Rabu, 26 April 2017

Cerita Silat Mandarin Online 10 Toliongto

Cerita Silat Mandarin Online 10 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Mandarin Online 10 Toliongto
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Mandarin Online 10 Toliongto
Muka Biat coat merah padam. "Dimana dia?" bentaknya
pula, "Aku mau cari dia!"
"Menurut keterangannya, dia bertempat tinggai dipuncak
Co bong hong dipegunungan Koen loen san," jawabnya,
"Tempat tinggalnya itu hanya di beritahukan kepada teecoe
seorang. Tiada orang lain yang mengetahuinya. Soehoe,
apa dia musuh partai kita?"
"HMm!" Biat coat mengeluarkan suara dihidung, "Bukan
hanya musuh besar dari partai kita, Toa soepehmu, Kouw
hung Coen cia dan pentolan Koen loen pay, Yoe liong coe,
mati karena memedi Yo Siauw."
Siauw Hoe ketakutan, tapi dalam rasa, takut itu
berecampur dengan rasa bangga. Kouw bong Coe cia dan
Yoe liong coe adalah jago-jago Bu lim yang namanya
tersohor, Tapi mereka mati karena "dia".
Murid murid Go bie mengetahui, bahwa guru mereka
dan Toasoepeh Kouw bong Coen cia adalah dua murid
terutama dari sang Soe Couw, tapi mereka tak tahu, bahwa
diwaktu muda, kedua orang itu saling mencinta dan
sesudah Kouw bong Coe cia meninggal dunia, barulah Biat
909
coat mencukur rambut.
Biat coat mendongak mengawasi langit dan mulutnya
mencaci. "Bangsat Yo Siauw...... sekarang kau jatuh juga
kedalam tanganku!" Tiba-tiba ia putar tubuh seraya berkata.
"Baiklah! Kau mempunyai banyak kedosaan: menyerahkan
diri kepadanya dan melindungi Pheng Hweeshio, berdosa
terhadap kakak seperguruan, menjustai guru, diam-diam
memelihara anak. Itu semua bisa diampuni olehku.
Sekarang aku ingin memerintahkan kau melakukan sesuatu
tugas. Sesudah berhasil, kau boleh kembali ke Go bie san
dan aku akan mengangkat kau sebagai ahli waris,
mewariskan Ie thian kiam kepadamu dan kemudian hari
kau akan menjadi Ciang boenjin dari partai kita!"
Semua orang kaget, lebih lebih Teng Bin Koen Yang
lantas saja timbul rasa jelusnya dan menganggap bahwa
sang guru sangat memilih kasih.
"Biarpun mesti masuk kedalam lautan api, teecoe tak
akan menolak perintah Soehoe," kata Siauw Hoe. "Tapi
karena sudah bercacad, teecoe tidak berani memikir untuk
menjadi seorang ahli waris."
"Ikut aku!" kata sang guru seraya menarik tangan Siauw
Hoe dan bertindak keluar. Mereka mendaki sebuah
tanjakan dan berhenti diatas sebidang tanah rumput.
Boe Kie tidak mengerti apa maunya pendeta itu. Dengan
berdiri ditempat tinggi sesudah mengawasi keempat
panjuru, barulah Biat coat menarik tangan Siauw Hoe dan
bicara dikuping muridnya ini. Apa yang dikatakannya tentu
saja rahasia besar, sehingga kedua orang muridnya yang
lain tidak diperbolehkan turut mendengar.
Dengan mata tidak berkesip, Boe Kie terus mengawasi
mereka. Sesudah menundukkan kepala beberapa lama,
Siauw Hoe kelihatan menggelengkan kepalanya beberapa
910
kali dengan sikap yang pasti. Boe Kie mengerti bahwa sang
bibi telah menolak perintah Biat coat. Sesaat kemudian, si
pendeta mengangkat tangan kirinya, tapi tangan itu berhenti
diudara dan ia bicara lagi rupanya sedang coba membujuk
pula. Jantung Boe Kie memukul keras. Siauw Hoe
kelihatan berlutut dan kepalanya tetap digeleng-gelengkan.
Tiba-tiba tangan Biat coat turun menghantam batok kepala
muridnya, yang lantas saja roboh terguling. Hati Boe Kie
mencelos... bukan main rasa dukanya.
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa nyaring,
suara Yo Poet Hwie yang menubruk punggung Boe Kie.
"Aha! Sekarang aku berhasil menangkap kau!" teriak si
cilik.
Dengan cepat Boe Kie mencekal tangan si nona dan
menutup mulutnya. "Sst! Jangan ribut," bisiknya. Melihat
muka sang kakak yang pucat pasi, si nona jadi kaget dan
ketakutan.
Biat coat kembali kerumah Ceng Goe dengan cepat
sekali. "Bin Koen, binasakan anak haram itu," ia
memerintah. "Jangan tinggalkan bibit penyakit."
Sesudah adik seperguruannya dihukum, biarpun hatinya
senang, Bin Koen merasa agak takut. Mendengar perintah
itu, ia segera berjalan pergi untuk mencari Poet Hwie.
Sambil memeluk si none, Boe Kie menyembunyikan diri
diantara rumput alang-alang yang tinggi. Dengan berbisik ia
minta supaya Poet Hwi jangan bersuara dan menyerahkan
segala apa kepada putusan Tuhan. Untung juga, sesudah
mencari cari beberapa lama, Bin Koen tidak ingat kepada
rumput tinggi yang bisa digunakan sebagai tempat
bersembunyi. Baru saja ia mau menyelidiki terlebih teliti,
gurunya sudah mencaci: "Manusia goblok! Anak kecil saja
kau tak mampu cari."
911
Murid Biat coat yang satunya lagi, Pwee Kim Gie
namanya, mempunyai hubungan baik dengan Siauw Hoe.
Melihat kekejaman sang guru ia merasa sangat tak tega.
Maka itu, ia lantas saja berkata: "Soehoe, tadi kulihat anak
itu lari keluar selat." Ia tahu, bahwa jika diberitahukan
begitu, sang guru, yang beradat sabaran, tentu tidak mau
berabe untuk mencari terlebih jauh. Ia merasa, bahwa
sebagai anak yatim piatu yang baru berusia lima enam
tahun, Poet Hwie belum tentu bisa hidup terus. Tapi biar
bagaimana jua, mati lapar atau mati diterkam binatang buas
ada lebih baik daripada mati ditikam Teng Bin Koen.
"Mangapa kau tidak beritahukan sedari tadi?" tanya Biat
coat dengan mendongkol. Dengan menggunakan ilmu
ringan badan, ia segera berlari-lari keluar selat, dengan
diikuti oleh kedua muridnya. Poet Hwie yang tak tahu,
bahwa ia baru saja terlolos dari lubang jarum, mengawasi
Boe Kie dengan mata penuh pertanyaan.
Sesudah tindakan ketiga orang itu tidak terdengar lagi,
sambil menuntun Poet Hwie, Boe Kie berlari-lari mendaki
tanjakan. "Boe Kie Koko, orang jahat sudah pergi semua
bukan?" tanyanya sambil tertawa. "Kau mau mengajak aku
bermain-main diatas gunung, bukan?"
Boe Kie tidak menjawab. Melihat Poet Hwie sudah
lelah, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mendukungnya
dan terus lari secepat mungkin kearah Kie Siauw Hoe yang
menggeletak diatas tanah. Sesudah dekat, barulah Poet
Hwie melihat ibunya. Ia meronta turun dari dukungan Boe
Kie dan kemudian menubruk ibunya. "Ibu! Ibu!..,."
teriaknya.
Boe Kie buru-buru berlutut dan memeriksa ke adaan
sang bibi. Napas Siauw Hoe tinggal sekali kali dan batok
kepalanya remuk, sehingga biarpun ditolong dewa, ia tak
akan bisa hidup terus.
912
Perlahan-lahan Siauw Hoe membuka kedua matanya.
Melihat puterinya dan Boe Kie, matanya berlinang air dan
bibirnya bergerak. Ia mau bicara, tapi tak sepatah perkataan
bisa keluar dari mulut nya. Boe Kie segera mengeluarkan
jarum emas dan menusuk jalan darah Sinteng, Gin tong dan
Sin wie. Semangat Siauw Hoe terbangun dan ia berkata
dengan suara lemah: "Aku memohon....
memohon....supaya kau mengantarkan Poet Hwie kepada
ayahnya...". Lengan kirinya meraba dada, seperti mau
mengeluarkan sesuatu, tapi mendadak ia berkelejat dan
menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Sambil menangis keras Poet Hwie memeluk jenazah
ibunya. "Ibu!...ibu!.... Mengapa kau?.... sakit?...." ia
sesambat.
Hati Boe Kie seperti disayat ratusan pisau. Ia ingat,
bahwa ia sendiri pernah menangis begitu sambil memeluk
jenazah kedua orang tuanya. Tanpa merasa, air mata
mengalir turun dikedua pipinya.
Sesudah kenyang memeras air mata Boe Kie ingat pesan
sang bibi dan segera mengambil keputusan untuk
menunaikan tugas itu. Ia hanya tahu bahwa orang itu
bertempat tinggal dipuncak Co bong hong, dipegunungan
Koen loan san. Ia tak tahu dimana adanya gunung itu yang
sebenarnya berada dalam jarak berlaksa li. Dilain saat, ia
juga ingat, bahwa sebelum meninggal dunia, sang bibi
meraba dada, seperti mau mengeluarkan sesuatu. Ia lantas
saja meraba leher Siauw Hoe dan mengeluarkan sepotong
Kiat (??) pay (lembaran besi) yang atasnya diukir gambar
setan yang menyeringai dan mengangkat cakarnya. Pay
tersebut digantung dileher Siauw Hoe dengan selembar tali.
Boe Kie tak tahu apa adanya benda itu, tapi ia lalu
membukanya dan kemudian menggantungnya dileher Poet
Hwie. Sesudah itu, ia mengambil cangkul menggali sebuah
913
lubang dan lalu menguburkan jenazah Siauw Hoe. Ketika
itu karena lelah, Poet Hwie sudah pulas. Waktu si nona
cilik tersadar, dengan berbagai akal ia coba membujuknya,
antara lain ia mengatakan, bahwa sang ibu telah terbang
kelangit dan nanti, sesudah sekian lama akan kembali
didunia. Dasar anak kecil, si nona akhirnya dapat juga
dilabui.
Malam itu, sesudah masak nasi dan makan secara
sembarangan, Boe Kie yang sudah terlalu capai, tidur pulas
dengan nyenyak sekali. Pada kepaginya, setelah membuntal
pakalan dalam dua buntalan kecil, ia mengajak Poet Hwie
untuk memberi selamat tinggal dan memohon keberkahan.
Sesudah itu, kedua yatim piatu berjalan keluar dari Oaw
tiap kok....
Boe Kie sama sekali tidak bersenjata. Semula ia ingin
membawa potongan tongkat San ouw kim, tapi dicari-cari,
tidak ketemu dan ia menduga, bahwa potongan senjata itu
telah dibawa oleh Teng Bin koen. Mengenai bekal, ia hanya
mempunyai tujuh delapan tahil perak yang diambilnya dari
buntalan Kie Siauw Hoe. Ia tak tahu di mana adanya Koen
loen san. Ia hanya menduga, bahwa gunung itu jauh sekali
dan uang sebegitu tentulah sangat tidak mencukupi. Tapi
apakah yang dapat diperbuat olehnya?
Sesudah berjalan setengah hari, barulah mereka keluar
dari selat Ouw tiap kok. Karena Poet Hwi masih sangat
kecil, mereka maju dengan lambat sekali. Sebentar
mengaso, sebentar jalan lagi. Pada malam,itu mereka
berada di delam hutan dan diantara kegelapan malam,
mereka mendengar macam-macam binatang burung hantu.
Poet Hwie ketakutan dan mulai menangis keras. Boe Kie
juga takut, tapi dalam keadaan, begitu mau tidak mau ia
terpaksa harus membesarkan hati. Tiba tiba ia malihat
sebuah guha. Hatinya jadi girang benar, dan sambil
914
menuntun Poet Hwie, ia masuk ke dalam guha itu. Dengan
kedua tangan ia menekap kuping si nona supaya dia tidak
mendengar suara-suara yang menakutkan.
Dengan menahan rasa lapar, haus dan takut, kedua anak
itu melewati sang malam. Pada keesokan paginya, Boe Kie
mencari bebuahan hutan untuk menangsal perut dan
kemudian mereka meneruskan perjalanan. Di waktu
magrib, selagi enak-enak berjalan, sekonyong-konyong poet
Hwie berteriak dan tangannya menuding sebuah pohon.
Boe Kie menengok. Ia terkasiap dan sambil menarik tangan
Poet Hwie, ia segera lari. Yang dilihat mereka adalah dua
mayat yang menggelantung di pohon itu. Baru saja belasan
tombak, kaki Boe Kie tersandung batu dan roboh terguling.
Waktu merangkak bangun, dengan memberanikan hati, ia
menengok kepohon dan tanpa merasa ia berteriak. "Ouw
Sinshe!" Waktu ia menengok, secara kebetulan angin
meniup dan mayat itu terputar, sehingga mukanya
menghadapi Boe Kie yang segera mengenali bahwa muka
itu adalah muka Ouw Ceng Goe. Yang satunya lagi adalah
mayat wanita dan dilihat dari pakainnya, dia pasti bukan
lain dari pada Ong Lan Kouw. Dalam cuaca yang sudah
hampir gelap, pemandangan itu sungguh menyeramkan dan
bulu roma Boe Kie bangun semua.
Sesudah bangun berdiri, si bocah berkata didalam
hatinya: "Tidak boleb, aku tidak boleh menjadi seorang
pengecut."
Setindak demi setindak, ia maju dan mendekati. Dari
sebelah kejauhan ada dilihatnya sinar keemas emasan dipipi
kedua mayat itu. Sesudah didekati, sinar itu ternyata keluar
dari bunga emas. "Ah! Ouw Sinhe dan Soe bo tidak terlolos
dari tangan Kim-Hoa popo", ia mengeluh. Kereta yang
ditumpangi mereka berada dalam sebuah selokan dalam
keadaan hancur, sedang bangkai keledaipun terdapat dalam
915
selokan itu.
Malam itu Boe Kie dan poet Hwie tidur dibawah pohon.
Kira-kira tengah malam mereka disadarkan oleh bunyi
binatang. Dibawah sinar rembulan, mereka melihat lima
enam ekor anjing hutan sedang menggerogoti bangkai
keledai. Dengan hati berdebar-debar, buru-buru Boe Kie
mendukung Poet Hwie dan memanjat sebuah pohon.
Anjing-anjing itu coba mengudak dan kemudian jalan
berputar putar dibawah pohon. Sedang beberapa lama
beberapa lama, barulah mereka meninggalkan pohon itu
dan berpesta pora lagi dengan daging keledai. Pada esokan
paginya, barulah kawanan binatang itu berlalu.
Sesudah anjing-anjing itu pergi jauh, Boe Kie baru berani
turun. Ia segera membuka tambang dan menurunkan
jenazah suami isteri Ouw Ceng Goe. Tiba-tiba terdengar
suara "plak" dan dari atas jatuh sejilid buku. Boe Kie segera
menyambutnya dan diatas buku itu, buku tulisan tangan,
tertulis seperti berikut: "Tok soet Tay coan" (Kitab lengkap
mengenai racun).
Boe Kie membalik-balikkan lembaran yang penuh
dengan huruf-huruf kecil. Buku itu menjelaskan sifatnya
macam-macam binatang beracun, burung beracun, kutu
beracun, rumput beracun, dari yang biasa sampai yang aneh
aneh. Cara mengganakannya dan cara mempunahkannya.
Sesudah memasukkannya ke dalam saku, dia kemudian
mengubur jenazah suami-istri Ouw Ceng Goe dengan
menumpuk batu-batu tanah dan rumput diatasnya. Sesudah
selesai dan memberi hormat dengan berlutut beberapa kali,
sambil menuntun tangan Poet Hwie, ia segera meneruskan
perjalanannya.
Diwaktu lohor mereka bertemu dengan jalan raya dan
tak lama kemudian, mereka tiba disebuah kota kecil.
Mereka lalu mencari rumah makan, atau warung untuk
916
menangsal perut. Tapi sungguh heran, semua rumah tiada
penghuninya dan kota kecil itu sunyi senyap bagaikan
kuburan. Dengan apa boleh buat, mereka berjalan terus.
Waktu itu adalah musim rontok, yaitu musim panen,
tapi apa yang tertampak disawah sawah yang tanahnya
kering melela hanyalah rumput alang alang. Boe Kie
bingung karena ia tidak mengerti apa artinya itu semua.
Kawan yang satu-satunya, tidak bisa diajak berdamai.
Bahwa dengan menahan lapar si noni cilik masih bisa
berjalan terus, sudah dapat dikatakan mujur.
Berjalan sampai sore, mereka tiba disebuah hutan. Tibatiba
Boe Kie melihat mengepulnya asap. Ia merasa girang
sekali, sebab sedari keluar dari selat Ouw tiap kok, baru
sekarang ia melihat asap yang berarti adanya mauusia.
Buru-buru mereka menuju kearah asap itu.
Waktu sudah berdekatan, mereka melihat lima orang
lelaki yang pakaiannya compang-camping badannya kurus
kering dan mukanya pucat pasi, sedang berduduk disekitar
sebuab perapian dan diatas api terdapat sebuah kuali yang
apinya bergolak-golak seperti sedang memasak sesuatu.
Begitu melihat Boe Kie dan Poet Hwie, paras muka
mereka berubah terang. Dengan serentak mereka
berbangkit. "Bagus! Bocah, mari sini!", kata salah seorang
sambil menggapai.
"Kami sangat lapar sekali dan ingin meminta sedikit
makanan," kata Boe Kie, "Sebagai tanda terima kasih, kami
akan memberi sedikit uang perak."
"Kau mempunyai uang? Coba keluarkan," kata yang
seorang.
Boe Kie merogoh saku dan mengeluarkan sepotong
perak.
917
Sambil membetot potongan perak itu, dia bertanya.
"Mana orang tuamu?"
"Kami hanya berdua, tak mempunyai lain kawan,"
Jawab Boe Kie.
Kelima lelaki itu tertawa terbahak-bahak dan saling
mengawasi satu sama lain.
Karena didorong rasa lapar, Boe Kie melongok kedalam
kuali. Begitu melihat, hatinya mencelos karena apa yang
dimasak mereka hanyalah daun-daun akar, dan sedikit ubiubian.
Sambil menyeringai, salah seorang mencekal tangan Poet
Hwie dan berkata "Kambing ini gemuk sekali. Malam ini
kita bisa makan kenyang!"
"Ya! Yang lelaki bisa ditunda sampai besok."
menyambungi kawannya.
Tak kepalang kagetnya Boe Kie. "Kau.... kau..... mau....
makan daging manusia?" tanyanya terputus-putus.
Seorang yang bertuhub jangkung menyeringai dan
berkata dengan suara dalam: "Sudah tiga bulan aku tak
permih makan nasi. Daripada mampus ada lebih baik
makan, daging manusia." seraya berkata begitu, ia
menjambret leher Boe Kie.
Boe Kie mengegos, tangan kirinya menangkis, tangan
kanannya menepuk pinggang orang itu. Semejak kecil, ia
telah belajar silat di bawah pimpinan Kim-mo Say-ong Cia
Soen dan kemudiau dia juga mempelajari ilmu silat dari
Boe-tong pay. Meskipun selama dua tahun lebih ia tidak
berlatih silat karena repot mempelajari ilmu ketabiban,
tetapi apa yang sudah dipelajarinya adalah ilmu-ilmu silat
kelas satu di dalam Rimba Persilatan. Maka itu, tepukan
tersebut, yang cukup hebat untuk merobohkan ahli silat
918
biasa, tentu saja tak dapat ditahan oleh lelaki itu. Tanpa
mengeluarkan suara, dia terpelanting tanpa betkutik lagi.
Seorang kawannya menubruk dan coba menancapkan
pisaunya kedada Boe Kie. Bagaikan kilat Boe Kie
menendang dengan kaki kanannya, dan pisau itu terbang ke
tengah udara. Ia menendang dengan tendangan Wan yo
Lian hoan toei yang saling susul dan sesudah kaki kirinya
mampir dijanggut orang itu yang lantas saja jatuh
terjengkang. Sesudah merobohkan dua orang, buru-buru ia
menghampiri Poet Hwie yang sudah mulai menangis.
Tiba-tiba ia meresakan angin dibelakangnya dan dua
orang menubruk punggungnya. Dengan sekali berkelit,
kedua penyerang itu menubruk tempat kosong. Dengan
cepat la menjambret leher baju mereka dan lalu
menggentuskan kepala mereka. Waktu dilepaskan, mereka
roboh dalam keadaan pingsan.
Sekarang hanya ketinggalan seorang saja. Biarpun empat
kawannya sudah dijatuhkan, ia kelihatannya tidak merasa
jerih dan sambil menghunus golok, io menerjang. Melihat
senjata tajam, sedang ia sendiri bertangan kosong Boe Kie
jadi keder, tapi dengan mengepos kesana kesini ia berhasil
menyelamatkan diri dari tiga bacokan. Dalam bacokan
keempat, orang itu menggunakan seantero tenaganya.
Dengan cepat Boe Kie berkelit dan ia membacok angin.
Apa celaka, karena terlalu bernapsu dan menyerang dengan
seluruh tenaga, ia terhuyung dan jatuh terguling. Tanpa
menyia nyiakan kesempatan baik, Boe Kie menendang
dengan menggunakan ilmu meminjam tenaga sehingga
tubuh orang itu terpental dan jatuh kedalam kuali yang
airnya bergolak-golak.
Jika Boe Kie diperintah untuk bertempur melawan lima
orang itu, ia pasti tak akan berani. Biarpun sedari kecil ia
sudah belajar silat, ia masih belum tahu kepandaiannya
919
sendiri. Kalau bukan sedang menghadapi bahaya besar, ia
tentu tak akan berlaku nekat. Sesudah merobohkan lima
orang itu, ia tercengang dan setelah semangatnya
berkumpul kembali, ia merasa sangat girang.
Baru saja hatinya tenteram, tiba-tiba terdengar suara
tindakan kaki dan beberapa orang masuk kedalam hutan.
Mendengar suara manusia, Poet Hwie yang belum hilang
takutnya lantas saja menubruk dan memeluk Boe Kie eraterat.
Begitu melihat orang orang yang mendatangi, Boe Kie
jadi girang. "Kan Toaya! Sie Toaya!" serunya.
Ternyata, antara mereka itu yang terdiri dari lima orang,
yang satu adalah Kan Ciat dan yang situ lagi Sie Kong Wan
bersama dua saudara seperguruannya. Mereka berempat
telah disembuhkan Bor Kie waktu terlika akibat pukulan
Kim-Hoa Popo. Orang yang kelima adalah seorang pemuda
yang barusan kira-kira duapuluh tahun dan berparas angker.
Dengan pemuda itu, Boe Kie belum, pernah bertemu muka.
Kan Ciat mengawasi dan berkata. "Saudara Thio, kau
juga berada disini? mengapa orang itu?" Seraya menanya,
dia menuding kelima orang yang rebah ditanah.
Dengan suara mendongkol, Boe Kie lalu menceriterakan
apa yang sudah terjadi. Sebagai penutup ia berkata: "Celaka
sungguh! Mereka mau coba makan kami berdua. Untung
juga aku berhasil merobohkannya."
Selagi Boo Kie bicara,Kan Ciat mengawasi Poet Hwie
dengan sorot mata luar biasa dan berkata dengan suara
perlahan: "Lima hari lima malam tak pernah menelan
sebutir nasi... hanya gegares kulit pohon dan rumput....
Hmmm! Dagingnya begitu montok ..... " Melihat sinar
mata kelaparan, seolah-olah sinar mata anjing hutan yang
sangat menakuti, Boe Kie terkejut dan buru-buru ia
memeluk Poet Hwie.
920
"Mana ibunya?" tanya Sie Kong Wan.
"Kie Lie hiap pergi membeli beras," jawab Boe Kie.
Apa mau Poet Hwie menyelak: "Bukan! Ibu telah
terbang kelangit!"
Kan Ciat dan Sie Kong Wan menyeringai.
Mereka tahu, bahwa itu berarti Kie Siauw Hoe sudah
meninggal dunia.
Sie Kong Wan tertawa dingin. "Beli beras?" tanyanya
dengan nada mengejek, "jikalau bisa mendapatkan sebutir
beras dalam jarak lima ratus li di sekitar tempat ini, kau
betul-betul pintar"
Dengan lirikan mata, Kan Ciat memberi isyarat kepada
Sie Kong Wan. Tiba-tiba mereka melompat dengan
berbareng, Kan Ciat mencekal kedua tangan Boe Kie,
sedang Sie Kong Wan memeluk Poet Hwie.
Boe Kie terkesiap. "E-eh Mau apa kamu?", tanyanya.
"Di seluruh Hong yang hoe semua manusia kelaparan,"
jawab Kan Ciat. "Dalam menghadapi kebinasaan, kami
harus menolong diri sendiri. Nona itu bukan sanak
familimu. Dia dapat menyambung jiwa kami...."
"Manusis celaka!" caci Boe Ka dengan kegusaran yang
meluap-luap. "Kamu, manusia-manusia yang menamakan
diri sendiri sebagai orang orang Rimba Persilatan, tapi mau
melakukan perbuatan terkutuk itu? Sungguh memalukan!
Apa kamu tidak merasa malu, menjadi manusia sehina itu?"
Dalam laparnya memang Kan Ciat sudah tidak
mengenal malu. Mendengar cacian pedas ia jadi gusar dan
lalu menggaplok muka Boe Kie keras. "Binatang! Kaupun
akan mengalami nasib seperti dia!" bentaknya.
Bagaikan kalap Boe Kie meronta-ronta, tapi Seng cioe
921
Ka lam adalah seorang ahli sitat dan cekalannya keras
bagaikan besi. Kedua soeteenya Sie Kong Wan segera
mengambil tambang yang lalu digunakan untuk mengikat
kedua anak itu.
Sesudah dibelenggu, Boe Kie menghela napas. Ia merasa
bahwa hari ini ia akan menyusul kedua orang tuanya di
alam baka. Dalam gusarnya, ia merasa menyesal, bahwa ia
sudah menolong jiwanya keempat manusia itu.
"Binatang kecil" caci Kan Ciat. "Kau sudah mengobati
lukaku dan didalam hatimu kau sekarang pasti sedang
mengutuk aku."
"Manusia hina-dina!" teriak Boe Kie, "Kamu membalas
kebaikan dengan kejahatan. Kalau tidak ditolong aku,
sekarang kamu sudah berada dilobang kubur."
"Saudard Thio." kata Sie Kong Wan sambil bersenyum
senyum, "kau sudah menolong kami dan untuk itu kami
merasa berhutang budi. Tapi sekaranq kami sedang
menghadapi kebinasaan karena lapar. Kalau mau
menolong, kau harus menolong sampai diakhirnya. Dan
kamu sekarang sekali lagi kami memerlukan
pertolonganmu.
Keganasan Kan Ciat sudah menyeramkan, tapi
kekejatnan Sie Kong Wan yang mengunjuk
ketelengasannya sambil tertawa-tawa lebih menyeramkan
lagi. Boe Kie jadi nekat dan berteriak: "Aku adalah murid
Boe tong, sedang adikku muid Go-bie-pay. Kebinasaan
kami berdua tidak menjadi soal. Tapi apakah kamu kira
lima pendekar Boe-tong dan Biat-coat Soetbay akan
menyudahi perbuatanmu dengan begitu saja?"
Kan Ciat terkejut. Ia merasa bahwa ancaman bocah itu
bukan ancaman kosong, sebab Boetong pay dan Gobie pay
memang tidak boleh dibuat permainan.
922
Tetapi Sie Kong Wan tertawa terbahak bahak. "Kejadian
di hari ini diketahui oleh Langit, oleh Bumi, oleh kau dan
oleh aku. Bocah! Sesudah kau berada dalam perut kami kau
boleh mengatakan kepada Thio Sam Hong."
Kan Ciat turut tertawa dengan sinting. "Kau benar, kau
benar," katanya. "Saudara Thio, untuk menolong jiwa,
kami sesungguhnya tak dapat berbuat lain." Sehabis berkata
begitu, ia berpaling kepada kedua soetenya Sie Kong Wan
dan membentak: "Mengapa kamu berdiri seperti patung?
Pergi ambil air dan cari kayu bakar!"
Kedua orang itu mengangguk dan lalu berjalan pergi.
"Sie Toaya," kata Boe Kie dengan suara memohon,
"jikalau kalian mau juga makan daging manusia, makanlah
dagingku saja seorang. Aku memohon supaya kamu suka
membebaskan adik kecil itu. Kalau permintaanku dilulusi,
biarpun mati aku tak akan merasa menyesal."
"Mengapa begitu?" tanya si manusia she Sie.
"Karena pada waktu mau menutup mata, ibunya telah
meminta pertolonganku supaya aku mengantarkan dia
kepada ayahnya," jawab Boe Kie. "Kan Toaya, dengan
makan aku seorang kurasa kamu sudah cukup kenyang dan
besok kamu bisa membeli kerbau atau kambing untuk
dijadikan barang santapan selaajutnya. Kan Toaya, Sie
Toaya, ampunilah adikku itu."
Melihat kesatriaan bocah itu, mau tak mau hati Kan Ciat
tergerak juga, ia mengawasi Sie Kong Wan dan bertanya:
"Bagaimana pikiranmu?"
"Ini soal kecil," jawabnya. "Tapi kalau rahasia ini bocor,
dikemudian hari kite berabe sekali. Song Wan Kiauw, Jie
Lian Coe dan yang lain-lain tentu akan cari kita. Wan
Toako, jika kau mempunyai jalan untuk menghadapi
923
mereka, aku tidak berkeberatan."
"Tak salah", kata Kan Ciat sambil mengangguk. "Aku
sungguh tolol. Aku tidak memikir apa yang mungkin terjadi
dihari kemudian."
Sesaat itu, seorang Hwa san pay sudah kembali dengan
membawa air dikuali. Boe Kie mengerti, bahwa bahaya
sudah sangat dekat. "Poet Hwie moay-moay," katanya.
"kau bersumpahlah, bahwa kau tak akan menceritakan
kejadian dihari ini kepada siapapun jua."
Tapi anak itu yang belum mengerti apapun jua lantas
saja menangis keras. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakak
itu sedang menawarkan jiwa sendiri untuk menolongnya.
Pemuda yang tidak dikenal Boe Kie, yang parasnya
angker, terus duduk ditanah tanpa mengeluarkan sepatah
kata. Sekarang Kan Ciat mengawasinya dan berkata: "Cie
Siauw Sie, kalau mau turut makan daging kambing, kau
harus bekerja."
"Baik," kata pemuda itu sambil mencabut sebilah golok
pendek dari pinggangnya. Sesudah menggigit goloknya, ia
mengangkat Boe Kie dan Poet Hwie dan lalu berjalan
kearah satu sungai kecil, Boe Kie meronta-ronta dan
mencaci kalang kabutan, tapi dia tidak meladeni.
Tapi baru saja ia ber jalan belasan tindak, Sie Kong Wan
mendadak berteriak: "Cie Siauw Sie! Disini saja!"
Siauw Sie berjalan terus, "Disungai lebih baik," jawabnya
dengan suara tidak terang, sebab giginya sedang menggigit
golok.
"Disini! Aku kata disini, disini!" teriak pula Sie Kong
Wan. Ternyata manusia she Sie itu lihay juga otaknya.
Melihat sianar mata dan sikap pemuda itu yang agak luar
biasa, ia bercuriga.
924
Sekonyong konyong Siauw Sia berteriak. "Lekas lari" Ia
melepaskan kedua anak itu ditanah dan memotong
tambang yang mengikat tangan mereka.
"Terima kasih untuk budimu yang sangat besar," kata
Boe Kie seraya menarik tangan Poet Hwie dan lalu lari
sekeras-kerasnys.
Sambil berteriak, Kan Ciat dan Sie Kong Wan
mengubar. "Tahan!" bentak Siauw Sia sambil menghadang
ditengah jalan.
Melibat pemuda itu berdiri dengan sikap angker sambil
melintangkan goloknya, kedua manusia itu agak jeri.
"Minggir kau!" bentak Kan Ciat.
"kita adalah orang-orang Kangouw yang harus
mempunyai rasa kesatriaan," kata Siauw Sia. "Apa kamu
tidak merasa malu kalau kamu mencelakakan anak kecil
itu?"
"Jangan rewel!" teriak Kong Wan dengan gusar. "Dalam
kelaparan, aku akan gegares siapa pun jua." Ia menggapai
kedua soeteenya dan berteriak pula: "Ubar mereka!"
Sementara itu, melihat Poet Hwie tidak bisa lari cepat.
Boe Kie lalu mendukungnya dan kabur sekuat tenaga. Tapi
apa mau dikata, sebagai seorang anak tanggung, ditambah
dengan beban yang berat, ia tidak dapat secepat orang
dewasa. Sebelum keluar dari hutan itu, mereka sudah
dicandak oleh kedua murid Hwa san pay. Buru-buru Boe
Kie menurunkan si nona dari dukungan dan dengan nekat
ia menyerang kedua pengejarnya. Pukulannya yang
pertama ditangkis oleh salah seorang. "Plak!" badannya
terhuyung beberapa tindak.
"Bangsat cilik! Lihay juga kau!" bentak orang itu yang
merasakan beratnya pukulan si bocah. Dengan berbareng
925
mereka menghunus golok dan berlangsunglah pertempuran
ganjil. Dua orang dewasa yang bersenjata mengerubuti
seorang anak yang bertangan kosong. Ketika itu, Boe Kie
sudah tidak memikiri jiwanya lagi, sambil mengegos dan
melompat kian kemari, ia berteriak-teriak menyuruh Poet
Hwie lekas-lekas melarikan diri.
Dilain pihak, Siauw Sia pun sudah dikepung oleh Kan
Ciat dan Sie Kong Wan. Baru bergebrak beberapa jurus, ia
sudah keteter. Selang beberapa jurus lagi golok Ken Ciat
mampir dilututnya yang lantas saja mengucurkan darah. Ia
mengerti, bahwa dilanjutkannya pertempuran akan berarti
kebinasaannya. Maka itu, sesudah menimpuk Sie Kong
Wan dengan goloknya, ia melompat dan terus kabur. Sie
Kong Wan berkelit dan golok itu jatuh ditanah.
Sambil berlari, Siauw Sia berteriak: "Saudara Thio,
jangan takut. Aku pergi untuk mengambil bala bantuan."
Kan Ciat dan Sie Kong Wan lantas saja menyusul kedua
kawannya dan dengan mudah mereka menawan pula kedua
anak itu, yang lalu diikat lagi kedua tangannya.
Kan Ciat mengawasi Sie Kong Wan dengan mata
mendelik. "Orang she Cie itu bukan manusia baik," katanya
dengan mendongkol. "Bagaimana dia berjalan bersamasama
kamu?"
"Kami kertemu ditengah jalan," jawab Sie Kong Wan.
"Siapa tahu dia orang baik atau orang jahat? Menurut
katanya, dia she Cie bernama Tat. Kau jangan percaya
omongannya. Sekarang sudah hampir malam. Dari mana
dia mau mengambil bala bantuan?"
"Kalau didengar dari suaranya, dia penduduk Hongyang,"
menyelak seorang Soetee Sie Kong Wan, "Biarpun
dia membawa semua penduduk kampung, kita tidak usah
takut."
926
"Penduduk Hong-yang?" menegasi Kan Ciat sambil
menyeringai. "Ha ha! Jangankan berkelahi berjalanpun
mereka sudah tak mampu. Hayolah Aku sudah kuat
menahan rasa lapar." Mereka segera kembali keperapian.
Sesudah tertangkap lagi, Boe Kie dihajar babak belur,
pakaiannya robek dan isi sakunya terserak ditanah. Tibatiba
matanya tertumbuk dengan sejilid buku yang kertasnya
kuning dan karena di tiup agin, lembaran buku itu terbuka.
Buku itu ialah Tok Soei Tay coan milik Ong Lan Kouw. Ia
sekarang sudah tidak memikir untuk hidup dan
memperdulikan apapun jua.
Sesudah mikir begini setengah mati, begitutupun tiada
jalan hidup, Boe Kie malah jadi tenang. Pada saat
pikirannya bersih itulah, secara tidak disengaja matanya
melirik pula ke lembaran buku itu, dan secara kebetulan
pula halaman yang terbuka adalah bagian rumput2 beracun.
Hatinya tertarik juga dan ia lalu membacanya. Pada bagian
itu secara jelas diterangkan bentuk, bau warna, sifat dan
cara memunahkannya macam rumput2 beracun.
Sesudah membaca beberapa saat, ia menghela napas. Ia
ingat, bahwa beberapa detik lagi, ia akan berkumpul dengan
roh orang tuanya.
Sekonyong2, waktu melirik kesebelah kiri, matanya
tertumbuk pula dengan segundukan rumput yg berwarna
sangat menyolok indah, segar dan mengkilap. Mendadak
saja, dalam otak nya berkelebat serupa ingatan.
“Apa tak bisa jadi rumput beracun? Menurut buku ini,
rumput yg mengandung racun indah warnanya. Kalauy
benar rumput itu rumput beracun, jiwa Poet Hwie moay
moay masih bisa ditolong.” Pada saat itu ia sudah tidk
memikir untuk menyelamatkan jiwa sendiri. Dengan masih
mengeramnya racun dingin didalam tubunya, anmdaikata
927
hari ini ia selamat, paling banyak ia hanya bisa hidup
beberapa bulan lagi., Apa yg dipikirnya ialah usahan
menolong Poet Hwie, guna memenuhi permintaan
mendiang Kie Siauw Hoe.
Dengan perlahan ia menggulingkan badan kearah
rumput itu. Karena kedua tangannya terikat kebelakang, ia
lalu membelakangi rumput itu dan kemudian mencabutnya.
Sungguh untung, gerak geriknya itu tidak diperhatikan oelh
musuh2nya yg sedang diserang dengan rasa lapar dan
tengah memusatkan perhatiannya keapda air yg hamper
mendidih. Sekonyong konyong ia melompat bangun dan
sambil mengawasi kejurusan larinya Cie Tang ia berseru,
“Cie Taoko, banyak sungguh temanmyu! Tolong! Tolong!”
Dengan terkejut, Kan Ciat dan tiga kawannya segera
menghunus senjata. Mereka mengawasi kea rah yg diawasi
Boe Kie. Dengan menggunakan kesempatan itu, Boe Kie
mundur dua tindak dan melepaskan segabung rumput yang
dicekalnya kedalam kuali.
Melihat tidak ada manusia, Kan Ciat mencaci” Bangsat!
Kau boleh berteriak sekali lagi, sekuatmu! Tak ada manusia
yang akan menolong kau.”
“Hayolah, perlu apa banyak2 bicara,” kata Sie Long
Wan yg sudah merasa tidak sabaran.
“Sie Tonya, aku haus,” kata Boe Kie dengan suara
memohon. “Tolong berikan semangkok air panas untukku.
Sesudah mati, setanku tak akan mengganggu kau.”
“Baiklah,” jawabnya sambil menyeringai. Ia lalu
menyendok semangkuk dari dalam kuali dan
mengangsurkannya ke mulut si bocah.
Sebelum mangkok menempel pada bibirnya Boe Kie
sudah berseru, “Aduh! Wangi sungguh apa yg dimasak?”
928
Boe Kie tidak berdusta. Rumput yg tadi di
cemplungkannya kedalam kuali tanpa diketahui orang,
memang mengeluarkan bebauan sangat harum yg diendus
juga oleh Kan Ciat dan kawan2nya. Sesudah kelaparan
beberapa hari, bau harum itu membangkitkan napsu makan
memperhebat rasa lapar mereka. Oleh karena begitu,
sebaliknya dari memberikan kepada si bocah, KongWan
lalu menceguk sendiri “kuwah” rumput itu. Astaga, benar2
sedap!, katanya ia segera menyendok semangkok lagi dan
menghirupnya dengan bernapsu.
Kan CIat mendongkol bukan main. Ia melompat dan
merebut mangkok itu lalu digunakan untuk menyendok
“kuah” harum dan segera meminumnya. Dengan
beruntung ia menghabiskan 3 mangkok penuh. Kedua
soeteenya Sie Kong Wan pun masing2 minum 2 mangkot.
Sesudah menderita kelaparan berhari hari “kuah” yang
hangat itu mendatangkan perasaan nyaman dan mereka
mengusap usap perut sambil menyeringai. Kan Ciat yang
masih merasa tidak puas lalu mengambil rumputnya dari
dalam kuali dan sesudah mengunyah cepat2 segara
menelannya. Diantara mereka tak seorangpun yg menanya
dari mana datangnya rumput itu.
“Nah! Sekarang kita boleh bekerja dengan semangat,”
kata Kan Ciat sambil ketawa lebar. Sinar matanya lanta saja
mengeluarkan sorot kepuasan dan dengan mencekal golok,
ia menghampiri Poet Hwie.
Melihat rumput itu belum mengeluarkan akibat suatu
apa, Boe Kie menarik kesimpulan bahwa rumput tersebut
bukan rumput beracun.
“Habislah jiwaku!” ia mengeluh.
Tapi, baru saja Kan Ciat mengkah dua tindak mendadak
ia berteriak “aduh!” sambil memegang perut. Di lain detik,
929
badannya bergoyang goyang dan ia roboh berguling
ditanah.
“Kan heng, mengapa kau?” tanya Sie Kong Wan sambil
menghampiri dan coba membangunkannya. Tapi sekali
membungkuk, ia tak dapat melempangkan pinggannya lagi!
Ia terjungkal kesamping si orang she Kan tanpa berkutik
lagi. Dua orang murid Hwa San Pay yang lain bahkan
tanpa mengeluarkan suara.
“Oh Langit! Oh Bumi! Terima kasih atas
pertolonganmu!” teriak Boe Kie dengna suara parau sedang
air mata mengalir turun di pipinya.
Dengan bergulingan ia mendekati dan menjemput golok
yg jatuh dari tanan Kan Ciat dan kemudia
menggunakannya untuk memutuskan tambang yg mengikat
tangan Poet Hwe. Sesudah tangannya bebas si nona lalu
coba menolong kakaknya dan ia baru berhasil sesudah
melukakan tangan Boe Kie di dua tempat.
Tak usah menceritakan lagi kegirangan kedua anak itu,
sesudah berpeluk2an beberapa lama barulah Boe Kie
nengok mayak Kan Ciat dan kawan2nya. Ternyata muka
mereka berwarna hitam dan otot2 pada menonjol keluar,
sehingga kelihatannya menakuti sekali. “Racun bisa
mencelakakan manusia, tp jg bisa menolong manusa baik,”
kata Boe Kie dalam hati. Ia lalu mengambil pulang Tok
beot Tay coan dan memasukkannya kedalam saku, dengan
niatan untuk mempelajarinya di hari kemudian.
Dengan saling menggandeng tangan, kedua anak itu
berjalan keluar dari hutan yg menyeramkan. Baru saja
mereka mau mencari jalanan se-konyong2 disebelah timur
terlihat obor2 dan tujuh delapan orang yg membawa rupa2
senjata kelihatan mendatangi. Merek ketakutan dan buru2
menyembunyikan diri di rumput2 tinggi.
930
Tak lama kemudian reroton itu sudah tiba didekat
tempat persembunyian kedua anak itu. Yang berjalan
didepat Cie Tat yg membawa tombak panjang. Sambil
mengangkat obor tinggi2. Ia berteriak, “Hei manusia2
binatang! Lekas keluar untuk terima binasa!” Mereka
masuk kedalam hutan dan begitu melihat mayat2 itu,
mereka kaget bukan main.
“Saudara Thio! Saudara Thio!” teriak Cie Tat, “Dimana
kau? Kamu datang untuk menolong kalian.”
Sekarang Boe Kie tahu, bahwa kedatangan mereka
adalah untuk memberi pertolongan. Hatinya terharu dan
dengan air mata berlinang2, ia melompat keluar dari
rumput alang2. Dengan menuntun tangan Poet Hwie, ia
berlari2 menghampiri rombongan penolong itu.
“Cie Tako! Aku berada disini,” serunya.
Cie Tat girang tak kepalang, sambil memeluk si bocah. Ia
berkata, “Saudara Thio, jangan diantara anak2, sedangakan
diantara orang2 dewasapun jarang terdapat manusia yang
mempunyai jiwa kesatria seluhur kau. Aku sungguh
berkuatir. Aku kuatir kau sudah menjadi kurbannya
manusia2 itu. Tapi orang baik selalu mendapat pembalasan
baik.” Ia menanyakan cara bagaimana Kan Ciat dan
kawan2nya binasa dan Boe Kie lalu memberikan
keterangna sejelas2nya. Mendengar it, semua orang merasa
kagum dan memuji kepintaran si bocah.
“Berapa saudara ini adalah sahabat2ku sedari kecil,”
kata Cie Tat. “Hari ini kai menyembelih seekor kerbau dan
mereka sedang memasaknya di kelenteng Hong kan-sie.
Begitu aku meminta pertolongan, mereka segera mengikut
aku. Tapi kami datang terlambat dan sungguh syukur kau
sudah bisa menolong diri sendiri.” Sehabis berkata begitu,
ia segara memperkenalkan sahabat2nya itu. Seorang yg
931
mukanya persegi dan kupingnya lebar she-Thong bernama
Ho yang paras mukanya angker, she-Tong bernama Jie
yang bermuka hita dan bertubung jangkung, she-Hoa
bernama In, dan orang kulitnya bersih adalah kakak beradik
sang kaka she gouw bernama Liang, si-adik Gouw Tin dan
akhirnya seorang pendeta yg mukanya jelek dan matanya
dalam, tp bersinar sangat tajam. “Yang ini adalah Coe
Taoke,” katanya. “Ia bernama Goan Coang dan sekrang
menjadi pendeta di kelenteng Hong kak sie.”
Dia “jadi pendeta bebas” menyambungi Hoa In seraya
tertawa. “Dia tidak membaca kitab suci, pekerjaannya
hanyalah minum arak dan daging”.
Melihat paras muka Coe Goan Ciang, Poet Hwie
ketakukan dan lalu bersembunyi dibelakang Boe Kie.
“Adik kecil, jangan takut,” kata si pendeta.
“Aku makan daging, tapi tidak makan daging manusia”.
“Hayolah masakan kita rasanya sudah matang,”
mengajak Thong Ho.
“Siauw moay-moay, mari aku gendong kau,” kata Hoa
In seraya berjongkok dan sesudah menggendong Peot
Hwie, ia seraya berjalan lebih dulu dengan tindakan lebar.
Melihat cara2 mereka yg polos dan bebas, Boe Kie merasa
girang.
Sesudah berjalan empat lima li, tibalah mereka di sebuah
kelenteng. Begitu masuk diruangan sembahyang, hidung
mereka segera mengendus bebahuan sedap dari masakan
daging kerbau (xp)
“Sudah matang!” seru Gauw Liang
“Saudara Thio, kau tunggu disini,” kata Cie Tat. “Kami
akan membawa masakan itu kemari.
932
Boe Kie dan Poet Hwie segera duduk diatas tikar, sedang
Coe Goan Ciang dan kawan2 nya masuk kedalam.
Beberapa saat kemudian, mereka kembali dengan
membawa piring yang penuh daging dan sepoci arak putih.
Tanpa menyia2kan tempo, mereka segera makan minum
dengan gembira didepan patung Posat.
“Kie Tako,” kata Hoa In sambil mengunyah daging,
“peraturan agama kita semuanya bagus. Hanya sayang ada
larangan makan daging dan ini aku tidak begitu setuju.
Boe Kie terkejut. “Ah! Kalau begitu mereka orang2
Bengkauw,” katanya di dalam hati.
“Tujuan dari agama kita adalah berbuat kebaikan dan
membasmi kejahatan,” kata Cie Tat. “Larangan makan
daging hanya merupakan larang yg terakhir. Sekarang ini
tak ada beras dan ak ada sayur, apa kita lebih baik mati
kelaparan?”
“Cie Taoko benar!” kata Teng Jie sambil menepuk lutut.
“Hayo makanlah sepuas hatimu jangan terlalu rewel.”
Selagi enak makan tiba2 terdengar tindakan kaki dan
pintu depan digedor, Thong Ho melompat bangun,
“Celaka! Orang uta Wang gwee datang mencari kerbau,”
bisiknya.
Pindtu didorong keras2 dan disusul dengan masuknya
yang berbadan keras dan muka bengis “Aha! Benar saja
kerbau Wang gwee digegares kamu!” Teriak seseorang
melompat dan menyekel tangan Coe Goan Ciang.
“Pendeta bangsat!” cacai yg satunya lagi “Kami akan
menyerahkan kamu kepada tiekoan supaya dihajar
mampus.”
Coe Goan Ciang tertawa. “Kalian jangan menuduh
sembarangan,” katanya. “Mana bisa jadi aku mencuri
933
kerbau? Sebagai seorang pertapaan aku tak boleh makan
daging.”
“Apa itu bukan daging kerbau?” bentak seorang sambil
menuding sisa makanan.
Sambil memberi isyarat kepada kawan2nya dengan
lirikan mata, Coe Goan Ciang tertawa pula seraya berkata.
“Siapa kata itu daging kerbau.” Selagi si pendeta memberi
jawaban Gouw Liang dan Gouw Tin berjalan kebelakang
kedua tukang pacul itu dan dengan sekali membentak,
mereka melompat mencekal tangan kedua orang itu, yg
tidak dapat berkutik lagi.
Sambil mencabut pisau panjang dari pinggangnya, si
pendeta berkata, “Untuk bicara sebenar2nya, yg dimakan
kami bukan daging kerbau, tapi daging manusia. Sekarang
rahasia sudah diketahui kamu. Maka itu, untuk menutup
mulut kamu, jalan satu2nya ialah makan jg dagingmu,”
sehabis berkata begitu, ia membuka baju salah seorang dan
menggorehkan pisaunya didada orang.
Kedua tukang pukul itu ketakutan setengah mati dan lalu
me-mohon2 ampun. Si pendeta bersenyum. Ia menjemput
dua potong daging dan lalu memasukkan kedalam mulut
mereka. “Telan!” bentaknya. Tanpa mengunyah lagi,
mereka segera menelannya.
Sesudah itu Coe Goan Ciang pergi ke dapur dan
mengambil secekel bulu kerbau yg juga lalu dimasukkan
kedalam mulut kedua tukan pukul itu “Telan!” bentaknya
pula. Karena takut mati, sambil berjengit2 mereka terpaksa
menurut perintah.
Goan Ciang tertawa terbahak2. “Nah sekarang kamu
boleh mengadu kepada majikanmu.” Katanya. “Kamu
boleh melaporkan, bahwa yg gegaras kerbanya yalah kamu.
Huh huh!... dihadapan pembesar negeri, aku akan balas
934
menuduh kau. Aku akan menuntut supaya perutmu dibelek.
Semua orang akan lihat, bahwa kamu bukan saja sudah
gegares dagingnya, tp jg sudah menelan bulu kerbau!”
Seraya berkata begitu, ia menggoreskan pula pisaunya
dipunggung orang itu yg menggigil karena ketakutan.
Kedua saudara Gouw tertawa berkakakan. Dengan
berbareng mereka menendang pantat, kedua tukang pukul
itu yang lantas saja terpental keluar dari ruangan
sembahyang.
Setelah kaki tangan Thio Wan-gwe diusir, mereka
melanjutkan makan minum. Sambil menangsal perut,
mereka membicarakan kekejamanan hartwan itu yang
sering sekali berbuat sewenang2 terhadap penduduk
kampung. Kali ini kedua tukang pukul itu membentur
tembok dan mereka pasti tidak berani memberi laporan
kepada majikannya. Boe Kie merasa geli dan kagum.
“Biarpun mukanya jelek, pendeta she Coe itu lihay sekali,”
pikirnya.
Dalam makan minum itu, kawan2 Cie Tat
memperlakukan Bie Kie bukan seperti anak2 biasa. Setelah
mendengar kesatriaan si-bocah yang rela mengorbankan
jiwanya sendiri untuk menolong sesama manusia, mereka
menghormati anak itu yg dianggapnya sebagai seorang
sahabat yg berharga.
Sesudah makan kenyang, tiba2 Teng Ji menghela napas.
Hai! Sudah lama sekali bangsa Han ditindas oleh penjajah
asing,” katanya.
“Sampai kapan bencana kelaparan ini baru bisa lewat?”
“Hampir separuh penduduk Hong yang sudah mati
kelaparan,” kata Hoa In. “Kurasa dilain tempat pun
keadaan tidak lebih baik. Daripada mati konyol, lebih baik
kita mengadu jiwa dengan Pat-coe,” (Pat coe – Orang
935
Mongol yang pada waktu itu berkuasa di Tiongkok).
“Benar!” teriak Cie Tat. “Sungguh kecewa jika sebagai
laki2 sejati tidak bisa menolong sesama manusia yg
memerlukan pertolongan.”
“Tak salah,” menyambungi Tong Ho. “Kita pun tengah
menghadapi kebinasaan. Hari ini kita bisa makan kenyang
karena berhasil mencuri kerbau. Apa besok kita bisa
mencuri lagi?”
Makin bicara mereka makin sengit dan makin hebat
mencaci penjajah.
“Sudahlah!” kata Coe Cian Ciang. “Kita mencaci Tat
Coe disini, tapi selembar rambut Tat Coe tidan bergeming.
Jika kau benar-benar lelaki tulen, mari kita membunuh Tat
Coe!”
Dengan serentak Thong Ho dan yang lain2 melompat
bangun. “Bagus! Mari… ,mari…………..”teriak mereka.
“Coe Taoko,” Cie Tat ”Kau berusia paling tua dan
semua bersedia untuk mendenar segala perintahmu.”
Coa Cian Ciang tidak menolak, “Mulai hari ini kita
sama2 hidup dan sama2 mati,” katanya. “Ada rejiki sama2
makan ada bahaya sama2 tanggung.” Mereka mengangkat
cawan lalu meneguk kering isinya. Sesudah itu, mereka
menghunus golok membacok ujung meja sebagai sumpah
setia kawan.
Poei Hwei yg tak tahu apa artinya itu semua, jadi
ketakutan dan memeluk Boe Kie.
“Thay soehoe memesan supaya aku tidak bergaul dengan
orang2 Beng Kauw,” kata Boe Kie dalam hati. “Tetapi
perbuatan beberapa orang Beng Kauw seperti Siang Goe
Goen Taoko, Cie Taoko dan kawan2nya, banyak lebih
936
mulia daripada sepak terjang manusi2 seperti Kan Ciat dan
Sie Kong Wan yang menjadi anggota dari partai2 jurus
bersih”. Thio Sam Hong adalah orang yang paling
dihormatinya. Tapi sekarang sesudah mendapat
pengalaman pahit getir, didalam hati kecilnya ia merasa,
bahwa pandangan orang tua itu tidak tepat seluruhnya.
“Tapi biar bagaimana jua, aku tidak dapat melanggar
pesanan Thay soehoe,” pikirnya.
“Seseorang gagah tidak menjilat ludah sendiri.” Kata
Coe Coan Ciang. “Sekarang sesudah makan kenyang, kita
boleh lantas bertindak. Hari ini Thio Wan gwee
mengadakan pesta dalam gedungnya untuk menjamu Tatcoe.
Mari kita binasakan mereka!”
“Bagus!” teriak kawan2nya
“Tahan dulu!” kata Cie Tat yang lalu menggambil
keranjang kecil dan mengisinya dengan daging kerbau.
Kemudian sambil mengangsurkan keranjang itu kepada Boe
Kie, ia berkata
“Saudara Thio, kau masih terlalu kecil dan tidak bisa
mengikuti kami. Kami tak punya apapun jua dan hanya
memberikan daging ini kepada kalian. Kalau masih hidup,
dibelakangan hari kita masih bisa bertemu pula dan bisa
makan minum lagi bersama sama seperti hari ini.”
Boe Kie menyambuti keranjang itu dan berkata dengan
suara terharu.
“Aku mengharapkan kalian bisa segera berhasil
membinasakan dan mengusir semua Tat Coe, supaya rakyat
dikolong dunia bisa hidup senang.”
Mendengar perkataan itu, Coe Goan Ciang dan
kawan2nya merasa terkejut.
“Saudara Thio apa yang dikatakan olehmu benar sekali,”
937
kata pendeta itu.
“Sampai bertemu lagi,” sehabis berkata begitu, dengan
menenteng senjata bersama lawan2nya, ia segera
meninggalkan Hong-kak-sie.
“Kalau tidak membwa anak kecil, akupun akan turut
mereka,” kata Boe Kie didalam hati.
“Mereka hanya bertujuh orang dan mereka pasti tak kan
bisa melawan kaki tangan Thio Wan Geew Tat Coe yang
berjumlah besar. Mungkin sekali orang2 Thio wan Geew
akan menyerang kesini. Kelenteng ini akan berbahaya,
memikir begitu dengan membawa keranjang daging dan
menuntun tangan Poet Hwie, ia segera meninggalkan
kelenteng Hong Kak Sie.
Sesudah jalan lima enam lie, disebelah utara mereka
melihat sinar api yang berkobar kobar Boe Kie mengerti
bahwa kebakaran itu akibat serangan Coe Gian Ciang dan
kawan2nya dan ia merasa girang.
Penderita kedua anak itu suka ditutukan satu persatu.
Untung juga mungkin karena kedua orangtuanya adalah
ahli2 silat, Poet Hwie mempunya benda yang kuat sehingga
ia dapat bertahan dalam perjalanan yang penuh
kesengsaraan itu. Kadang2 ia “masuk angin” tapi begitu
diberi obat, yaitu rambut2 yg dipetik Boe Kie, ia sudah
sembuh kembali.
Dengan berjalan sambil sebentar2 berhenti untuk
mengaso, didalam suatu hari paling banyak mereka bisa
melalu duapuluh li. Kira2 setengah bulan barulah mereka
tiba di wilayah propinsi Ho Lam, yang keadaannya tidak
lebih baik dari propinsi Anhoei. Diamna mana mereka
bertemu dnegan rakyat yg kelaparan.
Untuk menyambung jiwa Boe Kie membuat busur dan
938
anak panah guna memanah burung2 dan binatang2 kecil.
Dengan mengandalkan ilmu silatnyam, ia berhasil dalam
usaanya itu. Demikianlah, biarpun sengsara mereka masih
bisa maju teus sehari kenyang,s ehari lapar. Syukur juga,
disepanjang jalan mereka tidak pernah bertemu dengan
tentara Mongol atau penjahat2 yg berkepandaian tinggi.
Bangsat2 kecil yang mau coba menggangu dengan mudah
dapat dirobohkan oleh Boe Kie.
Pada suatu hari mereka bertemu dengan seorang kakek
dan dalam omong2 Boe Kie menanyakan dimana letaknya
puncah Co Bong Hong, gunung Koen Lun San.
Kakek itu kelihatannya kaget sekali. Dengan mata
membelah ia mengawasi Boe Kie dan beberapa saat
kemudia, barulah ia berkata, “Saudara kecil, dair sini ke
Koen Loen San orang harus melewati perjalanan lebih dari
sepuluh laksa li. Menurut katanya orang, hanya Tong Ceng
(Tong taycie) yang pernah melewati gunung itu. Saudara
kecil jangan kau memikir yang tidak2. Dimana rumahmu?
Lekas pulang!”
Boe Kie terkejut. “Kalau begitu jauh, aku terpaksa
membatalkan perjalanan kesitu dan paling baik aku pergi ke
Boe-Tong san untuk berdiam2 dengan Thay soehoe,”
katanya didalam hati. Tapi di lain saat, ia mendapat pikiran
lain. “Sesudah menerima baik permintaan orang, biarpun
sukar, tak bisa aku mundur ditengah jalan. Apapula waktu
hidupku sudah tidak berapa lama lagi. Jika aku berayal dan
kuburu mati, sehingga aku tak dapat memenuhi janji di
alam baka, tak ada muka untuk menemu Kie KouwKouw.”
Memikir begitu, tanpa bicara lagi dengan si kakek, ia
menarik tangan Poet Hwie dan lalu meneruskan perjalanan.
Sesudah berjalan kurang lebih dua puluh haru lagi,
pakaian mereka sudah rombeng semua. Sebab kurang
makan, muka mereka makin pucal dan badan makin kuru.
939
Penderitaan Boe Kie bahkan ditambah dengan rewelnya si
adik yang sering2 menangis dan memanggil2 ibunya.
Dengan rupa2 akal, ia membujuk anak itu yg dicintainya
seperti saudara kandung sendiri.
Sesudah menyeberang sungai Coe ma ho, bahwa udara
jadi semakin dingin, karena pada wkatuitu sudah masuk
permulaan musim dingin. Dengah hanya menggenakan
pakaian tipis, terutama diwaktu malam, mereka serin
gmenggigil kedinginan. Satu ketuika, sebab melihat Poet
Hwie bergemetaran hebat, Boe Kie membuka bajunya dna
memberikannya kepada si adik.
“Boe Kie koko, apa kau sendiri tidak dingin?” tanya Poet
Hwie.
“Tidak aku malah kepanasan.” Jawabnya sambil
melompat2 supaya darah mengalir lebih cepat dan
badannya jadi lebih hangat.
“Kau sungguh baik!” kata si adik dengan suara perlahan.
“Kau sendiri kedinginan, tapi kau menyerahkan bajumu
kepadaku”. Mendengar perkataan itu, gerakan dari seorang
dewasa, Boe Kie tercengang.
Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bentrokan senjata,
dengan suara tindakan kaki. “Bangsat!” teriak seorang
wanita “Kau kena paku Seng-boen-teng yang beracun,
makin kau lari, makin cepat bekerjanya racun”.
Buru2 Boe Kie menarik tangan Poet Hwie dan melompat
kedalam rumput alang2 yang tumbuh di pinggir jalan.
Hampir berbareng, seorang lelaki yg berusia tiga puluh
tahun lewat bagaikan terbang, sedang beberapa tombak di
belakangnya mengikut seorang wanita ygn tangannya
mencekal sepasang golok., Walaupun larinya cepat,
tindakan lelaki itu limbung dan mendadak ia roboh
terjengkang.
940
Wanita itu menghampiri dan berkata sambil tertawa.
“Bangsat! Akhirnya kau jatuh jg kedalam tanganku.”
Sekonyong2 diluar dugaan, lelaku itu melompat bangun
dan menghantan dengan dua tangannya. “Plak!”
pukulannya mengenai tepat di dada si wanita. Pukulan yg
dikirim dengan nekat hebat luar biasa, sehingga wanita itu
lantas saja terguling, sedang sepasang goloknya terlempar
ditanah.
Dengan napas tersengal sengal, lelaki itu mencabut
sebatang paku dari pundaknya. “Keluarkan obat pemunah!”
bentaknya.
“Kau bunuh saja aku!” kata si wanita. “Ku tak punya
obat pemunah”
Sambil menempelkan ujung golok, yg dicekal di tangan
kiri, dileher wanita itu, lelaki itu lalu menggeledah saku
orang dengan tangan kanannya. Benar saja ia tak
mendapatkan apa yg dicarinya.
Wanita itu tertawa dingin, “Waktu Soehoe
memerintahkan kami untuk menangkap kau, ia telah
memberi senjata rahasia beracun, tapi tidak membekali obat
pemunah”, katanya. “Sesudah jatuh kedalam tanganmu,
aku tak memikir untuk hidup. Tapi kaupun jangan harap
bisa ketolongan.”
Lelaki itu gusang tak kepalang. Dengan geregetan ia
menancapkan Song-boen-teng beracun di pundak orang dan
membentak, “Kau juga harus turut merasakan enaknya
paku ini! Kamu, orang2 Koen-loen-pay…” Ia tak dapat
meneruskan perkataannya dan roboh ditanah.
Wanita itu mencoba merangkak bangun, tapi lukanya
terlalu hebat dan “uah!” ia memuntahkan darah.
Demikianlah kedua musuh itu, yang sama2 terluka berat,
941
rebah dengan napas memburu.
Sesusah mendapat pengalaman pahit dair manusia2
seperti Kan Ciat dan kawan2nya, Boe Kie sekarang sangat
hati2 terhadap orang2 Kang-ouw. Ia terus
menyembunyikan diri dan tak berani keluar.
Sesaat kemudian, lelaki itu menghela napas dan berkata,
“Hari ini aku Souw Hie Cie binasa di Coe-ma-tiam tanpa
tahu apa kesalahan terhadap Koe Leon Pay. Celaka
sungguh. Benar2 aku mati penasaran. Ciam Kouw Nio,
bolehkah aku memohon keteranganmu?”
Wanita itu adalah seorang she Ciam bernama Coen. Ia
tahu, bahwa paku Song-boen-teng dari gurunya
mengandung racun yang amat hebat dan mereka berdua
akan binasa bersama sama. Mengingat itu ia terduka sangat
dan berkata dengan suara perlahan. “Siapa suruh kau
mengintip waktu guruku sedang berlatih ilmu pedang. It pit
kiam sangan dirahasiakan oleh Soe Hoe. Jangankan orang
luar sedangkan muridnya sendiri bisa dikorek kedua biji
matanya, kalau murid itu berani melihat latihannya tanpa
permisi.”
“Ah!” Souw Hie Cie mengeluarkan suara tertahan dan
kemudian mencaci. “Bangsat! Tua bangka sudah mau
mampus!”
“Kurang ajar kau!” bentak Ciam Coen, “Sedang ajalmu
sudah hampir tiba, kau masih berani mencaci guruku”.
“Kalau aku mau mencaci, mau apa kau?” kata Hie Cie
dengan gusar. “Apakah aku tidak mempunyai alasan untuk
merasa penasaran? Waktu lewat di Pek-goe-san, secara
tidak sengaja, kulihat gurumu sedang bersilat dengan
menggunakan pedang. Sebab merasa ketarik, aku berhenti
dan menonton. Apakah aku mempunyai kepintaran yang
luar biasa, sehingga sekali melihat aku sudah bisa
942
memahami Leong heng It pit kiam? Andaikata aku
memiliki kecerdasan yang begitu tinggi, kamu semua
beberapa murid Koen leon pay, sudah pasti takkan bisa
mengalahkan aku. Ciam Kow nio, aku ingin
memberitahukan kau secara terang2an, bahwa menurut
pendapatku, gurumu, Thie kim Sian seng adalah manusia
yang pandangannya terlalu sempit dan jiwanya terlampau
kecil. Andaikata … ciam Kouwnio, andaikata benar aku
sudah berhasil mencuri satu dua jurus dari Liong heng It pit
kiam, kedosaanku tidaklah begitu besar, sehingga aku mesti
menerima hukuman mati”.
Ciam Coen tak bisa mengeluarkan sepatah kata. Dalam
hati kecilnya, ia pun merasa, bahwa sang guru terlalu kecil
jiwanya. Begitu lekas mengetahui, bahwa pemuda itu telah
mencuri lihat latihannya, ia segera memerintahan enam
muridnya, untuk mengubui dan membinasakan “pencuri”
itu, sehingga sebagai akibatnya mereka berdua menghadapi
kebinasaan bersama sama. Cian coen yakin, bahwa
pengakuan pemuda itu yang diberikan pada saat hampir
menghembuskan napas yang penghabisan, sudah pasti
bukan keterangan justa.
Suaw Hie Cie menghela napas dan berkata lagi. “Dia
telah memberikan senjata rahasia beracun kepadamu, tapi
tidak membekali obat pemunahnya. Dalam rimba
persilatan, mana ada orang begitu gila? Bangsat…”
“Souw Toako,” kata Ciam Coen dengan suara halus,
“Siaow moay merasa menyesal, bahwa siauw moay telah
mencelakakan kau. Bagus juga sebagai hukuman siaw moay
akan mengantar kau pulang ke alam baqa. Inilah yang
dinamakan nasib. Apakah yang siauw moay merasa lebih
menyesal ialah dalam peristiwa ini, siauw moay menyeret
toaso dan putra putrimu”.
“Istriku sudah menutup mata pada dua tahun berselang
943
dengan meninggalkan dua anak, satu laku dan satu
perempuan,” kata Souw Hie Cie. “Besok mereka akan jadi
anak yatim piatu”
“Apakah dirumahmu masih ada orang lain yang bisa
merawat anak2 itu?” tanya nona Ciam.
“Mereka dirawat oleh nsoku (nsoku – istri kakak lelaki).”
Jawabnya. “Nao hebat adanya dan licik sifatnya., Sebegitu
lama aku masih hidup, ia masih takuti aku. Hai! Mulai
besok kedua anakku itu akan sangat menderita.”
Ciam Coen yang berhati lembek lantas saja
mengucurkan airmata. “Ini semua adalah karea gara2ku”
katanya dengan suara parau.
“Tapi kau tidak boleh disalahkan,” kata Hie Cie. “Kau
telah menerima perintah gurumu dan kau tidak dapat
menolak perintah itu. Kaupun tidka mempunyai
permusuhan apapun jg denganku. Sebenar2nya, sesudah
kena senjata beracun, aku harus menerima nasib. Perlu apa
aku memukul kau dan juga melukakan kau dengan senjata
beracun? Andai kata aku tidak berbuat begitu, sebagai
seorang yang berhati mulia kau tentu tidak nolong melihat2
kedua anakku yang bernasib buruk itu.”
Nona Ciam tertawa getir. “Aku adalah penjahat yang
membinasakan kau,” katanya. “Bagaimana kau bisa
menamakan aku sebagai seorang yang berhati mulia?”
“Aku tidak menyalahkan kau, benar2 akut tidak
menyalahkan kau,” kata Hie Cie.
Demikianlah kedua orang yang tadi bertempur matian
dan saling berusaha untuk mengambil jiwa pihak lawan,
sekarang saling menghibur!
Sesudah mendengar pembicaraan itu, Boe Kie merasa
bahwa mereka bukan manusia jahat. Dalam hatiny lantas
944
saja timbul rasa kasihan, lebih lagi terhadap Souw Hie Cie
yang mampunyai dua anak yang masih mengeluarkan
rawatan. Mengingat penderitaannya sendiri sebagai yatim
piatu rasa kasihannya jadi lebih besar dan sambil menarik
tangan Poet Hie ia segera bertidak keluar dari alang2.
Andai aku bisa memutar kembali
Waktu yang t’lah berjalan
‘Tuk kembali bersama didirimu slamanya
Bukan maksud hati membawa dirimu
Masuk terlalu jauh
Ke dalam kisah cinta yang tak mungkin terjadi
Dan aku tak punya hati untuk menyakiti dirimu
Dan aku tak punya hati ‘tuk mencintai
Dirimu yang s’lalu mencintai diriku
Walau kau tahu diriku masih bersamanya
Apakah yang Siauw Moay merasa lebih menyesal ialah
dalam peristiwa ini, Siauw Moay menyeret toaso dan putra
putrimu”.
“Isteriku sudha menutup mata pada dua tahun berselang
dengan meninggalkan dua anak, satu lelaki dan stu
perempuan,” kata Souw Hie Cie. “Besok, mereka akan jadi
anak yatim piatu”.
“Apakah di rumahmu masih ada orang lain yang bisa
merawat anak-anak itu?” tanya nona Ciam.
“Mereka dirawat oleh nsoku (nsoku – isteri kakak
lelaki),” jawabnya. “Nso hebat adatnya dan licik sifatnya.
Sebegitu lama aku masih hidup, ia masih takuti aku. Hai!
Mulai besok kedua anakku itu akan sangat menderita”.
945
Ciam Coen yang berhati lembek lantas saja
mengucurkan air mata. “Ini semua adalah karena garagaraku”
katanya dengan suara parau.
“Tapi kau tidak boleh disalahkan,” kata Hie Cie. Kau
telah menerima perintah gurumu dan kau tidak dapat
menolak perintah itu. Kaupun tidak mempunyai
permusuhan apapun juga denganku. Sebenar-benarnya,
sesudah kena senjata beracun, aku harus menerima nasib.
Perlu apa aku memukul kau dan juga melakukan kau
dengan senjata beracun? Andai kata aku tidak berbuat
begitu, sebagai seorang yang berhati mulia kau tentu bisa
nolong melihat-lihat kedua anakku yang bernasib buruk
itu”.
Nona Ciam tertawa getir. “Aku adalah penjahat yang
membinasakan kau,” katanya. “Bagaimana kau bisa
menamakan aku sebagai seorang yang berhati mulia?”
“Aku tidak menyalahkan kau, benar-benar aku tidak
menyalahkan kau,” kata Hie Cie.
Demikianlah kedua orang yang tadi bertempur matian
dan saling berusaha untuk mengambil jiwa pihak lawan,
sekarang saling menghibur!
Sesudah mendengar pembicaraan itu, Boe Kie merasa
bahwa mereka bukan manusia jahat. Dalam hatinya lantas
saja timbul rasa kasihan, lebih lagi terhadap Souw Hie Cie
yang mempunyai dua orang anak yang masih
mengeluarkan rawatan. Mengingat penderitaannya sendiri
sebagai anak yatim piatu rasa kasihannya jadi lebih besar
dan sambil menarik tangan Poet Hie ia segera bertindak
keluar dari alang-alang.
“Cian Kouwhio, racun apa yang digunakan pada senjata
rahasia itu?” tanyanya.
946
Melihat munculnya kedua anak itu, Hie Cie dan Ciam
Coen merasa heran. Dan mendengar pertanyaan Boe Kie,
mereka jadi lebih heran lagi. “Aku mengerti sedikit ilmu
pengobatan dan luka kalian mungkin sekali bukan tidak
dapat diobati,” kata pula Boe Kie.
“Akupun tak tahu racun apa yang digunakan,” jawab
nona Ciam. “Lukanya tidak sakit, tapi gatal bukan main.
Menurut katanya Soehoe, orang yang kena Soeng-boen teng
hanya bisa hidup dalam tempo empat jam.”
“Bolehkah aku periksa luka kalian?” tanya Boe Kie.
Tapi manakah mereka percaya bocah itu bisa mengobati
luka beracun? Dengan pakaian robek, badan kurus kering
dan muka pucat Boe Kie dan Poet Hwie kelihatannya
seperti pengemis kecil. “Sudahlah, kau jangan rewel.
Pergilah! Jangan mengganggu kami.”
Boe Kie tidka meladeni. Ia menjemput paku Soen-boen
teng dari atas tanah dan mengendus bau harum dari serupa
bunga anggrek.
Dalam hari-hari yang belakangan setiap mempunyai
tempo yang luang, Boe Kie selalu membaca dan
mempelajari Tok-boet Tay coan peninggalan Ong Lan
Kouw. Dalam kitab itu berisi keterangan lengkap mengenai
ribuan macam racun itu yang aneh-aneh dan cara
mengobatinya. Maka itulah begitu mengendus bau racun
itu, ia segera mengetahui bahwa yang melekat pada paku
Song-boen teng adalah racun bunga To-lo hijau. Bau bunga
itu sebenarnya berbau amis sehingga orang dapat
memakannya sebanyak mungkin tanpa bahaya apapun jua.
Tapi begitu lekas bercampur darah, peti bunga itu lantas
saja berubah menjadi racun yang sangat hebat, sedang
baunya yang amis juga berubah menjadi harum. “Inilah
racun bunga To-lo hijau,” kata Boe Kie.
947
Ciam Coen memang tidak tahu racun apa yang
digunakan pada paku itu, tapi ia tahu, bahwa dalam taman
bunga gurunya ditanam banyak sekali pohon bunga To-lo
hijau.
“Eh, bagaimana kau tahu?” tanyanya dengan heran.
Bunga To-lo hijau adalah tumbuh-tuimbuhan yang langka
dan hanya terdapat di wilayah Barat (See-hek). Di daerah
Tionggoan sebegitu jauh belum pernah terdapat pohon
bunga tersebut.
Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. “Aku tahu”
katanya sambil menarik tangan Poet Hwie dan berkata
pula. “Hayolah, kita pergi.”
“Saudara kecil,” kata nona Ciam cepat. “Jika kau bisa
mengobati, tolonglah jiwa kami berdua.”
Boe Kie memang ingin menolong, tapi mendadak ia
ingat perbuatan Kan Ciat dan Sie Kong Wan, sehingga ia
mengambil keputusan untuk membatalkan niatnya itu.
“Tuan kecil,” kata Souw Hie Cie, “Mataku tidak berbiji
dan aku tidak bisa mengenali seorang pandai. Kuharap kau
sudi memaafkan.”
“Baiklah!” kata Boe Kie. “Aku akan mencoba-coba.”
Seraya berkata begitu ia menotok jalan darah Tan-tiong-hiat
di iga kiri dan kanan untuk meringankan rasa sakitnya
Ciam Coen dibagian dada akibat pukulan Souw Hie CIe.
“Bunga To-lo hijau baru menjadi racun kalau bercampur
dengan darah,” menerangkan Boe Kie. “Sekarang aku
minta kalian saling menghisap luka itu untuk membuang
racun yang sudah bercampur dengan darah.”
Hie Cie dan Ciam Coen merasa jengah. Tapi untuk
menolong jiwa, mereka segera menyampingkan perasaan
malu dan lalu melakukan apa yang dikatakan si bocah.
948
Sementara itu, Boe Kie sendiri lalu mencari tiga macam
daun obat yang lalu dihancurkan dan diborehi diluka itu.
“Tiga macam rumput ini dapat menahan bekerjanya
racun,” ia menerangkan. “Sekarang mari kita pergi ke kota
untuk mencari rumah obat. Aku akan menulis surat obat
guna menyembuhkan luka kalian.”
Souw Hie Cie dan Ciam Coen girang tak kepalang.
Begitu diborehi daun obat, luka mereka yang semula gatal
bukan main, lantas saja adem rasanya dan kaki tangan
mereka pun tidak begitu kaku lagi dan dapat digerakkan.
Tak henti-hentinya mereka menghaturkan terima kasih.
Mereka segera mematahkan ranting pohon dan dengan
menggunakannya sebagai tongkat, mereka berjalan
kejurusan barat dengan mengajak Boe Kie dan Poet Hwie.
Sambil berjalan Ciam Coen menanya siapa guru Boe
Kie, tetapi si bocah sungkan memberitahukan dan
mengatakan saja, bahwa sedari kecil ia memang sudah
mengerti ilmu pengobatan. Sesudah berjalan satu jam lebih,
mereka tiba di kota See-ho-tiam dan sesudah mendapat
kamar di rumah penginapan, Boe Kie lalu menulis surat
obat dan menyuruh seorang pelayan untuk membelinya.
Tahun itu daerah Holam barat tidak kena bencana
kelaparan dan keadaan kota See-ho-tiam masih seperti
biasa. Sesudah obat dibeli, Boe Kie lalu memasaknya dan
memberikannya kepada Souw Hie Cie dan Ciam Coen.
Tiga hari menginap dalam penginapan itu dan setiap hari si
bocah menukar obat. Obat makan dan obat pakai. Pada
hari keempat semua racun yang mengeram dalam tubuh
Hie Cie dan Ciam Coen sudah dapat diusir.
Tentu saja mereka merasa sangat berterima kasih.
Mereka menanyakan ke mana kedua anak itu mau pergi
dan Boe Kie lalu memberitahukann bahwa tujuan mereka
adalah puncak Coe-bong heng di pegunungan Koen-loen949
san.
“Souw Toako,” kata si nona. “Jiwa kita ditolong oleh
saudara kecil ini. Ta[o urusanmu masih belum dapat
diselesaikan. Kelima kakak seperguruanku masih terus
mencari-cari kau dan kalau bertemu dengan mereka, kau
bisa celaka. Apakah kau suka mengikut aku pergi ke Koenloen-
san?”
Hie Cie kaget. “Ke Koen-loen-san?” ia menegas.
“Benar,” jawabnya. “Kita berdua menemui guruku dan
memberitahukan, bahwa kau tidak mencuri ilmu pdang
Liung heng It-pit-kiam, sejuruspun kau tidka mampu.
Dalam urusan ini sebegitu lama guruku belum menyudahi,
jiwamu selalu masih berada dalam bahaya.”
Hie Cie merasa sangat mendongkol. “Koen-loen-pay
terlalu menghina orang,” katanya. “Secara kebetulan aku
hanya melihat gurumu bersilat untuk sekejap mata, tapi
untuk kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahan hampirhampir
jiwaku melayang. Ah! Benar-benar keterlaluan.”
“Souw Toako,” kata nona Ciam dnegan suara lemah
lembut. “Cobalah kau piker kesukaran Siauw Moay dalam
hal ini. Kalau kau saja yang memberitahukan Soehoe pasti
tak percaya dan Siauw Moay akan mendapat hukuman.
SIauw Moay dihukum tak menjadi soal. Tapi jika kelima
saudara seperguruanku sampai salah tangan dan
mencelakakanmu8, Siauw Moay tentu akan merasa tidak
enak sekali.”
Sesudah menghadapi kematian bersama-sama dan
setelah bergaul beberapa hari, dalam hati kedua orang muda
itu sudah timbul perasaan yang wajar, yaitu perasaan cinta.
Mendengar bujukan si nona yang sangat beralasan,
kegusaran Hie Cie lantas saja mereda. Di dalam hati iapun
mengakui kebenaran perkataan Ciam Coen. Sebegitu lama
950
persoalan ini belum dapat diselesaikan langsung dengan
Thie Khim Sianseng, sebegitu lama jiwanya terancam
bahaya.
Melihat Hie Cie masih membungkam, nona Ciam
berkata pula. “Begini saja. Sekarang kau ikut aku ke Kun
lun san. Sesudah itu, jika kau mempunyai urusan penting
yang harus diselesaikan, Siauw Moay akan menemani kau
untuk membereskannya. Bagaimana pikiranmu?”
Hie Cie jadi girang. “Baiklah,” katanya. “Tapi apakah
gurumu akan percaya keteranganku?”
“Soehoe sangat menyayang aku,” jawab si nona. “Kalau
aku memohon, ia pasti takkan mencelakakan kau.”
Mendengar perkataan-perkataan nona Ciam, Hie Cie
segera mengetahui, bahwa gadis itu sudha jatuh cinta
kepadanya. Diam-diam ia bergirang dan merasa sangat
beruntung. Ia berpaling kepada Boe Kie seraya berkata,
“Saudara kecil, mari kita ke Koen loen san beramai-ramai.
Di jalan kita takkan merasa kesepian.”
“Koen loen san ribuan mil panjangnya dengan puncakpuncak
yang tak terhitung beberapa banyaknya,” kata Ciam
Coen. “Aku sendiri tak tahu di mana letak Coe-bong-heng.
Tapi kita bisa menyelidiki perlahan-lahan dan aku merasa
pasti, kita akan dapat menemukannya.”
Pada keesokan harinya, Hie Cie menyewa sebuah kereta
untuk Boe Kie dan Poet Hwie sedang ia sendiri bersama
nona Ciam mengikuti dengan menunggang kuda. Setibanya
di sebuah kota besar, Ciam Coen membeli pakaian baru
untuk kedua anak itu. Sesudah menukar pakaian yang
pantas, Boe Kie berubah menjadi seorang anak tanggung
yang berparas tampan dan angker, Poet Hwie seorang gadis
cilik yang ayu dan jelita. Sesudah dapat makan dan ngaso
cukup, perlahan-lahan badan mereka menjadi lebih gemuk.
951
Makin hari hawa udara makin dingin. Dengan
melindungi Hie Cie dan Ciam Coen, perjalanan
berlangsung dengan licin, tanpa menemui halangan apapun
jua. Sesudah tiba di Seek hek Koen-loen yang besar dan
angker itu berada di depan mata. Mereka berjalan terus
dengna banyak derita, karena harus melalui gurun pasir
dalam hawa udara yang sangat dingin.
Pada suatu hari, mereka tiba di Sam seng youw (Lembah
tiga malaikat) dari Koen loen san. Begitu masuk di dalam
lembah, mereka melihat pohon-pohon luar biasa dan
mengendus bau harum yang tak kurang anehnya. Souw Hie
Cie, Boe Kie dan Poet Hwie merasa kagum bukan main.
Mereka tak pernah menduga, bahwa di lembah itu terdapat
pemandangan yang sedemikian indah seolah-olah di dalam
surga. Di samping itu, hawanyapun tak begitu dingin,
karena gunung-gunung yang mengitarinya menahan
masuknya hawa dingin.
Dahulu, pendiri Koe-loen pay yaitu Ciok Too yang
bergelar Koen-loen Sam-seng telah menggunakan tempo
bertahun-tahun untuk memperindah lembah itu yang
belakangan dikenal sebagai Sam-seng youw. Ia
memerintahkan murid-muridnya pergi ke berbagai tempat
di sebelah barat sampai di India untuk mencari pohonpohon
dan pohon-pohon bunga yang aneh-aneh untuk
ditanam di lembah tersebut.
Sesudah melewati lembah tersebut Ciam Coen lalu
mengajak mereka ke Thia khimkie tempat tinggalnya
Thiem khim Sianseng Ho Thay Ciong. Begitu masuk, ia
bertemu dengan beberapa saudara seperguruan yang paras
mukanya mengunuk rasa bingung dan ketakutan. Mereka
mengunjuk dan tak mengeluarkan sepatah kata Ciam Coen
kaget. “Ada apa?” tanyanya dalam hati.
Sambil menarik tangannya seorang adik seperguruan ia
952
bertanya. “Apa Soehoe ada?”
Sebelum Soemoay itu menjawab, ia sudah mendengar
cacian gurunya yang memaki sambil menepuk-nepuk meja.
“Semua tong nasi,” teriaknya. “Belum pernah ada
pekerjaan yang diurus beres oleh kamu?”
“Soehoe lagi keluar adatnya,” bisik nona Ciam kepada
Souw Hie Cie. “Kita jangan nubruk paku. Besok saja kita
menjumpai beliau”.
Tapi sebelum mereka keburu mengundurkan diri, tibatiba
Ho Thay Ciong berseru. “Apa Coen-jie? Mengapa kau
tidak lantas menghadap kepadaku? Ada apa kau kasak
kusuk? Apa kau sudah mengambil kepalanya bangsat Souw
itu?”
Paras muka Ciam Coen lantas saja berubah pucat. Buruburu
ia masuk dan berlutut di hadapan gurunya.
“Coen Jie, apakah kau sudha menunaikan tugasmu?”
tanya sang guru.
“Orang she Souw itu sekarang berada di luar,” jawabnya
dengan suara gemetar. “Dia sengaja datang kemari untuk
meminta ampun. Dia mengatakan bahwa dia seorang tolol
dan secara tidak sengaja dia sudah menonton waktu Soehoe
berlatih. Tapi dia kata, kiamhoat kita sangat tinggi,
sehingga meskipun sudah melihatnya, dia tidak mendapat
keuntungan jua dan setengah juruspun tak dapat
menirunya.”
Sebagai seorang murid yang sudah lama berguru, Ciam
Coen mengenal adapt sang Soehoe yang merasa sangat
bangga karena kepandaiannya sendiri. Oleh karena begitu,
ia sengaja mengemukakan rasa kagum Souw Hie Cie
terhadap kiamhoat Koen-loen-pay. Si nona mengharap
supaya dalam girangnya dan sang guru akan mengampuni
953
pemuda ini.
Dalam keadaan biasa, mungkin sekali Hou Thay Ciong
akan menerima “topi tinggi” itu dengan segala senang hati.
Tapi hari itu ia sedang murung tak dapat digembirakan
dengan pujian belaka. Sambil mengeluarkan suara
dihidung, ia berkata. “Bagus! Kau telah bekerja baik sekali.
Penjarakan orang she Souw itu dalam kamar batu di
gunung belakang. Aku akan menjatuhkan hukuman
belakangan.”
Melihat gurunya sedang marah-marah, nona Ciam tidak
berani banyak bicara. “Baiklah,” katanya sesudah berdiam
sejenak, ia bertanya. “Apa para Soebo baik? Aku ingin pergi
ke belakang untuk memberi hormat.” (Soebo-istrinya guru)
Ciam Coen sudah menggunakan istilah “para Soebo”
karena Ho Thay Ciang mempunyai tak kurang dari lima
istri-gundik dan yang paling disayang olehnya adalah
gundik yang kelima. Untuk menolong jiwa Souw Hie Cie, si
nona berniat pergi menemui Soebo kelima itu untuk
meminta pertolongan.
Di luar dugaan, begitu mendengar pertanyaan muridnya,
paras Ho Thay Ciong lantas saja berubah sedih dan sesudah
menghela napas panjang ia berkata. “Memang ada baiknya
jika kau pergi menemui Ngo-kouw. Dia sakit berat. Untung
kau pulang siang-siang sehingga masih keburu bertemu
muka dengannya.”
Nona Ciam terkejut. “Ngo-kouw sakit? Sakit apa?”
tanyanya.
Sekali lagi sang guru menghela napas. “Sungguh bagus
kalau kutahu sakit apa,” katanya.
“Sudah tujuh tabib yang terkenal pandai di undang
olehku, tapi tak satupun yang tahu dia sakit apa. Sekujur
954
badannya bengkak…hai!....” Ia menggelengkan kepala dan
berkata lagi dengan suara mendongkol. “Aku mempunyai
begitu banyak murid, tapi tak satupun yang berguna. Aku
memerintah mereka pergi ke gunung Tiang-pekpsan untuk
mencari Loo-san Jie-som, tetapi sesudah pergi dua bulan,
seorangpun belum pulang. Aku menyuruh mereka pergi
mencari Soat-lian. Sie ouw dan lain-lain obat penolong jiwa
semua kembali dengan tangan kosong.”
Ciam Coen mengerti bahwa sang guru mengeluarkan
kata-kata itu hanya untuk melampiaskan kedongkolannya.
Untuk pergi ke Tiang pek san, orang harus melalui
perjalanan berlaksa li.
Mana bisa mereka pulang cepat-cepat? Andaikata
mereka sudah tiba di gunung itu, belum tentu mereka
berhasil mencari Loo san – Jie som. Mengenai Soat-lian,
Sie-ouw dan lain-lain obat mujijat, sekalipun dicari selama
seratus tahun, belum tentu orang bisa berhasil. Memikir
begitu, ia rasa bingung dan berkuatir akan keselamatan
Souw Hie Cie, Ho Thay Ciong menyayangi gundiknya
yang kelima seperti menyayangi jiwa sendiri. Kalau nyonya
itu tidak dapat disembuhkan, dia tentu akan menumplek
kedongkolannya di atas kepala orang lain. Tapi si nona
tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
Untuk sekian kalinya, Ho Thay Ciong menghela napas.
“Dengan menggunakan Lweekang aku telah memeriksa
pembuluh darahnya, tapi sedikitpun aku tidak menemui
sesuatu yang luar biasa katanya. “Huh, huh! Kalau jiwa
Ngo kouw tidak tertolong, aku akan memampuskan semua
tabib goblok dalam dunia ini!”
“Coba kutengok padanya,” kata Ciam Coen.
“Baiklah mari sama-sama,” jawab sang guru.
Mereka lalu pergi ke kamar nyonya muda itu. Begitu
955
masuk, si nona mengendus bau obat-obatan yang sangat
keras. Ia menyingkap kelambu dan melihat Soebo rebah di
ranjang dengan muka seperti Tie Pat Kay (Siluman babi),
matanya kecil dalam seolah tidak bisa dibuka lagi.
Napasnya tersengal-sengal bagaikan alat penutup api.
Ngo kouw adalah seorang wanita yang sangat cantik.
Kalau tak cantik manakah Ho Thay Ciong menyayanginya?
Tapi sekarang mukanya seperti mukanya memedi yang
menakuti. Melihat begitu Ciam Coen juga menghela napas.
“Panggil tabib-tabib goblok itu!” bentak Ho Thay Ciong.
Seorang nenek yang menjadi pelayan dalam kamar si
sakit, lantas saja keluar dan beberapa saat kemudian, ia
kembali bersama tujuh orang tabib yang masuk dengan
diiringi suara berkerincingnya rantai besi. Ternyata, mereka
diikuti satu sama lain dengan rantai besi dan dilihat dari
muka mereka yang pucat pasi, mereka pasti sudah banyak
menderita. Mereka adalah tabib-tabib ternama di propinsi
Soe-coan, In lam dan Kam siok, yang telah diundang,
dengan baik atau dengan paksa, oleh murid-muridnya Ho
Thay Ciong. Tapi tak satupun dapat menyembuhkan,
gundik yang disayang itu. Bukan saja tak dapat
menyembuhkan, bahkan pendapat mereka mengenai sebab
musebab penyakit itu pun berbeda. Ho Thay Ciong telah
mengancam bahwa jika Ngo kouw mati, ketujuh “tabibtabib
goblok” itu akan dikubur hidup-hidup. Mereka sudah
memeras otak dan memberi macam-macam obat, tapi
penyakit Ngo kouw tidak jadi mendingan. Setiap kali
memeriksa penyakit nyonya itu, mereka tidak habishabisnya
dan saling menyalahkan. Yang satu menuduh
yang lain sebagai manusia goblok. Kali ini tidak berbeda.
Sesudah memeriksa nyonya itu, mereka segera tarik urat.
Ho Thay Ciong jadi gusar dan ia mencaci sambil
berteriak-teriak.
956
Mendadak, serupa ingatan berkelabat dalam otak Ciam
Coen. “Soehoe,” katanya, “Dari Holam teecoe membawa
seorang tabib, yang biarpun usianya masih muda,
kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada tabib-tabib
itu.”
Sang guru girang. “Mengapa kau tidak memberitahukan
terlebih siang,” katanya tergesa-gesa. “Lekas…lekas undang
padanya.”
Nona Ciam segera keluar dari kamar dan tak lama
kemudian, ia kembali bersama Boe Kie. Begitu melihat
wajah Ho Thay Ciong, Boe Kie segera ingat bahwa orang
tua itu adalah salah seorang yang sudah turut merekan,
sehingga kedua orang tuanya membunuh diri. Mengingat
peristiwa hebat itu, darahnya lantas saja naik.
Tapi Thie Kim Sianseng sendiri tentu saja tidak
mengenalinya. Sesudah berselang beberapa tahun, muka si
bocah sudah banyak berubah. Dengan perasaan ia
mengawasi Boe Kie yang baru berusia kira-kira lima belas
tahun. Rasa sangat itu bercampur juga dengna rasa
mndongkol karena si bocah bukan saja tidka menjalankan
peradatan dengan berlutut, bahkan sikapnya tawar dan
agung-agungan. Tapi ia tidak menghiraukan semua itu.
“Apa dia tabib yang dipujikan olehmu?” tanyanya sambil
mengawasi muridnya.
“Benar,” jawab si nona. “Saudara kecil in mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi.”
Ho Thay Ciong mengeluarkan suara di hidung. Ia tak
percaya.
“Waktu teecoe kena racun bunga To-lo hijau saudara
kecil inilah yang mengobati teecoe,” menerangkan Ciam
Coen. Sekali ini sang guru terkesiap. Racun bunga To lo
hijau adalah racun yang sangat lihai menurut anggapannya,
957
tanpa obat pemunah yang diberikan olehnya sendiri, siapa
yang kena pasti akan mati. Kalu benar bocah itu bisa
memunahkan racun tersebut ia benar-benar lihay. Maka
dari itu, sambil menatap wajah Boe Kie, ia bertanya dengan
suara manis. “Anak muda, benarkah kau bisa mengobati
penyakit?”
Mengingat nasib kedua orang tuanya, Boe Kie membenci
si tua itu. Tapi pada hakekatnya ia memiliki sifat-sifat mulia
dan ia seorang yang mudah melupakan segala sakit hati.
Kalau tidak memiliki sifat yang baik itu, mana mau ia
mengobati orang-orang seperti Kan Ciat dan Sie Kong
Wan? Ia merasa, bahwa Koen loen pay mempunyai andil
sebagai partai yang turut menjadi gara-gara dari kebinasaan
orang tuanya. Tapi ia adalah seorang yang tidak bisa
menonton kebinasaan tanpa mengulurkan tangan. Maka
itulah, ia sudah menolong Ciam Coen, seorang murid Koen
loen pay, dan Souw Hie Cie. Sekarang mendengar
pertanyaan si tua, meskipun hatinya gusar, ia manggutkan
kepalanya.
Begitu masuk, ia mengendus bau luar biasa. Sesaat
kemudian, ia merasa bau itu berubah-ubah sebentar keras,
sebentar hilang. Ia mendekati mengawasi muka si sakit dan
memegang nadinya. Mendadak ia mengeluarkan sebatang
jarum emas yang lain ditusukkan di muka Ngo kouw yang
bengkak seperti labu.
Ho Thay Ciong terkejut. “Bikin apa kau?” bentaknya
serta mengangsurkan tangan untuk menjambret Boe Kie,
tapi bocah itu sudah mencabut jarumnya. Ternyata bekas
tusukan jarum sama sekali tidak mengeluarkan darah atau
cair. Boe Kie lalu mencium-cium jarum itu dan manggutmanggutkan
kepalanya. Sehingga dalam hati Thie Kim
Sianseng timbul harapan baru. “Saudara…saudara kecil,”
katanya. Apakah ada harapan?” Bahwa sebagai seorang
958
pemimpin sebuah partai persilatan, ia sudah menggunakan
istilah “saudara kecil” merupakan bukti, bahwa ia berlaku
hormat terhadap si bocah.
Tapi Boe Kie tidak menyahut. Sekonyong-konyong ia
merangkak ke kolong ranjang dan sesudah memeriksa
kolong ranjang itu beberapa saat, barulah ia keluar lagi.
Kemudian ia membuka jendela dan mengawasi pohonpohon
bunga yang ditanam di dalam taman. Mendadak ia
melompat dan keluar dari jendela lalu berdiri tegak sambil
memandang pohon-pohon di sekitarnya, seolah-olah ia
sedang menikmati bunga-bunga yang beraneka warna dan
harum baunya.
Ho Thay Ciong mendongkol. Karena sangat mencintai
gundiknya itu, maka ia sudah memerintahkan muridnya
untuk menanam pohon-pohon bunga yang luar biasa dan
mahal harganya di luar jendela kamar Ngo kouw. Sekarang,
ia sedang mengharap-harap pertolongan selekas mungkin,
sebaliknya dari menolong, si tabib cilik membuang-buang
waktu dengan mengawasi pohon-pohon bunga itu.
Bagaimana ia tak jadi mengeluh?
Sesudah berdiri beberapa lama, Boe Kie kembali
manggut-manggutkan kepalanya, ia balik ke kamar.
“Penyakit itu masih dapat diobati, tapi aku tak sudi
mengobatinya,” katanya dengan suara kaku. “Ciam
Kouwnio, aku mau pergi”.
“Saudara Thio, kumohon pertolonganmu,” kata nona
Ciam. “Kalau kau bisa menolong Ngo kouw, segenap
anggota Koen loen pay, dari atas sampai di bawah, akan
merasa sangat berterima kasih. Saudara Thio, tolonglah”.
Boe Kie menggelengkan kepalanya sambil menuding Ho
Thay Ciong, ia berkata, “Dia, Thie Kim Sianseng, turut
mengambil pada bagian waktu sejumlah manusia kejam
959
memaksa kedua orang tuaku membunuh diri. Perlu apa aku
menolong jiwa gundiknya?”
Ho Thay Ciong terkesiap. “Saudara kecil, kau she apa?”
tanyanya. “Siapa ayah dan ibumu?”
“Aku she Thio,” jawabnya dengan suara tawar.
“Mendiang ayahku adalah murid kelima dari Boe tong
pay”.
Si tua jadi lebih kaget lagi. Baru sekarang ia tahu, bahwa
anak tanggung itu puteranya Thio Coei San. Buru-buru ia
mencoba dan berkata.
“Saudara Thio, pada waktu ayahmu masih hidup, aku
bersahabat baik dengannya. Bahwa ia telah membunuh diri
sudah sangat mendukakan hatiku…”
“Setelah kedua orang tuamu meninggal dunia, beberapa
kali Soehoe menangis”. Ciam Coen menambah dusta
gurunya. Beliau sering mengatakan bahwa mendiang
ayahmu adalah sahabatnya yang paling akrab”.
Boe Kie bersangsi, ia setengah percaya, setengah tidak.
Tapi, sebagaimana telah dikatakan, ia adalah seorang yang
mudah melupakan sakit hati lama. Maka itu, lantas saja
berkata, “Hoe jin (nyonya) bukan mendapat penyakit aneh.
Ia kena racun dari Kim gin Hiat”.
“Ular Kim gin Hiat?” tegas guru dan murid itu hampir
berbarengan. Mereka kaget dan heran, karena nama ular itu
belum pernah didengar mereka.
“Benar,” jawabnya. “Akupun belum pernah melihat ular
itu. Aku menarik kesimpulan itu karena muka Hoejin,
lihatlah apa di situ terdapat luka gigitan yang sangat kecil”.
Ho Thay Ciong buru-buru menyingkap selimut yang
menutupi tubuh Ngo kouw dan menarik jari kakinya. Benar
960
saja di setiap ujung jari kaki terdapat luka besar yang
berwarna hitam. Karena terlalu kecil, jika tidak
diperhatikan, luka itu tidak kelihatan.
Melihat begitu, si tua tidak menyangsikan lagi
kepandaian Boe Kie. “Benar, benar,” katanya, “Setiap
ujung jari kakinya benar terluka. Saudara kecil kau sungguh
pandai. Sesudah mengetahui sebab musebab penyakit itu,
saudara kecil pasti dapat menyembuhkannya. Sesudah dia
sembuh aku akan memberi hadiah yang besar”. Ia berpaling
kepada tujuh tabib tolol itu dan membentak, “Kamu semua
manusia tolol! Tabib goblok!”
“Penyakit Hoejin memang luar biasa dan kita tak dapat
menyalahkan mereka,” kata Boe Kie, “Ho Sianseng
biarkanlah mereka pulang saja!”
“Baik, baik,” kata si tua. “Sesudah saudara kecil berada
di sini, memang perlu apa tabib-tabib goblok itu berdiam
lebih lama lagi? Coen jin, berikan seratus tail perak kepada
setiap orang dan suruh mereka pergi segera”.
Ketujuh tabib itu girang bukan main dan sesudah
menerima hadiah, cepat-cepat mereka berlalu.
“Coba suruh beberapa bujang menggeser ranjang Hoe
jin,” kata Boe Kie. “Di bawah kaki ranjang terdapat dua
lubang kecil dan lubang itu adalah tempat keluar masuknya
ular Kim gin Hiat”.
Tanpa meminta bantuan lagi, Ho Thay Ciong segera
mencekal kaki ranjang yang lalu digesernya. Sesuai seperti
yang dikatakan Boe Kie, di bawahnya terdapat lubang kecil.
Si tua girang bercampur gusar. “Lekas ambil belirang
dan api!” teriaknya, “Begitu dia keluar aku akan cincang!”
Boe Kie menggoyangkan tangannya. “Tak boleh, tak
boleh begitu,” katanya. “Racun yang mengeram di dalam
961
badan Hoejin harus dipunahkan oelh ular itu juga. Kalau
kau bunuh Hoejin tak dapat disembuhkan lagi!”
“Oh begitu?” kata si tua dengan rasa heran.
“Mengapa begitu?”
“Ho Sianseng,” terang si bocah sambil menunjuk taman
bunga yang berada di luar jendela. “Penyakit Hoejin karena
gara-gara delapan pot bunga anggrek Leng cie lan itu”.
“Leng cie lan?” tegas Ho Thay Ciong.
Baru sekarang ia tahu, anggrek itu Leng cie lan
namanya. “Karna tahu aku suka menanam bunga, seorang
sahabat yang datang dari wilayah Barat, See hek, dan yang
membawa delapan pot bunga itu, sudah
menghadiahkannya kepada aku. Bunga itu sangat indah
dan harum. Hm!...Aku tak tahu dia bibit penyakit”.
“Menurut katanya kitab ilmu ketabiban, Leng cie lan
berubi, yang bentuknya bundar seperti bola, warnanya
merah api dan di dalam ubi itu terdapat racun yang sangat
hebat,” Boe Kie melanjutkan keterangannya, “Cobalah
gali”.
Ketika itu, semua Koen loen pay sudah tahu bahwa Boe
Kie sedang coba mengobati penyakit Ngo kouw yang luar
biasa.
Murid-murid lelaki tidak berani masuk, tapi keenam
murid perempuan sudah berada dalam kamar itu. Begitu
mendengar keterangan Boe Kie dua antaranya lantas saja
mengambil cangkul dan menggali sebuah pot. Benar saja
ubi pohon anggrek itu bundar dan warnanya merah. Karena
tahu beracun, mereka tidak berani menyentuhnya.
“Sekarang aku minta kalian menggali semua pohon
anggrek itu dan taruh ubinya dalam sebuah mangkok
962
kayu,” kata si bocah pula. “Tambahkan delapan biji telur
ayam dan semangkok darah ayam. Pukul campuran itu
sampai menjadi hancur. Tapi yang mengerjakannya harus
berhati-hati, harus menjaga sampai campuran itu tidak
mengenai kulit.”
Ciam Coen bersama dua orang saudara seperguruannya
lantas saja bertindak keluar untuk melakukan apa yang
diminta. Sesudah itu, Boe Kie minta juga dua buah
bumbung bambu dan sebatang tongkat bambu.
Tak lama kemudian, ubi Leng cie land an campurannya
sudah dipukul menjadi cairan kental. Boe Kie segera
menuang cairan itu di lantai dan membuat sebuah
lingkaran. Pada lingkaran itu ditinggalkan sebuah lubang
yang lebarnya kira-kira dua dim. Sambil mengawasi semua
orang, ia berkata, “Kalau sebentar terjadi kejadian luar
biasa, kuharap kalian jangan bersuara supaya ular itu tidak
menjadi kaget dan menggigit kalian. Harap kalian menutup
hidung dengan kapas.” Semua orang lantas saja menuntut,
sedang racun lalu menutup hidungnya dengan sedikit
kapas.
Sesudah itu, ia mengambil api dan membakar daun-daun
Ling cie lan di samping lubang. Kira-kira minuman teh, dari
lubang sebelah kiri keluar seekor ular yang badannya merah
dan di kepalanya terdapat semacam topi daging yang
berwarna emas. Ular itu ternyata mempunyai empat kaki
dan panjang badannya kira-kira delapan dim. Baru saja
Kim koan Hiat coa (ular darah topi emas) keluar, dari
lubang sebelah kanan kembali muncul seekor ular lain yang
badannya lebih pendek dan topi dagingnya berwarna perak.
Ular yang belakangan dinamakan Gin koan Hiat coa, ular
darah topi perak. Sepasang ular itu dinamakan Kim gin
Hiat coa yaitu ular darah emas perak.
Sambil menahan napas, Ho Thay Ciong dan murid963
muridnya mengawasi kedua binatang itu. Mereka tahu,
bahwa kalau ular-ular itu sampai lari, penyakit Nog kouw
sukar disembuhkan lagi.
Kedua ular itu saling mendekati dan mengeluarkan lidah
mereka, yang bertopi emas menjilat punggung ular yang
bertopi perak, sedang yang bertopi perakpun menjilat
punggung yang bertopi emas. Sambil menunjukkan sikap
saling mencintai itu. Perlahan-lahan mereka saling
mendekati lingkaran.Buru2 Boe Kie memasang kedua
bumbung bambu dilubang lingkaran dan dengan tongkat
bambu, ia menggebrak buntut Gin-koan Hiat-coa. Sekali
berkelebat ular itu sudah masuk kedalam bumbung. Kimkoan
Hiat-coa masuk ikut masuk, tapi karena bumbung itu
kecil, dan hanya memuat seekor ular dia tidak berhasil.
Tiba2 ia mengeluarkan suara nyaring luar biasa. Boe Kie
segera mencekal bumbung yang lain dan menggebrak pula
buntut si topi emas yang sekali lompat, sudah masuk ke
dalam bumbung. Si bocah lalu mengambil sumbat kayu dan
menyumbat lubang bumbung.
Sedari Kim-gin Hiat-coa keluar, semua orang mengamati
dengan menahan nafas dan jantung berdebar. Sesudah Boe
Kie menutup bumbung, barulah barulah mereka bernafas
lega.
“Coba masak air dan cuci lantai sampai bersih, supaya
racun Leng cie lan tidak ketinggalan” kata si bocah. Enam
murid perempuan lantas mengiakan dan tak lama kemudian
lantai sudah di cuci dengan air panas.
Sesudah itu, Boe Kie minta supaya semua jendela dan
pintu ditutup rapat dan ia minta pula Toet hong, Beng pan,
Thay Hong, Kam co dan beberapa bahan obat lain yang
harus digiling halus dan dicampur kapur.
Campuran ini lalu dimasukkan kedalam bumbung Gin964
koan Hiat-coa. Ular itu lantas saja mengeluarkan suara
nyaring, disambut oleh si topi emas. Boe Kie lalu mencabut
sumbat bumbung Kim-koa Hiat-coa yang lantas saja keluar
dan jalan memutari bumbung si topi perak. Dari gerakgeriknya,
ia kelihatan dalam kebingungan. Tiba2 ia naik ke
atas ranjang dan menyelinap ke dalam selimut Ngo kouw.
Ho Thay Ciong terkesinap, hampir saja berteriak, tapi
Boe Kie keburu mengoyang2kan tangannya.Sambil
tersenyum si bocah menyingkap selimut dan ternyata ular
itu sudah menggigit ujung jeriji kaki Ngo kouw. “Dia akan
menghisap racun dalam tubuh Hoejin,” katanya dengan
paras muka girang.
Makin lama ular itu makin besar dan kira2 semakanan
nasi, dia sudah lebih besar berlipat ganda, sedang topinya
bersinar terang. Tak lama kemudian dia turun dari ranjang,
dan Boe Kie lalu mencabut sumbat bumbung Gin-koan
Hiat-coa. Si topi emas lantas saja memuntahkan darah
beracun kedalam topi perak.
“Cukuplah !” kata si bocah. “Setiap hari mereka
menghisap dua kali. Sesudah itu akan menulis surat obat
untuk menghilangkan bengkak dan menguatkan badan.
Dalam sepuluh hari Hoejin akan sembuh seanteronya.”
Tak kepalang girangnya Hoe Thay Ciong yang lalu
mengajak Boe Kie ke kamar buku. “Saudara kecil kau
mempunyai kepandaian seperti malaikat.” Katanya. “ Tapi
apakah aku boleh tahu latar belakang dari kejadian ini?”.
“Menurut Kitab Tok Boet Tay Coan, dalam urutan
racun, Kim-gin Hiat-coa jatuh nomor tiga puluh tujuh,”
menerangkan si bocah. “Biarpun mereka bukan termasuk
binatang beracun terlihay, tapi mereka mempunyai satu
keistimewaan, iyalah mereka suka sekali makan racun.
Leng cie lan yang ditanam di luar jendela kamar Hoejin,
965
yang mengandung racun sangat hebat, dan sudah
mengundang kedua ular itu.”
Ho Thay Ciong manggutkan kepalanya.
“Kim-gin Hiat-coa adalah sepasang, yang satu lelaki,
yang satu perempuan.” Kata si bocah.
“Tapi dengan menggunakan Tay Hong, Kam Coe dan
lain2, aku membakar Gin-koan Hiat-coa. Untuk menolong
kawan hidupnya, Kim-koan Hiat-coa mesti menghisap
racun dalam tubuh Hoejin. Sebentar, sesudah berselang tiga
jam, aku akan membakar ular lelaki, yaitu Kim-koan Hiatcoa,
dan ular perempuan pasti akan menghisap darah
beracun dalam tubuh Hoejin untuk menolong yang lelaki.
Dan begitu seterusnya sehingga darah beracun habis
dihisap.”
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Ho Thay Ciong
menjamu Boe Kie dan Poet Hwie.
Selang beberapa hari, bengkak dimuka Ngo kouw mulai
kempes. Semangatnya pulih dan sedikit sedikit ia sudah bisa
makan dan minum. Sesudah lewat sepuluh hari, ia sembuh
seluruhnya.
Hari itu Ngo kouw menjamu Boe Kie untuk
menghaturkan rasa terima kasih dan mengundang juga
Ciam Coen. Mukanya masih pucat, tapi kecantikkannya
tidak berkurang. Ho Thay Ciong menemui dengan hati
berbunga. Dengan menggunakan kesempatan itu, nona
Ciam suka memohon kepada gurunya menerima Souw Hie
Cie sebagai muridnya.
Si tua tertawa terbahak2. “Coen jie” katanya, “siasat
menyentak kayu bakar dari bawah kuali sungguh bagus.
Kalau aku menerima bocah she Souw itu sebagai murid,
dibelakang hari kubakal turunkanilmu pedang Liong Heng
966
It Pit Kiam kepadanya. Dengan demikian kedosaannya
mencari Kim-hoat tiada artinya lagi”.
Nona Ciam tertawa lalu berkata, “Soehoe kalau bocah
she Souw itu tidak mencuri kiam-hoat, teecoe tentu
diperintah mencari dia dan tak akan bertemu dengan Thio
Sieheng. Soehoe dan Ngo kouw mempunyai rejeki yang
sangat besar. Tapi kalo dihitung2, bocah she Souw itu juga
turut berjasa”.
“Kau mempunyai begitu banyak murid. Tapi diwaktu
perlu, hampir semua tak ada gunanya” menyambuti Ngo
kouw. “Kalau Cim Kouwnio penuju bocah itu.Terimalah.
dibelakang harimungkin sekali akan menjadi muridmu yang
paling boleh diandalkan”.
Ho Thay Ciong yang belum pernah membantah
kemauan gundik itu, lantas mengangguk dan berkata.
“Baiklah aku terima, tapi ada syaratnya”.
“Syaratnya apa?” tanya gundik.
“Sesudah menjadi muridku dia harus belajar sunguh2,”
kata si tua. “Syaratnya yaitu, dia tidak boleh memikir yang
gila2 menikah dengan Coen Jie”.
Paras nona Ciam lantas saja berubah merah dan ia lalu
menunduk. Ngo Kouw tertawa cekikikan. “Aduh
sebenarnya kau harus mengaca,” katanya. “kau sendiri
mempunyai beberapa istri dan gundik, tapi kau melarang
muridmu menikah”.
Si tua yang hanya ingin mengoda Ciam Coen lantas saja
tertawa terbahak-bahak. “Minum, minumlah!” katanya.
Selagi bermakan minum sambil beromong2. Seorang
pelayan kecil datang membawa sebuah nampan yang
diatasnya terdapat sebuah poci arak. Ia segera menuangkan
arak itu ke semua cawan. “Saudara Thio” kata si tua, “arak
967
ini keluaran istimewa dari Koen Loen San, dibuat dari bit
lay (buah lay muda) dan dinamakan Houw-pek Bit lay cioe.
Hayolah kau harus minum beberapa cangkir”. Arak itu
berwarna kuning emas dan harum baunya.
Boe Kie sebenarnya tidak suka minum arak tapi karena
mengendus bau yang sangat harum. Ia jadi tertarik lalu
mencekal cawan. Tapi, sebelum menceguknya, Kim-gin
Hiat-coa yang berada dalam sakunya tiba2 bersuara dan
meronta-ronta didalam bumbung. “Tahan! Jangan minum
arak itu!” kata Boe Kie.
Semua orang kaget dan serentak menaruh cawan dimeja.
Si bocah segera mengeluarkan bumbung Kim-koan Hiat-coa
dan mencabut sumbatnya. Ular itu lalu berjalan mengitari
cawan arak dan kemudian minum isinya. Dengan beruntun
ia minum tiga cangkir.
Setelah mengembalikan si topi emas kedalam bumbung.
Boe Kie lalu mengeluarkan si topi perak yang minum tiga
cawan. Kedua ular itu saling mencintai, sehingga kalau
hanya satu yang dilepaskan, yang satu takkan lari. Selain itu
ia sangat menurut kemauan majikan. Tapi bila dilepas
kedua2nya, dia bukan saja akan kabur, tapi malah mungkin
menyerang manusia.
“Saudara Kecil,” kata Ngo kouw sambil tertawa, “ular
itu suka minum arak sungguh menarik”.
“Coba suruh orang tangkap anjing atau kucing lalu suruh
bawa kemari.” Kata Boe Kie.
“Baiklah” kata si pelayan.
“Ciecie berdiam saja disini,” cegah si bocah. “Biar orang
lain saja yang menangkapnya”.
Tak lama kemudian seorang pelayan lain datang dengan
membawa anjing. Boe Kie lalu mengambil arak dan
968
menuangkannya ke mulut anjing itu. Berapa saat kemudian
sesudah menyalak beberapa kalibinatang itu seketika roboh
mati dengan mengeluarkan darah dari mulut, kuping dan
hidungnya.
Ngo kouw menggigil. “Arak……arak itu beracun…..”
katanya terputus putus. “Siapa yang coba membinasakan
kita? Saudara Thio bagaimana kau tahu?”
“Kim-gin Hoat-coa suka makan racun dan begitu
mengendus bau racun, mereka bersuara dan meronta
ronta,” menerangkan Boe Kie.
Paras muka Ho Thay Ciong pucat bagaikan kertas.
Sambil mencekal pelayan kecil itu, ia bertanya dengan suara
perlahan “Siapa yang menyuruh kau membawa arak itu?”
Si pelayan ketakutan setengah mati.dengan suara
gemetar dia menjawab “Aku……aku tak tahu….arak itu
beracun. Aku………mengambil dari dapur.”
“Waktu kau datang kemari dari dapur, apa kau bertemu
dengan orang lain?” tanya pula si tua.
“Ya, di lorong aku bertemu dengan Heng
Hong.”jawabnya. “Ia menarik tanganku dan mengajakku
omong2. Sesudah itu ia membuka tutup poci dan
mencium2 arak itu.”
Ho Thay Ciong. Ngo kouw dan Ciam Coen saling
mengawasi.Heng Hong adalah seorang pelayan
kepercayaan istri pertama dari si tua.
“Ho sianseng,” kata Boe Kie, “dalam hal penyakitnya
Hoejin ada sesuatu yang sangat mengherankan dan tak
dapat dipecahkan olehku. Baru sekarang aku melihat latar
belakangnya.coba pikir, mengapa kedua ular itu menggigit
kaki Hoejin? Sekarang aku mendapatkan jawabannya.
Sebabnya ialah dalam tubuh Hoejin memang sudah ada
969
racun, dan racun itu mengundang Kim-gin Hiat-coa.
Menurut pendapatku, orang yang meracuni Hoejin adalah
orang yang menaruh racun didalam poci arak.”
Sebelum si tua menjawab, sekonyong-konyong tirai pintu
tersingkap dan satu bayangan manusia berkelebat. Hampir
berbareng Boe Kie merasa bahwa teteknya sakit bukan
main. Jalan darahnya sudah ditotok orang.
“Benar! Aku meracuni!” demikian terdengar suara yang
sangat nyaring. Orang yang berkata, badannya jangkung,
matanya berpengaruh dan pada paras mukanya terlihat
sinar pembunuhan. Sambil menengok pada Hong Thay
Ciong ia berkata “Akulah yang sudah menaruh ular
kelabang ke dalam arak. Mau apa kau?”.
Dengan mata membelalak Ngo kouw mengawasi wanita
itu. Perlahan-lahan ia bangkit dan berkata sambil
membungkuk. “Tai tai!” (tai tai, nyonya besar).
Wanita itu adalah istri pertama dari Hong Thay Ciong,
namanya Pan Siok Ham. Ia memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi, lebih tinggi dari suaminya yang sangat takut
terhadapnya. Takut memang takut, tapi si tua tetap
mengambil gundik dan setiap kali mengambil gundik baru,
rasa takutnya setiap kali bertambah.
Melihat kedatangan si harimau betina, si tua tak berani
mengeluarkan suara.
“Eh aku bertanya, aku yang menaruh racun, mau apa
kau?” bentak sang istri.
“Biarpun kau membenci pemuda itu, sepak terjangmu
keterlaluan,” kata Hong Thay Ciong.
“Kalau aku tidak keburu mengetahuinya, bukankah
sekarang sudah mati?”
970
“Semua bukan manusia baik2, aku memang ingin kamu
mampus semua,” kata nyonya galak itu. Ia menggoyanggoyang
poci arak yang ternyata masih banyak isinya.
Ia segera menuang secawan penuh dan menaruh didepan
si tua.” Sebenarnya aku ingin mamouskan kamu berlima,”
katanya. “tapi setan kecil itu keburu mengendus rahasia.
Sekarang aku bersedia mengampuni emapt orang. Tapi arak
itu harus diminum oleh salah seorang. Aku tak peduli siapa
yang mau meminumnya. Terserah pada kau setan tua!”
seraya berkata itu, ia menghunus pedang.
Pan Siok Ham adalah seorang murid terlihay dari Koen
Loen Pay. Ia berusia lebih tua daripada Ho Thay Ciong dan
lebih dulu belajar di Koen Loen San. Diwaktu muda, Ho
Thay Ciong berparas tampan dan sangat dicintai oleh
soecienya. Karena kebentrok dengan seorang cianpwee dari
Beng Kauw, guru mereka mati mendadak, sebelum keburu
memberi pesanan kepada murid2nya. Oleh karena begitu
murid itu segera berebut kedudukan Ciang boejin. Masing2
sungkan mengalah. Pan Siok Ham tampil kemuka dan
membela Ho Thay Ciong, sehingga pada akhirnya, si tua
berhasil merebut tampuk pimpinan. Sebab merasa
berhutang budi, ia segera menikah dengan soecienya itu.
Diwaktu muda segala apa masih berjalan licin. Tapi
sesudah sang istri berusia lanjut, dengan menggunakan
alasan tidak mempunyai keturunan, ia mengambil gundik.
Satu demi satu. Tapi makin banyak gundiknya, makin takut
terhadap istrinya yang galak itu.
Melihat arak racun itu, sedikitpun ia tak dapat ingatan
untuk membantah. “Aku sendiri tentu tidak boleh
meminumnya.” Katanya didalam hati. “Ngo kouw dan
Coen jie juga tak boleh. Boe Kie tidak boleh. Boe Kie
seorang tuan penolong. Hanya perempuan kecil saja yang
tiada sangkut pautnya denganku,” Memikir begitu, ia segera
971
bangkit dan menaruh cawan arak didepan Yo Poet Hoei.
“Anak kau minumlah,” katanya.
Si nona cilik ketakutan. Ia sudah menyaksikan dengan
mata sendiri kebinasaannya seekor anjing. Ia menangis dan
berkata. “Tak mau! Arak itu ada racunnya”.
Si tua segera mencengkram dada Poet Hoei tapi sebelum
ia bisa menuang arak itu kedalam mulut si nona, Boe Kie
sudah berkata dengan suara dingin. “Biar aku yang
minum”.
Si tua bersangsi, biarpun tak tahu malu ia merasa tak
tega.
Pan Siok Ham yang sangat membenci Boe Kie lantas
saja berkata. “Seta cilik itu sangat licik, mungkin sekali ia
sudah menyediakan obat pemunah. Kalau ia yang minum,
secawan tak cukup. Dia harus minum kering sisa arak yang
ada dalam poci.”
Si bocah mengawasi Ho Thay Ciong dengan harapan ia
akan coba membujuk istrinya. Tapi dia menutup mulut.
Ciam Coen dan Ngo kouw tidak berani mengeluarkan
sepatah kata. Mereka khawatir, kalau banyak bicara,
harimau betina itu akan menjadi gusar dan menumplak
hawa amarah diatas kepala mereka.
Hati Boe Kie dingin bagaikan es. “Jiwa beberapa orang
itu ditolong olehku.” Pikirnya. “Tapi waktu jiwaku sendiri
terancam, mereka berpeluk tangan. Jangankan menolong,
bicara saja mereka tak berani.” Memikir begitu ia menghela
nafas. “Ciam Kouw nio,” katanya. “Sesudah aku mati aku
minta pertolonganmu untuk mengantar adik kecil ini
kepada ayahnya di puncak Co Bo Hong. Apakah kau sudi
melakukan itu?”.
Ciam Coen melirik gurunya yang lalu manggut972
manggutkan kepala. “Baiklah,” kata nona Ciam.
Boe Kie tahu bahwa wanita itu tidak bersungguh2. tapi
ia mengerti, terhadap manusia yang tidak berbudi, tak guna
ia bicara banyak2. ia tertawa dingin dan berkata dengan
suara yang dingin pula. “Koen Loen Pay dikenal sebagai
partai yang lurus bersih. Aku tak nyana Koen Loen Pay
dalam sedemikian. Ho sianseng mari poci itu”.
Mendengar ejekan yang sangat menusuk, si tua merasa
sangat gusar. “Lebih cepat ia mampus, lebih baik lagi,”
pikirnya. Ia segera mengangkat poci arak dan menuang
semua isinya kedalam mulut Boe Kie. Sambil menangis,
Poet Hoei memeluk kakaknya.
“Biarpun ilmu ketabibanmu sangat tinggi, aku bisa
mencegahmu menolong jiwamu,” kata Pan Siok Ham yang
lalu mengirim beberapa totokan ke jalan darah Boe Kie.
Sesudah itu, dengan menggunakan gagang pedang, ia juga
menotok jalan darah Ho Thay Ciong, Ngo kouw, dan Ciam
Coen. “Sesudah dua jam barulah aku melepaskan kamu,”
katanya. Waktu ditotok, Ho Thay Ciong bertiga sama sekali
tidak berani bergerak.
“Semua keluar,” bentak si harimau betina. Dan semua
pelayan buru2 keluar. Pan Siok Ham keluar paling belakang
dan mengunci pintu.
Beberapa saat kemudian Boe Kie merasa perutnya sakit
bukan main. Melihat nyonya itu sudah berlalu dan
mengunci pintu, hatinya jadi lebih lega. Sambil menahan
sakit, ia mengerahkan Lweekang dan dengan ilmu yang
didapat dari Cia Soen ia membuka semua jalan darah yang
ditotok.sesudah kaki tangannya merdeka, ia segera
mencabut beberapa lembar rambut yang lalu digunakan
untuk menggilik tenggorokannya. Ia muntah2 dan sebagian
besar arak beracun itu sudah dimuntahkannya.
973
Melihat si bocah bisa membuka jalan darahnya sendiri,
Ho Thay Ciong bertiga merasa sangat kagum. Si tua
sebenarnya ingin menghalangi Boe Kie, tapi ia tidak bisa
bergerak. Racun dalam perut Boe Kie belum keluar semua
tapi ia tidak bisa muntah lagi. “Paling dulu aku harus
menyingkir,” pikirnya. Ia menghampiri Poet Hoei dan
mencoba membuka jalan darah si nona, tapi tidak berhasil,
karena totokan Pan Siok Ham lain daripada ilmu yang lain.
Maka ia segera membuka jendela dan setelah melihat tidak
ada orang, ia lalu mendukung Poet Hoei dan
menurunkannya dikuar jendela.
Jika menggunakan Lweekang, dalam tempo kira2
setengah jam Ho Thay Ciong akan bisa membuka jalan
darahnya sendiri. Tapi Boe Kie sudah siap untuk melarikan
diri, dan jika istrinya menanyakan, satu gelombang hebat
akan terjadi pula. Disamping itu, jika seorang bocah Boe
Tong Pay bisa kabur dengan tangan kosong dari Sam Seng
Tong dan kemudian menguar2kan kebusukannya sebagai
manusia yang tak mengenal budi, sebagai seorang
pemimpin partai besar, dimana ia harus menaruh muka?
Maka itu, biar bagaimanapun juga, kaburnya bocah itu
harus dicegah.
Memikir begitu ia lantas saja menarik nafas dalam2
untuk berteriak memanggil istrinya. Tapi Boe Kie sudah
lantas bisa menebak niatnya. Ia mengeluarkan sebuah pil
berwarna hitam yang lalu dimasukan ke dalam mulut Ngo
kouw. “Pil ini racun Kioe Pie Wan,” katanya. “Berselang
dua belas jam, orang yang memakannya akan mati dengan
usus putus dan jantung hancur. Aku akan menaruh obat
pemunah disatu pohon yang jauhnya tiga puluh li dari sini.
Pohon itu akan diberi tanda dan tiga jam kemudian Ho
sianseng boleh menyuruh orang untuk mengambilnya.
Bilamana aku tertangkap dan mati, aku bukan mati
974
sendirian.”
Kejadian itu tidak disangka2 oleh Ho Thay Ciong.
Sesudah memikir sejenak, ia berkata denga suara perlahan.
“Biarpun Sang Seng Tong bukan kobokan naga atau sarang
harimau, kurasa seorang yang sepertimu takkan bisa keluar
dari tempat ini.”
Boe Kie tahu bahwa dengan berkata begitu, si tua buka
omong besar. Tapi ia bersikap acuh tak acuh dan berkata
dengan suara tawar.
“Menurut pendapatku, kecuali dengan obatku sendiri,
racun Kioe Pie Wan tak akan bisa dipunahkan dengan
apapun juga.”
Ho Thay Ciong mengerutkan alis, “Baiklah”’ katanya
“Bukalah jalan darahku, aku akan mengantarmu keluar dari
tempat ini.”
Jalan darah si tua yang tertotok adalah Hong Tie dan
Keng Boen. Boe segera mengurut jalan darah Thian Coe,
Hoan Siauw, Toa Wie, dan Siang Kie. Tapi sudah berusaha
beberapa lama ia masih juga belum berhasil.
Hal itu sudah mengejutkan mereka berdua. Boe Kie
kaget, karena sudah menggunakan tujuh macam cara untuk
membuka jalan darah, yang didapat oleh Ouw Ceng Goe, ia
masih belum berhasil. Si tua terkejut, sebab ia mendapat
kenyataan, bahwa si bocah memiliki rupa-rupa ilmu
membuka jalan darah dan tenaga dalamnyapun sudah
cukup tinggi. “Anak ini benar lihay,” katanya dalam hati,
“Siok Ham menotok tujuh delapan jalan darahnya, tapi ia
tidak bergeming. Boe Tong Pay sungguh tidak boleh di buat
gegabah. Untung juga, waktu itu berada di Boe Tong san
aku tidak turun tangan, kalau tanganku iseng, bisa jadi aku
celaka. Murid Boe Tong yang begitu kecil sudah begitu
lihay. Apalagi yang sudah dewasa,” ia tak tahu bahwa
975
“kekebalan” Boe Kie terhadap Tiam Poat didapatkan dari
Cia Soen, sedang rupa2 ilmu membuka jalan darah didapat
dari Ouw Ceng Goe, sehingga tidak ada sangkut paut
dengan Boe Tong Pay.
Mendadak Ho Thay Ciong mendapat serupa ingatan dan
ia lantas saja berkata. “Bawa kemari poci teh dan tuang
tehnya ke mulutku”.
Boe Kie merasa curiga, tapi mengingat, demi
keselamatan gundiknya, si tua pasti tidak berani main gila
terhadapnya, maka ia lantas saja mengangkat poci teh itu
dan menuangkan isinya kedalam mulut Ho Thay Ciong.
Si tua tidak menelan air teh itu. Tiba2 sambil
menggerakan Lweekang, ia menyembur dan bagaikan
sebatang anak panah, air itu menyambar tekukan sikutnya
di bagian Ceng Leng Yao. Hampir berbareng, lengannya
dapat digerakkan pula.
Sedari datang ke Sam seng tong, Boe Kie memandang
rendah Ho Thay Ciong karena lagal lagunya seperti takut
bini menyayang gundik, licik dan sebagainya tidak
mendatangkan keindahan. Tapi sekarang, ia kaget melihat
kepandaian si tua. Ia lantas bisa mati seketika.
Sesudah lengan kanannya merdeka, ia segera membuka
jalan darah di betisnya. “sesudah kau menyerahkan obat
pemunah, aku akan mengantar kau keluar dari selat ini.”
katanya.
Si bocah tidak menyahut, ia hanya menggelenggelengkan
kepalanya.
Si tua bingung, “Aku adalah Ci boen jin dari Koen Loen
Pay,” katanya. “Tak bisa jadi aku mendustai anak kecil
seperti kau bukan? Kalau terlambat dan racun itu keburu
mengamuk, jiwanya tidak bisa tertolong.”
976
“Racun itu tidak akan menggamuk sebegitu cepat,” kata
si bocah.
Thie-khim Sianseng menyerah kalah. Sambil menghela
nafas ia berkata. “Baiklah mari aku antar kamu.”
Sesudah melompat dari jendela, Ho Thay Ciong segera
menyentuh punggung Poet Hoei dengan jerijinya dan jalan
darah si nona yang tertotok lantas saja terbuka. Gerakan
tangannya indah dan sangat cepat, bagaikan mengalirnya
air, sehingga Boe Kie merasa sangat kagum dan sinar
matanya mengeluarkan sinar memuja. Sedari bertemu
dengan si tua, belum pernah ia memperlihatkan sikap
begitu. Ho Thay Ciong mengerti perasaan si bocah dan ia
tersenyum simpul.
Sambil menuntun tangan kedua anak itu, ia lalu
mengajak pergi ke taman bunga dan keluar dari pintu
samping. Dari depan sampai belakang, Sam Seng Tong
terdiri dari delapan bangunan dan setelah keluar dari pintu
samping, mereka berjalan di suatu jalan kecil yang berliku2.
Sesudah itu mereka masuk pula ke beberapa bangunan dan
melewati lagi banyak ruangan. Tanpa pengantar, andaikata
mereka tidak didengar murid Koen Loen, belum tentu
mereka bisa keluar dari Sam Seng Tong. Dengan demikian
rasa hormat dalam hati Boe Kie jadi bertambah besar.
Sekeluarnya dari Sam Seng Tong, dengan lengan kanan
mendukung Poet Hoei dan tangan kiri menuntun Boe Kie,
Ho Thay Ciong segera berlari2 ke jurusan barat laut dengan
ilmu ringan badan. Dengan badannya separoh diangkat,
Boe Kie merasa seperti terbang melayang2 di tengah udara.
Setiap lompatan si tua berjarak kira2 setombak begitu lekas
ujung kakinya menotol tanah, badannya sudah mengapung
dan melesat lagi kedepan. Dalam sekejap mereka sudah dua
puluh li lebih. Selagi enak melayang2 di sebelang belakang
sekonyong2 terdengar teriakan. “Ho Thay Ciong!... Ho
977
Thay Ciong….tahan.” Suara itu bukan lain suara Pan Siok
Ham.
Ho Thay Ciong segera menghentikan tindakannya.
Sambil menghela nafas ia berkata. “Saudara kecil, kamu
larilah. Istriku mengubar, aku tidak bisa mengantarmu lebih
jauh”.
“Perlakuannya terhadapku tidak bisa dikatakan terlalu
jelek” pikir Boe Kie yang lantas saja berkata, “ Ho
Sianseng, kau pulanglah. Pil yang ditelan oleh Hoejin
bukannya racun. Pil itu hanya San pwee wan, obat untuk
melicinkan tenggorokan dan menghentikan batuk. Beberapa
hari berselang Poet Hoei moay batuk2 dan aku membuat pil
itu untuk mengobatinya. Sisanya masih ada beberapa butir
dan aku merasa menyesal bahwa aku telah
mengangetkanmu”.
Si tua kaget dan gusar, “Apa benar bukan racun?”
bentaknya.
“jiwa Ngo Hoejin telah ditolong olehku,” jawabnya
“Mana tega aku mencelakakannya lagi?”
sementara itu suara teriakan Pan Siok Ham sudah
semakin dekat.
Bahwa Ho Thay Ciong sudah membawa lari kedua anak
itu adalah karena rasa cintanya terhadap Ngo kouw.
Mendengar keterangan Boe Kie darahnya lantas saja
meluap. “Plak!.......Plak….”, ia menggaplok empat kali
beruntun, sehingga kedua pipi si bocah merah bengkak dan
mulutnya mengeluarkan darah. Waktu si tua mengangkat
tangan pula untuk mengirim gaplokan kelima, buru2 Boe
Kie menangkis dengan jurus Kang Liong Yoe Hwie, satu
jurus dari Hang Liong Sip Pat Cang. Kalau sudah mahir
dan ditambah dengan Lweekang tinggi jurus itu dahsyat
978
bukan main. Tapi sibocah baru kenal kulit2nya saja, sedang
tenaga dalamnyapun sangat cetek. Mana bisa melawan
Ciang boenjin dari Koen Loen Pay?
Melihat gerakan yang luar biasa, Ho Thay Ciong
mengerti bahwa ia tengah menghadapi ilmu yang sangat
tinggi. Sambil mengeluarkan seruan “Ih” ia menggegosdan
menghantam mata kanan Boe Kie, yang lantas saja biru
bengkak.
Sesudah gagal dalam perlawanannya, Boe Kie mengerti
bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh. Maka itu ia
lantas saja berdiri tegak dan membiarkan dirinya dihajar
kalang kabutan. Dalam memberi hajaran, si tua tidak
menggunakan Lweekang, yang jika digunakan, bocah itu
tentu sudah tewas jiwanya. Tapi walaupun begitu, setiap
kali digapelok, mata Boe Kie berkunang2 san rasa sakit
sampai ke tulang2.
Selagi enak menganiaya. Pan Siok Ham bersama dua
orang muridnya sudah tiba disitu. Ia menonton, tapi
melihat yang dipukul tidak melawan, kegembiraannya jadi
berkurang. “Coba kau hajar anak perempuan itu,” katanya.
Ho Thay Ciong memutar tubuh dan menggampar kuping
Poet Hoei yang lantas saja menangis keras.
“tua Bangka,” teriak Boe Kie dengan gusar “Apa belum
cukup kau menghajar aku seorang? Perlu apa kau menghina
seorang anak masih begitu kecil?”
Tapi si tua tidak menggubris, tangannya melayang lagi.
Boe Kie jadi kalap, sambil melompat bagaikan kerbau edan,
ia menyeruduk perut Ho Thay Ciong.
Pan Siok Ham tertawa dingin. “Lihatlah, anak begitu
kecil masih punya kecintaan dan pribudi.” Katanya.
“Bukan seperti manusia yang semacam kau yang sedikitpun
979
tak mengenal rasa cinta.”
Diejek begitu, selebar muka situa jadi merah. Dalam
matanya, ia jadi gusar dan kegusaran itu ditumplekan diatas
kepala Boe Kie. Ia menjambret leher baju si bocah dan
melemparkannya sambil membentak, “Binatang kecil!
Lebih baik ikut ayah dan ibumu!” kali ini, karena
melemparkannya dengan menggunakan Lweekang, badan
bocah itu terlempar jatuh dan kepalanya menyambar ke
arah satu batu gunung yang besar. Begitu terbentur, batok
kepalanya pasti akan remuk!................
Pada detik yang sangat berbahaya, semacam tenaga tiba2
mendorong Boe Kie, sehingga arahnya berubah dan ia jatuh
di samping batu. Sebelum semangatnya pulih, dengan
matanyayang bengkak, ia melihat seorang sastrawan
setengah tua yang mengenakan jubah panjang warna putih,
berdiri dalam jarak kira2 lima kaki dari dirinya.
Dengan rasa kaget dan heran. Si tua dengan istrinya
saling mengawasi. Lagi kapan? Dan darimana orang itu
datang? Andaikata ia lebih dulu bersembunyi dibelakang
batu, orang2 yang berkepandaian tinggi seperti mereka
berdua sudah pasti akan mengetahuinya, selain itu tenaga
yang digunakan Ho Thay Ciong untuk melemparkan Boe
Kie, paling tidak ada lima ratus kati. Tapi sastrawan itu,
dengan kibasan tangan baju sudah berhasil menolak tenaga
tersebut dan melemparkan si bocah di samping batu. Itu
semua membuktikan, bahwa ia memiliki kepandaian yang
sukar diukur berapa tingginya.
Orang itu berusia kira2 empat puluh tahun, mukanya
tampan hanya alisnya agak turun kebawah dan mulutnya
terdapat beberapa garis yang dalam sehingga ia
kelihatannya banyak lebih tua dan seperti seorang yang
sudah mengalami banyak kedukaan. Tanpa mengeluarkan
sepata kata, ia berdiri bengong, seolah2 tengah memikiri
980
kejadian2 di masa lampau.
Sesudah batuk beberapa kali, Ho Thay Ciong bertanya.
“Siapa tuan? Mengapa tuan mencampuri urusan Koen
Loen Pay?”.
Sastrawan itu menyoja dan menjawab. “Ah! Kalau
begitu Cianpwee adalah Thie Khim Sianseng Ho Cianpwee.
Sudah lama kudengar namanya yang besar. Dan akupun
sedang berhadapan dengan Ho Hoejin, bukan? Boanpwee
bernama Yo Siauw.”
Perkataan “Yo Siauw” disambut dengan seruan kaget
oleh Ho Thay Ciong, Pan Siok Ham dan Boe Kie. Seruan si
bocah bercampur dengan nada girang, sedang seruan kedua
suami istri bercampur dengan nada gusar.
“Srt…………srt……..” kedua murid Koen Loen
menghunus pedang yang lalu dibalik dan gagangnya
diangsurkan kepada soehoe mereka. Ho Thay Ciong
melintangkan senjatanya di depan dada dan bersiap sedia
dengan pukulan Soat-yong kiauw (Salju menutupi jempatan
biru), sedang Pan Siok Ham menudingkan pedangnya ke
tanah dalam gerakan Bok-yap siauw (Daun daun
berkeresekan). Kedua pukulan itu adalah pukulan pukulan
yang paling lihay dari Koen Loen Kiam Hoat. Kuda
kudanya kelihatan sangat sederhana, tapi didalamnya
bersembunyi tujuh-delapan gerakan susulan yang luar biasa.
Asal tangan mereka, kedua pedang itu lantas menyambar
tujuh-delapan bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Tapi Yo Siauw tenang2 saja. Ia mengawasi Boe Kie
dengan perasaan heran karena dalam teriakan itu terdapat
nada kegirangan.
Muka Boe Kie matanya biru, bengkak2 dan berlepotan
darah, tapi sinarnya menunjuk rasa syukur dan bahagia.
“Kau……kau……” katanya terputus2, “apakah kau Kong
981
Beng Soe Cie dari Beng kauw, Yo siauw, Yo Pehpeh?”.
Yo Siauw manggut2kan kepalanya. “Bagaimana kau
tahu she dan namaku, anak?” tanyanya.
Sambil menunjuk Poet Hoei, Boe Kie berkata “Adik ini
adalah putrimu!” Ia memnuntun tangan si gadis cilik dan
berkata pula “Poet Hoei moay moay, inilah ayahmu. Ah!
Akhirnya kita berhasil mencarinya.”
Poet Hoei mengawasi Yo Siauw dengan matanya yang
bundar cilik. “Apa kau ayahku?” tanyanya. “mana ibu?
Aku lagi mencari ibu.” Ia berkata begitu, karena untuk
membujuknya, disepanjang jalan boekie selalu mengatakan,
bahwa mereka melakoni perjalanan jauh itu untuk mencari
Kie Siauw Hoe.
Jantung Yo Siauw memukul keras dan sambil mencekal
pundak si bocah, ia berkata “Anak bicara lebih terang. Putri
siapa dia? Siapa ibunya?” ia mencengkeram keras, sehingga
Boe Kie menggeluarkan teriakan “aduh!”
“Dia putrimu,” jawab si bocah. “ibunya iyalah Liehiang
Kie Siauw Hoe dario Go Bie Pay.”
Muka Yo Siauw yang memang sudah pucat menjadi
pucat lagi. “Dia…….dia mendapat anak?” tanyanya dengan
gemetar. “Dimana………dimana dia sekarang?” Seraya
berkata begitu ia memeluk dan mengangkat Poet Hoei.
Kedua pipi anak itu bengkak sebab pukulan Ho Thay
Ciong, tapi pada paras mukanya masih bisa dilihat sesuatu
yang sangat mirip dengan kecantikan Kie Siauw Hoe. Tiba2
ia mengeluarkan selembar tali yang tergantung di leher Poet
Hoei dan ia lalu menariknya, ternyata pada tali itu
dilekatkan selembar Tiat-pay dengan ukiran memedi yang
sedang menyeringai dan mementang cakar. Sekarang ia
tidak bersangsi lagi. Tiat-pay itu adalah “Tiat-pay-leng” dari
Beng Kauw yang sudah diberikan kepada Kie Siauw Hoe.
982
Sambil memeluk putrinya erat2, ia bertanya berulang2
“Mana ibumu? Mana ibumu…..”
“Ibu hilang. Aku sedang mencarinya. Apa kau bertemu
dengannya?” jawab anak itu.
Yo Siauw mengawasi Boe Kie dan lalu menanyakan
dimana adanya Kie Siauw Hoe.
Si bocah menghela nafas dan berkata “Yo Pehpeh. Jika
aku beritahukan, kau jangan terlalu berduka. Kie Kouw
kouw telah dipukul mati oleh gurunya…..dan waktu
meningggal dia….”
“Dusta! dusta!” Teriak Yo Siauw, sambil memijit
pundak Boe Kie. “Kreek !” tulang pundak itu remuk dan
….”Bruk!” Yo Siauw dan Boe Kie terguling ditanah dengan
berbareng, dengan tangan Yo Siauw masih memeluk
putrinya.
Yo Siauw pingsan karena mendengar terbinasanya Kie
Siauw Hoe, sedang Boe Kie roboh sebab tulang pundaknya
remuk. Ho Thay Ciong dan istrinya saling melirik dan
segera menghunus pedang, yang satu ditudingkan ke dahi
antara dua alis, yang lain ditujukan ke tenggorokan Yo
Siauw.
Sebagai salah seorang tokoh penting dalam Beng Kauw,
Yo Siauw mempunyai permusuhan hebat dengan Koen
Loen Pay. Karena kalah pie boe(adu silat), Yoe Liong Coe,
seorang cianpwee partai tersebut, telah mati sebab
kejengkelan. Pek Loe Coe, gurunya Ho Thay Ciong dan
Pan Siok Ham, juga binasa dalam tangannya seorang
anggota Beng Kauw. Siapa yang membinasakan tidak
diketahui jelas. Tapi mungkin sekali Yo Siauw juga. Suami
istri Ho tahu, bahwa orang itu memiliki kepandaian yang
sangat tinggi, sehingga bila kebetulan berpapasan di tengah
jalan, belum tentu mereka berani menyerang. Tak dinyana,
983
orang yang ditakuti itu tiba2 pingsan dan tentu saja mereka
sungkan menyia2kan kesempatan yang sangat baik.
“Putuskan dulu lengannya” kata Pan Siok Ham.
“Baiklah,” kata sang suami sambil mengangguk.
Sesaat itu Yo Siauw belum tersadar, tapi Boe Kie
walaupun merasakan kesakitan hebat, tidak sampai
pingsan. Melihat bahaya yang mengancam, sebagai seorang
yang sangat mudah memaafkan, tanpa mngingat lagi rasa
sakitnya, dengan kaki buru2 ia menyentuh jalan darah Pek
Hwee hiat, di ubun2 Yo Siauw.
Begitu tersentuh Pek Hwee Hiat-nya yang mempunyai
hubungan dengan otak, Yo Siauw tersadar. Tiba2 ia
merasakan hawa dingin dan begitu membuka mata, ia
melihat ujung pedang yang menempel pada alisnya dan
hampir berbareng, ia merasakan sambaran senjata ke arah
lengannya.
Dengan pedang menempel pada bagian kematiannya dan
satu pedang lagi membabat, ia tak bisa berkelit atau
berkutik lagi. Tapi, pada detik yang sangat berbahaya, ia
masih mengerahkan Lweekang ke lengan kirinya. Waktu
Ho Thay Ciong membabat lengan itu, ia merasa seperti
membacok semacam benda yang a lot licin, sehingga mata
pedangnya terpeleset. Tapi biarpun begitu Yo Siauw terluka
juga dan tangan bajunya basah dengan darah.
Pada detik itulah, mendadak saja dengan terus
menempel di tanah, tubuh Yo Siauw menyeluruk ke depan
setombak lebih, seolah2 lehernya diikat dengan tambang
dan ditarik dengan kecepatan luar biasa. Dengan
melorotnya tubuh itu, maka ujung pedang Pan Siok Ham
yang menempel di antara kedua alis mengores alis, hidung,
mulut dan dada Yo Siauw kira2 setengah dim dalamnya.
Kalau ujung pedang masuk lebih dalam setengah dim lagi,
984
ia tentu binasa dengan dada dan perut terbelek. Sehabis
menyelusur, tanpa menekuk lutut atau membongkokan
pinggang, tubuh Yo Siauw mendadak berdiri tegak, seperti
juga diangkat berdirinya sesosok mayat yang sudah kaku.
Dan begitu lekas berdiri tegak, kedua kakinya menjejak,
“Krek!”’ pedang suami istri Ho patah dengan berbareng.
Semua kejadian itu yang harus dilukiskan panjang lebar,
terjadi dalam tempo sekejapan saja.
Dengan memiliki Kiam Hoat yang sangat tinggi, pedang
Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham sebenarnya tak akan
dipatahkan, secara begitu mudah. Mereka mendapat
kekalahan memalukan karena lengah, sebagai akibat dari
kekangetan dalam melihat cara si orang she Yo yang sangat
luar biasa.
Apa yang lebih aneh lagi, dua potongan pedang itu
dengan berbareng menyambar Ho Thay Ciong dan istrinya.
Buru2 mereka menangkis dengan pedang buntung dan
meskipun berhasil, telapak tangan mereka sakit sekali dan
separuh badan mereka panas. Dengan cepat mereka
melompat, yang satu lalu berdiri di sebelah barat laut yang
lain di tenggara, dengan Yang Kiam (pedang lelaki)
menuding ke langit, Im Kiam (pedang perempuan)
ditunjukkan ke bumi. Itulah kuda2 dari ilmu pedang Liang
Gie Kiam Hoat yang sangat tersohor dari Koen Loen Pay.
Walaupun pedang mereka sudah buntung, sikap mereka
angker dan anggun sesuai dengan sikap ahli2 silat kelas
utama dalam rimba persilatan.
Liang Gie Kiam Hoat yang sudah mendapat nama
selama ratusan tahun adalah salah satu ilmu pedang
terlihay di kolong langiot. Disamping itu, suami istri Ho
telah berlatih bersama2, sehingga mereka sudah paham
betul dan dapat bekerja sama seerat2nya. Dengan demikian
pengaruh Kiam Hoat jadi bertambah berlipat ganda.
985
Sebagai seorang yang sudah sering bertempur dengan jago
jago Koen Loen, Yo Siauw mengenal dengan baik
kelihayan Liang Gie Kiamhoat. Meskipun tak takut, ia tahu
bahwa untuk menjatuhkan suami istri itu, paling sedikit ia
harus bertempur lima ratus jurus. Tapi sekarang ia tidak
mempunyai kegembiraan untuk berkelahi, sebab musabab
dari kebinasaan Kie Siauw Hoe. Disamping itu, sesudah
lengan dan badannya terluka, ia tidak boleh melakukan
pertempuran lama. Kalau darah keluar terlalu banyak, ia
bisa celaka. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara
dingin. “Makin lama orang2 Koen Loen Pay jadi makin
tolol. Hari ini biarlah kita menunda perkelahian. Di lain
hari aku akan mencari kamu berdua untuk membuat
perhitungan.” Sehabis berkata begitu dengan lengan
mendukung Poet Hoei dan satu tangan menuntun Boe Kie,
tiba2 tubuhnya meleset ke belakang setombak lebih dan
sesudah memutar badan, ia meninggalkan temapt itu
dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ho
Thay Ciong dan Pan Siok Ham mengawasi dengan rasa
gusar dan kagum dan tentu saj, iapun tidak berani
mengubar.
Sesudah melalui beberapa li, Yo Siauw tiba2
menghentikan tindakannya dan menanya Boe Kie “Apakah
yang sebenarnya telah terjadi pada diri Kie Siauw Hoe?”.
“Kie Kouw-Kouw sudah meninggal dunia,” jawabnya
“Terserah padamu apakah kau percaya atau tidak. Perlu
apa kau mematahkan tulangku?”.
Pada paras muka Yo Siauw terlihat perasaan menyesal
“Cara bagaimana ia meninggal?”
Tanyanya pula.
Sesudah minum arak racunnya Pan Siok Ham, biarpun
sudah muntah dan makan obat pemunah, racun itu belum
986
hilang semuanya. Ketika itu ia merasa perutnya sangat
sakit. A lalu mengeluarka ular Kim Koan Hiat Coa dan
membiarkan binatang itu menggigit telunjuk jari tangan
kirinyasupaya sisa racun dihisap. Perlahan2 ia mengurutkan
segala kejadian yang bersangkut paut dengan Kie Siauw
Hoe, bagaimana ia telah mengobati luka sang bibi,
bagaimana bibi itu bertemu dengan Biat Coat soethay yang
kemudian membinasakannya. Sehabis racun yang masih
ketinggalan dalam tubuhnya.
Yo Siauw juga menanyakan apa yang dikatakan Kie
Siauw Hoe waktu ia mau melepaskan nafas yang
penghabisan dan kemudian, dengan air mata bercucuran, ia
berkata “Biat Coat soethay memaksa supaya ia
mencelakakan aku. Kalau ia meluluskan, ia membuat jasa
besar kepada Go Bie Pay dan akan diangkat menjadi Ciang
Boenjin. Hay! Kau lebih suka mati daripada berjanji untuk
menurut perintah itu. Sebenarnya kalau kau tak usah mati
dalam tangan Biat Coat dan kitapun bisa bertemu pula”.
“Kie Kouw kouw adalah seorang mulia yang jujur” kata
Boe Kie. “Ia sungkan mencelakakan kau, tapi iapun tak
mau mendustai guru sendiri”.
Yo Siauw tertawa getir. “Ya” katanya, “kau mengenal
Siauw Hoe..”
“pada waktu Kie Kouw kouw melepas nafas yang
penghabisan, aku telah berjanji untuk menghantar Poet
Hoei Moay moay kepadamu”. Kata Boe Kie.
Yo Siauw menggigil. “Poet Hoei Moay Moay?” Ia
menegaskan. Ia berpaling pada putrinya dan bertanya.
“Kau She apa, nak? Siapa namamu?”
“Aku she Yo” jawabnyta. “Namaku Poet Hoei”.
Tiba2 Yo siauw mendongak dan keluarkan teriakan
987
nyaring panjang, sehingga pohon2 bergoyang goyang dan
daun2 jatuh rontok.
“Kau….” Katanya, “Poet Hoei….Poet Hoei….bagus!
Siauw Hoe, meskipun aku menodai kehormatanmu, kau
tidak menyesal……..”. (Poet Hoei berarti tidak menyesal).
Sesudah bertemu Boe Kie mendapat kenyataan, bahwa
meskipun usianya tidak muda lagi, Yo Siauw bukan saja
berparas tampan, tapi juga mempunyai cara2 untuk
menarik hati. Sehingga ia merasa, jika dibandingkan
dengan In Lie Heng yang masih kekanakan2, memang Yo
Siauw masih banyak lebih menarik bagi seorang wanita
daripada pamannya itu. Maka tidak dapat melupakan Yo
Siauw meskipun kehormatannya dinodai tidak boleh
disalahkan.
Makin lama tulang pundak Boe Kie yang patah makin
sakit. Disekitar itu tidak ada rumput obat yang bisa
menyambung tulang dan menredakan rasa sakit. Ia hanya
dapat mencari daun yang bisa menghilangkan bengkak,
sesudah memetiknya dan mematahkan dua ranting pohon,
ia lalu membereskan tulang pundaknya, menjepit tulang itu
dengan dua ranting pohon, menaruh daun obat dan lalu
mengikatnya dengan tali yang dibuat daripada kulit pohon.
Itu semua dikerjakannya secara ahli dan cepat sekali,
sehingga Yo Siauwmerasa sangat kagum.
Sesudah beres membalut tulang, Boe Kie Berkata, “Yo
Peh-peh, aku sudah memenuhi janji dan sekarang Poet
Hoei Moay-moay sudah berada dalam tanganmu. Disini
saja kita berpisah.”
“Tidak!”, kata Yo Siauw, “Dari tempat yang jauhnya
berlaksa li kau datang kemari untuk mengantarkan anakku,
tak dapat aku membiarkan kau pergi, tanpa memberikan
sesuatu padamu. Apa yang dikehendaki olehmu? Katakan
988
saja. Dalam dunia ini, tidak banyak yang tidak bisa
disapatkan olehku.”
Boe Kie tertawa terbahak2. “Yo Peh-peh” katanya “Kau
memandang Kie Kouw-kouw terlalu rendah. Sungguh
percuma Kie Kouw-kouw mengorbankan jiwa untukmu”
Paras muka Yo Siauw lantas saja berubah, “Apa?” ia
menegas.
“Mereka Kie Kouw-kouw tidak memandang rendah
kepadaku, baru ia meminta pertolonganku untuk
mengantarkan putrinya kepadamu” jawabnya. “Jika aku
memenuhi permintaan itu dengan niat mendapatkan
sesuatu, apakah aku berharga untuk menerima pesanan Kie
Kouw0kouw?” Waktu berkata begitu ia ingat pengalaman
pengalamannya yang hebat2. beberapa kali ia hampir
mengorbankan jiwa guna melindungi Poet Hoei. Tapi
karena ia bukan orang yang menonjolkan jasa dan
mengagulkan diri, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia
menyoja, memutar tubuh lalu berjalan pergi.
“Tahan!” kata Yo Siauw “Kau sudah membuang budi
yang sangat besar kepadaku, Yo Siauw adalah manusia
yang selalu membalas budi dan sakit hati. Ikutlah aku.
Dalam tempo setahun, aku akan turunkan kepadamu
beberapa ilmu yang jarang tandingannya didunia ini”.
Sesudah menyaksikan kepandaian Yo Siauw, Boe Kie
mengerti, bahwa jika ia menurut, ia akan memperoleh
banyak keuntungan. Tapi ia tidak bisa melupakan pesanan
Thio Sam Hong yang melarang ia bergaul dengan orang2
dari agama sesat. Apapula ia hanya bisa hidup setengah
tahun lagi. Sehingga ilmu silat yang tinggi tidak banyak
artinya. Memikir begitu ia lantas berkata, “Terima kasih
atas kecintaan Yo Peh-peh, tapi aku adalah murid Boe
Tong dan aku tidak berani menerima pelajaran dari orang
989
lain”.
“Oh!” Yo Siauw mengeluarkan seruan kaget, “Kalau
begitu, kau murid Boe Tong…. Dan In Lie Heng In Liok
Hiap…..”
“Ia pamanku,” kata Boe Kie.” Semenjak ayah meninggal
dunia. In Lioksiok selalu memperlakukan aku seperti
keponakan sendiri. Bahwa aku telah melakukan permintaan
Kie Kouw untuk mengantarkan Poet Hoei Moay-moay
kepadamu, di dalam hati……..aku merasa…….merasa
malu terhadap In Lioksiok”.
Ketika itu sinar mata Yo Siauw kebentrok dengan sinar
mata Boe Kie dan ia kelihatannya merasa jengah. Sambil
mengibas tangan, ia kemudian berkata, “Kalu begitu,
sampai bertemu lagi”, badannya berkelebat dan melesat
beberapa tombak jauhnya.
“Boe Kie koko! Boe Kie koko!” teriak Poet Hoei.
Tapi ilmu ringan badan Yo Siauw tak kepalang cepatnya.
Suara “Boe Kie koko” makin jauh kedengarannya dan
kemudian menghilang dari pendengaran.
Boe Kie berdiri terpaku. “Sesudah melakukan perjalanan
berlaksa li bersama sama dan sekarang secara mendadak ia
harus berpisahan dengan adik kecil itu, di dalam hatinya
tentu muncul perasaan duka.
Sementara itu, luka dipundaknya jadi makin sakit. Ia
segera menuju ke sebuah lereng gunung yang sepi dengan
niatan mencari daun obat. Tapi pohon2 dan rumput2 yang
tumbuh di Koen Loen San berbeda dengan yang tumbuh di
wilayah Tionggoan. Sehingga daun2 obat yang tertulis
dalam buku Ouw Cong Gie tidak terdapat disekitar tempat
itu. Sesudah berjalan dua puluh li lebih, rasa sakit makin
menghebat dan ia lalu duduk diatas satu batu besar untuk
990
mengaso. Tiba2 terdengar menyalaknya anjing, makin lama
makin dekat, seperti juga ada sesuatu yang sedang diburu.
Beberapa saat kemudian, dri sebelah kejauhan kelihatan
mendatangi seekor kera kecil yang pantatnya tertancap
sebatang anak panah pendek. Waktu berada kira2 sepuluh
tombak dari Boe Kie, binatang itu tiba2 bergulingan dan
tidak bisa bangun lagi. Boe Kie mendekati dan melihat sinar
mata kera yang penuh rasa sakit. Rasa kasihan lantas saja
timbul dari hatinya. Ia ingat nasibnya sendiri waktu diubar2
oleh orang Koen Loen Pay dan ia ingat pula kera
piaraannya di pulau Peng Hwee To. Ia segera mengangkat
binatang itu, mencabut anak panah dan menaruh obat luka
di lukanya. Sementara itu suara menyalaknya anjing sudah
semakin dekat. Buru buru ia menyingkap bajunya dan
menyembunyikan kera itu. Sesat kemudian belasan ekor
anjing sudah tiba disitu dan karena mengendus bau kera,
mereka lantas saja mengurung Boe Kie sambil menyalak
hebat dan memperlihatkan sikap menakuti. Melihat
galaknya kawanan anjing itu, Boe Kie agak keder. Ia
mengert, bahwa begitu lekas ia melemparkan si kera, ia
akan terbebas dari ancaman.
Tapi berkat didikan mendingan ayahnya, sedari kecil ia
sudah mempunyai jiwa ksatria. Sehingga biarpun terhadap
seekor binatang, ia sungkan memperlihatkan jiwa yang
kecil. Sesudah menarik nafas dalam2, ia melompat dan
terus kabur, dengan diubar oleh kawanan anjing itu.
Kawanan binatang itu anjing2 pemburu. Lari dengan
kecepatan luar biasa dan baru saja kabur belasan tombak, ia
sudah di candak. Tiba2 ia merasa betisnya sakit digigit keras
oleh seekor anjing. Ia memutar dan menghantam kepala
binatang itu yang lalu lantas saja robaoh tanpa berkutik lagi.
Tapi yang lainnya tidak menjadi keder dan dengan serentak
mereka menubruk. Ia melawan dengan nekat, tapi karena
991
tulang pundaknya patah dan lengan kirinya tidak daoat
digerakan, tangan kirinya segera kena digigit. Hampir
berbaring, kawanan anjing itu menubruk dan menggigit
kaki, tangan, kepala, punggung,….sekujur badannya.
Dalam keadaan setengah pingsan, sayup2 ia mendengar
suara bentakan yang nyaring dari seorang wanita dan
sekejap kemudian matanya gelap.
Entah berapa lama ia berada dalam mimpi. Ia mimipi
dikerubuti anjing2 galak, ia membuka mulut untuk
berteriak, tapi suaranya tidak bisa keluar…..dalam keadaan
lupa ingat, ia merasa anjing2 itu mundur teratur…..
Tiba2 ia mendengar suara manusia. “Panasnya mulai
teduh. Mungkin ia ketolongan”.
Perlahan2 ia membuka kedua matanya dan melihat,
bahwa ia sedang rebah di atas ranjang dalam sebuah kamar
yang diterangi lampu kecil dan didepan ranjang berdiri
seoranglelaki setengah tua.
Dengan rasa heran ia berkata
“Toa…siok….mengapa….aku….”ia tak dapat meneruskan
perkataannya karena sekujur badannya sakit bukan main
dan badannya panas membara. Sekarang ia ingat, bahwa ia
telah diserang kawanan anjing.
“Anak, umurmu panjang” kata orang itu, “Apa kau
lapar?”
“Dimana…..aku….”katanya. sekali lagi ia tak dapat
meneruskan perkataannya, karena kedua matanya keburu
gelap.
Waktu ia sadar pula, orang itu sudah pergi, “Sedang aku
tak akan hidup lebih lama lagi, mengapa aku mesti
mengalami begitu banyak penderitaan?” katanya dalam
hati. Ia mendapat kenyataan, bahwa leher, kepala, bahu,
992
tangan, paha, betis, dan dadanya semua dibalut dengan
kain dan bau daun obatmenusuk hidung.
Dari bau obat ia tahu, bahwa orang yang mengobatinya
tidak begitu paham ilmu pengobatan. Ia mengendus bau
Heng Jin, Ma-cia-coe, Hong ho, Lum Chee dan kain2 obat
yang biasa digunakan untuk mengobati luka bekas gigitan
anjing gila. Tapi ia bukan digigit anjing gila. Yang perlu
disembuhkan adalah daging dan otot2nya yang rusak.
Dengan diberikannya obat yang tidak cocok, lukanya jadi
makin sakit. Tapi ia tak berdaya. Ia tak bisa bangun waktu
fajar menyingsing, lelaki setengah tua itu datang menengok
lagi.
“Toa siok, terima kasih banyak untuk segala
pertolonganmu,” kata Boe Kie.
“Terima kasih apa?” kata orang itu “Bukan aku yang
menolong kau”.
“Dimana aku berada? Siapa yang sudah menolong aku?”
tanya pula Boe Kie.
“Kau berada di Bwee-hoa San-Chung (gedung bunga
Bwee),” jawabnya “Yang menolong kau adalah siocia
(nona) kami. Apa kau lapar? Sebaiknya kau makan bubur
panas.” Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dan balik
dengan membawa semangkok bubur daging. Baru saja Boe
Kie makan beberapa sendok, ia merasa nek dan tidak bisa
makan lebih banyak.
Sesudah rebah delapan hari, barulah Boe Kie bisa
bangun perlahan2. ia tak bertenaga dan kalau berdiri, kedua
kakinya gemetaran. Ia tahu kelemahan itu adalah akibat
terlalu banyak mengeluarkan darah dan kekuatannya tidak
bisa pulih dalam tempo cepat. Lelaki setengah tua setiap
hari merawatnya dan membawa bubur, sehingga walaupun
sikapnya agak kurang enak, Boe Kie merasa sangat
993
berterima kasih. Orang tua itu tidak suka banyak omong
dan biarpun Boe Kie ingin sekali mengajukan banyak
pertanyaan ia “tidak berani” membuka mulut.
Hari itu, lelaki setengah tua itu kembali membawa
obat2an yang sama, campuran Hong hong, Lam-chee dan
lain2. tanpa merasa Boe Kie berkata “Toasiaok, obat itu
tidak begitu cocok untuk mengobati lukaku ini. Bolehkah
memohon pertolongan supaya toasioak suka menukarnya?”
Dia kelihatan mendongkol dan mengawasi Boe Kie dari
kepala sampai ke kaki “Surat obat Looya mana bisa salah?”
katanya. “Kau kata tak cocok. Tapi dengan obat itu, kau
teloah dihidupkan kembali. Bocah, jangan kau ngaco belo.
Looya seorang mulia, sehingga meskipun ia dengar
perkataanmu, ia tentu tak menjadi gusar. Tapi kau sendiri
harus mengenal kira2 jangan asal menggoyangkan lidah”
sehabis berkata ia segera menempelkan obat itu si luka Boe
Kie dan lalu membalutnya.
Sesudah selesai ia berkata. “saudara kecil, kulihat kau
sudah mulai sembuh. Adalah pantas jika sekarang kau
menghaturkan terima kasih kepada Looya, Tai tai dan
Siocia yang sudah menolong jiwamu”
“Tentu saja” kata Boe Kie “Toasiok, kalau dapat,
sekarang saja aku mohon kau mengantarkan aku pada
mereka”.
Dengan ditemani orang itu sebagai penunjuk jalan, Boe
Kie melalui lorong yang sangat panjang dan sudah
melewati dua ruangan. Mereka masuk ke sebuah ruangan
yang sangat indah. Waktu sudah musim dingin dan dan
hawa di seluruh daerah gunung Koen Loen dingin bukan
main, tapi ruangan itu hangat bagaikan di musim semi dan
anehnya Boe Kie sama sekali tidak melihat perapian.
Dengan rasa kagum ia mengawasi sebuah vas indah di atas
994
meja dengan beberapa batang bunga bwee merah, didepan
dialaskan dengan seprei sulam dan kursi2 dengan bantal
sulam yang terbuat dari sutra. Seumur hidupnya, ia belum
melihat ruangan yang seindah itu. Tiba2 ia ingat
pakaiannya yang compang camping, sehingga ia merasa
mukanya panas.
Disitu tidak terdapat manusia. Dengan sikap hormat dan
sambil membungkuk pengantarnya berkata “Bocah yang
digigit anjing sudah sembuh dan ia datang untuk
menghaturkan terima kasih kepada Looya dan Tai tai”.
Beberapa saat kemudian, dari belakang sekosol muncul
seorang gadis kecil yang baru berumur kira2 lima belas
tahun. Sesudah melirik Boe Kie, ia berkata “Kiauw Hok,
terlalu kau! Mengapa kau bawa ia kemari? Kutu busuk
dipakaiannya bisa berlompatan disini”
“Ya….ya” kata Kiauw Hok
mwndengar perkataan itu Boe Kie memang sudah
merasa jengah, jadi lebih malu lagi, sehingga selebar
mukanya lantas saja berubah merah. Memang benar, sebab
tak punya tukaran, pakaian yang comang camping sudah
banyak tumanya. Diam2 ia melirik da melihat bahwa gadis
itu berparas cantik dengan muka potongan telor dan
mengenakan pakaian semacam sutra yang berkilauan,
sedang pergelangannya sangat halus “Waktu diserang
anjing, kudengar suara bentakan seorang wanita” katanya
dalam hati. “Kiauw Toasioak juga mengatakan bahwa
orang yang menolong aku adalah siocianya. Kalau begitu
dialah siocia yang dimaksudkan. Aku harus menghaturka
terima kasih dengan berlutut”. Memikir begitu ia lantas saja
menekuk kedua lututnya seraya berkata. “Terima kasih atas
pertolongan siocia. Selama hidup Thio Boe Kie takkan
melupan budi yang sangat besar”
995
gadis itu kelihatan kaget dan sejenak kemudian, ia
tertawa cekikikan. “Aduh! Kiauw Hok mengapa kau
mempermainkan bocah tolol itu?” katanya.
Kiauw Hok turut tertawa geli. “Siauw Hong Ciecie”
katanya “apa salahnya jika bocah tolol itu berlutut
dihadapanmu? Dia belum pernah melihat luasnya dunia
dan meihat kau, dia menduga kau adalah siocia”.
Boe Kie bersikap buru2 ia bangun berdiri. Celaka!
Seorang budak dianggapnya seorang majikan! Sungguh
hebat rasa malunya, mukanya sebentar merah, sebentar
pucat.
Sambil menahan tawanya Siauw Hong mengawasi Boe
Kie, dari kepala sampai di kaki. Noda darah di muka dan di
badan si bocah masih belum hilang. Disana sini masih
terdapat perban pada luka yang belum sembuh. Muka Boe
Kie sebentar pucat sebentar merah, kalau bisa siang2 ia
sudah selulup di tanah.
“Looya dan Tai tai ada urusan, kau tak usah menemui
beliau” kata Siauw Hong “Mari menemui Siocia saja.”
Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan berjalan dulu
cepat cepat, seperti juga ia takut terkena tuma dari baju si
bocah.
Boe Kie mengikuti di belakang Siauw Hong dan Kiauw
Hok, bujang2 perempuan dan lelaki yang ditemui mereka
semua berpakaian mewah, sedang ruangan2 yang dilewati
semua indah dengan perabotan lengkap. Semenjak
dilahirkan sampai berusia sepuluh tahun Boe Kie berdiam
di pulau Peng Hwee To dan sesudah itu beberapa tahun ia
berdiam di Boe Tong San dan beberapa tahun lagi di Ouw
Tiap Kok. Selama belasan tahun, ia selalu hidup sederhana
dan ia tak pernah mimpi, bahwa di dalam dunia terdapat
kemewahan yang begitu rupa.
996
Sesudah berjalan beberapa lama, mereka tiba di depan
sebuah toa tia(ruangan besar)yang diatasnya tergantung
selembar pian dengan tulisan “Han Kong Kie” (rumah
anjing).
Siauw Hong masuk dan beberapa saat kemudian, ia
keluar dan menanggapi, Kiauw Hok segera mengajak Boe
Kie masuk ke dalam.
Begitu masuk si bocah terkesiap, karena dalam ruangan
itu terdapat kurang lebih tiga puluh ekor anjing yang
bertubuh besar dan galak kelihatannya. Semua mendekam
di lantai dalam tiga baris. Di atas sebuah kursi yang
dialaskan kulit harimau berduduk seorang wanita muda
yang mengenakan baju bulu2 rase putih dan memegang
pecut.
“Tenggorokan!” tiba2 nona itu membentak.
Hampir berbarengan, seekor anjing melompat dan
menyambar ke arah leher seorang yang berdiri di pinggir
tembok.
“Celaka!....” Boe Kie mengeluarkan teriakan tertahan.
Dilain saat, ia melihat anjing itu sudah menggigit
sepotong daging yang lalu dimakannya sambil mendekam.
Sekarang ia baru tahu, bahwa “manusia” yang barusan
disambar hanyalah orang-orangan yang terbuat dari kulit
dan pada bagian2 badannya yang berbahaya dicantelkan
potongan2 daging.
“kepungan!” bentak pula si nona.
Anjing kedua melompat dan menggigit kepungan orangorangan
itu. Serangan kedua anjing itu cepat dan tepat.
Sekarang Boe Kie ingat, bahwa yang menyerangnya pada
hari itu adalah anjing2 tersebut dan lapat2 ia juga teringat
bahwa suara bentakan wanita yang didengarnya sebelum ia
997
pingsam adalah wanita yang sekarang ada di hadapannya.
Kedatngan Boe Kie sebenarnya untuk menghaturkan
terima kasih pada penolongnya. Tapi sekarang ia tahu,
bahwa anjing2 yang sudah menggigitnya adalah binatang
piaraan nona itu. Tiba2 saja darahnya meluap, “Sudilah!”
pikirnya “Dengan dilindungi oleh binatang2 itu, aku tidak
bisa berbuat apa2 terhadapnya. Kalau aku tahu bahwa
semua penderitaanku adalah karena gara2nya, aku lebih
suka mampus daripada menerima pertolongannya”.
Memikir begitu dengan gregetan ia membuka semua perban
yang masih menempel pada dirinya dan melemparkannya
ke atas lantai. Sesudah itu ia memutar badan dan berjalan
pergi.
Kiauw Hok kaget “Hei!” teriaknya “Mengapa kau pergi?
Inilah siocia kami. Lekas berlutut!”.
“Berlutut?” mengulangi Boe Kie dengan suara gusar.
“Bukankah anjing2 yang menggigit aku miliknya sendiri?”.
Melihat kegusaran si bocah, nona itu tersenyum.
“saudara kecil” ia menanggapi. “Mari sini”.
Boe Kie memutar badan dan segera berhadapan dengan
nona rumah. Entah mengapa, mendadak jantungnya
memukul keras, nona itu yang berusia tujuh belas tahun
atatu delapan belas tahun, ternyata cantik luar biasa. Sudah
sering ia melihat wanita cantik, tapi seumur hidup belum
pernah melihat yang secantik si nona. Mukanya yang mula2
pucat berubah menjadi merah.
“Kemari!” panggil nona itu.
Boe Kie mengangkat kepala dan matanya kebentrok
dengan sepasang mata yang bersorot halus, tapi
berpengaruh, sehingga tanpa merasa, ia bertindak maju.
Nona itu bangkit dan mencekal kedua tangan Boe Kie yang
998
badannya jadi bergemetaran. Tangan itu halus dan empuk.
Si bocah malu dan bingung, ia ingin menarik tangannya,
tapi tak rela ia berbuat begitu.
“Saudara kecil apa kau gusar terhadapku?” tanya si
nona.
Sesudah menderita begitu hebat dari kawanan anjing itu,
bagaimana ia tak gusar? Tapi sekarang dengan tangan
dicekal dan dengan berdiri dalam jarak yang begitu dekat
dengan si cantik, sehingga ia dapat menggendus bau yang
sangat harum, mana bisa ia mengaku “gusar”. Ia
menggelengkan kepala dan menjawab “Tidak”.
“Aku she Coe, namaku Kioe Tin.” Si nona
memperkenalkan dirinya. “Dan kau?”
“Namaku Thio Boe Kie,” jawabnya.
“Hm… Bagus sekali namamu. Saudara kecil kurasa kau
putra dari keluarga sastrawan. Duduklah di sini.” Seraya
berkata begitu, ia menunjuk sebuah kursi di sampingnya.
Semenjak dilahirkan, inilah untuk pertama kali Boe Kie
merasakan pengarah seorang wanita. Kalau waktu itu Kioe
Tin memerintahkan ia melompat ke dalam api, ia pasti akan
melompat. Dengan hati berdebar-debar ia lalu duduk di
kursi yang ditunjuk.
Melihat perlakuan nona mereka yang begitu ramah
tamah terhadap bocah kotor dan bau itu, bukan main rasa
herannya Siauw Hong dan Kiauw Hok.
Tiba-tiba Kioe Tin membentak. “Jantung!”
Seekor anjing lantas saja melompat dan menerjang. Tapi
daging yang tergantung di bagian jantung dari orang yang
sudah tidak ada lagi—sudah dimakan oleh anjing lain dan
anjing itu lantas menggigit potongan daging yang digantung
999
di bawah ketiak.
“Binatang!” bentak si nona. “Kau berani melawan!”
“Terrrr!....Terrr.,” ia menyabet dua kali. Pada pecut itu
dipasang duri-duri halus, sehingga di badan anjing yang
dihajar lantas saja terlihat dua garis yang bersemu darah.
Tapi anjing itu, yang rupanya sudah lapar, masih tidak
melepaskan daging yang digigitnya. Bukan saja begitu, dia
bahkan menggeram.
Nona Coe mengkin jadi gusar. “E..eh! Benar-Benar kau
melawan!” bentaknya dan pecutnya lantas saja menyambarnyambar
bagaikan kilat. Ia memukul dengan gerakan lincah
dan meskipun anjing itu bergulingan di lantai, setiap
sabetannya selalu mengenai sasaran, sehingga akhirnya,
binatang itu tidak berani bergerak lagi dan mendekam
sambil mengeluarkan suara minta diampuni. Tapi Kioe Tin
masih memukul dan baru berhenti setelah binatang itu tidak
bias berkutik lagi dan napasnya tinggal sekali-sekali.
“Kiauw Hok, bawa dia keluar dan obati lukanya.”
“Baiklah,” jawabnya dan ia lalu memondong anjing itu.
Melihat contoh yang hebat itu, anjing-anjing lain
mendekam tak berani berkutik.
Sesudah itu, dengan beruntun-runtun Kioe Tin
mengeluarkan perintah. “Betis kiri! Bahu kanan! Mata!”
Tiga ekor anjing dengan beruntun melompat dan
menggigit menurut perintah.
“Saudara kecil, lihatlah!” kata si nona sambil tersenyum.
“Kalau tidak dijambak, mana mereka mau dengar kata?”
Walaupun telah menderita karena serangan kawanan
anjing, tapi melihat hajaran hebat yang diberikan oleh nona
Coe, Boe Kie merasa kasihan dan tidak dapat
1000
membenarkan tindakan nona yang dianggap kejam
olehnya.
Melihat Boe Kie membungkam, si nona tertawa dan
berkata pula. “Tadi kau mengatakan tak gusar. Tapi
mengapa kau tak mau bicara? Bagaimana kau bias berada di
wilayah See Hek, di wilayah barat ini. Dimana ayah dan
ibumu?”
Sebelum menjawab, si bocah memikirkan sejenak. Ia
merasa, bahwa dalam keadaan yang seperti ini, jika
menyebutkan nama Tay Soehoe atau kedua orang tuanya
merendahkan derajat orang tua itu. Maka ia lantas saja
berkata ayah dan ibunya sudah meninggal dunia karena di
Tionggoan sukar mencari makan, maka aku terlunta-lunta
sampai di sini.
“Mengapa kau menyembunyikan kera yang telah
kupanah?” Tanya pula nona Coe. “Apa kau kelaparan?
Mau makan daging kera, bukan? Hmm… Hampir-hampir
kau dirobek oleh anjing-anjingku.”
Muka si bocah lantas saja berubah merah. Sambil
menggeleng-gelengkan kepala ia berkata. “Bukan, aku
bukan mau makan daging kera.”
Kioe Tin menepuk pundak Boe Kie dan berkata seraya
tersenyum. “Lebih baik kau jangan berdusta.” Ia berdiam
sejenak dan berkata pula. “Ilmu silat apa yang pernah kau
pelajari?” Dengan sekali memukul kau telah meremukkan
batok kepalan Co Ciangkoen. Tenagamu boleh juga.”
(Ciangkoen - Jenderal)
“Co Ciangkoen?” Boe Kie menegas dengan heran.
Si nona tak menjawab, ia hanya tersenyum. Tiba-Tiba ia
membentak, “Cian Ciangkoen!”
Seekor anjing lantas saja keluar dari barisannya lalu
1001
mendekam di tengah ruanga.
“Ki-Ki Ciangkoen!” si nona membentak pula dan hampir
berbareng, seekor anjing lain keluar dari barisan. Ternyata
setiap anjing diberi nama “Jenderal” dan Coe Kioe Tin
sendiri berlaku sebagai panglima besar.
“Karena bingung, mungkin sekali aku sudah
mengeluarkan tenaga habis-habisan,” jawab Boe Kie.
“diwaktu kecil, dua tiga tahun aku belajar sejurus dua jurus
Dari mendiang ayahku. Tak dapat dikatakan, bahwa aku
tahu ilmu silat.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru