Kamis, 21 September 2017

Cerita Silat KPH Si Bangau Merah 4

Cerita Silat KPH Si Bangau Merah 4 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf  Cerita Silat KPH Si Bangau Merah 4
kumpulan cerita silat cersil online
-
“Apakah tidak ada orang yang dapat dicurigai? Misalnya, adakah orang-orang yang memusuhi Paman
selama ini? Siapa tahu, perbuatan itu merupakan perbuatan yang disengaja untuk menghancurkan
keluarga Paman.”
Suami isteri itu saling pandang, dan tiba-tiba saja isteri pejabat itu berkata, “Sebaiknya kuceritakan saja
kepadanya!”
Suaminya mengangguk dan wanita itu lalu berkata kepada Yo Han. “Memang ada orang yang merasa tidak
senang kepada kami dan bukan tidak mungkin bahwa dia melakukan perbuatan itu untuk mencelakakan
kami. Akan tetapi karena tidak ada bukti-bukti, bagai mana kami dapat menuduh dia?”
“Maaf, Bibi. Sedikit keterangan saja akan sangat berarti dan penting bagi saya untuk melakukan
penyelidikan. Saya pun tidak akan sembarangan saja menuduh orang, akan tetapi setidaknya, saya dapat
melakukan penyelidikan.”
Gan Seng menarik napas panjang. “Memang ada yang kami curigai, akan tetapi tidak ada bukti, dan dia
seorang yang berkedudukan tinggi sehingga tidak ada orang yang akan berani menyelidikinya.”
Yo Han memandang dengan wajah berseri. “Ahh, siapakah dia orangnya, Paman? Dan mengapa Paman
mencurigai dia?”
“Dia seorang panglima yang dipercaya oleh Kaisar, seorang jagoan istana she Coan. Coan Ciangkun ini
terkenal lihai dan berkedudukan tinggi. Bagaimana kita akan dapat membuktikan bahwa dia yang
melakukan perbuatan itu? Tiada yang berani menyelidik ke sana. Rumahnya saja dijaga oleh pasukan
keamanan yang kuat!”
“Hemm, mengapa Paman mencurigai dia? Apakah alasan Paman dan Bibi mencurigai panglima itu?”
“Coan Ciangkun pernah melamar puteri kami, Bi Kim,” kata ibu gadis itu.
Yo Han memandang kepada Bi Kim dan gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah, akan
tetapi bibir gadis itu bergerak dan berkata lirih, “Manusia tak tahu malu itu!”
“Tentu saja kami menolak pinangan yang merendahkan kami itu,” kata pula Gan Seng. “Bayangkan saja,
panglima yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu sekarang sudah mempunyai sedikitnya lima selir,
dan dia masih menghendaki anak kami untuk dijadikan selir! Menghina sekali!”
Yo Han mengangguk-angguk. Alasan itu memang cukup kuat. Mungkin saja akibat sakit hati karena
lamarannya ditolak, panglima itu lalu melakukan pencurian pusaka untuk mencelakakan keluarga Gan.
Akan tetapi, alasan ini pun tidak begitu meyakinkan. Kalau hanya ditolak lamarannya, bagaimana panglima
itu sampai melakukan perbuatan yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu? Dan apa manfaat dan
keuntungannya bagi dia?
“Maaf, Paman dan Bibi. Apakah tidak ada alasan lain yang lebih kuat dari itu sehingga Paman dan Bibi
mencurigai Coan Ciangkun?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ada... ada...,” berkata Gan Seng. “Semenjak dua buah pusaka itu lenyap, beberapa kali sudah ia
menghubungiku dan mengatakan bahwa jika aku suka menerima lamarannya, dia akan membantu sampai
dua buah benda pusaka itu ditemukan kembali. Nah, aku hampir yakin bahwa setidaknya dia tahu siapa
yang mencuri benda pusaka itu.”
“Ah, terima kasih, Paman. Sekarang, tolong beri tahukan di mana adanya tempat tinggal Panglima Coan
itu, saya akan melakukan penyelidikan ke sana.”
“Akan tetapi, itu berbahaya sekali, Yo Han!” kata Gan Seng.
Yo Han tersenyum. “Harap Paman dan Bibi jangan terlalu khawatir. Mendiang Suhu telah mengajarkan
banyak ilmu kepada saya, dan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Sakti, saya kira saya akan berhasil
menyelidiki dan mendapat tahu apakah panglima itu benar yang melakukan pencurian itu ataukah bukan.
Semoga kecurigaan Paman dan Bibi benar sehingga tidak akan sukar lagi untuk mengatasi urusan ini.”
“Akan tetapi, para panglima saja yang dimintai bantuan Ayah tidak sanggup menyelidiki orang itu, apakah
kau tidak hanya akan mengantar nyawa ke sana?” tiba-tiba Bi Kim berkata dengan nada suara khawatir.
Yo Han memandang gadis itu dan tersenyum. “Harap engkau tidak merasa khawatir, Nona. Saya akan
menjaga diri baik-baik.”
Setelah mendapatkan keterangan jelas dari Gan Seng mengenai tempat tinggal Coan Ciangkun, Yo Han
lalu berpamit. Tuan rumah sekeluarga mencoba untuk menahannya dan menghidangkan makan minum,
akan tetapi Yo Han menolak dengan halus.
“Masih banyak waktu bagi kita untuk bercakap-cakap dan makan bersama, yaitu setelah tugas ini selesai
dengan baik. Nah, selamat tinggal, Paman, Bibi dan... Nona.”
“Adik, bukan nona!” Bi Kim memotong.
“Baiklah, Adik Bi Kim. Saya pergi dahulu dan mudah-mudahan kalau datang lagi saya akan membawa
kabar baik untuk Paman sekeluarga.”
Untuk bisa meyakinkan hati mereka, Yo Han sengaja berkelebat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja
ayah, ibu dan anak itu terkejut dan sejenak tertegun. Pemuda itu dapat menghilang begitu saja dari depan
mata mereka! Setelah Yo Han pergi, tiada hentinya mereka bertiga membicarakan pemuda itu dan timbul
harapan di hati mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu akan berhasil menolong mereka…..
********************
Memang benar sekali apa yang telah dikemukakan Gan Seng, isterinya dan puterinya. Sungguh tak
mudah, bahkan berbahaya sekali untuk melakukan penyelidikan ke dalam gedung tempat tinggal Panglima
Coan itu.
Gedung itu besar dan dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti sebuah benteng kecil. Memang
pantas menjadi tempat tinggal seorang panglima tinggi yang memimpin pasukan besar. Di pintu gerbang
terdapat sebuah gubuk penjagaan di mana berkumpul belasan orang prajurit penjaga, dan masih ada lagi
pengawal yang selalu meronda di sekaliling pagar tembok itu.
Yo Han maklum bahwa di waktu siang hari, tak mungkin menyelundup masuk ke dalam gedung itu. Andai
kata dia dapat mengelabui para penjaga di luar dan dapat masuk ke dalam, masih ada bahaya ketahuan di
bagian dalam gedung yang tentu dijaga ketat.
Siang hari itu dia tidak berani masuk, hanya mengelilingi bangunan itu di luar pagar tembok dan melihatlihat
keadaan. Ketika dia melihat sebuah pohon yang tumbuh di bagian belakang, agak jauh dari bangunan,
dia dapat menduga, bahwa pohon itu tentu tumbuh di kebun belakang, dekat dengan pagar tembok dan dia
pun memilih tempat ini untuk menyelinap masuk malam nanti kalau sudah gelap.
Siang itu dia kembali ke rumah penginapan, menanti datangnya malam. Setelah malam tiba, dia menanti
sampai gelap benar barulah meninggalkan rumah penginapan secara sembunyi, melalui jendela dan
meloncat ke atas genteng agar kepergiannya dari situ tidak ketahuan orang lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak lama kemudian, dia sudah tiba di luar pagar tembok sebelah belakang di mana siang tadi dia melihat
ada pohon di sebelah dalam pagar. Dia menanti sampai peronda lewat, lalu dia melompat ke atas pagar
tembok. Benar dugaannya, pohon itu tumbuh di kebun belakang dan dia pun melompat ke pohon itu,
menanti sambil meneliti keadaan.
Dari atas pohon dia dapat melihat beberapa orang penjaga di kanan kiri rumah dan di sebelah belakang
rumah. Di luar pintu belakang terdapat lagi dua orang penjaga tengah bercakap-cakap. Di atas mereka
terdapat sebuah lampu minyak gantung yang cukup terang.
Bukan main, pikir Yo Han. Agaknya panglima itu telah melakukan penjagaan diri dengan sangat ketat. Hal
ini saja sudah mencurigakan. Hanya orang yang menjaga diri terhadap penyerbuan dari luar saja yang
menyuruh pasukan pengawal menjaga rumah demikian ketatnya. Tentu ada sesuatu yang perlu dijaga!
Makin tebal dugaannya bahwa Panglima Coan inilah yang sengaja mencuri pusaka itu untuk memaksa
Gan Seng menyerahkan anak gadisnya! Bagi seorang panglima yang mengepalai pasukan, kiranya tidak
begitu sulit untuk melakukan pencurian itu. Seorang atau dua orang penjaga keamanan gudang pusaka itu
tentu telah dapat dipengaruhinya, untuk mencurikan pusaka itu untuknya! Pusaka yang sangat penting bagi
istana, yang kehilangannya akan mendatangkan dosa besar bagi Gan Taijin, akan tetapi yang tidak ada
gunanya bagi Si Pencuri!
Setelah melihat suasana semakin sunyi dan yang menghalanginya masuk ke gedung besar itu hanya dua
orang penjaga di luar pintu belakang, Yo Han meloncat turun dari atas pohon, kemudian berindap-indap
mendekati dua orang penjaga yang masih duduk berhadapan di bangku, kini tidak lagi bercakap-cakap
melainkan sedang bermain catur.
Yo Han mengambil dua buah kerikil dan setelah membidik dengan hati-hati, dua kali tangannya bergerak.
Dua buah batu kerikil melayang dan dengan beruntun, dua orang pemain catur itu terpelanting dari tempat
duduk mereka dalam keadaan lemas tanpa mampu bergerak akibat jalan darah mereka sudah tertotok oleh
kerikil yang disambitkan tadi.
Dengan cepat Yo Han meloncat mendekati mereka, lalu menotok pangkal leher mereka sehingga sekarang
mereka juga tak mampu bersuara. Dia menyeret tubuh mereka dan menyembunyikan tubuh mereka di
bagian yang gelap, kemudian dengan hati-hati dia membuka daun pintu belakang. Dia tiba di taman bunga
belakang gedung yang amat indah.
Tak lama kemudian, Yo Han sudah mengintai sebuah ruangan di tengah gedung itu. Ada kesibukan di
sana dan ketika dia mengintai, dia melihat seorang panglima, hal ini dapat ia ketahui dari pakaiannya,
sedang dihadapi oleh tiga orang kakek berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun yang
berpakaian preman, akan tetapi nampaknya kuat.
Dia menduga bahwa tiga orang itu tentulah jagoan-jagoan dan mungkin sekali panglima itu yang bernama
Coan. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam dengan bopeng bekas cacar.
Seorang pria yang wajahnya kasar dan buruk sekali. Tak mengherankan bila Bi Kim dan ayah ibunya
menolak pinangannya. Sudah memiliki banyak selir mukanya buruk pula! Padahal Bi Kim demikian cantik
jelita dan masih amat muda.
Empat orang itu bercakap-cakap dan Yo Han mengerahkan kepekaan telinganya untuk menangkap
percakapan mereka.
“Akan tetapi, bagaimana kalau dia menolak, Ciangkun?” tanya salah seorang di antara tiga jagoan yang
mukanya kuning dan matanya sipit.
“Hemmm, kalau dia menolak, dia akan dijatuhi hukuman berat, juga keluarganya. Dia pasti tidak akan
menolak uluran tanganku untuk menyelamatkan keluarganya,” berkata pembesar itu sambil menyeringai
sehingga nampaklah giginya yang besar-besar. Makin buruk orang itu kalau menyeringai, pikir Yo Han.
“Kalau begitu, semua jerih payah kita tidak akan ada gunanya, Ciangkun!” kata orang ke dua yang
perutnya gendut sehingga kancing bajunya bagian bawah terlepas semua dan nampak kulit perut yang
buncit itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, kalau begitu, apa artinya semua jerih payah ini? Terbasminya keluarga itu sama sekali tidak
membawa keuntungan, Ciangkun,” kata orang ke tiga yang tinggi kurus dan hidungnya seperti hidung
burung kakatua yang melengkung panjang ke bawah hingga matanya nampak agak juling.
Panglima itu terbahak. “Ha-ha-ha, apa kalian kira aku begitu bodoh untuk membuang tenaga sia-sia
belaka? Kalau mereka itu bersikeras tidak mau menerimaku, aku akan menghadap Sri Baginda. Aku akan
mencarikan pusaka itu sampai dapat, tentu dengan imbalan anugerah, yaitu supaya gadis jelita itu
diserahkan kepadaku. Kalau Kaisar yang memerintahkan, mustahil orang she Gan itu berani membantah
lagi. Ha-ha-ha!”
Tiga orang itu pun tertawa gembira dan memuji kecerdikan majikan mereka. Yo Han yang mengintai tidak
ragu-ragu lagi. Sudah pasti panglima inilah yang bernama Coan Ciangkun dan tiga orang itu tentu anak
buahnya, atau jagoan-jagoannya.
Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Kalau dia harus mencari pusaka-pusaka itu, tentu akan sukar sekali
karena panglima itu tentu menyembunyikannya. Amat sukar mencari pusaka yang disembunyikan di
gedung sebesar itu, apa lagi yang dipenuhi penjagaan ketat.
Sekali dorong saja, jendela yang terkunci dari dalam itu terbuka dan kuncinya jebol. Sebelum empat orang
itu hilang kaget mereka, mendadak mereka melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri
seorang pemuda.
“Engkaukah yang disebut Coan Ciangkun?” tanya Yo Han dengan suara tenang sambil memandang
panglima itu.
Setelah hilang kagetnya dan melihat bahwa yang masuk secara lancang itu hanyalah seorang pemuda
yang tidak memegang senjata dan hanya berpakaian sederhana saja, bangkitlah kemarahan Coon
Ciangkun.
“Sudah tahu aku Coan Ciangkun dan engkau berani masuk seperti maling? Apakah nyawamu sudah
rangkap lima? Tangkap dia!” bentak panglima itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Yo Han.
Mendengar ini, Si Perut Gendut tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, cacing tanah, berani sekali engkau
lancang masuk ke sini! Hendak mencuri apakah? Hayo cepat berlutut, atau akan kupatah-patahkan tulang
kedua kakimu supaya engkau berlutut dan minta ampun kepada Coan Ciangkun!”
Yo Han bersikap tenang dan matanya masih terus memandang kepada panglima itu. “Aku tidak ingin
mencuri apa-apa, bahkan hendak menangkap pencuri dua buah benda pusaka dari gedung pusaka istana!”
Tentu saja ucapannya ini mengejutkan empat orang itu.
“Tong Gu, cepat kau tangkap dia!” bentak panglima itu kepada Si Gendut yang bernama Tong Gu.
“Haiiiittt...!”
Tong Gu menerjang ke depan, gerakannya seperti sebuah bola menggelundung menuju ke arah Yo Han
dan agaknya dia benar-benar hendak mematahkan kedua tulang kaki Yo Han karena begitu menerjang, dia
sudah membuat gerakan menyapu dengan kaki kanannya yang pendek namun besar. Biar pun berperut
gendut, gerakannya gesit sekali dan kaki kanannya sudah menyambar ke arah kedua kaki Yo Han.
Namun, Yo Han sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan berdiri tegak dan masih
memandang kepada Coan Ciangkun. Karena itu, tanpa dapat dicegah lagi, kaki kanan Tong Gu
menyambar kedua kakinya dengan amat kuatnya.
“Bresss...!”
Bukan tulang kedua kaki Yo Han yang patah-patah, melainkan justru Si Gendut yang berteriak-teriak
kesakitan, meloncat-loncat dengan tumpuan kaki kiri sambil mencoba untuk memegangi kaki kanan
dengan kedua tangannya. Tetapi karena kedua lengannya pendek, sedangkan kaki kanan itu pun pendek,
maka sulit baginya agar bisa memegang kaki itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan dia pun berjingkrak menari-nari dengan sebelah kaki. Matanya terbelalak, mulutnya ngos-ngosan
seperti orang makan merica saking nyerinya, karena kakinya terasa kiut miut seperti pecah-pecah
tulangnya. Akan tetapi, dua orang kawannya menjadi marah dan mereka pun siap untuk menerjang.
Yo Han tidak mempedulikan mereka. Dia melihat panglima itu pun terkejut dan bangkit dari tempat
duduknya, siap hendak melarikan diri. Sekali tubuhnya berkelebat, Yo Han sudah meloncat ke dekat
panglima itu dan jari tangannya menotok. Tubuh panglima itu menjadi lemas dan dia pun jatuh terduduk
kembali ke atas kursinya. Dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak karena Yo Han sudah
menghampiri ketiga orang tukang pukul itu dengan sikap tenang.
Kini Tong Gu Si Gendut sudah mencabut golok besarnya. Tulang kakinya tidak patah, akan tetapi
membengkak dan kebiruan, nyeri sekali. Si Muka Kuning bermata sipit yang bernama Cong Kak juga
sudah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan Si Hidung Kakatua mencabut rantai baja. Mereka
bertiga mengepung Yo Han, namun pemuda ini bersikap tenang.
Dia tidak suka berkelahi, tidak suka menggunakan kekerasan, akan tetapi sekarang dia bisa melihat
kebenaran pendapat mendiang gurunya. Kepandaian silat memang penting sekali, untuk menghadapi
orang-orang yang sewenang-wenang seperti ini! Bukan untuk berkelahi, bukan untuk menggunakan
kekerasan, melainkan untuk menundukkan yang jahat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan!
“Lebih baik kalian membujuk majikan kalian untuk menyerahkan dua benda curian itu kepadaku. Jika kalian
menggunakan kekerasan, maka kalian sendiri yang akan menjadi korban kekerasan kalian itu!” Yo Han
masih coba menasehati, karena kalau dapat, dia hendak menyelesaikan masalah itu tanpa harus melawan
tiga orang ini.
Tentu saja nasehatnya itu menggelikan bagi orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan itu. Mereka
sudah marah sekali dan tanpa dikomando lagi, ketiganya sudah memutar-mutar senjata dan
menggerakkan senjata mereka dengan kuat dan cepat, menerjang ke arah Yo Han.
Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang sangat tinggi, akan tetapi belum pernah dia menggunakannya
dalam perkelahian. Meski demikian, melihat gerakan tiga orang yang bagi orang lain nampak cepat itu,
baginya kelihatan lamban sekali dan dia dapat melihat jelas ke arah mana senjata mereka itu menyambar.
Dengan kelincahan tubuhnya yang sudah mempelajari segala macam ilmu tari dari Thian-te Tok-ong yang
sebenarnya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi, dengan amat mudahnya dia mengelak ke sana sini dan
semua serangan senjata itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya.
Yo Han tidak ingin membunuh orang, bahkan melukainya pun dia tidak tega, walau pun dia tahu bahwa
tiga orang ini biasanya menggunakan kekerasan untuk menindas orang lain. Dia harus bekerja cepat agar
urusan itu segera dapat diselesaikannya dengan baik.
Maka, begitu tangan kakinya bergerak dengan kecepatan yang tak bisa diikuti pandang mata tiga orang
pengeroyoknya, tiba-tiba tiga orang itu berturut-turut jatuh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok.
Senjata mereka lepas dari pegangan dan mengeluarkan suara berisik ketika terjatuh ke atas lantai.
Akan tetapi, agaknya suara ribut-ribut itu telah terdengar oleh para pengawal panglima itu. Sebelas orang
prajurit pengawal lalu berserabutan memasuki ruangan yang luas itu dengan senjata di tangan dan begitu
masuk, mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi, melihat majikan mereka duduk tak bergerak dan
tiga orang jagoan itu roboh dan tak mampu bergerak pula. Maka, serentak mereka mengepung Yo Han dan
langsung menyerangnya dengan senjata mereka.
Yo Han maklum bahwa jika ia tidak bertindak cepat, akan makin sukarlah keadaannya. Dia pun
mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan seekor burung walet beterbangan, tubuhnya menyambarnyambar
sehingga kembali para pengeroyoknya roboh tertotok seorang demi seorang. Tubuh mereka
berserakan, juga ada yang bertumpuk dan dalam waktu yang singkat, sebelas orang itu pun sudah roboh
semua tanpa mengalami luka, hanya tertotok dan lemas tak mampu bergerak.
Sebelum datang lagi pengeroyok, sekali loncat Yo Han telah mendekati Coan Ciangkun yang marah duduk
tertotok dan tak mampu bergerak. Yo Han membebaskan totokannya terhadap pembesar itu dan Coan
Ciangkun dapat pula bergerak. Akan tetapi dia tidak berani bangkit berdiri karena pemuda yang lihai itu
sudah mengancamnya dengan jari tangan di leher!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mau apa engkau? Engkau akan dihukum mati untuk ini!” kata Coan Ciangkun dengan nada marah.
“Pasukanku akan menangkapmu!”
“Sebelum aku di tangkap, aku akan dapat membunuhmu lebih dulu, Ciangkun!” Yo Han mengancam.
Wajah yang marah itu seketika menjadi pucat karena Sang Panglima maklum bahwa pemuda yang dengan
mudahnya merobohkan empat belas orang pengawalnya, tentu tidak hanya menggertak, akan tetapi benarbenar
akan mampu membunuhnya dengan mudah.
“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dan meski pun nadanya masih membentak, namun suara itu gemetar.
Yo Han mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, suara banyak orang dan dia tahu bahwa tentu
pasukan penjaga sudah datang mengepung ruangan itu.
“Pertama, kau perintahkan agar supaya pasukanmu mundur dan jangan mengganggu percakapan kita di
ruangan ini. Hayo cepat lakukan!” Sengaja Yo Han menyentuh leher panglima itu dengan jari-jari
tangannya.
Panglima itu bergidik dan dia pun berseru dengan suara nyaring.
“Pasukan jaga, semua mundur dan jangan ganggu aku. Kami sedang bicara dan siapa pun tidak boleh
mengganggu kami!”
Suaranya dikenal oleh para penjaga. Meski merasa heran, mereka semua mendengar dan tidak berani
mendekati ruangan itu biar pun di sebelah sana mereka tetap mengatur pengepungan karena mereka tahu
bahwa ada seorang asing bersama majikan mereka, dan bahwa belasan orang pengawal telah dirobohkan
orang asing itu.
“Bagus, Ciangkun. Kalau engkau berkenan memenuhi semua permintaanku, aku akan membebaskanmu
dan tidak akan mengganggumu lagi. Sekarang, keluarkan dua buah benda mustika yang kau curi dari
dalam gedung pusaka istana itu!”
Wajah itu semakin pucat. “Apa... apa maksudmu? Pusaka... yang mana...?”
“Engkau tidak perlu berpura-pura lagi, Ciangkun. Aku sudah tahu semuanya. Engkau mendendam kepada
keluarga Gan akibat lamaranmu ditolak, dan untuk membalas sakit hati itu, engkau sengaja menyuruh
orang mencuri dua buah benda pusaka dari dalam gedung pusaka istana agar Gan Taijin menerima
hukuman. Dan engkau menjanjikan kepada Gan Taijin untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang
hilang itu asal dia mau menyerahkan puterinya kepadamu!”
Sepasang mata itu terbelalak. “Tidak…! Tidak…! Mana buktinya bahwa aku melakukan semua itu?”
Yo Han memandang ke arah meja di depan panglima itu. Sebuah meja yang terbuat dari papan yang tebal.
Dia menggerakkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ujung meja.
“Krekk-krekk...!” Dan ujung meja itu hancur menjadi bubuk dalam cengkeramannya.
Wajah panglima itu menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak ketakutan.
“Ciangkun, apakah lehermu lebih keras dari pada papan meja ini?”
“Jangan... jangan bunuh aku... apa yang kau inginkan?” pembesar itu berkata, suaranya kehilangan
keangkuhannya, bernada menyerah.
“Coan Ciangkun, engkau adalah seorang laki-laki dan memegang jabatan tinggi sebagai panglima.
Semestinya engkau seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi perbuatanmu ini sungguh memalukan
sebagai seorang laki-laki. Kalau pinanganmu ditolak, itu berarti bahwa nona Gan Bi Kim bukan jodohmu.
Kenapa engkau hendak memaksanya dengan cara yang begini curang dan pengecut? Kedudukanmu
tinggi, akan tetapi watakmu amat rendah. Sekarang, aku hanya ingin engkau memperbaiki kesalahanmu,
mengembalikan dua buah benda pusaka itu kepadaku. Cepat, atau aku akan kehilangan kesabaranku dan
tanganku yang gatal-gatal ini akan mencengkeram lehermu atau kepalamu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sengaja Yo Han meraba-raba leher itu dan Coan Ciangkun bergidik.
“Jangan bunuh... baik, akan kukembalikan...! Tapi... dua buah benda itu disimpan oleh Tong Gu itu...” Dia
menunjuk ke arah tubuh gendut Tong Gu, salah seorang di antara tiga jagoannya tadi, dengan telunjuk
yang menggigil.
Yo Han dapat menduga bahwa panglima itu tidak main-main atau hendak menipunya. Bagaimana pun
juga, panglima itu telah berada di dalam kekuasaannya dan tidak akan mampu berbuat apa pun.
“Akan kusadarkan dia dan lekas perintahkan dia untuk mengambil dua buah pusaka itu!” katanya dan
sekali tangannya bergerak, dia telah membebaskan totokan Tong Gu.
Begitu Si Gendut itu dapat bergerak, dia meloncat dengan sikap hendak menyerang. Akan tetapi Coan
Ciangkun menghardiknya.
“Tolol, apa yang akan kau lakukan?!”
Coan Ciangkun memang mendongkol sekali melihat ketidak becusan para jagoannya. Hanya melawan
seorang pemuda saja, mereka bertiga roboh, bahkan belasan orang pengawalnya juga roboh. Dan
sekarang, masih berlagak hendak melawan!
Tong Gu terkejut dan membungkuk di depan pembesar itu. “Maafkan hamba... hamba kira...”
“Tidak usah banyak cakap. Cepat kau ambil kedua buah pusaka itu dan bawa ke sini!” perintah Coan
Ciangkun.
“Baik, Ciangkun!” kata Tong Gu.
Sebelum Tong Gu pergi, Yo Han berkata, “Tong Gu, jangan coba untuk main gila. Ingat, nyawa majikanmu
berada di dalam tanganku. Dia akan mati sebelum engkau dapat melakukan sesuatu terhadap diriku!”
“Kalau engkau berani main gila, akan kusuruh hukum siksa sampai mati!” bentak Coan Ciangkun yang
agaknya ingin cepat-cepat terbebas dari tangan pemuda yang lihai itu. “Cepat pergi dan ambil bendabenda
itu!”
Tong Gu keluar dari ruangan itu dan tentu saja dia disambut oleh hujan pertanyaan dari para rekannya di
luar ruangan. Akan tetapi, dia memberi isyarat dengan telunjuknya di depan mulut.
“Gawat Ciangkun telah dikuasai iblis itu. Kalau kita bergerak, tentu Coan Ciangkun akan dibunuhnya. Kita
tidak boleh bergerak sebelum Ciangkun dibebaskan. Kepung saja dari luar dan jangan sampai ada yang
lolos. Aku harus mengambilkan pusaka itu sekarang juga,” bisiknya kepada para pimpinan pasukan.
Sekarang seluruh penghuni gedung itu telah terbangun dan suasananya menjadi panik. Namun, pasukan
itu hanya mengepung di luar gedung, dan keluarga Coan Ciangkun berkumpul di sebelah dalam, dijaga
oleh pasukan pengawal dengan ketat.
Tong Gu tidak berani mengabaikan perintah Coan Ciangkun. Dia maklum sepenuhnya bahwa nyawa
majikannya dalam ancaman bahaya maut. Dia pun tahu betapa lihainya pemuda yang menawan
majikannya itu. Bukan saja dia dan dua orang rekannya yang terkenal jagoan roboh di tangan pemuda itu,
juga belasan orang pengawal roboh dalam waktu singkat. Kepandaian pemuda itu tidak wajar, tidak seperti
manusia biasa!
Tong Gu muncul kembali ke dalam ruangan itu. Keadaan di sana masih seperti tadi. Coan Ciangkun masih
duduk menghadapi meja yang patah ujungnya, dan pemuda itu masih tetap berdiri di belakang panglima
dengan sikap tenang sekali. Justru ketenangan sikap pemuda itu yang membuat Tong Gu merasa seram.
Dia meletakkan bungkusan dua buah benda itu di atas meja depan Coan Ciangkun. Yo Han lalu membuka
bungkusan itu dan melihat bahwa memang itulah dua benda pusaka yang hilang. Dia sudah mendapat
keterangan jelas dari Gan Seng bagaimana bentuk dan rupa dua buah benda pusaka itu. Tanpa ragu lagi,
dia mengambil benda-benda itu dan menyimpannya ke dalam saku jubahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kami sudah menyerahkan dua buah benda pusaka itu. Sekarang bebaskan kami dan pergilah, jangan
ganggu kami lagi!” kata Coan Ciangkun menuntut.
“Nanti dulu, Ciangkun,” kata Yo Han dan dia memandang kepada Tong Gu lalu berkata, “Tong Gu, cepat
kau sediakan kertas dan alat tulis untuk Coan Ciangkun!”
Tong Gu tidak berani membantah dan di dalam ruangan itu memang tersedia alat tulis dan kertasnya.
Setelah perlengkapan itu berada di atas meja, Yo Han lalu berkata, “Ciangkun, sekarang tulislah surat
pengakuanmu bahwa engkaulah yang melakukan pencurian itu!”
Sepasang mata itu lantas terbelalak. “Akan tetapi... engkau hendak melaporkan aku dan mencelakakan
aku...?”
Yo Han tersenyum. “Kami bukanlah orang-orang macam engkau yang suka bertindak curang, Ciangkun.
Surat itu perlu untuk pegangan Gan Taijin supaya engkau tidak lagi mengganggunya. Kalau engkau berani
mengganggunya, maka tentu surat pengakuan itu akan diserahkannya kepada Sri Baginda Kaisar.”
Panglima Coan itu menjadi lemas. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan kelak akan membalas
semua ini kepada Gan Seng, kini harapannya itu membuyar bagai asap tertiup angin. Dia sudah kalah
mutlak dan sebagai seorang ahli perang, dia pun tahu bahwa ada waktu menang dan ada pula waktu
kalah. Dan kali ini, dia benar-benar kalah dan tidak berdaya.
Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera mengambil pena bulu dan menuliskan surat pengakuan seperti
yang dikehendaki oleh Yo Han. Yo Han mendikte dan diturut oleh panglima itu. Setelah selesai, Yo Han
mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini mengakui sudah mencuri dua benda pusaka, yaitu cap kebesaran
dan bendera lambang kekuasaan dari dalam gudang pusaka istana. Perbuatan itu saya lakukan untuk
membalas dendam dan mencelakai keluarga Gan Seng, karena lamaran saya terhadap puterinya telah
ditolaknya. Kemudian, karena menginsyafi perbuatan saya yang jahat, saya mengembalikan dua buah
benda pusaka itu dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga Gan lagi.
Tertanda saya,
PANGLIMA COAN.
Yo Han menggulung surat pengakuan itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya pula. Diam-diam
Coan Ciangkun mengepal tinju. Masih ada harapan untuk menebus kekalahannya, yaitu dengan
menghadang pemuda ini, mengerahkan pasukan kemudian menangkapnya sebelum pemuda itu
menyerahkan kedua buah benda pusaka itu dan surat pengakuannya kepada Gan Seng. Kalau pemuda ini
dapat ditangkapnya, semua itu dapat dirampasnya kembali, maka saat itu dia dapat menebus
kekalahannya.
Akan tetapi, harapan terakhir ini pun membuyar seperti gantungan terakhir pada sehelai rambut yang putus
ketika pemuda itu memegang lengan kanannya dan berkata dengan lembut tapi nadanya memerintah,
“Mari, Ciangkun. Kau antar aku keluar dari gedung ini!”
Tentu saja hatinya protes karena perintah itu merupakan tanda kekalahan terakhir baginya, akan tetapi dia
tidak berani membantah dan dengan kepala menunduk, dia pun melangkah keluar dari ruangan itu.
Pergelangan tangan kanannya digandeng Yo Han, seperti dua orang sahabat baik berjalan bersama,
seakan-akan panglima itu mengantar seorang tamu yang akrab keluar meninggalkan rumahnya!
Para prajurit dan pengawal yang tadinya sudah mengepung gedung itu, kini hanya bisa melongo saja tidak
berani bertindak apa-apa karena komandan mereka pun diam dalam seribu bahasa, tidak berani
mengeluarkan komando untuk melakukan penyergapan!
Setelah sampai di pintu gerbang depan, Yo Han berkata kepada panglima itu. “Coan Ciangkun, terima
kasih atas segala kebaikanmu. Mudah-mudahan saja engkau tidak melakukan kekeliruan-kekeliruan
selanjutnya. Selamat tinggal!”
Sekali berkelebat, pemuda itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Beberapa orang perwiranya
langsung berloncatan keluar dengan pedang di tangan, hendak melakukan pengejaran. Akan tetapi Coan
Ciangkun mengangkat tangan kanan ke atas. Dia maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai dan kalau dia
dunia-kangouw.blogspot.com
salah langkah lagi, mungkin dia tidak akan tertolong. Surat pengakuannya tadi merupakan ujung pedang
yang sudah ditodongkan di depan dadanya!
“Jangan kejar dia! Biarkan pergi, aku telah kalah,” katanya dengan lemas dan dia pun memasuki
gedungnya.
Tentu saja anak buahnya tak ada yang berani melanggar perintah ini. Apa lagi pemuda itu sudah lenyap
dan mereka tidak tahu harus mencari dan mengejar ke mana…..
********************
Pada saat Yo Han menyerahkan dua buah benda pusaka itu bersama surat pengakuan yang dibuat Coan
Ciangkun, Gan Seng dan isterinya menjadi demikian gembira dan terharu sehingga kalau tidak dicegah
oleh Yo Han, mau rasanya mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu!
Yo Han bukan saja sudah menyelamatkan Gan Seng, tetapi juga seluruh keluarganya dari mala petaka
yang amat besar! Gan Seng merangkulnya dan kedua matanya basah, sedangkan isterinya sudah
menangis saking harunya, dirangkul puteri mereka, Gan Bi Kim, yang juga merasa gembira bukan main.
“Yo Han, engkau sungguh merupakan bintang penolong dan penyelamat keluarga kami. Entah bagaimana
keluarga kami akan dapat membalas budimu ini, Yo Han.”
“Aihh, Paman Gan, mengapa bicara seperti itu? Saya hanya melaksanakan tugas saya, yaitu memenuhi
perintah dan pesan terakhir dari mendiang Suhu. Kalau Paman hendak berterima kasih, semestinya
berterima kasih kepada Suhu Ciu Lam Hok karena saya hanya mewakili beliau saja.”
Nenek Ciu Ceng juga seketika sembuh pada saat mendengar hasil baik yang diperoleh Yo Han dalam
menyelamatkan keluarga puteranya. Ketika diberi tahu tentang kematian kakaknya, nenek ini menangis
dan menuntut kepada puteranya supaya malam itu juga diadakan sembahyang terhadap arwah kakaknya,
mendiang kakek Ciu Lam Hok, yang telah mengirim muridnya dan menyelamatkan mereka.
Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega untuk menceritakan keadaan kakek Ciu Lam Hok yang buntung
kedua kaki tangannya itu. Biarlah mereka menganggap bahwa suhu hidup sampai saat terakhir dalam
keadaan sehat dan berbahagia, pikirnya.
Tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar nenek Ciu Ceng yang bersembahyang di depan meja
sembahyang itu menangis sambil berkata dengan suara sungguh-sungguh, seolah-olah suhu-nya masih
hidup dan berdiri atau duduk di situ.
“Hok-ko, kami sekeluarga berhutang budi dan nyawa kepada muridmu! Oleh karena itu, ijinkanlah kami
untuk mempererat ikatan antara muridmu dengan keluarga Gan Seng, keponakanmu. Kami mohon
persetujuanmu agar muridmu dapat menjadi jodoh cucuku Gan Bi Kim.”
Tentu saja Yo Han terkejut bukan main. Dia tidak dapat mengeluarkan kata apa pun dan diam-diam dia lalu
menyingkir dari ruangan itu, menuju ke kamar yang sudah disiapkan untuk dia bermalam di rumah keluarga
Gan itu. Dia tidak tahu bahwa gadis cantik itu pun menjadi merah sekali wajahnya dan seperti juga dia, Bi
Kim cepat lari memasuki kamarnya.
Malam itu Yo Han tidak dapat tidur pulas. Gelisah dia memikirkan ucapan nenek Ciu Ceng. Ucapan itu
bagaikan terdengar terus dan bergema di dalam telinganya. Dia akan dijodohkan dengan Bi Kim!
Terjadi semacam pertempuran di dalam hatinya. Ada suara yang seolah memaksanya untuk
membayangkan kesenangan-kesenangan yang akan dinikmatinya bila ia menjadi suami Bi Kim. Dia
seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan tidak punya apa-apa, mendadak akan menjadi suami
seorang gadis puteri bangsawan!
Bi Kim seorang gadis yang cantik jelita, berdarah bangsawan dan kaya raya. Kalau dia menjadi suaminya,
maka sekaligus derajatnya akan terangkat naik tinggi sekali! Ia akan mempunyai seorang isteri yang cantik
jelita, dari keluarga bangsawan yang terhormat dan menurut penglihatannya adalah gadis yang baik budi.
Dia akan menjadi orang yang dimuliakan, yang dihormati dan kaya raya. Bahkan besar kemungkinan dia
akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Dan yang lebih dari semua itu, Bi Kim adalah cucu keponakan
dunia-kangouw.blogspot.com
dari mendiang suhu-nya! Mau apa lagi? Belum tentu selama hidup dia akan mendapat kesempatan sebaik
itu, menerima anugerah sebesar itu. Demikian terdengar bisikan di dalam hatinya yang menonjolkan segisegi
yang akan mendatangkan kesenangan bagi hidupnya.
Akan tetapi, ada suara lain lagi yang menentangnya. Suara ini menonjolkan hal-hal yang sebaliknya.
Mengingatkan dia bahwa kalau dia menerima perjodohan itu, maka dia akan kehilangan kebebasannya.
Dia akan terikat di situ. Dan tiba-tiba saja bayangan seorang anak perempuan yang mungil dan berpakaian
merah muncul dalam benaknya. Sian Li!
Bayangan anak ini selalu saja muncul setiap kali hatinya mengalami guncangan atau dalam keadaan
kesepian atau gelisah seperti sekarang ini. Sian Li yang manis, yang mungil, yang lincah jenaka, yang
amat sayang kepadanya dan amat disayangnya! Dia ingin bertemu kembali dengan Sian Li!
Kalau dia menjadi mantu keluarga Gan di kota raja, dia terpaksa harus tinggal di situ, padahal dia masih
harus melaksanakan tugas lain yang dipesan oleh suhu-nya, yaitu mencari mutiara hitam pusaka milik
gurunya yang hilang dan kabarnya dibawa seorang kepala suku bangsa Miao! Ah, inilah yang dapat dia
jadikan alasan! Mendapatkan jalan untuk digunakan sebagai alasan penolakannya, hatinya tenang dan dia
pun dapat tidur pulas menjelang pagi.
Dia hanya tidur selama dua jam saja karena pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika terdengar
kokok ayam jantan, dia sudah bangun kembali. Tubuhnya terasa segar. Jauh lebih menyehatkan tidur
selama dua jam dengan pulas dari pada tidur semalaman suntuk dalam keadaan gelisah.
Dia segera mandi karena di dalam gedung besar itu selalu tersedia air secukupnya di kamar mandi.
Tubuhnya terasa makin nyaman dan ia pun berganti pakaian. Dan melihat bahwa rumah itu masih sunyi,
agaknya penghuninya masih tidur, dia pun keluar melalui pintu belakang menuju ke taman bunga yang
berada di belakang.
Agaknya, tiap rumah gedung seorang bangsawan atau hartawan pasti memiliki sebuah taman bunga yang
indah. Taman bunga milik keluarga Gan itu pun luas dan amat indah, terdapat kolam ikan yang lebar dan
anak sungai buatan yang selalu mengalirkan air yang jernih. Ada beberapa buah jembatan yang cantik
sekali, dibuat dengan seni indah dan dicat merah kuning. Ada pondok kecil tempat berteduh kalau hawa
sedang panas.
Yo Han mengagumi keindahan taman itu dan karena pada waktu itu musim berbunga sedang mulai, maka
sebagian besar tanaman di situ mulai berkuncup dan berbunga. Bahkan teratai merah dan putih di kolam
ujung juga mekar meriah.
Tiba-tiba Yo Han terkejut dari lamunannya ketika dia melihat seorang wanita berdiri di dekat kolam bunga
teratai, berdiri membelakanginya. Tadi dia tidak melihatnya karena serumpun mawar menutupinya dan
sekarang dia melihatnya, tetapi sudah terlampau dekat dan selagi dia hendak cepat membalikkan tubuh
pergi dari situ, orang itu sudah membalikkan tubuh memandangnya dan menegur.
“Yo-twako (Kakak Yo)...”
Yo Han merasa serba salah. Hendak pergi dapat menimbulkan kesan tidak ramah dan sombong, kalau
tinggal di situ dapat dianggap kurang sopan karena bertemu dengan gadis puteri tuan rumah di pagi buta
dalam taman. Apa lagi mengingat bahwa semalam, nenek gadis itu menjodohkan dia dengan Bi Kim. Dia
cepat merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat.
“Kim-moi (Adik Kim), selamat pagi! Aku tidak tahu bahwa engkau sedang berada di sini, maafkan aku kalau
mengganggu ketenanganmu.”
Wajah gadis itu berubah kemerahan dan ia menahan senyumnya sambil memandang dari bawah dengan
kepala menunduk. Kerling matanya sungguh amat menarik, kerling sopan dan malu-malu.
“Ahh, Yo-toako mengapa bersikap amat sungkan? Tentu saja tidak mengganggu. Akan tetapi, kulihat
sepagi ini engkau sudah bangun, sudah mandi dan berpakaian rapi!”
“Benar, Kim-moi, karena aku hanya menanti sampai orang tuamu dan nenekmu bangun untuk berpamit
dari mereka.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi Kim mengangkat muka dan menatap wajah Yo Han sepenuhnya dengan kedua mata terbelalak. Diamdiam
Yo Han terpesona. Mata itu demikian indahnya ketika terbelalak. Seperti lukisan! Nampak betapa
sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu sedikit terangkat menjauhi mata, dan betapa bulu mata
yang halus lebat itu bergerak-gerak menimbulkan bayang-bayang gelap di sekitar mata, dan biji mata itu
nampak lebih lebar dari biasanya, begitu bening dan lembut, mengkilat basah.
“Toako... kau... kau mau berpamit? Mau pergi...?”
Sejenak dua pasang mata bertemu dan mata yang terbelalak itu akhirnya menunduk kembali, terbawa
muka yang ditundukkan. Dalam suara itu terkandung getaran seperti orang yang menangis sehingga Yo
Han menjadi terheran-heran.
Yo Han menganggukkan kepala dan kalau gadis itu masih memandangnya, tentu dia tidak akan
mengeluarkan suara, cukup dengan mengangguk saja. Akan tetapi karena gadis itu menunduk dan tidak
memandangnya, tentu saja anggukan kepalanya sebagai jawaban itu tidak akan terlihat, dan sikap gadis
itu jelas menuntut jawaban.
“Benar, Kim-moi. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku,” katanya lirih dan singkat.
Gadis itu mengangkat mukanya dan Yo Han merasa semakin heran. Gadis itu jelas menangis, atau
setidaknya berlinang air mata! Sungguh aneh!
“Akan tetapi, semalam nenek...” Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya dan menunduk makin dalam,
agaknya baru teringat bahwa ia telah mengeluarkan ucapan yang sama sekali tidak pantas.
Ia tidak sengaja berkata demikian. Ucapan neneknya semalam yang menjodohkan dia dengan pemuda ini
terngiang di telinganya sepanjang malam, membuat ia tidak dapat tidur dan pagi-pagi ini ia keluar ke taman
dengan suara neneknya masih terus mengiang di telinganya. Oleh karena itulah, tanpa disadari dan tanpa
disengaja, perasaannya itu terucapkan oleh mulutnya dan biar pun ditahannya, namun ia telah menyebut
neneknya dan tentu pemuda itu dapat mengerti. Betapa memalukan!
Memang Yo Han mengerti dan dia pun tertegun. Kiranya seperti juga dia, usul nenek Ciu Ceng itu
membuat gadis ini menjadi gelisah!
“Maksudmu, pernyataan nenek Ciu Ceng tentang... perjodohan itu, Kim-moi?
Mendengar betapa ucapan pemuda itu terdengar wajar dan santai saja, perlahan-lahan kecanggungan
yang dirasakan gadis itu pun berkurang dan ia berani mengangkat muka memandang wajah Yo Han.
Bi Kim mengangguk dan bertanya lirih, “Bagaimana pendapatmu tentang usul nenek itu?”
Hemm, gadis ini cukup tabah, pikir Yo Han. Dan dia merasa girang sekali.
Memang jauh lebih baik membicarakan urusan ini dengan hati terbuka, dari pada harus menyimpannya
dalam hati dan kelak menjadi ganjalan. Dia tahu bahwa Bi Kim adalah seorang gadis terpelajar dan mampu
berpikir jauh dan berpandangan luas, tidak sempit seperti gadis-gadis yang tiada pendidikan yang baik.
“Nanti dulu, Kim-moi. Karena usul itu datang dari pihak keluargamu, maka aku ingin sekali mendengar
dahulu bagaimana pendapatmu dengan pertanyaan nenek itu. Lebih baik kita bicara dengan terus terang,
karena hal ini menyangkut kehidupan kita berdua di masa mendatang. Nah, katakan bagaimana
pendapatmu?"
Kembali wajah gadis itu memerah. Biar pun dia bukan gadis dusun dan berpendidikan, akan tetapi bicara
tentang urusan perjodohan tentu saja membuat ia merasa kikuk dan malu. Ia kembali menunduk dan
suaranya terdengar gemetar dan canggung, juga lirih.
“Apa yang dapat kukatakan, Toako? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami. Kalau tidak ada
bantuanmu, tentu Ayahku dihukum dan kami yang menjadi keluarganya juga tidak akan lolos dari
hukuman. Lebih lagi, kalau tidak ada engkau yang menundukkan panglima jahanam itu, dia tentu akan
terus merongrong dan menggangguku. Kini kami bebas dan merasa lega. Semua ini karena
pertolonganmu. Tentu saja aku... aku... ahh, bagaimana aku akan dapat menolak? Aku... ehhh… setuju
sekali.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han mengerutkan alisnya. Dia mengerti akan isi hati gadis itu. Tidak hanya karena ingin balas budi!
Memang gadis itu agaknya suka padanya. Hal ini mudah diketahuinya dari pandang matanya dan
sikapnya, dan jantungnya sendiri berdebar tegang. Betapa akan senangnya disayang oleh seorang gadis
secantik jelita Bi Kim!
Tetapi, kembali wajah seorang anak perempuan berpakaian merah muncul di benaknya, mengusir
bayangan menyenangkan dari Bi Kim. Wajah Sian Li! Dan teringatlah dia akan tugasnya yang penting,
yaitu mencari mutiara hitam gurunya. Maka, dia pun diam saja, termangu-mangu dan tidak tahu harus
bicara apa.
Karena pemuda itu tidak menanggapi pengakuannya tadi, Bi Kim lalu memberanikan diri melawan rasa
canggung dan malu, mengangat muka memandang. Dia melihat pemuda itu bengong saja, maka dia pun
balik bertanya.
“Bagaimana dengan pendapatmu sendiri, Yo-toako?” suaranya terdengar penuh harap, matanya bersinarsinar,
dan mulutnya membayangkan senyum dikulum. Mulut gadis itu memang hebat, begitu penuh daya
tarik, menggairahkan dan menantang.
“Aku...? Ehh, pendapatku? Ahh, bagimana, ya? Kim-moi, pemuda mana yang tidak akan berbangga hati
dan merasa bahagia sekali menjadi jodohmu? Engkau seorang gadis bangsawan yang cantik jelita dan
orang tuamu berkedudukan tinggi, bangsawan dan hartawan. Selain kecantikanmu, engkau pun
berpendidikan dan berbudi baik sekali. Apa lagi yang dikehendaki seorang pemuda dari seorang gadis?
Dan sebaliknya, aku hanya seorang pemuda yatim piatu yang tidak memiliki apa-apa, tidak berpendidikan,
bodoh dan miskin. Aku bagaikan seekor burung gagak di samping engkau yang seperti burung dewata!
Bagaimana aku berani menjajarkan diriku yang hina dan papa ini dengan dirimu yang begitu mulia dan
anggun?”
“Yo-toako!” Bi Kim berseru penuh penasaran dan alisnya yang hitam kecil panjang serta melengkung itu
berkerut. “Janganlah engkau merendahkan diri seperti itu! Orang boleh rendah hati, itu baik sekali. Akan
tetapi rendah diri? Tidak ada gunanya, Toako. Apa lagi kenyataan menunjukkan bahwa engkau seorang
pemuda yang amat lihai, berilmu tinggi, dan di dekatmu orang akan merasa aman tenteram, tidak takut
menghadapi ancaman apa pun juga. Dibandingkan dengan engkau, aku seorang gadis yang lemah sekali
dan sama sekali tak berdaya menghadapi kejahatan yang merajalela di dunia ini. Aku hanya bertanya
mengenai pendapatmu, bukan keadaan dirimu yang kau rendahkan seperti itu, Toako.”
Yo Han tersenyum. Tepat dugaannya. Gadis ini memang pandai dan cerdik, amat pintar berbicara.
“Maafkan aku, Kim-moi. Aku bukan merendahkan diri, melainkan menyatakan pendapatku berdasarkan
kenyataan. Akan tetapi bukan keadaan itu yang membuat aku terpaksa tidak berani menerima usul dari
nenekmu, melainkan karena aku masih harus melaksanakan tugas yang dipesankan mendiang Suhu
kepadaku, yaitu mencari sebuah benda pusaka milik Suhu yang dulu hilang dicuri orang.”
Gadis itu nampak kecewa, akan tetapi menutupi perasaannya dengan bertanya serius. “Pusaka apakah
yang hilang itu, Toako?”
“Sebuah benda pusaka milik Suhu yang disebut Mutiara Hitam, kabarnya kini berada di tangan seorang
kepala suku bangsa Miao. Karena itu, tugas ini harus kulaksanakan dulu sampai berhasil.”
“Dan kalau engkau sudah berhasil dengan tugas itu?” Bi Kim mengejar.
“Kalau sudah berhasil... bagaimana nanti saja. Kelak masih banyak waktu untuk bicara tentang urusan
pribadi, Kim-moi. Bukankah jodoh berada di tangan Tuhan? Bila Tuhan menghendaki agar kita... berjodoh,
pasti hal itu akan terjadi. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menghendaki, walau direncanakan pun akan gagal.
Karena itu, terus terang saja, sebelum aku selesai menunaikan tugas dari mendiang Suhu, aku tidak akan
memikirkan soal perjodohan. Maaf, Kim-moi,” katanya dan cepat-cepat menutup ucapannya dengan
permintaan maaf karena dia tak ingin menyinggung perasaan gadis itu. Apa lagi melihat wajah gadis itu
berubah agak muram.
Sampai lama keduanya tidak bicara, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya hingga membelakangi Yo
Han dan terdengar suaranya yang lirih, “Seorang lelaki akan mudah bicara seperti itu, Toako. Akan tetapi
bagaimana mungkin seorang perempuan memiliki pendapat seperti itu? Jika belum ada ikatan dengan
seseorang, maka setiap saat orang tua akan menjodohkan seorang gadis dengan pria mana saja yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dianggap baik dan cocok. Dan engkau tentu tahu, sebagai seorang anak yang berbakti, tidak mungkin aku
dapat menolaknya. Berbeda halnya kalau seorang gadis sudah terikat, biar pun menanti sampai beberapa
tahun pun tidak ada halangannya...”
Yo Han merasa betapa jantungnya berdebar keras. Dari ucapan gadis ini saja sudah mengandung arti
pengakuan bahwa gadis itu menginginkan mereka terikat! Ini berarti bahwa gadis ini berharap menjadi
calon jodohnya, bahwa gadis ini menaruh harapan kepadanya dan cinta padanya!
Yo Han merasa kasihan. Tidak boleh dia menyia-nyiakan harapan seorang gadis sebaik ini, tidak boleh dia
menghancurkan hatinya. Dia harus dapat mencari alasan yang lebih tepat. Teringatlah dia akan Sian Li,
akan ayah ibu anak itu, yaitu suhu dan subo-nya, guru-gurunya yang pertama sejak dia kecil sampai dia
berusia dua belas tahun!
Bukankah suhu dan subo-nya itu dahulu juga amat sayang kepadanya, bahkan sudah menganggapnya
seperti anak mereka sendiri? Sudah lama, sejak menjadi murid Kakek Ciu Lam Hok, dia menyadari sikap
suhu dan subo-nya yang tidak ingin melihat Sian Li ketularan sikapnya yang dulu sama sekali tidak suka
belajar ilmu silat.
Ia dapat merasakan kekhawatiran kedua orang suami isteri pendekar itu yang tentu saja prihatin sekali
melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat betapa mungkin saja Sian Li juga mengikuti
jejaknya, tidak mau belajar silat. Karena pengertian inilah sudah lama dia tidak pernah merasa kecewa
atau menyesal. Dia meninggalkan suhu dan subo-nya itu bukan karena tidak suka, melainkan karena tidak
ingin menyusahkan mereka, tidak ingin mengecewakan mereka kerena Sian Li mencontoh dia, tidak suka
belajar ilmu silat.
“Adik Bi Kim. Aku mengerti perasaanmu. Dan ketahuilah bahwa aku akan berbohong kalau tidak
mengatakan bahwa setiap orang pemuda akan berbahagia sekali menjadi calon jodohmu. Akan tetapi
untuk aku sendiri, aku tidak berani memutuskan, karena aku harus bertanya kepada mereka yang berhak
menentukan. Aku pun ingin seperti engkau, menjadi seorang yang berbakti...”
“Yo-toako! Bukankah kau pernah mengatakan bahwa engkau yatim piatu, tidak memiliki ayah dan ibu lagi?
Dan gurumu, yaitu kakak dari Nenek juga sudah meninggal dunia, lalu siapa lagi yang berhak
menentukan?”
“Belum kuceritakan semua tentang riwayatku kepadamu, Kim-moi. Sebelum menjadi murid mendiang
Kakek Ciu Lam Hok, aku sudah mempunyai guru-guru yaitu sepasang suami isteri yang bukan saja
mendidikku, akan tetapi juga merawatku sejak aku kecil ditinggalkan orang tuaku. Merekalah yang
membesarkan aku, sejak aku berusia tujuh tahun ditinggal oleh ayah ibuku, sampai aku berusia dua belas
tahun. Lima tahun aku seolah-olah menjadi anak mereka sendiri dan aku telah menerima budi yang
berlimpah dari mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau aku menganggap mereka sebagai
pengganti orang tuaku dan menyerahkan kepada mereka untuk urusan perjodohanku. Nah, sekarang
sudah kau ketahui semua, Kim-moi. Aku mohon diri, hari ini aku akan melanjutkan perjalanan mencari
pusaka mendiang Guruku. Selamat tinggal dan semoga kelak kita dapat bertemu kembali.”
“Selamat jalan, Toako.” Gadis itu cepat membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Yo Han, akan tetapi
pemuda itu masih sempat mendengar tangisnya.
Yo Han lalu berpamit kepada Nenek Ciu Ceng, Gan Seng dan isterinya. Gan Seng dan isterinya
menyambut dengan ramah dan berterima kasih, akan tetapi Nenek Ciu Ceng tanpa sungkan kemudian
bertanya, “Yo Han, engkau murid kakakku yang baik. Sebelum engkau pergi, engkau harus lebih dulu
menyatakan kesediaanmu menerima permintaan kami.”
Berdebar rasa jantung dalam dada Yo Han. Tadinya dia mengira bahwa nenek itu lupa akan ucapannya
ketika bersembahyang di depan meja sembahyang untuk gurunya. Kiranya pada saat ini, nenek itu
mengajukan desakan yang membuat dia merasa serba salah. Dia melirik kepada Bi Kim yang berdiri di
sudut sambil menundukkan mukanya, karena baik dia dan gadis itu tahu apa yang dimaksudkan oleh
nenek itu. Tetapi, untuk memberi kesempatan baginya menenangkan hatinya yang terguncang karena
tegang dia berkata,
“Permintaan apakah yang Nenek maksudkan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa lagi, Yo Han? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, dan kami tidak berani minta apa-apa lagi.
Hanya satu, yaitu kami harap engkau suka menerima cucuku Bi Kim menjadi jodohmu...”
“Nenek...!” Bi Kim terisak dan lari ke dalam kamarnya.
Melihat ulah gadis itu, Nenek Ciu Ceng terkekeh. “Heh-heh-heh, malu-malu berarti mau. Bagaimana, Yo
Han? Engkau harus memberi keputusan dulu supaya hati kami merasa lega.”
Melihat pemuda itu termenung, hati Gan Seng yang merasa tidak enak melihat ibunya seperti mendesak
dan memaksa, lalu berkata dengan suara lembut. “Yo Han, tentu saja kami tidak memaksamu. Kami tentu
akan merasa berbahagia sekali kalau engkau suka menerima anak kami sebagai calon isterimu, akan
tetapi andai kata engkau tidak suka, kami pun tidak dapat memaksamu.”
Justru ucapan yang lembut dari pembesar ini lebih berat rasanya bagi Yo Han. Bagai mana mungkin dia
mengatakan tidak suka dan menolaknya? Dia cepat memberi hormat kepada tiga orang itu.
“Nenek, Paman dan Bibi yang baik, harap maafkan saya. Sungguh saya tak akan berani menolak, bahkan
merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kebaikan penghargaan Sam-wi (Anda Bertiga) yang sudi
mencalonkan saya yang yatim piatu dan papa ini sebagai anggota keluarga. Akan tetapi maafkan, saya
belum dapat memberi keputusan sekarang. Pertama, saya harus menyelesaikan tugas yang diberikan
mendiang Suhu, yaitu menemukan kembali pusaka milik Suhu yang dulu dicuri orang. Ke dua, mengenai
perjodohan, saya harus menyerahkannya kepada Suhu dan Subo saya yang pertama yang sudah menjadi
seperti pengganti orang tua saya sebelum saya berguru kepada mendiang Suhu Ciu Lam Hok.”
“Baiklah, Yo Han,” kata Gan-taijin (Pembesar Gan) mendahului agar ibunya tak sempat mengeluarkan
ucapan yang sifatnya memaksa atau menyudutkan pemuda itu. “Kami sekeluarga akan menanti berita
darimu setelah engkau dapat membuat keputusan.”
“Terima kasih, Paman. Sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya.”
Setelah memberi hormat lagi, Yo Han mulai melangkah keluar. Akan tetapi terdengar suara nenek Ciu
Ceng, “Ingat, Yo Han. Kami sudah menganggapmu sebagai calon suami cucuku Bi Kim. Kami akan
menolak pinangan dari mana pun juga datangnya dan selalu menunggumu!”
Gan Seng dan isterinya tidak sempat mencegah dan ucapan itu berkesan dalam sekali di hati Yo Han.
Mereka sudah menganggap dia tunangan Bi Kim dan ini berarti bahwa gadis itu tidak bebas lagi! Dia ingin
membantah, akan tetapi merasa tidak enak, maka merasa lebih aman tidak menjawab dan melanjutkan
langkahnya pergi meninggalkan rumah keluarga pembesar tinggi itu.
Setelah Yo Han pergi, sampai dua hari lamanya Gan Bi Kim tidak pernah meninggalkan kamarnya. Ia
merasa semangatnya melayang ikut pergi bersama pemuda yang sangat dikaguminya dan yang telah
menjatuhkan cinta hatinya itu. Ia merasa kehilangan, apa lagi karena jawaban pemuda itu membuat dia
tidak yakin akan perjodohannya dengan pemuda itu.
Setelah dapat menenteramkan hatinya, ia lalu menghadap ayahnya dan merengek agar ia dicarikan guruguru
silat yang pandai karena ia ingin belajar ilmu silat.
“Ahhh, engkau ini aneh-aneh saja, A-kim,” kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya. “Engkau seorang
puteri bangsawan, engkau sudah mempelajari semua ilmu kepandaian yang sepatutnya dimiliki seorang
puteri. Apa lagi yang hendak kau pelajari? Apa lagi dari seorang guru silat? Ilmu silat hanya akan membuat
telapak tanganmu yang halus menjadi kasar, tubuhmu yang lembut menjadi kaku!”
“Ayah, lupakah Ayah akan mala petaka yang baru saja menimpa keluarga kita? Semua itu terjadi karena
kita lemah! Untung ada Han-ko datang menolong. Andai kata tidak, bagaimana? Coba andai kata aku
pandai ilmu silat, tentu sudah kuhajar Coan Ciangkun yang jahat itu. Ayah, kalau aku pandai ilmu silat,
setidaknya aku akan dapat menjaga keamanan keluarga kita.”
“A-kim,” kata ibunya membujuk. “Aku ingin anakku menjadi seorang wanita yang halus lembut dan
bijaksana, bukan menjadi tokoh rimba persilatan yang kaku dan kasar!”
“Tetapi Ibu agaknya lupa bahwa Koko Yo Han juga seorang tokoh rimba persilatan, seorang pendekar
yang mempunyai ilmu silat yang amat tinggi. Bagaimana kalau aku dijodohkan dengan dia lalu sama sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
aku tidak tahu ilmu silat, bahkan hanya seorang gadis yang sangat lemah? Ingatlah, Ayah. Bukankah Uwa
kakek Ciu Lam Hok adalah seorang sakti? Masa aku sebagai cucu keponakannya tidak mengerti ilmu silat?
Ayah, carikan guru silat yang lihai untukku!”
Alasan-alasan yang dikemukakan puteri mereka yang setiap hari merengek itu akhirnya menggerakkan hati
Gan Seng. Sebagai seorang pejabat tinggi yang dekat dengan istana, Gan-taijin mengenal para jagoan
istana yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia lalu menghubungi para jagoan itu dan mulai hari itu, Gan Bi Kim
belajar ilmu silat dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik di samping ketekunan yang luar biasa.
Ketekunan itu timbul setelah keluarga tertimpa mala petaka, setelah dara ini bertemu dengan Yo Han yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dengan bayaran tinggi yang dapat dipenuhi oleh Gan Seng, guru-guru silat jagoan istana itu bertambah
gembira melihat betapa gadis puteri bangsawan itu ternyata memiliki bakat yang amat baik dan dapat
menjadi murid yang akan menambah tinggi derajat mereka. Bahkan banyak jagoan istana seperti berlomba
untuk mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada gadis bangsawan yang berbakat dan amat rajin ini…..
********************
Bangau Merah terbang di angkasa
disengat terik matahari senja
betapa ingin aku menjadi awan
untuk melindunginya,
dari sengatan!
Bangau Merah melayang di angkasa
hujan lebat datang menimpanya
betapa ingin aku menjadi goa
tempat berteduh bangau jelita!
Bangau Merah meluncur di angkasa
letih dan lapar datang menggoda
betapa ingin aku menjadi ranting berbuah
tempat ia istirahat dengan makanan berlimpah
Bangau Merah...
“Heiiii! Engkau sedang mengapa di situ, Suheng? Dari tadi kudengar menyebut-nyebut nama samaranku.
Engkau dari tadi menyebut Bangau Merah!”
Gadis itu muncul dan memang dia berpakaian serba merah dengan garis-garis kuning dan biru. Pakaian itu
ringkas, sederhana bentuknya, tetapi terbuat dari sutera merah yang membuat penampilannya amat cerah
dan wajahnya nampak lebih manis, kulitnya menjadi semakin mulus.
Dia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, baru manis-manisnya, bagai bunga mulai mekar dan
bagaikan buah sedang meranum. Dara ini memang cantik jelita, dengan wajah yang berbentuk bulat telur,
matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dengan ujung menantang, mulutnya yang kecil dengan bibir
tipis lembut yang selalu kemerahan tanda sehat itu selalu tersenyum mengejek sehingga sering kali lesung
kedua pipinya nampak memikat.
Memang sejak kecil ia disebut Bangau Merah karena ia suka sekali memakai pakaian berwarna
kemerahan dan ia puteri tunggal Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sangat terkenal itu. Kalau
ayahnya hampir selalu mengenakan pakaian putih, dara ini selalu mengenakan pakaian berwarna merah.
Namanya Tan Sian Li.
Seperti telah kita ketahui, Sian Li diminta oleh paman kakeknya, yaitu pendekar sakti Suma Ceng Liong
dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewarisi ilmu silat mereka. Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek
Sian Li yang bernama Suma Hui, yaitu nenek dari ibunya.
Meski pun ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat, bahkan tidak kalah
dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong, namun dia dan isterinya merasa tidak enak untuk
menolak niat baik paman mereka itu. Apa lagi, Suma Ceng Liong merupakan keturunan dari keluarga
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar Pulau Es dan memiliki ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar
wanita sakti, puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.
Telah lima tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota Cin-an di Propinsi
Shantung. Setiap satu tahun sekali, jatuh pada hari tahun baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao
Hong Li, selalu datang berkunjung.
Melihat bakat yang baik dari Sian Li, apa lagi karena dara ini sejak kecil telah mendapat pendidikan dasar
yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami isteri itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka
kepada dara itu sehingga selama belajar lima tahun lamanya, Sian Li sudah menjadi seorang gadis yang
amat lihai. Bahkan kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suheng-nya, yaitu Liem Sian Lun.
Pemuda berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, suheng-nya. Sian Lun kini telah
menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar, gagah dan tampan. Wajahnya selalu cerah
dan dia pun pendiam tidak banyak bicara, kecuali kalau diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan
pandai membuat sajak.
Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, memang tidak mengabaikan pendidikan sastra terhadap Sian
Lun dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai untuk mengajarkan ilmu sastra yang lebih
mendalam kepada dua orang murid itu.
Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah duduk termenung
seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu. Tempat ini merupakan tempat
kesayangannya, di mana dia dan sumoi-nya sering kali bermain-main sejak Sian Li berusia dua belas
tahun dan datang ke tempat itu.
Bukit yang tidak besar, namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mereka dapat
melihat dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati keindahan senja kala di situ karena
lereng bukit itu berada di sebelah barat.
Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung bangau terbang melayang di
angkasa melintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarangnya, teringatlah Sian Lun kepada
sumoi-nya. Sumoi-nya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan subo-nya. Julukan yang tepat sekali
oleh karena sumoi-nya selalu berpakaian merah. Sumoi-nya juga puteri Pendekar Bangau Putih dan jika
sudah bersilat, gerakan sumoi-nya demikian indah, seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang.
Maka, keindahan dan lamunan telah membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan
hatinya untuk menjadi pelindung bagi Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena
diam-diam Liem Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoi-nya, Si Bangau Merah!
Walau pun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia sudah
yakin bahwa sumoi-nya tentu tak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin bahwa kelak sumoi-nya
pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap sumoi-nya telah menjadi tunangannya!
Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia mendengar percakapan antara suhu dan subo-nya
dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mereka
menembus jendela kamar sehingga tertangkap oleh pendengarannya.
“Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagaimana kalau orang tuanya tidak
setuju?” terdengar suhu-nya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian Lun memperlambat langkahnya
dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apa lagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun adalah seorang
anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh.”
“Aihh, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan,” kata suhu-nya dan mereka pun tidak
bicara lagi.
Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya sehingga andai kata suhu dan subo-nya
mendengar tangkahnya, tentu mereka tidak akan menduga bahwa dia ikut mendengarkan percakapan
mereka. Dan sejak mendengar percakapan itu, beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li
kelak pasti akan menjadi isterinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apa lagi ia tahu betapa suheng-nya amat
menyayangnya, juga kakek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun agak takut dan
penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang di dalam pandangan Sian Lun
bahkan membuat dara itu menjadi semakin menggemaskan dan menarik hati.
Cinta birahi kalau sudah mencengkeram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut. Ulah
tingkahnya menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang dicinta akan nampak semakin
manis, bahkan ada pula kelakar yang kasar mengatakan bahwa kentut seorang kekasih berbau sedap!
Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak mencemooh dan dianggap senyum itu
mengejek dan mentertawai sehingga menimbulkan amarah!
Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang timbul di saat yang romantis itu,
tiba-tiba dia ditegur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking kagetnya dia
hanya menoleh dan memandang kearah dara yang nampak lebih cantik dari pada biasanya itu, segar habis
mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun.
Melihat pemuda itu tak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li cemberut.
“Heiii, Suheng, engkau ini kenapa sih? Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali, sekarang
engkau hanya bengong tanpa menjawab pertanyaanku!”
“Sumoi... aihh, engkau... engkau demikian cantik... indah sekali, ahh, pantasnya engkau seorang dewi
kahyangan yang baru turun melalui cahaya yang keemasan...”
Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah tertawa geli. “Ahhh, yang benar,
Suheng!” katanya memancing pujian lebih banyak.
Sian Lun benar terpesona dan matanya menatap tanpa pernah berkedip, seolah takut kalau berkedip,
keindahan di depannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja, sepenuhnya diselimuti
cahaya keemasan.
“Sungguh, Sumoi... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari sinar kekuningan, wajahmu mencorong oleh
sinar keemasan, engkau tampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan, matamu bercahaya, senyummu...
duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau...” Sian Lun tidak biasa merayu, akan tetapi kali ini dia terpesona
dan seperti dalam mimpi rasanya.
“Ahhh, masa...?” Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.
“Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita, amat mempesona dan...”
“Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-tiba kau
memuji-mujiku seperti ini? Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah, sekarang engkau
merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?”
Sian Lun menghela napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana romantisnya,
menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas panjang dan wajahnya berubah
merah karena mengenangkan sikap dan kata-katanya tadi membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia
masih terpesona seperti tadi, tentu akan dijawabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya
itu. Akan tetapi sekarang dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoi-nya menjadi marah.
“Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepadamu.”
Sian Li tersenyum. Gadis berumur tujuh belas tahun yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan kurang
berpengalaman ini masih belum sadar dan belum mengerti akan cinta kasih antara pria dan wanita. Yang
dikenalnya hanya rasa sayang kepada orang-orang yang dekat dan akrab dengannya.
“Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoi-mu? Kalau tidak sayang, percuma
engkau menjadi Suheng-ku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun merasa betapa kecewa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum
tahu bahwa sayangnya bukan seperti suheng terhadap sumoi, bukan seperti kakak terhadap adiknya,
melainkan sayang yang disertai dendam rindu, disertai birahi seorang pria terhadap wanita!
“Aku sangat sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padaku.”
“Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng? Kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk
mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita bersama-sama latihan silat di sini, belajar sastra, dan
bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang kepadaku...”
“Apa yang harus kulakukan? Katakanlah, Sumoi,” kata Sian Lun dengan penuh gairah dan harapan. Untuk
menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apa lagi kalau disuruh memondong tubuh itu, biar
sehari penuh pun dia bersedia.
“Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kau carikanlah untukku, di lereng utara sana banyak pohon
lecinya.”
“Baik, akan kucarikan, Sumoi. Kau tunggu saja sebentar di sini.”
Sian Lun lalu meloncat jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun
pohon leci yang amat luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Ia sudah mengenal baik
penjaga kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar untuk dimakan.
Setelah pemuda itu pergi, Sian Li duduk termenung sambil tersenyum-senyum. Hatinya merasa gembira
sekali oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga. Suheng-nya memang seorang kakak seperguruan yang
amat baik kepadanya.
Semenjak dia berada di situ, lima tahun yang lalu, suheng-nya selalu bersikap baik dan mengalah
kepadanya. Suheng-nya itulah yang membuat ia tak merasa kesepian tinggal di rumah paman kakeknya,
membuat ia tidak merasa bosan mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suheng-nya
itu dia dapat berlatih silat, mempelajari sastra, dan bermain-main.
Suheng-nya adalah seorang pemuda yang tinggi besar, gagah dan tampan, dan selalu melindunginya.
Bahkan pernah suheng-nya itu mengejar beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hongcun
dan bersikap kurang ajar kepadanya. Dia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suheng-nya
marah-marah dan menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai
Kuning! Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu!
Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng itu. Seorang
pria yang sudah tua sekali. Tadinya dia mengira paman kakeknya Suma Ceng Liong yang mencarinya.
Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan.
Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Pakaiannya model pakaian
sastrawan akan tetapi pakaian itu penuh tambalan walau pun amat bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu
sebatang tongkat. Rambut dan cambang serta jenggot dan kumisnya sudah putih semua, membuat dia
nampak tua dan lemah.
Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua tangan,
mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut gembira, “Ahh,
tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!”
Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu. Yang
mengetahuinya hanyalah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, juga suheng-nya. Bagaimana kakek ini
begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu?
“Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?” Suaranya
terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.
“Siancai...! Dahulu engkau seorang bocah yang mungil lincah, sekarang sudah menjadi seorang gadis
yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa kepadaku? Beberapa tahun
yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-teng.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah dan berseriseri,
senyumnya menghias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua pipinya.
“Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai...!” Ia pun bangkit dan cepat memberi hormat kepada kakek tua
renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.
“Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke rumah ayah
ibumu di Ta-tung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini menjadi guru-gurumu
mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku segera menyusul ke sini. Siancai... engkau
telah menjadi seorang gadis yang lihai dan manis. Dan aku datang untuk menagih janji, ingat?”
“Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan
dirimu.”
Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang membawa buah leci yang sudah
masak dan cukup banyak. Melihat sumoi-nya tertawa-tawa dengan seorang kakek yang tidak dikenalnya,
dia mengerutkan alisnya.
“Sumoi, siapakah kakek jembel ini?” tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali melihat sumoi-nya
beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau muda, dia merasa tidak senang,
merasa cemburu!
“Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah guruku, tahu
engkau?” bentak Sian Li marah.
Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoi-nya, lalu dia memberi hormat kepada kakek
itu. Dia terkejut bukan main, juga amat heran mendengar ucapan sumoi-nya.
“Ahhh, harap Locianpwe suka memaafkan saya yang bersikap tidak sopan,” katanya. Bagaimana pun juga,
Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan tata susila.
Kakek itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Siancai... kiranya Taihiap (Pendekar Besar) Suma
Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang begini gagah. Tidak
mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka buruk kepada orang lain.”
Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat. “Maafkan saya, Locianpwe. Sumoi,
engkau tidak pernah bercerita kepadaku tentang suhu-mu yang satu ini. Siapakah beliau ini?”
Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata, “Suhu, silakan makan. Buahbuah
leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis.”
Kakek itu tanpa sungkan lagi mengambil beberapa butir buah leci.
Sian Li lalu menghadapi suheng-nya. “Suheng, Suhu-ku ini ialah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu
Suhu ini berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi janjinya.”
Kembali Sian Lun terkejut. Tentu saja ia sudah pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai (Pengemis
Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan, akan tetapi juga karena
ilmu silatnya, terutama ilmu totok jalan darah yang amat lihai.
“Locianpwe, sekali lagi maafkan atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan sampaikan
kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi.”
Sian Li cemberut. “Tentu saja akan kuberi tahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau tadi sudah berani
menyebut Guruku kakek jembel!” Sian Li yang amat manja terhadap suheng-nya itu mengancam.
Yok-sian Lo-kai tertawa.
“Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga. Suheng-mu
sudah mengakui kesalahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia berani bertanggung jawab
serta menyesali dan menyadari kesalahannya. Selain itu, juga aku lebih suka disebut Jembel Tua dari pada
dunia-kangouw.blogspot.com
Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku
disebut Jembel Tua oleh suheng-mu? Ha-ha-ha!”
“Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah, sekarang cepat kau
beri tahukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu Yok-sian Lo-kai dan akan pulang
belakangan.”
“Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu,” kata Sian Lun dengan hati lega.
Kalau sumoi-nya itu mengadu kepada suhu dan subo-nya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia
lalu berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.
“Suheng-mu sudah memiliki kepandaian yang tinggi, ilmunya berlari cepat cukup hebat,” kakek itu memuji.
“Ahhh, dia masih terlalu lambat,” kata Sian Li.
Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu dapat berlari lebih cepat dibandingkan suheng-nya dan
diam-diam kakek itu kagum. Dia percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti seperti Suma
Ceng Liong dan Kam Bi Eng, apa lagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis
berpakaian merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya
kepada dara ini.
“Sian Li, aku ingin memberi tahu sedikit kepadamu tentang suheng-mu itu.”
Sian Li yang sedang makan leci menghentikan gerakan mulutnya dan segera menoleh, memandang
kepada kakek itu. “Apa yang Suhu maksudkan? Suheng sudah bersikap kasar, dan dia memang pantas
ditegur dan...”
“Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal yang ingin kuperingatkan
padamu tentang suheng-mu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu, karena dia amat sayang
kepadamu.”
“Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suheng-ku? Kenapa aku harus berhati-hati dengan
sikapku?”
“Dan bagaimana dengan engkau sendiri? Sayangkah engkau kepada suheng-mu?”
Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata keheranan. Pertanyaan yang aneh, pikirnya.
“Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Dia berlatih
bersamaku, belajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu dan dia amat baik
kepadaku.”
Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih amat polos dan belum pernah mengalami cinta
birahi, maka kasih sayangnya terhadap suheng-nya itu adalah kasih sayang seorang adik terhadap
kakaknya.
“Maksudku, dia pencemburu besar. Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau engkau tidak
ingin melihat dia marah-marah.”
“Aihhh, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng demikian
marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membunuhi orang-orang itu kalau tidak kularang...“
Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda itu sudah
jatuh cinta kepada sumoi-nya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali, membuat dia menjadi
seorang pencemburu besar sehingga ketika melihat sumoi-nya beramah tamah dengan seorang kakek
seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang.
“Itu namanya cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu.”
Sian Li mengangguk, padahal dia tidak mengerti mengapa suheng-nya bersikap seperti itu. ”Mari kita
pulang, Suhu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak menguji ilmu berlari cepat muridnya.
Dia sendiri lalu mengerahkan tenaganya, menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sehingga
larinya cepat sekali, sungguh tak sesuai dengan usianya yang sudah demikian lanjut.
Namun, walau pun baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil digembleng dan ditangani orangorang
sakti. Mula-mula oleh ayah ibunya sendiri, kemudian oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami
isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu
mengherankan kalau dara itu bukan saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan
pada waktu tiba di rumah kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya!
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sambil tertawa melihat dara dan
kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-sian Lo-kai terkekeh sambil
terengah ketika tiba di depan mereka.
“Aihhh... aku sudah tua, bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?”
“Aihh, janganlah merendahkan diri, Suhu!” berkata Sian Li. “Suhu datang bukan untuk mengajarkan ilmu
lari kepadaku, melainkan ilmu pengobatan!”
Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa dia tadi telah
terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu melihat sumoi-nya beramah tamah dengan kakek itu.
Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada Sian Li. Bukan saja
pengetahuan tentang ramuan obat untuk berbagai penyakit, juga kakek itu mengajarkan pengobatan
dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan. Dan yang amat menggembirakan hati Suma Ceng Liong
dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri, kakek itu bahkan juga mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu
ilmu totok dengan sebuah jari yang pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan.
Sian Li amat berbakat, dan sudah memlliki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan saja dara ini
telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Yok-sian Lo-kai kepadanya.
Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia merasa puas
bahwa akhirnya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah memesan kepada
muridnya agar kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan, untuk menolong orang sakit di
samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang kejahatan, Yok-sian Lo-kai lalu pergi meninggalkan
rumah Suma Ceng Liong untuk bertapa ke Liong-san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan.
Dia memberikan jarum emas dan peraknya kepada Sian Li.
Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar kepergian Dewa Obat itu dengan perjamuan
sederhana namun meriah, dan atas nama cucu keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima
kasih mereka.
Biar pun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru menguasai
cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak berlatih untuk
mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan dengan tusuk jarum dan
pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah menguasai cara berlatih untuk ilmu-ilmu itu…..
********************
Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua
kemampuannya untuk bisa mengimbangi sumoi-nya. Gerakan Sian Li luar biasa cepatnya, bagai seekor
burung merah yang cekatan sekali berkelebat, bahkan kadang lenyap dan yang nampak hanya bayangan
merah diselimuti gulungan sinar pedangnya.
Kalau ada orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bahwa pemuda dan dara itu
berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pedang mereka, dan kadang nampak bunga api berpijar
kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun, sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang
setelah tadi dalam berlatih silat tangan kosong Sian Lun terpaksa mengakui keunggulan sumoi-nya. Dalam
ilmu pedang Sian Lun memang berbakat sekali, maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagi dua orang muda itu yang sudah menguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka akan saling
melukai. Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, bagaikan anggota
badan sendiri sehingga mereka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan mampu
menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai lawan berlatih.
Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga), yaitu gabungan ilmu
pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi Eng. Ilmu pedang ini memang
hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata bahwa di situ terkandung gerakan yang
lembut seperti tiupan suling akan tetapi dahsyat dan ganas bagai seekor naga mengamuk. Karena senjata
suling adalah senjata yang khas dari keluarga Suling Emas, maka Kam Bi Eng telah mengganti suling
dengan pedang dan mengajarkan mereka memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang.
Dengan kelebihan dalam kecepatan gerakan, kini Sian Li mulai mendesak suheng-nya. Andai kata mereka
itu bertanding sungguh-sungguh dalam suatu perkelahian, tentu Sian Li akan dapat merobohkan suhengnya
karena dia mempunyai beberapa ilmu yang tidak dipelajari Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci
dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama sekali Ilmu Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari
ayahnya, dan lain-lain.
Sekarang, karena mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka hanya
menggunakan ilmu itu saja. Karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka
sukarlah untuk saling mengalahkan.
Sian Li berhasil mendesak hanya karena mengandalkan kecepatannya dan memang ia lebih cekatan
sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali. Sian Lun hanya mampu menangkis saja, tidak ada
kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoi-nya
untuk menyerangnya, maka tentu saja dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.
“Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!”
Akhirnya Sian Lun mau mengakui kekalahannya. Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa
bangga bahwa sumoi-nya demikian hebatnya.
“Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh tenagamu, tentu
engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga tulang dan otot, aku masih
kalah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus sekali! Ilmu pedang yang hebat, orang-orang muda yang mengagumkan!” Tiba-tiba terdengar
pujian orang.
Cepat Sian Lun dan Sian Li membalikkan tubuh dan mereka melihat dua orang yang tahu-tahu sudah
berada di situ, di dalam taman di mana mereka berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul
demikian tiba-tiba tanpa mereka ketahui, hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang
sembarangan.
Sian Li memandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu sudah enam puluh
tahun lebih usianya, tapi masih tampak tampan dan jantan dengan kulit sedikit gelap dan muka bulat yang
tidak asing bagi Sian Li. Di punggung kakek ini terdapat sepasang pedang dengan ronce biru.
Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek yang usianya sekitar enam puluh juga,
namun masih cantik dan anggun. Ia berpakaian serba kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Pada
rambutnya yang sudah bercampur uban itu terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah
kerudung suteranya yang tipis. Wajah wanita ini asing, bukan wajah seorang bangsa Han. Meski wajah
kakek itu tidak asing bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.
“Kakek dan Nenek yang baik, siapakah Jiwi (Anda Berdua)? Dan ada kepentingan apa maka jiwi masuk ke
dalam taman kami ini?” Sian Li bertanya dengan lembut.
Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira. “Kau lihat, bukankah ia mirip
sekali dengan ibunya?” Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata, “Aku yakin bahwa engkau tentu Tan
Sian Li, bukan? Engkau Si Bangau Merah, bukan?”
Sian Li membelalakkan matanya. “Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek? Siapakah engkau? Dan
siapa pula Nenek ini?”
“Ha-ha-ha-ha,” kakek itu tertawa. “Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika engkau masih
kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa, Sian Li. Aku adalah Suma
Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi.”
Sian Li membelalakkan matanya lagi. Mukanya berubah kemerahan mengingat ucapan kakek tadi bahwa
dia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga membasahi bajunya. Kini dia teringat.
Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui. Berbeda dengan paman kakeknya yang kini menjadi
gurunya, Suma Ceng Liong yang hanya adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini bahkan
adalah adik kandung neneknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihhh, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!” Sian Li berseru gembira. “Selamat datang,
Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi? Tentu bukan orang Han...”
Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu.
“Suheng, ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!” Dara yang lincah itu memberi tahu Sian
Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li. “Anak manis, engkau cantik bukan main, Aku memang
datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru ayahmu yang bernama Wan Tek
Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah kandungku.”
Sian Li menjadi makin gembira dan balas merangkul sambil memandang kagum. Tentu saja ia sudah
pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si Jari Maut itu, yang
telah menikah dengan seorang puteri Kerajaan Bhutan.
“Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun. Kiranya engkau
adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!”
Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia sudah akrab dengan kakek dan
nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali
berkunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian
Lun menjadi murid mereka.
Setelah makan bersama, kedua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang didengarkan
dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun dan terutama sekali Tan Sian
Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li
segera berkata penuh gairah.
“Ku-kong aku ikut!”
Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu. “Aih, Sian Li, kau kira Bhutan
itu dekat? Perjalanan ke sana berbulan-bulan!”
“Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu mengenai
Bhutan yang indah. Dan dari Kongkong Kao Cin Liong aku pun sering mendengar cerita tentang dunia
bagian barat. Aku ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman, Ku-kong. Kebetulan sekali kini ada Kukong
Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali ikut,
Ku-kong!”
Suma Ceng Liong diam-diam tersenyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap cucu
keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, darah petualang. Dahulu ia sendiri
pun merupakan seorang petualang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu Si Bangau Merah ini pun
petualang-petualang besar.
“Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li? Kami tentu akan merasa tidak enak kalau
mereka datang dan engkau tidak berada di sini,” kata Kam Bi Eng.
“Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke sini, seperti biasa setiap tahun baru
mereka datang. Dan aku akan berusaha supaya sebelum tahun baru dapat pulang ke sini. Aku ingin sekali
pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan menemaniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak
keberatan aku ikut...”
Dia memandang kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi yang saling pandang dan tersenyum.
Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya. “Tentu saja aku akan senang sekali kalau engkau ikut ke
Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, kami tidak akan
berani.”
Suma Ciang Bun berkata, “Kami telah membeli sebuah kereta. Jika kami menggunakan perjalanan dengan
kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru Sian Li akan dapat pulang ke
sini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Jika dia membolehkan Sian Li pergi, dan andai kata
dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada mereka. Tetapi kalau dia
melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga
Dewi. Seolah-olah dia tidak percaya pada mereka.
“Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendirian, tidak bersama Ku-kong
Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat,” Sian Li berkata dan Suma Ceng Liong
tertawa.
“Hemmm, engkau memang memiliki hati membaja dan kepala membatu. Orang seperti engkau ini mana
mungkin bisa dilarang? Sian Lun, engkau temani sumoi-mu pergi ke barat.”
“Baik, Suhu!” berkata Sian Lun tanpa menyembunyikan suaranya yang mengandung kegembiraan besar.
“Sian Li, kami membolehkan engkau pergi, akan tetapi harus ditemani suheng-mu agar ada yang
menemani pada waktu engkau pulang. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau pulang, kami
dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu.”
Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan semakin menggembirakan hatinya sebab suheng-nya
itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan menyenangkan sekali dan juga amat membantu. Ia
bersorak, kemudian menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.
“Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan membolehkan, karena kalian adalah orang-orang tua
yang terbaik di dunia ini!”
Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya melihat
sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari kemudian, mereka berempat berangkat meninggalkan
dusun Hong-cun.
Suma Ciang Bun menjual keretanya dan sebagai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik.
Mereka berempat lalu melakukan perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang
mengantar mereka sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu melihat betapa Sian Li, seperti
anak kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka.
Dara itu memang berbakat sekali menjadi seorang pendekar. Baru dua hari ia diajarkan menunggang kuda
oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan bahkan berani membalapkan kudanya! Bahkan Sian
Lun juga kalah sigap.
Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, takkan marah andai kata mereka datang
sebelum Sian Li kembali. Mereka juga merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apa lagi
kepergian Sian Li ini bersama kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula
oleh Liem Sian Lun.
Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan perjalanan cepat
dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati. Karena mereka berempat adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan
cepat.
Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah, Suma Ciang Bun lalu menukarkan kuda mereka dengan kuda yang
masih segar dengan menambah uang. Dengan cara demikian maka mereka dapat melakukan perjalanan
lebih cepat lagi…..
********************
Pada saat itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah berhasil
mengamankan seluruh negara. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang menjaga tapal batas, dan
di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan.
Pemberontakan-pemberontakan sudah dapat dipadamkan, dan biar pun masih terdapat banyak golongan
yang anti pemerintah Mancu, namun gerakan mereka hanya dilakukan secara sembunyi, tidak ada yang
berani berterang karena pada waktu itu kekuatan pasukan Mancu amat besar. Apa lagi karena Kaisar Kian
dunia-kangouw.blogspot.com
Liong pandai mengambil hati dan banyak menerima orang-orang Han yang pandai dan diberi kedudukan
tinggi. Dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han yang menganggap bahwa Kaisar Kian
Liong, biar pun seorang Mancu, namun tetap mementingkan rakyat jelata.
Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih dan dia telah menjadi Kaisar
selama lebih dari lima puluh tahun! Belum pernah ada Kaisar yang memegang tampuk kerajaan selama itu
dengan hasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong bukanlah seorang Kaisar yang mabok
kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kesenangan sendiri saja.
Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul, bahkan akrab dengan para
pendekar dan rakyat jelata, sering kali melakukan perjalanan secara menyamar dan menyusup di kalangan
rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai seorang yang bijaksana dan ramah tamah. Kaisar Kian
Liong dapat mempertahankan kedudukannya bukan hanya karena kekuatan angkatan perangnya saja,
tetapi terutama sekali karena nama baiknya itulah.
Pribadi seorang pemimpin memang menentukan kelancaran pemerintahannya, karena kalau pribadi itu
tidak disukai rakyat, sudah pasti menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai
mengambil hati rakyat, bahkan juga menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang
menerima kebudayaan, bahkan sudah menjadikan bahasa Han sebagai bahasa orang-orang Mancu yang
memegang kendali pemerintahan.
Dengan para negara tetangga, biar pun yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan, Kaisar Kian
Liong mengadakan hubungan baik serta menghargai kedaulatan masing-masing. Ini pun mengurangi
gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat
pemberontakan, maka hanya terjadi secara kecil-kecilan dan tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh
perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang.
Akan tetapi sekarang kedua perkumpulan itu bahkan bermusuhan, karena Thian-li-pang merupakan
perkumpulan pejuang yang gagah dan sungguh-sungguh membela rakyat, sedangkan Pek-lian-kauw
adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok agama, bahkan dari Agama Buddha
yang sudah menyeleweng dari agama aslinya, bercampur dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke
arah sesat.
Karena kebesaran kerajaan atau Dinasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan negaranegara
seperti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim upeti setiap tahun
kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang diperhalus dari keadaan sebetulnya,
yaitu takluk tanpa perlu diserang lagi. Hanya Kerajaan Nepal sajalah yang pernah menentang, akan tetapi
negara itu diserbu oleh pasukan besar dan kemudian ditundukkan, tapi tidak dijajah dan hanya diharuskan
mengirim upeti setiap tahun.
Karena keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Tan Sian Li dan
Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa adanya gangguan di tengah perjalanan.
Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat sebelumnya,
melihat perkampungan suku-suku bangsa yang dianggapnya sangat aneh dan menarik. Perkampunganperkampungan
yang dilaluinya berbeda sama sekali dengan di daerah timur. Berbeda segalanya, dari
rumahnya, pakaiannya, bentuk wajah dan bahasa, bahkan makanan pun berbeda!
Akan tetapi, setelah Gangga Dewi memperkenalkan dia dengan orang-orang asing itu, menerjemahkan
percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, maka Sian Li mendapat kenyataan yang amat
menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya
kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh di lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan
dirinya atau seluruh bangsa di timur.
Mereka suka bersahabat, suka tertawa serta membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang tidak
enak. Biar pun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan campurannya saja.
Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit dan getir. Yang disuka seperti
juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas.
Mereka pun sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena
merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka biar pun kadang-kadang
kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda di antara mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk jalan,
pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan bagi tiga orang
yang lainnya, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu selama hidup mereka lewat di
tempat-tempat seperti itu.
Biar pun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa bahwa
sebelum tibanya tahun baru, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong. Oleh karena itu, ia
mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan.
Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan setelah menyeberangi sungai besar yang amat
terkenal di Tibet yaitu sungai Yalu Cangpo atau terkenal pula dengan nama Brahmaputra. Mereka kini
melintasi pegunungan yang paling panjang, besar dan tinggi di seluruh dunia, yaitu Pegunungan Himalaya
yang merupakan tapal batas antara Bhutan dan Tibet. Di pegunungan yang amat terkenal ini, Sian Li
merasa kagum bukan main. Walau pun perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin,
namun dara itu selalu nampak gembira dan kagum.
Siang itu mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-dusun yang
termasuk wilayah negeri Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan kecil yang terdiri dari
belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat-cepat turun dari atas kuda mereka
dan memberi hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah pasukan keamanan yang
menyamar dengan pakaian biasa dan sedang melakukan perondaan di daerah perbatasan itu.
Setelah menerima penghormatan mereka, Gangga Dewi cepat bertanya. “Apakah yang terjadi? Kenapa
kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak memakai pakaian seragam pula?”
Pemimpin pasukan segera melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini di daerah
perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki daerah itu.
Mereka adalah mata-mata dari Kerajaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tak mau tunduk kepada
Kerajaan Ceng di Cina. Mereka menghasut rakyat di perbatasan Bhutan dan Tibet untuk bersama-sama
menentang dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang di perbatasan Propinsi Se-cuan dengan
tujuan untuk merongrong Kerajaan Ceng.
“Kalau begitu kalian harus melaksanakan tugas dengan baik. Kita tak ingin terseret oleh pemberontakan
orang-orang Nepal itu, apa lagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan Nepal yang sah. Mereka bahkan
pemberontak pula di Nepal, petualang-petualang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari
pergolakan dan kekacauan,” pesan Gangga Dewi.
Dua orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di Bhutan,
sedangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan.
Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari sudah sore. Mereka pun
terpaksa akan bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu malam segera tiba, dan
mereka pun sudah cukup lelah.
Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun itu. Sian Li
dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat betapa mereka disambut oleh penghuni dusun yang berduyun
menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang menyambut kehadiran Sang Puteri! Kiranya dua
orang prajurit tadi sudah memberi kabar ke dusun itu sehingga kepala dusun segera mengerahkan orangorangnya
untuk menyambut.
Demi menyenangkan rakyatnya, Gangga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh Suma Ciang Bun,
Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira pada saat Gangga Dewi merangkul dan
mencium anak perempuan yang bertugas menyerahkan seikat bunga kepada Sang Puteri.
Sian Li memandang dengan wajah berseri, sedang Sian Lun mengagumi belasan orang penari yang terdiri
dari gadis-gadis Bhutan yang manis. Dengan tarian lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat
lemas dan lenturnya, diiringi alat-alat musik yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun terdengar
demikian asyik dan membuat orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika mereka memasuki dusun, mereka lantas disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh dan
pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu agung itu mencuci
badan, dipersiapkan kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun untuk mereka.
Apa lagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun sebagai suaminya, para penduduk makin
gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu menikah dengan seorang pria Han,
bukan merupakan halangan, bahkan merupakan kebanggaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang
bernama Syanti Dewi, yang mereka puja-puja dan kasihi, juga menikah dengan seorang pria Han yang
kemudian bahkan menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah
Gangga Dewi.
Malam itu seluruh dusun bergembira. Sebuah pesta besar diadakan di pendopo rumah kepala dusun yang
cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir selaku tamu di panggung, sedangkan di
bawah panggung, di sekeliling pendopo, hampir seluruh penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu
untuk turut nonton keramaian dan pertunjukan, serta untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang
mereka kagumi sebagai seorang puteri yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi!
Serombongan penari yang cantik manis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya, menari-nari diiringi
musik yang sederhana tetapi menggairahkan seperti musik di daerah itu, yang mempunyai pukulan
gendang dan tambur seolah-olah menghidupkan semua syaraf di tubuh untuk bergerak dan menari.
Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu kehormatan
dan para penari menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa bangga mendapat
kesempatan menari di depan Sang Puteri.
Biasanya, hanya penari istana saja yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu
saja tidak pandai menari sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos
sehingga bagaikan bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di antara mereka mengerling ke arah
Sian Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah perkasa
dan tampan, apa lagi dia adalah anggota rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para penabuh musik dan
para penonton mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga secara bisik-bisik para pemuda
menyebut Sian Li sebagai ‘Dewi Merah’!
Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang disuguhkan
juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi sudah memesan kepada kepala dusun agar membuat
lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini amat mudah dilakukan oleh para koki bangsa
Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan Cina telah terjalin semenjak ratusan tahun yang
lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau yang disebut Han-Bhutan seperti Gangga Dewi kini berada di
Bhutan, seperti juga banyak di situ keturunan Nepal, Tibet, dan India.
Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara besar, Bhutan mempunyai banyak orang-orang
berdarah campuran atau peranakan. Banyak pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang,
sehingga selain pandai membuat masakan khas Bhutan, para koki bangsa Bhutan pandai pula membuat
masakan model Nepal, India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut,
tidak terlalu menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan.
Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda. Pakaian
mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih pantas menjadi
penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di pinggang mereka, dan mereka
pun menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah.
Apa lagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan baju ke atas
dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh tambur sungguh menarik dan
gagah, seperti orang sedang bermain silat saja. Kadang-kadang dia melontarkan dua buah kayu pemukul
tambur itu ke atas, kemudian melanjutkan memukul tambur dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi
dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua ini dilakukan secara berirama.
Sian Li kagum. Hebat memang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun itu. Sungguh
mengagumkan cara dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya lagi tanpa melihat karena matanya
terus menatap tamburnya, seolah-olah kedua tangannya bermata. Dan pukulan tambur itu pun menggetar
penuh kekuatan. Rasanya tak mungkin dia itu tidak memiliki kepandaian silat dan tenaga sinkang, pikir
Sian Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian gadis-gadis cantik itu
sudah selesai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun.
Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam. Kepalanya gundul atau botak licin dan
pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek ini, terutama
sepasang matanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tak wajar lagi! Kepala dusun
memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan Tibet yang memiliki keahlian sulap dan
bermain ular.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu memberi
hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur seperti seekor ular
besar!
Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, “Mulailah dengan pertunjukan yang hendak kau
mainkan, dan lakukan sebaik mungkin.”
Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda pemukul tambur
tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma menunjukkan keahliannya.
Pemuda itu masih tetap menghadapi sebuah tambur dan sebuah gendang, dan dengan kedua tangannya
dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah arena
pertunjukan.
Lulung Ma sudah siap. Pada saat dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar dan menyeramkan,
bahkan pemuda berbadan tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagunya! Padahal, pemuda tampan itu sudah
termasuk tinggi untuk ukuran biasa.
Sekarang pemuda itu memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur berdentamdentam
dan berirama, kemudian diimbangi oleh bunyi suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang
sebesar kepalan tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli ular di
India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa.
Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya mengimbangi pukulan
tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking, memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang
membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi
Sian Li, lagu itu lembut akan tetapi terasa aneh bagi pendengarannya.
Suara suling berhenti dan sekarang pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-keras,
melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walau pun dari suara gendang dapatlah diketahui
bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gendang. Suara gendang itu bisa terdengar seperti halilintar,
bisa seperti riak air atau rintik hujan.
Kini kakek muka hitam itu mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dimengerti oleh
Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang semenjak menjadi suami Gangga Dewi sudah
mempelajari bahasa daerah isterinya itu, kemudian menerjemahkan kepada mereka.
“Kakek itu berkata bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang
kosong.”
Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton tukang sulap,
yaitu ketika ia masih kecil. Dahulu dia merasa amat kagum melihat tukang sulap mampu mengambil
benda-benda dari udara. Tetapi ayah bundanya mengatakan bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat
yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dan dibantu pula oleh kecepatan kedua tangannya yang sudah
terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam sulapan.
“Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiapkan lebih dulu!” berkata
Sian Li, suaranya cukup keras karena dianggapnya bahwa yang mengerti bahasanya tentu hanya mereka
berempat.
Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap itu menengok kepadanya dan berkata
dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara raksasa!
“Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun kecuali kedua tanganku yang
kosong ini! Maafkan, Nona cantik bagaikan dewi, dan suka berpakaian merah, maka aku menyebut Nona
Dewi Merah!”
Kiranya raksasa muka hitam itu pandai bahasa Han, dengan lancar pula! Yang lebih membuat Sian Li
terheran lagi, banyak di antara para tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruang itu, yaitu pendopo
yang terbuka, menyambut ucapan rakasasa muka hitam itu dengan tawa riuh seolah-olah mereka itu
mengerti apa yang diucapkan dalam bahasa Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Li masih tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-orang di situ dengan bangsa Han
sehingga bahasa Han sama sekali bukan merupakan bahasa yang asing bagi kebanyakan dari mereka.
Apa lagi banyak pula terdapat keturunan Han di antara mereka. Segera terdengar seruan-seruan dari para
pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.
“Dewi Merah...! Dewi Merah...!”
Gangga Dewi turut pula bergembira dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghentikan
keributan itu. Setelah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan dari suaminya itu.
“Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau Merah.”
Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan, “Dewi Bangau Merah!
Dewi Bangau Merah!”
Suma Ciang Bun terseret dalam kegembiraan itu dan dia pun mengumumkan, “Sebutan itu memang tepat
sekali. Namanya memang Dewi (Sian-li)!” Kembali orang bersorak.
Ketika Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun tidak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah
pemuda itu nampak muram, dia pun menahan senyumnya. Dia segera mengenal pemuda ini sebagai
pemuda yang jatuh cinta kepada sumoi-nya, akan tetapi juga amat pencemburu sehingga kalau ada orang
lain, terutama pria yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak senang dan cemburu!
Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara bising itu pun
terhenti. “Lulung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi hadiah bunga-bunga kepada
kami semua!”
Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti biasa
diperlihatkan tukang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan... tiba-tiba saja
kedua tangannya telah memegang masing-masing setangkai bunga yang segar berikut beberapa helai
daunnya, seolah-olah baru saja ia memetiknya dari udara!
Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun dan juga
Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang memiliki penglihatan tajam,
berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak cepat dari tukang sulap itu yang
mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju hitamnya yang longgar.
Memang benar, Lulung Ma tidak mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan seperti ucapannya tadi,
melainkan menggunakan kedua tangannya yang dapat bergerak cepat bukan main sehingga tidak nampak
oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang panjang itu ditekuk ke dalam dan menjepit dua tangkai bunga dari
dalam lubang lengan bajunya.
Sambil menjura ke kanan kiri menyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke panggung
kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu kepada Gangga Dewi dan Sian Li sambil berkata
lantang.
“Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi dan Dewi Bangau
Merah!” Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut tepuk tangan para penonton.
Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam itu
menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan menyapu seluruh
tubuh dara itu. Teringat dia betapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li cantik bagai dewi. Maka dengan
hati panas dia gunakan kesempatan itu untuk berkata sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Engkau hanya mengambil bunga-bunga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?”
Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang pada Sian Lun dengan sinar mata tajam
mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak senangnya.
Lulung Ma lalu bangkit berdiri, memandang kepada seluruh penonton baik yang di atas panggung mau pun
yang di bawah. “Saudara sekalian, pemuda ini sudah menuduh aku mengambil bunga-bunga itu dari
lengan baju. Apakah tadi kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan baju?”
Serentak terdengar jawaban, “Tidak...! Tidak...!”
Lulung Ma kemudian tersenyum dan memandang lagi kepada Sian Lun. ”Kongcu (Tuan Muda), apakah
engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?”
Sian Lun diam saja. Andai kata di lengan bajunya ditaruhkan bunga lebih dahulu sekali pun, dia tentu tidak
akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk pekerjaan itu dibutuhkan latihan
yang lama sampai menjadi ahli benar. Maka dia menggelengkan kepala.
“Suheng, jangan mencari keributan!” Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.
Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata, “Memang dia
seorang tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu yang menarik ini!”
Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan dan mendekati tukang
gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lirih dan lambat. Akan tetapi Sian Li tadi
sempat pula melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu memandang ke arah Sian Lun dengan
sinar mata mencorong seperti orang marah.
Lulung Ma kini menggerak-gerakkan kedua tangannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri,
mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak, nampak
setangkai bunga di tangan itu. Akan tetapi sekali ini bukan dua batang bunga segar seperti tadi melainkan
berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lempar-lemparkan kepada para tamu dan
penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan tepuk tangan meriah dan seruan-seruan
keheranan.
Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya menggunakan kecepatan kedua tangannya untuk
mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju dan saku jubah hitamnya.
Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.
Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat mengesankan itu, Lulung Ma lalu
memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata, “Sekarang hamba hendak mencoba untuk
mengubah kepala hamba menjadi kepala naga, harap Paduka memaafkan hamba.”
Mendengar hal ini, Gangga Dewi mengangguk. Diam-diam puteri ini kagum juga kepada raksasa hitam
yang ternyata pandai itu. Mendengar bahwa orang itu hendak mengubah kepalanya menjadi kepala naga,
ia pun dapat menduga bahwa Lulung Ma tentu seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang
sebelumnya minta maaf kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan
kepandaiannya, maka sebelumnya dia minta maaf.
Kini Lulung Ma menghadapi para tamu dan penonton. “Saudara sekalian harap suka tenang, sekarang aku
ingin mengubah kepalaku menjadi kepala naga!”
Lalu dalam bahasa Han dia berkata sambil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun, “Dewi Bangau
Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!”
Dia lalu memberi isyarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya dengan
tambur, dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh seperti ada badai dan
halilintar mengamuk!
Lulung Ma menggerakkan kaki tangannya mengikuti suara tambur, dan semakin lama tubuhnya bergetar
makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriakan melengking.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Saudara lihatlah baik-baik, kepalaku adalah kepala naga berwarna hitam!” Kembali dia mengeluarkan
suara melengking nyaring tinggi yang makin merendah menjadi gerengan yang menggetarkan seluruh
ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar.
Semua orang lantas terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit. Sian Li
merasa betapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan melihat betapa Sian Lun
terbelalak memandang ke arah Lulung Ma.
Sian Li tersenyum dan mengerti. Suheng-nya itu memang telah memiliki ilmu silat tinggi dan sinkang yang
kuat, akan tetapi tidak pernah mempelajari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti dia. Ia sejak
kecil telah dilatih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau
Putih) dan perlahan-lahan kekuatan itu tumbuh dalam dirinya sehingga ia pun seperti memiliki kekebalan
terhadap sihir.
Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun
sudah mengerahkan tenaga sakti Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa
kepala Lulung Ma itu tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga.
Dan memang Sian Lun menjadi terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa
kepala raksasa hitam itu benar-benar telah berubah menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan.
Tentu saja bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergantung dari khayal mereka
masing-masing.
Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dia melihat dua orang tua ini
memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda bahwa mereka pun tidak terpengaruh. Hal
ini tidaklah mengherankan.
Suma Ciang Bun adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan
seorang sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan Yang
dari keluarga sakti itu, tidak terpengaruh.
Demikian pula dengan Gangga Dewi. Ia mewarisi ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek
Hoat, maka begitu melihat kepala itu berubah menjadi kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan
sinkang-nya dan buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya.
“Suheng…,” bisik Sian Li kepada suheng-nya yang masih memegang lengannya dalam keadaan tegang
itu. “Tenangkan pikiran dan kerahkan sinkang-mu untuk memecahkan pengaruh yang mencengkeram
pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir.”
Mendengar bisikan ini, Sian Lun cepat-cepat melepaskan pegangannya dan dia nampak memejamkan
kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi, dia
melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.
“Hemmm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!” Sian Lun berkata untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya bahwa tadi ia pun sampai terpengaruh dan sempat terkejut dan gentar.
Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian Lun itu. Dia
mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin menurun, orang-orang
melihat asap mengepul menutupi kepala naga itu dan ketika asap itu lenyap, kepala itu sudah kembali
menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton bertepuk tangan dan bersorak menyambut sulapan itu penuh
kekaguman.
Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pandang mata penuh kemarahan
kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak.
“Suheng, kuminta engkau jangan mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan
mereka itu hanya menyuguhkan pertunjukan untuk menghibur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku
akan marah padamu,” bisiknya.
Sian Lun memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun merasa betapa kepanasan hatinya tidak
beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang Lulung Ma telah memberi hormat lagi kepada Gangga Dewi, lalu kepada para penonton.
“Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan tari ular!”
Kakek raksasa hitam itu mengeluarkan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan suara melengkinglengking.
Pemuda penabuh tambur itu bangkit, menghampiri belasan buah keranjang dan membuka tutup
semua keranjang itu, kemudian kembali menabuh tambur perlahan-lahan seperti suara rintik hujan.
Suara suling melengking-lengking lembut. Para penonton menjadi tegang dan tak berani mengeluarkan
suara atau bergerak ketika dari belasan buah keranjang itu bermunculan kepala ular-ular yang besar! Ularular
itu mengangkat kepala tinggi-tinggi, seperti ingin menjenguk keluar, mengembangkan leher dan
mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemudian mereka keluar dari dalam keranjang.
Melihat ini, para penonton yang berada paling depan mundur ketakutan, bahkan para tamu yang duduk di
panggung juga mengangkat kaki dengan gentar. Ular-ular itu bukan ular biasa, melainkan ular kobra yang
berbisa! Sekali saja digigit ular berbisa itu, nyawa dapat melayang!
Kini belasan ekor ular itu sudah keluar dari dalam keranjang masing-masing dan mulai merayap
menghampiri Lulung Ma. Ular itu panjangnya dari satu sampai satu setengah meter. Mereka merayap
dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung Ma dan belasan ekor ular itu berhenti,
masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.
Lulung Ma menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan tangan
membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih ditiupnya. Pemuda itu juga
memukul tambur dengan irama lirih dan lambat.
Kini ular-ular itu mulai menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggokkan, menoleh ke kiri kanan dan
nampak bagaikan belasan orang penari yang mempunyai gerakan lemah gemulai! Para penonton
memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak atau pun bertepuk tangan, takut kalau mengejutkan
ular-ular itu.
Dahulu Suma Ciang Bun pernah belajar ilmu menguasai ular dari mendiang ibunya. Ibunya yang bernama
Kim Hwee Li adalah seorang yang mempunyai ilmu pawang ular. Bahkan Suma Ciang Bun pernah
mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi, melainkan dengan suara yang dikeluarkan dari
bibirnya seperti suitan panjang.
Akan tetapi kini Suma Ciang Bun kagum menyaksikan kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya untuk
menari seperti itu. Hanya ular-ular peliharaan yang sudah dilatih saja yang dapat disuruh menari seperti itu.
Belum tentu raksasa hitam itu mampu menguasai dan mengendalikan ular-ular yang liar, pikirnya.
Agaknya raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini dengan tangan
kirinya, dia memberi isyarat kepada tukang tambur. Pemuda itu lalu bangkit meninggalkan tamburnya
sehingga tinggal suara suling saja yang melengking dan mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu
lalu menuruni tangga panggung dan dengan suara lantang minta kepada penonton di bawah agar
‘membuka jalan’ untuk barisan ular.
“Harap minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan kami panggil untuk mengadakan pesta
ular!” katanya.
Tentu saja orang-orang menjadi ketakutan dan membuka jalan yang cukup lebar seperti dikehendaki
pemuda itu. Si Pemuda Jangkung kembali ke atas panggung dan dia lalu menangkapi belasan ekor ular itu
dengan tangannya dan mengembalikan mereka ke dalam keranjang masing-masing.
Cara dia menangkap ular-ular itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa
pemuda itu dapat menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan ketika ular terakhir hendak
ditangkap, ular itu mematuk dengan serangan cepat sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang,
pemuda itu sudah dapat mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan dan
memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya.
Diam-diam Sian Li kagum. Gerakan mengelak dan menjepit leher ular dengan telunjuk dan ibu jari itu tadi
jelas merupakan gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya
akan mampu menangkap senjata rahasia yang menyambar ke arah dirinya. Ia merasa yakin bahwa
pemuda jangkung itu tentu pandai ilmu silat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini pemuda jangkung itu sudah menabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling yang melengking
begitu tinggi sehingga hampir tak terdengar, tetapi terasa getarannya. Suma Ciang Bun terkejut. Itulah
lengking tinggi memanggil ular yang sangat kuat dan berpengaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia
memandang rendah. Kiranya raksasa hitam ini bukan saja mampu memanggil ular-ular liar.
Jantungnya berdebar tegang. Sungguh berbahaya permainan ini, apa lagi di situ sedang berkumpul banyak
orang. Bagaimana jika ular-ular itu tidak dapat dikendalikan lagi dan menyerang orang?
Semua orang juga memandang tegang. Tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis dan tercium
bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada yang berteriak-teriak.
“Ular...! Ular...!”
Pemuda itu sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lantang, “Harap tenang! Jangan ada
yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!”
Kini nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak bergerak, ular-ular itu tidak
mengganggu. Memang mereka datang dari empat penjuru, bahkan melalui dekat kaki para penonton, akan
tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa menuju ke tangga dan naik ke panggung, menghampiri kakek
raksasa hitam yang meniup suling! Banyak sekali ular-ular itu, puluhan ekor, bahkan ada ratusan ekor
banyaknya, ada yang besar sekali, banyak pula yang kecil namun amat berbisa!
Banyak di antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena merasa ngeri dan takut kalau-kalau
kaki mereka akan diserang ular. Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit berdiri, bukan takut diserang ular,
melainkan khawatir kalau ada tamu yang dipatuk ular.
Seorang gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nampak pucat sekali dan
gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan ketika ada dua ekor ular yang
panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular itu amat berbisa, lewat di dekat kakinya, gadis remaja itu
menjerit. Dua ekor ular itu terkejut dan membalik.
Melihat itu, seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mendekati gadis itu. Gerakan mereka ini
membuat kedua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak menyerang gadis yang menjerit, kini
membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan Sian Lun. Ular yang menyerang Sian Lun dan Sian Li itu
adalah semacam ular yang suka melompat tinggi. Kini mereka pun meloncat dan menyerang dengan
kecepatan seperti anak panah lepas dari busurnya.
Akan tetapi dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari tangannya
menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk dan tewas seketika! Ada pun
ular yang menyerang Sian Lun, disambut oleh pemuda itu dengan cengkeraman ke arah leher ular itu.
Sekali dia meremas, leher ular itu hancur dan ular itu pun mati seketika.
Lulung Ma melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu sekarang bagai tersambung
menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau sebab hatinya panas melihat dua ekor ularnya mati, dan hal
ini membuat ular-ular itu menjadi panik dan kacau pula! Orang-orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari
ke sana sini dengan kacau.
Melihat hal ini, Suma Ciang Bun cepat bertindak. Terdengar suara melengking aneh dan meninggi, dan
ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka dan mereka pun tidak ganas lagi,
melainkan ketakutan dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang
membuat mereka ketakutan!
Lulung Ma menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu menoleh ke arah
Suma Ciang Bun dan memandang dengan mata terbelalak. Kemudian, setelah semua ular pergi, hanya
tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu memberi isyarat kepada Si Pemuda Jangkung yang segera
mengambil dua bangkai ular itu dan menyimpannya dalam sebuah keranjang.
Kemudian Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja otomatis ke arah Suma Ciang Bun. “Harap
dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu menjadi panik. Masih untung ada Enghiong
(Orang Gagah) yang tadi membantu kami mengusir ular-ular itu sehingga tidak ada korban gigitan. Untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
menyatakan maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan kami akan memperlihatkan tari silat yang jelek
dan hanya sekedar menghibur anda sekalian.”
Akan tetapi sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi minggir,
berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka berusia kurang lebih tiga puluh
tahun, yang seorang bertubuh gemuk, yang ke dua kurus, akan tetapi keduanya amat tinggi, setinggi
raksasa hitam itu dan nampak mereka itu memiliki tenaga otot yang kuat.
Melihat mereka, Lulung Ma segera tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu. “Agaknya dua
orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian mereka untuk menghibur para tamu.
Badhu dan Sagha, silakan!”
Dua orang itu memberi isyarat pada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang menggotong
sebuah keranjang yang terisi batu-batu sebesar kepala orang. Dan setelah meletakkan keranjang itu di
depan Badhu dan Sagha, mereka turun kembali.
Badhu yang gemuk dengan perut gendut itu berdiri tegak dengan dua lutut agak ditekuk, memasang kudakuda
kemudian memberi isyarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama Sagha. Orang ini lalu
mengambil sebongkah batu dari keranjang, lalu sekuat tenaga dia menghantamkan batu itu ke arah perut
temannya. Perut yang gendut itu menerima hantaman batu.
“Bukkk!!”
Hantaman itu membalik. Sagha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga dia melontarkan batu
itu ke arah perut kawannya.
“Bukkk!!”
Batu itu mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang menyambut dengan kedua tangan.
Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada, paha, pundak, bahkan dari belakang
mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu itu selalu mental kembali.
Tentu saja semua orang menjadi sangat kagum. Tubuh Si Gendut itu memang kebal. Kemudian, Badhu
juga mengambil sebongkah batu dan menghantamkan batu ke arah Sagha yang kurus. Si Kurus ini
menyambut dengan batu di tangannya.
“Darrrr...!!” Dua buah batu itu pecah berhamburan.
Mereka kembali mengambil batu dan kini mereka saling hantam, bukan saja di tubuh, melainkan di kepala.
Akan tetapi setiap kali batu itu dihantamkan ke kepala lawan, batu itu pecah berhamburan!
Tentu saja para penonton menyambut ini dengan sorak-sorai dan tepuk tangan karena pertunjukan ini
benar-benar menegangkan dan juga mengagumkan. Bagaimana kepala orang dapat begitu kebal dan
keras sehingga batu besar pun pecah pada saat bertemu kepala!
Setelah sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan bergulat!
Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sagha yang kurus dengan kedua tangannya,
mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas, memutar-mutarnya dan membanting sekuat
tenaga.
“Bukkk...!”
Tubuh kurus itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan semua tulangnya patahpatah.
Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah meloncat bangun kembali, dan kini dia
menyergap Si Gendut, menangkap lengannya, dipuntir ke belakang dan dari belakang tubuhnya dia
membanting kawannya itu dengan sepenuh tenaga.
“Bukkk…!”
Tubuh gendut gemuk itu terbanting dan semua orang merasa khawatir. Akan tetapi seperti juga temannya
tadi, segera dia bangkit kembali, seolah-olah bantingan tadi sama sekali tidak dirasakannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang mereka tidak bergulat lagi, namun berkelahi saling pukul dan saling tendang, dan sekali ini
agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka. Pukulan dan tendangan mereka elakkan
atau tangkis, dan yang sempat mengenai tubuh pun tidak dirasakan karena keduanya memiliki kekebalan.
Demikian serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk sorak para penonton yang merasa kagum
bukan main karena mereka seperti melihat dua ekor harimau bertarung. Memang hebat sekali perkelahian
itu, apa lagi juga diiringi musik tambur dan genderang yang dipukul secara kuat oleh Lulung Ma dan
pemuda jangkung.
Akhirnya, Lulung Ma yang memukul gendang memberi isyarat dengan pukulan gendang yang semakin
lambat dan lirih, dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun menghentikan pertandingan
mereka. Dengan sikap bangga dan dada yang terangkat, Si Gendut yang bernama Badhu lalu memandang
kepada para tamu dan para penonton.
“Saudara sekalian, rasanya kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang bertanding
karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau kalah. Kita semua tahu betapa
kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar Pegunungan Himalaya ini, tak dapat disamakan dengan mereka
yang tinggal di timur, yang bertubuh kerempeng dan berpenyakitan. Akan tetapi, kalau ada di antara
saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki kepandaian yang katanya dimiliki orang-orang di
dunia persilatan, silakan maju. Mari kita ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk
membuka mata kita siapa sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!”
Dengan sikap menantang Badhu dan Sagha berdiri di situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan Sian
Li, juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa meski dia tidak menantang secara langsung, akan tetapi di tempat
itu yang jelas merupakan pendatang dari timur adalah mereka bertiga itu.
Sian Lun dan Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka bersepakat untuk menyambut
tantangan itu. Sian Li lalu menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan bertanya, “Bolehkah kami melayani
tantangan mereka?”
Gangga Dewi dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga merasa marah melihat sikap
dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong, bahkan merendahkan orang-orang Han dengan
sengaja. Dia mengangguk dan menjawab. “Biar Sian Lun yang maju lebih dulu menghadapi Badhu, dan
engkau nanti yang menghadapi Sagha.”
Sian Lun yang sejak tadi sudah mendongkol sekali, segera bangkit dan sekali kakinya bergerak, tubuhnya
sudah melayang ke depan dua orang itu.
“Aku orang dari timur yang kerempeng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di antara kalian!” kata
Sian Lun dengan suara lantang.
Suasana menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggota rombongan Puteri
Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui bahwa dia seorang pemuda Han.
Kalau saja Sian Lun bukan anggota rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu telah mengejek dan
menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu tidak berani bersikap kasar
dan dia pun menjura sebagai penghormatan.
“Saya tidak berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang datang dari timur
daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali Kongcu, baiklah saya akan layani
Kongcu main-main sebentar.”
Sagha tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari dan pemain musik
tadi. Kini Lulung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur dan gendang dengan gencar. Mereka
kelihatan gembira sekali.
Sian Li yang memandang rendah kedua orang pegulat itu, lalu berseru dengan lantang. “Suheng, jangan
sampai membunuh orang!”
Sian Lun mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan tangan masih menabuh
gendang, menjawab. “Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum pernah dikalahkan lawan,
dunia-kangouw.blogspot.com
bagaimana mungkin dia dapat dibunuh? Dan jangan khawatir, kami juga tidak akan mau membunuh orang
dalam pesta ini, hanya sekadar menghibur dengan pertunjukan menarik. Badhu, mulailah!”
Dua orang itu sudah saling berhadapan. Sian Lun bersikap tenang walau pun hatinya panas mendengar
ucapan Lulung Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang sakti, tahu bahwa membiarkan diri
diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap tenang dan waspada, dan dia mengikuti setiap gerakan lawan
dengan pandang matanya yang mencorong tajam.
Bagai seekor beruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri kepala, lalu
membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti dengan gerakan kakinya tetap
waspada.
“Kongcu, silakan menyerang lebih dulu,” kata Badhu yang memandang rendah pemuda yang nampak
lemah itu.
“Badhu, engkau yang menantang, engkau pula yang harus menyerang terlebih dahulu,” jawab Sian Lun
dengan sikap tetap tenang.
“Ha-ha-ha, engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dahulu. Awas seranganku
ini!”
Tangan kirinya menyambar dari atas, akan tetapi Sian Lun membiarkan saja karena dari gerakan pundak
lawan ia tahu bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja, sedangkan yang sungguh menyerang adalah
tangan kanan yang menyambar ke arah pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah
kepadanya, disangkanya akan begitu mudah dia tangkap!
Hanya dengan memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu mengenai tempat kosong. Badhu
menyusulkan serangannya bertubi-tubi. Kedua tangannya seperti cakar beruang menyambar-nyambar
untuk mencengkeram dan menangkap.
Sian Lun maklum bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus menjaga agar jangan
sampai dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang ahli gulat dapat berbahaya. Maka, dia pun
mengelak selalu dan kadang menangkis dari samping tanpa memberi kesempatan kepada jari-jari tangan
yang panjang itu untuk bisa menangkapnya.
Ketika Badhu yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tidak pernah berhasil itu
menubruk laksana seekor harimau, dengan kedua lengan dikembangkan, Sian Lun menggeser kakinya ke
kiri. Tubuhnya mengelak dengan lincah dan saat tubuh Badhu lewat di sebelah kanannya, dia pun
mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah lambung lawan.
“Desss...!”
Tubuh lawan itu terbanting keras dan bergulingan. Akan tetapi seperti bola karet, dia sudah bangkit kembali
dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah
karena biar pun dia tidak terluka, namun dia telah terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah
oleh para penonton. Kini dia tidak hanya menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala.
Dia memang kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau menggunakan
tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan tangan yang dibuka, dan tangan itu
menampar ke arah muka orang. Yang diarah adalah hidung dan mata karena yakin bahwa betapa pun
kebal kepala itu, kalau hidung dan mata tidak mungkin dilatih kekebalan.
“Plakkk!”
Tubuh itu tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan dua tangannya
menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi biru dan sebelah matanya juga
dilingkari warna menghitam!
Badhu adalah seorang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan. Kalau dia biasa menggunakan
otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya dibandingkan
dengan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan keras serta tebalnya tulang dan kulit. Kini dia
menjadi marah sekali dan lupa diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia menggereng seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan membabi-buta.
Serangan membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian Lun. Maka dia pun menggunakan
kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan pukulan-pukulan tangan terbuka yang ditujukan
ke arah bagian badan yang tak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali tangannya menampar daun telinga,
sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya menendang ke arah sambungan lutut kedua kaki lawan.
“Brukkk...!”
Sekali ini Badhu jatuh dan biar pun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali karena sambungan
kedua lututnya telah berpindah tempat!
Para penonton menahan napas dan suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang berani bertepuk
tangan karena selain mereka merasa bangga kepada Badhu juga mereka masih tidak dapat percaya
bahwa seorang pemuda yang kelihatan lemah itu benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut
tanpa mengalami cidera sedikit pun, bahkan tanpa pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu!
Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Walau pun hanya dia seorang
yang bertepuk tangan, akan tetapi karena dia sengaja mengerahkan tenaganya, maka suara tepuk
tangannya amat nyaring.
Sagha sudah membawa teman-temannya, para pemain musik, untuk membantu Badhu meninggalkan
gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.
“Kongcu hebat, dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu denganmu.
Bersiaplah!”
Sian Lun tentu saja tidak takut, akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan merah. “Suheng,
jangan tamak! Yang satu ini bagianku!”
Sian Lun memandang pada sumoi-nya dan tersenyum. “Hati-hati Sumoi, jangan sampai kesalahan tangan
membunuh orang,” katanya dan dia pun kembali ke tempat duduknya.
Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena mereka tadi sudah kagum kepada
gadis jelita itu, sekarang melihat gadis itu berani menghadapi dan hendak melawan seorang jagoan seperti
Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga perasaan hati mereka tegang. Bagaimana kalau kulit yang
halus mulus itu sampai lecet, tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tak ada yang
mengira bahwa tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian pemuda
tampan yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu!
Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga pada diri sendiri dan jarang menemui tandingan,
maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia merasa sungkan dan tidak enak
sekali.
“Nona, aku Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur menghadapi lawan
yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku berani melawan seorang dara yang masih
setengah kanak-kanak seperti Nona? Seluruh dunia akan mentertawakan aku, menang atau pun kalah.
Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki yang mengeroyokku dari pada harus bertanding melawan
seorang dara remaja!”
Sian Li tersenyum mengejek. “Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau takut,
berlututlah dan cabut semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan menghina para
pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi dan mohon maaf, baru aku
dapat mengampunimu!”
Mereka yang memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa beraninya!
Dan mereka yang tidak paham, cepat-cepat bertanya kepada teman mereka yang mengerti dan semua
orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget dan heran.
Seorang gadis yang usianya belum dewasa benar, akan tetapi berani bersikap demikian meremehkan
terhadap seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah memamerkan demonstrasi kekebalan dan
kehebatan tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain saja demikian kuatnya, kepalanya mampu
dunia-kangouw.blogspot.com
membikin pecah batu, apa lagi tangannya. Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu akan
remuk!
Mendengar ucapan Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi merah sekali. Kalau saja
bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu sudah dihantamnya. Akan tetapi dia
berhadapan dengan seorang gadis, anggota rombongan Sang Puteri Gangga Dewi pula, tentu saja dia
tidak berani sembarangan.
“Nona, mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi engkau bukanlah lawanku. Aku tidak
takut kepadamu, melainkan takut kalau ditertawakan orang gagah sedunia. Pula, bagaimana aku berani
bertanding dengan engkau yang datang bersama Yang Mulia Puteri Gangga Dewi? Aku takut mendapat
marah dari beliau.”
Gangga Dewi yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bahwa Sian Li sudah mewarisi
ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh dibandingkan suheng-nya. Oleh karena itu, tentu
saja dia merasa yakin bahwa Sian Li akan mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan
mudah. Juga dia ingin orang yang sombong itu dapat menerima hajaran karena telah berani mengejek dan
menghina para pendekar Han.
“Sagha, engkau boleh bertanding melawan Si Bangau Merah, dan kalau engkau mampu menang, baru aku
mengakui bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat.”
Sagha memberi hormat kepada Gangga Dewi. “Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau hamba
kesalahan tangan dan melukai Nona ini? Hamba tidak ingin Paduka nanti marah kepada hamba.”
Gangga Dewi tertawa. “Aku tidak akan marah dan semua orang yang berada di sini menjadi saksinya.”
“Terima kasih, Yang Mulia,” kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li. “Baik, Nona. Mari kita main-main
sebentar.”
“Tak usah main-main, engkau keluarkan semua kepandaianmu dan seranglah sungguh-sungguh karena
aku akan merobohkanmu!” kata Sian Li.
“Hemm, bocah ini terlalu memandang rendah kepadaku,” pikir Sagha marah. Dia pun tidak sungkansungkan
lagi dan mengambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di depan umum, misalnya dengan
merobek baju itu!
“Nona, jaga seranganku ini!”
Kedua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu sudah bergerak cepat menyambar ke arah
tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi. Dibandingkan Badhu, Sagha yang tinggi kurus ini memang lebih
sigap dan cepat.
“Hyaaaahhhh...!” Dia membentak sambil menyerang.
“Plakkk!”
Kedua telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan mengeluarkan bunyi keras ketika terkamannya
itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah lenyap. Cepat dia membalik dan kembali kedua
lengan panjang itu bergerak seperti dua ekor ular, akan tetapi kembali terkamannya mengenai tempat
kosong.
Makin cepat Sagha menyerang, semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton menjadi
bengong saking kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah
berkelebatan dengan sangat cepatnya, menyambar-nyambar di antara terkaman dan cengkeraman kedua
tangan Sagha.
Mendadak, ketika dia menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, Sian Li berseru nyaring. Jari
telunjuk kirinya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk dengan cepat seperti kilat menyambar.
“Haiiitttt...! Tukkk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Telunjuk kiri itu menotok dua kali ke pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu bergerak karena
dia telah menjadi korban ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai.
Sian Li juga telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang hebat dari
paman kakeknya, akan tetapi ia tadi menggunakan It-yang Sin-ci untuk mempraktekkan ilmu yang baru
saja ia pelajari dari Raja Obat itu. Dan pada saat lawan tak mampu bergerak, kaki Sian Li menyambar ke
arah lutut. Sagha yang tidak mampu mengerahkan tenaga lagi roboh terpelanting. Pada saat lawan
terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya.
Para penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat betapa Dewi
Bangau Merah benar-benar sudah mampu merobohkan Sagha! Maka terdengarlah tepuk sorak riuh
menyambut kejatuhan Sagha.
“Hemmm, mana kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para pendekar dari timur?
Hanya sebegini saja?” Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan kembali terdengar orang menyambut
dengan suara riuh.
Wajah Sagha sebentar pucat sebentar merah dari dia meloncat berdiri.
“Aku belum kalah!” bentaknya.
Dia pun kembali menyerang, kini bukan ingin menangkap dan merobek baju gadis itu, melainkan memukul
dan menendang dengan dahsyat! Sagha sudah marah sekali dan lupa bahwa yang dilawannya hanya
seorang dara remaja. Dia menyerang bukan lagi untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, Sagha seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan, cengkeraman dan
tendangannya hanyalah mengenai udara kosong sampai terdengar suara bersiutan.
Tiba-tiba, begitu melihat ada kesempatan baik, kembali jari telunjuk tangan kiri gadis itu meluncur dan
seperti tadi, seketika tubuh Sagha tidak dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak nyaring Sian
Li menendang atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga. Tubuh tinggi kurus itu
terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya, yaitu para penari dan penabuh
musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian Lun!
Tepuk tangan dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika Sian Li berjalan
kembali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti tiba-tiba dan kini Lulung Ma dan pemuda
tampan jangkung telah berdiri berdampingan sambil bertolak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan
yang mengatasi keriuhan di situ, suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua orang.
“Saudara sekalian! Kedua orang pembantu kami sudah kalah karena mereka memang bodoh. Sekarang,
kami berdua menantang siapa saja yang memiliki kepandaian untuk mengadu ilmu di sini. Kami menantang
semua dan siapa saja, tidak terkecuali!”
Pandang mata Lulung Ma lurus ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pandang mata pemuda
jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Walau pun mereka tidak menuding, jelas bahwa dua orang
Han itulah yang mereka tantang!
Tiba-tiba Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain, menuding ke arah Lulung Ma dan terdengar
suaranya yang lembut namun lantang.
“Lulung Ma, sikapmu menunjukkan bahwa engkau dan orang-orangmu ini agaknya para penyelundup yang
hendak mengacau di Bhutan! Menyerahlah untuk kami tawan dan kami periksa!”
Mendadak Lulung Ma mengubah sikapnya yang tadi hormat kepada puteri itu. “Gangga Dewi, engkau
puteri Bhutan yang mengkhianati bangsa sendiri, bersekongkol dengan orang-orang Han dari timur!
Engkau yang sepatutnya ditawan!”
Tiba-tiba raksasa hitam itu meloncat ke tempat duduk kehormatan, diikuti oleh pemuda jangkung yang juga
sekali menggerakkan kaki sudah ikut melayang ke situ. Lulung Ma menerjang ke arah Gangga Dewi,
sedangkan pemuda jangkung itu menerjang ke arah Liem Sian Lun!
“Jahanam busuk!” Suma Ciang Bun meloncat dan melindungi isterinya. Melihat betapa Lulung Ma
menyerang Gangga Dewi dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka, Ciang Bun memapaki dengan
kedua telapak tangannya pula.
“Desss...!”
Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya Ciang Bun terhuyung, akan tetapi Lulung Ma juga
mundur dua langkah. Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui bahwa Si Raksasa Hitam itu sangat
kuat dan memiliki sinkang yang ampuh dan dapat menandingi kekuatan cucu Pendekar Sakti dari Pulau Es
itu!
Gangga Dewi melolos sabuk sutera putihnya dan cepat membantu suaminya dan suami isteri itu kini
mengeroyok Lulung Ma. Gangga Dewi menggunakan sabuk sutera, Suma Ciang Bun pun sudah
menghunus sepasang pedangnya yang bersinar putih, sedangkan Lulung Ma juga sudah mengeluarkan
senjatanya yang terlihat aneh dan dahsyat, yaitu sepasang roda atau gelang besar yang dipasangi siripsirip
tajam dan berwarna kuning keemasan.
Sementara itu, pemuda jangkung tukang tambur tadi sudah menyerang Sian Lun. Tentu saja Sian Lun
segera menyambut serangannya dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.
“Dukkk!”
Pertemuan dua lengan membuat Sian Lun hampir terjengkang, maka mengertilah Sian Lun bahwa pemuda
jangkung itu memang benar seperti dugaannya tadi, bukan orang sembarangan dan mempunyai tenaga
sinkang kuat. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan
tenaga otot dan tulang, tenaga kasar saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda jangkung ini memiliki gerakan silat yang lihai, dan dalam pertemuan tenaga pertama kali tadi, Sian
Lun jelas kalah kuat. Oleh karena itu, gadis yang lincah dan galak ini meloncat ke depan dan sambil
mengeluarkan bentakan, ia sudah menyerang dengan ilmu yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong dan
yang paling disukainya, yaitu ilmu totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang).
“Keparat, jangan menjual lagak di sini!” bentak Sian Li dan serangannya itu membuat Si Pemuda Jangkung
terkejut. Akan tetapi dia masih mampu menghindarkan diri dengan melempar tubuh ke belakang dan
berjungkir-balik tiga kali.
“Nona Merah yang cantik sekali, mundurlah agar kulitmu yang putih mulus tidak sampai lecet,” pemuda itu
berkata dan ternyata penabuh musik ini seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya, juga pandai bicara
dan lincah.
Wajah gadis itu menjadi semerah pakaiannya dan dua matanya melotot. Tanpa banyak cakap lagi Sian Li
sudah menerjang lagi dengan tusukan-tusukan jari tangannya yang amat berbahaya. Sian Lun juga
membantu sumoi-nya dan pemuda ini bahkan sudah mencabut pedang dan menyerang pemuda jangkung
dengan ganasnya.
Si Pemuda Jangkung terkejut. Kiranya dua orang pengeroyoknya itu sangat berbahaya. Maka setelah
berkali-kali dia berloncatan mengelak, dia lalu melolos senjatanya, yaitu sehelai sabuk rantai baja yang
kedua ujungnya dipasangi pisau tajam. Dia memutar senjata itu dan dua batang pisau menyambarnyambar
ke arah Sian Li dan Sian Lun bagaikan dua ekor burung walet menyambari belalang.
Sian Li juga sudah mencabut pedangnya dan bersama suheng-nya, ia lalu mengeroyok pemuda jangkung.
Bagaimana pun lihainya pemuda jangkung itu, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang murid dari
Suma Ceng Liong, cucu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es yang paling tangguh, maka sebentar saja dia
sudah terdesak hebat dan kedua pisau di ujung rantai bajanya hanya mampu melindungi dirinya tanpa
mampu membalas serangan lawan.
Lulung Ma ternyata memang lihai bukan main. Sepasang senjatanya yang berbentuk gelang besar bersirip
itu selain dapat dipegang oleh kedua tangan untuk menangkis dan menghantam lawan, juga dapat dia
lontarkan ke arah lawan. Gelang itu akan berputar menyambar ke arah lawan, dan jika lawan mengelak,
gelang itu berputar dan membalik kembali ke tangannya.
Beberapa kali Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi nyaris terkena sambaran senjata yang istimewa itu.
Namun, kedua suami isteri ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, keturunan orangorang
sakti. Oleh karena itu, betapa pun dahsyatnya permainan sepasang gelang atau roda di tangan
Lulung Ma, tetap saja mereka mampu mempertahankan diri, bahkan serangan balasan pasangan suami
isteri ini pun sering kali membuat Lulung Ma menjadi repot sekali.
“Kepung tempat ini, tangkap mereka semua. Mereka mata-mata musuh!” Gangga Dewi berteriak lantang.
Mendengar aba-aba ini, pasukan keamanan dan para petugas di dusun itu lalu serentak maju mengepung
dan mengeroyok. Hanya Lulung Ma, pemuda jangkung dan dua orang pembantu mereka tadi, yaitu Badhu
dan Sagha yang terus melakukan perlawanan. Para pemusik lain dan juga para penyanyi dan penari berdiri
berkelompok di sudut dengan ketakutan.
Penonton menjadi panik, apa lagi ketika empat orang yang dikeroyok itu berloncatan ke tengah penonton.
Beberapa orang penonton roboh, dan saat Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Sian Lun dan Sian Li
melakukan pengejaran, keempat orang itu sudah lenyap di antara penonton.
Ketika ditanya, para pemusik itu menjawab dengan ketakutan bahwa mereka tidak tahu, bahkan tidak
mengenal empat orang itu. Pamimpin rombongan itu, seorang kakek yang lemah, akhirnya mengatakan
bahwa dia terpaksa menerima keempat orang itu sebagai anggota rombongan.
“Kenapa engkau menerima mereka?” Gangga Dewi bertanya.
“Hamba takut menolak, mohon Paduka mengampuni hamba...” kata kakek itu ketakutan. “Hamba sama
sekali tidak tahu bahwa mereka adalah pemberontak-pemberontak, tidak tahu bahwa mereka adalah
orang-orang Nepal yang hendak mengacau.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Katakan, bagaimana engkau bertemu dengan mereka dan siapa pula mereka itu,” kata pula Gangga Dewi.
“Pada malam hari ketika hamba menerima perintah untuk meramaikan penyambutan terhadap Paduka,
hamba telah didatangi kakek yang mengaku bernama Lulung Ma itu. Sebelumnya hamba telah mengenal
dia sebagai seorang pendeta yang bernama Lulung Lama, yaitu seorang pemimpin dari para pendeta
Lama Jubah Hitam di Tibet. Ada pun pemuda jangkung itu adalah muridnya, seorang peranakan Han-Tibet
yang bernama Cu Ki Bok. Mereka itu... aughhh...!”
Sian Li yang bergerak paling cepat, sudah meloncat ke kiri dari mana datangnya pisau yang terbang dan
menembus dada kakek pemimpin rombongan pemusik itu. Dia masih sempat melihat berkelebatnya
bayangan di antara penonton. Dia mengejar terus, akan tetapi karena banyak penonton yang kembali
menjadi panik dan lari ke sana ke mari, dia kehilangan jejak bayangan itu. Akan tetapi melihat bayangan itu
bertubuh jangkung, dia bisa menduga bahwa bayangan yang melempar pisau dan membunuh kakek
pemimpin rombongan pemusik yang sedang memberi keterangan itu tentulah pemuda jangkung pemukul
tambur yang lihai tadi.
Ketika ia kembali ke tempat tadi, di atas panggung, ternyata kakek itu telah tewas tanpa dapat melanjutkan
keterangannya. Gangga Dewi mengepal tinju. Ia mengajak suaminya dan dua orang muda-mudi itu untuk
segera melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Thimphu karena dia harus segera melaporkan semua
hal yang terjadi itu kepada raja agar dikerahkan pasukan khusus untuk membasmi dan membersihkan
jaringan mata-mata orang Nepal dan Tibet yang agaknya bersekongkol itu. Harus mengirim berita pula
kepada Kerajaan Nepal dan para pimpinan Lama di Tibet tentang orang-orang Nepal Tibet yang hendak
mengacaukan keadaan yang aman tenteram itu…..
********************
Tan Sian Li dan suheng-nya diterima dengan penuh keramahan dan kegembiraan oleh keluarga raja di
Bhutan. Juga semua orang menyambut dengan bahagia bahwa Puteri Gangga Dewi kini telah
bersuamikan seorang pendekar yang gagah perkasa, keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es pula!
Sebentar saja, semua orang mengenal dan mengagumi Si Bangau Merah, julukan Sian Li. Selama
seminggu tinggal di istana, dua orang muda mudi itu setiap hari dijamu dan disambut penuh kehormatan
dan keramahan.
Setelah selama seminggu tinggal di istana Kerajaan Bhutan, Sian Li dan Sian Lun lalu berpamit dari
keluarga kerajaan itu. Mereka tidak berani tinggal terlalu lama di istana Bhutan, di mana mereka disambut
sebagai tamu agung itu karena mereka harus sudah tiba kembali di rumah Suma Ceng Liong sebelum sincia
(tahun baru). Selain itu, kedua orang muda ini juga ingin meluaskan pengalaman dan hendak
melakukan perjalanan pulang melalui daerah Tibet.
Dengan hati yang berat Gangga Dewi melepas Sian Li pergi. Dia sudah merasa amat sayang kepada dara
yang lincah itu dan dia memaksa Sian Li menerima bekal emas permata darinya. Selain itu, juga dia
menyediakan dua ekor kuda terbaik untuk mereka. Akan tetapi, pada waktu Gangga Dewi hendak
menyiapkan pasukan pengawal, Sian Li menolaknya.
“Kami berdua mampu menjaga diri sendiri, mengapa harus dikawal? Pula, pengawalan membuat
perjalanan menjadi tak menarik dan tidak leluasa,” demikian Sian Li menolak.
Dan akhirnya, Gangga Dewi, Suma Ciang Bun dan sebagian besar keluarga kerajaan mengantar
keberangkatan dua orang muda itu sampai ke pintu gerbang kota raja…..
********************
Selain mendapatkan hadiah emas permata yang sangat berharga, dan dua ekor kuda terbaik, juga mereka
menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang dibuat oleh seorang ahli di istana Bhutan,
disebutkan tempat-tempat yang akan mereka lalui dalam perjalanan ke timur melalui Tibet itu. Juga
diterangkan akan bahaya-bahaya yang mungkin mereka hadapi pada setiap tempat.
Selain itu, Raja Bhutan berkenan memberi sebuah tanda yang terbuat dari sutera yang dicap tanda
kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan disambut oleh setiap rakyat di daerah
Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati. Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan
mengenali tanda keluarga Raja Bhutan yang menjadi tetangga mereka dan akan menghormatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata kemudian bahwa tanda kebesaran ini sangat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li dan Sian
Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu menyambut mereka dengan penuh penghormatan setiap
kali Sian Li terpaksa memperlihatkan tanda itu bila ada orang yang kelihatan curiga kepada mereka. Tanda
kebesaran itu membuat mereka selalu disambut dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.
Setelah melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di daerah yang tandus dan
gersang. Mereka tahu dari peta bahwa daerah itu cukup luas dan mereka harus melakukan perjalanan
sehari penuh melewati daerah tandus itu sebelum tiba di dusun pertama di daerah yang subur. Karena itu,
sebelum melewati daerah ini, mereka telah membawa perbekalan makanan dan terutama minuman karena
menurut keterangan dalam peta, di daerah itu mereka tidak akan dapat menemukan makanan atau
minuman bersih.
Mereka berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan semakin dalam mereka memasuki daerah
itu, semakin tandus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dapat hidup di tanah berbatu keras itu. Yang
ada hanya batu dan pasir dan biar pun daerah itu masih cukup tinggi, namun hawanya terasa panas sekali.
Mengerikan bila melihat ke sekeliling, sedemikian sunyinya. Jangankan manusia, seekor binatang pun
tidak nampak. Bahkan burung-burung pun tahu bahwa daerah itu adalah merupakan daerah maut, maka di
angkasa pun tidak nampak adanya burung terbang. Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi
melengang dan mengerikan.
Tepat pada tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk. Oleh karena cahaya matahari menyengat kulit
dengan sangat hebatnya, Sian Li mengajak suheng-nya untuk berhenti dan beristirahat sebentar di gubuk
itu untuk makan roti dan minum air bekal mereka.
Sebuah gubuk yang sudah tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Hanya merupakan tempat berteduh, tanpa
dinding, hanya atap dan empat buah tiang saja. Akan tetapi di bawah atap itu terdapat batu datar yang
dapat mereka jadikan tempat duduk.
“Lihat, ada tulisan di sini,” kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekat batu di mana mereka duduk.
Sian Li memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat ukir-ukiran beberapa buah
huruf yang agaknya dibuat dengan menggunakan senjata tajam. Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu
diukir oleh seorang yang pandai menulis dan mengukir, seorang sasterawan atau seniman. Mereka
kemudian meneliti tulisan itu dan membacanya.
Andai kata aku seorang raja,
aku rela menukar kerajaanku
untuk segelas air jernih!
Hanya sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada cukup. Sian Li dapat
membayangkan keadaan Si Penulis itu. Tentu ia seorang yang kehabisan air, sedang kehausan, berada di
tengah gurun tandus ini. Sungguh luar biasa sekali. Alangkah berharganya segelas air jernih pada saat
sedang dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga dari pada sebuah kerajaan!
Betapa besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia. Berlimpah sudah anugerah
dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Alangkah nikmatnya, betapa pentingnya, alangkah berharganya
segelas air, atau sepotong roti, seteguk hawa udara, bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk
mendapatkan itu demikian mudahnya.
Sudah tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih! Puji syukur kepada
Tuhan Maha Kasih! Maka berbahagialah manusia yang dapat menikmati semua anugerah yang
berlimpahan di sepanjang hidupnya ini.
Akan tetapi sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua berkah
yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita mendapatkan segelas air, nafsu
angkara murka membisikkan celaannya, mengapa tidak ada anggur, mengapa hanya ada air tawar. Dan
lenyaplah sudah segala keindahan dan kenikmatan air itu, bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan
mengecewakan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nafsu memang tidak mengenal puas, tidak mengenal batas. Kalau ada anggur, bisikan beracun itu masih
terus berdengung agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi, yang lebih enak lagi, yang lebih
nikmat lagi. Segala sesuatu yang tidak ada, yang masih belum terjangkau oleh tangan, selalu akan nampak
lebih indah, lebih nyaman dan lebih menyenangkan dari pada apa saja yang sudah kita miliki.
Mensyukuri keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah, sebagai
suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan. Bukan berarti lalu mandeg dan
lunglai, bersandar pada kekuasaan Tuhan belaka. Sama sekali tidak!
Hidup berarti gerak, bekerja, berikhtiar sekuat tenaga, sekuat kemampuan. Ini berarti menjalankan semua
alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika kita diciptakan sebagai manusia. Kita
pergunakan semua alat, anggota tubuh, hati dan alat pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi
mencukupi semua kebutuhan hidup.
Bukan demi menuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita menghalalkan
semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan hidup di dunia ini. Apa pun hasilnya,
apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun yang menimpa diri kita, kita terima tanpa mengeluh! Semua
kehendak Tuhan jadilah!
Manusia hanya dapat menyerah, kita hanya dapat menerima, dan kita wajib membantu pekerjaan
kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tak akan dapat memperoleh padi tanpa berusaha, walau pun Tuhan
sudah menyediakan sinar mataharinya, tanahnya, airnya, benihnya, udaranya. Kita harus membantu
mengerjakan semua itu, mencangkul tanah, menanam benihnya, mengairi sawah, menuai, menjemur,
menumbuk, dan selanjutnya, sebelum hasilnya dapat menyambung kehidupan kita melalui makanan.
Sian Li tertawa. Dia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isyarat kepada suheng-nya untuk makan dan
minum air bekal mereka. Melihat sumoi-nya tertawa, lalu tersenyum-senyum sambil makan roti dan minum
air, Sian Lun memandang heran.
“Ehh, Sumoi, kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?”
Ia mengamati wajah yang kemerahan karena sinar matahari itu sehingga kedua pipinya di bawah mata
yang agak menjendul itu menjadi merah sekali, mengamati bibir yang bergerak-gerak ketika makan roti.
Betapa manisnya wajah sumoi-nya!
Sian Li tersenyum dan sebelum menjawab, ia minum dulu air dari botol airnya. “Tulisan inilah yang
membuat aku tertawa,” katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang diukir huruf-huruf itu.
“Apanya yang lucu Sumoi? Huruf-huruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku sangat mengharukan dan
menyedihkan, kenapa engkau malah tertawa?”
“Bukan karena lucu, Suheng, tapi karena senang dan gembira. Tulisan ini menyadarkan aku betapa
bahagianya diriku. Di tempat seperti ini aku tidak kehausan dan kelaparan, bukankah saat ini aku masih
jauh lebih berbahagia dibandingkan seorang yang kaya raya seperti raja namun kehausan dan tidak
mempunyai air?”
“Engkau benar, Sumoi. Akan tetapi, andai kata yang menulis ini benar seorang raja, aku yakin dia tidak
akan menulis seperti ini. Apa yang akan dilakukan seorang raja yang kehausan di tempat ini dan tidak
mempunyai air? Tentu dia akan memerintahkan para pengawalnya untuk segera mencarikan air minum
untuknya.”
Sian Li mengangguk. “Pendapatmu itu memang tepat, Suheng. Karena dia bukan raja, maka dia menulis
seperti ini. Manusia memang siap melakukan apa saja, bersikap yang aneh-aneh, kalau sedang
menghendaki sesuatu yang dibutuhkannya.”
Sian Lun mengangguk. “Manusia selalu dipermainkan oleh keinginannya, padahal yang diinginkan di dunia
ini selalu berubah-ubah dan banyak sekali macamnya. Seorang raja yang sakit mungkin mau saja menukar
kerajaannya dengan kesehatan dan keselamatan nyawanya, tetapi dalam keadaan sehat, dia akan
mempertahankan dan memperebutkan kedudukannya dengan taruhan nyawa!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah melepaskan lelah dan selesai makan roti dan minum air jernih, kedua orang muda itu lalu
melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi baru beberapa menit mereka melarikan kuda, mendadak
mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang.
Sian Li yang berada di depan menahan kudanya dan menoleh. Terpaksa Sian Lun pun menahan kudanya
pula dan mereka melihat serombongan orang berkuda membalapkan kuda mereka dari arah belakang dan
melewati mereka.
Rombongan itu terdiri dari tujuh orang lelaki yang berwajah bengis dan menyeramkan. Pada saat
mengenal dua orang di antara mereka adalah Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang menjadi anak
buah Lulung Lama, Sian Lun cepat-cepat berkata kepada sumoi-nya, “Sumoi, mari kita kejar mereka!”
Sian Li hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu, tetapi karena
Sian Lun sudah membalapkan kudanya, dia pun terpaksa melakukan pengejaran.
“Suheng, tahan dulu...!” Serunya ketika ia dapat menyusul suheng-nya.
Sian Lun menahan kendali kudanya dan mereka berhenti.
“Suheng, untuk apa kita mengejar mereka?” tanyanya.
“Aihh, bagaimanakah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah mata-mata yang
mengacau di Bhutan? Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?”
“Hemm, Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus membantu Bhutan. Akan tetapi,
menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas kita, apa lagi kini kita sedang
melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu, engkau harus ingat pula bahwa kini kita tidak berada di
daerah Bhutan lagi, melainkan daerah Tibet.”
Mendengar ucapan sumoi-nya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia mengangguk
maklum, kemudian berkata, “Betapa pun juga, karena kita juga melakukan perjalanan yang searah dengan
mereka tadi, tidak ada salahnya kalau kita diam-diam memperhatikan dan menyelidiki apa yang hendak
mereka lakukan. Setidaknya kita bisa mencegah perbuatan mereka yang akan merugikan Bhutan, tanpa
menunda perjalanan kita. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?”
Gadis itu mengangguk. “Tentu saja, Suheng. Aku pun hanya ingin mengingatkanmu agar kita berhati-hati.
Perjalanan masih jauh dan kita tidak mengenal daerah ini.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan walau pun sudah tertinggal jauh oleh rombongan berkuda tadi, namun
mereka masih dapat mengikuti jejak tujuh orang itu dengan mudah, apa lagi karena memang rombongan
itu menuju ke arah yang sama dengan perjalanan mereka.
Setelah matahari condong ke barat, menjelang senja, mereka tiba di daerah yang subur, bukit-bukit yang
hijau dan mulai nampak anak sungai mengalir turun. Segera nampak sebuah dusun yang besar, nampak
genteng-genteng rumah dari lereng. Cukup banyak dan besar-besar rumah yang berada di dusun itu.
Juga jejak kaki kuda rombongan tadi menuju ke dusun itu. Mereka lalu menuju ke dusun untuk melewatkan
malam dan juga sekalian hendak melihat apa yang akan dilakukan rombongan Badhu dan Sagha, dua
orang ahli silat Nepal yang sombong itu.
Dusun itu memang merupakan dusun yang besar dan ramai, terletak di tepi Sungai Yalu Cangpo atau
Sungai Brahmaputra yang mengalir dari Pegunungan Himalaya menuju ke timur. Nama dusun itu dusun
Namce.
Daerah itu memang luas, tanahnya subur karena dekat sungai, dan juga di sungai itu terdapat banyak ikan
sehingga nampak banyak perahu nelayan di situ. Selain ini, dusun Namce juga menjadi pelabuhan dan
orang-orang yang melakukan perjalanan ke timur, banyak yang mempergunakan perahu melalui sungai
yang besar itu.
Meski pun hanya berupa rumah-rumah sederhana, akan tetapi di dusun Namce terdapat beberapa rumah
penginapan dan rumah makan yang menjual makanan sederhana. Ada pula pedagang yang menjual
bermacam barang keperluan sehari-hari. Semua ini telah membuat dusun itu menjadi makin ramai, dan
dunia-kangouw.blogspot.com
terutama sekali karena lalu-lintas melalui sungai itulah yang mendatangkan kemakmuran kepada dusun
Nam-ce.
Bahkan orang-orang yang datang dari Lhasa, ibu kota Tibet, yang hendak melakukan perjalanan ke timur,
banyak yang melalui Sungai Brahmaputra. Di sebelah selatan luar kota Lhasa terdapat sebuah sungai
yang airnya menuju ke Sungai Brahmaputra di dekat Namce, maka banyak yang menggunakan perahu
dari Lhasa ke Namce, kemudian dari dusun pelabuhan ini melanjutkan perjalanan dengan perahu besar ke
timur, mengikuti aliran air Sungai Brahmaputra.
Sian Lun dan Sian Li menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan yang kecil namun bersih.
Tempatnya pun agak di pinggir dusun sehingga keadaan di situ tak begitu ramai seperti di bagian tengah
dusun, di mana terdapat sebuah pasar yang selalu ramai dikunjungi orang karena tempat ini merupakan
pasar perdagangan.
Setelah membersihkan diri yang berlepotan debu dan berganti pakaian baru, Sian Li lalu mengajak Sian
Lun keluar dari rumah penginapan dan mencari kedai makanan. Mereka berada di tempat asing, dan
orang-orang di sekeliling mereka adalah orang-orang dari suku bangsa daerah itu. Hanya kadang saja
nampak orang berpakaian seperti mereka, yaitu orang-orang Han yang hampir semua adalah pedagang.
Andai kata Sian Li mengenakan pakaian biasa, tentu dua orang muda ini tidak terlalu menarik perhatian,
walau pun kecantikan Sian Li tentu membuat banyak pria melirik. Namun, karena gadis itu selalu
mengenakan pakaian yang warnanya kemerahan, baik polos mau pun berkembang, maka tentu saja ia
nampak amat menyolok dan menjadi perhatian setiap orang.
Sian Li mengajak suheng-nya untuk memasuki sebuah kedai makan yang berada di jalan yang agak sunyi.
Ketika mereka memasuki kedai, senja hampir terganti malam, cuaca mulai gelap. Kedai itu pun sudah
diterangi lampu-lampu minyak yang tergantung dengan kap-kap lampu beraneka warna sehingga nampak
terang dan meriah. Seorang pelayan menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk.
Sian Li menyapu ruangan itu dengan sinar matanya. Tidak terlalu banyak tamu di situ. Seorang pria yang
agaknya menurut pakaiannya adalah bangsa Han duduk di sudut sambil menundukkan muka. Tiga orang
bangsa Tibet duduk di tengah ruangan itu, dan masih ada beberapa orang lagi makan di meja sebelah kiri.
Tidak ada sepuluh orang tamu yang berada di ruangan itu.
Sian Li dan Sian Lun duduk di bagian kanan. Sengaja Sian Li memilih bangku yang membuat ia duduk
membelakangi para tamu itu. Ia takkan merasa enak makan kalau menghadapi mata banyak laki-laki yang
ditujukan kepadanya dengan sinar mata kurang ajar.
Sian Lun duduk berhadapan dengan Sian Li sehingga pemuda inilah yang menghadap ke tengah ruangan,
dapat melihat para tamu. Memang, seperti yang dilihatnya, sejak sumoi-nya masuk ruangan rumah makan,
semua tamu yang duduk di situ, semuanya pria, mengangkat muka dan melempar pandang mata kagum
kepada Sian Li. Pandang mata orang-orang itu seperti melekat pada Sian Li, dan biar pun sumoi-nya
sudah duduk membelakangi mereka, tetap saja mereka itu selalu melirik ke arah gadis itu. Kecuali seorang
saja, yaitu orang Han yang duduk seorang diri di sudut belakang.
Orang itu makan sambil menundukkan muka. Ia hanya mengangkat muka memandang sejenak ketika dia
dan sumoi-nya tadi masuk, lalu menundukkan muka kembali, sedikit pun tidak menaruh perhatian lagi.
Setelah makanan yang dipesan datang, dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu makan minum dan
baru saja mereka selesai, mereka mendengar suara banyak orang memasuki rumah makan. Mereka
menengok dan sinar mata mereka menjadi keras ketika mereka mengenal tujuh orang yang tadi mereka
bayangi, yaitu Badhu dan Sagha bersama lima orang kawan mereka!
Sian Li tidak ingin mencari keributan di situ. Ia hanya ingin menyelidiki, apa yang akan dilakukan dua orang
anak buah Lulung Lama itu, akan tetapi tidak ingin bentrok secara langsung. Apa lagi dia tahu bahwa dia
dan suheng-nya berada di daerah pihak lawan, maka keadaan dapat berbahaya bagi mereka.
Ia memberi isyarat kepada suheng-nya, lalu menggapai pelayan yang segera mendekati mereka. Pelayan
lainnya sibuk melayani tujuh orang tamu yang baru masuk. Sian Lun segera membayar harga makanan
dan mereka berdua hendak keluar dari rumah makan itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan kasar. “Heiiii, kalian berdua, tunggu dulu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Li dan Sian Lun berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Badhu dan Sagha telah berdiri menghadapi
mereka, sedangkan lima orang kawan mereka masih duduk. Dua orang Nepal itu lalu menghampiri Sian Li
dan Sian Lun yang berdiri dengan tenang dan tegak.
“Hemm, kalian ini orang-orang Han yang sombong, mau apa berkeliaran di sini?” kata Badhu yang berperut
gendut.
Sian Li mengerutkan alisnya dan memandang tajam, lalu bibirnya tersenyum mengejek. Ia melihat betapa
beberapa orang Tibet yang berada di situ tengah memandang ke arah mereka.
“Bukan kami orang-orang Han yang sombong dan berkeliaran, karena kami sedang kembali ke timur dan
hanya lewat di sini. Akan tetapi kalianlah dua orang Nepal yang besar kepala, kalian berkeliaran di sini
tentu hanya akan membikin kacau saja!”
Gadis ini memang cerdik. Tadi mendengar seruan Badhu Si Gendut, para tamu orang-orang Tibet
memandang kepada Sian Li dan Sian Lun dengan mata curiga. Akan tetapi setelah gadis baju merah itu
menjawab dengan suara lantang, pandang mata mereka berubah dan kini mereka memandang ke arah
Badhu dan Sagha dengan alis berkerut.
Wajah Badhu menjadi kemerahan ketika dia mendengar jawaban Sian Li, dan dengan marah dia
membentak, “Gadis Han yang sombong, jangan bicara sembarangan!”
Sian Li tersenyum. “Siapa bicara sembarangan, engkau atau aku? Coba kau sangkal, bukankah kalian
sudah membikin kekacauan di Nepal, kemudian di Bhutan dan setelah gagal di sana, kalian hendak
mengacau pula di Tibet ini?”
Badhu menjadi semakin marah. “Perempuan sombong! Kau lihat saja pembalasan kami atas semua
penghinaanmu!”
Setelah berkata demikian, Badhu memberi isyarat kepada enam orang kawannya dan mereka pun keluar
dari rumah makan itu tanpa memesan makanan!
Karena ia memang tidak ingin membikin ribut di rumah makan itu atau di dalam dusun itu, yang hanya akan
menimbulkan kekacauan saja dan juga akan menjadi penghambat perjalanannya, maka Sian Li juga
segera meninggalkan tempat itu. Sian Li mencegah suheng-nya ketika Sian Lun yang nampaknya marah
itu hendak melakukan pengejaran.
Setelah dua orang muda itu pergi, ramai para tamu membicarakan peristiwa kecil tadi dan semua orang
merasa kagum dan memuji nona baju merah yang berani menentang orang-orang Nepal yang terlihat kuat
dan bengis tadi. Hanya seorang di antara mereka yang tidak ikut bicara. Dia adalah laki-laki yang tadi
duduk di sudut belakang. Dia tidak pernah bicara, hanya memanggil pelayan, membayar harga
makanannya dan dia pun segera meninggalkan rumah makan tanpa meninggalkan kesan.
“Sumoi, kenapa Sumoi melarangku untuk mengejar mereka? Dua orang Nepal keparat itu pantas dihajar!”
Sian Lun menegur sumoi-nya ketika mereka tiba kembali di rumah penginapan mereka.
“Suheng, lupakah engkau bahwa sekarang kita bukan berada di Bhutan lagi, juga bukan di negara sendiri?
Kita berada di Tibet, dan engkau tentu masih ingat bahwa dua orang Nepal itu adalah anak buah Lulung
Lama, seorang tokoh yang menjadi pimpinan para Lama Jubah Hitam. Ini adalah tempat mereka dan jika
terjadi keributan, tentu kita yang dianggap sebagai pengacau. Tadi pun aku masih beruntung dapat
membalas serangan fitnah mereka sehingga orang-orang Tibet yang mendengarnya tidak memihak
mereka.”
“Ahh, aku hanya khawatir kalau kita dianggap penakut dan tidak berani kepada mereka. Lagi pula sekarang
ini kita yang diancam dan kita tidak tahu kapan mereka akan turun tangan mengganggu kita.”
“Suheng, bukankah Guru kita, kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, pernah memberi tahu bahwa kita tak
boleh tergesa-gesa menurutkan nafsu kemarahan belaka? Bahkan kita diharuskan bersabar setiap kali
menghadapi lawan. Kita harus memakai kecerdikan, bukan asal hantam saja! Tanpa ancaman mereka
pun, kita harus waspada setiap saat karena bagi seorang pengembara, kita selalu dikelilingi kemungkinan
dunia-kangouw.blogspot.com
adanya serangan bahaya. Nah, sekarang kita tidur saja karena besok pagi-pagi sekali kita harus sudah
melanjutkan perjalanan.”
Walau pun di dalam hatinya Sian Lun masih merasa penasaran dan marah kepada dua orang Nepal yang
tadi sudah mengeluarkan kata-kata kasar dan kurang ajar terhadap sumoi-nya, namun alasan yang
dikemukakan Sian Li sangat kuat dan juga tepat, maka dia pun hanya mengangguk dan mereka pun
memasuki kamar masing-masing.
Malam itu sunyi sekali di rumah penginapan di mana Sian Li dan Sian Lun menginap. Lewat tengah malam,
keadaan bertambah sunyi dan dingin. Petugas rumah penginapan yang berjaga malam ada dua orang.
Mereka ini pun sudah meringkuk di meja pengurus, tertidur karena setelah lewat tengah malam, tentu tidak
akan ada tamu datang lagi…..
********************
Lima bayangan hitam menyelinap memasuki rumah penginapan melalui pagar tembok belakang dengan
melompatinya. Gerakan mereka ringan dan gesit sekali, menunjukkan bahwa lima orang ini adalah orangorang
yang memiliki kepandaian tinggi.
Dengan menyusup seperti lima ekor kucing, tanpa mengeluarkan suara, lima orang ini akhirnya telah tiba di
belakang kamar Sian Lun dan Sian Li yang berdampingan. Mereka menghampiri jendela dalam dua
kelompok, lalu mengintai ke dalam. Gelap dan sunyi saja dalam kedua kamar itu.
Mereka itu adalah Badhu dan Sagha, diikuti tiga orang berkepala gundul berjubah hitam. Tiga orang
pendeta Lama Jubah Hitam! Kiranya Badhu dan Sagha hendak memenuhi ancamannya dan sekali ini
mereka tidak mau gagal.
Mereka sudah maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka mereka berdua datang mengajak tiga
orang tokoh Hek-I Lama (Pendeta Lama Jubah Hitam) yang mempunyai ilmu tinggi. Ketiga orang itu adalah
para pembantu dari Lulung Lama dan memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dua
orang Nepal itu.
Mereka memang sudah membuat persiapan serta sudah mengatur rencana pembagian tugas. Anak buah
mereka telah mencari keterangan di mana letak kamar pemuda dan gadis itu, dan sekarang mereka sudah
siap melaksanakan rencana mereka.
Badhu beserta seorang pendeta jubah hitam akan bertugas membius gadis berpakaian merah dengan
meniupkan asap pembius ke dalam kamar, sedangkan Sagha dibantu dua orang pendeta jubah hitam akan
menerjang masuk ke kamar pemuda Han itu dan membunuhnya!
Setelah memberi isyarat, Badhu lalu menghampiri pintu kamar Sian Li. Dengan dibantu seorang pendeta
jubah hitam, dia menyusupkan sebuah pipa kecil ke dalam kamar itu melalui celah di bawah pintu. Pipa itu
bersambung dengan sebuah kantung kulit yang menggembung. Bersama temannya, Badhu lalu menekannekan
kantung itu dan asap beracun tertiup masuk kamar melalui pipa.
Sementara itu, Sagha beserta dua orang pendeta baju hitam, dengan memegang golok, mencongkel
jendela kamar itu. Dengan mudah saja daun jendela terbuka dan tiga orang itu berloncatan memasuki
kamar yang gelap. Mereka menyalakan lilin dan kaget sekali ketika melihat betapa tempat tidur pemuda itu
kosong, tidak ada orangnya! Tentu saja Sagha dan dua orang pendeta jubah hitam itu berlompatan keluar
lagi.
“Kamarnya kosong...!” kata Sagha kepada Badhu yang menjadi heran dan kaget bukan main.
Jika kamar pemuda itu kosong, tentu kamar gadis itu kosong pula! Ataukah Si Pemuda itu pindah ke kamar
Si Gadis? Badhu tersenyum menyeringai dan berkata dengan suara mengejek.
“Tentu saja mereka tidur bersama dalam kamar ini! Siapa orangnya mau membiarkan nona merah yang
cantik molek itu tidur kedinginan seorang diri?” Mereka tertawa, walau pun suara tawa mereka ditahan agar
tidak menimbulkan kegaduhan.
“Mereka berdua tentu sudah terbius pingsan sekarang,” katanya lagi dengan girang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka terlalu memandang rendah kepada Sian Li dan Sian Lun. Tidak percuma dua orang muda ini
menjadi murid orang-orang sakti seperti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng.
Biar pun dua orang ini telah melakukan perjalanan jauh dan tubuh mereka terasa lelah, namun karena tadi
bertemu dengan tujuh orang yang hendak membikin ribut di rumah makan, dan mendengar ancaman Si
Gendut Badhu, maka suheng dan sumoi ini tidak tidur begitu saja. Mereka beristirahat sambil duduk
bersila, sehingga biar tubuh mereka beristirahat, akan tetapi kewaspadaan mereka selalu menjaga
keselamatan mereka.
Sedikit gerakan lima orang yang mendekati kamar mereka, biar pun tidak menimbulkan suara gaduh,
cukup untuk dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Sian Li menjadi curiga dan ketika dia
mengintai dari jendela kamarnya, dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan. Tahulah ia bahwa
ada penjahat yang datang.
Ia memang sudah siap siaga, maka kamarnya berada dalam kegelapan. Sebelum para penjahat itu
melakukan sesuatu, dia sudah membuka jendela samping dan meloncat ke luar, terus mengambil jalan
memutar dan meloncat ke atas genteng.
Hampir saja dia bertubrukan dengan suheng-nya di atas genteng! Kiranya Sian Lun juga sudah dapat
melihat para penjahat itu dan seperti juga Sian Li, dia keluar dari kamar dan meloncat ke atas genteng.
“Ada dua orang menghampiri kamarku, Suheng,” katanya lirih.
“Dan kulihat tiga orang menghampiri kamarku,” kata pula Sian Lun.
Mereka berdua sudah mencabut pedang masing-masing dan kini mereka mengintai ke bawah. Mereka
melihat apa yang dilakukan lima orang itu, mendengar pula percakapan mereka yang mengira bahwa
mereka berdua tidur sekamar!
Mendengar ini wajah Sian Li lantas menjadi merah saking marahnya menerima tuduhan kotor tentang
dirinya itu. Juga wajah Sian Lun menjadi merah sekali karena tadi pun, seperti malam-malam yang lalu, dia
sering bermimpi tidur sekamar dengan sumoi-nya yang telah membuatnya tergila-gila semenjak sumoi-nya
remaja!
Kini Sian Li sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Ia melayang turun, diikuti suheng-nya sambil
berseru, “Jahanam bermulut busuk!”
Lima orang yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada dua bayangan orang
melayang turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang muda yang mereka kira sedang tidur bersama
di dalam kamar itu dan yang kini tentu telah roboh pingsan, kini telah berdiri di depan mereka dengan
pedang di tangan.
“Gawat! Lari...!” teriak Badhu yang memimpin gerakan itu.
Mereka pun telah berloncatan ke dalam kegelapan malam, lari ke arah belakang rumah penginapan di
mana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.
“Jahanam busuk, hendak lari ke mana kalian?” Sian Lun berseru marah dan melakukan pengejaran.
“Hati-hati, Suheng!” teriak Sian Li yang juga ikut mengejar.
Dia merasa khawatir karena dari apa yang dia pelajari, sungguh berbahaya melakukan pengejaran
terhadap penjahat yang lihai atau banyak jumlahnya di malam hari, apa lagi di tempat yang tidak dikenal
keadaannya.
Akan tetapi ternyata bahwa mereka jauh lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh sehingga sebentar
saja, mereka telah dapat menyusul ketika lima orang penjahat itu tiba di dalam kebun. Kini setelah tiba di
tempat sepi, agaknya Badhu dan kawan-kawannya sudah siap siaga. Mereka berlima sudah mencabut
golok dan tetap dalam pembagian tugas seperti tadi, Badhu dan seorang pendeta jubah hitam menyambut
Sian Li dengan golok mereka, sedangkan Sagha dan dua orang pendeta lain menyerang Sian Lun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terjadilah perkelahian yang mati-matian di dalam kebun itu, hanya diterangi oleh sinar bulan yang datang
agak lambat. Mereka lebih mengandalkan ketajaman pendengaran dari pada penglihatan dan untunglah
bahwa untuk ilmu ini, Sian Li dan Sian Lun telah mendapat gemblengan dari guru mereka.
Meski demikian, ketika senjata mereka bertemu dengan golok mereka yang berkepala gundul dan berjubah
hitam, Sian Li dan Sian Lun terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka itu sangat kuat,
jauh lebih kuat dibandingkan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga kasar dari otot-otot
yang terlatih.
Sian Li masih mampu mengimbangi pengeroyokan Badhu dan seorang pendeta jubah hitam. Gadis ini
mengamuk dengan gerakannya yang indah mirip sekali dengan gerakan seekor burung bangau. Bangau
Merah!
Biar pun sudah menerima gemblengan berbagai ilmu silat tinggi dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng,
akan tetapi yang menjadi inti dari kepandaian Sian Li adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat Pek-ho Sinkun
(Silat Bangau Putih) yang dipelajari dari ayahnya sendiri sebelum ia berguru pada kakek dan
neneknya. Dan memang Suma Ceng Liong yang menghendaki agar gadis ini memperdalam ilmu warisan
ayahnya itu, hanya kini ilmu silat itu dicampur dengan ilmu lain yang tinggi sehingga ilmu silat yang
berdasarkan gerakan burung bangau itu kini menjadi aneh dan lihai, namun masih mengandung gerakan
halus dari seekor bangau.
Yang repot adalah Sian Lun. Tingkat kepandaian pemuda ini memang masih kalah jika dibandingkan
sumoi-nya, dan kini dia dikeroyok tiga orang. Kepandaian Sagha memang tidak ada artinya bagi Sian Lun,
akan tetapi dua orang pendeta jubah hitam itu sungguh lihai bukan main. Melawan seorang saja di antara
mereka sudah merupakan lawan yang tangguh, apa lagi ada dua orang seperti itu, masih ditambah dengan
Sagha lagi. Sian Lun hanya mampu memutar pedangnya, melindungi dirinya dari sambaran tiga batang
golok para pengeroyoknya.
Mendadak terjadilah keanehan! Lima orang pengeroyok itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kesakitan
dan senjata mereka terlepas dari tangan. Mereka itu lalu berlompatan jauh ke belakang dan melarikan diri
dari Sian Li dan Sian Lun yang tentu saja menjadi bengong terheran-heran. Mereka tidak merasa telah
melukai para pengeroyok itu, akan tetapi mengapa mereka berlima itu melepaskan golok dan melarikan diri
seperti orang ketakutan?
Sian Lun hendak melakukan pengejaran, akan tetapi Sian Li memegang tangan kirinya mencegah,
“Suheng, mereka itu merupakan lawan berat, berbahaya sekali bila dikejar. Mari kita kembali ke kamar!”
katanya.
“Tetapi, apa yang telah terjadi? Kenapa mereka melepaskan senjata dan melarikan diri seperti orang
ketakutan?”
Sian Li menggelengkan kepalanya, “Entahlah, Suheng, aku pun tidak mengerti. Telah terjadi keanehan
malam ini, mungkin ada dewa yang menolong kita.”
Mereka kemudian kembali ke rumah penginapan dimana telah berkumpul banyak orang. Kegaduhan tadi
membangunkan para tamu, juga para pelayan sehingga kini mereka berkerumun di depan kamar Sian Li
dan kamar Sian Lun. Ketika dua orang muda itu muncul, tentu saja mereka dihujani pertanyaan.
“Ada dua orang pencuri hendak memasuki kamar kami berdua,” kata Sian Lun.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mereka menggunakan asap pembius. Harap kalian mundur semua, aku akan membuka jendela agar asap
itu keluar. Awas, yang terkena asap itu dan menyedotnya, akan jatuh pingsan,” sambung Sian Li.
Sian Li lalu membuka daun jendela kamarnya, lalu pergi menjauhi kamar itu, demikian pula Sian Lun. Dari
dalam kamar itu membubung asap tipis yang tidak berapa banyak lagi karena tadi sebagian asap sudah
keluar melalui celah-celah pintu, jendela dan atap.
Orang-orang menjauh dan memandang heran. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu
melarikan diri tanpa membawa barang curian, lalu dikejar dua orang muda itu, pengurus rumah penginapan
lantas merasa lega. Para tamu pun berangsur kembali ke kamar masing-masing. Tentu saja kini mereka
tahu bahwa gadis berpakaian merah yang cantik dan pemuda tampan itu adalah dua orang pendekar.
Sementara itu, dari tempat gelap tak jauh dari situ, seorang laki-laki yang bersembunyi dalam gelap,
meremas-remas jari tangan sendiri. Pandang matanya penuh ketegangan, keraguan, dan juga keharuan.
Bibirnya berkemak-kemik bicara seorang diri dengan lirih.
“Benarkah dia? Ahhh, tidak mungkin. Kenapa dia berada di sini dan siapa pemuda itu? Benarkah dia Sian
Li...? Tapi pakaian merah itu... ahhh, benarkah dia Tan Sian Li...?”
Dengan wajah penuh keraguan dia masih berdiri termangu-mangu di tempat gelap itu sampai Sian Li dan
Sian Lun memasuki kamar masing-masing dan tempat itu menjadi sunyi kembali.
Siapakah pria itu? Dan apa pula yang telah terjadi ketika Sian Li dan Sian Lun dikeroyok lima orang lawan
yang lihai tadi? Mengapa mereka melarikan diri? Kita ikuti perjalanan mereka selanjutnya…..
********************
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun dan Sian Li telah pergi meninggalkan rumah
penginapan. Mereka menuntun kuda mereka ke pasar kuda yang selalu ramai di tempat itu. Tentu saja dua
ekor kuda tunggangan mereka menarik perhatian pembeli karena dua ekor binatang itu adalah kuda-kuda
pilihan yang berasal dari kandang kuda istana Bhutan! Dengan mudah mereka mendapatkan pembeli yang
berani membayar cukup mahal untuk dua ekor kuda itu.
Sian Li dan Sian Lun lalu menuju ke bandar sungai untuk menyewa sebuah perahu yang akan mereka
tumpangi sampai ke belokan air Sungai Yalu Cangpo atau Sungai Brahmaputra yang membelok ke
selatan. Dari belokan itu mereka akan mendarat dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki atau
berkuda lagi menuju ke timur.
Seorang peranakan Han-Tibet yang mempunyai sebuah perahu yang sedang besarnya, menyanggupi
perjalanan itu dengan upah yang cukup memadai. Orang itu berusia lebih kurang lima puluh tahun. Kulitnya
hangus kecoklatan karena setiap hari pekerjaannya sebagai nelayan membuat kulitnya setiap hari terbakar
sinar matahari.
Kalau tidak karena logat bicaranya, tentu sukar dikenal bahwa dia peranakan Han. Baik wajah maupun
pakaiannya sudah sepenuhnya orang Tibet. Orangnya pendiam dan juga sopan, maka Sian Li memilih
orang ini dari pada pemilik perahu lain, walau pun harus membayar lebih mahal.
Perjalanan dengan perahu itu cukup menyenangkan. Perahunya kokoh serta seimbang, tukang perahunya
pendiam dan ahli mengemudikan perahu. Air sungai pun tenang dan dalam karena waktu itu musim semi,
tidak banyak hujan. Pemandangan di tepi sungai juga amat indah, penuh pohon-pohonan menghijau,
diseling bunga beraneka warna dan bentuk. Kadang-kadang sungai itu melewati daerah yang diapit tebingtebing
bukit yang menjulang tinggi, kadang melalui ladang yang tanahnya landai dan datar.
Kalau malam tiba, Sian Li menyuruh tukang perahu menghentikan perahunya. Mereka dapat mencoba
untuk memancing ikan, menggunakan alat pancing milik tukang perahu dan betapa senangnya hati Sian Li
kalau ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Mereka membakar ikan hasil pancingan mereka, makan ikan
dengan arak ringan yang membuat dua orang muda itu merasa gembira sekali.
Apa lagi kalau bulan sudah muncul. Duduk di kepala perahu sambil makan ikan bakar, bercakap-cakap di
bawah sinar bulan purnama, dihembus angin malam yang lembut, bau daun ilalang di sekitar pantai, dan
perahu bergoyang lembut seolah-olah membuat mereka laksana diayun-ayun, sungguh amat
dunia-kangouw.blogspot.com
menyenangkan. Romantis sekali. Keadaan dan suasana itulah yang membuat sinar mata Sian Lun ketika
dia memandang wajah sumoi-nya yang tertimpa sinar bulan, lain dari pada biasanya.
Ketika mendadak suheng-nya yang tadi bercakap-cakap dengan gembira itu kini diam saja, Sian Li
merasakan suatu perubahan pada suheng-nya yang membuatnya menatap wajah suheng-nya. Diam-diam
ia terkejut.
Suheng-nya memandang kepadanya dengan aneh! Sinar mata suheng-nya itu! Seolah-olah mata itu
dengan lembutnya membelainya, kemudian berusaha untuk menjenguk isi hatinya. Dan pandang mata itu
mengandung sesuatu yang membuat jantungnya lantas berdebar aneh, karena sepasang mata itu tak
pernah berkedip.
“Heiii, Suheng! Apa-apaan sih engkau ini?” teriaknya untuk menekan guncangan hatinya sendiri,
memecahkan suasana yang membuatnya canggung itu.
“Kenapa, Sumoi?” kata Sian Lun.
Suara itu pun berubah bagi Sian Li. Suara itu demikian lembut, seperti mengelusnya dan keluar dari dalam
dada.
“Suheng, mengapa engkau memandangku seperti itu?” tegurnya.
Mereka dapat bicara dengan bebas karena tukang perahu sudah tidur di tepi sungai, menggulung dirinya
dalam selimutnya yang tebal.
Dalam keadaan masih terpesona, seperti tersihir oleh wajah yang nampak cantik jelita luar biasa ketika
bermandikan sinar bulan itu, Sian Lun masih belum tersadar dan dia menjawab dengan suara penuh
kagum dan penuh kasih sayang.
“Engkau... engkau begitu cantik jelita...“
Dalam keadaan biasa, pujian dari suheng-nya itu tentu akan membuat Sian Li tertawa geli. Akan tetapi
sekarang, sinar mata suheng-nya membuat wajahnya menjadi merah sekali ketika mendengar pujian itu.
Namun dia memaksa diri menekan perasaan aneh, rasa senang, gembira dan bangga, dan ia pun
memaksa diri untuk tertawa.
Sian Li membayangkan dirinya dan suheng-nya yang sudah berlatih bersama, bermain bersama sejak dia
berusia dua belas tahun, ketika dia masih kanak-kanak, dan tiba-tiba suheng-nya yang biasanya selalu
bersikap sopan dan serius kepadanya, kini memuji kecantikannya. Lucu!
“Hi-hi-hik, heh-heh... kau lucu, suheng! Mengapa mendadak saja engkau seperti ini? Jangan-jangan
engkau kemasukan setan sungai ini yang kabarnya keramat? Kalau mau mengagumi kecantikan,
tengoklah ke atas. Lihat, bulan itulah yang cantik jelita penuh senyum.”
Akan tetapi ucapan yang penuh kelakar itu tidak cukup kuat untuk menyeret Sian Lun turun kembali ke
dalam keadaan seperti biasa yang wajar. Dia masih terpesona!
“Tidak, Sumoi. Kecantikan Sang Bulan tidak dapat disamakan dengan kecantikanmu! Kecantikan bulan itu
mati, akan tetapi engkau... aih, Sumoi, tidak ada wanita di seluruh dunia ini yang dapat menyamai
kecantikanmu!”
Kalau tadi Sian Li masih tersenyum-senyum manis, kini senyumnya menghilang dan alisnya berkerut
khawatir. Namun bagi Sian Lun, seperti juga semua laki-laki yang telah jatuh cinta, perubahan wajah gadis
itu sama sekali tak mengubah hasil pandangannya. Tersenyum, tertawa, merengut atau menangis dan
marah-marah, tetap saja cantik jelita!
Bagi hati yang sedang tergila-gila oleh cinta, wajah yang cemberut bahkan bertambah manis! Sebaliknya,
bagi hati yang diracuni benci, wajah yang tersenyum pun dianggap mengejek dan menyebalkan!
“Suheng, sadarlah! Kita sudah bergaul semenjak aku kecil. Kita biasa berlatih bersama, bermain bersama.
Kenapa sekarang engkau bersikap begini? Mengerikan! Hentikanlah kelakarmu ini, atau aku akan benardunia-
kangouw.blogspot.com
benar marah, Suheng!” berkata Sian Li dan untuk menyadarkan suheng-nya, Sian Li memegang lengan
pemuda itu dan mengguncangnya agak keras.
Sian Lun baru menyadari ketidak wajaran sikapnya. Dia menarik napas panjang seperti orang mengeluh,
“Maaf, Sumoi. Ahhh, maafkan sikapku tadi... akan tetapi... aku seperti mabok, Sumoi. Mabok oleh apa yang
kulihat malam ini. Wajahmu ketika disinari bulan purnama, rambutmu, matamu, hidung dan bibirmu... ahhh,
engkau memang cantik jelita, sumoi dan aku... aku tak dapat menahan lagi rahasia hatiku. Aku cinta
padamu, Sumoi, aku cinta padamu...”
Sepasang mata indah itu terbelalak. Pipi yang tadi kemerahan itu mendadak menjadi pucat, kemudian
merah lagi dan tiba-tiba saja Sian Li menggerakkan ke dua tangannya mendorong kedua pundak Sian Lun.
Pemuda itu terkejut, tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tubuhnya terjengkang keluar dari perahu.
“Byuurrr...!”
Air muncrat tinggi dan tubuh Sian Lun tenggelam! Tidak lama kemudian, pemuda itu muncul kembali dan
gelagapan. Sian Lun bukan tak pandai renang, akan tetapi dia tadi terlampau terkejut ketika tubuhnya
didorong sumoi-nya keluar dari perahu, dan kini dia pun harus melawan arus air, kembali ke perahu.
“Peganglah ini!” kata Sian Li yang sudah menjulurkan dayung ke arah pemuda itu.
Setelah tadi mendorong tubuh suhengya sehingga terjatuh ke dalam air di luar perahu, Sian Li baru
menyesali perbuatannya. Melihat pemuda itu gelagapan, ia lalu menyambar dayung dan menolongnya
naik.
Sian Lun naik ke perahu dengan pakaian basah kuyup, juga rambutnya basah kuyup. Mereka berdiri
berhadapan di kepala perahu, saling pandang. Sian Li marasa kasihan juga melihat suheng-nya yang
basah kuyup dan nampak bersedih.
“Maafkan aku, Sumoi,” kata Sian Lun lirih.
Hemmm, sudah didorong ke dalam air, malah minta maaf. Sian Li merasa semakin menyesal. “Habis,
engkau sih, Suheng, yang aneh-aneh saja. Aku tak suka melihat dan mendengar engkau seperti tadi!
Engkau Suheng-ku, kuanggap seperti kakakku sendiri, dan aku... aku masih terlalu muda untuk memikirkan
soal cinta. Jangan sebut-sebut lagi soal itu. Dan kau juga maafkan aku yang tadi mendorongmu karena
marah.”
Sian Lun menundukkan mukanya. Didorong ke air oleh Sian Li bukan apa-apa, biar pun didorong seratus
kali dia mau asal gadis yang membuatnya tergila-gila itu suka untuk menerima cintanya. Namun yang
membuat hatinya terasa sedih sekali adalah ucapan sumoi-nya tadi. Sumoi-nya tidak mau bicara tentang
cinta dan menganggap dia seperti kakak sendiri! Dia menundukkan mukanya dan memasuki bilik perahu
untuk bertukar pakaian kering.
Sian Li memandang ke arah kain tirai yang menutup pintu bilik dengan hati iba. Akan tetapi dia tidak
berbohong dengan ucapannya tadi. Selama ini dia menyayang Sian Lun sebagai suheng, atau sebagai
kakak sendiri, sama sekali tidak pernah terbayangkan memandang suheng-nya itu sebagai seorang
kekasih, sebagai seorang calon suami! Lucu dan aneh rasanya kalau dia harus menjadi isteri suheng-nya!
Ketika Sian Li sedang melamun, tiba-tiba perahu itu terguncang hebat. Dia terkejut dan cepat menengok.
“Heiiii...!” teriaknya ketika melihat ada dua orang berpakaian hitam tiba-tiba meloncat dari air ke atas
perahunya, dan sebuah perahu meluncur cepat menuju ke situ. Tahulah dia bahwa ada orang jahat yang
hendak mengganggunya, maka cepat dia menyambut kedua orang itu dengan serangan kakinya yang
melakukan tendangan beruntun.
Tendangan-tendangan kaki Si Bangau Merah Tan Sian Li tak boleh disamakan dengan tendangan kaki
seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang biasa saja. Tendangan itu selain sangat cepat datangnya,
juga mengandung tenaga sinkang, karena gerakan itu adalah salah satu jurus ilmu tendangan sakti Soanhong-
twi (Tendangan Angin Puyuh) yang dipelajarinya dari Suma Ceng Liong!
Dua orang berpakaian hitam yang basah kuyup itu tak sempat mengelak, hanya mampu menggerakkan
lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dukkk! Plakkk!”
Tangkisan mereka yang disertai tenaga itu bahkan membuat tendangan itu semakin ampuh. Tubuh mereka
terlempar sampai beberapa meter dan mereka pun terjatuh ke air kembali. Air muncrat lebih tinggi dari
pada ketika Sian Lun tercebur tadi!
Akan tetapi, dari tepi perahu yang lain telah berloncatan empat orang berpakaian hitam yang lain lagi.
Mereka membawa golok dan sudah menerjang Sian Li dari belakang.
Gadis itu mendengar sambaran golok dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik tiga kali dan ketika
tubuhnya turun, ia telah meluncur dengan kepala di bawah, didahului sebatang pedang yang tadi sudah
dibawanya meloncat dan dicabut pada saat tubuhnya berjungkir balik.
Sinar pedang itu meluncur deras dan menyambar ke arah tiga orang penyerangnya tadi dengan kecepatan
laksana kilat. Gerakannya bagaikan seekor burung bangau merah yang melayang turun dengan paruh
yang runcing di bawah, siap untuk mematuk!
Akan tetapi tiga orang itu ternyata lihai juga. Mereka memutar golok untuk melindungi diri dari sinar pedang
yang menyambar bagaikan kilat itu.
“Trang-trang-trang...!”
Oleh karena tiga kali beradu senjata selagi tubuhnya masih di udara, terpaksa Sian Li berjungkir balik lagi
agar jangan sampai terbanting jatuh. Ia dapat turun ke atas perahu, akan tetapi terhuyung karena perahu
itu terguncang oleh tenaga tiga orang itu. Dan tiga orang itu, yang agaknya lebih terbiasa di atas perahu
yang bergoyang-goyang, sudah menerjang maju!
Tiba-tiba, Sian Lun yang sudah berganti pakaian dan mendengar suara gaduh di luar bilik perahu, sudah
meloncat dan dengan pedang diputar dia menghadang terjangan tiga orang itu. Terdengar bunyi
berdentangan dan bunga api berpijar ketika pedang di tangan Sian Lun bertemu dengan tiga batang golok
milik para pengeroyok yang ternyata cukup lihai itu. Dan Sian Li tidak dapat membantu Sian Lun karena
pada saat itu, dua orang lagi sudah meloncat naik dan mengeroyok Sian Li dengan golok mereka.
“Pendeta-pendeta busuk, munafik, jahat...!” Sian Li marah sekali dan sambil berteriak memaki-maki,
pedangnya digerakkan dengan dahsyat sehingga membuat kedua orang pengeroyoknya itu terdesak.
Akan tetapi, pada saat itu, perahu berguncang keras dan miring! Sian Lun masih sempat meloncat ke tepi
sungai, akan tetapi Sian Li tidak sempat lagi kerena selain kedua orang lawannya sudah menyergapnya
lagi selagi perahu miring dan hampir terbalik, juga dara ini berada di sisi perahu yang tiba-tiba miring ke
bawah.
Dia mencoba untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya, akan tetapi dua batang golok menyambar
kakinya. Terpaksa Sian Li meloncat dan tak dapat dihindarkan lagi, ia tercebur ke dalam air!
Kepandaian Sian Li di air hanya biasa-biasa saja, hanya sekedar dapat berenang dan tidak sampai
tenggelam. Maka ketika dua orang penjahat yang sudah biasa bermain di air menyelam dan memegangi
kedua kakinya, gadis ini tidak berdaya, meronta dan gelagapan sehingga akhirnya dia tertawan. Kedua
tangannya dibelenggu ke belakang dan ia diseret ke tepi sungai oleh empat orang!
Sementara itu, Sian Lun yang berhasil melompat ke daratan dan tidak sampai tercebur, masih dikepung
oleh tiga orang lawan yang cukup tangguh. Pemuda ini mengamuk dan sukarlah bagi tiga orang itu untuk
mampu mendesaknya. Akan tetapi, ketika Sian Lun melihat betapa sumoi-nya tertawan, dia menjadi
khawatir sekali dan juga marah.
“Lepaskan dia!” bentaknya.
Tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dia sudah meninggalkan tiga orang pengepungnya,
dan langsung saja dia menyambar ke arah empat orang yang menawan Sian Li! Pedangnya diputar dan
empat orang itu terkejut, cepat mereka menggerakkan golok untuk menangkis, lalu mengepung Sian Lun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda ini nekat. Dia harus bisa menyelamatkan sumoi-nya. Gerakan pedangnya amat hebat karena
pemuda yang sudah marah dan nekat ini sudah memainkan Ilmu Pedang Koai-liong-kiam (Ilmu Pedang
Naga Siluman) yang telah dipelajarinya dari subo-nya (ibu gurunya). Pedangnya seperti berubah menjadi
seekor naga yang mengamuk, dan suara desing pedangnya bagaikan auman naga.
Empat orang lawannya terkejut dan terpaksa mundur berpencaran. Kesempatan itu lalu digunakan oleh
Sian Lun untuk mendekati sumoi-nya dan sekali menggerakkan pedang, tali pengikat pergelangan kedua
tangan Sian Li terbabat putus.
“Awas, Suheng...!” teriak Sian Li ketika melihat betapa empat orang itu, ditambah tiga orang lagi, serentak
menyerang Sian Lun dari belakang dan kanan kiri!
Sian Lun membalik sambil memutar pedangnya, sedang Sian Li menerjang orang yang tadi merampas
pedangnya dengan sebuah tendangan ke arah tangan yang memegang golok, lantas dilanjutkan tubrukan
ke depan untuk merampas kembali pedangnya yang dipegang tangan kiri orang itu. Tubrukannya berhasil
pada saat orang itu mengelak ke samping, dan di lain saat pedang itu telah dirampasnya kembali.
Akan tetapi, ketika Sian Lun menangkis, terlampau banyak golok yang menyerangnya sehingga sebuah di
antara golok yang menyerangnya, ketika ditangkis dengan putaran pedangnya, masih sempat melukai
pundak kirinya sehingga baju di bagian pundak itu terobek berikut kulit pundak yang terluka dan berdarah.
“Suheng, kau terluka?” teriak Sian Li sambil memutar pedang membantu suheng-nya.
“Tidak mengapa. Kita basmi manusia-manusia busuk ini!” bentak Sian Lun yang sudah marah sekali, lalu
dengan penuh semangat dia juga memutar pedangnya, menyerang dengan dahsyat.
Kedua orang kakak beradik seperguruan itu mempergunakan ilmu-ilmu pedang yang amat hebat. Sian Lun
tetap memainkan Ilmu Pedang Naga Siluman, sedangkan Sian Li kini memainkan Ilmu Pedang Suling
Emas seperti yang ia pelajari dari neneknya, Kam Bi Eng!
Dua macam ilmu pedang ini memang merupakan ilmu-ilmu pedang yang dahsyat, dan Nenek Kam Bi Eng
telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari ayahnya, Kam Hong, yang sudah menggabungkan kedua ilmu itu menjadi
satu. Karena itu, ketika kedua orang muda ini memainkan dua macam ilmu itu, mereka segera merupakan
pasangan yang amat kuat sehingga tujuh orang pengeroyok mereka kewalahan dan mereka pun
berloncatan ke belakang, kemudian melarikan diri ke dalam hutan gelap di tepi sungai.
“Jahanam, kalian hendak lari ke mana?” Sian Lun melompat dan langsung melakukan pengejaran.
“Suheng, jangan kejar!” Sian Li berseru, akan tetapi suheng-nya sudah berlari cepat dan tidak mau
berhenti.
“Suheng, berbahaya kalau mengejar mereka!” kembali Sian Li berteriak.
Karena Sian Lun tidak menanggapi dan terus berlari, terpaksa ia pun berlari mengejar dengan hati amat
khawatir. Hutan itu gelap dan cahaya bulan hanya berupa sinar suram muram yang memasuki celah-celah
daun dan ranting. Makin gelap saja dan akhirnya Sian Li menjadi bingung karena ia kehilangan jejak tujuh
orang itu, juga kehilangan jejak suheng-nya. Tadi ia masih dapat mendengar suara kaki mereka menginjak
daun kering. Akan tetapi kini, di sekelilingnya sunyi dan dia tidak tahu harus mengejar ke mana.
Dengan hati-hati dia berjalan ke sana sini, berkeliaran tanpa arah di dalam hutan yang lebat itu,
mengerahkan kekuatan mata dan telinga untuk mencari kembali jejak mereka. Namun usahanya sia-sia,
bahkan untuk kembali ke tepi sungai tempat perahu tadi pun dia sudah tidak mengenal jalan lagi! Terpaksa
Sian Li menunggu sampai pagi. Tidak lama ia menanti karena tak lama kemudian, sinar bulan semakin
muram, sinar matahari mulai membakar langit di timur.
Setelah cuaca tak gelap lagi, sudah remang-remang, Sian Li bangkit dari bawah pohon dan melanjutkan
pencariannya. Dia merasa khawatir sekali.
Tiba-tiba ia mendengar teriakan suheng-nya. “Sumoi, pergilah jauh-jauh, jangan ke sini!”
Mendengar suara ini, tentu saja Sian Li menjadi terkejut bukan main. Ia seorang gadis yang cerdik, maka
seruan suheng-nya itu membuat ia sejenak termangu. Ia tahu bahwa suheng-nya tentu berada dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
keadaan bahaya, dan suheng-nya tidak menghendaki dia mendekat karena tentu ada bahaya
mengancamnya pula kalau ia mendekat!
Akan tetapi, bagaimana mungkin dia membiarkan saja suheng-nya terancam bahaya? Bagaimana mungkin
ia justru pergi menjauh hanya karena ada bahaya mengancamnya setelah dia tahu bahwa suheng-nya
dalam bahaya? Tidak, dia bahkan harus menolong suheng-nya.
Terbayang ketika tadi dengan nekat dan mati-matian suheng-nya menolongnya ketika ia tertawan, bahkan
suheng-nya sampai mengorbankan dirinya dan terluka pundak kirinya untuk menyelamatkan dirinya.
Sekarang ia harus menolong suheng-nya, meski pun ia akan menghadapi bahaya apa pun!
Setelah mengambil keputusan tetap, dengan hati-hati akan tetapi cepat sekali, Sian Li mempergunakan
ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari seperti terbang menuju ke arah suara tadi. Suheng-nya
hanya mengeluarkan kalimat itu saja kemudian keadaan kembali sunyi sehingga tentu saja hatinya menjadi
semakin gelisah, mengkhawatirkan suheng-nya.
Ia tidak berani memanggil, karena jika ada musuh di sana, tentu akan dapat mendengar suaranya. Kalau ia
ingin menolong suheng-nya, maka ia harus dapat mendekati tempat suheng-nya itu dengan diam-diam dan
tersembunyi. Ia harus melihat keadaan lebih dulu sebelum turun tangan.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat dari balik batang pohon yang besar, suheng-nya sudah
terbelenggu di bawah sebatang pohon besar, diikat pada pohon itu dan agaknya suheng-nya pingsan atau
tertotok karena lehernya terkulai dan kepalanya menunduk dalam. Tali yang sangat kuat membelit
tubuhnya dari kaki ke dada, kedua lengan ke belakang, dan diikat kepada batang pohon itu!
Tidak nampak orang lain di sana! Jika menurutkan dorongan hatinya, tentu saja ia ingin sekali melompat
mendekati suheng-nya dan membebaskannya dari ikatan tali itu. Akan tetapi kecerdikannya membuat ia
berpikir sebelum bergerak.
Mustahil kalau suheng-nya ditangkap, dibelenggu lalu ditinggalkan saja di situ tanpa ada penjagaan,
Tempat itu begitu sunyi, seolah-olah tak ada orang lain kecuali suheng-nya. Mustahil! Ini tentu sebuah
perangkap, sebuah jebakan!
Ia lalu membayangkan, jebakan apa yang mungkin dipasang oleh pihak musuh. Mereka dapat
bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak, siap dengan anak panah atau senjata rahasia di
tangan. Kalau ia menghampiri suheng-nya, tentu mereka akan menghujankan anak panah atau senjata
rahasia. Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya.
Jika mereka ingin membunuhnya, kenapa suheng-nya yang telah tertawan itu dibiarkan hidup? Mereka
tentu memasang jebakan untuk menangkapnya hidup-hidup. Jebakan atau perangkap apa yang mungkin
mereka pasang? Sebuah lubang di dekat tempat suheng-nya diikat? Lubang yang dtutupi rumput agar ia
terjeblos ke dalam lubang kalau menghampiri suheng-nya? Atau mereka akan keluar dan mengepung
tempat itu?
Sian Li mendapatkan perasaan yang aneh sekali. Ia merasa seperti menjadi harimau yang sedang
dipancing dengan umpan! Suheng-nya menjadi kambingnya yang diikat di sana, untuk memancing
munculnya Sang Harimau.
Apa pun yang akan terjadi, bagaimana nanti sajalah! Yang paling penting, ia harus bisa menolong suhengnya!
Ia akan bertindak berhati-hati, menjaga segala kemungkinan. Ia akan memperhatikan sekelilingnya,
juga memperhatikan tanah yang diinjaknya!
Dengan pedang terhunus di tangan kanan, serta sebatang tongkat dari cabang pohon yang dipatahkannya,
ia kemudian melangkah keluar dari balik pohon. Dengan hati-hati dia melangkah maju, mempergunakan
tongkat yang dua meter panjangnya itu untuk meraba-raba dan menusuk-nusuk tanah di depannya
sebelum dia melangkah. Ia maju selangkah demi selangkah. Tongkatnya meneliti tanah yang akan
diinjaknya, matanya pun waspada meneliti keadaan sekelilingnya sehingga kalau ada ancaman datang dari
sekitarnya, ia tidak akan mudah dibokong.
Tinggal kurang lebih sepuluh meter lagi dari tempat Sian Lun diikat pada batang pohon. Tiba-tiba ia
berhenti melangkah. Ujung tongkatnya menembus lapisan rumput! Di bawah rumput itu ada lubang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia menyelidiki dengan ujung tongkatnya. Ada lubang bundar yang garis tengahnya tidak kurang dari satu
setengah meter! Lubang itu ditutup lapisan rumput. Kalau ia melangkah atau berlari di atas lapisan rumput,
tentu ia akan terjeblos ke bawah. Tepat seperti yang diduganya!
Dengan pengerahan tenaga pada tongkatnya, ia mencongkel lapisan rumput itu sampai lapisan penutup
lubang itu terbuka semua! Kini nampaklah lubang itu, yang dalamnya tak kurang dari tiga meter! Sekali
terjeblos ke dalamnya, tentu ia akan sukar meloloskan diri, karena tentu mereka akan mengepung lubang
dan mencegah ia melompat keluar lagi.
Sian Li tersenyum. Untung ia bersikap hati-hati. Dengan ujung tongkat terus meraba, ia melangkah lagi
mengitari lubang dan tiba di depan suheng-nya tanpa ada rintangan lain. Agaknya hanya lubang itulah
satu-satunya perangkap yang dipasang musuh. Sekarang ia harus cepat membebaskan suheng-nya.
“Suheng...!” Ia mengguncang pundak suheng-nya.
Akan tetapi suheng-nya tetap lemas seperti tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus lebih dahulu
melepaskan ikatan itu kalau ingin membebaskan suheng-nya dari totokan. Totokan yang melenyapkan
semua tenaga itu harus dibebaskan dengan totokan dan mengurut pada punggung, di pusat tenaga tengah
pinggang.
Dengan pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tubuh suheng-nya. Ia harus
merangkul suheng-nya supaya tubuh itu tidak sampai terkulai jatuh. Dan pada saat ia merangkul suhengnya
itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala yang lebar, yang siap di atas pohon dan tali-talinya dipegangi
beberapa orang yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala itu pun jatuh menyelimuti Sian Li dan Sian Lun!
Sian Li terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada beberapa hal yang
membuat dara perkasa ini tidak dapat lagi menghindarkan diri dari serangan jala.
Pertama, perhatiannya hanya ditujukan kepada suheng-nya dan sekelilingnya. Ke dua, baru saja dia
menemukan perangkap lubang tertutup lapisan rumput itu sehingga dia menganggap sudah terbebas dari
ancaman bahaya jebakan dan membuatnya menjadi lengah. Dan ke tiga, terutama sekali karena dia
sedang merangkul suheng-nya yang lemas untuk mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh.
Sian Li mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh orang berpakaian
hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik semakin kuat sehingga ia dan suheng-nya terbelit dan terbungkus
jala menjadi satu sampai ia tidak mampu bergerak lagi.
Dengan mudah orang-orang berpakaian hitam itu meringkusnya dan mengikat tangan dan kakinya
sebelum dia dikeluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan tangan Sian Lun diikat pula.
Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh kedua orang muda itu ke atas punggung
kuda, menelungkup dan melintang, dan dipegangi orang yang menunggang kuda. Mereka lalu pergi dari
situ menunggang kuda, menuju ke timur…..
********************
Matahari telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah bangunan yang
berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak sunyi, walau pun di kaki bukit tadi
terdapat dusun yang ditinggali orang-orang suku Tibet dan ada pula suku Miao.
Sian Lun sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di punggung kuda,
menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda itu, dia tahu
bahwa dia dibawa pergi dan hatinya merasa lega. Tentu sumoi-nya sudah mendengar teriakannya tadi
sebelum dia ditotok pingsan dan sumoi-nya tidak akan mau mendekati tempat yang sudah dipasangi
jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh sekali pun, asal sumoi-nya selamat, dia ikut girang.
“Suheng...!”
Sian Lun menengok ke kiri dan terkejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan suara.
Lehernya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak meledak. Kiranya Sian Li juga telah tertangkap
seperti dia! Diikat kaki tangannya, ditelungkupkan di punggung kuda dan sama sekali tidak berdaya.
Sungguh celaka!
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat wajah suheng-nya menjadi pucat dan matanya terbelalak, Sian Li tersenyum! “Suheng, kita belum
mati!” katanya dan ucapan ini membesarkan hati Sian Lun.
Benar juga. Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa! Jika mereka
ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan mereka tidak menghendaki kematian
mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh dan masih ada harapan bagi mereka berdua untuk
mencari jalan membebaskan diri.
Sian Li memberi isyarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun mengerti, maka
dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpulkan tenaga untuk bersiap-siaga, di mana ada
kesempatan mereka akan membebaskan diri.
Rombongan itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul masuk ke dalam
rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat belasan orang, kesemuanya
berkepala gundul dan mengenakan jubah hitam. Kiranya tempat itu merupakan sarang Hek-I Lama yang
menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet!
Sian Lun dan Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, yang dipisahkan dinding
terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi dinding pemisah itu kuat bukan main.
Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu besar terbuat dari besi berterali yang kokoh dan dikunci dari
luar.
Ketika dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka dilepas dan kini hanya kedua
tangan mereka saja yang masih terbelenggu ke belakang. Setidaknya, mereka dapat bergerak, dapat
berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila, mengatur pernapasan.
Sian Li berpikir. Dia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggota Lama Jubah Hitam
yang menyamar, menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam dan pakaian mereka juga ringkas,
tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia dan suheng-nya tertawan oleh para pendeta Lama jubah
hitam yang menurut keterangan dipimpin oleh Lulung Lama.
Pendeta Tibet itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang dimusuhi pemerintah
Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan dari Nepal yang juga merupakan
pemberontak di negaranya sendiri. Mereka itu sedang melakukan gerakan menghasut dan mengobarkan
sikap anti pemerintah Ceng di Cina, dan agaknya mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan
di Cina dan kini sedang menyusun kekuatan. Semua ini didengarnya dari Gangga Dewi ketika ia masih
berada di Bhutan. Akan tetapi kenapa Lama Jubah Hitam menawan ia dan suheng-nya?
“Sumoi, apa kau baik-baik saja?” Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li dari lamunannya.
Ia mengangkat muka memandang dan suheng-nya telah berdiri di dekat jeruji pemisah kamar tahanan
mereka. Kedua tangan suheng-nya juga masih terbelenggu. Ikatan itu longgar saja, akan tetapi tak
mungkin diputuskan, karena tali untuk mengikatnya adalah dari kulit yang amat kuat, yang dapat melentur
sehingga tidak dapat dibikin putus.
“Aku tidak apa-apa, Suheng. Dan mereka tidak melukaimu?”
“Tidak, hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan mereka obati.
Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?”
“Aku sendiri tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus berhati-hati dan jangan terburu
nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu nafsu, maka telah berlaku sembrono
sehingga kita tertawan.”
“Maafkan aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan tetapi engkau...
aku berterima kasih padamu, Sumoi. Engkau telah membelaku sehingga engkau sendiri tertawan.”
Melihat pandang mata suheng-nya yang penuh kasih dan keharuan itu, Sian Li menarik napas panjang.
“Sudahlah, tidak perlu kau sebut-sebut lagi. Kita adalah kakak beradik seperguruan, tentu saja saling bantu
dan saling bela.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendadak Sian Li memberi isyarat dengan kedipan mata dan Sian Lun menghentikan percakapan, lalu
membalikkan badan untuk memandang ke depan kamar tahanan itu melalui jeruji di pintu besi. Sian Lun
menahan kemarahannya ketika melihat seorang yang amat dikenalnya, yaitu penabuh tambur murid
Lulung Lama yang lihai itu!
Ingin Sian Lun memaki, akan tetapi ia takut jika dianggap ceroboh lagi oleh sumoi-nya. Karena itu dia pun
diam saja, hanya memandang dengan mata penuh kebencian, dan menyerahkan saja kepada sumoi-nya
untuk menentukan sikap dan kalau perlu bicara. Dia sudah mendapat keterangan bahwa pemuda ini
adalah murid Lulung Lama yang bernama Cu Ki Bok, seorang peranakan Han Tibet. Karena ia telah
pernah bertanding melawan pemuda yang tinggi tegap dan gagah ini, dia tahu bahwa murid Lulung Lama
ini amat lihai.
“Selamat sore, Nona Tan Sian Li dan sobat Liem Sian Lun. Selamat bertemu kembali!” kata Cu Ki Bok
sambil tersenyum.
Kini sikapnya sungguh berbeda dengan ketika dia menyamar sebagai tukang tambur itu. Kini sikapnya
riang dan sangat ramah, matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum sedangkan pakaiannya juga
pesolek sehingga membuat dia nampak makin gagah dan tampan.
“Hemmm, kiranya engkau pula yang mengatur semua kecurangan ini! Cu Ki Bok, kalau engkau memang
orang gagah, mari kita bertanding sampai salah seorang di antara kita menggeletak menjadi mayat, bukan
dengan melakukan pengeroyokan dan perangkap yang curang! Engkau pengecut tak tahu malu!” Sian Li
memaki-maki.
Yang dimaki-maki tersenyum saja. “Jika saja Suhu tak memiliki rencana lain denganmu, tentu aku akan
suka sekali menyambut tantanganmu itu, Nona, dengan taruhan bahwa kalau aku kalah, engkau boleh
membunuhku, akan tetapi kalau aku menang, engkau harus menjadi isteriku.”
Wajah Sian Li berubah merah sekali dan matanya memancarkan cahaya berapi saking marahnya. “Huh,
tidak tahu malu! Siapa sudi menjadi jodohmu? Engkau hanya seorang peranakan Han yang sudah lupa
diri, lebih suka menjadi budak orang Tibet dan Nepal, menjadi antek pemberontak!”
“Nona, kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kurobek mulutmu! Coba ingat baik-baik, kalian ini
bangsa apakah, Nona Sian Li dan Sobat Sian Lun? Kalian mengaku orang Han, mengaku penduduk asli,
bahkan mengaku sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi apa yang kalian lakukan
untuk negara dan bangsa kita yang terjajah oleh bangsa Mancu? Aku memang memberontak terhadap
penjajahan orang Mancu. Aku seorang patriot, seorang pahlawan sejati! Dan kalian masih memandang
rendah dan berani memaki aku? Padahal, dengan sikap kalian yang tidak menentang pemerintah penjajah,
berarti kalian sudah menjadi antek orang Mancu yang menjajah negara dan bangsa kita!” Setelah berkata
demikian, Cu Ki Bok meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Sian Li saling pandang dengan suheng-nya. Ucapan pemuda tinggi tegap peranakan Han Tibet itu tadi
seperti ujung pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka karena tepat sekali mengenai sasaran. Mereka
sudah sering kali mendengar dari guru mereka, Suma Ceng Liong dan isterinya, bahwa mereka itu kini
selalu prihatin melihat betapa tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu.
Bahkan Suma Ceng Liong juga mengakui bahwa di dalam darah keluarga Suma, yaitu keluarga keturunan
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengalir pula darah Mancu! Isteri Pendekar Super Sakti Suma Han
adalah wanita-wanita Mancu. Inilah sebabnya kenapa sampai sekarang, tidak pernah ada keturunan
keluarga Suma yang menentang pemerintah Mancu. Padahal keluarga ini terkenal sebagai keluarga para
pendekar yang gagah perkasa!
Dan sekarang, pemuda peranakan Han Tibet yang menawan mereka itu telah mencela mereka. Salahkah
mereka? Benarkah pendapat pemuda peranakan Han Tibet itu? Sian Li menjadi bingung dan termenung.
“Sumoi, jangan dengarkan dia,” terdengar Sian Lun berkata. “Pahlawan macam apa dia itu? Menggunakan
orang-orang Tibet dan Nepal, lalu menawan kita secara curang dan pengecut. Seorang gagah sejati tak
akan melakukan perbuatan seperti itu. Jelas bahwa gerombolan itu jahat seperti apa yang dikatakan Bibi
Gangga Dewi, mungkin sebutan patriot itu hanya sebagai kedok saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Li memejamkan matanya. Memang, neneknya, Gangga Dewi sudah menceritakan mengenai Hek-I
Lama, yaitu kelompok pendeta Lama Jubah Hitam yang dipimpin oleh Lulung Lama. Kelompok pendeta ini
telah melakukan penyelewengan.
Mula-mula Lulung Lama adalah seorang pendeta Lama Jubah Merah yang mempunyai kedudukan cukup
tinggi di antara para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi kemudian dia melakukan pelanggaran,
mengganggu wanita, bahkan melakukan perbuatan rendah dengan memperkosa wanita. Kejahatan ini
diketahui dan dia tidak dapat diampuni lagi, dikeluarkan dari kelompok Lama Jubah Merah di mana dia
tadinya menjadi tokoh.
Lulung Lama merasa sakit hati dan dia pun lalu membentuk kelompok sendiri dengan mengenakan Jubah
Hitam. Baru dari warna jubahnya saja sudah berarti bahwa dia tidak segan melakukan perbuatan jahat
seperti golongan hitam! Lulung Lama segera diikuti oleh golongan hitam di daerah Tibet yang menjadi anak
buahnya.
Kemudian, Lulung Lama berkenalan dengan Pangeran Gulam Sing, yaitu pangeran dari Nepal yang
menjadi orang buruan di negaranya karena dia melakukan pemberontakan. Pangeran Gulam Sing juga
mempunyai banyak anak buah. Kedua orang tokoh sesat itu kemudian bergabung membuat kekacauan di
daerah Nepal, Bhutan dan Tibet, bahkan merencanakan pemupukan kekuatan untuk melakukan serbuan
ke timur, menentang pemerintah Mancu dan menghasut orang-orang Han untuk bersekutu dengan mereka
dan memberontak terhadap pemerintah Kerajaan Mancu dengan dalih kepatriotan!
“Mungkin engkau benar, Suheng. Bagaimana pun juga, kita harus waspada dan berhati-hati. Cu Ki Bok itu
lihai dan gurunya lebih lihai lagi. Ditambah dengan anak buah Hek-I Lama yang rata-rata memiliki
kepandaian tinggi, sungguh kita berada dalam bahaya.”
Tempat tahanan mereka tidak pernah lowong dari penjagaan di luar ruangan. Sedikitnya ada empat orang
penjaga yang berada di luar ruangan itu, kesemuanya adalah anggota Hek-I Lama dengan ciri khas
mereka, yaitu kepala gundul dan jubah hitam. Mereka tidak pernah diganggu oleh para penjaga, bahkan
secara teratur mereka mendapat makan dan minum yang layak, dimasukkan ke dalam melalui jeruji besi
oleh penjaga, di atas sebuah baki. Ada nasi, ada sayur, dan ada air teh.
Malam tiba dan di luar kamar tahanan itu dipasangi lampu minyak. Ada dua buah lampu yang cukup
terang. Sian Li merasa tubuhnya segar dan sehat sekali. Sejauh ini ia dan suheng-nya diperlakukan
dengan baik. Bahkan sore tadi ia mendapat kesempatan untuk mandi dan bertukar pakaian.
Ia dikawal ke tempat mandi yang berada di bagian belakang, dikawal oleh empat orang dengan todongan
golok. Belenggu kedua tangannya dilepas dan sebagai gantinya, kaki dan tangannya dipasangi rantai yang
cukup membuat ia mampu bergerak untuk mandi dan lain-lain.
Ia tidak begitu bodoh untuk memberontak atau melarikan diri walau kaki dan tangannya dirantai. Jika ia
mau, tentu saja itu merupakan kesempatan. Namun, ia tahu pula bahwa usahanya itu tidak akan berhasil.
Terlalu banyak lawan yang tangguh di situ, dan pula, andai kata ia mampu melarikan diri, suheng-nya
masih tertinggal di sana. Setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu tiba giliran Sian Lun.
“Suheng, jangan membuat ulah,” pesannya ketika pemuda itu digiring keluar.
Dan ia girang melihat suheng-nya datang lagi dengan pakaian bersih dan wajah yang segar. Mereka harus
mendapat kesempatan yang lebih baik lagi agar keduanya dapat meloloskan diri.
Selagi Sian Li duduk bersila mengatur pernapasan untuk melatih sinkang, ia mendengar percakapan empat
orang penjaga di luar kamar tahanan itu. Ia memperhatikan. Siapa tahu dari percakapan itu ia dapat
mengumpulkan keterangan yang penting.
“Heran, kenapa kita harus bersusah payah menjaga dua orang tahanan ini siang malam dan melayani
mereka seperti tamu di rumah penginapan saja? Mengapa mereka tidak dibunuh saja agar tidak
merepotkan?” terdengar seorang di antara mereka bicara.
“Hushh, bodoh kamu! Apa tidak melihat betapa cantiknya tawanan itu?” kata yang lain.
“Hemmm, kalau muda dan cantik, lalu kenapa? Justru semestinya dimanfaatkan untuk hiburan kita, bukan
dijadikan tamu yang hanya merepotkan saja!” omel suara pertama.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihh, engkau lancang sekali! Untung tidak terdengar Thai-losu (Guru Besar) atau Cu Kongcu (Tuan Muda
Cu). Kalau terdengar bisa diketuk kepalamu!” tegur suara ke tiga.
“Kita senasib dan sependeritaan, kalau bukan dengan kalian bertiga, mana aku berani sembarangan
membuka mulut? Coba, siapa berani membantah sejujurnya! Bukankah keluhanku tadi juga menjadi suara
hati kalian?” kata orang pertama.
“Sudahlah, kalian tidak usah ribut-ribut,” berkata suara ke empat. “Apa kalian tidak tahu urusan? Dua orang
tawanan ini adalah pendekar-pendekar Han, tentu saja diperlakukan dengan amat baik oleh Thai-losu. Lagi
pula, agaknya Thai-losu hendak menyenangkan hati Pangeran Gulam Sing. Mereka berdua besok pagi
datang ke sini dan engkau tahu sendiri selera pangeran itu terhadap wanita cantik.”
Mereka berempat kemudian berbisik-bisik sambil tertawa.
Sian Li mendengarkan dengan alis berkerut dan hatinya menjadi tegang. Bahaya besar mengancam
dirinya! Agaknya orang yang mereka sebut Thai-losu tadi adalah Lulung Lama, dan dia akan dihadiahkan
kepada seorang pangeran yang bernama Gulam Sing, seorang pangeran Nepal yang haus wanita!
Tentu saja Sian Li merasa khawatir sekali. Jelas bahwa pada malam hari ini, Lulung Lama tidak berada di
tempat itu dan agaknya besok pagi baru akan tiba. Yang berada di situ hanya anak buah Hek-I Lama dan
pemuda murid Lulung Lama itu. Kalau saja ia dan suheng-nya dapat keluar dari kamar tahanan dan
mematahkan rantai, tentu mereka berdua akan dapat meloloskan diri! Akan tetapi, bagaimana caranya?
Ia melirik ke arah suheng-nya dan pemuda itu pun sedang duduk bersila dan menoleh kepadanya dengan
wajah gelisah. Tentu suheng-nya tadi mendengar pula percakapan di luar kamar tahanan itu dan
mengkhawatirkan dirinya yang akan dihadiahkan kepada Pangeran Gulam Sing!
Malam telah larut, agaknya sudah lewat tengah malam. Ia melihat suheng-nya dengan hati-hati
menghampiri pintu, lalu kedua tangan suheng-nya coba untuk merenggangkan jeruji pintu dari baja itu. Dia
sendiri pun segera mencoba usaha merenggangkan jeruji pintu. Namun sia-sia. Jeruji pintu dari baja itu
terlampau kokoh.
Mendadak keempat orang penjaga yang tadi masih terdengar berbisik-bisik itu nampak membuat gaduh.
Seorang di antara mereka berseru lantang, “Siapa itu...?”
Akan tetapi, tidak ada jawaban dan suasana menjadi sunyi sekali, bahkan empat orang penjaga itu tidak
terdengar lagi suaranya mau pun gerakannya. Selagi Sian Li dan Sian Lun merasa heran dan tidak
mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan dua buah
lampu penerangan di luar kamar tahanan itu mendadak padam.
Kini tempat itu hanya mendapat penerangan dari sinar lampu yang agak jauh sehingga remang-remang
dan tidak jelas. Sian Li melihat sesosok bayangan hitam itu berkelebat di luar pintu kamar tahanan Sian
Lun. Orang itu mengenakan caping lebar menutupi mukanya. Sian Li masih dapat mendengar orang itu
berbisik lirih kepada Sian Lun.
“Tak perlu bertanya-tanya. Cepat dekatkan tanganmu ke sini.”
Sian Lun segera mengerti bahwa orang itu datang untuk menolongnya, maka dia pun menghampiri pintu
dan menyorongkan kedua tangannya yang dibelenggu. Terdengar suara berkeretakan dan belenggu kedua
tangan Sian Lun terlepas! Bayangan itu lalu menyerahkan dua batang pedang kepada Sian Lun dan
berkata lagi,
“Cepat bebaskan sumoi-mu dan kalian lari dari sini!”
Sian Lun keluar dari kamar tahanan karena daun pintunya ternyata sudah dibuka dan juga kamar tahanan
Sian Li telah terbuka daun pintunya. Dia meloncat masuk ke dalam kamar tahanan sumoi-nya. Dengan
menggunakan pedang, dia membebaskan dara itu dari belenggu.
Dapat dibayangkan betapa gembira dan juga heran hati kedua orang muda ini ketika mendapat kenyataan
bahwa dua batang pedang yang diserahkan oleh orang itu adalah pedang mereka sendiri yang tadi
dirampas oleh para anggota Hek-I Lama!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka berloncatan keluar dari kamar tahanan itu. Sambil memegang pedang masing-masing mereka
mencari-cari dengan mata mereka. Namun penolong tadi telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Mereka hanya melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini berada dalam
keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang berdiri, bahkan ada yang sedang
mencabut golok dan sikapnya seperti orang hendak meloncat. Akan tetapi, mereka semua tidak bergerak
dan seperti telah berubah menjadi patung!
Tahulah Sian Li dan Sian Lun bahwa mereka telah menjadi korban totokan yang amat ampuh! Mereka
tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari keluar dari situ, menuju ke lorong dari mana
mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah untuk kemudian meloncat pagar tembok.
Akan tetapi ketika mereka sudah keluar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba terdengar teriakanteriakan
nyaring.
“Tawanan lolos! Tawanan lolos!”
“Itu mereka di taman...!”
“Kepung...!”
Sian Li dan Sian Lun melihat belasan orang melakukan pengejaran yang dipimpin oleh Cu Ki Bok sendiri!
Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang.
“Cepat kalian lari meloncat tembok, biar aku yang menahan mereka!”
Orang bercaping itu lagi! Karena keadaan mendesak, dua orang muda itu tidak sempat bicara lagi. Mereka
mentaati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka berlari ke pagar tembok, kemudian meloncat ke
atasnya. Ketika tiba di atas pagar tembok, Sian Li sempat menengok dan ia memandang kagum.
Penolong mereka yang bercaping itu, hanya seorang diri tanpa senjata, sudah berhasil menghadang
belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat lihai itu! Tubuh Si Caping itu berkelebatan lincah
bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar dan menghalangi tiap orang yang hendak melakukan
pengejaran! Dan setiap orang, bahkan Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu dihadang dan
dihalangi orang bercaping itu!
“Mari cepat, Sumoi!” kata suheng-nya.
Sian Li terpaksa cepat meloncat keluar dan bersama suheng-nya ia pun melarikan diri meninggalkan
tempat itu. Namun, penglihatan tadi tidak pernah dapat dilupakan. Betapa lihainya kepandaian orang
bercaping itu!
Setelah malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari mereka.
Keduanya merasa sangat lelah dan mereka berhenti di luar sebuah dusun untuk melepas lelah. Dusun itu
mulai hidup. Penghuninya sedang meninggalkan dusun dan membawa alat pertanian untuk mulai bekerja
di sawah ladang.
“Suheng, kita telah ditolong oleh orang bercaping itu...” kata Sian Li terharu karena tidak mengira bahwa
mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.
“Kita berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi,” kata pula Sian Lun, masih
tertegun.
“Siapakah dia, Suheng? Apakah engkau dapat melihat mukanya?”
Sian Lun menggeleng kepala. “Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan cuaca terlalu
gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apa lagi caping lebar itu telah menyembunyikan mukanya. Bahkan
aku tidak tahu apakah dia itu muda atau tua, laki-laki atau wanita...”
“Dia jelas laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh laki-laki. Sungguh
sayang keadaan tidak mengijinkan bagi kita untuk berkenalan dengan dia, Suheng. Sungguh tidak enak
dunia-kangouw.blogspot.com
rasanya diselamatkan orang tanpa mengenal dia siapa, bahkan tidak sempat melihat wajahnya sehingga
selain kita tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak akan mengenalnya.”
“Sudahlah, Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo sering kali mengatakan bahwa di dunia ini banyak terdapat
orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar itu tidak pernah mau mengikat diri dengan dendam dan
budi? Dia tentu seorang pendekar aneh yang tidak mau menanam budi, maka menolong secara sembunyi
dan tidak memperkenalkan diri. Kita patut bersyukur bahwa kita sudah terbebas dari bahaya maut, bahkan
menerima kembali pedang kita, dalam keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah sembuh.”
“Akan tetapi buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang sangat berharga dari Nenek
Gangga Dewi, dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu membeli pakalan pengganti dan untuk
bekal dalam perjalanan.”
Sian Lun meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak dari saku bajunya. “Ini masih
ada beberapa potong perak di dalam saku bajuku. Kita masih dapat membeli makanan untuk beberapa hari
lamanya. Mengenai pakaian... wah, terpaksa sementara ini tidak bisa ganti...”
Mereka melanjutkan perjalanan. Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki dusun untuk
membeli makanan dan menanyakan jalan.
Sambil membeli makanan sederhana di kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan ternyata mereka
sudah meninggalkan pantai Sungai Yalu Cangpo sejauh tiga puluh mil lebih! Perjalanan melalui darat ke
timur sangat sukar karena harus melalui bukit-bukit, hutan-hutan dan daerah liar, di mana terdapat banyak
bahaya. Jalan raya yang biasa digunakan rombongan pedagang masih belasan li jauhnya dari situ.
Menurut keterangan penduduk dusun itu, kalau hendak melakukan perjalanan ke timur, paling aman dan
paling cepat adalah melalui Sungai Yalu Cangpo. Mendengar ini, maka mereka terpaksa harus kembali ke
utara sampai ke tepi sungai, lalu mempergunakan perahu menuju ke timur.
“Aihh, kita harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana, bagaimana kita
dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang lagi?”
“Bagaimana nanti sajalah, Sumoi.”
Percakapan mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun lebih menghampiri
mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata, “Saya disuruh seseorang untuk
menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda Berdua).”
Anak itu menyerahkan sebuah buntalan. Melihat buntalan itu, Sian Lun meloncat kaget dan girang sekali.
Itu adalah buntalan pakaiannya yang telah dirampas oleh orang-orang Hek-I Lama!
“Siapa yang menyuruhmu? Di mana dia sekarang?”
Anak itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang memakai caping, mukanya tidak
kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan hanya menyuruh aku menyerahkan buntalan ini
kepada seorang nona berbangsa Han yang berpakaian merah dan yang berada di kedai ini. Setelah
menyerahkan buntalan, dia pergi.”
Sian Li membuka buntalan dan memeriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas permata
pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia bersorak saking gembiranya. Ia
mengikat lagi buntalannya di punggung lalu berkata, “Aku akan mencari dia!”
“Tidak perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kau temukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau memperkenalkan
diri dan tentu telah pergi jauh.”
Sian Li dapat memaklumi kebenaran ucapan suheng-nya. Orang itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi dan kalau dia tidak menghendaki, tidak mungkin mereka mampu mengejarnya.
“Sayang sekali. Padahal aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengannya, Suheng, dan mengapa pula
dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan kita.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tentu ada sebabnya dan hanya dia sendiri yang mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau ia menghendaki,
tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya bila kita mencari dan membeli kuda agar
perjalanan ke pantai dapat dilakukan lebih cepat. Juga engkau perlu membelikan pakaian pengganti
untukku. Penolong kita itu agaknya hanya memperhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu,
sedangkan pakaianku tidak dia ambilkan.”
Sian Lun tertawa, sama sekali tidak merasa iri kepada sumoi-nya. Sian Li juga tertawa, akan tetapi entah
mengapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong mereka itu agaknya amat memperhatikannya!
Dengan emas yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik dengan harga
mahal, kemudian mereka pun meninggalkan dusun itu, menunggang kuda menuju ke tepian Sungai Yalu
Cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam buntalan Sian Li sehingga kini mereka mendapatkan
petunjuk lagi.
Perjalanan mereka ke tepi sungai itu tidak lagi mendapat gangguan, dan dari seorang nelayan mereka
bahkan mendapatkan petunjuk baru bahwa dari pada naik perahu, lebih cepat jika mereka menunggang
kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri tepi sungai.
Mereka menuruti petunjuk ini. Memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui kuda mereka dan
perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Pada waktu mereka melewati dusun yang cukup ramai, Sian Li
membelikan pakaian pengganti untuk suheng-nya. Kini mereka melakukan perjalanan berkuda dengan
perbekalan yang lengkap pula.
Untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat, Sian Li dan Sian Lun berhenti mengaso di
tepi sungai yang ditumbuhi banyak rumput gemuk. Mereka biarkan kuda mereka makan rumput dan
beristirahat, dan mereka pun membuka buntalan bekal makanan dan air bersih. Sambil makan mereka
berbincang membicarakan pengalaman mereka.
"Suheng, ingatkah Suheng ketika Badhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam itu menyerang
kita di rumah penginapan itu?"
"Ya, kenapa?"
"Ketika mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata lalu melarikan diri secara aneh,
karena kita sama sekali tidak melukai mereka."
"Hemm, dan engkau mengatakan bahwa mungkin ada dewa yang menolong kita?"
"Sekarang aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!"
"Ehhh, benarkah? Siapa dia?"
"Tentu orang bercaping itu juga!"
Sian Lun menatap wajah sumoi-nya, lalu mengangguk-angguk. "Mungkin dugaanmu itu benar sekali,
Sumoi, akan tetapi tak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang bercaping itu."
Sian Li menghela napas panjang. "Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui siapa adanya orang
itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku."
Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan.
Menurut petunjuk di dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di sebelah depan terdapat
sebuah dusun besar, tepat pada belokan Sungai Yalu Cangpo yang menikung ke selatan. Dan dari situ,
mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur…..
********************
Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepian Sungai Yalu Cangpo yang
berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang yang hendak membawa
barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para
pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka
bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur
dunia-kangouw.blogspot.com
melalui daratan. Karena menjadi pusat persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan
ramai.
Dengan mudah Sian Li dan Sian Lun mendapat dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka
rumah makan di samping rumah penginapan. Tiada hentinya hiruk pikuk suara orang yang memuat dan
membongkar barang di dusun pelabuhan itu.
Pada saat memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah kamar
untuk mereka, kakak adik seperguruan itu melewati sebuah ruangan duduk di mana berkumpul tujuh orang
yang melihat pakaiannya tentulah para pedagang berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai.
Mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti
logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya
mereka adalah pedagang-pedagang dari bagian timur sekali, dan mereka langsung merasa bagai bertemu
dengan saudara-saudara dari kampung halaman sendiri!
Memang demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Bila kita berada di rantau
orang, jauh dari kampung halaman, apa lagi kalau sedang merindukan kampung halaman, mendengar
logat bicara orang sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul
keakraban dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak
mendatangkan kesan apa pun.
Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu. Maka
setelah memasuki kamar masing-masing, mereka dengan pendengaran mereka yang tajam terlatih, masih
dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu. Mereka segera menaruh perhatian karena tujuh
orang pedagang itu membicarakan soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur,
perjalanan yang akan mereka tempuh.
Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan sering menyebut-nyebut tentang adanya seorang
pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Taihiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).
"Kalau tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di sini," terdengar
seorang di antara mereka bercerita. “Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu
sungguh tidak mengenal aturan umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang
cukup memadai. Tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, malah hendak menculik puteri pedagang
dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apa lagi pada waktu mereka hendak mengambil semua
gulungan sutera yang paling halus dan paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka.
Dan mereka menjadi marah, kemudian mengatakan bahwa mereka akan merampas semua barang,
menculik gadis itu, dan membunuh kami semua!"
"Hemmm, memang sekarang keadaan mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai
aliran. Ada perampok, dan ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak. Katanya ada pula
pasukan keamanan sendiri yang malah merampok dan mengganggu kami," kata orang ke dua.
"Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan kalian diancam, lalu bagaimana?" kata yang lain.
Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan. "Tentu saja kami tidak mau menyerah begitu saja. Tidak
percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggota rombongan kami terdapat
beberapa orang yang cukup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri
belum terluka, akan tetapi kawan-kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok merobohkan aku
dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku, muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti
itu! Hemm, dia bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit!"
"Acun, ceritakan, bagaimana dengan sepak terjangnya?" Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk
melanjutkan ceritanya. Bahkan di kamar masing-masing Sian Lun dan Sian Li ikut mendengarkan penuh
perhatian.
"Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi baru
sekali itulah aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar menyambar, dia nampak
sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar,
bahkan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat, bayangan
dunia-kangouw.blogspot.com
itu meluncur ke sana-sini. Semua senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan
mereka pun satu demi satu terjengkang dan terbanting roboh."
"Mampus perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.
"Mampus apanya? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Taihiap itu tak pernah melukai
orang, apa lagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya terkejut dan ketakutan saja.
Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar dan mempunyai kesaktian seperti itu, pasti sudah
kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas mereka!" kata Acun.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar sakti yang aneh
itu?" tanya seorang.
"Dan bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.
"Seperti biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya terdengar dari
dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para perampok, menyadarkan
mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak seorang pun di antara kami yang dapat melihat wajahnya.
Gerakannya demikian cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu."
Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena maklum bahwa
yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong mereka. Keduanya segera keluar
dari dalam kamar, saling pandang, lalu menghampiri tujuh orang pedagang itu.
Para pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda tampan dan
gadis cantik yang menghampiri mereka itu.
Sian Li cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan berkata, "Harap Cuwi (Anda
Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan merasa tertarik sekali karena kami pun
mendapat pertolongan dari seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami."
Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh pedagang itu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan
Sian Li dan Sian Lun. "Aih, agaknya Kongcu dan Siocia juga datang dari daerah Shantung seperti kami?"
Karena datang dari propinsi yang sama, walau pun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka segera
menjadi akrab. "Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?" tanya Sian Li.
Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara yang demikian cantiknya, dengan
bersemangat segera dia menjawab. "Ketika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya yang
berkelebatan secepat kilat dan ia mengenakan sebuah caping lebar yang menyembunyikan mukanya."
"Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li, dan orang itu semakin gembira disebut
paman Acun secara demikian akrabnya.
"Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tak bersenjata, akan
tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia seperti bukan manusia!" kata Acun.
"Pengalamanku dengan pendekar itu pun tak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang gendut berkata.
"Aku pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Taihiap itu!" berkata pula orang ke tiga.
Semenjak jaman dulu sampai sekarang, wanita memang mempunyai wibawa yang luar biasa terhadap
para pria. Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua mau pun masih remaja, selalu akan berubah sikap
mereka apa bila kedatangan seorang wanita, apa lagi yang muda dan cantik jelita.
Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di
antara mereka. Mereka itu berubah sama sekali. Gerak geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya,
bahkan suaranya! Mungkin yang bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita
memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada
ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak!
Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria menjadi lemah kalau
sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah laku mungkin hanya tergantung dari watak
masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang
pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun terlihat dibuat-buat dan tidak
wajar.
Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, tentang Sin-ciang Taihiap, mereka
memiliki pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tak pernah dapat dikenal wajahnya. Kalau
turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, ia bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan
wajah, apa lagi memperkenalkan nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang aneh sekali, tidak pernah ia membunuh penjahat, bahkan melukai secara parah pun tidak pernah.
Semua penjahat diampuninya, diberi nasehat.
"Bagaimana mungkin dia akan berhasil," kata Sian Lun pula. "Penjahat harus dihadapi dengan kekerasan!
Kalau hanya diampuni dan diberi nasehat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?"
"Belum tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang berusia enam puluh
tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan, sekali pun dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan
menjadi baik! Dan buktinya, menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik
dan sembuh dari penyakit yang membuatnya menjadi jahat setelah mereka itu bertemu dengan Sin-ciang
Taihiap dan mendapat nasehat dari pendekar aneh itu."
"Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.
"Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li.
Tanpa diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita agar dia
menjadi pusat perhatian.
"Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apa pun tanpa
mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar mengenai kejahatan
penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi
rambutnya sudah putih semua. Maka ketika melakukan perjalanan lewat di daerah itu, aku memperkuat
rombonganku dengan sepasukan piauwsu (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua
puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerombolan perampok yang
dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti biasanya ketika bertemu dengan gerombolan perampok, kami pun telah
menawarkan sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan. Akan tetapi, berapa pun yang kami
tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari
semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran, dan meski jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami
kewalahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang
Taihiap!"
"Dan dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah menolong
dirinya dan suheng-nya.
"Pendekar itu tidak bercaping, namun karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya yang panjang riapriapan
menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya. Dia berkelebatan
merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan
membawanya lenyap! Semua anak buah perampok lari ketakutan dan kami pun selamat."
"Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasehat dari pendekar itu
berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.
"Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan kemudian aku
lewat di daerah itu lagi, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan, tidak lagi menjadi
perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya.
Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan sudah tidak pernah lagi melakukan kejahatan.
Bukankah itu hasil nasehat dari pendekar sakti itu?"
"Dan bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?" tanya Sian Li.
"Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapa pun juga. Entah apa yang terjadi ketika dia
ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Taihiap."
Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apa lagi karena mereka sendiri berhutang budi, bahkan
nyawa kepada pendekar itu. "Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama
Sin-ciang Taihiap itu?"
Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tak pernah ada yang mendengar siapa nama
pendekar yang aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal orang karena sepak
terjangnya cepat dan penuh rahasia.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menurut cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama
Sin-ciang Taihiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang
mengenal nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para
pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di daerah
barat ini mau pun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.
Setelah mendengar dari para pedagang itu semua cerita yang kadang seperti dongeng saja tentang Sinciang
Taihiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan, Sian Li ingin mendengar dari mereka
mengenai orang-orang yang pernah ditentangnya selama ini.
"Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek-I Lama?"
Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan hanya berdiam diri
tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan mereka menengok ke kanan kiri,
seolah ketakutan.
"Kenapa, Paman?" Karena terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan berbisik
pula.
Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan cepat di
atas kertas itu, kemudian menyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu dan suheng-nya segera membaca
tulisan itu.
‘Jangan bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali.’
Demikian bunyi tulisan itu, membuat Sian Li saling pandang dengan suheng-nya.
Sian Li mendekati lelaki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang segera dirobekrobek
oleh penulisnya. Gadis itu lalu berbisik, "Kenapa, Paman? Apakah mereka jahat dan suka
mengganggu?"
Orang itu menggelengkan kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula. "Mereka tak pernah
mengganggu kita, sebaliknya kita pun tak boleh mencampuri urusan mereka. Penjahat yang paling besar di
daerah ini pun tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana
mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja."
Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran memasuki kamar
masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar masing-masing dan tidur.
Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada hentinya dia
mengenang pendekar yang amat mengagumkan hatinya itu. Kini dia membenarkan akan cerita orang
tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong, bahwa di empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai.
Karena itu mereka berpesan agar dia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian
sendiri. Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum beradab itu
terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan main…..
********************
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah bersiap-siap
pergi meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-laki menghampiri
mereka. Dengan sikap hormat ia menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu
diterima oleh Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan segera pergi lagi.
Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis dengan hurufhuruf
yang gagah dan indah itu.
Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling mengenal
dengan baik maka terjadilah kesalah pahaman. Kalau Jiwi ingin mengetahui lebih baik siapa kami, kami
ingin mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti.
Kami akan menjemput Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang.
Keselamatan Jiwi kami jamin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pimpinan Hek-I Lama
"Hemmm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang jahat dan
berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini mereka mengundang kita
sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka. Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat
ini, Sumoi."
"Suheng, lupakah Suheng akan nasehat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus berhati-hati dan
waspada, tapi yang lebih penting adalah bahwa kita tak boleh bersikap penakut! Kita harus berani
menghadapi kenyataan, betapa besar pun bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga
menanggulangi dan mengatasinya. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan
jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tak akan menggunakan cara serendah itu. Kita
memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka
dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu kita."
"Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"
"Aku akan menerimanya dan menghadiri undangan itu."
"Sumoi! Ingat, hal itu akan berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya bahaya!"
"Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sebagai
datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpinan Hek-I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan
mencemarkan nama besar sendiri sengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda
seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan pengalaman dan
menambah pengetahuan? Kini kita mendapat kesempatan mengetahui lebih banyak tentang Hek-I Lama,
kesempatan yang baik sekali karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jeri, biarlah aku
sendiri saja yang datang ke sana, Suheng."
Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan
dirinya di tempat Hek-I Lama, ia mengharapkan munculnya Sin-ciang Taihiap untuk kembali menolongnya.
Dia harus bertemu lagi dengan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, terus mengenal
wajahnya dan namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran.
Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoi-nya mengatakan dia jeri. "Sumoi, aku tidak mengkhawatirkan
diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri. Jika engkau berkeras hendak pergi, tentu
saja aku akan menemanimu."
Sian Li tersenyum menatap wajah suheng-nya. "Terima kasih, Suheng. Dan maafkan, bukan maksudku
mengatakan engkau takut. Tapi aku ingin sekali menghadiri undangan itu dan melihat siapa saja
sebetulnya orang-orang itu dan apa pula maksud undangan mereka kepada kita."
Akhirnya Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menunggu kedatangan kereta
yang hendak menjemput mereka dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan.
Sian Li memang berjiwa petualang. Suasana yang mendebarkan hatinya itu merupakan suatu kenikmatan
tertentu bagi seorang petualang. Apa lagi kalau dia membayangkan kemunginan munculnya Sin-ciang
Taihiap! Bahkan diam-diam dia mengharapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan
muncul kembali!
Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, tetapi belum sore. Sebagai seorang
wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian belum diganti, maka ia
minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan
berganti pakaian lebih dahulu.
Sebaliknya, Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pakaian
dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan berganti pakaian segala, pikirnya.
Dia malah menanti sumoi-nya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir
kereta.
Akan tetapi, kusir itu selalu menjawab "tidak tahu" untuk segala pertanyaannya, dan mengatakan bahwa ia
hanya bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari gerak-gerik dan sinar matanya yang tajam
dunia-kangouw.blogspot.com
membayangkan kecerdikan, Sian Lun dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah
saja. Tentu dia seorang anggota yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tangguh.
Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan rambutnya
tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian Lun menjadi semakin gelisah.
Kenapa sumoi-nya demikian mempercantik diri? Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat!
Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh
terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar
betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan
kecantikan seperti itu, sumoi-nya akan membuat mata orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan
tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa. Mereka pun naik ke dalam kereta yang segera dijalankan
oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.
Kereta itu meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki sebuah bukit.
Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu
tidak pernah mau menjawab! Ketika kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan
sabarnya.
"Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana engkau akan
membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir yang duduk di depan.
Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li. "Suheng, kenapa tidak sabar?" katanya sambil mengerutkan
alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah. Tentu saja dia membawa kita kepada yang
mengutusnya, yaitu Hek-I Lama yang mengundang kita."
"Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata kusir itu dan Sian Lun terpaksa
menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah tersinggung dan marah.
Ternyata di tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar. Dan
suasananya di sana memang dalam keadaan pesta. Banyak orang sedang membereskan ruangan depan
rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan ruangan yang luas dan
setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di
mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan rumah.
Pada saat itu telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta
berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang dipimpin para pendeta Lama
berjubah hitam ini semuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga
mereka nampak menyeramkan.
Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam tentulah
tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar,
bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang
yang mengenakan pakaian Han seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak,
dan Mongol.
Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini dapat
diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama muridnya, Cu Ki Bok!
Mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang
yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kang-ouw dan para pendekar.
Pada waktu itu barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor satu dari
perkumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang suheng-nya yang duduk di kursi
terbesar.
Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun
usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas. Dia hanya duduk saja bersandar pada kursinya. Agaknya
yang aktip dalam pertemuan itu adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet
itu.
Walau pun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama Lulung
Lama, akan tetapi Sian Lun menahan diri dan tidak memperlihatkan kemarahannya. Ada pun Sian Li
dunia-kangouw.blogspot.com
bersikap tenang, bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main.
Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya.
Kini Sian Li merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan
kekerasan terhadap dirinya dan suheng-nya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya
orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama takkan merendahkan diri yang hanya
akan mencemarkan nama besarnya sendiri selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang
curang dan pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sangat sopan dan hormat, padahal
baru kemarin pemuda murid tokoh Hek-I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan.
Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan suara
lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang pendekar dari timur yang
masih memiliki hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari Kerajaan Bhutan.
Agaknya sekarang semua tamu sudah berkumpul. Senja mulai datang, lampu-lampu penerangan
dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan Hek-I Lama menyuguhkan
anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan mempersilakan para tamu makan kue manis yang
dihidangkan sebagai pembuka pesta, Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat
dia minta agar para tamu tidak berisik dan memberi perhatian kepadanya.
Agaknya bicaranya memang ditujukan kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di sana, maka dia
menggunakan bahasa Han. Para kelompok suku bangsa lain yang tidak paham bahasa Han terpaksa
mendengarkan terjemahannya dari kawan-kawan mereka yang paham.
"Saudara sekalian, Cuwi (Anda Sekalian) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur, kami dari Hek-
I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cuwi yang memenuhi undangan
kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami berkumpul, dihadiri pula oleh para sahabat dari Nepal
terutama sebagai kawan seperjuangan kami, dan para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol
yang tak sudi melihat orang-orang Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh daratan. Cuwi kami
undang untuk mengadakan perundingan dan kami ajak untuk bekerja sama menentang pemerintah
Kerajaan Ceng dari bangsa Mancu. Kalau kita semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan bisa kita kalahkan
dan kita usir kembali ke asal mereka. Kami mengharapkan sambutan dari Cuwi yang kami hormati sebagai
orang-orang gagah di dunia kang-ouw."
Lulung Ma memberi hormat, lalu duduk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada yang menjawab,
Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran tuan rumah, di samping Lulung
Lama. Dia pun bicara dengan suaranya yang lantang, dalam bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan
kalimat demi kalimat oleh seorang Han yang duduk di belakangnya.
"Saudara sekalian, kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini kita berkumpul
sebagai saudara-saudara senasib, sependeritaan dan seperjuangan! Kita sama-sama sengsara oleh
kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja menjajah seluruh daratan Cina, akan tetapi juga
menindas daerah barat, menjajah Tibet, bahkan menjadi ancaman bagi negara-negara tetangga di barat.
Kami, Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah dari Nepal, siap untuk berjuang bersama
dengan saudara sekalian untuk menentang pemerintah Mancu!"
Setelah berkata demikian, dibawah sambutan tepuk tangan, pangeran Nepal ini duduk kembali. Dia
seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman, bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan
tampan gagah jantan. Matanya lebar dan sinarnya tajam, mulutnya selalu dibayangi senyum yang
memikat. Pangeran berusia kurang lebih empat puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan
ganteng sekali.
Di deretan depan dari para tamu golongan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri. Sian Li dan Sian
Lun semenjak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw terdapat beberapa orang wanita,
dan yang menarik perhatian adalah adanya tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai
tiga puluh tahun.
Ketiganya cantik menarik, berpakaian serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu dihias kembang
teratai putih. Kini, seorang di antara tiga wanita itu, yang tertua, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit
dan tentu saja ia menjadi pusat perhatian ketika ia bicara.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Para pimpinan Hek-I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?" tanyanya. Suaranya lantang akan tetapi
merdu dan gayanya memikat. Matanya bersinar tajam serta genit, dan bibirnya tersenyum-senyum.
Pandang matanya terus menyambar-nyambar ke arah Pangeran Gulam Sing.
Lulung Lama segera bangkit dan memberi hormat. "Omitohud! Pinceng sebagai wakil pimpinan Hek-I
Lama, berterima kasih sekali kalau Toanio yang datang sebagai utusan dan wakil Pek-lian-kauw memberi
petunjuk kepada kami."
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru