Kamis, 28 September 2017

Cersil Heboh Pendekar Bongkok 6 Tamat

Cersil Heboh Pendekar Bongkok 6 Tamat Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Heboh Pendekar Bongkok 6 Tamat
kumpulan cerita silat cersil online
-
Mendadak terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang
bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim
Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih
nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di
dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari.
Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang yang
dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya
untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang
memang pantas dia hormati.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Kim Sim Lama sambil lalu.
Kim Sim Lama melangkah mendekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa
luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu.
“Sudah hampir kering,” jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak menotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu
melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu. Begitu
pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sim Lama, dia pun terkulai lemas di atas pembaringan.
“Ehh? Kenapa...?” Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama segera berkata kepada Camundi Lama.
“Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa
jenazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lhasa. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan
penguburan di kuburan umum di Lhasa itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya.
Engkau tidak perlu khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.”
“Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?” Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.
“Dia itu! Kami menghendaki supaya tubuhnya mampu bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak
kami bunuh dia. Dan engkau tak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan
kita!”
Melihat sinar yang mencorong dari mata Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan
mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim
Lama.
Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia
dibuat tak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudarasaudaranya,
keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah
dunia-kangouw.blogspot.com
yang membuat Camundi Lama tak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas
wakil Dalai Lama itu.
Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas petunjuk Kim Sim
Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
“Supaya tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,” kata Camundi Lama
dengan sikap bersungguh-sungguh.
Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di
atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang
pendeta, diiringkan pula belasan orang pendeta yang membaca doa.
Di antara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama
memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia
yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tidak akan ada seorang pun yang menaruh curiga.
Karena orang-orang bisa menduga bahwa yang akan dimakamkan itu tentulah seorang anggota Kim-simpang,
maka tak seorang pun berani bertanya-tanya, bahkan mendekat pun tidak berani. Biar pun pihak
pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai
Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, akan tetapi semua orang sudah tahu belaka bahwa Kimsim-
pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang
pemerintah, walau pun tidak secara terang-terangan.
Peti mati itu lalu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara,
bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba
dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu.
Tadi dia hanya sempat memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu
obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk
membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung,
Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara
sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati
dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja
diletakkan di atas tanah kuburan.
“Tabung ini untuk memasukkan hawa supaya mayatnya tidak lekas rusak seperti yang dikehendaki oleh
Kim Sim Lama,” berkata Camundi kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu.
Mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu
menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua
itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankan hidupnya dan kalau mungkin
membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin?
Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan
ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Thian! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Thian
bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya?
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah
menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikit pun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal
pikiran, maka yang bekerja adalah kekuasaan-Nya!
Teringat akan ini, bibir yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru
itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus
melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan
pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian
mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama…..
********************
Sebelum peti mati itu diangkat keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan.
“Dia sudah mati... dia sudah mati...,” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan.
Akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam
hari itu, akan tetapi dia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.
“Apa...?!” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat ia
memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dengan suara agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur, ”Sian-moi? Kalau
dia mati pun, lantas mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau
berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku!
Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan hal ini kepadanya!” Bi Sian sudah berlari
keluar dari dalam kamarnya.
“Sian-moi...!” Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali
tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku di sini, perlu apa
engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?”
Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian segera mencari Kim Sim Lama. Dia mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam
ruangan semedhi di belakang. Ia tidak peduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, ia pun melangkah
masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersemedhi, dihadapi oleh lima
orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw.
Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi ia pun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka ia
pun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
“Losuhu, maafkan saya mengganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu
telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw
menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang.
Kim Sim Lama pun berkata kepada gadis itu, “Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara
sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka dia pun segera duduk di atas lantai karena di dalam ruangan
semedhi itu tidak terdapat kursi atau pun bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw, jika memang benar pinceng telah membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal
itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku pergi meninggalkan rumah sedemikian jauhnya
hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang sudah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar
dunia-kangouw.blogspot.com
dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku
ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!”
“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga.
Bukan hanya engkau yang hendak membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang
hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok itu telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang
menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar
nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali
pada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan
bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar
Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa sesungguhnya nona tidak membenci pada
Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri
dengan tanganku...”
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri, “Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok,
bukan?”
Bi Sian menengok ke kiri dan dia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong
sehingga dia merasa jantungnya bergetar hebat. Dia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang
lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat.
Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw sudah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan
tenaga dan kini mulai menguasainya.
“Aku... aku membenci Pendekar Bongkok...”
Jawaban Bi Sian keluar seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya
untuk membuat pengakuan yang wajar, yang bertentangan dengan suara hatinya! Dia sendiri memang
percaya bahwa dia membenci Sie Liong. Mengapa tidak? Sie Liong sudah membunuh ayah kandungnya!
Dia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong, walau pun suara hatinya membisikkan lain.
“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih pada Kim Sim Lama yang telah menawan dan membunuh
musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima
orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi makin lemah dan di luar kehendaknya sendiri. Ia mengangguk dan
berkata, “Aku berterima kasih...”
“Nona Yauw Bi Sian,” kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke
dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, “Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan
membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan membantu Kim-sim-pang...,” kata pula Bi Sian.
“Nona, engkau juga akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil
melengking tinggi dari kanan.
Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai Yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu.
Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia merasa setuju sekali dan ia pun menjawab, suaranya
bersungguh-sungguh.
“Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang sangat kuat, karena
pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai
Yang suhu.
“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi Sian mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil
mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah sedang menghafalkan pelajarannya. “Aku akan membantu
Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan
rambut kusut keluar dari kamarnya, dia bahkan sama sekali tak peduli. Dia masuk ke dalam kamar,
merebahkan diri di pembaringan dan memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih terus mengulang
kedua kalimat itu,
“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan
menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi
Sian…..
********************
Camundi Lama tidak tahu betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah
pula, bahwa kekuasaan Thian dapat melakukan apa saja.
Apa bila Thian menghendaki, apa pun yang menurut akal pikiran tidak mungkin, dapat terjadi dengan
mudahnya. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat di dalam alam semesta, tetapi manusia tidak
memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat dari
pada usaha manusia.
Camundi Lama hanya melihat kebenaran yang terkandung di dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa
kebenaran itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi di sekelilingnya. Dia tidak menyadari
bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang digunakan Thian untuk menyelamatkan Sie Liong.
Pada waktu Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia tidak melihat apa-apa. Gelap pekat saja
yang nampak. Dia memejamkan kedua matanya kembali, kemudian berusaha mengingat-ingat.
Tepat pada hari itu habislah sudah seluruh sisa pengaruh racun penghilang pikiran, dan ingatannya pulih
kembali lagi. Kewaspadaan Sie Liong timbul kembali, terasa di seluruh tubuh. Teringatlah dia bahwa dia
sedang melaksanakan tugasnya untuk menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat akan
perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim Lama membantu
mengeroyoknya.
Hanya sampai di situ saja ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Tahutahu
dia berada di sini!
Dia membuka mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya tetap gelap. Sudah butakah kedua matanya?
Dia menggerakkan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada di dalam sebuah peti!
Dia meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta, hanya berada di dalam sebuah peti yang teramat
gelap. Sebuah peti yang tertutup rapat!
Kembali dia mencoba untuk mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam
sebuah kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama. Dia teringat pula dengan hati terkejut bahwa dia pernah
diserang seorang pria dengan golok, ditangkis dengan lengan kirinya dan lengan kiri itu buntung.
Cepat tangan kanannya bergerak lagi meraba lengan kirinya. Buntung! Lengan kirinya memang benar
sudah buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja sedikit.
“Ya Thian...!” Dia berseru lirih.
Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya bertanya-tanya kepada Thian mengapa
lengan kirinya harus buntung. Akan tetapi, kembali dia menyandarkan diri kepada kekuasaan Thian. Apa
bila memang Thian menghendaki, jangankan hanya sebuah lengan kirinya, meski seluruh tubuhnya
dihancurkan, biar nyawanya dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan
yang tulus ini, dia pun merasa aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tanpa mengingat sedikit pun lagi mengenai lengan kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan
meraba-raba dan akhirnya dia menemukan lubang di atas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu jari kaki
pada peti itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu tersambung sebatang
tabung ke atas dan agaknya itulah yang menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar
masuk dari tabung itu!
Dia mencoba untuk menggerakkan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mencoba kekuatan peti itu.
Akan tetapi ternyata tenaganya lemah sekali. Dan dia teringat bahwa sebelum ini, kalau dia mengerahkan
tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan tetapi juga dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu sudah
sembuh! Akan tetapi tenaganya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sinkang-nya sudah lenyap.
Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya.
Camundi Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan. Ahhh, benar!
Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan
Kim Sim Lama menotoknya!
“Hemm, mereka memasukkan aku ke dalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat
gelapnya, dan mencium bau tanah ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemmm... agaknya peti
ini berada di dalam tanah!” Dia terbelalak, namun tetap saja gelap gulita.
“Ahh, mereka telah menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!”
Kembali perasaan khawatir dan takut menghantuinya, akan tetapi hampir berbarengan, kesadaran
menyerahkan diri kepada Thian mengusir itu semua. Dia harus pasrah, dan percaya sepenuhnya akan
kekuasaan Thian.
“Kekuasaan Thian berada di mana pun juga,” demikian pernah Pek Sim Siansu berkata, “di tempat yang
paling tinggi mau pun paling rendah, di dalam benda yang paling besar sampai yang paling kecil, di atas
langit mau pun di bawah bumi...”
“Di bawah bumi... ahhh, di sini pun ada kekuasaan Thian! Ya Thian, hamba menyerah, hamba pasrah, apa
pun yang Thian kehendaki jadilah!” Di dalam hati Sie Liong bersorak dan pikirannya pun menjadi semakin
terang.
Dia mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di dalam sebuah peti dan peti itu dikubur.
Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang memasukkan hawa udara segar. Orang tidak
menghendaki dia cepat mati.
Tentu ini perbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tak berniat menyelidiki karena
hal itu akan sia-sia saja. Yang penting sekarang harus mencari jalan untuk keluar dari tempat ini
secepatnya. Kembali dia menggerakkan kedua kaki beserta sebelah tangannya untuk mencoba
memecahkan peti.
Akan tetapi ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganya pun terlalu kecil. Percuma saja, pikirnya. Dan pula,
andai kata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di dalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung
hawa itu patah dan kemasukan tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian
yang mengerikan.
Tidak, dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang tabung itu, berarti
ada orang yang tidak menghendaki dia mati dan tentu mereka pun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia
mati.
Dia kemudian mengingat-ingat percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun penghilang
ingatan, akan tetapi agaknya racun itu telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia dapat
mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib itu, dia juga keracunan.
Darahnya keracunan sehingga dia sudah kehilangan tenaga sinkang-nya dan setiap kali mengerahkan
tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih
belum pulih. Tentu tabib itu telah berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru
rasa nyerinya yang hilang. Tenaga sinkang-nya belum kembali.
Kembali dia menggerakkan tangan kanan, menekan ke arah peti.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Krek... krekk...!” Peti itu retak oleh dorongannya.
Tenaga biasa, bukan tenaga sinkang. Akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang terlatih,
tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti sedikit terbuka sehingga ada tanah dan
pasir masuk dan menimpa mukanya! Dengan cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan
kanan membersihkan muka.
Celaka, pikirnya. Kalau dia berhasil memecahkan peti itu, dia akan tertekan tanah dan pasir, dan akan mati
kehabisan hawa udara. Kini dia malah tidak berani bargerak sama sekali karena setiap kali bergerak agak
keras, ada tanah dan pasir jatuh ke dalam peti yang sudah retak itu.
Tenang, Sie Liong, tenanglah dan pergunakan akalmu. Akal juga pemberian Thian yang harus
dipergunakan pada saat yang dibutuhkan, seperti saat sekarang ini! Dia memang sudah menyerah dan
pasrah sepenuhnya kepada Thian, tetapi di samping itu dia harus berikhtiar, berusaha menggunakan
segala alat yang ada padanya, pikirannya, akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan
Thian membimbing, akan tetapi bimbingan itu pun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada padanya.
Dia pun mengingat-ingat. Dia sedang berada di dalam bumi! Di dalam tanah. Tiba-tiba teringatlah dia akan
pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Siansu kepadanya, yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga
mukjijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam api dalam hawa,
dalam logam, dalam tanah, dan dalam air!
Di dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga
inilah yang menghasilkan segala zat, segala makanan, segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan
tumbuh-tumbuhan, yang mengeluarkan hawa panas, yang mengeluarkan apa saja.
Bumi nampak lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini berasal dari bumi dan akan kembali ke
bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha
dahsyat. Dalam bumi, di dalam tanah, terdapat kekuasaan Thian, yaitu energi yang maha dahsyat itu!
Dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Thian menghendaki, maka tentu dia akan kebagian
sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, akan tetapi telah cukup untuk membuat dia keluar dari dalam
kurungan maut itu.
Mulailah Sie Liong mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulailah dia menghimpun hawa
murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan kepada Thian
Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat memasuki tubuhnya melalui napas
yang dihisapnya. Hawa yang hangat ini berputar di dalam pusarnya, seolah-olah membangkitkan kembali
tenaga saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa murni yang terhisap olehnya itu sekarang
bercampur dengan sesuatu yang belum pernah dirasakannya.
Berbeda dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan di atas sana, di atas tanah. Kini ada sesuatu
yang kadang panas kadang dingin, kadang menyesakkan dada, terbawa masuk ke dalam tubuhnya,
berkumpul di dalam pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai
menghimpun Tenaga Inti Bumi!
Itulah kekuasaan Thian yang sudah diyakininya. Agaknya Thian menghendaki demikian sehingga tanpa
disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong sudah berhasil menghimpun Tenaga Inti Bumi
sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam peti!
Dan kebetulan sekali pula, sesungguhnya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh
kekuasaan Thian, pada saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat yang dimasukkan ke
dalam perutnya oleh Camundi Lama. Darahnya sudah bersih kembali dan ketika tenaga sinkang-nya
perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi
yang segera bersatu dengan tenaga sinkang yang sudah ada dalam tubuhnya!
Akan tetapi Sie Liong tak merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan perhatian pada pernapasannya,
sambil menyerahkan segala sesuatunya kepada Thian, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil menghadap
Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan.
Kini tahulah dia bahwa semua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang sudah mengungsi ke
Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak
di Tibet untuk mengelabui mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama
dimusuhi banyak pihak!
Akan tetapi dia tidak peduli akan semua masalah itu. Dia tidak ingin mencampuri urusan pemberontakan di
Tibet, tidak membela Dalai Lama, namun juga tidak membantu para pemberontak. Dia hanya ingin
mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari
puterinya, Yauw Bi Sian.
Karena tidak bermaksud mencampuri urusan pemberontakan melainkan urusan pribadi, maka Lie Bouw
Tek tidak ragu-ragu atau takut-takut untuk pergi mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak
terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula
mencari sendiri adik dan puterinya.
Pria perkasa berusia tiga puluh enam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu
melakukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih masing-masing,
maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu yang selain membahagiakan, juga mendatangkan
perasaan tenteram dan penuh damai. Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang
membuat matahari bersinar lebih cerah, warna-warna lebih terang, suara apa pun menjadi lebih merdu.
Dunia nampak lebih indah dari pada biasanya!
Pada pagi hari yang cerah itu, mereka sampai di lereng sebuah bukit dan dari lereng itu mereka dapat
melihat ke bawah. Pemandangan alam di pagi hari itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat
melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar
telaga itu dipenuhi dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba
dan sekarang bukit-bukit itu ditumbuhi banyak sekali pohon yang berbunga indah.
Gambar Yamzho Yumco1 ()
Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka
tahu bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah. Selagi mereka
menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat
itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para
pendeta ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.
Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walau pun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah
Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata, “Maafkan kalau kami menganggu cu-wi
suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kimsim-
pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya ke kuil itu?”
Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek juga sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi di
belakang sebuah kuil milik Kim-sim-pang yang sesungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh
karena itu, ia tadi mengajak Lan Hong untuk mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan
hendak mencari jalan dari belakang kuil.
Mendengar ucapan Lie Bouw Tek ini, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut
penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang memimpin rombongan berkata, “Jalan menuju ke
kuil adalah jalan raya yang sudah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan
berkeliaran di tempat ini? Di sini merupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorang pun boleh
berkunjung di sini tanpa seijin kami.”
Lie Bouw Tek mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja
hendak melanggar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena sangat tertarik oleh pemandangan yang indah dari
sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan...”
“Katakanlah apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan
kami ajak menghadap para pimpinan kami yang akan menentukan selanjutnya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini Lan Hong menyentuh
lengannya, kemudian ia pun melangkah maju dan berkata dengan lembut.
“Harap cu-wi suhu suka memaafkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami
datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok
bernama Sie Liong dan...”
“Pendekar Bongkok!” seru seorang di antara mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong dan Bouw
Tek girang sekali.
“Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari,” kata Lie Bouw Tek. “Dapatkah cuwi memberi tahu
di mana dia?”
Akan tetapi begitu mereka mendengar bahwa yang datang ini adalah anggota keluarga Pendekar Bongkok,
para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang
dengan maksud akan membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang.
Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka berlari menuju ke sarang untuk melapor.
Melihat sikap mereka yang mengacungkan senjata dan mengepung, Lie Bouw Tek lalu mengerutkan
alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.
“Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid
Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan dari Pendekar Bongkok. Kami sama sekali
tidak mempunyai urusan dengan Kim-sim-pai, kami hanya mencari adik kami itu!”
Akan tetapi, para pendeta itu mengepung semakin ketat. “Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami
hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau seorang yang akan menentukan apakah ji-wi bersalah
ataukah tidak. Menyerahlah dari pada kami harus menggunakan kekerasan!”
“Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti
perampok-perampok saja! Kami tidak bersalah apa pun, bagaimana harus menyerah menjadi orang
tangkapan? Kami tidak mau menyerah!” Sambil berkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut
pedangnya yang bersinar merah.
Sie Lan Hong juga mencabut pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini
berarti membiarkan diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang tentu
tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Ia pun siap mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk
membela diri.
“Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak pemimpin rombongan.
Empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga
menerjang ke arah Sie Lan Hong. Berbagai macam senjata mereka lantas berkelebat menyerang dengan
serentak.
“Trang-trang-tranggg...!”
Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebatan
dan empat orang pendeta itu berseru kaget. Mereka berloncatan mundur karena senjata mereka telah
buntung ketika bertemu dengan pedang di tangan pendekar Kun-lun-pai itu!
Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja wanita cantik
itu mampu mengelak dan menangkis, bahkan dia membalas dengan hebat dan sebuah tendangan kakinya
sempat membuat seorang pengeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.
Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar
seruan yang amat berwibawa, “Tahan semua senjata...!”
Para pendeta itu mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan
menghentikan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling mendekati agar
dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya
menyentuh lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada di
situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus
dan tua renta itu. Pendeta Lama itu walau pun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka
kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan jubahnya yang lebar.
Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia
dapat menduga dengan siapa dia kini sedang berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan
dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada
Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.
“Kalau kami tidak salah menduga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat
kami, locianpwe.”
Kim Sim Lama membungkuk sedikit. “Omitohud... orang muda yang gagah, sicu sudah mengenal pinceng
(aku) tetapi kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan kami.
Siapakah kalian dan ada keperluan apa maka kalian berkeliaran di sini?”
Tadi dia sudah mendengar laporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang
dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, dia pun cepat keluar melerai
perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.
Dengan lantang Lie Bouw Tek memperkenalkan diri. “Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang
menerima perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa para pendeta Lama
telah memusuhi Kun-lun-pai, di samping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini
bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang untuk mencari adiknya itu.
Kini kami berhadapan dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi
membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu dia berkata, “Omitohud,
tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara di luar
begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita berbicara di dalam dan pinceng akan memberi keterangan
yang selengkapnya tentang kedua hal yang kalian pertanyakan itu.”
Biar pun dia maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya,
namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan
tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai. Betapa pun juga,
dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa yang cukup kuat.
Mereka diajak memasuki ruangan belakang kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk.
Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet Ngo-houw dan
Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan
enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara
tenang.
“Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin lebih dahulu menjelaskan mengenai sikap bermusuhan yang
diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para pertapa, tosu dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk
itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama,
panggil Thay Yang Suhu ke sini.”
Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang
kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong lalu memandang kepada tosu itu.
Seorang kakek yang berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan rambut
amat pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan berwajah tampan. Di punggungnya
tampak sepasang pedang. Thai Yang Suhu memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian
dipersilakan duduk di sebelah kanannya oleh pemimpin itu.
“Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai Yang
Suhu, dan dia adalah salah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal
yang telah terjadi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi
Kun-lun-pai, padahal selamanya Kun-lun-pai tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet.
Ada pun urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,” kata Lie Bouw
Tek.
“Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini tentu ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai
Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan
sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk turut pula memberi
penjelasan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama.”
Thay Ku Lama yang berperut gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari
tempat duduknya. “Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai
sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal kenapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai
Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. Kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu
masih kecil, ketika dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, para pertapa Himalaya sudah
bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu
bermaksud baik walau pun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama tewas. Akan
tetapi, dia tidak peduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa
di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami
untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke
Kun-lun-san. Karena itulah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah garagara
kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kami pun meninggalkan Dalai Lama,
bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Oleh karena
itu, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, sedangkan yang bertanggung jawab terhadap para tosu,
pertapa mau pun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang
didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai Yang Suhu berkata dengan
suaranya yang lembut.
“Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang
di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan menjadi musuh Tibet Ngohouw
yang pada saat itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka
meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama.
Karena itu, maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman
Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu mau membantu pula untuk menghadapi Dalai
Lama yang jahat.”
Lie Bouw Tek menjadi semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul
pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi Dalai Lama dan bertanya
kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
“Locianpwe tadi mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong.
Mohon petunjuk locianpwe, sekarang di mana adanya adik saya itu.”
“Omitohud... harap toanio bisa menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok.
Dia sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.”
“Ahhhhhh...!” Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
“Tidak mungkin...!” Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali.
Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia.
Jika dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itu pun
menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.
“Omitohud... pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan
dendam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia lalu dikeroyok dan tewas. Apa bila ji-wi
(kalian) hendak membuktikan, dapat kalian kunjungi makamnya.”
“Ahh... Liong-te (adik Liong)... benarkah... engkau sudah tewas...?” Lan Hong menahan tangisnya,
kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, “Di mana kuburan adik saya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Marilah, pinto akan antarkan jika ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Kuburannya masih baru!” kata Thai
Yang Suhu.
Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri. “Lie toako, aku ingin menengok makam adikku!”
Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bersusah payah wanita itu melakukan
perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburannya! Dia pun
mengangguk kepada Thai Yang Suhu.
“Totiang, terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita
berangkat.”
Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai Yang Subu, mereka
maninggalkan kuil itu lewat pintu samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan
tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk mencari keterangan dari
Thai Yang Suhu bagaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.
“Siancai... bagaimana pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar
Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu
Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto
melihat sendiri ketika jenazahnya sedang dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pinto ketahui.
Selebihnya Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok.”
“Liong-te...!” Lan Hong mengeluh. Ia menggunakan ujung lengan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya, mereka tiba di taman kuburan itu. Sunyi sekali di situ karena taman kuburan itu memang terletak
di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka kecuali mereka bertiga tidak ada orang
lain yang berkunjung ke situ.
Sebelum pergi meninggalkan kuil tadi, Thai Yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa biting) dan
beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek serta Sie Lan
Hong melakukan upacara sembahyang dengan sederhana namun khidmat, diiringi tangis Lan Hong
perlahan-lahan.
Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gundukan tanah kuburan itu sambil
mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
“Benarkah ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu tewas semudah ini? Benarkah
yang berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?”
Mendengar ucapan yang merupakan penumpahan rasa penasaran yang tanpa disadari telah keluar dari
mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai Yang Suhu mengerutkan alisnya.
“Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semua? Jika sicu masih belum
percaya, sekarang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jenazah Pendekar
Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!”
Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan
Hong sudah hanyut pula dalam keharuan dan penasaran, apa lagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi.
Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.
“Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepadaku agar hatiku tidak menjadi ragu
lagi. Adikku... ahh, adikku Sie Liong...!” Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah menahan-nahan
tangisnya kini terisak-isak.
Sementara itu, di bawah gundukan tanah itu pun sedang terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorang
pun di luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong ‘bertapa’ di dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat
bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya.
Selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada nasib! Bukankah segala sesuatu yang berada di atas
bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga bersumber pada
dunia-kangouw.blogspot.com
tanah! Bumi yang nampak lemah dan tidak bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang
dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apa pun
agar kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang akan hal-hal yang pernah diajarkan oleh Pek Sim Siansu padanya, tentang Tenaga Inti Bumi,
tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu
Sie Liong menghimpun tenaga mukjijat itu. Dia sudah pasrah sepenuhnya. Tubuhnya lemah, lengan kirinya
buntung, ingatannya hilang, darahnya pun keracunan.
Di luar kesadarannya, Tenaga Inti Bumi telah merasuk ke dalam tubuhnya. Tenaga sakti yang dahsyat ini
sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga
saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya
seperti sebuah balon yang ditiup, terus ditiup hingga rasanya menggembung, makin lama makin kuat,
sehingga rasanya seperti hendak meledak!
Dia tidak tahu betapa pada saat itu, di atas sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang menangis dan
memanggil-manggil namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah tewas. Sejak tadi dia hanya merasa
tubuhnya seperti akan meledak, maka tanpa mempedulikan apa pun yang akan terjadi, dia menggerakkan
sebelah tangan dan kedua kakinya, meronta dan mendorong serta menendang.
“Blaaaaarrrrr...!”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya tiga orang yang berada di depan gundukan tanah kuburan itu ketika
tiba-tiba terdengar suara keras seperti ledakan dan gundukan tanah itu mendadak pecah, bagaikan ada
bahan peledak yang amat kuat meledak dari dalam gundukan tanah, maka tanah dan batu kerikil
berhamburan.
Sie Lan Hong menjerit. Lie Bouw Tek sudah menarik lengan wanita itu diajak bertiarap agar jangan terkena
tanah dan batu kerikil yang muncrat berhamburan. Mereka masih melihat sesosok bayangan orang
meloncat keluar dari dalam lubang di bawah gundukan tanah itu, meluncur ke atas dan berjungkir balik lima
kali sebelum melayang turun ke atas tanah.
“Keparat...! Kau... iblis...!” Terdengar Thai Yang Suhu membentak.
Pendeta palsu ini pun terkejut bukan main ketika melihat gundukan tanah itu tiba-tiba saja meledak dan
dari dalamnya meloncat seorang yang dikenalnya sebagai Pendekar Bongkok! Masih persis Pendekar
Bongkok seminggu yang lalu, hanya kini pakaian dan rambutnya kusut dan kotor berlumpur, mukanya
merah seperti udang direbus, matanya mencorong seperti bukan mata manusia.
Melihat ini, Thai Yang Suhu yang khawatir kalau rahasianya terbuka, segera meloncat maju dan menerjang
dengan sepasang pedangnya! Dia langsung melakukan serangan maut, menusukkan pedang kanan ke
arah tenggorokan sedangkan pedang kiri ke arah lambung Pendekar Bongkok!
Pada saat itu, Sie Liong masih belum mendapatkan kembali ingatannya sepenuhnya. Dia hanya bergerak
tanpa perhitungan pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan mukjijat yang terhimpun di dalam
dirinya. Ketika pedang di tangan Thai Yang Suhu itu meluncur ke arah tenggorokan dan lambungnya, dia
hanya mengeluarkan bentakan yang aneh, melengking panjang dan tangannya bergerak ke arah sinar
pedang yang menyambarnya.
“Bresss...!”
Tubuh Thai Yang Suhu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu bangkit kembali
karena kedua pedang di tangannya yang tadi dia pergunakan untuk menyerang, entah bagaimana sudah
membalik dan menancap di dada dan lehernya sendiri! Dia pun tewas seketika!
“Liong-te...!” Lan Hong meloncat menghampiri Sie Liong.
Akan tetapi, dengan sekali lompatan yang jauh sekali, Sie Liong telah melarikan diri. Dia belum ingat siapa
wanita itu, dan dia tidak ingin terjadi wanita itu tewas seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan begitu
melompat, dia terkejut sendiri karena lompatannya tidak seperti biasa, amat jauhnya seperti terbang saja!
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat adiknya melarikan diri dengan lompatan yang luar biasa itu, Lan Hong berseru memanggil-manggil
dan mengejar.
“Liong-te, tunggu...! Liong-te...!”
Akan tetapi dengan beberapa kali lompatan saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan Hong berdiri
bingung, tidak tahu ke mana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah berada di dekatnya dan pendekar
Kun-lun-pai ini berkata.
“Sudahlah, Hong-moi. Tidak ada gunanya dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah di mana. Dia... dia... seperti
dapat terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyusul dia.”
Dia masih terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar Bongkok, adik wanita yang
dikasihinya itu. Dia sudah mendengar bahwa Pendekar Bongkok memiliki ilmu kepandaian yang tinggi,
akan tetapi apa yang disaksikannya tadi jauh melampaui dugaannya selama ini. Terlalu dahsyat ilmu yang
dimiliki Pendekar Bongkok itu, tidak lumrah manusia!
“Aihh, Lie-toako... apakah engkau tidak melihat lengan kirinya tadi? Dia... dia buntung! Aihh, adikku, apa
yang telah mereka lakukan kepadamu? Aku harus mencari Kim Sim Lama, aku harus membalaskan
adikku, akan kuminta pertanggungan jawabnya!” Lan Hong menangis.
“Tenanglah, Hong-moi. Yang penting, adikmu itu masih dalam keadaan selamat, bukan? Kalau kita kembali
ke sana, tentu mereka tidak akan menerima kita sebaik tadi. Apa lagi Thai Yang Suhu telah tewas. Kita
bahkan harus cepat-cepat pergi dari sini. Aku hendak menghadap Dalai Lama dan melaporkan segalanya.
Kim Sim Lama dan pengikutnya itu jelas hendak melempar fitnah kepada Dalai Lama dan mereka
berbahaya sekali. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menghadap Dalai Lama. Kemudian baru kita mencari
jejak adikmu Sie Liong dan puterimu...”
“Bi Sian...! Ah, di mana anakku Bi Sian? Apa yang telah terjadi dengannya? Melihat apa yang menimpa diri
adikku, aku sungguh gelisah memikirkan anakku, toako.”
“Hong-moi, kita tetap berusaha untuk mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Di samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa, Hong-moi. Dan tenangkan
hatimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi? Kurasa ia
mampu menjaga diri sendiri.”
“Memang benar, toako. Dia lihai dalam ilmu silat. Akan tetapi, dia masih muda, kurang pengalaman, dan di
dunia ini terdapat demikian banyak orang yang jahat dan keji.”
Lie Bouw Tek terus menghiburnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Melihat ini, perlahan-lahan
kegelisahan Lan Hong menipis hingga akhirnya dia tenang kembali.
Mereka berdua menjenguk ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong. Lubang dalam tanah itu kosong dan
pendekar Kun-lun-pai itu menemukan sebuah tabung bambu yang sudah pecah-pecah. Dia mengerutkan
alisnya, menduga-duga apa gunanya benda itu, lalu membuangnya jauh-jauh.
Kemudian, dia menyeret mayat Thai Yang Suhu dan mendorongnya ke dalam lubang bekas kuburan Sie
Liong, kemudian, dibantu oleh Lan Hong, dia menimbuni lubang itu dengan tanah yang tadi berhamburan.
Semua ini mereka kerjakan dengan tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada yang melihatnya.
Setelah itu baru kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke Istana Dalai Lama untuk
menghadap pendeta kepala para Lama itu.....
********************
Gadis itu dikenal oleh semua orang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang
menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi telaga itu. Seorang gadis atau wanita
yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya kotor dan seperti seorang gembel gila.
Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apek lagi. Rambutnya saling lekat dan kotor, awut-awutan
bagaikan rambut siluman yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh
lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang kala gelisah, kadang pula terbelalak menakutkan, dan
ada kalanya merah karena tangis.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang melihat dia kadang menangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan
kata-kata yang tidak jelas bahkan tidak karuan. Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa dia seorang
wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang gembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang,
orang akan merasa semakin jijik karena ulahnya.
Tidak ada seorang pria pun yang dapat merasa tertarik oleh seorang perempuan seperti wanita gila itu.
Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apek itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wanita gila
itu akan merangkul mereka!
Dia makan apa saja yang dia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggalkan para nelayan. Ada kalanya
ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya.
Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.
Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakan seorang gadis
berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuhnya yang menggairahkan. Dan tak
seorang pun yang tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi gembel
menjijikkan!
Dia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yang sudah yatim piatu itu. Dia tadinya oleh Sie
Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan
penyelidikan itu pergi, walau pun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan kembali
menjemputnya.
Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili. Dia pergi
mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicintainya!
Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang
wanita yang lemah, apa lagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu lebih besar lagi
mengancam dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan
pakaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia bahkan sengaja bergaya
seperti orang gila yang menjijikkan dan menakutkan.
Dengan cara demikian, benar saja tidak seorang pun pria sudi mendekatinya, apa lagi mengganggunya. Ia
lalu berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap
orang.
Akan tetapi makin hari ia semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu
seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Ia tidak berani untuk bertanya-tanya karena maklum bahwa
Pendekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang.
Ia hanya mampu menangis dengan sedih, tetapi kalau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu
memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia disangka gila dan bebas dari
gangguan orang.
Makin hari ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya
memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tak
mungkin dapat melupakannya dan meninggalkannya begitu saja.
Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggungnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong
adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan untuk hidup di samping
Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.
“Liong-ko... ah, Liong-koko... engkau berada di mana? Apakah engkau tidak merasakan di hatimu betapa
selama ini aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkanmu, betapa aku merindukanmu? Liong-koko...”
demikian ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya.
Setiap hari ia mengharapkan. Apa bila matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa pada
hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, ia pun mengharap bahwa besok hari ia
akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu.
Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia adalah keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, di lingkungan yang
sangat keras dan sukar sekali, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup dalam kekurangan,
kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di mana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di goa-goa, di bawah pohon di
balik semak belukar. Mula-mula dia merasa takut sekali, akan tetapi lambat laun rasa takutnya menghilang,
terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu
dengan Sie Liong.
Pada senja hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah goa di tepi
telaga. Goa kecil yang tertutup pohon dan ilalang, yang enak untuk melewatkan malam, tidak begitu dingin
karena terlindung dari hembusan angin malam.
Tubuhnya terasa sangat nyaman. Sore tadi seorang pelancong dan keluarganya yang membawa makanan
dan makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi putih dan lauk
pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan gembiranya.
Karena perutnya kenyang, dan harapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang lagi
dan siapa tahu di antara mereka terdapat Sie Liong, karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya terasa
segar, malam itu ia pun tidur nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong.
Kalau ada orang yang berada dekat dengan goa kecil itu, tentu dia akan mendengar betapa dalam
mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis bahagia yang dicurahkan di atas dada
pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam mimpi…..
********************
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya ke permukaan
telaga, Ling Ling sudah berlutut di tepi telaga. Seperti biasa, dia hendak membersihkan badannya di
bagian-bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih. Bahkan sesudah mencuci muka, segera
dia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur!
Pada saat dia berlutut dan hendak memasukkan tangannya ke air, tiba-tiba dia melihat bayangannya
sendiri pada permukaan air. Hampir saja dia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demikian buruknya!
Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti Sie Liong
melihatnya!
Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan
bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan
mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya sudah seperti
diremas rasanya. Sakit bukan main!
Tidak, Sie Liong tak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia
harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!
“Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku...,” keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh ia lalu
meloncat ke dalam air yang amat dingin itu! Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya
sudah terendam air.
Lupa bahwa pakaian yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan
pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah ia hendak
mandi sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya dengan Sie Liong.
Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu dan
mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan ranum, biar pun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan
kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis bagaikan tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan
kotor lagi, melainkan terurai panjang dan halus, dibiarkan terurai di depan tubuhnya menutupi payudara
yang kini terbebas dari pakaian yang butut.
Karena dia hanya membayangkan pertemuannya yang sangat membahagiakan dengan Sie Liong, dalam
kegembiraannya Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaan. Dia tidak tahu betapa tidak jauh dari
situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalaman suntuk berjalan beriringan lewat
di situ, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika mereka lewat dekat goa kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok
dan ketiganya langsung berdiri bengong, terpukau bagaikan sudah berubah menjadi tiga buah arca!
Kemudian, mereka menyelinap di balik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot.
“Gadis... gila itu...!” bisik seorang di antara mereka.
“Benar, gadis gila. Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut.”
“Tapi... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan
tubuhnya itu! Ahh, betapa menarik dia.”
“Benar! Lihat dadanya itu... hemmm...!”
Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat
bahwa di sekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik ke darat. Tubuhnya yang telanjang
hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan
untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah ke arah goanya. Tak tahu sama sekali ia
betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas!
Ling Ling membuat api unggun di dalam goanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan
tubuhnya yang agak kedinginan, tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma satusatunya
itu.
Pakaian itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walau pun butut tidaklah sekotor tadi. Dengan
bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeber pakaiannya dekat api agar
kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi ‘kegilaannya’.
Ling Ling terbelalak dan terpekik ketika tiba-tiba tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki goanya
yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak
ketakutan seperti mata seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau.
Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukan penjahat, melainkan nelayannelayan
yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan
sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang senang melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu
wanita.
Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak
berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, gembel gila menjijikkan
yang biasanya mereka hindari, sekarang ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah
manis dan tubuh yang luar biasa indah dan menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebut
menguasai hati dan pikiran.
Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbangan pun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan
yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang agar melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan
menyalurkan nafsu yang berkobar.
“He-he-he, engkau cantik menggairahkan!” kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.
“Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila! Jangan ganggu aku!” Ling Ling berteriak-teriak.
Akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang
memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu.
Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Akan tetapi,
perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat
nafsu birahi mereka menjadi semakin berkobar. Mereka tidak peduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas
bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!
Betapa pun dengan nekatnya Ling Ling meronta, tetapi apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan
belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama
lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa bagi tiga pemuda
dunia-kangouw.blogspot.com
yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga Ling Ling mulai
lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak.
“Jangan...” Lepaskan aku... Aku orang gila, aku jelek... aahhh... toloooooong...!”
Seorang di antara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang
lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia sudah ditelentangkan
di lantai goa dan seorang di antara tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan
berkelebat ke dalam goa.
“Aduuuhh...!”
“Auhhh...!”
“Heiii, aduhh...!”
Semua terjadi demikian cepatnya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga
pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan mereka pun seperti terseret keluar
dari dalam goa sambil mengaduh-aduh.
“Aku gila... Jangan ganggu aku,.... aku jelek dan gila...!”
Ling Ling cepat meraih tanah dari sudut goa dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan tanah basah
itu, juga rambutnya. Bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya
pada dinding goa yang lembab, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya. Dengan rambut yang kotor,
muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!
Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul,
membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang
melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh
mereka diseret keluar dari dalam goa dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri,
namun sia-sia.
Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot
bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan diam saja diseret
keluar dari dalam goa, lalu terus diseret sampai jauh dari goa.
Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki
yang tubuhnya bongkok. Orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak
rambut mereka bertiga menjadi satu dan menyeret mereka dengan ringan saja!
Setelah sadar bahwa yang menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya
sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi marah sekali.
“Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!” teriak mereka.
Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas
ingatan di dalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teringat pula mengapa lengan kirinya
buntung. Dia mulai teringat semuanya. Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan di tepi telaga, kehilangan
kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong.
Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya
berkelebat. Ketika dia memasuki goa kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang
wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan. Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan
tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu terpaksa melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat,
tangan Sie Liong sudah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret
mereka keluar dari dalam goa.
Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu
berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan main, bukan
saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa
diperlakukan dengan penghinaan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tanpa banyak cakap lagi, ketiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok
yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan
mereka itu dilakukan penuh kemarahan.
“Ehhh...?”
Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan
berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada di belakang mereka.
Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan.
Tangannya menyambar dan tiga orang itu pun terjengkang, terbanting keras!
“Hemmm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!” terdengar Sie Liong berkata lirih.
Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit,
ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher, membuat mereka merasa
seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.
“Ampunkan kami..., taihiap, jangan bunuh kami...!” Mereka berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke
atas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak.
Sie Liong mengerutkan alisnya. “Kalian penjahat atau perampok?” tanyanya ragu sebab dia melihat betapa
mereka berpakaian seperti nelayan biasa.
“Ampun, taihiap, kami... kami bukan penjahat... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala ikan...”
“Huh, kalian jahat!” kata Sie Liong. Akan tetapi di dalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. “Pergilah!”
Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri
ketakutan.
Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya
melangkah perlahan menuju ke goa kecil di tepi telaga.
“Jangan ganggu... aku jelek... aku gila... aku kotor, he-he-heh... hi-hi-hik, jangan ganggu aku...” Terdengar
suara wanita itu dalam goa itu.
Sie Liong cepat menyelinap ke balik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari goa dan
alisnya berkerut. Seorang wanita gembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut,
muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor
menjijikkan, gila lagi!
Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin
ada pria yang bangkit gairah birahinya melihat wanita gembel gila yang menjijikkan ini?
“Hi-hi-hik, aku gila... ha-ha... jangan ganggu aku... ahhh, jangan ganggu aku...!”
Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia
mengubah dirinya menjadi gembel gila lagi, barulah ia berani keluar dan untuk melindungi dirinya dari
gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan tetapi, setelah ia melihat bahwa di situ tidak ada orang, ia
menghentikan tawanya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan!
Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini,
ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu
melindunginya.
Sementara itu dari tempat pengintaiannya Sie Liong tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang
gembel gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok ke kanan kiri, lalu menghentikan tingkah
gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesenggukan, dia
memandang heran dan alisnya berkerut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura
gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru asli! Ia mendengarkan dengan
ketajaman pendengarannya pada saat wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.
“Hu-hu-huu... Liong-ko... ahhh, Liong-koko... uhu-hu-hu... kenapa engkau begitu tega... Liong-ko... uhuhuuu...
kalau ada engkau, tentu tidak ada... yang berani mengangguku... aihh, Liong-koko... di mana
engkau...?”
Sie Liong merasa kepalanya laksana disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini.
Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur cepat ke arah wanita yang berlutut
sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, dan diangkatnya mukanya, lalu tangannya yang
tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu.
Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari
pipi dan dia terbelalak.
“Ling-moi...! Ling Ling... ahhh, Ling Ling... mengapa engkau jadi begini...?” Sie Liong berlutut.
Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali. Diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun,
ke arah lengan kiri yang buntung... lalu ke arah wajah itu kembali. Matanya terbelalak terus tanpa berkedip,
bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek ke arah tangis dan butir-butir air mata
menetes turun, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara.
“Liong-ko...? Engkau... engkau...” matanya lalu memandang lengan kiri yang buntung. “…engkau Liongkoko...?”
“Ling-moi, ini aku, Sie Liong...”
“Liong-koko...!” Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan akhirnya terkulai, roboh pingsan dalam
pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.
“Ling-moi, ahhh, Ling-moi... kau maafkan aku, Ling-moi...!” Sie Liong merangkul serta mencium pipi yang
kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu.
Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang ditinggalkan
pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang
lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya.
Agaknya, dengan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang gembel gila untuk menghindarkan
godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang lakilaki
muda, hal itu tidak dapat dia menduganya.
Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling di atas rumput, Sie Liong mengurut
tengkuknya. Karena sebenarnya gadis itu tidak terluka apa pun, hanya pingsan akibat batinnya terguncang
hebat, maka dalam waktu singkat dia sudah siuman kembali.
Begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, Ling Ling sudah berseru gelisah, “Liong-ko, di mana
engkau...?” Dan ia pun serentak bangkit duduk.
Sie Liong merangkulnya dari samping. “Aku di sini, Ling Ling...”
Ling Ling menoleh. “Aihhh, Liong-koko... engkau benar Liong-koku...!”
Ia merangkul dan menangis sesunggukan di atas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis
itu menangis, membiarkan dia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita selama ini agar
larut bersama tangisnya.
Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong
dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini bersinar, tidak layu
dan muram seperti tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Liong-koko, kenapa engkau pergi begitu lama? Ahh, Liong-koko, jangan kau tinggalkan aku lagi. Lebih
baik aku mati saja dari pada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko...”
Tiba-tiba ia teringat, lalu memandang ke arah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya
terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba,
mencari-cari isi lengan baju itu.
“Liong-koko... di mana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi...? Engkau... lengan kirimu...
buntung...?”
Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan lengan kiri, akan
tetapi sebagai gantinya dia pun mendapatkan ilmu yang sangat hebat, sehingga sekarang dia mempunyai
tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan kirinya.
“Aku terjebak oleh musuh pada saat melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku
buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tetapi Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih
dapat bertemu denganmu.”
“Liong-koko... ahhh, Liong-koko, kasihan sekali engkau...” gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju
pemuda itu.
Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan
luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang sudah tanpa lengan itu,
menciumi bekas luka itu. Ia seolah-olah hendak membersihkan luka itu dengan air matanya.
Sie Liong merangkulnya dengan perasaan terharu. “Ling-moi, mengapa engkau masih selalu
mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya
bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kau lihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kau
harapkan dari seorang seperti aku?”
“Liong-koko, aku... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku
memujamu, dan engkaulah satu-satunya pria yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki.
Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau
matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di
sampingmu koko, tentu saja... kalau... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan
buruk, yatim piatu pula.”
“Ling Ling... ahh, Ling Ling…”
Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia
bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan
kasih sayang Ling Ling melalui pandang mata gadis itu, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui
sentuhannya.
“Ling Ling, aku pun cinta padamu. Aku... aku ingin memperisterimu...”
“Liong-koko…! Alangkah bahagianya hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu
selama hidupku!”
Sie Liong tersenyum. “Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu,
juga bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu di sini. Setelah itu, kita pergi ke rumah
bibi Cili dan bercakap-cakap.”
Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia pun bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan,
menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlarilari
menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, serta tangannya dari lumpur. Juga
rambutnya.
Tidak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biar pun pakaian Ling Ling masih butut, akan
tetapi tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul. Karena Sie Liong sendiri
juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalam kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang
petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lhasa, sambil bercakap-cakap, Ling Ling lalu menceritakan
semua pengalamannya. Betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia
melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa harus menyamar sebagai
seorang gembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, persis seperti yang telah
diduga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa.
“Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang gembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin
mengganggumu?” Sie Liong bertanya heran.
Ling Ling tersipu-sipu. “Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena
itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air,
aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti gembel gila
yang kotor. Karena keadaan sunyi sepi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki goa.
Agaknya, ketika mandi itu, mereka sudah melihatku, dan ketika aku memasuki goa, mereka lalu
menyerangku dan hendak memaksaku...”
“Ahh, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala petunjuk-Nya kepada kita!” seru Sie Liong dan
gadis itu demikian terheran-heran sehingga ia berhenti melangkah dan memandang wajah Sie Liong
dengan heran.
Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda
bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok
itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walau pun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa
takut.
“Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu
ke mana dia pergi. Dan sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan... ihhh, pakaiannya seperti
ini...”
Sie Liong tersenyum. “Kami tak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu.
Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, dan ke dua
kalinya, sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi di sini, hanya untuk beberapa hari saja.”
“Liong-koko…! Apa artinya kata-katamu ini? Engkau... hendak menitipkan aku... hendak meninggalkan aku
lagi?” suara itu sudah mengandung isak, sedang wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh
protes.
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili. “Pergilah, bibi. Harap engkau carikan beberapa pasang
pakaian untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, bila urusanku telah selesai, pasti harganya akan
kuganti, juga akan kuberi imbalan buat tinggalnya Ling-moi di sini.”
“Aih, tidak usah sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberi uang berapa saja
yang kubutuhkan untuk keperluanmu.”
Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan
Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu.
“Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat
akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu
mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang
melakukan kejahatan. Karena itulah aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya.
Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itu
terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku
berangkat pagi, sorenya tentu aku sudah kembali.”
“Akan tetapi, Liong-ko... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau untuk meninggalkan aku
lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?”
“Aku dapat menjaga diriku, Ling Ling. Andai kata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah
dikehendaki oleh Tuhan dan jika hal itu memang harus terjadi, engkau atau aku atau siapa pun juga tidak
akan mampu mencegahnya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Biar pun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus mati pun,
kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku...”
Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun masuk ke dalam rumah itu dengan muka pucat
dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka disuruh-suruh bibi Cili, yaitu
anak tetangga sebelah.
“A-kian, ada apa?” tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.
“Ci-ci... celaka, cici... bibi Cici... bibi... Cili...”
“Ada apa dengan bibi Cili?” Sie Liong bertanya kepada anak itu.
“Ia... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta kemudian dilarikan keluar
kota...”
Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu para anak buah Kim-sim-pang yang
agaknya tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap.
“Ling-moi, aku harus menyelamatkan bibi Cili...,” katanya.
Sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu ke mana
harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!
Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan
bersembunyi ke dalam rumahnya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih
terngiang di telinganya. Bagaimana pun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah
nampak bukti kebenarannya.
Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, pendekar itu tentu tidak akan
mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar!
Ia tadi telah terlalu mementingkan diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri.
Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka semua yang tertindas, mereka yang lemah dan
sengsara karena kejahatan orang lain.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia
bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah
seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar
mata tajam dan aneh.
Ling Ling hendak menjerit, akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, dia pun roboh terkulai
dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Di lain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh
pemuda itu yang lantas membawanya lari melalui pintu belakang dengan gerakan cepat sekali…..
********************
Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tidak lama kemudian, tepat seperti diduganya,
dia melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya
dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul. Sekali dia melompat, dia telah berada di depan kuda yang
menarik kereta dan biar pun dia hanya memiliki sebuah tangan saja, akan tetapi tangan yang mengandung
tenaga sangat dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan.
Dari dalam kereta berlompatan keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu segera melompat turun.
Mereka berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang
dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong,
tubuhnya lalu berputar seperti sebuah gasing.
“Plak-plak-plak-plak-plak...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi
telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan
mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi.
Sie Liong tidak mempedulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Di dalam kereta
Bibi Cili duduk ketakutan sambil menangis. Sie Liong membimbingnya turun dari kereta.
“Jangan takut, bibi. Mari kita pulang,” katanya.
Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang ke
rumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong
menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.
Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia sudah tertipu! Ling Ling telah
lenyap! Dan sebagai gantinya, dia mendapatkan sehelai kertas di atas meja, tertancap oleh sebatang pisau
belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dia membaca tulisannya.
Pendekar Bongkok!
Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah ke kuil kami!
Kim Sim Lama
Sie Liong mengepal surat itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia
berkata lirih, “Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!”
Dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi makin ketakutan…..
********************
“Omitohud... sampai sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau begitu, demi
keamanan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami harus mengambil tindakan.”
Dalai Lama bicara dengan nada suara serius, setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang
datang menghadap bersama Sie Lan Hong.
Setelah mereka meninggalkan kuburan, di mana mereka melihat kuburan Sie Liong meledak dan melihat
Sie Liong yang kini buntung lengan kirinya itu membunuh Thai Yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie
Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali.
Dalai Lama adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang dikuasai
amarah. Tetapi sesudah mendengar laporan dari Lie Bouw Tek mengenai perbuatan Kim Sim Lama yang
sengaja hendak melempar fitnah kepadanya, apa lagi mendengar pula betapa Kim Sim Lama kini
membentuk gerombolan pemberontak dan berbuat kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam
saja.
Dalai Lama lalu memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan
dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie Bouw Tek merasa
kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak orang pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan
untuk ikut dalam perundingan itu, oleh karena pendekar Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar
memberi keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama.
Tidak kurang dari dua puluh empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Kong Ka Lama sendiri, memimpin
kurang lebih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke sarang Kim-simpai.
Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para pimpinan. Dan di belakang mereka,
menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak menuju ke sarang itu pula, tetapi mengambil jalan
lain supaya dapat melakukan pengepungan…..
********************
Di pihak Kim-sim-pang juga para pimpinannya sedang membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk
menghadapi Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para penyelidik bahwa Thai Yang
Suhu tewas dan berada di dalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah kosong, sedangkan Pendekar
Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para penyelidik untuk mencari di mana adanya Pendekar
Bongkok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para penyelidik ini sempat melihat kemunculan Pendekar Bongkok ketika dia menolong wanita gembel gila
dari gangguan tiga orang nelayan. Mereka lalu melaporkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang cepat
mengatur siasat bersama para pembantunya yang lihai. Dia marah sekali mendengar bahwa Pendekar
Bongkok masih hidup dan dapat keluar dari dalam kuburan! Bahkan telah membunuh Thai Yang Suhu
pula!
Tadinya, ketika mendengar bahwa mayat Thai Yang Suhu berada di dalam kuburan dan mayat Pendekar
Bongkok lenyap, dia menduga bahwa tentu tokoh Kun-lun-pai itu yang melakukan pembunuhan terhadap
pembantunya itu dan membawa lari mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi, pada waktu dia mendengar
laporan para anak buahnya tentang kemunculan Pendekar Bongkok yang menolong gadis gembel gila, dia
menjadi terkejut bukan main. Dia segera memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.
“Ahhh, bagaimana mungkin dia hidup kembali?” Thai Hok Lama, orang ke empat Tibet Ngo-houw yang
juga merupakan seorang ahli racun itu berseru. “Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun,
akan tetapi bagaimana mungkin dia bisa tetap hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas selama
beberapa hari? Ini tentu ada orang yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu tentu
Camundi Lama!”
“Hemmm, benar sekali!” kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. “Kami memang sejak
dahulu tidak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama. Hanya karena dia pandai
ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk. Dia pun curiga kepada Camundi Lama. “Panggil Camundi Lama ke
sini!” teriaknya kepada pengawal.
Sementara itu, mendengar akan lolosnya Pendekar Bongkok, bukan main terkejut dan marahnya hati Coa
Bong Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena rahasianya
tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri. Dia telah membacok buntung lengan
kiri pendekar itu. Tentu Sie Liong tidak akan tinggal diam saja dan pasti akan membalas dendam.
Pendekar Bongkok itu harus didahului!
“Locianpwe, Pendekar Bongkok harus dapat dibasmi, dan kiranya saya tahu bagaimana caranya!” kata
Coa Bong Gan.
Yauw Bi Sian yang hadir di situ tidak banyak bicara. Memang ia masih merasa amat menyesal bahwa
calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia semangatnya lemah, dan pula
bagaimana pun juga, Pendekar Bongkok adalah orang yang telah membunuh ayah kandungnya.
“Bagaimana cara itu?” tanya Kim Sim Lama, tertarik.
“Dia harus dipaksa datang ke sini. Saya akan memancingnya agar dia keluar dari rumah pondokannya,
kemudian saya akan menculik gadis gembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba di sini, mudah saja untuk
membunuhnya!”
Kim Sim Lama tersenyum cerah. “Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kau buntungi, betapa pun lihainya,
dia tidak ada artinya lagi. Lakukanlah siasat itu sekarang juga!”
Coa Bong Gan cepat pergi sambil mengajak empat orang pendeta Lama, membawa pula sebuah kereta
kecil. Untuk memancing Sie Liong keluar meninggalkan rumah bibi Cili, dia menyuruh empat orang
pembantunya itu menculik bibi Cili di tempat ramai. Hal ini disengajanya agar Sie Liong diberitakan orang
tentang penculikan itu.
Dan tepat seperti yang sudah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam rumah ketika
mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang lantas dipergunakan oleh Bong Gan
untuk memasuki rumah dan menculik Ling Ling, sambil dia meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim
Lama kepada Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
Ketika Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengobatan itu menghadap sambil
tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lolosnya Pendekar Bongkok dari dalam kuburan. Tidak
sia-sia semua usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau
Kim Sim Lama mencurigainya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Camundi Lama!” bentak Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. “Engkau memang
pengkhianat! Apa yang telah kau lakukan saat engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?”
Camundi Lama tersenyum, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dadanya. “Omitohud...
pinceng (aku) hanya melakukan yang benar. Kim Sim Lama, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan
kejahatan. Engkaulah yang sudah menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai Lama, mengkhianati
kebenaran, mengkhianati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah terjadinya pembunuhan keji
terhadap diri Pendekar Bongkok. Pinceng memasang tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia
dapat bernapas melalui tabung.”
“Keparat jahanam!” Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama
juga marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu.
“Tangkap dia! Akan kusiksa sendiri dia sampai mati!”
Akan tetapi, ketika para pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa. “Haha-
ha, tak perlu kalian repot-repot. Sekarang pun pinceng akan pergi meninggalkan kalian orang-orang
yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama, engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak
hanya akan meracuni dirimu sendiri lahir batin.”
Setelah berkata demikian, Camundi Lama roboh dan ketika semua orang memeriksa kakek itu, dia telah
tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk
menelan racun yang kerjanya halus namun pasti.
Pada waktu Coa Bong Gan datang memondong Ling Ling, Kim Sim Lama menjadi amat girang.
“Ahh, pantas kalau Pendekar Bongkok mencinta gadis ini,” katanya sambil memandang Ling Ling yang
nampak ketakutan. “Kiranya gadis ini bukanlah gembel gila, melainkan seorang gadis yang cantik dan
manis. Coa-sicu, biarlah kami serahkan gadis ini dalam pengawasanmu. Jangan sampai dia dapat
meloloskan diri sebelum Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan kami.”
Coa Bong Gan mengangguk girang dan membawa Ling Ling pergi ke kamarnya. Yauw Bi Sian hanya
memandang dengan alis berkerut, namun tidak peduli. Kini ia tidak peduli apa-apa lagi, juga tidak peduli
apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya menjadi lemah karena ia selalu
dikuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu
silat, juga ahli dalam ilmu sihir.
Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah gadis perkasa ini dapat dikuasai dengan
ilmu sihir. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau.
Sebagian ia merasa dendam dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia
merasa iba.
Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada rasa suka yang timbul dari
nafsu birahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan
seorang pria yang cabul dan khianat, bermain gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat
karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi
pemuda itu berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Kini Kim Sim Lama, dan para pembantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan.
Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan Kim Sim Lama untuk menyelamatkan Ling
Ling? Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini.
Akan tetapi Bi Sian sendiri diam-diam meragukannya. Bagaimana Sie Liong akan berani datang? Selain
Kim Sim Lama dan para pembantunya terlampau kuat bagi Sie Liong, juga kini Pendekar Bongkok telah
buntung lengan kirinya sehingga kelihaiannya tentu saja berkurang banyak!
Selain itu, mengapa pula pamannya itu akan mati-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan
seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap? Bagaimana
pun juga, ia ikut merasa tegang menanti kemunculan Sie Liong, Si Pendekar Bongkok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya, saat menegangkan yang mereka tunggu-tunggu itu pun tibalah. Kemunculan Pendekar Bongkok
benar-benar mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri. Semenjak penculikan terhadap
Ling Ling dilakukan dan sejak kemunculan Sie Liong si Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang
ditutup untuk sementara. Semua anak buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat.
Akan tetapi betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantunya sedang duduk di dalam
ruangan belakang, ruangan luas yang juga digunakan sebagai ruangan berlatih silat, duduk berunding
untuk mengatur siasat kalau Pendekar Bongkok berani muncul, tiba-tiba saja terdengar suara keras
pecahnya genteng di atas ruangan itu dan sesosok bayangan melayang turun dari atas, melalui atap yang
berlubang. Bayangan ini bukan lain adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan kirinya.
Sie Liong kini yakin bahwa pengalamannya di dalam kuburan telah mendatangkan suatu tenaga sakti yang
luar biasa baginya. Dia sudah dapat menyerap tenaga sakti Intisari Bumi! Dengan tenaga sakti yang
dahsyat itu, dia mampu bergerak dengan kecepatan yang berlipat ganda dibandingkan sebelum dia
menguasainya. Karena itulah, maka dia merasa yakin akan dirinya karena walau pun sebelah lengannya
telah buntung, namun keadaannya jauh lebih kuat dari pada sebelum lengan kirinya buntung.
Dengan tenaga sakti dahsyat itu, dia dapat bergerak ringan bagaikan burung sehingga dia mampu
menyelinap cepat memasuki sarang para pemberontak itu tanpa diketahui para penjaga. Setelah
mengetahui bahwa Kim Sim Lama bersama para pembantunya sedang berada di ruangan silat, dia pun
meloncat naik ke atas genteng, lalu memasuki ruangan itu melalui atap yang dijebolnya.
“Kim Sim Lama, aku telah datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!” berkata
Sie Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan
tenaga sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu, mengandung tenaga yang
menggetarkan isi dada Kim Sim Lama dan para pembantunya.
Sikap Sie Liong tenang saja walau pun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan di situ. Oleh karena dia
belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang kini melekat di tubuhnya masih pakaian ketika dia
dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung
lemas dan kosong.
Sejenak ucapannya itu bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi
sunyi sekali. Sunyi yang menegangkan!
Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya. Dia pun mengeluarkan suara tertawa untuk
mengusir ketegangan dan wibawa Pendekar Bongkok. Pada saat tertawa, Kim Sim Lama bukan
sembarang tertawa, namun mengisinya dengan khikang sehingga suara ketawanya juga bergema dan
menggetarkan jantung.
“Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang telah menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok
Buntung? Bagus sekali, kini engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku pasti yakin bahwa
engkau akan benar-benar mati, karena kali ini kami tidak ingin gagal. Engkau akan mati di tanganku
sendiri!”
Walau pun tahu bahwa dia menghadapi ancaman dan sedang berhadapan dengan Kim Sim Lama
bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi para anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di
luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang.
“Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling Ling dan menggunakannya sebagai umpan untuk memancing
aku datang. Nah, sekarang aku telah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati,
keluarkan Ling Ling!”
“Orang she Sie yang sombong!” Mendadak saja Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang
terkenal berangasan itu telah meloncat dan memaki. “Tak perlu engkau menjual lagak. Bukankah engkau
datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima sudah berada di depanmu. Tidak perlu
pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-houw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan
kami. Engkau mau apa? Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!”
Empat orang saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biar pun
pernah mereka berlima mengeroyok namun tidak dapat memperoleh kemenangan, dan baru setelah Kim
Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan
mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pendekar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin
bahwa mereka akan mampu merobohkan dan membunuh Pendekar Bongkok.
Sie Liong memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. “Kim Sim
Lama, apakah omongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat aku percayai? Tibet Ngo-houw hendak
mengeroyok aku, apakah engkau pun akan ikut turun tangan lagi membantu mereka? Lebih baik dari
sekarang berterus terang saja, apakah engkau ingin maju sendiri ataukah hendak mengeroyokku dengan
semua pembantumu yang berada di sini? Dan mengerahkan pula semua anak-anak buahmu!”
Sie Liong kini menyapa semua orang dengan pandang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di
wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong
melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama!
Ucapan ini mengobarkan kemarahan di dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw.
Memang dia harus mengakui bahwa dia pernah dikalahkan Pendekar Bongkok pada saat dia maju seorang
diri saja. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok sudah kehilangan lengan kirinya! Jangankan dia maju
berlima, bahkan seorang diri pun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!
“Pendekar Bongkok, dengarlah baik-baik! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapa
pun! Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami. Kau yang sudah
hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar?! Nah, terimalah...!”
Thay Ku Lama meloncat ke depan, dan mendadak dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok.
Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang
dan selain perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan. Kemudian, tibatiba
saja dia meloncat jauh ke depan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak
tangan ke arah dada Sie Liong!
Sebetulnya, orang-orang dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka sekali dan sukar
dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu
pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan
Badai).
Kekuatan yang luar biasa terkumpul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun,
begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka segera terciptalah gerak serangan yang amat dahsyat.
Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu
meluncur ke arah dada Sie Liong.
Semenjak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu akan menyerangnya
dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu
mendorongkan tangan kanannya menyambut.
“Desss...! Plakkk!”
Pada saat tangan kanannya menyambut serangan lawan, lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan
kilat. Pertemuan tenaga sakti yang sangat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu
dengan kedua tangan Thay Ku Lama.
Pada saat itu pula, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai
kesakitan. Dia merasa seolah-olah semua tenaganya membalik, kemudian menghantam isi perutnya
sendiri.
Pada saat itu, nampak sinar putih sudah menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah sambaran lengan
baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah
darah! Ketika empat orang adiknya memeriksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas!
Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di tangan Pendekar
Bongkok yang hanya memiliki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama itu selain
terkejut, juga marah bukan main. Thay Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut
dunia-kangouw.blogspot.com
sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar
tombaknya. Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.
Sementara itu, Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi
sungguh mengejutkan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang pertama Tibet
Ngo-houw dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu.
Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok. Padahal,
Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum
lengan kirinya buntung pun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti
itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru?
Rasanya hal itu tak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat semenjak Pendekar Bongkok buntung
lengan kirinya. Bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang
demikian dahsyatnya?!
Akan tetapi, sekarang sepasang matanya terbelalak penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar Bongkok
memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung! Menghadapi
hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya
menggerakkan tangan kanannya dengan gerakan mendorong-dorong, sedangkan lengan baju kirinya
menyambar-nyambar.
Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu
dengan tangan kanan, dan setiap kali bertemu ujung lengan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar
Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi
tubuhnya.
Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah-olah hendak menguji tenaga
mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya membungkuk ke
depan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu lurus ke depan. Tangan
kanannya mencengkeram ke depan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, membentuk
garis lurus bagaikan seekor naga meluncur. Tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor
naga itu menyambar ke depan.
Terdengar suara bersiutan dan disusul pekik dan robohnya empat orang pendeta Lama itu susul menyusul.
Mata Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat betapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak
bangun kembali karena ternyata mereka telah tewas! Juga para pembantunya yang lain terbelalak, hampir
tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah
buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian
singkatnya?
Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar sekali melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok.
Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiri pun akan sukar untuk dapat
menandingi Pendekar Bongkok.
Maka, tanpa malu-malu lagi dia kemudian mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya
untuk maju mengeroyok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!
“Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!” bentak Sie Liong, bukan
khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang terjatuh ke
dalam tangan para pemberontak Tibet ini.
Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak mempedulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya
baginya, apa lagi dia sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang merupakan
tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!
“Bunuh dia!” perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah.
Semua pembantunya sudah menghunus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung. Ia
terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang bisa membunuh Tibet Ngo-houw sedemikian
mudahnya. Pamannya yang sudah buntung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti!
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah
kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya menghadapi pengeroyokan
semua orang itu! Dia akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihinya itu.
Akan tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya.
Kini ia termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia sudah bersumpah untuk membunuh Sie
Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pendekar Bongkok
bersama orang-orang yang sesat itu.
Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari
orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belasan orang
pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita di luar sarang gerombolan pemberontak
itu, disusul suara pertempuran besar.
Kim Sim Lama terkejut, apa lagi ketika seorang prajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang mereka
diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai Lama. Kim Sim Lama cepat
melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya! Keadaan menjadi geger dan
orang-orang agaknya demikian bingung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu oleh pasukan
Dalai Lama sehingga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.
Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan
yang tinggal di situ akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan melihat
pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas panjang.
“Bi Sian...,” kata Sie Liong lirih.
Akan tetapi, saat itu, ketika mereka berdiri hanya berdua saja di dalam ruangan yang luas itu, Bi Sian
teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok ini. Bahkan pemuda
bongkok ini yang membuat ia pergi meninggalkan ibunya, merantau bersama Bong Gan dan akhirnya ia
ternoda oleh Coa Bong Gan, sute-nya sendiri.
Semua ini membuat hatinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya itu
tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!
“Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa ayah,
Bersiaplah!” Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam.
Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum
bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami enci-nya.
Percuma saja dia menyangkal.
“Bi Sian, tolonglah aku. Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya, lalu pergi dari sini.”
Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru, “Suci, mari kita pergi!”
Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera melangkah menghampirinya.
“Lepaskan Ling Ling...!”
Bong Gan tersenyum mengejek. “Mundur kamu, bongkok! Atau... akan kubunuh gadis ini di depan
matamu!”
Mendengar ancaman itu, Sie Liong terkejut dan dia pun menahan langkahnya. Dia bisa saja menyerang
Bong Gan, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh Ling Ling.
Melihat sute-nya hendak menjadikan gadis peranakan Tibet itu menjadi sandera, Bi Sian mengerutkan
alisnya.
“Sute, lepaskan gadis itu!”
“Aih, tidak bisa, suci! Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!” Tanpa malumalu
Bong Gan berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pengecut!” Bi Sian memaki. “Aku pun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie
Liong. Biarlah aku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Bebaskan gadis itu kataku!”
Bong Gan memandang dengan bingung. Dia menoleh ke luar dan mendengarkan suara pertempuran yang
tengah berlangsung di luar. “Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong, janjilah lebih dahulu bahwa engkau
tidak akan menyerangku kalau aku bebaskan gadis ini!”
Tentu saja dia merasa takut karena tadi dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat
membunuh lima orang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Pendekar
Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok,
maka ia merasa jeri kalau-kalau Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.
Sie Liong menatap wajah Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. “Kalau engkau tidak mengganggu
gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau engkau mengganggunya
atau membunuhnya, demi Tuhan, lari ke mana pun engkau, akan kukejar sampai dapat!”
Bong Gan bergidik melihat mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling ke arah Sie
Liong. Gadis itu yang sejak tadi diam saja, hanya memandang kepada Sie Liong dengan muka pucat,
terhuyung ke arah Sie Liong yang segera menyambut dengan rangkulan penuh kasih sayang.
“Ling Ling...”
“Liong-koko... ahh, Liong-koko...!”
Tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan di atas dada Sie Liong. Air matanya membanjir seperti
bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi,
membuatnya sesenggukan dan tersedu-sedu.
“Suci, marilah kita cepat pergi. Pertempuran terjadi di luar. Dalai Lama dan pasukannya telah menyerbu.
Kalau terlambat, kita celaka!” kata Bong Gan.
“Pengecut, engkau boleh pergi. Aku tidak akan pergi, aku harus membalaskan kematian ayahku. Dia telah
membunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayahku, atau aku akan mati pula di tangannya!”
“Bi Sian, aku tidak membunuh ayahmu...” Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu,
membantah lemah.
“Tak perlu bohong! Tak perlu menyangkal! Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak berani
mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau adalah pembunuh ayahku, maka bersiaplah,
mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!”
“Sie Liong bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!” Mendadak terdengar teriakan seorang wanita dan
muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu!
“Ibuuu...!” Bi Sian berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. “Ibu, apa artinya ucapanmu
tadi?”
“Bi Sian, anakku. Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!”
“Ibu...!” Bi Sian memandang kepada ibunya dengan hati penasaran. “Kalau bukan dia yang membunuh
ayah, habis siapa?”
“Engkau mau tahu siapa pembunuh ayahmu? Dialah orangnya!”
Jari telunjuk Sie Lan Hong menunjuk ke arah Coa Bong Gan yang seketika pucat dan terbelalak. Karena
semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan tanpa disadarinya, dia melangkah mundur
sampai mepet ke dinding.
“Ibu, apa artinya ini? Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku menjadi
bingung, aku tidak mengerti...” Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk akal.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak benar, suci, itu fitnah saja!” Bong Gan mencoba untuk membantah, walau pun wajahnya sudah
menjadi pucat sekali.
“Diam kau!” bentak Bi Sian. “Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat
mengerti.”
“Bi Sian, setelah engkau pergi, aku lalu melakukan penyelidikan mengenai kematian ayahmu. Dan hasilnya
sungguh mengejutkan sekali. Malam itu, ayahmu pergi ke rumah pelesir, tempat para pelacur dan ayahmu
minum arak sampai mabok di tempat itu. Akan tetapi, menurut keterangan para pelacur di sana, sebelum
ayahmu tiba, di sana ada seorang tamu lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itulah yang sudah
membunuh ayahmu.”
“Siapa..., siapa dia, ibu?”
“Tamu itu adalah dia, Coa Bong Gan ini!”
“Bohong!” teriak Bong Gan. “Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?”
“Hemmm, apa perlunya?” Sie Lan Hong berkata. “Suamiku sudah melihatmu di rumah pelacuran. Dan
engkau tentu merasa takut kalau-kalau suamiku sampai menceritakan kelakuanmu yang hina itu kepada
puteriku. Engkau telah jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan? Tentu engkau tidak ingin puteriku
mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila di rumah pelacuran, maka engkau lalu membunuh
suamiku yang sedang mabok. Kemudian, untuk menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku
dan melempar kedok itu di dekat kamar Sie Liong!”
“Aihh, pantas saja dia bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku. Tentu
untuk menghilangkan jejaknya sama sekali,” kata Sie Liong yang masih merangkul Ling Ling.
Bi Sian kini menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak memandang pada Bong Gan. Saking kagetnya,
herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan.
Ling Ling meronta lepas dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucapan Sie Liong. “Liong-koko, jadi dia
itulah yang sudah membuntungi lenganmu? Keparat jahanam...!” Ling Ling berlari menghampiri Bong Gan
dengan sikap seperti seekor singa betina yang hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.
“Ling Ling, ke sinilah...!”
Namun, seruan Sie Liong itu telah terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling
dan menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang dengan sikap
menantang.
“Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!”
Melihat betapa Ling Ling kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani
berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang pedang masing-masing,
tidak berani maju.
Akan tetapi, Bi Sian tidak peduli. Dia melangkah maju menghampiri sute-nya, pedang Pek-lian-kiam masih
terhunus di tangannya, matanya tidak pernah berkedip, terbelalak memandang kepada pemuda itu.
“Coa Bong Gan... kau... kau.... yang telah membunuh ayah?” katanya lirih, seperti orang bertanya juga
seperti orang meragu dan tidak percaya.
“Suci, mundur kau! Akan kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mundur!” bentak Bong Gan.
“Bunuh aku! Keparat jahanam kau! Bunuh aku!” Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah terlepas, ia
nekat mencakar dan menggigit. “Hayo bunuh aku! Jahanam busuk kau, bunuh aku! Engkau telah
membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku...!” Bagaikan gila Ling Ling menubruk ke arah
pedang yang dipegang Bong Gan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda ini kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika ia hendak
menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena tubuh gadis itu meronta dan
menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling dengan nekat menubruk ke arah pedang.
Pedang yang runcing itu memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh.
Mata Bong Gan terbelalak. Dia meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya.
“Ling-moi...!”
Secepat kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi darah. Sekali
memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu dalam keadaan sekarat!
“Ling Ling... ahhh, Ling Ling... kenapa kau harus lakukan itu...?” Sie Liong menangis, mengguncang tubuh
gadis itu dan menciumi mukanya.
Ling Ling menggerakkan bibirnya, berkata lirih. “... aku... aku lebih baik mati... koko... aku tidak berharga
lagi... dia... dia telah monodaiku...” Dan ia pun terkulai, tewas dan tak bernyawa lagi.
“Ling-moi...! Ling-moi...!”
Sie Liong mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan di atas muka dan lehernya
yang basah oleh air matanya. Dia tidak peduli betapa pakaian dan tubuhnya penuh darah yang mengalir
keluar dari luka di perut Ling Ling. Dia merasa seolah-olah nyawanya sendiri yang melayang. Baru dia
menyadari betapa dia sangat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya.
“Jahanam engkau, Coa Bong Gan!” Sekali meloncat, Bi Sian sudah berada di depan pemuda itu, sepasang
matanya seperti dua bola api yang bernyala. “Engkau sungguh seorang manusia berhati iblis! Aku yang
dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu sebagai murid! Ternyata engkau lebih
rendah dari pada seekor binatang! Engkau sudah membunuh ayahku, engkau sudah membuntungi lengan
kiri paman Sie Liong! Kini aku tahu, engkau sudah menodai aku dengan tipu muslihat! Dan engkau masih
begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawanan. Coa Bong Gan, kalau aku tidak membunuhmu,
aku akan menjadi setan penasaran!”
Kini Bong Gan kelihatan ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan Ling Ling sebagai sandera
untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tidak disangkanya, Ling Ling dengan nekat membunuh diri. Dia
menoleh ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu.
Di sana sudah berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang di tangan, siap untuk
menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang ditakutinya itu masih
menangis sambil mendekap mayat Ling Ling!
Kalau saja dia dapat merobohkan suci-nya, maka masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri
selagi Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakutinya hanya Pendekar
Bongkok. Biar pun dia tahu akan kelihaian suci-nya, bagaimana pun juga dia masih sanggup
menandinginya.
“Bi Sian, ingatlah, engkau sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan hidup
sebagai suami isteri yang berbahagia berdua...”
Dia masih mencoba untuk membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk ke arah
dada Bi Sian. Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk membuat Bi Sian
lengah dan hampir dia berhasil.
Bi Sian yang mendengar ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong
Gan menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia pun terkejut. Tak ada kesempatan lagi untuk menangkis
sehingga dia segera melempar diri ke samping untuk menghindar. Akan tetapi ujung pundaknya, pada
pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang membuat baju dan kulit di bagian itu terobek dan
berdarah.
“Jahanam!” Bi Sian memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya
jeri itu, lalu menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan pedang yang seru dan mati-matian
antara suci dan sute ini, antara dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri.
Bi Sian menggerakkan pedang dengan penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu membunuh
berkobar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan perasaan gentar dan bingung. Dia mengharapkan
dapat bertahan cukup lama agar bisa memberi kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang
membantunya.
Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik dari
pada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong
Ka Lama sendiri yang dibantu oleh banyak pendeta Lama yang berkepandaian tinggi. Dan anak buah
pemberontak itu pun sudah terhimpit oleh pasukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang
terpaksa menyerah karena sudah tidak mampu melawan lagi.
Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak
lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan.
Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya
itu telah pula dinodai oleh Bong Gan.
Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian,
tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak
orang yang akan menjadi korban kejahatannya.
Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat melihat betapa pemuda itu tidak akan
mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.
Sie Lan Hong yang berdiri di ambang pintu untuk menghadang Bong Gan melarikan diri, ditemani oleh Lie
Bouw Tek, memandang ke arah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat. Ia pun merasa amat
iba kepada puterinya.
Puterinya telah ditipu oleh sute-nya sendiri yang sangat jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong
yang tidak berdosa, bahkan puterinya sudah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh
suaminya. Ia pun dapat merasakan betapa pedih hati puterinya.
Tadi ia hendak meloncat dan membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek.
Ketika ia menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.
“Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau
membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah,” demikian kata Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan membantu Bi
Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang amat lihai itu. Akan tetapi dia tetap
berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya
kekalahan.
Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus
mereka saling serang, dan walau pun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan
masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walau pun paha kirinya telah terobek kulitnya,
dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat.
Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh
serangan pertama yang curang. Kini pedang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih
bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin
menyempit.
Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran di dalam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada
jalan keluar melarikan diri, maka dia pun melawan mati-matian dan dengan nekat.
“Haiiiittt...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Untuk ke sekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat
ke arah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk ke arah dada pemuda itu. Dasar ilmu
pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari
Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga.
Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melindungi bagian
dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya. Pada saat itu, Bi Sian menggerakkan tangan
kirinya dan dengan jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga
sepenuhnya menghantam ke arah kepala Bong Gan!
“Plakkk!”
Biar pun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia
mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhnya terpelanting. Ketika itu, Bi Sian menubruk dan melihat ini, Sie
Liong berseru kaget dan heran.
“Bi Sian, jangan...!”
Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan
pedangnya.
“Cappp...!”
Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi
Sian merintih-rintih.
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada
ibunya.
“Ibu... maafkan... aku...”
“Bi Sian... anakku...!”
Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah
berlutut di dekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi.
Setelah dia memeriksa, dia pun menarik napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk
terlalu dalam dan sukar baginya untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.
“Bi Sian, kenapa kau lakukan itu?” tegur Sie Liong.
Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang tadi
menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.
“Aku... untuk apa aku... hidup lebih lama...? Paman... kau... engkau mau memaafkan aku...?”
Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu. “Tentu saja... engkau keponakanku yang tersayang...”
Bi Sian tersenyum walau pun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya.
“Paman... kalau aku hidup... aku hanya akan menderita siksa batin... menyesali semua kebodohanku…
aku... aku ingin mati... akan kuceritakan kepada ayah... engkau tidak membunuhnya, engkau... engkau
pamanku yang baik...”
“Bi Sian...” Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. “Sudahlah... jangan banyak
cakap... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik...”
“Paman, engkau amat mencinta... Ling Ling...?”
Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa di dekat situ, Sie Liong menoleh lalu
memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk. “Aku... cinta
padanya, Bi Sian. Aku... aku cinta...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan... aku? Kau... sayang padaku, paman...? Bukan? Kau sayang kepadaku...?”
Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong
merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia hanya menganggukangguk
saja, mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.
“Bi Sian anakku...!” Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih
dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.
“Ibu... katakanlah, engkau... memaafkan aku, ibu. Paman... paman Liong juga... sudah memaafkan aku...”
Bi Sian merangkul dan di antara isaknya dia berbisik. “Ibu memaafkanmu... nak...”
Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan
nafas terakhir.
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.
********************
Pertempuran sudah berakhir. Kim Sim Lama menjadi tawanan dalam keadaan luka-luka berat. Dia akan
menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai akhir
hidupnya.
Dalai Lama sendiri turut datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah dimasukkan ke dalam
peti mati dan disembahyangi. Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu sedang
dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan,
yang tinggal di situ hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.
Mereka masih duduk di atas tanah, di depan dua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam
pertempuran ditanam di sarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeramkan. Kini tiga
orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, setelah
semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.
Sie Lan Hong melamun dan mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang
gadis remaja, kemudian dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai akhirnya melahirkan Bi Sian.
Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara.
Suaminya kembali ke dalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya yang
tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya.
Kemudian gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan
berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya.
Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit dan
penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini dia hidup sebatang kara, dan ada Lie Bouw Tek di
sampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya? Ia melirik ke arah pria itu. Lie Bouw Tek juga
tengah melamun.
Alangkah jantannya pria itu. Ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya.
Semoga jalan hidupnya di depan akan lancar dan mulus, dan penuh kebahagiaan untuk menebus masa
lalu yang penuh derita.
Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang
dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap
wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang
amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang
wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita.
Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan
hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat sebagai seorang
calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan.
Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup di dunia ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Dan demikianlah hidup. Semua itu
hanya bayangan, seperti awan berarak di angkasa, hanya selewatan saja. Segala cita, segala harapan,
segala kesenangan, hanya selewatan. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah
permainan nafsu atas badan.
“Sie-taihiap!”
Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang
memanggilnya. Sie Liong mengerutkan alisnya, tak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya
tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya,
bersikap mencinta dan melindungi.
“Maaf, aku belum mengenal siapa toako...,” katanya ragu.
Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak
kiri yang tak berlengan itu. “Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkanlah enci-mu ini
yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah
membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita...”
Sie Liong menarik napas panjang dan seketika menghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya!
“Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai
ke tempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?”
Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya, kemudian mengenai perjalannya ke
Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya.
“Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini yang menyelamatkan aku,
Liong-te. Bahkan Lie-toako lalu mengantar aku sampai ke Lhasa dan membantuku untuk mencari engkau
dan Bi Sian. Lie-toako ini mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw
sampai memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu di sini.”
Sie Liong mengangguk-angguk. Dia tidak tertarik lagi akan cerita masa lalu yang hanya terisi banyak
kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia kemudian bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek
sambil berkata, “Kalau begitu terimalah hormatku dan ucapan terima kasihku bahwa engkau telah
menolong enci-ku, Lie-toako.”
“Ahh, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau pun tahu bahwa di antara
kita tak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas untuk menentang kejahatan dan
membantu yang menjadi korban kejahatan.”
“Lie-toako, sesudah apa yang kau lakukan kepada enci-ku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku.
Namaku Sie Liong.”
“Baiklah, adik Liong, dan terima kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua
peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi ke manakah?”
“Liong-te, mari kita pulang saja ke timur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak
kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan
bahagia, adikku,” kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk.
Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin menuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti
gerak langkahku!”
“Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai
enci-mu, ingin menghiburmu...”
Sie Liong tersenyum, bukan sekedar senyum bahkan wajahnya nampak sangat cerah. “Pandanglah aku,
enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua sudah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Enci Lan
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kau
sayangi, kau hormati, dan kau harapkan perlindungannya.” Sie Liong lalu menatap wajah Lie Bouw Tek
yang menjadi kemerahan.
Pendekar Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan dia pun kini menatap
wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur.
“Liong-te, sungguh aku kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang sangat hebat, juga memiliki
kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang agaknya telah dapat kau duga,
aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat bahwa ia tidak memiliki anggota keluarga lainnya, maka
aku ingin menggunakan kesempatan terakhir ini untuk minta persetujuanmu. Setujukah engkau jika aku
melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?”
Sie Liong tersenyum gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang
laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang gagah perkasa dan jujur. Cepat dia memberi hormat kepada
pendekar itu.
“Lie-toako, aku akan merasa berbahagia sekali apa bila engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku). Tentu saja
aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, semua keputusan akhir kuserahkan pada enci Lan Hong.
Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan Hong.”
Biar pun dia merasa rikuh bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw
Tek lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
“Hong-moi, engkau sudah mendengar sendiri percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku
mempergunakan kesempatan ini, disaksikan oleh adikmu, untuk mengajukan pinangan kepadamu. Hongmoi,
sudikah engkau menjadi isteriku?”
Kepala itu semakin menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat
muka, memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. Akhirnya, wanita itu
lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!
Sie Liong merangkul dan menepuk-nepuk pundak enci-nya, tanpa bicara sepatah kata. Dia membiarkan
enci-nya menangis di pundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari hati enci-nya. Setelah tangis itu
mereda, dia berbisik dekat telinga enci-nya.
“Enci Hong, aku percaya bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Kionghi (selamat), enci-ku yang baik.”
Lan Hong mengusap air matanya. “Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia bersama
kami...”
Walau pun Lan Hong belum menjawab lamaran Lie Bouw Tek, namun ucapan ‘hidup bersama kami’ itu
saja sudah merupakan jawaban yang jelas.
Dengan lembut Sie Liong melepaskan rangkulan enci-nya. “Terima kasih, enci Hong. Aku harus
melanjutkan perjalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang pertama yang
mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga Tuhan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada
kalian. Cihu (kakak ipar), harap kau jaga baik-baik enci-ku yang kusayang ini. Enci Hong, selamat tinggal.
Sekarang aku harus pergi.”
“Liong-te...!” Lan Hong berseru, akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan
Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka.
“Liong-te...!” Lan Hong kembali berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.
“Sudahlah, Hong-moi. Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis.
Mari, marilah kita menyongsong hidup baru. Engkau pun berhak untuk menikmati kebahagiaan hidup,
Hong-moi, bersamaku.”
Mereka lalu perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang
luas, di mana mereka dapat hidup berbahagia setelah masa lalu yang suram mereka lewati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemberontakan yang dipimpin Kim Sim Lama itu pun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan
menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam pertempuran melawan
para pendeta Lama dan pasukan pengikut Dalai Lama.
Juga pasukan Dalai Lama menyerang serta memukul mundur pasukan pemberontak Nepal yang dipimpin
Pangeran Maranta Sing dan mengusir mereka dari daerah Tibet. Daerah Tibet seluruhnya menjadi aman
dan rakyat mulai dapat hidup tenteram…..
********************
Di lembah bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri. Keheningan
menyelimuti seluruh alam di sekitarnya, akan tetapi Sie Liong tidak merasa kesepian. Hening akan tetapi
tidak kesepian.
Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya. Kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, di dalam dan di
luar dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian.
Nama Pendekar Bongkok kemudian amat terkenal di seluruh dunia persilatan, biar pun jarang ada yang
pernah bertemu dengan dia. Hal ini adalah karena Pendekar Bongkok tak pernah mau kembali ke selatan.
Dia merantau di sepanjang gurun Gobi dan di mana pun dia berada, dia selalu menentang kejahatan,
membela yang benar dan lemah.
Para pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah mendapatkan
pertolongan Pendekar Bongkok ketika mereka mengalami mara bahaya, ketika mereka diancam
gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama besar Pendekar Bongkok di dunia kangouw
di selatan.
Namun Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gurun Gobi, bahkan dia tidak pernah
mau memperkenalkan diri atau namanya sehingga orang-orang yang tidak mau menggunakan julukan
ejekan Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi).
Sie Liong memang maklum sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, tetapi juga lengan
kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan penghinaan saja di dunia
ramai.
Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih sayang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta
antara pria dan wanita adalah cinta nafsu, cinta birahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik
lahiriah. Dan untuk itu, dia sudah tidak mempunyai daya tarik sama sekali.
Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak begitu
terpengaruh oleh keindahan rupa. Tidak, dia tidak akan lagi melibatkan diri dengan seorang wanita…..
>>>>> T A M A T <<<<<
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru