Rabu, 27 September 2017

Pendekar Bongkok 4 Cersil Top

Pendekar Bongkok 4 Cersil Top Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Pendekar Bongkok 4 Cersil Top
kumpulan cerita silat cersil online
-
“Saudara sekalian tidak perlu berterima kasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian
bisa mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perkenankan aku pergi.”
Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang
dengan heran melihat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorang pun yang
berani bertanya. Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hendak mengantarkan gadis yang tidak
dijemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri.
Mereka pun bubar dengan hati gembira karena gadis-gadis itu ternyata dalam keadaan selamat. Di dusun
itu nama Pendekar Bongkok lebih dikenal dari pada nama Sie Liong. Mereka tidak akan pernah melupakan
pertolongan yang diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai siluman
merah, penculik gadis-gadis remaja yang cantik.
“Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,”
demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk
dusun.
Wajah yang manis itu basah oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berjalan saja, seolah tidak mempedulikan
gadis yang berjalan di belakangnya itu, bahkan kadang-kadang dia sengaja melangkah lebar sehingga Ling
Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya.
Sie Liong mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan dia mendengar pula betapa pernapasan gadis
itu mulai memburu. Akan tetapi, sedikit pun Sie Liong tidak pernah mendengar gadis itu mengeluh.
Kini, dia berhenti dan berkata demikian sambil menatap wajah itu. Wajah itu basah oleh keringat, dan
napas gadis itu agak memburu, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sedikit pun
kekesalan hati. Bahkan wajah itu berseri-seri dan penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia menjawab
lantang dan mantap, tanpa ragu.
“Tentu saja, taihiap! Aku akan mentaati semua perintahmu, biar pun untuk itu aku harus berkorban
nyawa...” tiba-tiba dia cepat menyambung kalimat yang sebenarnya sudah berakhir itu, “... asal saja taihiap
tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!”
Sie Liong tersenyum. Gadis dusun ini sederhana dan tabah, tapi dalam kesederhanaan, ternyata ia cerdik
juga.
“Nah, kalau begitu, perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Liong dan
mengingat bahwa engkau pantas menjadi adikku, sebut saja aku sebagai kakakmu.”
“Baiklah, Liong-ko (kakak Liong)!” kata Ling Ling gembira.
“Dan ke dua, sekarang engkau harus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu.” Dia melihat wajah itu
terkejut, maka disambungnya cepat, “Bagaimana pun juga, aku ingin menemui mereka dan mengatakan
bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap
mereka, dan juga tidak baik pergi begitu saja tanpa pamit.”
Ling Ling mengangguk, nampak hilang kagetnya. “Baiklah, Liong-ko.”
Mereka pun pergi menuju ke dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika tiba di rumah itu,
mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang pada Ling Ling dengan mulut cemberut.
Apa lagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama seorang pemuda bongkok.
Ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera menudingkan telunjuknya kepada Ling Ling
dan mulutnya langsung mengeluarkan makian.
“Perempuan tak tahu malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah akan tetapi minggat bersama
siluman bongkok ini, ya? Bagus, engkau membikin malu padaku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dasar anak tak tahu diri, tidak mengenal budi!” bentak ibu angkatnya. “Bertahun-tahun kami
memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, sekarang tidak membalas budi malah
melempar kotoran ke rumah kami!”
Sejak tadi Sie Liong mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti
berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mulutnya lebar dan giginya yang panjang-panjang
itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir. Matanya membayangkan wataknya yang kurang baik.
Ada pun wanita itu beberapa tahun lebih muda. Tubuhnya gendut dan hidungnya pesek, dengan muka
yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh ia merasa heran bagaimana sepasang suami
isteri seperti ini menjadi orang tua angkat seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu
sebagai orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.
“Ayah, ibu, aku tidak minggat, memang benar diculik...”
“Diculik setan bongkok ini, ya? Sungguh kalian pantas dihajar!” habis berkata demikian, laki-laki jangkung
itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie Liong.
Apa bila menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul menghancurkan mulut
yang giginya panjang-panjang itu. Namun dia tidak menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap
lengan yang memukul, lalu memuntirnya dan mendorongnya.
Pria itu mengeluarkan teriakan dan roboh terbanting lalu berguling-guling, berteriak mengaduh-aduh.
Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan membentuk cakar telah siap mencakari muka Ling Ling yang
berdiri diam saja tidak melawan.
Akan tetapi, sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang
oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke atas tanah dan ia
mengaduh-aduh, mengelus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh
telentang.
“Berani kamu memukul orang...?”
Ayah angkat Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin marah, akan
tetapi hanya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi menyerang.
Pada saat itu juga, beberapa orang dusun yang tadi turut menyerbu ke bukit Onta, datang mengiringkan
dua orang gadis dusun itu yang terbebas dari penculikan. Melihat betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling
memaki-maki Pendekar Bongkok, mereka terkejut dan cepat semua orang lari ke situ.
“Engkau setan bongkok, kunyuk bongkok, beraninya melarikan gadis orang!” teriak ayah angkat gadis itu
yang menjadi semakin berani melihat para tetangga berlarian datang.
“Heiii! Gumalung... tutup mulutmu yang kotor itu!” bentak beberapa orang. Mendengar ini, tentu saja
Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.
“Sungguh engkau lancang mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini? Dia adalah Sie Taihiap! Dialah yang
telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Malah anak kalian Ling Ling juga
dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan makian. Kalian sungguh orang-orang
yang jahat!”
Mendengar ini, seketika pucat wajah Gumalung dan isterinya. “Ahhh... ohhh... maafkan kami... maafkan
kami... sungguh kami tidak tahu…” kata Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membungkukbungkuk.
“Sudahlah!” kata Sie Liong membentak. Melihat banyak orang di sana, dia menganggap kebetulan sekali
untuk membersihkan nama Ling Ling.
“Kalian memang suami isteri yang tidak berbudi! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun, dengan dalih tidak
memiliki anak, kalian kemudian mengangkat dia sebagai anak. Ling Ling telah bekerja seperti budak di sini
untuk membalas budi kalian. Akan tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai
dunia-kangouw.blogspot.com
bersikap tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi
permintaanmu yang kotor itu, engkau lalu membencinya. Dan isterinya yang tidak tahu diri ini bukannya
menyalahkan suaminya, bahkan juga membenci Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian berdua
katakan, betul tidak apa yang kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku terus terang, baru akan
kumaafkan. Kalau kalian membohong, aku akan turun tangan menghajar kalian!”
Suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga
merasa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini sudah berdatangan ke tempat itu.
Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya isteri yang galak itu menuding-nudingkan telunjuknya ke
muka suaminya.
“Memang engkau yang celaka! Engkau suami tidak setia, engkau rakus, engkau suami mata keranjang!
Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak memaksa Ling Ling, akan tetapi engkau selalu
mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar! Perempuan mana yang sudi menggoda
laki-laki bermuka buruk seperti mukamu? Engkau hendak memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang
layak mampus!” Wanita itu menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakarcakar.
Suaminya cepat-cepat menangkap kedua pergelangan tangan isterinya dan mereka pun mulai bersitegang.
Agaknya si suami yang kerempeng ini kalah tenaga sehingga justru dialah yang terbawa terhuyung ke
kanan kiri.
“Engkau perempuan cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau iri hati dan cemburu melihat ia
cantik jelita, tidak macam engkau ini babi gemuk!”
“Apa kau bilang? Aku babi? Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!”
Kedua suami isteri itu saling dorong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Tidak ada
seorang pun yang berusaha untuk memisahkan pasangan suami isteri itu.
Sie Liong dengan gerakan tidak sabar segera maju. Sekali dia menggerakkan tangan, kedua suami isteri
itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya lalu terpelanting, untuk kedua kalinya mereka terbanting
jatuh. Keduanya sangat terkejut, kesakitan dan ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap
Pendekar Bongkok.
“Taihiap, ampunkan saya...” Wanita itu merengek.
“Taihiap, ampunkan kami, kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling...” kata sang suami, lalu
tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia pun menyambung, “Ling Ling, maafkanlah ayahmu yang
bersalah ini...”
“Aku tidak mempunyai ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi
meninggalkan kalian!”
“Ehhh...? Kenapa, Ling Ling? Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?” Gumalung berseru kaget, juga
isterinya kaget mendengar ucapan ini.
Mereka memang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu merupakan
kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka akan repot apa bila ditinggalkan Ling Ling yang
mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.
“Tapi, kau tidak bisa meninggalkan kami begitu saja, Ling Ling!” kata pula Nona gendut itu.
Sie Liong sudah merasa lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari
mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang pun sudah mendengarnya. Maka, dia pun lalu
berkata dengan suara tegas.
“Ling Ling akan meninggalkan rumah ini, dan dia akan pergi bersamaku. Apakah kalian merasa
berkeberatan?”
“Tapi... tapi... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling... pakaian tidak tercuci bersih,
masakan pun tidak enak rasanya...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?” bentak isterinya. “Kalau kurang bersih, kau cuci sendiri
pakaianmu, dan kalau engkau tak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar! Taihiap, kami memang
berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena... karena...”
“Karena apa?” Sie Liong mendesak.
Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya dia takut untuk bicara. Akan tetapi dengan
memaksa diri akhirnya dia berkata juga, “... anak itu sudah delapan tahun tinggal bersama kami... dan
entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya... pakaiannya...”
Sie Liong menahan diri untuk tidak menampar muka wanita itu. “Hemmmm, jadi engkau merasa rugi?
Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?”
“Sedikitnya seratus tail perak...”
Terdengar suara orang-orang yang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa sikap
orang tua angkat Ling Ling itu keterlaluan sekali.
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang muncul adalah Gumo Cali
dan beberapa orang dusun lainnya yang tadi memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali cepat
memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas
kudanya.
“Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan
uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua sudah bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada
taihiap!”
Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana caranya dia akan dapat
membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu. Dan sekarang mereka datang hendak
menyerahkan uang, bukan hanya seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong,
ternyata ada saja jalannya!
“Terima kasih!” katanya. “Tolong ambilkan seratus tail perak dan serahkan kepadaku.”
Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak
senilai lima tail itu besar dan berkilauan, jumlahnya ada sebanyak dua puluh buah.
“Lihat, inilah uang yang pernah kau keluarkan untuk Ling Ling!” berkata demikian, Sie Liong mengambil
gumpalan-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding.
Potongan potongan perak itu beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar
dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak dan muka
pucat. Kalau saja tadi gumpalan perak itu diarahkan kepada mereka, tentu akan remuk dada mereka dan
pecah kepala mereka!
“Paman, harap sisanya ini paman bagi-bagikan kepada para gadis yang sudah menjadi korban penculikan.
Nah, selamat tinggal dan terima kasih!”
Bersama Ling Ling yang sudah berlari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan
bekal pakaian itu ke dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu…..
********************
Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walau
pun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk
dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil.
Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan. Dia membuka baju luarnya yang agak tebal,
kemudian diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Melihat hal ini, Ling Ling tersenyum dan menarik
baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti lehernya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Terima kasih...” katanya lirih.
Ling Ling termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa kedua
kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena seharian itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit.
Ia tidak pernah mengeluh walau pun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa
tebal dan panas sekali.
Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah
makan apa pun. Minum pun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi. Ia tidak
tahu betapa pemuda itu semenjak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya.
Ia merasa berbahagia! Biar pun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah
meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tidak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apa lagi
karena sepanjang hari itu dia banyak bergerak jalan, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di
bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak.
Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu
dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah
yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling.
Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan
kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan. Namun, gadis itu selalu tersenyum,
tidak pernah mengeluh.
Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut bersama dengan dia
mengembara dan hidup serba kekurangan. Tetapi selama sepekan ini dia mendapatkan kenyataan bahwa
memang gadis ini hebat bukan main!
Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki
batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak
cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling.
Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Dia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang
matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut agak
lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan lebih dahulu pandang matanya, merasa tidak enak
memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.
“Liong-ko, ada apakah? Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu.”
Sie Liong memandang padanya sambil tersenyum. “Aku hanya ingin bertanya, apakah engkau masih
kedinginan, Ling Ling?”
Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar. “Tadi aku memang kedinginan,
akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko.”
Mereka diam sejenak.
“Lelah...?” terdengar Sie Liong bertanya.
Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk. “Akan tetapi,
alangkah nyamannya dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!”
“Kakimu terasa nyeri?”
Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang ke kakinya,
kemudian menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri
bukan main, akan tetapi ia sama sekali tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya
dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggelengkan kepala.
“Tidak, tidak nyeri...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu
mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.
“Lapar...?” tanyanya sambil menatap wajah itu.
Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Kembali gadis itu tersenyum dan
menggelengkan kepalanya, sekali ini sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.
“Ling Ling, aku melihat engkau adalah seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau
membohongi aku?”
Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang sedang dipegangnya terlepas dan matanya
terbelalak ketika dia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar
heran, “Aku? Bohong?”
Sie Liong menganguk dan tersenyum. “Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu pasti nyeri
sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu
bohong namanya?”
Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu pun berseri kembali.
“Aih, Liong-ko, engkau benar-benar mengejutkan aku. Kiranya itu yang kau namakan bohong. Itu bukan
bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati.”
“Hemm, apa pula maksudnya itu?”
“Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?”
“Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan pada saat engkau
meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Juga sejak pagi
kita belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku sempat mendengar perutmu
berkeruyuk.”
Ling Ling tertawa sambil menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga sangat malu. “Ihhh, engkau membikin
aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang kujawab
pertanyaanmu tadi. Memang kakiku terasa nyeri, habis mengapa? Andai kata aku mengaku nyeri pun,
pengakuan itu tak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi diri
sendiri saja, mengatakan tidak nyeri sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku
yang lapar. Jika aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku
tidak lapar supaya rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku
menjawab ya karena di sini ada tempat beristirahat untuk menghilangkan lelah dan api unggun penahan
dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohong, ya koko?”
Kalimat terakhir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan
senyum dan hatinya terharu. Dia teringat kepada Yauw Bi Sian.
Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga sering
merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti
permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang merengek, kini pun ia menuruti permintaan Ling Ling
dan dia mengangguk.
“Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku hendak membuat pengakuan.”
Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik. “Engkau hendak membuat pengakuan?
Pengakuan apa lagi, Liong-ko?”
“Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling...”
“Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kau maksudkan ini? Bagiku engkaulah satu-satunya orang
yang paling baik di dunia ini. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara
dan keluargaku, menjadi sahabat dan juga guruku...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau sudah
kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, memaksamu berjalan jauh melalui bukit dan
tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan? Bukankah selama sepekan ini aku
juga membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu lelah, kakimu nyeri, perut lapar dan mulut haus?
Aku telah bersikap kejam sekali!”
“Tidak, tidak! Aku tidak pernah menganggapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita
berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan? Rumah
kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di
dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita bertilamkan
rumput lunak, kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung...”
Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan
tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan
saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa di dalam hatinya tersapu bersih, membuat dia pun ikut
gembira. Tiba-tiba saja segala sesuatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!
“Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku
sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan kehausan!”
Gadis itu memandang heran. “Kau sengaja? Aku... aku tak mengerti maksudmu, koko.”
“Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar
sudah nekat untuk tetap ikut denganku. Apa bila engkau tidak kuat, aku akan mencarikan tempat yang baik
untukmu, pada sebuah keluarga yang dapat kupercaya dan...”
“Liong-ko, kenapa begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup ini,
ialah ikut denganmu ke mana pun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini,
hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biar pun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut
denganmu, koko!”
Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan nampak oleh gadis ini betapa wajahnya merasa terharu
sekali. Apakah yang mendorong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ahhh,
bagaimana mungkin?
Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, jijik melihat keadaan tubuhnya.
Bagaimana mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa
atau pun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir batinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan
mudah menundukkan hati pria yang mana pun.
“Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku
masih menyimpan roti tawar, kini hanya tinggal mencari daging segar untuk dijadikan teman roti.”
“Tapi...”
“Ssstttt, di sana ada daging...!”
Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, secara tiba-tiba menyambitkan
ranting itu ke arah kiri. Ranting itu pun meluncur bagaikan anak panah ke dalam semak-semak tidak jauh
dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat
hal ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.
“Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali... ahhh, akan kubuatkan daging kelinci panggang
yang lezat untukmu, Liong-ko.” Mendadak ia kelihatan bimbang dan kemudian mengeluh. “Ahh, bagaimana
mungkin dapat lezat tanpa bumbu?”
Melihat wajah gadis yang tadinya sangat gembira itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong tersenyum. “Jangan
khawatir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kau butuhkan? Katakan saja!”
Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dia butuhkan itu hanya dapat dibeli di
pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa mendapatkan bumbu untuk memanggang daging kelinci tadi?
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan lesu dia pun menjawab, “Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk
penyedap, garam... dan gula agar terasa gurih dan manis...”
Akan tetapi, Ling Ling terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu dari
dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.
“Seorang pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling.”
Akan tetapi gadis itu kini sudah bekerja keras, apa lagi ketika Sie Liong menyerahkan sebatang pisau yang
sangat tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan
dinginnya hawa udara dan sambil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu
dan mengambil dagingnya.
Kegembiraan gadis itu menular kepada Sie Liong. Dia pun merasa gembira dan lincah, merasa seolah-olah
dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging, lalu membantu
Ling Ling dan tidak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena bumbunya lengkap,
membuat perut mereka makin keras berkeruyuk saling bersahutan.
Sie Liong lalu mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci anggur merah yang tidak keras, melainkan
anggur manis. Dan kemudian mereka pun makan roti tawar dengan daging kelinci panggang yang benar
lezat karena masih segar, lunak dan gurih.
Pada waktu mereka makan ini pun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin
termenung dan hatinya berdebar aneh. Kenapa mereka berdua berebut saling memilihkan daging terbaik?
Kenapa mereka saling mementingkan kawannya dan saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa
heran dan ragu.
Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian, keponakannya!
Hanya bedanya, jika dari Bi Sian dia tidak merasakan perhatian lainnya kecuali kasih sayang yang
kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain.
Sebaliknya, dari Ling Ling dia dapat merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat
dirinya merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah cinta? Dia
tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk dapat menduga sejauh itu.
Kini perut mereka tidak berkeruyuk lagi. Mereka menemukan sumber air tidak jauh dari situ. Sesudah
mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka
membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kembali mereka saling berpandangan
melalui atas nyala api.
“Ling Ling...” Sie Liong meragu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi
hatinya.
Gadis itu memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan
agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.
“Ya, Liong-ko?”
Aku heran sekali...”
Melihat pemuda itu jadi meragu, Ling Ling menjadi penasaran. “Apa yang kau herankan, Liong-ko?”
“Engkau...”
“Ehhh? Aku kenapa sih?” Ling Ling tertawa kecil. “Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang
mengherankan pada diriku?”
“Seorang gadis seperti engkau... mengapa nekat hendak ikut dengan aku? Aku seorang laki-laki yang
sebatang kara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa...”
“Sama dengan aku!” Ling Ling menyambung cepat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku...”
“Engkau adalah seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang mengagumkan dan hebat sekali,
dan...”
“Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku adalah seorang laki-laki yang cacat, bongkok dan menjijikkan...”
“Cukup, Liong-ko!” Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar
seperti orang marah. “Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau muncul di
ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan melihatmu dan mengira engkau adalah seorang penjahat
karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau seperti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku
tidak dapat melupakan pandang matamu pada waktu itu dan di saat itu pula aku... aku memutuskan untuk
ikut denganmu, ke mana pun engkau pergi...” Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu menjadi
lembut sinarnya, mata itu seperti redup.
“Kenapa, Ling Ling? Justru itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau berani mengambil
keputusan yang begitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak engkau kenal sama sekali?”
“Pada saat itu aku melihat pandang matamu seperti itu, koko, aku... aku merasa hatiku tertusuk, aku
merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan,
menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku
takut membayangkan harus kembali ke rumah orang tua angkatku, melainkan terutama sekali karena
kasihan kepadamu!”
Sie Liong menatap tajam wajah gadis itu. “Engkau kasihan kepadaku karena... tubuhku bongkok? Karena
cacat tubuhku?”
Dengan tegas Ling Ling menggelengkan kepalanya. “Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus
dikasihani? Walau pun engkau mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama sekali tidak mengganggumu,
bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan
kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan
diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci kepadamu...”
“Memang kenyataannya demikian!” kata Sie Liong, suaranya agak keras.
“Tidak, tidak semua merasa seperti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah
kepada seorang pria yang cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal yang terlalu memalukan, tidak seperti
cacat batin! Tidak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya... aku kagum kepadamu,
aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah...”
“... dan paling buruk?” Sie Liong menambahkan sambil tersenyum pahit.
Ling Ling mengerutkan alisnya. “Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah cara engkau tersenyum
ketika berdiri di ambang pintu itu, tersenyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak peduli!
Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!”
Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, dan jantungnya berdebar keras. Dan dia pun
lalu bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nampak dalam pandangannya.
Dia melihat seorang gadis yang sangat cantik manis, yang menimbulkan rasa iba dan suka, seorang gadis
yang membuat dia merasa berbahagia. Pandang mata yang bening itu seperti memberi nyala hidup dalam
hatinya, senyum manis di bibir itu seperti tetesan embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering
dan dia pun mendadak tertawa bergelak.
Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian malam. Beberapa ekor burung yang
bertengger di pepohonan yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan
bahwa mereka itu terkejut sekali dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu.
Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong dengah sinar mata khawatir. Suara tawa pemuda itu mulamula
perlahan, semakin lama semakin kuat dan anehnya, dia seperti mendengar isak tangis terselip di
antara bunyi tawa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagaikan terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat
pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan
dia pun berteriak dengan gelisah.
“Liong-ko...! Liong-ko... Kau... kau kenapa, Liong-ko?”
Ketika merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi pada waktu tertawa
dia menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling
di dekatnya dan gadis itu kelihatan gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat
akan keadaan dirinya dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.
“Ling Ling...!”
“Liong-ko... ahhh, Liong-koko...!”
Keduanya saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuat seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak
akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak mengandung nafsu
birahi sama sekali.
Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia
melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya, akan tetapi dia
diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong.
Mereka duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Dengan suara menggetar karena keharuan Sie
Liong berkata lirih.
“Ling Ling, terima kasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!”
“Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi kehidupan yang kejam ini, Liongko.”
“Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memiliki cukup tenaga untuk
melanjutkan perjalanan, Ling Ling.”
Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut,
dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.
“Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko? Engkau pun harus mengaso!”
Pemuda itu tersenyum. “Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur
karena harus menjagamu, menjaga supaya api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja aku
akan dapat melepaskan lelah.”
“Baiklah, Liong-ko.”
Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan punggung tangan karena dia merasa lelah sekali dan
mengantuk. Begitu dia merebahkan diri miring, dia pun pulas tertidur.
Dia miring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru
dan rasa sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan kebahagiaan, dan
napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air untuk mandi. Hawa sangat
dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat sekali, maka mandi di waktu pagi itu terasa amat segar
dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat
dingin itu.
Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan
Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini tidak mengurangi kecantikan gadis
itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa kecil.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hi-hik-hik, aku tidak berani mandi.
Hawa begini dinginnya dan air itu tentu amat dingin pula seperti salju!” Ia mengeluarkan pakaian dari dalam
buntalannya. “Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci pakaian yang kotor. Kesinikan
pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan aku cucikan sekalian!”
Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya. “Sudah kucuci tadi!” katanya.
Gadis itu cemberut. “Aihh, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apa kau kira aku tidak
dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kau cuci sendiri!”
Sie Liong mengangguk dan tertawa. “Baiklah, Ling Ling, aku berjanji.”
Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari tempat itu,
menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang sambil tersenyum.
Sesudah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon, dia pun membuat persiapan untuk
memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan.
Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana
nampak indah bukan main. Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung
yang kini mulai sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas kewajiban mereka sehari-hari, yaitu
mencari makan.
Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihiasi butir-butir embun yang seperti
mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah. Kicau burung bagaikan musik yang
amat riang dan merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang diri.
Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Roti yang dipanggangnya sudah matang sejak tadi. Terlalu lama gadis
itu pergi ke sumber air, pikirnya. Biar pun dengan mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak.
Mestinya sudah selesai sejak tadi.
Dia bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber air itu. Tak nampak dari situ
karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber air itu agak menurun.
“Ling Ling...!” Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai ke sumber air itu.
Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.
“Ling Ling, rotinya sudah masak...” Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban.
Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andai kata gadis itu menjawabnya,
tentu dengan pendengarannya yang peka terlatih, dia pasti akan bisa mendengarnya.
Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan
telanjang. Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia melangkah ke arah sumber air.
Setelah tiba di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber bermain
dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air, atau mencuci
pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.
“Ling Ling...!” Dia memanggil lagi.
Sekarang tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu berada dekat di
bawahnya, biar pun belum nampak dari situ karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban!
Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Tidak
nampak bayangan Ling Ling sama sekali.
“Ling Ling...!” Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban.
Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik
pakaian kotor yang akan dicucinya tadi mau pun pakaian kering untuk ganti. Gadis itu lenyap, tanpa
berpakaian!
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajahnya seketika pucat ketika detik jantungnya seperti terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar
penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain? Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka
pucat dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada
hanyalah jejak-jejak kaki!
Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu
masih baru sekali. Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu sudah diculik oleh entah berapa orang laki-laki, dalam
keadaan telanjang bulat!
Dengan hati tidak karuan rasanya, dipenuhi oleh kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat.
Jejak itu membawanya masuk hutan. Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia
mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam.
Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika melihat apa yang terjadi di
balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu.
Ling Ling, dalam keadaan telanjang bulat sedang menggeliat-geliat dan meronta-ronta, melawan matimatian
terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua tangan
dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi, yang brewokan, sambil terkekeh-kekeh berusaha untuk
memperkosanya!
Ling Ling meronta-ronta, menggigit, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biar pun demikian,
bagaikan seekor singa betina Ling Ling mempertaruhkan kehormatannya.
Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang itu terkejut,
menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang seolah-olah
dibakar nyala api. Matanya mencorong, napasnya seperti mengeluarkan uap panas.
Begitu tubuhnya menerjang ke depan dan tangannya menyambar, maka rambut kepala si brewok itu telah
dijambaknya. Dengan sekali angkat, tubuh si brewok yang setengah telanjang itu sudah diangkat dan
diayun-ayun ke atas kepalanya seakan-akan tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai kain saja.
Si brewok berteriak-teriak, dia ketakutan setengah mati. Akan tetapi, dengan kemarahan meluap-luap Sie
Liong membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.
“Prakkk!” kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama darah.
Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak
dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling. Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa
mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari punggung masingmasing
lantas serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok mereka.
Akan tetapi, kembali Sie Liong mengeluarkan suara melengking, menyambut mereka dengan kaki kanan
yang melakukan tendangan berputar.
Terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang
itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri karena pergelangan tangan
kanan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi!
Sekarang mereka memandang dengan kedua mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bongkok
itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Dan saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan
diri berlutut.
“Ampun... ampunkan kami...”
Akan tetapi, lengkingan ketiga kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat
kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan tulang
leher patah-patah!
Ling Ling yang berlutut di atas tanah, memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat. Biar pun ia
merasa merah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi di
dunia-kangouw.blogspot.com
depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah
lembut itu mengamuk, laksana iblis maut sendiri!
Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, dia pun lalu
menghampirinya.
“Ling Ling..., kau tidak apa-apa...?” tanyanya lembut.
“Liong-ko...!” Ling Ling menjerit dan ia pun pingsan dalam dekapan Sie Liong.
Pemuda itu lalu memondongnya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan
membawa gadis itu kembali ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Sambil memaksa matanya supaya
jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia lalu merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan
menyelimuti tubuh yang telanjang itu. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya.
Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena
teringat kembali akan peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk.
Sie Liong merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling bahkan meronta-ronta
dan menjerit semakin nyaring.
“Lepaskan aku...! Lepaskan! Keparat jahanam kalian... lepaskan akuuuu...!”
Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.
“Ling Ling, lihat siapa aku...!” katanya setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang dilanda
ketakutan dan kengerian itu.
Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul. “Liong-ko... ahhh, Liong-ko...!”
Dan dia pun menangis di dada Sie Liong, tanpa sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya menjadi
terbuka.
“Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari kelima orang anjing itu! Tenanglah, dan
pakailah pakaian ini...” Sie Liong menutupkan lagi selimut yang tadinya menutupi tubuh gadis itu.
Ling Ling baru sadar bahwa kini ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi
dan ia pun bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia cepat mengenakan pakaiannya di balik
selimut.
Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menarik
napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali.
Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran. “Liongko,
engkau kenapakah...? Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi... ketika aku berada di sumber, ketika aku
habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti pakaian, mendadak mereka itu datang
menyergapku. Aku tidak dapat menjerit karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian.
Pada waktu engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di
sana... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi...”
Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali
karena kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang amat panas! Ling Ling melangkah maju dan
memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan
menangis!
“Liong-ko, engkau kenapa? Engkau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?”
Suara itu parau dan penuh penyesalan. “Aku telah membunuh mereka...”
Gadis itu memandang heran. “Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kau bunuh!
Mereka itu jahat sekali!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sie Liong menghela napas panjang.
“Untuk menentang kejahatan, memang kadang-kadang terpaksa kita harus membunuh, akan tetapi tidak
seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Aku tadi membunuh karena rasa benci! Membunuh dengan hati
dipenuhi dendam kebencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membunuh
karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka...!”
“Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman,
penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segerombolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka
melakukan kejahatan. Bayangkan saja andai kata tidak ada engkau, Liong-ko, aihh... aku akan tertimpa
mala petaka yang bagiku bahkan lebih mengerikan dan menyedihkan dari pada maut sendiri. Engkau
sudah benar, Liong-ko, tidak ada sesuatu untuk disesalkan.”
Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak segembira malam tadi atau
pagi tadi sebelum terjadi peristiwa itu.
“Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang-barang kita untuk melanjutkan
perjalanan. Akan tetapi, sebelum itu aku akan menguburkan lebih dulu lima jenazah itu.”
“Menguburkan mereka?” Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, ia pun
menunduk. “Baiklah, Liong-ko... aku hanya menuruti semua perintahmu.”
Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling Ling, senyum Sie Liong melebar dan tak begitu pahit lagi.
Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya.
Dia tadi merasa amat terpukul dan berduka sekali mengenangkan kekejaman yang telah dilakukannya
terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena cemburu
dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan,
demikian yang selalu dipesankan oleh Pek-sim Siansu kepadanya.
Tidak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang
tidak pernah dikenalnya itu. Orang-orang yang kini menjadi jenazah karena sudah dibunuhnya secara
kejam.
Ling Ling hanya menonton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini
semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati
lembut. Mana ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya?
Setelah selesai mengubur jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie
Liong lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perjalanan ke selatan…..
********************
Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lhasa, ibu kota di Tibet. Meski
pun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena letak tempat ini terlalu
jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan.
Hanya orang-orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke
Telaga Nam. Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke Tibet
hanyalah kaum pedagang, dan yang mereka kunjungi hanya kota-kota besar seperti Lhasa. Yang
berkunjung ke telaga Nam hanyalah orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet.
Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung
perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang memandangnya.
Yang pria merupakan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan
dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanannya. Wajahnya berbentuk
bulat dengan kulit muka putih bersih. Sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali, dengan kedua
mata yang tajam mencorong, tapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman.
Hidungnya besar mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun yang wanita adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun.
Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah
yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu cerah, penuh dengan senyuman dan pandang mata
jenaka, wajah yang hampir selalu berseri-seri.
Anehnya, gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain
tambalan itu sama sekali bukanlah kain buntut. Agaknya memang sengaja dibuat tambal-tambalan dari
bahan kain yang baru! Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sute-nya, Coa Bong Gan. Biar pun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian,
namun dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid Koay
Tojin.
Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya
menjadi teman sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah
membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas
dendam atas kematian ayahnya. Dan ia minta bantuan sute-nya, Coa Bong Gan, untuk membantunya
mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong amat lihainya sebagai murid
supek-nya, yaitu Pek-sim Siansu.
Karena dua orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan
seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan dapat mengikuti
jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang
Pendekar Bongkok. Tentu mudah bagi mereka untuk menduga bahwa Pendekar Bongkok adalah julukan
yang diberikan orang-orang kepada Sie Liong, maka mereka terus melakukan pengejaran.
Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah
yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka harus melalui daerah yang tidak ada
dusunnya, maka tentu saja betapa sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biar pun orang itu
mempunyai cacat bongkok sekali pun.
“Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lhasa,” kata Bong
Gan. “Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau pun kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya
kita tentu akan dapat mencari keterangan tentang dia.”
Bi Sian menyetujui pendapat sute-nya dan pergilah mereka menuju ke Lhasa. Pada pagi hari itu, mereka
tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama
satu dua hari.
Bi Sian tidak peduli akan pandangan orang saat melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun
baru. Memang ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar pun sekarang tidak
melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, tetapi ia tetap masih mempergunakan pakaian tambaltambalan.
Dia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah
terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang
tidak wajar itu justru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang!
Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukan kesederhanaan lagi namanya, melainkan
kesombongan terselubung! Kesederhanan yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi
bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan
kepribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan
bersumber di sebelah dalam dirinya.
Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang pada masa kecilnya menjadi anak angkat seorang hartawan
dan sudah biasa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya segera meninggalkan kebiasaan berpakaian
tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walau pun tidak terlalu menyolok, tidak terlalu
royal karena suci-nya tentu akan menegurnya.
Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah. Uangnya? Mudah
saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup
kokoh baginya kalau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang hartawan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian, selalu terjadi perang di dalam batin Bong Gan. Dia
memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan suci-nya. Dia memaksa diri bersikap
sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan
dan menolong mereka yang tertindas.
Akan tetapi sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus menekan
semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut kepada suci-nya, melainkan karena
ia telah jatuh cinta kepada Bi Sian, karena dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu
menyenangkan hatinya.
Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas
tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung di dalam hati sute yang lebih tua
itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga
mencinta sute-nya itu sebagai seorang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak.
Dia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda
yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik! Akan tetapi, ia selalu mengusir
kebimbangan ini. Dia telah mengambil keputusan bahwa sebelum dia mampu membalas kematian
ayahnya terhadap Sie Liong, dia tidak akan memikirkan urusan cinta!
Setelah dua orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun,
baru pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu birahinya berkobar lagi. Dia berani mencari wanita untuk
memuaskan gairah nafsu birahinya, baik secara suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli
mau pun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya.
Tetapi hal ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia mendapat kesempatan karena biar pun
sudah berpisah dari suhu-nya yang dia takuti, kini dia masih bersama suci-nya (kakak seperguruan). Sama
sekali bukan dikarenakan dia takut pada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu.
Dia tidak ingin kelihatan sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis itu
mengetahui kesesatannya, tentu harapan dirinya untuk mempersunting bunga yang harum itu akan lenyap.
Pada saat berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan karena itu dia
mempunyai kesempatan untuk memuaskan nafsu birahinya dengan berkunjung ke rumah pelesir yang
mewah. Tapi celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian!
Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberi tahu mengenai keberadaannya di rumah pelesir itu
kepada Bi Sian, maka tak ada jalan lain kecuali harus membunuhnya! Dia pun menyamar sebagai Sie
Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi Sian sehingga menimbulkan perasaan cemburu di
hatinya, lalu dibunuhnya Yauw Sun Kok. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie
Liong yang didakwa sebagai pembunuhnya.
Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang
melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun
Kok, seperti yang telah dipercaya oleh semua orang. Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk
dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicintanya, akan tetapi juga untuk mendapatkan balas jasa.
Kalau mereka maju berdua, betapa pun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu
merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun
Kok itu akan tertutup selamanya.
Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa. Gadis yang
dicintanya itu sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun dia tidak
boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh membelainya.
Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti
Bi Sian untuk sementara. Jarang terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya,
karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh-sungguh agar jangan sampai gadis
yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain.
Ketika dua orang muda itu sedang mendayung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar
matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan
dunia-kangouw.blogspot.com
memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia
yang mendayung mundur, gadis itu yang mengemudikan dengan dayung lain.
Setelah perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling
pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata, “Kita berhenti di sini. Mari
kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sana, sute.”
Gadis itu memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang nampak
galak.
Mereka mendekatkan perahu ke pantai, lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi
Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di bagian paling tinggi dari
pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak.
Melihat wajah suci-nya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa
suci-nya duduk di atas rumput tebal di dekatnya, terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang
dan nikmatnya apa bila mereka sudah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas
rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada
seorang lain pun yang mengusik mereka. Bayangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar-debar serta
gairah nafsunya timbul dan berkobar.
Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biar pun gairah nafsu sudah mencengkeram
dirinya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu pasti bahwa apa bila dia menggunakan kekerasan, selain
belum tentu dia akan mampu menundukkan suci-nya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk
memperisteri Bi Sian hancur sama sekali.
Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta pada Bi Sian, bukan sekedar
hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.
“Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?” tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan
hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian.
Gadis ini merasa heran melihat betapa sute-nya memandang kepadanya tidak seperti biasa, tetapi dengan
sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan
kemesraan yang mengejutkan hatinya.
Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah
itu menjadi terkejut sehingga dia tersipu. “Suci, aku sedang gembira sekali!” jawabnya. Kecerdikan dan
ketenangan pemuda ini menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab.
Melihat sikap sute-nya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan ia pun memandang ke sekeliling, lalu
menghela napas panjang.
“Yahhhh... aku pun gembira sekali, sute. Memang sangat indah pemandangan di sini, indah
menyenangkan dan hawanya pun nyaman bukan main!”
“Aku merasa seperti di sorga, suci!”
Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa. “Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja.
Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang,
begini penuh damai dan tenteram... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu...”
“Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci.”
Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum. “Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu
karena apa?”
“Karena ada engkau di dekatku, suci.”
“Ihhh!” Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri sambil bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah.
“Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka dan memandang wajah gadis itu dengan sikap
tenang. “Maafkan aku, suci, tadi aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak
mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita
hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di
sampingmu, selama hidupku.”
Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar
kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sute-nya itu.
“Sute, kau... barusan bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu...”
“Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri...”
“Sute...!” Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena dia menganggap sute-nya terlalu berani, terlalu
lancang.
“Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima
hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun
dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan
bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang
memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita
sama-sama dewasa... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku
telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup
berdampingan denganmu selama hidupku.”
Mendengar pengakuan sute-nya itu, wajah Bi Sian sebentar pucat dan sebentar merah. Memang dia sudah
menduga bahwa sute-nya jatuh cinta kepadanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sutenya
sendiri, bermacam perasaan mengaduk-aduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah
karena dia menganggap sute-nya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat
ia sejenak tak mampu bergerak atau pun mengeluarkan kata-kata.
Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh
membelakangi sute-nya. Kemudian terdengar suaranya lirih.
“Sute...!”
“Ya, suci?” jawab Bong Gan penuh harap.
“Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, aku melarang membicarakan tentang cinta lagi!”
“Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau
membalasnya? Agar supaya ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah
aku...”
“Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi
sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan
permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku pun tidak membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi
musuh besarku itu.”
Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku,
tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat,
yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok!
Hal ini meyakinkan hatinya bahwa suci-nya itu pun ‘ada hati’ padanya. Andaikan tidak, tak mungkin
menunda waktu untuk menjawabnya. Bila gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan ‘tidak’, tentu ia tak
akan menunda waktu. Jawabannya jelas ‘ya’, akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.
“Baiklah, suci. Mulai saat ini nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupku berada dalam
genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi.”
Bi Sian menarik napas lega. Ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah
pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lhasa,” katanya.
“Baik, suci,” kata Bong Gan.
Bong Gan tidak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh
membuat suci-nya marah atau jengkel…..
********************
Sejak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir
setiap hari menangisi nasibnya. Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tiga tahun, tetapi sejak
remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat.
Pada waktu berusia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan
dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri
pembunuh orang tuanya itu.
Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah akhirnya dia pun jatuh cinta kepada pria itu. Bahkan dia
melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu.
Kemudian, hatinya kembali tersiksa karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik
kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali dia menderita kalau teringat kepada
adiknya. Apa lagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.
Kebahagiaan sejenak kembali dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walau
pun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang
cantik dan lihai. Akan tetapi, alangkah pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh
Sie Liong!
Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin dia menyalahkan adiknya jika dia mengingat
bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andai kata dulu memiliki
kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw
Sun Kok!
Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan
membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Dia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang
membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena
kematian ayahnya.
“Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan...?” Berulang kali Sie Lan Hong mengeluh dalam tangisnya.
Selama belasan hari dia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat.
Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan
berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang
pedang!
Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong di dalam
kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda
mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia pun dapat mengerti mengapa adiknya membunuh suaminya.
Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar
cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya
menyangkal keras telah membunuh suaminya?
Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah
mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus
berpura-pura dan berbohong kepadanya?
“Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,” pikir nyonya muda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Dia hidup seorang diri,
kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya
karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari
puterinya. Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang sangat disayangnya dan
dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi
puterinya yang terkasih.
Ia hidup dalam kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi
untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah
bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya,
minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak.
Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting
baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan lebih dulu. Satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan
menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana dahulu suaminya pernah menjadi langganan mereka,
untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan!
Tanpa mempedulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan
Hong memasuki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia
membawa cukup bekal uang. Dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk
memberi keterangan mengenai suaminya pada kunjungan terakhir.
Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu. Mereka juga mengaku
bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada waktu kunjungannya yang terakhir kalinya
itu.
“Dia tidak bermalam di sini,” kata mereka, “melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak
sampai mabok, lalu pulang menjelang tengah malam.”
Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya, “Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah dia
bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia juga membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat?
Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, dan kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang
ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau
menceritakan semua hal dengan terus terang...”
Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan
terukir indah itu.
“Setelah dia minum agak banyak, dia memang mengomel dan mengatakan bahwa dia mengenal pemuda
yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tak suka melihat pemuda itu pelesir di sini,
juga tentang kebenciannya terhadap seorang yang bongkok...”
Lan Hong tertarik sekali. “Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?”
“Pada saat dia masuk, dia bertemu dengan seorang kongcu (tuan muda) yang sedang makan minum
ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling
mengenal.”
“Siapakah pemuda itu? Apakah dia... bongkok?”
Dua orang pelacur itu tertawa.
“Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua
menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal.”
“Apakah dia langganan lama di sini?”
“Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda,
tampan sekali, dan royal...”
“Siapa namanya?” tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,” kata dua orang pelacur itu.
Tidak lama kemudian dua orang pelacur lainnya ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang
pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang lagi mereka bicarakan.
“Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di
kota Ye-ceng, maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang...
menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang.”
Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong.
Coa Kongcu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!
“Tolong kalian gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!” tanya Lan Hong,
berusaha menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.
“Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!” berkata seorang pelacur berbaju hijau yang
genit.
“Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung
dan dia suka... suka mencium, hi-hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya
seperti... kuda jantan! Pakaiannya pesolek...”
Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan
memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apa pun ia
meninggalkan tempat itu.
Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu,
meninggalkan rumahnya. Dia membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnya.
Dia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan pada waktu itu adiknya membuat pengakuan bahwa dia
akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu
memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari
para gurunya.
Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sungjan
yang berada di perbatasan sebelah barat dari Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus
melakukan perjalanan ke selatan, lalu memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.
Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah bukan main. Perjalanan itu benarbenar
tidak mudah. Bagaimana pun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam
usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya
tarik.
Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat dia merasa kesal, di samping
tubuhnya juga merasa lelah. Untunglah bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang
guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, ia pun menerima latihan
ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga
diri.
Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, juga dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak
berkurang ajar menjadi jeri. Sampai hampir sebulan dalam perjalanan, nyonya muda ini masih dapat
menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.
Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi,
di depan tidak ada dusun lagi sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah
penuh dengan hutan! Apa lagi matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya dia akan kemalaman di
bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan
dapat bertemu dusun lagi.
Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Dia sudah memasuki daerah Tibet, dan dia
tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lhasa dan di sana
ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut
dunia-kangouw.blogspot.com
keterangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lhasa masih membutuhkan waktu sedikitnya satu
bulan lagi!
Mengapa tadi aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan
menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti
sekarang ini.
Dengan hati kecut ia pun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang
sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman
untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap.
Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, mendadak dari dalam hutan bermunculan
sepuluh orang lelaki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan
lukisan seekor kala putih yang menyeramkan pada bagian dada.
“Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang diri!”
“Amboi manisnya!”
“Lihat pinggangnya, seperti kumbang!”
“Pinggulnya... waw sexi banget!”
Sepuluh orang itu sudah mengepung dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan
perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang
begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan.
Walau pun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar-debar penuh
rasa tegang dan gelisah. Akan tetapi, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.
“Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku.
Biarkan aku pergi dari sini!”
“Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tak akan membiarkan
engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!” kata seorang di antara mereka. “Kawan-kawan, mari
kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia
habiskan sendiri dan kita tidak akan kebagian!” kata yang lain.
Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlomba untuk menangkap
Lan Hong. Wanita ini sudah siap dan ia pun cepat mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.
“Harap kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!” bentaknya.
Melihat betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya
sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil tertawa-tawa mereka
mengepung.
“Wah, pandai bermain pedang juga, ya? Bagus, kalau melawan lebih mengasyikkan!” Dan kembali mereka
hendak menangkap dari berbagai jurusan.
Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil
membalikkan tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya terkejut ketika ada sinar menyambar. Dia
menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju dan kulit
lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.
“Hemm, galak juga, ya? Kawan-kawan, mari kita tundukkan lebih dulu wanita manis dan galak ini. Akan
tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai dia terluka!”
Mereka mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong segera
memutar pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika nyonya muda ini kembali menerjang
dengan pedangnya, mereka pun menangkis sambil mengerahkan tenaga.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Trangggg...!”
Pedang itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang itu tertawa
bergelak dan kesempatan ini segera digunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara mereka dan
melarikan diri secepatnya ke arah kiri.
Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira, lalu berlari mengejar sambil berteriak-teriak.
Mereka bagaikan segerombolan serigala yang sedang mengejar dan mempermainkan seekor kelinci, yakin
bahwa akhirnya kelinci itu tidak akan terlepas dari terkaman mereka.
Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia dapat
membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu.
Lebih baik dia mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Tetapi, sebelum putus asa, ia akan
berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.
Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di
belakangnya, tidak cepat-cepat menangkap wanita itu. Lan Hong berlari terus, menuruti jalan setapak
hingga ia melihat sebuah kuil tua di depan.
Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong
kemudian berlari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghuni kuil itu dapat menolongnya, pikirnya penuh
harapan.
Sepuluh orang pria itu masih terus mengejar sambil tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis? Memang tempat yang enak untuk bersenangsenang!”
Lan Hong tidak mempedulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat
bahwa kuil itu adalah sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada
orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan,
terdengar suara dari dalam.
“Jangan takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!” Dan nampak dua orang
pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam.
Mereka adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang
seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang kedua bertubuh sedang
saja, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di
tangan mereka masing-masing nampak sebatang pedang.
Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat. “Ji-wi taihiap (dua
pendekar perkasa), tolonglah saya...”
“Nona, jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!” kata yang tinggi besar dan dia
berkata kepada orang ke dua yang brewok. “Sute, mari kita hadapi mereka, di depan kuil!” Mereka lalu
berloncatan keluar.
Lan Hong cepat menyelinap di balik dinding dan dia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh
ketegangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap membela
dan melindunginya. Dia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu mempunyai kepandaian yang
cukup tinggi untuk dapat melawan pengeroyokan sepuluh orang yang buas itu.
Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika
melihat ada dua orang pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan, menghadang
mereka.
“Heii, siapa kalian yang berani menghadang di depan kami? Hayo cepat menggelinding pergi!” bentak
salah seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan jari telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan
pedang di depan dadanya yang bidang.
“Hemm, sudah lama kami mendengar mengenai gerombolan Kala Putih yang jahat dan ternyata kabar itu
benar. Gerombolan Kala Putih bukan hanya perampok dan kumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak
segan dan malu untuk mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan
macam kalian!”
Sepuluh orang itu terbelalak penuh kemarahan ketika mendengar kata-kata yang amat menghina itu.
Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya dia hendak mewakili
kawan-kawannya dan dengan suara melengking tinggi dia pun membentak.
“Kalian ini dua orang bocah ingusan hendak menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu
agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!”
Pemuda tinggi besar itu dengan lantang menjawab, “Kami tak pernah menyembunyikan nama! Kami
adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun dan sute ini
adalah Kok Han!”
Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kunlun-
pai yang berani itu. Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi
ke daerah Tibet dan mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek.
Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu. Oleh karena
Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka.
Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek sambil membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk
murid kepala itu. Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar
Bongkok Sie Liong saat Sie Liong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah
si gadis yang mata duitan.
Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah para murid Kun-lun-pai, sepuluh orang berpakaian hitam
itu menjadi semakin marah. “Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak
mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, selalu
bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hendak menentang kami?”
Ciang Sun tersenyum mengejek. “Selama Kala Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai
tidak peduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga.
Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menentang
kalian!”
“Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang
perkumpulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang ini!”
“Persetan dengan Kala Putih yang jahat!” bentak Ciang Sun.
Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan
mencoba untuk membujuk adalah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan
besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu.
Akan tetapi, para anggota Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka untuk
melakukan kekerasan dan memaksakan kehendak mereka. Maka melihat sikap kedua orang murid Kunlun-
pai yang menentang itu, mereka pun segera mulai menyerang!
Ciang Sun dan sute-nya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka untuk menyambut serangan golok dan
terjadilah perkelahian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebat dan sinarnya menyilaukan mata ketika
tertimpa matahari sore.
Akan tetapi, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah. Kedua orang ini merupakan murid
yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah menjadi dua gulungan sinar yang amat kuat, yang
mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan
dunia-kangouw.blogspot.com
serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggota Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak
mundur!
Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh
sepuluh orang buas itu. Dia ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya sudah hilang ketika dia
dikeroyok tadi.
Ia mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang
agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya,
panjangnya satu meter lebih. Kayu itu amat kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata.
Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia akan terjatuh ke tangan
sepuluh orang jahat itu. Melarikan diri pun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak
mengenal jalan. Lebih baik membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka!
Dia meloncat keluar dan langsung menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan tongkatnya
memukul seorang pengeroyok dari belakang.
“Bukkk!”
Orang itu terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong
mengamuk dengan tongkatnya, dia membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu.
Melihat tindakan Lan Hong ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari
gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan
tetapi dia hanya bersenjata sebatang kayu, sedangkan para pengeroyok adalah orang-orang kejam yang
semuanya memegang golok.
“Nona, masuklah ke dalam, biar kami yang menghajar mereka!” teriak Kok Han dengan khawatir.
“Tidak, aku harus membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!” jawab Lan Hong yang terus mengamuk
dengan tongkatnya.
Akan tetapi, dua orang mengeroyoknya dengan golok membuat Lan Hong terhimpit, lalu sebuah tendangan
yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu terguling roboh!
“Hati-hati...!” teriak Ciang Sun.
Pemuda bertubuh tinggi besar itu cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para
pengeroyoknya. Pedangnya berkelebat ke kiri, merobek pangkal lengan seorang pengeroyok, kemudian
melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya.
Akan tetapi Lan Hong bangkit dan mengamuk lagi, tidak mempedulikan pahanya yang terasa nyeri. Kini,
dua orang murid Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong yang
mengamuk bagaikan seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa kagum dan tidak
menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, dengan suara pria yang besar dan parau, “Tahan semua senjata!”
Mendengar suara ini, sembilan orang berpakaian hitam itu cepat-cepat berloncatan ke belakang. Ada yang
menolong kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada yang dengan girang
berseru, “Toako datang...!”
Melihat para pengeroyoknya berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru
datang itu dengan penuh perhatian. Lan Hong juga telah meloncat ke belakang.
Wanita ini menahan rasa nyeri di pahanya. Wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi dan
lehernya basah keringat, rambutnya kusut. Akan tetapi dia nampak semakin manis, menarik dan gagah
ketika dia berdiri tidak jauh dari dua orang pemuda Kun-lun-pai itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang
sudah tidak karuan bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang yang baru datang itu adalah seorang laki-laki yang usianya antara empat puluh lima sampai lima
puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar dan botak sedangkan kulit muka dan
tangannya putih sekali, putih yang tidak wajar sehingga mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bule.
Rambut di kepalanya agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka,
leher dan lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam, akan tetapi terbuat dari
sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih besar dari pada yang berada di baju anak buahnya.
Mudah diduga bahwa tentu dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu.
Dengan suara yang aneh dan asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah. “Heh, siapa yang berani
membikin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku? Siapa kalian bertiga dan mengapa
berkelahi melawan anak buahku?”
Sebelum dua orang pemuda itu menjawab, seorang anak buah gerombolan itu sudah cepat melaporkan,
“Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong. Kami sedang mengejar wanita
itu yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk
diambil keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!”
Raksasa bule itu memandang kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking
ngerinya. Mata itu sungguh menyeramkan dan begitu penuh gairah! setelah menjelajahi seluruh tubuh Lan
Hong dengan sinar matanya, kemudian raksasa itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, kiranya kalian memperebutkan wanita? Aha, baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang Kunlun-
pai juga suka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!”
“Kami tidak memperebutkan wanita!” bentak Ciang Sun marah. “Kami melindungi wanita ini karena dikejarkejar
oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang semua kejahatan dan melindungi siapa
saja yang terancam!”
“Ha-ha-ha-ha, tidak perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang
wanita yang manis dan denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak suka, serahkan saja kepadaku,
mengingat hubungan baik antara Kun-lun-pai dan Kala Putih. Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang,
ketua dan pemimpin Kala Putih yang selama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai.”
“Kami tak akan membiarkan siapa saja mengganggu wanita ini!” bentak pula Ciang Sun.
“Ho-ho-ha-ha, kiranya kalian mengajak bertanding? Baiklah, memang wanita ini cukup berharga untuk
dijadikan taruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga Sang, kalian boleh
pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi kalau kalian kalah, wanita ini harus
diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?”
Lan Hong yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring, “Iblis jahat, engkau terlalu
menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah kepadamu!”
“Konga Sang,” kata Kok Han yang brewok gagah, “jika engkau memang laki-laki sejati, biarkan wanita ini
pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau menghendaki kita untuk
bertanding, kami akan menyambut tantanganmu itu. Taruhannya bukan wanita, melainkan nyawa kita!”
“Kalian orang-orang muda sombong!” Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah
melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya.
Rantai itu sebesar ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang
menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas kepala lalu membentak,
“Kalau kalian berani, majulah!”
Ciang Sun dan Kok Han maklum bahwa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka mereka pun
maju dengan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong, “Nona, engkau mundurlah!”
Lan Hong tahu diri. Ia pun maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak boleh disamakan dengan anak
buahnya, tentu lihai bukan main, dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat
dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa diri maju, tentu hanya
akan menjadi penghalang bagi dua orang penolongnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka ia pun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Dia mengeraskan
hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi apa pun juga. Hanya satu
pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa, ia akan mempertahankan diri sampai mati!
“Haiiiiiitt...!”
Kakek raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah dua orang
lawannya. Ciang Sun dan Kok Han menggunakan kelincahan tubuh mereka untuk mengelak dan mereka
pun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun, semua serangan pedang bisa ditangkis oleh sinar
rantai yang bergulung-gulung. Setiap kali pedang bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak
bunga api berpijar.
Terjadilah perkelahian yang hebat. Pertarungan sekali ini lebih seru dari pada tadi ketika dua orang itu
dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih.
Akan tetapi, lewat tiga puluh jurus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena
mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai. Permainan rantai orang itu
sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada
tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pedang mereka bertemu rantai, mereka pun merasa betapa
telapak tangan mereka menjadi nyeri dan panas sekali. Bahkan beberapa kali hampir saja mereka
melepaskan pedang karena tidak tahan oleh getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.
“Ha-ha-ha, mampuslah!” Tiba-tiba raksasa bule itu membentak, rantainya menyambar dengan tenaga
sepenuhnya ke arah Ciang Sun.
Pendekar ini melompat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher bajunya.
“Bretttt...!”
Baju itu pun terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit tubuh Ciang
Sun tidak terluka!
Pada saat itu, Kok Han sudah maju sambil menusukkan pedangnya untuk melindungi kakak
seperguruannya. Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba dia melepaskan rantai dari
tangan kiri, hanya memegangi dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah
menangkap pergelangan tangan Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak
dapat dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan dia pun terpelanting dan terbanting
keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu lihai pula dalam ilmu gulat!
Ciang Sun cepat memutar pedangnya dan menyerang untuk melindungi sute-nya yang cepat
menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali. Kembali kedua orang murid Kun-lun-pai itu
menghadapi sambaran rantai. Sekarang mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu
lagi balas menyerang.
“Ha-ha-ha, kalian jaga baik-baik supaya pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini sebentar
lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!” Konga Sang berkata kepada anak buahnya. Dia sudah merasa yakin
bahwa tak lama lagi dia akan dapat merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.
Sambil menyeringai, anak buah Konga Sang mendekati Lan Hong. Dengan wajah pucat wanita ini
memandang. Ia pun tahu bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia
tahu bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak buah gerombolan
itu pun ia tidak akan menang.
Oleh karena itu, ia pun sudah mengambil keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau
tertawan, ia akan membunuh diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru, “Majulah, akan kuhancurkan
kepalamu!”
Akan tetapi, dua orang di antara para anak buah gerombolan itu, yaitu dua orang yang bertubuh tinggi
besar, terus melangkah maju sambil menyeringai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Manis, jangan banyak tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih
baik menyerah saja!”
Akan tetapi Lan Hong menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah
hampir kehabisan tenaga, namun dia masih bersemangat dan pukulannya masih kuat.
Akan tetapi, dua orang anak buah gerombolan itu merupakan dua orang yang terkuat di antara mereka.
Yang dihantam tongkat itu memiringkan tubuhnya dan ketika tongkat itu lewat, orang kedua telah
menangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat, sedangkan orang pertama sudah
merangkulkan dua lengannya yang panjang dan besar melingkari pinggang ramping Lan Hong.
“Lepaskan! Keparat busuk, lepaskan aku...!” Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua orang
itu memiliki tenaga yang kuat sekali.
Pada saat itu, terdengar bentakan, “Kalian serigala-serigala yang jahat!”
Bentakan ini disusul berkelebatnya sesosok bayangan, dan dua orang raksasa yang sedang menangkap
Lan Hong yang meronta-ronta itu mendadak saja terlempar dan terpelanting, roboh dan tidak mampu
bangkit kembali. Seorang pecah kepalanya dan seorang lagi mengerang kesakitan dengan beberapa buah
tulang iga patah-patah.
Kiranya yang muncul adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi begitu
muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah gerombolan yang sedang
menangkap Lan Hong.
Lan Hong terbelalak dan memandang kepada penolongnya. Seorang lelaki yang tinggi besar dan gagah
perkasa. Usianya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Pakaiannya warna biru
dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Ketika Ciang Sun dan
Kok Han melihat pria gagah perkasa itu, mereka menjadi girang sekali.
“Lie susiok (paman guru Lie)!” seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.
“Mundurlah kalian dan hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!” kata pria
gagah perkasa itu.
Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang memang sedang dicari-cari oleh dua orang
murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat untuk menggantikan dua orang murid keponakannya, Lie Bouw Tek
sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka Ang-seng-kiam
(Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam yang berasal dari bintang dan logam itu
berwarna merah!
“Hemm, siapa kau?” Konga Sang membentak saat melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang
laki-laki yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata yang tajam dan
mencorong.
“Konga Sang, sudah lama aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat. Sekarang
kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tak akan membiarkan engkau merajalela mengumbar nafsu
kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, dan aku adalah murid Kun-lun-pai!”
“Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang
usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!”
“Tak perlu banyak cakap lagi, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar
di dunia ini pasti akan menentang perbuatan jahat!”
“Manusia sombong!” Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie
Bouw Tek.
Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai itu melewati atas kepalanya, dia melangkah maju
dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali
sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing!
dunia-kangouw.blogspot.com
Terkejutlah Konga Sang dan dia pun terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri.
Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan.
Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan
menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat
melibat pedang lawan.
“Tranggg...!”
Terdengar suara nyaring dan bukan main kagetnya hati Konga Sang pada saat melihat betapa ujung
rantainya berikut kaitannya telah putus! Kiranya pedang merah itu adalah pedang pusaka yang ampuh!
Untung baginya bahwa yang buntung hanya bagian ujung sepanjang satu dua jengkal saja sehingga
rantainya masih merupakan senjata yang berbahaya walau pun tanpa kaitan. Dengan marah dia
mengeluarkan suara gerengan dan rantainya menyambar-nyambar ketika dia memutarnya dan
melancarkan serangan bertubi-tubi.
Namun Lie Bouw Tek dapat mengelak dengan langkah-langkah yang teratur, kadang meloncat tinggi dan
dia pun membalas dengan tusukan dan bacokan pedang. Terjadilah pertempuran yang amat seru di antara
kedua orang ini.
Ternyata tenaga mereka seimbang, juga sekarang mereka bertanding dengan hati-hati. Konga Sang jeri
terhadap pedang pusaka itu, sebaliknya Lie Bouw Tek juga tidak berani sembarangan menangkis. Sekali
pedangnya kena terlibat rantai, dia akan menghadapi bahaya karena dia pun tahu bahwa kepala
gerombolan ini adalah seorang ahli gulat. Dalam ilmu silat, dia dapat menandingi kepala gerombolan itu,
akan tetapi kalau dalam ilmu gulat, sekali tubuhnya tertangkap, bahaya maut mengancam dirinya!
Sementara itu, Ciang Sun dan Kok Han mengamuk, menghajar anak buah gerombolan yang kini tinggal
tersisa tujuh orang itu. Yang dua tewas oleh Lie Bouw Tek dan yang tadi terkena hantaman tongkat Lan
Hong pada tengkuknya, meski pun sudah siuman akan tetapi masih pening dan tidak mampu berkelahi,
Agaknya gegar otak!
Lan Hong juga tidak tinggal diam, ia sudah mengambil golok seorang di antara penjahat yang tewas, lalu ia
membantu dua orang murid Kun-lun-pai yang mengamuk, dengan memutar golok itu sekuat tenaga!
Lie Bouw Tek yang sudah lama berkelana di daerah ini dan sudah banyak mendengar tentang gerombolan
Kala Putih, maklum bahwa gerombolan itu masih memiliki banyak sekali anak buah dan hanya kebetulan
saja sekali ini mereka hanya menghadapi kepala gerombolan bersama sepuluh orang anak buahnya saja.
Dia khawatir kalau-kalau akan datang lebih banyak lagi anak buah gerombolan Kala Putih.
Karena itu, sambil memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar merah yang merupakan
benteng kokoh kuat yang melindungi dirinya, dia berseru keras.
“Ciang Sun! Kok Han! Kalian ajaklah pergi Nona itu, biar aku yang menahan mereka. Cepat!”
Ciang Sun dan Kok Han mengerutkan alis. Mengapa susiok mereka menyuruh mereka untuk melarikan
diri? Padahal jelas bahwa susiok-nya tidak kalah oleh Konga Sang, juga mereka bahkan mendesak tujuh
orang anak buah gerombolan itu, malah di antara pihak musuh sudah ada yang tergores pedang.
Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, mereka tidak sempat membantah dan juga tidak berani
membantah. Mereka mengenal susiok mereka sebagai seorang gagah perkasa dan kalau susiok-nya
menyuruh mereka pergi lebih dahulu, tentu dia memiliki alasan yang kuat.
“Mari, enci!” kata Ciang Sun sambil menarik tangan Lan Hong, diajak meloncat pergi sedangkan Kok Han
melindungi mereka.
Ketika tiga orang ini melarikan diri, para anak buah gerombolan tidak berani mengejar. Mereka tidak bodoh.
Tadi mereka sudah terdesak dan kalau dilanjutkan, mereka tentu akan roboh semua. Karena itu,
sebaliknya dari pada mengejar tiga orang itu, mereka kini malah membantu pemimpin mereka mengeroyok
Lie Bouw Tek!
Lie Bouw Tek mengamuk bagaikan seekor rajawali merah! Pedangnya tidak nampak lagi, berubah menjadi
sinar merah bergulung-gulung dan bermain di antara sinar golok dan rantai. Kadang-kadang, dari gulungan
dunia-kangouw.blogspot.com
sinar merah itu mencuat sinar kilat disusul robohnya seorang pengeroyok karena disambar pedang Angseng-
kiam.
Lie Bouw Tek sebetulnya mempunyai ilmu yang seimbang dengan kepandaian Konga Sang, akan tetapi
pedang pusakanya membuat lawan itu merasa jeri. Dia pun tahu akan hal ini. Dia tahu pula bahwa kalau
Konga Sang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan dibantu oleh beberapa orang anak buahnya,
dia akan menghadapi bahaya.
Karena itu, dia memberi waktu bagi dua orang murid keponakannya untuk melarikan diri bersama wanita
itu, kemudian setelah memutar pedangnya, dia pun meloncat jauh dan menghilang di balik semak belukar
dan pohon-pohon yang mulai diselimuti kegelapan karena malam telah menjelang tiba.
Konga Sang merasa penasaran dan marah sekali.
“Kejar!” teriaknya.
Mereka pun melakukan pengejaran. Namun, karena di dalam hati mereka timbul rasa jeri menghadapi tiga
orang murid Kun-lun-pai itu, maka mereka tidak berani berpencar saat mengejar dan mencari sehingga
gerakan mereka tidak bisa cepat. Apa lagi mereka terhalang oleh kegelapan malam. Akhirnya mereka
terpaksa menghentikan pengejaran dan menolong kawan yang terluka atau tewas.
Konga Sang mengepal tinju dan berkata dengan geram. “Orang-orang Kun-lun-pai telah menghinaku!
Awas, sekali waktu aku akan mengambil tindakan!”
Ucapan ini lebih banyak hanya untuk mengumbar rasa penasaran dan marahnya karena dia pun tahu
betapa kuatnya Kun-lun-pai yang mempunyai banyak murid yang pandai dan pimpinan yang berilmu tinggi
itu. Kalau tidak yakin akan kekuatan pasukannya sendiri, penyerbuan ke Kun-lun-pai hanya akan
mengakibatkan pasukannya hancur…..
********************
Mereka duduk mengitari api unggun. Mereka berempat kini berada di puncak bukit, dari mana mereka
dapat melihat ke empat penjuru dan merupakan tempat yang aman dan baik sekali untuk melewatkan
malam. Kalau ada musuh yang datang, maka dari jauh pun sudah akan dapat mereka lihat atau dengar
karena sekeliling mereka datar dan merupakan padang rumput.
Tadi Lie Bouw Tek dapat menyusul Ciang Sun dan Kok Han yang mengajak Sie Lan Hong melarikan diri.
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu segera memberi hormat dan berlutut di depan kaki Lie Bouw Tek.
“Terima kasih atas bantuan Lie susiok,” kata mereka.
Lan Hong juga ikut berlutut sambil berkata, “Aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolongan taihiap.”
“Bangkitlah kalian berdua, juga engkau, nona. Bangkitlah, dan tak perlu dengan segala macam
kesungkanan ini. Musuh berada jauh di bawah dan mungkin tak akan mengejar ke sini. Andai kata mereka
datang, kita dapat melihat mereka sebelum mereka dekat. Tempat ini baik sekali untuk melewatkan malam.
Ciang Sun dan Kok Han, kumpulkan kayu kering dan kita bikin api unggun di sini.”
Demikianlah, mereka sekarang duduk saling berhadapan, mengelilingi api unggun yang bernyala indah,
terang dan hangat.
Lan Hong memandang kepada pria yang duduk tepat di depannya, hanya terhalang api unggun itu. Sinar
api unggun yang kemerahan menerangi wajah pria itu dengan jelas. Dan ia pun merasa kagum.
Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar akan tetapi perutnya
tidak gendut, seperti tubuh seekor kuda balap yang pilihan. Dan wajahnya demikian tenang, penuh wibawa
serta gagah perkasa. Wajah yang jantan sekali, bukan tampan kewanitaan, melainkan jantan perkasa.
Sikapnya seperti seekor burung garuda, atau seperti seekor harimau. Ya, seperti seekor harimau karena
tadi pada saat mencari kayu bakar, lenggang dan langkahnya langsung mengingatkan Lan Hong akan
seekor harimau.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tanpa ia ketahui, pria di depannya itu pun sejak tadi memperhatikannya, walau pun tidak kentara. Dan Lie
Bouw Tek juga kagum.
Wanita itu sungguh jelita! Tidak mengherankan kalau Konga Sang, kepala gerombolan Kala Putih itu,
tertarik dan bertekad untuk menawannya. Seorang wanita yang sudah matang, usianya sukar ditaksir,
nampaknya masih amat muda akan tetapi sikap dan gerak geriknya, bentuk tubuhnya, wajahnya yang
manis, sudah matang seperti seorang wanita yang sudah dewasa benar.
Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggangnya yang amat ramping dan pinggul yang besar membulat.
Wajahnya amat manis, dengan kulit yang putih mulus dan mulut yang membayangkan kealiman. Tapi
sepasang mata itulah yang amat menarik perhatiannya. Sepasang mata yang indah jeli, namun penuh
bayangan duka dan derita.
“Ciang Sun dan Kok Han, sekarang ceritakanlah bagaimana kalian dapat berada di sini dan sampai
berkelahi dengan orang-orang gerombolan Kala Putih itu,” kata Lie Bouw Tek, suaranya tenang sekali dan
mendatangkan perasaan damai dan aman dalam hati Lan Hong.
Ketika pandang mata mereka saling bertemu, Lan Hong cepat menundukkan mukanya dan pada wajah
pria yang gagah itu terbayang suatu keheranan. Memang dia merasa heran sekali kenapa dia demikian
tertarik kepada wanita ini. Padahal sejak dikecewakan oleh seorang wanita, ketika dia berusia dua puluh
tahun, sampai sekarang berusia tiga puluh enam tahun, belum pernah dia merasa tertarik kepada seorang
wanita.
Bukan berarti bahwa tidak ada wanita yang jatuh cinta kepadanya. Banyak sudah wanita yang suka
kepadanya, bahkan banyak pula ayah dari gadis-gadis cantik menginginkan dia sebagai mantu mereka,
akan tetapi dia selalu menolak. Dan sekarang dia merasa tertarik kepada seorang wanita yang baru saja
dijumpainya, bahkan sama sekali belum dikenal namanya dan belum diketahui pula riwayatnya.
“Kami berdua memang sengaja datang ke daerah ini untuk mencarimu, susiok. Kami diutus oleh supek
(uwa guru) Thian Hwat Tosu untuk mencarimu dan menyerahkan surat ini kepadamu.”
“Hemm, toa-suheng (kakak seperguruan tertua) Thian Kwat Tosu yang telah mengutus kalian? Sudah pasti
ada urusan penting sekali,” kata Lie Bouw Tek.
Dia menerima sampul surat itu, lalu merobek ujung sampul dan mengeluarkan surat dari dalamnya. Di
bawah penerangan api unggun, dibacanya surat itu. Dalam surat, kedua orang suheng-nya, yaitu ketua
Kun-lun-pai Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu, menyerahkan tugas kepadanya untuk
menyelidiki keadaan lima orang tokoh di Tibet yang dikenal dengan julukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau
Tibet), yaitu Thay Ku Lama, Thay Si Lama, Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama.
Para pimpinan Kun-lun-pai itu merasa penasaran sekali melihat sikap lima orang tokoh Tibet itu yang
pernah mengambil sikap bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan hampir terjadi bentrokan hebat antara Kunlun-
pai dengan mereka. Padahal, sejak dahulu, Dalai Lama sendiri dan para pendeta Lama di Tibet
bersikap baik dan bersahabat dengan Kun-lun-pai.
Oleh karena itu, mengingat bahwa yang dapat diandalkan di Kun-lun-pai hanyalah Lie Bouw Tek, satusatunya
tokoh Kun-lun-pai yang bebas, yaitu tidak menjadi tosu dan tak bertugas di Kun-lun-pai melainkan
menjadi seorang kelana yang bebas, maka para pimpinan Kun-lun-pai mengutus Lie Bouw Tek untuk
melakukan penyelidikan itu.
Membaca surat itu, Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. “Sampaikan hormatku kepada kedua suheng, dan
aku menerima baik tugas yang diberikan kepadaku.” Hanya itulah pesannya kepada dua orang
keponakannya itu. “Akan tetapi bagaimana kalian sampai bentrok dengan gerombolan Kala Putih?” Dia
mengulang pertanyaannya.
“Hal itu terjadi hanya karena kebetulan saja, susiok. Kami sedang beristirahat di kuil tua di lereng bukit itu
ketika tiba-tiba kami melihat enci ini berlari-lari sedang dikejar oleh gerombolan Kala Putih menuju ke kuil.
Kami sudah mendengar akan kejahatan Kala Putih, maka kami lalu membela enci ini, sampai susiok
muncul dan menyelamatkan kami semua.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya saat mendengar Ciang Sun menyebut ‘enci’ (kakak perempuan)
kepada wanita itu. Mungkin Ciang Sun salah lihat, ataukah dia yang keliru? Wanita itu nampaknya tidak
lebih tua dari murid keponakannya itu. Ataukah sebutan itu hanya sebutan akrab saja?
“Hemm, kalau boleh aku mengetahuinya, bagaimana sampai engkau dikejar-kejar oleh mereka, Nona?
Dan siapakah Nona, mengapa pula melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini?” Lalu dia
menyambung cepat ketika teringat bahwa dia bertanya nama kepada seorang wanita tanpa lebih dahulu
memperkenalkan diri. “Mungkin Nona sudah tahu bahwa kami bertiga adalah murid-murid Kun-lun-pai.
Namaku Lie Bouw Tek, sedangkan dua orang murid keponakanku ini bernama Ciang Sun dan Kok Han.”
Lan Hong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu berkata dengan suara lirih
namun cukup jelas bagi tiga orang itu. “Namaku Sie Lan Hong dan aku datang dari kota Sung-jan di
perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang. Akan tetapi, harap Lie Taihiap jangan menyebut nona
padaku. Aku bukan seorang gadis yang belum menikah. Aku pergi untuk mencari seorang adikku, dan juga
mencari puteriku...”
Lie Bouw Tek membelalakkan kedua matanya. Wanita ini sudah menikah, bahkan telah mempunyai
seorang puteri pula! Kalau begitu, agaknya penglihatan kedua orang murid keponakannya itu yang benar.
Dia merasa betapa mukanya menjadi panas dan untung baginya bahwa sinar api unggun memang sudah
kemerahan dan membuat wajahnya merah sehingga perubahan wajahnya tidak akan nampak oleh orang
lain.
“Ahhh, maafkan aku, toanio (Nyonya). Kiranya toanio mencari adiknya dan puterinya? Akan tetapi, kenapa
engkau mencari mereka seorang diri saja? Mengapa tidak dengan suamimu... maaf...”
Lan Hong menundukkan wajah, bukan karena sedih melainkan karena malu sehingga ucapannya lirih
sekali. “Dia sudah meninggal...”
“Ah, maafkan aku, toanio!” seru Lie Bouw Tek.
Ingin dia memukul kepalanya sendiri, mengapa ada perasaan lega dan girang di dalam hatinya. Lega dan
girang mendengar bahwa suami orang sudah meninggal. Sungguh kejam dan tak tahu malu, makinya pada
dirinya sendiri.
Sementara itu, diam-diam Ciang Sun dan Kok Han merasa amat heran dan geli melihat betapa susiok
mereka yang biasanya berwibawa, tenang dan tegas itu sekarang sudah beberapa kali minta maaf dan
menjadi seperti gugup. Akan tetapi mereka pun tentu akan menjadi gugup kalau menanyakan suami
seorang wanita lalu mendapat jawaban bahwa orang yang mereka tanyakan itu sudah meninggal dunia!
“Tidak mengapa, taihiap. Kedukaan itu telah lewat,” kata Lan Hong.
Kalau saja wanita itu tidak mengeluarkan ucapan ini, agaknya Lie Bouw Tek akan sukar mengeluarkan
ucapan lagi, apa lagi untuk bertanya. Akan tetapi kini, setelah Lan Hong berkata demikian, keinginan
tahunya mendorongnya untuk bertanya lagi.
“Kalau boleh aku bertanya lagi toanio. Ke manakah perginya adikmu dan puterimu itu?”
“Aku tidak tahu benar, akan tetapi aku hendak mencari mereka di Lhasa.”
Lie Bouw Tek mengangguk-angguk, kemudian dia berkata kepada kedua orang murid keponakannya.
“Kalian ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada kedua suheng tentang pesanku tadi. Sesuai dengan tugas
yang mereka berikan kepadaku, aku akan pergi ke Lhasa dan karena toanio ini hendak mencari
keluarganya di Lhasa, maka biarlah aku menemaninya. Kasihan kalau ia harus melakukan perjalanan
seorang diri ke Lhasa, hal itu amat berbahaya karena Lhasa masih cukup jauh dari sini.”
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu mengangguk. “Baik, susiok. Kami besok pagi akan berangkat, kembali
ke Kun-lun-pai. Dan memang sebaiknya kalau enci ini ada temannya ke Lhasa. Siapa tahu gerombolan
Kala Putih itu akan melakukan pengejaran. Harap susiok berhati-hati karena mereka itu jahat sekali.”
“Aku mengerti. Bagaimana, toanio, apakah engkau setuju apa bila aku menemanimu melakukan perjalanan
ke Lhasa? Kebetulan sekali aku pun hendak pergi ke sana.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tentu saja, ahhh, tentu aku merasa senang sekali, taihiap. Tadinya aku hampir putus asa melihat betapa
sukarnya mencari adikku, dan betapa berbahayanya perjalanan ini. Aku berterima kasih sekali kepadamu,
taihiap.”
“Sungguh engkau tahan uji dan juga bersemangat besar, toanio. Bagaimana mungkin dapat menemukan
seseorang dalam jarak yang begini jauh, dan aku pun belum dapat memastikan apakah engkau akan dapat
menemukan adikmu di Lhasa. Di sana banyak terdapat orang dan mencari seseorang di antara orang
banyak di tempat yang besar...”
“Adikku mudah dicari. Dia... dia mempunyai cacat, yaitu punggungnya berpunuk dan dia bongkok...”
Tiba-tiba Ciang Sun dan Kok Han saling pandang dan Kok Han segera berseru, “Nanti dulu, enci. Apakah
adikmu itu bernama Sie Liong?”
Kini Lan Hong yang terkejut dan memandang heran. “Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Ahhh, ternyata Pendekar Bongkok itulah adikmu, enci! Tidak sukar menduga setelah engkau tadi
mengatakan bahwa adikmu itu bongkok. Engkau she Sie dan Pendekar Bongkok juga she Sie. Kami
pernah bertemu dengan dia!”
Hampir Lan Hong bersorak. Ia merasa gembira bukan main. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?”
Juga Lie Bouw Tek menjadi tertarik mendengar bahwa adik wanita ini yang dicari-cari itu disebut Pendekar
Bongkok oleh dua orang murid keponakannya.
“Kok Han, ceritakan tentang Pendekar Bongkok itu. Aku ingin sekali tahu karena belum pernah aku
mendengar namanya.”
Kini Ciang Sun yang menjawab. “Aih, susiok. Dia memang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Dia masih
sangat muda, akan tetapi namanya cepat sekali menjadi terkenal. Tentang ilmu kepandaiannya, ah, susiok,
kami berani mengatakan bahwa selama hidup belum pernah kami bertemu dengan seorang pendekar yang
memiliki ilmu kepandaian sehebat yang dimiliki Pendekar Bongkok! Dia lihai bukan main, susiok, sehingga
kami berdua merasa seperti kanak-kanak tidak berdaya saja kalau dibandingkan dengan dia! Sayang
sekali, enci, kami tidak tahu ke mana sekarang dia pergi, karena kami berjumpa dengan dia baru-baru ini di
sebuah dusun di mana dia melakukan hal yang membuat gempar dan mengagumkan. Bahkan dulu, ketika
dia masih kecil, tujuh tahun yang lalu, kami pun pernah bertemu dengan dia. Baiklah, kami ceritakan saja
pengalaman dua kali bertemu dengan adikmu yang aneh dan yang gagah perkasa itu, enci, agar susiok
juga mengetahui siapa adanya Pendekar Bongkok yang kami kagumi itu.”
Ciang Sun dan Kok Han lalu menceritakan tentang pengalaman mereka. Mula-mula pengalaman mereka
tujuh tahun yang lalu ketika mereka menolong seorang tosu yang diseret-seret oleh dua orang pendeta
Lama Jubah Merah.
Mereka baru pulang berbelanja untuk Kun-lun-pai dan waktu itu usia mereka baru dua puluh satu tahun.
Akan tetapi, dua orang pendeta Lama itu ternyata lihai bukan main sehingga mereka berdua tidak berdaya
dan roboh tertotok.
Mereka hampir dibunuh oleh dua orang pendeta Lama itu. Akan tetapi tosu itu, yang tadi diseret-seret dan
yang ternyata adalah seorang sakti yang bernama Pek In Tosu, lalu berbalik menyelamatkan mereka.
Terjadi perkelahian antara Pek In Tosu dan dua orang pendeta Lama itu.
“Nanti dulu, bukankah Pek In Tosu itu seorang di antara Himalaya Sam Lojin?” tanya Lie Bouw Tek yang
banyak mengenal tokoh Himalaya dan daerah barat.
“Benar, susiok. Perkelahian itu hebat sekali, akan tetapi ketika dua orang pendeta Lama itu mengeluarkan
ilmu sihir melalui suara nyanyian mereka, Pek In Tosu kewalahan dan hampir roboh. Untunglah, ketika itu
muncul Pendekar Bongkok, pada waktu itu hanyalah seorang anak laki-laki berusia dua belas atau tiga
belas tahun yang bongkok, dan Pek In Tosu tortolonglah.”
“Apa? Dalam usia dua belas tahun sudah begitu lihainya?” Lie Bouw Tek berseru heran dan kagum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak, susiok. Pada saat itu, nampaknya dia belum pernah mempelajari silat, atau pun kalau pernah,
masih dangkal sekali. Akan tetapi dia memang aneh dan sangat cerdik. Mendengar dua orang pendeta
Lama itu bernyanyi-nyanyi yang mengandung ilmu sihir sehingga Pek In Tosu kewalahan, anak itu
kemudian menggunakan bambu memukuli batu-batu sehingga suaranya bising sekali. Suara ini yang
agaknya mengacaukan ilmu sihir dua orang pendeta Lama itu hingga mereka kalah oleh Pek In Tosu dan
melarikan diri. Itulah pertemuan kami yang pertama dengan Pendekar Bongkok.”
“Sungguh menarik sekali!” kata Lie Bouw Tek kagum.
“Ahh, kasihan adikku. Taihiap, apakah dua orang pendeta Lama itu tidak marah karena mereka diganggu
oleh Sie Liong?” kata Lan Hong.
“Dua orang pendeta Lama itu marah sekali dan mereka menyerang Pendekar Bongkok, akan tetapi Pek In
Tosu yang sudah sadar kembali dari pengaruh sihir lalu membelanya dan berhasil mengusir dua orang
pendeta Lama itu.”
“Dan bagaimana pula perjumpaan kalian untuk yang kedua kalinya dengan Pendekar Bongkok?”
“Pertemuan kami dengan dia baru saja terjadi beberapa pekan yang lalu, di sebuah dusun dekat
perbatasan Tibet. Ketika itu kami menjadi tamu kepala dusun yang sedang merayakan pesta pernikahan
puteranya. Akan tetapi pernikahan itu akhirnya gagal oleh karena Pendekar Bongkok turun tangan
mancampuri. Kiranya dia yang benar karena pernikahan dengan putera kepala dusun itu dipaksakan.
Setelah mengetahui duduknya perkara, kami setuju akan tindakan Pendekar Bongkok yang menggagalkan
pernikahan itu dan di dalam perjumpaan itulah dia kembali mengenali kami berdua. Ternyata dia kini telah
menjadi seorang pendekar yang sakti!”
Lan Hong menarik napas panjang mendengar cerita kedua orang murid Kun-lun-pai itu. “Ya, memang
setelah pulang dari perantauannya, adikku telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Menurut
pengakuannya, dia telah menjadi murid Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu.”
“Ahhhh...!” Lie Bouw Tek berseru dengan mata terbelalak penuh kagum. “Pantas saja adikmu itu menjadi
seorang pendekar yang sakti, toanio! Kiranya dia murid orang-orang yang sakti. Menjadi murid Himalaya
Sam Lojin sudah hebat apa lagi juga menjadi murid Pek-sim Siansu! Ahh, sungguh hebat sekali adikmu itu,
toanio!”
Mendengar pujian-pujian pendekar Kun-lun-pai itu, Lan Hong sama sekali tidak menjadi gembira, bahkan
diam-diam ia merasa sedih sekali saat mengingat akan nasib adiknya. Semenjak kecil adiknya sudah
mengalami kesengsaraan. Bahkan dibandingkan dengan dirinya sendiri, adiknya itu lebih tersiksa. Tersiksa
lahir batin, bahkan kini sedang dicari oleh Bi Sian untuk dibunuh!
Karena melihat Lan Hong kelelahan, Lie Bouw Tek menghentikan percakapan mereka dan mempersilakan
wanita itu untuk mengaso. Dia memberikan selimutnya dan Lan Hong rebah miring dekat api unggun.
Sebentar saja ia sudah tertidur karena memang ia sudah lelah sekali.
Lie Bouw Tek masih bercakap-cakap lirih dengan dua orang murid koponakannya, akan tetapi tak lama
kemudian mereka pun mengaso dengan duduk bersila…..
********************
Mereka berdua menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka jalan perlahan menuruni
bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit.
Lan Hong amat berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu
mencegahnya. Diam-diam Lan Hong makin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu.
Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga
bersikap lembut dan sopan santun terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar
atau pun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan
pada saat memandangnya pun, pendekar itu selalu membatasi diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena senja sudah tiba dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa
menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka lalu memilih sebuah goa di daerah yang penuh batu
gunung itu sebagai tempat melewatkan malam.
Mereka membuat api unggun di mulut goa dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang
tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap dalam goa. Api unggun menghangatkan tubuh dan
mengusir nyamuk.
Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang
melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri.
Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Padahal, diam-diam mereka
itu saling memikirkan.
Bagi Lan Hong, perasaannya yang sangat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan
pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan badannya telah
direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalau pun akhirnya timbul perasaan cinta terhadap
Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak
keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan mencinta
suaminya.
Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama
sikap suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap
suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya.
Dan selama itu, sama sekali ia tak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat muka
memandang pun tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, mendadak saja, tanpa
disangkanya, dia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam segalagalanya
sangat jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi,
berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau
seekor naga jantan.
Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi dalam hatinya.
Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita. Bahkan ada kecondongan
menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa dibalik kehangatan dan kelembutan itu
tersembunyi kepalsuan, dibalik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat.
Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biar pun
tergolong cantik akan tetapi tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Kenapa timbul
perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum kepada wanita ini yang mendorongnya untuk
membela dan melindunginya, kalau mungkin untuk selama hidupnya?
“Toanio, engkau mengasolah, biarlah aku yang berjaga di sini,” akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada
wanita itu.
“Aku belum mengantuk, taihiap. Engkau mengasolah dan biar aku yang berjaga. Masa setiap kali kita
bermalam di tempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur.”
Lie Bouw Tek tersenyum. “Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih
kuat untuk selalu menjaga dan melindungi wanita yang lemah.”
“Akan tetapi aku tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap.”
Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinarnya seperti
matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang.
“Toanio, ada sedikit permintaan dariku, dan kuharap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi
permintaanku itu.”
Lan Hong balas memandang dengan sinar matanya yang tajam menyelidik. Bagaimana pun percayanya
dia kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah pria
membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi
kalau permintaanmu itu wajar dan baik.”
“Setiap kali engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita telah melakukan
perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala
kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kau pakai itu membuat aku merasa seperti kita ini saling
berjauhan dan asing.”
“Ahh, sungguh aneh. Aku sendiri pun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku.
Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu.”
Mereka saling pandang, lalu keduanya tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti
dua orang sahabat baik, atau seperti anggota keluarga? Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau
mulai kini engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?”
Walau pun wajahnya berubah merah dan jantungnya berdebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum
dan mengangguk.
“Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako.”
“Dan aku akan menyebutmu siaw-moi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja,
bagaimana?”
Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong pun mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah
mereka merasa sungkan dan rikuh sesudah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh
kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya.
“Hong-moi, aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia
pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?”
Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi
berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini.
“Dia pergi sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari pamannya yang pergi lebih dahulu.”
“Hemmm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak
perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!”
Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak saat melihat betapa wanita yang duduk di
seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangannya.
“Ehhh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?”
“Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas
tahun dan ia bukan pula seorang gadis lemah!”
“Ahh, tidak mungkin! Aku tidak percaya!”
Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang heran. “Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya
kepadaku? Apa kau kira aku membobong?” Dalam suaranya terkandung penasaran. Entah mengapa,
hatinya terasa nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.
“Aku tidak mengatakan bahwa engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa
engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukah anak tiri,
atau anak angkat?”
“Ehhh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!”
“Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan
tetapi delapan belas tahun?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan
yang membayang di dalamnya menipis.
“Lie-toako, berapa kau kira usiaku sekarang?”
“Paling banyak dua puluh lima tahun.”
Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan, “Hi-hik, engkau lucu, toako.
Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun.”
“Apa?! Tidak mungkin sama sekali! Engkau... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!” Teriak Lie Bouw
Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli.
Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apa lagi kalau orang itu seorang
pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda dari pada usianya yang sebenarnya?
“Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong.”
“Aihhh... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun,
Hong-moi.”
“Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, dan mungkin malah lebih tua dari padamu.”
“Ahh, tidak, tidak!” jawab Lie Bouw Tek cepat. “Usiaku sudah tiga puluh enam tahun.”
“Tentu engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako. Berapa jumlah anakmu dan
berapa usia anakmu yang pertama?”
Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. “Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah,
Hong-moi.”
“Ahhh...!”
Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan dia memaki dirinya sendiri
mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah!
Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang
sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman pula. Janganlah
mengharapkan yang bukan-bukan!
Kembali keduanya berdiam diri seperti tenggelam ke dalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana
semakin sunyi karena malam semakin larut.
Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi
suasana yang tadinya bagaikan mati. Lie Bouw Tek seperti sadar kembali dari lamunan.
“Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?”
“Dia masih muda, toako, baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun.”
“Hemm, sudah sedemikian lihainya walau pun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang
diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?”
“Bi Sian, Yauw Bi Sian.”
“Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya baginya melakukan
perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apa lagi untuk
puterimu yang berusia delapan belas tahun.”
Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kurasa tidak, toako. Walau pun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat
yang jauh lebih tinggi dari pada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh
dibandingkan Sie Liong.”
“Apa?” Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan
tidak terduga dari janda muda yang manis ini.
“Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?” Di dalam hatinya, sukar
untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.
“Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjulukan Koay Tojin.”
“Benarkah?” Kembali pendekar itu terkejut. “Nama besar Koay Tojin sangat terkenal di daerah barat dan
utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Siansu.”
“Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang merupakan sute dari Pek-sim
Siansu, guru Sie Liong.”
Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang.
“Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang luar biasa, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik
untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Jika boleh aku bertanya, kenapa suamimu
meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?”
Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak
mengeluarkan suara.
“Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan
hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya.” Di dalam suara itu terkandung keluhan.
Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, dia tidak perlu menyembunyikannya.
Bahkan dia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat kepercayaannya, bahkan
yang bersedia mengantar dan membantunya sampai dia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya.
Dia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi. Dia sudah merasa
demikian akrab, apa lagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan
siauw-moi. Akhirnya Lan Hong pun menarik napas panjang.
“Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu.
Suamiku itu... tewas karena terbunuh orang.”
“Ahhh!” Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. “Siapakah
penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau di
sana terdapat adik kandungmu serta puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako.”
“Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu...
mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu
terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?”
Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka
akhirnya ia pun tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya.
“Mereka berdua tahu, toako. Justru karena pembunuhan itulah mereka kemudian pergi meninggalkan
rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang telah membunuh ayahnya. Karena
tuduhan inilah Sie Liong melarikan diri dan anakku itu lalu melakukan pengejaran, mencari pamannya
untuk dibunuhnya, untuk membalas dendam kematian ayahnya.”
“Ahh... ahhh...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Tarlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya
dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh.
“Hong-moi... sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu amat hebat, akan tetapi juga tertimpa mala
petaka yang lebih hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian
lihainya, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan kini puterimu bahkan mengejarngejar
pamannya yang dituduh melakukan pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara,
Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat
mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang
murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana
mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?”
“Tadinya... aku sendiri percaya bahwa dialah yang membunuh suamiku, tetapi... tetapi sekarang tidak
lagi...”
“Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari oleh banyak rahasia sehingga
membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu.”
Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Dia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini
kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Dia tertarik kepada pendekar ini dan kalau dia
menghendaki pergaulan yang jujur, dia pun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya,
mengenal riwayatnya dan dia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekali pun!
Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaan dirinya sehingga ia
dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah?
Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya.
“Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku
akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan
terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut
Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Oleh karena ayah kami suka menentang
kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang
mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia
lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan….” Ia berhenti sebentar dan bergidik ketika
membayangkan peristiwa itu.
Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang,
kini memandang dengan terharu. Betepa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda
yang dibunuh orang.
“Sungguh keji penjahat itu!” komentarnya.
Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali.
“Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya
dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu bila aku menolak
keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat
kulakukan selain menyerah? Aku menyerah, toako, demi menyelamatkan adikku.”
Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, pandang matanya mengeluarkan sinar mencorong,
dan Bouw Tek mengepal tinju. “Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan
kuhancurkan kepalanya!”
Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali.
“Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan
dia lalu memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong
akan disembelihnya. Aihh, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi dan terancam maut
mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati dari pada harus menyerah.
Percayakah engkau, toako?”
“Aku percaya, aku percaya... aihh, si keparat!” kata Bouw Tek.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Setelah aku menjadi isterinya, dia lalu meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan.
Harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi dia pun maklum
bahwa kalau dia sampai mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku
melahirkan Bi Sian, puteriku itu...”
“Hemm...” Bouw Tek mengerutkan alisnya.
Dia tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki lelaki yang telah menjadi suami Lan
Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet,
dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita di depannya itu. Bahkan untuk menghapus makianmakiannya
tadi, dia lalu berkata lirih, “Hemm, ternyata dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang
baik...”
Lan Hong menggelengkan kepalanya. “Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang
sangat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang
pembunuban yang dilakukan terhadap orang tua kami. Dia takut kalau Sie Liong kelak akan membalas
dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong ikut belajar silat. Dan
baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena
perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan sesudah
sembuh dia menjadi bongkok.”
“Ahhh...! Hemm...!” Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki
adalah suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.
“Agaknya, Sie Liong juga menyadari bahwa dia dibenci oleh kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua
belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian,
bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi,
berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok
dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan mulai suka mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka
memaki dan memukuli aku. Ahh... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan
derita itu...” Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis.
Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus
bersikap bagaimana dan berkata apa.
Tidak lama kemudian, Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak
pucat, akan tetapi dia tidak menangis. Ketika dia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam
seperti patung, dia melanjutkan.
“Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kami pun dihamburkan oleh suamiku itu dan aku pun tidak
berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menanti pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari,
setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh
tahun.”
“Dan menjadi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?”
“Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dengan
mudah Sie Liong bisa mengalahkannya tanpa melukainya. Suamiku sama sekali tidak berdaya melawan
Sie Liong yang menjadi amat sakti itu.”
“Dan adikmu masih tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika
tubuhnya menjadi cacat, dia pun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan aku pun tentu saja terus
merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku
mendapat perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie
Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, mendadak puteriku, Bi Sian pulang!” Wajah Lan Hong
agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu.
“Dan ia telah menjadi seorang gadis yang sakti pula, murid Koay Tojin,” kata Bouw Tek, mulai dapat
menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, toako. Dia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi. Dan dia pun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kau tahu, toako,
antara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat
akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang
ditemani sute-nya yang bermalam di luar rumah kami, di rumah penginapan….” Wanita itu berhenti lagi.
Bouw Tek dengan tenang menunggu kelanjutan cerita itu karena dia dapat merasakan datangnya suatu
peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu.
“Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako,” kata Lan Hong seolah-olah dapat membaca pikiran
pendekar itu dan lantas menjawabnya. “Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh
orang.”
Kembali Lan Hong diam, akan tetapi kini ia nampak demikian berduka.
“Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi.”
Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya.
“Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku tidak berduka atas
kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama
tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan
pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!”
“Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua
Pendekar Bongkok!” kata Bouw Tek penasaran.
“Gadis itu puteriku, toako...”
“Ahh, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu
bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?”
“Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga pergi
melakukan pengejaran.”
“Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?”
Lan Hong menggeleng kepalanya. “Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu padanya, toako? Tentu hal
itu akan menghancurkan hatinya, sebab bagaimana pun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya.”
Lie Bouw Tek termenung. Memang keadaan serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang ini,
pikirnya.
“Akan tetapi, tentunya Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu, dan karena itu dia membunuh
musuh besarnya.”
Lan Hong menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadinya pembunuhan, aku
pun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kuceritakan, baru dia
mengetahuinya! Dia menyangkal bahwa dia telah membunuh kakak iparnya, dan dia pun baru tahu akan
rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya.”
“Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?”
“Karena sebelumnya ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong memukulnya, dan dalam keadaan mabok dia
minta supaya Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan itu, Bi Sian
melihat bayangan seorang yang bongkok di taman, orang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian
manemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan
hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak
membunuh pamannya? Oleh karena itu, maka aku nekat melakukan perjalanan ini, untuk mencari mereka
dan untuk membujuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong sebab sekarang aku yakin bahwa bukan
Sie Liong yang membunuh suamiku.”
“Ehhh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lan Hong kemudian menceritakan tentang penyelidikannya ke rumah pelesiran, tentang segala keterangan
yang telah diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya.
Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik, pikirnya.
“Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Jika dia yang
membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum
pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengarnya dariku. Apa bila bukan dia yang membunuhnya,
berarti si pembunuh sengaja menyamar sebagai seorang yang bongkok dan mengenakan topeng. Tidak
sulit menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di punggungnya.
Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya supaya jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie
Liong. Jelas dia sengaja membunuh dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah
pelacuran itu membuktikan bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari
Bi Sian.”
“Hemmm...” Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. “Pendapatmu itu memang
nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau
benar seperti yang kau sangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari puterimu, lalu apa
alasannya? Mengapa dia harus membunuh suamimu yang baru dijumpainya?”
“Aku pun sudah memikirkan hal itu dan juga telah menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute
dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walau
pun dia sute-nya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan
cintanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik, bukan?”
Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik.
“Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran
ketika suamiku ke sana. Mereka saling melihat walau pun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya.
Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir
kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia
pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia dapat melakukan
pembunuhan itu dengan menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok sambil mengganjal
punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana
pendapatmu, toako?”
Lie Bouw Tek masih terus memandang dengan kagum, dan mendengar pertanyaan itu dia pun
mengangguk-angguk. “Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke
daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan di mana
pula adanya sute dari puterimu itu?”
“Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie
Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan
terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya
itulah aku lalu mencari ke daerah ini dan hendak pergi ke Lhasa.”
Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menerima tugas dari gurugurunya
dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan
para pendeta Lama di Tibet yang tiba-tiba memusuhi Kun-lun-pai!
Dalam perantauannya di daerah ini, dia pun pernah mendengar bahwa para pendeta Lama di Tibet
memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan
diri dan pergi meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki
para pendeta Lama itu masih ada hubungannya dengan hal itu.
“Setelah mendengar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu
dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Engkau jangan khawatir, aku akan membantumu
mencari mereka sampai dapat. Syukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dengan puterimu.
Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa di antara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kukira Sie Liong lebih lihai, akan tetapi aku pun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan
yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako.”
“Kalau begitu, yang lebih penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus
segera menceritakan semua rahasia itu kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya yang
dilakukan sute-nya sendiri, bukan oleh pamannya.”
Lan Hong mengangguk lemah. “Akan kulakukan itu, walau pun hal itu pasti akan sangat menyedihkan
hatinya.”
Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan
goa, dekat api unggun.
Bouw Tek semakin tertarik kepada Lan Hong. Dia tidak dapat menyalahkan Lan Hong yang dahulu
terpaksa menyerahkan dirinya kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya.
Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu. Akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau
dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat!
Dia pun menjadi semakin kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk
berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk... membicarakan soal
keputusan hatinya.
Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi
isterinya. Hmm…..
********************
Semua mata memandang serta semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai
makanan itu. Ling Ling adalah seorang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh
mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya,
sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota
Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lhasa pada tengah hari itu untuk makan siang.
Seorang pelayan kedai itu menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut
kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar
suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh
pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.
“Amboi... manisnya...!”
“Lihat bentuk tubuhnya... seperti kijang emas...!”
“Matanya... ahhh, begitu jeli seperti bintang kejora!”
“Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihatlah, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak
dan membikin gemes!”
“Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang... ha-ha-ha, seekor monyet!”
“Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha-ha!”
“Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!”
“Atau saudaranya!”
“Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan
bidadari?”
Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat
merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya
yang cacat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling
seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya,
membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apa lagi
mencintanya!
Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar, apa lagi suami seorang
gadis semanis Ling Ling? Mereka sudah tepat dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja
tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam
kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi
merah sekali. Ingin rasanya dia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina
Pendekar Bongkok!
Ingin dia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya
pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi dia sudah cukup mengenal watak
Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya tak akan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan
panyabar.
Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh oleh semua ejekan itu, seolaholah
pemuda itu tidak pernah mendengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walau pun kagum.
Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, ia pun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie
Liong.
“Liong-ko, kedai ini cukup enak tempatnya, ya? Akan tetapi, entah bagaimana dengan hidangannya, dan
sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!”
Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan
tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling. Dia mengerti bahwa gadis itu menjadi
panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.
Di antara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dari dua puluh lima tahun yang duduk di
meja sebelah mereka. Jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian
terhadap Ling Ling dengan sikap yang berani dan berandalan.
Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh. “Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-haha,
kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau di
bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!”
Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
“Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suara mereka. Mari kita
pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.
“Ha-ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”
“Akur...!” seru teman-temannya pula.
Ling Ling tidak dapat menahan lagi kemarahannya walau pun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan
mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.
“Hei, bung pelayan, ke sinilah!”
Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang
pemuda berandal itu duduk. “Bung pelayan, jika engkau tidak mau mengusir lalat kuning di sana itu, aku
tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!”
Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan sekarang terang-terangan
Ling Ling memandang dengan mata melotot pada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka
bertiga itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu
bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur
dan pergi ketakutan.
Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata, “Nona manis,
berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu,
engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau
tidak, akan kucium pipimu!”
Pada waktu itu, Sie Liong sudah bangkit berdiri karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar
melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu
akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.
“Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak
menyinggung kami, tentu kami pun tak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan
perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini saja.”
Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu. “Apa
kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja? Nona ini harus minta maaf pada kami, dan engkau ini
onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf
sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.
“Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.”
“Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari
permusuhan denganmu! Hayo ke sini dan rasakan hajaran kami!” kata si baju kuning.
Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, akan tetapi nyaring sehingga terdengar oleh semua
tamu kedai makan itu.
“Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!”
Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima
puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti
pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan
kanannya memegang sebatang tongkat butut.
Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk
keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan
beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkan olehnya.
Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, ketiga orang pemuda
berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu
melompat ke dekat orang itu dan memaki.
“Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu,
nih, makan pukulanku!”
Si baju kuning langsung mengayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat
mukanya dipukul, tapi tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan
itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.
“Dukkkk!”
Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, yang kesakitan bukan yang punya kepala, melainkan si
baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan
tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan semua buku
tulang jari tangannya seperti remuk rasanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini
mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang
golok di tangan mereka, ketiga orang pemuda berandalan itu mengepung.
Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak
dengan tongkat butut di tangan kanan.
Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara
para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat
masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biar pun gerakan mereka
tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka sangat
kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.
“Wuut-wuut-wuuut...!” Tiga batang golok menyambar.
“Trang-trang-trangggggg...!”
Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar serta lepas dari tangan
para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat,
membuat mereka roboh terpelanting!
Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja
mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu. Sekarang pemungut derma itu
mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.
“Kim-sim-pai...!” terdengar orang berbisik-bisik.
Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (Perkumpulan Hati Emas), semua orang amat terkejut. Semua
orang telah mengetahui bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh
Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggota pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai
jagoan-jagoan yang berilmu tinggi.
Pada saat mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil
menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, sekarang memandang dengan muka
pucat dan nyali mereka terbang entah ke mana.
“Ha-ha-ha, kalian tiga cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk
menebus dosa kalian, ataukah kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?”
“Baik... baik...”
Ketiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka,
menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke dalam hio-louw
yang besar itu.
Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tak lebih dari sepuluh tail,
pria tinggi besar itu menyeringai.
“Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harga nyawa kalian!”
“Maafkan kami, hanya itulah milik kami,” kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti oleh dua orang
kawannya.
“Sudahlah,” berkata pengumpul derma itu. “Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi
derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma.
Silakan mengisi hio-louw ini!”
Para tamu saling pandang. Mereka semua telah mendengar bahwa apa bila permintaan derma orangorang
Kim-sim-pai tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma
adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka, bangkitlah para tamu itu dan mereka pun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang ke
dalam hio-louw. Meski tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada
yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanan,
menghasilkan derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu.
Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan terus melanjutkan makan hidangan yang
mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang tadi telah mendapatkan malu besar di depan
para tamu, dan terutama sekali penghinaan yang barusan dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar
Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.
“Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah
bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan derma, bolehkah kalau aku yang memaksa
mereka untuk memberi derma?”
Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak
melakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.
Mendengar permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil
pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang
temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka
bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.
Sementara itu, walau pun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua
keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, akan tetapi sesungguhnya begitu si pengumpul dana
itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar
ucapan pria tinggi besar itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, Sie Liong
sudah tertarik sekali.
Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to yang
membantu Thai Yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun. Menurut
pengakuan Coa Kiu dulu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah
mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak
memberontak terhadap Dalai Lama!
Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di antara anak
buah Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim
Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet
itulah maka dia akan dapat memperoleh keterangan yang sangat baik tentang para pendeta Lama yang
memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya.
Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut dana
yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka pada Sie Liong dan kalau mendapat
kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan,
dengan dada yang dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju
kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu berloncatan.
“Brakkk…!”
“Hei, onta bongkok! Apakah telingamu juga sudah tuli?”
Sie Liong adalah seorang penyabar. Akan tetapi sekarang dia, dan terutama sekali Ling Ling, diganggu
orang selagi makan. Dia lalu menoleh dan memandang kepada si baju kuning.
“Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan
masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!”
“Keparat, kau berani melawanku?”
Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk
membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, Sie Liong menanggalkan kesabarannya. Tangan kanannya yang memegangi sumpit bergerak
menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.
“Tukkk!”
Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada. Si baju
kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang, lalu tergulingguling!
Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Tapi,
sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang
dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itu pun roboh terpelanting keras sekali karena mereka
sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika.
Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter
jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum.
Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang
bersama dengannya! Biar pun hatinya menjadi besar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganya,
akan tetapi Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, dia pun ikut melanjutkan
makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sampai tidak dapat ditahannya dan ia melirik ke
sana sini sambil tersenyum-senyum.
Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu. Diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia
melihat betapa gadis itu bergembira sekali.
Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik,
“Liong-ko, awas... dia datang...!”
Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah
perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan mendatangkan
keseraman, seakan-akan ada seekor beruang besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut.
Sepasang matanya melotot dan agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong hanya sejenak saja memandang, kemudian dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan
makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walau
pun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si
pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok.
Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini
sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar
oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di
seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh
merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis
cantik!
Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si bongkok itu
dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka bisa membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok mau
pun terhadap si gadls manis!
“Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian
tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang
menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!”
Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawatawa
menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipaksa bertelanjang
bulat di depan mereka, juga si bongkok!
Akan tetapi kalau wajah Ling Ling berubah menjadi merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu,
sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk,
menghadapi raksasa yang berdiri jangkung di depannya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Losuhu, engkau adalah seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya.
Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?”
Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara
ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ.
“Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Beruang
Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Apa bila kalian tidak mentaati aku dan
berani menolak perintahku, terpaksa aku akan menelanjangi kalian dengan paksa di sini, kemudian kubikin
bongkokmu menjadi lurus!”
“Ha-ha-ha!” Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. “Losuhu, jika bongkoknya
diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!”
“Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!” kata yang lain.
Dua pipi Sie Liong mulai berubah merah. Dia pun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah
di depan anggota Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba berhadapan
dengan seekor beruang.
Semua tamu memandang gelisah, bahkan wajah Ling Ling juga agak pucat. Ia khawatir kalau-kalau
‘jagonya’ sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.
“Losuhu, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta
dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa seharusnya engkau
adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang
bekerja melalui pengaruh nafsu, serta mendekatkan diri dengan Thian dan selalu mengikuti jalan
kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu malah seperti ini? Sebenarnya engkau ini pendeta
ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!”
Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggota Kim-sim-pang itu amat terheran-heran,
hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, yang bertubuh cacat bongkok pula, berani
mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-simpang,
atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang
berkuasa, dia tidak akan merasa heran.
Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, tapi berani mengucapkan kata-kata seperti
itu, dan di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak
membakar-hanguskan kepala dan dadanya!
“Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau yang berani berkata seperti itu kepada Beruang Hitam?
Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!”
Berkata demikian, Si Beruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya sehingga
terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan
berteriak-teriak.
Sie Liong bersikap tenang saja. Dia sudah tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan
orang itu. Seorang yang mempunyai tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan
tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.
“Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan
menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga.”
“Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona manis ini kepada tiga
orang pemuda ini!” Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan.
Gerakan pendeta ini memang mirip seekor beruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah
siap siaga sehingga dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri dan tubrukan itu
pun luput.
“Hyaaaaahhhhh...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput. Dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang
tadi terjulur ke depan segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya
membentuk cakar harimau, mencengkeram ke arah dada dan muka Pendekar Bongkok.
Karena serangan susulan ini sangat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong lalu menyambutnya
dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.
“Dessss...!”
Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis hanya oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan
sinkang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting kemudian jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh
sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam
mangkok besar yang masih terisi masakan! Bagaikan harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika
dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi
juga mengerikan!
Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang
pemuda itu seperti berlomba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian,
mencakar dan menampar sejadi-jadinya.
“Pengecut-pengecut busuk!” Sie Liong membentak marah.
Tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang
sumpit meluncur bagaikan anak panah.
Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak
dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak sudah tertembus sebatang
sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat
mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas!
Ling Ling yang marah bukan main pada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja
berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang
itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang
menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!
Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung tambah seru. Meja kursi
berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat
dielakkan lawannya, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya
tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggota Kim-sim-pai itu
bahwa pemuda bongkok itu sungguh mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi
dan aneh.
“Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!” bentak orang itu.
Dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi
banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan
tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya
gagal, bahkan sudah tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar
tongkat bututnya dan sambil menggereng dia pun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan
dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Akan tetapi, ketika digunakan menyerang, tongkat itu berputar
dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!
Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup
berbahaya. Maka, dia pun tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Dia mengerahkan tenaganya. Kedua tangannya lantas mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan
ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu
dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Krakkkk!”
Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggota Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie
Liong sudah bergerak mendorong dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).
“Plakkk!”
Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada di dekat pundak lawan, akan
tetapi akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika
akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan!
Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sinkang yang sangat dingin
menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga
membatasi tenaganya. Jika dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya tidak akan
mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika.
Orang yang mempunyai julukan Beruang Hitam itu bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan
mata terbelalak. “Kau... kaukah... yang berjuluk Pendekar Bongkok...?” Akhirnya dia bertanya.
Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk.
Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang. “Pendekar Bongkok, nama
besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai di sini
saja!” Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan dia pun menghampiri hio-louw di atas meja dan
mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.
“Beruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak perabot rumah makan ini dan hendak pergi
begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong
yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah.
Beruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata, “Nah,
terimalah ini!” Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong!
Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong. Juga para tamu di
rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Akan tetapi, dengan tangan kirinya Sie Liong menyambut
hio-louw itu, lalu dia menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hiolouw
itu ke arah Beruang Hitam sambil berseru.
“Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!”
Hio-louw itu melayang ke arah Beruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya.
Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong.
Beruang Ritam terhuyung dan biar pun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan
berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi
dia pun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.
“Pendekar Bongkok...!” Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang
kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar.
Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit, kemudian dihajar kepala mereka dengan
mangkok piring oleh Ling Ling, sekarang merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut
dan menghadap ke arah Sie Liong.
“Taihiap, harap, ampunkan kami...,” kata pemuda baju kuning.
“Ampun, taihiap, mata kami seperti buta, tidak melihat seorang pendekar sakti...,” kata yang ke dua.
“Taihiap... Siocia (nona)... kami tidak berani lagi...,” berkata pula pemuda yang ke tiga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan
kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil
berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.
“Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena
kemenangan Sie Liong ini menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi semua orang
memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan
juga gentar!
Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu. “Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!”
bentaknya.
Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu,
diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.
Sie Liong memanggil pengurus rumah makan. “Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan
ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Uang selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa
untuk memberi sumbangan.”
Ia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman mereka, kemudian memegang tangan
Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari kedai itu. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang
tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.
Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya
akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya, dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Lagi
pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin
mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya.
Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan,
Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana
kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau
kelak timbul penyesalan di dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat!
Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan
hati Ling Ling jatuh. Kalau pun terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling, walau pun hal
itu akan menghancurkan hatinya.
Dari pada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan
adalah berpisah dari Ling Ling. Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lokyang.
Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta
kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh
gadis yang bernasib malang ini.
Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik pada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah
jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan
dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan dia pun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan
tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang
wanita yang tertarik oleh seorang pria.
“Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!” demikian dia telah mengambil keputusan sebelum
mereka memasuki Lhasa.
Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan yang
timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andai kata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama
seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mungkin timbul keributan tadi.
Tentu tidak akan ada yang mengejek.
Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam niatnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang
menunaikan tugas yang sangat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti
oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri Ling Ling.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita sekarang ke mana, Liong-ko?” tanya Ling Ling dengan sikap manis.
“Kita ke rumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar
untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar dari
kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, di sini juga banyak berkeliaran
orang jahat.”
Mereka memilih sebuah rumah penginapan, kemudian menyewa dua buah kamar yang berdampingan.
Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar jangan
keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.
“Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau
pulang. Biar setahun akan kunanti!” katanya setengah bergurau, lalu disambungnya cepat. “Akan tetapi,
Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?”
Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun
pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus rumah makan
menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.
“Ahhh, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?” pemilik rumah makan itu
bertanya.
“Dapatkah aku bicara empat mata denganmu, toako?” tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang
usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu.
Pemilik rumah makan itu memandang heran, tapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke
bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakang kedai itu merupakan rumah tinggalnya
bersama isteri dan dua orang anaknya.
“Begini, toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lhasa
ini, walau pun baru sekali kita bertemu, yaitu ketika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa
aku dan kuharap engkau suka untuk membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku
tadi?”
Pemilik rumah makan itu mengangguk, dan semakin heran.
“Ia adalah seorang sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatang kara, juga ia seorang
gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak mungkin membawanya terus karena
hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kau lihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau,
toako?”
Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti
mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.
“Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku Sie Liong
dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Ada pun sahabatku itu bernama
Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku
hendak mencarikan sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat
kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku,
entah berapa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang dikeluarkan selama
Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?”
Pemilik rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas
panjang.
“Taihiap, semua orang di Lhasa tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini sejak ayahku
dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti
keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, pasti dengan senang hati aku
suka menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi... setelah
peristiwa tadi terjadi, sangatlah berbahaya kalau dia tinggal bersama kami, taihiap. Tentu semua orang
akan tahu bahwa dia mondok bersama kami dan kalau hal ini terdengar oleh ketiga orang pemuda
dunia-kangouw.blogspot.com
berandalan tadi, kemudian terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak
menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?”
Sie Liong menghela napas. Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemilik rumah makan itu.
“Tentu saja kami pun tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk
keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu...”
Sejenak pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu dengan
senyum cerah. “Ahh, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang
diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka
sekali menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap, dan boleh
dipercaya!”
Wajah Sie Liong berseri gembira. “Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali padamu, toako. Dapatkah
kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?”
Pemilik rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja
seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati menerima kehadiran Ling Ling di
rumahnya karena berarti ia mempunyai seorang teman.
Janda berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak terlalu besar akan
tetapi bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik
rumah makan itu.
Malam itu juga Sie Liong mengajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.
“Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?” tanya Ling Ling ketika berkemas.
“Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau sendiri.”
Tangan yang tadinya sibuk mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak
menatap wajah Sie Liong. “Aku sendiri? Dan engkau...?”
“Aku harus melakukan penyelidikan dan melaksanakan tugasku, Ling-moi. Engkau akan tinggal bersama
bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan...”
“Tidak, Liong-ko, tidak.... Aku tidak mau berpisah... aku tidak mau kau tinggalkan! Aku ikut bersamamu,
Liong-ko, ke mana pun engkau pergi...!” Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan.
Sie Liong tersenyum dan memegang tangan gadis itu, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang
yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.
“Tenanglah, Ling-moi. Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu
berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, ancaman bahaya sudah muncul. Apa lagi kalau aku
melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh...”
“Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekali pun aku rela asal dekat denganmu.
Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apa pun juga, asalkan kita jangan saling berpisah...”
“Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi
apa-apa denganmu, aku akan menyesal selamanya. Karena itu, biarlah untuk sementara ini engkau tinggal
bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu.
Bagaimana pun, engkau harus dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya
berkumpul...”
“Liong-koko... Aku ingin selamanya berkumpul denganmu... ahhh, aku... aku... jangan tinggalkan aku,
koko...” Dan Ling Ling menangis!
Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia
harus mengeraskan hatinya. Semua demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi
keamanan Ling Ling.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ling-moi! Apakah sekarang engkau mulai membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku
bingung dan susah?”
Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka
amat pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air
mata.
“Maaf... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah... aku taat... aku patuh, aku
hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari
sampingmu... ahhh, mana dapat aku membayangkan itu...” Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi
tetapi seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan.
Sie Liong membiarkan hingga gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga
sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget
dan sedih oleh gadis itu.
Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum
kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.
“Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa
tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada
yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja
yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku
mengambil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku ingin melihat
engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut
denganku.”
“Tapi... tapi... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu akan
menjemputku, bukan? Dan membolehkan aku hidup di sampingmu?”
Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada
gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan
kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari
orang lain.
Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberi tahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling
Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi
beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.
“Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi Cili.”
Mendengar janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali.
Senyumnya muncul bagaikan matahari sesudah awan gelap tercurah menjadi hujan.
“Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?”
Pertanyaan ini tak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu
berapa lama dia akan dapat menyelesaikan tugas itu. Dia hanya mendengar dari pengakuan Coa Kiu,
orang ke tiga dari Tibet Sam Sin-to bahwa Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang yang harus diselidikinya itu,
merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi
pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet!
Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin satu minggu, sebulan dan
bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apa lagi kalau yang
diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!
Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampaknya ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir
sekali. “Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menunggu engkau datang menjemputku? Seminggu?”
“Aih, Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak
mungkin kalau hanya seminggu...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan sudah sangat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan
datang menjemputku, bukan?”
Mendengar betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega
untuk mengecewakan hatinya. Andai kata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya,
setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling,
mengatakan bahwa tugasnya belum selesai. Maka dia pun mengangguk.
“Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan.”
Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat
senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan
gadis yang agaknya sudah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu?
“Aku akan sabar menanti, koko.”
Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat
memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan tanpa
dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan
hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk
sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda
lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu.
Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada ‘adik angkatnya’ itu
untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin agar adiknya memperoleh seorang
calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri
adiknya, dia kelak akan datang untuk membuat perhitungan. Sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling
dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak.
Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya
diantarkan oleh pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah
Sie Liong terasa berat sekali…..
********************
Bi Sian memasuki kota Lhasa dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota
itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah pegunungan
yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa
yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan
golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet.
Gambar Potala Palace
Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia
adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh
sekali. Tambal-tambal tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan hanya mata para pria yang berada
di jalan raya kota Lhasa saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari
samping dan dia pun kagum dan bangga.
Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan
bibirnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan seperti menari, sungguh Bi Sian merupakan
seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang
mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya!
Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini dan walau pun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, akan
tetapi gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya
dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.
Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apa lagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua,
melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu birahinya membakar dirinya, akan tetapi dia tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
berani apa-apa, menyentuh pun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan
mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!
Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki
kota Lhasa, Bong Gan mengerutkan alis, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu
menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu
mengikutinya, menyelinap di antara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari
jalan raya.
“Ada apakah, sute?” tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang
lain.
“Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu
berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang.”
Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena dia mengira bahwa ucapan pemuda itu
keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Tadi dia pun melihat betapa pandang mata para pria di kota
itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata
seperti itu.
“Hemm, mengapa tidak baik, sute?” tanyanya, suaranya mengandung teguran
Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang.
“Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum
kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku,
Pendekar Bongkok itu melarikan diri saat kau serang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal
ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andai kata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar
akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan
pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita
temui.”
Bi Sian menarik napas panjang. “Ahhh, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali. Kita
masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan
sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute,
kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.”
Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sute-nya. Dengan berindap
kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak
gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tiang. Tanpa banyak cakap
mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah
makan itu.
Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Oleh karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi
ruangan menghadap dinding, maka Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan
ruang itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu,
masing-masing empat orang, sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang
makan minum.
Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak
perhatian. Tetapi sebaliknya, dia pun tidak dapat memperhatikan isi ruangan itu dan keadaan di luar.
Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik. Akan tetapi
tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, lalu pandang matanya melekat pada seseorang yang
baru saja melangkah masuk.
Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa
yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat
bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun cepat menguasai perasaannya, agar jangan sampai
nampak oleh suci-nya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yaitu
wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih dari pada cantik!
Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya.
Wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang
nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut.
Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang
peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat berisi dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ramping
itu bagai pohon yang-liu sedang tertiup angin. Lenggangnya mempesona, bagai lenggang seekor harimau
kelaparan, dengan buah pinggulnya yang menari-nari setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling
bersentuhan.
Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi serta denok itu membayang
jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce
merah!
Ketika memasuki restoran itu bersama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh
tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya sudah enam puluh tahun tetapi masih nampak
tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian
para tamu pria yang duduk di rumah makan itu.
Gadis itu pun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong
Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itu pun balas menatap dan sinar matanya
memancarkan cahaya aneh. Wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang
merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling
yang menyambar bagaikan kilat!
Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia
duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu
duduk di hadapannya, membelakangi meja Bong Gan.
Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini
menghampiri dua orang tamu baru itu. Bong Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah
mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh
si gadis jelita dengan suara merdu.
Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang
merdu memesan makanan. Dia pun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan ia pun
mengerling ke arah meja itu.
Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, juga dengan pedang di punggung, tentu saja
ia pun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang
sudah biasa melakukan perantauan. Apa lagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu
saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian.
Melihat betapa Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan dia pun menundukkan muka,
tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan
lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz dan Han yang memang mempunyai kecantikan istimewa.
Yang berada di sampingnya adalah Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat
gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula, yang telah mengajarkan ilmu
sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw
yang masih nampak muda dan amat tampan gagah itu.
Seperti telah diceritakan pada bagian depan, Thai Yang Suhu mendapatkan tugas dari Pek-lian-kauw untuk
mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama
sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai ‘siluman merah’ dan
menculik gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sin-to.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ketika gerombolan ini sedang mengumpulkan gadis-gadis dan bersembunyi di Bukit Onta,
muncullah Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan
dan Thai Yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sin-to tewas
di tangan Pendekar Bongkok.
Thai Yang Suhu bersama Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar, tidak mampu menghadapi
Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan
perjalanan menuju Lhasa karena Thai Yang Suhu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar
Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan
Pek-lian-kauw.
Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai Yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat
Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda
yang memang tampan dan gagah!
Gairahnya segera bangkit. Pek Lan sudah menentukan pilihan untuk bersenang-senang malam nanti!
Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Meski ia melakukan perjalanan bersama Thai Yang Suhu yang
menganggapnya sebagai kekasih, akan tetapi setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek
Lan tentu akan berusaha keras untuk menundukkannya.
Thai Yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan dia pun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh
saja karena dia sendiri pun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat
betapa Pek Lan menunjukkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah, Thai Yang
Suhu mengambil sikap tidak peduli.
Setelah selesai makan, Bong Gan menggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan
minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu
memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa ia pun menanggapi perasaan hati Bong
Gan!
Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat. Dia mengambil keputusan untuk malam nanti mencari
kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk
mencari gadis peranakan Kirgiz yang sangat mempesona ini.
Pada waktu pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda yang ingin mempercepat
penyelidikan yang dilakukan Bi Sian ini, segera bertanya, “Kami mencari seorang pemuda yang
pungungnya bongkok. Apakah barangkali engkau pernah melihat atau mengetahuinya? Mungkin dia
pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?”
Bi Sian tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, maka dia pun memperhatikan dan
menanti jawaban si pelayan. Bagaimana pun juga, pertanyaan itu takkan mendatangkan kecurigaan
kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.
Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Dua matanya terbelalak
dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.
“Kongcu... ehh, apakah dia... ehh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?”
Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi.
Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan
mengangguk-angguk.
“Benar dia! Di manakah dia?”
“Dia...? Ahhh, saya tidak tahu, kongcu...” Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang
juga dijadikan kantoran. “Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu...” Dan dia kelihatan
seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil membawa uang pembayaran yang
diberikan Bong Gan.
Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan. “Mari kita
bertanya kepada pemilik rumah makan...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bong Gan mengangguk dan mengikuti suci-nya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan
memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti.
Melihat tanda ini, Bong Gan tersenyum dan mengangguk sedikit, untuk memberi isyarat bahwa dia dapat
menangkap semua isyarat gadis manis itu dan merasa setuju kalau mereka dapat mengadakan hubungan
yang lebih dekat.
Bi Sian yang sudah merasa tertarik sekali mendengar berita tentang Sie Liong, sudah langsung menuju ke
kantor pemilik rumah makan. Pemilik rumah makan itu sudah mendengar dari si pelayan bahwa gadis
cantik berpakaian aneh dan pemuda tampan itu bertanya-tanya tentang Pendekar Bongkok.
Sekarang, melihat mereka mendatangi kantornya, si pemilik rumah makan menyambut dengan pandang
mata penuh perhatian. Sejak dia membantu Pendekar Bongkok, yaitu mencarikan tempat pemondokan
untuk gadis peranakan Tibet Han yang menjadi adik angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah
bertemu dengan Pendekar Bongkok.
“Apa yang dapat saya lakukan untuk ji-wi (kalian berdua)?” tanyanya ramah.
Bi Sian yang sudah tak sabar lagi untuk segera mengetahui di mana adanya Sie Liong, segera langsung
berkata, “Kami ingin mengetahui mengenai seorang pemuda bongkok yang bernama Sie Liong dan yang
terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau tahu banyak tentang dia, karena itu kami harap
engkau suka menceritakan di mana dia sekarang!”
Bagaimana pun juga, pemilik rumah makan itu bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang pernah
mengganti kerugiannya ketika terjadi keributan di rumah makan itu, dan bahkan adik angkat Pendekar
Bongkok pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi Cili. Maka, dia pun merasa ragu apakah benar kalau
dia bicara tentang Pendekar Bongkok kepada dua orang yang belum dikenalnya dan tidak diketahui
maksud mereka mencari Pendekar Bongkok.
“Maaf, kalau boleh saya mengetahui, siapakah ji-wi dan ada hubungan apa antara ji-wi dengan Sie
Taihiap?”
Sekarang Bi Sian sudah tidak ragu lagi bahwa pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie Liong dan tahu
di mana dia berada, maka kesabarannya habis. Dia ingin segera mengetahui di mana adanya musuh
besarnya itu!
Ketika melihat ada sumpit-sumpit berdiri di gelas tempat menyimpan sumpit, tangannya mengambil
segenggam sumpit, lalu ia pun mengerahkan tenaganya pada jari-jari tangan yang menggenggam sumpit.
“Krekk! Krekkk!”
Sumpit-sumpit itu patah-patah dan remuk di dalam genggaman tangan yang kecil dan berkulit halus lunak
itu!
“Sobat, katakan saja cepat-cepat di mana adanya Sie Liong dan jangan berbohong!” kata Bi Sian, lirih.
Wajah pemilik rumah makan itu berubah menjadi pucat. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya
sendiri. Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya!
“Saya... saya tidak tahu di mana dia sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya dengan dia.
Silakan duduk, silakan duduk...”
Bi Sian dan Bong Gan duduk dan pemilik rumah makan itu lalu berecrita. Diceritakannya betapa hampir
dua bulan yang lalu, Sie Liong Si Pendekar Bongkok itu pernah makan bersama seorang gadis yang
bernama Sam Ling dan diaku sebagai adik angkatnya, di rumah makan itu. Betapa kemudian terjadi
keributan yang dilakukan seorang anggota Kim-sim-pai dan betapa kemudian semua orang baru
mengetahui si bongkok itu adalah seorang sakti.
“Setelah terjadi keributan itu, Sie Taihiap minta bantuanku untuk mencarikan tempat pemondokan bagi adik
angkatnya dan saya menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik angkatnya itu tinggal bersama bibi Cili,
akan tetapi Sie Taihiap pergi entah ke mana. Sejak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apakah adik angkatnya itu masih tinggal di sini?” tanya Bi Sian.
Pemilik rumah makan itu menggerakkan pundaknya. “Sejak tinggal di sana, baru satu kali saya pernah
menengok. Dua minggu setelah dia tinggal di sana dan sejak itu, saya tidak pernah lagi ke sana karena
repotnya pekerjaan.”
“Hayo cepat antar kami ke sana, sekarang juga!” kata Bi Sian dan pandang matanya penuh kepastian.
Pemilik rumah makan itu tak berani membantah, lalu memesan kepada para pelayannya bahwa dia akan
pergi sebentar. Tak lama kemudian, keluarlah dia dari rumah makan itu, diikuti Bi Sian dan Bong Gan.
Ketika hendak meninggalkan rumah makan, Bong Gan sempat menengok ke arah gadis cantik itu dan
melihat gadis itu dan pendeta yang menemaninya memandang padanya dengan penuh perhatian. Kembali
gadis cantik itu berkedip kepadanya.
Bong Gan tersenyum dengan jantung berdebar. Sayang, pikirnya. Dia belum sempat membuat kencan
dengan gadis manis itu. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itu pun ‘ada hati’ padanya dan tentu
mereka akan dapat saling bertemu lagi dalam suasana yang lebih bebas, berdua saja!
Pemilik rumah makan itu mengantar Bi Sian dan Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi pada waktu
mereka tiba di situ, gadis yang bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili disebut nona Ling itu sudah tidak
berada lagi di situ!
“Kurang lebih seminggu yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit!” kata bibi Cili ketika
keponakannya datang bersama pemuda dan gadis cantik itu. “Aku sendiri tidak tahu ke mana ia pergi
karena memang tidak pamit.”
Tentu saja Bi Sian marasa kecewa sekali. “Akan tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?”
Bibi Cili menggeleng kepalanya. “Mungkin karena ia hendak mencari kakak angkatnya, Sie Taihiap itu.
Setelah sebulan tinggal di sini, setiap hari ia selalu menanti datangnya Sie Taihiap dan setiap malam ia
menangis. Ia mengatakan kepadaku bahwa Sie Taihiap berjanji akan menjemputnya setelah satu bulan ia
tinggal di sini. Kemudian, seminggu yang lalu, setelah tinggal di sini kurang lebih satu setengah bulan, ia
pergi tanpa pamit.”
Bi Sian mengerutkan alisnya. “Apakah selama ia berada di sini, Pendekar Bongkok tidak pernah datang
menjenguk?”
“Pendekar Bongkok...? Ahh, nona maksudkan Sie Taihiap? Tidak, tak pernah lagi. Sejak meninggalkan
adik angkatnya di sini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali.”
“Apakah gadis itu tidak pernah menceritakan kepadamu ke mana perginya Sie Taihiap itu?” Bi Sian
mendesak terus.
Wanita setengah tua itu mengerutkan alis seolah mengingat-ingat. “Pernah ia bercerita bahwa kakak
angkatnya itu ialah seorang pendekar yang akan melakukan penyelidikan terhadap Kim-sim-pai...”
Ketika menyebut nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan takut-takut. Juga pemilik rumah makan itu
kelihatan khawatir sekali dan memandang keluar pintu rumah, seolah takut kalau sampai terdengar orang
lain bahwa mereka membicarakan Kim-sim-pai.
“Apa itu Kim-sim-pai dan di mana tempatnya?”
Wanita itu semakin ketakutan dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu... ahhh, aku tidak tahu...”
Pemilik rumah makan itu segera membantu bibinya. “Nona, sebetulnya kami semua merasa takut untuk
menyebut nama itu, nama yang sangat ditakuti seluruh penduduk Lhasa. Kami hanya dapat memberi
tahukan kepadamu bahwa perkumpulan itu berada di sekitar Telaga Yan-so di sebelah selatan Lhasa...
Sudahlah, kami tidak berani banyak bicara dan kami juga tidak tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak
mencari Sie Taihiap, sebaiknya mencari ke sana...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi Sian mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa pemilik rumah makan dan bibinya itu bicara sejujurnya dan
memang mereka ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita mengenai para pendeta Lama yang memusuhi
para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta Lama yang melakukan pengejaran sampai ke Kun-lun-san
untuk membunuhi para pertapa dan tosu yang melarikan diri ke sana.
Juga gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan
pertapa di Himalaya. Apakah penyelidikan yang dilakukan Sie Liong ada hubungannya dengan hal itu?
Memang, jalan satu-satunya untuk mencari Sie Liong adalah mengejarnya ke sarang perkumpulan Kimsim-
pai yang akan diselidiki Pendekar Bongkok itu!
Sementara itu, Bong Gan yang cerdik segera bertanya kepada wanita itu. “Bibi, coba gambarkan
bagaimana rupanya gadis bernama Sam Ling itu, agar kalau kami bertemu dengannya, kami akan mudah
mengenalnya.”
Bi Sian menyetujui pertanyaan sute-nya, karena jika mereka mengenal Ling Ling, siapa tahu gadis itu akan
dapat membawa mereka kepada Sie Liong. Diam-diam Bi Sian juga merasa heran bukan main mendengar
bahwa pamannya itu mempunyai seorang adik angkat!
“Ia seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat manis. Kulitnya agak gelap, sikapnya pendiam
namun ia manis budi dan penurut. Sungguh aku sudah mulai merasa cinta kepada anak itu, dan aku
khawatir sekali membayangkan betapa dia melakukan perjalanan seorang diri. Seorang gadis yang
demikian manis dan menarik, tentu akan banyak mengalami ancaman bahaya...”
Diam-diam hati Bong Gan yang menjadi hamba nafsu birahinya itu sudah tertarik bukan main. Seorang
gadis yang hitam manis!
“Apakah ia seorang gadis Tibet?” tanyanya.
“Ia peranakan Tibet Han,” jawab bibi Cili.
Bi Sian dan Bong Gan lalu meninggalkan rumah itu.
“Kita harus cepat mencari ke daerah Telaga Yan-so!” kata Bi Sian penuh semangat.
Akan tetapi Bong Gan mempunyai rencana lain. Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah makan itu
masih terus membayanginya.
“Suci, kurasa kita harus bertindak hati-hati. Kita selidiki dulu perkumpulan macam apa sesungguhnya Kimsim-
pai yang ditakuti penduduk itu, dan juga di mana letak Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi
gelap. Sungguh tidak menguntungkan kalau kita meninggalkan kota ini dan berada dalam perjalanan yang
asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan setelah jelas, baru kita berangkat mencari ke sana.
Bagaimana pendapatmu?”
“Baiklah, kita mencari rumah penginapan,” kata Bi Sian singkat.
Dia sudah ingin sekali dapat menemukan Sie Liong dan membalas dendamnya! Juga sungguh
mengherankan, ia ingin sekali melihat seperti apa ‘adik angkat’ pamannya itu, dan hubungan apa
sesungguhnya yang ada di antara mereka…..
********************
Di sebelah selatan kota Lhasa terdapat sebuah telaga yang terkurung pegunungan yang amat luas. Telaga
ini indah bukan main, akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju ke telaga itu melalui bukit dan jurang.
Apa lagi semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang rawan. Tidak ada orang berani
melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini,
perkumpulan Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Semakin takutlah orang untuk melewati daerah itu.
Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas) memang amat ditakuti.
Menurut kabar angin, Kim-sim-pai dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang dulu pernah menjabat
sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan paham dengan Dalai
dunia-kangouw.blogspot.com
Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lhasa, kemudian dia membentuk perkumpulan Kim-sim-pai yang berdiri
sendiri, lepas dari kekuasaan Dalai Lama, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet.
Karena tak ada bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apa lagi pemberontakan, maka pemerintah
Tibet tidak mengambil tindakan apa pun. Hal ini adalah karena Dalai Lama mengingat akan jasa-jasa Kim
Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai Lama dahulu.
Bahkan, Kim Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan jasanya
sudah banyak. Kim Sim Lama adalah seorang pendeta Lama yang tertua, dan Dalai Lama sendiri pun
dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama pula!
Kim Sim Lama merupakan orang kedua paling berkuasa dan berpengaruh setelah Dalai Lama. Oleh
karena dia tidak memiliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia, maka tidak
mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi pendukung utama ketika Dalai
Lama yang baru dipilih.
Dalai Lama yang baru itu hanya seorang anak dusun saja, akan tetapi memiliki ciri-ciri sebagai penitisan
Dalai Lama. Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk memaksa bocah itu
menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun menentang, dia tidak segan mengamuk
dan membunuh mereka yang dianggapnya memberontak.
Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya menjadi marah. Malah Pek Thian Siansu,
guru dari Himalaya Sam Lojin, atau juga suheng dari Pek-sim Siansu, turun tangan sendiri untuk membela
penduduk dusun itu. Pertapa sakti ini kemudian bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh
sembilan orang pendeta Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pek Thian Siansu berhasil merobohkan bahkan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia
sendiri terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika peristiwa itu terjadi Pek
Thian Siansu sudah berusia hampir delapan puluh tahun, maka luka yang dideritanya membuat dia tewas
tak lama kemudian.
Beberapa tahun lamanya tak lagi terjadi keributan. Akan tetapi setelah anak itu dewasa dan dijadikan Dalai
Lama, dan telah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap para tosu dan pertapa di
pegunungan Himalaya.
Banyak korban yang jatuh sehingga para tosu itu segera pergi meninggalkan Himalaya dan mengungsi ke
pegunungan lain. Para pertapa lalu menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak
mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu, dan setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi para
tosu!
Para tosu itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada saat Kim Sim Lama memilih Dalai Lama baru,
dia beranggapan bahwa akhirnya dialah yang akan berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan
tunduk terhadap semua pimpinannya.
Mula-mula memang demikian. Akan tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak
sudi dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk
menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang dianggapnya tidak bijaksana!
Dan mulailah terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah kedudukan, maka
Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama yang banyak pendukungnya. Maka dia
lalu mengundurkan diri, kemudian membentuk Kim-sim-pang itu.
Dan mulailah dilakukan pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan Kim Sim
Lama, dengan maksud untuk menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan memancing supaya para tosu
memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah.
Sementara itu, diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang pangeran
pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu bersama pengikutnya yang
ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan mereka merencanakan pemberontakanpemberontakan
untuk bersama-sama mengusai Tibet dan Nepal.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di sebuah bukit dekat Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum bahwa
kalau dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk menyerbu Lhasa, dia
akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan yang sangat kuat, terdiri dari para pendeta
Lama dan banyak di antara para pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti.
Maka, dia pun tidak tergesa-gesa.
Di samping usaha yang dilakukan oleh anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan dalih diutus
oleh Dalai Lama, juga Kim Sim Lama mulai menyusupkan pengaruh ke dalam istana dan kuil di Lhasa
untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba,
dengan amat tekun dan sabar Kim Sim Lama mulai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan
di Tibet.
Pangeran Nepal itu sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu gerakan Kim Sim Lama dengan janji
bahwa kelak, apa bila Kim Sim Lama telah berhasil menguasai Tibet, maka dia akan membalas kebaikan
pangeran itu dengan membantunya mengadakan pemberontakan di Nepal!
Kim Sim Lama mempunyai banyak pembantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain
adalah Lima Harimau Tibet! Dan seperti sudah kita ketahui, para pembantu utamanya inilah yang diutus
untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himalaya yang telah melarikan diri dan
mengungsi ke pegunungan Kun-lun.
Pengejaran dan pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan sematamata
karena mereka membenci para tosu, tetapi terutama sekali, dengan dalih sebagai utusan Dalai Lama,
mereka hendak merusak nama baik Dalai Lama agar dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama
golongan orang-orang sakti.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sesosok tubuh berkelebat bagaikan terbang cepatnya, datang dari arah
telaga Yam-so dan menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat,
larinya bagaikan terbang itu, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang yang memiliki ginkang dan ilmu
berlari cepat yang hebat.
Orang akan merasa terkejut dan terheran-heran kalau sudah melihat orangnya. Setelah dia berhenti dan
menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah puncak bukit itu, barulah nampak
bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
Sesudah meninggalkan Ling Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan
penyelidikan di Lhasa tentang Kim-sim-pang. Ketika dia melihat munculnya pemungut derma di rumah
makan dengan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah ia akan nama Kim Sim Lama yang dulu pernah
didengarnya dari pengakuan salah seorang di antara Tibet Sam Sin-to. Tentu ada hubungan antara Kimsim-
pai dan Kim Sim Lama, pikirnya.
Agaknya pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu, orang ke tiga Tibet
Sam Sin-to itu, tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibantu oleh
Lima Harimau Tibet yang harus diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang
yang ditanya tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab.
Yang berani menjawab hanya mengatakan dengan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orangorang
Tibet yang berpusat di sebuah bukit di dekat Telaga Yam-so. Makin jelas dan yakinlah hatinya
bahwa jejak yang diikutinya sudah benar. Memang di tempat itulah dia harus menceri keterangan tentang
apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para pertapa dan tosu dari Himalaya.
Dari kaki bukit itu, yang nampak di atas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan
melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera ia melihat beberapa orang mendaki bukit itu. Ada
sebuah jalan besar yang cukup baik menuju ke atas bukit!
Kini terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang menunggang
keledai atau kuda. Tetapi mereka itu sama sekali bukan kelihatan sebagai pasukan atau pendeta,
melainkan penduduk biasa. Nampak pula bahwa mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang.
Tentu saja dia merasa heran, akan tetapi diam-diam dia pun lalu mendaki bukit, agak jauh di belakang
serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana duduk setengah rebah seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja mudah diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi
ke suatu tempat, agaknya ke sebuah kuil untuk bersembahyang.
Dugaannya benar. Kini mereka tiba di pintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding
tembok sebuah benteng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang amat luas. Terdapat banyak
bangunan di dalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi bangunan paling depan adalah sebuah
kuil yang besar dan cukup megah. Di depan pintu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas
berbunyi: ‘KUIL HATI EMAS’.
Kim-sim-tang? Apakah di sini pusatnya Kim-sim-pai? Dan di sini pula tinggal pemimpin pemberontak yang
berjuluk Kim Sim Lama itu? Benar-benar di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali tidak
menyeramkan seperti seharusnya tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan merupakan sebuah
kuil yang besar dan di mana datang banyak penduduk dusun untuk bersembahyang dan mohon sesuatu!
Akan tetapi dia segera teringat bahwa andai kata pun benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja
adalah para pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat, menjauhi
kejahatan dan selalu mendekatkan diri dengan kebajikan.
Mereka pun bukan memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang
pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para pemberontak biasa yang
umumnya terdiri dari orang-orang yang sudah terbiasa menggunakan kekerasan, kejam dan liar.
Dia mulai memperhatikan keadaan di luar kuil. Setelah dia melalui pintu gerbang dinding tembok yang
tingginya lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter dari pintu gerbang.
Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela
yang tertutup.
Agaknya itu merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang luas, penuh
dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat pengobatan. Di sana sini
terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul
tebal dari cerobong yang dipasang di tengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul
keluar dari pintu depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.
Sie Liong melangkah masuk ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah
dalam dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, akan tetapi kedua tangan mereka
yang dirangkap dan berada di depan dada selalu menyambut para pendatang dengan doa dan puja-puji.
Ketika Sie Liong memandang kepada mereka, kedua orang pendeta Lama yang masih muda-muda itu
nampak memejamkan mata. Mereka itu kelihatan alim dan sopan.
Kuil itu penuh tamu dengan berbagai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya
seorang pun wanita di situ. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi wanita.
Kemudian dia teringat bahwa kehidupan seorang pendeta Lama memang sangat keras dan satu di antara
pantangan yang paling kuat adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh para pendeta Lama, maka agaknya
tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat dia akan kuil Siauw-lim-si yang juga pantang
dimasuki wanita, apa lagi wanita yang muda dan menarik.
Di sebelah dalam kuil terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebutuhan
mereka yang datang untuk bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam, sopan dan
lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar sehingga orang tidak akan mau percaya
kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu adalah pemberontak-pemberontak.
Meja-meja sembahyang yang besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala.
Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga sangat luas. Akan tetapi hanya merupakan sebagian kecil saja dari
daerah perumahan yang luas sekali itu.
Di kanan kiri ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar, akan tetapi
kedua pintu itu dalam keadaan tertutup dan terkunci. Memang pintu itu tidak ada hubungannya dengan
keperluan sembahyang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan di sebelah dalam, terdapat pintu yang lebar sekali. Ketika dia mendekati pintu yang menuju ke dalam
ini, Sie Liong melihat bahwa di sana terdapat sedikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang
bersila, ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam arca-arca saja, akan
tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan jelas bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena
jalan masuk itu tertutup atau terhalang oleh para penjaga ini.
Sie Liong melihat betapa pintu itu menembus ke jalan lorong yang panjang, kemudian membelok ke kiri
sehingga dari situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil itu.
“Apakah kongcu hendak melakukan sembahyang dan belum membawa perlengkapan? Kami dapat
membantumu.” Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya.
Sie Liong membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun telah berdiri
di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada.
Sudah mendaki bukit dan berkunjung ke kuil namun tidak sembahyang, tentu saja tidak masuk akal. Dia
belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya untuk bertemu dengan Tibet Ngo-houw.
“Saya ingin bertanya tentang nasib diri saya,” jawabnya tenang.
Memang dia tidak bermaksud untuk bersembahyang. Tadi dia sempat melihat di bagian kiri ruangan itu,
dan di sana terdapat sebuah meja sembahyang di mana orang-orang bertanya tentang nasib mereka.
“Ahh, mari kami bantu, kongcu. Bertanya nasib pun harus melakukan sembahyang dan kalau kongcu tidak
membawa perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih mahal dari pada kalau membeli di
toko,” kata pendeta itu dengan sikap ramah.
“Terima kasih,” kata Sie Liong.
Dia pun mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersembahyang berupa lilin dan
hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah petunjuk pendeta itu, Sie Liong melakukan sembahyang di
depan meja sembahyang, kemudian dia, seperti para tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu
batang-batang bambu sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor.
Batang-batang bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada dalam tabung bambu besar dan mereka yang
menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan tentang apa yang ingin
diketahui mengenai nasibnya, harus memegang tabung bambu sambil berlutut di depan meja sembahyang
dan mengguncang-guncang tabung itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada
sebatang yang meloncat atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu yang menjadi jawaban atas
pertanyaannya.
Sie Liong mengguncang tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan tetapi hal itu
belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan dua potong bambu yang
permukaannya berbeda.
Kalau dua potong bambu itu terjatuh ke atas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain,
dengan ada tulisan BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan kebenarannya.
Sebaliknya, andai kata dua potong bambu itu terletak dengan permukaan yang berbeda menghadap ke
atas, dia harus mengguncang sekali lagi dan kembali memilih. Juga apa bila kedua potong bambu itu
menghadapkan tulisan SALAH, dia harus memilih lagi.
Setelah mendapat tanda BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta Lama yang
bertugas di bagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu kemudian
memberinya sehelai kertas yang telah ada tulisannya.
Biasanya, kertas ini berisikan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang
bersembahyang dan minta sesuatu. Karena sajak itu selalu mengandung perumpamaan dan maksud yang
tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar
dan diketahui Sie Liong walau pun baru kini dia sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan
ramalan nasibnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Di situ tertulis dengan
jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya!
KALAU PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK PINTU SELATAN
PAGAR BELAKANG.
Sie Liong mengangkat muka memandang pada pendeta yang melayaninya. Akan tetapi pendeta itu hanya
merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan menundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum
sekali. Kiranya para pendeta Lama ini mempunyai perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja dengan rapi
sekali sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu menjadi bahan penyelidikan
dan sekarang keinginannya sudah diketahui oleh mereka!
Dia pun segera keluar dari kuil itu, keluar lewat pintu gerbang pagar tembok kemudian mengambil jalan
memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan dirinya, bahkan mungkin sudah tahu pula
akan maksud kedatangannya, dia pun tidak perlu lagi berpura-pura. Memang lebih baik kalau bicara
dengan sejujurnya, menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya,
yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, dari pada melakukan penyelidikan secara rahasia, hal yang amat
tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang diselidiki.
Dengan sikap tenang dan hati tabah Sie Liong lalu menuju ke arah belakang. Ternyata, memang tempat itu
luas sekali, bentuknya memanjang ke belakang, bagaikan sebuah perkampungan saja.
Ketika dia memutari pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat sebuah pintu yang tidak
besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk para pendeta anggota perkampungan itu
sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Liong disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usianya sekitar lima puluh
tahun.
“Sie Taihiap, silakan masuk dan mengikuti kami. Para suhu sudah menanti di dalam,” kata seorang di
antara mereka berdua yang bersikap hormat.
Kembali Sie Liong kagum bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah
tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu mereka yang sudah
mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat persiapan-persiapan. Bagaimana pun juga, dia telah
tiba di situ dan tidak mungkin dapat mundur kembali.
Maka, sambil mengucapkan terima kasih, dia pun mengikuti mereka masuk ke dalam melalui sebuah
taman yang indah. Ketika melewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa
wanita! Namun, segera suara ketawa itu terhenti dan dia pun pura-pura tidak mendengarnya. Sie Liong
hanya mencatat di dalam hatinya.
Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia lihat di kuil tadi, sikap saleh dan beribadat para pendeta Lama
yang melayani para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa
pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, namun di sini dia
mendengar suara ketawa wanita! Tidak mungkin dia salah dengar.
Dua orang pendeta Lama itu membawa Sie Liong ke sebuah ruangan yang luas sekali. Paling sedikitnya
lima ratus orang akan dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan di sudut
terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi meja panjang. Di situ
dia melihat belasan orang pendeta Lama sedang duduk bagaikan arca-arca tak bergerak, hanya mata
mereka saja yang mencorong tajam menyambut kedatangannya.
Dua orang pendeta yang mengantarnya itu lalu memberi hormat dengan menyembah kepada belasan
orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie Liong seorang diri berhadapan dengan tiga belas
orang pendeta Lama itu.
Sie Liong juga melayangkan pandang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara
mereka yang duduk berjajar. Biar pun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan sudah tujuh
delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia tidak melupakan lima orang
pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) yang pernah datang ke
Kun-lun-pai dan menyerang Himalaya Sam Lojin dahulu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya
untuk menyelidiki mengapa Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para
pertapa dan para tosu dari Himalaya, bahkan masih mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan diri
mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain dia tidak mengenalnya.
Akan tetapi, melihat seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus dengan
muka merah kekanak-kanakan, berjubah merah serta memegang sebatang tongkat pendeta yang berlapis
emas, berwibawa dan duduk di kursi paling depan, juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang
lain, terbuat dari gading gajah, dia pun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjulukan Kim
Sim Lama!
“Orang muda, apakah engkau yang bernama Sie Liong dan memiliki julukan Pendekar Bongkok?” kakek itu
bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut.
Pada saat pendeta itu berbicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali, membuat jantungnya tergetar.
Wajah yang kekanak-kanakan itu mengeluarkan sinar dan matanya mengandung wibawa yang sangat
kuat. Bukan main, pikirnya. Kakek ini bukanlah orang sembarangan dan akan menjadi lawan yang sangat
berat. Akan tetapi dia kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada
belasan orang itu.
“Benar, losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan ada pun julukan itu mungkin hanya kelakar orang-orang
yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja.”
“Sie Liong, engkau telah berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat
kami.”
Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka dia pun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya.
Sejenak dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek itu,
kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab.
“Losuhu, sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dan bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena
saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri untuk datang
berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai.”
Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta
Lama yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tanpa bergoyang seperti arca.
Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini
melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah.
“Hemm, orang muda. Jika engkau tak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau
telah menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lhasa?” Kini suara kakek itu tidak
lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan suara itu makin meninggi.
Sekarang Sie Liong merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal
telah datang ke situ, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan banyak orang di
luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan
hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan
jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!
Namun, dia tetap bersikap tenang. “Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapa pun juga, apa
lagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah
makan itu terjadi karena saya ditekan dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah cara
pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari mana pun,
kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk
mencegahnya. Saya tak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya.
Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai.
Tibet Ngo-houw, saya harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di
Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!”
Karena dia tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong
sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendadak terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca.
“Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!”
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berlima yang bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama,
orang ke empat dari Lima Harimau Tibet itu.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru