Rabu, 26 April 2017

CerSil Langka Antik 9 Toliongto

CerSil Langka Antik 9 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf CerSil Langka Antik 9 Toliongto

kumpulan cerita silat cersil online
-
Si kacung membawa surat obat itu kepada majikannya
dan menanya, apakah ia boleh turut perintah Boe Kie. Ceng
Goe mengeluarkan suara dihidung dan berkata pada dirinya
sendiri: "Hmm ! Benar benar gila !" Ia berpaling kepada
kacungnya dan berkata: "Boleh. Masaklah obat menurut
timbangannya. Kalau dia tidak mati, benar-benar rejekinya
besar."
Boe Kie mongerti apa maksudnya perkataan itu.
Cepat-cepat ia merebut pulang surat obat itu,
mengurangkan timbangannya dan kemudian baru
menyerahkannya kembali kepada si kacung.
Sesudah dimasak, Boe Kie membawa obat itu kepada
Gie Coen dan berkata dengau air mata berlinang-linang:
"Siang Toako, minumlah obat ini. Apa untung, apa celaka,
siauwtee sendiri tak tahu"
"Bagus! Bagus!" kata siberewok sambil tertawa "Inilah
yang dikatakan, tabib buta mengobati kuda picek." Sambil
804
meramkan mata ia segera minum habis semangkok obat itu.
Malam itu Gie Coen menggelisah. Ia merasa perutnya
seperti disayat pisau dan dari mulutnya terus mengeluarkan
darah. Tanpa menghiraukan hujan dan hawa dingin,
semalaman suntuk Boe Kie menemani sisakit. Pada esokan
paginya, hujan berhenti dan darah yang dimuntahkan Gie
Coen makin lama jadi makin sedikit. Warna darah juga
berubah, dari hitam menjadi ungu, dari ungu berubah
merah.
"Saudara kecil," kata Siang Gie Coen dengan girang.
"Obatmu teryata tidak membinasakan manusia. Aku
merasa badanku banyak lebih enak, lebih nyaman."
"Bagaimana? Obat siauwtee boleh juga bukan?" kata
sibocah sambil menyengir.
"Lebih dari boleh juga!" memuji Gie Coen. "Hanya
obatmu mungkin terlalu keras, perutku seperti diiris-iris
pisau."
"Ya, mungkin terlalu keras," kata Boe Kie dengan rasa
jengah.
Sebenarnya, obat yang diberikan oleh Boe Kie kepada
Gie Coen bukan hanya terlalu keras, tapi beberapa lipat kali
terlalu keras. Kalau Gie Coen tidak mempunyai badan yang
sangat kuat, siang siang ia sudah binasa.
Sesudah membersihkan badan, Ouw Ceng Goe berjalan
keluar. Melihat paras muka Siang Gie Coen ia terkesiap. Ia
tak nyana, bahwa Boe Kie benar-benar sudah berhasil
menyembuhkan luka si borewok.
Sementara itu, sibocah sudah menulis surat obat untuk
menguatkan badan dan lain menyerahkannya kepada
sikacung untuk dimasak.
805
Ia memasukkan segala macam obat kuat, seperti Jinsom,
Lok jiong, Souw ouw dan sebagainya. Dalam rumah Ouw
Ceng Goe terdapat rupa rupa obat, dari yang paling murah
sampai yang paling mahal harganya. Sesudah minum obat
kuat enam tujuh hari beruntun, bukan saja kesehatannya,
tapi kepandaian silat Gie Coen juga sudah pulih kembali.
Beberapa hari kemudian, ia berkata begini kepada Boe
Kie: "Saudara kecil, lukaku sudah sembuh Sekarang saja
kita berpisahan "
Selama kurang lebih sebulan Boe Kie telah berkawan
dengan pemuda itu dan mereka berdua sama-sama
merasakan banyak penderitaan. Mereka telah menjadi
seperti saudara kandung dan dapatlah dimengerti, jika
sibocah merasa sedih waktu mendengar perkataan sang
kakak. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya
mengangguk dengan air mata berlinang-linang.
"Saudara kecil, jangan kau bersusah hati," membujuk
Gie Coen. "TIga bulan kemudian, aku akan kembali untuk
menengokmu. Kalau racun dingin sudah diusir bersih dari
badanmu, aku akan segera mengantarkan kau pulang ke
Boe tong."
Ia masuk kedalam rumah dan berlutut dihadapan Ouw
Ceng Goe. "Ouw Soepeh," katanya, "sekarang teecoe sudah
sembuh sama sekali. Biarpun benar saudara Thio yang
mengobati, akan tetapi, pengobatan itu diberikan
berdasarkan petunjuk kitab kitab Ouw Soepeh. Disamping
itu, teecoe juga telah menghabiskan banyak sekali obatobatan
Soepeh yang berhanga mahal. Untuk itu semua,
teecoe hanya bisa menghaturkan banyak-banyak terima
kasih."
Sang paman guru manggut manggutkan kepalanya. "Tak
apa," katanya. "Lukamu memang sudah sembuh, hanya
806
sayang, usiamu berkurang dengan tigapuluh tahun."
Gie Coen tidak mengerti. "Apa yang dimaksudkan
Soepeh ?" tanyanya,
"Dilihat dari kekuatan badanmu, paling sedikit kau bisa
hidup sampai usia delapanpuluh tahun," menerangkan sang
paman guru. "Tapi karena bocah itu membuat kesalahan
dalam memberi obat dan membuat kesalahan pula waktu
menusuk jalanan darahmu, maka, setiap kali bertemu
delapan musim hujan angin, sekujur badanmu akan
dirasakan sakit. Menurut taksiranku, kau hanya bisa berusia
sampai lima puluh tahun."
Si berewok tertawa terbabak-bahak. "Ouw Soe peh,"
katanya dengan suara lantang, "jika seorang laki-laki bisa
menolong sesama manusia dan mengabdi kepada negara,
berusia sampai empat puluh tahun saja kurasa sudah cukup.
Jika seorang hidup tanpa tujuan, maka biarpun ia bisa
berumur seratus tahun, hidupnya percuma saja."
Ceng Goe tidak mengatakan suatu apa, ia hanya
mengangguk beberapa kali.
Boe Kie mengantar Gie Coen sampai dimulut selat Ouw
tiap kok den kemudian mereka berpisahan sesudah
memeras banyak air mata. Sambil mengawasi bayangan si
barewok yang makin lama jadi makin jauh, Boe Kie
bertekad untuk mempelajari ilmu pengobatan, supaya
dibelakang hari ia dapat memulihkan usia Gie Coen, yang
menurut katanya Ouw Ceng Goa, akan berkurang
tigapuluh tahun.
Setiap hari dengan telaten, Ceng Goe menggunakan
jarum emas dan memberi obat untuk mengusir semua racun
dingin yang masih mengeram dalam tubuh sibocah.
Sementara itu, diwaktu luang, Boe Kie tidak menyianyiakan
tempo. Tanpa kenal capai, ia membaca dan
807
mempelajari kitab kitab ketabiban. Jika ada bagian yang
tidak dimengerti, ia memohon petunjuk dari Ouw Ceng
Goe yang memberinya dengan segala senang hati.
Perlahan-lahan tabib malaikat itu mulai merasa suka
terhadap sibocah pintar itu. sekali hatinya terbuka, tanpa
sangsi-sangsi, ia memberi segala pelajaran yang dimilikinya.
Kadang-kadang bocah itu mengajukan pertanyaan
mengenai hal-hal yang belum pemah dipikir olehnya
sendiri. Rasa kagum orang tua itu terhadap Boe Kie jadi
makin besar.
Semula, ia berminat membinasakan Boe Kie begitu lekas
lukanya sembuh. Tapi sekarang ia merasa, bahwa jika
sibocah binasa, ia akan hidup kesepian. Maka itulah, waktu
memberi obat, ia sengaja mengurangkan timbangannya
untuk menunda penyembuhan dan penunda pula
kebinasaan anak itu.
Sesudah lewat satu dua bulan, dengan rasa heran Ceng
Goe mendapat kenyataan, bahwa sesudah menggunakan
rupa-rupa cara, ia masih belum juga bisa mengusir racun
dingin yang berkumpul di Sam cauw. Belasan hari ia
memeras pikiran dan bekerja keras, tapi hasilnya nihil
sehingga rambutnya bertambah uban. ( Samcouw -
Hormon).
Pada suatu hari, sambil menghela napas ia berkata:
"Ilmu silat Thay soehoemu sangat tinggi, tapi dalam ilmu
ketabiban, ia mencelakakan kau. Sesudah kau kena pukulan
Hian beng Sin ciang, ia membuka Kie keng Pat mehmu.
Betul-betul gila!"
"Bukan, bukan Thay soehoe yang membuka pembuluh
darahku,"membantah Boe Kie. Sesudah berkumpul dengan
Ouw Ceng Goe beberapa bulan, ia merasa bahwa meskipun
beradat aneh, tabib melaikat itu bukan manusia jahat. Maka
808
itu, tanpa diminta, ia lantas saja meneceritakan riwayat
hidupnya. Ia juga menuturkan pengalamannya dikuil Siauw
lim sie, ketika ia datang untuk belajar Siauw lim Kioe yang
kang.
Sesudah menunduk beberapa saat, tiba-tiba saja Ceng
Goe menepuk paha dan berkata: "Boe Kie, pendeta Siauw
lim itu pasti dengan sengaja mencelakakan kau !"
Si bocah terkejut. "Aku belum pernah mengenalnya, ada
perlu apa dia harus mencelakakan aku?" tanyanya.
"Hal........ hal ini sungguh aneh," kata pula Ceng Goa.
"Coba kau ceritakan terlebih jelas semua pengalamanmu di
Siauw sit san."
Boe Kie menurut dan lantas saja mengulang
penuturannya secara lebib jelas.
Tiap kok Ie sian tampak berjalan mundar mandir sambil
menggendong kedua tangannya. Sekonyong konyong ia
berteriak: "Tidak bisa salah lagi. Pendeta itu memang
sengaja mencelakakan kau. Thay soehoemu tidak mengerti
ilmu ketabiban dan juga ia adalah seorang yang sangat
percaya segala manusia. Maka itu, ia tidak bercuriga. Coba
kau pikir, Goan tin adalah seorang yang mahir dalam ilmu
Siauw lim Kioe yang kang dan ia juga bisa membantu kau
dalam membuka Kie keng Pat mehmu. Dengan lain
perkataan, ia sudah memiliki Lweekang sangat tinggi.
Maka itu, begitu lekas kedua telapak tangannya menempel
dengan telapak tanganmu, ia pasti tahu, bahwa dalam
tubuhmu mengeram racun dingin. Tapi, ia malah sengaja
membuka pembuluh darahmu. Apakah, dengan begitu, ia
bukan sengaja mencelakakan kau?"
"Tapi, dari sebelum menobloskan tembok, ia memang
sudah berniat untuk bantu membuka Kie keng pat mehku,"
kata Boe Kie. "Waktu ia belum tahu, bahwa aku kena
809
pukulan Hian beng Sin ciang."
Ceng Goe geleng gelengkan kepalanya. "Sebab apa Goan
tin mau mencelakakan kau, aku masih belum tahu,"
katanya. "Kau mengatakan, bahwa sebab belum pernah
kenal satu sama lain, maka tak mungkin ia mencelakakan
kau. Akan tetapi, kau harus ingat, bahwa kau sudah belajar
Siauw Lim Kioe yang kang, yang mungkin dianggap
olehnya sebagai miliknya sendiri. Hal ini sudah cukup
untuk menimbulkan niatan membunuh kau di dalam
hatinya"
"Menurut katanya Thay Soehoe Siauw lim sie dan Boe
tong adalah pemimpin dari partai partai yang lurus bersih"
kata Boe Kie. "Menurut pendapatku biarpun dalam kuil
Siauw lim sie terdapat orang orang yang berpemandangan
sempit, akan tetapi, mereka pasti tidak akan bertindak
secara begitu hina dina. Apa pula Thay soehoe sendiri telah
menyerahkan Thay kek Sip sam sit dan Boe tong kioe yang
kang kepada mereka sebagai penukaran. Dalam hal ini pada
hakekatnya pihak Siauw lim yang lebih untung."
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Lurus bersih!",
menegasnya. "Apakah ayah dan ibumu bukan didesak
sehingga binasa oleh orang orang dari partai lurus bersih?
Dengan menganggap, bahwa mereka putih bersih, mereka
berlaku sangat kejam terhadap orang orang dari partai yang
dianggapnya sesat. Padahal, orang orang partai lurus bersih
belum tentu baik semuanya, sedang orang dari partai sesat
belum tentu jahat seanteronya."
Kata kata itu menyentuh hati Boe Kie. Ia ingat, bahwa
yang mendesak hebat sehingga mengakibatkan binasanya
kedua orang tuanya, sebagian besar terdiri dari orang orang
partai lurus bersih, seperti Siauw lim, Koen loan dan Khong
tong pay. Bahkan paman pamannya dari Boe tong pay telah
menyaksikan pembunuhan diri kedua orang tuanya dengan
810
berpeluk tangan. Memang benar mereka berduka, akan
tetapi, didalam hati menganggap bahwa binasanya kedua
orang tuanya adalah kebinasaan yang sepantasnya.
Pendapat itu sudah lama sekali terkandung dalam lubuk
hatinya, tapi sebegitu jauh, ia belum pernah berani
mengatakan secara terang terangan. Sekarang, begitu
mendengar perkataan Ouw Ceng Goe, ia menggigil dan
menangis keras.
"Ya, dunia memang begitu," kata Ceng Goe dengan
suara tawar. "Baru menemui satu soal saja, kau sudah
menangis. Jika kau tidak mati hari ini, dihari kemudian kau
bakal mengalami banyak sekali kejadian kejadian yang
dapat mengucurkan air matamu.
Boe Kie buru buru menyusut air matanya: "Kau
mengatakan, bahwa kau belum pernah melihat muka Goan
tin," kata pula si tabib malaikat "Tapi bagimana kau tahu,
bahwa dia tidak mengenal kau? Suara orang dapat diubah
bahkan muka masih bisa diubah. Dia tidak mau menemui
kau. Hal ini saja sudah menerbitkan kecurigaan. Kau
mengatakan, bahwa tanpa sebab, seseorang pasti takkan
mencelakakan kau. Apa kau tahu pasti, bahwa aku tidak
ingin membunuh kau? Biarlah aku berterus terang. Karena
melihat penyakitmu sangat aneh, maka aku sudah mau
berusaha untuk mengobati kau. Tapi berbareng dengan itu,
akupun telah mengambil keputusan, bahwa begitu lekas kau
sembuh, aku akan segera mengambil jiwamu!"
Boe Kie bergidik. Ia mengerti, bahwa apa yang dikatakan
oleh si orang aneh tidak mudah dapat dirubah lagi. Ia
menghela napas seraya berkata. "Racun dingin dalam
tubuhku tak dapat diusir keluar lagi seanteronya. Tanpa kau
turun tangan, aku akau mati sendiri. Hai! Manusia di dunia
agaknya merasa senang jika melihat orang lain celaka atau
mati. Bukankah orang yang belajar silat bertujuan untuk
811
membunuh sesama manusia?"
Ouw Ceng Goe mendongak dan dengan mata
membelakak ia mengawasi langit. Sesudah lewat kian lama,
ia berkata dengan suara parau: "Di waktu masih muda aku
mempelajari ilmu ketabiban dengan tekad untuk menolong
sesama manusia. Akan tetapi, orang-orang yang ditolong
berbalik mencelakakan aku. Aku pernah menolong jiwa
seorang yang mendapat tujuhbelas lubang luka bacokan.
Dia sebenarnya sudah mesti mati. Tiga hari tiga malam aku
tidak tidur dan dengan seantero kepandaian, aku berhasil
menyembuhkannya. Belakangan aku mengangkat saudara
dengannya. Tak dinyana, ia akhimya membinasakan adik
perempuanku, adik kandungku. Siapa dia? Dia sekarang
seorang tokoh besar yang namanya besar pula dari sebuah
partai lurus bersih."
Dengan rasa kasihan, Boe Kie mengawasi muka Ceng
Goe yang diliputi dengan sinar kedukaan. "Kalau begitu ia
mendapat gelaran Kian sie poet kioe karena ia telah
mengalami kejadian hebat," katanya didalam hati.
Darahnya lantas saja meluap dan ia menanya: "Siapa
adanya manusia binatang itu? Mengapa kau tidak cari
padanya untuk membalas sakit hati?"
"Pada waktu mau meninggal dunia, "adikku telah
memaksa aku bersumpah, bahwa aku tak akan coba
membalas sakit hati," jawabnya, "Lebih gila lagi, ia minta
aku berjanji bahwa kalau manusia itu berada dalam bahaya,
aku mesti menolong. Dapat dimengerti jika aku menolak
tuntutan itu. Tapi, sebelum aku meluluskan adikku tidak
akan mati dengan mata meram. Hati Adikku....hatinya
terlalu mulia. Akhirnya aku tak dapat tidak meluluskan
permintaannya yang paling penghabisan itu." Sehabis
berkata begitu air matanya berlinang-linang.
Baru sekarang Boe Kie insyaf, bahwa Ouw Ceng Goe
812
bukan manusia yang tak punya perasaan. Tak bisa salah,
antara saudara angkatnya dan adik perempuannya
mempunyai hubungan yang sangat erat, kalau bukan suami
isteri, tentulah juga sepasang kecintaan.
Tiba-tiba Ceng Goe berkata dengan suara keras "Ingatlah
apa yang dikatakan olehku, tak boleh kau menyebut-nyebut
lagi dihadapanku. Jika kau membocorkan pembicaraan ini
kepada orang lain, aku akan membuat kau hidup tidak,
matipun tidak."
Boe Kie sebenarnya ingin menjawab dengan beberapa
perkataan tajam, tapi ia segera mengurungkan niatnya,
karena ia merasa bahwa pada hakekatnya Ouw Ceng Goe
adalah seorang yang harus dikasihani. "Baiklah, aku
berjanji tak akan bicara lagi mengenai hal itu." katanya.
Tabib malaikat itu kemudian mengusap-ngusap rambut si
bocah dan berkata sesudah menghela napas berulang-ulang:
"Kasihan! Kasihan!" Sehabis berkata begitu, ia masuk
keruang dalam.
Sesudah terjadi pembicaraan diatas, berulang kali Ceng
Goe memeriksa tubuh Boe Kie dan siang malam is
mengasah otak, tapi ia tidak mendapat jalan untuk
membasmi racun dingin yang sudah masuk kedalam Sam
ciauw. Ia sekarang yakin, bahwa biarpun ia berusaha sebisa
bisa dengan menggunakan ilmu pengobatan yang paling
tinggi, paling banyak ia bisa-bisa memperpanjang umur si
bocah dengan beberapa tahun saja.
Sementara itu, karena berada dipergunungan yang sepi,
Boe Kie merupakan seorang kawan yang sangat
menyenangkan, maka diwaktu-waktu luang Ceng Goe
memberi petunjuk dan pelajaran ilmu ketabiban kepada si
bocah yang terus belajar dengan rajin dan tak mengenal
capai.
813
Melihat kecerdasan bocah itu yang dalam tempo singkat
sudah dapat memahami kitab-kitab Oey te Ha mo keng, See
hong Coe beng tong Cie keng, Tay peng seng Hoei hong
dan sebagainya, Ceng Goe menghela napas seraya berkata:
"Dengan kecerdasanmu, dibantu olehku sendiri, sebelum
berusia duabelas tahun, kau sudah akan hisa merendengi
Hoa To atau Pian Ciak. Hanya sayang ....sungguh sayang!"
Ia merasa sayang, karena dengan berusia pendek, semua
kecerdasan dan kepandaian itu, tiada gunanya. Tapi Boe
Kie mempunyai lain tujuan. Ia belajar ilmu ketabiban
dengan tekad untuk memulihkan usia Siang Gie Coen yang
menurut Ouw Ceng Goe, akan berkurang dengan tigapuluh
tahun.
Hari berlalu laksana terbang dan tanpa terasa, dua tahun
sudah berselang, Boe Kie sekarang sudah berusia empat
belas tahun. Selama dua tabuh itu beberapa kali Gie Coen
datang menengoknya. Ia memberitahukan, bahwa Thio
Sam Hong memperkenankannya, untuk berdiam lebih lama
di Ouw tiap kok, sampai racun dingin dalam tubuhnya
dapat dibasmi seluruhnya. Ia juga menyampaikan warta
bahwa makin lima orang Mongol jadi ganas, bahwa rakyat
menderita dan permusuhan antara partai lurus bersih dan
partai sesat makin menghebat dan jumlah manusia yang
menjadi korban makin meningkat.
Setiap kali datang di Ouw tiap kok, Siang Gie Coen
berdiam beberapa hari dan kemudian pergi lagi. Pada
kedatangannya yang terakhir, Boe Kie telah mendapat
kemajuan pesat dalam pelajaran ilmu ketabiban. Ia
memeriksa nadi Siang Gie Coen dan kemudian menulis
obat yang lalu diberikan kepada si berewok dengan pesanan
bahwa ia harus sering-sering minum obat itu. Gie Coen
menghaturkan banyak terima kasih dan lalu memasukkan
surat obat itu kedalam sakunya.
814
Kali ini, dalam kamar paman gurunya, Gie Coen
beromong-omong dengan orang tua itu sehingga jauh
malam. Malam itu dia tidak bisa tidur dan gelisah. Boe Kie
merasa heran. Si berewok tidak begitu akur dengan paman
gurunya. Mengapa ia bicara begitu lama? Boe Kie
menduga, bahwa didalam kalangan Mo kauw timbul
gelombang dan sebab ia sendiri bukan anggauta "agama"
itu, maka ia tidak mau menyelidiki.
Esok paginya, Gie Coen berpamitan dan Boe Kie
mengantarnya sampai dimulut selat. "Saudara." kata si
berewok waktu mereka berpisahan, "dalam beberapa hari
ini seorang musuh yang sangat lihay akan menyateroni
Ouw Soepeh. Sebenarnya aku ingin mengajak kau pergi
kelain tempat untuk sementara waktu, akan tetapi Ouw
Soepeh mengatakan, bahwa musuh itu tak akan bisa
berbuat banyak. Ia mengatakan, aku tak usah takut. Tapi
aku harap, kau suka berlaku hati-hati."
"Musuh siapa?" tanya Boe Kie.
"Akupun tak tahu," jawabnya. "Aku mendengar Warta
itu ditengah jalan dan buru-buru aku datang kemari untuk
memberitahukan Ouw Soepeh. Saudara, Ouw Soepeh
seorang pintar yang sangat berhati-hati. Kalau ia
mengatakan tak usah kuatir, ia tentu sudah mempunyai
pegangan. Hanya aku yang masih berkuatir."
Melihat kecintaan si berewok terhadap dirinya, Boe Kie
merasa sangat terharu dan sesudah beromong-omong lagi
beberapa lama, mereka lalu berpisahan.
Sekembalinya dirumah Ceng Goe, ia melihat orang tua
itu tenang—tenang saja. Beberapa kali ia coba menanya,
tapi pertanyaan selalu diputuskan ditengah jalan.
Enam tujuh hari telah lewat dengan tenang. Malam itu,
selagi Boe Kia membaca sejilid kitab obat, mendadak ia
815
merasa kepalanya berat dan badannya lelah. Ia lantas saja
naik kepembaringan. Esok harinya, ketika tersadar, ia
merasa kepalanya sakit sekali. Ia segera pengi kebelakang
untuk mengambil obat. Tapi, baru berjalan puluhan tindak,
ia mendapat kenyataan, bahwa ia baru tersadar diwaktu
lohor. "Mengapa aku tidur begitu lama? Apa aku sakit?"
tanyanya didalam hati.
Ia segera memegang nadi, tapi ketukan nadi tidak
mengunjuk hal yang luar biasa. ia jadi semakin kaget.
Apakah racun dingin itu mengamuk dan ia sudah
mendekati ajalnya?
Buru buru ia mencari Ouc Ceng Goe, tapi orang tua itu
tidak kelihatan hidungnya. Selama beberapa hari ia selalu
berkuatir dan sekarang karena orang tua itu tidak berada
didalam rumah, sambil berlari lari i apergi kekebun untuk
mencarinya. Di kebun ia bertemu dengan seorang kacung
yang sedang mencangkul tanah. "Mana Ouw Sinshe?"
tanyanya.
"Apa ia tidak berada dikamarnya?" si kacung balas
menanya. "Baru saja aku membawa teh. Ouw Sinshe
memesan supaya ia tidak diganggu". Boe Kie tertawa. "Aku
benar tolol." katanya didalam hati dan lalu kembali
kerumah.
Waktu tiba di depan kamar Ceng Goe, ia melihat pintu
dikunci. Mengingat perkataan sikacung ia tidak berani
mengetuk dan hanya batuk-batuk beberapa kali.
"Boe Kie," kata orang tua itu, "hari ini badanku kurang
enak. Leherku sakit. Kau belajar saja sendiri."
"Baiklah," jawabnya. Sesaat kemudian, sebab kuatir
penyakit orang tua itu lebih berat, ia berkata: "SinShe, boleh
kuperiksa lehermu?"
816
"Tak usah," Jawabnya dengan suara dalam. "Aku sendiri
sudah memeriksa dari kaaa. Tak apa apa. Aku sendiri
sudah minum obat."
Malam itu, waktu kacung membawa nasi, Boe Kie turut
masuk kekamar Ceng Goe. Ia melihat, bahwa muka orang
tua itu yang rebah dipembaringan pucat pasi. Ia kaget.
"Apakah semalam, selagi aku tidur, musuh sudah datang
menyatroni?" tanyanya dalam hati. "Mungkin sekali,
biarpun berhasil mengusirnya, Ouw Sinshe sendiri terluka
berat."
Begitu melihat Boe Kie, Ceng Goe mengibas tangannya.
"Pergi!" bentaknya. "Kau tahu aku sakit apa? Sakit cacar."
Si bocah mengawasi dan benar saja, tangan dan muka
orang tua itu penuh dengan titik-titik hebat. Kalau salah
pengobatannya, orang bisa mati, atau sedikitnya bakal
bermuka bopeng. Tapi mengingat Ceng Goe seorang tabib
malaikat, ia tidak merasa kuatir. Hatinya lega sebab ia
yakin, bahwa orang tua itu bukan dilukakan musuh.
"Kau dan si kacung tidak boleh masuk lagi kedalam
kamarku," kata pula Ceng Goe. "Semua perabot makan,
sesudah digunakan olehku, harus diseduh dengan air panas.
Kau tidak boleh menggunakan itu....hm..." Ia berdiam
sejenak dan kemudian berkata lagi. "Boe Kie, begini saja.
Menyingkirlah dari Ouw tiap kok untuk sementara waktu.
kau boleh menumpang di salah sebuah rumah penduduk
kira kira setengah bulan. Aku kuatir kau ketularan cacar!"
"Tidak!" kata si bocah. "Sinshe sedang sakit, kalau aku
pergi, siapa yang harus merawatmu. Biar bagaimanapun
jua, aku lebih mengenal ilmu pengobatan dari pada kedu
akacung itu."
"Tapi lebih baik kau menyingkir," kata orang tua itu. Ia
membujuk beberapa kali, tapi si bocah tetap pada
817
pendiriannya. Akhirnya Ceng Goe berkata: "Baiklah. Tapi
biar bagaimanapun jua, aku melarang kau masuk lagi
kekamarku"
Tiga hari telah lewat. Setiap pagi dan malam Boe Kie
selalu menanyakan kesehatan orang tua itu dari luar kamar.
Ia mendapat kenyataan bahwa biarpun suara Ceng Goe
masih agak parau, tapi semangatnya sudah cukup baik dan
nafsu makannyapun bertambah besar. Setiap kali, dari
dalam kamar, Ceng Goe menyebutkan nama nama obat
dan timbangannya yang harus dimasak untuknya oleh
sikacung.
Pada hari keempat, diwaktu lohor, Boe Kie membaca
bagian Soe Kie Tauw sia Tay Loen (Perundingan mengenai
peranan empat hawa dalam memperkuat semangat) dari
Oey Tee Lwee keng (Kitab obat obatan dari Kaizar Oey
Teng). Di bagian itu antara lain tertulis seperti berikut:
"Maka itulah, seorang pandai tidak mengobati penyakit,
tapi menjaga supaya penyakit itu jangan sampai timbul. Ia
tidak membereskan kekacauan, tapi menjaga jangan sampai
kekacauan muncul. Inilah jalan yang paling baik. Kalau
menunggu sampai penyakit timbul dan baru mengobatinya,
sampai kekacauan muncul dan baru mengobatinya, sampai
kekacauan muncul dan baru membereskannya, maka usaha
itu adalah seperti menggali sumur sesudah haus atau
membuat senjata sesudah menghadapi musuh. Apakah itu
bukan sudah terlambat ?"
Tanpa merasa, Boe Kie mengangguk beberapa kali.
"Memang sudah terlambat, kalau menggali sumur sesudah
haus dan membuat senjata sesudah berhadapan dengan
musuh," katanya didalam hati. "Membereskan negara
sesudah terbit kekacauan juga sudah terlambat. Biarpun
andaikata keamanan dapat dipulihkan, akan tetapi negara
tetap mendapat kerugian. Mengobati penyakit juga tiada
818
bedanya. Lebih baik menjaga sebelum penyakit mengamuk
dari pada mengobati sesudah penyakit itu menjadi berat," Ia
ingat dibagian lain dari kitab tersebut terdapat kata kata
seperti berikut:
"Seorang tabib yang pandai, paling senang mengobati
kulit dan bulu, kemudian mengobati otot otot, lalu
mengobati urat urat, dan akhirnya baru mengobati isi perut.
Jika ia harus mengobati isi perut, maka kemungkinan
sembuhnya si sakit hanya separuh separuh."
"Benar, memang benar apa yang dikatakan dalam kitab
itu," pikir Boe Kie. "Seorang tabib pandai selalu mengobati
pada waktu penyakit baru saja muncul. Kalau penyakit
sudab masuk ke isi perut biar bagaimana pandaipun jua, ia
tidak mempunyai pegangan lagi. Seperti aku, racun sudah
masuk ke dalam isi perutku. Keadaanku sudah sembilan
bagian mati dan hanya satu bagian hidup."
Selagi memikir begitu, tiba tiba terdengar suara tindakan
kuda. Boe Kie buru buru menutup bukunya dan berbangkit.
Ia bingung sebab kuatir kedatangan musuh. Sambil berlari
lari ia pengi kekamar Ceng Goe. "Ouw Sinshe," katanya.
"Kudengar suara tindakan bebrapa ekor kuda yang masuk
ke selat ini. Bagaimana baiknya?"
Sebeleum orang tua itu keburu menjawab, kuda kuda itu
yang ternyata bisa lari luar biasa cepatnya, sudah tiba
didepan rumah.
"Sesama orang Rimba Persilatan mohon bertemu dengan
Ie Sian Ouw Sinshe!" demikian terdengar teriakan seorang.
"Kami ingin memohon belas kasih Ouw Sinshe untuk
mengobati penyakit"
Mendengar itu, hati Boe Kie agak lega. Ia bertindak
keluar dan melihat seorang bermuka hitam berdiri didepan
pintu. Tangan orang itu menuntun tiga ekor kuda. Di
819
punggung dua diantara hewan hewan itu kelihatan rebah
dua orang yang pakaiannya berlepotan darah. Penunggang
kuda itu sendiri berdiri dengan kepala dibalut dengan kain
putih bernoda darah, sedang tangan kanannya dimasukkan
dalam selembar kain yang diikatkan keleher. Di lihat dari
romannya, iapun mendapat luka yang tidak enteng.
"Kedatangan kalian sungguh sangat tidak kebetulan,"
kata Boe Kie. "Ouw Sinshe sedang sakit dan tidak bisa
bangun. Harap kalian suka cari lain tabib saja."
"Celaka!" kata orang itu dengan suara kaget. "Kami
melalui perjalanan ratusan li dengan harapan bisa mendapat
pertolongan Ie sian"
"Ouw Sinshe mendapat sakit cacar," Boe Kie
menerangkan. "Dalam beberapa hari ini, keadaannya
sangat buruk. Inilah suatu kenyataan dan aku tidak
berjusta."
Orang itu menghela napas. "Kami bertiga adalah saudara
seperguruan dan kami mendapat luka yang sangat berat,"
katanya dengan suara duka. "Kalau tidak ditolong Ie sian,
kami pasti akan meninggal dunia. Kuharap saudara suka
melaporkan kepada Ouw Sinshe."
"Kalau begitu, bolehkah aku tahu she dan nama Toako
yang mulia?" tanya Boe Kie.
"Nama kami tidak cukup berharga untuk disebut-sebut,"
jawabnya. "Tolong beritahukan saja bahwa murid-murid
Sian-ie Ciang-boen dari Hoa San-pay memohon
pertolongan." Sehabis berkata begitu, badannya bengoyanggoyang,
paras mukanya jadi lebih pucat dan mulutnya agak
terbuka seperti mau muntahkan darah.
Boe Kie melompat dan menotok beberapa jalan darah di
dada dan punggung orang itu. Begitu tertotok, darah yang
820
sudah meluap turun kembali dan orang itu merasa dadanya
agak lega.
Melihat kepandaian si bocah, ia kelihatan kaget dan
kagum.
Boe Kie segera masuk kedalam, "Sinshe," katanya. "di
luar menunggu tiga orang yang mendapat luka berat dan
minta pertolonganmu. Mereka mengatakan bahwa mereka
adalah murid-murid dari Sian ie Ciang boen Hoa-san-pay."
Ouw Ceng Goe mengeluarkan suara "ih!" dan kemudian,
ia berteriak dengan gusar: "Tidak! Tidak! Usir mereka!"
"Baiklah," kata Boe Kie yang dengan cepat lalu berjalan
keluar.
"Ouw Sinshe tak bisa menemui kalian karena
penyakitnya masih belum mendingan," kata Boe Kie.
"Harap kalian suka memaafkan."
Orang itu mengerutkan alis. Selagi ia mau memohon
lagi, tiba-tiba salah seorang yang bertubuh kurus kecil dan
rebah diatas punggung kuda mengangkat kepalanya dan
mengayun tangannya. Hampir berbareng sehelai sinar emas
menyambar dan serupa benda jatuh di atas meja di dalam
rumah.
"Saudara, bawalah bunga emas itu kepada Kian sie poet
kioe," kata si kurus. "Beritahukanlah bahwa kami bertiga
telah dilukakan oleh majikan dari bunga emas itu. Dia akan
segera mencari le sian sendiri. Jika Kian sie Poet kioe suka
mengobati kami, sesudah sembuh kami akan tetap berdiam
disini untuk bantu melawan musuh. Biarpun kepandaian
kami tidak berarti, tapi masih merupakan tiga tenaga
bantuan"
Boe Kie menghampiri meja. Ia melihat, bahwa senjata
rahasia itu menyerupai sekuntum bunga bwee yang terbuat
821
dari pada emas tulen, dengan sari bunga dibuat dari perak
putih, sehingga Kim hoa (bunga emas) itu indah sekali
kelibatannya. Boe Kie mengulurkan tangan dan coba
menjemputnya, tapi diluar dugaan bunga emas itu
menancap dimeja dan ia tidak dapat mencabutnya lagi.
Dengan mengunakan jepitan obat, barulah ia berhasil.
"Orang kurus itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi,
tapi dia masih kena dilukakan oleh majikan bunga emas
itu." pikirnya, "Siang Toako mengatakan bahwa seorang
musuh akan menyatroni Ouw Sinshe. Mungkin sekali
musuh Ouw Sinshe adalah orang itu." Sambil mambawa
senjata rahasia tersebut, ia segrera masuk dan
menyampaikan perkataan si kurus kepada Ouw Ceng Goe.
"Coba aku lihat," kata orang tua itu.
Boe Kie menolak pintu dan menyingkap tirai. Kamar itu
sangat gelap. Seorang yang kena penyakit cacar memang
takut dengan sinar terang, maka pintu dan jendela kamar itu
ditutup dengan tirai. Ia melihat muka Ouw Ceng Goe
ditutup dengan kain dan hanya kedua matanya yang bisa
dilihat orang. Hati Boe Kie berdebaran. Bagaimana
macamnya bisul bisul dimuka orang tua itu. Apa sesudah
sembuh, dia bakal bopeng?
"Taruh bunga emas itu diatas meja dan lekas keluar,"
perintah si tabib malaikat.
Boe Kie menurut.
"Mati hidup mereka bertiga tiada sangkut paut nya
dengan aku," demikian terdengar suara Tiap kok ie sian,
"Soal mati hidupku juga tak usah diributi mereka." "Ptak!",
bunga emas itu terbang keluar sesudah menobloskan tirai
dan kemudian jatuh ditanah.
Biarpun daun bunga dari senjata rahasia itu sangat tipis
dan tajam, tapi karena tirai adalah lemas dan alot, maka
822
dicobloskannya kain jang tebal itu mengejutkan Boe Kie.
Selama berdiam dua tahun dirumah Tiap kok Ie sian, Boe
Kie belum pernah melihat ilmu silat orang tua itu. Baru
sekarang ia mendapat bukti, bahwa si tabib malaikat juga
memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Ia menjemput Kim hoa itu dan menghampiri lelaki yang
kurus itu. Sambil menggelengkan kepala,
ia berkata. "Sakitnya Ouw Sianshe sangat berat."
Mendadak dari sebelah kejauhan terdengar suara roda
kereta yang tengah memasuki selat Ouw tiap kok.
Perkataan Boe Kie terhenti dan semua orang memasang
kuping.
Kereta itu cepat sekali jalannya, dan tak lama kemudian
sudah berada diluar rumah. Dari dalam kereta keluarlah
seorang pemuda yaug kuning kulit mukanya sambil
melompat. Begitu turun ia mendukung seorang kakek yang
gundul kepalanya "Apa Tiap kok Ie sian Ouw Sinshe ada?"
tanyanya. "Murid Khong tong pay. . . ." Baru ia ber kata
begitu, badannya bergoyang goyang dan ia lalu roboh
bersama sama si kakek. Dua ekor kuda yang menarik
kereta, yang mulutnya mengeluarkan busa, juga berlutut
dengan berbareng. Rupanya kedua binatang itu kehabisan
tenaga.
Melihat romannya dua orang itu, tanpa ditanya lagi
ketahuanlah sudah bahwa mereka itu baru saja melakukan
perjalanan cepat satu sampai dua ratus li tanpa beristirahat
ditengah jalan. Sudah begitu Boe Kie pun mendengar di
sebutnya "Murid murid Khong Tong pay", maka ingatlah ia
akan halnya, diantara orang-orang yang memaksakan
kematian ayah dan ibunya diatas gunung Boe tong san ada
tianglo atau tertua dari partai itu. Ia melihat si orang tua
kepala gundul lantang yang disebut Seng Cioe Ka Lam Kao
823
Ciat. Orang tua ini tidak hadir digunung ketika itu, akan
tetapi mau ia menduga bahwa dia ini mestinya bukan
manusia baik baik. Karena itu ingin ia menolak mereka itu
atau ia segera melihat munculnya lagi empat atau lima
orang ada yang dingkluk-dingkluk sambil memegangi
tongkat, ada yang saling menuntun, dan semua mereka itu
mempunyai luka-luka di tubuh mereka. Ia mengerutkan
alisnya. Tidak menanti sampai mereka itu datang dekat, ia
lantas berkata nyaring: "Ouw Sinshe kena penyakit cacar,
karena dirinya sendiri belum tentu dapat ditolong, ia
jadinya tidak dapat mengobati kalian, tuan-tuan! Maka itu,
silahkan tuan-tuan sekalian lekas mencari lain tabib saja
supaya kamu tidak digagalkan luka luka kau" (Pep: this
paragraph does not make any sense)
Sementara itu, orang orang itu yang berjumlah berlima
sudah datang dekat. Nyata mereka itn mengenakan pakaian
yang bagus bagus, mereka mirip dengan saudagar saudagar
besar, melainkan muka mereka semua pucat pasi, bagaikan
kertas putih polos, sedikit juga tidak ada sinar darahnya.
Ditubuh mereka tidak tampak tanda tanda bekas luka, dari
itu teranglah sudah bahwa mereka mendapat luka-luka
hebat didalam.
Orang yang berjalan dimuka, yang tubuhnya jangkung
dan gemuk, mengangguk terhadap Kan Ciat serta si pria
kurus dan kecil, atas mana, mereka itu saling menyeringai.
Jadinya, tiga rombongan orang itu, semua kenal satu
dengan lain.
Boe kie heran, tertarik rasa ingin tahunya.
"Apakah kamu semua terlukanya si pemilik bungga
emas?" ia tanya.
"Benar." menjawab si gemuk, yang terus berpaling
kepada Kan Ciat, untuk menanya: "Saudara Kan, apakah
824
kau telah bertemu sama Ouw Sinshe?"
Kan Ciat nuenggeleng kepala, "Saudara Nio, mukamu
lebih terang. Mungkin kau dapat mengundang Ouw
Sinsbe," katanya
"Siapakah itu si pemilik bunga emas?" tanya Boe Kie
menyelak. "Kenapa dia demikian galak?"
"Saudara kecil," berkata orang yang dipanggii saudara
Nio oleh Kan Ciat tanpa dia menjawab pertanyaan si anak
tanggung, "tolong kau menyampaikan kepada Ouw Sinshe
bahwa aku si orang she Nio dari Toko Emas Goan Sang di
Boe hoe telah datang dari tempat yang jauh memohon
berobat"
Si orang yang muntah darah hidup, yang tiba paling
dulu, menduga Boe Kio muda sekali tetapi bukannya
sembarangan orang, maka dia bertanya: "Saudara kecil, kau
she apa? Apakah hubungan sama Ouw Sinshe?"
"Aku juga pasien dari Ouw Sinshe." Boe Kie menyahut.
"Sudah dua tahun lebih Ouw Sinshe mengobati aku. Aku
masih belum sembuh betul, Ouw Sinshe telah membilang,
dia tidak dapat mengobati. Maka itu, sudah pasti dia tidak
bakal mengobatinya. Karenanya, tidak ada gunanya untuk
kamu berdiam lama-lama disini."
Selagi mereka berbicara, dengan beruntun kembali
datang empat orang. Ada yang naik kereta, ada yang
menunggang kuda, dan mereka ini juga datang untuk minta
ditolong diobati, mereka memintanya dengan sangat.
Boe Kie menjadi heran sekali hingga ia berpikir.
"Lembah Ouw tiap kok ini sepi luar biasa. Kecuali orangorang
partai agama sesat, orang Kang-ouw juga sedikit yang
sekali mengetahuinya. Maka itu mereka ini yalah orangorang
Khong Tong pay dan lainnya, yang bukan kaum
825
sesat. Kenapa mereka berbareng pada datang kemari untuk
berobat? Pula, kenapa mereka juga terluka berbareng? Dan
itu pemilik bunga emas, dia lihay sekali! Untuknya jikalau
dia mau mengambil jiwa mereka ini, itulah bukan pekerjaan
sulit. Kenapa dia justeru melukai orang orang ini hebat
begini macam?"
Di antara semua orang itu, yang berjumlah empat belas,
ada yang pandai bicara, ada yang diam saja, tetapi mereka
semua bersatu hati tak mau mengangkat kaki walaupun
mereka sudah ditolak. Ketika itu sudah magrib, mereka
seperti memenuhi sebuah ruang.
Kacung tukang masak nasi sudah lantas menyajikan
barang makanannya Boe Kie, dan Boe Kie tanpa sungkan
lagi lantas berdahar seorang diri. Kemudian ia duduk
menghadapi meja dan dengan terangnya pelita, ia membaca
buku tentang ilmu ketabiban. Semua orang itu ia tidak
ambil peduli. Ia telah berpikir. "Aku telah dapat
mempelajari ilmu tabib dari Ouw Sinshe, maka itu akupun
boleh mempelajari ilmunya, melihat kematian tidak
menolong."
Malam telah tiba. Malam itu sunyi sekali. Didalam
rumah gubuk itu tidak terdengar suara apa apa lagi kecuali
suara Boe Me membalik balik halaman bukunya serta suara
bernapas keras dari mereka yang terluka. Justeru suasana
sedang sunyi sunyinya itu, dari luar gubuk terdengar
tindakan kaki dari dua orang.
Boe Kie heran. Ia lantas_mengangkat kepalanya. Ia
memasang kuping. Tindakan tadi perlahan, selagi
mendekati, semakin perlahan terdengarnya. Terang orang
lagi menghampirkan kerumah gubuk.
Tak lama, atau lantas terdengar suara yang halus tetapi
terang. "Ibu, disana ada sinar api di dalam rumah. Kita
826
sudah sampai!"
Didengar dari suaranya itu, orang itu mestinya seorang
anak kecil.
"Anak, kau capai atau tidak?" lalu terdengar suara lain,
lebih keras tetapi toh dari seorang wanita juga.
"Aku tidak capai." sahut si anak barusan. "Ibu jikalau
tabib sudah mengobati kau, kau tentunya tidak sakit lagi."
Si wanita terdengar menjawab. "Ya... Tapi entahlah dia
suka menolong atau tidak!"
Hati Boe Kie tergerak.
"Ah, rasanya aku kenal baik suara ini ..." pikirnya.
"Rupanya dia Nona Kie Siauw Hoe."
"Pasti tabib akan mengobati ibu," kata pula si anak
perempuan. "Jangan kuatir. Apakah nyeri ibu sudah
mendingan?"
"Sedikit mendingan?" menyahut si nyonya yang
dipanggil ibu itu. "Ah, anak yang bersengsara......"
Mendengar pula suara orang itu, Boe Kie tak sangsi lagi.
Ia lantas lompat keambang pintu.
"Toh Kie Kouwkouw disana", ia menanya "Apakah
kaupun terluka?"
Lalu dibawah terangnya sang Puteri Malam ia melihat
seorang wanita yang sebelah tangannya menuntun seorang
nona kecil, seorang anak perempuan juga. Wanita itu yang
dipanggil Kouwkouw, atau bibi, benarlah Kie Siauw Hoe
adanya. Akan tetapi Siauw Hoe tidak mengenalinya sebab
ketika diatas gunung Boe tong san mereka bertemu, Boe Kie
baru berumur sepuluh tahun, dan sekarang, sang waktu
sudah lewat lima tahun.
827
"Kau... kau... " tanyanya heran.
"Kouwkouw, kau telah tidak mengenali aku, bukan?"
kata Boe Kie, "Aku Thio Boe Kie. Ketika dulu hari di Boe
tong san ayah dan ibuku membunuh diri, aku melihat kau."
Siauw Hoe berseru saking herannya. Inilah ia sama
sekali tidak menyangka. Berbareng dengan itu, ia menjadi
kaget sendirinya dan likat. Ia seorang nona yang belum
menikah, membawa-bawa seorang anak perempuan....
Sekarang ia berhadapan dengan Boe Kie, keponakan dari In
Lie Heng bakal suaminya itu. Sebagai bocah tanggung, Boe
Kie tentulah sulit untuk diberi penjeasan tentang keganjilan
itu. Maka mukanya menjadi merah. Karena ia lagi terluka
serta lukanya bukan enteng, kagetnya itu membuat
tubuhnya terhuyung.
Anak perempuan itu, yang umurnya baru enam atau
tujuh tahun, melihat ibunya mau jatuh, ia lantas
menjambret tangannya, akan tetapi ia bertenaga lemah, ia
dapat berbuat apa?
Boe Kie melihat Siauw Hoe mau jatuh, karena mana si
nona cilikpun bakal roboh juga, ia lantas menahan
pundaknya bibi itu.
"Kouwkouw, silahkan masuk kedalam untuk
beristirahat," ia mengundang. Ia berkata begitu ia toh
memimpin orang masuk kedalam ruang. Karena ini,
dengan pertolongan cahaya api, ia lantas melihat luka si
bibi, luka dipundak kiri dan dibahu kanan, bekas golok atau
pedang. Melihat darah yang menembus dari balutan, luka
itu mestinya parah. Pula si nona merintih beberapa kali,
tandanya hebat menahan rasa nyerinya.
Mendengar rintihan atau batuk-batuk si nona, Boe Kie
mengerti hebatnya luka si bibi. Didalam halnya ilmu
ketabiban, sekarang ini Boe Kie telah dapat melawan
828
sembarang "tabib kenamaan". Suara batuk itu menadakan si
nona telah mendapat goncangan pada pinggiran peparunya
yang kiri.
"Kouwkouw," katanya, "tangan kananmu telah bentrok
sama tangan orang dan karena itu kau terluka pada bagian
peparumu they im hie." Ia berkata begitu, tetapi tanpa
menanti jawaban, ia lantas mengeluarkan tujuh batang
jarum emas. Dengan itu, tanpa membukai baju si nona, ia
menusuk ditujuh jalan darah in-boen dipundak, hoa kay di
dada cie-tek dan lain-lain.
Kepandaian dari Boe Kie ini sekarang beda jauh dari
waktu dulu hari ia mengobati Siang Gie Coen. Selama dua
tahun ia belajar dibawah pimpinan Tiap kok Ie sian Ouw
Ceng Goe, ia sudah mendapat kemajuan pesat. Penghalang
satu satunya yalah usianya yang masih terlalu muda. Jadi
kalau dibandingkan dengan gurunya, ia masih ketinggalan
jauh sekali. Hanya didalam ilmu menusuk jalanan darah
dengan jarum emas saja, ia sudah mendapatkan tujuh atau
delapan bagiannya.
Kie Siauw Hoe melihat anak tanggung itu mengambil
jarum, ia tidak tahu apa perlunya itu, maka ia heran dan
kagum ketika tahu-tahu dia telah ditusuk berulang-ulang
secara demikian hebat dan tepat. Begitu lekas sudah
ditusuk, ia merasakan dadanya tidak terlalu sesak lagi.
"Anak yang baik!" Ia berseru dalam girangnya "Aku
tidak sangka kau berada disini dan juga telah dapat
mempelajari ilmu tabib begini sempurna!"
Siauw Hoe lantas ingat kejadian di Boe tong san itu hari,
ketika ia menghadapi Thio Coei San dan In So So, suami
isteri itu, saling beegantian membunuh diri, hingga mayat
mereka dipeluki Boe Kie. Ia merasa terharu sekali, ia
berkasihan terhadap anak itu, maka ia telah membujuk dan
829
menghiburinya seraya memberikan juga kalungnya yang
terbuat daripada emas. Hanya ketika itu Boe Kie sudah
menampik pemberian itu sebab dia lagi sangat berduka dan
gusar, hingga dia memandang semua tetamu yang hadir
disitu adalah musuh-musuh yang mendesak kebinasaan
ayah dan ibunya. Atas penampikan itu, Siauw Hoe jadi
malu sekali, tetapi ia tidak dapat berbuat apa apa.
Kemudian pikiran Boe Kie berubah. Inilah disebabkan
ketika dia terlukakan serangam ilmu Hian beng Sin ciang,
dia sudah ditolong mati matian oleh In Lie Heng, yang
sudah mengorbankan banyak tenaga dalamnya.
Perto1ongan itu dia ingat betul. Dia merasa berhutang budi,
Maka juga, karena mengingat budinya In Lie Heng dia
menjadi ingat juga kebaikan Ki Siauw Hoe dan untuk
membalas budinya si paman guru, pantas dia memberikan
kesan baik terhadap si tunangan si paman. Semakin usianya
bertambah semakin dia dapat berpikir, membedakan yang
benar dan yang salah. Dia juga ingat tempo dulu kala
,sekalian paman gurunya telah membicarkan persoalan
minta Go bie pay bekerja sama menentang musuh. Jadi Go
bie pay bukanlah musuh utama bahkan sama sekali
bukanlah musuh Boe tong pay.
Pada dua tahun dulu, ketika Boe Kie bertemu sama
Siang Gie Coen di diluar rimba, disana is menyaksikan Kie
Siauw Hoe menolongi Pheng Hweeshio. Perbuatan mulia
nona itu membikin ia beranggapan si nona ialah orang baik.
Hanya sekarang ini ia belum dapat memikir kenapa Siauw
Hoe, si bibi yang belum menikah, telah mempunyai anak
perempuan umur lebih daripada lima tahun itu . . . .
Cuma Siauw Hoe yang lihat sendirinya.
Selama ini Boe Kie dapat melihat jelas anaknya bibi itu.
Nona cilik itu berdiri diam disisi ibunya. Dia masih kecil
tetapi nyata dia cantik sekali. Sepasang alisnya bagaikan
830
dilukis, sepasang matanya hitam dan celi, dan dengan mata
tajam mengawasi padanya.
"Ibu, apakah anak ini sitabib?" kemudian anak itu
berbisik dikuping ibunya. "Apakah rasa nyeri ibu sudah
baik?"
Mendengar panggilan "Ibu" mukanya Siauw Hoe
menjadi merah pula, tak dapat ia mencegah jengahnya.
"Inilah kakakmu, kakak Boe Kie," ia menyahuti. "Ayah
kakakmu ini ialah sahabat ibumu. Kemudian ia
meneruskan pada Boe Kie, perlahan "Dia... dia bernama
Poet Hwie...." Ia berhenti pula sejenak. "Dia she Yo.... Yo
Poet Hwie..."
Boe Kie girang, dia tertawa.
"Bagus!" dia berseru. "Aku Thio Boe Kie dan kau Yo
Poet Hwie!"
Senang Siauw Hoe melihat sikap wajar dari Boe Kie, tak
sedikit juga sikap si anak yang hendak menegur kepadanya.
Hatinya menjadi lega.
"Anak, kepandaian kakakmu hebat," ia kata pada
anaknya. "Sekarang ini rasa nyeriku sudah berkurang"
Poet Hwie memainkan matanya yang celi itu. Ia
mengawasi ibunya, terus ia mengawasi Boe Kie.
Sekonyong-konyong ia maju kepada bocah didepannya,
untuk merangkul, untuk mencium pipinya.
Bukan main terkejutnya Boe Kie.
Nona Poet Hwie ini adatnya sangat polos dan wajar.
Sedari masih kecil sekali, kecuali ibu dan pengasuhnya, ia
tidak pernah bertemu sama lain orang. Sekarang ibunya
terluka parah, mereka pun dalam kesukaran besar, sekarang
ia menyaksikan Boe Kie menolongi ibunya itu yang
831
nyerinya menjadi ringan sekali. Ia bersyukur bukan main.
Adalah kebiasaannya, kalau ia mengutarakan kegirangan
dan rasa syukurnya, suka ia berlompat kepada mereka,
untuk memeluk atau merangkul, untuk mencium pipi
mereka. Kebiasaan ini sekarang ia melakukannya terhadap
Boe Kie tanpa malu.
"Hus!" Siauw Hoe berseru. "Jangan begitu Hwie-jie
Kakak Boe Kie tidak senang nanti!"
Poet Hwie mementang kedua matanya, ia heran.
"Apakah kau tidak senang padaku?" ia tanya Boe Kie.
"Kenapa aku tidak boleh berlaku baik kepadamu?"
Boe Kie tertawa.
"Aku girang!" sambutnya. "Aku suka berbuat baik
terhadapmu!" Dan ia membalas mencium pipi yang halus
dari nona cilik itu.
Poet Hwie girang bukan main, ia menepuk nepuk
tangan.
"Hai, tabib kecil, lekas kau obati ibu, supaya ibu sembuh
seluruhnya!" ia berseru. "Nanti aku cium pula padamu!"
Tidak kepalang girangnya Boe Kie mendapatkan orang
demikian manja dan lincah. Selama belasan tahun
hidupnya, ia telah bergaul sama banyak orang, tetapi
mereka itu adalah paman pamannya dan Siang Gie Coen
juga masih lebih tua delapan tahun daripadanya. Didalam
perahu ia pernah bertemu sama Coe Tit Jiak, akan tetapi
pertemuan itu sangat pendek, belum ada satu hari mereka
sudah mesti berpisah pula. Jadi belum pernah ia bergaul
sama sahabat-sahabat cilik sebayanya. Maka itu, mendapati
nona ini, ia berpikir. "Jikalau aku mempunyai adik benar
sekecil ini, yang begini menarik hati, pastilah aku sering
mengajak dia pergi bermain-main...."
832
Dalam usia empat belas tahun, anak yatim piatu ini
masih kekanak-kanakan. Ia kehilangan ketikanya untuk
bermain-main seperti anak-anak yang kebanyakan.
Sementara itu Kie Siauw Hoe telah menyaksikan semua
hadirin yang pada terluka. Ia merasa malu untuk
mendahului mereka.
"Tuan-tuan ini datang terlebih dulu daripada aku, pergi
kau periksa mereka lebih dulu," ia kata pada Boe Kie. Ia
tidak ketahui duduknya hal. "Sekarang ini sakitpun
berkurang banyak."
"Mereka datang untuk berobat kepada Ouw Sin she,"
Boe Kie mengasi tahu. "Cuma sekarang ini Ouw Sinshe
sendiri lagi sakit. Mana dia bisa mengobati orang? Mereka
tidak mau berlalu, maka itu biarlah mereka terus
menunggu. Kouwkouw, kau bukannya mencari Sinshe,
jikalau kau percaya keponakanmu ini, mari sini, biar aku
periksa lebih jauh lukamu. Sudah lama juga aku berdiam di
sini, tentang luka-luka aku mengetahui sedikit."
Sebenarnya Kie Siauw Hoe yang mendapat suatu
petunjuk, datang ke lembah ini untuk mencari Tiap kok Ie
sian Ouw Ceng Goe. Ia datang dengan serapa maksud
dengan Kan Ciat beramai itu.
Maka itu, melihat keadaannya Kan Ciat semua, ia heran
siapa tahu duduknya hal sederhana saja. Ia lantas mengerti
bahwa Ouw Ceng Goe tidak berniat menolongi mereka itu.
Tapi mengenai Boe Kie, kepercayaannya lantas muncul.
Bukankah ia telah ditusuk berulang-ulang dan sekarang rasa
nyerinya telah berkurang banyak? Ia jadi tidak boleh
memandang enteng kepada usia bocah ini.
"Baiklah." katanya kemudian. "Aku terima kasih
padamu ! Tidak apa tabib besar tidak mau mengobati aku,
asal ada kau si tabib kecil..."
833
Boe Kie lantas minta bibi itu masuk ke kamar samping
dimana ia lantas bekerja. Lebih dulu ia guntingi bajunya si
bibi dibagian tubuhnya yang terluka. Ia mendapatkan tiga
luka bacokan golok dibahu, sambungan pundaknya telah
menggeser dari tempatnya. Di lengan juga ada tulang yang
remuk. Di matanya tabib yang kebanyakan, luka luka itu
ialah luka luka yang sukar untuk di obati, tetapi dimata
muridnya Ouw Ceng Goe, itulah luka luka biasa. Maka Boe
Kie lebih dulu menyambung rapi dulu, tulang yang berkisar
itu, habis mana ia memborehkan obat. Kemudian lagi, ia
membuat surat obat, yang obatnya ia suruh kacung
memasaknya matang. Ia belum biasa membalut luka tapi
toh, walaupun rada lambat, dapat menyelesaikan juga tugas
ketabibannya itu.
"Kouwkouw, sekarang silahkan kau beristirahat dulu,"
katanya akhirnya. "Sebentar, setelah habis kekuatan baal
dari obat ini, kau akan merasa sakit luar biasa."
"Terima kasih!" menyahut bibi itu.
Boe Kie pergi ke kamar obat untuk mencari buah ongoo
dan buah heng. Ia bawa itu untuk dikasihkan pada Poet
Hwie. Ketika ia kembali, si nona sudah tidur menyender
kepada ibunya sebab dia telah tidak tidur satu malaman.
Dari itu ia masuki saja buah buahan itu ke dalam saku
sinona. Lantas ia kembali ke depan.
Pria yang muntah darah itu, orang Hoa san pay, lantas
berbangkit. Ia menjura dalam terhadap si anak tanggung.
"Siauw Sinshe." katanya. Ia memanggil "Siauw Sinshe"
atau tabib kecil. "Oleh karena Ouw Sin she lagi sakit, kau
saja yang menolong mengobati kami. Pasti kami akan
sangat bersyukur terhadap mu..."
Boe Kie mengawasi orang itu dan kawan kawannya.
Sebenarnya semenjak ia belajar ilmu kecuali mengobati
834
Siang Gie Coen dan Kie Siauw Hoe ini, belum pernah ia
mencoba terlebih jauh kepandaiannya itu. Akan tetapi ia
ingat kata katanya Ouw Sinshe, ia menguasai dirinya.
"Rumah ini rumah Ouw Sinshe," ia berkata. "Dan aku
sendiri, adalah orang yang menderita sakit yang berada
dibawah rawatannya, mana berani aku melancangi tuan
rumah ?"
Orang Hoa San Pay itu mengawasi si bocah, ia seperti
dapat membade hati orang.
"Memang umumnya, seorang tabib kenamaan mesti
telah berusia lima atau enam puluh tahun." ia berkata untuk
mengumpak, "Maka itu luar biasa Siauw Sinshe, yang
usianya masih muda sekali tetapi kepandaiannya kau sangat
langka. Maka itu. Sinshe, aku mohon sukalah kau
menolongi kami?"
Si orang terokmok she Nio yang romannya seperti
hartawan turut bicara.
"Kami empat belas orang, didalam kalangan kang ouw,
kami mempunyai juga sedikit nama," katanya, "Maka itu,
jikalau kami dapat ditolong oleh Siauw Sinshe, setelah kami
pulang nanti, pasti kami akan menguwarkan kepandaian
Sinshe ini supaya namanya menjadi kesohor hingga di
dalam satu malam, kau akan jadi terkenal diseluruh negeri!"
Dasar masih terlalu muda, dan tidak punya pengalaman,
Boe Kie tertarik kata-kata yang mengumpak-umpak itu,
hatinya menjadi girang.
"Apakah bagusnya nama kesohor diseluruh negeri ?"
katanya. "Ouw Sinshe sendiri tidak dapat menolong kalian,
apalagi aku ? Apakah yang aku bisa bikin ? Agaknya luka
kamu bukannya enteng, maka begini saja, aku akan
membantu meringankan rasa nyerimu"
835
Lantas ia mengambil obat obatan guna memberi
pertolongannya. Ketika ia sudah melihat luka orang orang
itu, ia menjadi heran. Nyata, setiap luka itu beda satu dari
lain, semuanya luka luka biasa.
Belum pernah Ouw Ceng Goe mengajari ia tentang
bermacam macam luka semacam ini. Ada seorang yang
rupanya telah dipaksa menelan beberapa puluh batang
jarum, ada orang perutnya tengoncang, tergempur tenaga
dalam, ada yang beberapa jalan darahnya telah terlukakan
racikan pisau. Semua itu menandakan, si pembuat luka juga
mengerti itu tabib baik sekali. Semua itu ialah luka luka
yang sangat sukar diobatinya. Ada lagi orang yang
pinggiran peparunya terpaku hingga tak hentinya dia batuk
batuk dan mengeluarkan darah, ada pula orang yang tulang
tulang iganya pada patah tetapi luka itu tidak mengganggu
peparu atau jantungnya. Seorang lagi terkutungkan kedua
ujung tangannya lalu tangan tangan yang buntung itu, yang
kiri ditaruh kebahu kanan, yang kanan ditaruh dibahu kiri.
Masih ada pula yang bengkak selurub tubuhnya seperti
bekas dipagut kelabang atau binatang berbisa lainnya.
"Semua luka mereka luar biasa. Tidak satu juga yang aku
bisa obati," pikirnya. "Orang yang membuatnya luka itu
hebat sekali, dia liehay. Kenapa dia menyiksa orang sampai
begini?"
Karena memikir begini, ia menjadi ingat luka nya Kie
Siauw Hoe.
"Luka bibi terlihat biasa saja, apakah bibipun mendapat
luka di dalam ?" pikirnya pula kaget. "Kalau tidak, mengapa
bibi seorang yang dikecualikan?"
Lekas lekas ia meninggalkan Kan Ciat semua. Ia lari
kedalam. Segera ia memeriksa nadinya Siauw Hoe. Ia
menjadi kaget. Ia mendapatkan nadi si bibi bergerak gerak,
836
sebentar keras, sebentar kendor, atau sebentar lagi jalannya
lurus dan serat bergantian. Pasti itu disebabkan sesuatu dari
dalam tubuh. Ia kaget sebab ia tidak mengerti akan
perubahan itu.
Keempat belas orang itu aneh lukanya, ia tidak
memikirkannya. Diantara mereka itu ada orang Khong tong
pay, yang ada sangkut pautnya dengan kebinasaan ayah
dan ibunya, jikalau mereka tersiksa, pantaslah juga. Akan
tetapi Kie Siauw Hoe, bibinya ini, tidak dapat ia tidak
menolongnya. Maka lekas-lekas ia pergi ke kamarnya Ouw
Ceng Goe,
"Sinshe! Apa sinshe sudah tidur ?" ia tanya perlahan.
"Ada apa?" ia mendapat jawaban. "Tidak peduli siapa,
aku tidak akan mengobatinya!"
"Ya, sinshe. Hanya luka mereka itu, semuanya luka yang
aneh-aneh ...."
Boe Kie lantas saja menurunkan tentang semua luka itu.
Ouw Ceng Goa, yang teraling dengan sekosol
mendengari. Kalau ada yang ia tidak mengerti ia menanya
tegas, untuk itu. Boa Kie mesti pergi keluar kepada orangorang
yang luka itu, untuk memeriksa pula selanjutnya
untuk ia memberikan jawabannya yang terang kepada Tiap
kok Ie sian. Oleh karena ini, setengah jam tempo
dibutuhkan untuk mendapat tahu jelas lukanya semua
limabelas orang itu berikut Siauw Hoe.
Beberapa kali Ouw Sinshe mengasih dengar suara tidak
terang, agaknya ia terang berpikir, banyak kemudian, ia
kata "Hm semua luka itu tidak akan dapat menyulitkan aku
! "
Belum lagi Boe Kie sempat menanya, tiba-tiba ada orang
yang bersuara di belakangnya katanya: "Ouw Sinshe,
837
pemilik bunga emas itu telah membilangi aku, untuk aku
menyampaikan kepada kau. Dia bilang. "Kecewa kau
dipanggil Tiap kok Ie sian, sebab limabelas macam luka ini,
aku menduga tidak satu yang kau sanggup sembuhkan."
Haha ! Benar-benar sekarang kau menyembunyikan diri,
kau berpura-pura sakit!"
Boe Kie berpaling. Ia mengenali si orang tua berkepala
lanang Seng Cioe Ka lam Kan Ciat dari Khong tong pay.
Tadinya ia menyangka rambut orang rontok wajar,
kemudian ia mendapat tahu, rambut itu rontok sebab
kepalanya si gundul pernah dilabur obat yang sifatnya keras
oleh sipemilik bunga emas atau Kim hoa hingga rambutnya
habis. Bahkan sisa obat beracun menempel dan menembusi
kulit, hingga selanjutnya kepala menjadi gatal terus-terusan,
hingga ada kekuatiran, selewatnya beberapa hari, racun
yang jahat itu nanti menyerang polo atau otak, hingga
orang bisa menjadi gila. Sekarangpun kedua tangannya
dirantai oleh kawan-kawannya, supaya tidak dapat
menggaruk, kalau tidak, tidak nanti dia dapat melawan rasa
gatalnya itu.
Atas kata-kata jago Khong tong pay itu, Ouw Ceng Goe
kata dengan tawar: "Untukku, aku dapat menyembuhkan
syukur, tidak dapatpun tidak apa. Ringkasnya, aku tidak
mau mengobati kau! Aku lihat kau masih dapat hidup
sampai tujuh atau delapan hari lagi, karena itu baiklah kau
lekas pulang untuk menemui isteri dan anak anakmu, orang
sedalam rumah tangga ! Apa perlunya kau banyak omong
di sini? Apakah faedah nya itu ?"
Kan Ciat menggoyang goyangkan kepalanya. Selagi
mendongkol, berduka dan berkuatir, rasa gatalnya
menyerang hebat sekali. Karena ia tidak bisa menggaruk, ia
membenturkan kepalanya berulang ulang kepada tembok,
sedang kedua tangannya, yang digerak-gerakkan,
838
mendatangkan suara berkelontrangan yang berisik. Dan
terdengar jelas napasnya yang memburu.
"Ouw Sinshe, orang yang menggunakan bunga emas itu,
siang atau malam, bakal datang kemari!" Ia berkata dengan
sengit. "Aku juga telah melihat bahwa kaupun tidak bakalan
mati secara baik, maka itu, aku pikir baiklah kita bergabung
bekerja sama melawan dia. Bukankah ada terlebih baik
begitu dari pada kau nantikan kematianmu dengan tidak
berdaya?"
"Jikalau kamu semua masih dapat melawan dia, siang
siang kamu telah membunuh mampus padanya," kata Ouw
Ceng Goe "Apakah perlunya aku mendapatkan lima belas
kantong nasi yang tidak mempunyai guna?"
Kan Ciat menjadi putus asa. Dari omong keras, ia
menjadi merendah, memohon pertolongan tabib pandai itu.
Tetapi Ouw Ceng Goe sudah bertekad dengan
keputusannya, bahwa ia tidak mau ambil perduli.
Akhirnya Kan Ciat menjadi gusar, hingga ia
berjingkrakan.
"Baiklah!" serunya saking nekad "Ke kiri dan ke kanan
toh bakal mampus, maka kalau benar benar musti mampus,
baiklah, aku akan menggunakan api membakar kandang
anjingmu ini. Kami yang biasa memasuki golok putih bersih
dan mengeluarkan golok berdarah merah, biar kami
membikin terjungkal kau. pendeta bangsat! Biarlah kita
sama sama mengantarkan jiwa kita di tempat ini!"
Saat itu, dari luar masuk lagi seorang lain, yaitu orang
yang ditolong Boe Kie waktu mau muntahkan darah.
Melihat kekalapan Kan Ciat ia meraba pinggang dan
mengeluarkan sebatang Go bie Kong-cek (senjata semacam
pusut). Sambil monotol dada Kan Ciat dengan pusutnya, ia
berkata : "Kau berdosa terhadap Ouw Cianpwee, dan aku
839
si-orang she Sie, merasa sangat tidak enak. Kau ingin yang
masuk pisau putih, yang keluar pisau merah? Baiklah! Aku
akan mengiringi keinginanmu."
Ilmu silat Kan Ciat sebenarnya tebih tingga daripada si
orang she Sie. Tapi karena kedua tangannya diikat dengan
rantai besi, maka ia tak melawan dan hanya mengawasi
dengan mata membelalak.
"Ouw Cianpwee," kata si orang she Sie dengan suara
nyaring, "boanpwee Sie Kong Wan murid Sian ia Sianseng
dari Hoan san memberi hormat." Seraya berkata begitu, ia
menekuk lutut dan manggutkan kepala empat kali.
Melihat begitu, dalam hati Kan Ciat lantas saja timbul
sedikit harapan. Ouw Ceng Goe yang tidak dapat dipaksa
dengan kekerasan, mungkin dapat ditataki dengan
kelembekan.
Sesudahnya menjalankan peradatan besar, Sie Kong
Wan berkata pula: "Kami sungguh bernasib sial, karena
justeru pada waktu kami memerlukan pertolongan, Ouw
Siashe sakit. Tapi kami tahu, bahwa disini terdapat seorang
saudara kecil yang mempunyai kepandaian tinggi dalam
ilmu pengobatan. Maka itu, kami memohon Ouw
Cianpwee suka memberi permisi supaya saudara kecil itu
mengobati luka kami yang sangat luar biasa. Dikolong
langit, kecuali murid Tiap kok le Sian tiada orang lain yang
dapat menyembuh kan luka kami."
"Anak itu bernama Thio Boe Kie," kata si tabib malaikat
dengan suara tawar. "Dia putera Thio Sam Hong. Aku
Ouw Ceng Goe manusia jahat dari agama siluman tak ada
sangkut pautnya dengan murid dari partai yang lurus bersih.
Dia sendiri kena racun dingin dan meminta pertolonganku,
Tapi aku sudah bersumpah, bahwa kecuali anggota Beng
kauw, anak she thio itu tak sudi menjadi anggauta agama
840
kami, mana biasa aku menolongnya?"
Hati Sie Kong Wan mencelos. Semula ia menduga, Boe
Kie murid Tiap kok Ie sian.
Sesudah berdiam sejenak, si tabib berkata pala.
"Mengapa kamu tidak mau lantas berlalu dari situ? Huhhuh!
Apa kamu kira aku akan merasa kasihan?
Tanyakanlah anak itu. Tanya dia berapa lama dia sudah
berdiam dirumahku."
Sie Kong Wan dan Kan Ciat lantas saja mengawasi Boe
Kie yang lalu mengacungkan dua jari tangannya.
"Duapuluh hari?" tanya Sie Kong Wan.
"Dua tahun dua bulan tepat" jawabnya.
Kan Ciat dan Sie Kong Wan merasa kepala mereka
seperti disiram air es. Mereka saling mengawasi dengan
mulut ternganga.
"Biarpun dia berdiam disini sepuluh tahun, aku tetap
tidak menolongnya," kata Ceng Goa, "Hanya sayang
didalam tempo satu tahun, racun dingin yang mengeram
dalam isi perutnya akan mengamuk, sehingga biar
bagaimanapun jua, dia tak bisa hidup setahun lagi. Aku
pernah bersumpah dihadapan leluhur agama kami, bahwa
biarpun ayah sendiri, biarpun anak kandungku sendiri, aku
tetap tak akan menolong, jika ia bukan murid Beng keuw."
Dengan putus harapan Kan Cat dan Sie Kong Wan
menghela napes berulang-ulang. Tapi baru saja mereka mau
berjalan keluar, tiba-tiba Ouw Ceng Goe berkata "Bocah
Boe tong pay itu mengerti juga sedikit ilmu pengobatan.
Meskipun ilmu pengobatan Boe tong tidak dapat
menandingi ilmu ketabiban Beng kauw, kurasa dia tidak
akan membinasakan kamu dengan pengobatan yang keliru.
Apa dia suka monolong atau tidak, bukan urusanku"
841
Sie Kong Wan agak terkelut. Didengar dari pada
suaranya, si tabib malaikat seperti juga memberi isyarat
supaya Boe Kie memberikan pertolongan. Maka itu, ia
lantas saja berkata: "Jika Thio Siauw hiap sudi menolong,
kami mempunyai haranan lagi untuk bisa hidup terus."
"Bukan urusanku!" bentak Ceng Goa. "Boe Kie kau
dengarlah. Aku melarang kau mengobati mereka dalam
rumahku. Kalau kamu tidak berada dalam rumah ini, aku
tidak perduli."
Kan Ciat dan Sie Kong Wan kaget dan heran. Mereka
sungguh tak mengerti apa maksudnya si tabib malaikat yang
beradat aneh.
Tapi Boe Kie yang sangat pintar lantas saja tahu apa
maunya Ceng Goe. "Kalian jangan mengganggu Ouw
Sinshe yang sedang sakit," katanya. "Ikutlah aku."
Mereka lalu mengikutt Boe Kie keruang depan.
"Pengetahuanku tentang ilmu ketabiban sebenarnya
sangat cetek dan luka kalian sangat luar biasa," kata si
bocah. "Maka itu.. aku tidak mempunyai pegangan, apa
aku akan berhasil atau tidak. Jika kalian percaya dan rela
diobati olehku, bolehlah aku mencoba-coba. Tapi aku tidak
bertanggung jawab akan keselamatan jiwa kalian."
Waktu itu, mereka sedang menderita hebat. Rasa sakit
gatal, meluang dan kesemutan tercampur menjadi satu.
Mereka mau mati tidak bisa mau hidup pun tidak dapat.
Maka itu, begitu mendengar perkataan Boe Kie, mereka
segera menyetujui untuk menerima pertolongan bocah itu
dengan rela hati.
Sesudah mendapat jawaban, Boe Kie lalu berkata pula:
"Sebagaimana kalian tahu, Ouw Sinshe tidak mengijinkan
aku mengobati kalian didalam rumahnya. Ia merasa kuatir,
842
bahwa kalian mati disini, nama harumnya sebagai Ie Sian
(tabib malaikat) akan ternoda. Maka itu, marilah kita
keluar."
Mendengar perkataan Boe Kie, mereka bersangsi.
Apakah kepandaiannya seorang anak-anak yang baru
berusia belasan tahun? Kalau dia salah mengobati, tentu
penderitaan akan ditambah dengan penderitaan lain. Tapi
Kan Ciat sudah lantas berteriak. "Kulit kepalaku gatal
bukan main. Saudara kecil, kau boleh mengobati aku lebih
dulu."
Sehabis berkata begitu, ia segera bertindak keluar.
Boe Kie memikir sejenak dan lalu masuk kekamar obat,
dimana dia mengambil Lam seng, Hong-hong, Pek tit,
Thiam ma, Kiang ho, Pek hoe coe, Cie souw dan lain-lain,
semuanya belasan macam bahan obat. Sesudah itu, ia
memerintahkan seorang kacung mengilingnya dan
mencampurnya dengan sedikit arak untuk membuat koyo
yang lalu ditempelkan dikepala Kan Ciat yang gundul.
Begitu kena, dia mengeluarkan teriakan kesakitan dan
melompat-lompat. "Aduh! Aduh!" teriaknya. "Sakit
sungguh... tapi... tapi... mendingan daripada gatal." Sambil
mengertak gigi, ia berlari lari dan berteriak-teriak seperti
seorang edan. Beberapa lama kemudian, kecepatan larinya
jadi terlebih perlahan dan teriakannya mereda. "Enakan...
mendingan,.." katanya dengan napas tersengal sengal.
"Bocah itu memiliki kepandaian lumayan.... eh, salah! Thio
Siauw hiap, kau memiliki ilmu yang sangat tinggi dan aku
merasa sangat berterima kasih sekali kepadamu!"
Melihat hasil itu, semua orang segera memohon
pertolongan Boe Kie. Diantara mereka yang paling
menderita adalah seorang yang terus bergulingan ditanah
sambil mencekal perut. Dia ternyata telah dipaksa untuk
843
menelan tiga puluh lebih lintah hidup yang sekarang
menghisap darahnya didalam perut. Untung juga Boe Kie
segera ingat, bahwa dalam salah sebuah kitab, ia pernah
membaca lintah dalam harus ditaklukkan dengan madu.
Buru-buru ia memerintankan seorang kacung mengambil
semangkok madu yang lalu di berikan kepada orang itu.
Dan sekali lagi ia berhasil. Dengan demikian, ia terus
bekerja keras sehingga fajar menyingsing.
Tak lama kemudian, Kie Sianw Hoe dan putrinya keluar
dari kamar. Melihat Boe Kie masih repot mengobati orang,
Siauw Hoe segera memberi bantuan apa yang ia bisa.
Delasan orang ini sebenarnya jago-jago yang pernah
malang-melintang dalam dunia Kangouw, tapi sekarang
mereka jadi jinak sekali. Dengan sabar mereka menunggu
giliran dan tak berani membantah apa yang dikatakan oleh
si bocah.
Antara mereka hanya Yo Poet Hwie yang bebas dari rasa
jengkel atau bingung. Sambil mengunyah buah angco ia
berlari lari kian kemari untuk menangkap kupu-kupu yang
berterbangan didalam kebun.
Sesudah lewat tengah hari barulah Boe Kie mulai
mengobati luka diluar. Dengan dibantu Siauw Hoe ia
menghentikan keluarnya darah, memberi obat untuk
meredakan rasa sakit, membalut luka dan sebagainya.
Sesudah selesai, ia segera pergi mengasoh dalam kamarnya.
Baru saja pulas beberapa jam, ia disadarkan oleh suara
ribut ribut. Buru-buru ia bangun dan pergi keluar untuk
menengok para penderita. Ternyata keadaan sebagian
penderita itu cukup memuaskan tapi keadaan yang sebagian
lagi berbalik menghebat. Boe Kie jadi bingung, ia tak tahu
apa yang harus diperbuat.
844
Akhirnya, karena tidak berdaya, ia terpaksa menemui
Ouw Ceng Goe dan menceritakan keadaan mereka.
"Mereka bukan anggauta Bang kauw, perduli apa mereka
mampus," kata Tiap kok Ie sian dengan suara tawar.
Mendadak Boe Me mendapat serupa ingatan dan ia
lantas saja berkata: "Andaikata ada seorang murid Beng
kauw yang sedangkan diluar badannya tidak terdapat luka,
perutnya kembung bengkak, warna kulitnya hitam biru dan
terus menerus berada dalam keadaan pingsan, cara
bagaimana Sinshe akan mengobatinya?"
"Kalau benar dia murid Beng kauw, aku akan
mengobatinya dengan menggunakan San ka, Liong bwee,
Ang hoa, Seng tee, Leng sian, To Ouw " kata Ceng Goe.
"Obat-obatan itu aku masak dengan arak encer dan
kemudian menambahkannya dengan sedikit To pian.
Sesudah minum godokan tersebut si sakit akan buang buang
air dan mengeluarkan darah beracun dari kotorannya."
"Ouw Sinshe bagaimana aku akan berbuat jika kuping
kiri seorang muiid Beng kauw dituangi timah cair, kuping
kanan dituangi dengan air perak dan kedua matanya dilabur
dengan cat, sehingga ia menderita kesakitan hebat dan
matanya tak bisa melihat lagi"' tanya pula si bocah. (Air
perak = Air raksa)
Ouw Ceng Goe naik darah. "Siapa berani berlaku begitu
kejam terhadap murid Beng kauw?" bentaknya.
"Musuhnya itu memang kejam luar biasa," kata Boe Kie.
"Tapi menurut pendapatku, yang paling perlu yalah
mengobati lebih dulu dan kemudian barulah kita
menanyakan siapa adanya musuh itu."
Sesudah memikir sejenak, Tiap kok Ie sian ber kata:
"Kalau dia memang murid Beng kauw, aku akan menuang
845
air perak kedalam kuping kiri nya. Timah akan lumer dan
bercampur dengan air perak, sehingga cairan itu akan
mengalir ke luar dari kupingnya. Kemudian, aku akan
memasukkan jarum emas kedalam kuping kanannya. Air
perak akan menempel pada jarum itu yang dengan perlahan
bisa ditarik keluar. Mengenai cat yang masuk dikedua
matanya, kurasa akan dapat dipunahkan dengan kepiting
yang ditumbuk hancur dan kemudian dibalut pada matanya
itu."
Demikianlah, untuk setiap luka yang aneh, Boe Kie
meminta pertolongan Ouw Ceng Goe dengan
menggunakan nama "murid Beng kauw" dan sang tabibpun
memberikan bantuannya dengan segala senang hati. Jika
lukanya terlampau aneh dan si penderita tidak jadi
mendingan dengan pertolongan pertama, Boe Kie segera
menanyakan lagi pendapat Tiap-kok Ie-sian yang lalu
mengasah otak dan mencoba pula dengan lain cara
pengobatan. Sesudah berselang lima enam hari, semua
orang dapat dikatakan sudah mulai sembuh seluruhnya.
Luka yang diderita Kie Siauw Hoe adalah luka di dalam,
tercampur dengan racun. Tenaga pukulan musuh sudah
melukakan perutnya, sedang racunpun sudah masuk
kedalam tubuhnya. Sesudah memeriksa dengan teliti, Boe
Kie segera memberi obat pemunah racun kepadanya dan
selang beberapa hari, keadaannya sudah banyak baik.
Sementara itu, para penderita telah mendirikan sebuah
gubuk di depan rumah Ouw Ceng Goe dan mereka tidur
menggeletak di tanah dengan hanya dialaskan dengan
rumput kering. Beberapa tombak dari gubuk itu, Kie Siauw
Hoe juga membuat sebuah gubuk yang lebih kecil untuk ia
dan puterinya.
Boe Me capai dan lelah. Tapi ia sangat bergembira dan
bersemangat, karena ia bukan saja bisa menolong sesama
846
manusia, tapi juga sudah memperoleh resep-resep mujijat
dan cara-cara pengobatan yang biasa dari Tiap kok Ie sian.
Tapi pagi itu ia kaget bukan main, sebab waktu bertemu
dengan Kie Siauw Hoe, ia melihat sinar hitam pada alis
nona Kie. Apa penyakitnya kumat lagi? Apa racun
mengamuk pula? Cepat-cepat ia memeriksa nadi Siauw
Hoe. Sesudah itu, ia mencampur ludah Siauw Hoe dengan
bubuk obat Pek hap san dan begitu lekas melihat campuran
itu, ia bisa lantas memberi kepastian bahwa benar racun
mengamuk lagi.
Ia mengasah otak mati matian, tapi tidak bisa
memecahkan sebab musabab dari perubahan itu. Maka itu,
ia selalu meminta pertolongan Ouw Ceng Goe yang segera
memberitahukan lain cara pengobatan kepadanya. Benar
saja, sesudah diobati menurut petunjuk baru itu, keadaan
Siauw Hoe jadi terlebih baik.
Tapi, sungguh heran, sehabis Siauw Hoe, perubahan luar
biasa mendadak datang kepada dirinya Kan Ciat. Kepala
gundulnya yang sudah mulai sembuh mendadak borokan
lagi dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Perubahan itu
terjadi silih berganti atas dirinya kelimabelas orang itu: yang
satu mendingan, yang lain menghebat lagi penyakitnya.!
Boe Kie bingung bukan main. Ia pergi menemui Tiap
kok Ia sian dan menuturkad kejadian yang luar biasa itu.
"Sebab musabab dari perubahan itu yalah karena luka
mereka sangat aneh, berbeda dengan luka biasa,"
menerangkan sang tabib malaikat. "Kalau mereka dapat
disembuhkan oleb tabib biasa, tak perlu mereka datang
kemari."
Malam itu Boa Kie tak bisa pules. Ia berduka dan coba
memecahkan teka-teki yang rumit "Perubahan penyakit itu
adalah kejadian biasa," pikirnya. "Tapi walaupun begitu tak
847
bisa jadi semua penderita itu mengalami perubahan sampai
berkali-kali, sebentar baik, sebentar hebat," Ia gelisah dan
bergolak gulik diatas pembaringan.
Kira-kira tengah maiam, tiba-tiba ia mendengar suara
tindakan kaki yang sangat enteng dan lewat didepan
kamarnya. Ia melompat bangun dam mengintip dari celacela
jendela. Ia melihat berkelebatnya bayangan manusia
yang segera menghilang dibelakang pohon kuil. Dilihat dari
pakaian dan gerak-geriknya orang itu bulan lain dari pada
Ouw Ceng Goe.
"Eh-eh! .. Mengapa Ouw Sinahe berkeliaran ditengah
malam buta?" tanyanya didalam hati. "Apa cacarnya sudah
sembuh?" Sesaat kemudian, ia melihat masuknya Tiap kok
Ie sian kedalam gubuk Kie Siauw Hoe. Jantungnya
berdebar keras dan jiwa kesatrianya tampil kemuka. "Apa
dia mau menganiaya atau menghina Kie Kouw kouw?"
tanyanya pada diri sendiri. "Meskipun aku bukan
tandingannya, tak dapat aku mengawasi dengan berpeluk
tangan. Ia melompat keluar jendela dan indap indap, ia
mendekatii gubuk Kie Siauw hoe.
Gubuk tersebut yang terbuat dari alang-alang hanya
untuk menedeng angin dan embun, didalamnya kosong
melompong, tiada sekosol, tiada aling aling apapun jua.
Dengan hati bergoncang, Boe Kie mengintip dari belakang
gubuk. Ia melihat sang bibi bersama puterinya sedang pulas
nyenyak diatas setumpuk rumput rumput kering.
Sekonyong Ouw Ceng Goe merogo saku dan
mengeluarkan sebutir pel, yang lalu dicemplungkan
kedalam mangkok obat Siauw Hoe. Sesudah itu ia memutar
badan dan terus berjalan keluar. Sekelebatan Boe Kie
melihat, bahwa muka orang tua itu masih ditutup dengan
topeng kain hijau.
848
Boe Kie mengeluarkan keringat dingin. Baru sekarang ia
tahu, bahwa Ouw Ceng Goe lah yang sudah menaruh
racun, sehingga para penderita tak bisa menjadi sembuh.
Sesudah keluar dari gubuk Siauw Hoe, Ceng Goe masuk
kegubuk yang lain, dimana dia berdiam agak lama. Boe Kie
mengerti, bahwa untuk meracuni keempatbelas orang
dengan racun yang berbeda-beda, si tua memerlukan tempo
yang lebih banyak. Dilain saat si bocah sudah masuk
kedalam gubuk dan mencium mangkok obat Siauw Hoe. Di
dalam mangkok terisi godokan Pat sian thung dan ia telah
memesan supaya begitu bangun tidur, Kouw-kouw segera
minum obat itu. Tapi sekarang godokan itu mengeluarkan
bau-bauan yang masuk hidung. Sekonyong-konyong
terdengar pula suara tindakan kaki. Buru buru Boe Kie
merebahkan diri diatas tanah. Ia tahu, bahwa Ouw Ceng
Goe sudah kembali kekamar tidurnya.
Sesudah menunggu beberapa lama, ia segera menaruh
mangkuk obat keluar dari gubuk itu. "Kie Kouw-kouw! Kie
Kouw-kouw!" ia memanggil manggil dengan suara
perlahan.
Sebagai seorang ahli silat, menurut pantas Siauw Hoe
mudah tersadar, tapi sesudah si bocah memanggil berulangulang,
ia masih pulas terus. Karena terpaksa, Boe Kie lalu
masuk pula dan menggoyang-goyangkan badan bibinya
berulang kali. Dengan kaget Siauw Hoe tersadar. "Siapa?"
tanyanya.
"Kouw-kouw, aku.... " bisiknya. "Mari kita keluar."
Siauw Hoe mengerti, bahwa kedatangan Boe Kie
ditengah malam tentulah disebabkan oleh kejadian penting.
Perlahan-lahan ia menarik lengannya yang ditandalkan
dibawah kepala puterinya dan kemudian keluar dari
gubuknya bersama sama si bocah.
849
"Kie Kouw-kouw," bisik Boe Kie, "orang telah menaruh
racun dimangkok obatmu. Buanglah obat itu, tapi jagalah,
jangan sampai diketahui orang. Besok aku akan memberi
penjelasan kepadamu"
Siauw Hoe manggutkan kepalanya dan Boe Kie segera
kembali kekamarnya. Karena kuatir ketahuan, ia masuk
dengan melompati jendela.
Pada esokan paginya, sesudah sarapan. Boe Kie
mengajak Yo Poet Hwie pergi menangkap kupu kupu.
Mereka berlari lari, makin lama makin jauh dari rumah
Ouw Ceng Goe. Siauw Hoe yang mengerti maksud si
bocah, lantas saja mengikuti dari belakang. Selama
beberapa bari, Boe Kie sering bermain-main dengan sinona
ciiik, sehingga perginya ketiga orang itu sama sekali tak
menimbulkan kecurigaan.
Sesudah melalui kira kira satu li mereka tiba disatu
tanjakan gunung. Boe Kie menghentikan tindakannya dan
segera duduk diatas rumput, sedang Siauw Hoe segera
berkata kepada puterinya: "Poet-jie sekarang jangan
mengubar kupu kupu lagi. Pergi petik bunga-bunga dan
buatlah tiga buah topi bunga untuk kita bertiga. Si nona
kecil jadi girang sekali dan sambil tertawa nyaring, ia
berlari-lari untuk mencari bunga.
"Kouw kouw," Boe Kie mulai, "apakah kau mempunyai
permusuhan dengan Ouw Ceng Goe? Dialah yang sudah
menaruh racun kedalam mangkok obatmu."
Siauw Hoe terkejut. "Aku belum pernah mengenal Ouw
Ceng Goe dan sehingga hari ini aku belum pernah bertemu
muka dengannya," jawabnya. Ia berdiam sejenak seperti
orang sedang berpikir dan kemudian berkata pu1a. "Saban
kali bicara mengenai Ouw Sinshe, Thia thia (ayah) dan
Soehoe selalu mengatakan, bahwa dia adalah seorang tabib
850
nomor satu didalam dunia pada jaman ini. Merekapun
tidak mengenal Ouw Sinshe. Aku sungguh tidak mengerti,
mengapa Ouw Sinshe coba mencelakakan aku."
Sibocah lalu menuturkan kejadian semalam dan
menambahkan. "Dalam godokan Pat sian thung itu, aku
mengendus bau rumput Pat sian co dan Touw koet koen
yang sangat tajam. Kedua daun obat itu memang dapat
mengobati luka, tapi racun nya sangat hebat dan tidak boleh
digunakan terlalu banyak."
"Selain begitu, sifat kedua daun obat tersebut juga
bertentangan dengan delapan macam obat yang terdapat
dalam Pat sian thung. Maka itu biarpun tidak
membahayakan jiwa, luka Kouw kouw jadi makin sukar
disembuhkannya."
Siauw Hoe bersenyum. "Kau mengatakan bahwa Ouw
Sinshe juga meracuni empat belas penderita yang lain,"
katanya. "Hal ini lebih mengherankan lagi. Terhadap aku,
kita dapat mengandalkan saja, bahwa secara tidak
disengaja, ayah atau Go bie pay pernah menyinggung Ouw
Sinshe. Tapi bagaimana terhadap yang lainnya? Apa
mungkin keempat belas orang itu semuanya berdosa
terhadap Ouw Sinshe?"
Boe Kie mengangouk. "Memang! Memang sangat
mengherankan," katanya sambil menghela napas. "Kie
Kouwkouw, selat Ouw tiap kok adalah sebuah tempat yang
mencil dan tidak banyak diketahui orang. Cara bagaimana
kau dan yang lain-lain bisa datang kemari? Siapa adanya
Kim hoa Coe jin (Majikan Bunga emas) yang telah
melukakan kau? Urusan ini sebenarnya tiada sangkut
pautnya dengan aku dan menurut pantas, aku sebenarnya
tidak boleh menanya melit-melit. Akan tetapi, karena
persoalan berbelit-belit, maka aku harap kau tidak menjadi
kecil hatinya"
851
Paras mukanya Siauw Hoe lantas saja berubah merah. Ia
mengerti maksud si bocah yang rupa rupanya kuatir, bahwa
pertanyaan itu akan menyentuh persoalan puterinya.
Persoalan mengapa sebelum menikah ia sudah mempunyai
anak. Sesudah memikir sejenak, ia berkata dengan suara
parau. "Kau sudah menolong jiwaku, tak dapat aku
menyembunyikan sesuatu terhadapmu. Disamping itu,
meskipun masih kanak-kanak, kau memperlakukan aku dan
Poet jie luar biasa baik. Baiklah, aku akan menceritakan
segala penderitaanku kepadamu, orang satu-satunya
didalam dunia yang boleh mendengar rahasiaku."
Sehabis berkata begitu, air matanya mengucur. Ia
mengambil saputangan dan sesudah menyusut air mata, ia
berkata pula, "Sedari aku kebentrok dengan seorang kakak
seperguruan pada dua tahun lebih yang lalu, aku tidak
berani menemui Soe hoe lagi... aku tidak berani pulang..."
"Hmm! Teng Bin Koen! ...... Kouwkouw kau tidak usah
takut," kata Boe Kie.
"Bagaimana kau tau?" tanya Siauw Hoe dengan rasa
terkejut dan heran.
Boe Me segera memberitahukan, bahwa pada malam itu,
bersama Siang Gie Coen ia telah menyaksikan peristiwa
menolong Pheng Hweeshio.
Siauw Hoe menghela napas. "Memang.... rahasia
memang tak mungkin ditutup," katanya.
"Kouwkouw, kau tak usah terlalu berduka." kata Boe
Kie, "In Lioksiok adalah seorang baik. Kalau kau tidak suka
menikah dengannya, urusan itu bukan urusan yang terlalu
besar. Begini saja, kalau bertemu dengan Lioksiok, aku
akan memberitahukannya, bahwa kau tidak suka menikah
dan dia merdeka untuk mencari lain isteri!"
852
Mendengar perkataan yang polos-jujur itu, yang keluar
dari otak sederhana, Siauw Hoe tertawa getir. "Anak,"
katanya dengan suara bergemetar. "Percayalah, bahwa aku
bukan sengaja berbuat kedosaan terhadap pamanmu.
Waktu itu aku...aku.... tidak ada lain jalan.... dan akupun
sudah merasa menyesal sekali...." Ia tidak meneruskan
perkataannya dan air matanya kembali mengucur.
Ia mengawasi si bocah dan berkata dalam hatinya "Anak
ini masih suci bersih, bagaikan selembar kertas putih. Ah
Lebih baik aku tidak menceriterakan segala hal percintaan
kepadanya. Apa pula urusan pribadi ini tiada sangkut
pautnya dengan dia." Memikir begitu, ia lantas saja berkata
: "Sesudah bercekcok dengan Teng Soecie, dengan
membawa Poet jie aku bertani dan hidup mengasingkan diri
disuatu tempat yang terpisah kira-kira tiga ratus lie
disebelah barat Ouw tiap kok ini. Selama dua tahun lebih
aku hanya bergaul dengan kaum petani dan aku dapat
melewati hari dengan tidak banyak pikiran. Setengah bulan
yang lalu, aku mengajak Poet jie kekota untuk membeli
kain guna pakaian anakku itu. Di luar dugaan, di atas
sebuah tembok, secara kebetulan aku melihat gambar
sebuah lingkaran Hoed kong (lingkaran sinar Buddha yang
suci) dan sebatang pedang."
"Itulah tanda rahasia memanggil kawan dari partai Go
bie pay. Aku binguog dan sangat bersangsi. Sesudah
menimbang-nimbang aku menganggap, bahwa meskipun
aku telah kebentrok dengan Teng Soecie, tapi aku belum
pernah me lakukan perbuatan yang menghina guru atau
menghianati partai. Disamping itu, bentrokan tersebut juga
tak ada sangkut pautnya dengan Soehoe dan lain-lain
saudara seperguruan. Tanda itu mungkim diberikan oleh
salah seorang saudara seperguruanku yang tengah
menghadapi bahaya besar dan jika benar begitu, aku merasa
853
tidak pantas untuk berpeluk tangan. Demikianlah, dengan
menuruti petunjuk dari tanda rahasia itu, aku pergi ke Hong
yang."
"Di kota Hong yang aku kembali melihat tanda itu yang
memberi petunjuk, supaya kawan-kawan datang di rumah
makan Lim hway kok. Sudah ketelanjuran datang, aku
segera menyusul kesitu. Ternyata dalam rumah makan
sudah berkumpul tujuh delapan orang, antaranya terdapat
Seng cioe Ka lam Kan ciat dari Khong tong pay, Sie Kong
Wan dari Hwa san pay dan lain-lain. Anggauta Goe bie pay
hanya aku seorang. Aku mengenal Kan Ciat dan Sie Kong
Wan dan lalu menanyakan sebab musabab dari
berkumpulnya mereka dirumah makan itu. Mereka
memberitahukan, bahwa mereka datang karena melihat
tanda rahasia partainya, tapi seperti juga aku mereka tak
tahu sebab musabab dari panggilan itu. Sehari suntuk kami
menunggu tapi tak ada yang datang lagi. Pada esokan
harinya, dengan beruntun datang pula beberapa orang lain,
ada orang Sin koen boen, ada orang Siauw lim pay bagian
selatan dan lain lain. Mereka juga mengatakan bahwa
kedatangan mereka adalah karena melihat tanda rahasia.
Tak satupun diantara mereka yang mendapat urusan secara
langsung. Semua orang heran dan bercuriga. Apa tidak bisa
jadi kami semua tengah dipermainkan oleh seorang
musuh?"
"Ketika itu, diloteng rumah makan berkumpul lima belas
orang dari sembilan buah partai. Tanda rahasia setiap partai
bukan saja berbeda satu sama lain, tapi juga sangat
dirahasiakan, sehingga kalau bukan murid partai yang
tersangkut, seorang luar tentu tak mengerti artinya tanda
itu. Jika seseorang ingin main gila, apakah ia bisa tahu
tanda rahasia dari sembilan partai? Mengingat bahwa aku
membawa Poet jie dan kalau bisa, aku tak mau anak itu
854
menghadapi bahaya dan mengingat puta bahwa panggilan
itu bukan tantaran saudara seperguruanku ada yang tengah
menghadapi bencana besar, maka aku segera mengambil
keputusan untuk pulang saja. Tapi baru saja aku mau turun
tangan, tiba-tiba ditangga loteng terdengar suara keras,
seperti juga undakan tangga dipukul orang dengan
menggunakan toya. Suara itu disusul denggn suara batukbatuk
dan seorang nenek yang rambutnya sudah putih
semua, mendaki undakan tangga. Ia naik setindak demi
setindak sambil batuk-batuk dan kelihatannya lelah sekali.
Disampingnya terdapat seorang nona kecil yang berusia
kira kira dua belas tahun dan yang memapah si nenek."
"Melihat nenek yang sudah bagitu tigggi usianya dan
juga kelihatannya sedang sakit, aku segera minggir, supaya
ia bisa naik lebih dulu. Nona kecil itu ternyata cantik sekali,
meskipun usianya masih sangat muda, belum pernah aku
melihat wanita yang seayu dia, sehingga tanpa merasa aku
mengawasinya beberapa kali. Tangan kanan si nenek
mencekal sebatang tongkat dari kayu Pek bok dan dari
pakaiannya, ia seperti juga seorang wanita miskin. Tangan
kirinya memegang serenceng biji tasbih yang mengeluarkan
sinar kuning berkilauan. Ketika aku memperhatikan,
rencengan itu ternyata bukan biji biji tasbih, tapi bunga
bunga bwee yang terbuat dari pada emas tulen..."
"Aha!" memutus Boe Kie. "Perempuan tuaa itu tidak
bisa lain dari pada majikan Kim hoa."
"Benar. Tapi pada waktu itu, siapakah yang bisa
menduga jelek kepadanya?" kata Siauw Hoe. Sehabis
berkata begitu, ia merogoh saku dan mengeluarkan
sekuntum bunga bwee emas yang menyerupai Kim Hoa
yang pernah diserahkan kepada Ceng Goe oleh Boa Kie.
Si bocah tertegun. Tadinya ia menduga, bahwa Kim hoa
Coe jie adalah saorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan
855
bermuka menakutkan. Tak dinyana, majikan bunga emas
itu hanyalah seorang nenek tua.
"Sesudah berada di atas loteng, nenek itu kembali batuk
batuk. Siauw Hoe melanjutkan penuturannya, "Sinona cilik
berbisik: "Popo makan obat ya?" Sinenek mengangguk dan
nona kecil itu selanjutnya sudah mengeluarkan sebutir yowan
dari dalam sebuah peles kristal.
Sambil mengunyah yo-wan, nenek itu berkata. "O mie to
hoed..... O mie to hoed ..." Dengan mata separuh tertutup,
ia mengawasi kami dan berkata pula dengan suara
perlahan: "Hm ... hanya lima belas orang. Coba tanya,
apakah orang Koen loen pay dan Boe tong pay sudah pada
datang semuanya?"
"Kedatangan kedua wanita itu tidak diperhatikan oleh
kami. Tapi, begitu sinenek mengucapkan perkataan itu,
beberapa orang yang kupingnya lebih tajam segera
menengok dan mengawasinya. Melihat nenek itu, hati
mereka lega dan menganggap mereka salah dengar.
"Tiba-tiba si nona cilik berkata dengan suara nyaring:
"Hai! Popoku menanya kepada kalian. Apakah orang-orang
Koen loen pay dan Boe tong pay sudah pada datang
semuanya?"
Semua orang terkejut, untuk sejenak mereka tak dapat
mengeluarkan sepatah katapun. Sesaat kemudian, barulah
Kan Ciat berkata: "Adik kecil, apa katamu?" Jawab nona
itu: "Popoku menanya: Mengapa ia tidak melihat murid
Boe tong dan Koen loen?" Alis Kan Ciat berkerut dan lalu
menanya pula "Siapa kalian ?"
"Nenek itu kembali batuk-batuk sambil membungkukbungkuk.
Mendadak.... mendadak saja, aku merasa
semacam angin menyambar dadaku, entah dari mana.
Sambaran itu hebat luar biasa dan buru buru aku
856
mengibaskan tangan untuk menangkis. Tiba tiba aku
merasa dadaku menyesak, darahku bergolak golak, kedua
lututku lemas dan aku jatuh duduk sambil muntahkan
darah."
"Dalam keadaan setengah pingsan, aku melihat badan si
nenek bergrrak gerak, ia menggaplok atau meninju seraya
batuk batuk tak hentinya. Dalam sekejap, empat belas orang
sudah rebah di atas loteng Kecepatan bergeraknya dan
hebatnya tenaganya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Seumur hidup, belum pernah kulihat manusia yang bisa
bergerak begitu cepat dan mempunyai tenaga Lweekang
yang sedemikian hebat. Di antara kami, sejurus pun tak ada
yang mampu melawan. Kalau bukan tertotok jalan darah,
isi perut mereka terluka karena pukulan Lweekang."
"Tiba-tiba si nenek mengayun tangan kirinya dan lima
belas bunga emas menyambar kebahu atau tangan
kelimabelas orang. Kali ini dia tidak mencelakakan orang,
sebab meskipun limabelas bunga emas itu mengenai tepat
pada sasarannya, tak seorangpun yang mendapat luka.
Sesudah itu, dia memutar tubuh dan dengan dipapah oleh si
nona kecil, ia berkata "O mie to hoed! O mie to hoed !"
Tanpa menengok lagi mereka turun kebawah loteng.
Beberapa saat kemudian, kami men dengar suara totokan
tongkat ditanah, diseling seling dengan suara batuk-batuk"
Bicara sampai disitu, Yo Poet Hwie mendatangi dengan
tangan mencekal sebuah karangan bunga yang merupakan
topi. Sambil tertawa ha ha hi hi, ia berkata. "bu, kau
pakailah topi ini," dengan sikap aleman, ia lalu menaruh
topi bunga itu dikepala sang ibu.
Siauw Hoe tertawa sambil manggut manggutkan
kepalanya dan kemudian melanjutkan penuturannya.
"Kami semua rebah diatas papan loteng tanpa berkutik,
sebagian pingsan, sebagian bernapas sengal-sengal dan
857
sebagian pula merintih dengan perlahan...."
"Ibu," memutus Poet Hwie. "Apakah kau sedang
menceritakan perempuan jahat itu ? Jangan! Aku takut."
"Nak," kata sang ibu sambil bersenyum, "Pergilah kau
memetik bunga lagi dan buatlah sebuah topi untuk kakak
Boe Kie"
Poet Hwie mengawasi Boe Kie. "Waena apa yang kau
suka ?" tanyanya.
"Merah dan campur sedikit dengan warna putih, lebih
besar topinya lebih baik lagi," jawabnya.
"Sebesar ini?" tanyanya pula si nona sambil membuat
sebuah lingkaran dengan kedua tangannyaa.
"Ya, sebesar itu," jawabnya.
Poet Hwie segera berlari-lari dengan menepuk nepuk
tangan sambil tertawa-tawa. "Kalau sudah jadi kau harus
memakainya !" teriaknya.
"Beberapa lama kemudian, dalam keadaan lupa ingat,
aku melihat belasan orang naik keloteng,"' Siauw Hoe
melanjutkan penuturannya. "Mereke itu adalah pelayan,
tukang masak dan pengurus rumah makan. Mereka
menggotong kami kedapur. Tak usah dikatakan lagi, Poet
jie ketakutan setengah mati dan sambil menangis keras, ia
mengikuti orang-orang yang menggotong aku. Setibanya
didapur, si pengurus rumah makan membaca tulisan
diselembar kertas. Seraya menuding Kan Ciat, ia
memerintah: Labur koyo dikepalanya. Seorang pelayan
segera membuka sebuah kotak koyo dan melebur isinya
dikepala Kan Ciat. Sesudah itu, sambil membaca pula
tulisan itu, dia menuding seorang lain dan berkata:
Putuskan tangan kanannya dan tempelkan lengan itu dikaki
kirinya! Siksaan itu lantas saja dijalankan oleh dua orang
858
pelayan. Waktu giliranku tiba, untung juga aku tidak
mendapat hukuman aneh. Aku hanya diperintah minum
semangkoh air yang rasanya manis. Aku mengerti, bahwa
air itu tentu mengandung racun, tapi aku tidak berdaya."
"Sesudah kami semua mendapat hukuman yang luar
biasa, si pengurus rumah makan berkata. "Kamu semua
sudah mendapat luka yang tak mungkin disembuhkan lagi.
Tak seorangpun diantara kamu yang bisa hidup sepuluh
hari atau setengah bulan lagi. Tapi pemilik bunga emas
mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak bermusuhan
dengan kamu. Maka itu, ia menaruh rasa belas kasihan dan
membuka suatu jalan hidup untuk kamu. Sekarang pergilah
kamu lekas-lekas ke Ouw tiap kok yang terletak ditepi
telaga Lie san Ouw dan mintalah pertolongan dari Ouw
Ceng Goe yang bergelar Tiap kok Ie sian. Kalau dia sudi
menotong, maka kamu semua ada harapan hidup, tapi
manakala dia menolak, dalam dunia tak ada orang yang
bisa menolong kamu lagi. Tapi Ouw Ceng Goe mempunyai
lain julukan, yaitu Kian sie Poet kioe. Kalau kamu tidak
berusaha mati matian, dia pasti tak akan mengulurkan
tangan. Jika kamu bertemu dengan Ouw Ceng Goe
katakanlah bahwa tak lama lagi Kim hoa Coejin aku akan
mencari dia dan dia harus siang siang mempersiapkan
penguburan mayatnya sendiri. Sesudah berkata begitu dia
segera menyediakan kerata dan kudakuda, memberi
petunjuk mengenai jalanan yang harus diambil, dan
kemudian mengusir kami."
Boe Kie mendengari cerita itu dengan mata tidak
berkedip. "Kie Kouwkouw," katanya, "Didengar dari
penuturanmu, pengurus Lim hway kok, tukang masak dan
pelayan-pelayannya semua kaki tangan perempuan jahat
itu,"
"Akupun menduga begitu," kata Siauw Hoe. "Si
859
pengurus rumah makan memerintahkan dijalankannya
siksaan itu menurut surat catatan yang rasanya ditinggalkan
oleh perempuan kejam itu. Tapi dalam peristiwa terdapat
beberapa teka teki yang sehingga sekarang masih belum
dapat dipecahkan olehku. Mengapa nenek itu melakukan
perbuatan yang begitu kejam? Kalau dia mendendam sakit
hati dan mau mengambil jiwa kami, dia dapat
melakukannya dengan mudah sekali. Jika dia hanya ingin
menyiksa orang orang dengan rupa-rupa jalan yang kejam
mengapa dia mengirim kami kepada Ouw Sinshe ? Dia
mengatakan bahwa tak lama lagi dia akan mencari Ouw
Sinshe untuk membalas sakit hati, Apakah penyiksaannya
terhadap kami hanya untuk menjajal kepandaiannya Ouw
Sinshe?"
Boe Kie menundukkan kepala, memikir sejenak, ia
berkata. "Menurut katanya Siang Gie Coen Toako, Ouw
Sinshe mempunyai seorang musuh yang akan datang untuk
membalas sakit hati. Musuh itulah Kim hoa Coejie.
Menurut pantas Ouw Sinshe seharusnya mengobati kalian
dengan sungguh hati, supaya kalian bisa membantu dia
dalam menghadapi musuh berat itu. Sesuai dengan julukan
Kian sie Poet kioe, ia menolak untuk mengobati. Tapi
mengapa, sesudah menolak, ia memberi berbagai resep
kepadaku dan mengajarkan aku macam macam cara
pengobatan untuk menolong kalian? Resep obat itu manjur
sekali. Tapi mengapa ditengah malam buta ia
menggerayang dan memberi racun kepada kalian? Ah!
Sikap Ouw Sinshe sungguh aneh? Dalam peristiwa ini
muncul banyak cangkriman yang tak akan bisa ditembus
olehku."
Lama sekali mereka berunding, tapi mereka tak juga
dapat menebak artinya banyak teka teki itu.
Tak lama kemudian, Poet Hwie kembali dengan sebuah
860
topi bunga yang lalu ditaruhnya diatas kepala Boe Kie dan
kemudian pergi lagi untuk membuat topinya sendiri.
"Kie kouwkouw," kata pula Boe Kie. "Mulai dari
sekarang kau tidak boleh minum apapun juga kecuali jika
obat itu diberikan olehku sendiri. Diwaktu malam
sebaiknya kau siap sedia dengan senjata untuk menjaga
sesuatu yang tidak
diinginkan. Sekarang kau masih belum boleh pulang
karena aku masih perlu memberi obat untuk
menyembuhkan luka didalam badanmu. Begitu lekas
lukamu tidak berbahaya lagi, kau harus buru buru pulang
dengan membawa Poet Hwie."
Siauw Hoe mengangguk dengan rasa sangat ber terima
kasih. "Manusia she Ouw itu sungguh aneh dan hatinya
sukar ditebak," katanya, "Boe Kie, akupun merasa kuatir
akan keselamatanmu jika kau berdiam lama-lama disini.
Lebih baik kita menyingkir bersama sama."
Boe Kie yang dikuatirkan keselamatannya jika berada
lama-lama di lembah Ouw-tiap-kok sudah menyatakan
kesediaannya untuk ikut menyingkir dari lembah itu
bersama-sama Kie Siauw Hoe dan puterinya.
"Boe kie," kata Kin Siauw Hoe, "bila kau mau ikut
dengan aku, kita boleh jalan bersama sama. Aku sendiri
akan segera pergi menemui soehoe ke Go bie san. Kalau
nasib baik dan beliau tidak mendengar hasutan Soecieku,
maka untukmu masih ada sedikit harapan hidup karena
beliau memang mempunyai niatan untuk menurunkan
semua kepandaiannya kepadaku, bahkan akan mengambil
aku sebagai ahil warisnya. Manakala niatan itu
dilaksanakan, beliau terutama tentu akan menurunkan Go
bie Kioe yang kang kepadaku. Selanjutnya aku bisa ajarkan
ilmu itu kepadamu. Dengan memiliki Go bie Kioe yang
861
kang, kau bisa menggabungkannya dsngan Siauwlim dan
Boe tong Kioe yang kang sehingga rasanya racun dingin
Hian beng Sin ciang bisa dengan gampang terusir keluar
dari badanmu. Tapi, aih..., sesudah aku melakukan
perbuatan yang tidak panta, mana aku ada muka untuk
bertemu lagi dengan Soehoe? Mana bisa belia mengangkat
aku menjadi ahli warisnya lagi?"
Semula sang bibi bicara dengan semangat berapi-api
karena memikiri penyakit yang diderita Boe Kie. Tapi,
manakala teringat olehnya akan dirinya yang telah ternoda,
ia jadi tampak bermuram durja.
Melihat paras sang bibi yang sangat berduka, Boe Kie
segera menghibur: "Kie Kouw kouw, kau tak usah bersedih.
Ouw Sinshe mengatakan bahwa paling lama aku hanya bisa
hidup setahun lagi. Akupun sering memeriksa keadaan
badanku dan aku yakin, bahwa apa yang dikatakan Ouw
Sinshe bukan omong kosong. Andaikata gurumu mengajar
Go bie Kioe yang kang kepadamu, kurasa kaupun tak akan
keburu menolong aku. Memang benar juga, jalan yang
paling baik adalah kita menyingkir sekarang juga. Tapi
dalam cara mengobati lukamu, masih ada beberapa bagian
yang belum begitu terang bagiku. Untuk itu, aku masih
perlu minta petunjuk Ouw Sinshe,"
SiauwHoe tertawa dan menanya: "Apa tak bisa jadi ia
akan sengaja memberi petunjuk yang salah. Kau tidak boleh
lupa, bahwa ia sudah berusaha untuk meracuni aku."
"Tidak, kurasa ia tak akan berbuat sedemikian,"
membantah Boe Kie. "Sebegitu jauh, obat-obat atau cara
mengobati yang diberikan oleh Ouw Sinshe, sangat
mustajab dan tepat. Disamping itu, akupun dapat
membedakan jika ia sengaja memberikan obat yang salah.
Dan.... inilah justeru yang aku tidak mengerti!"
862
Sesaat itu, Poet Hwie sudah kembali dengan kepala
memakai topi rangkaian bunga. Mereka bertiga sudah
mempunyai topi, perundinganpun sudah selesai dan mereka
lalu kembali kerumah Ouw Ceng Goe.
Malam itu, Boe Kie tak bisa pulas lagi. Kira kira tengah
malam Ouw Ceng Goe menggerayang lagi kegubuk Siauw
Hoe, gubuk Kan Ciat dan kawan-kawannya untuk menaruh
racun.
Tiga hari telah lewat tanpa terjadi sesuatu yang luar
biasa. Karena tidak pernah kena racun lagi, kesehatan
Siauw Hoe pulih dengan cepat. Keadaan Sie Kong Wan
dan yang lain-lain masih tetap seperti biasa, sebentar
mendingan, sebentar hebat. Beberapa orang sudah mulai
mengeluh dan mengatakan, bahwa kepandaian Boe Kie
masih terlalu rendah, tapi si bocah tidak menggubris.
Malam itu, sambil berbaring dipembaringan, Boe Kie
berkata dalam hatinya: "Sesudah lewat malam ini, aku
sudah mengikut Kie Kouw-kouw menyingkirkan diri.
Karena racun dalam tubuhku tak bisa dipunahkan, lebih
baik aku tidak pulang ke Boe tong, supaya Thay soe-hoe
dan paman paman jangan berubah hati. Aku akan pergi
ketempat yang sepi dan mati dengan diam-diam."
Mengingat bahwa ia akan segera meninggalkan Ouw tiap
kok, hatinya terharu. Walaupun Ceng Goe beradat aneh, ia
telah memperlakukannya baik sekali dan selama kurang
lebih dua tahun, orang tua itu menurunkan banyak ilmu
ketabiban kepadanya. Sesudah berkumpul begitu lama, di
dalami hatinya sudah bersemi rasa cinta terhadap orang tua
itu.
Maka itu, perlahan-lahan ia bangun, dan pergi kekamar
si tabib malaikat dan menanyakan kesehatan orang tua itu
dari luar kamar. Tiba-tiba ia ingat bahwa Kim Hoa Coe jin
863
akan segera menyateroni. Apa Ouw Sinshe mampu
melawan perempuan jahat itu? Ia merasa kasihan dan
segara berkata "Ouw Sinshe, kau sudah berdiam di Ouw
tiap kok begini lama, apa kau tidak merasa sebal? Mengapa
kau tidak mau pergi pelesir ketempat lain?"
Ceng Goe terkejut. "Aku sedang sakit, mana bisa aku
pergi ketempat lain?" jawabnya.
"Tapi Sinshe dapat mengunakan kereta," kata pula Boe
Kie. "Dengan menutup jendela kereta dengan tirai supaya
tidak masuk angin, kau bisa pergi kemanapun juga"
Tiap kok Ie sian menghela napas. "Anak hatimu mulia
sekali," ia memuji. "Dunia sedemikin lebar, dimanapun
sama saja. Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari ini?
Bagaimana dadamu? Apakah hawa dingin masih bergolak
di tantianmu?"
"Makin lama hawa itu makin bertambah", jawabnya.
"Sudahlah! Biarkan saja. Aka toh sudah tak bisa ditolong
lagi."
Untuk beberapa saat Ceng Goe tidak mengatakan suatu
apa. "Anak, sekarang aku ingin memberi obat yang akan
bisa menolong jiwamu," katanya. "Gunakanlah Tong kwie,
Wan cie, Seng tee, Tok ho dan Hong hong, lima macam.
Ditengah malam, minumlah obat itu cepat-cepat, dengan
menggunakan Coan san ka sebagai penuntun."
Boe Kie kaget. Lima macam bahan obat itu sama sekali
tiada sangkut pautnya dengan penyakit yang dideritanya.
Bukan saja begitu, sifat kelima macam bahan obat itu malah
berbahaya untuk dirinya. Ditambah dengan Coan san ka,
bahaya itu jadi makin besar.
"Sinshe, berapa timbangannya?" tanyanya dengan rasa
heran.
864
"Jangan rewel!" bentak Ceng Goe dengan suara gusar.
"Aku sudah memberitahukan kau. Sudah cukup. Pergi!"
Si bocah gusar. Semenjak berdiam di Ouw tiap kok,
orang tua itu memperlakukannya secara sopan-santun dan
mereka sering kali merundingkan soal ketabiban sebagai
sahabat. Tak dinyana, hari ini Ceng Goe berlaku begitu
kasar terhadapnya. Dengan rasa mendongkol, ia kembali
kekamarnya.
Sambil bergulik-gulik dipembaringan ia berkata di dalam
hati, "Dengan baik hati aku menasehati supaya kau
menyingkir, tapi aku berbalik di hina olehmu. Hm ! ... Kau
juga coba memberi obat yang tidak-tidak kepadaku. Apa
kau kira aku akan kena diakali?".
Makin lama hatinya jadi makin panas. Ia tak mengerti
mengapa si tua begitu berani mati dan memberikannya
resep obat yang begitu gila-gilaan. Beberapa lama
kemudian, ia merasa lelah dan maramkan kedua matanya.
Mendadak, dalam keadaan layap layap, serupa ingatan
berkelebat dalam otaknya. Ah! Tong kwie, Wan cie, resep
tanpa diberi timbangan obatnya... Dalam dunia tak ada
resep yang sedemikian. Aha! Apa tak bisa jadi Tong kwie
dimaksudkan kay tong kwie kie? Mungkin! (Tong kwie
adalah namanya serupa obat. Tapi "Tong kwie" atau "kay
tong kwie kie" juga berarti "harus pulang" )
Sesudah memikir beberapa saat, tiba-tiba ia melompat
bangun dan berkata dalam hatinya. "Benar! Resep itu
mengandung maksud lain. Dengan Wan cie, ia rupanya
ingin menyuruh aku 'cie cay wan hang' (ingatan berada
ditempat jauh) atau dengan lain perkataan, ia ingin aku 'ko
hoei wan coew' (pergi ketempat yang jauh). Ia menyebutnya
Seng tee (tanah hidup) dan Tok ho (hidup sendirian).
Mungkin sekali, Seng tee berarti 'Seng louw' (jalanan hidup)
dan sesudah mengambil jalanan hidup barulah aku bisa
865
'hidup sendirian'. Apa arti Hong hang (menjawab angin)?
Ouw Sin she maksudkan supaya aku menutup rahasja,
jangan sampai 'membocorkan angin'."
"Obat itu harus diminum cepat-cepat diwaktu tengah
malam buta dengan menggunakan Coan san ka sebagai
penuntun. 'Cepat cepat', 'tengah malam buta', 'Coan san ka'
.... Apakah Ouw Sinshd maksudkan, bahwa aku harus
cepat-cepat kabur ditengah malam buta dengan menembus
jalanan gunung dan tidak boleh mengambil jalanan raya?
Tak salah! Itulah tentu maksud yang sebenarnya." (Coan
san ka berarti tenggiling. Arti huruf`-huruf itu sendiri ialah
'menembus gunung').
Berpikir begitu, ia segera menghampiri pintu.
Sebelumnya membukanya, ia merendek. "Sekarangi musuh
belum tiba, tapi mengapa Ouw Sinshe tidak
memberitahukan aku secara teang-terangan?" tanyanya
didalam hati. "Mengapa ia mengeluarkan cangkeriman itu?
Kalau aku tidak dapat menebaknya, bukankah aku bisa
celaka? Ah! Sekarang sudah lewat tengah malam, aku mesti
menyingkir secepat mungkin."
Walaupun baru berusia belasan tahun, Boe Kie sudah
mempunyai jiwa ksatria. Ia ingin segera menyingkir, tapi ia
memikiri nasib Ouw Sinshe. Di lain saat ia ingat, bahwa si
tabib malaikat tentu lah juga sudah mempunyai pegangan
untuk melawan musuh karena sesudah tahu bakal
datangnya musuh itu, ia tetap tidak mau menyingkir. Tapi
biar bagaimanapun juga, meskipun Ceng Goe sudah
memesan supaya ia menutup rahasia, ia tak bisa tidak
menolong Siauw Hoe dan puterinya.
Perlahan-lahan ia keluar dari kamarnya dan pergi ke
gubuk Siauw Hoe. Ia menepuk-nepuk tangan seraya
memanggil manggil dengan suara perlahan. "Kie
Kouwkouw .... Kie Kouwkouw ..... bangun!"
866
Siauw Hoe tersadar "Siapa? Boe Kie ?" tanyanya.
Sesaat itu, sekonyong konyong si bocah merasa
sambaran angin yang sangat halus dipunggungnya dan baru
saja ia memutar badan, pundak dan pinggangnya sudah
kesemutan dan ia roboh tanpa berkutik lagi. Gerakan
penyerang itu cepat luar biasa. Di lain saat, iapun sudah
merobohkan Siauw Hoe dengan totokan. Dengan bantuan
sinar bulan sisir, Boe Kie melihat, bahwa orang itu
mengenakan topeng kain hijau.
Ouw Ceng Goe!
Sedang berbagai pertanyaan berkelebat-kelebat dalam
otak Boe Kie, tangan kiri si tabib malaikat sudah
mencengkeram pipi Siauw Hoe untuk memaksanya
membuka mulut, sedang tangan kanannya coba
memasukkan sebutir yo wan.
Sebelum pel itu masuk kedalam mulutnya, Siauw Hoe
sudah mengendus bebauan yang sangat tak enak. Ia
mengerti, bahwa pel itu adalah racun yang sangat hebat,
tapi ia tidak berdaya, kaki tangannya tidak bisa bergerak
lagi.
Dengan sorot mata putus harapan, ia mengawasi
puterinya. "Poet jie !" ia mengeluh di dalam hati. "Ibumu
bernasib celaka, kaupun jelek peruntungan. Mulai dari
sekarang, ibumu tak bisa merawatmu lagi."
Tiba tiba pada detik yang sangat berbahaya, Boe Kie
melompat bangun. Orang itu kaget dan menengok, tapi
punggungnya sudah dihantam Boe Kie dengan sekuat
tenaga.
Ternyata, sesudah ditotok jalanan darah pada pundak
dan pinggangnya, untuk sementara Boe Kie rebah dengan
tidak berdaya. Tapi, sebagai ahli waris Cia Soen, selang
867
beberapa saat, ia berhasil membuka jalan darahnya dengan
menggunakan Lweekang. Ia melompat bangun dan pada
detik yang sangat genting, ia menghantam jalanan darah
Kin soe hiat dipunggung Ouw Ceng Goe dengan pukulan
Sin liong Pa bwee, yaitu salah satu jurus dari Hang liong
Sip pat ciang. Meskipun ia hanya mengenal bagian kulit
dari pukulan itu, tapi karena jurus tersebut adalah jurus
yang sangat luar biasa dan juga sebab Ouw Ceng Goe sama
sekali tidak menduga bakal dibokong cara begitu, maka,
begitu lekas pukulan Boe Kie mengenai Kin soe hiat, ia
roboh tanpa mengeluarkan suara.
Berbareng dengan robohnya, topeng kain tersingkap
separuh dan begitu melihat, Boe Kie mengeluarkan teriakan
tertahan. "Ah !"
Mengapa?
Karena muka itu bukan muka Ouw Ceng Goe, tapi
muka seorang wanita setengah tua yang berparas cantik.
"Siapa kau?" bentak Boe Kie.
Sesudah terpukul, wanita itu merasakan kesakitan hebat,
mukanya pucat pasi, sehingga ia tidak dapat menjawab
pertanyaan si bocah.
Buru-buru Boe Kie membuka jalanan darah Kie Siauw
Hoe dan berkata. "Kie Kouwkouw, tempelkan ujung
pedangmu didadanya, supaya dia tidak bisa berkutik. Aku
mau menengok Ouw Sinshe." Ia berkuatir akan
keselamatannya Ouw Ceng Goe. Ia menduga bahwa wanita
itu adalah konco Kim hoa Coe jin. Jika perempuan jahat itu
keburu datang, maka dia dan Siauw Hce serta puterinya
pasti akan celaka.
Dengan lari seperti terbang ia pergi ke kamar Ceng Goa
dan tanpa banyak rewal, ia memukul pintu yang lantas saja
868
terpentang.
"Ouw Sinshe!" teriaknya, tapi tak ada jawaban. Ia segera
mengeluarkan bahan api dan menyulut lilin. Kasur terbuka,
tapi orang tua itu tak kelihatan bayang - bayangannya.
Melihat kamar itu kosong, hatinya agak lega, karena ia
semula menduga bahwa Ouw Ceng Goe sudah
dibinasakan. "Ouw Sinshe rupanya diculik musuh,"
pikirnya.
Baru saja ia mau keluar, di bawah ranjang tiba tiba
terdengar suara helaan napas. Ia segera mengangkat ciaktak
(tempat tancapan lilin) dan menyuluhi kolong ranjang.
Ia girang bukan main, karena melihat Ouw Ceng Goe rebah
disitu dengan kaki tangan terikat. "Ouw Sinshe, jangan
khawatir!" katanya dan lalu merangkak ke kolong ranjang
untuk menyeretnya keluar.
Ternyata, orang tua itu tidak bisa bicara sebab mulutnya
disumbat dengan buah toh dan Boe Kie segera mengorek
keluar buah itu. Waktu mau membuka ikatan, ia mendapat
kenyataan, kaki tangan Ceng Goe diikat dengan tambang
urat kerbau, sehingga ia tidak dapat memutuskannya dan
lalu mecari pisau.
"Mana perempuan itu?" Tanya Ceng Goe selagi Boe Kie
mau memotong tambang.
"Jangan kuatir, ia sudah ditakluki dan tak akan bisa lari,"
jawabnya.
"Jangan putuskan dulu tambang ini!" Kata Ceng Goe
tergesa. "Lekas bawa dia kemari. Lekas kalau terlambat,
aku kuatir tak keburu lagi."
Boe Kie heran. "Mengapa begitu?" tanyanya
"Lekas bawa dia kemari!" bentak orang tua "Tidak!....
Begini saja. Lebih dulu, berikan padanya tiga butir Goe
869
hong Hiat ciat tan. Ambillah dari laci ketiga. Lekas...!
Lekas .." Ia berkata begitu dengan paras muka bingung dan
pucat.
Boe Kie tahu, bahWa Goe hong Hiat ciat tan adalah pel
untuk memunahkan racun dan dibuat dengan
menggunakan macam-macam bahan yang sangat mahal
harganya. Untuk memunahkan racun yarg sangat hebat,
sebutir saja sudah lebih dari cukup. Tapi Ouw Ceng Goe
menyuruhnya untuk memberikan tiga butir. Siapa wanita
itu?
Ia heran tak kepalang, tapi melihat sikap orang tua itu, ia
tidak berani menanya melit-melit. Buru buru ia mengambil
pel itu dan berlari-lari ke gubuk Siauw Hoe.
"Lekas telan!" bentaknya sambil menyodorkan tiga butir
Goe hong Hiat ciat tan kepada tawanannya.
"Pergi! Aku tak perlu dengan pertolonganmu!" teriak
wanita itu. Begitu mengendus bau Goe hong Hiat ciat tan,
ia lantas saja mengetahui, bahwa Boe Kie datang dengan
membawa obat.
"Ouw Sinshe yang menyuruh aku membawa obat ini,"
kata Boe Kie dengan mendongkol.
"Pergi!... pergi!..pergi....!" teriak pula wanita itu. Sesudah
kena pukulan Boe Kie, teriakannya lemah sekali.
Si bocah bingung dan hanya bisa menebak-nebak. Ia
menduga, bahwa waktu mengikat Ceng Goe wanita itu
kena senjata racun. Untuk korek keterangan mengenal
musuhnya, Tiap kok Ie sian rupanya sengaja memberi obat
pemunah kepadanya. Memikir begitu, ia lantas saja
menotok jalanan darah Kian tin hiat, sehingga wanita itu
tak bisa melawan dan kemudian memasukkan tiga butir pel
itu kedalam mulutnya.
870
Karena suara ribut-ribut, Poet Hwie mendusin dan
mengawasi wanita itu dengan perasaan heran.
"Kouw-kouw mari kita membawa dia kepada Ouw
Sinshe," kata Boe Kie. Mereka lantas saja mencekal tangan
wanita itu yang lalu diseret ke kamar Tiap kok Ie sian.
Begitu mereka masuk, Ouw Ceng Goe menanya "Sudah
makan obat?"
"Sudah," jawab Boe Kie.
Paras muka Ceng Goe jadi lebih tenang dan Boe Kie
segera memotong tambang yang mengikat kaki tangannya.
Sesudah kaki tangannya merdeka, Tian kok Ie sian segera
menghampiri wanita itu, membuka kelopak matanya dam
memegang nadinya.
"Eh...eh!" katanya dengan suara kaget, "Mengapa kau
mendapat luka? Siapa yang sudah melukakan kau?"
Wanita itu menjebi. "Tanya muridmu!" bentaknya.
Ouw Ceng Goe memutar badannya dan menanya Boe
Kie : "Apa kau yang memukul?"
"Benar," jawabnya, "waktu dia mau....."
Plok! Plok!
Orang tua itu menggaplok Boe Kie keras keras, sehingga
mata si bocah berkunang kunang.
Siauw Hoe menghunus pedang dan membentak:
"Kurang ajar!" Tapi, tanpa menghiraukannya, Ceng Goe
lalu menanya wanita itu: "Bagaimana rasanya dadamu?
Aku pasti akan menyembuhkan kau." Sikap dan
perkataannya berbeda jauh, bagaikan langit dan bumi
dengan kebiasaan Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe. Tapi
si wanita tetap tidak mengubris dan terus bersikap tawar.
871
Dengan rasa heran yang sangat besar, Boe Kie
mengawasi kejadian itu sambil mengusap-usap pipinya
yang bengkak.
Dengan sikap menyayang Tiap kok Ie sian lalu membuka
jalanan darah si wanita, mengurut-urutnya, mengambil
beberapa macam daun obat yang lalu dimasukkan kedalam
mulut wanita itu, memondongnya dan menaruhnya diatas
pembaringan, akan kemudian menyelimutinya dengan
selimut tebal. Semua itu dilakukan si-tua secara lemah
lembut dan penuh kecintaan.
Boe Kie menggeleng-gelengkan kepala. Benar benar
otaknya pusing.
Sesudah berdiri beberapa saat didepan pembaringan,
Ceng Goe berkata dengan suara halus: "Sekarang selain
racun, kaupun mendapat luka. Jika aku dapat
menyembuhkan, kita jangan menjajal-jalal kepandaian
lagi."
Wanita itu tertaWa. "Apa artinya luka ini?" katanya.
"Tapi apakah kau tahu, racun apa yang ditelan olehku? Jika
kau bisa menyembuhkan aku, aku akan mengaku kalah.
Hm! .... Tetapi belum tentu kepandaian Ie sian (tabib
malaikat atau tabib dewa) bisa menandingi kepandaian Tok
sian (si dewi racun)." Sehabis berkata begitu, ia bersenyum
dan senyumnya itu menggairahkan.
Dalam usia belasan tahun, Boe Kie belum mengerti soal
percintaan. Tapi biarpun begitu, ia bisa merasakan, bahwa
diantara kedua orang tua itu terdapat kasih sayang yang
tiada batasnya.
"Semenjak sepuluh tahun berselarg, aku sudah
mengatakan, bahwa Ie Sian tak akan bisa menandingi Tok
sian." kata Ceng Goe. "Tapi kau tak percaya. Kau terlalu
suka menjajal ilmu. Aku sungglth tidak mengerti, mengapa
872
kau begitu gila sehingga kau meracuni diri sendiri. Sekarang
aku mengharap, bahwa Ia sian akan menang dari Tok Sian.
Jika aku gagal, akupun tak sudi hidup sendirian didalam
dunia."
Wanita itu bersenyum pula. "Jika aku meracuni orang
lain, kau bisa berlagak kalah." katanya. "Ha ha!... Dengan
meracuni diri sendiri, kau tentu akan mengeluarkan
seantero kepandaianmu."
Ceng Goe mengusap-ngusap rambut wanita itu dan
berkata deagan suara nyaring: "Hatiku sangat berkuatir.
Sudahlah ! Jangan kau bicara banyak banyak. Meramkan
matamu dan mengaso. Tapi ingatlah. kalau dengan diamdiam
kau mengerahkan Lweekang untuk mencelakakan diri
sendiri, kau berbuat curang dalam pertandingan ilmu ini."
"Aku tidak begitu rendah," kata wanita itu sambil
tertawa. Ia segera memeramkan kedua matanya dan pada
bibirnya tersungging senyuman.
Untuk beberapa saat, kamar itu sunyi-senyap. Siauw Hoe
dan Boe Kie menyaksikan itu semua dengan mata
membelalak. Tiba-tiba Tiap kok Ie sian memutar badan dan
menyoja kepada Boe Kie. "Saudara kecil," katanya, "dalam
kebingungan aku telah berbuat kesalahan terhadapmu. Aku
harap kau sudi memaafkan."
"Sedikitpun aku tidak mengerti, apa artinya ini semua,"
kata Si bocah dengan mendongkol.
Sekonyong-konyong si tua mengangkat tangan kanannya
dan menggapelok dua kali pipi seniri keras-keras. "Saudara,
kecil," katanya Pula. "Kau adalah tuan penolongku. Hanya
karena aku sangat memikiri keselamnatan isteriku, maka
aku sudah berbuat kedosaan terhadapmu."
"Dia..... dia isterimu?" menegas si bocah dengan suara
873
heran.
Ceng Goe mengangguk, "Benar, dia isteriku!" jawabnya.
Melihat sikap orang tua itu dan mendengar bahwa
wanita itu adalah isterinya, semua kedongkolan Boe Kie
lantas menghilang.
Ceng Goe mengambil kursi dan lalu mempersilakan
Siauw Hoe dan Boe Kie duduk, "Kalian tentu merasa heran
melihat kejadian dihari ini." katanya, "Baiklah! Aku akan
menceritakan latar belakangnya tanpa tedeng tedeng.
Isteriku seorang she Ong namanya Lan Kouw. Kami
berdua adalah saudara seperguruan. Pada waktu kami
masih berada dalam rumah perguruan, disamping belajar
ilmu silat, aku mempelajari ilmu ketabiban, sedang dia
mempelajari Tok soet (ilmu menggunakan racun). Menurut
pendapatnya, tujuan belajar ilmu silat adalah untuk
membunuh orang dan tujuan Tok soet juga untuk
membunuh orang. Boe soet (Ilmu silat) dan Tok soet
merupakan dua macam ilmu yang berdiri berendeng. Maka
itu, jika seorang mahir dalam Boe soet dan Tok soet, maka
kepandaiannya bertambah dengan satu kali lipat. Ilmu
ketabiban adalah untuk menolong manusia, sehingga pada
hakekatnya, ilmu ketabiban dan ilmu silat bertentangan satu
sama lain. Itulah jalan pikiran isteriku. Tapi karena bakatku
terletak dalam ilmu ketabiban, aku tak dapat mengubah
kesukaan itu."
"Meskipun apa yang dipelajari kami berdua,
perhubungan kami sangat erat dan diantara kami telah
timbul perasaan cinta. Belakangan, Soehoe telah
menikahkan kami berdua. Perlahan-lahan nama kami mulai
terkenal dalam dunia kangouw, sehingga banyak orang
memberi gelaran Ie Sian kepadaku dan julukan Tok Sian
kepada isteriku. Kepandaiannya dalam soal racun sungguhsungguh
lihay. Ia sudah melebihi kepandaian Soehoe
874
sendiri dan mungkin sekali didalam dunia sukar dicari
tandingannya. Bahwa dia telah medapat gelaran Sian atau
Dewi, merupakan bukti nyata dari kepandaiannya.
"Dasar aku yang tolol, yang bertindak tanpa dipikir lagi.
Berapa kali isteriku telah meracuni orang, dan orang itu
telah datang kepadaku untuk meminta pertolongan. Tanpa
memikir panjang aku segera menolong mereka. Pada waktu
itu hatiku malah merasa senang. Sedikitpun aku tidak
merasa bahwa tindakanku itu sangat menyinggung perasaan
isteriku. Aku sama sekali tak ingat, bahwa jika
menyembuhkan orang yang diracuni olehnya, maka itu
berarti bahwa kepandaian Ie sian adalah lebih unggul dari
pada Tok sian"
Siauw Hoe menggeleng-gelengkan kepala dan menghela
napas. Sepasang suami isteri itu benar benar manusia aneh.
Sementara itu Ceng Goe melanjutkan penuturannya.
"Isteriku sangat mencintai aku. Di dalam dunia sukar dicari
tandingannya. Tapi aku sendiri? Dengan di dorong oleh
napsu mau menang, berulang kali aku menyinggung
perasaannya. Cobalah kalian pikir. Meskipun dia patung,
satu waktu dia bisa habis kesabarannya. Akhirnya aku
tersadar. Aku bersumpah, bahwa aku tak akan menolong
lagi orang yang telah diracuni olehnya. Lantaran begitu,
lama-lama orang memberi gelaran Kian sie Poet kioe atau
melihat kebinasaan tak sudi menolong padaku. Melihat aku
berubah, isterikupun merasa senang. Tapi baru saja
beberapa tahun aku mengambil jalan yang benar,
muncullah peristiwa adik perempuanku."
"Kehormatan adikku telah dilanggar oleh bangsat Sian Ie
Thong dari Hwa san pay dan akhirnya binasa dalam
tangannya. Tapi, samoai pada detik mau menghembuskan
napasnya yang penghabisan, adikku masih mencintai
bangsat itu. Pesannya yang terakhir supaya aku berjanji,
875
bahwa selama hidup aku akan menolongnya, jika ia
memerlukan pertolongan. Karena melihat adikku tidak
akan mati dengan mata meram jika aku tidak meluluskan
permintaannya, maka mau tidak mau, dengan hati
penasaran, aku terpaksa memberikan janjiku itu."
"Diluar tahuku, isteriku telah menaruh racun yang sangat
hebat dibadan Sian Ie Thong. Racun itu yang jalannya
sangat perlahan, akan merusak seluruh tubuh bangsat yang
sesudah menderita hebat selama tiga tahun, akan mampus
dengan dagingnya membusuk. Sian Ie Tong mengetahui
janjiku yang diberikan kepada adikku. Begitu melihat
keadaannya berbahaya, ia segera meminta pertolongan
kepadaku. Hai!.. Otakku benar-benar pusing. Kalau aku
menolong, aku menyinggung isteri sendiri. Kalau tidak
menolong aku melanggar janji."
"Sian Ie Tong adalah Ciangboenjin Hwa san pay. Ilmu
silatnya tinggi dan dalam kalangan kangouw, ia dikenal
sebagai seorang pendekar," kata Siauw Hoe. "Sungguh tak
dinyana dia sebenarnya manusia rendah. Ouw Sinshe
sesudah adikmu binasa dalam tangannya, kaupun tak perlu
menolong dia. Apa pula adikmu yang sudah meninggal
dunia tidak tahu lagi urusan itu."
"Tidak!" membantah Boe Kie. "Kie Kouwkouw, kau
salah. Roh seorang yang sudah meninggal dunia masih bisa
mengetahui apa yang terjadi didalam dunia," Waktu
mengatakan begitu ia ingat kedua orang tuanya. Ia
mengharap supaya roh ayah dan ibunya masih tetap berada
dilam baka dan nanti kalau ia sendiri menginggal dunia, ia
akan bisa berkumpul lagi dengan kedua orang itu.
Tiap kok ie sian menghela napas. "Apa yang terjadi
dialam baka tidak diketahui oleh manusia," katanya.
"Pada waktu itu, jalan pikiranku adalah begini: jika aku
876
berdosa terhadap isteriku, dialam kemudian aku masih
dapat memperbaikinya. Tapi jika aku melanggar janji ...
hai!... Selama hidupnya, adikku selalu menderita...
Bagaimana aka tega untuk menyakiti rohnya?"
"Demikianlah, dengan menggunakan seluruh
kepandaian, aku akhirnya berhasil menyembubkan
sibangsat Sian Ie thong. Isteriku tidak ribut-tibut lagi, ia
hanya berkata dengan suara dingin: Bagus. Kepandaian
Tiap kok ie sian Ouw Ceng Goe benar-benar tinggi. Tapi
Tok Sian Ong Lan Kauw tak sudi menakluk. Sekarang
marilah kita menjajal ilmu, untuk mendapat keputusan, Ie
Sian atau Tok sian yang lebih tingggi! Mati matian aku
memohon maaf, tapi ia tidak meladeni."
"Beberapa tahun isteriku memperdalami ilmunya dan
telah maracuni beberapa orang Kangouw yang
ternama.Sesudah meracuni, ia memberi petunjuk supaya
orang-orang itu datang kepadaku. Tok soet isteriku ternyata
sudah banyak lebih lihay, sehingga tempo-tempo aku tidak
mendapat jalan untuk mengobati orang yang kena
racunnya. Ditambah lagi dengan rasa sungkan untuk
membangkitkan amarah isteriku, maka dalam menghadapi
keracunan yang hebat, sudah gagal satu dua kali, aku
menghentikan usahaku dan mengatakan saja bahwa aku tak
mampu menolong lagi."
"Tapi diluar dugaan, sikapku bahkan menambah
kegusarannya. Ia menuduh bahwa aku sudah memandang
rendah kepadanya dan bahwa aku sudah sengaja tidak mau
mengeluarkan seantero kepandaianku. Dengan gusar ia
meninggalkan Ouw tiap kok dan mengatakan bahwa biar
apapun yang terjadi, ia takkan kembali kepadaku."
"Selama berada diluar, berulang kali ia meracuni orang
dan menyuruh orang-orang itu datang kepadaku.
Kependaiannya makin tinggi, sehingga tempo-tempo aku
877
tak tahu, siapa yang sudah meracuni penderita yang
meminta pertolonganku. Dalam menghadapi penderita
yang seperti itu, dengan menganggap, bahwa dia bukan
diracuni oleh isteriku, kadang-kadang aku memberi
pertolongan dan menyembuhkannya. Belakangan baru
kutahu, bahwa orang itu sebenarnya telah diracuni oleh
isteriku. Demikianlah perhubungan kita jadi makin
renggang."
"Namaku Ceng Coe, atau Kerbau Hijau, sebenarnya
lebih tepat jika nama itu diganti dengan 'Kerbau Tolol'.
Entah kebaikan apa yang sudah kuperbuat, sehingga aku
dicintai oleh seorang wanita begitu mulia seperti isteriku itu
dan hanyalah karena ketololanku, maka ia telah
meninggalkan rumah dan hidup terlunta-lunta di luaran.
Mengingat bahayanya dunia Kangouw, setiap saat, setiap
detik, hatiku selalu memikiri keselamatannya"
Berkata sampai disitu, paras muka Tiap kok Ie sian
kelihatan berduka sekali.
Siauw Hoe melirik Ong Lan Houw yang rebah
dipembaringan. "Didalam dunia, siapa yang berani
melanggar Ouw Hoejin?" katanya dalam hati. "Sudah bagus
kalau orang lain tidak dilanggar olehnya. Sungguh lucu!
Ouw Sinshe kelihatannya sangat takut pada isterinya."
Sesudah berdiam sejenak, Ceng Goe berkata pula: "Pada
tujuh tahun berselang, sepasang suami isteri yang sudah
berusia lanjut kena racun hebat dan mereka datang disini
untuk meminta pertolongan. Mereka adalah majikan pulau
Leng coa to, di laut Tong hay. Mereka memiliki ilmu silat
yang luar biasa dan tingkatan merekapun tinggi sekali.
Puluhan tahun berselang, nama Kim Hoa Popo dan Gin
yap Sianseng menggetarkan Rimba Persilatan."
"Aku tidak berani lantas menolak secara tegas. Tapi
878
cobalah kalian pikir, cara bagaimana aku berani membuat
kesalahan lagi? Aku lalu memeriksa nadi mereka dan
mengatakan, bahwa Gin-yap Sianseng sudah tak dapat
diobati lagi, sedang kim-hoa Popo hanya kena racun enteng
dan ia akan bisa menyembuhkan dirinya dengan
menggunakan Lweekang sendiri. Aku diberitahukan,
bahwa yang meracuni mereka adalah seorang Pek to pay
(Partai Unta putih) yang sangat lihay di wilayah See hek
(Wilayah barat) dan tiada sangkut pautnya dengan isteriku.
Tapi sesudah sesumbar bahwa selain anggauta Beng kauw,
aku tak akan menolong orang lagi, maka aku tak bisa
menjilat ludah sendiri hanya karena yang minta tolong
orang jempolan. Nyonya tua itu memohon mohon supaya
aku suka menolong seorang saja, yaitu suaminya, dan
untuk itu, ia menjanjikan hadiah yang sangat besar. Kalian
harus mengetahui
bahwa di dalam Rimba persilatan, Gin yap sian seng dan
Kim hoa Popo sangat cemerlang dan bahwa mereka sudah
mau membuka mulut untuk meminta pertolonganku,
bagiku sudah merupakan muka yang sangat besar
(kehormatan besar). Tapi demi kepentingan kami berdua
suami isteri aku tetap tidak mau menolong."
"Untung juga mereka tidak menggunakan kekerasan.
Sesudah yakin tak ada harapan, mereka pergi dengan
perasaan duka. Aku mengerti bahwa karena penolakanpenolakanku
untuk mengobati orang, aku sudah menanam
banyak bibit permu suhan. Tapi kecintaan dan kerukunan
antara aku dan isteriku masih lebih panting daripada
kepentingan orang lain. Bagaimana pendapat kalian?
Bukankah pendirian itu pendirian benar?"
Siauw Hoe dan Boe Kie membungkam, tapi didalam hati
mereka tentu saja sangat tidak menyetujui pendirian yang
gila itu.
879
Sementara itu, Ouw Ceng Goe sudah berkata pula:
"Waktu Gie Coen datang kesini paling belakang ia
mengatakan bahwa di tengah jalan dia bertemu dengan
seorang nenek yang memberitahukan bahwa, sesuai dengan
dugaanku, Gin Yap Sian seng sudah meninggal dunia
karena racun itu. Sesudah Gie Coen berlalu, isteriku
mendadak pulang. Melihat Boe Kie, ia segera
menggunakan bie-yo (obat tidur), sehingga saudara kecil
pules nyenyak semalam suntuk."
"Ah! Kalau begitu kerjaan Ong Lan Kouw," kata si
bocah didalam hati. "Hari itu aku menduga, bahwa aku
sakit."
Sesudah melirik isterinya, Ceng Goe melanjutkan
penuturannya: "Pulangnya isteriku tentu saja sangat
menggirangkan. Iapun sudah mendengar bahwa Kim-Hoa
Popo telah datang lagi di Tiong goan, sehingga biarpun
masih mendongkol terhadapku, buru-buru ia pulang untuk
memberitahukan hal itu kepadaku. Atas kemauannya, aku
berpura-pura sakit cacar dan menolak untuk menemui
orang. Kami mengunci diri di dalam kamar dan memikiri
siasat untuk menghadapi Kim Hoa Popo. Ilmu silat nyonya
tua itu terlalu lihay, sehingga tak mungkin kami melarikan
diri. Tapi ia mempunyai adat yang aneh. Jika ia ingin
membunuh seseorang, serangannya dibatasi dalam tiga kali.
Kalau orang itu bisa menyelamatkan diri dari ke tiga tiga
kali serangannya, maka ia akan mengampuninya."
"Selang beberapa hari kemudian datanglah Sie Kong
Wan, Kan Ciat, kau sendiri, Kie Kouwnio dan yang lainlainnya
sampai limabelas orang."
"Begitu mendengar luka kalian, aku segera mengetahui,
bahwa Kim Hoa Popo sengaja mau mencoba-coba aku,
apakah aku masih tetap pada pendirianku, yaitu tidak mau
menolong siapapun jua, kecuali murid Beng kauw. Luka
880
kelima belas orang itu rata-rata luka yang sangat aneh. Aku
adalah seorang yang keranjingan ilmu ketabiban. Begitu
melihat luka atau penyakit aneh, tanganku lantas saja gatal
dan ingin menjajal kepandaianku. Sekarang Kim Hoa Popo
mengirim bukan satu, tapi Limabelas orang. Kalian
dapatlah membayangkan perasaanku. Tapi akupun
mengerti maksud nenek itu, jika ada seseorang saja yang
diobati olehku, celakalah aku. Ia pasti akan menyiksa aku
ratusan kali lipat lebih hebat daripada orang yang diobati
itu. Lantaran begitu, sambil menahan keinginan hati, aku
tetap berpeluk tangan. Belakangan sesudah Boe Kie
menanyakan pendapatku andaikata orang yang terluka
adalah seorang murid Beng kauw, barulah aku memberi
petunjuk. Tapi aku sangat berhati-hati dan sengaja
menerangkan, bahwa Boe Kie adalah murid Boe tong pay
dan tidak bersangkut paut dengan diriku."
"Melihat bahwa dengan pertolongan Boe Kie, urangorang
itu mulai sembuh dengan cepat, Lan Houw kembali
merasa tidak senang. Setiap maim, diam-diam ia menaruh
racun dipiring mangkok mereka. Dengan demikian, lagilagi
ia bermaksud untuk mengadu kepandaian denganku.
Kelimabelas orang itu rata rata adalah jago-jago Rimba
Persilatan. Bagaimana ia bisa menyateroni tanpa diketahui?
Sebelum menyebar racun, lebih dulu ia menggunakan Obat
tidur."
Siauw Hoe dan Boe Kie saling mengawasi. Sekarang
baru mereka mengerti, mengapa pada malam itu, Siauw
Hoe begitu sukar disadarkan, sehingga Boe Kie sampai
perlu menggoyang-goyangkan badannya.
"Selama beberapa hari ini, kesehatan Kie Kouw nio pulih
dengan cepat, seperti juga racun isteriku tidak mempan
lagi," kata pula Ceng Goa. "Sesudah menyelidiki, ia
mengerti bahwa rahasianya sudah diketahui Boe Kie, maka
881
ia segera mengambil keputusan untuk mengambil jiwa Boe
Kie. Hai!... Kata orang sungai dan gunung lebih mudah
diubah daripada adat manusia. Aku harus mengakui,
bahwa aku, Ouw Ceng Goe tidak cukup setia kepada
isteriku. Sebenarnya aku sudah mengambil keputusan uatuk
berpeluk tangan, tapi karena Boe Kie telah menasehati aku
supaya aku menyingkir ketempat lain, maka hatiku lantas
saja menjadi lemah. Aku segera memberi resep istimewa
padanya dengan menyebutkan Tong wie, Wan sie, Tok ho
dan beberapa macam obat lain. Aku tidak dapat bicara terus
terang, karena Tan Kouw berada ddampingku."
"Tapi isteriku adalah seorang yang sangat cerdas dan
juga mengenal ilmu ketabiban. Mendengar resep yang gila
itu, sesudah mengasah otak beberapa lama, ia segera dapat
menangkap maksudku yang sebenarnya. Ia lalu mengikat
kaki tanganku dan mengambil beberapa macam racun yang
lalu ditelannya. "Soeko," katanya. "Aku dan kau sudah
menjadi suami isteri selama dua puluh tahun lebih. Lautan
bisa kering, batu bisa haneur, tapi kecintaan kita tak akan
bisa berubah. Tapi kau selamanya memandang rendah
kepada Tok toetku. Setiap orang yang diracuni olehku,
selalu dapat di tolong olehmu. Sekarang aku sendiri
menelan racun. Jika kau dapat menolong jiwaku aku takluk
terhadapmu. Bukan main rasa kagetku, berulang ulang aku
minta ampun dan mengaku kalah. Tapi ia lalu menyumbat
mulutku dengan buah tho, sehingga aku tidak dapat bicara
lagi. Kejadian selanjutnya sudah diketahui kalian. Hai! ....
Boe Kie, kau berdosa terhadapku. Kau membalas kebaikan
dengan kejahatan. Aku menasehati kau untuk
menyingkirkan tapi kau berbalik melukakan isteriku yang
tercinta." seraya berkata begitu ia menggeleng-gelengkan
kepala.
Siauw Hoe dan Boe Kie saling mengawasi tanpa bisa
882
mengeluarkan sepatah kata. Mereka mendongkol tercampur
geli. Sedang suami isteri itu benar benar aneh dan sukar
dicari tandingannya didalam dunia selebar ini. Karena rasa
cinta yang besar Ouw Ceng Goe takut terhadap isterinya.
Dilain pihak, Ong Lan Kouw terus menindih suaminya dan
akhirnya ia bahkan meracuni diri sendri.
Sesudah menggelengkan kepala, Tiap kok ie sian berkata
pula: "Cobalah kalian pikir: Apa yang harus diperbuat
olehku? Kalau sekarang aku berhasil menyembuhkannya,
itu akan berarti, bahwa kepandaianku lebih unggul dari
pada kepandaiannya dan Lan Kouw tentu akan tetap
merasa kurang senang. Jika aku gagal, jiwanya melayang.
Hai! Aku mengharap Kim hoa Popo cepat-cepat datang
supaya aku lekas-lekas mampus agar jangan merasakan
penderitaan ini lebih lama lagi."
Tiba tiba serupa ingatan berkelebat dalam otak Boe Kie.
"Racun apa yang ditelan Soebo?" to nyanya. "Bagaimana
mengobatinya?" (Soebo-Isteri dari seorang guru). Sambil
berkata begitu, ia menggoyang-goyangkan tangan, sebagai
isyarat supaya Ceng Goe tidak menjawab dengan
sebenarnya.
Ceng Goe melirik isterinya yang sedang tidur
menghadap kedalam. Sebagai seorang yang sangat pintar, ia
segera mengerti maksud bocah itu.
"Selama beberapa tahun kepandaian isteriku sudah maju
jauh, sehingga aku tidak dapat menebak racun apa yang
ditelannya," jawabnya. "Dan sebelum mengetahui
racunnya, aka tentu tak dapat mengobatinya."
Selagi orang tua itu menjawab pertanyaannya, dengan
jari tangan Boe Kie menulis huruf-huruf yang berbunyi
begini diatas meja: "Beritahukanlah aku dengan tulisan".
Selagi menulis, mulutny berkata. "Kalau begitu Soebo tak
883
bisa diobati lagi"
"Isteriku sendiri pasti tahu cara mempunahkan racun
itu," kata Ceng Goa. "Tapi aku mengenal adatnya. Biarpun
mati, ia tak nanti memberitahukan kepada kita." Waktu
berkata begitu, dengan telunjuknya ia menulis diatas meja.
Racun Sam ciong Sam co. Sam ciong ialah kelabang, ular
tanah dan laba-lain beracun, Sam co terdiri dari Cin po co,
Toan chung co dan Siauw houw koen. Sesudah itu ia
menulis juga resep obat. (Sam ciong Tiga macam binatang.
Sam-co Tiga macam rumput).
Boe Kie mengangguk dan lalu menulis pula diatas meja:
"Kau telanlah Sam ciong Sam co. Sesudah kau meracuni
diri sendiri, aku yang akan menolong"
Tiap kok Ie sian terkejut, tapi ia segera dapat menangkap
maksud Boe Kir. "Jalan ini sangat berbahaya," pikirnya.
"Tapi karena tak ada lain jalan biarlah aku mencoba secara
untung untungan."
Sementata itu Boe Kie sudah berkata pula. "Ouw Sinshe,
dengan memiliki kepandaian yang begitu tinggi, apakah
bisa jadi kau tak tahu racun apa yang sudah ditelan Soebo?"
"Menurut dugaanku, ia telah menelan racun Sam ciong
Sam-co," jawabnya. "Sam ciong bersifat "im" (dingin),
sedang Sam-co besifat "yang" (panas). Jangankan sampai
enam macam, satu macam saja sudah sukar untuk diobati.
Jika aku menggunakan obat yang sangatnya panas untuk
mempunahkan racun binatang yang bersifat dingin, maka
racun rumput yang panas akan menjadi jadi. Dan begitu
juga sebaliknya. Tubuh manusia yang terdiri dari darah
daging, tak akan bisa bertahan terhadap enam rupa racun
yang hebat itu." Ia mengibas tangannya dan berkata pula:
"Kalian pergilah! Manakala Lan Kouw binasa, akupun tak
bisa hidup sendirian didalam dunia."
884
"Kami harap Sinshe bisa menyayang diri dan coba
membujuk Soebo," kata Boe Kie.
Ceng Goe menghela napas. "Kalau dia bisa di bujuk,
kejadian hari ini boleh tak usah terjadi," Jawabnya dengan
suara putus harapan.
Siauw Hoe dan Boe Kie lantas saja meninggalkan kamar
itu.
Sesudah mereka berlalu, Tiap kok Ie sian segera menotok
jalanan darah, dipinggangnya dan pinggang isterinya. "Soemoay,"
katanya dengan suara parau, "suamimu tak
mempunyai kemampuan dan tak dapat memunahkan racun
Sam ciong Sam co. Jalan satu-satunya yalah mengikuti kau
kedunia baka untuk menyambung perjodohan kita," ia
merogoh saku isterinya dan mengeluarkan beberapa
bungkus obat, yang sesuai dengan dugaannya, berisi Sam
ciong Sam co.
Karena ditotok, tubuh Lan Kouw tidak bisa berkutik,
tapi mulutnya masih bisa bicara. "Soeko, tak boleh kau
makan racun!" teriaknya dengan kaget.
Sang suami tidak meladeni. Ia membuka bungkusan
bubuk racun yang lalu dimasukkan kedalam mulutnya dan
ditelan dengan bantuan air.
Paras muka Lan Kouw pucat pasti. "Soeko?" jeritnya.
"Kau gila! Mengapa begitu banyak? Racun sebanyak itu
dapat membinasakan tiga manusia."
Tiap kok Ie skin tertawa dingin. Ia duduk menyender
dikursi disamping kepala ranjang. Sesaat kemudian,
perutnya seperti disayat ratusan pisau dan ia mengerti,
bahwa Toan-chung co (Rumput memutuskan usus) sudah
mulai bekerja. Tak lama lagi, lima racun yang lain juga
turut mengamuk dan penderitaan Ceng Goe tak mungkin
885
dilukiskan dengan perkataan.
"Soeko! Racun itu ada pemunahnya!" teriak Lan Kouw.
Sang suami menggigil, giginya bercatrukan dan ia
berkata sambil menggelengkan kepala : "Aku...
tak....percaya...."
"Lekas makan Giok liong Souw hap san!" teriak si isteri.
"Gunakan jarum untuk membuyarkan racun!"
"Apa gunanya?" kata Ceng Goe.
Sekarang nyonya itu menangis, "Racun yang ditelan
olehku sangat sedikit," katanya: "Kau makan terlalu
banyak. Oh Soeko!... Lekaslah tolong jiwamu.... Kalau
terlambat.... tak keburu lagi...."
"Aku mencintai kau dengan segenap jiwa," kata sang
suami. "Tapi kau sendiri tak hentinya mengajak aku
mengadu ilmu. Aku merasa, hidup lebih lama tiada artinya
.... aduh!: ... aduh!! Ia bukan berpura-pura, ketika itu racun
ular dan lawa lawa sudah mulai menyerang jantung.
Badannya bergoyang-goyang dan dilain detik, ia sudah tak
ingat orang.
Semua kejadian itu didengar jelas oleh Siauw Hoe dan
Boe Kie yang menunggu diluar pintu. "Soeko! Soeko!" Lan
Kouw sesambat. "Akulah yang bersalah... Kau tidak boleh
mati....aku tak akan mengajak kau mengadu ilmu lagi"
Sekarang Boe Kie menganggap bahwa sudah tiba
waktunya untuk ia turun tangan. Ia menerobos masuk dan
bertanya: "Soebo... lekas! Lekas! beritahukan cara
menolong Soehoe!"
Lan Kouw girang tak kepalang. "Lekas berikan Giok
liong Souw hap san kepadanya!" teriaknya. "Lekas! Ambil
jarum emas dan tusuklah jalan darah Yong coan hiat dan
886
kioe bwee hiat dan cepat!"
Pada detik itu, diluar kamar sekonyong-konyong
terdengar suara batuk-batuk. Ditengah malam buta, suara
itu membangunkan bulu roma. Kie Siauw Hoe melompat
masuk, paras mukanya pucat bagaikan kettas. Sambil
melompat, ia berkata dengan suara heran :"Kim Hoa
Popo...."
Hampir berbareng dengan perkataan popo tirai
bergoyang dan diambang pintu berdiri seorang nenek yang
tangannya mencekal satu nona cilik yang berparas sangat
cantik.
Nenek itu memang bukan lain daripada Majikan Pulau
Leng coa to, Kim Hoa Popo. Melihat Ceng Goe mencekal
perut dengan paras muka bersemu hitam dan berada dalam
keadaan pingsan, ia terkejut dan bertanya: "Ada apa?"
Lan Kouw menangis keras, "Soeko! Soeko!" jeritnya.
"Mengapa kau meracuni diri sendiri?"
Kedatangan Kim Hoa Popo di wilayah Tiong goan
mengandung dua maksud. Pertama untuk mencari musuh
yang telah meracuni suaminya dan kedua untuk memberi
hukuman kepada Ouw Ceng Goe.. Tak dinyana, ia bertemu
Tiap kok Ie sian yang sudah hampir mati. Sebagai seorang
ahli dalam ilmu menggunakan racun, begitu melihat paras
muka Ceng Goe dan Lan Kouw, ia mengetahui, bahwa
jiwa mereka sukar untuk di tolong lagi. Ia menduga, bahwa
Ceng Goa sudah menelan racun karena takut hukuman
yang mungkin dijatuhkan olehnya dan dengan adanya
dugaan itu, rasa sakit hatinya lagtas saja menghilang. Ia
menghela napas dan sambil menarik tangan si nona cilik, ia
berjalan keluar. Dilain saat, suara batuk batuk terdengar
diluar rumah, dalam jarak puluhan tombak. Kecepatan
bergeraknya nenek sungguh sukar dicari tandingannya.
887
Sesudah Kim hoa Popo berlalu, Boe Kie meraba dada
Ceng Goe yang jantungnya masih mengetuk dengan
perlahan.
Buru-buru ia mengambil Giok long Souw hap san yang
lalu dicekukkan kemulut orang tua itu dan kemudian
mengambil jarum emas untuk menusuk Yong coan hiat dan
Kioe bwee hiat, supaya hawa beracun bisa keluar dari
lubang tusukan. Sesudah menolong sang Soehoe, barulah ia
menolong Soebo.
Setengah jam kemudian, perlahan-lahan Tiap kok ie sian
tersadar. Rasa syukur dilukiskan, ia menaagis dan berkata
"Saudara kecil! kau adalah tuan penolong kami yang sudah
menolong jiwa kami berdua."
"Sekarang kalian boleh tak usah berkuatir lagi." kata Boe
Kie. "Kim hoa Popo yang menduga kalian pasti akan
binasa, sudah berlalu tanpa mengatakan sepatah kata"
"Tapi aku masih tetap berkuatir," kata sang Soebo. "Kim
hoa Popo adaiah seorang yang sangat berhati-hati. Biarpun
hari ini ia sudah pergi, dilain hari ia pasti akan datang pula
untuk menyelidiki. Kami berdua harus menyingkirkan diri.
Saudara kecil, aku ingin meminta pertolonganmu. Buatlah
dua buah kuburan kosong dan tulisilah nama kami diatas
batu nisan." Si bocah mengangguk sebagai tanda ia akan
melakuknn permintaan itu.
Ceng One dan Lan Kouw segera berkemas dan malam
itu juga, dengan menumpang sebuah kereta keledai, mereka
berangkat meninggalkan Ouw tiap kok. Boe Kie mengantar
mereka sampai di mulut selat. Sesudah berkumpul dua
tahun lebih dan sekarang meski berpisahan secara
mendadak, Ceng Goe dan Boe Kie merasa sangat terharu.
Sambil mengangsutkan sejilid buku tulisan tangan kepada si
bocah, orang tua itu berkata. "Boe Kie, semua pelajaranku
888
sudah tercatat dalam buku ini. Aku menghadiahkannya
kepadamu. Aku merasa sangat menyesal bahwa racun Hian
beng Sin ciang dalam tubuhmu masih belum dapat
disingkirkan. Aku mengharap, bahwa sesudah mempelajari
buku ini, kau sendiri akan mendapat jalan untuk
mempunah racun itu. Dengan berkah Tuhan, dihari
kemudian kita masih bisa bertemu lagi"
Sambil menghaturkan banyak terima kasih, Boe Kie
menerima hadiah itu.
"Boe Kie," kata Lan Kouw, "kau bukan saja sudah
menolong jiwa kami, tapi juga sudah mengakurkan kami
berdua suami isteri. Menurut pantas, akupun harus
memberikan semua pelajaran kepadamu.. Hanya sayang
apa yang dipelajari olehku ada ilmu ilmu meracuni manusia
yang tiada faedahnya. Aku hanya dapat memohon pada
Tuhan Yang Maha Esa, supaya kau sembuh dalam tempo
agar dihari kemudian aku masih bisa membalas sedikit
budimu."
Demikianlah, dengun rasa duka, mereka berpisahan.
Sesudah kereta itu tak kelihatan bayangan-bayanganya
lagi, barulah Boe Kie kembali kerumah Ceng Goe yang
sudah kosong. Pada esokan paginya, ia segera membuat
dua buah kuburan disamping rumah dan kemudian
memanggil tukang batu untuk mendirikan bong pay (batu
nisan). Diatas sebuah bong pay tertulis. "Kuburan Tiap kok
Ie sian, Ouw Sinshe, Ceng Goe", sedang dilain bong pay
tertulis. "Kuburan Nyonya Ouw, Ong sie"
Kan Ciat, Sie Kong Wan dan yang lain-lain percaya,
bahwa kedua suami isteri itu telah meninggal dunia karena
sakit cacar.
Sesudah pengacaunya berlalu, dengan diobati Boe Kie,
semua orang sembuh dengan cepat sekali. Dalam sepuluh
889
hari, mereka semua sudah berlalu dengan menghaturkan
banyak terima kasih.
Selama beberapa hari, Boe Kie memusatkan seluruh
perhatiannya kepada buku yang diberikan oleh Tiap kok ie
sian. Ia mendapat kenyataan bahwa isi buku itu benar-benar
hebat, berisi resep-resep luar biasa dan macam-macam cara
untuk mengobati berbagai penyakit yang aneh-aneh.
Sungguh tak malu Ouw Ceng Goe mendapat gelaran Ie
sian. Tapi sesudah mempelajari delapan sembilan hari, ia
masih juga belum dapat membaca Keterangan tentang cara
mengusir racun Hian beng Sin ciang. Ia memikir bulakbalik,
mengasah otak Siang malam, tapi tetap tidak berhasil.
Ia jadi putus harapan.
Hari itu, dengan perasaan tertindih ia jalan jalan diluar
rumah. Sambil mengawasi keduaku kuburan kosong itu, ia
berkata dalam hatinya: "Setahun lagi, siapakah yang akan
mengubur mayat ku?" Mengingat begitu, hatinya sedih dan
air mata nya mengucur.
Sekonyong-konyong dibelakangnya terdengar suara
batuk-batuk. Ia kaget, dan memutar badannya. Orang yang
berdiri dibelakangnya ternyata bukan lain daripada Kim
hoa Popo yang sedang mencekal tangan sigadis kecil
"Anak kecil, pernah apakah kau dengan Ouw Ceng
Goe?" tanya si nenek. "Mengapa kau menangis didepan
kuburannya ?"
Jawab Boe Kie. "Aku kena racun Hian beng Sin ciang . .
. ."
Si nenek mengangsurkan tangannya dan memegang nadi
Boe Kie. "Siapa yang memukul kau?" tanyanya dengan
suara heran.
Boe Kie menggelengkan kepala. "Entahlah," Jawabnya.
890
"Orang itu menyamar seperti seorang perwira Mongol. Aku
tak tahu siapa adanya dia. Aku datang kemari untuk
meminta pertolongan Ouw Sinshe, tapi ia tak sudi
menolong. Sekarang ia meninggal dunia dan penyakitku
tentu tak dapat diobati lagi. Itulah sebabnya mengapa aku
menangis."
Melihat paras muka si bocah yang sangat tampan dan
gerak geriknya yang menarik. Kim hoa Popo merasa
kasihan sehingga ia menghela napas panjang dan berkata."
Sayang, sungguh sayang!"
Dua tahun yang lalu, waktu baru diberitahukan bahwa
racun Hian beng Sin ciang sukat diobati, Boe Kie
ketakutan. Belakangan, sesudah berbagai usaha gagal, ia
putus harapan dan jadi nekad. Ia sudah tidak memikiri lagi
soal mati dan hidupnya. Maka itu, mendengar perkataan si
nenak, ia tertawa dingin dan berkata. "Mati atau hidup tak
bisa diminta secara paksa. Apakah seseorang yang serakah
yang ingin hidup terus menerus bukan seorang yang sedang
mabuk ? Entahlah. Apakah seseorang yang takut mati
bukan seperti seorang kanak-kanak yang kesasar dan tidak
mengenal jalan pulang? Entahlah. Apakah seseorang yang
sudah meninggal dunia tidak merasa menyesal bahwa ia
dahulu ingin sekali dilahirkan didalam dunia? Inipun tak
diketahui olehku,"
Si nenek terkesiap. Untuk sementara ia tidak
mengeluarkan sepatah kata dan coba memecahkan maksud
perkatan si bocah.
Kata-kata itu adalah petikan dari kitab Lam hoa keng
gubahan Cong coe -Chuang tse-. Sebagai mana diketahui
Thio Sam Hong menganut agama Too kauw tapi ketujuh
muridnya tidak turut memeluk agama tersebut. Meskipun
begitu, mereka terus mempelajari Lam Hoa keng semasakmasak
nya.
891
Waktu berada di pulau Peng bwee to, karena tak ada
buku dan perabot tulis, Thio Coei San mengajar ilmu surat
kepada puteranya dengan menulis huruf diatas tanah.
Antara lain, ia telah menyuruh anaknya menghafal kitab
Lam-hoa-keng. Kata-kata yang dikutip Boe Kie
mengandung makna yang seperti berikut: Hidup belum
tentu senang dan mati belum tentu menderita, sehingga
pada hakekatnya hidup atau mati tidak banyak
perbedaannya. Seseorang yang hidup di dunia seperti
sedang mimpi dan kalau ia mati, ia seperti tersadar dari
mimpinya. Mungkin sekali, sesudah mati, rohnya menyesal
mengapa dahulu dia hidup di dalam dunia dan mengapa dia
tidak mati terlebih siang. Demikianlah kira-kira arti
perkataan itu.
Sebagai seorang bocah, Boe Kie sebenarnya belum
mengerti soal mati atau hidup. Tapi karena selama kurang
lebih empat tahun setiap hari ia berada antara mati dan
hidup, maka sedikit banyak ia dapat menyelami juga arti
perkataan Cong coe. Tanpa merasa, ia mengharap supaya
sesudah mati, ia akan berada ditempat yang bahagia,
supaya ia bisa berkumpul lagi dengan roh kedua orang
tuanya, sehingga kematiannya banyak lebih menyenangkan
dari pada hidup sebatangkara didalam dunia yang lebar ini.
Bagi Kim Hoa Popn, perkata itu telah mengingatkannya
kepada sang suami yang sudah almarhum. Puluhan tahun,
dengan penuh kecintaan mereka bersuami isteri. Tiba-tiba
pada suatu hari, sang suami yang tercinta telah berpulang
kealam baka, seperti seorang pelancong yang pulang ke
negeri sendiri. Mengingat begitu, didalam hatinya segera
muncul satu pertanyaan: "Apakah kebinasaan suami itu
bukan kejadian yang tidak terlalu jelek?"
Dengan perasaan heran si nona cilik yang berdiri
disamping Kim Hoa Popo mengawasi muka si nenek dan
892
kemudian melirik Boe Kie. Ia tidak mengerti perkataan Boe
Kie dan juga tidak mengerti mengapa neneknya bengong
terlongong longong.
Beberapa saat kemudian, Kim Hoa Popo menghela
napas dan berkata: "Soal mati atau hidup tak bisa diketahui
manusia. Biarpun kematian belum tentu merupakan suatu
kejadian yang menakuti, tapi pada umumnya manusia takut
mati. Benar! Manusia tidak bisa meminta secara paksa.
Pada akhirnya, satu hari semua manusia akan mati. Akan
tetapi, jika bisa hidup satu hari lebih lama, orang lebih suka
hidup satu hari lebih lama!"
Melihat sikap dan perkataan si nenek yang lemahlembut,
hati si bocah jadi tenang tenteram. Sesudah
menyaksikan lukanya kelima belas orang dan rasa takutnya
Ouw Ceng Goa, Boe Kie menganggap nenek itu sebagai
memedi kejam. Tapi sekarang, melihat paras Kim hoa Popo
yang penuh kecintaan dan sikapnya yang ramah tamah, ia
merasa, bahwa si nenek menyayangnya dengan setulus hati,
sehingga dengan demikian rasa takutnya banyak berkurang.
"Nak," kata pula nenek itu, "Siapakah ayahmu dan
dimana ia sekarang?"
Tanpa tedeng-tedeng, secara ringkas Boe Kie segera
memberi jawaban dan menuturkan sebab musabab sehingga
dia berada di Ouw tiap kok.
"Kalau begitu kau adalab putera Boe tong Thio
Ngohiap," kata Kim hoa Popo dengan suara heran.
"Menurut pendapatku orang itu melukakan kau dengan
Hian beng Sin ciang karena dia ingin memaksa kau
memberitahukan tempat sembunyinya Cia Soen. Bukankah
begitu ?"
"Benar" Jawab Boe Kie. "Dia telah menyiksa aku dengan
berbagai cara, tapi aku tetap membungkam."
893
"Tapi apa kau tahu dimana adanya Cia Soen ?" tanya
pula si nenek.
"Kim mo Say ong adalah ayah angkatku." jawabnya
"Tapi biar bagaimanapun jua, aku tak akan
memberitahukan kepada siapapun jua."
Mendadak si nenek membalik tangannya dan mencekal
kedua tangan Boe Kie yang lalu dipijit keras-keras. Si bocah
berteriak keras, matanya berkurang kunang. Pijitan itu
bukan saja hebat, tapi dari tangan si nenek juga keluar
semacam hawa dingin yang menyerang dadanya. Hawa
dingin itu berbeda dengea hawa Hian beng Sin ciang, tapi
sama hebatnya.
"Anak baik," kata Kim Hoa Popo, "Beritahukanlah
dimana adanya Cia Soen? Sesudah kau memberitahukan,
aku akan mengusir racun dari tubuhmu dan juga akan
memberikan semacam ilmu silat yang tiada keduanya
kepadamu."
Sambil menahan sakit, Boe Kie menjawab dengan suara
tetap. "Kedua orang tuaku telah mengorbankan jiwa karena
tidak mau menjual sahabat. Kim Hoa Popo, apakah kau
memandang aku sebagai manusia yang bisa menjual ayah
ibunya?"
Si nenek bersenyum, "Bagus ! Bagus!", katanya: "Kau
sungguh seorang anak yang baik?"
"Popo, mengapa kau tidak menuang air perak kedalam
kupingku?" tanya si bocah dengan berani: "Mengapa kau
tidak memaksa aku menelan jarum? Huh huh ! Dulu, waktu
masih kecil, aku sudah tak takut segala siksaan. Apalagi
sekarang?"
Kim hoa Popo tertawa terbahak-bahak. "Kau sudah
besar anak, memang kau sudah besar," katanya. "Ha ha
894
ha...ho ho ho ..."Sehabis tertawa, ia batuk-batuk, banyak
lebih hebat dari biasanya, sehingga si nona cilik menumbuknumbuk
punggungnya dan memberikan sebutir yowan
kepada nya.
Sesudah berhenti batuk-batuk, perlahan-lahan si nenek
meletakan cekalannya, pada pergelangan tangan Boe Kie
yang bekas dicekal terpeta tapak jari tangan yang berwarna
ungu-hitam.
Si nona cilik melirik Boe Kin seraya berkata "Lekas
menghatur terima kasih kepada Popo yang sudah
mengampuni jiwamu."
Boe Kie mengeluarkan suara dihidung. "Kalau segera
dibunuh, mungkin sekali aku lebih senang," katanya. "Perlu
apa menghaturkan terima kasih?"
Alis si nona berkerut. "Kau terlalu kepala batu." katanya.
"Sudahlah! Aku tak akan memperdulikan kau lagi." Ia
memutar badan, tapi diam-diam ia melirik Boe Kie lagi.
Si nenek bersenyum. "A lee," katanya, "dipulau kita, kau
seorang diri, tak punya kawan. Apa tidak baik kalau kita
bawa dia kesana, supaya dia bisa menemani kau? Hanya
adatnya tidak begitu bagus."
Si nona yang dipanggil "A-lee" menepuk-nepuk tangan
dan berkata dengan girang. "Bagus kita bawa dia kesana.
Kalau dia membandel, bukankah Popo bisa mencari jalan
untuk menaklukinya?"
Mendengar pembicaraan itu, Boe Kie jadi bingung.
Si nenek manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata.
"Kau ikut aku. Lebih dulu kita cari seorang dan aku ingin
melakukan suatu pekerjaan. Sesudah itu, kita pulang ke
pulau Leng coa to."
895
"Tidak! Kamu bukan orang baik-baik." kata Boe Kie
dengan gusar.
Si nenek bersenyum. "Kau sungguh goblok," katanya,
"Di pulau kami, kau bisa mendapatkan apapun jua.
Makanan yang lezat, tempat bermain, pemandangan indah
yang belum pernah dilihat oleh mu. Anak baik, sudahlah,
kau jangan rewel dan ikutlah Popo."
Tiba-tiba Boe hie memutar badan dan terus lari. Tapi
baru dua tiga tindak, si nenek sudah menghadang
didepannya. "Nak, kau tak akan bisa melarikan diri."
katanya dengan suara lemah lembut. "Ikutilah aku baikbaik,
jangan sampai di paksa."
Boe Kie melompat dan kabur kejurusan lain tapi seperti
juga tadi, baru setindak dua, Kim Hoa Popo sudah
mencegat pula. Dengan gusar Boe Kie meninju. Si nenek
mengegos sambil meniup tinja yang menyambar. Di tiup
begitu, Boe Kie merasa tangannya seperti disayat pisau.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring. "Boe
Kie Koko !" Suara itu ialah suara Yo Poet Hwie yang
muncul dari dalam hutan sambil berlari-lari, diikuti oleh
ibunya dari belakang.
Melihat Kim Hoa Popo, paras muka Siauw Hoe lantas
raja berubah pucat. Tapi dengan memberanikan hati, ia
berkata dengan suara gemetar: "Popo, kau tidak akan
mencelakakan anak-anak kecil bukan ?"
Si nenek mendelik. "Kau masih belum mati?" tanyanya
dengan suara dingin, "Jangan campur campur urusanku.
Mari... Mari... Aku mau lihat, mengapa kau belum mati."
Siauw Hoe sebenarnya berhati tabah. Tapi dalam
menghadapi lawan berat dan karena memikirkan
keselamatan puterinya, ia sungkan menerjang bahaya.
896
Maka itu, seraya menarik tangan puterinya, ia mundur
setindak. "Boe Kie kemari," katanya dengan suara perlahan.
Baru saja Boe Kie mau bergerak, si nona cilik sudah
menjambret lengannya dan menyengkeram jalan darah Sam
yang hiat, sehingga separoh badannya tidak dapat berkutik
lagi, "Diam!" bentak gadis kecil itu.
Boe Kie kaget, gusar dan heran," Celaka" ia mengeluh.
"Ilmu apa yang digunakan perempuan kecil ini ?"
Sekonyong-konyong terdengar suara yang nyaring dan
tajam. "Siauw Hoe, mengapa nyalimu begitu kecil ? Mau
mendekati, dekatilah!"
Siauw Hoe kaget bercampur girang, "Soehoe!" teriaknya,
tapi tidak mendapat jawaban. Sesaat kemudian, disebelah
kejauhan muncul seorang nio kouw (pendeta perempuan)
yang mengenakan jubah pertapaan warna abu-abu dan
mendatangi dengan tindakan perlahan. Pendeta itu bukan
lain dari pada Ciang boenjin Go bie pay, dan di belakang
mengikuti dua orang murid.
Bahwa dari tempat yang begitu jauh, ia bisa melihat
begitu tegas dan bisa mengirim suara yang begitu nyaring
merupakan bukti dari kelihayan pendata tersebut. Biat coat
Soethay, yang namanya dikenal oleh semua jago Rimba
Persilatan, bukan saja jarang turun gunung, tapi juga jarang
menemui manusia. Kalau ia masih menolak untuk
menemui seorang berilmu seperti Thio Sam Hong lain tak
usah dibicarakan lagi.
Sesudah datang dekat, in ternyata berusia setengah tua,
kurang lebih empat puluh lima tahun sedang paras
mukanya dapat dikatakan elok hanya sayang kedua alisnya
terlalu turun kebawah sehingga muka yang cantik itu agak
menyerupai muka setan Tiauw sie kwi (setan
penggantungan) diatas panggung wayang.
897
Siauw Hoe menyambut dengan berlutut seraya berkata.
"Soehoe, apa kau baik ?"
"Belum mampus dirongrong olehmu," jawabnya.
Siauw Hoe tidak berani bangun. Mendengar suara
tertawa dingin dari Teng Bin Koen yang berdiri dibelakang
gurunya, ia segera mengetahui, bahwa kakak
seperguruannya itu sudah bicara banyak tentang dirinya
dihadapan sang guru. Jantungnya memukul keras dan
keringat dingin keluar dari dahinya.
"Nenek itu telah memanggil kau untuk melihat mengapa
kau belum mati," kata Biat coat Soe thay. "Pergilah, dekati
dia!"
"Baik.. " kata si murid yang lalu bangun berdiri dan
menghampiri si nenek. "Kim Hoa Popo," katanya. "Guruku
sudah datang. Jangan kau berlaku galak lagi."
Kim hoa Popo batuk-batuk. Ia melirik Biat coat Soethay
dan manggut-manggukkan kepalanya. "Hm! Kau Ciang
boenjin Go bie pay," katanya. "Benar, aku sudah memukul
muridmu. Habis, mau apa kau ?"
"Bagus," jawabnya. "Mau pukul, boleh pukul lagi.
Biarpun dia mati, tak ada sangkut pautnya denganku."
Hati Siauw Hoe seperti disayat pisau, "Soehoe!"
teriaknya dengan suara parau, sedang air matanya mulai
mengucur.
Biat coat Soethay biasanya dikenal sebagai seorang yang
selalu mengeloni muridnya, meskipun murid itu berbuat
kesalahan. Sekarang, dengan mengeluarkan perkataan itu
terang-terangan ia mengunjuk, bahwa ia sudah tidak
menganggap Siauw Hoe sebagai muridnya lagi.
"Dengan Go bie pay aku tidak mempunyai
898
permusuhan." kata Kim hoa Popo. "Sesudah memukul
sekali, cukuplah. A-lee, mari kita pergi !"
Sehabis betkata begitu, perlahan-lahan ia memutar
badan.
Melihat cara-cara si nenek yang dianggapnya kurang
ajar, Teng Bin Koen yang belum mengenal kelihayan Kim
hoa Popo, lantas saja naik darah.
Dengan sekali melompat, ia sudah menghadang
dihadapan nenek itu, "Tak tahu adat!" bentaknya. "Apa kau
mau pergi dengan begitu saja, tanpa mengeluarkan sepatah
perkataan sopan?" Seraya barkata begitu, ia mencekal
gagang pedang dan sikapnya galak sekali.
Tangan si nenek bergerak dan dengan dua jeriji, dia
memijit sarung pedang Teng Bin Koen. "Kau mengancam
orang dengan besi rongsokkan!" Katanya sambil tertawa.
Teng Bin Kaoen jadi lebih gusar dan lalu menarik
pedangnya, tapi heran sungguh, pedang itu tak dapat
dihunus.
A lee tertawa geli. "Besi rosokan sudah berkarat,"
katanya.
Teng Bin koen coba mencabut lagi dangan menambah
tenaga, tapi pedang itu tetap melekat pada sarungnya. Ia tak
tahu, bahwa karena dipijit, sarung pedang pecah dan
melesak kedatam, sehingga badan pedang tergencet keras.
Paras muka Teng Bin koen lantas saja berubah merah. Ia
merasa jengah dan tak tahu harus berbuat apa. Biat coat
Soethay maju setindak dengan tiga jari tangan, ia menjepit
gagang pedang dan sekali menyentak, sarung itu pecah dan
pedangnya terhunus keluar. "Pedang ini memang bukan
senjata mustika, tapi juga bukan besi rongsokan," katanya
dengan suara mendongkol. "Kim hoa Popo, mengapa kau
899
tidak berdiam di pulau Leng coa to dan menyateroni
wilayah Tiong goan?"
Melihat kepandaian nie kouw, si nenek terkejut.
"Pendeta itu besar namanya dan ternyata ia memang
memiliki kepandaian tinggi," katanya didalam hati.
"Baiklah aku coba menjajal ilmunya."
Ia lantas saja berkata sambil tertawa: "Suami ku sudah
meninggal dunia dan di pulau kami, aku merasa sangat
kesepian. Maka itu, aku pergi pesiar, kalau-kalau ada
seorang hweeshio atau toesoe yang cocok untuk dijadikan
kawan" dengan berkata begitu menyebut hweeshio dan
toesoe, ia mengejek Biat coat. Ia seolah-olah mau
mengatakan, bahwa sebagai seorang pendeta perempuan,
Biat coat Soethay tidak pantas berkelana diluaran.
Paras muka nie kouw itu, yang beradat keras dan tidak
pernah guyon-guyog, lantas saja berubah. Kedua alisnya
makin turun kebawah. Sambil mengibas pedang, ia
membentak : "Keluarkan senjatamu!"
Semenjak berguru, murid-murid Goe bie belum pernah
melihat guru mereka bertempur. Antara ketiga murid itu,
adalah Kie Siauw Hoe yang sangat berkuatir akan
keselamatan sang guru, karena ia sudah menyaksikan
kelihayan Kim hoa Popo.
Sementara itu, Boe Kie, yang lengannya dicekal A-lee,
sudah coba meronta seraya membentak: "Lepaskan! Perlu
apa kau pegang aku?" A lee melirik Kie Siauw Hoe yang
kelihatannya ingin bergerak untuk memberi pertolongan. Ia
melepas cekalannya dan berkata: "Diam disini. Aku mau
lihat apa kau bisa lari."
Mendengar tantangan, Kim Hoa Popo tertawa: "Dulu,
ilmu pedang Kwee Siang, Kwee Liehiap, leluhur Goe bie
pay, memang telah menggetarkan dunia persilatan,"
900
katanya. "Tapi sesudah turun kepada murid dan cucu
muridnya, berapa bagian yang masih ketinggalan?"
"Biarpun hanya ketinggalan sebagian, tapi sudah cukup
untuk menyapu bersih segala kawanan siluman," jawab Biat
coat dengan mendongkol.
Untuk sejenak si nenek mengawasi ujung pedang dan
mendadak ia menotol badan pedang lawan dengan
tongkatnya. Tentu saja Biat coat tidak mempermisikan
pedangnya ditotol begitu rupa. Sekali bergerak, ia sudah
menikam pundak si nenek, yang sambil batuk-batut, lantas
saja menyapu dengan tongkatnya. Seraya menarik pulang
senjatanya, Biat coat melompat dan bagaikan kilat, ia sudah
berada dibelakang Kim Hoa Popo. Sebelum kakinya
hinggap ditanah, pedangnya sudah menyambar, tapi sinenek
sendiri, tanpa memutar badan, sudah berhasil
menangkis dengan tongkatnya.
Kedua wanita itu adalah jago jago kelas utama dalam
Rimba Persilatan. Baru saja bergebrak tiga empat jurus,
mereka mengetahui, bahwa hari itu mereka mendapat
lawan setanding. Sekonyong-konyong terdengat suara
"trang!" dan pedang Biat coat patah dua. Semua orang,
kecuali A-lee, terkesiap. Mereka memandang rendah
tongkat si nenek, sehingga mereka menduga, bahwa
patahnya pedang adalah akibat Lweekang Kim hoa Popo
yang sangat tinggi. Tapi si-nenek dan si-pendeta sama-sama
tahu bahwa patahnya pedang itu bukan lantaran
keunggulan Lweekang, tapi sebab luar biasanya tongkat itu
yang terbuat daripada San ouw kim, hasil laut diperairan
pulau Leng coa to.
San-ouw-kim adalah semacam logam istimewa yang
merupakan campuran dari beberapa macam logam dan batu
karang, sesudah berada didalam air berlaksa tahun
lamanya, logam itu keras dan berat luar biasa, sehingga bisa
901
memutuskan baja dan menghancur leburkan batu.
Karena mengetahui, bahwa patahnya pedang bukan
sebab lawannya kalah, maka sebagai seorang yang
berkedudukan tinggi, Kim Hoa Popo tidak mendesak.
Sambil batuk-batuk, ia menuggu. Di lain pihak, sebab kuatir
guru mereka terluka. Kie Siauw Hoe dan kedua saudari
seperguruannya buru-buru mendekati Biat coat Soethay.
Sementara itu, Ah lee dan Boe Kie sudah bertengkar lagi.
Si nona cilik yang sangat nakal tiba tiba mencekal pula
peegelangan tangan Boe Kie. "Lihatlah, kau tidak akan bisa
terlepas dari tanganku." katanya.
Begitu pergelangan tangannya tercekal. Boe Kie kembali
merasa separuh badannya lemas. Ia bingung dan gusar dan
lalu coba menendang. A lee mencekal lebih keras sambil
mengerahkan Lwee kang, sehingga kaki Boe Kie tidak bisa
diangkat tinggi. "Lepas! Mau lepas tidak?" teriaknya.
"Tidak! Mau apa kau?" jawab si nona. Mendadak Boe
Kie menunduk dan lalu menggigit tangan A lee.
"Aduh!" teriak si nona yang terpaksa melepaskan
cengkeramannya, tapi tangan kirinya lalu menyambar muka
si bocah. Boe Kie coba melompat mundur, tapi tidak
keburu lagi dan mukanya sudah tercakar. Dilain pihak,
tangan A lee mengeluarkan darah akibat gigitan.
Kim Hoa Popo tidak menghiraukan kedua anak yang
sedang bertengkar itu. Dalam menghadapi lawan berat, ia
tak dapat memecah perhatiannya. Dilain saat, sambil
melemparkan potongan pedang, Biat coat Soethay berkata
"Pedang itu pedang muridku dan ternyata tidak cukup kuat
untuk menahan seranganmu." Seraya berkata begitu, ia
membuka sebuah kantong yang tergantung dipudaknya dan
mengeluarkan sebatang pedang tua yang panjangnya empat
kaki. Sebelum dihunus, dari sarung pedang sudah terlihat
902
sehelai sinar hijau sehingga dapat diduga, bahwa senjata itu
senjata luar biasa.
Kim Hoa Popo melirik dan melihat, bahwa pada sarung
pedang itu terdapat dua huruf emas huruf kuno yang
berbunyi: "Ie thian". Ia terkesiap dan berseru tanpa merasa:
"Ie thian kiam!"
Biat coat mengangguk. "Benar, inilah Ie thian kiam!"
katanya.
Sesaat itu, dalam otak si nenek berkelebat kata-kata yang
sudah lama tersiar didalam Rimba Persilatan: "Boe lim cie
coen, po-to-to-liong, hauw leng thia hee, boh kam poet
ciong ie thian poet coet, swee-ie-ceng hong." (Yang termulia
dalam Rimba Persilatan, golok mustika Membunuh naga,
perintahnya dikolong langit, tiada manusia yang berani
tidak menurut, Ie thian tidak keluar, siapa lagi yang berani
melawan ketajamannya.) Ia mengawasi senjata mustika itu
dan berkata dengan suara yang hampir tidak kedengaran:
"Kalau begitu, Ie thian kiam, jatuh kedalam tangan Go bie
pay."
"Sambutlah!" bentak Biat coat seraya menotol dada si
nenek dengan sarung pedang. Ia menyerang tanpa
menghunus ie thian kiam. Kim ho Popo menangkis dengan
tongkatnya. Begitu kedua senjata kebentrok, terdengarlah
suara "brt!" dan.. loh! tongkat San ouw kiam putus jadi dua
potong!
Si nenek kaget tidak kepalang. Sebelum dihunus, Ie thian
kiam sudah begitu hebat! Ia mengawasi senjata lawan dan
berkata dengan suara perlahan: "Biat coat Soethay,
bolehkah aku melihat mata pedang itu?"
"Tidak bisa!" jawabnya dengan suara yang
menyeramkan. "Begitu terhunus, pedang tidak boleh
dimasukkan kedalam sarungnya lagi sebelum minum
903
darah!"
Untuk beberapa saat, tanpa mengeluarkan sepatah kata,
kedua jago betina itu saling mengawasi. Dalam beberapa
jurus tadi, mereka sudah mengadu Lweekang yang telah
dilatih sela puluhan tahun. Si nenek tahu bahwa tenaga
dalam Biat coat masih kalah setingkat dari Lweekangnya,
tapi cetek dalamnya ilmu pedang pendeta itu masih belum
dapat diukur olehnya. Tapivsebagal pemimpin Go bie pay,
ia tentu memiliki kepandaian luar biasa dan ditambah
dengan Ie thian kiam, ia sungguh bukan lawan yang enteng.
Memikir begitu, sambil batuk-batuk ia memutar badan dan
lalu berjalan pergi seraya menuntun tangan si nona cilik.
Ketiga murid Go bie pay tak tahu, bahwa pedang guru
mereka adalah Ie thian kiam yang sudah lama menghilang
dari Rimba Persilatan. Mereka hanya merasa girang, bahwa
guru mereka sudah memperoleh kemenangan. "Soehoe,"
kata Teng Bin Koen, "Nenek itu tidak bisa melihat gunung
Thaysan dan sudah berani bertempur melawan Soehoe.
Sekarang dia baru tahu kelihayan Soehoe."
Biat coat mengawasi murid itu yang coba
mengumpaknya. "Di kemudian hari, begitu lekas
mendengar suara batuk-batuknya, kamu mesti lekas lekas
menyingkir." katanya dengan suara sungguh. Ia
mengatakan begitu sebab meskipun berhasil memutuskan
senjata lawan, ia tahu bahwa Lweekang nenek itu lebih
unggul dari pada tenaga dalamnya. Tadi, waktu ia menotol
dengan sarung pedsang, ia menyertai juga dengan tenaga
Go bie kioe yang kang yang sudah dilatihnya selama tiga
puluh tahun. Tapi tenaga yang hebat itu seperti amblas di
dalam lautan dan tubuh si nenek sedikit run tidak
bergeming.
Sesaat kemudian, dengan paras muka yang sangat
menyeramkan Biat coat berkata. "Siauw Hoe kemari!" Ia
904
berjalan kegubuk Ouw Ceng Goe dengan diikuti oleh ketiga
muridnya.
"Ibu!" teriak Yo Poet Hwie sambil mengudak ibunya.
Siauw Hoe mengerti, bahwa kedatangan gutunya adalah
untuk "membersihkan" rumah perguruan dan meskipun ia
sangat disayang, kali ini ia tidak bisa terlolos dari hukuman.
Maka itu, dengan suara membujuk ia segera berkata kepada
puterinya "Tidak boleh, kau tidak boleh masuk. Kau
pergilah bermain."
Boe Kie mengawasi masuknya Biat coat kedalam rumah
Ceng Gor sambil berkata didalam hati: "Perempuan she
Teng itu sangat jahat dan dia pasti akan coba mencelakakan
Kie Kouwkouw. Peristiwa dimalam itu telah disaksikan
olehku dan pihak yang bersalah adalah siperempuan she
Teng. Biarlah, kalau dia bicara yang tidak-tidak aku akan
maju untuk membela Kie Kouwkouw." Memikir begitu ia
lantas saja bersembunyi dibelakang rumah.
Untuk beberapa saat keadaan sunyi-sunyi saja. Akhirnya
terdengar suara Biat coat. "Siauw Hoe, kau ceritakanlah."
"Soehoo... aku... aku... "
"Bin Koen, coba kau ajukan pertanyaan," memerintah
sang guru.
"Soe moay, dalam partai kita, apakah bunyinya larangan
ketiga ?" tanya Bin Koen.
"Dilarang berjina," jawabnya.
"Benar.. Larangan keenam?"
"Dilarang berpihak kepada orang luar dan mengkhianati
rumah perguruan sendiri."
"Apa hukumannya jika orang melanggar larangan itu?"
905
Siauw Hoe tidak menjawab. Ia menengok kepada
gurunya dan berkata. "Soehoe, dalam hal ini ada sesuatu
yang sukar dikatakan olehku."
"Disini tak ada orang luar, kau bicaralah terus terang,"
kata Biat coat.
Siauw Hoe mengerti, bahwa ia sedang menghadapi
kebinasaan den sekarang ia tak dapat menyembunyikan
apapun jua. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Soehoe, pada
enam tahun berselang, Soe Hoe telah memerintahkan kami,
delapan orang saudara seperguruan turun tangan untuk
menyelidiki tempat bersembunyinya Cia Soen. Pada suatu
hari, teecoe (murid) tiba di Tay soe po. Ditengah jalan,
teecoe bertemu dengan seorang pria setengah tua, usianya
kira-kira empat puluh tahun yang mengenakan baju putih.
Dia selalu menguntit toecoe. Teecoe menginap dirumah
penginapan, dia turut menginap disitu, teecoe makan dia
makan, teecoe jalan, ia turut jalan. Semula teecoe tidak
menghiraukannya, tapi belakangan, karena merasa tak
tahan, teecoe lalu menegurnya. Tapi dia menjawab seperti
orang otak miring. Sebab gusar, teecoe menghunus pedang
lalu menikamnya. Dia tidak membawa senjata, tetapi diluar
dugaanku, ilmu silatnya amat tinggi dan dalam dua tiga
jurus, dia sudah merampas senjata teecoe."
"Dengan bingung, teecoe kabur dan diapun tidak
mengejar. Pada keesokan paginya, waktu mendusin dari
tidur dalam sebuah kamar penginapan, dengan kaget dan
heran, teecoe mendapat kenyataan bahwa pedang teecoe
menggeletak disamping bantal kepala. Ketika teecoe
meninggalkan rumah penginapan itu, orang itu mengikuti
lagi. Teecoe mengerti, bahwa teecoe tidak dapat
menggunakan kekerasan dan lalu menegurnya dengam
kata-kata yang tajam. Teecoe mengatakan, bahwa dia harus
mengenal kesopanan dan bahwa partai Go bie pay bukan
906
partai yang boleh dibuat permainan.
Biat coat manggut-manggutkan kepalanya, seperti juga ia
menyetujui perkataan murid itu.
Sesudah berdiam sejenak, Siauw Hoe melanjut kan
penuturannya. "Orang-orang itu tertawa tawa dan berkata:
"Ilmu silat seorang yang sudah terpecah menjadi partai ini
dan partai itu, dengan sendirinya sudah merosot. Kalau
nona suka mengikuti aku, aku akan memperlihatkan bahwa
dalam ilmu silat masih terdapat lain dunia yang berbeda
dengan dunia mu."
Biat coat Soethay adalah seorang yang sempit
pandangannya. Seumur hidup ia mempelajari ilmu silat
dengan mengasingkan diri sehingga pengetahuannya
mengenai dunia luar sangat terbatas. Mendengar
keterangan Siauw Hoe, ia lantas saja merasa ketarik dan
berkata. "Kalau begitu kau boleh coba mengikuti dia dan
coba menyelidiki ilmu apa yang dimilikinya."
Paras muka si murid berubah merah. "Soehoe, dia
seorang yang belum dikenal, bagaimana teecoe bisa
mengikutinya ?"
"Aha! Kau benar!" kata sang guru, "Kau segera usir dia
bukan?"
"Dengan rupa-rupa jalan teecoe coba menyingkirkan diri,
tapi selalu tidak berhasil," jawabnya "Akhirnya teecoe
tertawan..... Teecoe bernasib sial sehingga bertemu dengan
musuh penitisan yang lampau ..... " Berkata sampai disitu,
suaranya makin perlahan.
"Habis bagaimana?" mendesak Biat coat.
"Teecoe tidak bisa melawan dan kehormatan teecoe telah
dirusak olehnya," Jawabnya dengan suara hampir tidak
kedengaran. "Ia menilik tee coe dengan sangat keras,
907
sehingga percobaan teecoe untuk bunuh diri selalu gagal.
Beberapa bulan kemudian, seorang musuhnya menyatroni
dan dengan menggunakan kesempatan itu, teecoe baru
bisa kabur. Teecoe hamil, tapi tidak berani
memberitahukan Soehoe dan belakangan teecoe melahirkan
seorang anak perempuan dengan diam diam."
"Apa kautidak berjusta?" tanya sang guru dengan bengis.
"Biarpun mesti mati berlaksa kali, teecoe tak akan berani
berjusta " jawabnya.
Untuk beberapa lama Biat coat menundukkan kepala.
Akhirnya ia berkata. "Kasihan! Siauw Hoe, kau sangat
tidak beruntung. Dalam hal ini, bukan kau yang bersalah."
Mendengar perkataan sang guru, Teng Koen sangat
mendongkol. Ia mendapat lain bukti, bahwa sang guru
sangat menyayang adik seperguruan itu. Dengan sorot mata
membenci ia melirik Siauw Hoe.
Sesudah menghela napas Biat coat bertanya. "Sekarang
bagaimana pikiranmu? Apa yang mau dilakukan olehmu ?"
Air mata Siauw Hoe mengucur deras. "Atas kemauan
ayah, teecoe telah ditunangkan dengan In Liok ya dari Boe
tong pay," jawahnya dengan suara parau. "Sesudah
kejadian itu, pernikahan tak akan dapat dilangsungkan lagi.
Teecoe hanya ingin memohon permisi Soehoe supaya
teecoe boleh mencukur rambut untuk menjadi pendeta."
Sang guru menggelengkan kepala. "Itupun bukan jalan
yang sempurna," jawabnya. "Siapa namanya lelaki itu ?"
Siauw Hoe menunduk dan menjawab dengan suara
perlahan. "Dia she Yo, namanya Siauw"
Mendadak, mendadak saja, Biat coat mencelat dari
kursinya, dengan jubahnya dikibarkan, sehingga meja
908
terlempar.
Boe Kie terkesiap, sedang ketiga murid Go bie pay
itupun tak kurang kaget nya.
"Yo Siauw!" teriak Biat coat Soethay, "Apakah dia Yo
Siauw, si raja siluman dari agama Beng Kauw, yang
menamakan diri sebagai Kong beng Soe cia ?" (Kong beng
Soe cia - Utusan Terang benderang)
"Dia... dia memang orang Beng kauw," jawab Siauw
Hoe dengan suara gemetar. "Dia..... dia kelihatannya .......
mempunyai.... mempunyai kedudukan tinggi dalam agama
itu."
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru