Kamis, 27 April 2017

Cerita Silat Online 24 Toliongto

Cerita Silat Online 24 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Online 24 Toliongto
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Online 24 Toliongto
“Kau mau bertemu dengan Cioe Kouwnio?” memutus
Tan Yoe Liang. “Boleh! Mudah sekali. Sekarang Pangcoe
dan para tiangloo berada di Louw liong dan Cioe Kouwnio
pun berada di situ. Mari kita pergi ke Louw liong. Sesudah
urusan Boe tong beres, kakakmu akan segera mengadakan
pesta pernikahan untuk mewujudkan idam-idamanmu.
Dan… seumur hidup, kita akan berterima kasih kepada Tan
Yoe Liang Toako… ha..ha..ha….”
“Baiklah, mari kita pergi ke Louw liong,” kata pula Song
Ceng Soe. “Tap Toako, bagaimana… bagaimana Cioe
Kouwnio bisa berada dalam tangan kita?”
“Itulah berkat jasa Liong tauw Toako,” jawabnya sambil
tertawa. “Hari itu, ketika Ciang pang dan Ciang poen Lio
tauw makan minum di sebuah Cioe-lauw, mereka lihat tiga
orang yang tidak dikenal. Sesudah diselidiki, salah seorang
adalah Cioe Kouwnio. Ciang poen Liong tauw Toako
segera mengirim orang untuk mengundangnya. Legakan
hatimu. Cioe Kouwnio sehat walfiat, tak kurang satu apa.”
Boe Kie mengeluh. Sekarang baru ia tahu bahwa hari itu
mereka sebenarnya dikenali. “Jika Giehoe tidak buta, ia
bisa lihat bahwa rahasia sudah terbuka,” pikirnya. “Hai…
aku dan Cie Jiak masih terus mimpi…” Tapi bagaimana
dengan keselamatan Giehoe?” Dia bingung sebab Tan Yoe
Liang tak pernah menyebut-nyebut ayah angkatnya.
Sementara itu si orang she Tan sudah berkata pula.
“Song Heng tee, sesudah kau menikah dengan Cioe
Kouwnio, Go Bie dan Boe tong pay harus menurut perintah
Kay pang. Siauw lim pay sudah berada dalam tanganku.
Ditambah dengan Kay Pang dan Beng Kauw, tenaga kita
bukan main besarnya. Kita pasti bisa mengalahkan orang
2209
Mongol dan merebut negeri. Huh…huh… negara akan
segera menukar majikan.”
Tan Yoe Liang berbicara dengan hati berbunga bunga. Ia
memperlihatkan lagak seolah olah Kay pang sudah merebut
seluruh negeri dan ia sendiri akan segera naik ke tahta
kerajaan. Ciang poen Liaong tauw dan Song Ceng Soe juga
turut ketawa, tapi tertawa mereka tertawa getir.
“Mari kita berangkat,” ajak Tan Yoe Liang. “Song Heng
tee Bok Cit hiap binasa di dekat ini. Kau telah memasukkan
jenazahnya ke dalam gua yang rasanya tak jauh dari sini.
Bukankah begitu? Tadi, kudamu tiba tiba roboh. Apakah
roh Bok Cit hiap menunjukkan keangkerannya? Ha.. ha..
ha!.... ha.. ha.. ha!...”
Kata kata itu membangunkan bulu roma Song Ceng Soe
yang lantas saja berjalan dengan terpincang pincang.
Sesudah ketiga orang itu berlalu, Boe Kie lalu membuka
jalan darah keempat pamannya sambil berlutut ia manggut
manggutkan kepalanya dan berkata, “Soepeh, Soesiok, tadi
titjie berada dalam keadaan terjepit dan tidak bisa
membersihkan diri, sehingga karena terpaksa, titjie telah
melakukan perbuatan berdosa terhadap Soepeh dan
Soesiok. Titjie bersedia untuk menerima segala hukuman.”
Song Wan Kiauw menghela napas panjang, air matanya
mengucur dan ia menengadah tanpa mengeluarkan sepatah
kata.
Jie Lian Cioe segera membangunkan keponakannya dan
berkata dengan suara menyesal. “Perhubungan kita
bagaikan perhubungan tulang dan daging. Hal itu tak usah
disebut sebut lagi. Aku sungguh tidak duga, bahwa Ceng
Soe… Ceng Soe… Hai!... kalau bukan mendengar dengan
kuping sendiri, siapa yang bisa percaya?”
2210
Tiba tiba “srt…!” Song Wan Kiauw menghunus pedang.
“Binatang…!” katanya dengan suara gemetar. “Sam wie
Soe tee, anak Boe Kie, mari kita kejar. Biar kubunuh
binatang itu dengan tangan sendiri.” Seraya berkata begitu,
badannya berkelebat dan ia mengubar puteranya dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan.
“Toako, balik!” teriak Thio Siong Kee. “Kita harus
berdama dulu.” Tapi Song Tayhiap tidak meladeni.
Boe Kie segera mengudak. Dengan cepat ia melewati
sang paman dan lalu menghalang di depannya. “Tio Soe
peh,” katanya sambil membungkuk. “Siesoepeh ingin
bicara. Sebab ditipu, Song Toako telah membuat
kekeliruan. Di hari kemudian, ia pasti akan mendusin. Jika
Toasoepeh mau menghukum, tak perlu tergesa2.”
“Cit tee!... Cit-tee…!” kata Song Wan Kiauw dengan
suara di tenggorokan. “Kakakmu benar2 berdosa besar…”
Sekonyong-konyong ia mengangkat pedangnya dan coba
menggorok leher. Boe Kie terkesiap dan secepat kilat
tangannya menyambar. Sungguh mujur dia keburu
merampas senjata itu dengan menggunakan ilmu Kian koen
Tay lo ie. Tapi biarpun tak sampai membinasakan, ujung
pedang menggores juga leher Song Tay hiap.
Ketika itu Jie Lian bertiga sudah menyusul. “Toako,”
kata Thio Siong Kee dengan suara membujuk. “Ceng Soe
telah melakukan perbuatan sangat terkutuk itu dan semua
orang Boe tong pasti takkan dapat mengampuninya. Tapi,
membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil, sedang
urusan yang besar adalah keselamatan rakyat. Tak boleh,
karena memperhatikan yang kecil, kita menyia nyiakan
yang besar.”
“Membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil?”
Menegas Song Wan Kiauw dengan mata melotot. “Huh!...
2211
sungguh sial aku mempunyai anak penghianat itu!....”
Didengar dari omongan Tan Yoe Liang, Kay pang ingin
meminjam tangan Ceng Soe untuk mencelakai guru kita,”
kata pula Thio Siong Kee dengan sabar. “Di samping itu,
Kay pang berusaha untuk menekan atau mempengaruhi
berbagai partai Rimba Persilatan guna merampas negeri.
Bagi kita, Soecoen (guru yang mulia) merupakan urusan
besar. Keselamatan Rima Persilatan dan rakyat di kolong
langit juga merupakan urusan besar. Ceng Soe yang
durhaka pasti akan mendapat pembalasan. Kewajiban kita
yang sekarang ini adalah berdamai untuk menolong urusan
besar.”
Song Wan Kiauw membungkam. Ia tak dapat
membantah perkataan adiknya. Akhirnya ia memasukkan
pedangnya ke dalam sarung dan berkata dengan suara
perlahan. “Pikiranku kusut, otakku tak bisa memikir lagi.
Biarlah Sietee yang memikirkan tindakan kita.”
Sesudah kegusaran kakaknya agak mereda, In Lee Heng
lalu mengeluarkan obat dan membalut luka Song Wan
Kiauw.
“Menurut pendapatku,” kata pula Thio Siong Kee,”
karena Kay pang ingin mencelakai Soecoen dan guru kita
tidak tahu menahu, maka tindakan yang harus segera
diambil adalah pulang ke Boe Tong secepat mungkin.
Meskipun Tan Yoe Liang mengatakan bahwa ia ingin
meminjam tangan Ceng Soe, manusia jahat itu mungkin
akan turun tangan terlebih siang. Yang terpenting bagi kita
ialah melindungi soecoan. Soecoan sudah berusia tinggi,
kalau kejadian dahulu sampai terulang, kalau sampai ada
musuh lagi yang sampai membokong dengan menyamar
sebagai pendeta Siauw lim, kita tak akan bisa menebus
kedosaan kita.”
2212
Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Tio Beng dengan
mata mendelik. Ia rupa rupanya masih mendongkol karena
si nona pernah berusaha untuk membinasakan Thio Sam
Hong.
Song Wan Kiauw mengeluarkan keringat dingin.
“Benar…! Benar…!” katanya dengan gemetar. “Sebab ingin
membunuh anak jahanam itu, aku sampai melupakan
keselamatan Soecoan. Hai!... otakku sudah miring!”
Ia seorang yang tak sabaran. “Hayo! Lekas! Kita harus
berangkat sekarang juga,” desaknya berulang-ulang.
“Boe Kie,” kata Thio Siong Kee sambil berpaling kepada
keponakannya, “tugas menolong Cie Kauwnio harus
ditunaikan olehmu sendiri. Sesudah berhasil, datanglah di
Boe tong san.”
Boe Kie membungkuk dan berkata. “Baiklah Soepeh.”
“Tio Kauwnio berwatak kejam,” bisik Thio Siong Kee.
“Kau harus berhati hati. Ceng Soe merupakan sebuah
contoh seorang laki laki tak boleh dibikin lupa oleh paras
cantik.”
Dengan muka merah Boe Kie manggut-manggutkan
kepalanya.
Sesudah selesai berdamai, keempat pendekar Boe tong
Boe Kie lalu menguburkan jenazah Boh Seng Kok di
belakang sebuah batu besar. Mereka menangis sedih sekali
dan sehabis memeras air mata, Seng Wan Kiauw berempat
segera berangkat.
Sesudah mereka berlalu, Tio Beng mendekati Boe Kie
dan berkata. “Sie soepehmu menasihati supaya kau berhati
hati terhadapku dan jangan sampai kena dibikin lupa oleh
paras cantik. Dia mengatakan bahwa Song Ceng Soe adalah
sebuah contoh. Benarkah begitu?”
2213
“Bagaimana kau tahu?” tanya Boe Kie dengan suara
jengah. “Apakah kau mempunyai kuping Soen hong nie?”
Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. “Sekarang aku
bicara terus terang,” katanya dengan bangga. “Aku berani
memastikan bahwa sesudah memikir dan memikir lagi,
Song Tay hiap dan yang lain lain akan berbalik
mempersalahkan Cioe Cie Jiak yang dianggap sebagai gara
gara yang mengakibatkan runtuhnya seorang jago muda
dari Boe tong pay. Huh huh!... jalan pikiran orang lelaki tak
pernah terlolos dari terkaanku.”
“Song Toasoepeh dan lain lain paman adalah koencoe
(manusia utama), kata Boe Kie. “Mereka semuanya sudah
mengetahui aturan dan tidak mungkin mempersalahkan
orang secara serampangan.”
Si nona tertawa dingin, “Huh!... makin koencoe
mungkin makin gila!” katanya. Sesudah berdiam sejenak, ia
berkata lagi sambil tertawa, “Lekas tolong Cioe kauw
untukmu! Kau celaka besar kalau dia sampai jatuh ke
dalam tangan Song Ceng Soe.”
Muka Boe Kie berubah merah. “Mengapa celaka besar?”
tanyanya sambil tertawa kecil.
Dengan mengikuti tapak kaki kuda Boe Kie dan Tio
Beng berhasil menemukan tunggangan mereka yang lantas
saja dikaburkan ke Kwan Lee. Boe Kie membedal kuda dan
dengan pikiran kusut. Ia memikiri ayah angkatnya dan
memikiri juga Cioe Cie Jiak. Mengingat bahwa Kay pang
ingin menggunakan ayah angkatnya untuk menekan Beng
Kauw, maka andaikata orang tua itu benar benar jatuh ke
dalam tangan Partai Pengemis, jiwanya belum tentu
terancam. Tapi biarpun begitu, sang Giehoe tentu tidak bisa
terlolos dari segala hinaan. Ia lebih berkuatir akan
keselamatan Cie Jiak. Si nona putih bersih. Dalam
2214
menghadapi Tan Yoe Liang yang jahat dan Song Ceng Soe
yang tidak mengenal malu, jika didesak sampai di pojok, si
nona pasti akan binasa. Mengingat begitu, ia ingin sekali
mempunyai sayap supaya tiba di Lauw liong terlebih cepat.
Malam itu ia menginap di sebuah penginapan kecil.
Walaupun tunggangan mereka kuda-kuda jempolan, tapi
sebab dibedal terus menerus, kedua binatang itu sudah lelah
sekali. Setiba di rumah penginapan mereka tak mau makan
rumput lagi.
Sambil merebahkan diri di pembaringan batu makin
lama Boe Kie makin bingung. Indap indap ia pergi ke depan
jendela kamar Tio Beng. Nona itu sedang pulas nyenyak.
Sesudah berpikir beberapa saat Boe Kie pergi ke meja
pengurus penginapan, mengambil perabot tulis menyobek
selembar kertas dan lalu menulis sepucuk surat. Ia
mengatakan bahwa karena keadaan mendesak, ia
mengambil keputusan untuk melangsungkan perjalanan di
tengah malam. Sesudah menaruh surat itu di atas meja, ia
membuka jendela, melompat keluar dan lari kabur ke
jurusan selatan dengan menggunakan ilmu ringan badan
yang paling tinggi.
Demikian, setiap malam ia meneruskan perjalanan
dengan menggunakan ilmu ringan badan, sedang di waktu
siang ia menggunakan keledai atau kuda. Dalam beberapa
hari saja ia sudah tiba di Lauw liong. Meskipun terus
menggunakan tenaga dan beberapa hari tak pernah tidur
sebab memiliki lweekang yang sangat kuat ia tidak terlalu
payah. Menurut perhitungan, dengan mengubar tanpa
mengaso, siang siang ia sudah bisa melampaui rombongan
Tan Yoe Liang. Tapi ia tak pernah bertemu dengan mereka.
Mungkin sekali selagi ia berjalan di waktu malam, mereka
sedang mengaso di penginapan.
Lauw liong adalah sebuah kota penting di propinsi Ho
2215
pak. Pada jaman kerajaan Tong, kota itu dijaga oleh
seorang pembesar Cit tauwsoe selama kerajaan Cong dan
Goan lauw liong mengalamai beberapa kali peperangan,
sehingga kotanya hancur dan sampai sekarang belum pulih
seperti sedia kala. Tapi biarpun begitu kota tersebut banyak
penduduknya dan berbeda dengan kota kota di Kwan gwa
yang sangat sepi.
Setibanya di kota itu, Boe Kie berkeliling di jalan jalan
raya, di jalanan kecil, di lorong lorong, di rumah rumah
penginapan dan rumah rumah makan. Heran sungguh ia
tak pernah bertemu dengan seorang pengemis. Tan Yoe
Liang tentu tidak berdusta waktu ia mengatakan bahwa
para pemimpin pengemis berkumpul di Louw liong.
Mungkin sekali pengemis pengemis itu sedang pergi
menemui pangcu mereka.
“Kalau aku bisa mencari tempat pertemuan mereka, aku
akan bisa menyelidiki benar tidaknya Giehoe dan Cie Jiak
ditawan Kay Pang,” kata Boe Kie di dalam hati. Tapi
sesudah menjelajah di seluruh dan di sekitar kota, ia masih
belum mendapatkan sesuatu yang memberi petunjuk baik.
Waktu magrib Boe Kie mulai bingung. Tanpa merasa ia
ingat kefaedahan Tio Beng.
“Kalau dia berada bersama aku, aku tentu tidak akan
menghadapi jalanan buntu ini,” pikirnya. Dengan masgul ia
lalu mencari sebuah rumah penginapan yang layak.
Sesudah makan minum ia tidur sebentaran. Kira-kira
tengah malam, ia melompat ke genteng untuk menyelidiki
lagi.
Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengawasi ke
seputarnya, keadaan sunyi senyap dan angin dingin meniup
dengan perlahan. Sedikitpun tak terlihat tanda, bahwa di
kota itu tengah berlangsung pertempuran antara orang2
2216
Kangouw. Ia jadi uring-uringan. Sekonyong-konyong dari
loteng tinggi dari sebuah gedung besar terlihat sinar api.
“Kalau bukan milik pembesar tinggi, gedung itu tentu
milik seorang hartawan,” pikirnya. “Tak mungkin pemilik
gedung mempunyai sangkut paut dengan Partai
pengemis…”. Belum habis jalan pikirannya, mendadak
sesosok bayangan manusia melompat keluar dari sebuah
jendela loteng. Gerakan orang itu cepat luar biasa dan
dalam sekejap, ia tak kelihatan bayang bayangannya lagi.
Kalau bukan Boe Kie yang mempunyai mata istimewa,
melihatpun orang tak akan bisa melihatnya.
“Apa orang jahat bekerja di gedung itu?” tanyanya di
dalam hati. “Orang itu ahli silat kelas utama.” Karena tak
mempunyai tujuan tertentu, ia lantas mengambil keputusan
untuk coba melihat lihat.
Setibanya di samping gedung, dengan sekali menjejakan
tanah, tubuh Boe Kie melesat ke atas dan melompati
tembok yang mengurung gedung. Sekonyong konyong
jantungnya memukul lebih.
“Tan tiang loo sangat rewel,” demikian terdengar suara
seorang. “Terang terang ia sudah mengatakan, bahwa kita
akan berkumpul pula, di Lao ho kouw pada Chia hwee
Cepeh. Sekarang ia mendadak menyuruh kita menunggu di
sini. Dia bukan Pangcu, tapi lagaknya seperti Pangcu saja.”
Bukan main girangnya Boe Kie. Ia mengenali bahwa
suara itu suara seorang anggota Kay Pang. Suara itu datang
dari taman bunga. Begitu mendekat, ia dengar suara Soe
hwee ling yang berkata, “Tan tiang loo sangat berakal budi.
Ia berhasil membekuk Kim mo Say ong Cia Soen, yang
dicari oleh segenap rimba persilatan selama dua puluh
tahun lebih tanpa berhasil. Hasil yang gemilang itu
jangankan di dalam partai kita sekalipun seluruh Rimba
2217
Persilatan, tak ada orang yang bisa meneladaninya…”
Boe Kie kaget bercampur girang. Sekarang ia tahu, ayah
angkatnya berada dalam tangan orang-orang Kay Pang.
Sesudah mengetahui itu, menolong sang Giehoe tak begitu
sukar lagi pikirnya. Di dalam partai pengemis tidak terdapat
tokoh tokoh yang benar benar berilmu tinggi.
Ia segera mendekati jendela dan mengintip dari celahcelah.
Ternyata pertempuran itu berlangsung di sebuah
pendopo di taman bunga.
Ia lihat Soe hwee liong duduk di tengah tengah. Coan
kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang pang, Liong tauw dan
tiga tiangloo delapan karung duduk di sebelah bawah.
Selain mereka terlihat pula seorang setengah tua yang
berbadan gemuk dan mengenakan pakaian indah. Dilihat
dari pakaiannya, dia seorang hartawan, tapi pada
punggungnya terdapat enam lembar karung. Boe Kie
manggut manggutkan kepalanya. “Benar,” katanya di
dalam hati, “hartawan itu seorang murid Kay Pang. Para
pengemis berkumpul di rumah orang kaya raya tak akan
dapat diduga oleh siapapun jua, sungguh pintar!”
Sementara itu Soe hwee liong berkata pula, “Permintaan
Tan tiangloo supaya kita menunggu di Louw liong tentu
mempunyai sebab musabab yang beralasan. Kita
mempunyai tujuan besar dan kita harus berhati hati.”
“Pangcu,” kata Ciang pang Liong tauw. “Tujuan orang
gagah dalam mencari Cia Soen adalah untuk memperoleh
To ling to yang dikenal sebagai Boe lim Cie coen (yang
termulia dalam Rimba Persilatan). Tapi To liong to tidak
terdapat di badan Cia Soen. Biar dibujuk dan diancam, dia
tetap tidak mau beritahukan dimana adanya golok mustika
itu. Dengan demikian, kita hanya mendapat seorang buta
yang harus diberi makan dan minum. Apa gunanya?
2218
Menurut pendapat teecu, sebaiknya kita siksa padanya.
Teecu melihat, apa dia tetap menutup mulut.”
Soe Hwee Liong meng-goyang2-kan tangan. “Tidak
benar,” katanya. “Tindakan keras bisa merusak urusan
besar. Kita harus tunggu Tan Tiangloo. Sesudah dia tiba,
kita boleh berdamai lagi.”
Paras muka Ciang pang Liong tauw mengunjuk rasa
mendongkol. Ia rupa rupanya merasa jengkel karena sang
pemimpin terlalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.
Soe Hwee Liong merogo saku dan mengeluarkan
sepucuk surat yang lalu diangsurkan kepada Ciang pang
Liong tauw. “Pang Heng tee,” katanya, “kuminta kau
segera berangkat ke Ho cioe dan menyerahkan surat ini
kepada Han San Tong. Beritahukan dia, bahwa puteranya
berada dalam tangan kita dengan tak kurang suatu apa.
Asal dia suka menakluk kepada partai kita, aku akan
memperlakukannya secara layak.”
“Apakah pekerjaan menyampaikan surat harus
dilakukan oleh teecu?” katanya Ciang pang Liong tauw.
Paras muka Soe Hwee Liong lantas saja berubah. “Pang
Heng tee,” katanya, “selama setengah tahun ini Han San
Tong dan kawan kawannya telah mencapai hasil hasil besar
di daerah Ho cioe. Kudengar, di bawah perintah terdapat
orang orang gagah kelas, seperti Coe Goan Ciang, Cie Tat,
Siang Gie Coen dan lain lain. Maksud suratku ini ialah
supaya Han San Tong menakluk kepada kita. Kalau dia
bersedia untuk menakluk, Pang Heng tee harus menyelidiki
apa menakluknya itu sungguh sungguh atau berpura pura.
Di samping itu, Pang Heng tee pun harus mencari tahu
kekuatan dari barisan Beng kauw. Tugas Pang Heng tee
bukan semata mata menyampaikan surat. Tugasmu adalah
berat.”
2219
Ciang pang Liong tiauw tidak berani membantah lagi.
“Baiklah,” katanya. Sesudah memberi hormat kepada
pemimpinnya, ia segera meninggalkan ruangan pertemuan.
Sesudah itu dengan gembira mereka saling
mengutarakan pikiran mengenai kemakmuran dan kejayaan
Kay Pang yang sesudah menaklukan Beng kauw, Siauw
lim, Boe tong dan Go bie pay. Angan angan Soe Hwee
Liong ternyata tidak semuluk Tan Yoe Liang. Dia sudah
merasa puas jika Kay Pang bisa menjagoi dalam Rimba
Persilatan. Dia tidak bercita cita untuk merebut negara dan
menjadi kaisar.
Boe Kie merasa sebal untuk mendengari lebih jauh dan
berkata dalam hatinya. “Didengar dari pembicaraan
mereka, Gie hoe dan Cie Jiak terkurung di gedung ini.
Sebaiknya aku berusaha untuk melepaskan mereka dan
kemudian barulah menghajar pengemis pengemis yang tak
mengenal malu itu.” Sekali menjejak bumi, tubuhnya
melesat ke atas dan hinggap di dalam pohon. Ia mengawasi
ke sekitarnya, mencari cari tempat yang dijaga keras. Segera
juga ia lihat, bahwa di bawah loteng terdapat belasan
pengemis yang meronda dengan senjata terhunus.
Ia melompat turun, mendekati loteng itu,
menyembunyikan diri di belakang sebuah batu besar. Selagi
dua peronda memutar badan, secepat kilat ia lari ke kaki
tembok di bawah loteng dan lalu memanjat ke atas dengan
menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang kong (cecak
merambat di tembok). Ia segera memasang kuping dan
mata ke loteng yang terang benderang itu.
Namun akhirnya dengan rasa penasaran ia lalu
mengintip dari celah celah jendela. Sepanjang lilin besar
yang ditaruh di meja sudah terbakar habis, separuh, tapi di
dalam kamar itu tidak terdapat bayang bayangan manusia.
2220
Loteng itu mempunyai tiga kamar. Sesudah menyelidiki
kamar sebelah timur, ia mengintip di jendela kamar sebelah
barat. Lilin yang berada di kamar itu juga kelihatan nyala
sangat terang dan di atas meja terlihat banyak makanan
dengan tujuh delapan mangkok nasi dan sumpitnya. Tapi
cawan cawan arak belum diminum dan makanan itu baru
saja dimakan. Herannya, di kamar itupun tidak terdapat
manusia. Kamar yang di tengah gelap gulita. Boe Kie
mendorong pintu, tapi terkunci dari dalam. “Giehoe!”
panggilnya dengan suara perlahan. Ia tidak mendapat
jawaban. “Kalau Giehoe tidak dikurung di sini, mengapa
loteng ini dijaga begitu keras?” pikirnya. “Apakah ia
menggunakan tipu berisi berisi kosong, kosong kosong
berisi?” (berisi is kosong, kosong berisi – apa yang dilihat
berisi, sebenarnya kosong, dilihat kosong sebenarnya berisi).
Tiba tiba hidungnya mengendus bau darah yang keluar
dari kamar itu. Ia terkejut. Dengan mengeluarkan sedikit
tenaga tapal pintu patah. Sambil mendorong pintu, ia
melompat ke dalam dan menyambut kedua potongan tapal
pintu itu supaya tidak jatuh dan mengeluarkan suara.
Baru ia menindakkan kakinya menginjak sesuatu yang
lembek seperti tubuh manusia. Ia membungkuk dan meraba
raba. Aha! Mayat manusia yang mati belum berapa lama.
Ia merasa agak lega karena mayat itu berkepala kecil.
Dengan jari tangannya ia menotok papan kamar barat yang
lantas berlubang dan dari lubang itu masuk sinar terang.
Sekarang ia bisa lihat, bahwa kamar itu penuh mayat
pengemis yang kelihatannya binasa karena mendapat luka
hebat di badan. Ia membuka baju satu di antaranya dan
melihat tapak tinju di dada, tapak dari pukulan Cit siang
koen. “Ah! Inilah pukulan Giehoe,” pikirnya dengan rasa
girang. Di sudut tembok terdapat sebuah gambar obor –
tanda Beng kauw – yang diukir dengan serupa benda tajam.
2221
Tapi bagaimana Giehoe bisa dibekuk mereka?” tanya Boe
Kie di dalam hati. “Mungkin mereka menggunakan bong
han yo, tambang atau jala. Tapi pintu di tapal dari dalam.
“Bagaimana Giehoe bisa keluar? Heran!” Sambil memikir
begitu, ia tiba tiba melihat darah di lain pintu dan di daun
pintu bagian luar terdapat telapak telapak tangan. Sekarang
ia mengerti. Ayah angkatnya tidak sengaja membunuh
seorang dan sesudah keluar dari kamar, ia menyuruh orang
itu menapal pintu, akan kemudian mengirim pukulan Cit
siang koen pada daun pintu. Biarpun teraling selembar
papan, pukulan tersebut masih kuat untuk membinasakan
pengemis itu yang memuntahkan darah dan darahnya
menyembur ke pintu. “Ya, tadi kulihat melompatnya
bayangan manusia dari atas loteng,” pikirnya. “Bayangan
itu tentulah Giehoe… tapi… tidak mungkin. Orang itu
bertubuh kurus kecil, sedangkan Giehoe tinggi besar. Siapa
dia?”
Ia keluar dari kamar dan melongok ke bawah. Para
pengemis masih meronda. Mereka tak tahu apa yang terjadi
di atas. “Pengemis2 baru saja mati dan Giehoe tentu belum
pergi jauh,” pikirnya. “Perlu apa kau menebak nebak?”
Sebaiknya aku menyusul dan menanyakannya. Aku dan
Giehoe bisa kembali ke sini untuk menghajar pengemis2
bau itu.”
Bayangan yang tadi melompat turun dari tembok sebelah
barat daya. Setelah mengambil keputusan, Boe Kie segera
melompat ke satu pohon dan dari pohon itu, dia melompat
pula ke atas tembok barat daya. Ia membungkuk untuk
menyelidiki. Dengan rasa heran dia mendapat kenyataan,
bahwa di situ terpeta tapak tapak kaki kecil, yaitu tapak
wanita. “Siapa wanita itu?” tanyanya di dalam hati. “Biat
coat Soethay telah meninggal dunia. Cie san Liong ong
pergi ke lain negeri, Pan Siok Ham dari Koen loen pay
2222
belum tentu mempunyai ilmu ringan badan yang
sedemikian tinggi. Cie Jiak dan Tio Beng tak mungkin.
Yang lain lebih tak mungkin.” Tapi ia tak memikir
panjang2 lagi dan segera menguber ke jurusan barat daya.
Sesudah berlari lari beberapa lie dengan mengikuti jalan
raya, ia tiba di persimpangan jalan. Sesuai dengan
kebiasaan Kang ouw, mereka lantas mencari tanda tanda di
gombolan rumput tinggi. Benar saja, di sebuah batu besar ia
menemukan gambar obor yang mengunjuk ke sebuah jalan
kecil, jurusan barat daya. Ia girang karena jejak ayah
angkatnya sudah dapat diikuti. Gambar itu yang sangat
indah tidak mungkin dilukis oleh sembarang orang.
Hanyalah orang orang seperti Cia Soen yang boen boe coan
bay yang dapat melukisnya.
Tanpa ragu ragu lagi, ia lalu mengejar dengan
mengambil jalanan kecil itu. Ketika tiba di See boek, fajar
sudah menyingsing. Sesudah menangsal perut dengan bak
pauw dan kue phia, ia meneruskan perjalanan ke arah
barat. Di Pangcoe tin di kaki tembok ia menemukan sebuah
gambar obor yang mengunjuk ke sebuah si thung (tempat
pemujaan abu leluhur). Ia girang dan merasa pasti bahwa
ayah angkatnya bersembunyi di tempat itu. Ia menghampiri
dan memilih empat huruf “Goei sie Su thung” (tempat
pemujaan abu leluhur orang she Goei) di papan merek.
Begitu masuk ia mendengar suara ramai ramai dari
sejumlah orang yang sedang berjudi.
Melihat Boe Kie yang berpakaian indah, kepala judi
segera menghampiri dan berkata sambil tertawa, “Kong coe
ya, hayolah!” Ia berpaling pada para penjudi dan berkata
pula, “Berikan tempat kepada Kong coe ya!”
Alis Boe Kie berkerut dan matanya menyapu ke seluruh
ruangan. Para penjudi itu bukan orang orang Kang ouw.
Maka itu tanpa meladeni ajakan orang, ia segera berteriak.
2223
“Giehoe! Giehoe!” tapi ia tak mendapat jawaban.
Salah seorang penjudi yang iseng mulut tertawa dan
berkata. “Mau apa kau nak. Giehoe mu berada di sini.”
Para penjudi lantas saja tertawa terbahak bahak.
Sambil menahan sabar Boe Kie menanya si kepala judi.
“Apa kau lihat seorang toa ya yang berambut kuning
bertubuh tinggi besar dan buta matanya?”
“Omong kosong,” jawabnya dengan suara tawar. “Di
kolong langit mana ada si buta yang bisa berjudi?” Kecuali
kalau dia sudah bosan hidup.”
Darah Boe Kie meluap. Ia melompat dan mencekal si
kepala judi dan penjudi yang tadi mengejeknya dan
melontarkannya ke genteng. Walaupun tidak terluka
mereka ketakutan setengah mati dan berteriak teriak minta
tolong. Boe Kie menjemput dua potong perak dari meja judi
dan sesudah memasukkannya ke dalam saku ia segera
berjalan keluar. Para penjudi hanya mengawasi dengan
mata membelalak dan tidak seorangpun berani mengubar.
Boe Kie meneruskan perjalanan ke arah barat. Tak lama
kemudian, ia menemukan lagi tanda gambar obor. Di
waktu magrib, ia tiba di Hong jiong, sebuah kota besar di
Ho pak utara. Dengan mengikuti tanda obor, ia pergi ke
sebuah gedung yang pintu depannya berwarna hitam.
Dengan cincin pintu yang berkilat dan bunga bunga di
dalam tembok yang sedang mekar, gedung itu
memperlihatkan suasana tenang dan damai. Ia mengetuk
ngetuk pintu dan tak lama kemudian terdengar tindakan
kaki yang enteng. Hampir berbareng dengan terendusnya
bau harum, pinta dibuka oleh seorang pelayan wanita yang
mengenakan baju kulit warna merah. “Sudah lama Kong
coe ya tak datang dan Ciecie sangat memikiri kau,” katanya
sambil tersenyum. “Masuklah.”
2224
Boe Kie bingung. “Bagaimana kau kenal aku? Siapa
Cieciemu?” tanyanya.
Pelayan itu tertawa. “Ah, jangan berlagak pilon!”
jawabnya. “Hayo masuk! Ciecie sudah menunggu nunggu.”
Ia mencekal tangan kanan Boe Kie dan lalu menariknya.
Tak kepalang herannya Boe Kie. Sesudah memikir
sejenak ia berkata di dalam hatinya. “Ah bisa jadi! Bisa jadi
Cie Jiak berada di sini. Apa ia sudah menduga bahwa aku
akan menyusul dengan mengikuti tanda tanda obor, ia
memerintahkan pelayan ini untuk menyambut. Hai! Ia
tentu sangat menderita.” Memikir begitu, ia lantas saja
mengikuti. Sesudah melalui sebuah jalanan kecil yang
tertutup batu dan melewati sebuah pekarangan, mereka tiba
di depan sebuah kamar. Seekor burung kakaktua tiba-tiba
berteriak. “Kakak yang tercinta datang! Ciecie kakak yang
tercinta datang!”
Muka Boe Kie lantas saja berubah merah.
Kamar itu sangat indah. Semua kursi teralas bantal
sulam dan dengan perapian yang apinya berkobar kobar,
hawa di dalam kamar hangat bagaikan hawa di musim
semi. Di atas sebuah meja kecil menyala hio wangi, di
samping tempat hio terletak sebuah khim. Pelayan itu lantas
masuk ke dalam dan keluar lagi dengan tangan menyangga
nampan yang berisi enam piring kecil bebuahan dan sepoci
teh. Ia menuang teh dan mengangsurkan cangkir kepada
Boe Kie.
Waktu pemuda itu menyambutnya, si pelayan tiba tiba
menekan pergelangan tangannya dengan perlahan. Alis Boe
Kie berkerut. “Bagaimana pelayan ini bisa berlaku kurang
ajar? Bukankah tak baik jika dilihat Cie Jiak?” katanya di
dalam hati. “Mana Cia looya? Cie Kouwnio berada di
mana?” ia bertanya.
2225
Si pelayan tertawa. “Perlu apa kau tanyakan Cia looya?”
jawabnya. “Ciecie akan segera datang. Kau sungguh tak
punya perasaan hati. Sesudah berada di sini, kau masih
ingat Cioe Kouwnio, Ong Kouwnio…”
Boe Kie kaget. “Jangan ngaco kau! Apa kau kata?” ia
menegas.
Pelayan itu tertawa pula dan segera berlalu. Tidak lama
kemudian ia kembali dengan menuntun seorang wanita
muda yang berusia kira kira duapuluh tiga atau duapuluh
empat tahun, kulitnya putih alisnya kecil bengkok dan di
sudut mulutnya terdapat sebuah tahi lalat. Ia cukup cantik,
hanya sinar matanya genit sekali dan ia menghampiri
dengan tindakan gemulai. Alis Boe Kie berkerut karena ia
mengendus wewangian yang sangat santer.
Wanita itu tertawa manis. “Siangkong she apa?”
tanyanya. “Duduklah. Kedatangan Siangkong memberi
muka kepadaku.” Seraya berkata begitu, sebelah tangannya
memegang pundak Boe Kie.
Dengan muka kemerah merahan Boe Kie mundur
setindak. “Aku she Thio,” jawabnya. “Apakah seorang tua
she Cia dan seorang gadis she Cioe berada di sini?”
“Di sini Lee hiang ih,” sahut wanita itu. “Kalau
Siangkong mau cari Cioe Sian sian, pergilah ke Pek tho kie.
Siangkoan agaknya sudah linglung dan mencari Cioe Sian
sian di Lee hiang ih. Hi..hi..hi…” Ia tertawa geli.
Boe Kie mendusin. Ia berada di rumah pelacur. Tanpa
mengatakan suatu apa lagi, buru buru ia mengangkat kaki.
Si pelayan memburu dan berteriak teriak. “Siangkong!...
Siangkong!... apa nonaku kalah cantik dari Cioe Sian sian?
Duduklah sebentaran…”
Boe Kie menggoyang goyangkan tangannya. Ia
2226
mengambil sepotong perak dari sakunya, melontarkannya
di tanah dan terus kabur dengan berlari lari.
Ia terus lari. Ketika itu matahari sudah menyelam ke
barat. Sebab sukar mengikuti tanda tanda obor di waktu
malam, ia mengambil keputusan untuk m beramalam di
rumah penginapan. Sesudah makan, ia mengasah otak,
memikir segala pengalamannya. “Mengapa Giehoe pergi ke
rumah judi, ke rumah pelacur?” tanyanya di dalam hati.
“Di dalam hal ini tentu bersembunyi latar belakang yang
luar biasa.” Karena letih ia tertidur. Di tengah malam ia
tersadar dan tiba tiba saja di dalam otaknya berkelebat
serupa ingatan. “Giehoe seorang buta, bagaimana ia bisa
meninggalkan tanda tanda di sepanjang jalan?” tanyanya di
dalam hati. “Apakah ia dikawani dan dibantu Cie Jiak?
Apakah musuh yang membantunya untuk mempermainkan
aku? Tapi… sudahlah! Biarpun mesti masuk ke sarang
harimau, aku harus menyelidiki teka teki ini sampai
seterang terangnya.”
Pada keesokan paginya, diluar kota Hong ji ong, ia
kembali menemukan tanda obor, yang mengunjuk ke arah
barat. Lohor itu ia tiba di Giok ian dan tanda obor
menuntunnya ke sebuah gedung yang besar. Pemilik
gedung sedang merayakan pesta pernikahan puterinya.
Sebab sudah mendapat pelajaran getir, Boe Kie tak berani
lantas menanyakan hal Cia Soen. Ia masuk ke tempat pesta
dan memasang mata tapi tak bisa mendapatkan sesuatu
yang luar biasa. Dengan rasa masgul ia meninggalkan
gedung itu dan benar saja, di pinggir jalan di sebuah pohon
ia menemukan sebuah tanda obor.
Demikianlah tanpa memperdulikan apa pun jua, ia terus
mengikuti tanda tanda obor. Dari Giok tian ia pergi ke Sam
ho membiluk ke selatan, terus ke Hiang ho. Sampai di situ
ia mulai menduga duga bahwa Kay Pang menggunakan
2227
tipu “memancing harimau meninggalkan gunung” untuk
menyingkirkannya ke tempat jauh, supaya mereka bisa
leluasa melakukan sesuatu kejahatan. Tapi biarpun
menduga begitu, ia tak berani mengikuti terus tanda obor
itu. Bagaimana kalau tanda tanda tersebut benar benar
dibuat oleh ayah angkatnya dan Cie Jiak yang sedang
diubar ubar musuh? Sesudah menimbang nimbang, ia
mengambil keputusan untuk mengikuti terus.
Dari Hian ho, ia menguber ke Po shia, Toa pek chung,
Poa chung. Menikung ke jurusan tenggara, tiba di Leng
hoa, membiluk ke utara melewati Hong lam Kay peng Loei
chung dan sesudah bercapai lelah berhari2 ia tiba pula di
Louwliong. Ia ternyata sudah membuat sebuah lingkaran
besar dari Louwliong kembali di Louwliong.
Setibanya di Louwliong, mendadak hatinya tenang.
“Bagaimana jadinya jika musuh menyesatkan aku ke
tempat jauh misalnya ke Kwitang Kwisay In Lam atau Kwi
coe? Baik juga mereka menuntun aku balik ke Louwliong.
Memikir begitu, sesudah makan kenyang2 ia membeli jubah
panjang warna putih dan membuat gambar obor merah
memakai itu. Ia mau menyatroni pusat Kay Pang secara
resmi sebagai seorang Kauwcoe dari Beng Kauw.
Sesudah berdandan, ia segera pergi ke gedung si
hartawan yang menjadi tempat berkumpulnya tokoh tokoh
Kay Pang. Pintu depan terkunci. Dengan sekali pukul daun
pintu terbang menimpa dua jambangan ikan emas yang
lantas saja menjadi hancur.
Sesudah dipermainkan beberapa hari dia datang dengan
darah mendidih. Ia bertekad untuk mengadu kepandaian
dan melampiaskan hawa amarahnya. Begitu pintu terpukul
pecah, ia masuk dengan tindakan lebar. “Orang orang Kay
Pang dengarlah!” teriaknya. “Lekas suruh Soe Hwee Liong
keluar untuk menemui aku!”
2228
Di pekarangan terdapat belasan murid Kay Pang dari
tingkatan empat dan lima karung. Hancurnya pintu tentu
saja mengejutkan mereka.
Boe Kie tak mau membuang buang waktu. Ia
mendorong keras dan bagaikan rumput kering tubuh murid
murid Kay Pang itu terpental roboh sesudah membentur
tembok atau jendela.
Boe Kie maju terus. Sesudah menghancurkan pintu
tengah ia mendapat kenyataan bahwa tokoh tokoh Kay
Pang sedang makan minum di toa thie, dengan Soe Hwee
Liong duduk menghadap keluar.
Para pemimpin Kay Pang sudah mendengar ribut ribut
dan baru saja memerintahkan salah seorang untuk
menyelidiki. Tapi Boe Kie sudah keburu datang. Dengan
sekali menjepret ia cengkeram dada murid Kay Pang tujuh
karung yang mau keluar menyelidiki itu dan terus
melemparkannya ke arah Soe Hwee Liong.
Si hartawan pemilik gedung yang duduk di sebelah
bawah buru buru mementang kedua tangannya untuk
menangkap tubuh si pengemis yang “terbang” mendatangi.
Tangkapannya tepat, tapi ia terhuyung tujuh delapan tindak
karena tenaga melempar itu hebat luar biasa.
Para pengemis terkesiap, murid tujuh karung yang
dilemparkan itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi
sedang si hartawan berkepandaian lebih tinggi lagi.
Kalau tokoh tokoh partai pengemis kaget, Boe Kie lebih
kaget lagi. Tapi dalam kagetnya Boe Kie tercampur rasa
girang, sebab ia lihat bahwa Cioe Cie Jiak dan Song Ceng
Soe sedang duduk berendeng di meja bundar sebelah kiri.
Untuk sejenak ia terpaku dan mengawasi nona Cioe dengan
mata membelalak.
2229
“Boe Kie Koko!” teriak Cie Jiak. Ia berdiri, tapi
tubuhnya bergoyang goyang dan lantas roboh.
Boe Kie melompat, membungkuk dan memeluk si nona.
Tiba tiba punggungnya dipukul dua kali beruntun oleh
Song Ceng Soe dan oleh seorang pengemis lain. Tapi tidak
bergeming sebab sekujur badannya dilindungi Kioe yang
sinkang. Sambil mendukung si nona, ia melompat keluar
dari ruangan perjamuan.
“Mana Giehoe?” tanyanya.
“Aku… aku…” kata nona Cioe terputus putus.
“Apa Giehoe selamat?”
“Jalan darahku ketotok… aku tidak bertenaga…”
Tapi Boe Kie yang sangat memikiri Cia Soen tidak
menghiraukan keterangan si nona. “Bagaimana Giehoe?”
tanyanya pula.
“Entahlah, aku tak tahu. Aku ditangkap mereka dan
dibawa kemari. Aku tak tahu di mana adanya Giehoe.”
Boe Kie segera melepaskan Cie Jiak di tanah dan
mengurut betisnya. Tapi totokan atas diri Cie Jiak adalah
totokan istimewa dari Kay Pang dan Boe Kie tidak berhasil
dalam usaha membukanya. Cie Jiak masih tetap tidak bisa
berdiri.
Sementara itu semua tokoh Kay Pang sudah
meninggalkan meja perjamuan dan berdiri di atas undakan
batu dari ruangan itu. Sambil merangkap kedua tangannya
Soe Hwee Liang bertanya, “Apakah tuan Kauwcoe dari
Beng kauw?”
Dalam menghadapi seorang pemimpin dari sebuah partai
persilatan yang besar, Boe Kie tidak berani melanggar
kesopanan. Ia pun lantas segera merangkap kedua
2230
tangannya dan menjawab. “Benar. Tanpa diundang aku
sudah datang di Cong to (pusat kalian). Untuk itu, aku
menghaturkan maaf.”
“Nama Thio Kauwcoe menggetarkan seluruh Kangouw
dan sudah lama aku ingin bertemu dengan tuan,” kata Soe
Hwee Liong. “Kini aku mendapat bukti, bahwa nama itu
bukan nama kosong.”
“Aku datang untuk menemukan ayah angkatku, Kim mo
Say ong,” kata Boe Kie. “Kuharap Pangcoe suka
mengeluarkan Giehoe itu.”
Paras muka Soe Hwee Liong mendadak berubah merah
padam. Sesudah tertawa terbahak-bahak, ia berkata. “Thio
Kauwcoe berusia sangat muda, tapi perkataanmu sangat tak
pantas. Dengan maksud baik aku mengundang Cia Say ong
datang kemari untuk menjadi tamu kami selama beberapa
hari. Di luar dugaan Cia Say ong telah berlalu tanpa
pamitan. Bukan saja begitu, dia bahkan membinasakan
delapan murid kami. Thio Kauwcoe, bagaimana
perhitungan ini bisa dibereskannya?”
Boe Kie terkejut. “Kalau begitu delapan pengemis itu
benar benar dibinasakan Giehoe,” pikirnya. “Tapi kemana
perginya Giehoe?” Sesudah memikir sejenak, ia berkata.
“Tapi bagaimana dengan Cioe Kouwnio ini? Apa
kedosaannya sehingga kalian menahannya disini?”
Soe Hwee Liong tertawa dan menjawab dengan suara
mengejek. “Benar juga kata orang, bahwa biarpun
berkepandaian tinggi, Thio Boe Kie adalah iblis yang tak
mengenal aturan. Ha..ha..ha!..”
“Sebab apa?”
“Sepak terjang Thio Kauwcoe sudah merupakan bukti
yang nyata.”
2231
“Aku tanya, sebab apa kau mengatakan aku tak tahu
aturan?”
“Cioe Kauwnio adalah seorang Ciangboen dari Go bie
pay. Ia adalah pemimpin dari sebuah partai yang lurus
bersih. Ada hubungan apakah ia dengan agama mu yang
sesat? Song Ceng Soe, Song Heng tee, adalah seorang tokoh
terkemuka Boe tong pay. Dengan Cioe kauwnio ia
merupakan pasangan yang setimpal. Mereka kebetulan
lewat disini dan kami menjamu mereka. Hal ini sedikitpun
tidak ada sangkut pautnya dengan Thio Kauwcoe. Sungguh
lucu!... sungguh menggelikan.” Sehabis berkata begitu ia
tertawa berkakakan diturut oleh kawan-kawannya.
“Kalau benar Cioe Kouwnio tamu mu mengapa kau
totok jalan darahnya sehingga ia tidak bisa berdiri?” tanya
Boe Kie.
Soe hwee Liong tergugu. Ia tidak dapat menjawab.
Tan Yoe Liang maju setindak dan berkata, “Siapa bilang
Cioe Kouwnio tertotok jalan darahnya?” Kami baru saja
makan minum dengan riang gembira. Semenjak dahulu
Kay Pang dan Go bie pay mempunyai hubungan yang
sangat erat. Pendiri Go bie pay adalah Kwee Lie hiap,
puteri Oey Pangcu Oey Yong. Yeh lu Pangcu dari partai
kami adalah cie hoe (suami dari kakak perempuan) Kwee
lie hiap. Kenyataan ini diketahui oleh seluruh anggota
Rimba Persilatan. Coba kau pikir. Dengan adanya
hubungan yang erat itu, cara bagaimana cara melakukan
sesuatu yang tidak pantas terhadap seorang ciang boenjin
dari Go bie pay? Omongan Thio Kauwcoe seperti omongan
anak anak yang bisa ditertawakan oleh segenap orang gagah
di kolong langit.”
Boe Kie tertawa dingin. “Kalau menurut perkataanmu,
apakah Cioe Kouwnio telah menotok jalan darahnya
2232
sendiri?” tanyanya.
Tan Yoe Liang mengeluarkan suara di hidung. “Belum
tentu begitu,” jawabnya.
“Semua orang menyaksikan dengan mata sendiri, bahwa
Thio Kauwcoe lah yang telah merampasnya secara paksa.
Cioe Kouwnio coba memberontak dan Thio Kauwcoe
segera menotoknya. Thio Kauwcoe meskipun benar
seorang agah sering sukar mengatasi diri dalam menghadapi
seorang wanita cantik, tapi janganlah kau melakukan
perbuatan kurang ajar itu di hadapan orang banyak. Thio
Kauwcoe, kau sungguh tak ingat kedudukanmu yang sangat
tinggi.”
Dalam mengadu lidah, Boe Kie memang bukan
tandingan Tan Yoe Liang. Tak dapat ia menangkis
serangan si orang she Tan. Paras mukanya merah padam
dan ia hanya mengawasi lawannya. Beberapa saat
kemudian barulah ia bisa membuka mulut. “Apa benar
benar kau tidak mau memberitahukan dimana adanya ayah
angkatku?” tanyanya dengan suara gemetar.
“Thio Kauwcoe,” kata Tan Yoe Liang dengan suara
tawar, “Kong beng Soecie Yo Siauw dari agama mu dahulu
pernah merusak kehormatan Kie Siauw Hoe dari Go bie
pay. Sebab perbuatan itu, dia dikutuk oleh semua orang di
kolong langit. Maka itu aku sekarang ingin menasihati kau,
supaya janganlah kau meneladan contoh Yo Siauw itu.
Dengan setulus hati aku memberi nasehat. Terserah kepada
kau, apa kau sudi dengar atau tidak.”
Boe Kie tidak meladeni. Ia menengok kepada Cie Jiak,
“Beritahukan aku cara bagaimana mereka bawa kau sampai
di sini?”
Nona Cioe menjawab dengan terputus-putus. “Aku…
aku… aku…,” mendadak tubuhnya bergemetaran dan
2233
roboh pingsan.
Orang orang Kay Pang lantas saja mencaci maki.
“Iblis Beng Kauw bunuh orang!”
“Thio Boe Kie bunuh Ciang boen jin Go bie pay!”
“Binasakan penjahat cabul Thio Boe Kie!”
dan sebagainya.
Tak kepalang gusarnya Boe Kie. “Tangkap penjahat
harus ditangkap rajanya, pikirnya. Dengan membekuk Soe
hwee liong, aku bisa mengorek rahasia dimana adanya
Giehoe.” Memikir begitu, ia segera menerjang pangcu Kay
Pang itu.
Tapi baru mau bergerak, Ciang pang Liong tauw dan Cie
hoat Tiang loo sudah menghadang di depannya. Ciang
pang Liong tauw menyapu dengan tongkatnya, sedang Cie
hoat Tiangloo yang tangan kanannya bersenjata gaetan baja
dan tangan kirinya memegang tongkat besi turut menyerang
dengan pukulan yang membinasakan.
Sambil membentak, Boe Kie menyambut dengan Kian
koen Tay lo ie. “Trang!” gaetan Cie hoat Tiangloo
menangkis tongkat Ciang pang Liong tauw.
“Semua orang awas!” teriak Coan kang Tiang loo.
“Bocah itu memiliki ilmu silat aneh.” Seraya berkata begitu,
ia mengirim tiga serangan dengan pedangnya. Setiap
serangan diajukan ke arah “hiat” besar, di bagian dada dan
kempungan.
“Bagus!” seru Boe Kie sambil melompat. Hampir
berbareng jari tangannya menotok Hoan tiauw hiat di paha
lawan. Bagaikan kilat pedang Coan kang membuat
lingkaran dan ujung pedang menyambar ujung jari tangan
Boe Kie. Sambutan itu yang dikirim secara indah dan tepat
2234
membuktikan kelihaian Coan kang Tiangloo sehingga Boe
Kie sendiri merasa kagum sekali. Buru2 ia menarik pulang
tangannya untuk mengelakkan tusukan pedang itu.
Hari itu di kelenteng Bie lek hoed, Boe Kie pernah
menyaksikan pertempuran antara Hiang beng Jieloo dan
jago jago Kay Pang. Tapi sebab bersembunyi di pohon dan
tidak berani menonjolkan kepala, maka itu ia tidak melihat
tegas jalannya pertempuran. Sekarang ia harus mengakui,
bahwa Coan kang dan Cie hoat Tiangloo adalah tokoh
tokoh persilatan kelas utama, sedang kepandaian Ciang
pang Liong tauw hanya kalah setingkat.
Dalam sekejap, ketiga ketua Kay Pang sudah bertanding
kurang lebih dua puluh jurus melawan Boe Kie.
Tiba-tiba Tan Yoe Liang berteriak, “Kepung dengan Satkauw-
tin!” (Sat kauw tin – barisan membunuh anjing).
Sambil berteriak teriak, dua puluh satu jago Kay Pang
yang masing masing bersenjatakan golok bengkok, lantas
saja mengurung Boe Kie. Teriakan dan kelakuan mereka
sangat aneh. Ada yang berteriak, “Looya, minta nasi!” Ada
pula, “Tai-tai, mohon belas kasihan!” Ada yang menjerit
jerit kesakitan, ada yang memukul dada dan sebagainya.
Semula Boe Kie merasa terkejut, tapi ia lantas saja mengerti
bahwa teriakan dan kelakuan itu bertujuan untuk
membingungkan pikirannya. Ia mendapat kenyataan,
bahwa walaupun kelihatannya kalut, tindakan kaki para
pengepung itu sesuai dengan peraturan tertentu.
Baru saja Boe Kie terkepung, sekonyong-konyong Coan
kang Tiangloo membentak. “Tahan!” Sambil melintangkan
pedangnya di dada, ia melompat mundur, diikuti oleh Cie
hoat Tiangloo dan Ciang pang Liong tauw. Tapi dua puluh
satu pengemis yang merupakan anggota Sat kauw tin masih
terus mempertahankan tin tersebut dengan berlari lari
2235
terputar putar.
“Thio Kauwcoe,” kata Coan kang. “Dalam sejumlah
besar kami mengepung kau seorang. Pada hakekatnya
andaikata kami menang, kemenangan itu bukan
kemenangan yang boleh dibanggakan. Tapi di dalam partai
kami tidak seorangpun bisa menandingi Thio Kauwcoe.
Maka itu, dalam usaha menumpas kejahatan, kami tidak
bisa lagi mempertahankan kebiasaan Rimba Persilatan yang
penuh kehormatan, yaitu satu melawan satu.”
Boe Kie tersenyum. “Bagus, bagus!” katanya.
“Kami semua bersenjata, sedang Thio Kauwcoe
bertangan kosong,” kata pula Coan kang Tiangloo. “Dalam
menarik keuntungan, Kay Pang tidak pantas menarik
keuntungan terlampau besar. Thio Kauwcoe, kau
beritahukanlah, senjata apa ayng diinginkan olehmu. Kami
akan segera menyerahkannya.”
Mendengar itu, diam diam Boe Kie memuji tetua itu
yang berbeda wataknya dari manusia semacam Tan Yoe
Liang. Ia tersenyum dan menjawab, “Di dalam Kay Pang,
tidak ada senjata yang cocok bagiku. Untuk main main
dengan kalian sebenarnya aku tidak memerlukan senjata.
Dan andaikata perlu, aku sendiri bisa mengambilnya.”
Hampir berbareng, tubuhnya berkelebat dan ia sudah
melompat keluar dari Sat kauw tin. Bagaikan kilat ia
menekan pundak Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe,
merampas pedang kedua orang itu dan kemudian melompat
masuk pula ke dalam Sat kauw tin. Kesemuanya itu
dilakukan dengan gerakan yang sangat indah dan kecepatan
yang sukar dilukiskan.
Sebelum para pengemis hilang kagetnya, Boe Kie sudah
berkata dengan suara nyaring. “Orang Kay Pang memang
biasa mencuri ayam dan menangkap anjing. Nama Sat
2236
kauw tin memang tepat sekali. Membunuh anjing memang
tak sukar. Tapi kalau ingin menakluki naga atau harimau,
barisan ini tak dapat digunakan.” Sehabis berkata begitu ia
mengibaskan kedua pedang yang dicekalnya sambil
mengirim tenaga dalam ke badan pedang. “Tak!” kedua
senjata itu patah dengan berbareng.
“Majulah!” bentak Ciang pang Liong tauw sambil
menotok dada Boe Kie dengan tongkatnya. Cie hoat juga
lantas menyerang. Boe Kie bersiul nyaring. Ia mengegos,
melompat dan menerjang kian kemari dengan
menggunakan Kian koen Tay lo ie. Di lain saat sinar putih
menyambar nyambar ke arah tiang di tengah tengah
ruangan itu. Sinar putih itu adalah golok bengkok yang
dirampas Boe Kie dan dilemparkan ke tiang. Dalam
sekejap, dua puluh satu batang golok sudah menancap di
tiang tersebut.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan Tan Yoe Liang.
“Thio Boe Kie! Apa kau belum mau berhenti?”
Boe Kie menengok dan melihat si orang she Tan tengah
menuding punggung Cie Jiak dengan ujung pedang. Sebab
kuatir tunangannya celaka, ia segera menghentikan
serangannya. “Selama kurang lebih seratus tahun dunia
Kang ouw menyebut nyebut nama Beng kauw, Kay Pang
dan Siauw lim pay,” katanya dengan suara dingin. “Dalam
kalangan pang, Kay Pang dipandang paling tinggi. Dengan
melakukan perbuatan yang seperti ini, apakah kalian tidak
menodai nama besarnya Ang Cit Kong loohiap?”
Paras muka Coan kang Tiangloo berubah merah. “Tan
Tiangloo!” teriaknya dengan gusar. “Lepaskan Cioe
Kauwnio! Hari ini kita harus melakukan jalan suatu
pertempuran mati hidup dengan Thio Kauwcoe. Dimana
kita mau menaruh muka jika seluruh tenaga Kay Pang tak
dapat menjatuhkan tokoh Beng Kauw yang seorang diri.”
2237
Tan Yoe Liang tertawa, “Seorang gagah tak mengadu
tenaga, tapi mengadu kepintaran,” katanya. “Thio Boe Kie,
apa kau belum mau menyerah?”
“Baiklah,” jawabnya. “Hari ini aku belajar kenal dengan
keangkeran Kay Pang.” Ia mundur dua tindak dan
mendadak saja ia berjungkir balik ke belakang. Selagi
tubuhnya melayang turun ke bawah secara tepat sekali ia
jatuh duduk di pundak Soe hwee liong, dengan tangan
kanan menekan batok kepala dan tangan kiri
mencengkeram leher pemimpin partai pengemis itu.
Itulah salah satu jurus dari ilmu Seng hwee leng. Bahwa
ia sudah berhasil begitu mudah bahkan di luar dugaan Boe
Kie sendiri. Sebelum berjungkir balik, ia telah menghitung
hitung untuk coba membekuk Soe hwee liong dengan
menggunakan tiga pukulan berantai. Di luar dugaan,
dengan sekali jurus ia berhasil. Ia sekarang menunggang
Soe hwee liong seperti kanak kanak main kuda kudaan.
Melihat pangcu mereka tertawan, para pengemis
mengeluarkan seruan tertahan. Boe Kie tersenyum, jari
tangannya menempel pada Pek hwee hiat di batok kepala
Soe hwee liong. Pek hwee hiat adalah hiat yang sangat
penting. Asal Boe Kie mengeluarkan sedikit tenaga, pangcu
itu akan binasa tanpa bisa ditolong lagi. Di lain saat
ruangan itu berubah sunyi senyap. Bagaikan patung para
pengemis mengawasi Boe Kie dan pemimpin mereka.
Pada saat itulah tiba tiba terdengar suara khim dan
seruling. Suara itu sayup sayup dan datang dari atas atap
gedung. Didengar dari suaranya, jumlah khim dan seruling
lebih dari satu. Suara itu sebentar hilang, tapi semua orang
dapat mendengarnya dengan jelas sekali.
Boe Kie kaget dan heran.
“Tokoh darimana yang datang mengunjungi Kay Pang?”
2238
teriak Tan Yoe Liang. “Kalau kau iblis Beng kauw,
perlihatkan dirimu!”
Teriakan si orang she Tan disambut dengan tiga kali
suara “Cring” dari tali khim dan hampir berbarengan empat
orang wanita muda yang mengenakan baju putih melompat
turun dari payon timur dan barat. Kedua tangan setiap
wanita itu memeluk sebuah yauw khim yang ukurannya
lebih pendek dan lebih kecil separuh dari cit hiam khim
(khim tujuh tali). Tapi biarpun lebih kecil khim itu
mempunyai tujuh tali. Begitu hinggap di bumi mereka
lantas saja berdiri di empat penjuru di ruangan toa thiam
itu. Sesaat kemudian dari luar pintu masuk empat orang
wanita muda yang mengenakan baju hitam dan masing
masih memegang sebatang seruling yang berwarna hitam
pula. Seruling itu lebih panjang daripada seruling biasa.
Mereka pun lantas berdiri di empat sudut ruangan.
Boe Kie tak punya pengertian cukup dalam ilmu susiang
Pat kwa kedudukan delapan wanita itu mengherankan
hatinya. Mereka seolah olah menduduki kedudukan Pat
kwa, tapi bukan Pat kwa yang tulen. Tapi biar
bagaimanapun jua, Boe Kie merasa bahwa kedudukan
mereka sesuai dengan peraturan tertentu.
Sementara itu, kedelapan wanita itu sudah mulai
memperdengarkan sebuah lagu yang luar biasa. Meskipun
Boe Kie tidak mengerti musik, ia bisa merasai bahwa lagu
itu bersifat merdu, tenang dan damai.
Beberapa saat kemudian dengan iringan lagu itu,
masuklah seorang wanita yang mengenakan baju kuning
dengan tangan kiri menuntun seorang gadis cilik yang
berusia kurang lebih dua belas tahun. Wanita yang berusia
kira kira dua puluh tujuh tahun itu sangat cantik, hanya
kulit mukanya terlampau putih seolah olah tak punya
darah. Si gadis cilik beroman jelek, hidungnya dongak ke
2239
atas, mulutnya lebar memperlihatkan deretan dua gigi yang
besar. Ia mengikuti si cantik dengan sebelah tangan
memegang tongkat bambu hijau.
Begitu mereka masuk, mata semua pengemis serentak
ditujukan kepada tongkat bambu itu.
Boe Kie sebenarnya merasa tak enak untuk terus
menunggang Soe hwee liong di hadapan begitu banyak
wanita. Tapi ia tidak berani lantas turun sebab pedang Tan
Yoe Liang masih terus ditudingkan ke punggung Cie Jiak.
Ia heran tak kepalang karena mendapat kenyataan bahwa
semua pengemis menumplek seluruh perhatian mereka
kepada tongkat bambu itu yang seolah olah dipandang
sebagai barang terpenting dalam dunia ini. Tongkat ini
berwarna hijau biru dan mengkilap luar biasa. Di samping
itu Boe Kie tak melihat keistimewaan apapun jua.
Dengan sinar mata yang seperti kilat si baju kuning
menyapu seluruh ruangan. Akhirnya ia mengawasi Boe
Kie. “Thio Kauwcoe,” katanya, “kau bukan kanak kanak
lagi. Mengapa kau masih memperlihatkan lagak bocah
nakal?” Suaranya menegur tapi nadanya hangat, seperti
nada seorang kakak yang bicara dengan adiknya.
Muka Boe Kie lantas saja berubah menjadi merah. “Tan
Tiangloo sangat licik dan mengancam… kawanku,”
jawabnya. “Maka itu aku tidak bisa berbuat lain daripada
menangkap pangcu mereka.”
Si nona tersenyum. “Menunggang seorang pangcu agak
keterlaluan,” katanya. “Dalam perjalanan dari Tiang an aku
sudah mendengar bahwa kauwcoe dari Beng kauw adalah
satu iblis kecil. Hari ini…ha!...ha!..,” ia menggeleng
gelengkan kepalanya.
Sekonyong konyong Soe hwee liong berteriak, “Thio Boe
Kie penjahat cabul! Lepaskan aku!” Ia mau memberontak
2240
tapi tak bertenaga.
Dimaki sebagai penjahat cabul di hadapan begitu banyak
wanita, Boe Kie malu bercampur gusar. Tanpa merasa
tenaga dalamnya keluar dan Soe hwee liong berteriak teriak
kesakitan.
Semua pengemis meluap darahnya. Mereka gusar
bercampur malu. Mereka malu karena pangcu mereka
memperlihatkan kelemahan di hadapan orang luar.
Jangankan seorang pangcu, sedang seorang anggota Kay
Pang yang biasapun tak akan berteriak teriak kesakitan di
hadapan lawan.
“Thio Boe Kie,” kata Tan Yoe Liang, “Lepaskan Soe
pangcu.” Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban
ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung. Ia manusia
licik, tapi ia tahu Boe Kie tak akan menarik keuntungan
secara licik. Benar saja Boe Kie segera melompat turun dari
punggung Soe hwee liong dan dengan sekali lompat ia
sudah berada di samping Cie Jiak. Nona Cioe baru saja
tersadar, kedua matanya tertutup. Dengan rasa kasihan Boe
Kie lalu mendukungnya dan mendudukkannya di sebuah
kursi batu di ruangan itu.
Sementara itu sambil merangkap kedua tangannya Tan
Yoe Liang berkata kepada si nona baju kuning, “Pelajaran
apakah yang nona mau berikan kepada kami? Bolehkan
kami mendapat tahu she dan nama nona yang mulia?”
Sambil mengajukan pertanyaan yang sopan santun itu, dia
mengasah otaknya. Si baju kuning sudah cukup dewasa,
tapi ia masih mengenakan pakaian seorang gadis. Para
pengiringnya dan cara kedatangannya mengunjuk bahwa ia
bukan sembarangan orang. Tapi siapakah dia? Si gadis cilik
yang bermuka jelek juga merupakan sebuah teka teki. Dia
memegang tongkat Tah kauw pang (tongkat pemukul
anjing) dan Tah kauw pang adalah tanda kepercayaan atau
2241
tanda kekuasaan seorang pangcu partai Kay Pang. Cara
bagaimana tongkat itu bisa berada dalam tangan si muka
jelek? Inilah pertanyaan2 yang berkelebat di otak Tan Yoe
Liang.
“Dimana adanya Hoen goan Pek lek chio Seng koen?”
tanya si baju kuning dengan suara dingin. “Suruh dia keluar
untuk menemui aku.”
Boe Kie terkesiap.
Tan Yoe Liang berubah paras mukanya. Tapi perubahan
itu hanya untuk sejenak. Di lain detik ia menjawab dengan
tenang. “Hoen goan Pek lek chioe Seng koen?” Dia adalah
guru Kim mo Say ong Cia Soen. Pertanyaan nona
seharusnya diajukan kepada Kauwcoe dari Beng kauw”.
“Siapa tuan?” tanya si nona
“Aku she Tan, namaku Yoe Liang, tiangloo delapan
karung dari Kay pang.”
Sambil menuding Soe Hwee Liong, si baju kuning
bertanya pula. “Siapa manusia itu? Macamnya begitu
keren, kenapa dia begitu tolol? Dipijit sedikit saja sudah
berteriak teriak!”
Tak kepalang rasa malunya para tokoh pengemis.
Sebagian di antara mereka memang memandang rendah
kepada Soe Hwee Liong.
“Ia adalah Soe Pangcoe dari partai kami,” jawab Tan
Yoe Liang. “Beliau habis sembuh dari penyakit dan
badannya masih sangat lemah. Nona, sebagai tamu dari
tempat jauh, sedapat mungkin aku akan memperlakukan
kau secara sopan. Tapi jika kau masih mengeluarkan
omongan yang tidak-tidak, kami takkan merasa segan segan
untuk bertindak terhadapmu.”
2242
Si nona tidak menghiraukan ancaman itu. Ia berpaling
kepada seorang berbaju hitam dan berkata, “Siauw Coei,
pulangkan suratnya!”
Si baju hitam mengangguk, merogoh saku dan
mengeluarkan sepucuk surat.
Boe Kie yang bermata jeli lantas saja lihat huruf huruf
yang bertuliskan di atas amplop yang berbunyi sebagai
berikut. “Dipersembahkan kepada Han Toa ya San Tong
pribadi dari Beng Kauw.” Di sebelah bawahnya terdapat
huruf huruf yang lebih kecil. “Dari Soe dari Kay pang.”
Begitu melihat surat itu, darah Ciang pang Liong tauw
mendidih. “Perempuan hina dina!” cacinya. “Kalau begitu
kaulah pencuri surat!” Ia mengangkat tongkatnya dan
bersiap untuk menerjang.
Siauw Coei tertawa geli. “Kau tua bangka tolol!” ia balas
mencaci. “Surat saja kau tak mampu jaga. Apa kau tak
malu?” Seraya ia berkata lantas saja terbang ke arah Ciang
pang Liong tauw. Jarak antara mereka kurang lebih tiga
tombak. Bahwa si baju hitam bisa melemparkan sepucuk
surat yang begitu enteng pada jarak tiga tombak merupakan
bukti, bahwa dia memiliki tenaga dalam yang sangat kuat.
Ciang pang Liong tauw mengangkat tangannya untuk
menyambuti. Di luar dugaan, pada jarak tiga kaki, surat ini
mendadak membelok ke kiri dan jatuh di lantai. Ciang pang
Liong tauw kaget dan lalu membungkuk untuk
menjemputnya. Sekonyong konyong Boe Kie mengibaskan
tangannya dan mengirim tenaga angin, sehingga surat itu
terbang ke atas.
Hampir berbareng, ia mengerahkan Kian koen Tay lo ie
Sin kang, sehingga di lain detik surat itu sudah berada di
dalam tangannya. Semua pengemis pucat mukanya.
Mereka yang tak tahu sebab musababnya menduga bahwa
2243
Boe Kie memiliki ilmu gaib.
Sebagai hasil mengintainya, Boe Kie sudah mengetahui
bahwa Ciang pang Liong tauw telah diperintahkan oleh Soe
Hwee Han San Tong yang mau dipaksa supaya menakluk
kepada Kay pang, dengan menggunakan Han Lim Jie
sebagai tunggangan. Kini, dengan mendengar pembicaraan
antara Ciang pang Liong tauw dan Siauw Coei, ia tahu
bahwa di tengah jalan, nona nona baju putih hitam itu telah
mempermainkan dan mencuri surat si pengemis tua yang
terpaksa pulang ke Louw liong sebelum dapat menunaikan
tugasnya. Waktu suratnya tercuri, si pengemis ternyata tak
tahu siapa yang mencurinya, sehingga dengan demikian
dapatlah dibayangkan kelihayannya nona2 itu, yang
dipimpin si baju kuning. Mengingat itu, diam diam Boe Kie
merasa berterima kasih terhadap si baju kuning.
Sementara itu, sambil tersenyum si baju kuning berkata.
“Han San Tong mengangkat senjata di daerah Hway see
untuk mengusir Tat coe dari negara kita. Di sepanjang jalan
kudengar dia seorang gagah budiman yang sangat
memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Maka itu,
sangatlah tak bisa jadi, bahwa dia akan mau mengkhianati
Beng kauw dan menekuk lutut kepada Kay pang, sebab
puteranya ditahan oleh Kay pang. Thio Kauwcoe,
pulangkanlah surat itu. Andaikata surat itu benar-benar
jatuh ke tangan Han toaya, akibatnya yang buruk hanya
dirasakan oleh Kay pang sendiri. Aku sudah mencuri surat
itu karena melihat ketololan Liong tauw Toako dan juga
karena di dalam Kay pang terdapat suatu soal besar yang
memerlukan kedatangan di tempat ini.”
“Terima kasih atas bantuan Toacie,” kata Boe Kie
sambil merangkap kedua tangannya. “Terimalah
hormatnya Boe Kie.”
Si nona membalas hormat. “Thio Kauwcoe, tak usah kau
2244
memakai banyak peradatan,” katanya sambil tersenyum.
Boe Kie mengibaskan tangan kanannya dan surat itu
lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong tauw. Sesudah
itu, diam diam ia mengirim “am kin” (tenaga gelap atau
tenaga yang dikirim dari jarak jauh), yang biarpun dikirim
belakangan, tiba terlebih dulu, kira-kira dua kaki di sebelah
depan surat tersebut.
Demikianlah, pada saat Ciang pang Liong tauw
mengangsurkan tangannya untuk menyambut surat itu,
tiba-tiba ia didorong dengan semacam tenaga yang tidak
kelihatan, sehingga mau tak mau, ia terhuyung tiga langkah
ke belakang hampir hampir ia jatuh terguling di lantai.
Sedetik kemudian surat itu jatuh di lantai.
Si tua kaget tercampur gusar. Sambil membungkuk dan
menjemput surat itu, ia berteriak. “Perempuan binatang
mana yang menyerang dengan anak panah gelap?” Ia
mencaci begitu sebab menduga dirinya diserang dengan
senjata rahasia luar biasa oleh salah seorang wanita
tersebut.
Si baju kuning menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sungguh cuma-cuma kau menjadi salah seorang tokoh
Kay pang,” katanya dengan suara menyesal. “Kau bahkan
tak tahu pukulan Khek-shoa Peh goe dari Thio Kauwcoe.”
(Khek shoa Peh goe – memukul kerbau dari tempat yang
teraling gunung).
Para pengemis terkejut. Mereka sudah dengar bahwa
dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang bisa
merobohkan musuh dari jarak jauh, tapi belum pernah
menyaksikan dengan mata sendiri. Di luar dugaan, hari ini
mereka membuktikan kebenaran cerita itu.
“Orang pintar sering melakukan perbuatan tolol karena
kepintarannya itu,” kata pula si baju kuning. “Dunia
2245
memang begitu. Kamu merasa bahwa dengan menawan
Han Lam Jie, kamu akan bisa memaksakan takluknya Han
San Tong? Hari itu, sebab beberapa kali menemui rintangan
kau sudah mengambil jalanan kecil untuk menyingkir dari
segala ganggugan. Tapi kau tidak tahu, bahwa andaikata
surat itu bisa didengar oleh Han San Tong, bagi Kay-pang
sedikitpun tidak ada faedahnya.”
Mendengar perkataan si nona, mendadak Tan Yoe Liang
ingat sesuatu. Buru buru ia mengambil surat itu dari tangan
Ciang pang Liong tauw. Amplop surat kelihatannya masih
utuh. Ia lalu merobek amplop, mengeluarkan suratnya dan
lalu membacanya. Begitu membaca, paras mukanya
berubah pucat. Mengapa? Sebab surat itu yang semula
isinya untuk memaksakan menakluknya Han San Tong
kepada Kay pang, sekarang berubah menjadi surat minta
menakluknya Kay pang kepada Beng kauw! Surat itu penuh
dengan perkataan perkataan merendahkan diri, memohonmohon
supaya Beng kauw sudi menerima menakluknya
Kay pang.
Si baju kuning tertawa dingin. “Benar!” katanya. “Surat
itu telah aku baca, tetapi bukan aku yang mengubahnya.
Sesudah membaca kutahu, bahwa Ciang pang Liong tauw
telah dikerjai oleh seorang yang berkepandaian tinggi.
Dengan mengingat, bahwa leluhurku mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan Kay pang, aku sudah
curi surat itu, supaya ‘pang’ yang terbesar dalam dunia tak
usah mendapat malu yang sedemikian hebat. Coba kau
pikir. Kalau surat itu diserahkan oleh Ciang pang Liong
tauw kepada Han San Tong, apakah Kay pang masih ada
muka untuk berdiri lebih lama lagi dalam dunia Kang
ouw?”
Dengan bergantian Coan kang dan Cie hoat Tiang loo,
Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw membaca surat itu.
2246
Seperti Tan Yoe Liang paras muka mereka segera berubah
pucat. Mereka malu bercampur gusar. Memang benar,
andaikata surat takluk itu dicoba Han San Tong habislah
nama Kay pang. Segenap murid Kay pang tak akan bisa
berdiri lagi di muka bumi. Ditinjau dari sudut ini, dengan
mencuri surat itu, si baju kuning sudah berbuat kebaikan
terhadap partai pengemis. Tapi siapakah yang sudah main
gila, yang sudah mengubah surat itu?
Seluruh ruangan berubah sunyi.
Tiba-tiba Siauw Coei tertawa. “Kalian ingin tahu siapa
yang menukar surat itu bukan?” tanyanya.
Semua pengemis lantas saja memperlihatkan paras muka
yang tidak sabaran.
“Ciang pang Liong tauw, bukalah jubah luarmu,” kata
pula Siauw Coei.
Ciang pang Liong tauw seorang yang beradat polos dan
berangasan. Tanpa membuka kancing ia menarik jubahnya.
“Bret!” semua kancing putus. Nah sekarang bagaimana?”
bentaknya sambil melontarkan jubahnya di lantai.
Tiba-tiba para pengemis di belakangnya mengeluarkan
teriakan ‘ih’, seperti juga mereka melihat sesuatu yang
mengejutkan.
“Ada apa?” tanya Ciang pang Liong tauw sambil
memutar tubuh. Enam tujuh orang menuding ke arah
punggungnya. Dengan tidak sabar ia merobek baju
dalamnya, sehingga terlihatlah daging dan otot otot
badannya yang menonjol keluar. Ia mengawasi baju
dalamnya. Ternyata di bagian punggung baju itu terlukis
sebuah gambar kelelawar hijau dengan warna menakutkan,
mulut berlepotan warna merah darah dan sepasang sayap
yang sangat besar, itulah gambar kelelawar pengisap darah.
2247
“Ceng ek Hok ong Wie It Siauw!” seru Coan kang dan
Cie hoat Tiangloo dengan berbareng.
Dahulu Wie It Siauw jarang datang di Tianggoan dan
namanya tidak begitu dikenal. Selama waktu-waktu
belakangan ia berkelana di dunia Kang ouw dengan sabansaban
memperlihatkan kepandaiannya, sehingga namanya
termashyur, bahkan lebih cemerlang daripada Peh bie Eng
Ong In Thian Ceng.
Melihat gambar itu bukan main girangnya Boe Kie.
Di lain pihak dengan kegusaran yang meluap-luap,
Ciang pang Liong tauw menimpuk Boe Kie dengan baju
dalamnya itu sambil mencaci. “Bagus! Kalau begitu loohoe
telah dipermainkan oleh kawanan siluman dari agamamu!”
Boe Kie mengibaskan tangan bajunya dan baju dalam itu
lantas saja terapung ke atas dan akhirnya menyangkut
cabang tertinggi dari sebuah pohon beng.
Tan Yoe Liang mulai bingung. Ia merasa bahwa jalan
paling baik ialah coba menyampingkan urusan surat itu.
Maka itu, ia lantas menanya si baju kuning. “Apakah kami
boleh mendapat tahu she dan nama nona yang mulia?
Hubungan apakah yang dipunyai nona dengan kami
semua?”
“Dengan kamu?” menegas si nona dengan suara dingin.
“Aku hanya mempunyai sedikit hubungan dengan tongkat
Tah kauw pang ini.”
Semua pengemis tahu, bahwa Tah kauw pang adalah
tongkat tanda kekuasaan dari seorang pangcoe dan mereka
adalah sungguh tak mengerti mengapa tongkat itu bisa
berada di tangan orang lain. Semua mata ditujukan kepada
Soe Hwee Liong yang mukanya pucat pasi dan
kelihatannya bingung sekali.
2248
“Pangcoe, apakah Tah Kauw pang yang dipegang oleh
wanita itu tulen atau palsu?” tanya Coan kang Tiangloo.
“Aku… aku… kukira palsu,” jawabnya.
“Baiklah,” kata si baju kuning. Sekarang keluarkan yang
tulen, supaya bisa dibandingkan.”
“Tah kauw pang adalah mustika dari partai kami,” kata
Soe Hwee Liong. “Tak dapat aku memperlihatkannya
kepada sembarang orang. Lagipula aku sekarang tidak
membawa tongkat itu, sebab kuatir hilang.”
Para pengemis merasa bahwa alasan itu tak masuk akal.
Cara bagaimana seorang Pangcoe bisa tak membawa Tah
kauw pang sebab takut tongkat itu hilang?
Sekonyong konyong si gadis cilik mengangkat tongkat itu
tinggi dan berkata dengan suara nyaring. “Para Tiangloo!
Para murid Kaypang lihatlah Tah kauw pang adalah
mustika partai kita yang sudah turun temurun. Mana bisa
tongkat ini palsu?”
Mendengar si cilik menggunakan istilah “partai kita”,
semua orang merasa heran. Mereka meneliti tongkat itu
yang mengkilap bagaikan giok dan keras melebihi besi. Tak
usah disangsikan lagi, tongkat itu adalah Tah kauw pang
yang tulen. Semua pengemis saling mengawasi. Mereka tak
dapat menangkap apa itu artinya semua.
Si baju kuning tersenyum tawar dan berkata dengan
suara tawar pula. “Kudengar pangcoe dari Kaypang
memiliki dua rupa ilmu yang sangat istimewa, yaitu Han
Liong Sip pat Ciang dan Tah kauw pang hoat. Siauw Hong,
cobalah kau meminta pelajaran Han Liong Sip pat Ciang
dari Coan kang Tiangloo. Siauw leng, sesudah Siauw Hong
Cie cie memperoleh kemenangan, kau boleh minta
pelajaran Tah kauw pang hoat dari Soe pangcoe.” Dua
2249
wanita yang memegang seruling lantas saja melompat
keluar dan berdiri di kiri kanan.
“Nona!” bentak Tan Yoe Liang dengan suara gusar.
“Bahwa kau tak sudi memberitahukan she dan namamu
saja, kau sudah tidak memandang sebelah mata kepada
kami semua. Sekarang bahkan kau menyuruh kedua
pelayanmu untuk menantang Pemimpin kami. Di dalam
dunia Kang ouw, mana ada kekurang ajaran yang seperti
itu? Soe Pangcoe biarlah teecoe yang bereskan kedua
pelayan itu dan kemudian teecoe akan menjajal
kepandaiannya perempuan yang sudah menghina partai
kita.”
“Baiklah,” kata Soe hwee liong.
Tan Yoe Liang segera menghunus pedang dan maju ke
tengah ruangan.
“Nonaku menyuruh aku meminta pelajaran dalam ilmu
Hang liong Sip pat ciang,” kata Siauw Hong. “Apa kau
mahir dalam ilmu itu?” Apa Hang liong Sip pat ciang
menggunakan pedang?”
“Soe Pangcu seorang yang berkedudukan sangat tinggi
dan bukan lawan sebangsa pelayan,” kata Tan Yoe Liang
dengan suara menghina. Juga tak mungkin seorang pelayan
memiliki Hang liong Sip pat ciang. Sudahlah. Terimalah
kebinasaanmu di bawah pedangku!”
“Thio Kauwcoe, kata si baju kuning kepada Boe Kie,
“bolehkah kuminta bantuanmu?”
“Tentu saja,” jawabnya.
“Kuminta kau lemparkan manusia she Tan itu dan bekuk
penipu itu yang menyamar sebagai Soe Pangcu,” kata pula
si nona.
2250
Tadi, waktu menawan Soe hwee liong, Boe Kie sudah
bercuriga, sebab orang itu ternyata tak punya kepandaian
tinggi yang sesuai kedudukannya. Kecurigaannya jadi
makin lebih besar karena melihat orang itu tak punya
pendirian dan selalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.
Maka itu, begitu mendengar perkataan si baju kuning yang
menamakan orang itu sebagai ‘penipu yang menyamar
sebagai Soe pangcoe’, ia tidak bersangsi lagi. Ia
mengangguk dan lalu melompat ke arah Soe hwee liong.
Soe hwee liong meninju dengan pukulan Tiong tian pauw.
Boe Kie tertawa terbahak bahak.
“Apa ini Hang liong Sip pat ciang?” teriaknya seraya
mencengkeram baju di dada Soe Hwee liong yang lalu
diangkat tinggi tinggi. Tan Yoe Liang tahu, bahwa ia bukan
tandingan Boe Kie. Tanpa mengeluarkan sepatah kata ia
mundur dan menghilang di antara para pengemis.
Sekonyong konyong si nona cilik menangis keras. Ia
menubruk dan mencengkeram baju Soe hwee liong, dan
bagaikan kalap memukulnya berulang ulang. “Binatang!”
teriaknya. Kau sudah membinasakan ayahku! Kau
membunuh ayahku! Aku akan cincang badanmu!” Ia
menjambret rambut Soe hwee liong dan… rambut itu
terlepas dan terlihatlah kepala yang gundul.
Rambut palsu!
Dengan punggung ditekan Boe Kie, orang itu tidak
berdaya. Si nona cilik terus memukul. Beberapa tinju
menimpa hidungnya, tapi hidung itu tidak mengeluarkan
darah. Hidungnya juga hidung palsu!
Para pengemis lantas saja berteriak-teriak.
“Siapa kau?” tanya yang satu.
“Binatang! Mengapa kau berani menyamar sebagai Soe
2251
pangcoe?” caci yang lain.
“Dimana Soe pangcoe?” dan sebagainya.
Sambil tersenyum Boe Kie mengangkat tubuh orang itu
tinggi tinggi yang kemudian dibanting ke lantai. Dia
berteriak kesakitan dan tidak bisa bangun lagi. Ia merasa
bahwa urusan itu adalah urusan pribadi Kay pang yang
harus diselesaikan oleh orang orang Kay pang sendiri.
Ciang pang Liong tauw yang berangasan lantas saja
mengirim tinju delapan gaplokan ke pipi si penipu yang
lantas saja menjadi bengkak.
“Bukan aku!…” ia sesambat. “Aku… aku diperintah oleh
Tan… Tan… Tiangloo!...”
Cie hoat Tiangloo terkejut, “Mana Tan Yoe Liang?”
tanyanya.
Tapi Tan Yoe Liang tak kelihatan mata hidungnya.
Begitu dia lihat gelagat jelek, begitu dia kabur.
“Kejar!” bentak Cie hoat Tiangloo. Beberapa murid
tujuh karung lantas saja mengiakan dan berlari lari keluar
dari gedung itu untuk mencari manusia yang kabur itu.
“Bangsat!” caci Ciang pang Liong tauw. “Sungguh
penasaran aku musti berlutut di hadapanmu dan memanggil
kau sebagai Soe pangcoe.” Ia mengangkat tangannya dan
mau menggapelok lagi.
“Pang Heng tee, tahan!” cegah Cie hoat Tiang loo.
“Kalau dia mati, kita sukar mencari keterangan.” Ia
memutar badan dan berkata kepada si baju kuning sambil
merangkap kedua tangannya. “Kalau tak mendapat
petunjuk Kouwnio, sampai sekarang kami masih dikelabui
oleh manusia itu. Bolehkah kami mendapat tahu she dan
nama Kouwnio yang harum? Seluruh Kaypang sangat
2252
berhutang budi kepada Kouwnio.”
Si nona tertawa tawar dan berkata, “Aku sudah biasa
hidup di gunung dan tak pernah berhubungan dengan dunia
luar. Aku sendiri sudah lupa she dan namaku. Tapi apakah
benar-benar di antara kalian tiada yang mengenali adik
ini?”
Semua pengemis lantas saja mengawasi si gadis cilik.
Tiba-tiba Coan kang Tiangloo maju beberapa tindak dan
berkata dengan suara parau. “Dia… dia… seperti Soe
pangcoe Hoejin.. apa…apa…”
“Benar,” kata si baju kuning. “Dia Soe Hong Sek, puteri
tunggal dari Soe Hwee Liong Pangcoe. Waktu menghadapi
kebinasaan Soe Pangcoe telah memerintahkan murid
kepalanya, Ong Siauw Thian untuk membawa lari anak itu
dan Tah Kauw pang mencari aku supaya di kemudian hari
sakit hatinya bisa dibalas. Hanya sayang sebab terluka berat
dalam pertempuran, jiwa Ong Siauw Thian tak dapat
ditolong. Tapi ia sedikitnya sudah bisa mengantarkan Hong
Sek kepadaku.”
“Kouw… kouw… nio,” kata Coan kang Tiang loo suara
terputus-putus. “Kau kata Soe Pangco sudah meninggal
dunia…? Bagaimana matinya Soe Pangcoe?”
* * * * *
Pada dua puluh tahun lebih yang lalu, karena tenaga
dalamnya tidak mencukupi dalam latihan Hang liong Sip
pat ciang, badan Soe Hwee liong lumpuh separoh dan tidak
bisa menggerakkan kedua lengannya. Dengan mengajak
isterinya, ia pergi ke gunung gunung untuk mencari obat
dan menyerahkan urusan Kay pang kepada Coan kang dan
Cie hoat Tiangloo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw.
Karena kekurangan seorang pemimpin yang pandai dan
keempat tetua itu hanya mengurus bidang masing-masing
2253
dan tidak bekerja sesama keras, maka kian lama Kay pang
yang besar jadi kian lemah.
Waktu Pangcoe palsu mendadak muncul, murid-murid
yang berusia muda tentu saja tidak mengenalnya, sedang
para tetua juga kena dikelabui sebab mereka sudah
berpisahan selama bertahun-tahun dan muka si penipu
memang sangat mirip dengan muka Soe Pangcoe.
* * * * *
Si baju kuning menghela napas dan berkata dengan suara
perlahan. “Soe Pangcoe binasa dalam tangan Hoen goan
Pek lek chioe Seng Koen!”
“Hah!” Boe Kie mengeluarkan seruan tertahan. Dalam
pertempuran di Kong beng teng, dengan mata sendiri ia
menyaksikan bagaimana Seng Koen dipukul mati oleh
pamannya. Maka itu, ia lantas saja bertanya. “Kouwnio,
lagi kapan Soe Pangcu dibinasakan?”
“Tahun yang lalu, tanggal enam bulan sepuluh,”
jawabnya. “Sampai sekarang sudah dua bulan lebih.”
“Heran sungguh!” kata pula Boe Kie. “Cara bagaimana
Kouwnio tahu bahwa yang turunkan tangan jahat adalah
bangsat Seng Koen?”
“Ong Siauw Thian yang memberitahukan kepadaku,”
jawabnya. “Ong Siauw Thian mengatakan, bahwa Soe
Pangcoe telah beradu tangan dua belas kali dengan seorang
kakek. Kakek ini muntah darah dan lari. Soe Pangcoe pun
mendapat luka di dalam dan ia tahu lukanya tak dapat
disembuhkan laagi. Ia menduga, bahwa tiga hari kemudian,
sesudah sembuh, si kakek akan menyateroni lagi. Maka itu
ia segera memberi pesanan terakhir kepada Ong Siauw
Thian dan memberitahukan, bahwa musuh itu adalah Hoe
goan Pek lek Thioe Seng Koen. Pada waktu itu lumpuhnya
2254
Soe pangcoe sudah hampir sembuh. Ia memiliki dua belas
pukulan dari Hang liong Sip pat ciang dan di dalam dunia,
ia sudah jarang tandingan. Dalam pertempuran melawan
Seng Koen, ia sudah menggunakan kedua belas pukulan itu
dan sesudah itu, ia tidak bisa menyelamatkan diri lagi dari
tangan jahatnya musuh.” Mendengar itu Soe Hong Sek
menangis lagi.
Dengan paras muka berduka Coan kang Tiang loo
mengeluarkan sapu tangannya yang kotor dan menyusut air
mata si nona. “Siauw sumoay,” katanya. “Sakit hati
Pangcoe adalah sakit hati berlaksa murid Kay pang. Kami
akan membekuk Seng Koen dan mencincang badannya jadi
laksaan potong. Kami pasti akan membalas sakit hati
mendiang ayahmu. Tapi dimanakah adanya ibumu?”
“Ibu sedang berobat ke rumah Yo Cie ci,” jawabnya
sambil mengunjuk si baju kuning. Sekarang baru orang tahu
bahwa gadis itu seorang she Yo.
“Soe hoejin juga kena dipukul Seng Koen dan mendapat
luka yang sangat berat,” kata si baju kuning sambil
menghela nafas. “Ia datang di rumahku sesudah melalui
perjalanan jauh dan sampai kini ia belum tersadar dari
pingsannya. Apa ia masih bisa ditolong… sukar dikatakan.”
“Tapi… apa dosanya pangcoe, sehingga binatang Seng
Koen sudah menurunkan tangan jahatnya?” tanya Cie hoat
tiangloo dengan suara penasaran. “Sakit hati apa sudah
terjadi di antara mereka?”
“Menurut perasaan Soe pangcoe, ia sama sekali belum
pernah mengenal Seng Koen,” menerangkan si baju kuning.
“Sama sekali tidak ada soal sakit hati. Sampai pada detik
terakhir, Soe pangcoe juga tak tahu sebab musababnya.
Menurut dugaan Soe pangcoe, mungkin sekali ada orang
Kay pang yang berbuat suatu kesalahan dan Seng Koen
2255
mencari Soe pangcoe untuk membalas sakit hati.”
Cie hoat menundukkan kepalanya. Sesudah berpikir
beberapa saat, ia berkata pula. “Untuk menyingkirkan diri
dari kejaran Cia Soen, selama beberapa puluh tahun Seng
Koen tidak pernah muncul dalam dunia Kang ouw. Mana
bisa jadi murid Kay pang kebentrok dengan dia? Dalam hal
ini mungkin terselip salah mengerti yang sangat hebat.”
Ciang poen Liong tauw yang sedari tadi tak pernah
mengeluarkan sepatah kata, tiba2 mengambil sebatang
golok bengkok dan menandalkan senjata itu di lehernya si
penipu. “Binatang!” bentaknya. “Siapa namamu? Mengapa
kau menyamar sebagai Soe pangcoe? Lekas mengaku!
Kalau kau berdusta… huh… huh… Ia mengangkat
goloknya dan menyabet sebuah kursi yang lantas saja
terbelah dua.
Dengan badan bergemetaran, si gundul berkata, “Aku…
aku… siauw jin Lay tauw goan Lauw Ngauw (Lauw
Ngauw, si kura-kura kepala buduk), salah seorang tauwbak
(kepala kelompok) perampok dari kawanan perampok di
Loan sek kang, kota Kay koan, propinsi Soa say. Apa mau,
waktu merampok, Siauwjin bertemu dengan Tan toaya dan
guru Tan toaya menendang Siauwjin sehingga roboh dan
selagi Tan toaya mengangkat pedangnya, siauwjin meminta
ampun. Setelah mengawasi siauwjin, tiba2 Tan Toaya
berkata, “Soe hoe, roman bangsat kecil ini mirip orang yang
kita temui kemarin dulu.” Gurunya menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata, “Huh..huh… lain, tidak sama. Usianya
tak cocok, hidungnya terlalu kecil, kepalanya gundul.’ Tan
toaya tertawa dan berkata, “Soe hoe jangan kuatir, teecu
mempunyai daya untuk mengubah itu semua.” Tan toaya
lalu mengajak siauwjin ke sebuah rumah penginapan di Kay
koan. Ia menggunakan sek-ko untuk meninggikan hidung
Siauwjin dan memberi rambut palsu… sehingga siauwjin
2256
beroman seperti sekarang. Para loya, andaikata siauwjin
punya nyali sebesar langit, siauwjin takkan berani
mempermalukan para looya. Siauwjin sudah melakukan ini
semua karena diperintah oleh Tan toaya. Jiwa anjing
siauwjin berada dalam tangannya. Siauwjin tidak berani
tidak menurut. Siauwjin mempunyai seorang ibu sudah
berusia delapan puluh tahun… siauwjin mohon para looya
sudi mengampuni jiwa anjing Siauwjin.” Sehabis berkata
begitu, sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya.
Cie hoat Tiangloo mengerutkan alisnya. Tan Yoe Liang
murid Siauw lim pay dan gurunya pendeta Siauw lim sie,”
katanya. “Apa dia mempunyai lain guru?”
Pertanyaan itu menyadarkan Boe Kie. “Benar,” ia
menyambungi. “Seng Koen adalah gurunya.” Ia lalu
memberi tahu, bahwa dengan menggunakan nama Goan
tin, Seng Koen masuk ke Siauw lim sie dan berguru kepada
pendeta suci Kong kian. Selanjutnya ia menceritakan cara
bagaimana di waktu kecil ia pernah dicelakakan oleh Goan
tin di dalam kuil Siauw lim sie, cara bagaimana Goan tin
turut menyerang Kong beng teng dan akhirnya binasa
dalam tangan pamannya, In Ya Ong. Ia menambahkan,
bahwa memang benar mayat Goan tin sekonyong konyong
hilang.
“Kalau begitu, kita boleh tak usah bersangsi lagi, bahwa
di waktu itu Seng Koen pura pura mati dan kemudian
kabur,” kata Cie hoat Tiangloo.
“Tapi penjahat yang paling besar dan yang paling jadi
dalangnya adalah bangsat Tan Yoe Liang,” kata Coan kang
Tiangloo. “Mereka berdua, guru dan murid, mempunyai
angan angan untuk merajai di kolong langit. Mereka
membunuh Soe pangcoe, menyuruh buaya kecil ini
menyamar sebagai Pangcoe, coba mempengaruhi Beng
kauw, berusaha untuk menguasai Siauw lim, Boe tong dan
2257
Go Bie pay. Huh..huh..! Angan angan mereka benar benar
tak kecil… Eeh!… mana Song Ceng Soe?”
Ternyata pada waktu perhatian semua orang ditujukan
kepada Pangcoe tetiron, si baju kuning dan Soe Hong Sek,
diam diam Song Ceng Soe turut menghilang.
Sesudah rahasia kejahatan Tan Yoe Liang terbuka,
sambil menyoja si baju kuning, Coan kang Tiangloo
berkata, “Kouwnio telah membuang budi yang sangat besar
kepada Kay pang dan kami tak tahu cara bagaimana untuk
membalasnya.”
Si nona tertawa tawar. “Orang tuaku punya hubungan
erat dengan Pangcoe yang dulu,” katanya. “Bantuan yang
tiada artinya ini tidak berharga untuk disebut sebut. Aku
hanya mengharap kalian suka merawat baik baik adik Soe
ini.” Ia membungkuk dan dengan berkelebat, ia sudah
berada di atas genteng.
“Kouwnio tunggu dulu!” teriak Coan kang tiangloo.
Hampir berbareng, empat wanita baju hitam dan empat
baju putih turun melompat ke atap gedung, diiringi dengan
suara khim dan seruling. Dalam sekejap suara tetabuhan itu
telah terdengar sayup sayup di tempat jauh dan kemudian
menghilang dari pendengaran. Dengan mulut ternganga
semua orang mengawasi ke atas genteng.
Sambil menuntun tangan Soe Hong Sek, Coan kang
Tiangloo berkata kepada Boe Kie. “Thio Kauwcoe, mari
masuk.”
Ia mempersilahkan Boe Kie berjalan lebih dahulu dan
tanpa sungkan2 Boe Kie segera bertindak masuk dengan
melewati dua baris pengemis yang berdiri sebagai pengawal
kehormatan. Setelah berduduk dengan Cie Jiak di
sampingnya, Boe Kie segera berkenalan dengan para tetua
2258
Kay pang dan lalu menanyakan halnya Cia Soen.
“Coan Tiangloo,” katanya. “Jika ayah angkatku, Kim
mo Say ong berada di tempat kalian, kuminta bertemu.”
Coan kang tiangloo menghela nafas. “Karena perbuatan
bangsat Tan Yoe Liang, Kay pang mendapat malu besar
terhadap segenap orang gagah,” katanya. “Memang benar,
waktu berada di Kwan gwa, Cia tayhiap dan Cioe kouwnio
diundang oleh kami. Ketika itu Cia Tayhiap sakit, ia selalu
di pembaringan. Kami belum pernah bertempur dengannya.
Belakangan aku membawa beliau ke gedung ini. Pada
malam yang lalu, Cia tayhiap telah membinasakan murid
murid kami yang menjaganya dan lalu kabur. Peti peti mati
para korban masih berada di belakang gedung ini dan
belum dikuburkan. Jika tak percaya, Thio Kauwcoe boleh
lihat dengan mata sendiri.”
Mendengar keterangan yang diucapkan dengan sungguh
sungguh dan juga memang telah menyaksikan sendiri
terbinasanya beberapa murid Kay pang, Boe Kie segera
berkata, “Perkataan Coan Tiangloo tidak bisa tidak
dipercaya.”
Ia menundukkan kepala dan coba menebak nebak
kemana perginya sang ayah angkat. Dia ingat, bahwa pada
malam kaburnya Cia Soen, ia melihat bayangan seorang
wanita yang melompat turun dari atas tembok. Apakah
wanita itu si baju kuning? Mengingat itu, ia lantas menanya
Soe Hong Sek. “Tiauw moay moay, dimana rumah Yo
Ciecie? Apa dahulu memang telah mengenal dia?”
Si nona cilik menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak
pernah mengenal Yo Ciecie sebelum pertemuan di hari itu,”
jawabnya. “Sesudah mendapat pesanan Thia thia, dengan
membawa tongkat bambu ini Ong tiangloo membawa ibu
dan aku dengan naik kereta. Di tengah jalan aku bertemu
2259
dengan orang jahat. Dalam pertempuran, Ong tiangloo
terluka. Beberapa hari kami naik kereta, naik gunung Ong
toako tidak bisa berjalan lagi dan merangkak di tanah.
Belakangan kami tiba di luar sebuah hutan. Ong tiangloo
berteriak teriak. Belakangan datang seorang ciecie kecil
yang memakai baju hitam. Belakangan datang Yo ciecie
yang berbicara lama dengan Ong toako dan meneliti
tongkat bambu ini. Belakangan Ong tiangloo mati dan ibu
pingsan. Yo ciecie lalu membawa aku ke kereta, bersama
sama delapan ciecie kecil yang memakai baju putih dan
baju hitam.” Sebab masih kecil, keterangan Soe Hong Sek
tak terang dan Boe Kie tidak bisa mengorek sesuatu yang
diinginkan dari mulutnya.
Boe Kie menghela nafas dan untuk beberapa saat, semua
orang membungkam.
Akhirnya Coan kang tiangloo berkata, “Thio Kauwcoe,
putera Han San Tong berbicara ayah masih berada di
tempat kami!” Ia lalu berbicara dengan seorang pengemis
yang lantas masuk ke dalam dengan tindakan cepat.
Tak lama kemudian, terdengarlah cacian Han lim Jie.
“Pengemis, kau lagi lagi coba menipu tuan besarmu!”
teriaknya. Thio Kauwcoe seorang agung dan mulia. Mana
boleh jadi ia sudi datang di sarang kawanan pengemis bau?
Sudahlah! Lekas lekas kau hantarkan aku ke See tian (dunia
baka)! Segala akal bulusnya tidak dapat digunakan
terhadapku.”
Boe Kie merasa kagum. Di dalam hati ia memuji
pemuda itu, yang setia jujur dan bernyali besar. Buru buru
ia bangkit dan menyambut, “Han toako,” katanya, “aku
berada di sini. Selama beberapa hari kau banyak
menderita.”
“Aku she Tan, namaku Yoe Liang, tiangloo delapan
2260
karung dari Kay pang.”
Sambil menuding Soe Hwee Liong, si baju kuning
bertanya pula. “Siapa manusia itu? Macamnya begitu
keren, kenapa dia begitu tolol? Dipijit sedikit saja sudah
berteriak teriak!”
Tak kepalang rasa malunya para tokoh pengemis.
Sebagian di antara mereka memang memandang rendah
kepada Soe Hwee Liong.
“Ia adalah Soe Pangcoe dari partai kami,” jawab Tan
Yoe Liang. “Beliau habis sembuh dari penyakit dan
badannya masih sangat lemah. Nona, sebagai tamu dari
tempat jauh, sedapat mungkin aku akan memperlakukan
kau secara sopan. Tapi jika kau masih mengeluarkan
omongan yang tidak-tidak, kami takkan merasa segan segan
untuk bertindak terhadapmu.”
Si nona tidak menghiraukan ancaman itu. Ia berpaling
kepada seorang berbaju hitam dan berkata, “Siauw Coei,
pulangkan suratnya!”
Si baju hitam mengangguk, merogoh saku dan
mengeluarkan sepucuk surat.
Boe Kie yang bermata jeli lantas saja lihat huruf huruf
yang bertuliskan di atas amplop yang berbunyi sebagai
berikut. “Dipersembahkan kepada Han Toa ya San Tong
pribadi dari Beng Kauw.” Di sebelah bawahnya terdapat
huruf huruf yang lebih kecil. “Dari Soe dari Kay pang.”
Begitu melihat surat itu, darah Ciang pang Liong tauw
mendidih. “Perempuan hina dina!” cacinya. “Kalau begitu
kaulah pencuri surat!” Ia mengangkat tongkatnya dan
bersiap untuk menerjang.
Siauw Coei tertawa geli. “Kau tua bangka tolol!” ia balas
mencaci. “Surat saja kau tak mampu jaga. Apa kau tak
2261
malu?” Seraya ia berkata lantas saja terbang ke arah Ciang
pang Liong tauw. Jarak antara mereka kurang lebih tiga
tombak. Bahwa si baju hitam bisa melemparkan sepucuk
surat yang begitu enteng pada jarak tiga tombak merupakan
bukti, bahwa dia memiliki tenaga dalam yang sangat kuat.
Ciang pang Liong tauw mengangkat tangannya untuk
menyambuti. Di luar dugaan, pada jarak tiga kaki, surat ini
mendadak membelok ke kiri dan jatuh di lantai. Ciang pang
Liong tauw kaget dan lalu membungkuk untuk
menjemputnya. Sekonyong konyong Boe Kie mengibaskan
tangannya dan mengirim tenaga angin, sehingga surat itu
terbang ke atas.
Hampir berbareng, ia mengerahkan Kian koen Tay lo ie
Sin kang, sehingga di lain detik surat itu sudah berada di
dalam tangannya. Semua pengemis pucat mukanya.
Mereka yang tak tahu sebab musababnya menduga bahwa
Boe Kie memiliki ilmu gaib.
Sebagai hasil mengintainya, Boe Kie sudah mengetahui
bahwa Ciang pang Liong tauw telah diperintahkan oleh Soe
Hwee Han San Tong yang mau dipaksa supaya menakluk
kepada Kay pang, dengan menggunakan Han Lim Jie
sebagai tunggangan. Kini, dengan mendengar pembicaraan
antara Ciang pang Liong tauw dan Siauw Coei, ia tahu
bahwa di tengah jalan, nona nona baju putih hitam itu telah
mempermainkan dan mencuri surat si pengemis tua yang
terpaksa pulang ke Louw liong sebelum dapat menunaikan
tugasnya. Waktu suratnya tercuri, si pengemis ternyata tak
tahu siapa yang mencurinya, sehingga dengan demikian
dapatlah dibayangkan kelihayannya nona2 itu, yang
dipimpin si baju kuning. Mengingat itu, diam diam Boe Kie
merasa berterima kasih terhadap si baju kuning.
Sementara itu, sambil tersenyum si baju kuning berkata.
“Han San Tong mengangkat senjata di daerah Hway see
2262
untuk mengusir Tat coe dari negara kita. Di sepanjang jalan
kudengar dia seorang gagah budiman yang sangat
memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Maka itu,
sangatlah tak bisa jadi, bahwa dia akan mau mengkhianati
Beng kauw dan menekuk lutut kepada Kay pang, sebab
puteranya ditahan oleh Kay pang. Thio Kauwcoe,
pulangkanlah surat itu. Andaikata surat itu benar-benar
jatuh ke tangan Han toaya, akibatnya yang buruk hanya
dirasakan oleh Kay pang sendiri. Aku sudah mencuri surat
itu karena melihat ketololan Liong tauw Toako dan juga
karena di dalam Kay pang terdapat suatu soal besar yang
memerlukan kedatangan di tempat ini.”
“Terima kasih atas bantuan Toacie,” kata Boe Kie
sambil merangkap kedua tangannya. “Terimalah
hormatnya Boe Kie.”
Si nona membalas hormat. “Thio Kauwcoe, tak usah kau
memakai banyak peradatan,” katanya sambil tersenyum.
Boe Kie mengibaskan tangan kanannya dan surat itu
lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong tauw. Sesudah
itu, diam diam ia mengirim “am kin” (tenaga gelap atau
tenaga yang dikirim dari jarak jauh), yang biarpun dikirim
belakangan, tiba terlebih dulu, kira-kira dua kaki di sebelah
depan surat tersebut.
Demikianlah, pada saat Ciang pang Liong tauw
mengangsurkan tangannya untuk menyambut surat itu,
tiba-tiba ia didorong dengan semacam tenaga yang tidak
kelihatan, sehingga mau tak mau, ia terhuyung tiga langkah
ke belakang hampir hampir ia jatuh terguling di lantai.
Sedetik kemudian surat itu jatuh di lantai.
Si tua kaget tercampur gusar. Sambil membungkuk dan
menjemput surat itu, ia berteriak. “Perempuan binatang
mana yang menyerang dengan anak panah gelap?” Ia
2263
mencaci begitu sebab menduga dirinya diserang dengan
senjata rahasia luar biasa oleh salah seorang wanita
tersebut.
Si baju kuning menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sungguh cuma-cuma kau menjadi salah seorang tokoh
Kay pang,” katanya dengan suara menyesal. “Kau bahkan
tak tahu pukulan Khek-shoa Peh goe dari Thio Kauwcoe.”
(Khek shoa Peh goe – memukul kerbau dari tempat yang
teraling gunung).
Para pengemis terkejut. Mereka sudah dengar bahwa
dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang bisa
merobohkan musuh dari jarak jauh, tapi belum pernah
menyaksikan dengan mata sendiri. Di luar dugaan, hari ini
mereka membuktikan kebenaran cerita itu.
“Orang pintar sering melakukan perbuatan tolol karena
kepintarannya itu,” kata pula si baju kuning. “Dunia
memang begitu. Kamu merasa bahwa dengan menawan
Han Lam Jie, kamu akan bisa memaksakan takluknya Han
San Tong? Hari itu, sebab beberapa kali menemui rintangan
kau sudah mengambil jalanan kecil untuk menyingkir dari
segala ganggugan. Tapi kau tidak tahu, bahwa andaikata
surat itu bisa didengar oleh Han San Tong, bagi Kay-pang
sedikitpun tidak ada faedahnya.”
Mendengar perkataan si nona, mendadak Tan Yoe Liang
ingat sesuatu. Buru buru ia mengambil surat itu dari tangan
Ciang pang Liong tauw. Amplop surat kelihatannya masih
utuh. Ia lalu merobek amplop, mengeluarkan suratnya dan
lalu membacanya. Begitu membaca, paras mukanya
berubah pucat. Mengapa? Sebab surat itu yang semula
isinya untuk memaksakan menakluknya Han San Tong
kepada Kay pang, sekarang berubah menjadi surat minta
menakluknya Kay pang kepada Beng kauw! Surat itu penuh
dengan perkataan perkataan merendahkan diri, memohon2264
mohon supaya Beng kauw sudi menerima menakluknya
Kay pang.
Si baju kuning tertawa dingin. “Benar!” katanya. “Surat
itu telah aku baca, tetapi bukan aku yang mengubahnya.
Sesudah membaca kutahu, bahwa Ciang pang Liong tauw
telah dikerjai oleh seorang yang berkepandaian tinggi.
Dengan mengingat, bahwa leluhurku mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan Kay pang, aku sudah
curi surat itu, supaya ‘pang’ yang terbesar dalam dunia tak
usah mendapat malu yang sedemikian hebat. Coba kau
pikir. Kalau surat itu diserahkan oleh Ciang pang Liong
tauw kepada Han San Tong, apakah Kay pang masih ada
muka untuk berdiri lebih lama lagi dalam dunia Kang
ouw?”
Dengan bergantian Coan kang dan Cie hoat Tiang loo,
Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw membaca surat itu.
Seperti Tan Yoe Liang paras muka mereka segera berubah
pucat. Mereka malu bercampur gusar. Memang benar,
andaikata surat takluk itu dicoba Han San Tong habislah
nama Kay pang. Segenap murid Kay pang tak akan bisa
berdiri lagi di muka bumi. Ditinjau dari sudut ini, dengan
mencuri surat itu, si baju kuning sudah berbuat kebaikan
terhadap partai pengemis. Tapi siapakah yang sudah main
gila, yang sudah mengubah surat itu?
Seluruh ruangan berubah sunyi.
Tiba-tiba Siauw Coei tertawa. “Kalian ingin tahu siapa
yang menukar surat itu bukan?” tanyanya.
Semua pengemis lantas saja memperlihatkan paras muka
yang tidak sabaran.
“Ciang pang Liong tauw, bukalah jubah luarmu,” kata
pula Siauw Coei.
2265
Ciang pang Liong tauw seorang yang beradat polos dan
berangasan. Tanpa membuka kancing ia menarik jubahnya.
“Bret!” semua kancing putus. Nah sekarang bagaimana?”
bentaknya sambil melontarkan jubahnya di lantai.
Tiba-tiba para pengemis di belakangnya mengeluarkan
teriakan ‘ih’, seperti juga mereka melihat sesuatu yang
mengejutkan.
“Ada apa?” tanya Ciang pang Liong tauw sambil
memutar tubuh. Enam tujuh orang menuding ke arah
punggungnya. Dengan tidak sabar ia merobek baju
dalamnya, sehingga terlihatlah daging dan otot otot
badannya yang menonjol keluar. Ia mengawasi baju
dalamnya. Ternyata di bagian punggung baju itu terlukis
sebuah gambar kelelawar hijau dengan warna menakutkan,
mulut berlepotan warna merah darah dan sepasang sayap
yang sangat besar, itulah gambar kelelawar pengisap darah.
“Ceng ek Hok ong Wie It Siauw!” seru Coan kang dan
Cie hoat Tiangloo dengan berbareng.
Dahulu Wie It Siauw jarang datang di Tianggoan dan
namanya tidak begitu dikenal. Selama waktu-waktu
belakangan ia berkelana di dunia Kang ouw dengan sabansaban
memperlihatkan kepandaiannya, sehingga namanya
termashyur, bahkan lebih cemerlang daripada Peh bie Eng
Ong In Thian Ceng.
Melihat gambar itu bukan main girangnya Boe Kie.
Di lain pihak dengan kegusaran yang meluap-luap,
Ciang pang Liong tauw menimpuk Boe Kie dengan baju
dalamnya itu sambil mencaci. “Bagus! Kalau begitu loohoe
telah dipermainkan oleh kawanan siluman dari agamamu!”
Boe Kie mengibaskan tangan bajunya dan baju dalam itu
lantas saja terapung ke atas dan akhirnya menyangkut
2266
cabang tertinggi dari sebuah pohon beng.
Tan Yoe Liang mulai bingung. Ia merasa bahwa jalan
paling baik ialah coba menyampingkan urusan surat itu.
Maka itu, ia lantas menanya si baju kuning. “Apakah kami
boleh mendapat tahu she dan nama nona yang mulia?
Hubungan apakah yang dipunyai nona dengan kami
semua?”
“Dengan kamu?” menegas si nona dengan suara dingin.
“Aku hanya mempunyai sedikit hubungan dengan tongkat
Tah kauw pang ini.”
Semua pengemis tahu, bahwa Tah kauw pang adalah
tongkat tanda kekuasaan dari seorang pangcoe dan mereka
adalah sungguh tak mengerti mengapa tongkat itu bisa
berada di tangan orang lain. Semua mata ditujukan kepada
Soe Hwee Liong yang mukanya pucat pasi dan
kelihatannya bingung sekali.
“Pangcoe, apakah Tah Kauw pang yang dipegang oleh
wanita itu tulen atau palsu?” tanya Coan kang Tiangloo.
“Aku… aku… kukira palsu,” jawabnya.
“Baiklah,” kata si baju kuning. Sekarang keluarkan yang
tulen, supaya bisa dibandingkan.”
“Tah kauw pang adalah mustika dari partai kami,” kata
Soe Hwee Liong. “Tak dapat aku memperlihatkannya
kepada sembarang orang. Lagipula aku sekarang tidak
membawa tongkat itu, sebab kuatir hilang.”
Para pengemis merasa bahwa alasan itu tak masuk akal.
Cara bagaimana seorang Pangcoe bisa tak membawa Tah
kauw pang sebab takut tongkat itu hilang?
Sekonyong konyong si gadis cilik mengangkat tongkat itu
tinggi dan berkata dengan suara nyaring. “Para Tiangloo!
2267
Para murid Kaypang lihatlah Tah kauw pang adalah
mustika partai kita yang sudah turun temurun. Mana bisa
tongkat ini palsu?”
Mendengar si cilik menggunakan istilah “partai kita”,
semua orang merasa heran. Mereka meneliti tongkat itu
yang mengkilap bagaikan giok dan keras melebihi besi. Tak
usah disangsikan lagi, tongkat itu adalah Tah kauw pang
yang tulen. Semua pengemis saling mengawasi. Mereka tak
dapat menangkap apa itu artinya semua.
Si baju kuning tersenyum tawar dan berkata dengan
suara tawar pula. “Kudengar pangcoe dari Kaypang
memiliki dua rupa ilmu yang sangat istimewa, yaitu Han
Liong Sip pat Ciang dan Tah kauw pang hoat. Siauw Hong,
cobalah kau meminta pelajaran Han Liong Sip pat Ciang
dari Coan kang Tiangloo. Siauw leng, sesudah Siauw Hong
Cie cie memperoleh kemenangan, kau boleh minta
pelajaran Tah kauw pang hoat dari Soe pangcoe.” Dua
wanita yang memegang seruling lantas saja melompat
keluar dan berdiri di kiri kanan.
“Nona!” bentak Tan Yoe Liang dengan suara gusar.
“Bahwa kau tak sudi memberitahukan she dan namamu
saja, kau sudah tidak memandang sebelah mata kepada
kami semua. Sekarang bahkan kau menyuruh kedua
pelayanmu untuk menantang Pemimpin kami. Di dalam
dunia Kang ouw, mana ada kekurang ajaran yang seperti
itu? Soe Pangcoe biarlah teecoe yang bereskan kedua
pelayan itu dan kemudian teecoe akan menjajal
kepandaiannya perempuan yang sudah menghina partai
kita.”
“Baiklah,” kata Soe hwee liong.
Tan Yoe Liang segera menghunus pedang dan maju ke
tengah ruangan.
2268
“Nonaku menyuruh aku meminta pelajaran dalam ilmu
Hang liong Sip pat ciang,” kata Siauw Hong. “Apa kau
mahir dalam ilmu itu?” Apa Hang liong Sip pat ciang
menggunakan pedang?”
“Soe Pangcu seorang yang berkedudukan sangat tinggi
dan bukan lawan sebangsa pelayan,” kata Tan Yoe Liang
dengan suara menghina. Juga tak mungkin seorang pelayan
memiliki Hang liong Sip pat ciang. Sudahlah. Terimalah
kebinasaanmu di bawah pedangku!”
“Thio Kauwcoe, kata si baju kuning kepada Boe Kie,
“bolehkah kuminta bantuanmu?”
“Tentu saja,” jawabnya.
“Kuminta kau lemparkan manusia she Tan itu dan bekuk
penipu itu yang menyamar sebagai Soe Pangcu,” kata pula
si nona.
Tadi, waktu menawan Soe hwee liong, Boe Kie sudah
bercuriga, sebab orang itu ternyata tak punya kepandaian
tinggi yang sesuai kedudukannya. Kecurigaannya jadi
makin lebih besar karena melihat orang itu tak punya
pendirian dan selalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.
Maka itu, begitu mendengar perkataan si baju kuning yang
menamakan orang itu sebagai ‘penipu yang menyamar
sebagai Soe pangcoe’, ia tidak bersangsi lagi. Ia
mengangguk dan lalu melompat ke arah Soe hwee liong.
Soe hwee liong meninju dengan pukulan Tiong tian pauw.
Boe Kie tertawa terbahak bahak.
“Apa ini Hang liong Sip pat ciang?” teriaknya seraya
mencengkeram baju di dada Soe Hwee liong yang lalu
diangkat tinggi tinggi. Tan Yoe Liang tahu, bahwa ia bukan
tandingan Boe Kie. Tanpa mengeluarkan sepatah kata ia
mundur dan menghilang di antara para pengemis.
2269
Sekonyong konyong si nona cilik menangis keras. Ia
menubruk dan mencengkeram baju Soe hwee liong, dan
bagaikan kalap memukulnya berulang ulang. “Binatang!”
teriaknya. Kau sudah membinasakan ayahku! Kau
membunuh ayahku! Aku akan cincang badanmu!” Ia
menjambret rambut Soe hwee liong dan… rambut itu
terlepas dan terlihatlah kepala yang gundul.
Rambut palsu!
Dengan punggung ditekan Boe Kie, orang itu tidak
berdaya. Si nona cilik terus memukul. Beberapa tinju
menimpa hidungnya, tapi hidung itu tidak mengeluarkan
darah. Hidungnya juga hidung palsu!
Para pengemis lantas saja berteriak-teriak.
“Siapa kau?” tanya yang satu.
“Binatang! Mengapa kau berani menyamar sebagai Soe
pangcoe?” caci yang lain.
“Dimana Soe pangcoe?” dan sebagainya.
Sambil tersenyum Boe Kie mengangkat tubuh orang itu
tinggi tinggi yang kemudian dibanting ke lantai. Dia
berteriak kesakitan dan tidak bisa bangun lagi. Ia merasa
bahwa urusan itu adalah urusan pribadi Kay pang yang
harus diselesaikan oleh orang orang Kay pang sendiri.
Ciang pang Liong tauw yang berangasan lantas saja
mengirim tinju delapan gaplokan ke pipi si penipu yang
lantas saja menjadi bengkak.
“Bukan aku!…” ia sesambat. “Aku… aku diperintah oleh
Tan… Tan… Tiangloo!...”
Cie hoat Tiangloo terkejut, “Mana Tan Yoe Liang?”
tanyanya.
Tapi Tan Yoe Liang tak kelihatan mata hidungnya.
2270
Begitu dia lihat gelagat jelek, begitu dia kabur.
“Kejar!” bentak Cie hoat Tiangloo. Beberapa murid
tujuh karung lantas saja mengiakan dan berlari lari keluar
dari gedung itu untuk mencari manusia yang kabur itu.
“Bangsat!” caci Ciang pang Liong tauw. “Sungguh
penasaran aku musti berlutut di hadapanmu dan memanggil
kau sebagai Soe pangcoe.” Ia mengangkat tangannya dan
mau menggapelok lagi.
“Pang Heng tee, tahan!” cegah Cie hoat Tiang loo.
“Kalau dia mati, kita sukar mencari keterangan.” Ia
memutar badan dan berkata kepada si baju kuning sambil
merangkap kedua tangannya. “Kalau tak mendapat
petunjuk Kouwnio, sampai sekarang kami masih dikelabui
oleh manusia itu. Bolehkah kami mendapat tahu she dan
nama Kouwnio yang harum? Seluruh Kaypang sangat
berhutang budi kepada Kouwnio.”
Si nona tertawa tawar dan berkata, “Aku sudah biasa
hidup di gunung dan tak pernah berhubungan dengan dunia
luar. Aku sendiri sudah lupa she dan namaku. Tapi apakah
benar-benar di antara kalian tiada yang mengenali adik
ini?”
Semua pengemis lantas saja mengawasi si gadis cilik.
Tiba-tiba Coan kang Tiangloo maju beberapa tindak dan
berkata dengan suara parau. “Dia… dia… seperti Soe
pangcoe Hoejin.. apa…apa…”
“Benar,” kata si baju kuning. “Dia Soe Hong Sek, puteri
tunggal dari Soe Hwee Liong Pangcoe. Waktu menghadapi
kebinasaan Soe Pangcoe telah memerintahkan murid
kepalanya, Ong Siauw Thian untuk membawa lari anak itu
dan Tah Kauw pang mencari aku supaya di kemudian hari
sakit hatinya bisa dibalas. Hanya sayang sebab terluka berat
dalam pertempuran, jiwa Ong Siauw Thian tak dapat
2271
ditolong. Tapi ia sedikitnya sudah bisa mengantarkan Hong
Sek kepadaku.”
“Kouw… kouw… nio,” kata Coan kang Tiang loo suara
terputus-putus. “Kau kata Soe Pangco sudah meninggal
dunia…? Bagaimana matinya Soe Pangcoe?”
* * * * *
Pada dua puluh tahun lebih yang lalu, karena tenaga
dalamnya tidak mencukupi dalam latihan Hang liong Sip
pat ciang, badan Soe Hwee liong lumpuh separoh dan tidak
bisa menggerakkan kedua lengannya. Dengan mengajak
isterinya, ia pergi ke gunung gunung untuk mencari obat
dan menyerahkan urusan Kay pang kepada Coan kang dan
Cie hoat Tiangloo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw.
Karena kekurangan seorang pemimpin yang pandai dan
keempat tetua itu hanya mengurus bidang masing-masing
dan tidak bekerja sesama keras, maka kian lama Kay pang
yang besar jadi kian lemah.
Waktu Pangcoe palsu mendadak muncul, murid-murid
yang berusia muda tentu saja tidak mengenalnya, sedang
para tetua juga kena dikelabui sebab mereka sudah
berpisahan selama bertahun-tahun dan muka si penipu
memang sangat mirip dengan muka Soe Pangcoe.
* * * * *
Si baju kuning menghela napas dan berkata dengan suara
perlahan. “Soe Pangcoe binasa dalam tangan Hoen goan
Pek lek chioe Seng Koen!”
“Hah!” Boe Kie mengeluarkan seruan tertahan. Dalam
pertempuran di Kong beng teng, dengan mata sendiri ia
menyaksikan bagaimana Seng Koen dipukul mati oleh
pamannya. Maka itu, ia lantas saja bertanya. “Kouwnio,
lagi kapan Soe Pangcu dibinasakan?”
2272
“Tahun yang lalu, tanggal enam bulan sepuluh,”
jawabnya. “Sampai sekarang sudah dua bulan lebih.”
“Heran sungguh!” kata pula Boe Kie. “Cara bagaimana
Kouwnio tahu bahwa yang turunkan tangan jahat adalah
bangsat Seng Koen?”
“Ong Siauw Thian yang memberitahukan kepadaku,”
jawabnya. “Ong Siauw Thian mengatakan, bahwa Soe
Pangcoe telah beradu tangan dua belas kali dengan seorang
kakek. Kakek ini muntah darah dan lari. Soe Pangcoe pun
mendapat luka di dalam dan ia tahu lukanya tak dapat
disembuhkan laagi. Ia menduga, bahwa tiga hari kemudian,
sesudah sembuh, si kakek akan menyateroni lagi. Maka itu
ia segera memberi pesanan terakhir kepada Ong Siauw
Thian dan memberitahukan, bahwa musuh itu adalah Hoe
goan Pek lek Thioe Seng Koen. Pada waktu itu lumpuhnya
Soe pangcoe sudah hampir sembuh. Ia memiliki dua belas
pukulan dari Hang liong Sip pat ciang dan di dalam dunia,
ia sudah jarang tandingan. Dalam pertempuran melawan
Seng Koen, ia sudah menggunakan kedua belas pukulan itu
dan sesudah itu, ia tidak bisa menyelamatkan diri lagi dari
tangan jahatnya musuh.” Mendengar itu Soe Hong Sek
menangis lagi.
Dengan paras muka berduka Coan kang Tiang loo
mengeluarkan sapu tangannya yang kotor dan menyusut air
mata si nona. “Siauw sumoay,” katanya. “Sakit hati
Pangcoe adalah sakit hati berlaksa murid Kay pang. Kami
akan membekuk Seng Koen dan mencincang badannya jadi
laksaan potong. Kami pasti akan membalas sakit hati
mendiang ayahmu. Tapi dimanakah adanya ibumu?”
“Ibu sedang berobat ke rumah Yo Cie ci,” jawabnya
sambil mengunjuk si baju kuning. Sekarang baru orang tahu
bahwa gadis itu seorang she Yo.
2273
“Soe hoejin juga kena dipukul Seng Koen dan mendapat
luka yang sangat berat,” kata si baju kuning sambil
menghela nafas. “Ia datang di rumahku sesudah melalui
perjalanan jauh dan sampai kini ia belum tersadar dari
pingsannya. Apa ia masih bisa ditolong… sukar dikatakan.”
“Tapi… apa dosanya pangcoe, sehingga binatang Seng
Koen sudah menurunkan tangan jahatnya?” tanya Cie hoat
tiangloo dengan suara penasaran. “Sakit hati apa sudah
terjadi di antara mereka?”
“Menurut perasaan Soe pangcoe, ia sama sekali belum
pernah mengenal Seng Koen,” menerangkan si baju kuning.
“Sama sekali tidak ada soal sakit hati. Sampai pada detik
terakhir, Soe pangcoe juga tak tahu sebab musababnya.
Menurut dugaan Soe pangcoe, mungkin sekali ada orang
Kay pang yang berbuat suatu kesalahan dan Seng Koen
mencari Soe pangcoe untuk membalas sakit hati.”
Cie hoat menundukkan kepalanya. Sesudah berpikir
beberapa saat, ia berkata pula. “Untuk menyingkirkan diri
dari kejaran Cia Soen, selama beberapa puluh tahun Seng
Koen tidak pernah muncul dalam dunia Kang ouw. Mana
bisa jadi murid Kay pang kebentrok dengan dia? Dalam hal
ini mungkin terselip salah mengerti yang sangat hebat.”
Ciang poen Liong tauw yang sedari tadi tak pernah
mengeluarkan sepatah kata, tiba2 mengambil sebatang
golok bengkok dan menandalkan senjata itu di lehernya si
penipu. “Binatang!” bentaknya. “Siapa namamu? Mengapa
kau menyamar sebagai Soe pangcoe? Lekas mengaku!
Kalau kau berdusta… huh… huh… Ia mengangkat
goloknya dan menyabet sebuah kursi yang lantas saja
terbelah dua.
Dengan badan bergemetaran, si gundul berkata, “Aku…
aku… siauw jin Lay tauw goan Lauw Ngauw (Lauw
2274
Ngauw, si kura-kura kepala buduk), salah seorang tauwbak
(kepala kelompok) perampok dari kawanan perampok di
Loan sek kang, kota Kay koan, propinsi Soa say. Apa mau,
waktu merampok, Siauwjin bertemu dengan Tan toaya dan
guru Tan toaya menendang Siauwjin sehingga roboh dan
selagi Tan toaya mengangkat pedangnya, siauwjin meminta
ampun. Setelah mengawasi siauwjin, tiba2 Tan Toaya
berkata, “Soe hoe, roman bangsat kecil ini mirip orang yang
kita temui kemarin dulu.” Gurunya menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata, “Huh..huh… lain, tidak sama. Usianya
tak cocok, hidungnya terlalu kecil, kepalanya gundul.’ Tan
toaya tertawa dan berkata, “Soe hoe jangan kuatir, teecu
mempunyai daya untuk mengubah itu semua.” Tan toaya
lalu mengajak siauwjin ke sebuah rumah penginapan di Kay
koan. Ia menggunakan sek-ko untuk meninggikan hidung
Siauwjin dan memberi rambut palsu… sehingga siauwjin
beroman seperti sekarang. Para loya, andaikata siauwjin
punya nyali sebesar langit, siauwjin takkan berani
mempermalukan para looya. Siauwjin sudah melakukan ini
semua karena diperintah oleh Tan toaya. Jiwa anjing
siauwjin berada dalam tangannya. Siauwjin tidak berani
tidak menurut. Siauwjin mempunyai seorang ibu sudah
berusia delapan puluh tahun… siauwjin mohon para looya
sudi mengampuni jiwa anjing Siauwjin.” Sehabis berkata
begitu, sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya.
Cie hoat Tiangloo mengerutkan alisnya. Tan Yoe Liang
murid Siauw lim pay dan gurunya pendeta Siauw lim sie,”
katanya. “Apa dia mempunyai lain guru?”
Pertanyaan itu menyadarkan Boe Kie. “Benar,” ia
menyambungi. “Seng Koen adalah gurunya.” Ia lalu
memberi tahu, bahwa dengan menggunakan nama Goan
tin, Seng Koen masuk ke Siauw lim sie dan berguru kepada
pendeta suci Kong kian. Selanjutnya ia menceritakan cara
2275
bagaimana di waktu kecil ia pernah dicelakakan oleh Goan
tin di dalam kuil Siauw lim sie, cara bagaimana Goan tin
turut menyerang Kong beng teng dan akhirnya binasa
dalam tangan pamannya, In Ya Ong. Ia menambahkan,
bahwa memang benar mayat Goan tin sekonyong konyong
hilang.
“Kalau begitu, kita boleh tak usah bersangsi lagi, bahwa
di waktu itu Seng Koen pura pura mati dan kemudian
kabur,” kata Cie hoat Tiangloo.
“Tapi penjahat yang paling besar dan yang paling jadi
dalangnya adalah bangsat Tan Yoe Liang,” kata Coan kang
Tiangloo. “Mereka berdua, guru dan murid, mempunyai
angan angan untuk merajai di kolong langit. Mereka
membunuh Soe pangcoe, menyuruh buaya kecil ini
menyamar sebagai Pangcoe, coba mempengaruhi Beng
kauw, berusaha untuk menguasai Siauw lim, Boe tong dan
Go Bie pay. Huh..huh..! Angan angan mereka benar benar
tak kecil… Eeh!… mana Song Ceng Soe?”
Ternyata pada waktu perhatian semua orang ditujukan
kepada Pangcoe tetiron, si baju kuning dan Soe Hong Sek,
diam diam Song Ceng Soe turut menghilang.
Sesudah rahasia kejahatan Tan Yoe Liang terbuka,
sambil menyoja si baju kuning, Coan kang Tiangloo
berkata, “Kouwnio telah membuang budi yang sangat besar
kepada Kay pang dan kami tak tahu cara bagaimana untuk
membalasnya.”
Si nona tertawa tawar. “Orang tuaku punya hubungan
erat dengan Pangcoe yang dulu,” katanya. “Bantuan yang
tiada artinya ini tidak berharga untuk disebut sebut. Aku
hanya mengharap kalian suka merawat baik baik adik Soe
ini.” Ia membungkuk dan dengan berkelebat, ia sudah
berada di atas genteng.
2276
“Kouwnio tunggu dulu!” teriak Coan kang tiangloo.
Hampir berbareng, empat wanita baju hitam dan empat
baju putih turun melompat ke atap gedung, diiringi dengan
suara khim dan seruling. Dalam sekejap suara tetabuhan itu
telah terdengar sayup sayup di tempat jauh dan kemudian
menghilang dari pendengaran. Dengan mulut ternganga
semua orang mengawasi ke atas genteng.
Sambil menuntun tangan Soe Hong Sek, Coan kang
Tiangloo berkata kepada Boe Kie. “Thio Kauwcoe, mari
masuk.”
Ia mempersilahkan Boe Kie berjalan lebih dahulu dan
tanpa sungkan2 Boe Kie segera bertindak masuk dengan
melewati dua baris pengemis yang berdiri sebagai pengawal
kehormatan. Setelah berduduk dengan Cie Jiak di
sampingnya, Boe Kie segera berkenalan dengan para tetua
Kay pang dan lalu menanyakan halnya Cia Soen.
“Coan Tiangloo,” katanya. “Jika ayah angkatku, Kim
mo Say ong berada di tempat kalian, kuminta bertemu.”
Coan kang tiangloo menghela nafas. “Karena perbuatan
bangsat Tan Yoe Liang, Kay pang mendapat malu besar
terhadap segenap orang gagah,” katanya. “Memang benar,
waktu berada di Kwan gwa, Cia tayhiap dan Cioe kouwnio
diundang oleh kami. Ketika itu Cia Tayhiap sakit, ia selalu
di pembaringan. Kami belum pernah bertempur dengannya.
Belakangan aku membawa beliau ke gedung ini. Pada
malam yang lalu, Cia tayhiap telah membinasakan murid
murid kami yang menjaganya dan lalu kabur. Peti peti mati
para korban masih berada di belakang gedung ini dan
belum dikuburkan. Jika tak percaya, Thio Kauwcoe boleh
lihat dengan mata sendiri.”
Mendengar keterangan yang diucapkan dengan sungguh
sungguh dan juga memang telah menyaksikan sendiri
2277
terbinasanya beberapa murid Kay pang, Boe Kie segera
berkata, “Perkataan Coan Tiangloo tidak bisa tidak
dipercaya.”
Ia menundukkan kepala dan coba menebak nebak
kemana perginya sang ayah angkat. Dia ingat, bahwa pada
malam kaburnya Cia Soen, ia melihat bayangan seorang
wanita yang melompat turun dari atas tembok. Apakah
wanita itu si baju kuning? Mengingat itu, ia lantas menanya
Soe Hong Sek. “Tiauw moay moay, dimana rumah Yo
Ciecie? Apa dahulu memang telah mengenal dia?”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru