Sabtu, 30 September 2017

Cersil 3 Toatbengmoli Kho Ping Hoo Paling Baru

Cersil 3 Toatbengmoli Kho Ping Hoo Paling Baru Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 3 Toatbengmoli Kho Ping Hoo Paling Baru
kumpulan cerita silat cersil online
-
“Yang memimpin pasukan dari Tiang-an itu bukan lain adalah sute kami yang gagah
perkasa!” Pek Hong Ji menuturkan kepada Ling Ling dengan bangga. “Memang benar-benar
hebat sepak terjang sute kami Liem Sian Lun itu. Kegagahannya dapat disamakan dengan kau
siocia.”
Akan tetapi Ling Ling tidak tertarik. Di dalam kesedihannya ditinggal mati ibunya, yang
teringat olehnya hanya balas dendam saja.
“Kiumpulkan kawan-kawan, sekarang juga kita menyerbu ke bukit itu, menghabiskan sisasisa
pengikut kaisar dan membunuh kaisar jahanam itu.”
“Nona, kawan-kawan sudah lelah dan menurut Liem-sute, sudah disiapkan pasukan istimewa
untuk menyerbu naik ke bukit dan menawan kaisar!”
Ling Ling memandang marah. “Begitukah? Kalau demikian, biarlah aku sendiri naik ke atas
dan melakukan penangkapan sendiri!”
Terpaksa Pek Hong Ji lalu menjawab, “Baiklah, baiklah, tentu saja kami menurut
perintahmu.” Maka dikumpulkanlah pasukan Pek-sim-kauw yang masih ada tiga puluh orang
lebih jumlahnya itu dan menyerbulah mereka ke atas bukit.
Benar seperti yang dikatakan Pek Hong Ji, dari lain jurusan yakni dari jurusan kota Yangkouw,
nampak barisan yang panjang sedang menuju ke bukit di mana Kaisar Yang Te
mengungsi.
“Cepat, jangan sampai terdahului oleh mereka!” Ling Ling memberi perintah dan mereka
bergerak lebih cepat lagi untuk mendahului barisan yang dipimpin oleh Liem Sian Lun.
Sementara itu, Liem Sian Lun yang memimpin pasukannya, juga melihat pasukan Pek-simkauw
ini menaiki bukit. Ia telah mendengar dari Pek Hong Ji bahwa pasukan itu dipimpin
oleh Toat-beng Mo-li, wanita yang dicari-cari oleh pamannya, Kwee Siong itu. Ia tidak tahu
mengapa pamannya mencari mereka, akan tetapi hatinya merasa gembira ketika mendengar
bahwa dua orang wanita itu ternyata membantu perjuangan menumbangkan kekuasaan kaisar.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 125
Kini melihat pasukan Pek-sim-kauw mempercepat gerakannya, iapun lalu memberi aba-aba
kepada pasukannya untuk bergerak lebih cepat lagi. Maka bergeraklah dua pasukan itu dari
lain jurusan, bercepat-cepat dan agaknya berlomba untuk dulu mendului menerjang
pertahanan akhir dari kaisar di puncak bukit itu.
Bukan main sibuknya barisan pengawal kaisar menghadapi serbuan dua pasukan musuh ini.
Betapapun juga, barisan pengawal terakhir ini adalah barisan terkuat, yang terdiri dari pada
pengawal-pengawal yang setia dan gagah berani.
Mereka melakukan perlawanan hebat sehingga tidak mudahlah bagi pasukan-pasukan
penyerbu untuk membobolkannya. Pertempuran hebat terjadi, di mana dari dua pihak jatuh
korban-korban yang banyak sekali.
Di dalam kehebatan pertempuran ini, Ling Ling lalu memisahkan diri dan dengan cepatnya ia
lalu mendaki bukit itu, menuju perkemahan kaisar yang berada di pinggir sebuah anak sungai.
Keadaan di puncak bukit itu indah sekali. Ketika Ling Ling sudah tiba di atas, ia sendiri
terpesona oleh keindahan pemandangan alam di tempat itu. Suara pertempuran di lereng bukit
hanya terdengar samar-samar saja dan keadaan di situ amat sunyi dan indah. Burung-burung
berkicau, mengiringi desiran anak sungai, kadang-kadang dihembus angin gunung yang
membuat daun-daun dan kembang-kembang menari-nari.
Perkemahan yang dibuat di situ amat banyaknya. Adapun kemah di mana kaisar berada
merupakan kemah terbesar dengan bendera naga terpancang di atasnya.
Di situ nampak kosong dan sunyi, karena para penjaga semua dikerahkan ke lereng bukit
untuk membendung serbuan para musuh. Akan tetapi, ketika Ling Ling hendak menyerbu ke
dalam kemah kaisar itu, tiba-tiba muncul lima orang perwira dengan pedang di tangan.
Lima orang ini adalah pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah lima orang siwi (pengawal
kaisar) yang berkepandaian tinggi, karena tingkat kepandaian mereka bahkan masih sedikit
lebih tinggi dari pada kepandaian perwira-perwira kelas satu dari kerajaan.
Mereka inilah yang menjadi perisai kaisar dan untuk dapat menawan atau membunuh kaisar,
orang harus dapat merobohkan mereka terlebih dulu. Bagaikan patung-patung batu, kelima
orang siwi itu berdiri dengan pedang di tangan, menghadang di depan kemah dengan mata
memandang penuh kemarahan.
“Nona, sekarang bukan waktunya bersenang-senang. Kalau kau hendak mencumbu Hongsiang,
lebih baik mencari kesempatan lain waktu,” kata seorang di antara mereka dengan
senyum sindir.
“Keparat jahanam! Aku datang untuk memenggal leher kaisar lalim!”
“Oho, mudah benar kau membuka mulut!” seru siwi kedua.
Akan tetapi Ling Ling tidak mau banyak bicara lagi, pedang Pek-hong-kiam diputar cepat dan
berobah menjadi segunduk sinar putih yang menerjang kelima orang siwi itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 126
“Bagus, kau dapat juga mainkan pedang!” seru seorang siwi dan kelimanya lalu menyambut
serbuan Ling Ling. Gadis ini harus mengakui ketangguhan para lawannya, karena tangkisan
pedang mereka membuat pedangnya terpental kembali, sedangkan kelimanya ternyata juga
memiliki pedang pusaka yang kuat sekali.
Pertempuran terjadilah dengan hebatnya di tempat sunyi itu. Dan betapapun Ling Ling
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, namun sukar sekali baginya
untuk merobohkan seorang di antara kelima pengeroyoknya.
Ilmu pedang para siwi itu amat kuatnya, karena mereka ini adalah murid-murid dari Bu-tongpai
yang sudah menamatkan pelajaran ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat. Kalau saja mereka
tidak maju berlima, agaknya Ling Ling masih akan dapat menang, karena sesungguhnya ilmu
pedang Ling Ling yang luar biasa, yakni Kim-gan-liong-kiam-sut, masih lebih menang dan
unggul daripada ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat.
Akan tetapi dengan majunya lima orang yang ilmu kepandaiannya setingkat ini, mereka
merupakan lawan yang amat tangguh. Mereka dapat bermain pedang dengan saling membela
dan saling melindungi, dan melakukan serangan pembalasan yang tak kalah berbahayanya.
Ditambah lagi oleh kelelahannya, Ling Ling mulai terdesak dan terkurung hebat. Akhirnya ia
bermain pedang sambil mundur. Selalu menangkis dan harus mempergunakan ginkangnya
untuk menghindarkan diri dari bahaya maut yang disebarkan oleh pedang-pedang lawannya.
Ia menjadi marah dan penasaran sekali, Hanya keteguhan hati dan ketabahannya yang luar
biasa saja membuat Ling Ling masih kuat bertahan selama itu. Pertempuran telah berjalan
hampir seratus jurus, namun tetap saja kelima orang siwi itu tidak mampu merobohkan gadis
pendekar ini.
Bukan main kagum dan penasaran rasa hati para siwi ini. Mereka telah berlatih hebat, dan
ilmu silat mereka untuk di kotaraja, telah amat terkenal dan sukar dicari tandingannya. Setelah
melalui ujian yang amat berat dan mengalahkan banyak calon-calon, barulah mereka diterima
sebagai yang terkuat dan diangkat menjadi pengawal-pengawal pribadi kaisar. Akan tetapi
sekarang, menghadapi seorang gadis muda saja mereka tidak berdaya merobohkannya.
Sungguh memalukan sekali.
“Kurang ajar!” seru seorang siwi yang berjenggot panjang. “Rasakan hui-to (golok terbang)
mautku!” Setelah berseru demikian, ia melemparkan tiga batang golok kecil yang melayang
cepat sekali ke arah tubuh gadis itu. Hui-to ini benar-benar berbahaya sekali karena selain
cepat sekali datangnya, juga mengeluarkan bunyi melengking yang dapat mengacaukan
semangat lawan.
Tiga batang hui-to ini menyambar ke arah leher, dada, dan pusar Ling Ling. Dan pada saat itu,
empat orang siwi lain sedang menyerang Ling Ling dari kanan kiri. Agaknya tidak ada jalan
keluar lagi bagi gadis ini dan agaknya ia akan menjadi korban sambaran tiga buah hui-to tadi.
Akan tetapi ternyata Ling Ling memiliki ketabahan dan ketenangan yang luar biasa sekali.
Begitu melihat serangan hui-to dari depan dan serangan pedang dari kanan kiri, tiba-tiba ia
berseru nyaring dan ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang dangan gerak tipu Trenggiling
Turun Dari Gunung.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 127
Dengan amat cepatnya setelah tubuhnya rebah telentang sehingga tiga batang hui-to itu
menyambar lewat di atasnya, ia lalu menggulingkan tubuhnya ke depan dan pedangnya
menyambar cepat sekali ke arah kaki siwi yang melepaskan hui-to tadi.
Bukan main kagetnya siwi berjenggot panjang itu. Serangan balasan ini sama sekali tak
pernah disangkanya, demikian cepat dan kontan datangnya. Ia cepat mengelak sambil
melompat ke atas dan sebelum Ling Ling dapat melanjutkan serangannya, kawan-kawannya
telah datang mengurung dan kembali Ling Ling dikeroyok lima.
Pada saat yang amat berbahaya bagi gadis itu, tiba-tiba terdengar seruan keras,
“Jangan khawatir, nona, aku datang membantumu membinasakan lima anjing penjaga ini!”
Dan Liem Sian Lun telah memutar pedangnya yang bersinar kuning itu untuk menggempur
para pengeroyok Ling Ling. Memang, dalam tugasnya ini, Sian Lun diberi pinjam pedang
Oei-hong-kiam dari Jenderal Li Goan.
Biarpun tidak menjawab sesuatu dan berpura-pura tidak melihat Sian Lun, namun Ling Ling
bertambah semangatnya ketika melihat pemuda yang pernah dikenal kelihaiannya ini. Pedang
Pek-hong-kiam diputar makin cepat dan dengan sebuah sabetan kilat, ia berhasil membacok
roboh seorang pengeroyok.
Tadi ketika mengeroyok Ling Ling seorang saja, lima orang siwi itu masih belum dapat
mengalahkannya dalam seratus jurus, apalagi setelah sekarang Ling Ling mendapat bantuan
Sian Lun yang ilmu pedangnya bahkan lebih lihai dari pada nona itu. Tentu saja kedua orang
muda ini bukanlah makanan empuk bagi empat orang siwi itu dan tak lama kemudian,
terdengar teriakan-teriakan susul menyusul dan kelima orang siwi itu semua telah tewas di
ujung pedang Sian Lun dan Ling Ling.
“Nona, dimanakah ibumu?” tanya Sian Lun yang tidak tahu apa yang harus dikatakan
terhadap nona itu. Akan tetapi matanya memandang dengan amat kagum sehingga Ling Ling
menjadi cemberut. Ia menganggap pandang mata pemuda itu kurang sopan. Tanpa menjawab
sesuatu, Ling Ling lalu melompat dan menyerbu ke dalam kemah kaisar. Akan tetapi, di
dalamnya ternyata sunyi dan kosong.
Ling Ling berjalan terus dan keluar dari pintu belakang kemah itu, diikuti oleh Sian Lun yang
merasa penasaran melihat sikap nona yang seakan-akan membencinya itu.
Ketika kedua orang muda itu sampai di belakang kemah itu, tiba-tiba mereka berhenti dan
berdiri memandang ke depan dengan muka tertegun. Apakah yang mereka lihat?
Kaisar Yang Te, masih nampak gagah dan berpakaian mewah, sedang berdiri di dekat anak
sungai, dihadap oleh seorang kakek tua yang berpakaian sebagai pelayan. Terdengar suara
kaisar itu berkata sambil tersenyum-senyum.
“Tidak betulkah kata-kataku tadi, Lao Kwang? Seorang kaisar harus menghadapi kebangkitan
atau keruntuhannya dengan senyum di mulut. Semua orang memberontak, tidak ingat bahwa
aku adalah kaisar yang harus mereka hormati, kaisar yang dipilih oleh Thian sendiri untuk
memimpin rakyat seluruh negara. Ha, ha, ha! Dan sekarang mereka mengejar-ngejarku untuk
membunuhku. Bukankah ini lucu sekali? Lihatlah, laksaan orang saling membunuh hanya
karena aku seorang! Bukankah hal ini hebat sekali? Apakah artinya aku mengorbankan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 128
nyawaku untuk kebesaran seperti itu? Ha, ha, Lao Kwang, kau bilang apa tadi? Kaupun ingin
pula memberontak?”
Kakek itu sambil bercucuran air mata lalu mencabut sebilah pedang pendek dan setelah
berlutut ia lalu berkata,
“Hong-siang, junjunganku, juga anak yang kutimang-timang semenjak masih bayi! Mengapa
tidak dulu-dulu paduka mendengar nasehat seorang rendah seperti hamba? Mengapa paduka,
hanya menurutkan kata nafsu hati, menurutkan bujukan para pembesar buruk? Mengapa
paduka ingin memuaskan hati tanpa memperdulikan pengorbanan rakyat jelata? Ah, apakah
yang akan menimpa diri paduka?”
Kaisar itu tertawa bergelak. “Lao Kwang, kau seorang yang setia dan bersikap selalu
merendah. Alangkah bodohnya kau ini! Kalau aku bertindak sebagai seorang kaisar yang
bodoh dan mengalah, tdak mau memeras tenaga rakyat untuk membuat bangunan-bangunan
besar, untuk menyerang negara timur, akan jadi kaisar apakah aku ini? Betapapun juga,
akhirnya aku toh mesti mati. Kalau aku membiarkan keadaan negara tanpa memperkuatnya,
biarpun dengan menekan rakyat, aku akan mati sebagai seekor semut, rakyat yang gendut dan
senang akan lupa kepadaku dan negara sebentar lagi akan dirampas oleh orang asing.
Sekarang, biarpun aku mati, lihatlah saluran air yang megah, lihatlah tembok besar yang jaya,
semua adalah bekas tanganku. Orang takkan melupakan selama sejarah berkembang. Mati?
Ha, ha, ha, siapa yang takut mati? Di dunia aku menjadi kaisar, mustahil di alam baka aku
tidak diberi pangkat dan kedudukan? Aku adalah kaisar, tahu? Dalam keadaan bagaimanapun
juga, kaisar tetap dihormati, menjadi tawanan pun berbeda dengan perajurit biasa. Tetap
menjadi tawanan besar dan penting, diperlakukan penuh penghormatan!”
Pada saat itu, mereka melihat dua orang muda yang berdiri dengan pedang di tangan.
“Hong-siang, musuh telah datang menyerbu!” bisik Lao Kwang
“Mereka itu?” Kaisar membalikkan tubuhnya dan menudingkan telunjuknya ke arah Ling
Ling dan Sian Lun. “Hanya dua orang muda yang bodoh, yang menjadi alat dari pada
keganasan perang! Apakah mereka ini akan dapat menggantikan kedudukanku? Ha, ha, ha!”
“Kaisar lalim, rasakan pembalasanku!” tiba-tiba Ling Ling berseru keras dan menyerbu. Akan
tetapi, ia kalah dulu oleh Lao Kwang. Dari belakang, pelayan yang semenjak Yang Te masih
kecil telah menjadi pelayannya itu, telah menusuk punggung Kaisar Yang Te dengan
pedangnya. Kaisar itu mengeluh berat dan tubuhnya roboh telentang, tak bergerak lagi.
“Hamba ikut, tuanku!” kata Lao Kwang dan sebuah tusukan ke arah dadanya dengan pedang
yang dipegangnya membuat ia roboh di samping Kaisar Yang Te.
Tertegunlah Ling Ling dan Sian Lun menyaksikan peristiwa ini. Untuk beberapa lama Ling
Ling berdiri memandang ke arah tubuh kaisar itu. Inikah musuh besarnya? Inikah orang yang
telah menghancurkan penghidupan ibunya? Yang telah menghancurkan penghidupan rakyat
banyak? Sukar untuk dipercaya.
Kaisar ini hanya memerintah dan memberi petunjuk. Yang menjadi pelaksana bukanlah dia
sendiri dan mana kaisar ini bisa mengetahui cara pelaksanaan perintahnya? Tahukah kaisar ini
bahwa tenaga rakyat yang dikerahkan itu diperoleh dengan jalan yang curang dan keji oleh
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 129
para petugasnya? Siapakah yang salah? Kaisarnya, atau para petugas yang nyeleweng,
ataukah jamannya yang salah?
Setelah menarik napas panjang, Ling Ling lalu berpaling dan Sian Lun melihat betapa kedua
mata gadis cantik itu basah oleh air mata. Ling Ling lalu melompat pergi meninggalkan
tempat itu.
“Nona, tunggu dulu!”
Ling Ling menahan tindakannya. Mereka telah berada jauh dari kemah kaisar itu.
“Kau mau apa?” tanyanya dengan tegas dan ketus.
Sian Lun menggerakkan alisnya dan tersenyum pahit. “Beginikah sikapmu kepada orang yang
telah berusaha membantumu? Nona, kau agaknya benci kepadaku. Ada apakah dan apakah
kesalahanku?”
“Tidak ada yang benci dan tidak ada yang salah! Aku hanya ingin tahu mengapa kau
menyusulku?”
“Nona, aku hanya ingin menyatakan bahwa pamanku Kwee Siong telah mencari-cari dan
menanti-nanti kau dan ibumu.”
Berkerut kening Ling Ling mendengar nama Kwee Siong disebut-sebut.
“Aku tidak kenal pamanmu. Ada apa dia menanti-nanti kami?”
“Entahlah, hanya aku tahu bahwa paman sedang sakit dan seringkali menanyakan kau dan
ibumu. Di manakah ibumu?”
“Ibu..... ibu sudah meninggal dunia!” Setelah berkata demikian Ling Ling melompat dan lari
lagi dengan cepatnya.
“Nona, tunggu dulu.....!”
Ling Ling berlari terus, akan tetapi Sian Lun mengejarnya dan karena ia sudah lelah sekali,
Ling Ling terpaksa berhenti. Sian Lun melihat kini betapa air mata telah mengalir turun di
kedua pipi gadis itu yang agak pucat.
“Mengapa kau mengejarku? Apakah kau menagih budimu ketika kau menolongku tadi? Nah,
biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu, dan sekarang pergilah!”
Sian Lun memandang dengan penuh iba. “Nona, aku menyesal sekali, yakni ... tentang
ibumu...”
“Jangan kau sebut-sebut akan hal ibuku. Ibu telah gugur dalam pertempuran, tidak ada
hubungannya dengan kau.”
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan dua orang perwira pembantu Sian Lun tiba
di tempat itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 130
“Liem-ciangkun, musuh telah dipukul habis. Sebagian besar telah menyerah. Menanti
perintah!”
Demikian kata mereka sambil turun dan berdiri dengan sikap gagah.
“Bawa semua tawanan dan kembalikan ke Tiang-an. Kau mewakili aku memimpin pasukan.
Seperti biasa, berlakulah keras, jangan biarkan anak buah kita meninggalkan barisan,”
perintah Sian Lun dengan suara keren. Kedua pembantunya memberi hormat dan pergi lagi
menunggang kuda.
“Aku harus pergi sekarang, selamat tinggal!” kata Ling Ling.
“Nanti dulu, nona. Kau telah banyak berjasa dalam perjuangan kami, apakah kau tidak mau
bersamaku kembali ke Tiang-an? Sungguh, nona, pamanku amat mengharap-harap
kedatanganmu.”
“Memang aku mau ke Tiang-an, akan tetapi tidak bersama engkau!”
Berseri wajah Sian Lun mendengar ini,
“Bagus, kau tentu akan datang kepada pamanku Kwee Siong, bukan? Baik sekali.”
“Memang aku akan mencari orang she Kwee itu, untuk membunuhnya dengan pedangku!”
Setelah berkata demikian, Ling Ling melompat dan berlari pergi.
Untuk sejenak Sian Lun berdiri bagaikan sebuah patung batu. Ucapan yang dikeluarkan
dengan sengit oleh gadis itu benar-benar telah membuatnya terheran-heran dan terkejut sekali.
Ada apakah antara pamannya dan gadis ini serta ibunya yang telah gugur? Ah, ia harus
mencegah maksud gadis itu. Setelah melihat bayangan Ling Ling lenyap dibalik pohon-pohon
barulah Sian Lun menjadi terkejut dan cepat ia lalu melompat dan berlari cepat mengejar.
Dengan hati yang amat berat karena masih berduka mengingat kematian ibunya, Ling Ling
berlari dengan cepat sekali. Kakinya telah terasa lelah dan lemahlah seluruh tubuhnya. Ia telah
bertempur melawan musuh-musuh yang tangguh dan telah sehari lamanya ia tidak makan.
Akan tetapi ia tidak mau berhenti mengaso karena maklum bahwa pemuda she Liem itu tentu
akan mengejarnya.
Ketika ia tiba di sebuah dusun dan melihat, bahwa pemuda itu tidak dapat menyusulnya, ia
lalu masuk ke sebuah restoran dan memesan makanan. Setelah makan dan beristirahat
sejenak, pulihlah kembali kekuatannya dan ia merasa tubuhnya sehat. Kemudian ia
melanjutkan perjalanannya dan alangkah mendongkolnya ketika tiba di luar dusun itu,
pemuda she Liem itu telah menantinya sambil duduk di atas rumput seorang diri.
Ling Ling berpura-pura tidak melihatnya dan hendak berlari terus, akan tetapi Sian Lun
berkata.
“Nona Ling Ling, mengapa tergesa-gesa? Akupun hendak menuju ke Tiang-an. Tidak sudikah
kau melakukan perjalanan bersamaku?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 131
“Kau melakukan perjalanan, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak melarang orang
menuju ke Tiang-an,” jawab Ling Ling merasa marah kepada dirinya sendiri mengapa melihat
pemuda ini hatinya berdebar girang.
Sian Lun terpaksa mempercepat langkahnya agar dapat mengimbangi kecepatan lari gadis
aneh ini.
“Nona, bukankah kau adalah nona yang dulu pernah menerima pedang Pek-hong-kiam dari
Liang Gi Cinjin, ketua dari Pek-sim-kauw?”
“Memang akulah yang dimaksudkan oleh suhumu itu. Dia seorang yang baik hati, akan tetapi
suhumu itu masih mempunyai hutang kepadaku yang harus dibayarnya!”
Setelah berkata demikian, kembali Ling Ling berlari pergi tanpa memperdulikan kepada Sian
Lun lagi. Pemuda ini segera mengejarnya. Ling Ling mengerahkan kepandaiannya berlari
cepat yang disebut Couw-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput). Ia sengaja mengeluarkan
kepandaiannya karena ia hendak mencoba apakah pemuda itu akan dapat mengejarnya.
Sian Lun merasa penasaran sekali melihat betapa gadis itu berlari dengan amat cepatnya.
Iapun lalu mengeluarkan ilmunya berlari cepat yang disebut Keng-sin-sut dan setelah berlarilarian
beberapa belas li, akhirnya dapat juga ia mengejar gadis itu.
“Nona, kau sungguh terlalu. Mengapa kita tidak berjalan perlahan saja menuju ke Tiang-an?
Apakah yang membuat nona demikian terburu-buru?”
Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi tiba-tiba lalu duduk di atas rumput di bawah sebatang
pohon besar. Enak sekali duduk di situ, ditiup angin sambil mendengarkan gemersiknya daundaun
pohon tertiup angin. Peluhnya mengalir dari atas jidat, disapunya dengan sehelai
saputangannya.
Sian Lun juga duduk di depannya, agak jauh dari nona itu. Sungguhpun mereka duduk
berhadapan, akan tetapi keduanya tidak berkata-kata dan bahkan tidak saling memandang.
Sungguh keadaan yang amat lucu dan ganjil.
“Mengapa kau mati-matian mengejarku dan hendak berjalan bersamaku?” tanya Ling Ling
tiba-tiba dan sepasang matanya yang indah dan tajam itu menatap wajah Sian Lun. Untuk
sesaat, pemuda itu berusaha menahan serangan sinar mata ini, akan tetapi akhirnya ia
menunduk karena pandangan mata gadis yang menyelidik ini benar-benar tajam sekali.
“Nona, aku tidak mempunyai niat buruk terhadapmu. Aku kagum sekali akan kegagahanmu,
hanya aku merasa tidak enak mendengar ucapanmu tadi yang hendak membunuh pamanku
Kwee Siong. Ketahuilah bahwa paman Kwee bagiku sama dengan ayahku sendiri. Tidak
boleh kau mengganggunya. Dia orang yang baik-baik, semulia-mulianya orang, mengapakah
kau begitu membencinya dan hendak membunuhnya?”
Ling Ling memandang tajam dengan kening berkerut. Ia amat benci kepada ayahnya itu.
Seorang ayah yang telah menyia-nyiakan ibunya. Ibunya menyatakan bahwa ayahnya itu
tidak bersalah.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 132
Kalau memang ayahnya itu orang baik-baik, mengapa tidak dicarinya ibunya yang hidup
seperti seorang “iblis” di dalam hutan? Mengapa ayahnya yang sudah menjadi seorang
pembesar itu bahkan lalu menikah lagi dan telah memperoleh seorang putera? Mengapa
ketika bertemu di pengadilan dulu, ayahnya tidak menerima mereka sebagai isteri dan anak?
Kalau dipikir-pikir, bukan kaisar yang menjadi biang keladi kesengsaraan ibunya, melainkan
Kwee Siong itulah! Orang itu harus dibunuhnya, untuk membalas sakit hati ibunya.
Kini melihat sikap Sian Lun yang hendak membela Kwee Siong, mendengar ucapan pemuda
gagah ini yang memuji-muji Kwee Siong sebagai seorang yang berhati mulia, hatinya menjadi
perih dan gemas sekali.
“Paman Kwee amat baik kepadaku,” terdengar lagi Sian Lun berkata, “seakan-akan aku
anaknya sendiri. Ia memperlakukan aku seperti anak sendiri, mengajarku membaca dan
menulis, memberi nasehat-nasehat dan pelajaran filsafat dan budi pekerti. Orang sebaik dia
tidak mungkin mempunyai musuh dan tak mungkin mengganggu orang lain. Mengapa kau
hendak membunuhnya, nona?”
Bab 16.....
“Kau tak perlu tahu, Liem-ciangkun. Urusan ini adalah urusanku sendiri, orang luar tak
berhak tahu. Betapapun juga, aku akan mencarinya di Tiang-an dan akan membunuhnya
dengan tanganku sendiri.” Kata-kata ini diucapkan dengan tegas dan mengandung kemauan
bulat.
“Tidak mungkin, nona. Perbuatanmu itu sebelum dapat kau lakukan, kau akan menghadapi
seluruh penduduk Tiang-an, seluruh barisan di bawah pimpinan Jenderal Li Goan sendiri.
Kwee-susiok adalah seorang yang dihormati dan dipandang tinggi oleh semua orang. Takkan
mungkin mengganggu, lebih sukar dari pada mengganggu kaisar sendiri.”
Makin tinggi orang memuji ayahnya makin banyak orang mengingatkan kepadanya akan
kemuliaan ayahnya, makin teringatlah Ling Ling akan kesengsaraan ibunya dan makin
panaslah hatinya. Ia tersenyum mengejek dan menjawab sambil berdiri dan mencabut
pedangnya.
“Kau kira aku takut menghadapi siapapun juga? Biarpun ada selaksa dewa hendak melindungi
orang she Kwee itu, tetap aku hendak membunuhnya!”
Mulai panas darah Sian Lun. Betapapun ia mengagumi gadis ini dan menaruh hati kasihan
mendengar kematian ibu gadis ini, namun sikap gadis itu dianggapnya amat keterlaluan.
Iapun bangkit berdiri dan berkata.
“Dan dengarlah, nona. Orang pertama yang akan menghalangi kehendakmu yang kejam itu
bukan lain orang adalah aku sendiri!”
“Kau....?” Ling Ling memandang tajam sambil mengangkat alisnya yang berbentuk
melengkung seperti bulan sabit itu.
“Ya, aku sendiri! Aku yang telah diperlakukan dengan baik oleh Kwee-susiok, yang telah
dianggap sebagai anak sendiri, aku takkan membiarkan siapapun juga mengganggunya!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 133
“Manusia sombong! Siapa takut kepadamu? Apa kau kira dulu aku sudah kalah olehmu?
Cabutlah pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran yang dulu!” tantang Ling Ling.
“Nona, haruskah kita bertempur lagi? Mengapa kau begitu berkeras hendak membunuh
pamanku? Berilah penjelasan agar aku ikut pula mempertimbangkan apakah niatmu itu benar
atau salah.”
“Bukan urusanmu, tak usah kau bertanya lagi. Pendeknya aku hendak membunuh Kwee
Siong dan kalau kau menghalangiku boleh kau mencoba mengalahkanku!”
Terpaksa Sian Lun mencabut pedangnya Oei-hong-kiam. “Menyesal sekali, nona. Aku tak
ingin bertempur dengan kau......”
“Awas pedang!” teriak Ling Ling tanpa memperdulikan ucapan ini dan langsung menyerang
dengan sebuah tusukan berbahaya. Sian Lun cepat menangkis dan berpijarlah bunga api
ketika dua pedang pusaka itu bertemu.
Ling Ling menyerang lagi dan mainkan pedangnya dengan hebat sehingga yang nampak
hanyalah gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sian Lun terpaksa mengimbangi
permainan pedang nona ini dan pedang Oei-hong-kiam segera diputarnya merupakan
segulung sinar kuning yang tak kalah cepatnya.
Demikianlah, kedua orang muda yang lihai itu kembali mengadu kepandaian di dalam hutan,
ramai dan seru, tanpa ada seorangpun yang menjadi saksi.
Sian Lun bertempur dengan hati-hati. Ia maklum bahwa gadis ini amat lihai. Ginkang dan
lweekangnya berimbang dengan kepandaiannya sendiri dan ilmu pedang gadis itu luar biasa
ganasnya.
Betapapun juga, ia tidak tega untuk melukai gadis ini, dan bertempur hanya dengan maksud
menguji kepandaian saja dan kalau ia mencari kemenangan juga, bukan dengan cara
merobohkan gadis itu dalam keadaan terluka. Ia hanya akan merampas atau melepaskan
pedang dari tangan nona itu. Akan tetapi ia maklum bahwa hal ini bukanlah mudah saja.
Sebaliknya, Ling Ling yang sudah tahu pula akan kepandaian pemuda ini, kini berusaha untuk
mengalahkan lawannya dan bertempur dengan amat sengitnya. Dalam keadaan demikian,
maka sedikit kelebihan permainan pedang Sian Lun menjadi tertutup dan pertempuran itu
menjadi berimbang dan luar biasa ramainya.
Seratus jurus lewat tanpa terasa, dan belum juga di antara kedua orang muda ini ada yang
kalah atau menang. Mereka saling serang dan saling desak, mengeluarkan gerak-gerak tipu
yang terlihai. Betapapun juga, diam-diam Ling Ling harus mengakui keunggulan pemuda itu,
karena setelah pertempuran berjalan seratus lima puluh jurus, ia mulai merasa lelah dan
telapak tangan kanannya yang memegang pedang menjadi panas dan perih. Adapun Sian Lun
lawannya masih nampak kuat dan gerakan serta kecepatannya tidak berkurang.
Akhirnya Sian Lun merasa bahwa ia takkan dapat mengalahkan nona yang nekat ini tanpa
melukainya. Akan tetapi bagaimana ia sampai hati untuk melukai nona yang dikagumi dan
dikasihinya ini? Dan sedikit saja ia melamun, tiba-tiba ujung pedang Pek-hong-kiam di tangan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 134
Ling Ling sudah menyerangnya dengan gerak tipu Kim-gan-liong-hian-jiauw (Naga Bermata
Emas Mengulur Kuku).
Sedangkan pada saat itu pedangnya masih tersembunyi di balik lengan ketika ia tadi bergerak
dengan gerak tipu Burung Walet Menyembunyikan Ekor. Melihat serangan maut ini, Sian
Lun terkejut sekali dan cepat ia mempergunakan tenaga pergelangan tangan untuk memutar
pedangnya yang segera meluncur ke depan melakukan tangkisan ke arah ujung pedang lawan
yang menusuk ke arah dadanya.
“Traaang!” dua pedang itu beradu keras sekali. Saking hebatnya tenaga keduanya yang
dikeluarkan pada saat genting itu, ujung pedang Ling Ling meleset dan meluncur cepat ke
arah tenggorokan Sian Lun sedangkan pedang Sian Lun sebaliknya kena terpukul dan melesat
menuju ke arah pundak gadis itu.
Keduanya terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tiada waktu lagi. Dengan cepat tangan kiri
mereka bergerak. Ling Ling melakukan gerakan Kwan-im-siu-kiam (Dewi Kwan-im
Menyambut Pedang) sedangkan Sian Lun membuat gerakan Siauw-kin-na-jiu-hwat
mencengkeram ke arah gagang pedang gadis itu.
Gerakan mereka begitu kuat dan cepat sehingga pada saat itu juga, pedang mereka telah
pindah tangan. Oei-hong-kiam telah terampas oleh Ling Ling sedangkan Pek-hong-kiam
terampas oleh Sian Lun. Mereka terhindar dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja mereka
menjadi pucat dan mengeluarkan keringat dingin
Sian Lun cepat melompat ke belakang dan menjura.
“Nona, ilmu pedangmu benar-benar luar biasa sekali. Dan pedang inipun amat baiknya.”
“Pedang itu adalah pedang suhumu, Liang Gi Cinjin. Biarlah kau kembalikan kepadanya.
Adapun pedang ini......”
Ling Ling menggerak-gerakkan Oei-hong-kiam yang terasa lebih enak ditangannya, karena
pedang ini gagangnya lebih kecil dan lebih cocok untuk jari-jari tangannya. “Pedang ini
adalah pedang dari Panglima Kam Kok Han, dan aku sebagai ahli waris ilmu pedangnya, .....
aku berhak mendapatkan pedang ini!”
Sambil berkata demikian, Ling Ling memandang kepada pemuda itu dengan sikap
menantang.
Sian Lun menjadi tertegun. “Kau ....., kau hendak merampas pedang itu? Kembalikan, nona.
Pedang itupun boleh kupinjam dari Jenderal Li!”
“Bukankah kau dulu merampasnya dari seorang panglima kerajaan Sui? Pedang ini bukan
pedangmu, bukan pula pedang Jenderal Li, akan tetapi adalah pedang dari mendiang
Panglima Kam! Kalau kau ada kepandaian, boleh kau rampas kembali, pedang ini sekarang
sudah berada di tanganku!” kembali Ling Ling memandang dengan sikap menantang.
Untuk sesaat teganglah semua urat dalam tubuh Sian Lun. Ia hendak bergerak menyerang
nona itu untuk merampas kembali pedangnya, akan tetapi ia mengurungkan niatnya dan
kemudian bahkan duduk di atas rumput sambil tersenyum.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 135
“Biarlah, ambillah...... kalau kau kehendaki, asal saja kau jangan membunuh paman Kwee.”
“Kau perduli apa dengan segala niatku? Kalau masih penasaran, hayo kau berdiri dan mari
kita lanjutkan pertempuran kita!”
Akan tetapi Sian Lun menggelengkan kepalanya. “Kau serang dan bunuhlah aku kalau kau
mau. Aku tiada nafsu untuk bertempur mati-matian seperti orang gila, tanpa ada alasannya.
Aku tidak percaya kau tidak akan malu menyerang seorang yang tidak melawan.”
Karena iapun sudah merasa lelah sekali, Ling Ling lalu menyimpan pedangnya dan
menjatuhkan diri di atas rumput dan bersandar pada pohon. Kembali kedua orang muda itu
duduk berhadapan di atas rumput seperti tadi sebelum mereka bertempur mati-matian.
Matahari telah mulai bersembunyi di balik pohon-pohon dan hawa mulai terasa dingin.
Setelah melepaskan penat, Ling Ling bangkit kembali, dan Sian Lun menegurnya.
“Hendak ke manakah, nona?”
“Ke mana lagi? Tentu ke Tiang-an!” jawaban ini terdengar penuh tantangan.
“Kalau aku jadi engkau, aku takkan melewati daerah seribu rawa di malam hari.”
“Apa maksudmu?”
“Kalau kau keluar dari hutan ini, kau akan tiba di daerah yang penuh dengan rawa-rawa yang
amat berbahaya. Tidak saja banyak sekali rawa-rawa yang tertutup rumput dan merupakan
perangkap maut yang mengerihkan, bahkan di situ juga banyak sekali terdapat binatangbinatang
berbisa. Tak mungkin ada orang dapat melalui tempat itu di waktu malam!”
Ling Ling adalah seorang gadis yang keras hati, keras kepala, dan bandel. Apalagi yang
mengeluarkan kata-kata tadi adalah seorang pemuda yang menjadi musuhnya, pemuda yang
“dibencinya”, tentu saja ia tidak sudi untuk mentaati nasehatnya. Ia teringat akan daerah
berawa ini, karena dulu ia pernah lewat di daerah ini.
“Aku tidak takut!” katanya dan cepat ia berlari pergi. Ketika ia keluar dari hutan itu, tibalah ia
di daerah penuh rawa itu, nampak gelap, sunyi dan menyeramkan. Matahari telah lenyap,
terganti oleh malam yang remang-remang, dengan pohon-pohon besar menjulang dan jurang
di sana-sini, seperti raksasa-raksasa setan menanti kedatangannya penuh ancaman.
Tak terasa lagi Ling Ling merasa ngeri juga dan ia menengok ke belakang. Dari jauh, nampak
sosok tubuh orang merupakan bayang-bayang yang bergerak ke arahnya. Ia terkejut, akan
tetapi setelah bayangan itu mendekat, ia mengenal itu sebagai bayangan Sian Lun.
Ling Ling merasa girang sekali, akan tetapi hanya untuk sebentar. Siapa orangnya yang
takkan merasa girang kalau melihat seorang yang telah dikenalnya dalam malam yang
menyeramkan di daerah yang mengerihkan itu, sungguhpun orang itu seperti Sian Lun
sekalipun.
Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa girangnya ini dan berganti merasa gemas. Ia ingin
berlari secepatnya, akan tetapi tidak mungkin melakukan hal ini dalam daerah yang demikian
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 136
berbahaya. Ia maklum bahwa tanah berlumpur yang membentang luas di depannya itu belum
tentu tanah keras, dan kalau sekali kakinya terjeblos ke dalam rawa yang tertutup rumput,
akan celakalah dia.
Sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya dan mereka berdua berjalan tanpa mengeluarkan
sepatahpun kata, tanpa saling pandang, bagaikan dua bayangan setan berkeliaran di daerah
menyeramkan itu.
“Gadis bandel!” tiba-tiba Sian Lun berkata perlahan. Ia marah dan mendongkol sekali. Akan
tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya diam-diam tersenyum di dalam gelap. Telah berkalikali
ia dibikin mendongkol dan marah oleh pemuda ini, dan kali ini ia merasa girang dapat
membalas dendam dan membuat Sian Lun marah dan mendongkol.
Pemuda ini, sudah beberapa kali lewat di daerah ini, maka ia lebih hafal akan liku-liku jalan
di situ, tahu di mana letaknya rawa-rawa yang berbahaya. Akan tetapi ia diam saja dan hanya
menurut ke mana Ling Ling memilih jalan. Ia maklum bahwa gadis itu telah tersasar dan
salah jalan, akan tetapi ia diam saja.
Setelah berjalan tersaruk-saruk dan bulan telah muncul, menambah keseraman tempat itu,
belum juga mereka dapat keluar dari daerah liar ini, bahkan tiba-tiba Ling Ling menahan
kakinya dan melompat mundur. Hampir saja ia celaka, karena ketika kakinya menyentuh
rumput di depannya, ternyata bahwa di bawah rumput itu terdapat lumpur. Baiknya ia berlaku
hati-hati, kalau tidak tentu ia akan terjeblos ke dalam lumpur dan berbahaya.
Ling Ling melompat ke belakang bagaikan diserang ular. Ia berjalan ke kanan, akan tetapi
baru beberapa belas tindak kembali ia menghadapi lumpur berumput. Ke kiri tidak mungkin,
karena di sana membentang jurang yang amat dalam. Untuk kembali? Ah, bagaimana ia harus
kembali melalui jalan tadi yang demikian jauhnya? Ia berdiri termenung dengan bingung.
“Kita telah salah jalan,” kata Sian Lun dengan suara tenang, akan tetapi mengandung
kegembiraan, karena diam-diam ia mentertawakan gadis itu.
Ling Ling cemberut. “Kau sudah tahu dari tadi?”
“Tentu saja aku tahu,” jawab pemuda itu.
“Kurang ajar! Kalau sudah tahu mengapa diam saja? Mengapa kau membiarkan kita tersesat
ke jalan buntu ini?”
“Kuberitahu juga kau takkan percaya omonganku, apa perlunya? Biarlah, gadis kepala batu
seperti engkau perlu sewaktu-waktu mendapat hajaran.”
“Tutup mulutmu! Siapa suruh kau mengikuti perjalananku? Kau pergilah dan biarkan aku
sendiri!” Suara yang marah ini mengandung isak yang ditahan.
Akan tetapi Sian Lun tidak menjawab, bahkan ia lalu mengumpulkan daun-daun kering dan
memanjat pohon untuk mengambil ranting-ranting kering. Ditumpuknya daun dan ranting itu
di situ lalu ia membuat api unggun.
“Pergi!” seru Ling Ling. “Mengapa kau tidak mau pergi? Aku tidak ingin ditemani!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 137
“Di sini bukan tempat milikmu, di sini daerah rawa, tiada pemiliknya. Siapa saja boleh
bermalam di sini. Kau suruh aku pergi ke mana? Kembali ke jalan tadi, mungkin akan tersasar
ke tempat yang lebih berbahaya lagi. Tahukah kau bahwa tak jauh dari sini terdapat daerah
yang penuh dengan ular-ular kecil berbisa? Bagaimana kau dapat melawan ular-ular kecil
yang tiba-tiba menyerang kakimu dari dalam gelap? Sekali saja kena gigitan seekor ular itu,
tubuh kita akan menjadi kaku dan bengkak-bengkak, nyawa takkan tertolong lagi. Ke mana
aku harus pergi? Aku akan bermalam di sini dan besok kalau sudah terang tanah, barulah
dapat kita keluar dari neraka ini.”
Meremang bulu tengkuk Ling Ling mendengar cerita tentang ular-ular berbisa itu. Padahal
cerita ini amat dilebih-lebihkan oleh Sian Lun. Dengan jengkel sekali Ling Ling duduk di
bawah pohon di mana Sian Lun mengambil ranting-ranting tadi dan ia memandang kepada
pemuda itu yang mengatur ranting dan daun yang mulai bernyala.
Kemudian Sian Lun duduk menghadapi Ling Ling. Untuk beberapa lama mereka diam saja
dan agaknya di dalam cahaya api unggun yang suram itu, Sian Lun lebih berani memandang
dan menatap wajah gadis itu lebih lama. Karena di dalam keadaan yang agak gelap ini, sinar
mata gadis itu yang luar biasa tajamnya tidak begitu menikam pandang matanya.
“Jadi kau adalah ahli waris dari Panglima Besar Kam Kok Han?” tanya Sian Lun kemudian.
“Ya,” jawab Ling Ling singkat.
“Jadi kau she Kam?”
“Bukan,” kembali jawaban yang singkat sekali.
Sunyi kembali sampai lama. Sian Lun merasa heran melihat keadaan gadis yang menarik
perhatiannya ini. Seorang gadis yang keras hati dan galak, seakan-akan telah mengeras dalam
rendaman air pengalaman yang pahit getir.
Siapakah dia ini? Ada hubungan apakah dengan Kwee Siong? Betapapun juga, ia seorang
gadis patriot yang gagah perkasa, dan seorang yang berpribudi tinggi. Buktinya, gadis yang
pernah bermusuhan dengan Pek-sim-kauw ini, akhirnya di dalam perjuangan bahkan menjadi
pemimpin pasukan Pek-sim-kauw yang amat terkenal dan ditakuti musuh.
“Nona, aku telah mendengar bahwa namamu Ling Ling, akan tetapi siapakah shemu?”
Hampir saja Ling Ling menjawab untuk mengaku terus terang, akan tetapi ia teringat bahwa
pengakuannya ini akan membuka rahasianya bahwa ia adalah puteri Kwee Siong. Ia tidak
mau pemuda ini mengetahui bahwa dia adalah puteri Kwee Siong, maka ia lalu menutup
kembali bibinya yang sudah hampir digerakkan.
“Nona, mengapa kau diam saja? Apakah terlalu kurang ajar pertanyaanku tadi?” setelah
menanti agak lama Sian Lun berkata lagi.
“Sudahlah, jangan banyak tanya,” akhirnya Ling Ling menjawab juga, “aku lelah dan
mengantuk, hendak tidur!” Sambil berkata demikian, gadis itu berdiri dan hendak pergi
menjauhkan diri dari tempat itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 138
“Eh, nona, mengapa pergi? Mau tidur, tidurlah saja di sini, di bawah pohon dekat api unggun.
Biarlah aku yang pergi menjauhkan diri kalau kau tidak ingin berdekatan dengan aku.”
Akan tetapi Ling Ling menoleh sambil berkata, “Aku tidak biasa tidur dalam terang api.
Menyilaukan mata. Padamkanlah api unggunmu yang menyilaukan itu!”
“Mana bisa dipadamkan? Api ini mengusir binatang-binatang kecil yang mengganggu kita.
Dan pula, hawa malam begini dingin.” Sian Lun membantah.
Ling Ling membanting-banting kakinya. “Kalau begitu, mengapa kau menawarkan tempat itu
kepadaku? Kau selalu membantah dan membawa kehendak sendiri. Keras kepala!” Gadis ini
dengan marah lalu menjahui tempat itu, berjalan kembali ke jalan tadi, kemudian merebahkan
diri di bawah pohon berikutnya, tak jauh dari tempat Sian Lun.
Ia dapat melihat pemuda itu berdiri di dekat api unggun sambil memandang ke arahnya. Akan
tetapi Ling Ling tidak perduli, membuka buntalan pakaiannya dan segera duduk bersandar ke
pohon dan menyelimuti tubuhnya dengan sebuah mantelnya.
Gadis aneh, pikir Sian Lun sambil duduk bersandar pohon itu, .....aneh, galak, akan tetapi
amat manis dan menarik hati........
******
Pada keesokan harinya, Ling Ling bangun dari tidurnya dengan tubuh lemas. Ia hampir tak
dapat tidur malam itu karena benar saja, banyak nyamuk yang mengganggunya. Ia telah
menutupi seluruh tubuhnya, akan tetapi nyamuk di daerah rawa itu benar-benar bandel.
Binatang-binatang kecil itu dapat menggigitnya melalui mantelnya dan mukanya menjadi
sasaran. Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi ia merasa malu untuk membuat
api unggun seperti Sian Lun.
Ketika pada pagi hari itu ia hendak melanjutkan perjalanan dengan diam-diam tanpa memberi
tahu kepada pemuda itu, ternyata bahwa Sian Lun telah mendahuluinya dan datang
mendekatinya.
“Enak tidur?” tanya pemuda ini sambil tersenyum. Panas hati Ling Ling mendengar
pertanyaan ini yang dianggapnya seperti olok-olok karena tidak tahukah pemuda itu betapa ia
menderita gangguan nyamuk? Ia sama sekali tidak tahu bahwa juga Sian Lun tidak tidur
malam itu, sungguhpun bukan karena gangguan nyamuk, akan tetapi gangguan hati sendiri
yang mulai jatuh cinta kepadanya.”
“Kau yang enak tidur!” jawabnya mendongkol. “Bagaimana aku dapat tidur di tempat seperti
neraka ini?”
“Nona, harap kau jangan terlalu mencurigaiku. Kalau saja kau menurut kata-kataku, tentu kau
tidak akan mengalami kekecewaan. Aku lebih hafal akan jalan-jalan di sini dan percayalah,
aku akan membawamu ke Tiang-an, dan takkan kuhalangi segala tindakanmu kecuali kalau
sudah sampai di kota itu.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 139
Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi ia tidak membantah dan mengikuti pemuda itu ketika
Sian Lun mengajaknya keluar dari daerah rawa itu. Mereka berjalan kembali ke jalan yang
kemaren kemudian membelok ke kanan dan selanjutnya Sian Lun yang menjadi penunjuk
jalan.
Mereka melakukan perjalanan bersama, merupakan pasangan yang amat sedap dipandang
karena mereka sama-sama muda, gagah dan elok. Akan tetapi, di sepanjang jalan mereka
tidak pernah, atau jarang sekali bicara.
Ling Ling merasa betapa tubuhnya terasa tidak enak sekali dan kepalanya kadang-kadang
pening. Akan tetapi tentu saja ia tidak sudi memperlihatkan keadaannya kepada Sian Lun.
Ia mengira bahwa ia terlampau lelah dan kurang tidur, dan ia tidak mau menyatakan
kelemahannya terhadap Sian Lun. Padahal sebetulnya ia telah terserang oleh bisa gigitan
nyamuk-nyamuk malam tadi.
Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah dusun dan Sian Lun yang melihat betapa
gadis itu wajahnya pucat dan penuh keringat lalu berkata.
“Kita beristirahat dulu dan mengisi perut.”
“Aku tidak ingin makan!” bantah Ling Ling.
“Ingat, nona. Aku yang menjadi penunjuk jalan dan sekarang aku merasa lapar dan lelah. Kau
pun nampak lelah, mengapa berkeras kepala?”
“Kau yang keras kepala!” kata Ling Ling merengut, akan tetapi ia mengikuti pemuda itu yang
melangkah masuk ke dalam sebuah restoran.
“Dua bubur, bebek tim dan air teh.” Sian Lun memesan kepada seorang pelayan yang
menghampiri mereka. Pelayan itu mengangguk dan pergi ke belakang untuk menyediakan
pesanannya.
“Aku tidak suka bubur dan bebek tim, apalagi air teh!” Ling Ling membantah. “Aku ingin
daging dan arak!”
“Dalam keadaan seperti ini, tidak baik makan daging dan minum arak, nona. Kesehatanmu
bisa terganggu.”
Ling Ling dengan mata melotot, akan tetapi dalam pandangan Sian Lun, ia nampak makin
cantik dan menarik kalau sedang marah.
“Kau kira aku anak kecil yang harus menurut segala omonganmu? Aku mau daging dan
arak!” kata Ling Ling.
“Ssst, nona. Banyak orang di sini, tidak malukah kalau kita cekcok di sini?” kata Sian Lun
berbisik perlahan. Ling Ling mengerling ke kanan kiri dan melihat para tamu restoran yang
duduk di meja lain memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka disangka
sepasang suami isteri yang sedang bertengkar.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 140
Terpaksa Ling Ling mengalah, akan tetapi ia mendongkol sekali.
“Aku tidak sudi makan pesananmu!” bisiknya dengan gigi terkatup. Sian Lun tidak
menjawab.
Akan tetapi, ketika masakan yang dipesan tadi dihidangkan oleh pelayan, tanpa berkata
sesuatu Ling Ling lalu makan bubur dan bebek tim itu, bahkan lebih lahap dari pada Sian
Lun. Pemuda ini diam-diam merasa geli sekali, akan tetapi ia tidak memperlihatkan
perasaannya, hanya diam-diam memberi tanda kepada pelayan untuk menambah bubur.
Ling Ling tidak berkata dan makan sampai kenyang betul. Ia merasa tubuhnya menjadi segar
kembali dan diam-diam ia merasa bersyukur atas pilihan makanan pemuda itu. Ia tahu bahwa
permintaannya untuk makan daging dan arak tadi hanya timbul dari hatinya yang keras,
karena sesungguhnya ia tidak begitu doyan minum arak yang membuatnya pening dan merasa
muak.
Ketika mereka keluar dari restoran itu, tiba di depan mereka, di luar restoran, berdiri seorang
tosu yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar. Kedua orang muda itu memandang
dengan mata curiga, akan tetapi tosu ini dengan tersenyum-senyum memandang kepada
mereka, seakan-akan sedang menyelidik.
Tiba-tiba matanya yang bundar itu memandang ke arah gagang pedang yang tergantung di
pinggang Ling Ling dan senyumnya menghilang. Sinar matanya cepat dialihkan dan kini
menatap wajah Ling Ling dengan pandang mata yang membuat gadis itu terkejut sekali,
karena pandangan ini penuh dengan ancaman.
“Di mana kau peroleh pedang itu?” tanyanya kepada Ling Ling dengan suaranya yang
mengguntur sehingga para tamu di dalam restoran itu memandang keluar dengan heran.
“Mau apa kau banyak tanya?” jawab Ling Ling dengan suara yang tak kalah keras dan
nyaringnya. Memang, untuk membuat ia jangan sampai kalah muka, gadis ini telah
mempergunakan khikangnya sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergema keras.
bab 17.....
Tosu itu tertegun dan maklum akan demonstrasi khikang ini. Ia merobah sikapnya dan
berkata,
“Hm, kiranya kalian adalah orang-orang muda dari kang-ouw pula. Pinto bertanya bukan
tiada alasan. Pedang itu tentu Oei-hong-kiam, bukan? Ketahuilah bahwa Oei-hong-kiam
adalah pedangku, sudah sepuluh tahun berada di tanganku.
Kemudian kuberikan kepada muridku dan kumendengar bahwa muridku telah tewas dan
pedang itu telah terampas oleh lawannya. Karena itu, ku ulangi lagi, dari mana kau
memperoleh pedang Oei-hong-kiam itu, nona?”
“Akulah yang memberi pedang itu kepadanya, totiang,” Sian Lun mendahuluinya menjawab.
Pemuda ini maklum akan kekerasan hati nona itu, maka sebelum Ling Ling mengeluarkan
ucapan kasar, ia mendahuluinya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 141
Mendengar ucapan ini, tosu itu lalu berpaling dan kini pandang matanya menatap wajah Sian
Lun dengan tajam.
“Kau? Siapa kau? Darimana kau peroleh pedang itu?”
“Aku memperolehnya dari seorang lawanku yang tewas.”
“Aha, jadi kaulah yang telah membunuh muridku Kwan Sun Giok? Bagus, kau berani sekali
mengganggu murid dari Liang Hwat Cinjin? Kau mencari mampus!”
Bukan main kagetnya Sian Lun mendengar ucapan ini, apalagi ketika tiba-tiba sepasang
tangan tosu itu yang tertutup oleh lengan baju yang panjang dan lebar, telah menyambarnya
dengan kecepatan luar biasa sekali, melakukan totokan dengan ujung lengan baju ke arah
jalan darahnya yang berbahaya.
Sian Lun cepat membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik di udara beberapa kali,
baru ia turun dan kini ia berdiri agak jauh dari tosu itu.
“Bagus, kau ternyata pandai juga. Pantas muridku kalah!” Sambil berkata demikian, kembali
ia mengebutkan kedua tangannya ke depan, tanpa melangkah maju. Inilah pukulan Kim-kongjiu
yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh, sebuah pukulan yang dilakukan
mengandalkan tenaga khikang yang amat tinggi.
Sian Lun semenjak tadi telah merasa ragu-ragu dan khawatir sekali. Kalau benar keterangan
Kwan Sun Giok dahulu, kakek ini sebetulnya masih supeknya (uwa gurunya) sendiri, maka
bagaimana ia berani melawannya? Ia tidak mengelak dari sambaran pukulan Kim-kong-jiu
itu.
Sebaliknya ia lalu mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan telapak terbuka,
mengerahkan khikang dan lweekang dan melakukan gerakan Raja Monyet Menyembah
Buddha. Gerakan ini adalah pelajaran dari ilmu silat Pek-sim-kun-hoat yang ia terima dari
Liang Gi Cinjin dan karena telah lama pemuda ini mendapat gemblengan ilmu lweekang dari
Beng To Siansu, maka tenaga dalamnya sudah cukup kuat sehingga ia berhasil menolak
kembali pukulan Kim-kong-jiu itu.
Liang Hwat Cinjin terkejut bukan main, tidak hanya karena melihat pemuda itu dapat
menolak pukulannya, akan tetapi terutama sekali melihat cara pemuda itu menolak pukulan
tadi.
“He, dari mana kau memperoleh gerakan See-ceng-pai-hud tadi? Ada hubungan apakah kau
dengan suteku Liang Gi Cinjin?”
Sian Lun adalah seorang pemuda yang terpelajar dan memegang keras peraturan kesopanan
antara hubungan guru dan murid. Mendengar pertanyaan ini, terpaksa ia lalu menjatuhkan diri
berlutut dan berkata,
“Maaf, supek. Teecu adalah murid dari suhu Liang Gi Cinjin.”
Liang Hwat Cinjin tertegun. “Apa? Kau murid dari Liang Gi? Dan kau yang membunuh
muridku Kwan Sun Giok dan yang merampas pedangnya?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 142
“Teecu terpaksa, supek, karena dia menjadi panglima dari pasukan Sui, adapun teecu
membantu perjuangan Jenderal Li Goan. Di dalam perang, tentu saja tidak ada hubungan
antara saudara. Harap supek sudi mempertimbangkan dan memaafkan teecu.”
“Bedebah!” tiba-tiba tosu itu memaki dengan kasar sekali sehingga mengejutkan semua orang
yang mulai menonton pertengkaran itu. “Kau sudah berani membunuh suhengmu sendiri,
hendak kulihat apakah kau berani pula melawan supekmu?”
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan hendak memukul Sian Lun yang tidak
bergerak dari tempatnya berlutut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Tosu keparat! Sekarang kaulah yang harus menjawab dari mana kau mendapatkan pedang
ini!”
Karena Ling Ling mengeluarkan kata-kata ini sambil menggerakkan pedangnya di depan tosu
itu untuk menghalanginya memukul Sian Lun, Liang Hwat Cinjin terpaksa menarik kembali
tangannya dan ia memandang kepada Ling Ling dengan marah dan mendongkol sekali.
“Gadis liar, siapakah kau? Berani sekali kau berlaku kurang ajar dihadapan Kim-kong Lokoai
(Setan Tua Sinar Mas).”
Mendengar tosu itu menyebutkan julukannya yang menyeramkan, Ling Ling tersenyum
mengejek dan berkata, “Aku adalah Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa),
mengapa harus takut berhadapan dengan setan tua yang sudah hampir mampus. Kau bilang
tadi bahwa pedang Oei-hong-kiam ini adalah pedangmu, ternyata kau telah berkata bohong
besar.”
Sampai pucat wajah Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan yang disertai makian ini. Belum
pernah selama hidupnya ada orang yang berani bersikap demikian kurang ajar kepadanya.
“Bocah yang bosan hidup! Kau berani bilang aku membohong?”
“Tentu saja kau bohong, karena setahuku, pedang Oei-hong-kiam adalah pedang pusaka milik
Panglima Besar Kam Kok Han!”
Berobahlah wajah Liang Hwat Cinjin mendengar nama ini disebut. “Hm, dari mana kau tahu
akan hal ini? Memang benar, Kam Kok Han telah mampus ditanganku dalam
pemberontakannya dan pedang ini terjatuh ke dalam tanganku, bukankah itu berarti bahwa
pedang Oei-hong-kiam menjadi pedangku?”
“Bagus, bangsat tua! Sudah lama aku mencari-cari kau untuk membalas dendam sucouw
(kakek guru)!” Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu menyerang dengan tusukan
pedangnya.
Liang Hwat Cinjin terheran mendengar ini, akan tetapi ia cepat mengelak sambil
mengebutkan ujung lengan bajunya. Ketika ujung lengan baju itu mengenai pedang, terdengar
suara gemericing nyaring dan tergetarlah tangan Ling Ling.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 143
Gadis ini terkejut sekali maklum bahwa kepandaian kakek ini benar-benar amat lihai dan
masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi Ling Ling tentu saja
tidak merasa takut sedikitpun juga, apalagi karena pada saat itu ia sedang merasa marah dan
sakit hati sekali melihat orang yang dimaksudkan oleh pesanan Bu Lam Nio.
Inilah pembunuh suami Bu Lam Nio, dan orang inilah yang harus ia tewaskan untuk
membalas dendam Bu Lam Nio dan Kam Kok Han. Maka ia lalu menyerbu lagi dan
mengeluarkan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut sebaik-baiknya.
“Hoho! Jadi kau sudah mewarisi Kim-gan-liong Kiam-sut dari Kam Kok Han? Bagus, bagus,
mari pinto antar kau menyusul sucouwmu si pemberontak itu!”
Setelah berkata demikian, Liang Hwat Cinjin lalu menggerakkan kedua lengan bajunya secara
istimewa sekali. Dari kedua ujung lengan bajunya keluar angin pukulan yang dahsyat, yang
membuat pakaian para penonton yang berada di tempat jauh ikut berkibar dan yang membuat
Ling Ling merasa seakan-akan menghadapi serangan angin ribut.
Biarpun gadis ini telah memiliki lweekang yang cukup tinggi sehingga ia tidak terpengaruh
oleh hawa pukulan yang hebat ini, namun tetap saja kedua matanya terasa pedas dan
hidungnya terasa sukar untuk bernapas ketika tertiup oleh hawa gerakan tosu yang lihai itu.
Inilah ilmu silat Soan-hong-kim-ko-jiu yang amat lihai dari Liang Hwat Cinjin.
Dulu ketika ia menghadapi Kam Kok Han di waktu mudanya, ia telah berhasil pula
merobohkan panglima kosen itu.dengan Soan-hong-kim-ko-jiu ini. Dan sekarang dengan ilmu
pukulan ini pula ia telah membuat Ling Ling menjadi bingung sekali dan terdesak hebat.
“Supek, jangan celakakan dia!” terdengar Sian Lun berseru berulang-ulang, dan ketika
supeknya tidak memperdulikan teriakannya, dan melihat betapa Ling Ling nampak makin
lama makin lemah gerakan pedangnya, Sian Lun lalu mencabut pedang Pek-hong-kiam dan
melompat maju, menyerbu ke dalam kalangan pertempuran yang hebat itu.
“Ha, ha, ha! Jadi kau membela gadis ini? Agaknya dia adalah kecintaanmu, baik, ....baik!
Akan kuantar kalian berdua menjumpai Kwan Sun Giok muridku di alam baka!”
Kini pertempuran menjadi makin hebat. Gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu benarbenar
hebat. Biarpun ujung lengan baju itu hanya terbuat dari pada bahan kain yang tidak
berapa tebalnya, namun karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan menurut
aturan dari ilmu silat luar biasa Soan-hong-kim-ko-jiu, maka lengan baju itu merupakan
senjata yang luar biasa berbahayanya.
Biarpun, berkali-kali bertemu dengan pedang-pedang pusaka seperti Oei-hong-pokiam dan
Pek-hong-pokiam, namun ujung lengan baju itu tidak menjadi putus bahkan tangan kedua
orang muda itu terasa kesemutan seakan-akan pedang mereka bertemu dengan benda yang
amat keras dan kuatnya.
Makin lama makin banyak orang yang menonton pertempuran ini, dan semua orang tidak
berani mendekat, menonton dari jarak jauh sambil menahan napas. Memang pertempuran itu
amat indah dilihat. Pedang di tangan Sian Lun menjadi segulung sinar putih yang cepat dan
kuat, sedangkan pedang di tangan Ling Ling berobah menjadi segulung sinar kuning yang
amat ganas.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 144
Adapun lengan baju Liang Hwat Cinjin kadang-kadang terbuka lebar merupakan awan-awan
putih yang bergulung-gulung tertiup angin, sehingga nampaknya karena tubuh ketiga orang
itu tidak kelihatan lagi, seakan-akan yang bermain di situ adalah seekor naga kuning dan
seekor naga putih yang bermain-main di antara mega-mega yang tertiup angin.
Liang Hwat Cinjin merasa penasaran sekali dan diam-diam ia mengagumi ilmu pedang Sian
Lun. Pantas saja Kwan Sun Giok, muridnya itu tidak dapat menang, tidak tahunya pemuda itu
sudah hampir mewarisi seluruh kepandaian sutenya, Liang Gi Cinjin.
Seratus jurus telah lewat dan tosu itu tetap belum dapat mengalahkan kedua orang lawan
mudanya, sungguhpun kedua orang muda itu telah terdesak hebat oleh kedua lengan bajunya.
Bahkan Ling Ling nampak pucat sekali dan keringat telah membasahi jidatnya.
Gadis ini memang telah merasa tidak enak badan dan kini karena ia mengerahkan seluruh
tenaganya, ia merasa kepalanya pening dan tubuhnya panas bagaikan terbakar. Hanya
semangat dan keberaniannya yang luar biasa sajalah yang membuat ia masih kuat melakukan
pertempuran hebat itu.
Pada saat itu terdengar seruan. “Kim-kong Lo-koai, kau memang jahat sekali!” Dan tiba-tiba
seorang tosu tua berkelebat datang dan menggunakan sebatang tongkat bambu menyerbu dan
menyerang Liang Hwat Cinjin.
“Beng Kui Tosu, kau mau ikut-ikut?” Liang Hwat berseru marah, akan tetapi diam-diam ia
mengeluh karena dengan adanya tosu tua yang amat tangguh ini, ia merasa tak sanggup
melawan terus. Tadipun menghadapi Ling Ling dan Sian Lun, biarpun ia selalu dapat
mendesak, namun kegesitan tubuh kedua orang muda itu telah membuat kepalanya pening
dan sukar baginya untuk merobohkan seorang di antara mereka.
Kini tertambah pula oleh Beng Kui Tosu, tokoh dari Kun-lun-san yang kepandaiannya tinggi
juga, tentu saja berat baginya menghadapi keroyokan ketiga orang ini. Biarpun tingkat
kepandaian Beng Kui Tosu tidak lebih tinggi dari pada kepandaian Ling Ling atau Sian Lun,
namun tosu ini telah banyak pengalaman dalam pertempuran dan oleh karenanya bambu di
tangannya itu tidak kalah lihainya dari pada pedang pusaka di tangan Sian Lun atau Ling
Ling.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di antara para penonton, “Dia Liem-ciangkun! Hayo
keroyok tosu siluman itu!” Dan banyak orang datang dengan senjata di tangan, siap
mengeroyok Liang Hwat Cinjin.
Ternyata mereka itu adalah bekas pejuang-pejuang atau pemberontak-pemberontak yang
mengenal Liem Sian Lun sebagai pemimpin mereka ketika dahulu menyerbu ke Tiang-an.
Melihat gelagat tidak baik, Liang Hwat Cinjin tertawa bergelak dan tubuhnya melompat cepat
sekali dan lenyap dari pandangan mata.
Sian Lun lalu menghampiri Beng Kui Tosu dan berlutut.
“Suhu, terima kasih atas pertolongan suhu.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 145
Akan tetapi Beng Kui Tosu setelah mengelus-elus kepala bekas muridnya ini lalu berkata,
“Lihat, Sian Lun, nona ini agaknya sakit.”
Sian Lun terkejut sekali dan cepat menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Ling Ling
berdiri sambil meramkan mata.
Wajahnya pucat sekali dan tiba-tiba gadis itu menjadi limbung, pedangnya terlepas dari
tangannya dan ia tentu sudah roboh kalau Sian Lun tidak cepat-cepat melompat dan
memeluknya. Sementara itu, beberapa belas orang bekas anak buahnya sudah merubungnya
dan di antaranya berkata,
“Liem-ciangkun, marilah bawa nona itu ke rumahku untuk dirawat.”
Beramai-ramai mereka lalu menuju ke rumah orang she Thio yang peramah itu. Ling Ling
dipondong oleh Sian Lun yang merasa amat gelisah karena tubuh gadis itu ternyata amat
panas bagaikan api.
Untung sekali bahwa pendeta Kun-lun-pai ini, yaitu Beng Kui Tosu, paham akan ilmu
pengobatan. Setelah memeriksa nadi tangan Ling Ling dan merabah jidatnya, pendeta ini lalu
berkata perlahan,
“Ah, dia tidak terkena pukulan dan tidak terluka, hanya menderita demam akibat gigitan
nyamuk berbisa!”
“Memang malam tadi kami berdua bermalam di tepi rawa, suhu.”
Beng Kui Tosu mengangguk-angguk maklum. “Tidak apa, tak usah gelisah, ada obatnya
untuk penyakit ini.” Ia lalu menulis resep dan minta seorang di antara bekas anak buah Sian
Lun untuk mencarikan obat itu di toko obat. Orang she Thio itu sendiri lalu pergi ke kota yang
berdekatan untuk membeli obat di toko obat.
“Penyakitnya tidak berbahaya,” kata tosu itu kepada Sian Lun, “dengan rawatan dan istirahat,
kau beri minum obat itu selama beberapa hari saja akan sembuh. Siapakah nona ini dan
mengapa pula kau sampai bertempur melawan Kim-kong Lo-koai yang lihai?”
Dengan singkat Sian Lun menuturkan pengalamannya. Tosu itu mengangguk-angguk lalu
berkata,
“Nona ini ilmu pedangnya hebat sekali. Agaknya cocok kalau bisa menjadi jodohmu, Sian
Lun.”
Pemuda itu hanya menunduk dengan muka merah. Kemudian tosu itu lalu berpamit untuk
melanjutkan perantauannya, karena tosu Kun-lun-pai ini memang seorang perantau yang tiada
tentu tempat tinggalnya.
Dengan amat teliti dan sabar, Sian Lun merawat Ling Ling hingga empat hari kemudian
setelah sembuh, gadis ini merasa amat terharu dan berterima kasih. Akan tetapi, ia merasa
malu untuk memperlihatkan perasaannya, hanya kini ia tidak marah-marah lagi kepada Sian
Lun.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 146
“Kau baik sekali, Liem-ciangkun. Mengapa kau sebaik itu kepadaku?” hanya inilah
ucapannya ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri memberi obat
minum kepadanya.
“Nona, kau adalah seorang gagah yang berbudi tinggi dan telah berjasa dalam perjuangan.
Kita boleh dibilang orang-orang segolongan dan kebetulan sekali kita melakukan perjalanan
yang sama, mengalami bahaya yang sama serta bertemu dengan Liang Hwat Cinjin yang
berbahaya. Mengapa aku tidak akan merawatmu? Tak usah bicara tentang kebaikan, karena
kalau aku yang tertimpa malapetaka, aku percaya penuh bahwa kaupun takkan tega
meninggalkan aku begitu saja.”
“Belum tentu,” kata Ling Ling sambil menghindari pandang mata pemuda ini. “Aku, ......aku
keras hati dan keras kepala.”
Sian Lun tersenyum. Dia sendirilah yang menyebut keras hati dan keras kepala kepada gadis
itu.
“Apa kau kira aku tidak keras kepala? Kita sama saja, nona, dan ..... haruskah kita bersikap
seperti orang yang belum saling mengenal? Tak enak sekali mendengar kau menyebut
ciangkun kepadaku. Di dalam barisan mungkin aku seorang panglima, akan tetapi di luar
barisan, aku hanyalah Liem Sian Lun, orang biasa saja.”
Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya melengoskan muka untuk menyembunyikan
mukanya, akan tetapi pemuda itu telah melihat betapa air mata mengucur deras dari sepasang
mata gadis itu.
“Nona...... Ling Ling..... kau mengapakah?” bisiknya perlahan.
Gadis ini dalam keadaan sakit teringat akan nasibnya, teringat akan ibunya yang sudah
meninggal dunia, teringat pula akan ayahnya, orang yang sesungguhnya akan menjadi orang
satu-satunya yang dapat diminta tolong, menjadi tempat ia berlindung, akan tetapi, ayahnya
telah menjadi ayah orang lain dan ia hanya akan menjadi anak tiri.
Selama hidupnya, baru dua orang yang menaruh hati kasih sayang kepadanya, yang
memperhatikan dan mengurusnya, yakni neneknya dan ibunya. Bu Lam Nio dan ibunya telah
meninggalkannya. Dan sekarang, dalam keadaan sebatang kara, seorang diri tiada orang lain
yang dapat dimintai tolong, ia jatuh sakit dan mendapatkan perawatan yang demikian baiknya
dari seorang yang “dibencinya” !”
Mengingat akan hal ini dan mendengar pertanyaan pemuda itu yang diucapkan dengan penuh
perhatian, tak terasa lagi Ling Ling menangis tersedu-sedu. Baru kali ini dia menangis terisakisak
dengan hati serasa diperas-peras.
“Kau..... kau terlalu baik padaku..... Liem-ciangkun, keluarlah...... keluarlah, tinggalkan aku
sendiri.....” tangis Ling Ling menjadi-jadi.
“Akan tetapi minumlah dulu obat ini, nona.” Sian Lun mendekatinya sambil memegang
mangkok berisi obat.
“Biarkan saja, aku dapat minum sendiri. Keluarlah, Liem-ciangkun ......
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 147
Sian Lun menarik napas panjang. Sungguh ia tidak dapat mengerti akan sikap gadis ini.
“Kau masih lemah, nona. Tak dapat minum sendiri. Biarlah aku menyuruh enso Thio ke sini.”
Setelah meletakkan mangkok obat itu ke atas meja, Sian Lun lalu keluar dan memanggil
nyonya Thio. Nyonya rumah ini amat peramah seperti suaminya, dan ia segera masuk ke
dalam kamar gadis itu.
“Nona, minumlah obat ini agar kau lekas sembuh.”
Dibantu oleh nyonya Thio, Ling Ling bangun duduk dan minum obat ini. “Terima kasih enci,
kau benar-benar baik sekali. Aku berhutang budi kepadamu.”
“Hush, mengapa bicara tentang budi? Kalau mau bicara tentang budi, kau harus ingat kepada
Liem-ciangkun. Dialah yang merawatmu selama ini, dia lupa makan, lupa tidur
mengkhawatirkan keadaanmu.”
Ling Ling memandang kepada nyonya itu dengan air mata berlinang. “Benarkah, enci?”
“Mengapa tidak benar? Liem-ciangkun setiap malam duduk di atas bangku di luar kamarmu,
selalu menjagamu seperti seorang ayah menjaga anaknya. Ah, kau beruntung sekali
mempunyai seorang calon suami seperti dia, nona.”
Tertegun hati Ling Ling mendengar sebutan ini. Ia hendak membantah akan tetapi cepat
ditahannya. Apa gunanya membantah? Biarlah mereka mengira bahwa dia adalah calon isteri
Sian Lun, apa salahnya?
Hatinya merasa perih sekali, karena bagaimana ia bisa berjodoh dengan Sian Lun, dengan
seorang pemuda yang dibencinya? Tak mungkin seorang pemuda yang telah menduduki
pangkat sebagai panglima, seorang pemuda gagah perkasa, orang kepercayaan Jenderal Li,
sudi berjodoh dengan gadis bodoh seperti dia. Hatinya makin terasa perih, Sian Lun
merawatnya tentu bukan karena cinta kasih, melainkan karena iba hati, terdorong oleh
kebaikan budi pemuda itu.
Ah, kalau saja Kwee Siong yang menjadi suami ibunya itu tidak berhati sekejam itu. Kalau
saja Kwee Siong tidak melupakan ibunya, kalau saja ia bisa hidup sebagai puteri Kwee Siong,
akan lain lagi halnya. Tentu ia takkan merasa lebih rendah dari pada pemuda itu. Pikiran ini
membuat hatinya panas dan kemarahan serta kebenciannya terhadap Kwee Siong meluap.
Dan pada malam hari yang gelap itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, tidak diketahui pula
oleh Sian Lun yang telah tertidur saking lelahnya, diam-diam Ling Ling meninggalkan rumah
keluarga Thio itu, meninggalkan Sian Lun menuju ke Tiang-an.
Pada keesokan harinya, gegerlah dalam rumah itu. Sian Lun yang diberi tahu tentang larinya
Ling Ling, tanpa pamit lagi lalu melompat keluar dan berlari mengejar. Akan tetapi, ia telah
kalah dulu selama setengah malam, maka ia mempercepat larinya untuk menyusul gadis yang
aneh, gadis yang berhati keras, yang manis dan yang dicintainya itu.
******
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 148
Biarpun tubuhnya masih lemas, akan tetapi penyakit yang diderita oleh Ling Ling telah
sembuh sama sekali. Aneh, ketika ia memaksa dirinya berlari pada malam hari itu, makin
lama ia merasa makin sehat dan segar.
Tahulah dia bahwa kelemasan tubuhnya itu sebagian besar karena terlampau lama berbaring
dan kurang bergerak. Ia telah memiliki tubuh yang kuat, tubuh yang semenjak kecil
digembleng dengan ilmu silat tinggi, sehingga sebentar saja tenaganya telah pulih kembali,
sungguhpun ia masih merasa lemah pada kaki dan punggungnya.
Menjelang pagi, ia tiba di sebuah hutan dan beristirahat sambil mengatur pernapasannya dan
melatih lweekangnya. Kalau teringat kepada Sian Lun, ia menjadi berduka. Entah mengapa, ia
merasa sunyi dan sedih, berbeda sekali ketika ia mengadakan perjalanan bersama pemuda itu.
Ketika pemuda itu selalu berada di sampingnya, ia selalu hendak marah kepada Sian Lun,
akan tetapi setelah kini berpisah dan melakukan perjalanan seorang diri, ia merasa rindu dan
ingin sekali melihat pemuda itu berada di sampingnya. Inikah yang disebut cinta?? Ia sendiri
tidak mengerti, apakah ia merasa cinta atau benci kepada pemuda itu.
Ia melanjutkan perjalanannya, sebentar-sebentar berhenti dan pada senja hari ia tiba di luar
kota Tiang-an. Ia berhenti di sebuah dusun yang bersih dan nyaman hawanya, makan sedikit
bubur dari sebuah warung nasi, lalu menuju ke Tiang-an. Akan tetapi, malam telah tiba dan
kembali Ling Ling bermalam di sebuah hutan, di mana ia melihat sebuah kelenteng tua yang
kosong.
Pada kesokan harinya, ia melihat kelenteng itu ternyata indah sekali pemandangan sekitarnya,
dikelilingi oleh tanaman-tanaman bunga liar yang beraneka warna dan di belakang kelenteng
terdapat sebuah sungai kecil yang amat bening airnya. Tempat yang amat indah, pikirnya
dengan hati senang. Akan senanglah ia kalau tinggal di tempat seperti ini, dekat dengan kota
Tiang-an dan tak jauh dari hutan itu terdapat pula sebuah dusun yang bersih.
Ketika ia hendak berangkat ke Tiang-an untuk mencari Kwee Siong dan melakukan niatnya
membalas dendam, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil namanya.
“Ling Ling.......”
Ling Ling menengok dan tiba-tiba wajahnya berobah menjadi merah. Ia melihat Sian Lun
berdiri di depan kelenteng dengan pandangan mata sayu.
“Ling Ling, mengapa kau meninggalkan aku....?” Pemuda ini nampak pucat sekali karena
memang ia amat gelisah. Ia telah mengejar Ling Ling dan tak dapat berjalan cepat-cepat
karena ia harus mencari keterangan sepanjang jalan kalau-kalau ada orang yang melihat gadis
itu.
Ia tidak begitu yakin bahwa Ling Ling akan mengambil jalan langsung ke Tiang-an. Siapa
tahu kalau gadis itu mengambil jalan lain? Karena itulah, maka ia baru dapat menyusul gadis
itu pada pagi hari ini. Ia merasa amat khawatir kalau-kalau gadis yang baru saja sembuh dari
sakit itu akan jatuh sakit pula di tengah jalan.
“Liem-ciangkun, mengapa kau menyusulku?” Ling Ling menjawab dengan pertanyaan sambil
menundukkan mukanya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 149
“Ling Ling, mengapa kau lari dariku? Mengapa kau selalu hendak menjauhkan diri dari
padaku? Sudah sembuh benarkah engkau? Kau nampak begitu kurus dan lemah .....” Sian Lun
melangkah maju mendekat dan tak terasa lagi ia memegang kedua tangan gadis itu.
Berdebar jantung Ling Ling ketika merasa betapa tangan pemuda itu memegang tangannya
dengan mesra. Debaran jantungnya membuat telapak tangannya dingin sekali.
“Tanganmu dingin sekali, Ling Ling. Kau masih belum sehat benar. Mengapa kau memaksa
melakukan perjalanan dan pergi di malam hari? Aku benar-benar gelisah.....”
“Liem-ciangkun, jangan kau perdulikan aku lagi! Aku..... aku sebatangkara, pergi ke mana
aku suka, bagaikan seekor burung di udara..... jangan kau acuhkan aku lagi, Liem-ciangkun.”
Akan tetapi dorongan cinta kasih di dalam hati Sian Lun tak dapat ditahan lagi. Ia memegang
kedua tangan Ling Ling makin erat dan berkata dengan bibir gemetar.
“Ling Ling, tidak tahukah kau betapa aku menyintamu?”
“Apa.....?” Kedua mata Ling Ling terbelalak dan ia memandang tajam. Sungguhpun ia telah
dapat mengira akan hal ini dan telah mendengar penuturan nyonya Thio tentang rawatan
pemuda ini, namun mendengar pengakuan itu dari mulut pemuda itu sendiri, ia menjadi
terkejut juga.
“Memang, aku mencintamu, Ling Ling,” kata Sian Lun dengan ketetapan seorang perajurit,
biarpun mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah dan keringat mengalir dari jidatnya
di pagi hari yang dingin itu. “Aku sendiri tadinya tidak mengira sama sekali, kukira hanya
karena kagumku dan rasa iba hatiku kepadamu. Akan tetapi malam kemarin .... pada pagi
harinya ketika aku mendengar bahwa kau telah pergi meninggalkanku ..... aku yakin bahwa
aku takkan dapat hidup bahagia tanpa kau disampingku!”
Bab 18.....
Ling Ling tak dapat menjawab, hanya menundukkan mukanya makin dalam dan ia menangis
terisak-isak.
“Ling Ling.......” Sian Lun menarik kedua tangan gadis itu dan hendak memeluknya, akan
tetapi Ling Ling merenggutkan kedua tangannya sehingga terlepas dari pegangan Sian Lun
dan gadis ini melangkah mundur tiga tindak.
“Tidak, tidak...... jangan sentuh aku....!”
“Ling Ling.....” kata Sian Lun dengan suara sedih, “kau bilang bahwa kau hidup sebatangkara
...... tidak maukah kau ikut dengan aku dan menjadi mantu ibuku? Dia orang baik, Ling Ling,
ibuku amat baik dan tentu kau akan suka sekali kepadanya, akan kau anggap sebagai ibumu
sendiri.”
“Tidak! Tidak! Kau seorang panglima, seorang berkedudukan tinggi, sedangkan aku...... aku
seorang wanita kasar, bodoh, dan telah disebut orang sebagai...... siluman, sebagai iblis
wanita! Tahukah kau aku siapa?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 150
“Kau seorang gadis yang gagah perkasa, budiman, dan cantik jelita...... dan......”
“Aku disebut Toat-beng Mo-li, Iblis Wanita Pencabut Nyawa, juga disebut Cialing Mo-li,
Iblis Wanita Sungai Cialing! Aku seorang wanita jahat, kejam, dan tidak mengenal
prikemanusiaan!”
“Mereka itu bohong!” kata Sian Lun dengan sengit, “Akan kutampar mulut setiap orang yang
berani menyebutmu demikian, Ling Ling. Tidak dapatkah kau menerima cintaku.....?”
“Tidak, tidak mungkin......”
Apakah kau membenciku? Dan..... tidak ada sedikit jugapun rasa cinta kasih di dalam hatimu
terhadapku?” pertanyaan ini terdengar amat mengharukan sehingga kini gadis itu menutupi
mukanya dan tangisnya membuatnya tersedu-sedu. Ia tak dapat menjawab.
“Ling Ling, jawablah. Jawabanmu merupakan keputusan bagi kebahagiaan hidupku.”
Setelah tangisnya mereda, gadis itu menatap wajah pemuda itu dengan pandangan yang
berani, pandangan yang menyelidik dan tajam sekali sehingga kembali Sian Lun merasa
betapa sinar mata gadis itu tajam dan runcing bagaikan ujung pedang yang menembus
hatinya.
“Sian Lun, katakanlah, mengapa kau menyintaku? Mengapa?”
Berdebar jantung pemuda itu mendengar Ling Ling menyebut namanya begitu saja. Satu
perobahan? Akan tetapi ia harus menjawab.
“Sukar sekali mengatakannya, Ling Ling,” ia menatap gadis itu dari kepala sampai ke kaki,
“entah apamu yang membuat aku jatuh cinta. Mungkin rambutmu, matamu, hidung atau
mulutmu, mungkin pula kakimu ..... ah, aku tidak tahu. Mungkin pula watakmu yang keras,
atau kegagahanmu, entahlah. Kenyataannya, kalau kau sedang marah, kau nampak makin
menarik dalam pandangan mataku.”
Ucapan ini terdengar bagaikan lagu dari tujuh sorga di dalam telinga Ling Ling, membuatnya
menutupkan kedua mata untuk beberapa lamanya. Alangkah merdu suara pemuda itu, ingin ia
mendengar terus menerus ucapan itu, mendengar selama hidupnya. Akan tetapi ia memaksa
diri merenggutkan semangatnya yang sudah terayun oleh gelombang rayuan ini.
“Sian Lun, lihatlah kenyataan! Bukalah matamu! Aku bukan gadis yang tepat untuk menjadi
jodohmu. Lupakah kau bahwa aku sedang menuju ke Tiang-an untuk mencari dan membunuh
Kwee Siong pamanmu?”
Bagaikan pisau berkarat ucapan ini menikam ulu hati Sian Lun dan membuatnya menjadi
pucat seketika. Sakit rasa hati Ling Ling melihat keadaan pemuda itu. Sesungguhnya Sian
Lun menjadi limbung ketika ia melangkah mundur tiga tindak. Kata-kata ini merupakan suara
halilintar di siang hari yang menggugahnya dari mimpi indah. Bagaikan air dingin yang
diguyurkan di atas kepala seorang yang mengantuk.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 151
“Ling Ling ......... kasihanilah aku, kasihanilah pamanku ...... ! Sakit hati apakah yang
membuatmu demikian kejam terhadap paman ? Katakanlah, urusan apakah yang menyakitkan
hatimu, yang diperbuat oleh Kwee siokhu kepadamu ?”
“Kau tak perlu tahu ! Ini urusan pribadi. Cukup kalau kuberitahukan kepadamu bahwa aku
harus membunuh orang she Kwee itu !” Setelah berkata demikian, Ling Ling memutar tubuh
dan berdiri membelakangi Sian Lun.
“Ling Ling, tak dapat dirobahkah niatmu ini ? Demi Tuhan, sekali lagi aku mohon padamu,
jangan lanjutkan niatmu ini. Biarlah aku berlutut di depan kakimu, Ling Ling, jangan kau
mengganggu dia !” Dan Sian Lun benar-benar berlutut di depan gadis itu.
“Bodoh ! Lemah !” tiba-tiba Ling ling berseru sambil terisak dan ketika Sian Lun mengangkat
kepalanya, ternyata gadis itu sudah tidak ada di depannya pula.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat ia melompat dan mengejar. Karena memang tubuh Ling
Ling masih lemah, sebentar saja Sian Lun dapat menyusulnya. Akan tetapi, Ling Ling telah
mencabut pedangnya dan berkata menantang,
“Sian Lun, untuk satu hal ini, kalau terpaksa, aku akan menghadapimu dengan pedang!”
Bukan main bingung dan sedihnya hati Sian Lun.
“Ling Ling, aku tidak sampai hati untuk bertanding dengan engkau. Tidak lagi. Kalau kau
mau, kau boleh penggal leherku, aku takkan melawan. Alan tetapi, jika aku melihat engkau
mengganggu pamanku, terpaksa aku akan membelanya, biarpun aku harus mati di tanganmu.”
Sambil berkata demikian, Sian Lun lalu berlari terus dengan amat cepatnya, mendahului gadis
itu menuju Tiang-an.
Ling Ling maklum bahwa pemuda itu tentu akan pergi ke rumah Kwee Siong dan akan
menjaga keselamatan orang she Kwee itu. Akan tetapi ia tidak takut. Kalau perlu, ia akan
menyerang pemuda itu dengan pedangnya. Sakit hati ibunya lebih penting untuk dibalaskan.
Ia belum pernah berbakti terhadap ibunya, dan ia telah menyaksikan sendiri betapa ibunya
hidup bersengsara, semenjak muda hidup di dalam hutan dan dijuluki iblis wanita, sama sekali
tidak diperdulikan oleh ayahnya yang kini menduduki pangkat tinggi dan hidup bersenangsenang
dengan isteri dan puteranya yang baru. Dengan pikiran penuh nafsu dan dendam, gadis
ini lalu berlari cepat menuju ke kota Tiang-an yang temboknya telah nampak di depan.
******
Semenjak pertemuan dengan Sui Giok dan Ling Ling, Kwee Siong sembuh dari sakitnya
dengan keadaan yang berobah sama sekali. Ia kini nampak tua, selalu berwajah muram dan
seringkali termenung. Isterinya mencoba untuk menghiburnya, akan tetapi sia-sia.
Kwee Siong terganggu oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Ia merasa berdosa dan apabila ia
teringat akan Sui Giok dan Ling Ling, ia menjadi amat terharu dan kasihan. Ia dapat
membayangkan betapa hebatnya penderitaan dan kesengsaraan isterinya yang terpisah darinya
di dalam hutan liar itu dalam keadaan mengandung tua.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 152
Dulu ia merindukan isterinya dan telah berusaha mencari isterinya itu. Sampai lama,
bertahun-tahun kemudian, baru ia mau menikah kembali atas bujukan saudara angkatnya,
yakni Liem Siang Hong ayah Liem Sian Lun.
Dan sekarang, setelah penghidupannya dengan keluarganya yang baru ini mulai bahagia, tibatiba
saja muncul Sui Giok yang dikira telah tewas itu dengan puterinya. Alangkah malang
nasibnya, alangkah hebat penderitaan ibu dan anak itu. Ia menyesal sekali mengapa Sui Giok
dan Ling Ling telah pergi.
Hiburan satu-satunya hanya Kwee Cun, puteranya yang telah berusia delapan tahun itu. Kwee
Cun ternyata menjadi seorang anak laki-laki yang amat cerdik. Sukar bagi ibunya untuk
menyembunyikan sesuatu dari anak ini karena Kwee Cun memiliki kecerdikan dan keluasan
pandangan seperti orang dewasa.
“Ibu,” katanya setelah berkali-kali menanyakan keadaan ayahnya tanpa mendapat jawaban
memuaskan dari ibunya, “bagaimanapun juga ibu hendak menyembunyikan dariku, aku tahu
bahwa tentu ada sesuatu yang menimpa diri ayah. Ia nampak begitu sedih. Ibu, ceritakanlah
kepadaku, ibu.”
“Cun-ji, kau masih kecil, tidak perlu mengetahui akan hal ini,” kata ibunya sambil mengeluselus
kepala anak itu.
“Ibu, kalau kau tidak mau menceritakan, aku akan selalu merasa sedih. Aku tidak mau belajar,
tidak makan, tidak mau bermain-main. Ayah berduka sedangkan aku tahupun tidak
urusannya. Ibu memperlakukan aku seperti orang luar saja.”
Setiap hari Kwee Cun membujuk ibunya sehingga akhirnya ibunya merasa kewalahan dan
diceritakannyalah tentang Sui Giok dan Ling Ling. Anak itu mengerutkan kening dan kontan
berkata,
“Ayah tidak bersalah !”
Ibunya hanya memeluknya sambil mengalirkan air mata.
“Cun-ji, jangan kau ikut-ikut. Kau masih kecil, nak, belum tahu perasaan hati orang tua. Mari
kita berdoa saja semoga ayahmu akan terhibur hatinya dan semoga ibu dan anak itu akhirnya
akan dapat tinggal bersama kita dalam keadaan yang rukun dan damai.”
Kwee Cun memandang kepada ibunya dengan mata penuh kasih sayang, lalu katanya, “Ibu,
kau seorang yang berhati mulia.”
Demikianlah, anak kecil ini dengan cara pikiran dan pertimbangannya sendiri, telah dapat
mengetahui keadaan ayahnya.
Pada hari itu, menjelang senja, datanglah Sian Lun dengan wajah pucat dan lesu.
“Engko Sian Lun datang ..... !” Kwee Cun berteriak berkali-kali dengan girang sekali. Sian
Lun mengangkat anak itu ke atas lalu menurunkannya kembali. Ia menganggap Kwee Cun
seperti adiknya sendiri. Ibunya, yakni nyonya Liem Siang Hong, yang semenjak Kwee Cun
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 153
lahir telah tinggal menjadi satu di gedung itu, menyambut kedatangan puteranya dengan
girang.
“Lun-ji, pasukanmu telah lama tiba, mengapa baru sekarang kau datang ? Kau membuat kami
merasa gelisah saja. Kemanakah kau pergi ?”
“Aku ..... aku mengurus sebuah hal yang penting, ibu. Mana Kwee siokhu ?” tanyanya
menyimpangkan pertanyaan ibunya itu.
“Di ruang belakang. Ah, Sian Lun, pamanmu itu akhir-akhir ini nampak selalu bersedih saja.
Jumpailah dia, siapa tahu kedatanganmu akan menghibur hatinya.”
Sian Lun lalu menuju ke ruang belakang di mana ia disambut oleh pamannya dan bibinya.
“Kwee siokhu, aku membawa sebuah berita yang amat penting.”
Melihat sikap pemuda itu, Kwee Siong lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar kerja.
Nyonya Kwee yang maklum bahwa sebagai seorang wanita ia tidak berhak mencampuri
urusan pekerjaan suaminya. Ketika melihat Kwee Cun hendak ikut ayahnya ke dalam kamar
kerja, nyonya Kwee segera membetot tangannya dan mengajaknya ke belakang.
“Kau dan aku tidak boleh mengganggu ayahmu kalau sedang ada urusan pekerjaan,” katanya.
“Mengapa tidak boleh ibu ?”
“Kita tidak dapat membantu, hanya akan merupakan gangguan saja. Kalau kakakmu Sian Lun
ada pembicaraan penting dengan ayahmu, tentu mereka itu membicarakan tentang pekerjaan
dan urusan negara.”
Akan tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh dua orang itu sama sekali bukanlah urusan
negara.
“Siokhu, mulai saat ini sampai malam nanti, harap siokhu sekeluarga jangan keluar dari
kamar dan biar aku menjaga di sini, di dekat siokhu sampai bahaya itu datang.”
“Apa maksudmu, Sian Lun ?” tanya Kwee Siong terkejut.
“Siokhu, nanti akan ada orang yang datang dan berusaha menyerang untuk membunuh
siokhu.” Pemuda ini sengaja tidak mau menyebut nama Ling Ling, agar orang tua ini jangan
menjadi kaget dan berduka.
“Orang mau membunuhku ? Siapakah dia dan bagaimana kau bisa tahu ?” Kwee Siong adalah
seorang yang telah lama melakukan pekerjaan sebagai hakim, maka mendengar tentang ada
orang hendak membunuhnya, bukan merupakan hal yang aneh karena tentu banyak penjahat
merasa dendam kepadanya. Dan karena kebiasaan memeriksa pesakitan, kali inipun ia telah
mendesak Sian Lun dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Siokhu, tak perlu kiranya aku beritahukan siapa orangnya yang hendak melakukan hal itu.
Tiada gunanya siokhu mengetahui.” Pemuda ini menundukkan mukanya. Ia tidak bisa
membohong dan juga bukan seorang ahli dalam memutar balikkan omongan, maka agar dapat
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 154
bersembunyi dari pandangan mata pamannya yang luar biasa tajamnya, ia menundukkan
mukanya.
Berat sekali rasa hatinya untuk memberitahukan siapa orangnya yang hendak melakukan
perbuatan jahat ini. Ia tidak ingin orang lain, terutama sekali pamannya, tahu akan maksud
jahat dari Ling Ling.
Ia hendak menghadapi gadis yang dicintanya itu sendiri, hendak berusaha sedapat mungkin
untuk mencegah gadis itu melanjutkan niatnya. Kalau perlu ia akan mengorbankan nyawanya.
Untuk membiarkan Ling Ling membunuh pamannya, tak mungkin dapat ia lakukan. Dan
untuk memberi keterangan sejelasnya kepada pamannya sehingga orang tua ini memandang
rendah dan marah kepada Ling Ling atau lalu bertindak untuk menghadapi gadis itu dengan
kekerasan sehingga Ling Ling akan mendapat bencana, juga tak dapat dilakukan olehnya. Ia
menyinta dan berbakti kepada pamannya yang dianggap sebagai ayah sendiri, akan tetapi
iapun amat menyinta Ling Ling.
Hening sejenak, Kwee Siong menatap tajam sedangkan Sian Lun menunduk sambil menahan
napas.
“Tentu dia yang akan datang, bukan ? Dia .... gadis yang bernama Ling Ling dan dijuluki
orang Toat-beng Mo-li, gadis yang dulu hendak membunuh jenderal Li, bukan ?” tiba-tiba
Kwee Siong berkata.
Serasa ambruk bangunan rumah di atas kepalanya ketika Sian Lun mendengar pertanyaan ini.
Ia cepat mengangkat kepala memandang pamannya dan melihat sinar mata itu menembus
dadanya dengan pandang menyelidik, ia tidak berani mencoba-coba untuk menyangkal lagi.
“Siokhu, bagaimana kau dapat menduga demikian tepat ?” tanyanya kagum.
Kwee Siong tersenyum pahit. Tentu saja ia dapat menduga. Kalau penjahat-penjahat biasa
yang hendak mengarah nyawanya, tentu Sian Lun takkan menyembunyikan namanya. Sui
Giok dan Ling Ling adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah meninggalkan
ingatannya, dan ia maklum betapa gadis puterinya itu akan membencinya kalau mendengar
dari ibunya betapa ia adalah ayahnya yang seakan-akan telah menyia-nyiakan kehidupan
ibunya.
“Sian Lun, mengapa kau menyembunyikan namanya dariku ?” Kwee Siong menjawab
pertanyaan pemuda itu dengan pertanyaan pula, pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara
menuntut dan penuh selidik.
Berdebar jantung Sian Lun. Tentu saja tak mungkin baginya untuk berkata terus terang bahwa
ia menyinta gadis itu. Bahwa ia tidak ingin gadis itu tertangkap dan mendapat celaka, akan
tetapi bahwa iapun tidak ingin melihat gadis itu membunuh pamannya.
“Dia ..... dia .... adalah seorang dara perkasa, seorang pendekar wanita yang sudah berjasa,
yang sudah membantu perjuangan kita, siokhu. Aku hendak mencegahnya melakukan
perbuatan yang jahat ini. Siokhu, bolehkah aku mengetahui, mengapakah dia begitu benci
kepadamu ? Mengapa dia begitu berkeras hati hendak membunuhmu ?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 155
Melihat wajah pemuda itu yang sedih dan ucapannya yang penuh penasaran dan kepedihan
hati itu, mata Kwee Siong yang tajam sudah dapat menduga lebih mendalam lagi.
“Sian Lun,” katanya dengan lemah, “jangan kau menghalanginya. Biarkan ia datang dan aku
sendiri yang akan menghadapinya!”
“Siokhu ! Dia ..... dia hendak membunuhmu!”
“Biarlah! Jangan kau ikut campur, Sian Lun. Dengarkah kau? Ini satu perintah dariku,
mengerti? Jangan kau menghalangi dia dan biarkan dia turun menjumpaiku. Aku tidak mau
dibantah oleh siapapun juga dalam hal ini. Tak seorangpun boleh mencampuri urusan ini, juga
kau sendiri tidak!”
“Siokhu! Akan tetapi aku ..... bukankah kau kuanggap ayah sendiri? Bukankah aku sama
dengan puteramu sendiri? Bagaimana aku dapat membiarkan orang mengancam
keselamatanmu?”
Kwee Siong tersenyum sedih, “Kau tahu bahwa kau lebih dari putera sendiri bagiku. Bahkan
aku ingin sekali ..... mengambilmu sebagai mantuku!”
Bukan main herannya hati Sian Lun mendengar ini dan ia hendak bertanya, akan tetapi Kwee
Siong mendahuluinya dengan kata-kata tegas,
“Sian Lun, kau malam ini keluarlah dari rumah ini. Ajak ibumu bermalam di rumah Jenderal
Li. Biarkan aku sekeluargaku seorang diri di dalam gedung ini.” Ketika pemuda itu
memandangnya dengan wajah pucat, ia menyambung cepat, “Anakku yang baik, percayalah
kau kepadaku. Aku hanya minta kau mentaati kata-kataku sekali ini. Jangan membantah,
anakku ..........”
Dua titik air mata terlompat keluar dari mata pemuda ini. Sebutan “anakku” membuatnya
merasa terharu sekali. Pamannya yang amat baik hati ini menghadapi bahaya maut, akan
tetapi ia bahkan diminta keluar dari situ bersama ibunya. Ia tahu bahwa Ling Ling bukanlah
seorang gadis yang boleh dibuat main-main.
Ancaman yang keluar dari mulut gadis seperti Ling Ling adalah ancaman yang timbul dari
dasar hatinya. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak pamannya yang tegas-tegas
menyatakan bahwa ini adalah sebuah perintah, maka ia lalu mengajak ibunya keluar dari
rumah gedung itu dan bermalam di rumah Jenderal Li Goan.
******
Sesosok bayangan hitam yang gesit sekali melompat ke atas genteng rumah gedung Kwee
Siong. Bayangan ini bukan lain adalah Ling Ling yang datang dengan maksud membunuh
ayahnya sendiri. Ia merasa heran karena melihat keadaan di luar gedung dan di atas genteng
sunyi saja. Benar-benar di luar dugaannya semula.
Di manakah Sian Lun? Apakah pemuda yang mendahuluinya itu tidak melakukan penjagaan
untuk mencegahnya? Dan di mana pula para penjaga? Apakah Sian Lun telah
memperingatkan ayahnya dan keluarga itu telah pergi bersembunyi di lain tempat? Ah, kalau
rumah itu telah dikosongkan, tentu rumah itu merupakan perangkap baginya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 156
Akan tetapi Ling Ling tidak merasa takut sedikitpun juga. Ia menganggap bahwa niatnya ini
merupakan tugas terakhir. Biarlah ia tewas dalam melakukan tugas ini, karena apakah artinya
hidup baginya? Ibunya tidak ada, ayahnya hendak ia bunuh, dan Sian Lun ......ah, dia tidak
mau memikirkan pemuda itu dalam saat seperti itu.
Dengan amat ringannya ia melompat turun sambil mencabut pedang Oei-hong-kiam dari
pinggangnya. Ia masuk ke dalam ruangan yang terang dan sunyi. Masuk terus dengan
tindakan kaki ringan, makin ke dalam. Sebuah pintu yang menuju ke ruang belakang tertutup,
maka dibukanya perlahan. Matanya silau karena di ruang itu amat terang, banyak lilin
dipasang di atas meja.
Untuk beberapa lama Ling Ling menggosok matanya agar tidak begitu silau. Ketika ia
membuka matanya, ia memandang ke depan dan ........ berdiri bengong seperti patung.
Kwee Siong dengan tenangnya duduk di atas sebuah kursi sambil memandangnya dengan
mata tajam, akan tetapi wajahnya muram dan berduka sekali. Seorang nyonya yang cantik
duduk di sebelahnya, menundukkan muka dan wajahnya nampak amat pucat. Seorang anak
laki-laki yang tadinya menangis sambil menyembunyikan mukanya di pangkuan ibunya, kini
serentak bangun berdiri, memandang kepada Ling Ling dengan matanya yang lebar dan
bening.
“Ling Ling, kau baru datang, nak?” terdengar Kwee Siong berkata dengan suara seakan-akan
seorang ayah menegur puterinya yang baru kembali dari perjalanan jauh. “Sudah semenjak
tadi aku, ibu tirimu dan adikmu menanti kedatanganmu!”
Naik sedu sedan dari dada gadis itu menuju kerongkongannya, akan tetapi ia cepat menekan
perasaan keharuan ini dan membentak marah.
“Siapa anakmu? Kau orang jahat, manusia kejam berhati binatang. Kau telah membiarkan ibu
hidup sengsara sampai bertahun-tahun. Ibu hidup bagaikan seekor binatang buas di dalam
hutan, menjadi seorang yang dijuluki iblis wanita oleh orang lain. Semua karena kau! Lakilaki
tidak tahu kewajiban, kau masih berani menyebut aku sebagai anakmu?”
“Ling Ling, kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi katakanlah, mengapa ibumu tidak
ikut datang? Mana Sui Giok? Mana isteriku itu?”
Tak tertahan lagi air mata menitik keluar dari sepasang mata Ling Ling.
Kemudian ia mengangkat mukanya memandang wajah ayahnya dengan marah sekali. Dengan
jari telunjuk tangan kirinya ia menuding ke arah muka Kwee Siong sambil berkata keras,
“Manusia rendah! Kenapa tidak dulu-dulu kau menanyakan ibu dan mencarinya? Mengapa
sekarang setelah kau membunuh mati ibu, kau masih berpura-pura bertanya lagi?”
Muka yang sudah pucat dari pembesar itu kini menjadi makin pucat seperti mayat. Ucapan
Ling Ling itu benar-benar menusuk hatinya dan membuatnya terkejut sekali.
“Ling Ling!” ia bangun dari kursinya dengan kedua kaki menggigil. “Apa kau bilang ? Mana
ibumu ... ? Mana...... ??”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 157
“Ibu telah mati, dan kau tidak berhak bertanya-tanya lagi!” seru gadis itu dengan ganas sambil
melangkah maju dengan pedang siap di tangan.
“Ya, Tuhan .....!” hanya itulah yang dapat diucapkan oleh Kwee Siong. Ia terjatuh kembali ke
atas kursinya dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. “Sui Giok ..... Sui Giok
.......bagaimana dia mati .....? Bagaimana? Ling Ling, katakanlah, bagaimana ibumu bisa mati
.....?”
“Tutup mulutmu yang palsu!” bentak gadis itu makin marah. “Aku tidak kasihan kepadamu,
seperti kau tidak kasihan kepada ibuku. Jangan pura-pura berduka atas kematian ibuku,
karena sekarang aku datang hendak memaksa kau mati menyusul ibuku. Biar kau bisa
bertemu dan minta ampun kepadanya!”
“Bunuhlah! Bunuhlah .... ini dadaku, siapa takut mati? Aku akan merasa girang sekali dapat
menyusul Sui Giok, aku merasa berdosa kepadanya, hanya .... hanya aku merasa sayang sekali
mengapa puteriku, puteri Sui Giok akan menjadi seorang anak durhaka yang membunuh ayah
sendiri.”
Lemaslah tangan Ling Ling mendengar ini, akan tetapi kekerasan hatinya membuat ia
melompat maju dan mengangkat pedangnya, siap ditusukkan ke dada ayahnya. Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan nyonya Kwee melompat maju, menghadang di
depannya.
“Nona, suamiku tidak bersalah. Ayahmu tidak bersalah terhadap ibumu. Ketika ia
mengawiniku, dia sudah putus asa dan menganggap bahwa ibumu telah meninggal dunia.
Telah banyak usahanya untuk mencari ibumu, akan tetapi sia-sia. Jangan bunuh padanya,
nona, bunuhlah aku kalau kau merasa bahwa aku yang merusak kehidupan ibumu!” Dan
nyonya ini lalu menangis terisak-isak, berlutut di depan Ling Ling.
Tiba-tiba Kwee Cun berteriak marah. “Tidak, ibu, tidak! Nona ini tidak boleh
membunuhmu!” Ia lalu menghampiri Ling Ling dengan sikap mengancam, kedua tangannya
yang kecil terkepal. “Kau ..... kau ganas dan kejam! Kau orang durhaka, mau membunuh ayah
sendiri? Kupukul kau!” Dan anak kecil itu lalu menyerang Ling Ling dengan kedua tangannya
memukul.
Ling Ling tertegun melihat ini semua. Sebetulnya ia tidak tega untuk membunuh ayahnya,
untuk melukai orang tua yang sama sekali tidak nampak jahat dan kejam ini. Ia tadi telah
tertusuk oleh sikap dan kata-kata ayahnya, yang ternyata seorang laki-laki gagah dan
budiman.
Ketika nyonya itu menangis dan bermohon kepadanya, ia sudah merasa makin lemah
semangatnya. Bagaimana ia bisa membunuh ayah sendiri dan membuat nyonya itu serta
puteranya menjadi janda?
Kini melihat sikap Kwee Cun, ia makin pucat dan tak terasa pula ia melangkah mundur tiga
tindak. Sebagai seorang yang mempelajari ilmu silat dan menjunjung tinggi kegagahan, sikap
dan keberanian anak ini membela ibunya telah membuat Ling Ling kagum sekali.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 158
Ia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Sedih dan girang tercampur aduk menjadi satu.
Sedih mengingat nasib ibunya, dan girang mendapat kenyataan bahwa ayahnya dan isteri serta
puteranya yang baru ternyata adalah orang-orang yang patut dipuji.
Kenyataan bahwa ayahnya seorang laki-laki gagah membuatnya bangga. Kalau seandainya
ayahnya berlutut dan meminta-minta ampun, mungkin akan dilanjutkan niatnya
membunuhnya. Akan tetapi ayahnya bahkan menantang, memberikan dadanya.
“Nona insyaflah akan kesesatanmu!” terdengar nyonya itu berkata di antara tangisnya. “Tidak
ada kedosaan yang lebih besar daripada membunuh ayah sendiri. Menyakiti hatinya saja
sudah merupakan perbuatan terkutuk, apalagi membunuhnya. Aku bersumpah, ketika ayahmu
melihat kau dan ibumu masih hidup, tidak ada pengharapan yang lebih besar dalam hati
ayahmu, dalam hatiku dan dalam hati adikmu yang masih kecil ini, melainkan melihat kau
dan ibumu tinggal di sini bersama kami, hidup sebagai keluarga yang besar dan penuh damai.
Sekarang ..... kalau benar-benar ibumu telah meninggal dunia, kuminta kepadamu, tinggallah
di sini. Jadilah anakku, anak ayahmu, enci adikmu ini ..... Ling Ling, pergunakanlah
kesadaranmu ...... “
Kembali Ling Ling tertegun. Akan tetapi sambil mengeraskan hatinya, ia berkata, “Kau kira
akan dapat membujukku dengan omongan manis. Kau tidak tahu betapa rasanya kehilangan
ibu. Biarlah anakmu yang akan merasakan betapa sengsaranya hati seorang anak terpisah dari
ibunya.”
Setelah berkata demikian, secepat kilat Ling Ling menyambar tubuh Kwee Cun,
dipondongnya dan dibawanya melompat keluar, menghilang di dalam gelap.
Bab 19.....
“Cun-ji ........ !” nyonya itu berteriak-teriak sambil menangis, “Ling Ling ..... kasihanilah dia,
kembalikan anakku ....”
Akan tetapi Kwee Siong segera memegang tangan isterinya yang hendak berlari mengejar.
“Sabarlah, tenanglah! Aku tidak percaya bahwa Ling Ling akan mencelakakan Cun-ji. Dia
pasti akan kembali membawa Cun-ji dengan selamat. Percayalah kepadaku.”
Nyonya itu lalu menubruk dan menangis di dada suaminya.
******
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun sudah masuk ke dalam gedung keluarga
Kwee. Ibunya masih berada di rumah Jenderal Li Goan. Wajah pemuda ini muram dan pucat
penuh kekhawatiran.
Semalam suntuk ia tidak pernah tidur sedikitpun juga, penuh kegelisahan memikirkan
keadaan pamannya dan juga memikirkan keadaan Ling Ling. Bagaimana kalau gadis itu
membunuh Kwee siokhu, pikirnya. Ah, kalau hal itu terjadi, akan hancurlah dunianya. Ia
harus mencari gadis itu dan membunuhnya, mungkin untuk mati bersama. Apa gunanya hidup
lagi baginya?
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 159
Akan tetapi ketika ia masuk ke ruang belakang, didapati paman dan bibinya masih duduk di
atas kursi. Ia tidak tahu bahwa mereka itu duduk di situ semalaman, sama sekali tak pernah
tidur seperti dia sendiri. Sian Lun menarik napas lega, merasa seakan-akan batu besar yang
semalaman menindih isi dadanya kini terangkat, membangkitkan sedu sedan yang
mengumpul di kerongkongannya.
“Siokhu ..... “ katanya sambil bertindak perlahan menghampiri kedua orang tua itu.
“Sian Lun, kau sudah datang?” kata Kwee Siong sambil tersenyum. Ada sesuatu tersembunyi
dibalik senyum ini, pikir Sian Lun. Pasti ada apa-apa terjadi malam tadi.
“Syukur siokhu selamat,” katanya tanpa berani menyebut-nyebut tentang datang tidaknya
Ling Ling.
“Ia datang,” kata pamannya.
“Dan ia membawa Cun-ji,” sambung bibinya dengan bibir gemetar menahan tangis.
Terkejutlah Sian Lun mendengar ini. “Ling Ling datang dan menculik adik Cun?” tanyanya
tak sadar menyebut nama gadis itu.
Pamannya mengangguk sunyi.
Marahlah Sian Lun. Kelegaan hatinya terganti kekhawatiran dan penyesalan. Ling Ling
terlalu sekali, pikirnya.
“Aku akan menyusul dan membawa pulang adik Cun!’ katanya dan sebelum dua orang tua itu
dapat menjawab, tubuhnya sudah melesat keluar dari gedung itu. Ia maklum ke mana harus
mencari Ling Ling Kemana lagi kalau tidak di kelenteng dalam hutan, di luar kota Tiang-an
itu?
Matahari telah naik tinggi ketika Sian Lun tiba di kelenteng itu. Peluh membasahi jidat dan
lehernya karena ia telah berlari cepat tiada hentinya dari kota. Di depan kelenteng itu sunyi
saja. Apakah gadis itu tidak membawa Kwee Cun ke sini? Ia mulai gelisah dan cepat
melompat masuk ke dalam kelenteng.
Kosong! Ia terus keluar dari pintu belakang dan tiba-tiba ia berdiri bagaikan patung.
Kerongkongannya terasa kering, penuh oleh hawa yang naik dari dalam dadanya. Hampir ia
tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Ling Ling sedang duduk di atas rumput bersama Kwee Cun. Mereka tertawa-tawa. Terdengar
anak laki-laki itu bicara gembira, seakan-akan sedang menceritakan sesuatu, kadang-kadang
diseling oleh suara ketawanya yang bersih.
Adapun Ling Ling mendengarkan sambil memegang pundak anak itu, juga gadis ini terdengar
tertawa-tawa dengan geli dan gembira. Terdengar oleh Sian Lun bagaimana anak itu
menyebut Ling Ling dengan sebutan “enci Ling” yang mesra sekali, dan terlihat olehnya
betapa seringkali tangan Ling Ling mengelus-elus kepala anak itu dengan penuh kasih sayang.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 160
Sian Lun tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Ia demikian terpesona oleh pemandangan
ini sehingga tidak tahu harus berkata apa dan melakukan apa. Pada saat itu, kebetulan sekali
Kwee Cun menengok dan begitu melihat pemuda ini, anak itu lalu melonjak girang.
“Sian Lun-ko ..... !! ia berlari-lari menyambut pemuda itu, memegang tangannya dan
menariknya ke tempat Ling Ling yang sudah berdiri dan memandang kepada Sian Lun dengan
wajah kemerah-merahan, nampaknya malu sekali.
“Engko Sian Lun, baik sekali kau datang. Kuperkenalkan kepada enciku Ling Ling !” kata
Kwee Cun dengan girang sekali, kemudian ia berkata kepada Ling Ling setelah kedua orang
muda itu berhadapan.
“Enci Ling, inilah engko Sian Lun yang seringkali kautanyakan tadi! Lun-ko, ini adalah
enciku yang cantik dan gagah, namanya Ling Ling!”
Akan tetapi kedua orang muda itu seakan-akan tidak mendengar ucapan anak itu. Keduanya
berdiri saling pandang dan sinar mata mereka bicara dengan seribu satu bahasa yang tidak
terdengar atau dimengerti orang lain kecuali mereka berdua sendiri.
Ucapan Kwee Cun itu sebenarnya sudah patut kalau menjadikan pemuda itu terheran, karena
bagaimanakah tiba-tiba Kwee Cun mengaku gadis ini sebagai encinya ? Akan tetapi hanya
satu saja arti yang tertangkap oleh Sian Lun, yakni bahwa gadis itu banyak bertanya kepada
anak itu tentang dia.
“Cun-te, benarkah encimu ini banyak bertanya tentang aku?”
“Benar, engko Sian Lun, dia bertanya tentang kepandaianmu, tentang pekerjaanmu, dan
apakah engkau sudah menikah atau belum ........”
“Hush, tutup mulutmu, Kwee Cun!” Ling Ling membentak dengan muka merah, akan tetapi
agaknya Kwee Cun sudah biasa bermain-main dengan gadis itu, buktinya ia tahu bahwa
encinya itu tidak marah maka ia hanya tertawa-tawa gembira.
Keduanya merasa malu-malu dan jengah sehingga tidak berani saling memandang. Bahkan
Sian Lun yang merasa terharu, girang, dan terheran tak dapat mengeluarkan kata-kata
terhadap gadis itu.
“Cun-te,” akhirnya ia berkata kepada anak itu, “hayo pulang dengan aku. Ayah bundamu
menanti-nanti di rumah.”
“Tidak, aku tidak mau pulang. Aku tidak akan pulang kalau tidak bersama enci Ling!” jawab
anak itu sambil memandang Ling Ling, seakan-akan ia sudah berjanji dengan itu, yang segera
memeluknya, tanda girang hati.
Sian Lun benar-benar merasa heran sekali. “Nona, kalau begitu, mengapa kau tidak membawa
adik Cun pulang .... ?”
“Liem-ciangkun, kau pulanglah sendiri. Aku dan adik Cun belum ingin ..... pulang.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 161
Sian Lun hendak membantah, akan tetapi Kwee Cun yang nakal itu berkata, “Pulanglah Lunko.
Kalau kau membantah, enciku akan marah dan kalau dia marah kepadamu, aku takkan
berani tanggung jawab. Kalau ayah yang datang, barulah enci mau pulang .....”
“Hus, Kwee Cun ......” kembali Ling Ling membentak adiknya.
Akan tetapi kata-kata itu sudah cukup bagi Sian Lun. Ia hampir berjingkrak dan menari-nari
saking girangnya. Sungguhpun sampai pada saat itu ia masih belum mimpi bahwa gadis ini
adalah puteri Kwee Siong sendiri, namun jelas baginya bahwa Ling Ling tidak marah lagi
kepada pamannya.
Tanpa banyak cakap lagi, ia membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Kembali ia berlari tiada hentinya ke Tiang-an, akan tetapi kali ini ia berlari cepat dengan hati
girang, tidak seperti tadi ketika meninggalkan Tiang-an, ia berlari cepat dengan hati gelisah.
Kwee Siong mendengarkan penuturan Sian Lun dengan mata basah dan kemudian dua titik air
mata mengalir turun di sepanjang pipinya. Muka yang tadinya pucat itu perlahan-lahan
menjadi merah kembali dan akhirnya ia memeluk isterinya yang sementara itu menangis di
dekatnya, lalu berkata perlahan,
“Apa kataku? Tepat seperti yang kuduga!” Dan isterinya hanya dapat menangis di antara
senyumnya.
Sian Lun benar-benar tidak mengerti dan memandang dengan melongo. Lebih-lebih ia merasa
heran ketika pamannya berkata,
“Sian Lun, kuulangi lagi kata-kataku bahwa kau patut menjadi mantuku.”
Ia menoleh kepada isterinya yang sudah duduk di atas kursi dengan wajah berseri, lalu
berkata, “Bukankah sudah cocok sekali Sian Lun menjadi jodoh anak kita?”
“Cocok sekali, dan aku akan senang sekali, melihat Sian Lun sebagai mantuku!”
Sian Lun memandang dengan bengong. Apakah kedua orang tua ini sudah gila? Mereka
hanya mempunyai seorang putera, bagaimana bisa mengambil mantu padanya?
Tiba-tiba ia teringat kepada Ling Ling. Apakah gadis itu puteri pamannya? Tak mungkin,
akan tetapi ...... ia teringat bahwa suhunya, Liang Gi Cinjin juga menyatakan bahwa ia cocok
sekali menjadi jodoh Toat-beng Mo-li. Usul suhunya ini lebih cocok baginya, karena yang
dimaksudkan oleh suhunya sudah jelas, tentu Ling Ling yang juga ternyata adalah gadis yang
membawa pedang suhunya, Pek-hong-kiam.
Akan tetapi puteri pamannya? Bagaimana kalau bukan Ling Ling? Agaknya tidak mungkin
kalau Ling Ling, karena bukankah gadis itu tadinya hendak membunuh pamannya ini?
“Maaf, siokhu. Akan tetapi .... aku .... aku sudah dijodohkan oleh suhu kepada seorang gadis
lain ....”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 162
Kwee Siong nampak terkejut. “Apa ....? Mana bisa jadi? Kau tidak boleh menikah dengan
gadis lain, kecuali dengan puteriku sendiri! Kebetulan suhumu berada di sini, aku bicarakan
hal ini dengan dia.”
“Suhu berada di sini, siokhu? Di mana dia ....?”
“Ya, suhumu, Liang Gi Cinjin baru saja datang dan sekarang masih berada di rumah Ligoanswe.”
Baru saja sampai di sini percakapan mereka datanglah penjaga yang melaporkan bahwa
Jenderal Li Goan dan Liang Gi Cinjin sudah datang. Tergesa-gesa Kwee Siong dan Sian Lun
menyambut. Pemuda ini segera memberi hormat kepada suhunya yang tertawa bergelak
melihat Sian Lun.
“Aku mendengar dari Li-goanswe bahwa kau telah bertempur melawan Liang Hwat Cinjin
suhengku? Ah, Sian Lun, masih untung kau dapat terlepas dari tangannya yang ganas.”
Kemudian kakek berilmu ini lalu menuturkan sambil menarik napas panjang betapa
suhengnya itu semenjak dulu telah menyeleweng dan berkali-kali melakukan pelanggaran.
“Aku sendiri tentu sudah lama ia celakakan, kalau saja aku tidak mempunyai semacam ilmu
yang dapat mengimbangi dan melawan ilmu yang ia andalkan, yakni Kim-kong-kiu yang lihai
itu. Ia seringkali mengganggu dan mengejek tentang Pek-sim-kauw.”
“Ah, kalau saja teecu sudah mempelajari ilmu yang suhu maksudkan itu, tentu teecu takkan
terdesak hebat.” Ia lalu menuturkan lagi dengan jelas, betapa tadinya ia tidak berani melawan
supeknya itu, akan tetapi betapa ia didesak sehingga akhirnya ia melawan juga. Tentu saja ia
merasa malu menuturkan bahwa sesungguhnya karena ingin melindungi Ling Ling saja maka
ia memberanikan diri menghadapi supeknya.
“Itulah kalau orang masih belum banyak pengalaman,” mencela suhunya. “Padahal kalau
melihat kepandaianmu, kau takkan kalah olehnya.
Hanya kau tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kim-kong-jiu, bukan dengan ilmu silat
lain, muridku, akan tetapi kau harus selalu menghadapinya dengan gerakan rendah.
Ketahuilah bahwa tenaga Kim-kong-jiu yang dimainkan oleh sepasang ujung lengan bajunya
itu hanya berbahaya bagi tubuh bagian atas saja dan selalu dipergunakan untuk menyerang
dari pinggang ke atas. Kalau kau main dengan gerakan rendah, akan kacaulah permainan
Kim-kong-jiu.”
Girang sekali hati Sian Lun mendengar ini. Pada saat ia bicara dengan suhunya, ia melihat
pamannya sedang asyik bicara dengan Li-goanswe, dan tiba-tiba terdengar suara Li-goanswe.
“Saudara Kwee Siong mempunyai keperluan penting sekali untuk menjemput anaknya,
marilah kita beramai mengantarnya. Juga harap losuhu suka pula mengantarnya. Urusan lain
boleh ditunda, karena urusan ini benar-benar amat pentingnya dan baru saja sekarang
kudengar!”
Wajah Jenderal itu nampak berseri-seri dan gembira sekali, seakan-akan ia baru saja
mendengar berita yang amat menggembirakan hatinya, Memang, sesungguhnya baru tadi
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 163
Jenderal ini mendengar dari Kwee Siong bahwa sebetulnya Toat-beng Mo-li adalah puterinya
sendiri.
Kuda yang kuat lalu disediakan, empat ekor jumlahnya. Tak lama kemudian, Kwee Siong,
Jenderal Li, Sian Lun, dan Liang Gi Cinjin lalu beramai-ramai berangkat dengan cepatnya
menuju ke hutan di mana baru saja Sian Lun meninggalkan Ling Ling dan Kwee Cun.
Matahari telah mulai condong ke barat ketika empat orang ini tiba di tempat yang dituju.
Tidak seperti tadi ketika Sian Lun datang seorang diri, di depan kelenteng itu tidak sunyi,
bahkan begitu mereka tiba semua menjadi terkejut melihat Ling Ling sedang bertempur hebat
sekali melawan seorang kakek. Kwee Cun anak nakal itu berdiri menonton sambil memakimaki
keras,
“Kakek tua bangka kurang ajar ! Jangan serang enciku!”
“Liang Hwat Cinjin!” berkata Sian Lun.
“Benar, dia adalah suhengku,” berkata pula Liang Gi Cinjin. “Benar-benar tak tahu diri,
menyerang seorang gadis muda.”
Pertempuran itu hebat sekali. Pedang Oei-hong-kiam di tangan Ling Ling berkelebatan
mengeluarkan cahaya kuning sehingga Jenderal Li Goan menjadi kagum sekali. Ia sudah
mendengar dari Sian Lun akan penukaran pedang itu dan iapun tidak merasa keberatan,
bahkan ia menyatakan bahwa kalau memang gadis itu keturunan atau ahli waris ilmu pedang
dari Panglima Kam Kok Han, sudah sepatutnya pedang itu diberikan kepadanya.
Akan tetapi jelaslah bahwa Ling Ling terdesak hebat oleh ilmu silat Kim-kong-jiu yang
dilancarkan oleh sepasang lengan baju Liang Hwat Cinjin dengan hebatnya.
Melihat rombongan orang yang datang, Liang Hwat Cinjin melompat keluar dari kalangan
pertempuran. Ketika ia melihat Liang Gi Cinjin, ia tertawa menyindir dan membentak,
“Liang Gi, bagus sekali perbuatanmu! Muridmu itu telah berani melawan aku. Sudah
demikian jauhkah kekurang-ajaranmu terhadap saudara tua?”
Liang Gi Cinjin memberi hormat dan menundukkan kepalanya.
“Suheng, kau sendirilah yang mencari penyakit, tidak dapat menjaga diri sehingga yang
muda-muda berani menentangmu.”
“Bangsat kurang ajar!” bentak Liang Hwat Cinjin hendak menyerang adik seperguruannya,
akan tetapi Ling Ling membentak marah dan kembali gadis ini telah menyerangnya.
“Gadis liar, aku harus bunuh dulu padamu!” seru kakek itu dan sebuah kebutan hebat sekali
dengan ujung lengan baju kanannya membuat Ling Ling terhuyung-huyung mundur. Bukan
main hebatnya tenaga kebutan ini sehingga gadis itu tidak kuat menahannya dan kedudukan
kuda-kudanya tergempur hebat. Liang Hwat Cinjin hendak mendesak, akan tetapi tiba-tiba
Sian Lun membentak,
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 164
“Jangan kau mengganggu Ling Ling!” Pedang Pek-hong-kiam ditangan berkelebat merupakan
gulungan sinar putih dan cepat menyambar dan menyerang ke arah paha Liang Hwat Cinjin.
Pemuda ini teringat akan nasehat suhunya, maka kini ia menyerang dengan merendah dan
menujukan pedangnya ke bagian bawah dari kakek itu.
Bukan main marahnya Liang Hwat Cinjin, “Bagus, kaupun sudah bosan hidup?” Sebentar
saja, seperti juga dulu, kakek ini telah dikeroyok oleh Ling Ling dan Sian Lun. Gerakan
pedang sepasang orang muda itu benar-benar hebat sehingga semua orang yang menonoton
pertempuran itu, termasuk Jenderal Li Goan, menjadi kagum sekali.
Gerakan Ling Ling ganas dan cepat karena gadis ini yang menganggap Liang Hwat Cinjin
sebagai musuh besarnya, pembunuh Kam Kok Han, melakukan serangan-serangan maut,
sedangkan Sian Lun melakukan taktik serangan bawah yang benar saja membuat kakek itu
menjadi kacau balau gerakannya.
Sepasang lengan baju itu kalau dimainkan dengan tenaga Kim-kong-jiu dan diputar di bagian
atas, merupakan sepasang senjata yang dahsyat sekali. Akan tetapi kalau kini terbagi harus
mempertahankan bawah tubuh yang terbuka, maka daya serangnya menjadi banyak
berkurang.
Betapapun juga, sampai seratus jurus belum juga kedua orang muda itu dapat
merobohkannya. Ling Ling menjadi penasaran sekali dan cepat ia mengubah gerakan
pedangnya. Kini ia bersilat dengan ilmu pedang bagian terakhir dari Kim-gan-liong Kiam-sut,
bagian yang amat sukar dimainkan, akan tetapi amat berbahaya sehingga jarang sekali
dikeluarkan oleh Ling Ling dalam pertempuran.
Benar saja, kali ini Liang Hwat Cinjin merasa terkejut sekali. Gulungan sinar pedang
kekuningan itu seakan-akan berpencar menjadi dua yang mengurungnya dari atas dan bawah.
Liang Hwat Cinjin biarpun amat tangguh, namun ia sudah tua sekali dan pertempuran yang
amat lama ini membuatnya lelah, dan tenaga serta kegesitannya banyak berkurang. Serangan
yang hebat ini, ditambah pula oleh serangan-serangan Sian Lun yang tak kalah berbahayanya,
membuat ia tak sanggup menangkis pula.
Ujung pedang Oey-hong-kiam menusuk pahanya dan berbareng dengan itu, ujung lengan
bajunya sebelah kanan juga terbabat putus oleh Pek-hong-kiam. Ia menjerit dan roboh di atas
tanah.
Ling Ling mengangkat pedangnya dan hendak memberi tusukan terakhir, akan tetapi tiba-tiba
Liang Gi Cinjin berseru keras,
“Nona, jangan bunuh dia!”
Ling Ling menahan tusukannya, menghadapi Liang Gi Cinjin dan berkata,
“Totiang, dia ini adalah musuh besarku. Dialah yang telah membunuh sucouw Kam Kok
Han!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 165
Liang Gi Cinjin menggeleng-geleng kepalanya. “Dia bohong, nona. Bukan dia yang
membunuh Panglima Kam Kok Han, akan tetapi seorang jenderal she Gui yang sudah lama
meninggal dunia. Suheng, mengapa kau tidak mau memberi penjelasan?”
Akan tetapi Liang Hwat Cinjin yang kini sudah dapat duduk dengan paha berlumur darah,
tersenyum dan berkata, “Hayo lekas bunuh aku! Aku sudah kalah oleh dua orang muda,
sungguh memalukan. Tidak lekas menghabisi nyawaku mau tunggu apa lagi?”
“Liang Hwat Suheng, bukalah matamu baik-baik. Kau berhadapan dengan calon Kaisar,
apakah kau masih bersikap jahat dan keras kepala? Inilah Jenderal Li Goan yang gagah
perkasa, yang telah membebaskan kesengsaraan rakyat dari tindasan pemerintahan Sui.
Apakah kau tidak tunduk?”
Liang Gi Cinjin maklum akan watak suhengnya ini. Betapapun jahatnya, Liang Hwat Cinjin
adalah seorang yang berjiwa patriot. Sudah berkali-kali tosu ini dahulu mencoba untuk
membunuh kaisar, akan tetapi selalu gagal.
Bahkan, yang membunuh Jenderal she Gui, pembunuh dari Kam Kok Han, adalah Liang
Hwat Cinjin sendiri. Hal ini baru diketahui oleh Ling Ling dan Sian Lun setelah mereka kelak
mendengar penuturan Liang Gi Cinjin.
Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan sutenya itu, lalu memandang kepada Jenderal Li Goan
yang sudah menghampirinya. Jenderal ini memandangnya dengan tersenyum dan berkata,
“Liang Hwat Totiang, lupakah kau kepadaku? Lupakah kau ketika kita bahu membahu
menghadapi serbuan tentara dari Mongol dahulu?”
Terbelalak mata Liang Hwat Cinjin. Tentu saja ia teringat kepada jenderal ini, yang amat
dikagumi dan dipujinya. Saking menyesalnya atas kesesatannya sendiri dan saking terharunya
melihat jenderal itu berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar, tiba-tiba Liang Hwat Cinjin
lalu menangis.
“Biarlah pinto pergi bersama suheng, karena kami berdua sudah terlalu tua untuk mencampuri
urusan dunia. Sian Lun, aku telah meninggalkan urusan Pek-sim-kauw kepada seorang murid,
dan kau supaya suka membantu pergerakan perkumpulan itu. Dan sekali lagi aku usulkan
perjodohanmu dengan Toat-beng Mo-li. Nona, biarlah aku mempergunakan kesempatan ini
untuk menjadi comblang melamarmu untuk menjadi jodoh muridku. Bagaimana
jawabanmu?”
Akan tetapi, Ling Ling tidak menjawab, hanya memandang kepada Kwee Siong yang
semenjak tadi juga sedang memandangnya dengan mata basah.
“Ling Ling ......” bisiknya.
“Ayah ....!” Ling Ling menubruk kaki ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. Kwee Cun juga
lari kepadanya dan memeluk encinya sambil menangis penuh bahagia.
Hanya Jenderal Li Goan saja yang tidak terkejut melihat pemandangan ini karena ia telah
mendengar dari Kwee Siong. Yang paling merasa aneh sehingga berdiri melongo seperti
patung adalah Sian Lun. Ia merasa seakan-akan sedang mimpi.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 166
Adapun Ling Ling yang merasa betapa ia tadi belum menjawab pinangan dan pertanyaan
Liang Gi Cinjin, lalu berpaling kepada kakek itu dan berkata perlahan, “Totiang, aku
menyerahkan segala hal kepada ayahku.”
Bukan main girangnya hati Kwee Siong, ia mengelus-elus kepala puterinya dan berkata,
“Ling Ling ...... anak baik .....” dan di dalam tangisnya ia berkata kepada ketua dari Pek-simkauw
itu,
“Totiang, sudah lama sekali aku telah tunangkan puteriku ini kepada keponakanku, Liem Sian
Lun. Maka usulmu tadi hanya merupakan pengesahan belaka dari pertunangan mereka.”
“Bagaimana, Sian Lun?” Liang Gi Cinjin menggoda muridnya yang masih berdiri seperti
patung. Merah wajah pemuda ini, merah karena malu dan girang. Ia cepat menjatuhkan diri
berlutut dan berkata,
“Teecu hanya menerima titah dan .... dan ... berterima kasih.”
Sambil tertawa-tawa Liang Gi Cinjin lalu membawa suhengnya, yang digandeng dan setengah
diangkatnya, pergi dari tempat itu. Adapun Kwee Siong lalu duduk di atas rumput dikelilingi
oleh Jenderal Li, Sian Lun, Ling Ling, dan Kwee Cun.
Dia menceritakan tentang pengalamannya yang dulu, mengenai riwayat hidupnya betapa ia
terpisah dari Sui Giok, isterinya. Mereka bergembira, pertemuan yang amat mengharukan.
Pertemuan antara air mata dan tawa, karena disamping kegembiraan, Kwee Siong juga
berduka mendengar tentang tewasnya isterinya, Sui Giok yang bernasib malang.
“Ia gugur sebagai seorang puteri tanah air yang gagah perkasa, mengapa terlalu disedihkan?”
kata Jenderal Li Goan. “Mati sebagai seorang patriot yang gagah adalah kematian terhormat,
yang patut dibanggakan oleh anak cucu, karena biarpun andaikata namanya akan terlupakan
orang, namun darah yang mengalir dari tubuhnya telah menyuburkan tanah air, telah mencuci
rakyat jelata bersih daripada penindasan dan penghisapan kejam.”
Demikianlah, ramai-ramai mereka lalu kembali ke Tiang-an dan tentu saja dapat diduga
bahwa di antara mereka, yang merasa paling bahagia adalah Ling Ling dan Sian Lun.
Sungguhpun keduanya tidak berani membuka mulut saking jengah dan malu digoda terusterusan
oleh Kwee Cun, namun senyum dan kerling mereka telah bicara banyak.
******
Demikianlah cerita ini ditutup dengan catatan bahwa setelah semua sisa-sisa pengikut kaisar
Yang-te dapat dihancurkan, dibunuh atau ditawan, sebagian besar menyerah, maka dalam
tahun 619 atas pilihan semua pembesar yang berpengaruh, Jenderal Li Goan naik tahta
kerajaan dengan megahnya. Semenjak saat dia menduduki tahta kaisar inilah maka di
Tiongkok dimulai dinasti kerajaan Tang yang akan menjadi sebuah kerajaan yang jaya dan
kuat.
Kwee Siong tetap menjabat pangkat tinggi dan selalu menjadi penasehatnya, adapun Liem
Sian Lun diangkat menjadi panglima muda yang gagah dan banyak berjasa dalam penindasan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 167
kaum pemberontak yang dihasut oleh sisa-sisa orang yang masih bersetia kepada kerajaan Sui
yang sudah musnah.
Hampir berbareng dengan pengangkatannya, yakni beberapa saat setelah penobatan Jenderal
Li Goan sebagai Kaisar pemerintah Tang, dilangsungkan pernikahan antara Sian Lun dan
Ling Ling, pesta pertama dalam kota raja yang baru sehingga amat menggembirakan
penduduk di ibu kota.
T A M A T
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru