Senin, 01 Mei 2017

Cersil Terbaru Kho Ping Hoo 3 Darah Pendekar

Cersil Terbaru Kho Ping Hoo 3 Darah Pendekar Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Terbaru Kho Ping Hoo 3 Darah Pendekar
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Terbaru Kho Ping Hoo 3 Darah Pendekar
Seorang jagoan samurai yang pakaiannya war-na-warni, totol -totol dan mewah sekali melom-pat
maju ke depan menghadapi Pek Lian. jagoan ini juga memiliki dahi yang amat lebar, bahkan seluruh
permukaan kepalanya bagian atas telah dibotaki licin sehingga dahinya seolah -olah sede-mikian
lebarnya sampai di bagian belakapg kepa-lanya. Sisa rambut bagian bawah digelung kecil dan dihias
tusuk konde. Muka jagoan ini seperti monyet, akan tetapi harus diakui bahwa gerakannya sigap dan
tubuhnya yang pendek itu nampak ku-at bukan main. Bajunya rangkap empat, kedua le-ngannya dari
pergelangan tangan sampai dekat siku dibelit -belit kain keemasan, pinggangnya juga dibelit -belit
kain totol -totol merah dan sebatang pedang samurai terselip di situ. Kakinya memakai sandal yang
banyak talinya.
Jagoan ini berdiri di depan Pek Lian dan de-ngan sikap kaku membungkuk seperti pisau lipat,
kemudian dia mengeluarkan seman keras dari da-lam perut, kedua tangan bergerak dan tahu -tahu
nampak sinar berkilat dan sebatang samurai telah dicabutnya dengan kedua tangan dan dipegangnya
seperti orang memanggul cangkul. Pedang ini gagangnya dua kali lebih panjang dari pada pedang
biasa dan jagoan itupun memegang pedang dengan kedua tangan. Kembali jagoan Jepang ini
berteriak nyaring dan tiba -tiba dia sudah melaku-kan penyerangan. Tubuhnya bergerak dan pedang
samurai yang dipegang dengan kedua tangan itu menyambar dari kanan ke kiri mengarah tubuh Pek
Lian.
Dara ini cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga
sinkang karena ia ingin menguji sampai di mana besarnya tenaga lawan. Karena tangkisan-nya itu,
tak dapat dihindarkan lagi. pedangnya bertemu dengan pedang samurai yang dibabatkan dari kanan
ke kiri itu.
"Trakkkk!" Pek Lian mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang menghindarkan babatan
ke dua ke arah kakinya. Dara ini melon-cat ke papan lantai perahu yang lebih tinggi, me-mandang
kepada pedang yang tinggal gagangnya dan sepotong kecil saja di tangannya, matanya ter-belalak.
Tak disangkanya bahwa pedang samurai lawan itu sedemikian tajam dan kuatnya sehingga sekali
beradu saja pedangnya telah patah ! Akan tetapi ia melihat bahwa biarpun pedang samurai lawan itu
amat ampuh, tajam dan kuat, gerakan lawan ini tidaklah terlalu gesit. Maka iapun membuang
pedangnya dan berseru kepada Bwee Hong, "Hati -hati, enci, jangan mengadu senjata !" Iapun lalu
menerjang maju melawan jagoan yang masih mempergunakan samurainya untuk memba-cok dan
membabat itu. Pek Lian mempergunakan kelincahannya dan memang ia jauh lebih lincah dari pada
lawannya sehingga biarpun kini ia ber-tangan kosong, namun menghadapi samurai itu ia tidak
terdesak. Tubuhnya berkelebat ke sana -sini mengelak dari sambaran sinar pedang samurai, dan
iapun membalas dengan tidak kalah hebatnya, menggunakan pukulan dan tendangan kaki.
"Buk!" Sebuah tendangan kaki kiri Pek Lian mengenai perut lawan dan jagoan ini terpental ke
belakang sambil mengeluh dan memaki. Akan te-tapi ternyata dia memiliki kekebalan juga karena
tendangan itu tidak merobohkannya, lalu dia maju lagi sambil memutar-mutar pedang samurainya
dengan ganas sehingga terpaksa Pek Lian harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan
dan mengelak ke sana -sini.
Sementara itu, Bwee Hong juga sudah diserang oleh seorang jagoan samurai lain. Akan tetapi, karena
Bwee Hong sudah melihat betapa samurai-samurai itu amat tajam dan kuatnya, dan mende-ngar
peringatan Pek Lian, ia sama sekali tidak mau mengadu pedangnya, melainkan menggunakan kecepatan
gerakannya untuk menghindarkan setiap bacokan lawan lalu membalas dengan cepat. Karena
Bwee Hong memang memiliki ginkang yang amat hebat, maka dalam beberapa kali gebrakan saja,
lawannya telah terdesak hebat dan terpaksa jagoan ke tiga lalu mengeroyoknya ! Namun Bwee Hong
tidak merasa jerih dan dara ini mengamuk terus, mengandalkan ginkangnya dan juga kece-patan
gerakan pedangnya.
Diam -diam sang pangeran mengikuti jalannya pertandingan itu dengan kagum. Melihat betapa
seorang di antara jagoannya dalam belasan jurus saja terkena tendangan kaki Pek Lian, dia terke-jut
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali. Apa lagi melihat betapa dara yang ke dua itu bahkan memiliki kecepatan gerakan yang melebihi
dara pertama sehingga pengeroyokan dua orang jagoannya tidak membuat terdesak, diamdiam
dia menjadi kaget, kagum dan juga girang Betapa akan bangga hatinya kalau dia dapat ber-hasil
menundukkan dua orang dara perkasa ini dan mengangkat mereka menjadi selir -selirnya ! Selain
sebagai selir yang patut dibanggakan, juga dapat menjadi pengawal pribadinya dalam arti yang paling
mesra dan mendalam.
Pangeran Akiyama lalu memberi isyarat kepa-da jagoannya nomor empat, lalu memerintahkan
jagoan yang melawan Pek Lian untuk membantu dua orang temannya yang sudah mengeroyok Bwee
Hong. Kemudian dia sendiri, dengan tangan ko-song, dibantu oleh jagoan barunya yang juga bertangan
kosong, menerjang dan mengeroyok Pek Lian. Dan Pek Lian terkejut! Kiranya Pangeran
Jepang inipun pandai ilmu silat tangan kosong, de-ngan pukulan -pukulan tangan miring yang cukup
kuat, sedangkan pembantunya, jagoan samurai itu pandai ilmu semacam Ilmu Kim -na -jiauw, yaitu
ilmu menggunakan jari -jari tangan untuk men-cengkeram dan menangkap ! Dikeroyok dua oleh dua,
orang ahli yang memiliki ilmu yang berbeda ini, Pek Lian menjadi sibuk juga. Setelah melawan sampai
belasan jurus, tahu -tahu pergelangan ta ngan kirinya sudah dicengkeram dan ditangkan oleh jagoan
pembantu pangeran itu ! Untung sekali Pek Lian bersikap waspada dan bergerak cepat. Sebelum
sang pangeran yang juga lihai itu sempat memperburuk keadaannya, kakinya sudah mela-yang ke
arah bawah pusar jagoan itu dan tangan kirinya menusuk dengan jari telunjuk ke arah mata! Diserang
dengan hebat seperti ini, jagoan sa-murai itu terkejut dan cepat membuang tubuh ke belakang dan
tiba-tiba saja pundak kanannya tertotok oleh jari tangan Pek Lian. Seketika lengan kanannya seperti
lumpuh dan cengkeramannya ter-lepas. Pada saat itu, Pangeran Akiyama telah me-nerjang lagi, akan
tetapi Pek Lian sudah terbebas dari cengkeraman sehingga ia mampu bergerak mengelak dan balas
menyerang. Si jagoan samurai hanya lumpuh sebentar saja. Dia sudah pulih kem-bali dan membantu
sang pangeran, mengeroyok Pek Lian dengan lebih ganas. Sekali ini Pek Lian benar -benar merasa
kewalahan. Tingkat kepan-daian pangeran itu sendiri sudah berimbang dengan tingkatnya, kini
pangeran itu dibantu oleh jagoan samurai itu, tentu saja ia menjadi kewalahan.
Keadaan Bwee Hong tidak lebih baik dari pada temannya. Pengeroyokan tiga orang Samurai yang
kesemuanya bersenjatakan pedang samurai yang amat berbahaya, tajam dan kuat itu sungguh membuat
ia kewalahan. Kalau melawan satu demi satu, atau katakanlah dikeroyok dua, ia masih sanggup
untuk menang. Akan tetapi yang mengeroyoknya ada tiga orang !Perlahan -lahan dara inipun terdesak
dan main mundur, mandi keringat seperti juga keadaan Pek Lian. Bagaimanapun juga, seperti
juga Pek Lian, Bwee Hong pantang menyerah dan mengamuk terus sambil mengandalkan kecepatan
gerakan tubuhnya.
Melihat keadaan ini, hati sang pangeran men-jadi khawatir. Dia tidak menghendaki dua orang gadis
itu terluka, apa lagi terbunuh. Dia ingin me-nundukkan dan menangkap mereka hidup -hidup. Akan
tetapi mereka berdua itu sedemikian lihai nya sehingga tentu sukar untuk mengalahkan me-reka
tanpa merobohkannya. Diapun lalu memberi aba -aba dalam bahasanya dan kini belasan orang anak
buahnya datang membawa jala yang lebar. Mereka mengurung Bwee Hong dan tiba -tiba, de-ngan
cepat sekali jala atau jaring itu mereka lem-parkan dan karena ia sendiri terancam tiga batang
samurai, Bwee Hong tidak mampu menghindar la-gi dan tahu -tahu jaring itu telah menimpa tubuhnya
! Tentu saja dara ini terkejut dan cepat meng-gunakan pedangnya untuk membabat tali jaring
yang meringkusnya. Akan tetapi, tiba -tiba pedang-nya bertemu dengan benda keras.
"Krakkkk !" Dan pedang itu, seperti pedang Pek Lian tadi, telah patah -patah bertemu dengan dua
batang samurai yang menangkisnya dari luar ja ring ! Dan kini tiga orang jagoan itu menyimpan
samurai mereka dan menubruk, meringkus Bwee Hong yang meronta-ronta di dalam jaring seperti
seekor ikan yang terjala. Karena tiga orang jagoan itu memang bertenaga besar dan Bwee Hong tak
dapat banyak bergerak dalam jaring, akhirnya dara ini telah dibelenggu di dalam jaring dan tidak
mampu berkutik lagi.
Melihat ini, Pek Lian marah bukan main. "Pa-ngeran busuk, lepaskan sahabatku !" bentaknya dan
iapun menyerang dengan dahsyat, memukul ke arah kepala Pangeran Jepang itu dengan pengerahan
tenaga. Pangeran itu melihat pukulan berbahaya, maka diapun cepat merendahkan dirinya dan
mengangkat kedua lengan menangkis. Pembantu-nya, jagoan yang-mengeroyok Pek Lian, melihat
kesempatan baik. Ketika lengan Pek Lian bertemu dengan lengan pangeran, diapun mendorong dari
samping ke arah lambung gadis itu !
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dukk!" Pangeran Akiyama terguling ketika beradu lengan dengan Pek Lian, akan tetapi gadis ini
sendiri terkena dorongan jagoan samurai itu dan terlempar ke kanan. Malang baginya, di sebelah kanannya
adalah tepi perahu itu dan tanpa dapat di-cegah lagi, tubuhnya terlempar keluar.
"Byuuurrrr !" Tubuh gadis itu menimpa air. Pek Lian maklum bahwa kalau ia tertawan juga,
habislah harapannya untuk menolong Bwee Hong dan juga dua orang pemuda yang tertawan, maka
iapun cepat menyelam. Ketika para anak buah pangeran itu menggunakan lampu untuk mencari ke
bawah, mereka tidak dapat menemukan gadis itu yang sudah bersembunyi di balik perahu besar, di
bagian yang gelap.
Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar terang dan ternyata perahu besar mewah milik Pangeran
Jepang ini telah dikepung oleh delapan buah pera[ hu yang malam tadi pernah dilihat oleh Pek Lian.
Dari permukaan air di balik perahu besar di mana ia bersembunyi, Pek Lian dapat melihat betapa tiga
orang yang bergerak sigap sekali memimpin anak buahnya dari delapan buah perahu itu me-nyerbu
ke perahu asing. Terjadi pertempuran he-bat, akan tetapi betapapun lihainya sang pangeran dari
Jepang itu bersama para jagoan samurai dan anak buahnya, namun pihaknya kalah banyak dan para
bajak itu dipimpin oleh tiga orang yang ting-kat kepandaian silatnya tidak kalah dibandingkan dengan
para samurai. Maka akhirnya sang pange-ran yang melihat bahwa melanjutkan perlawanan tiada
guna, lalu menyerukan aba -aba kepada anak buahnya untuk menyerah ! Banyak di antara me-reka
yang tewas dan sisanya dijadikan tawanan. Para bajak bersorak -sorai penuh kegembiraan ke-tika
mendapat kenyataan bahwa perahu yang me-reka bajak itu adalah perahu seorang pangeran dan di
dalam perahu terdapat banyak sekali barang-barang berharga yang sedianya hendak dihadiah-kan
kepada kaisar ! Benar -benar merupakan hasil besar, mereka telah menangkap seekor kakap yang
besar dan gemuk!
"Harap kalian orang -orang gagah suka dengar baik -baik !" Tiba-tiba Pangeran Jepang itu ber-teriak
sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aku adalah Pangeran Akiyama, seorang bangsawan
tinggi dari Jepang yang hendak menghadap kaisar di Kota Raja Sian-yang! Aku adalah sahabat kaisar,
maka harap kalian jangan mengganggu kami dan suka membebaskan kami kembali. Untuk itu,
kami tidak akan lupa dan akan memberi hadiah yang besar !"
Akan tetapi, tiga orang yang memimpin pemba-jakan itu tertawa bergelak. "Ha -ha -ha, pangeran
badut! Biar kaisar sendiri yang berada di dalam pe-rahu, tetap saja akan kami bajak !" Para bajak laut
itu bersorak -sorak dan tertawa -tawa dan Sang Pa-ngeran Jepang terpaksa membungkam dan tidak
berani bicara lagi, maklum bahwa dia terjatuh ke tangan para bajak laut yang tidak mau mengakui
kedaulatan siapapun kecuali kepala mereka. Dia hanya mengharapkan bahwa kepala bajak akan mau
menerima tebusan dan tidak akan membunuh-nya. Semua anak buahnya ditawan, dan Bwee Hong
juga termasuk menjadi tawanan. Bwee Hong tidak merasa takut akan nasib dirinya sendiri, akan tetapi
ia merasa khawatir sekali ketika melihat Pek Lian tercebur ke dalam lautan tadi. Ingin ia mena-ngisi
nasib kawannya itu dan kini setelah ia diting-galkan Pek Lian, mungkin ditinggal mati, ia merasa
betapa harapannya untuk dapat menolong kakak-nya menjadi semakin menipis. Akan tetapi, berada
di tangan lawan sebagai tawanan, ia pantang me-nangis !
Ketika pertempuran antara para bajak dan anak buah Pangeran Jepang terjadi, Pek Lian masih
bersembunyi di permukaan air. Dia hanya melihat para bajak berlompatan ke atas perahu mewah
setelah menempelkan perahu -perahu mereka ke-pada perahu korban, dan perahu mewah itu terguncang
-guncang selagi mereka bertempur. Un-tung baginya, ada sebuah perahu sekoci kecil terlepas
dari perahu mewah dalam keributan itu dan iapun cepat berenang dan berhasil memegang perahu
itu. Sementara itu, pertempuran sudah ber-henti dan perahu mewah itu lalu ditarik oleh pera-hu -
perahu bajak laut yang meninggalkan tempat itu jauh lewat tengah malam.
Pek Lian menggunakan dayung, sekuat tenaga ia mendayung dan melawan ombak untuk mengikuti
ke arah perginya perahu -perahu itu. Hari telah hampir pagi dan cuaca mulai remang -remang ke-tika
perahu -perahu para bajak itu tiba di sekelom-pok pulau -pulau kecil yang bertebaran di tengah lautan.
Perahu besar mewah yang dibajak itu, yang membawa tawanan, diseret ke sebuah pulau ter-besar
yang berada di tengah kelompok pulau -pu-lau. Di atas beberapa pulau kecil nampak bebe-rapa orang
menyambut iring -iringan perahu itu dengan teriakan dan sorak -sorai gembira. Mereka itu tahu bahwa
kawan -kawan mereka telah ber-hasil membajak sebuah perahu mewah yang kaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak seperti pulau -pulau kecil di sekelilingnya yang berpantai pasir dan landai, pantai dari pulau di
mana perahu bajakan itu diseret merupakan tebing karang yang tinggi. Di tepi tebing yang curam
itulah para bajak menghentikan perahu -perahu mereka. Sebuah pintu baja terbuka dan perahu -
perahu itu memasuki pintu ini ke dalam pulau. Pintu rahasia dan agaknya perahu luar tidak akan
mungkin dapat masuk karena pintu karang itu menutup jalan masuk.
Ho Pek Lian memutar perahu sekocinya dan akhirnya ia mendapatkan sebuah tempat pendaratan
yang tersembunyi dan tidak begitu terjal. Ia menarik sekoci kecil itu ke darat, menyembunyikannya
dalam guha batu karang, dan ia sendiri lalu mendaki tebing dengan hati -hati karena iapun maklum
bahwa ia telah memasuki tempat berbahaya, sebuah pulau yang dihuni oleh gerombolan bajak laut
yang ganas.
Sementara itu, Bwee Hong yang masih berada di dalam jaring dan diikat dari luar, tidak dapat
bergerak. Selama terjadi pertempuran di atas perahu, ia hanya dapat rebah sambil menonton saja
dan ketika iapun terbawa sebagai tawanan bersama Pangeran Akiyama dan anak buahnya, iapun
hanya diam saja. Apa gunanya kalau ia berteriak memberi tahu bahwa ia biikan anak buah pangeran
itu ? Yang menang itu jelas adalah gerombolan bajak laut yang tentu lebih ganas dan kejam dari pada
gerombolan anak buah pangeran itu. Ia merasa betapa baru saja terlepas dari mulut serigala ia kini
terjatuh ke mulut buaya !
Semua tawanan dibawa ke dalam sebuah ba-ngunan besar yang dibangun seperti benteng di pulau
itu. Mula -mula Sang Pangeran Jepang itu yang dihadapkan kepada pimpinan bajak. Di atas sebuah
kursi besar, di ruangan yang luas, duduklah pemimpin bajak itu yang memandang kepada semua
tawanan yang dikumpulkan di situ dengan wajah dingin. Dia adalah seorang laki -laki yang usianya
kurang lebih limapuluh tahun, pakaiannya mewah, lebih pantas menjadi seorang bangsawan atau seorang
hartawan besar dari pada seorang kepala ba-jak. Wajahnya juga tidak membayangkan
kekejam-an atau kekerasan seperti wajah para anggauta ba-jak, walaupun wajah itu berkulit tebal
kehitaman dan segala sesuatunya pada kepala bajak ini nam-pak tebal dan bulat! Wajahnya gemuk
bulat, de-ngan mata yang lebar dan biji mata besar. Hidung-nya juga besar dan bulat, bibirnya tebal.
Akan te-tapi wajah ini bukan wajah yang buruk atau me-nakutkan, melainkan membayangkan
kemakmuran duniawi, sering nampak pada wajah orang -orang kaya atau bangsawan tinggi yang
selalu hidup da-lam kemewahan dan kesenangan. Tubuhnya gemuk dan perutnya gendut. Begitu si
gemuk ini tadi mun-cul ke dalam ruangan, semua anggautanya memberi hormat dengan menekuk
sebelah lutut. Baru setelah ia duduk di atas kursi besar itu, semua bajak berdiri lagi, dan ada pula
yang duduk. Ketika Sang Pangeran Jepang dihadapkan, pangeran ini meng-ambil sikap angkuh.
"Engkaukah pemilik perahu itu ?" tanya si ke-pala bajak dengan suara tenang.
Pangeran Akiyama lalu menggunakan kesem-patan ini untuk memperkenalkan diri. "Aku adalah
Pangeran Akiyama, seorang bangsawan tinggi di Jepang dan masih kerabat dari kaisar. Aku sedang
melakukan perjalanan menuju ke daratan besar untuk menghadap Kaisar Cin Si Hong-te. Ka-rena
tidak tahu, kami telah melanggar wilayah tu-an, maka harap suka memberi maaf dan untuk itu kami
sanggup untuk mengganti kerugian."
Kepala bajak yang perutnya gendut itu terse-nyum, akan tetapi senyumnya penuh ejekan. "Kaum
pedagang kaya raya dan bangsawan yang tinggi kedudukannya merupakan korban yang paling ka-mi
sukai. Pangeran, tanpa kauusulkan, karena eng-kau telah terjatuh ke tangan kami, engkau baru akan
kami bebaskan kalau keluargamu dapat me-nebus dengan sejumlah emas yang akan kami te-tapkan
kemudian. Masukkan dia ke kamar tahanan dan perlakukan dengan baik!" Empat orang anak buah
bajak lalu menarik pangeran itu keluar dari ruangan. Pangeran Akiyama bersikap tenang se-perti
layaknya seorang pangeran. Bagaimanapun juga, keluarganya takkan membiarkan dia teran-cam
oleh para bajak dan tentu uang tebusan akan dikirim.
Setelah pangeran itu dibawa pergi, kepala bajak itu memandang kepada sisa anak buah sang pangeran,
lalu berkata kepada para pembantunya, "Su-ruh mereka ini bekerja keras, kalau ada yang melarikan
diri, bunuh saja !"
Para tawanan itu lalu digusur pergi, dan di an-tara mereka itu terdapat Bwee Hong yang masih terikat
dan terbungkus jaring. "Tahan dulu, biar-kan tawanan wanita ini tinggal di sini! Aku mau
memeriksanya !" kata si kepala bajak. Anak buah-nya yang tadi sudah menyeret wanita dalam jaring
itu nampak kecewa. Biarpun berada dalam jaring, Bwee Hong masih dapat dilihat dengan mudah dan
dunia-kangouw.blogspot.com
anak buah bajak itu sudah merasa girang memper-oleh seorang tawanan yang demikian muda dan
cantiknya. Akan tetapi kini dia diperintahkan un-tuk meninggalkan tawanan ini maka tentu saja dia
kecewa.
Kini yang berada di dalam ruangan itu tinggal-lah si kepala bajak dan tiga orang pembantunya, yaitu
bajak laut lihai yang tadi memimpin penye-rangan terhadap perahu asing itu.
"Siapakah engkau?" tanya kepala bajak itu sambil memandang kepada wanita tawanan itu yang rebah
miring di atas lantai. Bwee Hong yang mera-sa amat terhina itu tidak mau menjawab sama sekali. Ia
sudah tertawan dari tangan orang Jepang itu ke tangan bajak laut, dibelenggu dan terbung-kus jaring,
merasa seperti seekor harimau tertang-kap, diseret dan dilempar begitu saja di atas lantai. Ingin ia
menangis karena sakit hati, maka kini ia menimpakan kemarahan hatinya kepada kepala bajak ini. Ia
sudah tertangkap, biar akan dibunuh sekalipun ia tidak akan sudi memperlihatkan sikap lunak atau
tunduk !
Melihat wanita itu diam saja, si kepala bajak mengerutkan alisnya. Dalam keadaan terbungkus jaring
dan terikat seperti itu, tentu saja Bwee Hong tidak kelihatan terlalu cantik, bahkan sebagian da-ri
mukanya tertutup rambutnya yang terlepas dari sanggul dan riap -riapan, dan bagian yang tidak
tertutup itupun masih tidak dapat nampak jelas karena tertutup benang-benang jaring.
"Kenapa engkau terbungkus jaring dan dibe-lenggu seperti seekor binatang buas ?" kembali si kepala
bajak laut bertanya. Bwee Hong makin mendongkol dan tidak mau menjawab. Menja-wab sama saja
dengan menceritakan kekalahannya.
"Apakah engkau tuli ? Ataukah gagu barang-kali ?" Kepala bajak itu mulai ragu -ragu. Semua tawanan
tadi, biarpun tidak kelihatan ketakutan, setidaknya mentaatinya dan tidak memperlihatkan sikap
melawan, sadar bahwa mereka sudah kalah dan tertawan. Agaknya tidak mungkin kalau wa-nita ini
berani menentangnya dan sengaja tidak mau menjawab. "Atau barangkali engkau tidak me-ngerti
bahasa kami ?" Lalu tiba -tiba kepala bajak itu mengajukan pertanyaan lagi dalam Bahasa Jepang !
Mendengar ini, diam -diam hati Bwee Hong merasa geli, akan tetapi kemarahannya ti-dak mereda dan
tiba -tiba iapun menjawab dengan suara lantang.
"Aku sudah tertawan, kalau mau bunuh, laksa-nakanlah. Siapa takut mati ? Tak perlu banyak cerewet
lagi!"
Kepala bajak itu nampak terkejut sekali mende-ngar ucapan ini. Sungguh merupakan jawaban yang
sama sekali tidak diduganya. Dan suara wa-nita ini sungguh merdu, nyaring dan penuh sema-ngat,
tidak mungkin suara seorang wanita biasa saja !
"Eh, siapakah sesungguhnya engkau ? Bukan-kah engkau juga anak buah Pangeran Jepang itu
kepala bajak itu mendesak dengan penuh keingin-an tahu.
"Bukan !" jawab Bwee Hong. "Perahuku berta-brakan dengan perahunya, aku dikeroyok dan tertangkap."
"Ah, begitukah ?" kepala bajak itu berseru he-ran dan kagum. Tahulah dia kini bahwa wanita itu
adalah seorang wanita gagah, kalau tidak de-mikian, tak mungkin sampai dikeroyok. "Lepas-kan !"
katanya kepada tiga orang pembantunya.
Tiga orang pimpinan bajak itu lalu mengguna-kan golok untuk membikin putus tali yang mengikat kaki
tangan dan tubuh Bwee Hong. Begitu terle-pas dari ikatan, Bwee Hong meronta dan jaring itupun
jebol dan iapun meloncat keluar, berdiri tegak dengan gagahnya di depan kepala bajak itu.
"Ahhh !" Kepala bajak yang perutnya gendut itu kini memandang dengan melongo, juga tiga orang
pembantunya itu memandang kagum. Kiranya tawanan wanita itu adalah seorang dara yang luar
biasa cantik jelitanya! Biarpun pakaiannya
kusut dan rambutnya awut -awutan, mukanya kotor, namun jelas nampak betapa cantiknya gadis ini.
Seketika jantung kepala bajak itu berdebar-debar dan diapun sudah jatuh hati kepada gadis itu. Dia
sudah mempunyai seorang isteri dan beberapa orang selir, akan tetapi begitu melihat Bwee
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong, mau rasanya dia membuang semua isteri dan selirnya itu dan menggantikan tempat mereka
dengan gadis ini!
"Aihh, nona yang cantik dan gagah perkasa. Si-apakah engkau ? Siapa namamu ?"
Melihat perobahan sikap itu, senyum lebar yang disertai pandang mata -penuh gairah, hati Bwee
Hong sudah menjadi penasaran dan mendongkol. Ia menduga bahwa tentu si gendut inilah yang
pernah dibicarakan oleh Pek Lian, yaitu kepala atau raja penjahat yang menguasai lautan dan
memimpin para bajak yang berjuluk Tung-hai-tiauw Si Rajawali Lautan Timur, seorang di an-tara Sam
-ok yang sedang dicari -cari oleh dua orang rekannya, yaitu Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti,
atas perintah Raja Kelelawar! Ia ti-dak ingin berkenalan atau memperkenalkan diri kepada segala
macam raja penjahat!
"Namaku tidak ada sangkut -pautnya dengan kalian!" jawabnya kaku.
Kepala penjahat itu tidak menjadi marah meli-hat sikap ini. Malah sikap itu nampak semakin me-narik
dan gagah baginya! Setiap pendapat itu selalu diwarnai oleh perasaan suka atau tidak suka,
karenanya, pendapat itu selalu palsu adanya dan tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai kea-daan
sesungguhnya dari sesuatu.
"Nona, bagaimanapun juga, aku telah menye-. lamatkan nona dari pada malapetaka hebat. Kalau
tidak ada aku yang menolongmu, bukankah engkau akan celaka sebagai tawanan pangeran asing itu
?" katanya membujuk.
"Kalian menyerbu perahu pangeran itu untuk membajak, sama sekali bukan untuk menolongku,"
bantah Bwee Hong.
Makin larna, kepala bajak itu menjadi semakin tertarik dan terpesona oleh kecantikan gadis ini.
"Kalau begitu, berilah kesempatan kepadaku untuk dapat menolongmu, nona. Agar aku dapat
membuktikan bahwa aku sungguh ingin menolongmu dan mempunyai niat baik terhadap dirimu "
"Kalau engkau beriktikad baik, berilah aku se-buah perahu kecil agar aku dapat pergi mencari
temanku yang terpisah dariku karena pengeroyok-an orang -orang Jepang itu!"
"Ah, ada lagi seorang temanmu ? Apakah diapun tertawan ? Seorang pemuda ataukah sudah tua?"
"Sahabatku itu juga seorang gadis, ia terjatuh dari perahu "Bwee Hong mulai mau bercerita karena ia
mengharapkan orang -orang ini akan da-pat membantunya mencari dan menyelamatkan Pek Lian.
Selain itu ia percaya bahwa kakaknya tentu sudah menjadi tawanan pula di tempat ini dan siapa tahu
ia akan dapat membujuk agar ke-pala bajak ini mau membebaskan kakaknya pula.
"Nona, Lautan Po -hai ini begini luas dan eng-kau yang tidak berpengalaman, bagaimana dapat
mencari seorang teman yang hilang hanya dengan menggunakan sebuah perahu kecil ? Jadilah
tamuku yang terhormat dan aku akan membantumu men-carikan sahabatmu itu. Akan kukerahkan
semua anak buahku. Engkau tentu lelah sekali, biarlah engkau mengaso dulu. Mari, nona, mari
kuantar nona ke kamar tamu dan nona akan menikmati ke hidupan di tempat ini." Kepala bajak itu lalu
mem-bawa sendiri Bwee Hong menuju ke ruangan sebe-lah dalam dan di situ, beberapa orang
pelayan wa-nita menyambutnya. Bwee Hong diberi sebuah kamar yang indah. Karena mengharapkan
bantuan untuk menemukan kembali Pek Lian, juga karena mengharapkan akan dapat membebaskan
kakaknya yang ia kira tentu berada di tempat ini pula seba-gai tawanan, Bwee Hong tidak menolak,
walaupun ia tidak pernah kehilangan kewaspadaannya dan tidak mau bersikap manis kepada tuan
rumah yang pandang matanya mengandung gairah itu. Bagai-manapun juga, nona ini terkesan juga
oleh sikap tuan rumah. Sama sekali tidak seperti sikap kepala bajak. Begitu halus dan sopan, dan
ternyata di se-belah dalam istana itu, keadaannya seperti dalam istana raja -raja saja. Juga para
pelayan wanita terlatih baik dan bersikap amat halus!
Para anak buah bajak selama sehari semalam berpesta -pora merayakan hasil yang amat besar di
malam hari itu. Para tawanan, yaitu anak buah pangeran, dijebloskan dalam tempat tawanan yang
berada di bawah tanah. Hanya Pangeran Akiyama seorang yang dimasukkan dalam kamar tahanan
lain dan diperlakukan dengan sikap baik. Anak bu-ah pangeran ini menjadi orang tahanan dan dipekerjakan
secara berpencar untuk pembangunan di pulau itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ho Pek Lian telah berhasil naik ke tebing dan dengan berindap -indap ia menyelinap melalui bu-kitbukit
karang dan akhirnya ia berhasil mema-suki bangunan megah seperti istana itu. Ia melihat betapa
tempat itu terjaga ketat seolah -olah tempat itu merupakan benteng dengan banyak bala tentaranya.
Dan istana itu, yang terletak di tengah -te-ngah kompleks bangunan benteng, sungguh megah. Aneh
melihat sebuah istana dibangun di tengah-tengah pulau kosong ini, di antara pulau-pulau kecil yang
terpencil di tengah lautan.
Untung bagi Pek Lian bahwa para anak buah bajak sedang merayakan pesta kemenangan dengan
hasil baik itu. Para penjaga ikut pula berpesta dan biarpun mereka masih tetap dalam tempat penjagaan
masing -masing, namun mereka juga kebagian arak dan daging sehingga tentu saja penjagaan
me-reka menjadi kurang teliti dan lengah. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Pek Lian,
dengan mengandalkan gerakannya yang gesit dan ginkang-nya yang tinggi, untuk menyusup masuk
ke dalam istana itu melalui pintu belakang di dekat taman bunga batu karang. Hanya ada beberapa
pohon bunga kecil yang hidup di dalam pot-pot bunga, dengan tanah yang diambil dari daratan besar,
se-dangkan hiasan lain merupakan batu-batu karang yang dibentuk dengan nyeni, dicat dan diatur sedemikian
rupa sehingga tempat itu merupakan se-buah taman yang aneh tapi indah.
Bukan main girangnya hati Pek Lian ketika da-lam usahanya menyelidik dan mencari Bwee Hong
dalam istana yang luas ini, ia tersesat masuk ke dalam dapur! Memang perutnya sudah terasa lapar
bukan main. Kalau menurut perasaan hatinya, ingin ia menyerbu dan merampas makanan dengan
kekerasan. Akan tetapi Pek Lian bukanlah seorang gadis sebodoh itu. Tidak, ia adalah seorang dara
muda yang sudah banyak digembleng oleh keadaan, yang membuatnya menjadi cerdas, tenang dan
juga berpemandangan luas. Ia melihat tiga orang tukang masak sedang sibuk di dapur itu dan
beberapa orang pelayan hilir -mudik mengangkuti masakan -masakan. Beberapa kali Pek Lian menelan
ludah ketika bau masakan yang sedap memasuki hidungnya, membuat perutnya berkeruyuk
seperti ayam jago sedang berlagak. Ia sampai terkejut sendiri dan menekan perut dengan tangan,
khawa-tir kalau -kalau suara perutnya itu akan terdengar orang dan membuatnya ketahuan. Ia hanya
menan-ti kesempatan baik untuk dapat mencuri makanan. Tiga orang koki itu sibuk masak dan kini,
setelah para pelayan yang mengangkuti masakan-masakan itu pergi, mereka bercakap-cakap.
"Huh, kalau sedang begini, kitalah yang repot!" kata seorang di antara mereka yang matanya juling,
agaknya karena bertahun -tahun bekerja di dapur dan matanya terlalu sering terserang asap. "Setiap
orang -orang merayakan pesta dan bersenang -se-nang, kita sendiri yang repot di sini setengah mati.
Terlambat sedikit akan didamprat!" Dengan gerak-an tangan yang sudah terlatih baik sehingga tidak
perlu lagi menggunakan mata melihat, dia menca-cah daging, agaknya hendak membuat bakso.
"Aih, A -pek, engkau ini mengomel saja !" kata koki ke dua sambil melemparkan sepotong daging
panggang yang banyak gajihnya ke dalam mulut-nya, lalu mengunyahnya sampai ada minyak gajih
yang menetes dari ujung bibir. Melihat ini, kemba-li Pek Lian menelan ludah dan memandang dengan
mata benci kepada koki yang perutnya amat gen-dut ini. Mungkin karena terlalu banyak makan, pikir
Pek Lian iri. "Sekali ini bukan hanya karena pesta. Untuk anak buah itu, cukup masakan seada-nya,
asal sudah ada panggang daging dan arak bagi mereka sudah cukup. Akan tetapi apakah eng-kau
tidak tahu bahwa ong -ya mempunyai dua orang tawanan istimewa ?"
Ucapan ini membuat Pek Lian melupakan la-parnya dan mendengarkan penuh perhatian. Koki ke tiga
yang tubuhnya jangkung dan kurus seperti orang kurang makan, keadaan yang amat janggal
mengingat akan pekerjaannya sebagai tukang ma-sak, segera berkata, "Tawanan pangeran itu ?"
"Yang pertama adalah pangeran itu. Biarpun dia menjadi tawanan, akan tetapi dari keluarganya
diharapkan uang tebusan yang besar, maka dia harus dijamu dan diperlakukan sebagai seorang-tamu
terhormat dan berharga," jawab si gendut dengan mulut masih bergerak-gerak mengunyah daging.
"Tapi yang paling istimewa adalah tamu ke dua."
"Kaumaksudkan gadis yang cantik dan gagah itu ?" kata si juling. "Kabarnya ia cantik sekali. Semua
pelayan mengatakan bahwa belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik tawanan itu, Aihhh,
aku jadi ingin sekali menengoknya!" Si juling itu tersenyum -senyum dan sikapnya menjadi genit,
tanda bahwa kalau temannya yang gendut itu lebih suka makan enak, dia sendiri agaknya le-bih
memperhatikan wanita cantik.
"Hushh! Apa kau sudah bosan hidup ? Kau tahu apa?" cela si gendut yang agaknya selain doyan
makan enak juga paling tahu akan keadaandalam istana itu. "Ong -ya agaknya jatuh cinta kepada
dunia-kangouw.blogspot.com
gadis ini dan karena itulah kita sekarang harus masak semua bahan simpanan seperti mengadakan
pesta besar. Semua ini untuk disuguhkan kepada gadis itu ! Masak pauwhi, sarang burung, da ging
capit kepiting, sup kaki biruang, hemmm... hebat deh !" Tukang masak gendut ini mengusap air liurnya
ketika menyebutkan nama masakan-masakan mewah ini dan diam-diam Pek Lian juga menelan
ludahnya. Tentu Bwee Hong yang mereka bicarakan, pikirnya. Wah, Bwee Hong agaknya menjadi
tamu terhormat dan disuguhi makanan le-zat -lezat sedangkan ia sendiri harus bersembunyisembunyi
setengah kelaparan !
Tiga orang koki itu kini sibuk memasak sayuran yang tadi disebutkan oleh si gendut dan Pek Lian
semakin menderita karena bau masakan itu sung-guh luar biasa sedapnya, apa lagi bagi seorang
yang sedang kelaparan seperti dirinya. Ia tahu bah-wa kalau masakan -masakan itu sudah selesai
dan siap, tentu para koki itu akan menarik tali yang agaknya menjadi penyambung tanda rahasia bagi
para pelayan bahwa masakan telah siap dan para pelayan itu akan datang mengangkut masakanmasakan
tadi. Maka Pek Lian pun siap -siap. Ketika masakan-masakan itu sudah selesai dan
dipindahkan dari tempat masak ke dalam mangkok-mang-kok besar, tiba-tiba Pek Lian menggerakkan
ta-ngannya. Terdengarlah suara gedombrangan bi-sing sekali di lain ruangan dapur itu, di mana disimpan
mangkok piring dan panci -panci. Men-dengar ini, para koki itu terkejut.
"Wah, wah, jangan -jangan ada kucing lagi ma-suk ke sana !" kata si gendut yang segera berlari ke
tempat itu disusul oleh dua orang temannya. Pek Lian cepat meloncat keluar dan dengan cekatan
sekali ia bekerja. Tak lama kemudian ia sudah kembali ke tempat persembunyiannya, membawa
sebuah mangkok besar terisi nasi dengan lauk -pa-uknya, yaitu pauwhi, sarang burung, capit kepiting,
dan sup cakar biruang. Lezat! Ia makan dengan lahapnya, dengan tangan saja karena dalam keadaan
tergesa -gesa itu ia lupa menyambar sumpit. Hatinya girang dan geli ketika mendengar tiga orang
itu kembali ke dalam dapur sambil mengomel, akan tetapi agaknya mereka tidak tahu bahwa
masakan -masakan itu telah berkurang.
Ketika akhirnya pelayan -pelayan datang meng-angkut masakan -masakan, Pek Lian sudah selesai
mengisi perutnya dan iapun menyelinap dan mem-bayangi para pelayan yang membawanya ke tempat
di mana sahabatnya ditahan ! Di lain saat, Pek Lian telah bersembunyi di atas genteng kamar
Bwee Hong dan mengintai ke dalam. Dilihatnya Bwee Hong duduk menghadapi meja, dilayani oleh
dua orang pelayan wanita dan benar saja, sahabat-nya yang cantik itu diperlakukan sebagai seorang
tamu kehormatan. Akan tetapi Bwee Hong tidak kelihatan gembira, bahkan sebaliknya, sahabatnya
yang cantik itu kelihatan pucat dan agak kurus dan menghadapi hidangan lezat itu dengan wajah gelisah
dan duka. Karena agaknya kurang bernafsu, maka tidak lama Bwee Hong makan, lalu ia menyuruh
para pelayan membersihkan meja. Tak lama kemudian, gadis itu nampak duduk termenung
ditemani oleh dua orang pelayan yang agaknya juga bertugas untuk menjaga dan mengamatinya.
Selagi Pek Lian berniat untuk meloncat masuk, tiba -tiba terdengar suara orang dan Pek Lian me-lihat
seorang laki -laki setengah tua yang pakaian-nya mewah dan perutnya gendut, yang memasuki kamar
Bwee Hong itu diikuti oleh empat orang dayang muda-muda dan cantik-cantik. Melihat masuknya
kepala bajak ini, Bwee Hong bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan sinar mata
bertanya-tanya dan alis berkerut. Sudah sehari semalam ia ditahan di situ sebagai tamu terhormat
dan ia masih menanti berita ten-tang Pek Lian, dan mencari kesempatan untuk ber-tanya tentang
kakaknya.
"Bagaimana kabarnya dengan usaha mencari sahabatku itu?" Bwee Hong segera menyambut-nya
dengan pertanyaan ini.
Kepala bajak yang gendut itu lalu memberi isyarat kepada para dayang dan pelayan yang se-gera
meninggalkan kamar itu dan menutupkan da-un pintunya dari luar, kemudian mereka duduk di luar
bersama dengan tiga orang pembantu utama kepala bajak itu yang agaknya memang mengawal dan
menanti di luar. Dari atas genteng Pek Lian dapat melihat bahwa selain tiga orang itu, terdapat pula
belasan orang penjaga yang agaknya siap membantu kalau sampai pimpinan mereka membu-tuhkan
tenaga mereka. Keadaan ini membuat Pek Lian menjadi waspada dan tidak berani turun ta-ngan
secara lancang. Iapun mengintai ke dalam kamar dan memperhatikan pertemuan antara saha-batnya
dan kepala bajak itu.
"Belum berhasil, nona. Kalau sahabatmu itu tidak mendapatkan perahu untuk menyelamatkan diri,
setelah tercebur ke dalam lautan, mana mung-kin ia dapat diharapkan tinggal hidup ? Di daerah itu
dunia-kangouw.blogspot.com
terdapat banyak ikan hiunya yang ganas. Jadi, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, ia menemukan
perahu dan berhasil menyelamatkan diri, atau ke dua, yaaahh... nyawanya sukar tertolong"
"Ahhh...... !" Bwee Hong mengeluh sambil menutupi mula dengan kedua tangannya.
Hening sejenak, kemudian kepala bajak laut itu berkata, suaranya halus seperti juga sikapnya,
"Nona, engkau telah menjadi tamuku, dan aku akan tetap mencari sampai anak buahku tahu di mana
adanya sahabatmu itu. Akan tetapi sampai sekarang aku belum mengenal namamu "
Agaknya Bwee Hong. merasa tidak enak juga kalau tidak memperkenalkan nama, karena memang
sesungguhnya sikap kepala bajak ini amat baik se-lama ia menjadi tamu, balikan baru sekarang
kepala bajak ini datang menjenguknya.
"Namaku Chu Bwee Hong ......"
"Nona Chu, sungguh aku merasa berbahagia sekali mendapatkan kesempatan bertemu dan berkenalan
denganmu. Aku ingin sekali mendengar sendiri bagaimana jawabanmu terhadap usul yang
kuajukan pagi tadi. Engkau tentu telah mendengar-nya dari pelayan dan utusanku, bukan ?"
Sepasang mata yang jernih dan indah itu tiba-tiba mengeluarkan sinar berkilat dan Bwee Hong
bangkit berdiri dengan sikap marah. "Aku sudah mendengarnya dan justeru karena itulah aku akan
menjawab dan menegurmu ! Sudah kukatakan ke-marin bahwa anak buahmu menyerang perahu
Pangeran Jepang itu untuk membajak, bukan untuk menolongku! Kemudian, engkau memperlakukan
aku dengan baik, sudah kuduga bahwa tentu ada pamrih sesuatu yang busuk. Ternyata benar,
engkau hendak membujuk aku menjadi isterimu! Hemm, dengarlah. Aku tidak sudi menerimanya dan
kalau sampai besok engkau tidak berhasil mendengar ten-tang sahabatku, aku akan pergi dari sini!"
Kepala bajak itu menarik napas panjang. "Aku dapat mengerti penolakanmu, nona. Engkau seo-rang
dara yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi, engkau belum tahu siapa ada-nya aku.
Kalau engkau menjadi isteriku, nona Chu, berarti engkau akan mendapatkan kemuliaan, ke-dudukan
tinggi dan juga menjadi kaya."
Bwee Hong teringat akan kakaknya dan ia mengangkat mukanya memandang, lalu bertanya dengan
suara ketus, "Siapakah engkau ?"
"Nona Chu, dengarlah. Aku adalah raja di lautan sebelah selatan, aku hanya dikenal dengan sebutan
Lam -siauw -ong (Raja Muda Selatan).
"Ehh... ?" Bwee Hong memotongnya dengan kaget dan juga dengan wajah mengandung kekecewaan.
"Jadi engkau bukan Tung-hai-tiauw ?"
Kepala bajak itu mengerutkan alisnya dan meng-geleng kepala. Hatinya kecewa pula karena nona
yang dicintanya ini ternyata mengira dia orang lain, orang yang selama ini memang menjadi
saingannya! "Bukan! Tung -hai -tiauw itu adalah seorang di antara kami, di antara tiga raja bajak di
lautan ini, dan dia kebetulan pada saat ini sedang menduduki kursi pimpinan."
Pek Lian yang ikut mendengarkan percakapan itu, juga sama kecewanya dengan Bwee Hong. Kalau
orang ini bukan Si Rajawali Lautan Timur, berarti bahwa dua orang di antara Sam -ok itu ti-dak datang
ke tempat ini, dan dengan demikian mereka telah kehilangan jejak dari A -hai dan Seng Kun yang
dibawa oleh kedua orang raja penjahat itu. Orang ini telah memiliki kedudukan tinggi dan kuat, kalau
orang ini masih merupakan pembantu saja dari Rajawali Lautan, maka dapat dibayangkan betapa
hebatnya raja penjahat itu sendiri.
Bwee Hong tidak tahu banyak tentang dunia penjahat dan ia hanya tahu sedikit -sedikit karena
mendengar cerita Pek Lian. Ia sudah men-dengar dari sahabatnya itu bahwa Sam -ok adalah tiga raja
penjahat yang kini menjadi pembantu-pembantu dari Raja Kelelawar yang dianggap se-bagai
datuknya kaum sesat. Akan tetapi mengapa kini kepala bajak ini mengatakan bahwa Rajawali Lautan
kini menduduki kursi pimpinan ? Biarpun hatinya kecewa karena merasa seperti kehilangan jejak
kakaknya, akan tetapi keinginan tahu membu-atnya bertanya, "Apa maksudmu mengatakan bah-wa
dia menduduki kursi pimpinan ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Duduklah, nona dan agaknya engkau belum mengenal kami. Baiklah, engkau perlu mengenal
keadaanku lebih baik. Lautan di sebelah timur ini dikuasai oleh kami bertiga dan kami masing-ma-sing
mempunyai anak buah sendiri. Kami bertiga adalah Tung-hai-tiauw yang menguasai wilayah timur,
yang ke dua adalah Si Petani Lautan yang menguasai wilayah utara, sedangkan ke tiga adalah aku
sendiri yang menguasai wilayah selatan. Kami masing-masing tidak saling melanggar wilayah dan
melakukan operasi di batas wilayah masing-masing. Tempat kami menyerang perahu Jepang itu
adalah batas wilayah kami."
"Jadi kalian bertiga adalah saingan -saingan yang saling bermusuhan ?" tanya Bwee Hong yang
tertarik juga hatinya. Kepala bajak ini biarpun se-orang penjahat, namun sikapnya bukan seperti
penjahat yang kasar.
"Pada mulanya kami memang saling bermusuh-an sehingga terjatuh banyak korban di antara kami
sendiri. Lalu kami bermufakat untuk bersatu dan yang paling lihai di antara kami berhak menduduki
kursi pimpinan, menempati gedung istana lautan yang kami bangun bersama. Nah, ternyata Rajawali
Lautan yang berturut-turut menang dalam pemi-lihan dan menjadi raja lautan. Setiap tiga tahun sekali
kami mengadakan pertemuan dan mengadu ilmu. Tiga tahun telah lewat sejak pemilihan yang lalu
dan di dalam bulan ini juga, kurang beberapa hari lagi, kami akan mengadakan lagi pertemuan. Tiga
hari lagi dan aku yakin akan dapat mengalahkan Si Rajawali Lautan karena selama ini aku telah
berlatih dengan tekun. Tentu saja aku harus dapat pula mengalahkan Petani Lautan yang memperdalam
ilmunya yang hebat, yaitu ilmunya Ban-seng-kun ( Silat Selaksa Bintang ) yang hebat. Dan
engkau...... kalau engkau menerima pinanganku, nona, engkau akan menjadi ratu lautan !"
Baik Bwee Hong maupun Pek Lian yang ikut mendengarkan, menjadi ngeri. Macam apakah Ilmu Silat
Selaksa Bintang itu ? Sampai di mana kehe-batannya ? Dan si gendut ini agaknya memiliki il-mu yang
tidak kalah tingginya, karena buktinya dia merasa yakin akan dapat menangkan Petani Lautan dan
juga Rajawali Lautan ! Betapa banyak-nya terdapat orang -orang lihai di dalam dunia kaum sesat.
"Engkau akan merasa ngeri kalau menyaksikan Ilmu Silat Selaksa Bintang itu, nona. Petani Lautan
itu tidak pernah memakai baju karena tubuh atas-nya selalu penuh dengan keringat yang keluar bagaikan
sumbernya yang tidak pernah kering. Dia selalu membawa tempat air ke manapun dia pergi
untuk minum setiap saat. Minumnya banyak sekali, melebihi kuda karena keringatnya luar biasa banyaknya.
Di dalam pertempuran, keringatnya itu memercik -mercik keluar dan kalau tertimpa sinar
matahari atau lampu, dapat menimbulkan sinar berwarna -warni dan berkelap -kelip seperti selak-sa
bintang di langit. Itulah sebabnya maka ilmunya dinamakan, Selaksa Bintang dan gerakannya
demikian cepatnya seperti bintang beralih. Siapa-pun yang bertanding melawannya akan menjadi
basah kuyup tersiram keringat-keringat itu, apa lagi kalau keringat itu menyerang ke arah muka lawan,
akan membuat mata menjadi silau dan ge-rakan Petani Lautan yang cepat itu akan sukar da-pat
diikuti lagi."
Bwee Hong mendengarkan cerita itu dengan alis berkerut dan diam -diam ia kurang begitu percaya
akan cerita ini. Ilmu sesat macam itu tidak perlu ditakuti, pikirnya. Yang hebat hanya luarnya saja,
akan tetapi pada hakekatnya, tidak mengandung inti yang kuat dan dalam. Akan tetapi, Pek
Lian yang sudah sering menyaksikan betapa ganas dan jahatnya ilmu orang-orang dari dunia hitam,
mendengarkan dengan hati ngeri dan jijik. Betapa menjijikkan kalau harus bertanding melawan Petani
Lautan itu. Keringat orang itu akan menyiram seluruh tubuhnya, mukanya dan ihh, betapa keras
dan busuk baunya dan menjijikkan! Pek Lian bergidik.
"Akan tetapi, sehebat itu, dia masih kalah oleh Rajawali Lautan ?" Bwee Hong bertanya, bukan hanya
ingin tahu, akan tetapi juga untuk mengikat tuan ramah itu dalam membicarakan urusan lain agar
urusan "pinangan" itu tidak diulang lagi.
"Nona Chu, agaknya engkau belum tahu siapa Rajawali Lautan itu. Dia amat lihai, dia malah orang
pertama dari Sam -ok, Si Tiga Jahat di da-ratan besar. Bukan saja ilmu silatnya yang amat tinggi,
akan tetapi sepuluh buah jarinya mempunyai kuku yang kuat seperti baja, dan juga dia mema-kai baju
emas yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata."
"Hemm, jadi dia kebal ?"
"Benar, dan kekebalan serta kuku-kuku jari tangannya itulah yang berbahaya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kalau begitu, bagaimana engkau akan dapat menang menghadapinya ?"
Si gendut itu menarik napas panjang. "Entahlah, akan tetapi pokoknya, aku harus menang dan aku
telah memperdalam ilmu pedangku yang kuberi nama Hun -kin -kiam (Pedang Pemutus Urat), mudah-
mudahan aku akan dapat mengalahkan me-reka berdua."
"Mudah -mudahan."
"Dan engkau menjadi ratu "
"Sudahlah, jangan bicara soal itu. Aku tidak dapat menjadi isterimu."
"Kenapa tidak dapat ? Kurang apakah aku ini?"
"Pokoknya aku tidak mau, aku belum mau menikah."
"Engkau harus !"
Bwee Hong meloncat berdiri dan menegakkan kepalanya. "Eh ? Siapa yang menghaluskan ? Aku
tidak mau dan hendak kulihat engkau akan dapat berbuat apa terhadap diriku!" Bwee Hong menantang
berani. Agaknya tidak ada jalan lain ba-ginya kecuali menggunakan kekerasan. Kakaknya
tidak berada di sini dan agaknya sukar mengharap-kan bantuan Pek Lian, maka jalan satu-satunya
hanya menantang dan menggunakan kekerasan. Menang dan bebas, atau kalau kalah biarlah ia mati
di situ dari pada harus menjadi isteri si perut gendut ini.
Lam -siauw -ong juga melompat dari tempat duduknya. Mukanya yang bulat itu menjadi merah,
matanya yang lebar itu melotot semakin lebar dan kepalanya yang bundar itu mengangguk-angguk.
"Bagus, akupun ingin sekali melihat sampai di ma-na kelihaianmu agar dapat kupertimbangkan-apakah
engkau memang patut menjadi ratuku." Si gendut ini menepuk tangan dua kali dan tiga orang
pembantunya yang lihai itupun bermunculan dari pintu, berdiri dengan sikap hormat.
"Nona Chu ingin memperlihatkan kepandaian-nya. Coba kalian menangkapnya dan kalau berha-sil,
ikat kaki tangannya I"
Tanpa bertanya lagi, tiga orang pembantu setia ini maklum dan dapat menduga bahwa tentu nona ini
menolak kehendak raja mereka, maka setelah memberi hormat kepada Lam -siauw -ong, mereka lalu
menghampiri Bwee Hong dan mengurungnya dengan kedudukan segi tiga." Bwee Hong berdiri tegak
dan siap untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Bahkan ia tidak mau membuang waktu lagi
karena maklum bahwa perkelahian yang akan dihadapi ini baginya bukan sekedar menguji kepandaian,
melainkan perjuangan untuk mencapai ke-menangan dan untuk meloloskan diri! Begitu tiga
orang lawan itu datang dekat, ia sudah menge-luarkan teriakan melengking nyaring dan tubuhnya
sudah bergerak cepat sekali mengirim serangan kepada orang yang di depannya, sedangkan kakinya
mencuat dalam tendangan kilat ke arah lawan di sebelah kanan.
Dua orang lawan itu terkejut bukan main. Ham-pir mereka tidak melihat gerakan nona itu dan ta-hu -
tahu orang yang berada di kanan itu telah ke-na tendangan pada pahanya! Dan orang yang berada di
depannya itu hanya menggulingkan tu-buh saja dapat terhindar. Dan Bwee Hong lalu mengamuk !
Tiga orang itu berusaha untuk mengu-rungnya rapat, akan tetapi mereka itu bahkan men-jadi bulan -
bulanan pukulan dan tendangan Bwee Hong yang membuat mereka jatuh bangun ! Me-lihat ini, Lain -
siauw -ong memandang dengan wajah berseri -seri dan tiada hentinya memuji.
"Bagus ! Bagus ! Ginkang yang sempurna ! Hebat
! Pantas menjadi ratuku, lebih dari pada pantas !" Dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah
lima orang pembantu lain yang dia perintahkan untuk membantu tiga orang pertama dan mengeroyok
Bwee Hong.
"Keparat, curang tak tahu malu!" Bwee Hong memaki dan Pek Lian yang berada di atas juga merasa
marah sekali menyaksikan kecurangan si gendut yang main keroyok itu. Akan tetapi ia tidak
menurutkan hati, tidak mau turun tangan memban-tu sebelum melihat kesempatan baik agar ia dan
sahabatnya itu dapat lolos dari pulau yang dihuni oleh para bajak itu. Andaikata ia turun membantu
dan mereka menang sekalipun, masih amat sukar untuk dapat lolos dari pulau itu karena para penjadunia-
kangouw.blogspot.com
hat itu tentu akan merintangi dan menghadapi mereka di laut, sama saja dengan membunuh diri atau
menyerahkan diri! Tidak, ia harus menanti saat baik. Hanya kalau terpaksa saja, kalau melihat Bwee
Hong menghadapi ancaman maut, baru ia akan turun tangan dengan nekat, kalau perlu mati bersama
dengan sahabatnya itu.
Biarpun dikeroyok delapan, namun Bwee Hong tetap mengamuk dan semua pengeroyoknya telah
merasakan pukulan atau tendangannya. Semua pe-rabot dan isi kamar menjadi porak -poranda ketika
para pengeroyok itu terlempar ke sana -sini. Akan tetapi, tiba -tiba Lam -siauw -ong sendiri maju dan
begitu dia menyerang, Bwee Hong terkejut sekali. Ternyata raja penjahat ini benar -benar amat lihai!
Bahkan melawan satu sama satu saja ia belum tentu dapat mengalahkan si gendut ini! Maka ia
menjadi penasaran dan marah sekali. Memiliki ke-pandaian yang tinggi, namun si gendut ini masih
mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok !
Akan tetapi Pek Lian mengerti mengapa si gen-dut itu tadi tidak maju sendiri dan menyuruh orangorangnya
untuk mengeroyok. Tentu selain ingin menguji sampai di mana kelihaian Bwee Hong, juga si
gendut ini ingin menangkap Bwee Hong tanpa melukainya, maka dia menggunakan tenaga banyak
orang. Dan memang dugaannya ini tepat. Setelah dikeroyok sembilan orang, maka akhirnya Larnsiauw
-ong berhasil menotok pundak kiri Bwee Hong. Separuh tubuh dara itu menjadi lumpuh dan
ketika si gendut "memeluk dan meringkusnya, iapun tidak dapat berkutik dan di lain saat dara itu telah
dibelenggu kaki tangannya !
Pek Lian sudah mengepal tinju. Ia tentu akan nekat kalau melihat Bwee Hong hendak diperkosa, akan
tetapi ternyata si gendut iba, biarpun kepala bajak, bukanlah seorang yang kasar. Dia sama se-kali
tidak memperkosa, bahkan menciumpun tidak ! Agaknya, di depan delapan orang anak buahnya, si
gendut ini menahan diri dan karena itulah maka dia dihormati sekali oleh para anak buahnya. Setidaknya,
biarpun dia kepala bajak, namun julukan-nya adalah Raja Muda Selatan !
Setelah tubuh Bwee Hong direbahkan di atas pembaringan, kedua kaki dibelenggu, kedua lengan
diikat di belakang tubuh dan mulutnya juga diikat saputangan agar jangan mengeluarkan teriakan atau
makian, si gendut menyuruh semua anak buahnya keluar lagi. Mereka keluar, ada yang terpincangpincang,
ada yang mengaduh memegangi perut, ada yang kepalanya benjol-benjol dan ada yang
sebelah matanya menghitam. Kini tinggallah si gendut berdua dengan Bwee Hong dan kembali Pek
Lian siap untuk menolong sahabatnya. Akan tetapi, Lam -siauw -ong hanya mendekati pemba-ringan
sambil berkata, "Nona Chu, salahmu sendi-rilah sehingga terpaksa aku membelenggumu. A-kan
tetapi, engkau masih kuberi waktu untuk berpi-kir selama tiga hari ini. Setelah selesai menghadiri
pertemuan antara pimpinan lautan, baru aku akan memaksa engkau mengambil keputusan, yaitu
men-jadi isteriku secara suka rela ataukah secara pak-saan !" Setelah berkata demikian, Lam -siauw -
ong meninggalkan kamar itu. Tak lama sesudah si gendut ini pergi, barulah Pek Lian cepat melayang
turun ke dalam kamar itu. Tadi, ketika mencari-cari di dalam istana, ia menemukan gudang sen-jata
dan ia telah memilih sebatang pedang untuk dibawa berlindung diri.
Melihat melayangnya sesosok tubuh ke dalam kamarnya, Bwee Hong cepat memandang dan da-pat
dibayangkan betapa girangnya melihat bahwa yang melayang turun itu adalah Pek Lian yang ta-dinya
dikhawatirkan telah terkubur di perut ikan hiu ! Kalau saja mulutnya tidak diikat dengan kain, tentu ia
sudah berteriak saking girangnya.
"Ssttt !" Pek Lian menaruh telunjuk kanan di depan mulut memberi isyarat kepada sahabatnya itu
agar tidak bersuara. Kemudian dengan cekatan ia meloncat ke dekat pembaringan, mencabut pedang
curiannya dan membebaskan Bwee Hong dari belenggu.
Setelah bebas dari belenggu, Bwee Hong me-rangkul sahabatnya itu. Sejenak mereka berangkul-an
tanpa ada sepatahpun kata keluar dari mulut mereka. Kata -kata tidak berarti lagi untuk menya-takan
kebahagiaan hati mereka masing-masing pada saat itu, bahkan kata -kata dapat berbahaya karena
dapat terdengar para penjaga di luar pintu.
"Mari kita pergi, melalui atas saja," bisik Pek Lian. Bwee Hong mengangguk dan dara ini telah
mendapatkan kembali semangatnya setelah melihat sahabatnya ini. Seperti biasa, biarpun
kepandaian-nya masih kalah dibandingkan dengan Bwee Hong, namun Pek Lian mengambil sikap
memimpin. Ia sudah mendahului meloncat ke atas dan dengan se-lamat mereka berdua lolos dari
kamar itu tanpa menimbulkan suara berisik dan keduanya di lain saat telah berdiri di atas genteng dan
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang ke kanan kiri.
"Kita ke mana, adik Lian ?" tanya Bwee Hong.
Karena tidak melihat seorangpun penjaga. Pek Lian berbisik memberitahukan rencananya, "Kita harus
dapat cepat meninggalkan pulau ini sebelum ketahuan. Kita naik perahu dan mencari Istana Laut di
mana tinggal Si Rajawali Lautan !”
Kau tahu juga ?"
"Aku tadi ikut mendengarkan cerita Lam-siauw-ong. Tapi kita harus mempunyai seorang petunjuk
jalan. Kita tawan seorang anggauta bajak dan me-maksanya membawa kita ke sana. Nah, mari ikuti
aku, enci, dan berhati -hatilah. Sekali ketahuan dan kita dikepung, akan sukar sekali meloloskan diri."
Dengan Pek Lian menjadi petunjuk jalan di depan karena Pek Lian sudah mulai mengenal tempat itu,
mereka menuju ke belakang gedung besar itu, di tempat sunyi dari mana Pek Lian tadi datang dan
bersembunyi. Mereka berdua mende-kam di balik pohon dalam taman batu karang, po-hon buatan
dari batu karang pula dan menanti. Tak lama kemudian rombongan penjaga meronda lewat dan
kedua orang gadis itu membiarkan mereka lewat tanpa mengganggu. Setelah keadaan sunyi kem-bali
dan aman, barulah Pek Lian mengajak Bwee Hong melanjutkan perjalanan. Dengan berindap-indap
dan hati -hati, mereka menyelinap dan me-nyusup, menuju ke pantai. Untung bagi mereka bahwa
pantai itu gelap dan malam hanya diterangi bintang saja. Di pantai itu terdapat banyak perahu dan
terdapat pula beberapa orang anggauta bajak yang hilir-mudik, dan ada pula yang bertugas menjaga
pantai.
"Enci, kita harus dapat menangkap seorang
"Lian-moi, sekarang giliranku. Engkau sudah terlalu banyak bekerja, dan aku hanya menyusah-kan
saja. Sekarang biarkan aku yang turun tangan menangkap seorang bajak."
Pek Lian mengangguk. Sudah tentu saja ia percaya akan kemampuan Bwee Hong dan kalau ia
menolak permintaan itu, mungkin saja Bwee Hong akan tersinggung dan merasa tidak percaya.
"Baiklah, enci Hong, asal engkau berhati-hati saja. Aku menanti di sini," bisiknya kembali. Bwee Hong
mengangguk dan tak lama kemudian dara itu berkelebat lenyap. Diam-diam Pek Lian me-rasa kagum
sekali. Ia sudah tahu bahwa Bwee Hong terutama sekali amat unggul dalam ilmu ginkangnya. Ia
sendiri kalah jauh dibandingkan dengan Bwee Hong walaupun ia sendiri telah me-nerima gemblengan
dari Huang -ho Su -hiap (Em-pat Pendekar Huang -ho) bahkan kemudian di-perdalam oleh bimbingan
Liu -twako atau Liu-taihiap. Akan tetapi kalau diingat bahwa Bwee Hong mewarisi ilmu keturunan dari
mendiang Sin-yok-ong, maka kehebatan ginkangnya itu memang tidaklah mengherankan.
Betapapun juga, Pek Lian merasa tidak enak kalau membiarkan sahabatnya itu bekerja tanpa
perlindungannya, maka diam-diam iapun memba-yangi. Ia melihat Bwee Hong telah berada di ujung
pantai, agaknya mendekati dua orang penjaga yang terpencil. Dara itu mengambil dua potong batu
karang sebesar kepalan tangan, kemudian menga-yun tangannya ke kanan kiri. Terdengarlah dua
suara berisik berturut-turut di kanan kiri tempat itu.
"Eh, apa itu ?" terdengar dua orang penjaga bertanya kaget dan merekapun lalu bangkit berdiri dan
berpencar ke kanan kiri, hendak memeriksa apa gerangan yang menimbulkan bunyi berisik tadi.
Setelah jarak antara mereka cukup jauh, tiba-tiba Bwee Hong meloncat ke depan dan sebelum orang
itu sempat berteriak, ia sudah merobohkannya de-ngan pukulan pada tengkuknya, menggunakan tangan
miring. Orang itu roboh pingsan lalu dara cantik dan perkasa itu menyeretnya pergi ke tempat
semula ia meninggalkan Pek Lian. Akan tetapi, Bwee Hong merasa kaget ketika ia tidak mendapatkan
lagi Pek Lian di tempat itu. Ia melempar-kan tubuh orang yang pingsan itu ke atas tanah dan ia
sendiri lalu berdiri dan memandang ke sana-sini, mencari -cari Pek Lian. Tak lama kemudian,
muncullah Pek Lian dan dara ini tersenyum, me-nyerahkan sebatang pedang kepada Bwee Hong.
"Ih, engkau membuatku gelisah, adik Lian. Ke-mana saja engkau pergi dan dari mana kau mendapatkan
pedang ini ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berbisik Pek Lian menceritakan bahwa ketika melihat Bwee Hong merobohkan seorang di
antara dua penjaga, ia berpendapat bahwa kalau penjaga ke dua tidak dirobohkan pula, tentu penjaga
itu akan kehilangan kawannya dan menjadi curiga. "Karena itu, aku merobohkannya, dan kini dia
tersembunyi dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terikat, mulutnyapun kusumbat. Selain itu,
juga pedangnya ini tentu berguna bagimu. Aku sendiri sudah mengambil pedang dari gudang senjata.
Mari kita kerjakan tawanan itu, enci!"
Bwee Hong menerima pedang dan semakin ka-gum. Sungguh seorang dara muda yang cerdas sekali,
pikirnya. Ia sendiri sama sekali tidak memi-kirkan kemungkinan-kemungkinan itu dan kalau tidak
bersama Pek Lian, mungkin perbuatannya menawan seorang bajak ini akan cepat ketahuan dan hal
ini tentu akan membahayakan sekali. Maka iapun menyerahkan segala sesuatu selanjutnya ke-pada
Pek Lian, juga ketika "mengerjakan" tawanan itu.
Dengan beberapa kali tepukan, Pek Lian me-nyadarkan tawanan itu, akan tetapi begitu orang itu
membuka mata, ujung pedang di tangan Pek Lian telah menempel di lehernya. "Engkau tentu belum
ingin mati, bukan ?" bisiknya dengan suara penuh ancaman. Orang itu terkejut sekali, apa lagi ketika
merasa betapa lehernya sakit tertusuk ben-da tajam.
"Belum, ampunkan aku " bisiknya.
"Baik, kamipun tidak ingin membunuhmu. Ka-mi hanya ingin engkau membantu kami melarikan diri
dari sini. Kalau sampai kami berhasil lolos dengan selamat, engkau akan kami ampuni dan tidak kami
bunuh. Mengerti ?"
Bajak itu mengangguk dan matanya terbelalak ketakutan. "Ampun aku mempunyai anak isteri,
ampunkan aku dan aku akan berusaha membantu ji -wi lihiap (nona pendekar berdua).”
"Bagus ! Nah, sekarang kita harus dapat meng-gunakan sebuah perahu untuk melarikan diri. Hayo
bawa kami mendapatkan sebuah perahu yang baik. Awas, jangan sampai ketahuan kawan-kawanmu,
karena kalau ketahuan, terpaksa aku akan membu-nuhmu lebih dulu sebelum kami mengamuk dan
membasmi mereka semua!"
"Baik, saya tidak berani menipumu, nona, saya masih ingin hidup."
"Kalau begitu, mari kita ke sana," Pek Lian me-nunjuk ke kiri, ke tempat yang nampaknya sunyi untuk
mencari perahu di sana. "Tidak, di sana berbahaya." "Mengapa?" Pek Lian menghardik. "Di sana
sunyi tidak nampak penjaga dan kulihat ada bebe-rapa buah perahu di sana." Ia merasa curiga.
"Jangan salah duga, nona. Di sana ada penja-ga-penjaga tersembunyi, memang disengaja kare-na
semua pelarian tentu akan mencari perahu di sana. Tidak, mari kita mencari ke sana." Orang itupun
menunjuk ke kanan, arah sebaliknya dari yang dikehendaki Pek Lian. Sebelah kanan itu nampak
ramai oleh hilir -mudiknya para anggauta bajak. Tentu saja dia dan Bwee Hong meragu. Melihat
keraguan mereka, bajak yang sudah ter-tawan itu berkata, "Tentu ji -wi mengetahui bahwa sekali saya
menipu, ji -wi akan membunuh saya. Marilah, saya tidak menipu, saya masih sayang nyawa."
Pek Lian dan Bwee Hong menurut, akan teta-pi mereka tidak pernah melepaskan pedang yang selalu
siap untuk menyerang bajak ini kalau -kalau dia mengkhianati mereka. Akan tetapi, setelah me-lalui
jalan berliku-liku, akhirnya bajak itu dapat menemukan sebuah perahu dan tidak ada seorang-pun
penjaga di situ. Cepat dia melepaskan tali perahu dan mereka bertiga lalu naik ke dalam pe-rahu dan
mereka bertiga bekerja sama mendayung perahu itu meninggalkan pantai. Karena langit mulai penuh
dengan awan hitam, dan cahaya bin-tang -bintang di langit yang sudah muram itu kini menjadi
semakin gelap, maka hal ini amat mengun-tungkan mereka yang sedang berusaha untuk me-larikan
diri.
Akan tetapi, tiba -tiba bajak itu mengeluarkan seruan kaget dan nampak panik. Sungguh tidak
kebetulan sekali, dari depan datang meluncur em-pat buah perahu bajak yang baru saja pulang ! Tentu
saja hal ini sama sekali tidak disangka -sang-kanya.
"Celaka, kita ketahuan !" katanya dan diapun mendayung perahu itu dengan sepenuh te-naga. Dan
memang benar. Dari perahu -perahu itu terdengar bentakan -bentakan dan perahu -pe-rahu itupun
lalu memutar haluan dan melakukan pengejaran!
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ulah si bajak yang mati -matian menda-yung perahu itu, Pek Lian dan Bwee Hong maklum
bahwa bajak itu tidak mengkhianati mereka dan memang pertemuan dengan perahu -perahu bajak itu
merupakan hal yang tidak disangka -sangka dan di luar perhitungan, maka mereka berduapun lalu
membantu bajak itu mendayung perahu menambah lajunya perahu yang hanya terdorong oleh sedikit
angin pada layar terkembang yang hanya kecil itu. Akan tetapi, begitu mendapat bantuan dua orang
dara perkasa itu, perahu kecil melaju lebih cepat dan empat buah perahu bajak yang lebih besar dengan
layar yang lebih lebar itu tertinggal. Mereka berteriak -teriak dan kini merekapun mengerah-kan
anak buah bajak untuk mendayung sehingga kembali jarak di antara mereka tidak begitu jauh.
Kalau pengejaran itu terjadi di darat, tentu Pek Lian dan Bwee Hong takkan merasa gentar. Mere-ka
berdua dapat melarikan diri lebih cepat, dan kalau perlu harus bertanding sekalipun, mereka ti-dak
takut menghadapi pengeroyokan duapuluh le-bih bajak -bajak ini. Akan tetapi, mereka berada di atas
perahu -perahu di tengah lautan, daerah yang asing bagi mereka dan kalau sampai mereka dapat
disusul, tentu keadaan mereka berbahaya sekali. Para bajak itu tentu saja lebih mahir menjalankan
perahu dan lebih mahir pula berkelahi dalam air kalau sampai perahu itu digulingkan. Maka Pek Lian
dan Bwee Hong lalu mati -matian mengerah-kan tenaga untuk mendayung perahu kecil itu.
"Cepatan ! Cepatan lagi ! Ah, untung ji -wi sungguh hebat dapat mendayung begini
kuat ...... ah, kita dapat meninggalkan mereka !" Bajak itu terengah-engah memuji karena memang dia
kagum sekali terhadap dua orang gadis ini.
Jilid XIII
SEMENTARA itu, langit makin gelap karena berkumpulnya awan -awan mendung dan tiba -tiba
perahu mereka terguncang keras dan ter-ayun tinggi, mengejutkan Pek Lian dan Bwee Hong. "Apa
yang terjadi ?" tanyanya kepada ba-jaik itu.
"Alih, sungguh nasib kita yang buruk. Agaknya sebentar lagi badai akan mengamuk dan ini tidak kalah
bahayanya dari pada pengejaran mereka itu ! Cepat bantu saya menurunkan layar, nona. Cepat
sebelum badai melanda kita !"
Karena maklum akari kemahiran bajak itu me-nangani perahu, Pek Lian dan Bwee Hong cepat
membantunya dengan membuta dan memang be-nar sekali, air laut bergelombang hebat dan angin
menderu kencang. Kalau layar masih terpasang, entah apa akan jadinya dengan perahu kecil itu !
Mereka bertiga kini mengemudikan perahu dan berusaha menguasainya dengan kekuatan dayung
mereka, agar perahu itu tetap berada di atas puncak ombak -ombak yang mengalun ganas. Empat
buah perahu bajak yang melakukan pengejaran ta-dipun tahu akan bahaya dan mereka sudah sejak
tadi putar haluan meninggalkan perahu kecil yang ditelan badai itu.
Semalam suntuk tiga orang dalam perahu kecil itu berjuang melawan badai lautan yang mengga-nas.
Demikian hebatnya hempasan badai sehingga tiang layarpun patah ! Kalau saja tidak ada Bwee Hong
yang cepat menangkis tiang itu dengan le-ngannya yang kecil dan berkulit halus, tentu tiang itu akan
menimpa kepala bajak itu.
"Krekkk!" Tiang sebesar paha itu patah ketika bertemu dengan lengan Bwee Hong sehingga ba-jak
laut itu menjadi semakin kagum. Mereka terus mempertahankan perahu mereka agar tidak sampai
terbalik sampai mereka hampir kehabisan tenaga dan napas. Mereka tidak tahu lagi di mana mereka
berada. Sekeliling mereka hanya ada air mengga-nas, bahkan di antara mereka nampak puncak -puncak
ombak dengan lidah -lidah yang terjulur dari sana -sini seolah -olah hendak menelan mereka.
Mereka tentu telah terseret jauh sekali.
Untung bagi mereka, pada keesokan harinya, bersama dengan munculnya matahari di ufuk timur,
badai mereda dan air laut menjadi tenang kembali. Mereka bertiga, di bawah pimpinan si anggauta
bajak yang lebih paham akan perahu, mulai beru-saha memperbaiki perahu sedapat mungkin. Untung
bahwa mereka berjuang dengan gigih sehingga da-yung -dayung tetap berada di tangan mereka, bahkan
gulungan layar dan tiang yang patah tidak sampai lenyap terbawa menanggapi omongan ini, diam
dunia-kangouw.blogspot.com
-diam mereka bersyukur bahwa mereka dapat lolos dari lubang jarum, lolos dari an-caman maut yang
mengerikan ditelan badai. Dan bagaimanapun juga, anggauta bajak ini sudah ber-jasa, karena tanpa
adanya orang ini, mereka ber-dua belum tentu akan mampu mempertahankan perahu kecil itu. Pek
Lian agak paham tentang perahu dan lautan, sedangkan Bwee Hong baru sa-ja belajar mengenal air
dan perahu setelah pergi bersamanya. Mereka berdua kini sibuk membersih-kan pakaian mereka
yang basah dan kotor.
Melihat betapa dua orang nona itu tidak me-nanggapi ucapannya, bajak itupun berdiam diri dan
melanjutkan pekerjaannya memperbaiki perahunya yang rusak diamuk badai. Dua orang gadis itu
saling pandang. Bajak laut ini bagaimanapun juga menarik hati mereka. Seorang laki -laki yang usianya
kurang lebih empatpuluh tahun, agak kurus dan kulit mukanya kehitaman karena terlalu ba-nyak
dibakar matahari. Yang menarik adalah sikap-nya yang sama sekali berbeda dengan penjahat pada
umumnya. Tidak kurang ajar pandang mata-nya, tidak kasar bicaranya dan tidak ugal -ugalan
sikapnya.
"Paman, sudah berapa lamakah engkau menjadi bajak laut ?" Akhirnya Pek Lian bertanya setelah
selesai membereskan pakaian dan rambutnya. Orang itu mengangkat mukanya memandang,
agaknya terkejut mendengar dirinya disebut paman.
"Sudah lama juga, nona. Belasan tahun sudah."
"Mengapa engkau menjadi bajak laut ? Dan engkau tidak seperti bajak laut yang kasar itu."
"Nona, tidak semua anak buah Lam-siauw-ong-ya berasal dari penjahat. Lam -siauw -ongya sen-diri
bukan berasal dari penjahat, bahkan masih ada darah bangsawan dalam tubuhnya. Kami menganggap
pembajakan di laut ini sebagai pekerjaan, bukan sebagai kejahatan. Kami tidak pernah mengganggu
para nelayan, baik di lautan maupun di pantai."
"Huh, membajak masih dikatakan bukan keja-hatan ? Lalu apa saja yang dinamakan kejahatan kalau
merampok barang orang dengan kekerasan tidak dianggap kejahatan?" Bwee Hong berkata dengan
suara mengejek.
Bajak itu menarik napas panjang. "Entahlah, nona, saya sendiripun tidak dapat menjawab per-tanyaan
itu. Akan tetapi, sebelum saya menjadi anggauta bajak dan mengabdi kepada Siauw -ong-ya, saya
pernah hidup sebagai anak keluarga petani. Saya melihat kejahatan -kejahatan yang lebih ga-nas dan
kejam dilakukan oleh para tuan tanah dan para pejabat terhadap keluarga petani miskin yang tidak
mempunyai tanah, yang hanya mengandalkan tenaga dan cucuran keringat mereka untuk dapat
makan setiap hari. Membajak memang merampas milik orang lain, akan tetapi setidaknya kami memberi
kesempatan yang sama kepada pemilik barang untuk mempertahankan barang -barangnya. Akan
tetpi, para tuan tanah dan pejabat di dusun -dusun itu seperti lintah yang menghisap darah para keluarga
petani, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada para petani untuk dapat memperjuangkan
hak dan nasibnya. Saya melihat mereka itu jauh lebih kejam dan jahat dari pada bajak!" Anggauta
bajak itu berhenti sebentar dan dua orang dara itu termenung karena merekapun pernah mendengar
tentang kesewenang -wenangan mereka yang meng-andalkan kekayaan atau kekuasaan mereka.
"Kemudian, dari dusun saya pernah pindah ke kota dan hidup sebagai buruh kasar. Dan di sana-pun
saya menyaksikan kekejaman -kekejaman yang luar biasa, dilakukan olth semua orang kepada orang
lain dalam memperebutkan uang dan kekuasaan. ji-wi lihiap, harap maafkan saya. Akan te-tapi
sesungguhnya, katakanlah bahwa pembajakan merupakan kejahatan, namun kejahatan yang sifatnya
terbuka, tidak seperti kejahatan orang-orang itu yang melakukan kejahatan secara gelap dan
terselubungi bahkan kadang-kadang kejahatan me-reka dilindungi oleh hukum."
Dua orang dara itu kembali saling pandang. Mereka mendengar akan kekejaman -kekejaman para
pembesar bahkan kekejaman yang dilakukan kaisar. Bukankah semua itupun merupakan keja-hatan,
bahkan amat besar, jauh lebih besar dari pada kejahatan para bajak laut ini yang hanya
mempergunakan kesempatan dan mengandalkan tenaga mereka untuk merampas barang orang, dan
kadang-kadang kalau pihak pemilik barang lebih kuat, mereka akan mati konyol? Kata-kata bajak
yang sederhana itu sama sekali bukan merupakan pembelaan diri seorang penjahat, bukan untuk
membenarkan perbuatannya, melainkan timbul karena kepahitan melihat 'kenyataan yang terjadi di
dalam dunia ramai yang sopan. Dan kepahitan-kepahitan macam ini sering kali mendorong orang
untuk menjadi penjahat secara berterang! Pek Lian teringat akan para pendekar yang berkumpul di
gunung -gunung dan lembah -lembah sungai. Bukankah mereka itu melakukan gerakan menen-tang
dunia-kangouw.blogspot.com
pemerintah karena kepahitan itu, dan bukan-kah merekapun dicap sebagai pemberontak -pemberontak,
yaitu golongan yang dianggap paling rendah dan paling berdosa, lebih rendah dari pada
perampok atau bajak ? Dan bukankah kalau perlu
p
para pendekar yang memberontak itupun akan me-lakukan perampokan -perampokan dan pembajakan
-pembajakan untuk menentang pemerintah? Sampai di sini jalan pikirannya, Pek Lian menjadi
bingung.
"Di manakah kita sekarang, paman ?" tanyanya dan suaranya kini lebih ramah, tidak seperti suara
orang terhadap musuh yang ditawan, melainkan suara orang terhadap teman seperjalanan, bahkan
teman senasib. Setelah mengalami ancaman badai seperti yang telah terjadi semalam, orang -orang
yang bersama-sama mengalaminya terdorong un-tuk menjadi lebih erat dan akrab.
Mendengar pertanyaan itu, si bajak laut agaknya baru sadar dan diapun memandang ke kanan
kiri sambil berkata, "Aih, kita sudah terseret jauh ke timur oleh badai semalam, nona. Dan kita harus
berhati -hati daerah ini agaknya telah dekat dengan" bajak laut itu berhenti bicara
dan mukanya berobah pucat sekali ketika tiba-tiba terdengar suara bising yang gemeresak disertai
suara melengking dan mengiang seperti suara suling yang ditiup secara aneh sekali, makin lama
makin nyaring.
Sikip bajak laut itu menjadi semakin aneh. Tu-buhnya menggigil dan matanya beringas, memandang
ke kanan kiri dengan sikap yang amat ketakutan. Melihat ini, tentu saja dua orang dara itu menjadi
terkejut dan khawatir juga.
"Paman, ada apakah?" Pek Lian bertanya.
"Nona cepat cepat belokkan arah pe rahu! Itulah yang kumaksudkan yang kutakuti suara itu
“Ah, daerah ini termasuk daerah Siluman Lautan! Itu adalah suara pintu masuk sarang mereka.
Pusaran Maut! Dalam jarak selemparan batu, tidak ada benda atau mahluk yang mampu terlepas dari
daya sedotnya.
Mari kita menghindar cepat, nona !"
Tentu saja Pek Lian tidaklah setakut orang itu. Bukan hanya karena ia lebih tabah dan sudah ter-lalu
sering menghadapi ancaman bahaya dengan mata terbuka, akan tetapi juga karena ia belum
mengenal tempat ini dan karenanya ia tidak begitu percaya akan keterangan orang itu. Akan tetapi
tiba-tiba ia dan Bwee Hong melihat di kejauhan ada kabut tebal membubung tinggi berbentuk tiang
layar yang luar biasa besarnya dan mengeluarkan suara gemuruh. Dua orang dara itu menjadi terkejut
dan gentar juga, mulai percaya akan keterangan bajak laut itu. Jangan -jangan keterangan itu tidak
bohong ! Mereka lalu cepat -cepat membantu un-tuk memutar haluan perahu mereka.
Bajak laut itu berhasil memperbaiki perahu dan memasang tiang layar darurat, lalu mereka memasang
layar sedapatnya. Layar itu tertiup angin dan perahupun meluncur menjauhi tempat yang berbahaya
itu sampai akhirnya kabut itu tidak nampak lagi dan suara gemuruhpun tidak lagi terdengar
oleh mereka.
Perahu mereka meluncur ke arah utara ketika mereka menghindarkan diri dari kabut mengerikan tadi
dan tiba -tiba dari jauh nampak sebuah perahu besar yang berlayar menuju ke selatan. Karena perahu
itu masih terlampau jauh untuk dapat dilihat dari atas geladak, bajak laut itu lalu memanjat ti-ang
layar dan melindungi kedua mata dari sinar matahari untuk mempelajari keadaan perahu dari jauh itu.
"Itu perahu asing dan membawa banyak pera-jurit asing!" akhirnya dia berkata kepada dua orang
pendekar wanita yang berada di atas geladak.
"Ah, apakah mereka itu pasukan Jepang, jago-an -jagoan samurai ?" tanya Pek Lian yang teri-ngat
akan pengalamannya bertemu dengan perahu Jepang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan, nona. Kalau tidak salah mereka itu tentulah orang -orang dari daerah utara, jauh di luar
tembok besar. Lebih baik kita menghindar saja, jangan sampai bertemu dengan mereka yang
sebentar lagi tentu akan berpapasan dengan perahu kita."
Akan tetapi, agaknya para penumpang perahu besar itu sudah melihat mereka dan memang benar,
perahu dari depan itu memotong jalan! Dan kini nampak ada beberapa orang yang berada di pun-cak
tiang layar mengamati perahu kecil yang ditum-pangi Pek Lian dan Bwee Hong. Tidak ada kesempatan
untuk menghindar lagi dan jelaslah bagi dua orang nona itu bahwa perahu besar dari depan itu
memang sengaja memotong jalan perahu kecil me-reka ! Dan bajak laut itu sibuk untuk berusaha
menghindarkan perahunya ditabrak perahu besar itu.
Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap dengan pedang di tangan, berdiri di geladak perahu kecil dan
memandang marah. Tiba -tiba terdengar te-riakan -teriakan dari perahu besar dan muncullah
beberapa orang yang segera meluncurkan anak pa-nah ke arah perahu kecil.
"Keparat! Mereka menyerang dengan anak pa-nah !" teriak Pek Lian dan bersama Bwee Hong ia
segera memutar pedang untuk meruntuhkan semua anak panah yang menyambar. Akan tetapi, sungguh
kasihan sekali nasib bajak laut itu. Sebatang anak panah menembus dadanya. Dia berteriak keras
dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu, tercebur ke dalam lautan.
"Manusia -manusia jahanam !" Bwee Hong juga memaki marah.
Kini perahu kecil itu sudah dekat sekali dan nampak orang -orang tinggi besar yang menuding-nuding
ke arah mereka, wajah mereka menyeringai dan pandang mata mereka kurang ajar. Terdengar pula
teriakan-teriakan mereka untuk menawan dua orang nona cantik itu hidup -hidup ! Bahkan dua orang
di antara mereka dengan tidak sabar telah meloncat turun ke perahu kecil. Tubuh me-reka yang besar
dan loncatan mereka yang kasar membuat perahu kecil hampir terguling, akan teta-pi dua batang
pedang berkelebat dan tubuh kedua orang kasar itu sudah terguling ke dalam lautan dengan mandi
darah. Pek Lian dan Bwee Hong sudah menjadi marah sekali karena mereka tadi diserang anak
panah yang mengakibatkan bajak laut itu tewas. Karena mereka maklum bahwa pe-rahu kecil mereka
bukan merupakan tempat yang tepat untuk berkelahi, Pek Lian berseru, "Enci Hong, kita naik dan
serbu !"
Dua orang dara perkasa itu lalu meloncat ke atas perahu besar dan kembali, seperti pernah me-reka
lakukan di perahu orang -orang Jepang, mere-ka mengamuk. Mereka segera dikeroyok oleh be-lasan
orang perajurit asing yang merasa terkejut karena sama sekali tidak mengira bahwa dua orang wanita
penumpang perahu kecil itu selain cantik jelita, juga memiliki kepandaian sedemikian hebat-nya. Dan
kini Pek Lian dan Bwee Hong sudah marah sekali. Pedang mereka berkelebatan dahsyat dan di
antara para pengeroyok sudah ada enam orang yang roboh terluka oleh sambaran pedang mereka.
Tiba -tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang laki -laki yang berpakaian pre-man,
tidak seperti para pengeroyok yang berpakai-an seragam. Dua orang ini mempunyai rambut, jenggot
dan kumis yang lebat namun berwarna agak keputih -putihan, dan muka mereka merah keka-nakkanakan.
Tubuh mereka tinggi besar akan tetapi mata mereka kecil. Begitu kedua orang ini
membentak, semua pengeroyok mundur dengan sikap hormat dan kini dua orang laki -laki tinggi
besar itulah yang menerjang dan menghadapi Pek Lian dan Bwee Hong. Mereka berdua tidak bersenjata,
akan tetapi dua pasang tangan telanjang itu berani menangkis pedang dan setiap kali tangan
mereka bertemu dengan pedang, terdengar suara nyaring dan pedang di tangan kedua orang dara itu
terpental seolah -olah bertemu dengan benda-benda keras yang amat kuat ! Tentu saja Pek Lian dan
Bwee Hong terkejut dan mereka mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan semua tenaga
mereka. Dan agaknya mereka berdua itu hanya lebih unggul dalam hal kecepatan saja, akan tetapi
kalah tenaga dan semua kecepatan mereka tertum-buk kepada kekebalan dua orang tinggi besar ini !
Bwee Hong dan Pek Lian terdesak hebat dan mereka terpisah. Pek Lian didesak sampai terpak-sa
menggunakan kecepatan gerakannya lari ke sa-na -sini dan 'mengelak dari pukulan -pukulan yang
amat kuat dari lawannya. Ia berloncatan dan masuk ke lorong-lorong bilik perahu besar itu, terus dikejar
dan didesak oleh lawannya. Ketika gadis ini meloncat lagi untuk menghindar dan hampir menabrak
pintu sebuah bilik, tiba-tiba terdengar su-ara seorang laki -laki menegur dari dalam bilik itu.
"Hei, siapa ribut -ribut di luar itu ? Pergi dan jangan ganggu aku! Aku tidak sudi dibujuk lagi!" Lalu
terdengar suara seperti pukulan dan suara orang itu tidak terdengar lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Lian tertegun dan matanya terbelalak, mu-kanya pucat sekali dan pada saat itu, pukulan lawannya
menyambar. Untung bahwa ia masih sempat membuang diri ke belakang sehingga ia
terhuyung dan hampir jatuh, akan tetapi selamat dari pukulan dahsyat yang datang pada saat ia
tertegun dan terkejut itu. Jantungnya masih ber-debar kencang, bukan karena ia hampir saja terke-na
hantaman lawan, melainkan karena suara itu ! Suara itu adalah suara ayahnya ! Tidak salah lagi! Ia
mengenal benar suara ayahnya ! Akan tetapi mana mungkin ? Ayahnya di perahu orang asing ini ?
"Wuuuttt krakkkk !" Pedangnya menyambar ke arah lawan dan ketika lawan mengelak, ia
melanjutkan pedang itu menyambar pintu sehingga pintu bilik itu roboh. Akan tetapi di dalam bilik
dari mana tadi terdengar suara ayahnya, tidak nampak seorangpun. Ia melihat pintu belakang dalam
bilik itu telah terbuka lebar.
Karena perhatiannya terpecah, tentu saja Pek Lian menjadi semakin terdesak. Kembali lawan yang
amat tangguh itu menerjang dengan tendang-an kakinya yang besar, kuat dan berat. Pek Lian
meloncat ke belakang dan hampir terjatuh oleh tambang yang melintang di belakangnya. Ketika ia
berdiri lagi, ternyata ia telah berada di tepi pe-rahu !
"Lian-moi, hati-hati!" Terdengar suara Bwee Hong. Nona yang memiliki ilmu lebih lihai dari pada Pek
Lian inipun terdesak, akan tetapi de-ngan kecepatan gerakan tubuhnya, Bwee Hong da-pat
berloncatan dan seperti mempermainkan lawan yang terlalu lamban untuk dapat mengikuti gerakgeriknya.
Betapapun juga, Bwee Hong juga mak-lum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan raksasa
berambut putih itu, maka ketika ia melihat Pek Lian terdesak hebat, ia cepat melompat dekat dan
pada saat lawan mereka menerjang lagi, melihat mereka telah tersudut di tepi perahu, Bwee Hong
berteriak nyaring dan mendorong tubuh Pek Lian keluar dari dalam perahu itu! Setelah Pek Lian
terjatuh ke dalam air di luar perahu, Bwee Hong sendiripun lalu meloncat keluar. Tubuh mereka
diterima oleh air bergelombang dan sebentar saja terseret jauh dari perahu.
Seorang ahli renang sekalipun takkan banyak dapat berdaya kalau melawan gelombang lautan, apa
lagi dua orang dara itu yang kepandaian re-nangnya hanya amat terbatas. Mereka berusaha untuk
melawan gelombang dan untuk tidak sampai ber-jauhan, akan tetapi ombak menyeret mereka dan
membuat mereka saling terpisah sampai jauh dan akhirnya Pek Lian tidak dapat melihat temannya itu
lagi. Karena merasa khawatir, juga lelah dan tidak melihat harapan untuk dapat menyelamatkan diri
dari ancaman lautan luas itu, akhirnya Pek Lian tidak sadarkan diri. Tubuhnya hanyut dan dipermainkan
air, dilemparkan tinggi -tinggi lalu dihempas-kan kembali, ditelan dan dimuntahkan kembali!
Telah banyak sekali terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang aneh dan luar biasa yang mengantar
manusia kepada kematiannya atau sebaliknya yang menghindarkan manusia dari pada ancaman
maut yang nampaknya sudah tak mungkin dapat dielak-kan lagi. Banyak sekali orang yang tewas
dalam keadaan yang tidak tersangka -sangka sama sekali, bahkan dalam keadaan jasmani yang
nampaknya segar-bugar dan sehat, banyak pula yang mati secara mendadak oleh kejadian -kejadian
yang aneh dalam kecelakaan -kecelakaan maupun bencana-bencana alam. Akan tetapi sebaliknya,
banyak pu-la orang yang terancam bahaya maut, yang nampak-nya sudah tidak mungkin dapat
dielakkan lagi, secara aneh pula terhindar dari kematian. Orang yang menderita sakit yang sudah
terlalu parah, da-pat saja sembuh secara aneh dan kebetulan, atau orang yang sudah dianggap tidak
ada harapan lagi untuk ditolong kemudian ternyata dapat terhindar dari maut hanya karena hal -hal
yang "kebetulan'' dan sederhana. Semua ini merupakan sesuatu yang mujijat, yang aneh dan yang
diliputi rahasia yang sudah terlalu sering diselidiki orang dan hendak ditembusnya.
Segala hal yang belum dimengerti selalu menim-bulkan berbagai pendapat, rekaan, dan dipandang
sebagai hal yang mujijat dan aneh. Padahal, segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini adalah
WAJAR, dan setiap peristiwa itu tentu ada yang menyebabkannya. Hidup dan mati merupakan
rangkaian yang tak terpisahkan, merupakan suatu pertumbuhan yang wajar. Kerusakan jasmani karena
usia tua yang berakhir dengan kematian adalah lumrah dan dapat dimengerti dengan adanya kemajuan
dalam ilmu tentang itu. Akan tetapi, karena manusia selalu dikuasai oleh pikiran yang menciptakan
"aku", maka si aku inilah yang mencari-cari ke mana dia akan pergi setelah jasmaninya
berhenti hidup, setelah tubuhnya mati. Dan ba-yangan bahwa "aku" akan hilang begitu saja membuatnya
merasa ngeri dan takut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau memang sudah tiba saatnya sang maut datang menjemputnya, walaupun kita bersembunyi di
dalam lubang semut, tetap saja nyawa kita akan direnggut. Sebaliknya kalau memang belum tiba
saatnya mati, ada saja yang menjadi penolong diri.
Karena ketidakpengertian tentang rahasia saat ke-matian, kita lalu dengan mudah saja memakai istilah
nasib dan takdir! Padahal, setiap peristiwa, juga kematian, tentu terjadi karena suatu sebab
tertentu. Dan sebab -sebab itu terkumpul karena ulah kita sendiri. Oleh karena itu, dari pada men-cari
-cari akal untuk mengungkapkan rahasia yang tidak mungkin dipecahkan selama kita masih hidup ini,
lebih bermanfaat kalau kita selagi hidup men-jaga diri, mengurangi hal -hal yang dapat menjadi
bertambah banyaknya sebab -sebab yang dapat mengakibatkan kematian.
Menurut perhitungan dan pendapat umum, orang yang dihanyutkan ombak di tengah lautan seperti
yang dialami oleh Pek Lian, tentu dianggap sudah tidak ada harapan lagi untuk selamat. Na-mun,
ternyata Pek Lian belum mati! Ketika dara perkasa ini siuman dan membuka matanya, ia mendapatkan
dirinya sudah berada di atas perahu. Se-orang nelayan tua dengan caping lebar, nampak
se-dang mendayung perahunya perlahan -lahan.
Pek Lian masih rebah akan tetapi matanya su-dah bergerak -gerak memandang ke sana -sini, alisnya
berkerut ketika ia mengumpulkan ingatan-nya.
"Ah, untung nona kuat sekali sehingga laut tidak mampu mengalahkamnu," kakek nelayan itu ber-kata
mengangguk-angguk, kagum melihat betapa wanita muda yang ditemukannya hanyut oleh om
bak dalam keadaan pingsan itu ternyata hanya rne-nelan sedikit saja air dan kini bahkan sudah siuman
kembali.
Kini Pek Lian sudah teringat sepenuhnya dan tiba-tiba ia bangkit duduk dan memandang ke kanan
kiri, mencari-cari. "Lopek telah menyela-matkan aku dari lautan ?"
Nelayan tua itu mengangguk. "Nona hanyut dalam keadaan pingsan. Tadinya dari jauh kusang-ka
seekor ikan mati. Ketika melihat pakaianmu, aku cepat mendekat dan untung saja engkau tidak dihanyutkan
menjauh dan dapat kuraih dan kutarik ke dalam perahu."
"Ah, terima kasih atas budi pertolonganmu, lopek. Akan tetapi apakah lopek tidak melihat sahabatku?"
"Sahabatmu ? Siapakah yang nona maksud-kan ?"
"Sahabatku, seorang gadis juga. Kami berdua terjatuh dari atas perahu! Apakah lopek tidak melihatnya
?"
Nelayan tua itu menggeleng kepalanya dan mukanya membayangkan rasa duka. "Hanyut oleh
gelombang seperti itu, nona, sukarlah bagi seorang manusia untuk dapat menyelamatkan diri. Nona
memiliki tubuh dan semangat yang kuat dan kebetulan sekali bertemu denganku, akan tetapi sahabatmu
itu ah, agaknya sukar untuk dapat di harapkan"
Pek Lian menutupi mukanya dengan kedua tangan. Matikah Bwee Hong ? Ia merasa berduka sekali.
Mencoba untuk menolong A -hai dan Seng Kun juga belum berhasil, kini malah kehilangan Bwee
Hong ! Betapa buruk nasib gadis cantik jelita itu. Tak terasa lagi, dari celah -celah jari tangannya
nampak air mata menetes -netes. Pek Lian adalah seorang dara yang sudah banyak di-gembleng
oleh kekerasan hidup dan sudah menga-lami banyak hal yang menyedihkan, akan tetapi mengingat
dan membayangkan betapa Bwee Hong tewas dicabik -cabik ikan hiu, ia tidak dapat mena-han
tangisnya lagi. Nelayan tua itu merasa kasih-an.
"Nona. mari kau ikut bersamaku ke daratan un-. tuk memulihkan kesehatanmu. Siapa tahu, secara
aneh pula sahabatmu itu juga dapat diselamatkan. Kekuasaan Thian berada di manapun juga, nona,
dan lautan inipun hanya sebagian kecil saja dari pada kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki,
mungkin saja sahabatmu itu masih hidup dan se-lamat."
Ucapan seorang yang percaya penuh akan ke-kuasaan Tuhan, ucapan sederhana namun dapat
menyegarkan perasaan Pek Lian, dapat menumbuh-kan tunas harapan di hatinya, dan sekaligus menyadarkannya
bahwa berduka saja tidak ada guna-nya sama sekali, bahkan hanya akan melemahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
dirinya lahir batin. Padahal, tugasnya masih banyak, masih bertumpuk. Bukan hanya mencoba untuk
menolong Seng Kun dan A-hai, akan tetapi juga terutama sekali mencari ayahnya ! Dan iapun teringat
akan suara di dalam perahu asing itu. Suara ayahnya! Maka iapun mengangguk dan menurut saja
ketika diajak kembali ke daratan oleh si nelayan tua.
Yang dimaksudkan daratan oleh nelayan tua itu ternyata bukanlah daratan besar, melainkan sebuah
pulau kecil yang dihuni oleh belasan orang keluarga saja, keluarga nelayan. Akan tetapi, di tempat sunyi
sederhana dan miskin ini nampak pula kenya-taan hidup bahwa kemiskinan lahiriah kadangkadang
menonjolkan kekayaan batiniah, sebalik-nya kekayaan lahiriah kadang -kadang mendatangkan
kemiskinan batiniah. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat sikap dan cara hidup orang -orang
kota besar dan orang -orang di dusun -dusun ter-pencil. Orang -orang kota sudah terbiasa hidup
mewah, hidup bersaing dan memperebutkan keka-yaan, bersaing dan bermusuhan, iri hati dan ketamakan,
membuat mereka hidup menyendiri dan tidak mengacuhkan orang lain. Sebaliknya, kehidupan
di dusun -dusun terpencil, di mana orang-orang-hidup sederhana membuat mereka juga berbatin
sederhana, tidak dijejali oleh banyak keingin-an sehingga rasa persaudaraan dan kegotongroyongan
menjadi tebal, lebih akrab dalam membagi suka dan duka di antara sesama manusia. Pek
Lian merasakan benar hal ini ketika para nelayan miskin di pulau itu menyambutnya dengan gembira,
dan ikut merasa bersyukur mendengar betapa gadis yang telah hanyut dipermainkan gelombang
lautan ini masih dapat tertolong dan selamat. Dalam ke-adaan sederhana dan seadanya itu mereka
lalu menyambut Pek Lian dengan perjamuan yang me-riah, walaupun hidangan yang diberikan
kepada gadis itu amatlah sederhana, terdiri dari masakan-masakan ikan laut belaka.
Para penghuni pulau itu bukan hanya gembira karena kedatangan seorang nona tamu, melainkan
terutama sekali melihat kembalinya kakek nelayan yang dianggap sebagai orang tertua di pulau itu
dan disuka oleh semua anggauta keluarga nelayan. Pada waktu itu, para nelayan tidak ada yang
berani keluar mencari ikan karena mereka tahu bahwa ba-nyak bajak laut berkeliaran berhubung
dengan pesta besar yang diadakan tiap tiga tahun sekali oleh apa yang mereka kenal sebagai Istana
Laut. Akan tetapi, kakek nelayan itu berlayar seorang diri dan sudah tiga hari belum pulang, membuat
mereka merasa khawatir sekali dan untuk menyusul dan mencari, mereka tidak berani. Kini, kakek itu
pulang dalam keadaan selamat, bahkan telah me-nyelamatkan seorang gadis cantik yang hanyut
dalam gelombang lautan.
Pek Lian mendengarkan mereka bercakap-ca-kap dan diam -diam ia mengambil keputusan untuk
mengunjungi Istana Laut itu. Ia tidak dapat men-cari keterangan tentang nasib Bwee Hong, akan
tetapi kedukaan ini tidak menghentikan niatnya untuk mencoba menolong A-hai dan Seng Kun yang ia
duga tentu oleh kedua orang Sam -ok di-bawa ke Istana Laut di mana tinggal Rajawali Lautan sebagai
pucuk pimpinan para bajak.
Karena maklum bahwa gadis itu baru saja lolos dari cengkeraman maut dan tubuhnya masih lemah,
para nelayan tidak terlalu lama membiarkannya bergadang dan nona itu memperoleh sebuah kamar
dalam rumah sederhana kakek nelayan. Ia dipersi-lahkan tidur. Akan tetapi, Pek Lian tidak dapat tidur
pulas. Ia rebah di pembaringannya dengan gelisah, pikirannya kacau karena ia teringat kepada
ayahnya yang tak diketahui di mana adanya dan yang amat membingungkan hatinya adalah ketika ia
teringat suara ayahnya di atas perahu asing itu. Selain teringat ayahnya, juga teringat kepada A-hai
dan Seng Kun yang juga menjadi tawanan pen-jahat, dan Bwee Hong yang membuatnya amat
berduka karena menduga bahwa sahabatnya itu tentu telah tewas, tenggelam atau dimakan ikan.
Hatinya yang gelisah dan berduka membuat Pek Lian tidak dapat memejamkan matanya, makin
keras ia berusaha untuk tidur, makin sulitlah. A-khirnya iapun bangkit dari pembaringan, turun dan
keluar dari dalam kamar yang sederhana itu, terus keluar dari pondok kecil menuju ke pantai laut yang
mengelilingi pulau kecil itu. Bulan muda yang muncul menerangi pulau dan mendatangkan cahaya
remang -remang yang indah. Ketika ia se-dang asyik berjalan -jalan di atas pasir yang lunak basah,
tiba-tiba ia terkejut melihat seorang manu-sia berpakaian serba hitam duduk bersila di atas gundukan
pasir. Sinar bulan yang tidak dihalangi awan itu membuat jubah yang juga hitam warna-nya itu
mengkilat seperti dilapisi perak. Seketika Pek Lian merasa kedua kakinya seperti lumpuh, jantungnya
berdebar kencang dan semangatnya terbang. Orang itu adalah Si Raja Kelelawar! I-ngin ia melarikan
diri, akan tetapi kedua kakinya mogok. Apa lagi ketika orang itu menoleh, meman-dang kepadanya
sambil menyeringai, matanya yang bulat tajam dan mengeluarkan sinar yang dingin dan aneh sekali
itu seolah -olah mempunyai kekuatan untuk mencengkeram hatinya. Hampir saja Pek Lian jatuh
pingsan saking ngeri dan ta-kutnya. Belum pernah ia merasa takut dan ngeri seperti pada saat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebetulnya, dara perkasa ini tidak takut mati. Akan tetapi, tokoh yang menjadi raja -di -raja sekalian
kaum sesat ini sungguh membuat ia merasa ngeri.
"Ke sinilah engkau, heh budak kecil!" Terde-ngar suara orang berpakaian hitam itu, suaranya
berdesah seperti desir angin laut, dingin dan me-nerbangkan butiran pasir lembut. Hati Pek Lian
menjadi semakin gentar. Kekerasan hatinya bermaksud untuk membangkang, namun sungguh aneh.
Di luar kehendaknya, kedua kakinya bergerak dan iapun mendekat, menghampiri iblis itu. Ia tidak tahu
bahwa ini juga merupakan satu di antara il-mu kesaktian si iblis, yaitu di dalam pandang mata dan
suaranya terkandung kekuatan khikang yang dapat mempengaruhi semangat orang lain.
"Cepat!!" Bentakan ini seperti mempunyai daya tarik yang amat kuat sehingga Pek Lian merasa
seperti ditarik ke depan atau didorong dari bela-kang, membuat ia meloncat ke depan menghampiri
orang itu, dan berdiri berhadapan dengan orang itu, mukanya agak pucat dan jantungnya berdebar
penuh rasa ngeri dan takut.
"Kenapa takut ? Saat ini aku sedang tidak mem-punyai minat terhadap wanita. Aku hanya ingin
bertanya kepadamu. Kenapa engkau sampai di tempat ini dan di mana teman -temanmu itu ? Ke
mana perginya kakek tua murid Tabib Sakti yang menolongmu itu ? Hayo jawab sejujurnya ! Kalau
tidak kaujawab, akan kutelanjangi kau di sini dan kukubur hidup -hidup di pasir ini!"
Pek Lian mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan perasaan hatinya, namun iblis itu
memiliki wibawa yang sedemikian kuatnya sehing-ga ia tetap saja merasa betapa tubuhnya gemetar
dicekam rasa ngeri dan takut. Ia tahu bahwa iblis ini dapat melakukan hal -hal yang tidak lumrah dan
yang kejam karena pembawaannya yang tidak seperti manusia biasa, seperti pembawaan yang dimiliki
oleh orang gila. Ketika ia menjawab, suara-nya juga tergagap -gagap dan Pek Lian dapat mendengar
sendiri betapa suaranya gemetar ketakutan.
"Saya ...... aku ...... aku ingin mencari kawan-kawanku. Mereka dibawa oleh Si Buaya Sakti dan
Harimau Gunung ke tempat Si Rajawali Lautan.
Tentang kakek yang membantuku dahulu itu ...... aku tidak tahu ke mana perginya. Dia bersama ketua
muda Lembah Yang -ce itu telah pergi berpisah dengan kami "
"Hemm, sungguh berani engkau, pergi sendirian ke tempat Rajawali Lautan Timur ! Tapi aku senang
melihat seorang gadis muda yang berani sepertimu ini. Tidak percuma ayahmu mempunyai anak
seper-ti engkau. Eh, bagaimana dengan ayahmu ? Bukan-kah engkau sedang mencarinya ? Sudah
dapat kau-temukan ?"
Pek Lian tertegun. Sungguh iblis yang luar biasa, yang agaknya mengetahui segala -galanya !
Hatinya menjadi semakin gelisah. Jangan -jangan ayahnya terjatuh ke tangan iblis ini ? Begitu membayangkan
bahwa ayahnya terjatuh ke tangan iblis ini, sungguh aneh, semua rasa takut lenyap dari
hatinya dan ia mulai dapat memandang iblis itu dengan berani, dan tubuhnya tidak lagi gemetar. Demi
ayahnya, ia sanggup menghadapi dan me-nentang apapun juga, kalau perlu iblis inipun akan
ditentangnya mati-matian. Ia sudah mengepal tinjunya. Akan tetapi iblis itu seakan -akan dapat
membaca pikirannya.
"Jangan mengira yang bukan -bukan. Tidak ada persoalan antara ayahmu dan aku. Aku belum
pernah bertemu dengan dia, hanya baru mendengar namanya saja. Nah, pergilah! Pakailah perahuku
untuk melanjutkan usahamu, aku sendiri akan ber-jalan kaki saja!"
Iblis itu lalu bangkit dari duduknya. Badannya jangkung besar dan begitu kedua kakinya bergerak,
tubuhnya berkelebat seperti terbang saja. Tubuh itu meluncur ke arah laut tanpa menengok lagi. Pek
Lian memandang dengan bengong dan mata-nya terbelalak ketika ia melihat betapa iblis itu te-rus
berlari ke arah laut dan ketika telah mencapai air laut, iblis itu masih terus berlari -lari di atas air laut,
menempuh gelombang ! Di bawah kedua sepatunya terdapat sepotong bambu kurang lebih semeter
panjangnya. Kini iblis itu mengembangkan kedua lengannya dan jubah panjangnya menjadi seperti
layar terkembang, menggembung dan tubuh-nya didorong oleh angin, meluncur secepat perahu
membalap menuju ke tengah lautan!
Pek Lian baru menarik napas panjang setelah bayangan hitam itu lenyap. Ia menggosok mata
dengan ujung lengan bajunya, merasa seperti ba-ngun dari mimpi buruk. Matanya dikejap -kejap-kan,
akan tetapi bayangan hitam itu telah lenyap. Sunyi sekali di situ. Hanya nampak sebuah perahu kecil
dunia-kangouw.blogspot.com
tergolek di atas pasir, tidak jauh dari situ dan ini menjadi bukti bahwa ia tidak mimpi, bahwa memang
benar ia telah bertemu dengan Raja Ke-lelawar dan bahwa iblis itu telah meninggalkan perahunya,
bahkan memberikan kepadanya. Pek Lian menghampiri perahu itu dan memeriksanya. Sebuah
perahu kecil yang baik sekali, buatannya kuat dan bentuknya memungkinkan perahu itu da-pat
meluncur cepat. Juga perahu kecil ini diper-lengkapi dengan dayung, layar dan juga jangkar. Hatinya
menjadi girang sekali. Ia tidak tahu meng-apa sikap Raja Kelelawar terhadap dirinya menjadi begitu
baik, bukan saja tidak mengganggunya, bahkan meninggalkan dan memberikan sebuah pe-rahu yang
baik kepadanya dan menganjurkannya untuk mencari ayahnya. Dan ia akan mencari ayah-nya besok!
Pada keesokan harinya, pagi -pagi sekali ia me-ninggalkan pulau para nelayan itu setelah mengucapkan
banyak terima kasih kepada nelayan tua yang telah menyelamatkannya. Ia menolak ketika
para nelayan yang hidup sederhana dan berwatak jujur itu hendak mengantarnya. Ia bertekad un-tuk
mencari sendiri ayahnya. Setelah perahunya meninggalkan pulau itu, ia memasang layar dan
mengenangkan semua yang telah dialaminya.
Ia masih bingung mengenangkan suara ayahnya yang didengarnya di dalam perahu para perajurit
asing. Benarkah ayahnya berada di dalam perahu itu ? Kalau benar demikian, tentu amat sukar ba
ginya untuk menyelamatkan ayahnya. Raksasa-raksasa berambut putih yang berada di atas perahu
itu sungguh lihai bukan main. Selain itu, iapun tidak tahu ke mana ia akan dapat menyusul perahu
besar yang disangkanya membawa ayahnya itu. Juga ia merasa curiga kepada Si Raja Kelelawar.
Iblis ini menyebut -nyebut ayahnya. Apakah hu-bungannya ? Jangan -jangan iblis yang luar biasa
lihainya dan mungkin saja melakukan segala macam perbuatan yang aneh -aneh itu benar -benar
telah menguasai ayahnya atau setidaknya tahu di ma-na ayalmya berada. Wah, kalau benar demikian
dan ia harus berhadapan dengan iblis itu, makin kecil kemungkinannya untuk dapat menyelamatkan
ayahnya.
Mengingat akan semua kesukaran ini, Pek Lian termenung dan semangatnya menurun. Hampir ia
menangis karena ia tidak tahu ke mana ia harus pergi, ke mana ia harus mencari dan di sekeliling-nya
hanya nampak air kebiruan yang demikian lu-asnya. Akan tetapi dara pendekar ini mengepal tinjunya
dan mengeraskan hatinya. Tidak, ia tidak boleh menangis! Ia tidak boleh patah semangat! Ia harus
berbakti kepada ayahnya. Sampai mati sekalipun ia tak boleh undur selangkah, harus me-lanjutkan
usahanya mencari dan menyelamatkan ayahnya.
Akan tetapi, karena ia tidak tahu ke mana harus menuju, perahu layarnya itu meluncur ke depan, ke
arah matahari terbit tanpa tujuan tertentu. Ka-dang -kadang ia membelok ke utara dan mencari-cari,
namun sehari penuh ia tidak pernah melihat adanya perahu besar yang diperkirakan membawa
ayahnya sebagai tawanan itu. Yang dijumpainya hanya perahu -perahu nelayan, itu pun jarang sekali.
Akhirnya, matahari condong ke barat dan malam menjelang tiba.
Untung bagi Pek Lian malam itu bulan purna-ma. Ia tidak perlu menyalakan lampu perahunya. Lebih
aman tidak menggunakan lampu agar tidak mudah nampak oleh perahu lain. Tiba -tiba ia me-lihat
titik-titik terang di kejauhan. Hampir ia bersorak. Biarpun titik -titik terang itu sama sekali tidak
menjamin bahwa ia akan menemukan apa yang dicarinya, akan tetapi setidaknya ada harap-an dan
perahunya mempunyai tujuan. Iapun me-ngemudikan perahunya yang didorong angin itu menuju ke
cahaya api di depan itu. Lampu itu ke-lihatan dekat saja, akan tetapi setelah ditempuh, ternyata bukan
main jauhnya. Sampai hampir se-tengah malam, baru ia dapat mendekat dan kini nampak bahwa
banyak sekali lampu bernyala me-menuhi sebuah pulau kecil. Akan tetapi ketika perahu makin
mendekat, ribuan lampu itu makin
berkurang, lenyap dan yang nampak hanya ting-gal sebuah lampu yang tinggi dan terang, yang
terdapat di tengah -tengah pulau. Tadinya Pek Lian merasa heran. Akan tetapi setelah perahunya
dekat dengan pulau itu, mengertilah ia mengapa lampu -lampu itu lenyap. Kiranya pulau itu tepinya
tidak landai, melainkan merupakan tebing yang curam seperti dinding tembok yang amat tinggi. Tentu
saja ketika perahunya masih jauh dari pulau itu, ia dapat melihat semua lampu yang berada di atas
pulau, akan tetapi setelah dekat, lampu -lam-pu itu terhalang oleh tebing yang tinggi, kecuali sebuah
lampu besar yang agaknya berada di tempat paling tinggi di tengah pulau itu.
Melihat pulau yang tebingnya tinggi itu, Pek Lian menjadi bingung. Bagaimana mungkin men-darat
dan memasuki pulau? Tebing itu amat cu-ram, sedikitnya ada limapuluh meter tingginya. Hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
burung bersayap sajalah yang kiranya akan dapat mendarat ke pulau itu. Pek Lian mengeli-lingi pulau
dengan perahunya, menggulung layar dan mendayung dengan perlahan, mencari -cari jalan masuk
atau tempat mendarat yang tepat, atau hendak melihat di mana para penghuni pulau men-daratkan
perahu mereka. Terdengar suara orang-orang bersorak -sorai di pulau itu, terdengar dari atas
dalangnya suara sorakan. Agaknya para peng-huni pulau itu sedang berpesta -pora atau bersu-ka ria.
Ketika perahu Pek Lian tiba di bagian timur pulau dan dara ini sedang mencari -cari tempat
pendaratan, tiba -tiba ia melihat berkelap -kelip-nya banyak lampu yang datang dari arah laut me-nuju
ke pulau itu. Ia cepat mendayung perahunya, bersembunyi di balik batu karang menonjol dan
mengintai. Beberapa buah perahu datang mende-kati pulau. Karena tidak mengenal tempat apa
adanya pulau ini dan siapa pula orang -orang da-lam perahu itu, Pek Lian merasa lebih aman kalau
menyembunyikan diri lebih dulu. Kiranya perahu-perahu itupun dihias dengan meriah, digantungi
lampu teng warna -warni, suasana pesta nampak di perahu -perahu itu.
Pek Lian mengintai dengan penuh perhatian dan karena perahu-perahu itu mempunyai banyak lampu
yang cukup terang, maka dia dapat melihat kesibukan-kesibukan di situ. Di atas perahu paling depan
nampak berdiri seorang laki -laki bertubuh kurus dengan kumis tikus, pakaiannya mewah seperti
seorang pembesar kerajaan saja. Terdengar orang meniup terompet tanduk dan pe-rahu -perahu itu
merapat ke tebing. Ketika Pek Lian memandang ke arah tempat itu, nampaklah olehnya sebuah
lubang besar di tebing itu, persis di atas permukaan laut, seperti mulut raksasa. Di dalam lubang itu
berserakan batu -batu besar ke-cil dan di sela -selanya mengalir air bening ke laut. Itu adalah sebuah
muara sungai bawah tanah yang menembus ke tebing itu dan ternyata muara inilah yang agaknya
menjadi pintu menuju ke pulau! Satu -satunya pintu yang aneh sekali.
Para penghuni perahu berlompatan memasuki lubang. Diam-diam Pek Lian mendayung perahu-nya
sambil bersembunyi di balik batu karang dan kini ia memandang penuh perhatian. Setelah dekat, baru
ia melihat bahwa di mulut lubang terowongan itu terdapat ukiran huruf -huruf di tebing yang licin
mengkilap. Jantung gadis itu berdebar tegang ketika ia membaca tulisan huruf -huruf besar itu. Hai
Ong Kong Hu (Istana Raja Lautan)! Kiranya di sinilah tempat tinggal Si Rajawali Lautan Timur, datuk
atau raja para bajak itu! Akan tetapi meng-apa tidak ada penjagaan sama sekali ? Apakah se-mua
sedang berpesta -pora di pulau itu seperti yang dapat didengarnya dari luar pulau ?
Pek Lian menanti sampai semua orang dalam perahu -perahu itu memasuki lubang dan mereka
meninggalkan perahu -perahu mereka yang mele-pas jangkar di dekat tebing. Perahu -perahu itu
bergoyang -goyang akan tetapi tidak sampai mem-bentur tebing, tertahan oleh tali -tali kuat yang
dihubungkan dengan jangkar yang dilepas di dasar laut. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada lagi
orang yang akan dapat melihatnya, Pek Lian lalu menambatkan perahunya pada batu karang di pinggir
tebing yang terlindung, kemudian berindap-indap dia berloncatan dari batu karang lain
menghampiri lubang. Dengan hati-hati iapun mema-suki terowongan itu. Dengan penuh
kewaspadaan, ia berloncatan ke atas batu -batu dan ternyata terowongan itu berbelok -belok
mendaki. Ia terus mengikuti terowongan itu dan akhirnya sampailah ia ke mulut terowongan di atas
pulau. Terowongan itu tiba di tepi sebuah telaga kecil dan agaknya terowongan itu merupakan jalan
air untuk pembu-angan air dari telaga.
Dengan berindap -indap, Pek Lian mengintai keluar dari lubang yang merupakan mulut tero-woagan
itu. Ia melihat bahwa di mulut terowong-an itu terdapat sepuluh lebih penjaga. Akan tetapi, seperti
semua orang yang berada di pulau itu, para penjaga inipun asyik bersorak -sorak dan menonton
perlumbaan yang diadakan di atas telaga, menjagoi sampan yang dikemudikan oleh kawan -kawan
mereka. Ternyata di atas telaga itu diadakan per-lumbaan perahu sampan yang luar biasa ramainya.
Semua orang menonton, di tepi telaga penuh orang dan yang berada di belakang mencari tempat
yang agak tinggi untuk dapat menyaksikan perlumbaan perahu itu. Para penjaga ini yang berada di
mulut terowongan, mendapatkan tempat yang tinggi se-hingga mereka dapat menyaksikan
perlumbaan itu dengan jelas, walaupun dari tempat yang agak jauh.
Agaknya seluruh penghuni pulau itu dan juga semua penjaga dan para tamu, berkumpul di tepi telaga
itu. Karena keadaan yang berjejal -jejal ini,
laki -laki dan wanita, walaupun jauh lebih banyak prianya ketimbang wanitanya, maka kehadiran Pek
Lian tidak begitu menarik perhatian. Apa lagi waktu itu masih malam dan mulut terowongan itu masih
dunia-kangouw.blogspot.com
gelap, demikian pula tempat di mana semua orang menonton itu. Hanya di tepi telaga terdapat
penerangan yang beraneka warna, dan juga pada sampan -sampan yang melakukan perlumbaan itu
terdapat lampu -lampu yang mengenakan kap de-ngan warna dan tulisan tertentu sehingga mereka
itu dapat dikenal dari jauh oleh teman -teman me-reka yang menjagoi mereka.
Pertempuran adu kepandaian antara tiga orang raja lautan yang diadakan tiap tiga tahun sekali, selalu
diawali dengan tontonan yang amat mena-rik ini, yaitu lumba perahu. Perlumbaan ini diikuti oleh
semua perkumpulan bajak laut yang tergabung di bawah bendera tokoh yang dianggap sebagai Raja
Lautan dan yang berhak mendiami Istana Ra-ja Lautan selama tiga tahun. Pada saat itu, yang
menjadi Raja Lautan adalah Rajawali Lautan Ti-mur. Perkumpulan -perkumpulan ini adalah anak
buah Lain -siauw -ong si Raja Muda Selatan, ke-mudian Petani Lautan, dan beberapa perkumpulan
kecil lainnya. Akan tetapi tentu saja hanya para anak buah tiga perkumpulan di bawah tiga orang
datuk itu saja yang termasuk golongan kuat, yaitu anak buah Rajawali Lautan Timur, Raja Muda Selatan,
dan Petani Lautan. Tiga orang ini sejak bertahun-tahun telah menjadi saingan -saingan yang
paling keras, sedangkan para pimpinan perkumpulan-perkumpulan kecil lainnya boleh dibilang tidak
masuk hitungan. Mereka yang kecil ini boleh dibilang hanya bertugas meramaikan pesta perte-muan
itu saja, walaupun mereka juga berhak untuk mengikuti perlumbaan, bahkan mencoba kepandai-an
mereka untuk dapat terpilih sebagai Raja Laut-an yang baru!
Perahu-perahu yang ikut dalam perlumbaan itu adalah sampan -sampan kecil yang bentuknya
runcing, ditumpangi tiga orang. Selain ada lampu warna -warni, juga setiap perahu dihias dan dicat,
diberi bendera dari perkumpulan masing -masing yang berkibar di kepala perahu. Namanya saja
perlumbaan dan perahu -perahu itu menang ber-lumba cepat mencapai garis yang telah ditentukan di
mana dipasang tambang dengan pita berkem-bang. Siapa yang lebih dulu melewati tambang inilah
yang dianggap juara.
Namanya saja perlumbaan adu cepat, akan te-tapi karena yang melakukan perlumbaan adalah para
bajak perompak, maka perlombaan itupun bersifat keras, sesuai dengan watak mereka masingmasing.
Perlumbaan itu tanpa memakai peraturan, pendeknya siapa mencapai dan melewati tambang
sebagai garis terakhir, dialah yang menang. Tidak ada larangan apapun dalam perlumbaan ini. Karena
tidak ada aturan ini, dan tidak ada larangan sama sekali, maka merekapun berusaha untuk
mencapai kemenangan dengan segala macam cara mereka sendiri. Terjadilah pukul-memukul dan
usaha me-nenggelamkan perahu lawan ! Saling sodok, saling kemplang dengan dayung. Pendeknya,
mereka itu saling menghalangi lawan agar jangan sampai mencapai garis finish dan tentu saja usaha
ini dila-kukan dengan kekerasan, maka terjadilah perkela-hian sengit di antara mereka sebelum ada
yang berhasil mencapai garis kemenangan. Hanya ada batasnya dan hal ini sudah diumumkan sebelumnya,
yaitu bahwa mereka, sesuai pula de-ngan kedudukan mereka sebagai bajak -bajak laut,
mereka tidak diperbolehkan menggunakan alat senjata lain kecuali dayung dan mereka juga tidak
boleh meninggalkan perahu masing-masing.
Tentu saja pertempuran yang kacau -balau dan acak -acakan itu amat ramainya. Banyak sudah di
antara para anggauta bajak yang terlempar ke luar dari perahunya, tercebur ke dalam air telaga
dengan kepala benjol atau bocor terkena hantaman dayung lawan. Akan tetapi mereka adalah orangorang
kasar yang sudah biasa dengan kekerasan se-hingga mereka tidak menjadi marah, bahkan
terta-wa -tawa dalam suasana pesta dan mereka itu rata-rata adalah perenang -perenang yang
pandai maka masing -masing dapat menyelamatkan dirinya sen-diri. Ada pula perahu yang sempat
digulingkan lawan, dan tentu saja tiga orang penumpangnya.
terguling semua dan tercebur ke dalam air, bere-nang ke sana -sini berusaha membalikkan perahu
sendiri atau kalau tidak berhasil, merekapun lalu menggulingkan perahu lawan mana yang terdekat.
Suasana menjadi ramai, hiruk -pikuk dan lucu. Para penonton bersorak -sorai gembira. Akan tetapi
kegembiraan yang kasar, dan tidak jarang terjadi perkelahian sendiri di antara penonton, bukan perkelahian
antara musuh melainkan perkelahian se-sama rekan, menggunakan tangan kosong dan sudah
puas kalau lawan terpelanting, tidak ada yang bermaksud membunuh rekan. Taruhanpun terjadilah
dan para petaruh ini yang bersorak -sorak kalau melihat perahu yang mereka jagoi itu dapat maju
melampaui lainnya.
Pek Lian menengok ke sana -sini, mencari -cari dengan penuh perhatian. Ia tidak melihat adanya
orang -orang berperahu yang dilihatnya berlon-catan memasuki terowongan mendahuluinya tadi. Dan
iapun tidak dapat menduga di mana adanya Bu Seng Kun atau juga A-hai kalau memang me-reka
berdua itu dibawa ke tempat ini oleh para penawan mereka. Pek Lian sendiri sampai menjadi bingung
dunia-kangouw.blogspot.com
memikirkan nasibnya. Mula -mula ia ber-sama Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong mencari ayahnya.
Ayahnya belum bisa didapatkan, Bu Seng Kun dan juga A -hai malah lenyap ditawan orang. Dan
akhirnya, mencari ayahnya dan dua orang pemuda itu belum berhasil, ia sudah harus berpisah lagi
dengan Bwee Hong yang tidak dike-tahui bagaimana nasibnya itu.
Perlumbaan perahu itu terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah para anggauta bajak
tingkat rendah yang tadi telah diperlihatkan kenekatan masing -masing. Adapun golongan ke dua
yang diperlumbakan adalah golongan thouw-bak (kepala regu) dari perkumpulan masing -masing
yang akan diadakan kemudian. Sementara itu, ke-but -kebutan sambil berkelahi kacau -balau itu
masih terus berlangsung dengan ramai dan sengit-nya di tengah telaga.
Pek Lian bersembunyi di belakang setumpuk jerami kering sambil melihat suasana di sekeliling
tempat itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia telah memasuki sarang srigala buas di mana terdapat
banyak sekali orang yang memiliki kepandaian tinggi. Juga ia tahu bahwa orang -orang di tempat, ini
berwatak seperti binatang, kejam dan buas. Ka-lau sampai ia tertangkap, tentu ia akan mengalami
nasib yang amat mengerikan. Akan tetapi ia telah berada di situ, tidak mungkin lagi ia mengundurkan
diri karena kini ia melihat betapa mulut terowong-an dari mana ia tadi lewat, telah mulai dijaga dan
diperhatikan kembali.
Perlumbaan masih terjadi dengan amat ramai-nya. Sampan dari anak buah Si Raja Muda Selatan
agaknya seperti memimpin perlumbaan, dikejar oleh sampan pihak tuan rumah, yaitu anak buah
Rajawali Lautan Timur. Sedangkan kelompok perkum-pulan lain mengejar sambil gebug -gebugan.
Dua buah perahu, yang lampunya merah dan hijau, saling tabrak dan perahu merah terguling! Tiga
orang penumpangnya terpelanting, disoraki lawan. Akan tetapi, tiga orang itu berhasil memegang
ujung perahu lawan yang berlampu hijau dan mendorong-nya terbalik pula. Tentu saja tiga orang
penum-pangnya juga terpelanting dan tercebur. Dan enam orang itu kini saling pukul menggunakan
dayung, berkelahi di air. Hiruk -pikuk suaranya ! Agaknya, perlumbaan ini belum tentu dapat selesai
sampai fajar nanti. Perahu -perahu yang sudah maju se-lalu terhalang oleh lawan sehingga segi
lumbanya sendiri hanya sedikit sekali, akan tetapi perkelahi-annya yang banyak. Para penonton
makin keran-jingan. Makin banyak darah muncrat, makin banyak orang celaka, makin banyak perahu
terguling, ma-kin penuh gairah para penonton, makin gembira hati mereka karena dalam keadaan
seperti itu me-reka ingin melihat orang menderita sehebat-hebatnya. Memang demikianlah watak
orang. Suka sekali melihat orang lain menderita, bahkan merasa lucu kalau melihat orang lain
menderita dan ke-sakitan. Sebaliknya, melihat orang menikmati ke-senangan, timbullah iri hati.
Manusia pada umumnya memiliki watak welas asih (belas kasihan), penuh pertimbangan, suka akan
keadilan, menentang kelaliman. Akan tetapi di samping watak -watak yang baik ini, terdapat pula
watak yang sadis, yang senang melihat penderitaan orang lain dan merasa iri hati kalau melihat orang
lain bersuka ria. Sifat -sifat yang bertentangan ini disebabkan oleh konflik batin yang ditimbulkan oleh
pikiran yang menciptakan si aku yang selalu ingin senang dan selalu mencari dan mengejar kesenangan,
atau keadaan lain yang lebih menye-nangkan dari pada keadaan sekarang yang telah
dirasakan dan dimilikinya.
Watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan -ke-biasaan. Dan kebiasaan lahir dari ketidakwaspa-daan.
Kebiasaan membuat seseorang menjadi seperti robot, yang bergerak karena kebiasaan itu sendiri,
dan kebiasaan dihidupkan oleh keinginan untuk senang. Kebiasaan ini dapat dihentikan seketika
dengan kewaspadaan. Waspada meman-dang kenyataan, mengerti dan sadar akan kekeliru-an
sendiri dan kewaspadaan ini, kesadaran ini ber-arti tindakan seketika pula, yang menghentikan
kebiasaan itu. Tanpa ini, maka pengertian itu palsu adanya, bukan kewaspadaan, melainkan
permainan si aku yang enggan melepaskan kese-nangan sehingga dalam melihat kesalahan atau
kekeliruan sendiri, si aku lalu mencari seribu satu macam alasan untuk membela diri dan mempertahankan
kebiasaan itu! Semua ini dapat kita lihat dengan jelas apa bila kita mau membuka mata dan
mengamati diri sendiri lahir batin.
Ho Pek Lian melihat betapa semua orang seperti tenggelam ke dalam tontonan yang makin ramai itu,
maka iapun berindap -indap meninggalkan tepi telaga menuju ke rumah -rumah yang bertebaran di
sekitar telaga kecil itu. Ia memasuki sebuah rumah dengan hati -hati dan tepat seperti yang
diduganya, rumah itu kosong karena semua peng-huninya beramai -ramai nonton perlombaan perahu.
Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar-debar tegang. Ia merasa seperti seorang pencuri
memasuki rumah orang yang kosong dan merasa khawatir kalau -kalau penghuni rumah itu akan
masuk sewaktu -waktu dan memergokinya di da-lam rumah itu. Dimasukinya sebuah kamar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan girang akhirnya ia menemukan pakaian wanita yang cocok untuknya, pakaian sederhana dan
kasar dari keluarga bajak. Setelah merasa bahwa dengan dandanan itu ia tidak akan berbeda banyak
dengan para wanita yang berada di tepi telaga, ia lalu keluar. Rambutnya sudah diubah gelungnya
meniru gelung cara dusun dari para wanita yang berada di antara para penonton. Mu-lailah ia
mencampurkan dirinya dengan para penon-ton lainnya dan memang tidak ada orang yang tertarik
untuk memperhatikannya setelah ia mema-kai pakaian seperti para wanita lain di tempat itu. Pek Lian
memperhatikan dan mencari -cari dengan pandang matanya, namun ia tetap tidak melihat para
penumpang perahu -perahu yang mendahuluinya memasuki terowongan yang menuju ke pu-lau itu.
Tiba -tiba ia menyelinap di antara banyak orang untuk menyembunyikan diri ketika ia melihat
munculnya tiga orang yang telah dikenalnya. Mere-ka itu adalah para pembantu Raja Muda Selatan
yang pernah mengeroyok Bwee Hong ketika Bwee Hong dicoba oleh raja bajak itu. Mereka bertiga itu
nampak sedang berjalan bersama dua orang bermuka hitam dan bopeng, meninggalkan tepi telaga
dan menuju ke sebuah gedung di tengah pu-lau. Melihat tiga orang ini, Pek Lian segera mem-bayangi
mereka. Gadis ini tadi sudah melihat bahwa anak buah Si Raja Muda Selatan hadir pula dalam
keramaian itu, dan karena itulah ia sangat berhati -hati menyembunyikan diri karena ia ter-ingat akan
minat Raja Muda Selatan terhadap Bwee Hong, yaitu ingin mengambilnya sebagai isteri, baik dengan
halus maupun kasar.
Lima orang yang dibayangi Pek Lian memasuki gedung itu dan mereka disambut oleh empat orang
lain yang wajahnya membayangkan kekerasan dan sikap mereka kasar -kasar, akan tetapi pakaian
mereka bukan seperti bajak laut, melainkan seperti para petani. Melihat ini, Pek Lian dapat menduga
bahwa tentu empat orang itu anak buah Petani Lautan seperti yang pernah didengarnya dari percakapan
antara Raja Muda Selatan dengan Bwee Hong. Melihat sembilan orang itu duduk di ruangan
depan gedung itu, minum bersama dan ditemani oleh wanita -wanita muda yang genit -genit, Pek
Lian menyelinap dan mengintai untuk mendengar-kan percakapan mereka.
"Hei, kawan. Persembahan apakah yang akan dihaturkan oleh pimpinan kalian ?" tanya empat orang
anak buah Petani Lautan itu kepada tiga orang anak buah Raja Muda Selatan.
"Pimpinan kami akan menghadiahkan beberapa buah benda berharga hasil rampasan kami dari
perahu Pangeran Jepang," jawab seorang di antara mereka, "dan apa yang akan dipersembahkan
pim-pinan kalian ?"
"Entah, mungkin sebuah golok pusaka yang kami rampas baru -baru ini dari perahu kerajaan."
"Aih, besok akan ramai sekali dan membayang-kannya hatiku menjadi tegang. Pertandingan silat
antara para raja lautan yang hanya dapat kita nik-mati setiap tiga tahun sekali," kata orang yang
mukanya bopeng, yaitu anak buah dari tuan rumah, Si Rajawali Lautan.
"Kitapun besok sore akan saling bertemu dalam perlumbaan perahu," sambung temannya yang bermuka
hitam.
"Ha -ha -ha ! Benar sekali, aku sudah ingin sekali tahu kemajuan apa yang kalian peroleh se-lama tiga
tahun ini!" seorang thouw -bak dari Raja Muda Selatan berkata gembira. Suasana men-jadi makin
gembira ketika mereka itu mengadu
tebak jari sambil minum -minum. Makin banyak mereka minum arak, makin gembira suasananya dan
kadang -kadang terdengar jerit -jerit kecil para wanita pelayan kalau tangan orang -orang kasar itu
mulai usil.
Pek Lian menyelinap masuk ke dalam gedung itu dari pintu samping. Ternyata gedung inipun kosong
dan di ruangan dalam ia tidak menemui se-orangpun manusia. Agaknya penghuninya keluar semua
dan para wanita yang menemani sembilan orang itu tentu pelayan -pelayan atau memang wanita
yang disediakan untuk para tamu. Ketika ia menuju ke ruangan belakang, ia mendengar su-ara orang
dari sebuah kamar. Pek Lian cepat me-nyelinap bersembunyi. Suara itu tidak jelas, akan tetapi seperti
suara seorang laki -laki dan seorang perempuan. Karena ia hendak menyelidiki dan mencari kalau -
kalau ia dapat menemukan di mana adanya Bu Seng Kun atau A -hai, maka ia lalu ber-indap
menghampiri kamar itu. Dengan ludah dan jari tangan, ia melubangi kertas jendela dan meng-intai ke
dalam kamar yang hanya diterangi oleh sebatang lilin itu. Dan apa yang disaksikannya membuat Pek
Lian cepat -cepat membuang muka, wajahnya menjadi kemerahan dan cepat -cepat ia pergi
dunia-kangouw.blogspot.com
meninggalkan tempat itu dengan hati me-nyumpah -nyumpah ! Kiranya yang berada di dalam kamar
itu adalah seorang anggauta bajak yang sedang bergumul dengan seorang wanita !
Pek Lian terus menuju ke belakang dan keluar dari gedung itu melalui pintu belakang. Ia melihat
sebidang tanah kosong yang penuh dengan batu-batu karang di antara semak -semak. Di tengah
nampak sebatang sungai kecil yang dangkal penuh dengan batu -batu. Fajar mulai menyingsing dan
Pek Lian mendaki bukit dari mana air sungai kecil itu mengalir. Pulau itu sepi, tidak nampak ada
penjagaan seorangpun. Agaknya, semua orang te-lah pergi menonton perhambaan di tepi telaga.
Pek Lian termenung. Rajawali Lautan bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pulau ini memang
merupakan tempat sembunyi yang baik sekali, juga dapat menjadi semacam benteng yang kuat
karena pulau ini dikelilingi tebing yang terjal dan tidak akan dapat diserbu lawan. Jalan masuk satu -
satu-nya hanya melalui terowongan. Akan tetapi meng-apa penjagaannya begini lemah ? Kalau terjadi
ser-buan musuh, mana mungkin akan dapat melawan dengan baik ? Apa lagi kalau yang menyerang
itu orang -orang yang lihai macam Harimau Gunung dan Buaya Sakti. Berpikir demikian, dara itu teringat
akan dua orang dari Sam -ok yang menjadi pembantu -pembantu utama Raja Kelelawar itu.
Heran sekali, ke manakah mereka itu pergi?
Apakah belum sampai di pulau ini ? Rasanya mustahil. Mereka itu berangkat lebih dulu dari padanya.
Melihat betapa di puncak bukit di depan terda-pat sebuah bangunan besar, jantung Pek Lian berdebar
tegang. Bangunan itu seperti istana saja. Itukah Istana Raja Laut ? Ah, kalau memang benar dua
orang pemuda yang dicarinya itu menjadi tawanan, agaknya di istana itulah mereka ditahan!
Dan siapa tahu ia akan bertemu dengan ayahnya pula di istana itu. Hatinya menjadi tegang dan
dengan cepat namun hati -hati sekali ia berlari mendaki bukit menuju ke istana itu. Makin dekat, makin
nampaklah bahwa bangunan itu memang megah dan indah, pantas menjadi sebuah istana. Ia
menyelinap di antara semak-semak dan mengintai ke depan. Nampak para penjaga hilir-mudik
dihalaman istana. Tidak salah, pikirnya. Tentu inilah yang dinamakan Istana Raja Laut dan karena
bangunan ini merupakan tempat tertinggi, maka satu-satunya lampu yang nampak ketika perahunya
su dah mendekati pulau malam tadi tentulah lampu dari istana itu.
Pek Lian maklum bahwa tentu amat berbahaya kalau sampai ketahuan, maka iapun lalu menyeli-nap
ke samping bangunan, menjauhi aliran sungai kecil yang agaknya bermata air di bukit itu. Ia mengintai
dari balik sebatang pohon dan melihat beberapa orang wanita muda yang berpakaian se-perti
pelayan-pelayan istana turun dari anak tangga pintu samping istana membawa keran-jang, menuju ke
arah telaga.
Fajar telah tiba dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Pek Ljan mulai melihat
para penonton bubaran. Dari tempat tinggi itu ia dapat melihat keadaan di tepi telaga di mana
perhambaan diadakan. Celaka, pikirnya. Semua orang akan pergi ke tempat masing -masing dan
kalau ia tidak cepat mendapatkan sebuah tempat persembunyian yang baik, tentu akan sukar baginya
untuk menghindar dari tangkapan. Mencoba memasuki istana sama dengan menyerahkan diri.
Dari tempat tihggi ini ia mencari -cari dengan pan-dang matanya dan akhirnya ia melihat sebuah bangunan
kuno yang tidak terawat berdiri terpencil di lereng bukit, arahnya di belakang istana itu. Ce-pat
ia meninggalkan tempat ia mengintai tadi dan berlari -lari menuju ke bangunan kuno itu.
Hatinya girang melihat bahwa bangunan kuno itu memang sebuah bangunan yang tidak dipakai
orang lagi. Semacam bengkel atau gudang di ma-na bertumpuk banyak bangkai perahu, sampan,
tiang layar dan semacam itu, berserakan tidak di-pakai lagi. Pek Lian cepat membuka pintu dan
menyelinap masuk. Memang sebuah tempat per-sembunyian yang baik, kata hatinya girang. Di situ
terdapat alat -alat pertukangan dan balok -balok kayu. Sebuah bengkel tempat pembikinan perahu.
Terdapat banyak pula patung -patung yang bia-sanya dipakai menghias kepala perahu -perahu besar,
patung dewa -dewa dengan muka yang me-nyeramkan, sebesar manusia.
Mengerikan juga melihat patung -patung itu sebesar orang dengan posisi berdiri atau duduk, dengan
muka yang menyeramkan. Ada. patung yang rambutnya terbuat dari rambut manusia aseli. Patung -
patung ini berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan sambil melangkah perlahan -lahan
memeriksa keadaan tempat itu, Pek Lian merasa serem. Seolah -olah semua patung itu mengawasi
setiap gerak -geriknya. Dan patung -patung itu seperti hidup saja, apa lagi di dalam ruangan yang
remang -remang seperti itu. Pek Lian berusaha untuk tidak mengamati patung -patung itu. Tengkuknya
meremang dan hatinya diliputi rasa serem. Akan tetapi, makin ia berusaha untuk tidak medunia-
kangouw.blogspot.com
mandang, matanya malah selalu memperhatikan ke sekeliling, ke arah patung -patung itu. Berada di
tempat itu ia merasa seolah -olah kalau berada se-orang diri di tanah kuburan, atau di ruangan yang
penuh dengan peti -peti mati. Seolah -olah ada yang bergerak, ada yang hidup, ada setannya !
Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari rasa takut. Rasa takut bukanlah sesuatu yang ter-pisah
dari kita. Rasa takut adalah kita sendiri, ba-tin kita sendiri penciptanya. Ke manapun kita lari, kalau
memang kita takut, tentu akan tetap takut. Hiburan yang kita cari hanya akan membuat kita terlupa
sebentar saja, akan tetapi rasa takut itu masih ada dalam batin.
Ada bermacam -macam rasa takut, yaitu misal-nya takut terhadap setan, takut terkena malapeta-ka,
takut penyakit, bahkan takut mati. Akan tetapi semua bentuk rasa takut itu pada hakekatnya sama
saja. Semua itu timbul dari pikiran yang memba-yangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal yang
dianggapnya amat tidak menyenangkan seperti yang pernah diketahuinya dari orang lain atau dari
pengalaman sendiri. Orang takut kepada se-tan yang melakukan hal -hal yang menyeramkan, dan
orang yang takut kepada setan itu tentu belum bertemu dengan setan, jadi yang ditakutinya itu
hanyalah bayangan -bayangan yang dibuatnya sendiri dalam pikirannya. Orang yang takut mati tentu
takut karena membayangkan keadaan yang mengerikan sesudah mati seperti yang pernah didengarnya
dari cerita -cerita dongeng, atau takut membayangkan kesepian dan kehilangan segalanya
sesudah mati. Melarikan diri dari rasa takut sia-sia belaka. Akan tetapi, kalau kita mau menghadapinya,
menghadapi rasa takut setiap kali ia mun-cul, mengamatinya dengan penuh perhatian, maka
pengamatan ini sendiri akan membebaskan kita dari cengkeraman rasa takut. Pengamatan dengan
penuh perhatian akan melenyapkan pikiran yang membayang -bayangkan, dan pengamatan ini akan
membuat kita mengerti dengan jelas proses terja-dinya rasa takut dalam pikiran kita.
Pek Lian yang sudah merasa ngeri itu hampir saja menjerit ketika ia melirik ke kiri dan merasa ada
sebuah patung yang bergerak di pojok ruangan itu. Untung ia masih ingat sehingga tidak ber-teriak
dan menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ah, mana mungkin ada patung bisa bergerak ? Dibantahnya
sendiri dugaan tadi. Akan tetapi tetap saja hatinya merasa gentar dan ia menjauhi tempat
patung -patung itu menuju ke pintu untuk meng-intai keluar, melihat suasana di luar.
"Gedobrakkk ! Huh, bedebah! Sialan !"
Tentu saja Pek Lian merasa terkejut sekali se-perti disambar halilintar mendengar suara bising yang
disusul suara makian itu. Cepat ia menoleh dan wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak ketika ia
melihat sebuah patung benar -benar ber-gerak menyingkirkan sebuah patung lain yang tadi agaknya
roboh menimpanya. Rasa takut membuat Pek Lian kehilangan kewaspadaan dan iapun men-dorong
daun pintu dan melompat keluar dari da-lam rumah setan itu. Serombongan orang yang se-dang
lewat di depan rumah tua itu terkejut me-lihat munculnya seorang gadis yang ketakutan. Mula -mula
mereka mengira bahwa gadis itu te-man sendiri karena Pek Lian memang menyamar dengan pakaian
yang diambilnya dari sebuah ru-mah, akan tetapi ketika mereka melihat wajah Pek Lian, mereka tahu
bahwa gadis itu adalah seorang asing. Karena masih menduga bahwa mungkin ia seorang gadis yang
dibawa datang oleh para tamu, maka seorang di antara mereka cepat meloncat ke depan Pek Lian
sambil menyeringai.
"Eh, nona manis, engkau datang dari rombong-an manakah ? Dan apa yang telah terjadi maka
engkau keluar dari bengkel lama ini ?"
"Ha-ha-ha, agaknya nona manis ini menjum-pai kekasihnya di sini!"
"Tak salah lagi, tentu semalam suntuk telah bermain cinta sepuasnya "
Beberapa orang laki -laki mengeluarkan kata-kata yang makin lama makin cabul dan tidak pan-tas,
maka Pek Lian tidak dapat menahan kemarah-annya lagi.
"Tutup mulutmu yang busuk !" bentaknya dan tangan kirinya menampar.
"Plakk !" Orang yang mengeluarkan kata-kata cabul itu terkena tamparan pipinya. Dia mengaduh dan
terpelanting roboh, lalu merintih karena muka yang kena dihantam itu membeng-kak ! Tentu saja para
anak buah pulau itu menjadi marah. Dua orang teman yang melihat kawannya ditampar, sudah
meloncat ke depan dan mereka berdua ini menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis yang
galak itu. Akan tetapi, Pek Lian menggerakkan kaki tangannya dan dua orang itupun roboh
terpelanting! Gegerlah para anak buah pulau itu. Baru mereka tahu bahwa gadis ini lihai sekali. Lima
dunia-kangouw.blogspot.com
orang maju mengeroyok dan yang lain memberi tanda memanggil teman-teman. Para anak buah
Rajawali Lautan berdatangan dan selain nona itu dikeroyok, juga rumah tua itu di kepung.
"Periksa di dalam rumah ! Mungkin masih ada kawan -kawannya. Mereka ini tentu mata -mata dari
luar !" demikian seorang thouw -bak pemban-tu Rajawali Lautan berteriak.
Tiba -tiba terdengar sumpah serapah dari da-lam rumah itu dan pintu depan yang baru sete-ngahnya
dibuka oleh Pek Lian tadi kini jebol di tendang orang dari dalam. Lalu muncullah dua orang kakek
yang keluar sambil mengomel. Yang seorang berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh gemuk
pendek dan membawa sebatang toya baja putih, sikapnya angkuh dan memandang rendah mereka
yang datang mengepung. Orang ke dua adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun ber-jubah kulit
harimau, tubuhnya tinggi besar mena-kutkan dan tangannya membawa sehelai rantai baja yang
ujungnya merupakan tombak berjangkar, dili-litkan di lengannya. Dua orang ini bukan lain ada-lah dua
di antara Sam -ok, yaitu yang pertama adalah Sin -go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, sedang-kan yang ke
dua bukan lain adalah San -hek -houw Si Harimau Gunung! Tentu saja Pek Lian segera mengenal
dua orang pembantu utama dari Raja Kelelawar ini, dan para pengeroyok terkejut karena ternyata dua
orang ini jauh lebih ganas dan lihai dari pada nona itu. Sebentar saja, beberapa orang pengeroyok
telah roboh dan luka -luka. Sementara itu, San-hek-houw men-dekati Pek Lian dan memaki, "Bocah
kurang ajar! Engkau membikin kacau rencana orang saja!"
Perkelahian keroyokan itu menjadi semakin seru ketika muncul sembilan orang thouw -bak dari tiga
kepala bajak itu. Karena mereka ini termasuk orang -orang yang lihai, maka setelah sembilan orang
ini mengeroyok, barulah dua orang di antara Sam -ok itu agak dapat ditahan. Bagaimanapun juga,
sembilan orang thouw -bak itu kewalahan, walaupun mereka telah dibantu oleh banyak anak buah
mereka. Sementara itu, Pek Lian juga repot sekali dikeroyok banyak anggauta bajak, walaupun
banyak sudah anggauta bajak yang roboh olehnya. Agaknya perkelahian keroyokan ini merupakan
pertunjukan yang tidak kalah menariknya dari pada perlumbaan semalam. Banyak yang datang menonton
dan kalau ada seorang anggauta bajak yang terpental dengan kepala benjol atau tulang patah,
para penonton mentertawainya. Sementara itu pengeroyokan menjadi semakin ketat.
Tiba -tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan para penonton bersibak memberi jalan masuk
kepada Lam -siauw -ong Si Raja Muda Selatan dan Si Petani Laut. "Kalian mundurlah dan biar-kan
kami menghajar pengacau -pengacau ini!" terdengar Raja Muda Selatan berkata dan sembilan orang
thouw -bak yang sudah kewalahan itu lalu mundur. Juga para bajak yang tadinya mengeroyok. Pek
Lian, mengundurkan diri sehingga-nona itu dapat mengaso dan menghapus peluh di leher dan
dahinya dengan ujung lengan baju.
Raja Muda Selatan yang berpakaian mewah dan bertubuh gendut itu segera mencabut sebatang
pedang panjang yang besar, lalu menerjang Si Bua-ya Sakti tanpa banyak cakap lagi. Agaknya Lamsiauw
-ong ini tadi sudah melihat betapa lihainya kakek gemuk pendek ini, maka dia langsung saja
menyerang menggunakan pedangnya.
"Trang -trang -tranggg!" Pedang bertemu bertubi -tubi dengan toya baja putih, membuat telinga yang
mendengarnya menjadi sakit dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Ternyata keduanya
memiliki tenaga yang berimbang dan terjadilah perkelahian seru antara Raja Muda Selatan dengan Si
Buaya Sakti.
Adapun Si Petani Laut yang melihat rekannya-sudah saling serang dengan seorang pengacau, lalu
menggerakkan senjatanya untuk menyerang Si Ha-rimau Gunung. Senjata dari Petani Laut ini memang
istimewa, yaitu sebuah cangkul bergagang panjang. Caranya menyerang seperti mencangkul
tanah, akan tetapi sekali ini bukan tanah yang di-cangkulnya, melainkan kepala lawan !
"Trangg ... wuuuut, cringgg !" Si Harimau Gunung juga cepat menangkis dengan senjata rantainya
dan balas menyerang sehingga merekapun terlibat dalam perkelahian yang amat seru.
Kini para penonton menjadi semakin gembira karena pertandingan itu sungguh amat hebat, jauh lebih
ramai dari pada tadi karena kedua pihak memiliki kepandaian dan tenaga yang berimbang. Pek Lian
sendiri hanya dapat menonton karena tentu saja ia tidak dapat berpihak manapun. Mere-ka yang
saling berkelahi itu adalah sama -sama penjahat, hanya bedanya kalau Si Buaya Sakti dan Harimau
Gunung adalah raja -raja penjahat da-ratan, maka dua orang lawannya adalah raja pen-jahat lautan.
Diam -diam ia merasa heran mengapa mereka itu saling hantam sendiri, akan tetapi ia teringat bahwa
kedua orang raja penjahat daratan itu adalah pembantu -pembantu utama Raja Ke-lelawar dan bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
Tung -hai -tiauw si Rajawali Lautan Timur sebagai orang pertama dari Sam -ok masih belum menjadi
anak buah atau pembantu iblis itu.
"Tahan senjata !" Tiba -tiba terdengar bentakan nyaring. "Kita adalah orang -orang sendiri!" Em-pat
orang yang sedang loerkelahi itu berhenti dan ternyata yang muncul itu adalah seorang bertubuh
tinggi kurus yang berwibawa dan orang ini bukan lain adalah si Rajawali Lautan Timur sendiri, penghuni
Istana Raja Lautan karena selama tiga tahun ini dialah yang berhak menjadi raja lautan setelah
mengalahkan semua kepala bajak lainnya.
Empat orang itu segera berloncatan mundur dan perkelahian yang amat seru itupun segera dihentikan.
Tung-hai-tiauw tertawa bergelak dan meng-angkat tangan sebagai tanda salam kepada dua
orang raja penjahat daratan itu. "Ha -ha, selamat datang di tempat kami! Sungguh tidak pernah kami
duga bahwa dua orang sahabat lama kami sudi berkunjung ke sini. Ha -ha, kalau tidak ber-kelahi
berarti tidak kenal, betapa tepatnya kata-kata itu. Saudara -saudaraku Raja Muda Selatan dan Petani
Lautan, mereka ini adalah sobat -sobat-ku yang baik, yaitu Sin -go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti dan Sanhek-
houw Si Harimau Gunung, dua orang yang amat terkenal di daratan sana!" kata-katanya yang
terakhir ini untuk saling mem-perkenalkan empat orang yang tadi saling serang itu.
"Aha! Kiranya ini saudaramu yang berjuluk Raja Muda Selatan yang tersohor itu ? Aihh, pantas saja,
hampir -hampir aku terjungkal di tangannya kalau aku tidak berhati -hati tadi!" kata Si Bua-ya Sakti
memuji.
"Wah, Sin -go Mo -sicu terlalu memuji orang," kata Raja Muda Selatan. "Sebaliknya, toya baja
putihmu benar-benar membuat aku repot tadi!"
"Gila! Aku sendiripun repot sekali menghadapi cangkul panjang itu, kiranya yang memainkannya
adalah Petani Lautan ! Pantas begitu lihai!" kata pula San -hek -houw memuji.
"Dan nona ini, siapakah ia ? Apakah murid dari kalian ?" Rajawali Lautan bertanya sambil memandang
kepada Pek Lian, diam -diam kagum ka-rena selain cantik sekali, juga nona ini masih muda
akan tetapi telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan keberanian yang luar biasa. Juga sikap
dara ini bukan seperti wanita -wanita dari golong-an sesat, melainkan gagah sekali dan membayangkan
keagungan dan ketinggian harga diri.
"Sialan mempunyai murid macam ini!" Hari-mau Gunung berseru.
"Bocah perempuan ini di mana -mana hanya membikin kacau saja!'" kata pula Si Buaya Sakti "Kami
tidak mengerti bagaimana ia bisa tiba-tiba muncul di tempat ini!"
Mendengar ucapan dua orang tamu itu, wajah Rajawali Lautan berseri gembira. Kiranya nona ini tidak
ada sangkut -pautnya dengan dua orang ta-mu itu. Tentu seorang mata-mata, akan tetapi mata -mata
dari mana ? Dan ia begitu muda dan cantik dan lihai. "Bagus! Kalau begitu, ia adalah tawanan kami!"
Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menangkap Pek Lian.
Empat orang thouw -bak maju dan menubruk Pek Lian. Akan tetapi dara ini sudah siap dan segera
menggerakkan kaki dan tangannya mela-kukan perlawanan mati -matian. Semua orang kini nonton
dara yang hendak ditawan ini dan ternyata empat orang thouw -bak yang lihai-lihai itu ke-walahan
untuk dapat menangkap si nona. Kalau mereka diperintahkan untuk merobohkan Pek Lian, mungkin
lebih mudah bagi mereka. Akan tetapi perintahnya adalah menangkapnya, jadi mereka tidak berani
mempergunakan senjata dan tidak be-rani menggunakan pukulan maut, hanya berusaha menubruk
dan menangkap saja. Karena itu, mere-ka berempatlah yang menjadi bulan -bulanan tam-paran dan
tendangan Pek Lian. Bahkan seorang di antara mereka terkena hantaman pada dadanya sehingga
roboh pingsan dan tidak mampu bangkit kembali! Melihat keadaan itu, Rajawali Lautan menjadi
marah. Dia mendengus dan menerjang maju, tangannya yang berkuku tajam seperti baja kuatnya itu
mencengkeram ke arah pundak Pek Lian. Dara ini mengenal serangan berat, maka ia-pun cepat
mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak sambil mengirim tendangan yang disusul
pukulannya ke arah perut kepala bajak itu.
"Dukk ! Bukkk !" Baik tendangan maupun pukulannya dengan tepat mengenai sasaran, yaitu dada
dan perut orang tinggi kurus itu. Akan tetapi sama sekali tidak mengguncangkan tubuh Tung-hai -
tiauw, bahkan dia mempergunakan kesempat-an selagi Pek Lian tertegun melihat serangannya
dunia-kangouw.blogspot.com
mengenai tubuh yang kebal, cepat tangannya me-nyambar tengkuk dan menotok. Seketika Pek Lian
merasa tubuhnya lunglai dan iapun tidak dapat melawan lagi ketika para thouw -bak menubruk dan
meringkusnya, membelenggu kaki tangannya dan membawanya pergi ke kamar tahanan !
Rajawali Lautan tertawa, lalu berkata kepada empat orang kawannya, "Nah, sobat-sobatku, ma-rilah
kita pergi ke ruang tamu untuk bercakap-cakap !" Mereka lalu pergi menuju ke istana di puncak bukit.
Dua orang raja penjahat daratan itu tiada habisnya mengagumi istana yang megah dan mewah itu.
Sungguh keadaan para bajak lebih baik dibandingkan dengan keadaan para perampok di daratan
yang selalu dikejar -kejar oleh pasukan pemerintah.
Di sebuah ruangan yang luas di dalam Istana Raja Lautan itu sedang diadakan perjamuan makan
minum istimewa, perayaan pesta untuk meramai-kan pertemuan antara pimpinan yang diadakan tiap
tiga tahun itu. Ketika Rajawali Lautan sebagai tuan rumah bersama empat orang tamu dan rekan-nya
memasuki ruangan itu, tempat itu sudah penuh dengan para tamu dan sejak tadi suara musik
mengiringi para penari dan penyanyi yang cantik -cantik. Para tamu bangkit berdiri ketika melihat lima
orang gagah itu, terutama sekali untuk menghormat Ra-jawali Lautan yang dianggap sebagai raja dan
juga tuan rumah. Dengan sikap ramah dan gagah, Raja-wali Lautan memberi isyarat kepada semua
tamu untuk duduk kembali dan diapun mempersilahkan Raja Muda Selatan, Si Petani Lautan, Si
Buaya $akti dan Si Harimau Gunung untuk mengambil tempat duduk di kursi -kursi kehormatan, dekat
tempat duduknya sendiri sebagai tuan rumah. Se-telah tuan rumah dan para tamu kehormatan hadir,
musik dipukul makin meriah, dan para penari mem-perlihatkan keindahan tarian mereka, diseling oleh
para penyanyi. Guci-guci arak baru dikeluarkan dan suasana menjadi semakin meriah.
"Kursi siapakah itu?" tiba-tiba Si Buaya Sakti bertanya kepada tuan rumah. Juga temannya, Si
Harimau Gunung, merasa heran melihat adanya sebuah kursi yang gemerlapan, seperti sebuah
singgasana raja. Kursi itu kosong dan ditutup kain pu-tih, ditaruh di tengah -tengah dan di tempat yang
paling tinggi.
Tuan rumah tertawa dan memberi penjelasan kepada dua orang rekan yang menjadi tamu kehormatan.
"Ah, kalian secara kebetulan saja datang ke sini, tidak tahu bahwa kami sedang mengada-kan
pesta yang paling meriah di antara kami, para pendekar lautan ! Ketahuilah, di antara kami, setiap tiga
tahun sekali dipilih seorang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya dan orang ini diang-kat menjadi
Raja Lautan, dan dia berhak tinggal di pulau ini, di Istana Raja Lautan sebagai orang yang paling
berkuasa di seluruh lautan ini, selama tiga tahun. Dan setelah tiga tahun, diadakan pemi-lihan untuk
mengangkat Raja Lautan yang baru. Untuk tiga tahun terakhir ini, akulah yang berun-tung menjadi
Raja Lautan. Hari ini aku harus da-pat mempertahankan kedudukan itu untuk tiga tahun lagi. Kalau
ada yang lebih lihai dari pada aku, dialah yang berhak menjadi Raja Lautan se-lama tiga tabun
mendatang. Kursi itu adalah sing-gasana raja kami dan karena hari ini sedang dia-dakan pemilihan,
maka tentu saja kedudukan itu kosong. Hari ini kedudukanku telah berakhir maka akupun tidak duduk
di situ. Mengertikah kalian, sekarang ?"
Jilid XIV
DUA ORANG gembong penjahat itu meng-angguk-angguk dan saling pandang. Biar-pun mereka
bertiga itu terkenal dengan sebutan Sam -ok, yaitu Si Tiga Jahat untuk mengakui ke-dudukan mereka
sebagai pimpinan para bajak laut-an, pimpinan para bajak sungai dan pimpinan para
perampok, namun mereka itu tidak pernah saling bersahabat Bahkan mereka sering kali bentrok dan
bersaing. Hanya setelah muncul Raja Kelela-war, maka Si Buaya Sakti dan Harimau Gunung
terpaksa dapat bekerja sama di bawah kekuasaan Raja Kelelawar. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu
belum menjadi anak buah atau taklukan Raja Ke-lelawar, maka sikapnya tentu saja berbeda dan dia
merasa masih menjadi yang dipertuan di daerah lautan. Dua orang gembong daratan itu sama se-kali
tidak pernah menyangka bahwa mereka yang datang sebagai utusan Raja Kelelawar, tiba pada saat
kebetulan di situ diadakan pemilihan raja lautan baru. Mereka tidak mengira ada peraturan semacam
itu. Mereka hanya mengetahui bahwa Rajawali Lautan adalah seorang datuk lautan yang telah menjadi
raja sekalian bajak dan menguasai lautan yang amat luas itu. Mereka berdua maklum bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
tentu saja urusan itu amat penting bagi para bajak, meru-pakan peristiwa besar dalam dunia bajak.
Mereka membayangkan dengan hati tegang betapa akan serunya pertandingan memperebutkan kursi
Raja Lautan itu nanti. Mereka tadi sudah merasakan kelihaian Raja Muda Selatan dan Petani Lautan,
belum tokoh-tokoh lainnya. Menghadapi urusan besar ini, keduanya saling memberi isyarat dan
bersepakat untuk menunda urusan mereka sebagai utusan Raja Kelelawar. Mereka ingin melihat
pertandingan itu dan melihat siapa yang akan menang dan menjadi Raja Lautan. Lalu kepada orang
yang menjadi Raja Lautan itulah mereka berdua akan berhadapan sebagai utusan Raja Kelelawar
sebagai pucuk pimpinan semua golongan di dunia sesat.
Kini Rajawali Lautan bangkit berdiri dan mem-beri isyarat dengan mengangkat tangan kiri ke atas.
Seketika suara musik berhenti, para penari berla-rian kembali ke tempatnya dan semua orang
memandang ke arah tuan rumah. Suasana menjadi su-nyi dan tidak ada yang berani mengeluarkan
suara berisik. Hal ini bukan karena para tamu itu tahu akan sopan santun dan aturan. Sama sekali
bukan. Mereka taat karena mereka itu takut. Pelanggaran dapat saja mengakibatkan mereka dihukum
secara kejam sekali, mungkin dibunuh !
"Saudara saudaraku sekalian yang baik! Se-perti tiga tahun yang lalu, hari ini adalah hari ber-bahagia
bagi kita kaum pendekar lautan ! Dan se-kali ini, pertemuan antara kita dihadiri pula oleh dua orang
tamu terhormat yang sehaluan dengan kita. Sin-go Mo Kai Ci adalah pimpinan bajak su-ngai,
sedangkan San -hek -houw adalah pimpinan dari semua perampok, maling dan copet sehingga
lengkaplah tiga golongan dari kaum kita yang di-anggap oleh sementara orang sebagai golongan
hitam. Biarlah dua orang tamu kita menjadi saksi atas upacara kita dan marilah kita mulai !"
Para tamu mulai bergerak dan suasana menjadi bising karena para tamu saling bicara sendiri. Ada
pula yang sibuk mempersiapkan bingkisan masing-masing. Sebagian besar di antara mereka telah
mengenal siapa adanya Rajawali Lautan yang me-miliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka jaranglah
di antara mereka ada yang berani main -main. Me-reka yang merasa bahwa kepandaian mereka jauh
di bawah tingkat Rajawali Lautan, hanya mengha-turkan bingkisan atau sumbangan secara suka rela
tanpa hendak menguji kepandaian Akan tetapi, para kepala perkumpulan bajak, tentu saja di antara
mereka ada yang merasa penasaran kalau belum memperlihatkan kepandaian, biarpun mereka tiada
harapan untuk dapat mengalahkan Rajawali Laut-an, namun setidaknya mereka akan memperlihatkan
kepandaian dan agar mereka dianggap sebagai
orang yang telah berani mencoba kepandaian Ra-jawali Lautan! Ini saja sudah akan mengangkat
sedikit derajat mereka dan dapat mereka jadikan bahan cerita yang membanggakan hati.
Seorang bajak laut tunggal yang biasa berope-rasi di sekitar Lautan Jepang, tampak maju mem-bawa
sebuah bingkisan. Seperti yang telah diten-tukan dalam peraturan mereka, yaitu peraturan bagi
mereka yang hendak menguji kepandaian Rajawali Lautan yang harus mempertahankan kedudukannya,
bingkisan diletakkan di atas senjatanya. Sen-jata bajak tunggal ini adalah sebatang samurai panjang.
Dia berdiri tegak di depan Rajawali Lautan yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju di
tempat lapang pula. Bajak tunggal itu melonjorkan pedang samurainya di depan dada, dan bing-kisan
itu berada di ujung pedangnya. Tangan kiri-nya diangkat ke atas kepala, melintang dan terbuka, lalu
tangan kiri itu turun ke depan dada sebagai penghormatan, dan terdengar suaranya yang berlo-gat
Jepang karena bajak laut ini memang seorang peranakan Jepang dan lebih banyak merantau di luar
daratan.
"Hai-ongya, harap terima bingkisan dariku!" Pedang samurainya digetarkan dan bingkisan yang
terletak di ujung pedang itu tiba -tiba mencelat ke atas, ke arah Rajawali Lautan. Raja Lautan yang
harus mempertahankan kedudukannya ini berdiri dengan sikap tenang, kipas besinya siap di
tangannya.
Ketika dia melihat bingkisan itu terbang ke arahnya, tangan kirinya yang memegang kipas besi
bergerak untuk menangkap bingkisan itu. Akan tetapi, nampak sinar berkelebat cepat ketika pedang
samurai itu menyambar ke arah pergelangan tangan kiri yang memegang kipas dengan gerakan
menda-tar dari kanan ke kiri. Suaranya berdesing karena pedang samurai itu tajam dan gerakan
orang itu-pun amat kuatnya. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Rajawali Lautan
telah membalikkan kipas besinya menangkis dan tangan kanannya diulur ke depan untuk menyambut
bing-kisan yang melayang ke arahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Trangggg !!" Pedang samurai yang tertangkis kipas besi itu terpental, akan tetapi bajak tunggal
itupun cukup lihai. Pedang yang terpental itu membuat gerakan lingkaran dan tahu-tahu telah
menyambar dari samping ke arah leher lawan !
"Bagus!" kata Rajawali Lautan yang telah ber-hasil menangkap bingkisan tadi. Sambaran pedang
lawan dibiarkan lewat di atas kepalanya dengan menundukkan kepala, dan kipas besinya sudah
menotok ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang dan yang menyambar lewat.
Bajak tunggal itu terkejut sekali, cepat menarik kembali pedang dan tangannya, akan tetapi pada saat
itu, Rajawali Lautan sudah menggunakan tangan kanan yang memegang bingkisan untuk men-dorong
ke arah dada lawan sambil berkata, "Teri-ma kasih atas bingkisan yang berharga !"
Dorongan itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga biarpun bajak tunggal itu
mempertahankan diri, tetap saja dia terdorong ke belakang, terhuyung -huyung dan hampir saja dia
terpelanting. Diapun tahu diri karena kalau tuan ramah tadi menghendaki, dia tentu sudah terluka
parah atau bukan tidak mungkin roboh dan tewas.
Memang cara -cara yang dipergunakan oleh ka-um bajak ini amat keras. Para tamu menyerahkan
bingkisan, akan tetapi pada saat itu dia dan tuan rumah boleh adu kepandaian dan saling serang,
bukan hanya untuk saling mengalahkan dan mem-perebutkan kedudukan sebagai Raja Lautan untuk
waktu tiga tahun, bahkan boleh saja mereka itu mengalahkan lawan dengan membunuhnya ! Raja
wali Lautan sendiripun pada sembilan tahun yang lalu telah merobohkan Raja Lautan lama dengan
membunuhnya dalam adu ilmu itu ! Dan semenjak itu, belum pernah ada bajak lain yang dapat mengalahkannya.
Akan tetapi, Rajawali Lautan adalah seorang cerdik. Dia tidak mau membunuh lawan
karena dia ingin agar semua tokoh bajak laut tun-duk dan takluk kepadanya, bukannya membenci dan
mendendam. Maka diapun jarang sekali me-nurunkan tangan maut, kecuali tentu saja kalau ke
dudukannya terancam.
Beberapa orang maju lagi secara bergiliran, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mampu
menandingi Rajawali Lautan lebih dari sepuluh jurus! Dan sebagian besar dari pada para tamu yang
tadinya ingin mencoba -coba kepandaian, menjadi jerih dan akhirnya mereka itu hanya me-masuki
rombongan yang memberi bingkisan secara suka rela tanpa bertanding lagi.
Ketika Petani Lautan maju, semua orang me-mandang dengan hati penuh ketegangan dan di sana
sini terdengar orang berbisik-bisik. Sekarang tuan rumah benar -benar berhadapan dengan seo-rang
musuh bebuyutan atau seorang yang memiliki kepandaian setingkat. Semua bajak laut tahu be-laka
bahwa di daerah lautan mereka, yang menjadi jagoan hanya tiga orang, yaitu Raja Lautan seka-rang
yang berjuluk Rajawali Lautan Timur, Si Pe-tani Lautan, dan Raja Muda Selatan. Mereka ber-tiga
inilah yang tiga tahun yang lalu merupakan tokoh -tokoh yang saling memperebutkan kedu-dukan
secara seru dan setingkat. Memang akhirnya Rajawali Lautan yang menang, akan tetapi
kemenangannya tipis sekali. Sekarang, tiga tahun telah lewat dan semua orang tentu saja tahu
betapa dua orang tokoh yang dikalahkan itu telah memperda-lam ilmu -ilmu mereka untuk dapat
menjatuhkan Rajawali Lautan dan merebut kedudukan Rajawali Lautan dalam kesempatan ini. Jadi,
dua orang itu tentu telah bersiap -siap dengan matang ! Maka.
setelah kini akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu muncul, yaitu Si Petani Lautan, semua orang
memandang dengan hati tegang dan wajah berseri gembira karena mereka maklum bahwa
pertunjukan sekali ini benar -benar amat hebat dan menarik.
"Maaf, Hai -ong. Aku yang bodoh ingin mem-persembahkan sebuah pusaka kepadamu!" kata Petani
Lautan sambil memberi hormat.
Rajawali Lautan tertawa. Memang sejak tadi dia sudah menanti -nanti datangnya saat ini, di mana
Petani Lautan atau Raja Muda Selatan akan menyerahkan bingkisannya yang berarti dia harus
mempertahankan kedudukannya terhadap mereka. Hanya dua orang itulah yang dianggapnya
sebagai saingan yang patut untuk dilawan, yang lainnya tidak masuk hitungan.
"Ha -ha -ha, silahkan, saudara Phang, silahkan. Sebenarnya hampir aku tidak berani menerima
persembahanmu. Tiga tahun yang lalu saja, ham-pir aku kehilangan sebelah tanganku ketika mencoba
untuk menerima bingkisanmu. Apa lagi se-karang tentu engkau sudah maju pesat sekali,
buktinya engkau sudah bisa mengendalikan aliran keringatmu. Dahulu engkau terpaksa harus selalu
bertelanjang baju, akan tetapi sekarang engkau sudah dapat memakai baju dan mengendalikan
keluarnya keringatmu. Hebat! Aku sebenarnya jerih, akan tetapi aku kepingin mencobanya juga!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Rajawali Lautan sengaja mengucapkan kata-kata merendah, bukan hanya untuk membuat lawan
tenggelam dalam kebanggaannya sehingga mungkin saja menjadi lengah, juga dia harus menjaga
segala kemungkinan, sehingga andaikata dia benar -benar kalah, dia tidak sampai terbanting oleh
sikap yang congkak sebelum bertanding. Sebenarnya, bagi orang -orang yang hidup di dunia hitam,
atau yang disebut kaum sesat, mereka tidak lagi mem-perdulikan akan sopan santun, tidak perduli
apakah sikap mereka itu merugikan orang lain atau me-nyinggung orang lain. Setiap jalan pikiran,
setiap ucapan dan perbuatan, selalu hanya demi keun-tungan diri sendiri.
Sikap kaum sesat itu menjadi pelajaran yang teramat baik bagi kita. Pernahkah kita meneliti dan
mengamati sikap hidup kita sendiri sehari-hari? Bagaimanakah keadaan jalan pikiran atau batin kita,
kemudian bagaimana pula keadaan yang nya-ta dari perbuatan dan juga ucapan kita? Pernah-kah
kita berpikir, berkata atau berbuat yang di ba-liknya tidak mengandung pamrih untuk enak sen-diri,
senang sendiri, dan menang sendiri? Benar-kah apa yang terucap oleh mulut kita selalu sejalan
dengan bisikan hati kita? Adakah kesatuan antara batin, ucapan dan perbuatan? Kita berlumba
menonjolkan kebaikan-kebaikan kita, bukankah itu hanya merupakan jembatan saja bagi kita untuk
mencapai kesenangan dalam bentuk kepuasan batin, pujian, harapan, pahala dan sebagainya?
Pernahkah kita bertindak atau bicara dengan dasar belas kasihan atau cinta kasih? Pernahkah?
Kalau tidak pernah, mengapa? Semua pertanyaan ini kiranya amat perlu bagi kita manusia -manusia
yang hidup dan yang dianggap sebagai mahluk berahlak dan berakal budi, bukan?
Sikap Rajawali Lautan Timur yang merendah tadi jelas mengandung pamrih demi keuntungan diri
sendiri, bukan rendah hati lagi. Rendah hati bukan terletak di mulut, melainkan di batin, dan mulut
baru bersih dan benar kalau menyuarakan batin tanpa dipertimbangkan dan disensor oleh pikiran
yang selalu berpalsu -palsu.
Si Petani Lautan yang bernama Phang Kui ter-senyum. Senyum orang yang percaya akan kehe-batan
diri sendiri, yang menyembunyikan rasa bangganya karena pujian lawan tadi, menyembu-nyikannya di
balik senyuman, yang bukan lain juga merupakan suatu bentuk pamer terselubung. Dia membuka
bajunya sehingga badan yang kurus de-ngan tulang iga menonjol dan membayang di balik kulit
nampak nyata. Tidak nampak setetespun keringat keluar dari kulit tubuhnya. Akan tetapi semua orang
yang sudah mengenal kelihaian pria ini, cepat mundur dan menjauh karena mereka tahu betapa
berbahayanya benda cair kecut yang kelu-ar dari tubuh tokoh ini.
Phang Kui menarik napas panjang, menghimpun sinkangnya dan brolll ! Peluhnya mulai keluar dari
pori-pori kulitnya dan mengucur deras ! Mula-mula nampak butir-butir air seperti mutiara menghias
kulit tubuhnya, dan tak lama kemudian butir -butir ini saling bertemu dan mengalir ke bawah,
berlenggak -lenggok dan membasahi se-mua kulit tubuhnya. Dia mengacungkan senjata-nya yang
istimewa, sebuah cangkul bergagang pan-jang. Sebelum bergerak lebih lanjut, Phang Kui menyambar
sebuah teko terisi air teh dari atas meja. Teko besar itu dituangkannya ke mulut yang ternganga
sampai habis isinya. Dengan wajah nampak lega dan puas, Si Petani Lautan mengem-balikan teko
kosong dengan tangan kirinya ke atas meja, kemudian mulutnya berkata lirih dan lem-but, "Terimalah
persembahanku !" Kata-kata yang halus itu tiba -tiba disambung dengan bentakan yang amat nyaring
dan mengejutkan semua orang.
"Hyaaaatttt !!" Nampak sinar menyambar
dan cangkul bergagang panjang itu telah berge-rak seperti kilat cepatnya. Mata cangkul berki-lauan
dan gerakannya mengundang datangnya angin, ketika mata cangkul itu terangkat dan bung-kusan
panjang terlempar dengan amat lajunya ke arah muka Rajawali Lautan ! Baru meluncurnya benda
sumbangan itu saja sudah merupakan se-rangan kilat yang berbahaya. Akan tetapi itu hanya
merupakan "pembukaan" belaka karena luncuran benda sumbangan itu disusul hampir sama.
cepatnya oleh mata cangkul yang membacok atau mencangkul ke arah dada lawan !
"Hemmmm !" Rajawali Lautan Timur
menggerakkan tubuhnya yang tinggi kurus, melon-cat ke belakang dan miringkan kepala, menangkap
bungkusan dengan tangan kiri yang memegang kipas besi.
"Trappp ....!" Kipas besi yang tadinya terbuka itu, begitu menerima bungkusan lalu menutup dan
menjepit benda sumbangan. Akan tetapi pada saat itu, cangkul lawan telah datang menyambar ke
arah dadanya dengan kecepatan yang dahsyat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan gerakan indah Tung -hai -tiauw atau Rajawali Lautan Timur sudah melemparkan barang
sumbangan itu ke arah pembantunya yang segera menerimanya dan menumpuk benda itu di atas
meja tempat menaruh benda -benda sumbangan, dan sambil melontarkan benda tadi, Si Rajawali
Lautan sudah mengelak sambil menangkis dengan gagang kipas besinya. Akan tetapi karena
sebelum menangkis tadi dia melontarkan dulu barang sumbangan, tangkisannya agak terlambat
sehingga mata cangkul itu masih menyerempet lambungnya.
"Cringgg ... trakk !" Mata cangkul tertangkis gagang kipas lalu menyerempet lambung, akan tetapi
Kim-pouw-san (Jubah Mustika Emas) yang kebal membuat serangan itu meleset dan tidak melukai
kulit lambung! Bahkan karena pengerahan sinkang, mata cangkul itu terpental dan penyerangnya
merasa betapa kuatnya lambung yang mene-rima mata cangkul tadi.
Akan tetapi, Petani Lautan itu lihai bukan ma-in. Dia sudah mempergunakan langkah ajaibnya dan
tahu-tahu tubuhnya sudah menyelinap dan gagang cangkulnya kini menyerang dengan sodokan
keras ke arah leher lawan !
"Bagus !" Si Rajawali Lautan memuji dan dia-pun terkejut, tidak menyangka lawan memiliki gerakan
secepat ini. Karena yang menyerangnya adalah gagang cangkul, maka dia berani menang-kis dengan
lengan kirinya yang kuat.
"Dukk !" Lengan kiri yang kuat itu menangkis gagang cangkul. Pertemuan antara lengan dan gagang
cangkul itu tidak terhenti di situ saja ka-rena gagang cangkul itu telah membalik dan kini mata
cangkulnya mencangkul kepala dan lengan yang tadinya menangkis itupun tiba -tiba meluncur ke
depan, tangan yang berkuku tajam sekuat baja itu sudah membentuk cakar rajawali dan mencengkeram
ke depan, ke arah pusar lawan ! Begitu ce-patnya kedua orang ini bergerak melanjutkan pertemuan
lengan dan gagang cangkul sehingga ke-duanya terkejut karena tahu -tahu serangan lawan
telah tiba sedemikian hebatnya ! Kalau mereka berdua melanjutkan serangan dan membiarkan serangan
lawan datang, tentu berarti akan mengadu nyawa dan mungkin keduanya akan tewas atau
setidaknya terluka parah. Melihat ini, diam -diam Lam -siauw -ong sudah tersenyum-senyum girang.
Biar mereka berdua itu mampus bersama, pikirnya,, dan kursi Raja Lautan akan dapat diperolehnya
tanpa banyak membuang tenaga !
Akan tetapi, Tung -hai -tiauw dan Petani La-utan adalah dua orang tckoh besar yang telah me-miliki
kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja. Dalam ilmu silat ada hal -hal
yang selalu dipentingkan oleh kaum per-silatan, yaitu pertama, sedapat mungkin mendahu-lui lawan
dengan serangan yang tepat, dan kalau hal ini tidak mungkin, maka yang terutama adalah
menyelamatkan atau menghindarkan diri lebih du-lu dari bahaya yang mengancam pada saat itu. Maka,
melihat bahaya yang mengancam hebat, kedu-anya lalu menunda serangan mereka dan lebih
dulu mereka berdua melemparkan diri ke belakang. Ragi Petani Lautan yang memiliki langkah -langkah
ajaib, dengan lebih mudah sudah dapat memu-tar kaki mengatur langkah sehingga tubuhnya
men-jauh dan sekaligus menghindarkan diri dari ceng-keraman lawan akan tetapi juga hantaman
mata cangkulnya tidak mencapai kepala lawan. Si Raja-wali Lautan lebih repot dan terpaksa tadi dia
me-lempar diri ke belakang sehingga tubuhnya mem-buat poksai (salto) sampai tiga kali ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia -siakan oleh Petani Lautan. Dia sudah lebih dulu dapat menguasai
posisinya dan melihat betapa lawan masih bersalto untuk mengatur keseimbangan tubuh, dia sudah
mendesak dengan cangkulnya, mainkan Ilmu Silat Ban -seng -kun yang dahsyat! Didesak seperti itu,
Rajawali Lautan Timur terpaksa memutar ki-pasnya dan mengandalkan jubah emasnya untuk
mempertahankan diri dan sampai belasan jurus dia tidak sempat membalas serangan lawan yang
ber-tubi -tubi.
Memang hebat sekali permainan cangkul dari Petani Lautan. Selama tiga tahun ini dia sudah
memperdalam gerakan -gerakannya, bahkan mem-perkuat sinkangnya dengan latihan -latihan. Selain
gerakannya cepat dan kuat, langkah -langkah ke-dua kakinya aneh sekali dan tubuhnya seperti da-pat
pindah -pindah posisi di luar perhitungan la-wan, juga kini peluh -peluhnya mulai berpercikan di sekitar
tubuhnya dan terutama sekali di bagian depan tubuh sehingga butiran -butiran keringat itu
menyambar ke arah lawan seperti senjata -sen-jata rahasia. Memang tentu saja butiran -butiran peluh
ini tidak berbahaya, akan tetapi bagaimana-pun juga harus diakui bahwa sambaran air -air yang
berbau kecut ini cukup membingungkan la-wan, apa lagi kalau menyambar ke arah muka dan
terutama mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga tahun yang lalu, dalam pertandingan yang sama, yaitu memperebutkan kedudukan Raja Laut-an,
Rajawali Lautan Timur menang tipis. Hanya se-sedikit selisih tingkat di antara mereka. Andaikata
tingkat kepandaian Si Rajawali Lautan masih sama dengan tiga tahun yang lalu, sekali ini mungkin dia
akan kalah. Akan tetapi, sebagai seorang Raja La-utan, tentu saja selama ini dia tidak tinggal diam.
Dia tahu bahwa mempertahankan lebih sukar dan berat ketimbang merebut karena yang hendak merebut
tentu berusaha mati -matian untuk merebut kedudukan itu. Maka selama tiga tahun ini Si Rajawali
Lautan Timur juga telah menggembleng diri dan mencapai kemajuan -kemajuan besar.
Setelah agak terdesak selama belasan jurus, akhirnya Tung -hai -tiauw dapat mengatur kem-bali
posisinya dan dapat menguasai perkelahian itu. Kipas besinya mengebut runtuh semua butiran
keringat yang menyambar ke arahnya dan sekaligus menangkis setiap serangan cangkul dan
gagangnya. Kipas besinya itu seolah -olah membentuk benteng baja yang membuat cangkul lawan
tidak dapat menembusnya, dan sebagai pembalasan, tangan kanannya membentuk cakar rajawali
dan menyam-bar-nyambar ke depan. Kipas telah dipindahkan ke tangan kiri, dan kini lengan
kanannya berobah keras dan amat kuat, kuku-kuku jari tangán ka-nannya tajam dan runcing
melengkung. Betapapun juga, Si Rajawali Lautan Timur hanya dapat me-lindungi dirinya karena
semua cengkeramannya tidak pernah mengenai sasaran. Agaknya langkah-langkah ajaib dari
lawannya amat luar biasa pula.
membuat tubuh lawannya itu kadang -kadang se-perti lenyap dari depannya dan tahu -tahu muncul di
sebelah kiri, kanan atau bahkan di belakangnya !
Karena merasa jengkel melihat kelincahan la-wan, Rajawali Lautan Timur lalu sengaja memperlambat
gerakannya. Melihat lowongan ini Si Petani Lautan girang sekali dan cangkulnya menyambar
dengan dahsyatnya ke arah kepala lawan.
"Wuuuuttt !" Mata cangkul berobah menjadi sinar berkilat ketika menyambar muka Tunghai -
tiauw. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu tidak mengelak atau menangkis, bahkan meloncat ke atas
sehingga mata cangkul menyambar ke arah dadanya! Raja Lautan itu sengaja menerima han-taman
cangkul itu dengan dadanya yang tentu saja terlindung oleh jubah emasnya yang membuatnya kebal.
Dan satu -satunya bahaya hanyalah tenaga pukulan itu yang mengandung sinkang amat kuat, maka
diapun mengerahkan tenaga sinkang ke arah dada untuk melawan tenaga penyerangnya.
"Desss !" Pada saat mata cangkul menghantam dadanya, pada saat itupun Tung-hai-tiauw
menggunakan tangan kiri yang memegang kipas menotok ke arah jalan darah di dada lawan.
Si Petani Lautan terkejut sekali. Mata cang-kulnya terpental ketika mengenai dada lawan dan melihat
totokan gagang kipas, dia cepat mengelak. Akan tetapi, kini tangan kanan Tung-hai–tiauw yang
membentuk cakar telah mencengkeram ke arah ubun -ubun kepalanya.
Melihat ini, Si Petani Lautan cepat membalik-kan cangkulnya, menangkis dengan gagangnya. Akan
tetapi, Tiing -hai -tiauw melanjutkan serang-annya dan ketika gagang cangkul menangkis, dia
mencengkeramnya.
"Krekkkk !" Gagang cangkul itu hancur lebur dicengkeram oleh cakar rajawali! Dengan wajah
pucat, Si Petani Lautan meloncat dua meter ke belakang sambil menjura.
"Hai -ong, kepandaianmu makin hebat saja dan engkaulah yang pantas menjadi Raja Lautan. Aku
mengaku kalah !"
Semua orang yang mengikuti jalannya perkela-hian itu memandang terbelalak dan merasa ngeri
membayangkan betapa kuatnya cakar rajawali itu. Kalau anggauta badan lawan yang kena dicengkeram,
tentu akan cabik -cabik dagingnya dan re-muk-remuk tulangnya. Setelah Si Petani Lautan
mengaku kalah, terdengar tepuk tangan memuji.
Tepuk tangan itu tiba -tiba terhenti ketika se-mua orang melihat majunya Lam -siauw -ong. Si Raja
Muda Selatan. Dengan sikapnya yang ang-kuh, pakaiannya yang mewah seperti seorang bang-sawan
tulen, tubuhnya yang gendut, dia melangkah ke depan menghampiri tuan rumah.
"Hebat, hebat kepandaian Si Rajawali Lautan Timur semakin tangguh saja, membuat aku merasa
jerih untuk dapat merebut kedudukan. Hai-ong, terimalah persembahanku ini!" Sambil berkata
demikian, tangan kanannya meraba ke balik jubahnya yang lebar panjang dan pada saat itu, seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
pembantunya melontarkan sebuah bungkusan kecil yang kelihatan berat ke arahnya. Nampak kilat
menyambar menyilaukan mata dan tahu-tahu Raja Muda Selatan ini telah memegang sebatang
pedang di depan dadanya, pedang ditodongkan ke depan dan bungkusan kecil yang berat itu telah
berada di ujung pedangnya !
"Tunggu sebentar, Siauw -ong !" kata Raja-wali Lautan Timur dan diapun sudah mengham-piri meja
tempat ditaruhnya barang -barang bing-kisan, menyimpan kipasnya dan mengambil bung-kusan
panjang pemberian Si Petani Lautan tadi. dibukanya bungkusan itu dan ternyata benda itu adalah
sebatang golok dengan sarungnya yang amat indah. Sebuah golok pusaka yang telah dirampas oleh
Si Petani Lautan dari perahu kerajaan ! Raja-wali Lautan Timur agaknya sudah tahu ketika tadi
menerima benda itu dan untuk menghadapi pedang Raja Muda Selatan, tidak cukup kalau hanya
mem-pergunakan kipas besinya. Dia sudah mendengar bahwa lawan ini telah memperdalam ilmu
pedang-nya dan menguasai Ilmu Pedang Hun -kin -kiam (Pedang Pemutus Urat) yang amat
berbahaya. Untuk menghadapi ilmu pedang itu, Raja Lautan ini sengaja menciptakan sebagai
tandingannya ilmu golok yang hebat. Dia memang ahli main golok di samping ilmu silat lainnya dan
dianggapnya bahwa satu -satunya senjata yang tepat untuk menghadapi pedang lawan hanya ilmu
golok. Dia sendiri me-miliki sebatang golok yang baik, akan tetapi karena dia tahu bahwa golok yang
dipersembahkan oleh Si Petani Lautan itu adalah golok pusaka yang ampuh, maka diapun segera
mengambilnya.
Si Petani Lautan tersenyum. Memang dia se-ngaja menyerahkan golok itu karena dia mende-ngar
akan persiapan tuan rumah menghadapi Raja Muda Selatan. Memang sudah direncanakan demikian.
Kalau dia kalah, biarlah tuan rumah ini tetap menjadi Raja Lautan dan mengalahkan Raja
Muda Selatan pula. Dia tidak rela kalau keduduk-an Raja Lautan itu akan terampas oleh Lam-siauwong,
saingan besarnya..
Tung -hai -tiauw kini melangkah ke depan dan berdiri di lantai atas, lebih tinggi dua anak tangga dari
pada Lam -siauw -ong yang berdiri di bawah. Raja Lautan ini nampak gagah perkasa dengan pakaian
yang mewah pula, gelung rambut di atas kepala itu dihias dengan hiasan rambut seperti yang biasa
dipakai oleh para bangsawan, agaknya untuk menandakan bahwa dia adalah Raja Lautan, walaupun
raja kaum bajak! Tubuhnya yang ting-gi itu berdiri tegak, tangan kanan memegang golok
pusaka di depan dada, tangan kirinya siap pula membantu, dan matanya memandang tajam ke arah
lawan.
"Lam -siauw -ong, aku telah siap menghadapi Ilmu Hun -kin -kiam dari pedangmu !" katanya dengan
sikap tenang.
Lam -siauw -ong berdiri tegak dengan kaki kanan di depan. Suasana amat sunyi dan mene-gangkan
hati. Orang bertubuh gendut yang meng-aku sebagai Raja Muda Selatan ini, sejenak meno-leh dan
memandang ke arah Petani Lautan dengan alis berkerut. Agaknya diapun dapat "mencium" rencana
siasat yang dijalankan oleh saingannya itu dengan memberi sumbangan berupa sebuah golok pusaka
kepada tuan rumah. Melihat Si Petani La-utan yang sudah kalah itu tersenyum, Lam -siauw-ong
mengeluarkan suara menggumam dari kerong-kongannya, kemudian dia memandang lagi kepada
tuan rumah yang sudah siap.
"Hai -ong, terimalah !" Tiba -tiba dia berseru dan sekali pedangnya tergetar, tiba -tiba bung-kusan di
ujung pedang itu seperti hidup, bergerak-gerak dan akhirnya meloncat ke arah tuan rumah ! Menyusul
itu, nampak sinar pedang bergulung-gulung dan terdengar suara berdesing -desing di-sertai angin
yang membuat lampu -lampu gantung bergoyang dan api lilin berkelap -kelip.
"Haiiiittt !" Lam -siauw -ong mengeluarkan suara melengking nyaring dan sinar pedang yang
bergulung -gulung itu kini meluncur ke arah tuan rumah, mengikuti bungkusan barang sumbangannya
tadi.
Tung -hai -tiauw sudah menggerakkan golok-nya menyambut bungkusan. "Trakkk !" Bungkusan yang
berat itu menempel pada golok itu seperti besi dengan sembrani. Akan tetapi sinar pedang lawan
sudah datang menyerang. Menerima bung-kusan sumbangan haruslah dengan hormat dan pantang
untuk menjatuhkan bungkusan itu. Akan tetapi kalau bungkusan yang menempel pada golok itu tidak
dilempar, tentu akan sukar baginya menghadapi serangan lawan yang demikian dah-syat ! Maka
Tung -hai -tiauw lalu menggetarkan goloknya dan bungkusan itu terbang ke atas. Pada saat itulah
dunia-kangouw.blogspot.com
sinar pedang datang menyambar dan golok yang diputar itupun berobah menjadi gu-lungan sinar
putih cemerlang.
"Trang -cringgg tranggg, tranggg !!"
Empat kali beruntun dua senjata itu bertemu. Bu-nga api berpijar dan keduanya merasa betapa tangan
mereka tergetar hebat. Pada saat itu, bung-kusan sumbangan sudah melayang turun kembali,
disambut oleh Tung -hai -tiauw dengan tangan kiri sedangkan kakinya meloncat ke belakang untuk
menghindarkan diri kalau -kalau lawan kembali menyerang. Akan tetapi, sinar pedang itu berkele-bat
panjang mengitari tubuh Lam -siauw -ong dan ketika dia berdiri tegak, ternyata ada tiga batang lilin
pendek bernyala di atas pedangnya ! Kiranya pedang itu telah menyambar tiga batang lilin yang
bernyala di atas meja tak jauh dari situ dan sede-mikian hebat gerakan pedang itu sehingga mam-pu
membabat tiga batang lilin yang potongannya melekat pada pedang, sedangkan api ketiga lilin itu
tidak padam! Kecepatan gerak disertai tenaga sinkang yang amat kuat ini membuat semua orang
melongo karena gerakan pedang membabat dan membawa potongan lilin itu seperti permainan sulap
saja. Maka terdengarlah tepuk tangan me-muji.
Lam -siauw -ong memandang dengan mata bersinar mengejek ketika tuan rumah melempar-kan
bungkusan sumbangan itu kepada seorang pembantunya yang segera menaruhnya dengan si-kap
hormat ke atas meja, di antara tumpukan ba-rang -barang sumbangan lain. Kemudian, Lam-siauw -
ong menggerakkan tangan yang memegang pedang dan tiga batang lilin pendek yang bernya-la itu
menyambar berturut -turut ke arah Tung-hai -tiauw. Laki -laki tinggi kurus ini menggerak-kan goloknya
dan nampak sinar golok berkelebat menyilaukan mata tiga kali dan tiga batang potong-an lilin itu
berobah menjadi enam potong dengan apinya masih menyala ketika enam potong itu runtuh ke atas
lantai dan apinya padam. Kiranya golok itu dengan kecepatan kilat telah membelah potongan lilin itu
menjadi dua dengan belahan di tengah-tengah sehingga sumbunyapun terbelah dua dan masingmasing
masih bernyala! Tentu saja demonstrasi penggunaan golok yang luar bia-sa hebatnya ini
disambut dengan tepuk sorak oleh para tamu.
Lam -siauw -ong memandang dengan hati panas dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah me-nerjang
ke depan, pedangnya bergerak dengan ce-pat. Lawannya menyambut dan mereka sudah sa-ling
serang dengan serunya, tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang dan golok yang
seolah -olah berobah menjadi dua ekor naga yang saling belit dan saling himpit.
Dua orang raja kaum sesat yang hadir sebagai tamu, yaitu Sin-go Mo Kai Ci dan San -hek -houw,
memperhatikan gerakan mereka berdua yang ber-kelahi itu dan diam -diam mereka terkejut dan
kagum bukan main, maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menandingi tuan rumah dan
saingannya itu. Apa lagi mengingat bahwa mereka sebagai tokoh -tokoh darat dan sungai kini berada
di "dunia lain", yaitu di daerah kekuasaan bajak-bajak laut sehingga mereka terpencil dan merasa
amat asing. Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa mereka berdua adalah utusan Raja Kelela-war
dan mengandalkan iblis yang amat lihai itu, tentu mereka berdua akan merasa jerih sekali.
"Cring -trang -tranggg !!" Untuk ke sekian
kalinya pedang bertemu dengan golok dan nampaklah
bunga api berpijar menyilaukan mata. Ke-dua orang yang telah mengadu tenaga lewat senjata
mereka itu cepat memeriksa senjata masing-masing dan legalah hati mereka melihat bahwa
senjata mereka tidak menjadi rusak. Lam -siauw-ong yang tadinya mengandalkan pedangnya dengan
Ilmu Pedang Hun -kin -kiam -sut itu, merasa pe-nasaran sekali bahwa lawannya mampu mematahkan
semua serangannya dengan ilmu goloknya. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang
la-gi ke depan dengan dahsyat, pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar panjang dan menyambar
-nyambar dengan ganasnya. Hun -kin-kiam-sut (Ilmu Pedang Pemutus Urat) adalah ilmu
pedang yang dilatihnya selama tiga tahun ini, dan merupakan ilmu pedang yang amat dahsyat. Ujung
pedang itu seperti hidup saja, dapat mencari urat-urat halus dan jalan -jalan darah yang me-matikan,
maka setiap tusukan atau bacokan meru-pakan serangan maut. Karena Lam -siauw -ong
menggerakkan pedangnya dengan pengerahan sin-kang, maka selain pedang itu lenyap berobah
men-jadi sinar bergulung -gulung, juga dari gulungan sinar itu kadang -kadang mencuat sinar
menyam-bar ke arah lawan dan setiap kali nampak sinar menyambar ini, terdengar bunyi bercuitan
menge-rikan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ternyata ilmu golok yang dimain-kan oleh Tung -hai -tiauw juga hebat sekali. Se-lain golok
yang dimainkannya merupakan golok pusaka, juga ilmu goloknya amat hebat. Golok itu adalah golok
pusaka yang tadinya merupakan pu-saka istana kaisar, bernama Toat -beng -to (Go-lok Pencabut
Nyawa). Sebenarnya, kalau diban-dingkan dengan ilmu golok yang dimainkan tuan rumah dengan
Ilmu Pedang Hun -kin -kiam -sut, maka ilmu golok itu masih kalah hebat. Sekiranya Tung -hai -tiauw
hanya mengandalkan ilmu go-loknya menghadapi Lam -siauw -ong, agaknya dia akan kalah. Akan
tetapi, kekalahannya dalam hal mainkan senjata itu tertutup oleh keuntungannya karena dia memakai
baju emas yang membuatnya kebal itu. Beberapa kali ketika ujung pedang me-nyambar ke arah
dadanya, dengan berani dia me-nerima tusukan itu dengan baju emasnya dan mem-barengi dengan
bacokan golok sehingga Lam-siauw -ong menjadi sibuk bukan main karena tu-sukannya meleset dan
dirinya bahkan terancam bacokan maut! Di samping baju emas yang mem-buatnya kebal itu, juga
Tung -hai -tiauw masih memiliki cengkeraman kukunya dari tangan kiri dan cengkeraman ini amat
berbahaya, tidak kalah dari serangan goloknya. Karena bantuan baju emas dan cengkeraman kuku
inilah maka Tung -hai-tiauw mulai dapat mendesak lawannya !
Kembali pedang itu meluncur ke arah leher de-ngan tusukan yang halus dan cepat sekali sampai
mengejutkan hati Tung -hai -tiauw. Kalau tusukan itu mengenai jalan darah di lehernya, tidak usah
dalam -dalam tusukan itu, tentu dia akan roboh dan tak mungkin dapat bangkit kembali. Maka cepat
dia menangkis dengan goloknya sambil me-ngerahkan tenaga. Pedang tertangkis, terpental dan
dengan cepatnya pedang yang tertangkis itu me-luncur ke bawah, membacok ke arah urat di pun-dak.
Untuk ke sekian kalinya, Lam -siauw -ong yang bergerak menurut ilmu pedangnya, lupa bah-wa
lawannya memakai baju emas yang membuat-nya kebal, maka pedangnya membacok pundak lawan.
Tung -hai -tiauw membiarkan saja pun-daknya diserang bacokan dan sebagai balasan, go-loknya
menyambar ke arah paha kanan lawan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar! Sungguh
luar biasa dahsyat dan berbahayanya se-rangan balasan Tung -hai -tiauw ini! Pada detik terakhir yang
amat menegangkan dan berbahaya bagi nyawanya ini, terdengar Lam-siauw-ong mengeluarkan
suara melengking, pedangnya ber-kelebat dan tubuhnya dilemparkan ke belakang.
"Bretttt !!" Terdengar suara nyaring dan
Lam -siauw -ong berjungkir balik dan dapat ber-diri dengan terhuyung, mukanya pucat sekali ka-rena
bajunya bagian pusar telah koyak-koyak. Nyaris perutnya yang koyak oleh cengkeraman tadi dan
pedangnya mampu menyerempet pung-gung tangan kiri lawan, menimbulkan luka sedikit dan
berdarah sedikit.
Mengertilah Lam -siauw -ong bahwa pihak tuan rumah telah bersikap murah hati terhadap di-rinya,
karena kalau Tung -hai -tiauw tadi meng-hendaki, tentu kini dia telah roboh dengan isi perut
berantakan ! Maka diapun tahu diri, maklum bah-wa sampai saat itu tingkat kepandaiannya masih
kalah sedikit. Diapun menjura dan berkata dengan suara mengandung kekecewaan besar, "Hai -ong,
aku mengaku kalah !"
Tung -hai -tiauw merasa girang bukan main telah dapat mengalahkan lawan yang paling berba-haya
ini. Dia tersenyum lebar dan balas menjura. "Ah, Siauw -ong telah bersikap merendahkan diri dan
sengaja telah mengalah terhadapku. Terima kasih, Siauw-ong. Nyaris tanganku buntung oleh
pedangmu yang amat lihai!"
Raja Muda Selatan itu kembali ke tempat du-duknya dengan lesu dan tepuk sorak para hadirin yang
menyambut kemenangan Rajawali Lautan itu baginya seperti ejekan terhadap dirinya sehing-ga
mukanya menjadi kemerahan.
Setelah Petani Lautan dan Raja Muda Selatan kalah, tidak ada lagi kepala bajak yang berani maju
mencoba kepandaiannya terhadap Rajawali Lautan, oleh karena itu, jelas bahwa kedudukan Hai -ong
(Raja Lautan) masih dimiliki Tung -hai-tiauw untuk jangka waktu tiga tahun lagi. Kursi singgasana
yang tadinya ditutupi kain putih kini dibuka dan dengan resmi, di bawah tepuk tangan para hadirin,
Tung -hai -tiauw duduk di atas kursi singgasana itu dengan sikap gagah dan gembira. Semua orang
lalu mengangkat cawan memberi se-lamat kepada Raja Lautan.
Sin -go Mo Kai Ci dan San -hek -houw yang; datang sebagai tamu yang tidak mempunyai hu-bungan
dengan pemilihan Raja Lautan, juga seba-gai rekan -rekan dari Tung -hai -tiauw karena mereka
bertiga pernah dikenal di dunia kang -ouw sebagai Sam -ok (Si Tiga Jahat), juga bangkit dari kursi
mereka, menghampiri Tung -hai -tiauw sam-bil mengangkat cawan arak mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hai -ong, kami berdua dalam kesempatan ini mengucapkan selamat atas kemenanganmu !" kata San
-hek -houw dan dia mengangkat cawan arak-nya, diikuti oleh Si Buaya Sakti.
Karena dua orang ini merupakan tokoh -tokoh besar di dunia hitam, Tung -hai -tiauw menerima
ucapan selamat itu sambil tertawa gembira dan bangga, mengucapkan terima kasih sambil mengangkat
cawan dan sekali tenggak habislah arak da-lam cawannya. Sebelum kedua orang rekannya itu
kembali ke tempat duduk mereka, Tung-hai-tiauw berkata kepada mereka, "Dua sahabat baik yang
jauh -jauh datang tentu membawa keperluan pen-ting. Nah, setelah kini upacara pemilihan Raja Lautan
yang baru telah selesai, harap kalian suka. menceritakan keperluan penting itu."
Dua orang itu lalu menarik bangku dan duduk di depan Rajawali Lautan itu, dan Si Buaya Sakti
dengan suaranya yang tinggi lalu berkata, "Sesung-guhnya kami berdua diutus oleh keturunan dari
junjungan golongan kita, yaitu yang mulia Raja Kelelawar, untuk menemuimu dan menanyakan
apakah engkau sudah menerima surat undangan beliau beberapa bulan yang lalu ?"
Tung -hai -tiauw mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada kedua orang tamunya. Kalau
bukan dua orang ini yang datang bercerita, tentu dia tidak akan mau percaya. Dua orang ini adalah
raja-raja kaum sesat golongan darat dan sungai, mana mungkin dapat menjadi utusan kalau yang
mengutusnya itu bukan orang yang benar-benar hebat sekali kepandaiannya ? Mereka itu memiliki
kedudukan dan kepandaian yang seting-kat dengan dirinya, dan kini mereka datang seba-gai utusan,
agaknya untuk menegurnya karena dia telah mengabaikan surat undangan yang diterima-nya secara
aneh itu.
"Memang benar, aku telah menerimanya. Akan tetapi aku harus hati -hati. Siapa tahu ada orang yang
memalsukan nama junjungan kita itu dan mengaku -aku saja. Kita sendiri kan belum pernah bertemu
dengan tokoh yang disebut Raja Kelela-war itu. Kita cuma mendengar saja dari dongeng nenek
moyang kita. Mana kita bisa tahu apakah yang muncul ini tulen ataukah palsu ?"
San -hek -houw mengerutkah alisnya dan pan-dang matanya mengandung kemarahan. Dia sudah
takluk benar kepada Raja Kelelawar dan dia su-dah yakin bahwa raja iblis itu memang benar amat
sakti dan memiliki kesaktian -kesaktian seperti yang terdapat dalam dongeng tentang Raja Kele-lawar.
Kini sebagai orang kepercayaan Raja Kele-lawar, dia mendengar bahwa keaselian junjungan-nya itu
diragukan orang, maka hatinya menjadi panas. Akan tetapi dia bukan orang bodoh dan dia tahu
bahwa dia sebagai seorang tamu di sarang ba-jak, mempunyai kedudukan yang amat lemah dan
berbahaya. Oleh karena itu, diapun menelan saja perasaan dongkolnya dan memberi isyarat dengan
pandang matanya kepada Buaya Sakti agar mereka cepat -cepat pergi dari tempat itu. Si Buaya Sakti
maklum akan kemarahan kawannya, maka diapun berkata dengan suara datar,
"Kami berdua hanya utusan saja, dan jawaban Hai -ong tentu akan kami sampaikan seperti apa
adanya kepada Raja Kelelawar yang mengutus kami. Nah, sekarang kami berdua terpaksa mohon diri
untuk kembali ke tempat kami masing -ma-sing."
"Ah, kenapa tergesa -gesa ?" Tung -hai -tiauw berkata, merasa tidak enak juga karena tidak ingin
dianggap kurang ramah apa lagi mengusir dua orang tamunya ini. Diapun tahu bahwa di darat, dua
orang ini jauh lebih terkenal dari pada dirinya-dan juga kedudukan mereka berdua ini lebih kuat.
Dengan dua orang seperti ini, yang telah dirang-kaikan dengan dia sebagai Si Tiga Jahat, lebih aman
kalau bersahabat, bukan bermusuhan. "Apa-kah kalian tidak ingin melihat perlumbaan perahu-perahu
kita malam nanti ? Dan yang lebih mena-rik lagi, apakah kalian tidak ingin melihat upacara
penyerahan korban perawan jelita di Pusaran Maut ?"
"Tidak, terima kasih." Kini Harimau Gunung, yang menjawab. "Kami harus cepat -cepat pulang untuk
membuat laporan kepada Raja Kelelawar."
Rajawali Lautan Timur bukan tidak berkesan mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Kalau dua orang
rekannya ini sudah begitu tunduk, tentu to-koh yang mengaku sebagai Raja Kelelawar ini benar -
benar hebat kepandaiannya. Akan tetapi, dia sendiri baru saja menangkan kedudukan Raja Lautan,
mana mungkin dia memperlihatkan kele-mahan dan rasa jerihnya terhadap tokoh yang baru muncul
dan yang belum dikenal serta diketahui sampai di mana kelihaiannya itu ? Pula, dia berada di tempat
sendiri, di daerah bajak, di mana hadir orang -orang lihai yang akan membantunya dan membela
kawan sendiri seperti Petani Lautan, Ra-ja Muda Selatan dan semua anak buah yang de-mikian
banyaknya. Takut apa ? Maka diapun tersenyum mengejek mendengar ucapan Harimau Gu-nung
tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemm, baiklah. Aku tidak akan menahan lagi. Akan tetapi, kita bertiga yang sudah lama menjadi
rekan-rekan, yang nama kita dikaitkan orang seba-gai Sam -ok, sungguh sayang kita kini berbeda
pendapat dalam hal kekuasaan dan kedaulatan kita. Sampaikan saja salam kami kepada orang yang
mengaku keturunan Raja Kelelawar itu. Katakan bahwa kami, orang -orang lautan, ingin hidup be-bas
tanpa, harus diperintah orang dari golongan lain."
Ucapan ini merupakan tantangan halus yang ditujukan kepada Raja Kelelawar! Dua orang to-koh
sesat itu marah dan mendongkol sekali. Kalau saja mereka tidak berada di wilayah bajak, tentu
mereka akan menyerang Rajawali Lautan. Akan tetapi mereka tahu diri, maka mereka tidak menjawab
dan hanya mengangguk. Tung -hai -tiauw juga tidak mau banyak cakap lagi, lalu dia sendiri
mengantar dua orang tamu ini keluar dan melihat sampai keduanya benar -benar telah pergi meninggalkan
pulau itu.
Setelah dua orang yang dianggapnya saingan berbahaya itu pergi, Tung -hai -tiauw yang kini untuk
ketiga kalinya kembali telah menduduki sing-gasana Raja Lautan dan berhak menjadi majikan dari
pulau dengan istananya itu, lalu mengajak dua orang tangan kanannya, yaitu Petani Lautan dan juga
Raja Muda Selatan untuk melihat perlumbaan perahu. Dengan diiringkan oleh para pengawal, para
dayang dan juga isteri dari Rajawali Lautan, mereka semua lalu pergi ke panggung yang didiri-kan di
tepi telaga, dengan wajah gembira nonton perlumbaan yang baru akan dimulai setelah Raja Lautan itu
hadir di panggung.
Senja telah mendatang, matahari telah condong jauh ke barat. Perlumbaan yang hendak diadakan
sekarang adalah perlumbaan terakhir yang merupa-kan puncak pertunjukan karena kini yang akan
berlumba hanya tiga buah sampan saja. Akan te-tapi, para penumpangnya adalah thouw -bak-thouwbak
(mandor -mandor bajak) yang meru-pakan pembantu -pembantu utama para raja bajak yang telah
memiliki kepandaian tinggi. Tentu saja keadaan menjadi menegangkan dan panas, karena tiga perahu
yang akan berlumba itu seakan -akan mewakili golongan masing -masing, yaitu golongan anak buah
tuan rumah yang menjadi Raja Lautan, golongan anak buah Petani Lautan dan anak buah Raja Muda
Selatan.
Setelah tiga buah perahu yang ditumpangi ma-sing-masing oleh tiga orang itu siap, dimulailah
perlumbaan dan terjadilah perlumbaan seperti yang sudah terjadi kemarin. Akan tetapi sekarang lebih
ramai-lagi karena para penghuni perahu itu adalah orang -orang yang lihai, bukan hanya lihai ilmu
silatnya akan tetapi juga lihai dalam mengemudikan dan melayarkan perahu mereka. Dan se-perti
juga kemarin, perlumbaan ini lebih berupa, perkelahian di atas perahu atau usaha untuk saling;
menenggelamkan perahu lawan dari pada perlum-baan adu cepat. Setiap kali ada sebuah perahu
yang agaknya meluncur paling cepat, yang dua lalu menggunting dari kanan kiri dan menyerang perahu
itu dengan dayung-dayung panjang mereka, bukan hanya berusaha menghantam badan perahu
atau merusak layar atau merobohkan tiang layar, akan tetapi bahkan tidak segan -segan untuk sa-ling
hantam ! Mereka sungguh ahli mengemudikan perahu. Perahu -perahu itu sampai miring, saling,
serobot dan saling tabrak, akan tetapi dengan ce-katan mereka mampu menghindar dan balas menyerang
untuk menggenjot perahu lawan dari sam-ping dalam usaha mereka menggulingkan lawan.
Perlumbaan atau perkelahian antara tiga pera-hu itu terjadi dalam suasana panas, apa lagi karena
tepuk sorak para pendukung masing -masing tak pernah berhenti memberi semangat kepada jagoan
masing -masing. Beberapa kali ada perahu yang tertabrak dan terguling. Akan tetapi dengan ce-katan
para penumpangnya sudah berhasil memba-likkan perahu mereka dan mendayung lagi. Ada yang
kepalanya benjol -benjol terkena hantaman dayung. Akhirnya, dengan kepala benjol-benjol dan perahu
dalam keadaan tidak utuh lagi, perahu anak buah Raja Muda Selatan keluar sebagai pemenang
setelah lebih dulu berhasil mencapai garis yang ditentukan. Mereka menerima sambutan sorak-sorai
dan juga menerima hadiah-hadiah dari Raja Lautan.
Sementara itu, matahari telah terbenam dan se-bagai gantinya, bulan yang amat besar dan merah
muncul dari permukaan laut sebelah timur. Sete-lah perlumbaan selesai, kini disusul pesta air ! Raja
Lautan dan keluarganya, juga para kepala bajak seperti Petani Lautan dan Raja Muda Selatan, naik
perahu yang dihias meriah dengan lampu -lampu gantung yang berwarna -warni, dan berpesta-pora di
atas telaga. Terdengar bunyi musik mengiringi nyanyian wanita-wanita penghibur dan semua orang
mulai bermabok -mabokan. Acara terakhir malam itu adalah penyembahan korban untuk Dewa Laut
yang akan dilakukan di Pusaran Maut. Seo-rang perawan jelita akan dikorbankan, seperti yang terjadi
setiap tiga tahun sekali!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiupan rumah kerang raksasa menjadi tanda bahwa upacara itu akan segera dilaksanakan. Perahuperahu
dipersiapkan dan semua perahu yang berpesta -pora lalu minggir. Perahu Rajawali La-utan
dan perahu -perahu para pimpinan bajak te-lah siap mengikuti upacara itu. Sebuah perahu yang
dihias secara khas nampak diturunkan ke air dari pantai. Lalu dari pantai nampak sebuah ge-robak
dorong yang didorong orang ke atas perahu. Di atas gerobak dorong ini nampak seorang gadis yang
duduk bersandar tiang dalam keadaan terbe-lenggu kaki tangannya. Gadis itu dalam keadaan sadar
dan dengan sepasang matanya yang mengelu-arkan sinar berapi -api, gadis itu memandang ke kanan
kiri. Jelas bahwa ia berada dalam keadaan terancam, akan tetapi hebatnya, sedikitpun ia tidak
kelihatan takut. Kedua lengannya terbelenggu ke belakang tubuhnya, diikat oleh belenggu besi pada
tiang, dan kedua pergelangan kakinya juga dibelenggu dengan belenggu besi yang dipasang di papan
gerobak. Dara itu bukan lain adalah Ho Pek Lian !
Seperti telah kita ketahui, dara itu memasuki pulau dengan berani dalam usahanya mencari Bu Seng
Kun, A-hai, dan juga Bu Bwee Hong, di samping juga berusaha untuk mencari ayahnya yang pernah
didengar suaranya di dalam sebuah perahu. Akan tetapi, karena terkejut melihat pa-tung yang tibatiba
hidup, ia ketahuan dan akhir-nya dikeroyok dan tertawan. Sungguh malang ba-ginya, pada waktu
itu Raja Lautan membutuhkan seorang dara jelita yang pantas untuk menjadi korban yang akan
dipersembahkan kepada Dewa Laut, dan iapun terpilih ! Bahkan Tung-hai-tiauw merasa bangga dapat
mempersembahkan seorang dara yang bukan hanya cantik jelita melainkan ju-ga gagah perkasa. Dia
percaya bahwa Dewa La-utan akan merasa girang sekali dengan persembah-an istimewa ini dan
tentu akan memberi berkah kepada semua bajak sehingga di masa mendatang akan berhasil baik
dalam pekerjaan mereka mem-bajak !
Perahu kecil terhias yang membawa Pek Lian itu pun meluncur perlahan, diiringkan oleh perahuperahu
Rajawali Lautan, Petani Lautan, Raja Mu-da Selatan dan para kepala bajak lainnya. Iringiringan
perahu itu amat banyak, seperti armada saja akan tetapi suasananya tetap gembira, apa la-gi
karena bulan purnama yang bundar besar ke-merahan itu nampak cemerlang tidak terhalang awan
seolah -olah sang bulan ikut merestui kesi-bukan mereka yang akan mempersembahkan kor-ban
sedemikian mulusnya kepada Dewa Laut! Bulan purnama yang kemerahan itu nampak besar dan
perlahan-lahan naik menjauhi permukaan laut. Malam yang amat indah. Lautpun tenang sekali,
seolah -olah tidak ada keriputnya sedikitpun juga. Langit bersih sekali sehingga nampak bin-tangbjintang
dengan cahayanya yang pudar karena dikalahkan oleh sinar bulan.
Akan tetapi, kini para anak buah bajak mulai tenang dan suara kegaduhan merekapun mereda,
bahkan lalu menghilang. Mereka maklum bahwa perjalanan sekali ini bukan lagi kelanjutan dari pesta
-pora, melainkan perjalanan yang keramat dan penting, juga berbahaya! Mereka akan mela-kukan
upacara persembahan korban seorang pera-wan suci, kebiasaan tradisionil nenek moyang mereka.
Yang membuat mereka merasa ngeri adalah karena persembahan korban itu dilakukan di daerah
yang teramat berbahaya dan yang amat mere-ka takuti, yaitu daerah pusaran maut, tempat yang
mereka anggap sebagai pintu gerbang menuju ke neraka. Oleh karena itu, makin dekat dengan tempat
mengerikan itu, makin teganglah hati mereka dan makin sunyilah keadaan di atas perahu-perahu
yang beriringan itu.
Pek Lian yang duduk terbelenggu di atas ge-robak dorong yang berada di atas perahu itu, memandang
semua kegiatan ini. Ia tahu bahwa ia menghadapi bahaya maut walaupun ia belum mengerti
bahaya maut macam apa yang dihadapinya. Ia tertawan dan dalam keadaan tertotok, ia telah
ditelanjangi dan dimandikan oleh para dayang, di-mandikan dengan air yang diberi wangi -wangian
seperti seorang calon mempelai saja. Kemudian, pakaian yang baru dari sutera dikenakan pada tubuhnya.
Sampai ia dibelenggu di atas gerobak dan didorong menuju ke perahu itu, ia masih belum
mengerti apa yang akan dilakukan orang terhadap dirinya. Namun, ia bersikap tenang walaupun hati
dan pikirannya tak pernah berhenti berusaha men-cari kesempatan untuk dapat meloloskan diri. Ia
sudah terbebas dari totokan dan sudah beberapa kali ia mengerahkan tenaga mencoba kekuatan belenggu
kaki tangannya. Maka satu -satunya harap-an hanyalah pada saat orang membebaskannya
dari belenggu itu, baru ia akan bergerak mengamuk mati -matian. Kalau perlu, ia akan meloncat ke
dalam lautan dari pada mati di tangan iblis -iblis berwajah manusia ini. Satu -satunya hal yang
membuatnya berduka hanyalah bahwa ia belum berhasil menemukan ayahnya dan yang amat aneh
terasa olehnya adalah betapa dalam keadaan menghadapi bahaya maut seperti itu, yang terba-yang
olehnya hanya wajah ayahnya dan wajah A-hai! Di manakah pemuda itu sekarang ? Masih hidupkah
? Apakah masih ingat kepadanya ? Per-tanyaan -pertanyaan ini tanpa disengaja menyeli-nap dalam
hatinya dan membuatnya heran sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini semua orang mulai dapat mendengar suara itu. Suara yang selalu mendatangkan rasa ngeri di
hati setiap orang bajak laut. Suara gemuruh bagai-kan guntur. Wajah para bajak laut menjadi pucat.
Itulah suara Pusaran Maut! Dan sungguh luar bi-asa sekali, berbareng dengan terdengarnya suara
gemuruh itu, seperti secara mendadak sekali, nam-pak awan tebal hitam bergulung -gulung datang
dan menutupi bulan purnama. Keadaan yang tadi-nya terang-benderang itu tiba-tiba menjadi ge-lapgulita
dan lampu-lampu perahu kini baru nampak terang berkelip-kelip. Semua orang me-mandang ke
arah bulan yang menyelinap ke balik awan hitam itu dengan hati cemas. Suara gemuruh semakin
keras terdengar, membuat semua orang menjadi gelisah.
Tiba-tiba sekali sehingga membingungkan semua orang, terdengarlah suara mengiang yang
merupakan lengking tinggi, seperti suara nyamuk di dekat telinga. Mengiang tajam sekali, membuat
semua orang menjadi semakin ngeri. Semua orartg yang memandang ke atas mengharapkan agar
awan yang menutup bulan cepat berlalu. Mereka tidak ingin datang ke daerah Pusaran Maut dalam
cuaca yang gelap -gulita seperti itu. Terlalu berbahaya ! Akhirnya, awan tebal itu sedikit demi sedikit
meninggalkan bulan purnama.
Para pengawal yang menjaga Pek Lian berna-pas lega. Calon korban masih terikat di tempat-nya
seperti tadi. Akan tetapi, tiba-tiba juru mudi perahu calon korban itu mengeluarkan teriakan tertahan,
disusul kata -katanya yang gagap,
"Heiii ! Lihatlah! Lihatlah bulan itu!
Ada manusia di dalamnya!!"
Semua orang, di atas perahu -perahu itu me-mang sudah melihatnya dan semua mata terbela-lak.
Memang benar ucapan juru mudi perahu ca-lon korban itu ! Di sana, di atas leher burung raja-wali
sebagai penghias ujung perahu Rajawali La-utan, nampak seorang laki -laki berpakaian hitam-hitam
dan bermantel hitam pula, berdiri membela-kangi bulan purnama, maka dia kelihatan seolah-olah
berada di dalam bulan yang besar itu ! Karena pakaiannya serba hitam dan bulan itu sendiri ku-ning
keemasan, maka nampak kontras dan indah seperti lukisan saja. Pek Lian sendiri juga sudah melihat
bayangan itu dan jantungnya berdebar te-gang ketika ia mengenal bahwa orang itu serupa benar
dengan orang yang pernah dijumpainya di atas pulau nelayan. Raja Kelelawar!
Semua orang masih memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, wajah pucat. Me-reka
tidak tahu bagaimana tiba-tiba tubuh orang berpakaian serba hitam itu melayang dengan kecepatan
seperti burung terbang saja menuju ke arah perahu di mana Pek Lian terbelenggu. Mantel hitam itu
berkibar di belakangnya seperti sayap yang lebar dan tahu -tahu dia sudah berada di atas dek perahu
dekat gerobak di mana Pek Lian terikat. Kedua tangannya bergerak -gerak dan terdengarlah besi
belenggu itu patah -patah dan dalam sekejap mata saja Pek Lian telah be-bas ! Akan tetapi, Pek Lian
masih belum mampu bergerak. Tubuhnya masih kaku -kaku karena terlalu lama dibelenggu.
Para pengawal tadinya tertegun seperti orang-orang terpesona oleh permainan sulap yang mengherankan
saja-Akan tetapi, mereka segera sadar bahwa tawanan telah dibebaskan orang, maka empat
orang pengawal dengan senjata di tangan me-nerjang dan menyerang pria tinggi kurus berjubah
hitam itu.
Bit-bo-ong atau Raja Kelelawar, orang yang mukanya kaku seperti topeng itu, seperti tidak
memperdulikan datangnya empat buah senjata ta-jam yang menyerangnya. Dia hanya mendengus,
tangan kirinya bergerak cepat dan terdengar empat kali suara pekik mengerikan dan empat orang
pengawal itu roboh terpelanting dengan kepala berlubang tertembus jari-jari tangan yang runcing
bagaikan pedang. Tentu saja para pengawal lain yang berada di atas perahu itu menjadi ngeri dan
jerih. Bunyi terompet tanda bahaya segera ditiup-kan orang dan perahu -perahu yang lain berdatangan
mengepung perahu calon korban.
"Hemmmm !" Raja Kelelawar mendengus,
tangan kirinya bergerak ke arah Pek Lian dan ga-dis ini mengeluh karena ia telah tertotok dan di lain
saat tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul di atas pundak iblis itu. Gilanya, agaknya sesuai dengan
watak iblisnya yang biadab, tangan kanan iblis itu mengelus -elus pinggul dara yang membu-sung itu,
sedikitpun tidak merasa takut atau ma-lu biarpun ditonton oleh begitu banyaknya musuh yang
mengepungnya ! Kasihan Pek Lian yang ha-nya dapat mematikan rasa malunya karena ia sama
sekali tidak berdaya biarpun ia merasa betapa pinggulnya dielus-elus dan beberapa kali dicubit!
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar aba -aba dari Rajawali Lautan dan ratusan anak panah menyambar ke arah Raja Kelelawar.
Agaknya tak mungkin orang dapat meng-hindarkan diri dari sambaran ratusan anak panah itu
kecuali kalau dapat memutar senjata menang kis atau kalau mengelakpun harus meloncat keluar
perahu. Akan tetapi, iblis itu sama sekali tidak mengelak, juga tidak menggunakan senjata untuk
menangkis, melainkan menggerakkan tangannya dan jubah lebarnya bergerak melingkari dan menyelimuti
seluruh tubuhnya dan tubuh Pek Lian yang dipanggulnya. Anak panah yang ratusan banyaknya
itu begitu menyentuh jubahnya, berjatuh-an di sekeliling badannya sampai bertumpuk -tumpuk.
Tidak ada sebatangpun yang mampu me-nembus jubah itu. Anak panah yang ratusan banyaknya
itu berserakan di sekeliling kakinya. Me-lihat kesaktian ini, para anak buah perahu calon
korban cepat-cepat meninggalkan perahu, pindah ke perahu lain karena merasa takut dan ngeri terhadap
iblis itu.
Para thauw -bak dengan suara gagap dan kaki gemetaran mencoba untuk mengumpulkan kembali
anak buah masing -masing yang dilanda ketakut-an. Melihat munculnya orang yang sama sekali tidak
pernah mereka sangka -sangka itu, apa lagi karena tadi Raja Lautan memang membicarakan, iblis ini
dengan kedua orang pembantunya, maka Tung -hai -tiauw, Petani Lautan dan Raja Muda Selatan
serentak berloncatan dari perahu masing-masing menuju ke perahu calon korban di mana iblis itu
masih berdiri sambil memanggul tubuh Pek Lian, dengan sikap yang amat tenang. Tiga raja bajak itu
tiba di perahu calon korban hampir berbareng, dari tiga jurusan. Melihat ini, tiba -tiba Raja Kelelawar
mengeluarkan suara melengking nyaring dan begitu dia menggerakkan jubahnya yang dikembangkan
dengan kekuatan dahsyat, tum-pukan anak panah di sekelilingnya itu terbang ber-hamburan kembali
ke tempat masing -masing !
Kembali terdengar jerit-jerit mengerikan dan belasan orang anak buah bajak roboh dengan tu-buh
tertembus anak panah ! Ada pula yang sempat menyelamatkan diri di balik perisai mereka. Tiga orang
raja bajak itu sendiri cepat mengibaskan ta-ngan mereka dan runtuhlah anak panah yang me-luncur
ke arah mereka.
Kini Tung -hai -tiauw, Petani Lautan, dan Ra-ja Muda Selatan sudah berdiri berhadapan dengan iblis
itu. Mereka bertiga tentu saja sudah mende-ngar dongeng penuturan nenek moyang mereka tentang
Raja Kelelawar dan kini, berhadapan de-ngan orang yang mengaku keturunan Raja Kelela-war,
mereka memandang tajam penuh selidik. Terutama sekali Tung -hai -tiauw yang baru saja tadi
menolak untuk menakluk kepada iblis ini karena bagaimanapun juga, dia masih belum dapat menerima
begitu saja munculnya seseorang yang meng-aku sebagai keturunan raja -diraja penjahat yang
hanya hidup sebagai dongeng itu. Apa lagi kalau dia, seorang Raja Lautan, harus takluk begitu saja !
Bagaimanapun juga, hati tiga orang raja bajak ini gentar juga. Orang yang berdiri dengan tegak di
depan mereka itu memang mempunyai ciri -ciri seperti Raja Kelelawar dalam dongeng yang mere-ka
dengar dari orang -orang tua dan guru -guru mereka. Orangnya tinggi kurus dengan pakaian serba
hitam, mantel atau jubah hitam pula dan mukanya tersembunyi dalam gelap karena membe-lakangi
bulan, muka yang nampak kaku seperti to-peng. Di pinggangnya sebelah kiri terselip dua buah pisau
panjang yang gagangnya indah berta-bur batu pennata. Tiga orang raja bajak itu terta-rik dan juga
merasa tergetar hatinya, Menurut dongeng yang pernah mereka dengar, raja iblis ini memiliki ilmu -
ilmu yang sakti dan tidak lumrah. Kabarnya memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang tidak
ada bandingnya yang disebut Bu -eng Hwee -teng (Loncat Lari Tanpa Bayang-an), ilmu silat sakti Kim
-liong Sin -kun (Naga Emas) dan tenaga sinkang yang dinamakan Pat-hong Sin -ciang (Tangan Sakti
Delapan Dewa).
Akan tetapi, mereka bertiga memberanikan diri dan mengandalkan ilmu kepandaian mereka sendiri
yang tidak boleh dipandang rendah. Maka, mere-kapun bersikap menantang dan bersiap untuk
melayani iblis itu. Raja Kelelawar melangkah maju dan dengan suaranya yang tajam dan tinggi dia
bertanya,
"Siapakah di antara kalian yang berjuluk Raja-wali Lautan Timur ?"
Tung -hai -tiauw juga maju selangkah dengan berani, kemudian menjawab dengan suara nyaring,
lebih nyaring dari biasanya untuk menambah se-mangatnya sendiri, "Akulah Tung -hai -tiauw yang
juga menjadi Hai -ong ! Siapakah engkau ?"
Iblis itu mendengus. "Huh, mengapa engkau tidak mau datang memenuhi perintahku mengha-diri
pertemuan di kuil atas bukit itu ? Kenapa pula engkau tidak menerima kedua orang utusanku siang
dunia-kangouw.blogspot.com
tadi secara baik ? Benarkah engkau tidak mau bersatu di bawah benderaku, seperti yang terjadi pada
jaman nenek moyang kita dahulu ? Apakah engkau masih meragukan aku ? Nah, kalau begitu,
majulah, akan kuperlihatkan bahwa aku adalah keturunan Raja Kelelawar yang sejati!"
Sambil berkata demikian, dengan lengan kiri masih memanggul tubuh Pek Lian di atas pundak-nya,
tangan kanan bertolak pinggang, raja iblis itu melangkah maju dengan sikap menantang se-kali !
Tung-hai-tiauw adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Apa lagi dia merasa sebagai
Raja Lautan, tentu saja dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Ditantang seperti itu, tentu saja
dia tidak sudi untuk undur selangkah.
"Bagus! Hendak kulihat macam apa adanya orang yang berani menggunakan nama Raja Kele-lawar
untuk mengacau"
Tung -hai -tiauw sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu Tiauw -jiauw -kang (Ilmu Kuku Rajawali)
yang begitu dipergunakan, kuku -kuku jarinya menjadi kaku dan keras seperti baja. Akan tetapi,
cakaran -cakaran kedua tangannya itu di-sambut oleh tangan kanan Bit -bo -ong seenaknya saja dan
setiap kali cakar yang kuat itu bertemu dengan tangan Raja Kelelawar, Tung -hai -tiauw merasa
betapa tangannya panas dan tergetar he-bat ! Padahal, lawannya itu menyambut seranganserangannya
hanya dengan sebelah tangan saja karena tangan kirinya masih memanggul tubuh Pek
Lian di pundaknya !
Tung-hai-tiauw merasa penasaran sekali dan dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu
kipas besi dan segera menubruk ke depan, ta-ngan kirinya tetap mencengkeram ke arah kepala
lawan sedangkan kipas besinya sudah menotok ke arah pusar. Kembali Raja Kelelawar memperlihatkan
kelihaiannya. Dengan mudah saja dia menang-kis cengkeraman pada kepalanya sedangkan
totok-an kipas besi itu diterimanya dengan badan yang terlindung jubah pusakanya.
"Trakkk !" Tubuh Tung -hai -tiauw terpental ke belakang karena ketika kipas besinya menotok,
senjatanya itu membalik dengan amat kerasnya. Dia menjadi semakin penasaran dan dicabutlah
golok pusaka Toat-beng-to hadiah dari Petani Lautan. Kini golok dan kipasnya berkelebatan cepat
menyerang Bit -bo -ong tanpa memperduli-kan kalau -kalau senjatanya itu akan mengenai tu-buh
nona yang dipanggul oleh raja iblis itu. Na-mun, tiba -tiba saja tubuh Raja Kelelawar itu le-nyap dari
pandang matanya dan dari samping, tangan kanan iblis itu sudah mencengkeram ke arah pelipisnya!
Demikian cepat gerakan iblis itu sehingga Tung -hai -tiauw tidak mampu mengikuti gerakannya
dengan pandang mata! Namun, Raja Lautan inipun lihai dan dari angin pukulan yang menyambar dia
tahu di mana lawan yang pandai "menghilang" itu, dan diapun membacokkan golok nya menangkis
untuk membuntungi lengan lawan. Kembali Bit -bo -ong mengelak dan kmi dengan mengandalkan
kelincahan gerakan tubuhnya yang seolah-olah pandai menghilang atau beterbangan amat cepatnya
itu, dia dapat mempermainkan Tung -hai -tiauw !
Raja Lautan itu merasa terkejut bukan main. Lawannya itu memanggul tubuh dara itu, dan ha-nya
mempergunakan sebelah tangan saja, tangan kosong pula, namun sanggup menghadapi golok dan
kipas besinya. Maklumlah dia bahwa memang
benar lawan ini sakti bukan main, maka diapun lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantu-nya.
Memang sejak tadi Petani Lautan dan Raja Muda Selatan sudah merasa penasaran. Mereka
berduapun merasa tidak rela kalau sampai kedau-latan mereka di atas lautan digeser dan dikuasai
oleh seorang asing yang berada di daratan. Maka, begitu melihat isyarat Raja Lautan, mereka berdua
lalu terjun ke dalam perkelahian itu dan memper-gunakan senjata mereka.
"Plakkk !" Tiba -tiba sebuah tamparan tangan kanan Raja Kelelawar mengenai punggung Raja
Lautan. Tamparan itu memang bertemu dengan baju emas yang melindungi tubuh Tung-hai-tiauw
sehingga tidak sampai terluka. Akan tetapi hawa tamparan itu sedemikian kuatnya sehingga dia merasa
seolah -olah isi dadanya rontok semua ! Un-tung bahwa pada saat itu, kedua orang pembantu
utamanya sudah menerjang. Petani Lautan mem-pergunakan senjata cangkul bergagang panjang
sedangkan Raja Muda Selatan mempergunakan pedang pemutus urat yang berbahaya itu.
Bit -bo -ong mengeluarkan suara mendengus keras dari hidungnya. Harus diakuinya bahwa se-telah
tiga orang raja bajak ini mengeroyoknya, dia tidak mungkin dapat melayani mereka seenaknya seperti
itu. Betapapun lihainya, harus diakuinya bahwa tiga orang itupun memiliki tingkat kepan-daian yang
cukup tinggi. Maka diapun lalu meng-gerakkan tangan kanannya dan tahu -tahu dia sudah mencabut
keluar sebatang pisau panjang yang gagangnya indah bertaburan batu permata itu. Karena tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
kirinya masih merangkul Pek Lian yang dipanggulnya, maka dia hanya dapat mempergunakan
sebatang pisau panjang saja. Na-mun, ini juga sudah cukup karena dengan ilmunya meringankan
tubuh yang luar biasa, ditambah pula lindungan yang kuat dari jubah hitamnya, tiga orang lawannya
itu tidak mampu berbuat banyak. Senjata mereka hanya dapat mengenai jubah hitam dan selalu
senjata mereka terpental tanpa dapat melukai lawan, sedangkan gerakan iblis itu me-mang amat
cepat, sukar diikuti dengan pandang mata. Betapapun juga, karena mereka bertiga itu dapat bekerja
sama dan saling bantu, bagi raja iblis itupun tidak mudah untuk dapat merobohkan seorang di antara
mereka. Kalau saja iblis itu tidak memanggul tubuh Pek Lian, kiranya tiga orang jagoan laut itu tidak
akan mampu bertahan sedemikian lamanya.
Pertempuran satu melawan tiga ini sungguh amat seru dan mati -matian. Sebetulnya, kalau saja Raja
Kelelawar menghendaki, biarpun dia me-manggul tubuh Pek Lian, dengan ilmunya yang mujijat,
agaknya dia masih mampu merobohkan dan membunuh para lawannya dengan serangan-serangan
maut. Akan tetapi, dia tidak menghen-daki demikian. Dia membutuhkan bantuan rajaraja bajak ini
untuk memperluas kekuasaannya, maka dia harus mampu menaklukkan mereka, bu-kan membunuh
mereka. Tenaga mereka akan sa-ngat berguna baginya kelak. Karena inilah maka pertempuran itu
berjalan seru dan sampai lewat ratusan jurus belum ada yang kelihatan menang atau kalah.
Perkelahian tingkat tinggi ini amat menegang-kan hati para anak buah bajak, juga para raja ba-jak
kecil yang tidak berani maju karena merasa be-tapa tingkat kepandaian mereka masih belum cu-kup
untuk membantu raja mereka. Mereka demi-kian tegang dan tertarik, hampir tak pernah ber-kedip
menyaksikan pertempuran di atas perahu calon korban itu sehingga mereka tidak sadar bah-wa
perahu -perahu itu bersama -sama terbawa arus yang halus mendekati daerah Pusaran Maut! Baru
setelah sebagian dari mereka terkena percik-an air laut yang halus seperti kabut, mereka sadar! Tadi,
suara gemuruh itu seolah -olah tertelan oleh suara mengaungnya senjata -senjata yang digerak-kan
oleh tangan -tangan yang memiliki tenaga sakti amat kuat itu. Kini, tahu-tahu mereka sadar bahwa
perahu-perahu mereka telah berada di dae-rah Pusaran Maut. Semburan air akibat berpu-singnya air
di pusaran maut itu telah mengenai mereka, padahal pusaran itu masih jauh sekali. Setelah mereka
sadar, kini suara gemuruh itu menggeratak dan tiba-tiba saja seperti menulikan telinga. Mulailah
mereka menjadi panik dan ber-teriak -teriak, apa lagi setelah perahu -perahu mereka itu mulai terasa
oleng terbawa arus dan gelombang yang amat kuat menyeret perahu -pe-rahu itu ke satu jurusan.
Tadi mereka tidak merasakan bahwa perahu-perahu mereka terseret karena perkelahian tingkat tinggi
itu memang hebat bukan main. Demikian cepatnya gerakan Raja Kelelawar menghindarkan diri dari
kepungan tiga orang lawannya sehingga perkelahian itu dilakukan sambil berloncatan di antara
perahu -perahu, tiang -tiang layar, atap dan bergantungan pada tali-tali layar. Memang menakjubkan
sekali menyaksikan kehebatan gin-kang dari Raja Kelelawar yang seolah -olah me-mang hendak
mendemonstrasikan kepandaiannya sambil memanggul tubuh dara yang masih lemas tertotok itu.
Setelah kini mereka sadar, mereka semua ter-kejut bukan main dan mereka menjadi ketakutan
karena mereka maklum akan ancaman bahaya maut yang amat mengerikan. Bagaikan orang-orang
yang baru sadar dari mimpi buruk, semua orang tidak lagi memperdulikan pertempuran yang masih
berlangsung mati -matian itu dan mereka semua berusaha untuk mendayung perahu masing-masing
menjauhi atau keluar dari daerah berba-haya itu. Akan tetapi, arus air begitu kuatnya menarik perahuperahu
itu ke arah satu jurusan dan kini terasa hembusan angin yang amat kuat disertai alunan
gelombang yang makin meninggi. Perahu-perahu itu menjadi cerai -berai. Semua perahu seperti
tersedot ke arah suara gemuruh sehingga suasana menjadi semakin kacau dan semua orang menjadi
panik ketakutan. Kabut tebal menggelap-kan cuaca. Semua orang berteriak-teriak ketakutan. Perahuperahu
mereka tak dapat mereka kuasai lagi, tersedot aras yang amat kuat dan melaju melingkari
kabut tebal itu. Mereka telah berada dalam kekuasaan cengkeraman Pusaran Maut! Pe-rahu -perahu
berputaran semakin cepat dan sema-kin ke tengah. Kabut air makin tebal, orang -orang berteriak dan
tiba -tiba terdengar suara gemeratak seperti benda kayu patah -patah disusul jeritan-jeritan
mengerikan. Pusaran Maut telah mendapat-kan korban pertama dengan pecahnya sebuah pera-hu
dan menghanyutkan semua penumpangnya, ter-sedot oleh air yang berpusing itu entah ke mana.
Para bajak yang berada di atas perahu -perahu yang agak besar dan yang belum benar -benar tercengkeraman
sedotan air berpusing itu berusaha mati -mat,ian untuk menjauhi tempat berbahaya itu.
Akan tetapi perahu mereka itu rasanya seperti ada yang menahan dari belakang dengan kekuatan
yang mengerikan, seperti ada tangan tak nampak yang memegangi buritan mereka. Saking panik dan
ketakutan, ada bajak yang meloncat ke laut, ingin berenang menjauhi tempat itu. Akan tetapi justeru -
dengan perbuatan itu, mereka itu seperti benda kecil ringan yang dengan mudahnya terseret ke pusat
dunia-kangouw.blogspot.com
dari Pusaran Maut. Hanya terdengar te-riakan -teriakan mereka yang minta tolong melo-long-lolong
lalu sunyi, sunyi yang mengerikan. Korban -korban berikutnya berjatuhan ketika ada tiga buah perahu
yang seperti saling diadu oleh tangan raksasa yang tidak nampak, pecah beran-takan dan para
penumpangnya terlempar disambut air berpusing lalu disedot entah ke mana.
Para bajak itu menjadi semakin panik. Biasanya, dalam upacara persembahan korban kepada Dewa
Laut di Pusaran Maut, mereka tidak pernah sampai ke tempat sedekat itu dengan air berpusing itu.
Tadi, saking terpesona oleh perkelahian tingkat tinggi di atas perahu, mereka tidak sadar dan tahutahu
semua perahu telah berada begitu dekat di tempat berbahaya itu. Perahu di mana tiga orang itu
bertanding kini juga sudah berada di tepi pu-saran dan diseret berputar -putar tak dapat diken-dalikan
lagi.
Tentu saja perkelahian itu terhenti secara men-dadak. Tiga orang raja bajak itu memandang ke-luar
perahu dengan muka pucat dan mata terbela-lak, tidak perduli lagi kepada Raja Kelelawar yarig
berdiri tegak di atas dek sambil memanggul tubuh Pek Lian. Anak buah bajak yang kebetulan berada
di perahu itu sibuk berusaha mendayung, namun usaha mereka sia-sia belaka, bahkan ada dayung
yang patah ketika melawan arus. Tiga orang raja bajak itu adalah ahli-ahli dalam air dan jagoanjagoan
dalam mengemudikan perahu. Akan tetapi sekali ini mereka berdiri bengong dengan muka pucat
seperti kehilangan akal. Angin menghembus semakin kuat dan ombak mengganas menggiriskan
hati. Awan hitam bergulung -gulung dan tiba-tiba turun hujan badai yang dahsyat. Tentu saja hujan
badai ini tercipta oleh pusaran maut itu karena di daerah itu langit nampak bersih.
Setelah berada dalam keadaan seperti itu, maka setiap orang hanya ingat akan keselamatan diri
sendiri saja. Masing -masing hendak mencari ke-selamatan sendiri -sendiri. Rasa takut merupakan
perasaan yang paling kuat untuk menyeret manusia menjadi mahluk yang paling pengecut, paling kejam,
dan paling tidak berperikemanusiaan! Kalau ada orang yang melakukan perbuatan kejam, pada
hakekatnya di lubuk hatinya terdapat rasa takut yang amat besar. Kalau ada orang melakukan perbuatan
yang pengecut, diapun sedang dicengkeram oleh rasa takut yang amat besar. Rasa takut
meng-hilangkan kewaspadaan dan ketenangan, membuat orang melakukan tindakan karena
dorongan rasa takut itu, yang kadang-kadang merupakan perbu-atan yang membuta. Bermacam -
macam bentuk-nya rasa takut. Ada yang takut menghadapi kesu-litan, takut kehilangan, takut
kesepian, takut menderita, takut dijauhkan dari kesenangannya, dan takut akan kematian. Akan tetapi,
semua bentuk rasa takut itu sesungguhnya berdasar sama, yaitu sang pikiran atau si aku yang
membayangkan sesu-atu yang tidak menyenangkan, yang mungkin akan menimpanya. Kalau kita
dapat terbebas dari rasa takut dan menghadapi segala sesuatu yang menim-pa diri kita pada saat itu
juga, tanpa membayang-kan sesuatu yang belum terjadi, maka kita akan selalu tenang dan waspada
dan pada saat -saat bahaya mengancam, kita akan dapat bertindak atau memberi tanggapan yang
tepat berdasarkan ke-waspadaan dan ketenangan. Dan untuk dapat ter-bebas dari rasa takut tentu
saja harus meniadakan si aku yang membayang-bayangkan hal-hal yang belum ada itu.
Tiga orang raja bajak itu cepat mencari perleng-kapan untuk menyelamatkan diri. Mereka memang
selalu membawa perlengkapan untuk menolong diri kalau-kalau perahu mereka pecah atau terba-lik
diserang badai atau apa saja. Kini mereka telah membawa sebuah jangkar dengan tali yang pan-jang.
Raja Laut yang lebih dulu mengayun jang-karnya ke belakang, menggaet sebuah papan dari pecahan
perahu. Dengan tepat jangkarnya meng-gaet papan itu dan diapun meloncat sambil meme-gangi tali,
lalu berenang menuju ke arah papan. Dari situ dia meloncat lagi, jangkarnya menggaet lain benda.
Dengan cara demikan, juga berkat kepandaian renangnya yang mahir, akhirnya dia dapat lolos dari
sedotan Pusaran Maut. Dua orang: rekannya juga melakukan hal yang sama. Untuk melontarkan
jangkar ke perahu lain tak mungkin karena jarak mereka dengan perahu -perahu lain cukup jauh dan
kabut tebal membuat cuaca gelap. Hanya sedikit sinar bulan yang menembus kabut dan awan buatan
Pusaran Maut itu, membuat se-keliling tempat itu nampak air berkilauan seperti cengkeraman -
cengkeraman tangan maut yang hi-dup.
Raja Kelelawar bersikap tenang untuk memper-lihatkan kebesarannya. Akan tetapi sesungguhnya
diapun agak bingung menghadapi ancaman maut mengerikan ini. Dia tahu bahwa sebagai seorang
manusia, betapapun saktinya, dia tidak akan mam-pu melawan kekuatan alam yang demikian dahsyatnya.
Pula, ilmu -ilmunya adalah ilmu di da-ratan, dan dia sama sekali bukanlah jago air seperti
tiga orang raja bajak itu, walaupun ini tidak ber-arti bahwa dia tidak pandai berenang. Untuk dapat
melakukan penyelamatan diri seperti tiga orang raja bajak tadi, dia merasa tidak mampu. Akan te-tapi,
tokoh yang satu ini memang luar biasa. Dia sama sekali tidak menjadi panik sehingga dia tidak
kehilangan kewaspadaannya. Sambil memanggul tubuh Pek Liari, dia melangkah ke tepi perahu. Dia
dunia-kangouw.blogspot.com
masih mempunyai ilmu yang dapat diandalkan un-tuk menyelamatkan dirinya, yaitu ilmu ginkangnya
yang sudah mendekati kesempurnaan itu. Setelah mencari -cari dengan pandang matanya seperti
hendak menembus kegelapan, akhirnya dia meli-hat sebuah tiang layar hanyut tak jauh dari perahu.
Cepat dia menurunkan tubuh Pek Lian dari pang-gulan, mengempit tubuh itu dengan lengan kirinya
dan diapun menggerakkan kedua kakinya meloncat keluar dari perahu. Tubuhnya melayang dengan
ringannya dan ketika kedua kakinya hinggap di atas tiang layar yang terapung itu, diapun sudah
menggunakan tiang itu sebagai landasan untuk meloncat lagi menjauh dan kini yang hendak dijadikan
tumpuan loncatan adalah sesosok mayat orang yang terapung. Dengan cekatan dia melon-cat
ke atas perut mayat itu dan menggunakannya untuk mengenjot tubuhnya lagi ke arah pecahan perahu
di dekatnya. Karena pecahan perahu itu cukup besar, dia memperoleh kesempatan untuk berhenti
sejenak di atasnya. Akan tetapi dia tidak boleh terlalu lama di situ karena walaupun dia te-lah agak
menjauhi pusat Pusaran Maut, namun pecahan perahu itupun masih terseret ke tengah lagi. Maka
ketika dia melihat sebuah balok besar lewat, diapun meninggalkan pecahan perahu itu dan meloncat
ke arah balok besar. Ketika dia tiba di atas balok, dia mendengar suara hiruk -pikuk dan ternyata
perahu yang tadi dipakai meloncat telah "dimakan" pusaran air dan hancur beran-takan. Kini dengan
perimbangan badan yang luar
biasa, dia berdiri di atas balok yang bergoyang-go-yang. Hujan angin membuat penglihatannya kabur
dan dia tidak dapat melihat terlalu jauh. Dia men-cari -cari dengan pandang matanya kalau -kalau
terdapat perahu untuk dipakai menyelamatkan diri dari tempat mengerikan itu, karena diapun tidak
mungkin dapat terlalu lama bertahan di atas balok itu. Kalau tidak ada tempat lain yang lebih aman,
kalau sampai dia tergelincir ke dalam air dan ter-seret ombak, akan celakalah dia !
Jilid XV
TIBA-TIBA dia mengeluarkan suara tertahan sa-king girangnya. Dia tidak tahu betapa Pek Lian sejak
tadi menderita ketakutan yang amat hebat. Dara ini dalam keadaan tertotok dipanggul dan di-bawa
berkelahi mati -matian, lolos dari lubang ja-rum di antara sambaran senjata tiga orang raja ba-jak yang
mengeroyok raja iblis itu. Kemudian, se-karang dibawa berloncatan berjuang memperta-hankan
nyawa diancam kematian mengerikan di Pusaran Maut! Ingin rasanya Pek Lian menjerit dan
menangis, akan tetapi dara ini menguatkan ha-tinya dan hanya memejamkan mata melihat ombak
menggunung yang setiap saat seperti hendak me-nelannya. Beberapa kali mukanya disiram air laut
dan mulut, hidung dan matanya terasa asin dan pedas sekali. Ketika raja iblis itu mengeluarkan suara
tertahan dengan girang, Pek Lian membuka matanya dan dara inipun melihat bayangan sebu-ah
perahu yang hanya nampak samar -samar dalam cuaca remang -remang itu. Perahu itu masih agak
jauh, dan Raja Kelelawar memperhitungkan bahwa untuk mencapai perahu itu dia membutuhkan tiga
atau empat kali loncatan lagi. Balok tempat dia berdiri sudah mulai berputaran kencang. Raja Iblis itu
memandang ke sekeliling dan tiba -tiba di de-kat balok yang dipijaknya itu tersembul dua sosok
mayat. Otaknya bekerja cepat sekali. Tangan ka-nannya mencengkeram rambut kepala dua mayat itu
dan menariknya ke atas. Karena ditambah be-ban dua sosok mayat itu, balok yang dipijaknya
tenggelam, akan tetapi raja iblis itu telah memper-gunakan balok itu untuk mengenjot tubuhnya meloncat
ke arah perahu di depan sambil melempar-kan sebuah di antara dua mayat yang dicengkeramnya.
Mayat itu menimpa permukaan air dan kedua kaki Raja Kelelawar menyusul cepat, hinggap di
atas punggung mayat itu dan diapun melontarkan mayat ke dua ke depan, meloncat lagi dan dia
sudah hinggap lagi di atas mayat ke dua. Kini dia sudah makin mendekati perahu itu, tinggal dua kali
loncatan lagi. Akan tetapi tidak ada benda yang mengapung dekat, sedangkan tentu saja dia tidak
mungkin dapat berdiri terlalu lama di atas mayat itu yang merupakan benda yang tidak tahan terapung.
Sekarangpun mayat itu telah mulai turun dari permukaan air dan kedua kakinya sudah terendam
! Sekali ini, Raja Kelelawar benar-benar merasa ngeri. Tidak ada jalan lain lagi, pikirnya
cepat. Sebelum dia terendam terlalu dalam sehing-ga sukar untuk meloncat, dia sudah mengenjot
tubuhnya lagi menggunakan mayat itu sebagai lan-dasan, dan tubuhnya melayang ke depan. Karena
tidak ada apa-apa yang dapat dijadikan tempat mendarat, kini dia melemparkan tubuh Pek Lian ke
atas air setelah terlebih dahulu menotoknya sehingga jalan darah dara itu pulih kembali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Byuuurrr!!" Tubuh Pek Lian jatuh ke air dan tiba-tiba kaki Raja Kelelawar telah mengin-jak
punggungnya. Nona itu gelagapan dan me-ronta, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tertekan kuat dan
diapun tenggelam. Kiranya tubuhnya dipakai landasan meloncat oleh Raja Kelelawar yang kini
meloncat ke arah perahu yang telah dekat. Akan tetapi oleh karena ketika dipakai landasan meloncat,
tubuh Pek Lian tenggelam dan meronta, maka loncatan Raja Kelelawar itu tidak dapat mencapai
sasaran dan tubuhnya melayang turun masih ku-rang tiga meter dari perahu itu! Kalau orang lain yang
meloncat seperti itu, tak dapat dicegah lagi tentu tubuhnya akan terjatuh ke dalam air. Akan tetapi
Raja Kelelawar bukanlah manusia biasa, melainkan orang yang telah memiliki tingkat ke-pandaian
yang amat hebat. Maka ketika tubuh-nya melayang turun, dia lalu mengeluarkan sa-buknya, melolos
sabuk itu dan dihantamkannya sa-buk itu ke atas permukaan air laut. Terdengar bu-nyi ledakan keras
seperti cambuk yang dipukulkan dan ketika ujung sabuk itu mengenai permukaan air, terjadilah
gelombang besar dan tubuhnya sendiri dapat berjungkir balik ke atas sampai mende-kati perahu,
kurang satu setengah meter lagi! Kini sabuknya kembali bergerak menyambar pinggiran perahu dan
sekali dia membetot, tubuhnya melun-cur ke arah perahu. Dengan gerakan yang istime-wa, akhirnya
Raja Kelelawar itu berhasil mendarat di atas dek perahu itu. Hatinya lega bukan main. Akan tetapi
ketika dia menoleh ke arah air di ma-na tadi dia melemparkan tubuh Pek Lian, ternyata nona itu sudah
tidak nampak lagi. Akan tetapi raja iblis ini tidak memperdulikannya lagi. Dia lalu mendayung
perahunya dan menyelamatkan dirinya dengan membawa perahu itu menempuh ombak dan badai,
menjauhi Pusaran Maut.
Badai dan ombak makin menggila dan agaknya keadaan ini malah dapat menyelamatkan sebagian
dari para anak buah bajak. Perahu -perahu itu ada yang ditiup badai dan dibawa ombak menjauhi
Pusaran Maut, walaupun banyak pula perahu yang diseret tenggelam berikut para pemumpangnya.
Tiga orang raja bajak itu dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan lesu mereka semua berkumpul
di pulau Raja Laut, menghitung anak buah masing -masing dan ternyata sepertiga bagian dari
anak buah mereka lenyap menjadi korban Pu-saran Maut. Sekali ini, bukan seorang perawan suci
yang mereka persembahkan kepada Dewa La-ut, melainkan anak buah mereka sendiri yang pu-luhan
orang jumlahnya. Diam -diam mereka menyalahkan peristiwa tiru. kepada Raja Kelelawar, akan
tetapi di samping itu merekapun harus meng-akui bahwa Raja Kelelawar itu sungguh luar biasa sekali
ilmunya dan memang pantas menamakan diri sebagai keturunan raja iblis itu. Biarpun dia masih
terpilih sebagai Raja Lautan, namun sekali ini pengangkatannya sebagai raja diawali peristiwa yang
amat tidak menyenangkan, membuat Tung-hai -tiauw berhati -hati dan cepat menyusun ke-kuatan
anak buahnya lagi dengan mengambil ang-gauta -anggauta baru.
Pek Lian mengeluh ketika punggungnya diin-jak oleh kala Raja Kelelawar. Kekuatan yang mendorongnya
membuat tubuhnya tenggelam. Ia gela-gapan, meronta dan akhirnya dapat muncul kembali
di permukaan air laut. Untung bahwa ia su-dah keluar dari arus berputar yang dibawa oleh
Pusaran Maut. Sekuat tenaga ia berenang menja-uhi walaupun seluruh tubuh, terutama punggungnya,
terasa nyeri -nyeri. Akkhirnya ia berhasil meraih sebuah papan yang cukup lebar dan yang lewat
di dekatnya. Agaknya papan itu adalah be-kas pintu kamar perahu. Ia lalu naik dan merebah-kan diri
di atas papan itu, lalu dibiarkannya ombak membawa papan itu ke mana saja. Ia sudah keha-bisan
tenaga dan ia memasrahkan dirinya kepada kekuasaan yang menggerakkan air laut luas itu. Dan
iapun terlelap, setengah pingsan, tak tahu apa -apa lagi.
Fajar telah menyingsing. Matahari yang lembut sinarnya, kemerahan dan bulat besar, muncul dari
permukaan air laut sebelah timur. Sudah tidak ada bekasnya lagi hujan badai semalam. Langit nampak
bersih cerah, dengan awan -awan putih kebi-ruan menghias di!sana-sini, nampak begitu tenang
tenteram penuh damai yang mengamankan hati. Tiada angin menggerakkan awan -awan tipis itu.
Burung camar beterbangan di udara. Sepagi itu mereka belum sibuk mencari ikan, agalknya masih
bermalas -malasan membiarkan dirinya melayang dan meluncur berkeliling di udara. Sayap mereka
hanya bergerak sekali -kali saja, dan hanya dikem-bangkan untuk menjaga keseimbangan tubuh
ketika meluncur di langit yang kosong. Ekornya kadang-kadang bergerak bersama kepala, agaknya
untuk mengemudikan penerbangan mereka yang seenak-nya itu. Kadang -kadang mereka
mengangkat ke-pala agak tinggi dan mengeluarkan teriakan, mung-kin memanggil pacarnya atau
temannya. Namun gerakan tubuh yang meluncur berkeliling itu, teri-akan sekali -kali yang parau itu,
sama sekali tidak mengganggu keheningan yang terasa menyelimuti dunia di saat itu. Mereka bahkan
menjadi sebagi-an dari kesunyian dan keheningan itu, dan tanpa mereka keheningan itu takkan
lengkap agaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Matahari pagi menciptakan sebuah lorong emas di permukaan air laut yang tenang, sebuah lorong
emas memanjang yang kadang -kadang dilintasi bayangan ikan yang tersembul dari permukaan air,
nampak siripnya lalu menyelam kembali mening-galkan lingkaran -lingkaran di permukaan air. Makin
lama, lorong keemasan itu berobah semakin terang dan akhirnya terganti menjadi lorong perak yang
mulai menyilaukan mata. Pada saat itu orang sudah tidak lagi berani memandang ke arah mata-hari
yang telah berobah menjadi bola perak yang bernyala -nyala.
Pek Lian mengeluh, membuka matanya dan sejenak ia bingung. Akan tetapi, begitu terasa be-tapa
punggung dan pundaknya nyeri, dan menge-nal papan di mana ia rebah, ia segera teringat akan
keadaannya dan iapun memaksa tubuhnya untuk bangkit duduk. Laut tenang sekali sehingga papan
yang ditumpanginya itu hampir tidak bergerak. Ia memandang ke sekeliling. Air dan air biru yang
mulai berkilau tertimpa cahaya perak matahari. Ketika menoleh ke arah timur, matanya menjadi silau
dan cepat -cepat ia membuang muka. Ia ti-dak tahu sampai di mana papan itu membawanya, dan di
sekitarnya yang nampak hanya air laut sa-ja. Perutnya terasa perih dan lapar bukan main.
Ketika ia melihat sebatang dayung di dekatnya, ia merasa girang bukan main dan cepat mengambilnya.
Ia tidak ingat lagi kapan ia menemukan dayung ini, mungkiri semalam ketika ia naik ke papan
ini, ia tidak tahu lagi. Yang penting, da-yung ini akan dapat membawanya ke darat! Ia harus cepat -
cepat menemukan daratan kalau ia ingin hidup karena tidak mungkin ia dapat berta-han lama di atas
papan ini tanpa makan dan mi-num, sedangkan tubuhnya masih lelah dan nyeri semua rasanya. Ia
tahu bahwa ia berada di laut timur, maka ia tidak ragu lagi bahwa daratan tentu berada di barat, arah
sebaliknya dari matahari. Maka iapun mulai mendayung ke arah yang seba-liknya dari matahari terbit,
ke barat. Punggung dan pundaknya terasa nyeri ketika mendayung, na-mun ia memaksa diri dan
mendayung dengan gerak-an tetap, tidak berani terlalu mengerahkan tenaga karena hal ini akan
cepat menghabiskan tenaganya. Karena air laut amat tenang, maka papannya dapat meluncur
dengan kelajuan yang cukup membesar-kan hati.
Akan tetapi kebesaran hatinya mulai mengecil dan harapannya makin menipis setelah matahari naik
tinggi dan sinarnya menimpa ubun-ubun kepalanya, kedua lengannya sudah pegal -pegal senerti
hendak patah-patah rasanya, punggung dan pundaknya kiut -miut rasanya, namun belum juga
nampak adanya daratan atau pulau. Perutnya sudah terasa lapar sekali dan tabuhnya lemas. Tenggorokannya
kering. Tubuh terasa setengah lumpuh dan matanya mulai berkunang-kunang. Pek Lian
mengeluh dan menghentikan gerakan tangannya yang mendayung. Ia memejamkan kedua matanya,
merasa bahwa kematian agaknya tak lama lagi ten-tu datang menjemputnya. Dari jauh ia seperti melihat
wajah ayah dan ibunya. Mereka datang hen-dak menjemputnya ! Ayahnya nampak berpakaian
serba putih, jenggotnya yang panjang dan putih itu berkibar tertiup angin dan ibunya yang telah tiada
itu nampak masih muda dan cantik sekali. Mereka berdua itu mengulurkan tangan kepada
nya dan iapun tidak ingat apa -apa lagi !
Samar-samar dilihatnya lagi ayahnya yang ber-pakaian putih, bersama ibunya yang juga berpa-kaian
serba putih. Mereka itu lewat atau lebih tepat melayang agak jauh dari tempat ia rebah. Mereka
meninggalkannya.
"Ayaaahhh ! Ibu !" Pek Lian mengeluh dan memanggil lalu tersadar. Ia membuka matanya.
Bayangan ayah bundanya sudah tidak nampak lagi. Dan ia mendapatkan dirinya berada di dalam
sebuah kamar kecil, rebah di atas sebuah dipan. Ia terbawa oleng ke kanan kiri dan telinganya dapat
mendengar suara hempasan air memukul dinding kamar. Ia berada dalam sebuah bilik perahu! Ketika
menoleh ke kiri, ia melihat seorang gadis berpakaian serba putih duduk di atas sebuah kursi kayu,
memejamkan kedua matanya, agaknya tertidur atau beristirahat. Ketika Pek Lian meneliti dirinya,
ternyata pundak kirinya telah dibalut dan terasa olehnya betapa punggung dan pundaknya hangat
dengan obat lumur, juga ada tercium bau obat olehnya. Sekalipun tubuhnya masih penat-penat, akan
tetapi punggung dan pundaknya sudah tidak terasa nyeri lagi ketika digerakkan. Ia memandang ke
sekeliling memeriksa keadaan dalam bilik itu. Di atas meja kecil terdapat bermacam -macam gelas
obat, agaknya obat -obat untuknya. Akan tetapi tiba -tiba hidungnya mencium bau yang aneh. Ia
menjadi waspada dan ketika ia mengenal bau harum dupa yang biasa dipakai orang untuk
menyembahyangi orang mati, alisnya berkerut. Kurang ajar ! Agaknya orang -orang dalam perahu ini
menganggap bahwa ia sudah mati! Akan tetapi, pada saat itu timbul gagasan yang membuat dara ini
hampir tertawa cekikikan. Kalau ia dianggap sudah mati, biarlah ia akan membuat mereka se-mua itu
ketakutan! Tentu mereka itu akan ngeri melihat ia hidup kembali ! Ia melirik ke arah gadis yang
terkantuk-kantuk di atas kursi dan tersenyum. Orang pertama yang akan melihat "mayat hidup" adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
gadis ini. Ia membayangkan betapa gadis itu akan terkejut dan ketakutan setengah mati, ter-kencing -
kencing!
"Ehem! Ehem!!" Ia terbatuk-batuk sambil duduk menghadapi gadis itu.
Benar saja. Gadis itu terbangun dari tidurnya. Akan tetapi bukan gadis itu yang terkejut ketakutan
melihat mayat hidup, melainkan Pek Lian sen-diri yang kecelik karena gadis itu sama sekali tidak
kelihatan takut, bahkan girang. Gadis itu lalu me-loncat mendekati dan berusaha mencegahnya un-tuk
duduk terlalu lama.
"Aihh nona sudah siuman kembali? Dan eh, harap nona jangan banyak bergerak dulu, harap suka
rebah saja"
Akan tetapi Pek Lian tidak mau rebah kembali. Sambil memandang tajam iapun bertanya, "Dimana
aku berada ? Dan siapakah engkau?
Sebelum gadis itu menjawab, pintu bilik perahu itu terbuka dan muncullah seorang gadis cantik je-lita
yang berperawakan langsing. Juga gadis ini berpakaian serba putih, terbuat dari pada sutera halus.
Wajah yang cantik itu tersenyum ramah ke pada Pek Lian.
"Enci Lian berada di perahu kami. Lupakah enci kepadaku ? Kami adalah kaum Tai-bong-pai dan enci
pernah membantuku ketika aku sedang diobati oleh keluarga keturunan Tabib Sakti bebe-rapa bulan
yang lalu."
"Ahli engkau adik Kwa Siok Eng ?"
Pek Lian berkata lirih, kini teringat kepada gadis remaja yang cantik itu, yang dahulu menderita sakit
lumpuh dan diusung dalam keranjang pada tengah malam oleh anak buah Tai-bong-pai, di-antar oleh
nyonya Kwa tokoh Tai -bong -pai, ibu dari gadis ini.
"Enci Pek Lian, aku sangat berterima kasih ke-padamu atas budimu yang besar itu." Siok Eng
menjura dengan hormat, kemudian mendekati pem-baringan dan dengan halus ia membujuk agar Pek
Lian suka rebah kembali karena gadis itu sedang berada dalam pengobatan. "Lukamu yang berada di
sebelah dalam cukup gawat, enci, maka engkau perlu beristirahat dan mengalami pengobatan yang
teliti."
"Terima kasih, adik Eng. Kalau tidak bertemu dengan perahumu eh, bagaimana engkau dapat
menolongku dan dengan siapa saja engkau berlayar ini ? Dan hendak ke mana?"
Siok Eng tersenyum dan nampak deretan gigi yang putih dan rata seperti rangkaian mutiara. Diam -
diam Pek Lian harus mengakui bahwa da-ra ini juga amat cantik jelita ! Hanya sayangnya, wajah yang
rautnya manis ini nampak kepucatan seperti wajah orang -orang Tai -bong -pai pada umumnya. Siok
Eng merasa geli mendengar hujan pertanyaan itu.
"Enci Lian, aku sedang pergi hendak mencari Ban -kwi -to "
"Ban -kwi -to ?" Pek Lian bergidik, teringat bahwa Ban -kwi -to (Pulau Selaksa Setan) adalah
tempat tinggal orang -orang yang amat lii hai dan kejam seperti Bouw Mo -ko dan Hoan Mo -li, kakek
nenek cabul tak tahu malu yang gai nas dan amat jahat itu.
Siok Eng mengangguk. "Dengan ditemani ti-gabelas orang dayang dan ahli-ahli perahu, aku berlayar
mencari Ban -kwi -to dan kebetulan seka0 li aku melihat engkau rebah pingsan di atas panan itu. Aih,
betapa besar rasa terima kasihku kepada Dewa Lautan yang telah mempertemukan kita se-hingga
aku berkesempatan untuk membalas segala budi kebaikanmu dahulu, enci Lian." Ia berhenti sebentar
dan menatap wajah Pek Lian, lalu melan-jutkan dengan pertanyaan, "Akan tetapi, sungguh tak ada
habisnya aku berheran bagaimana engkau tahu -tahu berada di tengah lautan, di atas sebuah papan
pintu, dalam keadaan terluka dan kehabisan tenaga, enci Lian?"
Pek Lian menarik napas panjang. "Ah, agak panjang ceritanya, adik Eng. Aku tertawan oleh anak
buah Raja Lautan, hendak dijadikan korban Pusaran Maut agaknya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, bukan main! Engkau terpilih menjadi korban Dewa Laut di Pusaran Maut ? Tentu me-reka itu
kembali mengadakan pemilihan Raia La-utan yang diadakan tiga tahun sekali, bukan ? Dan
bagaimana engkau dapat lolos dari bahaya maut seperti itu ?"
"Terjadi keributan dengan munculnya Raja Ke lelawar "
"Ihhh ......!" Siok Eng membelalakkan mata-nya yang bening. "Benarkah raja iblis itu muncul di sana ?
Di pulau Raja Lautan ?"
"Tidak, tahu-tahu dia muncul di antara pe-rahu-perahu, hendak menundukkan tiga raja ba-jak laut.
Terjadi perkelahian hebat dan perahu-perahu itu tanpa mereka sadari telah terseret oleh Pusaran
Maut. Semua orang nyaris tewas dan aku sendiri akhirnya dapat menyelamatkan diri dan
menumpang pada papan itu " Pek Lian tidak
mau menceritakan semua pengalamannya yang mengerikan, juga memalukan. Mana mungkin ia
menceritakan betapa ia ditawan Raja Kelelawar, dipanggul dan pinggulnya dielus -elus dan dicubit,
kemudian betapa ia dijadikan batu loncatan oleh raja iblis itu yang hendak menyelamatkan diri?
Siok Eng menarik napas panjang. "Ah, ternyata para dewa masih melindungimu, enci Lian! Lolos dari
tangan mereka sungguh merupakan keajaiban, dan lolos dari Pusaran Maut juga merupakan suatu
kemujijatan."
"Dan dalam keadaan hampir mati bertemu de-nganmu merupakan berkah yang luar biasa besar-nya,
adik Eng. Sebenarnya, orang seperti engkau ini mau apa pergi ke Pulau Selaksa Setan yang menjadi
sarang manusia-manusia iblis yang amat kejam itu ?"
Siok Eng tersenyum. "Biarkan aku memeriksa lagi luka-lukamu, enci, nanti kuceritakan semua-nya
kepadamu." Dara itu lalu membuka balut pun-dak Pek Lian, memeriksa dan memijat sana -sini
dengan jari -jari yang ahli.
"Engkau sekarang telah menjadi seorang ahli pengobatan yang hebat, Eng-moi," ia memuji. "Dan
tentu engkau sekarang sudah sembuh sama sekali dari penyakitmu dahulu itu, bukan ?"
Dara yang usianya baru kurang lebih tujuhbelas tahun itu mengangguk. "Ya, aku sudah sembuh
berkat pertolongan locianpwe Kam Song Ki "
"Apa ? Kaumaksudkan kakek murid ke tiga dari Raja Tabib, yang amat hebat ilmu ginkang-nya itu ?"
Pek Lian berseru dan terbayanglah wa-jah yang tampan dari Kwee Tiong Li, ketua lem-bah pemimpin
para patriot itu. Biarpun dia menye-but nama kakek itu, namun sesungguhnya yang ter-bayang
olehnya adalah pemuda itu yang pergi bersama si kakek. "Di manakah adanya kakek itu sekarang ?"
Siok Eng menggeleng kepalanya. "Entahlah, setelah dia mengobati aku, bersama muridnya dia lalu
pergi meninggalkan tempat kami, entah ke mana. Apakah enci mengenal mereka ?"
Pek Lian mengangguk tanpa menjawab. Wajah yang tertimpa sinar lampu itu nampak demikian
cantiknya dan karena lampu itu terbungkus kertas warna merah sehingga sinarnya kemerahan maka
kepucatan wajahnya tertutup oleh sinar itu. Di lain fihak, Siok Eng yang dipandang seperti itu oleh
Pek Lian, menjadi agak heran dan malu-malu. Ia melanjutkan pengobatannya, memberi obat lumur ke
pundak dan punggung Pek Lian sambil bercerita.
"Engkau tadi bertanya mengapa aku pergi mencari Pulau Selaksa Setan? Sesungguhnya aku mencari
tempat tinggal orang -orang beracun dari pulau itu adalah untuk mencari Hek -kui -hwa (Bunga Mawar
Hitam atau Bunga Setan Hitam) yang berdaun putih. Menurut ayahku, bunga itu hanya tumbuh di
sana dan bunga itulah yang da-pat menjadi obat untuk membantuku menyempur-nakan latihan ilmu
keturunan Tai -bong -pai. De-ngan bantuan racun bunga itu, yang dalam hal umum mengandung
racun yang mematikan dan tidak ada obat penawarnya, maka aku akan dapat menyalurkan sinkang
untuk membuka jalan darah yang paling rumit dan gawat, yaitu Kim -nauw-hiat di ubun -ubun kepala.
Tanpa dapat menem -bus jalan darah itu, ilmu keturunan kami tidak akan danat dikuasai dengan
sempurna. Akan tetapi me-mang banyak bahayanya menyempurnakan ilmu itu sehingga ayah telah
melarangku. Akan tetapi aku nekat karena ingin sekali mewarisi ilmu itu dan akibatnya engkau telah
dunia-kangouw.blogspot.com
tahu sendiri. Aku menjadi lumpuh dan hampir saia mati. Melihat kenekatan-ku. setelah aku sembuh,
ayah membuka rahasia ini, yaitu bahwa kalau aku bisa memperoleh Hek-kui-hwa dari Pulau Ban-kwito,
maka aku akan dapat berhasil mewarisi ilmu itu. Sampai kini, hanya ayah seorang saja yang telah
menguasai ilmu ketu-runan itu dengan sempurna."
Pek Lian mendengarkan dengan hati penuh ka-gum. Semuda itu, Siok Eng telah mempelajari ilmu
yang sedemikian hebatnya dan semangat dara ini demikian besar sehingga berani menempuh bahaya
dengan mencari pulau yang ditakuti oleh se-mua tokon kang-ouw itu. Mereka melakukan pe
layaran sampai seminggu lamanya. Karena diobati dengan tekun dan dibantu pengerahan tenaga
sinkang dari Siok Eng, maka kesehatan Pek Lian pulih kembali.
Setiap kali melihat cara Siok Eng melakukan siulian, Pek Lian merasa heran sekali. Nona dari Tai -
bong -pai itu kalau melakukan samadhi, sela-lu dikelilingi berpuluh dupa wangi yang membara
sehingga asap hio itu menyelimuti seluruh tubuh-nya. Akhirnya ia tidak dapat menahan diri dan
bertanya tentang hal ini kepada Siok Eng.
"Biasanya orang bersamadhi sebaiknya memi-lih tempat di mana hawa udaranya bersih dan te-nang,
akan tetapi mengapa justeru engkau meng-gunakan begitu banyak dupa yang asapnya dapat
menyesakkan pemapasan ?"
Siok Eng tersenyum mendengar ucapan itu. "Enci yang baik, hio -hio yang kubakar ini adalah dupa
khusus buatan kami kaum Tai -bong -pai. Setiap batang hio mengandung sari obat penguat urat-urat
dan jalan darah. Siapa saja dari kami yang mulai mempelajari sinkang perguruan Tai-bong -pai akan
menggunakan dupa -dupa itu se-bagai landasan atau dasar dari ilmu kami yaitu Tenaga Sakti Asap
Hio yang membuat badan dan keringat kami berbau harum seperti hio."
Diam -diam Pek Lian bergidik. Keringat yang berbau harum seperti hio mengingatkan orang akan iblis
dan siluman. Hanya iblis dan siluman sajalah agaknya yang keringatnya berbau hio. Akan tetapi tentu
saja ia tidak menyatakan isi hati itu melalui mulut. "Sudah lamakah engkau melatih ilmu ra-hasia
khusus Tai -bong -pai ?"
"Tentu saja sejak aku masih kecil. Akan tetapi ilmu -ilmu yang sukar hanya dapat dipelajari se-telah
dewasa."
Pek Lian mengangguk-angguk dan meman-dang kagum. "Hemm, engkau tentu sekarang telah
menjadi lihai bukan main."
Siok Eng menggeleng kepala dan berkata me-rendah, "Masih belum, enci Lian. Aku masih ha-rus
dapat menembus pintu Kim -nauw -niat di ubun -ubun itu, baru ada kemungkinan aku berha-sil baik."
Seorang dayang kepercayaan yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat betapa
nonanya selalu merendah, menjadi tidak sabar. "Nona kami memang pandai merendah! Sebenar-nya
nona kami adalah nomor tiga tingkat kepandaiannya di dalam perguruan kami. Nomor satu tentu saja
adalah pangcu (ketua), kemudian nomor dua adalah siauw -ya (tuan muda) yaitu kakak dari nona
kami, dan nomor tiga adalah nona Kwa Siok Eng. Toa -hujin saja kalah oleh nona !"
Mendengar ini, Siok Eng hanya mendengus dan menyuruh dayangnya berhenti bicara sedangkan Pek
Lian mendengar dengan hati penuh kagum. Ia pernah melihat betapa ibu nona ini memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa lihainya. Jadi, kalau Siok Eng sudah dapat melampaui ibunya, maka
sukar dibayangkan betapa hebatnya ilmu kepan-daian nona remaja ini! Padahal, Siok Eng kelihatan
begitu lemah lembut dan halus.
Malam itu gelap. Bulan tua belum lama mun-cul di langit timur, hanya memberi cahaya yang remang -
remang. Akan tetapi banyak bintang ber-munculan di angkasa. Setiap kali angkasa tiada bidan atau
yang ada hanya bulan sepotong yang remang -remang, pasti bintang -bintang bermun-culan. Dua
orang gadis itu berada di atas geladak perahu dan melihat -lihat bintang yang memang nampak
cemerlang indah seperti ratna mutu ma-nikam yang menghias langit -langit beludru hitam kebiruan
yang lembut dan maha luas.
"Di manakah adanya Pulau Selaksa Setan itu, Eng-moi? Apakah masih jauh dari sini?" tanya Pek
Lian. Ia sendiri merasa heran mengapa ia kini betah tinggal di sebuah perahu. Pelayaran ini terasa
indah dan menyenangkan baginya, mungkin hal ini karena baru saja ia mengalami pelayaran yang
dunia-kangouw.blogspot.com
penuh bahaya dan sama sekali tidak menyenang-kan hatinya. Kini ia merasa begitu aman tenteram
dan penuh damai di perahu milik Tai -bong -pai itu. Apa lagi di situ terdapat Siok Eng yang amat
ramah dan halus budi.
"Entahlah, enci Lian. Kami sendiri belum per-nah melihatnya. Akan tetapi aku telah mempela-jari
keadaan pulau itu dari keterangan yang dapat kukumpulkan. Menurut penyelidikanku itu, Pulau
Selaksa Setan tidak nampak dari jauh karena se-lalu diliputi kabut tebal sehingga sukarlah dite-mukan
dan orang luar tidak dapat melihat keada-annya. Mungkin sekali kabut itu tercipta dari ha-wa beracun
yang memenuhi pulau itu. Kabar-nya, semua benda, binatang, tumbuh -tumbuhan dan apa saja yang
berada di sana mengandung ra-cun. Juga kabarnya, menurut para nelayan yang pernah melihatnya,
pulau itu dapat berpindah-pin-dah, mengikuti arus air laut."
"Ih, kenapa bisa begitu ?" Pek Lian bertanya heran mendengar ada pulau yang bisa pindah-pindah.
"Itulah sebabnya maka pulau itu dinamakan Pulau Selaksa Setan," kata Siok Eng sambil terse-nyum.
"Bukan hanya karena beracun, melainkan juga karena dapat berpindah-pindah seolah-olah ada setansetan
yang mendorong pulau itu pin-dah tempat."
"Tapi tapi, mana mungkin dongeng tahyul seperti itu dapat terjadi sungguh-sungguh ?"
"Aku sendiri tidak percaya ada setan mendo-rong -dorong pulau, enci Lian. Akan tetapi, an-daikata
benar terjadi pulau itu pindah -pindah tempat, ada kemungkinannya. Mungkin saja tanah dari pulau itu
di bagian bawahnya tidak menjadi satu dengan dasar laut, hanya menempel saja. De-ngan demikian,
apa bila ada terjadi arus yang kuat, bukan tak boleh jadi pulau itu tergeser dari tempatnya. Bukankah
kemungkinan itu besar dan masuk akal, enci Lian ?"
Pek Lian memandang kagum. "Adik Eng, eng-kau sungguh membuat hatiku kagum. Engkau pandai
dan cerdik, lihai ilmu silatmu dan cantik jelita lagi. Alangkah bahagianya pemuda yang da-pat
menyuntingmu kelak. Dan aku yakin sebentar lagi ilmumu akan melebihi ayahmu."
"Aihh, cici pandai benar memuji orang! Siapa pula sudi mengawini gadis yang pernah lum-puh
sepertiku ini ?" Siok Eng berkata dengan mu-ka kemerahan. Akan tetapi di sudut hatinya ia
bergembira sekali. Terbayang di matanya wajah seorang pemuda yang jangkung dan tampan sekali,
pemuda yang pernah menyelamatkannya, bahkan yang hampir saja mengorbankan nyawanya sendiri
demi penyakit lumpuh yang dideritanya. Pemuda itu mengobati dirinya yang waktu itu dalam kea-daan
telanjang bulat. Seorang pemuda yang tam-pan, gagah perkasa, dan berbudi. Bu Seng Kun! Hatinya
ingin sekali bertemu dengan pemuda itu, untuk menyatakan rasa terima kasihnya. Akan te-tapi, apa
bila ia teringat bahwa ia pernah bertelan-jang di depan pemuda itu, ia merasa malu sekali dan sukar
untuk membayangkan bagaimana ia akan dapat berhadapan muka dengan pemuda itu.
"Heii, itu di sana ada ikan besar terapung! Tu-kang dayung! Tangkaplah ikan itu, kita adakan pesta
besar malam ini!" Tiba -tiba terdengar se-man seorang dayang yang menudingkan telunjuk-nya ke
sebelah kanan perahu mereka.
Sibuklah anak buah perahu itu menangkap ikan yang besarnya seperti manusia dewasa itu. Ikan
meronta -ronta dalam jala. Dua orang gadis itu cepat mendekati dan memeriksa ikan yang dari ja-uh
nampak kebiruan itu. Dan memang benar. Ikan itu segala-galanya berwarna biru. Sisiknya, ma-tanya,
dagingnya dan segalanya.
"Awas, lepaskan dia! Ikan itu beracun!" kata Siok Eng dan mereka lalu, melepaskan kembali ikan itu
yang segera menyelam ke dalam air. "Ah, kita sudah dekat dengan daerah Ban -kwi -to ! Agak-nya
tidak sia -sia jerih payah kita berlayar sekian lamanya. Ikan itu menurut keterangan adalah satu di
antara penghuni perairan di sekitar pulau. Kulihat tadi dia terluka di bagian kepalanya, maka tersesat
ke sini." Siok Eng lalu memanggil seorang pembantunya yang ahli dalam memeriksa arus gelombang.
Kakek setengah tua yang juga menjadi kepala bagian pendayung itu mengadakan pemeriksaan
dengan teliti. Dia lalu menunjukkan arah arus air yang menuju ke kiri. Sementara itu, bu-lan tua sudah
naik semakin tinggi. Perahu mereka terus dilajukan ke arah kiri dan semua orang ber-sikap tegang
namun waspada karena nona mereka sudah mengatakan bahwa mereka telah berada dekat dengan
tempat yang mereka cari.
"Nona, lihatlah! Air laut ini warnanya keme-rahan seperti darah !" kata seorang dayang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dan baunya busuk sekali!" kata Pek Lian yang juga berada di tepi geladak perahu bersama Siok Eng.
Siok Eng juga meneliti ke arah air dan cuping hidungnya yang tipis itu berkembang -kempis. Ti-ba-tiba
ia berkata, suaranya mengandung kete-gangan dan kegembiraan, "Hati -hati, agaknya daerah ini
sudah termasuk perairan Ban -kwi -to. Air laut di sini sudah beracun. Tutup hidung kali-an dengan
saputangan, udaranya juga mengan dung racun. Nanti kuberi obat penawar."
Setelah nona itu mengeluarkan obat penawar berupa pel -pel putih kecil yang dibagi -bagikan kepada
anak buahnya, juga Pek Lian disuruh me-nelan sebutir, mereka tidak perlu lagi melindungi
pernapasan dengan saputangan. Akan tetapi ka-rena bau air laut amat busuk, para dayang itu berbangkis
-bangkis dan ada yang mau muntah.
Pek Lian bergidik ngeri. Sukar untuk dapat membayangkan bagaimana ada manusia dapat hi-dup di
tempat seperti ini. Dan iapun semakin ka-gum kepada Siok Eng. Ia tahu bahwa kaum Tai-bong -pai
adalah ahli -ahli racun, akan tetapi me-lihat seorang dara remaja seperti Siok Eng bersikap
sedemikian tenangnya menghadapi tempat yang amat berbahaya itu, ia merasa kagum sekali. Hatinya
terasa besar dan gembira untuk menghadapi petualangan bersama seorang kawan seperti
puteri ketua Tai -bong -pai ini.
Makin dalam mereka memasuki daerah itu, makin keras bau busuk dari air laut merah. Akan tetapi
tiba -tiba saja mereka telah melewati air berbau busuk itu, akan tetapi sebagai gantinya, airnya kini
berobah kehijauan dan baunya juga amat kecut, seperti bau keringat yang sudah lama.
"Ihh, seperti bau keringatmu, A -cin !' seorang dayang berolok kepada temannya.
"Sialan ! Keringatku tidak bau seperti ini, A-cui. Keringat seperti ini hanya patut dimiliki oleh laki-laki !"
"Hi -hik, ketahuan sekarang! Si A -cin agaknya sudah hafal akan bau keringat laki -laki!" seorang
dayang lain menggoda. "Tentu keringat pacarnya
seperti ini baunya. Wahhhh I"
"Lancang mulut! Kalau keringat pacarku se-perti ini baunya, dalam waktu sehari saja mana aku kuat
?" kata pula A -cin dan semua dayang tertawa. Pek Lian ikut tersenyum. Para dayang itu agaknya,
sebagai orang -orang Tai -bong -pai, juga memiliki nyali yang besar sehingga di tempat seperti itu
masih sempat berkelakar. Memang bau air laut amat kecut, mirip bau keringat.
"Hei, kalian tenanglah!" tiba-tiba Siok Eng berkata. "Dan simpan kelakar kalian itu. Ketahui-lah, kita
sudah dekat! Ayah pernah bercerita bah-wa air laut yang merah berbau busuk itu merupa-kan
perbatasan, dan kalau sudah tiba di daerah air laut kehijauan yang berbau masam, itu tanda-nya
bahwa pulau itu akan kelihatan. Kita perhati-kan saja, menurut ayah air laut akan berobah lagi
kebiruan dan bau kecut itu akan terganti bau wa-ngi dan pulau itu tentu akan kelihatan di depan kita."
Semua orang termasuk Pek Lian, kini dengan serius memperhatikan keadaan sekeliling. Dan
memang benar seperti yang dikatakan oleh Siok Eng tadi, air laut makin lama makin berobah war-na
menjadi kebiruan dan bau yang masam tadi mulai berobah dengan bau yang wangi, wangi yang aneh
seperti sari seribu bunga bercampur bau manis. Dan perlahan-lahan, di antara kabut yang masih
remang-remang, nampaklah garis-garis daratan pulau. Tentu saja semua orang me-mandang dengan
hati penuh ketegangan karena mereka semua tahu bahwa sebentar lagi mereka akan tiba di tempat
yang penuh bahaya. Pulau Selaksa Setan terkenal sebagai pulau terlarang ba-gi orang luar dan
kabarnya, siapapun juga tidak berani masuk karena siapa yang masuk tentu tidak akan dapat keluar
kembali dalam keadaan hidup-hidup ! Anak buah Tai -bong -pai memang pem-berani, apa lagi mereka
itu mengiringkan nona me-reka yang mereka percaya penuh sebagai orang yang memiliki kepandaian
luar biasa tingginya.
Memang Siok Eng amat mengagumkan. Biar-pun usianya baru tujuhbelas tahun, masih remaja,
namun" sikapnya sudah dewasa. Ia bersikap tenang dan berwibawa sebagai seorang yang bertingkat
tinggi. Dengan hati -hati ia membagi -bagikan pel pencegah keracunan kepada semua orang, termasuk
Pek Lian. Ada pel anti hawa beracun, pel anti tanaman beracun, berikut minyak pelumurnya untuk
mengobati luka -luka yang terkena racun. Ia-pun memimpin pendaratan perahu mereka, memi-lih
tempat yang agak menonjol ke depan yang di-tumbuhi pohon -pohon rindang sehingga ketika mereka
mendarat, mereka terlindung oleh pohon-pohon itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Waktu itu, tengah malam telah lewat. Bulan tua itu tidak mampu menembusi daun -daun pohon yang
rimbun sehingga tempat itu nampak gelap, sunyi dan menakutkan. Di dalam kesunyian itu seperti
terasa oleh mereka adanya ancaman maut yang mengintai dari tempat -tempat gelap. Diam-diam Pek
Lian sendiri bergidik. Ia adalah seorang gadis gemblengan yang semenjak ayahnya ditawan telah
mengalami banyak hal -hal yang mengerikan dan membuat hatinya mengeras dan tabah. Akan tetapi,
berada di pulau aneh ini, yang namanya sa-ja Pulau Selaksa Setan dan penghuninya adalah iblis -
iblis macam kakek dan nenek bergerobak itu, mau tidak mau hatinya gentar juga. Namun ia melihat
betapa Siok Eng masih kelihatan te-nang -tenang saja.
Dengan tenang dan penuh wibawa Siok Eng berkata kepada para anak buahnya, "Kalian semua tidak
boleh turun dari perahu. Siap dan waspada-lah karena tempat ini benar -benar berbahaya. Sama
sekali tidak boleh memegang benda -benda atau mahluk hidup di tempat ini karena semua itu
mengandung racun yang ganas. Air itu, rumput itu semua mengandung racun. Kalian sudah memakai
obat penawar, akan tetapi, kalau kalian me-megang apa lagi memakannya, belum tentu obat
penawar itu akan dapat melindungi kalian. Makan dan minum saja dari perbekalan sendiri. Tunggu di
sini sampai tiga hari. Kalau sampai tiga hari ti-ga malam aku belum kembali, kalian pulanglah dan beri
laporan kepada ayah. Nah, aku pergi. Hayo, Lian-ci !"
Kecut juga rasa hati Pek Lian ketika ia digan-deng oleh Siok Eng meninggalkan perahu di mana
semua anak buah Tai -bong -pai menanti itu. Bi-arpun pada waktu lain atau dalam keadaan umum,
berada bersama orang-orang Tai-bong-pai yang berbau dupa dan pucat-pucat itu sudah merupakan
hal yang menyeramkan, namun kalau dibandingkan dengan memasuki pulau setan itu, sungguh jauh
le-bih senang tinggal bersama mereka! Akan tetapi, melihat ketabahan Siok Eng, Pek Lian lalu menekan
perasaannya. Masa ia harus kalah berani di-bandingkan dengan dara remaja ini?
"Mari, adik Eng, dan berhati -hatilah," kata-nya dengan sikap dewasa.
"Kaupergunakan ini, enci. Lumurilah semua muka leher dan kedua tanganmu agar kulit -ku-litmu
terlindung dari serangan racun," kata Siok Eng sambil menyerahkan sebuah poci kecil di ma-na
tersimpan minyak membeku yang berwarna kuning dan berbau harum. Pek Lian lalu memakai minyak
itu, dioleskan pada seluruh muka, telinga, leher dan kedua tangannya, pendeknya semua bagian
tubuh yang tidak terlindung pakaian. Siok Eng agaknya sudah sejak tadi memakainya dan da-ra ini
membantu Pek Lian sampai pemakaian obat penawar itu rata benar. Kemudian merekapun
melanjutkan perjalanan di malam remang -remang itu.
Biarpun mereka berdua sama -sama belum pernah datang ke pulau ini, namun karena Siok Eng
sudah banyak mencari keterangan dan mem-pelajari keadaan pulau ini, maka dara remaja inilah yang
memimpin perjalanan. Mereka menyelinap dan menyusup di antara pohon -pohon menuju ke tengah
pulau. Tak lama kemudian Siok Eng me-nunjuk ke depan karena sejak tadi mereka tidak mau
mengeluarkan suara dan hanya memakai ge-rak tangan untuk saling memberi tahu. Pek Lian juga
sudah melihat adanya lampu-lampu di kejauh-an. Mereka berdua mulai merasa tegang. Itulah sarang
penghuni Ban -kwi -to yang amat terkenal itu. Dengan amat hati -hati keduanya menyelinap di antara
pohon -pohon, hanya melanjutkan ge-rakan setelah meneliti lebih dulu dan merasa yakin bahwa tidak
ada manusia lain di sekitar tempat itu.
Tiba-tiba Siok Eng mengangkat tangan me-nyuruh kawannya berhenti. Mereka berdua ber-sembunyi
di balik sebatang pohon besar, po-hon terakhir karena ternyata mereka tiba di tempat yang terbuka,
tanah kosong yang tidak ditumbuhi pohon, bahkan tidak ditumbuhi rumput. Yang ada pada tanah
kosong itu hanyalah kerikil dan batu-batuan berserakan, seperti dasar sebatang sungai yang sudah
tidak ada airnya dan kering. Ditimpa sinar bulan tua dan bintang -bintang, batu -batu di. tempat itu
berwarna kehijauan, padahal tidak terdapat lumut atau rumput di situ. Dan seolah-olah ada uap tipis
kehijauan yang melayang dari tempat itu.
"Awas, Lian -ci. Inilah daerah dari Ceng -ya-kang atau Si Kelabang Hijau itu, orang yang ke lima dari
Ban -kwi -to, di mana terdapat tujuh orang tokohnya. Batu -batuan di depan itu adalah tempat di mana
dia memelihara kelabang -kela-bangnya," bisik Siok Eng kepada Pek Lian yang mau tidak mau
bergidik ngeri membayangkan ke-labang -kelabang beracun. Baru kelabangnya saja ia sudah merasa
jijik dan ngeri, apa lagi kalau yang beracun.
"Lalu bagaimana kita harus melalui tempat ini ? Lihat, di seberang sudah nampak genteng-genteng
rumah mereka," bisiknya kembali sambil memandang ke arah batu-batuan itu dengan alis berkerut.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Enci Lian, lihat baik -baik. Kaulihat batu-batu di sebelah kanan itu ? Lihat batu -batu besar yang
bagian atasnya lebih mengkilap terkena sinar bulan dan yang menonjol di antara batu-batu lain ?
Batu-batu itu tentu biasa diinjak orang. Ha-yo kita lewat di sana, tidak perlu kuatir akan je-bakan."
Pek Lian menelan ludah dan mengangguk, ti-dak berani menjawab karena khawatir kalau-ka-lau
suaranya akan membayangkan rasa ngerinya. Siok Eng menekan tangannya lalu dara remaja itu
melangkah dengan hati -hati, mengerahkan gin-kangnya dan Pek Lian mengikuti di belakangnya,
mempergunakan jejak kaki kawannya sehingga ia tidak akan menginjak tempat lain yang mungkin
mengandung jebakan. Dengan ringan Siok Eng lalu meloncat dari batu ke batu, memilih batu-batu
yang puncaknya mengkilap, terus dibayangi oleh Pek Lian. Di tengah -tengah tempat itu, Pek Lian
melihat sinar -sinar hijau merayap di an-tara batu -batu dan ia bergidik. Tentu itulah kela-bang -
kelabang yang dimaksudkan oleh Siok Eng! Kalau sampai terpeleset dan jatuh lalu dikeroyok
kelabang beracun! Hihh! Sungguh menyeramkan bayangan itu dan Pek Lian cepat -cepat mengumpulkan
kekuatan batinnya untuk melawan rasa ta-kutnya.
Akhirnya Pek Lian mendaratkan kakinya di se-berang dengan hati lega. Mereka telah berhasil
melewati daerah kelabang itu. Melihat sebuah ke-bun sayur di mana terdapat tanaman sayur kobis
yang cukup subur dan sama sekali tidak memperli-hatkan tanda -tanda bahaya adanya racun, Pek
Lian menghampirinya.
Akan tetapi Siok Eng memegang lengannya. "Sstt, hati -hati, enci Lian. Lihat semut -semut itu !"
Pek Lian terkejut dan menahan langkahnya. Ia melihat betapa kobis -kobis yang kelihatan segar itu
penuh dengan semut-semut merah.
"Semut -semut apakah itu?" tanyanya gagap.
"Semut -semut ini beracun. Binatang -binatang ini dipelihara untuk memberi makan kepada kela-bang
-kelabang tadi. Dan kebun ini bukan kebun kobis seperti yang biasa kita makan, akan teta-pi sejenis
tumbuh -tumbuhan yang mengandung inti racun hijau!"
Pek Lian memandang dengan mata terbelalak kepada kobis -kobis itu dan meleletkan lidahnya. Kini,
kobis-kobis yang tadinya nampak menggiur-kan dan segar itu seolah -olah berobah menjadi pemandangan
yang menyeramkan, seolah -olah tadi ia melihat wajah bidadari yang tiba -tiba saja berubah
menjadi wajah iblis.
Siok Eng menunjuk ke kiri. "Rumpun-rumpun bambu itulah yang merupakan daerah aman dan bebas
dari racun, begitu menurut keterangan ayah yang pernah satu kali datang ke sini. Nah, kita mengambil
jalan melalui kebun bambu hijau itu."
Mereka berdua dengan hati -hati menyelinap di antara rumpun bambu menuju ke sebuah ba-ngunan
yang berada di tengah -tengah rumpun bambu itu. Mereka menyelinap ke samping ba-ngunan dan
melihat adanya pintu yang terbuka.
Dari pintu itu keluar bau bacin yang menyerang hidung mereka dan membuat mereka hampir muntah-
muntah. Siok Eng mengeluarkan dua helai sapu-tangan merah dan menyerahkan sebuah kepada
kawannya untuk menutupi hidung. Ketika Pek Lian menggunakan saputangan merah itu di de-pan
hidungnya, tercium olehnya bau harum yang keras dan segera bau bacin itupun lenyap atau ka-lah
oleh bau harum. Dengan isyarat tangannya, Siok Eng mengajak kawannya masuk karena dari luar
nampak jelas betapa pondok yang pintunya terbuka itu kosong tidak ada orangnya. Mereka melihat
sebuah panci yang penuh dengan air kehi-jau -hijauan mendidih di atas tungku api dan uap air
mendidih inilah yang menyebarkan bau bacin tadi. Di dalam almari tak jauh dari situ nampak banyak
sekali botol -botol besar kecil. Dan di da-lam sebuah keranjang sampah di sudut nampak bangkai
kelabang-kelabang yang besar, nampak berkilauan kulitnya tertimpa sinar lampu gantung. Uap yang
keluar dari dalam guci itu menyambar hidungnya, mem-buat Pek Lian hampir tak dapat bernapas.
"Cepat telan pel ini, kelabang -kelabang itu amat berbisa !" kata Siak Eng yang melihat keadaan Pek
Lian. Gadis ini menurut dan cepat menelan sebutir pel kecil dan dadanya terasa lega kembali. Ia
bergidik. Sungguh berbahaya sekali. Baru ha-wa atau uapnya saja sudah demikian berbahaya, apa
lagi sengatannya !
dunia-kangouw.blogspot.com
Siok Eng mengajak mereka keluar dengan ce-pat dari tempat itu. Dengan berindap keduanya menuju
ke gedung induk. Tempat itu kelihatan sepi sekali seolah -olah tidak ada penghuninya sa-ma sekali.
Namun mereka berdua tidak pernah mengurangi kewaspadaan. Tak mungkin di situ ti-dak ada orang,
karena buktinya terdapat lampu-lampu yang tentu dinyalakan dan dipasang orang. Mungkin para
penghuninya sedang tidur.
"Heh -heh -heh -heh !"
Pek Lian terperanjat seperti disengat kelabang hijau. Suara ketawa kecil itu keluar dari sebuah kamar
di bangunan sebelah kiri. Dua orang dara itu cepat menyelinap keluar dan menyusup ke balik rumpun
barnjbu dengan hati berdebar tegang. Ki-ranya suara ketawa itu keluar dari sebuah jendela yang kini
terbuka lebar. Sinar terang dari lampu di dalam kamar itu menyinari halaman. Siok Eng menyentuh
tangan kawannya dan mengajaknya berindap mendekati jendela, bersembunyi di antara daun-daun
bambu yang tumbuh di luar jendela, mengintai ke dalam dengan hati -hati sekali. Me-reka melihat ada
dua orang pria duduk saling ber-hadapan, menghadapi meja sambil bercakap -ca-kap. Pria yang
berkepala gundul dan tubuhnya ge-muk pendek berperut gendut duduk menghadap ke arah jendela
sedangkan orang yang diajaknya bicara adalah seorang pria yang agaknya masih muda. Kamar itu
cukup indah dengan lampu gan-tung yang mewah dan kain -kain sutera bergan-tungan. Si gendut
pendek itu tersenyum lebar, nam-paknya amat ramah kepada tamunya, pemuda itu.
Siok Eng mendekatkan bibirnya ke telinga ka-nan Pek Lian, lalu berbisik lirih sekali sehingga Pek Lian
yang telinganya demikian dekat dengan mulutnyapun harus mengerahkan ketajaman pendengarannya
untuk dapat menangkap apa yang di-katakan temannya.
"Kalau tidak salah si gundul itu adalah Ceng-ya -kang Si Kelabang Hijau. Awas kalau berha-dapan
dengan dia. Orang itu licik dan kejam bu-kan main, suka menyiksa musuhnya sambil berke-lakar.
Anehnya, apa yang dilakukannya lewat te-ngah malam mengobrol dengan tamunya?"
Diam -diam Pek Lian terkejut mendengar bah-wa si gendut itu adalah Si Kelabang Hijau yang
disohorkan sebagai tokoh Ban -kwi -to. Mereka berdua menahan napas dan mengintai. Makin dili-hat,
makin heranlah hati mereka karena sikap si gendut itu sungguh teramat manis, bahkan terasa oleh
mereka betapa sikap itu berlebihan manisnya, mendekati rayuan!
"Kongcu, di tempat ini engkau tidak perlu kha-watir. Tidak akan ada seorangpun setan yang be-rani
mengganggumu selama aku berada di dekat-mu. Dan apapun yang engkau kehendaki, tentu akan
dapat kuadakan. Maka senangkanlah hatimu tinggal di sini, kongcu"
"Terima kasih, locianpwe. Aku hanya ingin me-luaskan pengalaman dan menambah pengetahuan-ku
saja," jawab pemuda itu dan dari suaranya, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa pemuda ini
bukan orang sembarangan dan juga bukan orang kasar, bahkan kata-katanya teratur dan halus seperti
ucapan seorang terpelajar. Maka, tentu saja mereka berdua menjadi semakin tertarik dan he-ran.
Atas bujukan si gendut, mereka berdua itu lalu makan minum dengan gembira dan dua orang dara itu
menjadi bingung melihat betapa kakek gendut itu makin lama makin gila omongannya. "Kongcu,
selama ini banyak sudah kutemui pemuda-pemuda yang gagah dan tampan, akan tetapi baru
sekarang aku bertemu dengan seorang ganteng seperti eng-kau. Ha -ha -ha, betapa senang hatiku
dapat ber-kenalan denganmu!" Sambil berkata demikian, kakek itu mengajak si pemuda untuk minum
lagi arak wangi dari cawan mereka.
"Aku sudah cukup banyak minum arak, locian-pwe," pemuda itu agaknya segan juga untuk meno-lak.
"Ha -ha -ha, makin banyak minum, makin ke-merahan pipimu, kongcu. Ha-ha, sungguh segar dan
tampan sekali engkau!" Kakek gendut itu mengulur tangannya, mula -mula tangan itu me-megang
tangan si pemuda untuk dibelainya, akan tetapi tangan itu terus merayap ke atas, mengelus dagu!
"Ah, jangan begitulah, locianpwe," pemuda itu nampak bingung seperti kehilangan akal mengha-dapi
tingkah kakek yang makin genit itu. Pek Lian dan Siok Eng saling pandang dengan mata terbela-lak
dan wajah mereka berobah merah karena jengah dan malu. Namun merekapun ingin sekali tahu ka--j
rena mereka tidak mengerti mengapa ada seorang kakek begitu genit merayu dan membelai seorang
pemuda!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, kakek gendut itu agaknya sudah terlalu banyak minum arak dan sudah setengah mabok
karena penolakan pemuda itu bahkan membuat dia merayu semakin panas! "Kongcu, aku sungguh
kagum dan tergila -gila kepadamu. Aku akan menurunkan semua ilmuku kepadamu, akan tetapi,
jangan kecewakan hatiku, kau harus menjadi kekasihku!"
Wajah dua orang dara itu menjadi semakin me-rah, akan tetapi hati merekapun diliputi keheranan
besar mendengar seorang kakek hendak menjadi-kan seorang pemuda kekasihnya! Apakah kakek itu
sudah gila ataukah memang pulau itu menjadi tempat orang-orang yang miring otaknya? Dua orang
dara itu tidak tahu bahwa memang kakek Ceng-ya-kang atau Si Kelabang Hijau ini me-miliki sifat yang
lain dari pada pria-pria biasa. Dia tidak suka atau tidak tertarik oleh kecantikan wanita, akan tetapi
sejak muda dia suka bercinta dengan pria! Jasmaninya adalah pria, akan tetapi watak dan sifatnya
cenderung kepada sifat dan wa-tak wanita. Memang banyak terdapat orang -orang seperti Si
Kelabang Hijau ini. Alam telah memberi keadaan yang bertentangan antara badan dan ba-tin mereka
dan mereka ini adalah oiang-orang yang patut dikasihani. Mereka suka bergaul dan berde-katan,
bahkan bermesraan dan bermain cinta de-ngan pria dan hal ini sama sekali tidak mereka se-ngaja,
dan bukan timbul dari watak yang buruk atau cabul. Sama sekali tidak, karena memang de-mikianlah
keadaan batin mereka. Mereka kagum melihat sifat jantan, mereka akan merasa bahagia kalau
dikasihi oleh seorang pria yang jantan. Mere-ka tidak suka berdekatan dengan wanita sebagai
kekasih, kecuali hanya sebagai teman, bahkan ada yang merasa muak kalau memikirkan bahwa
mere-ka harus berkasih sayang dengan seorang wanita. Keadaan seperti ini dapat terjadi karena
kesalahan keadaan jasmaniah yang mempengaruhi batin, akan tetapi juga mungkin diperkuat oleh
keadaan ling-kungan hidupnya di waktu kecil sehingga batin yang mempengaruhi jasmani. Memang,
antara ba-dan dan batin selalu terjadi isi-mengisi, saling mem-pengaruhi.
Karena sifatnya inilah maka Si Kelabang Hijau itu sering kali meninggalkan Pulau Selaksa Setan dan
merantau sampai jauh ke seluruh pelosok du-nia, dan sering mendekati pria -pria yang tampan dan
gagah. Karena watak ini pula maka tokoh se-sat ini pernah menjadi sahabat dari Yap Kim, putera
kandung dari ketua Thian-kiam-pang yaitu Yap Cu Kiat, murid dari mendiang Sin -kun Bu -tek yang
sakti.
Kalau saja Pek Lian dan Siok Eng sudah tahu akan sifat dan watak seorang laki-laki seperti Ceng-yakang,
tentu mereka akan segera pergi dan ti-dak sudi untuk nonton terus. Akan tetapi karena mereka
belum tahu dan tidak mengerti, maka ke-inginan tahu membuat mereka bertahan untuk me nyaksikan
adegan yang mereka anggap aneh dan luar biasa itu. Mereka melihat betapa kakek itu membujuk -
bujuk dan berusaha untuk memegang tangan si pemuda yang berulang kali mengelak de-ngan
menarik tangannya dan dengan halus minta agar kakek itu jangan melanjutkan sikapnya yang ganjil.
Tiba -tiba dua orang dara itu terkejut melihat berkelebatnya bayangan dua orang yang dengan cepat
sekali melayang masuk dari pintu dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang wanita yang
nampaknya masih muda, tidak lebih dari tigapuluh tahun usianya dan wajah mereka serupa benar.
Se-pasang wanita kembar, hal ini mudah dilihat dari dandanan pakaian, gelung rambut, perhiasan dan
wajah mereka yang serupa benar. Pakaian mereka itu ketat membayangkan dada, perut dan paha
yang menonjol. Mereka berdiri dengan kaki agak terpentang, tangan kiri bertolak pinggang, dan si-kap
mereka genit bukan main. Mereka berdiri se-perti pohon cemara tertiup angin saja, pinggul me-reka
agak bergoyang -goyang, mulut mereka yang digincu merah tebal itu tersenyum merekah, alis mereka
bergerak -geiak diangkat -angkat, dan ma-ta mereka itu melirik -lirik genit ke arah si pemu-da yang
kebetulan berdiri membelakangi jendela dan menghadap ke arah dua orang wanita itu. Dua orang
dara yang berada di luar jendela itu meman-dang penuh perhatian, agak terkejut melihat mun-culnya
dua orang wanita yang demikian cepat ge-rakannya tanpa mengeluarkan sedikitpun suara itu.
Biarpun dua orang wanita itu masuk ke ka-mar tanpa menimbulkan suara, namun kakek gen-dut yang
tadinya berdiri dalam usahanya merayu si pemuda, kini tiba -tiba duduk kembali dan tan-pa menoleh
diapun berkata, "Suci berdua kenapa malam -malam begini berkunjung ke daerahku ? Apakah kalau
ada keperluan tidak bisa datang di siang hari ?" Dari nada suaranya, jelas bahwa dia merasa marah
dan terganggu, dan biarpun mulut-nya tersenyum, akan tetapi wajahnya masam.
Mendengar ucapan si gendut itu, Siok Eng me-nempelkan bibirnya di dekat telinga kawannya dan
berbisik, "Mereka itu orang ke tiga dan ke empat dari iblis -iblis Ban -kwi -to. Mereka kembar dan
pandai beralih rupa. Kelakuan mereka sangat ter-sohor buruknya, segala hal yang kotor -kotor mereka
lakukan !" Suara bisikan Siok Eng mengandung rasa jijik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang wanita itu mencibirkan bibir mereka mendengar pertanyaan Ceng -ya -kang tadi dengan
sikap yang penuh kegenitan dan ejekan, lalu seo-rang di antara mereka berkata, suaranya nyaring
dan genit, "Huh! Kami ke sini cuma ingin melihat apakah engkau sudah kembali ke rumah. Lupakah
engkau bahwa esok pagi adalah hari perayaan wa-fatnya guru kita yang ke sepuluh ? Toa -suheng
mengharapkan agar semua orang dari Ban-kwi-to hadir di tempat toa-suheng." Sambil berkata demikian,
wanita itu dan saudara kembarnya tiada hentinya menatap ke arah wajah pemuda yang duduk
berhadapan dengan Ceng -ya -kang itu lirak-lirik dan senyum simpul penuh daya pikat.
"Aku sudah kembali sejak kemarin!" Kakek gendut itu mendengus dengan suara tak senang. "Aku
telah datang, sekarang kalian pergilah. Kita bisa berkelahi kalau kalian tidak mau segera pergi dan
jangan ganggu aku !"
Pek Lian yang mengintai dan mendengarkan di luar jendela, merasa heran bukan main. Bagaima-na
mungkin hari wafat seorang guru malah diraya-kan, bukan berkabung malah berpesta ? Dan bukankah
mereka itu saudara -saudara seperguruan, segolongan pula, sebagai saudara -saudara yang
sama-sama menjadi penghuni Ban-kwi-to, akan tetapi kenapa sikap mereka satu sama lain begitu
tidak bersahabat dan bahkan seperti bermusuhan saja ? Pek Lian lupa bahwa mereka itu adalah golongan
hitam, kaum sesat, bahkan tokoh -tokoh be-sarnya yang sudah tidak lagi mengindahkan
segala macam aturan dan sopan santun dan mengeluarkan semua isi hati melalui mulut tanpa
disaring lagi. Merekapun sudah tidak sudi lagi untuk bermanis muka. Apa lagi hanya terhadap
saudara seperguru-an, bahkan terhadap guru sendiripun mereka sudah tidak mau lagi bersopan
santun atau menggunakan tata cara manusia beradab. Mereka tidak perduli terhadap orang -orang
lain. Golongan mereka ha-nya mengenal pamrih seenaknya untuk diri sendiri. Yang ada hanya
kepentingan diri pribadi, lahir ba-tin. Dan menghadapi orang lain, yang ada hanya dua perasaan, yaitu
berani atau takut. Kalau mere-ka berani, nah, segala hal bisa saja mereka lakukan, sampai yang
paling kurang ajar, yang paling kejam, sadis dan tidak tahu aturan sekalipun. Akan tetapi kalau
mereka merasa kalah dan takut, mereka tidak malu -malu untuk melakukan segala macam kecurangan
atau melarikan diri. Dan untuk kepenting-an pribadi, segala cara dihalalkan, menipu, membokong,
bahkan membunuh kawan sendiri sekalipun. Pendeknya, mereka hidup tanpa adanya suatu
ke-tertiban apapun, tiada bedanya dengan kehidupan binatang -binatang liar di dalam hutan dan
hukum satu -satunya bagi mereka hanyalah hukum rimba raya, yaitu siapa kuat dia menang dan siapa
me-nang dia benar dan harus dipatuhi dan ditaati.
Seperti yang telah diterangkan oleh Siok Eng kepada Pek Lian, kakek gundul gendut itu memang
benar berjuluk Ceng -ya -kang atau Thian -te Tok -ong dan merupakan tokoh ke lima dari Ban-kwi -to.
Terdapat tujuh orang tokoh Ban -kwi -to yang merupakan saudara -saudara seperguruan, juga
merupakan saudara segolongan yang tinggal di kepulauan setan itu. Orang pertama terkenal dengan
julukan Tikus Beracun Bumi, yang ke dua berjuluk Tiat -siang -kwi (Setan Gajah Besi), orang ke tiga
dan ke empat adalah dua orang wanita kembar yang masing -masing bernama Jeng -bin Sam -ni
(Nyonya Ke Tiga Bermuka Seribu), dan Jeng -bin Su -nio (Nyonya Ke Empat Bermuka Se-ribu).
Mereka ini dikenal dengan julukan Jeng-bin (Muka Seribu) karena kepandaian mereka beralih rupa,
walaupun mereka masih memiliki banyak ma-cam keahlian lagi. Ceng -ya -kang atau Thian-te-Tokong
adalah tokoh yang ke lima. Tokoh ke enam dan ke tujuh adalah suami isteri Im -kan Siang-mo,
yaitu Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, kakek dan nenek yang selalu menggunakan gerobak itu.
Mendengar ucapan adik seperguruan mereka yang kasar dan menantang itu, Jeng-bin Siang-kwi,
yaitu sebutan bagi mereka berdua, hanya senyum-senyum saja dan tidak kelihatan marah. Tentu saja
senyum itu bukan ditujukan kepada Ceng-ya-kang, melainkan kepada pemuda itu yang kelihatan
duduk dengan gelisah.
"Hi -hi -hik, pantas saja engkau tidak mau muncul-muncul biarpun sudah kembali ke mari.... kiranya
engkau telah memperoleh seorang korban baru yang ganteng!" kata Jeng-bin Su -nio.
"Pergi kalian !" Tiba -tiba si gundul gendut itu mencelat dari kursinya. Gerakannya demikian cepatnya,
tidak sesuai dengan tubuhnya yang gendut pendek, dan tahu -tahu dia sudah meloncat sambil
membalikkan tubuhnya, langsung saja menyerang kedua orang wanita itu dengan pukulan yang
me-ngandung angin dahsyat. Akan tetapi, dua orang wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek
dan segera mengelak, menangkis dan balas me-nyerang dengan tak kalah cepat dan hebatnya. Angin
pukulan menyambar -nyambar dan dua orang gadis yang mengintai di luar jendela itu mencium
bau amis, tanda bahwa pukulan -pukulan tiga o-rang yang saling hantam itu mengandung hawa
beracun yang jahat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siok Eng menarik tangan Pek Lian, diajak per-gi menjauhi tempat itu. Setelah jauh, dara ini me-narik
napas panjang. "Betapa ganas dan kejinya mereka itu. Mari kita segera mencari Hek -kui-hwa itu, enci
Lian. Tak perlu kita mencampuri mereka yang berengsek itu."
"Ke mana kita mencari, adik Eng ?"
Aku harus mencarinya. Bunga itu hanya dapat tumbuh di tempat terbuka, tidak boleh terlindung oleh
benda atau tumbuh -tumbuhan lainnya, ha-rus sepenuhnya menerima sinar matahari dan bu-lan, dan
terpisah dari tanam-tanaman lain. Bunga mawar hitam atau setan hitam itu bentuknya seper-ti mawar
biasa, hanya tidak berbau sama sekali, warnanya hitam legam dan daunnya putih."
"Mari kubantu engkau mencarinya, Eng-moi," kata Pek Lian dan mereka segera mulai mencari-cari di
pulau itu. Akan tetapi mereka tidak berha-sil, apa lagi menemukan bunga itu, bahkan tidak
menemukan daerah terbuka seperti yang dimak-sudkan oleh Siok Eng tadi.
"Sungguh heran, kenapa pulau ini demikian ke-cil ? Dan bangunannya juga hanya ada sebuah itu. Di
mana para penghuninya yang lain ?" Pek Lian berkata dengan hati kecewa karena kegagalan mereka
menemukan, bunga yang dicari sahabatnya itu.
Enci Lian, Ban-kwi-to bukan terdiri dari se-buah pulau saja, melainkan terdiri dari lima buah pulau
yang berpencar akan tetapi juga saling ber-dekatan. Tiap pulau dihuni oleh seorang tokoh, kecuali si
kembar itu dan sepasang suami isteri yang masing-masing keduanya mendiami sebuah pulau.
Kaulihatlah di seberang sana itu."
"Ah, engkau benar! Itu adalah sebuah pulau yang lain. Akan tetapi, bagaimana kita dapat menyeberang
ke sana ? Apakah kita harus mengambil perahu kita ? Tentu bunga itu berada di pulau
yang lain, tidak mungkin di sini."
"Agaknya benar, enci. Akan tetapi karena kita tidak tahu persis di mana tumbuhnya bunga itu,
terpaksa kita harus mencarinya di semua pulau. Hanya, kita harus berhati -hati sekali. Sungguh aneh,
bagaimana dua orang wanita kembar tadi da-pat datang ke sini ? Tidak nampak adanya perahu
mereka."
Tiba -tiba mereka mfelihat bayangan berkele-bat keluar dari rumah Ceng -ya -kang dan mereka
berdua cepat menyelinap bersembunyi. Tak lama kemudian, nampaklah dua orang wanita kembar itu
berjalan lewat lalu berhenti tak jauh dari tempat persembunyian mereka.
"Bangsat gundul keparat jahanam!" terdengar seorang di antara mereka memaki -maki sambil
mengacungkan tinju ke arah rumah Ceng-ya-kang.
"Anjing banci disambar geledek kamu !" Orang ke dua memaki pula dan keduanya lalu memaki-maki
dengan kata -kata yang jorok dan cabul. A-gaknya mereka itu merasa mendongkol dan pena-saran,
yang hendak mereka lampiaskan dengan caci maki dan sumpah -serapah mereka terhadap kakek
gundul gendut itu.
"Sialan ! Bocah gundul itu telah mencapai titik kesempurnaan dalam menyerap Ilmu Racun Kela-bang
Hijau yang lihai itu," kata Jeng-bin Sam-nio dengan suara penasaran.
"Benar, sungguh jahanam ! Tak kusangka dalam pengembaraannya dia dapat meningkatkan ilmu-nya
sampai ke titik mendekati kesempurnaan. Li-hat ini! Kantongku racun bunglon merah menjadi tawar
terkena ilmunya ludah inti racun kelabang hijau. Sialan! Untung aku selalu dapat menghin-dari
semburan ludahnya!"
"Ludahnya yang bacin itu sungguh berbahaya," kata orang ke dua. "Sayang kita tidak membawa alat -
alat rias kita. Hemm, ingin aku tahu, mana yang lebih hebat, ludah bacinnya ataukah bedak-bedak
harum kita!"
"Biarlah lain kali kita coba lagi. Hatiku pena-saran kalau sampai kalah oleh adik seperguruan kita."
"Eh, ngomong -ngomong, pemuda tadi tampan benar, ya ? Dan kelihatan jantan. Sayang, sudah lebih
dulu disekap oleh si gundul gila itu '!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aih, sudahlah! Kita sendiri kan sudah mem-punyai simpanan yang tidak mengecewakan," kata.
yang lain sambil tersenyum genit sekali. "Tidak rugi kita main kucing -kucingan dengan perahu Si
Harimau Gunung."
"Sayang mereka belum mau tunduk . . . . . ."
"Akhirnya akan tunduk juga, dan ingat, yang sukar ditundukkan itu sekali tunduk, waahhh hebat deh !"
Mereka berdua cekikikan seperti kun-tianak dan dua orang gadis yang mendengarkan dalam tempat
persembunyian mereka menjadi mu-ak. Pek Lian dan Siok Eng melihat betapa kedua orang wanita
kembar itu memasuki sebuah rum-pun bambu kuning. Sampai lama mereka tidak muncul kembali dan
keadaan begitu sunyi senyap. Dua orang dara itu menjadi curiga lalu dengan ha-ti -hati merekapun
memasuki rumpun bambu itu. Ternyata di tengah -tengah rumpun bambu itu ter-dapat sebuah lubang
besar yang masuk ke dalam tanah. Ketika mereka memeriksa, ternyata lubang itu adalah terowongan
di dalam tanah yang agak-nya lewat di bawah laut!
Dua orang dara yang gagah perkasa itu dengan hati-hati sekali mengikuti terowongan itu. Jalan-nya
gelap dan menurun sekali, akan tetapi mereka berdua adalah dua orang dara gemblengan yang berilmu
tinggi, maka mereka tidak merasa takut. Mere-ka merasa yakin bahwa dua orang wanita kembar
itu tentu mengambil jalan ini dan mereka dapat men duga bahwa tentu inilah jalan yang menghubungkan
satu dengan lain pulau. Pantas saja dua orang wanita kembar tadi tidak menggunakan perahu.
Kiranya mereka datang ke pulau daerah Si Kela-bang Hijau melalui sebuah terowongan bawah laut.
Ketika dua orang dara itu muncul di pulau yang lain, kiranya mereka itu tiba di sebuah ruangan ke-cil
di sudut taman, merupakan pondok kecil yang mungil. Cepat mereka meloncat keluar dan
bersembunyi, meneliti keadaan sekeliling. Bulan tua telah condong ke barat, akan tetapi bintangbintang
di langit masih nampak terang. Tentu telah jauh lewat tengah malam. Dan agaknya semua
orang yang berada di pulau ini sudah tidur. Tidak terdengar suara orang, tidak nampak seorangpun
penjaga. Agaknya para penghuni kepulauan ini sudah begitu percaya akan keadaan tempat tinggal
mereka yang penuh dengan racun sehingga orang luar yang berani memasuki daerah mereka tentu
akan mati sendiri terkena racun. Dengan adanya racun-racun yang terkandung dalam tumbuhtumbuhan,
dalam gigitan binatang -binatang kecil, bahkan dalam udara, maka tidak diperlukan lagi
penjaga. Orang luar tentu akan tewas kalau me-masuki daerah kepulauan Ban -kwi -to ini.
Ketika dengan hati -hati Siok Eng dan Pek Lian mulai mencari -cari bunga Hek -kui -hwa, mereka
mendapat kenyataan bahwa keadaan pulau ini jauh sekali bedanya dengan pulau milik Si Ke-labang
Hijau yang baru saja mereka tinggalkan. Pulau kecil milik wanita kembar ini penuh dengan taman
bunga -bunga yang indah, keadaannya te-rawat dan bersih apik, tidak seperti keadaan pulau milik Si
Kelabang Hijau yang penuh pohon belu-kar dan awut -awutan. Akan tetapi, biarpun di situ terdapat
banyak sekali bunga beraneka macam dan warna, dua orang dara itu tidak berhasil mene-mukan
bunga mawar hitam berdaun putih.
"Sungguh heran ! Sedemikian banyaknya bunga-bunga di sini, akan tetapi bunga yang kaucari itu
tidak ada ! Adik Eng, tidak kelirukah keterangan yang kaudapat mengenai Hek -kui -hwa itu ?" Pek
Lian berkata dengan nada suara meragu.
"Tidak, enci Lian. Memang, menurut keterangan ayah, bunga itu langka sekali dan ayahpun tidak
dapat memastikan apakah bunga itu ditanam di pulau -pulau ini. Hanya satu hal adalah pasti, yaitu
bunga Hek -kui -hwa itu berada dalam kekuasaan Tujuh Iblis dari Pulau Selaksa Setan ini. En-tah di
mana mereka sembunyikan. Aku harus menemukannya. Heii, awas, enci Lian! jangan kausentuh
bunga -bunga itu. Biarpun kelihatannya begitu bersih dan indah, akan tetapi bunga itu beracun. Bunga
-bunga ini memang ditanam untuk memelihara dan mendapatkan racun-racunnya.
”Ssttt , itu ada perahu datang. Cepat sem bunyi !" Mereka menyelinap lagi ke balik semak-semak
beberapa rumpun alang-alang yang ditanam sebagai penghias dan pagar taman.
Tiba-tiba bumi di sekitar tempat itu tergetar ketika seorang raksasa melangkahkan kakinya.
Berdentam-dentam bunyinya, seolah-olah bumi di-timpa oleh benda yang amat berat setiap kali
raksa-sa itu membanting kakinya. Anehnya, dia agaknya sengaja membanting kakinya ketika
melangkah me-masuki taman ! Rambutnya gimbal dan kotor, ma-tanya lebar dan membelalak. Jubah
dan pakaiannya terbuat dari kain kotak -kotak yang dibelit-belitkan di tubuhnya. Bagian dadanya
terbuka dan nampak betapa dada itu penuh bulu tebal. Mulutnya lebar dan seperti nampak ada taring
dunia-kangouw.blogspot.com
di antara giginya yang besar-besar. Raksasa ini sungguh tinggi besar, tingginya tidak kurang dari dua
meter, bahkan le-bih. Ada suara seperti ngorok ketika dia melang-kah memasuki taman.
Ketika raksasa itu tiba di dekat tempat dua orang dara itu bersembunyi, tiba -tiba saja dia
menghentikan langkahnya. Dua orang dara itu mencium bau amis yang menusuk hidung, membu-at
mereka hampir saja muntah-muntah. Dan rak-sasa itupun mengembangkempisikan hidungnya. Mulutnya
menyeringai buas, matanya yang besar itu melotot dan mengamat-amati sekelilingnya, dan air
liurnya menetes -netes dari ujung bibirnya,
"Heh –heh.. bau daging segar ! Daging lunak!
Hemm, alangkah sedapnya!" Matanya jela-latan ke kanan kiri, mencari -cari.
Tentu saja dua orang dara itu seketika mandi keringat dingin! "Mereka bukan penakut, bahkan Siok
Eng telah mewarisi ilmu kepandaian yang he-bat. Akan tetapi bagaimanapun juga, mereka itu hanyalah
dua orang gadis remaja dan keadaan manu-sia raksasa itu memang sungguh amat
menyeram-kan. Apa lagi dalam perjalanan mereka dengan perahu, Siok Eng sudah pernah
menceritakan ke-pada Pek Lian bahwa orang ke dua dari Tujuh Iblis ini, yang berjuluk Tiat -siang -kwi
( Setan Gajah Besi) kabarnya suka makan daging manusia.
Biarpun seluruh urat syaraf mereka sudah me-negang dan bersiap siaga, akan tetapi ketika rak-sasa
itu melangkah mendekati tempat mereka ber-sembunyi, mereka merasa tubuh mereka panas di-ngin !
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ke-tawa cekikikan yang nyaring dari arah gedung di tengah
pulau. Suara cekikikan yang penuh kegenit-an, terkekeh -kekeh dibuat -buat. Mendengar sua-ra itu, si
raksasa berhenti melangkah dan menoleh ke arah gedung. Agaknya suara itu mengingatkan dia akan
maksud kedatangannya ke pulau itu. Mendadak dia lari tunggang-langgang menuju ke arah gedung.
Tanah yang diinjaknya ketika dia ber-lari itu tergetar seperti gempa bumi dan dua orang dara itu
bernapas lega.
"Mari kita pergi !" Siok Eng menarik tangan Pek Lian. Sekali ini, Pek Lian yang biasanya berwibawa
dan memimpin karena ia adalah seo-rang patriot di lembah, menurut saja karena ia maklum betapa
berbahayanya tempat itu dan bah-wa Siok Eng lebih tahu dari pada ia sendiri me-ngenai kepulauan
setan itu.
Siok Eng mengajak Pek Lian menggunakan pe-rahu milik Tiat -siang -kwi itu. Ia ingin mencari bunga
Hek -kui -hoa di pulau ke tiga setelah ga-gal mencari di kedua pulau pertama. Mereka men-dayung
perahu itu dengan cepat. Di depan nampak dua buah pulau kecil berdampingan. Dari jauh, kedua
pulau itu nampak gersang tidak ditumbuhi pohon sama sekali. Ketika mereka mendekat, ma-ka
mereka melihat bahwa pulau yang satu terdiri dari batu -batu dan pasir melulu. Menurut penge-tahuan
Siok Eng, pulau ini adalah tempat tinggal si raksasa, orang ke dua dari tujuh iblis. Kabar-nya, entah
berapa ratus orang yang menjadi korban iblis raksasa ini di tempat itu, tulang -tulangnya berserakan
dan terpendam dalam batu -batu dan pasir. Adapun pulau yang ke dua terdiri dari ra-wa-rawa dan di
tengah rawa nampak sebuah gu-buk besar yang berdiri di atas tiang -tiang dari ka-yu yang tahan air.
Itulah tempat tinggal suami is-teri Im -kan Siang -mo ( Sepasang Iblis Neraka ), yaitu kakek dan nenek
yang selalu bergerobak dan tak tahu malu itu.
"Eng-moi, pulau yang mana harus kita darati lebih dulu ?" tanya Pek Lian, melihat betapa ka-wannya
itu hanya membawa perahu mereka ber-putar -putar tak menentu.
"Kita terus saja, enci Lian. Pulau -pulau ini adalah tempat tinggal Tiat -siang -kui dan Sepa-sang Iblis
Neraka, yaitu orang ke dua, ke enam dan ke tujuh dari Tujuh Iblis. Melihat keadaan kedua pulau ini,
juga melihat macamnya raksasa itu, tak mungkin dia yang menanam atau menyimpan Hek-kui -hwa.
Juga suami isteri itu jarang berada di ru-mah, selalu mengembara dan pulaunya terdiri dari rawa -
rawa pula, kiranya tidak mungkin berada di sana itu."
"Lalu bagaimana ? Ke mana kita harus men-cari ?"
"Enci Lian, kepulauan mereka hanya ada lima buah. Yang empat telah kita ketahui dan agaknya
bunga itu tidak berada di situ. Tinggal sebuah pu-lau lagi yang menjadi tempat tinggal tokoh perta-ma
dari mereka, yaitu Te-tok-ci (Tikus Beracun Bumi). Ke sanalah kita menuju."
Pek Lian menutup mulut menahan ketawanya. "Sudah banyak kita melihat orang aneh. Ingin aku
melihat bagaimana macamnya yang berjuluk Tikus Beracun itu. Apakah mukanya seperti tikus?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siok Eng tersenyum geli. "Mungkin saja. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Akan tetapi ayah
bilang bahwa dia mempunyai koleksi banyak ma-cam tikus yang aneh -aneh dan buas. Tikus-tikus itu
dibuat beracun dan mereka ditempatkan di te-rowongan -terowongan yang banyak terdapat di pulau
tempat tinggalnya."
Pek Lian bergidik. Di antara binatang -bina-tang kecil, tikus merupakan binatang yang menji-jikkan
baginya. Ara lagi kalau jumlahnya banyak, dan beracun lagi. "Mudah-mudahan aku tidak ha-rus
berhadapan dengan tikus-tikus lebih baik aku melawan Te -tok -ci itu sendiri," katanya.
"Lebih baik kalau bisa jangan, enci. Kepandai-an iblis itu paling lihai dan diapun kabarnya pa-ling
kejam di antara Tujuh Iblis."
"Aku sungguh merasa heran, adik Eng. Engkau sudah tahu betapa lihainya Tuiuh Iblis dan betapa
besarnya bahayanya mengunjungi Ban-kwi-to, akan tetapi mengapa engkau lakukan juga petualangan
ini ? Apakah engkau tidak takut sedikitpun juga ?"
Siok Eng tersenyum dan wajahnya yang pucat itu nampak manis sekali kalau tersenyum. "Enci,
engkau tidak tahu. Kami orang-orang Tai-bong-pai mengutamakan kegagahan. Aku sendiri lebih
menghargai kegagahan dari pada nyawa, maka un-tuk mematangkan ilmuku, biar harus menempuh
bahaya yang mengancam nyawa sekalipun, akan kujalani tanpa rasa takut sedikitpun." Dan kini sepasang
mata yang bening itu mengeluarkan sinar yang dingin dan menyeramkan sehingga Pek Lian
tidak mau bertanya lagi. Ia teringat akan ceritacerita yang pernah didengarnya bahwa Tai -bong-pai
adalah golongan yang termasuk sesat dan hitam. Heran ia membayangkan bahwa seorang gadis
yang begini ramah dan lemah lembut, begini cantik je-lita, adalah puteri dari ketua Tai -bong -pai! Padahal,
nama Tai -bong -pai di dunia persilatan ti-dak kalah seram dan menakutkannya dibandingkan
dengan nama Pulau Selaksa Setan ini! Teringat ini, Pek Lian bergidik dan baru ia teringat bahwa dara
yang menjadi kawan akrabnya ini sebenarnya datang dari dunia yang sama sekali berlainan de-ngan
dunianya sendiri. Ia teringat bahwa Tai-bong-pai adalah golongan yang ahli dalam hal racun, mungkin
tidak kalah keji dan berbahayanya diban-dingkan dengan Tujuh Iblis penghuni kepulauan ini.
Akhirnya mereka melihat pulau terakhir, sebu-ah pulau yang bulat dan berbentuk sebuah bukit kecil.
Pulau ini banyak ditumbuhi pohon -pohon seperti pohon cemara yang kecil dan tinggi. Pada waktu itu,
fajar telah menyingsing. Langit timur seperti terbakar, kemerahan oleh sinar matahari yang telah
mendahului sang raja siang. Udara se-juk dan angkasa cerah. Indah dan nyaman, sungguh
berlawanan dengan bahaya yang mengancam di pulau itu yang nampaknya begitu hening dan
menyenangkan. Mereka mendarat dengan hati-hati, memilih celah -celah di mana terdapat semaksemak
belukar.
Baru saja mereka menarik perahu ke pinggir dan melangkahkan kaki, hampir saja Pek Lian men-jerit
ketika tiba-tiba muncul seekor tikus berbulu hitam yang besarnya seperti kucing bunting. Tikus ini
muncul di dekat kakinya, hampir terinjak. He-batnya, tikus itu tidak melarikan diri, bahkan ber-henti
dan melotot ke arah Pek Lian, dan bibirnya ditarik ke atas, menyeringai memperlihatkan gigi-nya
seperti seekor harimau kalau marah. Sikapnya seakan -akan hendak menyerang, dan bulu di ba-gian
lehernya tegak, sedikitpun dia tidak kelihatan takut menghadapi manusia!
"Ssttt ! Hushhhhttt!" Pek Lian mencoba
mengusirnya dengan desisan suara.
Akan tetapi tikus itu bukannya takut malah me-runcingkan moncongnya dan mengeluarkan bunyi
menguik tajam, kepalanya diangkat dan lagaknya siap untuk menyerang.
"Sudahlah, enci, lebih baik jangan kita usik dia. Mari kita pergi ke dalam pulau," kata Siok Eng yang
merasa ngeri juga melihat ada tikus sebesar itu yang berani melawan manusia.
"Hei, awas, Eng -moi! Lihat di belakangmu dan itu juga di sebelah kananmu. Awas!" Tiba-tiba Pek
Lian berseru dan Siok Eng hampir me-loncat saking kagetnya. Ternyata kini bermunculan tikus -tikus
hitam yang besar -besar, seperti me-ngepung mereka dan tikus-tikus itu nampak me-nyeringai dan
mengeluarkan bunyi, siap tempur !
Beberapa ekor lagi nampak datang dengan sikap mengancam.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wah, wah hiiih, jijik aku. Mari kita cepat
pergi, enci Lian!" kata Siok Eng yang sudah me-nyambar tangan Pek Lian dan kedua orang nona itu
sudah berloncatan pergi menjauhi tikus -tikus yang melotot marah itu. Dengan bulu tengkuk meremang
keduanya sudah berlari cepat mengelilingi pulau. Mereka mencari -cari bunga mawar hitam di
antara semua tanaman yang tumbuh di pulau dan mereka sengaja menjauhi bangunan -bangunan rumah
yang nampak berdiri di tengah -tengah pulau. Akan tetapi sekian jauhnya mereka belum juga
ber-hasil menemukan apa yang mereka cari dan akhir-nya mereka tiba di pantai yang landai dan
penuh pasir. Dan tiba -tiba mereka menyelinap dan ber-sembunyi di balik batu karang. Mereka
melihat banyak perahu besar kecil berlabuh di tempat itu. Bermacam-macam perahu yang agaknya
datang dari tempat asing yang jauh.
"Aihh, banyak benar tamu yang datang berkun-jung ke pulau ini, enci," kata Siok Eng dengan suara
mengandung keheranan. "Lihat perahu-pe-rahu itu, ada yang berbendera asing pula. Yang kiri itu
kelihatannya seperti bendera orang-orang Mo-ngol."
Pek Lian mengangguk. "Tak salah lagi, itu me-mang bendera Mongol. Dan yang di kanan itu, pe-rahu
bercat kuning itu. Bukankah orang -orangnya memakai pakaian seragam perajurit pemerintah ?
Hemm, apakah tempat ini diserbu pasukan pemerin-tah ?"
"Ah, kurasa tidak, enci. Lihat saja perahu Mongol itu. Di sana juga terdapat pasukan asing dan
mereka nampak bersahabat dengan pasukan pemerintah. Hemm, ada apa pula ini? Padahal, antara
pasukan pemerintah dan para raja kecil Mongol selalu terjadi permusuhan. Mengapa kini kedua pihak
nampak rukun dan bersama -sama berada di sini?
Tidak nampak tanda -tanda pertempuran dan mereka itu agaknya datang ke sini dengan baik-baik"
Pek Lian sebagai puteri menteri dan juga pe-mimpin pasukan patriot, sedikit banyak tahu akan hal itu,
maka iapun berkata dengan alis berkerut, "Sungguh membingungkan. Kedua pasukan itu nampak
bersahabat, padahal di perbatasan utara antara kedua pasukan selalu terjadi pertempuran. Tentu ada
hal -hal yang aneh dan tidak beres di sini."
Karena matahari mulai bersinar dan di tempat itu terdapat demikian banyaknya orang, dua orang dara
itu lalu bersembunyi di antara pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang pantai itu. Ketika me-lihat
sebatang pohon besar yang daunnya lebat, ke-duanya lalu naik ke atas bersembunyi di dalam pohon
itu, di antara daun-daun yang lebat. Karena mereka telah memakai olesan obat anti racun, maka
mereka tidak takut menghadapi serangan bi-natang-binatang kecil. Dari tempat persembunyi-an ini
mereka memandang ke arah pantai di mana terdanat perahu -perahu dan para perajurit itu.
Tiba -tiba jantung Pek Lian berdebar tegang ketika ia melihat sebuah perahu besar yang baru saia
meninggalkan pulau itu. Perahu besar itu berbendera asing dan ia mengenalnya sebagai pe-rahu di
mana ia dan Bwee Hong pernah berkelahi melawan para penumpang perahu, dan di mana ia pernah
mendengar suara ayahnya. Akan tetapi perahu itu agaknya baru saja meninggalkan pulau sehingga
hati Pek Lian menjadi kecewa sekali. Ingin ia dapat menyelidiki keadaan perahu itu, untuk melihat
apakah benar ayahnya berada di perahu besar itu.
Di tempat persembunyian ini, mereka berdua merasa aman, danat melepaskan lelah sambil mengatur
rencana selanjutnya dalam usaha mereka men-cari Hek -kui -hwa. Tiba -tiba terdengar suara
banyak orang. Mereka cepat menoleh dan dari arah tengah pulau nampak belasan orang
berbondong-bondong menuju ke pantai. Pakaian mereka itu aneh -aneh dan dari sikap mereka
mudah diduga bahwa mereka adalah orang -orang dari dunia per-silatan. Di antara mereka terdapat
orang -orang yang dari pakaiannya mudah diduga bersuku Bang-sa Mancu dan Mongol. Semua orang
membawa senjata dan sikap mereka gembira sekali ketika me-reka menuju ke perahu -perahu itu. Di
belakang mereka nampak belasan orang pula yang agaknya merupakan rombongan tuan rumah,
sikap mereka seperti mengantar tamu itu menuju ke perahu -pe-rahu mereka. Mereka berjalan
beriringan sambil tertawa -tawa gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jilid XVI
DENGAN penuh perhatian dua orang gadis itu memandang ke arah mereka. Kini matahari telah
membuat mereka dapat meneliti wajah orang -orang itu dengan jelas. Yang berjalan pa-ling depan di
dalam rombongan tuan rumah adalah seorang laki -laki pendek kecil yang pakaiannya mewah sekali.
Orang ini mempunyai sepasang mata yang kecil dan dalam, akan tetapi mata itu berkilat -kilat penuh
kecerdikan dan kelicikan. Dari gerak -gerik dan pandang matanya saja mudah di-duga bahwa orang
ini tentu lihai sekali.
Rombongan tuan rumah itu mengantar para tamunya sampai mereka semua naik ke perahu masing -
masing dan perahu -perahu itu berlayar me-ninggalkan pulau. Dapat dibayangkan betapa ka-getnya
hati Siok Eng dan Pek Lian ketika melihat rombongan tuan rumah itu kini menuju ke arah pohon
tempat mereka bersembunyi. Biarpun pohon itu besar dan daunnya lebat, akan tetapi kalau orang -
orang itu berada di bawah pohon, tentu mereka berdua akan ketahuan.
"Adik Eng, lihat, ada lubang besar di batang pohon ini!" Tiba -tiba Pek Lian berkata sambil menuding
ke bawah. Memang benar. Pohon itu memiliki batang yang amat besar, sebesar pelukan tiga empat
orang dewasa dan kini setelah Pek Lian menyingkap daun-daun yang rimbun, nampak ada lubang
besar tepat di tengah -tengah batang pohon itu.
"Bagus, kita bersembunyi saja di dalamnya!" kata Siok Eng yang mendahului Pek Lian memasuki
lubang itu. Pek Lian mengikuti dan ternyata lubang itu memang cukup besar untuk mereka ma-suki
berdua. Akan tetapi, ternyata lubang itu terus menembus ke bawah, merupakan terowongan gelap
yang terus ke dalam tanah ! Kiranya, itu merupakan sebuah jalan rahasia pula! Tentu saja keduanya
yang takut ketahuan itu menjadi heran dan girang, lalu melanjutkan perjalanan mereka melalui terowongan.
Di bawah tanah, mereka dapat berjalan sambil merunduk, akan tetapi cuacanya menjadi
semakin gelap sehingga mereka harus meraba-raba ke atas dan ke depan agar kepala mereka tidak
terbentur dan kaki mereka tidak terjeblos. Karena makin lama lorong terowongan itu menjadi semakin
dalam dan gelap, Pek Lian merasa khawatir juga.
"Eng-moi, apakah tidak sebaiknya kita kembali saja ? Guha ini gelap menyeramkan dan kita tidak
mengenalnya sama sekali, tidak tahu ke mana terowongan ini menuju. Bagaimana kalau terowongan
ini runtuh dan jalannya terputus ? Kita tentu akan terkubur hidup -hidup di sini, kita akan megap -
megap kehabisan napas, seperti tikus-tikus
tertimbun- aiiihhhh !" Pek Lian menjerit
saking ngerinya ketika tiba-tiba saja kakinya meng-injak seekor tikus besar yang menggigit betisnya!
Untung bahwa betisnya telah diolesi obat penawar dan juga dilindungi kaos kaki dan ia tadi
mengerah-kan sinkang sehingga tidak sampai terluka. Sekali ia menggerakkan kaki menginjak,
terdengar bunyi "cieeettt prakkk i" dan tikus itu mati dengan kepala dan tubuh pecah, isi tubuhnya dan
darah-nya muncrat ke mana-mana. Tercium bau wangi bercampur amis yang memuakkan.
"Ihhh ! Adik Eng, sungguh menjijikkan . . . ."
Pek Lian berseru. "Aku aku menginjak tikus
dan kuinjak ia sampai lumat!"
"Hihhh mengerikan ., I" Siok Eng juga
bergidik jijik, akan tetapi ia segera menguatkan batinnya. "Akan tetapi terowongan ini agaknya sudah
biasa dimasuki orang. Coba raba, tanahnya begini bersih dan kering dan terowongan ini agak-nya
menuju ke tengah pula. Siapa tahu ini meru-pakan jalan rahasia yang akan membawa kita ke tempat
Si Tikus Beracun ?"
"Tapi tapi tikus -tikusnya " Pek
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian bergidik. Ia masih merasa ngeri membayang-kan tikus-tikus besar yang pernah menghadang
mereka dan membayangkan tikus yang diinjaknya pecah tadi. "Adik Eng, aku bukan takut mati, akan
tetapi siapa tahu terowongan ini penuh dengan
tikus beribu -ribu banyaknya ? Hiihh, kalau harus berhadapan dengan ribuan tikus, sebelum apa-apa
aku mungkin sudah akan mati lemas karena jijik...!"
"Baiklah, enci Lian, mari kita kembali saja
eh, awas, ada orang datang!" Siok Eng berkata li-rih dan menarik tangan kawannya, diajak bersembunyi
mepet di dinding terowongan, lalu mundur ke bagian yang berbelok.
Tak lama kemudian, laki -laki pendek kecil yang tadi mereka lihat di luar, lewat di terowongan itu.
Untung bahwa tempat itu gelap sehingga laki-laki itu tidak melihat dua orang gadis yang mepet di
dinding. Tangan kanan laki -laki ini memegang sebatang cambuk. Setelah melewati tempat persembunyian
dua orang dara itu sampai beberapa langkah, tiba -tiba dia berhenti dan hidungnya
mendengus -dengus.
"Hemm, ada bau asing di tempat ini! Apa yang dibawa anak -anak itu ke sini ?" terdengar dia
menggerutu.
Tentu saja hati kedua orang dara itu berdebar tegang. Apakah jejak mereka telah diketahui ? Bukan
main tajamnya daya cium manusia ini. Apa-kah dia ini yang berjuluk Te-tok-ci, orang pertama dari
Ban-kwi-to ? Akan tetapi menurut keterang-an yang diperoleh Siok Eng, Tikus Beracun itu sudah
berusia enampuluh tahun lebih, sedangkan orang pendek kecil ini usianya paling banyak tiga-puluh
lima tahun.
Pada saat orang itu dengan penuh keraguan hendak berbalik dan dua orang dara itu sudah siap
siaga menghadapi segala kemungkinan, tiba -tiba terdengar suara riuh mencicit dari depan sana. Demikian
gaduh dan riuh suara itu, suara dari mungkin ratusan ekor tikus yang bercuitan, se-hingga
orang pendek kecil itu tidak jadi kembali.
"Kurang ajar! Ada apakah dengan anak -anak setan itu ?" gerutunya dengan suara geram. Dia
meloncat ke depan dan tubuhnya meluncur dengan cepatnya. Dua orang gadis itu memandang ke depan
dan tiba-tiba nampak cahaya terang di depan, seolah -olah ada pintu yang dibuka. Mereka berdua
menjadi tertarik dan karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari tempat itu, merekapun tidak jadi
kembali, khawatir bertemu dengan orang-orang yang baru masuk, dan merekapun lalu berindap-indap
melangkah maju dengan hati -hati. Kini te-rowongan menjadi tidak segelap tadi, remang -re-mang dan
mereka dapat melihat ke depan.
"Ah, di depan itu terang benar, agaknya kita menuju ke lubang keluar, Eng -moi," kata Pek Lian
dengan suara berbisik gembira. Ia merogoh saku hendak mengambil saputangan untuk meng-hapus
keringatnya, akan tetapi ternyata kantongnya kosong. Agaknya saputangannya itu terjatuh ketika ia
menginjak tikus tadi. Mereka berjalan terus ke depan, ke arah sinar terang.
Akan tetapi ternyata mereka kecelik. Sinar te-rang itu sama sekali bukan datang dari lubang ke-luar,
melainkan dari sebuah lampu minyak yang besar sekali, yang berdiri di atas meja batu. Di tem-pat ini,
terowongan menjadi besar dan membentuk sebuah ruangan yang luas penuh dengan batu-batu besar
berserakan. Dan di ruangan luas ini, terdapat pintu-pintu terowongan lain yang semuanya ber-jumlah
delapan buah termasuk, terowongan dari mana mereka datang. Tentu saja dua orang dara itu menjadi
bingung sekali. Tidak nampak laki-laki kecil pendek tadi, dan mereka berdua tidak tahu ke mana
mereka harus pergi, mulut terowongan mana yang harus mereka ambil untuk dapat keluar dari tempat
itu.
"Wah, enci Lian, sungguh aku menyesal sekali telah membawamu ke sini. Agaknya kita akan be-narbenar
terkubur hidup-hidup di sini,"
"Jangan sesalkan hal itu, adik Eng. Kalau bukan engkau yang menolong, bukankah aku juga sudah
mati ditelan lautan ? Sekarang kita belum ma ti, tidak boleh putus asa, walaupun aku aku seperti
mendapat firasat bahwa kita telah memasuki tempat yang sangat mengerikan." Bayangan tikus yang
diinjaknya tadi masih membuat nona ini ber-gidik ngeri dan jijik.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus, enci. Engkau telah membangkitkan se-mangatku kembali. Kita memang tidak boleh putus asa
dan kita hadapi bersama segala bahaya yang mungkin menimpa kita. Akan tetapi karena kita
kehilangan jejak orang tadi, mari kita cari sendiri saja jalan keluar secara untung-untungan."
"Lalu mulut terowongan mana yang harus kita pilih, Eng -moi ?"
"Aku yakin bahwa satu di antara mulut -mulut terowongan itu tentu menuju ke istana Te -tok -ci.
Karena kita baru saja keluar dari mulut terowongan yang di kanan, maka untuk menuju ke tengah pulau
tentu harus mengambil jalan yang bertentangan, yaitu yang berada di lari. Akan tetapi, di sebelah
kiri terdapat tiga buah mulut terowongan yang ha-rus kita pilih salah satunya. Enci Lian, berkali-kali
engkau lolos dari cengkeraman maut, itu tandanya bahwa nasibmu masih baik. Oleh karena itu, biar
aku membonceng nasib baikmu itu dan engkaulah yang memilih satu di antara tiga pintu terowongan
itu."
Pek Lian tersenyum.. "Mudah -mudahan saja nasibku akan selalu mujur dan tidak salah memilih
terowongan ini. Bagaimanapun juga, andaikata sa-lah pilih, kita masih dapat kembali ke sini dan memilih
yang lain lagi, bukan ? Nah, mari kita memasuki lubang yang di tengah itu."
Ternyata lubang ini tidaklah selebar yang me-reka lalui tadi. Juga amat sukar dilaku karena di
dalamnya banyak sekali batu -batu karang yang tajam dan runcing bertonjolan di kanan kiri atas dan
bawah. Mereka harus berhati -hati, kadang-kadang meloncat dan harus selalu waspada karena kalau
tidak hati -hati, kepala mereka dapat ter-tumbuk batu di atas. Apa lagi lubang itu tidak begitu terang,
hanya remang -remang.
Tiba -tiba terdengar suara ledakan cambuk di sebelah depan. Tentu saja dua orang gadis yang sejak
tadi sudah merasa tegang dan amat berhati-hati itu, menjadi terkejut dan mereka berhenti melangkah,
saling berpegang tangan dan meman-dang tajam ke depan.
"Enci Lian, itu dia! Kiranya masuk juga ke terowongan ini," bisik Siok Eng.
Mereka bergerak dengan hati -hati menuju ke depan. Dari depan ada angin bertiup lembut dan
mereka menutupi hidung. Angin itu membawa bau yang menyengat hidung karena amis dan busuk.
Tibalah mereka di sebuah ruangan yang luas dan pada dinding -dinding ruangan itu terdapat beberapa
buah lampu minyak yang terang. Ketika de-ngan hati -hati mereka mengintai ke ruangan itu,
mereka bergidik dengan hati ngeri. Di atas lantai, di tengah -tengah ruangan itu nampak bangkai ratusan
ekor tikus berserakan dan bertumpuk-tumpuk! Dan di antara bangkai -bangkai itu berdiri
seorang laki-laki memegang cambuk yang digerak-gerakkan ke kanan kiri seperti orang mengancam.
Itulah laki-laki pendek kecil tadi.
Pek Lian dan Siok Eng mengintai dari tempat sembunyi mereka dengan hati ngeri. Kini nampak jelas
oleh mereka bahwa bangkai-bangkai tikus itu terdiri dari dua macam tikus yang besar -besar, yang
berbulu kemerahan dan kehitaman. Dan kini nampaklah oleh mereka bahwa di sebelah kiri nampak
tikus berbulu merah, ratusan banyaknya, dengan sikap ganas dan siap menyerang. Sedang-kan di
sebelah kanan orang pendek itupun ber-gerombol ratusan ekor tikus hitam yang berbintik-bintik putih,
semua juga menyeringai buas se-perti tikus -tikus merah. Mudah diduga bahwa dua macam
gerombolan tikus ini telah mengadakan pe-rang, terbukti adanya bangkai -bangkai dua ma-cam tikus
di tempat itu.
Dua gerombolan tikus yang masih hidup itu, nampak buas dan marah, siap untuk saling serang akan
tetapi mereka itu kelihatan tunduk dan takut kepada si kecil pendek yang berdiri dengan cambuk di
tangan, di antara mereka. Agaknya si pendek inilah yang tadi menghentikan perang antar tikus ini.
"Bedebah busuk! Keparat jahanam! Tikus-tikus tengik yang tak tahu aturan ! Kenapa kamu saling
serang dan saling bunuh ? Kurang ajar ! Be-rani ya kalian menyerang tanpa diperintah ? Uhh,
percuma saja kamu dipelihara dan diberi makan.
Tar -tar -tarrrr !!" Cambuknya meledak-ledak dan tikus-tikus kedua pihak itu undur ketakutan.
"Binatang -binatang busuk, di mana pengasuh -pengasuh kalian? Ang -lojin ! Hek -lojin Di mana
kalian? Kenapa bocah-bocah peliharaamnu kalian biarkan saling bunuh?"
Gema suaranya yang mengandung tenaga khi-kang itu menerobos ke seluruh lorong -lorong ba-wah
tanah itu, kemudian lenyap dan suasana men-jadi amat sepi. Dan di dalami kesunyian ini tiba-tiba
dunia-kangouw.blogspot.com
terdengar suara rintihan dari lubang terowong-an sebelah kanan. Di ruangan itu terdapat empat buah
lubang terowongan. Pulau kecil yang men-jadi tempat tinggal atau sarang Te -tok -ci atau Tikus Tanah
Beracun ini memang merupakan tem-pat yang paling berbahaya. Di bawah tanah pulau ini penuh
dengan jalur -jalur lalu lintas bawah ta-nah, terowongan -terowongan yang mempunyai banyak
cabang dan ranting, penuh rahasia dan di-pasangi alat -alat rahasia pula, bahkan di situ terdapat
tikus-tikus beracun peliharaan Te-tok-ci. Maka, dapat dibayangkan betapa berbahayanya keadaan di
pulau ini. Dari atas memang nampak sebagai sebuah pulau yang indah dan menyenang-kan, namun
di bawah pulau tersembunyi jebakan-jebakan dan binatang-binatang peliharaan yang kalau
dikerahkan akan merupakan pasukan yang menyeramkan dan berbahaya. Apa lagi kalau sampai ada
musuh yang terjebak ke dalam terowongan ini!
Mendengar suara rintihan dari terowongan se-belah kanan ini, si pendek kecil berkelebat ke ka-nan
dan lenyap ke dalam terowongan itu. Dan be-gitu orang itu pergi, tikus -tikus kedua pihak yang sejak
tadi memang sudah siap tempur itu sudah saling berlompatan menyerang lawan dengan ga-nasnya.
Terdengar suara hiruk -pikuk menggiris-kan dan darah tikus berhamburan, udara menjadi amat busuk
dan amis. Apa lagi ketika muncul see-kor tikus hitam berbintik putih yang sangat besar, dua kali
besarnya dari pada teman -temannya. Ti-kus ini menyerang dengan buas dan biarpun dike-royok oleh
lima ekor tikus merah, dia masih dapat mengungguli mereka. Darah makin banyak ber-hamburan dan
bau amis membuat dua orang gadis yang menonton semua ini dari tempat persembu-nyian mereka
itu hampir muntah.
"Enci Lian, mari kita pergi" Suara Siok.
Eng agak menggigil karena ia merasa ngeri. "Kalau sampai kita yang dikeroyok ribuan atau laksaan
tikus hihih, aku bisa jatuh pingsan karena jijik."
Akan tetapi pada saat itu kembali terdengar bunyi cambuk meledak-ledak dan sungguh luar biasa
sekali, tikus -tikus yang tadinya saling terkam, saling gigit dan saling bantai itu mendadak saja
berhenti dan mereka mundur ke tempat masing-masing, bersatu dengan kawan-kawannya. Tikustikus
yang mati menambah banyak bangkai yang berserakan, sedangkan tikus-tikus yang terluka parah
dengan susah payah beringsut-ingsut dan ter-saruk -saruk mencoba untuk berkumpul ke dalam
barisan teman-temannya.
Si pendek kecil itu datang lagi dan tangan kiri-nya menarik lengan seorang kakek yang berkulit hitam
legam mengkilat. Kakek itu nampak keta-kutan dan tubuhnya agak gemetar. Dia berjalan setengah
diseret dan kelihatan lemah dan terhu-yung seperti orang sakit.
"Tar -tarrr !" Cambuk itu meledak di udara. "Jahanam-jahanam gila ! Apa yang telah terjadi? Apakah
dunia telah kiamat dan neraka muncul di tempat ini ? Agaknya setan -setan berkeliaran dan
memasuki tubuh kalian semua ! Heh, Hek -lojin. Hayo katakan, apa yang telah terjadi di sini ? Kenapa
engkau sampai menderita luka dalam akibat pukulan ? Dan di mana adanya Ang -lojin ?"
Kakek berkulit hitam itu lalu menjatuhkan diri-nya berlutut dan kelihatan semakin ketakutan! Dengan
suara lirih dan gemetar, kakek yang usia-nya sudah enampuluh tahun lebih itupun mulai bercerita. Dia
dan Ang -lojin merupakan dua di antara delapan orang penjinak atau pawang tikus-tikus liar yang
menjadi kaki tangan Te-tok-ci. Tentu saja keduanya, bersama enam orang lainnya, adalah sahabatsahabat
dan rekan-rekan yang mempunyai daerah -daerah sendiri di dalam dunia bawah tanah itu,
mengepalai gerombolan tikus masing-masing. Akan tetapi, ketika rombongan pera-hu asing itu datang
bertamu, muncul seorang pe-rempuan yang menjadi pelayan di sebuah di antara perahu -perahu itu.
Ketika perempuan itu turun ke pulau untuk mencari air, Hek -lojin melihatnya, tertarik dan merayunya.
Perempuan itu, seorang perempuan peranakan Mongol, mau menyambut dan melayani rayuannya.
Akan tetapi celakanya, perempuan itu adalah seorang perempuan yang ti-dak puas dengan hanya
seorang pria saja dan iapun melayani rayuan Ang-lojin. Tentu saja hal ini mengakibatkan cemburu
dan persaingan.
"Demikianlah, siauw -ya (tuan muda), kami berkelahi dan tentu saja kami berdua juga mengerahkan
binatang-binatang peliharaan kamii untuk saling menyerang. Kami berdua sama-sama terluka "
"Keparat tolol! Hanya untuk urusan perem-puan saja saling gasak dengan rekan sendiri ? Ja-hanam !
Hayo. katakan, di mana sekarang Ang-lo-jin ?" Orang cebol yang galak itu membentak-ben-tak.
"Dia dia bersama perempuan itu di gudang makanan"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bangsat!" Si cebol itu memaki-maki dengan segala macam makian kotor dan tubuhnya sudah
berkelebat pergi lagi. Tak lama kemudian, setelah menemukan Ang-lojin yang sedang dirawat karena
luka -lukanya oleh seorang perempuan Mongol, dia menyeret kedua orang itu kembali ke tempat di
mana Hek-lojin masih berlutut dengan takut-takut. Setelah tiba di situ, dengan kasar si cebol itu mendorong
Ang-lojin dan perempuan itu sehingga me-rekapun jatuh bersimpuh dan berlutut.
Pek Lian dan Siok Eng mengintai dengan jan-tung berdebar. Ang-lojin bermuka merah dan memang
dia itu beberapa tahun lebih muda dan kelihatan ganteng apa bila dibandingkan dengan Hek -lojin
yang berkulit hitam legam ! Pantaslah kalau perempuan itu lebih condong hatinya kepada si muka
merah ini. Dan wanita itu sendiri sebenar-nya bukan seorang wanita cantik. Usianya tentu sedikitnya
tigapuluh lima tahun, bermuka kasar se-perti orang-orang Mongol dan juga tubuhnya be-sar seperti
pria. Akan tetapi dari pandang mata dan senyum mulutnya nampak jelas bahwa ia ada-lah seorang
wanita yang "panas" dan besar nafsu berahinya.
"Hek-lojin dan Ang-lojin, bagaimana seka-rang ? Kalau kalian sudah menyadari kesalahan, minta
maaf kepadaku dan saling memaafkan, me-lupakan semua permusuhan, baru aku akan mem-beri
ampun. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menghukum kalian !" bentak si cebol yang sudah nampak
marah sekali.
Hek -lojin dan Ang -lojin yang masih berlutut itu lalu berkata, hampir berbareng. "Harap siauw-ya sudi
memaafkan saya."
"Bagus, sekarang kalian berjabat tangan dan saling melupakan semua kesalahan masing-masing."
Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian mereka mengulurkan tangan dan saling berpegangan
dan pada saat itu juga habislah semua permu-suhan dan dendam di antara mereka karena mereka
sadar bahwa permusuhan antara mereka hanya akan mencelakakan diri mereka sendiri.
Tiba -tiba si cebol tertawa. Dua orang dara yang menonton semua itu, mengkirik. Si cebol ini sungguh
mengerikan. Baru saja maki -maki dan marah -marah, tiba -tiba dapat tertawa segembira itu. Dan tiba
-tiba si cebol sudah menubruk ke depan dan menangkap perempuan itu. Tentu saja perempuan itu
menjerit kaget, akan tetapi si cebol sudah membenamkan mukanya pada leher perem-puan itu !
Terdengar jerit melengking mengerikan.
Pek Lian dan Siok Eng memandang dengan muka pucat. Mereka mengira bahwa si cebol itu
melakukan hal yang kurang ajar dan cabul, men-cium leher perempuan itu. Akan tetapi ketika me-reka
melihat darah bercucuran, tahulah mereka bahwa si cebol bukannya mencium, melainkan menggigit
putus urat darah di leher perempuan itu! Hampir saja Pek Lian meloncat ke depan, akan tetapi Siok
Eng sudah memegang lengannya dan mencegahnya.
Kini sambil tertawa, si cebol melepaskan gigit-annya dan perempuan itu kelihatan terbelalak dan
terhuyung, lehernya mengucurkan darah seperti pancuran karena urat darah di lehernya putus. Si
cebol menggerakkan cambuknya, terdengar suara meledak dan tubuh perempuan itu terlempar ke
daerah gerombolan tikus. Dan terjadilah peman-dangan yang amat mengerikan hati dua orang dara
itu. Tikus -tikus yang tadinya saling serang itu kini beramai -ramai menyerang tubuh perempuan yang
sudah terluka lehernya itu. Hanya sebentar saja perempuan itu meronta -ronta dan menjerit-jerit.
Suaranya hilang dan tubuhnya berhenti me-ronta, mengejang sedikit lalu terdiam, dan dalam waktu
singkat saja semua daging tubuhnya habis, tinggal tulang -tulangnya saja! Dan dua orang kakek itu
hanya memandang dingin saja kepada bekas kekasih mereka yang terbunuh dalam keada-an yang
demikian mengerikan.
Pek Lian hampir pingsan. Ia memejamkan matanya dan dipeluk oleh Siok Eng. Agaknya, dara yang
lebih muda ini lebih tabah menghadapi pe-nyiksaan yang demikian sadis tadi. Hal ini tidak aneh
karena gadis itu adalah seorang puteri Tai-bong-pai, perkumpulan yang oleh dunia kang-ouw
dianggap sebagai perkumpulan iblis juga.
Kini si cebol duduk di atas batu karang bundar di tengah -tengah ruangan itu. Tidak ada bangkai tikus
lagi di situ karena semua telah habis "disi-kat" tikus -tikus yang liar tadi. Agaknya mereka telah
menerima perintah atau ijin dari pamong atau pawang masing -masing dan mereka bukan hanya
makan daging perempuan Mongol itu, melainkan juga bangkai -bangkai tikus yang berserakan itu
mereka ganyang beramai -ramai. Kemudian tikus-tikus itupun pergi dan ruangan itu kembali bersih,
bahkan darah yang tadinya berceceran di mana-mana telah bersih dijilati tikus -tikus itu. Yang ada
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya tinggal tulang -tulang besar tubuh perempu-an itu yang tidak dapat dihabiskan atau ditelan oleh
tikus -tikus itu.
Si cebol meraih ke atas di mana tergantung se-buah genta besar, lalu memukulnya. Terdengar su-ara
nyaring yang bergemuruh dan gemanya mem-balik dari semua penjuru. Tak lama kemudian,
panggilan ini telah mendapat sambutan dan terde-ngar suitan -suitan dari lorong -lorong itu. Dan
muncullah enam orang lain yang rata -rata memi-liki tampang yang menyeramkan. Bersama Ang-lojin
dan Hek -lojin, mereka berdiri mengelilingi batu di mana si cebol yang mereka sebut siauw -ya itu
duduk. Si cebol memandang kepada mereka se-mua, seorang demi seorang, dengan pandang mata
tajam penuh wibawa.
"Dengarlah kalian semua ! Ayah amat sibuk dan tidak ingin diganggu, maka kalian harus tidak menimbulkan
keributan. Hari ini ayah menerima ba-nyak tamu. Akan tetapi ketahuilah, Selain kawankawan
ayah dari dunia kang -ouw dan liok -lim yang berkunjung untuk bersahabat dan minta se-suatu
dari ayah, ada pula seorang jago silat bekas musuh ayah yang datang untuk suatu keperluan yang
belum kita ketahui. Karena itu, ayah menyu-ruhku menghubungi kalian agar kalian bersiap-siap dan
berhati -hati. Semua peliharaan harus diper-siapkan agar sewaktu-waktu dibutuhkan, dapat segera
dipergunakan. Periksa alat rahasia yang menghubungkan tempat ini dengan istana. Dan ingat baik -
baik. Musuh yang datang sekarang ini bukanlah sembarang orang, akan tetapi dia adalah keturunan
seorang datuk dari utara. Bukan musta-hil kalau ayah sendiri tidak akan mampu menun-dukkan. Maka
kita harus bersiap -siap, kalau ter-paksa dia akan kujebak ke dalam terowongan."
Setelah selesai menyampaikan berita penting itu, yang disambut oleh delapan orang pembantu yang
mengangguk -angguk, si cebol yang ternyata adalah putera dari Te -tok -ci itu meloncat ke arah meja
batu di mana terdapat sebuah lampu mi-nyak. Meja itu didorongnya ke samping sampai miring. Tibatiba
di atas langit -langit ruangan itu terbuka sebuah lubang kecil dan secepat kilat si cebol sudah
meloncat dan menerobos keluar ke atas. Tak lama kemudian meja itu tegak kembali seperti semula
dan lubang di atas itupun tertutup kembali oleh sebongkah batu karang besar.
Si cebol itu adalah putera Te -tok -ci dan dia memakai julukan Siauw -thian -ci (Tikus Langit Kecil)!
Agaknya, dalam hal julukan, dia tidak mau kalah oleh ayahnya yang berjuluk Tikus Beracun Bumi. Dia
berjuluk Tikus Langit! Hanya ditambah Kecil karena tentu saja dia tidak berani melampaui ayahnya.
Dan semua anak buah Tikus Beracun menyebut siauw -ya (tuan muda).
Setelah Siauw-thian-ci pergi, delapan orang itupun meninggalkan ruangan itu, kembali ke tem-pat
tugas masing-masing. Sampai lama Pek Lian dan Siok Eng belum berani bergerak, sampai mere-ka
merasa yakin benar bahwa tidak ada lagi orang yang kembali ke tempat itu.
"Ke mana sekarang, Eng -moi ? Menerobos lo-wat lubang langit -langit seperti dia tadi ?"
"Itu sangat berbahaya, enci Lian. Siapa tahu dia masih berada di atas, sedangkan untuk kembali kita
tidak mengenal alat rahasianya dari atas. Apa lagi kalau di sanapun masih terdapat pintu -pintu
rahasia seperti ini."
"Habis bagaimana ? Tinggal di sini kita menjadi seperti tikus -tikus itu, tidak dapat keluar."
"Mari kita ke sana saja." Siok Eng menunjuk ke arah lubang terowongan yang paling lebar. Me reka
berjalan dengan hati -hati sekali dan bersikap waspada. Tiba -tiba keduanya menghentikan lang-kah
dan mepet di dinding terowongan. Seorang di antara delapan anak buah yang tadi berkumpul se-dang
berjalan membawa sebuah keranjang yang nampaknya berat. Orang itu bermuka putih pucat dan dia
membelok ke kiri lalu menuruni anak tang-ga. Di dasar tangga itu terdapat sebuah ruangan berpintu
baja. Dua orang dara perkasa itu meng-ikutinya dan mengintai ketika orang itu berdiri di depan pintu
baja. Si muka putih mencabut setang-kai obor yang terpasang di atas pintu baja dan pin-tu itupun
terbuka secara otomatis.
Ketika pintu terbuka, hampir saja dua orang dara itu mengeluarkan teriakan kaget dan jijik. Di balik
pintu baja itu terdapat sebuah guha yang luas dan di situ berkumpul tikus berbulu putih yang mungkin
ribuan ekor banyaknya! Orang bermuka putih itu melontarkan isi keranjang besar ke dalam. Tikus -
tikus putih berebutan sambil mengeluarkan suara bercicit riuh rendah. Sebentar saja isi keran-jang
itupun habis dan agaknya tidak mencukupi. Tikus -tikus yang tidak mendapat bagian kelihatan
menjadi buas dan marah. Mereka menyerbu ke arah pintu. Melihat ini, Pek Lian menangkap le-ngan
dunia-kangouw.blogspot.com
Siok Eng dan mencengkeramnya dengan hati penuh kengerian. Kalau bukan puteri ketua Tai-bongpai
yang dicengkeramnya, tentu lengan itu akan terluka!
Akan tetapi, dengan tenang saja si muka putih itu mencabut keluar sebuah tabung bambu besar lalu
mengeluarkan isi tabung yang berupa bubuk putih. Tercium bau yang keras ketika bubuk putih itu
digenggamnya dan aneh sekali, tikus -tikus yang tadinya buas menyerbu ke depan itu, seketika undur
kembali ketakutan dan kembali ke tempat masing-masing. Si muka putih menyeringai gembira.
"Nah, begitu baru anak -anak baik namanya. Nanti aku akan kembali membawa makanan lebih
banyak lagi." Kakek itu lalu menutupkan kembali pintu baja dengan mengembalikan obor di tempat
semula, lalu diapun pergilah dari situ. Ketika orang itu lewat, dua orang dara cepat bersembunyi di
dalam lubang -lubang dan celah -celah batu. Ke-tika orang itu datang dekat, dia lalu memandang ke
kanan kiri, cuping hidungnya kembang kempis. Akan tetapi dia lalu menciumi tangannya yang tadi
menggenggam obat bubuk dan dia mengge-leng kepala lalu lewat pergi.
"Aih, orang-orang di sini mempunyai pencium-an yang peka sekali, enci. Untung dia tidak menemukan
kita. Mari kita ikuti dia !"
Dengan hati-hati dua orang dara itu memba-yangi si muka putih. Ketika tiba di persimpangan jalan
terowongan, muncul berturut-turut tujuh orang anak buah yang lain dan mereka semua juga
memegang tabung bambu besar berisi obat bubuk putih yang merupakan obat yang ditakuti tikus itu.
Mereka mengumpulkan tabung -tabung itu dan dua orang di antara mereka lalu membawa tabung -tabung
itu ke sebuah ruangan besar setelah melalui jalan berbelak -belok. Agaknya dua orang ini bertugas
untuk mengumpulkan dan menyimpan ta-bung -tabung itu, karena isinya merupakan barang
yang amat penting bagi mereka dan tidak boleh sampai terjatuh ke tangan musuh. Bubuk putih itu
merupakan senjata ampuh untuk mengusir tikus-tikus liar.
Ada dua buah pintu di ruangan itu, dan mereka berdua itu lalu membuka pintu hijau, menyimpan
tabung itu ke dalam sebuah kamar di balik pintu hijau. Kemudian merekapun pergi melalui jalan
terowongan di sebelah kiri, meninggalkan dua orang nona yang membayangi mereka. Setelah dua
orang kakek itu pergi, Siok Eng berbisik, "Kita perlu se-kali dengan bubuk putih itu. Kita harus
mengam-bil yang cukup untuk dipergunakan kalau perlu." Pek Lian mengangguk dan mereka lalu
berindap-indap menghampiri pintu hijau, membuka daun pintu yang tidak dipasangi alat rahasia. Siok
Eng yang sebagai puteri ketua Tai-bong-pai amat ahli tentang racun, mengambil bubuk putih,
membung-kusnya dengan saputangan dan Pek Lian melakukan hal yang sama. Kemudian mereka
berunding sam-bil bisik -bisik.
"Sekarang lihat baik -baik pintu merah itu, enci Lian. Di atasnya ada tulisan yang melarang orang
masuk. Kurasa itu menandakan bahwa di dalam kamar di balik pintu merah itu tentu ada rahasianya
yang penting. Kita masuk ke situ!"
"Tapi bagaimana kalau di dalamnya menanti jebakan -jebakan atau orang -orang yang sudah siap?
Bukankah itu berarti kita seperti ular-ular mencari penggebuk ?"
"Kita harus berani menghadapi resiko itu. Ku-rasa tulisan itu ditujukan kepada para anak buah dan ini
berarti bahwa hanya orang -orang penting seperti ketuanya sendiri saja yang boleh masuk. Dan
mustahil kalau jalan untuk sang ketua dipasangi jebakan. Mari, ikuti aku."
Mereka berdua mendorong pintu merah yang terbuka dengan mudah. Keduanya tertegun. Di balik
pintu itu terdapat sebuah kamar yang indah dan di dekat dindingnya terdapat sebuah tempat tidur
yang besar.
"Ehh !" Pek Lian menahan seruannya dan menghampiri meja, lalu mengambil benda yang ternyata
adalah sebuah cincin. Cincin ayahnya ! Cincin stempel tanda kebesaran Menteri Ho !
"Cincin apakah itu, enci ?"
"Cicin ayahku ! Ah, benar ! Tentu ayah terba-wa oleh perahu yang sekarang berlabuh di sini ! Ayahku
berada di sini!" Pek Lian merasa gembira sekali dan matanya berkilat -kilat. Ia menyimpan cincin itu di
saku bajunya sebelah dalam.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemm, obat ini pentin”
Tiba-tiba Pek Lian melihat sekilat cahaya di balik lemari. "Eng -moi, lihat. Ada sinar dari belakang
lemari. Ini berarti bahwa di belakang lemari itu tentu ada ruangan lain. Mari kita geser!"
Mereka bekerja sama menggeser lemari itu dan setelah tergeser mereka melihat adanya sebuah
lorong yang menuju ke atas. Akan tetapi lorong ini kemudian terpecah menjadi dua. Mereka lalu
memilih yang kiri. Dengan hati -hati mereka me-langkah, takut kalau -kalau ada jebakan rahasia di
depan. Lorong itu berakhir dengan sebuah pintu dan ketika mereka membuka dan mengintai, mere-ka
melihat bahwa di luar daun pintu itu terdapat sebuah taman yang indah, dengan kolam renang di
tengah-tengah dan pada saat itu terdapat belasan orang wanita cantik yang sedang mandi sambil
bersendau-gurau. Kedua orang dara itu dapat menduga bahwa tempat ini tentu merupakan tem-pat
tinggal para isteri atau selir pemilik pulau. Mereka tidak berani memasuki taman, menutupkan kembali
daun pintu itu dan kembali sampai di lo-rong bercabang, lalu kini mengambil lorong yang kanan. Dan
tidak lama mereka tiba di akhir lorong ini yang merupakan sebuah halaman terkurung pa-gar besi dan
di tengah halaman itu tumbuh sebuah pohon bunga yang luar biasa. Daun-daunnya pu-tih dan
bunganya hitam mengkilat! Itulah bunga yang dicari-cari oleh Siok Eng ! Melihat bunga ini, Siok Eng
melompat kegirangan, hampir ia ber-sorak dan seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah
mainan yang sudah lama diinginkannya, ia menghampiri pohon bunga itu.
"Hati-hati, enci, kau jangan memegang bunga ini," katanya dan ia sendiri lalu mengeluarkan se-buah
botol berisi cairan berwarna kuning, kemudian menggunakan cairan itu untuk melumuri semua bagian
kedua lengannya dan jari-jari tangannya. Setelah itu, barulah ia memetik beberapa kuntum bunga
hitam dan disimpannya baik-baik ke dalam guci kecil yang sudah ada airnya. "Aih, benar kata ayahku
dan tidak sia-sialah perjalananku yang jauh dan berbahaya ini," kata Siok Eng sambil tersenyum
manis. "Dan engkau juga berjasa atas hasil yang kuperoleh ini, enci. Terima kasih !"
"Adik Eng, bukan engkau yang harus berterima kasih, melainkan aku. Sekarang, bagaimana kita akan
dapat keluar dari lubang tikus ini ? Ingat, selama kita belum dapat meninggalkan pulau ini, belum
berarti bahwa kita berhasil."
"Engkau benar, cici. Lebih baik kita mengam-bil jalan lewat taman itu. Andaikata kita ketahuan, lebih
baik kita melayani musuh di tempat terbuka dari pada di dalam terowongan ini. Kalau mereka
menutup saja pintu rahasia terowongan ini, berarti kita akan terkubur hidup-hidup dan menjadi santapan
tikus-tikus menjijikkan itu !''
Membayangkan ini, Pek Lian sendiri bergidik. "Marilah, Eng-moi !'" Diingatkan tentang tikus-tikus itu,
kedua orang dara ini lalu bersicepat me-nuju ke daun pintu yang berada di akhir terowong-an kiri.
Mereka membuka daun pintu dan ternyata para wanita cantik tadi sudah selesai mandi dan ti-dak ada
orangnya dan di situ mereka melihat ba-nyak pakaian wanita yang indah-indah. Kiranya itu adalah
sebuah kamar pakaian yang serba leng-kap.
"Adik Eng, aku mempunyai gagasan baik. Ba-gaimana kalau kita menyamar saja sebagai seorang di
antara wanita-wanita itu? Dengan demikian, setidaknya memudahkan kita untuk mencari jalan keluar."
"Bagus, enci Lian. Gagasanmu itu baik sekali!" kata Siok Eng sambil tertawa girang. Keduanya lalu
memilih pakaian yang cocok untuk ukuran tu-buh mereka dan sambil cekikikan seperti dua orang
anak nakal, mereka lalu berdandan. Dan karena keduanya memang cantik jelita, tentu saja setelah
berdandan, mereka nampak makin menarik sehing-ga keduanya saling memuji.
"Wah, adik Eng, kalau melihat engkau, agak-nya wanita-wanita itu takkan terpakai lagi oleh majikan
pulau ! Engkau cantik seperti bidadari!"
"Aih, tidak menang dibandingkan denganmu, enci. Pakaian itu pantas benar kaupakai!"
Akan tetapi, tiba-tiba mereka waspada dan sa-ling pandang ketika ada langkah kaki menuju ke kamar
itu. Pek Lian berkedip, lalu ia membuka pintu dan dengan suara berwibawa menegur, "Sia-pa berani
menganggu kami?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiranya yang datang adalah seorang penjaga dan dibentak demikian, dia kelihatan ketakutan dan
cepat menjatuhkan dirinya berlutut. "Maaf, saya tidak tahu bahwa ji-wi (kalian berdua) berada di sini.
Saya diperintahkan oleh tocu (majikan pulau) untuk minta kepada dua orang hujin dari puri ini sebagai
wakil para hujin lain untuk mene-rima tamu."
Pek Lian mengerutkan alisnya. Sebagai seorang pemimpin ia memiliki kecerdikan dan ia sudah da-pat
menduga apa yang terjadi, maka iapun meng-ambil sikap angkuh dan bertanya dengan lagak seorang
nyonya besar bertanya kepada pelayannya. "Masa hanya kami berdua ? Siapakah tamu-tamu-nya ?"
"Bukan hanya ji-wi hujin (kedua nyonya) yang diharapkan hadir. Setiap puri diwakili oleh dua orang,
jadi dari empat puri berjumlah delapan orang. Adapun yang menjadi tamu-tamunya ba-nyak sekali.
Ada orang-orang Mongol, ada orang-orang kang-ouw, dan ada seorang datuk dari utara bersama
murid-muridnya. Delapan orang hujin dari empat puri diminta mengatur dan mengepalai para pelayan
untuk menghormat para tamu."
Karena penjaga itu bicara sambil berlutut maka dua orang dara itu sempat untuk saling pandang dan
Siok Eng memberi tanda setuju dengan meng-angguk sedikit kepada temannya. Mereka tidak
mempunyai pilihan lain. Menolak berarti membu ka rahasia. Mereka akan menerima saja dan nanti
akan dicari jalan terbaik kalau sudah tiba saatnya yang gawat. Apa lagi mendengar nama julukan datuk
utara itu, membuat hati Pek Lian tertarik.
"Apakah kaumaksudkan datuk utara itu adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang ?" tanyanya.
Pertanyaan yang tepat ini tidak mengherankan hati si penjaga. Sebagai isteri atau selir majikan-nya,
tidak aneh kalau wanita cantik ini tahu akan nama tokoh-tokoh dunia persilatan. Maka diapun
mengangguk. "Benar dugaan hujin yang mulia."
Tentu saja Pek Lian menjadi girang bukan main. Bagaimanapun juga, Yap-lojin adalah seorang
pendekar besar dan hal ini dapat diartikan bahwa mereka berdua mempunyai seorang kawan dalam
sarang iblis ini. Apa lagi kalau Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkat Yap-lojin berada di
situ. Pemuda perkasa itu sudah pasti tidak akan membiarkan ia dan Siok Eng celaka dan bantuan-nya
sangat boleh diharapkan dan diandalkan. Be-sarlah hati Pek Lian mendengar bahwa Yap-lojin dan
murid-muridnya, para pendekar Thian-kiam-pang itu, berada pula di pulau iblis ini.
Dua orang dara itu lalu mengikuti si pengawal dan akhirnya terkumpul delapan orang "nyonya"
bersama mereka. Tentu saja para selir itu meman-dang kepada mereka dengan heran karena tidak
mengenal mereka. Akan tetapi, karena mereka menghadapi tugas penting dan mereka sudah terbiasa
dengan adanya muka-muka baru di kalang-an mereka, yaitu selir-selir baru yang diambil oleh
Tikus Beracun, merekapun tidak banyak bertanya, hanya memandang dengan alis berkerut seperti
pandang mata seorang wanita terhadap madu baru yang dianggap saingan. Dengan iringan
pengawal, mereka lalu menuju ke pendapa di mana telah ber-kumpul para tamu. Karena pakaian
mereka serupa, maka kehadiran dua orang dara di antara para selir ini tidak terlalu menyolok dan
sekelebatan mereka itu tidak ada bedanya dengan yang lain.
Di ruangan pendapa itu terdapat lebih dari li-mapuluh orang tamu. Dengan bantuan pelayan-pelayan
yang juga cantik-cantik akan tetapi pakaian mereka lebih sederhana, delapan orang selir ini lalu
melayani para tamu, menyuguhkan hidang-an-hidangan dan minuman-minuman. Pek Lian mencaricari
dengan pandang matanya dan akhir-nya ia menemukan orang yang dicarinya. Mereka duduk di
deretan depan. Seorang kakek yang usia-nya sudah tujuhpuluhan tahun, berpakaian putih-putih
dengan jenggot putih panjang, sikapnya ga-gah. Di sebelahnya duduk seorang pemuda perkasa
berusia tigapuluh tahun lebih, juga mengenakan pakaian serba putih dengan pedang di punggung. Di
sebelah kiri kakek itu duduk seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya, berpakaian hitam dari
sutera sehingga kulit leher dan tangannya nampak semakin putih mulus. Hampir semua mata para
tamu pria, baik tua maupun muda, tiada hentinya mengerling ke arah gadis yang luar biasa cantik-nya
ini.
Melihat tiga orang ini, Pek Lian hampir berte-riak kegirangan. Tidak saja ia mengenal Yap-lojin dan
Yap Kiong Lee, akan tetapi juga ia mengenal gadis berpakaian sutera hitam itu karena gadis itu bukan
lain adalah Bu Bwee Hong atau lebih tepat lagi bermarga Chu, karena gadis ini adalah anak kandung
dari Pangeran Chu Sin! Di samping rasa girang yang luar biasa melihat bekas teman seper-jalanan ini
ternyata masih hidup, juga timbul rasa herannya bagaimana gadis yang terbawa hanyut oleh
dunia-kangouw.blogspot.com
gelombang lautan dan terpisah darinya itu tahu-tahu berada di situ bersama Yap-lojin ketua Thiankiam-
pang dan murid pertamanya.
Juga Siok Eng merasa girang bukan main ketika ia mengenal Bwee Hong, puteri dari keluarga Bu
yang telah menolongnya, bahkan telah menyelamat-kan nyawanya dengan pengorbanan nyawa
suami isteri Bu dan terbukanya putera mereka, kakak dari Bwee Hong. Akan tetapi, tiga orang itu
sama se-kali tidak mengenal Pek Lian dan Siok Eng yang tidak mudah dibedakan dari selir-selir tuan
rumah yang lain. Baru setelah Pek Lian melayani meja mereka dan sengaja menginjak kaki Bwee
Hong, nona cantik jelita ini mengangkat muka meman-dang dan sinar mata mereka bertemu. Pek Lian
berkedip dan memberi isyarat kepada Bwee Hong agar tidak mengeluarkan suara. Bwee Hong
terkejut dan girang bukan main ketika mengenal Pek Lian, akan tetapi melihat isyarat itu, ia tidak
berani ber-kata sesuatu, hanya memandang bengong. Apa lagi ketika Bwee Hong mengenal pula
Siok Eng sebagai gadis Tai-bong-pai yang pernah diobati oleh ayah bundanya, ia terheran-heran
dan juga amat girang.
"Enci, kalian bertiga harus menelan pel ini un-tuk menjaga diri terhadap racun," bisik Siok Eng sambil
memberikan tiga butir pel kepada Bwee Hong, akan tetapi gadis cantik jelita itu tersenyum.
"Jangan khawatir, adik yang baik. Kami telah minum obat penawar racun," jawabnya dengan bisikan
lirih. Siok Eng mengangguk dan iapun mera-sa tenang karena ia percaya bahwa nona cantik ini
adalah puteri seorang datuk yang menjadi keturun-an Sin-yok-ong, Si Raja Tabib Sakti. Tentu saja
dara ini seorang ahli pengobatan yang tidak takut akan segala macam racun !
Adapun Yap-lojin dan putera angkatnya yang belum begitu akrab dengan Pek Liari, tidak menge-nal
nona ini. Baru setelah Bwee Hong berbisik-bisik kepada ketua Thian-kiam-pang itu, Yap-lojin
mengerutkan alisnya. Dia teringat kepada ga-dis yang menjadi tawanan isterinya, Siang Houw Nionio.
Akan tetapi dia diam saja, hanya merasa heran apa lagi yang dikerjakan oleh gadis pembe-rani
itu di tempat seperti ini.
Pek Lian dan Siok Eng juga tidak sempat bica-ra dengan Bwee Hong karena pada saat itu mun-cul
tuan runyah, yaitu Tikus Beracun Bumi! Para tamu bangkit dani tempat duduk mereka untuk
menghormati tuan rumah yang terkenal sebagai datuk pertama dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to ! Ka-rena
para tamu bangkit berdiri, Siok Eng dan Pek Lian merasa aman, mereka tertutup oleh para tamu
sehingga tuan rumah yang bertubuh pendek kecil itu tidak dapat melihat mereka.
Te-tok-ci atau Tikus Beracun Bumi itu ter-nyata memliliki tubuh yang sama sekali tidak serem seperti
namanya. Kakek ini usianya sekitar enam-puluh lima tahun, tubuhnya pendek kecil nampak lemah,
mengenakan pakaian mewah seperti seorang bangsawan saja. Mukanya kecil sempit dan pan-jang ke
muka, memang dari samping wajahnya me-miliki bentuk seperti muka tikus. Di sebelah kanan-nya
berjalan laki-laki berusia tigapuluh tahun le-bih yang juga bertubuh kecil pendek. Itulah Siauw-thian-ci,
putera tunggal Tikus Beracun Bumi, yaitu pria kecil pendek kejam, yang pernah dilihat oleh Pek Lian
dan Siok Eng di dalam tero-wongan bawah tanah itu.
Setelah tiba di tempat duduk yang dipersiapkan untuknya, yaitu di antara kursi para tamu kehormatan,
tuan rumah yang pendek ini lalu berdiri di atas tangga, menjura ke empat penjuru dan suaranya
lantang ditujukan kepada semua tamu yang bangkit berdiri ketika dia datang.
"Cu-wi sekalian, selamat datang dan silahkan duduk ! Semua dipersilahkan untuk menikmati hidangan
yang kami suguhkan !"
Setelah berkata demikian dia bersama Siauw-thian-ci duduk menghadapi meja yang penuh hidangan,
kemudian tanpa banyak cakap lagi ayah dan anak ini lalu makan minum dengan lahapnya,
sama sekali tidak memperdulikan kanan kiri lagi! Dan lucunya, biarpun di atas semua meja tamu telah
tersedia hidangan yang nampaknya lezat dan mewah, namun tidak ada seorangpun yang berani
menyentuhnya, apa lagi makan ! Hal inipun tidak mengherankan, karena siapakah yang akan berani
menyentuh hidangan yang disuguhkan oleh datuk sesat ahli racun yang paling kejam dan berbahaya
di dunia ini ? Selain itu, agaknya para tamu yang sebagian besar terdiri dari tokoh-tokoh sesat itu
memang sudah tahu akan adegan yang sudah diatur ini dan agaknya sikap tuan rumah itu memang
ditu-jukan kepada para tamu yang bukan segolongan dengan mereka, terutama sekali ditujukan
kepada ketua Thian-kiam-pang. Maka, para tokoh sesat yang hadir hanya tersenyum-senyum saja
dunia-kangouw.blogspot.com
menon-ton pertunjukan yang mereka anggap sebagai lelu-con yang menarik. Mereka tersenyumsenyum
geli dan gembira melihat aksi Te-tok-ci dan Siauw-thian-ci.
Akan tetapi, bagi manusia sopan pada umum-nya, aksi ayah dan anak itu sungguh memuakkan,
menjijikkan dan juga memanaskan perut! Mana ada pihak tuan rumah makan minum seenak perutnya
sendiri tanpa memperdulikan para tamu, bah-kan mereka makan minum dengan lahap, berdahak
dan kadang-kadang meludahkan tulang-tulang ikan ke kanan kiri. Setengah jam lamanya para tamu
disuguhi tontonan ini dan seperti orang baru tahu bahwa para tamu tidak ada yang makan hi-dangan
di atas meja depan mereka, terdengar Te-tok-ci tertawa dan bicara dengan puteranya.
"Ha-ha-ha, dunia penuh penakut dan penge-cut, anakku yang gagah ! Lihat, tidak ada yang berani
menyentuh hidangan di atas meja. He-hehe, siapa yang makan minum hidangan itu dan tidak
mampus mendadak, aku sungguh kagum
padanya dan akan kuangkat saudara!"
Ucapan ini sungguh merupakan ejekan menghi-na yang sepatutnya hanya diucapkan orang gila.
Seorang tamu yang usianya baru tigapuluh tahun lebih dan berwatak berangasan, dari golongan sesat
yang agaknya belum paham akan sikap tuan rumah dan. dia merasa tersinggung, bangkit dari
tempat duduknya. Dia tidak berani menentang tuan rumah, akan tetapi merasa tidak senang de-ngan
sikap itu dan diapun melangkah pergi hendak meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi, beberapa orang
pengawal, anak buah Si Tikus Beracun, su-dah menghadangnya dengan tombak melintang.
"Sicu hendak pergi ke mana ? Sebelum to-cu selesai makan minum, tidak ada yang boleh pergi
kecuali seijin to-cu !"
"Apa ?" Laki-laki bermuka hitam itu melotot. "Aku Tiat-pi Hek-kwi (Setan Hitam Lengan Be-si), datang
dan pergi tidak pernah diatur orang lain. Aturan gila mana ini ?" Dia hendak memaksa pergi dan ketika
tiga orang pengawal itu tetap mengha-dang, dia menggunakan kedua lengannya untuk mendorong
dan tiga orang pengawal itupun ter-jengkang. Ternyata Setan Hitam Lengan Besi ini memang memiliki
sepasang lengan yang kuat sekali.
Si Tikus Beracun yang sedang asik makan mi-num itu menoleh dan sepasang matanya yang kecil itu
menyipit, akan tetapi mengeluarkan sinar berkilat. Marahlah dia melihat ada orang berani ber-sikap
menentangnya.
"Cuhh !" Dia meludah ke atas lantai yang sudah, kotor dengan ludah dan tulang-tulang ikan itu.
"Bunuh orang itu !" teriaknya bengis.
Tiga orang kepala pengawal berloncatan datang dan mereka memegang alat semprotan dari bambu.
Begitu mereka menggerakkan alat itu, ada benda cair yang amat lembut dan beruap menyambar ke
arah Si Setan Hitam dari tiga jurusan. Tentu saja orang itu berusaha mengelak dan mtelawan, namun
begitu uap mengenai tubuhnya, dia menjerit kesa-kitan. Kulit tubuhnya dan pakaian yang terkena uap
itu hancur dan melepuh, seperti terbakar dan orang itupun tak dapat menahan lagi rasa nyerinya. Dia
terguling dan berkelojotan di atas lantai, seka-rat dan tewas seketika!
Semua tamu memandang dengan muka pucat dan mereka bergidik. Akan tetapi, Yap-lojin ketua
Thian-kiam-pang yang melihat ini menjadi marah sekali. Mukanya berobah merah dan diapun bang-kit
berdiri, diikuti oleh Yap Kiong Lee dan Chu Bwee Hong. Bagaimanapun juga, sebagai seorang tamu
Yap-lojin tidak sudi mencampuri urusan orang, apa lagi urusan antara Setan Hitam dan tu-an rumah
yang keduanya adalah orang-orang go-longan sesat. Dengan sikap hormat namun gagah.
Yap-lojin menjura ke arah Tikus Beracun dan su-aranya terdengar lantang.
"Te-tok-ci, aku datang ke sini untuk berjumpa dengan seorang di antara penghuni Ban-kwi-to, yaitu
Thian-te Tok-ong atau yang juga dikenal sebagai Ceng-ya-kang. Aku ingin bertanya kepa-danya
tentang puteraku!"
Yang ditanyakan Yap-lojin adalah tokoh ke li-ma dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to. yaitu si gendut pendek
yang berjuluk Thian-te Tok-ong (Raja Racun Bumi Langit) atau juga terkenal dengan se-butan Cengya-
kang (Kelabang Hijau) karena dia suka mengumpulkan kelabang beracun. Seperti te-lah
dunia-kangouw.blogspot.com
diceritakan di bagian depan, tokoh sesat ini nampak gulang-gulung dengan Yap Kim, putera kandung
Yap Cu Kiat atau Yap-lojin itu yang kini lenyap dan sedang dicari oleh ayahnya dan suheng-nya.
Tentu saja Tikus Beracun sudah tahu akan hal ini dan memang sejak tadi semua adegan yang disuguhkan
di situ hanya untuk memancing keturunan datuk utara ini. Sekarang, melihat tamu yang dianggap
musuh besar ini sudah bangkit dan menge-luarkan suara, pihak tuan rumah menemukan
alasan untuk turun tangan, seperti yang telah dilakukan-nya terhadap Setan Hitam tadi.
Pada saat itu, mulut Si Tikus Beracun penuh makanan. Dia mengangkat muka memandang ke arah
Yap-lojin, lalu dia memuntahkan makanan itu ke atas lantai dan menudingkan telunjuknya ke-arah
kakek itu sambil membentak, "Bunuh juga orang itu ! !"
Tiga orang kepala pengawal itu sudah mengu-rung Yap-lojin dan dua orang muda itu, kemudian tanpa
menanti perintah kedua kalinya lagi, tiga o-rang yang memang mempunyai hobby membunuh orang
itu menyemprotkan alat semprot mereka yang mengandung racun amat jahat itu. Akan teta-pi, karena
tadi mereka sudah menjaga diri dengan minum obat penolak racun yang diberikan oleh Bwee Hong,
mereka tidak takut terhadap racun itu, dan untuk menjaga pakaian mereka, tiga orang ini lalu
menggerakkan kedua tangan dikibaskan ke depan. Bahkan Yap Kiong Lee sudah mengerahkan
tenaga Thian-hui Khong-ciang yang luar biasa, itu, yang menjadi ilmu keturunan dari datuk utara Sinkun
Bu-tek. Akibatnya luar biasa hebatnya karena tiga orang itu terjengkang dan tidak dapat bangkit
kembali, napas mereka empas-empis dan muka mereka pucat, tubuh terasa lumpuh kehilang-an
tenaga!
Gegerlah ruangan itu ketika para anak buah Ti-kus Beracun maju mengeroyok. Bahkan Tikus Beracun
sudah berteriak-teriak minta bantuan para tamu. Para tamu yang sebagian besar adalah tokohtokoh
kaum sesat itu dan menjadi sekutu Tujuh Iblis Ban-kwi-to tentu saja berpihak kepada Ti-kus
Beracun dan terjadilah pengeroyokan atas diri tiga orang itu. Namun, mereka bukanlah orang-orang
sembarangan ! Nona Chu Bwee Hong adalah keturunan dari datuk selatan Sin-yok-ong yang memiliki
ilmu silat luar biasa tingginya. Yap-lojin adalah ketua Thian-kiam-pang yang merupakan keturunan
datuk utara Sin-kun Bu-tek yang amat lihai, sedangkan Yap Kiong Lee, murid utama atau putera
angkatnya, telah sedemikian maju dalam ilmunya sehingga tidak jauh selisihnya dengan ilmu kakek
itu sendiri! Inilah sebabnya yang membuat para orang sesat itu seperti air bah membentur batu
karang yang kokoh kuat. Bwee Hong mengan-dalkan ginkangnya yang istimewa. Tubuhnya berkelebatan
seperti terbang saja di antara pengero-yokan banyak orang. Tidak ada sebuahpun senja-ta
mampu menyentuhnya dan ia membagi-bagi pukulan dan tendangan secepat kilat. Dengan gin-kang
keturunan datuk selatan Sin-yok-ong yang luar biasa, yaitu yang dinamakan Pek-in Gin-kang (Ilmu
Meringankan Tubuh Awan Putih), tubuhnya berkelebatan seperti kilat dan Ilmu Silat Kim-hong-kun
(Silat Burung Hong Emas) membingungkan para pengeroyoknya.
Yap-lojin bersikap tenang-tenang saja meng-hadapi semua pengeroyokan. Kakek ini hanya
menggerak-gerakkan kedua lengannya dan ujung jubahnya yang lebar itu mendatangkan angin keras,
membuat para pengeroyoknya terpelanting atau terdorong mundur. Akan tetapi, sepak terjang Yap
Kiong Lee lebih hebat lagi. Pemuda ini mengamuk dan kedua tangannya bergetar menimbulkan suara
gemuruh seperti angin ribut. Itulah Hong-i Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Angin Badai) yang hebat, d: sertai
penggunaan tenaga sakti Thian-hui Khong-ciang yang mengeluarkan suara ledakan seperti pe-tir dan
menghancurkan benda-benda di sekitar-nya. Semua orang terkejut ketakutan dan menjauh-kan diri,
tidak kuat menahan pukulan-pukulan sakti ketiga orang itu. Semua orang menjadi kagum sekali,
bahkan si kakek Yap-lojin juga diam-diam amat kagum terhadap murid ini.
"Kiong Lee, engkau cari adikmu, biar kuhadapi tikus-tikus ini!" kata Yap-lolin yang menduga bahwa
tentu puteranya, Yap Kim, disembunyikan di pulau itu.
"Baik, suhu !" kata Kiong Lee yang sudah mulai membuka jalan dengan menghambur-hamburkan
pukulan saktinya ke kiri untuk keluar dari kepung-an.
Akan tetapi tiba-tiba Pek Lian berteriak, "Locianpwe, puteramu tidak berada di sini. Mari ikut dengan
kami!"
Karena teriakan ini, Kiong Lee meragu dan tidak jadi keluar dari kepungan, dan sebaliknya, Pek Lian
dan Siok Eng ketahuan dan dikeroyok pula. Karena ingin mencari kawan, Pek Lian dan Siok Eng
mengamuk dan mendekati Yap-loiin bertiga sehingga kini mereka berlima mengamuk dan medunia-
kangouw.blogspot.com
robohkan banyak pengeroyok yang berani menye-rang terlalu dekat. Melihat kehebatan lima orang
musuh ini, Tikus Beracun dan puteranya menjadi marah. Mereka sibuk berteriak-teriak memberi
komando kepada para pengawal. "Semprotkan darah maut!" "Taburkan bubuk pencabut nyawa!"
"Bakar dupa setan sebanyaknya !" "Serang dengan jarum kalajengking!" Para pengawal sibuk
melaksanakan perintah-perintah ini, namun karena lima orang itu semua telah melumuri tubuh dengan
obat anti racun, juga sudah menelan obat mujijat dari Raja Obat Sakti atau juga terkenal dengan
julukan Tabib Sakti, se-dangkan Pek Lian dan Siok Eng telah dilindungi obat anti racun dari Tai-bongpai,
maka semua racun yang mengerikan itu tidak dapat melukai me-reka. Apa lagi dengan ilmu silat
mereka yang amat hebat itu, semua senjata dan racun dapat ditolak dan yang celaka bahkan para
tamu yang ikut me-ngeroyok. Yang terkena racun-racun itu berjatuh-an dan berkelojotan sekarat dan
tewas seketika da-lam keadaan amat mengerikan.
Melihat kehebatan lawan, Tikus Beracun dan puteranya lalu tiba-tiba menghilang. Mereka hen-dak
mempersiapkan diri untuk menjebak musuh-musuh yang amat tangguh itu agar terperosok ke dalam
terowongan rahasia mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi mereka takkan mungkin
menang kalau hanya mengandalkan ilmu silat dan pengeroyokan.
Melihat mundurnya tuan rumah, para tamu yang memang sudah gentar menghadapi lima orang
pendekar itu, juga banyak yang mulai menjauhkan diri sehingga pengepungan tidak begitu ketat lagi.
Sementara itu, Pek Lian yang mencurigai kepergian Si Tikus Beracun dan puteranya, dengan cerdik
su-dah dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh tuan rumah yang licik dan amat curang itu.
Tuan rumah telah menghilang, para pengawal juga mun-dur sehingga mereka berlima ditinggalkan di
ruang-an depan itu.
"Yap-locianpwe, harap hati-hati terhadap jebakan rahasia. Jangan sembarangan menginjak lantai
yang mencurigakan ahhhh!!"
Ia yang memperingatkan, akan tetapi ia sendiri bersama Siok Eng yang berdiri di sebelahnya yang
lebih dulu menjadi korban ketika lantai yang mere-ka pijak dan yang tadinya kokoh kuat itu tiba-tiba
saja bergerak dan mereka berduapun terjeblos ke bawah tanpa dapat mereka hindarkan lagi.
"Adik Lian, awas !!" Bwee Hong berteriak
dan gadis yang memiliki ginkang luar biasa hebat-nya ini sudah melesat ke depan, maksudnya Untuk
menolong Pek Lian dan Siok Eng, akan tetapi aki-batnya ia sendiripun ikut terjeblos bersama dua
orang dara itu !
Melihat betapa tiga orang dara itu telah terje-blos dan lenyap ke bawah, sedangkan lantai itu te-lah
menutup kembali, Yap-lojin menyambar tangan muridnya dan berkata, "Mari kita keluar!"
Mereka berdua meloncat dengan cepatnya, melayang untuk keluar dari pintu. Akan tetapi tiba-tiba
dari luar menyambar puluhan batang anak panah beracun ke arah mereka! Karena maklum bahwa
anak panah itu berbahaya sekali, keduanya terpaksa menangkis dan meruntuhkan senjata-senjata
rahasia itu dengan pukulan sakti, akan tetapi terpaksa pula mereka menurunkan kaki menginjak
ambang pintu dan merekapun terjeblos ke bawah karena lantai berikut pintunya juga terjeblos
dalam jebakan rahasia itu! Guru dan murid ini mengerahkan sinkang dan mereka berhasil berjungkir
balik, membuat poksai (salto) ke atas sehingga tubuh mereka yang sudah terjeblos ke bawah itu
mencelat ke atas lagi. Akan tetapi, kembali puluhan anak panah menyambar. Tentu saja mereka
terpaksa menangkis dan tubuh mereka jatuh lagi ke bawah dan lantai itupun telah tertutup kembali
ketika tubuh mereka meluncur ke dalam lubang yang amat gelap.
"Kerahkan ginkang!!" Yap-lojin masih sempat memperingatkan muridnya karena dia kha-watir kalaukalau
di bawah terdapat senjata-sen-jata runcing menyambut tubuh mereka. Hanya dengan
pengerahan ginkang yang hebat saja mere-ka dapat menghindarkan maut kalau terjadi hal seperti itu
dan paling banyak hanya akan menga-lami sedikit luka-luka pada kaki mereka, Tentu saja Yap Kiong
Lee yang sudah banyak pengalam-an di dunia kang-ouw itupun telah tahu akan hal ini sehingga tubuh
guru dan murid itu melayang turun dengan ringan. Akan tetapi, mereka merasa lega dan juga heran
karena kedua kaki mereka hinggap di atas tanah kering biasa, tidak ada sen-jata yang menerima
tubuh mereka. Mereka telah tiba di dalam sebuah terowongan, lorong di bawah tanah dan ada sinar
menerangi terowongan itu dari depan dan belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebelum mereka mengambil keputusan ke mana mereka akan mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar
bunyi ledakan cambuk, disusul suara gemuruh dan mencicit. Suara tikus ! Dan kini nampaklah
tikus-tikus itu. Tikus-tikus itu berwarna coklat dengan kepala dan ekor berwarna putih. Kalau ha-nya
seekor dua ekor, tentu binatang-binatang itu merupakan tikus-tikus yang menarik, mungkin ba-gus
untuk dipelihara. Akan tetapi, yang muncul ini bukan seekor dua ekor melainkan ratusan dan ti-kustikus
itu luar biasa besarnya, bukan seperti tikus biasa. Juga mereka itu nampak ganas dan liar,
sambil mencicit mereka menyerbu maju, ratusan banyaknya, hampir memenuhi terowongan itu !
Melihat ini, guru dan murid cepat membalikkan tubuh dan melarikan diri dari tempat itu, menjauh.
Mereka mengikuti terowongan yang berbelak-belok itu dan akhirnya berhadapan dengan seorang
kakek berwajah putih menyeramkan yang berdiri di de-pan sebuah pintu baja. Kakek ini menyeringai
dan tangannya bergerak mencabut obor yang tertancap di atas pintu. Tiba-tiba pintu terbuka dan
ratusan, bahkan ribuan tikus putih menerobos ke-luar dan dengan bunyi bercicitan menyerbu ke arah
guru dan murid itu !
Yap-lojin adalah ketua Thian-kiam-pang yang sudah sering kali menghadapi penjahat-penjahat kejam
dan sudah sering menghadapi maut pula. dan Yap Kiong Lee juga seorang pendekar yang
berpengalaman. Namun belum pernah mereka menghadapi penyerbuan ribuan ekor tikus yang
kelihatan buas itu, maka mereka berdua terbelalak memandang dan merasa betapa bulu tengkuk mereka
meremang bergidik. Mereka meloncat ke be-lakang dan membalikkan tubuh hendak menjauh
kan diri, akan tetapi dari arah belakang, barisan tikus coklat yang tadi mengejar sudah datang, kini
digiring oleh seorang kakek yang berambut coklat penuh uban sambil tertawa-tawa. Karena berada di
jalan terowongan dan sudah terjepit dari depan dan belakang oleh dua barisan tikus, terpaksa Yaplojin
dan Yap Kiong Lee berdiri tegak beradu punggung saling membelakangi, memasang kudakuda
dan siap untuk membela diri menghadapi ri-buan ekor tikus itu. Diam-diam mereka mengerah-kan
tenaga sakti Thian-hui Khong-ciang dan be-gitu tikus-tikus itu sudah menyerbu dekat, kedua orang
guru dan murid ini lalu menggerakkan kedua tangan menyerang dan memukul ke depan. Terde-ngar
suara gemuruh angin pukulan dahsyat me-nyambar ke depan dan bagaikan petir menyambar
pukulan-pukulan sakti itu mengenai tikus-tikus dan batu-batu dinding. Tikus-tikus itu terpental dan
darah berhamburan, debu mengepul tebal.
"Hati-hati, Kiong Lee. Jangan sampai tero-wongan runtuh terkena pukulanmu!" teriak Yap-lojin
memperingatkan muridnya. Dia tahu bahwa muridnya itu marah dan pukulannya mengandung tenaga
dahsyat. Kalau sampai terowongan itu run-tuh karena pukulan muridnya, berarti mereka akan terkubur
hidup-hidup. Diam-diam guru ini amat kagum dan sayang kepada muridnya atau anak angkatnya itu.
Memang Kiong Lee memiliki bakat yang luar biasa sehingga dalam usia semuda itu te-lah mewarisi
ilmu-ilmu sakti dari perguruannya, bahkan hampir mencapai tingkat yang sama de-ngannya.
Puluhan ekor tikus tewas dan hancur terbanting kepada dinding terowongan, dan bau yang amat amis
dan busuk memenuhi udara, memusingkan kepala guru dan murid itu,
"Suhu, tikus-tikus ini beracun !" teriak Kiong Lee.
"Tentu saja! Lindungi hidung dengan saputa-ngan." Mereka lalu mengeluarkan saputangan dan
mengikatkan saputangan itu di depan hidung.
Akan tetapi, tikus-tikus itu sungguh nekat dan liar sekali. Biarpun guru dan murid itu sekali pukul
membunuh puluhan ekor, namun yang datang se-makin banyak. Mati sepuluh datang seratus! Dan
ribuan ekor masih berjubel-jubel di belakang se-perti berebut untuk dapat mengeroyok dua orang
manusia yang menjadi musuh mereka itu, atau juga merupakan calon-calon mangsa mereka.
Bau amis membuat mata mereka berkunang. Biarpun mereka sudah melindungi hidung dengan
saputangan, tetap saja hawa beracun tikus-tikus itu membuat mereka pengap dan sukar bernapas.
Memang, dengan pukulan-pukulan Thian-hui Khong-ciang, tikus-tikus itu tidak ada yang mam-pu
mendekat, akan tetapi sampai kapan mereka akan mampu bertahan ? Tikus-tikus itu tak ter-hitung
banyaknya, dan agaknya bukan liar atau bu-as lagi, melainkan sudah gila dan agaknya sebelum habis
sama sekali tidak akan mau mengaku kalah atau mundur. Dan tidak mungkin guru dan murid itu akan
sanggup bertahan demikian lamanya sam-pai tikus-tikus itu habis.
"Suhu, kita menyerbu satu jurusan saja membu-ka jalan darah !" Tiba-tiba Kiong Lee berkata, dan
gurunya menjadi kagum dan girang. Memang be-nar pendapat muridnya. Kalau mereka beradu
punggung, masing-masing menghadapi satu ba-risan tikus, berarti mereka terjepit dan harus medunia-
kangouw.blogspot.com
layani barisan itu sampai habis, yang agaknya tidak mungkin. Akan tetapi kalau mereka menyerbu
satu jurusan saja, dengan kerja sama mereka, agaknya mereka masih memiliki harapan untuk dapat
mele-paskan diri dari himpitan maut ini.
"Baik, aku membantumu !" Yap-lojin berseru dan diapun membalik setelah lebih dulu mengirim
pukulan dahsyat yang membuat tikus-tikus di de-pannya itu terlempar jauh ke belakang dan menjadi
kacau. Mempergunakan kesempatan ini, dia mem-balik dan membantu muridnya. Dengan pukulan
mereka berdua, tentu saja akibatnya lebih hebat lagi. Gabungan pukulan mereka membuat tikus-tikus
coklat itu seperti sekumpulan daun kering di-tiup angin badai. Ratusan ekor tikus terlempar saling
bertubrukan dan bertumpuk-tumpuk. Guru dan murid itu melakukan pukulan bertubi-tubi, lalu
meloncat dan menggunakan tumpukan bangkai tikus untuk menjadi batu loncatan, terus melarikan diri
setelah melompati barisan tikus coklat itu. Ka-kek penggiring tikus itupun tidak berani turun ta-ngan
menyerang, bahkan mepet di dinding karena merasa gentar melihat kelihaian guru dan murid itu.
Akan tetapi, diapun cepat membunyikan cam-buknya berdetak-detak dan tikus-tikus coklat itu.
diikuti oleh tikus-tikus putih, melakukan pengejar-an sambil mengeluarkan bunyi bercicitan riuh-rendah.
Udara di terowongan itu penuh dengan hawa beracun dari tikus-tikus itu. Yap-lojin dan Kiong Lee
merasa betapa kepala mereka pening sekali, akan tetapi mereka harus berlari terus kalau tidak ingin
celaka. Tiba-tiba mereka mendengar suara Pek Lian sayup-sayup memanggil-manggil.
Mereka berdua mempercepat lari mereka ke depan dan nampaklah oleh mereka tiga orang dara itu
berdempetan, berdiri ketakutan di sebuah ru-angan luas, dikepung oleh ribuan tikus yang ber-macammacam
bentuk moncongnya dan berma-cam-macam pula warna bulunya. Ada yang hitam, ada yang
kemerahan atau bintik-bintik. Tikus-tikus itu sungguh amat luar biasa banyaknya, sam-pai bertumpuktumpuk.
Dan dari jarak jauh, nam-pak beberapa orang kakek memegang cambuk yang dengan
berbagai gaya dan cara memerintahkan ba-risan masing-masing menyerang tiga orang dara itu.
Namun, sungguh aneh. Tikus-tikus itu agak-nya tidak berani menyerang, hanya memandang, mencicit
dan memperlihatkan taring dengan buas-nya tanpa berani maju menyerang. Tentu saja di-kerumuni
ribuan ekor tikus yang memperlihatkan sikap buas mengancam itu, tiga orang dara menja-di
ketakutan dan jijik sekali. Agaknya merekapun sudah bosan melawan tikus-tikus yang tiada
habishabisnya itu, lelah dan muak karena hawa beracun yang berbau busuk, apek dan amis.
"Yap-locianpwe tolonglah kami!"
Pek Lian berseru ketika melihat Yap-lojin dan Yap Kiong Lee berlarian datang.
Akan tetapi ia tidak tahu bahwa untuk menolong diri sendiri saja guru dan murid itu sudah kerepot-an
sekali. Kini tikus-tikus yang berada di ruangan itu, begitu melihat munculnya Yap-lojin dan Kiong Lee,
sudah membalikkan tubuh dan disertai suara mencicit riuh-rendah mereka semua menyerbu ke arah
Yap-lojin dan muridnya. Tentu saja guru dan murid ini menyongsong mereka dengan pukulan sakti
Thian-hui Khong-ciang. Kembali darah berhamburan ketika tikus-tikus itu dilanda pukulan sakti.
Akan tetapi binatang-binatang itu agaknya sudah sejak tadi menahan kemarahan mereka ketika
mereka secara aneh tidak berani menyerang tiga orang dara itu. Seperti sekawanan tikus kelaparan
melihat daging empuk tiga orang dara yang tinggal mengganyang saja namun ada sesuatu yang
mela-rang mereka atau membuat mereka tidak berani menyerang. Kini, mereka menumpahkan
semua kemarahan dan kerakusan mereka kepada dua orang pendatang baru ini. Bagaikan air bah
mereka itu menerjang datang. Tikus-tikus ini terdiri dari ber-macam-macam jenis, menyerang menjadi
satu, ri-buan banyaknya, disertai bau busuk menyengat hidung. Kembali guru dan murid itu
mengamuk, mengirim pukulan berantai bertubi-tubi, namun tikus-tikus itu makin banyak juga yang
datang menyerbu. Bau racun bercampur bau darah dan bau kotoran mereka sungguh membuat udara
di situ penuh racun.
Yap-lojin adalah seorang yang sakti, juga mu-ridnya amat gagah perkasa, dan tiga orang dara itiipun
bukan orang sembarangan. Di samping ini, mereka semua sudah menelan pel anti racun yang amat
mujarab. Namun, menghadapi bau yang ter-amat busuk ini, mereka tidak dapat bertahan lagi dan isi
perut mereka meronta, lalu mereka itu muntah-muntah!
Pek Lian yang memang sudah mempunyai pe-rasaan jijik terhadap tikus, dan di antara mereka
berlima itu dara inilah yang terhitung paling le-mah, tidak kuat dan muntah-muntah lalu jatuh terdunia-
kangouw.blogspot.com
duduk. Kepalanya pening bukan main. Untung ti-dak ada tikus yang berani menyerangnya, karena
kalau terjadi hal demikian, tentu ia dan dua orang kawannya tidak akan dapat melawan dan tentu
mereka akan dikeroyok dan diganyang sampai ha-bis oleh tikus-tikus itu. Mengerikan ! Syukur bah-wa
tidak ada seekorpun yang berani menyerang padahal begitu Yap-lojin dan muridnya muncul, semua
tikus berobah ganas dan menyerang dengan buas dan berani. Mengapa demikian ?
Dalam kepeningannya, sambil duduk bersandar dinding terowongan itu Pek Lian merenung. Apakah
karena mereka bertiga itu wanita maka tikus-tikus ini tidak berani menyerang ? Ah, mustahil!
Bukankah ketika pertama kali ia bertemu tikus-tikus itu bersama Siok Eng, iapun dikejar-kejar?
Kenapa sekarang ah, kenapa ia lupa ? Bukankah ia dan Siok Eng membawa bubuk putih yang
mereka bungkus dengan saputangan itu?
Bukankah bubuk putih itu merupakan racun anti tikus ? Benar ! Itulah sebabnya dan agaknya Siok
Eng yang demikian gagahnya akan tetapi demikian takutnya terhadap tikus sampai lupa pula akan hal
itu saking jijiknya menghadapi ribuan ekor tikus.
Kesadaran akan hal ini membangkitkan sema-ngat Pek Lian dan iapun membuka matanya. Dilihatnya
kedua temannya sudah terduduk dengan lemas pula, di kanan kirinya. Ketika ia melihat ke
depan, ternyata guru dan murid yang lihai itu ma-sih mengamuk, akan tetapi mereka berdua sudah
kepayahan, terhuyung-huyung dan mepet ke din-ding terowongan. Tenaga pukulan mereka tidaklah
sedahsyat semula. Agaknya mereka mulai kehabis-an tenaga atau keracunan oleh bau yang amat busuk
itu. Pakaian guru dan murid itu yang terbuat dari sutera putih, yang semula indah dan bersih, kini
sudah koyak-koyak dan berlepotan darah. Di depan kedua orang ini bertumpuk bangkai tikus dan
daging-daging tikus yang hancur berserakan.
Baunya amat menjijikkan dan penglihatan itu sung-guh amat mengerikan. Tikus-tikus itu masih terus
menyerbu, tiada habis-habisnya dan jauh di bela-kang mereka nampak kakek-kakek yang menjadi
pawang-pawang mereka itu memegang cambuk, mendorong anak buah mereka sambil tertawa-tawa
mengejek. Tikus-tikus itu mundur setiap kali dua orang guru dan murid memukul, akan tetapi apa bila
mereka berdua diam, mereka menyerbu. Ada beberapa ekor telah bergantung di pakaian gu-ru dan
murid itu, mati akan tetapi mereka masih mengait pada celana. Mengerikan!
Dengan tubuh lemah Pek Lian lalu mengeluar-kan bungkusan bubuk putih itu sambil berbisik kepada
Siok Eng, "Eng-moi kita lupa tidak mempergunakan bubuk anti tikus kita "
Siok Eng membuka matanya. Karena sinkang-nya jauh lebih kuat dibandingkan dengan Pek Lian,
maka iapun cepat dapat menguasai dirinya. "Aih, benar, enci!" Dan iapun cepat mengeluarkan saputangan
yang membungkus obat putih itu.
Dengan penuh harapan mereka lalu mengambil sejumput bubuk putih dan menyebarkannya ke arah
tikus-tikus yang mengurung guru dan murid itu. Dan begitu bubuk putih itu disebarkan, tikus-tikus
yang berada di dekat bubuk putih itu mencicit ke-takutan dan cepat pergi menjauh. Hal ini menggembirakan
hati dua orang dara itu yang cepat ber-jalan sambil menyebarkan bubuk putih, membuka
jalan ke arah Yap-lojin dan muridnya. Bwee Hong juga sudah bangkit berdiri dan memandang dengan
girang. Ia tahu apa artinya bubuk putih itu.
"Locianpwe, marilah mendekat ke sini !" kata Pek Lian. Yap-lojin dan Kiong Lee juga merasa girang
sekali. Melihat jalan terbuka, mereka berdua lalu berloncatan mendekat dan bersatu dengan tiga
orang gadis itu di dalam ruangan, sedangkan tikus-tikus itu mengurung agak jauh, tidak berani mendekat
lagi dan mereka itu gelisah karena di satu pihak, para pawang mereka membujuk mereka untuk
maju, akan tetapi bubuk putih itu membuat me-reka ketakutan dan memaksa mereka untuk
mundur menjauh.
Pek Lian berangkulan dengan Bwee Hong. Ba-ru sekarang mereka, dalam keadaan sama-sama
lemas, mendapat kesempatan untuk berdekatan.
"Enci Hong, akhirnya kita dapat berkumpul dan sama-sama menempuh segala bahaya lagi!" kata Pek
Lian sambil mencium pipi yang kemerahan dan halus itu dengan hidungnya. Bwee Hong membalas
dunia-kangouw.blogspot.com
ciuman itu dan kedua pipinya menjadi semakin me-rah karena Pek Lian bersikap sedemikian terbuka,
padahal di situ ada Yap-lojin dan terutama sekali Yap Kiong Lee.
"Ah, adik Lian. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian yang telah mempertemukan kita kembali,
dan sekali ini engkau kembali telah menolong-ku dengan bubuk putihmu yang mujijat itu!"
"Hi-hik, bubuk ini adalah milik mereka," kata-nya sambil memandang ke arah para pawang. "Un-tung
adik Eng yang memperingatkan sehingga kami berdua membawanya dengan saputangan."
"Kita harus cepat-cepat keluar dari sini sebe-lum hawa beracun in'i membuat kita semua ping-san,"
Yap-lojin berkata. "Hawa beracun ini lebih berbahaya dari pada tikus-tikus itu sendiri."
"Ke mana kita harus pergi ? Lorong-lorong di sini penuh rahasia dan tikus-tikus itu" Kiong Lee
mengeluh.
Sementara itu, para pawang sudah memberi pe-rintah kepada tikus-tikus itu dengan bermacam
gerakan, suara dan ledakan cambuk. Dan tiba-tiba terdengar suara berdesis-desis dan beberapa macam
tikus jenis tertentu mengeluarkan semburan yang mengeluarkan bau yang luar biasa kerasnya,
membuat ruangan itu penuh dengan hawa beracun ! Lima orang itu merasakan ini dan kepeningan
me-nyerang mereka, membuat mereka terhuyung-hu-yung.
"Mari kita pergi" Yap-lojin memimpin kelompok itu meninggalkan ruangan se-telah dia menerima
saputangan berisi obat bubuk putih dari Pek Lian, sedangkan Kiong Lee juga menerima saputangan
berisi bubuk putih itu dari Siok Eng lalu dia berjalan di belakang. Dengan senjata bubuk putih ini,
mereka dapat keluar dari tempat itu. Akan tetapi keadaan mereka sudah payah, terutama sekali Pek
Lian yang paling lemah sinkangnya. Kepalanya terasa pening dan ia ter-paksa dipapah oleh Bwee
Hong dan Siok Eng yang lebih kuat sinkang mereka. Mereka semua merasa khawatir sekali. Biarpun
untuk sementara waktu, berkat khasiat bubuk putih, mereka terhindar dari maut karena tikus-tikus itu
takut menyerang me-reka, namun keadaan mereka begini lemah dan ka-lau sampai tuan rumah, Si
Tikus Beracun, turun ta-ngan, bagaimana mereka akan mampu bertahan ?
Pada saat yang amat gawat itu, Siok Eng ter-ingat akan botol berisi cairan kuning yang diambil-nya
dari dalam kamar merah, botol yang ada tulis-annya bahwa cairan kuning itu adalah obat pena-war
segala macam racun! Ia tadi sedang kebi-ngungan, karena biarpun Tai-bong-pai merupakan
perkumpulan para ahli racun, namun di antara obat-obat penawar racun yang dibawanya sebagai
bekal tidak terdapat obat untuk melawan hawa be-racun seperti yang dikeluarkan oleh tikus-tikus itu.
Kini ia teringat akan obat dalam botol yang diper-olehnya di kamar Tikus Beracun, maka dikeluarkanlah
obat itu. Setelah diperiksanya, sebagai se-orang ahli ia tahu bahwa obat itu dapat dipergunakan
dengan cara meminumnya, atau menciumnya atau mengoleskannya. Memang benar obat penawar
segala macam racun. Iapun mencobanya dan menciumnya dan seketika peningnya lenyap ketika
ia mencium bau yang agak harum itu,
"Ah, inilah obat penawarnya. Harap kalian men-cium dan menyedotnya secara bergilir," katanya.
Empat orang yang lain itu menjadi girang dan cepat menyedot dari botol cairan kuning itu dan
memang mujarab bukan main. Mereka sembuh dan merasa tubuh mereka segar kembali. Akan tetapi,
tiba-tiba Pek Lian jatuh terkulai.
"Celaka" keluhnya "obat bius" dan dara inipun sudah jatuh pingsan !
Siok Eng dan Bwee Hong terkejut, apa lagi ke-tika mereka berduapun tiba-tiba merasa lemas se-perti
dilolosi semua urat dalam tubuh. Mereka men-coba mempertahankan diri, namun terhuyung dan
akhirnya jatuh pingsan pula !
Terdengar suara pecut meledak-ledak dan de-lapan orang pawang tikus telah mengurung dan
menyerang dengan cambuk-cambuk mereka. Yap-lojin dan Yap Kiong Lee juga merasa betapa kelemahan
menyelubungi diri mereka, namun dengan pengerahan sinkang dan kemauan membaja, mereka
berdua masih dapat melakukan perlawanan dan dengan pukulan-pukulan sakti, mereka berdua
masih dapat menahan delapan orang itu sehingga me-reka tidak berani terlalu mendekat, hanya
mengan-dalkan cambuk-cambuk panjang mereka untuk menyerang dari jarak jauh.
Akan tetapi, betapapun mereka mengerahkan tenaga mengamuk, dari dalam ada suatu daya melumpuhkan
membuat guru dan murid itu menjadi bulan-bulanan patukan dan gigitan ujung cambuk
dunia-kangouw.blogspot.com
delapan orang anak buah Tikus Beracun itu. Keti-ka Kiong Lee terhuyung ke kiri, dia disambut oleh
pukulan beracun pawang tikus putih, sebuah pu-kulan keras yang menyambut dadanya.
"Bukkk ! !" Kiong Lee mengeluh dan terpental, kemudian terbanting ke dinding ruangan itu dan jatuh
terkapar dekat tubuh tiga orang dara yang sudah pingsan terlebih dulu. Pemuda ini tidak bergerak
lagi.
Tentu saja Yap-lojin merasa terkejut dan kha-watir bukan main. Dia tidak tahu apakah murid-nya
tewas atau hanya pingsan oleh pukulan yang keras tadi. Dia mengamuk dan mengerahkan sinkangnya,
namun tenaganya semakin lemah dan diapun terhuyung-huyung.
'Ha-ha-ha-ha ! Kiranya hanya sekian saja-kah kelihaian Yap-lojin yang terkenal sebagai ke-turunan
datuk utara Sin-kun Bu-tek itu ? Ha-lia-ha, tidak berapa hebat! Baru kau tahu seka-rang betapa
lihainya para jago dari Ban-kwi-to, ha-ha !" Ini adalah suara Tikus Beracun dan dia sudah berdiri di
situ bersama puteranya si Tikus Langit Kecil yang berdiri dengan sikap angkuh.
Yap-lojin berhenti memandang dan kepalanya terasa semakin pening. Matanya menjadi kabur dan
musuh-musuhnya hanya kelihatan samar-samar saja. Akan tetapi, kakek yang gagah perkasa ini tidak
mau menyerah begitu saja, sedikitpun dia ti-dak menjadi gentar. Nyawa empat orang muda yang
sudah roboh entah pingsan entah tewas itu, kalau masih ada, terletak dalam tangannya. Kalau dia
jatuh, mereka semua tidak akan tertolong lagi. Dia sendiri sudah lemah bahkan untuk berdiri tegakpun
sudah sukar, namun dia tidak memperlihatkan kelemahannya.
"Hemm, kalian majulah semua !" bentaknya.
"Tar-tar-tar-tarr!" Delapan orang pawang itu tetap tidak berani mendekatinya karena dari kedua
tangannya keluar hawa pukulan yang masih ampuh.
"Minggirlah kalian !" tiba-tiba Siauw-thian-ci membentak. "Biar kuhadapi tua bangka ini!"
Sikap Siauw-thian-ci angkuh dan sombong karena memang matanya yang kecil sipit akan tetapi tajam
itu sudah dapat melihat bahwa kakek itu sudah kehilangan tenaga saktinya dan gerakannya sudah
kacau dan lemah. Kalau tidak melihat de-mikian, mana dia berani omong besar ? Tadi dia sudah
menyaksikan sendiri kehebatan ketua Thian-kiam-pang ini. Bahkan ayahnya sendiri tidak mampu
melawan dan mengalahkannya. Melihat kelemahan kakek itu, Siauw-thian-ci dengan sikap
sombongnya, untuk pamer kepada anak buahnya, melepaskan cambuknya dan maju menyerang
Yap-lojin dengan tangan kosong! Melihat ini, biarpun dia sudah lemah dan terancam, Yap-lojin tidak
mau mencabut pedangnya. Kalau tadi dia tidak mencabut pedang ketika dikeroyok delapan, ada-lah
karena untuk menghadapi cambuk-cambuk lemas itu lebih baik menggunakan kedua tangan,
sekarang dia tidak mungkin dapat menggunakan pedang melihat betapa penyerangnya hanya bertangan
kosong saja.
Siauw-thian-ci menubruk ke depan dan me-ngirim pukulan kilat ke arah dada Yap-lojin. Ka-kek ini
mengenal pukulan berat, maka diapun cepat menangkis karena untuk mengelak, dia sudah ku-rang
gesit dan pandang matanya sudah kabur.
"Dukk !" Benturan kedua lengan yang keras itu membuat tubuh Yap-lojin terhuyung dan sebelum dia
mampu menguasai dirinya, Siauwthian-ci sudah menerjang lagi dengan tendangannya yang
mengenai pinggang lawan.
"Dess !" Tubuh kakek itu terpelanting.
Akan tetapi, kakek yang gagah perkasa ini masih bangkit kembali, hanya untuk menerima pukulan
yang mengenai lehernya, membuat dia jatuh lagi dan terkapar pingsan. Siauw-thian-ci menyeri-ngai
puas dan bangga, lalu memandang kepada ayahnya, sikapnya menanti perintah.
Si Tikus Beracun memandangi tubuh lima orang yang sudah tak bergerak di atas lantai itu, lalu dia
berkata, "Hemm, mereka ini orang-orang berbaha-ya. Bunuh saja mereka sekarang, tidak usah terlalu
lama dibiarkan hidup, hanya akan merongrong kita saja!"
"Akan tetapi, tiga orang dara itu muda-muda, cantik dan mulus, ayah, apa lagi yang berpakaian hitam
itu. Sayang kalau dibunuh begitu saja," kata Siauw-thian-ci, sikapnya ragu-ragu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tikus Beracun menyeringai dan mengusap ku-misnya yang hanya beberapa lembar, kumis tikus.
"Heh-heh, benar juga ! Tapi yang berpakaian hi-tam itu untuk aku. Kau ambil saja yang dua itu." Lalu
dia memandang kepada Yap-lojin dan mu ridnya. "Akan tetapi cepat bunuh dua orang itu, baru kita
bersenang-senang dengan tiga orang da-ra itu."
Siauw-thian-ci menyeringai, terkekeh girang dan dia menghampiri tiga orang dara yang sudah
terkapar tak bergerak itu. Tangannya digerakkan ke depan, ke arah dada Pek Lian, entah apa yang
hendak diperbuatnya.
Sebelum jari-jari tangan yang kurang ajar itu berhasil menyentuh baju, tiba-tiba terdengar ke-luhan
dan ternyata Kiong Lee siuman ! Pemuda ini mengeluh dan bangkit duduk, kepalanya digoyanggoyang
seperti mengusir kepeningan, matanya dibu-ka. Tentu saja Te-tok-ci dan Siauw-thian-ci
menjadi terkejut dan khawatir sekali.
"Anakku, bunuh saja dulu bocah itu !" teriak Te-tok-ci.
Tanpa menanti perintah kedua kalinya, Siauw-thian-ci mengerahkan tenaga pada tangan kanan-nya,
lalu dia menerjang ke depan, menghantam dengan pengerahan tenaga sepenuhnya ke arah ke-pala
Kiong Lee yang masih duduk dan masih nanar itu. Kiong Lee terkejut dan cepat mengangkat lengan
menangkis.
"Desss !" Benturan tenaga dahsyat itu mengakibatkan, tubuh Siauw-thian-ci terlempar ke belakang
sedangkan tubuh Kiong Lee yang baru saja siuman itupun terguling-guling. Akan tetapi pemuda ini
cepat meloncat bangun dalam keadaan sadar sepenuhnya, sebaliknya Siauw-thian-ci me-mandang
dengan muka pucat. Kiong Lee menoleh ke arah gurunya dan tiga orang dara itu. Melihat mereka
menggeletak pingsan, diapun marah bukan main dan dicabutnyalah sepasang pedang dari
punggungnya. Nampak sinar berkilat disusul dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar !
(Bersambung jilid ke XVII.)
Jilid XVII
SIAUW-THIAN-CI dan Te-tok-ci kaget setengah mati. Cepat-cepat mereka melon-cat ke sana-sini
untuk menghindarkan cengkeram-an maut melalui sinar pedang itu dan merekapun sudah mencabut
senjata masing-masing. Te-tok-ci mengeluarkan sebatang golok. Biarpun kelihat-annya sebatang
golok biasa saja, akan tetapi se-sungguhnya golok ini istimewa sekali. Bukan ha-nya terbuat dari
logam mulia yang amat kuat, akan tetapi juga diperlengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga golok
ini dapat digerakkan dengan per menjadi memanjang atau memendek sesuka hati pemegangnya, dan
gagangnya dapat menyem-burkan jarum-jarum beracun. Selain itu, juga ga-gang golok itu diikat
dengan tali yang membuat golok itu dapat dilempar seperti golok terbang dan dapat kembali kepada
pemiliknya ketika tadinya ditarik. Sebuah senjata istimewa yang berbahaya sekali! Sedangkan Siauwthian-
ci lebih suka mempergunakan senjata kepercayaannya, yaitu cambuk panjang yang
mengandung rambut-rambut baja halus dan mengandung racun pula.
"Cringgg!" Sedikit bulu cambuk rontok ketika bertemu pedang.
"Tranggg ! !" Telapak tangan Te-tok-ci tergetar hebat. Ayah dan anak itupun terkejut dan
maklum bahwa pemuda pakaian putih itu sungguh merupakan seorang tokoh Thian-kiam-pang yang
amat lihai. Sepasang pedang itu kini menyambar-nyambar, membentuk dua gulungan sinar yang
panjang dan menyilaukan, seperti sepasang naga bermain di angkasa, menyemburkan maut!
Biarpun dikeroyok dua oleh tokoh pertama Tu-juh Iblis Ban-kwi-to dibantu puteranya yang ju-ga amat
lihai, namun Kiong Lee sama sekali tidak terdesak. Bahkan gulungan sinar pedangnya me-rupakan
bahaya besar bagi kedua orang pengero-yoknya, terutama sekali Siauw-thian-ci yang berkali-kali
terpaksa harus berlindung menyela-matkan diri di belakang ayahnya. Beberapa kali jarum-jarum
rahasia dari golok itu menyambar, namun hal itu sia-sia belaka karena semua jarum runtuh oleh sinar
dunia-kangouw.blogspot.com
pedang yang seolah-olah telah membentuk benteng sinar yang kokoh kuat. juga beberapa kali golok
itu melayang, terbang me-nyambar ke arah lawan seperti benda hidup, akan tetapi hampir saja
pedang di tangan Kiong Lee berhasil memukul jatuh golok itu sehingga pemi-liknya menjadi gentar
untuk melemparkannya lagi.
Sementara itu, tiga orang dara dan Yap-lojiri mulai bergerak dan mengeluh. Melihat ini, tentu saja Tetok-
ci menjadi khawatir sekali. Dia me-ngeluarkan seruan panjang dan bersama puteranya dia
menghilang di balik dinding yang ada rahasia-nya. Juga delapan orang pawang tikus telah
menghilang.
Kiong Lee cepat menolong gurunya dan tiga orang dara itu. Dengan totokan, dia mempercepat
kesadaran mereka. Dan mereka belima terheran-heran karena kini, setelah siuman, tenaga mereka
bukan hanya pulih kembali, bahkan merasa betapa tubuh mereka segar sekali, seperti orang yang
baru habis makan kenyang atau mandi air sejuk! Itulah khasiat dari cairan kuning yang mereka sedot
tadi! Cairan kuning itu membersihkan, bukan hanya membersihkan hawa beracun, akan tetapi juga
membersihkan darah dan rongga dada dan perut secara luar biasa sekali. Akan tetapi, saking kerasnya
obat ini, pemakainya memang biasanya terti-dur atau pingsan lebih dulu, seperti yang dialami
oleh mereka. Untung bahwa Kiong Lee yang ping-san terlebih dahulu sehingga dia lebih dahulu pula
siuman dan dapat menyelamatkan mereka berlima yang terancam bahaya maut.
Setelah ditinggalkan oleh Tikus Beracun dan anak buahnya, lima orang itu mulai mencari jalan keluar.
Akan tetapi, mereka berputar-putar menu-rutkan lorong bawah tanah dan tidak pernah ber-hasil
menemukan jalan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba Kiong Lee membungkuk dan mengam-bil
sesuatu dari atas lantai lorong.
"Aih, itu saputanganku !" tiba-tiba Pek Lian berkata sambil menerima saputangan itu dari Kiong Lee.
"Benar, saputanganku yang terjatuh tanpa kuketahui. Ah, aku ingat sekarang. Tak jauh dari sini
terdapat pintu rahasia keluar. Kita jalan lurus saja dari sini, jangan berbelok-belok. Saputangan ini
terjatuh ketika untuk pertama kalinya aku dan adik Siok Eng memasuki terowongan ini. Aku ter-lonjak
kaget ketika menginjak seekor tikus. Ingatkah engkau, adik Eng ?"
Siok Eng mengangguk dan merasa girang karena iapun ingat bahwa tak jauh dari situ terdapat jalan
keluar. Mereka lalu maju terus, kini Pek Lian di depan sebagai penunjuk jalan. Ingatan nona ini kuat
sekali sehingga tak lama kemudian mereka tiba di jalan buntu, tertutup oleh sebuah pintu baja. Pek
Lian mengamati pintu itu dan berseru girang.
"Nah, inilah pintu rahasia itu! Di balik pintu ini terdapat jalan keluar. Akan tetapi, aku tidak tahu rahasia
cara membukanya. Tentu ada alatnya. Mari kita sama-sama mencari alat rahasia untuk
membukanya."
"Biar kudobrak saja dengan kekerasan," kata Kiong Lee.
Gurunya mencegahnya. "Jangan. Pintu rahasia tidak boleh dibuka dengan kekerasan, karena kalau
hal itu dilakukan tentu akan mendatangkan baha-ya lain. Mari kita cari alat rahasia pembukanya itu."
Akan tetapi, sampai pusing dan bosan mereka mencari, tidak juga mereka dapat menemukan alat
rahasia pembuka pintu itu. Akhirnya mereka men-jadi bosan dan putus asa. "Kita cari jalan keluar lain
saja !" kata Bwee Hong.
"Nanti dulu " Pek Lian berseru dan ia teringat akan tempat lampu minyak di atas pintu baja di mana
tikus-tikus itu ditempatkan. Ia lalu meloncat ke atas, tangannya bergantung kepada celah-celah di atas
pintu dan meraba-raba. Benar saja, di atas daun pintu terdapat sebuah lubang dan di situ terdapat
pula sebuah lampu minyak. Ia mencoba untuk mencabut lampu itu, akan tetapi tidak bergoyang
sedikitpun. Lalu diputar-putarnya dan tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan daun pintu itupun
terbuka! Semua orang bersorak kegirangan.
"Engkau memang hebat, enci Lian!" Siok Eng memujinya ketika Pek Lian melompat turun.
"Sudahlah, mari kita lari ke pantai!" kata Pek Lian. Mereka berlima cepat berlari-larian menuju pantai,
Pek Lian dan Siok Eng menjadi penunjuk jalan karena kedua orang dara ini hendak mencari perahukecil
mereka, yaitu milik Tiat-siang-kwi, tokoh ke dua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, perahu yang mereka
larikan itu. Begitu mereka menemukan perahu, mereka berlima segera naik ke perahu kecil itu dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mendayungnya meninggalkan pulau. Pada saat itu, mereka melihat orang berbondong-bon-dong lari
ke pantai. Mereka telah ketahuan oleh Tikus Beracun dan anak buahnya, akan tetapi pe-rahu mereka
telah menjauh dan mereka telah aman dari gangguan iblis-iblis jahat itu.
"Ah, ternyata telah sehari penuh kita terkurung di dalam terowongan bawah tanah itu," kata Yap-lojin.
"Untung ada nona Ho Pek Lian, kalau tidak ah, agaknya aku orang tua ini sekarang hanya tinggal
nama saja. Aku dan muridku ini sungguh berhutang budi dan nyawa kepada nona Ho."
"Aih, Yap-locianpwe, bagaimana dapat bersi-kap sungkan begitu ? Di antara kita ini mana bisa
dikatakan melepas dan berhutang budi ? Aku bah-kan berterima kasih sekali dapat bertemu kembali
dengan enci Bwee Hong. Bagaimanakah enci Bwee Hong dapat muncul secara demikian tiba-tiba
bersama locianpwe di pulau iblis itu ? Aih, enci Hong, aku sudah putus harapan dan mengira eng-kau
telah benar-benar lenyap ditelan lautan ga-nas," kata Pek Lian.
"Sama saja dengan kekhawatiranku, adik Lian. Kusangka engkaupun sudah lenyap ketika aku tercebur
ke dalam lautan itu."
"Ah, aku kebetulan sekali bertemu dengan pera-hu adik Siok Eng dan ialah yang menolongku. Kemudian
ia mengajakku ke Pulau Ban-kwi-to itu karena ia hendak mencari setangkai bunga obat yang
hanya terdapat di sana. Dan engkau sendiri bagaimana, enci Hong ?"
"Akupun terapung-apung dan kebetulan ber-temu dengan perahu Yap-locianpwe sehingga be-liau dan
Yap-taihiap yang menyelamatkan aku. Karena mereka berdua sedang menuju ke Pulau Ban-kwi-to
untuk mencari putera Yap-locianpwe, maka akupun ikut dengan mereka. Sama sekali tidak pernah
kuduga bahwa di tempat pesta yang berbahaya itu aku akan bertemu dengan engkau dan adik Siok
Eng yang menyamar sebagai selir-selir cantik!"
Tiga orang gadis itu lalu bercakap-cakap de-ngan gembira setelah pertemuan yang sama sekali tak
tersangka-sangka itu, pertemuan yang menda-tangkan kegembiraan karena melihat kenyataan bahwa
teman yang disayangnya itu ternyata masih dalam keadaan selamat. Apa lagi setelah apa yang
mereka alami di terowongan itu dan kemudian mereka bersama berhasil menyelamatkan diri dari
ancaman bahaya maut.
"Nona Ho," akhirnya Yap-lojin berkata, "ka-lau nona mengetahui di mana adanya puteraku, harap
segera memberi tahu karena aku ingin sekali tahu di mana dia berada."
"Dia berada tak jauh dari sini, locianpwe. Di pulau kediaman Thian-te Tok-ong "
"Hemm, Si Kelabang Hijau tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu ?"
"Benar, locianpwe. Lihat, air laut di sini berwarna kekuning-kuningan dan berbau busuk."
"Memang begitu," kata Siok Eng yang banyak tahu tentang Ban-kwi-to karena sebelum berang-kat ia
telah mempelajarinya dari ayahnya. "Air laut di sini terkena pengaruh racun membusuk dari bangkaibangkai
dan tulang-tulang yang dibuang oleh Tiat-siang-kwi tokoh ke dua dari Tujuh Iblis. Tempat ini
sudah termasuk wilayahnya. Nah, itu pulau yang nampak gersang di depan, di sanalah raksasa itu
tinggal."
"Hemm, tempat mengerikan," kata Kiong Lee. "Tidak nampak pohon sama sekali. Hanya batu dan
pasir melulu. Tempat berbahaya !"
"Lebih baik kita berputar dan menghindari tem-pat ini. Bukan main busuk baunya."
Perahu didayung terus meninggalkan pulau ger-sang itu dan bau busuk itupun makin menghilang dan
kini air laut berobah warnanya menjadi agak kebiruan bercampur warna ungu, dan bau yang tadinya
busuk seperti bangkai itu kini berobah menjadi amis sekali, makin lama makin memuakkan! Semua
orang memencet hidung karena bau itu membuat orang ingin muntah.
"Daerah ini termasuk wilayah orang terakhir dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, yaitu suami isteri Im-kan
Siang-mo. Pulau kediaman mereka penuh dengan lumut dan rawa-rawa, banyak terdapat binatang air
dan binatang melata yang beracun sekali. Lihat, itu pulaunya sudah tampak dari sini," kata pula Kwa
Siok Eng puteri ketua Tai-bong-pai itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena ingin tahu, Yap-lojin mengajak mereka untuk mendayung perahu itu mendekati pulau, apa lagi
karena arus di situ kuat sekali. Tiba-tiba mereka mendengar suara mendengung-dengung dari atas
pulau dan nampaklah sekelompok lebah terbang lewat dan tercium bau wangi arak.
"Ahh lebah arak putih !" seru Yap-lojin
dan wajahnya berobah karena dia tahu betapa ja-hat dan berbahayanya lebah-lebah itu.
"Kurang ajar !" Tiba-tiba Kiong Lee memaki dan memalingkan mukanya agar tidak melihat apa yang
terjadi di atas pasir di pantai yang berdekatan. Akan tetapi, tanpa disengaja, seruannya itu bahkan
membuat tiga orang dara memandang ke arah pan-tai. Mata mereka terbelalak, muka mereka
berobah merah sekali dan cepat-cepat merekapun membu-ang muka. Apakah yang mereka lihat di
sana ? Dua orang manusia berlainan kelamin, seorang pria dan seorang wanita, sudah kakek dan
nenek, akan tetapi gaya dan lagaknya membuat orang-orang muda merasa malu. Mereka berdua itu
sedang bersendau-gurau bermain cinta di atas pasir dalam keadaan telanjang bulat!
Dua orang itu bukan lain adalah Im-kan Siang-mo, yaitu Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, suami isteri
yang jahat seperti iblis dan yang tidak tahu malu itu, orang ke enam dan ke tujuh dari Tujuh Iblis Bankwi-
to. Ketika mereka melihat ada pe-rahu lewat, keduanya cepat mengenakan pakaian, lalu mereka
memaki-maki, mencak-mencak dan mencari perahu mereka untuk melakukan pengejar-an. Akan
tetapi, Yap-lojin dan rombongannya su-dah cepat meninggalkan pulau cabul itu !
Atas petunjuk Siok Eng, perahu itu kini memasuki daerah yang berbau semerbak harumi dan air laut
kini berobah warnanya, menjadi kemerahan! Siok Eng memperhatikan sekeliling lalu berkata, "Kita
telah memasuki daerah kekuasaan Jeng-bin Siang-kwi (Sepasang Iblis Bermuka Seribu), dua orang
wanita kembar yang menjadi tokoh ke tiga dan ke empat dari iblis-iblis itu. Mereka adalah sepasang
wanita cantik yang ganas dan kejam bu-kan main. Kesukaannya adalah mengumpulkan pe-mudapemuda
tampan."
"Heii ! Perahu kita oleng !" teriak Pek Lian.
Air laut nampak bergelombang dan perahu me-reka oleng ke kanan kiri. Tiba-tiba mereka merasa
perahu mereka tertumbuk sesuatu dan tergetar he-bat seperti dihantam oleh sesuatu dari bawah. Dan
di sekeliling perahu itu mendadak muncul moncong-moncong binatang yang bergigi tajam ma-cam
moncong buaya.
"Wah, perahu kita bocor!" teriak Kiong Lee "Cepat dayung perahu ke pulau !" teriak pula Yap-lojin dan
dia menggunakan dayung, dibantu muridnya, menghantam ke arah moncong-moncong buaya laut
yang tersembul di sekitar perahu. Akan tetapi, air mulai memasuki perahu dan untunglah bahwa tiga
orang dara yang mendayung perahu itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sehingga pera-hu sudah
hampir mencapai pantai ketika air semakin memenuhinya. Merekapun berloncatan ke pan-tai. Perahu
tenggelam !
Sejenak mereka berlima berdiri bengong meman-dang ke arah perahu mereka yang tenggelam dan
perahu itu bergerak ke sana-sini seperti diserang oleh binatang-binatang buas itu di dalam air. Tak
lama kemudian, nampak pecahan-pecahan perahu mereka terapung di permukaan air.
Yap-lojin menghela napas panjang sedangkan gadis-gadis itu bergidik. "Untung kita sudah dekat
dengan pulau ini, kalau di tengah-tengah lautan bisa berbahaya. Sekarang kita harus berusaha mendapatkan
perahu lain."
Dengan hati-hati mereka berlima menyusuri pantai. Pulau itu merupakan pulau yang indah dan subur,
penuh dengan pohon-pohon yang hijau dan rimbun daunnya. Juga banyak pohon-pohon bunga
tumbuh di sana-sini, bentuk dan warnanya ber-macam-macam, selain indah dipandang, juga se-dap
dicium karena baunya harum semerbak.
"Kita harus hati-hati. Biarpun bunga-bunga itu kelihatan indah dan berbau harum, akan tetapi semua
itu beracun !" kata Siok Eng memperingat-kan. Bwee Hong dan Pek Lian memandang kagum dan
menjulurkan lidah.
Tiba-tiba Yap-lojin memberi isyarat dan me-reka semua cepat menyelinap dan bersembunyi di balik
pohon-pohon, mengintai ke depan. Dari ja-uh nampak dua orang wanita kembar sedang ber-jalan
dunia-kangouw.blogspot.com
mendatangi tempat itu, bergandeng tangan dengan dua orang pemuda. Kedua orang pemuda itu
kelihatan lesu dan loyo, mandah saja digandeng dan diajak berjalan ke manapun. Ketika mereka
sudah tiba agak dekat, Bwee Hong memegang ta-ngan Pek Lian. Nona inipun sudah mengenal kedua
orang pemuda itu. Yang seorang adalah kakak Bwee Hong, yaitu Chu Seng Kun, sedangkan pemuda
yang ke dua adalah A-hai, pemuda sinting yang aneh itu !
"Kakakku !" Bwee Hong berbisik, lirih
akan tetapi terdengar oleh empat orang kawannya.
"Ssttt !" Kwa Siok Eng memberi isyarat.
"Hati-hati, lebih baik kita membayangi mereka. Kelihatannya kakakmu itu keracunan, mungkin terbius
atau keracunan hebat karena racun peram-pas ingatan."
"Hemm, itukah kakakmu yang kaucari-cari itu?" tanya Yap-lojin
Kemudian langsung masuk ke dalam sebuah gedung, langsung memasuki ruangan belakang. Dua
orang pelayan wanita sibuk mengeluarkan hidangan di atas meja dan me-reka berempat lalu
berpesta-pora, makan minum Sepasang iblis itu dengan sikap manja dan genit beberapa kali
menyuguhkan arak kepada sepasang pemuda tampan, atau menyuapkan makanan de-ngan sumpit
mereka, dan kadang-kadang men-cumbu mereka. Melihat ini, kembali tiga orang dara itu menjadi
merah mukanya, akan tetapi seka-li ini Bwee Hong hampir tidak kuat bertahan dan ingin menyerbu
saja.
"Enci Hong, harap bersabar. Kita harus berha-ti-hati. Ilmu silat kedua orang iblis itu sih tidak perlu
dikhawatirkan, akan tetapi mereka itu licik sekali dan ilmu mereka tentang racun amat hebat. Apa
gunanya kita turun tangan menolong kakakmu kalau kemudian ternyata bahwa kakakmu keracun-an
hebat dan sukar ditolong nyawanya? Kedua orang pemuda itu jelas dalam keadaan tidak wajar.
Tentu ada sebabnya," bisik Siok Eng.
Pek Lian mengangguk-angguk. "Enci Hong. apa yang diucapkan Eng-moi itu memang benar. Kaulihat
saja A-hai itu. Dia adalah seorang yang wajar dan tidak mampu pura-pura, kini diapun kelihatan tidak
wajar dan seperti kehilangan akal. Aku yakin bahwa mereka berdua itu dalam keada-an terbius atau
terampas akal mereka oleh racun yang digunakan oleh dua iblis itu. Kita menanti saat yang baik."
Akan tetapi kini dua orang wanita kembar itu sudah bangkit dan menggandeng kedua orang pe-muda
memasuki sebuah kamar besar dan lima orang yang mengintai itu tidak dapat mengintai lagi.
Sebelum mereka tahu apa yang harus mereka la-kukan, tiba-tiba terdengar suara parau dari jauh.
"Siang-sumoi! Di mana kalian?"
Kemudian, terdengar langkah-langkah yang membuat lantai tergetar. Muncullah seorang rak-sasa
yang memasuki ruangan itu dan langsung ma-suk ke dalam kamar besar di mana dua orang iblis
cantik dan dua orang mangsanya tadi masuk.
"Kiong Lee, lihatlah apa yang terjadi di dalam, Biar kami menanti di sini dan baru turun tangan kalau
kauberi isyarat. Hati-hati, jangan semba-rangan bertindak."
"Baik, suhu !" Dan tubuh pemuda itu sudah mencelat ke atas, menerobos daun-daun pohon dan
hinggap di atas wuwungan rumah. Gerakan-nya gesit seperti terbang saja sehingga Bwee Hong yang
telah memiliki ginkang paling hebat itupun memandang kagum. Apa lagi Pek Lian yang paling rendah
tingkat kepandaiannya, memandang terbe-lalak. Siok Eng juga kagum memuji, "Bukan ma-in !"
"Dia memang anak yang baik dan patut dibang-gakan," kata sang guru sambil tersenyum. Yap-lojin
sengaja mengutus murid atau putera angkat-nya itu untuk melakukan pengintaian sendiri saja. Kalau
mereka berlima semua mengintai di atas wuwungan, tentu mudah diketahui lawan, dan se-lain itu,
yang terpenting baginya adalah agar tiga orang dara itu tidak usah melihat apa yang terjadi di dalam
kamar itu, yang diduganya tentulah adeg-an cabul yang tidak layak ditonton gadis-gadis seperti
mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiong Lee mengintai ke dalam. Dari sebuah lubang di genteng dia melihat Seng Kun, kakak Bwee
Hong itu, rebah di atas sebuah kursi panjang sambil minum arak. Pemuda lain yang bertubuh tinggi
tegap berwajah tampan gagah, yang oleh Pek Lian disebut bernama A-hai, nampak tertelungkup di
atas meja, agaknya sudah mabok dan tertidur.
Di atas tempat tidur rebah dua orang wanita kembar itu, dengan pakaian hampir telanjang. Me-reka itu
cekikikan, entah apa yang mereka bicara-kan dan tertawakan.
"Siang-sumoi, di mana kalian ?" seruan lantang dari Tiat-siang-kwi, ji-suheng mereka itu mem-buat
mereka cepat bangkit dari tempat tidur. Akan tetapi sebelum mereka sempat membetulkan pakai-an
dalam yang awut-awutan itu, si raksasa sudah muncul dari luar memasuki kamar besar itu.
"Ha-ha-ha, Siang-sumoi, kalian sungguh tidak manis kepadaku ! Berkali-kali kalian menghindar-kan
diri, menjauhi aku dan tidak mau melayaniku seperti biasa, padahal dahulu kalian suka saling berebut
untuk melayaniku. Hemm, sejak kalian merampas dua orang bocah itu dari tangan San-hek-houw dan
Sin-go Mo Kai Ci, kalian seperti sudah lupa diri. Ini namanya mendapatkan keka-sih baru melupakan
yang lama. Jangan begitu, Siang-sumoi, sekali ini kalian harus melayani aku, untuk mengobati rinduku
kepada kalian yang su-dah bertumpuk-tumpuk !" Raksasa itu lalu me-langkah maju mendekat.
Kini dua orang wanita itu sudah berdiri berdam-pingan menghadapi si raksasa. Mereka memang
cantik dan bertubuh denok menggairahkan dan nampaknya usia mereka antara tigapuluh sampai
tigapuluh lima tahun.
"Ji-suheng, pergilah dan jangan ganggu kami. Kami sedang lelah" kata seorang di antara mereka.
"Biar lain hari saja kami melayanimu, ji-su-heng!" kata yang ke dua.
"Ha-ha-ha, kalian lelah karena susah payah membujuk dua orang muda yang keras kepala itu, ya ?
Ha-ha, kenapa susah-susah membujuk rayu orang-orang yang tidak mau. sebaliknya menolak orang
yang mau dan bergairah besar seperti aku ? Sudahlah, Siang-sumoi, kita panggang saja daging
kedua orang muda ini. Dagingnya kalau dipang-gang tentu lezat dan akan kuajarkan kalian makan
daging manusia yang selain lezat juga dapat men-datangkan kekuatan. Dan mari kalian layani aku,
mari kita main-main sepuasnya seperti dahulu !" Raksasa itu mengulur tangan hendak merangkul
mereka.
Akan tetapi dua orang wanita itu mengelak dan kelihatan marah. "Ji-suheng, ingat bahwa engkau
berada di tempat kami. Pergilah dan jangan gang-gu kami. Ataukah kami harus menggunakan kekerasan
?"
"Ha-ha-ha, apakah kalian juga ingin aku menggunakan kekerasan untuk bermain-main de-ngan
kalian?" Raksasa itu menubruk ke depan,. akan tetapi kedua orang wanita itu bukan hanya mengelak,
bahkan kini menyerang dari kanan kiri dengan hebatnya !
Terjadilah perkelahian mati-matian dalam ka-mar itu ! Walaupun mereka itu masih merupakan sekutu
bahkan saudara-saudara seperguruan, na-mun karena mereka adalah datuk-datuk kaum sesat yang
batinnya dipenuhi oleh nafsu pementingan diri sendiri, mereka saling serang dengan sungguhsungguh
dan mati-matian. Mereka tidak saling mempergunakan racun karena maklum bahwa hal itu
tidak berguna mengingat bahwa mereka bertiga itu sudah kebal racun, maka mereka berkelahi dengan
mempergunakan ilmu silat saja. Dan dalam hal ilmu silat dan tenaga, sepasang wanita kembar
itu harus mengakui keunggulan si raksasa.
Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) tertawa-tawa ketika dia mulai dapat melukai dua orang sumoi-nya
dengan pukulan-pukulan, tendangan dan ka-dang-kadang cengkeraman tangannya. Dia mera-sa
gembira bukan main dapat menghajar dua orang wanita itu. Tubuh yang hanya tertutup pakaian
dalam yang banyak memperlihatkan kulit tubuh yang mulus itu menjadi bulan-bulan pukulan, tamparan
dan tendangan, nampak lecet-lecet dan matang biru babak-belur. Bahkan darah mulai mele-leh
dari mulut dan hidung mereka. Hal ini mem-buat si raksasa semakin bernafsu dan gembira.
Tentu saja Tiat-siang-kwi tidak pernah men-cinta dua orang wanita itu dalam arti yang sesungguhnya,
baik mencinta sebagai pria terhadap wanita maupun mencinta sebagai saudara
dunia-kangouw.blogspot.com
terhadap adik-adik seperguruannya. Yang ada hanya nafsu dan kalau dia kadang-kadang bermain
cinta de-ngan mereka, sepenuhnya yang menjadi pendorong hanyalah nafsu berahi yang memperalat
orang lain demi pemuasan diri. Kini, nafsu berahinya agaknya telah berobah menjadi nafsu
kekejaman dan kesa-disan melihat tubuh yang mulus itu mulai babak belur dan berdarah.
Chu Seng Kun yang tadinya rebah di atas kursi sambil minum arak, memandang dengan sikap tenang
dan tidak acuh, akan tetapi A-hai yang ta-dinya tertelungkup di atas meja dan seperti tidur
nyenyak, kini sudah bangkit berdiri, mukanya men-jadi pucat melihat penyiksaan sadis yang dilakukan
oleh si raksasa itu terhadap dua orang wanita yang kini hanya dapat melawan dengan lemah saja.
Mu-lut A-hai komat-kamit dan terdengar dia menge-luh panjang pendek.
"Ahhh jangan berkelahi ...... jangan mem bunuh, ahhh jangan menggunakan kekerasan untuk
menyiksa orang lain" Ketika dia melihat darah bercucuran dari hidung dan mulut sepasang iblis
kembar yang cantik itu, A-hai menutupi mu-kanya dengan kedua tangan dan dengan terhuyunghuyung
seperti orang mabok diapun sempoyongan menuju ke arah pintu keluar.
"Ha-ha-ha !" Si raksasa terbahak dan dengan dua kali jotosan, tubuh dua orang wanita itu terpelanting
roboh dengan napas senin-kemis. Melihat betapa dua orang lawannya sudah tidak mampu
melawan lagi, dan melihat A-hai menuju ke pintu, Tiat-siang-kwi membentak, "Heh, kelinci tolol,
kau hendak lari ke mana ? Engkau kasihan dan-sayang kepada mereka, ya ? Pantas mereka tidak
mau lagi dengan aku. Huh, lihat saja nanti kalau sudah kuganyang dagingmu dan kuminum darahmu!"
Melihat raksasa itu mengejar ke pintu, ke arah A-hai yang hendak pergi meninggalkan kamar itu,
Kiong Lee sudah bersiap-siap. Dia tidak mungkin membiarkan raksasa itu membunuh pemu-da yang
kelihatan lemah itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar siulan keras. Itulah siulan gurunya yang
memanggilnya ! Dia cepat menoleh dan meman-dang ke bawah. Kiranya di dalam gelap itu telah
terjadi pertempuran. Si Tikus Beracun dan Im-kan Siang-mo, suami isteri cabul itu, telah datang membawa
anak buah mereka. Melihat ini, Kiong Lee menjadi bingung, mana yang harus dibantunya lebih
dulu.
Terdengar suara gaduh di dalam kamar. Dia memandang dan dia mengerutkan alisnya. Ternya-ta dia
telah terlambat. Pemuda itu telah dihajar, terkena pukulan keras dari kepalan tangan yang besar dan
kuat dari Tiat-siang-kwi sehingga pe-muda itu terlempar menabrak meja, lalu jatuh tunggang-langgang
dengan darah mengucur dari luka di dahinya. Pemuda itu bangkit duduk, nam-pak nanar dan
tangannya meraba ke arah dahi yang terbuka.
Kembali terdengar siulan gurunya. Kiong Lee semakin bingung. Dia melihat betapa Tiat-siangkwi
sudah mencabut senjatanya, yaitu golok gergaji yang besar mengerikan. Agaknya raksasa itu benarbenar
hendak membantai dan menguliti pemuda itu. Pada saat itu, A-hai mengusap lukanya dan
ketika dia melihat tangannya penuh darah, juga mukanya menjadi berlepotan darah, terjadi perobahan
hebat pada dirinya. Matanya terbelalak, mencorong ganas, dan lidahnya terjulur menjilati darah yang
berlepotan di telapak tangannya sambil menggumam lirih, "Darah darah !" Melihat ini, Kiong Lee
terbelalak dan merasa kasihan sekali. Dia mengira bahwa tentu pukulan si raksasa tadi telah
mengakibatkan luka di dalam kepala pemuda itu sehingga dia mendadak menjadi gila!
Dan Tiat-siang-kwi sendiripun melihat ini dan si raksasa tertawa lalu menyimpan kembali goloknya.
"Ha-ha-ha, akan kubeset kulitmu dengan ku-ku jari tanganku saja, ha-ha-ha!" katanya dan tiba-tiba
kata-katanya terhenti dan matanya ter-belalak ketika dia melihat secara luar biasa sekali pemuda
yang menjilati darah dari telapak tangan-nya itu mendadak terbang! Ya, gerakan pemuda itu hanya
tepat disebut "terbang" karena tidak nampak dia membuat gerakan meloncat dan tahu tahu tubuhnya
sudah meluncur ke atas, ke depan dan menyerangnya. Kiong Lee sendiri terbelalak
melihat ini, sungguh penglihatan yang ajaib dan membuat dia merasa seperti dalam mimpi. Sementara
itu, Chu Seng Kun yang sedang minum arak itu masih enak-enak saja minum araknya da-lam
keadaan tidak sadar, terbuai dalam kemabokan mendalam.
"Haaaiiiittt!" Tiat-siang-kwi menangkis, bahkan menyambut serangan itu dengan hantaman tangannya
yang terbuka seperti cakar naga.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Blaarrrrr !" Dua tenaga raksasa bertemu dan seluruh ruangan sampai ke atas genteng ter
getar hebat. Akibatnya tubuh raksasa sebesar gajah itu terlempar melayang menghantam dinding
sehingga dinding kamar itu jebol dan tubuhnya yang besar itu terbanting keluar !
"Adouuhh ehhh ohhh,, !" Si raksasa merangkak bangun, memandang dengan muka pucat dan mata
terbelalak melalui lubang besar di dinding kepada pemuda itu, kemudian membalikkan tubuh dan lari
tunggang-langgang! A-hai, yang sudah berobah menjadi buas itu segera mengejar melalui lubang di
dinding.
Kiong Lee mengucek-ngucek kedua matanya, lalu berkejap-kejap, masih belum dapat percaya akan
penglihatannya sendiri. Raksasa itu demikian lihai dan kuat sehingga dua orang sumoinya juga tidak
kuat melawannya. Akan tetapi apa yang telah terjadi sehingga sekali hantam saja A-hai telah
membuat tubuhnya terlempar keras membobolkan dinding dan membuat raksasa itu lari ketakutan ?
Siulan gurunya untuk ketiga kalinya membuat dia sadar. Dia cepat meloncat turun. Kiranya gup runya
dan juga tiga orang dara perkasa itu berada dalam keadaan berbahaya! Gurunya dikeroyok oleh Tikus
Beracun dan puteranya, sedangkan tiga orang dara itu berkelahi melawan kakek dan ne-nek cabul.
Tentu saja mereka berempat akan dapat mengalahkan lawan-lawan itu dengan mudah da-lam
keadaan biasa. Akan tetapi, mereka berempat itu kewalahan, bukan oleh lawan melainkan oleh ribuan
ekor lebah putih yang beterbangan di atas kepala mereka dan menyerang mereka dengan ga-nas
membuat empat orang pendekar itu benar-be-nar kewalahan. Bukan hanya bahaya penyengatan
mereka yang beracun itu yang mengkhawatirkan, melainkan juga suara mereka yang berdengung seperti
gemuruh air terjun itu membuat Yap-lojin dan kawan-kawannya panik. Bahkan ketika Kiong Lee
menyerbu, pemuda itupun segera dikeroyok oleh ribuan ekor lebah putih.
"Lari ke bawah pohon itu !" Tiba-tiba Yap-lojin berteriak dan empat orang muda itu mengerti
maksudnya. Kalau mereka berada di bawah pohon yang rindang daunnya itu, tentu lebah-lebah ini
akan kurang leluasa beterbangan di atas kepala mereka, atau setidaknya tentu jumlah mereka berkurang
karena sempitnya ruangan di atas kepala mereka. Maka mereka lalu memutar sebelah tangan
di atas kepala sedangkan tangan lain dipergunakan untuk menghadapi serangan musuh, dan merekapun
akhirnya berhasil menyusup ke bawah pohon walaupun Tikus Beracun, puteranya dan sepasang
suami isteri iblis itu mencoba untuk menghalangi mereka.
Akan tetapi, hanya sebentar saja mereka merasa lega karena benar-benar ribuan lebah itu tidak
begitu leluasa menyerang mereka, karena tiba-tiba Pek Lian menjerit-jerit dan diikuti oleh dua orang
gadis lainnya ketika kaki mereka dirambati semut-semut merah yang buas sekali! Semut merah beracun
yang buas. Repotlah mereka sekarang harus melawan musuh yang cukup berbahaya sambil
menghalau lebah-lebah dan menepuk mati semut-semut yang merayap ke mana-mana !
"Lari ke dalam rumah !" Kembali Yap-lojin memberi komando dan merekapun berlari-larian memasuki
ruangan di mana A-hai dan Seng Kun berada. Biarpun mereka masih dikeroyok oleh empat orang iblis
yang dibantu lebah-lebah mere-ka, namun kini mereka tidak sesibuk tadi. Lebih dari tiga perempat
bagian dari pasukan lebah itu kebingungan, tertahan di antara daun-daun pohon tadi. Sedangkan
yang masih mengeroyok mereka di dalam rumah juga tidak dapat bergerak leluasa. Melihat betapa
kawan-kawannya tidak kerepotan lagi, Bwee Hong segera lari menghampiri Seng Kun.
"Koko !" katanya sambil merangkul pemuda itu. Akan tetapi Seng Kun hanya memandang
kepadanya dengan sinar mata bingung karena kakak ini tidak mengenal adiknya lagi. Bwee Hong
cepat memeriksa denyut nadi tangan kakaknya dan setelah melakukan pemeriksaan, iapun mengerti
bahwa kakaknya berada di dalam pengaruh obat bius perampas ingatan yang amat kuat.
Pada saat itu, tiba-tiba nampak berkelebatnya orang ke dalam ruangan itu. Ternyata dia adalah si
raksasa yang melarikan diri dikejar oleh A-hai.
"Dess !" Tubuh raksasa itu tunggang-langgang mengacaukan pertempuran yang sedang
berlangsung.
"Aduh aduhh tobat! Aku menyerah!" teriaknya dengan suara parau dan mulutnya muntahkan darah
segar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, agaknya A-hai sudah seperti kese-tanan. Dia mengeluarkan suara gerengan buas,
tubuhnya melayang ke atas dan jari-jari tangan-nya terbuka, mencengkeram ke arah kepala raksa-sa
itu. Melihat ini, Kiong Lee terkejut. Bagaimana-pun juga, dia tidak ingin melihat pemuda aneh itu
menjadi seorang pembunuh keji, membunuh lawan yang sudah mengaku kalah dan bertobat. Dia menyayangi
pemuda luar biasa itu, maka untuk men-cegah agar A-hai jangan menjadi pembunuh keji,
diapun cepat menggerakkan tubuhnya dan meng-gunakan tangannya memukul ke arah lengan A-hai
yang terulur hendak mencengkeram kepala Tiat-siang-kwi itu.
"Dukkk !" Dua lengan bertemu, keduanya terisi tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Akibatnya,
pukulan A-hai itu menyeleweng dan menghantam lantai di bawah, dekat kaki Tiat-siang-kwi.
"Blarrrr ...... !" Debu mengepul tinggi dan lan-tai itu berlubang besar. Semua orang terkejut dan
memandang kagum. Kiong Lee sendiri terkejut bukan main ketika lengannya bertemu dengan le-ngan
pemuda itu dan dia sudah meloncat ke bela-kang sejauh tiga meter. Kini dia berdiri tegak dan
memandang dengan mata bernyala. Hatinya terba-kar juga. Sebagai seorang pemuda perkasa, dia
te-lah menemukan tandingan. Kini kedua orang muda itu berdiri saling pandang, sama-sama tegap
dan gagah. Akan tetapi sepasang mata A-hai tidaklah sebuas tadi, agak meredup, agaknya ada
sesuatu yang meringankan kegilaannya yang kambuh itu.
Melihat ini, Pek Lian meninggalkan sepasang suami isteri tua yang masih bertanding melawan Siok
Eng dan iapun cepat menghampiri dua orang pemuda yang saling berhadapan dalam jarak tiga meter
seperti dua ekor ayam jantan yang hendak berlaga itu.
"Saudara Yap, dia tidak sadar akan apa
yang dilakukannya. Jangan layani dia!" Setelah berkata demikian, Pek Lian menghampiri A-hai.
"A-hai , lupakah engkau kepadaku ?"
A-hai memandang kepada Pek Liari, alisnya berkerut dan dia menggeleng kepalanya, akan teta-pi
walaupun dia tidak mengenal gadis ini, agaknya ada sesuatu yang membuat hatinya lunak dan pandang
matanya tidak seganas tadi.
Pada saat itu, tanpa diketahui orang lain, Tiat-siang-kwi yang nyaris melayang nyawanya kalau tidak
ditolong oleh Kiong Lee, tiba-tiba melompat dan menubruk Bwee Hong yang sedang memeriksa
keadaan kakaknya. Semua orang terkejut dan Pek Lian menjerit. Akan tetapi terlambat karena Bwee
Hong yang tidak mengira akan diserang itu, tahu-tahu telah dicengkeram bahu dan tangan kirinya. Ia
dibikin tidak berdaya dengan pukulan jari ta-ngan pada tengkuknya, dan kini kuku-kuku jari yang
runcing melengkung itu menusuk daging balut dan lengannya yang lembut. Darah mengalir ke-luar.
Sambil tertawa si raksasa itu menyeret Bwee Hong, dengan kasar dan buas, menjauhi Seng Kun
yang masih memandang dengan linglung. Sambil tertawa-tawa ganas, raksasa itu lalu mencengkeram
kaki Bwee Hong, diangkatnya dara itu dan iapun mengamuk, memutar-mutar tubuh Bwee Hong untuk
mencari dan membuka jalan keluar dan mem-bantu kawan-kawannya. Tentu saja Yap-lojin dan
teman-temannya menjadi khawatir dan cepat mundur, tidak berani menyerang karena takut kalaukalau
serangan mereka mengenai tubuh Bwee Hong yang diputar-putar itu. Mereka memandang
gelisah, tidak tahu bagaimana harus menghadapi lawan yang amat curang itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara geraman buas seperti keluar dari mulut seekor binatang liar.
Sepasang mata A-hai yang tadinya sudah mere-dup, berobah ganas lagi. Sepasang mata itu kini
memandang ke arah si raksasa dengan pandang mata buas, seperti mata harimau yang penuh nafsu
membunuh. Tubuhnya perlahan-lahan bergerak, berputar ke arah raksasa yang tertawa terbahakbahak
kegirangan melihat musuh-musuhnya yang tangguh itu menyingkir semua. Tiba-tiba, kedua
lengannya mengeluarkan uap putih dan begitu ta-ngan kirinya digerakkan ke depan seperti menusuk
ke arah kaki Tiat-siang-kwi, raksasa itu berteriak kesakitan dan kakinya terkulai, lututnya tertekuk. Dia
hanya merasa seolah-olah pahanya dihantam palu godam yang tidak nampak. Dia mencoba bangkit,
akan tetapi jatuh berlutut lagi. A-hai kembali menggerakkan tangan kanannya, kini mem-buat gerakan
membacok ke arah pundak. Kembali raksasa itu berteriak kesakitan dan lengan kanan-nya terkulai.
Tentu saja Bwee Hong terlepas jatuh ke lantai dan Siok Eng cepat menyambarnya dan memulihkan
jalan darahnya yang tadi tertotok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Yap-lojin yang sejak tadi meng-ikuti semua gerakan A-hai, ternganga dan tanpa
disadarinya dia menggeleng-geleng kepala dan
berkata, "Thai-kek Sin-ciang !"
Kiong Lee terkejut. Yang disebut gurunya itu adalah ilmu pukulan yang kabarnya hanya dimiliki dewa
saja, yang hanya terdapat dalam dongeng. Akan tetapi, melihat apa yang dilakukan oleh A-hai tadi,
dia percaya bahwa ilmu pukulan jarak ja-uh itu sungguh amat luar biasa.
Sikap A-hai sungguh luar biasa sekali. Setelah si raksasa roboh, kebuasannyapun lenyap dan kini dia
termangu-mangu memandang kepada Bwee Hong yang juga sudah bangkit berdiri dan meman-dang
kepadanya setelah terbebas dari totokan. Dan tiba-tiba saja, A-hai menangis ! Air matanya bercucuran
dan dia memandang kepada Bwee Hong melalui air matanya, kemudian diapun berlari ke
depan, menubruk kedua kaki itu dan menangis.
"Ibu ....... ibu ......!" A-hai meratap sambil
merangkul kedua kaki Bwee Hong. Sejenak suasa-na menjadi hening, akan tetapi melihat robohnya
adiknya yang ke dua, Te-tok-ci lalu mengeluar-kan aba-aba lagi dan semua anak buahnya berge-rak
lagi mengeroyok. Pertempuran pecah lagi dan kini pihak tuan rumah ditambah dengan dua orang
wanita kembar yang agaknya sudah pulih kesehat-annya dan sudah berpakaian. Yap-lojin memimpin
kawan-kawannya untuk melakukan perlawanan. Hanya A-hai dan Bwee Hong yang tidak
memperdulikan itu semua. A-hai masih merangkul kedua kaki dara itu sambil menangis.
Sejenak Bwee Hong menjadi bengong termangumangu. Akan tetapi, melihat penolongnya yang
memiliki kesaktian luar biasa itu kini berlutut di depannya sambil memeluk kedua kakinya dan menangis,
Bwee Hong membiarkannya saja. Sedikit banyak ia sudah mendengar dari Pek Lian tentang
pemuda aneh ini yang agaknya mengalami guncangan jiwa yang amat hebat. Melihat keadaan
pemuda ini, timbul rasa iba yang amat mendalam di hati Bwee Hong. Tak terasa lagi kedua tangannya
menyentuh dan membelai rambut kepala A-hai yang awut-awutan itu dan dengan suara halus ia mem
bujuk, "Jangan menangis!" Akan tetapi ia sendiri tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air
mata dari sepasang matanya karena terha-ru dan kasihan.
Mendengar suara halus ini, A-hai mengangkat mukanya. Air mata gadis itu mengalir turun dan
menetes dari wajahnya yang menunduk, jatuh me-ngenai dahi A-hai, mengalir turun bercampur dengan
air mata pemuda itu. Tiba-tiba tubuh A-hai bergetar. Agaknya ada suatu pergolakan jiwa ter-jadi
di bawah sadarnya dan tiba-tiba saja tangis-nya meledak, terisak-isak tak terkendalikan lagi.
Hati Bwee Hong semakin terharu. Ia merasa betapa pemuda itu merangkul kakinya sambil me-nangis
sesenggukan, membasahi sepatunya dengan air mata yang hangat. "Sudahlah harap jangan
menangis" bujuknya akan tetapi ia sehdiripun menangis.
Menghadapi peristiwa ini, semua orang menjadi bengong. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
berdengung nyaring, bergemuruh datang dari luar. Itulah suara pasukan lebah, pikir Pek Lian dengan
hati ngeri.
"Yap-locianpwe, kita harus cepat pergi dan sini !" katanya.
"Benar," kata Yap-lojin setelah tadi dia sendiri termangu menyaksikan hal-hal yang luar biasa itu.
"Kiong Lee, engkau mengendong Chu Seng Kun !"
Kiong Lee juga melihat datangnya ancaman ba-haya. Agaknya pihak lawan yang tadi mengundur-kan
diri karena merasa kalah kuat, kini telah me-nyusun kembali kekuatannya dan hendak datang
menyerbu. Maka diapun cepat menggendong Chu Seng Kun yang selain kehilangan ingatannya, juga
kelihatan amat lemah. A-hai kini tidak kelihatan lemah lagi walaupun dia juga seperti kebingungan dan
bahkan tidak mengenal Pek Lian. Akan tetapi, begitu Bwee Hong mengulurkan tangan dan berka-ta,
"A-hai, mari kita pergi dari sini." Diapun bang-kit dan kelihatan girang, seperti seorang anak kecil yang
diajak pesiar oleh ibunya.
"Mari ikut aku !" Pek Lian berkata cepat dan segera ia membawa rombongan itu melalui tero-wongan
di bawah laut yang menuju ke pulau Si
dunia-kangouw.blogspot.com
Kelabang Hijau, tokoh ke lima dari para penghuni Ban-kwi-to itu. Selagi mereka berlari-lari me-masuki
terowongan, terdengar suara Te-tok-ci dan anak buahnya mengejar dari belakang.
Akan tetapi, agaknya para pengejar itu juga ti-dak terlalu berani sehingga pengejaran mereka itu
dilakukan dari jarak jauh saja sehingga memudah-kan Yap-lojin dan rombongannya untuk melarikan
diri. Setelah mereka keluar dari mulut terowongan dan tiba di pulau tempat kediaman Kelabang Hi-jau,
Yap-lojin dibantu Kiong Lee lalu menggu-nakan tenaga sinkang mereka menggempur batu karang di
mulut terowongan sehingga batu-batu itu terbongkar dan terowongan itu. tertutup !
"Inikah pulau di mana puteraku berada ?" tanya Yap-lojin.
"Benar, locianpwe. Inilah tempat tinggal Thian-te Tok-ong atau Ceng-ya-kang Si Kelabang Hi-jau
tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu," jawab Pek Lian. Mereka lalu memasuki bangunan yang ber-ada di
tengah pulau. Akan tetapi, ternyata rumah itu kosong dan biarpun mereka telah mencari ke seluruh
pulau itu, namun mereka tidak dapat me-nemukan bayangan Si Kelabang Hijau maupun ba-yangan
Yap Kim. Tentu saja Yap-lojin dan kawan-kawannya menjadi kecewa sekali.
"Tentu iblis itu telah tahu akan kedatangan kita maka dia sudah lebih dahulu melarikan diri meng-ajak
putera locianpwe," kata Pek Lian.
Pada saat itu, terdengar bunyi terompet kapal ditiup nyaring. Mendengar ini, Kwa Siok Eng terbelalak.
"Ah, itu suara kapalku berada dalam ba-haya. Dayang-dayangku memanggil agar aku segera
kembali ke perahu kami."
Rombongan itu lalu berlari-lari ke arah di mana perahu besar Tai-bong-pai itu disembunyikan. Seperti
kita ketahui, ketika Siok Eng dan Pek Lian meninggalkan perahu, para dayang atau anak bu-ah Taibong-
pai itu oleh Siok Eng diperintahkan untuk menunggu dan bersembunyi di situ sampai ia kembali.
Ketika rombongan ini sedang berlari menuju ke pantai di mana perahu itu disembunyikan, di jalan
mereka bertemu dengan seorang anak buah Tai-bong-pai yang terhuyung-huyung dan mukanya
kehijauan. "Siocia perahu kita dirampas seorang gendut dan seorang pemuda" dan dayang itu
terguling dan terkulai, tewas.
"Si Kelabang Hijau!" Siok Eng berseru marah melihat tewasnya anak buahnya dengan muka
kehijauan itu. Ia tahu bahwa itulah akibat pukulan yang mengandung racun kelabang hijau yang amat
ganas. Mereka lalu mempercepat lari mereka ke arah pantai dan benar saja, di atas pe-rahu besar itu
nampak belasan orang anggauta Tai-bong-pai kewalahan menandingi seorang kakek gemuk pendek
dan berkepala gundul yang lihai sekali.
"Iblis keparat, berani engkau mengacau orang-orang Tai-bong-pai ?" Siok Eng membentak ma-rah
dan ia mendahului yang lain, menerjang ke atas perahu dan langsung menyerang kakek gundul
pendek itu.
"Plak-plak-plakk !" Tiga kali tamparan Siok Eng dapat ditangkis oleh Si Kelabang Hijau akan tetapi
kakek itu repot juga menghadapi kecepatan gerakan dara Tai-bong-pai ini.
"Wah-wah-wah, galaknya !" Dia berteriak-teriak dan berloncatan ke belakang. "Yapkongcu,
bantulah !"
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari dalam bilik perahu dan seorang pemuda menerjang Siok
Eng untuk membantu kakek gendut pendek itu. Akan tetapi dari samping, Kiong Lee sudah meloncat
dan menangkap tangan pemuda itu sam bil berseru, "Sute !!"
Pemuda tampan itu menoleh dan terkejut bukan main melihat Kiong Lee. "Eh, toa-suheng!" te-riaknya
girang.
"Sute, lihat siapa yang datang !" Kiong Lee me-nunjuk ke kiri dan ketika Yap Kim menoleh, dia makin
terkejut dan girang.
"Ayah !" teriaknya sambil menghampiri
dunia-kangouw.blogspot.com
ayahnya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. Yap-lojin mengelus jenggotnya, dan
alisnya berkerut. Hatinya lega melihat puteranya dalam keadaan sehat dan selamat, akan tetapi
perasaannya tidak sedap melihat puteranya itu bersa-habat dengan iblis macam Kelabang Hijau,
bahkan tadi dilihatnya puteranya hendak membantu kakek iblis itu menghadapi Siok Eng.
"Hemmm, bagus sekali! Engkau bergaul de ngan segala macam iblis dan sekarang engkau malah
hendak membantu iblis Kelabang Hijau ini mela-wan kami ? Boleh, majulah dan lawanlah aku!" bentak
Yap-lojin dengan muka merah karena marah.
"Tapi tapi Tok-ong itu baik sekali, ayah!" Yap Kim berkata dengan muka pucat mendengar ucapan
ayahnya yang mengandung ke-marahan itu.
"Hemm , dia baik ? Orang yang mengatakan bahwa Tujuh Iblis penghuni Ban-kwi-to baik hanyalah
orang jahat, dan dia adalah tokoh ke lima dari Tujuh Iblis itu !"
"Tapi tahukah ayah ketika aku terluka oleh Raja Kelelawar dan hampir mati, kalau tidak ada Tokong
yang menolongku, tentu sekarang aku hanya tinggal nama saja. Aku berhutang nyawa padanya,
ayah, dan kulihat selama ini dia bukan orang jahat. Perahu ini milik orang-orang Tai-bong-pai,
bukankah perkumpulan itu termasuk perkumpulan kaum sesat, ayah ? Kenapa ayah dan suheng
malah berpihak kepada orang-orang Tai-bong-pai ?'"
Yap-lojin adalah seorang gagah perkasa yang berwatak adil. Mendengar ucapan puteranya itu, dia
termangu-mangu. Memang benar ucapan pu-teranya yang terakhir itu. Tai-bong-pai terkenal sebagai
perkumpulan hitam yang sesat, akan tetapi karena Siok Eng, puteri ketua Tai-bong-pai baik, diapun
menganggapnya baik. Agaknya demikian pula dengan puteranya, yaitu menganggap baik kepada
Thian-te Tok-ong karena Tok-ong bersi-kap baik, bahkan telah menyelamatkan nyawanya.
Sesungguhnya, baik atau buruk hanyalah pendapat yang berdasarkan penilaian dan penilaian tentu
saja amat pribadi, tergantung ke aku-an masing-masing. Dia menoleh dan melihat betapa Kelabang
Hijau terdesak hebat karena sekarang Kiong Lee membantu Siok Eng.
"Kiong Lee, bebaskan dia!" katanya. Mende-ngar bentakan ini, Kiong Lee melompat mundur, dan Siok
Eng juga menghentikan penyerangannya dan memandang dengan ragu.
Sementara itu, Thian-te Tok-ong meloncat turun dari perahu menghadapi Yap-lojin sambil tertawatawa.
"Ha-ha-ha-ha. Yap-lojin tidak suka kepadaku, hal itu tidaklah aneh ! Akupun ti-dak suka
kepadamu, dan tidak suka kepada para pendekar karena mereka itu adalah orang-orang sombong
sok suci ! Kami memang golongan jahat, akan tetapi setidaknya kami tidaklah berpura-pura suci.
Tangan kami memang kotor dan kami mengakuinya, tidak menutupinya dengan sarung tangan bersih!
Ha-ha-ha, terus terang saja, aku suka kepada Yap-kongcu karena dia tidaklah pura-pura suci seperti
para pendekar."
"Thian-te Tok-ong, Tujuh Iblis Ban-kwi-to sudah terkenal dengan kejahatannya. Orang yang suka
bermain dengan racun seperti engkau, mana bisa dibilang baik ?"
"Bagus! Bagus ! Memang sejak kecil aku sudah diajar bermain dengan segala macam binatang
beracun. Dan binatang-binatang beracun itu lebih baik dari pada manusia. Setidaknya, mereka itu
mempergunakan racun mereka untuk membela diri dan mereka tidak pura-pura. Sebaliknya, sikap
gagah dan baik, sikap manis dari manusia menyem-bunyikan racun yang lebih jahat dari pada
binatang beracun."
Siok Eng termangu mendengar ucapan itu, ucap-an yang sering kali didengarnya di antara para tokoh
Tai-bong-pai sendiri! Ucapan yang me-ngandung kepahitan hati orang-orang yang di-anggap
jahat dan kotor, dipandang dengan sinar mata menghina oleh para tokoh kang-ouw yang
menganggap diri mereka pendekar-pendekar bu-diman dan baik. Ia sendiri tidak setuju dengan tindakan-
tindakan kasar dan bengis dari orang-orang Tai-bong-pai, namun kadang-kadang terasa pu-la
olehnya betapa kaumnya itu dikesampingkan dan bahkan kadang-kadang dihimpit dan disudutkan
oleh orang-orang yang menganggap diri me-reka "baik".
Sementara itu, Yap-lojin merasa penasaran men-dengar kata-kata tokoh sesat itu yang jelas menyerang
pihak pendekar. "Tok-ong, apakah eng-kau hendak mengatakan bahwa kaum sesat lebih
benar dari pada para pendekar ? Kalian adalah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, mengandalkan
kekerasan dan bertindak sewenang-we-nang, sedangkan kami para pendekar mempergudunia-
kangouw.blogspot.com
nakan kepandaian untuk menentang kejahatan dan membela pihak lemah yang tertindas. Bukankah
sudah jelas adanya garis pemisah antara kita ?"
"Ha-ha-ha, Yap-lojin, apa yang berbeda ? Kalau kami mempergunakan kekerasan dan membu-nuh,
kalian para pendekar juga menggunakan keke-rasan dan membunuh. Apa bedanya ? Dan garis
antara baik dan buruk, di mana letaknya ? Pula, apakah engkau hendak melupakan bahwa tanpa
adanya kami, kalian tidak akan ada ? Tanpa ada-nya Im takkan ada Yang, tanpa adanya buruk takkan
ada baik, tanpa adanya kanan takkan ada kiri ! Kekayaan dapat dinikmati hanya karena adanya
kemiskinan ! Kesehatan dapat dinikmati karena adanya penyakit, dan apa artinya ahli pengobatan
tanpa adanya racun-racun dan penyakit-penyakit? Ha-ha-ha, dipikir lebih mendalam, kalian para
pendekar yang suka sok suci ini sepatutnya berte-rima kasih kepada kami, karena sesungguhnya
kamilah yang mengangkat nama kalian sehingga di-puji-puji sebagai pendekar !"
Yap-lojin termangu bingung. Orang ini memi-liki kepandaian bicara yang luar biasa, pikirnya. Pantas
puteranya mudah terpikat. Dia menoleh kepada kawan-kawannya yang juga termangu bi-ngung
mendengar ucapan-ucapan yang langsung menyentuh hati mereka itu. Hanya A-hai seorang-lah yang
tidak acuh, juga Chu Seng Kun yang ma-sih "linglung".
Apa yang diucapkan oleh Thian-te Tok-ong atau Ceng-ya-kang Si Kelabang Hijau secara ugal-ugalan
itu memang sesungguhnya mengan-dung kenyataan-kenyataan yang patut untuk kita pikirkan. Di
dunia ini kehidupan manusia sudah terbelenggu dengan kuatnya oleh dua hal yang se-lalu
bertentangan. Baik-buruk, senang-susah, ka-ya-miskin, pintar-bodoh, sorga-neraka dan se-lanjutnya.
Keduanya merupakan lingkaran setan yang saling kait-mengait mempermainkan batin manusia
sehingga setiap saat terjadilah konflik da-lam batin antara yang satu dengan yang lain. Di antara
semua dualisme itu yang terbesar menggun-cang dunia dan manusia adalah perang dan damai.
Karena adanya perang orang rindu akan perdamai-an, lalu menggunakan segala cara, kalau perlu dengan
cara berperang pula, untuk mencapai keda-maian ! Padahal, kalau tidak ada perang, tidak
seorangpun membutuhkan damai! Jadi, bukan
damai yang perlu dikejar-kejar, melainkan perang yang perlu dihentikan atau dibuang jauh-jauh.
Demikian pula dengan golongan yang baik dan yang jahat. Kaum pendekar yang "baik" ini menentang
kaum yang dianggap jahat, kalau perlu dengan jalan kekerasan, bahkan membunuh. Akan
tetapi, mungkinkah kejahatan dapat dibunuh atau dibasmi ? Orangnya tentu dapat dibunuh atau disiksa,
akan tetapi kejahatan itu letaknya bukan di luar atau di tubuh, melainkan di dalam batin! Jadi, yang
diobati haruslah batinnya kalau kita ingin melihat kejahatan lenyap. Kejahatan seperti penya-kit, harus
kita usahakan agar penyakitnya itu le-nyap.
Bagaimanapun juga, setelah kita terseret ke da-lam kebudayaan seperti sekarang ini, di mana kita
terbelenggu oleh dualisme-dualisme yang saling berlawanan, kita dapat melihat bahwa segala hal-hal
negatip ini bukannya tidak ada manfaatnya ! Karena adanya kebodohan maka timbul gairah un-tuk
belajar. Karena ada kemiskinan maka timbul perjuangan untuk memperoleh kemajuan dalam materi.
Karena ada ancaman neraka maka timbul usaha untuk memperoleh sorga, dan sebagainya. Dan
apakah artinya kekayaan kalau tidak ada ke-miskinan ? Kalau kita semua manusia di seluruh dunia ini
kaya, siapakah yang akan dapat menik-mati kekayaan lagi ? Kalau tidak ada kebodohan, apa lagi
artinya menjadi orang pintar ? Bahkan setelah kita memasuki lingkaran setan dalam kebuda-yaan kita
sekarang ini, jangankan orang-orang ma-cam Tujuh Iblis itu, bahkan Setan sendiripun bukan tidak ada
manfaatnya! Adanya Setan menjadi pendorong bagi manusia untuk berpaling dan men-cari Tuhan!
Andaikata tidak ada Setan, andaikata tidak ada dosa, mungkinkah manusia mencari Tu-han lagi ?
Untuk apa ?
Karena ucapan Si Kelabang Hijau itu menda-tangkan kebingungan, maka Yap-lojin lalu berseru
kepada puteranya, "Kim-ji, katakan saja, engkau hendak ikut ayahmu pulang ataukah engkau akan
tinggal bersama dia selamanya ? Jawab !"
Yap Kim kebingungan. Selama dia berkelana bersama Kelabang Hijau, dia merasakan kehidupan
yang lain. Dia merasa bebas dan tidak ada ikatan apapun, tidak ada penghalang-penghalang berupa
peraturan-peraturan dan pantangan-pantangan, hidup bebas seperti burung di udara, melakukan apa
saja yang dibisikkan oleh hatinya, bicara apa saja yang dikehendaki hatinya. Akan tetapi, sejak kecil
dia digembleng oleh ayahnya untuk menjadi pendekar dan dia tahu bahwa jawabannya ini akan
merupakan keputusan. Dan bagaimanapun senang-nya hidup seperti ketika dia berkelana dengan Kedunia-
kangouw.blogspot.com
labang Hijau, tidak mungkin dia dapat melepaskan ayahnya begitu saja.
"Aku ikut bersama ayah," jawabnya lirih.
"Kalau begitu, mari kita pergi dari neraka ini! kata Yap-lojin.
"Silahkan naik ke perahu kami, locianpwe," ka-ta Siok Eng dan semua orang naik ke dalam perahu
besar itu. Dayung digerakkan, layar dipasang dan perahu itu meninggalkan pantai pulau diiringi suara
ketawa bergelak-gelak oleh. Kelabang Hijau yang berdiri di pantai dengan kedua kaki terpentang lebar
dan kedua tangan di pinggang. Tak seorangpun di atas perahu itu melihat betapa kedua mata
kakek pendek gendut itu menjadi basah ketika dia melihat Yap Kim ikut terbawa pergi oleh perahu itu.
Perahu itu melaju dengan cepatnya. Layar ter-kembang penuh didorong angin. Semua orang me-rasa
lega hatinya. Ho Pek Lian bergidik, merasa ngeri hatinya.
"Ih, aku tidak mau lagi pergi ke pulau-pulau itu. Benar-benar mengerikan sekali! Heii, kenapa gatal
amat ?" Iapun menggaruk punggung tangan-nya dan melihat bercak-bercak putih. Teriakan-nya
disusul oleh teriakan Siok Eng dan Bwee Hong.
"Celaka, ini racun lebah putih itu !" seru Siok Eng.
"Saya saya kedinginan" kata seorang anggauta Tai-bong-pai kepada Siok Eng.
"Saya juga, nona" kata yang ke dua dan disusul oleh yang ke tiga. Muka mereka pucat ke-hijauan
dan tubuh mereka menggigil.
"Hemm, itu tentu pukulan Si Kelabang Hijau, pukulan beracun kelabang hijau!" kata pula Siok Eng.
"Hemm, kakiku juga terasa panas dan gatal ga-tal !" Kiong Lee juga berkata dan ketika dia menyingkap
celananya, kakinya nampak ada totol-to-tol merah.
"Gigitan semut merah !" seru Siok Eng. "Racun-nya juga jahat sekali!"
Semua orang kebingungan, akan tetapi Yap-lo-jin tetap tenang dan tiba-tiba dia bertanya kepada Pek
Lian dan Siok Eng, "Bukankah kalian masih mempunyai obat penawar racun cairan kuning dari Bankwi-
to itu ?"
"Aihh, benar ! Kenapa kita lupakan obat
itu, adik Eng ?" teriak Pek Lian yang memegang lengan Siok Eng. Puteri ketua Tai-bong-pai ini-pun
menjadi girang dan cepat mengeluarkan sisa obat cairan kuning yang diambilnya dari kamar Te-tok-ci
itu. Semua orang yang keracunan diberi obat ini dan sungguh amat luar biasa sekali! Agak-nya
memang obat itu khusus dibuat oleh Te-tok-ci untuk melawan segala macam racun yang ada di Bankwi-
to, karena begitu memakai obat ini, se-mua orang sembuh. Bahkan Chu Seng Kun dan A-hai juga
sembuh dari kehilangan ingatan mereka, walaupun tubuh mereka, terutama Seng Kun, masih terasa
lemah !
Begitu keduanya diberi minum obat ini, kedua orang pemuda ini segera tertidur pulas setengah
pingsan, demikian pula yang lain-lain karena ke-rasnya obat itu bekerja. Orang terakhir yang siu-man
dari pingsannya adalah A-hai dan Seng Kun Akan tetapi karena A-hai memang sudah lebih dulu
linglung, maka ketika sadar diapun masih tetap lupa segala, kecuali Pek Lian dan Bwee Hong! Begitu
melihat Pek Lian, dia tersenyum dan cepat bangkit berdiri, memandang dengan wajah berseri.
"Engkau nona Pek Lian !" katanya girang. Pek Lian juga memandang dengan tersenyum manis.
"A-hai, engkau sudah sembuh !"
Akan tetapi A-hai memandang ke sekeliling dan ketika dia melihat Bwee Hong, terdengar se-ruan
heran dan kaget di kerongkongannya dan dia-pun melangkah maju menghampiri gadis ini, memandang
bengong lalu berkata bingung, "Nona .... nona ?"
Bwee Hong tersenyum, mengangguk. "Namaku Chu Bwee Hong."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Chu Bwee Hong, Chu Bwee Hong"
A-hai berulang-ulang menyebut nama itu lirih-lirih seperti seorang anak kecil sedang menghafal tiga
buah huruf baru. Semua orang memandang kepadanya dengan hati kasihan sekali, akan tetapi,
sungguh Pek Lian merasa heran kepada diri sendiri mengapa sikap A-hai itu mendatangkan rasa
tidak enak di hatinya! Ia merasa seolah-olah tidak di-perdulikan lagi oleh A-hai dan pemuda itu kini
duduk dekat Bwee Hong seperti seekor anjing yang tidak mau jauh dari majikannya! Ia merasa iri
ataukah cemburu ? Ia sendiri tidak tahu, akan tetapi yang jelas, ia merasa betapa hatinya tidak sedap.
Seng Kun sadar paling akhir karena dialah yang paling banyak terkena racun dari Kepulauan Ban-kwito.
Begitu sadar dia bangkit duduk dan terhe-ran-heran melihat semua orang berkumpul di da-lam
perahu, merubungnya. Akan tetapi, wajahnya berseri gembira ketika dia melihat adiknya.
"Hong-moi !"
"Koko !" Dara yang cantik jelita itu membiarkan dirinya dirangkul oleh kakaknya.
"Nona Ho ! Dan engkau saudara A-hai! Syu-kurlah kalian juga selamat!" kata Seng Kun. Akan tetapi
dia melihat Yap-lojin, Kiong-Lee dan juga Siok Eng. Alisnya berkerut memandang Yap-lojin dan Kiong
Lee yang tak dikenalnya.
"Koko, ini adalah Yap-locianpwe, ketua Thian-kiam-pang dan ini adalah saudara Yap Kiong Lee,
putera beliau. Mereka berdua telah menyelamat-kan aku dari ancaman bahaya tenggelam di lautan."
"Ah, sungguh besar budi ji-wi yang telah me-nyelamatkan nyawa adikku," ' kata Seng Kun yang cepatcepat
menjura dengan hormat. Tentu saja Yap-lojin dan muridnya cepat membalas penghor-matan
itu.
Pada saat itu, terdengar suara halus, "In-kong, kami menghaturkan selamat dan hormat."
Seng Kun memandang dan dia melihat seorang gadis cantik bersama semua anak buah perahu yang
terdiri dari wanita-wanita cantik, berlutut di de-pannya ! Seng Kun mengerutkan alisnya dan dia tidak
ingat lagi kepada gadis cantik itu.
"Koko, ia adalah Kwa Siok Eng, puteri dari ke-tua Tai-'bong-pai yang pernah kita obati dahulu itu."
"Ahhh !" Seng Kun teringat dan kedua
mukanya menjadi merah. Dia bukan hanya merasa jengah teringat kepada dara yang hampir mati,
yang diobati olehnya dan oleh ayah bundanya yang ter-nyata kemudian hanyalah paman kakeknya
suami isteri, dan pengobatan itulah yang mengakibatkan matinya dua orang tua itu. Dia merasa
jengah mengingat betapa gadis ini dahulu telanjang bulat di depan matanya ketika diobati, akan tetapi
di samping rasa malu-malu ini, juga dia teringat akan kematian paman kakek dan isterinya itu, yang
su-dah dianggapnya sebagai orang tua sendiri.
"In-kong (tuan penolong), perkenankanlah saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan in-kong
dahulu, yang in-kong lakukan dengan pe-ngorbanan yang teramat besar."
Seng Kun menggerakkan tangan menolak. "Su-dahlah, nona, harap jangan memakai banyak peraturan
dan sungkan-sungkan. Kita berada di an-tara teman sendiri dan sudah seharusnyalah kalau
selagi hidup kita saling bantu-membantu."
Sikap yang sederhana dan halus dari pemuda ini mendatangkan rasa kagum dalam hati Yap-lojin
dan muridnya, apa lagi mengingat bahwa pemuda inilah ahli waris utama dari ilmu-ilmu sakti yang
dimiliki oleh mendiang Raja Tabib Sakti!
Kalau semua orang ikut terharu menyaksikan adegan ini, adalah A-hai yang bersikap tidak per-duli,
bahkan seperti orang bingung dia hanya duduk memandang wajah Bwee Hong yang cantik jelita itu,
membuat Bwee Hong kadang-kadang tersipu malu, akan tetapi membuat hati Pek Lian merasa
semakin tidak enak saja.
Malam itu lewat tanpa peristiwa yang berarti. Perahu mereka melaju, cepat sekali menuju ke ba-rat,
ke arah daratan besar. Karena lautan cukup tenang dan angin kuat, perahu mereka dapat mela-ju
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan amat cepatnya. Setelah berlayar sehari lagi, menjelang senja mereka sudah dapat melihat
daratan besar, merupakan garis hitam di barat. Tentu saja hati mereka merasa gembira setelah lama
mereka merantau di lautan ganas dan di anta-ra pulau-pulau yang mengerikan. Hanya dua orang
yang nampak tidak gembira, yaitu Yap Kim dan Pek Lian. Agaknya pemuda putera tunggal ketua
Thian-kiam-pang itu merasa kehilangan kebebas-annya setelah dia kembali ke "dunia sopan" di mana
dia terikat oleh peraturan-peraturan, tidak seperti ketika dia berada di dunianya Si Kelabang Hijau
yang serba bebas. Sedangkan Pek Lian me-rasa gelisah memikirkan ayahnya yang juga belum dapat
ditemukan, walaupun ia telah berkumpul kembali dengan Seng Kun dan Bwee Hong.
"Heiiii! Perahu besar di depan !" Tibatiba
terdengar teriakan wanita penjaga di atas. Semua orang keluar dari bilik dan memandang
kedepan. Benar saja, remang-remang nampak sebuah perahu besar di depan, bahkan kini perahu
besar itu mulai menyalakan lampu lampunya yang cuku banyak.
"Eh, itu perahu Mongol yang dipimpin orang-orang bermuka merah dan berambut putih itu!" Tiba-tiba
Pek Lian berseru.
"Benar sekali, adik Lian!" seru Bwee Hong.
"Di mana engkau mendengar suara ayahmu itu, nona Ho ?" tanya Seng Kun dengan hati tertarik. Dia
sudah mendengar dari Pek Lian dan Bwee Hong tentang pengalaman mereka ketika berpisah
darinya.
"Kalau begitu, kita harus menolong Menteri Ho !" kata Yap-lojin yang juga berjiwa gagah dan sudah
lama kagum kepada menteri itu. Sejak da-hulu dia memang tidak suka kepada keluarga kaisar, dan
inilah sebabnya mengapa dia sampai cekcok dengan isterinya karena isterinya, bibi dari kaisar,
mengajaknya menghambakan diri kepada kaisar. Sejak dahulu Yap-lojin berpihak kepada para
pendekar dan orang gagah yang menentang kelaliman, maka kini mendengar bahwa mungkin Menteri
Ho yang dikaguminya itu tertawan musuh dan berada di perahu besar di depan, timbul sema-ngatnya
untuk menolong menteri itu.
"Kita kejar perahu di depan !" katanya penuh semangat dan sikapnya ini tentu saja menggirang-kan
hati Seng Kun, Bwee Hong, dan Pek Lian yang memang bertugas untuk menyelamatkan Menteri Ho.
Layar cadangan dipasang dan perahu melaju cepat menyusul perahu besar di depan.
"Ayah, aku mendengar bahwa orang-orang dari utara itu bukan orang Mongol asli dan mereka adalah
ahli-ahli di lautan. Kulihat perahu besar itu tentu kuat sekali dan banyak anak buahnya. Perahu kecil
kita dengan tenaga kita yang sedikit ini mana dapat menang ? Pula, perlu apa kita men-campuri
urusan orang lain dan menanam permu-suhan dengan mereka ?" Yap Kim berkata.
Mendengar ucapan putera kandungnya ini, se-pasang mata Yap-lojin melotot. "Apakah engkau tidak
tahu siapa adanya Menteri Ho itu ? Dia ada-lah seorang patriot besar, seorang menteri yang setia dan
bersih, jujur, berani menentang kelaliman kaisar dan pembela rakyat jelata. Dan kau bilang
mencampuri urusan orang lain kalau kita kini hen-dak menyelamatkannya dari tangan musuh-musuhnya
yang menawannya ? Sungguh ucapan yang tolol sekali. Tolol!"
Yap Kini menarik napas panjang. "Maaf, ayah. Bukan maksudku untuk bersikap pengecut dan tentu
aku akan membantu ayah dengan taruhan nyawa. Hanya kupikir, bodoh sekali dan sama se-kali
bukan gagah kalau nekat menyerbu lawan yang jauh lebih kuat. Dan agaknya di dunia ini terlalu
banyak terjadi permusuhan karena pencampurta-nganan pihak ke tiga."
Sang ayah tidak membantah lagi walaupun amat marah karena ketika itu, perahu mereka telah berdekatan
dengan perahu besar di depan yang agak-nya juga memperlambat pelayaran dan menanti
mereka. Dan tiba-tiba saja, para perajurit di atas perahu besar itu bersorak-sorak dan menghujan-kan
anak panah ke arah perahu para pendekar! Bukan anak panah biasa, melainkan anak panah yang
membawa api! Jarak mereka sudah terlam-pau dekat untuk serangan anak panah, akan tetapi masih
terlampau jauh untuk meloncat dan menyer-bu, maka para pendekar sibuk menangkis anak pa-nah
yang datang seperti hujan itu. Melihat A-hai sama sekali tidak mampu mengelak atau menang-kis,
dunia-kangouw.blogspot.com
Bwee Hong sudah memutar pedangnya melindungi pemuda ini yang kelihatan ketakutan dan bingung.
Para anak buah perahu sibuk memadam-kan kebakaran-kebakaran yang diakibatkan anak panah api
itu, dan karena kesibukan ini, maka be-berapa orang di antara mereka roboh terkena anak panah.
Keadaan menjadi kalut, apa lagi ketika ke-bakaran makin menghebat dan layar sudah terma-kan api,
juga tiang layar dan perahu itupun mulai terbakar ! Sukar meloncat ke perahu musuh yang memang
sengaja menjauh itu, maka tiada pilihan lain, para pendekar itu berloncatan ke air yang gelap !
Pek Lian gelagapan. Di dalam hatin ya ia me-ngeluh. Kenapa ia harus terlempar ke air lautan lagi ?
Apakah sudah menjadi nasibnya untuk mati di lautan ? Ia menggerakkan kaki tangannya ber-usaha
berenang ke arah perahu besar di mana didu-ga ayahnya berada. Ia ingin naik ke perahu besar itu
dan mengamuk, kalau perlu mati demi membela ayahnya. Akan tetapi, perahu besar itu setelah
melihat perahu kecil terbakar, lalu cepat menjauh-kan diri dan terdengar sorak-sorai para perajurit itu
yang merasa memperoleh kemenangan besar. Pek Lian tidak mampu mengejar perahu itu dan ia
hampir kehabisan tenaga dipermainkan gelombang.
Tiba-tiba terdengar seruan, "Adik Lian, ke si-nilah !"
Remang-remang dilihatnya Bwee Hong dan dua orang lain di atas atap perahu mereka. Atap ini masih
utuh, akan tetapi perahunya entah lenyap ke mana, juga entah ke mana perginya orang-orang lain.
Pek Lian mengerahkan sisa tenaganya dan akhirnya terengah-engah ia berhasil mencapai atap
perahu itu dan dibantu oleh Bwee Hong dan dua orang itu yang ternyata adalah Seng Kun dan A-hai,
iapun naik dan terkapar di atas papan dalam keadaan setengah pingsan.
"Nona Pek Lian! Nona Pek Lian!!"
Suara itu terdengar sayup-sayup, seperti pang-gilan orang dari jauh, dan ia mengenal benar suara
itu, karena selama ini, suara itu hampir selalu ter-ngiang di dalam telinganya. Suara A-hai! Pek Lian
merasa seolah-olah ia terbawa oleh air, ha-nyut di atas perahu kecil, makin jauh meninggalkan A-hai
yang juga berada di atas perahu lain dengan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Bwee Hong !
Dan A-hai memanggil-manggilnya. Ah, betapa ingin hatinya menjawab panggilan itu, dan betapa
inginnya untuk dekat dengan pemuda yang sejak semula telah menimbulkan rasa iba dan suka
bercampur kagum di dalam hatinya. Akan tetapi, kini A-hai bersama dengan Bwee Hong dalam
sebuah perahu dan ia tahu betapa akrab hubungan antara mereka. Ia tidak ingin menjadi penghalang,
tidak ingin menyaingi Bwee Hong! Maka iapun tidak menjawab dan membiarkan perahunya hanyut
makin jauh meninggalkan A-hai. Hatinya seperti ditusuk rasanya dan tak tertahankan lagi, iapun
menangis terisak-isak ! Padahal, tidak mudah bagi pendekar wanita ini untuk menangis!
"Nona Pek Lian !" Kembali terdengar seruan A-hai, sekali ini suaranya terdengar amat dekat.
"Adik Lian, engkau kenapakah ?" Tiba-tiba terdengar suara Bwee Hong, juga dekat sekali.
Pek Lian membuka kedua matanya dan melihat betapa A-hai dan Bwee Hong berlutut di dekat-nya,
mengguncang-guncang tubuhnya yang basah kuyup dan kedinginan itu. Ia masih terpengaruh mimpi
tadi, mengira bahwa mereka berdua berha-sil mengejarnya dan kini berada di atas perahunya dan
berusaha menghiburnya. Keramahan mereka bahkan menambah perih pada luka di hatinya, maka
iapun menggerakkan kedua lengannya meno-lak dengan halus dan berkata dengan nada suara sedih,
"Biarkan aku-sendiri ah, biarkan aku sendiri dalam kemalanganku hu-huhuuhhh "
Dan iapun terisak menangis karena ia segera teri-ngat akan ayahnya dan merasa betapa sengsara
hidupnya.
Seng Kun memberi isyarat kepada adiknya dan A-hai untuk membiarkan dara itu menangis. Pe-muda
ini dapat menduga apa yang menyebabkan Pek Lian berduka, tentu karena teringat akan ayahnya,
pikirnya. Tentu saja dia tidak dapat menduga lebih mendalam dari pada itu. Setelah tangis Pek Lian
agak mereda, diapun menghibur.
"Nona Ho, harap engkau dapat menenangkan hatimu. Bagaimanapun juga, aku tidak akan ber-henti
berusaha untuk menemukan kembali ayahmu. Hal itu merupakan tugasku, perintah dari sri bagin-da
kaisar sendiri."
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Lian sadar akan kelemahannya. Iapun bangkit duduk, menyusut air matanya, memandang
dengan sinar mata bersyukur kepada Chu Seng Kun dan menarik napas panjang. "Harap kalian
maafkan kelemahanku tadi," katanya kepada Bwee Hong, sedangkan A-hai diam saja, memandang
bingung karena dia tidak mengerti urusan.
Perahu istimewa mereka itu dipermainkan ge-lombang samudera dan karena mereka berempat tidak
berdaya, merekapun hanya dapat menyerah-kan nasib mereka kepada lautan luas. Mereka mencaricari,
namun tidak pernah dapat melihat tanda-tanda tentang teman-teman mpreka yang lain. Tidak
ada bayangan seorangpun di antara teman-teman uriereka. Padahal mereka begitu banyak. Kwa Siok
Eng dengan anak buahnya, Yap-lojin, Yap Kiong Lee dan Yap Kim. Apakah mereka semua itu telah
menjadi korban dan ditelan lautan ?
"Mudah-mudahan saja mereka dapat tertolong, seperti juga kita," kata Seng Kun menghibur hati Pek
Lian dan Bwee Hong yang merasa gelisah dan berduka kalau membayangkan malapetaka menimpa
teman-teman mereka itu.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, begitu matahari terbit, mereka bergembira sekali melihat
daratan begitu dekatnya ! Daratan besar ! Perahu mereka yang dipermainkan gelombang itu ternyata
telah dihanyutkan oleh gelombang menuju pantai. Seperti pulih kembali tenaga mereka dan dengan
wajah cerah mereka mendayung perahu yang se-sungguhnya bukan perahu melainkan atap perahu
itu, mendekat tepi. Mereka hanya menggunakan tangan saja untuk mendayung, akan tetapi karena
mereka adalah pendekar-pendekar yang memiliki kekuatan hebat, mereka berhasil juga mendayung
perahu atap itu sampai kandas ke pasir. Mereka berlompatan dan dengan pakaian basah kuyup
mereka tiba di daratan.
Chu Seng Kun dan A-hai masih lemah walau-pun mereka sudah sembuh. Agaknya, pemuda sinting
itu pada dasarnya memiliki tubuh luar biasa yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan Seng Kun,
karena tubuhnya tidaklah selemas Seng Kun yang benar-benar harus banyak istirahat untuk
memulihkan kembali tenaganya.
Mereka berempat duduk di tepi pantai ketika tiba-tiba hidung mereka mencium bau harum du-pa !
Cuping hidung mereka kembang-kempis dan mereka menoleh ke kanan kiri. Pantai lautan itu sunyi
dan tidak nampak adanya manusia lain, na-mun jelas bahwa yang tercium oleh miereka itu adalah
bau dupa harum. Pek Lian dan Bwee Hong saling pandang dan berbareng mereka berbisik, "Dupa
harum kaum Tai-bong-pai!"
"Adik Siok Eng selamat !" kata Pek Lian
girang karena mengira bahwa tentu dara puteri ketua Tai-bong-pai itu yang mengeluarkan bau dupa
harum seperti ini.
Akan tetapi, mereka berempat memandang de-ngan curiga dan khawatir ketika muncul belasan orang
laki-laki kasar yang dipimpin oleh seorang pria berusia kurang lebih tigapuluh tahun yang
berperawakan kurus. Orang ini juga kelihatan ka-sar dan menyeramkan. Pakaiannya serba putih,
rambutnya awut-awutan dan kaku, mukanya se-perti muka mayat saja, pucat dan jarang bergerak.
Wajah itu sebetulnya tampan, akan tetapi karena pucat dan tak bergerak seperti mayat, maka menyeramkan
sekali. Begitu tiba di situ, belasan orang itu segera mengurung dan bau hio semakin
keras.
Empat orang itu bangkit berdiri dan Pek Lian cepat menjura ke arah pemuda yang seperti mayat itu.
"Kami adalah sahabat-sahabat dari adik Kwa Siok Eng. Di manakah dia ? Apakah ia selamat?"
Akan tetapi, pertanyaan ini agaknya membuat belasan orang itu marah-marah. Mereka menge-pal
tinju dan memandang dengan sikap mengan-cam. Pek Lian tidak tahu bahwa pertanyaan keselamatan
merupakan pantangan bagi para anggauta Tai-bong-pai! Mereka itu menganggap diri mereka
sebagai keluarga kuburan, sebagai orang-orang yang telah mati, maka pertanyaan tentang
kesela-matan itu seperti ejekan atau penghinaan saja bagi mereka ! Pemuda pucat itupun marahmarah
dan tanpa banyak cakap dia sudah mengeluarkan tong-katnya dan menyerang Pek Lian.
"Eh, eh gila !" Pek Lian cepat mengelak, akan tetapi sambaran tongkat itu lihai bukan main
seolah-olah tongkat itu bernyawa dan terus mengikuti ke mana ia mengelak, sampai Pek Lian
terpaksa bergulingan menyelamatkan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Manusia jahat!" Bwee Hong membentak sam-bil menotok dari belakang ke arah punggung pe-muda
miuka pucat itu. Akan tetapi, biarpun totok-an yang dilakukan oleh Bwee Hong itu bukan sem-barang
totokan melainkan ilmu keturunan dari Si Tabib Sakti, ternyata pemuda itu mampu mengelak dengan
cekatan ! Diam-diam Bwee Hong terke-jut juga, dan maklumlah dara perkasa ini bahwa ia berhadapan
dengan seorang lawan yang amat tangguh.
Pek Lian dapat bernapas lega karena serangan bertubi-tubi tadi tidak dilanjutkan dan kini pe-muda
mengerikan itu telah ditandingi oleh Bwee Hong yang jauh lebih lihai dari padanya. Akan te-tapi ia
sendiripun tidak dapat tinggal enak-enakan karena belasan orang sudah mengeroyoknya dengan
sengit. Kiranya para anggauta Tai-bong-pai itu membencinya karena pertanyaan keselamatan tadi!
Tentu saja Pek Lian melawan mati-matian dan untung baginya bahwa tingkat kepandaian para
anggauta Tai-bong-pai ini tidaklah sehebat pe-muda muka pucat itu. Biarpun demikian, repot jugalah
ia karena dikeroyok oleh belasan orang ka-sar dan ia sendiri bertangan kosong. Pedangnya telah
hilang ketika ia terlempar ke lautan.
Keadaan Bwee Hong sama buruknya dengan Pek Lian. Ternyata pemuda kurus pucat itu lihai bukan
main ! Dan makin kagetlah hati Bwee Hong ketika melihat betapa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu
yang mujijat dari Tai-bong-pai, ilmu-ilmu yang pernah didengarnya. Begitu sebuah pu-kulan
menyerempet lengannya, ia melihat lengan bajunya menjadi merah dan ternyata darah telah keluar
dari lubang pori-pori kulit lengannya! Tahulah ia bahwa itu adalah ilmu mengerikan dari Tai-bong-pai
yang disebut Pukulan Penghisap Darah! Dan tenaga pemuda kurus itu sungguh membuatnya pening,
karena tenaga sinkang yang amat kuat itu mengeluarkan bau asap hio wangi! Selain Tenaga Sakti
Asap Hio ini, yang membuat keringat pemuda itu berbau dupa, juga ilmu silatnya aneh dan
mengerikan. Tentu itulah yang dina-makan Ilmu Silat Mayat Hidup karena kadang-ka-dang gerakan
pemuda itu kaku seperti mayat hidup. Hanya dengan kelebihan ginkang (ilmu meringan-kan tubuh)
sajalah maka sampai sekian lamanya Bwee Hong masih mampu mempertahankan diri dan tidak
sampai terkena pukulan-pukulan ampuh itu. Entah mana yang lebih berbahaya, sinar tong-kat yang
menyambar-nyambar itu ataukah cengke-raman tangan kiri itu.
"Jangan berkelahi ah, jangan berkelahi....!"
A-hai berteriak-teriak kebingungan, mengangkat kedua tangan ke atas dan lari ke sana ke sini.
Dengan matanya yang bersinar tajam, Seng Kun dapat melihat bahwa adik kandungnya terancam
bahaya besar. Pukulan-pukulan orang kurus pucat itu sungguh amat ampuh dan dia tahu bahwa
sekali terkena pukulan itu, tentu adiknya akan terluka parah dan mungkin akan keracunan. Dia sendiri
masih amat lemah, tenaganya belum pulih benar, akan tetapi tentu saja tak mungkin dia mendiamkan
adiknya terancam bahaya tanpa membantu. Meli-hat betapa adiknya ini hanya dapat mengelak ke
kanan kiri mengandalkan kegesitannya, Seng Kun lalu meloncat ke depan dan membantu adiknya,
mengirim pukulan yang merupakan tamparan ta-ngan kanan ke arah leher pemuda kurus pucat itu.
Hebat tamparan ini dan si muka pucat terkejut,
lalu diapun menggunakan lengan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Wuuuuttt ! Plakkk ! !"
Pertemuan dua tenaga sinkang yang kuat itu amat hebat dan seandainya keadaan Seng Kun sehatsehat
seperti biasa, belum, tentu dia kalah kuat. Akan tetapi, dia masih belum pulih benar kesehatan
dan kekuatannya, maka pertemuan tena-ga itu tidak dapat tertahan oleh tubuhnya yang masih lemah.
Dia terdorong ke belakang dan terpelanting ke atas tanah, sedangkan si muka pu-cat itu hanya
terhuyung mundur.
Jilid XVIII
dunia-kangouw.blogspot.com
KOKO !" Bwee Hong menubruk kakaknya yang terengah-engah bangkit duduk itu, dan A-hai juga
mendekatinya. Juga Pek Lian yang masih menghadapi pengeroyokan belasan orang anggauta Taibong-
pai itu menengok. Perbuatan ini mencelakakan dirinya karena tahu-tahu belasan orang telah
menubruknya dan betapapun ia meronta, tetap saja ia tertangkap, dan kaki tangannya dibelenggu
sampai dara ini tidak mampu bergerak lagi.
Sementara itu, si kurus pucat sudah menyerang lagi, tongkatnya bergerak seperti kitiran cepatnya
dan menyerang ke tubuh Bwee Hong. A-hai meng-hadang di depan, bertolak pinggang sambil
berkata, "Eh, eh, mengapa kalian menyerang orang-orang tak berdosa ?"
Melihat sikap A-hai yang begitu polos, agaknya si kurus pucat itu menjadi tertegun dan malu. "Ka-mi
harus menawan kalian dan baru akan kami be-baskan setelah urusan kami di tempat ini selesai,"
katanya, seperti mayat bicara.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru