aku tidak tahu bahwa perempuan kotor ini adalah isteri dari orang yang kaubunuh
itu ? Dan bahwa kau membunuhnya karena hendak merebut isterinya ? Dan bahwa kau adalah
seorang pemberontak yang hina dina, seorang yang sepuluh kali lebih patut dihukum
gantung ?”
Untuk sesaat Tiong Kiat tak dapat menjawab dan pada saat itulah muncul Tiong Han yang
cepat menyembunyikan diri di belakang pohon dengan muka terheran-heran !
Ketika Tiong Han tiba di tempat itu, Tiong Kiat masih belum dapat menjawab dan pemuda
itu masih memandang kepada Eng Eng dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Eng Eng
sendiri dengan pedang di tangan, mukanya merah sekali dan matanya bersinar-sinar
menyeramkan.
Adapun Ang Hwa masih berdiri dekat Tiong Kiat, karena nyonya ini terkejut sekali ketika
tadi Tiong Kiat merenggut dan melepaskan tangannya yang memeluk leher pemuda itu.
Tiba-tiba Tiong Kiat berkata sambil menangkap tangan Ang Hwa. "Nona Suma.......sungguh
mati, perempuan ini tidak ada artinya bagiku! Di dunia ini....... hanya kau seorang
yang boleh memenuhi ruang hatiku. Perempuan ini......? Hm, dia bukan lain adalah
seorang perempuan lacur yang hina dina. Aku membunuh Huayen khan karena dia seorang
pengkhianat, sama sekali bukan karena perempuan ini!"
Ketika Tiong Kiat melihat betapa Eng Eng tersenyum menghina dan mengejek, ia menyambung
kata-katanya.
"Kau tidak percaya? Lihat, perempuan ini sesungguhnya bukan apa-apa bagiku!” Dan
secepat kilat Tiong Kiat menggerakkan Ang coa kiam dan sebelum Ang Hwa yang semenjak
tadi mendengarkan ucapan Tiong Kiat dengan wajah pucat dan mata terbelalak itu dapat
mengetahui gerakan pemuda ini, pedang Ang coa kiam di tangan Tiong Kiat telah membabat
lehernya!
Ang Hwa tak sempat mengeluarkan sedikitpun suara dan tubuhnya roboh tergelimpang di
dekat mayat suaminya dalam keadaan tak bernyawa lagi dan lehernya hampir putus !
"Bangsat she Sim! Jangankan baru kau membunuh anjing betina ini yang sama kotornya
dengan engkau, biar kau membunuh ayah bundamu sendiri dihadapanku tetap saja
kebencianku terhadapmu takkan berkurangl Kau harus mampus !"
"Suma Eng... sungguh kau kejam dan keterlaluan! Kau tahu bahwa aku cinta kepadamu. Aku
telah merobah hidupku, lihat, bukankah aku telah menjadi seorang perwira kerajaan ?
Bukankah aku telah memilih jalan yang benar ? Mengapa kau masih saja membenciku ? Eng
Eng, lupakanlah urusan dahulu dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus dosa.
Katakan bahwa kau suka menjadi istriku, dan aku akan menurut apa saja yang kau
kehendaki."
"Bangsat rendah bermulut kotor ! Jangan kau berani sebut-sebut hal itu lagi. Kau telah
mencemarkan nama orang tuamu, nama perguruanmu, bahkan kau telah mencelakakan kehidupan
kakakmu yang amat berbudi dan mencintaimu, kau........ kau manusia rendah....!"
"Ha, agaknya kau lebih suka kepada kakakku dari pada kepadaku ?" pertanyaan Tiong Kiat
ini terdengar penuh cemburu sehingga Tiong Han yang mendengarkan percakapan itu merasa
mukanya panas dan warna merah menjalar dari leher ke mukanya. "Tutup mulutmu ! Dia
seribu kali lebih berharga dari pada engkau ! Untuk menggosok sepatunya saja kau masih
terlalu kotor, jangankan menjadi adiknya, tahu?"
"Eng Eng kau terlalu…"
"Siapa yang terlalu ? Kau seorang rendah, seorang hina dan sekarang menjadi pemberontak
pula!"
"Pemberontak ? Apa maksudmu ? Eng Eng kalau orang sudah membenci, selalu buruk saja
pandangannya. Aku bukan pemberontak, aku bahkan melawan pemberontak she Gak itu dan…"
"Bangsat lihat pedang !" Eng Eng tidak sabar lagi dan cepat menyerang dengan pedangnya.
Ucapan Tiong Kiat tadi dianggapnya sebagai bujukan belaka. Mana bisa jenderal Gak
disebut pemberontak ??
Tiong Kiat menangkis dengan pedang Hui liong-kiam di tangan kirinya. Dengan dua batang
pedang di tangan, ia selalu menghindarkan diri dari serangan gadis itu yang mendesak
dengan hebat.
Diam-diam Tiong Han memuji kepandaian adiknya itu. Tiong Kiat dengan kedua tangan
memegang pedang, sanggup memainkan Ang coa-kiamsut dengan dua pedang itu !
"Sungguh benar kata-kata suhu dulu bahwa dia memang berbakat sekali." kata Tiong Han
dalam hatinya. Ia harus akui bahwa dia sendiri tak mungkin dapat mainkan Ang-coa
kiamsut sekaligus dengan dua batang pedang. Akan tetapi, sekarang ia sanggup untuk
menghadapi Tiong Kiat, biarpun dengan tangan kosong setelah ia digembleng oleh Pat jiu
Toanio dan Lui-kong jiu. Melihat betapa Eng Eng tak mungkin dapat merobohkan Tiong Kiat
yang menangkis sambil mundur, agaknya hendak memancing gadis itu ke arah markas besar
Tiong Han lalu melompat keluar.
"Tahan dulu !” katanya lalu tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan Tiong Kiat. Ia
hendak mempraktekkan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah yang ia pelajari dari Pat jiu
Toanio untuk merampas pedang.
Tiong Kiat mencoba untuk menarik kembali pedang di tangan kirinya, akan tetapi ternyata
kalah cepat, ia hanya mengerahkan tenaganya dan memegang pedang Hui-liong kiam itu erat
erat karena kalau sampai pedang itu direbut, belum tentu lawan akan berhasil
merenggutnya. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Tiong Han mempergunakan ilmu silat baru.
Tiba-tiba ia merasa pergelangan tangan kirinya lemas dan otomatis pegangannya terbuka
sehingga pedang itu tahu-tahu sudah pindah ke tangan Tiong Han !
Tiong Kiat terkejut dan heran, akan tetapi sifat sombongnya keluar dan sambil
tersenyum-senyum ia berkata, "Ambillah, memang itu pedangmu!"
Sementara itu ketika melihat Tiong Han, wajah Eng Eng berseri sebentar, akan tetapi
segera ia menghadapi segala gerak-gerik dari Tiong Kiat lagi, dengan marah sambil
berkata kepada Tiong Han. "Aku yang mendapatkannya lebih dulu, maka aku yang hendak
membunuhnya."
“Maaf, nona Suma, sekarang bukan waktunya untuk mengurus urusan pribadi. Aku datang
sebagai utusan dari Jenderal Gak untuk melakukan pembicaraan dengan Oei Sun dan kaki
tangannya.” Kemudian ia memandang dengan tajam kepada Tiong Kiat,
'Kau tentu kaki tangan Oei Sun pula, bukan?" Suaranya mengandung penyesalan dan juga
ejekan, lalu disambungnya.
'Pergilah sampaikan kepada Oei Sun bahwa aku utusan Gak-goanswe sengaja datang untuk
bertemu dan bicara !" Sambil berkata demikian, Tiong Han lalu mencabut sehelai kain
putih yang merupakan bendera tanda utusan dari Gak goanswe.
Tentu saja Tiong Kiat memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya menjadi pucat seperti
melihat setan di tengah hari.
"Engko Tiong Han"
"Tutup mulut! Jangan menyebut engko, aku bukan saudaramu! Kau seorang perwira
pemberontak dan aku seorang utusan dari tentara kerajaan ! Lekas kau melaporkan
kedatanganku, ataukah aku sendiri harus masuk ke sana?” Ia menunjuk ke arah bayangan
tenda di kejauhan.
Tiong Kiat menggigil seluruh tubuhnya.
"Apakah artinya ini?? Tiong Han…demi kehormatan ayah... demi Tuhan, katakanlah, apa
artinya ini? Benar-benarkah Oei ciangkun memimpin barisan pemberontak, bukankah
jenderal she Gak itu yang memberontak ?"
"Kebiasaan jahat mendatangkan pemandangan yang sempit dan jiwa yang hampa !" kata Tiong
Han. "Entah kau berpura-pura atau tidak, akan tetapi sungguh amat lucu kalau tidak tahu
bahwa Oei Sun yang bersekutu dengan Huayen-khan adalah pemberontak-pemberontak keji
yang patut dibasmi! Sungguh menyebalkan mendengar orang berkata bahwa Jenderal Gak yang
gagah perkasa adalah seorang pemberontak. Pemutarbalikan yang tidak kenal malu ! Siapa
tidak tahu bahwa pemberontak Oei Sun adalah bekas tokoh Pek lian-kauw dan bahwa dia
dibantu oleh lima orang bekas pemimpin Pek Iian kauw yang kini bernama Go bi Ngo-koaitung?
Entah matamu yang buta, entah batinmu yang sudah tak dapat melihat lagi."
Makin pucat wajah Tiong Kiat mendengar ini dan bibirnya bergetar. Sukar sekali ia dapat
mengeluarkan kata-kata, akan tetapi akhirnya dapat juga ia berkata,
"Tiong Han........ demi mendiang ayah kita…tidak bohongkah kau? Bersumpahlah..!"
"Aku bukan seperti kau, tak sudi berbohong dan tak perlu bersumpah."
Mendengar ini, terdengar isak tangis tertahan dari dada Tiong Kiat. la membantingbanting
kaki beberapa kali kemudian membalikkan tubuh terus berlari secepat terbang
menuju kepada tenda tenda yang terpasang di luar hutan.
"Bangsat hendak lari ke mana?" Eng Eng membentak nyaring dan mengejar, akan tetapi
tiba-tiba tangannya dipegang orang dari belakang. Ia menengok dan memandang kepada
Tiong Han dengan heran.
"Eh, eh, saudara Sim. Mengapa kau memegang tanganku ? Apakah kau kembali hendak membela
adikmu yang murtad itu?"
Tiong Han melepaskan pegangannya dan menggeleng kepalanya.
"Nona Eng Eng, jangan salah sangka. Aku hanya mencegahmu untuk mengejarnya oleh karena
hal itu amat berbahaya. Baru Tiong Kiat seorang saja agaknya amat sukar kau
menjatuhkannya, apalagi di sana masih banyak orang-orang kosen dan berkepandaian
tinggi. Go-bi Ngo koai tung dan Oei Sun adalah lawan-lawan yang amat berat, kalau kau
mengejarnya, bukankah itu sama saja dengan mengantarkan nyawa?"
"Kau perduli apakah, Saudara Sim ? Aku tidak takut mati." jawab Eng Eng sambil
mengedikkan kepalanya.
"Aku tidak meragukan kegagahanmu, nona. Akan tetapi… aku tidak rela kalau kau mati
begitu saja.... "
Wajah nona itu berubah merah, menambah kecantikannya yang amat menarik hati Tiong Han,
"Apakah maksudmu? Apa hubungannya kematianku dengan rela atau tidaknya kau, saudara
Sim?" Dengan jujur dan tajam mata pemuda itu menatap wajah Eng Eng, lalu disusul oleh
kata-katanya yang jelas.
'Nona Suma Eng, terus terang saja, aku amat kasihan kepadamu, dan juga aku amat suka
dan tertarik oleh kegagahan dan nasibmu. Selain itu, aku merasa ikut bertanggung jawab
atas kejahatan adikku itu, maka…aku ingin sekali…menebus dosa adikku terhadapmu, aku
ingin sekali memperbaiki segala kesalahan adikku terhadapmu, dan aku tidak ingin
melihat kau mengalami penderitaan lebih lanjut karena adikku yang jahat, Ketahuilah
bahwa semenjak pertemuan kita, aku selalu memikirkan keadaanmu, nona. Hanya dua macam
tugas suci dalam hidupku, pertama-tama membela negara dan menghancurkan adikku sendiri
yang jahat. Kedua kalinya, mendatangkan kebahagiaan padamu dengan jalan apa saja yang
kau kehendaki !"
“Eh, eh. saudara Sim, dalam keadaan seperti ini, mengapa kau bicara yang bukan-bukan?
Sudahlah, nanti saja kita bicara kalau urusan sudah selesai. Aku harus menyusul dan
mengadu nyawa dengan adikmu !"
Kembali Eng Eng hendak berlari mengejar Tiong Kiat, akan tetapi Tiong Han mencegahnya
lagi.
"Nanti dulu nona. Ucapanku tadi pun ada hubungannya dengan urusan ini. Kukatakan tadi
bahwa tugasku pertama-tama membela negara. Urusan Tiong Kiat mudah diselesaikan
kemudian kalau tugas pertama ini sudah selesai. Aku adalah seorang utusan dari jenderal
Gak. Kau ikutlah dengan aku menjumpai Oei Sun dan kaki tangannya. Aku ditugaskan untuk
membujuk mereka menyerah agar tidak terjadi perang antara bangsa sendiri. Setelah itu
kita bersama mengejar Tiong Kiat. Bagaimana pikiranmu? Kalau kau pergi sekarang
mengejar akan mengacaukan dan menggagalkan rencanaku karena fihak pemberontak tentu
akan menjadi geger dan mencurigaiku.”
Eng Eng berpikir sebentar, kemudian ia mengangguk. "Baiklah, saudara Sim, aku turut
nasihatmu."
Tiong Han tersenyum. 'Nona, dulu ketika bertemu, kau menyatakan hendak menyebut twako
kepadaku, akan tetapi sekarang agaknya kau telah lupa akan sebutan itu. Tak enak
melihat kau berlaku sungkan-sungkan lagi setelah kita menjadi sahabat baik."
Gadis itu tersenyum dan tanpa menjawab ia lalu melangkah maju, bersama dengan pemuda
itu menuju ke arah tenda-tenda yang kini nampak terang di bawah sinar matahari.
Tenda yang ditempati oleh Oei Sun adalah tenda atau kemah di tengah-tengah yang paling
besar. Di depannya terdapat sebuah bendera besar dengan huruf OEI yang besar pula,
berkibar-kibar tertiup angin. Kemah yang besar ini dikelilingi oleh lima buah kemah
lain yang menjadi tempat tinggal Go bi Ngo koai tung. Ada pun Tiong Kiat biasanya
bermalam di dalam kemah terbesar bersama Oei Sun, atau seperti seringkali terjadi, ia
bermalam di kemah lain, tentu bersama Ang Hwa !
Ketika Tiong Han dan Eng Eng tiba di perkemahan paling depan mereka disambut oleh
barisan penjaga pertama yang segera menodong mereka dengan tombak. Tadinya para penjaga
itu merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa pemuda ini tentu Sim ciangkun yang menyamar
akan tetapi melihat sikap pemuda ini berbeda dari Sim ciangkun mereka lalu berlaku hati
hati dan membentak,
"Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang ke sini ?”
Tiong Han tidak mau banyak cakap, lalu mengeluarkan bendera putihnya. Para penjaga
terkejut dan seorang di antaranya cepat-cepat memberi laporan ke dalam. Kemudian
keduanya dipersilakan masuk melalui perkemahan pertama. Tiong Han menjadi heran mengapa
agaknya para penjaga itu belum tahu akan kedatangannya. Apakah Tiong Kiat belum memberi
laporan kepada pimpinan pemberontak? Akan tetapi ia tidak banyak cakap dan berjalan
terus dengan sikap waspada. Ia memegangi bendera putih itu di depan dadanya sedangkan
Eng Eng dengan gagah sekali berjalan di belakang Tiong Han. Gadis ini menyimpan pedang
di punggung dan nampak cantik dan gagah sehingga para penjaga memandangnya dengan
kagum.
Setelah melalui beberapa lapis penjaga akhirnya mereka tiba juga di barisan tenda Go-bi
Ngo Koai-tung yang mengelilingi tenda tempat tinggal Oei Sun. Di sana sini nampak
perajurit berdiri menjaga bagaikan patung. Ternyata penjagaan dilakukan amat rapi dan
teguh.
Tidak seperti pada lapisan-lapisan perkemahan di luar, di sini mereka tidak di sambut
oleh penjaga-penjaga, bahkan para penjaga yang berdiri menjaga bagaikan patung tidak
bergerak sama sekali seakan-akan tidak melihat mereka, Tiong Han menjadi ragu-ragu.
Jalan untuk memasuki lingkungan tenda itu tidak ada, karena antara tenda satu dengan
yang lainnya, yakni antara lima buah tenda tempat tinggal Go-bi Ngo-koai tung dipasangi
tali yang menghubungkan yang Iain dan juga merupakan penghalang bagi mereka yang hendak
masuk. Akan tetapi dari luar, Tiong Han dan Eng Eng dapat melihat bendera yang
bertuliskan huruf OEI. Adapun pada tenda yang lima buah banyaknya itu dipasangi bendera
bendera hitam yang model bentuknya menyeramkan seperti bendera yang biasa dipergunakan
oleh pendeta-pendeta untuk mengusir roh jahat.
"Bagaimana kita harus masuk !" Kata Tiong Han perlahan kepada Eng Eng.
"Putuskan saja tali yag menghalang ini," kata gadis itu.
Tiong Han menggeleng kepala. "Seorang utusan tidak boleh berlaku kasar dan menghina
tuan rumah, sebaliknya tuan rumah juga tidak boleh menghina utusan lawan."
Setelab berkata demikian, Tiong Han mengumpulkan khikangnya, lalu berseru,"Utusan dari
Gak goanswe telah tiba, mohon menghadap kepada pemimpin she Oei !" la sengaja tidak mau
menyebut Oei ciangkun, karena setelah menjadi pemberontak otomatis ia tidak bisa
menganggap orang she Oei itu sebagai perwira lagi.
Suara yang dikeluarkan oleh Tiong Han ini bergema sampai jauh. Sampai lama mereka
menanti, barulah terdengar jawaban dari dalam tenda Oei Sun. "Utusan Gak goanswe
silakan masuk saja. Tenda kami tidak berapa tinggi !”
Tiong Han memandang ke atas. Hem, mereka sengaja menguji kepandaiannya, pikirnya, ia
memberi isyarat kepada Eng Eng, kemudian mereka lalu mengenjot tubuh, melompat ke atas
tenda yang berbendera hitam itu. Gerakan mereka bagaikan dua ekor burung walet saja
gesitnya. Setelah berdiri di atas tenda itu, Tiong Han lalu melompat turun ke dalam
diikuti oleh Eng Eng yang masih terus berada di belakangnya ! Sepasang orang muda ini
benar-benar nampak gagah dan elok ketika mereka melompat turun tanpa mengeluarkan
suara.
Keadaan di situ sunyi saja, akan tetapi perasaan mereka memberitahukan bahwa diam-diam
banyak mata mengikuti gerak-gerik mereka. Tiong Han dan Eng Eng menghampiri pintu tenda
terbesar yang masih tertutup. Mereka berdiri, tidak berani masuk.
'Masuklah saja, kami telah menanti kedatanganmu !" Suara tadi terdengar lagi dari dalam
tenda.
"Hati-hati, nona Eng Eng " bisik Tiong Han dan sambil membawa bendera putih yang tadi
dimasukan dalam saku ketika ia melompati tenda, lalu membuka pintu tenda besar itu.
Dengan gagah ia berjalan masuk diiringi oleh Eng Eng.
Ternyata di dalam tenda itu telah duduk enam orang, yakni Oei Sun dan Go-bi Ngo koaltung
yang kesemuanya pernah dilihat oleh Eng Eng dan Tiong Han.
Oei Sun tertawa bergelak, lalu berkata.
"Aah, tidak tahunya saudara Sim Tiong Han dan nona Suma Eng yang menjadi utusan dari
Gak goanswe! Ini namanya berurusan dengan sahabat-sahabat lama. Bagus, bagus!”
'Menurut pendapatku, kita bukan sahabat-sahabat. Cuwi (tuan-tuan sekalian) adalah
pemimpin pemimpin pemberontak, adapun kami berdua adalah utusan dari Jenderal Gak
pemimpin balatentara kerajaan." jawab Tiong Han dengan tegas karena ia hendak
menyatakan bahwa tak mungkin dengan dia dan Eng Eng dapat diadakan persekutuan !
"Bukan sahabat juga tidak mengapa " Thian It Tosu berkata dengan senyum menyindir,
"kamipun tidak suka menjadi sahabat dari orang-orang yang pernah kami kalahkan."
Tiong Han dan Eng Eng merasa panas, akan tetapi karena merasa Tiong Han maklum bahwa
mereka itu memancing "suasana panas" agar ia sebagai utusan melakukan pelanggaran dan
kekerasan, hanya tersenyum saja dan tidak mau menjawab.
"Kau datang sebagai utusan membawa kabar apakah? Apakah Jenderal Gak mengajak damai?"
'Memang mengajak damai, hanya dengan satu syarat, yakni supaya kau dan semua bekas
pemimpin Pek Iian kauw dan pemimpin-pemimpin pemberontak menyerahkan diri untuk dibawa
ke kota raja. Dengan begitu, barulah barisanmu akan diampuni. Kalau tidak, kepungan
akan lakukan terus sampai kalian kehabisan ransum sama sekali!'
Bukan main marahnya hati Oei Sun mendengar ini akan tetapi ia dapat menyembunyikan
kemarahannya di balik ketawanya yang bergelak-gelak. "Ha, ha, ha, lucu sekali kau ini.
Orang macam kau bisa dijadikan utusan. Ha, ha. Ingin aku melihat bagaimana pendapat
Sim-ciangkun melihat kakaknya yang menjadi pelawak ini. Penjaga! Coba kaucari Sim
ciangkun dan panggil dia ke sini !" teriaknya kepada penjaga yang segera memberi hormat
dari luar dan pergi. Kemudian Oei Sun berkata lagi kepada Tiong Han.
'Apakah Gak-goanswe berani menjamin bahwa aku dan kawan-kawanku takkan dihukum apabila
kami sudah dibawa ke kota raja?"
“Hal ini tentu saja Gak-goanswe tidak dapat menjamin. Tergantung kepada keputusan
Hongsiang sendiri." jawab Tiong Han, sementara itu, pemuda ini dan juga Eng Eng merasa
heran mengapa Tiong Kiat tidak berada di situ dan bahkan tidak kelihatan sehingga
dicari oleh Oei Sun.
"Kalau jenderal Gak mau membuka jalan untuk kami melarikan diri dari kepungan, kami
suka meninggalkan barisan dan tidak melakukan perlawanan lagi" kata Oei Sun.
"Akan kusampaikan permintaan ini." jawab Tiong Han "akan tetapi kurasa sia-sia belaka
karena jenderal Gak adalah seorang yang memegang teguh disiplin. Membebaskan pemimpin
pemberontak berarti sebuah pelanggaran yang besar !"
Pada saat itu, dengan wajah pucat masuklah tiga orang suku bangsa Ouigour yang
melaporkan bahwa Huayen-khan dan Ang Hwa didapatkan telah mati terbunuh di dalam hutan.
Oei Sun berseru keras sambil mencabut goloknya, demikian pula Go bi Ngo koai tung
bangkit sambil meloloskan tongkat mereka.
Ketika Oei Sun mengeluarkan suitan keras, sebentar saja kemah itu telah dikepung oleh
barisan yang banyak sekali !
"Sim Tiong Han! Kau benar-benar utusan yang tidak patut ! Bagaimana kau berani membunuh
Huayen khan dan Ang Hwa? Kau melanggar peraturan!"
"Bukan kami yang membunuh mereka," jawab Tiong Han dengan tenang, "yang membunuh mereka
adalah pembantumu yang bernama Sim Tiong Kiat !"
Oei Sun dan Go bi Ngo-koai tung saling pandang.
"Kalau begitu bangsat itu telah berkhianat !" kata Thian lt Tosu dan dengan suara
menyesal ia berkata kepada Oei Sun. "Apa kataku dulu ? Tidak baik mempercayai orang
jahat itu. Tangkap yang dua ini sekalian si bangsat she Sim agar dapat kita pergunakan
sebagai orang tahanan dan pembuka jalan kita melarikan diri!"
Eng Eng berseru keras dan mencabut pedang merahnya. Sedangkan Tiong Han pun bersiap
sedia dan berkata kepada Eng Eng, "Nona, mari keluar !” la menarik tangan Eng Eng dan
keduanya melompat keluar dari tenda ini. Di luar mereka telah dicegat oleh banyak
sekali tentara yang terdiri dari perwira-perwira pemberontak, yakni sebagian besar
bekas orang orang Pek-lian-kauw yang diangkat oleh Oei Sun.
Eng Eng memutar pedangnya dan Tiong Han lalu mengeluarkan kepandaiannya. Biarpun ia
bertangan kosong, akan tetapi kehebatan sepak terjangnya tidak kalah oleh Eng Eng yang
berpedang. Tiap kali tangannya mengena tubuh lawan, berteriaklah lawan itu dan roboh
tak dapat bangun lagi.
"Mundur semua, biarkan kami menangkap mereka!" Oei Sun berseru keras dan para
pengeroyok itu mundur cepat-cepat, mengatur barisan kepungan sehingga tidak
memungkinkan dua orang itu melarikan diri. Tiong Han menendangi tubuh para pengeroyok
yang tadi sudah roboh sehingga ia dan Eng Eng mendapatkan tanah lapang cukup luas. Dari
dalam tenda muncul lima orang tosu itu bersama Oei Sun yang bergerak menyerang mereka.
Eng Eng menyambut Oei Sun dan karena Oei Sun sudah pernah merasai kelihaian gadis ini,
maka ia minta tolong kepada Thian It Tosu yang segera membantunya. Adapun Tiong Han
yang bertangan kosong menghadapi keroyokan Thian Ji Tosu dan tiga orang adik
seperguruannya. Pertempuran berjalan seru sekali. Eng Eng yang dikeroyok dua dapat
mengimbangi permainan kedua lawannya.
Pedangnya bagaikan seekor naga merah menyambar-nyambar di antara tongkat dan golok
kedua lawannya. Akan tetapi ia merasa betapa lihai permainan tongkat dari Thian It
Tosu. Kalau saja tidak dibantu oleh Oei Sun, agaknya sanggup ia mendesak tosu ini. Akan
tetapi golok besar Oei Sun juga tidak boleh di pandang ringan, sehingga gadis ini harus
bertempur dengan hati-hati sekali.
Adapun Tiong Han, dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Pat
jiu Toanio dan Lui-kong-jiu, dapat mengimbangi permainan tongkat keempat orang
pengeroyoknya bahkan ia mulai mendesak mereka dengan angin pukulannya yang lihai. Kalau
lawan-lawannya kurang hati-hati, baru terkena sambaran pukulannya saja tentu akan
terluka. Empat orang tosu itu maklum akan kelihaian pemuda ini, maka mereka selalu
menjauhkan diri dan hanya mempergunakan tongkat untuk menyerang sambil mengepung.
Yang membuat Tiong Han dan Eng Eng gelisah adalah kepungan para perwira yang makin lama
datang makin banyak itu. Ratusan orang mengepung tempat itu dan mereka tahu bahwa di
situ masih ada ribuan orang tentara lagi.
Bagaimana mereka bisa keluar dari situ dengan selamat? Beberapa orang perwira yang
berkepandaian lumayan, mulai masuk pula dalam kalangan pertempuran sehingga kini Eng
Eng dikeroyok oleh lima orang dan Tiong Han menghadapi tujuh orang pengeroyok. Terpaksa
pemuda ini menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan seorang perwira, dan dengan
pedang Hui-liong kiam yang tadi dirampas dari Tiong Kiat, ia lalu mengamuk dengan
pedang di tangan kanan dan pukulan di tangan kiri masih mainkan ilmu silat Kong-jiucap-
ji-kun !
Bukan main ramainya pertempuran itu. Sudah beberapa orang perwira lagi roboh oleh
amukan Tiong Han dan Eng Eng, akan tetapi kedua orang muda ini tetap saja masih belum
berhasil merobohkan Go-bi Ngo-koai-tung dan Oei Sun, pengeroyok-pengeroyok yang paling
berbahaya.
Kini keadaan Tiong Han dan Eng Eng mulai berbahaya. Perwira-perwira yang jatuh ditarik
mundur dan diganti oleh perwira Iain yang kepandaiannya lumayan juga. Kedua orang muda
itu mulai menjadi lelah! Dan Go-bi Ngo koai tung mulai kemak kemik membaca mantera
untuk mempergunakan hoatsut (ilmu sihir) guna merobohkan dua orang lawan muda yang
lihai ini !
"Semua mundur biarkan kami menjatuhkan mereka !" kembali Thian lt Tosu berseru keras
dan para perwira lalu mengundurkan diri. Sambil menunjuk ke arah Eng Eng, tosu ini lalu
mengerahkan tenaga batinnya dan berseru,"Rebah engkau… rebah….!"
Eng Eng merasa tiba-tiba kepalanya pening dan ia mulai terhuyung-huyung! Permainan
pedangnya kacau balau dan hampir saja ia celaka.
Tiong Han terkejut sekali dan cepat ia melompat ke dekat gadis itu sambil berseru,
"Eng moi !" Seruan ini keluar dari hati yang amat gelisah, mengandung kasih sayang dan
kekuatiran atas diri gadis yang dicintanya itu !
Aneh sekali begitu telinga Eng Eng mendengar panggilan ini, seketika itu juga lenyaplah
rasa pening dan mabok. Alangkah mesra dan merdunya suara panggilan dari Tiong Han itu.
Jantungnya berdebar, darahnya berdenyut keras dan terusirlah pengaruh hoatsut yang
dijalankan oleh Thian It Tosu! Ia mengamuk lagi dengan hebat setelah mengerling dan
melempar senyum manis ke arah Tiong Han!
"Han-ko, jangan takut akan segala ilmu siluman ini!" katanya dan bagi Tiong Han katakata
gadis ini merupakan panambahan semangat yang luar biasa sehingga kembali ia dapat
mendesak keempat orang pengeroyoknya, sehingga kembali para perwira yang tadi mundur
kini maju lagi mengeroyok. Akan tetapi mereka itu hanya menjadi seperti kupu-kupu
mendekati api lilin. Baru saja masuk, beberapa orang telah menjadi korban lagi!
Betapapun juga, Eng Eng dan Tiong Han mulai menjadi lelah dan peluh telah mengalir
membasahi seluruh tubuh mereka. Tiong Han telah berhasil merobohkan Thian Sam Tosu dan
Thian Ngo Tosu, orang ketiga dan kelima dari Go bi Ngo koai-tung. Akan tetapi jumlah
pengeroyok makin bertambah.
Adapun Eng Eng, biarpun telah banyak merobohkan perwira yang mengeroyok, namun masih
amat sukar baginya untuk menjatuhkan Oei Sun dan Thian It Tosu. Tosu ini tidak dapat
mempergunakan hoatsutnya lagi setelah beberapa kali dicobanya tidak mempan, bahkan ia
lalu mengomel keras.
"Keparat, tidak tahunya saling mencinta lagi dua ekor tikus ini!"
Ucapan dan Thian It Tosu ini membuat Tiong Han dan Eng Eng menjadi merah mukanya,
karena mereka maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Thian lt Tosu tentu mereka. Agaknya
rasa cinta yang tumbuh di dalam hati kedua orang muda di dalam bahaya ini merupakan
daya penahan atau penolak yang amat kuat bagi serangan ilmu hitam dari tosu itu tadi !
Pada saat Eng Eng dan Tiong Han mulai terdesak, tiba-tiba terjadi geger di luar
kepungan dan teriakan-teriakan keras. "Api…api… Gudang ransum kebakaran…! Ah... tendatenda
mulai kebakar…tolong ! Kebakaran !"
Keadaan menjadi kacau balau. Benar saja, mulai nampak asap bergulung-gulung dan api
mengamuk hebat, membakari tenda-tenda yang seperti jamur di bawah itu. Para pengeroyok
menjadi panik dan ketakutan, bahkan banyak yang meninggalkan tempat itu untuk menolong
tenda mereka sendiri.
Dan tiba-tiba, sebuah bayangan biru berkelebat dengan cepatnya, didahului oleh cahaya
merah dan tahu-tahu Thian Ji Tosu dan Thian Su Tosu, orang kedua dan keempat yang
mengeroyok Tiong Han roboh mandi darah.
"Tiong Kiat...!" Tiong Han berseru, ketika melihat pemuda yang kini sudah berganti
pakaian biru-biru itu.
"Sim ciangkun… kau… pengkhianat !!" Oei Sun berseru keras dengan amat marahnya, lalu
meninggalkan Eng Eng dan menyerang Tiong Kiat dengan goloknya.
"Jahanam besar, sekarang kau binasa!" Eng Eng ikut berteriak dan melompat ke arah Tiong
Kiat, menyerang dengan pedangnya ditusukkan ke arah lambung Tiong Kiat yang sedang
menangkis golok Oei Sun.
Tiong Kiat mengelak cepat sambil berteriak. "Nona Suma, awas serangan gelap !" Akan
tetapi terlambat, Eng Eng yang hanya mencurahkan perhatiannya kepada Tiong Kiat telah
meninggalkan Thian It Tosu dan tidak memperdulikannya lagi. Kesempatan baik ini
dipergunakan oleh Thian It Tosu. Ketika dilihatnya Eng Eng berbalik menyerang Tiong
Kiat, tosu ini mengeluarkan sebatang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) dan disambitkan
ke arah Eng Eng. Gadis itu mengeluh, dan cepat meraba pangkal lengan kirinya yang
dirasa amat sakit dan gatal. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan
robohlah ia dengan tubuh lemas !
"Thian It totiang, kau tahanlah pengkhianat ini !" seru Oei Sun yang segera diturut
oleh Thian lt Tosu. Oei Sun sendiri setelah Tiong Kiat dihadapi oleh Thian It Tosu,
lalu melompat ke arah Eng Eng, menyambar tubuh gadis ini dengan tangan kanan dan
menjemput pedang merah gadis itu dengan tangan kiri, lalu melarikan diri !
"Bangsat lepaskan dia !" teriak Tiong Han akan tetapi lebih dari sepuluh orang perwira
menghadangnya sehingga terpaksa ia membabat mereka dalam amukan hebat.
Tiong Kiat dengan marah sekali lalu mainkan ilmu silat pedang Ang coa kiamsut yang
paling tinggi, dan Thian It Tosu yang sudah tua dan sudah lelah itu tidak dapat
menangkis lagi. la berseru keras dan roboh dengan dada tertembus pedang Ang-coa-kiam !
"Han-ko jangan khawatir, aku akan menolong nona Suma Eng !" seru Tiong Kiat yang cepat
mengejar ke arah Oei Sun melarikan diri tadi.
Tiong Han tak dapat membantah karena ia sendiri sedang dikepung dan tidak kuasa
melakukan pengejaran. Terpaksa ia mengamuk dan sebentar saja mayat bekas pemimpin Peklian-
kauw bergelimpangan di sekitarnya.
Sementara itu, Jenderal Gak yang tidak melihat Tiong Han kembali dan mendengar laporan
bahwa di tempat markas besar pemberontak yang terkepung itu nampak asap mengepul segera
memerintahkan pasukannya bergerak menyerbu !
Tiong Han yang mengamuk seperti naga terluka itu hampir saja roboh saking lelahnya
ketika barisan Jenderal Gak sudah tiba di situ.
"Menyerahlah semua! Jangan kena dibujuk dan ditipu oleh pemimpin kamu orang-orang Peklian
kauw!" Tiong Han dan Jenderal Gak dibantu oleh panglima-panglima lain mengerahkan
tenaga khikang berteriak-teriak kepada para pemberontak. Tak lama kemudian, para
pemberontak yang sudah terkepung dan kehilangan pimpinan itu lalu melemparkan senjata
dan menyerah.
Tiong Han biarpun masih lelah, biarpun ditahan oleh Jenderal Gak, memaksa pergi sambil
berkata singkat, "Maaf, goanswe, saya masih mempunyai urusan penting sekali yang harus
diselesaikan!" Setelah berkata demikian, dengan pedang Hui liong kiam di tangan, ia
lalu berlari secepat mungkin mengejar ke utara !
Ketika tiba di tepi Sungai Sungari yang lebar ia melihat dua buah perahu terapungapung.
Ternyata bahwa di dalam perahu yang tidak beratap ia melihat Eng Eng rebah
miring seperti orang tidur, sedangkan seorang pemuda baju biru berlutut di dekatnya
sambil memegangi lengan kirinya. Ternyata pemuda itu adalah Tiong Kiat yang sedang
memeriksa luka di lengan Eng Eng! Ketika tadi Tiong Kiat mengejar, ternyata Oei Sun
telah mendapatkan seekor kuda dan melarikan Eng Eng dengan amat cepatnya ke utara.
Maksud Oei Sun melarikan Eng Eng ialah untuk dijadikan tanggungan agar ia dapat
melarikan diri. Benar saja, ketika ia bertemu dengan tentara mengepung di sebelah
utara, ia dapat mengancam mereka, akan membunuh Eng Eng kalau tidak diberi jalan. Di
antara para perwira ada yang sudah mengenal Eng Eng, maka terpaksa mereka melepaskan
Oei Sun pergi.
Tiong Kiat menjadi marah sekali dan biarpun tentara pengepung menghadangnya, ia
mengamuk dan dapat merobohkan beberapa orang tentara kerajaan dan dapat lolos dari
kepungan, lalu melanjutkan pengejarannya !
Ternyata bahwa Tiong Kiatlah yang tadi melepas api dan membakari gudang ransum dan
tenda-tenda. Pemuda ini demikian sakit hati karena telah ditipu dan dibujuk sehingga ia
membalas dendam dengan hebatnya. Kini biarpun ia amat lelah, ia memaksa diri untuk
melakukan pengejaran terhadap Oei Sun yang menggendong pergi tubuh Eng Eng yang
terluka.
Oei Sun tiba di tepi Sungai Sungari dengan selamat. Ia merampas sebuah perahu dengan
mendorong nelayannya ke sungai, kemudian ia meletakkan tubuh Eng Eng di atas perahu dan
mendayung perahu itu ke tengah sungai.
Ia tidak tahu bahwa diam-diam Tiong Kiat mengikuti gerak-geriknya, dan tanpa diketahui
oleh Oei Sun, Tiong Kiat lalu menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang menghampiri
perahu itu. Alangkah kagetnya hati Oei Sun ketika tiba-tiba muncul kepala Tiong Kiat di
pinggir perahunya !
Sebelum ia dapat menyerang, Tiong Kiat telah melompat ke dalam perahu dan dalam
beberapa gerakan saja Oei Sun roboh ke dalam sungai dengan kepala terbelah oleh pedang
Ang-coa kiam !
Tiong Kiat cepat minggirkan perahu itu. Beberapa orang nelayan yang melihat peristiwa
ini menjadi ketakutan dan melarikan diri, meninggalkan perahu-perahu mereka sehingga di
situ banyak terdapat perahu-perahu kosong di tepi sungai bergolek-golek tanpa penumpang
dan terikat pada sebatang patok. Tiong Kiat segera memeriksa luka di lengan Eng Eng dan
merobek baju pada lengan yang luka itu. Melihat jarum hitam itu masih menancap, ia lalu
mencabutnya dan berkerutlah keningnya melihat betapa luka itu menghitam dan membengkak.
Ia lalu mendekatkan mulutnya dan dihisapnya luka itu sehingga darah yang hitam membeku
keluar dari luka itu ke dalam mulutnya. Beberapa kali ia menyedoti luka di lengan itu
dan sebagai orang yang sudah lama bergaul dengan Thian It Tosu, ia membawa obat penawar
Hek tok-ciam. Diambilnya obat penawar yang berupa bubuk putih yang sudah basah kuyup
itu, lalu ditempelkan di atas luka setelah darah yang terkena racun telah disedotnya
habis. Ia membalur luka itu dengan kain pengikat kepalanya.
Pada saat itu Eng Eng sadar akan tetapi masih pening. Gadis itu memandang muka pemuda
yang berlutut di dekatnya, lalu berbisik lemah. "Han-ko… kau baik sekali…alangkah jauh
bedanya dengan adikmu yang jahat..." Lalu gadis itu meramkan lagi kedua matanya dan
bibirnya yang manis tersenyum.
Dua titik air mata melompat keluar dari mata Tiong Kiat ketika ia mendengar bisikan
ini. la merasa ulu hatinya seperti ditikam pedang. Ia menyambar pedang Ang coa kiam,
mengamat-amatinya lalu berdiri di pinggir perahu. Dengan muka pucat ia menengadah, lalu
berkata keras.
"Ayah, aku juga seorang perwira....... seorang perwira gagah…" Lalu ia menggerakgerakkan
pedang sambil bernyanyi, nyanyian yang dulu ketika kecil sering ia nyanyikan
bersama Tiong Han.
Pedang telanjang di tangan
berlumur darah musuh jahanam !
Anak panah beterbangan
bagai maut mengintai nyawa !
Pasukan musuh di mana ?
Serbu…! Maju gembira !
Inilah tugas tiap ksatrya !
Mati ? Hanya gugur bagai bunga.
Aku hanya ingin menang........ menang !
Biar takkan mendapat jasa
Biar takkan menerima pahala.
Tidak perduli, aku ingin menang !
Aku ingin menjadi pahlawan
Seperti ayah seperti ayah…!
Air mata turun bagaikan hujan dari kedua matanya ketika berkali-kali ia menyebut bait
terakhir. "Seperti ayah… seperti ayah…!”
“Ayah, aku ingin seperti engkau…akan tetapi aku… aku perwira pemberontak ! Ha, ha,
perwira pemberontak harus mampus!" Setelah tertawa seperti mayat hidup, ia mengerakgerakkan
pedang Ang-coa-kiam ke arah lehernya.
"Tiong Kiat…!" terdengar seruan keras dari pinggir sungai dan Tiong Han datang berlarilari.
Pemuda inipun menumpahkan air mata ketika ia mendengar adiknya bernyanyi tadi.
Tiong Kiat menahan pedangnya dan menoleh. "Han-ko, kau perlu hidup, Eng Eng
mencintaimu. Berbahagialah kau dengan dia, Han-Ko!" Pada saat Tong Kiat berkata
demikian Eng Eng baru saja sadar dan gadis ini mulai bangkit dan duduk. Akan tetapi
Tiong Kiat tidak melihat lagi karena ia telah mengayun pedang yang kini menancap ke
dadanya dan tubuhnya beserta pedang itu terjungkal ke dalam air yang dalam!
Tiong Han melompat ke dalam perahu dan hanya melihat air sedikit kemerahan. Ia
berjongkok dan dengan saputangannya, dihapus tiga titik darah dari Tiong Kiat yang tadi
jatuh di atas papan perahu. Kemudian ia menyimpan saputangan itu untuk bukti kepada
suhunya kelak dan duduk menghadapi Eng Eng.
Perahu itu bergerak perlahan terbawa aliran air Sungai Sungari. Angin senja bertiup
perIahan, bermain-main dengan rambut kepala Eng Eng yang berjuntai dengan kacau di atas
jidatnya. 'Kau sudah mendengar ucapan terakhir dari Tiong Kiat?" tanyanya.
Eng Eng mengangguk diam. Akhirnya ia bertanya, "Kita ke mana, Han-ko?"
Tiong Han terkejut menjawab. "Ke mana.....? Ke… pantai bahagia, Eng-moi kau bersedia
bukan?"
Kembali Eng Eng mengangguk diam. Keduanya menikmati rasa bahagia tanpa banyak cakap,
perahu meluncur terus dengan lancar!
TAMAT
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments