Kamis, 27 April 2017

Cerita Silat Online 23 Toliongto

Cerita Silat Online 23 Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Online 23 Toliongto
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Online 23 Toliongto
“Tak mungkin mereka berkumpul di sini hanya untuk
makan minum,” jawabnya. “Anak rasa, mereka akan
berkumpul lagi di tempat lain, di tempat yang sepi untuk
membicarakan soal penting yang menjadi tujuan mereka.”
Cia Soen mengangguk. “Akupun berpendapat begitu,”
katanya. “Kay pang adalah musuh kita, sesudah bertemu
kita harus menyelidiki dengna jelas maksud pertemuan
mereka. Aku kuatir kalu mereka mau mengatur siasat untuk
mencelakai Beng-kauw.”
Mereka turun dan mencoba membayar uang makanan
tapi ditolak keras oleh pengurus rumah makan. “Giehoe,
kau lihatlah,” kata Boe Kie. “Rumah makan takut
menerima uang, dari sini dapatlah diketahui bahwa Kay
pang sering melakukan perbuatan sewenang-wenang.”
Mereka segera mencari sebuah rumah penginapan kecil
di tempat yang agak sepi. Menurut kebiasaan, murid-murid
partai pengemis tak pernah menginap di hotel sehingga Cia
Soen tak usah kuatir akan bertemu dengan rombongan
musuh.
“Boe Kie, mataku buta dan tak bisa ikut menyelidiki,”
kata Cia Soen. “Kepandaian Cie Jiak belum cukup, biarpun
ikut ia takkan bisa membantu kau. Sebaiknya kau pergi
sendiri saja.”
Boe Kie mengangguk. Sesudah mengaso sebentar, ia lalu
keluar seorang diri. Dari selatan ia berjalan ke utara, tapi
sesudah berjalan beberapa lama, seorang pengemis pun tak
ditemui olehnya.
“Ke mana mereka pergi?” tanya Boe Kie di dalam hati.
2117
Sebab baru berpisah kira-kira setengah jam, ia percaya
rombongan pengemis itu belum pergi jauh dan ia akan bisa
mencarinya.
Ia lalu pergi ke sebuah warung kelontong. Sambil
menepuk meja dengan mata melotot ia membentak, “Hei!
Ke mana perginya saudara-saudaraku?”
Melihat sikap yang galak, orang-orang di warung itu jadi
ketakutan. Salah seorang yang bernyali lebih besar
menghampiri dan sambil menuding ke utara ia berkata,
“Kawan-kawan Toaya (tuan) menuju ke sana. Apa Toaya
mau minum teh?”
“Tidak. Aku tak sudi minum segala teh bau,” bentak Boe
Kie yang lalu berjalan keluar dengan langkah lebar. Dalam
hati ia tertawa geli.
Baru saja ia melewati perbatasan kota, dari gombolan
rumput tinggi mendadak melompat keluar seorang
pengemis yang dilihatnya dari gerakannya mau
mencegahnya. Dengan cepat ia melompat sambil
mengempos semangat. Bagaikan anak panah, badannya
berkelabat melewati si pencegat. Pengemis itu mengucek
matanya. Ia merasa heran. Apa ia salah lihat? Ke mana
perginya manusia yang tadi kelihatan mendatangi?
Mulai dari situ, sepanjang jalan di jaga keras. Boe Kie
segera mengeluarkan ilmu meringankan badan. Dengan
matanya yang sangat jeli, ia bisa lihat penjaga-penjaga yang
di tempatkan di antara rumput-rumput tinggi, di belakang
pohon atau di belakang batu besar. Sebaliknya daripada jadi
halangan, orang-orang itu merupakan penunjuk jalan.
Sesudah berlari-lari empat lima li penjagaan makin rapat.
Kepandaian orang-orang itu kalah jauh dari Boe Kie tapi
meloloskan diri dari mata mereka di tengah hari benarbenar
bukan pekerjaan kecil, arah satu kelenteng di lereng
2118
gunung ia menduga bahwa perhimpunan Kay pang akan
dilansungkan di rumah berhala itu.
Setibanya di situ, ia lihat papan nama yang tertulis “Bie
lek Sin bio Kelenteng bie lek hoat”. Kelenteng itu besar,
indah dan angker, “Dengan memilih tempat di sini,
pertemuan mungkin akan dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh
penting,” pikirnya. “Kalau aku membaurkan diri di antara
mereka, mereka mungkin sadar.” Ia lalu mengamat-amati
keadaan di sekitarnya. Di dalam pekarangan sebelah kiri di
depan toa tian (ruangan besar) terdapat sebuah pohon siong
tua, sedang di sebelah kanannya berdiri pohon pak. Kedua
pohon itu rindang daunnya, besar dan tinggi, lebih tinggi
banyak dari atap toa tian. Ia segera pergi ke belakang
kelenteng dan melompat ke atas genteng. Dengan
merunduk, ia mengayun dan sekali melompat ia sudah
berada di pohon siong. Sambil memeluk sebatang cabang
besar ia melongok ke bawah dan ia bersorak di dalam hati,
sebab dari situ ia bisa memandang ke seluruh toa tian.
Lantai Tay hiong Po tian ternyata sudah penuh dengan
pengemis yang berjumlah kira-kira tiga ratus orang. Mereka
semua menghadap ke dalam sehingga melompatnya Boe
Kie ke pohon tak dilihat mereka. Dalam ruangan itu
terdapat lima lembar tikar yang masih kosong. Ruparupanya
kelima pemimpin masih ditunggu kedatangannya.
Apa yang sangat menyolok adalah kesunyian di ruangan
itu. Ratusan pengemis duduk dengan tegak tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Dalam hati Boe Kie memuji.
Walaupun derajat Kay pang sudah banyak merosot dan
meskipun di waktu biasa kawanan pengemis itu sering
menunjukkan sikap tak pantas pada tata tertib partai.
Di tengah-tengah Tay hiong Po tian duduk patung Bie
lek hoed dengan perut yang gendut, mulut tertawa lebar dan
paras muka yang sangat ramah.
2119
Selagi Boe Kie memperhatikan semua itu tiba-tiba
terdengar teriakan seseorang. “Ciang-poen Liong-tauw
tiba!”
Semua pengemis serentak berdiri tegak dan
menundukkan kepala. Dengan tangan memegang sebuah
mangkok somplak, Ciang-poen Liong-tauw melangkah
keluar dan lalu berdiri di sebelah kanan.
“Ciang-pang Liong-tauw!” orang itu berteriak pula.
Tiang-loo yang mukanya seperti Cioe Cong muncul
dengan kedua tangan menyangga tongkat bambunya yang
berkilauan. Ia berjalan dengan langkah lebar dan lalu berdiri
di sebelah kiri.
Sesudah itu terdengar teriakan ketiga, “Cie-hoat Tiangloo!”
(Tetua yang memegang undang-undang)
Seorang pengemis tua yang bertubuh kurus dan
memegang sebatang belahan bambu pecah, masuk ke dalam
ruangan dengan langkah yang sangat enteng. “Ilmu ringan
badan orang itu cukup hebat,” piker Boe Kie. “Kira-kira
standing dengan po-tay Hweeshio dan hanya beda setingkat
dari Wie Hok-ong.”
Teriakan keempat segera menyusul, “Coan-kang Tiangloo!”
(Tetua yang menurunkan ilmu)
Yang keluar kini seorang kakek yang berambut dan
berjenggot putih. Paras mukanya aneh seperti tertawa tapi
bukan tertawa. Seperti menangis bukan menangis. Ia
bertangan kosong dan langkahnya tidak memperlihatkan
tinggi rendah kepandaiannya.
Keempat orang itu lalu memindahkan empat lembar
tikar ke sebelah bawah dari tikar yang di tengah dan
kemudian sambil membungkuk mereka berseru, “Kami
mengundang Pangcoe!”
2120
Boe Kie terkejut, Pangcoe dari Partai Pengemis yang
bernama Soe Hwee Liong dan bergelar Kim gin ciang
(Tangan emas dan perak) jarang sekali muncul dalam
Rimba Persilatan. Hadirnya pemimpin itu membuktikan
betapa pentingnya pertemuan yang sedang berlangsung.
Semua pengemis turut membungkuk dengan sikap
hormat. Tak lama kemudian di belakang terdengar suara
langkah dan keluarlah seorang pria bertubuh tinggi besar.
Gerak gerik orang itu yang mukanya bersinar merah seolaholah
orang itu berpangkat atau hartawan besar dan
pakaiannya biarpun tidak mewah sedikitnya bukan pakaian
pengemis. Dengan tangan kanan memegang tiat-tan (peluru
besi yang digunakan sebagai senjata), ia melangkah masuk
dengan langkah lebar.
“Murid-murid Kay pang memberi hormat kepada
Pangcoe!” teriak para pengemis.
Soe Hwee Liong mengibaskan tangannya, “Cukuplah!”
katanya. Sehabis berkata begitu, dia segera duduk di tikar
yang terletak di tengah-tengah dan semua pengemis pun
segera ikut duduk.
“Lim Heng-too,” kata Soe Hwee Liong kepada Ciangpoen
Liong-tauw, “Cobalah ceritakan soal Kim mo Say ong
dan To liong to.”
Jantung Boe Kie memukul keras dan ia segera
memasang kuping dengan penuh perhatian.
Ciang-poen Liong-tauw bangun berdiri dan sesudah
membungkuk ke arah Pangcoe, ia berkata dengan suara
nyaring. “Saudara-saudara, sebagaimana kalian tahu partai
kita dan Mo kauw sudah bermusuhan selama kurang lebih
enam puluh tahun. Semenjak Seng hwee leng jatuh ke
dalam tangan kita, mereka terus berada di bawah angin.
Belum lama berselang, Mo kauw telah mengangkat seorang
2121
Kauwcoe baru yang bernama Thio Boe Kie. Anggotaanggota
kita yang turut serta dalam pengepungan Kong ben
teng pernah bertemu dengan si Kauwcoe itu. Dia seorang
bocah yang masih bau susu dan mana bisa dia melawan Soe
Pangcoe kita yang berkepandaian sangat tinggi?” Kata-kata
itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, sedang
Soe Hwee Liong sendiri tersenyum-senyum dengan muka
bersinar terang.
Sesudah sorak-sorai mereda, Ciang-poen Liong-tauw
berkata pula, “Tapi ada sesuatu yang harus diketahui
kalian. Selama puluhan tahun Mo kauw terpecah belah.
Sesudah pengangkatan Kauwcoe baru itu, keadaan tersebut
segera berubah dan perubahan ini merupakan penyakit di
dalam perut bagi golongan kita.”
“Selama setahun ini, kawanan siluman telah
memberontak di berbagai tempat. Han San Tong dan Coe
Goan Ciang bergerak di daerah Hway-see sedang di
wilayah Ouw lam dan Ouw pak, Cie Sioe Hwee telah
mendapat kemenangan dalam beberapa pertempuran dan
telah menduduki banyak tempat penting. Kalau mereka
berhasil mengusir Tat coe dan mereka pulang ke negara,
maka beberapa puluh laksa saudara-saudara kita akan mati
tanpa kuburan.”
Kawanan pengemis itu segera berteriak-teriak, “Mereka
tidak boleh berhasil! Mereka harus ditumpas!”
“Kita bersumpah untuk hajar Mo kauw habis-habisan!”
“Kalau Mo kauw berhasil, kita musnahkan!”
Dilain pihak Boe Kie yang bersembunyi di pohon
berkata di dalam hati, “Tidak disangka selama aku berada
di luar lautan beberapa bulan saudara-saudara sudah
mendapat hasil begitu besar. Kekuatiran Kay pang memang
dapat dimengerti, jumlah mereka sangat besar dan apabila
2122
mereka dapat diajak kerjasama, usaha mengusit Tat coe
akan berjalan lebih lancer. Tapi bagaimana? Bagaimana aku
harus berbuat untuk mengubah permusuhan menjadi
persahabatan?”
Sementara itu Ciang-poen Liong-tauw melanjutkan
pembicaraannya. “Kalian tahu bahwa Soe Pangcoe
biasanya hidup menyendiri di Cwee siauw San chung
(Perkampungan meniup seruling) dan sudah lama tidak
pernah menginjakdunia Kang ouw. Tapi dalam
menghadapi urusan besar ini, ia tidak bisa tidak turun
tangan sendiri. Syukur seribu syukur, Thian memayungi
kita, Pat-tay Tiang-loo (Tetua delapan karung) Tan Yoe
Liang telah bersahabat dengan seorang murid Boe tong dan
telah mendapatkan sebuah berita yang sangat penting.” Ia
menengadah dan berteriak, “Tan Tiang-loo! Ajaklah Song
Siauw hiap masuk ke dalam sini untuk berkenalan dengan
saudara-saudara kita!”
“Baiklah!” kata seorang di belakang tembok. Sesaat
kemudian dua orang masuk dengan berpegangan tangan.
Yang satu ialah Tan Yoe Liang, yang lain seorang pemuda
tampan yang baru berusia dua puluh tahun lebih dan di
pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Boe Kie terkesiap, sebab pemuda itu adalah Song Ceng
Soe, putra Song Wan Kiauw.
Setibanya di tengah ruangan mereka lalu menjalankan
adat kepada Soe Hwee Liong, lalu menyoja keempat ketua
dan akhirnya memberi hormat kepada pengemis yang lain
dan merangkap kedua tangan.
“Tan Tiang-loo,” kata Ciang-poen Liong-tauw,
“Cobalah tuturkan apa yang diketahui olehmu.”
“Saudara-saudara,” kata Tan Yoe Liang seraya
memegang tangan Song Ceng Soe, “Kita sangat mujur
2123
bahwa kita telah mendapat bantuan Song Siauw hiap. Song
Wan Kiauw, Song Tay hiap dari Boe tong pay. Dikemudian
hari, Ciangboen Boe tong pay sudah pasti akan jatuh ke
dalam tangannya.”
“Thio Boe Kie, Kauwcoe dari Mo kauw pada hakikatnya
adalah adik seperguruan Song siauw hiap, tahu jelas seluk
beluk keadaan dalam kalangan Mo kauw. Beberapa bulan
yang lalu Song siauw hiap telah memberitahukan aku
bahwa siluman besa Kim mo Say ong sudah datang di Leng
coa to di wilayah Teng hay (Lautan Timur).”
“Tapi bagaimana Song Siauw hiap bisa tahu hal itu?”
Tanya Cie hoat Tiang-loo. “Selama beberapa puluhn tahun
orang-orang rimba persilatan berusaha untuk mencari Kim
mo Say ong, tapi usaha ini sia-sia.”
Sejak pertemuan di Leng coa to di dalam hati Boe Kie
juga muncul satu pertanyaan yang belum terjawab.
Kedatangan Cia Soen di Leng coa to ditutup rapat-rapat.
Bagaimana Kay pang mengetahuinya? Maka itu pertanyaan
tiba-tiba Cie hoat Tiang-loo lebih menarik perhatian Boe
Kie.
“Berkat rejeki Pangcoe, hal itu terjadi secara sangat
kebetulan,” jawab Tan Yoe Liang. “Di Tang-hay hidup
seorang nenek yang dikenal sebagai Kim ho Po po dan
entah bagaimana ia tahu tempat sembunyinya Cia Soen.
Nenek itu yang hidup di pantai laut memiliki pengetahuan
mendalam ilmu pelayaran dan akhirnya berhasil mencari
Cia Soen di sebuah pulau di Kutub Utara. Ia pun berhasil
membawa Kim mo Say ong ke pulau Leng coa to,
memenjarakan sepasang suami-istri yaitu Wie Pek dan Boe
Ceng Eng, ahli waris partai persilatan di negeri Toa lie.
Waktu Kim hoa Po po pergi ke Tiong-goan, mereka
mendapat kesempatan untuk membunuh penjaga-penjaga
dan melarikan diri. Di Shoa tang mereka menemui bahaya
2124
dan pada saat yang tepat secara kebetulan ia ditolong oleh
Song Siauw hiap. Dalam pembicaraan mereka membuka
rahasia dan inilah sebabnya mengapa Song Siauw hiap tahu
kedatangan Cia Soen di Leng coa to.”
Cie hoat Tiang-loo manggut-manggutkan kepalanya.
Boe Kie menghela napas, “Manusia tak bisa melawan
maunya Thian,” pikirnya.
“Wie Pek dan Boe Ceng Eng bukan manusia baik-baik.
Dengan tipu busuk mereka mengorek rahasia dari mulutku.
Lantaran itu, barulah Cie san Liong ong tahu tempat
kediaman Giehoe. Pada jaman ini kepandaian Kim hoa Po
po dalam ilmu pelayaran jarang ada tandingannya. Kalau
bukan dia yang turun tangan, siapa lagi yang bisa mencari
Giehoe di Peng hwee to, andaikata kedua orang tuaku
masih hidup, belum tentu mereka bisa mengarungi samudra
dan tiba di Peng hwee to dengan selamat. Dari sini dapat
dilihat bahwa manusia tidak bisa menentang kemauan
Thian.”
Sesudah berdiam sejenak, Tan Yoe Liang berkata lagi,
“Aku dan Song Siauw hiap mempunyai ikatan mati hidup
bersama-sama (persaudaraan). Sesudah mendapat berita itu,
Kie Tiang-loo, The Tiang-loo dan lima murid tujuh karung,
aku pergi ke Leng coa to dengan tujuan membekuk Cia
Soen dan merampas To liong to untuk dipersembahkan
kepada Pangcoe. Apa mau kata, rombongan Mo kauw yang
berjumlah besar mendadak tiba di situ. Kami semua
bertempur mati-matian tapi jumlah kami yang kecil tak bisa
melawan jumlah mereka yang besar. Akhirnya Kie Tiangloo
dan empat murid tujuh karung gugur dalam
pertempuran. Tentang jalannya pertempuran, aku minta
The Tiang-loo yang melaporkan kepada Pangcoe.”
The Tiang-loo yang lengan kanannya buntung segera
2125
bangun berdiri dan menceritakan pertempuran di Leng coa
to itu. Tapi cerita-ceritanya dusta. Ia mengatakan bahwa
rombongan Beng kauw yang berjumlah besar mengepung
Kay pang yang berjumlah kecil tapi terus melawan dengan
nekad sehingga lima diantaranya mengorbankan jiwa.
Akhirnya dengan bernapsu ia menceritakan tentang
kesaktian Tan Yoe Liang dalam usaha menolong jiwanya
sehingga Cia Soen dipengaruhi oleh kegagalan itu dan tidak
berani turun tangan lagi.
Para pengemis bersorak-sorai memuji manusia-manusia
licik itu.
“Tan Heng tee bukan saja pintar dan gagah tapi juga
mempunyai gie-knie (rasa persahabatan) yang sangat tebal,”
kata Coan kang Tiang-loo.
Tan Yoe Liang membungkuk. “Berkat ajaran Pangcoe
dan Tiang-loo Koko, aku dapat memahami kewajibankewajiban
partai,” katanya. “Demi kepentingan kita,
biarpun mati masuk ke dalam lautan api, aku takkan
menolak. Apa yang aku perbuat tidak berarti dan tidak
cukup berharga untuk mendapat pujian yang begitu tinggi
dari The Tiang-loo. Pujian itu sungguh membuat aku
merasa sangat malu.”
Mendengar kata-kata merendah itu, rasa kagum para
pengemis jadi lebih besar.
Makin lama Boe Kie jadi makin dongkol. Manusia tak
mengenal malu itu yang terang-terangan mau menjual
sahabat guna menolong jiwanya sekarang dianggap sebagai
ksatria yang tebal rasa persahabatannya. Tapi dia memang
telah menjalankan siasat secara pandai. Bahkan The Tiangloo
sendiri sudah dikelabui olehnya. Mengingat begitu Boe
Kie berkata di dalam hati, “Tan Yoe Liang benar-benar
seorang kan hiong (orang gagah yang jahat). Bukan saja
2126
Giehoe, malah akupun sudah kena tipu. Hanya Tio
Kauwnio yang tidak dapat diakali. Hai!...Tio Kauwnio
sungguh pintar…sayang hatinya kejam…”
Sementara itu Cie hoat Tiang-loo bangun berdiri,
“Banyak sekalio saudara kita telah dibinasakan oleh
kawanan iblis,” katanya dengan suara dingin. “Apa kita
boleh menyudahi saja sakit hati itu?”
Para pengemis segera berteriak-teriak.
“Sakit hatinya Kie Tiang-loo harus dibalas.”
“Ratakan Kong beng teng!”
“Bunuh Thio Boe Kie! Mampuskan Cia Soen!” dan
sebagainya.
Sesudah teriakan-teriakan mereda, Cie hoat Tiang-loo
berpaling kepada Soe Hwee Liong dan berkata, “Lapor
kepada Pangcoe bahwa murid-murid partai kita merasa
sangat penasaran dan kami mohon petunjuk Pangcoe dalam
usaha membalas sakit hati.”
Alis Soe Hwee Liong berkerut. “Hm…memang soal ini
soal besar dari partai kita,” katanya. “Hm…kita harus
berdamai dengan otak dingin. Coba kau perintahkan supaya
semua murid tujuh karung ke bawah meninggalkan ruangan
ini untuk sementara waktu agar kita bisa berunding dengan
tenang.”
Cie hoat Tiang-loo mengangguk dan sambil berpaling
kepada para pengemis, ia membentak. “Dengarlah! Semua
orang dari murid tujuh karung ke bawah diminta
meninggalkan ruangan ini untuk sementara waktu dan
menunggu diluar kelenteng.”
Para pengemis segera mengiyakan dan sesudah
membungkuk ke arah Soe Hwee Liong, mereka segera
2127
berjalan keluar sehingga dalam sekejap ruangan toa tian
hanya tertinggal pemimpin-pemimpin Kay pang yang
penting.
Tan Yoe Liang maju selangkah dan berkata seraya
membungkuk, “Lapor kepada Pangcoe bahwa saudara ini
Song Ceng Soe, Seng Heng tee berjasa besar terhadap partai
kita. Maka itu aku mohon restu Pangcoe supaya ia
diperbolehkan masuk ke dalam partai kita. Seorang yang
mempunyai kepribadian dan kedudukan sebagai Song Heng
tee dibelakang hari pasti akan dapat melakukan sesuatu
yang sangat berharga bagi partai kita.”
“Tapi…tadi…,” kata Song Ceng Soe dengan suara
terganggu. “Hal ini tidak…” Baru saja ia mengucapkan
perkataan “tidak”, Tan Yoe Liang sudah mengawasinya
dengan sorot mata tajam. Melihat sinar mata yang berabu
dan kejam itu, ia menundukkan kepalanya dan tidak
membuka suara lagi.
“Bagus,” kata Soe Hwee Liong, “Kami menyambut
dengan girang masuknya Song Ceng Soe ke dalam partai
kita. Untuk sementara waktu, ia diberi kedudukan murid
enam karung dan berada dibawah pimpinan Tiang-loo
delapan karung Tan Yoe Liang. Kuharap Song Heng tee
suka menaati segala peraturan kita dan bekerja keras demi
kepentingan partai. Peraturan kita selalu dijalankan dengan
keras, siapa yang berjasa akan dihargai, siapa yang berdosa
akan dihukum.”
Kedua mata Song Ceng Soe mengeluarkan sinar sengsara
dan dongkol, tapi sebisanya ia menekan perasaannya itu. Ia
maju beberapa langkah dan berlutut dihadapan Soe Hwee
Liong. “Tee coe (murid) Song Ceng Soe memberi hormat
kepada Pangcoe,” katanya. “Terima kasih atas kemurahan
Pangcoe yang sudah memberi kedudukan murid enam
karung kepada tee coe.” Sesudah itu iapun memberi hormat
2128
dengan berlutut kepada semua tiang-loo dan liong-tauw.
“Song Heng tee!” kata Cia hoat Tiang-loo dengna suara
angker. “Sesudah menjadi anggota partai, kau terikat
dengan semua peraturan. Di hari nanti, andaikata kau
menjadi ciang boen dari Boe tong pay, kau tetap harus
menaati segala perintah dari pimpinan Kay pang. Apakah
kau sudah tahu adanya peraturan ini?”
“Ya,” jawabnya.
“Song Heng tee!” kata Cia hoat pula. “Walaupun
tujuannya sama, yaitu sama-sama bertujuan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan ksatria tapi jalan yang
diambil oleh Kay pang dan Boe tong pay berbeda. Mengapa
kau rela masuk ke dalam partai kita? Jawablah! Kau harus
menjawab dengan sejujur-jujurnya dan sejelas-jelasnya.”
Sebelum menjawab, pemuda itu melirik Tan Yoe Liang,
“Tan Tiang-loo melepas budi yang sangat besar terhadap
tee coe,” sahutnya. “Tee coe sangat mengakuinya dan rela
untuk mengabdi dibawah perintahnya.”
Tan Yoe Liang tertawa. “Disini tak ada orang luar,”
katanya. “Song Heng tee, kau boleh bicara secara bebas.
Kalau kau merasa tak enak biarlah aku yang menjelaskan.
Sesudah Biat coat Soethay meninggal dunia, Ciang boen jin
yang baru dari Go bie pay adalah seorang gadis yang sangat
cantik. Cioe Cie Jiak namanya. Nona itu dan Song Heng
tee adalah kawan dari kecil dan mereka sudah berjanji
untuk menjadi suami isteri. Diluar dugaan, Cioe Kauwnio
dirampas oleh kepala siluman Thio Boe Kie yang
membawanya kabur ke seberang lautan. Dalam gusarnya
Song Heng tee meminta bantuanku. Aku segera
menyanggupi dan aku bersumpah untuk merebut kembali
nona itu.”
Boe Kie merasa dadanya seperti mau meledak, tapi
2129
sebisanya ia menahan napas amarahnya.
Soe Hwee Liang tertawa terbahak-bahak. “Kita tidak
bisa menyalahkan Song Heng tee, sejak dulu orang gagah
memang sukar menolak wanita cantik,” katanya. “Yang
satu Ciang boen dari Boe tong pay yang lain Ciang boen Go
bie pay. Sungguh kedudukan yang sederajat, muda sama
muda!”
“Tapi Song Heng tee dalam menghadapi kejadian itu
mengapa kau tidak meminta bantuan Thio Sam Hong
Cinjin atau Song Tayhiap?” Tanya Cia hoat Tiang-loo lagi.
“Menurut keterangan Song Heng tee, sekarang Boe tong
pay bergandengan tangan dengan Mo kauw,” kata Tan Yoe
Liang. “Thio Sam Hong dan ayah Song Heng tee sungkan
bentrok dengan agama iblis itu. Pada waktu ini dalam
seluruh rimba persilatan hanya partai kita yang bermusuhan
dengan Mo kauw dan mempunyai cukup tenaga untuk
menghadapi agama siluman itu.”
Cia hoat Tiang-loo manggut-manggut. “Dia itu benar,”
katanya. “Sesudah kita memusnahkan Mo kauw dan
membinasakan si bocah Boe Kie, keinginan Song Heng tee
pasti akan terkabul.”
Mendengar tanya jawab itu Boe Kie segera ingat
kejadian di Kong beng teng. Ia ingat sikap Song Ceng Soe
yang luar biasa terhadap Cie Jiak dan sekarang ia tahu
bahwa putra pamannya telah jatuh cinta kepada
tunangannya.
“Tapi dia betul-betul gila!” katanya didalam hati.
“Karena seorang wanita dia rela mengkhianati rumah
perguruan sendiri bahkan ayah kandungnya sendiri. Cinta
Cie Jiak terhadapku adalah cinta yang suci. Biarpun
dibantu Kay pang, dia pasti tak akan bisa memaksa Cie Jiak
untuk menuruti kemauannya. Hai!...Song Toako sudah
2130
mendapat nama dan dipandang sebagai tunas harapan dari
Boe tong pay. Bagaimana dia bisa tersesat sampai begitu
jauh?” Ia merasa sangat menyesal dan menghela napas
berulang-ulang.
Sementara itu, Tan Yoe Liang sudah berkata lagi.
“Lapor kepada Pangcoe bahwa didekat kota raja, teecoe
telah membekuk salah seorang penting dalam kalangan Mo
kauw. Orang ini mempunyai sangkut paut dengan usaha
partai kita. Tee coe minta keputusan Pangcoe mengenai
orang itu.”
Tan Yoe Liang segera menepuk tangan tiga kali, “Bawa
masuk kepala iblis yang ditawan itu,” teriaknya.
Jantung Boe Kie memukul keras. Siapa yang tertangkap?
Hampir bersamaan dari belakang toa tian keluar empat
pengemis bersenjata dengan seorang tangkapan yang kedua
tangannya terbelenggu. Boe Kie merasa bahwa ia pernah
bertemu dengan orang itu yang berusia kira-kira dua puluh
tahun di Ouw taip kok, tapi ia lupa namanya. Pemuda itu
berjalan masuk dengan paras muka gusar dan waktu
melewati Tan Yoe Liang tiba-tiba ia membuka mulut dan
menyembur dengan ludahnya. Tan Yoe Liang berkelit dan
menggampar pipi kiri orang itu yang segera menjadi
bengkak. Salah seorang pengemis yang mengawalnya
mendorong dan membentak, “Jangan kurang ajar! Ayo
berlutut dihadapan Pangcoe!”
Tapi sebaliknya, pemuda itu kembali menyemburkan
riak ke muka Soe Hwee Liong.
Karena jarak mereka sangat dekat dan semburan itu
dilakukan dengan tenaga dalam yang cukup hebat, maka
walaupun Soe Hwee Liong coba mengelak, riak itu mampir
tepat di dahinya. Tan Yoe Liang melompat dan menyapu
dengan kakinya sehingga pemuda itu roboh di lantai.
2131
“Bangsat! Apa kau sudah bosan hidup?” bentaknya sambil
berdiri menghadang di depan Soe Hwee Liong.
“Sesudah jatuh ke dalam tanganmu, tuanmu memang
sudah tidak berpikir soal hidup lagi,” jawabnya.
Sesudah Soe Hwee Liong menyusut riak dari dahinya,
Tan Yoe Liang segera mundur beberapa langkah dan
berkata, “Lapor kepada Pangcoe bahwa bocah itu adalah
salah seorang jago yang terhebat dalam kalangan Mo kauw.
Ilmu silatnya berada ditempat keempat Hoat ong. Kita tak
boleh memandang rendah kepadanya.”
Semula Boe Kie merasa heran tapi ia segera mengerti
bahwa Tan Yoe Liang sengaja menunjukkan kepandaian
pemuda itu untuk menolong muka sang Pangcoe. Biar
bagaimanapun Soe Hwee Liong seorang pemimpin paling
tinggi dari Kay pang tidak dapat mengelak dari semburan
seorang tangkapan merupakan kejadian yang benar-benar
aneh, benar-benar tidak masuk akal. Apalagi sesudah
mendapat hinaan yang hebat itu, dia sama sekali tidak
menunjukkan kegusaran. Pada paras mukanya bahkan
terlihat sinar kebingungan seolah-olah ia merasa takut akan
terbukanya suatu rahasia besar.
Boe Kie jadi makin heran. Ia merasa bahwa dalam
peristiwa ini pasti terselip suatu latar belakang yang belum
diketahuinya.
“Tan Heng tee, siapa tangkapan itu?” tanya Cia hoat
Tiang-loo.
“Han Lim Jie, anak Han San Tong,” jawabnya.
Sekarang Boe Kie ingat, ia ingat bahwa dalam
pertempuran di Ouw tiap kok, pemuda itu selalu mengikuti
dibelakang ayahnya dan jarang berbicara dengan orang lain.
Tak heran ia tak ingat lagi namanya.
2132
“Aha! Anak Han San Tong?” tegas Cia hoat dengan
suara girang. “Tan Heng tee jasamu sangat besar. Lapor
kepada Pangcoe bahwa belakangan ini, Han San Tong
berturut-turut telah mengalahkan tentara Goan sehingga
namanya disegani orang. Panglima-panglimanya seperti
Coe Goan Ciang, Cie Tat dan Siang Gie Coen adalah jagojago
Mo kauw yang paling hebat. Sekarang kita berhasil
membekuk bocah itu yang bisa dijadikan semacam sandera.
Han San Tong pasti akan jinak dan menuruti segala
perintah kita.”
“Binatang! Jangan mimpi kau!” caci Han Lim Jie.
“Ayahku seorang gagah sejati. Tak akan Thia thia mau
ditekan oleh manusia-manusia tak mengenal malu
sepertimu. Thia thiaku mendengar perintahnya satu orang
yaitu Thio Kauwcoe kami. Kay pang ingin bertanding
melawan Beng kauw kami? Huh! Kamu jangan mimpi di
siang bolong. Kamu semua sangat tak tahu diri. Pangcoemu
yang semacam itu belum cukup sederajat untuk berendeng
dengan sepatu Thio Kauwcoe kami.”
Tan Yoe Liang tak jadi gusar. “Han Heng tee,” katanya.
“Kau memuji Thio Kauwcoemu tinggi sekali. Kami semua
merasa sangat kagum dan ingin sekali bertemu dengan
beliau. Bolehkah kau mengajak kami untuk menemui
beliau?”
Han Lim Jie adalah seorang yang jujur dan polos. Ia tak
tahu kelicikan Tan Yoe Liang. “Thio Kauwcoe memikul
beban yang sangat berat,” jawabnya. “Sekalipun saudarasaudara
didalam Beng kauw, tidak sembarangan bertemu
muka dengan beliau karena tak punya waktu untuk
meladeni manusia-manusia seperti kalian.”
Tan Yoe Liang tertawa dingin. “Omong kosong!”
bentaknya mengejek. “Semua orang Kang ouw mengatakan
bahwa Thio Boe Kie sudah dibinasakan oleh tentara Goan
2133
di kota raja. Hanya kau seorang yang masih bicara besar.”
“Bangsat! Tutup bacotmu!” caci Han Lim Jie. “Tat coe
menangkap Kauwcoe kami? Huh huh!...Andaikata
dikurung beribu laksa tentara, Thio Kauwcoe kami masih
bisa datang dan pergi sesuka hati. Memang benar Thio
Kauwcoe pergi ke kota raja. Maksud tujuannya ialah
menolong tokoh-tokoh enam partai yang tertangkap musuh.
Dibinasakan Tat coe? Huh huh…tutuplah bacotmu!”
Tan Yoe Liang tetap tidak gusar. Ia terus ha ha he he.
“Mungkin kau benar,” katanya. “Tapi semua orang Kang
ouw mengatakan begitu, aku tidak bisa tidak percaya.
Selama setengah tahun terakhir, kita hanya mendengar
nama Han San Tong, Cie Ceng Hwe, Goe Goan Ciang,
Lauw Hok Thong, Pheng Eng Giok dan sebagainya, tapi
nama Thio Boe Kie belum pernah disebut-sebut. Bukankah
itu merupakan bukti bahwa bocah she Thio itu benar-benar
sudah mampus?”
Paras muka Han Lim Jie berubah merah padam, uraturatnya
menonjol keluar. “Binatang…” teriaknya dengan
suara gemetar. “Jangan kau menghina Kauwcoe kami!
Suatu hari Kauwcoe akan kembali dari luar lautan dan
kamu semua kan mengenal kehebatannya.”
“Oh oh!...Oh begitu?” kata Tan Yoe Liang sambil
menyeringai. “Kalau begitu Thio Kauwcoemu menjelajahi
lautan. Sekarang kutahu, ia tentu bermaksud untuk
menjemput ayah angkatnya, Kim mo Say ong Cia Soen.
Bukankah begitu?”
Han Lim Jie terkesiap. Ia tahu bahwa ia sudah dijebak
oleh musuh pintar itu.
Sesudah diam sejenak, Tan Yoe Liang berkata pula
dengan suara tawar. “Ilmu silat Thio Boe Kie memang
boleh juga, Cuma mukanya muka pendek umur. Ada orang
2134
menghitung peruntungannya dan dia mengatakan bahwa
bocah she Thio ini tidak akan hidup lebih lama dari tahun
ini, permulaan…”
Tiba-tiba sebatang cabang pohon pek dipekarangan itu
bergoyang, Boe Kie yang kupingnya sangat tajam segera
mendengar suara napas manusia di cabang itu. Sesaat
kemudian, suara napas itu hilang. Boe Kie tahu bahwa
orang itu sudah mengatur jalan pernapasannya. “Dia sudah
sembunyi lebih lama dari aku,” pikirnya. “Sudah lama dia
berada di situ tapi aku tidak mengetahuinya. Dia pasti
memiliki kepandaian yang sangat tinggi.” Sambil berpikir
begitu ia mengawasi pohon pek itu.
Diantara cabang dan daun yang rindang ia melihat ujung
baju yang berwarna hijau. Orang itu bersembunyi di tempat
yang sangat bagus dan warna pakaiannya sama dengna
warna daun sehingga kalau Boe Kie tidak mempunyai mata
yang luar biasa, ia tak akan bisa melihatnya.
Sementara itu Han Lim Jie sudah membentak dengan
penuh kegusaran. “Dusta! Thio Kauwcoe seorang yang
berhati murah dan orang baik pasti akan dilindungi langit.
Ia masih berusia muda ia pasti bisa hidup seratus tahun.”
Tan Yoe Liang menghela napas. “Tapi kau tahu bahwa
didalam dunia sering terjadi kejadian luar biasa dan hati
manusia sukar dijajaki,” katanya. “Kudengar diseberang
lautan ia kena tipu oleh orang jahat sehingga akhirnya ia
dibinasakan oleh kerajaan Goan. Tapi kau tak usah merasa
heran. Orang-orang yang pernah melihat wajah Thio Boe
Kie sependapat bahwa bocah itu takkan hidup lebih lama
dari tiga kali delapan puluh empat tahun…”
Mendadak perkataan Tan Yoe Liang terputus, sebab
hampir bersamaan dengan bergoyangnya cabang pohon pek
sosok tubuh manusia melayang turun ke bawah. “Thio Boe
2135
Kie disini!” bentak orang itu. “Siapa kata aku sudah mati?”
Seraya membentak begitu ia melompat masuk dan berdiri di
tengah-tengah toa tian.
Ciang pang Tiang-loo memapakinya dengan jambretan
ke arah leher. Dengan gerakan yang sangat indah, orang itu
berkelit. Ia ternyata seorang pemuda yang sangat tampan
dengan mengenakan ikatan kepala empat segi dan baju
warna hijau.
Boe Kie terkesiap karena ia segera mengenal orang itu
tak lain adalah Tio Beng yang menyamar sebagai pria.
Bermacam perasaan memenuhi dadanya, kaget, gusar, cinta
dan girang bercampur aduk menjadi satu. Tanpa terasa ia
mengeluarkan seruan tertahan yang untung juga tak
didengar oleh para pengemis yang sedang menumpahkan
perhatian mereka kepada Tio Beng.
Dulu diluar kuil Siauw lim sie, Tan Yoe Liang pernah
bertemu muka dengan Boe Kie. Hal ini terjadi waktu Boe
Kie masih kecil. Dalam jangka waktu belasan tahun Boe
Kie sudah berubah banyak, baik muka maupun badannya
sehingga ia tidak bisa mengenali lagi. Belakangan di pulau
Leng coa to, ia bertemu lagi tapi waktu itu Boe Kie dan Tio
Beng memakai kumis palsu dan menyamar sebagai orangorang
Kie keng pang. Maka itu pada hakikatnya Tan Yoe
Liang tak tahu bagaimana rupa Thio Boe Kie sekarang. Soe
Hwee Liong dan yang lain-lain lebih tak mengenalnya.
Mereka hanya pernah mengetahui bahwa Kauwcoe baru
dari Beng kauw seorang pemuda yang berusia kurang lebih
dua puluh tahun dan yang berkepandaian sangat tinggi.
Melihat cara berkelitnya Tio Beng lincah dan indah mereka
tak ragu lagi. Tapi Tan Yoe Liang merasa sangsi sebab Tio
Beng terlampau cantik untuk jadi seorang pria, usianya
terlalu muda dan suaranya bukan suara lelaki. Maka itu ia
segera membentak, “Thio Boe Kie sudah mampus! Siapa
2136
kau? Sungguh berani kau main gila terhadap kami!”
“Binatang!” bentak Tio Beng dengan gusar. “Perlu apa
kau mencaci Thio Boe Kie? Thio Boe Kie mempunyai rejeki
yang sebesar langit dan akan berusia seratus tahun. Sesudah
manusia-manusia seperti kamu dikubur, ia masih bisa hidup
delapan puluh tahun.”
Mendengar suara si nona yang bernada duka, jantung
Boe Kie memukul keras. Apakah nada duka itu menunjuk
rasa menyesal? Tapi ia segera menekan segala pikiran lain.
“Perempuan kejam itu mana punya rasa menyesal?”
katanya dalam hati. “Boe Kie! Oh, Boe Kie! Mengapa kau
begitu lemah? Mengapa hatimu masih harus diikat oleh
manusia kejam itu?”
Sementara itu Tan Yoe Liang bertanya pula dengan
suara lebih sabar. “Siapa sebenarnya kau? Kau takkan bisa
mendustai aku. Kau pasti bukan Thio Boe Kie.”
“Aku Thio Boe Kie dari Beng kauw,” jawabnya.
“Mengapa kau tangkap saudaraku? Lekas lepaskan. Dalam
segala hal, aku yang bertanggung jawab.”
Mendadak terdengar suara tawa dingin. “Tio Beng
Kauwnio,” kata seseorang. “Orang lain bisa tak mengenal
kau tapi aku mengenal kau. Orang lain bisa tak mengenal
Thio Boe Kie tapi aku mengenalnya dengan baik. Lapor
kepada Pangcoe bahwa perempuan itu dalah putrinya Jie
Lam Ong. Dia bergelar Beng beng Koencoe dan
mempunyai banyak orang pandai. Kita harus bersiap
siaga.” Orang yang melucuti topeng Tio Beng adalah Song
Ceng Soe.
Cia hoat Tiang-loo segera bersiul nyaring.
“Ciang pang Tiang-loo!” teriaknya. “Bawalah sejumlah
saudara kita untuk menjaga diluar kelenteng. Hajar setiap
2137
musuh yang mau coba menerobos masuk.”
Ciang pang Tiang-loo segera mengiyakan.
Dalam sekejap diempat penjuru terdengar teriakanteriakan
para pengemis yang bersiap untuk menyambut
musuh.
Paras muka Tio Beng agak berubah. Ia menepuk tangan
dan dari atas tembok melayang turun dua orang. Mereka
adalah Hian beng Jie loe Lok thung kek dan Ho pit ong.
“Bekuk mereka!” bentak Cia hoat Tiang-loo.
Empat murid tujuh karung segera menerjang. Tapi
mereka bukan tandingan Hian beng Jie lok. Dalam tiga
jurus mereka sudah luka semua. Melihat itu Coan kang
Tiang-loo segera turun ke arena dan menghantam Ho pit
ong dengan pukulan yang mengeluarkan deru angin
dahsyat. Boe Kie tahu bahwa pukulan itu adalah Kian liong
Cay tian (melihat naga di sawah) dari Han liong Sip pat
ciang (Delapan belas pukulan menakluki naga). Dulu di
Peng hwee to, ia pernah mendengar keterangan dan melihat
contoh dari pukulan itu yang diberikan oleh ayah
angkatnya. Tapi ketika itu, ia masih belum bisa menangkap
intisari pukulan tersebut. Sekarang ia merasa sangat kagum,
ia tak sangka bahwa Hang liong Sip pat ciang sedemikian
hebat dan si pengemis tua ternyata sudah mengalami dasar
ilmu silat Kioe cie Sin kay Ang Cit Kong yang sangat tinggi
itu.
Ho pit ong tidak berani bermain lagi. Cepat-cepat ia
menggunakan Hian beng Sin ciang dan memapaki telapak
tangan si pengemis. Plaak! Kedua tangan beradu. Hian
liong Sip pat ciang mengandung tenaga soen-kang (keras
yang murni) sedang tenaga Hian beng Sin ciang bersifat Im
jioe (dingin dan lemas). Kedua lawan itu sama-sama sudah
berlatih puluhan tahun dan tenaga dalam mereka sama2138
sama sudah mencapai tingkat yang tinggi. Dalam bentrokan
tangan yang pertama, kedua pihak kira-kira standing. Coan
kang Tiang-loo merasa semacam hawa yang sangat dingin
menerobos masuk ke lengan dari telapak tangan dan terus
naik ke atas. Dilain pihak Ho pit ong merasa hawa dan
darah bergolak-golak di dadanya. Ia terkejut dan
mengawasi lawannya dengan mata mendelik.
Ia mendapati kenyataan bahwa dengan paras muka
pucat dan biji mata merah, pengemis itu dengan
mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan hawa
dingin yang dikirimnya.
Ia merasa sangat girang. “Kukira hari ni aku bertemu
lawan yang berat,” katanya dalam hati. “Untung juga dia
masih kalah setingkat.” Ia segera mengambil keputusan
untuk menyerang pula. Ia maju selangkah dan menghantam
lagi dengan Hian beng Sin ciang yang tenaganya
menyambar dari empat penjuru sehingga tidak dapat
ditambah lagi. Coan kang Tiang-loo tidak bisa berbuat lain
daripada menyambut lagi dengan pukulan Hang liong Sip
pat ciang.
Biarpun tenaga kedua lawan kira-kira setara, sifat tenaga
mereka agak berbeda. Ciang hoat Coan kang Tiang-loo
adalah warisan Ang Cit Kong dan merupakan ilmu yang
murni bersih sedang Hian beng Sin ciang Ho pit ong
mengandung hawa dingin yang beracun. Dalam Lweekang,
kedua belah pihak sama-sama kuat. Tapi setiap kali tangan
mereka beradu, Coan kang Tiang-loo harus menggunakan
sebagian tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang
beracun itu sehingga dengan demikian ia harus
menggunakan lebih banyak tenaga daripada lawannya.
Oleh karena itu, sesudah beradu tangan tiga kali si
pengemis tua segera jatuh dibawah angin.
Disudut lain toa tian, dengan menggunakan tongkat
2139
tanduk menjangan, Lok thung kek melawan Cia hoat
Tiang-loo dan Ciang poen Liong-tauw. Meskipun
dikerubuti, jagonya Tio Beng tidak jadi keteter dan terus
berkelahi dengan hati mantap.
Dengan rasa kuatir Ciang pang liong tauw
memperhatikan keadaan Coan kan Tiang loo. Kawan itu
sudah menyelami duabelas antara delapanbelas pukulan
Hang liong Sip pat ciang dan dalam kalangan Kay-pang, ia
memiliki lweekang yang paling kuat. Mengapa ia keteter?
Sesudah tujuh kali beradu tangan, napasnya tersengalsengal
dan ia kelihatannya sudah payah sekali. Ciang pang
liong tauw tahu, bahwa biasanya Coan kang Tianglo tak
suka dibantu orang. Tapi kini ia menghadapi kekalahan.
Dari pada kalah atau binasa, lebih baik disela orang sebagai
tukang keroyok, pikir Ciang pang Liong tauw.
Memikir begitu, ia lantas saja menyabet Ho Pit Ong
dengan tongkat bambunya. Walaupun pukulan itu belum
bisa direndengi dengan Tah kauw Pang hoat (Ilmu Tongkat
memukul anjing yang hanya boleh dimililiki Pangcoe dari
Kay pang), tapi di dalam kalangan Partai Pengemis terdapat
serupa kebiasaan, bahwa orang yang bersenjata tongkat
selalu berkepandaian tinggi. Di dalam Kay pang, Ciang
pang Liong tauw memang salah seorang jago utama. Begitu
ia turun tangan, Coan kang Tiangloo bisa bernafas lega dan
mereka lalu mendesak Ho Pit Ong sehebat2nya.
Sesudah Hian beng Jie loo turun, Tio Beng sendiri
sebenarnya ingin melarikan diri. Tapi ia keburu dicegat Tan
Yoe Liang yang menyerang dengan pedangnya. Di waktu
singkat si nona segera mengeluarkan pukulan2 terhebat dari
beberapa partai yang didapatinya di Ban hoat sie. Bagaikan
kilat ia mengirim serangan berantai – yang pertama pukulan
dari Hwa san Kiam hoat, yang kedua dari Koen loen Kiam
hoat, yang ketiga dari Kong tong Kiam Hoat. Tikaman
2140
keempat yang menyusul adalah Hang mo Toa koe sit dari
Go bie pay. Tan Yoe Liang kaget tak kepalang dan dalam
kagetnya, ia tak keburu menyambut sambaran pedang.
Seperti anak panah, pedang Tio Beng meluncur ke hulu
hati… Tapi, pada detik ujung pedang menyentuh dada,
terdengar suara “trang!” dan pedang nona Tio terpukul ke
samping. Orang yang menolong adalah Song Ceng Soe. Di
lain saat, Tio Beng sudah dikerubuti.
Semua kejadian itu tidak terlepas dari mata Boe Kie. Ia
memperhatikan serangan2 Song Ceng Soe yang
menggunakan Boe tong Kiam hoat dan ternyata pemuda itu
telah dapat menyelami pelajaran yang diturunkan oleh
ayahnya. Sementara itu, saban ada lowongan, Tan Yoe
Liang menyerang dari samping dengan pukulan pukulan
Siauw lim. Dengan demikian, meskipun mengenal macam2
ilmu silat, dalam pertempuran jangka panjang, perlahan
tapi tentu, Tio Beng keteter.
Boe Kie jadi bingung tercampur heran.
“Mengapa ia menggunakan pedang biasa?” tanyanya di
dalam hati. “Kalau menggunakan Ie thian kiam, ia segera
bisa meloloskan diri.” Waktu itu nona Tio mengenakan
pakaian yang tipis dan pas betul pada tubuhnya, sehingga
dapat dilihat bahwa ia menyoren pedang mustika itu di
pinggangnya.
Sesudah kebingungan beberapa saat, Boe Kie menegur
dirinya sendiri: “Boe Kie! Ah, Boe Kie! Kau benar gila!
Perempuan siluman itu telah membinasakan Piaw moay.
Aku seharusnya merasa girang kalau Song Ceng Soe
berhasil membunuh dia. Mengapa aku jadi bingung? Ini
membuktikan, bahwa aku masih belum bisa melepaskan
dia. Ah… aku bukan saja harus merasa bersalah terhadap
Piauw moay, tapi juga terhadap Giehoe dan Cie Jiak.”
2141
Tak lama kemudian, beberapa jago Kay pang lain turun
ke gelanggang, sedang pihak Tio Beng tidak mendapat
bantuan. Melihat keadaan tidak baik, Lok Thung Kek
berseru, “Koencoe Nio nio! Ho Heng tee! Mundur ke
pekarangan luar dan menyingkir!”
“Baiklah,” kata Tio Beng. “Manusia she Tan itu telah
mencuci Thio Kongcoe. Aku merasa sangat tidak senang.
Sebelum mundur kamu harus hajar padanya.”
“Nio nio mundur saja lebih dahulu,” kata Lok Thung
Kek. “Serahkan bocah itu kepada kami.”
“Han Lim Jie setia terhadap Thio Kongcoe,” kata pula
nona Tio. “Kamu harus menolong dia.”
“Baik! Sesudah Nio nio mundur, kami akan
menolongnya,” jawab si kakek.
Pertempuran terus berlangsung dengan hebatnya. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, Soe Hwee Liong berdiri
menonton di satu pojok. Mendengar pembicaraan antara
Tio Beng dan Hian beng Jie loo, Coan kang dan Cie hoat
segera berteriak teriak, memberi perintah kepada kawanan
pengemis untuk mencegat di empat penjuru.
Mendadak Hian beng Jie loo meninggalkan lawannya
dan dengan kecepatan kilat, dia menyerang Soe Hwee
Liong. Perubahan itu tak diduga2 dan meskipun
berkepandaian tinggi, Soe Hwee Liong takkan bisa
menyambut serangan kedua kakek itu yang dikirim dengan
sepenuh tenaga.
Tapi, sebab belum takdirnya mati, seorang penolong
sudah bersiap sedia. Mendengar pembicaraan Tio Beng dan
kedua jagonya, Tan Yoe Liang yang sangat pintar sudah
menduga bakal adanya serangan itu. Ia segera mendekati
Soe Hwee Liong. Pada detik yang sangat berbahaya, ia
2142
mendorong pundak Soe Hwee Liong ke belakang patung
Bie lek Hoed, sehingga pukulan Jie loo jatuh di patung itu
lantas pecah, pecahnya muncrat berhamburan dan patung
itu sendiri bergoyang-goyang. Ho Pit Ong maju setindak,
menghantam dan mendorong patung yang sangat besar itu
lantas saja roboh terguling.
Keadaan jadi kalut semua orang melompat minggir
supaya tak tertimpa. Dengan menggunakan kesempatan itu,
Tio Beng segera kabur ke pekarangan depan dengan dikejar
oleh Song Ceng Soe dan Ciang pang Liong tauw.
Selagi nona mau melompati pintu tiga batang tongkat
menyambar kakinya. Tio Beng mencelos batinnya ia
digencet dari belakang dan dari depan. Dengan mati matian
ia berhasil mengalihkan dua tongkat yang menyambar lebih
dulu, tapi tongkat ketiga mampir tepat pada kakinya
sehingga tanpa ampun lagi ia ambruk di lantai. Song Ceng
Soe merangsek membalik pedangnya dan memukul kepala
si nona dengan gagang pedang untuk menangkapnya hiduphidup.
Pada saat saat yang berbahaya, mendadak tongkat
bambu Ciang pang Liong tauw berkelebat dan menangkis
pedang Song Ceng Soe dan dengan berbareng satu
bayangan manusia melompat keluar dari atas tembok,
dengan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Song Ceng Soe menengok kepada Ceng pang Liong
Tauw dan bertanya dengan suara mendongkol. “Mengapa
kau lepaskan dia?”
“Perlu apa kau pukul tongkatku?” si pengemis balas
tanya dengan mata melotot.
“Eeh! Bukankah kau yang pukul gagang pedangku?
Mengapa…”
2143
“Jangan rewel! Lekas kejar!”
Mereka segera melompati tembok. Di luar, di kaki
tembok, mereka bertemu dengan seorang murid tujuh
karung yang patah kakinya dan tidak bisa bediri lagi.
Mereka segera menghampiri tujuh delapan pengemis yang
menjaga diluar kelenteng. “Kemana larinya perempuan
siluman itu?” tanya Cia pang Liong tauw.
“Perempuan yang mana? Kami tak melihat manusia
lain,” jawab seorang.
Ciang pang Liong tauw gusar tak kepalang. “Apa kamu
buta?” bentaknya. “Terang terangan perempuan itu
melompat keluar dari tembok sana.”
Sambil membangunkan pengemis yang patah kakinya,
seorang murid enam karung berkata. “Barusan toako inilah
yang melompat keluar. Kami tak lihat orang lain.”
Ciang pang Liong tauw menggaruk garuk kepalanya
yang tidak gatal. “Mengapa kau melompati tembok?”
tanyanya.
“Aku… aku… ditangkap dan dilemparkan,” jawab si
murid tujuh karung sambil menahan sakit. “Perempuan
siluman itu mempunyai ilmu yang sangat aneh.”
Dengan paras muka gusar Ciang pang Liong tauw
mengawasi Song Ceng Soe. “Mengapa kau pukul
tongkatku? Apa maksudmu? Baru saja masuk ke dalam Kay
pang, kau sudah coba-coba main gila.”
Soe Ceng Soe meluap darahnya, tapi sebisa bisa ia
menahan hawa marahnya. “Selagi teecoe memukul kepala
perempuan siluman itu, Liong tauw toako menangkis
senjataku, sehingga siluman itu bisa melarikan diri,”
jawabnya.
2144
“Omong kosong!” bentak si pengemis tua. “Perlu apa
aku menangkis gagang pedangmu? Sudah beberapa puluh
tahun aku mengabdi di dalam partai dan karena jasa jasaku
aku sekarang menduduki kursi Ciang pang Liong tauw.
Apa kau mau mengatakan bahwa aku sengaja membantu
orang luar? Sekarang aku tanya. Sebab apa kau tidak
menggunakan ujung pedang untuk menikam dia dan
berlagak memukul dengan gagang pedang? Huh.. huh!..
mataku belum lamur, tak dapat kau memperdayai aku.”
Dalam Boe tong pay, biarpun kedudukan Soe Ceng Song
hanyalah murid turunan ketiga tapi sebab orang orang Boe
tong tahu, bahwa dia adalah calon Ciang boen jin maka
mereka sangat mengindahkannya. Bahwa kau Jie lian Cioe,
Thio Song Kee dan yang lain lain yang masih pernah
paman berlaku sungkan kepadanya. Atas tekanan Tan Yoe
Liang ia terpaksa masuk ke dalam Kay pang. Di luar
dugaan pada hari pertama, ia sudah dicaci orang. Ia adalah
seorang yang beradat tinggi dan meskipun ia tahu, bahwa
Ciang pang Liong tauw mempunyai kedudukan tinggi, ia
tidak bisa menahan sabar lagi. “Perkataan main gila adalah
tuduhan membuta tuli,” katanya dengan bernafsu. “Liong
tauw toako mesti bisa membuktikan tuduhan itu. Terangterang
kau yang menangkis gagang pedangku. Di siang hari
bolong belum tentu tak ada yang lihat.”
Dengan berkata begitu, Song Ceng Soe balas menuduh,
bahwa si pengemislah yang sudah main gila dan sengaja
melepaskan Tio Beng. Ciang pang Liong tauw adalah
seorang berangasan. Mana bisa ia menelan hinaan itu?
“Binatang!” bentaknya. “Kau tidak mengindahkan orang
yang lebih tua. Apakah di tempat ini kau masih mau
mengandalkan pengaruh Boe tong pay?” Seraya berkata
begitu, ia menghantam kepala Song Ceng Soe dengan
tongkatnya. Dalam kegusarannya, ia menggunakan tenaga
2145
dalam yang dahsyat.
Song Ceng Soe segera menangkis tanpa sungkan sungkan
lagi. Tongkat itu meskipun terbuat daripada bambu sangat
ulet dan keras dan babatan pedang tidak dapat
memutuskannya. Begitu kedua senjata beradu, Song Ceng
Soe merasa telapak tangannya terbeset. Ia kaget, si
pengemis ternyata mempunyai Lweekang yang sangat kuat
dan lebih unggul daripada tenaga dalamnya. Di lain pihak,
si pengemis merasa lengannya kesemutan. Ia juga terkejut,
sebab ia tak duga pemuda itu memiliki Lweekang yang
sedemikian kuat. “Bocah she Song!” bentaknya. “Berani
sungguh kau melawan aku. Apakah kau suruhan musuh
untuk menjadi mata mata di sini?” Sambil mencaci ia
menghantam lagi.
Tiba tiba seseorang melompat keluar dan menangkis
pukulan itu. “Liong tauw toako sabar dulu,” katanya.
Orang itu adalah Tan Yoe Liang.
“Tan Heng tee, aku minta kau menimbang urusan ini,”
kata Ciang pang Liong tauw.
“Mana si perempuan siluman?” tanya Tan Yoe Liang.
“Dilepaskan oleh dia,” kata Ciang pang Liong tauw
sambil menuding Song Ceng Soe.
“Bukan aku, dia yang melepaskannya,” balas Song Ceng
Soe.
Selagi mereka bertengkar, Hian beng Jielo sudah
menerobos keluar. Melihat Tio Beng tidak berada di luar
kelenteng, mereka tahu bahwa sang majikan sudah
meloloskan diri dan hati mereka jadi lega dan lebih mantep.
Sambil tertawa nyaring, mereka menyerang pula dengan
sekuat tenaga. Dengan sekali jurus empat murid Kay pang
roboh di tanah. Waktu Coan kang Cie hoat dan Ciang boen
2146
memburu keluar mereka sudah kabur jauh dan hanya
terdengar suara tertawa mereka yang membangunkan bulu
roma.
Ciang pang Liong tauw berjingkrak bahna gusarnya.
“Uber!” teriaknya.
“Jangan!” cegah Tan Yoe Liang. “Liong tauw Toako,
musuh mungkin menyembunyikan pasukan yang kuat di
sepanjang jalan.”
Si pengemis mendusin. “Benar,” katanya. “Mengapa aku
begitu tolol? Musuh pasti datang kemari dalam jumlah yang
besar. Dua orang saja sudah sukar dilawan.” Ia merasa
berterima kasih terhadap Tan Yoe Liang dan kegusarannya
terhadap Song Ceng Soe pun agak mereda.
Sementara itu Cie hoat Tiangloo menghitung kerusakan
pada pihaknya. Sebelas orang mati dalam tangan Hian beng
Jieloo, tujuh orang terluka berat dan delapan sembilan
orang luka karena tertimpa patung Bie lek hoed. Ia segera
memerintahkan orang untuk menolong yang luka dan
memerintahkan Ciang poen Liong tauw memeriksa di
seputar kelenteng dengan membawa sejumlah murid.
Sekarang marilah kita menengok Tio Beng. Sebagaimana
diketahui, dengan rasa kuatir Boe Kie memperhatikan
segala gerak geriknya. Waktu Seng Ceng Soe membalik
pedangnya dan memukul kepala si nona dengan gagang
senjata itu, hati Boe Kie mencelos. Pukulan itu bisa enteng,
bisa berat. Kalau enteng, nona Tio akan pingsan. Jika berat,
jiwanya melayang. Pada detik yang sangat berbahaya, tanpa
memikir panjang panjang lagi ia melompat turun dan
mendorong tongkat Ciang pang Liong tauw supaya
menangkis gagang pedang yang menyambar. Dalam
dorongan itu, ia menggunakan Kian koen Tay lo ie. Selama
berdiam beberapa bulan di pulau kecil, ia mempelajari dan
2147
melatih diri dalam ilmu yang tertera pada Seng hwee leng
yang diterjemahkan Siauw Ciauw. Ia mendapat kemajuan
pesat dan sekarang kepandaiannya sepuluh kali lipat lebih
tinggi daripada yang dimiliki oleh Samsoe dari Persia.
Maka itu dorongannya tadi bahkan tak diketahui oleh tokoh
tokoh yang berilmu tinggi seperti Ciang peng Liong tauw
dan Tan Yoe Liang. Ciang pang Liong tauw menduga
bahwa Song Ceng Soe sengaja memukul tongkatnya,
sedang Song Ceng Soe menduga, bahwa si pengemis yang
sengaja menangkis senjatanya.
Pada saat kagetnya kedua musuh, Boe Kie menjambret
seorang pengemis tujuh karung dan melemparkan keluar
tembok sehingga dengan demikian, karena melihat
berkelebatnya bayangan manusia, Ciang pang Liong tauw
dan Tan Yoe Liang menduga bahwa Tio Beng sudah
melarikan diri dengan melompati tembok. Sementara itu,
sambil mendukung si nona bagaikan kilat Boe Kie
melompat ke atas dan hinggap di atap toa tian.
Pada waktu itu ilmu mengentengkan badan Boe Kie
sudah mencapai puncak tertinggi. Ia melompat seperti
terbangnya seekor burung. Ada beberapa hal yang
menguntungkan Boe Kie sehingga lompatannya tak dilihat
orang. Pertama waktu itu sudah lewat lohor dan segala apa
yang berada di bawah matahari tak terlihat bayangannya
lagi. Kedua para pengemis sedang memburu keluar,
sehingga biarpun ada beberapa orang yang merasa ada
sesuatu yang lewat di dalam, mereka tidak menghiraukan.
Ketiga, di sekitar toa tian masih penuh debu yang melayang
di udara sebagai akibat dari robohnya patung Bie lek hoed.
Keempat keadaan sedang kalut dan kelima tokoh tokoh
yang berkepandaian tinggi sudah memburu keluar untung
mengepung Hian beng Jie loo dan membekuk Tio Beng.
Inilah beberapa yang membikin Boe Kie bisa menolong Tio
2148
Beng tanpa diketahui oleh siapapun juga.
Selagi badannya melayang di tengah udara dengan
didukung lengan yang kuat, Tio Beng membuka matanya.
Ia terkesiap karena penolong tadi yang alisnya tebal dan
mukanya tampan, bukan lain daripada Boe Kie. Ia hampir
tak percaya matanya sendiri. “Kau!” serunya dengan suara
parau.
Buru buru Boe Kie mendekap muka si nona. Ia
mengawasi ke bawah. Di kiri kanan di depan di belakang
kelenteng penuh dengan murid2 Kay pang. Walaupun
begitu, kalau mau, ia masih bisa meloloskan diri. Tapi,
sesudah mengetahui adanya perundingan Kay pang untuk
menjatuhkan Beng kauw dan masuknya Song Ceng Soe ke
dalam partai pengemis, ia bertekad untuk menyelidiki hal
itu sampai seterang terangnya! Ia tak boleh pergi dengan
begitu saja. Di samping itu dalam pertengkaran antara
Ciong pang Liong tauw dan Song Ceng Soe, kedua mata si
pengemis mengeluarkan sinar yang ganas dan terdapat
kemungkinan bahwa pengemis itu tak merasa segan untuk
turunkan tangan jahat. Lain pertimbangan yang menahan
perginya Boe Kie adalah Han Lim Jie yang masih tertawan.
Pembantu yang setia itu harus ditolong. Memikir begitu ia
mengambil keputusan untuk masuk pula dan bersembunyi
di ruangan toa tian.
Ia merangkak ke pinggir genteng menggaet payon
dengan kedua kakinya dan kemudian dengan sekali
melompat ia sudah berada di belakang sebuah patung
Buddha
some parts missing here
Loe Hwee Liong, Coan kang, Cie hoat Thiang Boo dan
yang lain lain sudah memburu keluar sedang ruangan toa
tian hanya terdapat beberapa pengemis yang terluka karena
2149
tertimpa patung Bie lek boat. Han Lim Jie sendiri tidak
kelihatan mata hidungnya.
Ia mengawasi ke seputarnya, tapi untuk beberapa saat, ia
masih belum mendapatkan tempat yang cocok untuk
menyembunyikan diri. Tiba tiba Tio Beng menyentuh
tangannya dan menuding sebuah tambur besar. Tambur itu
ditaruh di atas tempat menaruh tambur yang tingginya
setombak lebih dan berhadap hadapan dengan sebuah
lonceng besar.
Boe Kie lantas saja mendusin. Dengan mepet mepet di
pinggir tembok, ia pergi ke belakang tambur. Sambil
meloncat ke atas, jari tangannya menggores kulit. “Pret!”
kulit kerbau yang tebal robek seperti gores pisau. Dengan
berdiri di lapangan kayu, ia menggores lagi dengan jerijinya
dan membuat robekan garis silang. Sesudah itu, sambil
menduking Tio Beng ia masuk ke dalamnya.
Tambur itu tambur tua. Di antara debu dan bau apak,
Boe Kie mengendus wewangian yang keluar dari badan si
nona. Tambur itu cukup besar, tapi kedua orang yang
bersembunyi di dalamnya bergerakpun tak bisa lagi.
Dengan hati berdebar debar, si nona bersandar di dada Boe
Kie. Perasaan pemuda itu sendiri sukar dilukiskan. Rasa
benci sakit hati, gusar duka dan rasa cinta tercampur
menjadi satu. Ia mau mencaci, tapi dengan di kelilingi
musuh ia tidak bisa membuka suara. Tiba tiba ia mendusin,
bahwa kepala si nona bersandar pada dadanya. Ia kaget dan
mendorong keras keras. Tio Beng gusar dan menyikut
dadanya. Dengan ilmu memindahkan tenaga memukul
tenaga, Boe Kie menghantam balik, sehingga si nona
kesakitan, hampir hampir ia berteriak kalau mulutnya tidak
keburu didekap Boe Kie.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara Cie hoat
Tiangloo, “Melaporkan kepada Pangcoe ia mengatakan
2150
bahwa musuh telah meloloskan diri. Karena ketololanku,
aku tak bisa menyerahkan musuh kepada Pangcoe, untuk
kedosaaan itu, aku mohon Pangcoe suka memaafkan.”
“Sudahlah!” kata Soe Hwee Liong. Musuh
berkepandaian sangat tinggi. Hal itu disaksikan oleh semua
orang. Cie hoat Tiangloo tak usah berlaku terlalu sungkan.”
“Terima kasih Pangcoe,” kata Cie hoat.
Sesudah itu Ciang pang Liong tauw segera mengadu
bahwa Song Ceng Soe sudah sengaja melepaskan Tio Beng
dan pemuda itu lalu membela diri serta balas menuduh.
Mereka lantas saja bertengkar dan suasana menjadi tegang.
“Sin Heng tee, bagaimana pendapatmu?” tanya Soe
Hwee Liong.
“Melaporkan kepada Pangcoe, bahwa Ciang pang Liong
tauw adalah tetua partai kita dan ia tentu tidak berdusta,”
jawabnya. “Tapi Song heng tee pun masuk ke dalam partai
kita dengan setulus hati, lebih lagi wanita siluman itu
musuhnya. Menurutku perempuan she Tio itu memiliki
kepandaian luar biasa dan dengan ilmu meminjam tenaga
memukul tenaga, ia mendorong tongkat Liong tauw untuk
menangkis gagang pedang Song heng tee. Dalam kekalutan,
kedua belah pihak jadi salah mengerti.”
Di dalam hati Boe Kie memuji Tan Yoe Liang. Dia
sungguh pintar. Tanpa menyaksikan kejadiannya, dia sudah
bisa menebak tanpa meleset jauh.
“Benar,” kata Soe Hwee Liong. “Saudara saudara,
kalian berdua bertujuan sama yaitu mengabdi kepada partai
kita. Maka itu, kalian hendaknya jangan jadi bermusuhan
karena hal yang remeh ini.”
Ciang pang Liong tauw manggut manggutkan kepalanya
dan berkata dengan suara mendongkol, “Biarpun dia…”
2151
“Song heng tee,” memutus Tan Yoe Liang. “Liong tauw
Toako seorang yang berkedudukan tinggi. Biarpun ia
menyalahkan kau, kau harus menerimanya dengan segala
senang hati. Hayo, lekas minta maaf.”
Dengan apa boleh buat Song Ceng Soe maju setindak
dan menjura. ‘Liong tauw Toako,” katanya, “Siauwtee
bersalah dan mohon Toako suka memaafkan.”
Meskipun masih bergusar, si pengemis tak bisa lagi
mengumbar napasnya. Ia mengeluarkan suara di hidung
dan berkata, “Ya, sudahlah!”
Biarpun menggunakan kata kata yang kedengarannya
seperti menegur Song Ceng Soe, pada hakekatnya Tan Yoe
Liang mempersalahkan si pengemis tua. Ia mengatakan
bahwa Tio Beng mendorong tongkat Liong tauw Toako
untuk menangkis gagang pedang Song hengtee dan bahwa
Liong tauw Toako seorang yang berkedudukan tinggi.
‘Biarpun ia menyalahkan kau, kau harus menerimanya
dengan segala senang hati’. Perkataan2 itu sebenarnya
menyindir Ciang pang Liong tauw dan sindiran itu
dimengerti oleh para Tiangloo. Tapi sebab Tan Yoe Liang
sangat disayangi oleh Pangcoe, maka tak seorangpun berani
membuka suara.
“Tan Hengtee,” kata Soe Hwee Liong. “Puterinya Jie
lam ong, Mo kauw adalah musuh kerajaan Goan. Tapi
mengapa Koen coe Nio nio itu berbalik membela si iblis
kecil Thio Boe Kie?”
Tan Yoe Liang berpikir, tapi sebelum ia menjawab,
Ciang pang Liong tauw sudah mendahului. “Kulihat Koen
coe Nio nio itu sangat bergusar mendengar Tan Hengtee
mencaci Kiauwcoe dari Mo kauw, dia seperti juga
mendengar cacian terhadap ayah atau saudara kandungnya
sendiri. Hal ini sungguh sungguh membikin orang tidak
2152
mengerti.”
“Ku tahu sebabnya,” kata Song Ceng Soe. “Biarpun Mo
kauw musuh kerajaan, Beng koencoe mencintai Thio Boe
Kie. Bahwa dia selalu melindungi bocah itu bukanlah hal
yang heran.”
Para pengemis terkejut banyak. Boe Kie sendiri merasa
sangat jengah dan jantungnya memukul lebih keras. Tio
Beng memutar kepalanya dan mengawasi pemuda itu. Di
dalam tambur sangat gelap, tapi dengan kedua matanya
yang luar biasa, Boe Kie bisa melihat sinar mata si nona
yang mengeluarkan sorot mencintai. Tanpa merasa ia
memeluk lebih keras. Mendadak, di depan matanya
terbayang In Lee yang binasa secara mengenaskan.
Mendadak pula, rasa cintanya yang baru muncul berubah
menjadi rasa benci dan ia memijit lengan Tio Beng dengan
penuh kegusaran. Meskipun pijitan itu tidak disertai tenaga
dalam yang kuat, si nona merasakan kesakitan luar biasa.
Dengan menggigit gigi ia menahan sakit dan air matanya
mengalir turun di kedua pipinya. Boe Kie mengeraskan hati
dan tidak memperdulikannya.
Sementara itu, Tan Yoe Liang sudah bertanya,
“Bagaimana kau tahu? Apa benar ada hal yang sedemikian
aneh?”
“Memang benar,” jawab Song Ceng Soe dengan nada
membenci. “Bocah Thio Boe Kie bukan pemuda tampan,
mukanya biasa saja, tapi ia mempunyai ilmu siluman
sehingga banyak sekali wanita lupa daratan.”
Cie hoat Tiangloo manggut manggutkan kepalanya.
“Tak salah. Di dalam Mo kauw memang terdapat serupa
ilmu untuk memelet wanita. Bukankah Kie Siauw Hoe dari
Go bie pay sudah celaka karena dipelet siluman Yo Siauw?
Thio Coei San, ayah Thio Boe Kie, menurut pendapatku,
2153
dengan ilmu iblis, siluman kecil itu sudah merusak
kehormatan Beng2 Koencoe, sehingga ibarat beras sudah
menjadi nasi dan Beng beng Koencoe tidak bisa menolong
dirinya lagi.”
Semua pengemis lantas saja berteriak teriak mencari Boe
Kie yang dinamakan sebagai manusia keji dan kotor.
“Semua orang gagah harus berusaha untuk
menyingkirkan manusia itu dari dunia,” kata Coan kang
Tiangloo dengan suara menyeramkan. “Kalau dia dibiarkan
hidup terus, entah berapa banyak wanita suci akan celaka
dalam tangan penjahat cabul itu.”
Boe Kie merasa dadanya menyesak. Untuk menahan
amarahnya, badannya bergemetar. Sampai pada detik itu ia
masih jadi jejaka yang suci tapi sering sungguh ia dimaki
sebagai penjahat cabul. Ia benar benar penasaran, tapi tak
dapat ia mencaci segala tuduhan itu. Ia terutama bergusar
sebab dikatakan sudah mencemarkan kesuciannya Tio
Beng. Tiba tiba ia terkesiap, “Celaka!” ia mengeluh di
dalam hati. “Kalau orang tahu aku bersembunyi disini
berdua dua, biarpun bersumpah berat, orang takkan percaya
kebersihanku.”
“Sesudah jatuh ke dalam tangan penjahat cabul itu, Cioe
Cie Jiak Kouwnio mungkin tak dapat mempertahankan lagi
kesuciannya,” kata pula Cong kang Tiangloo.
“Song heng tee, kau tak usah jengkel. Kami pasti akan
merebut pulang isterimu yang tercinta. Peristiwa Kie Siauw
Hoe pasti tidak akan terulang.”
“Benar,” menyambut Cie hoat Tiangloo, “Perkataan
Toako benar sekali. Dahulu Boe tong pay tidak bisa
membantu In Lie Heng dan sekarang partai itu juga tidak
bisa membantu Song Ceng Soe. Sekarang Song heng tee
sudah masuk ke dalam Kay pang. Apabila kita tidak bisa
2154
membela sakit hatinya dan tidak bisa mewujudkan angan
angannya, perlu apa dia menjadi murid enam karung dari
partai kita, sedang di dalam Boe tong pay ia seorang calon
Ciang boen jin?”
Sekali lagi para pengemis berteriak teriak, mencaci Boe
Kie habis habisan.
Tio Beng menempelkan bibirnya di kuping Boe Kie dan
berbisik. “Ah!… kau penjahat cabul!” bisiknya bernada
gusar, duka dan cinta, sehingga jantung Boe Kie kembali
berdebar2.
“Kalau dia tidak begitu kejam, aku sungguh beruntung
jika bisa menikah dengannya,” katanya di dalam hati.
Sementara itu dengan suara perlahan Song Ceng Soe
menghaturkan terima kasih kepada pengemis yang mau
membela dirinya.
Cie hoat Tiangloo adalah seorang yang sangat berhati
hati dan ia bertanya pula, “Song heng tee, apakah kau tahu
cara bagaimana Beng beng Koencoe dipincuk si penjahat
cabul?”
“Latar belakangnya kutak tahu,” jawabnya. “Aku hanya
tahu, Beng beng koencoe pernah menyateroni Boe tong san
dengan pemimpin sejumlah jago jago untuk menangkap
Thay soehoe. Tapi begitu bertemu dengan si penjahat, ia
segera mengundurkan diri, sehingga bencana itu dapat
dielakkan. Selama dua puluh tahun lebih Sam soesiok Jie
Thay Giam bercacat. Beng beng koencoe lalu
menghadiahkan serupa obat kepada si penjahat sehingga
Sam soesiok menjadi sembuh.”
Itulah kata Cie hoat Boe tong pay adalah paku di mata
kerajaan Goan. Kalau Beng beng koencoe tidak terpincuk ia
tentu tak akan menyerahkan obat kepada si penjahat.
2155
Dilihat begini biarpun wataknya jahat, penjahat itu telah
membuang budi kepada Thay soehoemu dan para
pamanmu.”
“Ah!” tiba tiba Tan Yoe Liang berseru. “Melaporkan
kepada Pangcoe, bahwa sesudah mendengar pembicaraan
tadi, aku sekarang mempunyai serupa tipu yang bisa
menaklukan penjahat cabul itu. Dengan tipu ini, seluruh
Mo kauw dari atas sampai bawah akan menuruti perintah
partai kita!”
Soe hwee Liong kegirangan. “Tan Heng tee, lekas
beritahukan tipumu itu!” katanya.
“Disini terlalu banyak orang,” kata Tan Yoe Liang.
“Biarpun kita berada di antara saudara saudara sendiri, aku
masih berkuatir, kalau kalau rahasia besar ini menjadi
bocor.”
Keadaan di toa tian berubah sunyi. Beberapa saat
kemudian terdengar tindakan kaki belasan orang yang
keluar dari ruangan itu sehingga yang ketinggalan hanyalah
beberapa tokoh terpenting dari Kay pang.
“Rahasia ini harus dijaga baik baik jangan sampai
bocor,” kata Tan Yoe Liang. Song Heng tee kedua Liong
tauw Toako, mari kita periksa di atas, di depan dan di
belakang kelenteng untuk memastikan bahwa tak ada orang
luar yang mencuri dengar pembicaraan kita.”
Ciang pang dan Ciang poen Liong tauw segera
melompat ke atas genteng, sedang Tan Yoe Liang dan Song
Ceng Soe memeriksa seluruh toa tian, di depan dan di
belakang kelenteng. Diam diam Boe Kie memuji Tio Beng,
sebab kecuali tambur itu, segala pelosok diperiksa dengan
teliti.
Beberapa lama kemudian mereka berempat kembali ke
2156
toa tian. “Dalam tipu ini, kita harus mengandalkan bantuan
Song Heng tee,” bisik Tan Yoe Liang.
“Aku?” menegas Song Ceng Soe dengan suara heran.
“Benar,” jawabnya. “Ciang poen Liong tauw Toako,
kuharap kau suka membagi racun Ngo tok Swee sim san
(bubuk racun yang dapat menghilangkan kesadaran
manusia) kepada Song Heng tee, Song Heng tee, dengan
membawa racun itu kau harus pulang ke Boe tong san dan
diam2 menaruhnya di makanan Thio Cinjin dan para
pendekar Boe tong. Kami akan menunggu di kaki gunung.
Sesudah berhasil, kita menangkap Thio Cinjin dan semua
pendekar Boe tong. Kemudian kita menggunakan
penangkapan tersebut untuk menekan Thio Boe Kie,
memaksa ia untuk menurut segala kemauan kita.”
“Bagus! Tipu itu benar benar bagus!” puji Soe Hwee
Liong.
“Tipu ini memang sangat bagus,” menyambut Cie hoat.
“Kita sukar untuk bisa meracuni Thio Boe Kie. Tapi Song
Heng tee pasti berhasil. Sebagai anggota penting dari Boe
tong pay, kau bisa turun tangan dengan mudah sekali.”
Song Ceng Soe jadi bingung. Dengan paras muka pucat
ia berkata, “Tapi.. tapi… aku pasti tak akan bisa meracuni
ayah sendiri…”
“Song heng tee tidak usah kuatir,” bujuk Tan Yoe Liang.
“Ngo tok Swee sim san adalah racun luar biasa dari partai
kita. Racun itu hanya dapat menghilangkan kesadaran
manusia untuk sementara waktu dan sama sekali tidak
membahayakan jiwa. Kami semua sangat mengindahkan
Song Tay hiap. Kami pasti tidak akan mengganggu
selembar rambut ayahmu.”
Tapi Song Ceng Soe tetap menolak. “Jika diketahui,
2157
masuknya aku ke dalam partai kita ini pasti akan ditegur
oleh Thaysoehoe dan ayah,” katanya. “Meracuni ayah
sendiri adalah perbuatan yang aku tak akan berani
lakukan.”
“Saudara,” kata Tan Yoe Liang. “Jalan pikiranmu tak
benar. Dalam sejarah terdapat contoh contoh, bahwa ada
orang orang yang rela menghukum keluarga sendiri demi
kepentingan orang banyak atau negara. Apapula tujuan kita
yang sekarang adalah menumpas Mo kauw. Kita menawan
para pendekar Boe tong hanya untuk menaklukkan si
penjahat cabul.”
“Kalau aku melakukan perbuatan itu, aku pasti akan
dicaci oleh berlaksa orang dalam dunia Kang ouw dan aku
tak ada muka lagi untuk hidup di antara langit dan bumi,”
kata Song Ceng Soe.
“Song Heng tee, kau tak usah begitu berkuatir,” kata Tan
Yoe Liang. “Mengapa tadi aku minta supaya semua
tiangloo delapan karung meninggalkan ruangan ini?
Mengapa kita memeriksa di seluruh kelenteng? Aku begitu
berhati hati sebab takut rahasia bocor. Song heng tee,
sesudah menaruh racun, kau sendiri harus berlagak pingsan
dan kaupun akan ditangkap. Kau akan dikumpulkan
bersama sama Thay soehoemu, ayahmu dan paman
pamanmu. Kecuali kita bertujuh orang, di dalam dunia tak
ada orang lain yang mengetahuinya. Kami semua kagum
dan berterima kasih terhadap kau yang sudah menunaikan
tugas yang sangat berat. Siapa lagi yang akan
mentertawakan kau?”
Ceng Soe mengerutkan alisnya. Sesudah berpikir
beberapa lama, ia berkata dengan suara perlahan. “Perintah
Pangcoe dan Tan Toako sebenar benarnya tidak boleh
ditolak olehku. Apa pula sebagai anggota baru dari partai
kita, siauwtee seharusnya menggunakan kesempatan ini
2158
untuk membuat pahala. Maupun harus masuk kedalam
lautan api, siauw tee mesti melakukannya. Akan tetapi…
akan tetapi… seorang manusia yang hidup di dunia ini
berpokok kepada ‘hauw gie’ (berbakti dan mempunyai rasa
persahabatan). Maka itu, biar bagaimanapun jua siauw tee
tidak bisa turun tangan terhadap ayah kandung sendiri.”
Semenjak dahulu Kay pang sangat mengutamakan
‘kebaktian’. Mendengar perkataan Song Ceng Soe, para
tetua tidak berani mendesak lagi. Mendadak Tan Yoe Liang
tertawa dingin.
“Yang muda tidak boleh menyerang yang tua adalah
salah satu larangan dalam Rimba Persilatan,” katanya.
“Hal itu sudah diketahui olehku dan Song Heng tee tak
usah mengajari aku. Aku hanya ingin mengajukan
pertanyaan. Pernah apakah Song Heng tee dengan Boh
sengkok Cit hiap? Siapakah yang lebih tinggi tingkatannya?
Boh Cit hiap atau kau sendiri?”
Song Ceng Soe tidak menjawab. Ia menundukkan kepala
dan sesudah berselang beberapa lama, barulah ia berkata,
“Baiklah! Siauw tee akan menurut perintah! Tapi kalian
harus berjanji untuk tidak mengganggu selembar rambut
ayahku, untuk tidak menghina ayah dengan cara apapun
jua. Apabila kalian berjanji begitu, Siauwtee lebih suka
celaka daripada melakukan perbuatan yang tidak mengenal
kebaktian ini.”
Soe Hwee Liong dan yang lain lain jadi sangat girang.
Mereka segera mengiakan tuntutan Song Ceng Soe.
Boe Kie merasa sangat heran. “Song Toa ko tadinya
menolak keras, tapi mengapa begitu lekas Tan Yoe Liang
menyebutkan Boh Cit siok ia lantas menyerah?” tanyanya
di dalam hati. “Di dalam hal ini tentu menyelip latar
belakang yang luar biasa. Aku harus menanyakan Boh Cit
2159
siok sendiri.”
Sementara itu Cie hoat Tiang loo dan Tan Yoe Liang
lalu berunding dengan bisik bisik. Mereka membicarakan
tindakan tindakan menangkap tokoh tokoh Boe tong pay,
sesudah mereka kena racun. Saban saban Tan Yoe Liang
menyatakan pikiran Soe Hwee Liong selalu berkata,
“Bagus! Bagus!”
“Sekarang musim dingin dan Ngo tok masih
bersembunyi di bawah tanah,” kata Ciang poen Liong
tauw. “Siauwtee harus pergi ke kaki gunung Tian pek san
untuk menggalinya. Di dalam dua puluh hari atau paling
lama sebulan, siauwtee akan bisa membuat Ngo tok Swee
sim san” (Ngo tok lima macam binatang beracun).
“Kalau begitu Tan heng tee dan Song heng tee sebaiknya
mengawani Ciang poen Liong tauw ke Tiang Pek san
sedang kami sendiri turun ke selatan lebih dahulu,” kata Cie
hoat Tiang loo. “Sebulan kemudian kita berkumpul di Lao
ho. Hari ini Cap Jie Gwee cee peh (bulan 12 tanggal 8).
Lain tahun Cia gwee Cee peh (bulan 1 tanggal 8) kita
bertemu pula.” Sesudah berdiam sejenak ia berkata pula,
“Han Lim Jie yang sudah menjadi tawanan kita banyak
gunanya. Kuminta Ciang pang Liong tauw menjaga baik
baik, supaya jangan sampai direbut oleh orang2 Mo kauw.
Dalam perjalanan ini kita harus sangat berhati hati supaya
tindakan kita tidak diendus musuh.”
Sesudah itu semua orang lantas saja meminta diri dari
Pang coe. Ciang poen Liong tauw, Tan Yoe Liang dan
Song Ceng Soe berangkat paling dahulu dan kemudian
dengan beruntun semua pengemis meninggalkan kelenteng
Bie lek hoed.
Setelah semua orang berlalu, barulah Boe Kie dan Tio
Beng melompat keluar dari dalam tambur. Sambil
2160
membereskan pakaiannya, dengan sorot mata girang
tercampur gusar, nona Tio mengawasi Boe Kie.
“Hm.. “ Boe Kie mengeluarkan suara di hidung. “Kau
masih ada muka untuk bertemu dengan aku!…”
Paras muka si nona lantas saja berubah. “Mengapa?” ia
menegas. “Kedosaan apa yang kuperbuat terhadap
Toakoauw coe?”
“Manusia kejam!” bentak Boe Kie dengan muka pucat.
“Aku tak mempersalahkan kau, bila kau hanya mencuri Ie
thian kiam dan To Liong to. Aku tak mempersalahkan kau
jika kau hanya meninggalkan aku di pulau terpencil itu!
Tapi, kau tahu, bahwa In kouwnio sudah terluka berat.
Mengapa kau begitu kejam, begitu tega turunkan tangan
jahat kepadanya? Perempuan kejam! Dalam dunia yang
lebar ini, kekejamanmu sukar dicari keduanya!” Selagi
mencaci, darahnya meluap. Ia maju setindak dan kedua
tangannya menggaplok. Tio Beng coba berkelit, tapi mana
bisa ia menyingkir dari serangan Boe Kie yang telah kalap?
Plak!… plak….plak… plak!” kedua pipinya merah bengkak
kena empat gamparan.
Rasa sakit malu dan gusar bercampur aduk dalam dada
si nona. Akhirnya ia menangis. “Kau kata, aku curi Ie thian
Kiam dan To liong to… siapa yang lihat?” tanyanya. “Kau
kata.. aku kejam terhadap In Kouwnio… panggil dia kemari
untuk diadu denganku…”
Boe Kie jadi makin gusar. “Baiklah!” teriaknya. “Aku
akan kirim kau ke akherat untuk diadu dengannya!”
Tangannya menyambar dan mencekik leher si nona. Tio
Beng memberontak dan memukul dada Boe Kie, tapi
pemuda itu yang tubuhnya dilindungi Kioe yang Sin kang
tidak menghiraukan semua pukulan. Selang beberapa saat
kemudian, dengan muka merah si nona pingsan.
2161
Dalam sakit hatinya, Boe Kie sebenarnya sudah ingin
meembinasakan nona Tio. Tapi melihat si nona dalam
keadaan pingsan, tiba tiba hatinya lemas dan ia melepaskan
cekikannya, sehingga si nona lantas saja roboh dengan
kepala terpukul batu lantai.
Sesudah bersilang beberapa lama, perlahan lahan Tio
Beng tersadar. Ia membuka kedua matanya dan melihat
paras muka Boe Kie yang mengunjuk rasa kuatir. Sesudah
si nona tersadar, Boe Kie menahan nafas lega.
“Apa benar In Kouwnio sudah meninggal dunia?” tanya
Tio Beng.
Darah pemuda itu bergolak lagi. “Digores pedang tujuh
belas delapan belas goresan bagaimana dia bisa hidup?”
jawabnya dengan suara gemetar.
“Siapa… siapa yang kata aku berbuat begitu?” tanya Tio
Beng. “Apa Cioe Kouwnio?”
“Cioe kouwnio tidak pernah memfitnah orang. Dia sama
sekali tidak menuduh kau.”
“Apa In Kouwnio sendiri yang kata begitu?”
“In Kouwnio tidak bisa bicara. Binatang di pulau itu
hanya terdapat lima orang. Apa ini perbuatan Giehoe? Apa
aku? Apa In Kouwnio yang membacok dirinya sendiri?
Hmm..! Kutahu jalan pikiranmu. Kau turunkan tangan
jahat sebab kau takut aku menikah dengan piauw moay.
Sekarang aku bicara terus terang. Tak peduli dia mati atau
hidup, aku tetap menganggapnya sebagai isteriku.”
Tio Beng menundukkan kepalanya. Lama ia berdiri
terpaku. Akhirnya ia bertanya. “Bagaimana kau bisa
kembali ke Tionggoan?”
Boe Kie tertawa dingin. “Kami bisa kembali berkat
2162
kemuliaan hatimu,” katanya dengan nada mengejek. “Kau
mengirim angkatan laut untuk mencari kami. Untung juga
Gie hoe tidak setolol aku. Karena kecerdasan Gie hoe, kami
tak masuk ke dalam perangkapmu. Kami tahu, bahwa kau
telah mempersiapkan kapal2 meriam untuk
menenggelamkan kapal yang ditumpangi kami. Tapi
lihatlah! Tipu busukmu tak berhasil.”
Sambil mengusap usap pipinya yang bengkak, si nona
menatap wajah Boe Kie. Mendadak kedua matanya
mengeluarkan sinar kasihan dan mencinta. Ia menghela
nafas panjang.
Buru2 Boe Kie memalingkan kepala ke lain jurusan,
sebab ia kuatir terjatuh di bawah pengaruh kecantikan. Ia
menjejak bumi dan berkata, “Aku pernah bersumpah untuk
membalas sakit hati piauwmoay. Aku mengakui
kelemahanku dan hari inin aku tidak bisa turun tangan.
Kau terlalu jahat! Di lain hari kau pasti akan jatuh ke dalam
tanganku!” Sehabis berkata begitu, ia berjalan keluar
dengan tindakan lebar.
Tapi baru saja ia berjalan belasan tombak, Tio Beng
sudah memburu. “Thio Boe Kie! Mau kemana kau?” teriak
si nona.
“Kau tak perlu tahu!”
“Aku mau bicara dengan Cia tayhiap dan Cioe
Kouwnio. Antarkan aku kepada mereka!”
“Giehoe tak akan berlaku sungkan terhadapmu,” kata
Boe Kie. “Menemui Giehoe berarti mengantarkan jiwa.”
“Giehoemu kejam, tapi ia tidak setolol kau. Di samping
itu, apabila Giehoemu membunuh aku, bukankah dengan
demikian sakit hati piauw moaymu jadi terbalas impas?”
“Tolol apa aku? Aku hanya tak ingin kau menemui
2163
Giehoe.”
“Thio Boe Kie, kau memang tolol. Kau tak rela
mengorbankan aku. Kau tak ingin ayah angkatmu
membunuh aku. Bukankah begitu?”
Muka Boe Kie berubah merah. “Jangan rewel!”
bentaknya. “Sebaiknya kau menyingkir jauh jauh dari kami.
Jika tidak, aku mungkin tak dapat menguasai diriku lagi
dan akan mengambil jiwamu.”
Setindak demi setindak Tio Beng mendekati. “Aku mesti
ajukan beberapa pertanyaan kepada Cia Tayhiap dan Cioe
Kouwnio,” katanya dengan suara sungguh sungguh. “Aku
tak berani bicara jelek di belakang orang. Aku akan
menanyakan seterang terangnya secara berhadap hadapan.”
“Pertanyaan apa yang kau akan ajukan?”
“Kau akan segera tahu. Aku sendiri berani menempuh
bahaya, mengapa kau berbalik ketakutan?”
Boe Kie kelihatannya sangat bersangsi. Lewat beberapa
saat, barulah dia berkata, “Kau harus ingat, bahwa kaulah
yang memaksa. Jika Gie hoe turunkan tangan jahat, tak
dapat aku menolong kau.”
“Kau tak usah terlalu kuatir,” kata si nona.
Tiba tiba Boe Kie naik darahnya. “Berkuatir?” ia
mengulang. “Huh.. huh!.. Menurut pantas aku harus segera
mengambil jiwamu.”
“Hayolah!” si nona menantang sambil tertawa.
Boe Kie mengeluarkan suara di hidung. Tanpa meladeni
lagi, ia segera menuju ke kota dengan tindakan lebar, diikuti
oleh Tio Beng dari belakang. Waktu hampir tiba di kota,
Boe Kie menghentikan tindakannya dan menengok ke
belakang. “Tio Kouwnio,” katanya, “aku pernah berjanji
2164
untuk melakukan tiga pekerjaan untukmu. Yang pertama
mencari To liong to. Janji ini sudah dipenuhkan olehku.
Masih ada dua. Jika kau menemui Giehoe, jiwamu pasti
melayang. Kau pergilah! Aku ingin memenuhi janjiku itu
dan sesudah terpenuhi, barulah kau pergi menemui Gie
hoe.”
Si nona tertawa geli. “Thio Boe Kie,” katanya dengan
suara bahagia. “Kau hanya mencari cari alasan supaya
Giehoemu jangan sampai membinasakan aku. Kutahu, kau
tak tega mengorbankan aku.”
“Kalau aku tak tega, mau apa kau?” kata Boe Kie
dengan suara aseran.
“Aku merasa sangat girang,” jawabnya.
Boe Kie menghela napas. “Tio Kouwnio,” katanya.
“Aku memohon… aku memohon.. kau jangan pergi…”
Si nona menggelengkan kepalanya. “Tidak, biar
bagaimanapun jua, aku mesti menemui Cia Tayhiap,”
katanya dengan suara tetap.
Boe Kie mengerti, bahwa tak guna ia membujuk lagi.
Dengan tindakan berat, ia segera menuju rumah
penginapan. Setiba di depan kamar Cia Soen, ia mengetuk
pintu. “Giehoe!” panggilnya. Sesudah memanggil beberapa
kali, ia belum juga mendapat jawaban. Ia menolak pintu
kamar, tapi pintu itu dikunci dari dalam.
Ia merasa sangat heran karena ia tahu sang ayah angkat
sangat sigap dan andaikata tertidur, tindakan kakinya di
luar kamar pasti sudah menyadarkannya. Ia pun bercuriga
dan berkuatir. Kalau orang tua itu keluar, mengapa pintu
terkunci dari dalam? Ia segera mengerahkan tenaga dan
mendorong pintu. “Brak!” palang pintu patah dan pintu
terbuka dan… Cia Soen tak berada dalam kamarnya!
2165
Boe Kie menyapu seluruh kamar dengan matanya. Ia
mendapat kenyataan, bahwa jendela terbuka separuh. “Gie
hoe tentu keluar dari jendela,” pikirnya.
Ia pergi ke depan kamar nona Cioe. “Cie Jiak! Cie Jiak!”
panggilnya. Si nona tak memberi jawaban. Ia segera
membuka pintu dengan paksa dan sekali lagi ia mendapat
kenyataan, bahwa Cie Jiak juga tak berada dalam kamar
tapi buntelan pakaiannya masih terletak di atas
pembaringan. “Apa mereka disatroni musuh?” tanyanya
dalam hati. Ia segera menanya seorang pelayan tapi pelayan
itu tak lihat Cia Soen dan Cie Jiak dan juga tak mendengar
suara keributan. Boe Kie jadi agak lega. “Mungkin sekali
mereka mendengar suara mencurigai dan mereka lalu
mengejar. Ayah angkat berkepandaian sangat tinggi dan
dengan dikawani oleh Cie Jiak yang sangat berhati hati
mungkin takkan terjadi sesuatu yang tak enak.” Waktu
memeriksa jendela dan keadaan di bawah jendela ia tak
lihat petunjuk yang mencurigakan. Dengan hati yang lebih
tenang ia lalu kembali ke kamarnya.
“Melihat Cia tayhiap tak berada di dalam kamar,
mengapa kau berbalik merasa senang?” tanya Tio Beng
sambil tersenyum.
“Omong kosong! Lagi kapan aku merasa senang?”
“Kau rasa aku tak bisa membaca paras mukamu? Waktu
menolak pintu, kau memang kaget. Tapi sesudah itu,
ketegangan otot2 mukamu lantas menghilang.”
Boe Kie tak meladeni dan lalu duduk di pembaringan
batu. Seraya bersenyum simpul, Tio Beng duduk di kursi. Ia
melirik Boe Kie dan berkata dengan suara perlahan.
“Kutahu… kutahu, bahwa di dalam hati, kau kuatir Cia
tayhiap membunuh aku sehingga menghilangnya orang tua
itu berbalik menyenangkan hatimu. Kutahu… kau tak tega
2166
mengorbankan aku.”
“Kalau aku tak tega, mau apa kau?” bentak Boe Kie
dengan mendongkol.
Si nona tertawa, “Aku merasa sangat girang,” jawabnya.
“Tapi mengapa berulang kali kau coba mencelakai aku?”
tanya Boe Kie. “Apa di dalam hati kau membenci aku, kau
rela mengorbankan aku?”
Paras Tio Beng lantas saja bersemu dadu. “Benar,”
katanya, “memang benar dulu aku berusaha untuk
mengambil jiwamu. Tapi sesudah pertemuan di Lek Lioe
chung, apabila dalam hati aku mempunyai niatan sedikit
saja untuk mencelakai kau, biarlah aku dikutuk Tuhan
Yang Maha Esa, biarlah aku binasa secara mengenaskan,
biarlah aku tak bisa menitis lagi dalam dunia yang fana ini.”
Mendengar sumpah yang sangat berat itu, Boe Kie
terkejut. “Tapi mengapa hanya karena sebatang golok dan
sebatang pedang, kau sudah begitu tega terhadapku dan
meninggalkan aku di pulau kecil itu?” tanyanya pula.
“Kalau kau tetap berpendapat begitu, aku pun tak akan
bisa membantah,” kata si nona. “Tunggu saja sampai Cia
tayhiap dan Cioe kouwnio datang.”
“Dengan lidahmu, kau hanya bisa menipu aku seorang.
Kau pasti tak akan dapat mengelabui Giehoe dan Cioe
kouwnio.”
“Mengapa kau rela ditipu aku? Karena kau mencintai
aku, bukan?”
“Kalau ya, mau apa kau?” bentak Boe Kie.
“Aku sangat girang,” jawabnya sambil tertawa manis.
Melihat tertawa yang menggoncangkan hati, buru buru
Boe Kie memalingkan kepala ke lain jurusan.
2167
“Hampir setengah hari aku bersembunyi di pohon itu,”
kata Tio Beng. “Sekarang kulapar.” Tanpa menunggu
jawaban, ia memanggil pelayan, menyerahkan sepotong
emas dan memerintahkan supaya disediakan semeja
makanan kelas satu.
Melihat uang yang berjumlah besar itu, si pelayan
berlaku hormat luar biasa dan tak lama kemudian makanan
dan minuman mulai diantar masuk.
“Sebaiknya tunggu sampai Giehoe datang dan kita boleh
makan bersama sama,” kata Boe Kie.
“Begitu Cia tayhiap datang, jiwaku akan melayang,”
kata si nona. “Paling benar makan dulu. Lebih baik jadi
setan perut kenyang daripada setan kelaparan.” Biarpun ia
berkata begitu, sikapnya dan suaranya sangat tenang,
sedikitpun tidak mengunjuk rasa kuatir. Sesudah berdiam
sejenak, ia berkata pula, “Aku masih mempunyai emas.
Sebentar kita boleh pesan makanan lagi.”
“Tapi aku tak berani makan bersama sama kau,” kata
Boe Kie dengan suara dingin. “Kutakkan menaruh tahu Sip
hiang joan kin san.”
Paras muka Tio Beng lantas saja berubah. Ia sangat
mendongkol. “Terserah,” katanya. Sehabis ia berkata
begitu, ia segera makan seorang diri. Sebab ia sendiri
memang sudah lapar, Boe Kie lalu meminta beberapa
potong kue phia dan memakannya dengan duduk di
pembaringan batu.
Sesudah makan beberapa suap, si nona mendadak
merasa sedih dan air matanya turun di kedua pipinya. Tiba
tiba ia melemparkan sumpit dan lalu mendekam di meja
sambil menangis segak seguk.
Lama juga ia menangis. Sesudah kedukaannya
2168
disalurkan, ia mengawasi keluar jendela. “Satu jam lagi
siang akan berganti dengan malam,” katanya seorang diri.
“Kemana Han Lim Jie akan dibawa? Kalau jejaknya tak
dapat dicari, dia sukar ditolong lagi.”
Boe Kie terkejut. Ia melompat bangun dan berkata,
“Benar. Aku harus menolong Han heng tee terlebih
dahulu.”
“Cis! Tak tahu malu!” bentak Tio Beng. “Aku bukan
bicara dengan kau.”
Melihat lagak si nona Boe Kie merasa geli tercampur
dongkol. Cepat cepat ia menghabiskan kuenya dan lalu
berjalan keluar dengan tindakan lebar.
“Aku ikut!” teriak Tio Beng.
“Tak boleh!”
“Mengapa?”
“Kau membunuh piauw moayku. Mana bisa aku
berjalan sama sama musuh?”
“Baik. Nah, kau pergilah!”
Boe Kie segera bertindak keluar, tapi baru beberapa
langkah, ia merandek. “Perlu apa kau berdiam di sini?”
tanyanya.
“Tunggu Giehoemu. Aku akan memberitahu bahwa kau
pergi untuk menolong Han Lim Jie.”
“Gie hoe sangat membenci kejahatan. Ia tak akan
mengampuni kau.”
Tio Beng menghela napas. “Jika aku mesti mati, aku
takkan mempersalahkan siapapun jua,” katanya. “Aku mati
sebab nasibku buruk.”
Boe Kie mengawasi si nona. “Sebaiknya kau menyingkir
2169
untuk sementara waktu,” katanya dengan suara membujuk.
“Sesudah aku kembali, kita bisa berdamai lagi.”
“Tak ada tempat untuk aku menyingkirkan diri.”
“Sudahlah! Kau ikut aku menolong Han Lim Jie.”
Tio Beng tertawa. “Ingatlah, kaulah yang mengajak
aku,” katanya. “Bukan aku yang memohon mohon.”
“Hm… kau merupakan binatang iblis bagi diriku. Rupa
rupanya memang sudah nasibku semenjak bertemu dengan
kau, aku selalu menderita.”
Tio Beng tertawa geli. “Tunggu sebentar,” katanya
sambil menepal pintu.
Beberapa lama kemudian, setelah pintu terbuka lagi, si
nona ternyata sudah menukar pakaian, pakaian wanita
yang sangat indah. Boe Kie tak pernah menduga, bahwa di
dalam buntelan yang selalu dibawa bawa terisi seperangkat
pakaian yang mahal harganya. “Perempuan ini banyak
akalnya dan sepak terjangnya selain diluar dugaan orang,”
katanya di dalam hati.
“Mengapa kau terus mengawasi aku?” tanya Tio Beng.
“Apa pakaianku bagus?”
“Muka seperti bunga tho dan lie, hati bagaikan ular dan
kalajengking,” jawabnya.
Tio Beng tertawa terbahak bahak. “Terima kasih banyak
kepada Thio Toakauwcoe yang sudah menghadiahkan kata
kata seindah itu,” katanya. “Thio kauwcoe, kaupun harus
menukar pakaian.”
“Sedari kecil aku sudah biasa memakai pakaian compang
camping,” kata Boe Kie dengan hati mendulu. “Apabila
kau merasa malu melihat pakaianku, kau boleh tak usah
mengikutku.”
2170
“Kau jangan menduga yang tidak tidak,” kata Tio Beng
sambil tersenyum. “Aku hanya ingin melihat romanmu
sesudah kau mengenakan pakaian yang baik. Boe Kie koko,
kau tunggulah di sini sebentar. Kawanan pengemis itu pasti
mengambil jalanan ke Kwan Lwee. Kita tentu dapat
mengejar mereka.” Sehabis berkata begitu tanpa menunggu
jawaban, ia segera berlalu.
Boe Kie duduk bengong di pembaringan batu. Dalam
hati ia mengutuk dirinya sendiri, ia heran mengapa ia
seperti tauwhoe yang bisa dipermainkan oleh perempuan
itu. “Terang terang dialah yang membinasakan piauw moay
tapi aku masih bisa beromong omong dan tertawa tawa
dengan dia,” pikirnya. “Boe Kie… ah Boe Kie… Lelaki apa
kau? Apa kau ada muka untuk menjadi kauwcoe dari Beng
kauw, untuk memimpin segenap orang gagah di kolong
langit?”
Lama juga ia menunggu, tapi Tio Beng belum juga balik.
Cuaca sudah mulai gelap.
“Perlu apa kutunggu dia?” pikirnya. Ia mau lantas
berangkat, tapi ia segera membayangkan kemungkinan
bertemunya Tio Beng dengan ayah angkatnya. Kalau
mereka bertemu muka, nona Tio pasti akan binasa.
Mengingat begitu dia mengurungkan niatnya dan
menunggu terus. Ia mendongkol bukan main, duduk salah
berdiripun salah. Akhirnya terdengar tindakan kaki dan si
nona masuk dengan tangan menyangga dua bungkusan.
“Mengapa begitu lama?” tanya Boe Kie. “Sudahlah! Aku
tak usah menukar pakaian. Mari kita berangkat.”
Si nona tertawa. “Sesudah kau menunggu begitu lama,
beberapa detik lagi untuk menyalin pakaian tak jadi soal,”
katanya. “Aku sudah membeli dua ekor kuda dan kita bisa
mengubar di waktu malam.” Ia mengeluarkan kedua
2171
bungkusan itu dan mengeluarkan seperangkat pakaian,
sepatu dan kaos kaki. “Di tempat kecil tak ada barang
baik,” katanya pula. “Setibanya di kota raja, aku akan beli
baju kulit rase.”
Boe Kie kaget dan lalu berkata dengan suara sungguh
sungguh, “Tio Kouwnio, apabila kau menganggap bahwa
aku kemaruk akan segala kemewahan dan bersedia untuk
menekuk lutut kepada kerajaan, hilangkanlah anggapan itu.
Thio Boe Kie adalah anak cucu bangsa Han. Andaikata
diangkat menjadi raja muda, iapun tak akan menakluk
kepada bangsa Mongol.”
Tio Beng menghela napas. “Thio Kauwcoe, kau
lihatlah!” katanya. “Lihatlah, apa ini pakaian seorang
Mongol atau pakaian orang Han?” Seraya berkata begitu, ia
lalu membuka baju dan celana yang baru dibelinya. Boe Kie
manggut2kan kepalanya, sebab pakaian itu adalah pakaian
Han. Sesudah itu, sambil memutar tubuh, si nona berkata
pula, “Nah kau lihatlah lagi! Apa pakaian ini pakaian puteri
Mongol atau pakaian seorang puteri Han?”
Hati Boe Kie berdebar2. Tadi ia tak berkata. Sekarang ia
mendapat kenyataan, bahwa nona Tio memang
mengenakan pakaian wanita Han. Ia menatap wajah si
nona yang balas mengawasinya dengan sorot mata penuh
kecintaan. Mendadak ia tersadar, ia sadar akan maksud
puteri Mongol itu. “Kau… kau…” katanya dengan suara
parau.
“Sebab kutahu kau mencintai aku, aku sekarang tidak
memperdulikan apapun jua. Aku bersedia untuk membuat
pengorbanan yang paling besar,” katanya dengan suara
perlahan. “Bagiku, orang Mongol atau orang Han tak jadi
soal lagi. Kalau kau orang Han, aku orang Han. Kalau kau
orang Mongol, akupun orang Mongol. Apa yang dipikiri
olehmu adalah soal negara, soal ketentraman, soal
2172
kekuasaan, pengaruh dan nama. Tapi Boe Kie koko, bagiku
yang paling penting adalah kau seorang – pribadimu
sendiri. Entah kau manusia baik, entah kau pengemis…
bagiku… sama saja!”
Mendengar kata2 itu, bukan main rasa terharunya Boe
Kie. Untuk beberapa saat ia berdiri terpaku tanpa bisa
mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya ia berkata, “Apakah
kau mencelakai piauwmoay lantaran jelus? Lantaran kuatir
aku akan menikah dengan dia?”
“Thio Toakauwcoe!” bentak Tio Beng dengan suara
keras. “Bukan aku yang mencelakai In Kouwnio. Kau
percaya, baik – tidak ya sudah! Hanya ini keteranganku!”
Boe Kie menghela napas. “Tio Kouwnio,” katanya,
“manusia bukan kayu atau batu. Kutahu kecintaanmu
terhadapku. Tapi apakah sampai hari ini dan di tempat ini,
kau masih juga ingin mendustai aku?”
“Dahulu, kuanggap diriku pintar. Tapi sekarang kutahu,
bahwa di dalam dunia ada hal hal yang berada di luar
taksiran manusia,” kata si nona secara menyimpang. “Boe
Kie koko, biarlah kita jangan berangkat hari ini. Kau
tunggu Cia tayhiap di kamar ini dan aku sendiri akan
menunggu Cioe Kouwnio di kamarnya.”
“Mengapa begitu?” tanya Boe Kie heran.
“Kau tak usah tanya,” jawabnya. “Kau tidak usah kuatir
akan keselamatan Han Lim Jie. Aku tanggung dia akan
dapat ditolong.” Seraya berkata begitu, ia berjalan keluar
dan pergi ke kamar Cie Jiak.
Boe Kie bingung. Ia tak dapat meraba maksud nona itu.
Sambil bersandar di pembaringan batu, ia mengasah otak.
Mendadak di dalam otaknya berkelebat serupa ingatan.
“Apa tak bisa jadi, ia telah mengatur siasat untuk
2173
mencelakai Cie Jiak karena ia tahu aku sudah bertunangan
dengan nona Cioe?” pikirnya di dalam hati. “Apa tak bisa
jadi, ia menyuruh Hian beng Jie loo datang disini untuk
membokong Gie hoe dan Cie Jiak?” Mengingat Hian beng
Jie loo, rasa kuatirnya menghebat. Kedua kakek itu
berkepandaian sangat tinggi. Biarpun matanya bisa melihat,
ayah angkatnya belum tentu dapat menandingi salah
seorang dari mereka. Ia melompat bangun dan berlari lari
ke kamar Tio Beng. “Tio Kouwnio, kemana perginya Hian
beng Jie loo?” tanyanya.
“Mungkin mereka menyusul ke selatan, sebab rupa
rupanya mereka anggap aku masuk ke daerah Kwan lwee
sesudah aku meloloskan diri,” jawabnya.
“Apa benar?”
“Kalau tak percaya, perlu apa kau tanya?”
Boe Kie tertegun. Ia berdiri di depan kamar tanpa bisa
mengeluarkan sepatah katapun jua.
“Kalau aku mengatakan, bahwa aku sudah menyuruh
Hian beng Jie loo datang kesini untuk membinasakan Cia
tayhiap dan Cioe Kouwniomu yang tercinta, apa kau
percaya?” tanya si nona.
Perkataan itu kena jitu di hati Boe Kie. Sekali
menendang, pintu terpental. Dengan paras muka merah
padam, ia berkata. “Kau…. Kau…..”
Melihat paras yang menakuti, si nona baru ketakutan. Ia
merasa menyesal, bahwa ia sudah mengeluarkan kata-kata
itu. “Jangan marah!” katanya terburu-buru. “Aku hanya
guyon-guyon.”
Dengan sorot mata bagaikan pisau, Boe Kie menatap
2174
wajah si nona. “Tio Kouw Nio, bicaralah terangterangan…..
“ katanya dengan suara menyeramkan. “Kau
tidak takut datang di sini… kau tidak takut bertemu dan
dipadu dengan Gie Hoe. Apakah itu berarti, bahwa kau
sudah tahu mereka berdua sudah mati, sudah tak ada lagi
didalam dunia ini?” seraya berkata begitu, ia maju beberapa
tindak, sehingga dengan sekali menghantam, ia akan bisa
mengambil jiwa nona Tio.
Tio Beng balas mengawasi mata pemuda itu. “Thio Boe
Kie,” katanya dengan suara sungguh-sungguh. “Aku bicara
terus terang kepadamu. Dalam hal-hal di dunia ini, kecuali
kau lihat dengan mata sendiri, kau tidak boleh lantas
percaya. Lebih-lebih kau tidak boleh memikirkan yang
bukan-bukan dan menarik kesimpulan sendiri. Jika kau
mau membunuh aku, sekarangpun kau boleh turun tangan.
Tapi kalau sebentar Gie Hoe-mu datang, bagaimana
perasaanmu?”
Kegusaran Boe Kie lantas saja mereda, bahkan ia merasa
malu sendiri. “Apabila Gie Hoe tidak kurang suatu apa, aku
tentu saja merasa sangat girang.” Katanya dengan suara
perlahan. “Kau tidak boleh guyon-guyon dalam soal
keselamatan ayah angkatku.”
Tio Beng mengangguk. “memang, memang tak pantas
aku mengeluarkan kata-kata itu.” Katanya. “Kuharap kau
suka memaafkan.”
Mendengar permintaan maaf itu, hati Boe Kie lantas saja
lemas. Ia tersenyum dan berkata, “Untuk kekasaranku,
akupun memohon maaf.” Sehabis berkata begitu, ia segera
balik ke kamar Cia Soen.
Semalam suntuk mereka menunggu, tapi kedua orang
yang ditunggu tak juga kembali. Sesudah sarapan pagi ia
segera berdamai dengan Tio Beng. “Heran sekali,” kata si
2175
nona sambil mengerutkan alis. “Kecuali Kay Pang, di
tempat ini tak terdapat lain orang Kang Ouw. Sebaiknya
kita mengejar rombongan Soe Hwee Liong dan coba
menyelidiki.”
Boe Kie menyetujui usul itu. Sesudah membayar uang
sewa kamar, ia memesan pengurus rumah penginapan
supaya Cia Soen dan Cie Jiak jika mereka kembali
menunggu saja di penginapan itu. Tak lama kemudian,
seorang pelayan menuntun dua ekor kuda yang garang dan
tinggi besar badannya. Boe Kie merasa kagum dan memberi
pujian kepada kuda Kwan Gwa yang tersohor itu. Mereka
lantas saja melompat ke punggung tunggangan itu yang
segera dikabur ke jurusan selatan. Mereka merupakan
pasangan setimpal yang lelaki tampan yang perempuan
cantik, dan kedua-duanya mengenakan pakaian indah.
Yang tak tahu pasti akan menduga bahwa mereka adalah
suami isteri bangsawan yang sedang pesiar di daerah itu.
Hari itu mereka melalui dua ratus li lebih, malamnya
mereka menginap di sebuah penginapan pada keesokan
pagi. Mereka meneruskan perjalanan kira-kira tengah hari,
angin dingin mulai meniup dengan santernya sehingga
awan hitam beterbangan di angkasa. Sesudah mulai lagi,
dua puluh li lebih salju mulai turun. Selama dalam
perjalanan Boe Kie jarang berbicara dengan Tio Beng. Kini,
meskipun turunnya salju jadi makin besar, ia terus
membedal kuda tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Di waktu magrib, tebalnya salju sudah hampir sekali.
Biarpun gagah, kedua tunggangan itu lelah, apapula mereka
harus berjalan di jalanan gunung yang licin dan tebal
saljunya. Boe Kie menahan les dan mengawasi seputarnya.
Mereka berada di gunung yang tak ada manusianya. “Tio
Kouw Nio, bagaimana baiknya?” Boe Kie bertanya, “kalau
kita meneruskan perjalanan, kedua binatang ini mungkin
2176
roboh.”
Si nona tertawa dingin. “Kau hanya memikiri kuda,
tidak memperdulikan manusia.” Jawabnya.
Ditegur begitu, Boe Kie merasa menyesal tercampur
malu. “Aku sendiri mempunyai Kioe Yang Sin Kang,
sehingga tidak mengenal letih,” pikirnya. “Benar-benar aku
tak ingat dia.”
Sesudah berjalan lagi beberapa jauh, dari pinggir jalan
tiba-tiba melompat keluar seekor kijang yang terus kabur ke
atas. “Tio Kouw Nio, kau tunggu di sini.” Kata Boe Kie.
“Aku mau tangkap kijang itu untuk menangsal perut.” Ia
melompat turun dan terus mengejar dengan mengikuti
tapak-tapak di salju. Sesudah membelok di sebuah tanjakan
lapat-lapat ia lihat binatang itu lari ke arah sebuah gua.
Dengan sekali mengempos semangat, tubuh Boe Kie
melesat bagaikan anak panah dan sebelum kijang itu masuk
ke gua, ia sudah berhasil mencekal lehernya. Binatang itu
coba memberontak, tapi tulang lehernya lantas patah dipijut
Boe Kie.
Dengan menenteng bangkai kijang, Boe Kie kembali
kepada Tio Beng. “Di sana ada sebuah gua yang cukup
besar untuk dua orang.” Katanya. “Apa kau setuju jika kita
menginap di situ?”
Nona Tio mengangguk. Tiba-tiba mukanya bersemu
dadu dan ia memalingkan kepala ke lain jurusan.
Sesudah menambat kedua kuda di bawah pohon siong,
Boe Kie lalu mencari cabang-cabang kayu kering dan
membuat perapian di depan gua. Gua itu yang di dalamnya
gelap, ternyata sangat bersih, bebas dari kotoran binatang.
Boe Kie menguliti bangkai kijang, mencuci dagingnya
dengan salju dan kemudian membakarnya di atas perapian.
2177
Tio Beng membuka baju luarnya yang terbuat daripada
kulit binatang, menggelarnya di lantai gua dan kemudian
mendudukinya sambil menikmati hawa hangat dari
perapian. Tiba-tiba Boe Kie menengok dan mereka berdua
saling tersenyum. Senyuman yang menghilangkan semua
rasa letih dan lelah.
“Sesudah daging masak, mereka lalu makan dengan
bernapsu. Selang beberapa lama, sambil bersender di
dinding gua. Boe Kie berkata, “Kau tidurlah!” si nona
tertawa manis, ia bersandar di dinding seberang dan lalu
memejamkan kedua matanya. Dengan hidung yang sabansaban
mengendus wewangian yang keluar dari badan puteri
Mongol itu, Boe Kie melirik dengan rasa kagum, karena di
bawah sinar api, Tio Beng lebih cantik lagi, seolah-olah
sekuntum bunga Hay Thong yang baru mekar. Seraya
menghela napas, iapun memejamkan mata.
Kira-kira tengah malam sayup-sayup tersadar dan segera
memasang kuping. Ia tahu, bahwa yang sedang mendatangi
berjumlah empat ekor kuda. “Di tengah malam buta dan di
waktu turun salju mereka berjalan juga,” katanya di dalam
hati. Mereka pasti sedang menghadapi urusan pentin.
“Makin lama suara itu makin dekat. Untuk sejenak
mereka berhenti dan kemudian berjalan lagi. Tak bisa salah
lagi kuda-kuda itu menghampiri gua, Boe Kie kaget. “Gua
ini terletak di tempat yang sembunyi,” pikirnya. “Kalau
bukan dituntun kijang, aku tak akan bisa mencarinya.
Mengapa dan cara bagaimana orang-orang itu bisa datang
kemari?” tiba-tiba ia mendusin dan berkata pula di dalam
hati. “Benar! Mereka tentu lihat tapak kaki kami.”
Ketika itu Tio Beng pun sudah tersadar. “Mereka
mungkin musuh,” katanya. “Biarpun kita tak takut,
sebaiknya kita menyingkir.”
2178
“Mereka datang dari selatan,” kata Boe Kie.
“Heran sekali,” kata si nona sambil meraup salju yang
lalu digunakan untuk menutup api.
Sementara itu suara kaki kuda sudah berhenti dan
sebagai gantinya terdengar tindakan empat orang. Dalam
sekejab mereka mendekati gua. “gerakan mereka sangat
cepat,” bisik Boe Kie. “Mereka berkepandaian sangat
tinggi,” ia bingung sebab orang-orang itu sudah hampir tiba
di depan gua. Tiba-tiba Tio Beng mencekal tangannya dan
menariknya masuk ke dalam. Makin ke dalam gua itu jadi
makin sempit dan baru saja masuk setombak lebih, mereka
bertemu dengan sebuah tikungan.
Sekonyong-konyong terdengar suara seorang.
“Ah! Di sini ada gua.”
Boe Kie kaget tercampur girang sebab ia segera
mengenali, bahwa orang yang berbicara adalah paman
gurunya yang keempat. Thio Siong Kee.
“Tanda-tanda yang tinggalkan Cit Tee menuju ke tempat
ini,” kata seorang lain. “Mungkin sekali Cit Tee pernah
masuk ke gua ini,” itulah suara Boe Tong Liok Hiap, In Lie
Heng.
Baru saja Boe Kie mau memanggil, mulutnya sudah
ditekap Tio Beng. “Kita berada berduaan dan kalau dilihat
mereka, kita akan merasa tidak enak,” bisik si nona.
Boe Kie menyetujui peringatan itu. Meskipun ia putih
bersih, tapi jika ia dan Tio Beng ditemukan berduaan dalam
sebuah gua, para paman itu tentu sukar percaya
kebersihannya. Apapula, sebagai koencoe dari kerajaan
goan, nona Tio pernah memperanjakan para pendekar Boe
Tong di Ban Hoat Sie, sehingga kalau mereka bertemu
muka, pertemuan itu merupakan pertemuan antara musuh
2179
dan musuh. Ia segera mengambil keputusan, bahwa begitu
lekas para pamannya berlalu, akan segera ia berpisahan
dengan Tio Beng, supaya ia tak usah mengalami hal-hal
yang tidak enak.
“Ih!” Demikian terdengar seruan Jie Lian Cioe. “Di sini
ada cabang-cabang siong yang terbakar…. Hmmm.. kulit…
darah dan sisa daging kijang.”
“Hatiku sangat tak enak.” Kata orang keempat.
“Kuharap saja Cit Tee tak kurang suatu apa.” Orang itu
bukan lain daripada Song Wan Kiauw.
Jantung Boe Kie memukul keras. Empat paman gurunya
turun gunung bersama-sama untuk mencari Boh Seng Kok.
Dari pembicaraan mereka, dapat ditarik kesimpulan, bahwa
paman guru yang paling kecil itu telah bertemu dengan
musuh yang kuat. Ia turut merasa kuatir.
“Toa Soeko tak usah begitu kuatir,” kata Thio Siong Kee
sambil tertawa. “Karena sangat mencintai Cit Tee, Toa
Soeko masih menganggap dia sebagai anak kecil Boh Seng
Kok dahulu. Andaikata ia bertemu dengan musuh tangguh,
kurasa Cit Tee masih bisa menghadapinya.”
Aku bukan kuatir Cit Tee,” kata In Lie Heng. “Yang
kupikiri si bocah Boe Kie yang sekarang tak ketahuan ke
mana perginya. Dia sekarang menjadi kc dari Beng Kauw.
Pohon yang tinggi mengandung angin. Dalam
kedudukannya itu tentu ada banyak musuh yang ingin
mencelakainya. Walaupun ilmu silatnya tinggi, pikirnya
terlalu sederhana dan ia tak tahu hebatnya gelombang Kang
Ouw. Kuatir ia kena ditipu orang jahat.”
Boe Kie merasa sangat terharu. Budi kebaikan para
pamannya besar bagaikan gunung dan ia tak tahu
bagaimana harus membalasnya. Mendadak Tio Beng
berbisik, “aku orang jahat dan sekarang kau sudah ditipu
2180
orang jahat. Apa kau tahu?”
“Dalam usaha mencari Boe Kie dengan mengambil jalan
utara, Cit Tee nampaknya telah mendapat endusan,” kata
Song Wan Kiauw. “tapi apa artinya itu delapan perkataan
yang ditinggalkannya di rumah penginapan Wie Kek di
Tian Cin?”
“Ya….. “ kata Thio Siong Kee. “Cit Tee mengatakan,
dalam rumah tangga ada perubahan, kita harus
membersihkannya. Siapa yang dimaksudkan dengan katakata
itu? Apakah dalam Boe Tong Pay terdapat manusia
keji? Apa Boe Kie…. “ ia tak meneruskan perkataannya.
Tapi nada suaranya mengunjuk rasa kuatir.
“Kurasa anak Boe Kie tak nanti melakukan sesuatu yang
merusak nama rumah perguruan kita.” Kata In Lie Heng.
“Tapi si perempuan siluman Tio Beng terlampau lihai,”
kata pula Thio Siong Kee. “Kau jangan lupa, anak Boe Kie
masih muda, seorang muda gampang sekali dipengaruhi
dengan kecantikan. Apakah… apakah… ia bertindak seperti
ayahnya yang akhirnya binasa secara mengenaskan?.... “
Keadaan berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah hela
napas.
Beberapa saat kemudian terdengar suara beradunya batu
api yang membakar cabang-cabang pohon. Salah seorang
pendekar Boe Tong membuat obor yang sinarnya lantas
saja menerangi bagian dalam gua. Biarpun berada di
tikungan, sayup-sayup Boe Kie bisa melihat paras muka Tio
Beng yang mengunjuk rasa duka tercampur gusar. Ia tahu,
bahwa perkataan Thio Siong Kee telah membangkitkan
rasa jengkelnya si nona. Ia sendri merasa bingung dan
berkata di dalam hati. “Perkataan Thio Sie Siok memang
beralasan. Ibu belum pernah melakukan sesuatu yang tidak
pantas. Tapi toh, dia menyeret ayah sampai binasa, Tio
2181
Kouw Nio telah membunuh pmy, menghina Thay Soehoe
dan para paman, ia tak bisa dibandingkan dengan ibu.”
Memikir begitu, ia makin bingung. Kalau mereka
menemukan aku bersama Tio Kouw Nio di gua ini, biarpun
aku mencuci dengan semua air sungai Hoang Ho, tak dapat
aku membersihkan diri.”
Tiba-tiba terdengar suara Song Wan Kiauw yang
bergemetar. “Sie-tee, di dalam hatiku terdapat sebuah
pertanyaan yang tak bisa keluar dari mulutku. Kalau aku
mengatakan terang-terangan aku merasa tak adil terhadap
ngo-tee yang sudah meninggal dunia.”
“apakah Toako kuatir Boe Kie turunkan tangan jahat
terhadap Cit Tee?” tanya Thio Siong Kee dengan suara
perlaha.
Song Wan Kiauw tak menyahut. Meskipun tak melihat,
Boe Kie merasa bahwa paman itu telah manggutkan kepala.
“Anak Boe Kie berwatak mulia dan jujur.” Kata Thio
Siong Kee. “Menurut pantas, ia takkan melakukan
perbuatan keji itu, tapi Cit Tee sangat berangasan dan
ceroboh. Kalau ia mendesak Boe Kie sampai di jalan buntu
ditambah dengan siasat si perempuan siluman Tio Beng
memang…. Memang… Hai!... Hati manusia tak dapat
dijajaki. Semenjak dulu orang gagah sukar melawan paras
cantik. Aku hanya berdoa agar dalam menghadapi detikdetik
penting, Boe Kie bisa mempertahankan diri.”
“Toako, Sieko! Kalian jangan omong yang tidak-tidak!”
kata In Lie Heng. “Belum tentu Cit Tee mengalami
kebencanaan.”
“Tapi sendiri melihat pedang Cit Tee, aku tak enak
tidur,” kata Song Wan Kiauw.
“Memang benar,” menyambung Jie Lian Cioe. “Orang2182
orang rimba persilatan sekali-sekali tak boleh lalai terhadap
senjatanya. Kita tak boleh menaruh senjata secara
sembarangan saja. Apapula pedang itu hadiah Soehoe. Kata
orang pedang ada, orangnya hidup, pedang hilang,
orangnya…. “ mendadak ia berhenti bicara dan perkataan
“mati” yang sudah hampir keluar, ditelan lagi olehnya.
Mendadak kecurigaan keempat paman guru itu terhadap
dirinya, Boe Kie jadi makin bingung dan berduka.
Sekonyong-konyong dari dalam gua keluar semacam bau
wangi yang tercampur dengan bau anaknya binatang,
seperti jua gua itu pernah atau memang sedang dialami
binatang. Karena kuatir wewangian itu diendusi para
pamannya, sembil menahan napas dan mencekal sebelah
tangan Tio Beng, Boe Kie masuk lebih jauh ke dalam gua.
Supaya tak tersandung batu-batu yang menonjol, sambil
berjalan Boe Kie meraba-raba lantai gua dengan tangan
kirinya. Sesudah beberapa tindak dan baru saja membelok
di sebuah tikungan lain, tangannya mendadak menyentuh
sebuah benda lembek seperti tubuh manusia.
Boe Kie terkesiap, “tak perduli orang ini sahabat atau
musuh sedikitpun dia tak bersuara para paman tentu akan
mendengarnya,” katanya dalam hati. Bagaikan kilat ia
menotok lima “hiat” di dada orang itu dan kemudian
mencekal tangannya dan hatinya mencelos, sebab tangan
itu seperti es tangan orang mati! Dengan bantuan sinar
remang-remang yang menembus dari luar ia mengawasi
muka orang itu. Tiba-tiba ia menggigil. Lapat-lapat ia
seperti melihat muka Boh Seng Kok! Tanpa menghiraukan
bahaya lagi, ia mendukung jenazah itu dan maju beberapa
tindak ke tempat yang lebih terang. Sekarang ia mendapat
kepastian, bahwa jenazah itu adalah jenazah Boh Seng
Kok, yang mukanya pucaat dan matanya belum tertutup.
Gusar dan duka bergolak-golak di dada pemuda itu, untuk
2183
sejenak ia berdiri terpaku.
Beberapa tindakan Boe Kie itu sudah didengar oleh
keempat pendekar Boe Tong. “Siapa?” bentak Jie Lian
Cioe. Dengan serentak mereka menghunus pedang.
Boe Kie mengeluh, “Jika ditemukan, aku pasti tidak bisa
mengelakkan tuduhan membunuh paman,” pikirnya.
Pada detik itu di dalam otaknya berkelebat-kelebat
berbagai ingatan. Dadanya menyesak dengan kedukaan
yang sangat hebat karena ia ingat budi kecintaan Boh Seng
Kok terhadap dirinya.
Dalam menghadapi bahaya, Tio Beng bisa berpikir cepat.
Mendadak ia melompat dan menerjang sambil memutar
pedang, bagaikan kilat ia mengirim empat serangan dengan
pukulan-pukulan Go Bie Kiam Hoat yang terhebat. Baru
saja keempat pendekar Boe Tong menangkis, ia sudah
menerobos keluar dan sembil mengelakkan tikaman Thio
Siong Kee, ia melompat ke punggung kuda dan menendang
perut tunggangan itu dengan kakinya sehingga lantas saja
kabur sekeras-kerasnya. Tiba-tiba ia merasa punggungnya
sakit dan matanya berkunang-kungan. Sambil mendekam
dan memeluk leher kuda ia mempertahankan diri dan kabur
terus. Ternyata ia sudah kena pukulan Jie Lian Cioe dan
meskipun kenanya tidak telak, ia terluka berat.
Sementara itu sambil berteriak-teriak, keempat pendekar
Boe Tong sudah mengejar dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan. “Makin jauh aku lari, makin
gampang dia meloloskan diri,” kata Tio Beng di dalam hati.
“Untung juga semua orang mengejar aku.”
Ketika si nona menerjang ke luar, Boe Kie mencelos
hatinya. Dilain saat barulah ia mengerti, bahwa Tio Beng
telah menggunakan tipuan muslihat untuk memancing
harimau meninggalkan gunung untuk menolong dirinya.
2184
Buru-buru dengan mendukung jenazah Boh Seng Kok, ia
lari keluar dan terus kabur ke jurusan barat sebab para
pamannya mengejar ke arah timur. Sesudah melalui kurang
lebih dua li, ia berhenti dan menaruh jenazah itu di
belakang sebuah batu besar. Sesudah itu, ia kembali ke
jalanan tadi dan memanjat sebuah pohon. Lama ia
bersembunyi di situ sambil mengucurkan air mata. “Ah!
Sungguh malang nasib Boe Tong Pay!” pikirnya. “siapakah
yang telah membinasakan Cit Soesiok?”
Berselang kira-kira setengah jam, ia mendengar suara
kaki kuda yang mendatangi utara dari tenggara. Tak lama
kemudian, ia melihat dua ekor kuda dengan empat
penunggangnya: Song Wan Kiauw dan Jie Lian Cioe
menunggang yang satu, In Lie Heng dan Thio Siong Kee
menunggang yang lain.
“Sesudah kena pukulanku, perempuan siluman itu jatuh
ke jurang,” demikian terdengar suara Jie Lian Cioe.
“Kurasa dia tak akan bisa hidup lagi.”
“Hari ini barulah kita bisa mencaci hinaan di Ban Hoat
Sie,” kata Thio Siong Kee. “Tapi perlu apa di bersembunyi
di gua itu? Aku benar-benar merasa heran.”
“Tapi Sieko, apakah kau tidak bisa menebak-nebak?”
tanya In Lie Heng.
“Tak bisa,” jawabnya. “Bagi kita, binasanya perempuan
siluman itu tidak begitu penting. Kita baru bisa bergirang
kalau kita bisa menemukan Cit Tee.” Makin lama mereka
makin jauh dan akhirnya Boe Kie tidak bisa mendengar lagi
pembicaraan mereka.
Sesudah menunggu beberapa lama lagi, Boe Kie turun
dari pohon. Dengan mengikuti tapak-tapak kaki di atas
salju, ia lantas berlari-lari ke arah timur. Ia sangat berkuatir
akan keselamatan Tio Beng dan berkata dalam hatinya.
2185
“Biarpun jahat, kali ini dia menolong jiwaku. Kalau karena
aku dia mengantarkan jiwa, aku sungguh…. “ memikir
begitu, ia lari makin keras dan sesudah melalui kira-kira
lima li, ia bertemu dengan sebuah tebing. Tapak-tapak di
sekitarnya kelihatan kalang kabut, sedangkan di sisi tebing
terdapat tanda-tanda dari gugurnya tanah dan batu. Boe Kie
mengerti, bahwa karena terdesak, Tio Beng sudah terjun ke
bawah bersama-sama kudanya.
“Tio Kouw Nio! Tio Kouw Nio!” teriaknya. Ia tak dapat
jawaban. Ia melongok ke jurang. Ditengah malam ia tak
bisa lihat dasar jurang itu yang dindingnya sangat terjal dan
tidak punya tempat untuk menaruh kaki.
Tapi Boe Kie sudah nekat. Seraya menarik napas dalamdalam
ia turunkan kedua kakinya dan lalu merosot ke
bawah sambil bersandar di dinding jurang. Perbuatan itu
tentu sangat berbahaya, tapi ia tak memikir panjangpanjang
lagi. Seraya merosot, ia mengerahkan lweekang
dan berusaha keras untuk menancapkan sepuluh tangannya
di es yang keras. Ia berhasil dan sesudah berhenti sejenak ia
merosot lagi. Kejadian ini terulang lima enam kali.
Akhirnya ia tiba di dasar jurang. Mendadak ia melompat
karena kakinya menyentuh sesuatu yang lembek. Dengan
meraba-raba ia mendapat tahu bahwa kakinya telah
menginjak paha kuda dan Tio Beng sendiri masih
mendekam di punggung kuda dan memeluk leher binatang
itu. Cepat-cepat ia menyelidiki pernapasan si nona. Ia
merasa agak lega sebab walaupun pingsan, gadis itu masih
bernapas. Untung sungguh si nona terus memeluk leher
kuda, sehingga di waktu jatuh, yang terpukul hebat adalah
binatang yang mati seketika itu juga. Boe Kie lalu
memegang nadi Tio Beng. Ia girang sebab ia mendapat
kenyataan, bahwa meskipun terluka berat jiwa si nona tidak
akan terancam. Ia segera mendukungnya, menempelkan
2186
kedua telapak tangannya dengan telapak tangan Tio Beng
dan kemudian mengerahkan tenaga dalam untuk mengobati
luka itu.
Boe Kie bukan saja memilik lweekang yang sangat kuat.
Tapi juga mahir dalam ilmu ketabiban. Maka itu sesudah
dibantu kira-kira setengah jam dengan lweekang Boe Tong
Pay yang murni, perlahan-lahan Tio Beng tersadar. Sesudah
itu, Boe Kie lalu memasukkan Kioe Yang Cin Khie ke
dalam tubuh si nona. Setengah jam kemudian fajar
menyingsing. Tiba-tiba, “Uah!” Tio Beng muntah dara, ia
tersadar seluruhnya. “Apa mereka sudah pergi? Apa mereka
bertemu dengan kau?” bisiknya.
Mendengar pertanyaan yang penuh kasih sayang itu,
bukan main rasa terharunya Boe Kie. “Mereka tidak
menemukan aku,” jawabnya. “ah! …. Karena kau, kau
sangat menderita…. “ Selagi bicara ia tetap mengirim Cin
Khi ke dalam tubuh si nona. Dengan bibir tersungging
senyuman Tio Beng memejamkan matanya. Kaki
tangannya lemas, tapi dada dan perutnya hangat dan ia
merasa nyaman sekali. Sesudah “hawa tulen” itu berputar
beberapa kali di dalam tubuhnya, ia memutar kepalanya
dan berkata sambil tersenyum. “Kau mengasolah. Aku
sudah banyak mendingan.”
Mendadak rasa terima kasih yang sangat besar
bergelombang dalam hati Boe Kie. Ia memeluk erat-erat
dan menempelkan pipinya pada pipi si nona. “Kau sudah
menolong nama baik-ku dan pertolongan itu sepuluh kali
lipat lebih berharga daripada pertolongan jiwa,” bisiknya.
Tio Beng tertawa geli. “Aku perempuan jahat, bagiku
nama baik tak menjadi soal. Yang penting adalah jiwa.”
Pada saat itulah, di atas jurang tiba-tiba terdengar
bentakan. “Perempuan siluman! Benar saja kau belum
2187
mampus! Cara bagaimana kau mencelakai Boh Cit Hiap!
Lekas mengaku!”
“Jangan perlihatkan mukamu!’ bisik nona Tio.
“Perempuan bangsat! Teriak Thio Siong Kee. “Jika kau
tidak menjawab, kami akan menghantam dengan batu
besar!”
Tio Beng mengawasi ke atas. Benar saja, Song Wan
Kiauw berempat kelihatan berdiri di pinggir tebing dengan
masing-masing memegang sebuah batu besar. Jika mereka
menimpuk, jiwanya dan jiwa Boe Kie akan segera
melayang. “Robek baju kulit ini untuk menutupi mukamu,”
bisiknya. “Sesudah itu barulah kita kabur.”
Boe Kie segera melakukan nasehat si nona. Sesudah
memakai topeng, ia menekan topi kulitnya ke bawah
sampai lewat dahi.
Mengapa empat pendekar Boe Tong itu balik kembali!
Karena mereka mempunyai pengalaman luas. Sesudah Tio
Beng jatuh ke jurang, mereka sengaja menyingkir jauh-jauh.
Tapi mereka tahu, bahwa sebagai seorang puteri dari
kerajaan Goan, si nona pasti tidak berjalan sendirian. Ia
pasti mempunyai orang-orang yang melindunginya secara
diam-diam. Demikianlah, sesudah berjalan beberapa li,
mereka kembali dan sesudah menambat tunggangan
mereka di dahan pohon, mereka membuat obor dan
memeriksa gua bekas tempat bersembunyinya Tio Beng. Di
dalam gua mereka menemukan bangkai dua ekor rase yang
badannya rusak karena gigitan binatang, entah binatang
apa. Bau wangi dari rase itu masih belum menghilang.
Sesudah menyelidiki, mereka keluar dan terus mengikuti
tapak kaki Boe Kie. Akhrinya menemukan jenazah Boh
Seng Kok yang kaki tangannya tergigit binatang. Kegusaran
dan kedukaan mereka sukar dilukiskan. In Lie Heng
2188
menangis tersedu-sedu dan akhirnya roboh pingsan.
“Meskipun berkepandaian tinggi, dengan seorang diri
perempuan siluman itu pasti tak akan bisa membinasakan
Cit Tee,” kata Jie Lian Cioe sambil menyusut air mata.
“Lak tee, jangan terlalu berduka. Kita sekarang harus
mencari semua musuh dan membinasakan mereka untuk
membalas sakit hatinya Cit Tee.”
“Sebaiknya kita bersembunyi di sekitar gua ini dan
menunggu sampai fajar,” kata Thio Siong Kee. “Menurut
dugaanku, kaki tangan si perempuan siluman pasti akan
datang ke sini untuk mencarinya. Diantara tujuh pendekar
Boe Tong, Siong Kee-lah yang paling berakal budi.
Mendengar usul itu, Song Wan Kiauw bertiga lantas
berhenti menangis dan dengan berpencaran lalu
menyembunyikan diri di belakang batu-batu dekat mulut
gua. Tapi sampai fajar menyingsing, tiada manusia yang
datang ke situ.
Dengan mendongkol keempat jago Boe Tong itu lalu
pergi ke tebing untuk mengamat-amati. Tiba-tiba mereka
terkejut sebab sayup-sayup mereka mendengar suara
manusia di bawah jurang. Waktu melongok ke bawah,
mereka melihat seorang pria yang mengenakan pakaian
indah sedang memangku Tio Beng. Buru-buru mereka
mengambil batu besar dan mengancam. Mereka tidak lantas
menimpuk sebab ingin menyelidiki sebab musabab
kebinasaan Boh Seng Kok.
Jurang itu menyerupai sebuah sumur yang berdinding
batu. Hanya sudut barat terdapat sebuah jalanan keluar
yang sangat sempit. “Anjing Goan!” bentak Thio Siong
Kee. “Naik dari jalan itu! Kalau berayal, kami akan
menghabiskan jiwa kamu dengan batu-batu ini.” Karena
pakaiannya indah, Thio Siong Kee menganggap Boe Kie
sebagai seorang Mongol.
2189
Boe Kie sendiri bingung bukan main. Di dasar tidak
terdapat tempat bersembunyi yang bagaimanapun jua.
Kalau para pamannya menimpuk, meskipun ia sendiri bisa
menyelamatkan diri, Tio Beng pasti akan binasa. Lantaran
tidak melihat lain jalan lagi, maka dengan apa boleh buat,
sambil mendukung Tio Beng, perlahan-lahan ia memanjat
ke atas. Ia sengaja tidak memperlihatkan keindahannya.
Saban-saban ia berlagak terpeleset dan napasnya tersengalsengal
seperti orang kecapaian. Sesudah jatuh bangun
beberapa kali barulah kakinya menginjak tanah datar.
Menurut perhitungannya, begitu lekas keluar dari mulut
jurang, ia ingin segera melarikan diri dengan menggendong
Tio Beng. Dengan menggunakan ilmu ringan badannya
yang tinggi, ia masih ungkulan meloloskan diri dari kejaran.
Tapi Thio Siong Kee pintar luar biasa. Siang-siang ia
sudah melihat bahwa orang Mongol itu berpura-pura dan ia
sudah memberi isyarat supaya ketiga saudara
seperguruannya berwaspada.
Maka itu, begitu lekas Boe Kie menginjak bumi ia sudah
dikurung dengan empat pedang yang ujungnya terpisah
kira-kira sekaki dari tubuhnya.
“Bangsat Tat Coe!” caci Song Wan Kiauw dengan suara
gemetar. “Apa dengan memakai topeng, kau rasa akan bisa
melarikan diri? Siapa yang membunuh Boh Cit Hiap? Lekas
mengaku! Kalau kau berdusta, aku akan cincang
badanmu!” Song Wan Kiauw sebenarnya berwatak sabar
dan welas asih. Hanya karena melihat kebinasaan Boh Seng
Kok yang begitu mengenaskan, maka itu, ia mengeluarkan
cacian yang menyeramkan. Selama puluhan tahun, baru
sekarang ia memperlihatkan kegusaran yang sedemikian
hebat.
Tio Beng menghela napas. “Kalupawa Ciangkoen,”
2190
katanya. “Tak ada jalan lain lagi untuk meloloskan diri,
sekarang kau boleh mengaku terus terang!” sesudah ia
berbisik di kuping Boe Kie, “gunakan ilmu silat Seng Hwee
Leng.”
Tak usah dikatakan lagi, kalau bisa Boe Kie tentu tak
ingin bertempur melawan paman-pamannya. Tapi sekarang
sudah terdesak di jalan buntu. Sambil menggigit gigi, ia
melemparkan tubuh Tio Beng ke arah In Lie Heng dan
seraya berjungkir balik tangannya menyambar lengan Thio
Siong Kee. Dengan kaget, In Lie Heng menyambut tubuh
nona Tio. Sesudah tertegun sejenak, ia menotok jalan darah
si nona dan kemudian melontarkannya di tanah.
Sementara itu, Boe Kie sudah mengeluarkan ilmu silat
Seng Hwee Leng yang sangat aneh. Ia meninju Song Wan
Kiauw, menendang Jie Lian Cioe, menyeruduk Thio Siong
Kee dengan kepalanya, dan merampas pedang In Lie Heng.
Keempat pendekar Boe Tong itu adalah ahli-ahli silat kelas
satu yang berpengalaman luas. Tapi menghadapi ilmu silat
Seng Hwee Leng, mereka repot dan hampir-hampir tak bisa
membela diri.
Dalam pertempuran di Leng Coa To. Boe Kie memiliki
Kioe Yang Sin Kang dan Kian Koen Tay Lo Ie masih tidak
bisa melawan Sam Soe dari Persia yang baru mempelajari
sebagian ilmu Seng Hwee Leng. Sekarang Boe Kie sudah
menyelami seluruh ilmu yang tertera di enam Seng Hwee
Leng dan kepandaiannya sudah banyak lebih tinggi
daripada kepandaian Sam Soe. Ilmu Seng Hwee Leng pada
hakekatnya bukan ilmu terjurus yang sangat aneh dan sukar
diraba.
Manakala ilmu tersebut digunakan oleh orang biasa,
orang itu bukan tandingan perndekar Boe Tong yang
terkenal sebagai ahli lweekang kelas utama. Tapi Boe Kie
bukan orang biasa. Ia memiliki Kioe Yang Sin Kang, mahir
2191
dalam Kian Koen Tay Lo Ie dan paham dalam segala ilmu
dari Boe Tong Pay. Maka itulah setiap serangannya
serangan bahaya dan ditujukan kepada bagian-bagian yang
kosong dari garis pembelaan keempat pendekar. Sesudah
bertanding kurang lebih dua puluh jurus, serangan Boe Kie
makin hebat dan makin aneh.
Tiba-tiba Tio Beng yang menggeletak di tanah berteriak,
“Kalupuwa CiangKoen, sekarang baru mereka tahu
kelihaian ilmu silat Mongol! Hajar mereka! Jangan
sungkan-sungkan!”
Keempat pendekar Boe Tong mendongkol bukan main.
Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Kian lama mereka
makin terdesak.
“Bela diri dengan Thay Kek Koen!” seru Thio Siong
Kee.
Keempat pendekar Boe Tong lantas saja menambah cara
bersilat mereka. Sekarang mereka membela diri secara rapat
sekali dengan menggunakan ilmu gubahan Thio Sam Hong
yang sangat lihai itu.
Sekonyong-konyong Boe Kie berduduk di tanah, kedua
tinjunya meninju-ninju dadanya sendiri!
Selama menjagoi dalam rimba persilatan, para pendekar
Boe Tong pernah mengukur tenaga dengan banyak sekali
ahli-ahli silat yang tangguh dan pernah melayani entah
berapa banyak pukulan yang aneh-aneh. Tapi baru sekarang
mereka menyaksikan cara berkelahi yang aneh dari “tat
coe”. Berduduk di tanah dan memukul dadanya sendiri.
Jangankan melihat, mendengar pun mereka belum pernah
mendengar pukulan yang luar biasa. Sebelum Boe Kie
mengeluarkan silatnya yang luar biasa itu, keempat
pendekar Boe Tong sudah memasukkan pedang mereka ke
dalam sarung dan membela diri dengan tangan kosong. Boe
2192
Kie berduduk di tanah dan memukul-mukul dada, dalam
kage dan heran mereka dengan serentak menghunus pedang
dan menikam. Hampir berbareng pedang Song Wan
Kiauw, Jie Lian Cioe, dan Thio Siong Kee menyambar ke
tubuh Boe Kie. Pedang In Lie Heng telah dirampas dan
dilemparkan oleh Boe Kie. Tapi di pinggangnya masih
tergantung pedang Boh Seng Kok. Ia segera menghunusnya
dan turut menikam
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Boe Kie
menyapu salju dengan kakinya dan salju itu muncrat
berhamburan keempat penjuru.
Itulah salah sebuah pukulan Seng Hwee Leng yang
dinamakan Hoei See Coan Siang Toei (pasir terbang
menggulung rombongan pedagang) Ilmu ini dulu sering
digunakan oleh si orang tua dari pegunungan untuk
merobohkan rombongan pedagang yang lewat di padang
pasir dengan menggunakan unta. “Si orang tua dari
pegunungan” adalah perampok besar. Kalau lihat iringiringan
pedagang, ia segera duduk di pasir dan menangis
tersedu sambil memukul-mukul dadanya sendiri.
Rombongan pedagang itu tentu saja lantas berhenti dan
menanyakan sebab musababnya dari tangisannya itu. Selagi
orang tak waspada, si Orang Tua dari Pegunungan tiba-tiba
menyapu pasir dengan kakinya, sehingga pasir muncrat
berhamburan dan masuk di mata pedagang-pedagang itu.
Selagi korban-korbannya tidak bisa membuka mata, dia
menyerang sehebat-hebatnya. Dengan sekali pukul, dia bisa
membinasakan puluhan orang. Itulah asal-usul Hoei See
Coan Siang Toei dan sebagai gantinya pasir, Boe Kie
menggunakan salju.
Berbareng muncratnya salju, keempat pendekar Boe
Tong kelilipan dan tidak bisa membuka mata. Tapi sebagai
jago-jago ulung gerakan mereka cepat luar biasa dan
2193
serentak mereka melompat ke belakang. Tapi kalau mereka
cepat, Boe Kie lebih cepat lagi. Bagaikan kilat, memeluk
kedua lutut Jie Lian Cioe dan selagi menggulingkan diri, ia
sudah menotok tiga hiat besar di tubuh jjh. Hampir
berbareng ia berjungkjir dan selagi badannya melayang
turun di udara, lutut kanannya menggentus Ngo Coe Hiat
dan Sin Kong Hiat di tubuh In Lie Heng yang matanya
lantas saja berkunang-kunang dan roboh di tanah. Song
Wan Kiauw tidak dapat menggunakan pedangnya lagi tapi
tangan kirinya lantas saja menghantam kepala si tat Coe.
Tapi sebelum pukulan itu mampir pada sasarannya,
mendadak dadanya kesemutan dan jalan darahnya sudah
kena disikut Boe Kie.
Tak kepalang kagetnya Thio Siong Kee. Dalam sekejab
tiga saudara seperguruannya dibikin tidak berdaya. Ia
mengerti, bahwa biar bagaimanapun jua, dengan seorang
diri ia bukan tandingan musuh yang tangguh itu. Tapi ia
tentu tidak bisa kabur sendirian dengan meninggalkan
saudara-saudaranya. Dengan nekat, ia segera mengirim tiga
tikaman berantai.
Ketika itu Thio Siong Kee sudah dijalanan buntu dan
menghadapi bahaya besar. Tidakannya tetap, sikapnya
tenang dan serangannya hebat, sesuai dengan kemestian.
Melihat begitu, didalam hati Boe Kie bersorak, “ilmu silat
Boe Tong benar-benar luar biasa. Apabila tidak memiliki
silat yang aneh ini, mungkin sekali aku tak bisa melawan
para pamanku,” tiba-tiba ia memutar kepalanya, membuat
lingkaran-lingkaran. Thio Siong Kee tidak memperdulikan,
ia sengaja tak mau melihat lingkaran-lingkaran itu.
Mendadak, dengan kecepatan luar biasa, ia menikam dada
Boe Kie. Boe Kie menundukkan kepala, seolah-olah mereka
mau memapaki tikaman itu dengan batok kepalanya.
Sekonyong-konyong, pada waktu ujung pedang hampir
2194
menyentuh kulit kepala, ia membuang diri ke tanah dan
menubruk ke depan. Hampir berbareng, empat hiat di
kempungan dan betis kiri Thio Siong Kee tertotok dan
tanpa ampun lagi, ia jatuh terjengkang.
Boe Kie tahu, bahwa empat totokan itu hanya dapat
melumpuhkan bagian bawah tubuh pamannya. Selagi ia
mau menotok Tiong Kie Hiat dan Tho To Hiat di bagian
punggung, tiba-tiba Thio Siong Kee mengeluarkan teriakan
menyayat hati, kedua matanya terbalik, tubuhnya
bergemetaran dan sesaat kemudian, napasnya habis.
Hati Boe Kie mencelos, keempat totokannya takkan
melukai sang paman. Apa paman itu memang sudah sakit
dan penyakitnya kambuh karena ditotok? Keringat dingin
membasahi bajunya dan dengan tangan gemetar ia meraba
kepala pamannya. Siong Kee menyambar dan topeng Boe
Kie terlocot! Mereka saling mengawasi dengan mata
membelalak.
Beberapa saat kemudian, Thio Siong Kee berkata dengan
suara parau. “Thio Boe Kie… kau!... kasih sayang kami
terhadap kau tersia-sia…. “ Nada suara itu mengunjuk rasa
duka dan gusar yang tiada taranya. Sambil menatap wajah
Boe Kie, air mata pendekar Boe Tong itu mengalir turun di
kedua pipinya. Tadi, sesudah dirobohkan, ia mengambil
keputusan untuk melocotkan topeng musuh, supaya kalau
mesti mati, ia mau mati setelah melihat wajah lawannya.
Maka itu ia berlagak mati dan akhirnya berhasil
menjambret topeng Boe Kie. Didalam pihak, Boe Kie yang
berwatak polos tidak pernah menduga, bahwa ia akan
diakali secara begitu.
Pada waktu itu, penderitaan Boe Kie banyak lebih hebat
daripada penderitaan jasmaniah yang paling hebat.
Bagaikan hilang ingatan, ia hanya berkata dengna suara
perlahan: “bukan aku…. Sie Soepeh.. bukan aku yang
2195
membunuh Cit Soe Siok… “
Thio Siong Kee tertawa terbahak-bahak.
“Bagus!... bagus…. “ serunya. “Lekas kau bunuh kami
semua! Toako! Lak Tee! Kau sudah lihat, bahwa manusia
yang kita namakan Tat Coe bukan lain daripada anak Boe
Kie yang kita cintai.”
Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang
badannya tidak bisa bergerak, hanya mengawasi dengan
mata melotot dan muka merah padam.
Hebat sungguh kedudukan Boe Kie. Tiba-tiba serupa
ingatan pendek berkelebat di otaknya.
Lebih baik mati! Tapi, sebelum menjemput pedang dan
mengorok leher, tiba-tiba Tio Beng berkata, “Thio Boe Kie!
Dalam menghadapi penasaran, seorang laki-laki harus bisa
mempertahankan diri. Di dalam dunia ini, air surut, batu
kelihatan. Kau harus berusahan untuk membinasakan
penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap untuk membalas
sakit hatinya. Hanyalah dengan berbuat begitu, baru kau tak
percuma menerima kasih sayang para pendekar Boe Tong.”
Boe Kie terkejut. Ia menyetujui pendapat Tio Beng.
“Tapi apakah yang harus kita perbuat?” tanyanya. Sambil
menanya begitu, ia menghampiri dan mengurut punggung
serta pinggang si nona untuk membuka jalan darahnya yang
tertotok.
“Kau tak usah terlalu bingung,” bujuk Tio Beng dengan
suara lemah lembut. “Dalam Beng Kauw terdapat banyak
orang pandai, sedang akupun mempunyai banyak
pembantu yang berkepandaian tinggi. Penjahat itu pasti
akan bisa dibekuk.”
“Thio Boe Kie! Teriak Siong Kee. “kalau di dalam
hatimu masih terdapat rasa kasihan, bunuhlah kami dengan
2196
segera! Aku tak kuat menyaksikan kau bercinta-cintaan
dengan perempuan siluman itu.”
Paras muka pemuda itu pucat bagaikan mayat. Ia benarbenar
bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
“Tindakan kita yang pertama adalah coba menolong
Han Lim Jie,” kata Tio Beng. “Sesudah itu, kita berusaha
untuk mencari ayah angkatmu. Di sepanjang jalan kita
boleh menyelidiki penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap
dan yang membunuh Piauw Moaymu.”
“Apa?.... Apa?….” tanya Boe Kie dengan suara terputusputus.
“Apakah Boh Cit Hiap dibunuh olehmu?” Tio Beng
balas menanya dengan suara dingin. “Mengapa keempat
pamanmu menuduh kau? Apa In Lee dibunuh olehku?
Mengapa kamu menuduh aku? Apakah hanya kau seorang
yang boleh penasaran terhadap orang lain dan orang lain
tak boleh merasa penasaran terhadapmu?” kata-kata itu
bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Sekarang, sesudah
mengalami sendiri, barulah ia mengakui, bahwa di dunia
yang lebar ini sering terjadi kejadian-kejadian yang
kebetulan, yang tidak bisa dikira oleh manusia. Sekarang
dia sendiri menerima tuduhann berat. Ia tidak berdosa, tapi
ia tidak berdaya untuk membersihkan diri. “apakah …
Apakah Tio Kouw Nio seperti aku?....” tanyanya di dalam
hati.
“Apakah keempat pamanmu bisa membuka sendiri
totokanmu?” tanya pula Nona Tio.
Boe Kie menggelengkan kepala. “Tidak,” jawabnya.
“Totokanku dari ilmu Seng Hwee Leng. Soepeh dan
Soesiok takkan bisa membukanya. Sesudah lewat dua belas
jam, totokan itu akan terbuka sendiri.”
2197
“Jalan satu-satunya bagi kita adalah menaruh keempat
pamanmu di dalam gua dan kita lantas menyingkirkan
diri,” kata Tio Beng. “Sebelum berhasil mencari penjahat
yang berdosa, kau tak boleh bertemu muka lagi dengan
dia.”
“tapi di dalam gua itu sering keluar masuk binatang,”
kata Boe Kie. “Pada jenazah bcs terdapat tanda-tanda
gigitan.”
“ah! Otakmu sudah tidak bisa bekerja lagi!” kata si nona.
“Kalau salah seorang dari keempat pamanmu bisa
menggerakkan tangannya dan dalam tangannya terdapat
sebatang pedang, apakah binatang buas akan bisa
melukakan mereka?”
Muka Boe Kie berubah merah. Ia mengangguk dan
menjawab. “Benar, kau benar.” Sesudah berkata begitu, ia
mendukung tubuh keempat pamannya dan menaruh
mereka di belakang sebuah batu besar, supaya terbebas dari
serangan salju. Boe Kie tak menjawab dan hanya
mengucurkan air mata.
Tio Beng tak bisa menahan sabarnya lagi. “Kalian
adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam rimba
persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kalian
begitu tolol,” katanya. “Kalau benar Boe Kie membunuh
Boh Cit Hiap, bukankah dengna mudah saja dia bisa
membinasakan kalian semua untuk menutup mulut kalian?
Kalau dia tega membunuh Boh Cit Hiap, apakah dia tak
tega membunuh kalian? Jika kalian mencaci terus, aku akan
gaplok muka kalian satu persatu. Aku perempuan siluman,
aku bisa lakukan apa yang kukatakan. Dulu waktu kalian
berada di Ban Hoat Sie, dengan memandang muka Thio
Kong Coe, aku sudah memberi perlakuan istimewa pada
orang-orang Boe Tong Pay. Lihatlah! Jari tangan jago-jago
Siauw Lim, Koen Loen, Go Bie, Hwa San dan Khong Tong
2198
diputuskan olehku. Terhadap pendekar-pendekar Boe Tong,
aku membuat kecualian. Dibagian mana perlakuanku
terhadap kalian kurang sempurna? Bilang!”
Song Wan Kiauw berempat saling mengawasi. Di dalam
hati mereka masih berpendapat, bahwa Boh Seng Kok
dibunuh Boe Kie, tapi mereka kuatir, Tio Beng akan benarbenar
menggaplok mereka. Seorang gagah boleh
dibinasakan, tapi tak boleh dihina. Kalau sampai mereka
digaplok si perempuan siluman, mereka benar-benar merasa
terhina. Maka itu mereka lantas berhenti mencaci.
Tio Beng tersenyum dan berkata, “Ambillah tunggangan
kita untuk membawa paman-pamanmu ke gua.”
Boe Kie kelihatan bersangsi. “Lebih baik kudukung
mereka,” katanya.
Si nona mengerti maksud perkataan itu. Ia tertawa
dingin dan berkata, “Apa kau rasa, karena berkepandaian
tinggi, kau seorang diri bisa membawa empat orang dengan
sekaligus? Kutahu, kau kuatir begitu lekas kau pergi, aku
akan membunuh paman-pamanmu. Kau belum pernah
menaruh kepercayaan atas diriku. Baiklah, aku pergi
mengambil kuda dan kau tunggu di sini.”
Mendengar perkataan yang jitu, sekali lagi muka Boe Kie
berubah merah. Tapi memang benar ia tidak berani
menyerahkan keempat pamannya ke dalam tangan si nona
yang angin-anginan. Maka itu, ia lantas saja berkata,
“Terima kasih banyak jika kau sudi mengambil kuda-kuda
itu, kutunggu di sini.”
“Hm!.... “ Si nona mengeluarkan suara di hidung. “Kau
begitu mulia, tapi orang tetap tak percaya kepadamu, kau
begitu baik hati, tapi orang tetap menganggap kau seperti
anjing.” Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.
2199
Boe Kie tidak meladeni. Dengan hati masgul, ia
megawasi bayangan si nona.
Sekonyong-konyong terdengar suara larinya kuda dari
selatan, dan didengar dari suaranya jumlah kuda sedikitnya
ada tiga ekor. Tio Beng pun sudah mendengarnya,
karenanya ia buru-buru kembali dan berkata, “Ada orang!”
seraya berkata begitu, ia lari ke belakang batu dan
berjongkok di samping Boe Kie. Melihat separu badan Jie
Lian Cioe berada di luar batu, ia segera menariknya.
“Jangan sentuh badanku!” bentak Jie Hiap dengan mata
melotot.
Si nona tertawa, “aku justru ingin pegang badanmu,”
katanya. “Aku mau lihat apa yang bisa diperbuat olehmu.”
“Tio Kouw Nio! Jangan kurang ajar terhadap
soepehku!” bentak Boe Kie.
Tio Beng tertawa dan mengeluarkan lidahnya.
Sesaat itu, seorang penunggang kuda kelihatan
mendatangi, dengan dikejar oleh dua orang lain. Dalam
jarak kira-kira tiga puluh tombak, Boe Kie yang bermata jeli
sudah mengenali, “Song Ceng Soe Toako!” bisiknya.
“Tahan kudanya!” kata Tio Beng.
“Perlu apa?” tanya Boe Kie.
“Jangan banyak tanya. Apa kau lupa, pembicaraan di
ruangan kelenteng Bie Lek Hoed?” kata si nona.
Boe Kie mendusin, menjemput sepotong es dan
menimpuk. Timpukan itu kena tepat di kaki depan kuda
Song Ceng Soe yang langsung saja berlutut. Song Ceng Soe
melompat turun dan coba membangunkan tunggangannya,
tapi kuda itu tidak bisa berdiri lagi sebab tulangnya patah.
Melihat pengejarnya sudah datang, cepat Song Ceng Soe
2200
segera melarikan diri. Tapi ia tidak bisa lari jauh, karena
Boe Kie sudah menimpuk lagi dan potongan es mampir
tepat pada jalan darah di betis kanannya.
Hampir berbareng robohnya Song Ceng Soe, kedua
pengejar itu sudah menyandak. Mereka adalah Tan Yoe
Liang dan Ciang Poen Liong Tauw.
“Heran sungguh!” kata Boe Kie dalam hati. “mereka
bertiga bersama-sama pergi ke Tiang Pek San untuk
mencari racun. Mengapa yang seorang lari dengan dikejar
oleh yang dua?” sejenak kemudian ia mendapat lain
ingatan. Ya, mungkin sekali Song Toako tersadar dan insaf
bahwa ia tak boleh melakukan perbuatan terkutuk. Untung
juga ia lari ke sini. Aku harus menolong.
Begitu menyandak, Tan Yoe Liang dan Ciang Liong
Tauw meloncat turun dari tunggangan mereka. Mereka
menduga kuda Song Ceng Soe roboh sebab terlalu letih dan
pemuda itu sendiri terluka berat. Karena dugaan itu,
mereka segera menghunus senjata yang lalu dituding ke
tubuh Ceng Soe.
Tangan Boe Kie sudah mencekal kepingan es siap sedia
untuk menimpuk. Tapi tangannya sudha disentuh Tio
Beng, si nona menggeleng-gelengkan kepala, menuding
kupingnya sendiri dan kemudian menuding Song Ceng Soe.
Boe Kie mengerti bahwa ia dinasehati untuk bersabar dan
menunggu pembicaraan ketiga orang itu.
“Orang she Song!” bentak Ciang Poen Liong Tauw.
“Mengapa kau kabur ditengah malam buta? Apa kau mau
membuka rahasia kepada ayahmu?” Sambil mencaci, ia
membaling-balingkan golok Cie Kim Pat Kwa Lo di atas
kepala Ceng Soe. Song Wan Kiauw sangat berkuatir akan
keselematan puteranya. Secara kebetulan Boe Kie
menengok dan ia melihat sorot mata sang paman yang
2201
penuh kekuatiran itu. Ketika benterok dengan mata Boe
Kie, sinar matanya berubah dan memperlihatkan sinar
memohon. Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya
sebagai janji, bahwa ia akan menolong. “Kecintaaan ayah
ibu benar-benar setinggi langit dan setebal bumi,” katanya
di dalam hati. “Toasoepeh begitu gusar terhadapku. Tapi
begitu melihat jiwa Song Toako terancam bahaya, ia rela
untuk meminta pertolongan kepadaku. Andaikata
Toasoepeh sendiri yang terancam bahaya, ia pasti tak akan
meminta pertolongan.” Pada detik itu, tiba-tiba hatinya
seperti tersayat pisau. Ia ingat, bahwa Song Ceng Soe
mempunyai seorang ayah yang sangat mencintai, sedang ia
sendiri seorang anak yatim piatu.
Sementara itu terdengar jawaban Song Ceng Soe, “Aku
bukan mau memberitahukan ayah.”
“Pangcoe telah memberitahukan kau untuk mengikut
kami ke Tiang Pek San guna mencari obat,” kata Ciang
Poen Liong Tauw. “Mengapa kau pergi tanpa permisi?”
“Ciang Poen Liong Tauw! Aku anak manusia
mempunyai ayah dan ibu. Kalian memaksa aku untuk
mencelakai ayah kandung sendiri. Mana tega aku berbuat
begitu? Aku bukan mau berseteru dengan kalian. Aku
hanya tak sanggup melakukan perbuatan binatang itu.”
“apakah kau mau melanggar perintah Pangcoe? Apa kau
tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap seorang
anggota yang menghianati partai?”
“aku seorang berdosa besar. Aku memang sudah tak
ingin hidup. Selama beberapa hari, setiap kali memejamkan
mata, aku selalu melihat bayangan bcs selalu mengganggu
aku. Ciang Poen Liong Tauw, bunuhlah aku! Aku akan
merasa sangat berterima kasih.”
“Baiklah!” bentak si pengemis sambil mengangkat
2202
goloknya.
“Tahan!” cegah Tan Yoe Liang. “Liong Tauw Toako,
apabila Song Heng Tee tetap menolak, lepaskan saja dia.
Tak baik kalau kita bunuh.”
“Lepaskan dia?” menegas Ciang Boen Liong dengan
suara heran.
“Benar, dia membinasakan paman gurunya sendiri, Boh
Seng Kok. Dia berdosa besar dan pasti akan dibunuh oleh
orang partainya sendiri. Perlu apa kita mengotorkan
senjata?”
Itulah perkataan yang mengejutkan. Bagi keempat
pendekar Boe Tong, kata-kata itu bagaikan halilintar yang
menyambar dengan tiba-tiba.
Waktu mengintip pertemuan Kay Pang di kelenteng Bie
Lek Hoed, ketika Tan Yoe Liang menyebut-nyebut nama
Boh Seng Kok. Boe Kie sudah menduga bahwa Song Ceng
Soe telah melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap
pamannya itu. Tapi mimpipun tak pernah mimpi, bahwa
Boh Seng Kok binasa dalam tangan pemuda itu. Antara
mereka semua, hanyalah Tio Beng yang tidak terlalu kaget,
sebab ia sudah menduga terjadinya kejadian itu.
“Tan Toako,” kata Song Ceng Soe dengan suara
gemetar, “kau sudah bersumpah untuk tidak membocorkan
rahasia ini. Asal kau tidak membuka mulut, ayah tentu tak
akan tahu.”
Tan Yoe Liang tertawa tawar. “kau Cuma mengingat
sumpahku, tapi lupa sumpah sendiri,” katanya. “kau sudah
bersumpah, bahwa mulai waktu itu kau akan menurut
segala perintahku. Apa kau atau aku yang lebih dahulu
melanggar sumpah?”
“biarpun mesti mati, aku tak dapat menuruti perintahmu
2203
untuk menaruh racun di makanan Thay Soehoe dan ayah.
Lebih baik kau bunuh saja aku.”
“Song Heng Tee, seorang gagah harus bisa bertindak
dengan mengimbangi keadaan. Kami bukan menyuruh kau
membinasakan ayah sendiri. Kami hanya ingin kau
menaruh sedikit racun Bong Han Yo (obat yang
melupakan), supaya mereka tertidur untuk sementara
waktu. Bukankah kau sudah mengiakan waktu kita berada
di kelenteng Bie Lek Hoed?”
“Aku hanya mengiakan untuk menaruh Bong Han Yo.
Tapi yang ditangkap Ciang Poen Liong Tauw adalah
binatang-binatang yang sangat beracun – ular, kelabang,
dan sebagainya. Itu semua racun untuk membinasakan
manusia. Itu semua bukan Bong Han Yo.”
Tan Yoe Liang mengawasi korbannya dan perlahanlahan
memasukkan pedangnya ke dalam sarung. “Cioe
Kouw Nio dari Go Bie Pay sangat cantik bagaikan
bidadari,” katanya. “didalam dunia sangat sukar dicari
tandingannya. Aku merasa heran mengapa kau rela
menyerahkan gadis itu ke dalam tangannya si bocah Boe
Kie. Song Heng Tee, hari itu kau mengintip kamar tidur
para wanita murid-murid Go Bie Pay dan perbuatanmu
diketahui oeh Cit Soesiokmu lalu mengejar sehingga terjadi
pertempuran di bukit batu. Pertempuran itu berakhir
dengan peristiwa pembunuhan oleh seorang keponakan
terhadap pamannya sendiri. Mengapa kau sudah
melakukan pembunuhan itu? Bukankah karena ingin
mendapatkan Cioe Kouw Nio yang cantik manis? Apa
sekarang kau bisa mundur lagi? Tidak! Pasti tidak!”
Dengan menggunakan seantero tenaganya, Song Ceng
Soe bangun berdiri, “Tan Yoe Liang, lidahmu sungguh
jahat!” teriaknya.
2204
“Kau menekan aku secara keterlaluan. Malam itu, di
dalam pertempuran melawan bcs, aku sudah kalah. Aku
berdosa besar. Kalau aku binasa, segala apa akan menjadi
besar. Siapa suruh kau membantu aku? Aku kena ditipu
olehmu, sehingga sekarang namaku hancur dan tidak akan
bisa ditolong lagi.”
“Bagus, bagus!” kata Tan Yoe Liang dengan suara
mengejek. “Apa boleh aku bertanya? Boh Seng Kok mati
sebab punggungnya terpukul dengan pukulan Cia Thian
Tiat Ciang (Pukulan tangan besai yang menggetarkan
langit) Siapa yang memukulnya? Apa Kau? Malam itu, aku
bukan saja menolong jiwamu, tapi juga menolong namamu.
Apa itu salah? Song Heng Tee, didalam persahabatan, yang
lain tak usah disebut-sebut lagi, tapi hal kau membunuh
paman sendiri pasti tak akan diuar-uar olehku. Sekarang
kita boleh berpisahan dan dilain hari kita masih mempunyai
kesempatan untuk bertemu muka pula.”
Mendengar perkataan manusia itu yang seolah-olah
bersedia untuk menyudahi segala persoalan sampai di situ,
Song Ceng Soe sangat bersangsi. “Tan…. Tan Toako, apa
yang mau diperbuat olehmu terhadapku?” tanyanya.
Tan Yoe Liang tertawa, “Aku selalu berbuat baik
terhapamu, tapi kau tetap tak percaya aku,” katanya. “Apa
yang aku mau berbuat terhadapmu? Tidak! Aku tak ingin
berbuat apapun jua terhadapmu. Aku hanya ingin
memperlihatkan serupa barang kepadamu. Kau lihatlah!
Apa ini?”
Boe Kie dan Tio Beng sangat ingin melihat barang itu.
Tapi mereka tidak berani mengeluarkan kepala. Tiba-tiba
terdengar suara kaget dari Song Ceng Soe. “Ah!.... cincin
besi Go Bie Pay!... milik Cioe Kouw Nio. Darimana kau
dapatkan itu?”
2205
Boe Kie terkejut, tapi dilain saat ia menduga, bahwa
cincin itu bukan cincin tulen.
Tan Yoe Liang tertawa. “Lihatlah dahulu,” katanya.
“Lihat dulu, apa tulen apa palsu.”
Beberapa saat kemudian Song Ceng Soe berkata, “Waktu
berada di See Hek, aku pernah meminta pelajaran silat dari
Biat Coat Soethay. Aku lihat cincin ini di jarinya. Rasanya,
barang ini bukan barang palsu.”
Tiba-tiba terdengar suara “trang!”
“Inilah buktinya,” kata Tan Yoe Liang. “Kalau palsu,
bacokanku pasti akan memutuskannya. Lihatlah! Di dalam
cincin terdapat empat huruf Lioe Ie Siang Lie (dihadiahkan
kepada anak Siang) Cincin ini dahulu milik Kwee Siang Lie
Hiap, pendiri Go Bie Pay, dan terbuat daripada besia
Hiantiat.
“Tan Toako…. “ Kata Song Ceng Soe dengan suara
parau. “darimana…. Darimana kau mendapatkannya!...
Dimana Cioe Kouw Nio sekarang?”
Tan Yoe Liang tersenyum, “Ciang Poen Liong Tauw,
mari kita berangkat,” katanya tanpa memperdulikan
pertanyaan Song Ceng Soe. “Mulai dari dulu, tapi sekarang
Kay Pang tidak memerlukan manusia seperti dia lagi.”
Suara tindakan kaki lantas terdengar kedua orang itu
berjalan ke jurusan utara.
Sekonyong-konyong Song Ceng Soe memanggil, “Tan
Toako! Apa dia mati atau masih hidup?”
Tan Yoe Liang kembali. “Benar,” katanya, “Cioe Kouw
Nio berada dalam tangan kami. Dia sungguh cantik, aku
sendiri belum beristeri. Aku ingin memohon kepada
Pangcoe untuk menikah dengannya. Kurasa Pangcoe akan
meluluskan.”
2206
Song Ceng Soe mengeluarkan seruan tertahan.
“Benar, pada hakekatnya seorang koencoe tak akan
merampas milik orang lain,” kata pula Tan Yoe Liang.
“Tan Yoe Liang pasti tidak akan merusak persahabatan
karena paras cantik. Tapi sekarang kau sudah menjadi
penghianat partai. Diantara kita sudah tidak ada ikatan
apapun jua dan aku bisa berbuat sesuka hati, bukankah
begitu?”
Song Ceng Soe tidak menyahut. Dua macam pikiran
rupa-rupanya sedang berkelahi di dalam hatinya.
Boe Kie melirik Song Wan Kiauw. Dengan rasa kasian,
ia lihat pamannya mengucurkan air mata. Sebagai seorang
gagah kalau bukan berlalu duka, paman itu tentu tidak akan
menangis.
Beberapa saat kemudian barulah Song Ceng Soe berkata,
“Tan Toako, Liong tauw Toako, tadi pikiranku kusut. Aku
bersalah dan kuharap kalian suka memaafkan.”
Tan Yoe Liang tertawa terbahak-bahak. “Nah begini
baru benar,” katanya. “Dengan menepuk dada aku
memberi jaminan, bahwa soal kau menaruh Bong Han Yo
di minuman para pendekar Boe Tong, bukan saja jiwa
ayahmu tak akan kurang suatu apa, tapi Cioe Cie Jiak pun
akan segera menjadi isterimu. Sesudah Thio Sam Hong dan
para pendekar Boe Tong berada di dalam tangan kita. Thio
Boe Kie pasti akan menurut segala perintah kita. Sesudah
Kay Pang menguasai Beng Kauw, mengusir Tat coe dan
merebut pulang tahta kerajaan, kau dan aku akan menjadi
menteri-menteri sendiri negara. Bukan saja isteri kita dan
anak-anak kita, tapi ayahnyapun akan menikmati segala
kebesaran.”
Song Ceng Soe tertawa getir. “Thia-thia bukan manusia
yang kemaruk harta,” katanya. “Aku hanya mengharap
2207
ayah jangan membunuh aku. Kalau harapan itu bisa
terkabul, aku sudah merasa puas.”
Tan Yoe Liang tertawa, “Kecuali ayahmu dewa, ia pasti
tak akan tahu latar belakang kejadian itu,” katanya. “Song
Heng Tee, apa kakimu terluka? Kita berdua bisa
menunggang kudaku. Setibanya di kota kita bisa membeli
lain kuda.”
“Sebab terburu-buru, betisku terpukul kepingan es,”
jawabnya. “Sungguh sial kepingan es itu kena tepat pada
Coe Peng Hiat. Didalam dunia memang sering terjadi
kejadian yang kebetulan.”
Dari pengakuan Song Ceng Soe dapatlah dilihat
kelihaian Boe Kie dalam ilmu melepaskan senjata rahasia.
Pemuda itu sama sekali tak pernah menduga, bahwa
dirinya dibokong orang. Ia hanya merasa terpukul kepingan
es yang secara kebetulan kena pada jalan darahnya. Hal ini
pada hakekatnya tidak luar biasa. Lengan kita secara tidak
sengaja juga sering membentur meja kursi dan kadangkadang
begitu terbentur, kita merasa kesemutan, karena
benturan itu kebetulan kena pada “Hiat”.
“Bukan sial, tapi mujur,” kata Tan Yoe Liang sambil
tertawa. “Song Heng tee bernasib baik dan sudah
ditakdirkan bakal mempunyai isteri yang sangat cantik.
Kalau betismu tidak terpukul es dan kami tidak bisa
menyusul, maka kau tak akan tersadar dari kekeliruan.
Dengan demikian, bukan saja namamu hancur, tapi usaha
kitapun akan menjadi gagal. Selain begitu, Cioe Cie Jiak
yang ayu akan menjadi isteri Tan Yoe Liang. Bukankah
kejadian itu seperti burung hong berjodoh dengan burung
gagak seolah-olah sekuntum bunga tertancap di atas tai
kerbau?” Ia berbicara secara guyon-guyon, tapi setiap
perkataannya hebat bukan main dan menekan Song Ceng
Soe, sehingga pemuda itu tidak bisa berkutik lagi.
2208
Song Ceng Soe menghela napas dan berkata dengan
suara perlahan. “Tan Toako, bukan aku tidak percaya….”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru