baca juga
- Cerita Mabuk Pendekar Pemabuk 1
- Cersil Keren Pendekar Gila dari Shantung
- Cersil Pendekar 6 Tamat
- Pendekar Cengeng 5
- Cerita Pendekar Cengeng 4
- Pendekar Cengeng 3
- Cersil Cengeng Pendekar Cengeng 2
- Cerita Silat Pendekar Cengeng 1
- Cersil Hoasan Tayhiap 1
- Cersil Pendekar Bunga Merah
- Pedang Ular Merah 3 Tamat
- Pedang Ular Merah 2
napas lega, karena tadinya ia kuatir kalau-kalau kedua orang itu telah melupakan sama sekali
bahwa ia berada pula di tempat itu.
“Dia adalah Bun Gwat Kong, seorang pendekar yang diberi julukan Kang-lam Ciu-hiap!” kata
Tin Eng yang lalu menceritakan bahwa ketika ia mendapat halangan di tengah perjalanan dan
hampir mendapat celaka di tangan Ngo-heng-kun Ngo-hiap. Ia mendapat pertolongan dari
pemuda ini yang bahkan mengantarkan sampai di Hun-lam. Tentu saja Tin Eng tidak
menceritakan bahwa pemuda itu bukan lain ialah bekas pelayan ayahnya sendiri!
Mendengar bahwa pemuda itu berjuluk Ciu-hiap atau Pendekar Arak, Lie Kun Cwan menjadi
girang sekali dan segera berkata,
“Aah, tidak tahunya kau seorang pendekar muda yang gagah berani! Ciu-hiap, melihat nama
julukanmu, kau tentu suka sekali minum arak. Dalam hal ini kita mempunyai kesukaan yang
sama!” Hartawan itu tertawa bergelak lalu memberi perintah kepada seorang pelayan untuk
segera mengeluarkan araknya yang terbaik.
“Marilah kita minum arak, hendak kusaksikan sampai di mana kekuatanmu minum!”
Kemudian ia memanggil seorang pelayan wanita dan memberi perintah untuk membereskan
sebuah kamar besar untuk Tin Eng.
“Tin Eng kau membereslah sendiri kamar menurut sesuka hatimu. Segala kekurangan boleh
kau minta kepada pelayan itu. He, A-sui! Kau layani nonamu baik-baik!”
Melihat sikap yang manis dan kebebasan pamannya ini, Tin Eng merasa girang sekali dan
segera ia meninggalkan ruangan itu bersama pelayan muda yang membawanya ke ruang
dalam. Sementara itu, dengan girang dan sebagian besar kedukaannya terlupa, Lie-wangwe
lalu mengajak Gwat Kong minum arak. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benarbenar
kuat sekali minum araknya yang wangi, Lie-wangwe merasa gembira sekali. Ia sendiri
adalah seorang ‘setan arak’ akan tetapi sekarang ia menemukan tandingan.
Tak lama kemudian Tin Eng muncul lagi dan ternyata gadis itu telah berganti pakaian yang
lebih longgar dan rambutnya telah di sisir rapi. Mukanya nampak segar karena gadis ini telah
mandi dan tukar pakaian. Sungguhpun sepatunya masih sepatu kulit yang tadi ia pakai, yakni
sepatu yang kuat dan yang biasa dipakai oleh ahli-ahli silat.
“Ha ha, Tin Eng! Kawanmu ini benar-benar Pendekar Arak! Hebat sekali. Lihat, ia telah
menghabiskan lima cawan arak wangi yang keras. Akan tetapi mukanya sama sekali tidak
berobah. Padahal aku telah merasa betapa pelupuk mataku berdenyut-denyut tanda bahwa
hawa arak mulai naik. Ha ha ha! Kalian menggirang hatiku. Kedatangan kalian benar-benar
menggembirakan hatiku.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 108
Gwat Kong melirik ke arah Tin Eng dan dengan matanya gadis itu memberi tanda bahwa ia
merasa berterima kasih kepada pemuda itu yang telah menyenangkan hati pamannya yang
sedang berduka.
Pada saat itu, dari luar terdengar suara keras,
“Lie-wangwe! Sumbanganmu untuk bulan ini lagi-lagi terlambat! Kau harus didenda dengan
tiga cawan arak wangi dan uang tambahan istimewa sepuluh bagian!”
Mendengar suara ini, Lie Kun Cwan mengerutkan keningnya, “Aah, celaka! Sedang senangsenangnya,
datang lagi buaya darat yang menjemukan!”
Akan tetapi ia segera memanggil pelayannya dan berkata, “Sediakan uang lima puluh tail
perak dan tambahan lima tail lagi dan ambil cawan kosong.”
Pada saat itu, seorang laki-laki baju hitam yang bertubuh tinggi besar melangkah masuk
dengan tindakan kaki lebar, diiringkan oleh seorang pelayan yang kelihatan takut. Orang itu
selain tinggi besar, juga wajahnya menunjukkan bahwa ia adalah bangsa orang kasar yang
hidup di kalangan liok-lim, dengan matanya yang lebar dan alisnya yang tebal serta brewokan
yang kaku.
Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, membuat ia nampak gagah sekali. Di lihat dari
ikat kepalanya, bajunya yang hitam dan celananya yang putih sampai ke sepatunya yang
mengkilap, ia adalah seorang yang mewah, karena semua pakaiannya terbuat dari pada bahan
kain yang mahal.
Melihat kedatangan orang ini, Lie-wangwe dengan cepat segera berdiri dan menjura,
“Ah, ji-kauwsu, silahkan duduk! Kebetulan sekali kami sedang minum arak, mari aku akan
membayar denda itu dengan pernyataan maaf akan kelambatanku.”
Orang tinggi besar itu, yang disebut ji-kauwsu (guru silat kedua) itu mempergunakan
sepasang matanya yang besar untuk memandang ke arah Gwat Kong dengan penasaran dan
tak puas karena melihat pemuda yang tak dikenal ini sama sekali tidak mau berdiri
menyambutnya dan memberi hormat kepadanya. Ia hendak menegur, akan tetapi pada saat itu
ia dapat melihat Tin Eng yang sedang berdiri menyadar tiang. Kemarahannya lenyap, terganti
oleh senyum menyeringai yang dimaksudkan untuk memperindah mukanya yang tak sedap
dipandang, sehingga mukanya nampak makin menjemukan.
Bagitu melihat orang ini, baik Tin Eng maupun Gwat Kong merasa tak suka dan jemu. Akan
tetapi oleh karena mereka belum tahu apa hubungan orang ini dengan Lie-wangwe, maka
mereka diam saja sambil memandang saja.
Sementara itu, ketika melihat Tin Eng yang cantik molek berada di situ, si baju hitam yang
tinggi besar lalu tertawa bergelak,
“Lie-wangwe, tidak tahunya kau sedang menjamu dua orang tamu. Ha ha, tentu saja aku tidak
menolak tawaran arak wangi. Harap kau perkenalkan aku kepada dua orang tamumu ini, Liewangwe!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 109
Sambil berkata demikian, ia menjura kepada Tin Eng yang sama sekali tidak dibalas oleh
gadis itu yang hanya tersenyum mengejek.
“Duduklah, ji-kauwsu!” kata Lie Kun Cwan membujuk karena ia merasa tidak enak melihat
sikap orang itu. “Dan marilah minum arak ini. Dia adalah seorang keponakanku, bukan tamu
dan pemuda inilah yang menjadi tamuku.”
Akan tetapi orang tinggi besar itu nampak mendongkol sekali. “Aku tidak biasa duduk
seorang diri sedangkanan orang lain hanya berdiri menonton saja. Lie-wangwe, apakah aku
Hun-lam Ji-kauwsu Touw Tek (Touw Tek si Jago Silat Nomor Dua di Hun-lam) terlampau
rendah untuk duduk minum arak semeja dengan keponakanmu?”
“Ah, tidak, tidak! Bukan demikian, ji-kauwsu, hanya karena keponakanku itu tidak biasa
minum arak. Tin Eng ... kau masuklah saja ...” Lie-wangwe nampak gelisah sekali.
Hal ini membuat Gwat Kong merasa mendongkol bukan main. Ia memberi isyarat dengan
mata kepada Tin Eng yang sudah merasa ‘gatal-gatal’ tangannya menyaksikan lagak orang
tinggi besar itu.
“Lie-lopeh.” Katanya dan ikut-ikutan menyebut lopeh (uwa) kepada hartawan itu.
“Sebetulnmya apakah kehendak ji-kauwsu ini datang ke rumahmu?”
“Ji-kauwsu ini datang hendak menerima sumbangan bulanan yang harus kuserahkan untuk
biaya penjagaan kota,” jawab Lie-wangwe. “Twa-kauwsu (guru silat pertama) Touw Cit dan
ji-kauwsu ini adalah dua orang saudara yang menjaga keamanan kota Hun-lam. Aku
diwajibkan membayar sumbangan lima puluh tail perak sebulan.”
“Kalau kami tidak menjaga dan ada perampok datang, tidak hanya semua uang dan harta
benda akan lenyap, bahkan nyawapun belum tentu akan dapat diselamatkan!” kata Touw Tek
yang tinggi besar itu sambil membusungkan dada.
13.
GWAT Kong mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring dan mengejek. “Orang
yang menjual kepandaian dapat disebut pengemis, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi kalau
kepandaian digunakan untuk memeras dan berlagak, maka ini sudah keterlaluan sekali!”.
Sambil berkata demikian, Gwat Kong minum arak dari cawannya.
Lie-wangwe menjadi pucat mendengar ini. Sedangkan Touw tek memandang kepada Gwat
Kong dengan mata terbelalak karena heran. Bagaimana pemuda ini berani mengucapkan katakata
demikian terhadap dia? Keheranan lebih besar dari pada kemarahannya, maka ia lalu
bertanya,
“Eh eh, apa maksudmu, bocah lancang?”
Gwat Kong menunda cawannya yang masih dipegangnya, lalu berkata,
“Maksudku bahwa orang yang berlagak seperti kau ini tak mungkin dapat menjaga keamanan,
hanya pandai memeras uang orang belaka!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 110
“Tikus kecil!” Touw Tek memaki marah. “Siapa berani mengacau di Hun-lam? Coba hendak
kulihat, siapa berani?”
“Tikus besar!” Gwat Kong balas memaki. “Sekarang juga kau telah mengacau, hendak kulihat
kau mampu berbuat apa?”
Setelah berkata demikian, dengan tenang, Gwat Kong lalu minum habis arak di cawannya,
seakan-akan tak memandang sebelah mata kepada orang tinggi besar itu.
“Bun-hiante .... jangan cari perkara ...” Lie-wangwe berseru kuatir. Akan tetapi Tin Eng yang
masih berdiri menyandar di tiang, berkata, “Peh-peh, jangan kuatir, tikus besar ini memang
perlu diberi sedikit hajaran!”
Sementara itu Touw Tek menjadi marah sekali. Dengan gerakan yang galak, ia mencabut
goloknya. Tubuh Lie-wangwe menjadi menggigil ketika ia melihat golok yang berkilau
saking tajamnya itu digerak-gerakkan di tangan Touw Tek.
“Ji-kauwsu ... ji-kauwsu ... mohon kau sudi memaafkan tamuku ini. Aku akan memberi
seratus tail perak kepadamu, maafkanlah kami ...”
Akan tetapi Gwat Kong telah bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Lie-lopeh,
tenanglah dan biarkan aku menghadapi bajingan ini.”
Lie-wangwe menduga bahwa Gwat Kong telah menjadi mabuk, maka ia hendak mencegah,
kuatir kalau-kalau pemuda ini akan disembelih oleh Touw Tek di dalam rumahnya. Akan
tetapi kembali Tin Eng berkata,
“Peh-peh, biarkanlah Gwat Kong menghadapi tikus besar itu. Jangan kuatir, peh-peh!”
Terpaksa Lie Kun Cwan berdiri memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan besar.
Sementara itu, Gwat Kong lalu melangkah maju dengan tenang menghadapi Ji-kauwsu Touw
Tek yang memperlihatkan muka mengancam.
“Golokmu yang tumpul itu hanya cukup baik untuk menakuti anak kecil belaka, apa sih
bagusnya? Membeli setail saja aku tak sudi, untuk apa kau perlihatkan kepadaku?”
“Bangsat kecil, lekas kau keluarkan senjatamu, kalau kau berkepandaian!” bentak Touw Tek
yang hampir tak dapat menahan marahnya lagi.
“Bangsat besar, menghadapi golok tumpul itu tak perlu aku bersenjata!”
“Kau cari mampus!” Touw Tek berseru lalu menyerang dengan goloknya. Gerakannya
dahsyat, ganas dan cepat. Goloknya diputar di atas kepala, kemudian ia membacok dengan
tipu Hong-sauw-pai-yap (Angin Menyapu Daun Rontok).
“Ha ha ha, gerakanmu ini hanya cukup baik untuk menyembeli babi!” Gwat Kong mengejek
sambil melompat ke pinggir mengelak dengan cepat sekali. Melihat bacokannya tak berhasil,
Touw Tek berseru marah dan menyerang lagi lebih hebat. Kini dengan gerak tipu Pek-miauwpo-
ci (Kucing Putih Terkam Tikus) yang dilakukan dengan nafsu membunuh bernyala-nyala
keluar dari matanya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 111
Kembali Gwat Kong mengelak cepat sambil tersenyum-senyum. Sementara itu Tin Eng
menonton pertempuran itu sambil berdiri bersandarkan tiang dan iapun tersenyum melihat
betapa Gwat Kong mempermainkan orang kasar dan sombong itu. Sedangkan Lie-wangwe
berdiri dengan kaki terpentang dan muka dikerutkan tanda amat gelisah dan khawatir hatinya.
Ia tidak mengerti ilmu silat dan melihat serangan golok yang berkelebat cepat menyilaukan
mata itu, berkali-kali ia menutup matanya agar jangan melihat betapa tubuh pemuda itu akan
terbabat putus menjadi beberapa potong.
Akan tetapi, ketika ia membuka matanya kembali, Gwat Kong masih hidup, bahkan kini
berlompat-lompatan ke sana ke mari di sekeliling tubuh Touw Tek. Mempermainkan
bagaikan seekor tikus yang gesit sekali sedang mempermainkan seekor kucing tua yang
lambat dan ompong.
“Kau mau uang? Lima puluh tail perak? Seratus?” Gwat Kong mengejek sambil mengelak
cepat dari sebuah sabetan golok. “Nah, ini terimalah lima puluh tail!” Tangan kanannya
menyambar dan “Plok” pipi kiri Touw Tek telah kena ditamparnya.
Touw Tek merasa betapa pipinya panas dan pedas sedangkan mulutnya merasa asin tanda
bahwa lidahnya merasai darah yang keluar dari bibirnya yang pecah. Bukan main marahnya
dan sambil berseru keras ia menyerang dengan goloknya makin cepat. Ingin sekali ia
membacok tubuh lawannya ini sampai hancur seperti bakso.
“Masih kurang?” kembali Gwat Kong mengejek. “Mau lagi? Nah, ini lima puluh tail perak
lagi!” Kakinya menyambar cepat bagaikan sambaran kilat dan “buk” dada Touw Tek kena
tendang sehingga tubuhnya yang tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Ia merasa
dadanya sakit sekali akan tetapi Gwat Kong memang tidak ingin mencelakakannya sehingga
tendangannya itu tidak mendatangkan luka berat.
Dasar Touw Tek berwatak sombong dan jumawa sekali, maka tendangan dan tamparan tadi
yang sebetulnya harus memperingatkan dia, bahwa lawannya tidak bermaksud kejam. Bahkan
diterimanya salah dan dianggapnya bahwa betapapun juga, lawannya itu tidak memiliki
tenaga yang cukup besar. Ia pikir bahwa biarpun ia terkena pukul berkali-kali kalau tenaga
lawannya hanya sedemikian saja, ia takkan roboh dan sekali saja ia berhasil membalas, akan
mampuslah lawan ini. Maka ia tidak mundur, bahkan lalu mendesak maju dengan seranganserangan
maut.
Melihat kebandelan ji-kauwsu Touw Tek ini, Gwat Kong menjadi sebal dan penasaran juga.
“Ah, bosan aku melayani kau bertempur, kau tak pernah dapat melakukan serangan cukup
baik!” katanya dan tiba-tiba pemuda itu melompat ke arah meja di mana tadi ia duduk dan
menyambar cawan arak yang terus diminumnya. Sama sekali ia tidak memperdulikan Touw
Tek lagi, seakan-akan menganggap lawan itu bukan apa-apa.
Hinaan ini membuat darah Touw Tek bergolak.
“Keparat!” teriaknya dengan mata merah. “Kalau hari ini aku tak dapat membunuhmu, jangan
sebut aku Hun-lam Ji-kauwsu lagi!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 112
Akan tetapi dari samping berkelebat bayangan yang cepat dan tahu-tahu gadis cantik molek
yang hendak diganggunya telah berdiri di depannya sambil tersenyum manis.
“Tikus besar!” kata Tin Eng sambil memainkan senyum dan lirikannya. “Bagaimana kau
dapat melawan Kang-lam Ciu-hiap? Kalau kau bisa mengalahkan aku, kau baru patut disebut
Tikus Kedua! Mana kau patut disebut Guru Silat?”
Touw Tek tertegun. Apakah gadis inipun pandai ilmu silat? Ia ragu-ragu, karena biarpun
mengerti ilmu silat, tak mungkin gadis cantik jelita yang pinggang ramping ini memiliki
kepandaian tinggi.
“Nona, kau minggirlah dan biarkan aku membunuh bangsat itu!”
“Minggir? Kau cobalah membuat aku minggir!” Tin Eng menantang.
“Lie-wangwe!” Touw Tek berseru marah kepada hartawan itu. “Jangan kau persalahkan aku
apabila aku terpaksa memberi hajaran kepada keponakanmu ini!”
“Tin Eng, jangan ....!” Lie-wangwe mencegah.
Akan tetapi Tin Eng telah maju menyerang dengan tangan kosong. Touw Tek tadinya
memandang rendah dan pukulan tangan kanan Tin Eng itu disambutnya dengan cengkeraman
tangan kiri. Maksudnya ia hendak tangkap tangan itu dan dengan begitu membuat dara itu tak
berdaya.
Tak disangkanya, ketika tangannya bergerak hendak menangkap pergelangan tangan Tin Eng,
gadis itu menarik kembali pukulan tangan kanannya dan tangan kirinya bergerak cepat ke
arah kepala Touw Tek dan tahu-tahu ikat kepala si tinggi besar itu telah berada di tangan Tin
Eng.
Touw Tek menjadi marah sekali, dan dengan rambut awut-awutan ia segera menyerang
dengan goloknya, membabat pinggang Tin Eng. Gadis itu tertawa mengejek dan melompat
mundur untuk menghindarkan diri dari pada babatan golok. Kemudian tubuhnya menyambar
dan membalas dengan serangan-serangan kilat. Ia menggunakan ikat kepala yang
dirampasnya tadi untuk menyerang dan “Plak!” muka Touw Tek telah kena ditampar dengan
keras oleh ikat kepalanya sendiri. Tamparan menggunakan ujung ikat kepala ini rasanya lebih
pedas dari pada tamparan Gwat Kong tadi sehingga Touw Tek merasa betapa matanya
berkunang.
Sebelum ia dapat membalas, ia mendengar suara ketawa dan tahu-tahu kaki gadis itu
melayang dan menendang pergelangan tangan kanannya yang memegang golok. Terdengar
bunyi “keekk!!” dan Touw Tek menjerit kesakitan, goloknya terlepas dari pegangan.
“Bangsat sombong, kau pergilah!” seru Tin Eng. “Dan lain kali jangan kau berani menginjak
lantai rumah pamanku!”
Dengan muka merah dan mulut meringis-ringis kesakitan. Touw Tek lalu menjumput
goloknya dan pergi dari situ setelah melayangkan pandang mata sekali lagi ke arah Gwat
Kong dan Tin Eng.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 113
Lie-wangwe merasa terheran-heran sehingga ia berdiri bengong tak dapat mengeluarkan katakata
melihat kelihaian keponakannya. Setelah penjahat itu pergi, barulah ia dapat menarik
napas panjang, sedangkan banyak pelayan yang tadi menonton pertempuran itu kini berdiri
dekat pintu, memandang dengan penuh kekaguman. Lie-wangwe memberi isyarat dengan
tangan sehingga semua pelayannya mengundurkan diri.
“Tin Eng, tak kusangka bahwa kaupun selihai itu! Ciu-hiap ini dan kau telah dapat
mempermainkan ji-kauwsu dengan tangan kosong. Sungguh takkan dapat kupercaya kalau
aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Seharusnya aku berterima kasih dan
merasa girang sekali karena kalian telah memberi hajaran kepada bangsat itu dan memang aku
merasa girang ..... Akan tetapi, disamping kegirangan ini, akupun merasa amat khawatir, Tin
Eng.”
“Jangan khawatir, pek-hu! Bangsat-bangsat kecil macam dia itu kalau berani datang lagi, akan
aku putar batang lehernya seorang demi seorang!” kata Tin Eng dengan gagahnya.
“Memang mudah bagimu, karena kau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi bagaimana
kalau kau sudah tidak berada di sini lagi? Bagaimana aku harus membela diri kalau kalian
tidak ada dan bangsat-bangsat itu datang mengganggu? Ahh, kalian tidak tahu siapa ji-kauwsu
dan terutama kakaknya toa-kauwsu itu ...”
“Sebetulnya mereka itu siapakah dan apa artinya uang sumbangan itu, Lie-lopeh?” tanya
Gwat Kong.
Juga Tin Eng ingin sekali mengetahui hal itu dan gadis ini lalu duduk di dekat mereka.
Setelah menuangkan arak dan minum secawan, Lie Kun Cwan lalu menceritakan keadaan di
kota Hun-lam dan tentang pemerasan yang dilakukan oleh bangsat-bangsat itu.
Ternyata bahwa pada beberapa bulan yang lalu, di kota Hun-lam itu tiba-tiba timbul gangguan
orang-orang jahat yang melakukan penggedoran, pencurian, dan perampokan di dalam dan di
sekitar kota Hun-lam. Pembesar yang berkuasa di Hun-lam, tak berdaya oleh karena biarpun
ia telah mengerahkan pasukan untuk menindas gangguan ini namun para penjahat itu ternyata
memiliki ilmu silat tinggi dan tidak mudah dikalahkan atau ditangkap.
Selagi orang-orang penduduk Hun-lam merasa gelisah dan ketakutan, tiba-tiba muncul dua
saudara Touw itu, yakni Touw Cit dan Touw Tek yang segera membuka perguruan silat di
kota itu dan kedua saudara ini datang menghadap kepada pembesar untuk menawarkan
bantuannya. Akan tetapi bantuan yang ditawarkan oleh mereka itu istimewa sifatnya, yakni
bukan bantuan tenaga dan kepandaian untuk mengusir para penjahat yang mengganggu, akan
tetapi untuk memberi ‘suapan’ kepada mereka.
Touw Cit dan Touw Tek mengusulkan agar supaya para hartawan dan orang berpangkat di
kota Hun-lam mengumpulkan sumbangan uang yang diberikan kepada ‘kepala penjahat’
dengan perantaraan mereka berdua. Dan ternyata hal ini mendapat persetujuan semua
hartawan, karena dari pada didatangi orang-orang jahat itu, tentu saja lebih baik
mengeluarkan uang puluhan atau bahkan ratusan tail sekali gus dan aman.
Usaha dua orang saudara Touw ini rupanya berhasil baik. Oleh karena setelah uang
dikumpulkan, benar saja penjahat itu tidak muncul lagi. Dengan amat cerdiknya kedua orang
saudara Touw ini mengadakan hubungan dengan para penjahat dan berkompromi,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 114
mengadakan ‘kerjasama’ yang amat baik. Tentu saja semua orang tidak tahu bahwa
sebenarnya kedua saudara Touw ini bukan lain adalah dua orang di antara para pemimpin
penjahat-penjahat itu sendiri.
Mereka menggunakan tipu daya yang amat cerdik dan kini mereka setiap bulan
mengumpulkan uang sumbangan yang besar jumlahnya. Seorang hartawan sedikitnya harus
menderma dua puluh lima tail perak tiap-tiap bulannya sehingga setiap bulan kedua orang ini
dapat mengumpulkan uang ratusan tail perak.
Memang enak sekali pekerjaan ini, tidak berbahaya seperti kalau menjadi penjahat yang
banyak resikonya. Kini mereka boleh ‘pensiun’, hanya bekerja sekali setiap bulan, yakni
mengumpulkan uang sumbangan itu. Biarpun penjahat-penjahat sudah tak nampak mata
hidungnya lagi, akan tetapi uang sumbangan setiap bulan tetap saja ditariknya.
Setelah berjalan beberapa bulan memang para penyumbang merasa ragu-ragu dan bercuriga,
dan menganggap bahwa setelah para penjahat kini pergi dan tidak mengganggu lagi, apa
perlunya diadakan uang-uang sumbangan? Akan tetapi, baru saja siang hari itu seorang
hartawan menolaknya, pada malam harinya gedungnya didatangi lima orang penjahat yang
selain menggondol pergi barang-barang berharga yang banyak jumlahnya, juga melukai
hartawan yang menolak memberi uang sumbangan itu.
Peristiwa itu tentu saja membuat lain-lain hartawan menjadi takut untuk menolak lagi dan kini
setiap bulan mereka dengan ‘setia’ memberi uang sumbangan. Sungguhpun hati mereka tidak
rela karena mereka tetap saja merasa curiga dan sangsi dan timbul dugaan-dugaan mereka
bahwa kedua guru silat itu main gila.
Hal ini terjadi berbulan-bulan dan kedua orang guru silat she Touw ini menjadi ‘hartawanhartawan’
mendadak. Mereka membuat gedung besar dan hidup dengan mewah sekali. Tak
seorangpun berani menganggu mereka. Akan tetapi, nasib orang memang tidak selamanya
mujur dan betapapun seorang dilindungi oleh payung kemujuran pasti akan tiba masanya
payung itu akan bocor, membuat ia tertimpa hujan kemalangan.
Demikian yang terjadi dengan kedua saudara she Touw itu, yakni ketika Touw Tek bertemu
dengan Kang-lam Ciu-hiap dan Tin Eng di dalam gedung Lie Kun Cwan. Touw Tek benarbenar
bertemu dengan ‘batu’ yang bertumbuk dengan batu karang yang membuatnya ‘babak
bundas’.
Semua ini diceritakan oleh Lie Kun Cwan kepada Gwat Kong dan Tin Eng dan sungguhpun
hartawan ini tidak ragu akan tipu muslihat Touw Cit dan Touw Tek, akan tetapi ia
mengutarakan kecurigaannya dan berkata,
“Aku dan juga pembesar dan lain-lain hartawan yang menolak itu didatangi penjahat yang
lima orang itu. Semuanya memakai kedok. Mungkin sekali mereka adalah dua orang she
Touw itu dan kaki tangannya, siapa tahu? Akan tetapi kami tidak berdaya, karena mereka itu
lihai!”
“Hmm, kalau begitu Lie-lopeh segera memberi tahu kepada semua penyumbang agar supaya
menghentikan sumbangan mereka sekarang juga. Bahkan uang-uang sumbangan yang sudah
diberikan, akan kuminta kembali dari kedua orang bangsat itu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 115
Lie-wangwe percaya penuh kepada kedua orang muda yang sudah disaksikan kelihaiannya
ini, maka ia segera menulis surat pemberitahuan dan mengutus orang-orangnya untuk
menyebarkan surat pemberitahuan itu.
Sementara itu, Gwat Kong dan Tin Eng lalu pergi mengunjungi gedung baru tempat tinggal
Touw Cit dan Touw Tek. Mereka berdua telah bersiap sedia untuk menghadapi pertempuran.
Akan tetapi alangkah heran mereka ketika mereka mendapat sambutan yang manis dari Touw
Tek dan Touw Cit. Seperti juga Touw Tek, Twa-kauwsu Touw Cit bertubuh tinggi besar dan
berbaju hitam bercelana putih. Akan tetapi keningnya tinggi membuat kepalanya nampak
seperti botak dan ia tidak bertopi atau berikat kepala.
Ketika Gwat Kong dan Tin Eng tiba di rumah besar itu, Touw Cit dan Touw Tek sendiri lalu
menyambut dan Touw Cit segera menjura dengan sikap yang menghormati sekali.
“Ji-wi yang gagah!” katanya dengan suara yang besar. “Aku telah mendengar dari adikku
Touw Tek tentang kegagahan ji-wi yang muda. Sungguh membuat kami merasa kagum
sekali. Harap saja ji-wi sudi memaafkan kekasaran adikku tadi.”
Gwat Kong benar-benar tertegun karena tak pernah menyangka akan mendapat sambutan
seperti ini. Ia membalas penghormatan tuan rumah dan berkata,
“Saudara tentulah yang bernama Hun-lam Twa-kauwsu Touw Cit. Kami berdua juga mohon
maaf apabila kami telah mengganggu adikmu di rumah Lie-wangwe tadi. Kedatangan kami
ini tak lain hendak membantu usaha ji-wi dalam menghadapi para penjahat yang suka
mengganggu kota ini. Akan tetapi kami berdua tidak hendak mempergunakan cara yang telah
dipergunakan oleh ji-wi (tuan berdua). Akan tetapi kami hendak menghadapi para penjahat itu
dengan pedang kami. Oleh karena itu, para penyumbang yang telah menyetor uang kepada jiwi
harap saja ji-wi suka mengembalikan uang sumbangan itu kepada mereka.” Touw Cit
mengerutkan keningnya, sungguhpun mulutnya tetap tersenyum.
“Akan tetapi bagaimana kalau mereka nanti marah dan menyerbu ke sini?”
Gwat Kong tersenyum. “Biarlah, kalau mereka benar-benar datang menyerbu, siauwte dan
kawanku ini yang bertangguing jawab menghadapi mereka!”
Touw Cit tersenyum, “Ah, taihiap benar-benar gagah, akan tetapi agaknya kau belum tahu
siapakah mereka yang kau hendak hadapi ini. Tidak tahu siapakah nama taihiap yang semuda
ini telah mempunyai keberanian hebat dan kegagahan yang mengagumkan? Kalau tidak salah,
julukan taihiap adalah Kang-lam Ciu-hiap seperti tadi yang didengar oleh adikku. Akan tetapi
siapakah taihiap dan siapa pula guru taihiap?”
Gwat Kong tersenyum. “Namaku adalah Bun Gwat Kong dan tentang suhuku, terus terang
saja aku tidak mempunyai guru, kecuali diriku sendiri!”
Touw Cit nampak tak puas, akan tetapi ia tetap tersenyum lalu berkata,
“Tidak apalah kalau Kang-lam Ciu-hiap menganggap diri terlalu tinggi untuk
memperkenalkan diri kepada kami orang-orang bodoh. Ha, Touw Tek, kau lekas kumpulkan
uang pemberian para dermawan tadi dan mengembalikannya sekarang juga.” Touw Tek
segera masuk ke dalam rumah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 116
“Masa bodoh, kalau ada kerusuan, siauwte serahkan saja kepada Kang-lam Ciu-hiap dan
kawannya!” kata pula Touw Cit kepada Gwat Kong yang segera menyanggupinya. Dan
kemudian setelah mengucapkan terima kasih, ia mengajak Tin Eng pergi dari situ kembali ke
rumah Lie-wangwe.
Ternyata ketika mereka tiba di situ, rumah Lie-wangwe telah penuh tamu, yakni orang-orang
yang tadinya dikenakan sumbangan oleh kedua saudara Touw itu. Bahkan tihu kota itu juga
memerlukan datang. Mereka ini merasa gelisah sekali, takut kalau-kalau ada penyerbuan para
orang jahat sebagai akibat ditolaknya uang sumbangan itu. Terpaksa Gwat Kong menghibur
mereka dengan kata-kata gagah,
“Cu-wi sekalian! Terus terang saja, sesungguhnya bagi siauwte, tidak ada hubungannya dan
tidak ada ruginya meskipun cu-wi harus mengeluarkan banyak uang sumbangan. Oleh karena
orang-orang kaya seperti cu-wi ini tentu saja tidak berat untuk mengeluarkan uang barang
puluan atau ratusan tail perak tiap bulannya. Akan tetapi sebagai seorang perantauan yang
memperhatikan segala peristiwa yang diterbitkan oleh orang-orang jahat yang suka
mengganggu, tentu saja siauwte tidak suka melihat adanya orang-orang jahat yang
mengganggu di kota ini dan siauwte akan berdaya sekuat tenaga untuk membasmi mereka.
Kalau mereka datang, siauwte akan menghadapi mereka!”
“Kau hanya seorang diri atau berdua dengan nona ini, bagaimanakah kalau kalian berdua
kalah? Apakah itu bukan berarti keadaan kami makin celaka?” berkata seorang hartawan yang
selalu mengingat kepentingan dan keselamatan diri sendiri belaka, sehingga dalam pertanyaan
inipun sama sekali tidak perduli akan keadaan dua orang muda itu kalau kalah, akan tetapi
yang terutama mengingat keadaan sendiri dulu.”
Gwat Kong tersenyum menyindir. Sebenarnya ia tidak senang harus menjadi pelindung sekian
banyak orang-orang hartawan ini. Akan tetapi ia mengingat bahwa di antara mereka ada
paman Tin Eng yang baik hati dan dermawan dan ia harus melindungi. Maka ia lalu
menenggak secawan arak, lalu disemburkannyalah arak itu dari mulutnya ke arah tiang yang
besar di tengah ruangan itu.
Tiang itu terbuat dari kayu yang keras sekali dan jaraknya dari Gwat Kong ada dua tombak.
Akan tetapi ketika semburan arak itu mengenai kayu yang keras itu, tampak tiang itu menjadi
bolong-bolong, seakan-akan tiap tetes arak berubah menjadi pelor besi.
“Apakah kepala para penjahat itu lebih keras dari pada tiang ini?” Gwat Kong bertanya.
Semua mata memandang ke arah tiang itu dengan terbelalak lebar dan untuk sejenak tak
seorangpun terdengar mengeluarkan suara. Kemudian bagaikan mendapat komando, mereka
berseru memuji tiada habisnya dan kemudian mereka pulang ke rumahnya masing-masing
dengan hati besar.
“Maaf, Lie-lopeh,” kata Gwat Kong kepada Lie-wangwe setelah semua tamu itu pergi.
“Bukan maksudku untuk menyombongkan kepandaian, hanya untuk melenyapkan
kegelisahan mereka.”
Lie Kun Cwan tahu akan hal ini. Kemudian Gwat Kong berunding dengan Tin Eng untuk
mempersiapkan diri menanti datangnya serbuan orang-orang jahat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 117
“Tin Eng, malam ini kita berdua harus berjaga dengan amat hati-hati. Sudah pasti orang-orang
jahat itu akan datang. Entah benar-benar orang dari luar, ataupun anak buah kedua saudara
Touw itu sendiri. Kita belum tahu dari mana mereka akan datang. Oleh karena itu lebih baik
kita berjaga dengan berpencar. Kau berkeliling dari selatan memutar ke timur dan aku dari
selatan memutar ke barat sehingga kita bertemu di ujung utara kota. Dengan cara meronda
seperti ini, kalau mereka berani datang pasti akan bertemu dengan kau atau aku!”
“Baik, Gwat Kong!” jawab Tin Eng dengan gagah dan sedikitpun gadis ini tidak nampak
jerih.
“Akan tetapi, apakah tidak perlu kalian minta bantuan pasukan penjaga dari tihu? Bagaimana
kalau jumlah mereka banyak dan kalian di keroyok? Apakah itu tidak berbahaya?”
“Memang baik kalau mereka itu mau membantu,” jawab Gwat Kong. “Dan siauwte
menghaturkan terima kasih atas perhatian Lie-lopeh. Akan tetapi, harap lopeh beritahu kepada
tihu agar para penjaga itu disuruh bersembunyi, menjaga-jaga kalau-kalau ada penjahat diamdiam
memasuki kota. Mereka tak perlu turun tangan, kecuali kalau perampokan pada rumah
yang jauh letaknya dari tempat kami sehingga kami tak dapat menolongnya. Mereka itu boleh
menyediakan banyak belenggu untuk merantai para penjahat!”
Lie-wangwe menyatakan setuju dan ia segera pergi sendiri menemui tihu untuk mengatur
penjagaan pasukan bersembunyi itu. Seluruh kota Hun-lam terasa tegang menanti datangnya
malam hari. Semenjak masih sore, rumah-rumah telah menutup pintunya dan para
penghuninya tak dapat tidur, berkumpul di dalam dengan hati kebat-kebit. Setiap bunyi gaduh
yang terdengar oleh mereka, baik bunyi tikus ataupun kucing, membuat mereka pucat dan
menjumbul karena kaget setengah mati.
Gwat Kong dengan tenang lalu mengajak Tin Eng keluar dari rumah dan mereka lalu
melompat di atas genteng dan menuju ke pinggir kota sebelah selatan. Setelah tiba di situ,
mulailah mereka berpisah untuk melakukan perondaan, menjaga datangnya para penjahat
yang hendak mengganggu kota.
****
Malam itu tidak terlalu gelap. Lebih dari tiga perempat bagian bulan nampak di angkasa
tersenyum-senyum manis dan bermain-main dengan mega-mega putih. Bayangan tubuh Gwat
Kong dan Tin Eng yang melakukan penjagaan masing-masing, nampak berkelebat bagaikan
bayangan setan malam.
Akan tetapi, sudah dua kali putaran mereka meronda sehingga mereka bertemu di bagian
utara kota, akan tetapi sama sekali tidak terlihat penjahat yang menyerbu kota.
“Benar aneh!” kata Gwat Kong kepada Tin Eng ketika mereka bertemu untuk ketiga kalinya
di atas wuwungan rumah, sebelah utara. Mereka berdua duduk mengaso di atas wuwungan
rumah yang tinggi itu.
“Mungkin mereka tidak berani muncul karena tahu bahwa kita mengadakan penjagaan,’ kata
Tin Eng sambil membereskan segumpal rambut yang terlepas karena tiupan angin malam dan
berjuntai di atas keningnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 118
“Atau memang barangkali sama sekali tidak ada penjahat dari luar kota,” kata Gwat Kong
sambil memutar otaknya. “Jangan-jangan penjahat-penjahat sudah bersembunyi di dalam kota
dan tinggal bereaksi saja.”
Tiba-tiba Tin Eng berdiri dengan kaget. “Ah, mengapa kita begini bodoh! Kita sudah
mencurigai dua saudara Touw, mengapa tidak menyelidik mereka? Kalau mereka
pemimpinnya, tentu penjahat-penjahat itu sudah bersembunyi di dalam gedung mereka!”
“Mungkin kau benar Tin Eng!” kata Gwat Kong kaget. “Mari kita menyelidiki tempat
mereka!”
Mereka lalu berlari-lari di atas genteng. Pada waktu itu, tengah malam telah lewat lama
bahkan telah mendekati fajar dan ketika mereka tiba di tengah kota kembali, tiba-tiba mereka
mendengar suara teriakan-teriakan para penjaga. Mereka segera lari ke arah suara teriakan itu,
dan tiba-tiba dari lain jurusan terdengar teriakan-teriakan penjaga lain.
“Benar saja mereka itu beraksi selagi kita melakukan penjagaan di pinggir kota. Tin Eng kita
berpencar! Kau jagalah rumah pamanmu!”
Tin Eng terkejut ketika teringat kepada pamannya, maka cepat tubuhnya melesat menuju ke
rumah pamannya. Sementara itu, Gwat Kong segera menyambar turun, dan melihat betapa
empat orang penjaga sedang mengeroyok dua orang penjahat berkedok yang ilmu silatnya
cukup tinggi sehingga penjaga-penjaga itu terdesak hebat. Dua orang penjahat itu bersenjata
golok besar dan ketika Gwat Kong tiba di situ, seorang penjaga telah rebah mandi darah dan
yang empat inipun telah kacau permainan silatnya.
Gwat Kong menyambar dengan pedang ditangan dan sekali dia gerakan pedangnya,
“Trangg....!!” Dua golok di tangan penjahat itu terlempar jauh dan dua kaki dan tangan
kirinya bergerak, penjahat itu telah roboh dan tak berdaya. Para penjaga dengan girang lalu
menubruknya dan mengikat kaki tangan mereka.
Gwat Kong berlari ke arah lain di mana juga terdapat dua orang penjahat yang dikeroyok oleh
para penjaga. Dua orang penjahat ini lebih lihai lagi sehingga di tempat ini sudah ada empat
orang penjaga yang terluka, sedangkan lima orang lagi yang mengeroyok berada dalam
keadaan terdesak sekali.
“Serahkan mereka kepadaku!” teriak Gwat Kong dan para penjaga yang melihat datangnya
Kang-lam Ciu-hiap segera melompat mundur. Dua orang penjahat inipun berkedok dan begitu
melihat Gwat Kong, mereka lalu maju mengeroyok dengan pedang mereka. Gwat Kong
menangkis dengan pedangnya dan ternyata bahwa dua orang penjahat ini cukup gesit
sehingga dapat melayani untuk beberapa jurus.
Akan tetapi Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu untuk melayani mereka.
Terpaksa ia mainkan pedangnya dengan cepat dan dua gebrakan kemudian menjeritlah dua
orang penjahat itu dan pedang mereka terlepas dari tangannya karena lengan mereka terluka
oleh pedang Gwat Kong. Para penjaga menubruk dan mengikat mereka erat-erat.
Gwat Kong lalu melakukan penyelidikan dan ternyata bahwa di atap rumah seorang hartawan
yang biasanya memberi sumbangan didatangi dua orang atau tiga orang penjahat. Benar-benar
para penjahat itu berani dan cerdik sehingga mereka bergerak dengan berbareng pada waktu
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 119
yang sama sehingga bagi Gwat Kong sukar sekali untuk membagi-bagi tangannya. Terpaksa
ia bekerja cepat dan berlari ke sana ke mari untuk membantu para penjaga yang terdesak oleh
para penjahat itu.
Para penjahat mendengar bahwa Kang-lam Ciu-hiap mengamuk dan menangkap banyak
kawan mereka, maka mereka lalu bersatu dan ketika Gwat Kong sedang dikeroyok oleh tiga
orang penjahat di rumah tihu yang juga diganggu, datanglah enam orang penjahat lain dan
sebentar saja Gwat Kong dikepung oleh sembilan orang penjahat yang bersenjata pedang dan
golok.
14.
GWAT Kong tidak menjadi jerih, bahkan dengan tertawa bergelak ia lalu keluarkan seguci
arak dari jubahnya. Dengan tangan kiri ia menenggak araknya yang dibawanya dari rumah
Lie-wangwe, sedangkan tangan kanannya yang memegang pedang diputar sedemikian rupa
sehingga senjata para pengeroyoknya tidak ada yang dapat menembus sinar pedangnya itu.
Kemudian, ia menyimpan kembali guci araknya di dalam saku jubahnya dan para penjaga
yang melihat ini diam-diam merasa heran sekali. Mengapa pemuda itu demikian doyan arak
sehingga dalam keadaan pertempuran hebat dan dikeroyok sembilan orang ia ada kesempatan
untuk minum arak?
“Benar-benar setan arak!” kata seorang penjaga.
“Kalau tidak doyan arak, masa disebut Ciu-hiap (Pendekar Arak)?”
Akan tetapi, mereka itu kecele bahwa Gwat Kong itu demikian gila arak sehingga dalam
pertempuran sempat menikmati rasa arak yang wangi. Karena setelah menyimpan kembali
guci araknya, tiba-tiba tubuhnya melesat maju dan pedangnya diputar sedemikian rupa
sehingga terdengar dua kali teriakan dan tubuh dua orang pengeroyok jatuh tersungkur.
Kemudian tiba-tiba pemuda itu membentak keras dan dari mulutnya tersemburlah arak yang
diminumnya tadi dan para penjaga kini bengong dan memandang dengan mata terbelalak
karena terdengar pekik kesakitan dan lima orang di antara tujuh pengeroyok itu segera
melemparkan pedangnya atau goloknya dan menggunakan tangan untuk menutupi muka
mereka sambil merintih-rintih kesakitan. Ternyata bahwa semburan arak itu bagaikan jarumjarum
tajam menusuk-nusuk muka mereka, bahkan yang tidak keburu memeramkan mata ada
yang rusak matanya bagaikan ditusuk jarum.
Dua orang penjahat ketika melihat hal ini hendak lari, akan tetapi begitu Gwat Kong
melompat dan pedangnya digerakkan, dua orang inipun roboh terguling dengan pundak
mereka terluka hebat.
Tentu saja para penjaga menjadi girang luar biasa melihat hal ini. Mereka berebutan maju
untuk memasang belenggu pada tangan para penjahat itu. Tiada henti-hentinya mereka
memuji-muji Gwat Kong. Akan tetapi yang dipuji sudah semenjak tadi pergi dari tempat itu
dan cepat berlari menuju ke rumah Lie-wangwe untuk menyusul Tin Eng.
Juga Tin Eng menghadapi lawan-lawan, bahkan lawannya lebih berat dari pada yang dihadapi
oleh Gwat Kong ketika gadis itu tiba di atas genteng rumah Lie-wangwe. Ternyata ia melihat
lima orang penjahat sedang mengamuk dan biarpun di rumah pamannya itu terjaga oleh para
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 120
penjaga yang sepuluh orang banyaknya, akan tetapi mereka tak berdaya apa-apa dan enam
orang penjaga sudah rebah sambil merintih-rintih.
Lima orang inipun mengenakan kedok pada mukanya. Akan tetapi Tin Eng mengenal
potongan badan dua orang di antara mereka yang terlihai, yang ia tahu adalah Touw Cit dan
Touw Tek. Segera ia menyambar turun dengan pedang di tangan sambil membentak,
“Touw Cit dan Touw Tek, dua bangsat rendah! Tak perlu kalian memakai ledok, karena
kalian tak dapat menipu nonamu!”
Touw Cit tertawa mendengar ini dan melemparkan kedoknya yang menutupi mukanya
sehingga sisa penjaga yang melihat ini menjadi terheran-heran!
“Mundurlah biar aku menghadapi tikus-tikus ini!” seru Tin Eng kepada mereka. Para penjaga
tentu saja menjadi girang karena mereka telah mendengar akan kelihaian nona ini, maka
mereka menolong kawan-kawan yang terluka itu.
Sementara itu, Touw Tek yang juga sudah melemparkan kedoknya, segera maju menyerang
dengan goloknya. Penjahat tinggi besar ini masih teringat akan sakit hatinya siang tadi ketika
ia dipermainkan oleh Tin Eng, maka kini ia hendak menggunakan kesempatan dan
mengandalkan kakak dan kawan-kawannya untuk membalas dendam.
Akan tetapi Tin Eng tertawa mengejek sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya.
“Kau masih belum kapok?” Dan ketika ia membarengi tangkisan pedangnya itu dengan
serangan mendadak, Touw Tek terkejut sekali dan cepat melempar tubuhnya ke belakang
karena tahu-tahu ujung pedang nona itu telah berada di depan hidungnya.
Akan tetapi, betapapun cepat ia melempar diri ke belakang, ujung pedang itu agaknya tidak
mau meninggalkan lehernya. Untung baginya bahwa Touw Cit segera bergerak dan menusuk
lambung Tin Eng dari kanan. Nona itu terpaksa membatalkan serangannya kepada Touw Tek
dan menangkis tusukan Touw Cit.
Akan tetapi diam-diam ia merasa terkejut ketika merasa betapa benturan pedang itu membuat
tangannya tergetar. Maklumlah ia bahwa Touw Cit bukanlah seperti adiknya, Touw Tek.
Kepala gerombolan ini agaknya memiliki tenaga lweekang yang tinggi dan melihat gerakan
pedangnya, ia merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan.
Maka Tin Eng tidak mau membuang banyak waktu lagi karena ia maklum bahwa kini ia
menghadapi Touw Cit yang lihai ditambah dengan empat orang lagi. Dengan seruan garang,
ia lalu putar-putar pedangnya dan mainkan Sin-eng Kiam-hoat yang telah disempurnakan atas
petunjuk-petunjuk dari Gwat Kong.
Ilmu pedang ini memang lihai sekali dan baru beberapa gebrakan saja, kembali Touw Tek
telah terkena ujung pedang Tin Eng yang melukai pangkal lengan kanannya. Tiga orang
kawannya yang berkepandaian hanya setingkat dengan Touw Tek, menjadi jerih.
Pada saat itu, dari luar mendatangi serombongan penjaga lagi yang berjumlah enam orang.
Mereka itu lalu menggabung dengan sisa penjaga dan mengeroyok Touw Tek dan tiga orang
penjahat itu, karena tadi pun yang membuat para penjaga kewalahan hanyalah Touw Cit
seorang yang amat lihai. Dengan berteriak-teriak para penjaga mengeroyok Touw Tek yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 121
telah terluka dan sebentar saja Touw Tek yang kenyang mendapat gebukan dari para penjaga,
kena ditangkap erat-erat bagaikan seekor babi mau disembeli!
Tiga orang kawannya melihat hal ini, menjadi kacau permainannya dan mereka lalu mencoba
untuk melarikan diri. Dua orang kena dikepung dan dihantam oleh para pengeroyoknya
sehingga tertangkap pula, sedangkan yang seorang lagi telah berhasil melompat naik ke atas
genteng. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar seruan Tin Eng,
“Turun kau!” Tangan kiri gadis yang masih bertempur hebat dengan Touw Cit ini diayun dan
sebatang piauw meluncur ke arah kaki penjahat yang mencoba untuk melarikan diri.
Terdengar teriakan ngeri dan tubuh penjahat itu menggelinding kembali ke bawah genteng
disambut oleh para penjaga dengan teriakan dan gebukan-gebukan.
Kini Tin Eng hanya menghadapi Touw Cit seorang lawan seorang. Ketika Touw Cit mainkan
pedangnya, diam-diam Tin Eng terkejut sekali. Ternyata bahwa penjahat ini mainkan ilmu
pedang Go-bi-pai. Ilmu pedang penjahat ini sama benar dengan ilmu pedang ayahnya dan
yang telah ia pelajari pula.
“Kau anak murid Go-bi-pai!” tak terasa lagi mulut dara itu berseru kaget sambil menangkis
serangan lawannya dengan pedang.
Touw Cit terkejut dan memandang tajam sambil menunda serangan.
“Siapakah kau?”
“Akupun anak murid Go-bi-pai!” jawab Tin Eng. “Kau sungguh memalukan dan
mencemarkan nama baik Go-bi-pai. Tak ingatkah kau akan sumpahmu ketika kau mulai
belajar silat?”
“Bohong!” seru Touw Cit. “Permainan pedangmu sama sekali bukan ilmu pedang Go-bi-pai!”
“Aku bukan membohong seperti kau! Buka matamu lebar-lebar!” Setelah berkata demikian,
Tin Eng lalu merobah permainan pedangnya dan kini ia menyerang lawannya itu dengan ilmu
pedang Go-bi-pai yang ia pelajari dari ayahnya. Touw Cit segera menangkis dan untuk
beberapa belas jurus lamanya mereka bertempur dalam ilmu pedang yang sama.
“Betul, betul kau, pandai mainkan ilmu pedang Go-bi-pai!” seru Touw Cit girang. “Mengapa
kau memusuhi saudara seperguruan sendiri?”
“Cih, siapa sudi kau sebut saudara seperguruan?” bentak Tin Eng. “Orang yang melakukan
kesesatan dan kejahatan macam kau tak berhak menyebut dirimu sebagai anak murid Go-bipai
lagi!”
Kembali Tin Eng menyerang sambil mempergunakan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat oleh
karena ternyata bahwa ilmu pedang Go-bi-pai yang ia miliki masih kalah tinggi apabila
dibandingkan dengan Touw Cit. Penjahat itu menjadi marah sekali dan mengerahkan seluruh
kepandaian untuk melayani gadis yang lihai itu. Pertempuran berjalan makin seru dan hebat
sehingga pedang mereka berkelebat dan sinarnya bergulung-gulung.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 122
Para penjaga yang kini telah membereskan semua penjahat yang menjadi korban, hanya
menonton saja karena mereka maklum bahwa kepandaian mereka masih jauh untuk dapat
membantu gadis pendekar itu. Mereka hanya berteriak-teriak menambah semangat Tin Eng.
Pada saat itu terdengar seruan, “Jangan lepaskan penjahat itu!” Dan dari atas wuwungan
nampak bayangan Gwat Kong mendatangi.
Melihat ini Touw Cit menjadi gentar juga dan segera mengirim tusukan kilat ke arah dada Tin
Eng yang mengelak cepat. Touw Cit menggerakkan tangan kiri dan dua butir peluru besi
sebesar telor ayam menyambar ke arah leher dan lambung Tin Eng. Gadis ini cepat
menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dengan terkejut karena hampir saja ia menjadi korban
serangan senjata gelap lawan.
Kesempatan ini digunakan oleh Touw Cit untuk melompat jauh dan melarikan diri di dalam
gelap.
“Bangsat rendah hendak pergi ke mana!” teriak Tin Eng yang segera mengejar.
“Bagus, kejar dia Tin Eng!” Gwat Kong juga berseru dan menyusul pula untuk mengejar
penjahat yang lari itu. Para penjaga juga berteriak-teriak dan berlari-lari mengejar dari
belakang. “Kejar .....! Tangkap Touw Cit si bangsat besar ....!!”
Akan tetapi oleh karena penjahat itu menggunakan lari cepat, demikian pula Tin Eng dan
Gwat Kong, sebentar saja para penjaga itu tertinggal jauh dan menjadi bingung karena tidak
melihat tiga orang itu sehingga mereka tidak tahu harus mengejar ke jurusan mana?
Ternyata bahwa ilmu lari cepat dari Touw Cit sudah cukup tinggi, sehingga untuk beberapa
lama Tin Eng dan Gwat Kong belum berhasil menyusulnya. Akan tetapi, jarak antara mereka
dan Touw Cit makin mengecil juga sehingga penjahat itu menjadi bingung dan terus berlari
ke luar dari kota dan bermaksud untuk bersembunyi ke dalam hutan yang berada di luar kota.
Sementara itu, fajar telah mulai menyingsing dan karena pagi itu tidak ada halimun, maka
sebentar saja keadaan menjadi terang. Hal ini amat menggelisahkan hati Touw Cit yang
melarikan diri, oleh karena ia lari memasuki hutan, kedua orang pengejarnya terus mengejar
dan tak mau melepaskannya dan keadaan yang mulai terang itu tidak memungkinkan ia untuk
menyembunyikan diri.
“Touw Cit, tidak ada gunanya kau melarikan diri, biarpun akan masuk ke dalam tanah, kau
takkan terlepas dari tangan kami!” seru Gwat Kong sambil tertawa.
Karena kedua pengejarnya kini telah dekat sekali di belakangnya, ketika tiba di tempat
terbuka, tiba-tiba Touw Cit menahan langkah kakinya dan dengan pedang di tangannya
menanti datangnya para pengejar untuk berkelahi mati-matian!
“Keparat!” ia memaki sambil menudingkan pedangnya kepada Tin Eng. “Sebagai anak murid
Go-bi-pai, kau benar-benar tidak memandang perguruan kita! Sebenarnya kau ini murid
siapakah?”
Tin Eng dengan pedang ditangan berdiri menghadapi Touw Cit sambil tersenyum. “Ayahku
adalah murid Go-bi-pai. Akan tetapi, aku sendiri bukan langsung menjadi anak murid Go-biKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 123
pai. Aku lebih senang mempergunakan ilmu pedang lain! Ayahku adalah Liok Ong Gun
Kepala daerah Kiang-sui, seorang anak murid Go-bi-pai tulen dan sama sekali tidak dapat
disamakan dengan kau penjahat kejam yang hanya mengotorkan nama Go-bi-pai!”
Merahlah muka Touw Cit mendengar ini. “Aku pernah mendengar nama ayahmu yang
tingkatnya sama dengan aku. Kalau kau seorang gadis yang mengerti peraturan, kau
seharusnya menyebut aku susiok (paman guru).”
Tin Eng tersenyum mengejek. “Aku harus menyebut paman guru kepada seorang perampok,
penipu dan pemeras rakyat? Hm, nanti dulu, kawan! Pada saat ini, aku adalah seorang petugas
yang membawa dendam penduduk Hun-lam yang telah lama kau ganggu. Kalau kau hendak
menganggap aku sebagai anak murid Go-bi-pai, baiklah, aku mewakili Go-bi-pai pula untuk
membersihkan nama Go-bi-pai dari anak muridnya yang tersesat dan yang patut menerima
hukuman berat!”
“Boca sombong!” Touw Cit menjadi marah sekali lalu menyerang dengan pedangnya. Tin
Eng menangkis sambil tersenyum manis dan sebentar kemudian mereka telah bertempur
kembali dengan hebatnya. Gwat Kong hanya berdiri tak jauh dari situ dengan kedua tangan
bertolak pinggang dan bibir tersenyum. Ia hendak menyaksikan kemajuan ilmu pedang Tin
Eng.
Pertempuran kali ini benar-benar hebat dan jauh lebih sengit dari pada tadi oleh karena Touw
Cit yang telah menghadapi jalan buntu dan tidak mempunyai harapan untuk melarikan diri
dan melepaskan diri dari kedua orang muda yang lihai ini, telah mengambil keputusan untuk
berlaku nekad dan bertempur mati-matian. Sepasang matanya memandang marah, seakanakan
mengeluarkan sinar berapi, mengandung nafsu membunuh. Ia lebih mengerahkan
kepandaian dan tenaganya untuk menyerang dari pada mempertahankan diri, dalam usahanya
untuk membunuh atau dibunuh.
Menghadapi serangan-serangan nekad ini, Tin Eng berlaku tenang dan hati-hati sekali dan
biarpun mulutnya masih memperlihatkan senyum manis, akan tetapi ia mencurahkan seluruh
perhatiannya karena maklum bahwa lawannya telah nekad untuk mengadu jiwa. Dara ini
mempergunakan ilmu ginkangnya yang lebih tinggi dari pada Touw Cit yang bertubuh besar
pula. Tubuh Tin Eng nampak ringan sekali dan gerakan kedua kakinya demikian cepat dan
gesit sehingga ia seakan-akan bertempur sambil menyambar-nyambar tanpa menginjak tanah.
Bagaikan seekor burung walet bermain di antara mega.
Pertempuran berjalan dengan ramainya sampai lima puluh jurus dan diam-diam Gwat Kong
merasa girang melihat kemajuan ilmu pedang gadis itu karena ia maklum pula bahwa gadis
itu sengaja mempermainkan lawannya. Kalau Tin Eng mau, memang sudah semenjak tadi ia
dapat merobohkan lawannya yang dalam kenekatannya telah membuka banyak lowongan
pada dirinya sendiri.
Akan tetapi Tin Eng masih tidak tega untuk memberi tusukan yang dapat membinasakan
lawannya atau mendatangkan luka berat. Karena betapapun juga ia masih ingat bahwa
lawannya ini adalah anak murid Go-bi-pai atau masih saudara seperguruan ayahnya.
Pertahanan Touw Cit makin lemah karena ia telah menggunakan tenaga terlalu banyak dan
terlalu dipaksakan, menuruti hatinya yang penuh dendam dan marah. Juga kegelisahannya
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 124
membuat permainan pedangnya kacau balau. Dan tak lama kemudian, ia mulai terdesak dan
berkelahi sambil mundur!
Tiba-tiba Tin Eng berseru keras dan tubuhnya melompat ke atas dan mengirim serangan
dengan gerak tipu Air Mancur Menyiram Bunga. Pedangnya di tangan kanan ditusukkan ke
arah dada lawan sedangkan tangan kirinya dipentang ke belakang, kedua kakinya membuat
imbangan untuk menahan turun tubuhnya dari atas.
Serangannya cepat sekali sehingga dengan terkejut Touw Cit lalu melangkah mundur dan
menggerakkan pedangnya untuk menangkis dengan sabetan dari atas ke bawah dengan
maksud menghantam pedang gadis itu agar terlepas. Akan tetapi secepat kilat, pedang Tin
Eng ditarik mundur dan setelah pedang Touw Cit lewat ke bawah, ia lalu menindih pedang
lawan itu. Dengan pedangnya di atas pedang Touw Cit yang tak berdaya itu, maka kini dada
Touw Cit terbuka dan bagi Tin Eng dengan mudah saja kalau ia hendak merobohkan
lawannya. Sekali ia menusukkan pedangnya akan tertembus dada lawan.
Akan tetapi Tin Eng tidak mau melakukan hal ini, hanya menggerakkan pedang ke atas, ke
arah tangan Touw Cit yang memegang pedang. Penjahat itu menjerit kesakitan dan pedangnya
terlepas karena tangannya telah termakan oleh pedang Tin Eng sehingga ibu jarinya hampir
putus. Tin Eng menarik kembali pedangnya pada saat itu digunakan oleh Touw Cit untuk
melompat mundur dalam usahanya melarikan diri.
Akan tetapi, nampak berkelebat bayangan yang cepat sekali dan sebuah tendangan pada
lututnya membuat Touw Cit terjungkal tak dapat bangun kembali. Ternyata bahwa
sambungan lutut kanannya telah terlepas akibat tendangan yang dikirim oleh kaki Gwat Kong.
Pada saat itu, para penjaga yang mengejar baru dapat menemukan mereka dan dengan girang
mereka lalu menubruk dan mengikat kaki tangan Touw Cit, lalu diseretnya kembali ke kota.
Dengan jatuhnya Touw Cit, maka boleh dibilang semua penjahat yang melakukan pengacauan
itu, yang semua berjumlah empat belas orang telah diringkus.
Kota Hun-lam merayakan peristiwa itu dengan gembira sekali. Touw Cit dengan kawankawannya
dimasukkan ke dalam penjara dan mendapat hukuman berat atas dosa-dosanya.
Para penjahat di luar kota yang mendengar hal ini, menjadi ketakutan dan nama Kang-lam
Ciu-hiap makin terkenal. Sementara itu penduduk Hun-lam juga memberi nama pujian bagi
Tin Eng, yakni Sian-kiam Lihiap atau Pendekar Wanita Pedang Dewa.
****
Setelah tinggal di gedung Lie Kun Cwan sepekan lamanya, Gwat Kong lalu meninggalkan
kota Hun-lam. Atas permintaan Tin Eng, Gwat Kong hendak berusaha mendamaikan
permusuhan yang timbul antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai.
“Betapapun juga aku merasa bersedih kalau mengingat keadaan permusuhan itu, karena ayah
adalah anak murid Go-bi-pai dan tidak suka kalau ayah sampai terlibat dalam permusuhan ini.
Harap kau suka memberitahukan kepada setiap orang gagah dari Hoa-san-pai bahwa tidak
semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat belaka. Juga kalau kau bertemu dengan tokoh-tokoh
Go-bi-pai harap beritahukan bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai baik dan benar.
Buktinya Touw Cit itu juga telah mengotorkan nama Go-bi-pai dan melakukan perbuatan
yang jahat,” kata Tin Eng kepadanya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 125
Sebetulnya Gwat Kong merasa berat untuk berpisah dari Tin Eng, gadis yang diam-diam
dicintainya semenjak ia masih menjadi pelayan di gedung orang tua gadis itu. Akan tetapi
tentu saja ia tidak bisa terus-terusan tinggal di rumah paman gadis itu. Lagi pula juga tidak
enak bagi Tin Eng untuk ikut pergi merantau dengan dia. Karena sebagai gadis sopan, tidak
selayaknya melakukan perantauan dengan seorang pemuda yang bukan menjadi keluarganya.
Ia hanya berpesan agar supaya gadis itu suka berlatih dengan giat. Karena biarpun telah
mendapat petunjuk-petunjuk darinya, namun gadis ini belum lama mempelajari Sin-eng
Kiam-hoat yang tulen sehingga gerakannya masih agak kaku.
Gwat Kong pergi dengan diantar oleh Lie-wangwe sampai di luar kota. Hartawan ini merasa
suka dan kagum sekali kepada Gwat Kong yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian
tinggi. Ia bahkan memberi hadiah sebuah guci arak terbuat dari pada perak terukir yang amat
indah kepada pemuda itu, berikut isinya yakni arak Hang-ciu yang bukan main keras dan
wanginya dan telah berusia tua sekali.
Gwat Kong menyimpan guci ini dengan menggantungkannya pada pinggangnya dan
berangkatlah dia, mulai dengan perantauannya. Ia cinta kepada Tin Eng, akan tetapi tidak
berani ia menyatakan cintanya itu. Sungguhpun dulu pernah ia menyatakan di luar
kesadarannya, yakni ketika ia mabuk di rumah gadis itu sebelum ia meninggalkan gedung
Liok-taijin.
Ia tidak berani menyatakan cintanya kepada seorang gadis puteri Kepala daerah, bangsawan
tinggi dan keponakan dari seorang yang demikian kaya seperti Lie-wangwe. Ia seorang
pemuda yatim piatu yang miskin, maka Gwat Kong merasa lebih baik ia menjauhkan diri dari
Tin Eng dan berusaha melupakannya sebelum terlambat, yakni sebelum ikatan hatinya makin
erat.
Sementara itu, Tin Eng yang ditinggal pergi oleh Gwat Kong, lalu berlatih diri dengan
giatnya. Ia senang tinggal di rumah pamannya yang amat baik terhadap dia dan Lie Kun
Cwan juga merasa terhibur dengan adanya gadis itu yang seakan-akan ia anggap sebagai anak
sendiri.
Kejenakaan dan kegembiraan watak gadis itu seolah-olah merupakan matahari yang
menyinari kesuraman suasana dalam gedungnya yang kosong setelah isterinya yang tercinta
meninggal dunia. Lie-wangwe telah mengirim surat kepada Liok-taijin suami isteri
menceritakan bahwa Tin Eng berada di rumahnya dan membujuk agar supaya suami isteri itu
tidak terlalu memaksa kepada Tin Eng yang disebutnya masih berwatak anak-anak.
Baik Gwat Kong maupun Tin Eng sama sekali tidak tahu bahwa dua orang bersaudara Touw
Cit dan Touw Tek adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-i-pang, yakni
perkumpulan baju hitam yang berpusat di Tong-kwan, sebelah selatan Hun-lam. Ketika
menjalankan pemerasan pada para hartawan di Hun-lam, Touw Cit dan Touw Tek juga dapat
perlindungan dari perkumpulan gelap ini dan kedua saudara itu setiap bulan memberi bagian
kepada perkumpulan itu.
Yang menjadi Pangcu atau ketua Hek-i-pang adalah seorang tua bernama Song Bu Cu,
berusia lima puluh tahun dan terkenal sebagai seorang ahli silat yang memiliki lweekang
tinggi. Song Bu Cu ini adalah bekas perampok tunggal yang telah ‘mengundurkan diri’ dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 126
untuk melewati hari tuanya ia membentuk perkumpulan baju hitam itu di mana ia menjadi
ketuanya dan hidup dari hasil ‘pensiun’ yang diterimanya dari para anak buahnya.
Perkumpulan ini mempunyai banyak anggauta dan Song Bu Cu yang cerdik itu tidak mau
menggunakan tenaga para anak buahnya untuk melakukan kejahatan secara terang-terangan
dan kasar seperti merampok, mencuri dan lain-lain. Ia lebih mengutamakan pekerjaan yang
aman baginya, yakni pekerjaan pemerasan yang tidak terlalu menyolok mata.
Dengan pengaruhnya yang besar, ia menyebar anak buahnya untuk minta ‘sumbangan’ dari
para hartawan dengan cara halus, yakni dengan berkedok menjaga keamanan sebagaimana
yang telah dijalankan dengan baiknya oleh Touw Cit dan Touw Tek di kota Hun-lam. Selain
ini juga setelah mendapat banyak uang, Song Bu Cu lalu menggunakan uang itu sebagai
modal dan membuka rumah-rumah gadai dengan bunga tinggi.
Bahkan di kota Tong-kwan ia memonopoli rumah-rumah makan, sehingga sebagian besar
rumah makan yang berada di kota Tong-kwan adalah milik perkumpulan Hek-i-pang, kecuali
rumah-rumah makan yang kecil dan bukan merupakan saingan besar. Orang-orang tidak
berani membuka rumah makan besar di kota itu karena mereka sungkan dan segan untuk
membukanya dan menghadapi perkumpulan gelap itu sebagai musuh.
Semua anggauta Hek-i-pang selalu mengenakan jubah hitam, sungguhpun celana mereka
boleh sesukanya. Ada yang putih, hijau dan menurut kesukaan masing-masing, akan tetapi
jubahnya selalu hitam. Inilah tanda pengenal anggauta perkumpulan Hek-i-pang. Oleh karena
itu pula, maka Touw Cit dan Touw Tek selalu memakai jubah hitam.
Ketika Song Bu Cu mendengar tentang para anak buahnya yang diobrak-abrik oleh Kang-lam
Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap di Hun-lam, ia menjadi marah sekali. Ia mengumpulkan
semua pembantunya untuk merundingkan hal ini. Kemudian memutuskan untuk mendatangi
tihu dari Hun-lam dan minta agar supaya para penjahat yang ditangkap itu dibebaskan
kembali.
Song Bu Cu sendiri hendak turun tangan dan membalas dendam kepada Kang-lam Ciu-hiap
dan Sian-kiam Lihiap. Akan tetapi seorang pembantunya yang cukup pandai dan lihai, yakni
seorang yang bernama Lui Siok berjuluk si Ular Belang, segera berkata,
“Untuk apa pangcu harus maju sendiri? Menangkap dan memukul anjing-anjing kecil seperti
dua anak-anak muda itu tak perlu mempergunakan pentungan besar. Biarlah aku saja ke Hunlam
untuk membereskan urusan ini!”
Semua orang merasa girang mendengar ini karena mereka telah maklum akan kelihaian Lui
Siok ini yang juga menjadi wakil ketua dari Hek-i-pang. Kepandaian Lui Siok hampir
seimbang dengan kepandaian Song Bu Cu, bahkan si Ular Belang ini terkenal sekali dengan
kepandaiannya Siauw-kin-na Chiu-hwat, yakni ilmu silat yang berdasarkan tangkapan dan
cengkeraman tangan seperti ilmu Jujitsu dari Jepang.
Oleh karena memiliki kepandaian ini, maka Lui Siok jarang sekali mempergunakan senjata di
waktu menghadapi lawan. Sekali saja lawannya terkena pegang oleh tangannya maka lawan
itu takkan mudah dapat melepaskan diri tanpa mendapat luka patah tulang atau urat keseleo.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 127
“Kalau Lui-te (adik Lui) mau mewakili aku pergi, itu adalah yang baik sekali. Aku percaya
penuh bahwa kalau Lui-te yang pergi turun tangan, hal ini akan beres dan sakit hati kiranya
akan terbalas!” kata Song Bu Cu dengan girang. Dibandingkan dengan Song Bu Cu, Lui Siok
ini lebih muda dua tahun karena usianya baru empat puluh delapan. Akan tetapi melihat
rambut di kepalanya, ia nampak lebih tua karena rambutnya telah putih semua.
Demikianlah, beberapa hari kemudian, Lui Siok dengan diantar oleh dua orang kawannya
datang ke kota Hun-lam. Ia langsung menuju ke rumah tihu dan berkata kepada penjaga
bahwa ia datang dari Tong-kwan hendak bertemu dengan tihu karena urusan yang amat
penting. Penjaga lalu melaporkan dan tihu kota Hun-lam segera keluar dan menanti di ruang
tamu. Ketika tiga orang tamunya itu memasuki ruang tamu, ia melihat bahwa mereka adalah
orang-orang tak dikenal, akan tetapi baju mereka yang hitam itu menimbulkan perasaan
kurang enak di dalam hatinya mengingatkan tihu itu kepada Touw Cit dan Touw Tek yang
juga selalu berpakaian hitam.
“Taijin, kami datang dari Tong-kwan untuk menyampaikan surat ini dari perkumpulan kami!”
kata Lui Siok setelah dipersilahkan duduk.
Dengan heran dan tanpa banyak curiga tihu menerima surat itu dan membukanya. Akan
tetapi, setelah ia membaca surat itu wajahnya menjadi pucat dan ia mengerling ke arah Lui
Siok. Makin pucatlah dia ketika melihat betapa Lui Siok tersenyum-senyum penuh arti. Akan
tetapi ketika tihu melihat ke arah kedua tangan Lui Siok yang memegang pinggir meja,
ternyata meja itu telah remuk pinggirnya karena dicengkeram oleh sepuluh jari tangan
tamunya yang aneh itu. Seakan-akan orang mencengkeram keripik saja. Kedua tangan
pembesar itu mulai menggigil dan ia membaca sekali lagi surat yang dipegangnya:
Thio-tihu dari Hun-lam,
Kami mengutus seorang wakil perkumpulan kami bersama dua orang anak buah kami, untuk
menyampaikan hormat kami kepada taijin. Tentu taijin telah mendengar tentang nama
perkumpulan kami yang merupakan jaminan bagi keamanan daerah Tong-kwan, termasuk
Hun-lam.
Oleh karena mengingat akan perhubungan ini, kami minta dengan sangat kepada taijin agar
supaya berlaku bijaksana dan suka membebaskan kedua anggauta perkumpulan kami Touw
Cit dan Touw Tek yang telah ditahan oleh Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Li-hiap! Juga
kawan-kawan mereka harap diberi kelonggaran.
Terima kasih atas kebijaksanaan taijin.
Hormat kami,
Ketua dari Hek-i-pang
Di Tong-kwan.
Thio-tihu memang pernah mendengar tentang perkumpulan ini, akan tetapi ia sama sekali
tidak pernah menduga bahwa Touw Cit dan Touw Tek adalah anggauta perkumpulan yang
berpengaruh itu. Baru satu kali saja ia berurusan dengan perkumpulan itu, yakni pada tahun
yang lalu ketika hari tahun baru, di Hun-lam kedatangan serombongan pemain Barongsai
yang minta derma tanpa memberitahukan kepada rombongan Barongsai pribumi, yakni
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 128
rombongan dari Hun-lam sendiri. Maka terjadilah pertengkaran yang diakhiri dengan
perkelahian.
Akan tetapi ternyata bahwa rombongan Barongsai Baju Hitam ini lihai sekali sehingga
rombongan dari Hun-lam banyak yang menderita luka-luka. Para penjaga tak berdaya
terhadap mereka, sedangkan Touw Cit dan Touw Tek yang diminta bantuannya, hanya
menyatakan bahwa lebih baik rombongan dari Tong-kwan itu jangan diganggu. Maka
rombongan itu melanjutkan permainannya di depan tiap rumah dan pada para hartawan di
Hun-lam mereka minta jumlah sumbangan yang telah ditetapkan.
Kini setelah menerima surat ini dan melihat demonstrasi kelihaian yang diperlihatkan oleh
Lui Siok dengan mencengkeram hancur ujung mejanya yang tebal dan keras itu, tentu saja
Thio-tihu menjadi terkejut, gelisah dan ketakutan. Dengan lemas ia duduk kembali di
kursinya dan berkata dengan suara gemetar,
“Harap saja Samwi-enghiong (bertiga orang gagah) jangan marah karena sesungguhnya
urusan ini tak dapat dilakukan dengan mudah begitu saja. Bagaimana aku bisa membebaskan
orang-orang yang telah menjadi tahanan karena dianggap penjahat-penjahat?”
“Taijin,” berkata Lui Siok yang masih tersenyum ramah, akan tetapi matanya bersinar tajam
mengerikan. “Kami orang-orang dari Hek-i-pang selalu berlaku sabar, mengalah dan
memandang persahabatan. Kalau kami mau, apakah sukarnya mendatangi tempat tahanan itu
dan mengeluarkan kawan-kawan kami? Akan tetapi kami tidak mau melakukan kekerasan itu
dan sengaja minta kebijaksanaan taijin karena bukankah taijin yang berkuasa dan berhak
membebaskan mereka? Lebih baik taijin segera menulis sepucuk surat pembebasan agar dapat
kami bawa ke tempat tahanan untuk membebaskan kawan-kawan kami itu!”
Thio-tihu menjadi bingung. Menolak ia tidak berani karena maklum bahwa ketiga orang ini
bukanlah orang baik-baik dan tentu akan mencelakakannya apabila ia menolak, akan tetapi
untuk mentaati permintaan itu, juga sukar baginya.
15.
“SAM-wi, memang benar aku yang berkuasa, akan tetapi harus kalian ketahui bahwa yang
menangkap mereka bukanlah aku! Semenjak dahulu hubunganku dengan saudara Touw baik
sekali, sampai datang Kang-lam Ciu-hiap dan memaksaku memberi hukuman kepada mereka.
Kalau sekarang aku melepaskan mereka, bukankah aku melakukan kesalahan besar terhadap
kedua pendekar muda itu? Harus diketahui bahwa mereka itu lihai sekali dan apa dayaku
terhadap mereka?”
Tiba-tiba Lui Siok si Ular Belang tertawa terbahak-bahak. “Anjing-anjing kecil itu untuk
apakah ditakuti sekali? Mereka hanya pandai menyalak dan tak mampu menggigit! Tentang
mereka, serahkanlah kepadaku, taijin. Setelah membebaskan Touw Cit dan Touw Tek, aku
akan langsung mencari mereka di gedung Lie-wangwe.”
Lega juga Thio-tihu mendengar ini, karena memang maksudnya hendak mengadu orangorang
ini dengan kedua pendekar muda ini yang tentu takkan tinggal diam. Hanya sayangnya
ia telah mendengar bahwa Kang-lam Ciu-hiap meninggalkan Hun-lam kemarin sehingga kini
hanya tinggal Sian-kiam Lihiap seorang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 129
Terpaksa ia membuat sepucuk surat pembebasan bagi Touw Cit dan Touw Tek dan
menyerahkan kepada Lui Siok. Si Ular Belang tertawa bergelak dan sekali lagi tangan
kanannya digerakkan menghantam meja di depannya yang segera menjadi pecah bagaikan
kena hantaman kampak.
“Taijin, kalau lain kali terjadi penangkapan atas diri anggauta-anggauta perkumpulan kami,
bukan meja ini yang kupecahkan, akan tetapi kepala orang-orang yang bertanggung jawab
dalam urusan penangkapan itu!”
Setelah berkata demikian, dengan senyum dimulut, Lui Siok mengajak kedua anak buahnya
pergi meninggalkan Thio-tihu yang masih berdiri menggigil sambil memandang kepada meja
yang telah rusak terpukul itu.
Dengan surat perintah dari Thio-tihu, maka mudah saja Lui Siok dan dua orang anak buahnya
membebaskan Touw Cit dan Touw Tek. Kedua saudara ini segera memberi hormat dan
menghaturkan terima kasih banyak kepada Lui Siok yang menjawab sambil tertawa,
“Sudahlah, pengalaman ini kalian jadikan contoh agar lain kali tidak bertindak semberono dan
lebih dulu memberitahukan kepada kami apabila menghadapi urusan besar! Sekarang
ceritakanlah bagaimana kalian sampai kalah terhadap Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam
Lihiap.”
Touw Cit menceritakan pengalamannya dan ketika ia menceritakan bahwa Sian-kiam Lihiap
adalah seorang anak murid Go-bi-pai pula dan bahkan anak perempuan Liok Ong Gun Kepala
daerah Kiang-sui, Lui Siok membuka matanya lebar-lebar dan berseru, “Ah, kalau begitu kita
telah menghadapi orang sendiri!”
Touw Cit dan kawan-kawannya heran mendengar ini, akan tetapi Lui Siok tidak mau banyak
bicara, hanya berkata, “Kalian lebih baik segera kembali dulu ke Tong-kwan. Biarlah aku
sendiri yang membereskan segala urusan di sini. Tidak baik kalau kalian berada terlalu lama
di sini.”
Touw Cit, Touw Tek dan dua orang anak buah Hek-i-pang itu tidak berani membantah dan
mereka pergi menuju ke Tong-kwan. Adapun Lui Siok lalu pergi mencari Sian-kiam Lihiap
Liok Tin Eng.
Siapakah sebenarnya Lui Siok ini dan mengapa ia menganggap Tin Eng sebagai orang
sendiri? Si Ular Belang yang lihai ini sebenarnya bukan lain ialah murid kepala dari Bong Bi
Sianjin tokoh Kim-san-pai itu! Dengan demikian maka Lui Siok ini masih terhitung kakak
seperguruan dari Gan Bu Gi, pemuda yang hendak dijodohkan dengan Tin Eng dan yang
sekarang menjadi perwira di gedung ayah Tin Eng itu! Lui Siok telah mendengar tentang
keberuntungan Gan Bu Gi yang menjadi perwira itu, karena suhunya telah menceritakannya,
maka ia tahu bahwa sutenya itu hendak dipungut menantu oleh Liok-taijin.
Ia telah mengetahui bahwa Liok-taijin adalah seorang anak murid Go-bi-pai yang pandai dan
mendengar pula bahwa ilmu silat gadis yang hendak dijodohkan dengan sutenya itu bahkan
lebih tinggi lagi. Maka tentu saja ia terkejut sekali mendengar bahwa yang memusuhi Touw
Cit dan Touw Tek adalah Liok Tin Eng atau calon isteri dari Gan Bu Gi sutenya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 130
Pada saat itu, Tin Eng sedang berada di kebun belakang yang dikelilingi tembok tinggi dan
gadis ini sedang berlatih silat seorang diri untuk menyempurnakan ilmu silat tangan kosong
Sin-eng Kun-hoat yang ia pelajari dari Gwat Kong. Berbeda dengan Sin-eng Kiam-hoat yang
pernah ia pelajari dari kitab salinan, untuk ilmu silat tangan kosong yang belum pernah ia
pelajari sama sekali ini, ia mendapatkan berbagai kesulitan.
Baiknya ia telah ingat di luar kepala tentang teori-teorinya sehingga ia dapat melatih seorang
diri dengan giat dan tekunnya. Ia sedang melatih berkali-kali gerakan dari Sin-eng Kai-peng
(Garuda Sakti Membuka Sayap). Gerakan ini walaupun dimulai dengan dua lengan terpentang
ke kanan kiri, akan tetapi mempunyai pecahan yang banyak macamnya, yang disesuaikan
dengan gerakan dan kedudukan lawan.
Ia pernah melihat Gwat Kong mendemonstrasikan gerakan ini. Akan tetapi masih saja ia
mendapatkan kesulitan dan belum merasa puas dengan gerakan sendiri yang dianggapnya
masih kurang sempurna. Oleh karena itu semenjak tadi ia mengulangi lagi gerakan itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara teguran. “Aneh sekali, mengapa anak murid Go-bi-pai mainkan
ilmu silat yang aneh semacam itu?”
Tin Eng cepat menengok dan melihat seorang laki-laki tua berbaju hitam berambut putih
berdiri di atas tembok taman itu. Ia kaget sekali karena sama sekali ia tidak mendengar atau
melihat gerakan orang ini sehingga ia dapat menduga bahwa kepandaian orang ini tentu tinggi
sekali. Ia memandang dan bertanya,
“Kakek yang gagah siapakah kau dan apakah maksudmu melompat ke atas tembok lain
orang?”
Kakek ini yang bukan lain adalah Lui Siok si Ular Belang, tertawa bergelak.
“Apakah kau yang disebut Sian-kiam Lihiap dan bernama Liok Tin Eng?” Ia balas bertanya.
Tin Eng mendongkol sekali karena sikap kakek ini ternyata memandang rendah, belum
menjawab sudah balas bertanya.
“Kalau aku benar Sian-kiam Lihiap Liok Tin Eng, habis kau mau apakah?”
“Benar galak ...!” Lui Siok kembali tertawa. “Akan tetapi cantik manis dan gagah!” Kini ia
berjongkok di atas tembok itu dan sambil tersenyum ia berkata kembali,
“Nona, ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan Hoa-coa-ji Lui Siok (Si Ular Belang)!”
Tin Eng tersenyum mengejek. “Semenjak hidupku, aku belum pernah mendengar nama dan
julukan itu.”
Lui Siok tidak marah, hanya tertawa lagi. “Tentu saja belum kenal karena kau masih hijau dan
kurang pengalaman.”
Tin Eng makin mendongkol lalu berkata ketus, “Orang tua, sebetulnya apakah maksud
kedatanganmu? Apakah kau datang hanya hendak memamerkan nama dan julukanmu? Kalau
benar demikian, kau salah alamat. Seharusnya kau pergi ke pasar di mana terdapat banyak
orang dan kau boleh menjual nama sesuka hatimu. Aku tidak butuh julukan!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 131
“Aduh aduh! Mengapa sute berani menghadapi nona yang begini galak?” kembali Lui Siok
berkata. Akan tetapi ia benar-benar cantik jelita dan gagah. Ha ha, nona kecil, jangan kau
berlaku galak kepadaku. Ketahuilah bahwa aku sebetulnya masih suhengmu (kakak
seperguruan) sendiri!”
Tin Eng terkejut dan heran, akan tetapi ia makin gemas. Terang bahwa orang tua ini hendak
mempermainkannya. Dari mana ia mempunyai kakak seperguruan seperti ini? Melihat atau
mendengar namanya belum pernah.
“Aku tidak pernah mempunyai seorang suheng yang manapun juga!” katanya mendongkol.
“Harap jangan mengobrol di sini dan pergilah!”
“Ha ha ha! Tentu sute belum menceritakan hal suhengnya ini kepadamu. Ah, kalau bertemu
dengan Gan-sute, tentu ia akan kutegur! Ketahuilah nona, Gan Bu Gi, calon suamimu itu
adalah suteku! Kalau aku menjadi suhengnya, bukankah kau juga harus menyebut suheng
kepadaku?”
Kini mengertilah Tin Eng, akan tetapi pengertian ini bahkan menambah kemarahannya.
Dengan muka merah ia menuding,
“Jangan kau ngaco belo! Siapa yang menjadi calon isteri orang she Gan itu? Jangan kau
berlancang mulut!”
Kini Lui Siok memandang heran dan ia menggeleng-gelengkan kepala lalu berdiri di atas
tembok itu.
“Heran, heran! Gan-sute benar-benar gila! Mengapa ia mau mencari jodoh dengan gadis
segalak ini? Nona Liok! Ku berlaku kurang ajar terhadap saudara tua, kalau calon suamimu
mendengar tentang hal ini, kau tentu akan mendapat teguran keras!”
“Tutup mulutmu yang busuk!”
Marahlah Lui Siok melihat sikap Tin Eng yang dianggapnya terlalu kurang ajar ini. Mana ada
calon isteri seorang sute bersikap seperti ini terhadap seorang suheng?
“Hmmm, agaknya kau sombong karena kau telah mendapat julukan Sian-kiam Lihiap!
Ketahuilah nona galak, kedatanganku ini sebenarnya untuk mencari dan membunuh Kang-lam
Ciu-hiap yang telah mengganggu kawan-kawanku yaitu Touw Cit dan Touw Tek! Tadinya
kaupun hendak kuhajar, akan tetapi mendengar bahwa kau adalah calon isteri suteku, tentu
saja aku tidak mau turun tangan, hanya mengharapkan sikap manis darimu dan pernyataan
maaf. Sekarang sikapmu begini kurang ajar, agaknya kau mau mengandalkan kepandaian
Kang-lam Ciu-hiap. Suruh dia keluar agar dapat berkenalan dengan kelihaian Hoa-coa-ji Lui
Siok!”
“Kang-lam Ciu-hiap tidak berada di sini!” jawab Tin Eng dengan tabah. “Tak perduli kau
menjadi suheng siapapun juga, kalau kau membela Touw Cit, berarti kaupun bukan manusia
baik-baik. Bukan hanya Kang-lam Ciu-hiap yang memberi hajaran kepada Touw Cit, akan
tetapi akupun mempunyai saham terbesar! Kalau kau memang berani dan berkepandaian
turunlah, siapa takuti omonganmu yang besar?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 132
“Bocah kurang ajar!” Lui Siok membentak dan ia segera melompat turun dengan gerakan
Chong-eng-kim-touw (Burung Sambar Kelinci), langsung menubruk dari atas dengan kedua
tangan diulur dan dibuka bagaikan seekor burung garuda menyambar dan menerkam tubuh
Tin Eng. Akan tetapi gadis itu telah siap menanti dan ketika tubuh lawannya telah turun dekat,
kaki kanannya menyambar sambil menendang dengan keras untuk memapaki dada musuhnya
itu.
“Bagus!” seru Lui Siok yang segera mengulur tangan kirinya yang tadi dibuka untuk
menangkap kaki kanan Tin Eng itu. Gadis itu terkejut sekali melihat gerakan tangan memutar
yang hendak menangkap kakinya dari bawah, maka ia cepat menarik kembali kakinya
melompat ke kiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah pelipis lawan.
Diam-diam Lui Siok memuji kegesitan gadis ini dan cepat ia miringkan kepala dan kembali
tangan kanannya menyerbu cepat untuk menangkap pergelangan tangan yang memukul itu.
Tin Eng maklum bahwa lawan ini memiliki lweekang yang kuat dan jari-jari tangan yang
dibuka dan merupakan kuku garuda itu. Ia dapat menduga lawan tentulah seorang ahli dalam
ilmu silat mencengkeram seperti halnya ilmu silat Eng-jiauw-kang, maka tentu saja ia tidak
membiarkan tangannya ditangkap dan segera menarik kembali tangannya cepat-cepat dan
menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri.
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Tin Eng ini adalah pukulan-pukulan dari Sin-eng
Kun-hoat dan gerakannya demikian aneh sehingga untuk jurus-jurus pertama Lui Siok merasa
bingung dan terkejut. Serangan-serangannya itu dapat dirubah sedemikian cepatnya dan
disusul oleh serangan-serangan berikutnya yang makin lama makin cepat. Ia sama sekali tidak
diberi kesempatan untuk menggunakan cengkeraman dan tangkapannya.
Akan tetapi sayang sekali bahwa ilmu silat tangan kosong yang dipelajari oleh Tin Eng ini
belum sempurna benar sehingga setelah beberapa jurus lamanya ia belum berhasil memukul
lawannya. Tin Eng segera merubah ilmu silatnya dan kini ia bersilat dengan ilmu silat Go-bipai
yang dipelajari dari ayahnya. Dalam hal ilmu silat ini, Tin Eng sudah mempunyai
kepandaian yang cukup lumayan. Akan tetapi Lui Siok tertawa bergelak menghadapi ilmu
silat yang dikenalnya dengan baik ini.
“Nona manis, kalau Seng Le Locianpwe melihat kau menyerang aku, tentu dia akan menegur
kau! Aku kenal baik padanya!”
“Siapa sudi banyak mengobrol dengan kau?” seru Tin Eng dengan marah dan menyerang
terus dengan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan keras. Ia merasa sayang sekali bahwa
pedangnya tidak dibawa dan ditinggalkan di dalam kamarnya. Karena memang tadi ia sengaja
datang untuk berlatih silat tangan kosong, maka ia tidak membawa-bawa pedang.
“Bangsat tua bangka!” teriaknya memaki. “Kalau kau memang gagah, tunggulah aku
mengambil pedangku!”
“Ha ha ha, bocah galak. Boleh, boleh, kau ambillah pedangmu. Memang aku ingin sekali
menyaksikan bagaimana lihainya pedang dari Sian-kiam Lihiap!”
Tin Eng lalu berlari masuk dan tak lama kemudian ia telah kembali membawa pedangnya.
Benar saja, Lui Siok masih menanti di situ dengan tersenyum-senyum mengejek.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 133
“Awas pedang!” seru Tin Eng yang sama sekali tidak memperdulikan lawannya yang
bertangan kosong. Seruannya ini dibarengi dengan tusukan pedangnya yang digerakkan
secara luar biasa. Tadinya Lui Siok mengira bahwa ia akan menghadapi ilmu pedang Go-bi,
dan melihat tingkat nona itu, ia merasa cukup kuat untuk menghadapi pedang nona itu dengan
tangan kosong, mengandalkan lweekangnya yang jauh lebih kuat dan ilmu silatnya Siauwkin-
na Jiu-Hoat yang lihai. Akan tetapi, setelah nona itu menyerang bertubi-tubi dengan hebat
sekali membuat ia harus melompat kesana ke mari menghindarkan diri, terkejutlah dia! Ilmu
pedang ini sama sekali bukan ilmu pedang Go-bi-pai dan hebatnya bukan main! Belum
pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti ini.
Biasanya menghadapi ilmu pedang biasa, ia berani menghadapi dengan kedua tangannya
mengandalkan lweekang dan ilmu silatnya. Akan tetapi melihat betapa pedang ditangan gadis
itu, cara menusuk dan membacoknya berbeda dengan ilmu pedang yang lain, yakni
tusukannya digetarkan dan bacokannya dibarengi gerakan mengiris, ia tidak berani berlaku
gegabah dan tidak mau coba-coba untuk menangkap dan merampas pedang itu. Menghadapi
serangan-serangan ini, Lui Siok tidak berani main-main lagi, bahkan kini ia berhenti
tersenyum dan tak dapat mengeluarkan kata-kata ejekan lagi, akan tetapi mengerahkan
seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menjaga diri.
Lui Siok benar-benar lihai, karena setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, pedang di tangan
Tin Eng belum juga berhasil sama sekali. Gerakan kakek ini terlampau gesit dan tangannya
yang kuat itu benar-benar lihai. Tiap kali pedang Tin Eng dengan gerakan aneh hampir
berhasil mengenai tubuhnya, ia lalu mempergunakan jari-jari tangannya dikepretkan ke arah
pedang sehingga senjata itu terpental dan tidak mengenai sasaran. Tin Eng benar-benar
merasa terkejut sekali.
Akhirnya Lui Siok mengambil keputusan untuk mempergunakan senjatanya yang jarang
sekali dikeluarkannya oleh karena ia maklum bahwa dengan hanya mengandalkan sepasang
tangannya saja, sukarlah baginya untuk memperoleh kemenangan terhadap gadis yang lihai
sekali ilmu pedangnya itu. Ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah melepaskan sehelai
sabuknya yang aneh, karena sabuknya ini ternyata adalah seekor ular belang yang telah kering
akan tetapi masih lemas seperti hidup saja.
Inilah yang membuat dia diberi julukan si Ular Belang, karena senjatanya ini pernah
menggemparkan dunia kang-ouw. Lui Siok adatnya sombong dan angkuh, maka apabila tidak
menghadapi musuh yang benar-benar tangguh, ia jarang sekali mau mempergunakan
senjatanya ini.
Tin Eng merasa agak geli melihat ular itu, dan juga jijik sekali, akan tetapi itu bukan berarti
bahwa ia takut. Dengan cepat ia menyerang lagi dan ketika senjata ular itu menangkis, Tin
Eng terkejut sekali karena bukan saja ular itu ternyata keras bagaikan logam, akan tetapi
tangkisan itu membuat tangannya gemetar. Demikian hebatnya tenaga lweekang dari Lui Siok
ini.
Tin Eng terus menyerang dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi ternyata
bahwa ilmu kepandaian Lui Siok amat lihai dan tingkatnya masih lebih tinggi dari padanya.
Perlu diketahui bahwa twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua) dari Gan Bu Gi atau murid
yang paling lihai dari Bong Bi Sianjin, Lui Siok ini tentu saja mempunyai kepandaian yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 134
amat tinggi, ditambah pula dengan pengalamannya bertempur yang sudah puluhan tahun,
maka kini Tin Eng merasa terdesak hebat.
Betapapun juga, gadis itu masih dapat mempertahankan diri sampai hampir lima puluh jurus.
Akhirnya, sebuah serangan dengan sabetan ular itu ke arah lehernya membuat Tin Eng
terkejut dan memperlambat gerakan pedang karena ia harus melompat ke pinggir melindungi
lehernya.
Kesempatan ini dipergunakan dengan baik oleh Lui Siok yang mempergunakan tangan
kirinya menyerang dengan ilmu silat mencengkeram. Sebelum Tin Eng dapat menarik,
pedangnya itu telah dapat dicengkeram dan dirampas. Gadis ini masih nekad dan hendak
merampas kembali pedangnya, akan tetapi pedang itu digerakkan oleh Lui Siok ke arah dada
gadis itu dengan ancaman tusukan. Tin Eng miringkan tubuh dan “brett!” robeklah baju Tin
Eng di bagian pinggang.
“Ha ha ha! Kau benar-benar lihai! Lihai, cantik dan galak. Kecantikan dan kepandaianmu
memang membuat kau patut menjadi nyonya Gan Bu Gi, akan tetapi sayang kau terlalu galak.
Kalau aku tak ingat bahwa kau adalah anak murid Seng Le Hosiang dan calon isteri Gan-sute,
tentu kau telah menggeletak tak bernyawa di depan kakiku!”
Sambil berkata demikian, Lui Siok menggerakkan tangannya mencengkeram pedang itu dan
“kreek!” patahlah pedang Tin Eng yang telah dirampas tadi. Kemudian ia melompat ke arah
tembok dan lenyap dari pandangan mata Tin Eng yang marah dan penasaran sekali.
Kemudian ia mendengar dari pamannya yakni Lie-wangwe, betapa Touw Cit dan Touw Tek
telah dibebaskan dari penjara oleh tihu karena ancaman Lui Siok yang lihai itu. Tin Eng
menarik napas panjang dan berkata,
“Mereka memang lihai sekali. Baru terhadap seorang lawan saja aku dapat dikalahkannya,
apalagi kalau mereka itu mengeluarkan jago-jago yang lain. Pek-hu, lebih baik untuk
sementara waktu kita jangan mencari permusuhan dengan mereka. Kecuali kalau mereka
datang mengganggu, aku akan pertaruhkan nyawaku untuk membela diri. Kalau saja Gwat
Kong berada di sini, tentu mereka itu akan disapu bersih. Tanpa adanya Kang-lam Ciu-hiap,
mereka terlalu berat bagiku.”
Song Bu Cu, ketua Hek-i-pang adalah seorang cerdik, maka setelah berhasil membebaskan
Touw Cit dan Touw Tek, ia melarang orang-orangnya untuk mengganggu kota Hun-lam. Ia
adalah seorang yang ingin bekerja dengan aman, tidak suka lagi mempergunakan kekerasan
seperti dulu-dulu. Ia ingin agar supaya keadaan di Hun-lam menjadi ‘dingin’ dulu untuk
kemudian menggunakan kecerdikan untuk mengeduk uang para hartawan dan pembesar.
Apalagi setelah ia mendengar dari Lui Siok bahwa Kang-lam Ciu-hiap yang menjadi musuh
mereka telah pergi dan mendengar bahwa Sian-kiam Lihiap ternyata adalah tunangan Gan Bu
Gi dan anak murid Seng Le Hosiang, maka tentu saja Song Bu Cu tidak berani
mengganggunya.
Melihat keadaan yang aman dan tidak adanya gangguan dari pihak penjahat, tidak saja
mendatangkan rasa heran kepada Tin Eng, akan tetapi juga perasaan lega, karena tanpa ada
pembantu yang pandai, ia merasa percuma untuk memusuhi gerombolan yang memiliki
banyak orang pandai itu. Kini ia merasa benci kepada Gan Bu Gi karena ternyata bahwa
pemuda itu mempunyai seorang suheng yang berjiwa penjahat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 135
****
Gwat Kong melakukan perjalanan dengan perlahan, tidak tergesa-gesa dan orang-orang yang
melihatnya akan menyangka bahwa ia adalah seorang pemuda pelancong yang lemah. Sama
sekali takkan menyangka bahwa ia adalah Kang-lam Ciu-hiap, pendekar muda yang baru saja
muncul di dunia kang-ouw dan dalam waktu singkat telah membuat nama besar dengan
mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap dan mengobrak-abrik anggauta-anggauta Hek-i-pang
di kota Hun-lam.
Ia ingin pergi lagi ke Ki-hong di mana terdapat makam ibunya dan hendak bersembahyang di
depan makam ibunya. Setelah ia selesai bersembahyang dan berjalan perlahan-lahan keluar
dari tanah kuburan itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang menangis sedih sekali. Hatinya
menjadi tergerak dan ikut terharu.
Siapakah yang menangis di kuburan itu? Suaranya menyatakan bahwa yang menangis adalah
seorang laki-laki, agaknya menangisi mendiang orang tuanya atau isterinya. Biarpun hal itu
tiada sangkut pautnya dengan dia, akan tetapi oleh karena Gwat Kong mempunyai perasaan
halus dan hatinya mudah tergerak, ia lalu membelokkan langkah kakinya menuju ke arah
suara yang menangis itu.
Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang
laki-laki tua. Seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Pakaiannya biarpun putih
bersih akan tetapi penuh tambalan. Di dekatnya terdapat sebuah pikulan dan keranjang terisi
daun-daun dan akar-akar obat-obatan. Kakek inilah yang mengeluarkan suara tangisan
demikian sedihnya sambil memukul-mukul tanah dan menjambak-jambak rambutnya.
Akan tetapi tak mungkin dia dia menangisi orang yang sudah mati, oleh karena ia tidak duduk
di depan makam tertentu. Akan tetapi duduk di bawah pohon sambil memandang ke arah
gundukan-gundukan tanah kuburan itu. Ketika Gwat Kong berdiri agak jauh sambil
memandang heran, ia mendengar keluh kesah kakek itu di antara tangisnya.
“Dasar aku yang bernasib buruk ..... Hidupku yang lampau terlalu banyak dosa, maka aku
harus menderita entah berapa tahun lagi ... ah ... nasib ... aku sudah bosan hidup .....!” Katakata
‘bosan hidup’ ini ia teriakan beberapa kali sambil mengangkat kedua tangan dan
memandang ke angkasa, seakan-akan ia hendak mengajukan protesnya kepada langit biru.
Gwat Kong makin terheran-heran melihat sikap kakek ini. Mengapakah kakek ini begitu
sedih? Siapakah gerangan orang aneh yang sudah bosan hidup ini dan apa pula yang
menyusahkan hatinya? Terdorong oleh rasa kasihan, pemuda itu melangkah maju mendekati
dan bertanya,
“Lopeh, agaknya ada sesuatu yang menyusahkan hatimu. Apakah yang mengganggumu dan
dapatkah kiranya aku menolongmu?”
Kakek itu mengangkat muka dan memandang. Gwat Kong tercengang karena sepasang mata
kakek itu bersinar tajam dan kuat sekali sehingga ia tak kuat menatapnya lama-lama.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 136
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan hal ini kembali membuat Gwat Kong tertegun
keheranan. Baru saja kakek itu menangis demikian sedihnya sehingga air matanya masih
nampak mengalir di sepanjang pipinya, akan tetapi kini telah dapat tertawa bergelak.
“Kau mau menolongku? Ha ha, boleh! Cabut pedangmu itu dan seranglah aku!”
Gwat Kong terkejut sekali. Pedangnya Sin-eng-kiam ia sembunyikan di balik jubahnya.
Bagaimana kakek ini bisa tahu bahwa ia membawa pedang?
“Akan tetapi .... aku ... tidak mempunyai maksud jahat, lopeh? Sesungguhnya dengan tulus
hati aku ingin menolongmu kalau aku dapat.”
Tiba-tiba kakek itu berdiri dan menyambar pikulannya yang terbuat dari pada bambu kuning
melengkung di bagian tengah, hampir menyerupai sebatang gendewa.
“Kau mau menolongku bukan? Nah, mari kita bertempur! Kalau kau bisa menewaskanku,
berarti kau telah menolongku.”
Setelah berkata demikian, ia lalu menyerang dengan pikulannya ke arah kepala Gwat Kong.
Pukulan ini cepat sekali dan mendatangkan angin keras sehingga Gwat Kong merasa terkejut
dan cepat-cepat melompat ke belakang. Ia merasa heran, bingung dan mendongkol sekali.
Gilakah orang ini?
Akan tetapi ia tidak sempat banyak berpikir karena kembali pikulan itu telah menyambar dan
melihat gerakan yang hebat itu, ia maklum bahwa kepandaian kakek ini tak boleh dibuat
permainan. Maka ia lalu mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi kakek gila ini.
“Pokiam (pedang pusaka) yang bagus!” kakek itu berseru, lalu menyerang lagi dengan cepat
lebih cepat dan keras. Terpaksa Gwat Kong menangkis serangan itu dan sekali lagi ia menjadi
terkejut karena tangkisannya ini membuat telapak tangannya terasa perih sekali dan hampir
saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Dari benturan senjata ini saja, ia maklum bahwa
senjata di tangan kakek itu adalah senjata pusaka yang ampuh dan tenga lweekang orang gila
ini jauh lebih tinggi dari pada lweekangnya sendiri. Maka ia tidak berani memandang ringan
dan segera mainkan Sin-eng Kiam-hoat untuk menjaga diri dan balas menyerang.
“Kiam-hoat yang bagus!” seru kakek itu lagi yang memuji ilmu pedang yang dimainkan oleh
Gwat Kong.
Akan tetapi kembali Gwat Kong terheran-heran karena ternyata bahwa kakek itu tidak saja
bertenaga kuat dan memiliki senjata yang luar biasa, akan tetapi ilmu silatnya pun amat
tinggi. Baru beberapa belas jurus saja pertempuran ini berjalan, tahulah ia bahwa kakek ini
benar-benar seorang yang sakti.
Tubuhnya berkelebat demikian cepat sehingga membuat pandangan matanya kabur,
sedangkan tipu gerakan kakek itu mendatangkan sambaran angin yang dahsyat.
Gwat Kong telah mengeluarkan tipu-tipu serangan yang paling ampuh dan lihai dari Sin-eng
Kiam-hoat. Akan tetapi dengan amat baiknya kakek itu dapat memecahkannya, bahkan
membalas dengan serangan-serangan yang lebih aneh gerakannya dari pada gerakan
pedangnya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi sasaran pukulan itu kalau saja ia tidak
berlaku gesit.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 137
Pada suatu saat, Gwat Kong tak terasa mengeluarkan seruan kaget ketika pikulan itu dengan
gerakan yang cepat sekali menusuk ke arah dadanya. Ia cepat memutar pedangnya melalui
bawah lengan kirinya dan menyampok tusukan itu dari dalam dan menolak pikulan yang telah
mengenai bajunya itu.
Pikulan terpental akan tetapi terus melayang lagi menghantam pinggangnya dengan kecepatan
yang luar biasa sehingga tak mungkin dielakkan pula. Akan tetapi Sin-eng Kiam-hoat
memang mempunyai bagian mempertahankan diri yang istimewa.
Tiba-tiba Gwat Kong ingat akan gerakan Garuda Sakti Mendekam Di Tanah. Tubuhnya lalu
ditarik ke bawah dengan kaki di tekuk sehingga ia menjadi berjongkok dengan punggung
direndahkan sehingga dadanya hampir menyentuh tanah, akan tetapi pedangnya terus diputar
di atas kepalanya menjaga diri. Dengan gerakan yang cepat ini, ia terhindar dari pada
serangan yang hebat tadi. Akan tetapi keringat dingin keluar dari jidatnya karena tadi hampir
saja ia terkena celaka. Ia makin gelisah dan menjadi gentar menghadapi kakek yang benarbenar
lihai ini.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak menunda serangannya.
“Ha ha ha! Anak muda yang baik, maukah kau menjadi muridku? Hanya memiliki Sin-eng
Kiam-hoat saja, seakan-akan kau tahu barat tidak kenal timur!”
Gwat Kong adalah seorang pemuda yang cerdik dan memang sudah menjadi wataknya suka
merendah. Maka tanpa sangsi-sangsi lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu
dan berkata,
“Kalau locianpwe sudah memberi bimbingan kepada teecu yang bodoh, teecu Bun Gwat
Kong akan merasa beruntung sekali.”
Melihat pemuda itu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya kepadanya, kakek itu
tertawa girang, lalu mengangkat pikulan bambunya dan memukulkan pikulannya ke arah
kepala Gwat Kong dengan keras.
Gwat Kong tentu saja tahu akan hal ini. Akan tetapi pemuda ini mengeraskan hatinya dan
meramkan matanya. Sama sekali tidak bergerak, karena memang sesungguhnya ia memang
takluk dan percaya kepada kakek yang sakti ini. Ketika pikulan itu telah dekat sekali dengan
kepala Gwat Kong, tiba-tiba pikulan itu seakan-akan tertolak oleh tenaga aneh dan membalik,
dibarengi suara ketawa kakek itu.
“Bagus, bagus! Kau benar percaya kepadaku. Mulai sekarang kau menjadi muridku. Namamu
Bun Gwat Kong? Bagus sekali, dan aku adalah Bok Kwi Sianjin!”
Kakek itu lalu melangkah maju menghampiri gundukan-gundukan kuburan yang terdekat dan
memukul-mukulkan tongkat bambunya itu kepada gundukan tanah itu sambil berkata,
“Aku tarik kembali omonganku tadi. Sekarang aku tidak ingin mati, belum bosan hidup
karena aku harus menurunkan Sin-hong-tung-hoat kepada muridku ini.”
Ia lalu menengok kepada Gwat Kong dan berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 138
“Gwat Kong, kau kesinilah dan bersumpah dihadapan kuburan ini bahwa kau akan
mempelajari Sin-hong-tung-hoat dengan baik kemudian mewakili suhumu membasmi
kejahatan dan memperebutkan sebutan ahli silat kelas satu di waktu mendatang!”
Gwat Kong maklum bahwa suhunya adalah seorang kakek yang beradat aneh, maka tanpa
banyak bertanya ia lalu berlutut di depan beberapa gundukan tanah yang tidak diketahuinya
kuburan siapa itu, lalu bersumpah.
“Teecu Bun Gwat Kong dengan disaksikan oleh gundukan kuburan-kuburan ini, bersumpah
bahwa teecu akan mempelajari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bok Kwi Sianjin sebaikbaiknya.
Kemudian kepandaian itu akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan
keadilan, membasmi kejahatan!”
“Dan juga mewakili aku memperebutkan sebutan ahli silat kelas satu dan ilmu silat terbaik,”
kata Bok Kwi Sianjin.
“Dan juga mewakili aku memperebutkan ahli silat kelas satu dan ilmu silat terbaik,” Gwat
Kong mengulangi.
“Juga akan membasmi musuh-musuhku,” kata pula Bok Kwi Sianjin.
16.
GWAT Kong merasa terkejut dan ragu-ragu. Bagaimana ia bisa mengangkat sumpah untuk
membalas musuh-musuh gurunya? Sedangkan musuh ayahnya pun ia tidak mau membalasnya
karena ternyata bahwa puteri musuh ayahnya bukan orang jahat. Akan tetapi ia tidak berani
membantah dan dengan cerdiknya ia mengulangi kata-kata suhunya dengan sedikit tambahan.
“Dan juga teecu akan membasmi musuh-musuh suhu yang jahat.”
Ia sengaja menambah kata-katanya, ‘yang jahat’ sehingga kalau kelak ia mendapatkan bahwa
musuh suhunya bukan orang jahat, ia tidak usah membalas dendam dan berarti ia tidak
melanggar sumpahnya. Kalau musuh suhunya memang jahat, jangankan menjadi musuh
suhunya, biarpun tidak menjadi musuh, sudah menjadi kewajibannya untuk membasmi orang
jahat! Memang Gwat Kong benar-benar cerdik dan berpikiran luas.
Bok Kwi Sianjin tertawa-tawa senang dan berkata kepada muridnya yang masih duduk di atas
tanah, bersila sambil memukul-mukulkan pikulannya pada tanah keras,
“Gwat Kong kau tak kusangka-sangka adalah penemu dari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat yang
kukira telah lenyap dari permukaan bumi ini. Aku tahu bahwa dulu yang mendapatkan kitab
pelajaran ilmu pedang itu adalah Leng Po In atau Bu-eng-san, si Dewa Tanpa Bayangan.
Akan tetapi ia menjadi gila dan entah ke mana ia buang kitab itu. Tak tahunya, kau yang
mendapat jodoh dan mewarisi kitab itu dan telah pula mempelajari ilmu pedangnya yang luar
biasa. Ketahuilah bahwa Sin-eng Kiam-hoat ini pada seratus tahun yang lalu menjadi ilmu
yang paling terkenal di barat. Akan tetapi masih belum dapat mengalahkan pengaruh ilmu
tongkat Sin-hong-tung-hoat dari timur. Sucouwmu (nenek moyang guru) yang menciptakan
Sin-hong-tung-hoat adalah saudara seperguruan dan keduanya selalu berusaha untuk menang
sehingga entah berapa kali kedua ilmu itu diadu. Betapapun juga, dibandingkan dengan ilmuilmu
keluaran berbagai cabang persilatan, kedua ilmu itu tidak akan kalah. Selain Go-bi, KunKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 139
lun, Thai-kek dan Hoa-san, yang berkembang luas dan telah terkenal, maka para ahli
persilatan maklum bahwa di empat penjuru terdapat Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hongtung-
hoat dari Timur, Pat-kwa-to-hoat (Ilmu Golok Pat-kwa) dari utara dan Im-yang Siangkiam-
hoat (Ilmu Pedang Berpasangan Im-yang) dari selatan. Keempat ilmu silat ini
tingkatnya sedemikian tinggi sehingga tak usah menyerah terhadap cabang-cabang persilatan
yang manapun juga, oleh karena semua ini adalah ilmu silat khusus. Sin-eng Kiam-hoat
khusus pelajaran pedang. Sin-hong-tung-hoat pelajaran tongkat. Pat-kwa-to-hoat permainan
golok dan Im-yang Siang-kiam-hoat permainan pedang berpasangan. Tidak seperti cabangcabang
persilatan yang selain mempelajarkan banyak macam permainan sehingga tidak dapat
mencapai tingkat tinggi. Juga mereka menerima murid secara serampangan saja sehingga
terbukti sekarang terdapat kekacauan dan permusuhan antara Go-bi dan Hoa-san.”
Mendengar ucapan suhunya yang panjang lebar itu, diam-diam Gwat Kong merasa girang
karena ternyata bahwa sekali-kali suhunya bukanlah seorang gila seperti yang disangkanya
semula. Memang suhunya mempunyai watak dan sikap yang aneh sekali akan tetapi setelah ia
bicara, ternyata bahwa suhunya yang memiliki pengetahuan yang luas tentang keadaan di
kalangan kang-ouw. Akan tetapi agaknya yang mendengar pembicaraan Bok Kwi Sianjin tadi
bukan hanya Gwat Kong seorang, karena tiba-tiba terdengar suara orang mencela,
“Bok Kwi Sianjin, kau masih saja amat sombong dan tidak memandang kepada golongan
lain.”
Berbareng dengan habisnya perkataan ini, orang yang bicara ini muncul dan ternyata bahwa ia
tadi bersembunyi di atas pohon yang besar, agak jauh dari situ sehingga Gwat Kong merasa
kagum karena orang itu mempunyai pendengaran yang amat tajam serta mempunyai gerakan
yang amat cepat. Ia memperhatikan dan orang ini adalah seorang tosu (pendeta penganut
agama To) yang bertubuh tinggi kurus bagaikan pohon bambu, keningnya telah penuh keriput
dan giginya telah ompong semua.
Akan tetapi anehnya, kedua pipinya kemerah-merahan dan sehat sekali. Sedangkan rambut
dan kumis jenggotnya yang panjang semua masih hitam seperti dicat. Di punggungnya
tergantung sebuah tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga.
Melihat tosu ini, Bok Kwi Sianjin tertawa terkekeh-kekeh dan bangkit dari duduknya,
“Aha! Sin Seng Cu, tidak saja kau kelihatan makin muda, akan tetapi hatimu bertambah muda
saja.”
Kemudian ia berkata kepada Gwat Kong yang juga sudah berdiri. “Muridku, inilah tokoh
Hoa-san-pai, orang pertama yang menimbulkan kerusuhan antara Go-bi dan Hoa-san setelah
ia mengalahkan Seng Le Hosiang. Agaknya ia masih saja beradat keras. Lihat saja matanya
ditujukan kepadaku dengan penuh kehendak menguji kepandaian, ha ha ha!”
Mendengar nama ini, Gwat Kong menjadi terkejut dan memandang dengan penuh perhatian.
Kalau tosu itu pernah mengalahkan Seng Le Hosiang, tokoh Go-bi-pai yang pernah
dijumpainya itu, dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu kepandaian tosu ini.
Sementara itu, Sin Seng Cu ketika mendengar ucapan Bok Kwi Sianjin tadi, tertawa bergelak
lalu berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 140
“Bok Kwi Sianjin, agaknya kau masih mengandalkan ilmu tongkatmu Sin-hong-tung-hoat.
Mari-mari kita boleh main-main sebentar untuk saling mengukur sampai di mana kemajuan
masing-masing.”
Sambil berkata demikian, kedua tangan tosu itu bergerak dan tahu-tahu tongkat kepala naga
itu telah berada di tangannya.
Kembali Bok Kwi Sianjin tertawa, “Sin Seng Cu! Sebelum kita tua sama tua bermain gila
dengan pedang harap kau suka berlaku murah sedikit kepadaku dan menguji kebodohan
pemuda yang menjadi muridku ini. Kalau dia bisa bertahan sampai dua puluh jurus
menghadapi Liong-thouw-koai-tung (Tongkat Iblis Kepala Naga) di tanganmu, aku takkan
menganggapmu bodoh lagi!” Kemudian kakek itu tanpa menanti jawaban Sin Seng Cu,
berkata kepada Gwat Kong.
“Hayo kau cabut pedangmu dan hadapi tosu ini dengan baik sampai dua puluh jurus!”
Diam-diam Sin Seng Cu merasa mendongkol karena hendak diadu dengan murid kakek itu.
Akan tetapi iapun merasa heran sekali karena mengapa Bok Kwi Sianjin yang menjadi ahli
ilmu silat tongkat, tiba-tiba mempunyai murid yang menggunakan pedang. Maka ia segera
menjawab sambil tersenyum,
“Baik, baik! Kau majulah anak muda!”
“Harap totiang suka berlaku murah hati kepada teecu,” kata Gwat Kong dengan hormat
karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu
silatnya.
Ia diberi waktu untuk melawan sampai dua puluh jurus, maka ia merasa penasaran, karena
benarkah ia tidak kuat menghadapi tosu ini dalam dua puluh jurus saja? Dengan pikiran ini, ia
lalu maju dan mulai menyerangnya dengan gerak tipu yang lihai dari Sin-eng Kiam-hoat.
Pertama-tama ia menyerang dengan tusukan pedang pada leher tosu itu dalam gerak tipu Sineng-
chio-cu (Garuda Sakti Rebut Mestika) dan ketika tosu itu mengelak sambil gerakkan
tongkatnya yang aneh itu untuk menyabet pedang, ia segera menarik kembali pedangnya dan
membuka serangan kedua dengan gerakan Sin-eng-hian-bwe (Garuda Sakti Memperlihatkan
Ekor). Gerakan kedua ini dilakukan dengan membalikkan tubuh lalu tiba-tiba pedang
diluncurkan dari bawah lengan kiri dengan tidak terduga-duga dan cepat sekali.
“Bagus!” seru Sin Seng Cu memuji karena ia benar-benar tertegun melihat gerakan yang
cepat dan aneh ini sehingga ia harus cepat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi
dadanya yang hendak disate. Tak pernah ia menyangka bahwa pemuda ini memiliki gerakan
pedang yang demikian aneh dan cepat, maka ia segera berseru keras dan sebentar saja tongkat
kepala naga di tangannya menyambar-nyambar ke atas dan ke bawah, mengurung Gwat Kong
dengan sinarnya. Tongkat itu kini seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan semua
mengancam jalan darah dan bagian yang berbahaya dari tubuh Gwat Kong.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat mempergunakan ginkangnya dan mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk melakukan perlawanan. Ia mengeluarkan gerakan Sin-eng Kiam-hoat
yang paling sukar dan tinggi setelah ia putar-putar pedangnya dengan gerakan Hwee-engKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 141
koan-jit (Garuda Terbang Menutup Matahari), barulah ia dapat pecahkan serangan tosu yang
lihai itu.
Sin Seng Cu adalah seorang tosu yang terkenal mempunyai watak keras tidak mau kalah.
Ketika tadi menerima permintaan Bok Kwi Sianjin untuk menghadapi pemuda itu, ia
memandang rendah dan merasa pasti bahwa ia tentu akan berhasil mengalahkan pemuda itu
sebelum dua puluh jurus.
Kini melihat betapa sepuluh jurus telah berlalu tanpa ia dapat merobohkan lawannya, ia
menjadi penasaran sekali berbareng kaget. Ilmu pedang pemuda ini benar-benar lihai sekali
dan tingkatnya tidak berada di sebelah bawah ilmu tongkatnya. Kalau pemuda ini sudah
begini lihai, tentu Bok Kwi Sianjin telah memiliki ilmu silat yang tak dapat diukur tingginya.
Ia heran sekali karena ia belum pernah mendengar kakek itu memiliki ilmu pedang dan ketika
ia memperhatikan ilmu pedang dari Gwat Kong, ia makin menjadi heran.
Sambil berseru keras karena hatinya mulai menjadi panas, Sin Seng Cu lalu menyerang makin
hebat dan kini ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan pemuda
itu. Biarpun untuk dapat mencapai maksudnya itu ia harus memukul hancur kepala lawannya
yang muda!
Ia maklum bahwa terhadap pemuda ini ia tak bisa main-main dan berlaku murah karena tanpa
penyerangan yang sungguh-sungguh dan mati-matian, agaknya tak mungkin ia akan dapat
mengalahkan pemuda ini, jangankan hendak merobohkannya dalam dua puluh jurus.
Sebaliknya, sungguhpun Gwat Kong dapat mengimbangi permainan tosu itu, akan tetapi ia
merasa betapa beratnya menghadapi lawan ini. Tiap kali tongkat itu menyerempet pedangnya,
ia merasa seakan-akan lengannya menjadi kaku. Akan tetapi Gwat Kong memiliki ketabahan
luar biasa yang membuat hatinya tenang dan matanya tajam waspada sehingga biarpun ia
terdesak hebat.
Akan tetapi ia masih belum berada dalam keadaan berbahaya dan masih sanggup menangkis
atau mengelak sambil melakukan serangan balasan yang tak kalah lihainya. Biarpun
kedudukannya kalah kuat karena selain kalah tenaga, juga kalah pengalaman dan keuletan,
akan tetapi ia dapat membalas tiap serangan sehingga boleh dibilang bahwa pertempuran itu
tak terlalu berat sebelah dan cukup ramai.
Dua puluh jurus telah lewat tanpa ada yang terkena senjata. Dua puluh lima jurus, tiga puluh
jurus! Tetap saja Gwat Kong dapat mempertahankan diri. Tiba-tiba Sin Seng Cu melompat
mundur dan menahan tongkatnya, sedangkan Gwat Kong dengan hati lega juga berdiri dan
menjura terhadap tosu itu.
“Bok Kwi Sianjin,” Sin Seng Cu menegur dengan muka merah. “Jangan kau main-main.
Siapakah sebetulnya pemuda ini? Bukankah ilmu pedangnya itu Sin-eng Kiam-hoat?”
Bok Kwi Sianjin tertawa puas. “Ha ha ha! Matamu tajam juga, Sin Seng Cu. Memang dia ini
ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, dan sekarang dia juga calon ahli waris Sin-hong-tung-hoat.”
“Bok Kwi Sianjin, kau berlaku tolol,” kata Sin Seng Cu mengejek. “Bukan aku merasa takut
kepada Sin-eng Kiam-hoat digabung dengan Sin-hong-tung-hoat. Akan tetapi, dengan
terpisahnya kedua ilmu itu, kalau yang satu terbawa sesat, yang lain dapat menahannya. Kalau
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 142
tergabung dalam diri seorang, lalu ia bermata gelap dan menjalani lorong kesesatan, bukankah
sama dengan mencari penyakit?”
“Sin Seng Cu, kau berpandangan picik. Aku tidak sembarangan menurunkan ilmu kepada
orang yang lemah iman. Tidak seperti kau dan golonganmu yang mengobral kepandaian
kepada siapa saja yang mau belajar sehingga banyak anak muridmu yang memancing
kekacauan dan permusuhan. Bagiku seorang murid yang baik lebih berharga dari pada seribu
orang murid yang tak benar.”
“Bok Kwi Sianjin, masih saja kau memperlihatkan kesombonganmu! Sebetulnya sampai di
mana sih, kelihaian Sin-hong-tung-hoat? Seakan-akan di kolong langit ini tak ada ilmu yang
lebih tinggi dari pada ilmu tongkatmu itu.”
“Kepandaian dan ilmu yang tinggi memang banyak, sayangnya orang-orang yang patut
memiliki kepandaian itu sedikit sekali,” jawab Bok Kwi Sianjin.
Diam-diam Gwat Kong mendengarkan perdebatan yang sukar ia mengerti ini dengan penuh
perhatian.
“Bok Kwi, cukup kita bermain lidah. Marilah kita main-main sebentar agar aku dapat merasai
di mana kemajuan tongkatmu.”
Bok Kwi Sianjin tersenyum lalu mengambil pikulannya yang tadi ditaruh di atas tanah dekat
keranjang obatnya. Kedua kakek itu saling berhadapan dengan senjata masing-masing.
Tongkat di tangan Sin Seng Cu lebih besar dan panjang dan nampak mengerikan dengan
ujung kepala naga itu. Ia memegang tongkatnya dengan lengan kanan di depan lurus ke
bawah dengan lengan di atas tongkat, sedangkan tangan kiri di belakang kepala memegang
ujung tongkat yang berkepala naga, menyangga di bawah tongkat itu. Inilah sikap pembukaan
dari ilmu toya Heng-cia-kun-hoat yang terkenal.
Sebaliknya Bok Kwi Sianjin juga lalu membuka permainannya dengan Sin-hong-kai-peng
(Burung Hong Sakti Buka Sayap), yakni gerakan permulaan dari Sin-hong-tung-hoat. Kedua
kakek ini saling pandang dengan tajam, bersikap waspada dan hati-hati karena keduanya
maklum bahwa lawan yang dihadapinya bukanlah lawan yang ringan.
Gwat Kong duduk di bawah pohon dan memandang dengan penuh perhatian. Pertempuran
yang akan berlangsung antara dua orang tokoh besar dunia persilatan ini amat menarik
hatinya dan oleh karena ia akan mendpatkan latihan dari Bok Kwi Sianjin yang telah menjadi
gurunya, maka ia pusatkan perhatiannya kepada Sin Seng Cu untuk melihat bagaimana tokoh
Hoa-san-pai ini bersilat.
“Sin Seng Cu, majulah!” seru Bok Kwi Sianjin tanpa bergerak dari pasangan kuda-kudanya
yang amat teguh.
“Bok Kwi, awas serangan!” Sin Seng Cu membentak dan berbareng dengan bentakan ini,
tongkat kepala naga di tangannya bergerak cepat membuka serangan menyambar kepala
lawan. Bok Kwi Sianjin juga menggerakkan pikulannya dan terdengar suara keras sekali
ketika dua batang senjata itu bertumbuk.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 143
Ternyata dalam gebrakan pertama ini, keduanya sengaja hendak mencoba senjata dan tenaga
masing-masing dan terpentalnya kedua senjata itu membuat mereka maklum bahwa tenaga
mereka seimbang. Maklumlah mereka bahwa untuk dapat memperoleh kemenangan, mereka
hanya harus mengandalkan kegesitan dan kesempurnaan ilmu silat masing-masing.
“Bok Kwi, jagalah baik-baik!” Sin Seng Cu berseru keras dan ia segera melanjutkan
serangannya dengan gerakan yang cepat dan berbahaya sekali datangnya.
“Bagus!” seru Bok Kwi Sianjin yang segera mengimbangi permainan lawannya dan pikulan
di kedua tangannya lalu bergerak berputar-putar sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya
lenyap terbungkus oleh sinar senjatanya. Sin Seng Cu kagum sekali melihat ini dan iapun
menyerang lebih cepat lagi.
Tongkat kepala naga ditangannya menyambar-nyambar bagaikan seekor naga tulen yang tibatiba
menjadi hidup dan mengancam kepala dan dada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi kakek ini
dengan tenang, cepat sekali dapat menangkis semua serangan. Bahkan lalu mengembalikan
serangan lawan dengan luncuran kedua ujung pikulannya yang dapat bergerak secara lihai
sekali.
Sungguhpun pikulan di tangannya itu hanya berujung dua, akan tetapi gerakan-gerakannya
membuat pikulan itu seakan-akan mempunyai lima bagian yang digunakan untuk menyerang
dan inilah kelihaian Sin-hong-tung-hoat (Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti). Burung Hong
atau segala burung sakti apabila berkelahi selalu menggunakan lima senjatanya untuk
menyerang, yakni sepasang sayapnya untuk menampar, sepasang kaki untuk mencengkeram
dan sebuah paruh untuk menusuk dan mematuk.
Berdasarkan gerakan lima senjata inilah ilmu tongkat itu diciptakan sehingga pikulan itu
kedua ujungnya menyambar-nyambar dengan gerakan dan perubahan yang aneh dan tak
terduga oleh lawan. Kadang-kadang merupakan paruh burung menusuk mata atau menyerang
kepala. Kadang-kadang merupakan sayap burung yang menyabet pundak kanan atau kiri. Dan
kadang-kadang merupakan sepasang cakar burung yang menyerang dan menusuk tubuh
bagian bawah dari lambung ke bawah.
Gwat Kong tidak begitu memperhatikan permainan silat gurunya oleh karena ia pikir kelak
tentu akan mempelajarinya pula dan ia mencurahkan perhatiannya kepada Sin Seng Cu. Tadi
ketika ia bertempur menghadapi tosu itu, keadaannya amat terdesak sehingga tak mungkin
baginya untuk memperhatikan gerakan lawan. Maka kini ia memperhatikan dengan amat
tertarik.
Ternyata olehnya bahwa gerakan-gerakan kaki dari tokoh Hoa-san-pai ini berdasarkan ilmu
silat Sha-kak-kun-hoat (Ilmu Silat Segi Tiga). Kedua kakinya selalu membuat gerakan
langkah segi tiga yang teratur sekali sehingga bagaimana tosu itu diserang oleh lawan, selalu
lawannya berada tepat di depannya. Senjata lawan takkan dapat menyerangnya dari pinggir
kanan maupun kiri karena setiap kali tubuh lawannya bergerak, kedua kakinya ikut pula
bergerak membentuk segi tiga yang baru sehingga selalu ia menghadapi lawannya dengan
hanya menggerakan sedikit kedua kakinya.
Memang dalam persilatan, menghadapi serangan dari jurusan depan yang lurus lebih mudah
ditangkis atau dikelit dari pada menghadapi serangan dari samping. Perubahan serangan yang
datang dari depan mudah sekali dilihat perubahannya dengan hanya memandang gerakan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 144
pundak lawan. Akan tetapi perubahan serangan dari samping lebih sukar diketahui dan sering
kali seorang ahli silat dijatuhkan oleh lawannya dengan menggunakan serangan yang
menyerong dari samping kiri. Oleh karena itu, maka gerakan kaki yang berdasarkan Sha-kakkun-
hoat dan yang selalu membentuk garis-garis segi tiga dengan sepasang kaki dalam
pergerakkannya itu, amat praktis dan kuat kedudukannya.
Adapun gerakan ilmu tongkat yang dimainkan Sin Seng Cu, sungguhpun cukup
mengagumkan dan mempunyai perkembangan yang amat banyak, namun bagi Gwat Kong
tidak ada bagian-bagian yang luar biasa. Kalau saja permainan ilmu tongkat dari Sin Seng Cu
itu tidak digerakkan dengan lweekang dan ginkang yang sedemikian tinggi tingkatnya,
pemuda ini merasa sanggup untuk menghadapinya dan mengalahkannya.
Memang betul, ilmu tongkat yang dimainkan Sin Seng Cu, ternyata masih jauh untuk dapat
melawan Sin-hong-tung-hoat yang dimainkan oleh Bok Kwi Sianjin. Tadi ketika melawan
Gwat Kong, ia dapat mendesak mengatasi pemuda itu oleh karena dalam hal lweekang dan
ginkang, ia masih lebih unggul.
Akan tetapi kini, menghadapi Bok Kwi Sianjin yang tingkat tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh tidak berada di sebelah bawahnya. Bahkan lebih menang sedikit, tentu
saja ia menjadi sibuk dan sebentar saja, setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus,
Sin Seng Cu mulai merasa kewalahan! Beberapa kali ia kena dibingungkan oleh gerak tipu
silat dari Sin-hong-tung-hoat dan sama sekali tidak dapat menduga bagaimana perubahan dari
serangan selanjutnya. Dengan demikian, maka ia tidak berani membalas dengan serangan,
hanya menanti datangnya serangan lawan yang membuatnya terdesak dan mulai main
mundur.
Bok Kwi Sianjin tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan pukulanpukulan
terlihai dari ilmu tongkatnya. Akan tetapi kakek ini tidak bermaksud kejam dan tiap
kali ujung tongkatnya telah berhasil ‘memasuki’ lowongan pertahanan Sin Seng Cu, senjata
itu tidak diteruskan, melainkan ditariknya kembali secepatnya tanpa melukai Sin Seng Cu.
Tosu dari Hoa-san-pai itu adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya. Maka tentu
saja iapun tahu akan hal ini dan maklum pula bahwa apabila dikehendaki, Bok Kwi Sianjin
pasti telah berhasil merobohkannya. Sin Seng Cu terkenal sebagai seorang tosu yang belum
berhasil menundukkan ‘tujuh musuh di dalam tubuh’ yakni perasaan-perasaan senang-susah,
marah, malu dan sebagainya. Maka ia terkenal sebagai seorang yang tidak mau kalah oleh
orang lain. Nafsunya masih besar dan kuat menguasai hati dan pikirannya. Oleh karena itu, ia
tidak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga, terutama dalam hal mengadu kepandaian
silat.
Akan tetapi, ia bukanlah seorang bermuka tebal yang tak tahu diri. Maka menghadapi Bok
Kwi Sianjin, ia tahu bahwa kepandaiannya masih belum dapat menandingi kesaktian Bok Kwi
Sianjin. Kalau ia teruskan dan sampai ia kena dirobohkan atau terluka, ia mendapat malu yang
lebih besar lagi, maka cepat ia meloncat jauh ke belakang dan berkata,
“Bok Kwi, kau benar-benar lihai! Biarlah lain kali aku minta berkenalan lagi dengan
tongkatmu!” Setelah berkata demikian tosu itu berkelebat cepat dan pergi dari tempat itu.
Bok Kwi Sianjin tertawa dan berkata kepada Gwat Kong, “Muridku, lain kali kau lah yang
wajib menghadapinya!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 145
Gwat Kong buru-buru berlutut dan berkata, “Akan tetapi tosu itu lihai sekali suhu.”
“Memang dia lihai, namun bukan tak dapat terkalahkan! Ingatlah Gwat Kong, makin tinggi
seseorang mengangkat diri sendiri, makin banyak bahaya ia akan jatuh ke bawah secepatnya.
Sin Seng Cu terlalu mengagulkan kepandaian. Menilai kepandaian sendiri terlampau tinggi
dan memandang rendah kepada orang-orang lain. Oleh karena itulah maka di antara saudarasaudaranya,
yakni tokoh-tokoh besar dari Hoa-san-pai, hanya dia seorang yang mempunyai
banyak musuh. Kalau hari ini ia tidak mengangkat diri sendiri terlalu tinggi, tak mungkin dia
mengadu tongkat dengan aku dan ia takkan menerima kekalahan pula. Ha ha ha! Percuma saja
dia menjadi seorang tosu yang sudah bertapa puluhan tahun. Ternyata ia belum dapat melihat
bahwa tidak ada perbedaan antara atas dan bawah maupun antara tinggi dan rendah. Jangan
kira bahwa siapa yang berada di atas itu lebih tinggi dari pada yang berada di bawah! Yang
berpikir demikian, ia akhirnya akan kecele dan kecewa! Gwat Kong, kau tak usah takut
terhadap seorang seperti Sin Seng Cu. Lebih berhati-hatilah terhadap seorang yang
nampaknya bodoh tak berkepandaian karena biasanya mereka inilah yang benar-benar
memiliki ilmu yang tinggi. Tepat sekali kata-kata tua yang menyatakan bahwa gentong penuh
air takkan berbunyi.”
Gwat Kong menghaturkan terima kasih dan berjanji akan memperhatikan semua petunjuk dan
petuah suhunya. Kemudian atas permintaan Bok Kwi Sianjin, Gwat Kong menuturkan asal
mulanya ia belajar silat, yakni dari penemuan kitab ilmu silat Garuda Sakti.
Mendengar penuturan ini Bok Kwi Sianjin menjadi kagum sekali dan menarik napas panjang
lalu berkata, “Aaah, kalau demikian, benar kata suhu dulu bahwa di antara empat ilmu yang
terdapat di empat penjuru, Sin-eng Kiam-hoat boleh dibilang menduduki tempat tertinggi.
Kau yang tadinya tidak pernah belajar silat, dengan hanya belajar sendiri tanpa pimpinan guru
yang pandai, hanya membaca kitab pelajaran itu, telah mempunyai kepandaian lumayan dan
dapat bertahan menghadapi Sin Seng Cu sampai tiga puluh jurus. Benar-benar hebat sekali!
Kalau saja kau mempelajari Sin-eng Kiam-hoat lebih lama dan dipimpin oleh guru pandai,
sekarang juga aku takkan dapat mengalahkan kau!”
Bok Kwi Sianjin lalu mengajak Gwat Kong pergi ke tempat pertapaannya, yakni di sebuah
gua di tepi sungai Huang-ho. Karena gua ini berada di dalam hutan yang amat liar, maka tak
ada orang lain yang mengetahui tempat ini, kecuali tokoh-tokoh persilatan kalangan atas yang
telah kenal kepada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi, oleh karena merekapun tahu bahwa Bok
Kwi Sianjin jarang berada di tempat pertapaannya dan seringkali pergi merantau, maka jarang
ada kenalan yang datang ke tempat itu.
Gwat Kong mendapat latihan Sin-hong-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti yang
amat lihai. Juga selain ilmu silat ini, ia mendapat tambahan latihan lweekang dan ginkang dan
ilmu pedangnya juga mendapat kemajuan karena diberi petunjuk-petunjuk oleh Bok Kwi
Sianjin yang memiliki dasar ilmu silat yang amat tinggi dan pengalaman yang luas sekali.
Setelah tinggal bersama kakek itu, Gwat Kong mendapat tahu bahwa selain tinggi ilmu
silatnya, suhunya itu juga seorang ahli ilmu pengobatan maka ia menjadi kagum sekali dan
sedikit-sedikit ia mempelajari pula ilmu pengobatan yang ada hubungannya dengan persilatan,
misalnya cara menyambung tulang patah, mengobati luka-luka karena senjata tajam atau lukaluka
dalam karena pukulan, serta obat-obat pemunah racun-racun yang banyak dipergunakan
oleh ahli-ahli silat golongan hitam, yakni para penjahat yang berilmu tinggi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 146
Dengan amat rajin dan penuh ketekunan, Gwat Kong mempelajari ilmu kepandaian di tepi
Huang-ho di bawah pimpinan dan gemblengan Bok Kwi Sianjin. Kakek ini merasa girang
sekali melihat kerajinan muridnya dan merasa kagum karena pemuda itu ternyata amat cerdik
dan cepat memperoleh kemajuan.
****
Kita tinggalkan dulu Gwat Kong yang sedang mengejar ilmu di tepi Sungai Huang-ho, di
dalam hutan yang liar itu, dan marilah kita menengok keadaan Tin Eng yang tinggal di rumah
pamannya, yakni Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (Hartawan Lie).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng telah didatangi oleh Lui Siok yang
menjadi suheng dari Gan Bu Gi dan gadis itu telah dikalahkan dalam sebuah pertempuran,
bahkan pedangnya telah dipatahkan oleh Hoa-coa-ji Lui Siok si Ular Belang yang lihai itu.
Karena kekalahan ini dan karena maklum akan kelihaian para pemimpin Hek-i-pang, maka
Tin Eng makin giat mematangkan ilmu pedangnya di rumah pamannya.
Ia merasa lega karena ternyata bahwa Hek-i-pang selanjutnya tidak mengganggu kota Hunlam
lagi. Ia tidak tahu bahwa hal ini adalah karena kelicinan Song Bu Cu ketua dari Hek-ipang
yang tidak mau berlaku kasar, dan pula orang-orang Hek-i-pang itu masih merasa
sungkan-sungkan untuk bermusuhan dengan Tin Eng, mengingat bahwa gadis ini adalah
‘calon isteri’ Gan Bu Gi dan puteri dari Liok Ong Gun, Kepala daerah Kiang-sui dan anak
murid Go-bi-pai.
Di dekat kota Hun-lam terdapat sebuah danau yang cukup indah dan setiap datang musim
semi, banyak sekali pelancong dari dalam dan luar kota menghibur diri di danau itu sambil
berperahu atau duduk di tepi danau memancing ikan atau bercakap-cakap dengan sahabatsahabat
sambil minum arak.
Pada suatu hari, karena merasa kesepian berada di rumah seorang diri sedangkan pamannya
mengurus perdagangan di luar kota, Tin Eng keluar dari rumah dan berpesiar seorang diri di
danau itu. Telah dua kali Tin Eng mengunjungi danau Oei-hu itu dan ia senang sekali
menyewa perahu kecil, mendayung seorang diri dan bermain-main di atas telaga yang indah.
Hari itu udara cerah dan di danau itu terdapat banyak sekali pelancong. Perahu-perahu kecil
besar bergerak ke sana ke mari di atas danau yang airnya bergerak-gerak perlahan sehingga
bunga-bunga teratai yang bertumbuh di pinggir telaga ikut pula bergoyang-goyang seakanakan
menari-nari gembira. Dari perahu-perahu itu terdengar suara orang bercakap-cakap
dengan senang dan diselingi suara ketawa. Juga terdengar suara orang bernyanyi diiringi oleh
yang-kim yang amat merdu.
Tin Eng menyewa sebuah perahu kecil yang pada saat seperti itu jumlah sewanya dinaikkan
semuanya oleh tukang perahu. Saat-saat seperti itu merupakan saat yang baik dan
menguntungkan bagi para tukang perahu oleh karena para pelancong itu, terutama yang
datang dari luar kota, amat berani membayar mahal untuk perahu-perahu yang mereka sewa.
Perahu yang disewa oleh Tin Eng biarpun kecil, akan tetapi cukup indah dengan kepala
perahu diukir seperti seekor ular besar menjulurkan lidahnya. Tin Eng mendayung perahunya
ke tengah dengan gembira sekali. Banyak mata pemuda-pemuda pelancong memandang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 147
kagum kepada gadis yang mengenakan pakaian biru dengan lengan baju agak pendek itu
sehingga nampak sampai di atas pergelangan tangan.
Sungguhpun mereka merasa kagum akan kecantikan Tin Eng dan merasa heran karena
melihat seorang gadis muda yang cantik jelita berpesiar seorang diri bahkan mendayung
perahu seorang diri pula. Akan tetapi melihat sikap dan gerak-gerik Tin Eng, mereka dapat
menduga bahwa gadis itu tentulah seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat dan
bukan seorang gadis biasa. Oleh karena itu, mereka tidak berani berlaku kurang ajar hanya
memandang dengan kagum.
Tentu saja mereka ini terdiri dari laki-laki yang datang dari luar kota Hun-lam. Oleh karena
orang-orang dari Hun-lam sendiri sebagian besar telah tahu dan kenal gadis ini, yang bukan
lain ialah Sian-kiam Lihiap si pendekar Wanita Pedang Dewa yang telah mengobrak-abrik
penjahat-penjahat yang mengganggu Hun-lam. Ketika Tin Eng tiba di tempat itu, mereka ini
lalu memberi hormat dengan menjura atau menganggukkan kepala yang dibalas oleh Tin Eng
dengan anggukan kepala dan senyuman manis.
Melihat betapa banyak orang agaknya kenal dan menghormati gadis muda itu, orang-orang
dari luar kota segera mengajukan pertanyaan kepada orang-orang Hun-lam, dan yang ditanya
dengan senang hati dan bangga menceritakan keadaan dan kelihaian Tin Eng. Tentu saja
dengan bumbu dan tambahan betapa dara jelita itu seorang diri telah menghalau pergi ratusan
perampok.
Bahkan di antara mereka itu ada yang secara berani mati menuturkan bahwa Tin Eng adalah
sebangsa Kiam-hiap, pendekar pedang yang memiliki Hui-kiam (pedang terbang) dan yang
dapat mengambil kepala penjahat dari jarak puluhan tombak dengan hanya melontarkan
pedangnya yang dapat terbang, memenggal kepala lawan dan membawa kepala itu kembali
kepada si gadis. Biarpun penuturan ini simpang siur dan dilebih-lebihkan, akan tetapi cukup
untuk membuat para pendengarnya meleletkan lidah dan kini mereka memandang ke arah Tin
Eng dengan lebih kagum lagi.
17 …
TIN ENG tidak memperdulikan itu semua dan ia pura-pura tidak melihat pandang mata
orang-orang yang ditujukan kepadanya dengan kagum, akan tetapi segera mendayung pergi
perahunya menuju ke tengah danau. Ia tidak tahu bahwa di antara sekian banyak pendengar
yang menjadi kagum mendengar dongeng dan obrolan orang-orang Hun-lam itu terdapat dua
orang muda yang cukup menarik perhatian.
Mereka ini adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia mereka paling banyak delapan
belas tahun akan tetapi sikap mereka menyatakan bahwa mereka itu selain agung dan tampan,
juga bersikap gagah seperti orang-orang yang pandai ilmu silat. Gadis ini berbaju hijau,
bercelana hitam dan wajahnya cantik manis dengan rambut dikuncir yang melambai ke
belakang punggung. Di atas rambutnya sebelah kanan terdapat sebuah hiasan rambut bunga
emas.
Pemudanya tampan dan gagah, tidak memakai topi dan rambutnya yang panjang dan hitam
juga dikuncir ke belakang seperti biasa pemuda-pemuda bangsawan-bangsawan pada waktu
itu. Bajunya putih dan celana Hitam, terbuat dari pada bahan-bahan yang mahal.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 148
Setelah mendengar penuturan orang-orang Hun-lam itu, mereka berdua memandang ke arah
Tin Eng dengan penuh perhatian. Kemudian mereka menjauhkan diri dari orang banyak dan
bicara bisik-bisik, lalu menyewa perahu dan mendayungnya ke tengah danau.
Setelah berada di tengah-tengah danau itu, Tin Eng melepaskan dayungnya ke dalam perahu
dan membiarkan perahunya bergerak perlahan. Ia menikmati pemandangan di sekitarnya
sambil duduk termenung. Pikirannya makin melayang jauh ketika sayup-sayup ia mendengar
suara penyanyi wanita dari sebuah perahu besar menyanyikan lagu asmara yang mengelus
hati.
Ia lalu mendayung perahunya mendekat, karena suara itu merdu benar dan ia ingin mendengar
kata-katanya lebih jelas. Setelah berada dekat, lagu asmara itu diulangi lagi dengan suara
merdu dari penyanyi di dalam perahu besar dan kini ia dapat mendengar dengan jelas.
Danau Oei dengan airnya yang seperti kaca,
Bagaikan hati seorang teruna yang setia!
Biarpun musim bunga datang dan pergi pula.
Biarpun teratai jelita akan lenyap sebelum lama
Danau Oei tetap menanti ......... menanti setia!
Ah, betapa inginku menjadi teratai jelita.
Mempunyai kekasih yang demikian setia .......!
Betapa inginku ......... menjadi teratai jelita ......!
Lagu asmara yang dinyanyikan dengan suara merdu merayu ini membawa Tin Eng ke alam
lamunan yang lebih tinggi. Ia menatap permukaan air yang penuh bayang-bayang indah dari
luar dan tiba-tiba ia melihat wajah orang di dalam bayangan air yang ketika diperhatikannya
betul-betul ternyata adalah bayangan wajah Gwat Kong! Tin Eng terkejut dan sadar dari
lamunannya, dan ketika ia memandang kembali ke dalam air, ternyata bayangan itu telah
lenyap. Mengapa tanpa terasa wajah pemuda itu terbayang? Ia suka dan kagum sekali kepada
pemuda itu, akan tetapi cinta .....?
Ah, ia tidak mengerti. Ketika Gwat Kong masih menjadi pelayan, ia telah suka kepada
pemuda itu tanpa disertai kekaguman. Dan tentang kekaguman ini dulu iapun kagum kepada
Gan Bu Gi. Dan ternyata bahwa kini jangankan mencinta, bahkan ia merasa benci kepada
pemuda she Gan itu!
Kata-kata dalam lagu tadi membuat ia berpikir-pikir tentang cinta dan sampai saat itupun ia
tidak tahu apakah ia mencinta Gwat Kong. Memang mendalam sekali isi kata-kata lagu itu
dan iapun suka menjadi seperti teratai jelita kalau mempunyai kekasih yang demikian setia air
danau Oei-hu. Ia tahu bahwa Gwat Kong mencintainya. Hal ini telah diutarakan oleh pemuda
itu ketika mabok di rumahnya dan pengutaraan itu dulu telah membuatnya menjadi marah
sehingga hampir saja ia membunuh pemuda itu!
Akan tetapi, sesungguhnya kemarahan itu bukanlah sekali-kali karena Gwat Kong karena
mencurahkan cintanya dengan ucapan-ucapan penuh sindiran itu. Akan tetapi adalah karena
tuduhan-tuduhan Gwat Kong yang mengatakan bahwa ia tidak berjantung tidak kenal budi
dan menyindir pula menyatakan bahwa setelah bertemu dengan Gan Bu Gi, lalu lupa kepada
pemuda itu yang hanya seorang pelayan. Bahwa ia tergila-gila oleh harta dan kedudukan!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 149
Akan tetapi, ia maklum bahwa tentu Gwat Kong menduga bahwa ia marah karena tidak sudi
mendengar pengakuan cinta pemuda itu yang dianggapnya rendah! Dengan demikian, dalam
anggapan Gwat Kong, ketika pemuda itu masih menjadi pelayan, ia tidak menyukainya, dan
sekarang setelah diketahuinya bahwa Gwat Kong ternyata pandai ilmu silat bahkan putera
pembesar pula, apakah ia akan menyatakan cintanya kepada pemuda itu?
Memikirkan hal ini, tiba-tiba wajah Tin Eng menjadi merah. Tentu, tentu Gwat Kong akan
berpikir demikian dan tentu pemuda itu akan memandangnya sebagai seorang gadis yang
rendah budi, yang hanya memandang keadaan dan tergila-gila oleh pangkat dan kedudukan.
Seorang gadis yang dulu membenci pemuda pelayan, akan tetapi berbalik pikir karena melihat
bahwa pelayan itu ternyata seorang putera pembesar yang pandai! Ah, tidak! Aku tak boleh
merendahkan diri semacam itu!
Demikian Tin Eng berpikir dengan marah kepada diri sendiri. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa
berduka karena semenjak Gwat Kong lari dari rumah, semenjak ia menusuk dada pemuda itu,
telah timbul perasaan yang aneh dalam hatinya terhadap Gwat Kong. Perasaan itulah yang
membuat ia mengeluarkan air mata apabila teringat akan luka di lengan pemuda itu akibat
ujung pedangnya. Dan perasaan itu pulalah yang memperkuat hatinya sehingga terpaksa ia
melarikan diri dari rumah ketika ayahnya hendak memaksa dia kawin dengan Gan Bu Gi.
Dalam keadaan masih dimabok lamunan, Tin Eng tidak melihat atau mendengar ketika
sebuah perahu lain dengan cepat meluncur ke arah perahunya, seakan-akan hendak menubruk
perahunya!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari sebuah perahu yang juga meluncur
cepat menuju ke tempat itu, “Adik Tin Eng! Awas perahu di sebelah kanan!”
Terkejutlah Tin Eng yang sadar dari lamunannya. Ia cepat menoleh dan melihat sebuah
perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang pemuda dan seorang gadis, sedang meluncur cepat
ke arah perahunya sendiri, hanya terpisah setombak saja lagi! Dua orang penumpangnya itu
kini memegang dayung mereka untuk mendorong perahu Tin Eng yang menghadang di jalan.
Tin Eng terkejut karena maklum bahwa dorongan itu akan berbahaya sekali bagi perahunya
karena kalau terlalu keras bisa membuat perahunya terguling. Maka ia lalu cepat menyambar
dayungnya dan menggerakkan dayungnya itu cepat-cepat ke kanan sambil membentak,
“Minggir!” Tin Eng menggunakan tenaga lweekangnya dan dengan cepat dayungnya
digerakkan menyapu dua dayung pemuda dan gadis itu yang segera tertangkis dan terpental
hampir terlepas dari pegangan! Tin Eng tidak berhenti dengan tangkisan itu saja oleh karena
kepala perahu itu hampir menumbuk perahunya, sehingga keadaan masih tetap berbahaya. Ia
lalu membungkukkan tubuhnya dan dayungnya cepat sekali didorongkan ke arah kepala
perahu itu yang segera meluncur lewat di dekat kepala perahunya dan tubrukan hebat dapat
digagalkan.
Akan tetapi, dorongannya yang keras itu membuat perahu yang ditumpangi oleh kedua anak
muda itu miring dan hampir terguling. Tiba-tiba kedua anak muda itu berseru keras dan tubuh
mereka telah melompat ke atas dengan gerakan yang amat ringan! Perahu yang kosong itu
menjadi balik kembali kedudukannya dan barulah kedua orang muda itu melompat turun di
dalam perahunya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 150
Tin Eng merasa kagum melihat pertunjukan ginkang dan ketabahan ini. Akan tetapi ia merasa
mendongkol juga mengapa mereka seakan-akan sengaja hendak menggulingkan perahunya.
Selagi ia hendak menegur, mereka telah menoleh dan tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Lihiap, maafkan kami!” lalu mereka mendayung perahu mereka dengan cepat meninggalkan
tempat itu.
Tin Eng teringat akan seruan orang yang memperingatkannya tadi, maka ia lalu menengok ke
arah belakang dan kedua matanya terbelalak girang ketika ternyata olehnya bahwa yang tadi
memanggilnya adalah seorang gadis cantik dan gagah yang sedang mendayung perahunya
dengan kecepatan luar biasa menuju ke arahnya. Gadis itu bukan lain adalah Dewi Tangan
Maut Tan Kui Hwa, dara perkasa anak murid Hoa-san-pai yang dulu pernah bertemu dengan
dia dan menolongnya ketika ia hampir menjadi korban para bajak.
“Enci Kui Hwa ....! serunya gembira dan mendayung perahu menyambut kedatangan si Dewi
Tangan Maut.
Kui Hwa tersenyum manis. Gadis ini nampak cantik dan gagah sekali dengan baju hijau, ikat
kepala merah, ikat leher dan sabuk hitam. Gagang pedangnya nampak tersembul dari balik
punggungnya.
Pertemuan yang tak tersangka-sangka dengan Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut di atas
danau Oei-hu itu benar-benar mendatangkan kegembiraan luar biasa kepada Tin Eng. Setelah
perahu mereka berendeng, Tin Eng lalu melompat ke dalam perahu Kui Hwa dan memeluk
gadis itu dengan gembira sekali.
“Enci Kui Hwa, sekali lagi kaulah orangnya yang menolongku dari bahaya, kini bahaya
terguling dari perahu.”
“Tin Eng, mengapa kau tidak mengejar mereka? Dua orang kurang ajar itu terang-terangan
sengaja hendak menubruk perahumu dan membuat kau terlempar ke dalam air! Mereka perlu
diberi hajaran!”
Tin Eng memandang dengan senyum simpul. “Wah, enci Kui Hwa, kau benar-benar masih
galak sekali, membikin aku takut saja!”
Kui Hwa balas memandang dan melihat sinar mata kawannya. Ia tertawa geli dan lenyaplah
kekerasan yang tadi membayang pada wajahnya yang cantik, ketika ia marah terhadap dua
orang di dalam perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi. “Ah, jangan kau menggoda adik
Tin Eng. Kujiwir nanti bibirmu yang merah itu!”
Memang semenjak pertemuannya yang pertama dengan Kui Hwa, Tin Eng merasa tertarik
dan suka sekali kepada pendekar wanita ini. Karena dari sikap gadis ini terbayang kekerasan
hati, dan kejujuran, dan sifat-sifat yang amat baik, yakni bencinya terhadap segala macam
kejahatan. Hanya harus diakui bahwa gadis ini memiliki watak yang amat ganas dan tak kenal
ampun. Sebaliknya Kui Hwa yang belum pernah mempunyai kawan wanita yang amat baik
kepadanya, merasa suka pula kepada Tin Eng.
“Adik Tin Eng, bukankah kau yang disebut orang Sian-kiam Lihiap di kota Hun-lam?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 151
“Eh, eh bagaimana kau bisa tahu akan hal itu, enci Kui Hwa?”
Kui Hwa tersenyum. “Namamu cukup terkenal, siapa yang tidak mengetahuinya?”
Kini Tin Eng merasa gemas. “Sekarang akulah yang ingin menjiwir bibirmu, enci!”
Kui Hwa tertawa, lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
“Adikku yang manis, terus terang saja sudah dua hari aku berada di Hun-lam! Aku telah
mendengar tentang nama Sian-kiam Lihiap dan Kang-lam Ciu-hiap yang menggemparkan
kota Hun-lam, yang namanya dipuji-puji setinggi langit. Akan tetapi sungguh mati aku tidak
pernah mengira bahwa Sian-kiam Lihiap adalah kau sendiri. Kau agaknya jarang keluar, maka
aku tak dapat bertemu dengan kau, dan karena tadi melihat kau berada di dalam perahu
seorang diri maka mudahlah bagiku untuk menduga bahwa Sian-kiam Lihiap tentulah kau!
Siapa lagi ahli pedang yang patut disebut Pendekar Wanita Pedang Dewa selain kau?”
“Cici, kau terlalu memuji, padahal orang yang dipuji-puji ini baru beberapa hari yang lalu
telah dikalahkan oleh orang lain secara memalukan sekali. Sebutan itu sebenarnya tak patut
bagiku dan hanya membuat aku malu saja.”
Tan Kui Hwa memandang tajam lalu berkata. “Apakah yang mengalahkan kau itu Song Bu
Cu dan Lui Siok, kedua pangcu (ketua) dari Hek-i-pang?”
Tin Eng memandang kagum. “Enci, matamu benar-benar awas. Agaknya tidak ada sesuatu
yang tak kau ketahui! Kau benar-benar hebat dan luas pengetahuanmu. Memang benar, aku
telah dikalahkan oleh Lui Siok si Ular Belang! Bagaimana kau bisa tahu?”
“Adikku yang baik, aku tidak tahu apa-apa, hanya dugaan saja. Kalau kau tidak terlalu banyak
bersembunyi di dalam kamar dan suka keluar pintu melakukan perantauan seperti aku maka
bagimu juga akan mudah saja menduga-duga hal-hal itu. Aku tahu bahwa kau dan Kang-lam
Ciu-hiap telah mengobarak-abrik anggauta Hek-i-pang di kota Hun-lam, sedangkan aku telah
tahu pula bahwa sarang Hek-i-pang berpusat di Tong-kwan dengan diketuai oleh Song Bu Cu
dan Lui Siok yang lihai! Kepandaian mereka berdua itu memang tinggi sekali, sehingga aku
sendiripun tidak akan dapat melawan mereka. Maka, setelah kau mengobarak-abrik anggauta
Hek-i-pang, lalu siapa lagi kalau bukan mereka berdua yang datang membalas dendam dan
mengalahkan kau?”
“Ah, hal ini hanya menunjukkan kecerdikanmu, enci Kui Hwa.”
“Siapa bilang aku cerdik! Saat ini ada dua hal yang membuat aku merasa menjadi sebodohbodohnya
orang!”
Sambil tertawa Tin Eng bertanya, “Apakah gerangan dua hal itu?”
“Pertama melihat kau masih segar bugar dan bahkan bertambah cantik setelah kau tadi bilang
pernah dikalahkan oleh Lui Siok. Aku kenal Lui Siok sebagai seorang kejam dan aneh sekali
kalau dia atau Song Bu Cu mau mengampunkan kau yang telah merusak pekerjaan anak buah
mereka! Nah, hal itulah yang membikin aku menjadi bingung dan tak dapat menjawab. Kedua
kalinya, aku heran sekali melihat mengapa kau tidak mengejar dua orang muda yang tadi
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 152
sengaja menubruk perahumu. Apakah benar-benar kau telah menjadi seorang yang demikian
sabarnya?”
Tin Eng menarik napas panjang dan menjawab, “Cici, jawaban kedua pertanyaan itu memang
ada hubungannya. Pertama-tama kujawab pertanyaan kedua. Aku memang tidak mau
mengejar kedua orang tadi yang menubruk perahuku. Oleh karena mungkin sekali mereka itu
adalah orang-orang dari Hek-i-pang yang sengaja mencari perkara dan pula akupun merasa
ragu-ragu karena melihat keadaan mereka itu seperti bukan orang jahat, sehingga mungkin
sekali mereka tidak sengaja hendak menubrukku. Mengapa aku harus mencari-cari
permusuhan baru sedangkan baru beberapa hari saja aku telah dikalahkan orang dan masih
terasa mendongkol? Dan tentang pertanyaan pertama itu agak panjanglah penjelasannya.”
Tin Eng lalu menuturkan tentang pertempurannya melawan Lui Siok, dan menuturkan pula
bahwa Lui Siok adalah suheng dari Gan Bu Gi, perwira muda yang telah dipilih oleh ayahnya
untuk dikawinkan dengan dia, dan bahwa Lui Siok memandang muka Seng Le Hosiang maka
tidak berani mengganggunya atau melukainya.
Kui Hwa mengangguk-angguk lalu berkata, “Masih baik bahwa dia tidak berani
mengganggumu, kalau tidak, sukarlah bagimu untuk melepaskan diri dari bencana. Memang
Lui Siok itu memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih Song Bu Cu yang menjadi ketua dari
Hek-i-pang. Aku pernah bertemu dengan Song Bu Cu dan kalau tidak keburu datang kedua
suhengku, tentu aku tewas dalam tangannya. Kau dan aku tak dapat menandingi mereka, adik
Tin Eng!”
Si Dewi Tangan Maut menarik napas panjang dan nampak menyesal dan kecewa sekali. Lalu
katanya gagah, “Akan tetapi, kalau kau tak dapat menahan sakit hatimu dan hendak membalas
dendam sekarang juga, jangan takut, aku tentu akan membantumu menghadapi mereka!”
Tin Eng terharu dan memegang lengan Kui Hwa, “Enci Kui Hwa, mereka memang jahat dan
perlu dibasmi, akan tetapi setelah tahu bahwa tenaga sendiri tak kuat menghadapi mereka
namun terus maju menyerbu bukankah itu amat bodoh namanya dan sama halnya dengan
membunuh diri? Takut sih tidak, akan tetapi lebih baik kita menanti saat yang lebih sempurna
dan mencari kawan-kawan yang sehaluan untuk menyingkirkan serigala-serigala buas itu.”
Kui Hwa mengangguk-angguk. “Kau sekarang telah banyak maju, adikku! Dari ucapanmu
tadi saja sudah menyatakan bahwa kau kini telah dewasa!”
“Aah, bisa saja kau memuji! Aku malah khawatir kalau-kalau kau menganggap aku pengecut
dengan ucapan tadi.”
Kui Hwa memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Tidak Tin Eng. Biarpun terus terang
kuakui bahwa adatku keras dan mudah marah, akan tetapi akupun sependapat dengan kau.
Keberanian dan ketabahan harus disertai kesadaran dan perhitungan yang masak sebagaimana
layak dilakukan oleh orang berakal. Keberanian yang dilakukan dengan serampangan dan
serudukan bagaikan kerbau gila secara hantam kromo tanpa perhitungan sama sekali, tidak
termasuk kegagahan, akan tetapi adalah kebodohan orang yang kurang pikir. Kita tidak
menyerbu dan menghalau penjahat-penjahat itu pada waktu ini bukan karena kita takut. Akan
tetapi karena kita menggunakan siasat, menanti saat baik di mana kekuatan kita melebihi
mereka sehingga gerakan kita akan berhasil.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 153
“Terima kasih, cici. Sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?”
“Aku hanya merantau saja tanpa tujuan tertentu, dan ketika aku mendengar nama besar Kanglam
Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap, aku menjadi tertarik dan menuju ke kota ini. Tidak tahu
siapakah sebetulnya Kang-lam Ciu-hiap yang baru saja muncul telah membuat nama besar
itu? Di mana dia dan anak murid mana?”
Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Kang-lam Ciu-hiap telah pergi meninggalkan Hun-lam.
Kalau ia masih berada di sini, tak mungkin ada orang berani menggangguku dan Hek-i-pang
pasti telah rusak olehnya. Sayang ia telah pergi. Namanya adalah Bun Gwat Kong dan kalau
kau ingin mengetahui dari cabang persilatan mana ia datang, aku sendiripun tidak tahu. Hanya
satu hal yang boleh kau ketahui bahwa dia itu boleh juga disebut .... guruku!”
“Apa???” Kui Hwa memandang dengan mata terbelalak. “Menurut berita yang kudengar,
Kang-lam Ciu-hiap masih amat muda. Bagaimana bisa menjadi gurumu? Jangan kau mainmain
Tin Eng!”
“Aku tidak main-main, memang ilmu pedangku kudapatkan dari dia! Cici, hayo kau ikut aku
ke rumah pamanku. Jangan pergi dulu sebelum ada sesuatu yang memaksamu. Dari pada
seorang diri saja bukankah lebih senang kita berdua?”
“Ah, aku hanya akan mengganggu kau dan pamanmu saja.”
“Siapa bilang mengganggu? Paman jarang berada di rumah, selalu mengurus
perdagangannya. Sedangkan aku selalu menganggur dan duduk termenung seorang diri di
rumah.”
Sambil tertawa-tawa mereka lalu mendayung perahu ke pinggir. Kemudian setelah membayar
sewa perahu, mereka lalu berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke rumah Liewangwe.
Kebetulan sekali Lie-wangwe berada di rumah, maka Tin Eng lalu memperkenalkan
kawannya itu yang diterima dengan ramah tamah oleh Lie Kun Cwan. Kemudian Tin Eng
mengajak kawannya menuju ke taman bunga yang indah di mana mereka bercakap-cakap
dengan gembira sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan oleh pelayan.
Belum lama kedua orang gadis itu bercakap-cakap, seorang pelayan memberitahukan bahwa
di luar ada dua orang muda datang minta bertemu dengan Sian-kiam Lihiap.
“Bagaimana macamnya orang-orang itu?” tanya Tin Eng.
“Mereka adalah seorang pemuda yang cakap dan seorang gadis yang cantik, siocia,” jawab si
pelayan. “Katanya mereka minta bertemu untuk menyampaikan hormatnya dan katanya tadi
mereka telah bertemu dengan siocia di danau Oei-hu.”
Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang. Tak salah lagi, kedua orang itu tentulah dua orang
penumpang perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi. Apakah kehendak mereka datang?
“Suruh mereka datang ke taman ini, Tin Eng,” kata Kui Hwa.
“Persilahkan mereka masuk dan antarkan mereka datang ke sini, kemudian kau ambil
tambahan hidangan untuk mereka!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 154
Pelayan itu mundur dan melakukan tugas yang diperintahkan itu. Tak lama kemudian, benarbenar
saja kedua orang yang tadi menubruk perahu Tin Eng, muncul dari pintu taman dengan
wajah nampak bersungguh-sungguh. Setelah bertemu dengan Tin Eng, mereka berdua lalu
menjura dan pemuda itu berkata, “Maafkan kami sebanyak-banyaknya kalau kami
mengganggu kepada lihiap!”
Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Ah, sama sekali tidak. Silahkan ji-wi (kalian berdua)
duduk.”
“Terima kasih, lihiap. Kami tak berani mengganggu terlalu lama. Terus terang saja
kedatangan kami ini tak lain mohon pengajaran sedikit dari lihiap tentang ilmu pedang untuk
meluaskan pengetahuan kami yang amat dangkal!”
“Hmm, bagus!” tiba-tiba Tan Kui Hwa berkata menyindir. “Dengan dayung tidak berhasil
sekarang hendak menggunakan pedang!”
Pemuda dan gadis muda itu mengerling ke arah Kui Hwa, akan tetapi mereka tidak
menjawab, bahkan tidak memperdulikan sama sekali, dan kini gadis cilik itu yang bertanya
kepada Tin Eng.
“Bagaimana, lihiap? Sudikah kau bermurah hati dan memberi sedikit petunjuk kepada kami?”
Sambil berkata demikian, gadis itu meraba-raba gagang pedangnya.
Tin Eng di atas perahu telah mengukur tenaga dan kegesitan mereka menangkis dengan
dayungnya, maka ia maklum bahwa kepandaian kedua anak muda ini tidak seberapa. Hanya
ia merasa heran sekali mengapa dua orang ini mengejar-ngejarnya! Pasti ada sesuatu yang
tersembunyi di balik kelakuan mereka itu.
Tiba-tiba Kui Hwa yang juga mempunyai pikiran yang sama dan mempunyai sifat yang suka
akan kejujuran dan terus terang, berkata, “Kalian berdua anak kecil ini mengapa mengejarngejar
Sian-kiam Lihiap? Apakah yang tersembunyi di balik sikap kalian yang mencurigakan
ini? Awas, jangan kalian berani main gila!”
Kedua orang itu merasa terhina, akan tetapi tidak marah, sedangkan Tin Eng juga
menyambung. “Benar juga kata-kata kawanku itu. Sebetulnya mengapakah kalian hendak
mengajak pibu (adu kepandaian) dengan aku?”
“Terus terang saja lihiap. Kami berdua kakak beradik pernah mempelajari sedikit permainan
pedang dan ketika kami tiba di kota ini, kami mendengar tentang namamu sebagai Pendekar
Wanita Pedang Dewa. Maka kami merasa amat tertarik karena kami yakin bahwa lihiap tentu
memiliki ilmu pedang yang amat tinggi. Pertemuan kita yang amat kebetulan di danau tadi
membuat kami kakak beradik mengambil keputusan untuk mencoba lihiap dan ternyata
dugaan kami tak meleset. Lihiap memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai. Hanya kami
belum merasa puas kalau belum melihat ilmu silat lihiap. Maka, mohon sedikit pengajaran
dari lihiap!”
Alasan ini masih meragukan hati Kui Hwa. Akan tetapi Tin Eng telah merasa puas dan ia
segera melompat ke atas jalan taman yang sengaja dibuat dengan lantai tembok dan biasanya
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 155
ia berlatih silat di tempat ini. Sambil berdiri di tengah-tengah lorong tembok itu, ia tersenyum
dan berkata,
“Baiklah, cabut pedang kalian dan mari kita main-main sebentar!”
Kedua anak muda itu saling pandang, lalu mencabut pedangnya. Akan tetapi melihat Tin Eng
berdiri dengan tangan kosong, pemuda itu berkata sangsi,
“Lihiap, kuharap lihiap segera mengeluarkan pedang untuk menghadapi kami kakak beradik.”
Tin Eng tersenyum. “Ini hanya main-main saja, mengapa mesti berpedang? Hayo, jangan
sangsi-sangsi, gerakkanlah pedang kalian, hendak kulihat sampai di mana tingkat
pelajaranmu.”
Sementara itu, Kui Hwa berdiri tak jauh dari situ sambil memandang dengan khawatir. Ia
menganggap perbuatan Tin Eng ini terlalu gegabah maka diam-diam ia bersiap sedia menjaga
kalau-kalau kawannya itu akan dicelakakan oleh kedua orang muda yang mencurigakan itu.
Sementara itu, pemuda dan adik perempuannya itu telah bersiap pula dengan pedang masingmasing
di tangan. Pemuda itu di sebelah kanan Tin Eng dan gadis cilik itu di sebelah kirinya.
Tin Eng tersenyum lagi dan berkata,
“Hayo, jangan ragu-ragu. Kalian maju dan seranglah baik-baik!”
Bukan watak Tin Eng untuk menyombongkan kepandaiannya dan memandang rendah
kepandaian lawan. Akan tetapi karena ia telah mengukur tenaga dan kegesitan kedua orang
muda itu di atas perahu dan maklum bahwa kepandaian mereka tak perlu ditakuti, pula karena
seperginya Gwat Kong, ia telah melatih ilmu silat tangan kosong Garuda Sakti dan kini ia
ingin mencoba kepandaiannya ini.
“Maaf, lihiap!” Pemuda itu berseru dan mulai menyerang dengan tusukan pedangnya, juga
adiknya menyerang dari samping kiri dengan gerakan indah.
Tin Eng segera mengelak dan mempergunakan ginkangnya yang telah memperoleh banyak
kemajuan. Gerakannya gesit dan tubuh seakan-akan burung garuda beterbangan di antara
sambaran pedang. Kedua tangannya dipentang ke kanan kiri atau ke depan belakang,
menghadapi keroyokan kedua orang lawannya.
Benar saja sebagai dugaan semula, biarpun kedua orang muda itu agaknya telah mempelajari
ilmu pedang Bu-tong-pai yang indah gerakannya, akan tetapi tingkat kepandaian mereka
masih rendah, sehingga mudahlah bagi Tin Eng untuk menghadapi mereka ini.
Tin Eng bersilat memperlihatkan gaya silat Garuda Sakti sambil tersenyum manis dan diamdiam
Dewi Tangan Maut Tan Kui Hwa memuji kelincahan kawannya itu. Ia dapat melihat
betapa dalam waktu yang tak berapa lama, Tin Eng telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
Setelah mereka bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, Tin Eng merasa sudah cukup dan
tiba-tiba ia berseru keras. Dengan gerakan Garuda Sakti Hinggap Di Cabang, ia berdiri
menghadapi pemuda itu dengan kaki kanan berdiri berjingkat dan kaki kiri diangkat tinggi ke
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 156
kiri lengan kanan dengan jari-jari tangan terbuka menghadapi gadis yang berada di
belakangnya.
Pemuda itu menyerang dengan menyabetkan pedangnya ke arah kaki kanan Tin Eng yang
berdiri itu. Tin Eng berseru nyaring dan kaki kanannya tiba-tiba melompat ke atas. Pada saat
itu, ia mendengar sambaran angin pedang gadis yang berada di belakangnya membacok
kepalanya. Maka dalam keadaan melompat tadi dan tubuhnya masih di tengah udara, ia cepat
mengayun diri ke depan menghindarkan kepalanya dari bacokan sambil tangannya bergerak
cepat ke arah pergelangan tangan pemuda yang tak berhasil menyerampang kakinya tadi.
Pemuda itu hendak mengelak dan menarik kembali pedangnya, akan tetapi terlambat, gerakan
Tin Eng lebih cepat darinya dan pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan
Tin Eng. Ia berseru kesakitan dan pedangnya terlepas.
Pada saat itu juga, Tin Eng telah membalikkan tubuh dan sebelum gadis cilik itu sempat
menyerang lagi, ia telah mendesak maju, menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah
muka gadis itu yang menjadi terkejut sekali dan miringkan kepala untuk mengelak. Akan
tetapi ternyata bahwa serangan ini hanyalah gertakan saja, karena sebenarnya yang dikendaki
oleh Tin Eng hanya untuk mengacaukan pandang mata lawannya dan ketika lawannya
miringkan muka, tahu-tahu pedang di tangan lawannya telah kena dirampas dan kini pindah
ke dalam tangannya.
Tin Eng sambil tersenyum melompat ke dekat Kui Hwa dan berkata, “Cukup, cukup ....
kepandaian kalian tidak jelek hanya kurang latihan dan pengalaman!”
Bukan main terkejutnya hati kedua orang muda itu ketika melihat betapa tanpa terduga lebih
dahulu, pedang mereka telah dapat dirampas dan dipukul jatuh. Mereka saling pandang
dengan mata penuh arti, kemudian tiba-tiba mereka menghampiri Tin Eng dan menjatuhkan
diri berlutut di depan gadis itu.
Tentu saja hal ini membuat Tin Eng menjadi gelagapan dan gugup sekali.
“Eh, eh .... apa-apaankah kalian ini? Kalau kalian bermaksud mengangkat guru kepadaku,
jangan harap! Aku masih belum begitu tua untuk mengambil murid. Juga kepandaianku masih
terlampau rendah!”
“Hmm, Hmm, mereka ini benar-benar mencurigakan. Hayo kalian katakan terus terang saja.
Sebenarnya apakah kehendak kalian mengganggu Sian-kiam Lihiap?” tegur Kui Hwa yang
tidak suka melihat segala macam kelakukan yang berahasia ini.
“Sian-kiam Lihiap, harap jangan salah mengerti. Bukan maksud kami untuk mengangkat
guru, sungguhpun hal itu akan mendatangkan kebahagiaan bagi kami yang bodoh. Akan tetapi
.... kami berdua mohon sudilah kiranya lihiap menolong kami, anak-anak yang amat sengsara
ini ....”
Setelah berkata demikian, gadis cilik itu lalu menangis.
Tentu saja Tin Eng makin terheran-heran mendengar ini dan ia memandang kepada Kui Hwa
yang mengerutkan keningnya. Tin Eng segera mengangkat bangun gadis itu sambil berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 157
“Tenanglah adik yang manis dan ceritakanlah dengan jelas semua maksudmu!”
Ia membelai rambut yang halus itu dan diam-diam dia merasa makin heran karena melihat
sikap dan keadaannya, gadis cilik dan kakaknya ini bukanlah orang sembarangan. Kata-kata
mereka diucapkan dalam bahasa yang baik dan sopan sebagaimana biasa diucapkan oleh
orang-orang terpelajar. Pakaian mereka juga indah dan terbuat dari pada bahan yang halus,
sedangkan sedangkan kulit muka mereka halus dan bersih, semua menunjukkan perawatan
yang teliti. Siapakah mereka ini?
Gadis cilik itu ketika mendengar betapa Tin Eng menyebutnya adik yang manis, berubah
sikapnya. Ia memeluk Tin Eng dan berkata,
“Cici yang gagah, selain kau agaknyatidak ada orang lain yang akan dapat menolong aku dan
kakakku ini. Sebetulnya kami berdua .....” tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya dan
mengerling kepada Kui Hwa. “Cici, siapakah kawanmu ini? Kalau boleh, aku ingin bicara
dengan kau sendiri saja!”
Tin Eng tersenyum sedangkan Kui Hwa bermerah muka. “Jangan kau pandang rendah nona
ini. Dia adalah Tan Kui Hwa yang disebut Dewi Tangan Maut! Biarpun ia berjulukan seram
dan nampaknya galak, akan tetapi dia adalah seorang pendekar wanita yang kegagahannya
jauh di atasku!”
Mendengar disebutnya nama yang amat terkenal ini, kedua orang muda itu menjadi pucat dan
segera menghampiri Kui Hwa dan menjura.
“Tan-lihiap, mohon maaf sebanyaknya bahwa mata kami kakak beradik seakan-akan buta
tidak melihat gunung Tai-san menjulang di depan mata!” kata pemuda tanggung itu.
Kui Hwa tersenyum menyindir. “Sudahlah tak perlu banyak peradatan ini. Lebih baik kalian
segera menceritakan segala hal kepada Tin Eng dan aku, karena apa yang boleh diketahui oleh
Tin Eng, boleh pula kuketahui, demikian sebaliknya. Sikap yang diliputi rahasia dan
sembunyi-sembunyi, bukanlah sikap orang-orang gagah. Kalau tidak ada kepentingan lain,
lebih baik kalian segera pergi saja, jangan mengganggu aku dan kawanku ini bercakapcakap.”
Setelah mengetahui bahwa gadis yang nampaknya galak itu adalah pendekar wanita yang
namanya telah terkenal sebagai pembasmi penjahat itu, kedua anak muda ini tak lagi merasa
ragu-ragu untuk menceritakan riwayat mereka.
Bab 18 …
DUA orang anak muda itu sebetulnya adalah anak-anak seorang Pangeran di kota raja, yakni
mendiang Pangeran Pang Thian Ong yang kaya raya. Hanya dua orang itulah anak Pangeran
Pang, yang laki-laki bernama Pang Gun, sedangkan adiknya bernama Pang Sin Lan.
Ketika masih hidup, Pangeran Pang amat gemar berjudi dengan taruhan besar sehingga harta
bendanya yang amat besar itu hampir habis. Ia banyak berhutang uang dari adik misannya
yakni Pangeran Ong Kiat Bo, yang selain sering memberi hutang uang, juga menjadi kawankawan
judi yang paling baik. Baik nyonya Pang maupun kedua anaknya, amat benci kepada
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 158
Pangeran Ong ini karena mereka menganggap bahwa yang membawa Pangeran Pang ke jalan
sesat adalah adik misan ini.
Karena seringkali bermain judi sampai beberapa malam tidak tidur, kesehatan Pangeran Pang
makin lama makin buruk sehingga akhirnya setelah harta bendanya hampir habis dikorbankan
di meja judi, ia jatuh sakit yang membawanya kembali ke tempat asal. Ia tidak meninggalkan
banyak harta. Bahkan meninggalkan hutang yang cukup besar kepada Pangeran Ong Kiat Bo.
Akan tetapi, diam-diam secara rahasia, ia meninggalkan warisan yang aneh kepada Pang Gun
dan Pang Sin Lan yang diberikan tanpa diketahui oleh orang lain sebelum Pangeran itu
meninggal dunia. Warisan ini hanya sehelai kain kuning yang mengandung sebuah lukisan
peta.
“Anak-anakku,” kata Pangeran Pang sebelum menghembuskan napas terakhir, sambil
memberikan peta itu kepada anaknya. “Ayahmu telah berlaku sesat dan mata gelap sehingga
harta benda kita habis kupakai bermain judi. Kalian berhati-hatilah terhadap Ong Kiat Bo,
baru sekarang aku tahu bahwa selama ini ia bermain curang. Bahkan ia sengaja
menjerumuskan uangku dengan bantuan kawan-kawannya di meja judi! Akan tetapi, jangan
kalian khawatir, peta ini adalah petunjuk tempat penyimpanan harta benda yang amat besar, di
gunung Hong-san. Di sana terdapat sebuah gua yang disebut gua Kilin, dan di situlah letaknya
harta benda yang tersimpan. Kalian cari dan ambillah harta itu dan hiduplah dengan tenteram.
Jaga ibumu baik-baik!”
Setelah Pangeran Pang meninggal dunia, maka mulailah Ong Kiat Bo memperlihatkan
maksud jahatnya. Pangeran Ong ini yang usianya telah empat puluh tahun lebih, dengan
berani sekali mengajukan pinangan terhadap diri Pang Sin Lan. Tentu saja pinangan itu
ditolak keras oleh nyonya Pang sehingga Pangeran Ong Kiat Bo menjadi marah dan lalu
menagih hutang yang bertumpuk-tumpuk dari mendiang Pangeran Pang, dengan ancaman
bahwa kalau tidak segera dibayar, maka hal itu akan diajukan ke muka pengadilan agung.
Tentu saja nyonya Pang menjadi gelisah sekali. Oleh karena kalau hal itu dilakukan oleh
Pangeran Ong, berarti bahwa nama keluarga Pang akan menjadi rusak dan ternoda. Maka
mulailah penjualan sisa barang-barang yang masih ada. Bahkan gedungnya pun dijual murahmurahan
untuk dapat membayar hutang itu.
Hutang dapat dibayar lunas, akan tetapi keluarga Pang menjadi rudin dan melarat betul-betul.
Mereka lalu berpindah ke sebuah dusun tak jauh dari kota raja. Nyonya Pang amat menderita
dengan adanya peristiwa ini sehingga jatuh sakit dan meninggal dunia tak lama kemudian,
menyusul suaminya.
Kemudian ternyata bahwa rahasia peta itu dapat diketahui juga oleh Pangeran Ong Kiat Bo,
karena semenjak Pangeran Pang hidup, Ong Kiat Bo telah tahu bahwa kakak misannya ini
diam-diam memiliki sebuah rahasia tentang tempat harta pusaka yang amat besar. Ia dapat
menduga bahwa rahasia itu tentu diwariskan kepada dua anak muda itu.
Berkali-kali ia mendatangi Pang Gun dan Pang Sin Lan dan membujuk-bujuk mereka untuk
menjual peta itu dengan harga tinggi. Bahkan ia menjanjikan pangkat dan kedudukan tinggi
untuk Pang Gun dan sebuah gedung baru untuk kedua orang keponakannya itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 159
Akan tetapi Pang Gun dan Pang Sin Lan tetap tidak mau memperdulikan orang yang berhati
jahat itu. Bahkan mereka berdua lalu mempelajari ilmu silat dari kepala hwesio di sebuah
kelenteng, untuk digunakan sebagai penjagaan diri dan juga sebagai persiapan mereka untuk
pergi mencari harta pusaka itu.
Ong Kiat Bo yang merasa penasaran sekali, mempergunakan segala daya upaya untuk dapat
merampas peta itu. Bahkan orang ini tak segan-segan untuk menyuruh seorang pencuri yang
berkepandaian tinggi untuk pada suatu malam memasuki kamar kedua orang itu dan
menggeledah seluruh milik mereka.
Akan tetapi hasilnya nihil sehingga membuat Pangeran Ong itu menjadi makin mendongkol
dan penasaran. Ia tidak mau mencelakakan kedua orang itu karena kalau mereka sampai
terbunuh, siapa lagi yang dapat menjadi petunjuk jalan kepada harta pusaka itu?
Pangeran Ong tentu tak pernah menduga bahwa peta itu sebenarnya telah dibakar oleh Pang
Gun dan adiknya, setelah mereka menghafal lukisan peta itu di luar kepala. Dan karena
menduga bahwa peta itu disimpan dengan amat baiknya oleh kedua saudara itu, dan ia tak
berdaya lagi untuk merampasnya. Ia lalu merobah siasatnya dan sekarang ia mengutus orang
untuk mengikuti dan mengawasi setiap gerak-gerik kedua saudara itu.
Hal ini diketahui pula oleh Pang Gun dan Pang Sin Lan, akan tetapi apakah daya mereka?
Dengan giat mereka berlatih silat. Akan tetapi ketika mereka dengan marah menyerang orang
yang ditugaskan untuk mengintai mereka, ternyata bahwa mereka masih belum cukup
tangguh dan bahkan kena dipukul matang biru!
“Demikianlah, cici!” kata Pang Sin Lan menutup ceritanya. “Kami berdua tak dapat berdaya
dan sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk pergi mencari harta pusaka itu. Maka kami
lalu mengambil keputusan dan melarikan diri dari kota raja dari tempat tinggal kami, pergi
merantau dan sampai di sini.”
“Apakah sampai sekarangpun kalian masih terus diikuti orangnya Pangeran Ong?” tanya Kui
Hwa.
“Tentu saja, biarpun secara sembunyi, kami merasa pasti bahwa ada yang mengikuti kami.”
“Jahanam!” kata Kui Hwa yang berdarah panas dan tubuhnya segera berkelebat dan lenyap
dari hadapan kedua saudara Pang itu, karena pendekar wanita ini telah melompat keluar. Tak
lama kemudian terdengar bunyi gaduh di luar dan muncullah Kui Hwa kembali sambil
menyeret leher baju seorang laki-laki. Ia melemparkan tubuh orang itu ke depan Pang Gun
dan Pang Sin Lan sambil bertanya,
“Inilah tikus yang mengikuti kalian?”
Pang Gun dan Pang Sin Lan memandang dengan kagum dan menganggukkan kepalanya,
sedangkan orang itu dengan tubuhnya menggigil minta ampun dan berkata, “Ampunkan
siauw-jin (hamba yang rendah) .... sama sekali siauw-jin tidak berani mengintai Pang kongcu
dan Pang siocia .....”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 160
Kui Hwa menggerakkan kakinya dan tubuh orang itu tertendang sampai terguling-guling dan
mengaduh-aduh. “Bangsat hina. Kau bilang tidak mengintai akan tetapi dari mana kau tahu
bahwa mereka ini adalah Pang kongcu dan Pang siocia?”
Orang itu menginsafi kekeliruannya yang tidak sengaja membuka rahasianya sendiri, maka ia
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala minta ampun.
“Siapa yang menyuruhmu? Hayo lekas memberitahu!” bentak Tin Eng.
“Hamba ... hamba disuruh oleh ..... Hek-i-pangcu Song Bu Cu .... diharuskan mengikuti dan
menjaga kedua kongcu dan siocia ini ..... Ampun, lihiap, hamba hanya pesuruh belaka.”
Terkejutlah hati Tin Eng dan Kui Hwa mendengar jawaban ini. Bagaimana Hek-i-pang sudah
ikut campur pula dalam urusan ini?
“Jangan kau membohong!” Pang Gun membentak, dan memandang tajam. “Bukankah
Pangeran Ong yang memerintahmu?”
“Memang tadinya datang orang pesuruh Pangeran Ong yang minta tolong kepada Hek-ipangcu
dan akulah yang ditunjuk oleh pangcu untuk mengikuti ji-wi di kota ini,”
menerangkan orang itu.
Mengertilah Tin Eng dan Kui Hwa bahwa Pangeran Ong itu ternyata telah pula kenal dan
berhubungan dengan Hek-i-pang. Tak mereka sangka bahwa pengaruh Hek-i-pang demikian
besarnya sehingga dikenal pula oleh seorang Pangeran.
“Nah, kau pergilah dan awas, jangan kau berani memperlihatkan mukamu lagi. Pedangku
takkan memberi ampun!” kata Kui Hwa dan orang itu lalu berlari keluar dengan ketakutan.
“Cici, bagaimana kau bisa menangkapnya demikian cepat?” tanya Tin Eng kepada Kui Hwa
sambil tertawa.
“Kebetulan saja,” jawab Kui Hwa sedangkan kedua kakak beradik Pang memandang kepada
Dewi Tangan Maut dengan penuh kekaguman. “Ketika aku mendengar penuturan Pang
kongcu bahwa mereka selalu diikuti orang, aku menduga bahwa sekarang juga tentu ada
orang yang mengikuti mereka ini dan tentu pengintai itu berada di luar tembok. Begitu aku
melompat keluar, aku lalu berseru keras. ‘Hai, pengintai kedua saudara Pang! Kau masih
berani bersembunyi di situ?’ Dan ternyata akalku ini berhasil karena kulihat seorang laki-laki
mencuri dengar dari balik tembok muncul dan hendak melarikan diri akan tetapi aku keburu
datang dan membekuknya!”
Pang Gun memandang kagum dan berseru. “Akan tetapi para pengawas kami itu biasanya
memiliki ilmu silat tinggi!”
Tin Eng tersenyum. “Mungkin bagimu ia berilmu tinggi, akan tetapi bagi Dewi Tangan Maut,
ia hanya merupakan seekor tikus kecil belaka. Sekarang ceritakanlah maksud kalian.
Pertolongan apakah yang hendak kalian minta?”
“Tak lain kami berdua mohon sudilah kiranya lihiap mewakili kami untuk mengambil harta
pusaka itu. Kami adalah orang-orang lemah yang tak berdaya dan kalau kami berdua yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 161
pergi, tentu kami akan diganggu oleh Pangeran Ong dan kaki tangannya. Andaikata kami
berhasil mendapatkan harta pusaka itu, juga sukar bagi kami untuk membawanya pulang
dengan selamat. Maka kami mengambil keputusan untuk mencari seorang berilmu tinggi dan
boleh dipercaya. Dan kini pilihan kami terjatuh pada lihiap. Maaf lihiap, bukan sekali-kali
maksud kami hendak menyuruh lihiap demi kepentingan kami, akan tetapi sesungguhnya
kami hendak menyerahkan rahasia peta itu kepada lihiap. Adapun apabila kelak lihiap
berhasil mendapatkan harta pusaka itu, terserah kepada kebijaksanaan lihiap untuk memberi
bagian kepada kami berdua, karena kamipun bukanlah orang-orang temaha akan harta benda
yang banyak sekali. Bagiku, cukuplah kiranya asal aku dapat membeli rumah dan pakaian
sekedarnya untuk adikku ini ...”
Setelah berkata demikian, Pang Gun memandang kepada adiknya dengan mata mengalirkan
air mata, dan adiknya lalu memegang tangan kakaknya sambil berkata, “Engko Gun, kau
terlalu memikirkan aku. Aku bukanlah seorang adik yang manja!”
Melihat sikap kedua kakak beradik yang telah yatim piatu dan telah jatuh miskin itu, mau
tidak mau tergeraklah hati Tin Eng dan Kui Hwa. Tin Eng berpikir sebentar. Rahasia harta
pusaka itu menarik perhatiannya, bukan karena ia ingin memperoleh harta benda, sama sekali
bukan, karena dia sendiri adalah seorang anak pembesar hartawan, bahkan pamannya sendiri
juga cukup kaya.
Akan tetapi yang menarik perhatiannya ialah rahasia itu sendiri, dan bahaya-bahaya yang
mengintai dalam usaha mendapatkan harta pusaka itu! Pula, ia merasa kasihan kepada Pang
Gun dan Pang Sin Lan dan ingin sekali dapat menolong mereka.
“Baiklah,” jawabnya kemudian, “Kalian boleh percayakan peta itu kepadaku. Akan tetapi, aku
hanya akan mencoba melanjutkan usaha kalian ini dan jangan sekali-kali kalian pastikan
bahwa aku akan berhasil mendapatkannya. Dan akupun tidak mau pergi sendiri, kalau cici
Kui Hwa suka pergi bersama, baru aku mau pergi pula.”
“Kalau mereka ini percaya kepadaku, tentu saja aku akan senang sekali pergi bersamamu,
adik Tin Eng.”
Bukan main girangnya hati Pang Gun dan Pang Sin Lan. Mereka kembali menjatuhkan diri
berlutut, kini kepada Tin Eng dan Kui Hwa.
“Kalau ji-wi lihiap yang gagah perkasa mau pergi bersama, kami yakin usaha ini akan
berhasil dan pesan mendiang ayah kami takkan tersia-sia.”
Tin Eng dan Kui Hwa minta supaya bangun lagi, kemudian Pang Gun minta sehelai kain
putih dan alat tulis. Tin Eng mengeluarkan sehelai sapu tangannya yang berwarna kuning dan
di atas sapu tangannya itulah Pang Gun lalu melukiskan peta yang telah dihafal di luar kepala
itu, dibantu oleh Pang Sin Lan. Peta itu jelas sekali, tidak saja disebutkan di mana letaknya
gunung Hong-san dan Gua Kilin, akan tetapi juga disebutkan rahasia tempat harta pusaka di
dalam gua itu.
Setelah memberi penjelasan, kedua kakak beradik she Pang itu lalu berpamit untuk kembali
ke dusunnya sebelah selatan kota raja. Kini mereka tidak merasa takut dan gelisah lagi. Tak
khawatirkan lagi segala pengintaian kaki tangan Pangeran Ong. Mereka tidak memegang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 162
rahasia lagi. Rahasia itu telah diserahkan kepada orang lain. Berada di tangan dua orang
pendekar wanita yang gagah perkasa! Apa yang mereka takuti lagi?
“Pangeran Ong boleh mengikuti kita terus selama hidup,” Pang Gun berkata kepada adiknya
sambil tertawa. “Untuk kita tidak ada ruginya, bahkan gagah sekali ke mana-mana ada yang
mengawal dan menjaga keselamatan kita! Ha ha ha!”
Juga Pang Sin Lan menertawakan Pangeran itu. Tentu saja para pengintai yang ditugaskan
untuk mengikuti mereka menjadi heran melihat betapa kedua anak muda itu kini kembali ke
tempat tinggal mereka dalam keadaan demikian gembira!
Pangeran Ong Kiat Bo yang diberi laporan tentang hal ini juga merasa heran dan curiga, maka
ia lalu mengunjungi rumah kedua keponakannya yang keras kepala itu. Ia masih merindukan
Pang Sin Lan akan tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu dengan kekerasan. Karena ia maklum
bahwa kedua orang muda ini mempunyai banyak kenalan di antara orang-orang besar. Dan
kalau saja ia menggunakan kekerasan terhadap gadis yang jelita ini, tentu namanya akan
tercemar.
Pang Gun dan Pang Sin Lan menyambut Ong Kiat Bo dengan sikap dingin sekali,
sungguhpun sebagai keturunan bangsawan mereka tidak melupakan peradatan dan menjura
dengan hormat kepada Pangeran itu.
“Eh, kalian pergi ke mana sajakah hampir sebulan ini?” tanyanya dengan nada suara penuh
perhatian sebagaimana layaknya seorang yang mencintai sanak keluarga.
“Ong-ya sudah tahu mengapa masih bertanya lagi?” balas Pang Gun dengan suara mengejek.
Memang kedua kakak beradik ini tidak mau menyebut siok-hu (paman) kepada adik misan
ayah mereka ini dan selalu menyebut Ong-ya atau tuan Ong sebagaimana para pelayan
menyebutnya karena kedua saudara Pang ini tidak sudi menganggapnya sebagai paman.
Sebaliknya Ong Kiat Bo lebih senang disebut seperti itu, karena ia akan merasa kurang enak
apabila ia disebut ‘paman’ oleh Pang Sin Lan, gadis yang dirindukannya itu.
“Hmm, memang aku mendengar dari kenalan-kenalan di Hun-lam bahwa kalian pergi ke
Hun-lam,” kata Pangeran itu dengan berani karena merasa takkan ada gunanya apabila ia
berpura-pura tidak tahu.”Mengapa kalian begitu keras kepala dan tidak mau ikut aku ke kota
raja kembali?”
Ia melihat ke sekelilingnya. Rumah yang ditinggali oleh kedua kakak beradik itu adalah
rumah kampung yang kecil lagi buruk, perabot rumahnya juga sederhana sekali. “Tak pantas
kalian tinggal di tempat seperti ini, memalukan aku saja! Lebih baik kalian tinggal bersamaku
di kota raja dan hidup sebagai keturunan bangsawan.”
“Aku seribu kali lebih senang tinggal di tempat yang buruk ini bersama kakakku dari pada
tinggal di gedung besar orang lain!” Tiba-tiba Sin Lan berkata sambil merengut. Akan tetapi
dalam pandangan mata Ong Kiat Bo, wajah gadis itu tambah cantik kalau sedang marahmarah.
“Gun-ji (anak Gun),” kata pula Pangeran Ong dengan suara membujuk kepada Pang Gun.
“Kau tahu bahwa kau dan adikmu takkan mungkin dapat mencari harta pusaka itu, maka
mengapa kau begitu berkepala batu? Berikanlah peta itu kepadaku dan aku akan mengerahkan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 163
orang-orangku mencari untuk kalian berdua. Aku sudah cukup kaya raya, untuk apakah harta
itu bagiku? Aku hanya ingin menolong kalian berdua, lain tidak. Kalau kalian ragu-ragu aku
boleh bersumpah dalam kelenteng bahwa setelah dapat diketemukan, harta pusaka itu akan
kuberikan kepada kalian berdua.”
“Peta itu sudah tidak ada lagi, Ong-ya,” jawab Pang Gun.
“Hmmm, berkali-kali kau berkata demikian. Aku tidak percaya!”
“Percaya atau tidak adalah soalmu sendiri, Ong-ya.”
“Pang Gun, jangan kau main-main. Kau di Hun-lam mengunjungi Sian-kiam Lihiap ada
keperluan apakah?” Sepasang mata Pangeran Ong memandang tajam dan menyelidik.
Pang Sin Lan tersenyum sindir. “Bagus sekali, kami mempunyai sahabat Sian-kiam Lihiap,
kau pun tahu! Kalau ingin sekali tahu urusan kami, mengapa tidak datang saja kepada Siankiam
Lihiap untuk bertanya? Hmmm, tentu takut kepadanya, bukan? Takut kepada pedangnya
yang tajam?”
Disindir seperti ini, Ong Kiat Bo merah juga mukanya. Ia lalu melangkah menuju ke pintu
dan berkata, “Betapapun juga, tak mungkin kalian akan bisa mendapatkan harta pusaka itu
tanpa bantuanku!” Ia lalu bertindak keluar dengan muka masam dan hati mendongkol. Pang
Gun dan adiknya saling pandang sambil tersenyum puas.
Sementara itu, ketika Tin Eng dan Kui Hwa sedang membicarakan soal pencarian harta
pusaka yang tiba-tiba saja diserahkan ke dalam tangan mereka itu, datanglah Lie-wangwe
menyusul keponakannya ke dalam taman. Ternyata bahwa pesuruh yang dulu membawa
suratnya untuk ayah Tin Eng, kini telah tiba kembali membawa balasan di mana Liok Ong
Gun minta agar supaya Tin Eng untuk sementara berdiam dulu di rumah Lie-wangwe dan
menanti datangnya orang-orang yang akan menjemputnya.
Selain itu, ayah Tin Eng menyatakan juga dalam surat itu bahwa kesalahan Tin Eng yang
melarikan diri dari rumah itu dimaafkan, dan kini sedang dipersiapkan perayaan
pernikahannya apabila sudah kembali ke rumah.
Mendengar berita ini, Tin Eng menjadi marah sekali.
“Paman, surat itu tidak ada artinya, karena hari ini juga aku mau pergi bersama kawanku ini!”
Lie-wangwe terkejut, “Eh, hendak pergi kemana, Tin Eng? Jangan kau tinggalkan rumah ini
seperti yang telah dipesankan oleh ayahmu. Bagaimana aku harus menjawab kalau ayahmu
atau orang-orang suruhannya datang ke ini dan tidak mendapatkan kau berada di sini?”
“Mudah saja, pekhu. Kau bilang saja bahwa aku telah berangkat pulang lebih dulu dengan
ambil jalan memutar, sekalian merantau dan melihat-lihat pemandangan, bersama seorang
kawan baikku, yakni cici Kui Hwa ini!”
Berkali-kali Lie-wangwe membujuk dan mencegah, akan tetapi akhirnya ia maklum bahwa ia
tak dapat menahan kehendak hati keponakannya yang keras ini. Ia amat mencinta
keponakannya ini dan pencegahannya hanya khawatir kalau-kalau keponakannya akan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 164
mengalami bencana di jalan. Maka ia lalu cepat menyuruh para pelayan untuk membeli dua
ekor kuda yang besar dan baik, serta mempersiapkan beberapa stel pakaian untuk Tin Eng.
Tak lupa ia memberi bekal uang mas yang sekiranya cukup untuk dipakai membiayai
perjalanan gadis itu.
Tin Eng merasa amat berterima kasih dan girang. Ia menjura kepada hartawan itu bersamasama
Kui Hwa yang juga menyatakan terima kasihnya atas pemberian kuda, dan Tin Eng
berkata,
“Lie-pekhu, aku takkan melupakan kebaikan hatimu dan mudah-mudahan saja kelak aku akan
dapat membalasnya!”
Maka berangkatlah kedua orang gadis pendekar ini, mengaburkan kuda keluar dari Hun-lam,
menuju ke bukit Hong-san untuk mencari harta pusaka yang dipercayakan oleh kedua anak
pangeran itu kepada mereka.
****
Kira-kira sepuluh lie di luar kota Hun-lam, ketika dua orang gadis sedang menjalankan
kudanya dengan perlahan, tiba-tiba mereka mendengar suara telapak kaki kuda mengejar dari
belakang dan suara panggilan penunggang kuda itu.
“Nona Liok, tunggu dulu!”
Tin Eng menahan kudanya lalu menoleh, juga Kui Hwa memutar kudanya memandang
penunggang kuda yang datang itu.
“Dia adalah Hoa-coa-ji Lui Siok, wakil ketua Hek-i-pang!” bisik Tin Eng dengan hati tak
enak.
“Hmm, hmm, apakah maksud kedatangannya? Dengan tenaga kita berdua untuk
menghadapinya, ia benar-benar mencari mampus sendiri!” kata Kui Hwa.
Setelah datang dekat, ternyata bahwa orang itu memang benar Lui Siok si Ular Belang, wakil
ketua Hek-i-pang yang lihai itu. Tangan kanannya bergerak dan sabuk ular belangnya yang
lihai telah berada di tangannya. Ia maklum akan kelihaian Dewi Tangan Maut, maka ia tidak
mau menghadapinya dengan tangan kosong.
“Kau berada di sini, bangsat perempuan dari Hoa-san? Kebetulan sekali, tanganku sudah
gatal-gatal untuk menghajar seorang bangsat Hoa-san-pai!”
Kui Hwa memandang tajam dan mencabut keluar pedangnya. “Lui Siok manusia busuk!
Bersiaplah untuk mampus!”
Juga Tin Eng mencabut keluar pedangnya, siap membantu Kui Hwa menghadapi si Ular
Belang yang telah diketahui kelihaiannya itu. Melihat sikap Tin Eng ini, Lui Siok berkata
kepadanya,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 165
“Nona Liok kau adalah anak murid Go-bi-pai. Tidak tahukah kau bahwa perempuan ini
adalah musuh besar cabang kita? Dia adalah musuhmu juga, mengapa kau berjalan bersamasama?”
Tin Eng tersenyum sindir. “Orang she Lui, dengarlah! Aku tidak tahu tentang permusuhanmu
dan takkan perduli sedikitpun juga. Aku hanya kenal dua golongan orang, yakni orang baikbaik
dan jahat. Yang baik kudekati dan yang jahat ku jahui. Cici Kui Hwa adalah orang baik
tidak seperti kau seorang penjahat, maka mudah saja bagiku untuk mengambil keputusan
harus membantu yang mana!”
“Anak kurang ajar! Tahukah kau bahwa ayahmu dan tunanganmu akan menjadi malu dan
marah sekali kalau mendengar bahwa kau membantu seorang anak murid Hoa-san-pai yang
menjadi musuh kita?”
“Aku tidak pernah bertunangan dan jangan kau sebut-sebut nama ayahku! Lebih baik kau
lekas bilang apa keperluanmu menyusul dan memanggil-manggil aku!”
Lui Siok marah sekali. Ia menuding ke arah Tin Eng dengan telunjuk tangan kirinya dan
membentak, “Perempuan tak tahu diri! Tadinya aku menyusulmu untuk membujuk agar
supaya jangan meninggalkan gedung Lie-wangwe karena akupun bertugas menjaga
keselamatanmu. Akan tetapi karena ternyata kau mengkhianati cabang persilatan kita, maka
kau akan kuhajar sekalian dengan anjing betina dari Hoa-san-pai ini!”
Sambil berkata demikian ia melompat turun dari kuda. Kui Hwa sudah tak dapat menahan
kemarahannya lagi, sambil berseru nyaring iapun melompat turun dari kuda dan langsung
menyerang Lui Siok dengan pedangnya. Serangan yang amat ganas dan cepat dan ia mainkan
Hoa-san-kiam-hoat yang cepat gerakannya dan lihai. Lui Siok berseru keras dan menangkis
dengan senjatanya yang istimewa.
Tin Eng lalu melompat turun dari kudanya pula, lalu membawa kudanya sendiri dan kuda Kui
Hwa ke bawah pohon di mana terdapat banyak rumput. Kemudian, dengan pedang
ditangannya ia lalu lari menyerbu pertempuran itu dan membantu Kui Hwa. Pedang Tin Eng
berkelebat menyambar bagaikan seekor burung garuda menyambar mangsanya. Ketika Lui
Siok menangkis serangan pedang gadis itu, diam-diam ia terkejut karena tenaga dan
kecepatan gadis ini sudah banyak maju jika dibandingkan dengan dulu ketika ia datang
menyerang gadis itu di kebun bunga Lie-wangwe.
Memang semenjak dikalahkan oleh Lui Siok, Tin Eng lalu melatih diri dengan amat giatnya,
sehingga ia mendapatkan kemajuan yang lumayan. Kini menghadapi musuh yang pernah
mengalahkannya, tentu saja hatinya penuh dendam hendak menebus kekalahannya sehingga
permainan pedangnya menjadi makin kuat. Ditambah pula dengan adanya Kui Hwa membuat
Tin Eng merasa tabah sekali dan setiap serangan pedangnya dengan ilmu pedang Sin-engkiam-
hoat yang luar biasa, merupakan tangan maut yang menjangkau ke arah nyawa Lui Siok.
Lui Siok harus mengerahkan seluruh kepandaian dan kegesitannya menghadapi kedua orang
lawannya ini, karena Tin Eng dan Kui Hwa benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh
dan berbahaya! Ilmu pedang Kui Hwa adalah Hoa-san-kiam-hoat yang memiliki gerakan
cepat, ditambah oleh watak Kui Hwa yang keras maka gerakan pedangnya menjadi ganas dan
berbahaya sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 166
Tingkat kepandaian Kui Hwa sudah mencapai tempat cukup tinggi dan pengalaman
bertempur yang banyak membuat ia merupakan lawan yang bahkan lebih berbahaya dari pada
Tin Eng yang memiliki ilmu pedang luar biasa. Juga Tin Eng merupakan lawan yang cukup
berbahaya, maka kini ia menghadapi dua orang pendekar yang mainkan dua macam ilmu
pedang dengan gaya jauh berbeda.
Biarpun tingkat kepandaian Kui Hwa masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Tin Eng,
akan tetapi ilmu pedang Tin Eng masih menang jauh. Menghadapi ilmu pedang Sin-eng
Kiam-hoat yang makin lama makin kuat, Lui Siok merasa bingung juga dan diam-diam ia
akui bahwa ilmu pedang ini jauh lebih berbahaya dari pada ilmu pedang Hoa-san-pai.
Lui Siok tidak ragu-ragu lagi menghadapi Tin Eng, karena ia mendapat alasan kuat untuk
melukai atau bahkan membunuh gadis ini. Terang-terangan gadis ini membantu Dewi Tangan
Maut yang telah menjadi musuh besar golongan Go-bi-pai. Maka kalau kini Tin Eng
membantunya, berarti gadis ini menjadi pengkhianat, menjadi musuh Go-bi-pai juga dan
karenanya ia takkan dipersalahkan oleh Seng Le Hosiang atau tokoh-tokoh Go-bi-pai yang
lain.
Kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa, tentulah maksudnya hendak merobohkan Tin Eng akan
berhasil, karena sungguhpun Tin Eng telah mendapat banyak kemajuan, akan tetapi untuk
dapat mengalahkan sabuk ular belang dari Lui Siok bukanlah hal yang mudah. Mungkin kalau
ilmu pedangnya sudah matang betul, ia akan dapat mengalahkan jago dari Kim-san-pai yang
selain mahir ilmu silat Kim-san-pai, juga telah banyak mempelajari bermacam-macam ilmu
silat dari golongan hitam itu.
Setelah Lui Siok yang benar-benar lihai itu dapat bertahan sampai lima puluh jurus lebih,
kedua orang gadis itu merasa penasaran. Mereka lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya
dan pergerakan pedang mereka makin cepat, tubuh mereka berkelebat bagaikan dua ekor
burung walet sedang menyambar dan mengeroyok seekor ular besar. Dikeroyok sedemikian
rupa, Lui Siok menjadi pening juga karena ia harus memutar-mutar tubuhnya agar jangan
sampai terkena serangan pedang lawan.
Pada saat yang baik, Tin Eng mempergunakan kesempatannya dan berhasil memasuki
pertahanan lawannya. Pedang meluncur dan menerobos di antara sinar sabuk ular belang
mengarah ulu hati Lui Siok. Gerakannya ini demikian cepat dan dengan ujung pedang
digetarkan sebagaimana telah menjadi keistimewaan Sin-eng-kiam-hoat, sehingga Lui Siok
merasa terkejut sekali.
Pada saat itu, ia sedang menangkis bacokan pedang dari Kui Hwa, maka ia tak mendapat
kesempatan untuk menangkis tusukan Tin Eng itu. Ia berseru keras dan menggunakan tangan
kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan Tin Eng yang memegang pedang sambil
miringkan tubuhnya. Tin Eng sudah pernah berkenalan dengan lihainya cengkeraman tangan
ini, maka cepat gadis ini memutar pergelangan tangannya dan kini ujung pedangnya meluncur
cepat sekali ke arah tenggorokan Lui Siok.
Si Ular Belang mencoba untuk miringkan kepala, akan tetapi terlambat dan ujung pedang Tin
Eng berhasil melukai pundaknya. Lui Siok berseru marah dan memutar sabuknya secepat
mungkin. Kedua gadis itu melompat mundur dan mengurung lagi dengan hebat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 167
Lui Siok merasa betapa pundaknya sakit dan perih, membuat sebelah tangan kirinya seperti
lumpuh. Gerakannya tidak lincah lagi dan ia tak dapat mengelak ketika sebuah tendangan Kui
Hwa menyambar bagaikan kilat. Ia hanya dapat mengerahkan lweekangnya ke arah lambung
yang tertendang. Akan tetapi tendangan itu demikian kerasnya sehingga biarpun di dalam
lambungnya tidak terluka parah tetap saja tubuhnya terlempar sampai setombak lebih dan
roboh di atas tanah bergulingan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi nyawa Lui Siok itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda,
dan terdengar seruan keras,
“Penjahat perempuan kalian berani melukai kawanku!”
Kui Hwa menengok dan berkata kaget. “Ah, Song Bu Cu sendiri datang!”
Juga Tin Eng menengok dan berkata terkejut. “Dan yang seorang itu adalah Gan Bu Gi!”
Kui Hwa juga mengenal pemuda itu, maka bingunglah mereka karena maklum bahwa dengan
datangnya dua orang itu, sedangkan Lui Siok juga akan melawan lagi, keadaan mereka
sungguh berbahaya. Mereka maklum bahwa kepandaian Gan Bu Gi tidak kalah jauh jika
dibandingkan dengan Lui Siok, sedangkan kepandaian Song Bu Cu bahkan lebih tinggi lagi.
Bab 19 …
TIBA-tiba Tin Eng mendapatkan akal dan ia lalu mengeluarkan piauwnya dari kantong
piauw. Ia memberi dua batang piauw kepada Kui Hwa dan berkata perlahan,
“Kita hajar kuda mereka dan melarikan diri!”
Kui Hwa maklum akan maksud kawannya, maka ia menerima dua batang piauw itu dan
keduanya lalu melompat ke atas kuda masing-masing.
Song Bu Cu dan Gan Bu Gi telah mengenal kedua orang gadis itu, dan ketika Gan Bu Gi
melihat Kui Hwa, musuh besarnya ia berseru,
“Dewi Tangan Maut, jangan lari!”
Akan tetapi, Kui Hwa dan Tin Eng yang sudah siap sedia, tiba-tiba lalu menggerakkan tangan
mereka dan dua batang piauw menyambar dengan cepat sekali, sebatang ke arah Gan Bu Gi
dan sebatang lagi ke arah Song Bu Cu. Piauw yang dilepas oleh Kui Hwa mengarah ke tubuh
Gan Bu Gi sedangkan piauw dari Tin Eng menyambar dengan lebih cepat ke arah dada Song
Bu Cu. Dalam hal melepaskan senjata rahasia, Tin Eng lebih pandai dari Kui Hwa, karena Tin
Eng memang telah mempelajarinya dengan sempurna.
Gan Bu Gi dan Song Bu Cu yang berkepandaian tinggi, tentu saja tak dapat dirobohkan
dengan sambaran piauw itu. Maka mereka cepat mengelak di atas kudanya, sambil
menyampok piauw itu dengan tangan mereka.
Akan tetapi, beberapa detik setelah piauw pertama menyambar, dua batang piauw menyambar
lagi dan kini mengarah kuda yang ditunggangi oleh kedua orang itu! Hal ini sungguh-sungguh
di luar dugaan Gan Bu Gi dan Song Bu Cu sehingga mereka menjadi terkejut. Piauw yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 168
dilepas oleh Kui Hwa menyambar ke arah kuda Gan Bu Gi, akan tetapi bidikannya terlalu
tinggi sehingga Gan Bu Gi dapat menendangnya dengan ujung sepatu sehingga piauw itu
terlempar ke samping.
Akan tetapi, Tin Eng yang melemparkan piauwnya ke arah kuda Song Bu Cu, telah membidik
dengan tepat sekali dan sebelum Song Bu Cu dapat menghalanginya, piauw itu telah
menancap pada perut kudanya! Kuda Song Bu Cu meringkik kesakitan, berdiri di atas dua
kaki belakang dan melompat-lompat dengan liar, sehingga Song Bu Cu tak kuasa
mengendalikannya lagi dan terpaksa melompat turun.
Pada saat itu, Tin Eng dan Kui Hwa sudah membalapkan kuda mereka sambil tertawa senang.
Song Bu Cu menyumpah-nyumpah dengan amat marah. Akan tetapi ia tidak berdaya untuk
mengejar. Sedangkan Gan Bu Gi, sungguhpun kudanya tidak terluka dan dapat mengejar,
akan tetapi merasa jerih untuk menghadapi dua orang pendekar wanita itu sendiri saja, maka
iapun tidak mau mengejar.
Lui Siok yang terluka pundaknya oleh pedang Tin Eng dan terkena tendangan Kui Hwa
menjadi marah sekali dan tiada hentinya mengeluarkan makian-makian kotor terhadap kedua
orang gadis itu.
“Gan-sute,” katanya kepada Gan Bu Gi ketika Song Bu Cu berusaha merawat lukanya.
“Mengapa kau memilih seorang gadis liar dan jahat seperti dia untuk calon isterimu? Dia
sekarang telah menjadi musuh kita, telah berani membantu si jahat Tan Kui Hwa.”
Gan Bu Gi menarik napas panjang dan berkata, “Namun ia cantik dan pandai, suheng, dan
pula harus diingat bahwa dia adalah puteri dari Liok-taijin Kepala daerah Kiang-sui dan anak
murid Go-bi-pai. Kalau aku menjadi menantu Kepala daerah, bukankah hal itu akan
memperkuat kedudukan Kim-san-pai kita? Hal ini adalah rencana dari suhu dan Seng Le
Hosiang dan aku hanyalah menurut saja perintah suhu!”
Memang, kedua kakek bersahabat itu, yakni Bong Bi Sianjin ketua Kim-san-pai dan Seng Le
Hosiang, tokoh Go-bi-pai, membuat rencana yang amat baik demi keuntungan masingmasing.
Pada saat itu, cabang-cabang persilatan di Tiongkok tidak mendapat nama baik bagi
pemerintah yang mulai merasa curiga dan khawatir kalau-kalau orang-orang kang-ouw
memiliki kepandaian tinggi itu sewaktu-waktu akan mengadakan pemberontakan. Kaisar dan
para penasehatnya maklum akan bahayanya hal ini, maka mulailah diadakan pengawasan dan
tekanan terhadap para ahli-ahli silat.
Partai-partai besar seperti Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain yang berpusat di gununggunung
yang luas daerahnya dan sukar didatangi pasukan negeri, tidak merasa khawatir akan
hal ini. Akan tetapi golongan-golongan kecil mempunyai kekhawatiran juga kalau-kalau
cabang persilatan mereka akan mendapat gangguan.
Seng Le Hosiang merasa sakit hati dan menaruh hati dendam terhadap Hoa-san-pai dan
tokoh-tokoh Go-bi-pai yang lain tidak mau menghiraukan dan tidak ada nafsu untuk ikut
campur memperbesar permusuhan dengan Hoa-san-pai, lalu mencari kawan-kawan dan
pembantu dari luar. Di antaranya yang ia paling harapkan, adalah Bong Bi Sianjin sendiri
ketua Kim-san-pai. Oleh karena selain Bong Bi Sianjin sendiri berkepandaian tinggi, juga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 169
tokoh Kim-san-pai ini mempunyai beberapa orang murid yang tingkat kepandaiannya sudah
boleh diandalkan.
Bong Bi Sianjin bukanlah seorang yang bodoh. Sungguh pun ia bersahabat baik dengan Seng
Le Hosiang, akan tetapi ia maklum bahwa mencampuri urusan permusuhan itu berarti
mendatangkan bahaya baginya dan para muridnya, karena iapun tahu akan kelihaian anak
murid Hoa-san-pai. Maka ia takkan mau membantu begitu saja kalau ia tidak melihat hal-hal
yang kiranya akan mendatangkan kebaikan dan keuntungan bagi partainya sendiri.
Ia maklum bahwa di antara anak murid Go-bi-pai, terdapat Liok Ong Gun yang menjadi
Kepala daerah dan mempunyai hubungan dekat dengan kotanya. Maka alangkah baiknya
kalau ia bisa mendekati pembesar itu, agar kedudukan cabang persilatan Kim-san-pai
terlindung.
Oleh karena pikiran ini, maka ia lalu mengajukan usul agar supaya muridnya yang bungsu,
yakni Gan Bu Gi, dapat dipekerjakan pada Liok-taijin. Bahkan dapat dijodohkan dengan
puteri pembesar itu. Seng Le Hosiang suka melihat Gan Bu Gi, maka karena iapun
mengharapkan bantuan dari Kim-san-pai, dalam hal ini ia membantu sekuat tenaga, sehingga
Liok-taijin akhirnya tidak hanya menerima Gan Bu Gi sebagai perwira akan tetapi juga
sebagai calon mantu!
Gan Bu Gi mendengarkan dari calon mertuanya bahwa Tin Eng berada di Hun-lam. Sebelum
berangkat ke kota itu, ia lebih dulu mampir di kota Tong-kwan pusat perkumpulan Hek-IPang
karena ia tahu bahwa sesungguhnya Lui Siok berada di tempat itu menjadi wakil ketua.
Akan tetapi ia tidak bertemu dengan suhengnya yang sedang pergi ke Hun-lam dan hanya
bertemu dengan Song Bu Cu. Ketika mendengar bahwa Lui Siok menyelidiki ke Hun-lam
karena mendengar tentang adanya Tan Kui Hwa, si Dewi Tangan Maut yang menjadi musuh
besarnya, Gan Bu Gi lalu menyusul ke Hun-lam bersama Song Bu Cu dan di tengah jalan
kebetulan sekali mereka bertemu dengan Lui Siok yang sedang berada dalam bahaya.
Lui Siok dan Song Bu Cu lalu menceritakan kepada Gan Bu Gi betapa mereka mendapat
tugas dari Pangeran Ong Kiat Bo untuk menyelidiki halnya kedua orang muda yang kini telah
kembali ke kota raja.
“Mungkin sekali peta rahasia itu oleh kedua saudara Pang diberikan kepada Tin Eng dan Kui
Hwa,” kata Lui Siok. “Maka lebih baik kita mengejar mereka. Pertama-tama untuk
membinasakan perempuan rendah Dewi Tangan Maut itu, kedua untuk menawan tunanganmu
yang keras kepala, dan ketiga untuk merampas peta.”
“Akan tetapi, aku harus pergi ke Kim-san-pai untuk menemui suhu lebih dulu,” kata Gan Bu
Gi. “Karena suhu dulu berpesan bahwa apabila aku menghadapi kesulitan, aku harus
melaporkan kepada suhu. Hal ini amat ruwet. Tin Eng telah membawa kehendak sendiri
bahkan telah bersekutu dengan Dewi Tangan Maut. Sebagaimana kita semua mengetahui,
Dewi Tangan Maut selain lihai, juga seorang anak murid Hoa-san-pai yang paling jahat dan
paling banyak kawan-kawannya. Kini kalau betul-betul dia mendapatkan peta harta pusaka
dan bersama Tin Eng pergi mencarinya, maka hal yang penting ini harus kuberitahukan
kepada suhu. Apalagi kini telah muncul Kang-lam Ciu-hiap yang benar-benar gagah dan tak
boleh dipandang ringan!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 170
Gan Bu Gi teringat akan pengalaman pahit ketika ia bersama kawan-kawannya sama sekali
tak berdaya menghadapi Gwat Kong. Akan tetapi hal ini ia tidak mau menceritakan kepada
Lui Siok dan Song Bu Cu karena malu. Adapun kedua ketua Hek-I-Pang ini biarpun telah
mendengar nama Kang-lam Ciu-hiap, akan tetapi belum pernah bertemu dan belum merasai
sendiri sampai di mana kelihaian pemuda pendekar itu.
“Aaah,” Lui Siok yang sombong mencela. “Mengapa harus ditakuti Kang-lam Ciu-hiap?
Sayang ia sudah pergi ketika aku datang di gedung Lie-wangwe. Kalau dia berada di sana
ketika itu, tentu sekarang Kang-lam Ciu-hiap tinggal namanya saja!”
Di dalam hatinya, Gan Bu Gi tidak menyetujui ucapan suhengnya ini, karena ia tahu bahwa
kepandaian suhengnya ini jauh untuk menandingi kelihaian Gwat Kong, akan tetapi ia tidak
mau membuka mulut, hanya berkata,
“Biarlah suheng dan Song twako berangkat dulu menyusul mereka, aku mau mencari suhu
lebih dulu agar kelak tidak mendapat teguran dari suhu yang menanti-nanti berita dariku.”
Demikianlah, Gan Bu Gi lalu berangkat mencari suhunya ke Kim-san dan kedua ketua Hek-IPang
itu lalu mengadakan perundingan untuk menyusul Tin Eng dan Kui Hwa.
****
Perjalanan ke Hong-san jauh sekali dan biarpun menggunakan kuda, akan makan waktu
berbulan-bulan. Maka biarlah kita tinggalkan dulu Tin Eng dan Kui Hwa yang menuju ke
bukit Hong-san untuk mencari harta pusaka rahasia itu. Dan marilah kita menengok keadaan
Gwat Kong, Kang-lam Ciu-hiap, yang sedang menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu
tongkat Sin-hong Tung-hoat dari Bok Kwi Sianjin di tepi sungai Huang-ho.
Gwat Kong memang memiliki bakat yang baik sekali dan otak cerdas. Setelah belajar selama
seratus hari di gua pertapaan Bok Kwi Sianjin itu, ia telah dapat mempelajari Sin-hong Tunghoat
dan Sin-hong Kun-hoat dengan baik. Ia telah dapat menghafal semua kouw-koat (teori
persilatan) ilmu silat itu di luar kepala. Sedangkan dalam prateknya iapun telah menguasai
dasar-dasar yang penting sehingga tinggal melatih dan mematangkannya.
Bok Kwi Sianjin merasa girang sekali dan amat puas melihat kemajuan muridnya ini. Maka
ketika Gwat Kong menyatakan hendak melanjutkan perjalanannya ia tidak keberatan.
“Maksudmu hendak berusaha mendamaikan permusuhan yang ada antara Hoa-san-pai dan
Go-bi-pai memang baik,” kata Bok Kwi Sianjin dalam pesannya ketika ia mendengarkan
muridnya menyatakan pendapatnya. “Akan tetapi kukira hal itu takkan mudah kau lakukan
dengan berhasil. Memang di dunia ini segala hal mempunyai dua muka, terutama sekali bagi
manusia yang belum sadar akan rahasia Im-yang (positif dan negatif). Segala sesuatu yang
dianggap mendatangkan kebaikan bagi manusia selalu mempunyai bagian yang sebaliknya,
yakni keburukan. Ilmu kepandaian silat memang baik sekali dimiliki oleh setiap orang, demi
untuk alat penjaga diri dan kesehatan. Akan tetapi tetap saja ada pengaruhnya yang tidak baik
dan merugikan orang itu, yakni bagi orang yang lemah iman, kepandaian ini mendatangkan
watak sombong dan suka berkelahi ilmu kepandaian silat mendatangkan sifat pemberani dan
tabah. Karena orang yang memiliki kepandaian ini merasa dirinya terlindung oleh
kepandaiannya dan tidak menakuti apapun juga. Akan tetapi sifat tabah dan berani yang
berlebih-lebihan, membuat ia makin gelap dan hanya mengandalkan keberaniannya, siap
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 171
sedia setiap saat untuk bertempur melawan siapapun juga, membangkitkan nafsu ingin
memperlihatkan kegagahan sendiri tanpa mau mengalah sedikit juga terhadap orang lain
karena takut kalau-kalau disangka jerih dan takut kalah. Karena sifat-sifat inilah maka terbit
permusuhan di antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai.”
“Akan tetapi suhu, menurut penuturan dua orang anak murid Hoa-san-pai, yakni kakak
beradik she Pui, banyak murid-murid Go-bi-pai yang jahat dan melanggar pantanganpantangan
orang gagah, melakukan perbuatan sewenang-wenang dan jahat sehingga golongan
Hoa-san-pai turun tangan memberi hajaran. Dan inilah yang menimbulkan perselisihan,” kata
Gwat Kong.
Suhunya tersenyum. “Mungkin benar juga kata kedua orang itu, akan tetapi muridku,
penuturan itu tak boleh kau jadikan dasar untuk memandang buruk kepada Go-bi-pai dan
membenarkan Hoa-san-pai. Kalau pandanganmu dipengaruhi oleh penuturan-penuturan kedua
belah pihak, kau lebih-lebih takkan berhasil menjadi pendamai di antara mereka. Seorang
pendamai tak boleh berpikir berat sebelah. Kalau hatinya dikotori oleh sifat memihak, lebih
baik jangan jadi pendamai karena hal itu berarti bahwa kau menaruh dirimu dalam kedudukan
yang amat berbahaya, yakni jangan-jangan kau akan dimusuhi oleh kedua belah pihak!
Orang-orang yang sedang bermusuhan dan marah memiliki perasaan curiga yang amat besar,
maka kau harus berhati-hati.”
Gwat Kong terpaksa membenarkan pernyataan suhunya itu dan menundukkan mukanya.
“Muridku, di antara dua orang atau dua pihak yang bermusuhan, mereka itu masing-masing
tentu membesar-besarkan kesalahan pihak musuh dan mencoba seberapa bisa untuk
menghapus dan menyembunyikan kesalahan sendiri. Kalau kau bertanya kepadaku, siapakah
yang bersalah di antara dua orang yang bermusuhan? Maka jawabku tentu bahwa dua orang
itu kedua-duanya bersalah! Karena orang yang sudah menjadikan orang lain sebagai
musuhnya, atau yang dijadikan musuh oleh orang lain, pokoknya dipengaruhi rasa benci
kepada orang lain atau menimbulkan benci, ia itu sudah bersalah!”.
Kakek ini tertawa geli ketika melihat bahwa muridnya nampak bingung mendengar jawaban
yang sulit dimengerti ini. Maka lalu ia berkata pula,
“Gwat Kong, tak perlu kau memusingkan hal ini. Kau masih terlalu muda untuk dapat
mengerti. Untuk mengetahui hal ini, orang harus berdiri di luar perputaran arus kehidupan,
sedangkan kau berada di dalamnya dan ikut terputar! Hal yang baik bagimu ialah harus dapat
menyesuaikan dirimu dengan keadaan di sekelilingmu, dan semua perbuatanmu harus
berdasarkan keadilan dan kebajikkan. Lenyapkanlah pandanganmu yang berat sebelah
terhadap permusuhan yang timbul di antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai dan aku tahu betul
bahwa baik di pihak Go-bi maupun pihak Hoa-san, para ketua dan tokohnya yang tertinggi
sama sekali tidak mempunyai permusuhan, dan semua itu hanyalah akibat sikap ‘keras
kepala’ dn ‘tak mau kalah’ dari tokoh-tokoh kecil kedua pihak seperti Seng Le Hosiang dan
Sin Seng Cu. Jangan sampai kau ikut menanam bibit permusuhan muridku, dan ingatlah akan
ucapan para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa seribu orang kawan masih terlampau
sedikit, akan tetapi seorang musuh sudah terlalu banyak bagi seorang budiman.”
Setelah menghaturkan terima kasih kepada suhunya dan berjanji akan mengingat segala
nasehat dari kakek ini, Gwat Kong lalu keluar dari hutan liar itu. Pemuda yang keluar dari
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 172
hutan itu jauh bedanya dengan Gwat Kong yang dulu memasuki hutan untuk mengikuti
suhunya belajar silat.
Dia telah mendapat kemajuan yang luar biasa sekali dalam waktu tiga bulan lebih itu. Tidak
saja tenaga lweekangnya telah meningkat karena petunjuk-petunjuk yang tepat dan cara
berlatih yang penuh rahasia, dan ginkangnya juga maju pesat berkat latihan-latihan
pernapasan dan bersamadhi, dalam hal ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat sungguhpun Bok Kwi
Sianjin tidak pernah mempelajarinya akan tetapi kakek ini telah memberi nasehat-nasehat dan
petunjuk-petunjuk yang penting untuk menyempurnakan permainan pedang pemuda itu.
Yang lebih hebat lagi, kini Gwat Kong dapat mengkombinasikan ilmu pedangnya dengan
ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat. Apabila ia mainkan pedangnya, ia dapat memasukkan
gerakan Sin-hong Tung-hoat di dalam pedang dan apabila memegang sebatang tongkat, ia
dapat memasukkan pula ilmu pedangnya, sehingga di dalam gerakannya telah dapat ia
mengawinkan dua macam ilmu silat yang lihai itu.
Dan selama seratus hari di dalam hutan itu bersama suhunya, terpaksa Gwat Kong menekan
kesukaannya akan arak, karena suhunya pernah berkata bahwa biarpun arak merupakan
minuman yang baik dan sehat, akan tetapi apabila dilakukan dengan berlebih-lebihan tak
kenal batas, sebagaimana hal lain di dunia ini, maka akan mendatangkan pengaruh buruk bagi
kesehatannya.
Sebagai gantinya, Bok Kwi Sianjin menganjurkannya untuk minum arak ringan yang terbuat
dari pada buah yang mengandung khasiat menyehatkan dan membersihkan darah. Kini guci
arak dari perak yang tergantung di pinggang Gwat Kong terisi oleh minuman ini.
Gwat Kong merasa rindu sekali kepada Tin Eng. Selama ini, ia makin merasa betapa
sesungguhnya ia amat mencintai gadis itu, dan berkali-kali usahanya untuk mengusir
bayangan gadis itu dari pikirannya, ternyata gagal. Tanpa disadarinya, kini kedua kakinya
membawa ia menuju ke Hun-lam. Ia telah lupa ke mana arah jalan yang menuju ke kota itu.
Akan tetapi berlawanan dengan maksud hatinya untuk berdaya melupakan Tin Eng, tiap kali
bertemu dengan orang dan bertanyakan jalan, ia selalu bertanya arah jalan ke Hun-lam.
Pada suatu hari, ia tiba di dusun Ngo-bun-chung di kaki bukit Siang-san. Dusun ini cukup
besar dan padat penduduk yang hidup sebagai petani. Biasanya dusun ini terkenal makmur
karena memang tergolong tanah subur. Akan tetapi pada waktu itu di Tiongkok banyak
daerah yang menderita karena musim kering yang luar biasa sekali.
Sudah lima bulan daerah yang menderita itu kehabisan air sehingga akibatnya, tanamantanaman
di sawah menjadi kering. Rakyat di daerah itu tidak saja menderita kekurangan
makan, akan tetapi juga kekurangan air sehingga harga air menjadi semahal harga emas.
Dusun Ngo-bun-chung termasuk daerah yang sedang kekurangan air dan rakyat di situpun
amat menderita. Pemandangan yang amat menyedihkan dari rakyat jelata yang menderita
kelaparan dan kehausan ini telah dilihat oleh Gwat Kong semenjak ia meninggalkan hutan di
mana ia belajar ilmu silat.
Daerah di dekat Sungai Kuning itu masih nampak subur dan tidak sangat menderita karena
musim kering. Akan tetapi makin jauh ia menuju ke selatan, makin menyedihkan keadaan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 173
daerah-daerah yang kering itu. Akan tetapi, belum pernah Gwat Kong melihat dusun yang
menderita gangguan alam itu sehebat dusun Ngo-bun-chung.
Baru masuk saja ia melihat keadaan yang amat menyedihkan dan mendengar suara tangis
memilukan dari beberapa rumah, tanda bahwa terdapat pula orang-orang yang mati kelaparan.
Di dusun-dusun lain yang ia lewati, keadaan belum demikian hebat karena penduduk dusun
dengan secara gotong rotong saling membantu dan membagi persediaan ransum sehingga
jumlah kematian karena kelaparan sangat sedikit.
Tiba-tiba Gwat Kong melihat serombongan petani berjalan menuju ke barat. Mereka itu
nampak pucat-pucat dan bersungguh-sungguh dengan tangan memegang senjata tajam seperti
cangkul, kampak, golok, dan lain-lain. Sikap mereka jelas menyatakan bahwa mereka itu
tengah menghadapi perkelahian.
Gwat Kong menjadi tertarik hatinya dan diam-diam ia mengikuti rombongan petani yang
terdiri tidak kurang dari dua puluh lima orang itu. Setelah rombongan itu tiba di ujung dusun
sebelah barat, mereka berhenti di depan pintu pekarangan sebuah rumah yang membuat Gwat
Kong merasa heran sekali. Rumah itu tak pantas berada di tempat semelarat ini. Sebuah
rumah kuno yang amat besar dan megah dengan pekarangan yang amat luas mengelilingi
bangunan itu. Pantasnya gedung ini menjadi tempat peristirahatan kaisar atau orang-orang
besar dari kota raja.
Para petani ini agaknya nampak ragu-ragu setelah tiba di tempat tujuan, dan untuk beberapa
lama berdiri di luar pintu pekarangan yang besar terbuat dari kayu tebal itu. Akan tetapi
seorang di antara mereka mempelopori kawan-kawannya sambil berseru keras, “Serbu!”
Ia membuka pintu itu yang ternyata diikat dengan rantai besi. Tentu saja ia tidak kuat
membukanya, akan tetapi kini kawan-kawannya telah dibangunkan semangat mereka oleh
contoh ini dan dua puluh orang itu lalu merenggut dan menarik pintu pekarangan itu sehingga
dengan mengeluarkan suara keras pintu itu roboh.
Suara roboh pintu yang gaduh ini seakan-akan menambah semangat kepada para petani itu
karena mereka serentak menyerbu ke pekarangan gedung itu sambil mengangkat senjatasenjata
mereka di atas kepala. Gwat Kong tidak ikut masuk hanya memandang dari luar pagar
dengan heran dan penuh perhatian, ingin melihat apakah yang akan terjadi selanjutnya.
Tiba-tiba daun pintu yang lebar dari gedung besar itu terbuka dari dalam, dan semua petani
yang memberontak itu memandang dengan mata terbelalak, seakan-akan tiba-tiba mereka
merasa takut sekali. Akan tetapi sungguh aneh, ketika daun pintu itu terbuka, di dalamnya
kosong tidak nampak sesuatu.
Gwat Kong merasa heran sekali dan sebelum ia dapat menduga, tiba-tiba dari dalam pintu
yang kosong itu berkelebat bayangan orang yang bertubuh tinggi besar dan memegang toya
kuningan. Tanpa banyak cakap bayangan itu menyambar dan tiga orang petani yang berada di
depan sekali berteriak ngeri dan roboh pingsan!
Ributlah para petani melihat hal ini dan beberapa orang dengan marahnya mengangkat senjata
untuk mengeroyok laki-laki tinggi besar itu. Akan tetapi, kembali toya kuningan itu bergerak
dan empat orang petani roboh lagi sambil mengeluarkan teriakan keras!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 174
Melihat ini, lenyaplah nyali besar orang-orang itu karena kini orang-orang yang terberani di
antara mereka dan yang dianggap menjadi pemimpin-pemimpin telah disapu roboh oleh toya
kuningan yang lihai itu. Mereka lalu melemparkan senjata masing-masing dan menjatuhkan
diri berlutut. Seorang di antara mereka yang paling tua berkata,
“Ji-cukong-ya .... (majikan kedua) harap suka memberi ampun kepada kami .... sesungguhnya
keluarga kami amat menderita dan dalam keadaan kelaparan, tolonglah kami.”
Orang tinggi besar itu berdiri dengan toya di tangan. Ia memandang dengan marah dan
bibirnya yang tebal itu menggulung ke atas. Ia membanting-banting kakinya dan memaki
marah.
“Anjing-anjing rendah tak tahu diri! Kalian ini orang-orang malas yang maunya hanya makan
milik lain orang! Kalian ini benar-benar anjing-anjing yang bong-im-pwe-gi (manusia tak
mengenal budi)! Kurang baik bagaimanakah keluarga Lai? Telah tiga bulan ini kami sengaja
tidak memungut uang pajak tanah dan memberikan tanah kami dengan cuma-cuma kepada
kalian untuk dikerjakan dan dimakan hasilnya. Sekarang kalian berani sekali datang seperti
perampok? Sungguh harus dipukul mampus!” Sambil berkata demikian, dua kali ia
menggerakkan kakinya dan tubuh dua orang, termasuk orang tua yang tadi mewakili kawankawannya
bicara, terlempar sampai terguling-guling dua tombak lebih!
Petani-petani lain berlutut dengan tubuh menggigil dan memandang dengan wajah cemas.
Mereka lebih menakuti penolakan pertolongan dari hartawan ini dari pada pukulan-pukulan
yang mungkin dijatuhkan kepada mereka, maka seorang berkata,
“Ji-cukong, biarlah kami dipukul, dimaki, bahkan boleh dibunuh sekalian asal saja cukong
sudi mengeluarkan sedikit gandum dan membiarkan anak-bini kita mengambil air dari sumber
air hijau itu!”
“Bangsat benar, apakah benar-benar kalian ingin mampus? Hayo pergi, .. pergi! Dan jangan
lupa untuk memperbaiki pintu pekarangan kami!” Ia mengancam lagi, dengan toyanya dan
mengusir mereka. Akan tetapi, tak seorangpun di antara mereka mau bergerak.
“Pergi, kataku!” teriak pula laki-laki tinggi besar itu dengan marah.
“Ji-cukong, kami telah berjanji takkan mau pergi sebelum mendapat pertolongan itu, karena
kalau kami pulang tanpa membawa gandum dan air, kami hanya akan melihat anak-bini kami
mati kelaparan!”
“Anjing rendah, kalau begitu biarlah kalian kubikin mampus dulu!” Orang tinggi besar itu
memaki kalang kabut dan ia nampak marah sekali. Agaknya ia benar-benar hendak
menggunakan toyanya yang hebat itu untuk membunuh belasan orang tani yang berlutut di
depannya itu.
Gwat Kong merasa marah sekali, dan sungguhpun ia belum tahu dengan jelas siapakah
gerangan orang tinggi besar itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang itu tentulah
seorang tuan tanah yang kaya raya dan kikir, yang menyimpan banyak gandum akan tetapi
tidak mau menolong petani-petani miskin yang menderita kelaparan. Ia benci sekali melihat
kekejaman orang itu dan selagi ia hendak bergerak untuk menolong para petani itu yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 175
agaknya hendak dihajar, tiba-tiba dari atas genteng gedung besar itu menyambar turun
bayangan orang berpakaian serba kuning.
Gerakan orang ini amat cepatnya dan Gwat Kong menahan gerakan kakinya yang tadi sudah
akan melompat ke dalam pekarangan. Ia merasa heran dan kagum melihat bayangan itu
ternyata adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali. Gadis itu memakai pakaian
kuning gading dengan ikat pinggang dan ikat rambut warna merah dan di kedua tangannya
memegang sepasang pedang yang bercahaya saking tajamnya.
Pada saat itu, si tinggi besar itu telah menggerakkan toyanya dan hendak memukul seorang
petani yang terdekat, akan tetapi tiba-tiba ia merasa ada sambaran angin dari atas dibarengi
bentakan nyaring, “Orang she Cong yang kejam! Jangan berlaku sewenang-wenang!”
Orang tinggi besar itu adalah Cong Si Kwi dan terkenal dengan sebutan Ji-sai-cu (Singa
Kedua), seorang yang amat terkenal di daerah itu yakni di sekeliling bukit Siang-san. Cong Si
Kwi dan kakaknya, yang bernama Cong Si Ban berjuluk Tai-sai-cu (Singa Tertua) adalah dua
kakak beradik yang kaya raya di daerah itu dan tiga perempat bagian tanah di sekitar bukit
Siang-san adalah milik mereka. Oleh karena ini, maka penghidupan sebagian besar rakyat
petani di sekitar daerah itu, boleh dibilang bersandar kepada kedua saudara Cong ini dan
tidaklah berlebihan kalau ada orang di dusun itu berkata bahwa nyawa mereka berada dalam
telapak tangan kedua singa itu.
Semua kepala dusun di seluruh daerah adalah pembantu atau kaki tangan kedua saudara
Cong, dan tak seorangpun yang berani menentang mereka karena selain mereka amat kaya
raya dan menjadi pemilik tanah yang dijadikan sumber nafkah para petani, juga kedua orang
itu memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi dan dahsyat. Kedua kakak beradik she
Cong ini memiliki ilmu silat keturunan yang disebut Sai-cu-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Singa)
dan keduanya memiliki ilmu toya yang tinggi juga.
Sebetulnya kedua saudara Cong ini tidak biasa memeras rakyat. Mereka mengadakan pajak
tanah yang cukup pantas dan ketika musim kering mengganggu, mereka bahkan
membebaskan para petani dari pajak. Akan tetapi mereka ini terkenal berhati keras dan kejam
tidak mengenal kasihan, lagi pula amat kikir. Melihat keadaan rakyat di sekitar mereka yang
amat menderita dan kelaparan, mereka sama sekali tidak mengambil perhatian dan tumpukan
gandum dan padi di gudang mereka tetap bertumpuk.
Berkali-kali rakyat datang mohon pertolongan mereka, untuk meminjam gandum dengan
perjanjian pembayaran berlipat ganda. Akan tetapi semua permohonan tidak dihiraukan oleh
kedua saudara Cong itu. Yang lebih hebat lagi ialah ketika semua sumur dan anak sungai
kering, ternyata yang masih mengeluarkan air hanya sebuah sumber air yang disebut sumber
air hijau dan yang ada di sawah milik kedua saudara yang kaya itu. Karena tanah sawah
itupun disewakan pada petani, maka selama musim kering tiba, sumber air hijau itulah yang
menjadi penolong para petani karena mereka semua mendapat air minum dari sumber ini.
Akan tetapi, tiba-tiba kedua saudara Cong yang juga kehabisan air, lalu memblokir sumber ini
dan mengurungnya dengan pagar serta dijaga kuat oleh penjaga-penjaga bersenjata tombak.
Tak seorangpun boleh mengambil air dari sumber itu, kecuali pelayan keluarga Cong.
Cong Si Ban melakukan hal ini bukan karena ia berhati dengki, akan tetapi oleh karena ia
berkhawatir kalau-kalau sumber air itu akan menjadi kering jika diambil airnya oleh sekian
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 176
banyak orang dan ia mengkhawatirkan keadaan keluarganya sendiri. Demi keselamatan
keluarga sendiri, ia tidak perduli apakah orang-orang di luar gedungnya akan mati kehausan
atau tidak.
Hal ini membuat para petani merasa bingung dan keadaan mereka makin menderita. Akhirnya
mereka tidak dapat menahan lagi dan demikianlah, maka dua puluh lima orang petani itu
memberanikan diri menyerbu ke gedung keluarga Cong untuk minta gandum dan air. Dan
yang keluar menyambut mereka adalah Cong Si Kwi, senga kedua yang lebih kejam dari pada
kakaknya.
Ketika Cong Si Kwi mendengar bentakan dari atas dan merasa ada angin senjata menyambar,
ia cepat melompat ke kiri dan menggerakkan toyanya ke atas untuk memukul orang yang
menyambar dari atas ini. “Traaangg!” terdengar suara keras sekali ketika toyanya kena bentur
sebatang pedang yang menyambar dari atas. Bunga api memancar keluar dan alangkah
kagetnya hati Cong Si Kwi ketika melihat betapa ujung toyanya telah somplak!
Bab 20 …
IA memandang orang yang kini telah berdiri di depannya itu dan merasa heran sekali. Orang
yang berdiri di depannya adalah seorang gadis muda yang usianya paling banyak delapan
belas tahun, berwajah cantik manis dengan sepasang mata tajam dan mulut kecil
membayangkan kekerasan hati dan keberanian besar. Pakaiannya kuning dengan ikat
pinggang dan ikat rambut sutera merah.
“Siapakah kau yang berani mencampuri urusan orang lain?” Cong Si Kwi membentak dengan
marah, akan tetapi matanya menatap dengan kagum kepada gadis itu.
“Orang she Cong,” kata lagi gadis itu yang ternyata memiliki suara nyaring. “Aku pernah
mendengar orang berkata bahwa kakak beradik she Cong adalah orang-orang berhati kejam
melebihi singa yang liar. Ternyata sekarang bahwa ucapan-ucapan itu kurang tepat.
Seharusnya orang macam kau ini dipersamakan dengan serigala, anjing yang serendahrendahnya
dan sekejam-kejamnya.”
Bukan main marahnya Cong Si Kwi mendengar ini karena ia telah dimaki di depan para
petani yang kini pada berdiri dan berkumpul di dekat pintu pekarangan sambil menolong
kawan-kawan mereka yang tadi terpukul. Para petani itu memandang ke arah gadis itu dengan
girang dan kagum, penuh harap-harap cemas karena masih ragu-ragu apakah si gadis itu akan
sanggup melawan Cong Si Kwi yang terkenal kejam dan lihai.
“Perempuan lancang!” bentaknya. “Kau agaknya seorang yang memiliki kepandaian, akan
tetapi kau tidak mengindahkan sopan santun di antara orang-orang kang-ouw! Siapakah kau
yang datang-datang memaki orang?”
Dengan suara tenang gadis muda berpakaian kuning itu menjawab. “Biarpun kau mengaku
orang dari kang-ouw, akan tetapi kau adalah termasuk golongan hek-to (jalan hitam, yakni
golongan para penjahat). Terhadap orang macam kau, mengapa aku harus memakai banyak
aturan? Kau ingin tahu namaku? Dengarlah, nonamu Sie Cui Giok tak perlu menyembunyikan
nama. Dan kalau kau belum pernah mendengar namaku, mungkin kau telah kenal kakekku
yang bernama Sie Cui Lui dari selatan.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 177
Bagi Gwat Kong dan lain-lain orang yang mendengar, nama itu tidak mempunyai arti sesuatu.
Akan tetapi heran sekali karena Cong Si Kwi menjadi pucat ketika mendengar nama ini.
“Kami selamanya belum pernah mengganggu Sie-locianpwe dan selalu memandangnya
sebagai seorang tokoh besar yang patut kami hormati. Sekarang kau datang mengunjungi
kami mempunyai maksud apakah? Kalau memang nona ada keperluan, kupersilahkan masuk
ke dalam untuk bercakap-cakap dengan aku dan saudaraku. Dan kebetulan sekali sekarang
kami sedang mempunyai seorang tamu yang mungkin tidak asing bagimu, yakni Sin Seng Cu
thaisu, tokoh dari Hoa-san-pai.”
Kini Gwat Kong yang merasa terkejut mendengar nama ini, akan tetapi sebaliknya nona itu
agaknya tidak perduli sama sekali.
“Aku tidak sudi untuk masuk ke dalam rumahmu dan bertemu dengan segala macam tosu.
Kedatanganku ini tak lain karena melihat kekejamanmu kepada para petani itu. Dan sekarang
aku mewakili mereka untuk minta kau suka segera mengeluarkan gandum dan padi yang
mereka butuhkan dan sumber air itu harus kau buka untuk keperluan umum.”
Biarpun Cong Si Kwi maklum bahwa cucu dari Sie Cui Lui ini tentu memiliki kepandaian
tinggi. Akan tetapi ia tidak merasa takut, apalagi karena nona itu demikian muda. Kini
mendengar tuntutan nona itu yang dianggapnya mencampuri urusannya dan sama sekali tidak
memandang sebelah mata kepadanya, ia menjadi marah sekali,
“Kau terlalu sekali! Agaknya kau sengaja hendak mencari perkara!”
“Jangan banyak cakap dan lekas kau penuhi kebutuhan mereka. Kau harus ingat bahwa kalau
tidak ada para petani ini, apakah kau kira perutmu setiap hari akan dapat diisi? Sanggupkah
kau mengerjakan tanahmu sendiri dan menanam gandum dan padi itu?”
Diam-diam Gwat Kong merasa kagum sekali melihat keberanian dan sepak terjang nona itu,
maka tak terasa lagi ia melangkah memasuki pekarangan dan berdiri di dekat para petani
sambil memandang dengan penuh perhatian. Ia bersiap sedia membantu nona itu apabila nona
itu sampai kalah dalam pertempuran yang terjadi.
“Kalau aku menolak, bagaimana?” Cong Si Kwi berkata sambil pegang toyanya erat-erat.
“Kalau kau menolak, terpaksa aku minta sebelah daun telingamu!” kata gadis itu dengan
pedangnya di tangan kiri berkelebat cepat sekali ke arah telinga Cong Si Kwi. Akan tetapi
orang she Cong ini cukup pandai, maka tentu saja tidak mudah untuk mengambil telinganya.
Ia berseru keras dan menggerakkan toyanya menangkis lalu membalas dengan serangannya
yang keras dan hebat.
Sie Cui Giok, gadis muda berpakaian kuning itu, cepat mengelak dan kembali pedangnya
meluncur dengan gerakan indah menyerang ke arah telinga Cong Si Kwi. Gwat Kong yang
memperhatikan gerakan pedang gadis itu, menjadi kagum sekali karena kedua pedang di
tangan gadis itu seakan-akan digerakkan oleh dua orang dengan ilmu silat berlainan!
Demikian jauh bedanya gerakan pedang di tangan kanan dan kiri. Bahkan seakan-akan
berlawanan! Pedang di tangan kiri gerakannya lambat dan halus akan tetapi setiap kali toya
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 178
Cong Si Kwi menangkis pedang ini, nampak betapa toyanya terpental keras seakan-akan
membentur batu karang yang besar dan keras.
Adapun pedang di tangan kanan gadis itu gerakannya luar biasa gesitnya, menyambarnyambar
bagaikan seekor naga. Dan tiap kali toya Si Kwi menangkis pedang ini, selalu
terdengar suara keras dan bunga api berterbangan. Inilah tandanya keras lawan keras, dan dari
keadaan kedua batang pedang dan pergerakannya ini, tahulah Gwat Kong bahwa dua lengan
tangan yang memegang pedang itu benar-benar melakukan gerakan-gerakan yang
berlawanan.
Kalau tangan kiri mainkan pedang dengan tenaga lweekang (tenaga dalam) adalah pedang di
tangan kanan digerakkan dengan tenaga gwakang (tenaga kasar). Ini adalah sifat-sifat yang
bertentangan dari Im dan Yang (Negatif dan Positif) dan tiba-tiba Gwat Kong memandang
dengan mata terbelalak.
Ia teringat akan penuturan suhunya tentang ilmu-ilmu silat dari empat penjuru yang disebut
empat besar, yakni Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hong Tung-hoat dari timur, Pat-kwa Tohoat
dari utara, dan Im-yang Siang-kiam dari selatan. Ilmu pedang gadis ini berdasarkan Im
dan Yang. Apakah gadis ini bukan seorang ahli ilmu pedang Im-yang Siang-kiam?
Ia memandang dengan penuh perhatian makin penuh dan dengan kagum ia mendapat
kenyataan bahwa ilmu kepandaian gadis itu jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Cong Si
Kwi. Kalau gadis itu menghendaki, agaknya dalam sepuluh jurus saja Si Kwi pasti akan dapat
dirobohkan. Akan tetapi, dengan hati geli Gwat Kong mendapatkan kenyataan bahwa
sepasang pedang di tangan nona itu selalu mengarah dan mengancam daun telinga Si Kwi dan
agaknya gadis itu benar-benar hendak membuktikan ancaman tadi, yakni hendak mengambil
sehelai daun telinga Cong Si Kwi.
Orang tinggi besar itu merasa betapa kedua pedang lawannya menyambar dan mengeluarkan
bunyi yang mengerikan di sekitar daun telinganya, maka dengan gugup dan ketakutan ia
memutar-mutar toyanya untuk menangkis dan melindungi daun telinganya. Akan tetapi kedua
ujung pedang itu terus mengejar daun telinganya, mengiang-ngiang seperti bunyi nyamuknyamuk
yang tidak mau meninggalkan telinganya.
Cong Si Kwi menjadi takut dan gelisah sekali sampai keringatnya keluar membasahi jidatnya.
Ia putar-putar toyanya dan sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Akan tetapi akhirnya ia harus mengakui keunggulan gadis itu dan ia mengeluarkan seruan
ngeri ketika pedang di tangan kanan nona itu menyambar cepat dan anginnya telah terasa
perih menyambar telinganya.
“Cukup ... nona ...! Baiklah, kukeluarkan gandum itu ...!”
Sie Cui Giok menahan pedangnya dan tersenyum mengejek. “Agaknya kau lebih menyayangi
daun telingamu yang kotor dari pada tumpukan gandummu.”
Tak terasa pula Cong Si Kwi menggunakan tangan meraba telinga kirinya dan hatinya merasa
lega ketika merasa betapa telinganya masih utuh. Hanya ketika ia menurunkan tangannya
ternyata tangan itu penuh dengan darah. Sungguhpun daun telinganya belum putus, akan
tetapi kulit daun telinga itu telah terluka oleh angin pedang dan mengeluarkan banyak darah.
Ia bergidik mengingat akan kelihaian ilmu pedang nona itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 179
Pada saat itu, dari pintu depan itu keluarlah dua orang dengan langkah lebar. Yang seorang
adalah seorang tinggi besar, bercambang bauk dan mukanya hampir serupa dengan Cong Si
Kwi hanya tubuhnya lebih pendek sedikit. Inilah Tai-sai-cu Cong Si Ban, kakak dari Cong Si
Kwi yang telah diberitahu oleh seorang pelayan bahwa adiknya sedang bertempur dengan
seorang gadis lihai di luar gedung.
Orang kedua yang ikut keluar adalah seorang tosu yang tinggi kurus dengan rambut dan
kumis jenggot hitam serta muka berkulit kemerah-merahan. Gwat Kong segera kenali tosu ini
yang bukan lain adalah Sin Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang dulu pernah bertempur
melawan dia sebelum dia diberi palajaran silat oleh Bok Kwi Sianjin!
Melihat tosu yang pernah mengalahkannya dengan mudah itu, diam-diam Gwat Kong merasa
berdebar jantungnya. Bukan karena takut, akan tetapi karena ingin sekali ia bertempur lagi
melawan tosu itu dan berusaha menebus kekalahannya dulu. Karena Gwat Kong berdiri di
antara para petani yang banyak jumlahnya itu, maka Sin Seng Cu tidak melihatnya dan hanya
memandang kepada Sie Cui Giok dengan tajam.
“Eh eh, apakah yang telah terjadi di sini?” tanya Cong Si Ban kepada adiknya, akan tetapi
sebelum Cong Si Kwi menjawab, Cui Giok tanpa memperdulikan munculnya Si Ban dan tosu
itu, mendesak kepada Si Kwi.
“Hayo, kau lekas keluarkan gandum dan padi itu. Perut para petani dan keluarga mereka
sudah terlalu lapar untuk menanti lebih lama lagi!”
Cong Si Ban yang melihat sikap gadis itu dan melihat adiknya yang berwajah pucat, maklum
bahwa adiknya tentu telah dikalahkan oleh gadis ini, maka ia lalu menjura kepada gadis itu. Ia
mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan gerakan cepat. Dan Gwat Kong terkejut
sekali karena ia maklum bahwa tentulah gerakan itulah gerakan serangan gelap dengan tenaga
khikang yang disebut gerak tipu Dewi Sakti Mempersembahkan Buah.
Biarpun nampaknya seperti orang memberi hormat akan tetapi dari sepasang kepalan tangan
yang dirangkapkan itu menyambar angin pukulan khikang yang cukup kuat untuk
merobohkan lawan. Akan tetapi kekagetan hati Gwat Kong terganti oleh kekaguman ketika ia
melihat betapa dengan gerakan tenang dan indah, Cui Giok sambil tersenyum
membongkokkan tubuhnya pula dan mengangkat kedua tangan ke dada dengan telapak tangan
terbuka. Inilah gerakan Dewi Kwan Im Memberi Berkah dan diam-diam ia mengerahkan
tenaga untuk menerima serangan gelap itu.
Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang dan melihat betapa kedua orang yang diamdiam
mengadu tenaga itu melangkah mundur setindak, yang membuktikan bahwa tenaga
khikang mereka seimbang. Hampir saja Gwat Kong mengeluarkan seruan kagum terhadap
dara baju kuning itu.
Sementara itu Sin Seng Cu yang melihat pula adu tenaga ini agaknya tidak menyetujui sikap
Cong Si Ban, karena sambil menggerak-gerakan ujung lengan bajunya yang panjang, ia
berkata, “Apakah artinya semua pertunjukan ini? Kalau ada urusan, lebih baik diselesaikan
dengan baik-baik. Nona muda yang gagah, siapakah kau dan mengapa agaknya kau membuat
kegaduhan di pekarangan orang lain?” Ucapan ini menunjukkan betapa tosu itu mempunyai
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 180
watak yang tinggi dan memandang rendah orang lain, terutama terhadap gadis muda ini, ia
menganggapnya sebagai seorang ahli silat tingkat rendah.
“Siapa yang membuat gaduh? Orang she Cong ini telah berjanji kepadaku untuk membagibagikan
gandum dan padi kepada para petani itu dan akan membuka sumber air untuk umum
dan kupercaya ia cukup laki-laki untuk memegang janjinya.”
Cong Si Ban memandang adiknya. “Si Kwi, apakah yang telah terjadi?”
“Petani-petani itu hendak merampok dan ketika aku berusaha menghalau mereka, nona ini
datang mencampuri urusan ini dan .... aku telah kalah olehnya. Terpaksa aku berjanji hendak
memberikan yang diminta oleh para perampok itu, twako!” Si Kwi mengadu.
“Bagus-bagus!” nona itu tersenyum sindir. “Kau sendiri yang telah merampok dan memeras
rakyat petani dan menumpuk hasil sawahnya di dalam gudangmu. Sekarang karena berada
dalam keadaan kelaparan para petani minta pertolonganmu. Bukan kau tolong bahkan kau
pukul mereka. Siapakah sebenarnya yang patut disebut perampok? Benar-benar orang busuk!”
Cong Si Ban maklum bahwa adiknya tentu telah berlaku kasar sehingga membuat gadis gagah
ini menjadi marah, maka oleh karena ia tahu sedang berhadapan dengan seorang yang pandai,
ia lalu tersenyum dan berkata, memperlihatkan sikap baik.
“Lihiap harap jangan marah dan maafkan adikku yang kasar. Tentang gandum dan air, tentu
saja akan kubagikan karena sebelum kau datang, akupun sedang memikirkan untuk menolong
mereka itu. Marilah duduk dan bercakap-cakap di dalam rumah.”
“Hmm, jadi kaukah kakak orang ini? Tentu kau yang disebut Cong Si Ban, yang menjadi raja
kecil di daerah ini. Aku tidak menghendaki jamuanmu, hanya satu yang kukehendaki, yaitu
sekarang juga harap kau keluarkan gandum dan padi secukupnya agar dapat dibawa oleh para
petani.”
“Kau betul-betul bersikap kurang ajar!” bentak Sin Seng Cu dengan marah. “Tuan rumah
berlaku mengalah dan peramah, akan tetapi kau memperlihatkan sikap seakan-akan menjadi
kepala! Eh, anak kecil, kau mengandalkan apakah maka begini sombong?”
Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu tosu yang berdarah panas ini sudah hendak melangkah
maju. Akan tetapi Cong Si Ban yang amat cerdik dan hendak menggaruk keuntungan nama
dalam keadaan yang buruk ini, segera mencegah dan berkata, “Baik .. baik! Si Kwi, kau
keluarkan gandum dan bagi-bagikan seorang sekantong kepada para petani itu, dan mereka
boleh mengambil air seorang sepikul!”
Cong Si Kwi tak dapat membantah, maka ia lalu mengepalai sejumlah pelayan, mengeluarkan
bahan makanan mutlak itu, yang diterima oleh para petani dengan wajah girang dan air mata
mengalir saking terharu dan gembiranya. Mereka memandang ke arah gadis itu dengan sinar
mata penuh terima kasih. Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau kedua saudara Cong itu
berobah pikiran, mereka segera membawa pergi gandum itu dan pulang ke rumah masingmasing.
Cong Si Ban kembali menjura kepada nona baju kuning itu,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 181
“Nona, sekarang keadaan telah beres dan kami telah menuruti kehendakmu. Maka kuharapkan
kau tidak menolak sedikit permintaanku.”
“Apakah itu?” tanya Cui Giok sambil memandang tajam.
“Karena kau telah mengalahkan adikku, maka aku merasa kagum sekali dan ingin melihat
kelihaianmu. Sukakah kau memberi sedikit pelajaran padaku?”
Sie Cui Giok tersenyum menghina. “Sudah kuduga!” katanya. “Orang seperti kau dan adikmu
mana dapat memberikan gandum itu dengan cuma-cuma? Kau tersenyum di mulut akan tetapi
mengutuk di hati. Kau hendak menguji aku? Baik, keluarkan senjatamu!” Sambil berkata
demikian, sekali kedua tangannya bergerak sepasang pedang itu telah berada di kedua
tangannya.
Sementara itu, ketika melihat para petani telah pergi, Gwat Kong masih saja berada di situ dan
kini ia duduk di bawah sebatang pohon, menonton pertandingan yang hendak dilangsungkan
itu. Dan karena semua mata sedang diarahkan kepada nona baju kuning yang gagah itu, maka
tak seorangpun memperhatikan pemuda yang berpakaian sederhana itu. Kalau sekiranya ada
yang melihatnya, tentu Gwat Kong akan dianggap sebagai seorang pemuda dusun yang ingin
menonton pertandingan silat.
Sementara itu, melihat gerakan Cui Giok yang mencabut pedangnya. Cong Si Ban lalu
menerima toyanya dari seorang pembantunya dan setelah berkata, “Mohon pengajaran!” ia
lalu menggerakkan toyanya dan memasang kuda-kuda yang kuat sekali nampaknya. Nona
baju kuning itu tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera mulai dengan
penyerangannya.
Pedangnya di tangan kanan bergerak menusuk ke arah dada lawan dan ketika Si Ban
mengangkat toya untuk menangkis, nona itu menggunakan pedang kiri yang bergerak lambat
untuk menahan tangkisan lawan dan pedang di tangan kanannya yang dapat bergerak amat
cepatnya itu melanjutkan tusukannya.
Cong Si Ban merasa terkejut sekali dan cepat mundur untuk menghindarkan diri. Ia tak
pernah menduga bahwa nona itu demikian lihainya. Pantas saja Si Kwi tak dapat
melawannya, pikir Si Ban yang segera menggerakkan toyanya dengan cepat dan memutarmutarnya
bagaikan kitiran angin, langsung menyerang dan melakukan pukulan-pukulan
bertubi-tubi dengan kedua ujung toyanya.
Sie Cui Giok maklum bahwa kepandaian Si Ban jauh lebih lihai dari pada Si Kwi, maka ia
berlaku hati-hati dan mainkan kedua pedangnya dengan gerakan yang amat indah. Tubuhnya
amat lincah dan ketika kedua pedangnya dimainkan, tubuhnya melompat ke sana ke mari
bagaikan seekor burung bulu kuning sedang menari-nari kegirangan.
Sin Seng Cu, tosu dari Hoa-san-pai itu ketika melihat permainan pedang nona itu, diam-diam
melengak dan memandang dengan mata dipentang lebar. Ia segera mengeluarkan tongkatnya
yang hebat, yakni Liong-thouw-koai-tung, tongkat kepala naga dan dengan tongkat di tangan
ia melompat ke tengah pertempuran itu sambil berseru, “Tahan dulu!”
Pada saat itu, pedang Cui Giok telah mengurung dan mendesak Cong Si Ban sehingga orang
tinggi besar itu hanya dapat menangkis dan mengelak saja tanpa dapat membalas karena
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 182
kedua pedang di tangan Cui Giok tidak memberi kesempatan sedikitpun kepadanya untuk
menggerakkan toya dalam penyerangan. Yang amat menggelisahkan dan membuat hati Si
Ban menjadi jerih adalah pedang ditangan kiri nona itu, karena setiap kali toyanya terbentur
oleh pedang itu, ia merasa betapa toyanya terputar!
Ia tidak dapat mengikuti gerakan sepasang pedang itu karena kedua pedang itu gerakannya
amat berlainan, seakan-akan ia menghadapi keroyokan dua orang yang berpedang dari kanan
kiri. Melihat keadaan ini, Sin Seng Cu lalu menyodorkan tongkat kepala naga di tangannya itu
ditengah-tengah dan memisahkan kedua orang yang sedang bertempur itu.
Cong Si Ban menjadi lega karena ia telah merasa amat khawatir kalau-kalau ia akan
dirobohkan oleh gadis muda itu dalam waktu demikian pendeknya, belum juga ada dua puluh
jurus mereka bertempur ia telah terdesak demikian hebatnya. Kini melihat tosu itu turun
tangan, ia melompat ke belakang dan berseru, “Lihai sekali!”
Sementara itu, gadis baju kuning itu merasa penasaran melihat betapa tiba-tiba tongkat kepala
naga ditangan tosu itu telah dilonjorkan di tengah-tengah dan menghalangi penyerangannya
terhadap Si Ban yang sudah hampir kalah. Ia lalu menggunakan kedua pedangnya yang
digerakkan dengan berlawanan, satu dari atas dan satu dari bawah, untuk menggunting
tongkat itu dan untuk membuatnya menjadi terpotong.
Tiga senjata bertemu mengeluarkan suara keras dan gadis itu menjadi terkejut sekali karena
jangankan dapat diputuskan oleh guntingan kedua pedangnya, bahkan kedua tangannya,
terutama tangan kanan merasa tergetar ketika kedua pedangnya membacok tongkat itu.
Sebaliknya Sin Seng Cu juga merasa kagum dan mengeluarkan seruan memuji ketika merasa
betapa tongkatnya seakan-akan terjepit dan sukar ditarik kembali dari guntingan sepasang
pedang itu.
Karena maklum bahwa tosu ini lihai sekali, nona itu lalu melompat mundur sambil memutar
kedua pedangnya untuk menjaga diri. Akan tetapi Sin Seng Cu tidak menyerangnya, hanya
bertanya dengan suara kagum,
“Nona, ilmu pedangmu itu bukankah ilmu pedang Im-yang Siang-kiam? Apakah kau murid
Lo-hiapkek (pendekar tua) Sie Cui Lui?”
“Aku adalah cucu dari Sie Cui Lui, tidak tahu siapakah totiang ini?” balas tanya gadis itu.
Sin Seng Cu tertawa. “Ah, pantas saja ilmu pedangmu demikian hebat! Telah lama aku
mendengar nama Sie Cui Lui, raja pedang di daerah selatan yang telah menggemparkan
kalangan kang-ouw, dan telah lama aku ingin sekali merasai kelihaian ilmu pedangnya.
Kebetulan sekali sekarang aku bertemu dengan ahli warisnya yang telah memiliki ilmu
pedang Im-yang Siang-kiam. Ketahuilah nona, pinto adalah seorang dari Hoa-san-pai yang
bernama Sin Seng Cu. Karena nona adalah cucu dari orang tua gagah perkasa Sie Cui Lui,
maka melihat mukaku harap kau habiskan saja perkara dengan kedua saudara Cong ini. Juga
Cong-sicu (orang-orang gagah she Cong) kuharap suka menghabiskan perkara ini. Nona ini
adalah keturunan seorang gagah yang patut kita jadikan kawan, bukan lawan!”
Cong Si Ban telah merasai kelihaian nona itu, maka tentu saja ia setuju dengan omongan tosu
itu. Apalagi karena iapun telah mendengar nama besar Im-yang Siang-kiam. Maka ia lalu
menjura dan menyatakan maafnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 183
Sie Cui Giok melihat mereka bersikap ramah dan sungguh-sungguh juga menjadi sabar
kembali dan membalas dengan menjurah. “Aku yang muda baru saja keluar dari kampung
sendiri dan masih kurang pengalaman, maka banyak mengharap maaf dari cuwi yang lebih
pandai. Tentu saja aku yang muda dan bodoh tidak mau mencari permusuhan. Hanya saja
kuharap sukalah orang-orang yang mempunyai harta dan kepandaian menaruh sedikit belas
kasihan kepada para petani yang miskin dan tidak berdaya!”
Sin Seng Cu kembali tersenyum. “Kau masih muda akan tetapi hatimu mulia, nona. Sungguh
membuat pinto merasa kagum sekali. Memang perbuatanmu benar dan sudah menjadi
kewajiban kedua saudara Cong untuk menolong para petani yang miskin. Kalau nona tidak
datang, tentu pinto juga akan minta perhatian mereka akan hal ini. Sekarang nona telah datang
dan berkenalan dengan kami, maka pinto minta kepadamu sukalah memperlihatkan ilmu
pedang Im-yang Kiam-hoat itu barang sepuluh jurus untuk menambah kegembiraan kedua
mataku yang sudah tua.”
Sie Cui Giok maklum bahwa tosu tokoh Hoa-san-pai ini memiliki watak yang tidak mau
kalah dan sedikit menyombongkan kepandaian sendiri, maka ia tak dapat menghindarkan diri
dari tantangan ini, dan karena ia maklum pula bahwa tosu ini telah memiliki kepandaian yang
amat tinggi. Maka kalau ia tidak mengerahkan kepandaiannya, ia takkan bisa menang.
“Harap totiang suka berlaku murah kepada aku yang muda,” kata gadis itu yang telah siap
pula dengan sepasang pedangnya.
Sin Seng Cu lalu menggerakkan tongkat kepala naganya di tangan dengan sambaran keras
sambil berseru, “Lihat tongkat!”
Sie Cui Giok mengelak cepat dan merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua kakinya,
kaki kanan di belakang ditekuk rendah dan kaki kiri dilonjorkan ke depan sehingga tongkat
itu menyambar di atas kepalanya. Kemudian gadis itu dengan amat cepatnya menggerakkan
tangan kanan dan pedangnya menusuk ke arah perut lawan melalui atas kaki kirinya yang
dilonjorkan.
Inilah gerak tipu Burung Hong Mengulur Leher, sebuah gerakan dari ilmu pedang Im-yang
Kiam-hoat. Sin Seng Cu cepat miringkan tubuh lalu memutar tubuhnya sambil menyabetkan
toyanya dari belakang tubuh menyerampang kedua kaki lawan. Gerakan ini dilakukan dengan
memutar tubuh di atas tumit kakinya lalu membarengi memutar tongkatnya yang setelah
dekat dengan sasaran lalu digerakkan ke bawah sambil tiba-tiba berjongkok. Lawan yang
kurang waspada dan kurang lincah gerakannya pasti akan tertipu karena serangan ini dibuka
dengan menyabet ke arah pinggang ke atas akan tetapi tiba-tiba berobah menjadi
serampangan pada kedua kaki.
Akan tetapi Sie Cui Giok benar-benar mengagumkan. Dengan tenang ia tadi menanti
datangnya sambaran tongkat dan ketika tiba-tiba tongkat itu dialihkan arahnya, yaitu
menyambar kedua kakinya, ia berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua
kaki di atas dan kedua tangan di bawah. Dan di dalam keadaan seperti itu ia balas menyerang
dengan kedua pedangnya, yang kiri menusuk leher dan yang kanan membacok kepala! Inilah
gerakan Burung Hong Terkam Harimau, sebuah gerakan yang selain indah juga amat sukar
karena serangan ini dilakukan selagi tubuh masih berada di udara.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 184
Sesungguhnya serangan ini amat berbahaya, baik bagi lawan maupun bagi diri sendiri, oleh
karena dalam keadaan tak menginjak tanah itu, sungguhpun serangannya berbahaya dan tak
terduga oleh lawan. Akan tetapi apabila lawannya cepat mengelak dan melakukan serangan
balasan, ia takkan dapat menjaga diri dengan baik. Namun Sie Cui Giok telah
memperhitungkannya dengan tepat.
Pada saat ia mengelak dari serampangan tongkat lawan, ia maklum bahwa tongkat lawan yang
sedang disabetkan pada kedua kakinya itu takkan dapat segera menyerangnya, sehingga ia
menang waktu, maka ia berani melakukan serangan ini. Seandainya tongkat di tangan lawan
berada dalam keadaan lebih baik dan dapat segera menyerangnya, tentu ia takkan
menggunakan tipu ini dan hanya melompat ke atas menghindarkan serampangan lalu turun
kembali.
Sin Seng Cu terkejut juga melihat serangan dari atas yang amat lihai ini, maka mereka tidak
ada waktu baginya untuk menangkis dan untuk mengelak dengan kepalanya pun masih
berbahaya lantaran kedua pedang itu menyerang dengan dua macam gerakan, maka terpaksa
ia melempar tubuh bagian atas ke belakang terus melakukan gerakan poksai (salto) dan
dengan cara demikian baru ia dapat menghindarkan diri dari serangan yang berbahaya itu.
Melihat pertempuran yang luar biasa ini, semua penonton menjadi kagum sekali sehingga
kedua saudara Cong dan beberapa orang pelayan yang berada di situ memandang dengan
bengong. Juga Gwat Kong tanpa disadarinya berseru,
“Bagus sekali!”
Cong Si Ban dan Cong Si Kwi yang mendengar seruan ini segera menengok dan mereka
merasa heran ketika melihat seorang pemuda asing tengah duduk menonton pertempuran itu
sambil minum arak dari guci araknya yang terbuat dari pada perak. Baru sekarang mereka
melihat pemuda ini dan menjadi tertarik, juga curiga. Mereka belum pernah melihat pemuda
ini dan juga tahu bahwa pemuda ini bukanlah penduduk di sekitar bukit itu.
Si Kwi yang berdarah panas dan sedang mendongkol karena kekalahannya tadi, menjadi
marah melihat seorang pemuda enak-enak menonton dan minum arak di dalam pekarangan
rumahnya tanpa minta ijin, maka ia lalu menghampiri dengan tindakan lebar.
“Siapa kau? Hayo minggat dari sini!” tegur Cong Si Kwi dengan marah.
Akan tetapi Gwat Kong tersenyum-senyum sambil menenggak araknya, bahkan lalu bertanya
dan angsurkan gucinya,
“Kau suka arak? Ha ha lucu benar. Bukan tuan rumah yang menawarkan arak kepada tamu,
sebaliknya tamu yang menawarkan araknya. Tuan rumah macam apakah ini?”
Si Kwi yang sedang marah dan mendongkol, tentu saja merasa makin marah melihat betapa
seorang pemuda dusun berani mempermainkannya, maka ia menggerakkan toya yang berada
di tangannya sambil membentak,
“Bangsat kurang ajar! Pergilah ke neraka!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 185
Toyanya dikemplangnya dengan sekuat tenaga ke arah guci arak perak yang disodorkan oleh
Gwat Kong itu, dengan maksud membuat guci itu pecah berantakan. Akan tetapi, dengan
hanya menggerakkan sedikit tangannya yang pegang guci arak, pukulan toya itu mengenai
tempat kosong dan Gwat Kong membelalakan mata sambil bersungut-sungut. “Eh eh, hatihati
kawan! Guciku ini bukan guci arak biasa dan kalau sampai rusak, kau harus
menggantinya dengan kepalamu!”
Si Kwi makin marah mendengar ini dan kini menggerakkan toyanya menyodok ke arah perut
Gwat Kong untuk membuat pemuda itu terpental. Akan tetapi, kembali ia kecele, karena
tanpa berpindah tempat duduk, Gwat Kong dapat mengelak sodokan itu dengan miringkan
tubuhnya sedemikian rupa sehingga sodokan ujung toya masuk ke bawah lengannya,
menyerempet bajunya yang menutupi iga. Ia lalu turunkan lengannya mengempit toya itu dan
tangan kanannya tetap mengangkat guci arak dan minum lagi seteguk.
Sia-sia saja Si Kwi hendak menarik kembali toyanya. Ia membetot-betot sekuat tenaga, makin
kuatlah kempitan lengan Gwat Kong.
Kalau Si Kwi tidak sedang marah dan mendongkol tentu akan terbuka matanya dan maklum
bahwa pemuda ini bukanlah orang yang boleh diperlakukan sembarangan. Akan tetapi, ia
sedang marah sekali, maka ketika ia tidak dapat menarik kembali toyanya, tiba-tiba ia
meludah ke arah muka Gwat Kong untuk menghinanya.
Semenjak tadi Gwat Kong hanya hendak mempermainkan orang ini saja dan sama sekali tidak
mau menjatuhkan tangan keras. Akan tetapi melihat sikap orang yang tiba-tiba meludah
kepadanya itu, timbul nafsu marahnya. Ia cepat mengelak dan terpaksa melepaskan kempitan
toya itu. Kemudian dari mulutnya tersemburlah arak obat itu, dibarengi bentakan nyaring.
Puluhan titik arak yang berwarna kuning keemasan itu menyambar ke arah muka Si Kwi yang
menjadi terkejut sekali dan tidak sempat mengelak. Ketika titik-titik arak itu mengenai kulit
mukanya, Si Kwi menjerit ngeri dan terhuyung-huyung. Toyanya terlepas dari tangan dan
kedua tangannya digunakan untuk menutup mukannya yang terasa perih dan panas sekali
seakan-akan kulit mukanya ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum!
Darah membasahi seluruh mukanya biarpun semburan arak itu hanya melukai kulitnya akan
tetapi demikian kerasnya sehingga kulitnya itu terluka dan mengeluarkan darah. Masih untung
bagi Si Kwi bahwa ia tadi menutup matanya ketika butir-butir arak itu menyambar, kalau
tidak tentu matanya akan menjadi buta.
Bab 21 …
MELIHAT betapa Si Kwi berjongkok dan menutup mukanya sambil mengaduh-aduh, Cong
Si Ban menjadi terkejut sekali dan juga marah. Tanpa bertanya lagi siapa adanya pemuda itu
dan tanpa mengingat bahwa sebetulnya adiknya sendirilah yang mencari penyakit dan
bersikap sewenang-wenang terhadap pemuda itu. Si Ban telah maju dan menghantam dengan
toyanya ke arah kepala Gwat Kong.
Pada saat itu, Gwat Kong masih duduk di tempat semula. Melihat sambaran toya di tangan Si
Ban ini, ia maklum bahwa kepandaian Si Ban lebih lihai dari Si Kwi. Maka tanpa membuang
waktu lagi, ia lalu menggelindingkan tubuhnya ke kiri sambil membawa guci araknya dan
ketika ia melompat berdiri, ternyata bahwa guci araknya telah digantungkan ke pinggang dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 186
kini tangan kanannya telah memegang ranting pohon yang tadi dipungutnya ketika ia
menggelundung dan menghindarkan diri dari sambaran toya Si Ban. Ia tersenyum dan diamdiam
ingin menguji kepandaiannya yang baru dipelajarinya dari Bok Kwi Sianjin, yakni ilmu
to Sin-hong Tung-hoat.
Melihat gerakan Gwat Kong ketika mengelak dari sambaran toyanya, Si Ban maklum bahwa
pemuda ini adalah seorang yang “berisi” maka diam-diam ia mengeluh mengapa hari ini
demikian banyaknya orang-orang pandai datang mengganggunya! Ia tidak tahu hubungan
apakah adanya pemuda ini dengan gadis dari selatan itu. Akan tetapi karena melihat adiknya
telah dilukai, ia lalu mendesak maju dengan mainkan toyanya dalam ilmu toya Sai-cu-tunghoat
yang juga memiliki gerakan amat ganas dan dahsyat.
Kalau tadi ia merasa bahwa menghadapi ilmu pedang nona itu ia akan kalah, maka kini ia
hendak mendapat kemenangan dari pemuda yang hanya pegang sebatang ranting ini. Akan
tetapi, bukan main terkejutnya ketika dalam satu gebrakan saja ia hampir celaka! Ketika ia
mulai menyerang dengan membabat ke arah leher pemuda itu dengan gerakan cepat dan keras
dari kanan ke kiri, Gwat Kong tidak mengelak mundur.
Akan tetapi ia diam saja dan menanti sampai toya itu datang dekat di pinggir pundaknya.
Tiba-tiba pemuda ini merendahkan tubuh dan melangkah maju di bawah sambaran toya dan
mengirim tusukan dengan rantingnya ke arah jalan darah Kiu-ceng-hiat di pundak kirinya!
Untung bahwa ia masih sempat melepaskan tangan kiri yang ikut memegang toya dan
menggunakan tangannya menangkis ranting itu yang membuat lengannya yang menangkis
merasa sakit sekali dan ujung ranting itu biarpun tidak mengenai jalan darahnya di pundak,
namun masih tetap mengait bajunya di bagian pundak.
Dan “brettt!” sobeklah bajunya. Dalam segebrakan saja mendapat pelajaran sedemikian rupa,
Cong Si Ban tentu saja merasa terkejut dan pucat. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan
menjaga dirinya rapat-rapat dari serangan ujung ranting di tangan pemuda itu yang kini
berkelebatan bagaikan kilat di hari hujan di depan matanya membuat ia merasa silau karena
lawannya seakan-akan telah menjadi beberapa orang yang menyerangnya dari seluruh
jurusan.
Sementara itu, pertempuran yang berlangsung antara Sin Seng Cu dan Sie Cui Giok makin
ramai dan seru sekali. Terdorong oleh wataknya yang tidak mau kalah biarpun mereka telah
bertempur lebih dari empat puluh jurus, namun Sin Seng Cu belum merasa puas karena ia
belum berhasil mengalahkan gadis muda itu!
Masa dia, seorang tokoh besar dari Hoa-san-pai, yang telah mengangkat tinggi namanya
karena kelihaian ilmu tongkatnya kini tak dapat mengalahkan seorang gadis muda yang masih
hijau? Diam-diam ia mengeluh karena benar-benar pedang di kedua tangan gadis itu amat
lihai dan sukar sekali dibobolkan oleh tongkat kepala naga di tangannya.
Gadis itu telah meyakinkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat secara sempurna sekali sehingga
biarpun dalam hal keuletan dan tenaga ia masih berada di bawah tingkat tosu itu, namun ia
dapat mengimbangi permainan silat Sin Seng Cu dan selama itu tidak nampak terdesak sama
sekali.
Juga Sie Cui Giok merasa penasaran dan marah melihat kenekatan tosu itu karena desakandesakan
Sin Seng Cu ini benar-benar di luar dugaannya. Tak disangkanya bahwa seorang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 187
tokoh persilatan yang telah menduduki tempat tinggi itu memiliki watak yang demikian
buruk. Maka ia lalu menggertak gigi dan melawan sebaik-baiknya untuk menjaga namanya
sendiri. Ia kini tidak mau mengalah dan membalas setiap serangan dengan balasan yang tak
kalah lihainya.
Pada saat pertempuran antara mereka sedang berjalan amat ramainya, tiba-tiba ia mendengar
seruan kaget dan tubuh seorang tinggi besar terlempar di antara mereka! Keduanya
memandang dan melihat bahwa tubuh yang melayang dan terlempar itu adalah tubuh Cong Si
Ban! Baik Cui Giok maupun Sin Seng Cu yang sedang mencurahkan perhatian karena
menghadapi lawan berat, tadi tidak melihat peristiwa lain terjadi tak jauh dari tempat mereka
bertempur yaitu tentang perkelahian antara Gwat Kong melawan kedua saudara Cong.
Maka kini melihat betapa tubuh Si Ban tiba-tiba terlempar dalam keadaan tunggang-langgang
ke tengah kalangan pertempuran tentu saja mereka menjadi terkejut dan juga terheran-heran
lalu menarik senjata masing-masing dengan cepat agar jangan sampai tersesat ke tubuh Si Ban
yang melayang itu. Tubuh itu jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara “bukk!” dan debu dari
atas tanah yang tertimpa tubuh itu, sama sekali tak bergerak dan berada dalam keadaan kaku,
hanya kedua matanya saja yang masih bisa melirik!
Sin Seng Cu maklum bahwa Si Ban telah ditotok orang secara luar biasa sekali, maka ia lalu
maju dan memulihkan totokan itu dengan urutan dan ketukan. Kemudian Sin Seng Cu
menoleh ke arah Gwat Kong dan memandang kepada pemuda itu dengan mata tajam. Ia
seperti pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana.
Bagaimanakah Si Ban bisa di”terbang”kan dalam keadaan tertotok oleh Gwat Kong?
Ketika kedua orang ini tadi bertempur, makin lama mata Si Ban menjadi silau dan kabur. Ia
tak dapat melihat dengan baik lagi dan terpaksa ia lalu memutar toya sedemikian rupa untuk
melindungi seluruh tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa bahwa toyanya telah menempel
pada ranting di tangan lawannya.
Gwat Kong telah mempergunakan tenaga “cam” (melibat/mengikat) sehingga toya Si Ban
menempel pada rantingnya dan tak dapat lepas lagi. Si Ban mengerahkan lweekangnya dan
berusaha membetotnya, dan tiba-tiba Gwat Kong melepaskan tenaganya lalu membarengi
betotan tenaga Si Ban itu untuk menusukkan rantingnya ke arah sambungan lutut Si Ban!
Kalau tusukan itu mengenai sasaran, tentu Si Ban akan roboh berlutut di depannya.
Akan tetapi Si Ban tentu saja tidak mau membiarkan lututnya dihajar, maka ia lalu berseru
keras dan melompat ke atas menarik kedua kakinya ke dekat tubuh belakang. Pada saat itu,
tak pernah disangkanya, ranting di tangan Gwat Kong kembali menyambar dan kini hendak
memukul kepalanya!
Si Ban benar-benar lihai karena dalam keadaan meloncat itu, masih sempat buang tubuh atas
ke depan sehingga kepalanya ditundukkan ke bawah mengelak serangan ranting itu. Akan
tetapi kini tubuhnya menjadi telungkup dengan kepala dan kaki ditarik bagaikan seekor anjing
sedang merangkak.
Gwat Kong masih tidak melepaskan korbannya dan secepat kilat ujung rantingnya menotok
jalan darah di iga lawan itu sehingga tubuh Si Ban menjadi kaku. Dan berbareng dengan
serangan itu Gwat Kong mengangkat sebelah kakinya menendang pantat lawannya sehingga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 188
tubuh Si Ban tanpa dapat dicegah lagi melayang ke depan bagaikan sebutir pelor dan jatuh di
tengah-tengah gelanggang pertempuran Sin Seng Cu dan Cui Giok!
Setelah melakukan perbuatan yang nakal itu, Gwat Kong berdiri bertolak pinggang dan
memandang dengan senyum. Ketika ia melihat betapa Sin Seng Cu memandangnya, ia segera
menjura dan bertanya, “Sin Seng Cu totiang, apakah selama ini totiang baik-baik saja?”
Sin Seng Cu memandang tajam, kemudian ia teringat dan bertanya, “Bukankah kau pemuda
yang mahir ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan kemudian diambil murid oleh Bok Kwi
Sianjin?”
Gwat Kong tersenyum, “Totiang memang memiliki pandangan mata yang tajam.”
Sementara itu ketika mendengar bahwa pemuda yang baru datang ini adalah seorang ahli ilmu
pedang Sin-eng Kiam-hoat dan bahkan menjadi murid Bok Kwi Sianjin. Nona baju kuning itu
nampak terkejut sekali dan kini ia memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.
Melihat hubungan pemuda ini yang agaknya telah kenal baik kepada Sin Seng Cu, diam-diam
ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan berpihak kepada tosu itu. Baru menghadapi
tosu itu saja ia tadi telah merasa sukar untuk mengalahkannya, apalagi kalau mendapat
bantuan pemuda yang memiliki ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat!
“Maafkan, aku tak dapat mengganggu lebih lama lagi!” kata Sie Cui Giok, nona baju kuning
itu dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah berlari cepat keluar dari pekarangan itu dan
sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.
“Hmm, seorang gadis muda yang memiliki kepandaian mengagumkan,” kata Sin Seng Cu
perlahan setelah bayangan gadis itu lenyap. Kemudian ia teringat kepada Gwat Kong dan
sambil memandang tajam ia berkata,
“Kau agaknya juga hendak memperlihatkan kepandaian, maka datang-datang kau telah
menghina Cong Si Ban!”
Akan tetapi, Gwat Kong hanya mendengar setengah-setengah saja. Oleh karena pikirannya
ikut terbang menyusul nona baju kuning yang menarik hati dan yang menimbulkan
kekagumannya itu.
“Ah, akupun harus pergi!” katanya perlahan dan membalikkan tubuh hendak pergi.
“Anak muda, jangan harap bisa pergi sebelum aku mencoba kepandaianmu dan menebus
kekasaranmu terhadap tuan rumah,” seru Sin Seng Cu yang mengulur tangannya hendak
menangkap pundak pemuda itu untuk mencegahnya pergi.
Akan tetapi, tanpa menoleh, Gwat Kong menggerakkan tangannya ke belakang dan jari
tangannya dengan cepat sekali mengirim totokan ke arah pergelangan tangan Sin Seng Cu
yang hendak mencengkeram pundaknya, maka terpaksa tosu itu menarik kembali tangannya
dengan hati terkejut dan kagum.
Tanpa menengok dapat melihat datangnya serangan bahkan dapat mengirim totokan yang
tepat ke arah pergelangan tangannya hanya dapat dilakukan oleh seorang yang ilmu
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 189
kepandaiannya sudah tinggi. Maka tosu ini menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan niatnya
menguji kepandaian lawan ini.
Tadi, menghadapi seorang gadis muda saja tak dapat mengalahkannya dan baiknya
pertempuran tadi tidak berakhir kekalahan baginya dan keburu terhenti karena Si Ban
terlempar. Maka kalau kini ia berkeras menghadapi Gwat Kong untuk kemudian ia kalah
dalam tangan pemuda ini, biarpun yang menyaksikannya hanya kedua saudara Cong. Akan
tetapi namanya akan terbanting turun dengan hebat!
Maka ia diamkan saja Gwat Kong berlari keluar mengejar Cui Giok. Dan setelah pemuda itu
lenyap dari pandangan mata, ia bahkan lalu menegur kedua saudara Cong itu yang dikenalnya
baik. Ia memberi nasehat agar kedua saudara itu suka merobah pikirannya dan jangan berlaku
sewenang-wenang kepada kaum tani yang miskin. Karena hal itu tentu akan menimbulkan
hal-hal yang tidak enak seperti yang telah terjadi sekarang ini.
“Sebagai orang gagah kalian harus berwatak terlepas dan berlaku baik terhadap orang yang
patut ditolong. Karena kalau tidak demikian, tentu kalian akan dimusuhi oleh banyak orang
kang-ouw.
Kedua saudara Cong itu tak berani membantah dan hanya menyatakan kesanggupannya untuk
menurut nasehat tosu ini. Keduanya benar-benar telah merasa betapa hari ini mereka telah
mendapat hajaran keras dari dua orang muda yang kelihatannya masih hijau. Mereka baru
insyaf bahwa ilmu kepandaian mereka sesungguhnya masih rendah dan dangkal.
Maka mereka lalu mengajukan permohonan kepada Sin Seng Cu untuk melatih dan memberi
pelajaran silat kepada mereka. Tosu ini tidak keberatan dan untuk beberapa hari lamanya ia
memberi petunjuk-petunjuk kepada kedua saudara Cong itu dan banyak memberi nasehat
kepada mereka sehingga keduanya sedikitnya terbuka mata mereka dan diharapkan takkan
berlaku sewenang-wenang dan kejam terhadap kaum petani selanjutnya.
****
Gwat Kong percepat larinya untuk menyusul nona baju kuning yang amat dikaguminya itu. Ia
bukan kagum karena kecantikan gadis itu, akan tetapi kagum karena menyaksikan ilmu
pedangnya. Semenjak gurunya, yakni Bok Kwi Sianjin menceritakan kepadanya bahwa selain
Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat masih ada lagi Pat-kwa To-hoat dari utara dan
Im-yang Siang-kiam-hoat dari selatan. Ia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian itu.
Kini tak disangka-sangkanya, ia bertemu dengan seorang ahli waris Im-yang Siang-kiam dan
ternyata ahli waris itu adalah seorang gadis muda yang cantik dan gagah dan berpribudi
tinggi. Oleh karena inilah maka Gwat Kong ingin sekali berkenalan dan kalau mungkin
mencoba ilmu pedang Im-yang Siang-kiam itu dalam sebuah pertandingan persahabatan.
Ia tadi melihat betapa gadis baju kuning itu berlari keluar dari dusun itu menuju ke barat,
maka kini ia berlari cepat mengejar. Ia telah berlari cepat sekali dan cukup lama, akan tetapi
belum juga ia dapat menyusul gadis itu. Ia menjadi penasaran dan mempercepat larinya
hingga ia tiba di sebuah hutan yang penuh dengan pohon liu (semacam pohon cemara).
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 190
Hutan itu indah sekali dan dari dari jauh ia mendengar suara air sungai mengalir. Akan tetapi
ia merasa heran sekali karena tidak melihat bayangan orang yang dikejarnya. Kemanakah
perginya gadis baju kuning itu? Apakah benar-benar ia memiliki ilmu lari cepat yang
demikian luar biasa sehingga ia tidak mampu mengejarnya?
Gwat Kong masih merasa penasaran, maka ia lalu mendapat akal. Ia melompat ke atas cabang
pohon liu dan terus memanjat ke atas bagaikan seekor kera. Setelah tiba di puncak pohon, ia
berdiri dan memandang sekelilingnya. Akhirnya ia mengeluarkan seruan girang ketika
melihat bayangan kuning berlari-lari di sebelah kiri hutan itu. Ia cepat melompat turun dan
melakukan pengejaran ke arah kiri.
Tak lama kemudian, benar saja ia melihat gadis baju kuning itu berlari-lari di dalam hutan itu
dengan gerakan yang gesit dan tubuh yang ringan. Gwat Kong lalu mempercepat larinya dan
berseru,
“Lihiap (nona yang gagah)! Tunggulah sebentar!”
Akan tetapi ia kecele kalau menyangka bahwa nona itu akan memperhatikan seruannya,
karena mendengar teriakannya ini, tanpa menoleh lagi dara baju kuning itu bahkan lalu
mempercepat larinya dan menggunakan ilmu lari cepat Jouw-sang-hwe (Terbang di atas
rumput). Gwat Kong menggigit bibirnya saking gemas. Jangan kau kira aku akan kalah dalam
hal ilmu lari cepat darimu, demikian pikirnya dengan hati panas.
Ia tidak mau teriak-teriak lagi dan hanya mempercepat larinya dan menggunakan ilmu lari
cepat yang belum lama ini disempurnakan atas petunjuk suhunya, yakni ilmu lari Teng-pengtouw-
sui (Injak rumput seberangi sungai). Demikianlah, pada senja hari yang cerah itu, di
dalam hutan pohon liu yang indah dua orang muda yang lihai sedang berlari cepat seakanakan
berlomba atau berkejar-kejaran!
Dengan mendongkol Gwat Kong mendapat kenyataan bahwa gadis itu ternyata memang
sengaja hendak mempermainkannya, karena gadis itu bukan terus berlari ke depan. Akan
tetapi membuat putaran dan seakan-akan sengaja main kejar-kejaran mengelilingi hutan. Ia
tidak mau kalah dan terus mengejar dengan cepat.
Akhirnya dara baju kuning itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu lari cepat Gwat
Kong karena jarak di antara mereka makin lama makin dekat. Tiba-tiba ketika ia sampai di
tempat terbuka, yakni sebuah lapangan rumput yang hijau dan segar, ia menunda larinya dan
membalikkan tubuh dengan sepasang pedangnya di kedua tangan!
Gwat Kong segera mengangkat kedua tangan memberi hormat setelah berhadapan dengan
nona baju kuning itu. Akan tetapi penghormatannya dibalas dengan sebuah tusukan kilat yang
dilakukan oleh pedang di tangan kanan Sie Cui Giok. Gwat Kong segera mengelak dan
berkata,
“Maaf, lihiap! Jangan marah dulu. Aku .......”
“Kau adalah seorang laki-laki ceriwis! Tukang mengejar wanita!” Kata-kata ini disusul
dengan sebuah serangan pula. Kini pedang di tangan kanan membabat leher dan pedang di
tangan kiri menyerampang kaki. Menghadapi serangan luar biasa lihainya ini Gwat Kong tak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 191
dapat membuka mulut karena ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengelak
lagi dengan lompatan jauh ke belakang.
“Tidak nona. Aku tidak ceriwis! Aku hanya ingin kenal ...... aku ..... tertarik dan kagum sekali
padamu ....”
“Cih, tak tahu malu! Ucapanmu ini membuktikan bahwa kau adalah seorang laki-laki ceriwis,
seorang pemuda hidung belang!” Kembali Cui Giok maju menyerang dengan hebat. Kini
pedang di tangan kanan menusuk hulu hati dan pedang di tangan kiri membelek perut!
Serangan-serangan ini biarpun amat berbahaya dan lihai mendatangkan rasa girang dan
gembira di hati Gwat Kong. Oleh karena ia benar-benar mengagumi gerakan-gerakan dua
pedang yang mempunyai gaya dan kelihaian tersendiri itu.
Ia maklum akan bahayanya dua serangan itu, maka ia melempar tubuh ke belakang lagi,
sambil berjungkir balik membuat salto ke belakang sampai dua kali. Ia melompat agak tinggi,
sehingga dapat mencapai cabang pohon yang paling rendah dan ketika tubuhnya kembali
menginjak tanah, di tangannya telah terdapat sepotong kayu yang dipatahkannya dari cabang
tadi. Kini Gwat Kong mencabut-cabut daun dari ranting kayu itu dan berkata,
“Nona, kau salah sangka! Yang mengagumkan dan menarik hatiku adalah ilmu pedangmu
yang luar biasa itu! Telah lama aku mendengar ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat, maka
kini aku merasa kagum dan tertarik sekali menyaksikan bahwa ilmu pedang itu benar-benar
indah dan luar biasa!”
Aneh sekali, mendengar ucapan ini, nona itu wajahnya menjadi merah dan agaknya ia marah
sekali.
“Kau hanya mengagumi keindahan ilmu pedangku? Nah, rasakanlah siang-kiamku!” Tanpa
banyak cakap lagi Cui Giok lalu menyerang dengan sepasang pedangnya dengan gerakan
yang amat aneh dan cepat.
Gwat Kong menggerakkan kayu di tangannya itu dengan hati gembira. Tercapailah
maksudnya untuk menguji ilmu pedang Im-yang Siang-kiam yang dipuji-puji oleh gurunya.
Sungguhpun ia agak kecewa karena nampaknya ia telah mendatangkan kesan buruk di dalam
hati gadis itu, yang seakan-akan marah dan membencinya. Apa boleh buat, pikirnya. Akupun
hanya ingin mencoba kepandaiannya belaka.
Ia lalu kerahkan seluruh kepandaiannya dan mainkan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat yang
ia pelajari dari Bok Kwi Sianjin. Biarpun yang dipegangnya hanya sebatang kayu ranting
biasa, akan tetapi karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan mainkan ilmu
silat yang luar biasa sekali, maka ranting di tangannya itu bergerak-gerak dan menyambarnyambar
dengan amat ganas dan lincahnya sehingga ia dapat mengimbangi permainan siangkiam
dari Cui Giok yang benar-benar hebat itu.
Gwat Kong dengan teliti sekali memperhatikan gerakan kedua pedang di tangan nona itu, dan
beberapa kali ia sengaja mengadu tenaga dengan pedang di tangan kanan maupun yang di kiri.
Setelah beberapa kali mengadu tenaga, tahulah ia bahwa tangan kanan gadis itu
mempergunakan tenaga yang-kang (tenaga kasar/besar), sedangkan di tangan kiri
menggunakan tenaga Im-jin (halus/mulus), maka kedua pedang itu dapat digerakkan dengan
berlainan sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 192
Kalau pedang di tangan kanan menyambar-nyambar dengan ganas luar biasa dengan
kecepatan yang menyilaukan mata, adalah pedang di tangan kiri digerakkan dengan lambat.
Akan tetapi, biarpun kelihatannya lambat, Gwat Kong maklum bahwa pedang di tangan kiri
inilah yang paling berbahaya di antara kedua pedang itu, karena kelambatan dan kelemasan
itu sebetulnya hanya nampaknya saja. Sebetulnya di dalam kelambatan itu mengandung
kecepatan yang lebih hebat dari pada pedang di tangan kanan.
Memang agaknya tak masuk diakal dan aneh, akan tetapi hal ini memang sebetulnya.
Kecepatan di tangan kanan adalah kecepatan tenaga gadis itu sendiri yang dikerahkan dengan
maksud menyerang dan membacok lawan dan pengerahan tenaga tangan untuk menggerakkan
pedang inilah maka disebut bahwa tenaga tangan kanan itu adalah kasar/keras. Kecepatan
hanya terletak pada sambaran senjata dan tergantung sepenuhnya dari besarnya dorongan
tenaga nona itu.
Akan tetapi, pedang di tangan kiri itu tidak mengandalkan tenaga sendiri, akan tetapi
mengandalkan tenaga lawan. Pedang yang nampaknya lambat apabila menyerang itu jangan
sekali-kali dipandang rendah karena kalau ditangkis oleh senjata lawan, pedang ini
mengambil atau mencuri tenaga lawan yang menangkis itu dan dengan dorongan tenaga yang
dipinjam itu ia melakukan serangan lanjutan yang luar biasa cepatnya dan tidak diduga sama
sekali oleh lawan.
Juga, setiap kali pedang di tangan kiri ini digunakan untuk menangkis serangan lawan, pedang
ini tidak menggunakan tenaga kekerasan, akan tetapi menguasai atau menangkap tenaga
lawan sedemikian rupa sehingga tenaga lawan yang besar itu akan lenyap sendiri. Bahkan
dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk melakukan serangan balasan pada saat
menangkis itu juga.
Memang agak sukar untuk mengerti bagi mereka yang tidak tahu akan ilmu silat tinggi. Akan
tetapi memang tenaga “im” atau tenaga dalam yang lemas ini benar-benar luar biasa. Sebagai
contoh untuk memudahkan penjelasan tentang perbedaan tenaga kasar dan tenaga lemas
adalah seperti berikut.
Kalau kita melemparkan sebuah benda yang berat ke atas udara dan kemudian benda itu
kembali menimpa ke arah tangan kita, maka ada dua jalan bagi kita untuk menerima kembali
jatuhnya benda itu dengan tenaga kasar dan tenaga lemas. Dengan tenaga kasar, yakni berarti
bahwa kita menggunakan kekuatan kita untuk menerima benda itu begitu saja dengan
mengandalkan kekuatan urat-urat di lengan kita sehingga akibatnya kalau tenaga kita lebih
besar dari pada luncuran benda yang jatuh itu, maka benda tersebut akan dapat kita terima
dengan mudah dan enak. Akan tetapi sebaliknya apabila tenaga luncuran benda yang jatuh itu
lebih besar dari pada tenaga tangan kita banyak bahayanya tangan kita akan tertimpa sampai
patah tulangnya atau keseleo dan benda itu akan terlepas dari tangan kita.
Adapun penggunaan tenaga lemas ialah apabila kita menerima benda yang meluncur dari atas
itu dengan ringan tanpa menggunakan tenaga besar atau kasar. Akan tetapi dengan tenaga
lemas dan lemah kita menyambutnya dan menuruti luncurannya dari atas itu ke bawah
kemudian dengan hanya sedikit tenaga saja kita mendorong benda itu ke samping untuk
mematahkan tenaga luncurannya yang menimpa itu kemudian dengan gaya yang baik, yakni
seakan-akan merupakan kemudi bagi tenaga luncur yang seperti raksasa itu. Kita bisa
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 193
mendorong benda itu ke samping terus kembali ke atas, seakan-akan benda itu jatuh melalui
sebuah pipa yang di bagian bawah dibengkokkan dan membelok ke atas lagi.
Nah, demikianlah sekedar penjelasan singkat tentang perbedaan tenaga kasar dan tenaga
lemas. Permainan pedang di kedua tangan Sie Cui Giok adalah berdasarkan tenaga kasar dan
lemas maka ilmu pedang ini disebut Im-yang Siang-kiam-hoat atau ilmu pedang pasangan Im
dan Yang. Gwat Kong benar-benar merasa kagum karena setelah ia mengerahkan seluruh
kepandaiannya berdasarkan permainan tongkat Sin-hong Tung-hoat yang baru-baru ini
dipelajarinya dari Bok Kwi Sianjin, ia tetap saja terdesak oleh sepasang pedang itu sehingga
ia harus menambah ekstra kegesitan tubuhnya agar jangan sampai terbabat atau tertusuk
pedang nona itu.
“Ha ha! Tak tahunya Sin-hong Tung-hoat yang ternama itu hanya begini saja!” tiba-tiba nona
itu menyindir dan memutar kedua pedangnya lebih hebat dan lebih cepat lagi mendesak Gwat
Kong dengan serangan-serangan berbahaya dan yang paling lihai dari ilmu pedangnya.
Selain sibuk menghadapi desakan serangan ini, juga hati Gwat Kong merasa amat
mendongkol mendengar sindiran yang memandang rendah ilmu tongkatnya ini. Kalau saja ia
sudah melatih cukup masak, belum tentu ia akan kalah, pikirnya dengan mendongkol. Ia tahu
bahwa kekalahannya yang membuat ia amat terdesak ini tak lain hanya karena kalah latihan.
Ia dapat menduga bahwa melihat kemahiran nona ini mainkan ilmu pedangnya, tentu ia telah
melatih ilmu pedang ini bertahun-tahun lamanya. Maka ia segera berseru marah dan tiba-tiba
ia melempar rantingnya ke atas tanah dan tahu-tahu pedang Sin-eng-kiam pemberian Bu-engsian
Leng Po In dulu telah berada di tangannya, berkilau-kilau mendatangkan sinar putih yang
panjang.
“Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Sin-eng Kiam-hoat!” seru nona baju
kuning itu. “Benar-benar hebat ataukah hanya namanya saja yang hebat seperti Sin-hong
Tung-hoat yang kau mainkan tadi!”
Saking mendongkolnya, Gwat Kong tak dapat menjawab sindiran ini dan segera menyerang
dengan pedangnya sambil membentak, “Awas pedang!”
Kini pertempuran menjadi lebih hebat lagi, karena sungguhpun Sin-hong Tung-hoat yang
baru tadi dimainkan oleh Gwat Kong tak kalah hebatnya, akan tetapi ilmu pedang Sin-eng
Kiam-hoat telah dilatihnya lama juga dan ia lebih biasa menggerakkan pedang dari pada
menggerakkan ranting tadi. Ketika memutar pedang tunggalnya, maka lenyaplah tubuhnya
tertutup oleh sinar pedangnya itu karena Cui Giok juga tidak mau kalah dan mainkan
sepasang pedangnya dengan cepat, maka yang nampak sekarang adalah tiga sinar pedang
yang saling menggulung, seakan-akan seekor naga jantan yang gagah perkasa dikeroyok oleh
sepasang naga betina yang memiliki gerakan indah.
Pertempuran ini benar-benar ramai dan hebat, jauh lebih ramai dari pada pertempuran yang
pernah dihadapi oleh Cui Giok maupun Gwat Kong. Keadaan mereka benar-benar berimbang.
Dalam hal gerakan ilmu pedang, Gwat Kong masih kalah mahir, dan hal ini adalah karena ia
memang kalah latihan. Cui Giok semenjak kecil digembleng oleh engkongnya (kakeknya) dan
telah belasan tahun ia mempelajari ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat ini, maka setiap
gerakannya amat sempurna.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 194
Akan tetapi sebaliknya, gadis ini masih kalah dalam hal lweekang karena Gwat Kong telah
mendapat latihan dari dua macam ilmu silat tinggi. Ginkang mereka setingkat, mereka samasama
maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan, yang lebih dulu kehabisan napas dan
tenaga, dialah yang akan kalah. Dan sebelum mereka kehabisan tenaga dan napas, entah
beberapa ratus jurus mereka sanggup bertahan. Sementara itu, keadaan telah mulai menjadi
remang-remang, tanda bahwa senjakala telah hampir terganti malam.
Gwat Kong merasa sudah cukup menguji ilmu kepandaian gadis itu, maka tiba-tiba ia berseru
keras dan gerakan pedangnya berubah hebat. Cui Giok terkejut sekali dan hampir saja
pundaknya terkena sambaran ujung pedang pemuda itu. Gwat Kong makin gembira melihat
hasil perubahan ini dan menyerang makin hebat. Benar saja, Cui Giok menjadi terdesak dan
gadis ini nampak sibuk sekali.
Ternyata bahwa Gwat Kong telah mencampur adukkan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat
dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat. Ilmu pedang dan ilmu tongkat memang berbeda,
akan tetapi banyak pula persamaannya, yakni dalam hal serangan menusuk dan membacok.
Hanya berbeda, pedang menusuk untuk menembus kulit daging lawan sedangkan tongkat
menusuk ke arah jalan darah lawan. Diserang dengan ilmu silat campuran yang memang luar
biasa ini, Cui Giok benar-benar merasa bingung dan akhirnya ia merasa bahwa ia takkan kuat
menghadapi pemuda yang luar biasa ini, Maka ia lalu melompat ke belakang dan melarikan
diri.
Gwat Kong merasa tidak puas. Setelah bertempur sekian lamanya, ia harus dapat
mengalahkan gadis itu, atau setidaknya nona itu harus mengakui bahwa Im-yang Kiam-hoat
masih kalah oleh ilmu silatnya yang campuran ini. Maka melihat nona itu melarikan diri, ia
juga berlari cepat mengejar.
Sie Cui Giok berlari menuju ke utara dan tiba-tiba di depannya terdapat sebatang anak sungai
yang cukup lebar dan airnya jernih itu nampak kehijauan, tanda bahwa sungai itu cukup
dalam. Pemandangan di situ amat indahnya karena pohon-pohon dan bunga tumbuh di kedua
tepi sungai, dan di situ terdapat pula sebuah jembatan terbuat dari pada tiga batang bambu
yang disambung-sambung.
Rupa-rupanya para pemburu binatang yang membuat jembatan darurat ini.
Tanpa pikir panjang lagi Cui Giok lalu melompat dan berlari melalui bambu itu. Bambu itu
ketika diinjak dengan keras lalu bergerak-gerak dan bukan main sukarnya melintasi bambubambu
yang kecil, licin dan bergerak-gerak ini. Akan tetapi gadis itu sudah tak dapat kembali
lagi, karena ia melihat Gwat Kong sudah tiba di pinggir sungai pula dan agaknya hendak
melintasi jembatan itu pula.
“Awas nona, kau nanti jatuh!” Gwat Kong berseru kaget melihat betapa tubuh nona itu
bergerak-gerak di atas bambu yang bergoyang-goyang. Ia sendiri tidak berani melompat ke
atas jembatan karena maklum bahwa kalau ia ikut melompat, bambu-bambu itu belum tentu
kuat menahan beratnya dua tubuh orang.
Cui Giok agaknya akan dapat menyeberang dengan selamat, akan tetapi tiba-tiba gadis itu
berteriak ketakutan. Di tengah-tengah jembatan itu terdapat seekor tikus hutan yang besar dan
yang sedang menyeberangi jembatan itu pula. Dan Cui Giok termasuk seorang di antara para
gadis yang jijik dan takut serta geli melihat tikus. Wajahnya pucat, dan ia menjadi begitu takut
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 195
dan kaget sehingga ia tidak dapat mengatur imbangan tubuhnya lagi. Dengan teriakan ngeri,
gadis itu terpeleset dari jembatan bambu dan tubuhnya melayang ke bawah.
“Jebur!!” Air memercik tinggi dan Gwat Kong menahan napas ketika melihat betapa tubuh
gadis itu timbul dipermukaan air dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi, tanda seorang
yang tak dapat berenang. Gadis itu memandangnya seketika, kemudian tenggelam timbul
dengan tangan terangkat. Keadaannya sungguh menyedihkan sekali.
Bab 22 …
SUNGGUHPUN ia sendiri tak amat pandai berenang, akan tetapi kalau hanya berenang dan
menolong orang tenggelam saja Gwat Kong masih sanggup, maka tanpa banyak pikir lagi ia
lalu melompat dan terjun ke bawah.
“Jebur!!” Air memercik lagi tinggi-tinggi dan Gwat Kong menggunakan kakinya untuk
mengangkat tubuh ke permukaan air. Kepalanya telah tersembul ke atas. Ia memandang ke
kanan kiri. Akan tetapi ia tidak melihat tubuh gadis yang sedang hanyut tadi!
“Nona ..... nona ....!” Ia berteriak-teriak dengan panik menyangka bahwa nona itu tentu
tenggelam. Ia berenang ke sana ke mari sampai kaki dan tangannya terasa lemas karena selain
ia tidak biasa berenang, juga rasa lelah cepat membuatnya lemas.
Tiba-tiba Gwat Kong melihat ke pinggir sungai dan nampak nona baju kuning itu sedang
duduk dalam keadaan basah kuyup, dan sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.
Gwat Kong merasa seakan-akan hidungnya dipukul dari depan. Dengan gemas ia dapat
menduga bahwa tadi gadis ini hanya berpura-pura belaka. Dengan susah payah, Gwat Kong
lalu berenang ke pinggir sambil diam-diam menyumpahi ketololannya sendiri.
Ia merayap ke atas melalui tanah lumpur sehingga ketika ia telah berhasil duduk di dekat nona
itu dengan napas terengah-engah, seluruh pakaiannya kotor terkena lumpur dan seluruh
tubuhnya basah kuyup. Dalam keadaan basah dan hawa senja amat dinginnya itu, Gwat Kong
merasa amat tidak enak. Akan tetapi, tidak hanya tubuhnya terasa tidak enak, malah hatinya
terasa lebih-lebih tak enak lagi. Ia merasa mendongkol sekali, apalagi ketika melihat betapa
gadis itu memandangnya seperti seorang kakak memandang adiknya yang tolol.
“Nona, kau benar-benar keterlaluan!” katanya.
Cui Giok bangun berdiri, mencari-cari, lalu membungkuk dan mengumpulkan daun-daun dan
ranting kering. “Sebelum mengobrol, lebih baik membuat api unggun untuk mengusir dingin
dan mengeringkan pakaian,” katanya.
Gwat Kong menyetujui usul ini dan juga berdiri lalu membantu pengumpulan kayu-kayu
kering yang ditumpuk di dekat sungai itu. Lalu mereka membuat api dan tak lama kemudian
mereka duduk di dekat api unggun yang bernyala besar dan hangat.
“Kau benar-benar keterlaluan!” kata Gwat Kong sambil membuka jubah luarnya dan
memanggangnya di dekat api setelah diperasnya tadi.
“Mengapa keterlaluan?” Nona itu balas memandang sambil melonjorkan kakinya ke dekat api
karena sepatu dengan kaos kaki yang masih basah itu terasa tidak enak sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 196
“Kukira tadi kau betul-betul akan tenggelam sehingga aku melompat ke air. Kalau aku tahu
kau pandai berenang, untuk apa aku bersusah payah sampai basah semua macam ini?”
Nona itu tertawa dan bukan main manisnya kalau ia tertawa. Dekik-dekik manis sekali
menghias kanan kiri mulutnya. “Hmm, memang kau seorang muda yang usilan dan selalu
mencampuri urusan orang lain. Siapakah yang minta kau menolongku? Apakah kau
mendengar aku menjerit minta tolong?”
Terpaksa Gwat Kong harus mengakui bahwa gadis itu tadi memang tidak minta tolong. Akan
tetapi mengapa kedua tangan gadis itu bergerak seakan-akan tak pandai berenang dan akan
tenggelam? Diam-diam Gwat Kong dapat menduga bahwa gadis ini selain cerdik sekali, juga
mempunyai kejenakaan. Sifatnya ini membuatnya teringat akan Tin Eng dan diam-diam ia
memandang dengan penuh perhatian.
Biarpun tubuhnya telah mulai hangat karena terpanggang api dari luar, namun ia masih
merasa dingin perutnya. Maka Gwat Kong lalu mengeluarkan guci araknya dan membuka
tutupnya. Ia mengulurkan tangan menawarkan minuman itu kepada Cui Giok.
“Minumlah supaya perut menjadi hangat!”
Cui Giok menerimanya dan memandang guci perak itu dengan kagum dan tanyanya,
“Mana cawannya?”
Gwat Kong menggeleng kepala. “Aku tidak pernah membawa cawan.”
“Habis bagaimana minumnya?”
“Teguk saja dari mulut guci!”
“Kau kira aku setan arak?” kata Cui Giok. Akan tetapi karena iapun merasa betapa perut dan
dadanya dingin, ia lalu membawa mulut guci itu ke bibirnya dan menuangkan sedikit isinya
ke dalam mulut. Ia merasai minuman yang manis dan wangi, sama sekali berbeda dengan arak
biasa, akan tetapi juga mempunyai sifat panas seperti arak. Ia menunda minumnya, dan
memandang kepada pemuda itu dengan heran dan mata mengandung pertanyaan.
“Itu sari buah, bukan arak biasa. Disebut arak obat oleh suhu, baik untuk peredaran darah.”
Cui Giok tersenyum lalu minum lagi beberapa teguk. Benar saja, tubuhnya terasa hangat dan
enak setelah arak obat itu mengalir masuk ke dalam perutnya. Ia mengembalikan guci itu
kepada Gwat Kong yang menerimanya dan terus meneguknya dengan gaya seorang ahli
minum benar-benar.
Melihat betapa pemuda itu tidak membersihkan atau menghapus dulu mulut guci yang tadi
menempel di bibirnya dan terus meneguknya, tak terasa lagi muka gadis itu menjadi merah
karena jengah. Akan tetapi melihat cara pemuda itu minum arak ia teringat akan sesuatu dan
setelah Gwat Kong menurunkan guci dan menutupnya kembali, Cui Giok berkata,
“Kau, tentulah Kang-lam Ciu-hiap yang disohorkan orang!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 197
Gwat Kong tercengang, akan tetapi ia memandang kepada guci araknya dan tersenyum. “Kau
pandai sekali menghubungkan sesuatu. Tentu guci arakku ini yang telah membuka rahasia.
Nona bicaramu seperti orang selatan. Apakah benar-benar kau ahli waris Im-yang Siangkiam-
hoat sebagaimana yang aku dengar tadi? Telah lama sekali aku mendengar dari suhu
tentang kelihaian Im-yang Siang-kiam dan hari ini benar-benar aku membuktikan kebenaran
ucapan suhu itu. Ilmu pedangmu benar-benar hebat!”
Merahlah wajah gadis itu. “Kalau kau tidak mengeluarkan ilmu silat cap-jai itu, ilmu
pedangku takkan kalah oleh Sin-eng Kiam-hoat atau Sin-hong Tung-hoat!”
Gwat Kong tersenyum mendengar betapa ilmu silat campuran yang ia mainkan tadi untuk
mengalahkan gadis ini disebut ilmu silat cap-jai.
“Memang Im-yang Siang-kiam hebat sekali,” ia memuji. “Nona sebetulnya siapakah kau dan
hendak pergi ke mana?”
Nona itu memandang dengan mata yang tajam, lalu menjawab,
“Kau yang mengejarku dan karena gara-gara kau aku menjadi basah semua, maka sudah
sepatutnya kalau kau yang menceritakan lebih dulu siapa kau ini dan apa maksudmu
mengejarku tadi!”
Kembali Gwat Kong tertegun karena banyak sekali persamaan watak gadis ini dengan Tin
Eng akan tetapi ia mengalah dan mulai menuturkan keadaan dirinya.
“Aku bernama Gwat Kong, she Bun seorang ..... biasa saja, tidak ada apa-apa yang aneh
padaku dan .... eh, apalagi yang harus kuceritakan padamu?”
Ia memandang dengan bingung sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Ketika ia
melihat betapa mata gadis itu memandang dengan lucu seakan-akan mentertawakannya, ia
buru-buru melanjutkan penuturannya.
“Aku Bun Gwat Kong ... eh, sudah kukatakan tadi .... hmmm ........ kau juga sudah tahu bahwa
aku disebut Kang-lam Ciu-hiap. Aku yatim piatu, sebatang kara tak berhandai taulan, tiada
kawan kenalan, dan aku ..... tadi tanpa kusengaja aku melihat sepak terjangmu dan mendengar
bahwa kau adalah ahli waris Ilmu pedang Im-yang Siang-kiam. Oleh karena itu, aku sengaja
hendak berkenalan dengan ilmu pedangmu.”
Gwat Kong menarik napas lega karena dapat bicara lancar dan dapat menyelesaikan
penuturan itu, karena sesungguhnya belum pernah ia menuturkan riwayatnya sendiri di depan
orang lain, terutama kalau orang lain itu seorang gadis muda yang memandangnya dengan
sepasang mata yang bersinar demikian tajam dibarengi bibir menahan senyum geli seakanakan
mentertawakan.
“Jadi, kau murid Bok Kwi Sianjin?”
“Benar”
“Kalau begitu, untung aku bertemu dan bertempur dengan kau!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 198
Gwat Kong memandang heran. “Mengapa bertempur dengan aku, kau anggap untung?”
“Kalau tidak bertemu dan bertempur dengan kau, tentu aku akan bertemu dengan Bok Kwi
Sianjin!”
“Nona, apa maksudmu?”
Sie Cui Giok menarik napas panjang dan berkata sambil mulai menguncir kembali rambutnya
yang telah mulai kering. Tadi ia melepaskan kuncirnya sehingga rambut terurai di atas
pundaknya.
“Untuk menjelaskan maksud kata-kataku tadi, terpaksa aku harus menceritakan riwayatku.”
“Ceritakanlah!” kata Gwat Kong dengan gembira dan penuh perhatian.
“Namaku Cui Giok, she Sie. Keluargaku tinggal di daerah selatan, di propinsi Ciang-si. Aku
memang keturunan langsung dari pencipta Im-yang Kiam-hoat, yakni Sie Cui Lui, kakekku.
Ayah telah meninggal dunia semenjak aku masih kecil. Ibu tinggal bersama kakek dan nenek.
Jadi nasibku tak banyak bedanya dengan kau.
“Tapi kau masih punya ibu!” Gwat Kong mencela.
“Ya, akan tetapi ada ibu tidak ada ayah, apa artinya?”
“Tapi kau masih punya kakek, punya nenek!” Gwat Kong mengejar dan mendesak lagi.
Cui Giok memandangnya dan tersenyum, “Sudahlah, biar kau menang! Memang nasibmu
lebih buruk. Semenjak kecil aku mendapat latihan Im-yang Kun-hoat dan kiam-hoat dari
kakekku.”
“Kemudian aku mulai melakukan perjalanan perantauan, yakni kurang lebih satu setengah
tahun yang lalu. Aku mendapat dua macam pesanan dari kakek yang merupakan tugas bagiku
dan belum terlaksana. Pertama-tama kalau aku kebetulan lewat di daerah di mana tinggal Bok
Kwi Sianjin, aku harus menemuinya dan mengajak pibu sebagai wakil dari kakekku yang
menjadi kawan baik Bok Kwi Sianjin! Karena kakek berpesan bahwa pibu ini harus dilakukan
secara persahabatan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Maka setelah kini bertemu
dengan kau yang menjadi murid Bok Kwi Sianjin, bahkan kita sudah bertempur pula, kurasa
tugas pertama ini sudah kupenuhi!”
Gwat Kong mengangguk-angguk. “Kurasa memang benar begitu!” Ia sengaja membenarkan
pandangan nona ini agar nona yang karena hari ini tidak mencari suhunya untuk mengajak
pibu.
“Karena inilah maka tadi kukatakan untung telah bertempur dengan kau!” kata pula nona itu
dan karena melihat betapa api unggun itu mengecil karena kayu bakarnya telah hampir habis,
ia berkata,
“Apa ini perlu ditambah bahan bakar lagi?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 199
Gwat Kong tersenyum, karena ia maklum bahwa secara tidak langsung, gadis ini minta ia
mencari tambahan kayu kering. Tak terasa lagi, ketika ia mencari kayu kering di bawahbawah
pohon, ia mendapat kenyataan bahwa pada saat itu senja telah terganti malam. Ia cepat
mengumpulkan kayu kering dan menambahkannya pada api unggun itu yang segera
membesar lagi nyalanya.
“Dan apakah adanya pesan kedua dari kakekmu?” tanya Gwat Kong setelah menambah kayu
pada api itu dan duduk di atas rumput lagi.
Untuk beberapa lama gadis itu tidak menjawab, kemudian tiba-tiba ia berkata, “Kau putarlah
tubuhmu dan harap duduk membelakangiku, jangan sekali-kali melihat aku!”
Tentu saja Gwat Kong menjadi bengong dan memandang dengan terheran-heran lalu
bertanya, “Bagaimanakah ini? Jawabanmu sama sekali tidak sejalan dengan pertanyaanku.
Dan mengapa aku harus duduk membelakangimu? Apakah mukaku begitu mengerikan dan
menjijikan sehingga kau tidak kuat memandang lebih lama lagi? Kalau kau tidak tahan duduk
lebih lama di dekatku, katakanlah saja, aku bersedia untuk pergi!”
“Bodoh!” gadis itu menjawab dengan muka merah. “Pakaianku telah kering, akan tetapi
sepatu dan kaos kaki ini sukar sekali keringnya. Kalau dibiarkan basah amat tidak enak maka
aku hendak membuka dan memanggangnya dekat api. Karena itu kau harus memutar
tubuhmu!”
Merahlah muka Gwat Kong mendengar ini dan cepat-cepat ia memutar tubuhnya
membelakangi gadis itu. Ia mendengar suara sepatu dan kaos kaki dilepas dan diam-diam ia
tersenyum geli. Gadis ini berani, tabah dan lucu.
“Bagaimana kau begitu percaya kepadaku? Mengapa kau begitu yakin bahwa aku bukan
seorang laki-laki kurang ajar yang akan menengok dan melihatmu pada saat ini?” tanya Gwat
Kong tanpa menggerakkan kepalanya.
“Tak mungkin! Laki-laki seperti kau takkan berani berbuat sekurang ajar itu!”
Gwat Kong menggigit bibirnya. Benar-benar berani sekali gadis itu, lebih berani dari Tin Eng.
Ia merasa heran mengapa malam ini ia bisa duduk-duduk di dekat api unggun bersama
seorang gadis yang tadinya sama sekali tak pernah dikenalnya, bercakap-cakap bagaikan dua
sahabat baik. Baru saja bertemu dan berkenalan belum beberapa lama, ia telah merasa dekat
sekali dengan nona ini, sama sekali tidak merasa asing, seakan-akan gadis ini adalah adik
perempuan sendiri.
Ia terkenang kepada Tin Eng, gadis yang telah merebut hatinya itu. Alangkah senangnya
kalau saja ia bisa melakukan perjalanan bersama Tin Eng, duduk di pinggir sungai di dekat
api unggun seperti sekarang ini.
“Gwat Kong, mengapa kau diam saja?”
Gwat Kong terkejut. Gadis ini tanpa banyak peraturan lagi telah memanggilnya berani.
Hampir saja ia lupa menengok. Untung ia masih teringat dan menjawab,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 200
“Aku sedang memikirkan tentang tugasmu yang kedua yang dipesankan oleh kakekmu. Kau
belum menceritakannya itu kepadaku.”
Terdengar gadis itu tertawa perlahan. “Kau benar-benar seorang pemuda yang ingin
mengetahui segalanya seperti watak seorang perempuan saja. Baiklah, dari pada kita diam
saja akan kuceritakan kepadamu. Pesan kakekku yang kedua ialah bahwa aku harus mencari
Liok-te Pat-mo (Delapan Iblis Bumi) dan membalaskan sakit hati kakekku kepada mereka.
Karena mencari mereka itulah maka aku sampai di tempat ini.”
“Siapakah delapan iblis bumi itu? Namanya amat mengerikan!”
“Ilmu kepandaian mereka lebih mengerikan lagi,” kata gadis itu. “Mereka adalah ahli-ahli
ilmu golok Pat-kwa To-hoat.”
Gwat Kong terkejut sehingga ia menengok. Akan tetapi untung bahwa ia hanya memandang
muka gadis itu dan segera membalikkan kepala kembali sebelum melihat kaki gadis itu yang
telanjang. (Pada masa itu, kaki seorang wanita dianggap sebagai bagian tubuh yang tak boleh
diperlihatkan kepada sembarangan orang, terutama kepada laki-laki, seperti halnya anggauta
tubuh lain yang dirahasiakan dan ditutup).
“Aku pernah mendengar dari suhu bahwa Pat-kwa To-hoat adalah ilmu golok yang menjagoi
di daerah utara, yang kedudukannya sama tingginya dengan Im-yang Siang-kiam-hoat!”
“Memang suhumu berkata benar,” jawab Cui Giok perlahan. “Di empat penjuru, Sin-eng
Kiam-hoat dari barat, Sin-hong Tung-hoat dari timur, Im-yang Siang-kiam-hoat dari selatan
dan Pat-kwa To-hoat dari utara telah amat terkenal. Kurasa Pat-kwa To-hoat tidak kalah
hebatnya dari ilmu pedangmu Sin-eng Kiam-hoat atau ilmu tongkatmu Sin-hong Tung-hoat.”
“Akan tetapi, mengapa pula kakekmu bermusuhan dengan mereka?”
Untuk beberapa lama Cui Giok tidak menjawab dan Gwat Kong mendengar betapa gadis itu
mengenakan kembali kaos kaki dan sepatunya pada kakinya.
“Sekarang kau boleh memutar tubuhmu.”
Gwat Kong memutar duduknya dan menghadapi gadis itu yang menarik napas panjang dan
kelihatan senang dan puas.
“Aaah ..... katanya senang. “Sekarang enaklah rasanya kedua kakiku. Hangat sekali!”
Gwat Kong merasa betapa sepatunya yang basah memang mendatangkan rasa dingin pada
telapak kakinya yang menjalar naik ke perut dan dada, maka iapun lalu melepaskan kedua
sepatunya dan mendekatkannya pada api.
“Kau pandai memancing cerita orang,” kata Cui Giok. “Karena untuk menjawab
pertanyaanmu terpaksa aku harus menuturkan pula riwayat Liok-te Pat-mo itu dan mengapa
mereka sampai dibenci oleh kakekku.”
Gwat Kong merasa betapa ia memang keterlaluan semenjak tadi hanya menjadi pendengar
saja dan ia belum menuturkan riwayatnya sendiri.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 201
“Biarlah kau menuturkan ceritamu dulu, Cui Giok, nanti baru tiba giliranku untuk bercerita.
Aku berjanji akan menceritakan keadaanku seluruhnya. Tentang riwayatku mempelajari ilmu
pedang Sin-eng Kiam-hoat dan lain-lain!”
“Nah, itu baru adil namanya!” Cui Giok berseru girang. Nah, sekarang dengarlah. Ilmu golok
Pat-kwa To-hoat diciptakan oleh mendiang Lok Kong Hosiang yang tinggal di propinsi Cekiang.
Sebagaimana sering kali terjadi pada ahli-ahli silat yang pandai, Lok Kong Hosiang
ternyata telah salah menerima murid. Murid tunggalnya ini bernama Ang Sun Tek, seorang
yang amat pandai membawa diri sehingga setiap orang akan menganggapnya sebagai seorang
pemuda yang amat berbudi. Oleh karena inilah maka Lok Kong Hosiang sampai tertipu
olehnya dan telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada pemuda she Ang itu. Ang Sun
Tek mempelajari Pat-kwa To-hoat sampai sempurna betul dan tidak ada satupun gerakan yang
belum ia pelajari dari Lok Kong Hosiang. Kemudian, suhunya anggap ia telah tamat belajar
dan menyuruhnya mencari pengalaman di dunia kang-ouw. Akan tetapi, begitu ia turun
gunung, ia membuka kedoknya dan nampaklah wajah serigala kejam di balik kedok domba
itu. Ang Sun Tek berubah menjadi seorang penjahat yang kejam, yang melakukan segala
macam perbuatan hina. Merampok, membunuh, mengganggu anak bini orang, ah ....
pendeknya segala macam perbuatan jahat tidak ada yang tak dilakukan oleh penjahat itu!”
“Benar-benar manusia rendah budi dan bejat akhlak!” seru Gwat Kong.
“Bukan itu saja,” Cui Giok melanjutkan penuturannya. “Bahkan ia lalu mengumpulkan
kawan-kawan lamanya yang terdiri dari orang-orang jahat. Kemudian memilih empat pasang
saudara yang berbakat, yakni dia dan adiknya sendiri yang bernama Ang Sun Gi dan tiga
pasang saudara lain she Liem, Thio dan Tan. Empat pasang saudara ini merupakan delapan
orang muda yang berbakat baik. Kemudian Ang Sun Tek melatih tujuh orang kawannya ini
dengan ilmu Pat-kwa To-hoat itu. Memang ia memiliki kecerdikan yang luar biasa, sehingga
ia dapat menciptakan Pat-kwa-tin (Barisan Pat-kwa atau segi delapan), dan pat-kwa-tin inilah
yang hebat luar biasa. Entah berapa banyak orang gagah tewas dalam menghadapi Pat-kwa-tin
ini. Karena setelah membentuk delapan sekawan ini, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya
makin mengganas dan berlaku sewenang-wenang, maka mereka diberi julukan Liok-te Patmo
atau Delapan Iblis Bumi dan banyak orang gagah datang untuk menumpasnya. Akan
tetapi mereka semua dipukul hancur, ada yang terluka, ada pula yang tewas. Bahkan, ketika
Lok Kong Hosiang mendengar hal ini dan datang pula untuk menghukum muridnya, ia
disambut dengan keroyokan delapan orang itu. Ang Sun Tek telah menyerang dan
mengeroyok gurunya sendiri mempergunakan Pat-kwa-tin!”
“Benar-benar manusia bong-im-pwe-gi (tak mengenal budi)!” seru Gwat Kong gemas.
Sebagai pencipta dari Pat-kwa To-hoat, tentu saja Lok Kong Hosiang dapat menghadapi
dengan baik Pat-kwa-tin itu, yang diciptakan oleh muridnya berdasarkan Pat-kwa To-hoat
pula. Akan tetapi, hwesio itu telah amat tua ketika meghadapi keroyokan mereka dan pula, ia
tidak tega untuk membunuh delapan orang-orang muda itu, sehingga akhirnya dia sendirilah
yang menderita luka-luka parah dan terpaksa melarikan diri.”
“Terkutuklah si jahanam Ang Sun Tek!” Gwat Kong memaki marah.
“Lok Kong Hosiang adalah sahabat baik dari kakekku dan ketika kakekku mendengar akan
hal itu, ia segera mencari Lok Kong Hosiang di propinsi Ce-kiang. Akan tetapi, kakek
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 202
terlambat karena ketika ia tiba di kelenteng tempat tinggal Lok Kong Hosiang, hwesio itu
telah menghembuskan napas terakhir.”
“Hmmm, muridnya sendiri yang membunuhnya! Benar-benar manusia she Ang itu harus
dibinasakan!” kata Gwat Kong sambil mengepal tinjunya.
“Kakek juga berpikir begitu, maka kakekku lalu pergi mencari mereka ke kota Sianuang di
propinsi Ce-kiang.”
“Bagus!” kata Gwat Kong memuji.
“Sama sekali tidak bagus!” Cui Giok mencela. “Ternyata bahwa kakekku sendiri masih tak
cukup kuat menghadapi Pat-kwa-tin mereka sehingga hampir saja kakek mendapat celaka.
Untung kakek masih dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi, kakek merasa amat terhina dan
malu karena dikalahkan oleh mereka!”
“Sungguh lihai!” Gwat Kong memuji.
“Memang mereka lihai sekali. Akan tetapi aku tidak takut kepada mereka. Kakek telah
menggemblengku dan menurut pendapat kakek, kepandaianku telah lebih kuat dari pada
keadaan kakekku ketika menyerbu Pat-kwa-tin itu. Aku telah menyusul ke Ce-kiang. Akan
tetapi ternyata bahwa sekarang Liok-te Pat-mo telah pindah dan mereka itu telah diangkat
menjadi busu (perwira istana kaisar). Bahkan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya merupakan
pasukan perwira istana yang istimewa dan mereka tinggal di kota raja.”
“Jadi sekarang kau hendak menyusul ke kota raja?”
“Tentu saja! Jangankan ke kota raja, biarpun mereka itu pindah ke pulau api, aku tentu akan
mengejar mereka!” kata Cui Giok dengan suara gagah.
“Akupun akan ke sana dan membantumu!”
Cui Giok memandangnya dan merengut.
“Apa kau kira aku takut kepada mereka dan memerlukan bantuanmu?”
“Bukan begitu. Akupun ingin sekali mencoba kepandaian mereka yang sombong dan jahat
hati itu. Suhu pernah bercerita tentang adanya Pat-kwa To-hoat. Agaknya suhu belum tahu
tentang kejahatan anak murid Pat-kwa To-hoat ini. Kalau suhu tahu tentu aku diperintahkan
pula untuk menghancurkan mereka!”
Tiba-tiba Cui Giok tersenyum lebar. “Bagus kalau begitu, empat besar akan bertemu di kota
raja. Dengan adanya kau, aku merasa lebih yakin bahwa mereka tentu akan mengalami
kehancuran. Aku tidak malu datang bersama kau mencari mereka, karena merekapun delapan
orang!”
“Terima kasih Cui Giok. Kau baik sekali dan aku girang kau percaya kepadaku.”
“Sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu semenjak kau terlahir
sampai sekarang!” kata Cui Giok yang mengumpulkan daun kering ditumpuk lalu ia
membaringkan tubuhnya berbantal daun kering setumpuk itu, di dekat api.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 203
Gwat Kong tersenyum geli mendengar ucapan itu, maka dengan singkat ia lalu bercerita
tentang riwayatnya, tentang ayahnya yang difitnah oleh hartwan Tan, tentang ibunya yang
hidup sengsara dan menderita. Kemudian ia menceritakan pula betapa ia bekerja sebagai
pelayan di rumah pembesar she Liok dan bagaimana ia menemukan kitab ilmu pedang Sineng
Kiam-hoat secara kebetulan.
Pendeknya ia menceritakan seluruh riwayatnya, kecuali tentu tentang Tin Eng ia tidak
menceritakan sama sekali. Lama juga ia bercerita sambil memandang ke arah api dengan
pikiran melayang ke masa lampau. Setelah ia berhenti bercerita dan memandang kepada Cui
Giok karena gadis itu semenjak tadi diam saja tidak bersuara sedikitpun, ia melengak. Karena
ternyata bahwa nona baju kuning itu telah tidur pulas!
Gwat Kong merasa mendongkol sekali karena agaknya sudah sejak tadi gadis itu tertidur
sehingga tadi ia bercerita kepada .... api unggun! Akan tetapi ia merasa geli juga dan
memandang kepada gadis itu dengan hati girang karena ia merasa suka melihat sikap gadis itu
yang begitu terbuka. Ia percaya bahwa Cui Giok bukan tertidur karena kesal mendengar
ceritanya. Akan tetapi karena memang benar-benar ia lelah sekali sehingga tertidur tanpa
terasa lagi.
Gwat Kong mencari ranting-ranting kering untuk menambah bahan bakar, kemudian iapun
duduk melenggut bersandarkan pohon dan tak lama kemudian iapun tertidur.
Pada keesokan harinya, pundaknya digoyang-goyang orang dan ketika ia terbangun ia
mendengar suara Cui Giok. “Bangun! Bangunlah, pemalas benar.”
Gwat Kong membuka matanya dan melihat bahwa malam telah berganti pagi dan api unggun
di depannya telah padam. Cui Giok nampak segar. Agaknya gadis ini pagi-pagi telah mandi di
sungai itu. Melihat pakaiannya sendiri yang masih kotor berlumpur, Gwat Kong lalu
membuka buntalan pakaiannya karena pakaian ini telah kering dan bersih. Kemudian ia
berlari menuju ke sungai untuk mandi dan bertukar pakaian. Ketika ia kembali ke tempat itu,
ternyata Cui Giok memanggang dua potong daging kelinci di atas api unggun. Bau daging
panggang yang sedap itu membuat perut Gwat Kong berbunyi keras dan panjang.
“Aduh sedapnya!” ia berkata sambil menelan ludah.
Cui Giok mengerling dan berkata, “Akan kuberikan sepotong kepadamu asal kau duduk
dengan baik dan menceritakan riwayatmu kepadaku. Kau belum menceritakannya sedangkan
aku telah menuturkan semua riwayatku.”
“Siapa bilang belum kuceritakan? Semalam telah kuceritakan semua dari awal sampai akhir.
Akan tetapi kau telah tertidur dan tidak mendengarkannya sama sekali!”
“Benarkah .....??” Suara ini terdengar demikian kecewa dan wajah yang manis itu nampak
demikian menyesal sehingga Gwat Kong segera berkata, “Ah, tidak, aku membohong. Kau
memang tertidur dan akupun menghentikan ceritaku. Nah, kau makanlah daging itu, aku akan
menuturkan riwayatku dengan singkat!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 204
Demikianlah, Gwat Kong untuk kedua kalinya menuturkan riwayatnya dan beberapa kali ia
memandang tajam, takut kalau-kalau ia dipermainkan lagi. Akan tetapi melihat perhatian yang
dicurahkan oleh Cui Giok, ia maklum bahwa gadis itu tidak mempermainkannya.
Setelah daging itu matang, mereka makan dengan lezat dan enaknya. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja untuk mencari Liok-te Pat-mo si delapan iblis
bumi.
Di sepanjang jalan mereka merasa gembira dan cocok sekali, bagaikan dua orang sahabat
yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat.
****
Setelah merobohkan Lui Siok si Ular Belang yang menjadi wakil ketua dari Hek-i-pang dan
menjadi suheng (kakak seperguruan) Gan Bu Gi, kemudian melukai kuda yang ditunggangi
oleh Song Bu Cu ketua Hek-i-pang sehingga ketua itu bersama Gan Bu Gi tak berdaya dan
tak dapat mengejar. Tin Eng dan Kui Hwa melarikan kuda mereka dengan senang dan di
sepanjang jalan kedua orang nona pendekar ini tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli
hatinya.
“Aah, cici Hwa, benar-benar puas hatiku dapat mempermainkan mereka! Ha ha ha !! Kedua
ketua dari Hek-i-pang bersama si keparat Gan Bu Gi itu telah mendapat hinaan dari kita
berdua. Aah, sungguh senang melakukan perjalanan dengan kawan segagah engkau, enciku
yang baik.”
Sebaliknya Kui Hwa menarik napas panjang. “Akan tetapi aku merasa kecewa, adik Eng.
Kalau saja aku dapat bertemu berdua saja dengan Gan Bu Gi, tanpa adanya bantuan dari Lui
Siok dan Song Bu Cu yang tangguh tentu pedangku akan menamatkan riwayat pemuda
jahanam itu!”
“Enci Hwa, mengapakah sebetulnya maka kau amat membenci Gan Bu Gi? Dahulu kau
mengatakan bahwa orang she Gan itu pernah menyakitkan hatimu. Penghinaan apakah yang
telah ia perbuat?”
Tiba-tiba Kui Hwa menghentikan kudanya bahkan lalu turun dan pergi duduk di tepi jalan di
bawah sebatang pohon. Tin Eng juga melompat turun dan melihat betapa kedua mata Kui
Hwa tiba-tiba menjadi merah dan beberapa titik air mata turun membasahi pipinya. Tin Eng
merasa terkejut sekali. Ia memegang tangan kawannya itu dan bertanya, “Ah, maafkan aku
telah menyinggung perasaan hatimu, enci Hwa.”
Alangkah herannya ketika ia melihat Kui Hwa tiba-tiba menangis sedih, menutupi mukanya
dan dengan ujung lengan baju dan tak dapat menjawab, hanya terisak-isak.
“Enci Kui Hwa, agaknya orang she Gan itu telah memberikan sesuatu yang hebat kepadamu.
Ketahuilah bahwa aku juga menderita oleh karena dia.”
Kui Hwa mengangkat mukanya yang merah dan memandang kepada Tin Eng. Ucapan Tin
Eng ini benar-benar menarik perhatiannya. Tin Eng maklum bahwa kawannya itu ingin
mengertahui riwayatnya dan karena menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat
antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa, maka ia lalu menuturkan riwayatnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 205
“Enci Kui Hwa, entah apa yang ia lakukan terhadapmu sehingga kau merasa amat berduka.
Akan tetapi, Gan Bu Gi yang menjadi biang keladi sehingga aku terpaksa meninggalkan
rumah orang tuaku dan merantau seperti seorang yang tak berkeluarga.”
Diceritakannya betapa Gan Bu Gi itu diantar oleh gurunya, yakni Bong Bi Sianjin tokoh Kimsan-
pai juga oleh Seng Le Hosiang tokoh Go-bi-pai mengunjungi ayahnya sehingga kemudian
Gan Bu Gi diberi kedudukan sebagai komandan pasukan pengawal. Betapa kemudian
ayahnya bahkan hendak memaksanya untuk menjadi isteri perwira she Gan itu.
“Demikianlah enci Kui Hwa, maka aku lalu melarikan diri dari rumah karena ayah
memaksaku. Aku tidak sudi menjadi isterinya, aku .... aku benci kepadanya. Akhir-akhir ini
aku mendapat perasaan bahwa orang she Gan itu bukanlah seorang manusia baik.”
“Kau benar, adikku dan dalam hal ini kau lebih cerdik dan awas dari padaku,” akhirnya Kui
Hwa berkata setelah berkali-kali menghela napas. “Gan Bu Gi memang hanya di luarnya saja
kelihatan tampan dan gagah serta halus, sopan sikapnya. Akan tetapi ia memiliki watak yang
tidak baik dan palsu.”
“Kalau kau percaya kepadaku, enci Kui Hwa, ceritakanlah pengalamanmu ini sehingga aku
dapat mendengar sampai di mana kejahatan Gan Bu Gi.”
Tadinya Kui Hwa masih merasa ragu-ragu untuk menuturkan riwayatnya. Akan tetapi melihat
pandang mata Tin Eng yang jujur dan karena ia memang merasa suka kepada dara ini dan
mempunyai perasaan seolah-olah Tin Eng menjadi adiknya sendiri, ia lalu menuturkan
riwayatnya secara singkat.
Bab 23 …
TAN KUI HWA adalah puteri seorang hartawan yang bernama Tan Kia Swi, yakni Tanwangwe
yang dahulu telah mencelakai orang tua dan keluarga Bun Gwat Kong! Semenjak
kecilnya, Tan Kui Hwa memang nakal sekali dan ia memiliki watak seperti seorang anak lakilaki
saja. Bahkan ia suka bermain-main dengan anak lelaki yang menjadi anak tetangga
ayahnya. Orang tuanya mendiamkannya, sebagai anak orang hartawan yang amat dimanja,
diturut belaka oleh ayah bundanya.
Ketika ia berusia sepuluh tahun, ia masih suka bermain-main di luar rumah tangga. Kawankawannya
yang sebagian besar terdiri anak-anak lelaki, bermain gundu, berkejar-kejaran,
bahkan ikut pula memanjat pohon-pohon tinggi mencari sarang-sarang burung atau ikut pula
berkelahi.
Pada suatau hari ia pergi bermain dengan beberapa orang kawan agak jauh dari rumahnya.
Ketika mereka tiba di kampung lain, mereka bertemu dengan anak-anak kampung itu dan
sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak suka mengganggu anak-anak lain yang datang dari
kampung lain. Tadinya anak-anak kampung itu hanya mengeluarkan ucapan-ucapan
mengolok-olok saja, yang dibalas oleh olok-olok lain. Akan tetapi seorang di antara mereka
yang melihat Kui Hwa lalu berkata, “Eh anak perempuan mengapa bermain-main dengan
anak-anak lelaki. Sungguh tak tahu malu!”
“Barangkali dia bukan perempuan. Ia tentu seorang anak banci!” kata anak lain.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 206
“Mari kita lihat!” seru yang lain.
“Ya, ya ... mari kita buktikan!” kata lain anak lagi dan mereka lalu hendak menangkap Kui
Hwa.
Semenjak kecilnya, Kui Hwa memang tukang berkelahi. Adatnya keras dan hatinya tabah luar
biasa. Mendengar betapa ia dihina, ia lalu memaki-maki dan cepat menyerang anak yang
menyebutnya banci tadi. Bukan main kagetnya anak itu oleh karena tak disangkanya sama
sekali bahwa anak perempuan itu berani menyerangnya dan ternyata pukulannya keras dan
kuat sehingga begitu kena dipukul ia jatuh terguling dengan pipi biru. Maka terjadilah
perkelahian keroyokan yang ramai sekali di jalan itu. Tan Kui Hwa biarpun seorang anak
perempuan, akan tetapi oleh karena ia memiliki keberanian luar biasa dan kenekatan
berkelahi, maka sepak terjangnya mengecilkan hati anak-anak itu. Kui Hwa memukul,
menendang, mencakar, dan menggigit. Tidak ada anak yang berani mendekatinya.
Pada saat ramai-ramainya anak-anak itu berkelahi, tiba-tiba datang tosu (pendeta agama To)
yang segera menghampiri mereka dengan langkah lebar. Maka tosu memandang kepada Kui
Hwa dengan kagum sekali. Belum pernah ia melihat seorang anak perempuan yang demikian
tabah dan ganas dalam berkelahi. Memang amat ganjil kalau dilihat betapa seorang anak
perempuan kuat dalam perkelahian keroyokan antara anak-anak lelaki.
“Hai, jangan berkelahi!” seru tosu itu dan semua anak-anak cepat menoleh memandang ke
arah orang yang mencegah mereka. Bukan main terkejut hati mereka ketika melihat seorang
tosu yang bermuka aneh sekali. Kedua mata tosu itu yang nampak hanya putihnya saja,
karena manik matanya yang hitam hanya kecil sekali, bergerak-gerak liar ke kanan kiri
menimbulkan pemandangan yang menakutkan. Hidungnya mendongak ke atas, mulutnya
lebar sehingga hampir sampai ke telinga dengan dua buah gigi menonjol keluar seperti caling.
Tanpa diberi komando lagi, anak-anak itu melarikan diri dengan ketakutan. Semua anak
melarikan diri, kecuali Kui Hwa sendiri yang memandang dengan heran dan juga takut-takut.
Ia teringat akan dongeng-dongeng tentang setan dan iblis. Akan tetapi hatinya yang tabah
membantah, karena ia mendengar di dalam dongeng-dongeng bahwa setan dan iblis hanya
keluar di waktu malam hari. Saat itu mata hari telah naik tinggi, tak mungkin ada iblis berani
keluar.
“Anak yang gagah, kau siapakah dan di mana rumahmu?”
“Namaku Kui Hwa dan rumahku di sana!” Anak itu menunjuk ke arah tempat tinggal orang
tuanya.
“Mari kau kuantar pulang.” Kata tosu itu yang lalu memegang tangan Kui Hwa untuk menguji
ketabahan anak ini. Akan tetapi Kui Hwa sama sekali tidak merasa takut, bahkan ia
tersenyum-senyum bangga. Alangkah akan herannya kawan-kawannya. Ia akan
memperlihatkan bahwa ia lebih berani dan tabah dari pada mereka semua. Maka ia lalu
berjalan bersama tosu itu menuju ke rumahnya dengan dada terangkat tinggi-tinggi. Dan
benar saja, anak-anak yang melihat ia berjalan bersama tosu itu diam-diam mengintai dengan
hati berdebar dan mengulurkan lidah dan di dalam hati mereka amat mengagumi keberanian
Kui Hwa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 207
Tosu ini adalah Thian Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang berilmu tinggi, yang kebetulan turun
gunung untuk melakukan perjalanan merantau. Ia adalah suheng dari Sin Seng Cu tosu Hoasan-
pai yang telah berhasil mengalahkan Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai sehingga kejadian
itu menimbulkan permusuhan antara Hoa-san-pai dan Go-bi-pai.
Thian Seng Cu lalu menemui Tan-wangwe dan menyatakan hasrat hatinya melatih silat
kepada Kui Hwa. Tadinya orang tua Kui Hwa tidak setuju, akan tetapi Kui Hwa berkeras
mengangkat guru kepada tosu itu dengan rengek dan tangis sehingga kedua orang tuanya
terpaksa menyetujuinya dengan syarat bahwa latihan ilmu silat itu harus dilakukan di rumah
mereka.
Selama tiga tahun Thian Seng Cu melatih kepada Kui Hwa di rumah Tan-wangwe. Akan
tetapi setelah anak itu berusia tiga belas tahun, pada suatu hari ia pergi meninggalkan rumah
bersama gurunya tanpa memberitahukan kepada ayah bundanya. Hanya meninggalkan
sepucuk surat yang menyatakan bahwa untuk memperdalam ilmu silat, Kui Hwa ikut gurunya
naik ke gunung Hoasan. Ia sengaja pergi dengan diam-diam oleh karena maklum bahwa
apabila ia minta ijin dari kedua orang tuanya tentu tak akan mungkin dapat.
Demikianlah, selama enam tahun mempelajari ilmu silat di puncak Hoasan, bersama dengan
kedua orang suhengnya yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok dibawah asuhan Thian Seng Cu,
Sin Seng Cu dan lain tokoh Hoa-san-pai. Setelah tamat belajar silat, Kui Hwa kembali ke
rumah orang tuanya dan disambut dengan kegirangan besar.
Dasar watak yang telah menjadi kebiasaan di waktu masih kanak-kanak, ternyata masih
belum meninggalkan tabiat Kui Hwa. Kini setelah menjadi dewasa, menjadi seorang dara
yang cantik dan gagah perkasa, kesukaannya untuk berkelahi masih saja ada. Tiap kali ia
mendengar ada seorang ‘jago silat’ yang berpengaruh, tidak perduli tempat jauh, tentu ia akan
pergi mengunjunginya untuk ditantang pibu (mengadu kepandaian silat). Karena ilmu silatnya
memang lihai maka entah sudah berapa banyaknya jago-jago silat dan guru-guru silat yang
roboh di dalam tangannya.
Selain ini, juga Kui Hwa amat benci kepada orang-orang jahat, terutama para perampok dan
bangsat-bangsat pemetik bunga. Ia tidak mengenal ampun terhadap mereka ini dan di mana
saja ia bertemu dengan orang jahat, ia tak akan merasa puas sebelum membasminya,
membunuh atau sedikitnya melukainya. Oleh karena ini, ia diberi julukan Dewi tangan maut.
Pada suatu hari, ia mendengar bahwa di kota Lok-se terdapat seorang penjahat yang
melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang. Kui Hwa paling benci
kepada bangsat Jay-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), maka tanpa banyak menunda lagi, ia
lalu menuju ke kota Lok-se dan melakukan pengintaian di waktu malam. Ia mengenakan
pakaian hitam dan mendekam di atas genteng untuk menanti munculnya penjahat itu.
Baru setelah fajar hampir menyingsing, ia melihat berkelebatnya bayangan orang di atas
sebuah bangunan besar. Ia cepat mengejar dan mengintai. Alangkah marahnya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah Jay-hwa-cat yang dicari-carinya, karena orang
itu dengan gerakan yang amat cepat melompat ke dalam rumah dan memasuki kamar seorang
gadis muda, puteri tuan rumah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 208
Dengan amarah meluap-luap, Kui Hwa lalu membentak keras sehingga penjahat itu menjadi
terkejut dan keluar dari jendela kamar itu. Kui Hwa telah menanti di atas genteng dan mereka
bertempurlah dengan amat sengit dan mati-matian.
Penjahat itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak buruk, ilmu pedangnya cukup cepat
sehingga ia dapat bertahan sampai beberapa lama terhadap serangan-serangan pedang Kui
Hwa. Gadis ini setelah mengenali ilmu pedang penjahat itu sebagai ilmu pedang dari cabang
Go-bi-pai, membentak makin marah,
“Hmmm, dasar anak-anak murid Gobi amat rendah budi dan jahat. Kau membikin malu saja
kepada tokoh Go-bi-pai.”
“Ha ha, perempuan sombong. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau adalah orang Hoasan?
Jangan banyak mulut, kau sudah berani berlancang tangan mencampuri urusanku.
Keluarkanlah kepandaianmu!”
Kui Hwa menyerang dengan ganasnya dan memang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari
pada penjahat itu, sehingga dengan mengeluarkan suara keras, pedang di tangan penjahat itu
terpental dan terlepas dari pegangan. Penjahat itu berseru kaget, memutar tubuh dan
melarikan diri.Akan tetapi, mana Kui Hwa mau melepaskannya. Ia amat membenci Jay-hwacat
dan sebelum ia dapat membunuh atau melukainya, ia tidak akan melepaskannya begitu
saja.
“Bangsat cabul, jangan harap akan dapat lari dari aku!” Bentaknya sambil mengejar cepat.
Penjahat itu, biarpun kepandaian ilmu pedangnya kalah oleh Kui Hwa, namun memiliki ilmu
lari cepat yang lumayan juga. Agaknya ia telah melatih ilmu berlari cepat ini yang memang
amat perlu dan penting bagi pekerjaannya. Namun Kui Hwa tidak mau mengalah dan
mengejar terus.
Penjahat itu berlari keluar dari kota, terus dikejar oleh Kui Hwa sampai pagi. Ketika mereka
tiba di sebuah kaki bukit, tiba-tiba muncul dua orang yang menghadang di jalan. Penjahat itu
tadinya terkejut melihat dua orang itu berjalan dengan ilmu lari cepat yang tinggi, akan tetapi
ketika ia mengenal mereka, ia menjadi girang dan berkata,
“Locianpwe ...... tolonglah teecu .....!”
Kedua orang itu ternyata adalah seorang tosu tua dan seorang pemuda yang tampan dan
mereka lalu mempercepat langkah menghampiri penjahat itu yang segera bersembunyi di
belakang mereka. Tosu itu tak lain adalah Bong Bi Sianjin dan pemuda itu adalah muridnya
yaitu Gan Bu Gi. Memang tokoh-tokoh Kim-san-pai ini telah mengadakan hubungan dengan
Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan telah berjanji untuk membantu dalam permusuhan Go-bipai
melawan Hoa-san-pai. Oleh karena itu, sebagian besar anak murid Go-bi-pai telah kenal
dengan Bong Bi Sianjin dan muridnya Gan Bu Gi. Juga anak murid Go-bi-pai yang tersesat
dan menjadi penjahat itupun kenal pula kepada mereka.
Melihat munculnya seorang tosu dan seorang pemuda tampan yang agaknya hendak
membantu penjahat itu, Kui Hwa melintangkan pedangnya di dadanya dan memandang
kepada mereka dengan tajam.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 209
“Sicu (tuan yang gagah),” kata tosu itu kepada si penjahat. “Mengapa kau dikejar-kejar oleh
nona ini?”
“Tolonglah, locianpwe. Dia adalah anak murid Hoa-san-pai! Kami telah bertempur, akan
tetapi teecu kehilangan pedang dan ....dan terpaksa melarikan diri!”
“Hmm, orang-orang Hoa-san-pai memang selalu mengandalkan kepandaiannya sendiri. Nona,
biarpun pinto (aku) telah berjanji untuk menghadapi orang-orang Hoa-san-pai dengan pedang
ditangan, akan tetapi melihat bahwa kau adalah seorang nona muda, biarlah pinto memberi
ampun dan kau boleh pergi dengan aman!”
Ucapan ini benar-benar sombong dan memandang rendah, maka Kui Hwa yang beradat tinggi
tentu saja merasa amat tersinggung.
“Totiang, kau seorang pertapa janganlah mencampuri urusan ini. Ketahuilah bahwa anak
murid Gobi ini adalah seorang bangsat besar, seorang jay-hwa-cat yang kejam!”
“Perempuan Hoasan tutup mulutmu yang kotor! Tidak malukah kau seorang perempuan
mengeluarkan kata-kata kotor itu? Memang tadi aku kurang hati-hati sehingga pedangku
terlepas. Sekarang menghadapi jago dari Kim-san-pai kau merasa takut dan hendak
mempergunakan ketajaman mulutmu. Cih, tak tahu malu!”
“Bangsat rendah!” Kui Hwa memaki dan menyerbu ke depan, hendak menyerang penjahat
itu. Akan tetapi Gan Bu Gi yang telah mencabut pedangnya lalu menangkis serangan itu.
“Kau hendak melindungi penjahat ini?” teriak Kui Hwa sambil memandang tajam.
“Suhu, biar teecu yang menangkap gadis liar ini,” Gan Bu Gi berkata seperti minta izin
kepada gurunya yang hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Bagus, kalau begitu kaupun harus mampus di tanganku,” Kui Hwa berteriak garang dan
menyerang Gan Bu Gi. Pertempuran terjadi dengan amat serunya. Pemuda itu benar-benar
tangguh dan ilmu pedangnya hebat sekali, jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Jayhwa-
cat itu. Akan tetapi Kui Hwa tidak takut dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Setelah bertempur sampai seratus jurus lebih dengan amat seru dan saling serang tanpa ada
tanda-tanda siapa yang akan menang. Semalaman suntuk ia tidak tidur menjaga di atas
genteng yang dingin dan berangin, lalu ia harus bertempur melawan penjahat itu dan
mengejarnya sampai jauh sehingga tubuhnya telah merasa lelah dan lemas.
Kini menghadapi Gan Bu Gi yang benar-benar kosen, membuat ia lelah sekali dan permainan
pedangnya mulai kacau dan lemah. Akan tetapi sungguh aneh, ternyata pemuda yang tampan
itu tidak bermaksud mencelakainya. Buktinya, tiap kali pedangnya hampir mengenai
tubuhnya Kui Hwa, selalu ditariknya dan diserongkan sehingga tidak melukai Kui Hwa.
“Ha ha ha, muridku. Kau agaknya jatuh hati kepada lawanmu!” terdengar tosu itu tertawa
bergelak. Kui Hwa melihat betapa muka pemuda itu menjadi kemerahan dan ia sedikit pun
merasa jengah dan malu. Akhirnya dengan sabetan yang keras, pedang gadis itu terlepas dari
tangan dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Gan Bu Gi berhasil menotok jalan darahnya
sehingga ia menjadi lemas dan lumpuh tak berdaya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 210
“Bunuh saja anjing betina Hoa-san-pai ini!” Jay-hwa-cat tadi berseru keras. Akan tetapi Gan
Bu Gi segera menjawab,
“Jangan!” Kau pergilah dari sini! Musuhmu ini aku yang menjatuhkannya, maka aku dan
suhu yang berhak memutuskannya. Pula kau telah melakukan pekerjaan buruk dan kalau saja
tidak mengingat bahwa kau adalah anak murid Gobi, tentu kami tak sudi membantumu.”
Penjahat itu pergi bagaikan anjing kena pukul, tidak berani menengok lagi, bahkan
mengucapkan terima kasih pun tidak.
“Suhu, teecu harap suhu tidak berkeberatan untuk mengampuni nona ini.”
Bong Bi Sianjin gelak terbahak mendengar ucapan muridnya ini.
“Kau yang menangkapnya, maka terserah kepadamu. Kau tahu kemana harus menyusul, kalau
sudah selesai urusanmu dengan nona ini!” Kembali tosu itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya
berkelebat dan lenyap dari situ, meninggalkan Gan Bu Gi dan nona tawanan di tempat itu.
Tin Eng mendengar penuturan Kui Hwa dengan penuh perhatian. Ia melihat betapa kawannya
itu memandang jauh dengan mata penuh lamunan, seakan-akan membayangkan segala
peristiwa yang dahulu telah terjadi dan menimpa kepada dirinya.
“Demikianlah, adik Tin Eng. Tosu tua yang batinnya tidak bersih itu meninggalkan muridnya
seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada muridnya untuk melakukan
sesuatu yang tidak baik,” kata Kui Hwa melanjutkan ceritanya. “Dan semenjak saat itu, aku
telah bersumpah di dalam hatiku bahwa pada suatu hari aku pasti akan membunuh bangsat
Gan Bu Gi dan tosu keparat itu!” Gadis itu kini menjadi merah mukanya dan matanya
mengeluarkan cahaya berapi.
“Akan tetapi enci Hwa, apakah yang telah dilakukan oleh Gan Bu Gi kepadamu?” tanya Tin
Eng sambil memandang penuh perhatian.
“Apa yang dilakukan? Jahanam itu .... anjing rendah itu .... ia ....ah, tak dapat kuceritakan apa
yang telah ia perbuat terhadap diriku!” Dan tiba-tiba Kui Hwa mengucurkan air mata, lalu
bangkit berdiri dan melompat ke atas kudanya serta melarikan kuda itu secepatnya.
Tin Eng melengak, terpaksa iapun melompat ke atas kudanya dan menyusul kawannya.
Biarpun Kui Hwa tidak memberi penjelasan, akan tetapi ia dapat menduga apakah yang telah
diperbuat oleh Gan Bu Gi terhadap gadis itu. Dan kebenciannya terhadap Gan Bu Gi meluapluap,
Bangsat rendah, pikirnya, orang macam itu harus dibinasakan. Dan ayahnya bahkan
memaksanya untuk menjadi isteri dari pemuda macam itu.
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke Hong-san dengan cepat. Karena Tin Eng tidak
mendesaknya dan tidak minta penjelasan, maka Kui Hwa tidak banyak bicara lagi dan soal
yang lalu itu tidak pernah disinggung-singgung oleh kedua pihak. Berkat kejenakaan dan
kegembiraan Tin Eng, awan gelap yang selalu menyelimuti wajah Kui Hwa semenjak ia
menuturkan pengalamannya, mulai pudar dan ia menjadi gembira lagi seperti biasa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 211
Pada suatu hari, mereka tiba di kota Keng-hoa-bun yang berada di tepi sungai Siong-kiang.
Baru saja mereka memasuki pintu gerbang kota dan kuda-kuda mereka dilarikan congklang,
tiba-tiba terdengar suara laki-laki memanggil Kui Hwa. “Tan-sumoi!”
Kui Hwa menengok dan ketika melihat dua orang pemuda berdiri di pinggir jalan, ia menahan
kudanya dan menjawab, “Hai ....! Jiwi suheng! Kalian juga berada di sini?”
Tin Eng menengok dan memandang kepada dua orang pemuda yang ditegur oleh Kui Hwa.
Mereka ini adalah dua orang laki-laki muda yang tegap dan gagah, yang seorang berpakaian
baju biru dan yang kedua baju putih. Dari sebutan yang dikeluarkan oleh Kui Hwa tadi ia
maklum bahwa kedua orang pemuda itu adalah suheng (kakak seperguruan) dari kawannya,
jago-jago muda dari Hoa-san-pai, maka ia memandang dengan penuh perhatian.
Kui Hwa melompat turun dari kudanya, dituruti oleh Tin Eng, sedangkan kedua orang
pemuda itupun berlari menghampiri mereka.
“Sumoi, kau hendak pergi kemanakah?”
Kui Hwa tersenyum dan berkata sambil menunjuk ke arah Tin Eng,
“Panjang untuk dibicarakan, kita harus mencari tempat yang cocok untuk memutuskan hal ini.
Sekarang perkenalkan dulu, ini sahabat baikku yang bernama Liok Tin Eng yang berjuluk
Sian-kiam Lihiap. Adikku, ini adalah kedua suhengku yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok!”
Kedua saudara Pui itu menjura kepada Tin Eng yang membalasnya pula sebagaimana
lazimnya.
“Sumoi berkata benar!” kata Pui Hok yang berbaju putih. “Mari kita pergi ke rumah makan
untuk bercakap-cakap.”
Tin Eng dan Kui Hwa lalu menuntun kuda mereka dan berempat pergi ke sebuah rumah
makan yang terdekat. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera menyuruh seorang
kawannya menerima dua ekor kuda itu untuk dicancang di pinggir rumah makan. Kemudian
ia mengantar keempat orang tamunya ke ruangan tamu yang kosong.
Pui Kiat, Pui Hok, Tin Eng dan Kui Hwa lalu duduk mengelilingi sebuah meja. Rumah makan
itu amat sederhana, bahkan buruk sekali. Temboknya sudah banyak yang rusak kelihatan
batanya, karena keadaan di situ tidak amat bersih, mereka memilih tempat duduk dekat
jendela yang kereinya tergulung agar mendapat hawa segar. Pelayan itu lalu mendekati
mereka sambil membungkuk-bungkuk. Sikapnya menghormat sekali dan pelayan ini memang
lucu wajahnya. Mukanya bundar, seperti juga tubuhnya yang gemuk pendek, senyumnya
lebar dan pakaiannya sudah tambal-tambalan.
“Tuan-tuan dan nona-nona tentu haus dan hendak minum arak, bukan? Arak kami sudah
tersohor enak dan wangi dan saya berani bertanggung jawab bahwa setetes pun air tidak
dicampurkan seperti arak yang dijual di lain rumah makan!” kata pelayan itu sambil
mengacungkan ibu jari kedua tangannya.
Pui Kiat berwatak polos dan kasar dan pada waktu itu ia telah merasa lapar sekali, maka
berkata keras,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 212
“Sediakan nasi yang banyak dan arak baik!”
Pelayan itu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri untuk menyediakan pesanan Pui
Kiat. Kemudian Pui Kiat memandang kepada sumoinya dan berkata dengan muka girang,
“Sumoi, telah lama kita tidak bertemu. Kau harus menuturkan semua pengalamanmu. Kau
hendak pergi kemanakah dan setelah kita bertemu di sini, lebih baik kita mengadakan
perjalanan bersama.”
Kui Hwa tersenyum dan Tin Eng yang melihat pandangan mata Pui Kiat kepada sumoinya
diam-diam tersenyum juga karena pandang mata pemuda itu dengan jelas menyatakan bahwa
Pui Kiat menaruh hati sayang kepada sumoinya.
“Twa-suheng, aku dan adik Tin Eng ini hendak pergi ke Hong-san!” jawab Kui Hwa.
Pui Kiat yang duduk di sebelah kanannya memandang kepada Pui Hok dan kedua orang itu
menyatakan keheranan mereka.
“Mengapa semua orang hendak pergi ke Hong-san?” kata Pui Hok. “Pasukan berkuda itupun
hendak pergi ke Hong-san! Ada apakah di Hong-san, sumoi?”
Kui Hwa bertukar pandang dengan Tin Eng dan Dewi tangan maut itu mengerti bahwa Tin
Eng tidak setuju apabila ia menceritakan tentang harta terpendam itu kepada kedua
suhengnya, maka lalu ia menjawab,
“Ah, itu hanya kebetulan saja barangkali jiwi-suheng. Kami berdua hanya ingin meluaskan
pemandangan. Karena kami mendengar bahwa pemandangan di Hong-san amat indah, maka
kami hendak pesiar di sana.”
Sementara itu, semenjak tadi Pui Hok mengerling ke arah Tin Eng dengan pandang mata
kagum dan hormat,
“Bolehkah siauwte mengetahui, Liok lihiap ini anak murid dari mana?” ia bertanya kepada
Tin Eng. Dara ini merasa ragu-ragu untuk menjawab oleh karena maklum bahwa kedua
saudara Pui ini adalah anak murid Hoa-san-pai yang bermusuhan dengan Go-bi-pai, cabang
persilatan dari ayahnya, maka ia menjadi serba salah dan memandang kepada Kui Hwa. Dewi
tangan maut itu tertawa dan berkata kepada kedua suhengnya,
“Harap jiwi suheng jangan heran dan kaget. Nona ini adalah seorang anak murid yang tidak
langsung dari Go-bi-pai.”
Kedua saudara Pui ini tercengang, bahkan air muka mereka berubah ketika mendengar ini,
akan tetapi Kui Hwa cepat-cepat melanjutkan keterangannya.
“Suheng berdua jangan salah sangka. Biarpun adik Tin Eng anak murid Gobi, akan tetapi
sikap dan pendiriannya berbeda dengan anak murid Go-bi-pai yang lain. Ia tidak bermusuhan
dengan cabang kita, buktinya ia menjadi sahabat karibku. Adik Tin Eng samasekali tidak
memperdulikan permusuhan-permusuhan itu, dan menurut pertimbangannya, tidak perduli
dari cabang manapun yang jahat adalah musuhnya dan yang baik menjadi sahabatnya.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 213
Kedua saudara Pui itu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum dan girang.
“Pertimbangan yang amat bijaksana!” Pui Hok memuji.
“Bagus!” Pui Kiat menyatakan kegirangan. “Kalau semua anak murid Go-bi-pai seperti Liok
lihiap ini, alangkah akan senangnya hatiku.”
“Akan tetapi sesungguhnya adik Tin Eng bukanlah mengandalkan kepandaiannya dari ilmu
silat cabang Gobi. Ia mendapat sebutan Sian-kiam lihiap, bukan karena ilmu pedang cabang
Go-bi-pai, akan tetapi karena ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat!”
Makin tercengang kedua orang pemuda itu mendengar keterangan ini.
“Ah ...! Tidak tahunya kita berhadapan dengan seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-hoat yang
terkenal itu!” kata Pui Kiat sambil berdiri dan menjura kepada Tin Eng, diturut pula oleh Pui
Hok. “Maaf, lihiap. Kami berlaku kurang hormat!”
Tin Eng cepat berdiri dan membalas penghormatan ini, lalu berkata cemberut sambil
mengerling kepada Kui Hwa yang duduk di sebelah kanannya,
“Dasar enci Kui Hwa yang bisa saja memuji orang. Ilmu pedangku yang masih dangkal apa
harganya untuk diperkenalkan? Harap jiwi enghiong tidak berlaku sungkan dan banyak
menjalankan peradatan!”
Pada saat itu, pelayan yang gemuk pendek itu muncul membawa guci arak, cawan-cawan arak
dan empat mangkok nasi putih yang bersih. Dengan cekatan dan tersenyum-senyum ia
mengatur cawan-cawan arak dan mangkok nasi itu dihadapan keempat orang tamunya.
“Silahkan, tuan-tuan dan nona-nona. Selamat makan dan minum!”
Pui Kiat sudah lapar semenjak tadi. Melihat nasi putih yang masih mengebul hangat itu, cepat
ia menyambarnya dan menggunakan sumpit untuk makan nasi itu. Akan tetapi Kui Hwa
memandang kepada pelayan tadi dan berkata,
“Apakah kau sudah mabok? Mana masakan sayurannya? Apakah kami harus makan nasi
saja?”
Pui Hok juga merasa tidak senang dan sambil memandang kepada pelayan itu dengan mata
mendelik ia berkata,
“Bagaimana sih kau melayani tamu? Apakah restoran ini hanya menjual nasi saja? Hayo,
cepat sediakan masakan-masakannya yang paling istimewa. Cepat, kami sudah lapar!”
Akan tetapi, pelayan itu tidak cepat-cepat melakukan perintah ini, bahkan berdiri seperti
patung dan memandang kepada mereka dengan muka yang bodoh.
“Mengapa kau masih berdiri saja?” Pui Kiat yang masih makan nasinya itu membentak pula.
Pelayan gemuk pendek itu mengangkat pundak dan mengembangkan kedua tangannya seperti
orang yang merasa susah dan putus harapan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 214
“Harap jangan marah, tuan-tuan dan nona-nona. Selain nasi, tidak ada masakan apapun juga
di sini. Kalau tuan-tuan dan nona-nona suka akan kecap saja ....”
“Kau suruh kami makan nasi dengan kecap? Gila! Kenapa tidak ada masakan? Apakah
restoranmu ini sudah mau gulung tikar?” kata Pui Kiat yang menunda makannya. Nasi
semangkok itu tinggal sedikit saja karena perutnya yang lapar membuat nasi tanpa sayur itu
terasa cukup nikmat.
“Pagi tadi sih lengkap,” pelayan itu menjawab. “Akan tetapi semua masakan kami diborong
oleh pasukan berkuda dari kota raja itu dan harus diantarkan semua ke tempat pemberhentian
mereka. Bukan dari restoran kami saja, bahkan dari restoran lain pun demikian.”
Pui Kiat menggebrak meja. “Apakah hanya mereka saja yang mampu membayar? Kami juga
akan membayar sepenuhnya!”
Pelayan itu makin gelisah dan mukanya menjadi pucat melihat dandanan pakaian empat orang
tamu ini. Ia dapat menduga bahwa mereka ini adalah orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat
yang tak boleh dibuat gegabah. Maka dengan amat hati-hati dan membungkuk-bungkuk ia
berkata,
“Maaf siauw-ya (tuan muda). Siapa berani membantah kehendak perwira dari kota raja?
Kalau kami memberi masakan kepada cuwi, kemudian terlihat kepada mereka, bukankah itu
berarti bahwa kami mencari bencana sendiri?”
“Jangan takut, kami yang akan tanggung!” kata pula Pui Kiat yang berangasan. Keluarkan
sayur dan daging untuk kami, akan kami bayar sepenuhnya. Lagi pula, kami hanya berempat
dan kami bukanlah orang-orang yang gembul, tentu takkan habis persediaan masakanmu oleh
kami berempat.”
Pelayan itu tidak menjawab hanya kini ia mewek seperti mau menangis, matanya memandang
bingung dan kadang-kadang melirik ke arah mangkok nasi Pui Kiat yang hampir habis
nasinya itu. Agaknya meragukan ucapan Pui Kiat yang menyatakan bahwa empat orang ini
bukan orang-orang gembul. Kalau bukan gembul, masa semangkok nasi tanpa sayur dapat
dilalap habis dalam waktu sebentar saja?
Pui Kiat tidak sabar lagi, lalu bangkit berdiri menghampiri pelayan itu, memegang tangannya
dan menariknya menuju ke dapur di restoran itu. Merasakan betapa pegangan tangan Pui Kiat
bagaikan jepitan besi pada pergelangan tangannya, pelayan itu tidak berani berlambat-lambat
lagi dan segera mengerjakan semua pesanan Pui Kiat. Juga para tukang masak melihat hal ini
menjadi bingung karena mereka benar-benar merasa takut kalau-kalau mendapat marah dari
perwira pemesan masakan itu.
Atas desakan dan ancaman Pui Kiat, karena bahan-bahan berupa sayur dan daging memang
sudah tersedia, sebentar saja beberapa mangkok masakan yang mengepul dan mengeluarkan
kesedapan yang menimbulkan selera dihidangkan oleh pelayan gemuk pendek ke meja empat
orang muda itu. Pui Kiat dan tiga orang kawannya lalu makan minum dengan gembira.
“Anak-anak murid Hoasan bermakan minum dengan seorang murid Gobi!” kata Pui Hok
sambil mengerling ke arah Tin Eng yang duduk di sebelah kanannya. “Aduh, sungguh hal
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 215
yang belum pernah terjadi selama bertahun-tahun ini. Sungguh hal yang mengagumkan dan
menyenangkan sekali!”
“Jiwi suheng (kakak seperguruan berdua) sebetulnya hendak ke manakah? Tanya Kui Hwa
yang telah menghabiskan nasinya.
“Kami hendak pergi ke Swi-siang mengunjungi seorang paman dan karena kita satu jurusan,
maka biarlah kita melakukan perjalanan bersama,” kata Pui Kiat. “Bukankah perjalanan ke
Hong-san melalui kota itu?”
“Bagiku sih tidak ada halangannya, bahkan makin banyak kawan seperjalanan makin
gembira. Akan tetapi harus ditanyakan dahulu kepada adik Tin Eng.”
“Liok–lihiap tentu tidak keberatan untuk melakukan perjalanan bersama kami berdua,
bukan?” Pui Hok bertanya sambil memandang pada gadis itu.
Bab 24 …
MENGHADAPI dua orang bersaudara yang amat peramah itu, tentu saja tak mungkin bagi
Tin Eng untuk menyatakan keberatannya. Sungguhpun ia akan lebih senang apabila dapat
melakukan perjalanan berdua saja dengan Kui Hwa. Demi kesopanan dan persahabatan, ia
tersenyum sambil menjawab,
“Mengapa aku harus keberatan? Jiwi enghiong adalah kakak seperguruan enci Kui Hwa dan
karena enci Kui Hwa adalah sahabat baikku, maka jiwi berarti juga sahabat-sahabatku pula.”
Bukan main girangnya Pui Kiat dan Pui Hok mendengar ini. Lagi-lagi mereka memuji gadis
ini dan menyatakan bahwa apabila semua anak murid Go-bi-san seperti Tin Eng, tentu
keadaan dunia akan menjadi aman.
“Akan tetapi kalian berdua menunggang kuda,” kata Pui Kiat. “Maka lebih baik aku dan
adikku ini mencari dua ekor kuda pula. Sumoi dan Liok-lihiap harap tunggu sebentar di sini,
karena aku dan adikku akan membeli dua ekor kuda dulu.”
Kui Hwa dan Tin Eng menyatakan baik dan kedua orang saudara Pui itu meninggalkan rumah
makan untuk pergi membeli kuda tunggangan. Kedua orang gadis yang ditinggal berdua saja
itu bercakap dengan gembira.
“Kedua suhengku itu biarpun agak kasar, akan tetapi mereka mempunyai hati yang baik dan
jujur,” kata Kui Hwa.
“Enci Hwa, melihat suhengmu Pui Kiat itu amat menaruh perhatian padamu. Apakah kau
tidak merasakan hal itu?”
Merahlah muka Kui Hwa. Ia mengangguk dan menjawab, “Dugaanmu memang benar, Tin
Eng. Semenjak dahulu dia memang ..... ada hati terhadapku.”
Setelah berkata demikian, Dewi tangan maut ini menundukkan kepalanya dan mukanya
membayangkan kedukaan besar. Tin Eng yang cerdik dapat menduga bahwa kawannya ini
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 216
tentu teringat lagi akan malapetaka yang menimpa dirinya berhubungan dengan pertemuannya
dengan Gan Bu Gi.
Pada saat itu terdengar suara orang di depan restoran dan mereka mengenal suara pelayan
pendek gemuk yang bicara dengan suara gemetar ketakutan.
“Ampun, tai-ciangkun. Bukan sekali-kali maksud hamba membangkang terhadap perintah
akan tetapi kami tidak berdaya. Empat orang tamu telah memaksa kepada hamba melayani
mereka dan menghidangkan masakan yang telah dipesan oleh Tai-ciangkun, maka terserahlah
kepada kebijaksanaan tai-ciangkun!”
“Kurang ajar!” terdengar suara orang memaki. Suara ini tinggi dan kecil hingga amat ganjil
bagi suara seorang laki-laki.
Kemudian terdengar tindakan kaki banyak orang memasuki restoran itu.
Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang dan bersiap sedia karena mereka maklum bahwa yang
datang ini tentulah perwira kerajaan yang menurut kata pelayan tadi, itulah pemborong semua
masakan restoran itu. Mereka melihat munculnya lima orang.
Yang terdepan adalah seorang laki-laki berusia hampir empat puluh tahun yang berpakaian
seperti guru silat dengan sarung golok tergantung pada pinggang kirinya. Tubuh orang ini
tegap dan jenggotnya hanya sedikit, meruncing ke bawah bagaikan jenggot kambing bandot.
Di belakangnya nampak empat orang berpakaian seragam dan melihat hiasan bulu di atas topi
mereka, tahulah kedua orang gadis itu bahwa mereka adalah perwira-perwira kerajaan. Ketika
melihat seorang yang masuk paling belakang, Tin Eng terkejut sekali karena mengenal orang
itu sebagai Thio Sin, kepala pengawal atau perwira yang bekerja pada ayahnya. Thio Sin
membisikkan sesuatu kepada laki-laki setengah tua yang memimpin tadi. Laki-laki itu
berubah mukanya dan kalau tadi ia nampak marah sekali, kini ia berubah menjadi girang,
bahkan lalu tertawa bergelak.
“Ah, ini namanya jodoh! Dicari dengan sengaja ke mana juga tidak bertemu. Tidak tahunya
tanpa disengaja berjumpa di sini. Ha ha!”
Tin Eng berdiri dengan hati tidak enak. Ia tidak tahu siapakah orang ini. Akan tetapi dengan
hadirnya Thio Sin di situ, ia merasa bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan.
“Liok-siocia,” kata Thio Sin. “Ketahuilah bahwa orang gagah ini adalah Ang Sun Tek,
pembantu istimewa dari kerajaan. Biarpun ia tidak mengenakan pakaian seragam, namun
Ang-ciangkun menduduki pangkat amat tinggi di kalangan perwira kerajaan.”
“Aku tidak perduli dan tidak ingin mengetahui hal itu!” jawab Tin Eng dengan kasar.
Orang yang bernama Ang Sun Tek itu tertawa bergelak. Dia inilah ketua dari Liok-te-Pat-mo
(Delapan Iblis Bumi) yang kini menjadi pembantu-pembantu istimewa dari pasukan pengawal
kerajaan. Ang Sun Tek inilah murid Lok Kong Hosiang yang telah mewarisi ilmu silat Patkwa
To-hoat, ahli golok yang amat lihai dan yang menjagoi di seluruh daerah utara. Dialah
yang kini sedang dicari-cari oleh Gwat Kong dan Cui Giok.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 217
“Nona Liok, sudah lama mendengar namamu yang hebat. Bukankah kau yang dijuluki Siankiam
Lihiap dan yang menerima tugas dari kedua anak Pangeran Pang Thian Ong untuk
mencari harta terpendam? Ha ha! Kebetulan sekali, kami serombongan ini sengaja keluar dari
kota raja untuk mencari permata yang telah terjatuh ke dalam tangan kedua putera she Pang
itu. Selain itu, akupun mendapat pesan dari ayahmu untuk mencarimu dan membawamu
kembali ke Kiang-sui!”
“Aku tidak kenal kepadamu dan tidak perduli apa yang sedang kau lakukan, tidak perduli
tentang segala urusanmu dengan ayahku!”
“Ha ha ha! Ganas, ganas! Aku hanya menerima pesan ayahmu dan mau atau tidak, kau harus
ikut kami pergi ke Kiang-sui untuk menghadap ayahmu!”
Tin Eng menjadi marah dan mencabut pedangnya. “Mau memaksa! Boleh, majulah
berkenalan dengan pedangku!”
“Ha ha ha! Sian-kiam Lihiap, si pedang dewa telah mencabut pedangnya Sungguh lihai!”
Sambil berkata demikian, Ang Sun Tek menggerakkan kaki tangannya ke kanan kiri dan
hebat sekali. Meja kursi yang berada di kanan kirinya, sungguhpun tidak tersentuh oleh kaki
tangannya, akan tetapi terdorong jatuh bagaikan disapu angin besar.
Tin Eng terkejut melihat kehebatan tenaga lweekang ini dan Kui Hwa yang melihat ini pun
kaget sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Tin Eng takkan dapat menandingi laki-laki ini,
maka iapun segera mencabut pedangnya dan melompat di dekat Tin Eng.
“Eh, ada pendekar pedang wanita yang lain lagi. Siapakah kau, nona?” Ang Sun Tek tertawa
mengejek.
“Tak perlu aku memperkenalkan namaku kepada segala orang macam kau. Cukup kalau kau
kenal namaku sebagai Dewi Tangan Maut!”
Mendengar nama ini, kembali Ang Sun Tek tertawa menghina. “Ah, tidak tahunya ada anak
murid Hoa-san-pai di sini. Kau agaknya lebih bijaksana dari pada Sin Seng Cu. Buktinya kau
mau menjadi sahabat nona Liok yang menjadi anak murid Go-bi-pai.”
“Kau adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa
kepandaianmu itu hanya kau gunakan untuk menghina wanita. Adik Tin Eng tidak mau
pulang, mengapa kau hendak memaksanya?”
“Ha ha! Dewi Tangan Maut. Apa kaukira bahwa dengan adanya kau di sini, aku takkan dapat
membawa nona Liok pulang ke Kiang-sui.
“Manusia sombong, pergilah!” Tin Eng yang tak dapat menahan sabar lagi melompat maju
dan mengirim serangan kilat dengan pedangnya.
Ang Sun Tek tertawa-tawa dan menggunakan kakinya menendang meja kursi melayang ke
arah Tin Eng sehingga gadis itu terpaksa menangkis dengan pedangnya. Sekali bacok kursi itu
terbelah dua dan jatuh di atas lantai. Dengan perbuatannya itu, Ang Sun Tek membuat
ruangan itu menjadi lega.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 218
“Nah, majulah dan coba perlihatkan ilmu pedangmu!” ia menantang Tin Eng yang segera mau
menyerbu. Tadinya Ang Sun Tek mengira bahwa ilmu pedang Tin Eng tentulah ilmu pedang
cabang Go-bi-pai. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat pedang itu berkelebat
cepat laksana halilintar menyambar-nyambar.
Terpaksa ia harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari sambil
mempergunakan kedua tangannya mainkan ilmu silat semacam eng-jiauw-kang untuk
merampas pedang di tangan Tin Eng. Kalau saja Tin Eng mempergunakan ilmu pedang Gobi-
pai, dalam beberapa jurus saja pedangnya tentu telah kena dirampas oleh Ang Sun Tek.
Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng adalah ilmu pedang Sin-eng Kiamhoat
yang luar biasa lihainya, maka jangankan untuk dapat merampas, bahkan kalau
dilanjutkan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, belum tentu Ang Sun Tek akan
dapat mengalahkannya.
Barulah Ang Sun Tek merasa terkejut dan tidak berani memandang rendah. Ia berseru keras
dan mencabut keluar goloknya dan ketika goloknya itu digerakkan, maka menyambarlah
angin dingin yang membuat Tin Eng tercengang. Bukan main hebatnya ilmu golok ini dan
luar biasa pula tenaga sambarannya. Ia tidak tahu bahwa ilmu golok ini adalah Pat-kwa Tohoat
yang merupakan ilmu silat yang paling tinggi untuk daerah utara.
Melihat betapa dalam segebrakan saja golok Ang Sun Tek telah menindih dan mendesak
pedang Tin Eng, Kui Hwa lalu melompat maju dan membantu Tin Eng. Sementara itu, empat
orang perwira kerajaan yang mengikuti Ang Sun Tek hanya berdiri di pinggir menjadi
penonton saja oleh karena mereka tidak berani membantu tanpa diperintah dari Ang Sun Tek.
Biarpun dikeroyok oleh dua orang gadis pendekar itu, namun ilmu golok Ang Sun Tek benar
lihai sekali. Tiap kali goloknya membentur pedang lawan, Tin Eng atau Kui Hwa merasa
tangan mereka tergetar dan pedang mereka hampir terlepas dari genggaman. Hoa-san Kiamhoat
yang dimainkan oleh Kui Hwa adalah ilmu pedang yang lihai, sedangkan Sin-eng Kiamhoat
lebih luar biasa lagi. Akan tetapi kalau kedua ilmu pedang itu digunakan berbareng oleh
dua orang untuk mengeroyok, kedua ilmu pedang ini tidak mendatangkan kehebatan yang
berganda. Biarpun keduanya merupakan ilmu pedang yang lihai, akan tetapi memiliki
keistimewaan masing-masing dan gerakannya yang berbeda.
Hal ini menguntungkan Ang Sun Tek karena kalau saja yang mengeroyoknya itu keduanya
memiliki ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat tentu akan lebih berat baginya. Atau kalau saja
yang mengeroyoknya adalah dua orang Tin Eng, agaknya akan sukar baginya untuk
menjatuhkan lawan-lawannya.
Dengan gerakan-gerakan ilmu golok Pat-kwa To-hoat, yang mempunyai dasar delapan segi
itu, maka ia dapat menghadapi dua orang lawannya dengan baik, bahkan ia selalu berada di
pihak yang mendesak. Baik Tin Eng maupun Kui Hwa telah mulai lambat dan kacau gerakan
pedang mereka, oleh karena mereka telah dibikin bingung oleh perobahan-perobahan sinar
golok yang menyilaukan mata. Ketika Ang Sun Tek sambil tertawa-tawa memperhebat
gerakannya, maka sibuklah mereka menangkis dan mengelak.
“Lepas senjata!” Ang Sun Tek berseru keras dan terdengar bunyi “trang!!” keras sekali. Tahutahu
pedang di tangan Kui Hwa telah terlempar dan mencelat ke atas sampai menancap pada
langit-langit rumah makan itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 219
“Ha ha ha! Dewi Tangan Maut, aku merasa malu untuk melukai seorang yang tak pantas
menjadi lawanku. Kalau kau masih penasaran, suruhlah Sin Seng Cu atau yang lain
mencariku di kota raja!” kata Ang Sun Tek sambil mengelak dari sambaran pedang Tin Eng.
Kemudian secepat kilat tangan kirinya menotok Tin Eng. Gadis itu menjerit, pedangnya
terlepas dari pegangan dan tubuhnya menjadi lemas tidak berdaya lagi.
“Thio-ciangkun, rawatlah baik-baik nona majikanmu itu!” kata Ang Sun Tek kepada Thio Sin
yang segera maju dan menolong Tin Eng yang sudah tak berdaya itu. Sementara itu dengan
hati gemas, marah, sedih dan malu, Kui Hwa melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Tak jauh dari situ, ia melihat Pui Kiat dan Pui Hok datang menunggang kuda. Kui Hwa lalu
memberi tanda-tanda kepada mereka sehingga kedua orang muda itu memutar kembali kuda
mereka dan mengikuti sumoi mereka itu keluar dari kota. Melihat wajah Kui Hwa yang
nampak pucat dan bersungguh-sungguh dan tidak bersama dengan Tin Eng, mereka merasa
gelisah.
“Sumoi, apakah yang telah terjadi?” tanya Pui Kiat setelah mereka tiba di luar kota.
“Dan dimanakah nona Liok?” tanya Pui Hok. “Mengapa ia tidak bersamamu?”
Dengan singkat Kui Hwa lalu menuturkan tentang pengalamannya bertemu dengan Ang Sun
Tek yang kosen dan yang telah berhasil menawan Tin Eng untuk dipulangkan ke Kiang-sui.
“Celaka!” kata Pui Kiat. “Dia adalah kepala dari Liok-te Pat-mo yang amat terkenal Pat-kwatin
mereka. Dia telah memandang rendah Hoa-san-pai kita. Benar-benar kurang ajar!”
“Mari kita tolong nona Liok!” kata Pui Hok.
“Tidak ada gunanya,” kata Kui Hwa. “Orang she Ang itu terlalu tangguh bagi kita. Aku
sendiri bersama Tin Eng sama sekali tidak berdaya menghadapinya. Ilmu goloknya amat luar
biasa. Selain itu, ia masih mempunyai kawan yang berkepandaian tinggi, semua perwira dari
kerajaaan yang tak boleh dipandang ringan. Kalau kita bertiga pergi menolong, kita sendiri
yang akan mendapat bencana.”
“Aku tidak takut!” seru Pui Hok bersemangat. “Apakah kita harus membiarkan saja nona
Liok tertawan?”
“Bukan begitu, ji-suheng,” kata Kui Hwa. “Aku sendiri tentu akan membela mati-matian
apabila mengetahui bahwa Tin Eng berada dalam bahaya. Akan tetapi ia tertawan oleh
kawan-kawan ayahnya sendiri dan maksud mereka hanya akan membawa Tin Eng secara
paksa kembali ke rumah orang tuanya. Memang Tin Eng pergi dari rumah orang tuanya tanpa
izin ayahnya.”
Kemudian karena terpaksa, secara singkat Kui Hwa menuturkan riwayat Tin Eng yang
dipaksa kawin sehingga lari dari rumahnya dan betapa mereka berdua bertemu dengan Phang
Gun dan Phang Si Lan yang mempercayakan pengambilan harta terpendam kepada Tin Eng
dan dia sendiri.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 220
“Oleh karena itu, keselamatan Tin Eng kurasa takkan terganggu. Mereka takkan berani
mengganggu puteri dari Kepala daerah Liok di Kiang-sui. Yang kukhawatirkan hanya kalaukalau
mereka akan dapat memaksa Tin Eng membongkar rahasia peta tempat harta pusaka itu
tersimpan. Dan terutama sekali, tantangan Ang Sun Tek amat menggemaskan hati, maka
sekarang baiknya diatur begini saja. Ang Sun Tek dan para kawannya belum kenal kepada
suheng berdua, maka suheng berdua baiknya mengikuti perjalanan mereka, sambil menjaga
kalau-kalau Tin Eng mengalami bencana. Pendeknya, suheng berdua mengawal Tin Eng
secara sembunyi. Aku sendiri hendak melaporkan hal ini kepada suhu dan susiok agar supaya
penghinaan Ang Sun Tek terhadap Hoa-san-pai dapat terbalas. Kemudian aku akan mewakili
Tin Eng mengambil harta pusaka itu sebelum didahului oleh Ang Sun Tek atau pesuruh dari
Pangeran Ong Kiat Bo yang lain.”
Pui Kiat dan Pui Hok menyatakan persetujuan dan kesanggupan mereka, terutama sekali Pui
Hok yang tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan perasaan tertarik dan sukanya kepada Tin
Eng dan pemuda ini amat mengkhawatirkan keadaan nona cantik itu. Dengan diam-diam
mereka mengikuti rombongan yang dipimpin oleh Ang Sun Tek itu, yang tidak melanjutkan
perjalanan mereka ke Hong-san, akan tetapi kembali ke utara dan kini menuju Kiang-sui.
Sebetulnya, ketika mereka memasuki kota itu dan bertemu dengan pasukan berkuda di bawah
pimpinan Ang Sun Tek, secara iseng Pui Kiat dan Pui Hok mencari keterangan tentang hal
mereka dan mendapat penuturan pengurus hotel bahwa rombongan berkuda itu adalah
perwira-perwira kerajaan yang akan pergi ke Hong-san. Tadinya mereka tidak mengambil
perhatian dan mereka tertarik ketika mereka bertemu dengan Kui Hwa dan mendapat
keterangan bahwa Kui Hwa dan Tin Eng juga sedang menuju ke Hong-san. Kini setelah
mendengar penuturan Kui Hwa, barulah kedua saudara Pui ini mengerti apakah maksud
semua orang pegi ke Hong-san, yakni mencari harta pusaka yang tersembunyi di daerah
pegunungan itu.
Sebagaimana yang telah diduga oleh Kui Hwa, Tin Eng tidak mendapat gangguan di tengah
perjalanan, sungguhpun ia tidak berdaya sama sekali, naik kuda di tengah-tengah rombongan,
Ang Sun Tek yang kosen itu senantiasa mendampinginya untuk menjaga kalau-kalau nona
pendekar itu melarikan diri.
****
Kita tinggalkan dulu pasukan berkuda yang membawa Tin Eng menuju Kiang-sui dan yang
selalu diikuti jejaknya oleh Pui Kiat dan Pui Hok itu dan marilah kita menengok keadaan Bun
Gwat Kong dan Sie Cui Giok yang melakukan perjalanan bersama.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan bahwa nona Sie Cui Giok yang gagah perkasa
itu sedang melakukan perjalanan untuk mencari Liok-te Pat-mo dan membalas dendam
kakeknya yang pernah dikalahkan oleh delapan iblis bumi yang lihai itu dan Bun Gwat Kong
yang merasa tertarik mendengar hal ini lalu ikut pergi bersama Cui Giok untuk bersama-sama
mencoba kelihaian Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo itu.
Karena perjalanan mereka ke kota raja itu, melalui Hun-lam, maka setelah lewat di kota itu,
Gwat Kong menyatakan kepada kawan seperjalanannya untuk mampir sebentar.
“Apakah kau ada keperluan di kota ini?” tanya Cui Giok yang ingin buru-buru sampai di kota
raja.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 221
Gwat Kong belum pernah menceritakan kepada nona ini perihal Tin Eng dan ia mengira
bahwa Tin Eng masih tinggal di rumah Lie-wangwe, yakni paman dari Tin Eng yang tinggal
di kota Hun-lam. Mendengar pertanyaan Cui Giok ini ia menjadi bingung karena sukar untuk
menyebut nama Tin Eng tanpa menceritakan semua riwayatnya dengan gadis itu. Akan tetapi
akhirnya ia menjawab juga, “Aku mempunyai seorang kawan baik di kota ini.”
“Siapa dia? Siapa namanya?”
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan