Minggu, 03 Juni 2018

Ouwyang Heng-Te 2 Tamat

=====
baca juga
Pada suatu hari mereka bertiga masuk ke dalam sebuah
kampung yang cukup besar dan ramai. Ketika tiba di
sebuah jembatan, terpaksa mereka hentikan kuda mereka
karena jembatan itu penuh dengan orang-orang. kampung
yang sedang mengelilingi seorang laki-laki tua yang sedang
menangis. Mereka memegangi kedua lengan orang tua itu
dan membujuk-bujuk-nya. Ouwyang Bun segera meloncat
turun dari kuda dan bertanya kepada seorang di antara
mereka, ?
"Eh, laoko, apakah yang terjadi di sini?"
Orang itu menengok dan ketika melihat Ouwyang Bun
dan kedua kawannya ber pakaian sebagai orang-orang
gagah berpedang, segera memberi hormat dan berkata
perlahan,
"Siapa lagi kalau bukan seorang daripada pembesarpembesar
busuk yang menyusahkan kehidupan kami?
Sekarang yang menjadi korban adalah empek she Lim ini.
Ia adalah penduduk kampung ini semenjak mudanya, hidup
sebagai petani miskin. Tapi ia cukup beruntung karena anak
perempuannya telah kawin dengan seorang pemuda tani
yang pandai bekerja hingga penghidupan empek ini dan
anaknya terjamin. Empek Lim demikian senang melihat
keadaan anaknya yang telah kawin dengan baik-baik hingga
ia ingin menyatakan terima kasihnya kepada Yang
Mahakuasa maka diajaknya anak dan mantunya pergi ke
kota Lam-ciu untuk bersembahyang di kelenteng. Tapi tibatiba
datang malapetaka menimpanya. Di dalam kota, anak
perempuannya terlihat oleh tikwan kota Lam-ciu yang
terkenal mata keranjang, hingga pembesar itu mengucapkan
kata-kata yang menghina dan memalukan anak perempuan
empek Lim itu. Tentu saja anaknya menjadi marah dan
melawannya. Tikwan itu lalu bertindak dan anak mantu
empek Lim ditangkap dengan tuduhan yang telah men
bosankan kami."
"Tuduhan apa?" Ouwyang Bun bertanya penasaran,
sementara itu, Ouwyang Bu dan Lie Eng juga sudah
mendekat dan mendengarkan.
0oo-d-w-oo0
Jilid IV
"APALAGI? Tentu saja tuduhan sebagai kaki tangan
pemberontak. Juga anak perempuannya ditangkap.
Kemudian pembesar itu diam-diam memberi tahu kepada
empek Lim bahwa, jika ia memberikan a-nak
perempuannya dengan baik-baik untuk menjadi bini muda
tikwan itu, maka anak mantunya boleh pulang dengan
aman, akan tetapi kalau tidak, maka anak mantunya akan
dihukum terus, sedangkan anak perempuannya juga akan
ditahan." Orang itu menghela napas.
"Dan sekarang mengapa banyak orang membujuk-bujuk
empek itu di sini?" tanya Lie Eng yang juga sangat tertarik
dan penasaran oleh kelakuan tikwan jahanam itu.
"Pagi tadi empek Lim hendak bunuh diri dan terjun ke
dalam sungai yang curam itu, maka ia dicegah oleh, orang
banyak dan dibujuk-bujuknya supaya jangan mengambil
keputusan pendek dan-nekat."
Ouwyang Bu tidak sabar lagi. Ia bertindak maju
mendekati empek Lim itu dan berkata,
"Orang tua, jangan kau khawatir. Kami bertiga sanggup
menolongmu."
Kakek itu heran mendengar kata-kata ini karena
terdengar baru dan ganjil. Semenjak ia mendapat kesusahan
ini, orang-orang hanya menghiburnya dan minta ia
menyerahkan nasib kepada Yang Maha Kuasa. Tapi anak
muda ini sanggup menolongnya, maka ia lalu mengangkat
muka memandang. Melihat betapa anak muda itu
berpakaian dan berwajah tampan dan gagah, serta di
pinggang tampak gagang pedang,, tiba-tiba ia mendapat
harapan besar. Ia lalu maju berlutut di depan Ouw-yang Bu
dan kedua kawannya yang juga mendekatinya.
"Kalau enghiong bertiga dapat menolong tak dan
mantuku, aku yang tua akan bersembahyang siang malam
memohon kepada Thian agar membalas budi kalian orangorang
gagah."
Kata-kata yang diucapkan dengan bibir gemetar dan
mata basah ini membuat Lie Eng merasa terharu.
"Hayo antar kami ke kota Lam-oiu untuk bertemu
dengan tikwan itu." kata gadis itu dengan gagah.
Melihat peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya
itu, yakni betapa ada orang-orang muda yang hendak
melawan tikwan, orang-orang kampung merasa heran dan
gembira dan segera ada orang yang meminjamkan seekor
kuda kepada empek Lim ke Lam-ciu.
Ketika mereka tiba di kota Lam-ciu mereka langsung
menuju ke gedung tikwan. Melihat gedung yang angker dan
megah itu, empek Lim menggigil karena bagaimana mereka
dapat melawan seorang pembesar yang memiliki kekuasaan
Tapi Lie Eng menghiburnya.
"Jangan kau takut, lopeh, aku yang tanggung bahwa,
anak dan mantumu pasti akan dibebaskan?”
Mendengar suara gadis yang gagah itu, empek Lim
merasa agak terhibur. Kedatangan mereka berempat
disambut oleh penjaga pintu dan Ouwyang Bu berkata
kepadanya,
"Beritahukan kepada tikwan bahwa kami hendak
bertemu."
Penjaga itu menjadi marah melihat lagak mereka dan
sebentar saja lima orang penjaga telah menghadapi mereka.
"Kami bertiga sengaja mengantar empek Lim ini untuk
menghadap kepada tikwan dan minta keadilan," kata
Ouwyang Bun yang tidak mau menerbitkan keributan
dengan penjaga itu.
"Tunggu saja di sini, akan kami laporkan..' kata kepala
penjaga yang lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian
penjaga itu datang dan mereka diperkenankan masuk, tapi
dikawal oleh belasan penjaga.
Tikwan kota Lam-ciu adalah seorang gemuk yang
bermulut lebar. Ketika ia keluar dengan pakaian kebesaran,
wajahnya nampak pucat dan kepalanya dibalut. Begitu
keluar dan melihat para tamunya yang memakai pedang di
pinggang, ia segera menuding ke arah Ouwyang-hengte dan
Lie Eng sambil berseru keras,
"Nah, inilah orang-orangnya. Tangkap... tangkap
mereka......"
Para penjaga yang belasan jumlahnya itu segera maju
mengurung hingga Ouwyang-hengte dan Lie Eng menjadi
marah sekali. Mereka cepat mencabut pedang, dan Lie Eng
meloncat bagaikan seekor burung ke arah tikwan itu lalu ia
pegang pundaknya dan pedangnya ditempelkan di lehernya.
"Kalau orang-orangmu bergerak, maka lehermu akan
kuputuskan lebih dulu." ancamnya dengan marah dan
gemas.
"Ampun.... ampun, lihiap.... ampun.," Tikwan itu
ketakutan dan ia membentak para kaki tangan, "Eh,
kalian... mundur...."
"Kau anjing gemuk. Tidakkah kau tahu sedang
berhadapan dengan siapa? Kalau aku beri tahu kepada
ayahku, pasti dengan tangannya sendiri ia akan
mematahkan batang lehermu. Kau kenal ayah? Namanya
Cin Cun Ong, kenalkah kau??"
Makin takutlah tikwan itu mendengar nama Cin Cun
Ong. Ia kini ingat bahwa Cin-ciangkun yang berpengaruh
itu mempunyai seorang puteri yang gagah perkasa. Jadi
inikah puterinya itu?
"Ampun, lihiap... ampun. Apakah salahku maka lihiap
memberi pengajaran? A-ku... aku tidak bersalah apa-apa
terhadap Cin-ciangkun....”
"Kau memang tidak bersalah terhadap kami, tapi apa
yang telah kaulakukan terhadap keluarga Lim? Lihatlah
kepada empek ini, apa yang telah kauperbuat terhadap anak
perempuan dan menantunya?"
"Aku.... aku..... ah, mereka itu adalah pemberontakpemberontak,
lihiap. Menantunya adalah anggauta
pemberontak, maka kusuruh tangkap." Tiba-tiba ia
mendapat pikiran baik dan berkata dengan penuh semangat.
"Lihatlah ini, lihiap. Aku dapat membuktikan bahwa
menantu kakek Lim adalah pemberontak jahat, bahkan
kakek Lim inipun tadinya hendak kusuruh tangkap hari ini
juga. Malam tadi telah datang kawan-kawan menantunya
dan apa yang mereka lakukan terhadapku? Lihatlah,,
sendiri."
Tikwan itu lalu melepaskan pembalut kepalanya dan
ternyata telinga kirinya terpotong dan lenyap. Kemudian
secara singkat tikwan itu menceritakan betapa tadi malam
kamarnya didatangi dua orang yang masuk dari jendela.
Orang-orang itu mengancamnya untuk melepaskan
menantu dari anak kakek Lim dan dengan pedang mereka
lalu menyabet putus telinga kirinya. Dan di dalam
kamarnya, di dinding yang putih, mereka gunakan darah
yang mengucur dari telinganya untuk melukis sebatang
bunga bwee.
Mendengar penuturan ini, Lie Eng saling pandang
dengan Ouwyang-hengte.
"Aku tidak percaya, yang perlu sekarang lekas keluarkan
dan bebaskan anak dan menantu kakek ini."
Tapi pada saat itu, datang masuk sambil berlari-lari
seorang berpakaian penjaga.
"Celaka, taijin. Dua orang penjaga penjara terbunuh mati
dan menantu kakek Lim telah dibawa kabur penjahat.
Juga..... anak perempuannya telah lenyap dari kamar
tahanan."
Tikwan itu menjadi pucat. "Nah, inilah bukti lebih nyata
lagi, lihiap. Mereka itu pasti pemberontak-pemberontak
jahat. Lekas tangkap anjing tua ini." ia memerintahkan
orang-orangnya.
Tapi Lie Eng mencegah. "Lepaskan dia. Dia orang tua,
tidak tahu apa-apa. Lim-lopeh, sekarang pulanglah kau.
Anak dan menantumu ternyata telah ditolong oleh orangorang
lain." Suara Lie Eng mengandung nada tak senang
karena kini iapun percaya bahwa menantu kakek Lim itu
tentu anggauta pemberontak.
"Mari kita periksa lukisan di dinding kamarmu," katanya
kepada tikwan itu yang lalu mengantar mereka bertiga ke
kamarnya. Tikwan ini benar-benar takut dan tunduk kepada
Lie Eng, karena nama Cin Cun Ong yang terkenal, sebagai
seorang jenderal perang yang keras, jujur, dan suka
bertindak terhadap siapa saja yang tidak benar dalam
anggapannya itu membuat semua pembesar merasa takut.
Kini menghadapi puleri panglima tua itu, tentu saja ia
merasa gemetar apalagi karena tahu bahwa gadis ini
memiliki kepandaian tinggi dan kini datang berkawan pula.
Benar saja, di atas dinding yang putih terdapat lukisan
setangkai bunga bwee yang indah, dilukis dengan
menggunakan tinta darah.
"It-to-bwee (Setangkai Bunga Bwee)?? Siapakah mereka
ini?" tanya Lie Eng. Tapi Ouwyang-hengte yang baru saja
muncul dalam dunia ramai, tentu saja belum pernah
mendengar nama ini.
Setelah mereka keluar dari gedung tikwan, Ouwyang
Bun berkata kepada Lie Eng,
"It-to-bwee tidak ada hubungannya dengan kita, untuk
apa kita urus mereka? Asalkan mereka tidak mengganggu
kita, biarkan sajalah. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan
kita."
Lie Eng mengerutkan jidatnya yang berkulit halus.
"Tidak tahukah kau bahwa mereka itu mungkin anggautaanggauta
pemberontak yang berada di kota ini, kita harus
cari dan basmi mereka. Demikianlah pesan ayah. Coba saja
ingat, malam tadi mereka telah melukai seorang tikwan dan
membunuh mati dua orang penjaga."
"Tapi mereka lakukan itu untuk menolong empek Lira
dan anak menantunya. Bukankah kita juga tadinya
bermaksud menolong mereka? Sudah sepatutnya tikwan
jahanam itu mendapat hukuman.” kata Ouwyang Bun.
"Kalau semua orang boleh saja membunuh pegawai
pemerintah, maka di manakah kewibawaan pemerintah.
Tidak, twa-suheng, bagaimanapun, sudah kewajiban kita
untuk mencari It-to-bwee ini dan menyelidikinya, apakah
betul-betul orang-orang ini anggauta pemberontak yang
perlu dibasmi."
Ouwyang Bun melihat betapa adiknya diam saja
mendengar perbantahannya dengan Lie Eng, lalu bertanya
untuk minta bantuan,
"Bagaimana pikiranmu, Bu-te? Apakah kita harus
mencari mereka itu atau kita biarkan saja dan melanjutkan
perjalanan kita?"
Setelah memandang kepada Lie Eng, Ouwyang - Bu
menjawab, "Aku sependapat dengan suraoi."
Mendengar jawaban ini, Lie Eng nampak gembira sekali
dan lalu berkata dengan suara halus kepada Ouwyang Bun,
"Twa-suheng, mungkin kau juga benar dan mungkin
mereka ini bukanlah anggauta pemberontak, tapi hanyalah
orang-orang gagah yang merantau dari dunia kang-ouw.
Tapi tidak ada salahnya kalau kita mencoba selidiki dulu.
Kalau mereka ternyata orang-orang gagah, lebih baik lagi,
kita bisa berkenalan dengan mereka. Bukankah ini baik
sekali?" kata-kata ini diikuti senyuman manis hingga
Ouwyang Bun terpaksa menurut.
"Tapi ke mana kita harus mencari mereka?" tanya
Ouwyang Bu.
Sebelum Lie Eng dapat menjawab pertanyaan sukar ini,
Ouwyang Bun yang berotak cerdik berkata,
"Mereka telah menolong dan membawa pergi anak
perempuan serta menantu empek Lim. Maka
bagaimanapun juga, mereka pasti akan menghubungi
empek Lim. Kalau hendak mencari tahu tentang mereka,
tiada jalan lain kecuali menghubungi kakek itu."
Lie Eng bertepuk tangan memuji. "Twa-suheng memang
cerdik."
Ouwyang Bun melirik ke arah gadis itu dan diam-diam
dalam hatinya ia memuji,
"Ah, kau sendiri yang cerdik luar biasa. Kaukira aku
tidak tahu bahwa pujian-pujianmu ini sengaja,
kaukeluarkan untuk menyenangkan hatiku karena kalah
dalam perbantahan tadi?"
Memang Lie Eng adalah seorang gadis yang berpikiran
cepat dan cerdik. Sebelum Ouwyang Bun mengeluarkan
pendapatnya, memang ia telah berpendapat bahwa mereka
harus mencari melalui empek Lim, tapi ia terlampau cerdik
untuk menyatakan ini dan biarlah Ouwyang Bun yang
mengemukakan pendapatnya. Gadis ini setelah kenal baik
dengan Ouwyang-hengte, dapat membedakan, kedua
saudara itu, tidak saja membedakan rupa, tapi juga
keadaan dan perangai mereka. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu
keras hati dan jujur, tapi tidak sepandai Ouwyang Bun yang
sangat cerdik dan berbudi halus itu.
Hanya satu hal yang tak diketahui oleh gadis itu, yakni
bahwa di dalam dada Ouwyang Bun telah timbul perang
pertimbangan dan perasaan mengenai baik buruk dan benar
salahnya orang-orang yang mereka sebut pemberontak jahat
itu. Sebaliknya, dalam pikiran Ouwyang Bun sama sekali
tiada sangkaan bahwa diam-diam gadis yang gagah dan
cantik jelita itu telah jatuh hati kepadanya.
Sementara itu, sikap Ouwyang Bu yang terus terang dan
jujur membuat Ouwyang Bun dan Lie Eng tahu jelas bahwa
pemuda ini mencintai Lie Eng.
Demikianlah, setelah mengambil keputusan, ketiganya
lalu cepat menyusul empek Lim yang pulang ke
kampungnya menunggang kuda pinjamannya dengan cepat.
Dan ketika empek ini sudah mengembalikan kuda kepada
pemiliknya dan pulang ke rumah, ia mendapatkan sebuah
surat di dalam kamarnya. Dengan cepat ia buka surat itu
dan tangannya yang sudah tua itu gemetar ketika membaca
isinya:
Empek Lim yang baik.
Aku dan kawan-kawanku telah menolong dan
membebaskan anak serta menantumu dari cengkeraman
pembesar korup. Tak mungkin menyuruh mereka pulang ke
kampung karena pasti akan dicari oleh pembesar jahanam
itu. Juga dengan suka rela menantumu hendak ikut dengan
kami. Kalau kau hendak bertemu dengan mereka,
datanglah malam ini di hutan sebelah timur kampung
Tanda lukisan It-to-bwee
Girang sekali hati empek Lim membaca surat ini. Ah,
benar saja anak dan- menantunya telah selamat. Tapi
mengapa mereka hendak ikut dengan para penolong itu?
Siapakah mereka ini dan mengapa anak dan menantunya
hendak ikut mereka?
Pada saat itu, dari luar jendela terdengar suara,
"Empek, tolong kauperlihatkan surat itu kepada kami."
Dan sebelum hilang kagetnya tahu-tahu tiga orang dengan
gerakan cepat sekali telah berada di dalam kamarnya
dengan meloncati jendela. Tapi kekagetan kakek Lim segera
lenyap ketika melihat bahwa yang datang adalah tiga anak
muda yang menolongnya tadi. Ia segera menjatuhkan diri
berlutut di depan mereka, tapi Ouwyang Bun cepat
mengangkatnya bangun.
Tanpa sangsi-sangsi lagi kakek-itu memberikan surat
yang baru saja dibacanya kepada Lie Eng. Dara ini
mengangguk-angguk karena ia makin yakin bahwa It-tobwee
dan kawan-kawannya adalah para anggauta
pemberontak, dapat diketahui dari sebutan-sebutan mereka
kepada pembesar yang penuh dengan kebencian dan
makian
"Lopeh, hati-hatilah kau malam nanti, jangan sampai
ada orang yang mengikutimu," pesan Lie Eng. Mereka
bertiga lalu meninggalkan kakek itu.
"Bagaimana, twa-suheng. Bukankah mereka itu
mencurigakan sekali?" tanya Lie Eng.
Ouwyang Bun harus mengakui bahwa ia kini juga
menyangka bahwa mereka itu adalah anggauta
pemberontak. Tapi dugaan ini bahkan mempertebal rasa
kagumnya terhadap sepak terjang kaum pemberontak. Kini
ia dapat menduga mengapa kaum pemberontak itu
demikian banyak mendapat bantuan para petani dan orangorang
miskin. Ternyata perbuatan mereka yang selalu
menolong kaum lemah dan miskin tertindas, membuat
rakyat kecil merasa simpati dan membantu mereka, seperti
halnya dengan menantu empek Lim yang telah tertolong
itu, kini secara suka rela agaknyapun hendak masuk
menjadi anggauta pemberontak.
"Lebih baik kita mendahului mereka dan menyelidiki
sekarang juga ke hutan itu, ia utarakan pikirannya. Lie Eng
dan Ouwyang Bu setuju dan berangkatlah mereka ke hutan
di sebelah timur kampung, hutan ini memang lebat dan liar,
penuh pohon siong yang telah puluhan tahun umurnya.
Ouwyang-hengte dan Lie Eng menambatkan kuda
mereka di luar hutan dan masuk hutan dengan jalan kaki.
Mereka tak dapat menggunakan kuda karena kaki kuda
bersuara berisik, menimbulkan kecurigaan .dan mudah
diketahui orang dari jauh.
Pada waktu itu hari telah, mulai gelap, lebih-lebih di
dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar itu. Setelah
masuk di tengah-tengah hutan, ketiga anak muda itu
melihat sekelompok orang duduk mengelilingi api unggun.
Mereka segera menghampiri kelompok orang itu sambil
sembunyi-sembunyi di belakang rumpun. Dan ketika
melihat orang-orang itu, terkejutlah Ouwyang-hengte dan
Lie Eng. Ternyata di antara beberapa orang yang tidak
mereka kenal, tampak kedua orang gadis berpakaian lakilaki
murid Ciu Pek In, dan di situ terdapat pula Lui Kok
Pauw, murid Kengan-san yang pernah mereka jumpai di
tempat Gak Liong Ek Si Naga Terbang dari Liok-hui dulu.
Sungguh-sungguh di luar dugaan mereka, dan kini tak dapat
diragukan lagi bahwa mereka ini adalah anggauta-anggauta
pemberontak, bahkan tokoh-tokoh yang penting. Di antara
mereka tampak juga seorang laki-laki muda dan seorang
perempuan yang berpakaian petani tapi berwajah cantik,
maka mereka bertiga dapat menduga bahwa kedua orang
itu tentu anak dan menantu dari kakek Lim.
"Bagaimana, sumoi? Kita serbu saja?" Ouwyang Bu
berbisik perlahan kepada Lie Eng. Melihat bahwa keadaan
para anggauta pemberontak itu tidak sekuat dulu, karena
hanya terdiri dari tujuh orang saja, sedangkan yang sudah
ketahuan kehebatannya hanyalah kedua murid Ciu Pek ln
dan Lui Kok Pauw saja, maka Lie Eng memberi tanda
setuju dengan anggukan kepala.
Tapi Ouwyang Bun berpikir lain. "Sabar dulu," bisiknya,
"lebih baik kita muncul dengan baik-baik dan menanyakan
It-to-bwee yang berada di antara mereka, dan kita lihat saja
sikap mereka bagaimana."
Lie Eng dan Ouwyang Bu sebetulnya tidak menyetujui
sikap sabar terhadap para pemberontak yang jelas menjadi
musuh-musuh mereka itu, tapi tidak mau berbantah pada
saat seperti itu. Mereka lalu keluar dari tempat
persembunyian dan dengan beberapa kali loncatan saja
mereka telah berada di dekat mereka.
Tapi sungguh aneh, orang-orang yang mengelilingi api
unggun itu tidak melihat kedatangan mereka. Bahkan Lui
Kok Pauw hanya menengok sebentar kepada mereka
dengan acuh tak acuh. Murid pertama dari Ciu Pek In,
yakni gadis yang lebih tua daripada Siauw Leng yang dulu
pernah mencoba kepandaian Ouwyang Bu, agaknya
menjadi pemimpin kelompok itu, karena ia segera berdiri
menyambut Ouwyang-hengte dan Lie Eng, menjura sebagai
pemberian hormat lalu berkata,
"Sam-wi telah sudi mengunjungi tempat kami yang
kotor, silakan duduk dekat api. Maaf bahwa kami tak dapat
menyediakan tempat yang lebih baik kepada sam-wi, tapi
agaknya dekat api lebih baik daripada di belakang rumpun
alang-alang itu, ia menunjuk ke arah di belakang rumpun di
mana tadi mereka bertiga bersembunyi.
"Kau sudah tahu bahwa kami tadi bersembunyi di sana,
nona?" tanya Ouwyang Bun kagum.
Nona itu tersenyum dan wajahnya yang gagah itu tibatiba
berobah manis sekali, hingga dalam pandangan
Ouwyang Bun, gadis ini bahkan lebih cantik daripada Lie
Eng. Sayang bahwa pakaian dan topinya yang seperti lakilaki
itu menyembunyikan kecantikannya.
"Bukankah sam-wi mencari It-to-bwee?"
"Di manakah pemberontak itu?" tiba tiba Lie Eng maju
dan bertanya dengan suara keras.
Gadis itu menghadapi Lie Eng dengan senyum sabar.
"Nona Cin, kau sungguh cantik dan gagah, pantas menjadi
puteri Cin-ciangkun. Kau mau mencari It-to-bwee? Akulah
orangnya, dan namaku Cui Sian."
"Bagus, dan mana kawanmu yang pergi bersamamu
membunuh penjaga penjara?" tanya Lie Eng sambil
mencabut pedangnya.
"Akulah orangnya, kalian sudah kenal padaku, bukan?"
dan meloncatlah Siauw Leng menghadapi Lie Eng. Gadis
yang lincah ini tersenyum dan matanya berseri-seri
memandang ke arah Ouwyang Bu.
"Kalau begitu, menyerahlah kalian." bentak Ouwyang
Bu.
Cui Sian tertawa dengan nyaring. "Kalian ini sungguh
harus dikasihani. Benar seperti kata suhu bahwa kalian
adalah tiga batang kembang teratai yang tumbuh di. dalam
lumpur. Tanpa sadar kalian telah menghambakan diri
kepada raja lalim,, memusuhi pejuang-pejuang rakyat.
Tanpa disadari membela para pembesar ganas, pemeras
rakyat jelata."
Mendengar ini, Lie Eng tak dapat mengendalikan
kesabaran hatinya lagi.
"Bangsat pemberontak." makinya dan pedangnya
berkelebat menyambar. Tapi dengan gesit sekali Cui Sian
dapat mengelakkan serangan itu sambil mencabut pedang.
"Kau hendak menguji kepandaian? Baik, baik, mari kita
main-main sebentar, agar kau ketahui kehebatan It-tobwee."
Maka bertempurlah Lie Eng dan Cui Sian. Keduanya
sama gesit dan sama mahir mempermainkan pedang.
Keduanya sama-sama murid tokoh persilatan yang tenar
namanya. Sebagai puteri tunggal dari Cin Cun Ong, tentu
saja Lie Eng memiliki kepandaian silat dan ilmu pedang
yang luar biasa, karena sepasang pedang (siang-kiam) di
tangannya itu dimainkan dengan ilmu silat pedangberpasang
ciptaan ayahnya sendiri yang disebut Im-yang
Siang-kiam-hoat. Begitu ia putar kedua pedangnya,
lenyaplah tubuhnya terbungkus sinar kedua pedangnya itu.
Tapi ia kini menghadapi Cui Sian, murid pertama dari
Ciu Pek In yang terkenal sebagai Si Naga Sakti. Cui Sian
atau yang dijuluki It-to-bwee (Setangkai Kembang Bwee)
segera memutar pedangnya dalam gerakan ilmu silat Sinliong
Kiam-sut yang memiliki sinar panjang dan kuat.
Gerakan pedangnya seperti gelombang samudera yang
menelan sinar kedua pedang Lie Eng, tapi karena Lie Eng
mempunyai ilmu pedang Im Yang yang gerakannya sangat
bertentangan yang kiri dengan tenaga kekerasan, sebaliknya
yang kanan digunakan dengan tenaga lembek, dan begitu
sebaliknya hingga untuk beberapa puluh jurus mereka
bertempur dengan hebat dalam keadaan berimbang.
Akan tetapi, setelah bertempur seratus jurus, diam-diam
Lie Eng mengakui bahwa kepandaian lawan ini sungguh
hebat dan luar biasa, dan mulailah ia terdesak.
Tiba-tiba terdengar bentakan Ouwyang Bu yang tidak
enak harus tinggal diam saja melihat Lie Eng terdesak. Ia
menyerbu masuk ke dalam kalangan pertempuran dengan
pedang di tangan. Tapi ia disambut oleh Siauw Leng, yakni
adik dari Cui Sian. Seperti dulu, kedua anak muda ini
bertanding lagi. Tapi kalau dulu mereka hanya bertanding
tangan kosong, kini keduanya menggunakan pedang. Juga
Ouwyang Bu begitu pedangnya terbentur dengan pedang
Siauw Leng, harus mengakui bahwa gadis yang lincah ini
memiliki tenaga lweekang dan gerakan pedang yang hebat
dan merupakan lawan yang kuat.
Ouwyang Bun berdiri bingung. Haruskah ia turun
tangan? Ia melihat bahwa selain Lui Kok Pauw, di situ
masih ada tiga o-rang lagi yang agaknya memiliki
kepandaian tinggi, maka andaikata ia maju pula turun
tangan, belum tentu pihaknya akan mendapat kemenangan,
dan hasil dari serbuan ini tentu hanya akan memperhebat
permusuhan belaka. Oleh karena itu ia mencabut
pedangnya dan meloncat memisah Cui Sian dan Lie Eng
yang sedang bertempur sambil berkata,
"Sumoi, tahan."
Lie Eng melohcat mundur dan merasa girang karena
menyangka bahwa Ouwyang Bun hendak
menggantikannya, tapi ia kecewa melihat bahwa Ouwyang
Bun hanya memisah saja, bahkan kini membentak adiknya
supaya menghentikan pertempurannya. Ouwyang Bu
dengan bersungut-sungut juga meloncat mundur dan
pertempuran dihentikan. Orang-orang yang mengelilingi api
unggun tetap di tempatnya tidak bergerak.
"It-to-bwee, kau memang gagah dan maafkan kamikalau
mengganggu. Biarlah lain kali kita bertemu pula."
kata Lie Eng dengan hati gemas kepada Ouwyang Bun
yang tak mau membantunya.
"Nona Cin, kau juga hebat," jawab Cui Sian sambil
tersenyum, "sayang kita dilahirkan di tempat yang berbeda,
kalau tidak, aku akan senang sekali bersahabat dengan
kau."
Tanpa menjawab dan dengan muka cemberut
menandakan bahwa hatinya masih merasa dendam dan
jengkel karena tak dapat mengalahkan lawannya, Lie Eng
lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ouwyang Bu. Sementara
itu, Ouwyang Bun menjura kepada Cui Sian sambil berkata,
"Kulihat bahwa nona dan kawan-kawan nona adalah
orang-orang perwira yang memiliki kepandaian tinggi dan
orang baik-baik, tapi mengapa sampai menjadi anggauta
pemberontak?"
Nona itu memandang wajah Ouwyang Bun dengan
tajam dan tiba-tiba muka yang tadinya lemah lembut itu
kini tampak berapi ketika ia berkata,
"Sudahlah. Kau yang dilahirkan di air laut tentu
menganggap bahwa semua air rasanya asin dan tidak tahu
bahwa air daratan adalah air tawar yang rasanya manis.
Berkali-kali kami masih memberi kesempatan hidup kepada
kau dan kawan-kawanmu tapi sekali lagi kita bertemu,
hanya ujung pedanglah yang akan menentukan."
Ouwyang Bun merasa hatinya tertusuk sekali oleh
ueapan ini dan ia makin bimbang dan ragu-ragu.
Menghadapi dua pihak yang bermusuhan ini, ia merasa
terjepit di tengah-tengah seakan-akan orang berdiri di antara
dua api yang bernyala-nyala panas. Akhirnya dengan
menghela napas dan menundukkan kepala ia pergi
menyusul Lie Eng dan Ouwyang Bu.
Setelah mereka bertiga berkumpul kembali, Ouwyang Bu
berkata,
"Mereka masih berada di sana, mengapa kita tidak minta
bantuan pembesar kota untuk mengerahkan barisan penjaga
dan menawan mereka itu? Dengan bantuan kita bertiga,
tentu mereka semua akan dapat dibekuk dan diserahkan
kepada pengadilan."
Ouwyang Bun buru-buru mencela usul adiknya dan
berkata, "Ah, apa perlunya hal itu kita lakukan? Kurang
baik dan memalukan. Apakah untuk melawan beberapa
orang saja kita harus mengerahkan barisan penjaga? Pula
mereka telah berlaku lunak terhadap kita, apakah perlunya
kita membalas dengan kekerasan. Ini akan memalukan dan
menodai nama baik kita saja."
"Bun-ko. Mengapa akhir-akhir ini hatimu begitu lemah?
Kau pikir sedang menghadapi siapa? Ingat, kita
menghadapi pemberontak jahat. Mereka itu harus dibasmi.
Sekarang kita bertemu dengan mereka dan mendapat
kesempatan baik sekali, mau tunggu apa lagi?"
Ouwyang Bun menghela napas. Otaknya membenarkan
kata-kata adiknya, tapi hatinya membantah. Ia lebih taat
kepada suara hatinya, maka katanya, "Bu-te, sebenarnya
mereka itu mempunyai kesalahan apakah terhadap kita?
Apakah mereka pernah mengganggu kau atau aku, atau
bahkan pernah mengganggu sumoi? Mengapa kita mau
menawan mereka dan kemudian mereka dihukum mati
seperti semua orang yang dianggap anggauta pemberontak?
Bukankah itu terlalu kejam?"
Lie Eng memandang wajah Ouwyang Bun dengan
tajam, lalu berkata,
"Untung sekali bahwa kau tidak mengucapkan kata-kata
ini di depan ayah. Kata-katamu ini dapat dianggap
mengkhianati negara. Ah, twa-suheng, kau tak dapat
menjadi seorang perajurit yang baik. Kau bukan berdarah
perajurit hingga kau terlalu menurutkan suara hati, dan
tidak taat kepada perintah atasan serta tidak tahu akan
tugas kewajiban sebagai seorang perajurit. Aku tidak dapat
menyalahkan-mu, suheng, karena kau belum pernah
mengalami pertempuran hebat. Kalau saja kau tahu dan
pernah mengalami betapa para pemberontak itu
menyembelih tentara kita dengan kejam, betapa mereka itu
membasmi dan membinasakan seluruh keluarga para
pembesar yang jatuh ke tangan mereka, betapa anggautaanggauta
mereka itu pada malam hari mendatangi gedunggedung
orang hartawan dan pembesar tinggi untuk
merampok harta dan membunuh jiwa, betapa mereka
bercita-cita untuk menggulingkan pemerintah dan untuk
membunuh kaisar dan semua pembesar tinggi yang
sekarang berkuasa, tentu kau takkan bicara seperti itu."
Gadis ini bicara dengan bernapsu sekali. Dan aneh, tiba-tiba
saja kedua matanya yang bening dan bagus itu mengalirkan
air mata.
Melihat keadaan gadis itu dan mendengar kata-katanya,
Ouwyang Bun duduk kebingungan, sedangkan Ouwyang
Bu merasa terharu dan jengkel, la memang telah jatuh hati
kepada sumoinya ini dan mencintainya tanpa disadarinya,
maka mendengar kata-kata gadis itu, timbullah
semangatnya. Serentak ia berdiri dan mengepal tinju.
"Kalau begitu, mengapa kita membuang-buang waktu di
sini dengan mengobrol saja? Hayo kita lekas menjemput
pengawal dan membasmi mereka itu."
Tapi biarpun Ouwyang Bun telah mendengar kata-kata.
gadis itu dengan segala alasannya, namun ia tetap ragu-ragu
dan1 tidak bergerak dari tempat duduknya. Mungkinkah
seorang gadis secantik dan segagah Cui Sian itu dapat
berlaku sekejam dan sejahat itu?
Ketika Lie Eng melihat sikap Ouwyang Bu yang
bersemangat, ia berkata, "Ji-suheng, takkan ada artinya
kalau kita menyerbu ke sana. Sepanjang pengetahuanku,
mereka itu bukanlah orang-orang bodoh, dan setelah tempat
mereka kita ketahui, tentu mereka akan berpindah tempat
secepatnya dan dapat kupastikan bahwa jika kita membawa
barisan menyerbu ke sana, tentu mereka telah pergi dari
situ. Kalau hal ini terjadi, maka kita hanya akan mereka
tertawakan dan mendapat malu saja. Biarlah kali ini kita
biarkan mereka, tapi lain kali kalau kita mendapat
kesempatan] bertemu dengan anggauta pemberontak lagi,
kita sekali-kali tidak boleh berlaku lemah." sambil berkata
demikian, Lie Eng mengerling kepada Ouwyang Bun yang
hanya menundukkan kepala.
Pada keesokan harinya, setelah meninggalkan pesan
kepada tikwan agar jangan berlaku sewenang-wenang
dengan ancaman bahwa hal itu akan diadukan kepada
ayahnya, Lie Eng dan Ouwyang-hengte meninggalkan
tempat itu untuk melanjutkan perantauan mereka.
Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kampung yang
tampak sunyi sekali. Di dalam kampung itu terdapat dua
buah rumah penginapan sederhana, tapi anehnya, ketika
ketiga anak muda itu hendak bermalam dan minta kamar,
kedua rumah penginapan itu tidak mau menerima mereka
dengan alasan kamar penuh.
Ouwyang Bu yang beradat keras segera berkata,
"Kamar penuh? Eh, louwko, kami datang dari tempat
jauh dan sudah lelah sekali. Kau harus menerima kami."
Pengurus rumah penginapan itu dengan wajah muram
menjawab, "Bagaimana kami dapat menerima kalian?
Kamar sudah penuh, lebih baik sam-wi terus saja, Di
sebelah barat kira-kira limabelas li dari sini terdapat sebuah
kampung dan di situ juga ada rumah penginapan.”
"Kau gila?" Ouwyang Bu membentak. "Hari sudah
malam dan kami sudah lelah, kau bilang harus melanjutkan
perjalanan? Kaukatakan bahwa rumah penginapanmu
penuh, tapi mana tamunya? Aku tidak melihat seorangpun
di sini. Jangan kau menipu kami, apa kaukira kami takkan
membayar sewa kamarnya?"
Melihat pemuda itu menjadi marah, pengurus rumah
penginapan yang sudah tua itu cepat menjura dengan
hormat. "Maaf kongcu, bukan saya menipu, tapi benarbenar
semua kamar telah diborong oleh Lai-loya untuk
digunakan malam ini dan besok hari. Saya tidak berani
melanggar perintah dan pesannya."
"Lai-loyamu itu mengapa begitu serakah? Kamar begini
banyak hendak disewanya semua? Sungguh gila." kata
Ouwyang Bun yang juga merasa jengkel.
"Lai-loya hanya menggunakan dua kamar, tapi ia tidak
mau terganggu oleh tamu-tamu lain, maka ia borong semua
kamar. Dan siapakah yang berani membantah perintah Lailoya?"
kata pengurus itu dengan muka takut-takut dan
melihat ke sana-sini karena ia khawatir kalau-kalau ada
orang mendengar betapa Lai-loya dimaki-maki oleh
Ouwyang Bun.
Mendengar jawaban ini, Ouwyang Bu marah sekali dan
ia segera mengangkat tangan hendak memukul sambil
berkata, "Kau harus memberi kamar kepada kami.
Sedikitnya kau harus melihat bahwa di antara kami ada
terdapat seorang siocia. Aku dan kakakku dapat tidur di
luar atau di lantai, tapi untuk siocia ini kau harus memberi
sebuah kamar."
Ouwyang Bun melihat betapa adiknya hendak memukul
tuan rumah, segera mencegahnya dan dengan suara halus
lalu berkata, "Saudara, berlakulah baik hati dan berilah
sebuah kamar untuk sumoiku ini. Nanti kalau Lai-loya itu
marah, kami yang akan menghadapinya."
Lie Eng juga tidak sabar lagi, lalu maju dan bertanya
kepada pengurus rumah penginapan, "Eh, sebenarnya Lailoya
ini orang macam apakah? Apakah ia telah menjadi
raja?"
"Di kampung ini ia memang sama dengan raja. Siapa
berani membantahnya? Hampir semua rumah-rumah di
kampung ini adalah miliknya dan semua sawah ladang di
sekeliling kampung inipun miliknya. Boleh dibilang
sekampung ini adalah hambanya, karena betapapun juga,
kami telah berhutang budi kepadanya."
"Berhutang budi? Bagaimana maksudmu?" tanya Lie
Eng.
"Lai-loya telah begitu baik hati sudi menyewakan rumahrumahnya
itu kepada kami dan menyerahkan tanahtanahnya
itu untuk kami kerjakan dengan bagi hasil. Kalau
tidak ada dia, bukankah kami akan mati kelaparan?"
Lie Eng memandang heran, sedangkan Ouwyang Bun
tiba-tiba menjadi tertarik sekali. "Kau bilang bahwa dia
yang menolong semua penduduk kampung ini? Dan berapa
kau bayar untuk sewa rumah ini?"
"Murah saja, hanya seperempat bagian dari seluruh hasil
usaha kami."
"Seperempat bagian? Dan kaukatakan ini sebagai
pertolongan?" setelah berkata demikian, tiba-tiba Ouwyang
Bun tertawa bergelak-gelak. Ia merasa geli dan kasihan
melihat kebodohan orang kampung itu dan merasa marah
mengingat akan kelicinan orang she Lai yang memeras
penduduk kampung tapi masih menerima ganjaran nama
baik sebagai "penolong besar" itu. Alangkah bodohnya
orang-orang kampung ini dan alangkah pintarnya hartawan
itu.
"Apalagi kalau bukan pertolongan?" pengurus rumah
penginapan itu berkata lagi. "Kalau tidak ada Lai-loya,
takkan ada rumah ini, dan kalau tidak ada rumah ini, kami
takkan dapat membuka perusahaan ini."
Kembali Ouwyang Bun tertawa geli. "Dan sawah-sawah
ladang itu? Apakah hendak kau bilang juga bahwa kalau
tidak ada Lai-loyamu itu, maka takkan ada sawah ladang
dan tanah? Apakah Lai-loya itu yang membikin tanah di
sekitar kampung ini pula?"
"Tentu, kalau tidak ada dia tentu kita tidak bisa
menyewa tanah sawah di sekitar kampung ini. Dan tentang
membikin tanah...." penjaga rumah penginapan itu berhenti
karena bingung.
"Bun-ko, sudahlah," tiba-tiba Ouwyang Bu menyela
kakaknya, "apakah anehnya dengan semua itu? Memang
sudah menjadi kebiasaan demikian, yakni penyewa rumal"
harus membayar dan penggarap tanah harus pula membagi
hasilnya kepada pemilik tanah. Apakah yang aneh dalam
hal ini maka kau menjadi heran dan menertawakannya?"
Ouwyang Bun memandang kepada adiknya dengan
heran. "Apa? Kau juga tidak dapat melihat kelucuan hal ini?
Tak dapatkah kau melihat kejahatan orang she Lai itu?
Kejahatannya lebih besar daripan da kejahatan seorang
perampok. Tidak tahukah kau.... dan kau, sumoi, kau juga
tidak tahu? Tidak mengerti.....?" Ouwyang Bun memindahmindahkan
pandangan matanya kepada Lie Eng dan
Ouwyang Bu, tapi kedua anak muda itu hanya balas
memandang dengan penuh keheranan.
Akhirnya Ouwyang Bu segera memegang pundak
kakaknya karena ia merasa cemas kalau-kalau kakaknya itu
terlampau lelah. "Bun-ko, sudahlah. Kau perlu beristirahat.
Jangan pikirkan hal itu lagi, karena bukankah ayah juga
seorang kaya dan memiliki banyak tanah dan rumah pula?
Ingatlah, sawah-sawah dan rumah-rumah kita juga banyak
disewa orang seperti yang terjadi di kampung ini."
Tapi sungguh tak terduga sama sekali, mendengar katakata
adiknya ini, tiba-tiba Ouwyang Bun menggunakan
tangannya untuk memukul tiang yang berdiri di dekatnya
hingga dengan mengeluarkan suara keras tiang kayu yang
besar itu roboh karena sebagian daripadanya hancur kena
pukulan Ouwyang Bun.
"Itulah yang memualkan perutku. Itulah.." sambil
berkata demikian pemuda itu berjalan ke arah sebuah
kamar yang kosong dan tanpa melepas pakaian atau
sepatunya lagi ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan
kemudian terdengarlah dengkurnya.
Ouwyang Bu saling pandang dengan Lie Eng. Keduanya
heran sekali melihat kelakuan Ouwyang Bun seperti itu.
Sementara itu, pengurus rumah penginapan melihat betapa
galaknya mereka ini, hinggai ia tak berani, membantah, lalu
menyediakan dua kamar untuk mereka. Hanya ia berkata
berkali-kali kepada Ouwyang Bui dan Lie Eng bahwa
mereka harus berani bertanggung jawab bila nanti Lai-loya
menjadi marah.
"Jangan takut, kami yang akan menghadapi loyamu itu."
Ouwyang Bu akhirnya membentak marah hingga pengurus
rumah penginapan itu menjadi takut dan pergi.
Lie Eng memasuki kamarnya dan beristirahat, sedangkan
Ouwyang Bu masuk ke dalam kamar yang ditiduri
kakaknya. Dengan khawatir dan penuh kasih sayang, ia
perlahan-lahan membuka sepatu kakaknya itu lalu
menyelimuti tubuh Ouwyang Bun. Lalu ia duduk di pinggir
pembaringan dan berkali-kali meraba jidat kakaknya,
karena ia khawatir kalau-kalau kakaknya jatuh sakit.
Ouwyang Bu sampai lupa akan diri sendiri yang sama sekali
belum mel ngaso itu. Sambil memandangi wajah kakaknya,
ia merasa bingung memikirkan mengapa kakaknya menjadi
begini. Sungguh ia tidak mengerti.
Terdengar suara panggilan perlahan dari Lie Eng di luar
pintu. Ouwyang Bu lalu keluar. Ternyata, setelah mencuci
muka dan badan, gadis itu memesan makanan dan
maksudnya mengajak kedua suhengnya itu makan malam.
"Sumoi, kau makanlah lebih dulu. Bun-ko belum
bangun."
"Bagaimana dia? Apakah sakit?" Lie Eng bertanya
dengan khawatir lalu ia memasuki kamar itu. Dengan
penuh perhatian dipandangnya muka pemuda yang
berbaring itu dan dengan gaya yang mesra dirabanya
jidatnya. Kemudian ia berpaling dan bersama Ouwyang Bu
keluar dari kamar.
"Kalau begitu biarlah kita menanti sampai ia bangun,"
katanya perlahan.
"Sumoi, kau makanlah dulu. Kau lelah dan sejak pagi
tadi belum makan pagi. Makanlah, nanti kau sakit," kata
Ouwyang Bu dengan penuh perhatian.
Mendengar suara pemuda itu, Lie Eng menjadi terharu.
Ia maklum bahwa pemuda ini mencintainya, tapi apa daya
hatinya telah terjatuh oleh sinar mata Ouwyang Bun. la
hanya menggelengkan kepala dan menjawab,
“Biarlah, ji-suheng, aku juga belum lapar benar. Kita
makan sama-sama saja nanti kalau twa-suheng telah
bangun." Dan gadis ini lalu lari ke kamarnya.
Ketika Ouwyang Bii memasuki kamarnya lagi, ia
melihat kakaknya bergerak-gerak. Ia cepat menghampiri
dan duduk di pinggir pembaringan. Ouwyang Bun
membuka matanya perlahan dan memandang adiknya.
"Bun-ko, bagaimana? Kau merasa pening?" tanya
adiknya sambil memegang lengannya.
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun-ko, kau kenapa? Apakah kau marah kepadaku?
Kalau aku bersalah, pukul saja aku, Bun-ko."
Tiba-tiba Ouwyang Bun bangun cepat. Ia peluk adiknya
yang dikasihinya ini.
"Adikku, adikku.... tidak. Kau tidak bersalah, Bu-te.
Akulah yang bersalah, ah.... kau juga.... kita berdua dan...
dan suhu juga....."
"Bun-ko, apa maksudmu?" Ouwyang Bu memandang
dengan mata terbelalak.
"Ya, suhu salah, bahkan.,., ayah juga salah...... Ah,
adikku, tidak tahukah kau bahwa mereka itu, orang-orang
yang kita anggap pengkhianat dan pemberontak jahat itu,
mereka adalah orang-orang yang benar cinta kepada tanah
air dan bangsa? Mereka adalah patriot-patriot sejati. Mereka
benar, memang keadaan rakyat kita sangat sengsara dan
perlu ditolong."
Ouwyang Bu memandang kakaknya dengan mata liar. Ia
takut kalau-kalau kakaknya telah menjadi gila. Kata-kata
kakaknya membuat ia marah sekali. Ia pegang kedua
pundak Ouwyang Bun sambil berkata dengan suara berbisik
tapi penuh nap-su hingga terdengar mendesis,
"Apa katamu....? Apa katamu....??" Ia mengguncangguncangkan
tubuh kakaknye seakan-akan hendak membuat
kakaknya sadar dari maboknya
Dengan tubuh lemas dan suara terputus-putus Ouwyang
Bun berkata,
"Memang.... suhu.. susiok... ayah dan kita sendiri.... kita
semua tersesat dan menjadi.... alat. belaka......"
"Plok.." tangan Ouwyang Bu menampar muka
kakaknya. Karena Ouwyang Bun tidak mengelak atau
menangkis, maka tamparannya tepat mengenai pipi
Ouwyang Bun hingga darah merah mengalir keluar, dari
bibir pemuda ifu. .
"Ya, tamparlah.... tamparlah sekali lagi, dua kali, ya
tamparlah seratus kali, Bu-te. Memang aku pantas ditampar
untuk menebus dosa suhu, dosa ayah........ dosa kita......"
Melihat betapa muka kakaknya yang dikasihinya itu
berdarah, tiba-tiba Ouwyang Bu memeluk kakaknya dan
menangis.
"Bun-ko.... Bun-ko, jangan kau bicara begitu, Bun-ko....
kau tidak sayang kepada adikmu....?"
"Bu-te, siapa bilang aku tidak sayang kepadamu? Aku
tidak gila, juga tidak ma-bok. Semua kata-kataku itu
kuucapkan dengan penuh "kesadaran. Bu-te, kalau kau
memang menurut kehendakku, marilah kita pergi dari sini.
Marilah kita tinggalkan sumoi dan tinggalkan semua ini,
kita pergi ke puncak gunung dan mengasingkan diri dari
dunia yang penuh keributan ini."
Ouwyang Bu bangun duduk dan memandang muka
kakaknya.
"Bun-ko, kalau aku tidak sangat sayang kepadamu,
untuk ucapanmu terhadap ayah dan suhu tadi saja, sudah
cukup bagiku untuk membunuhmu. Tapi aku tak dapat
melakukan itu, dan kau.... janganlah kau berbuat semacam
ini, Bun-ko. Apakah kau ingin menjadi seorang
pengkhianat? Ingin melawan dan memusuhi pendapat dan
cita-cita ayah dan suhu sendiri? Di mana jiwa kebaktianmu
terhadap orang tua dan guru? Apakah kau ingin menjadi
pengecut yang merasa takut terhadap para pemberontak itu
dan mengundurkan diri? Ah, Bun-ko, pikirlah baik-baik."
"Adikku, bukan sekali-kali aku pengkhianat atau
pengecut. Kau cukup tahu o-rang macam apa kakakmu ini.
Hanya saja, aku telah merasa yakin bahwa tindakan kita ini
keliru. Kita tidak boleh memusuhi para pejuang rakyat itu,
bahkan seharusnya kita membantu. Kalau kau suka
menurut kakakmu dan masih percaya akan bimbinganku,
mari kita pergi dan kau kelak akan melihat sendiri bahwa
pendapatku ini benar semata-mata."
"Tak mungkin." adiknya menjawab sambil
menggelengkan kepala.
Ouwyang Bun memegang. pundaknya. "Bu-te, kau.....
cinta pada sumoi, bukan?"
Pundak yang dipegang itu sesaat menggigil sedikit.
Akhirnya Ouwyang Bu mengangguk perlahan lalu
menundukkan mukanya.
Ouwyang Bun menepuk-nepuk pundak adiknya. "Aku
tahu, adikku. Dan aku girang, karena Lie Eng memang
seorang gadis yang tepat sekali untuk menjadi isteri-mu.
Tentang tunanganmu pilihan ibu, ah, aku sendiripun
kurang begitu cocok dengan pendapat orang-orang tua yang
secara sembrono telah memilihkan calon isteri untuk anakanak
mereka. Berbahagialah kau dengan Lie Eng, adikku."
Ouwyang Bu terkejut dan memandang muka kakaknya.
"Kau.....kau hendak pergi ke mana, Bun-ko?"
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tak
perlu tahu, Bu-te."
"Bun-ko, kau tahu, kalau.... kalau di sini tidak ada
sumoi, tentu aku akan ikut padamu."
Kakak itu menepuk-nepuk pundak adiknya. "Aku
tahu..... aku tahu....."
Pada saat itu, dari luar terdengar bentakan keras,
"Orang-orang kurang ajar dari manakah berani
merintangi kehendak Lai-loya?"
Sementara itu, Lie Eng menolak daun pintu kamar
Ouwyang-hengte sambil berkata perlahan,
"Ji-wi suheng, mari kita makan dulu. Perutku sudah
lapar sekali."
Ouwyang-hengte lalu turun dari pembaringan dan
melangkah keluar. Mereka melihat seorang laki-laki tinggi
besar berdiri sambil bertolak pinggang dengan lagak
sombong sekali. Laki-laki tinggi besar itu memaki-maki
pengurus rumah penginapan dan beberapa kali melirik ke
arah Ouwyang-hengte dan Lie Eng, tapi ketiga anak muda
ini tidak memperdulikannya, bahkan dengan tenang lalu
duduk mengelilingi meja makan yang sudah disiapkan oleh
Lie Eng. Gadis ini tadi mendengar suara kedua suhengnya
bercakap-cakap di dalam kamar, ia segera menyediakan
makanan dan mengajak suheng-suhengnya makan, dan
sedikitpun tidak memperdulikari rbentakan orang kasar di
luar itu.
Begitulah, dengan enak ketiganya makan. Lie Eng yang
bermata tajam maklum bahwa ada terjadj sesuatu antara
kedua suheng itu, karena sebentar-sebentar Ouwyang Bu
memandang kakaknya sedangkan Ouwyang Bun menjadi
pendiam sekali, tapi pandangan matanya tenang dan tidak
liar seperti tadi ketika marah.
Sementara itu, laki-laki tinggi besar itu setelah
mendengar keterangan pengurus penginapan, menjadi
marah sekali. Ia adalah kepala dari para tukang pukul atau
kaki tangan Lai-loya. Namanya Cu Houw dan ia terkenal
kejam serta ditakuti karena bertenaga besar dan
berkepandaian tinggi. Ia hendak mengajar adat kepada
orang-orang yang kurang ajar itu, tapi melihat bahwa
mereka membawa pedang yang tergantung di pinggang ia
dapat menduga bahwa mereka ini tentu mengerti silat dan
karenanya hatinya menjadi agak ragu. Untuk menambah
semangat, ia segera menggerakkan tangan ke belakang dan
dari luar rumah penginapan, lima orang kawannya yang
tinggi besar dan bersikap angkuh segera maju. Karena kini
berenam, Cu Houw menjadi berani dan tabah.
"Mana tiga orang rendah yang berani mati dan kurang
ajar itu?" bentaknya.
Ouwyang Bu tidak setenang dan sesabar. Ouwyang Bun
atau Lie Eng. Dadanya telah terasa panas bagaikan terbakar
dan mukanya perlahan-lahan berubah merah. Ia lalu
berkata kepada kedua kawannya cukup keras untuk
didengar oleh Cu Houw,
"Sungguh menyebalkan anjing kuning itu, sejak tadi
menggonggong dan menyalak-nyalak."
Lie Eng tertawa dan berkata, "Mungkin ia lapar."
Ouwyang Bun menyambung, "Ia mencium bau tulang,
tentu saja ia menyalak-nyalak."
Kedua mata Cu Houw terputar-putar karena marahnya
mendengar sindiran-sindiran yang diucapkan oleh ketiga
anak muda itu. Lebih-lebih kepada Ouwyang Bu yang
memulai mengeluarkan sindiran itu.
Ia memandang dengan mata melotot dan seakan-akan
hendak menelan bulat-bulat pemuda itu. Dengan gerakan
mengerikan ia mencabut sebilah pisau belati yang kecil dan
tajam dari pinggangnya, lalu ber-kata,
"Kawan-kawan, biarlah aku binasakan binatang rendah
ini dulu. Kalian lihatlah." Tiba-tiba tangannya yang
memegang pisau itu diayun dan senjata tajam yang kecil itu
melayang cepat sekali ke arah tenggorokan Ouwyang Bu.
Lie Eng dan Ouwyang Bun melihat ini, tapi mereka tetap
saja makan seakan-akan tidak melihat serangan berbahaya
ini, sedangkan pada saat itu Ouwyang Bu sedang
menggunakan sumpitnya untuk mengambil sepotong
daging. Melihat berkilatnya pisau yang menyambar ke arah
lehernya, ia lepaskan daging itu dan menggerakkan
sepasang sumpitnya ke atas dan tahu-tahu pisau itu telah
terjepit oleh sepasang sumpitnya.
"Ha, kebetulan, ada yang memberi pisau untuk
memotong daging yang alot dan keras ini," katanya sambil
tertawa menyindir.
"Ah, anjing itu tidak hanya menggonggong, tapi juga
memperlihatkan giginya yang sudah ompong. Menjemukan
benar." kata Ouwyang Bun.
Biarpun Cu Houw terkejut sekali melihat demonstrasi
kepandaian Ouwyang Bu ini, namun ia merasa malu untuk
mengundurkan diri. Ia adalah kepala barisan pengawal Lailoya
yang telah terkenal dan disegani, apakah ia harus
mundur menghadapi tiga orang anak muda saja? Pula, di
dekatnya ada lima orang kawannya yang kesemuanya
berkepandaian, dan masih berpuluh-puluh lagi anak
buahnya yang akan segera datang membantunya atas
perintahnya. Maka ia lalu memaki,
"Bangsat-bangsat kecil, hari ini yaya-mu akan mengajar
adat kamu sekalian."
Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan
memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang juga
mencabut senjata masing-masing. Enam orang ini lalu
menghampiri Ouwyang-hengte dan Lie Eng dengan sikap
mengancam.
Tiba-tiba Ouwyang Bu menoleh kepada mereka dan
dengan pandangan mata tajam ia membentak,
"He, kalian mau apa?" Suaranya keras dan nyaring
hingga untuk sesaat keenam orang itu terkejut dan raguragu
untuk melangkah maju.
"Kalian bertiga "berani betul memaksa untuk memakai
kamar rumah penginapan yang sudah diborong oleh Lailoya.
Hayo kalian keluar dan bermalam di rumah
penginapan lain agar loya kami jangan sampai marah
hingga kalian akan dihukum." kata seorang di antara
pengawal-pengawal itu. Ia memang agak ragu setelah
melihat demonstrasi kepandaian Ouwyang Bu tadi dan
sedapat mungkin hendak menyuruh mereka ini pergi
dengan damai saja.
Tapi tiba-tiba Ouwyang Bu melemparkan pisau Cu
Houw tadi ke atas yang menancap ke tiang yang melintang.
Gagang pisau itu bergoyang-goyang dan Ouwyang Bu
membentak lagi,
"Diam dan jangan banyak cerewet, kami sedang makan."
Ia lalu melanjutkan makan dengan Ouwyang Bun dan Lie
Eng, sama sekali tidak memperdulikan mereka berenam,
seakan-akan di situ tidak ada orang lain. Sedangkan enam
orang itupun merasa ragu-ragu untuk bertindak sembrono,
maka mereka hanya berdiri saja di situ melihat orang
makan bagaikan pelayan-pelayan sedang menjaga majikanmajikan
mereka makan. Dan ketiga anak muda itu terus
makan minum dengan tenangnya. Sungguh peristiwa dan
pemandangan yang lucu.
Setelah selesai makan, Ouwyang Bu dan kedua
kawannya berdiri lalu dengan tenang menghampiri Cu
Houw dan lima orang teman-temannya.
"Nah, kami telah selesai makan, kalian mau apa?" tanya
Ouwyang Bun sambil tersenyum.
Cu Houw melihat sikap Ouwyang Bun yang lemah
lembut serta melihat Lie Eng yang cantik jelita tiba-tiba
timbul dugaan jangan-jangan mereka ini anak-anak orang
kaya atau orang berpangkat di kota lain. Karena itu iapun
agak menjadi sabar dan berkata dengan suara ditenangkan,
"Sam-wi diharap suka pindah ke rumah penginapan lain,
karena tempat ini telah lebih dulu dipesan oleh loya kami."
"Loyamu itu orang macam apa maka begitu ditakuti oleh
semua orang? Dan mengapa penginapan ini diborongnya
semua, bukankah cukup kalau ia menyewa satu atau dua
kamar saja? Kami tak mau pergi." jawab Lie Eng.
"Cu-twako, mengapa banyak berdebat. Kalau tidak mau
pergi, seret saja keluar." kata seorang dari kawan-kawan Cu
Houw.
"Bagus, kalian majulah." Ouwyang Bu menantang dan
mencabut pedangnya.
Tapi tiba-tiba Ouwyang Bun mencegah adiknya. "Bu-te,
membasmi kaki tangan segala hartawan kejam dan
pembesar jahat bukanlah tugasmu, tapi tugasku. Kau
lihatlah saja," dan tiba-tiba tubuh Ouwyang Bun meloncat
maju. Terdengar teriakan ngeri dan orang yang baru saja
bicara tadi tahu-tahu telah kena tendang dadanya hingga
terlempar keluar dan tak dapat bangun lagi. Maka ramailah
lima orang yang lain menyerbu Ouwyang Bun yang
menggunakan tangan kosong menghadapi mereka.
Ouwyang Bu heran sekali melihat sepak terjang kakaknya
berobah dari biasanya. Kini kakaknya menjadi telengas dan
menurunkan tangan besi kepada, lawannya hingga sebentar
saja dengan mudah empat orang telah dirobohkan dengan
pukulan dan tendangan berat hingga mereka mendapat luka
parah di dalam dan tak dapat, bangun lagi.
Melihat kehebatan pemuda ini, Cu Houw dan seorang
kawannya yang belum roboh lalu lari keluar. Ouwyang Bun
tertawa ber-gelak-gelak.
"Ha-ha, segala anjing hina pengganggu rakyat. Baru tahu
rasa kalian sekarang."
Tapi pada saat itu, dari luar menyusul banyak orang
yang tidak lain adalah Cu Houw dengan kawan-kawannya
pengawal lain. Jumlah mereka tidak kurang dari tigapuluh
orang dan mereka mengiringkan seorang tua yang
berpakaian mewah dan memegang sebuah kipas.
Pakaiannya berwarna merah dan serba indah. Tubuhnya
tinggi kurus dan kumisnya panjang, sedangkan sepasang
matanya yang kecil sipit itu memandang liar seperti yang
biasa dimiliki orang-orang mata keranjang.
"Mana mereka?" tanyanya dengan suara marah.
"Ha-ha, inikah manusia kaya yang banyak lagak itu?"
Ouwyang Bun menyambut dengan makian. "Mari, mari,
majulah kau biar kutamatkan riwayat hidupmu yang kotor
dan penuh najis itu."
Sebetulnya orang tua ini memang seorang hartawan
besar dari Lok-yang. Dengan pengaruhnya ia berhasil
membeli hampir semua tanah di kampung itu hingga ia
menjadi raja kecil di situ karena semua orang di kampung
itu mendewa-de-wakannya. Ia adalah seorang bandot tua
yang tiada jemunya mencari daun muda hingga beberapa
kali ia menggunakan pengaruh hartanya untuk mengawini
seorang gadis dari kampung di mana ia berkuasa. Orang tua
mana yang berani menolak pinangannya? Biarpun di
rumahnya telah ada isteri dengan selir-selir lebih dari
sepuluh orang, namun masih saja ia mencari korban baru
dari kampung. Kedatangannya kali ini juga untuk
melangsungkan "perkawinannya" yang entah sudah
keberapa puluh kalinya itu. Tapi sungguh malang baginya,
hari ini ia bertemu dengan orang-orang asing yang berani
mengganggu dan merintanginya. Maka bukan main
marahnya mendengar berita tentang hal itu dan cepat-cepat
ia membawa semua-pengawalnya untuk memberi "hajaran"
kepada orang-orang "kurang ajar" itu.
Kini mendengar. makian Ouwyang Bun, ia marah sekali
dan siap hendak memerintahkan kaki tangannya maju
mengeroyok, tapi tiba-tiba matanya yang tajam itu dapat
melihat Lie Eng. Tiba-tiba saja segala kemarahan yang
terbayang pada mukanya lenyap seketika dan mulut yang
tadinya cemberut itu berubah tersenyum, sedangkan mata
yang tadinya merah dan mengeluarkan cahaya marah itu
kini berseri-seri.
"He, kalian ini mengapa berani-berani mengganggu nona
dan dua kawannya itu?" tiba-tiba ia menegur ke arah
belakang kepada Cu Houw hingga kepala pengawal ini
melongo, tapi ia memang telah tahu akan adat kelakuan
majikannya dan dapat menduga bahwa si tua ini tentu
tertarik oleh kecantikan gadis asing itu. Dasar seorang
berjiwa penjilat, tukang pukul inipun tiba-tiba dapat
merobah sikapnya. Kalau tadinya ia garang dan galak, kini
ia membongkok-bongkok dan menjura kepada majikannya
sambil berkata.
"Loya, maafkan hamba dan kawan-kawan yang tidak
mengenal tamu-tamu agung." Ia sengaja menyebut
Ouwyang-heng-te "tamu agung" untuk mengimbangi maksud
dari niat majikannya.
Maka giranglah hati hartawan tua itu melihat kecerdikan
orangnya, ia lalu maju dan menjura kepada Ouwyanghengte
dan Lie Eng sambil berkata,
"Sam-wi, mohon maaf sebesar-besarnya bahwa orangorangku
yang bodoh dan kasar ini mengganggu sam-wi.
Kalau hendak memakai kamar di sini, silakan saja dan kami
akan menganggap sam-wi sebagai tamu agung kami, karena
kebetulan sekali hari ini aku sedang merayakan pesta
perkawinan."
"Eh, mengapa sikap orang ini beda benar dengan sikap
orang-orangnya?" Lie Eng berkata perlahan, lalu ia maju
menjura dan berkata,
"Tuan yang harus memaafkan kami karena telah terjadi,
salah mengerti ini. Apakah tuan hendak mengawinkan
putra tuan?"
Ditanya oleh gadis itu sendiri, muka hartawan she Lai
menjadi merah bagaikan kepiting direbus.
"Eh, bukan.... yang kawin..... eh, saya sendiri, siocia."
Kini muka Lie Eng yang berobah merah karena muak,
sedangkan Ouwyang Bun tertawa gelak-gelak.
"Ha-ha-ha. Dengar, sumoi, Bu-te. Dia mau kawin. Sudah
kuduga bahwa orang yang disebut Lai-loya tentu seorang
hartawan tua pemeras rakyat yang berhati binatang dan
pantas diberi hajaran."
"Bun-koko, jangan bicara begitu." Lie Eng menegur, dan
dalam kebingungannya gadis itu terlanjur menyebut "Bunkoko"
atau kanda Bun, tidak menyebut twasu-heng seperti
biasa, hingga suaranya ini seakan-akan mewakili suara
hatinya. Tapi karena keadaan yang tegang itu, baik
Ouwyang Bun maupun Ouwyang Bu kurang
memperhatikan perubahan ini.
Ouwyang Bun berkata lagi, suaranya seram, "Kalau
orang macam ini tidak dibasmi hanya akan membikin kotor
dunia saja." Sehabis berkata demikian, ia mer loncat dan
tahu-tahu ia telah memegang leher baju hartawan she Lai
itu dan dibawanya meloncat ke atas genteng.
Cu Houw dan kawan-kawannya yang memiliki
kepandaian lalu mengejar dan meloncat ke atas sambil
berteriak-teriak. Juga Lie Eng dan Ouwyang Bu mengejar
ke atas genteng sambil berkata,
"Bun-ko, lepaskan dia."
Tapi Ouwyang Bun yang sangat marah dan gemas
kepada hartawan tua itu lalu membentak,
"Kau mau minta bangsat ini, marilah." ia lalu
melemparkan tubuh itu sekuat tenaganya ke arah para
pengejarnya. Tentu saja Cu Houw dan kawan-kawannya
terkejut sekali dan mengelak karena tidak berani
menyambut tubuh yang menyambar cepat ke arah mereka
itu. Hartawan Lai menjerit-jerit ketika merasa tubuhnya
melayang ke bawah dan jantungnya berhenti berdetak
karena ia telah merasa pasti bahwa kali ini tentu akan mati
konyol.
Tapi tiba-tiba hartawan tua itu merasa betapa lengan
tangannya disambar orang dan ia dibawa melayang turun
ke atas tanah dengan selamat. Ternyata pada saat yang
sangat berbahaya itu, Ouwyang Bu berhasil menolong Laiwangwe
dari bahaya
Melihat betapa adiknya menolong Lai-wangwe dari atas
genteng Ouwyang Bun berkata, "Ah, Bu-te, sekarang
ternyata bahwa kaulah yang lemah. Karena anjing rendah
macam itupun cukup berharga untuk kau tolong." Suara
pemuda itu mengandung penyesalan besar.
"Bun-ko, kau mau ke mana?" tanya Ouwyang Bu yang
segera meloncat lagi ke atas genteng.
"Sudahlah, Bu-te, selamat tinggal, mudah-mudahan kita
akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik. Aku
tetap tak dapat mengekor dan melakukan pekerjaan yang
berlawanan dengan suara batinku ini." Setelah berkata
begitu, Ouwyang Bun lalu meloncat pergi.
"Twa-suheng.. Tunggu.." Lie Eng memanggil.
Ouwyang Bun menoleh. "Sumoi, jangan menahan aku.
Baik-baiklah kau menjaga diri dan berlaku baiklah kepada
Bu-te." Setelah berkata begitu, ia cepat lari pergi-
"Bun-ko......" Terdengar Ouwyang Bu memanggil, tapi
Ouwyang Bun tidak memperdulikan dan lari terus.
Ouwyang Bu menutup mukanya dan air mata mengalir
membasahi pipinya.
"Sudahlah, suheng. Dia tidak mau bersama-sama kita.
Biarlah. Mungkin ia akan menyusul ayah dengan jalan
lain."
Ouwyang Bu mengangkat mukanya lalu menghela
napas. "Sumoi, kau tidak tahu... Bun-ko telah mengambil
keputusan lain, ia..... tidak mau membantu susiok, tidak
mau memusuhi para pemberontak, bahkan agaknya ia.....
ia.... menganggap para pemberontak itu betul?"
"Apa.....?" gadis itu menjadi pucat karena terkejut.
"Kaumaksudkan bahwa ia ....... ia hendak menyeberang
dan membantu pemberontak?"
"Entahlah, tadinya ia mengajak aku pergi bersama-sama
ke gunung untuk mengasingkan diri, tapi aku.... aku
menolaknya." suaranya terdengar penuh penyesalan.
"Mengapa kau tidak ikut dengan kakakmu, suheng?"
Ouwyang Bu memandang gadis itu dengan mata tajam
dan mesra.
"Sumoi... bagiku.... pekerjaan ini dan semua urusan
ini..... tidak ada artinya. Aku tidak perduli mana yang benar
dan mana yang salah, tapi.... tapi karena ada kau di sini....
bagaimanakah aku sanggup meninggalkanmu..... ?"
0o-dw-o0
Jilid V
WAJAH Lie Eng yang sudah pucat kini berobah merah
mendengar betapa pemuda jujur ini dengan terus terang
menyatakan rahasia hatinya. Ia merasa terharu sekali. Tapi,
ia teringat akan Ouwyang Bun, kesedihan besar membuat ia
tak kuat menahan air matanya mengalir karena pemuda
idaman hatinya itu telah pergi. Tapi ini, belum seberapa bila
dibandingkan dengan kehancuran hatinya bila mengingat
bahwa Ouwyang Bun hendak menyeberang dan membantu
pemberontak. Inilah yang meremukkan hatinya benar.
Ia menutup mukanya dan menangis terisak-isak.
Ouwyang Bu menyangka bahwa gadis itu menangis karena
terharu dan menyangka pula bahwa Lie Eng diam-diam
membalas perasaan hatinya, maka ia lalu memegang
tangan, gadis itu dan berkata dengan suara mesra,
"Sumoi, jangan bersedih. Bun-ko tersesat, biarlah karena
aku yakin ia akan kembali ke jalan benar. Aku tahu bahwa
sebenarnya Bun-ko adalah seorang perwira yang berhati
mulia. Memang harus disesalkan bahwa ia meninggalkan
kita, tapi bukankah masih ada aku di sampingmu?
Percayalah, sumoi, selama aku masih ada di dunia ini aku
pasti akan membelamu samr pai napasku terakhir. Aku
akan membantu perjuangan ayahmu dengan setia."
Kemudian, dengan kata-kata keras mereka menegur dan
menasihati Lai-wangwe supaya tidak berlaku sewenangwenang
mengandalkan kekayaannya dan memeras rakyat
kampung yang miskin.
Setelah itu, keduanya melanjutkan perjalanan, kini
langsung menuju ke kota raja.
0o-dw-o0
Ouwyang Bun meninggalkan adik dan sumoinya dengan
perasaan campur aduk. Sebenarnya pada dasar hatinya ia
merasa bahagia dan girang sekali karena tindakannya itu
membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang
terlepas dari kurungan, seakan-akan kini ia terbang ke
angkasa dengan bebas lepas dan dengan tujuan yang lebih
luas. Ia merasa seakan-akan terlepas dari sebuah tugas yang
sangat menyiksa hatinya, tugas pekerjaan yang dipaksakan
padanya dan yang berlawanan dengan kehendak hatinya. Ia
kini boleh pergi ke mana saja yang ia sukai, boleh berbuat
menurutkan suara hatin.
Tapi bila ia teringat akan adiknya, ia merasa sedih sekali.
Ia tahu bahwa Ouwyang Bu beradat keras dan tidak mudah
dirobah pikirannya. Juga ia maklum betapa adiknya itu
sangat mencintai Lie Eng hingga andaikata adiknya akan
sadar juga bahwa pihak pemberontak tak seharusnya
dimusuhi, masih akan sukar juga bagi Ouwyang Bu untuk
meninggalkan Lie Eng, apalagi untuk menjadi lawan atau
musuh gadis itu.
Dalam perjalanannya seorang diri kali ini, Ouwyang Bun
mencurahkan perhatiannya kepada keadaan orang-orang
kampung umumnya. Dan apa yang ia saksikan
mempertebal keyakinannya bahwa memang raja yang
memegang tampuk pemerintahan saat itu perlu diganti.
Hampir di tiap kota atau kampung, tak pernah ia melihat
seorang pembesar yang benar-benar patut disebut pemimpin
rakyat. Para pembesar itu menjalankan pemerasan,
penggelapan, kecurangan-kecurangan yang kesemuanya
dibebankan kepada rakyat jelata. Hanya orang-orang kaya
saja yang hidup senang bahkan berlebih-lebihan, karena
dengan mengandalkan pengaruh uang sogokan kepada para
pejabat pemerintah, mereka ini hidup terlindung. Jelas
tampak di mana-mana bahwa pada hakekat-nya yang
berkuasa adalah harta kekayaan. Seorang yang ada uang tak
usah takut sesuatu. Ingin mengawini belasan atau puluhan ,
gadis cantik? Ingin menang dalam perkara biarpun berada
di pihak salah? Ingin naik pangkat secara mudah? Ingin
menjadi raja kecil yang mempunyai kekuasaan sendiri,
mempunyai "posisi" sendiri? Mudah, asal orang
mempunyai banyak emas dan perak.
Melihat keadaan ini semua, diam-diam Ouwyang Bun
merasa heran sekali mengapa suhunya dapat berdiri di
pihak raja dan tidak suka kepada perjuangan para patriot
bangsa yang dicap "pemberontak" itu. Ia kini dapat
menangkap arti. dari kata-kata Ciu Pek In, orang tua
perwira yang aneh itu. Baru terbuka matanya dan diamdiam
ia mengagumi orang tua yang dianggap seorang
locianpwe yang berpemandangan luas sekali. Ia merasa
kagum betapa dalam keadaan bertentangan dan
bermusuhan, Ciu Pek In masih memuji-muji sikap Cin Cun
Ong. Ternyata bahwa orang tua she Ciu, guru dari nona
Cui Sian yang. cantik dan perwira itu, telah dapat
menundukkan perasaan perseorangan hingga
pertimbangannya adil dan tepat, sama sekali bebas dari rasa
sentimen. Rasa kagumnya membuat ia ingin sekali dapat
bertemu lagi dengan orang tua itu. Dan diam-diam iapun
merasa rindu kepada Cui Sian, gadis yang tampaknya
pendiam tapi yang kalau sudah berkata-kata ternyata
menyatakan pikirannya yang luas dan cerdik.
Beberapa hari kemudian, ia tiba di sebuah kota, yakni
kota Lee-sarr yang cukup ramai. Toko-toko dan rumahrumah
makan berderet-deret di sepanjang jalan hingga
menambah kemegahan kota itu. Ia memilih sebuah kamar
di penginapan yang berada di jalan sebelah barat.
Sebetulnya hari masih belum gelap benar dan iapun belum
lelah, tapi melihat bahwa udara gelap dan agaknya akan
turun hujan, ia tunda perjalanannya dan bermaksud
menginap semalam di kota ini.
Ketika membuka bungkusan pakaian, baru ia ingat
bahwa bekal uangnya telah habis sama sekali. Ouwyang
Bun lalu mengambil keputusan untuk meniru pekerjaan
suhunya ketika masih muda dulu, yakni menjadi maling.
Gurunya, Si Iblis Tua Tangan Delapan, pernah berkata
bahwa mengambil sedikit harta seorang kaya untuk sekedar
bekal perjalanan, bukanlah hal yang patut dibuat malu bagi
seorang kang-ouw, asal saja uang yang diambil itu bukan
digunakan untuk hidup royal dan bersenang-senang.
Apalagi kalau telah diketahui bahwa hartawan yang
dimalingi itu adalah seorang yang bertabiat kikir dan yang
menjadi kaya karena menghisap tenaga rakyat kecil.
Dengan hati tetap, ketika malam telah gelap benar,
Ouwyang Bun keluar dari kamarnya melalui jendela dan
langsung naik ke atas genteng. Keadaan benar-benar gelap
karena udara diliputi mendung hitam hingga langit tak
berbintang sama sekali. Biarpun matanya telah terlatih
untuk dapat menangkap bayang-bayang benda di tempat
gelap, namun untuk berloncat-loncatan di atas genteng pada
saat segelap itu, bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh
karena itu, ia sangat berhati-hati dan tidak berani lari terlalu
kencang.
Ketika ia telah berada jauh dari penginapannya, tiba-tiba
ia melihat lima bayangan hitam bergerak turun dari atas
wuwungan rumah. Ia cepat meloncat ke arah tempat itu
dan memandang ke bawah. Dengan bantuan sinar lampu
yang menyorot keluar dari lubang rumah, ia melihat lima
orang tua berpakaian sebagai petani sedang berjalan di atas
tanah dengan langkah cepat sekali. Ia lalu meloncat turun
mengejar pula, karena ia merasa curiga dan tertarik sekali
hatinya hendak melihat siapakah mereka itu dan apa yang
hendak mereka lakukan pada waktu segelap ini.
Ternyata lima orang itu menuju ke gedung besar yang
dapat diduga rumah tinggal seorang pembesar. Memang,
yang tinggal di situ adalah seorang tihu kota itu. Seperti
biasanya rumah pembesar, keadaan di luar dan sekitar
gedung terang sekali, karena di seluruh sudut dipasang teng.
Ouwyang Bun makin tertarik karena kelima orang itu
ternyata bersikap sangat mencurigakan. Mereka
menghampiri gedung itu dari belakang dan berkumpul di
suatu sudut sambil berbisik-bisik seakan-akan
merundingkan sesuatu. Dan pada saat itu teringatlah
Ouwyang Bun bahwa ia pernah bertemu dengan lima orang
tua berpakaian petani yang seragam ini. Ia mengingat-ingat
dan akhirnya ia tahu bahwa kelima orang itu adalah Kilok
Ngo-koai atau Lima Setan Dari Kilok, yang dulu juga
datang menghadiri pesta perjamuan di rumah Gak Liong
Ek di Liok-hui.
Hatinya menjadi girang dan tiba-tiba Ouwyang Bun
muncul dari tempat pengintaiannya dan menegur,
"Eh, ngo-wi (tuan berlima) bukankah kelima enghiong
(orang gagah) dari Kilok?"
Bukan main terkejutnya kelima orang itu. Mereka segera
memutar tubuh dan ketika melihat bahwa yang datang
adalah Ouwyang Bun segera berkata perlahan, "Ouwyanghengte."
Serentak mereka berlima mencabut pedang dan
menyerang dengan gerakan hebat. Ouwyang Bun terkejut
sekali dan mengelak sambil meloncat jauh.
"Eh, tahan dulu. Kenapa ngo-wi menyerang aku?"
tanyanya.
Tapi, tanpa menjawab, kelima orang tua itu maju lagi
menyerang makin hebat hingga terpaksa Ouwyang Bun
mencabut pedangnya untuk mempertahankan dan menjaga
diri, karena ilmu pedang kelima kakek itu tak boleh
dipandang remeh.
"Ngo-wi, mengapa kalian memusuhiku?" lagi-lagi ia
bertanya, tapi Kilok Ngo-koai itu sama sekali tidak mau
menjawab, hanya menyerang makin keras dan nekat hingga
sekarang Ouwyang Bun juga merasa marah dan gemas. Ia
putar pedangnya sedemikian rupa hingga dapat
mengimbangi serangan kelima orang lawannya. Mereka
bertempur ramai sekali.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan dan dari dalam
gedung tihu itu keluarlah beberapa orang penjaga yang
bersenjata tombak dan golok.
"Bangsat pengacau dari mana berani datang membikin
ribut," mereka berteriak dan hendak mengurung. Melihat
datangnya para penjaga ini, kelima petani dari Kilok itu
segera meloncat dan melarikan diri. Ouwyang Bun
sebenarnya merasa gemas dan ingin sekali bertanya kepada
mereka mengapa mereka memusuhinya, tapi menghadapi
para penjaga tihu yang banyak itu iapun tidak ada napsu
untuk melayaninya, lalu meloncat terus ke dalam taman
gedung tihu yang gelap. Dari taman itu ia langsung masuk
ke dalam gedung dari belakang. Seorang pelayan yang
bangun dan kaget karena ribut-ribut di luar kebetulan keluar
dari kamarnya dan melihat Ouwyang Bun yang lari masuk
sambil membawa pedang terhunus, merasa kaget sekali.
Tapi sebelum ia sempat berteriak, Ouwyang Bun telah
mendahuluinya dan menotok jalan darahnya yang
membuat pelayan itu menjadi gagu.
"Jangan banyak ribut kalau kau menyayangi jiwamu,"
Ouwyang Bun mengancam. "Tunjukkan aku ke kamar
majikanmu." Biarpun Ouwyang Bun bicara bisik-bisik dan
ia tenang-tenangkan hatinya, namun tidak urung suaranya
terdengar gemetar karena sesungguhnya selama hidupnya
belum pernah ia mencuri harta orang lain seperti kelakuan
seorang perampok.
Karena ketakutan, pelayan itu lalu menunjuk ke arah
sebuah kamar besar di tengah ruang gedung. Ouwyang Bun
lalu me-notok roboh pelayan itu dan cepat menghampiri
pintu kamar. Sekali dorong saja terbukalah daun pintu.
Ternyata tihu telah bangun karena iapun mendengar suara
ribut-ribut di luar gedung. Tihu ini, she Lie, pernah pula
mempelajari silat. Melihat seorang pemuda asing memasuki
kamarnya, cepat ia menyambar pedangnya yang tergantung
di tembok dan meloncat menyerang. Tapi sekali tangkis saja
pedang ditangan tihu itu jadi terpental. Ouwyang Bun lalu
menendang lutut lawan itu hingga jatuh berlutut.
"Jangan banyak tingkah, aku tak hendak
membunuhmu," kata Ouwyang Bun. "Aku hanya
membutuhkan sedikit uang bekal."
Besar dan girang hati tihu itu yang tadinya menyangka
bahwa yang datang ini adalah seorang anggauta
pemberontak yang mengingini jiwanya. Berulang-ulang ia
mengangkat tangan memberi hormat dan berkata,
"Tai-ong (raja = sebutan kepala rampok), jangan
khawatir, saya akan memberi bekal secukupnya."
"Diam. Tak usah banyak mulut dan jangan sebut kepala
rampok," Ouwyang Bun membentak marah. "Keluarkan
peti uangmu."
Dengan tubuh masih menggigil tihu itu membuka
lemarinya dan Ouwyang Bun melihat uang emas dan perak
berkantung-kantung dan berjajar di dalam lemari itu.
Timbul pula gemasnya karena ia dapat menduga bahwa
uang itu adalah hasil perasan dan sogokan, karena kalau
tidak, dari mana tihu ini dapat mengumpulkan uang
sebanyak itu? Ia lalu mengambil tiga kantung uang emas,
kemudian menghadapi tihu itu ia mengancam.
"Kau tentu seorang pembesar busuk juga. Ingat, kali ini
aku kebetulan lewat di sini dan hanya mengambil uang
sebagai peringatan. Lain kali kalau aku masih mendengar
bahwa kau adalah seorang pembesar yang menindas rakyat,
jangan kaget kalau aku bukan mengambil uang, tapi
mengambil kepalamu, mengerti?" Pedang di tangan
kanannya bergerak cepat dan tihu itu hilang semangatnya
karena melihat sinar pedang menyambar kepalanya. Ia
segera berlutut dengan kaki lemas dan mulutnya tiada
hentinya meminta ampun.
Tapi ketika ia mengangkat muka, ternyata pemuda itu
telah lenyap dari situ dan ia melihat rambutnya yang
dikucir panjang dan tebal telah menggeletak di dekatnya,
kena sabetan pedang tadi. Ia kaget sekali dan dengan tubuh
gemetar dan panas dingin ia memekik memanggil penjaga.
Ketika beberapa orang penjaga menyerbu masuk, tihu itu
jatuh pingsan karena takutnya. Para penjaga, segera
menolongnya dan mengangkatnya ke pembaringan.
Malam itu Ouwyang Bun mengelilingi kota itu dari atas
genteng dan menjelang fajar baru ia kembali ke kamar
hotelnya lewat jendela. Dan pada keesokan harinya, pagipagi
sekali, banyak orang-orang miskin yang berumah
gubuk, tiba-tiba menemukan segumpal emas di dalam
rumahnya, hingga mereka merasa sangat kaget dan senang,
lalu diam-diam memasang hio untuk menyatakan terima
kasihnya kepada penolong yang tak dikenal itu. Ternyata
ketika mengelilingi kota, Ouwyang Bun diam-diam
membagi-bagi emas kepada penduduk miskin hingga habis
dua kantung lebih. Sisanya ia simpan untuk bekal sendiri.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi,
barulah Ouwyang Bun bangun dari tidur. Ia segera
membersihkan tubuh dan setelah makan pagi,
meninggalkan hotel untuk melanjutkan perjalanannya.
Karena ketika meninggalkan adik dan su-moinya ia juga
meninggalkan kudanya, maka sebelum meninggalkan kota
itu ia membeli seekor kuda yang cukup baik.
Tukang kuda adalah seorang she Tan yang doyan sekali
mengobrol. Ia sedang gembira karena. dari penjualan kuda
kepada Ouwyang Bun, ia memperoleh keuntungan yang
lumayan besarnya dan melihat bahwa pemuda itu adalah
seorang asing ia lalu berkata,
"Kongcu tentu seorang yang pandai ilmu silat," katanya
sambil tersenyum memuji.
Ouwyang Bun kaget. Ia memandang tajam ketika
bertanya, "Bagaimana sebabnya maka kau menduga
demikian?"
Pedagang kuda itu tertawa. "Mudah saja, kongcu. Kau
seorang diri berani melakukan perjalanan jauh, membawabawa
banyak emas dan juga menyandang pedang. Kalau
tidak pandai menjaga diri, mana kau bisa melakukan
perjalanan dengan selamat? Pada waktu ini keadaan tidak
aman, pemberontak dan perampok berkeliaran di manamana.
Untungnya barisan Cin-ciangkun yang gagah
perkasa telah mulai bertindak. Kemarin banyak sekali
anggauta pemberontak tertawan oleh Cin-ciangkun."
Ouwyang Bun merasa terkejut dan heran mendengar ini,
ia tenangkan hatinya dan bertanya secara sambil lalu, "Di
manakah ada pemberontak tertangkap?"
"Di sebelah timur kota ini, kongcu. Kudengar jumlahnya
banyak, karena hampir penduduk seluruh kampung Benglok-
chun menjadi anggauta pemberontak."
"Aku pernah mendengar tentang Cin-ciangkun yang kau
sebut tadi. Apakah dia sendiri yang melakukan
penangkapan?" Ouwyang Bun tahu bahwa paman gurunya
itu tak mungkin di sini, maka ia sengaja bertanya demikian
untuk memancing dan mengetahui apakah orang she Tan
ini membohong atau tidak.
"Ha, kau tampaknya takut-takut, kongcu. Jangan takut
pemberontak, selama masih ada barisan-barisan Cinciangkun,
mereka tidak akan mampu bergerak. Tentu saja
bukan Cin-ciangkun sendiri yang memimpin, tapi barisan
Cin-ciangkun telah tersebar di mana-mana."
"Mereka apakan anggauta-anggauta pemberontak yang
tertawan itu?" Ouwyang Bun bertanya.
"Ha-ha, diapakan? Tentu saja digiring ke kota raja untuk
menanti hukuman gantung. Digiring seperti babi-babi
dibawa ke pejagalan." orang she Tan itu tertawa girang
sekali.
Ouwyang Bun memandang tajam. "Kau agaknya
membenci sekali kepada pemberontak, mengapakah?"
Orang she Tan itu memperlihatkan luka yang telah
mengering di lehernya sebelah belakang. "Kau lihat ini,
kongcu? Nah, inilah yang mereka lakukan padaku. Hampir
saja aku mereka bunuh."
"Mengapa?"
"Mengapa? Entah, karena..... karena aku pedagang
kuda."
"Tak mungkin orang akan membunuh tanpa alasan,"
"Alasannya hanya karena aku didakwa membeli kuda
curian."
Tiba-tiba Ouwyang Bun teringat bahwa di daerah itu
memang sering terjadi pencurian kuda, maka diam-diam ia
lirik kuda yang baru saja dibelinya. Jangan-jangan inipun
kuda curian. Para pemberontak itu tentu mempunyai alasan
kuat hingga menuduh orang ini pencuri kuda.
"Barangkali kau memang tukang membeli kuda curian,"
katanya sambil naiki kuda itu dan pergi, meninggalkan si
pedagang kuda yang memandangnya dengan heran.
Ouwyang Bun melarikan kudanya menuju ke timur
karena ia hendak melihat sendiri keadaan para pemberontak
yang tertawan itu. Siapakah yang menawan mereka?
Apakah barangkali ia mengenal pemimpin barisan Cinciangkun
ini?
Ketika ia tiba di luar kota, tiba-tiba ia melihat debu
mengepul dari timur tanda bahwa di atas jalan yang
berdebu itu sedang berjalan banyak kuda dan rombongan
orang. Ia segera menghampiri, dan benar saja, seregu
tentara terdiri dari kira-kira tigapuluh orang sedang
menyeret-nyeret dan menggiring tawanan kurang lebih
tigapuluh orang. Tawanan itu terdiri dari orang-orang yang
berpakaian sebagai petani miskin, bahkan di antara mereka
terdapat pula beberapa orang wanita. Tawanan-tawanan itu
memperlihatkan sikap macam-macam, ada yang berjalan
tunduk dan bersedih, ada yang mengangkat dada dan
kepala dengan gagah, ada pula yang menangis sepanjang
jalan. Kedua tangan mereka semuanya terbelenggu.
Ouwyang Bun mencari-cari dengan pandangan matanya
dan melihat bahwa tiga orang perwira yang berkuda dan
memimpin barisan itu tak dikenalnya. Sebaliknya tiga orang
perwira itu memandang kepada Ouwyang Bun dengan
pandangan curiga dan mereka berbisik-bisik.
Melihat keadaan para tawanan itu Ouwyang Bun merasa
kasihan dan sedih. Ia maklum bahwa tak mungkin
anggauta-ang-gauta pemberontak selemah itu, membiarkan
dirinya begitu saja ditawan sedangkan jumlah mereka lebih
besar. Mungkin mereka adalah orang-orang kampung yang
kena fitnah oleh hartawan-hartawan yang menghendaki
tanah mereka. Memikir demikian, timbullah marahnya. Ia
majukan kudanya dan menghadang di depan barisan itu.
Tiga orang perwira itu segera mencabut pedang masingmasing.
Ouwyang Bun sengaja mengangkat tangan kanannya
memberi tanda berhenti kepada barisan itu. Ia menghadapi
tiga orang perwira tadi dan menegur,
"Sam-wi ciangkun, orang-orang kampung ini hendak
kalian bawa ke mana?"
"Orang tidak tahu diri." seorang di antara ketiga perwira
itu menegur. "Siapa kau maka berani-berani mencegat
kami? Apakah kau sudah bosan hidup?"
Ouwyang Bun tersenyum. "Hm, kalau Cin-ciangkun
melihat lagakmu yang sombong ini, tentu akan turun
pangkat." sindirnya.
Melihat sikap pemuda itu, perwira yang tertua berlaku
hati-hati, dan bertanya sambil mengangkat kedua tangan,
"Siapa dan dari mana enghiong yang telah kenal dengan
Cin-ciangkun kami, dan ada keperluan apa maka mencegat
barisan kami?"
Ouwyang Bun balas memberi hormat dari atas kudanya.
"Siauwte Ouwyang Bun dan tentu saja kenal dengan Cinciangkun
karena beliau adalah susiok dan siauwte pernah
menjadi pembantunya."
Terkejutlah ketiga perwira itu dan buru-buru perwira
yang tadi berlaku kasar segera memberi hormat, biarpun ia
masih meragukan kebenaran kata-kata anak muda ini.
"Maaf kalau kami tidak mengenal kepada taihiap. Orangorang
ini adalah tawanan kami, mereka adalah anggautaanggauta
pemberontak dan kini sedang kami giring ke
markas besar Cin-ciangkun."
"Kalian salah tangkap, kawan-kawan. Mereka itu
bukanlah pemberontak. Kurasa kalian takkan semudah ini
menangkap mereka kalau mereka benar-benar
pemberontak. Orang-orang kampung ini hanya menjadi
korban fitnahan belaka. Lepaskan mereka."
Ketiga perwira itu terkejut. "Taihiap mengapa berkata
begitu? Bukanlah hak kami untuk memutuskan apakah
mereka itu pemberontak atau bukan. Kewajiban kami
hanya menangkap orang-orang yang dicurigai dan
membawanya ke markas besar. Dan selain Cin-ciangkun
sendiri atau atasan lain, tidak ada orang yang berhak
melepaskan orang-orang tawanan kami ini."
""Begitukah? Tapi aku tetap minta kalian melepaskan
mereka."
Marahlah perwira termuda yang tadi mengeluarkan katakata
kasar.
"Ji-wi twako, kukira orang ini mengaku-aku saja menjadi
keponakan Cin-ciangkun. Jangan-jangan ia ini juga
anggauta pemberontak."
Ouwyang Bun tertawa bergelak-gelak. "Baik, kau
percaya atau tidak, aku tetap hendak membela orang-orang
kampung ini yang menderita karena kekejaman kalian."
"Bagus, kawan-kawan, tangkap orang ini." teriak ketiga
perwira itu dan anak buah mereka lalu mengurung dengan
senjata di tangan.
Ouwyang Bun tertawa keras dan sambil mengangkat
kepala ia berkata,
"Cin-susiok, maafkan kalau teecu terpaksa menghajar
anak buahmu yang kurang ajar ini." tiba-tiba saja tubuhnya
lepas dari punggung kuda dan menyambar ke sana ke mari
di antara keroyokan para tentara itu. Dan di mana saja ia
sampai, tentu terdengar pekik kesakitan dan seorang
pengeroyok roboh. Sebentar saja beberapa orang anak buah
rombongan itu jatuh terguling terpukul atau tertendang
hingga keadaan menjadi kacau. Tapi kepungan makin tebal,
bahkan ketiga perwira itupun mulai mengambil bagian.
Ternyata kepandaian mereka cukup baik.
Menghadapi serangan dan kepungan yang dilakukan
oleh lebih dari duapuluh orang bersenjata tajam itu,
Ouwyang Bun terpaksa menggunakan pedangnya untuk
melawan. Ia tidak berlaku setengah-setengah lagi dan
memainkan pedangnya dengan hebat hingga banyaklah
korban luka oleh u-jung pedangnya.
Tiba-tiba dari jurusan timur datang barisan yang lebih
besar lagi, dan barisan i-ni dipimpin oleh dua orang perwira
yang telah lanjut usianya. Barisan ini adalah barisan
pengawal istimewa dari kota raja dan dipimpin oleh dua
orang perwira yang berkepandaian tinggi karena ini adalah
anggauta Pengawal Sayap Garuda, terlihat dari topi mereka
yang berbentuk sayap burung garuda.
Melihat kedatangan barisan baru itu, terkejutlah
Ouwyang Bun, karena hanya seorang diri saja tak mungkin
ia melawan orang sebanyak itu. Ia lalu memutar pedangnya
lebih cepat dan melukai beberapa orang lagi, lalu ia cepat
meloncat keluar dari kalangan pertempuran. Ia bingung
bagaimana harus menolong tawanan-tawanan sebanyak itu,
sedangkan untuk melawan para anggauta barisan itu saja
sudah payah baginya. Tiba-tiba dari barisan yang baru
datang itu berkilat bayangan hijau dan seorang perwira
Sayap Garuda melintangkan golok besarnya dan
membentak,
"Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?" suara
orang itu parau dan biarpun tubuhnya tinggi besar, tapi
gerakannya ketika meloncat menghadang Ouwyang Bun
tadi sangat gesit hingga Ouwyang Bun maklum bahwa ia
berhadapan dengan seorang lawan yang "berisi".
Maka tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Bun
menggerakkan pedangnya mengirim serangan kilat, tapi
perwira itu menangkis dengan golok besarnya. Tangkisan
itu saja cukup memperingatkan kepada Ouwyang Bun
supaya berlaku hati-hati, karena ternyata perwira itu
bertenaga kuat dan gerakan goloknyapun gesit. Mereka
berdua bertempur dengan seru, dan tak lama kemudian
kembali Ouwyang Bun kena terkurung, kini lebih rapat dan
hebat daripada tadi karena gerakan golok perwira itu betulbetul
hebat. Diam-diam Ouwyang Bun mengeluh karena
kini keadaannya berbahaya sekali. Jangan kata hendak
menolong puluhan tawanan itu, sedangkan untuk menolong
diri sendiripun ia harus mengeluarkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya, dan inipun masih belum tentu berhasil. Ia
lalu berseru nyaring dan mengeluarkan ilmu pedang Sin-eng
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti) yang dilakukan
dengan cepat dan hebat sekali. Melihat permainan pedang
ini, terkejutlah perwira ini, yang meloncat mundur sambil
berseru,
"Tahan. Dari mana kau peroleh Sin-eng Kiam-hoat ini?
Apa hubunganmu dengan Cin-ciangkun?"
Ouwyang Bun memandang tajam dan ia tertawa
menyindir ketika menjawab, "Cin-ciangkun adalah
susiokku. Kau mau apa?"
Perwira itu makin terkejut. "Kalau begitu, mengapa kau
memusuhi kami? Kenapa kau bertempur dengan anak buah
Cin-ciangkun sendiri?" tanyanya heran.
"Kami berselisih paham,"-jawab Ouwyang Bun dengan
suara dingin, "kalau kalian bertempur melawan
pemberontak, Itu bukan urusanku, tapi kalau kalian
menangkapi orang-orang kampung yang tidak berdaya, aku
tak dapat membiarkannya."
"Habis, apa kehendakmu?" perwira Sayap Garuda itu
bertanya.
"Lepaskan mereka ini."
"Aah, tak mungkin. Sungguh-sungguh a-neh
permintaanmu ini, apalagi kalau diingat bahwa kau adalah
murid keponakan Cin-ciangkun sendiri. Seharusnya kau
tahu akan peraturan ini."
"Betapapun juga, kalian harus melepaskan orang-orang
kampung yang tidak berdosa dan tidak berdaya itu."
Ouwyang Bun berkata sengit dan menggerak-gerakkan
pedangnya dengan sikap menantang.
"Kalau begitu, kau termasuk pengkhianat yang harus
dibinasakan." perwira itu berseru marah dan kembali
mereka bertarung sengit, dan kali ini perwira yang seorang
lagi dan yang bersenjata sebatang tombak ikut menyerbu.
Maka repot juga Ouwyang Bun menahan serangan mereka
yang ternyata berkepandaian tinggi hingga ia terpaksa harus
mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri.
Dalam saat ia berada dalam keadaan terdesak itu, tibatiba
para pengepungnya menjadi panik dan kepungannya
mengendur. Ketika Ouwyang Bun meloncat keluar dari
kepungan yang sudah menipis itu, ia melihat keadaan yang
mendebarkan jantungnya. Ia melihat Kilok Ngo-koai atau
Lima Setan Dari Kilok yang malam tadi bertempur
dengannya, telah datang menyerang pihak tentara dengan
pedang mereka, sedangkan selain kelima setan dari Kilok
ini, tampak juga..... Cui Sian, nona yang dirindukannya itu,
juga Siauw Leng gadis lincah yang pernah menguji
kepandaian dengan Ouwyang Bu dulu, serta tidak
ketinggalan Lui Kok Pauw, penyelidik kaum pemberontak
yang telah dikenalnya dulu. Dan kini terjadilah
pertempuran hebat antara -kurang lebih empatbelas orang
pemberontak yang berkepandaian tinggi dengan puluhan
tentara negeri yang mengeroyok mereka.
Ouwyang Bun berada dalam keadaan serba salah
Apakah ia harus membantu tentara? Ah, hal itu tak
mungkin ia lakukan, karena berlawanan dengan
keyakinannya. Pula, pemberontak-pemberontak itu
menyerbu tentu untuk menolong orang-orang kampung
yang menjadi tawanan itu, jadi berarti cocok dengan
maksud hatinya sendiri. Kalau begitu, apakah ia harus
membantu pihak pemberontak? Ini juga tak mungkin ia
lakukan, karena ia masih merasa ragu-ragu dan malu untuk
mengkhianati paman gurunya sendiri.
Karena merasa bingung, Ouwyang Bun lalu teringat
akan para tawanan itu. Ah, kewajibannya hanyalah
membebaskan para tawanan itu. Cepat ia lari ke tempat di
mana para tawanan itu berada. Tapi ia dicegat oleh lima
orang anggauta tentara yang menjaga para tawanan itu.
Terpaksa Ouwyang Bun lalu menggunakan pedangnya
untuk memutuskan semua tali belenggu yang mengikat
tangan para tawanan itu. Dan aneh, begitu terlepas dari
belenggu, sebagian besar para tawanan laki-laki, yakni yang
tadi mengangkat tegak kepala mereka, lalu ikut menyerbu
dan melawan tentara setelah memungut senjata-senjata para
korban yang terlempar ke atas tanah. Mereka ikut
mengamuk seakan-akan hendak membalas sakit hati kepada
para anggauta tentara yang tadi telah menghina dan
menyakiti mereka.
Setelah melepaskan belenggu semua tawanan, Ouwyang
Bun lalu berdiri menganggur dan hanya menjaga para bekas
tawanan yang tidak ikut bertempur.
Ternyata amukan para pemberontak dan para bekas
tawanan itu membuat anggauta-anggauta tentara itu
kewalahan dan tak lama kemudian mereka terdesak
mundur. Terutama pedang di tangan Cui Sian yang sangat
hebat itu membuat kedua perwira Sayap Garuda merasa
bahwa pihak mereka takkan menang, maka segera mereka
memberi isyarat mundur.
Setelah semua anggauta tentara lari, Cui Sian memberi
perintah kepada Kilok Ngo-koai yang ternyata juga
pemimpin-pemimpin pemberontak, untuk membawa orangorang
kampung itu lekas pergi bersembunyi, karena tak
lama lagi tentu akan datang bala bantuan tentara yang lebih
besar jumlahnya Untuk mengadakan "pembersihan"
Kemudian, Cui Sian dan Siauw Leng menghampiri
Ouwyang Bun dan menjura,
"Ouwyang-taihiap, pertemuan kali ini sungguh-sungguh
membuat kami merasa girang sekali," kata Cui Sian sambil
memperlihatkan senyumnya yang mempercepat jalan darah
dalam tubuh Ouwyang Bun.
Mendengar kata-kata ini, bukan main girang hati
pemuda itu, hanya ia merasa kecewa mengapa gadis ini
menyatakan bahwa yang bergirang bukan gadis itu seorang
diri tapi menggunakan sebutan "kami", maka ia segera
menjawab,
"Bolehkah aku bertanya. Dari mana li-hiap ketahui sheku
yang tak ternama, dan mengapa pula lihiap merasa
girang dengan pertemuan kali ini?" Ia sengaja bertanya
mengapa mereka merasa girang. Cui Sian adalah seorang
gadis yang cerdas otaknya, maka mendengar kata-kata ini
saja sudah cukup untuk membuat wajahnya yang jelita itu
menjadi merah karena merasa malu.
"Kami tahu bahwa taihiap bernama Ouw yang Bun dan
murid dari Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang dari Hc-ng-san.
Jangan taihiap menjadi kaget karena nama suhumu sudah
cukup terkenal dan kami ketahui semua itu dari suhu kami.
Adapun tentang kegirangan kami karena pertemuan kali ini
ialah karena kau telah membantu kami menghadapi
gerombolan kaki tangan kaisar itu."
"Ouwyang-taihiap sungguh gagah perkasa, dengan
seorang diri saja berani menghadapi puluhan tentara kaisar,
sungguh-sungguh satu perbuatan gagah berani yang pantas
dikagumi." Siauw Leng ikut memuji dengan suara yang
nyaring dan kerling mata yang tajam.
"Eh, dengarlah, ji-wi. Jangan menganggap bahwa aku
telah membantu kalian. Aku bertempur dengan mereka
adalah karena persoalanku sendiri. Aku adalah tetap murid
keponakan dari Cin-ciangkun dan tentang pemberontakan
yang kalian dan kawan-kawanmu lakukan, tiada sangkutpautnya
dengan diriku. Juga aku takkan membela mereka
yang mencoba menumpas pemberontakan."
Cui Sian kembali tersenyum manis. "Ucapanmu inipun
tidak aneh bagi kami, taihiap. Kami telah tahu benar
persoalanmu. Aku tahu juga bahwa kau telah meninggalkan
adikmu dan sumoimu."
Hampir saja pemuda itu meloncat kaget. "Apa? Dari
mana kauketahui semua itu?"
"Ouwyang-taihiap, kau dan adikmu adalah orang-orang
hebat yang kalau menjadi lawan akan merupakan musuh
yang kuat. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk
menyelidiki keadaanmu dan hal ini mudah saja karena di
setiap kota, di setiap rumah penginapan, di setiap rumah
makan, pasti ada rakyat yang membela dan membantu
kami."
Ouwyang Bun memandang kagum dan heran kepada
nona yang luar biasa cerdiknya itu, lalu ia menggelengkan
kepala. "Kalau melihat keadaan ini, hampir aku menyangka
bahwa kau juga telah mengetahui segala isi hati dan jalan
pikiranku, lihiap."
Cui Sian tersenyum lagi dan suaranya menjadi perlahan
sekali ketika ia berkata,
"Mungkin aku dapat menduga isi hati dan jalan
pikiranmu itu, taihiap."
"Benarkah? Coba kaukatakan." Ouwyang Bun merasa
gembira sekali, di samping heran dan ragu.
"Di dalam hatimu kau bersimpati kepada gerakan kami
dan pikiranmu juga membenarkan tindakan para patriot
yang hendak membebaskan rakyat dari kekuasaan raja
lalim, tapi karena susiokmu kebetulan menjadi panglima
perang raja yang justeru berkewajiban membasmi kami,
maka liangsim-mu (hati nurani) tidak meng-ijinkan kau
untuk mengkhianati paman gurumu itu. Bukankah
demikian?"
Sekarang benar-benar Ouwyang Bun merasa heran. Ia
pandang wajah yang cantik berseri-seri itu dengan mata tak
berkedip dan mulut ternganga.
"Nona.....," katanya setengah tak sadar. "kau ini....
manusia atau.... dewi kahyangan yang sakti?"
Terdengar suara tertawa cekikikan dari Siauw Leng
hingga sadarlah Ouwyang Bun akan kata-katanya yang lucu
dan bodoh itu, maka buru-buru ia menjura dengan wajah
merah.
"Lihiap, kau sungguh luar biasa. Sukakah kau
menerangkan dari mana pula kauketahui semua itu?
Apakah juga dari suhumu yang sakti?"
Kini Cui Sian menggeleng-gelengkan kepala. "Bukan dari
siapa-siapa. Apakah sukarnya mengetahui atau menerka hal
itu? Setiap orang yang berjiwa patriot akan berpendirian
seperti itu. Setiap laki-laki yang gagah perkasa, yang
berbudi mulia, yang bijaksana, yang berpemandangan luas,
akan berpendirian seperti itu. Dapat melihat kebenaran
dalam perjuangan para patriot bangsa, tapi juga tidak lupa
akart kebaktian terhadap guru."
Kembali terdengar Siauw Leng tertawa cekikikan, kini
bahkan dengan menepuk-nepuk bahu Cui Sian.
"Eh, eh, kau kenapa?" tanya Cui Sian sambil
memandang gadis lincah itu.
"Ah, ciciku yang baik, betapa kau telah memuji-muji
Ouwyang-taihiap. Bagus, bagus, ya??"
Maka sebentar saja otak yang tajam dari Cui Sian dapat
menangkap maksud adiknya dan seluruh mukanya berobah
merah. Benar saja, tanpa disadarinya ia telah mengatakan
bahwa pemuda itu adalah seorang laki-laki yang gagah
perkasa, berbudi mulia, bijaksana dan berpemandangan
luas. Sementara itu, Ouwyang Bun tersenyum saja dengan
hati berdebar girang dan hidungnya berkembang menahan
geli hatinya mendengar dan melihat betapa Siauw Leng
yang nakal telah menggoda Cui Sian.
Cui Sian merasa malu sekali dan untuk menghilangkan
rasa malunya ia cubit lengan adiknya, yang segera lari
sambil tertawa. Ouwyang Bun dan Cui Sian yang ditinggal
berdua saja hanya berdiri saling berhadapan tanpa
mengeluarkan ucapan apa-apa, bahkan mereka tak berani
saling memandang, hanya tunduk dan hanya kadangkadang
mencuri pandangan dengan kerling tajam.
Akhirnya Ouwyang Bun memecahkan kesunyian dan
kebingungan mereka dengan berkata, "Lihiap, kau telah
mengetahui she dan namaku, tapi bolehkah aku ketahui
she-mu dan apa pula hubungan nona Siauw Leng dengan
kau?"
Cui Sian mengangkat muka dan memandang wajah
Ouwyang Bun dengan tenang ketika ia menjawab,
“Aku she Can bernama Cui Sian, dan Siauw Leng
adalah adikku sendiri bernama Can Siauw Leng."
Tiba-tiba Ouwyang Bun menjadi pucat dan ia merasa
kepalanya pening ketika teringat akan sesuatu. Hampir saja
ia tak dapat mengendalikan diri lagi dan hendak memegang
lengan gadis itu yang segera mundur.
"Kau..... kau dan adikmu... dari manakah asalmu....?"
Cui Sian tidak tampak heran melihat sikap Ouwyang
Bun yang aneh ini, bahkan dengan tenang sekali ia berkata,
"Aku sudah tahu apakah yang timbul dalam dugaanmu,
taihiap. Memang dugaanmu itu benar. Ayahku adalah Can
Lim Co yang tinggal di Tung-han."
"Kau.. kau....," Ouwyang Bun tak dapat melanjutkan
kata-katanya hanya menggunakan jari telunjuknya untuk
menuding dada gadis itu lalu menuding dadanya sendiri.
Cui Sian mengangguk-angguk. "Ya, memang ibumu dan
ibuku telah menjodohkan kita...," gadis itu lalu
menundukkan muka dengan malu.
Ouwyang Bun teringat akan adiknya dan ia meloncatloncat
ke atas bagaikan menginjak pasir panas. "Kalau
begitu, adikmu itu.... nona Siauw Leng dan Bu-te....."
"Ya, memang menurut orang tua kita, adikmu itupun
telah dijodohkan dengan Siauw- Leng."
Tiba-tiba Ouwyang Bun tertawa gelak-gelak sambil
mengangkat kepalanya ke atas. Ia merasa geli sekali ketika
teringat betapa Ouwyang Bu telah mengadu kepandaian
melawan tunangannya sendiri. Alangkah cocoknya jodoh
itu. Adiknya yang kasar dan jujur dan Siauw Leng yang
lincah dan Jenaka. Tapi, tiba-tiba ia teringat akan keadaan
Ouwyang Bu dan tiba-tiba saja suara ketawanya berobah
menjadi isak dan pemuda gagah itu lalu menjatuhkan diri di
atas rumput lalu menangis.
Cui Sian yang belum mengetahui duduknya persoalan,
menjadi heran sekali dan salah sangka. Terdengar katakatanya
yang diucapkan dengan tenang tapi tetap,
"Ouwyang-taihiap, tak perlu, hal ini dibingungkan dan
disusahkan. Kita adalah orang-orang yang mengutamakan
kejujuran dan tidak terikat oleh segala yang tak kita setujui.
Kalau kita tak menyetujui tindakan orang tua kita, mudah
saja. Batalkan dan habis perkara, tak perlu dibingungkan."
Mendengar ini, sekali itu juga hati Ouwyang Bun
memberontak dan ingin sekali ia meloncat dan memegang
tangan gadis itu dan mengakui bahwa ia setuju sekali
dengan ikatan jodoh itu, tapi karena ia sedang merasa
hancur hatinya teringat kepada adiknya yang mengambil
jalan lain, ia tak kuasa menjawab kata-kata Cui Sian, hanya
berkata lirih berkali-kali,
"Bu-te.... Bu-te....."
Ketika Ouwyang Bun mengangkat mukanya, ternyata
Cui Sian telah lenyap dari situ. Ia cepat berdiri memandang
ke sekitarnya, tapi keadaan di situ sunyi senyap. Sementara
itu, hari telah berobah senja dan keadaan telah mulai gelap.
Tiba-tiba dari timur tampak beberapa orang berlari cepat
sekali ke arahnya dan empat orang telah berada di
hadapannya. Mereka ini adalah perwira-perwira Sayap
Garuda dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang
Ouwyang Bun yang masih merasa setengah sadar karena
pukulan kesedihan tadi, cepat menggunakan pedangnya
melakukan perlawanan. Ternyata empat orang pahlawan
keraton ini sangat hebat dan segera ia terkurung rapat.
Sementara itu, musuh datang lebih banyak. Ouwyang Bun
maklum bahwa ia takkan tertolong lagi, karena terlalu
banyak musuh pandai mengurung dan menyerangnya,
bahkan di antara mereka ini tampak Kin Keng Tojin, tokoh
Go-bi-san yang bertubuh bongkok dan rambutnya yang
panjang diikal ke atas. Inilah tosu yang pernah ia jumpai di
medan pesta Gak Liong Ek dulu, dan ternyata pendeta
inipun telah menjadi kaki tangan kaisar pula.
Karena terkurung rapat-rapat sedangkan ia hanya
seorang diri, Ouwyang Bun menjadi nekat. Ia mainkan
pedangnya sedemikian rupa dan ia kerahkan seluruh tenaga
dan kepandaian hingga sampai dua-ratus jurus ia masih
tetap dapat mempertahankan diri, biarpun tubuhnyalah
merasa lemas dan lelah sekali.
Ia telah menerima hantaman tiga kali, yakni sekali
bacokan golok yang meleset dan melukai kulit pundaknya,
sedangkan dua kali lagi pukulan toya di lengan kiri dan
pinggang. Tapi berkat semangatnya yang menyala-nyala
dan kenekatannya yang luar biasa, ia belum juga dapat
dirobohkan.
Akhirnya kedua matanya menjadi gelap, pandangan
matanya kabur dan kepalanya pening, sepasang lengannya
terasa lemah tak bertenaga dan kedua kakinya terhuyunghuyung
ke belakang. Ia hanya mendengar suara ketawa dan
bentakan-bentakan lawannya di sekelilingnya yang tiba-tiba
terhenti dan akhirnya semuanya tampak hitam karena ia
telah pingsan.
0odwo0
Ketika sadar kembali, Ouwyang Bun mendapatkan
dirinya terbaring di atas sebuah dipan bambu yang
bertilamkan kain putih bersih dan pinggirnya berenda.
Bantal yang mengganjal kepalanya terbungkus sutera merah
bersulam kembang-kembang mawar indah sekali. Bantal itu
mengeluarkan bau harum dan sedap menyegarkan.
Ouwyang Bun merasa seakan-akan dalam mimpi. Tanpa
menggerakkan kepala, kedua matanya bergerak ke
sekelilingnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah kamar
segi empat yang terbuat dari bilik bambu sederhana. Di
sebelah kirinya terdapat lubang jendela yang tak berapa
besar dan dari jendela itu masuklah angin berhembus
perlahan menggerak-gerakkan sutera hijau yang tergantung
di belakang jendela. Dari atas sutera hijau itu, ia hanya
dapat melihat langit yang biru muda terhias awan-awan
putih berkelompok-kelompok.
Tiba-tiba teringatlah ia akan pertempuran hebat dan
teringatlah ia betapa ia terluka karena dikeroyok oleh
jagoan-jagoan keraton. Maka ia segera menggerakkan
kedua lengannya. Lengan kanannya dapat digerakkan
seperti biasa, tapi lengan kirinya terasa sakit sekali ketika ia
gerakkan, terutama di bagian pundak. Ketika ia raba
pundaknya, ternyata bahwa bagian tubuh itu telah dibalut.
Di manakah dia? Demikianlah otaknya mulai berpikir
dan ia bangkit dengan perlahan lalu duduk di atas dipan itu.
Pada saat itu, daun pintu di sebelah kanannya terbuka
perlahan dan seorang gadis masuk dengan langkah kaki
perlahan dan halus. Gadis itu membawa sebuah nampan
berisi cawan kosong dan poci air teh, dan sebuah mangkuk
berisi obat. Ketika pandang mata mereka bertemu, hampir
saja Ouwyang Bun berseru karena herannya. Ia merasa
seakan-akan berhadapan dengan seorang bidadari yang baru
saja turun dari kahyangan. Demikian cantik, demikian
manis dengan pakaiannya yang sederhana. Senyumnya
menghias mulut yang indah bentuknya itu, sepasang
matanya berseri-seri dan bercahaya bagaikan bintang pagi,
dan begitu lemah gemulai. Ouwyang Bun hampir tak
percaya kepada mata sendiri, tapi tak terasa pula bibirnya
bergerak memanggil,
"Cui Sian......"
Gadis yang sedang berdiri dan memandang padanya itu
tiba-tiba menundukkan mukanya yang berobah menjadi
kemerah-merahan dan tangan berkulit putih halus itu
menggigil hingga cawan kosong di atas nampan berbunyi
berkerotekan. Benarkah ini Cui Sian, gadis yang biasanya
berpakaian laki-laki, gadis yang gagah perkasa, yang telah
mendapat kekuasaan memimpin barisan pemberontak, yang
biasa menghadapi musuh banyak dengan tenang dan
sepasang pedang di tangan. Benarkah tangan yang biasanya
pandai mengayun dan mempermainkan pedang itu kini
gemetar menggigil untuk membawa sebuah nampan kosong
saja?
Ternyata bahwa dara ini memang benar Cui Sian
adanya.
"Ouwyang-taihiap, kau sudah sadar?" tanyanya. Aneh
sekali pendengaran telinga Ouwyang Bun, suara gadis
inipun berobah, merdu halus dan bagaikan kicau murai di
waktu pagi.
"Cui Sian..... moi-moi, masih perlukah kau panggil aku
dengan segala taihiap-taihiapan?" Ouwyang Bun berkata
perlahan.
Muka gadis itu makin merah dan ia mengerling kepada
pemuda itu dengan sudut matanya.
"Baiklah, Bun-ko," jawabnya perlahan hampir tak
terdengar, kemudian setelah menghela napas untuk
menenteramkan hatinya yang berdebar-debar tadi, ia
berkata lagi, kini dengan suara biasa, "Bun-ko, minumlah
dulu obat ini."
Semenjak kecil Ouwyang Bun memang paling benci
minum obat-obat yang tak sedap rasanya, apalagi kalau
yang pahit. Mendengar bahwa ia harus minum obat
semangkuk penuh itu, ia kenyitkan hidungnya dan belum
apa-apa ia telah merasa mau muntah.
"Haruskah kuminum obat itu, moi-moi?" tanyanya.
Melihat wajah pemuda itu, Cui Sian tertawa geli. "Tentu
saja harus kau minum, apa kaukira aku bersusah payah
masak obat ini hanya untuk main-main saja?"
"Eh, kau memasak obat untukku, adikku yang baik? Dan
kau.... kau rawat aku dengan baik pula, ah.... sungguh kau
baik sekali, moi-moi...."
"Hush..... sudahlah, minum dulu obat ini dan jangan
membantah." setelah gadis itu meletakkan nampan di atas
meja kecil, lalu mengambil mangkuk obat itu dan
menghampiri Ouwyang Bun. Dari pakaian gadis itu keluar
bau harum'yang sama dengan bau harum bantalnya, maka
Ouwyang Bun memejamkan mata sebentar dan menarik
napas dalam, lalu dengan menurut sekali ia terima
mangkuk itu, menutup matanya rapat-rapat lalu sekali
tuang habislah obat semangkuk itu.
"Nah, begitu baru baik," gadis itu memuji dan cepat
mengambil mangkuk kosong itu menuangkan teh di dalam
cawan kecil yang kemudian disodorkan kepada pemuda itu,
"dan ini obat penawar pahit," katanya sambil tersenyum
dan memandang penuh mesra. Ouwyang Bun juga tak
membantah dan meminum habis teh itu.
"Sekarang, kau ceritakan semuanya kepadaku, moi-moi,"
ia lalu menuntut, tapi cepat disambungnya, "eh, jangan kau
berdiri saja, duduklah....." Pemuda itu merasa bingung
karena ia merasa tidak sepantasnya kalau mereka duduk
berdua di atas pembaringan, sedangkan di situ tidak ada
bangku atau kursi. Maka ia lalu cepat turun dari
pembaringan. Pinggangnya terasa agak sakit, tapi
ditahannya, lalu ia berdiri dan berkata lagi,
"Nah, kau duduklah di situ biar aku berdiri saja."
Cui Sian tersenyum geli. "Kau berbaring saja, Bun-ko.
Lukamu belum sembuh benar, tidak boleh turun dari
pembaringan. Biar aku duduk di pinggir pembaringan."
Karena memang pinggangnya terasa sakit dan kepalanya
masih pusing, Ouwyang Bun lalu merebahkan diri lagi, dan
tanpa malu-malu lagi Sui Cian duduk di pinggir
pembaringan.
"Moi-moi... bukannya aku tak suka, tapi.... tapi kalau
terlihat orang lain... bolehkah kau duduk di pinggir
pembaringanku?" sambil berkata demikian pemuda itu
menjauhkah diri sedapat mungkin dan mukanya menjadi
merah sekali.
Cui Sian menggunakan ujung lengan bajunya untuk
menutup mulutnya dan menahan geli hatinya.
"Koko, sungguh kau... menggemaskan. Tiga hari aku
terus-menerus menjagamu di sini dan sekarang kau hendak
melarang aku duduk di sini?"
"Apa? Tiga liari kau menjagaku di sini? Seorang diri?
Dan di mana kawan-kawan yang lain?"
"Sabar, koko. Ketahuilah, ketika kau dengan matimatian
dan gagah berani menghadapi keroyokan beberapa
perwira Sayap Garuda dan berada dalam keadaan yang
berbahaya sekali, kebetulan aku dan kawan-kawan datang.
Untung pada waktu itu suhuku juga ada di antara kami
hingga beliaulah yang menolongmu dari bahaya maut.
Kalau tidak ada suhu, kiraku sukar menolongmu, karena
pengeroyok-pengeroyokmu adalah jago-jago keraton yang
berkepandaian tinggi."
"Aduh, kalau begitu aku berhutang budi kepada
suhumu."
"Stt, siapa bicara perkara budi? Dengarlah baik-baik
ceritaku," gadis itu menyela. "Setelah kami berhasil
memukul mun dur mereka semua, kami lalu membawamu
ke sini yang terpisah hampir limapuluh li dari tempat kau
bertempur. Suhu lalu memeriksamu dan ternyata kau
mendapat beberapa luka yang berat juga. Kata suhu, kau
akan pingsan sampai dua atau tiga hari karena selain
mendapat luka dan terlampau lelah, kau juga menderita
tekanan hatin hebat hingga jantungmu terganggu."
"Aah, suhumu sungguh pandai luar biasa seperti seorang
dewa," kata Ouwyang Bun dengan kagum.
"Suhu lalu memberi obat dan beliau segera pergi karena
mempunyai tugas penting di kota raja, sedangkan semua
kawan-kawan juga harus segera menggabungkan diri
dengan kawan-kawan lain untuk bersiap sedia menanti
perintah penyerbuan besar-besaran ke kota raja. Karena kau
harus dirawat baik-baik seperti perintah suhu, maka aku
lalu memberikan tugasku kepada Siauw Leng dan aku
sendiri tinggal merawatmu."
"Ah, moi-moi, adikku yang manis," Ouwyang Bun
berbisik terharu sambil memegang tangan gadis itu dan
tanpa disadarinya ia mencium tangan yang halus dan
hangat itu.
Untuk beberapa lama Cui Sian membiarkan saja
tangannya dipegang tapi kemudian ia menarik tangannya
sambil berkata lagi.
"Koko, menurut kata suhu, setelah empat hari barulah
kau boleh melakukan.perjalanan. Aku mempunyai tugas
penting, yakni memimpin kawan-kawan mencari dan
menggabungkan diri dengan induk kesatuan. Maka,
terpaksa besok pagi-pagi aku pergi dari sini.”
Ouwyang Bun terkejut. "Pergi ke mana, moi-moi?"
"Menyusul kawan-kawan. Ke mana lagi?"
"Aku juga ikut pergi," katanya dengan suara tetap.
Cui Sian mengangkat telunjuknya. "Ingat, koko, aku
menunaikan tugasku untuk menyerbu ke kota raja."
"Akupun hendak ikut menyerbu dan bertempur di
sampingmu."
"Ingat, koko. Tidak ada yang memaksa kau untuk ikut
menggabungkan diri menjadi pemberontak."
"Tidak ada yang memaksa, dan kau bukanlah
pemberontak. Kau adalah seorang patriot wanita, semua
kawan adalah patriot-patriot gagah sejati. Aku sekarang
mengerti dan tahu akan isi perjuanganmu, moi-moi."
"Tapi, koko, janganlah kau berobah pikiran hanya
karena ada aku. Ingatlah bahwa kau akan berhadapan
dengan susiokmu, bahkan mungkin dengan ..... adikmu
sendiri."
Mendengar adiknya disebut-sebut, Ouwyang Bun
menghela napas dan berkata perlahan, "Sayang.... sayang
sekali Bu-te tidak berada di sampingku...."
"Memang, aku juga sangat menyayangkan, koko.
Ketahuilah, dari berita para pe nyelidik kita, aku mendapat
kabar bahwa adikmu kini telah diangkat menjadi tangan
kanan Cin-ciangkun."
Ouwyang Bun makin sedih mendengar ini.
"Dan diberi tugas mengepalai barisan yang menjaga
benteng Kwi-ciok-bun di sebelah selatan kota raja.
Kabarnya benteng nya besar dan kuat sekali dan merupakan
perintang besar sekali bagi kawan-kawan kita."
"Dan kau serta kawan-kawanmu hendak menyerbu ke
sana?" tanya Ouwyang Bun.
"Memang tugas kita harus melalui benteng itu."
"Kalau begitu, aku ikut. Biarlah, kalau perlu aku
berhadapan dengan adikku sendiri. Mungkin aku dapat
menyadarkannya sebelum terlambat."
Sehari itu mereka bercakap-cakap dan pada kesempatan
ini Can Cui Sian menceritakan riwayatnya secara singkat.
Ternyata bahwa Can Lim Co, ayah Cui Sian dan Siauw
Leng, setelah harta bendanya habis dan menjadi miskin,
pindah ke Tung-han dan mendiami rumah sederhana. Pada
suatu hari, ketika hujan turun dengan lebatnya, di depan
rumah keluarga Can itu tampak meneduh seorang kakek
yang memikul keranjang obat. Kakek itu menggunakan
ujung lengan bajunya untuk menghapus air hujan yang
menimpa kepala dan mukanya, lalu mengucapkan syair
dengan suara riang sambil memandang air yang mengucur
dari atas.
Kata orang purbakala
mendung timbul dari samudera
mendung jadi hujan
dan air mengalir masuk sungai
sungai bergerak maju
dan akhirnya masuk ke samudera kembali
Alangkah adilnya kekuasaan alam
segala sesuatu
pasti kembali ke asal semula.
Kebetulan pada waktu itu Can Lim Co sedang duduk di
dekat jendela sambil memandang air hujan juga. Can Lim
Co adalah seorang sastrawan yang tentu saja pandai akan
sastra dan syair. Mendengar syair yang diucapkan orang
dari luar ini, ia merasa kagum dan tertarik sekali. Segera ia
keluar dan dengan ramah-tamah mempersilakan kakek
tukang obat itu masuk.
Kakek itu ternyata adalah Sin-liong Ciu Pek In si Naga
Sakti yang tidak hanya hebat sekali ilmu pedangnya. juga
seorang ahli ilmu pengobatan yang pintar dan sakti. Ciu
Pek In segera menjadi sahabat baik Can Lim Co karena
keduanya suka akan syair-syair kuno, maka semenjak saat
itu, seringkali Ciu Pek In mengunjungi sahabatnya itu.
Kemudian, karena Can Lim Co juga berjiwa patriot,
melihat keadaan negara dalam kacau dan tahu bahwa Ciu
Pek In adalah seorang pendekar gagah perkasa, orang she
Can ini minta kepada sahabatnya untuk menerima kedua
anak perempuannya sebagai murid.
Ternyata kedua anak perempuannya, Cui Sian dan
Siauw Leng, memang mempunyai bakat baik hingga
mereka mudah £apat menerima pelajaran silat tinggi dari si
Naga Sakti. Ketika pemberontakan pecah di mana-mana,
sebagai seorang pen cinta bangsa Ciu Pek In juga ikut
membantu pergerakan untuk meruntuhkan kekuasaan raja
lalim dan para pemimpin jahat, sedangkan dua orang
muridnya itu-pun mendapat izin dari orang tuanya untuk
membantu pula.
Mendengar cerita Cui Sian, Ouwyang Bun merasa
kagum sekali dan tiada habisnya memuji ayah. gadis itu
sebagai seorang yang berjiwa patriot.
"Sayang sekali ayahku tidak berpemandangan demikian,
dan lebih sayang lagi bahwa Bu-te juga tidak menginsyafi
hal ini," katanya sambil menghela napas.
Pada keesokan harinya, ternyata kesehatan Ouwyang
Bun telah pulih kembali dan luka-lukanya sudah hampir
sembuh. Keduanya lalu berangkat meninggalkan tempat itu
dengan naik dua ekor kuda yang memang sengaja
disediakan dan ditinggalkan di situ untuk mereka berdua.
Mereka memacu kudanya cepat-cepat untuk dapat
menyusul kawan-kawan yang telah mendahului mereka
empat hari yang lalu. Karena kawan-kawannya telah
berangkat lebih dulu, maka di mana-mana Cui Sian
mendapat bantuan orang kampung dan mudah saja baginya
mencari tahu dari mereka ini ten-r tang perjalanan kawankawannya
dan tentang pergerakan tentara negeri yang
beraksi mengadakan pembersihan.
Melihat sikap gadis itu kepada orang-orang kampung,
makin kagumlah hati Ouwyang Bun dan ia makin yakin
para pemberontak memang berada di pihak yang benar dan
mulia.
Tiga hari kemudian, ketika mereka sedang melarikan
kuda dengan cepat menyeberangi sebuah hutan, tiba-tiba
dari depan terdengar suara kaki kuda dilarikan dengan
cepat dan sebentar saja tampak penunggang kuda itu dari
depan.
"Siong-lopeh, kau hendak ke mana?" tiba-tiba Cui Sian
menegur dengan suara nyaring dan ramah.
"Twa-lihiap, aku sengaja hendak menyusul dan
menyambut engkau." kata orang tua itu. Memang di antara
kawan-kawannya itu, Cui Sian dipanggil twa-lihiap dan
Siauw Leng dipanggil ji-lihiap, bahkan kadang-kadang Cui
Sian mendapat julukan It-to-bwee.
"Apakah ada kejadian-kejadian yang penting, Sionglopeh?"
tanya gadis itu dengan sikap tenang-tenang saja.
"Perjalanan kita terhalang oleh barisan besar yang kuat.
Telah dua kali terjadi pertempuran, tapi pihak musuh
terlampau kuat dan jumlahnya jauh lebih besar. Ji-lihiap
memerintahkan kami supaya mundur dan bersembunyi di
dalam hutan-hutan dan tidak boleh menyerang sebelum kau
datang. Karena kami merasa gelisah menghadapi musuh
yang kuat dan banyak, kami lalu mengambil keputusan
untuk menyusulmu dan aku yang mendapat tugas ini.
Kebetulan sekali kita bertemu di sini, twa-li-hiap."
Suara gadis itu tetap tenang ketika ia - bertanya,
"Bagaimana perbandingan jumlah tenaga dan siapa yang
memimpin pihak musuh?"
"Jumlah musuh menurut para penyelidik kita adalah
lebih dari tigaratus orang sedangkan kita hanya berjumlah
enampuluh. Pemimpin pihak lawan adalah seorang perwira
baru yang masih muda dan memiliki kepandaian silat
tinggi. Kabarnya ji-lihiap kenal padanya dan kalau tidak
salah perwira itu adalah keponakan Cin-ciangkun sendiri."
"Apa?" Ouwyang Bun tak tahan lagi berseru dengan
kaget. Tentu adiknyalah perwira itu.
Tapi Cui Sian lebih tenang dan berkata, "Kalau begitu,
mari kita menemui kawan-kawan secepatnya, lopeh," dan
kepada Ouwyang Bun ia berkata,
"Koko, mari kau ikut."
Biarpun anggauta pemberontak she Siong itu merasa
heran mendengar panggilan Cui Sian kepada pemuda itu
namun ia tidak berani membuka mulut, dan ketiganya lalu
memacu kuda secepatnya. Orang she Siong itu berjalan
paling depan sebagai penunjuk jalan, Cui Sian di
belakangnya dan Ouwyang Bun di belakang sekali.
Setelah membalapkan kuda hampir setengah hari dan
hari telah menjadi gelap, barulah mereka sampai di tempat
tujuan yakni sebuah hutan pohon pek yang lebat sekali. Di
tengah-tengah hutan itulah para anggauta pemberontak
menyembunyikan diri. Ketika Cui Sian datang, semua
orang merasa gembira sekali dan lega, karena dengan
adanya pendekar wanita ini di antara mereka, maka hati
mereka menjadi lebih tabah.
Siauw Leng menyambut encinya dengan girang
kemudian memeluknya. Gadis lincah itu lalu menjura
kepada Ouwyang Bun dan berkata dengan wajah sungguhsungguh
dan lenyaplah untuk saat itu sifatnya yang nakal,
"Ouwyang-taihiap, sungguh-sungguh aku merasa girang
dan lega sekali melihat kau suka datang di tempat ini
bersama cici."
Kemudian, enci dan adik itu serta beberapa orang yang
dianggap sebagai pembantu, mengadakan rapat di dekat api
unggun. Di sekeliling api itu ditutup dengan kain tebal
hitam hingga dari jauh api itu takkan tampak oleh musuh.
Ouwyang Bun ikut duduk di situ, tapi ia hanya
mendengarkan saja segala percakapan mereka.
Setelah mendengar laporan-laporan para pembantunya,
Cui Sian memeras otaknya yang cerdas lalu mengatur
siasat.
"Kawan-kawan kita yang berjumlah e-nampuluh ini kita
bagi menjadi tiga kelompok. Empatpuluh orang besok pagipagi
sekali ikut dengan aku sendiri menyerbu musuh di luar
hutan. Kalau jumlah mereka bertambah, aku pimpin
empatpuluh orang kawan ini mundur dan melarikan diri ke
dalam hutan untuk memancing mereka mengejar sampai di
tempat yang banyak terdapat pohon siong besar yang
kulihat di sana tadi. Di belakang pohon-pohon itu, Siauw
Leng harus memimpin sepuluh orang yang pandai
menggunakan anak panah dan menunggu sampai musuh
yang mengejarku tiba di situ lalu menghujani anak panah
tanpa memperlihatkan diri. Tentu keadaan mereka menjadi
kacau dan banyak korban jatuh. Kalau mereka melarikan
diri dan kembali hendak ke luar hutan, maka Lui-twako
yang memimpin sepuluh orang kawan lain harus
menyergap mereka dengan anak panah pula dari depan
hingga mereka seakan-akan terkurung tanpa mengetahui
jumlah kita yang sesungguhnya. Aku sendiri akan
memimpin kawan-kawanku untuk menyerbu kembali
hingga mereka betul-betul menjadi kacau-balau."
Semua orang mendengarkan perintah i-ni dengan penuh
perhatian, sedangkan Ouwyang Bun merasa kagum sekali.
Pada keesokan harinya semua orang telah bersiap
melakukan tugas masing-masing. Ouwyang Bun menemui
Cui Sian dan bertanya,
"Moi-moi, aku tentu boleh ikut denganmu, bukan?"
"Lebih baik jangan, koko. Siapa tahu, jangan-jangan
adikmu sendiri yang akan maju memimpin pengejaran
nanti, dan jika ia melihat kau, ia akan menjadi curiga dan
siasatku mungkin akan gagal. Biarlah kau mengamat-amati
saja dan membantu bila di antara kawan kita ada yang
terkurung atau terancam bahaya."
"Tapi kau harus berlaku hati-hati, moi-moi, jangan kau
pandang ringan adikku itu dan.... dan.,,, sedapat mungkin
janganlah kau.... celakakan dia."
Cui Sian memandang pemuda itu dengan mata sayu.
"Apa dayaku, koko? Dalam keadaan seperti ini apakah
masih perlu perasaan perseorangan diutamakan?" Ouwyang
Bun menghela napas dan tak men jawab karena ia maklum
sepenuhnya akan maksud kata-kata gadis itu.
Setelah memberi pesan terakhir kepada kawan-kawannya
dan mengatur persiapan-persiapan untuk menjalankan
siasat itu, Cui Sian lalu memimpin kawan-kawannya untuk
menyerbu perkemahan serdadu negeri yang menjaga di luar
hutan dalam tenda-tenda berwarna hijau. Kurang lebih
tigaratus orang serdadu itu memang dipimpin sendiri oleh
Ouwyang Bu. Bagaimanakah nasib pemuda gagah ini yang
ditinggal pergi oleh kakaknya yang ia kasihi?
Setelah Ouwyang Bun pergi, Ouwyang Bu merasa sangat
sedih, akan tetapi karena kasih dan cintanya kepada Lie
Eng jauh lebih besar daripada kasih sayangnya kepada
kakaknya itu, maka kenyataan bahwa ia dapat selalu
berdampingan dengan gadis itu yang banyak menghibur
hatinya.
-00oodwoo00-
Jilid VI
SEMENTARA itu, semenjak kepergian Ouwyang Bun,
Lie Eng menjadi pendiam. Wajahnya yang cantik itu
tampak muram saja dan ia jarang tersenyum, kecuali kalau
sedang bicara dengan Ouwyang Bu, karena diam-diam ia
merasa sangat kasihan kepada pemuda ini. Ia tahu bahwa
pemuda ini sekarang menaruh seluruh pengharapannya
kepada dia seorang, maka tidak sampai hatinya untuk
menolak cinta Ouwyang Bu, biarpun ia juga tidak
menyatakan bahwa ia menerima atau membalas cinta itu.
Diam-diam gadis ini masih mengingat dengan hati penuh
rindu Kepada Ouwyang Bun, pemuda idaman hatinya itu.
Setelah Ouwyang Bun pergi, Lie Eng dan Ouwyang Bu
tiada bernapsu lagi untuk melanjutkan perantauan mereka,
maka langsung mereka menyusul pasukan yang dipimpin
oleh Cin Cun Ong. Beberapa hari kemudian mereka dapat
menyusul pasukan itu karena Cln-ciangkun menggerakkan
pasukannya sambil melakukan pembersihan di sana-sini.
Sambil berlutut Ouwyang Bu memintakan ampun untuk
kakaknya yang telah pergi tanpa pamit itu. Cin Cun Ong
menghela napas dan diam-diam ia merasa menyesal karena
ia sungguh mengharapkan tenaga anak muda itu, tapi
mulutnya berkata,
"Tidak apalah, memang segala sesuatu tidak dapat
dipaksakan. Mungkin dia mempunyai pendapat lain.
Mudah-mudahan saja dia tidak mengambil jalan
berlawanan dengan jalan kita. Dan kau sendiri bagaimana?"
"Teecu sudah berjanji hendak membantu pekerjaan
susiok sampai titik darah peng habisan." sambil berkata
demikian pemuda itu melirik ke arah Lie Eng yang berdiri
di dekat ayahnya bagaikan patung, seakan-akan pikirannya
melayang-layang pergi jauh dari tubuhnya.
Cin Cun Ong adalah seorang kang-ouw yang sudah
ulung dan banyak punya pengalaman. Ia maklum bahwa
saudara kembar she Ouwyang itu mempunyai hubungan
persaudaraan yang luar biasa. Dan kalau ada sesuatu yang
mampu memisahkan mereka berdua, maka sesuatu itu
tentulah seorang wanita. Dan dalam hal ini, siapakah lagi
kalau bukan Lie Eng anak gadisnya sendiri?
"Ouwyang Bu, baik sekali kalau pendirianmu demikian.
Aku percaya penuh kepadamu. Ketahuilah, sekarang ini
dari sekeliling jurusan yang menuju ke kota raja, telah
penuh dengan barisan pemberontak yang bergerak dengan
sembunyi-sembunyi. Menurut perhitunganku, yang
berbahaya adalah barisan-barisan pemberontak yang
bergerak dari timur dan utara. Maka kebetulan sekali
kedatanganmu ini. Aku akan menjaga di sebelah timur dan
kau menjaga di sebelah utara. Karena kau belum
berpengalaman, maka biarlah Lie Eng membantumu."
Bukan main girang hati Ouwyang Bu, bukan terlalu
girang karena diberi tugas besar yang berbahaya itu, tapi
gembira karena gadis yang dicintainya itu dijadikan
pembantunya. Cin Cun Ong dapat melihat sinar bahagia
memancar dari muka pemuda itu, maka dugaannya makin
tebal. Tapi ketika ia menengok dan memandang muka Lie
Eng, gadis itu menyambut perintah ini dengan dingin saja,
walaupun ia berkata,
"Aku akan girang sekali kalau dapat membantu Bu-ko."
"Kalian harus memimpin barisan yang kini sudah berada
di benteng Liok-kwa-shia. Di situ terdapat seribu orang
tentara di bawah pimpinan Gui-ciangkun. Kau bawalah
suratku untuknya dan boleh ambil alih pimpinan dan
angkatlah ia menjadi pembantumu. Biarpun kepandaian
Gui-ciangkun tidak berapa tinggi, namun ia dapat
memimpin anak buahnya dan ia cukup setia. Ingat,
kewajiban kalian hanya untuk menjaga daerah itu yang
panjangnya lima li dan jangan bergerak terlalu jauh.
Ingatlah baik-baik akan gerak-gerik barisan pemberontak
yang menggunakan taktik perang secara sembunyisembunyi
dan jangan percaya kepada segala petani dan
pengemis. Mereka ini mungkin sekali adalah anggautaanggauta
pemberontak atau mata-mata. Pendeknya,
tanggung jawab benteng itu kuserahkan kepadamu dan hatihatilah
jangan sampai pemberontak dapat menerobos dan
melewati benteng itu."
Setelah menerima nasihat-nasihat banyak sekali dari
panglima tua yang ulung itu, Ouwyang Bu dan Lie Eng
berangkat dengan diiringkan oleh satu regu tentara pilihan.
Ouwyang Bu mengenakan pakaian perwira kelas satu yang
terbuat dari kain berwarna hijau dengan sulaman-sulaman
kuning. Topinya dihias benang emas hingga berkilauan
kena cahaya matahari sedangkan pedangnya digantungkan
di pinggang. Ia tampak gagah sekali dan untuk sesaat Lie
Eng memandang padanya dengan mata mesra karena
Ouwyang Bu memang dalam hal rupa dan bentuk badan
serupa benar dengan Ouwyang Bun. Juga Lie Eng
berpakaian sebagai seorang panglima wanita, tapi ia tidak
menggantungkan sepasang pedangnya di pinggang. Ia lebih
suka mengikatkan pedangnya itu di punggungnya hingga
dilihat dari depan, hanya gagang pedang saja yang nampak
mengintai dari balik bahunya.
Kedatangan mereka disambut oleh Gui Li Sun atau Guiciangkun,
panglima yang tinggi besar itu. Gui-ciangkun
tentu saja merasa tidak puas dan kecewa sekali ketika ia
harus menyerahkan pimpinan benteng itu kepada Ouwyang
Bu. Anak muda yang baru saja masuk lingkungan
ketentaraan itu dan belum mempunyai pengalaman perang
sama sekali, telah diserahi tugas ini? Sungguh gemas sekali
hati Gui Li Sun dan kalau ia tidak ingat bahwa Ouwyang
Bu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari padanya,
pula kedatangan anak muda itu membawa surat perintah
dari Cin-ciang-kun, bahkan Cin Lie Eng juga ikut
membantu, tentu ia akan memperlihatkan rasa menyesal
dan marahnya. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa
selain memberi hormat secara militer kepada Ouwyang Bu
yang semenjak saat itu menjadi pemimpinnya.
Dengan bantuan Lie Eng dan Gui Li Sun, Ouwyang Bu
mengadakan peraturan baru yang keras pada seluruh anak
buahnya dan penjagaan dilakukan lebih kuat lagi.
Semenjak Ouwyang Bu menjabat pimpinan di situ, benar
saja para pemberontak yang hendak menerobos daerah itu
selalu dapat digagalkan. Telah lebih dari lima kali
rombongan-rombongan kecil pemberontak yang lewat di
situ dapat digagalkan bahkan dihancurkan. Beberapa orang
pemberontak yang berkepandaian tinggi tidak kuat
menghadapi Ouwyang Bu yang dibantu oleh Lie Eng, pula
tidak dapat melawan barisan yang besar jumlahnya dan
dapat menerobos penjagaan yang sangat kuat itu.
Di waktu tidak ada serbuan pemberontak, tiap hari
Ouwyang Bu melatih semua anak buahnya dengan latihanlatihan
main senjata. Ia sengaja menurunkan kepandaian
silat yang praktis dan yang mudah dipelajari serta dapat
digunakan pada saat terjadi pertempuran.
Dan pada suatu hari sampailah pasukan pemberontak
yang dipimpin oleh Siauw Leng ke benteng itu. Berbeda
dengan serbuan-serbuan pemberontak yang sudah-sudah,
pasukan Siauw Leng ini ternyata cukup kuat hingga ketika
terjadi pertempuran pertama di antara mereka, banyak juga
serdadu penjaga jatuh menjadi korban. Keadaan penjagaan
menjadi kacau dan mendengar akan kehebatan para
pemberontak yang kali ini menyerbu bentengnya, Ouwyang
Bu menjadi marah dan ia sendiri ikut bertindak. Alangkah
marahnya ketika ia melihat bahwa yang menyerang adalah
pemberontak-pemberontak yang dipimpin oleh gadis yang
pernah mengadu kepandaian dengan dia dulu itu. Ia
menjadi terkejut dan berlaku hati-hati sekali. Diam-diam ia
atur barisannya untuk mengepung, dan ia sendiri bersama
Lie Eng lalu menyerbu hingga rombongan pemberontak itu
terpukul mundur dan melarikan diri ke dalam hutan.
Karena tahu bahwa rombongan itu terdiri dari banyak
orang-orang pandai yang perlu sekali dibasmi agar tidak
membahayakan pertahanan bentengnya, Ouwyang Bu lalu
mengejar mereka ke dalam hutan. Per tempuran seru terjadi
berkali-kali dan pihak pemberontak selalu terdesak hingga
mundur dan dikejar terus.
"Sudah, Bu-ko. Jangan-jangan kita kena dipancing." Lie
Eng memperingatkan ketika mereka mengejar sampai di
pinggir hutan lain yang lebat dan gelap.
Ouwyang Bu berkata dengan penuh napsu,
"Eng-moi, biarlah kita bergiliran menjaga di sini dengan
tigaratus orang tentara. Kita dapat mendirikan tenda-tenda
di sini, karena kalau tempat ini dijaga, maka tak ada
pemberontak dapat mendekati benteng. Juga, pada siang
hari kita dapat mengejar ke dalam hutan dan membasmi
mereka semua."
Karena Ouwyang Bu yang memegang pucuk pimpinan,
maka Lie Eng hanya menurut saja. Tigaratus orang tentara
dikerahkannya dan di situ didirikan perkemahan besar. Lie
Eng dari Gui Li Sun diperintahkan menjaga benteng,
sedangkan tigaratus orang tentara itu dipimpin sendiri oleh
Ouwyang Bu.
Keputusan inilah yang membingungkan Siauw Leng dan
kawan-kawannya yang berjumlah enampuluh orang, karena
dengan dijaganya mulut hutan itu, benar-benar mereka tak
dapat keluar.
Demikianlah keadaan Ouwyang Bu, pemuda gagah
perkasa yang terpaksa berselisih jalan dengan kakaknya
karena pengaruh asmara.
O0odwoO
Pada malam itu ketika Ouwyang Bu sedang mengepalai
sendiri anak buahnya melakukan penjagaan di sekitar mulut
hutan itu, maka di tengah-tengah hutan sedang diadakan
perundingan antara Cui Sian dan kawan-kawannya, bahkan
terdapat pula Ouwyang Bun di antara mereka. Seperti telah
diketahui, Cui Sian mengambil keputusan untuk memimpin
sendiri empatpuluh orang pada pagi hari itu dan menyerbu
serta memancing barisan tentara negeri yang menjaga di
luar hutan.
Dengan hati-hati dan cekatan, Cui Sian yang berjalan
paling depan dapat melihat keadaan penjagaan Ouwyang
Bu yang betul-betul kuat dan rapi. Ia memberi tanda kepada
kawan-kawannya dan tiba-tiba sambil memekik nyaring, ia
perintahkan anak buahnya menyerbu di bagian sayap kiri di
mana berkumpul para penjaga terdiri dari kira-kira
limapuluh orang berpencaran di sana-sini.
Mendapat serangan tak terduga-duga yang dilancarkan
pada waktu pagi sekali itu, para perajurit menjadi panik dan
bingung. Sebentar saja di pihak mereka telah jatuh korban
beberapa belas orang. Tapi bala bantuan segera datang,
dikepalai oleh Ouwyang Bu sendiri.
Melihat bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah
Cui Sian, maka panglima muda ini tertawa keras dan
berkata,
"Aah, It-to-bwee sendiri yang mengantarkan jiwa."
Ouwyang Bu lalu menyerang dengan pedangnya,
dibantu oleh beberapa orang yang berkepandaian cukup
tinggi. Biarpun ia belum tentu kalah menghadapi Cui Sian
seorang diri saja, tapi di dalam peperangan seperti itu, tidak
ada yang harus dibuat malu jika melakukan pengeroyokan,
maka Ouwyang Bu juga tidak melarang anak buahnya
mengeroyok, karena memang ia ingin segera membereskan
pemberontak-pemberontak ini, termasuk juga nona cantik
ini.
Cui Sian memang franya ingin memancing mereka saja,
bukan bermaksud hendak bertempur mati-matian, maka
sambil memutar pedangnya menangkis serangan para
lawannya, ia mengeluarkan tiupan yang terbuat dari gading.
Setelah ia meniup benda itu, terdengar suara melengking
yang tinggi dan nyaring dan serentak anak buahnya
meloncat mundur dan melarikan diri ke dalam hutan. Cui
Sian sendiri lalu berkata sambil tertawa,
"Ouwyang Bu, sayang aku tidak ada waktu lebih lama
untuk melayanimu." Dan sekali loncat, melayanglah
tubuhnya cepat sekali ke atas pohon.
Ouwyang Bu kagum melihat ginkang yang hebat ini, tapi
ia tidak mau kalah. Sambil memberi aba-aba agar semua
anak buahnya mengejar, iapun meloncat mengejar dengan
cepat sekali.
Akan tetapi, biarpun merasa gemas dan marah,
Ouwyang Bu masih dapat mengendalikan perasaannya dan
tidak mau meninggalkan anak buahnya karena ia khawatir
kalau-kalau ia lupa diri dan meninggalkan mereka hingga
jika terjadi penyerbuan dan pencegatan sewaktu-waktu
tidak ada yang memimpin anak buahnya lagi. Ia hanya
berteriak keras agar semua anak buahnya cepat mengejar.
Ouwyang Bu Sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa Cui Sian yang sengaja menyuruh kawan-kawannya
berteriak memaki-maki sedang memancing ia masuk ke
perangkap.
Akan tetapi, biarpun Ouwyang Bu tidak sangat cerdik,
namun ia masih teringat sekali tipu muslihat. Oleh karena
pikiran inilah ia menjadi curiga.
Pada saat ia hendak memberi perintah supaya anak
buahnya berhenti dan mundur, tiba-tiba dari depan dan dari
atas pohon datang serangan anak panah yang berhamburan
bagaikan hujan. Ouwyang Bu cepat menggunakan
pedangnya diputar sedemikian rupa hingga .semua anak
panah yang menuju kepadanya dapat dipukul runtuh.
Tapi terdengar pekik-pekik kesakitan dari anak buahnya
yang menjadi korban anak panah hingga Ouwyang Bu
menjadi terkejut dan marah sekali. Ia pungut sebatang golok
dari seorang., anak buahnya yang binasa dan sekali
\angannya bergerak maka golok itu terbang ke atas pohon
dan terdengar jeritan ngeri ketika golok itu dengan tepat
sekali menancap di perut seorang anggauta pemberontak
yang bersembunyi di atas pohon sambil melepaskan a-nak
panah, hingga tubuh itu terjungkal ke bawah.
Tapi datangnya anak panah makin banyak dan korban
yang jatuh di pihak serdadu sampai belasan orang. Maka
Ouwyang Bu lalu meneriakkan aba-aba mundur kepada
anak buahnya yang sudah panik itu. Akan tetapi baru saja
bergerak mundur beberapa puluh langkah, dari sebelah
kanan kiri yang penuh dengan rumpun dan alang-alang,
menyambut pula puluhan anak panah hingga sekali lagi
barisan Ouwyang Bu menjadi kacau dan kocar-kacir.
Sementara itu, sambil berteriak-teriak, pasukan yang
dipimpin oleh Cui Sian maju menerjang lagi, kini dibantu
oleh pasukan Siauw Leng dan pasukan Lui Kok Pauw.
Bukan main marah Ouwyang Bu melihat betapa
tentaranya yang berjumlah banyak itu dapat ditipu hingga
mengakibatkan banyak sekali jatuh korban. Dalam
marahnya ia mempergunakan pedangnya mengamuk
hingga sebentar saja beberapa orang ang-gauta pemberontak
roboh di tangannya. Tapi karena ia merasa khawatir kalaukalau
masih banyak pemberontak yang bersembunyi dan
menyangka bahwa jumlah pemberontak yang mengepung
di hutan itu jauh lebih besar daripada sangkaannya semula,
terbukti dari serangan-serangan anak panah yang dilakukan
dari mana-mana, terpaksa Ouwyang Bu memberi perintah
untuk mundur terus dan lari keluar dari hutan itu.
Ketika ia sedang lari, Ouwyang Bu mendengar suara
tertawa merdu dari atas dan ia mengenal suara itu sebagai
suara Cui Sian. Gadis itu tertawa lalu berkata,
"Ouwyang Bu, kau tersesat. Kalau tidak mentaati pesan
kakakmu, pasti hari ini kau telah menemui ajalmu di rimba
ini." Kemudian sunyi senyap.
Ouwyang Bu terkejut sekali dan menduga bahwa
Ouwyang Bun pasti berada di hutan itu, menggabungkan
diri dengan para pemberontak. la tahu pula bahwa tadi Cui
Sian tentu bicara dari atas sebuah pohon dan menggunakan
tenaga tan-tian hingga suara ketawa dan kata-katanya
terdengar sampai jauh.
Dengan menderita kekalahan besar dan kehilangan
tigapuluh orang lebih, Ouwyang Bu keluar dari hutan itu
dan terus kembali ke benteng, karena ia perlu mengatur
siasat dan merasa bahwa malam ini ia dan barisannya
bermalam di pinggir hutan, banyak sekali bahaya yang
mungkin akan mendatangkan kerugian lebih besar lagi di
pihaknya.
Lie Eng menyambut kedatangannya dengan ikut merasa
dendam serta marah. Ia menyatakan penyesalannya
mengapa tidak ikut dalam pertempuran itu. Sebaliknya,
biarpun di luarnya Gui-ciangkun menyatakan menyesal dan
marah, di dalam hati ia mentertawakan kegagalan
Ouwyang Bu.
Ketika berdua saja dengan Lie Eng, Ouwyang Bu lalu
menceritakan pengalaman dan pertempurannya dengan Cui
Sian.
"Sayang aku tidak mendapat kesempatan untuk
merobohkannya, karena ia keburu mengundurkan diri dan
lari ke dalam hutan," katanya, kemudian dengan wajah
bersungguh-sungguh ia menyambung ceritanya, "Dan aku
mendapat dugaan keras bahwa Bun-ko berada pula di
dalam hutan itu."
Bukan main terkejut hati Lie Eng mendengar warta ini.
Memang telah lama ia merindukan Ouwyang Bun dan
seringkali ia termenung dan menduga-duga bagaimana
keadaan pemuda itu dan bagaimana nasib serta di mana ia
berada. Kini mendengar bahwa pemuda kenangannya itu
mungkin berada di dalam hutan yang tampak dari atas
benteng itu, tentu saja ia merasa terkejut dan dadanya
berdebar-debar. Tapi Lie Eng dapat menekan perasaannya
hingga tidak tampak perubahan air mukanya.
Dan Ouwyang Bu sama sekali tidak pernah menyangka
betapa setelah ia pergi ke kamarnya, gadis yang
ditinggalkan seorang diri itu duduk' termenung seakan-akan
kehilangan semangat dan sampai hari berobah senja gadis
itu tidak bergerak dari tempat duduknya yang tadi.
Sementara itu, kawanan pemberontak di tengah hutan
itu bergembira-ria dan merayakan kemenangan mereka.
Tiada hentinya mereka memuji-muji Cui Sian yang berhasil
siasatnya. Walaupun di pihak mereka terdapat beberapa
orang korban, di antaranya seorang yang tertancap oleh
golok yang dilemparkan oleh Ouwyang Bu, tapi jika
dibanding dengan jumlah korban di pihak musuh, mereka
memang sudah sepatutnya bergembira. Di pihak mereka
hanya dua orang binasa dan lima orang luka, sedangkan
pihak. lawannya yang mati saja sudah tigapuluh orang
lebih, belum yang luka.
Biarpun telah memperoleh kemenangan, namun Cui
Sian tidak berlaku lalai. Ia mengatur penjagaan di sekitar
hutan itu dengan sangat rapi.
Di samping itu ia selalu memikir-mi-kirkan bagaimana
caranya agar ia dapat membawa kawan-kawannya
melewati benteng itu hingga dapat menggabungkan diri
dengan kesatuan induk yang dipimpin oleh pemimpin besar
Lie Cu Seng. Oleh karena ini, ia tidak ikut bergembira-ria
dengan kawan-kawannya, tapi bahkan menjauhkan diri dan
duduk di bawah sebatang pohon pek dengan Ouwyang Bun.
Ia merasa lebih senang dan tenteram untuk duduk dan
bercakap-cakap berdua saja dengan pemuda ini.
"Moi-moi, tadi aku sudah hampir tidak kuat menahan
diri mendengar bahwa Bu-te sendiri yang memimpin
barisan menyerbu ke sini. Aku ingin sekali keluar dan
menemuinya, tapi karena pertempuran berjalan hebat, aku
khawatir kalau-kalau kedatanganku malah akan
mendatangkan salah paham di kedua pihak. Untungnya
kau tidak berlaku kejam dan tidak membinasakan adikku
itu."
Cui Sian menghela napas. "Adikmu sungguh hebat,
belum tentu aku dapat mengalahkannya. Sayang sekali dia
tidak insyaf, ah, sungguh sayang. Ia akan merupakan
pasangan yang tepat sekali untuk Siauw Leng...." Nona itu
menghela napas, dan Ouwyang Butf juga ikut merasa
terharu.
Alangkah baiknya kalau Ouwyang Bu dapat berada di
situ bersama dia dan dapat bertemu sebagai tunangan
dengan Siauw Leng, seperti halnya dia dengan Cui Sian.
Diam-diam ia merasa heran sekali akan kebijaksanaan
ibunya dan ibu Cui Sian. Kedua orang tua itu agaknya telah
tahu lebih dulu bahwa mereka akan menjadi pasangan yang
saling mengasihi dan saling mengagumi.
"Betul katakatamu moi-moi. Alangkah bahagianya rasa
hatiku kalau Bu-te dapat bertemu dengan adik Siauw Leng
seperti kau dan aku...."
Cui Sian diam saja dan ia tidak membantah ketika
tunangannya memegang tangannya. "Moi-moi, kau
sungguh mengagumkan. Tidak saja kau lemah lembut dan
baik budi sebagaimana terbukti ketika kau merawat aku di
waktu aku mendapat luka, tapi kau juga gagah perkasa dan
cerdik sekali. Aku heran di mana kau belajar ilmu perang
hingga bisa mengatur siasat yang begitu berhasil siang tadi.
Sungguh-sungguh aku kagum padamu."
"Ah, kau memuji saja. Apakah artinya kepandaianku
kalau dibandingkan dengan kepandaianmu yang tinggi?"
Pada saat itu bulan telah muncul hingga keadaan yang
remang-remang itu tampak romantis sekali dan sepasang
anak muda itu tenggelam dalam cahaya bulan yang
mendatangkan hikmat gaib bagi para muda yang sedang
dimabok asmara. Biarpun hanya saling berpegang tangan
sambil saling memandang, namun dalam sentuhan jari dan
pertemuan sinar mata ini mereka telah sama-sama
mengutarakan semua isi hati hingga bagi kedua pihak lebih
jelas daripada seribu macam katakata. Mereka demikian
asyik dan masyuk hingga tidak tahu bahwa ada sepasang
mata yang tajam memandang mereka dengan sinar mata
marah, tapi dengan pipi basah oleh air mata.
Pada saat itu terdengar teriakan.
"Tangkap mata-mata musuh."
Ouwyang Bun dan Cui Sian terkejut sekali dan meloncat
ke arah suara itu. Tiba-tiba mereka melihat bayangan orang
ber kelebat di belakang mereka. Keduanya lalu mengejar:
Dan terdengarlah suara senjata beradu ketika bayangan itu
diserang oleh seorang anggauta penjaga yang tadi melihat
dia mengintai Cui Sian dan Ouwyang Bun.
Ketika dua anak muda itu tiba di tempat pertempuran,
ternyata mata-mata musuh itu ialah Lie Eng sendiri yang
sedang dikeroyok tiga orang penjaga.
"Sumoi.." Ouwyang Bun berseru dan ia cepat meloncat
ke kalangan pertempuran dan berkata keras kepada tiga
orang penjaga yang mengeroyok. "Tahan dulu."
Lie Eng mengenakan pakaian serba hijau yang kelihatan
hitam ditimpa sinar bulan yang remang-remang itu dan
sepasang tangannya memegang siang-kiam. Sikapnya tegas
sekali dan ia berdiri dengan kedua kaki terpentang dengan
sikap menantang.
"Kau... kau juga menjadi pemberontak?" tegurnya
kepada Ouwyang Bun dengan sikap menghina.
"Sumoi.... kita memang berbeda paham. Kalau kau
sudah tahu akan hal itu, mengapa....... kau malam-malam
ke tempat ini..?”
Tiba-tiba mata dara itu mengeluarkan eatiaya penuh
kemarahan. Sambil menuding ke arah Ouwyang Bun
dengan pedangnya, ia memaki.
"Kau... kau pengkhianat. Kau murid murtad.. Kau tidak
kenal apa artinya bakti dan setia, tidak malu mengkhianati
guru dan susiok sendiri.. Kau..... kau...," dan tiba-tiba saja
gadis itu menangis karena merasa betapa hatinya hancur
lebur dan krcewa.
Sementara itu, Cui Sian yang mendengar betapa
tunangannya dimaki-maki orang, tentu saja tidak rela.
Apalagi karena ia tahu bahwa gadis ini anak musuh besar
semua hohan dan patriot, maka ia segera meloncat maju
dan membentak,
"Perempuan kasar dan sombong, apa yang kaukchendaki
maka kau berani lancang memasuki daerah kami?
Menyerahlah kau menjadi tawanan kami."
Tiba-tiba Lie Eng tertawa dengan nyaring dan tinggi.
"Ha, It-to-bwee. Bukalah telinga dan matamu lebar-lebar.
Aku Cin Lie Eng, sengaja datang ke sini untuk mencari
engkau. Aku telah mendengar tentang kegagahan dan
kecantikanmu maka sekarang aku sengaja datang hendak
melihat sendiri kegagahan yang disohor-sohorkan orang itu.
Majulah dan mari kita bertempur sampai seorang di antara
kita mati di ujung pedang."
Ouwyang Bun terkejut sekali. Tadinya ia hanya
menyangka bahwa gadis yang tabah itu hanya datang untuk
menyelidiki para pemberontak. Tidak disangkanya sama
sekali bahwa sikap gadis itu akan senekat ini dan tiba-tiba ia
dapat. menduga apa yang menjadi sebabnya. Lie Eng tadi
telah mengintainya dan tentu mengerti bahwa ia dan Cui
Sian saling mencintai. Dan inilah agaknya yang menjadi
sebab kenekatan gadis itu dan yang membuat ia menantang
Cui Sian bertanding sampai mati.
"Sumoi......" tegurnya sambil berdiri menghadapi gadis
itu. "Kenapa kau begini nekat? Kenapa kau hendak
mengadu tenaga tanpa alasan? Sumoi.... bukankah Bu-te
menanti-nantimu dan alangkah akan hancur hatinya
kalau.... kalau kau menjadi korban kenekatanmu ini...."
"Diam. Kau perduli apa dengan tindakanku? Aku bukan
sumoimu. Kau..... kau.... pengkhianat....." kembali ia
terisak, kemudian ia berkata kepada Cui Sian,
"Eh, Cui Sian. Bagaimana? Takutkah kau kepadaku?"
Cui Sian lalu memegang lengan Ouwyang Bun dan
menarik pemuda itu untuk mundur dan Ouwyang Bun
menurut. Kemudian gadis yang tenang sikapnya ini-maju
menghadapi Lie Eng dan berkata dengan suara halus tapi
tetap, "Lie Eng, sekarang aku tahu. Kau... mencintai Bunko...."
"Perempuan rendah, jangan jual obrolan busuk." Lie Eng
merasa marah sekali dan cepat menusuk dengan
pedangnya, tapi Gui Sian mengelak sambil mundur.
"Nanti dulu, Lie Eng. Dengarlah dulu omonganku.
Memang kau adalah musuhku, musuh semua orang yang
berjiwa patriot dan yang kau sebut pemberontakpemberontak.
Sudah sepatutnya kalau aku menyiapkan
semua kawan untuk membunuhmu. Tapi, terus terang saja
kukatakan bahwa aku mengagumi kau. Aku kagum karena
kau berani dan karena kau berhati... setia." Kalau tidak
demikian, tak mungkin kau berani datang seorang diri ke
sini. Aku kagum padamu, seperti juga guruku kagum
kepada ayahmu yang gagah perkasa. Tapi melihat sikapmu
ini, aku khawatir bahwa kita berdua terpaksa harus
mengadu pedang sampai penentuan terakhir. Sungguh satu
kehormatan besar, kawan. Memang sayang bahwa justeru
kau yang kukagumilah yang menjadi musuh besarku dalam
hal ini, tapi sebaliknya aku takkan dendam kalau sampai
terjatuh dalam tangan seorang wanita gagah seperti kau."
Lie Eng adalah seorang gadis yang juga memiliki otak
yang cerdik dan pandangan yang luas, maka biarpun Cui
Sian mempergunakan kata-kata kiasannya yang
mengandung sindiran-sindiran, namun ia dapal menangkap
seluruh isi dan maksudnya. Untuk sesaat ia tak dapat
menjawab karena merasa terharu. Alangkah cerdiknya
gadis ini, pikirnya. Sepintas lalu saja ia telah dapat
membaca seluruh isi hatiku. Bukan main.
"Cui Sian, aku girang bahwa kau juga patut menjadi
lawanku. Kita sama-sama dapat memahami. Nah, cabutlah
pedangmu dan mari kita segera menyelesaikan urusan ini."
Pada saat itu yang paling bingung adalah Ouwyang Bun.
Ia juga seorang cerdik dan pintar maka tentu saja ia tahu
apa yang hendak dilakukan oleh kedua nona itu dan
mengapa mereka hendak mengadu tenaga. Ia segera
meloncat di tengah-tengah antara kedua nona itu sambil
mengangkat kedua tangan dengan bingung.
"Sumoi. Kau pulanglah. Aku yang akan menjamin
bahwa kau tentu keluar dari sini dengan selamat dan aman.
Pulanglah kau dan jangan bikin ribut di sini lebih lama
lagi."
"Kau laki-laki tidak setia, jangan banyak cerewet. Aku
tidak berurusan dengan kau. Aku mempunyai urusan
dengan Cui Sian. Kau minggirlah." Ia menggerakkan
pedangnya hendak menusuk.
Tapi Ouwyang Bun mengangkat dada dan sama sekali
tidak mengelak.
Ketika ujung pedangnya sudah hampir menyentuh dada
pemuda itu, Lie Eng menarik kembali senjatanya.
"Kau mau membunuh aku? Boleh, hayo tusuklah aku,
sumoi. Aku juga tidak takut mati."
"Kau..... mengapa kau menghalang-halangi maksudku?
Aku hendak bertempur melawan Cui Sian, bukan dengan
kau."
"Sumoi, dengarlah. Kalau misalnya besok kau dan Cui
Sian bertemu dalam peperangan dan bertempur matimatian,
aku takkan merasa apa-apa. Tapi keadaan kalian
pada waktu ini bukan sewajarnya, kalian hanya terdorong
oleh napsu hati yang sedang bergolak. Kau pulanglah dan
jangan berlaku seperti anak kecil."
"Kau pergilah..... biarkan aku bertanding dengan Cui
Sian. Ah, Cui Sian seribu kali lebih berharga daripada
engkau."
Dan pada saat itu Ouwyang Bun merasa tubuhnya lemas
dan ia roboh di atas tanah. Ternyata Cui Sian telah
menotoknya dari belakang tanpa ia duga sama sekali.
"Koko, kau memang terlalu mulia untuk membiarkan
dua orang gadis beradu tenaga karenamu. Tapi sikap Lie
Eng kuhargai, dan kalau aku menampik ajakan maka aku
akan merasa malu dan menyesal selama hidupku. Nah, kau
lihatlah saja dan maafkan bahwa aku terpaksa menotokmu
dengan diam-diam."
Kemudian Cui Sian memerintahkan orang-orangnya
membuat lingkaran besar dan semua orang yang hendak
menonton harus berada di luar lingkaran. Beberapa obor
dipasang untuk menerangi tempat itu dan semua orang
dipesan agar jangan ikut mencampuri pertempuran ini.-
"Kawan-kawan semua," Cui Sian berkata dengan suara
lantang, "kali ini aku bukan bertempur sebagai seorang
pemimpin-mu. Ingat, ini adalah urusan pribadi yang
menyangkut nama dan kehormatan. Biarpun aku sampai
kalah dan mati dalam tangan nona Cin Lie Eng ini, jangan
sekali-kali kalian berani mencampuri. Dan lagi, sebagai
seorang pemimpinmu, aku memberi pesan dan perintah,
yakni andaikata aku kalah dan roboh mati, janganlah nona
ini diganggu dan biarkan dia pergi dari sini dengan aman.
Mengerti semua?"
Tiba-tiba Siauw Leng meloncat memeluk cicinya. "Cici,
mengapa kau lakukan ini?"
Cui Sian dengan halus mendorong adiknya keluar
lingkaran dan berkata,
"Adikku, kita adalah murid seorang gagah dan kita harus
menghadap? kegagahan orang lain. Kalau aku kalah,
kaulah yang menjadi pemimpin kawan-kawan kita."
Ouwyang Bun yang didudukkan di dekat situ sambil
menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon dengan
lemah tak ber daya, merasa hatinya seperti dipotong-po
tong. Ia menyesal sekali mengapa tadi berlaku lalai hingga
kena ditotok oleh tunang annya, karena kalau tidak
demikian, biarpun bagaimana juga, ia takkan membiarkan
dua singa betina ini saling terkam. Diam-diam ia
mengerahkan Iweekangnya untuk membebaskan diri dari
totoknn, tapi karena Cui Sian tahu akan kehebatan pemuda
itu, ia telah menotok dua kali hingga tak mungkin pemuda
itu dapat membebaskan diri dengan mudah begitu saja.
Sementara itu, Cui Sian berkata kepada Lie Eng, "Lie
Eng, marilah kita mulai."
Lie Eng sekali lagi memandang wajah Ouwyang Bun
dan ia gunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap air
mata yang tiba-tiba memenuhi pelupuk matanya, kemudian
ia menghadapi Cui Sian dengan tabah.
"Marilah, Cui Sian." jawabnya dan sepasang pedang di
tangannya telah siap sedia.
"Kau sebagai tamu, bergeraklah lebih dulu." kata Cui
Sian dengan pedang melintang di dada dengan sikapnya
tenang sekali.
Lie Eng lalu mulai menyerang dengan hebat yang
ditangkis oleh Cui Sian dengan tenang, dan beberapa saat
kemudian kedua, dara remaja itu telah bertempur hebat
sekali. Bayangan kedua dara itu lenyap ditelan sinar pedang
yang bergulung-gulung dan angin pedang mereka sampai
terasa oleh para penonton di luar lingkaran.
Ouwyang Bun yang lumpuh kaki tangannya itu berkalikali
memejamkan mata karena merasa ngeri, sedangkan
semua penonton melihat pertempuran istimewa ini dengan
hati tegang dan hampir tak berani bernapas. Lui Kok Pauw
meremas-remas tangannya, Siauw Leng membantingbanting
kakinya dan tiba-tiba gadis ini menangis perlahan.
Semua orang tak berani mengeluarkan suara sedikitpun dan
pada saat itu mereka merasa seakan-akan pertempuran ini
adalah sesuatu yang suci dan yang harus dipandang dengan
penuh penghormatan.
Sementara itu, kedua dara yang bertempur mati-matian
itu berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa lawannya
adalah seorang yang kuat. Lie Eng segera memainkan ilmu
pedangnya yang paling hebat, yakni Im-yang-siang-kiamhoat.
Ilmu pedang berpasangan ini betul-betul hebat sekali,
karena gerakan pedang kanan dan pedang kiri sungguh jauh
bedanya dan bahkan boleh dibilang berlawanan. Oleh
karena ini, tampaknya permainannya kacau dan kalut, tapi
sebetulnya kedua pedang itu merupakan imbangan atau
kesatuan gerakan yang bukan main kuatnya. Kalau pedang
kiri digerakkan dengan tenaga halus, pedang kanan
bergerak didorong tenaga kasar dan demikian sebaliknya
hingga kalau saja yang bertanding melawan Lie Eng
bukannya Can Cui Sian si Bunga Bwee, pasti takkan
mampu bertahan lama.
Akan tetapi Cui Sian adalah murid pertama dari Sinliong
Ciu Pek In si Naga Sakti yang telah menggemparkan
dunia kang-ouw dengan kehebatan ilmu pedangnya.
Biarpun baru belajar paling banyak lima tahun, namun
kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi dan biarpun
ia belajar bersamaan dengan adiknya, tapi karena ia
memiliki kecerdasan otak yang luar biasa, maka tentu saja
kepandaiannya menjadi lebih tinggi daripada Siauw Leng.
Dalam hal ilmu pedang ia tak khawatir kalah oleh Lie Eng,
hanya ia kalah latihan karena Lie Eng telah belajar silat
semenjak kecil. Akan tetapi sebaliknya, Cui Sian menang
tenaga dan ketabahan serta ketenangan wataknya membuat
permainan silatnya kuat dan tetap.
Menghadapi ilmu pedang Im-yang-siang-kiam-hoat yang
luar biasa hebatnya dan serangan-serangan yang bagaikan
badai datangnya itu, terpaksa Cui Sian tidak berani berlaku
sembarangan dan iapun segera mengeluarkan ilmu pedang
tunggal yang menjadi pokok kepandaiannya yakni Sin-liong
Kiam-hoat. Ilmu pedang Naga Sakti ini adalah kepandaian
tunggal dari Ciu Pek In dan selama orang tua itu malang
melintang di dunia kang-ouw, belum pernah ilmu
pedangnya terkalahkan, maka ke-hebatannyapun luar biasa.
Pedang di tangan Cui Sian bagaikan hidup dan sinarnya
merupakan gulungan putih yang tebal dan panjang hingga
benar-benar bagaikan seekor naga sakti menyambarnyambar
dan bermain-main di antara mega-mega yang
terbentuk dari gundukan kedua pedang Lie Eng.
Telah seratus jurus lebih mereka bertempur dengan matimatian
dan mata para penonton di sekeliling lingkaran itu
menjadi kabur karena hebatnya pertandingan itu.
Sedangkan Ouwyang Bun menonton dengan muka pucat.
Perasaannya tertekan sekali dan kesedihan hatinya
memuncak. Bagaimana kalau Cui Sian sampai mati oleh
Lie Eng? Ah, hal ini tentu akan menghancurkan hatinya,
melenyapkan kebahagiaan hidupnya. Dan bagaimana kalau
Lie Eng yang binasa? Juga susah, karena hal itu berarti
hancurnya kebahagiaan adiknya. Ia menjadi serba salah,
tapi apa daya? Tubuhnya masih berada di bawah pengaruh
totokan, bahkan, andaikata ia tidak tertotokpun, belum
tentu ia sanggup memisah kedua pendekar wanita yang
sedang bergumul mati-matian karena kedua dara itu
kepandaiannya tidak berada di sebelah bawah tingkatnya
sendiri. Karena merasa tidak berdaya, Ouwyang Bun
terpaksa menekan perasaan hatinya dan ia menyerahkan
nasib kedua gadis itu ke tangan Thian Yang Maha Kuasa
Lie Eng juga merasa kagum sekali menghadapi ilmu
pedang Cui Sian yang begitu hebat dan kuat, sedangkan Cui
Sian diam-diam memuji kelihaian Im-yang-siang-kiamhoat.
Pada suatu saat Lie Eng menggunakan pedang kanan
menusuk ke arah mata kiri Cui Sian dengan gerakan
Bidadari Petik Teratai, sedangkan pedang kirinya pada saat
itu juga membabat kaki dengan gerakan Angin Menyapu
Daun Kering Bukan main hebat dan berbahayanya
serangan bercabang ini. Seluruh perhatian lawan ditujukan
untuk menghadapi serangan pedang yang menusuk mata,
akan tetapi sebetulnya serangan ke arah kaki itulah yang
lebih berbahaya karena mengandung perubahan tipu-tipu
berbahaya. Biarpun ia pandai, namun Cui Sian terkejut
juga, karena ketika ia menggunakan pedangnya menangkis
serangan pedang kanan yang menyambar matanya itu
dengan gerakan Naga Sakti Perlihatkan Ekor, tiba-tiba
pedang kiri Lie Eng telah melayang ke arah kakinya. Ia
cepat berseru dan menggunakan ginkang-nya untuk
meloncat menyelamatkan kedua kakinya. Tapi tidak ia
sangka pedang yang dilayangkan ke kaki itu segera berobah
dengan gerakannya yang membabat tadi diteruskan menjadi
sebuah tusukan yang berbahaya ke arah perut.
Ouwyang Bun terkejut sekali melihat kehebatan serangan
ini, apalagi ketika ia melihat betapa pedang Lie Eng di
tangan kanan menyambar pula untuk menjaga dan
digunakan sebagai serangan susulan apabila lawan itu
mengelak. Pemuda ini merasa betapa dadanya berdebar
ngeri dan terbayanglah matanya betapa tubuh kekasihnya
itu mandi darah.
Tapi, kembali kali ini ketenangan dan kecerdikan Cui
Sian menolong dirinya. Melihat datangnya pedang yang
menusuk perutnya, ia tidak mau menangkis, dan karena
tubuhnya masih berada di tengah u-dara, ia segera
menggerakkan tubuh itu miring ke kiri sambil menarik
perutnya ke dalam hingga pedang Lie Eng menyambar
angin. Cui Sian dapat menduga akan bahaya yang
mengancam dari pedang kanan Lie Eng Benar saja, ketika
ia mengelakkan pedang kiri lawannya ke kiri, tiba-tiba
terdengar Lie Eng berseru girang dan pedang kanannya
menyambar cepat membabat leher Cui Sian.
Kali ini tak mungkin Cui Sian mengelak karena selain
datangnya pedang itu sangat cepat, juga tubuhnya masih
miring biarpun kakinya telah menginjak tanah. Jalan satusatunya
bagi dia ialah melemparkan tubuh ke belakang dan
bergulingan. Dara inipun melakukan hal itu, tapi ia tidak
menjatuhkan diri ke belakang untuk bergulingan, hanya
menggunakan ginkangnya yang tinggi untuk berjungkir
balik ke belakang.
Akan tetapi Lie Eng tidak mau memberi kesempatan
kepada Cui Sian untuk melepaskan diri dari kurungan
pedangnya sedemikian mudah. Ia meloncat cepat
menubruk dan mengirimkan tusukan maut dengan ujung
pedang digetarkan. Ketika itu, baru saja Cui Sian
menurunkan kakinya, melihat datangnya tusukan maut
yang digerakkan dalam tipu Macan Buas Sambar Hati ini,
ia segera kertak giginya dan mengerahkan seluruh tenaga
lweekangnya, lalu dengan gerakan Naga Sakti
Menyabetkan Ekor ia menangkis dengan pedangnya sekuat
tenaga.
"Traang.." dan bunga api biru dan merah memancar
keluar ketika dua batang pedang itu beradu dengan
kerasnya. Alangkah terkejut kedua dara itu ketika melihat
bahwa pedang mereka ternyata telah putus di tengahtengah.
Lie Eng melempar gagang pedang itu dan kini ia
menggunakan pedang kirinya untuk menyerang lagi kepada
lawan yang telah tak bersenjata lagi itu.
Dalam keadaan seperti itu Cui Sian masih dapat berlaku
tenang. Iapun melempar gagang pedangnya yang telah
patah itu dan siap menghadapi serangan Lie Eng dengan
tangan kosong. Akan tetapi, tiba-tiba Lie Eng menahan
pedang yang telah digerakkan hendak menusuk itu. Ia
berdiri bagaikan patung karena pada saat itu ia
menggunakan pikirannya. Liang-simnya (hati nuraninya)
dan sifat gagahnya tidak mengijinkan ia menggunakan
kesempatan dan keuntungan itu untuk memperoleh
kemenangan. Ia lalu berkata,
"Kau bertangan kosong? Baik, lihatlah ini." setelah
berkata demikian, Lie Eng lalu melemparkan pedangnya
hingga menancap di atas tanah. Lalu tanpa banyak
membuang waktu ia maju menubruk dan melancarkan
serangan dengan kepalan tangan dalam gerak tipu Sian-jinci-
louw (Dewa Tunjukkan Jalan). Kepalan tangan ini
bergerak ke arah leher dan segera berobah menjadi tusukan
dengan dua jari tangan. Cui Sian mengelak dan balas
menyerang.
Maka kembali dua dara jelita itu bertempur mati-matian.
Kali ini dengan tangan kosong, tapi kehebatannya tidak
kalah dengan pertempuran menggunakan pedang tadi. Lie
Eng yang telah berpeluh dan lelah menggunakan
kecerdikannya dan ia bersilat dengan ilmu gerakan Cian-jiu
Koan-im-hian-ko, yakni Dewi Koan Im Tangan Seribu
Persembahkan Buah. Biarpun ilmu silat ini hebat dan dapat
menghadapi serangan yang bagaimanapun, tapi cukup
dimainkan dengan tak banyak perubahan kaki hingga tidak
membuang tenaga. Tampaknya Lie Eng berdiri diam saja
dan hanya bergerak apabila diserang dan membalas dengan
serangannya.
Sebaliknya, Cui Sian juga sama keadaannya dengan Lie
Eng. Gadis inipun telah lelah dan peluhnya telah
membasahi jidat. Menghadapi ilmu silat Lie Eng, gadis
yang cerdik inipun tahu bahwa jika ia menurutkan napsu
hati dan menyerang tanpa perhitungan biarpun ia takkan
dikalahkan dengan ilmu silat itu, namun ia akan kehabisan
tenaga juga, sedangkan Lie Eng dapat beristirahat sambil
mempertahankan diri. Oleh karena itu, iapun lalu berdiri
diam tidak mau menyerang, hanya memasang kudakuda di
depan Lie Eng dan menanti lawannya maju menyerang.
Melihat sikap lawannya itu, diam-diam Lie Eng
mengeluh sambil memuji, karena ternyata gadis yang amat
cerdik itu telah tahu akan maksudnya dan tahu pula rahasia
ilmu silat Cian-jiu Koan-im-hian-ko ini. Biarpun keduanya
sama-sama cerdik dan tinggi ilmu silatnya, namun Lie Eng
kalah tenang dan adat yang berangasan dan keras dari gadis
ini membuat ia kalah sabar. Ia segera berseru keras dan
menubruk maju sambil melancarkan serangan maut.
Tangan kanannya memukul dada sedangkan tangan kiri ia
gunakan untuk menusuk kedua mata lawan. Serangan ini
luar biasa hebat dan berbahayanya karena dilakukan
dengan nekat. Dengan dua tangan menyerang ini, maka
otomatis Lie Eng telah membuka lubang bagi diri sendiri
karena sama sekali tidak ada penjagaan. Ia memang telah
nekat dan biarpun ia tahu bahwa lawannya akan mudah
mengirim serangan, namun ia tahu juga bahwa kalau Cui
Sian menyerang, tak mungkin lawannya itu menghindarkan
serangan kedua tangannya.
Tapi agaknya Lie Eng terlalu memandang rendah
lawannya dan inilah kesalahannya. Otak Cui Sian yang
memang cerdas itu dalam saat sekilat saja sudah dapat
melakukan perhitungan untung rugi dalam menghadapi
serangan ini. Ia maklum bahwa kalau selalu menghindari
pukulan Lie Eng, maka pertempuran ini takkan ada
habisnya, apalagi ia telah merasa lelah sekali. Kini melihat
datangnya serangan ia maklum bahwa Lie Eng telah
berlaku nekat. Maka cepat sekali ia merendahkan tubuhnya
hingga serangan tangan kiri lawan yang menusuk matanya
itu lewat di atas kepalanya sedangkan tangan kanan Lie
Eng yang memukul dadanya, kini tepat menghantam
pundaknya. Tapi pada saat itu juga, dari bawah ia
melayangkan pukulan ke arah lambung Lie Eng.
Keduanya menjerit ngeri dan keduanya terhuyung
mundur lalu roboh pingsan. Para pemberontak segera maju
hendak menghabiskan jiwa Lie Eng, tapi terdengar
bentakan keras dari Siauw Leng.
"Mundur semua. Siapa berani menyentuh dia akan
berkenalan dengan tanganku." Maka semua kawannya yang
tadinya telah marah sekali kepada Lie Eng itu tiba-tiba
teringat akan pesan Cui Sian. Sementara itu, Siauw Leng
lalu membebaskan totokah yang mempengaruhi Ouwyang
Bun hingga pemuda itu dapat bergerak. Ia maju menubruk
Cui Sian yang rebah dengan wajah pucat seperti mayat.
Tapi hatinya menjadi lega ketika mengetahui bahwa gadis
itu hanya menderita luka yang tak berapa berat di
pundaknya dan jatuh pingsan hanya karena terlalu lemah
dan lelah. Kemudian ia teringat kepada Lie Eng dan segera
memeriksa keadaan gadis itu. Diam-diam Ouwyang Bun
terkejut sekali karena di bibir gadis ini tampak darah
mengalir. Siauw Leng yang juga mempelajari ilmu
pengobatan dari suhunya, mengerutkan jidat ketika
memeriksa lambung Lie Eng yang terpukul karena ternyata
gadis ini menderita luka dalam yang mengkhawatirkan
keadaannya.
Ouwyang Bun lalu mendukung tubuh Cui Sian masuk ke
tenda, sedangkan Siauw Leng mengangkat tubuh Lie Eng
masuk ke tendanya sendiri. Tenda Siauw Leng ini
berdekatan dengan tenda Cui Sian. Lie Eng masih pingsan
ketika dibawa masuk, sedangkan Cui Sian telah sadar.
Gadis ini sadar dalam dukungan Ouwyang Bun dan ia
berbisik,
"Koko, maafkan aku tadi telah menotokmu."
Ouwyang Bun menggeleng-gelengkan kepala. "Ah,
kalian gadis-gadis kepala batu. Gila sekali untuk bertempur
mati-matian hanya karena seorang tak berharga seperti
diriku."
"Untuk menjaga nama dan kehormatan, koko....," Cui
Sian berbisik lemah. Ketika ia telah dibaringkan di atas
dipannya, ia bertanya,
"Koko, bagaimana dengan dia?"
"Siapa? Lie Eng? Ah, pukulanmu terlalu hebat."
Cui Sian diam saja dan memejamkan mata.
"Kasihan Lie Eng yang malang...." sambil memejamkan
mata ia berkata lirih.
Ouwyang Bun memandang wajah kekasihnya dengan
heran. Sungguh ia tak dapat mengerti sikap ini. Tadi
berkelahi mati-matian dan kini mengucapkan kata-kata
menyatakan iba hati kepada bekas lawannya itu.
Sementara itu, dengan napas terengah-engah, Lie Eng
sadar dari pingsannya. Ia membuka mata perlahan-lahan
dan melihat betapa Siauw Leng sedang merawat dia. Maka
ia menutup matanya lagi.
Rasa dendam dan gemas membuat lukanya makin terasa
sakit. Gadis ini memang mempunyai watak tidak mau
kalah, maka tentu saja kekalahan ini menyakitkan hatinya
benar. Ia mencoba untuk mengerahkan Iweekangnya
menahan rasa sakit itu dan tahulah ia bahwa lukanya
memang berat dan berbahaya. Ia diam-diam kagum akan
kehebatan Cui Sian dan diam-diam ia harus mengakui
bahwa gadis itu memang pantas menjadi isteri Ouwyang
Bun.
Pada saat itu, telinganya yang tajam mendengar suara
Ouwyang Bun di tenda sebelah, dan ia mendengar pula
suara Cui Sian. Hatinya terasa perih karena ia tahu bahwa
pemuda itu tentu sedang merawat Cui Sian. Ia teringat
bahwa Cui Sian juga kena pukulannya, tapi hanya di
pundak dan tehtu saja tidak berbahaya. Kembali ia
memejamkan mata dengan hati sakit. Mengapa ia tidak
mati saja? Ah, ia malu dan apa artinya hidup menanggung
malu dan patah hati?
Melihat wajah yang cantik itu nampak sedih, Siauw
Leng merasa terharu. Iapun merasa suka kepada gadis yang
gagah dan jujur serta keras hati ini, sifat yang juga menjadi
sifatnya. Maka katanya perlahan,
"Lihiap, enciku itu telah ditunangkan dengan Ouwyang
Bun semenjak mereka masih kecil oleh orang tua kami.
Ouwyang Bun dengan enciku, dan Ouwyang Bu dengan
aku.”
Ucapan Siauw Leng ini sebetulnya dimaksudkan untuk
memberi penjelasan agar dapat menghibur hati gadis itu,
tapi tidak mengira bahwa penjelasan ini bahkan lebih
menyakiti hati Lie Eng. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu
dan membentak.
"Pergi kau. Jangan rawat aku, pergi....."
Dengan mengangkat pundak dan muka menyatakan
kasihan, Siauw Leng keluar dari tenda itu.
Lie Eng menangis sedih tapi ia kuatkan hatinya untuk
menahan suara tangisnya agar jangan sampai terdengar
oleh o-rang lain. Hatinya makin terasa sakit. Ia malu sekali,
karena ternyata bahwa Ouwyang Bun adalah tunangan Cui
Sian yang sah hingga dialah yang sesungguhnya bersikap
rendah, hendak merampas tunangan orang. Dan lebih-lebih
lagi, dia telah menjadi sebab hingga Ouwyang Bu terpisah
dari kakaknya, bahkan kini menjadi musuh Siauw Leng,
tunangan pemuda itu sendiri. Ah, kalau saja tidak ada dia,
tentu kedua pemuda itu akan berkumpul dengan kedua
tunangan mereka dan semuanya akan beres dan lancar.
Semua akan berbahagia. Tapi sekarang dengan adanya dia,
segalanya menjadi kacau.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, semua orang di
situ mendengar jerit tangis Siauw Leng yang memilukan,
karena ketika gadis ini memasuki tendanya hendak
menjenguk Lie Eng, ternyata ia mendapatkan gadis ini telah
menjadi mayat. Lie Eng telah menggunakan sebilah pisau
yang terdapat di tenda itu untuk bunuh diri. Pisau itu
menancap di dada kirinya dan ia mati telentang di atas
dipan. Tangan kirinya memegang sehelai kertas yang
ternoda darah yang memercik keluar dari dadanya.
Melihat keadaan Lie Engr-Oywyang Bun tak dapat
menahan keharuan hatinya. Ia maju dan berlutut di dekat
tubuh itu sambil menundukkan kepala. Diam-diam m
merasa bertanggung jawab akan peristiwa ini dan tahu pula
bahwa kematian gadis ini adalah karena dia. Sementara itu,
Cui Sian yang juga sudah dapat turun dan berada pula di
situ, hanya berdiri sambil menghela napas berulang-ulang.
Ketika Ouwyang Bun mengangkat muka, ternyata wajah
pemuda ini pucat dan kedua matanya basah, sedangkan
pada wajah, itu terbayang kedukaan besar hingga membuat
ia tampak lebih tua. Ia tidak saja menyedihi kematian
sumoinya ini, tapi juga bersedih karena Ouwyang Bu. Ia
maklum bahwa kematian Lie Eng ini akan menghancurkan
kebahagiaan hidup Ouwyang Bu.
Dengan perlanan ia ambil surat di tangan gadis itu.
Ternyata surat itu ditujukan kepadanya.
Bun-ko,
Sudah Sepantasnya aku tewas di tangan. Cui Sian yang
gagah, tapi sayang ia memukul kepalang tanggung hingga
terpaksa aku sendiri yang menamatkan hidupku, Tapi
agaknya arwahku takkan tenang sebelum mendapat ampun
dari engkau dan dari Bu-ko. Aku adalah seorang gadis yang
tak tahu diri dan hanya, mengacaukan kebahagiaan orang.
Dengan membabi-buta dan tak tahu malu aku telah
berani mencintaimu, Bun-ko, mencintai seorang pemuda
yang telah mempunyai tunangan secantik dan segagah Cui
Sian.
Oleh karena akulah maka Bu-ko terpisah darimu. Karena
aku pula Bu-ko menjadi pembantu ayah dan karenanya tak
dapat berkumpul dengan Siauw Leng, tunangannya.
Aku tak mungkin menjadi isterimu, dan tak mungkin
pula menjadi isteri Bu-ko, hingga akibatnya aku hanya akan
hidup menderita dan merusak hati Bu-ko yang mencintaiku.
Karena inilah lebih baik aku mati.
Bun-ko, aku percaya bahwa kau tentu suka memaafkan
daku karena aku tahu betapa mulia hatimu. Tapi aku masih
ragu-ragu apakah Bu-ko dapat mengampuni dan melupakan
aku. Sukakah kau mintakan ampun padanya?
Selamat tinggal dan tolong sampaikan permohonan
ampun kepada ayah untuk anaknya yang tidak berbakti.
CIN LIE ENG
Semakin keraslah sedu-sedan dari dada Ouwyang Bun
ketika ia baca isi surat ini dan tanpa berkata apa-apa ia
berikan surat itu kepada Cui Sian untuk dibaca. Gadis
itupun menjadi merah mukanya karena terharu sedangkan
Siauw Leng yang juga membaca surat itu menangis keras.
Ouwyang Bun lalu menyimpan surat itu dalam saku
bajunya.
Ouwyang Bu merasa heran, khawatir, dan bingung
ketika tidak melihat Lie Eng dalam benteng. Ia mencari ke
sana-sini dan bertanya kepada anak buahnya yang berjaga
di sepanjang daerah penjagaannya, tapi tak seorangpun
melihat gadis itu.
Ketika matahari telah naik tinggi, tiba-tiba ia diberi tahu
oleh penjaga bahwa di luar benteng ada seorang pemuda
berpakaian putih datang dengan sebuah kereta hendak
bertemu dengannya. Hati Ouwyang Bu berdebar aneh dan
segera ia lari keluar.
"Bun-ko....." ia berseru keras sambil lari keluar
menyambut kakaknya itu. Tapi ia heran sekali melihat
betapa kakaknya itu berpakaian putih dan wajahnya
nampak sedih sekali.
"Bun-ko, kau dari mana dan hendak ke mana? Mari,
mari masuk, kita bicara di dalam," kata Ouwyang Bu
setelah berpelukan dengan kakaknya.
Tapi Ouwyang Bun tidak menjawab, bahkan tiba-tiba
saja matanya menjadi merah dan ia pandang wajah adiknya
yang gagah dan kini berpakaian perwira itu. Pandangan
mata Ouwyang Bun membuat Ouwyang Bu terkejut sekali.
"Bun-ko." teriaknya dengan hati tidak karuan. "Ada
kabar apa?"
Ouwyang Bun hanya menunjuk ke arah kereta yang
tertutup kain putih yang ditarik oleh seekor kuda. Ouwyang
Bu masih tidak mengerti walaupun hatinya berdebar-debar
cemas. Ia lalu menghampiri kereta itu dan membuka kain
putih yang menutupi kendaraan itu. Di dalam kereta
terdapat sebuah peti mati.
Dengan terkejut Ouwyang Bu melangkah mundur.
Mukanya menjadi pucat.
"Bun-ko, apa artinya ini? Peti mati siapa ini dan apa
maksudmu?"
"Bu-te..... sumoi..."
Tiba-tiba saja Ouwyang Bu menggigil dan mukanya
semakin pucat ketika ia berteriak,
"Lie Eng.....?." dan cepat sekali ia meloncat ke arah peti
mati itu. Dengan tangannya yang kuat ia buka peti itu
hingga peti mati yang telah dipaku itu terbongkar seketika
itu juga. Ia buka kain penutup muka mayat itu.
"Lie Eng.... kau...." dan pemuda itu tak dapat
melanjutkan katakatanya karena pada saat itu juga ia roboh
pingsan.
"Bu-te.... ah, Bu-te..... kasihan kau...... adikku..."
Ouwyang Bun-lalu menubruk dan memeluk tubuh adiknya.
Ia angkat kepala Ouwyang Bu dan dipangkunya serta
diciuminya dengan penuh kasih sayang.
Para penjaga yang melihat peristiwa ini berdiri bingung
dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka belum tahu
siapakah yang berada di peti mati itu dan mereka tidak
berani melakukan apa-apa karena tidak mendapat perintah.
Ketika Ouwyang Bu sadar sambil merintih memanggilmanggil
nama Lie Eng, ia dapatkan dirinya sedang dipeluk
dan dipangku oleh kakaknya. Tiba-tiba ia meloncat berdiri
dan mencabut pedangnya.
"Bun-ko.... siapa.... siapa yang membunuh dia?
Kaukah...?" ia menghampiri kakaknya dengan sikap
mengancam. "Ya, tentu kau. Siapa lagi yang dapat
membunuh dia? Dan kau sekarang sudah menjadi
pemberontak? Hayo, mengakulah kau."
Ouwyang Bun hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu
ia mengeluarkan surat Lie Eng. Ouwyang Bu menerima
surat itu dengan kedua tangan menggigil. Ketika ia
membaca isinya surat itu, mukanya menjadi sebentar pucat
sebentar merah. Ia lalu memukul-mukul kepala sendiri
dengan tangan hingga topi besi yang dipakainya berbunyi
tang-tung dengan keras. Setelah habis membaca surat itu, ia
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakaknya dan
berkata,
"Bun-ko.... kaubunuhlah aku, Bun-ko.... aku hendak
menyusul Lie Eng..."
Tapi Ouwyang Bun memegang kedua pundak adiknya
dan ditariknya Ouwyang Bu berdiri. "Bu-te. Bukankah kau
seorang laki-laki dan seorang jantan pula. Janganlah
bersikap lemah."
Tiba-tiba katakata ini bagaikan cahaya kilat yang
memasuki tubuh Ouwyang Bu. Ia berdiri tegak dan kedua
matanya memandang kepada kakaknya sedemikian rupa
hingga Ouwyang Bun mundur dua langkah. Mata itu
bagaikan mata seorang buta melek.
"Baik, Bun-ko. Aku tetap seorang laki-laki dan sudah
menjadi tugasku untuk membalas dendam ini. Jangan kau
menyesal kalau kelak aku pasti membunuh Cui Sian, Siauw
Leng, dan.... engkau juga."
Biarpun hatinya merasa sakit dan pilu, tapi Ouwyang
Bun tahu bahwa inilah sikap terbaik bagi seorang perajurit
seperti Ouw yang Bu.
"Bu-te, aku tahu bahwa surat ini telah menyakiti hatimu
dan kau tentu marah kepadaku. Kalau kau sakit hati dan
hendak membunuh aku, lakukanlah itu sekarang juga,
adikku."
"Tidak membunuh pemberontak ini sekarang, mau
tunggu kapan lagi?" tiba-tiba terdengar orang berseru keras
dan Gui Li Sun yang mengeluarkan katakata ini lalu
menyerbu dan menyerang Ouwyang Bun, diikuti oleh
beberapa orang perwira lain.
"Tahan." Ouwyang Bu membentak hingga semua
penyerang itu mengundurkan diri. "Jangan serang dia."
"Ciangkun, dalam menghadapi musuh, perajurit sejati
tidak kenal saudara." Gui Li Sun memperingatkan.
"Tutup mulut." Ouwyang Bu membentak marah.
"Kaukira aku tidak tahu aturan seorang perajurit sejati? Aku
larang kau serang dia bukan karena ia saudaraku, tapi
karena kedatangannya adalah sebagai seorang utusan yang
membawa jenasah Cin-lihiap. Pantaskah kalau kita serang
dia? Perbuatan ini akan dipandang rendah dan aku
melarang siapa saja menyerang dia pada waktu sekarang
ini."
Semua orang terpaksa mengakui kebenaran katakata ini.
“Sekarang kau pergilah." kata Ouwyang Bu dengan
suara dingin.
"Bu-te.... marilah kita pergi saja, pergi dari segala
peperangan ini..."
Untuk sesaat Ouwyang Bu ragu-ragu, tapi ia segera
menetapkan hatinya dan berkata,
"Sudahlah, jangan banyak ribut. Bujuk-anmu tidak ada
artinya bagiku..Aku seorang perajurit sejati dan harus tetap
menu naikan tugasku sebagai seorang perwira. Dan kau....
kau pergilah kembali kepada tunanganmu." Kemudian
Ouwyang Bu memerintahkan anak buahnya untuk
mendorong kereta berisi peti mati itu ke dalam benteng dan
ia sendiri lalu masuk ke dalam benteng tanpa menoleh lagi
kepada kakaknya. Ouwyang Bun menghela napas berkalikali
dan terpaksa ia lalu kembali ke dalam hutan.
Setelah berada dalam benteng, barulah Ouwyang Bu
menangisi jenasah Lie Eng, sedangkan Gui Li Sun berkata
dengan suara gemas.
"Ciangkun, marilah kita kerahkan tenaga dan menyerbu
ke dalam hutan. Kalau belum dapat membasmi habis
pemberontak-pemberontak hinadina itu, belum puas rasa
hatiku."
Ouwyang Bu tidak menjawab tapi diam-diam ia
mengatur siasat untuk membalas kematian Lie Eng kepada
para pemberontak itu.
Benar saja, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
Ouwyang Bu bersama Gui Li Sun dengan tiga ratus orang
tentara telah menyerbu ke dalam hutan. Pertempuran hebat
terjadi dan Ouwyang Bun melihat betapa Cui Sian dan
kawan-kawannya terkurung, terpaksa turun tangan hingga
di pihak tentara negeri menjadi kacau. Amukan Ouwyang
Bun dihadapi oleh beberapa orang perwira yang cukup
tinggi kepandaiannya. Karena para pemberontak itu
menggunakan taktik berpencar, maka pertempuran menjadi
berkelompok-kelompok. Yang mengherankan ialah bahwa
Ouwyang Bu tidak tampak dalam pertempuran itu.
Karena pihak tentara sangat banyak, maka banyak sekali
jatuh korban dan akhirnya pihak pemberontak terpaksa
meng undurkan diri. Tapi pada saat itu muncul tiga orang
tosu tua yang datang membantu pihak pemberontak. Tiga
orang tosu ini berkepandaian tinggi sekali hingga para
tentara kocar-kacir tidak kuat menghadapi mereka bertiga
yang bersenjata pedang.
Ke manakah perginya Ouwyang Bu? Sebetulnya tadinya
pemuda ini memang memimpin sendiri penyerbuan ke
dalam hutan, tapi setelah pertempuran terjadi, ia
memisahkan diri karena bermaksud hendak menawan
hidup, seorang di antara tiga pemimpin pemberontak itu. Ia
melihat betapa Ouwyang Bun bertempur di samping Cui
Sian merupakan sepasang anak muda gagah perkasa hingga
sukar sekali didekati. Maka ia lalu mencari ke kelompok
lain dan melihat Siauw Leng sedang mengamuk dikeroyok
beberapa orang anak buahnya. Ouwyang Bu segera
meloncat membantu karena anak buahnya yang dipimpin
Gui Li Sun ternyata sangat terdesak oleh gadis lincah itu.
"Bun-ko, bantulah aku membereskan beberapa ekor tikus
ini." Siauw Leng berkata tanpa menengok. Ouwyang Bu
heran, tapi ia segera tahu bahwa gadis itu salah sangka. Ia
memang berpakaian putih untuk menyatakan kesedihannya
atas kematian Lie Eng, dan gadis itu tentu menyangka,
bahwa ia adalah Ouwyang Bun.
Karena inilah maka ketika Ouwyang Bu meloncat di
dekatnya dan mengulurkan tangan menotok, Siauw Leng
tidak menyang ka sama sekali bahwa ia bukan Ouwyang
Bun dan mudah saja ia kena ditotok roboh. Seorang
pengeroyok mengayun senjata hendak membunuh gadis itu,
tapi Gui Li Sun mendahuluinya dengan memegang dan
mendukung tubuh Siauw Leng.
Karena tidak ingin melihat gadis itu dibunuh, Ouwyang
Bu lalu mengangguk kepada Gui-ciangkun dan berkata,
"Bawa tawanan ini dan jaga baik-baik," kemudian ia
sendiri lalu pergi menghadapi tiga orang tosu yang sedang
mengamuk itu. Ternyata tiga orang tosu itu benar-benar
gagah perkasa dan kini semua pemberontak yang tadi
melarikan diri mendapat tambahan semangat dan melawan
lagi.
Ouwyang Bu melihat gerakan-gerakan ketiga orang itu,
maklum bahwa pihaknya takkan menang, maka ia segera
memberi aba-aba dan menarik mundur semua orangnya,
lalu kembali ke dalam benteng.
Ouwyang Bu langsung menuju ke tempat tahanan untuk
menemui Siauw Leng yang ditawannya tadi. Tapi alangkah
herannya ketika ia tidak mendapatkan gadis itu di antara
tawanan-tawanan lain. Ia lalu bertanya kepada penjaga
yang segera dijawab bahwa tawanan wanita itu dibawa
pergi oleh Gui-ciangkun
0oooo0dw0oooo0
Jilid VII Tamat
OUWYANG BU marah sekali. Sambil berlari ia menuju
ke tempat tinggal Gui Li Sun di sebelah utara dalam
benteng itu. Ketika ia tiba di depan kamar Gui-ciangkun, ia
mendengar suara wanita memaki-maki dan suara Gui Li
Sun tertawa-tawa.
Ouwyang Bu tak dapat mengendalikan kesabarannya
lagi. Ia mendorong daun pintu dan apa yang terlihat
olehnya membuat ia mencabut pedangnya karena marah.
Gui Li Sun yang agaknya sudah mabok, berdiri dengan
sikap menantang.
"Gui-ciangkun, apakah yang sedang, kau lakukan ini?"
"Ha-ha ciangkun, apakah kau tidak melihat? Aku sedang
memeriksa seorang tawanan"
"Lepaskan dia dan kembalikan ke dalam kamar tahanan"
Ouwyang Bu memerintah dengan mata terbelalak marah.
Gui Li Sun menggeleng-gelengkan kepala. "Ouwyangciangkun,
kau selalu mau menang dan mau enak sendiri
saja. Kau datang-datang telah, merampas nona Lie Eng dari
tanganku merampas pula kedudukanku. Semarang aku
dapat menangkap tawanan pemberontak wanita ini, apakah
kau juga hendak merampasnya pula? Ha-ha, ia memang
cantik, lebih cantik daripa da nona Lie Eng. Tapi dia adalah
bagianku dan kau tidak boleh merampasnya."
"Gui Li Sun, tutup mulutmu yang kotor. Apakah kau
hendak membantah perintahku?"
"Perintah apakah ini? Ouwyang-ciangkun, apakah kau
lebih memberatkan dan membela tawanan seorang
pemberontak daripada seorang perwira pembantumu
sendiri?"
"Selama aku masin berada di sini, kau tidak boleh
memperlakukan tawanan kita secara sewenang-wenang"
kata Ouwyang Bu tidak sabar.
"Siapa yang sewenang-wenang? Kau atau aku? Aku
takkan menyakiti atau menyiksa nona ini. Aku bahkan
hendak mengambil dia sebagai isteriku"
"Bangsat rendah" Ouwyang Bu marah sekali dan
menggerak-gerakkan pedangnya. Tiba-tiba Gui Li Sun juga
mencabut pedangnya dan menghadapi Ouwyang Bu
dengan mata merah.
"Orang she Ouwyang. Kali ini aku terpaksa tak mentaati
perintahmu yang gila. Aku hendak mengambil nona ini,
kau mau apa?"
"Kalau begitu aku akan menggunakan kekerasan" kata
Ouwyang Bu.
"Bagus" dan sambil berseru keras Gui Li Sun loncat
menyerang dengan pedangnya yang dapat ditangkis dengan
mudah oleh Ouwyang Bu. Tak lama kemudian Gui Li Sun
menyerang mati-matian dan Ouwyang Bu bertahan dengan
tenang.
Sementara itu, Siauw Leng yang terikat kaki tangannya
dan tidak berdaya, melihat pertempuran itu dengan mata
terbelalak. Tiba-tiba ia menitikkan air mata dari sepasang
matanya karena keadaan itu mendatangkan berbagai
perasaan kepadanya. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu adalah
tunangannya dan karena ia telah tahu pula bahwa anak
muda ini mencintai Lie Eng, maka ia tidak banyak
mengharapkan dari padanya. Pula karena Ouwyang Bu
ternyata telah menjadi kaki tangan kaisar, ia lebih benci dan
menganggap bahwa pemuda itu memang berwatak jahat
dan buruk, berbeda jauh dengan Ouwyang Bun tunangan
encinya. Tapi kini melihat betapa pemuda itu ternyata
cukup memiliki sifat ksatria dan bahkan membelanya dari
gangguan panglima kasar she Gui itu, ia tak dapat menahan
keharuan hatinya lagi.
Ia merasa girang karena ternyata bahwa betapapun juga
pemuda pilihan orang tuanya itu tidak sejahat yang ia
sangka, dan ia merasa sedih karena pemuda itu mau
menjadi kaki tangan kaisar lalim.
Karena kepandaian Gui Li Sun memang kalah jauh jika
dibandingkan dengan Ouwyang Bu dan karena perwira she
Gui ini memang hanya mengandalkan tenaganya yang
besar belaka, maka tak lama kemudian ia hanya mampu
menangkis saja dan napasnya terengah-engah menghadapi
serangan-serangan Ouwyang Bu yang hebat. Pada saat yang
tepat sekali, akhirnya Ouwyang Bu berhasil menendang
tangan lawannya itu dan Gui Li Sun menjerit kesakitan.
Pedangnya terlempar dan jatuh di atas lantai.
"Pungut pedangmu dan pergi dari sini" Ouwyang Bu
memerintah sambil memasukkan pedangnya sendiri ke
dalam sarung pedang.
Bagaikan seekor anjing kena pukul, Gui Li Sun
membungkuk dan memungut pedangnya yang terlempar ke
dekat pembaringan. Karena pergelangan tangan kanannya
patah oleh tendangan Ouwyang Bu, ia menggunakan
tangan kiri untuk memungut pedang itu, tapi tiba-tiba
bagaikan orang kemasukan iblis ia menyeringai dan cepat
sekali ia gerakkan pedang, di tangannya itu untuk menusuk
dada Siauw Leng yang rebah telentang. Dara itu memekik
lirih dan berkelojotan dalam ikatannya, lalu
menghembuskan napas terakhir. Darah merah menyembur
keluar dari dadanya, membasahi pakaiannya.
Ouwyang Bu tiba-tiba merasa kepalanya pening dan
matanya kabur. Ia tak percaya kepada pandangan matanya
dan menggunakan tangannya untuk menggosok-gosok
kedua matanya.
"Kau halang-halangi maksudku dan kau hendak
merampas dia, maka lebih baik dia mati dan habis perkara"
Mendengar kata-kata Gui Li Sun, barulah Ouwyang Bu
sadar dan maklum bahwa ia bukan sedang mimpi dan
bahwa benar-benar perwira itu telah membunuh Sianw
Leng dengan kejam. Suaranya gemetar ketika ia berteriak.
"Bangsat rendah. Kau.... kau binatang kejam" Ouwyang
Bu melangkah perlahan menghampiri Gui Li Sun dengan
mata mengancam dan wajah menyeramkan.
Melihat keadaan pemimpinnya ini, Gui Li Sun terkejut
sekali. Biarpun ia seorang yang tabah, namun melihat
wajah Ouwyang Bu pada saat itu, ia menjadi ngeri dan
takut.
"Ciangkun.... ciangkun,,,. maaf.... yang kubunuh
hanyalah seorang pemberontak..."
Tapi Ouwyang Bu tetap melangkah maju, perlahanlahan,
bagaikan seekor harimau menghampiri korbannya,
bibirnya tetap bergerak-gerak dan berbisik dengan napas
mendesis-desis,
"Bangsat rendah, binatang kejam"
Gui Li Sun makin takut. Tubuhnya menggigil dan untuk
penghabisan kali ia berusaha membela diri.
"Ouwyang-ciangkun ..... ampunkan aku.... ingat.... ia...
ia hanyalah seorang perempuan pemberontak"
Ketika Ouwyang Bu telah cukup dekat Gui Li Sun lalu
menggunakan pedang di tangan kirinya untuk menyerang,
tapi satu tangkisan keras membuat pedangnya terlempar
dan ia terhuyung ke samping. Ouwyang Bu bergerak cepat
dan tangan kanannya menghantam dada sedangkan kaki
kirinya menyusul menendang lambung.
Gui Li Sun memekik ngeri dan roboh tak bernapas lagi.
Ouwyang Bu berdiri memandang kedua mayat itu
dengan tak bergerak bagaikan patung batu. Pikirannya
kacau-balau.
Pada saat itu terdengar suara orang menegur di
belakangnya,
"Ouwyang Bu, perbuatan apakah yang kaulakukan ini?"
Ouwyang Bu terkejut sekali karena suara itu adalah
suara Cin CUn Ong. Ia mem balikkan tubuh dan benar saja,
Cin-ciang-kun telah berdiri di depannya.
Ouwyang Bu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
susioknya. Ia teringat akan kematian Lie Eng dan tak
tertahan pula ia menangis sambil berkata,
"Susiok.... adik Lie Eng..."
"Sudahlah, aku telah tahu semua. Aku tidak
menyalahkan kau, dan kejadian sekarang ini sungguh
kusesalkan sekali. Beginilah akibatnya kalau orang
mencampuradukkan tugas kewajiban dengan perasaanperasaan
perseorangan."
“Susiok, Gui Li Sun bertindak di luar batas
perikemanusiaan dan teecu sebagai seorang yang
menghargai kejujuran tak kuat melihat dan...."
"Saya tahu Gui-ciangkun bersalah" Cin Cun Ong
membentak. "Tapi betapapun besar kesalahannya, kau tak
berhak membunuhnya. Untuk mengadili dia, ada
pengadilan tertentu, kau tidak boleh bertindak sendiri"
Ouwyang Bu menundukkan kepala dan mengakui
kesalahannya.
"Lie Eng mati karena terlalu menurutkan nafsu hatinya,
tapi sudahlah, kematian bagi orang-orang dalam
peperangan seperti kita tidak berarti apa-apa." Sungguhpun
mulutnya berkata begitu, namun wajah panglima tua ini
tampak bersedih juga, tanda bahwa kematian Lie Eng
sangat mendukakannya hingga Cin Cun Ong kini nampak
lebih tua.
"Kita harus memperkuat benteng di sini karena akan ada
barisan pemberontak besar dan kuat melalui daerah ini.
Karena ini pula aku membawa seribu orang tentara ke.
benteng ini dan ada pula beberapa orang kawan-kawan
yang membantu kita. Mari kuperkenalkan kau kepada
mereka."
Ouwyang Bu mengikuti susioknya keluar dari kamar itu
dan memerintahkan orang-orangnya mengurus jenasah Gui
Li Sun dan Can Siauw Leng, dengan pesan bahwa jenasah
nona itu harus diurus baik-baik dan jangan dianggap
sebagai mayat musuh biasa. Setelah tiba di luar, ia
diperkenalkan kepada beberapa orang tokoh persilatan yang
terkenal di kalangan kang-ouw.
Ia melihat Hoa-gu-ji Lee Un si Kerbau Belang, Bi Kok
Hosiang si hwesio gendut yang bersenjata tasbeh, Khu Ci
Lok si Huncwe Maut yang hebat. Mereka ini adalah tiga
tokoh yang dulu pernah membantu Cin Cun Ong di
benteng tembok besar di utara. Juga tampak Kin Keng
Tojin tokoh Go-bi-san yang bongkok kurus dan di antara
seribu orang anggauta tentara yang baru datang, terdapat
sepasukan tentara istimewa sebagaimana dapat dilihat dari
topi mereka, yakni Barisan Sayap Garuda, pahlawanpahlawan
istana kaisar yang terkenal kekejaman dan
keberaniannya. Pasukan ini terdiri dari seratus dua puluh
orang.
Melihat rombongan yang kuat ini, diam-diam Ouwyang
Bu merasa kagum, dan ia merasa yakin bahwa kali ini
barisan pemberontak pasti akan dapat dihancurkan. Semua
perwira dan para ksatria itu lalu dijamu oleh Cin Cun Ong
dan semua orang, kecuali Ouwyang Bu, merasa gembira.
Pemuda ini tidak dapat bergembira karena hatinya masih
sedih mengingat kematian Lie Eng dan ditambah pula ia
menyesal sekali telah menangkap Siauw Leng hingga gadis
itu menjadi binasa. Kalau saja ia binasakan gadis itu di
dalam pertempuran, maka ia takkan demikian menyesal.
Tapi, biarpun ia tidak membunuh gadis itu, namun tetap
saja ia merasa menyesal dan merasa seakan-akan ia sendiri
yang menyebabkan kematian gadis Itu. Hanya sedikit
pikiran yang menghiburnya, yakni bahwa ia telah
membunuh Gui Li Sun,
"Cuwi," kata Cin Cun Ong, "menurut laporan para
penyelidik kita, musuh yang akan menyeberang daerah ini
jumlahnya besar sekali dan mungkin lebih besar daripada
jumlah anak buah kita. Akan tetapi, dengan adanya kawankawan
di sini, kurasa kita takkan kalah. Menurut
perhitunganku, malam ini tentu mereka telah tiba di sini
dan kalau tidak malam ini, tentu besok pagi-pagi mereka
melakukan serangan. Maka kuharap cuwi sukalah berjagajaga
menghadapi segala kemungkinan. Ketahuilah bahwa
tempat ini sangat penting artinya dan penyerbuan ke kota
raja oleh para pemberontak itu tergantung kepada berhasil
atau tidaknya mereka menyeberang daerah ini."
"Cin-eiangkun" tiba-tiba Khu Ci Lok si Huncwe Maut
berkata setelah melepaskan huncwenya dari mulut.
"Perlukah kita takuti segala pemberontak itu? Biarpun
jumlah mereka besar, tapi mereka itu terdiri dari petanipetani
dan pengemis-pengemis miskin yang kelaparan.
Kurasa biarpun jumlah mereka lima kali lebih banyak
daripada jumlah kita, dengan satu lawan limapun kita
takkan kalah. Maka kuharap Cin-ciangkun tidak berkecil
hati.”
Semua orang membenarkan kata-kata ini, tapi Ouwyang
Bu diam-diam khawatir melihat kesombongan mereka. Juga
Cin Cun Ong berkata,
"Betapapun juga, harap cuwi berhati-hati, karena terus
terang saja kukatakan bahwa di antara mereka ada juga
orang pandai.” Akan tetapi, tentu saja panglima yang cerdik
itu tidak mau mengecilkan hati dan semangat mereka yang
membantunya ini, dan untuk menggembirakan suasana, ia
minta kepada mereka untuk mendemonstrasikan
kepandaian silat guna menyegarkan semangat.
Lok Wi Beng, seorang komandan Barisan Sayap
Garuda, yang masih muda dan bersikap galak, mulai
dengan demonstrasi kepandaiannya. Ia adalah murid dari
Him Kok Hwesio seorang tokoh dari Thai-san, maka
kepandaian silatnya cukup hebat. Dengan senjata sebatang
tombak panjang, perwira Sayap Garuda ini main silat
tombak yang mendapat sambutan dan pujian riuh rendah.
Ujung tombaknya bergetar-getar dan menjadi belasan
banyaknya, mengelilingi seluruh tubuh dengan suara angin
yang cukup kuat. Diam-diam Ouwyang Bu kagum juga dan
merasa bahwa kepandaian komandan she Lok tidak berada
di bawah kepandaiannya sendiri.
Selesai Lok Wi Beng berdemonstrasi, majulah dua
perwira lain yang dijuluki Tiat-tho-siang-houw atau
Sepasang Harimau Kepala Besi. Dua perwira ini adalah
saudara seperguruan dan mereka ini murid-murid Siauwlim-
si yang berpihak pada pembesar seperguruan dan
mereka ini murid-murid Siauw-Iim yang berpihak pada
pembesar pemeras dan diperbantukan kepada Cin Cun
Ong.
Kepandaian kedua murid Siauw-lim si inipun cukup
hebat. Mereka memperlihatkan kemahiran bersilat dengan
toya dan tentu tingkat kepandaian merekapun berimbang
dengan tingkat Lok Wi Beng hingga Ouwyang Bu makin
berbesar hati saja.
Dengan bergiliran, mereka saling memperlihatkan
kehebatan mereka. Ouwyang Bu teringat akan gurunya,
maka ia lalu mendekati susioknya dan dengan suara
perlahan bertanya mengapa suhunya tidak datang
membantu.
"Gurumu orang aneh" kata Cin Cun Ong. "Aku sudah
minta bantuannya tetapi ia berkata bahwa ia tidak mau
mengotorkan tangannya dengan segala urusan perang. Ia
telah tua dan telah menjadi lemah, sayang..." Cin Cun Ong
tertawa dan Ouwyang Bu merasa heran, diam-diam ia
merasa menyesal mengapa suhunya bersikap demikian.
Suhunya telah menyuruh ia dan kakaknya turun gunung
untuk membantu Cin Cun Ong, tapi ia sendiri tidak mau
membantu. Sungguh aneh.
Pada saat itu, Khu Ci Lok si Huncwe Maut, Bi Kok
Hosiang, dan Hoa-gu-ji Lee Un sudah memperlihatkan
kemahiran mereka. Ketika tiba giliran Kin Keng Tojin
memainkan pedangnya, maka Ouwyang Bu kagum sekali
karena tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi pula.
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar berkelebat bajingan putih
dan terdengar suara orang berkata,
"Cin Cun Ong, maafkan aku mengganggu pestamu. Aku
perlu dengan pemuda she Ouwyang ini"
Semua orang terkejut ketika melihat betapa tiba-tiba saja
di tengah ruangan itu berdiri seorang tua berpakaian sebagai
petani dengan baju warna putih dengan sikap-tenang sekali.
"Sin-liong Ciu Pek In" Cin Cun Ong berkata terkejut.
Mendengar nama ini, Hoa-gu-ji Lee Un tahu bahwa
kakek yang datang ini adalah seorang tokoh pemberontak
yang terkenal sekali, maka diam-diam ia mengeluarkan tiga
batang piauw dan melemparkan senjata rahasia itu dari
jurusan belakang, mengarah tiga jalan darah yang paling
berbahaya dari kakek itu. Semua orang terkejut melihat hal
ini dan terutama Cin Cun Ong merasa tak senang karena
tindakan Lee Un itu dianggap gegabah dan sembrono
sekali.
Ciu Pek In seperti tidak tahu akan datangnya tiga batang
piauw yang menyambut dan tiga buah senjata rahasia itu
tepat mengenai tubuhnya. Tapi sungguh aneh. Bagaikan
mengenai karet saja, tiga buah senjata itu mental kembali
dan jatuh di atas tanah tanpa melukai kulit kakek itu
sedikitpun.
"Cin Cun Ong, tidak malukah kau menyambut tamu
dengan cara gelap?" tanyanya kepada Cin Cun Ong.
Cin-ciangkun dengan muka merah berkata,
"Pemberontak tua. Apakah kehendakmu datang ke sini?"
"Ada dua macam keperluan. Pertama, aku hendak
membawa pemuda she Ouwyang ini karena ada sesuatu
urusan penting. Kedua, aku memimpin barisanku hendak
menyerang bentengmu ini dan kini mereka telah mulai
menyerbu masuk"
Dan pada saat itu terdengar sorak-sorai yang hebat dan
gegap-gempita dari luar benteng. Terkejutlah semua orang
yang berada di situ.
"Ciu Pek In, kau mencari mati" kata Cin Cun Ong
sambil mencabut pedangnya. Tapi pada saat itu, dari luar
berloncatan masuk beberapa orang, di antaranya tampak
Ouwyang Bun, Can Cui Sian si Bunga Bwee, tampak juga
tiga orang tosu ulung yang sebenarnya adalah Cun-san
Sam-lo-hiap (Tiga Pendekar Tua Dari Cun-san), tampak
pula Bhok Sun Ki si Raja Pengemis, Cin Kong Hwesio
ketua kelenteng Hok-po-tong yang gemuk pendek, dan tidak
ketinggalan Kilok Ngo-koai (Lima Setan Dari Kilok).
Ternyata para pemimpin pemberontak ini dengan gagah
berani menyerbu masuk pada saat para pemimpin barisan
negeri sedang berkumpul. Sedangkan anak buah mereka
telah bertempur di luar tembok benteng dengan hebat
melawan penjaga-penjaga benteng.
Di ruangan yang lebar itu segera terjadi pertempuran
yang. luar biasa hebatnya. Ciu Pek In yang mempunyai
gerakan bagaikan seekor naga sakti, sekali menggerakkan
tubuh sudah menyambar ke arah Ouwyang Bu dan sebelum
anak muda itu dapat melawan, ia telah kena ditotok hingga
tak dapat bergerak.
Cin Pek In lalu mengempit pemuda itu dan dibawa
meloncat keluar dari ruangan. Ia turunkan Ouwyang Bu di
atas tanah. Ia bertanya dengan suara tetap dan berat,
"Anak muda yang sesat, kauapakan muridku si Siauw
Leng?"
Pada saat itu Cui Sian juga memburu kesitu dan melihat
pemuda itu ia memaki gemas,
'Manusia keji. Kau telah menculik dan menganiaya
tunanganmu sendiri, sungguh kejam dan rendah"
Biarpun Ouwyang Bu telah ditotok tai-twi-hiat yakni
jalan darah yang membuat ia lemah tak berdaya, namun ia
masih dapat berbicara dan semangatnya tidak padam.
Dengan berani dan tabah ia berkata,
"Aku sudah tertangkap, mengapa tidak lekas kau bunuh,
mau tunggu apalagi?"
"Akuilah dulu bagaimana kau membunuh muridku" kata
Ciu Pek In. Tapi Ouw yang Bu hanya memandang dengan
mata bersinar dan tidak mau menjawab. Betapapun juga, ia
telah merasa bertanggung jawab atas kematian Siauw Leng,
untuk apa ia harus menceritakan segala peristiwa itu hingga
seakan-akan ia membela diri? Ia tidak takut mati dan ia tak
perlu minta dikasihani.
Melihat kekerasan hati Ouwyang Bu, Cui Sian menjadi
tak sabar dan tak dapat menahan kemarahan hatinya, ia
mengangkat tangannya yang memegang pedang. Tapi pada
saat itu terdengar teriakan,
"Moi-moi. Ciu-locianpwe. Tahan dulu.... dengarlah
keterangan orang ini"
Ternyata yang datang adalah Ouwyang Bun yang
menyeret-nyeret seorang anggauta tentara. Anak muda ini
sengaja menangkap dan memaksa tentara ini mengaku dan
menceritakan peristiwa yang terjadi antara Gui Li Sun,
Siauw Leng, dan Oouyang Bu. Dengan paksaannya, tentara
itu terpaksa menceritakan kembali di depan Ciu Pek In dan
Can Cui Sian tentang peristiwa itu, betapa Gui-ciangkun
menawan Siauw Leng dan betapa ia membawa gadis itu ke
tendanya dengan maksud jahat. Kemudian datang
Ouwyang Bu yang menghalangi maksudnya hingga terjadi
pertempuran. Dan ia ceritakan pula bahwa yang
membunuh Siauw Leng adalah Gui Li Sun dan bahwa
karena itulah Ouwyang Bu sampai membunuh orang she
Gui itu.
Mendengar keterangan ini, tiba-tiba Cui Sian menjerit
lirih dan ia pegang tangan Ouwyang Bu sambil berkata,
"Ah.... kau.... telah membalaskan sakit hati Siauw Leng....
dan... dan aku yang membunuh kekasihmu... sekarang
mendakwamu lagi..."
Tapi Ouwyang Bu tidak memperlihatkan muka girang,
dan setelah Ciu Pek In dengan wajah kagum melepaskan
totokannya, Ouwyang .Bu berdiri lalu berkata keras, "Aku
adalah seorang perajurit yang telah bersumpah setia kepada
negara. Segala urusan pribadi ini bukanlah urusanku. Nona
Siauw Leng terbunuh karena ia seorang anggauta
pemberontak yang tertawan. Ini sudah sewajarnya. Guiciangkun
kubunuh karena ia melanggar peraturan kami. Inipun
sewajarnya" Kemudian ia menghunus pedangnya dan
dengan gagah berkata,
"Dan kalian semua adalah anggauta-anggauta
pemberontak yang melanggar tempat penjagaanku, maka
sudah sewajarnya pula kalau menjadi musuh-musuhku
yang harus kubasmi" ia lalu menggerakkan pedangnya
mengamuk.
"Ouwyang-hiante, kau layani dia" kata Ciu Pek In
kepada Ouwyang Bun. Pemuda ini dengan hati perih
terpaksa menurut dan dengan pedangnya ia menangkis
serangan Ouwyang Bu yang kalap.
"Bu-te, jangan kau gunakan pedangmu terhadap aku.
Mari kita berdua pergi saja jauh-jauh, Bu-te."
"Jangan banyak cerewet. Kau pemberontak dan aku
perajurit negara"
Adik yang telah kalap ini menyerang lagi lebih hebat
hingga terpaksa Ouwyang Bun menangkis dengan hati-hati.
Berkali-kali Ouwyang Bun menyebut nama adiknya dengan
hati hancur. Ia tidak mau balas menyerang, hanya
menangkis saja.
Melihat keadaan Ouwyang Bun demikian itu, Cui Sian
tahu bahwa kalau dilanjutkan, kekasihnya itu tentu akan
kena celaka di ujung pedang Ouwyang Bu, maka ia
meloncat untuk membantu. Tapi pada saat itu, datanglah
Cin Cun Ong yang sengaja mencari-cari Ouwyang Bu.
Melihat Ouwyang Bun sedang bertempur melawan
adiknya, panglima tua ini marah sekali dan membentak,
"Ouwyang Bun, kau pemuda pengkhianat"
Tapi terdengar jawaban Ciu Pek In dengan suara halus,
"Cin Cun Ong, seseorang bebas memilih pendapatnya
sendiri-sendiri tak dapat dipaksa untuk hanya ikut-ikutan
saja. Ouw yang Bun telah memilih perjuangan kami."
"Kau tua bangka yang menjadi biang keladi semua ini"
bentak Cin Cun Ong dengan marah sekali lalu menyerang
Ciu Pek In. Kedua jago tua ini lalu bertempur dengan luar
biasa hebatnya. Cui Sian tetap membantu Ouwyang Bun
dan melihat betapa Ouwyang Bun benar-benar tidak
sanggup mengangkat senjata terhadap adiknya yang
dikasihi, gadis ini lalu menyuruh ia membantu saja kawan
yang lain.
Pertempuran di dalam benteng yang berjalan hampir
setengah hari itu ternyata dimenangkan oleh pihak
pemberontak, karena tidak saja jumlah mereka jauh lebih
besar, tapi juga datang barisan baru di bawah pimpinan
Thio Sian Tiong sendiri, pemimpin besar pemberontak yang
sangat terkenal itu.
Tentu saja pihak tentara negeri tak sanggup menahan
serangan gelombang besar dari barisan pemberontak ini dan
mereka segera mundur sambil meninggalkan ratusan
korban. Dan pertempuran yang berlangsung antara para
pemimpin di dalam tenda besar juga hebat sekali. Ternyata
keadaan mereka seimbang, tapi melihat bahwa anak buah
mereka telah kalah dan kabur, banyak pula di antara
mereka, termasuk Khu Ci Lok si Hun-cwe Maut dan Kin
Keng Tojin, segera meninggalkan lawan dan lari. Yang lainlain
telah roboh menjadi korban senjata. Di pihak
pimpinan pemberontak, Kilok Ngo-koai yang berjumlah
lima orang itu tetah roboh tiga dan tinggal dua orang lagi
saja, juga Bhok Sun Ki si Raja Pengemis telah tewas. Cin
Kong Hwesio mendapat luka bacokan dan masih banyak
pula pemimpin dan pembantu lain yang menderita luka.
Setelah sisa dari mereka yang bertarung di dalam tenda
itu pada lari, kini masih bertempur ramai hanyalah Cin Ong
melawan Ciu Pek In dan Ouw-Bu melawan Cui Sian.
Sebenarnya, beberapa kali Ciu Pek In tadi berseru bahwa
kalau Cin Cun Ong hendak lari, ia takkan mengejar. Tapi
ucapan ini hanya menimbulkan kemarahan Cin Cun Ong
dan Ouwyang Bu saja. Kedua ksatria tua dan muda ini
ingin berkelahi terus sampai napas terakhir. Mereka lebih
baik mati daripada harus meninggalkan benteng itu.
Ciu Pek In adalah seorang ahli pedang yang istimewa
dan berkepandaian tinggi, namun menghadapi Cin Cun
Ong ia tidak berdaya dan bukan perkara mudah untuk
mengalahkan panglima tua itu. Dan biarpun Cui Sian hebat
juga, namun kepandaian Ouwyang Bu dapat
mengimbanginya.
Kini semua kawanan pemberontak yang ditinggal lari
musuh, mengurung tenda itu dan beberapa orang pemimpin
hendak membantu Ciu Pek In dan Cui Sian tapi Ciu Pek In
berteriak,
"Jangan. Jangan main keroyokan terhadap dua orang
pahlawan gagah ini. Aku dan muridku masih belum kalah"
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya. Tibatiba
dari luar masuk seorang laki-laki berusia kira-kira
empat puluh lima tahun, berpakaian seperti orang tani dan
bertopi lebar. Kumis dan jenggotnya yang hitam panjang itu
terpelihara matanya yang tajam. Semua seorang segera
memberi jalan padanya dengan sikap hormat.
Ia lalu melihat empat orang yang sedang bertempur itu
dengan kagum dan akhirnya mengeluarkan sebuah
gendewa dan beberapa batang anak panah. Lalu ia berseru
dengan suara menggeledek,
“Ciu-lopeh dan Can-siocia. Kalian mundurlah”
Mendengar suara yang sangat berpengaruh dan telah
mereka kenal baik ini, Ciu Pek In dan Cui Sian segera
meloncat mundur meninggalkan lawan mereka dari pada
saat itu enam batang anak panah meluncur bagai kilat. Tiga
menuju ke arah Ouwyang Bu dan tiga lagi menuju ke arah
Cin Cun Ong.
Biarpun sudah lelah sekali, namun Cin Cun Ong masih
berhasil mengelakkan dua di antara tiga anak panah itu tapi
yang ketiga tepat menancap di dada kirinya hingga ia
terhuyung mundur lalu roboh tak berkutik lagi. Anak panah
itu menembus jantungnya hingga ia binasa seketika itu juga.
Ouwyang Bu yang gagah, hanya dapat menangkis
sebatang anak panah, yang dua batang tepat menancap di
dada hingga pemuda inipun rebah dan mati seketika itu
juga tanpa mengeluarkan suara sedikitpun sama halnya
dengan Cin Cun Ong, itu mati dengan pedang masih erat
tergenggam dalam tangan.
Semua orang maju melihat kedua orang yang gagah
perkasa ini. Ouwyang Bun mau menubruk adiknya yang
telah mati sambil mengeluarkan keluhan sedih.
"Anak muda, mundur kau" petani bertopi lebar tadi
berkata lagi dengan suaranya yang menggeledek. "Ini bukan
waktunya untuk menangis. Mundurlah" Tapi pada saat
Ouwyang Bun mundur, ia melihat persamaan muka di
antara Ouwyang Bun dan pemuda yang rebah itu, maka ia
segera bertanya,
"Ah, kalian ini bersaudarakah?"
Cui Stan yang mewakili kekasihnya menjawab,
"Mereka adalah saudara kembar yang berselisih pendapat,
taihiap.”
Mata orang itu bersinar ganjil. "Hm, anak muda. Kau
beruntung mempunyai saudara seperti ini. Tak perlu kau
bersedih, bahkan kau boleh merasa bangga. Kalau saja kita
mempunyai orang-orang seperti Cin Cun Ong dan anak
muda ini. Lihat, semua kawan-kawan, lihatlah. Dua orang
ini barulah patut disebut orang-orang gagah, perajuritperajurit
sejati, yang patut dicontoh oleh semua orang yang
menganggap dirinya sebagai ksatria. Mereka berdua ini
dengan pedang di tangan membela benteng ini sampai titik
darah terakhir. Biarpun kawan-kawan mereka telah lari,
namun mereka tetap membela tempat pertahanan yang
menjadi tanggung jawab mereka, tetap memenuhi tugas
kewajiban sebagaimana layaknya seorang pahlawan sejati.
Inilah orang-orang gagah perkasa, perwira-perwira yang
patut kita hormati"
Siapakah orang bertopi lebar yang mempunyai suara
menggeledek dan mempunyai ilmu memanah yang luar
biasa hebatnya ini? Tidak lain ialah Thio Sian Tiong
sendiri, pemimpin pemberontak yang terkenal itu, yang
bersama-sama seorang pemberontak lain yang lebih terkenal
lagi, yakni Lie Cu Seng, telah berhasil menggerakkan rakyat
tertindas untuk menggulingkan pemerintahan kaisar lalim.
Setelah itu, semua barisan pemberontak lalu maju
bergerak menuju ke kota raja. Kemudian mereka
menggabungkan diri dengan barisan Lie Cu Seng dan
langsung menyerbu kota raja hingga berhasil menghalau
semua pembesar. Kaisar lalim berhasil lolos dari istana, tapi
karena terus dikejar-kejar akhirnya ia menjadi putus asa dan
menggantung diri di sebuah gunung hingga binasa. Pada
saat terakhir itu, barulah kaisar insyaf akan kesalahannya,
insyaf bahwa ia sebagai seorang pemimpin telah lupa akan
kewajibannya, hanya ingat akan kesenangan diri sendiri
saja, berfoya-foya dan bersenang-senang dan sama sekali
tidak memperdulikan nasib rakyatnya hingga seakan-akan
buta terhadap segala kejahatan dan kecurangan para
pegawainya hingga rakyat kecil hidup tertindas dan
sengsara.
Setelah pepterangan padam dan semua menjadi aman
kembali, Ouwyang Bun dan Cui Sian kembali ke Tung-han,
ke rumah orang tua Cui Sian. Can Lim Co. suami isteri
girang sekali melihat Cui Sian pulang dan bahkan telah
bertemu dengan tunangannya, tapi mereka berduka
mendengar tentang kematian Siauw Leng. Dengan singkat
Cui Sian menceritakan segala pengalamannya kepada ayah
ibunya.
Setelah tinggal untuk tiga hari di rumah calon
mertuanya, Ouwyang Bun lalu pulang ke Nam-tin, ke
kampung orang tua nya. Alangkah sedih hati ayah ibunya
ketika mendengar tentang gugurnya Ouwyang Bu, tapi
Ouwyang Bun dapat menghibur mereka dan menceritakan
betapa Ouwyang Bu gugur sebagai seorang ksatria dan
mendapat penghormatan besar baik dari kawan maupun
dari lawan. Ketika Ouwyang Bun menceritakan betapa ia
sendiri menggabungkan diri dengan para pemberontak,
ayahnya agak kurang senang, tapi melihat kenyataan bahwa
akhirnya Lie Cu Seng yang menang, ia tidak berkata apaapa.
Melihat sikap ayahnya, Ouwyang Bun yang sudah
mendapat pengalaman itu lalu menceritakan tentang
keadaan rakyat kecil yang penuh derita dan menceritakan
pula bahwa sudah menjadi kewajiban tiap orang yang
menyebut dirinya sebagai hohan (orang budiman) untuk
menolong mereka ini, baik dengan tenaga, harta, maupun
pikiran membantu mereka terlepas dari kesengsaraan.
Akhirnya terbukalah pikiran ayahnya dan lambat-laun
Ouwyang Heng Sun menjadi seorang hartawan yang
dermawan di kotanya.
Tiga bulan kemudian, dilangsungkanlah perkawinan
antara Ouwyang Bun dan Cui Sian yang dirayakan dengan
ramai sekali. Banyak sekali orang-orang besar yang mereka
kenal menghadiri pesta perkawinan itu, di antaranya
tampak pula. Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang, guru Ouwyangheng-
te. Dan adalah satu hal yang sama sekali diluar
dugaan Ouwyang Bun ketika ia mendengar dari suhunya
bahwa orang tua itupun ternyata....... membantu
pergerakan pemberontak, tapi di rombongan lain yakni ia
membantu barisan di bawah pimpinan orang besar Lie Cu
Seng sendiri. Tentu saja, selain girang mendengar ini,
Ouwyang Bun juga merasa heran sekali dan mengajukan
pertanyaan kepada suhunya itu.
Sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan putih
Pat-jiu Lo-mo Ang In Liang lalu menuturkan betapa
tadinya iapun anti kepada pemberontak hingga ia sendiri
menyuruh kedua muridnya membantu sutenya Cin Cun
Ong. Bahkan ia sendiri ketika mendengar bahwa barisan
pemberontak hendak lewat di daerah Hong-san, lalu turun
gunung mencegat dan hendak melawan. Tapi ia heran
sekali melihat betapa semua rakyat miskin menyambut
kedatangan pemberontak dengan suka ria. Ia lalu
menggunakan kepandaiannya untuk memasuki tenda besar
dengan maksud mengacau pemimpin barisan. Tak tahunya
ia bertemu dengan Lie Cu Seng sendiri. Di dalam tenda
itulah ia menerima keterangan-keterangan. dan petuahpetuah
hingga terbuka matanya dan ia menjadi insyaf akan
sucinya tugas barisan rakyat itu. Dengan suka rela ia lalu
menggabungkan diri.
Mendengar ini, tentu saja Ouwyang Bun suami isteri
menjadi girang sekali. Demikianlah, sepasang orang muda
ini hidup berbahagia, saling.mencintai dan menghormati
sampai di hari tua.
Ooo-d-TAMAT-w-ooO
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments