Selasa, 25 April 2017

Cerita Silat Populer Ke 4 : Toliongto

Cerita Silat Populer Ke 4 : Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Populer Ke 4 : Toliongto
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Populer Ke 4 : Toliongto
"Mengenai kekejaman kaizar-kaizar jaman dulu, apa
yang dikatakan Cia Cianpwee memang benar sekali," kata
Coei San. "Diantara sepuluh, ada sembilan kaizar yang
sangat kejam dan buas. Dengan kekuasaannya yang tidak
terbatas, mereka membunuh manusia dan berbuat
sewenang-wenang, sesuka hati. Mungkin sekali, dihari
kemudian akan tiba temponya, kapan dunia tidak melihat
lagi kaizar yang memiliki kekuasaan tidak terbatasi."
"Tapi biar bagaimanapun jua, aku tetap ber pendapat,
bahwa perbuatan baik akan mendapat pembalasan baik dan
perbuatan jahat akan mendapat pembalasan jahat."
"Menurut pendapatku, tujuan terutama dari hidupnya
manusia dalam dunia ina adalah mencari keberuntungan
dalam rupa ketenangan jiwa dan kepuasan batin. Dan
seseorang barulah bisa merasa beruntung, jika ia tahu,
bahwa selama hidupnya, ia telah berbuat banyak kebaikan
terhadap sesama manusia."
"Mengenai kaizar-kaizar itu atau menteri-menteri dorna
yang banyak mencelakakan manusia, sedikit pun aku tidak
percaya, jika dikatakan mereka tidak meadapat pembalasan.
Manusia yang bermusuhan dengan ayah atau saudara
sendiri bahkan mencelakakannya adalah manusia yang
paling tidak beruntung didalam dunia. Bayangkanlah
penderitaan batin dari manusia-manusia itu! Mana boleh
343
mereka tidak terhukum? Mereka mungkin terlolos dari
hukuman lahir, tapi mereka pasti tidak terlolos dari
hukuman batin dan hukuman batin adalah hukuman yang
terhebat, karena orang terhukum tidak sedikitpun dapat
mencicipi kesenangan dan kepuasan di dalam hatinya.
Maka itulah, aku tetap berpendapat bahwa siapa yang
menyabar angin pasti akan mendapat taufan."
Sesudah mendengar perundingan yang panjang itu, paras
muka Cia Soen agak berubah. Dalam hati kecilnya, ia
mengakui kebenaran perkataan pemuda itu. Tapi ia tentu
saja sungkan mengaku terang terangan. Sesaat kemudian,
sambil mengawasi Coei San dengan sorot mata tajam, ia
berkata dengan suara mengejek: "Kudengar gurumu yaitu
Thio Sam Hong, berilmu tinggi. Hanya sayang aku belum
pernah bertemu dengannya. Kau adalah salah seorang
murid terutama dari Thio Sam Hong dan aku merasa
menyesal karena mendapat kenyataan bahwa
pemandanganmu begitu tolol. Kurasa Thio Sam Hong tiada
banyak bedanya denganmu dan aku boleh tak usah pergi
menemuinya."
Melihat Cia Soen mempunyai pengetahuan tinggi dalam
ilmu surat dan ilmu silat, Coei San merasa sangat kagum.
Tapi, karena mendadak orang itu memandang rendah
kepada gurunya, yang dipuja olehnya bagaikan malaikat,
darahnya lantas saja meluap. "In soe (guruku) memiliki
kepandaian sedemikian tinggi, sehingga tak akan dapat
diukur oleh manusia biasa," katanya dengan suara keras.
"Ilmu Cianpwee sangat tinggi dan tak dapat dilawan oleh
orang-orang muda. Tapi dimata Insoe, Cia Cianpwee
hanyalah seorang kasar yang tidak kenal budi."
Mendengar kata-kata itu, In So So kaget bukan main dan
buru-buru menarik ujung baju Coei San. Tapi pemuda itu
yang sedang panas perutnya, lantas saja berkata: "Seorang
344
laik-laki, jika mesti mati, biarlah mati, tapi tak dapat ia
membiarkan gurunya dihina orang"
Diluar dugaan, Cia Soen tidak menjadi gusar. "Thio Sam
Hong adalah seorang guru besar dan pendiri sebuah partai
yang besar pula," katanya dengan suara tawar. "Mungkin
sekali, ia memiliki kepandaian tinggi. Ilmu silat tiada
taranya. Bukan tak bisa jadi bahwa jika dibandingkan,
kepandaianku tak nempil dangan kepandaiannya. Nanti, di
satu hari, aku pasti akan mendaki Boe tong san untuk
meminta pelajaran. Thio Ngohiap, ilmu apa yang kau
paling mahir? Hari ini aku siorang she Cia ingin menambah
pengalaman."
In So So terkejut. Sesudah menyaksikan kepandaian Cia
Soen, ia mengerti, bahwa Coei San bukan tandingan orang
itu. Maka itu ia lantas saja berkata : "Cia Cianpwee, To
liong to sudah jatuh kedalam tanganmu dan semua orang
merasa kagum melihat kepandaianmu. Apa lagi yang kau
mau ?"
"mengenai To liong to, semenjak dulu telah tersiar
beberapa kata-kata yang sampai sekarang belum dapat
dipecahkan orang." kata Cia Soen. "Apakah kau tahu bunyi
kata-kata itu ?"
"Ya," jawabnya.
"Golok ini katanya sebuah senjata yang paling dihormati
dalam Rimba Persilatan dan siapapun juga yang
memilikinya, akan dapat memerintah di kolong langit dan
tiada manusia yang akan menentangnya," kata pula Cia
Soen. "Tapi sampai sekarang, belum ada juga yang tahu,
rahasia apa bersembunyi dalam golok ini. Apakah benar
orang yang memilikinya dapat memerintah orang-orang
gagah dalam Rimba Persilatan ?"
"Cia Cianpwee adalah seorang yang berpengetahuan
345
tinggi dan boan pwee justru ingin menanyakan Cianpwee
tentang hal itu," kata si nona.
"Akupun tak tahu," jawabnya. "Sesudah mendapatkan
golok ini, aku akan berdiam ditempat yang sepi dan akan
menggunakan tempo beberapa tahun untuk mencoba
memecahkan teka-teki itu "
"Bagus." kata So So. "Cia Cianpwee mempunyai
kecerdasan otak yang melebihi manusia biasa. Jika
Cianpwee tidak berhasil, lain orangpun pasti tak akan bisa
berhasil."
"Huh huh! Aku si orang she Cia bukan sebangsa manusia
sombong," katanya. "Mengenai ilmu surat dan ilmu silat,
Kong boen Tay soe Ciang boen jin Siauw lim pay, Thio
Sam Hong Too tiang dari Boe tong pay, Tiang loo dari Go
bie pay dan Koen loen pay semuanya adalah orang-orang
yang berkepandaian sangat tinggi. Mengenai kecerdasan
otak, Peh bie Eng ong In Kauwcoe dari Peh bie kauw
memiliki kecerdasan otak yang jarang terdapat dalam
ratusan abad."
In So So segera bangun berdiri dan berkata sambil
membungkuk: "Terima kasih banyak atas pujian
Cianpwee."
"Aku ingin memiliki golok ini, lain orang juga kepingin,"
kata Cia Soen. "Hari ini dipulau Ong poan san, aku tidak
bertemu dengan tandingan. Dalam hal ini, In Kauwcoe
sudah salah menghitung. Ia menganggap bahwa Pek Tan
coe dan yang lain-lain sudah cukup untuk menghadapi Hay
see pay, Kie keng pang dan Sin koen boen. Ia sedikit pun
tidak menduga, bahwa siorang she Cia bisa datang kemari."
"Bukan, bukan Kauwcoe salah menghitung," memutus si
nona. "Ia tak dapat datang kemari karena mempunyai lain
urusan yang terlebih penting."
346
"Tapi biarpun begitu, bahwa hari ini To liong to sampai
jatuh ketanganku, sedikit banyak menurunkan nama besar
In Kauwcoe sebagai seorang yang bisa menghitung
bagaikan malaikat," kata Cia Soen seraya bersenyum.
Si nona bersenyum dan berkata pula: "Dalam dunia ini,
banyak kejadian tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu.
Enam kali Coekat Boehouw ke luar dari gunung Kie San,
tapi ia gagal dalam usahanya untuk mempersatukan seluruh
Tiongkok. Tapi, meskipun ia mengalami kegagalan, nama
besarnya tidak jadi merosot. Inilah apa yarg dikatakan:
Manusia berusaha, Allah yang berkuasa. Cia cianpwee
adalah seorang yang luar biasa dan mempunyai rejeki besar.
Lain orang bergulat mati-matian untuk merebut golok itu,
tapi Cianpwee sendiri sudah dapat memiliknya secara
mudah sekali." Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Cia
Soen sambil bersenyum manis. Ia sudah sengaja mengulurulur
pembicaraan itu supaya Cia Soen melupakan
tantangannya terhadap Thio Coei San.
"Semenjak muncul dalam dunia, entah sudah berapa kali
golok ini berpindah tangan dan entah sudah berapa orang
binasa karena memilikinya," kata Cia Soen. "Sekarang aku
berhasil merebut golok ini. Siapa tahu kalau dikemudian
hari tidak muncul seorang yang berkepandaian lebih tinggi
dari pada aku"
So So dan Coei San saling melirik. Mereka menganggap,
perkataan orang itu mengandung maksud yang dalam. Coei
San ingat, bahwa kakak seperguruannya mendapat luka
berat karena mempunyai sangkut paut dengan To liong to,
dan sampai sekarang mati hidupnya belum dapat
dipastikan. Ia sendiri berada dalam bahaya besar dan sebabsebabnya
hanya karena turut melihat golok mustika itu.
Sesudah berdiam sejenak, Cia Soen menghela napas
panjang. "Kalian berdua adalah orang-orang yang boen boe
347
coan cay (mahir ilmu surat dan ilmu silat) dan setimpal
benar satu sama lainnya, yang satu cantik, yang lain
tampan," katanya.
"Jika aku membunuh kalian, aku seolah-olah
menghancurkan sepasang Giak kee (alat dari batu giok)
yang jarang terdapat dalam dunia. Tapi, didesak oleh
keadaan dan kenyataan, tak dapat aku tidak membinasakan
kalian."
"Mengapa begitu?" tanya si nona dengan suara kaget.
"Kalau aku pergi dengan membawa golok ini dan
meninggalkan kalian dipulau ini, dalam berapa hari saja,
orang sedunia sudah tahu, bahwa To liong to berada dalam
tanganku," Ia menerangkan.
"Yang ini akan cari aku, yang itu akan cari aku, semua
orang akan cari aku. Aku bukan manusia yang tiada
tandingan didalam dunia. Yang lain tak usah dibicarakan.
Peh bie Eng ong saja belum tentu dapat dirubuhkan
olehku."
"Ah! Kalau begitu kau membunuh orang menutup
mulutnya!" kata Coei San dengan suara tawar.
"Benar." jawabnya.
"Jika demikian, perlu apa kau mengunjuk kedosaan
orang-orang Hay see pay, Kie keng pang dan Sin koen
boen?" tanya Coei San.
Cia Soen tertawa berkakakan. "Aku ingin mereka mati
tanpa penasaran," jawabnya.
"Hmm . . kau kelihatannya masih mempunyai hati yang
baik," kata puji pemuda itu.
"Didalam dunia ini, siapakah yang bisa hidup abadi ?"
tanya Cia Soen. "Mati lebih cepat atau mati lebih lama
348
beberapa tahun, tidak banyak bedanya. Kau, Thio Ngohiap,
dan In Kouwnio masih berusia sangat muda. Jika hari ini
kalian binasa dipulau Ong poan san, memang juga
kelihatannya sangat mesti disayangkan. Tapi, ditinjau
seratus tahun kemudian, bukankah kebinasaan dihari ini
atau meninggal dunia dihari nanti bersamaan saja? Andai
kata dahulu Cin Kwee tidak mencelakakan Gak Hoei
sehingga panglima besar itu binasa, apakah Gak Hoei bisa
hidup sampai sekarang? Yang penting ialah seseorang harus
mati dengan hati terang dan tidak merasakan penderitaan.
Mika itu, aku sekarang mengajak kalian bertanding secara
adil. siapa yang kalah, dialab yang mati. Kalian berusia
lebih muda dan aku suka mengalah. Pilihlah dalam ilmu
silat dergan senjata, tanpa senjata, Lweekang, senjata
rahasia, atau mengentengkan badan, ilmu berenang, kalian
boleh pilih dan aku akan mengiringkan."
"Kau sombong sekali," kata sinona. "Apakah kau
artikan, bahwa kau bersedia untuk melayani kami dalam
ilmu apapun juga?" Suara si nona agak gemetar karena ia
tahu, bahwa ia dan Coei San tidak dapat meloloskan diri
lagi.
Mendengarkan pertanyaan So So, Cia Soen agak
terkejut. Ia adalah seorang yang amat cerdas dan sesaat itu
juga, ia lantas saja ingat, bahwa untuk si nona dapat
menantangnya dalam ilmu menjahit atau lain lain ilmu
kaum wanita yang tidak dimilikinya. Mengingat begitu, ia
lantas saja menjawab dengan suara nyaring: "Tantanganku
itu terbatas pada ilmu silat. Aku pasti tidak bermaksud
untuk bertanding makan nasi, minum arak dan sebagainya
yang tidak bersangkut paut dengan ilmu silat." Dilain saat,
melihat Coei San mencekal kipas, ia menyambung
perkataannya: "Akupun bersedia untuk melayani kalian
dalam ilmu boen (ilmu surat). Menulis huruf indah,
349
melukis, memetik khim, main tio kie, menulis syair atau
sajak semua boleh. Hanya kita harus berjanji, bahwa pihak
yang kalah harus membunuh diri sendiri, Hai! Melihat
kalian, sepasang orang muda yang setimpal sungguh untuk
menjadi suami isteri, aku merasa sangat tak tega untuk
untuk turun tangan."
Mendengar perkataan yang paling belakang itu, paras
muka kedua orang muda itu lantas saja berubah merah.
Si nona mengerutkan alis. "Kalau kau yang kalah,
apakah kau juga akan membunuh diri?" tanyanya.
"Bagaimana aku bisa kalah?" kata Cia Soen sambil
tertawa.
"Dalam pertandingan mesti ada yang kalah dan ada yang
menang," kata si nona. "Thio Ngohiap adalah murid dari
seorang berilmu tinggi, maka selalu terdapat kemungkinan,
bahwa dia akan mengalahkan kau "
Cia Soen tertawa, "Orang yang masih berusia begitu
muda, biarpun berkepandaian tinggi tak akan memiliki
Lweekang yang cukup dalam untuk dapat menghadapi
aku," katanya.
Selagi kedua orang itu bicara, diam-diam Coei San
mengasah otak untuk menetapkan ilmu apa yang akan
diajukan olehnya. Dalam ilmu surat, dalam mana tercakup
seni melukis huruf indah, seni lukis, memetik khim, main
tio kie, menulis syair, pengetahuannya masih dangkal. Ilmu
apa yang harus diajukannya? Ilmu silat? Ilmu
mengentengkan badan? Ilmu silat gubahan gurunya yang
berdasarkan Soehoat? Tiba-tiba serupa ingatan berkelebat
dalam otaknya dan ia lantas saja berkata: "Cia Cianpwee,
karena kau mendesak, maka aku tak dapat tidak
mempersembahkan kebodohanku. Jika kalah, aku tentu
akan menggorok leher sendiri. Tapi bagaimana, andaikata
350
aku beruntung bisa keluar dengan seri ?"
Cia Soen menggelengkan kepala, "Tak mungkin seri,"
jawabnya. "Seri dalam pertandingan pertama, kita
bertanding pula sampai ada yang menang, dan ada yang
kalah."
"Baiklah," kata Coei San. "Andaikata dalam
pertandingan ini boanpwee memperlihatkan keunggulan,
boanpwee tak berani menuntut apapun jua. Boanpwee
hanya ingin memohon supaya Cianpwee sudi meluluskan
satu permintaan."
"Aku berjanji untuk meluluskan permintaanmu itu," kata
Cia Soen. "Hayolah, katakan saja, dalam ilmu apa kau
ingin bertanding."
Melihat begitu, bukan main leganya hati sinona.
"Kau mau bertanding dalam ilmu apa ? Apa kau punya
pegangan untuk mendapat kemenangan?" bisiknya.
"Belum tentu," jawabnya.
"Kalau kau kalah, kita coba lari," bisik pula si nona.
Coei San tidak menjawab, ia hanya bersenyum getir.
Dengan perahu sudah tenggelam semua dan mereka berada
disebuah pulau kecil, kemana mereka mau lari? Ia segera
mengikat tali pinggang erat-erat dan mencabut Poan koan
pit dari pinggangnya.
"Dalam dunia Kangouw, Gin kauw Tiat hoa Thio Coei
San sangat cemerlang dan hari ini aku akan menjajal-jajal
dengan Long gee pang." kata Cia Soen,
"Mengapa kau tidak mengeluarkan Lan gin Houw tauw
Gin kauw ?"
"Boanpwee bukan ingin bertempur melawan Cianpwee
dengan menggunakan senjata," jawabnya dengan sikap
351
hormat.
"Boanpwee hanya ingin sekedar menulis beberapa
huruf." Sehabis berkata begitu, ia berjalan kelereng bukit
disebelah dimana ia berdiri satu tembok batu yang tinggi
dan besar. Ia menarik napas dalam-dalam, menotol tanah
dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat keatas.
Ilmu ringan badan dari Boe tong pay adalah yang terbaik
dalam seluruh Rimba Persilataa. Pada detik mati atau
hidup, Coei San telah mengeluarkan seanteto
kepandaiannya. Dengan sekali melompat, tubuhnya
melesat setombak lebih dan lompatan itu disusul dengan
lompatan Tee in ciong kaki kanannya menendang tembok
dan badannya kembali terbang keatas kurang lebih dua
tombak. Dengan berbareng, Poan koan pit bergerak. "Sret
sret sret ....." bagaikan kilat ia sudah menulis huruo , "boe".
Baru selesai satu hurup badannya mulai melayang turun
kebawah.
Dengan cepat ia mencabut Gin Kauw yang lalu
ditancapkan kesebuah lobang kecil ditemboK batu itu.
Demikianlah, dengan menggunakan gaetan itu untuk
menahan badannya, ia lalu menulis huruf "lim". Ia menulis
dengan menggunakan gerakan yang digubah Thio Sam
Hong pada malam itu, gerakan-gerakan yang mengandung
tenaga Im dan Yang, Kong dan Jioe (negatip dan positip,
keras dan lembek) dan semua itu merupakan limn silat
tertinggi dari Boe tong pay. Meskipun Lweekang Thio Coei
San belum sempurna, sehingga goresan goresan Poan koan
pit tidak masuk terlalu dalam ditembok batu itu, tapi kedua
huruf itu indah luar biasa, seolah-olah terbangnya naga atau
menarinya burung Hong. Sesudah huruf "cie" dan "coen",
ia menulis semakin cepat dan dalam sekejap mata, dua
puluh empat hurup itu sudah selesai.
Sesudah menulis hurup "hong" yang terakhir, ia menotol
352
tembok dengan Gin kauw dan Poan koan pit dengan
berbareng dan dalam suatu gerakan yang indah, badannya
melayang turun ke bawah dan hinggap didampingi si nona.
Dengan mulut ternganga Cia Soen mengawasi tiga baris
huruf huruf itu yang setiap hurufnya sebesar gantang.
Sesudah lewat sekian lama, ia menghela napas saraya
berkata: "Aku tak dapat menulis seperti itu. Aku kalah."
Ia tentu saja tak tahu, bahwa Thio Sam Hong berhasil
menggubah lima silat yang sangat luar biasa itu sesudah
mengasah otak seluruh malam dan pada waktu bersilat, ia
telah menumplek seluruh semangat dan pikirannya. Andai
kata Thio Sam Hong sendiri yang harus menulis hurufhuruf
itu diatas tembok itu, belum tentu ia bisa menulis
begitu indah dan bertenaga, jika tidak di sertai dengan
semangat dan pemusatan pikirannya yang sesuai. Cia Soen
tentu saja tak tabu, bahwa dua puluh empat huruf itu serupa
ilmu silat. Ia hanya menduga, bahwa karena melihat To
liong to, Coei San sudah ingat perkataan yang tersiar
mengenai golok itu dan lalu menulisnya. Ia tak pernah
mimpi, bahwa apa yang mampu ditulis oleh Coei San
hanyalah dua puluh empat huruf itu.
In So So girang bukan kepalang. "Kau kalah, kau tak
boleh mungkir dari janjimu!" teriaknya.
"Thio Ngohiap, ilmu yang mempersatukan Boe hak
dengan Soe hoat (ilmu silat dengan ilmu huruf-huruf bagus)
baru sekarang dilihat olehku," kata Cia Soen. "Aku sungguh
merasa kagum."Perintah apa yang kau mau memberikan ke
padaku?"
"Boanpwee adalah seorang muda yang berkepandaian
cetek, mana berani boanpwee memberi perintah kepada
Cianpwee?" jawabnya sambil membungkuk. "Boanpwee
hanya ingin memberanikan hati untuk mengajukan satu
353
permohonan."
"Permohonan apa?" tanya Cia Soen.
"Aku mohon supaya Cianpwee suka mengampuni jiwa
semua orang yang berada dipulau ini," jawabnya.
"Cianpwee dapat memerintahkan supaya mereka
bersumpah untuk tidak membuka rahasia, bahwa To liong
to berada dalam tanganmu."
"Aku belum begitu edan untuk percaya sumpahnya
manusia." kata Cia Soen dengan mata melotot.
"Apa kau mau menarik pulang janjimu sendiri?" tanya si
nona. "Bukankah kau sudah herjanji, bahwa jika kalah, kau
akan meluluskan permintaan Thio Ngoko?"
"Kalau aku tidak pegang janji, mau apa kau?" bentak Cia
Soen. Sesaat itu ia rupanya menginsyafi kekeliruannya,
karena ia segera menyambung perkataannya: "Jiwa kalian
berdua sudah kuampuni. Yang lain tidak bisa."
"Kedua Kiam kek Koen loen pay adalah murid murid
dari partai yang ternama dan mereka belum pernah
melakukan perbuatan jahat," kata Coei San.
"Jangan rewel!" bentak Cia Soen. "Dimataku, baik dan
jahat tiada bedanya. Lekas robek ujung baju kalian dan
sumbatlah kuping kalian. Tutup kuping keras-keras dengan
kedua tangan. Jika kalian menyayang jiwa, turut
perintahku." Ia bicara separuh berbisik, seperti takut
didengar orang.
Coei San dan So So saling mengawasi dengan perasaan
heran. Tapi karena melihat Cia Soen bicara sungguhsungguh
mereka merobek ujung tangan baju yang lalu
digunakan untuk menyumbat kuping dan kemudian mereka
menutup kuping dengan kedua tangan.
354
Tiba2 Cia Soen membuka mulut lebar2 seperti orang
berteriak dan mendadak mereka merasa bumi goyanggoyang.
Hampir berbareng orang orang Peh bie kauw, Kie
keng pang, Hay see pay dan Sin koen boen berubah paras
mukanya seolah olah merasakan kesakitan luar biasa, dan
dilain saat, mereka rubuh bergulingan diatas tanah.
Ko Cek Sang dan Cio Tauw kelihatan kaget dan
ketakutan, buru-buru mereka bersila dan mengerahkan
Lwee kang untuk melawan teriakan itu. Dilihat dari paras
muka kedua Kiamkek dan keringat yang turun berketelketel
dari muka mereka, Coei San dan So So tahu, bahwa
Ko Cek Seng dan Cio Tauw sedang mengeluarkan seantero
tenaganya. Beberapa kali, mereka mengangkat tangan
untuk menutup kuping, tapi selalu gagal dan tangan mereka
sudah diturunkan lagi sebelum menyentuh kuping.
Sesaat kamudian, Coei San merasa tubuhnya bergoyang
keras dan hampir berbareng, tubuh Ko Cek Seng dan Cio
Tauw melesat keatas kira-kira setombak akan kemudian
rubuh ditanah tanpa bergerak lagi.
Cia Soen segera menutup mulutnya dan memberi isyarat
supaya Coei San dan So So membuka sumbat kuping.
"Sebagai akibat dari teriakanku, mereka pingsan untuk
sementara waktu," katanya. "Sebentar, sesudah tersadar,
urat syaraf mereka yang rusak tidak dapat pulih lagi seperti
biasa dan mereka menjadi gila. Mereka tak ingat apa yang
sudah terjadi disini. Thio Ngohiap, kau minta aku
mengampuni jiwa semua orang yang berada dipulau ini dan
permintaan itu telah dipenuhi olehku."
Coei San bengong dan tidak dapat mengeluarkan sepatah
kata. Ia bergusar dan berduka, tapi tidak berdaya. Biar
bagaimanapun jua, kepandaian Cia Soen yang sangat luar
biasa itu harus dikagumi. Ia juga akan mengalami nasib
355
seperti yang lainnya. Dengan perasaan tidak keruan rasanya
ia mengawasi Ko Cek Sang, Cio Tauw, Pek kwie Sian dan
lain-lain, yang rebah ditanah dengan paras muka pucat
bagaikan mayat.
"Mari kita berangkat," kata Cia Soen dengan suara
tawar.
"Kemana?" tanya Coei San.
"Pulang!" jawabnya. "Urusan di Ong poan san sudah
beres. Perlu apa berdiam lama-lama disini"
Sehabis berkata begitu, ia mengajak kedua orang muda
itu pergi kesebelah barat pulau, kebelakang sebuah bukit
kecil, darimana mereka lihat sebuah perahu dengan tiga
tiang layar yang berlabuh disebuah muara kecil. Perahu itu
adalah perahu Cia Soen.
Begita tiba dipinggir perahu, Cia Soen berkata sambil
membungkuk: "Aku mengundang Jiewie naik keperahu."
"Hm! Sekarang kau berlaku mulia sekali." kata So So
seraya ketawa dingin.
"Dalam perahuku, kalian adalah tamu-tamu yang
terhormat, sehingga aku harus memperlakukan kalian
dengan segala kehormatan," jawabnya.
Ia memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera
mengangkat jangkar dan perahu lantas saja berangkat.
Diperahu itu terdapat enambelas atau tujuhbelas anak
buah, tapi waktu memberi perintah perintah kepada mereka
juru mudi hanya menggerak gerakkan kaki tangannya,
seokah-olah semua anak buah gagu dan tuli.
Si nona merasa heran dan berkata : "Kau pintar sungguh,
bisa mendarat anak buah yang tuli gagu"
Cia Soen tertawa. "Apa sukarnya?" jawabnya. "Aku
356
hanya perlu cari orang-orang yang buta huruf, menusuk
telinganya, memberi obat kepada nya dan segala apa sudah
beres."
Mendengar keterangan itu, bulu roma Coei San bangun
semua dan ia mengawasi Cia Soen dengan sorot mata
gusar.
Tapi So So menepuk-nepuk dan tertawa nyaring :
"Bagus! Bagus!" katanya. "Tuli dan gagu juga buta huruf.
Hmm! Rahasiamu yang bagaimana besarpun pasti tak akan
dibocorkan mereka, Hanya sayang, kau masih memerlukan
mereka untuk menjalankan perahu. Kalau bukan begitu,
bukankah kau akan membuta kan juga mata mereka?"
Coei San melirik si nona dan menegur dengan suara
mendongkol : "In Kauwnio, kau adalah seorang gadis baikbaik,
tapi mengapa kau begitu kejam? Kejadian itu adalah
kejadian yang sangat mendukakan dan aku sungguh tak
mengerti, bagaimana kau sampai hati untuk mengatakan
begitu."
So So sudah membuka mulutnya untuk bertengkar, tapi
ia mengurungkan niatnya, karena Coei San kelihatannya
sudah gusar sungguhan
"Dikemudian hari, sesudah kembali didaratan Tiongkok,
aku akan menusuk mata mereka," kata Cia Soen dengan
suara dingin.
Sementara itu, layar sudah naik dan perahu melaju
semakin cepat.
"Cia Cianpwee, bagaimana orang-orang yang berada
dipulau Ong poan san." tanya Coei San. "Kau sudah
menenggelamkan semua perahu. Cara bagaimana mereka
bisa pulang? "
"Thio Ngohiap," jawabnya, "kau adalah seoraug yang
357
berhati mulia, hanya kau bawel sekali, seperti nenek
bangkotan. Biarlah mereka mampus sendiri, bagaikan
impian dimusim semi yang tiada bekasnya, Apakah itu
bukan kejadian yang bagus sekali?"
Coei San segera menutup mulutnya, karena ia tahu,
bahwa terhadap manusia yang kejam itu, ia tak dapat
berunding lagi. Ia menunduk dan menghela napas perlahan.
Ia ingat, bahwa selama beberapa tahun, Boe tong Cit hiap
malang melintang didunia Kangouw dan selalu berada
diatas angin. Tapi sekarang, diluar dugaan, ia mesti
menunduk dibawah pengaruh orang, tanpa dapat melawan,
Hatinya jengkel, pikirannya kusut dan ia memandang
ketempat jauh tanpa meladeni Cia Soen dan So So.
Tak lama kemudian, tampak seorang pelayan membawa
makanan dan menuang arak ditiga cawan. "Sebelum
bersantap aku ingin memetik khim guna menghibur
tetamuku yang terhormat," kata Cita Soen. "Disamping itu
aku ingin minta petunjuk-petunjuk Thio Siangkong dan In
Kauwnio,"
Sehabis berkata begitu, ia mengambil sebuah khim dari
dinding gubuk perahu dan lalu memetiknya. Dalam seni
musik, Coei San tidak mempunyai pengetahuan yang
mendalam dan ia tidak mengenal lagu yang dimainkan. Ia
hanya merasa bahwa lagu itu sangat sedih, semakin lama
semakin menyayat hati, sehingga pada akhirnya, tak dapat
mempertahankan diri lagi dan lalu mengucurkan air mata.
Tiba-tiba, dengan sekali menggaruk dengan lima jarinya,
suara tetabuhan itu berhenti. "Aku sebenarnya ingin
menghibur kalian, tapi tak dinyana Thio Siangkong berbalik
sedih," katanya sambil tertawa getir." Untuk kesalahanku
itu aku harus didenda dengan secawan arak,"
Ia mengangkat cawan dan meneguk isinya.
358
"Lagu apa yang barusan diperdengarkan Cia Cianpwee?"
tanya Coei San.
Cia Soen mengawasi So So, seperti juga ingin meminta
supaya nona itu yang menjawabnya. Tapi sinona
menggelengkan kepala.
"Apakah kau pernah mendengar riwayat Kie Kong dari
jaman Cin?" tanya Cia Soen. "Inilah baru yang
diperdengarkannya waktu ia mau dihukum mati."
"Lagu Kong leng san?" tanya Ceil San dengan suara
terkejut.
"Benar," jawabnya.
"Sepanjang sejarah, semenjak Kie Kong meninggal
dunia, lagu ini sudah tidak terdapat dalam dunia," kata pula
pemuda itu. "Bagaimana Cianpwee bisa mendapatkannya
?"
Cia Soen tertawa dan paras mukanya yang berseri-seri
mengunjuk, bahwa hatinya senang sekali. "Kie Kong
manusia keras kepala, adatnva mirip-mirip dengan
adatmu." katanya. "Pada jaman itu, Ciong Hwee
berpangkat tinggi dan mendengar nama besarnya Kie Kong,
ia telah mengunjunginya. Tapi Kie Kong tidak meladeninya
dan terus memukul besi yang sedang dikerjakannva. Ciong
Hwee mendongkol dan lantas saja berlalu. Ia adalah
seorang yang sangat pintar dan berkepandaian tinggi, hanya
sayang, pemandangannya terlalu sempit. Sikap Kie Kong
dianggapnya suatu hinaan yang tidak dapat diampuni dan
secara licik, ia lain menggosok-gosok Soema Ciauw dengan
mengatakan, bahwa Kie Kong telah bicara jelek tentang
Soema Ciauw itu. Dengan gusar, Soema Ciauw
menjatuhkan hukuman mati atas diri Kie Kong. Sebelum
dibunuh, ia memetik khim dan memperdengarkan lagu
Kong leng san. Sesudah selesai, ia berkata: Mulai hari ini
359
Kong leng san tak akan dapat didengar lagi dalam dunia.
Menurut pendapatku, kata-kata itu sangat memandang
rendah kepada orang-orang yang hidup dijaman
belakangan. Ia hidup dijaman Samkok. Menurut
perhitunganku, mungkin sekali lagu itu tidak tersiar pula
sesudah jaman itu. Tapi aku tak percaya Kong leng san
tidak dikenal orang pada sebelum jaman Samkok."
Thio Coei San tidak mengerti apa maksudnya keterangan
itu dan ia lalu minta penjelasan.
"Perkataan Kie Kong menimbulkan rasa penasaran
dalam hatiku," menerangkan pula Cia Soen. "Aku segera
membongkar kuburan-kuburan menteri-menteri besar dari
kerajaan Tong han dan sesudah membongkar duapuluh
sembilan kuburan akhirnya aku berhasil menemukan lagu
Kong leng san dalam kuburan, Coa Yong" Sehabis
menerangkan begitu, ia tertawa terbahak-bahak dengan
kegirangan besar.
Coei San terkejut. "Orang ini benar-benar tak mengenal
Tuhan," katanya didalam hati. "Hanya karena sepatah kata
yang diucapkan oleh seorang dijaman dulu, dia rela
menjadi pembongkar kuburan. Andai kata ada orang yang
berdosa terhadapnya, ia pasti membalas sakit hati sehebathebatnya"
waktu mendongak, ia lihat sebuah lukisan yang
tergantung didinding gubuk perahu. Dilihat dari warnanya
yang sudah agak suram, lukisan San Coei (gunung dan air)
itu sudah tua sekali, tapi lukisannya sendiri hidup, indah
dan angker luar biasa.
Melihat pemuda itu mengawasi tanpa berkesip Cia Soen
segera berkata: "Lukisan itu adalah buah tangan Thio Ceng
Yoe dari jaman kerajaan Liang. Aku telah mencurinya dari
istana kaizar. Menurut orang, kalau melukis naga, ia tak
360
pernah melukis mata naga itu, sebab, jika dilukis, gambar
naga lantas saja hidup dan terbang kelangit sesudah
mendobrak tembok. Tentu saja cerita itu omong kosong
belaka dan hanya digunakan untuk memberi pujian kepada
lukisan naga Thio Ceng Yoe yang indah luar biasa.
Menurut pendapatku, duapuluh empat huruf yarg ditulis
olehmu ditembok batu tidak kalah indahnya dari lukisan
San soei itu."
"Boanpwee hanya mencorat coret secara serampangan,
mana bisa dibandingkan dengan pelukis kenamaan dijaman
dulu" Coei San merendahkan diri.
Demikianlah, mereka beromong omong tentang sastra
dan lain-lain ilmu jaman dulu dan jaman sekarang dengan
tuan rumah bicara sebagai seorang sasterawan besar. Coei
San merasa sangat kagum akan pengetahuan Cia Soen, tapi
hatinya tetap diliputi kegusaraaan karena mengingat
kekejaman orang itu. Beberapa lama kemudian, ia mulai
merasa sebal dan lalu memandang keluar jendela, dengan
membiarkan si nona bicara terus dengan tuan rumah.
Tiba-tiba ia lihat matahari sore yang tengah menyelam
ditepian laut dan yang memancarkan sinar emas yang
gilang gemilang. Selagi mengawasi dengan pikiran
melayang layang, mendadak ia terkejut. "Mengapa
matahari menyelam disebelah balakang perahu ?" tanyanya
didalam hati. Ia menengok seraya berkata : "Cia cianpwee,
juru mudimu telah mengambil jalanan yang salah. Kita
menuju kearah timur."
"Tidak salah, kita memang sedang menuju ke timur,"
jawabnya.
In So So juga kaget. "Disebelah timur adalah lautan
besar. Kemana kita mau pergi?" tanyanya.
Cia Soen tidak segera memberi jawaban, tapi pelan-pelan
361
menuang secawan arak dan lain mengendus endusnya
dengan paras muka berseri-seri."Arak ini adalah Lie tin, Tin
cioe dari Siauwhin," katanya sambil bersenyum. "Usianya
paling sedikit sudah dua puluh tahun dan Jie wie tak boleh
memandang rendah."
"Aku bukan bicarakan soal arak," kata si nona dengan
suara tidak sabaran. "Perahu salah jalan dan kau harus
memerintahkan jurumudi memutar kemudi."
"Bukankah waktu masih berada di pulau Ong poan san
aku sudah memberitahukan kalian seterang-terangnya?"
kata Cia Soen, "Sesudah mendapatkan To liong to, aku
ingin mencari sebuah tempat yang terpencil, dimana aku
bisa menggunakan tempo beberapa tahun untuk coba
memecah kan teka teki sekitar golok mustika itu. Aku ingin
mencari tahu, mengapa To liong to dikatakan sebagai
senjata yang paling dihormati dalam Rimba persilatan dan
apa benar pemiliknya dapat menguasai segenap orang
gagah dikolong langit, Daratan Tiong-goan adalah tempat
yang sangat ramai. Begitu lekas orang tahu bahwa aku
memiliki golok itu, mereka ramai ramai tentu akan
menyateroni untuk coba merebutnya dari tanganku.
Dengan adanya gangguan itu, mana bisa aku memusatkan
pikiran? Kalau yang datang pentolan-pentolan seperti Thio
Sam Hong Sianseng atau Peh bie kauwcoe atau yang lain
lain, belum tentu aku dapat menandinginya. Itulah
sebabnya, mnengapa aku ingin cari sebuah pulau yang kecil
dan terasing ditengah-tengah lautan, guna dijadikan tempat
tinggalku selama beberapa tahun."
"Kalau begitu, kau antarkan kami pulang lebih dulu,"
kata So So.
Cia Soen tertawa. "Begitu lekas kalian kembali di Tiong
goan, apakah rahasiaku tidak menjadi bocor?" tanyanya.
362
Mendadak Coei San melompat dan berseru dengan suara
keras: "Habis apa yang kau mau?"
"Aku tak dapat berbuat lain daripada meminta kalian
berdiam bersama-sama aku dan melewati hari-hari secara
riang gembira selama beberapa tahun," jawabnya. "Begitu
lekas aku dapat menembus rahasia To liong to, kita bertiga
segera kembali kedaratan Tiong goan bersama-sama."
"Bagaimana kalau sampai sepuluh tahun kau masih juga
belum berhasil?" tanya pula Coei
"Kalian harus mengawani sehingga sepuluh tahun,"
jawabnya dengan tenang. "Andaikata seumur hidup, aku
tidak berhasil, kalianpun harus menemani aku seumur
hidup."
"Kau adalah sepasang orang muda yang setimpal dan
aku mengerti, bahwa kalian mencintai satu sama lain. Nah !
Kalian boleh menikah dan berumah tangga dipulau itu. Apa
itu tidak cukup menyenangkan ?"
Coei San gusar bukan main. "Jangan ngaco kau !"
bentaknya.
Ia melirik So So dan ternyata si nona sedang menunduk
dengan paras muka kemalu-maluan. Ia bingung bukan
main. Ia merasa, bahwa ia tengah menghadapi beberapa
lawan yang tangguh dengan berbareng. Cia Soen lawan
pertama, si nona lawan kedua, sedang dirinya sendiri
merupakan lawan ketiga. Dengan berdampingan dengan
wanita cantik itu, belum tentu ia dapat menguasai diri terus
menerus.
Terdapat kemungkinan besar sekali, bahwa pada
akhirnya, ia akan rubuh dibawah kaki In SoSo.
Memikir begitu, sambil menahan amarah ia segera
berkata: "Cia Cianpwee, aku adalah seorang yang
363
selamanya memegang teguh kepercayaan. Aku pasti tidak
akan membocorkan rahasia Cianpwee. Aku bersumpah,
bahwa aku takkan bicara dengan siapapun jua tentang
kejadian dihari ini."
"Aku percaya segala perkataanmu," kata Cia Soen "Thio
Ngohiap adalah seorang pendekar yang kenamaan dan
setiap perkataanmu berharga ribuan tail emas. Hanya
sayang, pada waktu berusia dua puluh lima tahun, aku
pernah bersumpah berat. Lihatlah jeriji tanganku."
Ia mengangkat tangan kirinya dan mementang jarijarinya.
Ternyata, ditangan itu hanya ketinggalan tiga jeriji.
Dengan paras muka dingin, Coei San berkata pula:
"Pada tahun itu, seorang yang paling dipercaya dan paling
dihormati olehku, telah menipu dan mencelakakan aku,
sehingga namaku rusak, rumah tangga berantakan,
anggauta-anggauta keluargaku binasa dalam sekejap mata.
Waktu itu, aku membacok jari tangan dan bersumpah,
bahwa selama hidup, tak nanti aku percaya manusia lagi.
Sekarang aku berusia empatpuluh lima tahun. Selama
duapuluh tahun, aku ingin bergaul dengan kawanan
binatang. Aku percaya binatang, tidak percaya manusia.
Selama duapuluh tahun, aku membunuh manusia, tidak
membunuh binatang."
Coei San bergidik. Sekarang ia mengerti, mengapa lagu
Ko leng san begitu menyayat hati dan mengapa, biarpun
berkepandaian sangat tinggi, nama orang itu tidak dikenal
dalam dunia Kangouw. Sekarang ia mengerti, bahwa
kejadian hebat yang terjadi pada dua puluh tahun berselang,
telah mengubah sifat-sifatnya Cia Soen. sehingga dia
membenci dunia dan segenap penghuninya. Dengan
munculnya pengertian itu, rasa gusarnya agak mereda dan
didalam hatinya malah timbul rasa kasihan. Sesudah
bengong sejenak, ia berkata dengan suara halus: "Cia
364
Cianpwee, bukankah sakit hatimu sudah terbalas ?"
"Belum" jawabnya. "Ilmu silat orang yang mencelakakan
aku, luar biasa tinggi dan aku tak dapat melawannya."
Tanpa merasa, hampir berbareng, Coei San dan So So
mengeluarkan suara tertahan: "Masih ada manusia yarg
lebih lihay dari padamu?" tanya si nona. "Siapa dia?"
"Perlu apa aku memberitahukan namanya kepadamu?"
Cia Soen balas menanya. "Jika bukan karena gara-gara sakit
hati ini, apa perlunya aku marebut To liong to? Guna apa
aku berusaha untuk memecahkan teka teki sekitar golok itu?
Thio Ngohiap, begitu bertemu denganmu, aku lantas saja
merasa suka. Jika menuruti kebiasaanku, siang-siang
jiwamu sudah melayang. Bahwa aku membiarkan kalian
hidup beberapa tahun lebih lama sebenarnya sudah
melanggar kebiasaanku, sehingga mungkin sekali,
pelanggaran itu akan mengakibatkan kejadian yang tidak
baik bagi diri ku."
"Apa artinya perkataanmu?" menegas So So "Mengapa
kau mengatakan, hidup beberapa tahun lebih lama?"
"Sesudah aku berhasil memecahkan rahasia To liong to,
pada waktu mau meninggalkan pulau itu aku akan
mengambil jiwamu," jawabnya dengan tawar. "Satu hari
belum berhasil, satu hari kalian masih boleh hidup."
Si nona mengeluarkan suara dihidung. "Hmm! Menurut
pendapatku, golok itu hanyalah golok yang berat luar biasa
dan tajam tuar biasa," katanya. "Kata-kata tentang siapa
yang memilikinya akan menguasai orang-orang gagah di
kolong langit rasanya hanya omong kosong belaka."
"Kalau benar begitu, biarlah kita bertiga berdiam dipulau
itu seumur hidup," kata Coei San. Tiba-tiba menghela napas
dan paras mukanya diliputi dengan awan kedukaan.
365
Perkataan si nona kena tepat pada hatinya. Memang
mungkin sekali To liong to hanya sebuah golok yang tajam
dan jika benar sedemikian, sakit hatinya yang sangat besar
tidak akan dapat dibalas lagi.
Melihat paras Cia Soen yang penuh dengan kesedihan,
Coei San ingin coba menghibur. Tapi sebelum ia keburu
membuka mulut, Cia Soen su dah meniup lilin seraya
berkata: "Tidurlah !" ia kembali menghela napas dan suara
helaan napas itu kedengarannya bukan seperti suara
manusia, tapi bunyi binatang yang sudah menghembuskan
napasnya yang penghabiskan. Dan suara yang
menyeramkan itu jadi lebih menyeramkan lagi karena
bercampur dengan arus ombak ditengah lautan. Mendengar
itu jantung Coei San dan So So memukul keras.
Angin laut yang dingin menderu deru. Sesudah lewat
beberapa lama, si nona yang hanya mengenakan selembar
pakaian tipis, tak dipat mempertahankan diri dan ia mulai
menggigil.
"In kauwnio, apa kau dingin?" bisik Coei San "Tak apa."
jawabnya.
Coei San segera membaka jubah panjangnya dan
berkata: "Kau pakailah."
Sinona merasa sangat berterima kasih. "Tak usah, kau
sendiri juga kedingnan," Ia menolak sambil memaksakan
diri untuk bersenyum. Tapi biarpun mulutnya menolak.
tangannya menyambuti juga jubahnya itu yang lalu
digunakan untuk menyelimuti pundaknya. Begitu
merasakan hawa hangat dari jubah itu, ia bersenyum
dengan rasa beruntung.
Sementara itu, Coei San sendiri mengasah otak untuk
mencari jalan guna meloloskan diri. Sesudah memikir bulak
balik, ia berpendapat, bahwa jalan satu-satunya adalah
366
membunuh Cia Soen.
Ia memasang kuping dan diantara suara gelombang, ia
mendengar suara mengerosnya Cia Soen yang sudah pulas
nyenyak, ia heran dan berkata dalam hatinya: "Orang itu
telah bersumpah untuk tidak percaya manusia. Tapi
bagaimana ia bisa tidur pulas dalam sebuah perahu bersama
sama aku dan In Kauwaio? Apa dia tidak takut aku
turunkan taugan jahat? Atau, apakah, karena menganggap
kepandaiannya sudah sangat tin6gi, ia tidak memandang
sebelah mata kepadaku? Sudahlah ! Biar bagaimanapun jua,
aku harus berani menempuh bahaya. Orang ini sudah pasti
akan melakukan apa yang dikatakannya. Kalau terlambat,
bisa-bisa aku harus menemani dia dipulau kecil sampai
masuk dilubang kubur," Memikir begitu, perlahan-lahan ia
mendekati In So So untuk membisiki niatannya.
Tapi diluar dugaan, sebelum ia keburu membuka mulut,
didalam kegelapan apa mau si nona memutar kepala
sehingga tanpa tercegah lagi, bibir pemuda itu menyentuh
pipinya.
Tak kepalang kagetnya Coei San! Ia sangat ingin
menyatakan kepada sinona, bahwa kejadian itu adalah
kejadian kebetutan dan ia sama sekali tidak berniat untuk
berlaku kurang ajar tapi mulutnya terkancing dan ia tak
dapat mengeluarkan sepatah kata.
Dilain pihak sinona girang bukan main dan lalu
merebahkan kepalanya dipundak pemuda itu. Sesaat itu, So
So melupakan segala bahaya yang tengah mengancam dan
pada detik itu, ia merasa dirinya, sebagai manusia yang
paling beruntung dalam dunia. Tiba-tiba ia dengar bisikan
Coei San: "In Kouwnio, aku harap kau tidak jadi gusar."
Dengan paras muka bersemu merah dan dengan suara
terputus-putus, ia berkata: "Kau.... menyintai aku.... Aku....
367
sangat.. girang."
In So So adalah memedi perempuan yang dapat
membunuh manusia tanpa berkedip. Tapi dalam keadaan
begitu, ia tiada bedanya seperti wanita lain. Jantungnya
memukul keras, mukanya panas, rasa malu, kaget dan
girang tercampur menjadi satu.
Kalau bukan berada dalam kegelapan, mungkin sekali ia
tak berani mengucapkan kata-kata itu yang menumplek isi
hatinya kepada pemuda yang dicintainya.
Mendengar jawaban si nona, sekali lagi Coei San
terkesiap, ia tidak duga, bahwa permintaan maafnya sudah
memancing pengakuan cinta. Biar bagaimana jua, ia adalah
manusia biasa, manusia yang masih berusia muda. Maka
itu, jantungnyapun memukul keras dan ia jadi bingung
bukan main. Tiba-tiba, jiwa kesatrianya memberontak.
"Coei San!" Ia mengeluh. "Mengapa kau begitu lemah? Apa
kau sudah lupa pesanan In soe?. Biarpun ia mencintai aku
dan ia pernah melepas budi kepada Samko, tapi ia seorarg
dari agama yang menyeleweng dengan sepak terjangnya
yang tidak dapat dibenarkan. Andaikata aku ingin menikah
dengannya, terlebih dahulu aku harus memberitahukan In
soe untuk minta permisi. Mana boleh aku bercinta-cintaan
ditempat gelap?"
Memikir begitu, dengan perlahan ia mendorong tubuh
sinona dan berbisik: "Kita harus berusaha untuk menakluki
orang itu guna meloloskan diri."
Mendengar bisikan itu, So So terkejut. "Apa?" Ia
menegas.
"Biarpun berada dalam bahaya, kita barus bertindak
secara tenang," Menerangkan pernuda itu. "Kalau kita
menyerang selagi dia pulas, perbuatan kita bukan perbuatan
kesatria. Aku akan membangunkannya dan akan
368
menantangnya untuk mengadu kekuatan. Selagi aku
bertanding, kau harus melepaskan jarum emas kejalan
darahnya. Meskipun kita mengerubuti dan kemenangan
kita bukan kemenangan yang gemilang, tapi apa boleh buat,
karena ilmu silatnya banyak lebih tinagi daripada kita."
Coei San membisikkan dengan suara yang sangat halus
dan bibirnya hampir menempel dengan kuping si nona.
Tapi diluar dugaan, baru saja ia selesai, Cia Soen yang tidur
digubuk belakang sudah tertawa terbahak-bahak "Kalau kau
membokong, mungkin sekali kau masih mempunyai
harapan." katanya dengan suara nyaring. "Tapi dengan
ingin mengambil jalanan yang terang, untuk
mempertahankan nama baik partaimu, kau cari celaka
sendiri."
Dilain saat berbareng dengan berkelebatnya bayangan
manusia ia sudah berada dihadapan Coei San dan lalu
menghantam dada pemuda itu dengan telapak tangannya.
Selagi Coei San bicara, Coei San sudah mengempos
semangat dan mengerahkan Lweekang. Begitu lekas lawan
menyerang, ia segera menyambut dengan tangan kanannya
dan balas mengirim serangan deagan tenaga Bin ciang
(Pukulan kapas). Begitu lekas tangannya kebentrok dengan
tangan lawan, ia merasa dadanya tergetar dan tenaga lawan
menindih hebat bagaikan gelombang.
Sebelum tangan lawan menyambar, Coei San, yang tabu
keunggulan orang itu, sudah mengerahkan seluruh
Lweekang untuk membela diri. Maka itu, waktu angin
pukulan menyambar, ia menarik pulang lengannya kira-kira
delapan dim dan dengan garis pembelaan yang lebih pendek
itu, ia mendapat banyak keuntungan, sehingga, walau pun
Cia Soen terus menambah tenaganya, ia masih dapat
mempertahankan diri.
369
Sesudah mendorong tiga kali, Cia Soen merasa heran,
sebab meskipun Lweekang lawannya banyak lebih rendah,
tapi ia tidak berhasil untuk menghancurkannya. Ia terus
menambah tenaga, tapi Coei San masih tetap dapat
mempertahankan diri. Selagi mereka mengadu kekuatan
secara mati-matian, papan perahu mengeluarkan suara
"krekekkrekek", karena tidak kuat menahan tindihan tenaga
kedua orang yang tengah bertanding itu.
Tiba-tiba Cia Soen mengangkat tangan kirinya dan
menghantam kepala Coei San, yang buru-buru menangkis
dengan tangan kirinya dengan pukulan Hoeu kee kim liang
(Memasang penglari emas).
Sesudah kedua-dua tangannya beradu dengan kedua
tangan lawan, Coei San merasa dadanya di tindih dengan
tenaga Im jioe (tenaga lembek), sedang tenaga yang
menindih dari atas kepala adalah tenaga Yang kong (tenaga
keras). Bahwa seseorang dapat menyerang dengan dua
macam tenaga dengan berbareng adalah kepandaian yang
sungguh jarang terdapat dalam Rimba Persilatan. Untung
juga ilmu silat Boe tong pay sangat mengutamakan
Lweekang, sehingga biarpun kalau dalam pertempuran
biasa kepandaian Coei San masih jauh, tapi dalam
pertandingan Lweekang sedikitnya untuk sementara waktu,
dengan menggunakan "ilmu meminjam tenaga,
memidahkan tenaga" dan Sie nio po cia kin, ia masih dapat
mempertahankan diri.
Dalam sekejap, keringat membasahi pakaian pemuda itu.
"Mengapa In Kauwnio masih belum turun tenaga?"
tanyanya didalam hati. "Jika In Kouw nio menyerang, dia
pasti akan berkelit dan waktu dia berkelit, aku bisa
menggunakan kesempatan untuk menyerang."
Kemungkinan itu juga rupanya sudah diingat oleh Cia
Soen sendiri. Waktu baru menyerang, ia menduga, bahwa
370
dengan sekali pukul, ia akan dapat merubuhkan pemuda
itu. Tapi diluar dugaan, sesudah seminuman teh, Coei San
masih dapat mempertahankan diri. Ia mengerti, bahwa jika
sinona turun tangan, ia bisa celaka. Maka itu, sambil
bertanding, kedua lawan tersebut terus memperhatikan
gerak-gerik In So So.
Karena sedang mengerahkan seluruh Lweekang nya,
Coei San tidak berani bicara. Tapi Cia Soen Yang
Lweekangnya sudah mencapai puncak tertinggi masih
dapat bicara. "nona kecil, aku menasehati kau jangan cobacoba
turun tangan," katanya. "Begitu kau melepaskan jarum
emas, aku akan segera menghantam dengan sekuat tenaga
kecintaanmu tidak dapat hidup lebih lama lagi "
"Cia Cianpwee, tarik pulang seranganmu," kata sinona.
"Kamu akan menghatur maaf?" tanya Cia Soen.
Coei San tidak berani menjawab, karena begitu
membuka suara, tenaganya akan habis. Ia mendongkol
bukan main karena So So tidak melepaskan jarumnya.
"Cia Cianpwee, lekas tarik pulang tenagamu!" teriak
nona In dengan suara bingung "Apa kau mau aku turun
tangan?"
Sebenar-benarnya didalam hati Cia Soen pun sangat
berkuatir. Didalam kegelapan dan ditempat yang sangat
sempit, ia sukar menolong diri, jika si nona menyerang
dengan jarum emas yang berjumlah besar dan halus itu, ia
juga tidak bisa menangkis jarum-jarum itu dengan kedua
tangannya yang tengah beradu deagan kedua tangan Coei
San. Maka itu, jika So So menyerang, mungkin sekali
mereka bertiga akan binasa atau terluka berat bersamasama.
Karena adanya kekuatiran itu, ia segera berkata: "Nona
371
kecil, aku sebenarnya tidak mempunyai niatan kurang baik,
aku bersedia untuk mengampuni jiwanya, jika kau
bersumpah atas nama nya."
sesudah memikir sejenak, So So berkata: "Thio Ngoko,
kita bukan tandingan Cia Cianpwee. Tiada lain jalan
daripada menurut perintahnya dan menemani dia satu dua
tahun. Kurasa, sebagai seorang yang sangat cerdas otaknya,
tak sukar untuk Cia Cianpwee memecahkan rahasia To
liong to. Ngo ko boleh aku bersumpah atas namamu?"
Coei San tetap tidak berani menyahut. Didalam hati ia
mendongkol bukan main karena si nona masih juga tidak
mau melepaskan senjata rahasianya.
Melihat kecintaannya terus membungkam, sinona segera
berkata: "Aku In So So bersama Thio Coei San berjanji
akan mengawani Cia Cianpwee disebuah pulau sampai Cia
Cianpwee dapat memecahkan rahasia To liong to. Jika
kami mempunyai hati bercabang, biarlah kami mati
dibawah pedang atau golok "
Cia Soen tertawa, "Bagi orang-orang Rimba Persilatan,
mati dibawah senjata bukan soal penting," katanya.
Si nona menggertak gigi. "Baiklah," katanya dengan
suara gusar. "Kalau aku melanggar janji, biarlah aku tidak
bisa hidup sampai dua puluh tahun. Apa kau puas?"
Cia Soen tertawa terbahak-bahak dan lalu menarik
pulang tenaganya. Begitu lekas tindihan tenaga lawan
disingkirkan, Coei San yang sudah habis tenaganya lantas
saja rubuh diatas papan perahu. Melihat muka pemuda itu
pucat bagaikan kertas dan napasnya tersengai-sengal, bukan
main bingungnya si nona yang lantas saja menubruk sambil
mengucurkan air mata.
"Murid Boe tong sungguh-sungguh bukan mempunyai
372
nama kosong," memuji Cia Soen. "Tak malu mereka
menjagoi dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan."
Sementara itu, So So sudah mengeluarkan sapu tangan
dan menyusuti keringat yang membasahi Coei San. Melihat
si nona menangis sedu sedan, kemendongkolan pemuda itu
lantas saja hilang dan didalam hatinya timbul perasaan
sangat berterima kasih. Baru saja ia ingin menghaturkan
terima kasih, tiba-tiba matanya gelap. Sayup sayup ia
mendengar teriakan So So: "Orang she Cia jika kakakku
mati, aku akan mengadu jiwa dengan mu!"
Dilain saat dalam keadaan lupa ingat, ia mendengar
suara menderunya angin dan badannya terayun-ayun.
Mendadak ia merasa badannya basah dan air asin masuk
kedalam mulutnya. Sesaat itu juga ia tersadar dan hatinya
bingung, karena ia duga perahu itu sedang karam. Cepatoepat
ia bangun berdiri, tapi ia tak dapat berdiri tegak,
sebab perahu kembali miring kekiri dan gelombang
menghantam perahu. Angin menderu-deru dan gelombang
sebesar bukit menerjang dengan saling susul.
Dalam keadaan ribut dan kacau, mendadak ia dengar
teriakan Cia Soen: "Thio Coei San, lekas pergi kebelakang
perahu dan pegang kemudinya. Tanpa memikir lagi, ia
berlari-lari kebelakang perahu. Ombak lagi-lagi
menghantam perahu miring kekiri kanan dan sebuah
perahu kecil, yang semula ditaruh diatas perahu layar itu,
terbang keatas beberapa tombak tingginya, akan kemudian
tenggelam kedasar laut.
Sebelum Coei San tiba ditempat kemudi, gelombanggelombang
besar mengamuk, sehingga perahu terputarputar
dan terpental kian kemari. Buru buru ia mengempos
semangat dan menancap kedua kakinya dipapan perahu,
sehingga meskipun perahu terombang-ambing, badannya
tidak bergerak. Beberapa saat kemudian, sesudah serangan
373
gelombang agak mereda, ia merangkak dan dengan kedua
tangannya ia memegang kemudi erat-erat.
Sekonyong-konyong terdengar beberapa kali suara
gedubrakan yang keras bukan main dan badan perahu
bergoyang goyang, Ternyata, dengan menggunakan Long
gee pang, Cia Soen telah merubuhkan tiang layar tengah
dan depan dan kedua tiang itu bersama-sama kain layarnya
yang berwarna putih, jatuh kedalam laut
Topan yang menyerang benar-benar hebat. Meskipun
hanya ketinggalan sebuab layar belakang, perahu itu masih
tetap miring kian kemari seperti orang mabok arak.
Menghadapi serangan alam yang hebat, Cia Soen yang
gagah tak berdaya. Ia mengawasi langit dergan paras muka
mendongkol dan beberapa kali hampir-hampir ia tergelincir
di sapu angin. Akhirnya, dengan apa boleh buat, ia
mengangkat pula Long gee pang dan menghantam tiang
yang terakhir.
Sesudah semua tiang layar rubuh, perahu itu lantas saja
terombang ambing tanpa tujuan. Tiba-tiba Coei San ingat
So So. "In Kouwnio!" teriaknya. "Dimana kau? Dimana
kau? In Kouwnio !" Ber ulang-ulang ia berteriak, tapi
sedikitpun ia tidak mendapat jawaban, sehingga dalam
teriakan-teriakan yang belakangan, dalam suaranya terdapat
nada seperti orang menangis. Mendadak ia merasa lututnya
seperti dipeluk orang dan berbareng, sebuah gelombang
yang besar telah menyambar badannya.
Sambil mengempos semangat, ia mencekal kemudi eraterat,
tapi tak urung tubuhnya bergoyang goyang karena
dahsyatnya ombak itu. Pada detik itu, orang yang barusan
memeluk lututnya sudah merangkul pinggangnya. "Thio
Ngoko, terima kasih," demikian terdengar suara So So yang
lemah lembut: "Kau sangat memperhatikan
keselamatanku."
374
Coei San girang bukan, main. "Oh, Tuhan ! Terima kasih
untuk perlindunganMu!" bisiknya sambil memeluk
pinggang sinona.
Angin terus mengamuk dan amarah lautan masih tetap
belum mereda.
Diantara pukulan-pukulan gelombang, mendadak Coei
San melihat sebuab kenyataan. Ia sekarang mengakui,
bahwa didalam bahaya, ia lebih memikiri keselamatan So
So daripada keselamatan diri nya sandiri.
"Thio Ngoko, biarlah kita mati bersama-sama," bisik
pula si nona.
Dalam keadaan biasa, biarpun kedua orang muda itu
menyintai satu sama lain mereka pasti tak akan menumplek
isi hati mereka secara begitu cepat dan terang-terangan.
Tapi pada saat itu pada detik mereka bersama-sama
menghadapi kebinasaan, segala perasaan main dan jengah
telah dikesampingkan. Didalam kegelapan dan diantara
badai, badan perahu tak hentinya mengeluarkan suara
"krekek" dan bisa hancur luluh disetiap saat, tapi didalam
hati kedua orang muda itu terdapat rasa beruntung yang
tiada batas.
Sesudah mengadu tenaga dengan Cia Soen, Coei San
sebenarnya merasa lelah bukan main. Tapi rasa cinta yang
kini tengah memenuhi dadanya telah memberi tenaga baru
kepadanya. Dengan tangan kanan, mencekal kemudi
tangan kiri memeluk pinggang si nona, ia mengempos
semangat dan mengerahkan seluruh Lweekang untuk
mempertahankan diri dari serangan-serangan topan dan
gelombang.
Semua anak buah perahu sudah habis disapu air. Jika
Cia Soen, Coei San dan So So tidak memiliki ilmu tinggi,
siang-siang merekapun sudah ditelan laut.
375
Untung juga, perahu itu sangat kuat buatannya,
sehingga, walaupun diserang begitu hebat, tidak sampai jadi
berantakan.
Dilain saat, untuk penambahan penderitaan, hujan turun
seperti dituang tuang.
Sementara itu, sesudah merubuhkan semua tiang layar,
sambil merangkak Cia Soen pergi kebelakang perahu. "Thio
Heng tee, terima kasih untuk bantuanmu," katanya.
"Serahkan kemudi kepadaku dan pergilah kalian mengaso
digubuk perahu."
Coei San lalu menyerahkan kemudi kepadanya dan
sambil menuntun tangan si nona, ia menuju kegubuk
perahu. Tapi baru berjalan beberapa tindak, se-konyong2
sebuah gelombang, sebesar bukit menghantam dengan
dahsyatnya. Karena serangan itu datang secara sangat
mendadak,
sekali ini Coei San tidak dapat mempertahankan dirinya
lagi. Badan mereka tersapu dan terpental keluar perahu .
Dilain detik tubuh Coei San sudah berada ditengah
udara dan melayang turun keatas gelombang! Dalam
bingungnya, ia berhasil menjambret pergelangan tangan So
So. Pada saat itu, ia hanya ingat untuk binasa bersama
dengan si nona
Tapi baru saja tangan kirinya mencekal pergelangan
tangan nona In, sekonyong-konyong sehelai tambang
menyambar dan melibat lengan tangan kanannya. Hampir
berbareng, ia merasa badannya ditarik kebelakang, akan
kemudian, bersama sama So So, jatuh diatas papan perahu.
Yang menolong mereka adalah Cia Soen sendiri. Pada saat
yang sangat genting, Cia Soen menjemput seutas tambang
layar yang kebetulan menggetetak didekat kakinya,
sehingga pada detik terakhir, jiwa kedua orang muda itu
376
ketolongan.
Itulah kejadian yang sangat diluar dugaan, "Sungguh
berbahaya !" mengeluh Cia Soen. Kalau tambang itu tidak
kebetulan berada didekatnya, biarpun mempunyai
kepandaian yang sepuluh kali lipat lebih tinggi, ia tentu
tidak berdaya.
Dengan merangkak, Coei San dan So So lalu masuk
kedalam gubuk perahu. Perahu terus ter ombang-ambing,
sebentar seperti berada dipuncak gunung dan sebentar
seperti masuk kedalam lembah. Tapi bagi mereka yang
seolah-olah baru saja bangun dari kuburan, semua bahaya
itu tidak ada artinya lagi. "Ngoko," bisik nona In. "Jika kita
bisa hidup terus, aku tak mau berpisahan dengan kau untuk
selama-lamanya."
"Akupun justeru begin mengatakan begitu," kata Coei
San. "Langit diatas, bumi dibawah, diantara manusia dan
didasar lautan, kita akan tetap bersama-sama."
Si nona menghela napas. "Benar," bisiknya pula. "Langit
diatas, bumi dibawah, diantara manusia dan didasar lautan,
kita akan tetap bersama-sama."
Sementara itu, Cia Soen mengemudikan perahu sambil
mengomel panjang pendek. Dalam menghadapi badai dan
gelombang, kepandaiannya yang sangat tinggi tidak banyak
menolong.
Sesudah mengamuk tujuh jam lamanya, barulah topan
mereda. Awan hitam perlahan-lahan buyar dan bintangbintang
mulai muncul lagi diatas langit. Coei San dan So So
keluar dari gubuk perahu. "Cia Cianpwee, terima kasih
banyak untuk pertolonganmu," kata pemuda itu.
"Tak usah rewel," jawabnya. "Kita bertiga hampirhampir
mampus."
377
Coei San menghela napas dan lain menggantikan
memegang kemudi. Sesudah bertahan mati matian hampir
semalam Cia Soen pun sudah lelah sekali dan ia segera
pergi kegubuk perahu untuk mengaso.
So So duduk didamping kecintaannya dan dongak
mengawasi bintang Paktauw yang tengah memancarkan
sinaraya. "Ngoko, perahu ini tengah menuju kejurusan
utara," katanya.
"Benar," jawabnya. "Aku ingin sekali dia menuju kebarat
supaya kita bisa pulang"
"Kalau dia berbalik ketimur, entah kemana kita akan
pergi," kata pula nona In.
"Ketimur masuk bilangan samudera," kata Coei San.
"Kalau kita berada ditengah lautan tujuh delapan hari saja,
tanpa air, kita akan...."
"Kudengar di lautan Tanghay tardapat sebuah pulau
dewata," memutus si nona. "Orang kata, dipulau itu
terdapat dewa-dewi yang hidup abadi. Siapa tahu, kalau
kita mendarat dipulau itu, kita akan tertemu dengan para
dewa dan dewi ....."
Sambil mengawasi bima sakti yang membentang
dilangit, ia berkata pula: "Mungkin sekali perahu ini akan
berlayar terus, sehingga tiba dibimasakti dan kita dapat
menyaksikan pertemuan diatas jembatan burung antara
Goe Long dan Cit Lie." ( Bima-sakti adalah sehelai sinar
terang diwaktu malam yang membentang dilangit, terdiri
daripada rangkaian bintang-bintang).
"Ya," kata Coei San. "Kita boleh menyerahkan perahu
ini kepada Goe Long, supaya ia dapat menemui Cit Lie
disembarang waktu dan tidak usah menunggu Cit gwee Cit
sek (tanggal tujuh Cit lie)."
378
Si nona bersenyum. "Ngoko, jika perahu dihadiahkan
kepada Goe long, alat pengangkutan apakah yang dapat
digunakan kita jika kita ingin bertemu ?" tanyanya.
"Langit diatas, bumi dibawah, sekali bersama sama, kita
telah bersama-sama," jawabnya. "Perlu apa kita
menyeberangi bima-sakti ?"
In So So tertawa, paras mukanya seakan-akan sekuntum
bunga yang baru mekar Dengan sikap kemalu-maluan, ia
mencekal erat-erat tangan Coei San.
Kedua orang mula itu saling mencekal tangan dengan
rasa bahagia. Banyak sekali yang ingin dikatakan mereka,
akan tetapi, mereka tak tahu apa yang harus dikatakan
terlebih dahulu. Memang juga, manakala dua manusia
sedang mencintai satu sama lain, kata-kata tidak perlu sama
sekali.
Dengan lirikan mata saja, mereka sudah bicara banyak,
karena dalam keadaan sedemikian, yang satu tahu apa yang
mau dikatakan oleh yang lain.
Entah sudah selang berapa lama barulah Coei San
menunduk dan melirik kecintaannya. Ia terkejut, karena
kedua mata si nona kelihatan basah dan paras mukanya
penuh kedukaan. "Mengapa kau menangis ?" bisiknya.
"Diantara manusia atau dibawah lautan mungkin sekali
aku dapat berkumpul dengan kau." jawabnya perlahan.
"Tapi dihari kemudian, sesudah kita meninggal dunia, kau
masuk di surga, aku... aku ....akan masuk keneraka !"
"Omong kosong!" bentak Coei San dengan suara
menyinta.
So So menghela napas dan berkata dengan suara
menyesal: "Aku sendiri mengerti ......aku mengakui, bahwa
aku telah melakukan banyak sekali perbuatan jahat dan
379
banyak membunuh manusia secara sembarangan."
Coei San terkejut. Diam diam dia merasa, bahwa
memang benar dia tidak pantas menikah dengan seorang
wanita yang sepak terjangnya menyeleweng seperti So So.
Akan tetapi karena rasa cintanya sudah mendalam dan juga
sebab dalam menghadapi bahaya besar, orang tidak
menghitung hitung kejadian dihari kemudian, maka ia
lantas saja membujuk dengan suara lemah lembut:
"Jika kau ingin memperbaiki kesalahanrnu, sekarang
masih belum terlambat. Mulai dari sekarang, kau harus
berbuat kebaikan guna menebus segala dosamu." So So
tidak menyahut. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia
menyanyi dengan perlahan.
Yang dinyanyikannya adalah lagu Sam poyang, sebuah
lagu rakyat yang sangat terkenal pada jaman kerajaan
Goan. Lagu itu biasa dinyanyikan rakyat dari selatan
sampai diutara, hanya kata katanya banyak berbeda satu
sama lain.
Sambil menahan napas Coei San mendengar nyanyian
itu yang seperti berikut
"Dia dan aku,
Aku dan dia.
Diantara kita, terdapat binyak rintangan.
Bagaimana dapat mencapai sebuah pernikahan?
Akhirnya mati didepan keraton Giam ong.
Ai ya ! Biarkanlah !
Mengambil alu untuk menumbuknya.
Mengambil gergaji untuk menggargajinya.
380
Mengambil penggilingan untuk menggilingnya,
Mengambil kuali untuk menggorengnya.
Ai ya ! Biarkanlah !
Apa yang terlihat, manusia, hidup mendapat hukuman,
Belum pernah terlihat, setan jadi perantaian.
Ai ya ! Biarkanlah !
Alis terbakar, perhatikan saja mata,
Alis terbakar, perhatikan saja mata."
Nyanyian itu disambut dengan sorak sorai Cia Soen dari
dalam gubuk perahu. "Bagus ! Bagus sungguh nyanyian itu
!" teriaknya "In Kouwnio, kau lebih menyocoki aku
daripada Thio Siang kongmu yang berlagak mulia !"
"Ya, aku dan kau adalah manusia-manusia jahat dan kita
pasti akan mati secara tidak baik," kata si nona.
"Kalau kau mati secara tidak baik, akupun begitu," bisik
Coei San.
So So kaget tercampur girang. Ia mengawasi pemuda itu
dan hanya dapat mengeluarkan sepatah kata: "Ngoko ...."
Pada esokan paginya, dengan menggunakan Long gee
pang, Cia Soen membinasakan seekor ikan Yang beratnya
belasan kati dan yang dapat menangsal perut selama dua
hari. Karena lapar, biar pun ikan mentah, mereka makan
dengan bernapsu. Untung toya itu yang dipasangi pakupaku
seperti gaetan merupakan alat yang sangat cocok
untuk memukul ikan. Biarpun diatas perahu sudah tidak
ketinggalan setetes air tawar, tapi dengan menelan minyak
dan cairan yang keluar dari badan ikan mereka masih dapat
mempertahankan diri.
Arus air terus mengalir keutara dan siang malam, mereka
381
dapat melihat bintang kutub Utara yang memancarkan
sinarnya berhadapan dengan kepala perahu.
Diwaktu siang, matahari muncul dari sebelah kiri perahu
dan diwaktu sore, menyelam dari sebelah kanan.
Selama belasan hari. keadaan berlangsung seperti itu
tanpa perobahan.
Semakin lama hawa udara jadi semakin dingin. Dengan
memiliki Lweelang yang tinggi, Cia Soen dan Coei San
masih dapat mepertahankan diri. Tapi tidak begitu dengan
In So So. Ia kedinginan, sehingga mukanya berubah pucat.
Cia Soen dan Coei San membuka jubah panjang mereka
dan memberikannya kepada sinona, tapi pakaian yang tidak
seberapa tebal itu, tidak banyak menolong.
Dengan sekuat tenaga si nona coba menguatkan diri
bertahan dan sebisa-bisanya harus memperlihatkan paras
gembira. Tapi Coei San yang tahu, bahwa kegembiraan itu
adalah kegembiraan yang dibuat-buat, jadi makin bingung.
Ia mengerti, kalau perahu terus menuju keutara beberapa
hari lagi, kecintannnya bakal mati ke dinginan.
Tapi benar juga orang kata, Langit tidak memutuskan
jalanan manusia.
Secara tidak diduga duga, perahu berpapasan dengan
sekelompok biruang dan dengan menggunakan Long gee
pang, Cia Soen telah membinasakan beberapa antaranya.
Kulit biruang merupakan selimut hangat, sedang
dagingnya dapat dimakan. Tak usah dikatakan, mereka
tertiga jadi girang bukan main.
Malam itu, mereka berkumpul dikepala perahu sambil
mengawasi langit.
"Bintang apa yang paling berfaedah dalam dunia ini?"
382
tanya So So sambit tertawa.
Cia Soen dan Coei San tertawa geli. "Biruang" jawab
mereka hampir berbareng.
Sesaat itu tiba-tiba terdengar suara "ting tung ting tung !"
Serentak meraka memasang kuping, mendadak paras
muka Cia Soen berubah pucat. "Es Es yang mangambang !"
katanya deagan suara parau. Ia memukul mukul air dengan
senjatanya dan terdengar suara terpukulnya kepingankepingan
es.
Hati mencelos, dingin bagaikan es. Mereka tahu, bahwa
jika perahu terus menuju keutara, pada akhirnya dia akan
terjepit diantara balokan balokan es dan tidak dapat
bergerak lagi. Itu akan berarti, bahwa merekapun tak akan
bisa hidup lebih lama lagi. Malam itu mereka tak dapat
pulas, kuping mereka terus mendengari "ting tung ting tung"
yang tak henti hentinya.
Pada esokan paginya, kepingan-kepingan es sudah jadi
lebih besar, sudah sebesar mangkok, sedang suaranya pun
makin nyaring, Cia Soen tertawa getir seraya berkata: "Hai!
Aku bermimpi ingin membuka rahasia To liong to. Tapi
siapa nyana, sebelum berhasil, aku sudah jadi manusia es."
Jantung sinona berdebar debar. Ia mencekal tangan Coei
San erat-erat.
Tiba-tiba Cia Soma mengangkat To liong to dan
membentak dengan suara gusar. "Paling benar lebih dulu
aku mengantarkan kamu kekeraton Raja Naga!" Tapi sudah
mengangkat golok, ia tak tega dan sambil menghela napas,
ia pergi kegubuk perahu untuk menaruh golok mustika.
Empat hari lewat lagi dan selama empat hari Itu, perahu
terus menuju keutara. Balokan es jadi semakin besar,
sekarang sebesar meja atau rumah kecil. Mereka merasa,
383
bahwa kebinasaan su dah berada didepan mats dan dalam
menghadapi kebinasaan, mereka jadi nekad dan tak mau
memikir panjang-panjang lagi. Malam itu kira-kira tengah
malam, sekonyong-konyorg terdengar suara gedubrakan
dan perahu bergoncang hebat. "Bagus ! Bagus sungguh !"
teriak Cia Soen, "Gunung es !"
Coei San dan So So saling mengawasi sambil bersenyum
getir. "Inilah saat terakhir!" pikir mereka. Tiba-tiba mereka
saling memeluk erat erat. Mereka ingin mati dalam keadaan
begitu, dilain saat, mereka merasa air es sampai dilutut.
"Tamatlah! perahu sudah pecah !"
Sekonyong-konyong terdengar teriakan Cia Soen: "Naik
keatas gunung es! Bisa hidup sehari, biar kita hidup sehari!
Langit mau membinasakan aku, aku melawan!"
Kedua orang muda itu tersadar. Buru buru mereka
melompat kekepala perahu. Disamping perahu berdiri
sebuah gunung es yang dibawah sinar rembulan,
memancarkan sinar hijau yang dingin luar biasa. Itulah
pemandangan yang indah tapi menakuti.
Cia Soen berdiri disebuah undakan, dibagian bawah
gunung es itu, dan ia menyodorkan senjata nya untuk
menyambut kedua orang muda itu. Dengan tangan kiri So
So menekan Long gee pang bersama sama Coei San, ia
melompat naik ke gunung es itu.
Perahu itu ternyata terlubang besar dan selang kira-kira
seminuman teh, sudah tenggelam kedalam laut.
Cia Soen segera menggelar selembar kulit biruang diatas
es dan mereka bertiga lantas saja duduk dengan berendeng
pundak. Jika berada di atas bumi, besar gunung es itu kirakira
bersamaan dengan sebuah bukit kecil, dengan garis
tengah kurang lebih delapan belas tombak dan tingginya
kira-kira lima tombak.
384
Cia Soen mendongak sambil mengeluarkan teriak
nyaring, seolah-olah sedang menantang musuh, "Berdiam
diperahu yang sempit, dadaku menyesak," katanya.
"Tempat ini lebih cocok untuk aku melemaskan urat,"
berkata begitu, ia berjalan mundar mandir dan sungguh
heran, kakinya tidak terpeleset meskipun permukaan es licin
luar biasa.
Coei San mengerti, dia sedang menantang Langit yang
dianggapnya sangat tidak adil terhadapnya. Dalam
menghadapi kebinasaan, rasa penasarannya semakin
menjadi.
Dengan menuruti tiupan angin dan arus air, gunung es
itu terus bergerak kejurusan utara.
Pada suatu hari, selagi mereka bertiga duduk terpekur,
tiba-tiba Cia Soen tertawa terbahak bahak dan berkata
dengan suara mengejek: "Langit telah mengirim sebuah
perahu untuk menyambut kita guna bertemu dengan Pak
kek Siang ong (Dewa Kutub Utara)."
Mendengar itu So So hanya bersenyum. Ia tidak
menghiraukan andaikata langit bakal rubuh asal saja
kecintaannya berada didampingnya. Tapi Coei San
mengerutkan alis dan pada paras mukanya terlukis sinar
kedukaan.
Selang tujuh delapan hari, sinar es yang disoroti
matahari adalah demikian hebat berkilauannya sehingga
mata mereka dirasakan sakit sekali. Oleh karena begitu,
diwaktu siang mereka menyelimuti kepala dengan kulit
biruang sambil merebahkan diri diatas es dan diwaktu
malam, barulah mereka bangun untuk menangkap atau
memburu biruang.
Sungguh heran, semakin keutara siang hari jadi
385
semakin panjang, sehingga belakangan, jangka waktu
dimalam hari hanya beberapa jam saja.
Makin lama Coei San dan So So jadi makin lelah dan
paras muka mereka makin pucat. Cia Soen sendiri kelihatan
seperti seorang lupa ingatan dan pada kedua matanya
terlihat sinar luar biasa. Kadang-kadang, kalau datang
kalapnya, ia menuding-nuding tangan dan mencaci-caci,
seolah-olah manusia edan.
Pada suatu malam, karena tak dapat pulas di waktu
siang, Coei San tidur sambil menyender di es, tiba-tiba
dalam pulasnya, ia mendengar jeritan So So: "Lepas
Lepas!" Ia tersadar dan melompat bangun dan melihat Cia
Soen sedang memeluk kecintaannya dengan mulut
mengeluarkan suara "ho ho ho," seolah olah bunyi binatang
buas.
Sesudah menyaksikan lagak Cia Soen yang luas biasa
selama beberapa hari Coei San merasa sangat berkuatir.
Hanya ia tak nyana bahwa orang itu dapat berbuat begitu
rupa terhadap So So. "Lepas !" bentaknya dengan gusar,
sambil melompat maju.
Cia Soan tertawa terbahak-bahak. "Dalam menghadapi
kebinasaan, aku tak mergenal segala peraturan bau,"
katanya. "Waktu masih berada diatas bumi, aku sudah tidak
mengenal Lie gie liam tie. Apa lagi sekarang?"
Lie gie liam tie berarti adat istiadat, pribudi putih bersih
tak korup dan mmgenal malu, yaitu empat prinsip dari
Kwan Tong.
"Lepas!" teriak pula Coei San dengan gusar. "Jika tidak,
aku akan mengadu jiwa denganmu."
"Apamu dia? Jangan campur-campur urusanku!"
jawabnya dengan suara dingin. Ia mengeraskan
386
pelukannya, sehingga So So mengeluarkan jeritan
kesakitan.
"Dia isteriku," kata Coei San dengan bingung. "Cia
Cianpwee, seorang laki-laki lurus berjalan lurus. Biarpun
kita sekarang berada diatas gunung es, tapi janganlah kau
melakukan perbuatan yang hanya akan memalukan diri
sendiri."
Cia Soen tertawa terbahak-bahak. "Aku si orang she Cia
belum pernah menghiraukan jahat atau baik," katanya.
Andai kata benar kau suami nya, kau tetap tidak boleh
campur-campur dan harus turut segala perintahku. Jika
berani membandal, aku akan hajar kau."
Coei San tak dapat menahan sabar lagi. Baiklah, biar kita
bertiga mampus bersama sama!" bentaknya seraya
menghantam punggung Cia Soen yang menangkis dengan
tangan kirinya. Tubuh Coei San bergoyang-goyang dan
karena licinnya es, ia tak dapat berdiri tetap dan lantas saja
terguling. Cia Soon mengangkat kaki kanannya dan
menendang pinggang pemuda itu. Tapi Coei San pun bukan
anak kemarin dulu. Ia menekan es dengan satu tangannya
dan melompat bangun, sedang tangan yang lain menotok
jalan darah dilutut Cia Soen. Pada detik yang berbahaya,
cepat bagaikan tandangannya, tangan kanannya memukul
kepala Coei San, sedang tangan kirinya memeluk pinggang
si nona.
Sesaat itu tangan kiri So So mendapat kemerdekaan,
maka buru-buru ia menggunakan dua jerijinya untuk
menotok jalan darah Soei touw hiat ditenggorokan orang.
Tapi, diluar dugaan, tanpa menghiraukan serangan itu, Cia
Soen terus mengerahkan Lweekang dan memukul kepala
Coei San. Dengan kedua tangan, pemuda itu menangkis
dan ia terkesiap, karena pukulan itu berat luar biasa,
sehingga dadanya menyesak.
387
Dilain pihak, nona In pun tidak kurang kaget nya. Kedua
jerijinya yang menotok Soei touw hiat seperti membentur
benda yang licin dan serta didorong balik dengan serupa
tenaga yang tidak kelihatan. Si nona mencelos hatinya,
sebab, walaupun seorang yang mempunyai ilmu weduk
Kim ciong to atau Tiat po san tak akan dapat menahan
totokannya itu. Dari sini dapat dibayang kan, betapa tinggi
kepandaian Cia Soen.
Waktu itu, badan So So dan tangan kanannya di peluk
keras-keras dan hanya tangan kirinya yang merdeka.
Sesudah totokannya gagal, dengan pertolongan sinar es, ia
lihat muka Coei San yang kedua matanya berwarna merah
seperti darah dan seolah-olah mengeluarkan api. Pada detik
itu. mendadak ia ingat pengalamannya waktu mengikuti
ayahnya memburu harimau dihutan. Ia ingat bahwa kedua
mata seekor harimau yang terluka juga berwarna merah
darah. Sepulangnya dari perburuan, sering-sering ia merasa
kasihan terhadap binatang itu.
Sekarang, melihat Cia Soen yang menyerupai macan
edan rasa kasihannya timbul dan ia berkata pada dirinya
sendiri: "Dia biasanya ramah tamah dan sopan santun. Ia
beradat aneh, tapi keanehan itu adalah akibat pengalaman
getir dalam penghidupannya. Tapi biar bagaimanapun juga,
ia seorang luar biasa mahir ilmu surat dan ilmi silat. Bahwa
sekarang ia kalap adalah karena otaknya yang kurang
beres." Selagi memikir begitu, tiba-tiba disebelah utara
muncul sinar berkredepan yang beraneka warna dan indah
luar biasa. "Cia Cian pwee," katanya dengan suara lemah
lembut. "Kau mengasolah. Lihatlah! Ditepian langit muncul
sinar yang sangat luar biasa!"
Cia Soen menengok kearah yang ditunjuk si nona.
Ternyata, diantara kegelapan disebelah utara itu muncul
ribuan, bahkan laksaan, sinar terang yang sangat aneh,
388
sebentar besar, sebentar kecil, sedang warnanya yang
kuning campur ungu dan dalam sinar ungu itu berkredepan
sinar keemas emasan.
Cia Soen terkesiap, ia melepaskan pelukannya dan
menarik pulang tangannya yang menindih ke dua tangan
Coei San. Dilain saat, sambil menggendong tangan, ia
berjalan kepinggir gunung es dan memandang kearah utara
dengan mata membelalak. Ternyata, mereka sudah
mendekati Kutub Utara. Sinar yang luar biasa itu adalah
pemandangan yang hanya terdapat didaerah kutub. Pada
jaman itu belum pernah ada orang Tionghoa yang pernah
melihat pemandangan tersebut.
Sambil mencekal tangan kecintaannya, Coei San
mengiwasi orang anah itu dengan hatiri berdebaran. Malam
itu, Cia Soen tidak mengganggu lagi. Lama sekali ia berdiri
terpaku disitu sambil menikmati sinar-sinar menakjubkan
itu.
Pada keesokan paginya, sinar-sinar itu menghilang dari
pemandangan. Cia Soen rupanya merasa jengah karena
kejadian semalam, sehingga seharian suntuk ia tak pernah
berani melirik sinona, sedang gerak-geriknya pun kelihatan
kikuk sekali.
Beberapa hari kembali lewat dan mereka terus berlayar
kejurusan utara. Sementara itu, gilanya Cia Soen mulai
kumat lagi. Semakin hari caciannya terhadap langit jadi
semakin hebat. Sedang dari matanya keluar pula sinar mata
binatang buas. Coei San dan So So memperhatikan
perubahan perubahan itu dengan hati berkuatir dan mereka
selalu berwaspada untuk menghadapi segala kemungkinan.
Hari itu sudah lewat jam tujuh malam, tapi matahari
yang menyerupai sebuah bola merah masih tergantung
ditepian laut sebelah barat dan tak juga mau menyelam.
389
Mendadak Cia Soen melompat bangun dan sambil
menuding matahari, ia membentak: "Kau juga mau
menghina aku? Oh, matahari jika aku memiliki busur dan
anak panah, dengan sekali memanah, aku dapat
menembuskan badan mu!" Tiba-tiba, dengan tinjunya ia
menghantam es yang jadi somplak dan kemudian, dengan
sekuat tenaga, ia menimpuk matahari dengan potongan es
itu, yang terbang puluhan tombak dan kemudian jatuh
dilaut. Ia mengutangi lagi perbuatan itu, sehingga dalam
tempo tidak terlalu lama, ia sudah melontarkan tujuh puluh
lapis potongan es. Sesudah itu, sambil berteriak-teriak, ia
menginjak injak gunung es itu, sehingga kepingan-kepingan
es pada muncrat keatas.
"Cia Cianpwee, kau mengasolah dulu," membujuk So So
dengan suara lemah lembut. "Jangan kau meladeni
matahari itu."
Cia Soen menengok dan dengan mata merah, ia menatap
wajah si nona. So So ketakutan, tapi ia memaksakan diri
untuk bersenyum.
Sekonyong konyong sambil berteriak keras Cia Soen
melompat dan memeluki nona. "Mampus kau! Mampus!"
jeritnya.
So So memberontak, tapi sedikitpun tidak bergeming.
Coei San kaget bukan main dan tanpa mengeluarkan
sepatah kata. ia menghantam jalan darah Sin tohiat
dipunggung Cia Soen. Tapi tinju yang hebat itu seolah-olah
memukul besi. Sementara itu, sambil mengeluarkan suara
"ho ho ho" seperti bunyi binatang buas, Cia Soen
mengeraskan pelukannya.
"Lepas! Jika kau tak lepas, aku akan menggunakan
senjata !" teriak Coei San.
Tapi orang kalap itu tetap tidak meladeni.
390
Cepat bagaikan kilat Coei San mencabut Poan koan pit
dari pinggangnya dan lalu menotok jalan darah Kian kin
hiat dipundak kanan serta Siauw hay hiat pada lengan kiri
Cia Soen. Tapi dia sungguh-sungguh lihay. Jika seorang
ahli silat biasa kena totokan itu, sudah pasti kedua
tangannya tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi ia hanya
merasa kesemutan dan dengan sekali menjambret, ia
berhasil merampas Poan koan pit yang lalu dilontarkan
kelaut.
Tapi serangan Coei San bukan tidak ada hasilnya.
Totokan itu melonggarkan pelukan Cia Soen. Nona in
memberontak dan berhasil memerdekakan dirinya. Tapi
hampir berbareng, sambil mengbantam leher Coei San
dengan telapak tangan kirinya, Cia Soen coba
menyengkeram badan sinona dengan tangan kanan.
Dengan satu suara "bret!" kulit biruang yang menyelimuti
badan So So, menjadi robek. Coei Saa tahu, bahwa jika ia
melompat mundur, kecintaannya pasti akan tertangkap lagi.
Maka itu sambil mengerahkan seantero Lwee kangnya, ia
menyambut tangan lawan dengan pukulan Bian ciang.
Begitu lekas kedua tangan kebentrok, ia merasa
tangannya diisap dengan semacam tenaga yang
dahsyat luar biasa, sehingga tidak dapat dilepaskan lagi.
Ia tidak dapat berbuat lain dari pada mengempos semangat
untuk coba melawan. Tiba tiba ia merasakan menyerangnya
semacam hawa yang sangat panas dari tangan lawan
sehingga pikirannya kalang-kabut dan kepalanya pusing.
Inilah untuk ketiga kalinya Coei San mengadu tenaga
dengan Cia Soen. Dalam dua pertandingan yang lebih dulu,
ia belum pernah mengalami serangan yang seaneh itu.
Dilain detik, dengan satu tangannya terus menempel
pada tangan pemuda itu, Cia Soen miringkan badannya dan
391
coba menjambret si nona. Dengan cepat nona In melompat
kebelakang. Selagi tubuhnya masih berada ditengah udara.
tiba-tiba Cia Soen menendang es, sehingga beberapa keping
terbang dan mengenakan lutut kanan si nona, yang sambil
mengeluarkan teriakan kesakitan, rubuh terguling. Hampir
berbareng, Cia Soen mengebas tangannya yang menempel
dengan tangan Coei San, sehingga pemuda itu terlempar
beberapa tombak jauhnya dan jatuh dipinggir gunung es, ia
terpeleset dan tergelincir kedalam air.
"Celaka !" Coei San mengeluarkan seruan tertahan. Tapi
berkat kepandaiannya yang sudah mencapai taraf sangat
tinggi dalam keadaan yang sangat berbahaya, ia masih
keburu mencabut Gin kauw dari pinggangnya yang lalu
digunakan untuk menotok es, dan dengan meminjam
tenaga , badannya kembali melesat keatas.
Selagi kedua kakinya hinggap diatas es, hatinya
berdebar-debar, karena ia merasa pasti, bahwa So So akan
jatuh lagi kedalam tangannya orang edan itu.
Tapi diluar dugaan dibawah sinar rembulan, ia lihat Cia
Soen sedang menekap kedua matanya dengan tangan
sambil mengeluarkan suara kesakitan, sedang So So sendiri
menggeletak diatas es. Buru buru Coei San
membangunkannya. Sambil memeluk leher pemuda itu, si
nona berbisik : "Aku.... aku telah lukakan matanya."
Mendadak, sambil mengaum bagaikan harimau, Cia
Soen menubruk, tapi untung juga, sambil memeluk
kecintaanaya dan dengan bergulingan Coei San dapat
menyelamatkan diri. Tiba-tiba terdengar beberapa kali suara
keras dan kedua tangan Cia Soen kelihatan amblas didalam
es yang beratnya seratus kati lebih. Ia berdiri diam sambil
memasang kuping untuk mendengar dimana adanya kedua
orang muda itu, Coei San dan So So mengerti apa artinya
itu, perlahan-lahan menyenubunyikan diri didalam sebuah
392
lubang yang terdapat di gunung es itu dan mengawasi si
orang edan sambil menghela napas. Melihat darah mengalir
dari kedua mata Cia Soen, Coei San mengerti, bahwa pada
saat berbahaya, So So sudah menimpuk dengan jarum
emasnya dan sekarang orang itu sudah menjadi buta.
Tapi, biarpun sudah tak dapat melihat, kuping orang
kalap itu tajam luar biasa. Lama ia berdiri bagaikan patung.
Jika kedua orang muda itu mengeluarkaw suara sedikit saja,
ia pasti akan menyerang sehebat-betatnya
Untung juga suara gelombang, angin dan suara
terbenturnya balokan balokan es pada gunung es itu telah
menutupi suara napas mereka. Andaikata mereka berada
dalam sebuah kamar tertutup diatas daratan sudah boleh
dipastikan mereka tak akan terlolos dari tangan Cia Soen.
Sesudah memasang kuping beberapa lama tanpa
berhasil, dalam kegusaran, kesakitan dan ketakutan, Cia
Soen kalap lagi. Sambil berteriak-teriak, ia memukul-mukul
dan menendang-nendang, sambil menimpuk kian kemari
dengan potongan-potongan es. Dengan paras muka pucat,
Coei San dan So So saling peluk dalam lubang itu. Mereka
yakin, sepotong es saja sudah cukup untuk mengambil jiwa
mereka.
Cia Soen mengamuk kurang lebih setengah jam, tapi
kedua orang muda itu merasakan seperti juga setengah
tahun. Beberapa saat kemudian, ia berhenti dan mendadak
berkata dengan suara lemah lembut: "Thio Siangkong, In
Kauw Nio, barusan aku kalap dan telah melakukan gilagila.
Kuharap kalian sudi memaafkan"
Sudah berkata begitu. ia duduk untuk menunggu
jawaban.
Thio Coei San adalah seorang yang mulia dan murah
hati, tapi iapun seorang pintar yang sangat hati-hati,
393
sehingga tidak gampang diakali orang. Nona In yang licin
dan banyak akalnya, lebih-lebih sukar diabui. Mereka tidak
meladeni perkataan Cia Soen dan tetap berwaspada sambil
bernapas pelan-pelan. Sesudah mengulangi perkataannya
beberapa kali, Cia Soen menghela napas panjang seraya
berkata: "Jika kalian tak sudi memberi maaf, akupun tidak
bisa memaksa lagi," Sehabis berkata begitu, ia menarik
nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba dalam otak Coei San berkelebat satu
peringatan. Ia ingat, bahwa sebelum mengeluarkan
jaritannya yang dahsyat dipulau Ong poan San, Cia Soen
telah menarik napas seperti itu. Hatinya mencelos,
menyumbat kuping sudah tidak keburu lagi. Dengan cepat
ia membetot tangan sinona dan melompat kedalam air.
Sebelum si nona mengerti maksudnya, Cia Soen sudah
mengeluarkan teriakannya yang dahsyat. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, pemuda itu membetot pula
tangan kecintaannya dan mereka menyelam kedalam air.
Dengan Gin kauw yang dicekel di tangan kiri, Coei San
menggaet pinggiran gunung es, sedang tangan kanannya
memegang tangan nona In.
Tapi, biarpun kepala berada dibawah permukaan
air, kuping mereka masih mendengar juga teriakanteriakan
yang hebat luar biasa. Gunung es terus maju
keutara. Diam-diam Coei San bersyukur, bahwa yang
dilemparkan Cia Soen adalab Poan koan pit, sehingga ia
masih dapat menggunakan Gin Kauw untuk menggaet
gunung es itu. Andaikata ia kehilangan Gin Kauw, maka
meskipun dapat menyelamatkan diri dari teriakan Cia Soen,
mereka pasti akan mati didalam air, sebab ditinggalkan
gunung es itu yang terus bergerak maju.
Sesudah lewat. beberapa lama, mereka menim but
394
dipermukaan air untuk menyedot hawa udara yang segar.
Cia Soen pun sudah berhenti berteriak.
Teriakan-teriakan itu rupanya telah meminta banyak
tenaga dan dengan letih, ia bersila diatas es sambil
menjalankan pernapasannya. Coei San lantas saja menarik
tangan So So dan pelan pelan mereka merayap naik keatas.
Sesudah duduk ditempat agak jauh dari Cia Soen,
mereka mencabut bulu biruang untuk menyumbat kuping.
Mereka mengerti, bahwa setiap detik mereka
menghadapi bahaya besar.
Matahari belum juga menyelam karena mereka sudah
berada didaerah kutub, dimana siang dan malam berbeda
jauh dengan lain bagian bumi.
Beberapa saat kemudian, So So yang basah kuyup tak
dapat mempertahankan dirinya lagi. Badannya
bergemetaran dan giginya bercakrukan.
Tentu saja suara itu segera terdengar Cia Soen, yang
sambil membentak keras, lalu menghantam dengan Long
gee pang. Buru-buru mereka menyingkirkan diri. Dengan
satu suara nyaring luar biasa, gunung es itu somplak dan
tujuh delapan balokan es jatuh kedalam laut.
Sesudah gagal dengan pukulannya yang pertama, Cia
Soen segera memutar senjatanya bagaikan titiran. Begitu
diputar, senjata itu yang panjangnya setombak lebih segera
mengeluarkan tenaga mendorong yang sangat hebat dalam
jarak tujuh delapan tombak.
Coei San dan So So terpaksa mundur terus dan dalam
sekejap mereka sudah berdiri di pinggir gunung es.
Cia Soen teru§ mendesak .....
"Bagaimana baiknya?" bisik si nona dengan suara parau.
395
Sekali lagi Coei San membetot tangan si nona dan
mereka segera melompat pula kedalam air.
Selagi badan mereka masih berada ditengah udara,
terdengar suara nyaring dan beberapa kepingan es
menghantam punggung mereka yang dirasakan sakit sekali.
Hampir berbareng dengan jatuhnya mereka kedalam air,
sebalok es, sebesar meja, jatuh didekat mereka. Dengan
cepat Coei San menjambretnya dan dilain saat, mereka
sudah duduk diatas balokan es itu.
Bagaikan seorang gila, Cia Soen menimpuk kalang kabut
dengan potonngan-potongan es, tapi sebab matanya buta
dan balokan es yang diduduki kedua orang muda itu terus
bergerak maju, maka timpukannya meleset semua.
Karena balokan es itu banyak lebih kecil dari gunung es,
maka jalannyapun banyak lebih cepat, sehingga tak lama
kemudian, Coei San dan So So sudah meninggalkan Cia
Soen jauh sekali. Tapi karena kecilnya, balokan es itu tak
dapat menahan berat badan dari dua orang dan sebagian
tubuh mereka masuk kedalam air.
Untung juga, tak lama kemudian mereka bertemu
dengan sebuah gunung es Cepat-cepat mereka menggayu
dengan menggunakan tangan untuk mendekati gunung es
itu dan kemudian merapat naik keatasnya.
"Langit tidak memutuskan jalanan orang, tapi langit
telah memberikan sangat banyak penderitaan kepada kita,"
kata Coei San sambil tertawa getir. "So So bagaimana
keadaanmu?"
"Sayang sungguh kita tidak membekal daging biruang,"
kata sinona. "Apa Gin Kauwmu hilang?"
Dilain saat, mereka tertawa geli, karena mereka baru
merasa, bahwa bulu biruang yang digunakan untuk
396
menyumbat kuping, belum dicabut, sehingga masingmasing
tidak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh
pihak lain.
"So So," kata Coei San sesudah mereka mencabut bulu
biruang dari kuping mereka. "Andaikata kita mesti mati
kitapun tak akan berpisahan lagi."
"Ngoko," kata sinona dengan suara aleman. "Aku ingin
mengajukan sebuah pertanyaan. Kuharap kau akan
menjawab dengan sejujurnya. Apakah kau akan tetap
mencintai aku, andaikata kita betada didaratan, tanpa
mengalami penderitaan yang hebat ini ?"
Coei San tertegun. Beberapa saat kemudian, barulah ia
dapat menjawab: "Aku rasa, kita tidak akan bisa bersahabat
begitu cepat. Juga .... juga .... kita pasti akan mendapat
banyak rintangan. kita barasal dari lain partai...."
So So manghela napas, "Akupun berpendapat begitu,"
katanya. "Itulah sebabnya, mengapa pada waktu kau
bertanding pertama kali dengan Cia Soen, aku sudah tidak
mau melepaskan jarum emas, biarpun didesak berulangulang
olehmu."
"Ya, tapi mengapa begitu?" tanya Coei San dengan rasa
heran, "Aku semula menduga, bahwa kau menolak untuk
melepaskan jarum, karena kuatir melukakan aku yang
waktu itu sedang bertanding ditempat gelap."
"Bukan, bukan begitu," bisik sinona. "Kalau waktu itu
aku melukakan dia dan kita dapat kembali kedaratan, kau
tentu akan meninggalkan aku!"
Coei San kaget mendengar pengakuan. itu. "So So!"
serunya.
"Mungkin kau akan gusar," kata sinona. "Tapi tujuanku
yang satu-satunya adalah supaya tidak berpisahan dengan
397
kau. Keinginan Cia Soen supaya kita mengawaninya
dipulau yang terpencil, cocok sekali dengan keinginanku,"
Bukan main rasa terima kasihnya Coei San. Ia tak
pernah menduga, bahwa rasa cinta sinona adalah demikian
besar. "So So, sedikitpun aku tidak gusar," bisiknya.
Nona In dongak mengawasi pemuda itu dan berkata pula
dengan suara lemah lembut: "Langit telah mengirim aku
keneraka dingin ini, tapi sebaliknya daripada penasaran aku
merasa beruntung sekali. Aku mengharap kita jangan
kembali keselatan untuk selama-lamanya. Hm ... Jika kita
pulang ke Tiong goan gurumu tentu akan membenci aku,
sedang ayah mungkin sekali akan membunuh kau ..."
"Ayahmu ?" menegas Coei San.
"Ya, ayah adalah Peh bie Eng ong In Thian Ceng,"
jawabnya. "Ia adalah pendiri dan pemimpin Peh bie kauw."
"Oh, begitu ?" kata Coei San. "So So, kau tak usah takut.
Aku pasti akan tetap berada bersama sama kau. Aku yakin,
biarpun ayahmu ganas, ia tentu tidak akan membunuh
puteri dan mantunya sendiri."
Mendengar perkataan itu, paras si nona bersinar terang,
sedang mukanya bersemu dadu. "Apa kau bicara setulus
hati?" tanyanya.
"So So, biarkan sekarang saja kita terangkap
menjadi suami isteri," kata Coei San.
Mereka lantas saja berlutut dengan berendeng diatas es
dan Coei San berkata dengan suara nyaring : "Raja Langit
menjadi aksinya, bahwa hari ini tee coe Thio Coei San
terangkap jodoh menjadi suami isteri dengan In So So.
Biarlah senang dan susah bersama-sama dan cinta mencinta
selama-lamanya!"
398
Sesudah Coei San si nonapun berdoa perlahan: "Aku
mohon supaya Langit melindungi kami berdua, supaya dari
satu ke lain penitisan kami bisa terus menerus menjadi
suami isteri." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata
pula: "Andaikata dibelakang hari kami bisa kembali di
Tiong goan, tee coe akan mencuci hati dan memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang dulu. Tee coe akan bertobat dan
bersama-sama suamiku, tee coe akan berusaha untuk
melakukan perbuatan-perbuatan balk. Tee coe tak akan
membunuh manusia lagi secara sembarangan. Jika tee coe
melanggar sumpah ini, biarlah Langit dan manusia
menghukum tee coe."
Coei San girang tak kepalang. Ia tak pernah menduga,
bahwa tanpa diminta, sang isteri telah bertobat dan
bersumpah untuk menjadi manusia balk. Sesudah selesai
dengan upacara pernikahan itu, sambil saling mencekal
tangan dan duduk berendeng diatas es. Pakaian mereka
basah dan hawa dingin menyerang dengan hebat. Akan
tetapi, hati mereka hangat bagaikan hangatnya muslin semi
yang penuh kebahagiaan dan keindahan.
Lewat beberapa lama, baru mereka ingat, bahwa sudah
sehari suntuk, perut mereka belum ditangsal. Kedua senjata
Coei San sudah hilang dilaut, tapi So So masih mempunyai
pedang yang tergantung dipinggangnya. Coei San lalu
menghunus pedang isterinya, membungkus ujung pedang
dengan kulit biruang dan kemudian, sambil mengerahkan
Lwee kang sampai di jeriji tangan, ia menekuknya sehingga
ujung pedang itu menjadi bengkok seperti gaetan. Tak lama
kemudian, dengan menggunakan gaetan itu, ia berhasil
menangkap seekor ikan yang cukup besar. Ikan diwilayah
Kutub Utara gemuk dan banyak minyaknya, sehingga
biarpun baunya sangat amis dapat menambahkan tenaga
dan menghangatkan badan.
399
Demikianlah siang malam, gunung es itu terapung-apung
kejurusan utara, Mereka mengerti, bahwa kemungkinin
pulang ke Tionggoan hampir tidak ada, tapi hati mereka
tenang dan damai. Ketika itu, siang sudah berubah sangat
panjang, sedang malam sangat pendek dan mereka tak
dapat mengbitung hari lagi. Pada suatu hari, mendadak
mereka lihat mengepulnya asap hitam disebelah utara. So
So yang melihat lebih dulu, mencelos hatinya dan paras
mukanya berubah pucat. "Ngo ko!" teriaknya sambil,
menuding asap hitam itu.
"Apa disitu terdapat manusia?" tanya sang suami dengan
rasa kaget tercampur girang. Tapi biarpun sudah tertampak
dalam pandangan mata, tempat mana asap itu keluar masih
terpisah jauh sekali, Sesudah lewat lagi satu hari, asap itu
jadi makin besar dan makin tinggi kelihatannya dan
diantara asap terlihat sinar api.
"Siapa itu?" tanya So So.
Sang suami tidak menjawab, ia hanya menggelengkan
kepalanya.
"Ngoko, ajal kita sudah hampir tiba," kata si isteri
dengan suara gemetar. "Itu pintu nereka."
Coei San terkejut, tapi ia segera membujuk: "Mungkin
juga disana ada manusia yang sedang membakar hutan."
"Kalau membakar hutan, bagaimana asap dan apinya
begitu tinggi?" tanya sang isteri.
"So So, sesudah tiba disini, biarlah kita menyerahkan
segala apa kepada Langit," kata Coej San. "Kalau Langit
tidak mau kita mati kedinginan dan ingin kita mati terbakar,
biarlah kita menerima nasib."
Dengan perlahan tapi tentu, gunung es itu terus menuju
kearah asap dan api. Coei San dan So So yang tidak
400
mengerti sebab musababnya, merasa sangat heran dan
mereka hanya menganggap, bahwa apa yang bakal terjadi,
baik kecelakaan maupun keselamatan, adalah takdir.
Apa yang dilihat mereka sebenarnya adalah sebuah
gunung berapi yang bekerja, sehingga sebagai akibat, air
laut diseputar gunung itu menjadi hangat dan air yang
hangat mengalir kejurusan selatan. Dengan demikian,
secara wajar, air yarg dingin atau es terbetot kearah utara.
Sebagaimana diketahui, angin dan gelombang yang
saling terjadi ditengah lautan adalah karena perbedaan
antara air dingin dan panas dalam hawa dan air.
Sesudah terapung-apung lagi sehari semalam, gunung es
itu tiba dikaki gunung.
Ternyata gunung berapi itu berada diatas sebuah pulau
yang sangat besar. Disebelah barat terdapat sebuah puncak
dengan batu yang bentuk dan macamnya sangat aneh.
Selama berkelana di daerah Tionggoan, Coei San sudah
kenyang mendaki gunung-gunung yang kenamaan, akan
tetapi, belum pernah ia melihat puncak yang begitu luar
biasa. Ia mengawasi itu semua dengan mata membelalak
dan kegirangan meluap-luap didalam hatinya. Ia tak tahu
bahwa puncak itu adalah tumpukan lahar yang
disemprotkan gunung berapi selama ratusan atau ribuan
tahun. Disebelah timur terdapat tanah datar yang sangat
luas. Tanah datar itupun muncul disitu karena bekerjanya
gunung berapi. Abu yang disemprotkan oleh gunung itu
jatuh ke dalam laut dan lama-lama, mungkin dalam tempo
ribuan tahun, air laut teruruk dan muncullah tanah datar
yang sangat luas.
Biarpun tempat itu sudah mendekati Kutub Utara, tapi
karena gunung berapi masih bekerja, maka hawa dipulauitu
menyerupai hawa digunung Tiang pek san atau daerah Hek
401
Liong kang. Dipuncak-puncak yang tinggi terlihat salju, tapi
ditempat yang rendah, pohon-pohon menghijau, pohon
siong, pek dan lain-lain yang tidak terdapat diwilayah
Tionggoan.
Sesudah memandang beberapa lama dengan mata tidak
berkesip, tiba-tiba So So melompat dan memeluk suaminya.
"Ngoko ! Kita sudah tiba ditempat dewa !" bisiknya dengan
suara serak.
Kegirangan Coei San pun sukar dilukiskan. Ia tak dapat
mengeluarkan sepatah kata dan hanya balas memeluk
isterinya yang tercinta.
Lama mereka saling peluk dengan disaksikan oloh
sejumlah menjangan yang sedang makan rumput dengan
tenang diatas pulau itu. Kecuali asap api yang agak
menakuti, segala apa yang tertampak disitu adalah tenang,
damai dan indah.
Mandadak terdengar teriakan So So: "Celaka ! Kita tak
dapat mendarat!" Ternyata gunung es itu, yang terpukul
dengan air yang hangat, mulai bergerak meninggalkan
pulau.
Coei San pun tidak kurang kagetnya. Buru-buru
mengerahkan Lweekang dan menghantam es yang lantas
saja somplak sebesar balok. Sesudah itu, sambil memeluk
balokan es itu, mereka melompat kedalam air dan dengan
menggunakan tangan dan kaki sebagai penggayu, mereka
akhir nya mendarat dipulau itu.
Melihat kedatangen manusia, manjangan-menjangan
yang sedang makan rumput mendongak dan mengasi, tapi
mereka tidak memperlihatkan rasa takut sedikit jua.
Perlahan lahan So So mendekati, menepuk-nepuk
punggung salah seekur. "Kalau disini terdapat juga
402
beberapa ekor burung ho, aku pasti akan mengatakan,
bahwa tempat ini adalah tempatnya dewa Lam kek Sian
ong," katanya seraya tertawa.
Karena letih, mereka segera merebahkan diri diatas
lapangan rumput dan pulas nyenyak untuk beherapa jam
lamanya. Waktu tersadar, matahari masih belum
menyelam. "Sekarang mari kita menyelidiki pulau ini untuk
mendapat tahu apa ada manusia atau binatang buas," kata
sang suami.
"Aku rasa tak mungkin ada binatang buas," kata So So.
"Lihat saja menjangan-menjangan itu yang hidup damai
dan tenteram."
So So adalah seorang wanita yang sangat
memperhatikan dandanannya. Biarpun menghadapi bahaya
diatas gunung es, ia tetap berpakaian rapi.
Sekarang sudah berada diatas bumi, begitu tersadar, ia
membereskan pakaian dan rambutnya dan kemudian
membantu sang suami menyisir rambut. Sesudah itu,
harulah mereka berangkat untuk menyelidiki pulau tersebut.
Untuk menghadapi segala kemungkinan, So So
mencekal pedangnya yang sudah bengkok, sedang Coei San
sendiri lalu mematahkan cabang pohon untuk dijadikan
semacam tongkat. Dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan, mereka berlari-lari dari selatan
keutara yang panjangnya lebib dari duapuluh lie. Apa yang
dilihat mereka di sepanjang jalan, selain pohon pohon yang
tinggi kate, adalah binatang kecil, burung dan pohon-pohon
bunga yang kebanyakan tidak dikenal mereka.
Belakangan, sesudah melewati hutan besar, dari
jauh mereka lihat sebuah gunung batu dan dikaki gunung
itu terdapat sebuah guha. "Ah! Sungguh bagus tempat ini !"
403
teriak sang isteri sambi1 lari-lari.
"Hati hati!" teriak Coei San.
Belum rapat mulutnya, dari dalam guha mendadak
berkelebat satu bayangan dan seekor biruang putih yang
sangat besar menerjang keluar. Biruang itu yang panjang
bulunya seolah-olah seekor kerbau.
Dengan kaget So So melompat mundur. Biruang itu
berdiri diatas kedua kakinya seperti manusia dan
menghantam kepala So So dengan satu telapak kakinya.
Nyonya itu menyambut dengan sabetan pedang, tapi apa
mau, karena pedang bengkok itu sudah jadi lebih pendek,
sabetannya meleset. Baru saja ia mau membabat lagi,
binatang itu sudah menubruk dan menghantam senjatanya
yang lantas saja jatuh diatas tanah.
"So So, mundur!" teriak Coei San seraya melompat dan
menotok lutut biruang itu dengan tongkatnya. Cabang kayu
itu patah, tapi tulang kaki binatang itu hancur dan dia
mengeluarkan jeritan hebat dan menyeramkan.
Buru-buru So So menjemput pedangnya untuk memberi
bantuan.
"Lekas lontarkan pedarg itu keudara!" teriak Coei San.
Sang isteri terkejut, tapi ia nenurut apa yang diperintahkan
suaminya.
Dengan menotol tanah dengan kakinya, Coei San
melompat tinggi dengan menggunakan ilmu Tee in ciong
dan sekali menjambret, ia menangkap pedang itu. Dengan
tangan kiri mencekal tongkat pendek, ia sekarang seperti
juga ber senjatakan Gin kauw dan Poan kian pit. Ia
mengangkat tangan kanannya dan menyabet dari atas
kebawah dengan gerakan huruf "Hong" (tajam). Pukulan
tersebut diberikutkan dengan Lweekang yang sangat
404
dahsyat dan tongkat pendek itu amblas tujuh delapan dim
dikepala binatang itu yang sesudah ngamuk dan
menggeram hebat, lantas saja rubuh tanpa berkutik lagi.
So So menepuk-nepuk tangan sambil tertawa. "Indah
sekali ilmu ringan badan itu!" teriaknya. "Hebat sungguh
totokan itu!"
Tapi, baru babis ia berteriak begitu tiba-tiha Coei San
berseru : "Awas! Lari!"
Mendengar teriakan suaminya dengan cepat ia melompat
kedepan. Begitu menengok kebelakang, ia terkesiap karena
dibelakangnya sudah berbaris tujuh ekor biruang putih yang
memperlihatkan sikap menakutkan.
Coei San mengerti. bahwa mereka berdua tak akan dapat
melawan tujuh binatang buas itu. "Lari !" bisiknya dan
mereka lantas saja kabur dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan.
Meskipun badannya besar, binatang-binatang itu bisa lari
cepat sekali, tapi kecepatan mereka masih kalah dengan
ilmu ringan badan Coei San dan So So, sehingga sesudah
mengubar beberapa lama, mereka ketinggalan agak jauh.
Tapi mereka terus mengejar dari belakang.
"Jalan satu-satunya lari ke air," kata Coei San "Apa
biruang tidak bisa berenang?" tanyanya.
"Entahlah," jawab So So sambil menggelengkan kepala.
"Harap saja mereka tidak bisa berenang."
Sambil bicara mereka lari terus secepat-cepat nya.
"Celaka!" mendadak So So mengeluh.
"Mengapa ?" tanya Coei San.
"Apa kau tahu apa makanan biruang putih?" sang isteri
405
balas menanya. "Menurut katanya seorang jurumudi.
biruang makan madu tawon dan ikan."
"Makan ikan" menegas Coei San sambil menghentikan
tindakannya. "Kalau benar binatang itu makan ikan,
mereka pasti bisa berenang."
Sebelum mereka dapat berdamai terlebih jauh,
sekonyong konyong So So berteriak: "Ih! Mengapa
mereka berada didepan kita ?"
Dengan hati berdebar-debar mereka mengawasi enam
ekor biruang yang mendatangi dari sebelah depan.
"Bukan. Mereka bukan biruang yang tadi," kata Coei
San. "Kita sekarang dicegat dari depan dan dari belakang,"
Sehabis berkata begitu, buru burn ia melompat keatas satu
pohon siong yang sangat besar .
Sesudah berada diatas, ia menggaetkan kedua kakinya
dicabang pohon, sehingga badannya menggelantung
kebawah dan kedua tangannya menyambut-tangan sang
isteri yang turut melompat keatas. "Aku harap saja mereka
tak dapat memanjat pohon," kata So So sesudah mereka
duduk disatu cabang.
"Biarpun mereka, bisa manjat kita tak usah kuatir," kata
sang suami. "Maju satu, kita binasakan satu. Asal saja tidak
dikurung, kita masih dapat melayani."
Sesaat kemudian, enam ekor biruang yang datang dari
depan dan tujuh ekor dari belakang sudah berkumpul
dibawah pohon. Mereka mendongak dan menggeram hebat
sambil memperlihat gigi mereka.
Coei San mematahkan sebatang cabang kecil yang lain
digunakan untuk menimpuk mata seekor biruang.
Timpukan itu mengenakan tepat pada sasarannya dan
406
sambil menggeram serta me lompat-lompat bahna sakitnya,
binatang itu menyeruduk pangkal pohon dengan kepalanya.
Melihat hasil pertama, Coei San segera mengulangi
perbuatannya. Tapi kawanan binatang itu ternyata pintar
sekali dan mereka semua menundukkan kepala dan mulai
mengeragoti pohon. Oleh karena begitu, Coei San hanya
dapat menimpuk punggung mereka yang kulitnya tebal,
sehingga serangan itu tidak dirasakan sama sekali. Tak lama
kemudian, pangkal pohon itu sudah somplak sebagian dan
jika di dorong beramai-ramai, sudah pasti akan roboh.
Coei San menghela napas. "Aku tak nyana, sesudah
berhasil menyelamatkan diri dari lautan, kita bakal jadi
makanan kawanan biruang," katanya.
Dengan jantung memukul keras, So So mengawasi satu
pohon siong yang terpisah kira-kira tujuh delapan tombak.
"Ngoko," bisiknya. "Dengan ilmu mengentengkan badan,
sekali lompat kau bisa turun kebawah dan dengan sekali
lompat lagi, kau bisa naik kepohon itu."
Sang suamipun sudah lihat kemungkinan itu. Memang,
kalau seorang diri, ia dapat berbuat begitu. Tapi dengan
membawa isterinya, mereka tentu akan tercegat ditengah
jalan. Maka itu sambil menggeleagkan kepala, ia berkata:
"Tidak dapat. Tak dapat aku berbuat begitu."
"Ngoko, tak usah kau pikiri aku," kata pula sang istiri.
"Tidak perlu kita mati berdua-dua."
"Kita sudah bersumpah, bahwa Langit diatas bumi
dibawah, kita tak akan berpisahan untuk selama-lamanya."
jawab sang suami. "Mana dapat aku meninggalkan kau
dengan begitu saja ?"
Bukan main rasa terharunya nyonya itu, sehingga air
matanya lantas saja berlinang-linang. Ia ingin coba
membujuk lagi, tapi mu!utnya seearti terkancing.
407
Sesaat itu, tiba-tiba pohon bergoyang-goyang, karena
didesak dengan berbareng oleh kawanan biruang itu.
Hati So So mencelos, sehingga tanpa merasa, ia
mengeluarkan teriakan perlanan. Ia tahu. beberapa detik
lagi, pohon itu pasti akan rubuh.
Pada saat yarg sangat berbahaya, disebelah kejauhan
sekonyong konyong terdengar suara yang sangat tajam.
Suara itu tidak begitu keras, tapi aneh sekali, seperti bunyi
burung malam, seperti bunyi khim, seperti angin meniup
daun bambu dan seperti bunyi genta.
Begitu mendengar suara itu, ketigabelas biruang berhenti
serentak dalam usahanya untuk merubuhkan pohon dan
berdiri diam sambil memasang kuping. Dari sikap mereka,
seolah olah suara itu adalah suara yarg paling menakuti
didalam dunia. Apa yang paling mengherankan lagi, sesaat
kemudian, seekor demi seekor menundukkan kepala dan
mendekam diatas tanah tanpa bergerak.
Walaupun tak tahu apa artinya itu, Coei San dan So So
girang tak kepalang dan harapan besar muncul dalam hati
mereka. "Tolong! Tolong!" jerit So So. "Tolong....! Biruang
mau mencelakakan manusia."
Jeritan itu disambut dengan suara yang tadi, yang
mendatangi dengan kecepatan luar biasa, lebih cepat dari
terbangnya burung.
Sesaat kemudian, didepan mereka berkelebat satu
bayangan merah, seolah-olah sebuah bola api yang
menyambar dari satu pohon disebelah depan dan kemudian
hinggap didahan pohon dimana Coei San dan So So sedang
menyembunyikan diri.
Sekarang baru mereka bisa melihat nyata. Yang hinggap
didahan itu adalah seekor kera yang bulu nya merah,
408
tingginya kira-kira tiga kaki, mukanya putih seperti batu
giok, sedang kedua matanya yang berkilat-kilat
mengeluarkan sinar keemas emasan.
Bahwa binatang yang datang kesitu adalah seekor
kera yang begitu menarik, tidak diduga-duga mereka.
Waktu berteriak untuk meminta pertolongan, So So
menaksir, bahwa binatang yang mengeluarkan suara begitu
adalah binatang buas yang sangat menakuti.
Tapi karena sedang menghadapi bahaya besar, mau tidak
mau, ia berteriak juga. Maka itu, dengan kegirangan yang
meluap-luap, ia segera mengangsurkan tangannya kearah
kera itu.
Biarpun belum pernah melihat manusia kera itu ternyata
pintar luar biasa. Ia rupanya mengerti maksud persahabatan
itu dan segera mengulur satu tangannya dan menyentuh
tangan si nyonya. Sambil menuding kawanan biruang itu,
So So ber kata: "Mereka mau mencelakakan kami. Apa kau
dapat menolong?"
Melihat gerakan So So, seraya memekik kera itu
melompat turun dan menghampiri salah seekor biruang.
Dengan sekali menggerakkaa tangan, jari-jarinya amblas
kedalam kepala biruang itu dan dilain saat, tangannya
sudah memegang otak biruang. Ia melompat naik pula dan
dengan sikap hormat, mengangsurkan otak biruang itu
kepada So So.
Coei San dan isterinya kaget bakan main. tenaga
binatang yang sehebat itu sungguh-sungguh belum pernah
didengar mereka. So So sebenarnya tidak sanggup menelan
otak mentah itu. Tapi sebab tidak mau membangkitkan
kegusaran tuan penolong itu, dengan apa boleh buat, ia
menyambutinya. Ia menggigit sebagian otak itu, dan
menyerahkan sisanya kepada Coei San.
409
Diluar dugaan, otak biruang itu lezat luar biasa, lebih
enak dari makanan apapun jua yang pernah dimakannya.
Sambil bersenyum, ia lalu mengambilnva kembali dari
tangan suaminya dan menghabis kan semuanya.
"Terima kasih, terima kasih," katanya sambil
memanggut-manggutkan kepala.
Dilain saat kera itu sudah melompat turun lagi dan
mengambil pula dua otak biruang yang lalu dimakannya.
Sungguh mengherankan, kawanan biruang itu bukan saja
tidak berani melawan, tapi juga tidak berani lari Mereka
terus mendekam diatas tanah, seperti orang yang sedang
menerima hukuman.
So So tertawa nyaring. "mampuskan semua biruang itu,"
katanya. "Kalau kau tidak keburu datang, kami berdua
tentu sudah masuk kedalam perut mereka." Sambil
memekik kera itu melompat turun lagi dan dalam sekejap ia
sudah membinasakan semua biruang itu.
Coei San dan So so lantas saja turut melompat turun.
Melihat tiga belas bangkai binatang itu, Coei San merasa
tidak tega dan ia berkata dengan suara menyesal:
"Sebenarnya tak usah membinasakan mereka semua.
Cukup jika mereka diusir pergi."
Mendengar perkataan suaminya, So So yang sedang
mencekal lengan si kera agak terkejut. "Ngoko tentu
mencela aku," katanya didalam hati. "Ya... aku harus
berusaha untuk mengubah adatku yang kejam." Tapi
biarpun hatinya menyesal, ia tertawa seraya berkata: "Hm. .
. sekarang Ngoko merasa kasihan terhadap biatang-binatang
buas itu. Kalau saudara kera tidak datang menolong,
apakah biruang-biruang itu akan menaruh belas kasihan
terhadap kita?"
"Kalau kita sama kejamnya seperti binatang, bukankah
410
kita tiada beda seperti binatang?" kata sang suami.
"Binatangpun ada juga yang baik," kata So So sambil
tertawa. "Lihatlah saudara kera ini. Kepandaiannya lebih
tirggi dan rupanya lebih tampan daripada kau."
Coei San tertawa terbahak-bahak. "Ai ya?" seru nya.
"Kau membuat aku cemburu."
Sesudah terlolos dari lubang jarum. mereka bergembira
sekali dan beromong-omong dengan tertawa-tawa. Kera
merah itupun tidak kurang gembiranya dan dia melompatlompat
kian kemari.
"Kawanan biruang itu mungkin mempunyai anak, coba
kita tengok," kata Coei San.
Dengan So So menutun kera, mereka lalu masuk
kedalam guha. Sesudah berjalan-jalan kira-kira sembilan
tombak, ditengah-tengah guha itu terbuka sebuah lubang,
sehingga sinar terang menyorot masuk kedalam. Hanya
sayang, guha yang sebenar nya sangat nyaman itu berbau
busuk sebab penuh dengan kotoran dan air kencing biruang.
"Kalau tidak berbau busuk, tempat ini cocok sekali untuk
menjadi tempat meneduh kita," kata So So sambil menekap
hidung.
"Kita dapat mernbersihkannya," kata sang suami.
"Sesudah lewat sepuluh hari atau paling lama setengah
bulan, kurasa bau itu akan hilang sendirinya"
So So mengawasi Coei San dengan hati girang tercampur
duka, karena ia ingat, babwa mulai hari itu, ia akan
berdiam dipulau tersebut bersama sama Coei San untuk
selama-lamanya.
Sementara itu, Coei San sudah mematahkan cabangcabang
poloh yang lalu dibuat menjadi sebuah sapu.
411
Dengan dibantu oleh isterinya, ia lalu menyapu kotoran
biruang. Dengan gembira sikera coba membantu, tapi
biarpun pintar, kera tetap kera dan sebaliknya daripada
membantu, ia mengacau pekerjaan orang. Karena
mengingat budinya, Coei San dan So So membiarkan ia
mengunjuk kenakalannya. Sesudah bekerja berat, guha itu
akhirnya bersih, tapi bau busuknya belum mau menghilang
juga.
"Alangkah baiknya jika kita dapat mencuci dengan air,"
kata So So. "Hanya sayang kita tak punya tahang."
Sesudah memikir sejenak, Coei San berkata: "Ada jalan,"
Buru-buru ia mendaki gunung dan mengambil beberapa
balok es yang lalu ditaruh dibatu-batu yang agak tinggi
dalam guha itu.
"Ngoko, lihay sungguh otakmu!" memuji sang isteri
sambil menepuk-nepuk tangan.
Tak lama kemudian, balokan es itu mulai melumer dan
airnya mangalir kebawah, sehingga guha itu seolah-olah
disiram.
Sedang suaminya mencuci guha, dengan menggunakan
pedang bengkok, So So memotong daging biruang yang
kemudian ditumpuk menjadi satu. Walaupun dipulau itu
terdapat gunung berapi tapi karena berada dalam wilayah
Kutub Utara, maka hawanya masih sangat dingin. Maka
itu, sesudah diuruk dengan potongan-potongan es, daging
itu rasanya tak akan rusak dalam tempo lama.
Sesudah selesai bekerja, So So menghela napas seraya
berkata: "Manusia selalu merasa tidak puas. Jika sekarang
kita dapat menyalakau api dan membakar telapak kaki
biruang, kita akan dapat mencicipi makanan yang sungguh
luar biasa."
412
(Telapak kaki biruang semenjak jaman purba sudah
diakui sebagai salah satu makanan yang paling enak).
"Api ada, hanya terlalu besar," kata Coei San sambil
mengawasi asap yang mengepul dari gunung berapi.
"Perlahan-lahan kita harus berdaya untuk mengambil api
itu."
Malam itu mereka makan otak biruang dan tidur diatas
pohon.
Pada esokan paginya, baru saja membuka mata, So So
sudah berteriak : "Aduh! Wangi sungguh !" Ia melompat
turun dari pohon dan mendapat tahu, bahwa bau wangi itu
darang dari dalam guha.
Bersama suaminya, ia berlari-lari kedalam guha, dimana
terdapat tumpukan-tumpukan bunga yang tengah
dilontarkan kian kemari oleh sikera sambil melompatlompat,
So So yang sangat suka akan bunga jadi girang
bukan main dan mengawasi lagak kera itu sambil menepuk
nepuk tangan.
Coei San. "Aku hendak bicarakan serupa soal
denganmu."
Melihat paras suaminya yang bersungguh-sungguh
ia agak terkejut. "Ada apa?" tanyanya.
"Aku ingin berdamai bagaimana kita bisa mendapatkan
api." jawabnya,
"Ah, orang edan kau!" bentak stag isteri seraya tertawa .
"Kukira ada urusan penting. Ambil api!
Aku setuju. Lekas beritahukan rencanamu."
"Dimulut gunung berapi, hawanya luar biasa panas dan
kita tak akan dapat mendekatinya," menerangkan Coei San.
413
"Maka itu menurut pendapatku, jalan satu-satunya ialah
membuat tambang yang panjang dari kulit pohon.
kemudian menjemur tambang itu dan ....."
"Bagus!" memutus sang isteri. "Kemudian mengikat
sebutir batu diujung tambang, melontarkan tambang itu
kemulut gunung barapi dan menariknya kembali sesudah
ujung tambang terbakar. Bukankah begitu maksudmu?"
Coei San mengangguk seraya memuji kepintaran
isterinya.
Karena ingin sekali makan daging matang, tanpa
menyia-nyiakan tempo lagi, mereka segera bekerja. Selang
dua hari, mereka sudah membuat tambang yang
panjangnya seratus tombak lebih dan yang lalu dijemur
dibawah sinar matahari. Pada hari ke empat, dengan
membawa tambang itu, mereka lalu pergi ke gunung berapi.
Walaupun kelihatannya dekat, gunung itu terpisah
empat puluh li lebih dari tempat mereka. Makin dekat
dengan gunung itu, hawa makin panas. Keringat mengucur
dari tubuh mereka dan diseputar itu tidak terdapat pohonpohonan
lagi. Apa yang mereka menemuinya hanyalah
batu-batu yang gundul.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, hawa panas jadi
makin hebat. Melihnt muka isterinya yang merah
kepanasan, Coei Scan yang menggendong jadi tak merasa
tega. "Kau tunggu disini, biar aku saja yang pergi kesitu,"
katanya.
"Jangan rewel!" bentak sang isteri. "Kalau kau banyak
bicara, aku tak akan meladeni lagi. Paling banyak seumur
hidup kita tidak mengenal api lagi, seumur hidup makan
makanan mentah."
Coei San besenyum dan mereka teuns mendaki gunung
414
itu. Sesudah berjalan lagi kurang lebih satu li, napas mereka
tersengal-sengal dan hampir tak dapat bertahan lagi. Coei
San memiliki Lweekang yang sangat tinggi, tapi iapun
merasa matanya ber kunang-kunang dan kupingnya
berbunyi. "Sudahlah," katanya. "Dari sini saja kita melontar
kan tambang ini. Jika tidak menyala. hem...kita..."
So So tertawa dan menyambungi: "Kita jadi suami isteri
orang hutan..." Belum habis perkataannya, badannya
bergoyang-goyang dan ia pasti rubuh jika tidak buru-buru
mencekal pundak suaminya.
Dari atas tanah Coei San menjemput sebutir batu yang
lalu diikatkan keujung tambang. Sesudah itu, sambil berlarilari
dan mengerahkan Lweekang, ia melontarkan tambang
dengan sekuat tenaga.
Bagaikan seekor ular, tambang itu terbang di tengah
udara, kemudian jatuh dipermukaan bumi. Akan tetapi,
sebab jarak dengan mulut gunung yang mengeluarkan api,
masih terlalu jaub, maka sesudah mereka menunggu
beberapa lama, tambang itu belum juga menyala.
Sementara itu, mereka merasakan hawa panas semakin
hebat, sehingga mata mereka seolah-olah mengeluarkan api.
Coei San menghela napas seraya berkata: "Orang-orang
dulu membuat api dengan menggosok kayu atau memukul
batu. Sudahlah! Menggunakan tambang tidak berhasil.
Biarlah kita cari lain jalan saja."
Dengan rasa kecewa, So So manggutkan kepalanya.
Selagi ia mau memanggil sikera merah, yang selalu
mengikuti kemanapun juga mereka pergi, tiba-tiba ia lihat
binatang itu menjemput sebutir batu dan dengan
menyontoh cara Coei San, dia berlari-lari, kemudian
melontarkan batu itu. Dia gembira bukan main dan
kelihatannya tak takut akan hawa panas.
415
Melihat begitu, tiba tiba So So mendapat satu
pikiran. "E eh, kera itu kelihatannya tidak takut api."
katanya didalam hati. Ia segera bersiul dan
berkata: "Saudara kera, apakah kau dapat menolong
untuk membawa ujung tambang ke api dan
menyalahkannya ?" Sambil berkata begitu, ia memberi
isyarat dengan tangannya.
Kera itu ternyata pintar luar biasa. Baru saja So So
memberi isyarat dua tiga kali, ia sudah mengerti apa
maksudnya dan seraya berbunyi keras, dengan belasan kali
lompatan saja, dia sudah melalui seratus tombak lebih dan
sesudah menjemput ujung tambang, dia berlari kemulut
gunung bagaikan kilat cepatnya.
Melihat begitu, Coei San dan So So merasa menyesal,
karena mereka kuatir dia tercemplung di dalam lubang api.
"Kauw jie! Kauw jie!" teriak So So. "Balik! Hayo balik!"
Baru saja ia berteriak begitu, jauh-jauh terlihat
mengepulnya asap diujung tambang yang kemudian ditarik
dengan cepat oleh si kera dan beberapa saat kemudian
ujung tambang yang menyala sudah berada dihadapan Coei
San dan So So. Bukan main girangnya mereka, So So
melompat dsn memeluk binatang itu, sedang Coai San lalu
mengambil cabang-cabang kayu kering yang diikat menjadi
satu sebagai semacam obor dan kemudian menyulutnya
dengan api ditambang itu.
Apa yang sangat mengherankan bagi mereka ialah,
jangankan badannya sedangkan bulu si kera sedikitpun
tidak berubah.
Dengan hati gembira, kedua suami isteri itu segera
kembali keguha biruang bersama-sama sikera merah.
Mereka segera mengumpulkan cabang-cabang kayu dan
416
rumput kering untuk membuat sebuah perapian. Didalam
dunia, dapat dikatakan semua binatang sangat takuti api.
Tapi sikera merah adalah lain dari yang lain.
Sambil mengeluarkan bunyi yang menggelikan dan
dengan lagak nakal, ia bergulingan beberapa kali diatas
perapian yang berkobar-kobar.
Mendadak Coei San ingat apa yang pernah dituturkan
oleh gurunya dan tanpa merasa, ia mengeluarkan seruan
"ah !"
"Ada apa ?" tanya sang isteri.
"Soehoe pernah memberitahukan aku, bahwa di dalam
dunia hidup semacam tikus yang dinamakan tikus api,"
jawabnya. "Tikus itu dapat masuk bedalam api tanpa
terbakar bulunya yang panjangnya satu dim lebih, dapat
dibuat menjadi semacam kain yang diberi nama kain asbes.
Kalau kain itu kotor, cara mencucinya adalah
memasukannya kedalam api dan begitu dikeluarkan dari
api, warnanya sudah putih kembali seperti sediakala.
Menurut pendapatku, kera itu tidak banyak berbeda dengan
tikus yang dituturkan Soehoe."
So So tertawa. "Jika bulu Saudara Kauw jie rontok, aku
akan membuat kain untukmu!" kata nya. "Tapi paling
sedikit kau harus berusia dua atau tiga ratus tahun."
Sesudah mempunyai api, segala apa beres, mereka masak
air, memasak daging dan membuat satu dua rupa masakan.
Sedari perahu tenggelam, belum pernah mereka merasakan
makanan matang. Sekarang secara tidak diduga duga,
mereka dapat makan telapak kaki biruang yang kesohor
lezat dan dapatlah dibayangkan kegembiraan mereka. Si
kera merah yang tidak makan lain daripada otak biruang,
pergi kehutan untuk mencari buah-buahan.
417
Madam itu, sesudah makan kenyang, Coei San dan So
So tidur didalam guha diantara bau wangi dari berbagai
macam bunga yang luar biasa.
Keesokan paginya, Coei San keluar dari guha dan
dengan hati lapang ia memandang ketempat jauh.
Tiba-tiba ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar
berdiri tegak diatas batu cadas dipinggir laut. Ia kaget bukan
main, karena orang itu bukan lain dari pada Cia Soen!
Sesudah mengalami penderitaan yang sangat hebat, ia dan
isterinya mendarat dipulau yang indah itu. Tapi baru saja
menikmati penghidupan bahagia dan tenteram beberapa
hari, si memedi sudah muncul lagi.
Dilain saat, ia lihat Cia Soen jalan mendatangi dengan
badan bergoyang goyang. Ternyata, sesudah matanya buta,
ia tidak dapat menangkap ikan atau membunuh biruang,
sehingga sedari hari itu, ia tak pernah menangsal perut dan
biarpun badannya kuat luar biasa, ia tak dapat
mempertahankan diri lagi.
Sesudah berjalan belasan tombak, badannya kelihatan
bergemetar dan rubuh diatas tanah.
Buru-buru Coei San kembali keguha. Begitu melihat
suaminya, So So bersenyum seraya berkata: "Ngo .."
Ia tidak meneruskan perkataannya sebab melihat paras
sang suami yang suram.
Sesudah berhadapan dengan isterinya, Coei San berkata
dengan suara perlahan: "Si orang she Cia ada disini!"
So So melompat bangun seperti orang dipagut ular. "Dia
sudah lihat kau ?" bisiknya. Tapi saat itu juga ia ingat,
bahwa Cia Soen sudah buta dan hatinya jadi lebih tenang.
"Ngoko, kau tak usah takut," katanya pula. "Masakan kita
berdua, ditambah lagi dengan Kauw jie, tidak dapat
418
melawan seorang buta?"
Coei San manggut-manggutkan kepalanya. "Dia rubuh
pingsan karena kelaparan" katanya.
"Mari kita tengok," kata sang isteri sambil merobek ujung
bajunya kemudian dirobek lagi jadi empat potong kecil.
Dua segera dimasukkan ke dalam kupingnya dan yang dua
lagi diserahkan kepada suaminya. Dengan tangan kanan
mencekal pedang dan tangan kiri menuntun si kera merah,
ia segera mengikuti Coei San untuk menengok Cia Soen.
Sesudah berada dekat, Coei San berteriak: "Cia
Cianpwee. apa kau mau makan ?"
Dalam keadaan lupa ingat, Cia Soen mendengar teriakan
itu dan pada paras mukanya lantas saja terlukis sinar
harapan. Tapi dilain saat, ia mengenali, bahwa suara itu
adalah suara Coei San dan paras mukanya lantas saja
berubah menyeramkan. Selang beberapa lama, barulah ia
mengangguk.
Coei San segera melontarkan sepotong daging seraya
berteriak: "Sambutlah !"
Cia Soen bangun sambil menekan tanah dengan tangan
kiri dan dengan pertolongan kupingnya yang sangat tajam,
dengan tangan lainnya ia menangkap daging itu yang lalu
dimakan perlahan-lahan.
Melihat seorang yang begitu gagah perkasa telah menjadi
lemah dalam hati Coei San lantas saja timbul perasaan
kasihan. Tapi So So mempunyai pendapat lain. Ia sangat
tidak mupakat dengan tindakan suaminya yang sudah
memberi makanan kepada Cia Soen.
"Hmm! Sesudah kuat, mungkin dia akan membinasakan
kita berdua," katanya didalam hati. Tapi karena sudah
bersumpah untuk menjadi orang baik maka meskipun
419
hatinya mendongkol, ia menutup mulut.
Sesudah makan sepotong daging itu. Cia Son lantas saja
pulas diatas tanah. Coei San segera menyalakan sebuah
perapian didekatnya untuk mengusir hawa dingin dan
mengeringkan pakaian Cia Soen yang basah kuyup. Sampai
lohor barulan si buta sadar.
"Tempat apa ini?" tanyanya.
Melihat gerakan mulutnya, Coei San dan So So, yang
menungguinya, segera mencabut satu sumbatan kuping
untuk mulai bicara, tapi mereka sangat berwaspada dan siap
sedia untuk menyumbat kuping jika terlihat gerakan yang
luar biasa.
"Pulau ini adalah pulau yang tidak ada manusia." jawab
Coei San.
Cia Soen mengeluarkan suara dihidung. Beberapa saat
kemudian, barulah ia berkata: "Katau begitu kita tak akan
bisa pulang."
"Hal itu lebib baik kita menyerahkan saja ke pada
kebijaksanaan langit," kata pula Coei San.
Mendadak Cia Soen meluap darahnya dan bagaikan
kalap ia mulai mencaci langit. Sesudah kenyang memaki
maki ia meraba-raba satu batu besar dan lalu duduk
diatasnya. "Apa yang kamu ingin berbuat terhadapku ?"
tanyanya.
Coei San melirik isterinya yang segera memberi isyarat,
bahwa ia menyerahkan keputusan kepada sang suami.
"Sesudah memikir sejenak, pemuda itu lalu berkata dengan
suara nyaring: "Cia Cianpwee, kami berdua suami isteri ..."
"Hm..... " Cia Soen memotong pembicaraan orang.
"Kamu sudah menjadi suami isteri?"
420
Paras muka, So So lantas saja bersemu dadu, sedang
hatinya girang. "Dalam pernikahan kami, dapat dikatakan
Cianpweelah yang menjadi comblang," katanya seraya
tertawa. "Untuk itu. kami harus menghaturkan terima
kasih."
Cia Soen kembali mengeluarkan suara dihidung.
"Baiklah. Apa yang kamu mau berbuat terhadapku?"
tanyanya pula.
"Cia Cianpwee," kata Coei San. "Kami merasa sangat
menyesal, bahwa kami telah membutakan kedua matamu.
Tapi karena hal itu sudah terjadi kami meminta maaf pun
tiada gunanya. Jika kits ditakdirkan untuk berdiam dipalau
ini seumur hidup dan tak bisa kembali lagi di Tionggoan
maka satu-satunya yang dapat diperbuat kami yalah
merawat Cianpwee seumur hidup."
Cia Soen mengangguk. "Ya.. begitu saja," kata nya.
"Kami berdua sangat mencintai satu sama lain dan akan
hidup atau mati bersama-sama," kata pula Coei San. "Jika
penyakit Cianpwee kumat lagi dan mencelakakan salah
seorang diantara kami, maka orang yang masih hidup
sudah pasti tak akan mau hidup lebih lama lagi."
" Kau ingin mengatakan, bahwa jika kalian berdua mati,
akupun tak bisa hidup seorang diri di pulau ini. Bukankah
begitu?" tanya Cia Soen
"Benar," jawab Coei San.
"Kalau begitu, perlu apa kalian menyumbat kuping?"
tanya pula Cia Soen.
Coei San dan So So saling mengawasi sambil bersenyum
dan lalu mencabut potongan kain yang masih menyumbat
kuping kiri mereka. Mereka merasa kagum bukan main,
421
karena walaupun sudah tak dapat melihat, Cia Soen masih
dapat mengetahui segala apa dengan kupingnya yang sangat
tajam.
Sesudah beromong omong sedikit, Coei San lalu
meminta orang tua itu memberi nama kepada pulau
mereka. "Di pulau ini terdapat es yang ribuan tahun tak
pernah melumer dan terdapat pula api yang laksaan tahun
tak pernah padam." kata Cia Soen. "Maka biarlah kita
menamakannya pulau Pang hwee to saja." Pang hwee to
berarti Pulau es dan api.
Demikianlah. Mulai waktu itu, tiga manusia dan seekor
kera menjadi penghuni dari pulau terpencil itu.
Untuk keperluan hidup, Coei San dan So So bekerja
keras. Mereka membuat piring mangkok dengan membakar
tanah liat, membuat dapur dengan menumbuk tanah dan
batu, membuat kursi meja dan lain-lain perabotan rumah
tangg. Biarpun buatannya sangat kasar, alat-alat dan
perabotan itu dapat memenuhi keperluan mereka. Sabansaban
ada tempo yang luang, mereka menanam pohonpohon
bunga disebelah kiri guha itu.
Cia Soen juga tidak pernah rewel dan hidup dengan
tenteram. Setiap hari ia duduk termenung sambil mencekal
To liong to. Ia rupanya terus mengasah otak untuk
memecahkan rahasia yang bersembunyi dalam golok
mustika itu. Mereka membujuk supaya ia jangan memutar
otak lagi. "Aku pun mengerti bahwa andaikata aku dapat
memecahkan rahasia ini, aku tak akan dapat berdiam
disebuah tempat yang terpencil dan tak punya harapan
untuk bisa kembali ke Tionggoan," jawabnya dengan suara
getir. "Akan tetapi, karena aku tak punya kerjaan dan
merasa sangat kesepian maka biarlah aku mengasah otak
untuk menghilangkan tempo." Mendengar jawaban yang
sangat beralasan, mereka mengangguk dan tidak membujuk
422
lagi.
Kira-kira setengah li dalam guha biruang, terdapat
sebuah guha lain yang lebih kecil. Sesudah bekerja keras
kurang lebih sepuluh hari, Coai San mengubah guha itu
menjadi sebuah kamar yang kecil, yang lalu diserahkan
kepada Cia Soen untuk dijadikan kamar tidurnya.
Beberapa bulan telah terlalu dengan cepatnya. Pada
suatu hari, bersama sikera merah, Coei San dan So So
pesiar kesebelah utara pulau itu. Di luar dugaan mereka,
pulau itu sangat panjang dan sesudah melalui seratus li
lebih, mereka belum wencapai ujungnya.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, disebelah depan
menghadang sebuah hutan yang sangat besar. Mereka
mendekati hutan itu, tapi baru saja Coei San ingin masuk, si
kera merah berbunyi keras dan memperlihatkan sikap
ketakutan. So So jadi kuatir dan berkata: "Ngo ko, kau tak
boleh masuk, Kauw jie kelihatannya saungat ketakutan."
Coei San merasa heran tercampur kuatir, karena si isteri
yang biasanya sangat bergembira jika menemui sesuatu
yang luar biasa, pada waktu waktu
belakangan sangat lesu kelihatannya. "So So, mengapa
kau?" tanyanya. "Apa badanmu kurang enak."
Ditanya begitu, So So kelihatannya kemalu maluan,
sehingga paras mukanya barubah merah. "Tidak apa-apa,"
jawabnya dengan suara perlahan.
Sang suami jadi makin heran dan terus mendesak.
Akhirnya, sambil menunduk ia berkata dengan suara
perlahan: "Langit rupanya tahu, bahwa kita terlalu kesepian
dan akan mengirim seorang manusia lain datang kepulau
ini."
Coei San terkesiap dan dilain saat, kegirangannya
423
meluap-luap. "Kita akan punya anak?" tanyanya.
"Sts! Perlahan sedikit!" bentak si isteri, tapi dilain saat ia
tertawa geli karena baru ia ingat bahwa disekitar hutan itu
tiada lain manusia.
Siang malam terbang bagaikan anak panah yang melesat
dari busurnya. Cuaca berubah agi, siang makin pendek dan
malam makin panjang, sedang hawa udarapun makin
dingin. Sesudah hamil, So So gampang capai, tapi ia tetap
melakukan pekerjaan sebari-hari seperti masak, menambal
pakaian dan menyapu lantai.
Malam itu ia sudah hamil hampir sepuluh bulan.
Sesudah menyalakan perapian didalam guha, kedua suami
isteri lalu duduk beromong-omong. "Ngoko. coba kau
tebak, apa anak kita lelaki atau perempuan?" kata So So.
"Perempuan seperti kau, lelaki seperti aku, bagi ku sama
saja." jawab sang suami.
"Aku lebih suka anak lelaki." kata pula So So. "Coba kau
pilih satu nama untuknya."
Coei San hanya mengeluarkan suara "hmmm" dan tidak
menjawab perkataan isterinya.
"Ngoko, apa sedang dipikir olehmu?" tanya pula sang
isteri. "Dalam beberapa hari ini kau kelihatannya agak
bingung."
Coei San bersenyum. "Tak apa-apa, mungkin karena
kegirangan bakal menjadi ayah, aku kelihatannya tolol,"
jawabnya.
Tapi nyonya itu yang sangat pintar tak dapat
diakali. Ia sudah melihat bahwa pada mata suaminya
terdapat sinar kekuatiran. "Ngoko, jika kau tidak berterus
terang, aku akan jengkel sekali." katanya dengan suara
424
lemah lembut. "Ada apa yang mendukakan hatimu?"
Coei San menghela napas. "Aku harap saja
penglihatanku keliru," katanya. "Dalam beberapa hari ini,
kulihat perubahan pada paras muka Cia Cianpwee."
So So mengeluarkan seruan tertahan dan berkata dengan
suara berkuatir : "Benar, akupun sudah lihat perubahan itu.
Paras mukanya makin hari jadi makin ganas dan mungkin
sekali ia bakal kalap lagi."
Coei San manggut-manggutkan kepalanya. "Dia rupanya
jengkel karena tidak dapat menembus rahasia yang meliputi
To liong to." katanya.
Tiba-tiba air mata So So mengucur, sehingga suaminya
terkejut. "Aku sedikitpun tidak merasa halangan kalau kita
mati bertempur dan mati bersama-sama dia," katanya
dengan suara sedih. "Tapi.... tapi....."
Dengan rasa terharu, Coei San memeluk istrinya.
"Benar sesudah mempunyai anak, kita tak boleh
sembarangan mengadu jiwa," katanya "Kalau dia kumat
lagi kalapnya, tiada jalan lain dari pada membinasakannya.
Kedua matanya sudah buta dan aku merasa pasti, dia tak
akan bisa mencelakakan kita."
Mendengar niatan suaminya untuk membunuh Cia
Soen, badan nyonya itu bergemetaran. Sebagaimana
diketahui, waktu masih ia kejam luar biasa dan dapat
membunuh puluhan manusia tanpa berkesiap. Tapi sesudah
hamil, entah mengapa hatinya jadi berubah mulia.
Pernah kejadian pada suatu hari Coei San menangkap
seekor biang menjangan yang diikut oleh dua anaknya
sampai diguba. So So merasa tak tega dan berkeras supaya
suaminya melepaskan betina menjangan itu. Ia lebih suka
makan buah buahan saja daripada membunuhnya.
425
Melihat istrinya menggigil, Coei San tertawa seraya
berkata dengan suara menyinta: "Aku harap saja dia tidak
kalap lagi. So So, berikan saja nama Liam Coe (Langit
Welas asih) kepada anak kita. Apa kau setuju? Aku ingin
supaya kalau sudah besar, dia akan terus ingat, bahwa
ibunya mempunyai hati yang welas asih. Perem puan atau
lelaki, kita berikan saja nama itu."
So So mengangguk dengan perasaan beruntung. "Dulu,
setiap kali aka membunuh manusia, hati ku merasa girang,"
katanya. "Tapi sekarang, dengan mengatahui, bahwa dalam
hatiku telah muncul perasaan kasih terhadap sesama
manusia, aku merasa bahagia dan kebahagiaan itu berbeda
jauh dengan kegirangan diwaktu dulu, waktu aku
membunuh manusia."
Sang suami manggut-manggutkan kepalanya. "Aku
sungguh girang mendangar pengutalanmu ini," katanya.
"Orang kata, bibit mencelakakan manusia tidak boleh
ditanam didalam hati, bibit menolong manusia harus
dipupuk."
"Benar," kata So So. "Tapi bagaimana kita harus
bertindak, kalau benar dia kalap lagi. Dengan adanya
saudara Kauw jie sebagai pembantu, kekuatan kita
bertambah besar."
"Tapi kurasa kita tidak dapat terlalu mengandalkan kera"
kata sang suami. "Dia memang pintar sekali, tapi belum
tentu dia mengerti kemauan kita. Kita harus mencari daya
upaya yang lebih semgurna."
"Begini saja," So So mengajukan usulnya. "Waktu
momberikan makanan kepadanya, kita menaruh racun....
Tidak! Tidak boleh begitu! Belum tentu dia kalap lagi dan
mungkin sekali kita menduga keliru."
"Aku mempunyai serupa akal yang rasaaya dapat
426
digunakan," kata Coei San. "Mulai besok kita pindah
kebagian sebelum guha ini dan membuat sebuah lubang
jebakan dibagian luar dan diatas lubang itu, kita tutup
dengan rumput dan daun daun kering."
"Akal itu sangat baik, hanya aku kuatir kau akan dicegat
dia ditengah jalan waktu kau memburu binatang," kata So
So.
Coei San tertawa. "Tak usah kau kuatirkan
keselamatanku," katanya, "Begitu lekas melihat
gelagat kurang baik, aku bisa lantas melarikan diri.
Dengan memanjat batu-batu cadas dan tebing, kurasa dia
tak akan dapat menyandak aku."
Keesokan paginya, Coei San lalu mulai menggali lubang
dibagian luar guha itu. Karena tidak mempunyai cangkul
besi, ia terpaksa menggunakan potongan kayu, sehingga
pekerjaan itu memerlukan tenaga yang sangat besar. Tapi
berkat Lweekangnya yarg sangat tinggi, sesudah bekerjaa
keras tujuh hari lamanya, ia berhasil menggali lubang yang
dalamnya sudah kira-kira tiga tombak.
Sementara itu, makin hari Cia Soen makin gila lagaknya.
Sering-sering ia menari-nari ditempat terbuka sambil
mencekal To liongto. Coei San bekerja makin keras.
Sesudah menggali lima tombak, ia berniat menancapkan
potongan-potongan kayu tajam didasar lubang. Menurut
rencananya, guha itu bermulut lebar dan berdasar sempit
sehingga jika Cia Soen jatuh kedalamnya, ia bukan saja
akan terluka, tapi sukar dapat melompat keluar karena
badannya bakal terjepit.
Hanya sayang, sebelum ia selesai mengali sampai lima
tombak, penyakit Cia Soen sudah keburu kumat lagi.
Hari itu, sesudah makan tengah hari, Cia Soen jalan
427
mundar-mandir didepan guha. Coei San tidak berani
bekerja, karena kuatir suara menggali tanah akan
menimbulkan kecurigaannya. Ia juga tidak berani
meninggalkan isterinya dan terus berdiam diluar mulut
guha sambil menahan napas dan berwaspada.
Tiba-tiba Cia Soen mulai mencaci. Ia mencaci langit,
Bumi, dewa-dewa dan malaikat-malaikat. Sesudah itu ia
mencaci kaizar-kaizar dan orang orang ternama dijaman
purba. Sebagai seorang yang berpengetahuan tinggi, makimakiannya
di sertai dengan kutipan-kutipan sejarah
sehingga Coei San yang mendengarnya jadi merasa ketarik
sekali.
Sesudah puas menyikat orang-orang dulu, ia mulai
mencaci pentolan pentolan dalam Rimba Persilatan. Tatmo
Couw soe dari Siau lim pay, Gak Boe Bok (Gak Hoi), jagojago
dan yang lain - lain bintang dilangit persilatan semua
disikat bersih. Ia mencaci orang-orang gagah dari satu
kelain jaman dan apa yang sangat menarik, caciannya
bukan membuta tuli, tapi di sertai juga dengan kupasankupasan
pedas tajam mengenai kekurangan dari ilmu silat
setiap partai
atau perseorangan. Waktu memaki orang-orang gagah
dijaman buntut Lam song (Kerajaan Song Selatan), yang
disikat olehnya adalah Tong sia, See tok, Lam tee, Pay kay
dan Tiong sin thong dan sesudah lima jago itu, ia mencaci
juga Kwee Ceng dan Yo Ko. Akhirnya, tibalah giliran Thio
Sam Hoag, pendiri dari Boe tong pay dan sampai disitu,
Coei San tak dapat menahan sabar lagi.
Dengan darah meluap, Coei San membuka mulutnya
untuk balas memaki. Tetapi sebelum perkataannya keluar,
tiba-tiba Cia Soen berteriak : "Thio Sam Hong bukan
manusia! Muridnya. Thio Coei San, juga bukan manusia!
Paling benar aku mampuskan dulu bininya!"
428
Sambil berteriak begitu, ia melompat masuk kedalam
gua.
Coei San lantas saja turut melompat, tapi hampir
berbareng, ia dengar suara gedubrakan, sebagai tanda,
bahwa orang edan itu sudah terjeblos kedalam jebakan.
Tapi karena didasar lubang belum dipasang kayu-kayu
tajam, maka biarpun terguling. Cia Soen tidak sampai
terluka dan sesudah hilang kagetnya, ia segera melompat
keatas.
Sementara itu, Coei San sudah menjemput potongan
kayu yang digunakan untuk menggali tanah dan begitu lihat
munculaya badan Cia Soen, ia segera menghantam kayu
itu. Mendengar sambaran angin tajam, bagaikan kilat Cia
Soen menangkap kayu itu dengan tangan kirinya dan
membetotnya keras-keras. Coei San tak kuat menahan
betotan yang sangat hebat itu, sehingga bukan saja kayu
terlepas, tapi telapak tangannyapun terbeset dan
mengeluarkan darah. Tapi karena pukulan tersebut, tubuh
Cia Soen kembali jatuh kedalam lubang.
Pada saat itu, tanpa diketahui sang suami, So So
sebenarnya sudah hampir melahirkan anak. Waktu si edan
mondar mandir didepan gua perutnya sudah sakit.
Tapi ia tidak berani memanggil suaminya karena kuatir
didengar Cia Soen. Sekarang, melihat senjata suaminya
direbut, sambil menahan sakit ia mengambil pedangnya
yang lalu dilontarkan ke pada Coei San.
"Kepandaian orang itu sepuluh kali lipat tinggi dari
padaku dan jika aku mem bacok, pedang ini pasti akan
direbut olehnya," pikir Coei San. Mendadak ia ingat, bahwa
sesudah kedua matanya buta, Cia Soen menganggap
potongan kayu tadi dengan mendengar sambaran angin
pukulan. Maka itu, pasti akan berhasil jika bisa menyerang
429
tanpa menerbitkan sambaran angin.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak bahak disusul
dengan melompatnya si kalap kemulut lubang hua. Coei
San segera menudingkan ujung pedang yang sudah
diluruskan setelah mereka mendarat dipulau itu kearah
siedan yang sedang melesat keatas. Ia tidak menikam atau
membacok, ia hanya menunggu. "Crass" ujung pedang
menancap dikepala Cia Soen. Karena tak ada sambaran
angin, Cia Soen yang sedang melompat keatas tentu saja tak
menduga, bahwa ia akan dipapaki dengan senjata tajam.
Masih untung ia mempunyai kepandaian yang sangat
tinggi dan dapat bergerak luar biasa cepat. Begitu ujung
pedang menggores batok kepalanya begitu ia melenggakkan
kepala seraya menangkap badan pedang dan mengerahkan
tenaga Ciankie toei (ilmu untuk menambah berat badan),
sehingga tubuhnya jatuh lagi kedalam lubang dengan
kecepatan luar biasa. Tapi, biarpun dapat menyelamatkan
jiwanya, ia sudah terluka agak berat dan darah mengucur
dari kepalanya.
Begitu jatuh, ia segera mencabut pedang yang
menancap dibatok kepalanya dan sesudah menghunus
To liong to, untuk ketiga kalinya ia melompat pula sambil
memutar golok mustika itu guna melindungi kepalanya.
Kali ini Coei San menimpuk dengan satu batu besar, tapi
batu itu dipukul terpental dengan To liong to. Begitu kedua
kakinya hinggap dipinggir lubang, Cia
Soen menerjang seperti orang gila. Sambil melompat
mundur, hati Coei San mencelos. Ia ingat, bahwa hari itu ia
dan So So akan berpulang kealam baka, tanpa melihat lagi
anaknya yang belum terlahir.
Biarpun sedang kalap didalam perkelahian, Cia Soen
430
ternyata masih dapat menggunakan otaknya. Ia merasa,
bahwa yang paling penting adalah menjaga supaya Coei
San dan So So tidak dapat keluar dari guha itu. Begitu lekas
mereka keluar, ia tak akan dapat mencarinya.
Maka itu, dengan tangan kanan mencekal golok dan
tangan kiri memegang pedang, ia memutar kedua senjata
itu bagaikan titiran cepatnva, sehingga mulut guha tertutup
dengan sambaran sambaran senjata yang sangat hebat.
Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya bagi dirinya
kedua suami isteri itu, didalam guha terdengar suara
menangisnya bayi. Cia Soen terkesiap dan ia berhenti
bergerak. Bayi itu menangis terus.
Pada saat itu, walaupun tahu, bahwa bencana sudah
berada diatas kepalanya, Coei San tidak menghiraukan
orang edan itu lagi. Dengan perasaan yang tak dapat
dilukiskan, mata Coei San dan So Sa mengawasi bayi itu
yang menggerak-gerakkan kaki tangannya sambil menangis
keras. Mereka mengerti, bahwa dengan sekali membabat,
Cia Soen dapat membinasakan mereka bersama bayi yang
baru terlahir itu. Tapi mereka tidak menghiraukan. Didalam
hati, mereka bersyukur, bahwa sebelum mati, meraka masih
dapat melihat wajah anak itu.
Mereka sama sekali tak pernah mimpi, bahwa tangisan
bayi itu mempunyai pengaruh yang sangat luar biasa.
Dengan tiba-tiba saja, Cia Soen tersadar dan kalapnya
hilang seketika, seperti daun disapu angin. Didepan
matanya lantas saja terbayang peristiwa pada puluhan
tahun berselang, waktu keluarganya dianiaya. Istrinya
belum lama melahirkan dan bayi yang baru lahir itu tidak
luput dari keganasan musuh. Dalam otaknya berkelebatkelebat
peringatan-peringatan yang menyayat hati,
kecintaan suami istri, kekejaman musuh, dibantingnya bayi
yang baru lahir, usahanya untuk me
431
nambah kepandaian, tapi kepandaian musuh bertambah
lebih cepat, didapatinya To liong to dan kegagalannya
untuk menembus rahasia golok mustika itu. Lama ia berdiri
terpaku, sebentar bersenyum, sebentar mengertak gigi.
"Lelaki atau perempuan ?" mendadak terdengar
pertanyaan Cia Soen.
"Lelaki." jawab Coei San.
"Apa arinya sudah digunting?" tanyanya pula.
"Benar! Aduh, kulupa!" jawab Coei San.
Cia Soen segera memutar pedang yang dicekalnya dan
menyodorkan gagangnya kepada Coei San yang segera
menyambuti dan memotong ari bayi itu. Sesaat itu ia
terkesiap, karena barulah ia ingat bahwa si edan berada
dekat sekali dengan mereka.
Tapi begitu melirik muka Cia Soen, ia merasa lebih lega,
karena kekalapannya sudah menghilang dan paras
mukanya terlukis perasaan menyayang.
"Berikan kepadaku," kata So So dengan suara lemah.
Sang suami segera mengangkat bayi itu dan menaruhnya
kedalarn dukungan isterinya.
"Apa kau sudah masak air untuk memandikannya ?"
tanya Cia Soen dengan suara perlahan.
Coei San tertawa. "Aku benar gila!" katanya. "Aku sudah
melupakan segala apa." Seraya berkata, ia segera bertindak
keluar untuk memasak air. Tapi baru satu dua tindakan, ia
berhenti karena sangsi.
Cia Soen rupanya dapat menebak kekuatiran pemuda itu
"Kau berdiam saja disini menemani isterimu," katanya.
"Biar aku yang masak air."
432
Ia segera memasukkan To liong to kedalam sarung dan
berjalan keluar sambil melompati lubang jebakan. Tak lama
kemudian, ia sudah kembali dengan membawa sepaso air
panas dan Coei San lalu memandikan bayinya.
"Bagaimana macamnya bayi itu?" tanya Cia Soen.
"Seperti ibunya atau seperti ayahnya ?"
Coei San beriseyum "Lebih banyak menyerupai ibunya,"
jawabnya "Tidak gemuk, mukanya potongan kwaci"
Cia Soen menghela napas panjang. Sesudah termenung
sejenak, ia berkata dengan suara perlahan: "Aku
mendoakan, supaya sesudah besar ia jangan bernasib jelek.
Aku mendoakan supaya ia banyak rezeki dan umur
panjang, jauh dari segala penderitaan."
"Cia Cianpwee, apakah nasib anak ini kurang baik?"
tanya So So.
"Bukan begitu," jawabnya, "Kudengar, anak itu
menyerupai kau. Kalau benar, ia berparas terlampau ayu.
Orang kata, orang yang terlalu ayu sering bernasib jelek
sehingga aku kuatir, jika dihari kemudian anak ini masuk
dalam dunia pergaulan, ia akan menemui banyak
kesukaran."
"Cia Cianpwee, kau memikir terlalu jauh," kata Coei San
sambil tertawa. "Kita berempat berada dipulau yang
terpencil ini, sehingga mana dapat anak kami masuk
kedalam dunia pergaulan ?"
"Tidak!" bentak So So. "Kita boleh tak usah kembali ke
Tionggoan, tapi anak ini tidak dapat dibiarkan berdiam di
sini terus menerus, seumur hidupnya. Sesudah kita bertiga
mati, siapa yang akan meagawaninya? Sesudah dia dewasa,
dimana ia harus mencari isteri ?"
433
Semenjak kecil In So So berada diantara orang-orang
Peh bie kauw dan apa yang dilihatnya ialah perbuatanperbuatan
yang kejam sehingga sesudah besar, sifatnya jadi
ganas sekali. Tapi sesudah bersuami isteri dengan Thio Coei
San, sifat nya berubah dengan perlahan. Sekarang setelah
menjadi ibu, rasa cinta yang wajar terhadap anaknya
memenuhi lubuk hatinya dan ia rela berkorban demi
kepentingan bayi yang baru lahir itu.
Mendengar perkataan sang isteri, Coei San berduka
sekali. Dengan berada dipulau itu, yang terpisah laksaan li
dari wiiayah Tionggoan, dan dengan tak memiliki alat
pengangkutan, mana dapat mereka kembali kedalam dunia
pergaulan? Tapi ia membungkam, karena kuatir isterinya
putus harapan.
"Tak salah perkataan Thio Hoejin." kata Cia Soen. "Bagi
kita bertiga, tidak halangannya untuk berdiam disini seumur
hidup. Tapi anak ini, tidak! Tak dapat kita membiarkan dia
berdiam disini seumur hidupnya tanpa mencicipi
kesenangan dunia. Thio Hoejin, kita bertiga harus berusaha
sedapat mungkin supaya anak itu bisa kembali ke Tiong
goan."
Bukan main girangnya So So. Ia berusaha untuk bangun
berdiri. Buru-buru Coei San mencekal lengannya seraya
berkata: "So So, kau mau apa ? Rebahan saja!"
"Ngoko," jawabnya, "Kita berdua harus berlutut
dihadapan Cia Cianpwee guna menghaturkan terima kasih
untuk kebaikannya terhadap anak kita."
Cia Soen menggoyang-goyangkan tangannya seraya
mencegah: "Tak usah! Tak usah! Apa anak itu sudah di beri
nama ?"
"Secara sembarangan kami sudah memilih satu nama,
yaitu Liam Coe," jawab Coei San. "Cia Cianpwee seorang
434
yang berpengetahuan tinggi, makaa bolehlah Cianpwee
memilih lain nama yang lebih cocok untuknya!"
Cia Soen memikir sejetak. "Thio Liam Coe.. Thio Liam
Coe.... " katanya. "Namanya itu sudah cukup baik. Tak
usah diubah"
Tiba-tiba So-co mendapat satu pikiran. "Orang aneh itu
kelihatannya menyayang sekali anakku," katanya didalam
hati "Paling benar aku memberikan anak ini sebagai anak
pungutnya, supaya ia tidak turunkan tangan jahat kalau
kalapnya datang lagi." Memikir begitu, it lantas saja
berkata: "Cia Cianpwee, untuk kepentingan anak ini, aku
akan mengajukan suatu permohonan kepadamu dan ku
harap kau tidak menolaknya."
"Permohonan apa ?" tanyanya.
"Aku ingin menyerahkan Liam Coe kepadamu untuk
dijadikan anak angkat," jawabnya. "Biarlah kalau sudah
besar, ia dapat merawat kau seperti ayahandanya sendiri.
Dengan berada dibawah perlindunganmu seumur hidupnya
ia tentu tak akan dihina orang. Ngoko, bagaimana
pendapatmu?"
"Bagus!",kata Coei San. "Aku harap Cia Cianpwee tidak
menolak permohonan kami berdua."
Paras muka Cia Soen mendadak berobah dan diliputi
dengan sinar kedukaan yang sangat besar. "Anak
kandungku sendiri telah dibanting orang sehingga jadi
perkedel," katanya dengan suara perlahan. "Apa kau tidak
lihat?"
Coei San dan Sa So saling melirik dengan perasaan
berkuatir, karena perkataan itu seperti keluar dari mulμtnya
seorang edan. Dalam kekuatiran merekapun merasa
kasihan terhadap orang yang bernasib malang itu. Sesudah
435
berdiam sejenak, Cia Soen berkata pula: "Kalau dia hidup,
sekarang sudah berusia delapan belas tahun. Aku Cia Soen
pasti akan turunkan semua baik ilmu surat maupun ilmu
silat kepadanya. Huh huh! Dia belum tentu kalah dari Boe
tong Cit hip atau Siauw lim Sam gie."
Kata-kata itu, yang kedengarannya angkuh, bernada
sedih dan mengutarakan perasaan dari seorang yang
hatinya sangat kesepian. Mendengar itu, Coei San dan So
So turut berduka dan mereka merasa menyesal, bahwa
karena terpaksa, kedua mata orang itu telah dibikin buta.
"Kalau dia masih dapat melihat, bukankah kita berempat
bisa hidup senang di pulau ini ?" kata Coei San didalam
hati.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu tidak
mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya kesunyian
dipecahkan oleh Coei San yang berkata dengan suara tetap:
"Cia Cianpwee, kau terimalah anak ini. Kami akan
menukar she nya jadi she Cia."
Mendadak, sehelai sinar terang berkelebat di muka Cia
Soen yang suram. "Apa benar ?" tanyanya dengan suara
kurang percaya. "Kau rela dia menukar she ? Cia Liam
Coe....Cia Liam Coe.... Namun itu cukup baik. Tapi
anakku yang mati bernama Boe Kie."
"Kalau Cia ciapwee menghendaki, anak kami boleh
dinamakan Boe Kie," kata Coei San.
Tak kepalang girangnya Cia Soen, tapi dalam kegirangan
itu, ia merasa sangsi, kalau-kalau ke dua suami isteri itu
sedang menipu dia. "Kalian memberikan anakmu
kepadaku, tapi bagaimana kau sendiri ?" tanyanya pula.
"Tak perduli dia she Cia atau she Thio, kami berdua
akan tetap menyintainya," kata Coei San. "Di belakang
436
hari, ia harus mengunjuk kebaktian kepada Cianpwee dan
kepada kami sendiri. Bukan kah itu baik sekali ? So So,
bagaimana pendapat mu?"
"Aku setuju apa yang dikatakan olehmu," jawab So So
dengan suara agak bersangsi. "Makin banyak orang
menyintainya, makin bagus untungnya anak itu."
Dengan air mata berlinang-linang Cia Soen menyoja
sambil membungkuk. "Aku menghaturkan banyak-banyak
terima kasih kepada kalian," kata nya dengan suara terharu.
"Sakit hati membuta kan mata mulai sekarang sudah
dihapuskan, Cia Soen kehilangan anak, tapi hari ini dia
mendapat pula seorang anak. Di hari kemudian, nama Cia
Boe Kie akan menggetarkan dunia dan biarlah orang tahu,
bahwa ayahnya adalah Thia Coei San, ibunya In So So,
sedang ayah angkatnya adalah Kim mo Say ong Cia Soen"
Barusan So So agak bersangsi karena Cia Boe Kie yang
tulen telah binasa seperti perkedel, sehingga ia kuatir nama
itu kurang baik, untuk anak nya. Tapi melihat kegirangan
Cia Soen yang begitu besar, ia merasa tak tega untuk
mengutara kan kesangsiannya. Ia yakin, bahwa anak itu
tentu akan sangat dicinta Cia Soen dan hal ini merupakan
keberkahan untuk anak itu.
"Cia Cianpwee apa kau mau mendukungnya?" tanyanya
sambil mengangsurkan anak itu.
Cia Soen menyambuti dan memeluknya dengan hatihati.
Mendadak, karena terlalu girang, kedua tangannya
bergemetaran dan air matanya mengalir. "Kau...kau..
ambilah pulang,"katanya. "Melihat mukaku, dia bisa
ketakutau setengah total."
"Jika masih senang, kau boleh mendukungnya terlebih
lama," kata So So sambil bersenyum. "Dikemudian, hari
kaulah yang harus mengajak ia bermain-main." Sehabis
437
berkata pegitu ia menyambuti anak itu.
,
"Baik! Baik!" kata Cia Soen sambil tertawa debar.
Mendengar si bayi menangis keras ia ber kata pula:
"Tetekkanlah. Dia ]apar. Aku mau keluar dulu." Coei San
dan So So bersenyum. Dengan matanya yang sudah buta,
biarpun So So sedang menyusukan, ia sebenarnya boleh
berdiam terus disitu. Tadi dalam kalapnya, ia begitu ganas.
Tapi sekarang, ia begitu mengenal adat.
Sebelum ia bertindak keluar, Coei San sudah mendului:
"Cia Canpweee...."
"Tidak! Sesudah kita jadi orang sendiri, kau tak dapat
menggunakan istilah Cianpwee lagi," katanya. "Apa kalian
setuju jika kita sekarang mengangkat saudara? Tali
kekeluargaan ini akan banyak baiknya untuk anak kita!"
"Cianpwee adalah seorang yang berusia banyak lebih tua
dan berkepandaian banyak lebih tinggi, sehingga mana bisa
kami berdua berdiri berendeng dengan Cianpwee?" kata
Coei San.
"Fui!" bentak Cia Soen. "Kau adalah seorang dari Rimba
Persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kau
begitu, rewel ? Ngotee, Soe moay, apakah kau berdua
bersedia untuk memanggil aku Toako (kakak paling tua) ?"
"Baiklah, biar aku yang lebih dulu memanggil Toako."
kata So So. "Kalau dia tetap mau panggil kau Cianpwee,
maka terhadap akupun, dia harus memanggil Cianpwee."
"Kalau begitu, biarlah siauwtee menurut perintah
Toako," kata Coei San.
"Sesudah kita mencapai persetujuan, beberapa hari lagi,
sesudah aku lebih kuat, barulah kita bersembahyang dan
438
memberitahukan kepada Langit dan bumi, akan kemudian
menjalankan peradatan mengangkat ayah dan mengikat tali
persaudaraan," kata SoSo.
Cia Soen tertawa terbahak-bahak. "Satu laki laki tak akan
menarik pulang perkataannya. Perlu apa bersembahyang
kepada langit? Aku sudah membenci Langit !" Sehabis
berkata begitu dengan tindakan lebar ia berjalan keluar.
Beberapa saat kemudian, Coei San dan So So mendengar
suara tertawanya yang panjang dan nyaring. Sedari
bertemu, belum pernah mereka melihat dia begitu
bergembira.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru