Kamis, 27 April 2017

Cersil Kuna Makuna 19 Toliongto

Cersil Kuna Makuna 19 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Kuna Makuna 19 Toliongto
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Kuna Makuna 19 Toliongto
Si pendeta melompat kebelakang dan mengawasi Boe
Kie dengan sorot mata berterima kasih. Ia mengerti bahwa
dalam tepukan tadi, pemuda itu telah menaruh belas
kasihan. Sesaat kemudian, ia menggapai Yo Siauw dan
dengan gerakan tangan mengutarakan keinginannya untuk
meminjam pedang. Yo Siauw membuka ikatan tali pedang
dan bersama sama sarungnya, ia menyerahkan senjata itu
kepada si pendeta.
Boe Kie heran, “Mengapa Co Soe meminjam senjata
kepada musuh?” tanyanya dalam hati.
Sementara itu, sesudah menghunus pedang Kouw Tauw
too memberi isyarat supaya Boe Kie meminjam pedang Wie
It Siauw. Tapi pemuda itu menggelengkan kepala dan lalu
menggambil sarung pedang dari tangan si pendeta. Sesudah
itu, sambil melintangkan sarung pedang di depan dada ia
membuat gerakan Ceng chioe (mengundang). Kouw Tauw
too tidak berlaku sungkan2 lagi dan lalu membuka
serangan. Setelah menyaksikan cara bagimana pendeta itu
mengajar ilmu pedang kepada Tio Beng, Boe Kie tahu,
bahwa dia memiliki Kiam hoat yg sangat tinggi. Maka itu,
ia segera melayani dengan Thay kek Kiam hoat. Seperti
juga dalam pertandingan tangan kosong, Kouw tauw too
1776
menyerang dengan rupa2 pukulan yg dikirim secara
berantai yg satu belum habis yg lain sudah menyusul.
Sesudah bertanding beberapa lama, Boe Kie merasa kagum
sekali.
“Kalau aku ketemu dia pada setengah tahun berselang,
di dalam kiam hoat belum tentu aku dapat
menandinginya,” katanya didalam hati. “Di bandingkan
dengan Giok Bin Sin Kiam Tong Hong Peng ilmu pedang
yg masih lebih tinggi setingkat.” Memikir begitu, didalam
hatinya lantas muncul rasa sayang kepada pendeta itu.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, Kauw Tauw Too
menyerang dengan ilmu Loan Pie Hong (angin puyuh) dan
pedangnya menyambar nyambar bagaikan berlaksa ular.
Boe Kie menyambut setiap serangan dengan memusatkan
seluruh semangat dan perhatiannya. Mendadak, mendadak
saja dengan kecepatan yg tak mungkin dilukiskan ia
membalik sarung pedang sehingga mulutnya menghadap
keluar dan memapaki pedang si pendeta yg menyambar!
Srok! Pedang itu masuk kesarungnya. Hampir berbareng,
kedua menyambar dan menyentuk pergelangan tangan si
pendeta dan kemudian, sambil tersenyum melompat
mundur. Kalau mau, dengan menggunakan sedikit tenaga,
ia sudah dapat merampas pedang si pendeta. Cara yg
digunakannya itu berbahaya dan indah luar biasa.
Diluar dugaan, selagi ia melompat mundur, sebelum
kakinya menginjak tanah, Kouw Tauw too sudah
melemparkan pedangnya dan menghantam dengan telapak
tangan. Dari sambaran angin, ia tahu bahwa pukulan itu
disertai lweekang yg dahsyat. Karena ingin menjajal
kekuatan tenaga dalam pendeta itu, ia segera menyambut
dengan tangan kanannya dan kemudian barulah kedua
kakinya hinggap ditanah.
Kouw Tauw Too tidak berhenti sampai disitu dan terus
1777
mengirim pukulan2 hebat. Boe Kie segera mengeluarkan
ilmu Kian Koen Tay Lo Ie yg paling tingig dna dengan ilmu
tersebut, ia mengumpulkan tenaga pukulan2 itu. Kemudian
sambil membentak keras, ia balas memukul. Pukulan itu
seolah2 air banjir yg memecahkan bendungan. Tenaga kira2
dua puluh pukulan Kouw Tauw too yg terkumpul menjadi
satu, dilepaskan secara mendadak. Di dalam dunia belum
pernah ada tenaga pukulan sehebat itu. Jika pukulan itu
menimpa tubuh manusia, maka daging dan tulang pasti bisa
hancur luluh.
Sesaat itu kedua telapak tangan menempel dan Kouw
Tauw too tidak bisa meloloskan diri lagi. Tiba2 tangan kiri
Boe Kie menjambret dada si pendeta dan melemparkannya
keatas, sehingga tubuh yg tinggi besar itu terbang ke
angkasa. Hampir berbareng terdengar suara keras dan batu2
terbang berhamburan. Pukulan yg sangat dahsyat itu
menimpa batu.
Yo Siauw dan Wie It Siauw mengeluarkan teriakan
kaget. Semula mereka menduga, bahwa dalam
pertandingan Lwee Kang antara Kauw Coe dan Kouw
Tauw Too, keputusan siapa menang siapa kalah baru bisa
didapat sedikitinya dalam waktu seminuman teh. Diluar
taksiran, detik yg menentukan tercapai dalam waktu yg
begitu cepat.
Sesaat kemudian, dengan keringat membasahi telapak
tangannya, Kouw Tauw too sudah hinggap pula di tanah
dengan selamat. Begitu lekas kedua kakinya menyentuh
tanah, dengan kedua tangannya ia membuat gerakan seperti
api yg berkobar2 dan sesudah itu, sambil menaruh
tangannya diatas dada dan berlulut ia berkata “Siauwjin
(aku yg rendah).”
“Kong Beng Yo soe Hoan Yauw, menghadap Kauwcoe.
Siauwjin menghaturkan banyak terima kasih kepada
1778
Kauwcoe yg sudah menaruh belas kasihan, dan meminta
maaf untuk segala kekurang ajaranku.”
Bukan main kagetnya Boe Kie. Mimpipun ia tak pernah
mimpi, bahwa si gagu Kouw Tauw too bukan saja bisa
bicara, tapi juga Kong beng Yoe Soe dari Beng Kauw yg
sudah menghilang selama banyak tahun. Buru2 ia
membangunkannya dan berkata, “Hoan Yoe Soe, antara
orang sendiri janganlah menggunakan terlalu banyak
peradatan.”
Waktu tiba di bukit batu itu, Yo Siauw dan Wie It Siauw
sebenarnya sudah menduga duga. Hanya karena tubuh dan
muka Hoan Yauw berubah terlalu banyak, maka mereka
belum berani memastikan. Sesudah Hoan Yauw
memperlihatkan ilmu silatnya, dugaan mereka jadi makin
keras. Sekarang dengan serentak mereka mendekat dan
mencekal tangan kawan itu erat2. sambil mengawasi Hoan
Yauw dengan air mata berlinang2, Yo Siauw berkata,
“Saudara Hoa, siang malam kakakmu memikiri kau.”
Hoan Yauw memeluknya. Ia menangis segak2 dan
berkata, “Taoko kita harus berterima kasih kepada Tuhan
yg sudha mengirim seorang kauwcoe yg berkepandaian
tinggi dan bijaksana kepada kita. Kitapun harus berterima
kasih, bahwa hari ini kita bisa bertemu muka lagi.”
“Saudara, mengapa kau jadi begini?” tanya Yo Siauw.
“Jika aku tidak merusak muka dan tubuh sendiri, cara
bagimana kudapat mengabuli Seng Koen?” jawabnya.
Mendenger keterangan itu, Boe Kie bertiga kaget
bercampur duka. Mereka sekarang tahu, bahwa Hoan
Yauw sudah mencaci diri sendiri untuk bisa masuk kedalam
kalangan musuh.
“Saudara, kau sangat menderita,” kata Yo Siauw dengan
1779
suara parau.
Dahulu, dalam kalangan Kang Ouw, Yo Siauw dan
Hoan Yauw dikenal sebagai Siauw Yauw Jie Sian (Siauw
dan Yauw dua dewa) dan julukan itu didapat karena
mereka berdua memiliki muka yg sangat tampan. Dari sini
dapatlah dibayangkan bahwa dengan mencacati muka
sendiri, Hoan Yauw telah membuat suatu pengorbanan yg
sangat besar. Wie It Siauw yg beradat aneh sebenarnya
tidak begitu akur dengan Hoan Youw. Tapi sekarang ia
turut berduka dan sambil berlutut ia berkata, “Hoan Yoe
soe, hari ini Wie It Siauw benar2 takluk kepadamu.”
Hoan Yauw segera balas berlutut. “Ilmu ringan badan
Wie Hog ong tiada bandingannya dalam dunia,” katanya.
“Makin tua kau kian lihai. Semalam Kauw Touw too
bertambah pengalaman.”
Yo Siauw menengok kesekitarnya dan berkata, “Tempat
ini tidak jauh dari kota dan musuh banyak mempunyai
mata. Lebih baik kita pergi kelembah sebelah depan.”
Semua menyetujui dan mereka lantas saja berangkat.
Sesudah berlari2 belasan li, mereka tiba dibelakang sebuah
bukit kecil, darimana mereka bisa memandang beberapa li
jauhnya, sehingga mereka tak usah kuatir pembicaraan
mereka di dengar orang. Mereka lalu duduk ditanah dan
mendengari cerita Hoan Yauw.
Sebagaimana diketahui, sesudah Yo Po Thian
menghilang dengan mendadak Peng Kauw terpecah belah
sebab para pemimpinnya berebut kedudukan Kauwcoe.
Hoan Yauw sendiri percaya Yo Po Thian belum meninggal
dunia, maka seorang diri ia menjelajah dunia Kang ouw
untuk mencari pemimpin itu. Dalam beberapa tahun ia
masih jg belum berhasil. Belakangan ia menduga mungkin
sekali Yo Po Thian dicelakai orang2 Kay pang. Diam2 dia
membekuk beberapa tokoh partai si pengemis dan
1780
menyiksanya untuk mengorek keterangan. Tapi tindakan
inipun tidak berhasil. Ia bukan saja gagal, tapi tanpa sebab
juga sudah mempersakiti banyak anggot Kaypang. Ketika
itu, permusuhan kalangan Beng Kauw makin menghebat.
Dalam agama tersebut, ia mempunyai kedudukan yg sangat
tinggi. Apabila ia mau tampil kemuka dan turut serta dalam
perebutan kedudukan Kauwcoe, ia pasti akan mendapat
banyak pengikut. Akhirnya dia mengundurkan diri dari
dunia pergaulan dan menjadi pendeta yg memelihara
rambut (tauw too).
Tapi manusia tidak bisa melawan maunya nasib. Suatu
kejadian yg sangat kebetulan telah terjadi. Pada suatu hari,
selagi lewat dikaki gunung Thay heng san, ia ditimpa hujan
dan lalu meneduh di sebuah kelenteng rusak. Tanpa di
sengaja ia mendengar pembicaraan dua orang yg satu Seng
Koen, yg lain seorang pendeta. Belakangan baru itu tahu,
bahwa pendeta itu adalah Kong kian Tay soe, kepala dari
empat pendeta suci dari kuil Siauw Lim sie.
Di Kong beng teng, Hoan Yauw pernah bertemu dengan
Seng Koen dan ia tahu, bahwa orang itu adalah adik
seperguruan Yo Kauwcoe. Sesudah mereka selesai bicara,
ia sebenarnya ingin segera menemuinya. Diluar dugaan,
baru saja mendengar beberapa patah perkataan, dia sudah
kaget tak kepalang. Dengan berlutut di lantai, Seng Koen
meminta belas kasihan Kong kian Tay soe. Dia
menceritakan, cara bagaimana waktu mabuk arak, dia telah
memperkosa anak dari muridnya sendiri, yaitu Cia Soen,
dan cara bagimana dia belakangan membunuh rumah
tangga murid itu. Diapun menuturkan bahwa untuk
membalas sakit hati, Cia Soen telah mencarinya diberbagai
tempat, tapi dia tak berani muncul untuk menemui murid
itu. Akhirnya, dengan menggunakan namanya, Cia Soen
membunuh banyak jago Rimba Persilatan guna memaksa
1781
dia keluar.
Kejadian itu telah diketahui Boe Kie. Tapi mendengar
berita Hoan Yauw, ia kembali gusar tercampur duka.
Selanjutnya Hoan Yauw menuturkan, bahwa sambil
menangis Seng Koen memohon supaya Kong kia Tay soe
suka menerima sebagai murid. Dia juga memohon, supaya
dengan belas kasihan sang Budha, pendeta itu suka
mendamaikan permusuhannya dengan Cia Soen.
“Siancay, siancay!” kata Kong kian Tay soe, “Lautan
kesengsaraan tiada batasnya,” memalingkan kepala, melihat
daratan, menaruh golok, menjadi Budha. Manakala kau
sungguh2 merasa menyesal, pintu Sang Budha. Manakala
kau sungguh2 merasa menyesal, pintu sang Budha terbuka
lebar dan kau takkan dibiarkan berdiri diluar pintu.”
Sehabis berkata begitu, ia mencukur rambut Seng Koen dan
menerima sebagai murid. Disamping itu, ia pun berjanji
akan berusaha mendamaikan permusuhan hebat antara
Seng Koen dan Cia Soen.
Mendengar sampai disitu, Boe Kie segera memutar cara
bagaimana Cia Soen membinasakan Kong kian Tay soe
dengan pukulan hebat. Kong kian sudah rela menerima
pukulan dengan harapan bisa membereskan sakit hati itu.
Diluar dugaan, Seng Koen sudah memperdayai gurunya.
Pada waktu itu Kong kian mau melepaskan napas yg
penghabisan, ia tidak muncul untuk menemui Cia Soen.
Yo Siauw menyambung dengan menceritakan cara
bagaimana Seng Koen menyerang Kong bent teng dan cara
bagaimana dalam pertempuran melawau In Thian Ceng
dan In Yan Ong, ia akhirnya binasa.
Hoan Yauw merangkap kedua tangannya dan berkata
berulang2. “Omitohud! Siancay, siancay!”
1782
Dengan hati duka, Yo Siauw mengawasi kawan itu yg
dahulu terkenal sebagai seorang pria yg berparas tampan.
“Dengan Kim mo Say ong, perhitunganku sangat baik,”
kata pula Hoan Youw.
“Akupun mendengar, bahwa seluruh keluarganya telah
dibinasakan orang. Aku hanya tak pernah menduga bahwa
pembunuh itu adalah gurunya sendiri. Sesudah hujan
berhenti mereka keluar dari kelenteng itu dan aku mengikuti
dari belakang. Kutahu mereka berkepandaian tinggi dan
hanya berani menguntit dari kejauhan. Tapi kong kian tidak
bisa diakali. Ia tahu bahwa dirinya dikuntit orang. Sambil
berjalan ia berkata2 seorang diri, ia mengatakan bahwa
seorang murid Budha harus mempunyai hati kasihan.
Mendengar begitu, aku tidak berani mengikuti lagi.”
“Berselang kira2 setahun kudengar Kong kian Tay soe
meninggal dunia. Aku merasa curiga dan menduga, bahwa
wafatnya pendeta itu tentu mempunyai sangkut paut
dengan Seng Koen. Diam2 kupergi ke Siauw Lim Sie untuk
menyelidiki. Tapi aku tidak berani masuk kedalam kuil dan
hanya bergerak disekitar gunung Siong San, benar saja.
Langit tidak menyianyiakan usaha manusia yg sungguh2.
secara kebetulan aku mendengar pembicaraan antara Seng
Koen dan seorang utusan kaisar. Utusan kaisar itu bukan
lain daripada Lok Thian Kek. Mereka berdua
berkepandaian terlalu tinggi dan aku merasa tidak
unggulan. Aku tidak berani datang telalu dekat. Dari
kejauhan, aku hanya dapat menangkap sepatah dua patah.
Perkataan yg didengar jelas olehku hanyalah, “Kong Beng
teng harus dimusnahkan” Sekarang kutahu bahwa agama
kita tengah menghadai bencana dan aku tidak bisa berpeluk
tangan lagi. Aku lantas saja menguntit Lok tong kek sampai
di kota raja. Manusia itu aku tak berani ganggu. Dia
berkepandaian terlalu tinggi. Yg lainnya kupandang remeh
1783
akhirnya sesudah menyelidiki lama juga, aku mendapat
tahu bahwa jagao2 Rimba persilatan itu adalah orang2
sebawahannya Jie Lam Ong Khakan Temur.”
Jie Lam Ong Khakan Temur adalah seorang anggota
keluarga kaisar. Ia berpangkat Thay kat Thay wie dan
berkuasa atas semua tentara kerajaan diseluruh negeri. Ia
seorang pintar dan gagah, menteri utama dari kaisar Goen.
Dia lah yg sudah menindas pemberontakan rakyat di Kang
hoay. Sudah lama Boe Kie dan para pemimpin beng kauw
mendengar nama besarnya. Sekarang, mendengar Lok
Thung Kek dan lain2 jago rimba persilatan menjadi orang
bawahan pembesar itu, biarpun tidak terlalu kaget sedikit
banyak Boe Kie terkejut juga (Jie Lam Ong = Raja muda
Jie Lam)
“Tapi siapakah adanya Tio Kouwnio?” tanya Yo Siauw.
“Coba taoko tebak,” kata Hoan Yauw.
“Apa nona itu bukan putrinya Khakan Temur?” tanya
pula Yo Siauw.
Hoan Yaow menepuk2 tangannya. “Benar,” katanya.
“Sekali menebak taoko menebak jitu. Jie Lam Ong
mempunyai seorang putera yg bernama Kuh Kuh Temur
dan seorang puteri yg bernama Ming Ming Temur. Nama
itu nama Mongol, kedua anak itu gemar ilmu silat dan
mereka punya kepandaian yg cukup tinggi. Disamping itu
merekapun suka berpakaian seperti orang Han dan
menggunakan bahasa Han. Belakangan masing2
menggunakan jg nama Han, Kuh Kuh Temur memilih
nama Ong Popo dan Ming Ming memilih nama Tio Beng.
Perkataan Tio Beng hampir bersamaan dengan Siauw beng
dan Siauw beng Koen coe (putri Siauw Beng) gelaran si
nona.”
Wie It Siauw tertawa, “Kakak beradik itu sangat aneh,”
1784
katanya. “Yang satu she Ong, satu lagi she Tio. Kejadian
itu tak akan terjadi dalam kalangan orang Han.”
“She atau nama keluarga mereka ialah Temur,”
menerangkan Hoan Yauw. “Menurut kebiasaan orang
asing, nama keluarga ditaruh disebelah belakang.”
“Dari muka dan potongan badan, Tio Kouw nio seorang
wanita cantik,” kata Yo Siauw. “Hanya sayang, wataknya
terlalu kejam.”
Baru sekarang Boe Kie tahu asal usul Tio Beng.
Sebenarnya siang2 ia sudah menduga bahwa nona itu
seorang putri yg berasal dari turunan keluarga kaisar. Ia
hanya tidak pernah menaksir, bahwa nona Tio putrinya raja
muda Jie Lam Ong yg memegang kekuasaan atas semua
tentara kerajaan. Beberapa kali ia selalu jatuh dibawah
angin.
Dalam ilmu silat nona Tio memang masih kalah jauh,
tapi dalam menggunakan tipu, ia banyak lebih unggul
daripada dirinya sendiri. Mengingat itu semua didalam hati
Boe Kie merasa jengah.
“Dalam penyelidikan selanjutnya aku mengetahui bahwa
Jie Lam Ong ingin membasmi semua partai persilatan yg
terdalam dalam dunia Kangouw,” kata pula Hoan Yauw.
“Ia telah menerima baik rencana Seng Koen. Sebagai
tindakan pertama, ia inin menumpas agama kita. Dalam
menimbang2 keadaan itu, aku berpendapat bahwa dengan
terpecah belahnya kalangan kita sendiri dan tangguhnya
musuh, bahaya yg sedang dihadapi benar2 hebat. Untuk
menolong jalan satu2nya adalah masuk kedalam Ong Hoe
dan coba menyelidiki rencana raja itu. Sesudah tahu
rencana mereka, baru aku bertindak dengan mengimbangi
keadaan. Selain itu,t ak ada jalan lain lagi. Tapi aku sudah
pernah bertemu muka dengan Soen Koen, sehingga untuk
1785
mencegah bocornya rahasia aku mesti membunuh manusia
itu.”
“Benar,” kata Wie It Siauw.
“Tapi manusia itu sangat licin dan ilmu silat nya pun
sangat tinggi,” kata pula Hoan Yauw. “Tiga kali aku
mencoba membokong dia, tiga kali aku gagal. Dalam usaha
yg ketiga, aku berhasil menikamnya dengan pedang, tapi
aku sendiri kena pukulan telapak tangannya. Untung juga
aku berhasil melarikan diri tanpa dikenali. Tapi aku terluka
berat dan sesudah berobat setahun lebih, barulah
kesehatanku pulih kembali. Waktu itu rencana Jie Lam Ong
sudah mendekati penyelesaiannya dan untuk bencana
agama kita sudah diambang pintu. Aku jadi nekad, aku
merusak muka sendiri, aku mematahkan tulang betisku dan
menyamar sebagai seorang gagu dan bongkok aku pergi ke
negeri Watzu.”
“Negeri Watzu?” menegas Wie It Siauw. “Negeri itu
jauhnya berlaksa li. Perlu apa Hoan Yoe pergi ke situ?”
Sebelum Hoan Yauw menjawab, Yo Siauw sudah
mendahului. “Saudara, sungguh bagus tipumu itu! Yo heng,
perginya saudara Hoan ke negeri itu sungguh tepat.
Dinegeri itu, ia pasti akan diundang untuk bekerja kepada
pembesar2 Mongol. Sebagaimana kau tahu, Jie Lam Ong
sedang mencari orang2 pandai. Untuk mengambil hatinya
raja muda itu, pembesar2 Watzu pasti akan mengirim
saudara Hoan ke kota raja. Dengan muka dan badan yg
sudah berubah dan dengan berlagak gagu, biarpun Seng
Koen lihati, dia pasti tidak akan bisa mengenali.”
Wie It Siauw menghela napas. “Yo kauwcoe telah
menempatkan Siauw Yauw Jie Sian disebelah atas keempat
Hoat Ong dan sekarang aku mengakui bahwa mata Yo
Kauw coe benar2 tajam,” katanya. “Tipu selihai itu pasti
1786
takkan bisa dipikir oleh Eng ong, Hok ong dan lain2 ong.”
“Wie heng banyak terima kasih untuk pujian mu yg
tinggi,” kata Hoan Yauw. Ia berhenti sejenak dan kemudian
berkata lagi dengan suara perlahan, “Kauw coe, aku
sekarang ingin menerima hukuman.”
“Mengapa Hoan Yoe soe berkata begitu?” tanya Boe
Kie.
Hoan Yauw berbangkit dan sambil membungkuk, ia
menjawab, “Aku telah berbuat kedosaan besar sebab sudah
membunuh saudara2 dari agama kita. Sesuai dengan
dugaan Yo Co Soe, di Watzy aku sengaja membunuh singa
dan membinasakan harimau, sehingga namaku lantas saja
terkenal. Pembesar2 disitu lalu mengirim aku kepada Jie
Lam Ong. Guna memperkuat kepercayaan raja muda itu
atas diriku, aku membunuh tiga orang hio coe dari agama
kita.”
Alis Boe Kie berkerut. Ia tidak lantas menjawab.
Didalam hati ia beranggapan, bahwa tindakan Hoan Yauw
sangat luar biasa dan agak kejam. Ia rela mengorbankan
muka dan kaki sendiri dan belakangan membunuh kawan
sendiri. “Beng Kauw dinamakan orang sebagai agama
sesat, agama siluman,” pikirnya. “Dilihat begini, sampai
kapan Beng Kauw bisa mencuci kata2 sesat dan siluman
itu?”
Melihat sikap Boe Kie, tiba2 Houw Yauw menghunus
pedang Yo Siauw. Dengan skali berkelebat, pedang itu
sudah memutuskan tiga jari tangan kirinya, Boe Kie terkejut
dan merampas senjata itu, “Hoan Yoe soe…. Mengapa…..
mengapa kau berbuat begitu” tanyanya dengan mata
membelak.
“Membunuh saudara2 dalam agama kita adalah
kedosaan besar,” jawabnya. “Karena urusan besar belum
1787
selesai, Hoan Yauw belum berani membunuh diri. Sekarang
Hoan Yauw lebih dahulu memutuskan tiga jeriji dan nanti
dia akan mempersembahkan kepalanya kepada Kauwcoe.”
“Aku sudah mengampuni kesalahan Hoan Yoe soe,”
kata Boe Kie. “Mengapa kau berbuat begitu. Sekarang kita
menghadapi tugas yg sangat berat. Kuharap Hoan Yoe Soe
tidak menyebut2 lagi urusan ini.” Sehabis berkata begitu ia
mengeluarkan obat luka, menyobek ujung bajunya dan
membalut luka Hoan Yauw. Didalam hati ia merasa sangat
tidak enak. Ia tahu bahw Hoan Yauw bukan gertak sambel.
Apa yg dikatakannya dapat dilakukannya. Mungkin mereka
dihari di kemudian ia akan membunuh diri. Mengingat
segala penderitaannya demi kepentingan Beng Kauw, Boe
Kie terasa sangat terharu dan tiba2 ia menekuk sebelah
lututnya, “Hoan yoe soe sebagai orang yg berjasa besar
untuk agama kita, terimalah hormatku,” katanya dengan
suara parau. “Apabila kau melukai lagi dirimu, itu berarti
kau menganggap aku sebagai manusia yg tak punya guna
dan tidak pantas untuk menjadi kauwcoe dari agama kita.
Kalau kau menikam dirimu satu kali, aku akan menikam
diriku dua kali.”
Melihat Kauw coe mereka berlulut, dengan air mata
bercucuran Hoan Yauw, Yo Siauw dan Wie It Siauw segera
turut berlutut.
“Saudara Hoan,” kata Yo Siauw sambil menyusut
airmatanya. “Kau tidak boleh mengulangi perbuatan itu.
Bangun robohnya agama kita hanya mengandalkan kauw
coe seorang. Kauw coe telah mengeluarkan perintah dan
kau tidak boleh melanggar perintah itu.”
Dalam pertandingan hari ini aku sudah merasa takluk
terhadap kauw coe,” kata Hoan Yauw, “Kouw Tauw too
mempunyai adat yg sangat aneh dan aku memohon belas
kasihan Kauwcoe.”
1788
Dengan kedua tangan, Boe Kie membangunkan Hoan
Yauw. Sesudah terjadinya kejadian ini, ia dan Hoan Yauw
menjadi sahabat yg saling mencintai.
Sesudah itu, Hoan Yauw segara menceritakan
pengalaman dalam gedung Jie Lam ong.
Pada jaman itu kaisar Goan yg bodoh diikuti oleh
mentri2 dorna sehingga, karena tindakan2 nya yg seweang2
negeri jadi kalut dan rakyat memberontak. Untung besar
kerajaan Goan masih mempunyai Jie Lam ong yg gagah
dan bijaksana. Tanpa mengenal capai, raja muda itu
membawa tentara kesana sini untuk menindas berbagai
pemberontakan. Tapi negeri tetap tidak menjadi aman,
disana sudah kalut lagi. Dalam kerepotannya, raja muda
terpaksa menunda rencana untuk membasmi partai2
persilatan.
Selama beberapa tahun kedua anaknya sudah menjadi
besar. Kuh kuh Temur alias Ong Po Po mengikuti
ayahandanya dalam tentara, sedang Ming Ming Temur (Tio
Beng) memimpin rombongan jago2 silat untuk menumpas
partai2 rimba persilatan. Jago2 itu terdiri dari ahli2 silat
Mongol, Han dan See Hek dan diantara terdapat juga
sejumlah pendeta See hoan.
Gerakan enam partai besar untuk menyerang Kong beng
teng membuka kesempatan baik bagi Tio Beng. Atas usul
Seng Koen, ia membawa semua jagonya untuk membasmi
enam partai itu dan Beng Kauw dengan sekaligus. Kejadian
di Leng Lioe Choeng dan lain2 adalah sebagian dari
rencana itu.
Karena sedang bertugas diseberang lautan untuk
menyelidiki tempat sembunyinya Cia Soen maka Hoan
Yauw tidak turut serta dalam rombongan Tio Beng yg pergi
ke See Hek. Belakangan baru ia tahu bahwa ia
1789
menggunakan racun Sip Hiang Joan Kinsan (obat bubuk
berbau harum yg membuat lemasnya tubuh manusia) yg
dipersembahkan oleh pendeta See hoan. Tio Beng telah
menangkap jago2 enam partai besar yg mau pulang dari
Kong Beng Teng. Racun itu asin spt garam dan wangi
bagaikan sayur yg segar. Dengan mencampurnya didalam
makanan, nona Tio berhasil menjaring semua kurban.
Biarpun masih bisa bergerak dan berjalan seperti biasa
orang2 yg kena racun itu lemas badannya dan habis semua
tenaga lweekangnya. Hanya waktu meracuni Hwa pay, kaki
tangan Tio Beng kurang berhati2 dan rahasia bocor. Satu
pertempuran lantas saja terjadi. Tapi Hwa san pay tak tahan
melawan jago2 seperti Hian Beng Jie Lo, Sin cian Pat
Hiong, Atoa, A jie, A sam dan yg lain2 sehingga sesudah
beberapa belas orang binasa mereka semua kena dibekuk jg.
Penangkapan atas diri para pendeta dikuil Siauw Lim sie
jg dilakukan dengan tipu daya itu. Tapi kuil Siauw Lim sie
biasanya dijaga keras, sehingga tidak gampang orang bisa
turun tangan. Menaruh racun dikuil tersebut berbeda jauh
dengan menaruh racun di rumah2 pengindapan untuk
menangkap orang2 yg sedang bepergian.
“Aku tahu bahwa tugas menaruh racun dalam kuil itu
sebenarnya jatuh kedalam tangan Seng Koen,” kata Hoan
Yauw. “Dengan kedudukannya sebgai murid Kong Kian
Tay soe, dengan mudah ia akan bisa menjalankan
peranannya. Tapi ia keburu mati dalam pertempuran di
Kong Beng Teng. Aku merasa sangat heran. Siapa yg
meracuni pendeta2 Siauw Lim Sie? Waktu itu aku baru saja
kembali dari luar lautan dan menyusul rombongan yg mau
membekuk pendeta2 Siauw Lim Sie. Aku kepingin sekali
menyelidiki, tapi sebab sudah berlagak gagu, tentu saja aku
tidak bisa menanyakan mereka. Apapula Siauw Lim pay
sering menghina agama kita and untuk berterus terang, aku
1790
merasa senang sekali, jika pendeta2 itu merasai sedikit
penderitaan. Kauwcoe, mungkin kau tak setuju dengan
pendetaku itu. Ha ha!”
“Saudara, bukankah penggeseran patung Tat mo
dilakukan oleh kau?” tanya Yo Siauw.
Hoan Yauw tertawa, “Ya,” jawabnya. “Ditulisnya
huruf2 itu adalah atas perintah Koencoen (putri seorang
pangeran) untuk menumplek semua kedosaan atas pundak
agama kita. Belakangan, sesudah mereka semua berlalu,
diam2 aku kembali dan memutar patung itu. Matanya
kawan2 ternyata tajam sekali dan bisa melihat kejadian itu.
Saudara Yo, apakah waktu itu kau mempunyai dugaan,
bahwa pekerjaan tersebut dilakukan olehku?”
“Aku hanya tahu, bahwa pihak musuh terdapat seorang
berkepandaian tinggi yg diam2 dilindungi agama kita,”
jawabnya. “Aku tidak perna mimpi, bahwa pelindung kita
saudara sendiri!” keempat pemimpin Beng Kauw itu
tertawa terbahak2.
Kepada Hoan Yauw, Yo Siauw segera memberitahukan
bahwa Beng Kauw sudah mengakhiri permusuhan dengan
partai2 persilatan dan dengan bekerja sama, akan berusaha
merobohkan kerajaan Goan. Maka itu, Yo Siauw Beng
Kauw merasa berkewajiban untuk menolong tokoh2 dari
keenam partai itu.
“Musuh berjumlah besar, kita kecil,” kata Hoan Yauw.
“Dengan hanya mengandalkan tenaga empat orang, kita
takkan berhasil. Jalan satu2nya kita harus berusaha untuk
mendapatkan obat pemunah Sip hiang Joan kin san dan
memberikannya kepada hweshio, niekow dan hidung
kerbau bau itu. Sesudah tenaga dalamnya pulih kembali,
beramai2 kita bisa menghandatam Tat coe dan kabur dari
kota raja ini.”
1791
Selama belasan tahun, Hoan Yauw tak pernah berbicara,
sehingga sekarang lidahnya agak kaku dan suara yg
dikeluarkannya tak begitu tegas. Disamping itu, berhubung
adanya permusuhan antara Beng Kauw dan partai2 Rimba
Persilatan, dalam mengeluarkan kata2 ia tak sungkan lagi.
Mendengar suara yg pelat (pelo) dan perkataan “bau”, Yo
Siauw merasa geli tercampur kuatir. Ia memberi isyarat
dengan lirikan mata, tapi Hoan Yauw tidak meladeni.
Tapi Boe Kie sendiri tidak menjadi kecil hati. “Pendapat
Hoan Yoe soe memang benar,” katanya. “Tapi cara
bagaimana kita bisa mendapatkan obat pemunah itu?”
“Sebab aku berlagak gagu, maka biarpun koencoe
menghormati aku, ia belum pernah mengajak aku dalam
merundingkan soal2 penting,” jawabnya. “Selain begitu,
aku datang dari lain negeri dan dapatlah dimengerti, jika ia
menganggap diriku sebagai orang kepercayaan. Maka itu,
sampai sekarang aku belum tahu bagaimana macamnya
obat pemudah Sip hiang Joan kin san. Aku hanya
mengetahui, bahwa karena obat itu obat yg sangat penting,
koencoe sudah berlaku sangat hati2. Kalau tak salah, racun
dan obat dipegang oleh Hoan beng Jie lo yang satu
memegang racun, yg lain memegang obat. Bukan saja
begitu, pada waktu2 tertentu, bahkan diadakan tukar
menukar dalam pemegangannya. Misalnya, kalau bulan ini
Lok Thung Kek menguasai racun, lalu bulan ia menguasai
obat pemunah.”
Yo Siauw menghela napas, “Wanita itu sungguh pintar,”
katanya. “Tanggung2 lelaki tak akan bisa menandingi dia.
Apa dia tidak percaya habis kepada Hian beng Jie lo?”
“Pertama memang begitu dan kedua untuk menjaga
secara lebih hati2,” kata Hoan Yauw. “Kita sekarang ingin
mencuri obat pemunah. Dengan tindakan Koencoe itu kita
tak tahu siapa memegangnya. Lok Thung Kek atau Ho Pit
1792
Ong. Disamping itu, kudengar antara racun dan obat tidak
perbedaan bau dan warna, sehingga, andaikata kita berhasil
mencurinya, kita masih belum bisa memutuskan, apa kita
mendapatkan obat atau racun. Sip hiang joan kin san
mengandung serupa bahaya yg tidak diketahui oleh banyak
orang. Kalau orang kena racun itu pertama kali, otot2 dan
tulang2nya tak bertenaga lagi, tenaga dalam lagi, tenaga
dalamnya hilang semua. Tapi kalau dia kena untuk kedua
kalinya biar bagaimana sedikitpun maka aliran darahnya
akan berbalik dan dia akan mati tanpa bisa ditolong lagi.”
Wie It Siauw meleletkan lidahnya, “Kalau begitu, kita
tidak boleh salah,” katanya.
“Memang begitu,” kata Hoan Yauw. “Tapi aku
mempunyai satu jalan yg baik. Tanpa memperdulikan obat
dan racun, kita curi saja apa yg disimpan oleh Hian Beng
Sie Lo. Sesudah itu kita memberikannya kepada seorang
Hwa san pay atau Khing tong pay yg kedudukan nya tidak
begitu penting. Bubuk yg membinasakan sudah pasti adalah
bubuk racun. Dengan begitu kita lantas tahum yg mana
racun yg mana obat. Kauwcoe, bagaimana pendapatmu?”
Boe Kie mengerti bahwa Hoan Yauw masih memiliki
sifat2 sesat. Tapi ia hanya tertawa dan berkata, “Aku tidak
begitu setuju. Terdapat kemungkinan bahwa yg dicuri kita
racun semuanya.”
Yo Siauw menepuk lututnya. “Kauw coe kau benar,
sesudah kita mengacau mungkin sekali karena berkuatir
kauwcoe menyimpan sendiri obat pemunah. Menurut
pemikiraku yg paling penting kita harus menyelidiki siapa
yg memegang obat itu. Sesudah tahu pasti barulah kita
mengatur daya upaya untuk mencurinya. Sesudah
mengasah otak beberapa saat, ia berkata pula, “Saudara
Hoan, apakah yg paling disukai Hian beng Jie Lo?”
1793
“Lok Thung kek suka paras cantik. Ho Pit Ong suka
arak,” jawabnya.
“Kauwcoe,” kata Yo Siauw kepada Boe Kie. “Apakah
ada racun yg menghilangkan manusia seperti Sip hiang joan
kin san?”
Boe Kie tersenyum, “Tidak sukar untuk membuat
seseorang menghilangkan tenaga,” jawabnya. “Tapi jika
racun itu masuk kedalam perut seorang yg berkepandain
tinggi, belum cukup setengah jam, tenaganya sudah habis.
Membuat racun yg selihai Sip hiang joan kin san, aku
rasanya tak mampu.”
“Setengah jam sudah cukup,” kata Yo Siauw. “Aku telah
memikirkan suatu daya, tapi apa dapat digunakan atu tidak
terserah atas pertimbangan Kauwcoe. Saudara Hoan
cobalah kau mengundang Ho Pit Ong untuk meminum arak
dan didalam arak kau menaruh racun yg dibuat oleh
Kauwcoe. Kau mendahului bikin ribut berlagak gusar dan
mengatakan, bahwa kau sudah diracuni oleh Ho Pit ong
dengan Sip Hiang Joan kin san. Menurut dugaanku dengan
siasat itu, kita bisa segera mengetahui siapa yg menyimpan
obat pemunah. Dengan mengimbangi keadaan, kita bisa
lantas merampasnya.”
Boe Kie manggut2kan kepalanya. “Apa daya itu bisa
berhasil tergantung atas sifat dan watak Ho Pit ong,”
katanya. “Hoan yoe soe, bagaimana pendapatmu?”
“Kurasa tipu Yo Taoko boleh dijalankan,” jawabnya.
“Ho Pit Ong berangsan dan kejam, tapi ia tidak selihai Lok
thun kek yg jahat dan banyak akalnya. Asal saja obat
pemuda itu berada pada Ho Pit Ong, biarpun tidak
berkepandaian tinggi, mungkin aku masih melayaninya.
Tapi bagaimana kalau obat itu disimpan oleh Lok Thang
Kek?” tanya Yo Siauw.
1794
Alis Hoan Yauw berkerut, “Ya, itulah sukar,” sahutnya.
Sehabisa berkata begitu bangun berdiri dan berjalan mundar
mandir sambil menundukkan kepala. Berselang beberapa
lama, tiba2 ia menepuk kedua tangannya, “Hanya ada satu
jalan,” katanya “Lok Thung kok sangat pintar. Kalau kita
menggunakan tipu, sangat mungkin ia tidak kena ditipu.
Jalan satu2nya kita mencengkram kelemahannya dan
kemudian menggertak dia. Tindakan ini memang
berbahaya. Tapi menurut pikiranku, selain ini tak ada jalan
lain lagi.”
“Apa maksud saudara Hoan?” tanya Yo Siauw. “Cara
bagaimana kita bisa mencengkram kelemahan tua bangka
itu?”
“Pada musim semi tahun ini, Jie Lam ong telah
mengambil seorang selir (gundik),” menerangkan Hoan
Yauw. “Untuk merayakannya, ia mengundang kami,
beberapa orang, dalam semua perjamuan ditaman bunga.
Jie Lam ong mengagulkan selir itu sebagai seorang wanita
yg sangat cantik dan untuk membuktikannya ia
memerintahkan gundik baru itu menemui kami dan
menuang arak. Kulihat mata bangsat Lok Thung kek
mengawasi nyonya muda itu tak henti2nya.”
“Habis bagaimana?” tanya Wie It Siauw.
“Tak apa2,” jawabnya. “Andai kata situa bangka
mempunyai nyali sebesar langit, dia tentu tidak berani main
gila kepada selir Jie Lam ong.”
“Tapi ada hubungan apakah antara mata bangsat si tua
bangka dan kelemahannya yg mau di cengkram olehmu?”
tanya pula Wie It Siauw.
“Dengan sedikit usaha kita dapat berbuat begitu,”
sahutnya sambil tersenyum. “Dalam hal ini kita
memerlukan bantuan Wie heng. Dengan menggunakan
1795
ilmu mengentengkan badan yg tiada bandingannya kau
culik selir itu dan menaruhnya di ranjang si tua bangka.
Andaikata dia dapat mempertahankan diri dan tidak berani
mengganggu nyonya itu, dia tetap tidak akan bisa
membersihkan diri, sebab wanita itu terbukti berada dalam
kamarnya. Aku akan menorobos masuk kekamanya dengan
tiba2 memaksa dia mengeluarkan obat pemunah. Kurasa
dia pasti akan menurut.
Yo Siauw dan Wie It menepuk nepuk tangan. Mereka
sangat menyetujui tipu kawan itu. Boe Kie sendiri
mendongkol tercampur geli. Ia ingat bahwa atas maunya
nasib, ia sekarang menjadi pemimpin serombongan
manusia yg cara2nya sering menyeleweng dari kepantasan
dan tiada bedanya dengan sepak terjang kawanan Tio Beng.
Tapi ia ingat juga bahwa tipu2 kelompok Tio Beng
bertujuan busuk, sedang siasat Hoan Yauw pada
hakekatnya bermaksud baik, yaitu untuk menolong tokoh2
keenam partai persilatan. Memang jg demikian pikirnya
untuk melawan racun orang harus menggunakan racun.
Memikir begitu, ia lantas saja tertawa dan berkata, “Hanya
saja tipu Hoan Yoe soe harus menyeret juga nama baiknya
selir Jie Lam ong.”
Hoan Yauw tertawa, “Aku akan mendobrak pintu kamar
si tua bangka terlebih cepat supaya biarpun mau dia tak
akan keburu menodai kehormatan nyonya itu,” katanya.
Sesudah tercapai persetujuan tipu daya, mereka segera
merundingkan tindakan selanjutnya. Akhirnya ditetapkan,
bahwa begitu lekas obat pemunah dapat dirampas, Hoan
Yauw akan pergi kemenara untuk memberikannya kepada
jago2 keenam partai, sedang Boe Kie dan Yo Siauw
menjaga diluar menara. Sehabis menunaikan tugas
eprtama, Hoan Yauw harus membakar Bat Hoat sie dan
Boe Kie bersama Wie It Siauw akan membakar rumah2
1796
rakyat disekitar kelenteng tersebut. Dalam kekacauan,
rombongan keenam partai yg sudah pulih tenaga dalamnya,
akan segera menerjang keluar. Yo Siauw mendapat tugas
untuk membeli kuda dan kereta yg hrs menunggu diluar
pintu See shia. Semua orang harus menerjang keluar dari
pintu See shia dan lari berpencarang dengan menggunakan
kuda2 dan kereta2 itu. Akhirnya mereka harus berkumpul
di Ciang peng.
Dalam rencana itu, ada sesuatu yg tidak disetujui Boe
Kie, yaitu pembakaran rumah2 rakyat. “Kauwcoe,” kata
Yo Siauw dengan suara membujuk, “Dalam setiap urusan
kita tidak bisa mengharap kesempurnaan. Kita ingin
menolong jago2 itu, supaya dikemudia hari kita bisa
mengusir Tat coe. Tujuan ini demi nusa dan bangsa, demi
keselamatan beribu laksa umat manusia dikolong langit.
Jika hari ini kita membakar sejumlah rumah rakyat,
tindakan itu sudah diambil karena terpaksa.”
Sesudah mencapai persetujuan bulat, masing2 lantas
mulai bekerja. Yo Siauw pergi kepasar untuk membeli kuda
dan Boe Kie membuat racun yg kemudian diserahkan
kepada Hoan Yauw oleh Wie It Siauw. Dalam membuat
racun itu Boe Kie sengaja menaruh tiga macam wewangian,
supaya arak yg tercampur racun berbau harum. Wie It
Siauw membeli selembar karung dan begitu lekas siang
terganti dengan malam, ia segera menyatroni gedung Jie
Lam ong.
Untuk menjaga tawanan, Hian beng Jie lo Hoan Yauw
dan lain2 jago menginap di Ban Hoat sie, Tio Beng sendiri
berdiam di gedung raja muda dan hanya diwaktu malam,
jika mau berlatih ilmu silat, ia datang ke kelenteng itu.
Hoan Yauw kembali kekamarnya dengan rasa bahagia.
Ia ingin cara bagaimana selama duapuluh tahun lebih, Beng
Kauw terpecah belah. Hari ini, atas berkah Tuhan agama
1797
tersebut mempunyai harapan untuk menjadi makmur
kembali, sehingga pengorbanannya bukan hanya
pengorbanan cuma2. ia berdia sebuah kamar dideretan
kamar2 sebelah barat, sedang Hian bang Jie Lo mengindap
dikamar dekat menara dipekarangan belakang. Sebab
merasa jari akan kelohaian kedua kakek itu dan kuatir
rahasianya bocor, ia jarang bergaul dengan Hian beng jie lo
dan mengambil kamar yg jauh dari mereka. Tapi sekarang
ia mendapat tugas untuk mengajak Ho Pit ong minum arak.
Ia sekarang harus mendekati kakek itu. Sambil memutar
otak, ia mengawasi pekarangan belakang. Matahari sudah
mulai menyelam kebarat dan sinarnya yg menyoroti
genteng kaca menara sudah mulai guram. Sesudah
mengasah otak beberapa lama, ia belum jg mendapat jalan
untuk mendekati Ho Pit ong. Sambil mengegadong tangan
perlahan2 ia berjalan kebelakang perkarangan. Mendadak
hidungnya mengendus bau daging yg keluar dari sebuah
kamar diseberang kamar Hian beng jie lo. Itulah kamarnya
Soeu sam Hwie dan Lie sie Coei, dua anggota Sin cia pat
eiong. Tiba2 dalam otaknya berkelebat serupa ingatan. Ia
menghampiri kamar itu dan menolak pintu. Hampir
berbareng bau daging menyambar hidung, Lie Sie Coei
sedang berjongkok dilantai dan mengipas api di dapur
tanah. Diatas dapur itu terdapat sebuat kuali yg airnya
bergolak2 dan mengeluarkan bau yg sangat harum. Soen
sam hwie sendiri sedang menggambil piring mangkok dan
tidak bisa salah lagi, mereka tengah bersiap2 untuk makan
minum.
Melihat masuknya Koun tauw too, paras kedua orang itu
berubah pucat. Mengapa? Karena yg dimasak mereka
adalah daging anjing dan makan daging anjing dalam
sebuat kelenteng hweeshio merupakan pelanggaran hebat.
Kalau dipergoki orang lain masih tak apa. Tapi kouw tauw
too bukan saja seorang pendeta tapi jg berkepandaian yang
1798
tinggi. Bagaimana kalau dia tidak mau mengerti?
Diluar dugaan mereka, kouw tauw too tidak menjadi
gusar. Ia menghampiri dapur, membuka tutup kuali dan
mengendus ngendus dengan hidungnya. Sekonyong2 ia
memasukkan tangan kedalam kuali tanpa memperdulikan
panasnya air menjemput sepotong daging dan lalu
mengunyahnya secara rakus. Dalam sekejap daging itu
sudah ditelan habis. Dalam sekejap daging itu sudah ditelan
habis. Soen sam hwie dan lie sie coei girang tak kepalang.
“Kauw tay soe duduklah! Duduklah!” kata Soen sam hwie.
“Kami merasa sangat girang, bahwa Tay soe pun suka
makan daging anjing.”
Tapi kouw tauw too tidak mau duduk di kursi. Sesudah
mengambil sepotong daging dan memasukkan kedalam
mulut, ia turut berjongkok disamping dapur. Soen sam hwie
buru2 menuangkan semangkok arak yg lalu diangsurkan
kepada si Touw too. Tapi baru menenguk Kouw tauw too
segera menyemburkannya dilantai, sedang tangan kirinya
mengipas ngipas hidung, seperti juga ia mau mengatakan,
bahwa arak itu tidak wangi dan tidak enak rasanya, sesudah
itu ia berlalu dengan tindakan lebar, tapi tak lama kemudian
ia kembali dengan tangan menentang sebuyung arak. Tapi
melihat si pendeta pergi dengan sikap marah Soe Sam Hwie
dan Lie sie cioe sangat berkuatir. Sekarang mereka sangat
girang. “Bagus!” seru Lie cie coe. “Arak kami memang
sangat jelek. Sungguh syukur Tay soe mempunyai arak yg
mahal.”
Mereka segera mengatur piring mangkok meja dan
dengan sikat hormat mengundang Kouw tauw too untuk
duduk di kursi pertama. Dalam kalangan para jago2nya Tio
Beng, Kouw tauw too termasuk jago kelas utama. Dengan
melayani secara hormat Soen Sam Hwie dan Lie Sie Coei
mengharap supaya dalam gembiranya si pendeta akan
1799
turunkan satu dua pukulan istimewa kepada mereka.
Kouw Tauw too membuka tutup buyung dan menuang
isinya kedalam tiga mangkok. Arak itu berwarna kuning
keemas2an, seperti madu tawon dan baunya yg menyambar
hidung harum dan segar. “Sungguh bagus arak ini!” seru
Tie Sie Coei.
Sambil menjalankan peranannya, didalam hati Hoan
Yauw bersangsi. Ia tidak tahu, apa Hian Beng Jie Lo berada
dirumah. Apabila kedua kakek itu sedang berpergian, maka
usahanya kali ini akan sia2. dengan pikiran tak tentram ia
menjemput mangkok araknya dan menaruhnya di kuah
daging yg sedang bergolak2. begitu panas, arak itu jadi
semakin wangi. Soen Sam Hwie dan Lie Sie Coei yg sudah
keluar iler, ingin segera mencegak arak dingin, tp di cegah
oleh Kouw Tauw Too yg dengan gerakan tangan, meminta
mereka memanaskan dahulu arak itu, menurut contohnya.
Demikianlah dengan bergantian mereka memanaskan arak
dikuah daging. Hoang Yauw menghitung pasti, bahwa jika
Ho Pit Ong berda di Bau Hoat sie ia tentu akan dapat
mencium bau arak itu dan akan datang kesitu.
Benar saja, tak lama kemudian pintu kamar diseberang
tiba2 terbuka dan hampir berbareng terdengar seruan Ho Pit
Ong. “Aduh! Wangi sungguh arak itu. Huh, huh!” Tanpa
sungkan2 ia menolak pintu dna terus menolak pintu masuk
kedalam. Melihat Kouw Tauw too turut serta dalam pesta
itu, ia agak terkejut, “Kouw Taysoe aku tak nyana kaupun
menyukai makanan itu,” katanya.
Soen Sam Hwie dan Lie Sie Coei buru2 berbangkit, “Ho
Kong kong, kebetulan sekali,” kata Soen Sam Hwie. “Mari
kita minum, arak ini arak Kouw taysoe. Tak gampang
orang bisa minum arak seenak itu.”
Ho Pit Ong segera berduduk dihadapan Kouw Tauw too
1800
dan mereka berdua segera makan minum sepuas hati,
sedang kedua tuan rumah menjadi semacam pelayan. Tak
lama kemudian mereka sudah mulai sinting.
“Sekarang tiba waktunya untuk aku tutun tangan,” pikir
Hoan Yauw. Memikir begitu ia segera mengisi mangkoknya
sendiri sampai arak meluber. Sesudah itu ia mengembalikan
buyung keatas meja, tapi cara menaruhnya berbeda dari
tadi. Kali ini buyung arak ditaruh miring.
Miringnya buyung berart Hoan Yauw sudah turun
tangan.
Dalam menjalankan tipunya, Hoan Yauw bertindak
secara cermat dan hati2. ia menggiling ramuan racun yg
dibuat Boe Kie menjadi bubuk. Kemudia ia membuat
sebuah lubang ditutup buyung yg terbuat dari kayu dan
memasukkan bubuk racun kedalam lubang itu. Tutup
buyung lalu dibungkus dengan kekainan, sehingga dengan
demikian selama buyung ditaruh beridir, arak yg
didalamnya tetap merupakan arak biasa. Tapi sebegitu lekas
buyung di taruh miring, sebagian arak akan segera
membasahi kain penyaring dan racunnya lantas tercampur
ke dalam arak. Dasar buyung itu berbentuk bulat sehingga
baik ditaruh berdiri, maupun ditaruh miring tidak begitu
menarik perhati. Apapula setelah minum begitu banyak,
ketiga orang itu sudah sinting dan mereka lebih2 tidak bisa
melihat perubahan itu.
Melihat mangkuk Ho Pit Ong sudah kosong, Hoan
Yauw segera mencabut tutup buyung dan mengerahkannya
kepada sih kakek. Ho Pit Ong menyambuti dan lalu mengisi
mangkoknya. Sesudah itu, ia menambahkan arak
dimangkok Soen Sam Hwi dan Lie Sie Coei yg sudah
separuh kosong. Ia tidak bisa menambah di mangkok Hoan
Yauw yg masih penuh.
1801
“Mari!” mengajak Ho Pit Ong.
Dengan serentak mereka mengangkat mengkok masing2
dan mengeringkan isinya. Kecuali Hoan Yauw, ketiga
orang itu sudah minum arak beracun. Soen sam Hwie dan
Lie Sie Coei yg lweekangnya tidak begitu kuat, lantas saja
merasa lemas. “Sie tee perutku tak enak,” bisik Soen Sam
Hwie.
“Aku.,.. akupun begitu,” kata Lie Sie Cui. “Apa kena
racun?”
Sesaat itu Ho Pit Ong sudah mulai merasa tidak enak.
Buru2 ia mengerahkan tenaga dalam, tapi hawanya tidak
mau naik keatas. Parasa mukanya lantas saja berubah
pucat.
Tiba-tiba Hoan Yauw bangkit dan mencengkram dada
Ho Pit Ong sambil mengeluarkan suara “ah ah uh uh”.
Matanya mendelik dan ia kelihatannya sangat gusar.
“Kouw Tay-soe, mengapa kau?” Tanya Soen Sam Hwie.
Hoan Yauw mencelup arak dengan jari tangannya dan
menulis huruf “Sip hiang Joan kin san” di atas meja.
Soen Sam Hwie dan Lie Sie Coei tahu bahwa racun dan
obat pemunah Sip hiang Joan kin san dikuasai Hian beng
Jie lo. Mereka saling melirik dan sambil membungkuk,
Soen Sam Hwie berkata, “Ho Kong kong, kami berdua
sedikit pun belum pernah berdosa terhadap Kong kong.
Kami mohon Kong kong suka menaruh belas kasihan.”
Mereka berkata begitu sebab menduga si kakek memang
mau mencelakai Kouw Tauw-too dan secara kebetulan
mereka turut minum arak beracun.
Bukan main herannya Ho Pit Ong. Bulan ini Sip hiang
Joan kin san memang dipegang olehnya sendiri,
disembunyikan dalam salah sebuah pit yang berbentuk
1802
patuk burung ho. Kedua senjata itu belum pernah berpisah
dari badannya sehingga tak mungkin orang bisa mencuri
racun tanpa diketahui olehnya. Tapi waktu mengerahkan
hawa, ia tidak bisa mengeluarkan tenaga seperti juga kena
Sip hiang Joan kin san.
Racun yang dibuat Boe Kie biarpun sangat keras
sebenarnya berbeda jauh dari Sip hiang Joan kin san dan
perasaan tidak enak yang dirasakan oleh korban juga
berbeda. Ho Pit Ong hanya tahu bahwa racun Sip hiang
memusnahkan tenaga dalam. Karena belum pernah
mencobanya, ia tentu saja tidak tahu perbedaan antara
racun Sip hiang dan racun buatan Boe Kie. Melihat
kegusaran Kouw Touw too dan mendengar ratapan Soen
Sam Hwie serta Lie Sie Coei, ia tidak ragu lagi bahwa
mereka semua dan ia sendiri sudah kena racun Sip hiang.
“Kouw Tay-soe, kau bersabarlah,” katanya. “Kita adalah
sahabat. Mana bisa jadi aku ingin mencelakai kalian?
Akupun kena racun itu. Badanku lemas dan tidak
bertenaga. Tapi siapa yang sudah main gila? Aku sunguh
merasa heran.”
Kouw Tauw-too mencelup lagi arak dengan jari
tangannya dan menulis “lekas keluarkan obat pemunah di
atas meja.”
Ho Pit Ong mengangguk. “Benar,” katanya. “Lebih
dahulu kita makan obat. Sesudah itu kita cari penjahatnya.
Tapi obat disimpan oleh Lok heng. Kouw Tay-soe, mari
kita pergi kepadanya.”
Hoan Yauw merasa sangat girang. Ia tidak mengira
tipuan Yo Siauw berjalan begitu lancar. Dengan tangan kiri
ia sengaja memegang pergelangan tangan kanan Ho Pit
Ong dan ia berjalan dengan langkah limbung.
Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di gedung
1803
itu. Kamar samping yang di sebelah selatan adalah kamar
Ho Pit Ong, sedang kamar di sebelah utara kamarnya Lok
Thung Kek. Pintu kamar itu tertutup rapat.
“Lok heng!” teriak Ho Pit Ong, “Lok heng!”
Dari dalam kamar terdengar sahutan Lok Thung Kek.
Ho Pit Ong mendorong pintu tapi pintu terkunci. “Lok
heng!” panggilnya, “Lekas buka pintu! Ada urusan
penting.”
“Urusan apa?” Tanya Lok Thung Kek. “Aku sedang
berlatih ilmu silat. Jangan mengganggu.”
Ho Pit Ong dan Lok Thung Kek adalah saudara
seperguruan. Kepandaian pun kira-kira berimbang. Tapi
karena Lok Thung Kek seorang kakek yang lebih tua dan
juga karena dia lebih berakal budi, maka Ho Pit Ong selalu
menghormatinya. Mendengar jawaban sang kakek yang
kurang enak ia tidak berani memanggil lagi.
Hoan Yauw bingung. Dalam tipuan ini, sang waktu
memainkan peranan penting. Kalau harus menunggu
sampai tenaga racun berkurang, rahasianya akan bocor.
Maka itu tanpa memperdulikan segala cara ia segera
mendobrak daun pintu dengan pundaknya dan pintu lantas
saja terbentang. Hamper berbarengan terdengar jeritan
seorang wanita.
Mendengar suara terpentalnya pintu, Lok Thung Kek
yang sedang berdiir di depan ranjang segera menengok.
Paras mukanya lantas saja berubah pucat, kaget bercampur
malu. Di tengah ranjang tergeletak seorang wanita yang
tubuhnya terbungkus dengan selembar kasur tipis dan kasur
itu dibebat dengan seutas tambang. Apa yang bisa dilihat
adalah rambutnya terurai. Wanita itu mengawasi Ho Pit
Ong dan Hoan Yauw dengan mata membelalak dan paras
1804
mukanya menunjukkan ketakutan besar. Hoan Yauw lantas
saja mengenali bahwa dia itu tidak lain adalah Han kie
(selir seorang raja muda she Han). “Hok Ong benar-benar
hebat,” katanya di dalam hati. “Seorang diri ia masuk ke
dalam Ong hoe (gedung raja muda) dan dengan begitu
cepat ia sudah berhasil menculik Han-kie.” Wie It Siauw
berhasil sebab meskipun di dalam Ong hoe terdapat banyak
sekali pengawal, yang diperhatikan dan dilindungi hanyalah
Jie lam ong, Sie coe (putra seorang pangeran) dan Koen
coe. Raja muda itu mempunyai banyak selir dan
seorangpun tak pernah menduga bahwa seorang selir bakal
diculik. Selain itu gerak gerik Wie Hok Ong juga cepat luar
biasa dan tanpa penjagaan istimewa, dengan mudah ia
sudah bisa menculik Han-kie. Tapi menaruh wanita cantik
itu di ranjang Lok Thung Kek lebih sukar daripada
menculiknya. Sesudah menunggu beberapa lama barulah di
kakek kelihatan keluar dari kamarnya dan dengan
menggunakan kesempatan itu, ia melompat masuk dan
meletakkan tubuh Han kie di pembaringan.
Waktu kembali ke kamarnya melihat sosok tubuh
wanita, Lok Thung kaget tak kepalang. Bagaikan kilat ia
melompat ke atas genteng tapi Wie It Siauw sudah pergi
jauh. Penyelidikannya di sekitar rumah itu tidak memberi
hasil. Buru-buru ia balik ke kamar dan ia jadi lebih kaget
lagi.
Hari itu dalam perjamuan di taman bunga, melihat
kecantikan Han-kie, semangat Lok Thung terbang. Ia
pulang dengan perasaan duka dan menyesal. Ia merasa
menyesal mengapa tidak lebih dulu ia bertemu dengan si
cantik. Tapi sesudah Han-kie menjadi selir Jie lam ong, biar
bagaimanapun juga ia tidak berani mengganggu.
Belakangan ia mendapat seseorang baru yang cukup cantik
sehingga perlahan-lahan ia dapat melupakan Han-kie.
1805
Mimpipun ia tak pernah bahwa Han-kie bisa mendadak
berada di pembaringannya. Ia kaget bercampur heran.
Sesudah berpikir sejenak ia menduga bahwa perbuatan itu
dilakukan oleh murid kenalannya yang bernama Yoe liong
soe. Murid itu rupanya sudah bisa menebak isi hatinya dan
diam-diam sudah menculik si cantik sambil menyeringai ia
mengawasi Han kie dan mengajukan beberapa pertanyaan
tapi wanita itu tidak bisa menjawab. Ia sadar bahwa jalan
darah Han kie telah ditotok.
Baru saja mengangsurkan tangannya untuk membuka
jalan darah tiba-tiba Ho Pit Ong mengetuk pintu dan Kauw
Tauw-too mendobraknya. Itulah kejadian yang tidak
terduga. Ia tidak bisa menyangkal lagi. Tiba-tiba dalam
otaknya berkelabat sebuah ingatan. Ia menduga bahwa
kedatangan Kauw Tauw-too adalah atas perintah Jie lam
ong yang sudah tahu penculikan itu untuk menangkapnya.
Dalam keadaan begitu, jalan satu-satunya adalah kabur.
Bagaikan kilat tangan kanannya mengulurkan tongkat
tanduk menjangan, tangan kirinya mendukung Han kie dan
ia segera bergerak untuk melompat keluar dari jendela.
Ho Pit Ong terkejut, “Lok Soeko!” teriaknya, “Lekas
keluarkan obat pemunah!”
“Apa?” tegas sang kakak.
“Entah bagaimana Siauw tee dan Kouw Tay-soe kena
racun Sip hiang Joan kin san,” jawabnya.
“Apa katamu?” ia tegaskan lagi.
Ho Pit Ong mengulangi keterangannya.
“Bukankah Sip hiang Joan kin san dipegang olehmu?”
tanya Lok Thung Kek dengan suara heran.
“Siauw tee pun merasa sangat heran,” sahutnya. “Kami
1806
empat orang, tadi makan dan minum. Secara mendadak,
kami semua kena racun. Lok Soeko keluarkanlah obat
pemunah. Sesudah makan obat itu, kita boleh bicara lagi.”
Hati Lok Thung Kek jadi lega. Ia segera menaruh Han
kie di pembaringan dan menyuruhnya menghadap ke
tembok. Ho Pit Ong yang tahu kesukaan kakaknya, tidak
merasa heran melihat adanya seorang wanita dalam kamar
sang kakak. Dalam kebingungannya ia tidak
memperhatikan siapa adanya wanita itu. Tapi biar
bagaimanapun dalam keadaan biasa, tak tentu ia bisa segera
mengenali. Hari itu, dalam perjamuan di taman bunga,
yang diperhatikannya bukan si cantik, tapi makanan dan
arak yang istimewa.
Sesudah menaruh Han kie, Lok Thung Kek berkata,
“Kouw Tay-soe, tunggulah di kamar saudara Ho, aku akan
datang membawa obat.” Seraya berkata begitu, ia
mendorong tubuh kedua orang itu. Badan Ho Pit Ong
bergoyang-goyang hampir ia jatuh. Hoan Yauw pun
berlagak sempoyongan. Tapi ada sesuatu yang tidak pernah
diperhitungkan oleh pemimpin Beng-kauw itu. Ia memiliki
Lweekang yang sangat tinggi dan waktu didorong secara
wajar, di luar keinginannya, dari dalam tubuhnya lantas
keluar semacam tenaga untuk melawan dorongan itu.
Sebagai seorang ahli silat kelas satu, Lok Thung Kek lantas
saja merasakan perbedaan antara dua dorongannya. Karena
kuatir salah, ia mendorong lagi, kali ini dengan
menggunakan tenaga. Ho Pit Ong dan Kouw Tauw-too
jatuh dengan berbarengan. Tapi Lok Thung Kek lantas
mendapat kepastian bahwa adik seperguruannya benarbenar
jatuh sebab tenaga dalamnya “kosong” sedang Kouw
Tauw-too hanya berlagak jatuh.
“Kouw Tay-soe, maaf,” katanya sambil mengangsurkan
tangannya mau membangunkan Hoan Yauw. Begitu tangan
1807
menyentuh tangan, ia segera memijit Hwee-cong hiat dan
Thong-tie hiat di pergelangan tangan Kauw Tauw too.
Tapi Hoan Yauw cukup hebat. Ia segera tahu bahwa
rahasianya sudah diketahui. Dengan cepat ia menotok
Hoen-boen hiat di punggung Ho Pit Ong supaya dalam tiga
jam ia tak dapat bergerak. Setelah Ho Pit Ong tak berdaya,
ia tidak usah kuatir lagi sebab paling banyak ia harus
melayani Lok Thung Kek seorang diri.
“Huh-huh!” ia tertawa dingin, “Lok Thung Kek, kau
mau hidup atau mati. Sungguh besar nyalimu! Selir Ong-ya
kau berani culik.”
Hian beng Jie lo tertegun. Selama belasan tahun mereka
menganggap Kouw Touw too seorang gagu. Lok Thung
Kek sudah lama mencurigainya tapi ia belum pernah
berpikir bahwa Hoan Yauw bukan seorang gagu. Ia
mengerti bahwa ia sekarang berada dalam keadaan sangat
berbahaya.
“Baru sekarang kutahu bahwa Kouw Tay-soe bukan
seorang gagu,” katanya. “Perlu apa kau memperdayai
orang selama belasan tahun?”
“Aku berlagak gagu atas perintah Ong-ya,” jawabnya.
“Sebab tahu hatimu bercabang, ia memerintahkan aku
untuk mengamat-amati gerak gerikmu.”
Keterangan itu sebenarnya agak mustahil tapi Lok
Thung Kek yang telah kebingungan tak bisa lagi
menggunakan otaknya yang cerdas. Ia terkesiap dan
badannya lemas. “Apakah Ong-ya memerintahkan kau
untuk menangkapku?” tanyanya. “Huh huh! Biarpun kau
berkepandaian tinggi, belum tentu kau bisa menangkap Lok
Thung Kek.” Seraya berkata begitu, ia mengambil
tongkatnya, siap sedia untuk bertempur.
1808
Hoan Yauw tertawa. “Lok Sianseng,” katanya dengan
suara mengejek. “Andaikata ilmu silat Kouw Tauw-too
tidak bisa menandingi kau, itu tak seberapa. Kalau kau mau
merobohkan aku, paling sedikit kau harus berkelahi dalam
seratus atau dua ratus jurus. Memang tidak terlalu sukar
untuk kau kalahkan aku. Tapi jangan harap kau bisa
membawa lari Han kie dan menolong soeteemu.”
Lok Thung Kek mengawasi adik seperguruannya dengan
sorot mata berduka. Sedari muda ia belajar silat bersamasama
dan puluhan tahun ia belum pernah terpisahkan.
Mereka berdua tidak menikah dan di dalam dunia ini, tiada
orang yang lebih dicintainya seperti adik seperguruan itu.
Maka itu, biar bagaimanapun juga ia tidak akan bisa
melarikan diri seorang diri dengan meninggalkan Ho Pit
Ong.
Melihat hati si kakek tergerak, Hoan Yauw segera
memanggil Soen Sam Hwie dan Lie Sie Coei. Sesudah
menutup pintu kamar, ia berkata, “Lok Sianseng, urusan ini
belum keluar. Kouw Tauw-too bersedia untuk melindungi
kau.”
Bagaikan kilat Hoan Yauw lalu menotok Ah hiat (hiat
gagu) dan Joan ma hiat (hiat yang membuat badan lemas)
Soen Sam Hwie dan Lie Sie Coei. Sesudah itu ia berkata
dengan perlahan, “Kau sendiri tentu tidak akan
membocorkan rahasia ini, sedang soeteemu pasti tak akan
mau mencelakai kau. Kouw Tauw-too berlagak gagu dan ia
akan tetap berlagak gagu. Kedua sahabat itupun tak
menjadi rintangan, Kouw Tauw-too akan menotok Sie
hiatnya untuk menutup mulutnya,” Soen Sam Hwie dan
Lie Sie Coei kaget tak kepalang. Ia tak nyana bahwa urusan
makan daging anjing akan berbuntut begitu hebat. Mereka
ingin minta dikasihani tapi mereka tidak bisa untuk diajak
bicara sama sekali. Sambil menunjuk pada Han kie Hoan
1809
Yauw lalu berkata pula. “Mengenai wanita cantik itu, loo
lap ingin mengusulkan dua jalan. Pertama mencuci tangan
bersih-bersih. Kita membawa dia dan kedua sahabat itu ke
tempat sepi dan membunuh mereka. Aku akan melaporkan
kepada Ong-ya bahwa Han-kie main gila dengan Lie Sie
Coei yang tampan dan mereka mencoba melarikan diri.
Tapi mereka berpapasan dengan Kouw Tauw-too yang
dalam kegusarannya sudah membunuh mereka. Kalau
mau, boleh kita mengampuni jiwa Soen Sam Hwie. Jalan
kedua kau membawa lari Han-kie dan coba sembunyikan di
tempat aman. Apa kau berhasil atau tidak bukan
urusanku.”
Tanpa merasa Lok Thung Kek berpaling dan mengawasi
Han-kie. Si cantik balas mengawasi dan sorot matanya
memohon. Ia mengerti bahwa Han-kie ingin mengambil
jalan kedua. Melihat kecantikan wanita itu, ia merasa tak
tega untuk membunuhnya.
“Terima kasih untuk maksudmu yang baik,” katanya.
“Tapi apakah yang kau ingin dilakukan olehku?” Ia tahu
bahwa Kouw Tauw-too mampunyai sesuatu untuk diajukan
kepadanya. Tanpa mengharap balasan budi, si pendeta pasti
tak gampang mau menyudahi urusan ini.
“Permintaanku sangat sederhana,” jawab Hoan Yauw.
“Ciang poen-jin, Go Bie-pay, Biat Coat Soethay adalah
istriku sedang si nona she Cioe adalah anak kami berdua.
Aku ingin minta obat pemunah Sip hiang Joan kin san
untuk menolong mereka supaya mereka bisa melarikan diri.
Di hadapan Kauwcoe aku yang bertanggungjawab. Apabila
aku melibatkan kau, biarlah semua anggota Kouw Tauwtoo
dan Biat Coat Soethay menjadi manusia hina dina yang
binasa secara mengerikan dan tidak bisa terlahir lagi ke
dunia.”
Hoan Yauw sudah memperhitungkan bahwa sebagai
1810
orang yang suka bercinta, Lok Thung Kek tentu akan
percaya jika ia mengarang cerita yang berdasarkan
percintaan. Ia sangat sekali membenci Biat Coat Soethay
sebab sudah mendengar keterangan Yo Siauw bahwa
pendeta wanita itu telah membinasakan banyak anggota
Beng-kauw. Itulah sebabnya mengapa ia tidak merasa segan
untuk mengarang cerita yang tidak-tidak, yang menodai
nama baik Biat Coat. Mengenai sumpah, ia sama sekali tak
menghiraukan sumpah. Dalam hal ini, orang harus ingat
bahwa Hoan Yauw masih memiliki sifat-sifat yang sesat
dan ia dapat melakukan perbuatan yang biasanya tak akan
diperbuat oleh tokoh-tokoh Rimba Persilatan.
Mendengar keterangan itu, Lok Thung Kek terkejut tapi
sesaat kemudian ia tersenyum. Perbuatan yang diakui
Kouw Tauw-too dianggapnya sebagai perbuatan lumrah.
Biarpun berbahaya, ianggap menukar obat pemunah
dengan wanita cantik ada harganya juga. “Kalau begitu,
menculik selir Ong-ya dan menaruhnya di dalam kamarku
juga perbuatan Kouw Tay-soe bukan?” tanyanya.
“Kau memberi aku obat, aku membalasnya dengan Hankie,”
jawabnya. “Mulai dari sekarang kita bersahabat untuk
selama-lamanya.”
Lok Thung Kek girang. Mendadak ia mendapat satu
ingatan dan bertanya, “Tapi cara bagaimana soeteeku bisa
kena Sip hiang Joan kin san? Dari mana kau mendapatkan
racun itu?”
“Gampang sekali,” jawabnya. “Racun itu disimpan oleh
soeteemu dan soeteemu suka minum arak. Sesudah dia
mabuk, apa kau kira Kouw Tauw-too masih tidak bisa
mencuri racun itu?”
Sekarang Lok Thung Kek tak ragu lagi, “Baiklah. Kouw
Tay-soe,” katanya. “Kami berdua akan mengikat sahabat
1811
denganmu. Aku tidak akan menjual kau tapi kuharap kau
jangan memasang jebakan lain yang sehebat ini.”
Hoan Yauw tertawa. Sambil menunjuk Han-kie ia
berkata, “Lain kali kalau ada wanita secantik dia, kuharap
Lok Sianseng suka memasang jaring supaya aku terjaring di
dalam jaring bahagia.”
Mereka tertawa terbahak-bahak tapi masing-masing
mempunyai perhitungan sendiri-sendiri. Diam-diam Lok
Thung Kek memikirkan daya untuk menyembunyikan Hankie
dan sesudah itu ia akan berusaha untuk membinasakan
si Tauw-too jahat.
Dilain pihak, Hoan Yauw tahu bahwa biarpun sekarang
Lok Thung Kek tunduk tapi begitu dia telah
menyembunyikan Han-kie di tempat yang aman, Hian beng
Jie lo tentu akan membuat perhitungan dengannya. Tapi
pada waktu itu, rombongan keenam partai sudah tertolong
dan ia sendiri sudah menyingkir ke tempat lain.
Sementara itu Lok Thung Kek sedang mengkhayal, ia
tidak segera mengeluarkan obat pemunah. Hoan Yauw
tidak mau mendesak terlalu keras sebab bila ia berbuat
begitu si kakek tentu akan curiga. Ia duduk dan berkata,
“Lok heng, mengapa kau tidak segera membuka jalan darah
Han-kie? Ayolah! Untuk merayakan keberuntunganmu, kita
boleh minum beberapa cawan arak. Di bawah sinar lampu,
ada arak, nona cantik apalagi yang mau dicari oleh seorang
manusia yang hidup dalam dunia ini?”
Selagi Hoan Yauw bicara, si kakek mengasah otaknya.
Ban hoat sie tempat yang ramai, kelamaan Han-kie berada
dalam kamar akan berbahaya. Ia segera mengeluarkan
tongkatnya dan mencabut salah satu cabang tanduk
menjangan. Ia mengambil cawan dan menuang sedikit
bubuk obat ke dalam cawan itu, “Kouw Tay-soe,” katanya,
1812
“Tipumu sangat hebat dan aku menyerah kalah. Ambillah
obat ini.”
Hoan Yauw menggelengkan kepalanya. “Begitu sedikit?”
katanya. “Mana bisa cukup?”
“Obat ini lebih dari cukup,” kata Lok Thung Kek.
“Jangankan dua orang enam tujuh orang masih bisa
ditolong.”
“Mengapa kau begitu pelit?” kata Hoan Yauw, “Apa
halangannya jika kau beri lebih banyak? Untuk berterus
terang, aku kuatir diperdayai olehmu karena kau sangat
licin dan cerdik.”
Karena penolakan itu, Lok Thung Kek curiga. “Kouw
Tay-soe, apakah mau ditolong olehmu tidak hanya Biat
Coat dan putrimu?” tanyanya.
Baru saja Hoan Yauw mau memberi keterangan, di luar
rumah sudah terdengar suara ramai-ramai dan langkah kaki
tujuh delapan orang. “Tapak kakinya terlihat di sini,” kata
seorang. “Apakah mungkin Han-kie dibawa ke “Ban hoat
sie”?”
Muka Lok Thung Kek berubah pucat. Ia segera
memasukkan cangkir obat ke dalam sakunya. Ia menduga
bahwa Kouw Tauw-too sudah menyiapkan orang dan
begitu ia menyerahkan obat itu, si pendeta akan turun
tangan.
Hoan Yauw menggoyang-goyangkan tangannya. Ia lalu
mengambil selembar seprai menyelimuti seluruh tubuh
Han-kie dan menutup kelambu.
“Lok Sianseng! Apa Lok Sianseng ada?” demikian
terdengar suara seruan orang.
Hoan Yauw menunjuk mulutnya. Dengan isyarat itu ia
1813
mau mengatakan bahwa karena ia dikenal sebagai orang
gagu, ia tidak bisa memberi jawaban dan biarlah Lok Thung
Kek yang menjawab.
“Ada apa?” bentak si kakek.
“Seorang selir Ong-ya diculik orang,” jawabnya. “Tapak
kaki penculik diikuti sampai di sini.”
Lok Thung Kek menatap muka Hoan Yauw dengan
sorot mata gusar. Hoan Yauw tersenyum dan dengan
gerakan-gerakan tangan, ia menyilakan Lok Thung Kek
mengusir orang-orang itu.
“Jangan bikin ribut di sini!” bentak Lok Thung Kek.
“Cari ke tempat lain!” Ia seorang berkepandaian tinggi dan
berkedudukan tinggi dan sangat disegani. Orang-orang itu
tidak berani bersuara lagi dan lalu berpencar untuk
menggeledah berbagai pelosok kelenteng Ban hoat sie.
Lok Thung Kek mengerti bahwa sesudah terjadi kejadian
itu, Ban hoat sie akan dijaga keras dan usaha membawa
Han-kie keluar kelenteng hampir tidak bisa dilakukan lagi.
Alisnya berkerut dan kedua matanya mengawasi Hoan
Yauw dengan sorot benci.
Tiba-tiba, Hoan Yauw teringat sesuatu. “Lok heng,”
bisiknya, “Di Ban hoat sie terdapat sebuah tempat yang
aman untuk sementara waktu menyembunyikan
kesayanganmu. Satu dua hari kemudian sesudah penjagaan
agak kendor, kita bisa berusaha lain.”
“Paling aman dalam kamarmu sendiri!” kata si kakek
dengan gusar.
Hoan Yauw tertawa. “Apa Lok heng rela menyerahkan
wanita yang begitu cantik kepadaku?” tanyanya dengna
nada mengejek.
1814
“Di mana tempat itu?” bentak si kakek.
Hoan Yauw tersenyum dan menuding puncak menara.
Sebagai orang yang cerdas, Lok Thung Kek lantas saja
bisa melihat tepatnya usul itu. Ia mengacungkan jempol dan
memuji. “Bagus!”
Sebagaimana diketahui, menara itu merupakan penjara
untuk rombongan keenam partai. Secara kebetulan Cong
koan (pengurus) penjara adalah Yoe liong coe, murid
kepala si kakek. Orang bisa mencurigai tempat lain tapi
orang pasti tak akan mimpi bahwa selir Ong-ya
disembunyikan di puncak menara yang terjaga ketat.
“Orang-orang itu sudah pergi ke tempat lain,” bisik Hoan
Yauw. “Kita harus segera bertindak tidak boleh menunda
lagi.” Ia segera mengikat empat sudut seprai sehingga tubuh
han-kie merupakan bungkusan besar. Ia mengangkat
bungkusan itu dan mengangsurnya kepada Lok Thung Kek.
Hoan Yauw mengerti, “Mau menolong orang harus
menolong sampai akhir,” katanya, “Biarlah! Aku akan
menolong kau dan kau menyerahkan obat kepadaku.”
Seraya berkata begitu, ia mengangkat bungkusan itu
menaruhnya di atas pundak. “Kau harus menjaga baikbaik,”
bisiknya. “Kalau ada yang coba menahan, binasakan
saja.”
Lok Thung Kek menggutkan kepala dan segera keluar
lebih dahulu. Hoan Yauw turut keluar dan sesudah
merapatkan pintu sambil manggul Han-kie, ia berjalan ke
arah menara.
Waktu itu kira-kira sudah jam sembilan malam. Kecuali
sejumlah pengawal yang menjaga di luar menara, dalam
pekarangan kelenteng tidak terdapat manusia lain. Melihat
Kouw Tauw-too dan Lok Thung Kek, para pengawal segera
1815
memberi hormat dengan membungkuk dan membuka jalan.
Sebelum tiba di pintu, Yoe liong coe mendapat berita
dari bawahannya, sudah keluar menyambut dan berkata
dengan suara girang, “Soehoe! Mari masuk!”
Lok Thung Kek mengangguk dan bersama Kouw Tauwtoo,
ia segera menuju ke pintu. Mendadak pintu menara
terbuka dan dari dalam keluar seorang yang tidak lain
adalah Tio Beng!
Lok Thung Kek terkesiap. Ia tak pernah menduga secara
kebetulan majikannya berada dalam menara.
Sambil menengok ke Yoe liong coe, Tio Beng berkata
sambil tertawa, “Gurumu mempunyai seorang murid yang
sangat baik. Karena hanya ingat menyambut guru, kau
tidak memperdulikan aku lagi.”
Yoe liong coe membungkuk. “Siauwjin tak tahu
kedatangan Koen-coe,” katanya. “Untuk kelalaian itu,
mohon Koen-coe sudi memaafkan.”
“Penjagaanmu sangat memuaskan,” kata si nona.
“Kurasa Beng-kauw takkan gampang bisa turun tangan.”
Sesudah Boe Kie mengacau, Tio Beng yang tidak tahu
bahwa yang datang ke kota raja hanya tiga orang, merasa
kuatir Beng-kauw akan menyatroni lagi dengan rombongan
besar. Maka itu, Tio Beng segera datang sendiri ke menara
untuk memeriksa penjagaan. Ia merasa sangat puas karena
penjagaan terlalu rapi dan di setiap lantai ditaruh dua orang
yang berkepandaian tinggi. Ia menengok pada Kouw Tauwtoo
dan tersenyum, “Kouw Tauw-too,” katanya, “Aku
justru sedang mencari kau.”
Kouw Tauw-too manggut-manggutkan kepalanya.
“Aku mau minta kau mengantar aku ke satu tempat,”
1816
kata si nona pula.
Hoan Yauw mengeluh di dalam hati. Ia sudah berhasil
menipu Lok Thung Kek dan obat pemunah sudah berada di
depan mata. Siapa sangka, Tio Beng datang mengacau? Ia
mau menolak tapi dalam peranan sebagai orang gagu ia
tidak boleh bicara. “Biarlah si tua bangka yang menolong
aku,” pikirnya. Ia mengangkat bungkusan dan
mengangsurkannya ke Lok Thung Kek.
Si kakek terkejut.
“Lok Sianseng,” kata Tio Beng, “Apa isi bungkusan itu?”
“Oh…,” jawabnya tergugu, “Kasur Kouw Tay-soe.”
“Kausr? Perlu apa Kouw Tay-soe membawa kasur
kemari?” Ia tertawa dan berkata pula. “Kouw Tay-soe
menganggap aku terlalu bodoh dan tak sudi menerima aku
sebagai muridnya. Sekarang ia sampai harus membawa
kasur sendiri.”
Hoan Yauw menggeleng-gelengkan kepala dan
menggerak-gerakkan tangan kanannya. “Biar si tua yang
mencuri jalan keluar,” katanya di dalam hati. “Huhhuh…
inilah enaknya jadi seorang gagu.”
Tio Beng tidak mengerti gerakan tangan itu dan ia
mengawasi Lok Thung Kek. Si kakek cukup hebat, dalam
sekejap ia sudah memikirkan jawaban yang bagus.
“Sebagaimana Coejin tahu, beberapa siluman telah datang
mengacau,” katanya. “Kami kuatir…kuatir mereka
menyatroni lagi untuk menolong tawanan itu. Maka itu
kami berdua telah mengambil keputusan untuk bermalam di
sini guna menjaga diri. Kasur itu kasur Kouw Tay-soe.”
Tio Beng girang sekali. “Sebenarnya aku sendiri memang
ingin sekali meminta bantuan Lok Sianseng dan Kouw Taysoe
untuk menjaga menara ini,” katanya sambil tertawa,
1817
“Tapi aku belum berani membuka mulut sebab
menganggap bahwa dengan meminta begitu aku minta
terlalu banyak. Aku sungguh merasa girang bahwa tanpa
diminta kalian berdua sudi mengeluarkan tenaga begitu
besar. Kouw Tay-soe, dengan adanya Lok Sianseng, kurasa
kawanan siluman tidak akan berani mengacau. Biarlah kau
sendiri ikut aku.” Seraya berkata begitu ia memegang
tangan Hoan Yauw.
Hoan Yauw tidak bisa meloloskan diri lagi. Jalan satusatunya
adalah menyerahkan bungkusan kepada Lok
Thung Kek yang lalu menyambuti. “Baiklah aku menunggu
kau di menara,” kata si kakek.
“Soehoe, mari teecoe yang membawanya,” kata Yoe
liong coe.
“Tak usah,” kata sang guru sambil tertawa. “Aku ingin
mengambil hati Kouw Tay-soe. Tugas ini harus dipanggul
olehku sendiri.”
Di dalam hati Hoan Yauw mengutuk si kakek. Tiba-tiba
ia menepuk bungkusan itu. Baik juga Han-kie sudah
tertotok jalan darahnya sehingga tepukan itu tidak
mengakibatkan teriakan. Tapi Lok Thung Kek sudah
ketakutan setengah mati. Ia tidak berani bercanda lagi dan
sesudah membungkuk kepada majikannya ia segera
melangkah masuk ke dalam menara. Diam-diam ia sudah
memperhitungkan tindakannya. Begitu ia tiba di atas
menara, ia akan mengeluarkan Han-kie dari bungkusannya
dan membungkus sebuah kasur dengan sprei itu. Andaikata
Kouw Tauw-too mengadu kepada Tio Beng biarpun mesti
mati ia tak akan mengaku.
Dengan rasa bingung dan heran, Hoan Yauw mengikuti
Tio Beng keluar dari Ban hoat sie. Ke mana nona itu mau
pergi? Sambil memakai tudung yang semula tergantung di
1818
punggungnya Tio Beng berbisik,” Kouw Tay-soe, mari kita
menemui si bocah Boe Kie.”
Hoan Yauw terkejut dan melirik si nona. Ia mendapati
kenyataan bahwa muka nona Tio Beng bersemu dadu,
sikapnya seperti orang malu bercampur girang. Hati Hoan
Yauw jadi lega. Ia lantas saja ingat pertemuan malam itu di
Ban hoat sie antara kedua orang muda itu. Cara-cara
mereka bukan seperti musuh besar. Tiba-tiba ia sadar,
“Aha!” serunya di dalam hati, “Mungkin sekali Koen-coe
mencintai Kauwcoe.” Sejenak kemudian ia berpikir,
“Tapi…tapi mengapa dia mengajak aku dan bukan Hianbeng
Jie lo yang menjadi orang kepercayaannya…Aku
tahu, aku gagu dan tidak bisa membocorkan rahasia. Ya!
Itulah sebabnya.” Berpikir begitu, ia manggut-manggutkan
kepalanya dan tersenyum.
“Mengapa kau tertawa?” tanya si nona.
Kouw Tauw-too menggerak-gerakkan kedua tangannya
dalam isyarat bahwa biarpun harus masuk ke dalam sarang
harimau ia akan turut serta dan melindungi keselamatan si
nona.
Tio Beng tidak buka suara lagi dan lalu berjalan
mengikuti si gagu. Tak lama kemudian tiba di depan
penginapan Boe Kie.
“Koen-coe benar-benar hebat,” pikir Hoan Yauw, “Ia
sudah tahu tempat penginapan Kauwcoe.”
Mereka segera masuk ke dalam. “Kami ingin bertemu
dengan seorang tamu she Can,” kata Tio Beng kepada
pengurus hotel. Si nona tahu bahwa dalam rumah
penginapan itu Boe Kie menggunakan nama “Can Ah
Goe”.
Seorang pelayan segera masuk ke dalam untuk
1819
memberitahukan Boe Kie. Pemuda itu sedang bersemedi
sambil menunggu tanda api di kelenteng Ban hoat sie.
Mendengar kedatangan seorang tamu, ia merasa heran dan
segera pergi ke ruangan tengah. Melihat Tio Beng dan
Hoan Yauw ia kaget, “Celaka!” ia mengeluh. “Mungkin
rahasia Hoan Yoe Soe bocor dan Tio Kauwnio datang
untuk berhitungan denganku.” Ia menyoja dan berkata,
“Maaf! Karena tak tahu Kauwnio datang berkunjung aku
sudah tidak keburu menyambut.”
Tio Beng balas memberi hormat. “Tempat ini bukan
tempat bicara,” katanya dengan suara perlahan. “Mari kita
pergi ke sebuah rumah makan kecil untuk minum tiga
cawan arak.”
Tio Beng berjalan lebih dulu. Di seberang rumah
penginapan lewat lima rumah terdapat sebuah rumah
makan kecil dengan hanya beberapa meja kayu. Karena
sudah malam, di rumah makan itu tidak terdapat tamu lain.
Tio Beng segera memilih sebuah meja di ruang tengah dan
duduk berhadapan dengan Boe Kie. Hoan Yauw tertawa
dalam hati. Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya
memberi isyarat bahwa ia ingin minum arak di ruangan
depan dan Tio Beng segera manggutkan kepalanya.
Sesudah Kouw Tauw-too keluar, si nona lalu memanggil
pelayan dan memesan tiga kati daging kambing serta dua
kati arak putih.
Boe Kie merasa sangat heran. Nona itu bagaikan pohon
bercabang emas dan berdaun giok. Mengapa dia
mengajaknya makan minum di dalam rumah makan yang
kecil dan kotor? Apa maksudnya?
Sementara itu si nona sudah mengisi dua cawan arak.
Sesudah meneguk salah sebuah cawan, ia berkata sambil
tertawa, “Nah! Arak ini tidak beracun. Kau boleh minum
1820
dengna hati lega!” Seraya berkata begitu, ia menaruh cawan
yang isinya sudah dicicipinya di hadapan Boe Kie.
“Ada urusan apa nona mengajak aku kemari,” tanya Boe
Kie.
“Minum dulu tiga cawan baru kita bisa bicara,”
jawabnya. “Untuk kehormatanmu, aku minum lebih
dahulu.” Ia mengangkat dan mengeringkan isi cawannya.
Boe Kie pun segera mengangkat cawannya. Tiba-tiba
hidungnya mengendus bau yang sangat harum. Di bawah
sinar lampu di pinggir cawan, samar-samar ia melihat tapak
bibir yang berwarna merah. Dari bau harum itu, duri
Yanciekah? Dari badan si nonakah? Hatinya berdebar-debar
tapi ia segera meneguk cawannya.
“Kita minum dua cawan lagi,” kata Tio Beng. “Kutahu
kau selalu curiga. Maka itu isi setiap cawan akan lebih
dahulu dicicipi olehku.”
Boe Kie membungkam. Di dalam hati, ia memang
merasa jeri terhadap nona Tio yang mempunyai banyak
akal bulus, ia merasa senang bahwa setiap cawan yang
disuguhkan kepadanya diminum lebih dahulu oleh si nona
sehingga dengan demikian ia tak usah menempuh bahaya.
Tapi minum arak yang sudah diteguk oleh seorang wanita
mengakibatkan perasaan yang sukar dilukiskan dalam
hatinya. Ketika ia mengangkat muka, si nona ternyata
sedang mengawasi dengna bibir tersungging senyum dan
pipi berwarna dadu. Buru-buru Boe Kie melengos.
“Thio Kauwcoe,” Kata Tio Beng dengan suara perlahan,
“Apa kau tahu siapa sebenarnya aku?”
Boe Kie menggelengkan kepala.
“Hari ini aku akan berterus terang,” katanya pula.
“Ayahku ialah Jie lam ong yang berkuasa atas seluruh
1821
angkatan perang kerajaan. Aku wanita Mongol, namaku
Mingming Temur. Tio Beng adalah nama Han yang dipilih
olehku. Hong-siang telah menganugerahkan aku gelar
Siauwbeng Koen-coe.”
Kalau bukan sudah diberitahukan oleh Hoan Yauw, Boe
Kie tentu akan merasa kaget. Bahwa si nona sudah bicara
terus terang adalah sangat luar biasa. Sebagai manusia yang
tidak bisa berpura-pura pemuda itu tidak menunjukkan rasa
kaget.
Tio Beng heran, “Mengapa kau tenang saja?” tanyanya.
“Apa kau sudah tahu?”
“Bukan,” sahutnya. “Tapi sejak awal aku sudah
menduga. Kau seorang wanita muda belia tapi kau bisa
menguasai tokoh-tokoh ternama dalam Rimba Persilatan.
Sejak awal aku sudah menduga bahwa kau bukan
sembarang orang.”
Nona Tio mengusap-usap cawan arak. Untuk beberapa
saat, ia tidak mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya ia
berkata dengan suara perlahan, “Thio Kongcoe, aku ingin
mengajukan sebuah pertanyaan dan kuharap kau suka
menjawab dengan setulus hati. Bagaimana sikapmu apabila
aku membunuh Cioe Kauwnio?”
“Cioe Kauwnio tidak berdosa terhadapmu,” jawabnya
dengan suara heran. “Mengapa kau mau bunuh dia?”
“Ada orang-orang yang tidak disukai aku dan aku segera
membunuh mereka,” kata si nona. “Apa kau kira aku
hanya membunuh orang yang berdosa terhadapku? Ada
manusia yang berdosa terhadapku tapi aku tidak
membunuh mereka. Seperti kau sendiri, apakah dosamu
terhadapku belum cukup besar?” Sambil berkata begitu,
sinar matanya menunjukkan sinar bercanda.
1822
Boe Kie menghela nafas, “Tio Kauwnio,” katanya. “Aku
berdosa terhadapmu karena terpaksa. Aku bagaimanapun
selalu tak dapat melupakan budimu yang sudah menolong
Sam soe-peh dan Liok soe-siok ku.”
Tio Beng tertawa dan berkata, “Kau seorang yang
berotak miring. Jie Thay Giam dan In Lie heng terluka
karena perbuatan orang-orangku. Tapi kau bukan saja tidak
menyalahkan aku bahkan kau menghaturkan terima kasih.”
“Sam soe-peh terluka kira-kira dua puluh tahun yang lalu
dan pada waktu itu kau belum lahir,” kata Boe Kie.
“Tapi biar bagaimanapun juga, orang-orang itu adalah
kaki tangan ayahku dan kalau mereka kaki tangan ayahku
merekapun menjadi kaki tanganku,” kata si nona. “Ah! Kau
coba menyimpang dari pokok pembicaraan. Aku Tanya,
jika aku membunuh untuk membalas sakit hati?”
Boe Kie berpikir sejenak, “Aku tak tahu,” jawabnya.
“Mengapa tak tahu?” desak si nona. “Kau tidak mau
bicara terus terang bukan?”
“Ayah dan ibuku mati karena didesak orang,” kata Boe
Kie dengan suara berduka. “Hari itu di gunung Boe tong
san, di hadapan jenazah kedua orang tuaku, aku telah
bersumpah bahwa di kemudian hari sesudah aku besar, aku
akan membalas sakit hati. Aku mengingat muka orangorang
Siauw liem, Go bie, Koen loen dan Khong tong-pay
yang waktu itu berada di Boe tong. Saya masih kecil dan
hatiku penuh dengan kebencian. Tapi sesudah aku besar,
sesudah aku memperoleh lebih banyak pengetahuan, sakit
hatiku kian lama kian berkurang.”
“Pada hakekatnya aku tak tahu siapa yang sebenarnya
sudah mencelakai kedua orang tuaku. Saya tidak boleh
menuduh Khong tie Siansoe, Thie kim Sianseng dan tokoh1823
tokoh lain. Aku tidak boleh menuduh kakek atau pamanku
(In Ya Ong), aku bahkan tidak pantas menuduh orangorangmu
seperti A-toa, A-jie, Hian-beng Jie lo dan yang
lainnya. Selama beberapa hari aku merenungkan hal itu
dalam pikiranku. Apabila manusia tidak saling bunuh,
apabila semua manusia hidup damai dan bersahabat,
bukankah kehidupan akan menjadi lebih berarti daripada
sekarang ini?” Pikiran itu sudah lama berada dalam otaknya
tapi sebegitu jauh belum pernah ia utarakan kepada orang
lain. Malam itu entah bagaimana ia membuka isi hatinya
kepada Tio Beng dalam rumah makan kecil itu. Sesudah
bicara, ia sendiri malah merasa heran mengapa ia sudah
bicara begitu.
Tio Beng tahu bahwa Boe Kie bicara sungguh-sungguh.
“Hatimu sangat mulia,” katanya sesudah berdiam beberapa
saat. “Manusia seperti aku tidak bisa berbuat seperti kau.
Kalau ada orang membinasakan ayah dan kakakku, aku
bukan saja akan menumpas keluarganya tapi bahkan
membasmi sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya.”
“Aku pasti akan merintangi.”
“Mengapa begitu?”
“Karena lebih banyak kau membunuh manusia, lebih
besar dosamu dan lebih berbahaya keadaanmu. Tio
Kauwnio, bilanglah terus terang, apa kau pernah
membunuh orang?”
“Sampai kini, belum. Tapi sesudah aku lebih tua, aku
akan membunuh banyak sekali manusia. Leluhurku Kaisar
Genghiz Khan, Kubilai-khan dan yang lain. Sungguh
sayang aku seorang wanita. Kalau lelaki…huh huh! Aku
pasti akan melakukan sesuatu yang maha besar.” Ia
menuang arak ke cawannya dan meneguk isinya. Setelah
itu, ia tertawa dan berkata pula, “Thio Kongcoe, kau belum
1824
menjawab pertanyaanku.”
“Bila kau membunuh Cioe Kauwnio atau salah seorang
sahabatku maka aku takkan menganggapmu sebagai
sahabat lagi,” jawabnya. “Aku tak mau bertemu muka lagi
selama-lamanya dan jika bertemu juga aku takkan mau
bicara lagi denganmu.”
“Dengan demikian, kau kini menganggapku sebagai
sahabatmu, bukan?” tanya si nona dengan suara dingin.
“Andaikata aku membenci kau, aku tentu sungkan
minum bersama kau di tempat ini,” sahutnya. “Hai!...Aku
merasa sukar untuk membenci orang. Di dunia ini, manusia
yang paling dibenci olehku adalah Hoen-goan Pel lek-cioe
Seng Koen. Tapi setelah dia mati aku berbalik merasa
kasihan di dalam hati, seolah-olah aku mengharap supaya
dia tak mati.”
“Bagaimana perasaanmu, andaikata besok aku mati?”
tanya Tio Beng. “Di dalam hatimu kau tentu berkata,
“Terima kasih kepada Langit dan Bumi, musuh yang kejam
sudah mampus dan aku boleh tidak usah terlalu pusing.”
Kau tentu berpikir begitu bukan?”
“Tidak! Tidak! Aku sama sekali tak mengharapkan
kematianmu. Tidak! Wie Hok Ong hanya menakut-nakuti
kau, mengancam untuk menggores mukamu. Bicara terus
terang, aku merasa sangat kuatir. Tio Kauwnio, kuharap
kau tidak menyulitkannya lebih lama. Lepaskanlah tokohtokoh
keenam partai itu. Marilah kita hidup damai.
Bukankah kehidupan begitu lebih bahagia daripada
bermusuhan yang berlarut-larut?”
“Bagus! Akupun mengharapkan itu. Kau seorang
Kauwcoe dari Beng-kauw. Perkataanmu berharga bagaikan
emas. Pergilah kau memberitahukan supaya mereka semua
mengabdi kepada kerajaan. Ayahku akan melaporkan
1825
kepada Hong-siang agar mereka diberi anugerah.”
Boe Kie menggelengkan kepala dan berkata dengan
suara perlahan, “Kami bangsa Han mempunyai suatu
tekad. Tekad itu ialah mengusir kekuasaan Mongol dari
bumi bangsa kami.”
Tiba-tiba si nona bangkit. “Apa?” tegasnya. “Kau berani
mengeluarkan kata-kata itu? Apakah itu bukan berarti
pemberontakan?”
“Aku memang sudah memberontak,” jawabnya, “Apa
kau belum tahu?”
Lama sekali si nona mengawasi wajah Boe Kie.
Perlahan-lahan sinar kegusaran menghilang dari paras
wajahnya dan berganti dari sinar kedukaan dan putus
harapan. Perlahan-lahan ia duduk dan berkata dengan suara
parau, “Aku sudah tahu. Aku hanya ingin dengar
kepastiannya dari mulutmu sendiri.”
Boe Kie berhati lemah. Melihat kedukaan si nona ia
terus merasa berduka. Kalau dapat, ia bersedia untuk
menuruti segala kemauan nona Tio. Hanya urusan itu
adalah urusan nusa dan bangsa maka ia harus tetap kokoh
pada pendiriannya, ia tak tahu bagaimana caranya
menghibur Tio Beng dan ia membungkam sambil
menundukkan kepala.
Selang beberapa lama ia berkata, “Tio Beng Kauwnio,
sekarang sudah larut malam. Biarlah aku mengantar kau
pulang.”
“Apakah kau tak sudi menemani aku duduk-duduk di
sini lebih lama lagi?”
“Bukan! Kalau kau masih ingin minum dan berbicara
aku bersedia untuk menemani terus.”
1826
Tio Beng tersenyum, “Kadang-kadang aku melamun,”
katanya. “Andaikata aku bukan seorang Mongol, bukan
seorang putri pangeran tapi hanya seorang wanita Han
biasa seperti Cioe Kauwnio, mana yang lebih cantik.”
Boe Kie terkejut, ia tak duga si nona bakal mengajukan
pertanyaan begitu. Tapi hal ini tidak mengherankan. Tio
Beng adalah seorang Mongol yang beradat polos. Tanpa
merasa pemuda itu mengawasi wajah si nona yang sangat
ayu dan tanpa merasa pula ia berkata, “Tentu saja kau lebih
cantik.”
Mata Tio Beng bersinar girang, ia menyodorkan tangan
kanannya dan mencekal tangan Boe Kie. “Thio Kongcoe
apakah kau merasa senang jika kau sering-sering bertemu
denganku?” tanyanya dengan suara lemah lembut. “Apakah
kau sudi datang pula jika aku mengundang kau minum arak
lagi di rumah ini?”
Jantung Boe Kie memukul keras. Sesudah
menentramkan hatinya ia menjawab, “Aku tidak bisa
berdiam lama-lama di sini, beberapa hari lagi aku harus
pergi ke Selatan.”
“Perlu apa kau pergi ke Selatan?”
“Kurasa kau bisa menebak sendiri. Kalau aku
memberitahukan maksudku kau tentu akan gusar….”
Tio Beng mengawasi keluara jendela memandang sang
rembulan dengan sinarnya yang putih bagaikan perak. Tibatiba
ia berkata, “Thio Kongcoe kau telah berjanji untuk
melakukan tiga permintaanku. Apa kau masih ingat?”
“Tentu saja masih ingat. Nona boleh memberitahukan
dan dalam batas kemampuanku, aku akan melakukan
perintahmu.”
Si nona menatap wajah Boe Kie dan berkata, “Sekarang
1827
aku baru mempunyai sebuah permintaan, aku minta kau
mengambil golok To-liong to.”
Boe Kie tahu bahwa permintaan yang diajukan Tio Beng
pasti bukan permintaan yang mudah dilakukan. Tapi ia
sama sekali tak menduga bahwa permintaan pertama sudah
begitu sukar.
Melihat paras Boe Kie yang menunjukkan rasa susah
hati. Tio Beng bertanya, “Bagaimana? Apa kau tak sudi
melakukan permintaanku? Apakah dilakukannya
permintaan itu melanggar sifat kesatriaan dalam Rimba
Persilatan?”
“Sebagaimana kau tahu, To-liong to adalah milik ayah
angkatku, Kim mo Say Ong Cia Tay-hiap. Tak dapat aku
mengkhianati Giehoe dan menyerahkan golok itu
kepadamu.”
“Aku bukan menyuruh kau mencuri, merampas atau
menipu. Akupun bukan ingin memiliki golok itu. Aku
hanya minta kau meminjamnya dari ayahmu dan
memberikannya kepadaku supaya aku bisa bermain-main
dengan golok itu untuk satu jam lamanya. Sesudah satu
jam, aku akan memulangkannya kepada Cia Tay-hiap.
Kalian berdua adalah ayah dan anak. Apa bisa jadi Cia
Tay-hiap akan tak sudi untuk meminjamkannya dalam
jangka waktu hanya satu jam. Aku bukan ingin merampas
harta benda atau membunuh manusia. Apakah hal itu
melanggar kesatriaan dalam Rimba Persilatan?”
“Biarpun namanya tersohor, To-liong to sebenarnya
tidak terlalu luar biasa hanya lebih berat dan lebih tajam
dari golok biasa.”
“Dalam Rimba Persilatan terdapat kata-kata sebagai
berikut. Boe lim cie coen po to to liong, hauw leng thian hee
boh kam poet ciong, ie thian poet coet swee ie ceng hong
1828
(Yang termulia dalam Rimba Persilatan, golok mustika
membunuh naga, perintahnya di kolong langit tiada
manusia yang berani tidak menurut, ie thian tidka keluar
siapa yang bisa melawan ketajamannya). Ie thian kiam
berada dalam tanganku terlihat seperti To-liong to. Kalau
kau tidak percaya padaku untuk melihat golok mustika itu,
kau boleh berdiri di sampingku. Dengan memiliki
kepandaian yang begitu tinggi kau tak usah takut bahwa
aku main gila terhadapmu.”
Mendengar keterangan itu, Boe Kie berpikir. Sesudah
rombongan keenam partai tertolong memang ia juga ingin
segera berangkat untuk mengajak ayah angkatnya pulang ke
Tiongkok supaya orang tua itu bisa menduduki kursi
Kauwcoe. Kalau nona Tio hanya ingin melihat-lihat golok
itu dalam waktu satu jam biarpun dia mau main gila,
dengan penjagaan yang hati-hati mungkin tak kan terjadi
sesuatu yang tak diinginkan, ia ingat bahwa menurut ayah
angkatnya di dalam golok tersebut bersembunyi rahasia
pelajaran ilmu silat yang sangat tinggi. Ayahnya telah
mendapatkan To-liong to sebelum kedua matanya buta.
Tapi sebegitu lama orang tua itu, yang berotak sangat
cerdas masih belum bisa memecahkan rahasia tersebut.
Maka itu, dalam waktu satu jam nona Tio rasanya takkan
bisa berbuat banyak. Selain itu, ayah angkatnya dan ia
sudah berpisah kurang lebih sepuluh tahun. Mungkin sekali
dalam sepuluh tahun ayah angkat itu sudah berhasil
menembus tabir rahasia dari To-liong to.
Melihat Boe Kie belum juga menjawab, Tio Beng
tertawa. “Kau tidak sudi meluluskan?” tegasnya. “Terserah
padamu, aku ingin mengajukan permintaan lain,
permintaan yang lebih sukar.”
Boe Kie tahu bahwa Tio Beng pintar dan banyak
akalnya. Apabila nona itu mengajukan permintaan lain
1829
yang lebih sulit, ia lebih takkan bisa memenuhi janji. Maka
itu, buru-buru ia menjawab, “Baiklah! Aku bersedia untuk
meminjamkan To-liong to kepadamu. Tapi kita berjanji
pahit dulu, aku hanya meminjamkan dalam jangka waktu
satu jam. Manakala kau berani main gila, berani coba-coba
merampasnya, aku tentu takkan tinggal diam.”
“Akur! Aku tak bisa bersilat dengan golok. Perlu apa aku
inginkan golok yang berat itu? Andaikata kau
menghadiahkannya kepadaku dengan segala kehormatan,
belum tentu aku sudi menerimanya. Kapan kau mau
berangkat untuk mengambilnya?”
“Dalam beberapa hari ini.”
“Bagus. Akupun akan segera berkemas. Jika kau sudah
menetapkan tanggalnya, harap kau segera memberitahukan
padaku.”
Boe Kie terkejut, “Kau mau ikut?” tanyanya.
“Tentu saja, kudengar ayah angkatmu berdiam di sebuah
pulau terpencil. Jika orang tua itu tidak mau pulang, apakah
kau mesti berlayar berlaksa li untuk mengambil golok itu
dan menyerahkannya kepadaku dalam jangka waktu satu
jam dan kemudian kau harus melakukan perjalanan
berlaksa li lagi untuk memulangkannya dan sesudah itu
pulang ke Tiong goan? Itu terlalu gila!”
Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. Pelayaran
menyeberangi samudera penuh dan masih merupakan
sebuah pertanyaan, apa ia bisa mencapai pulau Peng hwee
to atau tidak. Sekali jalan saja masih belum tentu, apalagi
sampai tiga kali. Perkataan Tio Beng mungkin sekali benar.
Sesudah berdiam di pulau itu selama puluhan tahun, juga
belum tentu ayah angkat mau pulang ke Tiong goan.
Sesudah berpikir beberapa saat ia berkata, “Angin dan
ombak samudera tidak mengenal kasihan. Perlu apa nona
1830
pergi menempuh bahaya itu?”
“Kalau kau boleh menempuh bahaya, mengapa aku
tidak boleh?” si nona balas bertanya.
“Apakah ayahmu sudi meluluskan?”
“Ayah menyuruh aku memimpin jago-jago Kang ouw
dan selama beberapa tahun aku pergi ke berbagai tempat
tanpa pengawalan ayah.”
Mendengar keterangan Tio Beng “ayah menyuruh aku
memimpin jago-jago Kang ouw” tiba-tiba Boe Kie ingat
sesuatu.
“Dalam usaha menyambut Gie hoe entah kapan aku bisa
kembali,” pikirnya. “Jika dia menggunakan tipu
memancing harimau dari gunung dan dengan
menggunakan kesempatan itu dia menyerang Beng-kauw
secara besar-besaran keadaan bisa berbahaya. Tapi kalau
dia ikut aku, kaki tangannya pasti tidak akan berani
bergerak sembarangan.” Berpikir begitu lantas saja
mengangguk dan berkata, “Baiklah, begitu aku sudah
menetapkan tanggal keberangkatan, aku akan segera
memberitahu kau.”
Belum habis ia bicara, dari jendela mendadak terlihat
sinar api yang kemerah-merahan diikuti dengan teriakteriakan
di tempat jauh.
Tio Beng melongok keluar. “Celaka!” ia mengeluh.
“Menara Ban hoat sie kebakaran! Kouw Tay-soe! Kouw
tay-soe!” ia berteriak berulang-ulang tapi Kouw Tauw-too
tak muncul. Ia pergi ke ruang depan ternyata pendeta itu
sudah tidak kelihatan lagi baying-bayangnya. Menurut
keterangan pengurus rumah makan, Kouw Tauw-too sudah
pergi lama sudah kira-kira dua jam. Bukan main rasa
herannya si nona tapi ia masih belum menduga bahwa si
1831
pendeta telah mengkhianatinya.
Sementara itu, melihat sinar api yang berkobar-kobar di
atas menara. Boe kIe jadi kuatir akan keselamatan pamanpamannya
dan tokoh lain yang baru saja kembali Lweekang
mereka. “Tio Kauwnio, aku tak bisa menemani lebih lama
lagi,” katanya. Seraya berkata begitu, ia melompat ke luar
jendela.
“Tunggu! Aku ikut!” seru si nona. Tapi ketika ia keluar
dari jendela, Boe Kie sudah hilang dari pandangan.
Sekarang marilah kita lihat Lok Thung Kek yang
sesudah Koen-coe dan Kouw Tauw-too berlalu, dengan hati
lega ia merangkul Han-kie ke kamar Yoe liong coe, yang
terletak di tengah-tengah lantai ketujuh. “Kau tunggu di
luar, tak seorangpun boleh masuk ke sini,” kata si kakek
kepada muridnya. Begitu Yoe liong coe keluar, ia segera
membuka bungkusan dan mengeluarkan Han-kie yang
paras mukanya pucat dan sinar matanya menunjukkan
duka besar. “Sesudah berada di sini, kau tak usah takut,”
bujuk si kakek. “Aku tentu akan memperlakukan kau baikbaik.”
Ia belum berani membuka jalan darah si cantik sebab
kuatir dia berteriak. Sesudah menaruh Han-kie di ranjang
Yoe liong coe, ia menurunkan kelambu dan kemudian
mengambil satu kasur yang lalu dibungkus dengan sprei
yang tadi membungkus tubuh si cantik. Ia menaruh
bungkusan itu di samping ranjang.
Lok Thung Kek adalah orang yang sangat berhati-hati.
Buru-buru ia keluar dari kamar itu dan memesan Yoe liong
coe bahwa tak seorangpun boleh masuk ke dalam kamar. Ia
tahu muridnya sangat taat kepadanya dan pesan itu pasti
takkan dilanggar.
Sesudah beres menyembunyikan Han-kie, ia lalu
memikirkan tindakan selanjutnya. “Bila aku mau Kouw
1832
Tauw-too menutup mulut, aku harus membalas budi
kepadanya,” pikirnya. “Jalan satu-satunya adalah
melepaskan si nenek kecintaannya dan anak
perempuannya. Untung juga Kauwcoe Mo-kauw telah
mengacau di sini dan pengacau itu ada sangkut pautnya
dengan Cioe Kauwnio. Sesudah menolong, aku bisa
mengatakan bahwa kedua orang itu ditolong oleh si
Kauwcoe Mo-kauw. Koen-coe pasti takkan curiga dan tak
akan menyalahkanku sebab Kauwcoe memang mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi.” Sesudah mengambil
keputusan, ia segera pergi ke kamar tahanan Biat Coat
Soethay.
Semua murid wanita Goe bie-pay ditahan di lantai empat
sedang Biat Coat sendiri mengingat kedudukannya sebagai
seorang ciang boen jin, ditahan sendirian di dalam sebuah
kamar.
Lok Thung Kek memerintahkan penjaga membuka pintu
dan ia lantas masuk ke dalam. Pendeta wanita itu ternyata
sedang bersemedi seraya memejamkan matanya. “Biat Coat
Soethay, apa kau baik?” tegur si kakek.
Perlahan-lahan Biat Coat membuka kedua matanya.
“Baik apa?” katanya dengan suara dongkol.
“Kau sangat keras kepala,” kata Lok Thung Kek. “Coe
jin mengatakan bahwa tak guna kau diberi hidup lebih lama
lagi dan ia sudah memerintahkan aku untuk mengirim kau
ke dunia baka.”
“Baiklah,” kata si nenek dengan suara tawar. “Tapi tak
perlu tuan turun tangan sendiri. Aku hanya ingin
meminjam sebatang pedang pendek. Di samping itu,
sebagai keinginanku terakhir kuminta tuan sudi memanggil
muridku Cioe Cie Jiak. Aku ingin bicara dengannya.”
Lok Thung Kek mengiyakan. Ia keluar dan
1833
memerintahkan seorang penjaga untuk membawa nona
Cioe. “Cinta ibu dan anak memang tak sama dengan cinta
lain,” pikirnya.
Beberapa saat kemudian, Cie Jiak sudah datang. “Lok
Sianseng,” kata Biat Coat. “Kumohon kau keluar dulu.
Pembicaraan kami tidak memakan waktu yang lama.”
Sesudah si kakek berlalu, Cie Jiak merapatkan pintu lalu
menubruk gurunya. Ia menangis sesegukan. Biarpun Biat
Coat berhati besi tapi pada saat itu, pada detik-detik
perpisahan untuk selama-lamanya hatinya seperti disayat
sembilu. Ia mengusap-usap rambut muridnya.
Nona Cioe tahu bahwa gurunya takkan bicara panjangpanjang.
Maka itu, lebih dulu ia menceritakan bagaimana
caranya ia sudah ditolong Boe Kie dan kedua kawannya.
Alis si nenek berkerut. Selang beberapa saat ia berkata,
“Mengapa ia hanya menolong kau, tidak menolong yang
lain?”
Muka si nona berubah merah, “Entahlah,” jawabnya.
“Hmm! Bocah itu terlalu jahat,” kata sang guru dengan
suara gusar. “Dia kepala siluman dari kawanan siluman
Mo-kauw. Tak mungkin dia mempunyai hati yang baik.
Dia memasang jaring untuk menjaring kau.”
“Dia…dia memasang jaring apa?” tanya si nona dengan
suara heran.
“Kita adalah musuh kawanan Mo-kauw,” terang sang
guru. “Dengan Ie thian kiam aku telah membunuh banyak
sekali siluman. Mereka sangat membenci Go bie-pay. Mana
bisa jadi mereka benar-benar mau menolong? Siluman she
Thio itu jatuh hati kepadamu, diam-diam dia menyuruh
orang menangkap kita dan kemudian untuk mengambil
hati, dia sendiri yang menolong kau.”
1834
“Tapi Soehoe,” kata si nona dengan suara lemah lembut.
“Kulihat…ia tidak berpura-pura.”
Si nenek lantas naik darah. “Apa kau kata?” bentaknya,
“Rupanya kau telah mengikuti contoh si binatang Kie
Siauw Hoe dan sudah jatuh cinta kepada siluman itu. Kalau
aku masih bertenaga, dengan sekali hantam aku sudah
mengambil jiwamu.”
Cie Jiak ketakutan, dengan tubuh gemetar ia berkata,
“Murid tak berani.”
“Apa sungguh-sungguh tidak berani atau kau hanya
mencoba memperdaya gurumu?”
“Murid sungguh-sungguh tak berani melanggar ajaran
Soehoe.”
“Kalau begitu, kau berlututlah dan bersumpah.”
Nona Cioe segera menekuk kedua lututnya tapi ia tak
tahu sumpah apa yang harus diucapkan olehnya.
Kata Biat Coat, “Kau harus bersumpah begini. Aku, Cie
Jiak bersumpah kepada Langit bahwa kalau di kemudian
hari aku jatuh cinta kepada Kauwcoe Mo-kauw Thio Boe
Kie dan menjadi suami istri dengan dia, maka roh kedua
orang tuaku yang sekarang berada di alam baka akan
merasa tidak aman. Sedang guruku Biat Coat Soethay akan
menjadi setan yang jahat dan akan mengganggu aku
seumur hidup. Apabila dari perkawinan itu terlahir anak
maka semua anak lelaki akan menjadi budak, anak
perempuan akan menjadi pelacur.”
Tak kepalang kagetnya nona Cioe. Ia orang yang
berwatak lemah lembut dan di dalam lubuk hatinya
terdapat kasih sayang terhadap sesama umat manusia.
Tapi sekarang ia harus mengucapkan sumpah yang
1835
begitu hebat. Sumpah yang menyebut roh kedua orang
tuanya, sumpah yang menyeret juga anak-anaknya yang
belum lahir. Tapi melihat sinar mata gurunya yang berkilatkilat,
ia tidak berani membantah. Dengan kepala puyeng
dan dengan suara parau, ia mengucapkan kata-kata yang
diucapkan Biat Coat.
Sesudah muridnya itu bersumpah begitu berat, paras si
nenek berubah lunak, “kau bangunlah, katanya.
Dengan air mata bercucuran, Cie Jiak lantas bangun
berdiri.
Sesaat kemudian, Biat Coat berkata pula dengan suara
halus bercampur rasa terharu yang sangat besar. “Cie Jiak,
aku bukan sengaja menekan kau. Setiap tindakanku adalah
untuk kebaikanmu sendiri. Kau masih berusia muda dan
mulai dari sekarang, gurumu tidak bisa memilik kau lagi.
Apabila kau mengikuti contoh Kie Soecimu, maka di alam
baka, gurumu tak akan merasa senang. Disamping itu, ada
sesuatu yang sangat penting. Apapula gurumu sekarang
ingin menyerahkan tanggung jawab yang sangat berat di
atas pundakmu, sehingga kau sedikitpun tak bisa berlaku
sembarangan. Seraya berkata begitu, ia mencabut sebuah
cincin besi dari telunjuk kirinya dan berdiri tegak, “Murid
wanita Go Bie Pay, Cioe Cie Jiak, kau berlututlah untuk
menerima amanat! katanya dengan suara angker.
Cie Jiak terkejut dan segera menekuk lututnya.
Sambil mengangkat cincin besi itu tinggi-tinggi, Biat
Coat Soethay berkata pula.
“Ciang Boen Jin Go Bie Pay turunan ketiga pendeta
wanita Biat Coat, dengan ini menyerahkan kedudukan
Ciang Boen Jin kepada murid wanita turunan keempat,
Cioe Cie Jiak.
1836
Tak kepalang kagetnya nona Cioe. Sedang kepalanya
masih pusing sebagai akibat pengucapan sumpah yang berat
itu, ia mendapat lain kekagetan hebat. Ia hanya mengawasi
sang guru dengan mulut ternganga dan mata membelalak.
“Cioe Cie Jiak, keluarkan tangan kirimu untuk
menerima cincin besi sebagai tanda Ciang Boen Jin dari
partai kita, kata pula si nenek.
Bagaikan seorang linglung, si nona menyodorkan tangan
kirinya dan sang guru segera memasukkan cincin itu ke
telunjuknya.
Sekarang baru Cie Jiak bisa membuka suara, “soehoe
katanya dengan suara bergemetar, teecoe masih sangat
muda dan belum lama belajar ilmu, cara bagaimana teecoe
bisa memikul beban yang begitu berat? Soehoe jangan
berkata begitu, dengan sesungguhnya teecoe tak dapat… “
ia tak dapat meneruskan perkataannya dan sambil menangis
ia memeluk kedua betis gurunya.
Mendengar suara tangisan, Lok Thung Kek yang sudah
sangat tidak sabaran, lantas saja mengetuk pintu, “Hei! Apa
belum beres? teriaknya.
“Jangan rewel! bentak Biat Coat. Ia mengawasi si murid
dan berkata dengan suara menyeramkan, “Cie Jiak, apakah
kau membantah perintah gurumu? tanpa menunggu
jawaban, ia segera menyebutkan peraturan dan larangan
bagi seorang Ciang Boen Jin Go Bie Pay dan menyuruh
murid itu menghafal larangan tersebut.
Nona Cioe jadi makin bingung. Dengan air mata
bercucuran, ia berkata, “soehoe, teecoe…. Sungguhsungguh….
Tak…. Sanggup… “
“Cie Jiak!? bentak si nenek dengan gusar. “Apa benarbenar
kau mau membantah perintahku? Seorang murid
1837
yang melawan kemauan guru adalah murid yang menghina
guru, tapi meskipun suaranya keras hatinya sedih seperti
tersayat pisau. Ia merasa kasihan terhadap muridnya itu. Ia
bakal segera meninggalkan dunia ini dan secara mendadak
ia menaruh beban seberat itu di atas bahu seorang wanita
muda yang lemah. Memang mungkin sekali Cie Jiak tidak
menunaikan tugasnya secara memuaskan. Akan tetapi ia
tahu, bahwa diantara murid-murid Go Bie Pay, nona Cioelah
yang paling cerdas otaknya. Demi kepentingan dan
kemakmuran Go Bie Pay, hanyalah dia seorang yang
pantas menjadi Ciang Boen Jin. Ia dapat membayangkan,
bahwa sesudah ia pulang ke alam baka, murid kecil itu akan
menghadapi macam-macam kesukaran dan penderitaan.
Mengingat begitu, bukan main rasa dukanya. Dengan
kedua tangan ia membangunkan Cie Jiak yang lalu
dipeluknya. “Cie Jiak, katanya dengan suara lembut. “kau
dengarlah, bahwa aku sudah menyerahkan kedudukan
Ciang Boen Jin kepadamu dan bukan salah seorang dari
para kakak seperguruanmu adalah bukan karena aku
memilih kasih. Sebab musababnya ialah seorang Ciang
Boen Jin partai kita harus memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi yang dapat bersaing dengan lain-lain partai.
“tapi soehoe, kata Cie Jiak. “ilmu silat teecoe kalah jauh
dari para suci.
Biat Coat tersenyum, “kepandaian mereka sangat
terbatas, katanya. “Sesudah mencapai batas tertentu,
mereka sukar bisa maju lebih jauh. Inilah soal bakat yang
tak dapat diubah dengan tenaga manusia. Biarpun sekarang
ilmu silatmu masih kalah jauh dari para sucimu, tapi di hari
kemudian kepandaian yang bakal dimiliki olehmu tak dapat
diukur bagaimana tingginya, Hm… tak dapat diukur
bagaimana tingginya.
Dalam bingungnya. walaupun mendengar, Cie Jiak tak
1838
bisa menangkap maksud perkataan sang guru.
Sesaat kemudian Biat Coat mendekati muridnya dan
berbisik di kuping si nona. “kau sekarang Ciang Boen Jin
partai kita dan adalah kewajibanku untuk memberitahukan
suatu rahasia besar kepadamu. Couwsoe pendiri partai kita
ialah Kwee Liehiap, puteri kedua Tay Hiap Kwee Ceng.
Pada waktu tentara goan merampas kota Siang Yang,
dalam peperangan yang sangat hebat, Kwee Tayhiap gugur
untuk nusa dan bangsa. Sebelum melepaskan napasnya
yang penghabisan, ia memberitahukan rahasia besar ini
kepada Couwsoe Kwee Liehiap. Pada jaman itu, nama
Kwee Tayhiap menggetarkan seluruh dunia. Ia memiliki
dua rupa ilmu yang sangat istimewa, pertama ilmu perang
dan kedua ilmu silat. Isteri Kwee Tayhiap adalah Oey
Yong, Oey Liehiap seorang wanita yang pintar luar biasa.
Siang-siang ia sudah menduga, bahwa kota Siang Yang
pasti akan dirampas oleh tentara goan yang sangat kuat.
Kedua suami isteri itu telah mengambil keputusan untuk
membalas budi negara dengan mengorbankan jiwa. Inilah
keputusan yang biasa diambil oleh kesatria-kesatria yang
bersetia kepada negara. Tapi bukankah sayang sekali
apabila dua rupa ilmu Kwee Tayhiap turut menjadi
musnah? Apapun Oey Liehiap sudah menduga, bahwa
orang mongol akan menguasai Tiongkok dan hal itu pasti
akan menimbulkan rasa penasaran dalam hati segenap
bangsa Han. Disatu waktu bangsa Han tentu akan
memberontak untuk menggulingkan pemerintah
penjajahan. Pemberontakan itu akan merupakan
peperangan hebat. Manakala saatnya tiba, maka kedua ilmu
Kwee Tayhiap akan berguna besar, Oey Liehiap
merundingkan hal ini dengan suaminya. Akhirnya mereka
mengambil suatu keputusan. Ia mengundang tukang yang
pandai betul dalam pembuatan senjata. Tukang itu melebur
Hian Tiat Kiam, milik Yo Ko Tay Hiap, dan dengan
1839
menambahkannya dengan emas murni dari daerah barat, ia
membuat Ie Thian Kiam.
Cie Jiak terkejut, ia mengenal Ie Thian Kiam dan sudah
lama ia mendengar nama To Liong To. Tapi baru sekarang
ia mengetahui sejarah kedua senjata mustika itu.
Biat Coat melanjutkan penuturannya. “Dengan
menggunakan waktu sebulan, Oey Liehiap dan Kwee
Tayhiap menulis ilmu perang dan ilmu silat yang kemudian
disembunyikan dalam pedang dan golok itu. Yang
disembunyikan di dalam To Liong To adalah ilmu perang.
Golok itu dinamakan To Liong. Nama itu mengandung arti
bahwa di kemudian hari, orang bisa mendapatkan kitab
ilmu perang di dalam golok tersebut harus mengusir Tat
Coe dan membunuh kaisar Tat Coe. Yang disembunyikan
di dalam Ie Thian Kiam ialah kitab ilmu silat, antaranya
yang paling berharga adalah Kioe Im Cin Keng dan Hang
Liong Sip Pat Ciang. Kedua suami isteri mengharap,
supaya di belakang hari, orang yang mendapatkannya bisa
berbuat kebaikan terhadap sesama manusia, bisa menumpas
kejahatan dan menolong rakyat.
“Sesudah pembuatan pedang dan golok mustika itu
selesai. Oey Liehiap menyerahkan To Liong To kepada
Kwee Kong (paduka Kwee) Poh Louw dan Ie Thian Kiam
kepada Kwee Couw Soe. Tak usah dikatakan lagi, Kwee
Couw Soe telah mendapat pelajaran ilmu silat dari ayah
dan ibunya, sedang Kwee Kong Poh Louw mendapat
pelajaran ilmu pedang dari kedua orang tuanya. Tapi Kwee
Kong Poh Louw gugur bersama-sama ayah dan ibunya.
Bakat Kwee Couw Soe tidak sesuai dengan pelajaran ilmu
silat dari ayahandanya. Maka itulah sebabnya mengapa
ilmu silat partai kita berbeda dari ilmu silat Kwee Tayhiap.
Dari para kakek seperguruannya, Cie Jiak memang
sudah mendengar cara bagaimana berbagai partai persilatan
1840
berebut To Liong To, sehingga belakang mereka naik ke
Boe Tong dan sebagai akibatnya, kedua orang tua Boe Kie
sampai membunuh diri. Sekarang baru ia tahu, bahwa
pedang dan golok itu mempunyai sangkut paut yang sangat
rapat dengan Go Bie Pay.
Sementara itu, Biat Coat Soethay melanjutkan
penuturannya. “selama kurang lebih seratus tahun, di
dalam rimba persilatan timbul gelombang hebat. Beberapa
kali, pedang dan golok itu menukar majikan. Belakangan
orang hanya tahu, bahwa To Liong To adalah “Boe Lim
Cie Coen (yang termulia dalam rimba persilatan) dan yang
dapat menandinginya hanyalah Ie Thian Kiam, tapi orang
tak tahu mengapa golok itu dipandang sebagai “Boe Lim
Cie Coen Kwee Kong Poh Louw mati muda. Ia tak punya
keturunan dan tak punya murid yang bisa mewarisi
kepandaiannya dan rahasia besar itu. Maka itulah, hanya
Couw Soe seorang yang tahu rahasia itu. Selama hidupnya,
Couw Soe telah beruasaha sekuat tenaga untuk mencari To
Liong To, tapi semua usahanya tinggal sia-sia.
Pada waktu mau meninggal dan CouwSoe telah
memberitahukan rahasia ini kepada Insoe (guruku yang
besar badannya) It Ceng SoeThay. Insoe adalah seorang
yang sangat mulia dan lemas hatinya. Ia mempunyai
seorang murid durhaka. Belakangan bukan saja To Liong
To tidak dicari, bahkan Ie Thian Kiam dicuri oleh soecieku
itu yang mempersembahkannya kepada kaisar Goan. Insoe
sangat berduka dan mati mereras. Sebelum menutup mata,
ia juga memerintahkan supaya aku mengambil pulang
kedua senjata mustika itu.
“Ah, kalau begitu teecoe mempunyai seorang soepeh
yang kurang baik. Kata Cie Jiak.
Paras muka Biat Coat lantas saja berubah dingin
bagaikan es. “Kau masih memanggil Soepeh kepada
1841
manusia pengkhianat itu? katanya dengan suara gusar.
Si nona menundukkan kepalanya dan tidak berani
menjawab.
“Akhirnya murid pengkhianat itu tidak terlolos dari
tanganku. Kata pula Biat Coat. “Karena hatinya jahat, ilmu
silatnya tak terlalu tinggi. Kau boleh merasa bangga bahwa
gurumu tak menyia-nyiakan pesan Soecouw-mu. Pada
akhirnya aku berhasil membersihkan rumah tangga kita.
(membersihkan rumah tangga kita berarti menyingkirkan
kejahatan dalam kalangan sendiri)
“Membersihkan rumah tangga kita? menegas si nona.
Paras muka Biat Coat berkelebat sinar kebanggaan dan
kekejaman. “Benar, katanya dengan suara angkuh. “Di kaki
gunung Gak Louw San, di daerah kota Tiang See, aku
menyandak manusia durhaka itu dan dengan pukulan Pwee
Hoa Pwee Yan (bukan bunga, bukan asap) aku menikam
jantungnya. Dahulu, dialah orang yang mengajarkan
pukulan itu. Dia pernah mengejek diriku dengan
mengatakan, bahwa seumur hidup, aku tidak akan bisa
menggunakan pukulan tersebut. Pada malam itu, di bawah
sinar rembulan, aku sebenarnya sudah bisa mengambil
jiwanya dalam dua ratus jurus.
Tapi sebab aku bertekad untuk membinasakannya
dengan Pwee Hoa Pwee Yan, maka sesudah bertempur
kurang lebih tiga ratus jurus, barulah aku berhasil. Huh!
Huh!... itulah kejadian dua puluh tahun berselang.
Cie Jiak bergidik. Entah mengapa, di dalam lubuk
hatinya muncul perasaan kasihan terhadap soepeh yang
berkhianat itu.
Tiba-tiba Lok Thung Kek memukul-mukul pintu. “Hei!
Sudah beres belum? teriaknya. “aku tidak bisa menunggu
1842
lagi.
“Tak lama lagi,? sahut Biat Coat. “kau tunggulah.
Sesudah itu, ia berkata lagi di kuping muridnya. “Waktu
sudah mendesak, kita tak dapat membicarakan lagi hal yang
penting. Belakangan, Ie Thian Kiam dihadiahkan kepada
Jie Lam Ong oleh kaisar Goan. Aku berhasil mencurinya
dari gedung raja muda itu. Hanya sungguh sayang, aku
terjebak dan pedang itu jatuh ke tangan Mo Kauw.
“Bukan, membantah si murid. “Ie Thian Kiam dirampas
oleh Tio Kouw Nio.
Biat Coat mendelik. Sambil mengeluarkan suara di
hidung, ia berkata. “Apa kau tidak tahu bahwa perempuan
she Tio itu adalah kawannya si Kauw Coe Mo Kauw? Apa
sampai pada detik ini kau masih tidak percaya perkataan
gurumu?
Nona Cioe memang tidak percaya, tapi ia tidak berani
membantah lagi.
“Cie Jiak, kau dengarlah, kata pula sang guru. “Dalam
memilih kau sebagai Ciang Boen Jin, gurumu mempunyai
suatu maksud yang dalam. Aku jatuh ke dalam tangan
orang jahat, sehingga nama besarku yang didapat selama
puluhan tahun musnah laksana disapu air. Aku sendiri
memang tak sudi keluar dari menara ini dengan masih
bernapas, penjahat cabul she Thio itu punya niatan tidak
baik atas dirimu. Tapi menurut pendapatku, dia tidak akan
mengambil jiwamu. Sekarang aku memerintahkan kau
untuk berlagak membalas cintanya dan kemudian begitu
mendapat kesempatan, kau rampas pedang Ie Thian Kiam.
Golok To Liong To ada di tangan Cia Soen, ayah angkat
penjahat she Thio itu. Biar bagaimana jua pun, bocah itu
tidak akan membuka rahasia dimana adanya Cia Soen.
Tapi di dalam dunia terdapat manusia yang bisa memaksa
1843
dia mengambil golok tersebut.?
Cie Jiak tahu, bahwa seorang manusai itu dimaksudkan
dirinya sendiri. Ia kaget bercampur malu, girang bercampur
takut.
“Orang itu adalah kau sendiri,? kata pula sang guru. Aku
memerintahkan kau mengambil pulang pedang dan golok
mustika itu dengan menggunakan kecantikanmu. Aku tahu,
tindakan ini memang bukan tindakan seorang kesatria.
Akan tetapi dalam usaha besar, orang tak perlu
menghiraukan soal-soal remeh. Cobalah kau pikir, Ie Thian
Kiam berada dalam tangan si perempuan She Tio, sedang
To Liong To jatuh ke dalam tangan bangsat Cia Soen. Jahat
bertemu dengan jahat, pedang bertemu dengan golok.
Apabila mereka berhasil mengambil ilmu perang dan ilmu
silat Kwee Tayhiap, betapa besar penderitaan umat
manusia di kolong langit ini. Disamping itu usaha mengusir
penjahat Tat Coe pun akan menjadi lebih sukar lagi. Cie
Jiak, kutahu, bahwa beban yang ditaruh di atas pundakmu
terlampau berat. Sebenar-benarnya aku merasa tak tega
untuk memerintahkan kau memikul yang berat itu. Tapi
apakah adanya maksud tujuan orang-orang seperti kita
dalam mempelajari ilmu silat? Cie Jiak, demi kepentingan
rakyat di seluruh negeri, aku memohon kepada kau.? Seraya
berkata begitu, ia berlutut di hadapan muridnya.
Tak kepalang kagetnya nona Cioe. Buru-buru iapun
menekuk kedua lututnya dan berseru dengan suara parau,
“soehoe!... “
“Ssst! Perlahan sedikit, jangan sampai penjahat di luar
mendengarkan pembicaraan kita. Apa kau sudi meluluskan
permintaanku? Sebelum kau meng-iya-kan aku, aku tidak
akan bangun.?
Cie Jiak merasa kepalanya puyeng. Dalam waktu
1844
sependek itu, gurunya telah mengeluarkan tiga perintah
sulit. Pertama, ia diperintah untuk mengangkat sumpah
berat, bahwa ia tidak akan mencintai Boe Kie. Kedua, ia
diperintah menerima kedudukan Ciang Boen Jin dari Go
Bie Pay. Akhirnya ia diperintah memancing Boe Kie
dengan kecantikannya untuk merampas pulang To Liong
To dan Ie Thian Kiam. Sebagai seorang wanita muda belia
yang berarti sangat lemah, ia sungguh-sungguh tak tahu apa
yang harus diperbuatnya. Kepalanya berrputar, matanya
berkunang-kunang, ia hampir pingsan. Cepat-cepat ia
memejamkan kedua matanya dan menggigit bibir untuk
coba mempertahankan diri.
Tiba-tiba ia merasa bibirnya sakit dan ia membuka kedua
matanya. Sang guru masih terus berlutut. “Soehoe…
bangunlah!? katanya sambil menangis.
“Apakah kau sudi meluluskan permintaanku?? tanya Biat
Coat pula.
Dengan air mata mengucur, si nona menggutmanggutkan
kepalanya.
Biat Coat mencekal pergelangan tangan muridnya eraterat
dan berbisik. “Sesudah merampas pulang To Liong To
dan Ie Thian Kiam, kau harus segera pergi ke tempat sepi,
ke tempat yang tak ada manusianya. Dengan sebelah
tangan mencekal golok dan sebelah tangan memegang
pedang, kau harus mengerahkan tenaga dalam dan saling
membacokkan kedua senjata itu. Bacokan itu akan
mematahkan atau memutuskan golok dan pedang dengan
berbareng. Sesudah itu, barulah kau bisa mengambil pit-kip
(kitab) yang disembunyikan di dalam kedua senjata itu. Cie
Jiak, inilah cara satu-satunya untuk mengambil kedua kitab
yang berharga itu. Sampai disitu tamatlah riwayat To Liong
To dan Ie Thian Kiam. Apa kau ingat pesananku??
walaupun berbicara dengan suara berbisik-bisik, paras muka
1845
Biat Coat angker dan kereng.
Si murid mengangguk.
“Cara itu, cara yang diambil kedua pit-kit merupakan
rahasia terbesar dari partai kita.? Kata pula sang guru.
“Semenjak Oey Liehiap mewariskan tentang rahasia kitab
ini kepada Kwee SoeCouw, hanyalah Ciang Boen Jin dari
partai kita yang mengetahuinya. To Liong To dan Ie Thian
Kiam adalah senjata mustika. Andaikata seseorang bisa
memiliki kedua senjata itu dengan berbareng, ia pasti tak
akan berlaku begitu gila untuk merusakkan kedua-duanya.
Sesudah memiliki kitab ilmu perang, kau harus mencari
seorang pecinta negeri yang berhati mulia untuk mewarisi
kitab tersebut. Sebelum menyerahkannya, kau harus
menyuruh dia bersumpah, bahwa dengan segala usaha dan
kepandaiannya, dia akan mencoba untuk mengusir kaum
penjajah. Kitab ilmu silat harus dipelajari olehmu sendiri.
Dalam seluruh penghidupannya, gurumu mempunyai dua
angan-angan, yang pertama adalah mengusir Tat Coe dan
merampas pulang negara kita. Yang kedua adalah
mengangkat derajat Go Bie Pay sedemikian rupa sehingga
partai kita berada di sebelah atas Siauw Lim , Boe Tong dan
lain partai. Sehingga partai kita menjadi partai yang paling
terutama dalam rimba persilatan. Kedua angan itu memang
sukar tercapai. Tapi sekarang kita sudah melihat satu
jalanan. Apabila kau mentaati pesan gurumu, belum tentu
kau tidak akan berhasil, di alam baka gurumu akan merasa
sangat berterima kasih terhadapmu.
Baru ia sampai di situ, pintu sudah digedor oleh Lok
Thung Kek.
“Masuklah! kata Biat Coat.
Pintu terbuka, tapi yang masuk bukan Lok Thung Kek.
Yang masuk adalah Kouw Touwtoo. Biat Coat tidak
1846
menjadi heran. Baginya Lok Thung Kek atau Kouw
Touwtoo tidak berbeda, “Bawa anak itu keluar, katanya
sambil mengibaskan tangan. Ia tidak mau muridnya
menyaksikan waktu ia membunuh diri. Karena khawatir si
murid tidak dapat mempertahankan diri.
Namun diluar dugaan Kouw Touwtoo mendekati dan
berbisik: “telanlah obat pemunah ini. Sebentar, kalau di luar
suara ribut, kau harus turut menerjang keluar.
Biat Coat heran dan bingung. “Siapa tuan? tanyanya.
“Mengapa tuan menyerahkan obat pemunah kepadaku?
“Aku dari Kong Beng Yoe Soe dari Beng Kauw dan aku
bernama Hoan Yauw. Aku berhasil mencuri obat ini dan
aku sengaja datang untuk menolong Soe Thay, jawabnya.
Darah si nenek lantas saja meluap. “Penjahat Mo Kauw!
bentaknya. “Sampai saat ini kau masih coba
mempermainkan aku?
Hoan Yauw tertawa, “Baiklah! katanya. “Aku tak
membantah anggapanmu. Apa kau mempunyai nyali untuk
menelannya? Begitu masuk di perut, racun ini akan
memutuskan isi perutmu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, si nenek menyambut
bubuk yang diangsurkan kepadanya, membuka mulut dan
lalu menelannya.
“Soehoe… soehoe!... teriak Cie Jiak.
“Jangan ribut! bentak Hoan Yauw. “Kaupun harus
menelan racun ini.
Si nona terkejut, tapi ia tak berdaya karena badannya
sudah dipeluk dan mulutnya dibuka. Dengan cepat, Hoan
Yauw memasukkan bubuk obat dan menuang air ke dalam
mulut si nona sehingga obat pemunah itu lantas saja masuk
1847
ke dalam perut.
Tak kepalang gusarnya Biat Coat. Matinya Cie Jiak
berarti musnahnya segala harapan. Dengan kalap, ia
menubruk Hoan Yauw, tapi sebab tak punya tenaga dalam,
ia segera kena dirobohkan.
“Semua pendeta Siauw Lim dan jago-jago Boe Tong
sudah menelan racunku itu. Kata Hoan Yauw sambil
menyeringai. “Apa orang Beng Kauw manusia jahat atau
manusia baik, kau segera akan mengetahui. Seraya berkata
begitu, ia melompat keluar dan mengunci pintu.
Ajakan Tio Beng untuk mencari Boe Kie sangat
membingungkan Hoan Yauw. Bagaimana ia dapat
menunaikan tugas untuk merampas obat pemunah? Maka
itu, setelah mendapat permisi dari Tio Beng untuk minum
arak di ruangan depan, ia segera kabur ke Ban Hoat Sie.
Tanpa membuang waktu, ia mendaki menara sampai ke
lantai paling atas, dimana ia bertemu dengan Yoe Liong
Coe yang sedang menjaga di luar kamar sendiri.
Melihat Hoan Yauw, Yoe Liong Coe menyambut
dengan hormat, “Kouw Touwtoo, katanya sambil
membungkuk.
Hoan Yauw manggut-manggutkan kepalanya. “Kurang
ajar si tua bangka,? katanya di dalam hati. “Muridnya
disuruh menjaga di luar, sedang dia sendiri bercinta-cintaan
dengan selir Ong Ya. Aku tidak boleh menyia-nyiakan
kesempatan yang baik ini.
Ia melangkah berjalan melewati Yoe Liong Coe dan tibatiba,
secepat kilat, jari tangannya menotok jalan darah di
kempungan murid kepala Lok Thung Kek. Jangankan Yoe
Liong Coe tidak berwaspada, sekalipun siap sedia, belum
tentu ia bisa meloloskan diri dari totokan Hoan Yauw.
Begitu tertotok, badannya tak bisa bergerak lagi dan ia
1848
mengawasi si pendeta dengan mata membelalak. Kedosaan
apa yang sudah diperbuatnya? Apakah ia berlaku kurang
hormat?
Hoan Yauw segera mendobrak pintu dan melompat ke
dalam. Sebelum kakinya hinggap di lantai, tangannya
menghantam tubuh yang berbaring di ranjang. Ia tahu,
bahwa Lok Thung Kek berkepandaian tinggi dan kalau ia
tidak membokong dengan pukulan yang membinasakan, ia
harus melakukan pertempuran lama dan belum tentu ia bisa
menang. Maka itu, dalam pukulan itu, ia menggunakan
seantero tenaganya.
“Buk! kasur pecah dan kapas berhamburan. Tapi waktu
membuka kasur, ia kaget, sebab ia hanya melihat sesosok
tubuh, yaitu Han Kie yang sudah binasa dengan
mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya. Lok Thung
Kek sendiri tak kelihatan bayangan-bayangannya. Setelah
memikir sejenak, buru-buru Hoan Yauw keluar dan
menyeret masuk Yoe Liong Coe yang kemudian
digulingkan masuk ke kolong ranjang. Sesudah itu, ia
merapatkan pintu dan menunggu.
Beberapa saat kemudian, ia mendengar teriakan Lok
Thung Kek. “Liong Jie! Liong Jie! panggilnya dengan suara
gusar.
“Kemana kau?
Sebagaimana diketahui, si kakek telah dijemur Biat Coat.
Dengan mendongkol, ia menunggu di luar kamar. Karena
tak tahu sampai kapan si nenek baru selesai bicara dengan
muridnya, ia segera mengambil keputusan untuk menengok
Han Kie dan sebentar kembali lagi. Setibanya di depan
kamar Yoe Liong Coe, ia marah besar karena murid itu tak
mentaati perintahnya. Ia menolak pintu. Hatinya agak lega
karena di dlam kamar tak terjadi perubahan dan si cantik
1849
masih berbaring di ranjang dengan tubuh tertutup kasur.
Setelah menapal pintu, ia berkata sambil tertawa, “Nona
cantik, aku akan membuka jalan darahmu. Tapi aku
mengharap kau tak mengeluarkan suara. Seraya berkata
begitu, ia memasukkan tangannya ke bawah kasur untuk
menotok punggung Han Kie.
Mendadak, mendadak saja, ia merasa pergelangan
tangannya dicengkeram dengan jari-jari tangan yang keras
bagaikan besi dan berbareng tenaganya habis. Kasur
tersingkap dan dari bawah kasur keluar seorang pendeta
rambut panjang, Kouw Touwtoo!
Dengan tangan kanan mencekal pergelangan tangan si
kakek, Hoan Yauw segera menotok sembilan belas hiat
utama sekujur badan Lok Thung Kek, sehingga jago itu
benar-benar tidak berdaya lagi dan hanya bisa mengawasi
musuh dengan mata melotot.
Sambil menuding hidung si kakek, Hoan Yauw berkata,
“tua bangka! Aku tak pernah mengubah she atau menukar
nama. Aku adalah Kong Beng Yoe Soe dari Beng Kauw,
Hoan Yauw namaku. Kau sudah kena ditipu olehku dan
Cuma-Cuma saja kau selalu membanggakan diri sebagai
manusia yang pintar dan cerdas. Sebetulnya kau tak lebih
dan tak kurang daripada manusia goblok. Kalau kini aku
akan membunuhmu, aku mengampuni jiwamu, jika kau
mempunyai nyali, di belakang hari kau boleh mencari Hoan
Yauw untuk membalas sakit hatimu. Sebab kuatir Lok
Thung Kek berhasil membuka jalan darahnya dengan jalan
menggunakan Lweekang sendiri. Sesudah berkata begitu, ia
menghantam kaki tangan si kakek sehingga tulangtulangnya
patah. Hoan Yauw adalah seorang anggota Beng
Kauw yang masih memiliki Sia Khie (sifat-sifat sesat)
Sesudah mematahkan tulang si kakek, ia masih belum
merasa puas. Sambil menyeringai, ia membuka pakaian
1850
Lok Thung Kek dan merendengkannya dengan mayat Han
Kie kemudian menggulung dua sosok tubuh itu. Satu
manusia hidup, dan satu mayat dengan satu kasur. Sesudah
itu, barulah ia mengambil kedua tongkat Lok Thung Kek,
membuka salah sebuah cabang tanduk menjangan dan
menuang semua obat pemunah. Dengan hati gembira, dia
segera pergi ke berbagai kamar tahanan dan membagi obat
kepada Kong Boen Taysoe, Song Wan Kiauw, Jie Lian
Cioe, dan yang lain-lain. Dalam memberi pertolongan,
beberapa kali ia harus menerangkan secara panjang lebar
kepada orang-orang yang bersangsi, sehingga ia harus
menggunakan waktu banyak sekali. Kamar yang paling
akhir dikunjungi ialah kamar Biat Coat Soethay. Melihat
sikap si nenek, ia sengaja mengeluarkan kata-kata yang
membangkitkan hawa amarah. Dengan berbuat begitu,
hatinya senang, sebab pada hakikatnya ia membenci
pemimpin Go Bie Pay itu yang pernah membinasakan
banyak anggota Beng Kauw.
Tapi baru saja tugasnya selesai dan hatinya tergiranggirang,
sekonyong-konyong di kaki menara terdengar
teriakan-teriakan ramai. Dengan kaget, ia mamasang
kuping. Diantara suara ramai-ramai itu, ia menangkap
teriakan Ho Pit Ong. “Kouw Touwtoo mata-mata musuh!
Tangkap! Tangkap dia!?
Hoan Yauw mengeluh. “Celaka! Siapa yang menolong
bangsat itu?? ia menengok ke bawah dan melihat, bahwa
menara itu sudah dikurung oleh Ho Pit Ong dan sejumlah
besar boesoe. Hampir berbareng, dua batang anak panah
yang dilepaskan oleh Soem Sam Hwie dan Lie Sie Coei
menyambar dirinya. “Bangsat! Hebat sungguh kau
menyiksa kami!? caci Soem Sam Hwie.
Siapa yang menolong ketiga orang itu? Dengan totokan
Hoan Yauw, tanpa ditolong tak gampang mereka bisa
1851
menolong diri sendiri. Yang menolong adalah rombongan
boesoe (pengawal) yang mencari Han Kie. Sebagaimana
diketahui, rombongan itu telah menanyakan Lok Thung
Kek, tapi diusir oleh si kakek. Sesudah mencari di seluruh
Ban Hoat Sie usaha mereka tetap sia-sia. Beberapa orang
mencurigai Lok Thung Kek yang dikenal sebagai seorang
yang gemar akan paras cantik.
Tapi semua orang merasa jeri terhadap si kakek. Siapa
yang berani menepuk kepala harimau? Belakangan sebab
kuatir dimarahi Ong Ya. Pemimpin rombongan yang
bernama Ali Chewa mendapat satu tipu. Ia memerintahkan
seorang boesoe yang berkedudukan rendah untuk mengetuk
kamar Lok Thung Kek. Ia menganggap bahwa orang yang
berkedudukan tinggi akan berlaku kejam terhadap orang
yang bukan tandingannya. Dengan memberanikan hati,
boesoe itu mengetuk pintu. Diluar dugaan, sesudah diketuk
beberapa kali dari dalam tak ada jawaban. Sesudah
menunggu beberapa lama, Ali Chewa jadi nekat dan
mendobrak pintu. Begitu pintu terbuka, ia terkesiap karena
melihat tiga sosok tubuh Ho Pit Ong, Soem Sam Hwie, dan
Lie Sie Coei yang tergeletak di lantai. Ketika itu, Ho Pit
Ong sudah hampir membuka jalan Darahnya sendiri.
Dengan bantuan Ali Chewa, jalan darah yang tertotok
segera terbuka. Sesudah Soem Sam Hwie dan Lie Sie Coei
tertolong, dengan kegusaran yang meluap-luap Ho Pit Ong
segera mengajak rombongan boesoe itu pergi ke menara
dan mengurungnya. Dari bawah, ia berteriak-teriak
menantang Kouw Touwtoo untuk bertempur sampai ada
yang binasa.
“Bangsat tua! Apa kau kira Hoan Yauw takut
terhadapmu?? Hoan Yauw balas mencaci. Didalam hati ia
merasa bingung. Rahasianya sudah terbuka, tapi ia tak akan
bisa melawan musuh yang jumlahnya begitu besar, sedang
1852
anggota keenam partai yang baru saja menelan obat dan
belum pulih tenaga dalamnya. Untuk sementara waktu
belum bisa memberikan bantuannya.
“Tauw Too jahanam! Kalau kau tidak mau turun, akulah
yang akan naik ke atas!? teriak pula Ho Pit Ong.
Tiba-tiba Hoan Yauw mendapat akal. Ia masuk ke kamar
Yoe Liong Coe dan keluar pula dengan membungkus tubuh
Han Kie dan Lok Thung Kek. Sambil mengangkat kasur itu
tinggi-tinggi, ia berteriak, “Tua bangka, begitu kau
bertindak masuk pintu menara, begitu aku melemparkan
tubuh lelaki dan perempuan cabul ini!
Para boesoe mengangkat obor dan lapat-lapat mereka
bisa melihat muka Lok Thung Kek dan Han Kie. Bukan
main kagetnya Ho Pit Ong. “Soeko! Soeko! Bagaimana
kau? teriaknya. Lok Thung Kek tidak menyahut. Hati Ho
Pit Ong mencelos. Ia menduga, bahwa kakak
seperguruannya telah dibinasakan Hoan Yauw. “Tauw Too
bangsat! teriaknya bagaikan kalap. “Kau sudah
membinasakan kakakku, aku bersumpah tak akan hidup
bersama-sama dengan kau di dunia ini.
Mendengar itu, Hoan Yauw segera membuka ah-hiat
(jalan darah yang mengakibatkan gagu) si kakek yang lantas
saja mencaci. “Tauw Too bangsat! Aku bersumpah
mencincang badanmu seperti perkedel!... “ Baru mencaci
sampai di situ, ah-hiat sudah ditotok lagi.
Sesudah mendapat bukti bahwa soeheng-nya belum
mati. Ho Pit Ong merasa lega dan demi keselematan jiwa
sang kakak. Ia tidak berani maju lebih jauh.
Untuk beberapa lama, Ho Pit Ong dan rombongan
boesoe tidak berani bergerak. Hoan Yauw sendiri tentus
saja sebiswa mungkin ingin mempertahankan keadaan itu.
Ia perlu mendapat waktu supaya tokoh-tokoh keenam
1853
partai yang baru mendapat obat keburu pulih tenaga
dalamnya. Sambil tertawa terbahak-bahak, ia berteriak.
“tua bangka she Ho! Sungguh besar nyali soehengmu.
Dia berani menculik selir Ong Ya. Aku sudah menangkap
kedua-duanya. Tua bangka! Apa kau berani melindungi
soehengmu yang kotor itu? Ali Chewa Cong Koan,
mengapa kau tak lantas membekuk tua bangka itu? Dia dan
kakaknya berdosa besar dan harus mendapat hukuman
mati. Dengan membekuk dia, kau akan mendapat hadiah
besar.
Ali Chewa melirik Ho Pit Ong. Ia niat turun tangan, tapi
ia merasa jeri kepada jago tua yang berkepandaian tinggi
itu. Di dalam hati, ia merasa heran Kouw Touwtoo tibatiba
bisa bicara. Ia tahu, bahwa kejadian itu mesti ada latar
belakangnya. Tapi iapun tidak dapat mengabaikan bukti
yang nyata dan dengan mata kepala sendiri ia telah melihat
Lok Thung Kek dan Han Kie di dalam selembar kasur.
Sesudah memikir sejenak, ia berseru, “Kauw Tay Soe, kau
turunlah! Mari kita pergi kepada Ong Ya supaya bisa
memutuskan siapa yang salah siapa yang benar. Kalian
bertiga adalah Cianpwee yang berkedudukan tinggi.
Terhadap siapapun SiauwJin tidak berani bertindak.
Hoan Yauw adalah seorang pemberani. Ia segera
menghitung-hitung untung ruginya usul Ali Chewa. Ia
merasa bahwa dengan menghadap Jie Lam Ong, ia bisa
mengulur waktu sampai tenaga dalam tokoh-tokoh keenam
partai pulih kembali. Maka itu, ia lantas saja berteriak,
“Bagus! Bagus! Aku justru ingin minta hadiah, dari Ong
Ya. Ali Cong Koan, tahanlah tua bangka she Ho itu, jangan
sampai dia kabur.
Tapi baru saja Hoan Yauw habis bicara, sekonyongkonyong
terdengar suara tindakan kuda yang sangat ramai
dilain saat. Sejumlah penunggang kuda menerobos masuk
1854
ke pekarangan kelenteng dan terus menghampiri menara.
Para boesoe serentak membungkuk dan berseru, “Siauw
Ong Ya! (Siauw Ong Ya – Raja Muda Kecil berarti putera
Jie Lam Ong)
Hoan Yauw mengawasi ke bawah. Ia mendapat
kenyataan bahwa yang mengepalai rombongan itu adalah
seorang pemuda yang mengenakan jubah sangat indah
dengan topi emas dan menunggang seekor kuda bulu putih
yang kelihatannya sangat garang. Ia mengenali bahwa
pemuda itu bukan lain daripada kkt, alias Ong Po Po,
putera Jie Lam Ong.
“Mana Han Kie? bentak pangeran muda “Hoe Ong
marah besar, beliau memerintahkan aku menyelidi sendiri.
Ali Chewa segera menerangkan bahwa Han Kie diculik
Lok Thung Kek yang sekarang sudah dibekuk Kouw
Touwtoo.
“Dusta! teriak Ho Pit Ong. “siauw ong ya, Kouw
Touwtoo mata-mata musuh dan dia telah mencelakai
soehengku…. “
Alis Ong Po Po berkerut, “Sudahlah, katanya, “Semua
orang turun dan kita bisa bicara dengan perlahan.
Sebagai seorang yang sudah berdiam lama di gedung raja
muda. Hoan Yauw mengenal Ong Po Po sebagai seorang
yang cerdik dan pandai. Kepandaian pemuda itu bahkan
melebihi ayahnya sendiri. Ia bisa mendustai orang lain, tapi
tak mungkin mengelabui tuan muda itu. Kalau ia turun,
hampir boleh dipastikan rahasianya terbuka dan begitu
lekas topengnya tercopot, ia pasti akan dikepung. Satu Ho
Pit Ong saja sudah sukar dilayani, apalagi begitu banyak
orang? Selain begitu, tokoh-tokoh keenam paratai juga
sukar bisa ditolong lagi.
1855
Sesudah memikir beberapa saat, ia lantas saja berteriak,
“Siauw Ong Ya, Ho Pit Ong sangat membenci aku, sebab
aku sudah membekuk soehengnya. Kalau aku turun, dia
tentu akan membunuhku.
“Kau turunlah, aku tanggung Ho Sianseng tidak akan
menyerang kau, kata Ong Po Po.
Hoan Yauw menggeleng-gelengkan kepalanya. “Disini
lebih selamat, katanya. “Siauw Ong Ya, selama hidup
Kouw Touwtoo tidak pernah bicara. Hari ini karena
terpaksa, aku membuka mulut untuk membalas budi Ong
Ya yang sangat besar dan untuk memperhatikan
kesetiaanku. Kalau kau tidak percaya, lebih baik aku
melompat dari sini dan membenturkan kepala di tanah
supaya Siauw Ong Ya bisa membuktikan kesetiaanku.
Mendengar perkataan yang mencurigakan itu, Ong Po
Po segera dapat menebak, bahwa si pendeta sedang
menjalankan siasat mengulur waktu, “Ali Cong Koan,
bisiknya. “Kurasa ia sedang menjalankan tipu dan mencoba
untuk mengulur waktu. Apa kau tahu, siapa lagi yang
ditunggu olehnya?
“siauwjin tak tahu. Jawabnya.
“Siauw Ong Ya, penjahat itu telah merampas obat
pemunah dari tangan soehengku, kata Ho Pit Ong. “Ia mau
menolong kaum pemberontak yang ditahan di menara.
Ong Po Po lantas saja tersadar. “Kouw Touwtoo!?
teriaknya, “aku tahu kau sangat berjasa, turunlah! Aku akan
memberi hadiah besar untukmu.
“Siauw Ong Ya,aku tidak bisa jalan. “aku kena
ditendang Lok Thung Kek dan kedua tulang betisku patah.
Tunggulah sebentar, aku akan mengerahkan lweekang
untuk mengobati lukaku. Begitu lekas aku bisa berjalan, aku
1856
pasti akan segera turun.
“Ali Cong Koan! bentak pangeran itu. “Kirim seseorang
naik ke atas untuk memapah Kouw Tay soe.
“Tidak bisa!? teriak Hoan Yauw. “Kalau badanku
bergerak, kedua kakiku tak akan bisa digunakan lagi.
Sekarang Ong Po Po tidak bersangsi lagi. Ia menarik
kesimpulan, bahwa pendeta itu seorang musuh yang
berselimut. Sesudah Han Kie dan Lok Thung Kek berada
dalam satu kasuran. Andaikata mereka tidak main gila,
ayahnya tentu tak akan menerima selir itu. Maka itu, ia
lantas saja berkata dengan suara perlahan, “Ali Cong Koan,
bakar menara itu dan siapkan sepasukan pemanah.
Binasakan setiap orang yang melompat turun.
Ali Chewa membungkuk dan segera menjalankan
perintah itu. Dalam sekejab, menara itu sudah dikurung
oleh para boesoe yang bersenjata gendewa dan anak panah,
sedang sejumlah boesoe lainnya mengambil rumput kering,
kayu serta bahan api.
Ho Pit Ong kaget tak kepalang, “Siauw Ong Ya, katanya
dengan suara bingung. “Kakakku berada di atas.
Tauw Too itu tidak bisa dibiarkan berdiam di atas
selama-lamanya.? Kata Ong Po Po dengan suara tawar.
“Begitu lekas kaki menara dibakar, ia akan turun sendiri.
“bagaimana kalau dia melemparkan Soehengku ke
bawah? tanya Ho Pit Ong. “Siauw Ong Ya, janganlah
membakar.
Ong Po Po hanya mengeluarkan suara di hidung dan
tidak meladeninya.
Tak lama kemudian para boesoe sudah menumpuk
rumput dan kayu kering di seputar menara dan lalu mulai
1857
menyulutnya.
Ho Pit Ong adalah seorang ternama besar dalam rimba
persilatan. Dengan mendapat undangan yang disertai segala
kehormatan ia bekerja kepada Jie Lam Ong dan selama
banyak tahun ia dihormati oleh majikan dan rekanrekannya.
Siapa duga hari ini, ia bukan saja ditipu oleh
Kouw Touwtoo, tapi juga sudah tidak dipandang sebelah
mata oleh Ong Po Po? Karena kakaknya sedang
menghadapi bahaya, ia menjadi kalap. Tanpa
memperdulikan suatu apa lagi, sambil mengangkat kedua
pitnya yang berbentuk patuk burung ho, ia melompat dan
menendang dua orang boesoe yang tengah menyulut
tumpukan kayu. Hampir berbareng, kedua boesoe itu
terpental dan roboh di tanah.
“Ho Sianseng!? Bentak Ong Po Po. “apa kau mau
mengacau??
“Aku takkan mengacau, jika kau tak membakar menara,?
jawabnya.
“Bakar! teriak Ong Po Po dengan gusar. Seraya
membentak, ia mengibaskan tangan kirinya. Hampir
berbareng dari belakang pangeran muda itu melompat
keluar lima orang Hoan ceng yang mengenakan baju
merah. Mereka mengambil obor dari lima boesoe dan lalu
menyulut tumpukan kayu. Perlahan-lahan api berkobarkobar.
Ho Pit Ong bingung bukan main. Dari tangan seorang
boesoe, ia merampas sebatang tombak yang lalu digunakan
untuk memukul-mukul api.
Ong Po Po naik darah, “Tangkap! bentaknya.
Kelima Hoan Ceng baju merah itu lantas saja
menghunus golok dan mengurung. Ho Pit Ong
1858
melemparkan tombaknya dan coba merampas golok hoan
Ceng yang berdiri di sudut kiri. Tapi pendeta itu bukan
sembarang orang. Dengan sekali membalik tangan, ia
mengegos sambaran tangan Ho Pit Ong dan terus
membacok. Baru saja Ho Pit Ong berkelit, dua golok sudah
menyambar pula punggungnya.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru