Kamis, 27 April 2017

CERSIL JAWA KHO PING HOO 13 TOLIONGTO

CERSIL JAWA 13 TOLIONGTO Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf CERSIL JAWA 13 TOLIONGTO
kumpulan cerita silat cersil online
CERSIL JAWA 13 TOLIONGTO
Ceng Hie mengibas tangan kirinya dan empat murid
lelaki lalu menyeret keempat musuh yang roboh itu, tapi
kemudian berdiri tegak di hadapan kakak seperguruannya.
Selama pertempuran, Biat Coat hanya mengawasi
sebagai penonton, iapun tak bergerak waktu murid2nya
menimpuk burung dengan senjata rahasia. “Terhadap Coe
jie dia turun tangan sendiri, suatu tanda bahwa ia
memandang tinggi terhadap Coe Jie”, kata Boe Kie didalam
hati.
Mungkin sekali karena patahnya tulang pergelangan
tangan Teng Bin Koen. Kalau mau, dengan mudah ia akan
bisa membinasakan merpati yang ketiga, mengapa dia diam
saja?”.
Mana waktu itu Ceng hie, Ceng Hian dan murid2 utama
lainnya sudah mendapat nama besar dalam rimba
persilatan. Satu saja sudah cukup untuk menghadapi
gelombang besar. Maka itulah dalam menghadapi beberapa
murid Mo kouw, Biat Coat tidak perlu turun tangan sendiri.
Bahwa Ceng hie dan Ceng hien sudah turun ke dalam
gelanggang, pada hakekatnya berarti memandang tinggi
kepada beberapa musuh itu.
Sementara itu, seorang murid wanita sudah menjemput
kedua bangkai merpati itu dan mencopot sebuah bumbung
1186
kecil yang melekat pada kaki seekor burung. Ia
mengeluarkan segulung kertas dari bumbung dan
menyerahkannya kepada Ceng hie yang lalu membuka dan
membacanya. “Soehoe”, kata Ceng hie. “Mo kauw sudah
tahu rencana untuk mengepung dan membasmi Kong ben
teng, surat ini adalah untuk meminta bantuan dari Peh bie
kauw.”
Sebahis berkata begitu, ia membaca lagi surat yang
satunya. “Isinya sama jua” katanya. “Sungguh sayang yang
seekor dapat mloloskan diri.”
“Sayang apa?” kata sang guru dengan suara dingin.
“Makin banyak mereka berkumpul, makin baik lagi. Tak
usah berabe mencari cari mereka di berbagai tempat”.
Mendengar disebutkannya nama “Peh bie kauw” Boe
Kie terkejut. “Kouw coe Peh bie kauw adalah kakek
luarku.” Pikirnya. “Hm!....Sombong sungguh nenek
bangkotan itu belum tentu ia dapat melawan gwakong.”
Semula ia menunggu2 kesempatan untuk kabur
bersama2 Coe Jie. Tapi sekarang ia membatalkan niatnya
itu sebab ingin menyaksikan keramaian yang bakal terjadi.
“Siapa lagi yang diundang kamu?” Ceng hie bertanya
kepada keempat tawanannya dengan suara bengis.
“Mengapa kamu tahu, bahwa enam partai akan
membasmi Mo Kauw?”
sekonyong2 keempat orang itu tertawa terbahak2 dengan
muka menyeramkan. Sehabis tertawa, dia roboh serentak
dan tidak berkutik lagi. Semua murid Goe bie terkejut, dua
diantaranya membungkuk untuk menyelidiki, “Soe cie!”
teriak mereka. “Semua mati!”.
Sambil mengawasi muka keempat mayat itu, Ceng hian
berkata dengan nada gusar. “Mereka makan racun. Racun
1187
itu sangat hebat”.
“Geledah badannya!” memerintah Ceng hie.
Empat murid lelaki segera membungkuk dan
menggerakkan tangan untuk merogoh saku mayat.
“Hati hati!” kata Coe Cie Jiak. “Didalam saku mungkin
tersembunyi benda beracun”.
Keempat lelaki itu terkejut. Mereka segera merobek saku
mayat2 dengan menggunakan golok dan benar saja, dalam
setiap saku terdapat seekor ular kecil yang sangat beracun.
Tanpa peringatan nona Cioe, mereka tentu sudah binasa.
“Hari ini untuk pertama kali kamu berurusan dengan
orang2 agama siluman” kata Biat Coat dengan suara
dingin. “Mereka berempat hanyalah orang2 yang tidak
ternama tapi sudah begitu beracun. Kalau bertemu dengan
jago2 Mo kauw apakah kamu masih bisa pulang ke Go bie
dengan masih bernafas?” ia mengeluarkan suara di hidung
dan berkata pula “Ceng hie kau sudah cukup tua, tapi kau
masih tetap sembrono. Kau masih kalah dari Cioe Jiak”.
Paras muka murid itu berubah merah dan ia
membungkuk untuk menerima teguran sang guru.
Malam itu mereka bermalam di gurun pasir dengan
menyalakan sebuah perapian yang cukup besar. Dengan
bergilir mereka membuat penjagaan karena mereka tahu,
bahwa daerah itu adalah tempat keluar masuknya orang2
Mo kauw. Kira2 tengah malam dari kejauhan tiba2
terdengar keleneng unta yang mendatangi ke arah mereka.
semua orang tersadar dan bersiap sedia. Suara keleneng itu
semula mendatangi dari arah barat daya, tapi sesaat
kemudian suaranya berpindah ke barat laut. Beberapa saat
kemudian, sura itu muncul di sebelah timur laut. Semua
murid Goe bie heran tak kepalang. Bagaimana bisa begitu?
1188
Biar bagaimanapun jua, seekor unta takkan bisa lari secepat
itu, sebentar ke barat, sebentar ke timur dan sebagainya.
Suara keleneng makin nyaring, suatu tanda unta itu
sudah mendekati. Mendadak suara itu terdengar gencar
sekali, seperti juga binatang itu kabur dengan kecepatan luar
biasa.
Orang2 Goe bie yang baru pernah menjelajah lautan
pasir, jadi bingung dan berkuatir. “Sahabat! Perlihatkan
dirimu!” teriak Biat Coat. “Permainan gilamu bukan
perbuatan seorang berilmu.” Suara yang disertai Lweekang
itu menempuh jarak beberapa li dan benar saja, sesudah si
nenek berteriak suara keleneng tidak terdengar lagi.
Sampai pagi tidak terjadi sesuatu yang luar biasa.
Malamnya kira2 tengah malam, suara keleneng terdengar
pula, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar disana, sebentar
di sini. Biat coat berteriak lagi. Tapi kali ini teriakannya
tidak mempan lagi. Suara keleneng tidak menghiraukannya.
Selang beberapa lama, sesudah puas mengganggu, suara itu
menghilang dengan tiba2.
Boe Kie dan Coe Jie saling mengawasi sambil
tersenyum. Biarpun tak dapat memecahkan keanehan suara
itu, mereka tahu, bahwa itu semua adalah perbuatan orang
pentolan Mo kauw. Bahwa orang2 Goe bie jadi
kebingungan sangat menyenangkan hati mereka.
Dengan rasa mendongkol Biat Coat mengibaskan diri
untuk mengaso. Tak lama kemudian suara keleneng
terdengar lagi, tapi orang2 Goe bie tidak
memperdulikannya. Selang beberapa lama suara itu menuju
ke utara dan lalu menghilang. Si unta rupanya tahu, bahwa
gangguannya tidak digubris lagi.
Pada keesokan paginya semua orang berkemas untuk
berangkat. Sekonyong2 Boe Kie dan Coe Jie mengeluarkan
1189
suara tertahan sebab didekat mereka kelihatan berbaring
seorang tak dikenal yang sedang menggeras. Tubuh orang
itu, dari kepala sampai di kaki, tertutup dengan selimut
seolah2 sesosok mayat. Semua murid Goe bie terkesinap.
Guru mereka memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Setiap desiran angin, bahkan jatuhnya selembar daun, tak
akan lolos dari pendengarannya. Mana bisa seorang
manusia menyatroni tanpa diketahui?
Dilain saat, dua murid Goe bie sudah menghunus
pedang dan mendekati orang itu.
“Siapa kau?” bentaknya.
Tapi orang itu terus mendekur. Dengan ujung pedang,
salah seorang menyontek selimut dan yang sedang tidur
pulas ternyata seorang pria yang menggenakan jubah
panjang.
Ceng hie mengerti, bahwa seorang yang mempunyai
nyali begitu besar tentulah bukan sembarangan orang. Ia
maju setindak dan bertanya “Siapa tuan? Perlu apa tuan
datang kesini?”
Tapi ia tetap tak memperdulikan suara menggarosnya
semakin keras.
Melihat lagak orang itu yang dianggap sangat kurang
ajar, Ceng hian naik darahnya. Dengan gusar ia
mengangkat hudtim dan menghantam pinggangnya.
“Hurrrrr……”
semua orang terkesinap dan mendongak ke atas.
Apa yang sudah terjadi?
Entah bagaimana, hudtim Ceng hian suthay terbang
keatas, terbang lurus sampai tingginya belasan tombak.
Tiba2 terdengar teriakan Biat Coat. “Ceng hian, awas!”
1190
Hampir berbareng dengan teriakan itu, tubuh si jubah
panjang sudah melesat beberapa tombak jauhnya dan apa
yang hebat, Ceng hian telah tertawan! Sambil mendukung
tawanannya, lelaki itu lari bagaikan terbang.
Ceng hie dan seorang saudari seperguruannya yang
bernama Souw Bong Ceng, segera menghunus senjata dan
terus mengubar. Tapi gerakan orang itu cepat luar biasa dan
dalam sekejap, dia sudah lari jauh. Seraya mengeluarkan
siulan nyaring, Biat coat turut mengubar sambil mencekal
Ie Thian Kiam.
Kepandaian Ciang boenjin dari Goe bie pay tentu saja
lain dari pada yang lain. Dalam beberapa saat saja, Biat
coat sudah melewati kedua muridnya dan dilain detik, sinar
hijau dari Ie hian kiam menyambar punggung si jubah
panjang. Tapi orang itu mempunyai kegesitan yang
menakjubkan. Bagaikan kilat, ia berhasil menyelamatkan
diri dari tikaman yang dahsyat itu.
Biarpun sedang mendukung Ceng hian, kecepatan lari si
jubah panjang ternyata tidak kalah dari pengejarnya. Bukan
saja begitu, ia bahkan juga seakan2 seperti mau
memperlihatkan kepandaiannya, karena sebaliknya
daripada kabur terus, ia lari berputaran, memutari murid2
Go bie pay yang menonton dengan mulut ternganga.
Beberpa kali Biat coat menikam, tetapi tikamannya selalu
jatuh di temapt kosong.
Sesudah main udak2an, barulah hudtim Ceng hian jatuh
ke tanah.
Sesaat itu, Ceng hie dan Souw Bong Ceng sudah berhenti
mengubar dan bersama saudari saudara seperguruannya,
mereka mengawasi ubar2an itu sambil menahan nafas.
Kedua tokoh itu berlari2 bagaikan terbang dengan
menggunakan ilmu ringan badan. Betapa tinggi ilmu
1191
mereka dapat membayangkan dengan melihat kenyataan,
bahwa debu dan pasir tidak beterbangan akibat injakan kaki
mereka. dengan hati berdebar2 murid2 Go bie mengawasi
Ceng hian yang dibawa lari tanpa berkutik.
Semua orang tahu, bahwa kakak seperguruan itu
berkepandaian tinggi dan sudah mewarisi sebagian besar
ilmu guru mereka. Cara bagaimana ia bisa dibekuk secara
begitu mudah dan sudah ditawan, sedikitpun tidak berdaya
lagi? Sebenarnya mereka ingin sekali mencegat musuh yang
tengah diubar itu. Tapi mereka tidak berani berbuat begitu,
karena kuatir digusari sang guru, sebab bantuan tersebut
berarti merosotnya nama besar Biat coat suthay. Maka
itulah mereka hanya menonton dengan mata terbelalak.
Dalam sekejap si jubah panjang dan Biat coat sudah
membuat tiga putaran.
Meskipun si nenek sudah mengeluarkan seantero
kepandaiannya, ia tetap tidak dapat menyusul musuh. Jarak
antara mereka tidak berubah. Biat Coat masih ketinggalan
beberapa kaki di belakang si jubah panjang. Dengan
mengingat, bahwa orang itu berlari2 sambil mendukung
Ceng hian yang beratnya kira2 seratus kati, maka dapatlah
ditarik kesimpulan, bahwa dalam ilmu ringan badan, ia
lebih unggul setingkat daripada si nenek kouw tua.
Sesudah menonton beberapa lama, Boe Kie menarik
ujung baju Cio Jie seraya berbisik “Mari kita kabur”.
“Tidak, keramaian ini tidak bisa tidak ditonton sampai
habis” jawab si nona.
Pada waktu mereka lari pada putaran keempat, orang itu
tiba2 memutar badan dan melemparkan Ceng hian kearah
gurunya. Karena merasa sambaran angin yang sangat
dahsyat, buru2 Biat coat menghentikan tindakannya dan
mengarahkan tenaga Cian kin (Tenaga seribu kati). Akan
1192
kemudian, sambil mengarahkan Lweekang, ia menyambuti
tubuh muridnya.
Orang itu tertawa terbahak2, “Enam partai besar mau
mengepung dan membasmi Kong beng teng!” katanya
“Ha..ha…ha…Mungkin tak begitu gampang!” Sehabis
berkata begitu, lari ke jurusan utara. Waktu ubar2an debu
dan pasir sama sekali tak bergerak. Tapi sekarang, di
jalanan yang dilaluinya pasir kuning mengepul ke atas,
seolah2 seekor naga kuning yang menutupi bayangnya.
Semua murid Goe bie segera menghampiri dan berdiri di
sekitar guru mereka. Paras muka Biat Coat merah padam.
Ia berdiri tegak sambil mendukung Ceng hian tanpa
mengeluarkan sepatah katapun.
“Ceng hian Soecie!....” mendadak Souw Bong Ceng
berseru.
Ternyata Ceng hian sudah tak bernyawa lagi, mukanya
kuning dan pada tenggorokannya terdapat luka.
Semua murid wanita lantas saja menangis keras.
“Nangis apa?” bentak sang guru. “Kubur dia!”
Semua orang segera berhenti menangis dan lalu
mengubur jenasah Ceng Hian. Sesudah penguburan selesai,
sambil membungkuk Ceng Hie berkata, “Soehoe, siapa
manusia siluman itu? Kami harus mengenal dia untuk
membalas sakit hatinya Ceng Hian Soemoay.”
“Kalau tak salah, dia adalah Ceng Ek Hok Ong, yaitu
salah seorang raja (Ong) dari Mo Kauw,” Jawabnya dengan
suara dingin. “Sudah lama kudengar, bahwa ilmu ringan
badan orang itu tiada bandingannya di dunia. Nama
besarnya ternyata bukan omong kosong. Kepandaiannya
banyak lebih tinggi daripada aku.” (Ceng Ek Hok Ong raja
kelelawar bersayap hijau)
1193
Semenjak menyaksikan kekejaman Hiat Coat Soethay,
Boe Kie membenci nikouw tua itu. Tapi sekarang ia merasa
kagum dan mengakui, bahwa ia masih kalah jauh dari si
nenek. Dalam menghadapi kecelakaan, nenek itu masih
bisa berlaku begitu tenang dan masih bisa memuji
kepandaian musuhnya. Sikap itu adalah sesuai dengan
kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi dari sebuah
partai persilatan yang besar.
“Hm!... dia sama sekali tak berani beradu tangan dengan
Soehoe dan terus lari ngiprit,” kata Tang Bin Kun dengan
suara marah yang dibuat-buat. “Enghiong apa dia?”
(Enghiong orang gagah)
Sang guru mengeluarkan suara di hidung. Mendadak
tangannya melayang dan menggaplok mulut si perempuan
she Teng.
“Aku tak dapat menyusul dia dan tak dapat menolong
jiwa Ceng Hian,” kata Biat Coat. “Dialah yang menang.
Siapa menang siapa kalah semuanya orang tahu. Nama
enghiong diberikan oleh orang lain. Apakah kita bisa
memberi julukan Enghiong pada diri sendiri?”
Selembar muka Teng Bun kemerah-merahan, bahana
malunya. Ia membungkuk seraya berkata, “Murid salah,
murid tahu kesalahan sendiri.”
“Soehoe, siapa itu Ceng Ek Hok Ong?” Tanya Ceng Hie.
“Bolehkah Soehoe memberi penjelasan kepada kami?”
Biat coat tak menjawab. Ia mengibaskan tangannya
sebagai perintah supaya rombongannya meneruskan
perjalanan. Sesudah toasuci mereka membentur tembok,
murid-murid yang lain tentu saja tak berani banyak bicara.
Mereka segera berjalan dengan hati duka.
Malam itu mereka menginap di samping sebuah bukit
1194
pasir dan membuat sebuah perapian yang besar. Bagaikan
patung, Biat Coat mengawasi tumpukan api yang berkobarkobar.
Boe Kie mengerti bahwa nenek itu bersusah hati. Go
Bie Pay adalah sebuah partai persilatan yang namanya
tersohor di kolong langit. Kali ini dengan membawa jagojago
partai tersebut Biat coat menjelajahi wilayah barat (See
Ek). Tapi sebelum bertempur, salah seorang muridnya yang
berkepandaian tinggi sudah mesti mengorbankan jiwa.
Bukankah kejadian itu menyedihkan dan memalukan?
Melihat guru mereka belum tidur, semua murid juga
tidak berani tidur. Kurang lebih mereka satu jam tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Tiba-tiba Biat Coat mendorong
dengan kedua tangannya dan … “Bttt…… “ api yang
berkobar-kobar itu menjadi padam. Boe Kie terkejut.
“Tenaga dalam Loo Nie itu sungguh hebat,” pikirnya.
Mereka sekarang berada dalam kegelapan, tapi tak
satupun berani bergerak.
Gurun pasir itu sunyi bagaikan kuburan, sedang sinar
rembulan yang remang-remang memberikan pemandangan
yang mendukakan hati. Melihat keadaan begitu, dalam hati
Boe Kie muncul rasa kasihan. “Apakah Go Bie Pay akan
hancur namanya di wilayah barat?” tanyanya dalam hati.
“Apakah rombongan jago-jago ini akan terbasmi musnah
seanteronya?”
Mendadak Biat coat membentak, “Padamlah api
siluman! Musnahlah api iblis!” sesudah berdiam sejenak, ia
berkata pula dengan suara perlahan. “Mo Kauw (agama
iblis) memandang api sebagai nabi dan memuja api sebagai
malaikat sesudah Yo Po Thian, Beng Coen Kauwcoe atau
pemimpin agama meninggal dunia. Mo Kauw tak
mempunyai lagi Kauw Coe. Kedua Kong Beng Soe Cia,
keempat Hoe Kauw Hoat Ong dan kelima Ciang Kie Soe
1195
yaitu Kin Bok Soei Hwee dan Touw semua ingin merebut
kedudukan pemimpin dan mereka jadi bermusuhan saling
membunuh. Oleh karena adanya kejadian itu, Mo Kauw
jadi lemah. Mungkin memang sudah ditakdirkan, bahwa
partai yang lurus bersih akan menjadi makmur sedang
kaum siluman dan kaum sesat akan musnah. Kalau di
dalam Mo Kauw tidak terjadi perpecahan tak gampang
orang bisa menggempurnya.
(Beng Coen Kauwcoe pemimpin agama, Kong Beng Soe
Cia utusan terang benderang, Hoa Kauw Hoat Ong Raja
Pelindung Agama, Ciang Kie Soe utusan yang memegang
bendera, bendera itu berjumlah lima, yaitu Kim, Bok, Soei,
Hwe, dan Touw. Nama-nama itu adalah pangkat-pangkat
dalam Beng Kauw atau agama terang. Orang-orang luar
…..
Semenjak Boe Kie …. Maka setiap kali ia menanyakan
kedua orang tuanya selalu mengaget dan memperlihatkan
rasa tidak senang. Ayah angkatnya pun tidak memberi
keterangan. Maka itu sampai sekarang ia masih belum tahu
apa sebenarnya Mo Kauw.
Waktu ia mengikuti Thay Soehoe Thio Sam Hong, orang
itu juga sangat membenci Mo Kauw. Saban-saban nama
“agama” itu disebutkannya si kakek selalu memberi nasihat
dan peringatan keras bahwa ia tidak boleh dekat-dekat
dengan orang Mo Kauw. Belakang ia bertemu dengan Ouw
Ceng Goe, Ong Lan Kouw, Siang Gie Coen, Cie Tat, Coe
Goan Ciang dan yang lain dan mereka itu adalah anggotaanggota
Mo Kauw. Ia mendapat kenyataan, bahwa mereka
oleh karenanya mau tidak mau ia harus menarik
kesimpulan, bahwa lagak lagu orang-orang itu agak aneh
dan sukar dimengerti oleh orang luar. Sekarang, demi
mendengar peraturan Biat Coat semangatnya lantas saja
terbangun dan dia segera memasang kuping dengan
1196
sepenuh perhatian.
Biat Coat meneruskan penuturannya. “Dari satu ke lain
keturunan, seorang Beng Coen Kauwcoe memegang serupa
benda yang merupakan semacam tanda kekuasaan. Benda
itu dinamakan Seng Hwee Leng (tanda kekuasaan Api
Nabi). Tapi pada waktu Kauw Coe turun ke tigapuluh satu
memegang pimpinan, entah bagaimana Seng Hwee Leng
itu hilang. Maka itu Kauw Coe-Kauw Coe yang belakangan
sudah tak punya tanda kekuasaan , walaupun ia memiliki
kekuasaan sebagai pimpinan tertinggi. Yo Po Thian mati
mendadak, entah diracuni, entah dibunuh orang. Tak
seorangpun yang tahu jelas. Dalam kalangan Mo kauw
lantas saja terjadi kekalutan. Sebab mati mendadak, Yo Po
Thian tidak menunjuk ahli warisnya. Dalam Mo Kauw
terdapat banyak sekali orang pandai, sehingga yang pantas
menjadi Kauw Coe, sedikitnya ada lima atau…., namanya
Wi It Siauw bergelar Ceng Ek Hong Ong.”
Murid-murid Go Bie saling mengawasi. Nama Ceng Ek
Hok Ong Wi It Siauw belum pernah didengar mereka.
Sesudah berdiam sejenak, Biat Coat berkata pula orang
itu belum pernah datang ke Tionggoan. Sepak terjang
orang-orang Mo Kauw aneh dan sembunyi-sembunyi
sehingga walaupun kepandaiannya sangat tinggi, namanya
tidak dikenal di daerah Tionggoan. Tapi Peh Bie Eng Ong
In Tian Ceng dan Kim Mo Say Ong Cia Soen sudah dikenal
kamu, bukan?”
Boe Kie terkejut sedang Cu Ji mengeluarkan seruan
tertahan. Biat Coat melirik mereka dengan sorot mata
tajam.
“Soehoe apakah kedua orang itu anggota Mo Kauw?”
Tanya Ceng Hie dengan suara heran.
“Keempat raja (ong) dari Mo Kauw adalah Cie, Peh,
1197
Kim dan Ceng (Ungu, putih, kuning emas, dan hijau)
menerangkan sang guru. Peh Bie seorang raja dan Ceng Ek
pun seorang raja. Ceng Ek berkedudukan paling rendah,
tapi kepandaiannya sudah disaksikan. Maka itu betapa
tinggi kepandaian Peh Bie dan Kim Mo dapatlah ditaksirtaksir.
Karena sakit hati, Kim Mo Say Ong jadi seperti orang
gila dan melakukan perbuatan-perbuatan durhaka. Pada
dua puluh tahun berselang, dengan mendadak ia
membunuh orang tidak berdosa. Sekarang orang tidak tahu
kemana dia pergi dan menjadi sebuah teka-teki dalam rimba
persilatan. Mengenai In Thian Ceng, sesudah gagal dalam
merebut pimpinan dalam Mo Kauw, dalam gusarnya ia
mendirikan Peh Bie Kauw. Dia sakit penyakit ingin
menjadi pemimpin agama. Semula kita menduga bahwa
sesudah meninggalkan Mo Kauw, In Thian Ceng sudah
putus hubungan dengan Kong Beng Teng. Tak dinyana,
waktu menghadapi bahaya, Kong Beng Teng masih sudi
meminta pertolongan Peh Bie Kauw.”
Mendengar itu, Boe Kie jadi bingung dan berduka. Ia
tahu, bahwa sepak terjang ayah angkatnya dan kakek
luarnya aneh-aneh dan sesat sehingga mereka dibenci oleh
orang-orang dari partai lurus bersih. Tapi ia sama sekali
belum pernah menduga bahwa kedua orang tua itu adalah
Hoe Kauw Hoat Ongdari Mo Kauw.
Sementara itu Biat Coat Soethay sudah melanjutkan
penuturannya. “Menurut perhitungan, usaha enam partai
untuk membasmi Kong Beng Teng pasti akan berhasil.
Biarpun semua siluman bersatu padu, kita tak usah merasa
khawatir. Tapi dalam pertempuran, pihak kita tentu akan
menderita juga kerusakan besar. Maka itu aku berharap
supaya kamu semua mempunyai tekad yang teguh untuk
berkelahi mati-matian. Sedikitpun kamu tidak boleh
1198
mempunyai rasa takut, sehingga waktu menghadapi musuh,
kamu menurunkan keangkeran Go Bie Pay.
Semua murid Go Bie lantas saja bangun berdiri dan
membungkuk, sebagai tanda bahwa mereka berjanji akan
mamenuhi harapan sang guru.
“Tinggi rendahnya ilmu silat seseorang tergantung
kepada bakatnya dan segala apa tidak dapat dipaksakan,”
kata Biat Coat. “Bahwa sebelum bertempur Ceng Hian
sudah binasa dalam tangannya siluman itu, tidak boleh
ditertawai oleh kamu. Apakah tujuannya belajar ilmu silat?
Tujuannya adalah untuk membasmi yang jahat dan
menolong yang lemah. Bukankah begitu? Sekarang enam
buah partai besar, yaitu Siauw Lim, Bu Tong, Go Bie, Kun
Lun, Khong Tong, dan Hwa San, berusaha untuk memupus
Mo Kauw. Apa kita akan hidup atau mati, sudah tidak
dihiraukan lagi oleh Go Bie Pay. Ceng Hian berangkat
paling dulu. Mungkin sekali korban kedua adalah gurumu
sendiri…..”
Semua murid Go Bie membungkuk. Di bawah sorotan
sinar rembulan yang remang-remang muka setiap orang
kelihatan pucat pasi.
Biat Coat menghela napas dan kemudian berkata lagi
dalam dunia ini siapakah bisa hidup abadi? Manusia mana
yang bisa hidup terus menerus? Apa yang diharapkan ialah
biarlah sesudah mati, kita masih mempunyai turunan, anak
cucu kita masih hidup terus. Maka itu, kekuatiran kamu
semua mati dan hanya aku si tua yang hidup terus, hidup
sebatang kara, hidup kesepian dalam dunia ini “Huh-huh!...
Tapi kalau sampai terjadi begitu akupun harus
menerimanya dengan rela. Bukankah pada seratus tahun
yang lalu, di dalam dunia tidak terdapat partai yang
dinamakan Go Bie Pay? Asal saja kita berkelahi secara
gagah, biarpun mesti terbasmi seanteronya, kita tidak usah
1199
merasa menyesal.”
Mendengar perkataan sang guru, darah semua murid Go
Bie bergolak-golak. Dengan serentak mereka menghunus
senjata dan berteriak, “Kami bersumpah akan berkelahi
mati-matian!”
Biat Coat tertawa tawar, “Bagus! Kamu mengasolah,”
katanya.
Mendengar itu semua Boe Kie merasa kagum. Sebagian
besar murid Go Bie Pay adalah wanita, tapi dalam
menghadapi bahaya, mereka tidak menunjukkan rasa keder
sedikitpun jua. Didengar dari pembicaraan Biat Coat
Soethay, kekuatan Mo Kauw bukan main besarnya.
Perkataan itu sebenarnya sudah harus diucapkan si Ni
Kouw tua pada waktu mereka mau berangkat ke See Hek.
Akan tetapi, pada waktu itu, mungkin ia tidak menduga,
bahwa sesudah terbit perpecahan, dalam menghadapi
musuh dari luar, Mo Kauw masih bisa bersatu padu.
Munculnya Ceng Ek Hok Ong telah membuktikan adanya
kerja sama dalam kalangan Mo Kauw.
Sesudah berdiam beberapa saat, Biat Coat berkata pula:
“kalau Ceng Ek Hok Ong datang, Peh Bie Eng Ong, dan
Kim Mo Say Ong dan mungkin akan datang juga. Cie San
Liong Ong dan kelima Ciang Kie Soe pun bisa turut datang.
Menurut rencana semula, paling dulu keenam partai besar
akan membinasakan Kong Beng Soe Cia Yo Siauw dan
susudah itu, barulah kita membasmi siluman-siluman
lainnya. Tak dinyana, hitung-hitungan Sin Kie Sianseng
dari Hwa San Pay kali ini melesat jauh. Haha!... Semua
salah.” (Cie San Liong Ong Rajawali baju ungu)
“Apakah Cie San Liong Ong siluman jahat?” Tanya
Ceng Hie.
Sang guru menggelengkan kepala. “Entahlah, akupun
1200
hanya mengenal nama,” jawabnya. “Sepanjang keterangan,
sesudah gagal menduduki kursi Kauw Coe, dia pergi ke luar
lautan dan memetuskannya hubungan dengan Mo Kauw.
Alangkah baiknya bagi pihak kita, bila dia masih
mempertahankan sikapnya itu. Diantara keempat raja
dalam kalangan Mo Kauw, ia menduduki tempat yang
paling tinggi, sehingga dengan sendirinya, dia merupakan
musuh yang berat. Dalam Mo Kauw terdapat dua orang
Kong Beng Soe Cia, disamping Yo Siauw masih ada
seorang Su Cia lainnya. Semenjak dahulu, ada Kong Beng
Soe Cia kiri dan Kong Beng Soe Cia kanan dan kedudukan
kedua orang lebih tinggi daripada keempat Hu Kauw Hoat
Ong. Yo Siauw adalah Kong Beng Coe Soe (Kong Beng
Soe Cia kiri) tapi she dan nama Kong Beng Yo Soe (Kong
Beng Soe Cia kanan) tak pernah dilihat siapa jua. Kong Bun
dari Siauw Lim Pay dan Song Wan Kiauw Song Tayhiap
adalah orang-orang yang berpengelaman sangat luas. Tapi
merekapun tak tahu siapa adanya Kong Beng Yo Soe itu.
Sekarang tujuan kita adalah menyerang Yo Siauw. Dalam
pertempuran berhadapan, sepala apa akan diputuskan oleh
kepandaian ilmu silat dari kedua belah pihak. Yang sangat
dikuatirkan olehku ialah waktu kita menghajar Yo Siauw,
diam-diam Kong Beng Yo Soe melepaskan anak panah
gelap.
Murid-murid Go Bie mendengar penjelasan itu dengan
hati berdebar-debar, bahkan beberapa diantaranya
menengok ke belakang, seolah-olah mereka kuatir Cie San
Liong Ong dan Kong Beng Yo Soe menyerang dengan
mendadak.
“Yo Siauw telah mencelakakan Ki Siauw Hu, Wi It
Siauw telah membinasakan Ceng Hian,” kata pula Biat
Coat dengan suara menyeramkan.
“Permusuhan antara Go Bie Pay dan Mo Kauw adalah
1201
permusuhan yang sangat mendalam. Go Bie dan Mo Kauw
tidak dapat berdiri bersama-sama dalam dunia ini. Murid
mana yang akan menjadi ahli waris Go Bie Pay akan
diputuskan dalam pertempuran yang akan datang.
Andaikata ada seorang murid lelaki yang tanpa
menghiraukan keselamatan jiwa sendiri, secara kebetulan
bisa membinasakan salah satu Hu Kauw Hoat Ong, maka
aku… aku bersedia untuk melanggar kebiasaan kita yang
sudah berjalan hampir seratus tahun lamanya… “
Kedua mata Biat Coat mengawasi ke tempat jauh.
“Semenjak Kwee Couwsu yang mendirikan partai kita.
Ciang Boin dari Go Bie Pay selalu dipegang oleh seorang
wanita.” Katanya pula dengan suara perlahan. “Jangankan
laki-laki, sedang wanita yang sudah menikahpun tidak
dapat menjadi Ciang Cun Jin. Akan tetapi, pada waktu
partai menghadapi bahaya besar, aku tidak dapat
mengkukuhi lagi kebiasaan lama. Sekarang siapa saja, tak
perduli lelaki atau perempuan, yang berjalan besar akan
menjadi ahli waris partai kita.”
Semua murid Go Bie menundukkan kepala. Tak
seorangpun membuka mulut. Di dalam hati mereka merasa
sangat tidak enak, karena sang guru memberi pesan untuk
di hari kemudian sehingga seolah-olah guru itu mendapat
firasat, bahwa ia takkan kembali ke Tionggoan dengan
bernyawa.
Tiba-tiba Biat Coat tertawa terbahak-bahak, suaranya
yang nyaring menempuh jarak jauh di gurun pasir yang
sunyi itu. Semua murid Go Bie bangun bulu romanya,
mereka kaget bercampur heran.
“Tidurlah!” bentak Biat Coat seraya mengibas tangan
jubahnya.
Seperti biasa, Ceng Hie segera mengatur penjaga malam.
1202
“Tak usah,” kata sang guru.
Ceng Hie terkejut, tapi ia tidak berani membantah.
Mentang-mentang, juga jaga malam tiada gunanya. Kalau
Ceng Ek Hok Ong atau orang yang sepantasnya datang
menyatroni, jaga malam atau tidak jaga malam tidak
berdaya.
Malam itu lewat tanpa sesuatu yang luar biasa dan pada
keesokan paginya, rombongan Go Bie meneruskan
perjalanan. Kira-kira tengah hari mereka sudah melalui
seratus li lebih. Langit cerah dan matahari memancarkan
sinarnya yang gilang gemilang sehingga biarpun waktu itu
sudah musim dingin, orang-orang Go Bie merasakan hawa
yang hangat.
Selagi enak berjalan, di jalan barat laut tiba-tiba
terdengar suara bentrokan senjata. Tanpa menunggu
perintah Ceng Hie, semua orang segera mempercepat
tindakan, menuju ke arah suara itu. Tak lama kemudian,
lapat-lapat mereka melihat bayangan beberapa orang yang
sedang bertempur. Sesudah datang lebih dekat, mereka
mendapat kenyataan, bahwa tiga orang Toojin (imam) yang
memegang senjata-senjata aneh tengah mengepung seorang
lelaki setengah tua.
Ketiga Toojin itu mengenakan jubah panjang warna
putih dan pada tangan jubah sebelah kiri terdapat sulaman
obor yang berwarna merah sehingga dengan demikian, dia
adalah orang Mo Kauw. Lelaki sedang dikepung
bersenjatakan pedang panjang dan meskipun satu melawan
tiga, dia tak jatuh di bawah angina.
Waktu itu Boe Kie sudah sembuh, tapi dia tetap berlagak
belum bisa jalan dan terus duduk di kereta salju. Dengan
rasa kagum, ia mengawasi. Sambil membentak keras, orang
itu memutar badan dan pedangnya menyambar tepat di
1203
dada salah seorang Toojin. Para murid Go Bie bersorak
sorai. Diantara sorakan, Boe Kie pun mengeluarkan seruan
tertahan, sebab ia mengenali, bahwa tikaman itu adalah Sun
Siu Tiu Couw (dengan menuruti aliran sungai mendorong
perahu), suatu pukulan dahsyat dari Bu Tong Kiam Hoat,
dan bahwa lelaki setengah tua itu bukan lain daripada Bu
Tong Liok Hiap In Lie Heng.
Rombongan Boe Kie terus menonton tanpa memberi
bantuan. Melihat datangnya bantuan dan sesudah seorang
kawannya roboh, kedua Toojin yang masih mengepung jadi
ciut nyalinya.
Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, sambil berteriak
keras mereka lari berpencaran. Satu ke selatan dan satu ke
utara. In Lie Heng menguber musuh yang lari ke selatan
dan sebab ia larinya lebih cepat, dalam sekejab ia sudah bisa
menyusul dan menghantam punggung Toojin itu dengan
telapak tangannya. Si Toojin memutar badan dan melawan
dengan nekat. Dilihat cara berkelahinya yang tak
memperdulikan keselamatan diri sendiri, ia nampaknya
bertujuan binasa bersama-sama.
Sementara itu, toojin yang kabur ke jurusan utara makin
lama jadi makin jauh. Untuk merobohkan musuhnya yang
berkelahi bagaikan harimau edan, In Lie Heng masih
memerlukan waktu, sehingga biar bagaimanapun jua, ia
takkan bisa menyusul toojin yang lari ke utara itu.
Murid-murid Go Bie yang sangat membenci orang-orang
Mo Kauw, mengawasi Ceng Hie dengan harapan kakak
seperguruan itu akan memberi perintgah supaya mereka
memberi bantuan. Beberapa murid wanita yang bersahabat
dengan Ki Siauw Hu mengetahui, bahwa In Lie Heng bekas
tunangan Nona Ki. Setelah Ki Siauw Hu binasa karena
gara-gara perebutan Kong Beng Soe Cia Yo Siauw, mereka
lebih bersimpati kepada Bu Tong Liok Hiap.
1204
Tapi Ceng Hie bersangsi. Dalam rimba persilatan Bu
Tong Liok Hiap mempunyai kedudukan tinggi. Setiap
bantuan yang diberikan kepadanya tanpa diminta, berarti
melanggar tata kehormatan. Maka itu, setelah memikir
sejenak, ia mengambil keputusan untuk tidak membantu. Ia
lebih suka siluman itu meloloskan diri daripada melakukan
perbuatan tidak pantas terhadap In Liok Hiap.
Sesaat itu, sekonyong-konyong diangkasa berkelabat
sehelai sinar hijau, sinar pedang yang terbang dari tangan In
Lie Heng. Dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan,
senjata itu menyambar punggung Toojin yang sedang
kabur. Si toojin sendiri bukan tidak tahu, bahwa
punggungnya tengah disambar pedang, tapi sebab cepatnya
senjata itu, ia tidak keburu berkelit, sehingga dilain detik,
ulu hatinya sudah menjadi toblos. Tapi dia masih lari terus
dan sesudah lari lagi sejauh dua tombak, barulah ia roboh
binasa. Dan pedang itu sendiri, sesudah menembus ulu hati
si Toojin, masih terbang kurang lebih tiga tombak,
kemudian menancap di pasir!
Demikian lihainya Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.
Semua murid Go Bie mengawasi kejadian itu dengan
mata membelalak dan mulut ternganga. Mereka tak dapat
mengeluarkan suara.
Waktu semua mata ditujukan lagi ke galanggang
pertempuran, Toojin yang barusan berkelahi nekat-nekatan
sekarang bergoyang-goyang badannya, seperti orang
mabuk. In Lie Heng tidak memperdulikannya lagi dan
dengan tenang berjalan ke arah rombongan Go Bie. Baru ia
berjalan beberapa tindak, Toojin bekas lawannya sudah
roboh binasa. Sekarang barulah murid-murid Go Bie
bersorak-sorai, bahkan BIAT COAT SOETHAY sendiri
manggut-manggutkan kepalanya sebagai tanda memberi
pujian. Dilain saat paras muka si nenek kelihatan berduka
1205
dan ia menghela nafas. Ia mengiri bahwa Bu Tong
mempunyai murid-murid yang berkepandaian tinggi,
sedang dalam Go Bie Pay, tak satupun yang memuaskan
hati. Sesaat itu, ia ingat Ki Siauw Hu yang bernasib malang
dan tidak bisa menikah dengan pria yang segagah Lie Heng.
Mengingat murid itu, ia jadi lebih sakit hati terhadap Mo
Kauw yang sudah mencelakai Noan Ki. (dalam alam pikir
Biat Coat, Ki Siauw Hu dibinasakan oleh Yo Siauw dan
bukan olehnya sendiri)
Bibir Boe Kie sudah bergerak untuk memanggil “Liok
Susiok”, tapi bibir itu rapat kembali. Diantara pamanpamannya,
In Lie Heng-lah yang paling erat hubungannya
dengan mendiang ayahnya dan selama ia berada di Bu
Tong San, paman keenam itu selalu memperlakuinya
dengan penuh kecintaan. Dengan hati berdebar-debar, ia
mengawasi paman itu yang tak pernah dilihatnya selama
delapan tahun. Ia mendapat kenyataan, bahwa Lie Heng
sudah kelihatan banyak lebih tua, sedang rambut di kedua
pelipisnya sudah dauk. Mungkin sekali kebinasaan Ki
Siauw Hu sudah memberi pukulan hebat kepadanya. Di
dalam hati, Boe Kie ingin sekali melompat dan memeluk
orang yang dicintainya itu. Akan tetapi sebisa-bisa ia
menahan hati, karena ia merasa bahwa jika ia berbuat
begitu, ia bakal menghadapi banyak kejadian yang tidak
enak.
Sementara itu In Lie Heng sudah menghampiri BIAT
COAT SOETHAY dan seraya memberi hormat, ia berkata,
“Dengan memimpin saudara-saudara seperguruan dan
murid-murid turunan ketiga, yang semuanya berjumlah tiga
puluh dua orang, Toa Suheng boanpwee sudah tiba di tepi
It Sian Hiap. Atas titah Toasuheng Boanpwee datang
kemari untuk menyambut kalian.”
“Bagus!” kata Biat Coat. “Ternyata rombongan Bu Tong
1206
Pay yang datang lebih dulu. Apakah kalian sudah
bertempur dengan pihak siluman?”
“Sudah tiga kali kami kebentrok dengan rombongan dua
bendera. Bendera Bok dan Bendera Hwee,” jawabnya.
“Kami berhasil membinasakan beberapa siluman, tapi
Citsutee Boh Seng Kok juga terluka.”
Biat Coat mengangguk, ia mengerti, bahwa meskipun
Lie Heng menjawab dengan tenang, ketiga pertempuran itu
tentulah pertempuran sangat hebat. Ia pun mendapat
kenyataan, bahwa pihak musuh lihai sekali. Lima pendekar
Bu Tong yang berkepandaian tinggi ternyata masih belum
bisa mengambil jiwanya Ciang Kie Soe dan malah Cit Hiap
Boh Seng Kok mendapat luka.
“Apakah kalian pernah menyelidiki kekuatan Kong Beng
Teng?” Tanya pula Biat Coat.”
“Sepanjang pendengara, Peh Bie Kauw, Kiu Tok Hwee
dan lain-lain cabang Mo Kauw datang membantu,”
jawabnya. “Kata orang, Cie San Liong Ong dan Ceng Ek
Hok Ong juga datang kemari.”
Biat Coat terkejut, “Cie San Liong Ong juga datang?” ia
menegas. Sambil bicara, mereka berjalan dengan perlahan,
diikuti dari kejauhan oleh murid-murid Go Bie.
Sesudah beromong-omong kira-kira setengah jam, Lie
Heng mengangkat kedua tangannya untuk berpamitan
dengan mengatakan bahwa ia harus berhubungan dengan
Hwa San Pay.
“In Liok Hiap,” kata Ceng Hie, “Sesudah berjalan jauh,
kau mestinya sudah lapar. Lebih baik makan dulu.”
In Lie Heng tidak berlaku sungkan. “Terima kasih,
baiklah.” Katanya sambil mengangguk.
1207
Murid-murid wanita Go Bie lantas saja mengeluarkan
makanan kering. Beberapa diantaranya membuat dapur,
menyalakan api, dan memasak air. Makanan mereka
sendiri sangat sederhana, tetapi kepada In Lie Heng,
mereka ingin menyediakan santapan yang sebaik-baiknya.
Semua kecintaan itu telah diunjuk sebab mereka ingat Ki
Siauw Hu yang telah tiada lagi di alam dunia. In Lie Heng
pun mengerti apa yang dipikir oleh mereka. Dengan mata
merah dan suara terharu, ia berkata, “Terima kasih atas
kebaikan Suci dan Soemoay.”
Sekonyong-konyong Coe Jie berkata, “In Liok Hiap, aku
ingin mencari keterangan mengenai seseorang. Apa boleh?”
Dengan tangan memegang semangkok mie kuah, In Lie
Heng menengok ke arah si nona dan berkata dengan suara
manis. “Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama yang
mulia dari Siauw Soemoay? Hal apa yang mau
ditanyakannya? Asal saja aku tahu, aku tentu akan
memberitahukan.”
“Aku bukan orang Go Bie Pay,” Jawabnya. “Aku malah
lawan mereka dan telah ditangkap oleh mereka. Sekarang
aku menjadi tawanan Nikouw tua itu.”
Mendengar jawaban itu, In Lie Heng yang semula
menduga bahwa si nona adalah murid Go Bie Pay, jadi
tercengang. Tapi karena nona itu sangat polos dan berterus
terang, ia jadi merasa suka kepadanya. “Apa kau anggota
Mo Kauw?” tanyanya.
“Juga bukan!” jawab Coe Jie. “Aku malah musuh Mo
Kauw.”
In Lie Heng jadi bingung, tapi ia tak punya tempo untuk
bicara panjang-panjang. Sebagai penghargaan terhadap
pihak tuan rumah, ia mengawasi Ceng Hie dengan sorot
mata menanya.
1208
“keterangan apa yang kau ingin dapat dari In Liok
Hiap?” kata Ceng Hie.
“Pertanyaanku adalah ini: Apakah suhengmu Thio Cui
San Thio NgoHiap juga datang di It Sian Hiap?” kata Coe
Jie.
“Perlu apa kau menanya begitu?” menegas In Lie Heng.
Paras muka Coe Jie bersemu merah. “Aku ingin mencari
tahu, apakah putera Thio Ngohiap yang bernama Boe Kie
juga datang kemari,” katanya dengan suara perlahan.
Boe Kie terkejut, “Apa Coe Jie sudah tahu siapa adanya
aku?” tanyanya didalam hati.
“Apa kau bicara sungguh-sungguh?” Tanya pula In Lie
Heng.
“Sungguh-sungguh,” jawabnya. “Aku tidak berani mainmain
terhadap In Liok Hiap.”
“Sudah sepuluh tahun NgoKo meninggal dunia,” kata
Lie Heng dengan suara perlahan. “Apa benar nona tak
tahu?”
Coe Jie melompat bangun. “Ah!” serunya. “Thio
Ngohiap sudah meninggal dunia…! Kalau begitu,
dia…dia… sudah yatim piatu.”
“Apakah nona mengenal keponakanku Boe Kie?” Tanya
In Lie Heng.”
“Lima tahun berselang, di rumah Tiap Kok Ie Sian Ouw
Ceng Goe, aku pernah bertemu dengannya,” jawab si nona.
“Tapi sekarang aku tak tahu dimana ia berada.”
“Atas titah Soehoe, akupun pernah datang di Ouw Tiap
Kok untuk menemui Boe Kie.” Kata pula In Lie Heng.”
Akan tetapi, suami isteri Ouw Ceng Goe telah dibinasakan
orang dan Boe Kie tak ketahuan kemana perginya. Lama
1209
juga aku menyelidiki tanpa berhasil. Belakangan… hai! Tak
dinyana… tak dinyana.. Ia tak dapat meneruskan
perkataannya, sedang paras mukanya berubah sedih.
“Ada apa?” Tanya si nona tergesa-gesa. “Apa yang
didengar olehmu?”
Dengan rasa heran, In Liok Hiap menatap wajah Coe
Jie. “Nona,” katanya. “Mengapa kau menaruh perhatian
begitu besar?’ Apakah keponakanmu sahabat atau
musuhmu?”
Coe Jie mengawasi ke tempat jauh. Beberapa saat
kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan. “Aku
telah mengajak dia pergi ke pulau Leng Coa To..”
“Leng Coa To?” memutus Lie Heng. “Pernah apa nona
kepada Gin Yap Sianseng dan Kim Hoa Popo?”
Si nona tidak menjawab. Ia terus melamu dan bagaikan
seorang linglun, ia berkata pula pada dirinya sendiri. “Dia
bukan saja menolak, tapi juga memukul, mencaci dan
bahkan menggigit tanganku, hingga darahku mengucur...”
Seraya berkata begitu, telapak tangan kirinya mengusapusap
belakang tangan kanannya… tapi… tapi.. kutetap tak
dapat melupakannya. Aku bukan mau mencelakai dia, aku
ingin bisa mengajak dia ke Leng Coa To supaya dia bisa
menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Popo. Aku
ingin berusaha untuk mengusir racun dingin Hian Beng Sin
Ciang yang mengeram dalam tubuhnya. Tapi dia garang
luar biasa. Dia menganggap maksudku yang begini baik
sebagai niatan jahat.
Boe Kie kaget tak kepalang. Baru sekarang ia tahu,
bahwa Coe Jie adalah A-Iee yang pernah mencekal
lengannya dalam pertemuan di Ouwtiap kok. Baru sekarang
ia tahu bahwa kecintaan yang tidak dapat dilupakan oleh si
nona adalah dirinya sendiri. Ia mengawasi muka Coe Jie.
1210
Pada roman yang jelek itu sudah tak ada bekas-bekas dari
kecantikan yang dulu. Tapi waktu melihat sinar mata si
nona, lapat-lapat ia ingat sinar mata A-Iee.
“Kalau begitu dia murid Kim hoa Popo”, kata Biat coat
Soethay dengan suara dingin. “Kim hoa Popo pun bukan
seorang dari partai lurus bersih. Tapi sekarang kita tak boleh
menanam terlalu banyak permusuhan dan untuk sementara
waktu, kita tahan saja padanya.
“Nona,” kata Lie Heng. “Terhadap keponakanku, kau
ternyata mempunyai maksud baik. Hanya sayang dia tipis
rejeki. Beberapa hari berselang, aku telah bertemu dengan
Sianseng Ho Thay Ciong, Ciang boen jin dari Koen loen
pay. Dari orang tua itu, aku mendapat tahu, bahwa pada
empat tahun berselang, karena terpeleset Boe Kie telah
jatuh ke jurang yang dalamnya berlaksa tombak. Hai…!
Kecintaan antara aku dan mendiang ayahnya bagaikan
kecintaan antara tangan dan kaki. Di luar dugaan, langit
tidak melindungi orang yang baik…”
“Bruk!” Coe Jie jatuh terjengkang.
Buru-buru Coe Cie Jiak membangunkannya dan sesudah
mengurut dadanya beberapa saat, barulah si nona tersadar.
Bukan main sedihnya Boe Kie. In Lie Heng dan Cioe Jie
sudah begitu berduka karena mencintainya, tapi ia sendiri
harus berlaku begitu tega dan tidak mau memperkenalkan
dirinya. Pada saat itu, tiba-tiba beberapa tetes air mata jatuh
di belakang tangannya. Ia mengangkat kepala dan
mendapat kenyataan, bahwa orang yang menangis adalah
Cioe Cie Jiak. Dengan hati tersayat, ia ingat kejadian di
tengah sungai Han-soei. “Dia rupanya belum melupakan
pertemuan di sungai itu,” katanya di dalam hati.
Sementara itu sambil menggertak gigi Cioe Jie bertanya,
“In Liok-hiap, apakah Boe Kie dicelakai oleh Ho Thay
1211
Ciong?”
“Bukan,” jawabnya. “Sepanjang keterangan Boe Liat
dari Coe-boe Lian hoan-chung telah menyaksikan dengan
mata sendiri terpelesetnya dan jatuhnya keponakanku. Coe
Tiang Leng, seorang ternama dalam rimba persilatan, juga
turut mati bersama-sama.”
Si nona menghela napas lalu berduduk.
“Nona, bolehkan aku mendapat tahu she dan namamu
yang mulia?” tanya Boe-tong Liok Hiap.
Coe Jie menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia
membanting diri di pasir dan menangis menggerunggerung.
“Nona, tak usah kau begitu bersedih,” membujuk Lie
Heng. “Andaikata keponakanku tidak mati di dalam jurang,
ia juga tidak bisa terlolos dari kebinasaan karena racun
dingin itu. Hai… mati jatuh dengan badan remuk memang
lebih baik daripada mati disiksa racun.”
“Lebih cepat anak itu mati memang lebih baik,” celah
Biat-coat. “Kalau dia hidup terus, ia tak bisa menjadi lain
daripada bibit penyakit.”
“Bangsat tua! Jangan kau bicara sembarangan!” bentak
Coe Jie.
Mendengar guru mereka dicaci, murid-murid Go-bie
tentu saja merasa gusar dan empat lima orang sudah segera
menghunus pedang. Tapi tanpa menghiraukan ancaman
itu, Coe Jie terus mencaci. “Bangsat tua! Ayah Boe Kie
adalah soeheng dari In Liok hiap. Apakah ayahnya tidak
cukup baik?”
Biat coat tidak menjawab, ia hanya tersenyum dingin.
“Ayahnya memang juga seorang dari partai yang lurus
1212
bersih,” kata Ceng hie. “Tapi bagaimana dengan ibunya?
Turunan perempuan siluman dari Mo kauw memang tidak
bisa menjadi lain daripada bibit penyakit.”
“Perempuan siluman dari Mo kauw?” menegas Coe Jie.
“Siapa ibunya Boe Kie?”
Murid-murid Go bie tertawa geli.
Boe Kie merasa dadanya mau meledak. Kalau tekadnya
untuk menyembunyikan diri kurang kuat, ia tentu sudah
melompat dan mencaci orang-orang itu yang menghina
mendiang ibunya. Selebar mukanya merah padam, air
matanya berlinang-linang, tapi dengan sekuat tenaga ia
mempertahankan diri.
Sebagai manusia yang tidak kejam, mendengar
pertanyaan Coe Jie, dengan suara perlahan Ceng hie
menjawab, “Isteri Thio Ngohiap adalah anaknya In Thian
Ceng dari Peh bie kauw. Dia bernama In So So…”
“Ah!” teriak Coe Jie. Wajahnya lantas saja berubah
pucat.
“Sebab menikah dengan perempuan siluman itu, nama
Thio Ngohiap menjadi hancur, hingga pada akhirnya ia
membunuh diri di Boe tong san, menerangkan Ceng hie.
“Kejadian itu diketahui oleh orang sedunia. Apakah nona
tak tahu?”
“Tidak…” jawabnya dengan mata membelalak. “Aku
berdiam di Leng coa to, kutak tahu kejadian dalam rimba
persilatan di wilayah Tionggoan. Tapi, di manakah adanya
In So So sekarang?”
“Dia membunuh diri bersama-sama Thio Ngohiap.”
jawabnya.
Coe Jie melompat bagaikan dipagut ular. “Jadi dia… dia
1213
sudah mati?” teriaknya.
“Kau mengenal In So So?” tanya Ceng hie dengan suara
heran.
Sesaat itu, disebelah timur laut sekonyong-konyong
terlihat sinar api yang berwarna biru.
“Celaka!” seru In Lie Heng. “Keponakan Ceng Soe
dikepung musuh.” Ia memutar badan dan memberi hormat
kepada Biat coat dan yang lain lain, dan kemudian dengan
tergesa-gesa lari ke jurusan sinar api itu.
Dengan sekali mengibas tangan, murid-murid Go bie
segera mengikuti dari belakang In Liok hiap.
Waktu sudah datang dekat, mereka mendapat kenyataan
bahwa seorang pemuda yang mengenakan pakaian
sastrawan sedang dikepung oleh tiga orang. Ketiga orang
itu, yang bersenjata golok, memakai tudung dan
mengenakan pakaian kacung atau pesuruh. Sesudah
menyaksikan beberapa gerakan, murid-murid Go bie
merasa heran, sebab biarpun seperti pesuruh, mereka
ternyata berkepandaian tinggi, lebih tinggi daripada toojintoojin
yang dirobohkan oleh In Lie Heng. Pemuda itu, yang
bersenjata pedang panjang, sudah jatuh dibawah angin, tapi
pembelaannya sangat kuat, sehingga sedikitnya untuk
sementara ia masih dapat mempertahankan diri.
Tak jauh dari gelanggang pertempuran berdiri 6 orang
yang mengenakan jubah panjang warna kuning dengan
sulaman obor merah di tangan jubah. Itulah tanda, bahwa
mereka anggota Mo kauw.
Melihat kedatangan In Lie Heng dan rombongan Go bie,
seorang kate gemuk dari antara keenam penonton itu
berteriak, “In Lie Heng tee (persaudaraan), kalian gagal!
Larilah! Kami akan melindungi dari belakang.”
1214
“Hau-touw kie (Bendera tarah tebal) memang paling
sombong!” teriak salah seorang dari ketiga pesuruh itu.
“Orang she Gan! Kau saja yang kabur lebih dulu.”
Ceng hie mengeluarkan suara di hidung. “Kebinasaan
sudah berada di atas kepalamu, tapi kau masih bertengkar
dengan kawan sendiri,” katanya.
“Soecie, siapa mereka?” tanya Coe Cie Jiak.
“Yang mengenakan pakaian pesuruh adalah budakbudaknya
In Thian Ceng,” jawabnya. “Mereka bernama In
Boe Hok, In Boe Lok dan In Boe Sioe.”
“Budak?” menegas nona Cioe dengan suara heran. Tapi
mengapa… mengapa… “
“Mereka bukan orang biasa, dulunya mereka perampokperampok
besar”, menerangkan sang kakak. “Keenam
orang yang mengenakan jubah kuning adalah anggotaanggota
Houw touw kie dari Mo kauw. Siluman kate
gemuk itu mungkin sekali Gan Hoan, Ciang kie soe dari
Houw touw kie. Menurut katanya Soehoe, kelima Ciang kie
soe telah kebentrok dengan Kauwcoe Peh bie kauw sebab
berebut kedudukan…”
Tiba-tiba terdengar suara “brett!” dan tangan baju
pemuda yang terkepung robek karena bacokan In Boe Sioe.
Sambil bersiul nyaring In Lie Heng melompat pedangnya
membabat golok In Boe Lok. “Trang!” golok itu
melengkung. Dengan kaget In Boe Lok melompat mundur.
Mendadak, bagaikan kilat Coe Jie melompat dan dengan
menunjuk tangan kanan, ia menotok punggung In Boe Lok.
Hampir berbareng bagaikan kilat pula, ia melompat balik ke
tempat semula.
In Boe Lok berkepandaian tinggi. Tapi sebab ia sedang
1215
kaget dan juga sebab gerakan si nona cepat luar biasa, maka
totokan itu mampir tepat pada sasarannya. Di lain saat,
badannya kaku dan mukanya semu hitam.
In Boe Hok dan In Boe Sioe terkesiap. Dengan serentak
mereka mendekati Boe Lok. Sekonyong-konyong mereka
mengawasi Coe Jie dengan mata membelalak. “Lee
siocia!... teriaknya dengan suara tergugu.
“Hm! Kamu masih mengenali aku?” kata si nona.
Semua orang yang menyaksikan itu dengan hati yang
berdebar-debar. Mereka menduga bahwa kedua orang itu
akan segera menyerang Coe Jie. Tapi diluar sangkaan,
tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka segera
memondong mayat kawannya dan lari ke jurusan utara.
Itulah perubahannya yang sungguh tak dinyana-nyana.
Dengan sekali mengibas, dalam tangan si kate gemuk
sudah mencekal sehelai bendera besar yang berwarna
kuning. Perbuatan itu diturut oleh kelima kawannya sambil
memutar-mutar bendera-bendera itu, perlahan-lahan
mereka mundur ke arah utara.
Semua murid Go bie mengawasi dengan perasaan heran.
Mendadak dua murid lelaki melompat dan menguber
dengan senjata terhunus. Tubuh In Lie Heng berkelebat dan
dalam sekejap, ia sudah melewati kedua murid Go bie itu.
Dengan sekali mendorong, kedua orang itu terhuyung ke
belakang beberapa tindak dan muka mereka lantas saja
berubah merah.
“Jiewie soetee, balik!” bentak Ceng hie. “In Liok hiap
bermaksud baik, Houw touw kie tidak boleh dikejar.”
“Beberapa hari berselang, bersama Boh Cit tee aku
menguber Liat-hwee-kie (Bendera api hebat),”
menerangkan Lie Heng. “Hampir-hampir kami celaka.
1216
Sebagian rambut dan alis Boh Cit tee terbakar.” Seraya
berkata begitu, ia menggulung tangan baju kiri dan pada
lengannya terlihat bekas-bekas terbakar. Kedua murid Gobie
itu manggut-manggutkan kepala dengan perasaan
jengah.
Sementara itu, sambil menatap wajah Coe Jie dengan
sorot mata dingin, Biat coat Soethay bertanya, “Cian-cee
Ciat-hoe-cioe, bukan?”
“Belum sempurna,” jawab si nona.
“Mengapa kau membunuh dia?” tanya pula si nenek.
“Bukan urusanmu,” kata si gadis dengan sikap acuh tak
acuh. “Aku ingin membunuh, aku lantas membunuh.”
Biat coat menggerakkan tangannya dan hampir
berbareng ia sudah menyambut pedang Ceng hie, “Cring!”,
Coe Jie melompat ke belakang dengan paras muka pucat.
Mengapa? Karena dengan kecepatan luar biasa, dengan
Ceng hie, Biat coat membabat telunjuk kanan si nona,
gerakannya adalah sedemikian cepat, sehingga tak dapat
dilihat nyata oleh siapapun jua.
Di luar dugaan telunjuk si nona tertutup bida jari yang
terbuat daripada baja murni dan karena pedang yang
digunakan Biat coat bukan Lethian kam, maka senjata itu
tidak dapat memutuskannya. Dengan mendongkol si nenek
melontarkan senjata itu kepada Keng hie dan sambil
mengeluarkan suara di hidung ia berkata, “Kali ini kau
masih mujur, di lain kali janganlah kau jatuh lagi ke dalam
tanganku.” Sikap itu adalah sesuai dengan kedudukannya
sebagai ciangboenjin dari sebuah partai. Sesudah gagal
dalam serangannya terhadap seorang yang tingkatannya
lebih rendah, ia sungkan menyerang untuk kedua kalinya.
Mengingat bantuan Coe Jie kepada pihaknya dan
1217
kecintaan nona itu kepada Boe Kie, In Lie Heng jadi
merasa kasihan dan segera berkata, “Sosiok, dengan tak
disengaja anak itu telah mempelajari ilmu yang sesat. Kita
harus memberi kesempatan supaya dia belajar pada guru
yang lurus bersih. Hmm…, kurasa ada baiknya jika dia
berguru kepada Thie-khim sianseng”. Ia menarik tangan
pemuda yang tadi dikepung dan berkata pula, “Ceng Soe,
lekaslah memberi hormat kepada Soethay dan para
paman.”
Pemuda itu segera maju mendekati dan berlutut di
hadapan Biat-coat, tapi pada waktu ia mau menjalankan
peradatan besar di hadapan Ceng hie dan yang lain-lain,
para murid Go bie itu menolak dan membalas hormat.
Pada waktu itu Thio Sam Hong sudah berusia lebih dari
seratus tahun dan jika dihitung hitung tingkatannya lebih
tinggi beberapa tingkat daripada Biat-coat. Karena pernah
bertunangan dengan Kie Siauw Hoe, maka kedudukan In
Lie Heng jadi lebih rendah setingkat daripada Biat caot.
Jika sebagai pendiri Boe-tong-pay, Thio Sam Hong
direndengi dengan pendiri Go bie pay, Kwee Siang, maka
menurut pantas Biat coat lah yang harus memanggil
“Soesiok” kepada In Lie Heng. Tapi sebegitu jauh Boe
Tong dan Go bie tidak berani menerima panggilan dengan
melihat saja usia masing-masing. Tapi meskipun begitu,
murid-murid Go bie tidak berani menerima panggilan
“paman” dari sasterawan muda itu.
Sesudah menyaksikan kegagahan pemuda itu sekarang
dengan perasaan kagum semua orang mengawasi paras
mukanya yang tampan dan angker.
“Ceng Soe adalah putera tunggal dari Toasoeko,” In
Liok-hiap memperkenalkan keponakannya.
“Aha!” seru Ceng hie. “Sejak beberapa lama aku
1218
memang sudah mendengar nama besarnya Giok bin Beng
siang. Dalam kalangan Kangouw semua orang memuji
Song Siauw-hiap sebagai seorang ksatria yang mulia
hatinya. Aku merasa beruntung, bahwa di hari ini aku bisa
bertemu dengannya”. (Giok bin – muka yang putih seperti
batu pualam. Beng siang koen, seorang ksatria yang pandai
pada jaman Liat kok).
Semua orang mengawasi pemuda tampan itu, dengan
perasaan terlebih kagum. Memang sudah lama mereka
mendengar nama cemerlang dari Giok bin Beng Siang Ceng
Soe.
Coe Jie yang berdiri di samping Boe Kie tiba-tiba
berbisik, “A Goe dia lebih banyak tampan daripada kau”.
“Tentu saja perlu apa dikatakan lagi?” kata Boe Kie.
“A Goe”, kata pula si nona. “Coba kau lihat. Nona Cioe
mu sedang memandang kau tak sudah-sudahnya”.
Perkataan itu diucapkan sangat perlahan, tapi Cioe Cie Jiak
rupanya sudah mendengar, karena ia sudah melengos.
Sementara itu sesudah beromong omong beberapa saat,
In Lie Heng berkata, “Soe jie mari kita berangkat.”
“Menurut rencana hari ini, kira-kira tengah hari
rombongan Khong tong-pay akan tiba di sekitar tempat
ini,” kata Ceng-soe. “Tapi sampai sekarang mereka belum
muncul. Aku kuatir terjadi sesuatu yang tidak enak.”
“Ya, akupun merasa kuatir,’ kata sang paman. “Kita
sekarang sudah berada di daerah musuh.”
“Menurut pendapatku, paling baik kita menuju ke barat
bersama-sama rombongan Go bie-pay”, kata pula pemuda
itu. Mungkin sekali dalam jarak kira-kira lima belas li kita
akan menemui musuh.”
1219
“Mengapa Song Siauw hiap bisa mengatakan begitu?”
tanya Ceng hie dengan suara heran.
“Aku hanya menebak-nebak,” jawabnya.
Ceng hie mengetahui, bahwa ayah pemuda itu Song
Wan Kiauw, bukan saja tinggi ilmu silatnya, tapi juga
paham ilmu Kie boen dan ilmu perang, sehingga sebagai
putra seorang berilmu pemuda itupun tentu bukan
sembarangan orang. Memikir begitu, ia tidak menanya lagi.
“Baiklah,” kata In Lie Heng. “Memang paling baik jika
kita jalan bersama-sama para cianpwee dari Go bie pay.”
Mendengar perkataan In Lie Heng, Biat coat Soethay
berkata dalam hatinya. “Sudah kira-kira tigapuluh tahun
Thio Sam Hong tidak menghiraukan lagi segala urusan
dunia dan pada hakekatnya tugas Ciangboenjin Boe tong
pay sudah dipikul seanteronya oleh Song Wan Kiauw.
Lihat-lihat gelagatnya, kedudukan Ciangboenjin ketika dari
Boe tong pay akan diduduki oleh Song Siauw hiap.
Sekarang saja sang paman sudah menuruti kemauan si
keponakan!”
Tapi sebenar-benarnya hal itu sudah menjadi sebab In
Lie Heng bertabiat halus dan sedapat mungkin sungkan
membantah kemauan orang lain.
Demikian kedua murid Boe tong lalu berjalan bersamasama
rombongan Go bie. Sesudah melalui kurang lebih
lima belas li, di depan mereka memandang sebuah bukit
pasir. Melihat Ceng Soe berlari-lari mendaki bukit itu, Ceng
hie segera mengibas tangannya dan dua murid Go bie lantas
saja menguber dari belakang, sehingga ketiga orang tiba di
atas bukit hampir berbareng. Dan hampir berbareng dia
mengeluarkan teriakan kaget, karena di sebelah barat itu
kelihatan menggeletak belasan mayat.
1220
Mendengar teriakan mereka, semua orang segera
memburu ke atas. Mereka mendapat kenyataan, bahwa
semua korban binasa sebab pukulan hebat, ada yang hancur
batok kepalanya, ada yang melesak badannya dan
sebagainya.
In Lie Heng yang mempunyai paling banyak
pengalaman dalam dunia Kang-ouw lantas saja berkata,
“Rombongan Po yang-pang dari propinsi Kang-say
termusnah seanteronya. Mereka dihancurkan oleh Kie bok
kie (Bendera balok besar) dari Mo kauw”.
Biat coat mengerutkan alis, “Mengapa Po yang-pang
datang kesini?” tanyanya dengan suara kurang senang.
“Apakah diundang oleh partaimu?” Si nenek mendongkol
sebab partai lurus bersih biasanya memandang rendah
kepada berbagai golongan/perkumpulan (pang hwee)
dalam dunia Kang ouw dan ia segan untuk bercampur
dengan “pang pang” itu.
“Tidak, kami tak mengundangnya”, jawab Lie Heng.
“Tapi Lauw Pang coe dari Po yang-pang telah diakui
sebagai murid Khong tong pay. Mereka rupanya ingin
membantu rumah perguruan.”
Biat coat mengeluarkan suara di hidung dan tidak
mengatakan apa-apa lagi.
Sesudah mayat-mayat dikuburkan, seorang murid lelaki
Go bie pay, she Wie, yang merasa kagum akan jitunya
tebakan Song Ceng Soe, bertanya, “Saudara Song, apakah
kita bakal bertemu dengan musuh?”
Pemuda itu tidak lantas menjawab, sambil mengawasi
kuburan-kuburan yang berderet-deret, ia mengasah otak.
Sekonyong-konyong, kuburan yang paling barat membuka
dan seorang lelaki melompat keluar. Bagaikan kilat dia
menawan murid Go bie she Wie itu dan lalu kabur.
1221
Semua orang terkesiap, beberapa murid wanita
mengeluarkan teriakan kaget. Di lain detik, Biat coat dan
Lie Heng, Song Ceng Soe dan Ceng hie sudah menguber
dengan senjata terhunus. Selang beberapa saat, sesudah
dapat menetapkan hatinya, barulah murid-murid Go bie
mendusin, bahwa orang itu ialah Ceng ek Hok ong. Dengan
mengenakan pakaian anggota Po yang-pang dia menambah
napas dan berlagak mati. Murid-murid Go bie yang
mengubur mayat, yang tidak memeriksa dengan teliti sudah
kena dikubur. Setelah menahan korbannya, si Raja
kelelawar kabur, tapi dia tak kabur terus seperti orang
mengejek dia lari berputaran, membuat sebuah lingkaran.
Waktu baru mengundak, Biat Coat berempat lari dengan
berendeng; tapi sesudah melalui terlihatlah tinggi rendah
kepandaian mereka, dengan dua orang lebih dulu dan dua
orang lebih belakang. Biat Coat dan In Lie Heng di sebelah
depan. Ceng Hie dan Ceng Soe mengikuti dari belakang.
Tapi sesudah dua putaran, Ceng Soe makin mendekati Biat
Coat dan In Lie Heng, sedangkan Ceng hie ketinggalan
makin jauh. Dari sini dapatlah dilihat, bahwa pemuda itu
benar-benar lihay dan meskipun usianya masih muda, ia
sudah memiliki lweekang yang tinggi. Tapi ilmu ringan
Ceng ek Hok ong tiada bandingannya dalam rimba
persilatan. biarpun mendukung manusia, ia tetap belum
dapat disusul.
Sesudah dua putara, tiba-tiba Ceng Soe berhenti
mengundak dan berteriak, “Tio Leng Coe Soe siok, Oey
Kio Boe Soe siok, pergilah kedudukan Lee-wie dan
memotong larinya musuh! Soen Liang Tin Soesiok, Lie
Beng Hee Soesiok, cegatlah musuh dari kedudukan Cina
wie!...”
Bagaikan seorang panglima, ia berteriak-teriak memberi
perintah kepada belasan murid Go bie untuk mencegat
1222
musuh dengan mengambil kedudukan Pat-kwa. Orang2 Go
bie yang kehilangan pimpinan, sudah menuruti semua
perintah itu, yang dikeluarkan dengan suara angker.
Karena adanya pencegatan yang sangat rapat itu, Ceng
ek Hok ong tidak bisa lari putaran lagi dengan leluasa.
Seraya tertawa nyaring ia melemparkan tawanannya ke
tengah udara dan kemudian kabur ke tempat lain. Biat coat
melompat dan kedua tangannya menyangga tubuh
muridnya yang melayang jatuh.
Di lain saat, sayup-sayup terdengar suara si Raja
kelelawar, “Hah..hah!... Di antara orang muda banyak yang
lihay, dengan mempunyai murid yang lihay itu, Biat coat
Loohie sungguh tidak boleh dibuat permainan.” Dengan
berkata begitu, ia memuji kepandaian Song Ceng Soe.
Sementara itu Biat coat berdiri terpaku dengan muka
pucat pasi. Sebab murid yang dipeluknya ternyata sudah
binasa, dengan luka bekas gigitan di lehernya.
Dengan hati berduka, tanpa mengeluarkan sepatah kata
semua orang berdiri di sekitar Biat coat. Sesudah lewat
beberapa lama, In Lie Heng berkata dengan suara perlahan.
Menurut katanya orang, Ceng ek Hok ong selalu menghisap
darah manusia. Cerita itu ternyata bukan omongan
kosong.”
Biat coat Soethay malu, marah dan sakit hatinya.
Semenjak menjadi Ciangboenjin Go bie pay baru kali ini ia
mendapat pukulan yang begitu hebat. Dua orang muridnya
dengan beruntun telah dibinasakan musuh, tanpa bisa
berbuat apapun jua. Sesudah berdiri bengong beberapa
lama, ia mengawasi Ceng Soe dan bertanya, “Bagaimana
kau tahu nama murid-muridku itu?”
“Tadi Ceng hie Soesiok telah memperkenalkan mereka
kepada teecoe,” jawabnya.
1223
“Hm.. mendengar dan tak lupa lagi!” kata si nenek
dengan suara perlahan. “Go bie pay mana punya orang
sepandai itu?”
Malam itu, waktu mengaso dengan sikap hormat Ceng
Soe menghampiri Biat coat dan berkata sambil
membungkuk, “Cianpwee, bolehkan boanpwee memohon
sesuatu yang tidak pantas?”
“Kalau kau tahu tidak pantas, tak perlu kau membuka
mulut,” kata si nenek dengan tawar.
“Ya,” kata pemuda itu sambil bertindak mundur dan
kemudian duduk di samping In Lie Heng.
Murid-murid Go bie merasa sangat heran. Mereka tak
tahu apa yang mau diminta pemuda itu. Sebagai seorang
yang berwatak sangat tidak sabaran, Teng Bin Koen segera
mendekati dan bertanya, “Saudara Song, apakah yang mau
diminta olehmu?”
“Waktu mengajar ilmu pedang, ayahku pernah
mengatakan bahwa pada jaman ini orang palilng lihay kiam
hoatnya di dalam dunia adalah Soecouw kami, sedang yang
kedua ialah Biat coat Cianpwee. Kiamhoat Boe-tong dan
Go bie masing-masing mempunyai keunggulan dan
kekurangan. Misalnya saja, pukulan Chioe hwie Ngo hian
(Tangan menyapu lima kali tetabuhan) dari Boe tong
hampir bersamaan dengan Ceng lo Siauw-san (Kudung tipis
dan kipas kecil) dari Go bie pay. Tapi jika Chioe hwie Ngo
hian dikirim dengan menggunakan tenaga yang besar maka
kelincahannnya jadi berkurang dan tidak dapat menyamai
Ceng lo Siauw san yang tetap bisa mempertahankan
kecepatannya.” Seraya berkata begitu, ia menghunus
pedang dan menjalankan kedua jurus itu. Tapi waktu
menjalankan Ceng lo Siauw san, gerakannya sangat tidak
sempurna.
1224
“Salah,” kata Teng Bin Koen sambil bersenyum dan
mengambil pedang yang dicekal pemuda itu. “Pergelangan
tanganmu masih sakit dan tidak bisa mengeluarkan banyak
tenaga,” katanya. “Tapi kau lihatlah aku memberi contoh.”
Pemuda itu mengawasi dengan penuh perhatian.
Sesudah Teng Bin Koen selesai dengan jurus itu, sambil
menghela napas ia berkata, ”Ayahku sering mengatakan
bahwa ia merasa menyesal belum bisa menyaksikan ilmu
pedang gurumu. Hari ini boanpwee merasa sangat
beruntung bisa mendapat kesempatan untuk menyaksikan
pukulan Ceng lo Siauw san dari Teng Soesiok. Sebenarnya
boanpwee ingin memohon petunjuk-petunjuk Soethay
mengenai beberapa hal dalam kiamhoat. Tapi karena
boanpwee bukan murid Go bie, maka tak dapat boanpwee
membuka mulut.
Biarpun berada di tempat yang agak jauh, Biat coat
sudah mendengar pembicaraan itu. Bahwa ia dianggap
sebagai jago pedang nomor dua dalam dunia, sudah
menggirangkan hatinya. Pada jaman itu, Thio Sam Hong
dipandang sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw
dalam dunia persilatan dan ia dikagumi oleh semua orang.
Biat coat sendiri belum pernah mengandung maksud untuk
menandingi guru besar itu, sehingga pendapat kalangan
Boe-tong bahwa ia adalah ahli pedang nomor dua sudah
sangat memuaskan hatinya. Melihat jurus Ceng lo Siauw
san yang barusan dijalankan oleh Teng Bin Koen ia merasa
mendongkol sebab jurus itu masih jauh dari sempurna.
Masakah Go bie kiam hoat hanya sebegitu?
Maka itu, ia segera menghampiri dan tanpa
mengeluarkan sepatah kata ia mengambil pedang yang
tengah dicekal Teng Bin Koen. Sesudah mengangkat
pedang itu sampai merata dengan hidungnya, tangannya
menggetar dan ujung pedang segera mengeluarkan suara
1225
“ung ung…” Dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan,
sembilan kali ia membulang balingkan senjata itu dengan
kecepatan luar biasa. Tapi biarpun cepat,gerakan pedang
dilihat dengan nyata sekali.
Para murid Go bie mengawasi dengan mata membelalak.
“Sungguh indah”, teriak In Lie Heng.
Song Ceng Soe sendiri memperhatikan setiap gerakan
sambil menahan napas. Ia kagum bercampur kaget. Tadi
dengan memberi pujian, ia sebenarnya hanya ingin
menyenangkan hati si nenek. Tapi dilluar dugaannya,
niekouw tua itu benar-benar lihay dan ia merasa takluk.
Maka itu dengan setulus hati ia segera memohon beberapa
petunjuk lain.
Sekarang Biat coat berlaku loyal. Semua pertanyaan
dijawab dan dijelaskan seterang-terangnya, sedang dimana
perlu nenek itu bersilat untuk memberi contoh-contoh.
Semua murid Go bie memperhatikan itu tanpa bersikap.
Banyak diantaranya, bahkan ada yagn sudah mengikutu
sang guru selama belasan tahun belum pernah melihat kiam
hoat yang lihay itu dari gurunya.
Coe Jie dan Boe Kie berdiri diluar lingkaran penonton.
Tiba-tiba si nona berkata, “A Goe Koko, kalau aku bisa
mempunyai ilmu ringan badan setinggi Ceng-ek Hok ong
biarpun mati aku merasa rela.”
“Guna apa memiliki ilmu yang sesat?” kata Boe Kie.
“menurut katanya In Liok-hiap, saban kali menggunakan
ilmunya, Wie It Siauw harus membunuh manusia. Perlu
apa mempunyai ilmu siluman?”
“Dalam pertempuran, manusia saling membunuh, kalau
tidak membunuh tentu dibunuh,” kata Coe Jie. “Wie It
Siauw lihay dan dia berhasil membunuh murid Go bie.
1226
Kalau dia kurang lihay, bukankan dia sendiri yang bakal
dibunuh oleh si niekow tua? Dimataku, tak ada perbedaan
antara partai lurus bersih dan golongan yang dikatakan
sesat.”
Boe Kie tidak mengatakan suatu apa lagi.
Sekonyong-konyong sebatang pedang berkeredepan di
angkasa. Pedang itu adalah senjata Song Ceng yang kena
dilontarkan oleh Biat coat dengan pukulan Kiauw jiak yoe
liong (Gesit bagaikan naga). Semua orang mendongak dan
mengawasi senjata itu. Tiba-tiba mata mereka melihat sinar
api yang berwarna kuning di sudut timur laut yang jauhnya
kira-kira belasan li.
Dalam usaha untuk membasmi Mo-kauw keenam buah
partai telah bersepakat untuk menggunakan anak panah api
dari enam macam warna sebagai tanda mereka. Anak
panah yang bersinar kuning itu adalah tanda Khong tong
pay.
“Khong tong pay bertemu dengan musuh,” kata In Lie
Heng. “Mari kita membantu.”
Mereka segera memburu ke jurusan itu. Tapi sesudah
melalui belasan li, apa yang ditemukan hanyalah pasir
kuning.
“Apa Oen Loocianpwee dari Khong tong pay?” teriak In
Lie Heng. “Apa Kouw Loocianpwee?” Teriakan itu
menempuh jarak yang jauh, tapi tak mendapat jawaban.
Sekonyong-konyong di sebelah barat muncul sinar
kuning.
“Ah! Mereka pindah ke barat,” kata Ceng hie. Dengan
tergesa-gesa mereka memburu ke jurusan barat.
Tapi sesudah berlari-lari beberapa lama, mereka tetap
1227
tidak menemui manusia. Di tempat itu mereka hanya
mendapatkan potongan bambu dan kertas yang hancur
terbakar, sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa anak
panah api itu telah dilepaskan dari tempat tersebut.
Semua orang jadi bingung dan mencoba memecahkan
teka-teki itu.
“Cian pwee, kita kena diakali,” tiba-tiba Song Ceng Soe
berkata, “Lihatlah! Di atas pasir hanya terdapat tapak kaki
seorang manusia. Kalau benar kawan-kawan Khong Tongpay
menemui musuh, yang kita lihat sedikitnya tapak empat
atau lima orang.”
Mendadak Song Ceng Soe ingat sesuatu. “Celaka!” ia
mengeluh, “Kong tong-pay benar diserang musuh. Ikutilah
aku.” Sehabis berkata begitu ia segera berlari-lari ke arah
barat daya.
“Bagaimana kau tahu bahwa Khong Tong-pay telah
bertemu dengan musuh?” tanya In Lie Heng yang lari
bersama dengan keponakannya.
“Anak panah api itu bukan palsu,” jawabnya.
“Anak panah api yang digunakan oleh keenam partai
hanya dapat dibuat oleh tukang-tukang yang pandai dari
Tiong-goan. Anak panah begitu tak bisa dibuat oleh tukangtukang
daerah See hek.”
“Apakah kau ingin mengatakan bahwa seorang murid
Kong tong kena tangkap dan anak panah api itu dirampas
dari tangannya?” tanya sang paman pula.
“Benar,” jawabnya. “Sementara itu, pihak siluman telah
memancing kita ke timur laut dan kemudian ke barat untuk
membuat kita lelah. Menurut pendapatku, mereka
berkumpul di sebelah barat daya.”
1228
Biat Coat yang berada dalam jarak kita-kira dua langkah
dari mereka, dapat menangkap pembicaraan mereka. Ia
mengangguk seraya berkata, “Kurasa tebakanmu tidak
meleset.”
Kecuali Biat Coat, In Sie Heng, Song Ceng Soe dan
beberapa murid yang berkepandaian tinggi, murid-murid
Go Bie yang lainnya sudah sangat letih. Setelah melalui
sekian li, di atas sebuah bukit pasir yang menghadang di
depan tiba-tiba kelihatan seorang yang sedang berdiri dan
seorang yang rebah di pasir. Biat Coat mempercepat
langkahnya dan setelah dekat, ia mendapati kenyataan
bahwa kedua orang itu tidak lain dari Boe Kie dan Coe Jie.
Ternyata dalam keadaan sibuk, orang-orang Go Bie
sudah tidak memperhatikan kedua tawanan itu lagi, yang
entah bagaimana bisa berada di sebelah depan.
“Mengapa kau berada di sini?” tanya Biat Coat. Di
dalam hati ia merasa sangat heran. Apakah kedua setan
kecil itu bisa berjalan lebih cepat?
Coe Jie menyengir. “Anak panah api itu terang-terang
telah digunakan memancing musuh,” jawabnya. “Kukira,
bahwa biarpun orang-orang Go Bie tak sadar, bocah she
Song itu pasti akan menebak juga. Aku menduga pada
akhirnya kalian semua tentu akan ke sini. A Goe Koko,
bukankah benar begitu?”
Boe Kie mengangguk. “Kami sudah berada di sini lama
sekali,” katanya sambil tersenyum. “Kalian sangat capai
bukan?”
“Setan kecil!” bentak Biat Coat. “Kalau kau sudah
menduga begitu mengapa tidak cepat-cepat
memberitahukan kepada kami?”
“E eh, mengapa kau marah?” kata si nona.
1229
“Mengapa kau tak minta pendapatku? Andaikata aku
memberitahukan kepada kau, kau tentu tak akan percaya.
Kau tentu lebih suka berlari-lari ke sana-sini.”
Biat Coat gusar, tapi ia tak bisa mengatakan apapun jua
dan iapun tak bisa menghajar nona itu tanpa alasan.
Pada saat itulah, di sebelah barat daya seolah-olah
terdengar suara bentrokan senjata yang sangat banyak.
“Perlu apa kau bergusar terhadapku?” kata Coe Jie.
“Kawan-kawanmu sedang menghadapi bahaya.”
Biat Coat dan yang lain tidak lagi memperdulikan Coe
Jie yang berlidah tajam dan dengan tergesa-gesa mereka
menuju ke arah barat daya.
Makin dekat suara pertempuran jadi makin hebat. Di
antara bentrokan senjata terdengar juga teriak dari orangorang
yang terluka. Beberapa saat kemudian mereka
terkesiap karena dari jauh mereka melihat suatu
pertempuran besar-besaran. Masing-masing pihak
mempunyai kekuatan beberapa ratus orang dan mereka
sedang bertempur mati-matian.
“Pihak musuh terdiri dari bendera-bendera Swie Kim
(Emas murni), Ang Soei (Air besar) dan Lian Hwee,” kata
In Lie Heng. “Khong Tong-pay sudah berada di sini. Hwa
San-pay dan Koen Loen-pay juga sudah tiba. Tiga bendera
melawan tiga partai, Soe Jie mari kita turut menyerbu.”
Sambil berkata begitu, ia mengibaskan pedangnya yang
mengeluarkan suara mengaung.
“Tunggu dulu,” kata Ceng Soe. “Kita tunggu sampati
datangnya para paman dari Go Bie-pay.”
Seumur hidup Boe Kie belum pernah menyaksikan
pertempuran yang begitu besar dan begitu hebat. Dengan
hati sedih ia mengawasi manusia yang saling membunuh
1230
itu. Di dalam hati kecilnya, ia tidak mengharapkan
kemenangan pihak manapun juga, karena pihak yang satu
adalah partai mendiang ayahnya sedang pihak yang lain
adalah golongan mendiang ibunya.
Selagi menunggu murid-murid Go Bie yang ketinggalan
di belakang, tiba-tiba Ceng Soe menuding ke arah timur.
“Liok siok lihat!” katanya. “Di sebelah sana terdapat
sejumlah besar musuh yang sedang menunggu untuk
menerjang sewaktu-waktu.”
Boe Kie mengawasi ke arah yang ditunjuk Ceng Soe.
Benar saja, pada jarak beberapa puluh tombak dari
gelanggang pertempuran, terdapat tiga pasukan berkuda,
setiap pasukan terdiri dari seratus orang lebih. Mereka
semua berbaris dengan rapi, siap sedia untuk segera
menerjang.
Pada saat itu kedua belah pihak tengah berperang dengan
kekuatan yang hampir imbang. Kalau ketiga pasukan
berkuda itu menyerbu, orang-orang Khong Tong, Hwa San
dan Koen Loen pasti akan kewalahan. Tapi mengapa
mereka tidak lantas menyerang?
Biat Coat dan Lie Heng heran bercampur kuatir.
“Mengapa mereka belum juga bergerak?” tanya si nenek
kepada Ceng Soe.
Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Entahlah,” jawabnya. “Aku tak dapat menebak.”
Mendadak Coe Jie tertawa geli. “Mengapa kau tak dapat
menebak?” tanyanya, “Bukankah hal itu terang bagaikan
siang?”
Paras muka Ceng Soe berubah merah tapi ia
membungkam. Biat Coat sebenarnya ingin sekali meminta
pendapat Coe Jie tapi ia merasa tak enak untuk membuka
1231
mulut.
Tapi In Lie Heng yang sabar dan luas pengalamannya
berkata, “Aku mohon petunjuk nona.”
“Ketiga pasukan itu mestinya pasukan Peh Bie-kauw,”
terang si nona. “Biarpun Peh Bie-kauw merupakan cabang
dari Mo kauw, tapi pihak Peh Bie telah bentrok dengan
Ciang Kie Soe dari lima bendera Mo kauw. Maka itu,
andaikata kalian dapat membasmi musuh, diam-diam In
Thian Ceng pasti akan merasa girang, sebab dengan
demikian, ia mempunyai kesempatan untuk menduduki
kursi Kauwcoe dari Mo kauw.”
Biat Coat dan Ceng Soe lantas saja tersadar.
“Terima kasih atas petunjuk nona,” kata Boe tong Liok
hiap.
Ketika murid-murid Go Bie sudah menyusul dan mereka
berdiri di belakang Biat Coat.
“Song Siauw hiap,” kata Ceng hie, “Dalam mengatur
barisan, kami tidak menandingi kau. Sekarang kau harus
memimpin kami dan kami akan menaati semua perintah.
Demi kepentingan bersama, jangan kau berlaku sungkan.”
“Liok siok,” kata pemuda itu tergugu, “Mana siauwtit
sanggup menerima kedudukan itu….”
“Sudahlah!” kata Biat Coat. “Jangan rewel dengan
segala adat istiadat kosong.”
Ceng Soe mengangguk dan dengan mata tajam ia
memperhatikan jalannya pertempuran. Ketika itu Koen
Loen-pay berada di atas angin. Pertempuran antara Hwa
San-pay dan Ang Soei-kie kira-kira berimbang, sedang
Khong Tong-pay makin lama jadi makin terdesak.
Rombongan partai itu sudah terkurung oleh orang-orang
1232
Liat Hwee-kie yang mulai membasmi sepuas hati.
“Mari kita terjang Swie kim kie dari tiga arah,” kata
Ceng Soe. “Dengan mengepalai beberapa paman, Soethay
menyerang dari tenggara. Liok siok menyerbu dari barat,
sedangkan Ceng hie Soe siok dan boanpwee sendiri akan
menerjang dari barat daya….”
“Tapi keadaan Koen Loen pay tidak perlu ditolong,”
kata Ceng hie heran. “Yang sedang menghadapi bencana
adalah Khong Tong-pay.”
“Koen loen-pay sudah berada di atas angin dan jika kita
membantu, dalam sekejap kita akan dapat membasmi
seluruh Swie Kim-kie,” terang Ceng Soe. “Sesudah Swie
kim-kie dikalahkan kedua bendera yang lain pasti akan
mundur sendirinya. Sebaliknya, kalau kita menolong
Khong Tong, kita harus melakukan pertempuran yang
hebat dan lama. Bagaimana kalau dengan kesempatan itu,
Peh Bie-kauw menyerbu dan mengurung dari berbagai
jurusan?”
“Song siauw hiap benar,” kata Ceng hie yang lantas saja
membagi murid-murid Go Bie menjadi tiga rombongan.
Sambil menarik kereta salju Boe Kie, Coe Jie berkata,
“Mari kita berangkat sekarang.”
Keberangkatan mereka diliaht Song Ceng Soe yang
lantas saja mengejar. Sambil menghadang di tengah jalan
dengan melintangkan pedangnya, ia membentak, “Nona,
jangan pergi dulu!”
“Mengapa kau mencegat kami?” tanya si nona.
“Asal usulmu sangat mengherankan, kau tak bisa pergi
begitu saja,” jawabnya.
“Ada sangkut pautkah asal usulku dengan pribadimu?”
1233
tanya Coe Jie dengan suara tawar.
Biat Coat yang ingin menerjang musuh selekas mungkin
jadi sangat tidak sabaran dan dengan sekali sekelebat, ia
sudah berhadapan dengan Coe Jie. Hampir berbareng ia
menotok jalan darah si nona di bagian punggung, pinggang
dan betis. Tanpa bisa melawan Coe Jie roboh di pasir.
Sesudah itu, seraya mengibas pedangnya si nenek
berteriak, “Hari ini kita membuka larangan membunuh
untuk membasmi bersih kawanan siluman!” Bersama In Lie
Heng dan Ceng hie yang masing-masing memimpin
rombongan murid Go Bie, ia dalam pertempuran melawan
Swie Kim-ke dibawah pimpinan Ho Thay Cong dan Pan
Siok Ham, rombongan Koen Loen-pay sudah berada di atas
angin. Maka itu penyerbuan Go Bie dan Boe Tong sudah
segera menghancurkan garis pembelaan Swie Kim-kie.
Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi, Biat Coat
mengamuk bagaikan harimau gila. Tak seorangpun dapat
melawan dalam tiga jurus. Ia menerjang berputar-putar,
pedangnya berkelabat kian kemari dan dalam sekejap, tujuh
anggota Mo kauw sudah binasa dibawah pedangnya.
Melihat kehebatan si nenek, Ciang Kie Soe dari Swie
Kim-kie Chung Ceng namanya, segera menghampiri sambil
memutar toya Long gee pang (toya bergigi serigala).
Sekarang barulah Biat Coat tertahan. Sesudah bertanding
belasan jurus seraya menggertak gigi, nenek itu segera
mencecar musuhnya dengna jurus-jurus Go Bie Kiam hoat
yang makin lama jadi makin gencar. Tapi Chung Ceng
bukan orang sembarangan. Sedikitnya sementara waktu, ia
masih dapat melayani pemimpin Go Bie-pay itu.
Banyak jago yang berkepandaian tinggi, tapi dalam
menghadapi In Lie Heng, Ceng Hie, Song Ceng Soe, Ho
Thay Ciong dan Pan Siok Hem yang ahli-ahli silat kelas
1234
utama, mereka tidak bisa berbuat banyak. Dalam beberapa
saat saja, banyak anggota Mo kauw roboh tanpa bernafas.
Melihat kerusakan pada pihaknya bagaikan orang kalap,
Chung Ceng mengirim tiga pukulan berantai sehingga mau
tak mau Biat Coat terpaksa mundur selangkah. Chung Ceng
mendesak dan mengirim pukulan ke-empat ke arah batok
kepala si nenek Biat Coat seraya menotok toya musuh
dengan jurus Soen-soei Toei couw (dengan mengikuti aliran
air, mendorong perahu). Diluar dugaan, pemimpin Swie
Kim-kie itu memiliki Lweekang dan Gwakang yang sangat
tinggi. Melihat sambaran pedang musuh, sambil
membentak keras ia melawan dengan toyanya.
“Prak!” pedang Biat Coat patah jadi tiga potong.
Meskipun kaget, selangkahpun si nenek tidak mundur.
Tangan kanannya meraba ke belakang dan menghunus Ie
Thian Kiam dan bukan saja membabat putus Long nge
pang, tapi juga membabat somplak sebagian batok kepala
Chung Ceng, yang segera roboh tanpa bersuara lagi.
Bukan main kagetnya para anggota Swie Kim-kie. Tapi
dilain saat, segera bertindak keras, dia mengamuk. Biat
Coat dan Ceng Soe semula menduga, bahwa begitu Chung
Ceng dapat dirobohkan, pasukan Swie Kim-kie akan lari
lintang pukang dan pasukan Ang Soei serta Liat Hwee pun
akan mengundurkan diri. Tak disangka, sebaliknya
daripada kabur, mereka sekarang berkelahi dengan nekat.
Dalam sekejap murid-murid Koen Loen dan Go Bie sudah
menjadi korban.
Tiba-tiba terdengar teriakan pasukan Ang Soei-kie,
“Chung Kie soe telah berpulang ke alam baka. Swie Kim
dan Liat Hwee mundur! Ang Soei-kie melindungi diri dari
belakang!”
Hampir berbarengan dengan teriakan itu, pasukan Liat
1235
Hwee-kie mulai bergerak mundur ke arah barat, tapi orangorang
Swie Kim-kie masih terus bertempur.
Orang itu berteriak pula, “Ini adalah perintah dari Ang
Soei-kie. Para anggota Swie Kim-kie mundurlah! Usaha
membalas sakit hati Chung Kie soe dapat dilaksanakan di
hari nanti.”
“Saudara-saudara Ang Soei-kie mundurlah!” seorang
Swie Kim-kie balas berteriak. “Tolong balas sakit hati kami.
Tapi kami ingin hidup dan mati bersama-sama Chung Kie
soe.”
Mendadak dari pasukan Ang Soei-kie muncul sehelai
bendera hitam dan seseorang berteriak dengan suara
lantang, “Saudara-saudara Swie Kim-kie, Ang Soei-kie pasti
akan membalas sakit hatimu.”
Waktu itu, sisa pasukan Swie Kim-kie hanya tinggal kirakira
tujuh puluh orang saja. Dengan serentak ia berteriak,
“Thung Kie soe terima kasih!”
Bendera-bendera Ang Soei-kie segera bergerak dan
pasukan itu mulai mundur ke arah barat, dengan dilindungi
oleh kira-kira dua puluh orang yang memegang bumbung
yang mengeluarkan cahaya keemasan. Melihat gerakan
yang mundur rapi itu, orang-orang Hwa San dan Khong
Tong tak berani mengubar dan mereka lalu bantu
mengepung sisa Swie Kim-kie.
Dengan dikurung oleh rombongan lima partai Koen
Loen, Go Bie, Boe Tong, Hwa San dan Khong Tong, sisa
pasukan itu tinggal menunggu ajalnya saja. Tapi demi
persaudaraan, sedikitpun mereka tak gentar. Mereka terus
melawan dengan tekad untuk binasa bersama-sama
pemimpinnya.
Sesudah merobohkan beberapa musuh, In Lie Heng
1236
merasa sangat tidak tega. “Siluman-siluman Swie Kim-kie
dengarlah!” teriaknya. “Jalan kamu hanya jalan mati.
Lemparkanlah senjatamu! Kami akan mengampuni
jiwamu.”
“Ciang kie Hoe soe (wakil pemimpin) Swie Kim-kie
tertawa terbahak-bahak. “Ha…ha…ha…Kau terlalu
memandang rendah Beng kauw,” katanya. “Sesudah Tong
Chung Toako binasa, bagaimana kami bisa hidup terus?”
“Saudara-saudara Koen Loen, Go Bie, Hwa San dan
Khong Tong, mundurlah sepuluh langkah!” teriak In Lie
Heng lagi. “Berikan kesempatan supaya mereka bisa
menyerah.”
Semua orang kecuali Biat Coat, segera saja
mengundurkan diri. Si nenek yang sangat benci Mo kauw
tidak meladeni dan terus membasmi sepuas hati. Di mana
Ie Thian Kiam berkelabat, di situ tentu ada senjata putus
atau manusia roboh. Melihat guru mereka menyerang terus,
murid-murid Go Bie lantas saja maju kembali, sehingga
dalam gelanggang pertempuran terjadi perubahan yaitu Go
Bie-pay bertempur sendirian dengan Swie Kim-kie.
Kekuatan Swie Kim-kie masih ada enam puluh orang
lebih dan jago-jago yang berkepandaian tinggi, sedikitnya
masih ada dua puluh orang lebih, sehingga dengan begitu,
dibawah pimpinan Ciang kie Hoe soe, Hoew Kin Coe,
jumlah mereka masih lima kali lipat lebih banyak daripada
belasan orang Go Bie-pay. Seharusnya dengan lima lawan
satu, pihak Swie Kim-kie berada di atas angin. Tapi Biat
Coat hebat luar biasa dan Ie Thian Kiam merupakan
senjata terhebat pada jaman itu, maka dalam sekejap tujuh
delapan anggota Swie Kim-kie sudah roboh lagi tanpa
bernyawa.
Boe Kie merasa sangat tidak tega. Sambil berpaling ke
1237
Coe Jie, ia berkata, “Ayolah kita pergi.” Ia mengangsurkan
tangannya untuk membuka jalan darah si nona yang ditotok
Biat Coat. Tapi sesudah menotok beberapa kali, jalan darah
Coe Jie masih belum juga terbuka. Ternyata Biat Coat
memiliki ilmu Lweekang yang sangat tinggi, maka
totokannya masuk sangat dalam sehingga meskipun usaha
Boe Kie dilakukan menurut cara yang tepat, jalan darah
Coe Jie tak bisa terbuka dengan segera.
Sambil menghela nafas Boe Kie mengawasi jalannya
pertempuran. Ketika itu, sisa pasukan Swie Kim-kie yang
berjumlah beberapa puluh orang sudah tak bersenjata lagi.
Senjata mereka telah diputuskan si nenek. Tapi karena
dikurung rapat oleh rombongan partai dan juga mereka
tidak berniat untuk melarikan diri, maka dengan tangan
kosong mereka meneruskan perlawanan terhadap muridmurid
Go Bie.
Sebagai seorang yang berkedudukan sangat tinggi, Biat
Coat sungkan menggunakan senjata terhadap musuh yang
sudah tak bersenjata. Di lain saat, tubuhnya berkelabat dan
jari tangannya menyambar-nyambar dan dalam sekejap
lima puluh lebih anggota Swie Kim-kie sudah berdiri tegak
seperti patung dengan jalan darah tertotok. Melihat
kepandaian si nenek yang luar biasa semua orang bersoraksorai.
Fajar menyingsing, tiba-tiba di sebelah tenggara dan
barat laut terlihat bayangan-bayangan manusia yang
bergerak mendekati. Mereka adalah orang-orang Peh Bie
kauw. Selagi Go Bie bertempur dengan Swie Kim-kie,
dengan rasa kuatir, Song Ceng Soe terus memperhatikan
gerak-gerik Peh Bie kauw. Kini mereka mulai mendaekati
tapi dalam jarak kira-kira dua puluh tombak, mereka
berhenti lagi.
“A Goe Koko, kita harus cepat pergi,” kata Coe Jie.
1238
“Celaka benar bila kita jatuh ke tangan Peh Bie kauw.”
Tapi, di dalam hati pemuda itu terdapat semacam
perasaan yang tak bisa dilukiskan terhadap Peh Bie kauw.
Pihak itu adalah pihak mendiang ibunya, tapi ia sendiri
belum pernah bertemu dengan orang Peh Bie kauw. Setiap
ingat mendiang ibunya, ia selalu berkata di dalam hati,
“Aku tak bisa bertemu lagi dengan ibu. Kapankah aku bisa
bertemu dengan kakek dan paman?” Dan kini mereka
berada begitu dekat dengan dirinya. “Ah, biar
bagaimanapun juga aku harus melihat, apakah kakek dan
paman berada dalam pasukan itu,” katanya di dalam hati.
Sementara itu Song Ceng Soe mendekati Biat Coat.
“Cian pwee,” katanya, “Cepatlah mengambil keputusan
terhadap orang-orang Swie Kim-kie supaya kita bisa segera
menghadapi Peh Bie kauw.”
Si nenek mengangguk. Waktu itu matahari pagi sudah
mulai memancarkan sinarnya yang gilang gemilang.
Bayangan Biat Coat yang tinggi besar yang terpeta di pasir
kuning kelihatan angker sekali, tapi dalam keangkeran itu
terasa sesuatu yang menyedihkan. Dalam kebenciannya
terhadap Mo kauw, si nenek ingin sekali meruntuhkan
semangat orang-orang itu. Maka itu, ia lantas saja
membentak, “Hei, orang-orang Mo kauw! Kamu dengarlah.
Siapa yang masih ingin hidup bisa mendapatkan
pengampunan asal saja meminta ampun.”
Tapi pengumuman itu dijawab dengan gelak tawa.
“Tertawa apa kamu?” bentak Biat Coat dengan gusar.
“Dengan Chung Toako kami ingin hidup dan mati
bersama-sama!” teriak Ciang kie Hoe soe, Gouw Kin Co.
“Kau jangan banyak rewel, cepat ambil jiwa kami.”
Si nenek mengeluarkan suara di hidung, “Baikalh,”
1239
katanya. “Tapi kau jangan mimpi bahwa kau bisa mampus
dengan enak.” Seraya berkata begitu ia membabat putus
lengan orang itu.
Gouw Kin Co tertawa terbahak-bahak. “Beng kauw
mewakili langit menjalankan keadilan, membereskan dunia
menolong rakyat dan kami menganggap bahwa hidup atau
mati tiada bedanya,” katanya dengan suara nyaring.
“Bangsat tua, jika kau mengharap takluknya kami maka
seperti mimpi di siang bolong!”
Biat Coat menjadi makin gusar. Ie Thian Kiam
menyambar tiga kali dan tiga orang putus lengannya.
“Bagaimana kau?” tanyanya pada orang yang kelima. “Apa
kau mau minta ampun?”
“Tutup mulutmu!” bentak orang itu sambil tertawa.
Kali ini sebelum gurunya bergerak, Ceng hie sudah
melompat mendahului dan memutuskan lengan kanan
orang itu dengan pedangnya. “Soehoe, biarlah teecoe saja
yang menghukum siluman-siluman itu,” katanya. Dengan
beruntun ia menanyai beberapa musuh tapi tak satupun
yang sudi menyerah. Sesudah membabat putus lengan
beberapa orang ia berpaling kepada gurunya seraya berkata,
“Soehoe, mereka sangat keras kepala….” Dengan berkata
begitu, ia mengharapkan belas kasihan Biat Coat.
Tapi si nenek tidak memperdulikan suara memohon dari
muridnya itu. “Putuskan lengan kanan semua siluman itu!”
bentaknya. “Kalau mereka masih belum mengenal takut,
putuskan lengan kirinya.”
Ceng hie tak berdaya. Ia kembali mengangkat pedang
dan memutuskan pula beberapa lengan.
Sampai disitu Boe Kie tak dapat menahan dirinya lagi. Ia
melompat dari kereta salju dan menghadang di depan Ceng
1240
hie. “Tahan!” bentaknya.
Semua orang terkejut begitu juga Ceng hie yang langsung
mundur selangkah. “Apa kau tak malu sudah menyakiti
sesama manusia secara begitu kejam?” teriak Boe Kie
dengan suara terengah.
Semua orang kaget tetapi sesudah melihat pakaian Boe
Kie yang compang-camping mereka tertawa.
Sesudah tertawa dengan nyaring, Ceng hie berkata,
“Semua orang ingin membinasakan kawanan siluman yang
sesat. Dalam hal ini tak ada soal kejam atau tidak kejam.”
“Para cian pwee dan toako ini adalah orang-orang yang
berkepribadian luhur dan tidak takut mati,” kata Boe Kie.
“Sikap mereka sikap ksatria tulen. Bagaimana kau bisa
menganggap mereka sebagai kawanan siluman yang sesat?”
“Apa kawanan Mo kauw bukan siluman?” tanya Ceng
hie dengan gusar. “Dengan matamu sendiri kau telah
menyaksikan bagaimana Ceng-ek Hong-ong membunuh
manusia dan menghisap darahnya. Dia sudah membunuh
soate dan soemayku. Kalau itu bukan siluman apa yang
bisa dinamakan siluman?”
“Ceng-ek Hok-ong hanya membunuh dua orang tapi
kamu sudah membinasakan sepuluh kali dua orang,” kata
Boe Kie. “Dia menggunakan gigi, gurumu menggunakan Ie
Thian Kiam. Dia membunuh, gurumupun membunuh. Apa
bedanya?”
Ceng hie emosi, “Bocah!” bentaknya. “Kau berani
menyamakan guruku dengan siluman?” Seraya membentak
ia memukul Boe Kie dengan telapak tangannya.
Dengan cepat pemuda itu berkelit. Tapi Ceng hie adalah
murid kepala Go Bie-pay yang memiliki kepandaian yang
tinggi. Pukulan yang ditujukan ke muka Boe Kie hanya
1241
pukulan gertakan dan begitu cepat pemuda itu berkelit, kaki
kirinya sudah menendang dada. “Duk…” Sesosok tubuh
terpental beberapa tombak jauhnya, tapi tubuh itu tubuh
Ceng hie yang telah patah tulang betisnya.
Dalam ilmu silat Boe Kie memang kalah jauh dari Ceng
hie. Tapi ia memiliki Kioe-yang Sin-kang yang keluar secara
wajar, jika ia diserang orang. Makin berat serangan itu
makin hebat tenaga menolak dari Kioe-yang Sin-kang.
Untung juga, waktu menendang Ceng hie tidak berniat
mengambil jiwa Boe Kie dan hanya menggunakan separuh
tenaganya. Maka itu walaupun tulangnya patah ia tidak
mendapat luka berat.
Semua orang termasuk Biat Coat, terkesiap. “Siapa dia?”
tanya si nenek di dalam hati. “Selama beberapa hari aku
tidak memperhatikan dia dan tak disangka dia seorang yang
berkepandaian tinggi. Aku sendiripun belum tentu bisa
melemparkan Ceng hie dengan cara begitu. Dalam dunia
mungkin Thio Sam Hong yang memiliki Lweekang
sedemikian dahsyat.”
Biat Coat adalah manusia yang beradat aneh, keras dan
kejam. Ia tidak berani memandang rendah kepada Boe Kie,
tapi saat itu juga ia segera mengambil keputusan untuk
mengadu jiwa dengan pemuda itu. Dengan sorot mata
tajam ia mengawasi Boe Kie dari kepala sampai kaki.
Tapi pemuda itu tidak menghiraukan karena ia sedang
repot menolang orang Swie Kim-kie. Dengan cepat ia
menotok jalan darah mereka dan sesudah ditotok darah
yang mengalir keluar dari lengan yang putus segera
berkurang. Di antara orang-orang itu terdapat banyak ahli
ilmu totok, tapi tak satupun mengenal ilmunya Boe Kie
yang lain dari yang lain.
“Terima kasih atas pertolongan Siauw hiap,” kata Gauw
1242
Kin Co. “Bolehkah aku mengetahui she dan nama Siauw
hiap yang mulia?”
“Aku she can namaku A Goe,” jawabnya.
“Bocah kemari,” bentak Biat Coat dengan suara dingin,
“Sambutlah tiga seranganku.”
“Tunggu dulu,” kata Boe Kie seraya membalut luka
korban yang terakhir. Sesudah selesai, barulah ia
menghampiri si nenak dan berkata seraya merapatkan
kedua tangannya, “Biat Coat Soethay, aku bukan
tandinganmu. Aku sama sekali tak berniat untuk bertanding
sama Loo jinke (panggilan menghormati untuk seorang
yang tua). Aku hanya berharap supaya kedua belah pihak
menghentikan pertempuran dan mengadakan perdamaian.”
Ia bicara sungguh-sungguh dengan nada memohon.
Dalam hatinya ia mencintai kedua belah pihak itu, karena
pihak yang satu adalah pihak mendiang ayahnya sedang
pihak yang lain adalah golongan mendiang ibunya.
Biat Coat tertawa dingin, “Apakah kami harus
menghentikan pertempuran atas perintahmu, bocah bau?”
katanya. “Apakah kau seorang Boe-lim Cie-coen?” (Boe-lim
Cie-coen adalah seorang yang termulia dalam dunia
persilatan)
Boe Kie terkejut, “Apa artinya perkataan Soethay!”
tanyanya.
“Andaikan dalam tanganmu memegang golok To Liong
To, kau masih harus melawan Ie Thian Kiam-ku untuk
menentukan siapa menang siapa kalah,” kata si nenek.
“Sesudah kau menjadi Cie-coen dalam dunia persilatan,
barulah kau boleh memerintah di kolong langit.”
Mendengar ejekan sang guru semua murid Go Bie
tertawa geli.
1243
Boe Kie kaget dan ia segera berpikir, “Apakah tujuan
orang-orang dunia persilatan yang mencari ayah angkatku
hanyalah untuk merampas To Liong To? Apakah mereka
hanya bermaksud untuk menjadi yang termulia dalam
dunia persilatan agar bisa memerintah di kolong langit?”
Selagi berpikir begitu, murid-murid Go Bie masih belum
berhenti tertawa.
Sebagai seorang muda yang tak mempunyai nama,
memang juga tak pantas Boe Kie mengatakan
“mengharapkan kedua belah pihak menghentikan
pertempuran”. Mendengar suara tawa orang, paras
mukanya lantas saja berubah merah.
Ia menengok dan di antara murid-murid Go Bie, ia
melihat Cioe Cie Jiak yang tengah mengawasinya dengan
sorot mata kagum dan menganjurkan, sehingga
semangatnya lantas saja bangkit, “Mengapa kau mau
membunuh begitu banyak orang?” katanya. “Setiap orang
mempunyai ayah ibu, istri dan anak. Jika kau membunuh
mereka, anak-anak mereka akan jadi yatim piatu, yang
tentu akan dihina orang. Kau adalah seorang pertapa yang
menyucikan diri. Dengan melakukan pembunuhan itu,
apakah di dalam hati kau bisa merasa tenteram?” Waktu
mengatakan kata-kata itu, suaranya bersungguh-sungguh
dan mengharukan karena ia ingat akan nasibnya sendiri
yang sejak kecil sudah ditinggal oleh orang tua.
Paras muka nona Cioe berubah pucat dan kedua
matanya mengambang air.
Tapi muka Biat Coat sekalipun tak berubah. Ia adalah
seorang manusia yang tidak pernah atau sedikitpun jarang
memperlihatkan perasaan hatinya pada paras mukanya.
Waktu ia membuka mulut suaranya tetap dingin bagaikan
es. “Bocah, apakah aku masih perlu dinasehati olehmu?
1244
Dengan mengandalkan tenaga dalammu yang kuat, kau
membacot di sini. Baiklah, jika kau bisa menerima tiga
pukulanku aku akan melepaskan manusia-manusia itu.”
“Mana berani aku bertanding dengan Soethay?” kata Boe
Kie, “Aku hanya mengharap supaya Soethay suka menaruh
belas kasihan.”
“Can Siangkong, tak usah banyak bicara dengan bangsat
tua itu!” teriak Gouw Kin Co. “Kami lebih suka mampus
daripada menerima belas kasihannya yang diliputi
kepalsuan.”
Biatcoat mengawasi Bie Kie dengan sroto mata tajam.
“Siapa gurumu?” tanyanya.
Goe Kie berpikir sejenak. “Ayah dan ayah angkatku
pernah mengajar ilmu silat kepadaku tapi mereka bukan
guruku,” katanya didalam hati. Maka itu, ia lantas saja
menjawab, “Aku tidak punya guru.”
Jawaban itu mengejutkan semua orang. Dalam Rimba
Persilatan, seorang guru sangat dihormati. ADalah lumarh
jika seorang murid tidak mau menyebutkan nama gurunya,
tapi tak mungkin terjadi bahwa seoran gyan gmempuynya
guru mmengatakan tak punya guru. Makau itu kalau Boe
Kie mengatakan tak punya guru, ia pasti tak punya guru.
Sekarang Biatcoat tak mau banyak omong lagi.
“Sambutlah!” katanya seraya menepuk dengan tangannya.
Boe Kie tidak bisa tidak melawan. Sambil mengerahkan
Lweekang, ia mendorong dengna kedua tangannya untuk
menyambut pukulan si nenek. Mendadak Biatcoat
menundukkan tangannya dan bagaikan seorang ikan kecil,
tangan itu melejit dari sambutan Boe Koe. Akan kemudian
bagaikan kilat, menyambar kedada pemuda itu. Dalam
kagetnya, tenaga Kioe-yang Sin kang dalam tubung Boe Kie
1245
keluar secara wajar. Pada detik kedua tenaga hampir
beradu, tenaga pukulan Biatcoat mendadak menghilang.
Dengan tercengang Boe Kie mengawasi si nenek. Pada saat
itulah, mendadak ia merasa dadanya seperti dipukul martil,
kakinya bergoyang dan ia berjumpalitan beberapa kali.
“Uah!” ia memuntahkan darah dan roboh.
Tenaga pukulan Biatcoat yang sebentar ada dan sebentar
hilang, sungguh2 merupakan ilmu yag sudah mencapai
puncak kesempurnaan. Tanpa merasa, dengan serentak
semua orang bersorak sorai.
Sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati Coe Jie
melompat dan berlari2 menghampiri “AGoe Koko, kau…
kau… “ katanya seraya coba membangunkannya.
“Boe Kie merasa dadanya menyesak. Ia
menggoyang2kan tangannya dan kemudian berkaa dengan
suara perlahan. “Jangan kuatir, aku tak mati.” Perlahan2 ia
merangkak bangun.
Biatcoat menengok pada tiga murid perempuannya dan
berkata “Putuskan lengan kanan semua siluman itu!”
“Baik,” jawab mereka seraya bertindak kearah orang2
Swie Kim Kie.
“Biatcoat Soethay,” kata Boe Kie tergesa2.
“Kau mengatakan, jika aku… aku bias menerima tiga
pukulanmu, kau akan melepaskan mereka. Aku sduah
menerima pukulan pertama… masih ada dua.”
Sesudah mengirim pukulan yang barusan, si nenek
mengetahui, bahwa Lweekang Boe Kie bukan saja bukan
Lweekang dari golongan Mo kauw, malah hampir sama
dengan Lweekangnya sendiri. Ia juga tahu, bahwa biarpun
ia mencoba melindungi orang2 Mo Kauw, Boe Kie bukan
anggota “Agama” itu. Maka itu, ia lantas saja berkata.
1246
“Anak muda! Jangan kau coba mengurus urusan orang lain.
Lurus dan sesat harus dibedakan sejelas2nya. Barusan aku
hanya menggunakan sepertiga bagian tenagaku. Apa kau
tahu?”
Boe Kie yakin, bahwa sebagai Ciangboenjin Biat Coat
tentu tidak berdusta. Tapi ia sudah mengambil keputusan,
bahwa biarpun mesti mati, ia tak bias mengawasi
penyembelihan terhadap orang2 Mo Kaouw sambil
berpeluk tangan. “Dengan tidak mengimbangi tenaga
sendiri, biarlah aku menerima dua pukulan lagi,” katanya.
Boe Kie tidak menghiraukan dan segera berkata pula,
“Biatcoat Soethay….” Tapi ia hanya dapat mengeluarkan
empat perkataan itu, karena mendadak Ia memuntahkan
darah lagi.
Coe Jie bingung bukan main. Tiba2 ia bangun berdiri
dan coba memapah pemuda itu. Tapi dilain saat, kedua
ulunya lemas kembali dan ia jatuh pula dipasir. Ternyata,
walaupun “hiat” yang ditotok oleh Biatcoat sudah dibuka
Boe Kie, tapi darahnya belum mengalir biasa. Sekarang
melihat pemuda itu terluka, dalam kagetnya ia dapat berdiri
dan bergerak. Kejadian itu bersamaan sebab musababnya
dengan seorang lumpuh, yang dalam kebakaran mendadak
bias lari cepat. Tapi semangat dan tenaga Coe Jie yang luar
biasa hanya keluar untuk sementara waktu.
Dengan rasa mendongkol Biatcoat menghampiri si nona
yang dianggapnya rewel. Ia mengimbas tangan jubahnya
dan tubuh Coe Jie terapung kebelakang. Cioe Cie Jiak yang
berdiri di sebelah belakang buru2 menyangga badan si nona
dengan kedua tangannya dan kemudia, perlahan2
menaruhnya di atas pasir.
“Ceoi cie cie,” kata Coe Jie, “cobalah bujuk supaya dia
jangan menerima kedua pukulan lagi. Ia akan menurut apa
1247
yang kau katakan.”
“Bagaimana kau tahu dia akah menurut?”” tanyanya
nona Cioe dengan heran.
“Dia suka kepadamu,” jawabnya. “Apakah kau tak tau?”
Paras muka Cie Jiak lantas saja bersemu dadu.
“Mana bias jadi!” katanya, kemalu2an.
Sementara itu sudah terdengar suara Biao coat yg
menyeramkan. “Kau sendiri yang cari mati dan kau tak
boleh menyalahkan aku”. Seraya berkata begitu, ia
mengangkat tangan kanan nya dan menghantam dada Boe
Kie.
Pemuda itu tak berani menangkis. Bagaikan kilat ia
mengengos. Si nenek tiba2 menekuk sedikit sikunya dan
dari sudut yang tidak diduga2, telapak tangannya
menyambar punggung Boe Kie. “Plak!” dan tubuh pemuda
(??? Tidak terbaca)
Boe Kie roboh tanpa berkutik lagi, seolah2 ia sudah
putus jiwa. Pukulan Biatcoat sebenarnya pukulan yang lihai
luar biasa dan menurut partai kawan2nya dari lain lan
partai harus bersorak sorai untuk memujinya. Tetapi semua
orang berdiam seperti patung, karena didalam hati, mereka
merasa kasihan dan kagum terhadap pemuda itu yang telah
mengunjuk perbuatan seorang kesatria.
“Coe ciecie,” kata Coe Jie dengan suara parau, “aku
memohon… memohon… lihat… lihat… lukanya!”
Jantung nona Cioe memukul keras. Permintaan itu
diajukan dengan meratap dan didalam hati, ia ingin sekali
memenuhinya. Akan tetapi mana ia berani? Kalau ia
menolong Boe Kie, berarti ia tidak mengindahkan guru
sendiri. Kakinya sudah melangkah, tetapi di tarik lagi.
1248
Beberapa saat kemudian, perlahan lahan tubuh pemuda
itu bergerak dan kemudian, ia mencoba untuk berduduk.
Tapi setelah beberapa detik mengandalkan sikutnya di pasir
kuning, tenaganya habis dan ia terus roboh kembali.
Ketika itu,matahari sudah memancarkan sinarnya yang
gilang gemilang dan semua orang bisa melihat bahwa Boe
Kie seolah tidur dikobakan darah.
Pemuda itu berada dalam keadaan lupa ingat. Tanpa
bergerak ia rebah dan ingin sekali bisa rebah disitu untuk
selama lamanya. Tapi sayup2 ia ingat, bahwa untuk
menolong orang2 Swie Kim Kie, ia maish haru smenerima
satu pukulan lagi. Sesaat kemudian, ia menarik napas
dalam2 dan dengan dorongan tenaga kemauan yg tiada
taranya tiba2 ia teruduk! Tapi badannya lantas saja
bergemetaran dan setiap detik, ia bisa roboh kembali.
Semua orang mengawasi dengan mata membelak.
Disekitar itu terdapat ratusan manusia. Tapi keadaan
sunyi senyap bagaikan kuburan dan andaikata sebatang
jarum ditanah, suaranya munkgin dapat didengar orang.
Dalam susunan itulah dalam otak Boe Kie mendadak
berkelebat beberapa baris perkataan dalam Kioe yang Cing
Keng yang berbunyi begini:
“Dia kuat, biarlah dia kuat,
Angin sejuk meniup bukit,
Dia ganas, biarlah dia ganas,
Bulan terang menyoroti sungai.”
Sebegitu jauh, semenjak meninggalkan lembah itu ia
belum pernah bisa menangkap artinya perkata2an itu.
Sekarang, dalam menghadapi kekuatan dan keganasan Biat
coat yang sama sekali bukan tandingannya, sekonyong2
1249
otaknya seperti dapat menangkap arti daripada perkataan2
itu, yang seperti juga ingin mengunjuk, bahwa tak perduli
bagaimana kuat dan ganasnya musuh, kita selalu dapat
menganggapnya seperti angin yang meniup bukit atau
rembulan yang memancarkan sinarnya diatas sungai. Angin
dan rembulan itu takkan bisa mencelakai kita.
Tapi bagaimana? Bagaimana kita harus berhubungan
sehingga kekuatan dan keganasan itu tidak menolakan kita?
Perkataan selanjutnya dalam Kioe yang Cia Keng adalah
seperti berikut.
Biar dia ganas
Biar dia jahat
Bagiku cukuplah jika aku sekali menyedot hawa tulen!
Hawa tulen!
Sekarang Boe Kie tersadar. Baru2 ia bersila dan sesuai
dengan ajaran kitab itu, ia menjalankan pernapasan dan
mengalirkan hawa “tulen” seluruh tubuhnya.
Dalam sekejap, ia merasa semacam hawa panas muncul
dibagian “tian2” (pusar) dan hawa tulen mengalir terputar
putar diseluruh tubuhnya, terus sampai ketangan dan kaki.
Ia kagum bukan main. Baru sekarang ia tahu hebatnya
ajaran Kioe yang Cin Keng. Ia mendapat luka berat, tapi
tanaga dalam dan hawa “tulen” yang berada dalam
tubuhnya sedikitpun tak berubah.
Hiat coat terus memperhatikan garak gerik pemuda itu
dengan perasaan heran. Ia mengerti, bahwa Boe Kie benar2
kuat dan alot. Pukulannya yg pertama adalah salah satu
pukulan dari Piauw soat Coan in ciang (pukulan salju
melayang menembus awan). Pukulan kedua lebih liehay
lagi yaitu Ciat chioe Kioe-sit dan yang telah digunakan
1250
olehnya adalah jurus ketiga. Kedua pukulan itu yalah
pukulan2 terhebat dari ilmu silat Go Bie pay. Dalam
pukulan pertama ia hanya menggunakan tiga barisan
tenaga. Menurut perhitungannya, biarpun tidak mati, Boe
Kie akan terluka berat dan patah tulang. Tapi tak dinyana,
sesudah rebah beberapa saat, ia bisa duduk lagi (Ciat Chioe
Kio sit).
Pukulan yang memutuskan terdiri dari sembilan jurus.
Menurut perhitungan pie boe (adu silat) dalam Rimba
Persilatan, Biat coat sebenarnya boleh tidak usah menunggu
sampai Boe Kie menjalankan pernapasannya untuk
mengobati luka. Tapi sebagai orang tua yang berdudukan
tinggi, ia merasa malu untuk turun tangan selagi lawan nya
yang masih muda belia berada dalam bahaya.
Tapi Teng Bie Koen merasa tidak sabaran lantas saja
berteriak, “Hie orang she Can! Jika kau tak berani
menerima pukulan ketiga dari guruku, lebih baik kau lekas
lekas berlalu dari sini. Apakah karat mesti menggu kau
seumur hidup disini?”
“Teng Soe cie, biarlah ia mengaso lebih lama sedikit,”
kata Cioe Cie Jiak dengan suara pelan.
Si perempuan she Tang lantas saja jadi gusar. “E!”
bentaknya “Apa…. Apa kau mau melindungi orang luar?
Apa karena melihat bocah itu…” Ia sebenarnya ingin
mengatakan “apa karena melihat bocah itu tampan
mukanya kau jadi menuju padanya,” tapi mendadak ia
ingat, bahwa dihadapan begitu banyak orang dari berbagai
partai, tidaklah pantas ia mengeluarkan kata2 sekasar itu.
Maka itu, perkataannya putus di tengah jalan. Tapi tentu
saja semua orang mengerti, apa yang ia mau mengatakan.
Cioe Cie Jiak malu bercampur gusar, sehingga mukanya
berubah pucat, “Siaowmoay berakta begitu karena
1251
mengingat keangkeran partai dan guru kita,” katanya
dengan tawar. “Siauwmoay tak mau orang luar berbicara
yang tidak2.”
“Tidak, tidak apa?” bentak sang kakak.
“Ilmu silat partai kita tersohor dikolong langit dan guru
kita seorang cian pwee yg berkedudukan sangat tinggi,”
jawabnya dengan bernapsu. “Maka itu, guru kita pasti tidak
boleh mempunyai pandangan ygn bersamaan dengan
seorang bocah. Hanyalah karena dia sangat kurang ajar,
maka guru kita sudah memberi ajaran kepadanya. Apa
Soecie menduga SoeHoe benar2 mau mengambil jiwa
bocah itu? Selama kurang lebih seratus tahun, partai kita
dikenal sebagai parai dari para ksatria. Guru kita dikagumi
orang berkata kesatriaannya dan kemudian hatinya yang
selamanya bersedia untuk memotong sesama manusia.
Bocah itu adalah seperti api lilin, sehingga cara bagaimana
dia dapat menandingi matahari dan rembulan. Biarpun dia
berlatih seabad lagi, dia masih belum tentu bisa menandingi
guru kita. Maka itu, apa jahatnya jika kita membiarkan dia
mengaso terlebih lama?”
Indah sungguh pembelaan nona Cioe!
Semua orang manggut2, sedang orang yg plg bergirang
adalah Biat Coat sendiri. Ia merasa, bahwa murid yg kecil
itu sudah mengangkat baik nama Go bie pay dihadapan
orang banyak.
Sesudah hawa “tulen” mengalir disekujur badannya,
tenaga Boe Kie pulih kembali, semangatnya terbangun dan
otaknya terang lagi. Setiap perkataan nona Cioe didengar
jelas olehnya dan ia merasa sangat berterima kasih, karena
tahu bahwa dengan berkata begitu, si nona coba
menyelamatkan jiwanya. Beberapa saat kemudian ia
bangun berdiri seraya berkata, “Soethay biarlah boanpwe
1252
membuang jiwa dalam menerima pukulan terakhir.”
Tak kepalang herannya si nenek. Ia sungguh tidka
mengerti, cara bagaimana, dengan hanya bersila beberapa
saat tenaga pemuda itu sudah pulih kembali. Apa dia
mempunyai ilmu siluman? Sambil menatap wajah Boe Kie,
ia berkata, “Sekarang kau boleh menyerang aku. Mengapa
kau tidak mau membalas?”
Boe Kie bersenyum getir. “Dengan kepandaian yg tidak
artinya, jubah Soethay saja boanpwee tak akan dapat
menyentuh,” jawabnya. Bagaimana boanpwee bisa
menyerang?”
“Kalau kau tahu, pergilah lekas2,” kata si nenek dengan
suara lebih sabar. “Pemuda yang seperti kau memang suka
dicari tandingannya. Biat coat Soethay sebenarnya tidak
pernah mengampuni orang tpai hair ini aku melanggar
kebiasaan itu.”
Boe Kie membungkuk seaya berkata, “Terima kasih atas
kasihan Cianpwee mengampuni juga saudara2 dari Swie
Kim Kie?”
Kedua alis nenek turun dan ia tertawa dingin. “Kau tahu
apa Hoat Bengku?” tanyanya. (Hoat Beng nama seorang
pendeta).
“Nama Ciapwee yang mulia ialah Biat dan Coat,”
jawabnya. (Biat berarti memusnakan sedang Coat bearti
menumpas atau membinasakan).
“Bagus,” kata si nenek. “Aku bertekad untuk
memusnakan dan menumpas semua kawanan Mokauw.
Apa kau kira “Biat coat” suatu nama kosong?”
“Kalau begitu biarlah Cianpwee mengirim pukulan yang
ketiga kata Boe Kie.”
1253
Si nenek tercengang. Seumur hidup ia belum pernah
bertemu dengan manusia yang begitu nekad dan keras
kepala. Ia sebenarnya seorang berhati dingin. Tapi sekarang
tiba2 ia merasa sayang kalau pemuda gagah seperti Boe Kie
harus mati konyol. Sesudah memikir sejenak ia segera
mengambil keputusan untuk memukul saja di bagian tan
tian supaya pemuda itu pingsan untuk sementara waktu dan
kemudian, sesudah membinasakan orang orang Swe Kim
Kie, ia dapat menolongnya lagi. Memikir begitu ia segera
mengibas tangan kirinya dan bergerak untuk mengirim
pukulan ketiga.
Sekonyong2 dari tempat jauh terdengar teriakan, “Biat
Coat Soethay, tahan!” suara itu tahan luar biasa dan telinga
semua orang merasa tak enak.
Dilain saat seraya menggoyang goyangkan kipas seorang
pria sudah berdiri dihadapan sinenek. Orang itu
mengenakan baju warna putih dna pada tangan baju
sebelah kiri tersulam sebuah hiat-chioe (tangan berlumuran
darah). Waktu berjalan tak sebutir pasirpun naik keatas dan
semua orang lantas saja mengerti, bahwa ia adalah seorang
yang berkedudukan tinggi dalam Peh bie Kauw.
Seragam resmi Peh Bie kauw, sama dengan seragam Mo
Kauw yaitu pakaian warna putih. Perbedaannya ialah kalau
di tangan baju anggauta Mo-kaow terdapat sulaman obor,
anggauta Peh bie kauw menggunakan tanda hiat chioe.
Sambil menyoja orang itu tertawa dan berkata, “Soethay
selamat bertemu. Pukulan ketiga biarlah diterima olehku.”
“Siapa kau?” tanya biat coat.
“Aku she In namaku yang rendah Ya Ong,” jawabnya.
Mendengar nama “In Ya Ong” semua orang terkejut.
Selama kira2 duapuluh tahun, nama itu menggetarkan
1254
dunia Kang ouw. Ayahnya yaitu Peh bie Eng ong In Thian
Cong memusatkan seantero perhatiannya dalam pelajaran
ilmu silat dan mneyerahkan semua urusan Pe bie kauw
kepadanya, secara resmi. In Ya Ong hanya hiocoe, Thian
wie tong, tapi sebenarnya ia seorang wakil Kauw coe.
Dengan mata tajam Biat coat mengawasi jago Peh Bie
Kauw itu baru berusia kira2 empatpuluh tahun. Tapi
bermata sangat tajam, seolah2 sinar kilat yang dingin.
“Pernah apakah bocah itu kepadamu?” tanyanya dengan
suara dingin.
Jantung Boe Kie memukul keras. Hampir2 ia berteriak.
“In Koekoe-ke!” (Koe Koe – paman, saudara lelaki dari
ibu).
In Ya Ong tertawa besar, “Aku belum pernah mengenal
dia,” jawabnya. “Tapi karena melihat jiwanya yg luhur,
yang berbeda dengan manusia2 palsu dalam Rimba
persilatan, maka aku merasa sayang dan didalam hatiku
lantas saja timbul niatan untuk menjajal tenaga Soethay”
Perkataannya yg paling belakang tidak sungkan2, seolah2 ia
tidak memandang mata kepada si nenek.
Tapi Hiat coat tidak menjadi gusar. “Bocah,” katanya
kepada Boe Kie. “Kalau kau ingin hidup lebih lama, kau
masih mempunyai kesempatan.”
“Untuk menyelamatkan jiwa sendiri, boanpwee tidak
berani melupakan budi orang”, jawabnya.
Si nenek mengangguk dan lantas saja berkata kepada In
Ya Ong, “Anak ini masih hutang satu pukulan. Perhitungan
harus dibereskan satu persatu. Sebentar, sesudah beres yang
satu, aku pasti tidak akan mengecewakan tuan.”
In Ya Ong tertawa terbahak2. “Biat coat Soe Thay!”
bentaknya. “Kalau kau mempunyai nyali binasakanlah
1255
anak itu! Jika dia binasa, kamu semua, tak seorangpun yang
bakal terluputkan mampus tanpa kubura!” seraya berkata
begitu bagaikan melayang diudara, ia berlalu dari hadapan
si nenek. “Keluar semua!” teriaknya.
Hampir berbareng, diseputar rombongan Biat coat dan
kawan2nya, muncul sejumlah besar orang yg membekal
tameng dan kedua tangannya mementang busur, dengan
semua anak panah ditujukan ke arah rombongan Biat Coat.
Ternyata selagi Biat Coat berurusan dengan Boe Kie,
kawanan Peh Bie Kauw telah membuat parit di pesisir dan
sudah mengurung rombongan musuhnya. Perkerjaan itu
dilakukan tanpa di ketahui oleh siapapun jua, karena
perhatian semua orang ditujukan kepada Biat Coat dan Boe
Kie.
Paras muka semua orang lantas saja berubah pucat.
Dengan melihat mata anak panah yang berwarna biru,
mereka tahu, bahwa senjata itu mengandung racun. Sekali
In Ya Ong memberi perintah, kecuali beberapa orang yang
berkepandaian tinggi, mereka semua akan binasa.
Diantara orang2 lima partai yg berada disitu, Biat
Coatlah yang berkedudukan paling tinggi. Maka itu semua
oran gmengawasinya dan menunggu keputusannya.
Si nenek adalah manusia keras kepala. Biarpun ia
menarik, bahwa pihaknya telah menghadapi bencana,
sikapnya tetap tidak berobah. “Bocah kau tidak boleh
menyalahkan orang lain untuk nasibmu,” katanya kepada
Boe Kie. “Dilain saat tulang2 dlm tubuhmu berkerotokan
seperci kacang di goreng,” dan kemudian dengan telapak
tangan menepuk dada Boe Kie.
Pukulan itu pukulan terlihat Go Bie Pay dan dikenal
sebagai Hoedkong Po-tiaw (Sinar Budha menyorot
diselebar dunia). Menurut kebiasaan ilmu silat, setiap
1256
pukulan berisi sejumlah jurus yg saling susul seperti mata2
rantai dan saban jurus mengandung pula perubahan2 yang
tidak sedikit jumlahnya. Tapi Hoedkong Po-tiauw hanya
sejurus dan jurus itu tidak ada perubahannya. Biarpun
begitu jurus tunggal itu lihai bukan main. Tak nanti ada
manusia yang dapat mengelakkannya. Tenaga dahsyat
terdapat didalamnya adalah Go Bie Kioe yang kang. Pada
jaman itu dalam kalangan Go Bie Pay hanya Biat Coat
soerang yg dapat menggunakan pukulan tersebut.
Semula si nenek hanya ingin memukul tantian Boe Kie,
supaya ia pingsan untuk sementara waktu. Tapi sesudah
munculnya In Ya Ong, ia mengambil keputusan untuk tidak
malu kasihan lagi. Menurut anggapannya, jika ia menaruh
belas kasihan kepada Boe Kie it artinya takut menghadapi
In Ya Ong. Demikianlah ia mengirim Hoedkon Po Tiauw
dengan seantero tenaga Go Bie Kioe yang kang.
Mendengar suara berkerotoknya tulang2 si nenek, Boe
Kie mengerti, bahwa ia akan di serang dengan pukulan
membinasakan. Ia tahu jiwanya tergantung atas selembar
rambut. Pada detik itu untuk menolong jiwa, ia hanya
mempunyai satu pegangan, yaitu perkataan yg terdapat
dalam Kioe yang cie keng. “Biar dia jahat, biar dia ganas,
bagiku, cukuplah jika aku sekali menyedot hawa tulen.”
Maka itulah tanpa menghiraukan segala apa ia segera
mengerahkan pernapasannya dan mengumpulkan hawa
tulen didadanya.
“Plak!” telapak tangan Biat coat mampir tepat di dada
Boe Kie!
Semua orang terkesikap, beberapa antaranya
mengeluarkan seruan tertahan. Mereka menduga tulang2
pemuda itu akan hancur. Tapi muka Boe Kie kelihatan
seperti orang kaget. Tapi ia tetap berdiri tegak diatas pasir,
1257
sedang paras Biat Coat pucat pasi bagaikan mayat,
tanggannya yang barusan memukul bergetar.
Apa yang sudah terjadi?
Tenaga pukulan Hoed kong Po tiauw adalah Go bie
Kioe yang kang. Yang digunakan Boe Kie tenaga Kioe yang
sin kang, Go Bie Kioe yang kang digubah Kwee Siang
sesudah mendengari Kak Wan Tay Soe menghafal Kioe
yan Cin Keng. Karena hanya mendengar satu kali, maka
dapatlah di mengerti, jika Kwee Siang tidak dapat
menangkap isi kitab itu. Maka itu, Go Bie Kioe yang kang
tidak dapat dibandingkan dengan Kioe yang Sin kang dari
Boe Jie yang mendapatkannya dengan membaca kitabnya
sendiri. Dengan lain perkataan Kioe yang Sin kang Boe Kie
yang lebih tulen dan lebih murni terlebih kuat daripada Go
Bie Kioe yang kang yg di miliki Biat Coat. Sebagai
akibatnya, begitu lekas kedua tenaga kebentrok, Go Bie
Kioe yang kang hilang bagaikan batu jatuh di laut.
Untuk sedetik Boe Kie merasa dadanya tergetar, tapi
dilain saat, seluruh tubunya berubah nyaman dan
semangatnya bertambah besar.
Mengapa?
Karena Go Bie Kioe yang kang dihisap Kioe yang sin
kang dan tenaga Go Bie Kioe yang kang berbalik
menambah tenaga Boe Kie. Pemuda itu tak sengaja
menghisap tenaga si nenek. Itu semua sudah terjadi secara
wajar, sebab kedua rupa tenaga bersamaan sifatnya,
sehingga yang lebih kuat menyedot yang lebih lemah.
Dalam pukulan pertama kedua Biat coat tak
menggunakan Go Bie yang kang dan Boe Kie sudah
terluka.
Sebab musabab dair ini semua tak di ketahui oleh
1258
siapapun jua. Semua orang Rimba persilatan sudah
mendengar bahwa didalam dunia terdapat Kioe Im Cin
Keng. Tapi semenjak kerajaan Lam Song, Kioe Im
menghilang dari Rimba persilatan. Disamping Kioe Im ada
Kioe Yang cin kang. Tapi kecuali kak wan tay soe, belum
pernah ada manusia yang dapat melihatnya,s ehingga
secara aneh dan kebetulan, Boe Kie mendapatkannya dari
perut seekor kera. Maka itu kenyataan Go Bie Kioe yang
sin kang tidak di ketahui oleh siapapun jua, bahkan tak
diketahui pula oleh Biat Ciat sendiri yang hanya
menggangap bahwa pemuda itu memiliki Lweekang yang
sungguh2 luar biasa.
Sebab mempunyai Lweekwang yg sangat tinggi biarpun
dalam bentrokan itu tenaga Go Bie Kie yang kang telah
terhisap, lweekang Biat Coat tidak menjadi rusak dan ia
sama sekali tak mengunjuk tanda ygn jelek. Maka itu,
ratusan orang yang menyaksikan peristiwa itu memberi
tafsiran yg beraneka warna. Ada yg menduga si nenek
menaruh belas kasihan, ada yg menduga dia tak mau
mencelakai jiwa ratusan lawan dan ada juga yg menduga
berayali kecil dan takut akan ancaman In Ya Ong.
Sementara itu Boe Kie menyoja sambil membungkuk.
“Terima kasih atas belas kasihan Soe thay,” katanya.
Biat Coat mengeluarkan suara dihidung. Ia malu
bercampur gusar. Ia sekarang serba salah, kalau memukul
lagi, sebagai seorang cianpwee ia tak menepati janji. Kalau
menyudahi saja, ia seperti jug mukuek lutut dibawah
ancaman Peh Bie Kauw.
In Ya Ong tertawa terbahak2. “Orang yang bisa melihat
selatan adalah seorang gagah katanya.” “Tak mau Biat
Coat menjadi sorang yg berkedudukan tinggi pada jaman
???.” Ia mengibas tangannya dan membentak “Mundur
semua!”
1259
Dengan serentak dan rapi, pasukan anak panah Peh Bie
Kauw menghilang dalam parit.
Biat Coat malu besar, tapi orang tentu tidak mau
percaya, jika ia mengatakan, bahwa barusan ia memukul
sungguh2. orang tentu menggangap, bahwa ia takut akan
ancaman In Ya Ong. Maka itu ia hanya mengawasi Boe
Kie dengan sorot mata gusar. Sesaat kemudian, ia berseru,
“In Ya Ong! Jika kau ingin menjadi pukulanku, marilah!”
“Sesudah hari ini menerima budi Soethay, aku tak berani
membuat kdeosaan lagi,” jawabnya. “Di hari kemudia
masih ada kesempatan untuk bertemu pula.”
Si nenek mengibas tangannya dan tanpa mengeluarkan
sepatah kata lagi, ia mengajak murid2nya pergi ke arah
barat. Rombongan Koen Loen Hwasan dan Kongtong
bersama In lie Heng dan Song Ceng Soe lantas berangkat.
Coe Jie yang masih belum bisa jalan lantas saja berteriak
“A Go koko! Bawalah aku pergi dari sini!”
“Tunggu sebentar,” kata Boe Kie yang inign bicara
dengan In Ya Ong. Ia mendekati dan berkata. “Terima
kasih atas budi cianpwee, Boanpwee takkan dapat
melupakannya.”
Sambil mencekal tangan pemuda itu dan mengawasi
mukanya dengan mata tajam. In Ya Ong bertanya. “Apa
benar kau she Can?”
Didalam hati Boe Kie ingin sekali menubruk dan
memeluk pamannya, tapi sebisa bisa ia mempertahankan
diri. Bahwa terharu, kedua matanya mengembang air.
Kata orang, “Melihat paman seperti melihat ibu sendiri.”
Sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia, selama
belasan tahun, baru sekarang Boe Kie berjumpa dengan
keluarga sendiri sehingga dapatlah di mengerti, jika ia
1260
merasa sangat terharu. Di lain pihak, In Ya Ong hanya
menafsirkan menangisnya pemuda itu sebgai suatu tanda
berterima kasih. Tiba2 ia melihat Coe Jie yg rebah di tanah
dan ia terus saja tertawa dingin. “A lee,” tegurnya. “Apa
kamu sudah tidak mengenal aku?”
Paras si nona lantas saja berubah. “Thi!” katanya dengan
suara bergemetar.
Boe Kie terkejut dan berbareng ia melihat segala apa yg
semula gelap baginya. "Ah! Kalau begitu ia putrinya
Koekoe dan saudari sepupuku," pikirnya. "Ia telah
membunuh ibu tirinya, menyebabkan meninggalnya ibu
kandungnya sendiri dan ia mengatakan, bila bertemu
ayahnya, akan membunuh dirinya.... Ah! Ia membinasakan
In Boe Lok dengan Cian coe Ciat hoe cioe. Mungkin sekali
ketiga orang itu pernah menyakiti hatinya. Biarpun
membenci In Boe Hok dan In Boe Sioe tidak berani
melawan dia dan lari dengan membawa mayat Boe Lok...."
Ia mengawasi si nona dan berkata pula dalam hatinya. "Tak
heran ia agak mirip dengan ibu. Tak dinyana, ibuku adalah
bibinya sendiri."
Sementara itu, seraya tertawa dingin In Ya Ong berkata.
"Hm!... kau masih memanggil aku 'thi'. Kukira sesudah
mengikuti Kim hoa Popo, kau tak memandang sebelah
mata lagi kepada Peh Bie kauw. Kau tiada bedanya denagn
ibumu. Hm!... mempelajari Ciaon coe ciat hoe cioe.
Ambillah kaca pandang mukamu yg tak keruan macam.
Apakah didlm keluarga In ada manusia yg beroman seperti
memedi?"
Coe Jie ketakutan dan menggigil. Tiba2 ia mendongak
dan menatap wajah ayahnya. "Thia" katanya dengan
nyaring. "Jika kau tak menyebutkan kejadian dahulu hari,
akupun takkan menggusik usiknya. Tapi sesudah kau
menyebutkan itu, kini aku ingin menanya. Ibu telah
1261
menikah denganmu dan telah merawat engkau sebagai
mana mesti. Tapi kenapa kau mengambil istri kedua?"
"Kurang ajar kau!" bentak sang ayah. "Orang lelaki
manakah yang tak mempunyai beberapa istri dan gundik?
Kau berdosa besar... tak guna kau coba membela diri
dengan pertanyaan2 kurang ajar... hm... Kim hoa Popo...
Gin hip Sian Seng... sedikit pun kau tak memandang mata
kepada Peh bie kauw". Sambil menengok kepada In Boe
Hok dan In Boe Sioe, ia berkata, "Bawa budak ini!"
"Tahan!" kata Boe Kie. "In... Cian pwee, perlu apa kau
membawa dia?"
"Budak ini adalah anakku sendiri," jawabnya dengan
mendongkol. "Dia meracuni ibu tirinya sehingga mati dan
diapun menyebabkan matinya ibu kandungnya sendiri.
Perlu apa manusia binatang itu dibiarkan hidup didalam
dunia?"
"Waktu itu In Kouwnio masih sangat muda dan sebab
jengkel melihat ibunya dihina orang. Ia sudah melakukan
perbuatan yg tak pantas," kata pula Boe Kie. Dengan
mengingat kecintaan antara ayah dan anak, aku mengharap
Cianpwee suka mengampuninya."
In ya Ong tertawa terbahak2. "Bocah! Siapa sebenarnya
kau, sehingga kau berani campur2 urusan rumah tanggaku?
Apakah kau seorang Boe Lim Cie Coen?"
Didalam hati Boe Kie ingin menjawab, "Aku bukan
orang luar, aku keponakanmu," tapi perkataan itu yang
sudah hampir keluar ditelan lagi.
Sesudah berdiam sejenak, In Ya Ong berkata pula,
"Bocah secara mujur, hari ini jiwamu ketolongan. Tapi jika
kau tidak mengubah adat, jika kau terus coba2 campur
urusan orang, biarpun kau mempunyai sepuluh jiwa juga
1262
tak cukup." Ia mengibas tangannya dan In Boe Hok serta In
Boe Siong segera mengangkat Coe Jie dan menaruhnya
dibelakang In Ya Ong.
Boe Kie mengerti, bahwa begitu lekas si nona dibawa
oleh ayahnya, jiwanya pasti akan melayang. Dalam
bingungnya, ia melompat merampasnya. Alis In Ya Ong
berkerut. Bagaikan kilat tangannya menyambar dan
mencengkram dada Boe Kie yang lalu dilontarkan. "Bruk!"
ia ambruk di pasir kuning. Dengan Kie yang Sin Kang
melindungi dirinya. Ia tidak dapat mendapat luka; tapi
muka dan pakaiannya gelepotan pasir. Dengan cepat ia
merangkak bangun dan lekas mengulangi usaha untuk
merampas Coe Jie.
"Bocah!" bentak In Ya Ong. "Barusan aku menaruh belas
kasihan. Tapi sekali lagi aku tak akan menaruh sungkan."
"In... cian pwee," meratap Boe Kie. "Dia adalah anak
kandungmu sendiri. Dahulu kau sedang mendukung ida...
kau pernah menyintainya... Dengan mengingat kecintaan
itu, ampunilah dia..."
Mendengar ratapan itu, hati In Ya Ong tergerak jg. Ia
mengawasi puterinya, tapi begitu melihat muka Coe Jie yg
tak keruan macamnya, darahnya meluap lagi. "Minggir!"
bentaknya.
Sebaliknya daripada menyingkir, Boe Kie melompat pula
merebut si nona.
"A Goe Koko," kat Coe Jie. "Kau tak usah
mempedulikan aku!" Aku takkan melupakan budimu.
Pergilah! Kau bukan tandingan ayahku."
Pada saat itulah mendadak muncul seorang pria yang
mengenakan jubah berwarna hijau. Dengan kedua tangan ia
mencekal belakang leher In Boe Hok dan In Boe Sioe dan
1263
lalu membentrokkan kepala kedua orang itu yang lantas
saja menjadi pingsan. Hampir berbareng, dengan kecepatan
kilat, ia mendukung tubuh Coe Jie dan segera kabur.
"Ceng ek Hong ong!" bentak In Ya Ong dengan gusar.
"Kau juga mau campur2 urusanku!"
Ceng ek Hok ong Wie It Siauw tertawa dan terus lari
dengan secepat2nya. Sesuai dengan namanya "It Siauw"
(Sekali tertawa), tertawa2nya nyaring dan panjang luar
biasa.
In Ya Ong dan Boe Kie lantas saja mengubar. Kali ini
Ceng ek Hok ong tak lari berputaran tapi terus menuju
kejurusan tenggara. Dia sungguh lihai. In Ya Ong adalah
seorang ahli silat kelas utama yg mempunyai lweekang
sangat tinggi, sedang Boe Kie memiliki Kioe yang sin kang.
Tapi makin lama mereka mengejar, Wie It Siauw yang
mendukung orang, mereka ketinggalan makin jauh,
sehingga si Raja Kelelawar tidak kelihatan bayang2nya lagi.
Bagaikan kalap, In Ya Ong mengubar terus. Diam2 dia
merasa heran karena Boe Kie bisa terus merendenginya.
Sesudah tak punya harapan menyusul musuh ia sekarang
ingin menjajal kepandaian pemuda itu. Ia segera
menggunakan seantero tenaga dalamnya dan lari bagaikan
anak panah yg baru terlepas dari busurnya. Tapi pundak
Boe Kie tetep berendeng dengan pundaknya. Tiba2 pemuda
itu berkata, “In cianpwee, meskipun Ceng ek Hong bisa lari
sangat cepat, lweekang nya belum tentu seberapa tinggi.
Cobalah kita mengubar terus untuk mencoba kekuatannya.
In Ya Ong kaget bukan main. “Dengan lari secepat ini,
aku telah menggunakan seantero tenaga dalamku,”
pikirnya. “Jangankan berbicara, bernapas salahpun sudah
tak boleh. Tapi anak ini bisa berbicara dengan kecepatan
lari yg tidak berubah. Apa dia mempunyai ilmu siluman?”
1264
Mendadak ia menghentikan tindakan dan dalam sedetik itu,
tubuh Boe Kie sudah melesat belasan tomak jauhnya.
Buru2 pemuda itu berhenti dan menghampiri In Ya Ong.
“Saudara Can,” kata In Ya Ong, “Siapakah gurumu?”
“Tidak… tidak….” Kata Boe Kie tergugu. “In Cianpwee,
janganlah kau memanggil aku dengan istilah “saudara”.
Panggil saja namaku A Goe. Aku tak punya guru.”
Mendengar jawaban itu, serupa ingatan tidak baik
mendadak muncul dalam hati In Ya Ong. “Bocah ini
memiliki kepandaian yang sangat aneh,” pikirnya. “Kalau
dia hidup terus, dia bisa jadi bibit penyakit. Sebaiknya
sekarang saja aku mangambil jiwanya.”
Sekonyong-konyong di tempat jauh terdengar suara
terompet yang terbuat daripada keong raksasa. Itulah tanda
bahaya dari Peh bie kauw.
Alis In Ya Ong berkerut.
“Tak salah lagi Ang soei dan Liat Hwee yang cari
lantaran,” pikirnya. “mereka rupanya marah sebab aku
tidak membantu Swie kim kie. Kalau sekarang aku
menyerang dan tidak membinasakan bocah itu dengan satu
kali pukul, aku mesti bertempur lama, sedang aku tak
banyak waktunya. Aah…. Lebih baik aku meminjam
tenaga orang, biarlah dia mampus dalam tangan Wie It
Siauw.” Memikir begitu, ia lantas saja berkata. “Peh bie
kauwsedang menghadapi musuh, dan aku harus segera
kembali. Kau saja yang pergi mencari Wie It Siauw.
Manusia itu sangat lihay dan jahat. Kalau bertemu, kau
mesti turun tangan lebih dulu.”
“Kepandaianku sangat cetek, bagaimana aku bisa
melawan dia?” kata Boe Kie “Musuh dari manakah yang
menyerang pihakmu?”
1265
Sesaat itu terdengar suara terompet keong.
“Benar2 Ang soei, Liat Hwee dan Houw touw yang
menyerang.” Kata In Ya Ong.
“kalian semua adalah dari satu golongan Mo kauw, tapi
mengapa kalian saling bunuh?” tanya Boe Kie.
Paras muka In Ya Ong berubah, “Tahu apa Kau!”
bentaknya seraya memutar tubuh dan lalu berlari lari ke
arah datangnya suara terompet.
Sesudah berada sendirian, Boe Kie segera teringat
keselamatan Coe Jie. “Kalau lehernya digigit dan darahnya
dihisap, dia tentu lantas mati” pikirnya. Mengingat begitu,
ia bingung dan segera mengerahkan Lweekang, ia
mengubar pula.
Untung juga, walaupun Wie It Siauw memiliki ilmu
ringan badan yang sangat tinggi, tapi sebab mendukung
orang, ia tidak bisa menghilangkan tapak kakinya di atas
pasir. Dengan demikian, walaupun manusianya sudah tidak
kelihatan, Boe Kie masih dapat mengikutinya. Ia
mengambil keputusan untuk mengjar terus tanpa mengaso
dan ia percaya dalam beberapa hari ia akan dapat
menyusulnya.
Tapi mengubar orang berhari2 dibawah teriknya
matahari bukan pekerjaan mudah. Sesudah mengubar
samapi magrib, mulutnya kering dan keringat membasahi
pakaiannya. Tapi sungguh heran, ia bukan saja tidak
merasa lelah bahkan kekuatan kakinya tidak berubah.
Tenaga Kioe Yang Sin Kang yang telah dilatihnya selama
beberapa tahun, sekarang memperlihatkan manfaatnya
yang tiada batasnya. Makin banyak tenaga digunakan.
Semangatnya makin berkobar2. kalau haus, ia hanya
meminum air dari kobakan yang terdapat di pinggir jalan
dan sesudah minum ia mengejar lagi.
1266
Waktu mengubar sampai tengah malam, dengan hati
berdebar2 ia mengawasi rembulan. Ia sangat berkuatir. Ia
kuatir Coe Jie keburu dibinasakan.
Sekonyong2 ia mendengar suara tindakan di
belakangnya, tapi waktu menengok, tak terlihat siapapun
jua. Ia lari terus. Sesaat kemudian suara tindakan terdengar
pula. Ia heran bukan main dan segera memutar tubuh. Tapi
ia tetap tidak melihat bayangan manusia. Dengan matanya
yang sangat tajam, ia mengawasi pasir. Diatas pasir
terdapat tiga renteng tapak kaki, yang satu tapak Wie It
Siauw, yang lain tapak kakinya sendiri, sedang yang ketiga
tapak orang itu. Tapi siapakah dia? Ia memutar badan dan
mengawasi ke sebelah depan. Didepan hanya terdapat
serentetan tapak yaitu tapak kaki Wie It Siauw. Dengan lain
perkataan, orang itu hanya mengikuti dari belakang. Siapa
dia? Apa siluman? Apa dia seorang berilmu yang bisa
menghilang?
Dengan rasa heran dan sangsi, ia mengubar lagi. Lagi
lagi di sebelah belakang terdengar suara tindakan!
“Siapa?” teriak Boe Kie.
“Siapa?” kata orang di belakangnya.
Boe Kie terkesiap.
“Apa kau manusia atau setan?” tanya pemuda itu.
“Apa kau manusia atau setan?” mengulangi suara itu.
Bagaikan kilat Boe Kie memutar badan. Kali ini ia
melihat berkelebatnya bayangan manusia. Sekarang ia tahu,
bahwa seseorang yang gerakannya cepat luar biasa sedng
mempermainkan dirinya.
“Perlu apa kau mengikuti aku?” teriaknya.
“Perlu apa kau mengikuti aku?” tanya orang itu.
1267
Boe Kie tertawa. “Bagaimana kutahu,” katanya. “Aku
justru mau menanya kau,”
“Bagaimana kutahu? Aku justru mau menanya kau,”
mengulangi orang itu.
Boe Kie tahu orang itu tidak mengandung maksud jahat.
Kalau mau dengan mudah dia bisa mengambil jiwanya.
“Siapa namamu?” tanyanya pula.
“Tak bisa diberitahukan,” jawabnya.
“Mengapa tidak bisa diberitahukan?” mendesak pemuda
itu.
“Tidak bisa diberitahukan, tidak bisa diberitahukan.”
Jawabnya.
“Keterangan apa lagi yang bisa diberikan kepadamu? Eh
siapa namamu?”
“Aku…..aku Can A Goe,” jawab Boe Kie.
“Justa!” bentak orang itu.
“Justa ya Justa” jawabnya. “Eh sekarang aku yang mau
menanya kau. Perlu apa kau berlari2 seperti orang edan di
tengah malam buta?”
Boe Kie mengerti, bahwa ia sedang manghadapi
sesorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Maka itu,
ia lantas saja menjawab. “Salah seorang sahabatku telah
ditawan oleh Ceng ek Hok ong dan aku mau coba
menolongnya”
“Kau takkan mampu menolong sahabatmu” kata orang
itu.
“Mengapa?” tanya Boe Kie.
“Ilmu silat Ceng ek Hok ong banyak lebih tinggi dari
pada kepandaianmu. Kau takkan dapat menandinginya”
1268
“Biarpun kalah aku mesti tetap melawan dia”.
“Bagus! Semangatmu harus dipuji. Sahabatmu seorang
wanita, bukan?”
“Benar. Bagaimana kau tahu?”
“Kalau bukan wanita, tak mungkin seorang pemuda rela
mengorbankan jiwa untuk menolongnya. Apa dia cantik?”
“Sangat jelek.”
“Kau sendiri? Apa mukamu bagus?”
“Mari. Datanglah dihadapanku. Kau bisa lihat sendiri”
“Tak perlu kulihat mukamu. Apa nona itu mengerti ilmu
silat.”
“Cukup pandai. Dia adalah putrinya In Ya Ong
Cianpwee dari Peh Bie Kauw. Dia pernah berguru pada
Kim Hoa popo dari Leng coa to.”
“Tak guna kau mengubar. Wie It Siauw pasti tak akan
melepaskan dia.”
“Mengapa?”
Orang itu mengeluarkan suara dihidung. “Kau sungguh
tolol,” katanya.
“Pernah apa In Ya Ong kepada In Thian Ceng?”
“Mereka adalah Ayah dan anak.”
“Antara Peh bie Eng ong dan Ceng ek Hok ong, siapa
yang lebih tinggi ilmu silatnya?”
“Tak tahu. Bagaimana pendapat Cianpwee.”
“Akupun tak tahu. Antara mereka berdua pengaruh
siapakah yang lebih besar?”
“Eng ong adalah Kauwcoe dari Peh bie kauw. Kurasa ia
1269
lebih berpengaruh”
“Benar. Itulah sebabnya, mengapa Wie It Siauw sudah
menawan cucu perempuannya In Thian Ceng. Ia ingin
menggunakan nona itu sebagai semacam barang
tanggungan untuk mendesak In Thian Ceng guna
kepentingannya sendiri. Itulah sebabnya, mengapa menurut
pendapatku Wie It Siauw tak akan melepaskan
tawanannya.”
“Boe Kie menggeleng-gelengkan kepalanya. “Maksud itu
tak akan tercapai.” Katanya. “Ian Ya Ong Cianpwee ingin
sekali mebunuh putrinya itu.”
“Apa?” menegas orang itu dengan suara heran.
Boe Kie lantas saja menceritakan riwayatnya Coe Jie,
cara bagaimana nona itu telah meracuni ibu tirinya,
sehingga belakangan ibu kandungnya sendiri turut binasa.
“Tak dinyana! Tak dinyana! Sunguh2 bakat yang baik!”
memuji orang itu.
“Mengapa bakat yang baik?” tanya Boe Kie.
“Dia masih begitu muda, tapi dia sudah bisa meracuni
ibu tirinya dan ibu kandungnya sendiri sampai turut
binasa,”jawabnya “Disamping itu dia telah mendapat
pelajaran dari Kim hoa popo. Aku sungguh menyanyang
nona yang jempolan itu. Sekarang kutahu, Wie It Siauw
mau mengambilnya sebagai murid.”
Boe Kie kaget. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya.
“Wie It Siauw adalah sahabatku,” jawabnya. “Aku
mengenal adatnya”
Pemuda itu terkesinap. “Celaka!” teriaknya dan lari
sekeras-kerasnya.
Orang itu tertawa dan mengikuti dari belakang.
1270
Sambil berlari2 Boe Kie bertanya. “Mengapa kau terus
menguntit aku?”
“Aku ingin menonton keramaian,” jawabnya “Perlu apa
kau mengubar Wie It Siauw?”
“Coe Jie sudah berhawa sesat, aku tak akan mengijinkan
dia berguru kepada Wie It Siauw.” Jawabnya dengan suara
gusar. “Celaka sungguh kalau dia menjadi siluman yang
menghisap darah manusia!”
“Apa kau menyukai dia?”
“Tidak….Hanya….hanya dia mirip dengan ibuku.”
“Kalau begitu, ibumu seorang wanita yang bermuka
jelek.”
“Jangan ngaco! Ibuku sangat cantik.”
Orang itu tertawa. Sesaat kemudian, ia berkata sambil
menghela nafas. “Sayang! Sayang sungguh!”
“Sayang apa?”
“Semangatmu cukup baik, nyalimu cukup besar. Hanya
sayang, dalam sekejap kau akan menjadi mayat yang tidak
ada darahnya lagi.”
Boe Kie kaget. Didalam hati, ia membenarkan apa yang
dikatakan orang itu. Andaikata Wie It Siauw dapat disusul,
ia tetap tak akan dapat menolong Coe Jie. Bukan saja
begitu, ia malah akan membuang jiwa secara Cuma2. maka
ia lantas memohon. “Cianpwee apa bisa kau bantu aku?”
“Tak bisa,” jawabnya. “Pertama. Wie It Siauw adalah
sahabatku dan kedua, belum tentu aku bisa menandingi
dia.”
“Wie It Siauw adalah manusia siluman yang suka
menghisap darah manusia,” kata Boe Kie”Kalau dia
1271
sahabatmu, mengapa kau tidak coba membujuknya, supaya
dia tidak melakukan perbuatan yang terkutuk itu?”
Orang itu menghela nafas. “Tak guna aku membujuk
dia,” katanya dengan suara duka. “Dia bukan kepingin
menghisap darah secara suka2. Dia berbuat itu karena
terpaksa. Kutahu, ia sendiri sangat menderita.”
“Karena terpaksa” menegas Boe Kie dengan heran. “Apa
i-ia?”
“Dahulu waktu berlatih Lweekang, ia telah berbuat
kesalahan besar,” menerangkan orang. “”Belakangan,
setiap kali menggunakan Lweekang ia harus minum darah
manusia, sebab, jika tidak, sekujur badannya kedinginan
dan jika tidak tertolong, ia akan mati beku.”
Boe Kie berpikir sejenak dan kemudian berkata
“Bukankah penyakit itu sudah terjadi karena ketidakberesan
pada pembuluh darah Sam-in?”
“Ih! Bagaimana kau tahu?” tanya orang itu dengan
heran.
“Aku hanya menebak2,” jawabnya.
“Tiga kalo aku mendaki gunung Tiang pek san untuk
menangkap kodok api guna mengobati penyakitnya,” kata
orang itu. Ia menghela nafas dan berkata pula. “Ketiga2
kalinya tidak berhasil. Dalam usaha yang pertama, aku
bertemu seekor kodok api, tapi tidak berhasil
menangkapnya. Dalam usaha yang kedua dan ketiga,
kodok itu tidak terlihat bayangannya. Sesudah kesulitan
yang serasa dapat diatasi, aku ingin pergi ke Tiang pek san
lagi.”
“Apa boleh aku mengikuti?” tanya Boe Kie.
“Hm…Lwekangmu sudah boleh juga, tapi ilmu ringan
1272
badan masih belum cukup,” jawabnya “Nanti saja, kalau
waktunya tiba, kita bicara lagi. Eh! Perlu apa kau mau
membantuku?”
“Kalau berhasil, kita bukan saja akan bisa menolong Wie
It Siauw, tapi juga bisa membantu lain2 orang yang
dihinggapi penyakit yang sama.” Jawabnya. “Cianpwee,
dia sudah pergi begitu lama dan sudah menggunakan
banyak tenaga dalam. Apakah mungkin, sebab terpaksa, ia
menghisap darah Coe Jie?”
“Mungkin…….memang sangat mungkin,” jawabnya.
Boe Kie sangat kuatir dan ia lari makin keras. Tiba2
orang itu berteriak. “Hei! Coba lihat, ada apa
dibelakangmu?”
Pemuda itu menengok ke belakang. Mendadak matanya
gelap dan tubuhnya terangkat dari bumi. Ia merasa
badannya masuk ke dalam karung yang kemudian diangkat
dan digendong di punggung orang itu. Dengan hati
mendongkol ia mencoba merobeknya. Ia kaget sebab tak
berhasil. Karung itu terbuat dari semacam kain yang a lot
dan kuat luar biasa.
“Plak!” orang itu memukul pantat Boe Kie. Ia tertawa
lantas berkata. “Bocah, jangan kau banyak lagak dalam
karungku. Ku akan bawa kau ke suatu tempat yang
menyenangkan. Kalau kau bersuara dan diketahui oleh lain
orang, aku takkan bisa menolong jiwamu lagi”.
“Kemana kau akan membawaku?” tanya Boe Kie.
Orang itu tertawa. “Setelah kau masuk ke dalam karung
Kian koen tay apa kau rasa bisa lari jika aku benar2 maui
jiwamu?” tanyanya. “Asal kau dengar kata, tidak bergerak
dan tidak bersuara, kau akan mendapat keuntungan”.
Boe Kie merasa, bahwa orang itu bicara sebenarnya dan
1273
tidak bergerak lagi.
Sekonyong2 orang itu melontarkan karungnya ditanah
dan tertawa terbahak2.
“Bocah! Kalau kau bisa keluar, kau benar2 lihay,”
katanya.
Pemuda itu segera mengerahkan Lweekang dan kedua
tangannya mendorong ke depan sekeras2nya. Tapi karung
dan a lot tu tetap utuh. Ia menendang dan memukul kalang
kabutan. Karung itu tetap tak bergeming.
Selang beberapa lama. Orang itu tertawa dan bertanya
“Kau menterah?”
“menyerah.” Jawabnya.
“Bahwa kau bisa masuk ke dalam karungku adalah
rejekimu yang besar,” kata orang itu seraya mengangkat
tangannya, menggendong di punggung dan lalu berlari2.
“Bagaimana dengan Coe Jie?” tanya Boe Kie.
“mana aku tahu?” jawabnya. “Bila rewel aku akan
melemparkan kau keluar dari karungku”.
Boe Kie ingin sekali orang itu membuktikan
ancamannya, tapi ia tak berani membuka mulut lagi.
Orang itu berlari-lari dengan kecepatan luar biasa. Selang
beberapa jam, pemuda itu merasakan hawa yang hangat. Ia
tahu matahari sudah keluar. Ia juga dapat merasakan,
bahwa ia sedang dibawa ke atas gunung. Sesudah lewat
kira2 2 jam lagi, hawa udara berubah dingin.
“Hm………sudah tiba di puncak yang tertutup salju,”
pikirnya. Mendadak, ia merasa kurang begitu mengapung
keatas dan tubuhnya seolah2 terbang di angkasa. Ia
terkesiap dan berteriak. Dilain detik, orang itu sudah
hinggap di tanah. Ia mengetahui, bahwa orang itu sedang
1274
melalui puncak yang berbahaya dan harus melompat kian
kemari. Sekali meleset, habislah! Baru saja memikir begitu,
karung sudah mengapung lagi keatas.
Ia memeramkan matanya dan menyerahkan segala apa
kepada nasib.
Tiba2 di sebelah kejauhan terdengar teriakan orang.
“Swee Poet Tek! Hey! Mengapa kau baru datang?”
“ditengah jalan aku menemui sedikit urusan” jawab
orang yang menggendong Boe Kie. “apa Wie It Siauw
sudah datang?”
“Belum” jawab suara yang jauh itu. “Heran sungguh.
Swee Poet Tek, apa kau bertemu dengan dia?” seraya
menjawab orang itu datang.
Boe Kie tersadar. Sekarang ia tahu, orang itu bernama
“Swee Poet Tek. ”Tak heran, pada waktu ia menanyakan
namanya, orang itu menjawab “Swee Poet Tek,” yang
berarti “Tidak dapat diberitahukan”. Mengapa namanya
begitu aneh?
“Tian koan Soeheng,” kata Swee Poet Tek.
“Mari kita cari saudara Wie. Kukuatir terjadi sesuatu
yang hebat?” kata Tiat koan Toojin, “Ceng ek Hok ong
seorang pintar dan berkepandaian tinggi,”
“Tapi aku tetap merasa tak enak” kata Poet Tek.
Sekonyong2 dari sebuah lembah di bawah puncak
terdengar teriakan “Hweesio bau Swee Poet Tek! Tua
bangka Tiat koan! Lekas kemari! Bantulah aku. Aduh
celaka benar!”
“Cioe Tian!” teriak kedua orang itu, hampir berbareng.
“Dia seperti mendapat luka,” kata Swee Poet Tek.
“Mengapa suaranya begitu lemah?” tanpa menunggu
1275
jawaban, ia segera melompat lompat ke bawah sambil
menggendong karung.
“Ah!” Kata Tiat koan yang mengikuti di belakang,
“Lihat! Siapa yang digendong Cioe Tian? Apa Wie It
Siauw?”
“Cioe Tian jangan bingung!” teriak Swee Poet Tek.
“Kami akan membantu kau”
Cioe Tian tertawa, “Kurang ajar” bentaknya “Bingung
apa? Yang hampir mampus ialah si kelelawar penghisap
darah!”
“Saudara Wie?” menegas Swee Poet Tek dengan kaget.
“Mengapa dia?” Seraya bertanya, ia mempercepat
tindakannya.
Boe Kie merasa dirinya seperti terbang ke angkasa jadi
ketakutan dan berbisik. “Cianpwee lepaskan aku untuk
sementara waktu. Yang penting adalah menolong orang”
Swee Poet Tek tak menyambut. Tiba2 ia mengikat
karungnya yang lalu diputar2 beberapa kali. Bukan main
kagetnya Boe Kie. Kalau terlepas jiwanya bisa melayang.
“Bocah! Aku bicara terang2an kepadamu. Aku adalah Poet
thay Hweesio Swee Poet Tek. Yang dibelakangku Tiat
Koan Toojin Thio Thiong. Orang yang berada di lembah itu
bernama Cioe Tian. Kami bertiga dengan Leng bian
Sianseng Leng Kiam dan Pheng Eng Giok Pheng Hweesio
dikenal sebagai Bgo sian jin dari Mo Kouw. Apa kau tahu
apa yang dinamakan Mo Kauw?”
“Tahu.” Jawabnya “Kalau begitu taysoe adalah anggota
Mo kauw.”
“Aku dan Cioe Tian tidak suka membunuh orang.” Kata
pula Swee Poet Tek. “Tapi Tit koan Toojin, Leng bian
Sianseng dan Pheng Hweesio bisa mebunuh manusia tanpa
1276
berkedip. Kalau mereka tahu kau berada dalam karungku,
sekali hajar saja, tubuh bisa hancur luluh,”
kata Boe Kie. “Aku tak berdosa, mengapa?”
“Apa kau anggap Tiat koat Toojin membunuh orang
dengan lebih dulu menanyakan kedosaannya?” memutus
Swee Poet Tek. “Aah! Kalau kau masih ingin hidup, mulai
dari sekarang tak dapat kau mengeluarkan sepatah katapun.
Mengerti?”
didalam karung Boe Kie manggut2kan kepala.
“Eh! Mangapa kau tak menjawab?” tanya Swee Poet
Tek.
“Bukankah kau melarang aku bicara?” Boe Kie balas
menannya.
Swee Poet Tek tersenyum. “Bagus kalau kau tahu.”
Katanya. “Hei! Bagaimana keadaan Wie?” perkataan yang
belakangan itu ditujukan kepada Cioe Tian.
“Dia….dia….celaka besar!....celaka besar!” jawab Cioe
Tian dengan suara terputus2.
“Hm………….saudara Wie masih bernafas, yang
menolongnya?”
sebelum Cioe Tian keburu menjawab, Tiat Koan Toojin
mendahului “Cioe Tian, apa kau luka? Mengapa mukamu
pucat?”
“Tadi aku ketemu si kelelawar yang menggeletak seperti
mayat, nafasnya sudah hampir putus, menerangkan Cioe
Tian. “Aku segera mengerahkan Lweekang untuk
menolongnya. Diluar dugaan, racun dingun dalam tubuh si
kelelawar benar2 lihay. Begitulah duduk persoalannnya.”
“Cioe Tian kali ini kau telah melekukan auatu perbuatan
mulia,” kata Swee Poet Tek.
1277
Cioe Tian mengeluarkan suara di hidung. “peduli apa
mulia, atau jahat,” katanya “Si kelelawar sangat beracun
dan aneh dari biasanya aku sangat membenci dia. Tapi kali
ini dia melakukan perbuatan yang cocok dengan hatiku.
Maka itu, aku coba menolongnya. Aku tak nyana, bukan
saja aku tak berhasil, malah racun itu berbalik masuk ke
dalam badanku. Celaka sungguh! Mungkin sekali jiwaku
akan turut melayang.” Ia berdiam sejenak dan berkata pula.
“Penghabisan!......ini namanya pembalasan……si kelelawar
dan Cioe Tian seumur hidup belum pernah melakukan
perbuatan baik. Sekali berbuat baik, bencana datang.”
“Perbuatan baik apakah yang dilakukan saudara Wie?”
tanya Swee Poet Tek.
“Sesudah menggunakan Lweekang, racun dingin dalam
tubuhnya mengamuk hebat dan menurut kebiasaan, dia bisa
menolong diri sendiri dengan mengisap darah manusia,”
terang Cioe Tian. “Ketika itu di sampingnya terdapat
seorang gadis. Tapi dia lebih suka mati daripada menghisap
darah nona itu. Melihat itu aku berkata, si Kelelawar
berlaku aneh, akupun mau berlaku aneh. Baiklah, Cioe
Tian coba tolong dia. Aku lantas saja bekerja dan beginilah
hasilnya.”
Boe Kie kegirangan, tanpa merasa tubuhnya bergerak.
“Siapa wanita itu?” tanya Swee Poet Tek sambil
menepuk karungnya. “Ke mana dia sekarang?”
“Akupun bertanya begitu kepada si Kelelawar,”
sahutnya. “Ia mengatakan bahwa nona itu bernama In Lee,
cucu perempuannya si tua bangka Peh Bie. Karena sudah
menerima si nona sebagai muridnya, maka si Kelelawar
tidak bisa lagi menghisap darahnya.”
Swee Poet Tek dan Tiat Koan Toojin menepuk tangan.
“Perbuatan Wie heng (saudara Wie) yang mulia itu
1278
mungkin akan merupakan titik kebangkitan kembali dari
agama kita,” kata Swee Poet Tek. “Kelelawar hijau dan
Eng (burung Eng) putih bisa bergandengan tangan,
kekuatan Beng-kauw akan bertambah banyak,” seraya
berkata begitu, ia menyambut tubuh Wie It Siauw dari
tangan Cioe Tian. “Badannya sudah dingin seperti es,”
katanya dengan suara kaget. “Bagaimana baiknya?”
“Itu sebabnya mengapa aku minta kau datang lebih
cepat,” kata Cioe Tian. “Dalam sepuluh bagian, si
Kelelawar sudah mati sembilan bagian. Kalau bangkai
Kelelawar bergandengan tangan dengan Peh Bie Eng-ong,
bagi Beng-kauw tak ada kebaikannya sedikitpun juga.”
“Kalian tunggulah di sini,” kata Tiat Koan. “Aku akan
turun gunung untuk membekuk seorang manusia hidup
guna dijadikan minuman bagi Wie heng,” seraya berkata
begitu, ia mengayunkan tubuh untuk melompat ke bawah.
“Tahan!” teriak Cioe Tian. “Tua bangka, kau sungguh
tak punya otak! Gunung ini sangat sepi, hampir tak ada
manusianya. Kalau mesti menunggu kau, Wie It Siauw
(Wie sekali tertawa) sudah menjadi Wie Poet Siauw (Wie
tidak tertawa). Swee Poet Tek, paling baik kau keluarkan
bocah yang berada dalam karungmu untuk menolong
saudara Wie.”
Mendengar itu, Boe Kie ketakutan setengah mati.
“Tak bisa,” kata Swee Poet Tek. “Dia telah berbudi
sangat besar kepada agama kita. Jika Wie heng
membinasakan dia, Ngo Beng-kie (Lima Bendera) sudah
pasti tak mau.” Sehabis berkata begitu, dengan cepat ia
segera menuturkan bagaimana pemuda itu sudah menolong
jiwa berpuluh-puluh anggota dari pasukan Swie Kim-kie.
“Waktu itu aku menyusup di dalam pasukan Peh Bie-kauw
dan dengan mataku sendiri, aku menyaksikan semuanya,”
1279
katanya. “Dengan berhutang budi yang begitu besar, Ngo
Beng-kie pasti akan membela dia mati-matian.”
“Apakah kau ingin menggunakan bocah itu untuk
menaklukkan Ngo Beng-kie?” tanya Tiat Koan.
“Tidak bisa diberitahukan! Tidak bisa diberitahukan!”
jawabnya. “Bagaimanapun juga, ini kenyataaan bahwa
sekarang di dalam Beng-kauw sudah terjadi keretakan
hebat. Pada saat menghadapi bencana, Peh Bie-kauw telah
bentrok dengan Ngo Beng-kie. Untuk menyelamatkan diri
dari kemusnahan, jalan satu-satunya adalah bersatu padu.
Bocah yang berada dalam karungku mempunyai arti
penting dalam usaha mendamaikan orang-orang kita.”
Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangan
kanannya dan menempelkan Leng Tay-hiat di punggung
Wie It Siauw. Kemudian ia mengerahkan hawa murni
untuk membantu menindih racun dingin yang sedang
mengamuk dalam tubuh Wie It Siauw.
Cioe Tian menghela nafas, “Swee Poet Tek, aku tentu
tidak bisa mengatakan apapun juga, jika kau rela menjual
jiwa demi kepentingan seorang sahabat,” katanya.
“Biar kubantu kau,” kata Tiat Koan Toojin sambil
menempelkan telapak tangan kanannya pada telapak
tangan kiri Swee Poet Tek. Disaat itu, bagaikan gelombang,
dua hawa murni menerjang masuk ke dalam tubuh Wie It
Siauw.
Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw merintih dengan
perlahan dan sesaat kemudian ia tersadar, tapi giginya
masih gemeletukan. Ia membuka kedua matanya dan
berkata, “Cioe Tian, Tiat Koan Tooheng terima kasih atas
pertolongan kalian.” Ia tidak menghaturkan terima kasih
kepada Swee Poet Tek sebab mereka berdua mempunyai
hubungan yang sangat erat, sehingga pernyataan terima
1280
kasih memang tidak perlu. Tiat Koan dan Swee Poet Tek
yang sedang mengeluarkan tenaga untuk melawan racun
dingin tidak bisa lantas memberi jawaban.
Tiba-tiba di puncak gunung sebelah timur sayup-sayup
terdengar suara Khim.
“Leng Bian Sianseng dan Pheng Hweeshio sudah tiba,”
kata Cioe Tian yang lalu mendongak dan berteriak sekeraskerasnya.
“Leng Bian Sianseng! Pheng Hweeshio! Ada
seorang terluka. Kemari!”
Suara Khim berhenti dengan mendadak, suatu tanda
teriakan itu sudah didengar.
“Siapa…yang…terluka…,” demikian terdengar teriak
Pheng Hweeshio.
“Setan tak sabaran!” caci Cioe Tian dengan suara
perlahan. “Sedikitpun ia tidak bisa menunggu.”
Sementara itu Pheng Hweeshio terus memberondong
dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling susul. “Siapa
yang terluka?...Apa Swee Poet Tek? Apa Tiat Koen
heng?....” Hampir berbareng dengan selesainya pertanyaanpertanyaan
itu ia tiba di hadapan rombongan Cioe Tian.
“Aduh!” serunya. “Kalau begitu Wie It Siauw yang
terluka.”
“Perlu apa kau begitu tergesa-gesa?” kata Cioe Tian,
“Saudara Leng Kiam, mengapa kau membungkam saja?”
Leng Kiam hanya menyahut “hm”. Ia sungkan
membuang tenaga sia-sia. Biarlah Pheng Hweeshio yang
minta keterangan. Benar saja pendeta itu segera menghujani
Cioe Tian dengan berbagai pertanyaan dan pada waktu
Cioe Tian selesai memberi penjelasan, Swee Poet Tek dan
Tiat Koan pun sudah selesai memasukkan hawa murni ke
1281
dalam tubuh Wie It Siauw.
“Aku datang dari timur laut,” kata Pheng Hweeshio.
“Kudengar Cian Boenjin Siauw Lim-pay, Kong Boen
Taysoe bersama soeteenya, Kong Tie Taysoe dan seratus
lebih murid-muridnya sedang menerjang ke Kong Bengteng.”
“Di sebelah timur Boe Tong Ngo hiap!” kata Leng Kiam
yang paling tidak suka bicara panjang-panjang.
Enam partai sudah mulai mengurung dan Ngo Beng-kie
yang sudah bertarung dengan mereka beberapa kali selalu
mendapat pukulan,” kata Pheng Hweeshio pula. “Menurut
pendapatku, kita harus pergi ke Kong Beng-teng secepat
mungkin.”
“Omong kosong!” bentak Cioe Tian, “Bocah Yo Siauw
tidak mengundang kita, apakah Beng-kauw Ngo Sian-jin
harus menyembah dia?”
“Cioe Tian, sekarang Beng-kauw sedang menghadapi
bencana,” kata Pheng Hweeshio dengan suara membujuk.
“Jika mereka berhasil menghancurkan Kong Beng-teng dan
memadamkan api suci, apakah kita masih bisa menjadi
manusia? Memang benar Yo Siauw telah berbuat tidak
pantas terhadap Ngo Sian-jin, tapi bantuan kita adalah
untuk Beng-kauw dan bukan untuk kepentingan Yo
Siauw.”
“Aku menyetujui pendapat Pheng Hweeshio,” sambung
Swee Poet Tek. “Biarpun Yo Siauw sangat kurang ajar, kita
harus ingat kepentingan agama kita yang lebih besar
daripada kepentingan pribadi.”
“Omong kosong!” teriak Cioe Tian. “Dua keledai gundul
sama-sama omong kosong! Tiat Koan Toojin, Yo Siauw
pernah menghancurkan pundak kirimu, apa kau masih
1282
ingat?”
Tiat Koan tidak menyahut. Lewat beberapa saat barulah
ia berkata, “Melindungi agama kita dan memundurkan
musuh adalah hal yang sangat penting. Perhitungan dengan
Yo Siauw dapat dibereskan sesudah musuh dipukul
mundur. Dengan Ngo Sian-jin bersatu padu, tak usah kuatir
bocah itu tidak tunduk.”
Cioe Tian mendengus, “Leng Kiam, bagaimana
pendapatmu?” tanyanya.
“Kaupun rela bertekuk lutut di hadapan Yo Siauw?”
tegas Cioe Tian. “Dahulu kita pernah bersumpah bahwa
Ngo Sian-jin tak akan memperdulikan lagi urusan Bengkauw.
Apakah sumpah itu hanya omong kosong?”
“Semua omong kosong!” kata Leng Kiam.
Cioe Tian gusar tak kepalang, ia melompat bangun dan
berteriak, “Kamu semua manusia berotak miring!”
“Kita harus bertindak cepat,” kata Tiat Koan tanpa
menghiraukan kegusaran kawannya. “Mari kita berangkat.”
“Cioe heng,” bujuk Pheng Hweeshio, “Dahulu kita
bermusuhan karena tak mendapat kecocokan dalam urusan
memilih Kauwcoe. Memang benar Yo Siauw berpandangan
sempit. Tapi bila dipikir-pikir, Ngo Sian-jin pun ada
salahnya….”
“Dusta!” teriak Cioe Tian, “Kita berlima tak sudi
menjadi Kauwcoe. Salah apa?”
“Biarpun kita bertengkar setahun, kita tak dapat
membereskan soal siapa salah siapa benar,” kata Swee Poet
Tek. “Cioe Tian, kau jawablah pertanyaanku. Apakah kau
bukan murid Beng Coen Thian-seng?” (Beng Coen Thianseng
pemimpin Beng-kauw)
1283
“Benar, aku muridnya Beng Coen Thian-seng,”
jawabnya.
“Pada saat ini agama kita tengah menghadapi bencana
dan bila kita terus berpangku tangan, apakah dalam baka
kita ada muka untuk bertemu dengan Beng Coen Thianseng?”
tanya Swee Poet Tek. “Jika kau takut, biarlah kami
berempat yang pergi ke Kong Beng-teng. Setelah kami
binasa, kau boleh mengubur mayatku.”
Cioe Tian jadi kalap. Seraya melompat, ia mengayunkan
tangan. “Plok!” tangannya memukul.
Swee Poet Tek tidak bergerak dan juga tak mengeluarkan
sepatah kata. Perlahan-lahan ia membuka mulut dan
menyemburkan belasan gigi yang rontok akibat pukulan itu.
Sebelah pipinya berubah merah dan bengkak.
Pheng Hweeshio dan yang lain terkejut, sedang Cioe
Tian sendiri mengawasi hasil pukulannya dengan mata
membelalak. Ilmu silat Swee Poet Tek dan Cioe Tian kirakira
sebanding. Jika Swee Poet Tek berkelit atau
menangkis, pukulan itu pasti takkan melukainya. Diluar
dugaan, ia diam dipukul.
Cioe Tian merasa sangat tak enak. “Swee Poet Tek,
pukullah aku!” teriaknya, “Bila kau tidak mau, kau bukan
manusia.”
Swee Poet Tek tersenyum tawar. “Tenagaku hanya
digunakan terhadap musuh dan takkan dipakai terhadap
orang sendiri,” sahutnya.
Cioe Tian gusar bercampur malu. Tiba-tiba ia
mengangkat tangannya dan menghantam pipinya sendiri.
Sesaat kemudian, iapun menyemburkan belasan gigi dari
mulutnya.
“Cioe Tian, mengapa kau berbuat begitu?” tanya Pheng
1284
Hweeshio dengan suara kaget.
“Tak pantas aku memukul Swee Poet Tek,” jawabnya.
“Aku suruh dia membalas, dia tidak mau. Tak bisa lain, aku
harus turun tangan sendiri.”
“Cioe Tian, hubungan antara kita seperti antara saudara
kandung,” kata Swee Poet Tek. “Kami berempat sudah
mengambil keputusan untuk mengorbankan jiwa di atas
Kong Beng-teng. Kita akan berpisah untuk selama-lamanya.
Apa ada masalah jika memukul aku sekali dua kali?”
Bukan main rasa terharunya Cioe Tian dan ia lantas saja
mengucurkan air mata. “Sudahlah!” katanya, “Akupun
akan ikut. Biarlah perhitungan dengan Yo Siauw dibereskan
belakangan.”
Pheng Hweeshio dan yang lain jadi girang sekali.
Mendengar pembicaraan itu, Boe Kie berkata dalam
hatinya, “Mereka berlima bukan saja berkepandaian tinggi
tapi juga mempunyai budi pekerti yang sangat luhur.
Apakah orang-orang seperti itu sesat semua?” Sesaat
kemudian ia merasa karung diangkat dan semua orang
mulai berangkat ke Kong Beng-teng. Setelah mengetahui
bahwa Coe Jie tak kurang suatupun, hati pemuda itu
memikirkan soal pertarungan antara enam partai Tionggoan
dan Beng-kauw. Siapa yang akan menang? Dilain
saat, ia ingat bahwa setibanya di Kong Beng-teng, ia akan
bertemu dengan Yo Poet Hwie. Apakah si nona masih
mengenali dirinya?
Setelah berjalan sehari semalam, tiba-tiba Boe Kie
merasa karung itu menyentuh-nyentuh tanah. Semula ia tak
mengerti sebab musebabnya. Belakangan, waktu ia
mengangkat kepala, kepalanya terbentur batu yang
menyerupai dinding. Sekarang ia baru tahu bahwa ia
sedang berada di dalam terowongan, di bawah tanah, yang
1285
hawanya sangat dingin. Berselang kira-kira satu jam
barulah mereka keluar dari terowongan. Mereka terus naik
ke atas dan tak lama kemudian masuk ke dalam
terowongan lain. Sesudah keluar masuk lima terowongan,
tiba-tiba terdengar teriakan Cioe Tian, “Yo Siauw, si
Kelelawar dan Ngo Sian-jin datang untuk menemuimu!”
Lewat beberapa saat barulah terdengar jawaban. “Aku
sungguh tak menyangka Hok-ong dan Ngo Sian-jin sudi
datang berkunjung. Yo Siauw tak bisa menyambut dari
tempat jauh dan harap kalian sudi memaafkan.”
“Jangan berlagak bicara manis-manis,” kata Cioe Tian.
“Di dalam hati, kau tentu mencaci kami. Kau tentu
mencaci kami sebagai badut yang sudah bersumpah tak
mau naik lagi ke Kong Beng-teng dan tak mau ikut campur
lagi urusan Beng-kauw, sekarang datang tanpa diundang.”
“Tidak, tidak begitu,” kata Yo Siauw. “Siauw tee justru
sedang kebingungan. Enam partai besar telah mengurung
Kong Beng-teng dan Siauw tee seorang diri. Dengan
memandang muka Coen Thian-seng, Hok-ong dan Ngo
Sian-jin datang berkunjung untuk memberi bantuan. Ini
benar-benar rejekinya Beng-kauw.”
“Bagus kalau kau tahu,” kata Cioe Tian.
Yo Siauw segera mengajak tamu-tamunya masuk ke
dalam dan seorang pelayan menyuguhkan teh.
Tiba-tiba si pelayan mengeluarkan teriakan menyayat
hati. Boe Kie tak tahu sebabnya, tapi teriakan itu
membangunkan bulu romanya.
Beberapa saat kemudian, Wie It Siauw tertawa dan
berkata, “Co soe cia, kau telah membinasakan pelayanmu.
Aku pasti akan membalas budimu itu.” Ia mengucapkan
kata-kata itu dengan suara lantang dan bersemangat. Boe
1286
Kie terkejut, sekarang ia tahu bahwa si Kelelawar telah
membunuh dan menghisap darah pelayan itu.
“Di antara kita tak ada soal budi,” kata Yo Siauw
dengan tawar. “Bahwa Hok-ong sudi datang ke sini
merupakan bukti bahwa ia menghargai aku.”
Ketujuh orang itu adalah jago utama dari Beng-kauw.
Walaupun di antara mereka terdapat perselisihan tapi
pertemuan yang terjadi pada saat Beng-kauw menghadapi
musuh-musuh berat telah membangunkan semangat.
Sehabis makan kue-kue mereka segera merundingkan usaha
untuk melawan musuh.
Swee Poet Tek menaruh karung di samping kakinya. Boe
Kie lapar dan haus tapi ia tak berani bersuara atau bergerak.
Yang hadir berjumlah tujuh orang tapi seperti enam karena
Leng Kiam tak pernah membuka mulut.
Sesudah berunding beberapa lama, Pheng Hweeshio
berkata, “Cie san Liong-ong dan Kim mo Say-ong tak
ketahuan ke mana perginya, sedang mati hidupnya Kong
beng Yoe-soe juga belum dapat dipastikan. Mereka bertiga
tak usah dimasukkan ke dalam perhitungan. Di pihak kita,
bentrokan antara Ngo Beng-kie dan Peh Bie-kauw yang
makin lama makin hebat dan kedua belah pihak menderita
kerusakan besar. Andaikata mereka bisa berdamai dan bisa
datang ke sini, jangankan hanya enam, dua belas atau
delapan belas partaipun pasti akan dapat dipukul mundur.”
Seraya menyentuh karung dengan ujung kaki, Swee Poet
Tek berkata, “Bocah ini berada di dalam Peh Bie-kauw dan
iapun telah berbudi besar kepada Ngo Beng-kie. Mungkin
sekali dikemudian hari ia akan memainkan peranan penting
dalam usaha mendamaikan permusuhan di antara kita.”
Wie It Siauw tertawa dingin. “Sebelum Kauwcoe dipilih,
perselisihan dalam kalangan agama kita pasti tak akan bisa
1287
dibereskan,” katanya.
“Manusia yang paling tinggi kepandaiannya tak akan
berhasil mendamaikan kita. Co-soe cia, aku yang rendah
ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu. Sesudah
musuh dipukul mundur, siapakah yang akan didukung
olehmu untuk menjadi Kauwcoe?”
“Siapa yang bisa mendapatkan Seng Hwee-leng dialah
yang jadi Kauwcoe,” jawabnya tawar. “Ini adalah
peraturan agama kita. Perlu apa kau bertanya lagi?”
Wie It Siauw tertawa nyaring. “Seng Hwee-leng sudah
hilang kira-kira seratus tahun,” katanya.
“Apakah sebegitu lama Seng Hwee-leng tidak muncul,
sebegitu lama juga Beng-kauw tidak mempunyai Kauwcoe?
Bahwa enam partai persilatan sudah berani menyerang
adalah karena mereka tahu terjadinya perpecahan di dalam
Beng-kauw.”
“Wie heng, kau benar,” kata Swee Poet Tek. “Po-tay
Hweeshio tidak miring ke manapun juga. Aku bukan orang
partai In, juga bukan dari partai Wie. Siapapun juga
menjadi Kauwcoe disetujui olehku. Yang penting, kita
harus mempunyai Kauwcoe. Andaikata belum ada
Kauwcoe, untuk sementara waktu, boleh juga diangkat
seorang wakil Kauwcoe. Kalau tak ada orang yang
memegang tampuk pimpinan, bagaimana kita bisa melawan
musuh secara teratur?”
“Aku menyetujui pendapat Swee Poet Tek,” kata Tiat
Koan Toojin.
Paras muka Yo Siauw lantas saja berubah, “Apa maksud
sebenarnya kedatangan kalian?” tanyanya. “Apa kalian
mau membantu atau mau menyusahkan aku?”
Cioe Tian tertawa terbahak-bahak. “Yo Siauw,” katanya.
1288
“Apa kau rasa aku tak tahu maksudmu mengapa kau tetap
tak mau memilih seorang Kauw coe? Sebegitu lama Bengkauw
belum punya Kauwcoe, begitu juga kau sebagai Kong
Beng Co-soe, yang mempunyai kedudukan paling tinggi.
Huh-huh!...bukankah benar begitu? Tapi meskipun kau
menduduki kursi tertinggi, tak seorangpun mau mendengar
segala perintahmu. Apa gunanya? Apa kau bisa
memerintah Ngo Beng-kie? Apa kau mampu menyuruh
keempat Hoe kauw Hoat-ong? Kami, kelima Ngo Sian-jin
hidup bagaikan awan bebas dan burung ho liar. Bagi kami,
Kong Beng Co-soe tidak berarti apapun.”
Mendadak Yo Siauw bangkit. “Dalam menghadapi
musuh dari luar, Yo Siauw tidak mempunyai waktu bersilat
lidah dengan kalian,” katanya dingin. “Apabila kalian rela
mengawasi hidup matinya Beng-kauw dan berpangku
tangan, silakan kalian turun dari Kong Beng-teng! Kalau Yo
Siauw masih bernafas, dikemudian hari ia akan melayani
kalian satu demi satu.”
“Yo Co-soe, kau jangan marah,” bujuk Pheng Hweeshio.
“Serangan enam partai kepada Beng-kauw mengenai setiap
murid dari agama kita. Urusan ini bukan urusan kau
seorang.”
“Tapi mungkin dalam agama kita ada orang-orang yang
mengharapkan matinya aku,” sindir Yo Siauw. “Matinya
Yo Siauw berarti tercabutnya paku biji mata mereka.”
“Siapa orang itu?” bentak Cioe Tian.
“Siapa kepotong, dia merasa perih,” jawabnya. “Tak
perlu aku menyebutkan namanya.”
“Kau maksudkan aku?” teriak Cioe Tian dengan gusar.
Yo Siauw tidak menghiraukannya. Ia memandang ke
arah lain.
1289
Melihat kegusaran kawannya, Pheng Hweeshio buruburu
membujuk. “Kata orang, saudara berkelahi, yang lain
tertawa. Meski kita cekcok dan berkelahi seperti langit
roboh dan bumi terbalik, kita tetap merupakan saudara
sendiri. Menurut pendapatku, sementara waktu kita tunda
saja soal pemilihan Kauwcoe. Sekarang ini kita harus
merundingkan siasat untuk melawan musuh.”
“Eng Giok Taysoe memang tahu urusan,” puji Yo
Siauw. “Pendapatnya tepat sekali.”
“Bagus!” teriak Cioe Tian. “Kepala gundul she Pheng
tahu urusan, Cioe Tian tidak tahu urusan!” Ia sudah kalap
dan tanpa memperdulikan apapun ia berteriak pula.
“Kauwcoe kita harus dipilih hari ini juga! Aku
mengusulkan Wie It Siauw. Si Kelelawar berkepandaian
tinggi dan banyak tipu dayanya. Dalam Beng-kauw, siapa
yang bisa menandingi dia?” Sebenarnya antara Cioe Tian
dan Wie It Siauw tidak ada hubungan erat. Tapi sekarang,
dalam gusarnya ia mengusulkan Ceng ek Hok-ong sebagai
Kauwcoe untuk mengganggu Yo Siauw.
Yo Siauw tertawa terbahak-bahak, “Menurut
pendapatku, paling baik kita angkat Cioe Tian sebagai
Kauwcoe,” katanya. “Sekarang Beng-kauw sudah
berantakan dan kalau dijungkir balikkan oleh Kauwcoe
besar Cioe Tian, agama kita akan lebih sedap
dipandangnya.” (Perkataan “Tian” dari Cioe Tian bisa
berarti juga “kacau” atau “gila”)
Bukan main gusarnya Cioe Tian. “Bangsat!” ia
membentak sambil menghantam Yo Siauw.
Pada belasan tahun berselang, pertengkaran dalam
urusan pemilihan Kauwcoe, Ngo Sian-jin telah bersumpah
untuk tidak menginjak Kong Beng-teng. Secara mendadak
mereka datang pula. Sedari tadi, Yo Siauw memang sudah
1290
curiga dan selalu waspada. Begitu Cioe Tian memukul, ia
segera menarik kesimpulan bahwa dengan mengajak Wie It
Siauw, Ngo Sian-jin memang sengaja ingin mengepung dia.
Maka itu, dengan penuh kegusaran ia segera menangkis
dengan tangan kanannya.
Melihat tangkisan itu Wie It Siauw terkejut, sebab pada
telapak tangan Yo Siauw terlihat sinar hijau, yaitu serupa
pukulan yang dinamakan Ceng Tiok-cioe (pukulan bamboo
hijau). Ia tahu bahwa sesudah menolong dirinya, tenaga
dalam Cioe Tian belum pulih kembali sehingga kawannya
itu pasti tidak akan bisa menyambut pukulan tersebut.
Maka itu, bagaikan kilat ia mendahului menangkis. Kedua
tangan bentrok tanpa mengeluarkan suara dan segera
menempel keras satu sama lain.
Ternyata, biarpun sedang gusar, tapi mengingat bahwa
Cioe Tian adalah saudara seagama maka waktu memukul
Yo Siauw tidak menggunakan segenap tenaga. Tapi dilain
pihak pukulan Han peng Bian-ciang (pukulan kapas yang
dingin bagaikan es) dari Wie It Siauw bukan main
dahsyatnya.
Begitu bentrok, Yo Siauw merasa tangannya gemetar
dan semacam hawa yang sangat dingin menerobos masuk
ke dalam dagingnya. Ia kaget dan buru-buru mengerahkan
Lweekang yang lebih besar sehingga kedua lawan itu lantas
saja mengadu tenaga dalam.
“Orang she Yo!” bentak Cioe Tian. “Sambutlah lagi
pukulanku!” sambil membentak tangannya menghantam
dada Yo Siauw.
“Cioe Tian, tahan!” teriak Swee Poet Tek.
“Yo Co-soe! Wie Hok-ong! Berhentilah! Kalian tidak
boleh berkelahi dengan kawan sendiri,” sambung Pheng
Eng Giok sambil mengangkat tangannya utnuk menyambut
1291
pukulan Cioe Tian.
Tapi Yo Siauw sudah lebih dulu miringkan badannya
dan mengangsurkan lengannya dan telapak tangan kirinya
lantas saja menempel dengan telapak tangan kanan Cioe
Tian.
“Cioe Tian, dua lawan satu bukan perbuatan seorang
gagah,” kata Swee Poet Tek. Ia meraih pundak Cioe Tian
untuk ditarik mundur. Tapi sebelum tangannya menyentuh
pundak, mendadak ia melihat badan kawannya gemetaran.
Ia kaget tak kepalang. Ia tahu bahwa di dalam kalangan
Beng-kauw, Yo Siauw memiliki kepandaian yang tinggi.
Apakah dengan hanya sekali beradu tangan, Cioe Tian
sudah terluka berat?
“Cioe Tian, di antara saudara sendiri perlu apa mengadu
jiwa?” katanya sambil menarik pundak sang kawan. “Yo
Co-soe, harap kau menaruh belas kasihan,” katanya lagi. Ia
berkata begitu sebab kuatir Yo Siauw mengirim serangan
susulan.
Diluar dugaan, begitu ditarik badan Cioe Tian
bergoyang-goyang tapi tangannya tidak bisa lepas dari Yo
Siauw. Hampir berbarengan, Swee Poet Tek merasakan
serangan semacam hawa dingin yang menerobos masuk
dari telapak tangan terus ke ulu hati. Ia terkesiap. Ia tahu
bahwa Wie It Siauw mempunyai pukulan Han peng Bianciang
yang tersohor di kolong langit. Apakah Yo Siauw
juga memiliki pukulan itu? Buru-buru ia mengerahkan
Lweekang untuk melawan hawa dingin itu. Tapi serangan
hawa dingin itu makin lama jadi makin hebat dan lewat
beberapa saat, giginya sudah gemeletukan.
Mau tak mau, Tiat Koan Toojin dan Pheng Eng Giok
maju juga, yang satu membantu Cioe Tian, yang lain
menolong Swee Poet Tek. Dengan mempersatukan
1292
Lweekang keempat Sian-jin barulah hawa dingin bisa
ditahan.
Tenaga yang keluar dari telapak tangan Yo Siauw
seakan-akan bergelombang pasang surut, sebentar enteng
sebentar berat. Keempat orang itu tidak berani melepaskan
tangannya sebab mereka kuatir Yo Siauw akan menyerang
pada detik mereka melepaskan tangan. Kalau sampai terjadi
begitu, andaikan tidak mati mereka sedikitnya akan
mendapat luka berat.
Sesudah bertahan beberapa lama, Swee Poet Tek
berkata, “Yo Tay hiap, terhadap kau kami…,”
perkataannya putus di tengah jalan karena mendadak ia
merasa darahnya seperti mau membeku. Ternyata waktu
bicara tenaga dalamnya tidak dapat lagi menahan serangan
hawa dingin. Cepat-cepat ia memperbaiki keadaannya.
Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw dan keempat
Sian-jin sudah payah sekali tapi Yo Siauw masih tenangtenang
saja. Leng Kiam yang masih tetap menonton makin
lama jadi makin heran. “Meskipun berkepandaian tinggi,
kepandaian Yo Siauw hanya kira-kira sebanding dengan
kepandaian Wie It Siauw,” pikirnya. “Sepantasnya Wie It
Siauw dan empat kawanku pasti akan dapat
merobohkannya. Tapi mengapa dia yang lebih unggul?”
Benar-benar heran. Ia seorang yang sangat cerdas tapi
sesudah mengasah otak beberapa lama, belum juga ia dapat
memecahkan teka-teki itu.
“Setan…maka…dingin…pukul…punggungnya,” kata
Cioe Tian terputus-putus.
Tapi Leng Kiam yang belum dapat menebak sebab dari
keanehan itu masih tak mau turun tangan. Antara Ngo
Sian-jin, hanya ia seorang yang belum turut bertanding dan
hanya ia seorang pula yang dapat menyingkirkan
1293
malapetaka. Jika ia turut mengerubuti sebelum dapat
memecahkan teka-teki itu, belum tentu pihaknya mendapat
kemenangan.
Lewat beberapa saat, muka Cioe Tian dan Pheng Eng
Giok sudah berubah biru dan mereka tak akan bisa bertahan
lebih lama lagi. Leng Kiam tahu, kalau racun dingin masuk
ke dalam isi perut mereka bisa celaka, ia segera merogoh
saku dan mengeluarkan lima batang pit (pena Tionghoa)
kecil yang terbuat dari perak murni.
“Lima pit ini akan menghantam Kim tie, Kie koet, Yang
kee, Ngo lie dan Tiong touw hiatmu,” katanya. Kelima
“hiat” itu terletak di tangan dan kaki dan bukan “hiat” yang
membinasakan. Ia sengaja mengatakan begitu supaya Yo
Siauw tahu bahwa maksudnya hanya untuk menghentikan
pertandingan.
Yo Siauw hanya tersenyum, ia tidak memperdulikan.
“Maaf!” teriak Leng Kiam seraya mengayunkan kedua
tangannya dan dengan berbaring, lima sinar putih
menyambar.
Mendadak Yo Siauw menekuk lengan kirinya dan Cioe
Tian berempat lantas saja tertarik ke depannya. Hampir
berbarengan, Pheng Hweeshio dan Cioe Tian mengeluarkan
teriakan kesakitan karena lima batang pit itu mampir tepat
di badan mereka, dua di badan Cioe Tian dan tiga di badan
Pheng Eng Giok. Untung juga Leng Kiam memang tidak
bermaksud untuk mencelakai orang. Ia melempar tanpa
mengeluarkan banyak tenaga dan lemparan itu tidak
ditujukan ke arah jalan darah yang berbahaya sehingga luka
kedua orang itu tidak membahayakan jiwa.
“Kiam koen Tay lo-ie!” bisik Pheng Eng Giok (Kiam
koen Tay lo-ie, memindahkan langit dan bumi).
1294
Mendengar perkataan itu Leng Kiam tersadar.
Di dalam sejarah Beng-kauw, Kiam koen Tay lo-ie
adalah ilmu yang terhebat, dasarnya ilmu itu sederhana
saja, yaitu berdasarkan ilmu “meminjam tenaga untuk
memukul tenaga” dan ilmu “empat tahil memukul ribuan
hati”. Tak usah dikatakan lagi, dalam dalil yang sangat
sederhana itu terdapat perubahan-perubahan yang
menakjubkan dan tidak bisa ditaksir oleh manusia biasa.
Selama banyak tahun dalam kalangan Beng-kauw ilmu itu
belum pernah disebut-sebut orang, maka tidaklah
mengherankan jika Ngo Sian-jin dan Wie It Siauw tidak
segera mengenalinya.
Dengan Kiam koen Tay lo-ie, Yo Siauw menggunakan
Han peng Bian ciang dari Wie It Siauw untuk menyerang
keempat Sian-jin dan tenaga keempat Sian-jin untuk
menghantam Wie It Siauw. Ia sendiri di tengah-tengah dan
tanpa mengeluarkan tenaga, mengadu domba kedua tenaga
dari lawannya.
“Kiong hie!” kata Leng Kiam. “Kami tidak bermaksud
jahat. Hentikanlah pertandingan.”
Leng Bian Sianseng adalah orang yang selalu bicara
sedikit mungkin. “Kiong hie” berarti itu memberi selamat
yang sudah tidak dikenal selama kurang lebih seabad
kepada Yo Siauw, disamping sungkan bicara banyakbanyak,
Leng Kiam pun orang jujur sehingga jika ia
mengatakan “tidak bermaksud jahat”, mereka tentu tidak
bermaksud jahat. Sebagai bukti lima pit perak itu hanya
digunakan untuk menghentikan pertandingan dan bukan
digunakan untuk mencelakai orang. Mengingat itu, Yo
Siauw lantas saja tertawa terbahak-bahak. “Wie heng, Soe
wie Sian-jin,” katanya, “Sesudah aku menghitung satu, dua,
tiga, kalian tarik pulang tenaga dengan berbarengan supaya
tak sampai terluka.”
1295
Wie It Siauw dan keempat Sian-jin lantas saja
menganggukkan kepala.
Yo Siauw tersenyum dan menghitung,
“Satu!…dua!...tiga!” Berbarengan dengan perkataan tiga ia
menarik pulang Kiam koen Tay lo-ie Sin-kang. Mendadak
saja ia merasa punggungnya dingin dan semacam totokan
hampir tepat di Sim to hiat punggungnya.
Yo Siauw mencelos hatinya. Ia menduga Wie It Siauw
yang main gila. Baru saja mau membalas tiba-tiba badan
Ceng ek Hok-ong terkulai dan terus jatuh terguling. Tak
salah lagi, Wie It Siauw pun dibokong orang! Selama
hidupnya Yo Siauw sudah kenyang mengalami gelombang
hebat. Maka itu, meskipun sudah terpukul, ia tak jadi
bingung. Bagaikan kilat ia melompat ke depan dan lalu
memutar tubuh. Ia mendapati kenyataan bahwa Cioe Tian,
Pheng Eng Giok, Tiat Koan Toojin dan Swee Poet Tek juga
sudah roboh, sedangkan Leng Kiam tengah menyerang
seseorang yang mengenakan jubah warna abu-abu. Orang
itu menangkis dan Leng Bian Sianseng mengeluarkan suara
“heh” seperti orang kesakitan.
Buru-buru Yo Siauw menarik nafas dalam-dalam dan
lalu melompat untuk membantu Leng Kiam. Sekonyongkonyong
merasakan serangan semacam hawa dingin yang
naik dari Sim to hiat dan terus menerjang ke Sin cu, To to,
Toa toei Hong hoe dan lain-lain “hiat” di seluruh tubuh.
Yo Siauw tahu ia sedang menghadapi bencana. Orang
itu bukan saja berkepandaian tinggi tapi juga sangat licik
dan beracun yang membokong pada detik Wie It Siauw,
keempat Sian-jin dan ia sendiri menarik pulang tenaga
Lweekang. Sekarang ia tak bisa berbuat lain daripada segera
mengerahkan hawa dingin itu. Ia merasa hawa dingin itu
berlainan dengan hawa Han peng Bian-ciang dari Wie It
Siauw. Hawa itu lebih halus, tapi jalan darah yang diserang
1296
lantas saja kesemutan. Dalam keadaan waspada dan
dengan tenaga dalam yang melindungi dirinya, Yo Siauw
takkan bisa diserang dengan totokan apapun juga. Tapi
sekarang ia sudah dibokong. Melihat Leng Kiam dalam
bahaya, ia segera mengambil keputusan untuk menolong
dengan menahan sakit.
Tapi baru saja bertindak dan menggerakkan tangan, ia
sudah menggigil dan tenaganya menghilang.
Waktu itu Leng Kiam sudah bertempur dua puluh jurus
lebih dan ia sudah tak dapat mempertahankan diri lagi. Yo
Siauw bingung. Dilain saat Leng Kiam tertendang. Musuh
melompat dan menotok lengan Leng Kiam yang lantas saja
jatuh terjengkang. Yo Siauw kaget bercampur gusar. Ia
menganggap bahwa karena Leng Kiam bisa meladeni
musuh dalam dua puluh jurus lebih. Maka kepandaian
musuh itu belum tentu lebih tinggi daripada
kepandaiannya. Tapi celakanya, ia sudah dibokong dan tak
berdaya.
Boe Kie yang berada di dalam karung sudah mendengar
semua kejadian itu. Waktu Yo Siauw dan keempat Sian-jin,
ia kuatir kedua belah pihak terluka berat. Ia ingin sekali
menyaksikan pertandingan itu tapi dalam karung gelap
gulita. Ia girang waktu Leng Kiam berhasil menghentikan
pertandingan. Tak disangka datang musuh yang
membokong. Ia tahu Yo Siauw masih berdiri tegak tapi
mendengar gemeletukan gigi dan beratnya nafas, iapun
mengerti bahwa jago itu sudah tak bertenaga lagi.
Untuk beberapa detik, keadaan sunyi senyap.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari dalam berlarilari
keluar.
“Thia! Siapa yang datang? Mengapa kau tak
memperkenalkan mereka kepadaku?” Itu suara seorang
1297
wanita. Jantung Boe Kie memukul keras.
“Adik Poet Hwie!” katanya dalam hati.
“Pergi…pergi…Lebih jauh lebih baik…,” seru Yo Siauw
dengan nafas tersengal-sengal.
Melihat keadaan dalam ruangan itu, Poet Hwie terkejut.
“Thia…apa kau terluka?” tanyanya. Ia berpaling kepada si
jubah abu-abu dan bertanya, “Apa kau yang melukai
ayahku?”
Orang itu tidak menyahut, ia hanya tertawa dingin.
“Poet Hwie!” teriak Yo Siauw. “Turutilah perintah ayah!
Ayo pergi!”
Poet Hwie sebenarnya ingin menyerang si jubah abu-abu,
tapi ia ragu dan kemudian ia mendekati dan memeluk
ayahnya.
“Bocah, pergi!” bentak si jubah abu-abu dengan suara
menyeramkan.
Si nona tidak menghiraukannya, “Thia,” katanya. “Mari
kita istirahat.”
Yo Siauw tertawa getir. “Kau pergilah lebih dahulu,”
jawabnya. Ia mengerti bahwa ia tidak akan bisa meloloskan
diri dengan begitu mudah. Poet Hwie mengawasi si jubah
abu-abu seraya berkata, “Hweeshio, mengapa kau
membokong ayahku?”
Orang itu tertawa tawar. “Bagus!” katanya. “Matamu
sangat tajam. Kau bisa mengenali bahwa aku seorang
hweeshio. Hm…aku tak bisa mengampuni kau lagi!” Ia
mengibaskan tangannya dan lalu menotok Peng hong hiat si
nona.
Hati Yo Siauw mencelos. Jika kena, putrinya pasti akan
binasa. Pada detik berbahaya, walaupun Lweekangnya
1298
belum pulih, dengan nekat ia menyikut dada si hweeshio.
Jari tangan kiri orang itu menyambar dan menotok
Siauw hau hiat, di bawah siku Yo Siauw tapi karena
serangan itu, sambaran jari tangan kanannya agak mirip
dan tidak kena pada jalan darah yang membinasakan si
nona.
Sebagai seorang ayah yang sangat menyintai putrinya,
sambil menahan dingin, Yo Siauw menendang hingga
tubuh si nona terbang keluar dari ruangan itu kemudian ia
berdiri di tengah-tengah pintu supaya si pendeta tidak bisa
mengejar.
“Bocah itu sudah kena It im cieke,” katanya dengan
suara dingin. “Belum tentu dia bisa hidup tiga hari tiga
malam lagi.” Ia mengawasi Yo Siauw dan berkata pula,
“Nama besar dari Kong Beng Soecia memang bukan nama
kosong. Sudah kena dua totokan, kau masih bisa berdiri.”
“Kong Kian Taysoe, pendeta suci dari Siauw Lim adalah
seorang yang welas asih dan mulia hatinya,” kata Yo
Siauw. “Sungguh tak disangka ia mempunyai seorang
murid yang terkutuk seperti kau. Kau tentulah seorang
murid dari deretan Goan. Goan apa namamu?”
Si jubah abu-abu terkejut. “Hebat! Sungguh hebat!” ia
memuji. “Matamu benar hebat. Kau sudah bisa melihat asal
usulku. Pinceng bernama Goan-tin.” (Pinceng - Aku si
pendeta yang miskin)
Boe Kie kaget tak kepalang. “Orang itu telah menghajar
Siauw Lim Kioe-yang kang kepadaku,” pikirnya. “Dia tahu
bahwa dalam tubuhku mengeram racun Hian beng Sinciang
tapi dia sengaja membuka pembuluh darahku
sehingga racun dingin itu sukar diusir dari dalam badanku.
Dilihat begini, dia bukan saja berilmu tinggi tapi juga sangat
jahat. Dalam enam partai persilatan, mungkin sekali dia
1299
yang paling hebat. Hm…kali ini Beng-kauw harus
menerima nasib.”
Sementara itu Yo Siauw sudah berkata pula, “Dalam
permusuhan antara enam partai dan beng-kauw, sebagai
laki-laki sejati kita harus bertempur dengan senjata secara
berhadap-hadapan tapi kau…,” ia tidak bisa meneruskan
perkataannya, kedua lututnya lemas dan ia jatuh duduk di
lantai.
Goan-tin tertawa terbahak-bahak, “Semenjak jaman
purba, di dalam peperangan orang menarik keuntungan
dengan siasat luar biasa dan dalam memimpin tentara orang
memang biasa menggunakan tipu daya,” katanya. “Aku
Goan-tin seorang sudah bisa merobohkan tujuh jago utama
dari Beng-kauw. Apakah kamu masih penasaran?”
“Bagaimana kau bisa mencuri masuk di Kong Bengteng?”
tanya Yo Siauw. “Bagaimana kau bisa mengenal
jalan-jalan rahasia di gunung ini? Jika kau mau
memberitahukan, biarpun mati Yo Siauw akan mati dengan
mata meram.”
Berhasilnya Goan-tin dalam serangan ini tentu saja
disebabkan oleh kepandaiannya yang tinggi. Tapi
disamping itu masih ada sebab lain yang lebih penting,
yaitu pengetahuannya mengenai jalan-jalan rahasia
sehingga ia bisa meloloskan diri dari pengawasan belasan
rombongan penjaga dan akhirnya berhasil membokong
ketujuh jago itu.
Goan-tin tertawa dan menjawab, “Orang-orang Mokauw
menganggap bahwa Kong Beng-teng yang
mempunyai tujuh puncak dan tiga belas tebing sebagai
tempat yang tak akan bisa dilewati manusia. Tapi di mata
pendeta Siauw Lim, tempat itu hanyalah jalanan raja yang
tidak ada rintangannya. Kamu semua sudah kena totokan It
1300
im cie. Dalam tempo tiga hari, semua akan berpulang ke
alam baka. Sesudah itu aku akan mendaki puncak Co Bonghong
dan menanam beberapa belas kati obat pasang
kemudian pinceng akan mencoba memadamkan api
siluman dari Mo-kauw. Peh Bie-kauw, Ngo Beng-kie dan
lain-lain akan mencoba menolong, ‘Belendung’, obat
pasang itu meledak dan seluruh Mo-kauw musnah tiada
bekas! Inilah yang dinamakan dengan seorang diri pendeta
Siauw Lim memusnahkan Beng-kauw, tujuh siluman Kong
Beng-teng bersama-sama pulang ke See thian.” (See thian
Langit Barat berarti alam baka)
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru