Selasa, 09 Mei 2017

Cersil Kuno Bacin 2 Lanjutan Tadi Patung Hok Lok Siu

Cersil Kuno Bacin 2 Lanjutan Tadi Patung Hok Lok Siu Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Kuno Bacin 2 Lanjutan Tadi Patung Hok Lok Siu
kumpulan cerita silat cersil online
-Cersil Kuno Bacin 2 Lanjutan Tadi Patung Hok Lok Siu
„Ingatlah, ketenangan mengalahkan segala apa!”
In Hong memberi ingat. „Nona Tjoe, berlakulah
tenang dan bitjaralah dengan sabar...."
Nona itu mentjoba menenteramkan diri.
„Mereka ......... mereka membawa Hiang Kat lari
.........” katanja achirnja.
Kat Po kaget sekali.
„Dia dibawa ke mana?” In Hong tanja, sabar.
„Dati rumah aku datang ke mari mentjari Hiang
Kat,” menerangkan si nona terlebih djauh. „Aku
naik kereta roda tiga. Selagi aku mendekati rumah
ini enam atau tudjuhpuluh kaki, aku melihat mereka
lagi memaksa membawa Hiang Kat berlalu, dia
dinaiki ke atas sebuah oto jang dihentikan di tepi
djalan, lantas oto dikasi lari keras. Aku
mengenali orang jang mendjadi kepala di antara
mereka itu.........”
„Siapakah dia?”
„Dialah kasir dari Cafe Lo Lo jang matanja
bersorot bengis.”
„Ah, dialah salah seorang jang dulu hari lolos
dari tangan polisi,” kata In Hong. „Tahukah kau
nomornja oto?”
„Aku telah tjatat itu,” menjahut Nona Tjoe. Ia
merogo sakunja, mengeluarkan buku Notes. „Inilah
dia. Nomor 12881.”
Kedjadian ini sangat memusingkan dan
menguatirkan In Hong dan Kat Po. Tiga hari dan
tiga malam sudah mereka melakukan penjelidikan,
baru mereka berhasil. Nomor oto itu mendjadi
penundjuk djalan untuk mereka. Hiang Kat dapat
ditolong dari telaga Tai Hu dari tangan kawanan
pendjahat, dengan si pendjahat dapat dibekuk
sekalian. Karena ini, di hari ke-empat pagi
barulah Hiang Kat dapat menjampaikan kepada In
Hong dan Kat Po pesan tilpon dari Sie Tjiang.
„Tjelaka!” Kat Po berteriak. „Pasti Sie Tjiang
tjelaka!”
„Tjoba bitjara tilpon ke rumahnja,” In Hong
kata.
Kat Po menurut. Ia disambut budjang perempuan,
jang memberitahukan sudah empat hari Sie Tjiang
tidak pulang, bahwa mereka lagi sibuk mentjarinja.
Maka terang sudah, Sie tjiang dalam antjaman
bahaja.
In Hong berlaku sebat. Dengan kembali merubah
hidung dan warna kulit muka mereka, dengan tjepat
mereka pergi ke tempat komedi kuda.
Kalau pada empat hari jang lampau tegalan itu
ramai luar biasa, sekarang sepinja luar biasa
djuga, tinggal lapangan kosong serta pagar bambu
jang mengelilingnja. Di dalamnja tinggal sisasisa
pembongkaran gubuk, di antaranja sebuah medja
dan beberapa kursi kaju di mana ada berduduk
beberapa pegawai atau anggauta-anggauta circus
itu, di antaranja dua orang nona lagi melatih ilmu
djalan di atas tambang.
Kira setengah djam sebelum In Hong dan Kat Po
tiba di tegalan itu, di sana ada kedapatan seorang
wanita muda umur duapuluh lebih jang tangannja
menuntun seorang nona tjilik usia lima atau enam
tahun. Dan si nona tjilik itu mengempo seekor
andjing pekingese bulu putih. Setjara diam-diam
mereka memasuki pagar, agaknja mereka takut
terlihat orang.
Merekalah Lee In dan Siauw Lee ibu dan anak.
Pagi itu Lee In dan anaknja bersembunji di peti
kosong di rumah Sie Tjiang, andjing itu ngelojor
seorang diri, tetapi dasar andjing, dia berhasil
mentjari madjikannja di tempat bersembunji itu.
Lee In bersembunji dengan hatinja berdebaran.
Ia takut nanti kepergok. Tempat mengumpat itu
sangat tidak tjotjok. Dari sela-sela renggang,
kebetulan ia melihat tembok pekarangan tetangga
sebelah kanan, di mana ada tangga besinja.
„Kenapa aku tidak mau menjingikir ke sebelah?
.........” pikirnja.
Dalam takut dan bingung, ia keluar dari dalam
peti kosong itu, bersama anaknja ia menjingkir ke
tembok dan menaiki tangga itu, akan melintasi
tembok pekarangan itu, tiba di tempat pendjemuran
djuga. Dari sini mereka turun di tangga. Mereka
tiba di sebuah gang ketjil dan sunji tanpa ada
jang lihat. Mereka masuk ke dalam gang. Di situ
mereka menjewa sebuah kereta roda tiga. Selagi
menjingkir itu, mereka masih melihat oto polisi
di depan rumah Sie Tjiang, oto mana tidak ada
penumpangnja.
Lee In terus bingung. Ia tidak mempunjai tempat
tudjuan. Maka djuga, selagi duduk didalam kereta,
otaknja bekerdja keras. Kemudian ia ingat, di
Petain Road, ada tinggal bekas budjangnja. Ia
pikir, mungkin ia dapat menumpang di sana. Maka
ia lantas menudju ke djalan itu.
Untuk beberapa hari, Lee In menumpang di rumah
bekas budjang itu, jang ada seorang njonja tua
jang baik hati. Selama itu, tidak berani ia
lantjang berhubungan sama Sie Tjiang.
Tidak djauh dari rumah si budjang ada tegalan
di mana circus membuka pertundjukan. Lee In
melihat pengumuman circus mentjari orang. Ia
lantas mengadjukan lamaran. Ia tahu, tidak dapat
ia menumpang terus pada bekas budjangnja itu. Ia
pertjaja, dengan merantau ke Lamyang, pulau-pulau
selatan, ia akan bebas dari tangan polisi. Ia
mendaftarkan diri, ia memakai nama palsu. Dan itu
pagi jalah hari jang ia bakal ditjoba.
Setibanja di dalam, ia menjerahkan tjatatan
daftarnja. Jang menjambuti ia jalah Kho Tat Tjie
si direktur.
„Andjing jang dapat menghitung?” tanja Tat
Tjie, suaranja djumawa. „Apakah artinja itu?”
„Artinja jalah andjing ini mengerti hitungan,”
kata Lee In, jang terus mengasi bukti, dengan
menjuruh andjingnja memberi pertundjukan. Siauw
Lee menepuk tangan satu kali, andjingnja berbunji
satu kali. Selandjutnja, berapa kali Siauw Lee
menepuk tangan, andjingnja dapat menggonggong
dengan tak salah lagi.
„Inilah tidak menarik!” kata Tat Tjie. „Mana
bisa pertundjukan sematjam ini mendjadi atjara
pertundjukan jang dapat menarik hati penonton?
Pergilah, kamu mensia-siakan tempoku
sadja!........."
„Kami tidak menginginkan gadji,” kata Lee In.
„Kasihlah kami ketika.........”
Hok Hong ada bersama Tat Tjie. Dia berbisik:
„Pertundjukan ini boleh djuga. Ini andjing pun
tjerdik, dia dapat diadjar terlebih djauh."
Selagi mereka bitjara, Siauw Long, jang
mendampingi Tat Tjie, melihat Tat Giok menggape
terhadapnja. Nona itu berada di luar pagar. Ia
lari menghampirkan.
„Wanita itu jalah Yo Lee In dan anaknja” kata
Tat Giok. „Heran polisi belum berhasil mentjari
dia. Tahan mereka, nanti kita jang mengurusnja!
Pergi kasi tahu pada tuan direktur.”
Tat Giok datang dari pondokan untuk turut
melihat tjalon-tjalon, baru sampai di luar pagar,
ia sudah dengar gonggongan andjing pekingese itu
serta djuga suaranja Lee In dan Siauw Lee, maka
ia lantas mengenali mereka. Ia mendjadi girang
sekali. Lantas di otaknja berkelebat akal
bulusnja. Maka ia panggil Siauw Long, untuk
memberi kisikan pada Tat Tjie.
„Baiklah!” Tat Tjie berkata, setelah Siauw Long
berbisik padanja. „Karena kamu tidak meminta
gadji, baik, aku akan mentjoba. Aku mau lihat,
pertundjukan andjingmu menarik perhatian penonton
atau tidak.........”
„Bagus!” kata Hok Hong. Ia suka menerima si
njonja dan anaknja hanja ia tidak berkuasa. „Lebih
dulu kami mau pergi ke Kwangtung buat lamanja satu
bulan, kemudian baru terus ke Lamyang, aku harap
pertundjukan kamu nanti digemari penonton, nanti
kami memberi gadji kepada kamu.”
Tat Tjie mendelik kepada Hok Hong. Dalam hal
membajar gadji, ia jang paling pandai
menguranginja.
„Khoe San, Khoe Hong,” ia memerintah, „bahwa
mereka ke pondokan. Djangan perlakukan
sembarangan pada mereka!”
Titah itu mengandung titah rahasia. „Djangan
perlakukan sembarangan” berarti, ibu dan anak itu
mesti diawasi agar mereka tidak kabur.........
Lee In mengadjak anaknja mengikuti dua orang
itu. Ia tidak tahu apa-apa, ia tidak bertjuriga.
Seberlalunja mereka, Tat Giok muntjul. Ia
mengangguk pada kakaknja, tanda bahwa di antara
mereka ada saling pengertian.
Pengudjian kepada tjalon-tjalon dilakukan
terus, ada jang diterima, ada jang ditolak. Paling
achir jalah dua tjalon wanita, untuk pertundjukan
main tambang.
In Hong melihat gelagat rombongan circus benar
bakal berangkat pindah. Kalau mereka sudah
mengangkat kaki, sulit untuk menjelidiki mereka.
Kat Po pun heran.
„In Hong, bagaimana?” ia tanja.
„Tidak ada lain djalan ketjuali kita masuk
bekerdja pada mereka!” kata In Hong, jang
mengambil putusan tanpa berpikir pandjang lagi.
VI
MANUSIA LAWAN BINATANG
Kepandaian kedua nona itu biasa sadja, Tat Tjie
tawar hatinja. Dia tak sabaran.
„Kepandaian sematjam ini tjuma dapat
ditontonkan di depan kuil Seng Hong Bio atau di
tegalan kosong!” katanja mengedjek. „Mana bisa
kamu turut dalam sebuah circus besar? Nah, lekas
turun, kamu tjuma merusak pandanganku sadja!”
Kedua nona itu merah mukanja, hampir mereka
menangis. Dengan ajal-ajalan mereka bertindak ke
udjung tambang, ke tihang, untuk merosot turun.
„Lao Kho,” kata Hok Hong, „kepandaian mereka
memang tidak berarti, kita tidak dapat memakainja,
meski begitu, tak usah kita menghinanja.........”
Sebagai orang djudjur, pemilik ini berkasihan
kepada dua nona itu.
„Tua-bangka she Hok, djangan kau usil tugasku!”
kata Tat Tjie kaku. „Bongkar tihang dan tambang
itu, mari kita pulang!”
„Tunggu dulu! Kita pun mau melamar!”
Itulah suaranja dua orang nona. Dari luar pagar,
di mana mereka mengasi dengar suara mereka, mereka
berlari masuk.
Sinar matanja Tat Tjie dan Tat Giok, bagaikan
kilat, menjamber kepada dua orang itu.
„Kamu mempunjai kenandaian apa?” tanja Tat
Tjie. sikapnja memandang enteng. „Djikalau
kepandaian kamu biasa sadja, tak usah kamu
membuang-buang tempo kami!”
„Kami mempunjai kepandaian jang tidak berarti,
entah tjotjok atau tidak di matamu,” sahut In
Hong, suaranja merendah. Ia memang sabar luar
biasa.
„Segala circus ketjil!” kata Kat Po, jang beda
daripada sau-darania. „Apa kamu kehendaki, apa
djuga ada!” Tat Tjie angkuh, dia mendjadi lebih
angkuh lagi.
Mata Tat Tjie melotot kepada nona itu. Di bawah
perintahnja, semua orang mesti tunduk dan berlaku
hormat. Tapi orang ini bagaikan edan, dia mendjadi
mendongkol. Dia mau berkata pula, atau Hok Hong
mendahului padanja.
„Apakah nona-nona pandai djalan di atas
tambang?” tanja pemilik ini.
„Bukan melainkan djalan tetapi djuga berlari!”
menjahut Kat Po. „Hari ini kami nanti membuka
pandangan kamu, maka pentanglah mata kamu lebarlebar!”
„Kamu memakai gala bambu atau pajung?” Hok Hong
tanja.
Untuk mengimbangi diri, biasa tukang djalan di
atas tambang memakai gala atau pajung.
„Tidak perlu gala, tidak perlu pajung!” kata
Kat Po, jang terus mendjedjak tanah untuk
berlompat naik ke atas tambang, jang tinggi
sepuluh kaki lebih. Dia berdiri tegak di atas
tambang seperti dia berdiri di tanah.
„Bagus!" Hok Hong berseru. Sebab orang lain
biasanja naik dulu di tihang, sedang di atas
tambang, dia mesti mengimbangi tubuhnja.
Tat Tjie dan Tat Giok membuka mata lebar-lebar.
Mereka lantas mengerti bahwa orang mempunjai
kepandaian ringan tubuh jang mahir. Mereka
memandang dengan rada djelus.
Kat Po lantas mulai mengasi pertundjukan. Ia
lari pergi-datang, madju dan mundur. Ia djuga
mengasi lihat aksi lainnja, jang luar biasa, jang
menarik hati untuk ditonton, hingga orang bersorak
memudjinja. Untuk ia, itulah peladjaran pertama
jang ia peroleh dari gurunja, untuk membikin
tubuhnja enteng dan gesit.
„Bagus! Bagus!” Hok Hong si pemilik memudji
berulang-ulang.
Habis itu, Kat Po lompat turun.
„Apakah kepandaian sematjam ini akan membikin
hilang muka circus kamu?" dia tanja.
„Belum ada pertundjukan jang melebihkan
mahirnja ini!” sahut si pemilik, djudjur. Dia
girang sekali. „Bagaimana dengan nona itu?"
„Dia menang banjak daripada aku!” djawab Kat
Po.
„Djikalau begitu, tak usah dia diudji pula,”
kata Hok Hong. „Kamu berdua aku terima bekerdja.
Sebentar malam kita akan naik kapal buat berlajar
ke Canton, maka itu, kamu harus berada di
pelabuhan Li Yuan kira kira djam 7.00 untuk naik
kapal Hui Sing. Kamu mendapat gadji seperti
pegawai-pegawai kami golongan tingkat satu.
Apakah she dan nama nona-nona?”
„Heng Boen dan Kwee Po,” menjahut In Hong, jang
memakai nama palsu jang mendekati nama mereka.
„Eh, Lao Hok!” Tat Tjie menjelak. „Untuk
menerima mereka bekerdja atau tidak, wewenangnja
ada ditanganku sebagai direktur, bukannja kau jang
mesti menetapkannja! Aku tidak puas untuk
kepandaian main tambang dari dua wanita ini!”
Biasanja Hok Hong tidak berani berbantah, akan
tetapi hari ini, ia tidak mau mengalah.
Kepandaiannja Kat Po membikin ia gembira sekali,
hingga dengan sendirinja keberaniannja pun
muntjul. Maka ia kata: „Aku minta kau djangan
melupai bahwa akulah si pemilik. Djikalau kau
tidak setudju, nah, kau sendirilah jang main
tambang!”
Lantas dia bertindak pergi.
„Tuan direktur, di kapal kita bertemu pula!”
berkata Kat Po, jang lantas berlalu bersama In
Hong.
Kapal „Hui Sing” diborong oleh Ka Ka Roon
Circus. Semua binatang ditempatkan di gudang, di
bawah. Sebagian anggauta, berikut In Hong dan Kat
Po, berkumpul bersama Hok Hong di ruang kelas
empat. Kho Tat Tjie dan kontjonja semua bertempat
di kelas satu.
Kapal sudah lantas terumbang-ambing di tengah
laut, menggeleser madju.
„Kita sekarang sudah berada di tengah laut,”
kata Tat Tjie pada adiknja. „Bagaimana kita
melemparkan si oranghutan palsu ke air?”
„Biasanja muatan binatang ditempatkan di dek,”
kata Tat Giok, „dengan begitu mudahlah apabila
kita hendak melemparkan sesuatu. Sekarang semua
binatang kita ditaruh digudang, sukarlah untuk
kita mewudjudkan rentjana kita....."
„Bagaimana habis?” tanja Tat Tjie, alisnja
mengerut. „Lee In dan anaknja ditempatkan di kelas
satu, mereka mendjadi beban kita!”
„Djangan bingung, serahkan mereka padaku,” kata
Tat Giok. „Sesampainja di Canton, aku mempunjai
dajaku! Aku hanja menjangsikan itu dua orang baru,
jang pandai main tambang, bisa-bisa mereka nanti
menjukarkan kita. Aku lihat, baiklah kau merendah
sedikit, kau tarik mereka ke pihak kita. Atau kita
pun memikirkan djalan untuk menjingkirkan mereka
itu.........”
„Merendah kepada mereka?” tegaskan Tat Tjie.
„Tidak bisa! Nanti aku bereskan mereka!” Dan ia
mengertak gigi.
Sementara itu In Hong dan Kat Po, jang
bergumulan di kelas empat, lekas djuga telah
mengikat persahabatan sama semua anak komidi,
hingga mereka mendapat tahu, Tat Tjie biasa
berlaku keras dan bengis, bahwa dua anggauta
tukang main gelang api, Thian Kang dan Thian Hay,
berikut Boe Tjian Kin, semua jalah orang-orang
kepertjajaannja Tat Tjie sang direktur. Botjah itu
bernama Tjian Poet Kie, dia beladjar di bawah
pimpinan Thian Kang dan Thian Hay. Ibunja Poet Kie
bekerdja sebagai tukang tjutji atau tukang
mendjahit dengan upah atau gadjinja tidak
ketentuan, bergantung sama pembajarannja masingmasing
anak komidi jang pakaiannja ditjutjikan.
Baru satu tahun ini, Tat Tjie memperlakukan baik
pada mereka ibu dan anak, hingga mereka ditarik
dalam rombongan si direktur, sebagaimana mereka
pun dapat tempat di kelas satu. Orang djuga
menerangkan, Tat Giok meninggalkan rombongan
selama tudjuh atau delapan bulan, katanja dia
pergi untuk mempeladjari kepandaian mendidik
andjing, guna menambah atjara pertundjukan,
katanja dia menumpang tinggal di rumah kakaknja
jang perempuan. Tjiehoe-nja, jahah suami kakaknja
itu, adalah guru pendidik andjing jang kenamaan
di Shanghai.
„Dia baru sadja kembali,” achirnja ia dikasi
keterangan.
In Hong lantas mengerti keadaan dalam circus
ini. Orang terpetjah dalam dua rombongan.
Rombongan Tat Tjie dipanggil „Kho Pay,” dan
rombongan Hok Hong, „Hok Pay.” Rombongan si
pemilik jang lebih lemah, jang kena tertindih,
hingga Hok Hong sendiri tak terketjuali.
Mengenai usuhanja mentjari si pentjuri dan
pembunuh, In Hong merasa ia sudah madju baik.
Setibanja di Canton, di pelabuhan telah menanti
orang jang menjambut. Inilah sebab kedatangan
rombongan circus ini ada atas undangannja seorang
dagang jang berusaha djuga di kalangan tontonan.
Tat Tjie dan Tat Giok memeriksa tanah lapang di
mana mereka bakal berdiam dan membuka
pertundjukan. Mereka lantas mengatur tenda, besar
dan ketjil, pula tempat binatang liar. Kedua
partai dipisahkan dengan pagar bambu. Ruang
binatang liar djuga dipisah dari Hok Pay. Ada
maksudnja kenapa Tat Giok mengatur demikian rupa.
Canton ada daerah dengan hawa udara hangat, maka
itu, semua anak komidi tidak usah mentjari
penginapan, tjukup dengan mendirikan pelbagai
tenda atau gubuk darurat. Begitulah In Hong dan
Kat Po, mereka mendapat sebuah gubuk sendiri.
Karena pertundjukan akan dimulai lagi tiga
hari, semua orang lantas repot bekerdja, membangun
tenda dan mengatur lainnja.
In Hong dan Kat Po tak usah bekerdja, maka itu
mereka dapat kesempatan akan bermain-main dengan
empat pelawak. Begitulah mereka pergi ke sebelah
kanan tegalan di mana ada pemisahan batas pagar
bambu. Dari pagar ini orang bisa melihat tendatendanja
pihak Kho Pay serta tenda jang mendjadi
kandang binatang liar.
Di pagar situ ada digantung pemberitahuan:
VII
DILARANG!
Tempat ini berbahaja, dilarang orang masuk
ke mari!
Anak komidi sendiri pun dilarang ketjuali
ada perkenan dari Tuan Direktur!
Di pintu pagar ada jang djaga, jalah Boe Tjian
Kin, Khoe San, Khoe Hong, Thian Kang dan Thian
Hay, dengan bergantian. Ketika itu gilirannja Boe
Tjian Kin.
In Hong mendapat akalnja, ia mengandjuri
keempat pelawak berdjenaka, untuk mengganggu si
pendjaga pintu. Katanja, ia dan Kat Po jang nanti
bertanggungdjawab.
Kebetulan keempat pelawak itu tidak puas
terhadap Tjian Kin, jang suka menindas mereka,
suka mereka mengatjau. Demikian, dengan berpurapura
tidak melihat larangan, mereka merobos ke
arah pagar.
„Hai, kamu buta ja?” bentak Tjian Kin. Dia
mementang kedua tangannja, guna mencegah.
Keempat pelawak itu nerobos terus, mereka pada
menjelundup. Satu pelawak kena disambar, dia
tertangkap, terus dia dilempar tinggi. Sjukur dia
sudah terlatih, waktu dia djatuh ke tanah,
djatuhnja berdiri, dia tidak kurang suatu apa!
„Saudara Boe!” berkata In Hong, jang mendekati
orang kuat itu, „kami mau melihat-lihat ke dalam,
sukalah kau mengasi kami lewat.........”
„Apakah kau buta?” Tjian Kin membentak pula,
sikapnja bengis. „Apakah kau tidak lihat
pemberitahuan di pagar itu?”
„Tuan Direktur melarang orang luar, bukan orang
dalam,” kata In Hong sabar. „Kamu boleh masuk,
mustahil kami tidak?”
„Karena......... karena........." kata Tjian
Kin, jang tidak dapat bitjara, sebab ia tidak
mempunjai alasannia.
„Heng Boen, buat apa melajani dia mengobrol?”
Kat Po tegur kawannja. Ia masih ingat nama palsu
In Hong. „Sjukur kalau dia mau minggir, kalau
tidak, hadjar padanja!”
„He, kamu suka berkelahi?" tanja Tjian Kin,
menjeringai. „Baik, mari kita membuat
perdjandjian! Aku suka kasi diriku dihadjar
tigapuluh kali, djikalau aku roboh, nanti aku
idjinkan kamu masuk ke mari!”
„Saudara Boe toh dapat dipertjaja?” tanja In
Hong. Sedang Kat Po sudah bernapsu sekali.
„Tentu!” djawab Tjian Kin.
„Baiklah, aku akan menghadjar kau,” kata In
Hong, tetap tenang. „Tidak usah aku menghadjar
sampai tigapuluh kali, tjukup dengan tiga kali
sadja.........”
„Heng Boen, djangan hadjar tubuhnja, hanja
kepalanja!” Kat Po memberi tahu.
Nona ini seperti membuka rahasia orang, Tjian
Kin kaget dan heran. Kenapa si nona ketahui bagian
tubuhnja jang lemah itu? Ia lantas ingat orang
dengan siapa itu malam ia bertempur, si wanita
kosen. Ia melihat muka orang berbeda tetapi
lainnja mirip semua.
„Aku memberi batas kepada tubuh sadja!” ia kata
pada In Hong. Ia tetap bertjuriga dan terus
berpikir, mengingat-ingat Kwee Po.........
„Baiklah, batas tubuh sadja!” kata In Hong. „Aku
tidak nanti menjerang kepalamu! Sekarang kau
berdirilah dengan tegak!”
Tjian Kin lantas berdiri tegar sekali, ia
memasang kuda-kuda satu kaki di depan dan satu
lagi di belakang.
„Silahkan!” katanja njaring, menantang.
In Hong madju satu tindak. Ia tidak menindju,
hanja dengan telundjuk kanan ia menotok pundak si
orang kuat. Kelihatannja ia tidak menggunai
tenaga, sedang sebenarnja, ia menggunai itu.
„Aduh!” Tjian Kin mendjerit. Ia merasakan
pundaknja itu sangat sakit. Ia mentjoba menahan.
„Bagus! Hajo lagi!" ia menantang pula.
In Hong ketahui tenaga orang besar sekali dan
tubuhnja pun kuat, dengan tindju belum tentu ia
berhasil, sengadja ia memakai djeridji tangan. Ia
djuga memilih pundak, di bagian jang tidak
membahajakan djiwa. Sekarang ia menjerang untuk
kedua kalinja, kembali ia menjerang pundak kiri.
„Aduh!” Tjian Kin berteriak lebih keras. Tanpa
tertahan lagi, dia roboh.
„Orang kuat dirobohkan! Orang kuat dirobohkan!”
keempat badut berseru-seru, seruannja itu rata dan
berlagu.
Rombongan Hok Pay mendengar seruan itu, mereka
tertarik hatinja, mereka lantas memburu keluar
dari tenda mereka.
Dari pihak Kho Pay lantas muntjul Thian Kang
bersama Thian Hay, Khoe San dan Khoe Hong. Mereka
itu melihat kawannja roboh, mereka malu dan
penasaran. Mereka membawa sendjata mereka, untuk
menghadang di pintu pagar.
„Dengan orang kuat ini aku telah membuat
perdjandjian,” kata In Hong, sabar dan halus
suaranja. „Dia berdjandji, kalau dia kena
dirobohkan, dia suka mengidjinkan kami masuk. Maka
itu saudara-saudara, sukalah kamu membagi
djalan!”
Khoe San dan Khoe Hong mentjekal tjambuk kulit
pandjang tudjuh-delapan kaki tebal kira setengah
dini. Itulah tjambuk peranti mereka mendidik singa
dan harimau, sudah lama mereka menggunai itu
sebagai sendjata mereka jang istimewa. Dengan
tjambuk itu, mereka lompat kepada si nona, untuk
menjerang.
In Hong berkelit. Maka dengan bersuara keras,
kedua tjambuk itu menghadjar tanah, debunja
mengepul naik, tanah itu membekas. Terhadap singa
atau harimau, tjambuk itu berpengaruh sekali,
terhadap In Hong, sebaliknja.
Thian Kang dan Thian Hay berlompat madju. Mereka
sama-sama memegang pisau belati pandjang dua kaki,
jang tadjam luar biasa. Mereka menikam Kat Po.
Nona ini berkelit, lantas ia melawan, maka itu,
mereka djadi bertempur. Dua saudara Thian liehay
ilmu silatnja, mereka djuga bersendjata, lantas
mereka dapat mendesak sampai lawannja kewalahan
dan tjuma bisa berkelit.
Dua saudara Khoe penasaran, mereka mendesak.
Tjambuk mereka itu, ketjuali dipakai menjabet,
djuga digunai untuk melibat leher atau kaki. Tjoba
In Hong tidak ringan tubuhnja, ia tentulah sudah
kena disamber roboh. Hanjalah, atas desakan dua
lawan, ia tidak dapat merangsak mendekati mereka
itu.
Rombongan Hok Pay menonton dengan membuat
sebuah lingkaran tersendiri, mereka bergelisah.
Mereka mengharap In Hong dan Kat Po jang menang
tetapi buktinja, seperti jang mereka saksikan,
kedua nona itu terdesak, keadaannja
terantjam.........
In Hong dan Kat Po tengah dikerojok Thian Hay dan
Thian Kang, jang menggunakan pisau-belati, dan Khoe
San serta Khoe Hong jang bersendjatakan tjambuk.
Sambil saban-saban berkelit, In Hong
memperhatikan tjara menjerangnja kedua lawannja
itu. Mereka mempunjai sistim sendiri. Sistim
mereka akur dengan sistimnja dua saudara Thian.
Kalau Khoe San menjerang dan ia berkelit, di sana
Thian Kang dengan pisau belatinja menikam Kat Po.
Atas itu, Kat Po berkelit. Djusteru itu, Khoe Hong
menjerang Nona In. Di saat In Hong berkelit, maka
Thian Hay berbareng menjerang Kat Po. Demikian
seterusnja, Khoe San menjerang, dia disusul Thian
Kang, dan kalau Khoe Hong mentjambuk, dia diikuti
Thian Hay. Rapat penjerangan mereka itu.
Setelah memperhatikan tjara pengepungan itu. In
Hong mulai bersiul. Dengan begitu ia memberi
isjarat kepada Kat Po, mengadjari bagaimana kawan
ini harus bertindak.
Segera djuga datang tjambuknja Khoe San. In Hong
lompat berkelit. Kali ini ia tidak menjingkir
seperti biasanja tadi. Ia djusteru lompat ke arah
Thian Hay. Ketika itu, Thian Kang menikam Kat Po.
Kat Po mestinja berlompat ke tempat kosong, tetapi
sekarang dia menjingkir ke samping Khoe Hong,
dengan begitu, keduanja menukar haluan, mereka
menukar siasat. Tjara ini membingungkan keempat
lawan mereka.
In Hong lompat kepada Thian Hay. Dia ini mau
menjingkir tetapi tidak keburu, dia kena ditendang
pada lengannja, pisau belatinja terlepas dan
mental tinggi, djatuh ke tanah, ketika dia sedang
kaget dan gelagapan, dia ditendang pula. Maka
robohlah dia, rebah di tanah sambil merintih!
Kat Po terlambat dua sekon dari In Hong untuk
tiba di dekat Khoe Hong, akan tetapi untuk
menjerang ia belum kasip. Ia tidak semurah hati
kawannja. Ia lantas menindju dengan sekuat
tenaganja. Khoe Hong mau berkelit, tetapi dia
masih terlalu ajal, walaupun dia tertindju tidak
telak tetapi dia toh merasakan sakit pada
pundaknja dan matanja kegelapan, dia merasa
dirinja terputar, segera dia djatuh terbanting
dengan tak sadarkan diri.
Khoe San dan Thian Kang melihat saudara-saudara
mereka roboh, mereka menjerang dengan terlebih
sengit, akan tetapi sekarang mereka satu lawan
satu, meski djuga mereka menggunai sendjata,
mereka tidak bisa berbuat banjak seperti tadi,
tidak sadja keadaan tak seimbang, mereka malah
kalah angin.
Begitulah, baru selang dua-tiga menit,
bergantian mereka kena dibikin mentjium tanah.
Sjukur untuk mereka, lawan-lawannja tidak madju
terus untuk menghabiskan djiwa mereka.
Pihak Hok Pay bersorak-sorai.
„Tjambuknja Khoe San dan Khoe Hong tidak ada
tandingnja di kolong langit ini!” berkata keempat
pelawak, menggoda. Mereka pun beraksi. „Pisau
belatinja Thian Kang dan Thian Hay liehay luar
biasa! Sajang hari ini nasib mereka buruk, djadi
bukannja kepandaian mereka jang bangpak!”
„Memang! Hari ini mereka bertempur tanpa
memeriksa kitab Lak Djit!"
„Kalau begitu, biarlah mereka memeriksanja!
Mereka boleh pilih hari jang baik, nanti mereka
datang bertempur pula!”
„Mereka tidak bakal dapat memilih hari jang
baik! Tidak untuk selama-lamanja! Mereka
djanganlah membikin kita malu sadja!”
Semua edjekan itu membikin sesak dada Khoe San
dan Thian Kang, mereka gusar tetapi mereka tidak
bisa berbuat apa-apa, terpaksa mereka telan
kemendongkolan mereka itu. Dengan apa boleh buat,
mereka memanggul saudara-saudara mereka jang tak
berdaja itu, untuk dibawa masuk ke „daerah
terlarang.”
Rombongan Hok Pay mengurung In Hong dan Kat Po,
mereka bernjanji dan bersorak-sorak, mereka
berdjingkrakan saking girang dan puas.
Khoe Hong tetap penasaran. Tiba di dalam, ia
membuka pintunja dua ekor orang-hutan, jang tinggi
dan besar, jang romannja galak sekali, hanjalah,
karena binatang itu terpelihara lama dan terdidik
baik, keduanja mengerti maksud pelatihnja. Khoe
Hong merasa pasti, dalam seratus bagian,
tudjuhpuluh bagian kedua binatang itu mendengar
kata-katanja. Oleh karena hatinja lagi panas,
tanpa pikir-pikir lagi, ia mengasi keluar dua
binatang liar itu.
Ia tidak mau ingat bahwa mungkin kedua binatang
itu mentjelakai lain orang. Jang ia kehendaki
jalah agar keduanja membinasakan In Hong dan Kat
Po, djuga beberapa pelawak jang dianggapnja sangat
mendjemukan itu.
Kedua oranghutan itu lantas mengasi dengar
suaranja jang menjeramkan, mulut mereka
dipentang, mengasi lihat gigi mereka jang besar
dan tadjam. Keduanja tinggi kira2 sembilan kaki
dan tenaganja besar limaratus kati lebih. Keduanja
mengikuti pelatihnja itu keluar dari batas pagar.
Boe Tjian Kin jang rebah di tanah di luar pagar
belum berbangkit ketika ia melihat oranghutan itu,
saking takutnja, ia lantas merajap bangun, untuk
lari sekeras-kerasnja.
Segera djuga rombongan Hok Pay melihat
kembalinja Khoe Hong beserta dua ekor binatang
liar itu, mereka pun takut, sambil berseru-seru,
mereka kabur serabutan. Maka sekedjab sadja, di
situ tinggal In Hong berdua Kat Po.
Khoe Hong madju di muka, ia masih mentjekal
tjambuknja. Ia mendekati In Hong, untuk segera
menjabet, ketika si nona lompat berkelit, ia terus
menjabet Kat Po. Dia ini djuga berlompat
menjelamatkan dirinja.
„Dasu! Dasu!” Khoe Hong mengasi dengar
suaranja, tanda untuk binatangnja itu madju
menjerang.
In Hong mengenakan kemedja kuning muda
demikianpun warna tjelana djasnja, dan Kat.Po
memakai serupa pakaian hanja warnanja putih, maka
itu, mereka gampang sekali dikenali, maka djuga
kedua binatang itu, jang mengerti maksud
pelatihnja, segera madju untuk menubruk masingmasing
seorang nona.
In Hong berkelit, ia bebas dari terkaman. Untuk
ke-dua kalinja, ia diserang pula. Sangat gesit
binatang liar itu.
oranghutan jang lainnja menjerang Kat Po. Dia
gagal, sebab nona itu pun berkelit. Dari itu, dia
mengulangi serangannja. Kali ini keduanja berada
dekat satu dari lain.
Dua-dua In Hong dan Kat Po merasakan kesulitan.
Mereka tidak bersendjata. In Hong pun tidak
membekal panah-pendeknja, jang ada dua rupa, jalah
jang satu dipakaikan obat membikin tenaga beku,
jang lain direndamkan obat beratjun. Terpaksa
mereka melajani dengan tangan kosong. Mereka djuga
sungkan lari.
Mereka menginsafi, djikalau mereka menjingkir,
dua oranghutan itu mungkin akan menjerang lain
orang.
Kat Po kalah tenang dari In Hong. Ia mulai
mendjadi bingung.
In Hong, jang tenang luar biasa, tetapi sangat
lintjah, masih sempat memperhatikan kawannja.
„Kwee Pou, ingat!” ia memperingati....
Berlakulah tenang!”
„Dasu! Dasu!” Khoe Hong sebaliknja
mengandjurkan dua „pahlawannja,” supaja kedua
oranghutan itu menjerang lebih hebat.
Mereka ini tidak bisa menindju tetapi tangan
mereka kuat, kuku mereka tadjam sekali. Tjelaka
siapa kena ditjakar atau ditjengkeram. Tjelaka
siapa kena dipeluk untuk digigit! Itu djusteru
tjara berkelahi jang sukar dilajani.
Kat Po kewalahan. Kegesitan lawan binatang itu
membuatnja sukar menindju atau menendang.
Lantaran terlalu sering berkelit atau
berlompatan, ia mulai mandi keringat, hingga
napasnja mulai memburu djuga.
In Hong pernah menindju punggung si oranghutan,
akan tetapi kenanja tidak telak. Binatang itu
tidak sadja kuat sekali, djuga dia pandai
berkelit. Tindju melesat di punggungnja, jang
dagingnja keras-keras empuk.
Dari pihak Hok Pay, ada beberapa jang datang
pula, untuk menonton. Mereka hanja mendjauhkan
diri. Mereka ini berkuatir melihat Kat Po, jang
kena terdesak lawan binatang itu. Beberapa kali
nona ini hampir kena ditjengkeram.
In Hong turut berkuatir djuga. Ia melihat
kawannja terantjam sedang ia sendiri tidak
mendapat kesempatan untuk membantui.
Ia sendiri lagi didesak oranghutan musuhnja
itu. Binatang itu penasaran tidak dapat
menjengkeram orang, dia gusar dan berulang-ulang
mengasi dengar suaranja jang menjeramkan.
Empat kali In Hong ditubruk saling-susul, ia
senantiasa beikelit dengan berlompat, ketika ia
ditubruk untuk ke-lima kalinja, ia berlompat lebih
djauh lagi, hingga ia terpisah djauh djuga dari
binatang jang seperti kalap itu.
Orang-orang Hok Pay jang menonton itu berkuatir
bukan main mendapatkan si nona terdesak demikian
rupa, selagi hati mereka berdebaran, lantas mereka
melihat tubuh In Hong terhujung dan oranghutan itu
lantas lompat menubruk!
VII
NASIBNJA IBU DAN ANAK
Khoe Hong bersorak melihat si nona ditubruk.
Boe Tjian Kin bersama Thian Kang dan jang
lainnja pun turut menjaksikan pertarungan manusia
lawan binatang jang kipa itu, mereka girang hingga
ada jang bersorak sambil berdjingkrakan.
Tapi In Hong tidak kena ditubruk. Ketika
tubrukan datang, ia menggulingkan diri untuk terus
berlompat bangun. Itulah tipu silat „Lee hie ta
teng,” atau „Ikan gabus meletik.” Ia menggunai
siasat ketika ia jatuh. Itulah djatuh bikinan.
Selagi tengkurap, tangannja meraup debu. Begitu
ia lompat bangun itu, begitu ia disusul pula,
tetapi kali ini, tempo ia berkelit, ia mengajun
sebelah tangannja, maka menjamberlah debu jang
tergenggam di dalam tangannja itu!
Biarnja dia sangat tjeli dan gesit, oranghutan
itu tidak dapat berkelit dari serangan debu itu,
jang boleh dikatakan mirip dengan serangan kosong,
sebab tangan si nona tak sampai kepada kepala atau
tubuhnja. Dia mendjadi kaget dan gelagapan, mata
kanannja dirasakan perih. Dia gusar, dia mengutjak
matanja jang kelilipan itu! Biar bagaimana, inilah
perintang baginja, maka tempo dia menerkam pula
kawannja, dia bergerak kurang leluasa. In Hong
sebaliknja. Djusteru ia diterkam, ia berkelit
seraja mengajun tangannja jang lain. Maka lagi
sekali debu menjambar. Maka kedua-dua matanja
oranghutan itu kelilipan, repot dia mengutjakngutjak
matanja itu!
In Hong telah mendapatkan ketikanja, tanpa ajal
lagi, ia berlompat ke belakang musuh, untuk
menotok seperti tadi ia menotok Boe Tjian Kin. Ia
menggunai dua djarinja, telundjuk dan tengah.
Untuknja, totokan djauh lebih berbahaja daripada
tindju. Ia pun menotok pinggang di mana ada bagian
jang lemah. Tapi oranghutan itu ulet sekali, dia
tidak roboh, dia hanja mendjadi kurang
kegesitannja. Karena ini, dia kena ditotok pula
pinggang kirinja, hingga dia terhujung. Dia masih
dapat bertahan, dengan serampangan dia menubruk
musuhnja.
„Kwee Pou, mari kita bertukaran!” In Hong
berkata kepada Kat Po. „Binatang lawanku ini telah
terluka!”
Sembari berkata begitu, In Hong berlompat ke
arah Kat Po, kepada oranghutan, jang ia tindju
punggungnja, guna membikin binatang itu gusar dan
ganti menerkam padanja.
oranghutan itu benar gusar, dia berbalik
menerkam.
Kat Po menghela napas lega, ia lantas
menghampirkan lawannja In Hong, guna menggantikan
melajani musuh jang telah terluka ini. Ia sudah
lelah tetapi sekarang ia dapat bernapas.
Ketika itu tibalah Kho Tat Tjie bersama Kho Tat
Giok dan Hok Hong, jang baru kembali habis
bepergian. Si pemilik, jang hatinja lemah, lantas
mendjadi ketakutan.
„Lekas panggil balik dua oranghutan itu!” ia
berkata pada Kho Hong. „Lekas kasi masuk ke dalam
kurungannja! Nanti terbit onar!”
Khoe Hong tidak menggubris madjikannja itu.
„Dasu! Dasu!” bahkan dia terus mengandjurkan
binatangnja.
„Lao Kho, apakah artinja ini?" Hok Hong menoleh
kepada Tat Tjie. „Lekas suruh kedua binatang itu
dikurung!"
Tat Tjie berlaku tenang, dengan asjik ia
menjedot sigaretnja. „Bukankah kau sendiri jang
membilang kedua nona itu liehay sekali?” direktur
ini kata, membaliki. „Biarlah mereka berlatih
terhadap kedua oranghutan itu! Mungkin kita nanti
mentjatat ini matjam pertandingan untuk atjara
kita!”
„Mana bisa manusia melawan binatang liar!" kata
Hok Hong, bertambah bingung. „Mereka pasti
terantjam ketjelakaan. Lao Kho, tolonglah
mereka.....”
Tat Tjie terus mengepul-ngepulkan asap
sigaretnja. Ia tidak memperdulikan si pemilik atau
peseronja itu. Ia hanja menoleh kepada Kho Hong,
untuk memasang omong, ia seperti telah mendjadi
tuli dengkak.
In Hong tidak bersendjata, sulit untuk
merobohkan atau mengalahkan oranghutan itu. Maka
ia memikir akal pula. Lantas ia ingat, pisau
belatinja Thian Hay, jang tadi ia kena tendang
hingga terpental. Sembari berkelahi, diam-diam ia
memasang mata. Di sana ada sendjata tadjam itu,
jang belum sempat disingkirkan. Lantas ia
bekerdja. Ketika ia diterkam, ia berkelit, habis
berkelit, dia berlompat, untuk lari ke pinggir
pagar. Di sana terletak pisau belati itu. Ia
membungkuk untuk memungutnja. Ia dikedjar, lagilagi
ia ditubruk. Seperti biasa, ia berkelit,
terus ia lari kembali ke tengah gelanggang. Ia
berlari-lari, mengasi dirinja diburu oranghutan
itu, jang telah mendjadi seperti kalap saking
gusarnja.
Binatang itu, dalam penasarannja, menerkam
pula.
Dengan sebat In Hong berkelit. Sekarang ia
bukannja berlompat djauh. Ia melainkan menggeser
sedikit tubuhnja, tjuma untuk membebaskan diri.
Berbareng dengan itu, tangannja melajang,
menjamberkan pisaunja ke pinggang binatang itu.
Tepat tikamannja ini!
oranghutan itu kaget dan kesakitan, dia
berlompatan. Dia djadi semakin gusar. Lantaran dia
tidak roboh, dia berbalik untuk menerkam pula.
Darah keluar dari lukanja itu.
In Hong berlari-lari pula. Ia menikam demikian
rupa hingga pisau nantjap di pinggang. Dengan
berlari-lari, ia hendak mentjabut pisau itu. Pula,
dengan terluka dan mengeluarkan darah, tenaganja
binatang itu bakal lekas mendjadi berkurang.
Terus In Hong main berkelit. Ia berhasil dengan
siasatnja ini. Tepat binatang itu mulai lelah, ia
berhasil mentjabut pisau belati itu. Maka selang
lagi beberapa menit, sendjata itu sudah bisa
ditantjapkan lagi beberapa kali di tubuhnja. Maka
achir-achirnja, robohlah oranghutan itu, napasnja
empas-empis, menantikan kematiannja.
Sampai itu waktu, barulah Khoe Hong dan Kho Tat
Tjie mengambil tindakan, untuk menghentikan
pertempurannja Kat Po dengan oranghutan jang sakit
matanja itu. Mereka gagal dengan niat mereka
mentjelakai kedua nona, mereka bahkan rugi
binatang kesajangan itu, jang harganja mahal dan
telah terlatih sempurna djuga.
In Hong berdiam untuk beristirahat. Kat Po ada
demikian letih, dia sampai tidak dapat segera
menggeraki pula tangan dan kakinja. Tapi mereka
toh gembira. Kawan-kawannja, jalah pihak Hok Pay,
lantas mengiringi mereka kembali ke tenda mereka,
di mana mereka mengadakan sematjam pesta
kemenangan.
Kho Tat Giok tjerdas sekali. Ia mentjurigri
keras Heng Boen dan Kwee Pou masuk ke dalam circus
karena sesuatu maksud. Begitulah ia memanggil Boe
Tjian Kin ke tendanja.
„Lao Boe,” katanja, „ketika itu hari kau pegat
Sie Tjiang, kau bilang bahwa kau telah dirintangi
seorang nona jang kosen. Apakah kau kenali nona
itu? Bukankah dia salah seorang dari antara Heng
Boen dan Kwee Pou?”
„Aku pun tjuriga,” menjahut Tjian Kin. „Aku
tidak melihat tegas mukanja nona itu tetapi dia
mirip sekali dengan Kwee Pou...............”
Tat Giok lantas berpikir. Keras ia merabahrabah.
Achirnja dahinja berkerut. Lalu ia mendjadi
sangat sengit sendirinja.
„Inilah hebat!” kata ia kemudian. „Tjelaka
benar! Tahukah kau, siapakah Heng Boen dan Kwee
Pou itu ?”
Tjian Kin menggeleng kepala.
„Aku tidak tahu,” sahutnja.
„Merekalah In Hong dan Kat Po si pembentji
kedjahatan!” kata Tat Giok. „Merekalah si bandit
wanita jang terkenal, Oey Eng dan Pek Kek!”
Tjian Kin terkedjut, dia lantas lari keluar,
untuk pergi memberi kabar pada Tat Tjie.
That Giok bersenjum melihat berlalunja si orang
kuat. Nona ini telah mempunjai rentjananja
sendiri. Semendjak ia mendapat tahu Sie Tjiang
gagal ditjelakai Tjian Kin, karena ditolong
seorang nona tidak dikenal, ia sudah menukar
rentjananja. Ia mulanja bekerdja sama Tat Tjie,
sang kakak. Sekarang ia mau bekerdja sendiri. Ini
sebabnja mengapa ia melarang dibunuhnja Sie
Tjiang. Ia takut nanti didjebluskan ke dalam
pendjara umpama kata Kat Po menjusul dan menolongi
Sie Tjiang, atau kalau bukti-bukti kematian Sie
Tjiang dapat dipetjahkan Kat Po dan In Hong. Ia
tidak memikir pula untuk membinasakan pemuda
tampan she Eng itu. Sebaliknja, meski mesti
menentang kakaknja, ingin ia menolongnja. Ia
penudju anak muda itu, jang ia ingin djadikan
suaminja!
Djikalau tidak ada sesuatu halangan lain, Sie
Tjiang akan mendjadi achliwaris Seng Yoe Tek.
Itulah berarti harta besar. Bagaimana manis kalau
ia mendjadi isteri Sie Tjiang jang berharta itu?
Maka djuga Sie Tjiang dipakaikan sarung binatang,
untuk mentjegah dibinasakannja. Tat Giok
memikirkan djalan untuk menolong dan membebaskan
pemuda itu. Terhadap Tat Tjie dan kawan-kawannja,
ia tidak takut. Ia merasa nanti mendapat djalan
untuk membebaskan diri dari mereka itu. Hanja
sekarang, ia mesti berhadapan sama In Hong jang
ia malui. Karena ini, ia telah memikir untuk
lekas-lekas dapat membaiki Sie Tjiang. Djikalau
ia berhasil, baginja itulah kemenangan terachir.
Malam itu, dalam kesunjiannja kubu-kubu Ka Ka
Roon Circus, Tat Giok berdandan dengan mentereng
sekali. Diam-diam ia pergi ke tenda binatang liar.
Ia membuka kurungan si oranghutan palsu.
„Tuan Eng, hendak aku menolongi kau,” ia
berkata, perlahan. „Lekas kau keluar.”
Sie Tjiang heran. Ia pertjaja betul bahwa ialah
sisa mati. Karena pengaruhnja obat gagu, ia tetap
belum bisa bitjara. Pertjuma ia hendak
mengutjapkan sesuatu. Ia mendengar suara orang,
ia tidak dapat melihat tegas orangnja. Di dalam
gelap-gulita, ia melainkan melihat suatu bajangan
tubuh jang langsing.
Ia menduga kepada In Hong atau Kat Po, karena
itu, ia lantas merajap keluar dari kurungannja.
Ia mengikut waktu ia diadjak memasuki sebuah tenda
jang terperlengkap mewah.
Tenda itu terang sekali. Medja dan kursinja
dapat dilipat, demikian djuga pembaringannja.
Tapi Sie Tjiang tidak sempat memperhatikan itu,
ia hanja mengawasi nona penolongnja. Dialah
bukannja In Hong atau Kat Po. Bahkan ia mendjadi
terperandjat. Ia mengenali Kho Giok Hoan, si
wanita tjantik jang mendjadi budjangnja Seng Yoe
Tek. Ia memangnja djeri terhadap wanita itu, jang
ia anggap bagaikan kala atau ular berbisa.
„Seharusnja aku menolongi kau sedari siangsiang
akan tetapi sajang sekali, ketikanja tidak
ada, barulah sekarang ini. Aku menjesal sekali,
aku minta sukalah kau memberi maaf.....”
Sie Tjiang berdiam. Taruhkata ia mau bitjara,
suaranja tak akan keluar.
„Aku pertjaja,” kata pula si nona, tetap manis,
„kau tentunja heran melihat aku berada di dalam
circus ini.”
Sie Tjiang tetap membungkam.
Giok Hoan ingat bahwa orang tidak dapat bitjara,
maka ia menarik latji medjanja untuk mengeluarkan
kertas dan potlot, jang mana ia kasikan kepada
anak muda itu.
„Kau menulislah supaja kita dapat bitjara!”
Sie Tjiang mengangkat tangannja, jang merupakan
kuku tjengkeraman, ia mentjoba mendjepit potlot
itu. walaupun tidak leluasa, ia paksakan djuga
menulis: „Aku melihat kau main ajunan setinggi
empatpuluh kaki, maka tahulah aku bahwa kau
mempunjai kepandaian jang luar biasa. Djusteru
karena kepandaian kau itu, aku mendjadi bertjuriga
atas dirimu. Pasti ada maksudmu maka kau bekerdja
sebagai budjang di rumah Yoe Tek. Aku menduga
kaulah jang mentjuri tiga patung mustika itu serta
membunuh Pek Hoa.........”
„Aku minta kau djangan salah mengerti,” si nona
segera memotong. „Memang, aku bekerdja pada
keluarga Seng dengan suatu tugas.” Ia hendak
menjelimuti maksudnja jang sebenar-benarnja itu.
„Akan tetapi aku kena dipengaruhi kawan-kawanku
dan titah mereka itu tidak dapat aku tentang. Tapi
tugas itu aku lakukan sampai di batas hanja
memberikan segala kabaran sadja. Aku tidak tjampur
soal pentjurian dan pembunuhan itu, untuk itu ada
orangnja jang lain.”
„Siapakah dia?” Sie Tjiang menulis pula.
„Aku tidak tahu. Mereka tidak memberitahukan
itu kepadaku. Aku telah dipaksa berdiam di rumah
keluarga Seng itu sebagai mata-mata, aku melakukan
itu dengan merasa sangat tersiksa....” Ia mengasi
lihat roman berduka. „Maka itu ketika mereka telah
mentjuri mustika dan membunuh nona Seng, lantas
aku mengambil keputusan untuk berontak, guna
membebaskan diri dari pengaruh mereka.........”
Airmatanja Tat Giok lantas meleleh turun. Ia
tjantik, sekarang ia menangis, romannja demikian
sedih, ia nampak harus dikasihani.
Di antara liang matanja si oranghutan, Sie
Tjiang melihat tegas nona ini, maka maulah ia
pertjaja bahwa dia benar-benar sudah dipengaruhi
kawan-kawannja, bahkan ia mau pertjaja djuga
benarlah si pentjuri dan si pembunuh jalah lain
orang.
„Djikalau begitu, keliru aku menjangka kau,
Njonja Kho,” tulisnja.
Diam-diam girang Giok Hoan, jang tindakannja
jang pertama telah memperoleh hasil. Ia bertindak
terlebih djauh.
„Djangan panggil aku Njonja, panggil sadja
nona,” ia kata. Ia mau maksudkan bahwa ia belum
menikah, bahwa ia masih perawan. „Ketika malam itu
mereka hendak membunuh kau, untuk didjadikan umpan
singa dan harimau, aku bingung sekali, tidak tahu
aku bagaimana harus menolong kau, maka dalam
keadaan terdesak itu, aku terpaksa masuki kau ke
dalam sarung oranghutan ini.........”
„Kenapa kau minumkan aku obat gagu?” Sie Tjiang
menulis pula.
„Tanpa berbuat begitu, tidak nanti mereka suka
mendengar perkataanku. Tapi djangan kau takut,
kekuatan obat itu tjuma untuk satu bulan,
selewatnja itu kau bakal dapat bitjara pula
seperti biasa. Kau tahu, selama di dalam
pelajaran, beberapa kali mereka hendak
melemparkan kau ke dalam laut, saban-saban akulah
jang mempergunakan pelbagai akal mentjegahnja.
Demikian aku dapat melindungi kau. Karena
perbuatanku ini, sekarang aku ditjurigai mereka,
aku dituduh berchianat. Sekarang aku terantjam
bahaja. Mereka itu jalah orang-orang jang biasa
membunuh manusia tak berkedip mata.........”
„Bukankah Tat Tjie itu kakakmu?” Sie Tjiang
tanja dengan tulisannja.
„Bukan saudara kandung. Semendjak masih ketjil
sekali aku dirawat ibunja. Umpama kata aku
berchianat terhadapnja, tanpa sangsi-sangsi dia
bakal membunuh aku!”
„Habis, bagaimana sekarang kau hendak menolongi
aku? Kau sendiri terantjam bahaja!" tulis pula si
anak muda.
„Besok malam mereka itu bakal menghadirkan
pesta, maka baiklah kita menggunai ketika itu
untuk lolos dulu dari tangan mereka,” menjahut si
nona. „Aku memikir untuk kita menjingkir ke
propinsi Inlam, sedikitnja buat beberapa bulan.
Makin djauh kita pergi, makin baik. Perlahan-lahan
sadja kita memikirkan daja-upaja jang sempurna
untuk menghadapi mereka itu.........”
„Kenapa kita tidak mau pergi pada polisi untuk
minta pertolongan?” Sie Tjiang menulis, menanja.
Itulah pendapatnja jang paling sederhana.
„Pertjumalah tindakan itu. Telah aku bilang,
pengaruh mereka sangat besar. Kau toh tidak
mempunjai sesuatu bukti untuk menuduh mereka,
bukankah?”
„Kalau begitu, kenapa kita mesti menjingkir ke
Inlam, bukannja ke Shanghai?”
„Kita mesti menjingkir ke suatu tempat jang
mereka tidak dapat duga, supaja tak dapat mereka
mentjari kita. Tidak demikian, kita lolos tetapi
kita tidak bebas dari antjaman mereka. Djadinja
kita terus berada dalam bahaja, jang tak dapat
kita djaga atau tjegah. Malam itu pun, djikalau
tidak seorang nona menolongi kau, pasti sudah kau
terbinasa di tangannja si orang kuat Boe Tjian
Kin! Bukankah pepatah membilang, ’Seribu tahun
dapat kita mendjadi bangsat, tidak seribu tahun
kita bisa mendjagai pendjahat? Kau seorang pintar,
kau tentu mengerti maksudku ini.”
„Nona jang menolongku malam itu jalah Kat Po,
adik seperguruan dari Nona In Hong jang kesohor,”
Sie Tjiang menulis mendjelaskan. „Mereka jalah
sahabat-sahabatku.”
„Djikalau mereka sahabat-sahabatmu, mengapa
lambat sekali mereka menolongi kau?” Tat Giok
membaliki.
„Mungkin mereka lagi sibuk mentjari aku. Aku
pertjaja mereka bakal menolong aku!” Sie Tjiang
menuliskan kepertjajaannja.
„Ah, djangan kau bermimpi!” bilang si nona. Ia
lantas berpura-pura menghela napas berduka.
„Kedua nona gagah itu telah berpisah dari dunia
jang fana ini, bahkan matinja pun dalam tjara
sangat hebat dan menjedihkan....”
Sie Tjiang terperandjat
„Apa?” tulisnja. Itulah semengga-mengganja
tjoretan jang dia dapat bikin.
„Boe Tjian Kin berenam telah menjembunjikan
diri di luar rumah In Hong. Mereka menanti sampai
djauh malam di waktu mana kedua nona itu baru
pulang. Dengan lantas mereka menembak dengan
berbareng. Setelah selesai tugas mereka, mereka
lantas pergi menghilang. Besoknja aku batja dalam
surat-surat kabar halnja In Hong dan Kat Po
terbinasa ditembaki orang-orang djahat jang tidak
dikenal, bahwa tubuh mereka tertembak mirip liangliang
sarang tawon. Kau pikir, mereka jang gagah
masih dapat dibinasakan setjara demikian,
bagaimana lagi dengan kita berdua?”
Tat Giok bitjara dengan beraksi bagus sekali.
Sukar untuk tak mempertjajainja.
„Apakah kau merasa pasti kita bakal dapat lolos
besok malam?” Sie Tjiang tulis.
„Besoklah ketika jang paling bagus. Dan kita
tidak dapat melepaskannja,” menjahut si nona.
„Maukah kau turut aku menjingkir? Segalanja telah
aku atur.”
Kabur tidak bisa, bitjara tidak bisa djuga.
Ingin ia dapat keluar dari selubung kulitnja itu,
untuk dapat bergerak dengan leluasa, guna
mengendus udara segar. Maka itu tanpa banjak pikir
lagi, ia menerima baik tawaran itu.
Tat Giok girang bukan kepalang. Rentjananja
jang nomor dua telah memberi hasil.
Demikianlah malam itu, sambil menanti malam
jang ditunggu-tunggu, Sie Tjiang tetap berdiam di
dalam kerangkengnja. Ia pertjaja ia bakal lekas
bebas dan kabur.........
Besoknja siang, Tat Tjie semua mengadjak Tat
Giok berunding. Mereka tidak tahu bagaimana harus
menghadapi In Hong, dari itu, mereka minta
bantuannja nona ini jang tjerdik. Mereka pun tanja
bagaimana mereka harus bertindak guna
menjingkirkan Sie Tjiang serta Lee In ibu dan
anak. Mereka belum tahu bahwa nona ini telah
mempunjai rentjananja sendiri.
„Bukankah sebentar malam pemilik tanah
mengundang kita serta Hok Hong menghadirkan
pestanja?” Tat Giok tanja. „Habis pesta, selagi
berdjalan pulang, baiklah kamu membudjuk hingga
Hok Hong suka pesiar malam, berputar-putar dengan
oto. Kamu mesti bikin agar Hok Hong jang memegang
setir. Di lain pihak, kamu mesti atur agar Thian
Hay bersama Khoe Hong dapat membawa Lee In dan
anaknja menantikan di suatu tempat sepi di tepi
djalan. Selagi mendekati tempat itu, Hok Hong
mesti diandjurkan menambah gas. Tepat di saat oto
lari keras, Thian Hay dan Khoe Hong mesti
melemparkan Lee In dan anaknja ke tengah djalan,
hingga tubrukan tidak dapat dielakkan tagi, hingga
mereka itu pasti mendjadi setan-setan djalanan.
Thian Hay dan Khoe Hong mesti segera menjingkir,
untuk membiarkau Hok Hong jang bertanggung-djawab
sendiri. Dengan tjara demikian, lenjap ibu dan
anak itu serta Hok Hong bakal mendekam di pendjara
buat sepuluh tahun atau lebih. Dengan begitu
djuga, hak circus jang separuhnja lagi dengan
sendirinja terdjatuh ke dalam tangan kita!
Tidakkah ini bagus?”
„Bagaimana andaikata ada jang mentjurigai Thian
Hay dan Khoe Hong tidak turut menghadiri pesta?”
tanja Tat Tjie.
„Mereka telah menempur In Hong dan Kat Po,
mereka mendapat luka di dalam, apakah itu bukannja
alasan?” balik tanja Tat Giok.
„Bagaimana dengan In Hong dan Kat Po?"
„Itulah gampang. Di waktu pertundjukan, atas
nama direktur, kau paksa mereka main tambang
tinggi limapuluh kaki. Tentu sadja, tihangnja
mesti diolah dulu, jalah gergadji di sana-sini
tetapi mesti dibikin tak terlihat atau tak
terkentarakan, umpama ditjat dengan rapi. Mereka
mesti disuruh naik dengan berbareng. Di dalam
tempo jang pendek, tihang tentulah patah dan
roboh. Tidak peduli mereka itu liehay sekali,
djatuh dari tempat tinggi limapuluh kaki, mereka
pastilah tidak akan bisa hidup lebih lama pula!”
Pikiran ini diterima dengan kegirangan.
Maka dua kali sudah Tat Giok telah memperoleh
kemenangan.
„Sekarang bagaimana dengan Sie Tjiang?” orang
tanja pula.
„Serahkan dia padaku. Sebentar malam aku tidak
turut ke medan pesta. Aku akan melakukan sesuatu
jang terahasia guna membikin dia lenjap tanpa
bekas tanpa bajangan!” berkata si nona, sikapnja
sangat bersungguh-sungguh.
„Daja apakah itu kau hendak pakai?” Khoe San
menanja.
„Namanja sudah rahasia, sudah tentu tidak dapat
itu didjelaskan sekarang!” djawab si nona. „Pendek
kata, kalau nanti kamu kembali dari medan pesta
serta selesai tugas kamu, kamu akan mendapatkan
Sie Tjiang sudah lenjap, tubuhnja telah mendjadi
abu jang entah terbang ke mana.....”*
Tentu sekali nona ini mau maksudkan Sie Tjiang
telah terbang bersamanja ke Inlam!
„Bagus!” seru Tat Tjie. „Si Giok banjak akalnja,
pasti dia dapat melenjapkan Sie Tjiang!”
Kakak ini pun pertjaja sangat adiknja jang
tjerdik itu.
Tat Giok mengatur rentjana untuk kawan-kawannja
itu, dengan demikian, ia berbareng pun membuatnja
mereka masuk dalam perangkapnja. Djikalau mereka
itu berhasil, untuknja tidak ada bahajanja, bahkan
ada kebaikannja. Kebinasaan Lee In dan anaknja
jalah keinginannja. Umpama mereka berhasil
separuh, ia masih menang, sebab Sie Tjiang telah
tergenggam olahnja. Selama di tengah djalan atau
di Inlam. ia pertjaja ia akan terus dapat
mempengaruhinja. Ia pertjaja betul, tidak nanti
ada orang jang dapat membuktikan dialah si
pentjuri mustika dan pembunuhnja Pek Hoa.
Setelah berapat itu, seorang diri Tat Giok
keluar, untuk diam-diam mengatur segala apa untuk
buronnja itu.
Tat Tjie bersama Boe Tjian Kin, Khoe San dan
Thian Kang djuga pergi bekerdja, guna mengatur
segala persiapan.
Di dalam tenda tinggal Khoe Hong bersama Thian
Hay, jang terluka. Mereka telah makan dan pakai
obat dan beristirahat, dengan begitu mereka sudah
sembuh tudjuh atau delapan bagian; mereka hanja
masih terus beristirahat.
Disitu pun ada Siauw Long bersama Tjian Kiauw
Kiauw dan anaknja, Tjian Poet Kie. Sianw Long
mendapat tugas dari Tat Tjie untuk mengawasi Lee
In ibu dan anak.
Lee In dan Siauw Lee rebah di atas pelbed, tubuh
mereka dikerebongi selimut tipis, kepala mereka
berada di luar. Si andjing putih ditjangtjang di
kaki pelbed, diikat dengan sehelai tali kulit.
Mereka tak bersuara, tak berkutik djuga, mata
mereka mengawasi ke luar tenda. Keadaan mereka
mirip orang-orang jang lagi diserang demam panasdingin.........
Tidak lama, pintu tenda terbuka, lalu terlihat
Kiauw Kiauw masuk bersama Poet Kie.
„Pergi kamu!” Siauw Long mengusir. „Siapa
menjuruh kamu datang ke mari? Mereka ini lagi
menderita penjakit menular! Apakah kamu tidak
takut mati?”
Bengis suaranja pengawas ini.
„A Long, aku hendak bitjara sama mereka,
sebentar sadja,” kata Kiauw Kiauw. „Habis bitjara,
kami akan lantas pergi pula.”
Poet Kie tidak takut, ia mendekati Siauw Long,
untuk menolak tubuh orang.
„Kau tidak takut, kami pun tidak,” kata botjah
ini.
Dalam usia pertengahan, Kiauw Kiauw masih
terlihat menarik hati, suatu tanda di waktu
mudanja ia tjantik sekali, pantas Yoe Tek tergiur
terhadapnja. Sudah lama ia ingin bitjara sama Lee
In hanja belum ada ketikanja, sampai malam ini
orang pada pergi, tinggal Siauw Long seorang. Ia
pun tidak memperdulikan larangan si pengawas, ia
masuk terus, masuk ke dalam ini tenda istimewa.
„Aku Tjian Kiauw Kiauw dan ini anakku, Tjian
Poet Kie,” katanja kemudian kepada Lee In. „Kita
belum pernah bertemu, tetapi dengan melihat wadjah
anakku ini, kau pasti akan mengenali siapa kami.”
Dia bitjara di depan pelbed, suaranja perlahan.
Lee In mengawasi Poet Kie, ia lantas mengerti.
Maka ia mengangguk.
„Rombongan ini hendak menggunai kami ibu dan
anak sebagai alat untuk merampas hartanja Seng Yoe
Tek,” kata Kiauw Kiauw pula. „Dengan begitu dengan
sendirinja kami berada di dalam pengaruh
mereka.....” Kali ini, ia berbisik. „Kami tidak
setudju tetapi kami tidak berdaja untuk
mentjegahnja. Kenapa kamu berdua masuk sendiri ke
dalam djaring ini? Kamu tahu, keadaan kamu
berbahaja sekali! Kenapa kamu tidak mau lekas
menjingkirkan diri?”
Yo Lee In berdiam, ia tjuma menggeleng kepala.
„Apakah kamu sakit?” tanja Kiauw Kiauw.
„Sakitkah kau?”
Lee In tetap menggeleng kepala.
Selagi ibunja bitjara itu, Poet Kie jang tjerdik
mendapat kenjataan tangan dan kaki Siauw Lee
dibelenggu. Dengan lantas ia mengeluarkan pisau
lipat dengan apa ia memotong putus belengguan itu.
Selagi mereka itu berbitjara, Siauw Long telah
memanggil Thian Hay.
Poet Kie lekas-lekas merapikan selimut orang.
Siauw Lee ketjil tetapi ia tjerdik. Ia berpurapura
berdiam terus.
„Pergi ke tenda kamu!” mengusir Thian Hay.
„Djikalau lain kali kamu datang ke mari, akan aku
hadjar patah kaki kamu!”
Kiauw Kiauw dan anaknja ngelojor pergi.
Thian Hay memesan Siauw Long untuk djaga terus
dengan waspada, lantas dia kembali ke tendanja
sendiri.
Siauw Long duduk bertjokol di muka pintu sekali,
punggungnja seperti menjender di pintu. Itu
berarti bahwa dia bakal melarang siapa djuga
lantjang masuk ke dalam tendanja Lee In itu.
Lee In memang tidak dapat berbitjara. Semendjak
di kapal, ia dan anaknja telah dikasi makan obat
gagu, hingga hilanglah suara mereka. Bahkan si
andjing putih ditjekoki djuga obat itu, hingga
binatang itu turut tak dapat berbunji.
Siauw Lee menanti sekian lama, diam-diam ia
merajap dari pelbed.
Lee In heran hingga ia bengong mengawasi anaknja
itu. Ia memang tidak melihat sepak-terdjangnja
Poet Kie tadi.
Dengan berindap-indap Siauw Lee pergi ke tenda,
untuk mengintai keluar. Ia melihat Siauw long
duduk bertjokol di pintu. Tentu sekali, tidak
dapat ia keluar dari situ. Ia tidak kekurangan
akal. Ia berdjongkok, untuk membongkar udjung
tenda, dimana ada tanah bekas tergali. Ia merajap
keluar. Maka dilain saat ia sudah menghadapi tenda
jang mendjadi kandang binatang liar.
Sie Tjiang belum tidur, ia melihat Siauw Lee.
Ia kaget. Ia tahu pasti, Siauw Lee dan ibunja
djuga berada dalam kekuasaan rombongan orang
djahat itu. Ia menggapai kepada botjah itu.
Siauw Lee melihat ia dipanggil, takut ia
menghampirkan. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan
hanja dengan oranghutan palsu.
Sie Tjiang masih memegangi kertas dan
potlotnja, ia lantas ■ menulis: „Siauw Lee, mana
ibumu? Kenapa kamu berada di sini? Aku ada di
sini, aku kena mereka.....”
Mendadak ia berhenti menulis. Inilah sebab ia
melihat Sianw Long bertindak menghampirkan,
karena pengawas itu kebetulan mendapat lihat ia
menggapai gapai. Ia tjepat-tjepat melemparkan
kertasnja itu keluar kurungan.
Siauw Long tidak mendapat lihat perbuatan Sie
Tjiang, ia hanja memergoki Siauw Lee. Botjah itu
lari ke luar pekarangan. Ia mengedjar. Tidak lama,
ia berhasil mentjekuk. Maka botjah itu dibawa
kembali ke dalam tenda.
„Kau bisa lari? Ke mana kau hendak kabur?" kata
Siauw Long bengis. Ia tidak mentjari tahu kenapa
botjah itu bebas, ia hanja mengikatnja pula dan
diletaki kembali di atas pelbed, terus ditutupi.
Karena ia takut ditegur, ia tidak melaporkan
kepada Thian Hay.
Di dekat tendanja Sie Tjiang, kertas jang ada
tulisannja itu terbang terbawa angin, terbang ke
sana dan ke mari.
Sementara itu rombongannja Tat Tjie sudah
selesai dengan persiapannja, demikianpun Tat Giok
di lain pihak. Bahkan si nona, untuk berlaku
teliti, menjuruh Tat Tjie mengirim orang akan
mengawasi gerak-geriknja In Hong dan Kat Po.
Tugas mata-mata diserahkan pada Siauw Long.
Hasilnja jalah: Disebabkan kemarinnja bertempur
hebat melawan oranghutan, kedua nona itu belum
pulih kesegarannja, mereka rebah beristirahat
sadja di dalam tenda. Hok Hong telah memberikan
mereka obat luka-luka terpukul buatan circus
sendiri.
Warta itu membesarkan hati mereka untuk
melaksanakan rentjana mereka.
Demikian, selekasnja tjuatja gelap, pergilah
orang ke tempat pesta.
Di waktu magrib, Khoe Hong dan Thian Hay
bekerdja setjara diam-diam. Mereka merusak pagar
bambu di belakang tenda. Itulah tanda dari
kerusakan oleh orang jang buron. Tapi dari situ
mereka membawa keluar Lee In dan Siauw Lee, untuk
dinaiki ke sebuah oto kosong, jang sudah
menantikan, guna membawa ibu dan anak itu ke
tempat jang ditundjuk di mana mereka melakukan
tjara pembunuhan mereka jang ganas.
Itulah sebuah tempat belukar, di sisi djalan
besar jang sepi sekali. Tidak djauh dari situ ada
beberapa buah pohon besar di belakang mana mereka
dapat menjembunjikan diri mereka. Di sini Lee In
dan anaknja dibebaskan, tambang belengguannja
dibuang ke gombolan rumput di dekat situ. Lantas
mereka berdiam, menantikan waktu.........
Malam itu langit gelap, tidak ada rembulan tidak
ada bintang-bintang, melainkan mega hitam
menutupi langit. Maka itu malam mendjadi
menjeramkan.........
Entah berapa lama mereka sudah menanti, maka
dari kedjauhan terdengarlah suara mesin oto, jang
didului dengan sinar lampu sorotnja. Oto itu
dilarikan keras.
„Dut! dut! dut!” terdengar suaranja oto itu,
dua kali pandjang, satu kali pendek.
„Itulah oto kita!” kata Khoe Hong.
„Benar!” kata Thian Hay. „Mari siap!”
Keduanja lantas bekerdja. Khoe Hong mengangkat
tubuh Lee In, dan Thian Hay mentjekal tubuh Siauw
Lee.........
„Dut! Dut! Dut!” suara oto terdengar pula, makin
dekat.
Segera kedua pendjahat itu melemparkan tubuh
Lee In dan Siauw Lee ke djalan besar, mereka
sendiri lantas lari kabur ke tempat belukar dan
gelap. Mereka tidak mau melihat lagi hasilnja
pekerdjaan mereka itu.
VIII
ACHIRNJA
Tidak berselang setengah djam, terdengarlah
suara oto lain mendatangi. Ketjuali suara
mesinnja, dan apinja, jang mentjorong, terdengar
djuga suara „dut-dutnja” tiga kali beruntun, dua
pandjang, satu pendek. Tepat ketika oto tiba di
djalan di mana di tepinja ada sebuah pohon kaju
besar, dari belakang pohon itu tertampak
dilemparkannja seorang dewasa serta satu anak
ketjil.
„Tjelaka!” berseru si pemudi, jang tak berdaja
lagi, maka dua orang itu kena tergilas tanpa
terdengar suara lagi.
Oto segera berhenti sesudah terdjadi
ketjelakaan itu.
Dari dalam oto segera lompat turun beberapa
orang.
„Hok Hong! Kau telah menggiling mati dua orang!"
berkata seorang, jalah Boe Tjian Kin, jang
suaranja keras, meskipun sebenarnja ia belum lagi
memeriksa kurban oto itu.
„Apa aku bilang!” kata Hok Hong, si pemegang
setir itu. „Aku sudah minum tjukup banjak dan aku
tidak sanggup mengendarakan oto, kamu
memaksa..... Ekornja jalah ini
ketjelakaan!.........”
Mereka mendekati kurban-kurban mereka. Dengan
pertolongan lampu batre, mereka memeriksa. Untuk
herannja mereka, njata kurban-kurban itu jalah
anak-anakan jang terbuat dari rumput. Semuanja
mendjadi kaget. Lantas mereka mendjadi
bertjuriga, hingga mereka menduga djelek. Mereka
pun segera mengerti akan antjaman bahaja.
Hanjalah.........
Belum sempat mereka itu memutar tubuh, untuk
lari ke oto mereka, guna menjingkir dari tempat
itu, atau dari kedua tepi djalan besar itu lantas
muntjul enam orang polisi dengan pistol dan
senapan di tangan.
„Angkat tangan!” demikian orang-orang polisi
itu mengantjam.
Dari lain sisi djalan pun lantas terlihat
muntjulnja In Hong bersama Lee In dan Siauw Lee,
diturut oleh orang polisi setempat, jang
mengiringi Khoe Hong dan Thian Hay. Mereka keluar
dari belakang pohon kaju.
Bukannja setjara kebetulan jang In Hong dapat
muntjul ini. Hanja apa jang dibilang kebetulan,
surat tjoretannja Sie Tjiang, jang terbang
terbawa-bawa angin, dapat dilihat Tjian Poet Kie,
jang terus memungutnja. Botjah ini tidak mengerti
apa jang ditulis, dia bawa kertas itu ke dalam
tenda, kepada In Hong. Dia pun menuturkan kepada
si nona apa jang dirundingkan Tjie Tat dan kawankawannja.
„Ibuku seorang djudjur,” kata Poet Kie,
menambahkan, „maka itu, apa jang aku dengar itu,
aku tidak membilangi ibu, aku kuatir nanti ibu
membotjorkannja. Kalau mereka ketahui rahasianja
botjor, mereka bisa berusaha lain.”
„Kau tjerdik!” In Hong memudji. „Sekarang pergi
kau kembali ke tendamu! Berlakulah seperti tidak
terdjadi sesuatu. Segala apa kami jang nanti
urus!”
Poet Kie menurut, ia pulang ke tendanja.
Suratnja Sie Tjiang itu tidak djelas akan tetapi
In Hong segera dapat membade duduknja perkara.
Sudah terang, Sie Tjiang dan Lee In ibu dan anak
berada dalam genggaman orang djahat. Itulah
sebabnja kenapa mereka berpura-pura tinggal rebah
di dalam tenda. Sebaliknja diam-diam mereka
menitahkan keempat pelawak, jang lantas erat
sekali perhubungannja sama mereka, mengintai
gerak-gerik rombongan Kho Pay itu. Sebat sekali
In Hong bekerdja. Ia berhubungan sama Detektip To,
guna mengatur orang untuk berdjaga-djaga di tempat
jang direntjanakan. Sorenja segala apa sudah siap.
Ia sendiri jang mengendarai oto, untuk menipu Khoe
Hong dan Thian Hay. Dengan suara oto, meniru
isjarat kawanan itu, ia memperdajakan kedua
algodjo itu, jang membuang Lee In dan anaknja
siang-siang. Karena ia sudah bersedia, In Hong
dapat menghentikan otonja tepat di depan itu ibu
dan anak, hingga mereka tidak kurang suatu apa,
tjuma kaget dan sedikit letjet. Di lain pihak,
orang-orang polisi jang bersembunji telah
memapaki Khoe Hong dan Thian Hay, untuk dibekuk
tanpa perlawanan.
Habis itu, In Hong bersiap pula. Kali ini mereka
menggunai anak-anakan rumput, guna menghentikan
otonja rombongan Kho Tat Tjie, jang hendak
mentjelakai Hok Hong, maka teringkuslah kawanan
kurtjatji itu.
Dengan sepak-terdjangnja ini, In Hong dalam
satu gebrakan memperoleh hasil dua rupa. Yo Lee
In dan anaknja ketolongan, dan kawanan pendjahat
tergulung.
Ketjuali Hok Hong, Detektip To memborgol semua
orang djahat, untuk dibawa pulang ke kantornja,
buat paling dulu menahan mereka itu.
Selagi In Hong berhasil, Kat Po di dalam tenda
komidi mengalami kegagalan. Dia mengintai di luar
tenda. Dia melihat Kho Tat Giok keluar dengan
djalan berindap-indap, untuk menghampirkan sebuah
kerangkeng binatang liar, untuk mengeluarkan
seekor oranghutan. Sekarang dia telah ketahui,
oranghutan itu jalah oranghutan palsu, bahwa
itulah Eng Sie Tjiang. Njata dia tidak dapat
mengurai hatinja. Tidak menanti lebih djauh, dia
sudah berteriak, untuk memergoki. Katanja: „Hai,
Kho Giok Hoan, budjang perempuan tetiron jang
djahat, ke mana kau hendak lari? Kau hendak
berbuat apa? Di sini Kat Po, jang akan membekuk
padamu.........”
Belum rapat Pek Kek menutup mulutnja atau satu
sinar putih jang berkelebat bagaikan terbang
menjambar ke arahnja. Ia masih sempat berkelit
akan tetapi toh hoei-too, golok terbang, telah
mendahului nantjap di bahunja jang kiri. Ia
menahan sakit, ia terus menembak.
Kho Giok Hoan litjik, dia lantas kabur. Peluru
tidak berhasil mengenai tubuhnja. Kat Po berniat
mengedjar, lalu gagal. Lukanja mengeluarkan
banjak darah dan mendatangkan rasa sangat njeri.
Di tempat gelap ada menantikan beberapa
pelawak, mereka telah menjaksikan kedjadian itu.
Mereka tidak berani mengedjar Kho Tat Giok jang
lichay, maka mereka tjuma lari menghampirkan Kat
Po, untuk menghibur, guna memberitahukan agar nona
ini lekas-lekas pergi ke rumahsakit untuk berobat.
Mereka ketahui, golok-terbangnja Tat Giok ada
sendjata rahasia jang dipakaikan ratjun, jang
dapat meminta kurban djiwa.
Maka kedjadianlah, dua pelawak segera mengantar
si nona ke rumahsakit, dua jang lain terus
menolong Sie Tjiang, jang dikasi keluar dari badju
kurungnja jang istimewa itu.........
Dengan kaburnja Kho Tat Giok, dengan
terbekuknja Kho Tat Tjie semua, maka Ka Ka Roon
Circus lantas mendapatkan roman baru. Hok Hong
memetjat Siauw Long, lalu ia mengadakan sedikit
perubahan, terus ia dapat membuka
pertundjukannja.
Kat Po tidak berdiam lama di rumah sakit, tanpa
menunggu sampai sembuh seluruhnja, ia sudah
keluar, untuk pulang.
Kho Tat Tjie semua, jang diperiksa polisi,
mengakui perbuatan mereka, bagaimana mereka
berkomplot untuk mentjelakai Lee In ibu dan anak.
Maka itu, mereka mesti menerima nasib mendekam
dalam pendjara beberapa tahun menurut beratentengnja
peranan jang mereka pegang. Mereka
menjangkal mentjuri patung dan membunuh Seng Pek
Hoa, tak ada buktinja kedjahatannja itu.
In Hong dan Kat Po menggeledah semua barang
rombongan Kho Pay, mereka tidak berhasil
mendapatkan patung atau lainnja, jang dapat
membuktikan halnja patung-patung jang ditjuri
itu. Djadi perkara pentjurian dan pembunuhan itu
kena tertunda.
Pada suatu hari, In Hong duduk berkumpul di
dalam tenda bersama Tjian Kiauw Kiauw dan Tjian
Poet Kie.
„Maukah kamu turut kami pulang ke Shanghai?” ia
tanja. „Kamu berdua adalah ahliwaris-ahliwaris
jang sah dari Seng Yoe Tek.
„Tidak, kami tidak menghendaki harta busuk dari
Seng Yoe Tek!" kata Poet Kie, angkuh. „Kami akan
terus bekerdja di dalam circus, akan hidup dari
hasil tenaga dan peluh kami!”
Maka itu di lain harinja, In Hong dan Kat Po
lantas berangkat pulang ke Shanghai dengan tjuma
mengadjak Lee In dan anaknja, Sie Tjiang serta si
andjing Pekingese. Mereka naik kapal terbang.
Pula In Hong sendiri jang mengantar Lee In dan
Siauw Lee pergi ke rumah Yoe Tek, akan menemui
hartawan itu, jang mendjadi mertua dan kakek
mereka.
„Mereka tidak ada hubungannja sama perkara
tjuri dan bunuh itu,” In Hong mendjelaskan. „Kau
pun boleh pertjaja, tidak lama lagi perkara gelap
itu nanti dapat dibikin terang.”
Tjiut njalinja Yoe Tek melihat tjaranja In Hong
bitjara. Si Burung Kenari tjantik dan manis, akan
tetapi sikapnja agung dan keren, kata-katanja
lantjar dan tadjam, berpengaruh sekali. Ia
menerima dengan baik nona mantu itu serta
tjutjunja, dan ia mendjamin tidak lagi akan
perlakukan buruk pada itu ibu dan anak. Ia
mengakui, setelah matinja Pek Hoa, Siauw Lee
adalah turunannja jang tunggal hingga sudah
seharusnja ia memperlakukannja dengan baik.
„Djikalau kau berani menjiksa dan menghina lagi
seperti dulu-dulu, hati-hatilah kau!” In Hong
mengantjam. „Untukku, adalah sangat gampang guna
mengambil djiwa kau!”
Itulah antjaman jang diberikan ketika si nona
hendak berlalu.
„Ja, ja.........” kata Yoe Tek. „Tidak nanti
aku siksa mereka, nona boleh pertjaja.”
Di mulut hartawan she Seng ini mengatakan
demikian, di hati ia berpikir lain. Segera setelah
In Hong berlalu, ia menundjuki wadjah lain. Ia
memerintahkan dua budjangnja, jang mendjadi
orang-orang kepertjajaannja, akan meringkus Lee
In dan Siauw Lee, jang terus digusur ke sebuah
kamar rahasia di mana mereka ditempatkan.
Selekasnja ibu dan anak itu sudah disekap, dari
lain kamar muntjullah seorang nona jang tubuhnja
langsing dan menggiurkan, jang romannja tjantik
dan sangat menarik hati, sedang dandanannja
perlente.
„Oh, mustikaku, senangkah kau?” Yoe Tek
menjambut wanita itu. Ia pun bersenjum. „Aku telah
turut buah pikiranmu. Aku berlaku merendah
terhadap In Hong, aku telah ringkus Yo Lee In dan
anaknja dan keram mereka di dalam kamar rahasia!
Sekarang aku menantikan keputusanmu, darling!"
Nona tjantik itu bersenjum. Dialah bukan lain
daripada Kho Giok Hoan, atau lebih benar Kho Tat
Giok, jang lolos dari Canton.
Setelah kegagalannja, Tat Giok mengasa olaknja.
Untuk memperbaiki diri, ia melihat hanja satu
djalan. Sebenarnja ia tidak menjukai ini tetapi
terpaksa. Bukankah ia telah menghadapi kebuntuan
atau keruntuhan? Jalah ia berpaling kepada Seng
Yoe Tek, si hartawan jang tergila-gila padanja.
Maka ia menjelundup pulang ke Shanghai. Segera ia
menemui Yoe Tek. Bahkan lantas ia menikah dengan
sah! Ia pertjaja, umpama In Hong menjerang ia,
kedudukannja sudah kuat, Yoe Tek tentu
melindunginja.
Di lain pihak, harta Yoe Tek bakal pindah ke
tangannja.........
Tat Giok tiba di Shanghai lebih dulu enam hari
daripada In Hong. Ia berdandan dengan mentereng
ketika ia menemui si hartawan, ia menggunai
muslihatnja untuk membetot hatinja hartawan itu.
Ia berhasil dengan tjepat. Bahkan Yoe Tek main
turut sadja. Demikian dengan diam-diam mereka
pergi pada satu pengatjara, untuk menikah setjara
sah. Bahkan Yoe Tek lantas membuat surat wasiat
dengan mana hartanja, ketjuali jang berdjumlah
ketjil sekali untuk sanak-sanak dekatnja, jang
selebihnja semua, diperuntukkan Kho That
Giok.........
Ketika itu hari pengawal pintu mengabarkan In
Hong datang bersama Lee In dan Siauw Lee, Tat Giok
segera mengadjari Yoe Tek bagaimana harus bersikap
terhadap nona jang gagah itu, hingga In Hong kena
didustakan.
Tat Giok berada di kamar jang luas dan indah,
tetapi baginja seperti tidak ada kursi lainnja di
ruang itu, ia menghampirkan Yoe Tek untuk duduk
di pangkuan si hartawan, jang telah djadi suaminja
itu, sedang sebagai upah, ia mentjium pipi jang
masih putjat dari Yoe Tek.........
„Djikalau kedua bintang sapu itu masih hidup di
dalam dunia,” kata Tat Giok manis, „pastilah
keberuntungan kau bakal habis-ludas! Besok kita
berangkat ke Hangchow untuk perdjalanan honeymoon
kita, kita adjak ibu dan anaknja itu, nampaknja
seperti mereka menemani kita pesiar, sebenarnja
kita bawa mereka ke sana untuk di kurung di dalam
villa di kampung kelahiranmu. Disana, untuk
delapan atau sepuluh hari, kita djangan kasi
mereka makan. Tidakkah itu berarti mati untuk
mereka? Selandjutnja gampang sadja. Kita bilang
mereka mati sakit. Tidakkah dengan begitu beres
sudah lelakonnja kedua bintang sapu itu?”
„Mustikaku, sungguh kau tjerdik!” memudji Yoe
Tek, jang lupa segala apa, hingga ia tak ingat
akan pri-kemanusiaan. „Ja, itulah akal jang bagus
sekali!”
Keduanja lantas sama-sama bersenjum.
In Hong sendiri, seberlalunja dari rumah Yoe
Tek, memikirkan perkara pentjurian patung dan
pembunuhan atas diri Nona Pek Hoa, maka itu, ia
berdjalan dengan perlahan-perlahan.
„Nona In Hong!” tiba-tiba ia mendengar
panggilan. „Nona mau pergi ke mana?”
„Oh, Tuan To!” si nona membalas. Ia mengenali
suaranja si detektip, kepada siapa ia lantas
berpaling, „bagaimana tentang itu andjing bulu
kutung? Sudah berhasilkah kau?”
„Sulit, nona, sulit!” sahut Tjie An, masgul.
„Sudah beberapa puluh ekor andjing bulu kuning
jang aku tjari, tak ada seekor djuga jang bulunja
sama seperu bulu jang kita peroleh di rumahnja
Seng Yoe Tek. Menurut pemeriksaan ahli, bulu
mereka lain sekali. Maka sampai sekarang aku belum
memperoleh hasil.....”
„Sekarang kau hendak pergi ke mana?”
„Aku hendak pergi ke rumah Yoe Tek, untuk
menanjakan sesuatu, baru sadja aku menerima warta
dari polisi di Canton tentang berhasilnja kau
membekuk serombongan orang djahat. Mungkin
mengenai perkara itu ada satu atau lainnja jaug
mereka ketahui."
„Mereka?” In Hong tegaskan. „Siapakah mereka
itu?”
„Mereka jalah Seng Yoe Tek dan Kho Giok Hoan,”
sahut Tjie An. „Giok Hoan jalah Kho Tat Giok.”
„Apa? Kho Tat Giok di rumah Seng Yoe Tek?” In
Hong heran sekali.
„Benar, baru tiga hari jang lalu, Yoe Tek dan
Tat Giok menikah setjara sah. Maka sekarabg Kho
Tat Giok jalah isterinja Yoe Tek," menerangkan
Detektip To. „Tapi polisi Canton memberitahukan
aku bahwa Kho Tat Giok jalah orang jang
ditjurigai, jang telah lolos dari Canton. Maka aku
hendak menjelidikinja.”
„Bagus!” kata In Hong, girang. „Mari kita pergi
bersama. Djikalau kau menghadapi Yoe Tek, djangan
kau djeri. Aku ada di pihakmu.”
Si Burung Kenari memutar tudjuan.
Pengawal pintu heran melihat In Hong baru pergi
dan sudah kembali, serta sekarang ada bersama
Detektip To. Ia mau masuk, guna mengabarkan, atau
In Hong kata padanja: „Tidak usah mentjapaikan
hati. Aku dapat masuk sendiri!” Dan si nona segera
berandjak masuk, meninggalkan pengawal itu di
belakangnja.
Detektip To merendengi si nona.
Selagi mendekati kamar, di sana sudah terdengar
suaranja Yoe Tek dan Tat Giok. Mereka bitjara
dengan gembira dan asjik. Mereka tengah bergujon.
„Ehm!” Tjie An lantas berdehem.
„Kurang adjar!" bentuk Yoe Tek dengan gusar.
„Siapa berdehem di luar seperti orang mau putus
djiwa?.........”
„Detektip To Tjie An!” In Hong mendjawab seraja
ia bersama Tjie An berandjak masuk.
„Ai!.........” seru Yoe Tek tertahan. Inilah ia
tidak sangka.
Ia lantas mendjadi tidak enak hati.
Tat Giok tengah berduduk berendeng bersama Yoe
Tek. Ia kagum akan melihat In Hong dalam rupanja
jang sedjati. Dibanding sama Heng Boen. In Hong
djauh terlebih tjantik-manis dan gagah. Ia tidak
takut, maka djuga ia duduk tetap dengan tenang.
Bahkan wadjahnja memperlihatkan rupa menjindir.
„Kho Tat Giok,” Detektip To lantas berkata,
„dalam perkara tjuri patung dan pembunuhan di
rumah keluarga Seng ini, kaulah orang jang
tersangka, maka ini sekarang kau harus memberi
keterangan padaku guna mentjutji sangkaan itu,
djikalau tidak.....”
Tat Giok tidak mendjawab, ia hanja menoleh
kepada Yoe Tek dan tertawa.
„Sahabatku, mengapa kau begini usilan?” Yoe Tek
menegur detektip itu. „Mana bisa isteriku mentjuri
barangku serta membunuh djuga anggauta
keluargaku? Kau mesti pergi ke lain tempat guna
mentjari pendjahat dan pembunuh itu!”
„Kau pernah memberi batas tempo satu bulan
untukku memetjahkan perkaramu ini, tidak dapat aku
tidak bekerdja sungguh-sungguh.” menjahut Tjie
An. Ia benar-benar berlaku berani. „Kau pun harus
ingat, ketika pentjurian dan pembunuhan terdjadi,
dia belum mendjadi isterimu. Biarnja dia isterimu,
aku mesti periksa dia, aku mesti djalankan
tugasku.”
„Eh, hari ini kau berani membangkang
terhadapku?” tanja Yoe Tek gusar. „Dia djusteru
dipengaruhi Kho Tat Tjie, Boe Tjian Kin dan
lainnja orang djahat itu! Dia berdiam di sini
tjuma dengan menjamar mendjadi budak, guna
mendjadi mata-mata mereka! Dia digunai sebagai
alat sadja! Tentang si pentjuri dan si pembunuh,
itulah ada orang djahatnja sendiri, dia tidak
sangkut-pautnja. Kau menuduh dia orang tersangka
jang penting! Dapatkah kau menundjuki buktibuktinja?”
„Menurut penjelidikan, si pentjuri dan si
pembunuh jalah satu orang,” kata Detektip To, jang
tetap berlakH berani, „bahkan dialah jang
mengetahui djelas keadaan rumah ini serta segalagalanja,
sebab djikalau tidak, di waktu dia
dikedjar Nona Pek Hoa, tidak nanti dia dapat lari
ke kamarnja Yo Lee In untuk terus memfitnah Nona
Yo itu! Bukankah terlebih gampang untuknja kabur
ke kamar budjang lainnja? Djadi perbuatannja jalah
perbuatan jang telah ada rentjanaja. Dia tahu di
mana adanja kamar Lee In dan dia tahu bahwa jang
mengedjarnja jalah Nona Pek Hoa.........”
„Dusta!” Yoe Tek memotong perkataannja detektip
itu. Ia gusar sekali. „Kau bilang si pentjuri dan
si pembunuh satu orang adanja, dan sekarang kau
menuduh isteriku! Dapatkah kau membuktikan dia
jang mentjuri ketiga patung mustikaku itu?”
Tjie An bungkam. Ia memang tidak bisa memberikan
bukti. Urusan bulu andjing sadja sudah membikin
ia buntu djalan. Mana dapat ia mentjari bukti
ketiga patung itu?
„Hundjuk buktimu! Hundjuk buktimu!” kata Yoe
Tek berulangkali. Dia berdjingkrak bangun dari
dipan di mana mereka duduk berendeng, untuk
bergujon tadi. Bahkan dia madju mendekati, akan
mendjambak dadanja detektip itu. „Djikalau tidak,
aku nanti mendakwa kau sudah menghina isteriku!
Lekas keluarkan buktimu!”
Yoe Tek pertjaja betul isterinja, maka ia djadi
seperti kalap.
Detektip To kewalahan.
Tat Giok tetap duduk di dipan, saban-saban ia
mengasi dengar tertawa mengedjek.
In Hong pun terus berdiam selama berlangsung
pembitjaraan tegang di antara Tjie An dan Yoe Tek
itu, tetapi ia berdiam bukannja tanpa berpikir.
Sebaliknja, ia berpikir keras. Ia mengumpulkan
segala apa, ia menjimpulkan itu. Tidak puas ia
menjaksikan Tjie An diperlakukan kasar demikian.
„Yoe Tek,” kata ia achirnja. „Kau menghendaki
bukti? Baiklah! Kau berikan tempo satu djam
padaku, nanti aku mengeluarkannja! Kau mendjambak
Detektip To, inilah perbuatan tidak pantas sekali!
Kau djuga menghalang-halangi tugasnja!"
Kata-kata ini membuatnja Yoe Tek tidak berani
tidak melepaskan djambakannja.
„Tuan To,” kata In Hong kepada Tjie An, „aku
minta kau djaga supaja Kho Tat Giok djangan
meninggalkan kamar ini. Inilah tugasmu, maka
djikalau perlu, kau dapat menggunai pistolmu!”
Tjie An mengangguk. Melihat sikap tenang dari
In Hong, ia mendjadi mendapat pulang
keberaniannja. Ia lantas mundur ke pintu, guna
melakukan pengawasan.
„Aku pergi untuk segera kembali,” kata In Hong.
„Kamu semua tunggu di sini.”
Nona In pegang djandjinja. Ia pergi tanpa sampai
satu djam. Baru empat puluh lima menit, ia sudah
kembali.
„Seng Yoe Tek, aku telah mendapatkan bukti dari
kesalahannja Kho Tat Giok!” katanja, singkat.
„Mana buktinja?” tanja Yoe Tek. Ia tetap tidak
pertjaja kedjahatan isterinja. Benar-benar ia
sudah terpengaruhi Tat Giok.
„Mari kamu turut aku ke kebun bunga!” In Hong
mengadjak.
Yoe Tek menurut, ia ikut si Burung Kenari ke
belakang, ke tamannja. Tat Giok tetap tenang, ia
turut dengan menengteng tas tangannja. Detektip
To mengiringi mereka.
In Hong segera minta budjang kebun membawakan
ia tangga bambu jang tinggi, tangga mana
diberdirikan menjender pada tembok dari sebuah
bangunan indah jang bertingkat tiga, jang berada
di taman itu.
„Seng Yoe Tek,” In Hong bertanja, „benarkah di
atas wuwungan gedungmu ini kau membuat sebuah
rumah ketjil-mungil, jalah sin-kam, tempat
pemudjaan patung malaikat? Kau sangat bertachjul,
maka djuga kau anggap, setiap wuwungan rumahmu ada
malaikat penunggunja, djadi kau membuatnja sinkam
itu seperti rumah malaikat, bukankah?”
„Benar,” Yoe Tek memberikan djawaban. „Memang
diatas wuwungan ini ada sebuah sin-kam ketjil.”
„Ketika Kho Tat Giok sudah berhasil mentjuri
ketiga patungmu, dia lantas menjembunjikannja
didalam sin-kam itu,” In Hong kata, tenang,
„itulah tempat paling tepat untuk menjimpan barang
asal kedjahatan. Sukar orang mempertjajainja
barang tjurian disimpan di tempat sutji di atas
wuwungan seperti itu.........”
„Aku pun tidak pertjaja!” Yoe Tek bilang.
Di pihak lain, sekarang Tat Giok tidak setenang
tadi.
„Tuan To,” kata In Hong, „silahkan kau naik
bersama-sama Seng Yoe Tek. Kau harus mengenakan
sarungtangan untuk memegang dan membawa turun
ketiga palung malaikat itu. Berlakulah hati-hati,
pada patung itu mungkin ada tapakdjari dari Kho
Tat Giok.”
Tjie An melakukan apa jang dikatakan si nona.
Seng Yoe Tek turut naik, ia mengawasi Tjie An.
Ia melihat, benar sadja Tjie An berhasil
mengeluarkan ketiga patungnja dari dalam sin-kam.
Dari taman mereka kembali ke kamar tadi.
Melihat ketiga patung itu, In Hong manggutmanggut.
Tidak lama dari kantor polisi datang seorang
ahli tapakdjari. Dia muntjul atas permintaan In
Hong, jang menilponnja. Di situ djuga ahli ini
lantas bekerdja, guna mengeker, memeriksa ketiga
patung itu. Benarlah, tapakdjarinia Tat Giok
kedapatan pada ketiga boneka Hok Lok Sioe itu. Itu
toh tak selajaknja, bukan, djikalau nona itu tidak
bersalah?
Ketika itu pula datang seorang saksi, jang djuga
diundang In Hong. Dialah Liok Sian Seng, piauwtjiehoe,
atau ipar misanan dari Tat Giok. Jalah,
Sian Seng suaminja kakak, atau saudara misan, dari
wanita ini. Dia ahli pelatih andjing. Bersamanja,
ia membawa seekor andjing ketjil bulu semu kuning
muda serta tiga buah patung ketjil Hok Lok Sioe,
jang terbuat dari batu biasa hanja sangat mirip
dengan jang tulen.
Ahli pelatih andjing ini lantas memberikan
keterangan bahwa Kho Tat Giok datang padanja empat
bulan jang lalu, meminta ia melatih andjing agar
andjing itu dapat disuruh mengambil pulang-pergi
ketiga patung itu jang ditaruh di dalam sin-kam.
Di dalam tempo dua bulan, andjing itu sudah
terlatih sempurna. Dia bisa mengambil patung itu,
setiap patungnja digigit satu kali. Di waktu
dilatih, setiap dia berhasil, andjing itu dipresen
satu bidji tjoklat. Berapa banjak patung djuga,
dapat andjing itu mengambilnja. Pada malam itu,
Tat Giok datang mengambil andjing itu dan
dipulangkan dua djam kemudian. Tentu sekali, Sian
Seng tidak tahu andjingnja telah didjadikan tukang
tjuri. Ia menjangka andjingnja mau dipakai untuk
pertundjukan circus............
„Lihat, Tuan To,” kata In Hong. „Bukankah pada
patung ini masih ketinggalan sisa tjoklat?”
Lenjaplah ketenangannja Tat Giok. Rahasianja
telah dibeber In Hong. Inilah kedjadian di luar
dugaannja. Ia mendjadi menjesal, gusar dan putus
asa.
Otaknja Yoe Tek bekerdja keras. Ia mendjadi
pusing. Demikian hebat ia menjintai Tat Giok,
siapa tahu, ketjintaan itu djusteru pentjuri
patungnja merangkap pembunuh puterinja! Bagaimana
keputusannja?
„Nona In,” Detektip To bertanja, „bagaimana
maka kau ketahui Kho Tat Giok menjembunjikan
ketiga pating di dalam sin-kam di atas wuwungan
rumah?”
In Hong suka memberikan keterangannja.
„Ketika malam peristiwa itu, lantaran takut
difitnah, Yo Lee In mengadjak anaknja buron,”
demikian penuturannja. „Dia lari dengan mengambil
djalan dari taman. Dengan tidak disengadja, dia
melihat sebuah bajangan orang berkelebat di atas
wuwungan. Hal itu diberitahukan padaku. Aku
mendjadi berpikir. Aku tahu Kho Tat Giok pandai
main trapeze, maka aku menduga, ia djuga mesti
pandai ilmu ringan tubuh, hingga tentunja ia bisa
berlari-lari di atas genting. Seorang pentjuri dan
pembunuh tidak nanti berdiam lama-lama di atas
rumah. Dia seharusnja lantas kabur. Aku heran.
Barusan dari pengawal pintu aku mendapat tahu
halnja di atas wuwungan ada tempat pemudjaan
malaikat. Maka aku lantas menerka patung
disembunjikan di dalam sin-kam.”
„Dan ini andjing, bagaimana kau
mendapatkannja?”
Tjie An heran. Ia menanja terus.
„Inilah sederhana sekali. Selama turut di dalam
rombongan circus aku memperoleh keterangan bahwa
Kho Tat Giok telah mempeladjari kepandaian melatih
andjing, untuk itu ia pergi kepada iparnja, jang
mendjadi ahli. Untuk itu, ia minta tjuti tudjuh
atau delapan bulan dari rombongannja. Tadi aku
bekerdja keras belasan menit mentjari ahli-ahli
pelatih andjing. Dari toko pendjual burung dan
hewan aku mendapatkan alamatnja empat ahli pelatih
itu, setelah menanja djelas, aku lantas tjari Tuan
Liok ini. Dengan djudjur Tuan Liok mentjeritakan
jang Kho Tat Giok datang beladjar padanja.”
Detektip To merasa puas. Ia berpaling kepada si
nona manis.
„Kho Tat Giok,” katanja, „sekarang kau hendak
membilang apa lagi? Bukti dan saksi-saksi sudah
ada! Kedosaanmu sudah terang sekali!”
Habis berkata, detektip ini mengeluarkan rantai
borgolannja seraja ia bertindak menghampirkan si
nona.
Ketika itu, perang di otaknja Yoe Tek sudah
berachir. Ia dapat mengambil keputusan: Ia hendak
melindungi isterinja itu!
„Lao To, kau menjingkir dari gedungku ini!”
mendadak ia mengusir detektip itu. „Isteriku
mengambil barang suaminja, perkara itu aku tidak
mau tarik pandjang! Apa perlunja kau hendak
mengurusnja lebih djauh?”
„Perkara tjuri dapat aku tidak tarik pandjang,”
kata Tjie An, „akan tetapi perkara bunuh puterimu,
Pek Hoa.........”
„Djuga perkara itu aku tidak mau tarik
pandjang!” Yoe Tek memotong, dia gusar sekali.
„Akulah keluarga jang tersangkut, kau tidak perlu
tjampur tahu!”
Ada beda di antara perkara tjuri dan perkara
bunuh. Perkara tjuri dapat ditutup, tidak demikian
dengan perkara djiwa. Polisi berhak untuk
menuntut. Maka itu Tjie An tidak mau mundur,
bahkan ia mengeluarkan pistolnja.
„Seng Yoe Tek, kau mundur!” ia kata njaring.
„Djangan kau merintangi tugasku!”
Yoe Tek membandel. Dengan tubuhnja jang besar,
ia menghadang.
In Hong mengawasi sadja. Ingin ia ketahui
tindakannja Tjie An menangkap si pembunuh. Tibatiba
ia melihat Tat Giok, jang berada di belakang
Yoe Tek, menggeraki tangannja, membuka tas tangan
dan merogo ke dalamnja. Nona itu mengeluarkan
hoei-too, pisau-terbangnja, jang ketjil dan
tadjam dan berbisa. Dengan itu dia lantas menimpuk
Detektip To.
Menampak demikian, si Burung Kenari berlaku
sebat. Sambil berlompat, ia mendupak Tjie An,
hingga detektip itu roboh seketika, hingga pisauterbang
lewat di atasan kepalanja.
Tat Giok tidak berhenti sampai di situ. Kembali
ia melajangkan pisaunja. Kali ini ke arah Oey Eng,
jang ia takuti berbareng sangat bentji!
In Hong melihat serangan itu ia berkelit, sambil
mengegos tubuh, tangannja diangkat dan diulur,
guna menanggapi sendjata rahasia itu.
Berbareng dengan itu Detektip To, jang sadar
akan bahaja, hendak menembak, tapi ia terhadang
tubuh besar dari Yoe Tek, jang berdiri di depan
isterinja itu.
„Mari kita menjerang dari depan dan belakang!"
In Hong mengasi dengar suaranja.
Suaranja ini merupakan perang dingin. Tat Giok
mendjadi bingung. Tentu sekali, tjelakalah ia
kalau ia dikepung dari depan dan belakang, atau
dari kiri dan kanan. Tapi ia ketahui apa jang ia
mesti lakukan. Mendadak tubuhnja mentjelat ke arah
djendela. Sebagai pemain trapeze, tubuhnja sangat
enteng dan gesit, gerakannja sangat sebat dan
lintjah. Di kiri ia memang ada djendela. Dengan
satu lompatan lain, ia sudah mandjat pohon
gouwtong di samping djendela itu, untuk lebih
djauh berlompat dan mendaki gunung-gunungan.
Detektip To memburu ke djendela, beberapa kali
ia menembak, hasilnja jalah batu gunung pada gugur
dan mental berhamburan, sebab Tat Giok sendiri,
dari gunung palsu itu, sudah berlompat ke tembok
pekarangan.
In Hong tidak berdiam sadja, dengan tidak kalah
sebatnja ia berlompat ke djendela, naik ke pohon,
mentjelat ke gunung palsu. Beruntun dua kali ia
diserang dengan hoei-too, saban-saban ia elakkan
itu. Ia terintang djuga oleh serangan saling-usul
itu. Ketika ia dapat melompati tembok pekarangan,
Tat Giok sudah kabur di antara orang banjak. Ia
tidak mau mengerti, ia mengedjar terus.
Tat Giok lari sekeras-kerasnja. Ia masuk dalam
sebuah gang. Ia menjangka itulah gang jang ada
tembusannja ke lain arah. Kenjataannja itulah gang
buntu. Ia mendjadi kaget dan bingung. Terpaksa ia
lari balik. Tapi ia terlambat, In Hong berada di
belakangnja. Latjur untuknja, tadi ia seperti
telah mengobral hoei-toonja dan sekarang pisauterbangnja
itu sudah habis. Terpaksa ia menjerang
dengan tangan kosong.
In Hong membuat perlawanan. Dengan pendjahat
litjin itu bertangan kosong, ia dapat melajani
dengan tabah.
Di dalam gang itu, kedua wanita tjantik itu
bertempur seru. Tat Giok benar-benar liehay. Di
dalam keadaan seperti itu, ia djuga berkelahi
mati-matian; maka ia mengeluarkan semua
kepandaiannja.
Selama lima atau enam menit, In Hong merasakan
kegagahannja Kho Giok Hoan, hingga ia mesti
berlaku gesit dan waspada. Ia melawan dengan keras
tetapi tenang.
Selewatnja itu, Tat Giok merasakan ialah jang
berbalik terdesak, ia telah menggunai terlalu
banjak tenaga, ia sangat bernapsu, ia mendjadi
lekas letih. Maka kewalahan ia melajani In Hong
jang sabar itu.
Hanja lagi beberapa djurus, In Hong berhasil
menindju pundak lawannja, hingga Tat Giok roboh,
hingga dia lantas kena dibekuk.
Ketika itu Tjie An lari menjandak.
„Inilah orang tangkapanmu!” kata In Hong seraja
menjerahkan Tat Giok.
Detektip To menjambuti dengan terus memborgol
nona itu, dari itu bersama-sama, mereka lantas
kembali ke rumah Yoe Tek.
In Hong sementara itu telah memetjah
perhatiannja. Sekarang ia ingat Lee In dan
anaknja. Ia merasa bahwa ia telah melakukan
kekeliruan mengirim pulang ibu dan anak itu kepada
Seng Yoe Tek. Ingin ia menolong mereka itu. Tapi,
ketika mereka sampai di rumah Yoe Tek, Yoe Tek
telah tidak ada bajangannja.
Merasa pasti bahwa telah terdjadi sesuatu, In
Hong bekuk si pengawal pintu.
„Di mana adanja Yo Lee In ibu dan anak?” ia
tanja.
„Aku tidak tahu,” mendjawab pengawal itu.
In Hong memegang tangan oraug, ia mementjet.
Tak tahan pengawal itu, karena kesakitan, ia
mendjerit teraduh-aduh.
„Ketika tadi kau pergi, madjikan meringkus Lee
In dan anaknja terus dikurung di dalam kamar
rahasia,” ia terpaksa mengaku.
„Sekarang?”
„Barusan dia paksa Lee In dan anaknja naik
otonja, dia sendirinja jang membawa pergi.”
„Kau tahu dia menudju ke mana?”
„Ke Hangchow.”
„Djikalau kau mendusta, aku patahkan tanganmu
ini!” In Hong mengantjam.
„Memang dia pergi ke Hangchow, ke villa,”
pengawal itu memastikan.'
„Tuan To, mari kita susul Yoe Tek!” kata In Hong
tanpa berpikir lagi. „Dia bawa Lee In dan anaknja
ke Hangchow tentu bukan dengan maksud baik!”
Detektip To setudju. Tapi mereka berangkat
sesudah pulang dulu ke kantor, guna mendjebloskan
Tat Giok dalam kamar tahanan serta terus mengadjak
A Puan beserta dua sersi.
„Lekas sedikit, A Poan!” kata In Hong. „Yoe Tek
berangkat lebih dulu setengah djam! Kita mesti
lekas!”
„Nona In, aku kurang pandai memegang setir, kau
sadja jang mengendarai sendiri,” kata si detektip
pembantu jang terokmok, jang suka mengalah.
In Hong tidak menolak, maka ialah jang
melandjuti mengendarai. Ia melarikan oto polisi
itu keras sekali, melintasi Minhuug dan Tsapu. Di
sana masih belum terlihat oto Yoe Tek, sebuah
sedan warna kuning emas. Muka ia madju terus. Baru
kemudian nampak samar-samar sebuah oto djauh di
depan mereka, nampaknja ketjil tetapi warna oto
njata: kuning emas.
Tidak salah lagi, itulah oto Yoe Tek. Maka oto
itu dikedjar terus.
Yoe Tek telah hilang ketjerdasannja. Ia begitu
tergila-gila terhadap Tat Giok, hingga ia lupa
pada patungnja jang sangat disajang, hingga ia
tidak ingat lagi kematiannja puterinja. Ia
mendjadi gelap pikiran karena tidak dapat ia
melindungi kekasihnja itu. Maka itu, seberlalunja
In Hong dan Tjie An, jang mengedjar Tat Giok,
keselamatan siapa ia sangat kuatirkan, lantas
kemendongkolan dan kegusarannja ia tumplekkan
kepada si kedua bintang sapu, ibu dan anak, jalah
Lee In dan Siauw Lee, tidak perduli orang
sebenarnja menantu dan tjutjunja sendiri. Dengan
lantas ia lari ke kamar rahasianja, ia menjeret
Lee In dan Siauw Lee, untuk dibawa ke otonja, guna
dibawa kabur.
Lee In dan Siauw Lee tidak berdaja.
Keras Yoe Tek melarikan otonja. Niatnja jalah
mengurung itu ibu dan anak di dalam vilanja di
Hangchow. Ketika ia tiba di tepi laut, mendadak
timbul keinginannja untuk melemparkan sadja kedua
bintang sapu itu ke antara gelombang jang dahsjat.
Djauh di belakang, otonja In Hong madju terus
dengan tjepatnja. In Hong mengendalikan setir
sambil memasang mata. Ia melihat oto di depan
dikasih berhenti, lalu tertampak seorang jang
bertubuh besar dan gemuk lompat keluar dari oto
itu, untuk memondong satu anak ketjil, jang dia
bawa ke pinggir laut, untuk terus dilemparkan ke
air!
„Tjelaka!” berseru nona ini kaget. „Siauw Lee
dibuang ke laut!”
Ketika itu terlihat Lee In digusur keluar.
„Tuan To, tembak!” berseru In Hong. „Djangan
kasi dia meminta kurban jang ke-dua!”
Detektip To semua djuga telah melihat aksi Yoe
Tek itu. A Poan berlaku sebat, ia mendjudju dengan
pistolnja dan menembak.
Yoe Tek terkena djitu, tubuhnja roboh.
Djusteru itu tibalah oto mereka.
In Hong lompat keluar dari belakang setir, untuk
lari ke tepian, guna memasang mata ke laut. Ia
masih melihat Siauw Lee, jang teringkus,
terumbang-ambing di air, jang sjukur sedang
tenangnja. Ia pandai berenang, maka tanpa ajal
lagi, ia terdjun, berenang menghampirkan anak itu,
untuk di lain saat ia menjeretnja balik ke tepian.
Detektip To telah membebaskan Lee In dari
belengguannja, ia memakai tambangnja untuk
membantui In Hong. Tambang itu, jang kuat,
dilempar ke bawah. Tepian itu dalam seperti
djurang.
Dengan bantuan tambang, jang dipakai merambat,
achirnja In Hong dapat naik ke atas.
Siauw Lee pingsan, dia telah kena tenggak air
laut, maka dia lantas ditolongi dengan tjara
pertolongan pertama. Maka selamatlah ia dari
bahaja djiwa.
Yoe Tek rebah di samping otonja, tubuhnja mandi
darah. Karena ia terluka parah, njawanja sudah
melajang pergi. Dengan tjara demikian dia menebus
dosanja.
Dengan matinja itu, warisan Yoe Tek djatuh
kepada Lee In dan Siauw Lee serta Sie Tjiang, akan
tetapi mereka ini mengambil sikap seperti Tjian
Kiauw Kiauw dan Tjian Poet Kie, jalah mereka
menampik harta karun itu, tak perduli djumlahnja
besar sekali. Maka warisan itu djatuh kepada fonds
badan-badan amal.
Dengan bantuan In Hong, Lee In dan Siauw Lee
memperoleh kebebasannja dan menghadapi hari
kemudiannja jang gilang-gemilang .........
—TAMAT—
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru