Senin, 04 September 2017

Ko Ping Ho Kisah Bangau Putih 3

Ko Ping Ho Kisah Bangau Putih 3 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Ko Ping Ho Kisah Bangau Putih 3
kumpulan cerita silat cersil online
-
Ci Hwa mengerutkan alisnya ketika lima orang laki-laki itu sudah berdiri menghadang di depannya sambil
menyeringai. Jelas sekali betapa pandang mata mereka yang sedang menjelajahi tubuhnya itu amat
kurang ajar, seolah-olah hendak menelanjanginya. Tetapi dia masih dapat menahan kemarahannya, dan
dengan sikap halus dia pun menunduk.
“Aku adalah seorang yang sedang lewat di jalan ini untuk mencari dan mengunjungi Tiat-liong-pang, harap
Cu-wi (Tuan sekalian) suka memberi jalan,” katanya halus dan ia pun hendak melangkah maju,
mengharapkan lima orang itu akan membuka jalan.
Tetapi, lima orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat dan ranum,
dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan hal-hal yang amat menyenangkan bagi
mereka. Maka sedikit pun mereka tidak mau membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai
dengan pandang mata cabul.
“Aih, mengapa tergesa-gesa, Nona?”
“Mari kita berkenalan lebih dulu.”
“Siapakah nama nona manis?”
“Apakah engkau sudah menikah dengan seorang anggota Tiat-liong-pang?”
“Hai, nona manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”
Ci Hwa mengerutkah alis, maklum bahwa ia tengah berhadapan dengan segerombolan orang yang kurang
ajar.
“Aku tidak mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecuali kalau kalian ini anggotaanggota
Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggota perkumpulan itu?”
Lima orang itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he, menggelengkan kepala. Seorang di antara
mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya menjadi kepala di antara
mereka, lalu bertanya,
“Nona manis, apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”
“Bukan, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan sedang mencari perkumpulan itu.”
“Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak kalah gagah
oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona. Mari kau ikut saja dengan kami,
kita bersenang-senang!” Si brewok itu mengulur tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa.
Gadis itu cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.
“Kalian ini orang-orang kurang ajar! Aku tak mempunyai urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian
Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka untuk melanjutkan pendakiannya naik ke
bukit itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi salah seorang di antara mereka telah meloncat dan menghadangnya sambil menyeringai lebar,
memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak dan tak pernah dibersihkan.
“He-he-he, jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu padaku, he-hehe!”
Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang menggiurkan hatinya itu.
Namun, Ci Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama sekali
tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.
“Dukkkk!” Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu.
“Aughhh...!”
Orang itu membungkuk, memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas itu. Mungkin usus buntunya
tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan berloncatan seperti seekor monyet
menari-nari.
Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.
“Wah, galak juga perempuan ini!” kata yang seorang.
“Makin liar semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak, ha-ha-ha!” kata
orang kedua.
Ditubruk oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimana pun juga, sejak kecil ia
sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke belakang, tubrukan itu pun luput dan dari
samping kembali kakinya menendang. Akan tetapi sekali ini tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang
itu bermaksud menangkap kakinya. Ci Hwa telah menarik kembali kakinya dan kini ia mendoyongkan tubuh
ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar orang ke dua.
“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali.
“Aduhhh...!” Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali
meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu.
“Bedebah!” Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.
Orang yang tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima ekor kucing yang
kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.
“Perempuan liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap dia dan kita gilir dia sampai dia minta ampun!”
Kini Ci Hwa terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha membalas
dengan tendangan dan pukulan. Namun, lima orang itu ternyata bukan orang lemah sehingga baju Ci Hwa
dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa,
memperlihatkan sedikit bukit dadanya yang masih tertutup pakaian dalam.
“Hemmm, mulus !” Mereka berteriak-teriak.
Kini Ci Hwa cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai terbuat dari perak. Senjata ini merupakan
andalan ayahnya dan dia pun sudah pernah berlatih dengan senjata ini. Begitu dia menggerakkan
tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara
mereka kurang cepat mengelak.
“Tukkk!”
Ujung sabuk perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan dan
terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah itu sambil mengaduh-aduh
dan menyumpah-nyumpah. Melihat ini, empat orang temannya menjadi marah.
“Gadis liar!” bentak si brewok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing. Itulah senjata mereka untuk menangkap
binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat sekali, terbuat dari pada tali-tali sutera
yang tidak mudah putus. Kini mereka mengepung Ci Hwa dengan jaring siap di tangan, bibir mereka
menyeringai dengan napas memburu penuh ketegangan. karena mereka merasa seakan-akan mereka
sedang mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!
Ci Hwa menjadi bingung. Selama hidupnya baru sekali ini ia berkelahi dikeroyok banyak orang, dan ia tidak
tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang jaring seperti itu.
Tiba-tiba si brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang berdiri di
belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada jaring menyambar ke atas kepalanya
dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya!
Ia meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain sudah
menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta, makin terlibat-libatlah
tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal kenapa senjatanya itu bukan golok atau pedang
yang tajam untuk dapat membikin putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja
tidak ada gunanya.
Lima orang itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk mengikat tubuhnya. Ci
Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu berkutik lagi kecuali memaki-maki.
“Lepaskan aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap kalian, mengapa
kalian hendak menggangguku? Lepaskan!” Dia berteriak dan meronta, namun hanya dapat bergerak
sedikit saja setelah tali itu membelit-belit tubuhnya.
“Ha-ha-ha, merontalah, Manis. Ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini, ha-ha-ha!” Lima
orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena tendangan, kena gampar dan terkena hantaman
ujung sabuk rantai, sudah melupakan nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa
nanti mereka akan kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan
kesenangan yang berlipat ganda.
Si brewok lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di atas pundak.
Dia membawa Ci Hwa masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang kawannya yang tertawa-tawa. Ci
Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.
Tiba-tiba saja, dari balik semak belukar, muncullah dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Di pinggang
mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka
garang sekali. Mereka tiba-tiba muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang
dengan kaget.
Si brewok, pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan temantemannya
bukan menangkap binatang buruan, tapi seorang perempuan dalam jaringnya, maka dia yang
dapat mengenal orang kang-ouw itu segera tersenyum ramah.
“Selamat pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”
Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar itu hanya memandang dengan alis berkerut, memandangi wajah
mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam jaring yang tidak dapat terlihat jelas
mukanya karena tali-tali jaring yang rapat.
“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, sikapnya
garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah pemburu-pemburu binatang hutan!”
Si brewok masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum kang-ouw, para
perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan hidup mereka memang bersimpangan.
Kalau para pemburu memburu binatang untuk dijual kulit dan dagingnya, maka para perampok memburu
manusia yang berharta untuk dirampok hartanya.
“Tidak keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak mengadu
untung di daerah pegunungan ini untuk memburu binatang hutan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?” Tiba tiba si muka hitam
bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang dibelit jaring.
“Aih, ini? Ia… ia adalah ehh... tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia... ia menjadi milik
kami...,” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan tetapi mengingat bahwa dia berlima
sedangkan di depannya hanya terdiri dua orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak
ada sangkut pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian dan
membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.
“Diam!” bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah kalian berani
berkeliaran di sini, menangkap binatang mau pun perempuan? Katakan, atas ijin siapa?!”
“Kami...kami memburu di tempat bebas...“
“Butakah matamu? Tulikah telingamu? Ini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan kalian berani
memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian sudah bosan hidup rupanya!” Si muka
hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan tendangan.
Serangannya demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut. Untuk dapat
menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang dipanggulnya sehingga tubuh
gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke atas tanah. Kini lima orang pemburu itu sudah berkelahi
mengeroyok dua orang anggota Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.
Lima orang pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring. Untuk
menggunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi dari jarak dekat. Akan tetapi
sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggota Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka
sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun
roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi besar itu!
Setelah lima orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di golok
mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya lalu menghampiri Ci Hwa
yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka
jaring dan membebaskan Ci Hwa.
Gadis ini merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan dia pun bangkit berdiri dengan susah, agak
terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya tiga puluh tahun lebih.
Dia lalu memberi hormat.
“Terima kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua orang laki-laki itu
sekarang memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak ada bedanya dengan cara lima orang
pemburu tadi memandangnya, bahkan kini pandang mata mereka tidak pernah melepaskan bagian baju
yang robek terbuka sehingga sedikit memperlihatkan bukit dadanya.
Si muka bopeng, orang ke dua, terkekeh. “Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka
berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis sekali!”
Si muka hitam menyambung, “Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, bagaimana lalu engkau hendak
membalas budi kami?”
Ci Hwa terkejut. Baik isi ucapan mau pun nada suara kedua orang ini sama sekali tak menyenangkan
hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka itu memandang ke arah dadanya,
cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut
dan wajahnya penuh kekhawatiran.
“Aku berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan. Ehh, bukankah Ji-wi
adalah dua orang anggota Tiat-liong-pang?”
“Benar,” kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”
“Aku aku ingin bertemu dengan ketuanya.“
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati mereka ini kenal
dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka sama sekali takkan berani
mengganggunya.
“Apakah Nona mengenal ketua kami?”
Ci Hwa menggeleng kepalanya, “Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan
dia dan bertanya tentang suatu urusan yang menyangkut perusahaan piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang
kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun yang lalu.”
Kembali kedua orang itu saling pandang, “Ehhh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”
“Benar aku adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauwkiok dan aku ingin menyelidiki
tentang beberapa pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa orang piauwsu di sana.”
Kembali kedua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai senang.
“Aha, kiranya Nona ini adalah seorang penyelidik! Tetapi tadi engkau belum menjawab pertanyaan kami,
Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana
Nona hendak berterima kasih dan membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam
mendekat, diikuti oleh si muka bopeng yang menyeringai.
Ci Hwa mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.
“Aku... aku berterima kasih, kalian mau apa lagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”
“Heh-heh-heh, engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk.
Ci Hwa menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si bopeng cukup gesit
dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini
pun bukan orang lemah. Ia sudah meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk
menangkapnya dari samping dengan tubrukannya.
Ci Hwa dikeroyok dua. Gadis ini coba untuk mempertahankan diri, mengirimkan pukulan dan tendangan.
Tapi, dua orang anggota Tiat-liong-pang itu adalah anggota yang sudah agak tinggi tingkatnya, ilmu
kepandaian mereka pun sudah cukup kuat. Sedangkan Ci Hwa sudah kehilangan sabuk rantai yang
diandalkannya.
“Brettttt!!”
Tiba-tiba cengkeraman tangan si muka hitam dapat menangkap baju Ci Hwa dan baju itu berikut baju
dalamnya terlepas dari tubuhnya sehingga tubuh bagian atasnya terbuka dan buah dadanya pun nampak.
Hal ini membuat kedua orang itu menjadi semakin gila dan penuh nafsu. Sebaliknya, Ci Hwa dibuat malu
dan canggung karena tubuh atasnya telanjang sehingga gerakannya menjadi kacau. Akhirnya, sebuah
tendangan mengenai lututnya dan tubuh Ci Hwa terpelanting. Kedua orang itu menubruknya seperti dua
ekor harimau menubruk kambing. Ci Hwa berteriak-teriak pada saat mereka menggumulinya, mencoba
untuk melepaskan semua pakaiannya.
“Tahan!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Kedua orang itu kelihatan terkejut, cepat melepaskan Ci Hwa dan meloncat berdiri. Kini mereka berdiri
berjajar, berhadapan dengan seorang pemuda dengan muka pucat dan ditundukkan, kelihatan takut sekali.
“Kiranya Kongcu yang datang...!” kata mereka dan selanjutnya mereka mengambil sikap seperti orang
menunggu perintah.
Ci Hwa merasa seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena kedua orang tadi dengan kasar menggumulinya.
Pakaiannya sudah tidak karuan lagi letaknya, baju atasnya robek. Dia mengeluh, kemudian bangkit duduk
sambil berusaha keras menutupi dadanya dengan robekan bajunya, lalu memandang.
Kiranya yang muncul adalah seorang pemuda berwajah tampan. Pakaiannya seperti seorang pemuda
terpelajar tinggi, pakaian yang bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan itu pesolek dan gerak-geriknya
dunia-kangouw.blogspot.com
halus, bahkan dia tidak mau terlalu lama memandang keadaan gadis yang setengah telanjang itu.
Sepasang matanya ditujukan kepada lima buah mayat para pemburu, kemudian menatap dua orang
anggota Tiat-liong-pang yang berdiri di depannya. Suaranya tetap halus, namun penuh teguran dan dari
alis matanya yang berkerut itu dapat diduga bahwa hatinya tidak senang.
“Apa yang telah terjadi di sini?” tanyanya, suaranya halus namun kereng.
Si muka hitam yang galak tadi kini menjawab dan Ci Hwa merasa heran mendengar betapa suara orang itu
terdengar gemetar. “Begini, Kongcu... mereka itu adalah lima orang pemburu yang tanpa seijin kita berani
melakukan perburuan di hutan ini. Mereka menangkap gadis ini dan menculiknya, maka kami lalu turun
tangan membunuh mereka berlima.”
“Hemmm, akan tetapi apa yang kalian lakukan tadi terhadap Nona ini?”
Kedua orang kasar itu saling pandang dan untuk menyembunyikan rasa takut, mereka tersenyum
menyeringai. “Hemm, Kongcu, setelah tadi kami menolongnya, ia berterima kasih dan hendak membalas
budi kami berdua...”
Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Liong. Meski pun pemuda ini selalu bersikap halus dan jarang
mendekati para anggota Tiat-liong-pang, namun dia lebih ditakuti oleh para anggota itu dari pada terhadap
Siangkoan Lohan sendiri karena pemuda ini dapat bertindak tegas dan tidak mengenal ampun kepada
mereka yang bersalah. Sekarang, mendengar laporan si muka hitam, pemuda itu menoleh ke arah Ci Hwa,
hanya melirik saja.
Ci Hwa tidak tahu siapa pemuda itu, akan tetapi melihat betapa dua orang itu bersikap takut-takut, ia pun
dapat menduga bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang yang amat berpengaruh di Tiat-liong-pang.
“Mereka bohong!” katanya membantah keterangan si muka hitam. “Memang dia benar bahwa tadi aku
diganggu dan ditawan lima orang pemburu, dan mereka berdua muncul menolongku dan membunuh lima
orang itu, dan aku memang berterima kasih, akan tetapi mereka berdua itu tidak ada bedanya dengan lima
orang pemburu itu. Mereka hendak memaksaku, menggangguku. Aku terlepas dari cengkeraman lima ekor
serigala akan tetapi terjatuh ke cengkeraman dua ekor harimau!” Gadis yang biasanya berwatak pendiam
dan halus ini sekarang bicara berapi-api, penuh kemarahan.
Siangkoan Liong memandang dua orang anak buahnya. “Benarkah itu?”
Dua orang itu saling lirik, tak berani berbohong lagi, tetapi mereka masih menyeringai. “Ehh... begini,
Kongcu... ehh, kami melihat ia begitu cantik manis wajarlah kalau kami tertarik dan hanya ingin main-main
sedikit, bukan mengganggunya.“
“Cukup!” Siangkoan Liong membentak. “Cepat kalian bunuh diri sendiri!”
Tentu saja ucapan ini amat mengejutkan. Dua orang itu seketika terbelalak dan wajah mereka pucat sekali.
Bahkan Ci Hwa juga kaget bukan main. Begitu mudahnya pemuda ini menjatuhkan hukuman yang luar
biasa, menyuruh dua orang itu membunuh diri!
Keduanya saling pandang dengan mata liar dan jelas bahwa mereka amat ketakutan, seperti dua ekor
kelinci bertemu harimau.
“Tapi...tapi...,“ kata yang seorang.
“Kita lapor Pangcu (ketua)!” kata yang lain dalam usahanya untuk menyelamatkan diri. Keduanya seperti
dikomando tiba-tiba, segera membalikkan tubuh dan melarikan diri.
Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat, kedua tangannya
bergerak dan tanpa ada suara keluhan apa pun, tubuh dua orang itu pun terjungkal dan tewas seketika!
Melihat ini, Ci Hwa merasa ngeri, juga kagum, juga agak takut.
Pemuda tampan itu demikian lihainya. Gerakannya ketika merobohkan orang itu sama sekali tidak dapat
diikuti dengan pandang matanya, demikian cepat sehingga dia tidak tahu bagaimana dua orang itu roboh
terus mati. Pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian agung dan berwibawa, halus gerak-gerik serta
tutur sapanya, dan demikian tampan memikat, seperti seorang tokoh bangsawan dalam dongeng saja!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, dengan sikap acuh, Siangkoan Liong menghampiri tujuh buah mayat itu dan setiap kali
kakinya bergerak, sesosok mayat terlempar ke dalam jurang di samping jalan, jurang yang dalam seperti
mulut raksasa terpentang lebar menelan mayat-mayat itu sampai tidak nampak lagi dari atas.
Setelah menendangi tujuh buah mayat itu masuk jurang, Siangkoan Liong melangkah pergi meninggalkan
Ci Hwa tanpa menoleh satu kali pun. Ci Hwa cepat mengejarnya.
“Kongcu... nanti dulu...!” katanya dan sekaligus bingung juga apa yang harus dikatakan dan mengapa pula
ia mengejar pemuda itu.
Siangkoan Liong dengan sikapnya yang halus lembut dan anggun itu menahan langkah dan membalikkan
tubuhnya menghadapi Ci Hwa, kemudian agaknya baru sekarang dia memperhatikan gadis itu, dari ujung
rambut sampai ke alas kaki dan agaknya dia harus membenarkan pendapat dua orang anak buahnya
bahwa gadis ini memang hitam manis dan cantik menarik.
“Ada apa lagikah, Nona? Sudah kusingkirkan para pengganggumu.”
Ci Hwa agak gugup dan mukanya menjadi merah. “Aku... aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu,
Kongcu.”
Siangkoan Liong tersenyum dan Ci Hwa merasa betapa jantungnya seolah berjungkir balik. Betapa
tampannya pemuda itu ketika tersenyum seperti itu. Sepasang matanya yang indah tajam itu bagaikan
menyalakan api, wajahnya nampak ramah dan tampan bukan main.
“Tidak perlu berterima kasih, Nona, dan engkau boleh melanjutkan perjalanan dengan hati tenang
sekarang.”
“Akan tetapi... aku memang sengaja datang hendak berkunjung ke Tiat-liong-pang dan melihat sikap kedua
orang Tiat-liong-pang tadi kepadamu, agaknya Kongcu juga dari Tiat-liong-pang. Benarkah itu?”
Siangkoan Liong jadi tertarik dan mengamati lebih tajam. Apa maunya gadis muda ini, pikirnya. “Siapakah
engkau, Nona? Apa pula keperluanmu datang berkunjung kepada Tiat-long-pang?”
Ci Hwa mengangkat muka memandang. Sampai lama mereka kini saling pandang dan hati Ci Hwa makin
tertarik. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini hebat. Wajahnya
demikian tampan, anggun dan juga agung, penuh wibawa namun tidak nampak galak, melainkan halus
sikapnya lembut dan ramah gerak geriknya.
Ketampanan itu mengandung kegagahan tersembunyi, sedang pakaiannya yang seperti seorang terpelajar
tinggi itu rapi, bagaikan pakaian seorang pemuda bangsawan saja. Ketika ditanya tentang keperluannya
hendak mengunjungi Tiat-liong-pang, tentu saja ia merasa rikuh untuk memberi tahukan, sebelum ia
mengenal benar siapa pemuda ini dan apa hubungannya dengan Tiat-liong-pang.
Akan tetapi karena orang ini telah menyelamatkannya dan bersikap baik juga ramah, ia pun segera
memberi hormat dan menjawab dengan sikap halus pula.
“Nama saya Kwee Ci Hwa, Kongcu, dan saya datang dari dusun Ban-goan. Ayah saya adalah Kwee Tay
Seng atau Kwee Pangcu, ketua dari perusahaan Ban-goan Piauwkiok di kota kami. Ada pun keperluan
saya mencari Tiat-liong-pang adalah... akan tetapi aku harus mengetahui dulu siapa Kongcu ini sebelum
kuberi tahukan kepentinganku.”
Pemuda itu setelah lama saling berpandangan, cara memandangnya tidak acuh lagi seperti tadi,
menemukan sesuatu yang amat menarik dalam diri Ci Hwa. Seorang gadis yang memang manis sekali,
dengan bentuk tubuh yang sangat menggairahkan, dengan sinar mata yang memancarkan semangat dan
keberanian, dengan sebuah mulut yang teramat menarik, mulut yang agaknya memang diciptakan sebagai
alat menyampaikan kemesraan yang penuh gairah.
Mulailah sinar mata pemuda itu mencorong dan dia pun sudah mengambil keputusan bahwa dia tidak
boleh melewatkan seorang gadis semanis ini begitu saja! Siangkoan Liong bukan seorang pemuda yang
terlalu mudah jatuh menghadapi kecantikan wanita. Akan tetapi, matanya tajam sekali untuk bisa
dunia-kangouw.blogspot.com
menangkap keindahan yang khas seorang wanita. Terutama sekali setelah di antara semua orang yang
bersekutu dengan ayahnya terdapat Sin-kiam Mo-li.
Wanita itu, biar usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun masih cantik dan lemah lembut, dan
tentu saja amat berpengalaman dalam ilmu menundukkan hati pria. Dengan keahliannya, ia pun pernah
berhasil menundukkan pemuda yang luar biasa itu dan tentu saja dalam hal satu ini, Sin-kiam Mo-li
menjadi seorang guru yang teramat pandai dan berpengalaman.
Peristiwa yang terjadi dengan Sin-kiam Mo-li sudah membangkitkan naga yang tadinya masih tertidur
dalam diri Siangkoan Liong, dan sekali naga nafsu itu bangkit maka selalu hendak mencari korban. Dan
dalam pandangan pemuda itu, Ci Hwa merupakan calon korban yang amat menarik.
“Aihhh, kiranya engkau puteri seorang piauwsu, nona Kwee Ci Hwa. Aku heran sekali, kenapa ada puteri
seorang piauwsu mencari Tiat-liong-pang. Ketahuilah, bahwa ketua Tiat-liong-pang, yaitu Siangkoan
Pangcu, adalah ayah kandungku. Ibuku seorang puteri dari istana dan aku masih disebut orang pangeran
karena aku putera ibuku. Namaku Siangkoan Liong.”
Ci Hwa semakin kagum. Seorang pangeran? Pantas, pemuda ini begini tampan gagah dan berwibawa.
Dan tentang kepandaian silatnya, dia tidak meragukannya lagi, walau pun dia juga bergidik ngeri melihat
betapa mudahnya pangeran ini membunuh orang, anak buahnya sendiri malah!
“Aihh, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat, Pangeran...“
“Hushhh, jangan sebut pangeran. Kita bukan di istana. Semua orang memanggil aku Siangkoan Kongcu.
Nah, nona Ci Hwa, katakan mengapa seorang gadis yang begini muda dan manis seperti engkau ini, puteri
seorang piauwsu, jauh-jauh datang untuk mencari Tiat-liong-pang. Ada urusan apakah?”
Hati Ci Hwa sudah jatuh benar sekarang. Siangkoan Liong memperlihatkan sikap manis, pada waktu
berbicara dibarengi senyum dan pancaran matanya tidak menyembunyikan kekagumannya, maka gadis itu
pun merasa betapa jantungnya berdebar tidak karuan.
Dia pun lalu menceritakan apa maksud kedatangannya itu. Diceritakannya betapa di Ban-goan terjadi
pembunuhan-pembunuhan, sejak delapan tahun yang lalu ketika Tan Piauwsu dibunuh orang, kemudian
juga Tang Piauwsu, dan yang terakhir adalah orang she Lay terbunuh pula oleh orang berkedok.
“Keluarga Tan menuduh ayahku sebagai pembunuh itu, Kongcu, dengan alasan bahwa mungkin ayahku
membenci karena persaingan di dalam perusahaan. Akan tetapi, ayah sama sekali tidak melakukan
pembunuhan-pembunuhan itu dan aku merasa penasaran. Aku harus mencari pembunuh itu untuk
mencuci nama baik ayahku. Sebelum orang she Lay itu tewas oleh orang berkedok, dia menyebutkan
nama perkumpulan Tiat-liong-pang dan karena itu maka aku meninggalkan rumah dan pergi mengunjungi
Tiat-liong-pang untuk mencari keterangan. Tapi di hutan tadi aku bertemu dengan lima orang pemburu
yang menawanku, kemudian muncul pula dua orang anggota Tiat-liong-pang. Untung ada engkau, Kongcu,
yang telah menyelamatkan aku.”
Siangkoan Liong tersenyum lebar dan pandang matanya ramah sekali. “Aih, nona yang baik, kenapa
engkau bercuriga kepada Tiat-liong-pang? Perkumpulan kami terlalu besar untuk berurusan dengan segala
macam pembunuhan seperti yang terjadi di Ban-goan itu. Perkumpulan kami dekat dengan istana, dan
ayahku adalah keluarga istana, mana mungkin memusuhi segala macam perusahaan Piauwkiok? Akan
tetapi agar engkau merasa puas, marilah ikut denganku, dan kau lihat sendiri keadaan perkumpulan kami.
Kami sudah cukup kaya dan tak membutuhkan barang orang lain untuk dirampok. Nah, marilah, Nona.
Engkau menjadi seorang tamuku, tamu terhormat.”
Tentu saja Ci Hwa merasa girang dan terhormat sekali. Semangatnya untuk menyelidiki Tiat-liong-pang
seperti awan tipis tersapu angin, lenyap sudah. Dan kini, ia berjalan di sebelah pemuda itu bukan lagi
seperti seorang yang ingin menyelidiki, tetapi sebagai seorang tamu yang merasa gembira bukan main
telah dapat menjadi tamu seorang tuan rumah seperti pemuda ini. Jika saja para gadis lain melihatnya,
berjalan berdampingan dengan seorang pangeran yang demikian tampan dan demikian gagah perkasa,
tentu mereka akan merasa iri hati!
Siangkoan Liong membawa Ci Hwa ke rumah gedung keluarganya, akan tetapi ia tidak mengajaknya
berjumpa dengan ayahnya. Juga tak memperkenalkannya kepada semua orang yang terdapat di gedung
dunia-kangouw.blogspot.com
itu, dan karena dia diam saja, tak seorang pun di antara para anggota mau pun tamu di rumah itu berani
bertanya kepadanya siapa gerangan gadis manis yang datang bersamanya itu.
Sedangkan Ci Hwa, melihat betapa semua orang memberi hormat kepada pemuda itu, merasa semakin
bangga! Apa lagi ketika ia melihat betapa rumah gedung itu memang penuh dengan perabot rumah yang
indah, bagaikan sebuah istana seorang pembesar saja. Tidak salah. Pemuda yang berdarah pangeran ini
memang kaya raya dan tentu saja tidak perlu harus melakukan perampokan terhadap Tan Piauwsu.
Ia dibawa ke ruangan-ruangan yang amat indah, dan akhirnya pemuda itu mengajaknya duduk di dalam
sebuah ruangan makan yang tidak seberapa luas, namun ruangan ini terhias indah dengan lukisan-lukisan,
juga amat bersih dan berbau harum. Sebuah pintu menembus ke sebuah kamar, yaitu kamar pemuda itu,
dihiasi tirai sutera dan dua pot bunga tumbuh subur di kanan kiri pintu. Inilah ruangan makan pribadi dari
Siangkoan Kongcu.
Pemuda ini memang merasa derajatnya lebih tinggi dari pada para sahabat dan anak buah ayahnya, maka
dia jarang sekali mau makan bersama teman-teman ayahnya yang dianggapnya orang-orang kasar itu. Dia
lebih suka makan seorang diri saja di ruangan khusus itu, hanya ayahnya saja yang kadang menemaninya
jika tidak sedang menjamu tamu.
“Duduklah, nona Kwee. Hari sudah siang dan aku sudah lapar. Apakah engkau tidak merasa lapar juga?”
Ditanya demikian, Ci Hwa yang berwatak pendiam dan halus itu merasa sungkan dan hanya
menggelengkan kepalanya.
“Ah, sekali waktu orang harus menanggalkan rasa rikuh dan bersikap jujur, Nona. Tadi pernah aku
mendengar keruyuk perutmu ketika kita jalan bersama, itu tandanya engkau pun lapar seperti aku. Kenapa
harus malu mengakuinya?”
Ditegur seperti itu, mau tidak mau Ci Hwa tersenyum dengan kedua pipinya berubah merah dan tidak
dapat menjawab.
“Nah, engkau sebagai tamuku, tamu agung, harap tidak menolak kalau kuajak makan bersama sebelum
kita bercakap-cakap lebih lanjut.”
Tanpa menanti persetujuan gadis itu, Siangkoan Liong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang
pelayan wanita, gadis-gadis muda yang mulus dan cantik. Mereka memberi hormat dengan sikap lembut.
“Cepat kalian keluarkan hidangan makan siang berikut minumannya yang lengkap untuk menghormati
tamu agungku!” perintahnya. Dua orang gadis pelayan itu membungkuk lalu mengundurkan diri dengan
cepat.
“Silakan duduk, nona Kwee Ci Hwa.”
Terpaksa Ci Hwa mengambil tempat duduk, berhadapan dengan pemuda itu, terhalang sebuah meja yang
lebarnya satu meter. Mereka kembali saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda itu
mengamatinya dengan kagum, debar jantung Ci Hwa mengeras dan ia pun menunduk malu-malu.
Tak dibayangkannya semula bahwa ia akan dapat duduk semeja dan menjadi tamu agung putera ketua
Tiat-long-pang yang hendak diselidikinya. Ia merasa malu kepada diri sendiri. Bagaimana mungkin ia
mencurigai seorang seperti pemuda ini, perkumpulan besar yang kaya raya ini? Tentu orang she Lay itu
sudah dengan sengaja menyebut nama Tiat-liong-pang untuk menjebak Sin Hong.
“Aih, celaka...!” Tiba-tiba ia menggumam, suaranya yang timbul dari kekagetan hatinya. Hal ini diketahui
oleh Siangkoan Liong yang memandang heran.
“Ehh, ada apakah nona Ci Hwa?”
Ci Hwa merasa terkejut dan menyesal sekali mengapa ia tidak mampu menahan gejolak batinnya tadi.
Tentu saja ia terkejut teringat akan hal itu karena sudah pasti Sin Hong akan datang pula menyelidiki ke
sini dan kalau sampai bentrok dengan orang-orang Tiat-liong-pang yang tidak bersalah, pemuda itu bisa
celaka! Padahal dia kagum dan suka sekali kepada Tan Sin Hong!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang, karena sudah terlanjur bicara dan diketahui Siangkoan Kongcu, terpaksa ia pun menjawab.
“Kongcu, aku teringat akan putera mendiang Tan Piauwsu. Dialah orang yang tadinya menjatuhkan
tuduhan kepada keluarga kami sebagai pembunuh ayahnya. Dan dia pun sudah mendengar dari orang she
Lay itu bahwa yang berdiri di belakang pembunuhan itu adalah Tiat-liong-pang. Tentu dia akan menyerbu
ke sini!”
Siangkoan Kongcu hanya tersenyum. “Biarkanlah kalau dia akan menyerbu. Kami tidak bersalah dan kami
tidak takut akan serbuan siapa pun juga.”
“Bukan begitu maksudku, Kongcu. Akan tetapi dia... Tan Sin Hong itu, dia akan salah serbu dan bahkan
tentu akan celaka di sini...“
Sepasang alis yang berbentuk golok dan hitam itu agak berkerut dan sepasang mata yang tajam itu
memandang penuh selidik ke arah wajah manis itu.
“Kalau begitu mengapa? Kalau dia menyerbu ke sini dan celaka, bukankah itu salahnya sendiri? Apa
hubungannya dengan engkau, Nona? Mengapa engkau mengkhawatirkan dia padahal dia sudah menuduh
ayahmu sebagai seorang bersalah?”
Sepasang pipi itu semakin merah. Tentu saja ia tidak dapat menyatakan bahwa ia tertarik dan kagum,
bahkan suka sekali kepada Sin Hong!
“Ahhh, tidak ada hubungan apa pun. Hanya aku kasihan kepadanya karena dia telah kehilangan ayah
ibunya, kehilangan perusahaannya, kehilangan segalanya.”
“Jadi karena itu engkau membantunya dan menyelidiki kami? Apakah engkau jatuh cinta padanya, Nona?”
“Ihh...! Kenapa engkau bertanya begitu, Kongcu? Aku menyelidiki untuk menebus nama baik ayahku,
bukan untuk membantunya, dan tentang cinta... ahh... tidak sama sekali!” Tentu saja dia menyangkal walau
pun hatinya penuh tanda tanya dan keraguan karena selama ini dia sendiri pun belum pernah bertanya
kepada dirinya sendiri apakah rasa tertariknya kepada Sin Hong ini karena cinta.
Siangkoan Liong menarik napas lega dan sementara itu hidangan pun tiba.
“Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja, Nona. Kalau sampai orang yang bernama Tan Sin Hong itu datang
menyerbu, mengingat bahwa dia itu kenalanmu, tentu akan kujaga agar dia jangan sampai celaka.”
“Terima kasih, Kongcu. Engkau memang orang yang baik sekali.”
“Ha-ha-ha, bukan baik, Nona. Tapi menghadapi seorang gadis yang begini cantik manis, begini ramah dan
halus budi, juga gagah perkasa seperti engkau, siapa orangnya yang tidak akan menjadi baik?”
Sudah semenjak sejarah dicatat orang, wanita merupakan makhluk yang amat lemah terhadap cumbu rayu
dan bujukan. Pujian-pujian merupakan hal yang menyenangkan hati, bahkan didambakan setiap wanita.
Hanya wanita yang tidak normal saja kiranya yang tidak haus akan pujian dan rayuan.
Hal ini kiranya bukan karena suara kelemahan batin atau juga karena kekurangannya, melainkan sudah
menjadi pembawaan, naluri yang ada pada setiap makhluk betina, termasuk wanita. Sudah sejak mulanya,
wanita atau semua makhluk betina memiliki daya tarik yang amat besar bagi makhluk jantan, seperti juga
wanita memiliki segalanya yang amat menarik hati pria. Suaranya yang lembut, rambut panjang halus, kulit
mulus, raut wajah yang indah, lekuk lengkung tubuh menggairahkan, pandang mata yang penuh romantika,
senyum memadu, leher jenjang, pinggang ramping, dada dan pinggul membukit, kaki yang mungil,
pendeknya segala sesuatu pada diri wanita mengandung daya tarik bagi pria.
Wanita menyadari akan hal ini, karena itu berupaya menonjolkan daya tarik itu dan jika sampai terlontar
pujian dari mulut atau mata pria, maka berhasillah ia dan banggalah ia. Sebaliknya, pria yang pandai, yang
mengerti akan kelemahan wanita ini sengaja akan mempergunakan kelemahan itu sebagai umpan untuk
memancing dan mendapatkan wanita yang diidamkannya. Daya tarik kedua pihak, yang menarik satu
kepada yang lain, memang pembawaan semenjak lahir, mungkin hal itu diperlukan sekali agar ada
pendekatan antara keduanya sebagai sarana perkembang biakan. Tanpa saling tertarik, mana mungkin
ada hasrat pendekatan, dan tanpa pendekatan, bagaimana mungkin terjadi perkembang biakan?
dunia-kangouw.blogspot.com
Di pihak pria, memang ada pula perasaan suka dipuji itu, akan tetapi biasanya, berbeda dengan wanita,
pria suka dipuji akan kejantanannya, bukan karena keelokan parasnya. Siangkoan Liong, biar pun sejak
kecil digembleng dengan ilmu silat dan sastra, sebelum Sin-kiam Mo-li menjadi sekutu ayahnya, memang
sama sekali tidak berpengalaman dengan wanita. Setelah dia terpikat oleh Sin-kiam Mo-li dan
mendapatkan seorang guru baru dalam permainan asmara, dia pun berubah. Walau pun dia masih jual
mahal dan tidak sembarangan mau mendekati wanita seperti para gadis pelayannya sendiri, tapi dia mulai
memperhatikan wanita dan sekali dia menaruh minat, jangan harap wanita itu akan mampu terlepas dari
pikatannya yang lihai.
Ci Hwa berkali-kali memerah muka karena pujian-pujian yang dilontarkan tidak secara kasar atau langsung
itu. Sambaran-sambaran sinar mata penuh kagum dari pemuda itu lebih membingungkannya dari pada
kalau dirinya dirayu. Andai kata Siangkoan Kongcu merayunya dengan kata-kata, apa lagi kalau agak
kasar, kiranya belum tentu ia akan terpikat. Ci Hwa bukanlah wanita yang mudah jatuh hati oleh
ketampanan. Akan tetapi, menghadapi sikap yang demikian lembut, halus dan ramah, serta pandai
membawa diri, bahkan kata-katanya kini mulai indah seperti sajak, dengan kata-kata pilihan, luluhlah hati
Ci Hwa.
Melihat betapa calon korbannya itu sudah mulai terpikat, yang dapat diketahuinya dari senyum dikulum,
lirikan mata mengandung kegenitan, kedua pipi kemerahan, dada naik turun dan mata yang seperti
mengantuk itu, Siangkoan Kongcu lalu memesan anggur merah dari pelayan. Sebuah guci berlapis emas
dengan ukiran-ukiran sepasang burung Hong sedang bermain asmara kemudian disuguhkan dan diletakan
di atas meja. Ketika Siangkoan Liong menuangkan anggurnya, ternyata anggurnya warna merah dan
berbau harum sekali.
Diisinya penuh cawan mereka dan Siangkoan Liong mengangkat cawannya yang penuh arak merah itu
sambil diacungkannya kepada Ci Hwa sambil berkata dengan senyum ramah dan manis.
“Marilah kita minum anggur ini, Nona!”
Biar pun Ci Hwa tidak asing dengan minuman arak dan anggur karena ayahnya juga seorang peminum
yang kuat, namun tadi sambil makan dia telah minum arak cukup banyak. Ia tidak mabuk, akan tetapi ia
harus waspada karena berada di tempat asing, apa lagi sebagai seorang tamu wanita. Alangkah akan
memalukan kalau sampai dia mabuk dan mengeluarkan kata-kata di luar kesadarannya, maka dia pun
menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Sudah cukup, Kongcu. Sungguh aku sudah kenyang sekali dan sudah banyak minum, rasanya tidak ada
tempat lagi untuk ditambah minum anggur. Kebaikanmu sebagai tuan rumah sudah berlimpahan, membuat
aku merasa tidak enak saja, dan sebaiknya kalau aku minta diri sebelum berhutang budi terlalu banyak.”
Ci Hwa adalah seorang gadis pendiam dan jarang bicara, akan tetapi sekali ini ia pandai bicara. Hal ini
mungkin disebabkan oleh keadaan tempat yang indah itu, mungkin juga oleh kegembiraan berdua dengan
Siangkoan Kongcu, atau juga lidahnya agak terlepas karena pengaruh minuman arak yang tua dan baik
tadi.
“Ha-ha-ha, nona Ci Hwa yang mulia! Ketahuilah bahwa anggur ini merupakan anggur simpananku yang
kuberi nama Anggur Emas. Tidak keras seperti arak, melainkan lezat, manis dan harum, juga mengandung
khasiat menyehatkan tubuh dan membangkitkan hawa sakti dalam tubuh. Jika bukan tamu agung, jangan
harap bisa merasakan anggur suguhanku ini. Anggur ini adalah minuman para puteri dan pangeran di
istana, Nona. Oleh karena itu, mari kita minum untuk pertemuan kita yang berbahagia ini!”
Betapa Ci Hwa dapat menolak penawaran seperti itu? Tentu saja akan tidak enak sekali dan nampak tidak
dapat menerima budi orang jika ia menolak. Maka sambil tersenyum ia pun mengangkat cawan araknya.
Kini senyumnya agak lebar, lebih lepas dan dengan sinar mata kagum Siangkoan Liong melihat deretan
gigi yang putih cemerlang seperti mutiara, rapi berjajar dan samar-samar nampak rongga mulut yang
merah dengan ujung lidah jambon yang sehat.
Keduanya mengangkat cawan, kemudian saling mengacungkan cawan sambil berkata lirih, “Selamat!” dan
keduanya minum anggur merah dari cawan itu.
Begitu anggur memasuki mulut, Ci Hwa terkejut, heran dan juga kagum! Belum pernah selama hidup ia
minum minuman selezat itu! Bagaikan sari buah anggur tulen. Mungkin anggur dengan mutu terbaik
diperas dan entah dicampur apa maka dapat sedemikian manisnya dan harumnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu tidak memabukkan sama sekali, pikirnya. Dia pun menuangkan seluruh isi cawan itu ke dalam
tenggorokannya. Terasa manis dan hangat memasuki tenggorokan dan perut. Memang ada rasa hangat,
akan tetapi tidak panas menyentak seperti jika minum arak.
Mereka saling berpandangan dan pemuda itu tersenyum. Wajah pemuda itu nampak lebih cerah dan lebih
tampan saja.
“Bagaimana, nona Ci Hwa? Enak tidak?”
“Bukan main!” Ci Hwa memuji. “Engkau sungguh pandai sekali, Kongcu. Selama hidup baru sekarang aku
merasakan minuman yang begini lezatnya.”
“Ha-ha-ha, pujian seperti itu harus diberi hadiah secawan lagi.” Dia cepat mengisi pula dua cawan arak
mereka. “Sekarang mari kita minum untuk persahabatan kita, bukan hanya karena pertemuan antara kita!”
Karena minuman itu bukan arak dan tidak akan memabukkan, Ci Hwa tanpa ragu-ragu minum lagi anggur
itu sampai habis. Dan untuk ke tiga kalinya Siangkoan Liong kembali menuangkan isi guci ke dalam cawan
mereka.
Ci Hwa merasa sungkan juga, takut dianggap gembul dan murka. “Cukup, Kongcu. Minuman seperti itu
amat berharga dan jangan terlalu banyak dihamburkan untukku!”
“Sama sekali bukan begitu. Memang amat mahal harganya, akan tetapi seguci hanya terisi enam cawan.
Dan kiranya tidak ada orang yang lebih patut untuk mendapatkan setengah guci. Engkau tiga cawan dan
aku tiga cawan baru puaslah hatiku. Sekali ini kita minum untuk menghormati perasaan suka dan tertarik di
antara kita!”
Ci Hwa terkejut dan mukanya menjadi semakin merah, jantung berdebar kuat sekali. Akan tetapi dia tidak
marah. Bagaimana dia dapat marah terhadap seorang pemuda seperti ini? Dalam pandangan matanya,
pemuda itu nampak terlalu tampan, terlalu halus dan sopan dan memang harus diakuinya bahwa timbul
perasaan tertarik dan suka di dalam hatinya. Biar pun agak malu-malu, dia minum juga cawan ke tiga berisi
anggur merah yang penuh.
Sekarang barulah terasa olehnya. Ia merasa seperti melayang ke atas, terapung-apung tanpa bobot, dibuai
dan ditimang. Tubuhnya seperti tak merasakan apa-apa lagi kecuali kenikmatan yang aneh. Ia membuka
matanya dan mendapatkan dirinya masih duduk di depan meja, dan di seberangnya, wajah tampan itu
nampak tersenyum ramah.
Ia merasa aneh akan tetapi tidak heran, tidak merasa mabuk, akan tetapi masih agak sadar bahwa terjadi
suatu keanehan yang selamanya tak pernah dirasakannya. Lukisan di dinding itu, sebuah lukisan gunung
dan awan, nampak demikian indah seolah-olah bukan lukisan, melainkan jendela terbuka dari mana ia
dapat melihat gunung dan awan yang sungguh-sungguh.
Dan lukisan burung merak itu, bukankah burung itu menggerak-gerakkan sayap dan kepalanya? Dan
warna sutera yang menjadi tirai depan pintu kamar itu, warnanya bagai pelangi, akan tetapi dalam keadaan
yang luar biasa indahnya. Bukan sekedar warna biasa, melainkan warna yang demikian jelas. Seperti ia
bisa mendengar suara beraneka macam, dengan suara berbeda, seperti nyanyian, membawakan irama
yang demikian halus dan enak sehingga tanpa terasa lagi Ci Hwa menggerak-gerakkan kepalanya
menurutkan irama itu!
Suara ketawa halus dari Siangkoan Liong memasuki telinganya, seperti suara bisikan dari jauh sekali,
namun juga jelas sekali. “Aih, nona Kwee Ci Hwa yang manis, agaknya engkau... engkau lelah dan
mengantuk. Benarkah itu?”
Ci Hwa menggeleng kepala dan menahan ketawanya. Aneh, mengapa dia ingin sekali tertawa, tertawa
sepuasnya dan sebebasnya? Tidak ada lagi ikatan malu atau apa saja, yang ada hanya keinginan hati
untuk senang!
“Aku tidak lelah, tidak mengantuk, akan tetapi wah… enaknya rasanya...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau dipakai beristirahat tentu lebih enak. Mari, Nona, marilah engkau beristirahat...“ Dan tiba-tiba tangan
pemuda itu sudah menyentuh tangannya.
Sejenak Ci Hwa seperti orang kaget, tetapi lalu tersenyum. Tangan pemuda itu hangat dan halus, dan apa
salahnya berpegang tangan? Wajar saja, bukan?
“Ya-ya-ya, istirahat…, aku seperti melayang-layang...,“ katanya seperti dalam mimpi.
Ia pun sama sekali tidak memiliki daya lawan atau sama sekali tidak ingin menentang ketika Siangkoan
Liong memutari meja, menghampirinya, kemudian memegang kedua pundaknya, bahkan lalu
membantunya bangkit berdiri.
Pada waktu Ci Hwa berdiri, ia limbung dan tentu bisa jatuh kalau tidak segera dirangkul Siangkoan Liong
pundaknya. Tubuhnya rasanya begitu ringan seperti bola karet penuh angin, kedua kakinya seperti agaragar
saja, dan pikirannya tidak ada! Yang ada hanya perasaan senang, perasaan enak, perasaan bebas
dari segala persoalan hidup. Dia bahkan terkekeh sedikit ketika pemuda itu menuntunnya masuk ke dalam
kamar yang bertiraikan kain sutera pelangi tadi.
Ci Hwa sama sekali tidak memiliki niat apa-apa, apa lagi membantah ketika pemuda itu memondong dan
merebahkannya di atas sebuah pembaringan yang tebal, lunak, harum dan indah. Bahkan ia pun tidak
membantah ketika pemuda itu melepaskan sepatunya. Ia terlentang dan memandang langit-langit kelambu,
lalu menarik napas panjang, penuh kelegaan.
“Aaaahhh... alangkah senangnya… alangkah enaknya...“
Dia tidak tahu bahwa gelung rambutnya terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu terurai di atas
bantal. Juga dia tidak peduli ketika pemuda itu menutupkan daun pintu, bahkan tidak merasa heran atau
aneh ketika pemuda itu pun membuka baju luar dan rebah di sampingnya!
Siangkoan Liong yang maklum bahwa calon korbannya sudah terbius oleh obat luar biasa yang terkandung
dalam anggur tadi, juga maklum bahwa pada dasarnya gadis itu memang sudah terpikat dan tertarik
kepadanya, lalu mulai mencumbunya. Hanya sekali kali saja kesadaran seperti hendak menyeret kembali
Ci Hwa ke dalam keadaan normal, namun pemuda itu pandai sekali merayu, dengan bisikan-bisikan,
dengan sentuhan sentuhan, dengan dekapan dan ciuman.
Dan akhirnya, api birahi yang ada dalam diri setiap manusia, juga dalam diri Ci Hwa, tersulut dan berkobar.
Ia pun membalas belaian dan pelampiasan kemesraan pemuda itu dengan menggebu-gebu, lupa akan
segala, yang ada hanya keinginan memuaskan hasrat yang berkobar membakar seluruh keadaan dirinya,
lahir batin.
Tanpa ada paksaan semua itu terjadi, walau pun Ci Hwa melakukannya dalam keadaan seperempat sadar
saja. Berkali-kali ia menyerahkan diri, penuh kerelaan dan keduanya berada di dalam kamar itu sampai
keesokan harinya!
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ci Hwa terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, dia merasa betapa
seluruh tubuhnya pegal-pegal dan lelah sekali, seolah-olah telah dilolosi semua urat di tubuhnya. Ingin ia
memejamkan mata kembali, tidur kembali, akan tetapi ketika tangannya bergerak, ia mendapatkan dirinya
tanpa pakaian!
Ia terkejut, memiringkan tubuhnya. Ia pun melihat Siangkoan Liong rebah di sampingnya dalam keadan
yang sama! Teringat ia akan semuanya itu seperti ada kilat menyambar menerangi benaknya. Kini, semua
pengaruh obat telah lenyap dan ia sadar seutuhnya!
“Ihhh...!” Ia menahan jeritnya, bangkit duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya.
Rambutnya terurai lepas menutupi kulit pundak dan dada yang mulus, kedua matanya terbelalak
memandang kepada Siangkoan Liong. Siangkoan Liong juga terbangun oleh jerit ditahan dan gerakan
gadis itu. Dia memandang dan tersenyum, lalu bangkit duduk juga. Dadanya yang bidang nampak
berkeringat dan biar pun rambutnya kusut dan dia baru bangun tidur, tetap saja dia merupakan seorang
pria yang jantan dan menarik.
“Selamat pagi, Hwa-moi, kekasihku!” katanya dan tangannya meraih, hendak merangkul dan mencium.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Ci Hwa menggeser pinggulnya, menjauh dan matanya terbelalak. “Kongcu! Engkau... kita...?”
bisiknya, seolah-olah baru melihat kenyataan yang sungguh teramat mengejutkan hatinya.
Melihat ini Siangkoan Kongcu tidak menjadi gugup, bahkan dia menyentuh lengan gadis itu sambil
tersenyum. Begitu merasa lengannya disentuh tangan pria, Ci Hwa merasa bulu tengkuknya meremang
dan ia cepat menarik lengannya dan menjauh.
“Tenanglah, Hwa-moi, tenanglah kekasihku. Lupakah engkau? Sejak kemarin siang kita sudah tidur di sini.
Kita memang telah berkasih-kasihan, dan kita... kita sudah saling mencurahkan kasih sayang. Engkau
memang seorang wanita hebat...!”
“Tidak! Oohhhh... tidak...!” Ci Hwa menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari celah-celah antara
jari-jari tangannya mengalir air mata.
“Ci Hwa, tenangkan dirimu. Kita memang telah melakukan hubungan dengan suka rela, karena kita saling
menyayang, saling menyukai. Apa salahnya itu? Dan aku merasa berbahagia sekali.”
“Tidak...! Engkau... engkau tentu telah menjebakku...“
“Hwa-moi, apakah engkau mimpi? Lihat ini dadaku, leherku, masih merah-merah bekas gigitanmu. Gigitan
manja! Ingat, Hwa-moi, aku tidak memaksamu dan engkau tidak memaksaku. Kita melakukan dengan suka
rela, karena saling mencinta. Beberapa kali engkau membisikkan kata cinta kepadaku, kenapa sekarang
tiba-tiba engkau menangis dan menyesal dan menuduh yang bukan-bukan?”
Ci Hwa menurunkan kedua tangannya. Air matanya masih mengalir turun dan matanya basah. Sejenak dia
memandang wajah pemuda itu melalui air matanya dan dia pun teringatlah semuanya. Ia merasa malu
sekali, akan tetapi segalanya telah terjadi.
“Aku... aku agaknya sudah gila,” ratapnya. “Aku... tergila-gila kepadamu, Kongcu. Akan tetapi, apakah
engkau cinta padaku?”
Siangkoan Liong merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra dan Ci Hwa hanya setengah meronta
saja.
“Cinta padamu? Kalau tidak cinta padamu, untuk apa aku melakukan ini? Aku bukan pria yang kegilaan
perempuan! Aku tentu saja cinta padamu, Hwa-moi.”
Sinar terang memenuhi batin Ci Hwa dan ia pun balas merangkul. “Aihh, Kongcu, terima kasih. Kalau
begitu, sekarang juga, hari ini juga, engkau harus ikut bersamaku pergi ke Ban-goan.”
“Ehhh?” Siangkoan Kongcu mengerutkan alis dan memandang heran. “Ikut denganmu ke Ban-goan?”
tanyanya ragu. “Mau apa?”
Kini Ci Hwa yang terbelalak. “Mau apa lagi? Bukankah engkau sudah menggauli diriku, bukankah aku telah
menyerahkan diriku padamu dan kita seperti sudah menjadi suami isteri? Tentu saja untuk menghadap
ayahku dan untuk melamarku menjadi isterimu. Apa lagi!”
“Ahhh, ini tidak mungkin!”
Seketika pucat wajah Ci Hwa. Kemudian mukanya merah sekali dan ia pun menyambar pakaiannya dan
mengenakan pakaiannya sejadinya. Hal ini diturut pula oleh Siangkoan Kongcu dan kini mereka berdiri di
kamar itu, berdiri saling berhadapan.
“Siangkoan Kongcu, setelah apa yang kau lakukan semalam...“
“Engkau juga, bukan aku sendiri!”
“Benar, setelah apa yang kita lakukan bersama semalam, apakah engkau masih berani mengatakan
bahwa engkau tak akan melamarku dan mengambil aku sebagai isterimu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. Dalam keadaan seolah olah dia terdesak itu,
dia masih bersikap tenang dan halus.
“Kwee Ci Hwa, dengarlah baik-baik. Engkau datang ke sini tanpa diundang. Aku sudah menyambutmu
dengan baik, bahkan untuk keselamatanmu dan harga dirimu, aku telah membunuh dua orang anggota
perkumpulan kami. Kemudian kita saling mencinta, dan saling menumpahkan perasaan cinta dan kasih
sayang, tanpa paksaan dan dengan suka rela. Akan tetapi sekarang engkau menuntut aku agar mengambil
engkau sebagai isteri!”
“Bukankah itu sudah pantasnya dan seharusnya?” Ci Hwa membantah dengan suara mendesak.
Siangkoan Liong menggeleng kepala. “Tak ada paksaan dalam hubungan kita. Engkau tahu bahwa aku
seorang pangeran, seorang keturunan bangsawan dan tidak mudah mengikatkan diri menikah begitu saja.
Kita saling suka, dan aku pun cinta padamu. Mengapa kita tidak tetap seperti sekarang saling mencinta
dan melakukan hubungan setiap kali kita inginkan? Apa perlunya ikatan pernikahan? Aku tidak bisa
memenuhi permintaanmu itu, Ci Hwa.”
Wajah gadis itu berubah pucat, matanya terbelalak dan kembali air mata bercucuran keluar. “Kongcu,
setelah apa yang kau lakukan, setelah engkau meniduriku, merenggut keperawananku... ah, bagimu
sebagai pria memang mungkin tidak apa-apa, akan tetapi aku seorang wanita! Seorang wanita, seorang
gadis! Tahukah engkau akibatnya? Aku akan dikejar aib, namaku akan rusak dan hina, lebih hebat dari
pada kematian!”
Siangkoan Liong menggeleng kepala dan tersenyum. “Bodoh kau! Tetap saja menjadi kekasihku seperti
sekarang, dan aku akan melindungimu.”
“Tidak! Engkau harus melamarku, harus mengambilku sebagai isterimu, kalau tidak...“
“Hemmm, kalau tidak mengapa?” Siangkoan Liong kini bertanya dengan alis berkerut dan pandang
matanya mencorong marah.
“Kalau tidak, engkau atau aku harus mati!” Dan tiba-tiba Ci Hwa yang sudah merasa putus asa itu lalu
menyerang dengan hebatnya, menghantam ke arah dada pria yang pernah membahagiakannya selama
sehari semalam itu.
Serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaga karena kini, perasaan cintanya sudah berubah seketika
menjadi kebencian yang bernyala-nyala. Kini baru terbuka matanya orang macam apa adanya pemuda
yang tampan, halus dan perkasa itu. Ia telah terjebak dan tahulah ia bahwa semua sikap baik, kehalusan,
bahkan pertolongan itu, ditambah dengan makan minum dan terutama sekali minuman anggur merah itu,
hanya merupakan perangkap saja untuknya. Ia telah terperangkap, telah menjadi korban.
Pemuda ini sama sekali tidak mencintanya, tidak menginginkan dirinya menjadi isteri, melainkan
mempermainkannya saja! Oleh karena kesadaran ini, dia pun menyerang dengan sekuatnya, serangan
dahsyat walau pun tubuhnya masih terasa lemas karena malam tadi menghabiskan tenaga dan kurang
tidur.
Akan tetapi, tingkat kepandaian Siangkoan Liong jauh lebih tinggi dibandingkan Ci Hwa, maka serangan itu
dengan mudah dihadapinya dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, bukan dia yang
terserang, bahkan Ci Hwa sudah dapat ditangkap dan ditelikungnya. Kedua lengan gadis itu dipuntir ke
belakang, lalu dipegang dengan satu tangan dan tangan lain merangkul.
Ci Hwa hendak meronta, namun sekali jari tangan pemuda itu menekan, tubuh Ci Hwa menjadi lemas dan
ia pun terkulai dalam pelukannya tanpa dapat melawan lagi kecuali menangis.
“Sayang, jangan menangis. Bukankah kita saling mencinta? Ingatlah betapa mesra dan bahagianya kita
semalam, dan aku masih saja rindu padamu, belum juga puas aku minum madu darimu.” Siangkoan Liong
memondongnya dan membawanya kembali ke pembaringan.
Ci Hwa menangis. Menangis dalam batin. Kini, biar pun dibelai dan dihujani pernyataan dan pencurahan
cinta kasih yang sangat mesra, sama sekali dia tidak merasa senang. Sebaliknya dia merasa tersiksa,
tanpa mampu menolak dan tanpa mampu meronta. Ia merasa diperkosa, dihina sampai sehebat-hebatnya
oleh pria yang kini amat dibencinya itu. Seperti bumi dan langit bedanya dengan hubungan antara mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
mulai kemarin siang sampai semalam, begitu penuh dengan kemesraan dan perasaan cinta kedua pihak.
Kini ia merasa diperkosa dan ditekan, dihancurkan dan dipatah-patahkan.
Hubungan sex antara pria dan wanita sesungguhnya merupakan hubungan puncak kemesraan yang indah
dan suci apa bila dilakukan oleh kedua pihak karena dorongan cinta kasih. Hubungan sex merupakan
puncak kemesraan pernyataan sayang, saling mengisi, saling membahagiakan melalui perasaan yang
paling halus dan paling dalam, di mana masing-masing sudah bebas dari keakuan masing-masing,
melebur menjadi satu dan tidaklah mengherankan kalau saat yang amat suci dan indah itu menjadi sarana
penciptaan seorang manusia baru!
Sex adalah suatu hubungan antara dua jenis makhluk berlawanan kelamin yang indah, suci dan nikmat.
Tetapi, betapa kenikmatan itu selalu berubah menjadi kesenangan! Kenikmatan adalah suatu pengalaman
perasaan pada saat itu, detik itu, dan jika sudah disimpan dalam ingatan, dijadikan kenangan, lalu
diharapkan dan dikejar sebagai suatu kesenangan!
Alangkah jauh beda antara kenikmatan dan kesenangan! Kenikmatan datang seketika, pada saat itu juga,
tanpa adanya aku yang mengecamnya, dan tanpa adanya aku yang mencatatnya. Sebaliknya, kesenangan
ialah suatu bayangan yang digambarkan oleh si aku yang selalu mengejar-ngejarnya. Jika sudah begini,
maka terjadilah penyelewengan yang timbul dari pengejaran itu!
Cinta kasih bukanlah sex semata, walau pun sex merupakan sebagian dari cinta kasih, merupakan
kembangnya yang indah. Jika sex telah menjadi alat bersenang diri, dikejar, maka ia berubah menjadi
nafsu yang akan membakar diri lahir batin. Sex merupakan suatu hubungan yang suci di mana terdapat
cinta kasih. Tanpa cinta kasih, sex hanya merupakan suatu permainan untuk memuaskan nafsu yang tak
kunjung padam, tak kunjung habis, dan nafsu ini kalau dituruti akhirnya akan membakar diri sampai
hangus!
Bagi seorang wanita yang lebih halus perasaan ketimbang pria, sikap cinta kasih jauh lebih berkesan di
dalam hati sanubarinya dari pada sekedar hubungan sex yang baik saja. Pada umumnya, wanita
mendambakan kasih sayang dalam sikap, pandang mata, tutur kata, dan perbuatan yang pada puncaknya
akan menuju kepada hubungan sex. Sebaliknya, pria kurang peka terhadap sikap ini, dan biasanya, pria
lebih condong minta bukti melalui hubungan sex dan kepatuhan, dan kesetiaan.
Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati Ci Hwa saat ia digelut oleh Siangkoan Liong pada pagi hari itu.
Ia merasa malu, terhina, tersiksa namun tidak berdaya walau pun pemuda itu telah berusaha sedapat
mungkin untuk menyenangkan tubuhnya. Hanya air matanya saja yang menjadi saksi kehancuran hatinya.
Bercucuran membasahi bantal.
Setelah merasa puas, Siangkoan Liong membebaskan totokan pada tubuh Ci Hwa. Gadis itu terisak dan
mengenakan pakaiannya, kepalanya pening dan dia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
“Kwee Ci Hwa, engkau sungguh seorang gadis yang tidak tahu diri dan tidak mengenal budi. Gadis-gadis
lain akan saling berebutan agar dapat tidur dengan aku. Aku bukan hanya tidur bersamamu, bahkan telah
menyelamatkanmu. Aku suka dan cinta padamu, akan tetapi engkau tidak mau menerimanya. Nah,
sekarang tinggal kau pilih, tinggal di sini sebagai kekasihku, bukan isteri, atau engkau boleh pergi.”
Ci Hwa sudah selesai mengenakan sepatunya. Kini ia mengangkat mukanya yang pucat dan matanya
yang merah itu seperti hendak membakar wajah Siangkoan Liong. Kedua tangannya dikepal.
“Kalau aku mampu, tentu aku akan membunuhmu, keparat! Biar Tuhan mengutukmu!” Setelah berkata
demikian, Ci Hwa lalu meloncat keluar dari dalam kamar itu, langsung melarikan diri keluar.
Masih ia mendengar suara tawa pemuda itu mengikutinya sampai ia jauh meninggalkan perumahan Tiatliong-
pang. Ia berlari sambil menangis, tanpa suara, hanya terisak dan air matanya terus berjatuhan di
sepanjang jalan. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, kini satu-satunya keinginannya hanyalah menjauhi
tempat laknat itu sejauh dan secepat mungkin. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama karena perbuatan
Siangkoan Liong tadi yang diterimanya dengan batin yang meronta.
Ci Hwa memasuki sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon liar dan akhirnya
kakinya terantuk akar pohon dan tubuhnya pun terpelanting jatuh ke atas rumput. Dia tidak bangun dan
sekaranglah baru ia menangis sesenggukan seperti anak kecil, menangis sampai mengguguk sambil
dunia-kangouw.blogspot.com
menelungkup di atas tanah itu. Kedua tangannya dikepal dan ia memukuli tanah, juga kakinya menendangnendang
tanah.
Penyesalan demi penyesalan datang bagai gelombang samudera yang maha dahsyat melanda dirinya,
menyeretnya sehingga dia gelagapan di dalam tangisnya, kehilangan pegangan. Ia merasa menyesal
sekali mengapa telah bertindak demikian bodoh, kurang waspada, mudah sekali terbujuk rayu sampaisampai
mengorbankan keperawanannya, kehormatannya, bahkan ia telah diilas-ilas, dihina tanpa daya
sama sekali.
Andai kata ia diperkosa saja, kiranya penyesalannya tak sehebat ini. Akan tetapi tidak, ia sama sekali tidak
diperkosa untuk pertama kalinya. Dia menyerah dengan suka rela, bahkan menikmatinya, meneguk
minuman beracun. Betapa memalukan! Betapa rendah dirinya.
“Aku layak mampus! Aku tidak berharga lagi untuk hidup!” teriaknya ketika teringat akan itu semua.
Dia meninggalkan rumah dengan cita-cita untuk mencuci nama ayahnya yang ternoda karena dituduh
membunuh. Tapi ia sendiri, apa yang dilakukannya? Menjadi perempuan hina, bahkan lebih hina dari
pelacur. Seorang pelacur menyerahkan diri dengan harapan imbalan. Akan tetapi dia? Menyerah secara
membuta, tak tahu bahwa dia dipermainkan orang!
“Aku harus mampus…! Aku harus mampus…!” Dan gadis itu pun menanggalkan ikat pinggangnya,
memasangnya di atas cabang sebatang pohon, lalu mengalungkan ujung yang lain di lehernya dan ia pun
meloncat turun dari cabang itu. Tali itu mengikat dan menjerat lehernya yang berkulit halus mulus, dan
tubuhnya tergantung!
Ci Hwa merasa betapa kulit lehernya nyeri dan perih, napasnya terhenti, akan tetapi ia tidak meronta dan
bersiap menerima kematian dengan tenang. Matanya yang terpejam nampak cahaya kuning, lalu merah
api, lalu kabur agak kelabu, mulai menghitam.
“Anak bodoh!”
Tiba-tiba saja tubuhnya terlepas dan ia tidak tergantung lagi! Ci Hwa yang sudah hampir pingsan itu
merintih, lehernya tidak terikat lagi dan ia roboh di atas tanah, merasakan ada jari tangan menekan pundak
dan tengkuknya, pernapasannya yang terengah itu kembali normal.
Ia lalu membuka mata dan melihat seorang pemuda sudah berlutut di dekatnya! Hampir ia memaki karena
mengira bahwa pemuda itu Siangkoan Liong, akan tetapi setelah pandang matanya dapat melihat jelas, ia
melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan Siangkoan Liong! Pemuda itu jelas lebih tua dari pada
Siangkoan Liong, usianya tentu sedikitnya dua puluh enam tahun. Ia mengerutkan alis, mengingat-ingat
dan merasa tak pernah bertemu dengan pemuda ini.
Dia seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebiruan sederhana. Mukanya berkulit bersih, cerah dan
dapat dibilang tampan. Matanya bersinar lembut, seperti sinar mata Siangkoan Liong, tetapi terdapat
kejujuran pada sinar mata dan mulut yang tersenyum lembut itu.
Sepasang mata itu sekarang mengamati wajahnya seperti orang yang menyesal dan menyalahkannya. Alis
itu agak berkerut, dan pada pandang matanya yang lembut itu, jelas nampak penasaran dan juga
keheranan. Siapa orangnya tak akan heran melihat seorang gadis semuda ia berada dalam hutan sedang
berusaha membunuh diri dengan menggantung?
Akan tetapi, perasaan hati Ci Hwa yang sudah dipenuhi perasaan dendam kebencian kepada pria, segera
membuat dia memandang pria ini sebagai seorang musuh, seperti setan yang tentu juga berniat jahat
terhadap dirinya!
Pertama kali dia terjatuh ke tangan lima orang pemburu, semuanya laki-laki yang berniat buruk akan
memperkosa dirinya. Kemudian berganti jatuh ke tangan dua orang anggota Tiat-liong-pang, sama saja,
mereka juga hendak memperkosa dirinya. Dan terakhir kali terjatuh ke tangan Siangkoan Liong, yang
disangkanya sebaik-baiknya orang, ternyata juga ia malah terperangkap.
Sekarang, ketika ia sudah di ambang pintu maut, ia diselamatkan seorang laki-laki muda pula. Orang
macam apa lagi ini kalau bukan seorang calon pemerkosa berikutnya?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Engkau sama busuknya dengan mereka!” teriak Ci Hwa.
Tiba-tiba saja dia pun sudah meloncat dan langsung saja menyerang dengan pukulan tangannya ke arah
dada laki-laki yang sedang berlutut di dekatnya itu. Pemuda itu sama sekali tak pernah menyangkanya dan
dari jarak sedemikian dekat, tanpa menduga akan diserang, maka tentu saja pukulan tangan Ci Hwa tepat
mengenai dadanya.
“Dukkk...!”
Tubuh laki-laki itu terjengkang dan bergulingan, akan tetapi dia meloncat bangun dan tak terluka, hanya
memandang dengan mata terbelalak dan agaknya bingung, mengira bahwa gadis yang malang yang
ditolongnya itu mungkin sudah menjadi gila!
“Eih, Nona... kenapa... kenapa kau memukulku?” tanyanya, suaranya tetap tenang dan pandang matanya
jelas memancarkan belas kasihan karena dia menduga bahwa gadis ini tentu gila atau tergoncang jiwanya.
“Engkau menolongku, mencegah aku mati, tentu hanya dengan satu niat yang keji dan buruk! Karena itu,
akan kubunuh engkau lebih dulu sebelum aku membunuh diri!” Ci Hwa berteriak-teriak dan ia pun sudah
lari maju dan menerjang kalang kabut!
Akan tetapi sekali ini, pemuda, itu sudah siap siaga. Dari pukulan gadis itu tadi, dia pun tahu bahwa gadis
itu bukanlah seorang wanita sembarangan, bukan wanita lemah dan pukulannya tadi merupakan pukulan
gaya ilmu silat dan mengandung tenaga dalam yang cukup ampuh. Dia pun tertarik sekali dan kini,
menghadapi serangan bertubi-tubi itu dia pun mengelak dan berloncatan ke kanan kiri sambil
memperhatikan gerakan silat penyerangnya itu.
Setelah lewat dua puluh jurus, dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini dapat bersilat dengan baik sekali,
dan cukuplah kepandaian itu untuk membela diri dalam perjalanan, sehingga tidak aneh jika gadis itu
berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi mengapa di sini hendak bergantung diri? Dan
pakaian atasnya itu terobek, rambutnya kusut, matanya merah, jelas bahwa gadis itu menderita kedukaan
dan penekanan batin yang amat hebat.
Sementara itu, Ci Hwa semakin terkejut, dan semakin marah karena kembali ia bertemu dengan seorang
pemuda yang jauh lebih lihai darinya. Semua serangan yang dilakukan sepenuh hati terdorong dendam
dan kemarahan, sama sekali tidak pernah menyentuh tubuh pemuda itu, padahal pemuda itu sama sekali
tidak pernah menangkis, hanya mengelak saja dengan gerakan aneh dan amat lincahnya. Timbul dugaan
bahwa tentu ia akan ditangkap lagi, dipermainkan lagi dan mengingat ini, ia merasa khawatir sekali.
Lebih baik mati kalau ia harus mengalami lagi penderitaan diperkosa orang seperti tadi! Pikiran ini
membuat ia putus asa. Tak mungkin ia menang dan ketika ia melihat batang pohon di mana tadi ia
bergantung diri, tiba-tiba ia mendapat akal dan ia pun melompat untuk membenturkan kepalanya pada
batang pohon itu, sekuat tenaganya.
“Bukkk!”
Kepalanya tidak membentur benda keras, bahkan tidak membentur apa-apa karena tubuhnya tertahan
ketika dua buah tangan yang menerima kedua pundaknya dengan lembut. Saat Ci Hwa melihat, ternyata
pemuda itu telah mendahuluinya berdiri di depan batang pohon dan menerima tubuhnya tadi! Dengan
sendirinya ia semakin marah dan penasaran.
“Kau... kau berani menghalangiku!” bentaknya.
Kini ia memukul, mencakar, menendang kalang kabut, tidak memakai gerakan silat lagi melainkan gerakan
seekor harimau betina yang lagi marah. Terdengar bunyi kain robek ketika cakarannya mengenai baju
pemuda itu.
Pemuda itu cepat menotok pundaknya dan Ci Hwa terkulai lemas. Dengan sopan dan hati-hati, pemuda itu
membaringkan tubuh Ci Hwa di bawah pohon dan kembali ia berlutut seperti tadi. Diusapnya kulit dada
yang agak berdarah terkena cakaran kuku Ci Hwa.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nona, tadi engkau telah bersikap keliru sama sekali. Mengapa engkau bertekad untuk membunuh diri?
Sudah demikian burukkah hidup ini sehingga seorang gadis semuda engkau sudah putus asa dan lebih
memilih mati saja?”
Ci Hwa hanya tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara sehingga ia membentak ketus,
“Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu kalau aku mau hidup atau mampus?”
“Nona, agaknya hatimu sudah penuh prasangka buruk terhadap manusia lain. Agaknya hatimu sudah
disakitkan orang, maka setiap kali bertemu orang lain, engkau langsung menyangka buruk. Memang tidak
ada hubungannya mati hidupmu dengan diriku, akan tetapi manusia mana yang dapat membiarkan orang
lain membunuh diri begitu saja? Nona, dengar baik-baik. Ketika engkau dilahirkan oleh ibumu, apakah ada
engkau minta kepadanya atau kepada Tuhan agar engkau dilahirkan?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, Ci Hwa terbelalak. Kaget dan heran. Gilakah orang ini, bertanya seperti
itu? Memikirkannya tentang hal itu saja belum pernah ia lakukan!
“Ibuku sudah tidak ada.”
“Ahh, maaf, engkau tidak mempunyai ibu lagi? Akan tetapi, kuulangi pertanyaanku tadi, pada saat engkau
dikandung dan dilahirkan, apakah hal itu terjadi atas permohonanmu kepada Tuhan atau kepada mendiang
ibumu atau ayahmu?”
Ci Hwa mengerutkan alisnya. “Tentu saja tidak! Mana bisa! Apa engkau ini orang gila, bertanya seperti
itu?”
Pemuda itu tersenyum lembut dan tidak ada sedikit pun tanda bahwa dia terpikat oleh kewanitaan Ci Hwa.
“Kalau engkau tidak pernah minta dilahirkan, tidak pernah minta dihidupkan, berarti engkau tidak berhak
pula untuk memaksa kehidupan terhenti dengan cara bunuh diri! Rasakan saja, bukankah detak jantungmu
bekerja tanpa kau rasakan? Bukankah pernapasanmu juga berjalan sendiri tanpa kau sengaja? Dan setiap
anggota tubuhmu, rambut, kuku, bulu badan, semuanya tumbuh tanpa kau sengaja? Semua itu bukan
milikmu, bukan milik pikiranmu, dan engkau berani hendak melenyapkan semua itu yang sesungguhnya
bukan hakmu? Seperti juga hidupmu, matimu pun bukan berada dalam kekuasaanmu, bukan menjadi
milikmu. Kalau yang berkuasa akan hidup matimu menghendaki, biar kau usahakan bagaimana pun,
engkau takkan mati, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya engkau harus mati, biar ada seribu orang dewa
sekali pun takkan mampu menghidupkanmu!”
Ci Hwa termenung. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar ucapan seperti itu, dan ia kini menjadi
bingung.
“Apakah kau kira kalau menghadapi kesulitan maka kesulitan itu akan berakhir dengan kematian, Nona?
Ingat, yang kesulitan itu bukanlah badannya, melainkan batinnya, dan apakah kau kira kalau sudah mati,
batinmu tidak akan terus berkelanjutan menjadi setan penasaran?”
Ci Hwa semakin terpukul dan kini air matanya mengalir, tubuhnya terkulai lemas “...aku tidak tahu... ahhh,
aku tidak tahu...“
Melihat keadaan gadis ini, pemuda itu lalu mengurut pundaknya dan terbebaslah Ci Hwa dari totokannya.
Akan tetapi, begitu dapat bergerak, Ci Hwa lantas teringat akan nasibnya dan dia pun menangis, meraungraung
seperti anak kecil sambil duduk dan menutupi mukanya. Ia megap-megap seperti ikan dilempar ke
daratan.
Pemuda itu tiba-tiba memegang kedua pundak Ci Hwa, beberapa kali mengguncangnya keras-keras
sampai kepala Ci Hwa pun terguncang ke kanan kiri, kemudian pemuda itu melayangkan tangannya ke
arah pipi Ci Hwa, dua kali.
“Plak! Plakkk!”
Tentu saja Ci Hwa terkejut bukan main. Seperti ia diseret kembali ke dunia kenyataan oleh dua kali
tamparan yang membuat kedua pipinya terasa panas, perih dan nyeri itu. Ia memandang terbelalak.
“Kau... kau jahanam, berani memukulku!” katanya dan dia pun membalas dengan dua kali tamparan ke
arah pipi pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Plak! Plakkk!”
Pemuda itu tidak mengelak, membiarkan pipinya ditampar dan Ci Hwa melihat bekas tangannya nampak
jelas di kedua pipi itu, bekas tangan yang membuat tanda merah di situ. Ia terbelalak dan terheran
memandang pemuda aneh itu. Akan tetapi pemuda itu tersenyum girang.
“Nah, kini engkau sudah waras kembali. Ditampar balas menampar. Baru ditampar saja membalas, kenapa
bodoh amat membunuh diri? Tidak ada persoalan di dunia ini yang tak dapat diatasi! Iba diri terlalu besar
membuat orang kehilangan kesadaran. Dan ingat, di dunia ini tidak semua orang jahat, Nona. Aku tidak
berani mengaku bahwa aku ini orang baik, akan tetapi setidaknya aku selalu berjaga-jaga di dalam hidupku
agar tidak melakukan kejahatan. Oleh karena itu, jangan kau takut kepadaku, Nona. Aku tak akan
mengganggumu, dan dalam keadaan seperti ini engkau membutuhkan seorang kawan yang jujur dan
beriktikad baik. Bagaimana kalau engkau anggap aku ini kakakmu saja?”
Sejak tadi Ci Hwa memandang dengan mata terbelalak, mata yang masih basah, akan tetapi sinar
matanya penuh selidik, seolah-olah melalui matanya hendak menjenguk isi hati orang ini.
Orang itu kembali tersenyum sambil mengembangkan kedua lengannya. “Namaku Gu Hong Beng dan
selama hidupku, aku tidak pernah mau mengganggu orang lain.”
Sikap ini diterima oleh Ci Hwa dan ia pun tiba-tiba menangis dan menubruk pemuda itu, merangkul
lehernya dan gadis itu menangis di atas pundak Hong Beng, merasa seperti menangis di dada ayahnya
sendiri atau seorang kakaknya sendiri.
Pemuda itu tersenyum, mengelus rambut itu penuh belas kasihan.
“Menangislah, menangislah sepuas hatimu, itulah cara terbaik untuk mencairkan segala yang membeku
dalam hatimu,” katanya lirih dan kata-kata ini seperti mendorong Ci Hwa untuk menangis lebih hebat lagi
sampai sesenggukan.
Para pembaca SULING NAGA tentu masih ingat siapa adanya Gu Hong Beng ini. Dia seorang pemuda
sederhana, putera seorang tukang kayu sederhana pula, yang dahulu tinggal di kota Siang-nam di Propinsi
Hunan. Dia sudah kehilangan ayah bundanya dan hidup sebatang kara, kemudian ia beruntung diambil
murid oleh seorang pendekar sakti keluarga Pulau Es, yaitu Suma Ciang Bun!
Banyak sudah dialami oleh Gu Hong Beng sebagai seorang pendekar muda, bekerja sama dengan para
pendekar lainnya untuk menentang kejahatan. Dia pernah jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita
Can Bi Lan, akan tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan karena pendekar wanita Can Bi Lan itu memilih
Sim Houw sebagai suaminya. Sim Houw yang terkenal sebagai Pendekar Suling Naga. Namun Gu Hong
Beng dapat menerima kenyataan pahit ini dan sudah lama dia dapat melupakan kepahitan itu.
Juga dia pernah diikat perjanjian ketika dia membantu nenek Teng Siang In, yaitu ibu kandung pendekar
Suma Ceng Liong yang bertempur melawan seorang datuk jahat, Sai-cu Lama. Nenek sakti itu tewas dan
cucunya, yaitu puteri Suma Ceng Liong yang bernama Suma Lian, dilarikan Sai-cu Lama. Dalam keadaan
menghadapi maut inilah nenek Teng Siang In mengikat janji agar Hong Beng kelak memperisteri Suma
Lian!
Karena dia menghadapi pesan seorang nenek yang menjelang mati, terpaksa Hong Beng menyanggupi.
Hal ini sangat mengganggu hatinya dan akhirnya, melalui gurunya, Suma Ciang Bun yang masih saudara
sepupu Suma Ceng Liong, disampaikanlah pesan itu. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng
menyerahkan keputusan itu kepada yang bersangkutan kelak, yaitu puteri mereka kalau sudah dewasa.
Semua kejadian ini diceritakan dalam kisah SULING NAGA!
Hong Beng sudah hampir melupakan semua itu. Melupakan wanita yang dahulu pernah dicintanya, yang
kini telah menjadi isteri orang lain, dan juga dia berusaha melupakan janjinya kepada mendiang nenek
Teng Siang In. Dia hanyalah seorang pemuda miskin, tidak punya apa-apa, keturunan tukang kayu,
bahkan tidak lagi memiliki ayah bunda. Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan puteri seorang pendekar
seperti Suma Ceng Liong?
Suma Lian adalah cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Dan dia hanyalah cucu murid saja! Pula dia belum
pernah bertemu lagi dengan Suma Lian selama bertahun-tahun ini. Yang pernah ditemuinya adalah Suma
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian yang baru berusia tiga belas tahun. Bagai mana dia dapat menentukan jodohnya dengan gadis itu?
Andai kata pun dia mau, bagai mana dengan gadis itu? Dia pun sama sekali tak pernah memikirkan soal
jodoh, sampai kini berusia dua puluh enam tahun!
Gu Hong Beng meninggalkan gurunya yang kini menjadi seorang pertapa. Sudah dua tahun dia
meninggalkan gurunya, Suma Ciang Bun yang kini lebih suka bersembunyi di dalam sebuah gubuk kecil di
lereng Pegunungan Tapa-san, tak jauh dari situ di antara sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shen-si.
Kalau orang mengenal Gu Hong Beng beberapa tahun yang lalu, kini dia akan terheran melihat Hong Beng
telah menjadi seorang pemuda yang matang, tenang dan sabar, berpikiran luas dan mendalam. Tidak lagi
seperti dulu di mana dia mudah tersinggung dan amat pencemburu! Tubuhnya agak kurus, namun
sepasang matanya memancarkan kelembutan seorang yang berjiwa besar.
Pada saat Ci Hwa menangis di dadanya, diam-diam keharuan menyelinap di dalam hati Hong Beng.
Keharuan dan kelegaan. Gadis ini telah tertolong, pikirnya, tertolong secara batiniah karena telah mampu
melepaskan semua duka yang menghimpit kalbu. Dan dia terharu karena dia sendiri dulu pernah
merasakan hal seperti yang dirasakan gadis itu. Kosong, berduka, merana, kecewa dan kesepian, di mana
sudah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat diharapkan, ditengok, merasa seperti sepotong
batang pohon kering di tengah gurun yang kering.
Dia mendekap kepala itu, mengelus rambutnya, merasa seperti mendapatkan sesuatu, merasa dirinya
berguna karena dia sudah dapat menjadi tempat seorang menumpahkan kesedihannya.
“Menangislah... menangislah sampai terkuras habis semua kedukaan itu...,“ bisiknya, lebih ditujukan
kepada hatinya sendiri dari pada gadis yang tidak dikenalnya itu.
Duka selalu timbul dari iba diri. Tanpa adanya pikiran yang mengenang keadaan dirinya sendiri yang
dianggap sengsara, tidak akan timbul rasa iba diri dan takkan timbul duka. Iba diri adalah pembengkakan
dari pada gambaran si aku, dan si aku ini memang selalu ingin meraih yang menyenangkan dan
menghindarkan yang tidak menyenangkan.
Selain iba diri, si aku ini pun menjadi sumber dari segala iri hati, cemburu, kemarahan, kebencian dan
selanjutnya. Si aku memang diperlukan untuk kehidupan lahiriah, dimana diatur ketentuan dan norma
kehidupan bermasyarakat. Ada hakku dan hakmu, punyaku dan punyamu, akan tetapi seyogianya cukup
sampai di situ saja. Lahiriah! Kalau sampai menyusup ke dalam, menjadi batiniah, maka si aku selalu
mengadakan ikatan-ikatan sebanyaknya.
Ikatan inilah yang menimbulkan iba diri, menimbulkan duka. Senang jika mendapatkan, dan susah jika
kehilangan. Senang jika merasa diuntungkan, dan susah jika dirugikan, demikian seterusnya. Dapatkah
kita hidup tanpa bayangan si aku secara batiniah? Dan dapatkah batin ini bebas dari pada kepemilikan?
Lahiriah mempunyai namun batin tidak memiliki? Mungkinkah itu? Tidak akan terjawab melalui teori dan
pendapat yang masih bersumber dari akal si aku, yaitu pikiran yang selalu mempertimbangkan untung rugi.
Jawabannya hanya terdapat dalam penghayatan, penelitian, dan pengamatan secara waspada, mawas diri
lahir batin tanpa pendapat.
Ci Hwa menemukan hiburan bagi kesedihannya yang tadi hampir tak tertahankan lagi. Hidup bukan hanya
urusan hilang atau tidaknya keperawanan! Hidup ini masih panjang, dan beraneka ragam isinya! Orang ini
benar! Tidak ada kesulitan yang tak dapat diatasi.
Ia memang sudah diperkosa orang, sudah tidak perawan lagi, akan tetapi apakah hal itu harus berarti
bahwa hidupnya tidak penting lagi, dia tidak berhak lagi untuk hidup dan menikmati hidup ini? Betapa
bodohnya. Enak saja kalau ia mati tanpa hukuman bagi orang yang menjadikan dia begini! Enak, terlalu
enak bagi Siangkoan Liong! Tidak, dia bahkan harus hidup, dan satu di antara tujuan hidupnya adalah
membalas penghinaan ini kepada Siangkoan Liong!
Air matanya sudah habis. Tangisnya pun terhenti dan ia pun sadar bahwa secara tidak pantas dia telah
bersandar di dada orang sekian lamanya, sampai baju biru itu basah kuyup oleh air matanya. Ci Hwa
menarik kepalanya ke belakang, melepaskan dirinya dan mundur tiga langkah, lalu mengangkat muka
memandang.
Mukanya pucat sekali. Pipinya masih basah, namun matanya yang membendul merah itu tidak menitikkan
air mata lagi. Sinar matanya memandang penuh selidik dan karena Hong Beng juga memandang
dunia-kangouw.blogspot.com
kepadanya, mereka saling pandang dan barulah tampak oleh Ci Hwa bahwa wajah pemuda di depannya
ini sama sekali berbeda dengan wajah Siangkoan Liong.
Bukan hanya bentuknya yang berbeda, tapi bayangan yang terkandung dalam pandang mata itu, senyum
itu sama sekali berbeda. Pandang mata dan senyum Siangkoan Liong penuh daya tarik memabukkan,
kelembutannya seperti besi sembrani yang dingin dan membetot. Akan tetapi kelembutan pada wajah
pemuda ini seperti kelembutan langit biru. Dan ia pun merasa malu kepada diri sendiri.
“Maafkan aku... sekali lagi maafkan aku. Aku tadi telah gila barangkali. Engkau benar, aku telah gila dan
aku hanya menuruti dorongan hati saja. Maafkan aku.” katanya.
Hong Beng tersenyum. “Namaku Gu Hong Beng, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku.
Boleh aku mengetahui namamu?”
“Namaku Kwee Ci Hwa, aku datang dari Ban-goan.”
Jawaban Ci Hwa yang singkat membuat Hong Beng maklum bahwa gadis ini tentu ingin menyembunyikan
persoalan dirinya, maka dia pun tidak mendesak.
“Aku tak ingin minta kepadamu untuk menceritakan segala urusanmu, nona Kwee akan tetapi...“
“Nanti dulu, kalau aku tidak salah ingat, engkau tadi menyuruh aku menganggap engkau seorang kakak
sendiri. Benarkah?”
“Benar, lalu kenapa?” Hong Beng memandang, tersenyum ramah. “Aku memang belum pernah
mempunyai seorang adik perempuan.”
“Aku belum pula mempunyai seorang kakak laki-laki, bahkan tidak mempunyai saudara. Boleh aku
memanggilmu Beng-ko (kakak Beng)?”
“Tentu saja, Hwa-moi (adik Hwa), tentu saja dan aku merasa terhormat sekali!” berkata Hong Beng.
“Nah, sekarang legalah hatiku. Aku memiliki seorang kakak dan pelindung, akan tetapi maaf, aku tidak
mungkin dapat menceritakan mengapa aku tadi hendak membunuh diri.”
“Jangan khawatir aku selalu menghargai rahasia seseorang. Akan tetapi, tentu boleh aku mengetahui
keadaan dirimu, keluargamu, ke mana dan apa maksud perjalananmu, bukan?”
Gadis itu mengangguk. Keduanya duduk di atas akar pohon besar, saling berhadapan. Ci Hwa mulai
menceritakan keadaan dirinya. Dia menceritakan bahwa ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu,
seorang duda, sudah tertuduh melakukan pembunuhan terhadap seorang rekannya, seorang piauwsu lain,
dan segala yang terjadi kemudian di Ban-goan.
“Oleh karena aku merasa penasaran, nama baik ayah ternoda, maka aku pun kemudian pergi hendak
melakukan penyelidikan kepada perkumpulan Tiat-liong-pang yang pernah disebut-sebut oleh orang she
Lay itu. Itulah sebabnya aku berada di sini.”
Gu Hong Beng mengangguk-angguk, sama sekali tidak mau menduga-duga mengapa hal itu
menyebabkan Ci Hwa hendak membunuh diri tadi.
“Dan engkau sudah melakukan penyelidikan?”
“Sudah. Tiat-liong-pang terletak di atas bukit sana itu, akan tetapi perkumpulan itu amat besar, amat
berpengaruh dan sangat kuat, juga dekat dengan keluarga istana sehingga rasanya sedikit kemungkinan
mengapa perkumpulan itu sampai membunuh piauwsu di Ban-goan. Tidak ada hubungan dan
kepentingannya sama sekali.”
“Hemmm, siapa tahu ada rahasia yang lain. Kadang-kadang kebakaran besar dimulai dari bunga api kecil,
peristiwa besar dimulai dari urusan sepele.”
“Mungkin benar, akan tetapi seorang seperti aku bagaimana mungkin dapat menyelidiki perkumpulan besar
itu lebih mendalam lagi? Di sana adalah gudangnya orang pandai sedangkan ilmu silatku hanya terbatas
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali. Dan engkau sendiri, Koko, ceritakanlah keadaan dirimu dan bagaimana engkau dapat berada di
sini.”
Hong Beng tersenyum. Kalau hendak menceritakan pengalamannya, tentu tidak cukup sehari, maka dia
pun hanya menceritakan keadaan dirinya secara singkat saja. (baca kisah Suling Naga)
“Aku seorang yang sebatang kara, sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi, dan selama bertahun-tahun ini
aku hidup bersama guruku. Akan tetapi, semenjak dua tiga tahun ini guruku bertapa, tidak mau diganggu
dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Karena itulah aku diijinkan untuk mengembara, tanpa tujuan, ikut
saja keinginan hati dan kaki meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Dan di dalam perjalanan itu, aku
mendengar akan kebangkitan para datuk sesat yang katanya membuat persekutuan di utara ini. Karena
semenjak dahulu guruku selalu membawaku menentang para datuk kaum sesat, maka aku tertarik sekali
dan aku pun mendengar bahwa Tiat-liong-pang yang menjadi pusat persekutuan itu. Dan di sinilah aku,
kebetulan bertemu denganmu tadi.”
Wajah Ci Hwa agak berseri. “Ahh, jadi engkau pun hendak menyelidiki Tiat-liong-pang?”
Hong Beng mengangguk. “Apakah barangkali dari engkau aku bisa mendengar sesuatu tentang Tiat-liongpang?
Bukankah engkau sudah menyelidiki ke sana?”
Ci Hwa mencabut sebatang kembang rumput, menggigit-gigit ujung tangkai kembang rumput itu. Manis
sekali gadis ini kalau sedang begitu asyik dan juga memiliki daya tarik besar. Dia berpikir-pikir, mengingat
apa yang pernah dialaminya dan apa yang pernah didengarnya dari Siangkoan Lohan.
“Memang aku pernah ke sana, akan tetapi tidak banyak yang kuketahui. Aku hanya tahu bahwa penjagaan
di sana ketat bukan main. Pernah aku melihat betapa ada lima orang pemburu binatang yang memasuki
wilayah itu, lalu dibunuh begitu saja oleh dua orang anggota Tiat-liong-pang. Dan mereka berdua itu lihai
bukan main, dalam waktu sebentar saja kelima orang pemburu itu tewas. Kemudian aku mendengar bahwa
Tiat-liong-pang selain besar dan memiliki banyak anak buah yang pandai, juga dekat dengan istana.
Kabarnya, ketuanya yang bernama Siangkoan Tek atau disebut Siangkoan Lohan, dulu beristeri seorang
puteri istana...“
Ci Hwa teringat akan Siangkoan Liong dan menghentikan ceritanya, lalu disambungnya, “…selain itu, aku
tidak tahu apa-apa lagi.”
Hong Beng bukanlah seorang bodoh. Gadis ini hendak melakukan penyelidikan tentang Tiat-liong-pang
untuk membersihkan nama baik ayahnya. Setelah tiba di situ dan sudah melakukan penyelidikan,
mendadak saja dia hendak membunuh diri. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat menimpa dirinya. Akan
tetapi dia tidak berani bertanya tentang hal itu.
“Ceritamu tentang perkumpulan itu semakin menarik hatiku, Hwa-moi. Biarlah aku akan melakukan
penyelidikan yang mendalam, dan kalau benar berita yang kuterima bahwa Tiat-liong-pang menghimpun
persekutuan kaum sesat, aku harus menentang mereka. Bahkan kabarnya, seorang iblis betina yang
berjuluk Sin-kiam Mo-li bergabung pula di situ, padahal iblis betina itu adalah musuh besarku semenjak
bertahun-tahun yang lalu, bersama dengan para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Selama mereka itu
masih berkeliaran, sepak terjang mereka selalu hanya membikin kekacauan dan mengganggu keamanan
rakyat belaka.”
Ci Hwa memandang kagum. Pemuda ini kelihatannya demikian sederhana. Dia sudah membuktikannya
sendiri tadi. Semua serangannya yang dilakukan dengan marah, tidak pernah dapat menyentuh ujung
bajunya sedikit pun. Dan kini pemuda itu menyatakan sebagai musuh datuk-datuk sesat yang lihai.
“Beng-koko, engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa
gerangan gurumu?”
Hong Beng tidak pernah menyembunyikan sesuatu, akan tetapi dia pun bukan orang yang suka
menyombongkan diri dan gurunya. Akan tetapi, mendengar pertanyaan yang polos itu, dia pun menjawab
sederhana, “Suhu-ku bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es.”
“Aihhh...!”
“Kenapa?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ayahku pernah mendongeng tentang keluarga pendekar Pulau Es yang memiliki ilmu kepandaian seperti
dewa saja! Engkau tentu lihai sekali, Koko!” pandang mata itu sekali ini tidak menyembunyikan kekaguman
mendalam sehingga wajah Hong Beng menjadi kemerahan.
“Sudahlah, Hwa-moi, tidak perlu memuji. Pertemuan kita ini kebetulan saja, akan tetapi agaknya Tuhan
telah mempertemukan kita sehingga kita dapat saling bantu dan seperti telah menjadi kakak beradik. Akan
tetapi, aku hendak melanjutkan penyelidikanku, dan bagaimana dengan engkau, Hwa-moi?”
“Biar pun aku hanya seorang gadis lemah, akan tetapi aku pun masih ingin mencuci nama baik ayahku.
Kalau boleh, aku akan membantumu, Beng-ko.”
“Baiklah, asal engkau berhati-hati dan melaksanakan semua petunjukku. Yang pertama, engkau lebih dulu
harus sudah dapat mengusir jauh-jauh kenekatan dan kebodohanmu tadi. Engkau berjanji?”
Ada perasaan perih menusuk ulu hati Ci Hwa, akan tetapi dia harus membantu Hong Beng menyelidiki dan
menentang Tiat-liong-pang. Bukan sekedar untuk mencuci nama baik ayahnya, tetapi yang lebih penting
juga mencuci noda pada dirinya dengan darah dan nyawa Siangkoan Liong!
“Aku berjanji dan bersumpah tidak akan melakukan lagi kebodohan itu, Koko.”
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu, menyusup di antara hutan-hutan lebat untuk menyelidiki keadaan
Tiat-liong-pang.
Setiap orang manusia hidup takkan terluput dari pada peristiwa yang menimpa dirinya, baik peristiwa itu
biasa saja, agak hebat, hebat atau bahkan sangat hebat seperti yang sudah dialami Ci Hwa. Peristiwa
hebat yang diterima sebagai suatu mala petaka dapat menghancurkan perasaan, melenyapkan harapan,
bahkan juga dapat membuat orang menjadi mata gelap. Ada pula yang ingin menghentikan semua derita
dan siksa batin dengan jalan membunuh diri!
Akan tetapi, sesungguhnya bunuh diri bukanlah jalan pemecahan yang tepat, melainkan hanya merupakan
suatu pelarian yang mata gelap. Peristiwa yang telah terjadi pun terjadilah, merupakan sesuatu yang telah
lalu. Kalau peristiwa itu terus dikeram di dalam sanubari, maka tentu saja hanya akan menjadi siksaan
yang timbul dari kenangan.
Kenangan ini menimbulkan iba diri, dendam, dan duka. Mengapa kita suka menyimpan suatu peristiwa
sebagai kenangan? Mengapa tidak kita biarkan saja peristiwa itu lenyap, seperti sebuah mimpi buruk?
Hidup adalah saat ini, bukan kemarin! Kemarin itu sudah mati, baik mau pun buruk.
Kenangan akan masa lalu hanya mendatangkan dua hal, yaitu penyesalan dan duka, juga kerinduan dan
harapan akan mengulang pengalaman lalu yang menyenangkan. Hanya kalau kita mampu menghapus
semua kenangan peristiwa masa lalu, baik mau pun buruk, maka batin kita akan menjadi bersih, bebas dan
siap menghadapi peristiwa yang terjadi di saat ini, dalam keadaan sehat, tanpa dendam, tanpa prasangka,
tanpa kebencian.
Peristiwa adalah kejadian yang telah terjadi, sesuatu fakta yang tak dapat diubah pula, karena sudah
terjadi. Baik buruknya hanya tergantung dari pada penilaian kita sendiri. Di dalam menghadapi setiap
peristiwa yang terjadi, yang terpenting bukanlah penilaian, melainkan kewaspadaan. Kewaspadaan
mendatangkan kebijaksanaan dan kesadaran, sehingga kita dengan sepenuhnya dapat menghadapi dan
menanggulanginya, sepenuh akal budi yang ada pada kita. Perbuatan menghadapi sesuatu yang diliputi
penilaian selalu mengandung pamrih, dan tentu tidak bijaksana lagi…..
********************
Cin-sa-pang ialah perkumpulan orang gagah yang bermarkas di lembah Sungai Cin-sa. Kita telah
mengenal ketuanya, yaitu Ciok Kim Bouw, seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang gagah
perkasa dan bersemangat baja.
Perkumpulan ini sekarang memiliki anggota tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Mereka bekerja
sebagai nelayan, juga sebagai pengawal perahu-perahu para pedagang yang melakukan pelayaran di
sungai itu dengan berupa imbalan sekedarnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti banyak perkumpulan orang gagah di jaman itu, mereka merasa tidak suka akan penjajahan yang
dilakukan bangsa Mancu sejak ratusan tahun, akan tetapi mereka pun tidak berdaya. Mereka tidak
memberontak terhadap pemerintah yang teramat kuat, tapi mereka pun enggan menjadi kaki tangan
penjajah, dan hidup sebagai kelompok orang gagah yang suka membela kepentingan rakyat dari
penindasan atau kejahatan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan. Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang, ikut pula diundang dan
menjadi tamu dari perkumpulan Tiat-liong-pang dengan para datuk sesat sehingga hampir saja dia menjadi
korban. Sejak lama dia memang telah bermusuhan dengan Sin-kiam Mo-li, maka melihat betapa Tiat-liongpang
bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan segala pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw segera dia
menentang dan akibatnya, hampir saja dia terbunuh ketika dalam perjalanan pulang dia dihadang oleh Sinkiam
Mo-li dan kawan-kawannya. (baca kisah Suling Naga)
Untung ketika itu muncul seorang pemuda sakti yang tak dikenalnya akan tetapi berhasil
menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan musuh-musuhnya. Dia merasa sangat menyesal
mengapa tidak sempat mengenal nama pemuda itu yang begitu menolongnya dan mengobati lukanya,
terus pergi begitu saja. Ciok Kim Bouw tidak tahu bahwa di antara semua tamu yang tidak menyetujui
persekutuan itu, hanya dia seoranglah yang selamat!
Ciok Kim Bouw adalah seorang yang gagah, dengan tubuh tinggi besar dan muka hitam bagai tokoh Thio
Hwi dalam dongeng Sam Kok. Keistimewaannya adalah menggunakan senjata golok besarnya. Dia hanya
mempunyai seorang anak laki-laki yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun, bernama Ciok Heng.
Pemuda ini memiliki tubuh tinggi besar seperti ayahnya. Wajahnya tidak berkulit hitam, bahkan tampan
gagah dengan sepasang mata lebar yang penuh dengan kejujuran dan keterbukaan. Sejak kecil dia
digembleng ayahnya dan setelah berusia dua puluh lima tahun, dia sudah mewarisi semua ilmu ayahnya
dan menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa.
Ketika Ciok Kim Bouw pulang dalam keadaan marah dan kecewa, puteranya segera dapat menduga
bahwa tentu pertemuan itu tidak menyenangkan hati ayahnya, maka dia pun langsung bertanya. Ciok Kim
Bouw menceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi di sana.
“Tiat-liong-pang kini telah dibawa menyeleweng oleh Siangkoan Lohan!” katanya sambil menggebrak meja.
“Dia mengajak sekongkol datuk-datuk sesat. Bayangkan saja, iblis iblis semacam Sin-kiam Mo-li, para tosu
Pek-lian-kauw dan Pat-wa-kauw, kini menjadi sekutunya!”
“Ahhh...!” Ciok Heng terkejut bukan main mendengar ini.
“Bukan mereka saja,” sambung ayahnya. “Masih banyak lagi orang-orang dari golongan hitam menjadi
sekutunya, dan para tamu yang tidak setuju akan persekutuan itu pasti dimusuhi. Aku terang-terangan
menyatakan tidak setuju dan aku dihina di depan umum oleh putera Siangkoan Lohan yang amat lihai.
Bahkan ketika aku pulang, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Nyaris saja aku
tewas. Kalau tidak muncul seorang pemuda sakti yang tidak mau mengaku namanya, tentu aku tidak dapat
pulang dan sudah mati konyol di sana.” Selanjutnya dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada
puteranya, juga kepada para pembantunya yang setia.
“Brakkk!” Ciok Heng menggebrak meja dan mukanya menjadi marah sekali.
“Tiat-liong-pang menyeleweng, kita tidak boleh mendiamkannya saja. Ayah, biarkan aku menggerakkan
teman-teman untuk menyerbu dan menghancurkan Tiat-liong-pang!”
Ayahnya mengangkat tangan ke atas. “Ciok Heng, jangan bersikap bodoh seperti anak kecil yang hanya
menurutkan dorongan hati yang marah. Tiat-liong-pang itu kuat sekali, Siangkoan Lohan amat sakti,
puteranya agaknya tidak kalah hebatnya oleh ayahnya dan di sana berkumpul datuk-datuk sesat yang
berilmu tinggi. Belum lagi diingat betapa para anak buah mereka mungkin lebih banyak dari pada jumlah
teman-teman kita. Jika engkau dan teman-teman menyerbu ke sana, akan sama artinya dengan
segerombolan nyamuk menyerbu api. Memang kita harus menentangnya, namun dengan cara halus,
bukan menggunakan kekerasan dan untuk itu kita harus berunding dan mengadakan kontak dengan para
pendekar.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciok Heng mengangguk-angguk membenarkan ayahnya. “Kalau begitu, aku dan kawan kawan akan
menyebarkan berita itu pada para pendekar, Ayah, dan mengajak mereka untuk turun tangan karena
persekutuan itu akan berbahaya sekali jika didiamkan saja.”
Ciok Kim Bouw menyetujui. “Baiklah, kalau mungkin, undang para orang gagah untuk mengadakan
perundingan di sini.”
Ciok Heng segera menyiapkan teman-temannya. Mereka pun lalu menyebar, memberi tahukan kepada
para pendekar yang mereka anggap patut mengetahui perubahan di dunia kaum sesat yang kini sedang
mengadakan persekutuan dengan para pimpinan Tiat-liong-pang yang agaknya kini hendak melakukan
penyelewengan itu.
Memang tidak ada perjanjian dan ketentuan harinya untuk mengadakan perundingan. Namun, di antara
para pendekar yang menaruh perhatian akan berita ini, berjanji akan berkunjung untuk bercakap-cakap
bahkan ada pula yang mengatakan hendak langsung pergi menyelidiki urusan itu di Tiat-liong-pang.
Sementara itu, dengan penuh semangat Ciok Kim Bouw dan puteranya mulai melatih anak buah mereka
dengan tekun agar supaya mereka memperoleh kemajuan sehingga sewaktu-waktu tenaga mereka
dibutuhkan untuk menghadapi musuh, mereka sudah berada dalam keadaan yang kuat. Barisan golok
segera dibentuk dan tiap hari mereka berlatih, juga golok mereka semua selalu tajam terasah.
Dua bulan sudah lewat dengan cepatnya. Sementara itu berita mengenai persekutuan Tiat-liong-pang yang
disebarkan oleh orang-orang Cin-sa-pang itu sudah terdengar pula sampai ke beberapa propinsi. Berita itu
disambut dengan sikap yang bermacam-macam oleh para orang gagah di dunia persilatan.
Ada pula yang menanggapinya dengan senang karena bukankah sudah sepatutnya jika orang gagah
mengumpulkan kekuatan untuk menentang pemerintah penjajah Mancu? Ada pula yang merasa tidak
senang karena mereka mendengar betapa persekutuan Tiat-liong-pang itu merangkul tokoh-tokoh sesat,
apa lagi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai disebut dalam persekutuan itu. Biar niatnya baik, yaitu menentang
penjajah, akan tetapi jika harus bekerja sama dengan golongan hitam, banyak di antara para pendekar
yang tidak mau.
Pendeknya, berita yang disebar luaskan oleh Cin-sa-pang di dunia persilatan akhirnya menimbulkan
kegemparan. Banyak di antara para pendekar meragukan kepatriotannya, apa lagi kalau mereka
mendengar dan mengingat bahwa Tiat-liong-pang tadinya adalah kaki tangan pemerintah penjajah! Betapa
pun juga, peristiwa ini lalu menarik perhatian banyak kaum pendekar untuk meninggalkan tempat mereka
dan berangkat menuju ke selatan untuk melakukan penyelidikan sendiri.
Pada suatu pagi yang amat cerah, nampak seorang pemuda memasuki perkampungan perkumpulan Cinsa-
pang di lembah Sungai Cin-sa. Semua orang yang bersua di jalan dengan pemuda ini pasti menengok
dan merasa kagum. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar dan nampak
kokoh kuat, mukanya agak hitam akan tetapi bentuk muka itu gagah, dengan hidung mancung, mata tajam
dan mulut membayangkan kekerasan hati dan keberanian.
Sikapnya pendiam. Dia tidak pernah menengok ke kanan kiri, hanya lurus memandang ke depan sambil
melangkahkan kedua kakinya dengan mantap. Pada saat melangkah, tubuhnya bergerak seperti seekor
harimau berjalan. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain yang tebal, dan di balik jubahnya terdapat
sebatang pedang yang tergantung di pinggang, tersembunyi namun ujung gagang pedang masih nampak
tersembul di bawah jubah.
Tanpa melihat pedangnya pun, baru melihat perawakannya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang
pemuda gemblengan, seorang jago silat yang tangguh. Dugaan ini tepat karena dia adalah Cu Kun Tek,
jago silat muda dari Lembah Naga Siluman yang terletak di Pegunungan Himalaya.
Orang tua pemuda itu juga merupakan pendekar-pendekar yang sangat lihai. Ayahnya bernama Cu Kang
Bu, pewaris Lembah Naga Siluman dengan ilmu silat keluarga Cu yang amat tinggi, yaitu Koai-liong Kiamsut
(Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Cu Kang Bu ini terkenal pula dengan julukan Ban-kin-sian (Dewa
Bertenaga Selaksa Kati). Ada pun ibunya juga seorang pendekar wanita yang lihai dengan ilmu-ilmu
pukulan Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) dan Pat-liong Sin-kun (Silat Sakti Delapan
Penjuru Angin)! Tentu saja Cu Kun Tek mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu Kun Tek meninggalkan tempat tinggal keluarga ayahnya ketika dia mendengar berita yang disebar oleh
Cin-sa-pang itu. Sebagai seorang pendekar, hatinya tergerak dan dia tidak akan tinggal diam begitu saja.
Maka dia pun pergi dan berkunjung ke tempat perkampungan Cin-sa-pang untuk mendengar sendiri
kebenaran berita itu. Dia pernah berjumpa dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang yang dianggapnya
seorang yang cukup gagah. Perkumpulannya juga merupakan perkumpulan orang-orang gagah.
Pada saat para anggota Cin-sa-pang melaporkan kepada ketua mereka akan datangnya seorang tamu dan
Ciok Kim Bouw cepat keluar, dia menjadi gembira sekali melihat pemuda tinggi besar yang gagah perkasa
itu.
“Aihh, kiranya Cu-enghiong yang datang!” katanya sambil dia membalas penghormatan pemuda itu.
“Bagaimana kabarnya, Ciok Pangcu? Mudah-mudahan baik-baik saja.”
“Terima kasih, Cu-eng-hiong. Mari silakan duduk di dalam!” Mereka masuk ke ruangan dalam dan
bercakap-cakap.
Dalam kesempatan ini Cu Kun Tek bertanya mengenai berita yang dia dengar tentang Tiat-liong-pang.
Ketua Cin-sa-pang itu segera menceritakan semua pengalaman dirinya ketika dia menghadiri undangan
Tiat-liong-pang, yaitu pada pesta ulang tahun ke enam puluh tahun dari Siangkoan Lohan.
“Bayangkan saja, hati siapa tidak menjadi geram melihat betapa di antara para tamu kehormatan itu
terdapat orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, bahkan di sana aku melihat pula iblis betina Sin-kiam
Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Jelaslah bahwa Tiat-liong-pang hendak merencanakan
sesuatu pemberontakan!”
Cu Kun Tek mendengarkan penuh perhatian, alisnya berkerut dan dia pun lalu berkata, “Akan tetapi,
bukankah sudah menjadi idaman semua orang gagah untuk membantu usaha mengusir pemerintah
penjajah dari tanah air, Pangcu?”
Ciok Kim Bouw menghela napas panjang. “Kalau ada gerakan seperti itu, gerakan para patriot sejati
dengan tujuan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, percayalah, kami seluruh
anggota Cin-sa-pang akan berdiri di belakangnya. Kami akan bergabung dan siap mempertaruhkan nyawa
untuk membantu gerakan itu! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang-orang Tiat-liong-pang dapat
merupakan patriot-patriot sejati? Mereka bahkan berjasa terhadap penjajah Mancu, bahkan Siangkoan
Lohan dihadiahi banyak harta dan seorang puteri dari istana kaisar! Kini, dia mengadakan persekutuan
dengan para pemberontak, tetapi pemberontak semacam Pek-lian-kauw, dan bersekutu pula dengan
orang-orang dari kaum sesat! Bagaimana mungkin gerakan seperti itu bisa mengandung niat bersih dan
gagah untuk membebaskan rakyat jelata?”
Dia lalu menceritakan apa yang telah terjadi di dalam pesta itu, tentang kecabulan dan lain-lain, kemudian
menceritakan betapa dia secara terang-terangan mengatakan tidak senangnya dengan kehadiran tokohtokoh
sesat sehingga dia dianggap menghina dan dikalahkan oleh Siangkoan Liong, putera Siangkoan
Lohan.
“Ketika aku pergi meninggalkan pesta, masih banyak di antara teman-teman sepaham yang juga
meninggalkan tempat itu, sebagai protes dan pernyataan tidak suka karena Tiat-liong-pang bersekutu
dengan orang-orang golongan sesat. Dan tahukah engkau apa yang terjadi setelah aku pergi
meninggalkan tempat itu? Di tengah perjalanan, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiamong
dan mereka itu sengaja hendak membunuhku!”
Lalu diceritakan betapa dia nyaris tewas kalau tidak muncul seorang pemuda lihai yang berhasil mengusir
kedua orang itu, bahkan menyelamatkan nyawanya dari ancaman racun di lengannya akibat serangan
Siangkoan Liong.
“Nah, melihat perkembangan itu, kami merasa amat khawatir, Cu-enghiong. Puteraku, Ciok Heng, tadinya
berkeras ingin memimpin anak buah menyerbu ke Tiat-liong-pang, akan tetapi kularang dia karena hal itu
sama dengan membunuh diri. Di sana berkumpul banyak orang pandai dan agaknya Tiat-liong-pang sudah
menyusun kekuatan. Maka, kami lalu menyebarkan berita itu supaya terdengar oleh para pendekar dan
orang gagah sehingga gerakan yang berbahaya dari Tiat-liong-pang dapat dicegah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu Kun Tek diam-diam merasa heran juga mendengar semua cerita itu. Dia pun sudah mendengar
perkumpulan macam apa adanya Tiat-liong-pang, yaitu suatu perkumpulan yang pernah membuat jasa
terhadap serbuan orang Mancu sehingga perkumpulan itu dianggap pro pemerintah Mancu. Akan tetapi
kenapa kini mendadak saja perkumpulan itu hendak memberontak, bahkan bersekutu dengan orang-orang
golongan hitam? Hal ini perlu diselidiki secara teliti sebelum dia mempercayai begitu saja keterangan Ciok
Pangcu.
Hanya satu hari Cu Kun Tek berdiam di Cin-sa-pang sebagai tamu, bercakap-cakap dengan ketua Cin-sapang
dan puteranya, Ciok Heng yang gagah perkasa. Kemudian dia minta diri karena dia hendak
melanjutkan perjalanannya ke utara, untuk melakukan penyelidikan pada perkumpulan yang katanya
bersekutu dengan para golongan sesat dan hendak memberontak itu.
Di dalam perjalanan ini, Kun Tek mengenangkan masa lampaunya, tujuh delapan tahun lalu ketika dia baru
berusia sembilan belas tahun, ketika dia bersama para pendekar lain seperti Gu Hong Beng, Can Bi Lan,
Sim Houw dan yang lain-lain menghadapi musuh musuh yang amat kuat seperti Kim Hwa Nionio, Sai-cu
Lama, dan Sam Kwi yang amat lihai itu. Mereka menjadi kaki tangan Thaikam Hou Seng yang menjadi
kekasih Kaisar dan yang hendak merajalela dengan kekuasaannya. Dengan demikian, para datuk sesat itu
seolah-olah bekerja sama dengan pemerintah dan membantu pemerintah, sehingga kadang-kadang para
pendekar berhadapan dengan pasukan pemerintah (baca kisah Suling Naga).
Tapi kini keadaan berbalik. Tiat-liong-pang yang tadinya menjadi perkumpulan yang pro pemerintah
penjajah, kini kabarnya tiba-tiba membalik dan hendak memberontak. Akan tetapi, melihat betapa
perkumpulan itu bersekongkol dengan datuk kaum sesat, Kun Tek meragukan kebersihan usaha
pemberontakan mereka itu. Tentu mereka tak bermaksud berjuang untuk membebaskan rakyat dari
cengkeraman kaum penjajah, namun hendak memberontak dan merebut kekuasaan, untuk mengangkat
diri sendiri menjadi golongan pimpinan baru!
Kalau benar demikian, maka gerakan itu harus ditentangnya! Dia hanya akan membantu perjuangan yang
benar-benar ditujukan untuk membebaskan rakyat dari tindasan kaum penjajah. Bagaimana pun juga,
harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Long yang sekarang ini masih jauh lebih baik dan bijaksana dari pada
kaisar-kaisar Mancu yang lalu, dan dia tak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya kalau sampai
kendali pemerintahan terjatuh ke dalam tangan para datuk sesat yang jahat dan kejam melebihi iblis itu.
Teringat akan masa lalunya, dada yang bidang itu menghembuskan napas panjang. Dia pernah jatuh cinta
pada Can Bi Lan, cinta sepihak, karena akhirnya wanita itu menikah dengan Sim Houw, yang masih
keponakannya sendiri biar pun usia Sim Houw lebih tua empat belas tahun darinya. Sejak itu dia kembali
ke Lembah Naga Siluman dan tidak pernah memasuki dunia ramai.
Dia tidak merasa patah hati, bahkan sudah melupakan peristiwa itu. Namun, kegagalan cintanya itu
membuat dia malas dan segan untuk mencari jodoh seperti yang selalu dianjurkan kedua orang tuanya.
Sekarang, setelah kembali dia melakukan perjalanan seorang diri, baru dia dapat membayangkan betapa
selama ini ia telah mengecewakan hati ayah bundanya, bahwa membuat mereka berduka dan kecewa
merupakan suatu perbuatan yang tidak berbakti. Pula, kenapa dia seolah-olah menjadi putus asa dan tidak
pernah mempunyai keinginan untuk berumah tangga?
Ah, siapa tahu, sekali ini Thian akan menunjukkan jalan baginya, akan mempertemukan dia dengan
jodohnya. Atau mungkin juga dia akan gugur dalam menunaikan tugasnya sebagai seorang pendekar
ketika menyelidiki Tiat-liong-pang. Bagaimana nanti sajalah! Keberuntungan atau kegagalan di masa
depan, aku siap menghadapimu, demikian dia menyongsong masa depannya dengan hati lapang dan
gagah.
Kun Tek memang keturunan keluarga Cu yang sudah ratusan tahun tinggal di Lembah Naga Siluman
sebagai keluarga sakti yang mengasingkan diri. Keluarga Cu ini memiliki ilmu silat keluarga yang sukar
dicari bandingannya di dunia persilatan, dan nama besar keluarga Cu telah dikenal oleh hampir semua
tokoh dunia persilatan, baik dari golongan putih mau pun golongan hitam.
Dan sekarang, Cu Kun Tek, keturunan terakhir mereka, mengubah kebiasaan nenek moyangnya, dia
keluar dari lembah untuk mencampuri urusan dunia ramai. Tentu saja sebagai seorang pendekar yang
selalu membela kebenaran dan keadilan, siap untuk melindungi yang lemah dan tertindas dan menentang
yang kuat sewenang-wenang, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
dunia-kangouw.blogspot.com
Juga diam-diam dia mengharapkan mudah-mudahan kali ini dia akan bertemu dengan jodohnya karena
bagaimana pun juga ia merasa kasihan kepada ayah dan ibunya yang sudah ingin sekali mempunyai
seorang mantu dan terutama sekali menimang cucu…..
********************
Semenjak Siangkoan Liong membunuh dua orang anggota Tiat-liong-pang yang hendak memperkosa
Kwee Ci Hwa, para anggota Tiat-liong-pang kini tidak berani lagi berbuat jahat dan sembarangan saja.
Mereka semua maklum betapa kejam dan tanpa ampun adanya putera ketua mereka itu dan mereka kini
patuh akan semua perintah atasan. Siangkoan Lohan juga sudah mendengar akan peristiwa itu dan dia
sempat menegur puteranya mengapa membunuh dua orang anak buah sendiri.
“Ayah, apa yang akan dapat diharapkan dari anak buah yang suka berbuat sewenang-wenang tanpa
menurut peraturan? Akhirnya mereka tak akan dapat dikendalikan dan kalau sudah begitu, mungkin kelak
mereka akan berani membalik dan melawan kita. Mengendalikan orang-orang itu harus dengan tangan
besi. Mereka harus tunduk dan takut, taat sepenuhnya kepada kita, barulah kita dapat mempergunakan
mereka dengan baik. Apa lagi, bukankah kita mempunyai tujuan yang tinggi dan membutuhkan disiplin
yang kuat? Kalau mereka tidak berdisiplin, tidak sangat taat seperti sepasukan tentara yang terkendali
baik, bagaimana mungkin usaha kita akan berhasil?”
Siangkoan Liong yang biasanya pendiam itu kini bicara penuh semangat dan Siangkoan Lohan menjadi
girang sekali.
Benar kata-kata Ouwyang Sianseng, pikirnya. Puteranya ini memang ada bakat untuk menjadi kaisar!
Sikapnya saja sudah nampak jelas. Maka, mulai hari itu, Siangkoan Lohan lalu mengadakan peraturanperaturan
yang membuat para anak buahnya tidak lagi berani berbuat sewenang-wenang tanpa perintah
atasan.
Setiap hari mereka dilatih oleh Siangkoan Lohan sendiri, kadang-kadang dibantu oleh para sekutunya,
yaitu Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Siangkoan Lohan bahkan kadang-kadang turun
tangan sendiri dan memberi gemblengan sehingga pasukan Tiat-liong-pang yang kini ditambah jumlahnya
itu terbentuk sebagai pasukan yang cukup kuat, dengan jumlah hampir tiga ratus orang!
Pada suatu hari, pasukan itu dilatih perang-perangan, dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiamong.
Pasukan dibagi dua, dengan pakaian seragam yang berbeda pula, yang setengah dipimpin Sin-kiam
Mo-li dan yang sebagian lagi dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong. Pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng
Kiam-ong bertugas untuk menyerbu Tiat-liong-pang, sedangkan yang dipimpin Sin-kiam Mo-li bertugas
mempertahankan benteng perkumpulan itu.
Penjagaan dilakukan dengan amat ketat, bahkan sebelum tiba saatnya pasukan ‘musuh’ datang menyerbu.
Benteng Tiat-liong-pang itu dianggap sebagai benteng kota raja yang harus diserbu dan diduduki. Tentu
saja ada pula disebar mata-mata dari pihak penyerbu untuk menyelidiki pertahanan benteng, juga dari
pihak yang diserbu untuk mengetahui gerak-gerik musuh. Sampai malam pun masih dilakukan penjagaan
ketat, dan pasukan penyerbu yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong belum juga melakukan penyerbuan.
Latihan itu memang dilakukan secara besar-besaran. Diam-diam Siangkoan Lohan telah memerintahkan
kepada Toat-beng Kiam-ong sebagai penyerbu untuk bisa berhubungan dengan Cia Tai-ciangkun,
komandan pasukan pemerintah di perbatasan utara yang juga sudah bersekutu dengan mereka, demikian
pula menghubungi Agakai sehingga dari dua orang sekutu itu, diterima bantuan pasukan yang akan
menyergap Tiat-liong-pang dari berbagai jurusan!
Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong, sendiri merencanakan bagaimana sebaiknya kelak
kalau mereka sudah menyerbu kota raja, untuk bisa menyusupkan dan menyelundupkan kawan-kawannya
yang berkepandaian tinggi, dari golongan hitam, dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ke dalam benteng kota
raja sehingga dapat melakukan pengacauan dan bantuan dari dalam.
Pagi hari itu nampak sunyi saja di sekitar bukit di luar kota San-cia-kou yang menjadi benteng Tiat-liongpang
itu. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Padahal, semua mata-mata dari kedua pihak sudah
berkeliaran, bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba muncullah seorang gadis dari kaki bukit. Pada waktu gadis itu tadi melewati San-cia-kou dan
bertanya tentang letak Tiat-liong-pang, jejaknya sudah selalu diikuti orang dari jauh. Namun gadis itu acuh
saja walau pun ia tahu bahwa ada beberapa orang selalu mengamati dan membayanginya.
Ketika dahulu ia berkunjung ke Tiat-liong-pang bersama ayahnya, mereka naik kereta dan tentu saja ia
sudah lupa akan jalannya, apa lagi hal itu sudah terjadi sangat lama, di waktu ia masih kecil. Dengan
langkah santai ia mendaki bukit. Seorang gadis yang amat menarik perhatian orang, apa lagi melakukan
perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu.
Ketika ia sudah tiba di lereng, tentu saja kehadirannya segera menimbulkan kecurigaan para mata-mata
yang bertugas mempertahankan benteng Tiat-liong-pang. Ada seorang gadis cantik dan sikapnya halus,
gerak-geriknya pun halus, naik seorang diri ke bukit ini! Tentu mata-mata musuh! Akan tetapi kalau matamata
musuh, mengapa naik ke bukit secara terang-terangan begitu saja, mudah dilihat dari mana pun
juga?
Tiba-tiba muncullah lima orang anggota pasukan Tiat-liong-pang yang bertugas jaga di lereng itu. Jika
pasukan penyerbu mengenakan seragam warna kuning, pasukan yang bertahan ini mengenakan seragam
warna biru, hampir sama dengan seragam pasukan pemerintah karena memang Tiat-liong-pang pada
waktu itu dianggap sebagai benteng kota raja yang hendak diserbu. Lima orang pasukan itu muncul dan
mengepung gadis itu sambil menodongkan tombak mereka, sikap mereka galak.
“Berhenti!” bentak kepala pasukan yang berkumis jarang itu, “Siapakah engkau dan menyerahlah, engkau
tentu mata-mata musuh!”
Gadis itu bukan lain adalah Pouw Li Sian. Seperti telah kita ketahui, gadis ini baru saja datang dari kota
raja di mana ia menyelidiki keadaan keluarganya. Dengan hati berduka dia memperoleh berita bahwa
selain ayah ibunya, juga semua keluarganya, kakak-kakaknya telah ditawan dan tewas, kecuali seorang
kakaknya yang sulung, bernama Pouw Ciang Hin, yang kabarnya diampuni, bahkan kini menjadi seorang
perwira yang bertugas di perbatasan utara. Karena Pouw Ciang Hin kini merupakan satu-satunya anggota
keluarganya, maka dengan nekat ia pun menyusul ke utara.
Ia teringat akan Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan, ketua dari Tiat-liong-pang yang pernah menjadi
sahabat baik ayahnya. Ayahnya dahulu seorang Menteri Pendapatan, sedangkan Siangkoan Lohan sangat
berjasa terhadap pemerintah sehingga mendapat kekuasaan dan dikenal semua pembesar tinggi. Pernah
ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang dan karena ia tahu betapa sulitnya mencari seorang
perwira di antara pasukan yang berjaga di tapal batas utara, maka dia pun ingin meminta bantuan ketua
Tiat-liong-pang agar dapat diselidiki, di mana kakaknya itu ditugaskan.
Kini, tiba-tiba saja ia ditodong tombak, oleh lima orang prajurit! Ia tidak merasa gentar, bahkan dengan
wajahnya yang manis itu berseri gembira, ia balas bertanya, “Apakah kalian ini prajurit kerajaan yang
berjaga di tapal batas utara?”
Lima orang prajurit itu saling pandang. Mereka jelas anak buah Tiat-liong-pang, akan tetapi pada saat itu
mereka bertugas sebagai pasukan yang harus mempertahankan benteng ‘kota raja’. Oleh karena itu, ketika
ditanya apakah mereka prajurit kerajaan, mereka menjadi bingung.
“Kalau benar kami prajurit kerajaan, lalu engkau mau apa, Nona?” Lima orang prajurit itu memandang
kagum.
Mereka adalah orang-orang kasar yang biasa bersikap kasar dan kurang ajar terhadap wanita, apa lagi
secantik ini. akan tetapi sejak ada dua orang kawan mereka dibunuh oleh Siangkoan Kongcu karena
mengganggu wanita, mereka kini harus menahan diri dan tidak berani mengulangi perbuatan itu.
Dengan wajah tetap gembira penuh harap, Pouw Li Sian berkata, “Aku bernama Pouw Li Sian dan datang
ke sini untuk mencari kakak sulungku yang bernama Pouw Ciang Hin. Dia menjadi seorang perwira
kerajaan yang bertugas di tapal batas utara...“
Mendengar bahwa gadis ini adik seorang perwira kerajaan, berarti musuh, tentu saja berubah sikap lima
orang itu. Tombak-tombak itu dipegang semakin erat dan pemimpin mereka membentak, “Kalau begitu,
menyerahlah engkau, karena engkau harus menjadi tawanan kami dan akan kami hadapkan kepada
pimpinan kami!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Sian adalah seorang gadis yang berwatak halus. Walau pun ia telah menjadi murid seorang sakti seperti
Bu Beng Lokai dan kini telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, namun ia tetap berwatak halus, bahkan
belum pernah ia berkelahi mempergunakan ilmu kepandaiannya. Sikapnya jauh berbeda dengan Suma
Lian yang menjadi suci-nya.
Suma Lian galak, keras dan pemberani di samping lincah jenaka. Akan tetapi Li Sian pendiam dan
penyabar. Ia tahu bahwa berurusan dengan lima orang prajurit biasa ini tidak ada gunanya, bahkan hanya
akan menimbulkan keributan saja, maka dia pun mengangguk dan senyumnya masih melekat di bibir.
“Baiklah, aku tidak akan melawan, dan bawalah aku kepada pemimpin kalian agar aku dapat bicara
dengan dia.”
Lima orang itu dengan masih menodongkan tombak mereka, memberi isyarat agar Li Sian berjalan
memasuki hutan. Hemmm, pikir mereka. Kalau saja mereka tidak takut kepada Siangkoan Lohan apa lagi
Siangkoan Kongcu, tentu gadis yang cantik ini sudah menjadi korban mereka. Takkan ada orang yang
tahu!
Tidak lama kemudian, di dalam hutan yang kini menjadi markas besar sementara dari Sin-kiam Mo-li yang
bertugas sebagai komandan yang harus mempertahankan benteng, Li Sian digiring masuk ke dalam
sebuah pondok besar di mana duduk Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang pembantunya yang menjadi
perwira-perwira di dalam pasukan itu. Jumlah perwira itu ada lima orang dan mereka tengah merundingkan
siasat pertahanan menggunakan sebuah peta yang mereka bentangkan di atas meja. Melihat masuknya
lima orang prajurit sambil menggiring seorang gadis cantik, Sin-kiam Mo-li mengangkat muka dan
mengerutkan alisnya.
Kelima orang prajurit itu memberi hormat, dan pimpinan mereka lalu melapor kepada Sin-kiam Mo-li
dengan sikap seperti seorang prajurit yang melapor kepada atasannya. “Li-ciangkun (Panglima Wanita),
kami berlima telah menangkap seorang wanita yang kami curigai sebagai mata-mata, dan menurut
pengakuannya ia bernama Pouw Li Sian yang hendak mencari kakaknya yang katanya menjadi seorang
perwira kerajaan yang bertugas di perbatasan.”
Kerut di antara alis mata Sin-kiam Mo-li semakin dalam. Sinar matanya membayangkan kemarahan.
Hemmm, tentu ini seorang mata-mata yang dilepas oleh Toat-beng Kiam-ong, pikirnya. Laki-laki semacam
Toat-beng Kiam-ong mana mau melepaskan seorang gadis secantik ini? Tentu gadis ini seorang di antara
kekasihnya, pikirnya dengan hati penuh cemburu.
Memang, sejak dia berkasih-kasihan dengan Toat-beng Kiam-ong, di antara keduanya terdapat rasa
cemburu besar karena keduanya saling menemukan pasangan yang amat cocok. Tentu saja Toat-beng
Kiam-ong juga membatasi rasa cemburunya sehingga biar pun dia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li juga bermain
cinta dengan Siangkoan Liong, dia tidak berani mencampuri.
“Tinggalkan ia di sini dan kalian boleh ke luar lagi, berjaga yang hati-hati dan jangan ijinkan siapa pun juga
masuk!” perintah Sin-kiam Mo-li kepada lima orang itu yang cepat memberi hormat dan keluar lagi.
Kini Pouw Li Sian yang masih tegak itu beradu pandang dengan Sin-kiam Mo-li. Ia tidak memperhatikan
lima orang laki-laki berpakaian perwira yang memandangnya dan juga duduk di situ, karena ia tahu bahwa
agaknya pimpinan di sini adalah wanita cantik itu. Diam-diam Li Sian merasa heran dan juga kagum
melihat Sin-kiam Mo-li, wanita yang sudah setengah tua akan tetapi nampak cantik lemah lembut akan
tetapi juga gagah perkasa dan memiliki wibawa besar itu.
Teringat dia akan cerita gurunya, mendiang Bu Beng Lokai, yang pernah menceritakan tentang isteri
gurunya itu. Isteri gurunya juga seorang panglima wanita yang terkenal sekali, bernama Panglima Milana,
yang kabarnya dahulu memimpin laksaan pasukan menundukkan pemberontakan di mana-mana.
Juga ibu dari isteri gurunya itu bernama Puteri Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, pernah
menjadi seorang panglima wanita yang gagah perkasa. Seperti inikah mereka itu? Karena membayangkan
isteri dan ibu mertua gurunya itu, Li Sian cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Sin-kiam Moli.
“Harap Li-ciangkun suka memaafkan kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan. Sesungguhnya,
seperti yang dilaporkan oleh para prajurit tadi, saya datang ke sini untuk mencari kakak kandung saya,
dunia-kangouw.blogspot.com
kakak sulung saya yang bernama Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi seorang perwira pasukan
kerajaan yang bertugas di perbatasan utara. Semenjak berusia dua belas tahun saya berpisah darinya, dan
sekarang saya mencarinya.”
Sin-kiam Mo-li masih memandang dengan sikap tidak senang karena dia masih curiga. “Kalau kau mencari
kakakmu, kenapa di sini? Apakah di sini tempat pasukan kerajaan bertugas? Tahukah engkau tempat ini,
bukit ini?” tanya Sinkiam Mo-li.
Walau pun pertanyaan itu diajukan dengan kaku, namun Li Sian tidak menjadi marah. Dianggapnya bahwa
sikap seorang panglima perang memang harus tegas seperti itu!
“Maaf, Li-ciangkun. Saya sudah tahu bahwa bukit ini adalah tempat pusat perkumpulan Tiat-liong-pang.
Saya memang hendak mencari ketua Tiat-liong-pang untuk bertanya, barang kali dia dapat membantu
saya memberi tahu di mana adanya kakak saya itu.”
Sin-kiam Mo-li menjadi makin curiga. Tak salah, lagi, tentulah seorang mata-mata yang dikirim oleh Toatbeng
Kiam-ong, dan wanita secantik ini siapa lagi kalau bukan seorang di antara kekasih laki-laki mata
keranjang itu?
“Jangan berbohong!” bentaknya. “Engkau tentu mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong!
Mengakulah saja!”
Li Sian terkejut, dan cepat dia menggeleng kepala. “Saya bukan mata-mata dan tidak mengenal siapa itu
Toat-beng Kiam-ong. Saya datang untuk mencari kakak saya dan bertanya kepada ketua Tiat-liong-pang!”
Sin-kiam Mo-li tersenyum. “Mana ada mata-mata mau mengaku? Kalau mengaku bukan mata-mata yang
baik dan melihat engkau berani memasuki wilayah ini seorang diri, tentu engkau memiliki ilmu kepandaian
yang lumayan. Nah, engkau menyerahlah, kami tangkap untuk menjadi tawanan perang!”
Tentu saja Li Sian menjadi semakin kaget. Mulailah ia merasa curiga dan penasaran. Jangan-jangan ia
masih dianggap musuh oleh pasukan pemerintah, sebagai keturunan keluarga Pouw! Akan tetapi,
mengapa kakaknya sudah diampuni dan bahkan dijadikan perwira?
“Ciangkun, kalau tadi saya ikut lima orang prajurit itu menghadap ke sini adalah karena saya yakin akan
dapat bicara lebih baik dengan pimpinan pasukan. Akan tetapi saya datang bukan untuk menyerahkan diri
ditangkap begitu saja tanpa bersalah!”
Sin-kiam Mo-li bangkit dan matanya memancarkan sinar mencorong. “Apa? Engkau seorang mata-mata
biasa berani membantah? Kalau begitu tentu engkau mata-mata istimewa dari Toat-beng Kiam-ong maka
berani menentang aku. A Sam, tangkap wanita ini!” perintahnya kepada seorang di antara lima perwira
yang duduk di situ.
Yang dipanggil A Sam ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang tubuhnya gendut seperti babi
dikebiri. Perutnya besar dan kepalanya kecil, akan tetapi ketika dia meloncat dari tempat duduknya, dia
memiliki kegesitan sehingga mudah diduga bahwa tubuh yang gembrot ini memiliki ketangkasan seorang
ahli silat. Dia tersenyum senang, membayangkan bahwa setidaknya dia akan dapat merangkul dan
mendekap tubuh gadis cantik manis di depannya itu!
“Baik, Li-ciangkun!” katanya.
Dia pun menubruk ke depan. Agaknya dengan dua lengannya yang panjang dan besar itu dia hendak
sekali tubruk sudah bisa menempelkan mukanya pada muka yang cantik itu!
“Hemmm...!” Li Sian berseru lirih dengan hati penuh penasaran.
Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan sambutan seperti itu! Tentu saja
baginya gerakan A Sam itu terlalu lambat. Dengan teramat mudahnya, sekali menggeser kaki, tubrukan A
Sam itu mengenai angin kosong saja dan begitu Li Sian menggerakkan kaki menotok pinggiran lutut, tanpa
dapat dicegah lagi, tubuh yang perutnya membengkak itu terjerumus ke depan.
“Ngekkk!” ketika terbanting ke atas lantai, perutnya yang lebih dulu menghantam lantai mengeluarkan
bunyi. Orang itu pun terengah-engah sehingga sukar bernapas!
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, tak senang hatinya dan diam-diam ia memaki pembantu
yang tidak becus itu. Juga dia tahu bahwa gadis ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari pada
yang diduganya. Akan tetapi tentu saja ia masih memandang rendah. Sepintar-pintarnya seorang matamata
dari Toat-beng Kiam-ong, tentu masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkatnya. Pikiran ini
membuat Sin-kiam Mo-li merasa malu kalau harus turun tangan sendiri menandingi seorang mata-mata!
Memang dalam latihan perang-perangan ini, tentu saja tak boleh saling membunuh atau melukai dengan
berat karena mereka semua adalah satu golongan. Bahkan juga sudah direncanakan bahwa kalau sampai
terjadi pertempuran, semua senjata harus dibuang dan hanya boleh menggunakan kaki tangan saja. Ini
pun dengan larangan keras saling membunuh atau melukai dengan parah.
Melihat betapa gadis itu tadi hanya menotok tepi lutut A Sam dengan ujung sepatunya, yang hanya
mengakibatkan A Sam jatuh telungkup, ia lebih yakin bahwa tentu gadis ini mata-mata yang sudah tahu
pula akan peraturan itu sehingga tidak sampai melukai A Sam.
“Tangkap gadis ini!” bentaknya kepada empat orang perwira yang lain.
Empat orang itu pun penasaran melihat betapa kawan mereka, dalam segebrakan saja sudah roboh oleh
gadis cantik itu. Mendengar perintah ini, mereka berempat lalu bangkit dan mengurung Li Sian dari empat
penjuru. Pondok itu cukup besar dan karena kosong dan hanya ada meja kursi yang mereka duduki tadi,
tempat itu cukup luas untuk suatu perkelahian walau dikeroyok empat sekali pun.
Li Sian tidak merasa gentar. Dia hanya menyayangkan bahwa penyelidikannya harus bertumbuk pada
halangan perkelahian seperti ini.
“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi!” katanya, kini suaranya agak marah, “Aku datang mencari
kakakku. Kalau kalian tahu, beri tahulah, kalau tidak, tidak mengapa, aku akan pergi lagi dari sini!”
“Engkau harus menyerah, Nona. Itu peraturannya. Menyerah atau kalau engkau dapat mengalahkan kami
dan dapat meloloskan diri, cobalah!” kata empat orang perwira itu yang sudah mengurungnya.
Sekarang mereka berempat sudah menerjang maju sambil mengulurkan tangan hendak menangkap gadis
yang cantik manis itu. Ada yang coba untuk menangkap lengannya, pundaknya, pinggangnya, bahkan ada
yang langsung merangkulnya. Karena gerakan mereka itu datang dari empat penjuru, agaknya tidak ada
jalan keluar lagi bagi Li Sian, demikian pendapat empat orang perwira atau sebenarnya merupakan muridmurid
atau anggota Tiat-liong-pang yang tingkatnya sudah agak tinggi itu.
Akan tetapi, betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba saja gadis itu lenyap berkelebat ke atas
dan mereka hanya dapat saling menangkap lengan masing-masing! Mereka kebingungan, akan tetapi Sinkiam
Mo-li dapat melihat dengan jelas betapa gadis cantik itu tadi ketika ditubruk dari empat penjuru, telah
meloncat dengan gerakan seperti seekor burung walet cepatnya, sehingga luput dari tubrukan itu dan
tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu pondok. Ia terkejut dan sekali melompat ia pun sudah meluncur
keluar pondok dan menghadang di depan gadis itu.
“Berhenti!” bentaknya.
Lima orang perwira itu kini berlarian keluar dan mereka memandang kepada Li Sian penuh kagum. Baru
kini mereka mengerti bahwa Li Sian bukanlah seorang gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi!
Sin-kiam Mo-li kini berhadapan dengan Li Sian. Gadis ini mengerutkan alisnya, merasa makin tidak
senang. Kenapa ia dianggap musuh dan hendak ditangkap, pikirnya penuh dengan perasaan yang
penasaran.
“Hemmm, Li-ciangkun, apa kesalahanku maka engkau agaknya hendak memaksa dan menangkap aku?”
tanyanya, sekarang sepasang matanya yang biasanya bersinar halus penuh kesabaran itu mencorong.
Melihat sinar mata ini, Sin-kiam Mo-li juga terkejut dan tahulah ia bahwa gadis ini benar-benar hebat,
seorang yang berilmu tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah diduganya. Apakah kekasih Toat-beng
Kiam-ong? Agaknya bukan, pikirnya dan biar pun ia tidak merasa cemburu lagi, namun ia merasa
penasaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Alangkah akan malunya kalau tersiar kemudian bahwa ia, sebagai komandan pasukan yang
mempertahankan benteng, tidak mampu menahan seorang wanita asing yang kesalahan masuk ke tempat
itu!
Kemudian ia teringat akan sesuatu! Ketika dirayakan ulang tahun Siangkoan Lohan, terjadi keributan di
tempat ini dan belasan orang tamu, yaitu para pendekar yang tidak sudi menggabungkan diri, telah
dibunuh. Jangan-jangan gadis ini mempunyai seorang kakak yang ikut pula terbunuh pada waktu itu dan
kini dia datang untuk mencari dan menyelidiki!
“Bocah yang tak tahu diri!” bentak Sin-kiam Mo-li sambil menuding dengan telunjuknya ke arah wajah Li
Sian. “Engkau seorang asing berani datang ke wilayah kami tanpa ijin, dan kami masih menerimamu
dengan baik-baik dan hanya akan menahanmu menanti sampai para pimpinan berkumpul untuk
menentukan keputusan atas dirimu, dan engkau berani memamerkan kepandaian di depanku?”
Wajah Li Sian berubah merah. Baru kini ia melihat bahwa wanita cantik ini sama sekali tidak
mengagumkan sikapnya, walau pun dia menjadi seorang panglima wanita. Isteri gurunya tentu tidak seperti
ini sikapnya, tinggi hati dan memandang rendah orang lain.
“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi, aku datang dengan baik-baik akan tetapi disambut dengan
kekerasan. Sudah menjadi hak setiap orang untuk membela diri. Aku sudah banyak mengalah dan hendak
pergi saja, kenapa engkau masih juga berkeras hendak menghalangi aku?”
Sin-kiam Mo-li tersenyum mengejek. Memang cantik sekali kalau ia tersenyum, akan tetapi kecantikan
yang membayangkan kekejaman.
“Engkau masih muda sudah lihai mulutmu dan ilmumu. Coba aku ingin melihat apakah engkau akan
mampu melawan aku.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Li Sian, Sin-kiam Mo-li sudah
menyerang gadis itu dengan cepat dan ganas sekali.
Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah tinggi ilmu silatnya, amat lihai. Banyak ilmu silat
kaum sesat ia kuasai. Akan tetapi selain kebutan gagang emas dan pedang yang keduanya beracun, ia
pun memiliki ilmu silat tangan kosong yang ampuh.
Karena itu kedua tangannya berubah kehitaman dan terutama sekali ujung kuku jari-jari tangannya
berubah hitam sekali dan mengandung racun jahat. Sekali tergores kuku itu saja sudah cukup membuat
kulit yang terluka menjadi bengkak, apa lagi kalau sampai terkena tamparan tangan yang penuh
mengandung hawa beracun itu. Ilmunya ini diberi nama Hek-tok-ciang. Kini, begitu maju menyerang, ia
telah mengerahkan Hek-tok-ciang!
Li Sian memang belum berpengalaman dalam hal perkelahian. Namun, gadis ini sejak berusia dua belas
tahun telah digembleng dengan hebat dan tekun oleh seorang sakti dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang
hebat-hebat selain juga telah berhasil menghimpun tenaga sinkang yang tinggi seperti Hui-yang Sinkang
dan Swat-im Sinkang dari keluarga Pulau Es, juga tenaga Inti Bumi yang luar biasa kuatnya.
Pula, ia sudah banyak mendengar nasehat kakek Gak Bun Beng tentang jahatnya ilmu ilmu yang dikuasai
para datuk sesat. Maka kini melihat betapa kedua tangan wanita itu berubah kehitaman, ia pun dapat
menduga bahwa ia berhadapan dengan lawan dari golongan hitam yang memiliki ilmu pukulan sesat dan
curang. Ia pun berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya untuk mengelak, tidak berani sembarangan
menangkis.
Sin-kiam Mo-li merasa amat penasaran saat serangannya yang dilakukan dengan cepat dan kuat itu
dengan amat mudahnya dielakkan oleh gadis muda itu. Ia mengeluarkan suara melengking dan kini
tubuhnya bergerak cepat sekali, menghujankan serangan secara bertubi-tubi dan setiap serangan,
mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh lawan.
Diam-diam Li Sian menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa wanita cantik ini, yang semula
disangkanya gagah perkasa seperti mendiang isteri gurunya, ternyata hanya seorang wanita yang berhati
kejam dan serangannya itu ganas sekali, juga jelas menunjukkan gejala bahwa wanita ini adalah dari
golongan sesat! Maka, ia pun cepat memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun yang sudah dilatihnya dengan
baik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) adalah ilmu silat yang memiliki kecepatan, juga
didukung tenaga Inti Bumi, maka kini ia berani untuk menangkal dan balas menyerang. Pada waktu sebuah
cengkeraman kuku dan tangan menghitam itu menyambar ke arah dadanya, Li Sian menangkisnya dengan
memutar lengannya dari samping.
“Dukkk!” Keduanya tergetar dan melangkah mundur.
Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis itu sedemikian lihai dan kuatnya
sehingga mampu menangkis serangan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan juga membuat lengannya tergetar
hebat! Ia menyerang lagi, sekali ini dengan serangan yang lebih dahsyat.
Namun sekarang Li Sian bukan hanya menjaga diri, melainkan juga membalas dengan tamparan dan
totokan dari ilmu silat Lo-thian Sin-kun, karena dia pun maklum akan kelihaian lawan sehingga kalau saja
ia hanya membiarkan diri diserang terus dan hanya bertahan, besar kemungkinan ia akan celaka dan
terkena tangan hitam yang jahat itu.
Serang-menyerang terjadi dengan hebatnya sampai dua puluh jurus lebih, dan hal ini dianggap keterlaluan
oleh Sin-kiam Mo-li. Menghadapi seorang gadis muda, sampai dua puluh jurus Hek-tok-ciang kedua
tangannya tidak mampu merobohkannya. Jangankan merobohkan, baru mendesak pun tak mampu.
Padahal di situ telah berkumpul belasan orang perwira atau anggota Tiat-liong-pang yang sudah tinggi
tingkatnya menjadi saksi.
Sin-kiam Mo-li yang selalu membanggakan kepandaiannya itu merasa malu sekali dan kemarahannya pun
berkobar. Kalau tadi dia hanya menggertak dan hendak membuat gadis itu menyerahkan diri, maka kini
timbul niatnya untuk merobohkan, dan jika perlu membunuh gadis muda yang dianggapnya telah
membuatnya malu ini.
“Keparat, engkau tidak boleh dikasih hati!” bentaknya.
Tiba-tiba saja kedua tangannya telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh. Tangan kirinya
sudah memegang sebuah kebutan berbulu merah bergagang emas, dan tangan kanannya memegang
sebatang pedang. Inilah sepasang senjatanya yang amat ampuh. Selain ia ahli bersilat pedang sehingga
mendapat julukan Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), juga kebutannya itu tidak kalah berbahaya
dari pada pedangnya karena bulu-bulu kebutan berwarna merah itu mengandung racun yang jahat.
Setelah membentak demikian, Sin-kiam Mo-li sudah menggerakkan kedua senjatanya, menyerang dengan
dahsyatnya tanpa malu-malu lagi meski melihat bahwa gadis muda yang diserangnya itu bertangan
kosong.
Melihat ini, Li Sian terkejut. Namun, gadis ini memang memiliki ketenangan luar biasa dan ia pun tahu apa
yang harus dilakukannya. Cepat-cepat ia memainkan Ilmu San-po Cin-keng, yaitu ilmu langkah ajaib dan
bersilat dengan Kong-jiu Jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan).
Langkah-langkah atau geseran-geseran kedua kakinya dengan indahnya dan lembutnya membuat
tubuhnya berkelebatan seperti bayangan yang sukar diserang! Meski pedang dan kebutan itu mengepung
dan menyambarnya dari semua jurusan, namun Li Sian tetap saja dapat menghindarkan diri dengan
langkah ajaibnya!
Namun, melihat kehebatan lawan, kalau hanya terus mengelak pun ia masih terancam bahaya, maka
kedua tangannya tidak tinggal diam. Kadang-kadang ia pun melayangkan tamparan yang mengandung
Hui-yang Sinkang di tangan kanan dan Swat-im Sinkang di tangan kiri.
Kembali Sin-kiam Mo-li kaget bukan main. Sambaran tangan kanan yang mengandung hawa panas dan
tangan kiri mengandung hawa dingin itu amat mengejutkannya.
“Bocah setan! Apakah engkau seorang murid Pulau Es?” bentaknya tanpa mengurangi serangannya.
Kebutannya membabat ke arah muka, sedangkan pedangnya menusuk dada.
Li Sian menggeser kaki memutar tubuh sehingga kedua serangan itu luput dan ia pun mendorong dengan
tangan kanannya sambil mengerahkan Hui-yang Sinkang. Hawa amat panas menyambar ke arah dada
Sin-kiam Mo-li yang terpaksa harus meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari serangan yang
cukup berbahaya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak ada hubungannya denganmu!” jawab Li Sian.
Gadis ini melihat sebatang ranting tidak jauh dari situ, maka cepat kakinya membuat langkah-langkah aneh
dan dia sudah berhasil menyambar ranting itu. Sebatang ranting kayu sebesar ibu jari kaki yang
panjangnya kurang lebih empat kaki, tepat sekali untuk dipakai sebagai pengganti pedang. Kini dia pun
memutar ranting itu sambil memainkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut menghadapi sepasang senjata
lawan!
Kini lebih mudah bagi Li Sian untuk melindungi dirinya. Akan tetapi karena maklum akan kelihaian
sepasang senjata lawan, tetap saja dia mengandalkan langkah-langkah ajaib San-po Cin-keng untuk
mengelak dan lantas membalas dengan tusukan ranting yang dia mainkan sebagai pedang!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan mereka itu cepat dan aneh sehingga para murid Tiatliong-
pang yang menjadi penonton memandang dengan mata kabur dan kepala pening. Mereka tidak
berani turun tangan membantu tanpa diperintah karena hal ini tentu akan membuat Sin-kiam Mo-li marah.
Tiba-tiba terdengar suara orang melerai. “Tahan senjata!”
Mendengar suara Siangkoan Lohan ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li menahan serangannya, Li Sian juga cepat
melompat mundur dan mengangkat muka memandang. Dia melihat munculnya seorang lelaki yang
usianya sekitar enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka merah dan jenggot panjang sampai ke dada.
Yang seorang lagi adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian indah seperti seorang pelajar kaya
raya atau seorang pemuda bangsawan.
Melihat kakek itu, hatinya berdebar girang karena ia masih mengenal bahwa kakek ini adalah Siangkoan
Lohan yang pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu.
“Apakah yang telah terjadi di sini?” tanya Siangkoan Lohan, diam-diam kagum sekali melihat betapa
seorang gadis muda, dengan hanya sebatang ranting di tangan, mampu menandingi Sin-kiam Mo-li yang
mempergunakan sepasang senjatanya.
“Ia datang secara mencurigakan sekali, tentu ia seorang mata-mata pihak musuh!” kata Sin-kiam Mo-li
kepada Siangkoan Lohan, agak malu karena tuan rumah dan puteranya itu sempat melihat betapa ia tadi
belum mampu merobohkan seorang gadis yang hanya bersenjata ranting.
Kini Siangkoan Lohan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian, kemudian ia bertanya, “Nona,
siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke wilayah kami?”
Li Sian melangkah maju menghampiri kakek itu. Ia memberi hormat setelah melepaskan ranting dari
tangannya, kemudian berkata, “Bukankah saya berhadapan dengan paman Siangkoan Tek, pangcu dari
Tiat-liong-pang?”
Siangkoan Lohan memandang semakin tajam, akan tetapi betapa pun dia mengingat-ingat, dia tidak dapat
mengingat siapa adanya gadis yang cantik manis dengan tahi lalat di dagunya ini.
“Maaf, Nona, mungkin penglihatanku sudah tidak terang lagi. Memang benar aku adalah Siangkoan Tek,
akan tetapi siapakah engkau?”
“Paman Siangkoan, sudah lupakah engkau kepada saya? Saya bernama Pouw Li Sian. Pernah belasan
tahun yang lalu saya bersama ayah datang berkunjung ke sini!”
“Pouw...?” Siangkoan Lohan mengulang nama keturunan itu dengan heran.
“Benar, Paman. Mendiang ayahku adalah Pouw Tong Ki.”
“Ahhhhh...! Ayahmu dahulu Menteri Pendapatan, seorang sahabatku itu? Dan engkau puterinya?
Bukankah seluruh keluarga Pouw sudah...“
“Tidak semua binasa, Paman. Ketika rumah kami diserbu, saya sempat melarikan diri. Sekarang, setelah
saya menjadi dewasa, saya ke kota raja dan menyelidiki keadaan keluarga saya. Empat orang kakak saya
ditahan, tiga orang tewas dan saya mendapat kabar bahwa kakak sulung saya, Pouw Ciang Hin, diampuni
dunia-kangouw.blogspot.com
bahkan sekarang menjadi seorang perwira yang bertugas di tapal batas utara. Oleh karena itulah, saya
menyusul ke utara, dan teringat kepada Paman, saya berkunjung ke sini untuk minta bantuan Paman.
Siapa tahu Paman dapat memberi tahu di mana adanya kakak sulung saya itu. Akan tetapi, ketika tiba di
sini, saya ditahan dan hendak ditangkap, maka terpaksa saya melawan dan maafkan saya Paman.”
Siangkoan Lohan memandang penuh kagum. “Ahh, sekarang aku ingat. Engkau adalah nona kecil yang
pernah ikut dengan Pouw Taijin dahulu itu. Aihh, sungguh penasaran sekali. Ayahmu adalah seorang
pejabat yang baik dan setia, akan tetapi, keluarganya kena fitnah karena dia berani menentang pembesar
laknat Hou Seng. Kerajaan Mancu memang tidak mengenal budi!”
Siangkoan Lohan mengepal tinju, lalu berkata kepada Sin-kiam Mo-li, “Mo-li, Nona ini adalah orang sendiri,
keluarganya terbasmi oleh kerajaan penjajah! Dan nona Pouw, ini adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara
kawan-kawan kita yang siap untuk menentang pemerintah penjajah!”
Walau pun di dalam hatinya merasa penasaran karena tadi belum dapat mengalahkan gadis ini, terpaksa
Sin-kiam Mo-li tersenyum, menyimpan sepasang senjatanya dan ia mengangguk-angguk.
“Engkau masih begini muda akan tetapi sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, nona Pouw. Engkau tadi
mempergunakan sinkang panas dan dingin, mengingatkan aku akan ilmu dari Pulau Es. Apakah engkau
murid dari keluarga Pulau Es?”
“Mendiang guruku adalah mantu dari sucouw Pendekar Super Sakti Pulau Es,” jawab Li Sian sejujurnya.
Mendengar ini terkejutlah semua orang, termasuk Siangkoan Lohan. Pantas gadis ini demikian lihainya.
Akan tetapi diam-diam dia pun girang sekali. Bagaimana pun juga, gadis ini telah disudutkan oleh kerajaan,
menjadi musuh kerajaan karena keluarganya dibasmi oleh kerajaan sehingga dapat diharapkan gadis ini
akan suka membantunya.
“Mari kita bicara di dalam, nona Pouw. Ahh, ya, apakah engkau lupa kepada anakku ini? Bukankah pada
saat engkau bersama ayahmu dahulu berkunjung ke sini, kalian sudah saling berkenalan? Ini adalah
Siangkoan Liong. Anakku, apakah engkau sudah lupa kepada nona Pouw?”
Mereka saling pandang dan Li Sian merasa kagum. Pemuda ini tampan dan halus, nampak ramah sekali
dan juga sopan ketika menjura dengan hormat kepadanya. “Tentu saja aku tidak lupa kepada nona Pouw
Li Sian, biar pun dahulu hanya menjadi tamu beberapa hari saja di sini,” katanya.
Li Sian juga teringat, walau pun hanya samar-samar bahwa Siangkoan Lohan dahulu memang mempunyai
seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Ia pun cepat balas menjura.
“Aku pun masih ingat kepadamu, saudara Siangkoan Liong.”
Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Sin-kiam Mo-li tidak ikut masuk, namun diam-diam ia merasa tidak
enak. Gadis itu lihai, dan agaknya pihak tuan rumah menghormatinya. Kenyataan bahwa gadis itu masih
keturunan murid keluarga Pulau Es, membuat hatinya merasa tidak enak.
Gadis itu berbahaya, pikirnya, kecuali kalau sinar matanya mencorong gembira. Benar! Itulah satu-satunya
jalan. Gadis itu harus dapat ditaklukkan oleh Siangkoan Liong, menjadi kekasihnya atau isterinya, barulah
diharapkan gadis itu akan benar-benar setia membantu gerakan persekutuan mereka!
Dia akan membicarakan hal ini dengan Siangkoan Liong. Dengan bantuannya, mustahil gadis itu tidak
akan dapat ditundukkan oleh Siangkoan Liong.
Sementara itu, Li Sian diajak bercakap-cakap di sebelah dalam, diterima dengan ramah dan hormat oleh
Siangkoan Lohan dan puteranya, dijamu dan di dalam percakapan itu, pihak tuan rumah mulai
menanamkan bibit-bibit permusuhan dan sakit hati terhadap Kerajaan Mancu yang telah membasmi
keluarga Pouw.
“Kaum penjajah Mancu memang keterlaluan sekali,” demikian antara lain Siangkoan Lohan berkata,
“Bayangkan saja. Pihak kami, Tiat-liong-pang, kurang bagaimana dahulu membantu mereka dan kami
telah mengorbankan segalanya untuk membantu mereka. Tetapi ternyata mereka itu merupakan bangsa
yang tidak mengenal budi dan mudah melupakan jasa orang. Ayahmu sendiri, nona Pouw, adalah seorang
di antara pembesar tinggi yang setia dan baik. Akan tetapi apa jadinya? Keluarga ayahmu dibasmi hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
karena ayahmu berani menentang Hou Seng, padahal ayahmu menentang Hou Seng justru untuk
menyelamatkan negara dan kerajaan!”
Sedikit demi sedikit hati Li Sian dibakar. Akan tetapi gadis ini masih ragu-ragu. Gurunya selalu memberi
wejangan supaya ia tidak menyimpan dendam terhadap siapa pun juga, dan hidup sebagai seorang
pendekar harus bebas dari api dendam karena dendam akan melenyapkan pertimbangan adil. Seorang
pendekar harus bertindak adil, membela kebenaran dan keadilan tanpa pilih bulu. Sebaliknya dendam
membutakan mata akan kebenaran dan keadilan, semata-mata hanya untuk melampiaskan nafsu dendam
saja.
“Saya masih bingung, Paman. Saya ingin sekali berjumpa dengan kakak sulung saya, oleh karena itu saya
mohon bantuan Paman, sukalah membantu saya mencari di mana adanya kakak saya itu bertugas supaya
saya dapat bertemu dengan anggota keluarga yang tinggal satu-satunya itu.”
“Tentu, tentu sekali, Nona. Kami akan membantumu dan sementara ini, tinggallah di sini sebagai tamu
kehormatan, ahhh, tidak, sebagai anggota keluarga kami sendiri, sebagai keponakanku!” kata Siangkoan
Lohan dengan ramah sekali.
Li Sian merasa terharu. Kakek ini dan puteranya sungguh baik, menerimanya demikian ramahnya, bahkan
menganggapnya sebagai anggota keluarga. Dia pun bangkit berdiri dan memberi hormat.
“Paman sungguh melimpahkan banyak budi kebaikan kepada saya, entah bagaimana saya akan mampu
membalasnya. Akan tetapi, harap Paman jangan menyebut saya nona, membuat saya merasa kikuk saja,
Paman.”
Siangkoan Lohan tertawa. “Ha-ha-ha, baiklah, Li Sian, baiklah. Mulai sekarang engkau kuanggap
keponakanku sendiri, karena mendiang ayahmu dulu amat cocok denganku, seperti saudara pula. Nah,
anak Liong, engkau mendengar sendiri. Sekarang, engkau harus bersikap seperti seorang kakak terhadap
Li Sian.”
Siangkoan Liong bangkit berdiri, dan sambil tersenyum membalas penghormatan Li Sian. “Aku merasa
girang sekali dapat menjadi kakak misanmu, Sian-moi (adik Sian).”
Kedua pipi Li Sian berubah agak merah mendengar sebutan Sian-moi itu, akan tetapi, kalau ia dianggap
sebagai keponakan dari Siangkoan Lohan, sudah sepatutnya pemuda itu menyebutnya adik.
“Terima kasih atas kebaikanmu, Liong-toako (kakak Liong),” jawabnya.
Mereka lalu duduk kembali dan melanjutkan makan minum. Semenjak hari itu, Li Sian memperoleh sebuah
kamar di rumah besar itu serta diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat. Bahkan pada waktu ia
diperkenalkan kepada para murid Tiat-liong-pang, juga kepada Sin-kiam Mo-li, semua orang tak berani
bersikap kurang ajar padanya, maklum bahwa gadis itu selain lihai sekali, juga diterima sebagai keponakan
Siangkoan Lohan. Bahkan Li Sian ikut pula dalam latihan perang-perangan itu, membantu Sin-kiam Mo-li
untuk mempertahankan ‘benteng kota raja’ yang diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiamong.
Setelah latihan itu selesai, Li Sian diperkenalkan kepada para sekutu yang lain, kepada Toat-beng Kiamong,
kepada Agakai kepala suku Mongol, dan kepada Song Ciangkun, tangan kanan Coa Tai-ciangkun
yang menjadi komandan pasukan pemerintah yang bertugas jaga di utara. Song Ciangkun inilah yang
berjanji kepadanya untuk menyelidiki di mana adanya Pouw Ciang Hin, kakak sulung Li Sian sehingga
gadis ini merasa gembira sekali.
Hubungannya dengan Siangkoan Liong juga akrab sekali karena pemuda itu memang pandai mengambil
hati, ramah, sopan dan memiliki pengertian yang mendalam tentang sastra dan silat. Bahkan pemuda itu,
untuk melakukan penyelidikan, beberapa kali telah mengajak gadis itu berlatih silat. Dengan lega dia
mendapat kenyataan bahwa betapa pun lihai Li Sian, akan tetapi dia mampu mengatasi gadis itu walau
pun selisihnya tidak berapa jauh!
Sebaliknya, Li Sian kagum sekali akan pengertian pemuda itu mengenai sastra dan tentang pengetahuan
lain yang membuat dia merasa bodoh ketinggalan dan dia dapat banyak belajar dari pemuda itu. Dalam
ilmu silat, ia pun dapat melihat bahwa Siangkoan Liong ini bahkan jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li, dan
sungguh pun belum pernah mereka mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, namun dia
dunia-kangouw.blogspot.com
sendiri merasa bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menang menandingi ilmu
kepandaian pemuda yang tampan itu. Tidaklah mengherankan kalau hati Li Sian mulai terpikat…..
********************
Kita tinggalkan dulu Pouw Li Sian yang tanpa disadarinya telah terjatuh ke tempat yang amat berbahaya
baginya, dan mari kita melihat keadaan Suma Lian. Gadis ini setelah pulang ke rumah orang tuanya,
segera menambah kepandaiannya dengan gemblengan ayah ibunya.
Dari ayahnya, Suma Ceng Liong, dia tekun berlatih Ilmu Coan-kut-ci, semacam ilmu totokan yang ampuh
sekali karena jari tangannya yang sudah dilatih secara istimewa itu bukan hanya mampu menotok jalan
darah dan menghentikan aliran darah, bahkan bisa menembus tulang sesuai dengan namanya, yaitu
Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)! Ilmu ini memang mengerikan dan agak kejam, karena ayahnya dulu
menerimanya dari seorang datuk sesat yang bernama Hek I Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam).
Ada pun dari ibunya, Kam Bi Eng, Suma Lian menerima ilmu yang hebat, yaitu ilmu pedang gabungan
yang dimainkan dengan sebatang suling dan diberi nama Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling
Siluman), yaitu gabungan dari Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Kim-siauw Kiam-sut
(Ilmu Pedang Suling Emas). Kini dia sudah memiliki sebuah suling emas yang dapat dimainkan dengan
hebatnya sehingga suling emas itu bagaikan sebatang pedang saja yang dapat bergulung-gulung dengan
hebatnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking.
Hanya karena ia sudah memiliki dasar yang amat kuat berkat gemblengan mendiang kakek Gak Bun Beng
atau Bu Beng Lokai, maka gadis ini mampu mempelajari kedua ilmu yang hebat itu dalam waktu yang tidak
berapa lama. Ayah bundanya gembira sekali melihat kemajuan puteri mereka. Akan tetapi, ada suatu hal
yang membuat suami isteri ini agak gelisah, yaitu melihat betapa puteri mereka kini telah berusia dua puluh
tahun lebih, hampir dua puluh satu dan puterinya itu bertunangan pun belum!
Sejak puteri mereka pulang, suami isteri itu hampir setiap malam membicarakan hal ini. Akan tetapi mereka
merasa ragu untuk mengajak puteri mereka bicara karena melihat betapa puteri mereka memiliki watak
keras, dan puteri mereka demikian lincah jenaka dan gembira. Mereka khawatir kalau-kalau usul mereka
akan diterima dengan hati yang tidak senang dan membuat puteri mereka menjadi murung.
“Bagaimana pun juga, kita harus memberi tahunya, isteriku,” kata Suma Ceng Liong. “Usia dua puluh tahun
lebih sudah terlalu dewasa untuk seorang gadis! Sampai kapan kita harus menanti untuk menikahkan anak
kita yang tunggal itu? Biar pun untuk gadis kang-ouw, urusan pernikahan tidak boleh disamakan dengan
gadis biasa, akan tetapi bagaimana pun juga, seorang wanita haruslah membentuk rumah tangga dan
memiliki keturunan hidup sebagai seorang isteri atau ibu yang berbahagia. Dan kita menjadi kakek dan
nenek yang bahagia pula.”
“Baiklah, besok akan kuajak dia bicara. Mudah-mudahan saja, selama ini sudah ada pemuda yang menjadi
pilihan hatinya.”
“Aku meragukan hal itu. Bukankah baru saja dia meninggalkan tempat tinggal paman Gak Bun Beng
setelah orang tua itu meninggal dunia? Aku bahkan jadi teringat akan cerita kakak Suma Ciang Bun dulu
itu...“
“Hemmm, tentang muridnya, Gu Hong Beng itu?” tanya Kam Bi Eng.
Memang, Suma Ciang Bun pernah berterus terang kepada mereka bahwa ketika nenek Teng Siang In, ibu
Suma Ceng Liong akan meninggal dunia, ditunggu oleh Gu Hong Beng, nenek itu pernah minta Hong Beng
berjanji agar kelak menjadi suami Suma Lian dan karena permintaan itu merupakan permintaan atau pesan
terakhir seorang yang akan mati, pemuda itu tentu saja tidak sampai hati untuk menolaknya. Baru setelah
nenek itu meninggal, Gu Hong Beng menjadi bingung dan tidak berani mengaku kepada Suma Ceng Liong
dan isterinya, hanya berani menceritakannya kepada gurunya, yaitu Suma Ciang Bun. Gurunya inilah yang
kemudian memberi tahukannya kepada Suma Ceng Liong berdua.
Akan tetapi ketika itu, Suma Lian sedang belajar silat kepada kakek Gak Bun Beng dan baru berusia tiga
belas tahun. Oleh karena itu ayah ibunya menjawab bahwa karena anak itu masih belum dewasa, maka
urusan pernikahan ini sebaiknya pembicaraannya ditunda dan kelak akan diserahkan kepada Suma Lian
sendiri. Mereka memberi tahu kepada Suma Ciang Bun bahwa tentang perjodohan puteri mereka, mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
akan menyerahkan kepada pilihan Suma Lian sendiri. Kalau kelak Suma Lian suka menjadi jodoh Gu Hong
Beng seperti yang diusulkan oleh mendiang nenek Teng Siang In, tentu mereka pun tidak berkeberatan.
Kini, setelah puteri mereka dewasa dan mereka memikirkan perjodohan puteri mereka, tentu saja suami
isteri itu teringat kepada Gu Hong Beng! Sudah lama sekali mereka tidak pernah bertemu dengan Gu Hong
Beng atau pun gurunya, Suma Ciang Bun. Akan tetapi mereka pernah mendengar bahwa kakak mereka itu
kini tinggal sebagai pertapa di lereng Gunung Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han-sui di Propinsi
Shensi.
“Hemmm, entah berapa usianya sekarang. Kalau tidak keliru, ketika kakak Ciang Bun membicarakan
urusan perjodohan itu, Hong Beng berusia sembilan belas tahun dan Lian-ji baru berusia tiga belas tahun.
Kalau sekarang Lian-ji berusia dua puluh tahun, berarti Hong Beng sudah berusia dua puluh enam tahun,”
kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. “Pemuda itu cukup baik, gagah perkasa dan sederhana dan
tentang ilmunya, walau pun mungkin tidak setinggi yang dikuasai Lian-ji, namun tentu selama ini dia telah
memperoleh banyak pengalaman dan kemajuan.”
“Hanya kita tidak tahu apakah dia masih belum memperoleh jodoh, dan kita lebih tidak tahu lagi keadaan
anak kita sendiri. Sebaiknya, biarlah besok kutanyai Lian-ji, apakah selama ini ia sudah bertemu dengan
seorang pemuda yang cocok untuk menjadi calon suaminya.”
“Kalau sudah ada?” tanya suaminya.
“Kita akan desak dia supaya segera diadakan kontak dan kita sebagai orang tua akan membicarakan
dengan pihak sana.”
“Bagaimana kalau ia belum mempunyai pandangan?”
“Wah, kalau begitu aku sendiri pun bingung,” kata Kam Bi Eng.
“Begini saja, kalau memang benar ia masih bebas, kita suruh saja ia pergi berkunjung ke tempat pertapaan
kakak Suma Ciang Bun. Kasihan Bun-toako, hidup seorang diri. Biarlah Lian-ji berkunjung ke sana dan
menyampaikan permintaan kita agar Bun-toako suka tinggal bersama kita di sini. Dengan demikian,
memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu dengan Hong Beng dan kita nanti bicarakan urusan jodoh
itu, kalau-kalau Lian-ji menyetujuinya.”
Kam Bi Eng menyetujui usul suaminya. Bagaimana pun juga, sebagai seorang ibu tentu saja dia pun ingin
sekali melihat puterinya menikah dan biar pun usianya baru empat puluh tahun, karena tidak mempunyai
anak lain kecuali Suma Lian, maka Kam Bi Eng juga mendambakan adanya seorang cucu yang mungil.
Demikianlah, pada keesokan harinya, Kam Bi Eng mengajak puterinya bercakap-cakap. Dipancingnya
puterinya itu dalam sebuah pembicaraan tentang perjodohan. Suma Lian tersenyum memandang ibunya.
“Aihhh, Ibu ini! Pagi-pagi bicara tentang perjodohan! Siapa sih yang memikirkan soal jodoh?” katanya
sambil tertawa.
Kam Bi Eng adalah seorang yang juga berwatak lincah jenaka, akan tetapi ia memiliki ketegasan.
“Hentikan main-main itu, anakku. Ingat, berapa usiamu sekarang?”
“Berapa, ya? Dua puluh tahun lebih kukira.”
“Nah, biasanya seorang wanita yang berusia dua puluh tahun lebih telah menggendong seorang anak.
Apakah engkau sama sekali belum memikirkan urusan perjodohan? Aku dan Ayahmu menyerahkan
pemilihan calon suami kepadamu, maka aku ingin sekali tahu apakah selama ini engkau sudah bertemu
dengan seorang pria yang kau anggap cocok untuk menjadi calon suamimu?”
“Wah, Ibu ini ada-ada saja. Selama ini aku tekun berlatih silat, mana ada kesempatan untuk memikirkan
soal itu? Tidak, Ibu, aku belum mempunyai pilihan siapa pun juga.”
“Sudahlah kalau begitu. Sekarang, ayahmu dan aku minta agar supaya engkau suka mengundang paman
tuamu Suma Ciang Bun. Kasihan dia, hidup mengasingkan diri dan seorang diri pula. Engkau kunjungilah
dia dan atas nama kami, undanglah dia ke sini. Sebentar, kupanggil ayahmu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Bi Eng lalu memanggil suaminya yang berada di ruangan belakang. Suma Ceng Liong datang dan dia
pun membenarkan apa yang dikatakan isterinya.
“Benar, Lian-ji. Kami merasa kasihan kepada Bun-toako. Engkau pergilah ke sana dan katakan bahwa
kami mengundang dia untuk datang dan tinggal di sini bersama kita.”
“Akan tetapi, di manakah paman Ciang Bun tinggal?”
“Dia bertapa di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han Sui, di Propinsi Shensi.
Carilah dia sampai dapat, anakku, dan bujuklah dia supaya suka ikut bersamamu ke sini. Kami sudah rindu
padanya dan katakan bahwa kami ingin sekali agar dia tinggal bersama kami di sini, sedikitnya untuk
beberapa waktu lamanya, syukur kalau dapat selamanya. Dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi, Lian-ji.”
Suma Lian mengangguk. Memang tidak enak rasanya tinggal di rumah saja, dan ia pun tidak mengira
sama sekali bahwa selain mengundang paman tuanya, juga kedua orang tuanya itu mengharapkan ia
bertemu dengan Gu Hong Beng yang sudah ditunangkan dengannya secara diam-diam oleh mendiang
neneknya!
Beberapa hari kemudian, setelah membawa bekal pakaian beserta uang secukupnya, berangkatlah Suma
Lian meninggalkan rumah orang tuanya. Kini ia sudah berbeda lagi dengan ketika dia pulang, karena dia
sudah dibekali dua macam ilmu yang membuat dirinya menjadi semakin lihai. Dan di pinggangnya kini
terselip sebatang suling emas!
Seperti juga sumoi-nya, Li Sian, ia mampu mempergunakan setiap ranting kayu untuk menjadi pedang dan
memainkan ilmu Lo-thian Kiam-sut. Akan tetapi dengan suling emas itu ia merasa lebih mantap dan lebih
percaya akan kemampuan diri sendiri.
Perjalanan yang dilakukan Suma Lian cukup jauh, menuju ke barat melalui Propinsi Honan dan Shensi.
Kalau pulangnya, akan lebih mudah mengambil jalan air, yaitu naik perahu mengikuti aliran Sungai Kuning,
akan tetapi berangkatnya, ia mengambil jalan darat. Namun, bagi seorang gadis perkasa seperti Suma
Lian, perjalanan itu bahkan sangat menggembirakan dan ia sama sekali tidak khawatir akan adanya
gangguan di dalam perjalanan karena ia sudah membawa bekal ilmu kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi, baru beberapa hari ia meninggalkan Cin-an dan tiba di perbatasan Propinsi Hopei karena dara
ini mengambil jalan lurus ke barat, ia memasuki sebuah kota kecil, di perbatasan itu dan oleh karena hari
sudah mulai gelap, ia mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu. Dia tidak menyangka di tempat itu
ia bertemu dengan pengalaman yang berbahaya!
Sore hari itu, setelah memasuki kota Bun-koan yang tidak berapa besar. Suma Lian segera menoleh ke
kanan kiri untuk mencari rumah penginapan. Hari itu ia melakukan perjalanan sehari penuh melalui jalan
berdebu dan ia merasa tubuhnya lelah, panas dan kotor. Ia ingin mandi, kemudian mencari makan malam
yang enak sebelum beristirahat semalam suntuk agar tenaganya pulih kembali dan besok dapat
melanjutkan perjalanan pagi-pagi dengan tubuh segar.
Kota itu tidak besar dan ternyata hanya mempunyai sebuah rumah penginapan yang tidak berapa besar.
Keadaan rumah penginapan itu terlalu kotor bagi Suma Lian. Akan tetapi, gadis ini pernah hidup dalam
keadaan yang serba sederhana bahkan sangat kekurangan ketika ia mengikuti gurunya hidup sebagai
orang yang miskin, maka ia tidak dapat terlalu banyak memilih dan tidak pula merasa jijik ketika ia akhirnya
memperoleh sebuah kamar yang tidak besar dan agaknya jarang dibersihkan. Ia hanya minta agar kain
alas tempat tidur dan bantalnya diganti dengan yang bersih, dan untuk itu ia harus mengeluarkan beberapa
uang kecil untuk pelayan.
Hanya dengan mengeluarkan uang persenan tambahan pula maka dia akhirnya bisa memperoleh cukup
air untuk mandi. Tubuhnya terasa segar dan nikmat setelah mandi bersih dan mengenakan pakaian
pengganti, dan atas petunjuk pelayan yang sudah dua kali menerima hadiah uang kecil darinya itu, ia
memperoleh keterangan di mana ia bisa membeli makan malam yang enak.
Benar saja, restoran kecil itu ternyata dapat menyuguhkan makanan yang cukup lezat, terutama sekali
masakan udang kegemarannya. Harganya pun tidak mahal. Dengan puas Suma Lian kembali ke kamar di
rumah penginapannya, siap untuk tidur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selagi ia berjalan melalui lorong menuju ke kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara anak laki-laki yang
merengek, datangnya dari kamar di sebelahnya.
“Aku mau pulang! Ah, antarkan aku pulang, atau aku mau pulang sendiri. Aku tidak mau lagi melanjutkan
perjalanan dan ikut denganmu!” Suara itu jelas suara seorang anak laki-laki dan suaranya terdengar seperti
anak yang ketakutan.
Karena tertarik, dan lorong di mana kamar-kamar berjajar itu sepi, Suma Lian kemudian menghentikan
langkahnya dan mendengarkan.
“Hushhhhh, jangan ribut-ribut,” terdengar suara seorang laki-lagi, suaranya membujuk. “Kalau sampai
terdengar olehnya dan dia menyusul ke sini, tentu kita akan dibunuh, terutama sekali engkau.”
“Ahh, kenapa wanita itu hendak membunuh aku? Kenapa?” Anak itu membentak.
“Ssttt, dia adalah musuh ibumu. Dan hanya ibumu yang dapat melawannya, dapat melindungimu, karena
itu aku akan mengantar pada ibumu. Ia berada di kota So-tung, tak jauh dari sini. Besok pagi-pagi kita ke
sana dan sekarang diamlah, kita sembunyi di sini...“
Anak itu tidak terdengar merengek lagi. Suma Lian tentu saja merasa heran mendengar ucapan laki-laki
itu. Siapakah yang ingin membunuh seorang anak kecil dan mengapa? Akan tetapi, jangan-jangan laki-laki
itu hanya menakut-nakuti saja dan karena bukan urusannya, maka ia pun melangkah menuju ke kamarnya
dan merebahkan diri setelah membuka sepatunya.
Akan tetapi, percakapan di kamar sebelah itu membuat ia tidak mudah untuk pulas. Perhatiannya tetap
saja tertuju ke kamar sebelah dan kewaspadaannya tetap berjaga-jaga, siap untuk turun tangan menolong
kalau-kalau benar ada bahaya mengancam anak di sebelah itu!
Akhirnya, karena tidak terjadi sesuatu sampai jauh hampir tengah malam, Suma Lian mulai mengantuk.
Ketika ia hampir tertidur, tiba-tiba saja telinganya yang masih dalam keadaan waspada itu menangkap
sesuatu yang mencurigakan, suara gerakan di atas genteng! Sedikit suara ini saja sudah cukup baginya
untuk terbangun.
Cepat disambarnya sepatunya, dipakainya dan ia pun membuka daun jendela, lalu tubuhnya sudah
meluncur keluar dari jendela kamarnya. Pada saat itu, dia melihat seorang laki-laki yang menggendong
seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun, juga melompat keluar dari jendela kemudian
melarikan diri.
Itulah orang yang tinggal di kamar sebelah, pikirnya. Agaknya laki-laki itu pun sudah mendengar akan
suara mencurigakan di atas genteng dan kini dia mengajak anak itu melarikan diri. Dan benar saja, pada
saat itu pula, dari atas genteng menyambar turun bayangan orang yang berseru dengan halus.
“Hemmm, engkau hendak lari ke mana?“
Mendengar ini laki-laki yang menggendong anak itu mempercepat larinya. Terkejutlah Suma Lian melihat
bahwa laki-laki itu ternyata dapat berlari cepat sekali, bukan larinya orang sembarang melainkan larinya
orang yang menguasai ilmu berlari cepat dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat!
Akan tetapi wanita itu, bayangan yang membentak tadi, juga dapat berlari cepat melakukan pengejaran.
Melihat kejadian ini, Suma Lian juga mengerahkan tenaganya dan ikut mengejar pula. Untung baginya
bahwa malam itu bulan bersinar terang sehingga ia dapat melihat jelas dua bayangan yang saling
berkejaran itu. Laki-laki yang menggendong anak itu dapat berlari cepat sekali, akan tetapi pengejarnya
agaknya lebih lihai lagi sehingga jarak di antara mereka menjedi semakin dekat.
Suma Lian yang khawatir kalau-kalau dua orang itu terkejar dan terbunuh, mempercepat larinya dan ketika
laki-laki itu menghilang ke dalam sebuah hutan kecil, pengejarnya meragu dan berhenti sebentar di luar
hutan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Lian untuk mempercepat larinya dan membentak,
“Hai, engkau yang berniat jahat, tunggu dulu!” bentakannya nyaring sehingga membuat wanita yang tadi
melakukan pengejaran itu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang mereka berdiri berhadapan, dalam jarak antara dua meter. Sinar bulan cukup terang sehingga
walau pun tidak sangat jelas, namun mereka dapat saling melihat dan keduanya diam-diam merasa heran.
Suma Lian melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan nampak seperti seorang penjahat. Sebaliknya
malah, dia seorang wanita muda, seorang gadis yang cantik jelita, matanya lebar dan sikapnya gagah
sekali.
Akan tetapi, wanita itu agaknya marah oleh gangguannya. Begitu mereka berhadapan, ia menegur Suma
Lian, suaranya nyaring dan ketus.
“Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan orang lain dengan lancang? Mau apa engkau mengejar
aku?”
Suma Lian tidak marah, hanya ia merasa heran mengapa ada seorang gadis secantik dan segagah ini
berhati kejam hendak membunuh seorang anak kecil.
“Aku mengejar untuk mencegah engkau melakukan suatu kejahatan, Sobat! Mengapa pula engkau
mengejar orang yang membawa seorang anak kecil tadi? Tidak usah kau lanjutkan niatmu yang jahat itu...“
“Lancang kau! Kalau aku mengejar mereka, engkau mau apa? Apamukah laki-laki itu?”
“Bukan apa-apa. Aku kebetulan sedang bermalam di kamar dekat kamar mereka dan mendengar bahwa
mereka takut kepadamu yang hendak membunuh, maka aku lalu ikut pula mengejar. Kalau engkau
lanjutkan pengejaranmu, terpaksa aku akan turun tangan menghalangimu.”
“Hemm, manusia sombong dan lancang yang hendak mencampuri urusan orang! Atau mungkin engkau
kaki tangannya, ya? Kalau begitu perlu kuhajar dulu engkau!” Gadis itu sudah menerjang dengan tamparan
ke arah muka Suma Lian.
Tentu saja Suma Lian cepat mengelak dan langsung balas menyerang dengan tak kalah cepatnya. Namun,
gadis itu meloncat ke samping dan kini dia menerjang lagi sambil menghujankan serangan dengan kaki
tangannya, seolah-olah ingin cepat merobohkan Suma Lian agar ia dapat cepat melakukan pengejaran
terhadap laki-laki yang melarikan bocah tadi.
Menghadapi serangan yang luar biasa cepatnya ini, Suma Lian terkejut bukan main. Tak disangkanya
bahwa gadis yang menjadi lawannya ini benar-benar lihai sekali. Serangan gadis itu bukan saja sangat
cepat, akan tetapi juga hawa pukulan yang keluar dari gerakan kaki tangannya amat kuat, tanda bahwa
gadis itu memiliki sinkang yang sudah tinggi tingkatnya. Ia pun cepat melindungi dirinya dengan langkahlangkah
ajaib Sam-po Cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan semua serangan lawan.
Gadis itu menjadi semakin penasaran. “Hemmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian, ya?”
bentaknya. “Nah, terimalah ini!”
Tangan kanannya menyambar cepat dan ada hawa yang panas sekali menyambar dari tangan kanannya
itu, dan kehebatan serangan ini sukar untuk dielakkan lagi oleh Suma Lian. Ia terkejut, maklum akan
hebatnya pukulan lawan, maka ia pun menggerakkan tangan kirinya sambil mengerakkan tenaga Swat-im
Sinkang untuk menyambut pukulan yang mengandung hawa panas itu.
“Dukkk!”
Dua buah lengan yang berkulit putih halus itu saling bertemu. Keduanya terdorong ke belakang dan
keduanya memandang dengan mata terbelalak.
“Swat-im Sinkang...!” teriak gadis yang menyerang itu.
“Hui-yang Sinkang...!” Suma Lian juga berseru heran.
Gadis itu memandang marah, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Suma Lian. “Engkau dari mana
mencuri ilmu dari Pulau Es?” bentaknya.
Suma Lian tersenyum mengejek. “Sobat, engkaulah yang mencuri ilmu dari keluargaku. Aku bernama
Suma Lian, keturunan langsung dari penghuni Pulau Es!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihhhhh...!” Gadis itu berseru dan memandang dengan mata terbelalak.
“Kau… kau... Suma Lian, puteri dari paman Suma Ceng Liong?”
“Benar, dan siapakah engkau?”
“Aku Kao Hong Li...“
“Aihhh...! Engkau puteri bibi Suma Hui...?” seru Suma Lian dan mereka maju saling berangkulan. “Enci
Hong Li, maafkan aku, maafkan kelancanganku tadi.”
”Sudahlah, adik Lian. Sering kali aku datang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong, akan tetapi
engkau belum juga pulang. Tentu ada sebabnya mengapa engkau tadi mencegah aku mengejar orang
yang menculik anak itu.”
Suma Lian merasa kaget setengah mati. “Apa? Dia... dia itu menculik anak itu? Wah, kalau begitu aku
yang bersalah, enci Hong Li.”
Lalu ia menceritakan bahwa tadi ia mendengar anak itu merengek minta pulang. “Dan laki-laki itu
mengatakan bahwa mereka harus cepat melarikan diri darimu yang hendak membunuh mereka, terutama
membunuh anak itu. Maka, ketika melihat betapa mereka melarikan diri dan engkau mengejarnya, aku pun
langsung saja turun tangan hendak mencegahmu. Maafkan aku...“
“Hemmm, penculik itu telah menipu si anak dan engkau pun ikut pula tertipu, adik Lian. Aku melihat dia
melarikan anak laki-laki itu yang berteriak minta dilepaskan dan minta dipulangkan, maka aku melakukan
pengejaran sejak kemarin. Aku kehilangan jejaknya dan baru aku temukan mereka di rumah penginapan
ini.”
“Akan tetapi siapakah dia, Enci? Dan mengapa pula dia menculik anak laki-laki itu? Siapa pula anak lakilaki
itu?”
“Aku juga tidak tahu siapa mereka dan mengapa pula dia menculik anak itu. Ketahuilah, adik Lian, aku
sedang melakukan perjalanan menuju ke rumah orang tuamu, untuk memberi kabar tentang meninggalnya
kakek dan nenek di gurun pasir...“
“Ahhh! Penghuni Gurun Pasir...?”
“Benar, kakek dan nenekku tewas setelah istana itu diserbu banyak datuk sesat, dan setelah memberi
tahukan kepada orang tuamu, aku akan pergi mencari siapa para datuk yang pernah menyerbu ke sana.
Dan engkau sendiri, engkau sudah berapa lama pulang dan sekarang hendak ke mana?”
“Aku diutus oleh orang tuaku untuk mengundang paman tua Suma Ciang Bun agar suka datang ke rumah
kami.”
“Aih, paman Suma Ciang Bun? Dia bertapa di Tapa-san dan agaknya sudah tidak mau lagi mencampuri
dunia ramai. Aku pun pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Ahhh, sungguh tidak kusangka kita akan
saling bertemu seperti ini, adik Lian!”
“Aku pun girang sekali dapat bertemu denganmu, enci Hong Li. Akan tetapi, setelah mendengar
keteranganmu tentang lelaki yang bercaping lebar tadi bahwa dia menculik anak itu, biarlah aku akan
melakukan pengejaran dan menolong anak itu!”
“Tapi, ke mana engkau akan mencarinya, adik Lian? Dan aku pun belum yakin benar, baru mencurigainya
menculik anak, belum ada bukti nyata, bahkan aku tidak tahu siapa dia dan siapa anak itu.”
“Biarlah, Enci. Aku akan menyelidiki. Terpaksa kita harus berpisah di sini, Enci. Engkau melanjutkan
perjalanan ke rumah orang tuaku menyampaikan berita duka itu, dan aku akan pergi berkunjung kepada
paman Suma Ciang Bun setelah menyelidiki penculik itu.”
Kao Hong Li merangkul lagi, merasa sayang untuk saling berpisah. “Aih, kita baru saja bertemu secara
tidak sengaja. Kalau tadi kita tidak sama-sama menggunakan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang,
dunia-kangouw.blogspot.com
entah bagaimana jadinya dengan kita yang saling hantam sendiri. Akan kuceritakan ini kepada orang
tuamu. Ahhh, aku masih ingin sekali bersamamu dan bercakap-cakap lama, adik Lian.”
“Aku pun begitu, Enci. Akan tetapi karena kita berdua sama-sama mempunyai tugas, biarlah lain kali masih
banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi dan bercakap-cakap sepuasnya.”
“Baiklah, adik Lian. Nah, selamat berpisah. Akan tetapi kalau engkau mengejar orang bercaping lebar itu,
berhati-hatilah. Melihat gerakannya ketika lari, kurasa dia bukanlah seorang yang lemah.”
“Engkau benar, enci Hong Li. Akan tetapi aku pun belum yakin benar bahwa dia seorang penjahat yang
menculik anak itu. Mungkin hanya timbul kesalah pahaman saja antara dia dan engkau. Aku tahu ke mana
harus mencarinya karena ketika dia bicara dengan anak itu di dalam kamarnya, dia ada menyebutkan
bahwa mereka akan pergi ke kota So-tung. Aku akan menyusul ke sana.”
“Aku tidak khawatir, engkau tentu akan mampu mengatasinya, Lian-moi.”
Kedua orang gadis itu yang masih saudara misan, saling peluk lagi kemudian Kao Hong Li meninggalkan
tempat itu, berkelebat lenyap di kegelapan bayangan pohon. Suma Lian juga cepat masuk kembali ke
dalam kamarnya dan setelah menggendong buntalan pakaiannya, dia pun meninggalkan kamar rumah
penginapan itu tanpa pamit karena dia sudah membayar sewa kamar itu sore tadi.
Tidak sukar bagi Suma Lian untuk menemukan kota So-tung yang letaknya kurang lebih tiga puluh li dari
kota di mana ia bermalam itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia telah memasuki kota So-tung. Sayang
ia tertinggal jauh sehingga ia tidak lagi melihat bayangan laki-laki bercaping lebar bersama anak laki-laki
itu. Namun, Suma Lian tidak putus asa dan ia pun segera berputar-putar melakukan penyelidikan di
seluruh kota.
Ketekunannya berhasil baik. Ketika berjalan tiba di dekat pintu gerbang barat, ia melihat bayangan orang
berkelebat dan ternyata bayangan itu adalah laki-laki berpakaian serba hijau yang mengenakan caping
lebar, yang semalam melarikan diri bersama anak laki laki yang dikejar oleh Kao Hong Li itu! Akan tetapi,
kini laki-laki itu berjalan seorang diri tanpa menggendong anak laki-laki itu dan nampaknya tergesa-gesa
hendak keluar dari kota melalui pintu gerbang barat.
Melihat ini, Suma Lian juga mempercepat langkahnya keluar dari pintu gerbang itu. Pagi itu masih sunyi
sekali, belum nampak seorang pun manusia di luar pintu gerbang dan Suma Lian melihat betapa laki-laki
bercaping itu menoleh, kemudian melarikan diri!
“Hei, tunggu...!” Suma Lian berseru.
Dan ia pun mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat gadis itu melakukan
pengejaran, laki-laki itu mempercepat larinya. Hal ini membuat Suma Lian semakin curiga dan ia pun
mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga tidak lama kemudian ia dapat menyusul dan bahkan
mendahului, lalu membalik dan menghadang.
“Tunggu dulu!” bentaknya lagi.
Laki-laki itu terkejut bukan main, akan tetapi, ketika melihat bahwa gadis yang larinya melebihi kijang
cepatnya ini bukanlah gadis yang kemarin membayanginya, wajahnya menjadi agak lega.
“Ahh, kukira tadinya engkau adalah orang yang jahat itu, Nona,” katanya, dan sepasang matanya
mengamati wajah Suma Lian penuh perhatian, dan penuh kagum pula.
Sebaliknya, Suma Lian juga memperhatikan orang ini. Seorang laki-laki muda, usianya tentu paling banyak
tiga puluh tahun, agak kurus dan kedua pipinya nampak peyot bagai orang yang pemadatan. Akan tetapi
sepasang matanya tajam mencorong menandakan bahwa dia seorang yang ‘berisi’, dan sinar mata itu
tajam, juga mengandung kekejaman dan kelicikan. Mulutnya tersenyum dan nampak giginya yang agak
menghitam karena banyak yang sudah rusak.
Wajah yang sebetulnya tampan itu nampak tidak menarik lagi ketika dia tersenyum dan diam-diam Suma
Lian bersikap waspada. Orang seperti ini tentu tidak boleh dipercaya, demikian bisik hatinya. Sementara
itu, pria yang kurus itu ketika melihat bahwa yang mengejarnya seorang gadis yang teramat cantik menarik,
memperlebar senyumnya dan melangkah maju sambil menjura dengan sikap sopan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aih, ada urusan apakah engkau mengejar dan menahan aku, Nona? Siapakah nama Nona dan ada
keperluan apakah dengan aku?”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Orang ini biasa mempergunakan topi caping lebar untuk
menyembunyikan mukanya, akan tetapi sekarang dia mengangkat topi itu tinggi-tinggi sehingga nampak
wajahnya yang sebenarnya tampan namun kurus sekali itu.
Dan sepasang mata yang tajam itu, selain mengandung kelicikan dan kekejaman, juga Suma Lian
merasakan adanya kekuatan yang tidak wajar, seperti dimiliki orang yang biasa mempergunakan ilmu sihir.
Hal ini diketahuinya semenjak ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya, sepulangnya dari perguruan. Oleh karena
itu, ia pun bersikap hati-hati.
“Tidak ada urusan antara kita, dan tidak ada perlunya aku memperkenalkan nama. Akan tetapi, semalam
aku melihat engkau melarikan seorang anak laki-laki sehingga timbul keinginan tahuku apa yang terjadi
dengan anak itu? Di mana adanya anak laki-laki itu sekarang dan mengapa engkau melarikannya malammalam
dari rumah penginapan itu?”
Pria itu terbelalak. “Tapi... tapi... kulihat engkau bukanlah wanita yang membayangi dan mengejarku
kemarin...”
“Memang bukan! Aku yang bermalam di kamar sebelah dan mendengarmu melarikan diri. Hayo katakan,
siapakah anak itu dan mengapa pula engkau melarikannya dan di mana dia sekarang?”
“Bukan urusamu, Nona, dan kunasehatkan agar engkau tidak mencampuri urusanku yang sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu.”
“Hemmm, setiap kali hidungku mencium sesuatu yang busuk, tak mungkin aku tinggal diam begitu saja
sebelum aku tahu betul bahwa tidak ada kejahatan dilakukan orang! Bawa aku pada anak itu agar aku
dapat bicara sendiri dengan dia baru aku percaya bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang jahat
terhadap dia!”
Laki-laki ini mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Nona, engkau
masih muda dan cantik, tetapi amat sombong. Engkau tidak memandang sebelah mata kepada orang lain,
agaknya engkau belum mengenal siapa diriku. Aku Liok Cit, tak percuma mempunyai julukan Tok-ciang
Hui-moko (Iblis Terbang Bertangan Racun), dan tidak biasa aku diperintah orang lain! Pergilah sebelum
terlambat!”
Suma Lian belum pernah mendengar nama julukan itu dan ia tersenyum. Ia seorang gadis yang lincah
jenaka dan pemberani, maka mendengar nama julukan itu ia merasa geli.
“Wah-wah, julukanmu demikian hebatnya, seakan-akan engkau ini pandai terbang dan seolah-olah
tanganmu beracun. Kulihat mungkin hanya hatimu saja yang beracun, dan mukamu seperti orang
berpenyakit keracunan yang sudah mendekati liang kubur. Kalau engkau tak mau membawaku kepada
anak itu, sekali dorong engkau tentu akan masuk liang kubur!”
“Bocah sombong!” Liok Cit, laki-laki itu, memaki.
Mendadak dia pun menyerang dengan terkaman tangan kanan ke arah pundak Suma Lian, sedangkan
tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan ini ganas dan berbahaya sekali, namun dengan
mudahnya Suma Lian mengelak sambil mundur dan kakinya mencuat dengan tendangan menyamping,
mengarah lambung lawan.
“Dukkk!”
Liok Cit menangkis tendangan itu dan balas menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Tubuhnya mendoyong
ke depan, kedua tangannya terbuka dan dipergunakan sebagai golok, yang kanan membacok leher, yang
kiri menusuk ke arah dada.
Melihat gerakan orang, Suma Lian maklum bahwa lawan ini memang bukan orang sembarangan, memiliki
gerakan yang cepat dan dari sambaran kedua lengannya pun dapat dilihat bahwa dia memiliki tenaga
dunia-kangouw.blogspot.com
sinkang yang kuat. Akan tetapi ia tidak takut. Ia melindungi kedua tangannya dengan tenaga Inti Bumi yang
dapat menolak semua hawa beracun, dan menangkis sambil mengerahkan Swat-im Sinkang.
“Plak! Plak!”
Kedua pasang lengan bertemu dan tubuh Liok Cit terdorong ke belakang dan dia agak menggigil karena
ketika lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, ada hawa dingin melebihi salju menyusup ke tubuhnya
melalui lengan yang beradu dengan lengan gadis itu.
“Ihhhhh...!”
Dia mengguncang tubuhnya untuk mengusir hawa dingin dan pada saat itu, Suma Lian sudah datang
menyerangnya dengan totokan ke arah pundaknya. Cepat sekali gerakan gadis itu, akan tetapi lebih cepat
lagi gerakan Si Iblis Terbang, karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang.
Suma Lian terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa
dan kiranya pantas memakai julukan Iblis Terbang. Ia mendesak lagi dengan serangan-serangannya, untuk
memaksa orang itu supaya membawanya ke tempat anak yang semalam dibawanya pergi. Kini ia percaya
akan keterangen Hong Li. Orang ini tentulah seorang penjahat lihai yang melakukan penculikan terhadap
anak itu. Buktinya anak itu merengek minta pulang dan tentu kini disembunyikan di suatu tempat.
Liok Cit mengelak sambil berloncatan ke sana-sini. Dia mempergunakan kecepatan gerakannya, namun
dia tidak mampu melepaskan diri dari desakan Suma Lian. Hanya dengan cara berloncatan yang amat
cepat dia selalu dapat menjauh lagi tiap kali sudah terdesak hebat.
“Engkau masih tidak mau menyerah dan membawaku kepada anak itu?” bentak Suma Lian dan tiba-tiba ia
menotok dengan ilmu totok Coan-kut-ci yang baru saja dipelajarinya dari ayahnya.
Ilmu totokan ini adalah ilmu yang berasal dari golongan hitam, merupakan ilmu yang keji dan dahsyat
bukan main. Baru hawa totokannya saja sudah terasa oleh lawan dan Liok Cit juga merasa terkejut. Tadi
ketika gadis itu menggunakan tenaga yang berhawa dingin, dia sudah terkejut dan jeri, kini gadis itu
menyerangnya dengan totokan yang demikian dahsyatnya.
Kembali dia menyelamatkan diri dengan ilmu ginkang-nya. Tubuhnya terjengkang ke belakang seperti
dilemparkan akan tetapi dia selamat dari totokan yang amat dahsyat itu. Tahulah dia bahwa jika
dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka. Akan tetapi susahnya, kalau hendak melarikan diri pun pasti dapat
dikejar karena ilmu berlari cepat gadis itu pun hebat sekali. Diam-diam dia berkeringat dingin, mendugaduga
siapa adanya gadis muda yang demikian lihainya.
Sementara itu, Suma Lian sendiri juga menjadi penasaran. Jelaslah bahwa dalam hal ilmu silat, ia tidak
kalah oleh si baju hijau ini, akan tetapi orang ini sungguh licin seperti belut dan mempunyai ginkang yang
istimewa sehingga selalu dapat menghindarkan diri pada detik terakhir kalau serangannya sudah hampir
mengenai sasaran.
Dengan marah dia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya dan menyerang dengan suling
emasnya yang diputar dengan cepat. Suling itu mengeluarkan gaung merdu seperti ditiup dan berubah
menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah Liok Cit.
Orang ini pun cepat mencabut pedangnya. Melihat gulungan sinar emas menyambar-nyambar, dengan
gugup dia lalu menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.
“Cringgg...!“
Pedang itu seperti terlibat gulungan sinar dan Liok Cit tidak mampu mempertahankan pegangan gagang
pedangnya yang langsung terlepas dari tangannya. Mana dia mampu menandingi Ilmu Koai-siauw Kiamsut
(Ilmu Pedang Suling Siluman) yang baru saja dipelajari gadis itu dari ibunya.
Namun begitu sinar emas menyambar ke arah dadanya, sambil mengeluarkan teriakan melengking tahutahu
tubuh Liok Cit sudah mencelat ke atas sebatang pohon tak jauh dari situ. Hebat memang gerakan ini,
cepat seperti setan terbang saja!
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Lian menudingkan sulingnya ke arah lawan yang berada di puncak pohon itu. “Engkau masih belum
mau menyerah? Biar engkau melarikan diri ke neraka sekali pun, jangan harap dapat terlepas dari sulingku
ini! Cepat turun dan tunjukkan aku di mana adanya anak itu!”
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit menghela napas panjang. Dia maklum bahwa dia kalah, akan tetapi dia masih
mempunyai andalan lainnya untuk menundukkan gadis ini. Dia adalah seorang yang lama berkecimpung di
dunia hitam dan menjadi sahabat baik dari para tosu Pek-lian-kauw sehingga pernah dia mempelajari ilmu
sihir. Tentu saja ilmu ini selalu digunakannya untuk melakukan kejahatan dan kini dia hendak
mempergunakan ilmu ini untuk menundukkan gadis yang membahayakan dirinya itu.
“Baiklah, Nona aku menyerah kalah. Aku bukan musuhmu, bukan orang jahat dan tidak bermaksud jahat
kepadamu. Biarkan aku turun dan mari kita bicara baik-baik, Nona.”
“Turunlah. Tidak usah banyak bicara, asal engkau membawa aku kepada anak itu dan membiarkan aku
bicara sendiri dengan dia, cukuplah. Kalau memang engkau tidak melakukan kejahatan, aku pun tidak suka
mengganggu orang yang tidak berdosa,” kata Suma Lian sambil menyimpan kembali suling emasnya di
ikat pinggang, tertutup oleh bajunya.
Dengan gerakan bagai seekor burung melayang turun, Liok Cit meloncat turun dari atas puncak pohon itu
dan berdiri di depan Suma Lian. Diam-diam gadis ini amat kagum dan memujinya. Ginkang orang ini
memang hebat sekali, pikirnya, dan ia sendiri masih kalah setingkat dalam hal meringankan tubuh. Untung
bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga, ia masih menang jauh sehingga tadi ia mampu membuat orang ini
tidak berdaya.
Akan tetapi, kini Liok Cit merangkapkan kedua tangannya seperti orang menyembah di depan dada,
matanya memandang tajam penuh wibawa dan suaranya terdengar halus, namun mendesis dan
mengandung pengaruh yang kuat pula. “Aku seorang sahabat, Nona, bukan musuh. Aku bermaksud baik
kepadamu. Lihat, mukamu penuh keringat, usaplah dulu keringatmu baru kita bicara.”
Otomatis, Suma Lian mengusap sedikit keringat di dahinya dengan ujung lengan baju. Tiba-tiba saja gadis
ini maklum. Keparat, pikirnya di dalam hati, orang ini menggunakan kekuatan sihir! Tentu saja ia mengerti
dan dapat merasakan karena bukankah baru saja ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya sendiri? Tadi pun, dari
pandang mata Liok Cit, ia sudah menduga bahwa orang ini menguasai kekuatan sihir dan sekarang
agaknya hendak mempengaruhinya dengan sihir.
Diam-diam gadis ini tersenyum geli dalam hatinya. Baiklah, pikirnya, kalau ia tidak dapat menundukkannya
karena orang ini terlalu cepat mengelak, dia akan pura-pura tersihir agar dapat dibawa ke tempat anak itu.
Akan tetapi, diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya, bukan hanya sekedar untuk melawan ilmu sihir
lawan, melainkan juga untuk mempengaruhi Liok Cit sehingga Liok Cit percaya bahwa ia yang tersihir.
Liok Cit tersenyum girang melihat gadis itu mengusap keringat di dahi dengan ujung lengan bajunya. Hal
itu baginya menjadi tanda bahwa dia sudah berhasil menguasai kemauan gadis itu!
“Mari kubantu menghapus keringatmu, nona man...“
Dia hendak mengatakan kata ‘manis’, akan tetapi tiba-tiba saja dia merasa takut dan tidak sepatutnya
mengatakan itu, juga tidak sepatutnya dia menjamah muka gadis itu, maka dia pun menarik kembali
tangannya dan berkata, “Ah, mana aku berani? Maafkan aku, Nona...“
Sama sekali Liok Cit tidak tahu bahwa perasaan takut dan mengundurkan diri ini berarti bahwa dialah yang
terpengaruh oleh kekuatan kemauan sihir dari nona itu! Dia percaya bahwa dia telah berhasil menyihir
Suma Lian, padahal sebetulnya, kepercayaan itu adalah hasil tanaman kekuatan sihir Suma Lian
kepadanya!
“Marilah, Nona, mari ikut bersamaku!” katanya dengan ramah dan dengan hati gembira karena dia telah
dapat menangkap gadis itu dengan pengaruh sihirnya.
“Kau akan membawa aku bertemu dengan anak laki-laki semalam?” bertanya Suma Lian, masih
mengendalikan lawannya itu.
“Tentu, tentu..., ha-ha-ha, marilah ikut denganku!” kata pula Liok Cit, agak tergesa-gesa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia khawatir kalau sampai kekuatan sihirnya lenyap kekuatannya. Dia mulai ragu-ragu, akan tetapi melihat
betapa lawan yang tadinya galak itu kini menjadi ‘jinak’, dia masih yakin bahwa sihirnya yang menang.
Suma Lian memang belum yakin siapa orang ini dan apa yang telah dilakukan orang ini terhadap anak lakilaki
itu, dan siapa pula anak laki-laki itu. Kao Hong Li sendiri pun hanya menyangka saja bahwa orang ini
telah menculik anak itu tanpa ada keterangan yang jelas. Oleh karena itu, ia tidak mau turun tangan
sebelum ia bertemu dengan anak itu dan mendengar sendiri dari anak itu apa yang sebenarnya yang telah
terjadi dan apa yang telah dilakukan orang ini terhadap dirinya.
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit berjalan cepat memasuki sebuah hutan di bukit kecil yang sunyi. Suma Lian
juga mengerahkan ilmunya berlari cepat, mengikutinya dari belakang. Kadang-kadang lelaki itu
memperlambat larinya dan menoleh, memerintahkan sesuatu yang selalu diturut oleh Suma Lian! Disuruh
berlari lambat, ia menurut, disuruh cepat, ia pun cepat. Hal ini semakin memperbesar keyakinan diri Liok
Cit bahwa gadis itu masih berada dalam kekuasaan sihirnya, padahal justru sebaliknya.
Akhirnya, tibalah mereka di depan sebuah pondok kecil yang nampaknya masih baru. Di belakang pondok
itu nampak banyak sekali pondok-pondok lain yang sederhana sekali, agaknya baru dibuat secara darurat
untuk menjadi tempat tinggal banyak sekali orang. Di sebelah kanan pondok itu terdapat sebuah kereta,
lengkap dengan empat ekor kuda dan selanjutnya sunyi, tidak nampak ada orang di luar pondok.
Suma Lian bersikap waspada. Dia dapat menduga bahwa agaknya ia diajak ke tempat sarang yang
berbahaya di mana tinggal banyak orang yang tentu menjadi teman-teman dari Tok-ciang Hui-moko Liok
Cit ini!
Suma Lian sama sekali tidak tahu bahwa biar pun ia sudah berhasil menguasai Liok Cit sehingga laki-laki
itu membawanya ke tempat di mana adanya anak laki-laki itu berada, sebenarnya ia dibawa ke tempat
yang amat berbahaya. Tempat apakah pondok-pondok baru di tengah hutan di bukit yang sunyi itu?
Kiranya itu adalah sarang sementara yang dipergunakan oleh Sin-kiam Mo-li yang mulai menghimpun
kekuatan dari golongan sesat untuk memperkuat pasukan yang sedang dibentuk dan dibangun oleh Tiatliong-
pang di bawah pimpinan Siangkoan Lohan!
Sin-kiam Mo-li berhasil mengumpulkan sisa orang-orang Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah)
yang dulu pernah merajalela. Perkumpulan ini dahulunya bekas anak buah dari Iblis Baju Hitam yang
membentuk Hek-i Mo-pang, tapi kemudian sisa-sisanya, di bawah pimpinan seorang datuk sesat bernama
Tee Kok, memimpin orang-orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dan mengubah pakaian
mereka menjadi merah dan menamakan perkumpulan itu Ang-i Mo-pang.
Kemudian, perkumpulan ini takluk pada Bi-kwi atau yang bernama Ciong Siu Kwi, murid dari Sam Kwi.
Setelah Bi-kwi mengundurkan diri dari dunia sesat, bahkan menikah dan menjadi orang biasa yang hidup
melalui jalan yang benar, perkumpulan itu pun segera ditinggalkannya dan menjadi gerombolan liar!
Kini, karena mendapat tugas mengumpulkan kekuatan dari golongan hitam, Sin-kiam Mo-li berhasil
menghubungi dan menghimpun mereka. Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja baginya untuk
menguasai mereka dan kini ada kurang lebih lima puluh orang sudah siap di bawah perintahnya, dan untuk
sementara, Sin-kiam Mo-li membangun sarang sementara di bukit itu karena ia ingin mengumpulkan
tenaga-tenaga yang kuat sebelum membawa mereka semua kepada Siangkoan Lohan.
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit adalah salah seorang pembantu Sin-kiam Mo-li, karena Toat-beng Kiam-ong
bertugas di lain tempat, juga bertugas menghimpun para tokoh persilatan untuk bersekutu dengan Tiatliong-
pang. Liok Cit merupakan pembantu yang amat baik, karena selain pemuda ini cukup lihai ilmu
silatnya, walau pun tidak selihai Toat-beng Kiam-ong, namun pemuda ini memiliki dua keistimewaan, yaitu
dia seorang ahli ginkang yang sukar dicari bandingannya dan dia pandai pula ilmu sihir yang pernah
dipelajarinya dari para tosu Pek-lian-kauw.
Sin-kiam Mo-li yang cerdik itu kini memberi sebuah tugas istimewa kepada Liok Cit, yaitu menculik seorang
anak laki-laki yang tinggal di sebuah dusun yang aman dan kecil. Putera sebuah keluarga petani biasa!
Memang aneh bagi orang lain, akan tetapi Sin-kiam Mo-li adalah seorang wanita yang cerdik sekali.
Ia teringat akan seorang yang tenaganya sangat boleh diandalkan untuk bisa membantu persekutuan
mereka. Orang itu bukan lain adalah seorang wanita yang dahulu bernama Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bikwi
(Setan Cantik), seorang datuk sesat yang luar biasa lihainya, murid terkasih dari Sam Kwi (Tiga Setan).
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau saja ia mampu membujuk atau memaksa Bi-kwi menjadi sekutu mereka, tentu Siangkoan Lohan
akan girang sekali dan persekutuan mereka akan menjadi kuat. Selain lihai, Bi-kwi juga amat cerdik.
Seperti telah diceritakan dalam kisah SULING NAGA, Bi-kwi telah bertobat setelah ia bertemu jodohnya,
yaitu seorang pemuda petani biasa bernama Yo Jin. Demi cintanya, Bi-kwi rela meninggalkan
kehidupannya sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, menjadi isteri Yo Jin dan hidup sebagai petani biasa
di dusun itu, sama sekali tidak pernah mau mencampuri urusan dunia persilatan.
Bahkan ia selalu bersikap wajar sehingga semua penghuni dusun itu tidak seorang pun mengetahui bahwa
isteri Yo Jin adalah seorang wanita yang lihai bukan main! Bahkan setelah mereka memiliki seorang anak
laki-laki yang mereka beri nama Yo Han, anak ini sama sekali tidak pernah dilatih silat oleh ibunya, sesuai
dengan keinginan ayahnya.
Nama Bi-kwi sudah dilupakan oleh dunia persilatan, bahkan para pendekar pun tidak ada yang
mengetahuinya. Biar pun pada akhir kehidupannya sebagai seorang ahli silat, Bi-kwi telah menebus dosadosanya
dengan jasa yang besar, yaitu menyelamatkan Kao Hong Li dari tangan Sin-kiam Mo-li, Bi-kwi
dianggap sudah hilang dari dunia persilatan! (baca kisah Suling Naga)
Tetapi tidaklah demikian bagi Sin-kiam Mo-li! Wanita ini tidak pernah lupa bahwa Bi-kwi pernah
menggagalkan usahanya, dan diam-diam ia pun lalu menyebar orang-orangnya untuk melakukan
penyelidikan di mana adanya wanita bekas musuhnya itu. Dan orang-orang yang disebarnya untuk
melakukan penyelidikan justru orang-orang bekas anak buah Ang-i Mo-pang!
Setiap orang Ang-i Mo-pang tentu saja mengenal Bi-kwi yang pernah menaklukkan mereka sehingga
akhirnya, seorang di antara mereka berhasil menemukan Bi-kwi yang telah menjadi seorang isteri dan ibu
rumah tangga keluarga petani Yo Jin di dusun itu. Setelah tempat tinggal Bi-kwi ditemukan, tibalah giliran
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit!
Jagoan ini sudah dipesan dengan teliti oleh Sin-kiam Mo-li supaya tidak menggunakan kekerasan di depan
Bi-kwi, karena kalau hal itu terjadi, tidak akan mungkin dia akan berhasil menculik anak keluarga itu. Maka,
Liok Cit menggunakan kesempatan selagi Yo Jin dan isterinya, Ciok Siu Kwi, sibuk menuai gandum di
sawah, dan mengajak pergi anak mereka yang hanya seorang, yaitu seorang anak laki-laki yang bernama
Yo Han. Dengan kepandaian sihirnya, dengan mudah Liok Cit membuat Yo Han menurut saja diajak pergi
dari dusun itu tanpa ada yang melihatnya.
Setelah sampai di luar dusun, karena masih ngeri membayangkan keterangan Sin-kiam Mo-li bahwa ibu
anak itu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi dan bekas murid terkasih dari Sam Kwi, maka Liok Cit
lalu menggendongnya dan berlari cepat. Larinya yang cepat menarik perhatian Kao Hong Li dan gadis
perkasa itu lalu membayanginya sampai pada malam hari itu ia bertemu dengan Suma Lian.
Demikianlah, tanpa diketahui Suma Lian, dia diajak oleh Liok Cit masuk ke sarang di mana tinggal Sin-kiam
Mo-li dan lima puluh orang lebih anggota Ang-i Mo-pang, juga para pembantunya yang rata-rata memiliki
ilmu yang tinggi!
Dan memang Yo Han, anak laki-laki itu, berada di situ, di dalam kamar dalam keadaan baik-baik saja dan
dijaga oleh beberapa orang anggota Ang-i Mo-pang, diperlakukan dengan baik. Hal ini adalah karena
maksud Sin-kiam Mo-li menculik Yo Han bukanlah untuk mencelakainya, melainkan untuk memaksa ibu
anak itu agar mau bersekutu dan membantu Siangkoan Lohan!
Setelah tiba di depan pondok itu, Suma Lian memperkuat pengaruh sihirnya sehingga dengan penuh
kepercayaan Liok Cit lalu berteriak ke arah dalam pondok dengan nada suara girang, “Mo-li, keluarlah dan
lihatlah siapa yang sudah berhasil kutuntun datang seperti seekor domba ke sini!”
Tadi pun melalui para penjaga, Sin-kiam Mo-li sudah diberi tahu akan datangnya Liok Cit bersama seorang
gadis cantik yang gagah perkasa, maka ia pun sudah siap siaga dan menyuruh semua anak buah untuk
bersembunyi dan siap menanti komando. Ketika ia mendengar seruan Liok Cit, hati Sin-kiam Mo-li menjadi
gembira dan diam-diam ia mengagumi pembantunya itu. Kiranya gadis itu sudah berada di bawah
pengaruh sihir Lok Cit, maka pembantunya itu berani berucap demikian.
Ia pun segera meloncat keluar dari dalam pondok itu sambil tersenyum. Akan tetapi, begitu tiba di luar
pondok, senyumnya menghilang dan matanya terbelalak. Sin-kiam Mo-li sendiri seorang yang pandai ilmu
sihir, maka ia pun segera dapat melihat keadaan yang aneh pada diri Liok Cit itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tadi Liok Cit meneriakkan bahwa ia telah menuntun seekor domba. Akan tetapi setelah tiba di luar, ia
melihat Liok Cit berdiri tanpa daya dengan mata kosong. Di belakangnya berdiri seorang gadis cantik
manis dan gagah yang tersenyum penuh kemenangan. Bukan gadis itu yang berada di bawah pengaruh
sihir, melainkan justru Liok Cit yang kelihatannya kehilangan pengaruh sama sekali!
“Liok Cit, mengapa engkau?” Sin-kiam Mo-li membentak sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Liok Cit teringat dan dia pun sadar, akan tetapi menjadi bingung karena tiba-tiba jari tangan Suma Lian
telah menempel di tengkuknya.
“Aku... aku...,“ katanya gagap dan bingung, tak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Dia hanya
menyadari bahwa jari tangan di tengkuknya itu sekali bergerak dapat saja membuat nyawanya melayang
meninggalkan tubuhnya.
“Hayo cepat suruh anak itu datang ke sini dan bicara denganku!” Suma Lian membentak sambil
menggerakkan jari tangannya yang menempel di tengkuk Liok Cit.
Diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut. Kiranya gadis ini datang untuk membebaskan anak itu! Ia merasa heran
karena belum pernah mengenal gadis itu. Kenapa bukan Bi-kwi yang muncul? Ia lalu melangkah maju dan
tersenyum kepada Suma Lian.
“Adik yang manis,” katanya sambil tersenyum dan dengan sikap yang ramah. “Apakah engkau diutus oleh
Bi-kwi Ciong Siu Kwi untuk datang menjemput Yo Han?”
Suma Lian memandang bingung tidak tahu apa arti ucapan itu karena memang ia tidak mengenal namanama
yang disebutkan tadi. “Aku datang untuk bicara dengan anak laki-laki yang telah dilarikan oleh orang
ini. Suruh dia lekas keluar, aku tidak mempunyai urusan lain dengan siapa pun juga.”
Sin-kiam Mo-li tersenyum lebar, diam-diam ia pun terkejut. Ia tadi telah mengerahkan kekuatan sihirnya
untuk mempengaruhi gadis ini, akan tetapi merasa betapa malah ada kekuatan yang membuat pengaruh
sihirnya itu membalik!
“Ahh, kiranya begitu, adik yang baik. Agaknya engkau telah salah paham dengan Liok Cit. Anak itu adalah
keponakanku dan dia kuajak ke sini untuk berlibur. Ibunya akan datang menjemputnya. Anak itu baik-baik
saja, kalau engkau tidak percaya, tunggulah sebentar, akan kusuruh dia keluar.”
Sin-kiam Mo-li masuk ke dalam pondoknya, diam-diam memberi perintah kepada anak buahnya, kemudian
menuntun seorang anak laki-laki keluar pondok.
Suma Lian memandang penuh perhatian. Seorang anak laki-laki yang usianya sekitar tujuh tahun. Agaknya
pakaiannya baru saja diganti, masih bersih dan baru. Anak yang tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan
sepasang matanya tajam, akan tetapi pada saat itu, pandang matanya kosong.
“Nah, inilah dia Yo Han, keponakanku itu. Anak Han, cici di sana itu mengira bahwa engkau dipaksa
datang ke sini. Katakan bahwa engkau mengunjungi bibi tuamu ini dan menanti jemputan ibumu dan
bahwa engkau senang berada di sini,” kata Sin-kiam Mo-li.
Anak itu memandang kepada Suma Lian dengan bingung, kemudian menoleh ke arah Sin-kiam Mo-li yang
menggandeng tangannya, dan dia pun bicara dengan suara gagap, “Aku... aku senang di sini...“
Suma Lian dapat mencium sesuatu yang tidak beres. Ia sudah tahu bahwa Liok Cit ialah seorang yang
amat lihai dan pandai ilmu sihir. Agaknya penculik anak ini membawanya menghadap kepada wanita cantik
itu yang tentu saja sebagai pemimpinnya lebih lihai lagi.
Ada sesuatu yang nampaknya tidak beres pada anak itu. Matanya demikian tajam dan membayangkan
kecerdikan, akan tetapi sama sekali kehilangan cahayanya. Diam-diam dia pun mengerahkan tenaga
batinnya seperti yang diajarkan ayahnya baru-baru ini, memandang ke arah anak laki-laki itu di antara
kedua matanya dan suaranya terdengar lantang penuh wibawa,
“Anak baik, engkau meninggalkan ibumu tanpa pamit! Engkau dibawa pergi laki-laki ini di luar kehendakmu
dan engkau ingin bertemu dengan ibumu, ingin pulang. Katakan, apa yang telah terjadi?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba anak itu terbelalak dan seolah-olah dia baru teringat akan keadaan dirinya! Dengan kaget dia
memandang ke arah Liok Cit, lalu menoleh kepada Sin-kiam Mo-li dan dia pun berteriak.
“Ibu! Mana ibuku! Katanya di sini...!” Dan anak itu berusaha melepaskan pegangan tangan Sin-kiam Mo-li
untuk melarikan diri.
Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, Sin-kiam Mo-li sudah kembali menangkap anak itu. Kini
marahlah Sin-kiam Mo-li dan dengan mata mencorong dia memandang kepada Suma Lian.
“Hemmm, siapakah engkau yang hendak mencampuri urusan kami?”
“Tidak perlu dikatakan aku siapa, akan tetapi kembalikanlah anak itu, lepaskan biar kubawa dia kembali
kepada orang tuanya,” kata Suma Lian.
“Hemmm, kalau aku menolak?” tantang Sin-kiam Mo-li.
“Terpaksa akan kurobohkan penculik ini terlebih dahulu sebelum aku merampas kembali anak itu dengan
kekerasan!” Suma Lian menjawab tenang, jari tangannya siap menotok tengkuk dan Liok Cit menjadi pucat
wajahnya, tengkuknya terasa dingin seperti terkena es!
Sin-kiam Mo-li yang tadi telah membuat persiapan tetap tersenyum. Wanita ini memang memiliki
pembawaan tenang, penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dan hal ini yang membuat ia semakin
berbahaya.
“Nona, tak perlu engkau menggunakan kekerasan. Anak ini jelas adalah keponakanku sendiri, kami tidak
ingin menyusahkan dia. Kalau memang engkau ingin membawa dia pulang ke rumah ibunya, silakan, akan
tetapi harap kau bebaskan dulu Liok Cit. Dia tak berdosa, dia hanya kusuruh jemput anak ini saja.”
Suma Lian juga tersenyum. Ia seorang gadis yang lincah jenaka dan pintar bukan main. Mana mau
dikelabui begitu saja? “Hemmm, agaknya engkau mengajak tukar. Baiklah, lepaskan anak itu dan berikan
kepadaku, baru aku akan melepaskan tikus ini!”
Diam-diam Sin-kiam Mo-li mendongkol juga terheran. Ia tahu akan kemampuan Liok Cit. Tidak sembarang
orang mampu mengalahkannya, akan tetapi mengapa kini di tangan gadis yang masih amat muda itu, Liok
Cit menjadi seperti seekor tikus saja yang sama sekali tidak berdaya? Demikian lihaikah gadis ini?
“Nah, engkau ambillah keponakanku ini jika memang dia ingin pulang,” katanya sambil melepaskan
pegangannya pada lengan Yo Han.
Entah mengapa, begitu terlepas, Yo Han langsung berlari menghampiri Suma Lian. Ada sesuatu pada diri
gadis itu yang menimbulkan kepercayaan dalam hatinya.
“Enci, benarkah engkau hendak mengantarkan aku pulang ke rumah ayah ibuku?” dia bertanya sambil
memegang ujung baju gadis itu.
“Jangan khawatir, aku pasti akan membawamu pulang,” kata Suma Lian dan dia pun melepaskan
tangannya dari tengkuk Liok Cit.
Orang ini seperti seekor tikus yang baru saja terlepas dari kurungan, cepat lari ke depan menghampiri Sinkiam
Mo-li.
“Jangan lepaskan, ia berbahaya sekali!” katanya.
Sin-kiam Mo-li tertawa. ““He-he-he, siapa yang begitu bodoh hendak melepaskannya? Engkaulah yang
tolol, tidak mampu mengatasi seorang ingusan!”
Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara melengking dan Suma Lian cepat menoleh ke kanan kiri
ketika mendengar ada gerakan di sekelilingnya. Kiranya tempat itu telah terkepung oleh puluhan orang
yang memakai pakaian serba merah, sungguh-sungguh menyeramkan sekali!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, sudah kuduga bahwa kalian bukanlah orang baik-baik!” berkata Suma Lian marah, akan tetapi
sikapnya tetap tenang. “Akan tetapi jangan dikira bahwa aku takut menghadapi badut-badut ini!”
Padahal diam-diam ada suatu hal yang dikhawatirkan Suma Lian, yaitu anak itu. Bagai mana mungkin ia
dapat melindungi anak itu kalau ia harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang!
“Yo Han, dengar baik-baik. Kalau nanti aku berkelahi dengan mereka berusahalah untuk melarikan diri dari
sini!” bisiknya kepada anak itu yang hanya dapat mengangguk.
Akan tetapi mata anak itu memandang ke sekeliling di mana orang-orang berpakaian serba merah telah
bergerak maju mengepung. Dia memang sudah melihat orang-orang itu ketika dibawa pergi ke sini dan dia
tidak tahu siapa mereka, apa pula maksud wanita cantik yang menahannya.
“Adik manis,” kata Sin-kiam Mo-li yang dapat menduga bahwa gadis itu tentu lihai.
Ia justru bertugas untuk menghimpun orang-orang lihai. Mengapa tidak dicobanya untuk mendekati gadis
ini dan membujuknya untuk bersahabat dan bersekutu?
“Di antara kita tak ada permusuhan apa pun dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kami tidak berniat buruk
terhadap Yo Han. Kalau kami berniat buruk, tentu dia tidak selamat sampai sekarang. Nah, setelah engkau
datang memintanya dan kami telah memberikan dengan suka rela, apakah engkau tidak mau menghargai
sikap persahabatan ini? Mari kita bersahabat dan siapa tahu di antara kita dapat bekerja sama!”
Suma Lian semakin waspada. Wanita ini terang mempunyai niat tertentu, pikirnya. Ia tersenyum. Orang itu
menyebut adik, maka biar pun ia tahu bahwa usia wanita itu lebih tua dari ibunya, ia menyebutnya enci.
“Enci, aku adalah seorang yang suka hidup mengembara, seorang diri dan tidak ingin mengikatkan diri
dengan kerja sama dengan orang lain. Dan masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Kalau kalian
memang berniat baik dan mengembalikan anak ini kepadaku, terima kasih dan biarlah aku membawa Yo
Han pulang ke rumahnya. Nah, selamat tinggal! Mari, Yo Han, kita pergi!”
Akan tetapi, tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru marah. “Tahan! Hemmm, engkau ini masih muda akan tetapi
sungguh tinggi hati sekali. Engkau datang tanpa kami undang, engkau menggunakan kekerasan terhadap
pembantu kami, dan sekarang hendak pergi begitu saja? Tidak mungkin! Engkau harus berjanji membantu
kami, mau atau tidak. Kalau melawan celaka. Liok Cit, pergunakan pasukan tangkap gadis ini!”
Biar pun Liok Cit sudah merasa jeri terhadap gadis ini, namun kini di situ ada Sin-kiam Mo-li dan ada
puluhan orang anak buah Ang-i Mo-pang, maka tentu nyalinya menjadi besar. Pula dengan ginkang-nya
yang istimewa, dia masih mampu menyelamatkan diri kalau sampai gadis ini mengamuk.
“Kepung dia, tangkap!” teriaknya.
Serentak belasan orang anggota Ang-i Mo-pang yang belum mengenal Suma Lian dan memandang
rendah, lalu mengurungnya dan serentak mereka itu menubruk hendak menangkap, seperti sekawanan
serigala memperebutkan kelinci yang muda dan segar dagingnya. Mereka berlomba untuk dapat
merangkul dan memeluk gadis yang cantik itu.
Menghadapi sergapan mereka, Suma Lian memutar tubuhnya sambil menggerakkan kedua tangannya dan
terjadilah hal yang membuat Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Belasan orang itu seperti disambar
halilintar, atau bagaikan sekumpulan daun kering yang diterjang angin keras. Mereka terpelanting dan
terbanting jatuh sebelum dapat menyentuh tubuh gadis itu!
Tentu saja Sin-kiam Mo-li terkejut. Belasan orang anggota Ang-i Mo-pang itu bukanlah orang-orang lemah!
Akan tetapi, bahwa hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan gadis itu, juga gerakan memutar tubuh
itu, menunjukkan ilmu yang tinggi tingkatnya! Tahulah ia kini mengapa Liok Cit menjadi seperti tikus yang
tidak berdaya menghadapi gadis ini.
“Pergunakan senjata!” bentaknya dengan penasaran.
Belasan orang anggota Ang-i Mo-pang yang lain, yang marah melihat teman-teman mereka
berpelantingan, sudah mencabut pedangnya. Juga Tok-ciang Hui-moko Liok Cit mencabut pedang. Kini,
dunia-kangouw.blogspot.com
dibantu oleh belasan orang, timbul keberaniannya, bahkan dia bernafsu untuk membalas kekalahannya
tadi ketika melawan Suma Lian.
Melihat belasan orang mengepungnya dengan pedang telanjang di tangan, Suma Lian tersenyum
mengejek.
“Orang yang suka menggunakan kekerasan, pasti akan menjadi korban kekerasannya sendiri. Kalian
membawa pedang, nah, biarlah kalian rasakan bagaimana terluka oleh senjata itu!” Dan ia pun mencabut
suling emasnya dari pinggang.
Melihat suling emas ini, Sin-kiam Mo-li terkejut sekali.
“Suling Emas...?” serunya kaget.
Pernah ia dahulu melawan seorang pendekar yang amat lihai, yang juga menggunakan sebatang suling,
yaitu pendekar Sim Houw, suami dari Can Bi Lan. Pendekar itu hebat sekali ilmunya dan harus diakuinya
bahwa melawan pendekar itu, ia tak dapat menang. Dan kini, gadis ini mengeluarkan pula sebatang suling
emas, walau pun tidak sepanjang suling naga di tangan pendekar Sim Houw itu.
Akan tetapi Liok Cit dan belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang dan mengeroyok Suma
Lian. Sin-kiam Mo-li hanya nonton saja sambil memperhatikan gadis yang bersenjata suling emas itu. Ia
melihat betapa suling itu digerakkan dan bentuknya lenyap, berubah menjadi gulungan sinar emas yang
mengeluarkan suara berdengung seolah-olah suling itu ditiup orang. Dan sekarang, gulungan sinar emas
itu menyambar-nyambar ke sekeliling, menyambut pengeroyokan belasan orang yang mulai menyerang
gadis itu.
Terdengar suara nyaring berdencing berulang kali dan beberapa orang pengeroyok terdorong ke belakang,
bahkan ada dua batang pedang yang terlempar dan terlepas dari pegangan. Demikian hebatnya kekuatan
gulungan sinar keemasan itu.
Liok Cit menusukkan pedangnya dari belakang, mengarah punggung Suma Lian, akan tetapi dengan amat
mudahnya gadis itu menggeser kedua kakinya dan kini hujan senjata pedang itu dielakkannya dengan
gerakan langkah-langkah ajaibnya. Dengan mengandalkan San-po Cin-keng, biar pun dikeroyok orang
yang jauh lebih banyak lagi, Suma Lian akan mampu menyelamatkan dirinya. Yang membuat ia khawatir
adalah memikirkan Yo Han. Anak itu masih berada di pinggiran, agaknya masih mencari-cari kesempatan
untuk melarikan diri karena tempat itu masih terkepung oleh banyak orang berpakaian merah.
Agaknya sekarang Yo Han menjadi nekat. Melihat betapa gadis penolongnya itu masih dikeroyok dan kini
lebih banyak lagi orang berpakaian merah mencabut pedang hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dia
melarikan diri hendak menerobos keluar. Akan tetapi, tiba-tiba Sin-kiam Mo-li meloncat dan sekali menotok,
tubuh anak itu pun terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi!
Sin-kiam Mo-li menjadi marah. “Hemmm, kiranya engkau mempunyai juga sedikit ilmu kepandaian!”
katanya.
Ia pun telah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu kebutan merah bergagang emas dan pedang di
tangan kanan. Dengan sepasang senjatanya ini, Sin-kiam Mo-li meloncat ke depan dan seperti seekor
burung saja, tubuhnya melayang ke atas, lalu menukik ke bawah. Kebutan berbulu merah itu menotok ke
arah ubun-ubun kepala Suma Lian sedangkan pedangnya membabat ke arah leher. Serangan ini cepat,
kuat dan tidak terduga datangnya.
“Ihhh!” Suma Lian terkejut juga.
Tidak disangkanya bahwa wanita cantik itu sedemikian lihainya. Cepat dia mengelak dengan geseran kaki
ke kiri dan sulingnya diangkat untuk menangkis kebutan yang datang dari atas, berusaha untuk membabat
bulu kebutan merah yang menotok ke arah ubun-ubun kepalanya!
Patut diketahui bahwa biar pun senjata yang berada di tangan Suma Lian itu sebatang suling emas yang
tentu saja tidak setajam seperti pedang, namun karena ilmu yang dimainkan itu adalah ilmu pedang
gabungan yang amat lihai, maka sinar suling itu saja sudah mengandung hawa kuat dan ketajaman seperti
pedang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin-kiam Mo-li juga bukan seorang bodoh yang memandang rendah lawan. Ia tadi telah tahu bahwa gadis
yang memegang suling emas ini lihai bukan main dan suling itu sama sekali tak boleh dipandang ringan.
Maka, melihat betapa sinar emas yang menyilaukan mata itu menyambar ke arah kebutannya, dia merasa
khawatir kalau kebutannya rusak atau rontok bulunya. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan dengan
tenaga sinkang ini ia membuat bulu-bulu kebutannya itu berubah kaku seperti kawat baja.
“Traaanggg...!”
Bunga api berpijar dan kembali Sin-kiam Mo-li terkejut karena tangan yang memegang gagang kebutan itu
tergetar hebat dan ada hawa yang dingin sekali menyusup melalui tangannya sampai ke siku lengan!
“Ihhhhh...!“
Cepat ia mengerahkan sinkang untuk melawan dan mendorong hawa dingin itu agar keluar kembali karena
kalau dibiarkan, hawa dingin itu akan terus memasuki tubuhya dan ia bisa celaka. Wajahnya berubah agak
pucat karena hawa dingin itu mengingatkan ia akan keluarga para pendekar Pulau Es. Ia melompat ke
belakang dan membiarkan orang-orangnya yang berpakaian merah untuk terus melakukan pengepungan
dan pengeroyokan.
Akan tetapi orang-orang Ang-i Mo-pang juga merasa jeri dan mereka hanya mengurung sambil berputaran
saja. Liok Cit sendiri pun belum berani menyerang lagi. Melihat betapa Sin-kiam Mo-li yang
mempergunakan pedang dan kebutannya saja kini meloncat mundur dengan kaget, apa lagi dia!
Sementara itu, Sin-kiam Mo-li yang meloncat mundur kini memandang tajam, karena ia teringat akan gadis
yang bernama Pouw Li Sian itu, yang ternyata adalah murid mantu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Dan kini tiba-tiba saja muncul seorang gadis lain yang mempergunakan sinkang yang mengandung hawa
dingin pula.
“Kau... kau murid keluarga Pulau Es?” tanyanya, agak gagap karena bagaimana pun juga, ia merasa jeri
berhadapan dengan orang-orang Pulau Es.
Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu meloncat mundur, tetapi bagaimana pun juga tadi dapat
menahan Swat-im Sinkang yang dia pergunakan untuk menangkis kebutan, dan bulu kebutan itu pun
berubah menjadi kaku seperti kawat baja, bahkan kini dapat mengenal sinkang-nya sehingga dapat
menduga bahwa ia murid keluarga Pulau Es, diam-diam Suma Lian merasa kagum. Wanita ini jelas bukan
orang sembarangan saja. Kalau saja ia dapat lebih lama bercakap-cakap dengan Kao Hong Li dan
mendengar bahwa seorang di antara para pembunuh penghuni Istana Gurun Pasir adalah Sin-kiam Mo-li,
wanita ini tentu akan lain lagi sikapnya!
Mendengar pertanyaan wanita itu, Suma Lian tersenyum. Ia tahu bahwa lawan ini lihai sekali dan dibantu
oleh demikian banyaknya anak buah yang juga tak boleh dipandang ringan. Kalau dia dikeroyok,
keadaannya cukup berbahaya. Apa lagi mengingat akan anak laki-laki yang kini telah tertawan kembali dan
tertotok oleh wanita itu, bahkan kini telah dijaga oleh dua orang berpakaian merah, ia tahu bahwa pihaknya
berada dalam keadaan yang lemah.
Sebaiknya kalau ia dapat minta anak itu secara damai. Ia sendiri tidak khawatir akan keselamatan dirinya
karena ia yakin akan mampu membela diri, akan tetapi bagaimana dengan anak laki-laki itu? Maka ia pun
tersenyum dan menjawab terus terang untuk mempergunakan nama besar keluarganya agar wanita itu
tunduk.
“Enci, engkau sendiri seorang yang berilmu tinggi. Ketahuilah, namaku Suma Lian, aku cucu buyut dalam
dari penghuni Istana Pulau Es. Dan siapakah engkau, dan kuharap engkau suka menyerahkan anak itu
kepadaku supaya dapat kuantar pulang ke rumah orang tuanya.”
Akan tetapi, begitu mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia adalah cucu Pendekar Super Sakti, Sin-kiam
Mo-li terkejut dan cepat memberi aba-aba kepada anak buahnya. “Serang dan tangkap gadis ini, kalau
perlu bunuh!”
Tentu saja Suma Lian terkejut mendengar ini dan dia pun marah. Mukanya menjadi merah dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar mencorong. “Bagus! Kau kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian?
Majulah jika kalian semua sudah bosan hidup!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar perintah Sin-kiam Mo-li, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit lalu memberi aba-aba rahasia kepada
para anak buah Ang-i Mo-pang. Dua puluh empat orang membuat lingkaran mengepung Suma Lian dan
mereka berlari-lari mengelilingi gadis itu.
Suma Lian maklum bahwa mereka itu mempergunakan barisan yang teratur dan kalau ia terpengaruh oleh
gerakan mereka yang berlari-larian mengelilingi, sedikitnya ia akan merasa pening. Oleh karena itu, ia tidak
mempedulikan gerakan mereka yang berlarian mengelilinginya itu.
Ia melihat pula betapa di luar barisan pertama yang berlarian mengelilinginya searah jarum jam itu,
terdapat pula belasan orang berpakaian merah yang juga berlarian, akan tetapi dengan arah yang
berlawanan dari barisan pertama yang berada di sebelah dalam. Ia tidak membiarkan dirinya terpengaruh.
Sebagai puteri Suma Ceng Liong yang telah digembleng oleh ayahnya dalam ilmu sihir, Suma Lian
maklum bahwa dalam barisan ini pun ada unsur kekuatan sihirnya, maka ia pun tidak mau terpengaruh,
melainkan berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, tangan kanan memegang suling emas yang
dilintangkan di depan dada, tangan kiri digantung di pinggang. Biar pun ia nampak santai saja, namun
sesungguhnya ia telah siap siaga dan seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah siap menghadapi serangan.
Terdengar Liok Cit memberi aba-aba dan mulailah barisan sebelah dalam yang terdiri dari dua puluh empat
orang yang mengelilinginya itu mempersempit lingkaran, terpecah menjadi tiga kelompok dan kini delapan
orang yang mengepungnya, masing-masing dua di depan belakang dan kanan kiri dan delapan orang ini
sudah menyerangnya dalam saat yang bersamaan, mempergunakan pedang mereka. Ada pun sisanya,
dua kelompok lagi dari masing-masing delapan orang siap menjadi pasukan lapis ke dua dan ke tiga, dan
masih ada lagi lapisan di sebelah luarnya!
Diserang oleh delapan orang dari delapan penjuru, Suma Lian tidak merasa gentar. Ia seorang gadis yang
cerdik dan ia tidak sudi membiarkan dirinya dikepung oleh barisan berlapis-lapis itu. Kalau ia melayani
mereka, tentu akan habis tenaganya dan agaknya inilah yang akan dilakukan mereka.
Maka, melihat dirinya diserang dari delapan penjuru, ia malah menubruk ke depan, memutar sulingnya dan
dua orang penyerang di depannya terjungkal dan ia pun terus menerobos keluar kepungan itu karena
serangan enam orang lainnya tidak mengenai sasaran dan kepungan itu pun bobol dengan robohnya dua
orang di depannya. Ia sudah dihadang oleh barisan lapis ke dua, juga berjumlah delapan orang yang kiri
langsung menyerangnya sambil lari berputar.
Agaknya Liok Cit cukup pandai sehingga ketika melihat cara Suma Lian membobolkan kepungan lapisan
pertama, dia lalu memerintahkan lapisan kedua untuk menyerang sambil bergerak memutari gadis itu agar
gadis itu tidak mampu membobol satu bagian saja seperti yang dilakukannya tadi.
Akan tetapi, Liok Cit terlalu memandang rendah gadis itu jika ia mengharapkan akalnya berhasil. Kalau
Suma Lian menghendaki, sekali memutar sulingnya, tentu saja ia akan mampu merobohkan delapan orang
penyerangnya itu, sekaligus membunuh mereka. Akan tetapi, ia seorang pendekar wanita yang pantang
membunuh sembarangan saja.
Ia tahu bahwa orang-orang yang berpakaian serba merah itu hanyalah anak buah yang mentaati perintah
atasan. Mereka itu sama sekali tidak bermusuhan dengannya. Yang harus dirobohkan adalah Liok Cit dan
pemimpinnya, yaitu wanita cantik itu. Kalau dia berhasil merobohkan mereka, tentu akan mudah baginya
untuk menyelamatkan anak laki-laki yang mereka culik dan tawan.
Dengan langkah ajaib San-po Cin-keng dan Ilmu Silat Kong-jiu Jip-tin (Tangan Kosong Memasuki Barisan)
mudah saja baginya untuk melangkah dan mengelak dari sambaran delapan batang pedang itu. Dan tibatiba
delapan orang itu menjadi terkejut dan bingung karena tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan
mereka tidak lagi melihat gadis itu, seolah-olah gadis itu dapat menghilang dari depan mata mereka.
Padahal, Suma Lian tadi mempergunakan ginkang-nya dan ia sudah mencelat ke atas, melampaui kepala
delapan orang itu dan dari atas ia melihat betapa Liok Cit memberi aba-aba sambil berdiri di atas gundukan
tanah yang tinggi. Maka, sekali meloncat, kini tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu!
Tentu saja Liok Cit kaget setengah mati ketika melihat gadis itu sekarang meloncat ke arahnya dan
menyerang dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas itu. Dia sendiri seorang ahli ginkang
yang bahkan lebih lihai dari gadis itu. Tetapi, karena serangan yang dilakukan Suma Lian itu tiba-tiba sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
datangnya dan tak terduga lebih dahulu, dia pun tidak sempat untuk mengelak dan terpaksa
mempergunakan pedangnya menangkis sinar emas yang menyambar ke arah dadanya.
“Tranggg...!”
Sungguh hebat pertemuan antara suling dan pedang itu sehingga akibatnya, pedang di tangan Liok Cit
terlepas dan orang ini lalu menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke belakang, bergulingan di atas
tanah! Suma Lian mengejar dan siap untuk menotok dengan sulingnya, akan tetapi, sebatang pedang
menangkisnya.
“Cringgg...!”
Kiranya yang menangkis adalah Sin-kiam Mo-li dan wanita ini merasa kagum bukan main, juga kaget.
Sungguh hebat ilmu kepandaian cucu buyut penghuni Istana Pulau Es ini.
Sementara itu, melihat betapa pedang yang menangkisnya tadi berada di tangan wanita itu yang agaknya
mulai turun tangan sendiri membantu anak buahnya, Suma Lian menjadi girang. Memang inilah yang
diharapkan, yaitu langsung bertanding melawan wanita itu dan Liok Cit! Dia sudah siap menyerang wanita
itu, akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan gerakannya dan berdiri terpukau, melihat betapa sambil
tersenyum licik wanita itu sedang menodongkan pedangnya ke dada anak laki-laki yang dicengkeram
pundaknya!
“Suma Lian, menyerahlah atau terpaksa aku akan menusuk dada anak ini dengan pedangku, baru akan
mengeroyokmu sampai engkau tertawan, hidup atau mati!”
Tentu saja Suma Lian menjadi bingung. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa wanita yang cantik
dan berkepandaian tinggi itu akan melakukan muslihat yang demikan curang, tanpa malu-malu melakukan
siasat licik ini. Dia terlibat dengan mereka hanya untuk menyelamatkan anak laki-laki itu, lalu apa artinya
kalau sampai anak itu terbunuh karena ia mengamuk?
Dan wanita itu bukan orang yang bodoh, agaknya tidak akan segan lagi membunuh anak itu untuk
memaksakan kemauannya, untuk membuat ia tidak berdaya. Akan tetapi, ia pun tak tega meninggalkan
anak itu begitu saja. Ia pun menjadi bingung dan meragu, dan pada saat itu terdengar suara anak laki-laki
itu, lantang dan penuh keberanian.
“Enci, jangan dengarkan gertak kosong iblis ini! Di antara kita tidak ada hubungan apa pun, kalau dia
membunuhku pun, Enci tidak akan rugi apa-apa. Jangan mau diancam dan digertak. Kalau ia mau
membunuhku, boleh bunuh, siapa sih yang takut mati? Akan tetapi, Enci sebagai pendekar harus
menentangnya dan membunuh iblis jahat ini berikut anak buahnya!”
Suma Lian terbelalak memandang anak laki-laki itu. Tidak kelirukah pendengarannya? Anak itu baru
berusia kurang lebih tujuh tahun! Akan tetapi ketika mengeluarkan kata-kata tadi, berdirinya tegak,
matanya mencorong dan suaranya lantang, lebih pantas diucapkan oleh seorang laki-laki dewasa yang
gagah perkasa, yang sedikit pun tidak takut mati! Jelas bahwa anak ini pun bukan bocah sembarangan
saja, tentu keturunan dari pasangan orang tua pendekar!
Mendengar ucapan itu, Suma Lian tersenyum lebar bahkan tertawa. Ia pun mengerti bahwa sikap dan
ucapan anak itu sekaligus menghantam dan menghancurkan siasat wanita itu untuk memaksanya dengan
cara mengancam hendak membunuh anak itu.
Anak itu benar! Kalau ia merasa khawatir akan keselamatan anak itu, tentu saja hal ini merupakan senjata
ampuh bagi lawan, dan lawan dapat memaksakan kehendaknya dengan mengancam anak itu, melakukan
pemerasan kepadanya. Sebaliknya, kalau lawan mengetahui bahwa ia tidak peduli akan keselamatan anak
itu, tentu lawan merasa percuma mempergunakan siasat seperti itu, dan tidak mau membunuh anak itu
dengan sia-sia, apa lagi agaknya anak itu penting bagi mereka.
“Hemmm, iblis betina, engkau sudah mendengar sendiri ucapan bocah yang gagah perkasa itu! Dia bukan
apa-apaku, mau kau bunuh atau kau apakan terserah, tetapi ketahuilah bahwa setelah aku mengetahui
akan kejahatan kalian, aku pasti tidak akan tinggal diam sebelum membasmi kalian dengan sulingku ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin-kiam Mo-li merasa mendongkol bukan main kepada Yo Han. Tak disangkanya anak itu sedemikian
nekat dan beraninya, mengeluarkan kata-kata seperti itu hingga gagallah semua siasatnya terhadap Suma
Lian. Ia merasa gemas dan ingin sekali ia sekali tusuk dengan pedangnya menembusi dada anak itu.
Akan tetapi dia masih membutuhkannya, untuk memancing datangnya ibu anak ini dan memaksa ibunya
untuk membantu gerakan persekutuannya. Kalau kini ia membunuh anak ini, selain Suma Lian akan
menentangnya mati-matian, juga kalau ibunya kelak mengetahui, tentu ia mendapat tambahan musuh yang
berbahaya juga. Ibu anak ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, walau pun ia percaya bahwa
dengan ilmu kepandaiannya, ia mampu mengalahkan Bi-kwi (Setan Cantik) Ciong Siu Kwi itu.
“Hemmm, kau kira aku hanya gertak kosong belaka? Lihat, anak ini tidak akan kubunuh memang, belum
lagi, tetapi aku dapat menyiksanya!” katanya sambil menggerakkan kebutannya di atas kepala anak itu
yang memandang tanpa berkedip, penuh keberanian dan ketabahan.
Suma Lian memandang dengan menahan napas penuh kekhawatiran yang tentu saja disimpannya saja di
dalam hatinya. Ia khawatir kalau-kalau iblis betina itu benar-benar menyiksa anak itu, karena bagaimana
pun juga, walau pun anak itu bukan apa-apanya, tentu saja ia tidak rela kalau anak itu disiksa atau
dibunuh!
Pada saat itu, mendadak terdengar bentakan nyaring, “Sin-kiam Mo-li, berani engkau hendak menyiksa
anakku?”
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita. Suma Lian memandang
penuh perhatian. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya sederhana sekali dari
kain kasar yang kuat, jelas pakaian seorang petani seperti yang biasa dipakai wanita petani.
Wajahnya pun tidak memakai alat kecantikan, namun harus diakui bahwa wajahnya itu cantik menarik, dan
tubuhnya pun masih padat dan langsing. Kulit mukanya, leher dan tangannya nampak kecoklatan, tanda
bahwa ia biasa bekerja di sawah ladang dan terbiasa setiap hari dibakar matahari. Seorang wanita dusun
biasa saja, akan tetapi ada sesuatu yang luar biasa, yaitu pada sinar matanya yang mengeluarkan sinar
tajam sekali.
“Ibu...!” Tiba-tiba Yo Han, anak itu, berseru. “Aku diculik oleh laki-laki kurus di sana itu, atas perintah iblis
wanita ini!”
Wanita itu memandang kepada puteranya sambil tersenyum dan berkata, “Tenanglah, anakku.” Kemudian
ia pun memandang kepada Sin-kiam Mo-li.
Sesaat kedua orang wanita ini saling pandang, seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing,
kemudian wanita dusun itu berkata.
“Sin-kiam Mo-li, engkau tahu bahwa sejak dahulu aku tak pernah lagi mencampuri dunia kang-ouw.
Sekarang aku hidup di dusun bersama suamiku dan puteraku, hidup bersih sebagai petani. Mengapa kini
tiba-tiba engkau masih mengganggu kami dan menculik anakku? Jika engkau hendak menggunakan
anakku sebagai sandera untuk memaksaku melakukan sesuatu, ingatlah bahwa biar engkau membunuh
kami sekeluarga, aku tidak akan sudi membantu engkau melakukan kejahatan, Sin-kiam Mo-li!”
Sin-kiam Mo-li yang masih mengamati wanita itu, tiba-tiba tertawa. “Hiik-hi-hi, sungguh mati, hampir aku
tidak dapat mengenalmu lagi, Bi-kwi! Engkau, yang dahulu cantik jelita, gagah perkasa dan cerdik sekali,
murid tersayang dari Sam Kwi, sekarang telah menjadi seorang wanita dusun yang kotor, dungu dan
berbau pupuk tahi kerbau! Heh-heh-hi-hik, alangkah lucunya. Akan tetapi, janganlah salah sangka, Bi-kwi.
Kalau engkau dapat berubah, kau kira aku tidak dapat? Aku pun sudah meninggalkan dunia hitam dan kini
aku bahkan sedang bergerak bersama para pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa kita dari
cengkeraman penjajah Mancu!”
Bi-kwi, yaitu julukan dari Ciong Siu Kwi, wanita itu, memandang terbelalak tak percaya, akan tetapi sinar
matanya memandang penuh selidik kepada wanita yang dikenalnya sebagai wanita iblis yang pernah
dimusuhinya beberapa tahun yang lalu. Ia maklum betapa cerdik dan liciknya wanita yang berjuluk Sinkiam
Mo-li ini, maka ia pun tahu bahwa nyawa puteranya berada di tangan wanita iblis itu, dan bahwa ia
sama sekali tidak boleh bersikap lengah. Ia harus berhati-hati sekali berurusan dengan iblis betina ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Suma Lian sekarang teringat. Ayah ibunya banyak bercerita kepadanya tentang tokoh-tokoh
di dunia persilatan dan pernah ayahnya bercerita tentang Sam Kwi, tentang dua orang murid Sam Kwi.
Yang seorang bernama Can Bi Lan dan kini menjadi isteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw, yaitu
suheng dari ibunya.
Can Bi Lan mempunyai seorang suci (kakak seperguruan perempuan) yang tadinya merupakan seorang
tokoh sesat yang amat terkenal dengan julukannya Bi-kwi, bernama Ciong Siu Kwi yang menurut ayah
ibunya, kini tokoh sesat itu telah sadar, bahkan telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa
membela para pendekar.
Menurut ayahnya, tokoh itu telah menikah dengan seorang pemuda petani yang berjiwa gagah perkasa
walau pun tidak paham ilmu silat, dan kini kabarnya telah mengundurkan diri dan hidup sebagai petani,
entah di mana. Keluarga itu tidak pernah menghubungi teman-teman lagi, bahkan tidak pernah
mencampuri urusan dunia persilatan.
Tadinya, cerita tentang wanita itu tidak begitu menarik perhatiannya, akan tetapi kini, secara aneh dan
kebetulan, ia dihadapkan dengan tokoh itu! Maka, tentu saja ia merasa amat tertarik dan ingin sekali ia
melihat apa yang akan terjadi antara bekas tokoh sesat itu dan wanita lihai yang berjuluk Sin-kiam Mo-li ini.
Kini ia pun mengerti mengapa anak kecil berusia tujuh tahun itu memiliki sikap seorang jantan, seorang
pendekar. Kiranya dia putera bekas tokoh sesat yang pernah dipuji-puji oleh orang tuanya itu!
Memang tidak bohong kalau Ciong Siu Kwi mengatakan kepada Sin-kiam Mo-li bahwa sudah lama sekali ia
tidak pernah lagi mencampuri dunia persilatan. Jangankan dunia persilatan, bahkan selama ini ia belum
pernah memperlihatkan ilmu silatnya sehingga kecuali suaminya sendiri, tak seorang pun di dalam dusun
mereka atau di dusun-dusun sekitar tempat tinggal mereka tahu bahwa nyonya Yo Jin yang tiap hari
bekerja seperti wanita petani biasa itu sebetulnya ialah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat
yang amat tinggi! Bahkan Yo Han sendiri pun tidak tahu! Yo Jin ayah anak itu, melarang isterinya untuk
melatih putera mereka dengan ilmu silat.
“Ilmu silat tak terpisahkan dari kekerasan,” demikian suami itu berkata. “Dan kekerasan selalu
mendatangkan permusuhan, dendam, kebencian dan kekejaman. Kita tidak boleh membiarkan putera kita
menjadi seorang yang banyak musuh dan akhirnya menjadi seorang manusia yang berhati keras dan
kejam.”
“Kurasa tidak selalu harus begitu, karena ilmu silat selain menjadi ilmu bela diri, juga merupakan olah raga
yang menyehatkan badan dan batin, juga merupakan kesenian yang indah, bahkan kalau tidak keliru
penggunaannya, dapat membuat orang menjadi seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan.”
“Hemmm, bagaimana pun juga alasannya tetap saja akhirnya dia akan mempergunakan kepandaiannya,
yaitu ilmu memukul roboh, melukai dan membunuh orang lain, untuk mempertahankan apa yang
dinamakannya kebenaran dan keadilan itu,” kata Yo Jin. “Tidak perlu kita melihat terlalu jauh atau mencari
contoh yang terlalu jauh, ingat saja pengalamanmu sendiri. Ketika engkau masih berkecimpung di dunia
persilatan, dengan modal kepandaian silatmu, bagaimana keadaan dirimu? Kemudian, lihat keadaanmu
sekarang, semenjak kita menikah, sejak engkau meninggalkan dunia persilatan, sejak engkau tak pernah
lagi menggunakan ilmu silatmu, hidup sebagai petani biasa. Apakah engkau tidak melihat perbedaannya?”
Ciong Siu Kwi tersenyum dan merangkul suaminya. Ia merasa kalah. “Tentu saja aku melihat
perbedaannya yang sangat jauh, jauhnya seperti langit dan bumi! Kini hidupku tenteram, tak pernah
mempunyai musuh, bahkan tak pernah dimusuhi orang.”
“Dan engkau bahagia?”
“Ya, aku berbahagia sekali.”
“Nah, mengapa engkau hendak menyeret anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan pertentangan,
perkelahian, permusuhan itu? Coba bayangkan saja. Andai kata engkau melatih Han-ji (anak Han)
memainkan ilmu silat, andai kata dia telah pandai ilmu silat, tentu terjadi perubahan dalam pergaulannya
dengan teman-temannya. Dia akan ditakuti, disegani, juga tentu ada yang iri. Lalu, kalau ada anak lain
yang juga pernah belajar silat, tentu akan terjadi bentrokan antara dia dan anak itu, karena keduanya tentu
ingin melihat siapa yang lebih unggul. Mereka akan berkelahi, menggunakan ilmu silat mereka, saling
pukul. Kalau tidak anak kita yang terluka, tentu anak yang lain itu dan lalu timbullah permusuhan dan
dunia-kangouw.blogspot.com
dendam antara keluarga kita dengan keluarga anak itu! Tidak, aku tidak suka melihat anak kita menjadi
jagoan dan tukang pukul. Aku lebih ingin melihat anak kita kelak menjadi seorang laki-laki sejati, yang
gagah berani menentang kelaliman, bukan mengandalkan kerasnya tulang dan kulit, akan tetapi
mengandalkan kebenaran yang tidak dipaksakan oleh kekerasan.”
Ciong Siu Kwi yang amat mencinta suaminya mengalah. Demikianlah, sampai berusia tujuh tahun, Yo Han
tidak pernah diajarkan ilmu silat. Namun, anak itu mewarisi watak ayahnya. Dia pemberani, jujur, dan
terbuka, tetapi juga mewarisi kecerdikan ibunya.
Ketika sampai sore suami isteri itu tidak melihat putera mereka, keduanya menjadi amat khawatir. Ciong
Siu Kwi mencari-cari dan bertanya-tanya. Akhirnya ada seorang petani yang melihat ketika dia berada di
luar dusun betapa Yo Han dipondong dan dilarikan seorang laki-laki yang berpakaian serba hijau dan
memakai caping lebar sehingga tidak nampak wajahnya, dan tubuhnya kurus.
Mendengar ini, Ciong Siu Kwi gelisah bukan main. Demikian juga Yo Jin. Keduanya dapat menduga bahwa
putera mereka diculik orang! Yo Jin menarik napas panjang.
“Aih, tak kusangka bahwa setelah bertahun-tahun hidup tenteram, kembali terjadi kekerasan seperti ini.
Aku yakin bahwa ini juga merupakan akibat dari keadaan hidupmu yang dahulu. Balas dendam! Ah, balasmembalas
tiada habisnya, Yo Han yang tidak berdosa ikut pula terseret ke dalam permusuhan dunia
persilatan.”
“Sudahlah, apa pun yang terjadi, kita tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus mencari anakku dan
merampasnya kembali. Kalau perlu, aku akan mempergunakan kepandaian yang dulu. Anakku harus
diselamatkan, dengan taruhan nyawaku!”
Yo Jin tidak dapat membantah, hanya menarik napas panjang ketika melihat isterinya berangkat setelah
membawa perbekalan. Bukan hanya lenyapnya Yo Han diculik orang itu saja yang membuat dia prihatin,
akan tetapi terutama sekali terseretnya kembali isterinya ke dalam arus kehidupan dunia persilatan itulah!
Ia dapat membayangkan betapa isterinya akan bertemu dengan lawan-lawan dan akan selalu diancam
bahaya dalam usahanya merampas kembali putera mereka. Dia sendiri tidak mungkin dapat melakukan
pengejaran. Dan setelah isterinya pergi meninggalkan dusun itu, dia termenung. Diakah yang benar, atau
isterinyakah ketika mereka berdebat apakah putera mereka perlu diajari ilmu silat ataukah tidak?
Dunia begini penuh orang jahat! Cukupkah mengandalkan para petugas keamanan saja untuk menjaga
keamanan keluarga atau diri sendiri? Tanpa ilmu silat, dia sekarang merasa sama sekali tidak berdaya
kalau menghadapi perbuatan jahat orang lain yang menimpa dirinya atau keluarganya.
Akan tetapi, andai kata dia pandai ilmu silat, bukankah kemungkinan puteranya diculik orang lebih besar
lagi karena musuh-musuh mereka akan lebih banyak lagi? Buktinya, demikian banyaknya anak-anak dusun
itu, tak ada penjahat yang mengganggu mereka, kecuali anaknya atau lebih tepat lagi anak isterinya!
Ini hanya disebabkan karena isterinya pernah menjadi seorang tokoh dunia persilatan! Andai kata isterinya
seorang wanita dusun biasa, seorang wanita petani yang lemah, sama sekali tidak ada kemungkinan dan
alasan bagi orang jahat mana pun juga untuk menculik Yo Han!
Demikianlah, Ciong Siu Kwi meninggalkan suaminya yang duduk termenung, dan begitu keluar dari dalam
dusun, ia sudah menjadi Bi-kwi yang dahulu, dalam arti kata sebagai seorang wanita perkasa yang siap
menghadapi bahaya dan lawan. Dia mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat, tangkas seperti seekor
harimau betina yang kehilangan anaknya, siap untuk mencakar dan merobek-robek dada siapa pun juga
yang berani mengganggu anaknya! Bukan lagi sebagai Ciong Siu Kwi yang rajin bekerja di ladang setiap
hari.
Karena ia pernah menjadi seorang tokoh besar dunia persilatan, bahkan seorang datuk sesat yang ditakuti,
banyak pengalaman, maka tidak sulit baginya untuk mengikuti jejak penculik puteranya. Ia pandai mencium
jejak, pandai mencari keterangan di sepanjang perjalanan sehingga akhirnya ia dapat juga tiba di dalam
hutan di mana Sin-kiam Mo-li tinggal untuk sementara waktu dalam tugasnya menghimpun kekuatan.
Kebetulan sekali dia melihat seorang gadis yang cantik dan lihai bertanding dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li
dan para pembantunya, kemudian melihat betapa Sin-kiam Mo-li mengancam hendak membunuh Yo Han!
Melihat Yo Han berada di tangan Sin-kiam Mo-li, mengertilah Ciong Siu Kwi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Benar sekali dugaan suaminya. Kiranya yang menculik puteranya bukanlah orang asing, akan tetapi musuh
lamanya, yaitu Sin-kiam Mo-li. Dan melihat betapa gadis cantik itu tadi dikeroyok dan bahkan Sin-kiam Moli
menggunakan siasat curang untuk memaksa gadis itu menyerah dengan mengancam Yo Han, tahulah
Ciong Siu Kwi bahwa gadis itu adalah orang yang berusaha menolong puteranya.
Sebagai seorang bekas tokoh sesat yang banyak pengalaman, sekali melepas pandang saja Ciong Siu Kwi
sudah dapat menilai keadaan. Ia tahu bahwa gadis itu tentu lihai bukan main. Kalau tidak demikian, tidak
mungkin seorang seperti Sin-kiam Mo-li akan menggunakan cara curang, yaitu dengan mengancam akan
membunuh Yo Han kalau gadis itu tidak mau menyerah.
Dengan adanya gadis selihai itu, ditambah ia sendiri, kiranya mereka berdua tidak perlu takut menghadapi
Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika ia teringat kepada puteranya, hatinya seperti
ditusuk-tusuk. Tidak, tidak mungkin ia menggunakan kekerasan karena setelah dirinya hadir, Sin-kiam Moli
bukan lagi menggunakan gertak kosong belaka jika mengancam Yo Han, seperti yang tadi dilakukannya
terhadap gadis itu. Dan demi keselamatan puteranya, tidak ada jalan baginya kecuali untuk sementara
mengalah. Untuk sementara!
Ketika mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li bahwa wanita itu sedang bergerak bersama para pendekar dan
patriot untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, tentu saja di dalam hatinya Ciong
Siu Kwi tidak percaya seujung rambut pun. Ia bisa menduga ‘gerakan’ macam apa yang dilakukan orangorang
seperti Sin-kiam Mo-li.
Dahulu pun wanita ini bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Memang kedua
perkumpulan itu sejak dahulu menentang pemerintah Mancu, namun sama sekali bukan demi perjuangan
membela rakyat, melainkan untuk kepentingan perkumpulan mereka sendiri. Akan tetapi, semua ini ia
sembunyikan di lubuk hatinya saja dan wajahnya kini berubah, senyumnya menjadi ramah.
“Aih, benarkah itu, Mo-li? Jika begitu, sungguh aku pun ikut merasa girang dan bangga sekali kepadamu!
Dan tentu saja aku mendukung perjuanganmu yang mulia itu. Akan tetapi, mengapa engkau menyuruh
orang membawa puteraku ke sini?”
Sin-kiam Mo-li kembali tersenyum. “Hi-hi-hik, Bi-kwi, apakah kecerdikanmu juga sudah hilang setelah
engkau menjadi seorang wanita petani? Tentu saja bukan percuma aku membawa puteramu yang tampan
dan gagah ini ke sini. Hal ini bukan lain karena kami menginginkan tenagamu, menghendaki bantuanmu
dalam gerakan kami.”
“Ahhh, Mo-li, untuk urusan begitu saja mengapa harus membawa anakku ke sini? Kita pernah menjadi
rekan segolongan, kenapa bersikap sungkan dan ragu? Kalau engkau datang kepadaku dan berterus
terang, tidak perlu lagi engkau menggunakan cara yang membikin aku kaget dan khawatir itu. Tentu saja
untuk gerakan perjuangan menentang kaum penjajah Mancu, aku selalu siap siaga setiap saat. Nah,
biarkan anakku ke sini, aku sudah rindu padanya. Aku akan membantu perjuanganmu itu,” kata Ciong Siu
Kwi sambil mengembangkan kedua lengannya untuk menyambut puteranya.
Akan tetapi Yo Han tak dapat bergerak karena pundaknya masih dipegang dan ditekan oleh tangan Sinkiam
Mo-li, dan ketika Ciong Siu Kwi melangkah mendekati puteranya, tekanan jari tangannya semakin
kuat membuat Yo Han meringis karena nyeri.
“Berhenti, Bi-kwi!” Sin-kiam Mo-li membentak. “Kalau engkau berani maju lagi, sekali menggerakan jari
tanganku ini, anakmu akan mampus!”
Tentu saja Ciong Siu Kwi cepat menghentikan langkahnya dan ia memperlihatkan muka terheran-heran.
“Aih, kenapa, Mo-li? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku dengan senang hati akan membantu
gerakan perjuanganmu? Bebaskan puteraku, dan anggap aku ini sudah menjadi rekanmu seperjuangan!”
Ia berkata sambil tersenyum ramah.
Akan tetapi Sin-kiam Mo-li tetap memandang dengan alis berkerut dan senyumnya yang mengejek.
“Hemmm, Bi-kwi, kau kira aku begitu bodoh untuk mempercayaimu begitu saja? Aku belum lupa ketika
beberapa tahun yang lalu engkau sudah menipuku dengan sikapmu seperti ini, datang dan pura-pura
bersahabat! Aku tak akan pernah melupakan kecerobohanku itu, dan sekarang jangan harap engkau akan
dapat menipuku lagi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Ciong Siu Kwi merasa khawatir sekali. Ia tahu akan kecerdikan dan kelihaian Sin-kiam Mo-li.
Memang, kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika ia membebaskan Kao Hong Li yang waktu itu baru
berusia tiga belas tahun dari tangan Sin-kiam Mo-li yang menculik anak itu, dia pun mempergunakan siasat
bersahabat sehingga akhirnya, bersama dengan pendekar Gu Hong Beng, ia berhasil menyelamatkan Kao
Hong Li dari tangan iblis betina ini. Tentu saja kini Sin-kiam Mo-li tidak percaya lagi padanya! Ia pun tidak
perlu berpura-pura lagi sekarang, tetapi harus menghadapi kenyataan ini dengan tabah. (baca kisah
SULING NAGA)
“Baiklah, Sin-kiam Mo-li. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan demi menebus keselamatan dan
kebebasan puteraku? Engkau tahu, jika sampai engkau mengganggu anakku, melukainya apa lagi
membunuhnya, hemmm, berarti engkau telah menciptakan seorang musuh yang akan terus mengejarmu
sampai engkau mati. Aku akan berubah menjadi setan yang haus akan darahmu, hal ini tentu engkau
tahu!”
Diam-diam Sin-kiam Mo-li, iblis betina yang berhati kejam itu bergidik juga mendengar ucapan yang
mengandung ancaman yang amat mengerikan itu dan dia tahu bahwa wanita ini tidaklah menggertak saja.
“Bi-kwi, engkau bukan orang bodoh, demikian pula aku. Kalau kita bekerja sama, aku yakin kita berdua
akan mencapai hasil yang amat hebat. Engkau tentu maklum pula, bahkan aku tidak ingin bermusuhan
denganmu. Kalau itu yang kuinginkan, tentu sudah kubunuh anakmu ini. Tidak, aku sungguh ingin bekerja
sama denganmu, namun demi keamanan dan agar aku tidak ragu lagi akan kesetiaanmu, terpaksa
anakmu kujadikan sandera.”
Sejak tadi, Suma Lian hanya mendengarkan saja. Kalau dia mau, tentu saja mudah baginya untuk
melarikan diri walau pun puluhan orang anak buah Ang-i Mo-pang masih mengepung tempat itu dengan
senjata di tangan.
Juga para anggota Ang-i Mo-pang berdiri seperti patung, memandang dan mendengar dengan penuh
perhatian. Tentu saja mereka semua mengenal baik Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, karena wanita ini pernah
menjadi pemimpin mereka setelah menaklukkan ketua mereka, beberapa tahun yang lalu ketika Bi-kwi
masih berkecimpung di dunia kang-ouw (baca kisah SULING NAGA).
Kini, melihat betapa dengan sangat cerdiknya Sin-kiam Mo-li menekan Ciong Siu Kwi dengan ancaman
terhadap putera wanita itu, Suma Lian tiba-tiba mengeluarkan suara tertawa yang cukup lantang sehingga
mengejutkan semua orang. Suma Lian kemudian berkata dengan lantang pula.
“Bibi yang baik, bukankah engkau ini bibi Ciong Siu Kwi, isteri dari paman Yo Jin? Aku adalah Suma Lian
dan ayahku adalah Suma Ceng Liong. Aku yakin tentu bibi sudah mengenalnya. Ibuku Kam Bi Eng.”
Diam-diam Ciong Siu Kwi terkejut dan juga girang mendengar nama gadis itu dan nama ayah bundanya.
Tentu saja dia mengenal baik ayah bunda gadis ini, akan tetapi dia mengerutkan alisnya. Sungguh ceroboh
bagi gadis itu memperkenalkan namanya begitu saja di depan Sin-kiam Mo-li!
Akan tetapi, Suma Lian agaknya dapat menduga apa yang dikhawatirkan karena dia segera melanjutkan
kata-katanya, “Bibi Ciong Siu Kwi, perlu apa mendengarkan ocehan iblis betina itu? Dia hanya akan
menipumu dan membohongimu dengan kelicikannya. Jangan percaya padanya. Aku pun pernah
mendengar dari ayah akan namanya yang tersohor jahat. Orang macam ia mana mungkin menjadi patriot
dan pendekar? Jangan takut, Bibi, ancamannya terhadap puteramu hanya gertakan kosong belaka. Kalau
dia berani mengganggu anakmu, aku akan membasmi ia dan semua anak buahnya ini!”
“Enci itu benar, Ibu!” Tiba-tiba Yo Han berseru kepada ibunya. “Lawan saja iblis ini. Aku tidak takut mati!
Mati pun aku akan tersenyum karena aku yakin, dengan bantuan enci yang gagah itu, Ibu akan mampu
membalaskan kematianku dan membasmi iblis ini dan semua anak buahnya...”
Tiba-tiba anak itu berhenti bicara karena tubuhnya menjadi lemas ketika Sin-kiam Mo-li menotoknya
dengan hati gemas.
“Han-ji...!” teriak Ciong Siu Kwi dan Sin-kiam Mo-li tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagaimana pun juga, pada saat melihat puteranya ditotok pingsan, hati ibunya menjadi gelisah sekali dan
tak dapat ditahan lagi dia pun menjerit. Sin-kiam Mo-li memandang dengan hati gembira, penuh
kemenangan.
“Bi-kwi, jangan dikira aku tidak akan berani menggorok leher puteramu! Dan aku pun tidak takut akan balas
dendammu. Tinggal kau pilih saja, bekerja sama dengan kami dan anakmu selamat atau kubunuh dulu
puteramu, baru kami akan membunuhmu, juga suamimu!”
Ciong Siu Kwi menjadi ragu-ragu. Bagaimana pun juga, melihat puteranya, ia khawatir sekali, dan orang
macam Sin-kiam Mo-li memang tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Ancamannya akan dapat
dibuktikan karena hati wanita itu kejam melebihi binatang buas.
“Mo-li... apa... apa yang harus kulakukan?” tanyanya, suaranya melemah dan ia tidak berani memandang
kepada Suma Lian.
“Pertama, engkau harus memperlihatkan kesungguhan hatimu bekerja sama denganku, Bi-kwi. Maka aku
minta agar engkau membantu kami menghadapi gadis ini! Mari kita tangkap gadis ini!”
Seperti orang yang sudah tidak memiliki kemauan sendiri lagi karena putus asa melihat puteranya yang
sedang berada di dalam cengkeraman Sin-kiam Mo-li, Ciong Siu Kwi mengangguk. “Baik!”
Ia lalu tiba-tiba saja bergerak dan menyerang ke arah Suma Lian yang masih berdiri tegak. Gadis ini sudah
menyelipkan suling emasnya di ikat pinggang, akan tetapi selalu siap siaga menghadapi serangan lawan.
Dan sekarang, melihat betapa Ciong Siu Kwi menyerangnya, ia menjadi terkejut dan amat bingung. Ia tahu
benar mengapa wanita ini menyerangnya. Karena terpaksa, untuk menyelamatkan puteranya! Dan ia tidak
dapat menyalahkan wanita ini.
Akan tetapi, serangan Siu Kwi demikian hebat! Ketika tubuh wanita ini menerjang dan tangannya
menyambar ke arah dadanya, tangan itu didahului angin pukulan yang amat dahsyat hingga mengeluarkan
suara bercuitan yang mengerikan. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya.
Suma Lian cepat mempergunakan langkah ajaibnya untuk mengelak dan serangan itu pun mengenai
tempat kosong. Ciong Siu Kwi memang menyerangnya dengan sungguh-sungguh.
Di dalam hatinya, tentu saja Siu Kwi tidak membenci atau memusuhi gadis keturunan keluarga Pulau Es
ini, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat melakukan serangan pura-pura terhadap Suma Lian di depan
Sin-kiam Mo-li yang tentu akan mengetahui apakah serangannya itu benar-benar ataukah hanya mainmain
saja.
Oleh karena itulah, begitu bergerak, Ciong Siu Kwi sudah mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu
Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot), semacam ilmu pukulan yang amat dahsyat. Tentu
saja di dalam hatinya Ciong Siu Kwi berharap agar gadis keturunan keluarga Pulau Es ini telah memiliki
ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya supaya semua serangannya tak akan berhasil.
Maka, gembiralah hatinya ketika ia melihat betapa dengan gerakan langkah yang luar biasa anehnya, tahutahu
gadis itu telah lenyap dan telah berada di samping kanannya sehingga serangannya yang pertama
tadi pun hanya mengenai tempat kosong! Melihat kehebatan cara gadis ini mengelak dari serangannya,
Ciong Siu Kwi lalu membalik ke kanan sambil menyerang lagi, kini lebih hebat karena kedua tangannya
dibuka dan kini kedua tangan itu membacok dari kanan kiri dan mengeluarkan suara berdesing seolah-olah
kedua tangan itu telah berubah menjadi pedang yang tajam! Inilah Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang
amat ampuh, peninggalan dari Sam Kwi. Kedua tangan itu kalau mengenai tubuh lawan dapat membuat
bagian tubuh itu terluka seolah-olah terbacok pedang!
Kembali Suma Lian mengelak dengan gerakan yang aneh. Gadis ini pun kagum bukan main. Tidak heran
kedua orang tuanya pernah menceritakan bahwa wanita ini dahulu menjadi seorang tokoh yang amat
ditakuti di dunia kang-ouw. Baru saja ia mengelak, Ciong Siu Kwi sudah menyerangnya lagi, kini dengan
tendangan bertubi-tubi yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dua macam serangannya yang pertama
dan ke dua.
Meski ia memiliki San-po Cin-keng yang merupakan langkah ajaib, namun menghadapi tendangan Pathong-
twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) itu, terpaksa Suma Lian harus menggunakan keduadunia-
kangouw.blogspot.com
tangannya untuk kadang-kadang menangkis. Akan tetapi ia berhasil pula menghalau serangkaian
tendangan yang ampuh itu.
Diam-diam Ciong Siu Kwi menjadi kagum bukan main dan semakin girang karena seperti yang diharapkan,
gadis ini mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat dan agaknya masih berada di atas tingkat
kepandaiannya sendiri! Dengan kenyataan ini maka bagaimana pun ia menyerang untuk memenuhi
paksaan Sin-kiam Mo-li, ia tidak akan mungkin dapat mengalahkan Suma Lian! Ia menyerang terus, akan
tetapi tidak mau mempergunakan ilmunya yang paling dahsyat, yaitu Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan
Belas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam), walau pun serangan-serangannya juga cukup dahsyat dan
bersungguh-sungguh.
“Hemmm, Bi-kwi, apakah engkau sudah lupa bahwa ada Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang yang kau miliki?
Kenapa tidak mengeluarkan ilmu itu?” Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru.
Bi-kwi sangat terkejut. Iblis betina itu sungguh cerdik dan dia harus berhati-hati. Tanpa menjawab, dia
segera mengubah ilmu silatnya dan kini dia mainkan delapan belas jurus ilmu silat yang hebat ini.
Suma Lian bersikap hati-hati dan dia pun mengimbanginya dengan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti
Pengacau Langit) yang sudah dipelajarinya dengan baik sekali dari kakek Gak Bun Beng. Dan dia pun
mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ketika beberapa kali ia menangkis dan lengannya
bertemu dengan lengan Bi-kwi, maka wanita itu menggigil kedinginan!
Melihat serangan-serangan yang dilakukan Bi-kwi, diam-diam Sin-kiam Mo-li menjadi girang. Semua
serangan itu bukanlah palsu dan tentu saja ia tidak merasa heran kalau Bi-kwi tak mampu mengalahkan
gadis keluarga Pulau Es itu. Maka ia pun menyerahkan Yo Han yang masih tertotok itu kepada dua orang
anak buahnya, memberi perintah agar jangan ragu-ragu membunuh anak itu bila sampai ada yang mau
merampasnya dengan paksa.
Kemudian ia mengeluarkan aba-aba kepada Tok-ciang Hui-moko Liok Cit yang segera mengerahkan
kembali anak buah Ang-i Mo-pang untuk mengepung dan mengeroyok Suma Lian. Sin-kiam Mo-li sendiri
sudah mencabut kebutan dan pedangnya, dan langsung ia terjun ke lapangan pertempuran, menyerang
Suma Lian dengan sepasang senjatanya yang ampuh itu.
Akan tetapi, Suma Lian sudah siap siaga dan kini suling emasnya itu telah berada di tangan kanannya.
Nampak gulungan sinar emas ketika ia memutar sulingnya untuk melindungi dirinya dari sambaran kedua
senjata lawan, kemudian ia membalas dengan hantaman suling ke arah kepala Mo-li, disusul totokan
dengan jari tangan kiri ke arah lambung.
Saking hebatnya serangan balasan ini, Sin-kiam Mo-li terpaksa melompat ke belakang dan pada saat itu,
Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi sudah pula mengirim serangannya dengan tendangan berantainya yang
berbahaya. Juga Liok Cit sudah masuk pula menggunakan pedangnya, namun begitu pedangnya bertemu
sinar suling emas, pedang itu terpental dan terpaksa Liok Cit juga melompat ke belakang.
Tentu saja kini Bi-kwi merasa khawatir sekali. Betapa pun pandainya Suma Lian, kalau ia maju
mengeroyoknya bersama Sin-kiam Mo-li dan pembantunya yang kelihatannya juga lihai itu, tidak mungkin
gadis itu akan mampu bertahan.
Melihat keraguan Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li membentak. “Bi-kwi, hayo cepat bantu kami merobohkan gadis ini.
Ingat, anakmu masih berada di tangan kedua orang anak buahku dan sekali aku memberi isyarat, mereka
akan menggorok lehernya!”
Bi-kwi masih belum menyerang Suma Lian lagi dan mereka bertiga hanya mengepung gadis itu.
“Mo-li, bukankah yang kau kehendaki adalah agar aku mau bekerja sama denganmu? Nah, aku sudah siap
dan mau, oleh karena itu, untuk apa mengeroyok Suma Lian ini? Suma Lian, engkau pergilah dan jangan
mencampuri urusanku! Aku mau bekerja sama dengan Sin-kiam Mo-li untuk menentang pemerintah
penjajah!”
Tentu saja bukan tidak ada artinya Bi-kwi menyuruh Suma Lian pergi. Pertama, supaya gadis itu selamat,
ke dua agar gadis itu mencari bala bantuan untuk menyelamatkan ia dan puteranya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, Suma Lian mempunyai pikiran yang lain lagi. Gadis yang cerdik ini melihat kesempatan bagus
terbuka ketika Sin-kiam Mo-li menyerahkan anak itu kepada dua orang anggota Ang-i Mo-pang.
“Apa, Bibi? Engkau suruh aku pergi? Aku justru hendak membasmi iblis ini. Cepat ambil puteramu!”
Berkata demikian, dengan tiba-tiba sekali ia sudah memutar suling emasnya dan menyerang dengan amat
dahsyatnya kepada Sin-kiam Mo-li!
Gadis ini mempergunakan jurus ampuh dari gabungan Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling
Emas, yang baru-baru ini sudah dilatihnya dengan tekun di bawah bimbingan ibunya. Sambil menyerang,
dia lantas mengerahkan tenaga Inti Bumi, yang merupakan sinkang yang paling cocok untuk memainkan
ilmu pedang dengan suling itu, juga ia mengeluarkan suara melengking nyaring yang mengandung
kekuatan sihir untuk mengejutkan lawan!
Menghadapi serangan ini, Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Kekuatan sihir dalam suara melengking itu
membuat ia terkejut dan kehilangan akal sehingga ia tidak dapat berbuat atau mengeluarkan suara ketika
pada saat itu Bi-kwi sudah meloncat ke arah puteranya. Sin-kiam Mo-li sibuk menghadapi serangan
dahsyat dari Suma Lian itu dan biar pun ia menggunakan pedang dan kebutan untuk melindungi dirinya,
tetap saja ia terdesak sampai mundur beberapa langkah namun belum juga mampu membebaskan diri dari
ancaman gulungan sinar suling emas itu!
Melihat ini, Liok Cit menyergap dari belakang, menusukkan pedangnya untuk membantu pemimpinnya.
Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Suma Lian membalik dan sebuah tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin
Puyuh) menyerempet lambungnya sehingga Liok Cit terpelanting!
Sementara itu Ciong Siu Kwi cukup cerdik untuk dapat menangkap seketika teriakan Suma Lian tadi. Ia
pun cepat meloncat ke arah Yo Han yang dijaga oleh dua orang anggota Ang-i Mo-pang. Gerakannya
demikian cepat, loncatannya seperti seekor singa betina menubruk saja.
Dua orang yang menjaga Yo Han tidak mendapat aba-aba dari Sin-kiam Mo-li, dan mereka tidak sempat
menggerakkan senjata untuk menyerang Yo Han karena tiba-tiba saja Ciong Siu Kwi sudah datang dengan
kedua tangannya menyambar, menampar dan dua orang itu pun terpelanting bagai tersambar petir!
Mereka memang sudah mengenal Bi-kwi dan sudah merasa jeri, maka begitu terpelanting dan terbanting,
mereka tak mampu bangun lagi atau pura-pura pingsan saja agar lebih aman! Ciong Siu Kwi segera
menyambar tubuh puteranya, membebaskan totokannya dan memondongnya, siap untuk melarikan diri.
Tetapi, Sin-kiam Mo-li yang berkat bantuan Liok Cit tadi sudah terbebas dari desakan Suma Lian, cepat
berseru, “Bi-kwi, tahan dulu. Lihat siapa yang berada di tangan kami!”
Ciong Siu Kwi yang sudah siap melarikan puteranya, menengok dan seketika wajahnya berubah pucat
sekali dan seluruh tubuhnya menegang, lalu lemas. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa
Sin-kiam Mo-li akan bertindak sedemikian jauh sehingga ketika ia pergi meninggalkan dusunnya, agaknya
telah ada orang kepercayaan iblis itu yang segera menangkap suaminya! Yo Jin kini telah menjadi
tawanan, kedua tangannya diikat di belakang tubuhnya dan sehelai rantai panjang kini dipegangi oleh dua
orang anggota Ang-i Mo-pang!
Bahkan ketika Yo Han yang juga melihat ayahnya, melepaskan diri dari pondongannya, Bi-kwi tidak
mampu menahannya. Anak itu melorot turun dan lari menghampiri ayahnya. “Ayah...! Ayah...! Lepaskan
ayahku!”
Anak itu kemudian mengamuk, menggunakan kakinya menendang dan tangannya untuk memukul ke arah
dua orang yang memegang rantai yang membelenggu kedua tangan Yo Jin. Akan tetapi Sin-kiam Mo-li
telah menangkap pundaknya dan anak itu pun lemas tak mampu bergerak lagi.
“Ikat setan cilik ini dan satukan dengan ayahnya!” perintahnya.
Dua orang anak buah yang lain segera mengikat kedua tangan Yo Han dan rantai pengikatnya disatukan
dengan rantai pengikat tangan Yo Jin.
“Bawa mereka masuk dan jika kalian melihat Bi-kwi berani memberontak dan melawan aku, jangan raguragu
lagi, bunuh suami dan anaknya itu!” Mendengar perintah ini, empat orang anak buah Ang-i Mo-pang
lalu menyeret Yo Jin dan Yo Han pergi dari situ.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Jin tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada isterinya. Dan pandang mata itu! Bagai ribuan
ujung pedang yang menghujam ke dalam hati Ciong Siu Kwi! Pandang mata suaminya tercinta itu penuh
penyesalan, seolah-olah suaminya itu menegur dan mengingatkannya bahwa mala petaka yang menimpa
keluarganya itu adalah akibat dari kesalahannya di waktu dahulu! Dan memang suaminya benar. Semua ini
terjadi karena ia pernah menjadi seorang Bi-kwi, seorang datuk sesat yang penuh dosa! Kini datanglah
hukuman dari Tuhan!
Dengan kedua mata basah, penuh air mata, kini tanpa menunggu perintah lagi, Bi-kwi langsung maju
menyerang Suma Lian! Serangannya sekali ini penuh semangat, penuh kesungguhan sehingga
mengejutkan Suma Lian.
“Bibi...!” Suma Lian berseru sambil mengelak cepat.
“Engkau harus mati untuk menghidupkan suami dan anakku!” bentak Bi-kwi yang sudah menerjang lagi
dengan sepenuh tenaganya. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li tersenyum girang karena ia merasa yakin bahwa
kini Bi-kwi telah berada dalam cengkeramannya.
“Bagus, Bi-kwi, begitulah baru seorang sahabat sejati!” katanya dan dia pun memberi isyarat kepada Liok
Cit untuk kembali maju. Kebutan dan pedangnya sudah digerakkan untuk menyerang Suma Lian.
Gadis ini sekarang menjadi marah bukan main. “Sin-kiam Mo-li, sungguh engkau iblis kejam dan aku harus
membasmi engkau untuk membersihkan dunia dan menentramkan kehidupan rakyat!”
Sambil membentak marah, Suma Lian mengelak dari serangan Bi-Kwi dan meloncat ke kiri menyambut
terjangan Sin-kiam Mo-li dengan suling emasnya. Karena ia tahu bahwa setelah melihat ancaman terhadap
suami dan anaknya, Bi-Kwi sekarang benar-benar tak berdaya dan membutakan mata, maka wanita itu
dapat merupakan lawan berbahaya sekali.
Bi-Kwi menyerangnya dengan sungguh-sungguh, sedangkan dirinya tentu saja tak tega membalas
serangan wanita itu, karena dia maklum benar bahwa Bi-Kwi memusuhinya secara terpaksa sekali. Dia
menimpakan kemarahannya kepada Sin-kiam Mo-li, bukan karena dirinya, melainkan karena melihat cara
Sin-kiam Mo-li menguasai Bi-Kwi dengan cara yang amat licik.
“Trang-tranggg...!”
Saking hebatnya serangan Suma Lian dengan sulingnya, dua kali sulingnya bertemu dengan pedang dan
kebutan di kedua tangan Sin-kiam Mo-li dan akibatnya iblis betina itu mengeluh dan meloncat jauh ke
belakang. Ketika kedua senjatanya tadi bertemu dengan suling, tiba-tiba saja tangan kiri Suma Lian
menampar. Benturan dengan suling itu membuat tubuhnya terasa dingin seperti disiram air es sehingga ia
harus cepat mengerahkan sinkang-nya karena ia maklum bahwa gadis itu tentu mempergunakan Swat-im
Sinkang, yaitu Tenaga Inti Salju, sinkang yang amat hebat dari pulau es.
Ketika tamparan tangan kiri menyambar, ia pun cepat menyambut dengan kebutannya, dengan maksud
melukai tangan itu atau kalau mungkin melibat pergelangan tangan lawan dengan bulu kebutannya yang
beracun. Tetapi, gadis perkasa itu tidak menarik kembali tangannya sehingga tangan itu bertemu dengan
bulu kebutan dan akibatnya, Sin-kiam Mo-li merasa tubuhnya panas seperti dibakar api.
Itulah yang membuat ia meloncat mundur. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dengan tangan
kanannya yang mempergunakan suling emas mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang yang dingin sekali,
sedangkan detik berikutnya, tangan kirinya yang menampar itu mengandung tenaga panas. Ia sudah pula
mendengar bahwa di samping Swat-im Sinkang yang amat dingin, juga keluarga Pulau Es memiliki Hwiyang
Sinkang atau Tenaga Sakti Inti Api yang amat panas.
Suma Lian hanya mengelak dari serangan-serangan Bi-kwi, bahkan juga serangan yang dilakukan Liok Cit
hanya dielakkannya, karena seluruh daya serangnya ditujukannya kepada Sin-kiam Mo-li. Maka, melihat
wanita ini meloncat mundur, ia pun mengejarnya dengan loncatan dan kembali ia telah menyerangnya
dengan dahsyat dan bertubi-tubi!
Sin-kiam Mo-li berusaha melindungi tubuhnya dengan pedang dan kebutan, akan tetapi hawa pukulan
dahsyat yang dikeluarkan dari tangan kiri dan suling emas di tangan Suma Lian membuat ia kembali
terhuyung ke belakang. Pada saat itu Bi-kwi kembali sudah menghantam dari samping untuk menolong
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin-kiam Mo-li yang terdesak. Suma Lian memutar tubuhnya, sekaligus menangkis pukulan Bi-kwi dengan
tangan kiri dan menangkis pedang Liok Cit dengan sulingnya.
“Dukkk!”
Tubuh Bi-kwi terpental sehingga hampir roboh karena tenaganya membalik sedemikian kuatnya.
“Cringgg...!”
Kembali Liok Cit merasa betapa tangannya yang memegang pedang disergap hawa dingin yang
membuatnya menggigil. Namun dia masih sempat mengeluarkan aba-aba dan belasan orang berpakaian
merah telah menerjang Suma Lian dari segenap penjuru.
Gadis itu memutar sulingnya sambil mengerahkan tenaga dan beberapa orang anggota Ang-i Mo-pang
berseru kesakitan dan pedang mereka terlepas, bahkan ada pula yang roboh karena tidak kuat menahan
tangkisan suling yang amat kuat itu. Akan tetapi, lebih banyak lagi orang berpakaian merah mengepung
dan mengeroyok Suma Lian. Gadis itu hanya mempergunakan sulingnya melindungi diri, dan mencari-cari
dengan pandang matanya. Kiranya Sin-kiam Mo-li sudah menjauhkan diri, berdiri di atas sebuah batu di
bawah pohon dan di depannya terbentang petak rumpun yang hijau subur.
Karena Suma Lian maklum bahwa sekali ia mampu merobohkan Sin-kiam Mo-li, tentu dengan mudah ia
mengalahkan anak buah iblis betina itu dan menyelamatkan keluarga Yo, ia memutar sulingnya sedemikian
rupa sehingga para pengeroyok terpaksa mundur. Dengan menerjang ke kiri, ia merobohkan empat orang
anggota Ang-i Mo-pang dan ia pun lalu menerobos keluar dari kepungan untuk mengejar Sin-kiam Mo-li.
“Iblis betina, mau lari ke mana kau...?” bentaknya sambil berlari cepat melintasi petak rumput sambil
memutar suling emasnya.
“Nona Suma, hati-hati...“ Tiba-tiba Bi-kwi berseru, akan tetapi terlambat karena tubuh Suma Lian tiba-tiba
terjeblos ke dalam sebuah lubang sumur yang berada di bawah rumput hijau subur itu.
Oleh karena sama sekali tidak menyangka dan tidak curiga, Suma Lian tidak mampu menghindarkan
dirinya pada saat kedua kakinya terjeblos ke bawah. Dia hanya dapat mengerahkan ginkang-nya agar
luncuran tubuhnya ke bawah tidak terlampau cepat dan berat. Untunglah bahwa ketika ia terjeblos dan
rumput penutup sumur itu ikut terjeblos, lubang sumur itu terbuka lebar dan ada sinar matahari yang
menerobos masuk ke dalam sumur. Biar pun hanya remang-remang, namun cukup bagi mata Suma Lian
yang tajam terlatih itu untuk dapat melihat apa yang berada di bawah, di dasar sumur dan ia pun terkejut.
Kiranya sumur itu merupakan sumur yang tiada airnya, dan di dasar sumur dipasangi tombak-tombak
runcing menghadap ke atas, siap untuk menerima tubuh siapa pun yang masuk ke dalam sumur! Untung
ada sinar masuk dan ia dapat melihatnya, kalau tidak, besar sekali bahayanya ia akan terluka dan mungkin
tewas!
Kini ia cepat menusukkan suling emas yang masih dipegangnya ke dinding sumur dan ternyata dinding
yang hanya merupakan tanah padas itu, dengan mudah tertusuk suling. Ia pun bergantung pada suling
yang masuk seluruhnya ke dalam padas kecuali ujung yang dipegangnya!
Suma Lian memandang ke bawah. Tombak-tombak itu hanya tinggal satu meter saja di bawahnya. Ia
harus dapat turun ke bawah, berpijak pada ujung mata tombak-tombak itu karena kalau tidak demikian, ia
tidak mempunyai dasar untuk meloncat ke atas.
Sementara itu, dari atas terdengar suara ketawa Sin-kiam Mo-li. Suma Lian tidak tahu betapa Sin-kiam Moli
tadi dengan marah sudah menyerang Bi-kwi dan karena Bi-kwi tidak melawan, maka ia dapat dirobohkan
dengan totokan. Dan Sin-kiam Mo-li tertawa, suara ketawanya terdengar dari bawah sumur oleh Suma
Lian.
“Bi-kwi, ternyata kau hendak berkhianat lagi! Engkau mencoba untuk memperingatkan gadis itu!” bentak
Sin-kiam Mo-li. “Aku akan membunuh suami dan puteramu di depan hidungmu, kemudian membunuhmu
juga!”
Terdengar oleh Suma Lian, betapa Bi-kwi menjawab dengan suara lirih dan nadanya merendah. “Mo-li,
engkau pun tahu bahwa aku baru datang dan aku sama sekali tidak tahu akan lubang jebakan itu. Aku tadi
dunia-kangouw.blogspot.com
berseru memperingatkan karena naluri belaka, bukan kusengaja. Hal itu membuktikan bahwa perbuatan
jahat sudah tercuci bersih dari lubuk hatiku, Mo-li. Karena itu, kalau engkau hendak memaksaku
melakukan kejahatan, biar pun engkau bunuh kami sekeluarga, aku tidak akan sudi menaatimu. Kalau
untuk perjuangan, tentu saja aku sanggup membantumu karena hal itu bukanlah kejahatan, bahkan
merupakan kewajiban para patriot dan pendekar. Akan tetapi, nona Suma Lian ini bukanlah musuh kita,
bukanlah bangsa Mancu yang menjajah bangsa kita!”
Kembali Sin-kiam Mo-li tertawa. “Bi-kwi, sudah kukatakan bahwa engkau kuajak untuk bekerja sama
menentang pemerintah penjajah Mancu. Dan tentang gadis ini, kau lihat sendiri, bukan aku yang
memusuhinya, melainkan ia yang datang memusuhi kami! Pula, engkau harus ingat bahwa ia adalah
keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Pulau Es masih terhitung keluarga dari Kerajaan Mancu! Nah,
kubebaskan totokan padamu, akan tetapi ingat, jika sekali lagi engkau berani melakukan hal yang
merugikan aku dan mencurigakan, jangan harap engkau akan dapat bertemu kembali dengan suami dan
puteramu!”
Setelah dibebaskan totokannya, Bi-kwi lalu bertanya, “Mo-li, bagaimana pun juga nona Suma Lian itu
hanya datang dengan niat menyelamatkan anakku. Ia bukan orang jahat, bukan pula kaki tangan Kerajaan
Mancu. Oleh karena itu, perlu apa membunuhnya? Bukankah lebih baik kalau dia diselamatkan, kemudian
diajak bekerja sama menentang pemerintahan penjajah?”
“Heh-heh-heh, engkau tidak tahu Bi-kwi. Siapa pun yang terjebak ke dalam sumur ini, tentu mampus
karena di dasar sumur sudah menanti banyak tombak yang akan menembus tubuhnya. Ia tentu sudah
tewas, kalau belum, batu ini yang akan membantu supaya kematiannya datang dengan cepat!” Setelah
berkata demikian, Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaganya mendorong batu besar yang tadi diinjaknya.
Batu itu besar sekali, akan tetapi dengan tenaganya yang kuat, Sin-kiam Mo-li akhirnya berhasil
mendorongnya setelah dibantu oleh Liok Cit dan anak buah Ang-i Mo-pang. Batu itu menggelinding ke arah
sumur dan kalau terjatuh ke dalam sumur itu, betapa pun tinggi ilmu kepandaian Suma Lian, pasti ia tidak
akan mampu menyelamatkan diri lagi, tergencet batu dari atas dan tertusuk tombak-tombak runcing dari
bawah!
Bi-kwi hanya dapat melihat dengan wajah pucat, ngeri membayangkan betapa tubuh nona pendekar,
keturunan keluarga Pulau Es itu akan binasa secara menyedihkan tanpa dia mampu berbuat sesuatu.
Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda yang
berseru lantang, “Sin-kiam Mo-li, sungguh di mana-mana engkau hanya menyebar kejahatan!”
Dan pemuda itu lalu meloncat ke arah batu yang menggelinding dan sudah tiba dekat sumur itu. Sekali dia
mendorong, batu itu lalu terpental dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya!
Melihat ini, Bi-kwi terbelalak penuh kagum. Dia maklum betapa sukarnya melakukan perbuatan seperti itu,
membutuhkan tenaga yang bukan main besarnya! Ia memandang penuh perhatian.
Seorang pemuda sederhana saja. Pakaiannya serba putih, wajahnya sederhana, tidak terlalu tampan biar
pun juga tidak buruk, akan tetapi sinar matanya lembut dan mulutnya selalu membayangkan senyum
ramah sehingga wajah itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya.
Sementara itu, melihat pemuda yang baru muncul dan yang sekali mendorong dapat membuat batu yang
amat berat dan besar tadi terpental, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Wajahnya agak berubah dan
sinar matanya membayangkan rasa gentar. Ia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Tan Sin Hong,
atau yang kini dikenal banyak orang kang-ouw sebagai Pek-ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih)!
Akan tetapi, beberapa orang anggota Ang-i Mo-pang tidak mengenal pemuda ini. Walau pun mereka tadi
terkejut juga melihat batu itu terpental oleh dorongan seseorang, akan tetapi melihat bahwa orang itu
hanyalah seorang pemuda sederhana berpakaian putih, mereka mengira bahwa pemuda itu hanya
memiliki tenaga besar saja. Enam orang anggota Ang-i Mo-pang, dengan pedang di tangan, untuk mencari
muka dan jasa, cepat menerjang Sin Hong dengan ganas sekali.
Melihat enam batang pedang menyambar dari semua penjuru, mengarah hampir semua bagian tubuh
berbahaya darinya, Sin Hong tidak menjadi gentar. Dia memutar tubuhnya dan dengan Ilmu Silat Pat-sian
Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), secara beruntun dia mampu mengelak dan menangkis pedang-pedang
itu dengan kedua lengannya, dan kakinya juga membagi-bagi tendangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Empat batang pedang yang bertemu dengan lengannya langsung terpental dan terlepas dari pegangan
pemiliknya, disusul robohnya enam orang itu oleh tendangan Sin Hong. Untung bagi mereka bahwa
pemuda itu bukan seorang pembunuh, maka mereka hanya terpelanting dan terbanting keras saja, tetapi
tidak menderita luka yang membahayakan keselamatan hidup mereka.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru