Kamis, 18 Mei 2017

Cerita Silat Suling Emas 6 Tamat Kho Ping Hoo

Cerita Silat Suling Emas 6 Tamat Kho Ping Hoo Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Suling Emas 6 Tamat Kho Ping Hoo Cerita Silat Suling Emas 6 Tamat Kho Ping Hoo
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Suling Emas 6 Tamat Kho Ping Hoo
Mula-mula kakek itu nampak gembira, suaranya makin nyaring dan setelah habis syair itu ia baca, ia
mengulanginya lagi dari permulaan, makin lama suaranya makin penuh perasaan, matanya bersinar-sinar, kulit
mukanya sebentar pucat sebentar merah dan tak lama kemudian air mata bertitik-titik turun dari kedua
matanya. Suaranya mulai menggetar-getar, kemudian menjadi parau dan akhirnya ia tidak melanjutkan
nyanyiannya, melainkan jatuh duduk di atas batu terisak-isak menangis, menjambak-jambak rambutnya seperti
orang gila, kemudian tertawa-tawa dan menangis lagi!
Bu Song kaget sekali. Sungguh jauh berbeda akibat yang menimpa diri kakek ini kalau dibandingkan dengan
Ciu Bun. Sastrawan itu menerima hikmat perpaduan suara mukjijat itu dengan penuh kebahagiaan, sebaliknya
kakek ini menjadi seperti orang gila. Bu Tek Lojin masih terisak-isak, kemudian ia meloncat turun dari atas
batu, berjingkrak-jingkrak dan tertawa-tawa, meloncat lagi ke atas batu dan akhirnya ia terduduk dengan
lemas. Duduk bersila seperti orang bersemedhi, kedua lengannya bersilang di depan dada, mukanya
menunduk dan ia tidak bergerak-gerak lagi seperti berubah menjadi arca!
Bu Song melihat semua tingkah kakek itu dengan mata terbelalak. Pemuda ini masih duduk bersila di atas batu
lain, tiga meter jauhnya dari tempat kakek itu. Tadinya ia terheran-heran dan tidak dapat menduga apa yang
selanjutnya akan terjadi. Ia tidak tahu apakah akibatnya nanti akan baik baginya atau tidak. Namun harus ia
akui bahwa perpaduan suara itu benar-benar mengandung sesuatu kemukjijatan yang luar biasa. Dia sendiri
hanya merasa betapa nikmat paduan suara syair dan suling itu. Tadinya ia girang melihat betapa kakek itu
menangis dan menjambaki rambutnya, kini ia merasa khawatir karena kakek itu diam seperti berubah menjadi
batu. Dengan hati-hati ia memanggil.
"Lo-cianpwe...!" Kakek itu tidak menjawab.
Bu Song bukan seorang bodoh. Seharusnya ia menggunakan kesempatan ini untuk pergi dengan aman,
membawa pergi suing emas yang dicari oleh orang-orang pandai itu. Akan tetapi dia seorang yang memiliki
dasar hati penuh welas asih (belas kasihan) kepada orang lain. Melihat kakek itu seperti orang berduka, ia
menjadi iba hati dan perlahan ia meniup lagi sulngnya, lirih namun amat merdu karena ditiup dengan penuh
perasaan.
Belum habis ia meniup suling, kakek itu bergerak lalu mengangkat mukanya memandang kepada Bu Song.
Ternyata kedua matanya merah dan basah.
"Bu Song, lekas kau mainkan semua jurus Pat-jiu Kiam-hoat dengan suling itu! Jangan melawan kalau aku
menotok dan memukulmu. Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk membalas budimu yang telah membuka
mata hatiku. Mulailah, Anak baik!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Song tidak tahu apa yang akan dilakukan kakek itu. akan tetapi karena ia maklum bahwa menghadapi
kakek ini ia sama sekali tidak berdaya, maka ia tidak membantah dan menyerahkan keselamatan dirinya
kepada Tuhan. Mulailah ia mainkan suling itu dengan jurus pertama dari Pat-sian Kiam-hoat.
Tiba-tiba berkelebat bayangan kakek itu yang melayang turun dari atas batu dan ketika melakukan gerak jurus
pertama, Bu Song merasa betapa lambungnya tertotok. Ia kaget namun tidak melawan dan bukan main
herannya karena jurus pertama yang dilakukan dengan tusukan suling dari pinggang itu sama sekali tidak
terganggu oleh totokan, malah ia merasa betapa hawa sakti di tubuhnya tersalur keluar melalui lambung yang
baru saja terkena totokan sehingga jurus yang ia gerakkan itu mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari
pada biasanya.
Bu Song menjadi girang, lenyap semua sisa kekhawatirannya karena ia maklum bahwa kakek ini
membantunya, membantu membuka ‘pintu’ dalam tubuh agar hawa sakti yang ia salurkan dari pusat dapat
lancar. Ia teringat akan cerita suhu-nya bahwa ilmu semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah
mencapai tingkat tinggi sekali. Penggunaan hawa sakti dalam tubuh untuk disalurkan ke dalam tubuh orang
lain, seperti dalam pengobatan, jika dilakukan justru akan membahayakan tubuh penolong itu sendiri.
Namun Bu Song tidak sempat mencegah lagi. Ia sudah bersilat menghabiskan enam belas jurus Pat-sian
Kiam-hoat gubahan suhu-nya dan enam belas kali pula ia merasa ditotok dan dipukul di bagian-bagian tertentu
dari tubuhnya oleh kakek itu yang melakukannya dengan amat cepat dari belakang, kanan kiri atau dari depan.
Begitu selesai mainkan Pat-sian Kiam-hoat, Bu Song menyimpan sulingnya dan cepat menengok.
Kiranya kakek itu sudah bersila lagi di atas batu, mukanya pucat seperti mayat, matanya tertutup dan sama
sekali tubuhnya tidak bergerak. Bu Song meloncat mendekati dan memanggil lirih, "Lo-cianpwe...!" Kakek itu
tidak menjawab.
Melihat keadaan orang yang pucat dan payah, makin yakin hati Bu Song bahwa kakek itu telah mengorbankan
diri dan menurunkan ilmu yang hebat kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menjatuhkan diri berlutut dan
berkata, "Lo-cianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas budi kebaikan Lo-cianpwe!"
Kembali tidak ada jawaban. Sampai lama Bu Song berlutut. Karena tidak ada suara apa-apa dari kakek itu, Bu
Song mengangkat muka memandang. Hatinya khawatir. Kakek itu duduk seperti mayat kaku. Ia meloncat ke
atas batu dan mengulur tangan meraba. Bukan main kagetnya ketika meraba dada, sama sekali tidak ada
tanda-tanda kakek itu bernapas! Juga jantung di dada tidak terasa detiknya. Bu Song meraba pergelangan
tangan. Juga tidak berdetik. Tangan yang ditaruh di depan hidung kakek itu pun tidak merasai hembusan
napas! Kakek ini telah mati!
Karena menyangka bahwa kakek itu mati kehabisan tenaga setelah membantunya menyempurnakan gerakan
dengan bantuan hawa sakti tadi, Bu Song menjadi terharu dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek itu sambil menitikkan air mata! Kemudian ia melompat turun, mencari tempat yang baik untuk
membuat lubang di tanah.
Tak jauh dari situ, sekira sepuluh meter jauhnya, terdapat sebatang pohon. Di bawah pohon itulah Bu Song
lalu menggali lubang, hanya menggunakan sebuah batu runcing dibantu tangannya dengan pengerahan
tenaga dalam. Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya pekerjaannya selesai. Sebuah lubang yang
cukup lebar dan dalam telah terbuka. Selagi ia hendak menghampiri kakek yang duduk bersila dan disangka
mati itu, mendadak tubuh itu melayang langsung ke dalam lubang itu dan kini duduk di dalam lubang dalam
keadaan bersila!
Bu Song bengong. Lalu berlutut sambil memanggil, "Lo-cianpwe...!"
Hatinya girang karena jelas bahwa Bu Tek Lojin belum mati. Kalau sudah mati, mana mungkin ada mayat bisa
meloncat sehebat itu memasuki lubang? Akan tetapi kalau masih hidup, kenapa tidak bernapas dan tidak
terasa detik perjalanan darahnya, dan mengapa pula diam saja dan malah masuk sendiri ke dalam lubang
kuburan?
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkali-kali memanggil tanpa jawaban, tahulah Bu Song bahwa kakek itu sudah tidak mau
melayaninya, maka dia lalu berlutut memberi penghormatan terakhir sambil berkata, "Lo-cianpwe, sekali lagi
terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe. Perkenankan teecu pergi melanjutkan perjalanan mencari Suhu."
Kemudian ia bangkit berdiri, untuk beberapa menit memandang tubuh yang seperti arca duduk bersila di dalam
lubang itu, kemudian ia menghela napas dan membalikkan tubuh, pergi dari tempat itu dengan langkahlangkah
lebar.
Pergantian kekuasaan terjadi secara lunak. Benar-benar luar biasa, sungguh pun selama jaman Lima Dinasti
yang setengah abad lamanya itu (907-960), kerajaan jatuh bangun tanpa ada perang saudara yang cukup
serius. Akan tetapi habisnya jaman Lima Dinasti yang diambil alih oleh Kerajaan Sung ini benar-benar
merupakan peralihan kekuasaan yang paling lunak. Hal ini adalah karena Jenderal Cao Kuang Yin menguasai
sebagian terbesar bala tentara, di samping politiknya yang lunak sehingga dia sama sekali tidak membolehkan
anak buahnya melakukan kekerasan dan gangguan di kota raja. Keluarga kerajaan ‘musuh’ pun tak seorang
pun diusik, bahkan banyak di antara mereka diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.
Biar pun keadaan di kota raja sendiri aman tenteram dan tidak terjadi banyak keributan dalam peralihan
kekuasaan itu, namun peristiwa itu menarik perhatian suku bangsa Khitan yang sejak dulu menjadi musuh
besar. Kerajaan Khitan menduga bahwa tentu keadaan di kota raja menjadi kacau karena peralihan kekuasaan
ini. Oleh karena itulah maka bala tentara Khitan lalu menyerbu dari utara. Juga kerajaan-kerajaan lain ingin
mengambil keuntungan dari peralihan kekuasaan ini dan mereka mengadakan serangan ke perbatasan untuk
memperlebar wilayah mereka, menggunakan kesempatan selagi para pemimpin pasukan di perbatasan
kebingungan karena mendengar tentang pergantian kekuasaan di kota raja.
Mendengar tentang serangan-serangan dari empat penjuru ini, Kaisar Sung pertama menjadi marah dan
segera mengirim pasukan-pasukan dan utusan-utusan ke perbatasan untuk membantu para pasukan lama di
sana sambil mengangkat pemimpin lama menjadi pemimpin baru. Ada pun yang paling diperhatikan adalah
serangan dari utara, dari suku bangsa Khitan, oleh karena memang dari suku bangsa Khitan inilah datangnya
bahaya yang paling besar.
Untuk menghalau musuh lama ini, Kaisar Sung Thai Cu lalu mengerahkan sebuah barisan besar, dipimpin oleh
panglima-panglima pembantunya yang setia dan gagah perkasa, serta pandai mengatur barisan. Selain ini
juga kaisar yang bijaksana dan pandai mempergunakan tenaga ini memanggil Kim-mo Taisu dan minta
bantuan pendekar ini untuk menyertai barisan besar itu melawan pasukan-pasukan Khitan yang terkenal kuat
dan memiliki panglima-panglima yang berkepandaian tinggi pula.
Kim-mo Taisu maklum bahwa hanya kaisar kerajaan baru inilah yang dapat diharapkan akan mendatangkan
kemakmuran kepada rakyat. Maka dengan rela hati ia mengulurkan bantuannya dan berangkatlah Kim-mo
Taisu dengan barisan Kerajaan Sung yang pertama kali mengadakan ekspedisi ke utara untuk melawan
musuh besar mereka, yaitu bangsa Khitan. Selain memang suka membantu kaisar ini, juga Kim-mo Taisu
memiliki urusan pribadi di utara, yaitu untuk mencari musuh lamanya, ialah Ban-pi Lo-cia si tokoh Khitan yang
sakti. Juga ingin ia bertemu kembali dengan musuh lamanya, Bayisan manusia Khitan yang curang. Ingin ia
memberi hajaran orang itu untuk kedua kalinya!
Pada masa itu kedudukan bangsa Khitan sudah masuk jauh melewati tembok besar yang tadinya dibangun
dengan maksud mencegah masuknya musuh-musuh seperti bangsa Khitan! Hal ini terjadi ketika Dinasti Cin
(936-947) berdiri. Kerajaan Cin hanya dapat berdiri dan merebut kekuasaan dari Kerajaan Tang muda karena
bantuan barisan Khitan. Untuk jasa ini, Kerajaan Cin memberikan wilayah ujung timur laut di sebelah selatan
tembok besar sampai ke kota besar Yen (Peking sekarang), juga wilayah Pegunungan Yin-san. Wilayah yang
luas dan jauh lebih subur dari pada daerah kekuasaan bangsa Khitan sendiri jauh di utara.
Ketika barisan besar dari Kerajaan Sung sudah menyeberangi Pegunungan Tai-hang-san di sebelah selatan
Peking, tiba-tiba muncullah pasukan-pasukan Khitan dari segala jurusan dan terjadilah perang hebat di sekitar
lereng pegunungan Tai-hang-san. Perang yang berlangsung dengan seru dan baru berakhir setelah matahari
menyelam di sebelah barat. Pasukan-pasukan Khitan seperti pasukan-pasukan setan melenyapkan diri dan
sunyilah keadaan di sekitar bekas tempat peperangan. Mayat-mayat menggeletak bergelimpangan dan udara
penuh dengan bau amisnya darah, penuh pula dengan rintihan dan keluhan mereka yang menderita luka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para Panglima Sung memerintahkan pasukan-pasukan dalam barisan besar untuk mundur ke balik puncak
Tai-hang-san dan membuat perkemahan besar di lapangan terbuka sehingga tidak memungkinkan pihak
musuh untuk melakukan penyerbuan serentak. Bendera besar Kerajaan Sung dipasang di tengah-tengah
perkemahan, dikelilingi oleh bendera-bendera para panglima yang memimpin barisan itu.
Dalam perang ini Kim-mo Taisu tidak ikut maju karena pendekar ini melihat betapa di pihak Khitan juga tidak
ada tokoh bukan tentara yang ikut perang. Ikut sertanya dalam barisan itu adalah untuk menandingi orangorang
sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Kalau hanya perang biasa, pasukan lawan pasukan, tidak perlu ia bantu
karena selain ia tidak mengerti tentang mengatur pasukan dan siasat perang, juga hal ini selain merendahkan
kemampuan pasukan Sung, juga dapat merendahkan namanya sendiri sebagai pendekar sakti.
Malam itu para penjaga perkemahan menjaga dengan penuh kewaspadaan, akan tetapi juga diam tidak berani
mengeluarkan suara ribut. Para panglima sudah memberi perintah agar malam itu dipergunakan betul-betul
oleh pasukan untuk beristirahat secukupnya agar besok menjadi segar kembali untuk menghadapi lawan.
Karena itulah maka tidak ada penjaga yang bermain kartu, tidak ada yang bersenda-gurau dan malam menjadi
sunyi sekali.
Namun pada pagi harinya, para penjaga menjadi gempar ketika mereka melihat betapa bendera-bendera itu
kini telah lenyap. Di atas tiang bendera yang tengah, yang paling tinggi, tampak sebuah benda kecil
bergantung. Dalam keadaan terjaga keras dan rapat, ada orang dapat menyelundup masuk ke dalam
perkemahan sudah merupakan hal aneh. Akan tetapi kalau orang itu dapat mengambil semua bendera lalu
meninggalkan sesuatu di puncak tiang tanpa merobohkan tiang-tiang bendera, benar-benar merupakan hal
yang amat luar biasa.
Beberapa orang penjaga hendak menurunkan tiang untuk mengambil benda yang tergantung di atas, akan
tetapi komandan jaga melarangnya. "Jangan sentuh! Biar kita melapor ke dalam agar panglima menyaksikan
sendiri hal ini. Siap saja untuk menerima teguran, mungkin hukuman!" Dengan muka pucat dan lesu komandan
jaga lalu menghadap para panglima yang juga sudah bangun karena mendengar suara ribut-ribut di luar.
Empat orang panglima yang memimpin barisan itu berlari-lari keluar. Semalam mereka semua dalam barisan,
dari prajurit sampai panglima, tidak ada yang menanggalkan pakaian seragam dan selalu berdekatan dengan
senjata. Empat orang panglima itu masih dalam pakaian dinas, hanya muka dan rambut mereka kusut karena
begitu bangun tidur mereka berlarian ke luar. Mereka berhenti di luar tenda untuk menerima pelaporan
komandan jaga yang melapor dengan suara gemetar, menceritakan betapa keras dan ketat mereka melakukan
penjagaan semalam, namun ternyata pagi hari itu semua bendera lenyap dan sebagai gantinya di ujung tiang
tengah yang paling tinggi terdapat sebuah benda kecil tergantung di atas.
Pada saat itu Kim-mo Taisu dengan tenang juga sudah datang ke tempat itu. Empat orang panglima itu saling
pandang dengan kening berkerut, lalu memberi perintah untuk mencatat semua prajurit dan komandannya
yang bertugas jaga malam itu untuk dihukum kelak kalau memang mereka bersalah dan lalai. Setelah itu,
bersama Kim-mo Taisu mereka melangkah ke luar. Para prajurit yang tadinya ribut-ribut kini semua terdiam
melihat muculnya empat orang panglima. Keadaan sunyi dan ketika mereka melihat ke atas, empat orang
panglima itu menjadi pucat mukanya.
"Betapa mungkin menyelundup masuk dan melakukan perbuatan itu!" kata Panglima Phang, panglima yang
tertua di antara rekan-rekannya, kemudian menoleh kepada Kim-mo Taisu sambil berkata, "Agaknya pihak
musuh mempergunakan orang sakti untuk mempermainkan kita. Kami kira hanya Taisu yang dapat
menerangkan hal ini."
Diam-diam Kim-mo Taisu menarik napas panjang. Ia suka kepada kaisar pendiri Kerajaan Sung, maka ia
menyambut permintaan bantuan raja itu dengan hati terbuka. Akan tetapi maklum pula bahwa empat orang
panglima ini diam-diam di dalam hati mereka memandang rendah kepadanya. Memang hal ini pun tidaklah
aneh dan ia tidak terlalu menyalahkan panglima-panglima itu, karena sesungguhnya, apakah artinya dia
sebagai seorang pendekar silat dalam perang yang begitu besar? Kepandaiannya tidak berarti banyak. Andai
kata ia mampu mengamuk dan membunuh puluhan orang lawan, akan tetapi tidak mungkin ia mengundurkan
serbuan ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu orang musuh dengan kepandaian silatnya itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Berbeda dengan panglima ini yang memiliki kepandaian ilmu perang, pandai mengatur barisan dan siasat
perang. Sesungguhnya di tangan mereka inilah letak dasar kemenangan. Andai kata dia disuruh memimpin
seratus ribu orang prajurit dan disuruh melawan perang panglima yang pandai yang hanya mempunyai lima
puluh ribu orang prajurit belum tentu dia dapat mencapai kemenangan! Ilmunya hanya berguna untuk
pertandingan perorangan, namun hampir tidak ada gunanya dalam perang antara ratusan ribu orang itu.
Akan tetapi, kalau ada peristiwa seperti pagi hari ini barulah ilmu perorangan seperti yang ia miliki dapat
dipergunakan, bahkan dibutuhkan. Ia menjura dan berkata, "Phang-ciangkun, permainan itu tidak ada artinya
sama sekali. Anak-anak pun kalau dilatih mampu melakukannya. Biar kuturunkan benda itu dan kupasang
kembali bendera-bendera tanpa menurunkan tiangnya!"
Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Kim-mo Taisu menggenggam sekepal tanah pasir.
Hanya dengan sedikit melirik, dan kembali dengan gerakan yang terlihat sembarangan, ia sambitkan gumpalan
tanah itu ke atas, ke arah ujung tiang. Tiang bendera itu tingginya sepuluh meter lebih dan agaknya bagi orang
biasa takkan mungkin menimpuk jatuh benda yang berada di tempat setinggi itu hanya menggunakan tanah
pasir. Akan tetapi Kim-mo Taisu bukanlah orang biasa! Begitu sinar hitam berkelebat ke atas, benda yang
tergantung di puncak tiang itu pun melayang jatuh, disambut sorak sorai para prajurit yang mengagumi
kehebatan Kim-mo Taisu.
Phang-ciangkun mengambil benda itu yang ternyata hanyalah surat bersampul kuning. Ketika ia melihat hurufhuruf
yang tertulis di luar sampul ia berseru heran. "Haiii! Kiranya sebuah surat ditujukan kepada Taisu!"
Dengan hati heran akan tetapi sikapnya tenang, Kim-mo Taisu menerima sampul kuning itu dan membacanya.
Benar saja. Huruf-huruf indah menghias sampul itu dan ditujukan kepadanya. Ia segera mengeluarkan
suratnya dan membaca. Kiranya terisi surat tantangan dari... Kong Lo Sengjin! Sungguh hal yang tak
tersangka-sangka! Dia mencari-cari Kong Lo Sengjin ke mana-mana, kiranya malah kakek lumpuh itu kini
berada di sini dan mengajukan surat tantangan kepadanya!
Tentu saja kalau kakek itu yang datang menyelundup dan melakukan hal-hal itu, bukanlah sesuatu yang aneh.
Hanya anehnya, mengapa kakek itu menurunkan semua bendera? Bukankah itu merupakan penghinaan bagi
Kerajaan Sung, padahal kakek lumpuh itu dahulu ikut pula membantu para panglima memaksa Cao Kuang Yin
menjadi raja dan memberontak? Mungkin untuk memamerkan kepandaian saja?
Saking girang hatinya akan bertemu dengan kakek yang hendak dimintai pertanggungan jawabnya tentang
pembunuhan terhadap isterinya, tanpa disadarinya Kim-mo Taisu bergelak, lalu berkata, "Harap diambilkan
bendera-bendera baru, biar kupasangkan di tempatnya!"
Di dalam hatinya sama sekali tidak terkandung niatnya untuk memamerkan kepandaian, melainkan hanya
untuk menandingi perbuatan Kong Lo Sengjin dan di samping itu juga untuk membesarkan hati barisan.
Bukankah ia ditugaskan menyertai barisan itu untuk melawan pihak musuh kalau menggunakan tenaga orang
sakti?
Ketika lima buah bendera itu dibawa keluar oleh petugas dan diterima Panglima Phang lalu diberikan
kepadanya, Kim-mo Taisu lalu mengayun tubuhnya ke atas. Memang sepandai-pandainya manusia, tak
mungkin ia mampu terbang tanpa sayap, maka loncatan Kim-mo Taisu pun tidak dapat mencapai puncak tiang
yang tingginya belasan meter itu. Namun dengan tangan menyambar tiang, ia dapat menggunakan tenaga
tangannya untuk menekan tiang dan tubuhnya mencelat lagi ke atas. Dengan cara ini akhirnya tubuhnya
mencapai ujung tiang, kedua tangannya memasangkan bendera Kerajaan Sung.
Jauh dibawahnya, para prajurit bertepuk-tepuk tangan memuji tiada hentinya. Memang, apa yang dilakukan
oleh Kim-mo Taisu itu adalah pertunjukan hebat yang takkan mudah dilakukan oleh orang lain. Hanya seorang
sakti yang sudah memiliki lweekang tinggi saja akan mampu melakukan hal ini.
Selesai mengikatkan bendera di ujung tiang sehingga bendera itu berkibar tertiup angin pagi, Kim-mo Taisu
menggunakan tenaga loncatan dengan menekan ujung tiang untuk meloncat ke tiang lain yang lebih rendah.
Berturut-turut ia memasangkan bendera-bendera tanda pangkat para panglima pada empat batang tiang itu
dengan cara berloncatan sehingga dalam waktu singkat saja lima helai bendera itu sudah berada di
tempatnya, menggantikan bendera-bendera yang hilang, berkibar megah. Kim-mo Taisu dengan gerak layang
dunia-kangouw.blogspot.com
yang amat indah dan ringan meloncat turun dari atas tiang terakhir dan hinggap di atas tanah tanpa
menimbulkan sedikit pun suara mau pun debu! Kembali sorak-sorai menyambutnya.
"Phang-ciangkun, surat ini adalah surat tantangan dari seorang musuh besar saya. Terpaksa saya harus
meninggalkan Ciangkun sekalian sebentar untuk melayaninya!"
Panglima Phang mengerutkan alisnya yang tebal. Sebagai seorang panglima yang tahu akan banyak siasat
perang, ia menaruh curiga. "Maaf, Taisu. Kalau Taisu tidak menyeratai kami dan kalau tidak berada dalam
kancah perang melawan musuh bangsa Khitan yang terkenal cerdik dan curang, agaknya tantangan untuk
Taisu itu sewajarnya saja dalam dunia persilatan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, kami
merasa curiga. Jangan-jangan mereka menggunakan siasat memancing naga keluar dari sarang, di satu pihak
mereka menggunakan orang-orang pandai untuk mengepung Taisu, di lain pihak mereka hendak
menggunakan saat Taisu tidak berada di sini untuk melakukan penyerbuan besar-besaran!"
Kim-mo Taisu mengagguk-angguk. "Benar sekali kecurigaan Ciangkun, dan memang agaknya begitulah.
Namun musuhku ini dahulu sama sekali bukan seorang musuh negara, bahkan sejak dahulu ia musuh orang
Khitan pula. Entah mengapa kali ini ia merampasi bendera, agaknya hanya untuk memamerkan kepandaian
dan menakut-nakuti kanak-kanak saja. Betapa pun juga, memang dia selama ini kucari-cari, maka saya harus
menerima tantangannya. Jangan Ciangkun berkhawatir. Saya ditantang untuk mendatangi puncak itu di mana
dia menanti. Dari puncak saya akan dapat melihat keadaan barisan di sini dan setiap waktu Ciangkun
membutuhkan tenagaku, dapat Ciangkun melepas tanda panah berapi ke udara. Kalau ada tanda itu, berarti
saya harus datang, dan saya pasti akan meninggalkan urusan pribadi dan akan kembali ke sini secepatnya!
Karena, andai kata orang-orang Khitan mengerahkan barisannya menyerbu, untuk menghadapi mereka
tergantung dari keahlian Ciangkun berempat mengatur barisan. Tugas saya hanya menghadapi orang-orang
macam yang semalam datang menyelundup ke sini. Bukankah demikian? Nah, sekarang juga saya pergi!"
Kim-mo Taisu menjura, kemudian berkelebat dan lenyap dari situ. Yang tampak hanya bayangannya saja
berkelebat cepat sekali, bahkan ada kalanya melalui atas kepala sekumpulan prajurit yang berdiri menghadang
jalan ke luar!
Semua orang kagum dan untuk beberapa lamanya mereka memandang ke arah puncak gunung yang berada
tidak jauh dari tempat perkemahan itu. Betapa kagum hati mereka ketika tak lama kemudian tampak bayangan
kecil Kim-mo Taisu bergerak-gerak lari mendaki puncak!
"Puncak itu tidak berapa jauh, mudah saja kita undang ia kembali atau mengirim pasukan menyusul kalau kita
memerlukan tenaganya," kata Phang-ciangkun kepada teman-temannya.
Mereka lalu bersiap-siap menyambut musuh. Memang tidak terlalu kepagian mereka berkemas dan bersiap
karena tak lama kemudian terdengar suara derap kaki bercampur sorak-sorai dan suara terompet serta tambur
orang-orang Khitan! Cepat Phang-ciangkun dan tiga orang temannya naik ke tempat tinggi untuk mempelajari
keadaan, kemudian turun setelah musuh tampak muncul dari depan dan dari kiri.
Phang-ciangkun dahulu pernah menjadi pembantu Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai, dan dia sudah
mempunyai banyak pengalaman pula menghadapi barisan Khitan sehingga banyak ia mengenal siasat-siasat
barisan Khitan yang mengandalkan kekuatan atau siasat perang gerilya. Maka Phang-ciangkun tidak hanya
mencurahkan perhatian ke arah utara dan barat (depan dan kiri), melainkan menaruh perhatian dan penjagaan
pula kepada jurusan lain untuk mencegah dan mematahkan serangan gelap.
********************
Dengan ilmu lari cepatnya Kim-mo Taisu mendaki puncak Gunung Tai-hangsan. Setelah tiba di lereng puncak
tampaklah matahari rendah di timur, bulat dan besar berwarna merah seperti bola api yang indah sekali.
Sejenak Kim-mo Taisu menunda langkah kakinya dan memandang penuh kekaguman. Kemudian ia memutar
tubuh dan melihat ke bawah. Tampak barisan Sung yang amat besar jumlahnya itu mulai bergerak dan juga
tampak amat megah dan indah.
Barisan itu seperti semut, terpisah-pisah dan terbagi menjadi lima bagian, masing-masing bergerak ke empat
penjuru dan yang ke lima tinggal di tengah. Barisan darat, barisan kuda, barisan panah, barisan tombak, dan
barisan golok panjang serta golok pendek tampak jelas dari atas karena barisan-barisan itu memakai pakaian
dunia-kangouw.blogspot.com
seragam yang berbeda-beda. Bendera-bendera berkibar dan suara penyambutan perang dari bawah yang
amat gemuruh itu hanya terdengar gemanya saja dari tempat tinggi ini, seperti sekumpulan tawon merah.
Jauh di sebelah utara, tampak samar-samar pasukan-pasukan Khitan, ada pula yang bergerak dari balik
puncak. Dibandingkan dengan barisan Sung, pasukan-pasukan Khitan itu tidak berarti jumlahnya dan legalah
hati Kim-mo Taisu. Ia percaya akan kemampuan para komandan pasukan Sung, akan keberanian prajuritprajuritnya.
Dengan hati lega Kim-mo Taisu melanjutkan perjalanannya ke puncak. Sedikit pun ia tidak merasa ragu-ragu
atau takut-takut, sesungguh pun ia dapat menduga bahwa Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh dan curang
itu mungkin sekali membawa pembantu-pembantu.
Tiba-tiba ia terheran ketika dari balik sebatang pohon muncul seorang laki-laki yang bersenandung seorang
diri, tangan kanannya memegang sebuah mouw-pit (pena bulu) hitam, tangan kirinya memegang mouw-pit
putih. Kiranya ia muncul bukan untuk menghadangnya, karena ia mundur-mundur, memandang ke arah batang
pohon yang besar itu, maju lagi dan tangan kirinya bergerak ke depan.
"Rettt!" mouw-pit putih telah membuat coretan pendek pada sehelai kertas putih yang dibentangkan di batang
pohon. Kemudian ia mundur lagi sampai tiga meter lebih. Matanya menyipit, menatap ke depan, kepalanya
miring-miring, lalu ia maju lagi menggerakkan mouw-pit hitam di tangan kanan.
"Rettt!" lalu ia mundur lagi. Mulutnya yang tadinya bersenandung tidak jelas apa maksudnya, kini bernyanyi,
suaranya serak dan suara nyanyian itu tidak enak didengar.
Biar iblis kalau berhati emas, bukan jahat namanya!
Biar raja kalau berwatak serigala, dia melebihi iblis!
Biar serigala kalau banyak dan mengandalkan pengeroyokan,
seekor harimau pun bisa mengalami bencana!
Karena itu lebih baik lari menjauhkan diri!
Kim-mo Taisu yang sedang menghadapi urusan penting, tadinya tidak ingin menunda perjalanannya. Akan
tetapi mendengar nyanyian ini, terutama baris kalimat pertama dan kedua, dia menjadi tertarik. Dia dijuluki
Kim-mo Taisu. Guru Besar Iblis Berhati Emas! Sedangkan Kong Lo Sengjin adalah Sin-jiu Couw Pa Ong,
seorang raja muda! Jelas bahwa sajak yang dinyanyikan itu bukan hanya kebetulan saja. Apalagi disebutsebut
tentang serigala-serigala yang hendak mengeroyok, maka sang harimau lebih baik pergi jauh.
Tak salah lagi! Orang aneh itu bernyanyi dengan kata-kata memberi peringatan kepadanya agar jangan
melayani tantangan Couw Pa Ong yang akan mengeroyoknya! Ketika Kim-mo Taisu mendekat, tampak
olehnya bahwa laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, agak pendek dan matanya lebar itu sedang
melukis. Ia memandang ke arah kertas yang dibentangkan dan menempel batang pohon dan... hampir saja
Kim-mo Taisu berseru saking kagumnya.
Dia sendiri adalah seorang sastrawan, tentu saja mengenal seni lukis, bahkan sedikit banyak pandai juga
melukis. Bukankah menulis huruf sama dengan seni lukis pula? Apa yang dilihatnya di atas kertas itu benarbenar
sebuah lukisan yang mengagumkan. Coretan-coretannya kuat sekali, kuat dan hidup. Gambar itu
melukiskan empat ekor serigala sedang berkelahi mengeroyok seekor harimau. Biar pun lukisan itu hanya
hitam putih, namun hidup sekali.
Mata empat ekor serigala itu seolah-olah hidup dan menyinarkan kelicikan dan kecurangan di samping
kebuasan. Mulut mereka seolah-olah tampak hidup mengeluarkan uap amis, dengan air liur menetes-netes,
lidah terjulur keluar, gigi runcing-runcing penuh ancaman. Juga harimau itu amat indah, membayangkan
kegagahan dan keberanian, akan tetapi keadaannya payah dikeroyok empat ekor serigala yang buas dan
berkelahi dengan cara yang curang itu, selalu mengarah kaki belakang sang harimau.
"Lukisanmu indah sekali, Sobat!" Kim-mo Taisu memuji.
Orang itu kelihatan kaget bukan main. Kedua mouw-pit-nya sampai melayang ke atas dan sekali tangan
kanannya bergerak ia sudah mencabut sebatang pedang yang bersinar terang kekuningan. Tubuhnya
dunia-kangouw.blogspot.com
melompat ke belakang membalikkan tubuh dan siap dengan pedang di depan dada. Ketika sepasang mouw-pit
hitam putih itu meluncur turun, tanpa mengalihkan pandang mata ke arah Kim-mo Taisu, dengan tangan
kirinya bergerak ke depan dan tahu-tahu kedua mouw-pit itu sudah terjepit di antara tangan kirinya!
Mereka saling pandang. Kim-mo Taisu maklum bahwa pelukis aneh ini ternyata memiliki kepandaian yang
tinggi pula, maka ia makin kagum dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi
hormat dan menjura.
"Maafkan saya kalau saya mengganggu Saudara yang sedang enak-enak melukis. Akan tetapi melihat lukisan
yang hebat luar biasa ini, dan mendengar nyanyian Saudara, tak mungkin saya lewatkan begitu saja. Kim-mo
Taisu bukanlah seorang yang tidak tahu akan maksud baik orang lain, juga tidak buta akan kepandaian
melukis yang begini mengagumkan!"
Tiba-tiba orang itu tertawa dan mukanya berubah lucu sekali. Apalagi ketika ia memasang kuda-kuda tadi,
pinggulnya lenggak-lenggok seperti orang sedang ber-agogo! Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya, lalu
balas memberi hormat sambil pecuca-pecucu (mulut digerak-gerakkan meruncing).
"Wah-wah-wah! Akulah yang layak ditampar! Aku yang layak minta maaf karena seperti orang buta saja tidak
melihat timbulnya matahari pagi yang demikian indah merajai angkasa raya! Tidak mengenal Kim-mo Taisu
yang tersohor sebagai seorang pendekar sakti, terutama baik budi pekertinya. Maaf, maaf!" Ia menghormat lagi
lalu berkata, "Aku yang bodoh bernama Gan Siang Kok, akan tetapi anak-anak kecil yang suka melihat
gambar-gambarku menyebutku Gan-lopek. Heh-heh-heh, memang aku sudah tua tentu saja suka disebut
lopek (paman tua)! Mau pura-pura muda saja, rambut sudah beruban gigi sudah tidak lengkap, Heh-heh, hati
sih tinggal muda, tapi rambut dan gigi ini tak dapat disangkal ketuaannya. Ha-ha-ha!"
Kim-mo Taisu tersenyum. Orang ini biar pun aneh, wataknya terbuka dan mempunyai pandangan luas dan
selalu gembira. Agaknya memandang dunia dengan hati terbuka dan dari sudut yang mengandung kelucuan.
Memang kalau orang berpemandangan awas dan berhati terbuka, di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal
yang membuat hati menjadi geli, seperti melihat badut-badut berlagak di atas panggung. Melihat betapa di
dalam kehidupan manusia sehari-hari, selalu manusia tunduk kepada kepalsuan yang disebut kebiasaan
umum! Kekeliruan-kekeliruan dan penyelewengan-penyelewengan yang tidak dianggap salah lagi karena
orang banyak, bahkan semua orang melakukannya!
Kepalsuan yang kadang-kadang disebut kesopanan, disebut kebiasaan umum, disebut peraturan dan bahkan
disebut hukum! Alangkah lucunya manusia-manusia yang berselimut segala yang baik-baik itu membiarkan diri
berlagak seperti badut-badut berkedok kepalsuan! Tentu saja hal ini tidak akan tampak oleh manusia sesama
badut. Hanya orang yang sudah sadar saja yang akan dapat menjadi penonton. Orang-orang yang masih
mabok dan belum sadar, mabok keduniaan, akan terseret dan ikut main di atas panggung menjadi badutbadut,
dan bahkan saling berlomba memperebutkan kejuaraan badut paling lucu!
"Kalau begitu, biar pun selisih usia kita tidaklah terlalu banyak, aku yang lebih muda akan menyebutmu Ganlopek
juga."
"Heh-heh-heh, itu yang paling baik. Merupakan kehormatan besar sekali mempunyai keponakan seorang
berwatak pendeta dan bertubuh pendekar yang harus disebut Taisu (guru besar) oleh Paman tuanya. Ha-ha!"
"Gan-lopek, harap sudahi main-main ini. Tidak perlu kiranya kau berpura-pura lagi bahwa yang kau nyanyikan
dan yang kau lukis ini kebetulan saja menyangkut diriku. Terima kasih atas peringatanmu bahwa di atas sana
menanti musuh-musuhku yang berjumlah banyak hendak mengeroyokku. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa
seekor harimau tidak pernah mengenal takut. Nah, aku pun tidak takut karena aku berbekal kebenaran. Sekali
lagi terima kasih dan selamat berpisah, Gan-lopek!" Setelah memberi hormat lagi, Kim-mo Taisu melanjutkan
perjalanannya.
Gan-lopek melanjutkan corat-coretnya, mulutnya mengomel, "Cari mati...., cari mati...!"
Ketika kemudian Kim-mo Taisu menengok, ia melihat betapa Gan-lopek yang aneh dan lucu itu telah
mencoret-coret gambarnya sehingga gambar yang indah itu berubah menjadi hitam semua, seperti seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
kanak-kanak yang ngambul dan sengaja merusak lukisan itu untuk melampiaskan kekecewaan dan
kemendongkolan. Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat kedua pundak, lalu melanjutkan perjalanannya
mendaki puncak.
Di atas puncak Tai-hang-san itu terdapat bagian yang rata dan ditumbuhi rumput hijau. Tempat itu cukup luas
dan pemandangan dari puncak itu ke bawah amatlah indahnya. Kim-mo Taisu melihat ke bawah dan tampak
pemandangan luar biasa karena kini ‘semut-semut’ di bawah itu sudah mulai berperang!
Tiba-tiba dari belakang pohon-pohon di sekitar lapangan itu muncul empat orang yang bergerak cepat
menghampirinya. Paling depan ia mengenal Kong Lo Sengjin yang ‘berjalan’ di atas kedua tongkatnya. Akan
tetapi alangkah kaget, heran dan juga girangnya ketika melihat bahwa orang ke dua adalah Ban-pi Lo-cia!
Tanpa ia cari-cari kini musuh-musuh besarnya telah berkumpul sehingga mudah baginya untuk segera
menyelesaikan perhitungan lama!
Dasar seorang yang berwatak pendekar, Kim-mo Taisu hanya teringat akan keuntungan perjumpaan ini, sama
sekali tidak ingat bahwa Kong Lo Sengjin dan Ban-pi Lo-cia menjadi satu merupakan lawan yang bukan main
beratnya, belum lagi ditambah dua orang yang berada di belakang mereka. Ada pun dua orang itu juga bukan
orang sembarangan, karena yang satu adalah Pouw-kai-ong, Si Raja Pengemis yang jahat dan licik, memiliki
kepandaian yang aneh sekali. Orang ke dua adalah Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang tentu saja tinggi
ilmunya, dan semenjak terakhir mengeroyoknya, tentu kini telah bertambah ilmunya.
Akan tetapi Kim-mo Taisu sama sekali tidak merasa gentar. Memang harus ia akui bahwa bersatunya Kong Lo
Sengjin dengan Ban-pi Lo-cia, merupakan hal yang tidak ia sangka-sangka dan memang kedua orang itu
ditambah Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat merupakan lawan yang berat sekali, jauh lebih berat ketika ia dikeroyok
oleh Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong, dan Ma Thai Kun dahulu. Namun selama belasan tahun ini pun ilmunya
sendiri sudah mendapat kemajuan pesat. Dahulu ia terhitung masih muda, dan kini ia sudah dapat
mematangkan ilmu kepandaiannya, sedangkan dua orang lawannya yang paling pandai, Ban-pi Lo-cia dan
Kong Lo Sengjin, sudah terlalu tua sekarang dan karenanya tentu berkurang tenaganya.
"Hemm, siapa duga Sin-jiu Couw Pa Ong yang dahulu terkenal sebagai seorang patriot sejati, seorang
pembela tanah air dan negara sampai mengorbankan kedua kakinya, kini menyeberang kepada musuh dan
tidak malu dalam usia tua merubah diri menjadi seorang penghianat yang serendah-rendahnya karena
bersekutu dengan orang Khitan!" Kim-mo Taisu menegur karena memang hatinya merasa tertusuk dan marah
bukan main menyaksikan paman mendiang isterinya itu bersekutu dengan Ban-pi Lo-cia. "Berlaku curang,
menggunakan orang Hui-to-pang membunuh keponakannya sendiri dan melemparkan fitnah kepada orang lain
adalah biasa, akan tetapi menghianati negara adalah kejahatan yang rendah, yang akan mendatangkan noda
yang tak terhapuskan selama tujuh keturunan!"
Marahlah Kong Lo Sengjin mendengar ini. Marah luar biasa sehingga mukanya menjadi pucat, alisnya berdiri
dan rambutnya yang sudah awut-awutan itu seketika seperti menjadi kaku. Ia melangkah lebar dengan
tongkatnya mendekati Kim-mo Taisu dan memaki dengan bentakan keras. "Tutup mulutmu! Kwee Seng, kau
anak kecil tahu apa tentang perjuangan? Ketika kau belum terlahir aku sudah berjuang membela negara.
Sekarang kau berani memberi kuliah tentang perjuangan kepadaku? Keparat!"
Kim-mo Taisu tersenyum mengejek. "Justru karena kau sudah terlalu tua maka engkau menjadi pikun. Sudah
layak kalau orang dinilai dari perbuatannya paling akhir. Seribu perbuatan baik akan terhapus oleh sebuah
perbuatan buruk. Seribu perbuatan buruk dapat saja dicuci oleh sebuah perbuatan baik terakhir. Kong Lo
Sengjin, kau sudah tua, mendekati saat kematian, mengapa tidak menyiapkan bekal yang baik malah
menumpuk dosa dan kecemaran? Mengapa tidak mencari jalan terang malah tersesat dalam kegelapan?
Mengapa seorang patriot berubah menjadi penghianat?"
"Setan neraka!" Kong Lo Sengjin semakin marah. "Aku sudah mengorbankan seluruh keluargaku untuk
negara, bahkan mengorbankan kedua kakiku! Aku memang menyuruh bunuh isterimu untuk membangkitkan
semangatmu agar kau mengikuti jejakku! Kau yang baru berkorban isteri saja sudah ribut dan hendak
membalasku. Jangan kira aku takut. Kini kau menuduhku yang bukan-bukan. Kau anak kecil tahu apa?
Semenjak Kerajaan Tang runtuh, selama setengah abad rakyat kita ditindas oleh raja-raja lalim. Mula-mula
mereka baik, akan tetapi akhirnya sama saja. Keadaan begini harus diakhiri dan bangsa Khitan yang jaya
sajalah yang akan dapat membantu merubah keadaan. Dengan bantuan bangsa Khitan, aku akan mendirikan
dunia-kangouw.blogspot.com
kembali Kerajaan Tang yang megah! Kau, Kim-mo Taisu, kalau kau mau membantu kami, aku dan sahabatsahabatku
ini akan melupakan segala urusan di antara kita yang sudah lewat, dan mari kita bangun kembali
Kerajaan Tang dengan bantuan sahabat-sahabat Khitan. Kelak kau akan menjadi raja muda, karena kau masih
terhitung mantu keponakanku!"
Kim-mo Taisu memandang dengan mata terbelalak, kemudian bertanya, suaranya perlahan dan lirih, "Dan
kau...kau menjadi kaisarnya?"
"Siapa lagi? Akulah raja muda Kerajaan Tang yang terakhir!" jawab Kong Lo Sengjin sambil membusungkan
dada.
“Celaka,” pikir Kim-mo Taisu. Kakek ini sudah menjadi gila! Menjadi Kaisar Kerajaan Tang yang dibangun
dengan bantuan bangsa Khitan? Sama saja dengan memasukkan barisan serigala ke dalam rumah. Apakah
kalau seandainya bangsa Khitan berhasil, mereka mau menyerahkan kekuasaan kepada Kong Lo Sengjin?
Kepada seorang kakek lumpuh? Membayangkan betapa kerajaan dikuasai oleh seorang kaisar lumpuh, Kimmo
Taisu menjadi geli hatinya dan tak tertahankan lagi ia tertawa tergelak.
"Ha-ha-ha! Kong Lo Sengjin, kiranya engkau sudah menjadi gila! Tak usah kau melamunkan yang bukanbukan
karena sekarang juga kau harus menebus kematian isteriku dengan nyawamu! Ada pun temantemanmu
ini, terutama sekali Ban-pi Lo-cia, juga takkan lepas dari tanganku karena dia harus menebus
kematian adik isteriku. Kong Lo Sengjin, tahukah engkau bahwa adik kembar Gin Lin yang bernama Khu Kim
Lin tewas karena kekejian dan kebiadaban manusia Khitan ini?"
"Tutup mulut! Urusan pribadi tidak penting, yang penting urusan negara!" Kong Lo Sengjin sudah menjadi
marah sekali dan menerjang Kim-mo Taisu dengan kedua tongkatnya yang bergerak-gerak bergantian secara
dahsyat. Tentu saja kakek yang berubah wataknya ini tidak peduli betapa keponakannya mati karena Ban-pi
Lo-cia, karena dia sendiri pun tega menyuruh membunuh keponakannya, isteri Kim-mo Taisu, hanya untuk
kepentingan cita-citanya.
Kim-mo Taisu yang kini sudah siap untuk bertanding, cepat mengelak dengan lompatan tinggi ke kanan. Ketika
kakinya kembali menyentuh bumi, tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang, tangan kirinya
memegang sebuah kipas. Memang semenjak ia mengambil keputusan untuk mencari musuh-musuh besarnya
yang terdiri dari orang-orang sakti, dan mengingat akan pengalamannya ketika ia dikeroyok tanpa memegang
senjata. Kim-mo Taisu sudah mempersiapkan diri dengan sepasang senjatanya yang lengkap yaitu pedang
dan kipas.
Begitu lawannya mendesak maju, sekaligus Kim-mo Taisu menggerakkan pedang dan kipas. Pedangnya
mainkan Pat-sian Kiam-hoat dan kipasnya mainkan Lo-hai San-hoat yang merupakan pasangan luar biasa dan
hebat. Betapa pun saktinya Kong Lo Sengjin, kakek itu langsung terhuyung ke belakang saat menghadapi
serbuan sepasang senjata aneh yang mengeluarkan angin pukulan dahsyat ini.
Akan tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia sudah menerjang maju dengan cambuk hitamnya sambil tertawa, "Haha-
ha, Kim-mo Taisu, sekali ini kau takkan dapat lolos dari cambukku!"
Betapa kaget hati kakek Khitan raksasa ini ketika ujung cambuknya menyambar dan sudah dekat dengan
tubuh lawan, tetapi ujung cambuk itu terpental kembali seakan-akan ada tenaga luar biasa yang menolaknya.
Kiranya kebutan kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu telah berhasil mendorong kembali ujung cambuk itu. Dari
gerakan ini saja dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sinkang Kim-mo Taisu dan diam-diam Ban-pi Lo-cia
merasa khawatir. Ia maklum bahwa selama belasan tahun ini, Kim-mo Taisu telah mendapat kemajuan pesat
sekali dan dalam hal tenaga dalam saja ia sudah tidak dapat menandingi lawannya! Biar pun begitu, kakek
raksasa ini tidak takut, apalagi pada saat itu, Pouw-kai-ong dan Lauw Kiat sudah menyerbu maju untuk
membantu.
Yang hebat dan tak tersangka-sangka oleh Kim-mo Taisu adalah Pouw-kai-ong. Begitu Raja Pengemis ini
bergerak menggunakan sebatang tongkat pengemis, terdengar angin menderu dan serangannya berbahaya
sekali. Kiranya Raja Pengemis yang sebaya dengannya itu juga telah memperoleh kemajuan hebat. Hanya
Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia sajalah yang merupakan lawan paling lemah di antara empat orang ini. Namun
dunia-kangouw.blogspot.com
pengeroyokan mereka cukup berbahaya dan membuat Kim-mo Taisu harus mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua kepandaiannya.
Pertandingan berlangsung dengan amat hebatnya. Betapa pun dia dikurung dan tidak diberi kesempatan oleh
empat orang pengeroyoknya, namun Kim-mo Taisu kadang-kadang menggunakan kesempatan untuk
mengerling ke bawah puncak, untuk melihat kalau-kalau ia dibutuhkan oleh panglima bala tentara Sung.
Di bawah puncak juga terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan melawan bala tentara Sung.
Terjadilah penyembelihan manusia besar-besaran oleh kedua pihak. Penyembelihan dan pembunuhan kejam
tanpa sebab-sebab pribadi, hanya untuk memenuhi kehendak beberapa gelintir manusia yang ingin melihat
cita-citanya terlaksana! Bunuh-membunuh, yang kalah roboh dan harus mati, yang menang tertawa dan hidup.
Seolah-olah yang menang lupa bahwasannya mereka pun hanya menang untuk sementara saja, menang
untuk waktu yang tidak lama, karena maut tentu akan datang menjemput nyawa mereka untuk menyusul
nyawa mereka yang kalah!
Pedang dan golok yang memang haus darah, menusuk membacok mencincang hancur tubuh lawan yang
kalah, senang hati menyiksa yang kalah. Seolah-olah mereka ini lupa bahwasanya sebelum maut kelak
mencabut nyawa mereka, akan tiba masanya mereka mengalami suka dan derita sebelum mati, mungkin jauh
lebih mengerikan dan lebih sengsara dari pada penderitaan mereka yang dicincang dalam perang. Lupa
bahwa siksaan dalam bentuk penyakit sebelum mati kadang kala amat mengerikan dan sengsara.
Dalam mengejar hasrat dan nafsu, manusia lupa bahwa tidak ada yang menang atau kalah dalam kehidupan
manusia. Yang menang mutlak dan abadi hanya Tuhan. Karena itu bahagialah mereka yang mengabdikan diri
sebagai hamba Tuhan, sebagai prajurit Tuhan yang bersenjatakan kasih, yang hanya mengharapkan damai
dan tenteram di dunia, tidak ada perang, tidak ada bunuh membunuh, tidak ada benci, tidak ada dendam.
Yang ada hanya kasih sayang sesama hidup, bergembira melihat orang lain bersenang, prihatin dan
mengulurkan tangan menolong melihat orang lain bersusah.
Kalau hidup antar manusia sudah seperti itu, hidup antar negara tentu menjadi demikian pula. Tidak ada
bentrok politik, tiada perang agama, tiada perbedaan di antara bangsa, penuh kasih, penuh toleransi. Amboi,
alangkah nikmat hidup di dunia dalam keadaan seperti itu.
Kim-mo Taisu benar-benar seorang pendekar sakti. Empat orang lawannya adalah orang-orang luar biasa,
ahli-ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi. Bahkan yang dua orang, yaitu Kong Lo Sengjin dan Ban-pi
Lo-cia adalah dua orang sakti yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Namun, sampai sejam
lebih mereka bertempur, belum juga empat orang itu dapat merobohkan Kim-mo Taisu.
Betapa pun juga harus diakui bahwa keadaan Kim-mo Taisu amat berbahaya. Selain empat orang itu lihai
juga, mereka, terutama Ban-pi Lo-cia dan Kong-lo Sengjin, bertanding penuh semangat dan kebulatan tekad.
Agaknya dua orang kakek itu maklum bahwa kali ini harus ada keputusan terakhir, mempertaruhkan nyawa
untuk menang atau kalah. Hidup atau mati! Karena kenekatan inilah maka Kim-mo Taisu mulai terdesak. Ia
belum mampu melukai seorang di antara empat orang pengeroyoknya yang dapat bekerja sama amat baik dan
rapi, saling melindungi dan saling menjaga.
Agaknya Lauw Kiat mulai hilang sabar. Ia bersuit keras dan dari dalam hutan di puncak gunung muncullah dua
belas orang Khitan yang bertubuh tinggi besar. Mereka datang membawa sebuah jala ikan. Aneh sekali
mengapa sebuah jala ikan dibawa oleh dua belas orang. Sebetulnya jala itu bukan sembarang jala, melainkan
sebuah alat untuk menangkap orang sakti. Jala ini terbuat dari pada bahan yang kuat sekali, tidak putus oleh
sabetan senjata tajam, dan di sebelah dalamnya terdapat banyak kaitan-kaitan berbentuk pancing sehingga
sekali seorang tertutup jala, betapa pun saktinya, akan sukar baginya untuk lolos karena makin keras ia
bergerak memberontak akan makin banyak pula kaitan-kaitan kecil berbentuk pancing menancap di tubuhnya!
"Bantu kami tangkap dia!" seru Lauw Kiat dalam bahasa Khitan.
Akan tetapi selagi dua belas orang itu mempersiapkan jala dan mengatur kedudukan mereka yang dipersulit
oleh adanya pertandingan yang sedemikian cepat gerakannya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Begitu
tiba di situ, bayangan itu tertawa-tawa dan menyerang dua belas orang tinggi besar itu secara kalang-kabut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari sudut matanya Kim-mo Taisu melihat bahwa yang datang menyerang dua belas orang penebar jala itu
bukan lain adalah Gan-lopek si pelukis tadi!
Benar saja dugaan Kim-mo Taisu ketika bertemu dengan kakek pelukis ini tadi. Tidak hanya pandai melukis
dan melawak, Gan-lopek ini ternyata lihai pula ilmu silatnya. Setidaknya terlalu lihai untuk dua belas orang
tinggi besar yang hanya pandai bermain dengan jala itu. Mereka itu adalah orang-orang Khitan yang biasa
menjala ikan, biasa pula mereka menangkap anjing laut dengan jala. Tentang ilmu silat, mereka hanya tahu
sedikit-sedikit, walau pun bertenaga besar.
Karena penyerbuan Gan-lopek ini tak tersangka-sangka, dua belas orang itu tidak sempat mempergunakan
jala mereka, maka mereka mencabut golok besar dan menerjang kakek yang tertawa-tawa itu. Kiranya Ganlopek
hanya melayani mereka dengan sepasang mouw-pit-nya. Pedangnya masih tergantung di pinggang,
sama sekali tidak ia pergunakan. Akan tetapi sepasang mouw-pitnya hebat.
Ketika tubuhnya berkelebatan dengan pinggul megal-megol seperti orang menari agogo, kedua tangannya
bergerak cepat. Terdengar teriakan-teriakan marah. Sebentar saja enam orang tinggi besar sudah tidak bisa
berkelahi lagi karena mereka menggunakan kedua tangan mereka yang menjadi gelap karena dicoret-coret
oleh sepasang mouw-pit sehingga muka mereka itu coreng-moreng dengan warna hitam dan putih sedangkan
mata mereka penuh tinta! Kemudian mereka roboh seorang demi seorang tertotok gagang mouw-pit.
Sayang Gan-lopek orangnya suka bergurau. Kalau saja ia cepat-cepat merobohkan dua belas orang itu tanpa
bergurau seperti itu, agaknya ia masih akan sempat membantu Kim-mo Taisu yang terdesak hebat. Ketika
Gan-lopek sedang enak-enaknya membabati roboh dua belas orang tinggi besar itu seperti orang membabat
rumput saja, tiba-tiba ia merasa angin menyambar hebat dan dahsyat dari belakangnya, didahului suara Kimmo
Taisu, "Gan-lopek, awas!"
Gan-lopek terkejut, cepat menggerakkan kedua tangan ke belakang, menangkis dengan sepasang mouw-pitnya.
Akan tetapi terdengar suara keras, sepasang mouw-pit-nya patah dan pundak kanannya kena hantam
ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia yang telah menyerang Gan-lopek ketika melihat Gan-lopek merobohkan
dua belas orang tukang jala.
"Aduuhh...!" Gan-lopek roboh terguling dan terus ia menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan
susulan. Sambil bergulingan Gan-lopek muntahkan darah segar, tanda bahwa hantaman pada pundaknya tadi
telah mengakibatkan luka berat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi cambuk hitam itu bagaikan tangan
maut terus mengejarnya untuk memberi pukulan maut terakhir.
Melihat keadaan ini, Kim-mo Taisu berseru keras, pedangnya bergerak menjadi sinar panjang ke depan,
membuat para pengeroyoknya kaget dan mundur. Kesempatan ini ia pergunakan untuk menggerakkan
tubuhnya, meloncat dan melayang ke arah Ban-pi Lo-cia sambil mengirim tusukan dengan pedang ke arah
punggung kakek raksasa itu.
Ban-pi Lo-cia tengah mendesak Gan-lopek yang bergulingan. Mendengar angin serangan dari belakang,
raksasa Khitan itu cepat membalikkan tubuh sambil mengayun Lui-kong-pian, yaitu cambuk hitamnya yang
ampuh itu. Kim-mo Taisu sudah menduga akan hal ini. Cepat ia menggerakkan kipasnya ketika kakinya sudah
turun di atas tanah sambil mengerahkan sinkang, menciptakan tenaga melekat. Begitu bertemu kipas, cambuk
Lui-kong-pian itu tak dapat terlepas dari kipas dan pada saat itu pedang Kim-mo Taisu datang menusuk dada.
Ban-pi Lo-cia cepat mengerahkan tenaga Hek-see-ciang di tangan kirinya, menghantam ke arah lambung Kimmo
Taisu tanpa mempedulikan tusukan pedang. Dalam keadaan berbahaya itu, kakek raksasa ini agaknya
ingin mengadu nyawa, mengajak mati bersama. Namun Kim-mo Taisu tidak sudi menerima ajakan ini,
pedangnya yang menusuk otomatis bergerak membabat ke bawah.
"Crakkk!"" buntunglah lengan kiri Ban-pi Lo-cia sebatas bawah siku. Darah menyemprot akan tetapi sedikit pun
tidak terdengar keluhan Ban-pi Lo-cia, bahkan kakek itu tertawa bergelak dan cambuknya yang kini sudah
terlepas menyambar pula.
Kim-mo Taisu melihat sambaran cambuk ditambah serangan dari belakang tentu dari seorang di antara para
pengeroyok, cepat merebahkan diri ke bawah, bergulingan dan melihat kesempatan baik, ia meloncat ke atas
dunia-kangouw.blogspot.com
dan mengerjakan pedangnya yang tak dapat dielakkan lagi oleh Ban-pi Lo-cia yang sudah terhuyung-huyung.
Pedang menancap di perutnya yang gendut. Kim-mo Taisu menyontek pedang ke atas lalu meloncat sambil
mencabut pedang.
Ban-pi Lo-cia makin keras tertawa bergelak, akan tetapi kini ia tertawa sambil memandang ususnya yang
keluar dari lubang besar di perut. Dipegangnya usus itu dengan kedua tangannya, akan tetapi ia terhuyung,
lalu roboh berkelojotan.
Hasil menewaskan seorang musuh besar ini bukan didapat dengan mudah begitu saja oleh Kim-mo Taisu.
Tanpa pencurahan tenaga dan perhatian yang menyeluruh dalam serangan ini, tidak mungkin ia akan mampu
merobohkan seorang sakti seperti Ban-pi Lo-cia. Dan karena pencurahan perhatian yang menyeluruh inilah,
maka Kim-mo Taisu menebus dengan pengorbanan dirinya.
Ketika Kim-mo Taisu bergulingan ke bawah tadi, dari belakang telah menyambar serangan hebat yang datang
dari pukulan tongkat Pouw-kai-ong. Dengan gerakan berguling ia berhasil menghindarkan ancaman tongkat
Pouw-kai-ong, bahkan berhasil menusuk dan menewaskan Ban-pi Lo-cia. Namun selagi ia menusuk dan
menyontekkan pedangnya ke atas lalu dicabut dan siap meloncat mundur, tiba-tiba datang pukulan yang hebat
dari arah kiri, sedangkan dari arah kanannya menyambar tongkat Pouw-kai-ong, dari belakang juga ia ditusuk
oleh tongkat di tangan Lauw Kiat, murid Ban-pi Lo-cia yang marah sekali melihat suhu-nya tewas.
Pada saat itu Kim-mo Taisu baru saja meloncat, kedudukan kedua kakinya masih belum menginjak tanah
dengan kuat. Terpaksa ia menggerakkan tubuh miring sehingga ia dapat menangkis tongkat Lauw Kiat dengan
pedang dan menyampok tongkat Pouw-kai-ong dengan kipas. Maksudnya hendak melanjutkan tangkisan
pedangnya itu terus ke kanan membabat pukulan yang anginnya dahsyat dan membuntungkan lengan Kong
Lo Sengjin. Namun terlambat.
Kiranya Kong Lo Sengjin tidak memukul ke arah yang tadi, melainkan mengirim pukulan jarak jauh ke arah
punggung. Kim-mo Taisu yang sedang menangkis dua tongkat itu tak sempat lagi mengelak. Punggungnya
terkena pukulan jarak jauh dan ia terguling! Sebagai seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, pukulan jarak jauh
itu hanya mampu membuat ia terguling saja. Cepat ia terus menggelinding sambil menggerakkan pedang dan
kipasnya menjaga diri. Akan tetapi ketika ia meloncat berdiri, tubuhnya terhuyung-huyung dan ia merasa
punggungnya sakit dan kaku!
Inilah hebatnya Kong Lo Sengjin dan ini pula yang menyebabkan ia dahulu dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti).
Kakek ini memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang ampuh. Orang-orang yang kepandaiannya rendah, sekali
terkena sambaran angin pukulannya akan roboh dan tewas seketika. Kim-mo Taisu memang kuat dan
bukanlah seorang lawan berilmu rendah. Akan tetapi tadi ia sedang menangkis dan ternyata kakek lumpuh itu
telah mengirim pukulan tepat pada saat ia menangkis dan dengan tepat pula memilih bagian yang pada saat
itu ‘koson’". Tadi Kim-mo Taisu menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang karena maklum bahwa kedua
tongkat itu digerakkan oleh dua lawan yang lihai. Oleh karena inilah maka tentu saja tenaga sinkang-nya
dipergunakan dan disalurkan ke dalam kedua lengan sehingga bagian punggungnya yang amat kuat itu
menjadi kosong dan lemah.
Kim-mo Taisu terkejut, maklum bahwa ia telah menderita luka berat. Ia memuntahkan darah hidup, akan tetapi
segera dapat mengatur pernapasan dan serangan berikutnya dari ketiga orang itu dapat ia hadapi lagi dengan
gerakan yang cukup kuat dan cepat. Memang hebat kekuatan Kim-mo Taisu, kuat dan ulet, berani dan
pantang mundur.
"Taisu, mari lari...!" dengan suara lemah Gan-lopek yang sudah terluka pun itu mengajak. Gan-lopek terluka
hebat oleh pukulan ujung cambuk Ban-pi Lo-cia, dan tak mungkin kuat lagi menghadapi lawan-lawan yang
tangguh itu, maka ia mengajak Kim-mo Taisu melarikan diri. Ia melompat pergi dari tempat itu. Akan tetapi
Kim-mo Taisu tidak mau melarikan diri. Ia melawan terus dengan nekat sungguh pun punggungnya terasa
makin sakit.
Gan-lopek berlari pergi sambil menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa nekat seperti Kim-mo Taisu.
Dia adalah orang luar yang tidak tahu-menahu tentang urusan mereka. Kalau tadi ia turun tangan membantu
Kim-mo Taisu adalah karena ia melihat dua belas orang Khitan itu hendak menggunakan jala yang ia kenal
dan tahu amat berbahaya itu. Pula ia memang merasa simpati dan suka kepada Kim-mo Taisu yang namanya
dunia-kangouw.blogspot.com
terkenal harum. Ia sudah turun tangan menolong Kim-mo Taisu dengan jalan merobohkan dua belas orang
tukang jala. Dan ia pun baru saja tertolong oleh Kim-mo Taisu dari ancaman maut di tangan Ban-pi Lo-cia.
Sudah impas. Akan tetapi dia sudah terluka dan tak mungkin nekat memberikan nyawanya tanpa sebab. Kimmo
Taisu boleh nekat, mungkin mempunyai alasan yang kuat untuk tidak melarikan diri.
Memang wawasan Gan-lopek itu benar. Andai kata Kim-mo Taisu tidak berhadapan dengan Kong Lo Sengjin,
agaknya ia pun akan melarikan diri. Lawan juga menggunakan kecurangan dengan mengeroyok, maka
melarikan diri bukanlah hal yang memalukan. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Kong Lo Sengjin.
Semua perhitungan harus diselesaikan saat itu juga.
Pertandingan antara Kim-mo Taisu dikeroyok tiga orang lawannya masih berjalan seru. Biar pun Kim-mo Taisu
telah terluka berat, akan tetapi pihak pengeroyok juga telah kehilangan Ban-pi Lo-cia. Kini Kim-mo Taisu hanya
dapat membatasi diri dengan bertahan karena kalau ia terlalu banyak menghamburkan tenaga untuk
menyerang, tentu keadaannya akan makin payah dan berbahaya. Pada saat lawan menyerang saja ia
mengandalkan kegesitannya mengelak sambil balas menyerang, dan dengan cara ini ia dapat menghemat
tenaganya. Ia sudah bertekad bahwa biar pun akhirnya ia kalah dan tewas, ia harus dapat merobohkan Kong
Lo Sengjin lebih dahulu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Kim-mo Taisu itu, tiba-tiba muncullah Bu Song dan sepasukan tentara.
Melihat suhu-nya dikeroyok dan keadaannya payah, Bu Song mengeluarkan suara melengking tinggi dan
mendahului pasukan itu meloncat ke depan. Munculnya Bu Song mengagetkan tiga orang yang mengeroyok.
Kim-mo Taisu seorang diri saja sudah cukup berat dan sukar dirobohkan, apa lagi datang bala bantuan
belasan orang banyaknya! Mereka terdiri dari orang-orang yang licik dan curang, maka begitu melihat pihak
mereka terancam, tanpa dikomando lagi mereka lalu melompat pergi, dan Luw Kiat yang pergi lebih dulu
setelah menyambar jenazah gurunya.
Bu Song cepat menghampiri suhu-nya yang berdiri terhuyung-huyung. "Suhu...!" tegurnya penuh khawatir.
Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. Dari mana kau? Mengapa ke sini?"
"Teecu baru saja datang. Di kota raja teecu mendengar akan keberangkatan Suhu bersama barisan. Teecu
menyusul dan hendak membantu. Di lereng gunung barisan kita telah berhasil memukul mundur musuh dan
kini sedang mengadakan pengejaran. Phang-ciangkun yang melihat Suhu belum juga kembali, menyuruh
teecu menyusul ke sini dengan pasukan pengawal. Apakah Suhu terluka?"
Biar pun mukanya pucat dan punggungnya nyeri, Kim-mo Taisu masih sanggup melakukan perjalanan cepat
bersama muridnya, mendahului pasukan turun dari puncak. Akan tetapi begitu tiba di perkemahan, pendekar
ini kembali muntahkan darah segar dan roboh pingsan. Bu Song menyambar tubuh suhu-nya, memondongnya
ke dalam perkemahan dan membaringkannya, lalu merawatnya.
Setelah siuman Kim-mo Taisu berkata, "Kong Lo Sengjin hebat sekali pukulannya. Akan tetapi tidak cukup
hebat untuk merenggut nyawaku. Bu Song, kau cepat ceritakan pengalamanmu. Berhasilkah?" Setelah
bertanya demikian, Kim-mo Taisu lalu duduk bersila dan mengatur napas.
Bu Song yang maklum bahwa suhu-nya perlu mengaso dan memulihkan kesehatannya, segera menuturkan
pengalamannya di Pek-coa-to dan perjumpaannya dengan Bu Tek Lojin. Perjalanannya berhasil baik dan
merupakan berita menyenangkan, maka ia berani bercerita kepada suhu-nya.
Benar saja, biar pun matanya dipejamkan, wajah Kim-mo Taisu berseri-seri mendengar penuturan muridnya. Ia
masih mengatur napasnya, panjang-panjang menarik napas sehingga dadanya mekar dan perutnya
mengempis, ditahannya lama-lama baru dikeluarkan seenaknya. Begitu terus menerus. Kemudian ia membuka
kedua matanya, memandang muridnya.
"Keluarkan suling itu," katanya lirih.
Dengan hati bangga dan girang dapat menyenangkan hati suhu-nya, Bu Song mengeluarkan suling emas dari
balik jubahnya, menyerahkan suling itu kepada suhu-nya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak memegang suling itu, hanya memandang dan berkata, "Memang betul ini
suling emas, hadiah Bu Kek Siansu kepada sastrawan Ciu Bun. Apakah sudah kau pelajari cara meniupnya
untuk mengiringi sajak dalam kitab?"
"Sudah, Suhu."
"Coba kau mainkan suling itu dalam gerakan Pat-sian Kiam-hoat."
Bu Song melangkah mundur, lalu menggerakkan suling melakukan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat. Baru tiga
jurus suhu-nya sudah berkata, "Cukup! Kau sungguh bernasib baik sekali, muridku. Sekarang aku tidak
khawatir lagi. Dengan bantuan Bu Tek Lojin, kau sudah melampaui gurumu...."
"Ah, mana bisa begitu, Suhu? Murid yang bodoh...."
Kim-mo Taisu tertawa dan bertanya memotong kata-kata muridnya, "Coba ceritakan bagaimana keadaan
perang ketika kau tiba di sini?"
Ternyata ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi di sekitar pegunungan Tai-hang-san, pasukanpasukan
Sung berhasil menguasai keadaan dan memberi hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang
jumlahnya jauh kalah banyak. Girang hati Bu Song melihat keadaan ini dan di sepanjang jalan, sambil
bertanya-tanya kepada para prajurit tentang suhu-nya, Kim-mo Taisu, ia membuka jalan darah dan
merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi jalannya. Akhirnya ia tiba di perkemahan besar itu dan
pada saat itu, sedang terjadi penyerbuan hebat di perkemahan.
Keadaan kacau balau dan perang terjadi dengan hebatnya. Keadaan para panglima terancam karena pihak
musuh muncul seorang yang luar biasa sekali. Orang itu pakaiannya serba hitam, mukanya tertutup kedok
tengkorak mengerikan, senjatanya sebuah sabit dan sepak-terjangnya pun menyeramkan. Gerakannya cepat
dan tenaganya mukjijat sehingga setiap orang prajurit yang berani menentangnya tentu roboh dengan tubuh
terpotong menjadi dua!
Akan tetapi para prajurit pengawal itu adalah prajurit-prajurit pilihan yang tidak takut mati. Untuk
menyelamatkan para komandannya dari ancaman manusia iblis ini, puluhan orang prajurit mengurung iblis itu.
Biar pun banyak sekali prajurit yang roboh malang melintang dan tewas di tangan manusia iblis ini, namun
sang Manusia Iblis tidak mampu menerobos ke dalam tenda besar untuk membunuh empat orang panglima.
Pada saat itulah Bu Song tiba di tempat itu. Melihat keadaan ini ia menjadi marah, dan sekali melompat ia telah
melompati pagar manusia yang mengeroyok manusia iblis, tiba di depan iblis itu lalu menerjang dengan suling
emasnya yang ia tahu adalah senjata yang ampuh sekali. Si Manusia Iblis itu tadi mengaku berjuluk Hek-giamlo
(Maut Hitam), kini berseru kaget karena hampir saja lehernya kena hantaman suling yang mengeluarkan
sinar kuning. Ia cepat mengayun sabitnya yang tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan tetapi dengan mudah
Bu Song menangkis dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata
ketika kedua senjata itu bertemu. Akan tetapi Hek-giam-lo memekik kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas
dari pegangan.
Melihat betapa orang muda di depannya ini luar biasa kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa khawatir, apalagi
para prajurit pengawal yang nekat dan gagah berani itu masih mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan
tubuhnya mencelat jauh, sabitnya diputar sehingga para pengawal terpaksa mundur. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri! Setelah Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu dengan mudah
dan cepat dapat dibasmi habis. Selebihnya melarikan diri ke empat penjuru mencari selamat memasuki hutanhutan
di lereng gunung.
"Demikianlah, Suhu. Karena musuh telah dapat diusir mundur, para ciangkun memimpin barisan melakukan
pengejaran ke utara dan teecu disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan pengawal tadi," Bu Song
mengakhiri ceritanya.
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, senang hatinya. Lalu ia mengerutkan keningnya dan kemudian bertanya,
"Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek sakti Bu Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah
dunia-kangouw.blogspot.com
mendengar perpaduan suara antara sajak dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu
amat menarik."
Bu Song mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang aneh setelah mendengar sajak terakhir dan iringan
suara suling, kemudian betapa Bu Tek Lojin bersikap lebih aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu
mendengarkan, kemudian tiba-tiba ia berkata, "Bagaimana bunyi sajak terakhir itu?"
Bu Song lalu membaca sajak dengan suara bernada tinggi rendah, jelas dan berirama. Gurunya
mendengarkan, dan cukup hanya sekali saja mendengar, sebagai seorang sastrawan Kim-mo Taisu sudah
hafal. Ia menarik napas panjang dan berkata, "Sajak yang baik dan mengandung kebenaran mutlak, namun
terlalu tinggi untuk otak dan terlalu dalam untuk diselami pengertian. Hanya dapat diterima oleh rasa dan
getaran. Akan kunyanyikan, coba kau iringi dengan tiupan suling, Bu Song muridku!" tiba-tiba Kim-mo Taisu
yang tadinya menanggung nyeri di punggungnya tampak bergembira dan wajahnya berseri.
Diam-diam Bu Song merasa khawatir. Dua orang tokoh golongan sastra dan silat bersikap aneh sekali
mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhu-nya juga akan bersikap aneh seperti mereka! Maka ia menjadi
ragu-ragu. Siapa tahu perpaduan suara itu mengandung sesuatu yang mukjijat dan jahat.
"Jangan kau khawatir, Bu Song. Ciu Bun kegirangan seperti gila karena ia memang mencari dan
mengharapkan sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu
banyak melakukan hal-hal yang membuat ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih
seperti orang gila pula. Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan
apa-apa kecuali mendapatkan penjernihan batin. Mulailah!"
Setelah berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo Taisu bernyanyi
seperti Bu Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.
ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Sampai tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song yang merayu-rayu.
Kemudian ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya.
Dua butir air mata menempel di atas pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang
merasa puas dan lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya lega melihat
wajah yang tenang tenteram itu.
"Bu Song, dengarlah baik-baik," katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song mendekat dan duduk bersila di atas
lantai, di bawah gurunya. "Ada muncul dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan,
karenanya, tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah laku. Mencari
sesuatu dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi
karena dua kekuatan Im dan Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi.
Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi oleh Im Yang ini, kemudian
segala sesuatu di alam semesta ini saling berkait, saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisahpisahkan.
Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang paling tinggi
atau pun paling rendah. Semua itu tali-temali dan kait-mengkait, seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu,
Api, Tanah, Logam, Air, saling mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya
berputar dan terus berputar merupakan bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada pangkalnya, tiada
awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan menjadi rusak sebentar dan mengakibatkan kekacauan,
menjatuhkan korban, baru dapat pulih kembali, kait-mengait, berputar-putar. Semua sudah sewajarnya dan
sudah semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan lagi. Semua itu kosong, lahirmu,
hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu kosong dan hampa belaka karena
memang sudah semestinya begitu, sudah wajar, sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu sia-sia dan
kosong belaka. Karena sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa.
Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu Song?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan terus terang Bu Song menjawab, "Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang mengerti."
Kim-mo Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh dan tajam
sekali, bening dan penuh pengertian. "Tidak aneh, Bu Song. Memang kau masih terlalu muda untuk mudah
menangkap semua itu, sungguh pun engkau sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu
sendiri. Nah, contohnya begini. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam
peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit atau karena sebab lain. Jadi tidak
aneh, dan sewajarnyalah kalau seseorang yang dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi.
Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya, tidak
ada sifat suka mau pun duka. Sang ibu berduka, menangis dan tersiksa hatinya, merana dan merasa
sengsara. Inilah yang tidak wajar!"
Bu Song kaget, terheran, semua jelas membayang di wajahnya.
"Mengapa kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua ibu bersikap demikian, bagi umum hal ini adalah
wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu.
Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu tidaklah berubah karena tidak ada pertaliannya!
Sang ibu berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini wajar, karena duka itu ada hubungannya dengan
paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul
bermacam peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya. Yang tidak semestinya, yang tidak wajar,
mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain sehingga meluas sampai menimbulkan
perang, menjadikan wabah penyakit, menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena perputarannya tidak
selaras. Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan kehendak alam,
kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang dihadapinya, menyesuaikan diri dengan
segala apa yang diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang,
perputaran Ngo-heng akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman."
Sampai lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata, "Maafkan teecu, Suhu. Teecu yang masih
bodoh hanya dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun, menurut pendapat teecu, justru
menyesuaikan diri dengan kehendak alam itulah yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan.
Manusia sudah terlanjur menganggap wajar dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan
banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum! Daun telinga wanita menurut kehendak alam tidak ada
lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk tempat perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar
menurut pendapat umum sehingga kalau ada wanita yang daun telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai dan
dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib, terikat oleh hal-hal yang
menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri dari pada kemanusiaan, Suhu? Manusia dikurniai
akal budi untuk dipergunakan. Maaf kalau kata-kata teecu keliru."
"Tidak, kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran perasaan. Memang
manusia mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan
diri dari pada kemanusiaan. Kalau tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng dari
pada kebiasaan umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau kau sudah hafal
akan isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah, tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan
memulihkan tenagaku."
Bu Song keluar dari tenda suhu-nya. Di luar sunyi karena barisan sudah meninggalkan tempat itu. Hanya
belasan orang pengawal tadi masih berjaga di situ, di depan satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan
untuk Kim-mo Taisu. Bu Song lalu menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor
kepada Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat di situ. Enam belas orang
pengawal itu memberi hormat lalu meninggalkan lereng untuk menyusul induk pasukan dan bergabung dengan
teman-temannya. Kemudian Bu Song mengaso pula, di bagian belakang tenda.
Lewat tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di depan tenda. Baru saja ia tadi hening dalam
semedhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi di sekitarnya. Karena terganggu semedhinya,
Bu Song melompat bangun dan lari ke depan. Kiranya suhu-nya sudah berdiri di depan tenda dan berhadapan
dengan Kong Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Lauw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok tengkorak seperti
iblis!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemm, Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi hendak melihat aku
mati? Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita agar lekas beres!" Kim-mo Taisu sudah siap
dengan sikap tenang sekali, bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil. Sikap yang
penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan itu agaknya membuat
empat orang itu terpukul hati nuraninya.
"Kwee Seng! Kau selalu membawa maumu sendiri, tidak mau menurut kehendakku. Karena itu engkau harus
mati, kalau tidak tentu kau hanya akan merintangi usaha kami!" kata Kong Lo Sengjin.
"Kau harus menebus kematian Suhu!" bentak Lauw Kiat sambil menggerakkan tongkatnya.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Ingatkah akan penghinaan-penghinaanmu belasan tahun yang lalu? Sekarang harus
kau tebus!" kata Pouw-kai-ong. Hanya Hek-giam-lo yang diam saja, dan diam-diam Kim-mo Taisu mendugaduga
siapa gerangan orang yang bersembunyi di balik kedok tengkorak ini.
Kim-mo Taisu menarik napas panjang. "Menang atau kalah, hidup atau mati, sama saja. Yang penting adalah
berdiri di atas kebenaran! Kalau kalian merasa penasaran, majulah!"
Pada saat itu Bu Song sudah tidak sabar lagi. Ia melompat ke luar dan membentak, "Manusia-manusia berhati
keji dan curang! Setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa masih belum dapat membuang sifat
pengecut dan curang? Suhu sedang terluka, hal ini kalian semua tahu. Akan tetapi kalian datang berempat
untuk mengeroyoknya. Di mana keadilan dan kegagahan kalian?"
"Bu Song, kau mundurlah dan lihat saja. Jangan mencampuri dan melibatkan dirimu dengan urusan kotor ini.
Bu Song, jangan kau tiru gurumu yang menanamkan pohon kebencian sehingga menghasilkan buah-buah
dendam dan permusuhan," suara Kim-mo Taisu tenang dan sabar, namun mengandung wibawa sehingga Bu
Song terpaksa mundur lagi.
Dada pemuda ini panas dan penuh amarah, namun ditekan-tekannya dan ia hanya dapat memandang dengan
hati was-was dan penasaran. Muak ia melihat sikap musuh-musuh gurunya itu yang sama sekali tidak
mengindahkan aturan dunia kang-ouw. Orang yang sudah menamakan dirinya pendekar, pantang melawan
orang sakit, apalagi mengeroyoknya! Dan empat orang itu, melihat tingkat ilmunya, sudah menempati tingkat
lebih tinggi dari pada pendekar-pendekar silat biasa. Sungguh menjemukan dan menyakitkan hati,
menimbulkan rasa penasaran.
Di antara empat orang itu, agaknya hanya Lauw Kiat seorang yang masih memiliki harga diri. Lauw Kiat murid
kedua Ban-pi Lo-cia ini adalah seorang Khitan peranakan. Ibunya seorang Khitan, ayahnya seorang Han yang
bernama keturunan Lauw. Akan tetapi karena sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia dan ia ikut ibunya di
Khitan, maka ia berjiwa orang Khitan. Ia selain berkepandaian tinggi, juga terkenal sebagai seorang gagah
perkasa di Khitan, yang biar pun tidak mengikatkan diri dalam ketentaraan, namun ia setia kepada rajanya dan
selalu membantu gerakan bala tentara Khitan. Ia menghargai kegagahan, dan mengenal tata cara, aturan dan
sopan santun pendekar dunia persilatan.
Mendengar teguran Bu Song tadi, merah seluruh muka Lauw Kiat. Ditegur tentang aturan oleh seorang
pemuda tentu saja benar-benar amat memalukan. Maka ia lalu menerjang maju sambil berseru, "Kim-mo
Taisu, aku membela kematian Suhu Ban-pi Lo-cia! Lihat seranganku!" Hebat juga serbuan Lauw Kiat ini,
karena tongkatnya yang baru, berat dan terbuat dari pada baja, menyambar ganas dan mendatangkan angin
pukulan yang amat kuat.
Kim-mo Taisu yang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya dan masih belum sembuh tidak mau
menghamburkan tenaga dan ingin menyelesaikan pertandingan itu secara secepat mungkin. Maka ia tidak
mengelak menghadapi sambaran tongkat baja itu, namun secepat kilat kipas dan pedangnya sudah berada di
kedua tangan. Kipas di tangan kirinya menahan tongkat yang menjadi lekat pada kipas, kemudian bagaikan
halilintar menyambar pedangnya sudah membabat ke arah leher Lauw Kiat.
Tokoh Khitan ini kaget bukan main. Ia berusaha keras membetot tongkatnya sambil merendahkan tubuh untuk
menghindarkan sabetan pedang. Akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa pedang itu sama sekali tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
menyabet leher seperti tampaknya, melainkan membabat kaki. Kasihan sekali Lauw Kiat yang tidak sempat
menghindarkan serangan luar biasa ini. Terdengar ia mengeluh dan robohlah tokoh ini dengan kedua kakinya
buntung. Darah bercucuran dari kedua lutut yang sudah buntung itu, akan tetapi Lauw Kiat sudah pingsan,
tidak merasakan nyeri lagi.
Kim-mo Taisu mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya dan tahu-tahu ia sudah berlutut di dekat tubuh
Lauw Kiat, menotok jalan darah di paha untuk menghentikan darah yang mengalir ke luar, kemudian
mengeluarkan obat bubuk untuk mengobati luka agar melenyapkan rasa nyeri.
Akan tetapi tiba-tiba Bu Song berseru, "Suhu, awas!"
Seruan peringatan Bu Song ini tidak ada gunanya karena tentu saja pendekar sakti itu sudah tahu bahwa dia
diserang hebat oleh Kong Lo Sengjin, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong secara berbareng, pada saat ia masih
berlutut dan hendak mengobati luka kedua kaki Pak-sin tung! Cepat Kim-mo Taisu menggerakkan tubuh
melesat pergi dari situ sambil membawa pedang dan kipasnya. Obat bubuk tadi ia sebarkan, merupakan
senjata rahasia mengarah mata ketiga orang pengeroyoknya yang terpaksa melompat mundur, karena tahu
bahwa jika obat bubuk itu memasuki mata, akan celakalah mereka, mata menjadi pedih dan tak dapat dibuka
dan tentu saja akan berbahaya bagi mereka.
Dalam detik-detik selanjutnya terjadilah pertandingan mati-matian yang amat cepat. Kalau tokoh-tokoh yang
memiliki kepandaian yang tinggi sudah mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, pertandingan silat berubah
menjadi adu nyawa yang cepat dan menyeramkan. Setiap gerak merupakan serangan maut. Cepat dan kuat,
sukar diikuti pandangan mata, seakan-akan mereka sudah bergulat menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar suara keras, dan empat buah senjata runtuh dan rusak. Tongkat Pouw-kai-ong patah
menjadi dua ketika bertemu secara hebat dengan kipas di tangan kiri Kim-mo Taisu yang juga robek
tengahnya dan patah gagangnya. Senjata sabit di tangan Hek-giam-lo yang mengerikan itu juga patah menjadi
tiga bertemu dengan pedang Kim-mo Taisu yang juga patah menjadi dua.
Terdengar mereka mengeluarkan teriakan-teriakan kaget dibarengi dengan lengking tinggi yang keluar dari
mulut Kim-mo Taisu dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah beradu telapak tangan dengan Kong Lo Sengjin.
Keduanya berhadapan, Kim-mo Taisu agak merendahkan tubuh dengan lutut ditekuk, kedua lengan diluruskan
kedepan, kedua telapak tangan beradu dengan telapak tangan Kong Lo Sengjin yang ‘berdiri’ di kedua
tongkatnya. Mereka mengerahkan sinkang dan mengadu tenaga dalam secara mati-matian!
Pouw-kai-ong cepat menempelkan telapak tangan kanan ke punggung Kong Lo Sengjin sebelah kanan, dan
Hek-giam-lo juga meniru perbuatan Raja Pengemis itu, menempelkan telapak tangan kiri ke punggung kakek
lumpuh yang sebelah kiri. Mereka berdua sebagai ahli-ahli tingkat tinggi maklum bahwa dalam keadaan
mengadu tenaga seperti itu, kalau mereka menyerang Kim-mo Taisu dengan pukulan, yang berbahaya justru
Kong Lo Senjin sendiri. Pukulan yang mengenai tubuh Kim-mo Taisu dapat ‘ditarik’ dan ‘disalurkan’ oleh lawan
kepada Kong Lo Sengjin sehingga sama artinya dengan memukul kawan sendiri sambil meminjam tangan
lawan! Satu-satunya cara terbaik untuk membantu adalah seperti yang mereka lakukan. Tenaga sinkang
mereka tersalur dan membantu Kong Lo Sengjin menekan lawan.
Hebat akibatnya. Tadinya Kim-mo Taisu masih menang tenaga ketika menghadapi Kong Lo Sengjin yang
sudah tua. Kalau dilanjutkan, beberapa menit lagi tentu ia akan sanggup merobohkan kakek itu. Akan tetapi
setelah dua orang lawannya yang lain datang mengeroyoknya, bukan main hebatnya tenaga yang tersalur
melalui dua telapak tangan Kong Lo Sengjin. Kim-mo Taisu berusaha menahan, namun ia tidak kuat, apalagi
karena di sebelah dalam dadanya masih terluka cukup berat. Betapa pun juga, pendekar yang gagah perkasa
ini sama sekali tidak mengeluh, dan sama sekali tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengerahkan
sinkang-nya dan mempertahankan diri sehingga wajahnya pucat, matanya berkilat dan dari kedua ujung
bibirnya menetes darah segar!
Melihat keadaan gurunya sedemikian rupa itu, Bu Song tak dapat tinggal diam lagi. Biar pun suhu-nya tadi
sudah memesan agar ia tidak turut campur, namun bagaimana ia dapat berpeluk tangan melihat suhu-nya
terancam kematian oleh tiga orang lawan itu?
"Maaf, Suhu. Terpaksa teecu harus turun tangan!" Ia membentak dan segera melompat maju.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti juga Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, Bu Song mengerti bahwa untuk membantu suhu-nya yang sedang
mengadu tenaga dalam itu, sama sekali ia tidak boleh menggunakan Iweekang memukul para lawan suhu-nya
karena hal ini amat membahayakan suhu-nya sendiri. Maka ia lalu menggerakkan kedua tangannya, keduanya
dengan jari-jari terbuka, yang kanan menusuk ke arah mata Pouw-kai-ong sedangkan yang kiri merenggut
kedok Hek-giam-lo.
Perhitungan Bu Song tepat. Pouw-kai-ong yang ia serang matanya dan tidak dapat mengelak mau tak mau
harus melayaninya dengan tangkisan, yang berarti menarik tenaganya membantu Kong Lo Sengjin, sedangkan
Hek-giam-lo yang selalu mengenakan kedok, tentu merupakan pantangan paling besar baginya untuk dibuka
kedoknya dan pasti akan melayaninya. Kalau dia menggunakan suling, tentu hasilnya lebih baik. Namun
betapa pun juga, Bu Song tak sampai hati dan merasa malu harus menyerang dua orang yang tak bersiap itu
dengan senjata!
Pouw-kai-ong dan Hek-giam-lo yang melihat bahayanya serangan, cepat menangkis sambil melompat mundur,
melepaskan bantuan mereka pada Kong Lo Sengjin. Bu Song kini baru mau menggunakan sulingnya dan
sekali sulingnya bergerak, terdengar suara melengking tinggi dan sinar suling itu membawa hawa pukulan
dahsyat. Bukan main kagetnya Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong karena mereka maklum bahwa tenaga dan
kepandaian orang muda itu hebat bukan main, jelas tampak dari gerakan serangan itu. Sedangkan mereka
berdua sudah tidak bersenjata lagi, yang tadi patah dan rusak sampyuh (sama-sama rusak) dengan senjatasenjata
Kim-mo Taisu. Maka mereka hanya mengandalkan gerakan mereka yang cepat untuk mengelak dan
mundur-mundur!
Sementara itu, ketika melihat betapa Kong Lo Sengjin ditinggalkan oleh kedua orang pembantunya, Kim-mo
Taisu yang sudah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya cepat mengerahkan tenaga terakhir dan
mendorong sekuatnya. Kong Lo Sengjin mengeluh dan tubuhnya terlempar sampai enam tujuh meter ke
belakang, seperti daun kering tertiup angin, lalu roboh terbanting. Ketika ia bangkit berdiri di atas kedua
tongkatnya, wajahnya pucat sekali, matanya seperti tidak bersinar lagi, dan tanpa berkata apa-apa kakek ini
melangkah pergi sempoyongan seperti orang mabok.
"Bu Song, mundur!!" Kim-mo Taisu berseru.
Bu Song girang mendengar suara suhu-nya dan ia mencelat mundur di samping suhu-nya, siap membela
orang tua ini. Kim-mo Taisu lalu memandang dua orang musuh itu sambil berkata, suaranya penuh wibawa,
"Apakah kalian masih hendak melanjutkan pertandingan?"
Dua orang itu, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, tentu saja hati mereka menjadi jeri. Tanpa berkata apa-apa,
Hek-giam-lo mengempit tubuh Lauw Kiat dan melompat pergi dari situ bersama Pouw-kai-ong yang juga pergi
mengambil jurusan lain. Kedua tokoh ini memang telah dapat dibujuk oleh Kong Lo Sengjin untuk
membantunya, bersama Ban-pi Lo-cia, dengan janji-janji muluk seperti biasa. Kini melihat betapa Kong Lo
Sengjin sendiri telah dikalahkan Kim-mo Taisu dan pergi meninggalkan gelanggang tanpa mempedulikan
mereka, tentu saja mereka pun tiada nafsu lagi untuk menandingi Kim-mo Taisu yang demikian saktinya.
Setelah semua musuh pergi, Kim-mo Taisu terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau saja tidak segera dipeluk
oleh Bu Song.
"Bagaimana, Suhu? Hebatkah lukamu...?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala, menarik napas dalam lalu berdiri lagi, dibantu oleh Bu Song. "Lukaku
memang hebat dan berat, tapi tidak seberat luka Kong Lo Sengjin. Akan tetapi tidak apa, sudah semestinya
terjadi dalam pertandingan. Akan tetapi hatiku terasa pedih dan sakit. Bu Song, kau lihatlah baik-baik di
sekelilingmu... kau lihatlah mayat-mayat itu...."
Tentu saja sejak tadi Bu Song sudah melihatnya. Ratusan, mungkin ribuan mayat berserakan di sekitar lereng
bukit, mayat-mayat tentara Sung dan Khitan yang belum sempat diurus orang karena perang masih terus
terjadi, kejar-mengejar. Pemandangan itu amat mengerikan, juga menyedihkan.
"Bu Song, kau berlututlah!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Song terkejut, juga merasa heran, akan tetapi ia tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
suhu-nya.
"Bersumpahlah bahwa kau menaati pesanku yang terakhir ini!"
Bu Song menekan perasaannya yang diselimuti kedukaan karena ia maklum akan keadaan suhu-nya. "Teecu
bersumpah demi Thian Yang Maha Kuasa akan menaati pesan Suhu."
"Kau hanya boleh mempergunakan kepandaian silat yang kau miliki untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, untuk menentang yang jahat dan untuk menolong yang lemah tertindas, di samping penggunaan
untuk membela diri. Kalau kau mempergunakan ilmu silatmu untuk menyombongkan kepandaian, untuk
menanam permusuhan, dan untuk melampiaskan nafsu mencari kemenangan, kau...kau akan terkutuk...!"
"Teecu akan mentaati pesan Suhu ini!" jawab Bu Song, suaranya tegas karena keluar dari hati yang jujur.
Tanpa pesan suhu-nya, memang ia pun berpendirian seperti yang diinginkan suhu-nya itu.
"Jangan kau mendendam kepada siapa juga dan untuk dapat melakukan hal ini, kau harus mematikan rasa
benci terhadap siapa pun juga. Hati-hatilah terhadap wanita, Bu Song. Sesungguhnya hidup gurumu selama ini
jatuh bangun hanya karena wanita, karena kelemahan hatiku terhadap wanita. Jangan mudah menjatuhkan
cinta, karena bagi penghidupanku selama ini, cinta itulah yang merupakan pangkal segala derita. Leburkan
rasa cintamu menjadi kasih sayang yang merata terhadap semua manusia, dan hidupmu akan penuh
bahagia." Kembali Kim-mo Taisu berhenti dan napasnya terengah-engah. Ia menekan dadanya dan wajahnya
menjadi pucat sekali.
Bu Song cepat bangun dan memeluk suhu-nya. "Mari kita masuk ke dalam kemah dan beristirahat, Suhu."
Kim-mo Taisu tidak membantah diajak masuk dan dibaringkan di dalam, akan tetapi ia masih sempat memberi
pesan teakhir, "Sewaktu-waktu... pada hari pertama musim semi... datangilah puncak Thai-san. Siapa tahu kau
berjodoh dengan... Bu Kek Siansu...," kata-katanya terhenti karena Kim-mo Taisu lalu muntahkan darah segar.
Bu Song terkejut dan cepat menolong. Dengan cepat tanpa ragu-ragu ia menotok beberapa jalan darah di
leher dan dada suhu-nya seperti yang pernah ia pelajari dari suhu-nya, kemudian ia mengulur tangan,
meletakkan telapak tangannya di dada suhu-nya sambil mengerahkan tenaga.
Akan tetapi tak lama kemudian Kim-mo Taisu membuka mata dan tangannya bergerak perlahan menolak
tangan muridnya, bahkan memberi tanda dengan tangan agar muridnya keluar dari tenda. Ia bangkit duduk
dengan susah payah. Bu song dengan hati terharu membantu gurunya bersila, kemudian melihat gurunya
duduk diam meramkan mata, ia tidak berani mengganggu dan hendak keluar memenuhi permintaan gurunya
dengan isyarat tangan tadi.
Pada saat itu tampak sinar menyambar-nyambar dari luar tenda. Kiranya benda-benda itu adalah hui-to (pisau
terbang) yang dilontarkan dengan kuat, bagaikan anak-anak panah meluncur ke seluruh bagian tubuhnya yang
berbahaya. Bu Song terkejut, namun tidak gugup. Dengan cepat dan tenang, kedua tangannya bergerak dan
berhasil menyampok runtuh pisau-pisau terbang itu, bahkan kedua kakinya berhasil menendang pergi empat
buah hui-to!
"Pengecut keji!" Ia membentak dan ternyata yang muncul adalah Hek-giam-lo bersama sepuluh orang yang
semua memegang sebatang pisau seperti yang menyambar tadi. Teringatlah Bu Song ketika beberapa tahun
yang lalu melihat dua orang anggota Hui-to-pang yang membunuhi lawan dengan hui-to, kemudian dua orang
itu terbunuh oleh Kong Lo Sengjin. Agaknya sepuluh orang yang kini ikut dengan Hek-giam-lo ini adalah
anggota-anggota Hui-to-pang.
"Hek-giam-lo, kau kembali mau apa? Dan sobat-sobat ini apakah orang-orang Hui-to-pang?"
"Wah, bocah ini mengenal kita!" seorang di antara pemegang pisau itu berseru dan tiba-tiba pisau di
tangannya menyambar ke arah leher Bu Song.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Song sengaja memperlihatkan kepandaiannya untuk mengecilkan nyali lawan. Ia tidak mengelak,
melainkan membuka mulut dan ‘menangkap’ pisau itu dari samping dengan giginya! Kemudian sekali meniup,
pisau itu meluncur cepat dan menancap pada batang pohon sampai ke gagangnya!
"Jangan mencari perkara, harap kalian pergi!" kata Bu Song, teringat akan pesan suhu-nya.
"Si Tua Bangka sedang terluka, serbu!" teriakan ini keluar dari balik kedok tengkorak dan menyerbulah sepuluh
orang itu, juga Hek-giam-lo mengurung Bu Song! Hek-giam-lo sudah mempunyai senjata baru, yaitu sabit
bergagang panjang yang mengerikan. Agaknya tokoh ini memang mempunyai banyak senjata macam ini
sehingga begitu senjatanya rusak, ia sudah memiliki gantinya.
Oleh karena Hek-giam-lo adalah murid Ban-pi Lo-cia, tentu saja ia mendendam karena Kim-mo Taisu yang
telah menewaskan gurunya. Namun hal ini tidak ada seorang pun yang tahu, juga orang-orang yang terkenal di
Khitan tidak ada yang tahu, tidak ada yang menduga bahwa Hek-giam-lo yang mengerikan itu sebetulnya
adalah Bayisan, bekas Panglima Khitan yang dulunya tampan itu.
Tentu saja hanya Raja Kubakan yang tahu dan menerima sahabatnya itu, juga sute-nya (adik
seperguruannya), Lauw Kiat yang kini buntung kedua kakinya oleh Kim-mo Taisu. Tewasnya gurunya dan
buntungnya kedua kaki Lauw Kiat membuat Hek-giam-lo marah sekali dan belum merasa puas kalau belum
dapat membunuh Kim-mo Taisu! Inilah sebabnya mengapa ia memusuhi Kim-mo Taisu dan Bu Song yang
tidak tahu duduk persoalannya, tentu saja kemudian merasa heran dan marah.
Juga orang muda ini tidak tahu mengapa Hui-to-pang memusuhi Kim-mo Taisu, bahkan yang membunuh isteri
gurunya, yang disuruh oleh Kong Lo Sengjin, adalah orang Hui-to-pang. Hal ini juga ada sebab-sebabnya.
Ketika Kim-mo Taisu masih merantau sebagai seorang pendekar jembel gila, di kota besar Cin-an di Propinsi
Shan-tung, Kim-mo Taisu pernah bentrok dengan ketua Hui-to-pang. Persoalannya adalah karena ketua Huito-
pang menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya merampas dengan paksa seorang gadis yang dicintai
puteranya.
Puteranya jatuh cinta kepada seorang gadis anak pedagang kulit di kota itu. Maka diajukannya pinangan. Akan
tetapi ayah si gadis menolak pinangan itu dengan alasan bahwa puterinya sejak kecil telah dipertunangkan
dengan keluarga lain. Sesungguhnya ayah si gadis menolak karena tidak suka bermantukan putera ketua Huito-
pang yang terkenal sebagai perkumpulan tukang-tukang pukul.
Kalau saja ketua Hui-to-pang tidak mendengar akan dasar penolakan yang sesungguhnya, agaknya ia pun
tidak akan memaksa setelah mendengar gadis itu sudah dipertunangkan dengan orang lain. Akan tetapi begitu
mendengar alasan penolakan yang sesungguhnya, ia menjadi marah sekali. Toko si Penjual Kulit diobrakabrik,
si Penjual Kulit dan isterinya mati terbunuh dan anak perempuannya diculik!
Kebetulan pada hari itu Kim-mo Taisu lewat di kota itu. Mendengar peristiwa ini bangkitlah jiwa pendekarnya
dan malam hari ia mendatangi gedung ketua Hui-to-pang. Kemarahannya memuncak ketika mendengar
betapa gadis itu menggantung diri sampai mati setelah menjadi korban keganasan putera ketua Hui-to-pang.
Pertempuran terjadi dan ketua Hui-to-pang yang tadinya memandang rendah kepada jembel gila itu dan yang
marah karena Kim-mo Taisu dianggap terlalu lancang dan usil mengurusi urusan ‘sepele’ orang lain, ternyata
kalah dan terluka! Ketika para anggota Hui-to-pang hendak mengeroyok, Kim-mo Taisu berhasil menangkap
putera Ketua Hui-to-pang dan dijadikan perisai sehingga ia berhasil keluar. Saking marahnya, ketika hendak
meninggalkan tempat itu dan membebaskan putera ketua Hui-to-pang, Kim-mo Taisu membuntungi ujung
hidung dan kedua telinga pemuda hidung belang itu!
Inilah sebab-sebab permusuhan dan dendam Hui-to-pang kepada Kim-mo Taisu. Tokoh yang berhasil dihasut
Kong Lo Sengjin dan akhirnya membunuh isteri Kim-mo Taisu adalah adik kandung Hui-to-pangcu (Ketua)
sendiri. Demikianlah tidak mengherankan apabila kini mereka bersekongkol dengan Hek-giam-lo untuk
mengeroyok Kim-mo Taisu. Apalagi ketika mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa dua orang tokoh mereka
yang berusaha menawan sastrawan Ciu Gwan Liong dalam usaha mereka merampas dan mencari kitab dan
suling pemberian Bu Kek Siansu itu terbunuh oleh Kim-mo Taisu! Dendam mereka makin mendalam. Memang
kakek tua renta yang lumpuh, Kong Lo Sengjin, bekas raja muda itu amat licin, penuh tipu muslihat dan
dunia-kangouw.blogspot.com
curang. Pandai ia melempar batu sembunyi tangan, melemparkan kesalahan ke pundak orang untuk mengadu
domba!
Biar pun dua orang anggota pimpinan Hui-to-pang sudah roboh oleh totokan suling dan pukulan tangan kiri Bu
Song, namun jumlah mereka masih delapan orang dan karena kini mereka bergerak hati-hati dan tidak berani
memandang rendah lawan muda ini, keadaan mereka menjadi lebih kuat dari pada tadi. Apalagi Hek-giam-lo
juga mendesak dengan terjangan-terjangan dahsyat. Pertandingan di luar tenda itu benar-benar seru dan matimatian.
Namun Bu Song seperti seekor burung garuda yang mengamuk. Gerakannya luar biasa sekali setelah
mendapat gemblengan Bu Tek Lojin. Apalagi senjatanya merupakan senjata yang ampuh dan aneh, terbuat
dari pada logam yang tampaknya seperti emas, akan tetapi sesungguhnya merupakan logam campuran yang
ajaib, yang menjadi lebih ampuh lagi karena benda ini tadinya milik Bu Kek Siansu, seorang pertapa yang
sudah dijuluki dewa oleh tokoh-tokoh besar persilatan. Sepak terjangnya hebat menggetarkan para
pengeroyoknya dan beberapa kali orang-orang Hui-to-pang itu kehilangan golok mereka yang terbang atau
runtuh begitu terbentur suling yang mengandung tenaga sinkang mukjijat!
Tiba-tiba orang-orang Hui-to-pang ini meloncat mundur, dan begitu tangan mereka bergerak, golok terbang
melayang dan meluncur cepat menghujani tubuh Bu Song! Bu Song kaget dan marah sekali. Ia memutar
sulingnya dan menerjang maju, dengan tidak terduga-duga ia menggunakan kedua kakinya melakukan
tendangan berantai dan robohlah dua orang Hui-to-pang setelah tubuh mereka mencelat sampai lima meter
lebih!
Namun pada saat itu, selagi Bu Song masih memutar sulingnya melindungi tubuh dari hujan hui-to dari empat
penjuru, tiba-tiba terdengar angin keras dan berkelebatlah belasan batang hui-to yang mengeluarkan sinar
menyilaukan mata! Inilah Cap-sha-hui-to (Tiga Belas Golok Terbang) yang dilontarkan oleh Hek-giam-lo!
Ketika Bayisan menyembunyikan diri, ia pernah mempelajari ilmu golok terbang dari ketua Hui-to-pang, yaitu
melontarkan golok sebagi senjata rahasia. Dan karena tingkat kepandaiannya memang amat tinggi, bahkan
lebih tinggi dari pada ketua Hui-to-pang sendiri, maka begitu ia mendapatkan rahasia ilmu melontarkan golok
terbang ia dapat menciptakan ilmu ini yang lebih hebat dari pada orang yang mengajarnya. Ia dapat
menciptakan golok yang gagangnya melengkung sehingga kalau ia melontarkannya, golok itu dapat terbang
kembali kepadanya apabila tidak mengenai lawan dan dapat ia sambut dan pergunakan lagi! Lebih hebat pula,
kedua tangannya dapat melontarkan tiga belas batang golok terbang sekaligus! Ini memang hebat luar biasa,
karena Hui-to-pangcu sendiri, ketua Perkumpulan Golok Terbang, hanya dapat melontarkan sebanyak tujuh
batang golok!
Bu Song terkejut menghadapi serangan ini, dan tentu saja ia memutar sulingnya menangkis sambil mengelak.
Akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa golok yang tidak mengenai sulingnya dapat terbang membalik.
Ada tiga batang yang terbang membalik sehingga ia amat kaget dan berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi
kurang cepat dan sebatang golok milik Hek-giam-lo menancap di pundak kirinya!
Melihat hasil ini, enam orang Hui-to-pang menyerbu serentak dengan tusukan dan bacokan golok yang datang
bagaikan hujan ke arah tubuh Bu Song. Bu Song mengeluarkan suara keras dari kerongkongannya, suara
keras yang mengiringi pengerahan tenaga dalam, memutar sulingnya untuk melindungi tubuh karena Hekgiam-
lo pun sudah menerjangnya lagi. Pundaknya terasa sakit dan panas sekali sehingga lengan kirinya
hampir lumpuh. Keadaannya berbahaya sekali, namun Bu Song menggigit bibir dan memutar suling,
mengambil keputusan akan melindungi suhu-nya sampai titik darah terakhir.
Pada saat itu tiba-tiba Kim-mo Taisu muncul di pintu tenda. Mukanya tidak kelihatan pucat, matanya berkilat
penuh wibawa, sikapnya menantang dan dia membentak, "Hek-giam-lo, kau masih tidak mau pergi? Orangorang
Hui-to-pang, belum puaskah kalian dengan pertumpahan darah dan pengorbanan nyawa?" Sambil
berkata demikian, dengan mudah saja Kim-mo Taisu menggunakan ujung lengan bajunya menyampok
beberapa buah hui-to yang menyambar ke arahnya, karena orang-orang Hui-to-pang sudah menyerangnya
dengan hui-to begitu melihat musuh besar ini muncul. Golok-golok terbang itu runtuh dan patah semua menjadi
dua potong!
Gentarlah hati Hek-giam-lo dan sisa orang-orang Hui-to-pang ketika melihat Kim-mo Taisu yang ternyata
masih gagah perkasa itu. Jelas bagi mereka bahwa kalau pendekar sakti ini maju, dengan bantuan muridnya
dunia-kangouw.blogspot.com
yang pandai, pihak mereka akan mengalami kekalahan besar. Maka Hek-giam-lo mendengus dan
membalikkan tubuh lalu berlari pergi, diikuti oleh enam orang anggota Hui-to-pang yang tidak pedulikan empat
orang temannya yang tewas.
Begitu orang-orang itu lenyap dari pandangan, Kim-mo Taisu roboh terguling di depan pintu tenda! Bu Song
cepat melompat dan berlutut memeriksa keadaan suhu-nya. Akan tetapi ternyata Kim-mo Taisu Kwee Seng,
pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu telah menghembuskan napas terakhir. Bu
Song menundukkan kepalanya, termenung sejenak, lalu ia mengangkat jenazah suhu-nya dibawa ke dalam
tenda dan dibaringkan.
Bu Song lalu mencabut hui-to yang menancap di pundak kirinya. Darah mengucur ke luar, akan tetapi segera
berhenti setelah Bu Song menekan jalan darah di pundaknya dan menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Ia
tidak khawatir akan racun, karena menurut suhu-nya, tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Kemudian Bu
Song mencari dan memilih tempat yang baik di lereng gunung Tai-hang-san, menggali lubang dan mengubur
jenazah suhu-nya, menaruh sebuah batu besar di depan kuburan. Kemudian ia mengerahkan tenaga, dengan
jari telunjuk kanan Bu Song mencorat-coret pada permukaan batu itu. Terciptalah goresan sedalam dua senti
meter yang membentuk huruf-huruf indah.
MAKAM PENDEKAR BUDIMAN KIM-MO TAISU KWEE SENG
Setelah itu Bu Song lalu mengubur pula jenazah empat orang Hui-to-pang, lalu mendaki puncak mengubur
mayat yang dilihatnya berserakan. Tak lama kemudian muncullah penduduk daerah pegunungan Tai-hangsan.
Mereka beramai-ramai lalu mengubur semua jenazah, baik mayat tentara Sung mau pun mayat orang
Khitan. Bu Song membantu sekuat tenaga. Saking banyaknya mayat di sekitar pegunungan, pekerjaan
dilanjutkan sampai keesokan harinya dengan mengubur lima sampai sepuluh mayat dalam satu lubang. Ketika
pada keesokan harinya akhirnya semua mayat terkubur, penduduk dusun tidak melihat lagi pemuda tampan
yang ikut bekerja mati-matian tanpa mengeluarkan sepatah kata pun itu.
Bu Song telah pergi dengan diam-diam, hatinya trenyuh memikirkan keadaan perang dan segala akibatnya.
Rakyat dusun, rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, yang selalu taat dan patuh serta takut, mereka inilah yang
selalu menjadi korban terakhir. Tanpa diperintahkan mereka mengubur semua mayat. Mereka harus mengubur
semua mayat itu karena kalau tidak, keselamatan mereka terancam oleh bahaya menjalarnya wabah penyakit
yang hebat.
Setelah gurunya meninggal dunia, barulah Bu Song merasa betapa hidupnya sunyi dan sebatang kara. Ada
timbul ingatan dalam hatinya untuk pergi ke Nan-cao, menjumpai kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ayah dari
ibunya yang sampai kini tidak pernah ia jumpai. Tentu saja ia tidak pernah mimpi bahwa pernah ia bertemu
dengan ibunya, bahkan ia berani menegur dan menasehati ibunya itu yang hendak membunuhnya! Sama
sekali ia tidak pernah mimpi bahwa karena sikap dan kata-katanya maka ibunya menjadi sadar dan insyaf,
membuat ibunya lalu menyembunyikan diri tidak mau muncul lagi di dunia ramai untuk menebus dosadosanya!
Akan tetapi Bu Song tidak dapat melupakan Suma Ceng. Betapa pun juga, cinta kasih yang terpendam dalam
hatinya takkan dapat lenyap. Betapa mungkin ia dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Suma Ceng,
gadis yang telah merampas hatinya, yang telah menyerahkan jiwa raga kepadanya? Karena rasa rindunya
kepada Suma Ceng tak tertahankan lagi, maka ia menunda niatnya pergi ke Nan-cao mencari keluarga ibunya,
sebaliknya ia lalu pergi lagi ke kota raja. Tadinya memang ia sudah ke kota raja, akan tetapi ketika itu ia
hendak mencari suhu-nya. Mendengar bahwa suhu-nya pergi bersama tentara Sung ke utara, ia segera keluar
dari kota raja untuk menyusul suhu-nya. Sekarang ia pergi ke kota raja dengan tujuan lain, yaitu mencari tahu
tentang diri kekasihnya, Suma Ceng.
Hatinya berdebar ketika ia memasuki pintu gerbang kota raja. Ia tahu betapa hubungannya dengan Suma
Ceng kurang lebih tiga tahun yang lalu telah menimbulkan kegemparan di dalam rumah tangga keluarga
Pangeran Suma Kong. Dia sendiri telah disiksa dan kalau tidak ditolong suhu-nya, tentu ia akan tewas tersiksa.
Akan tetapi bagaimanakah dengan Suma Ceng? Darahnya naik dan mukanya menjadi panas kalau ia
membayangkan jangan-jangan kekasihnya itu mengalami siksa dan derita pula, jangan-jangan malah telah
mati! Ia menggereget giginya. Ia harus menyelidiki dan membuktikan bahwa Suma Ceng kekasihnya tidak
sengsara hidupnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia memasuki pintu gerbang kota raja ketika hari sudah menjelang senja. Keadaan mulai sepi, apalagi karena
Bu Song masuk dari pintu gerbang bagian selatan, ia melalui pinggiran kota raja yang paling sunyi. Mendadak
ia mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan. Bu Song melihat seorang laki-laki muda, berpakaian penuh
tambalan akan tetapi baik baju mau pun tambalannya terbuat dari kain baru dan bersih sekali sehingga lebih
patut disebut pakaian berkembang aneh, sedang berdiri bertolak pinggang dan memaki-maki belasan
pengemis berpakaian penuh tambalan dan butut.
Tertarik hati Bu Song dan ia segera mendekat. Pengemis baju bersih itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
sedangkan sebelas orang pengemis baju kotor paling muda berusia tiga puluh lima tahun. Akan tetapi sungguh
mengherankan betapa belasan pengemis itu yang kelihatan murung dan muram wajahnya, sama sekali tidak
berani membalas atau marah saat dimaki-maki oleh si Pengemis Baju Bersih. Bahkan seorang di antara
mereka yang usianya sudah amat tua dengan muka sabar berkata,
"Sudahlah, Sahabat muda. Harap kau suka maafkan kami orang-orang tua yang tadi tidak mengenal siapa
adanya engkau."
"Huh, memang kalian ini jembel-jembel busuk! Biar pura-pura sudah menerima kalah dan menjadi jembel,
masih bersikap sombong-sombongan. Kau kira engkau masih guru silat kenamaan dan anggota-anggota Sinkauw-
bukoan? Huh!" Pengemis muda baju bersih itu lalu menggerakkan kaki menendang. Tendangan keras
dan mengandung tenaga mengenai perut kakek jembel itu hingga mengeluarkan suara berdebuk keras.
Bu Song terkejut. Tendangan itu keras sekali dan dapat diduga bahwa pengemis baju bersih itu memiliki
tenaga kasar yang amat kuat. Akan tetapi ketika mengenai perut si Kakek, agaknya tidak terasa apa-apa oleh
kakek itu. Diam-diam ia merasa kagum dan heran. Terang bahwa ilmu kepandaian kakek jembel berbaju kotor
itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian si Pengemis Baju Bersih, akan tetapi mengapa dihina diam dan
mengalah saja?
Bahkan kini pengemis baju bersih itu marah-marah dan memaki-maki, "Kau hendak melawan? Mengandalkan
ilmu kepandaianmu?" Sambil memaki, pengemis baju bersih ini menggerakkan kaki tangannya, menghantam
dan menendang.
Biar pun kakek itu dapat menerima tendangan dan pukulan ini tanpa terluka, namun ia terhuyung-huyung dan
ketika ia mundur-mundur, tak diketahuinya bahwa di belakangnya terdapat selokan. Kakinya terpeleset dan ia
jatuh ke dalam selokan yang airnya kotor!
Pengemis baju bersih itu tertawa bergelak, lalu pergi dari situ dengan lagak sombong. Para pengemis baju
kotor yang lain hanya memandang lalu menundukkan kepala sambil menarik napas panjang. Jelas bahwa
mereka ini pun menahan kemarahan hati dan melihat gerak-gerik mereka, Bu song dapat menduga pula
bahwa mereka ini pun bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah oleh pengemis baju bersih yang
sombong tadi. Akan tetapi mengapa mereka itu, seperti juga kakek yang dipukulinya tadi, diam saja dan
mengalah?
Setelah pengemis baju bersih itu pergi tak tampak lagi, kakek pengemis yang jatuh ke dalam selokan tadi
membanting banting kaki dan menarik napas panjang berulang-ulang sambil mengeluh, "Aahhh... heh...!"
"Suhu, mengapa Suhu menerima terus-menerus penghinaan macam ini? Mari kita serbu saja dan mengadu
nyawa dengan si bedebah!" seorang pengemis yang termuda berkata, suaranya mengandung penasaran.
"Hushh, jangan bicara sembarangan!" kakek itu menegur, lalu kembali menghela napas dan menggelenggeleng
kepalanya.
Seorang pengemis lain yang lebih tua berkata, "Twa-suheng (Kakak Tertua), ada benarnya juga ucapan
muridmu. Seorang gagah lebih baik mati dari pada mengalami penghinaan dalam hidupnya!"
"Sudahlah, Sute (Adik Seperguruan). Melawan tanpa perhitungan kepada lawan yang jauh lebih kuat sehingga
lebih merupakan bunuh diri, bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh. Siapa orangnya mau mengalami
dunia-kangouw.blogspot.com
penghinaan? Aku pun tidak suka, akan tetapi kita harus mencari jalan keluar yang baik, menanti kesempatan
yang tepat!"
"Akan tetapi sampai kapan kita menanti lagi, Suhu?" Si murid mendesak, "Mungkin Suhu cukup sabar
menghadapi semua penghinaan itu, akan tetapi teecu (murid) tidak dapat bertahan lagi, Suhu. Lain kali, kalau
mereka itu berani sekali lagi melakukan penghinaan terhadap Suhu, teecu tidak berani tanggung apakah teecu
akan dapat menahan diri. Agaknya pasti akan teecu lawan dengan taruhan nyawa! Teecu rasa, biar pun
akhirnya kita kalah oleh si Bedebah she Pouw, namun sebelum kita mati, kita tentu dapat membunuh puluhan
orang musuh sehingga mati pun tidak penasaran!"
Si Kakek kembali menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Percuma... tidak ada gunanya...!"
Bu Song adalah seorang yang masih muda. Melihat sikap pengemis baju bersih tadi pun hatinya sudah
merasa mendongkol. Kini mendengarkan perbantahan antara guru dan murid ini, ia merasa penasaran dan
tanpa disadarinya ia lalu berkata, "Muridnya begitu bersemangat, gurunya begini melempem, sungguh lucu.
Kalau seseorang sudah kehilangan keberaniannya menentang si jahat, dia tidak patut menjadi guru lagi!"
Pengemis termuda yang menjadi murid kakek itu tiba-tiba melompat ke depan Bu Song dan semua pengemis
kaget dan heran. Mengapa ada orang mendekati mereka tanpa mereka ketahui?
"Eh, orang muda, lancang sekali mulutmu berani menegur Suhu! Tidak tahukah engkau dengan siapa kau
berhadapan? Suhu adalah Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu (Guru Silat Liong berjuluk Kepalan Monyet Sakti),
dahulu jagoan kota Sin-Yang! Hayo lekas kau minta maaf dan menarik kembali omonganmu yang lancang
kalau kau tidak ingin merasai pukulanku!"
"Aihh... aihh...! Kenapa mendadak menjadi begini galak? Tadi kau diam saja ketika ada pengemis tolol
memaki-maki lalu memukul dan menendang Kakek ini sampai masuk selokan bau!"
Sejenak mereka itu memperlihatkan muka malu, akan tetapi pengemis muda itu, yaitu yang termuda di antara
mereka, baru tiga puluh lima tahun, lalu membentak marah. "Urusan sesama kaum kai-pang (perkumpulan
pengemis) tidak ada hina-menghina, pula merupakan urusan dalam, bukan urusanmu. Akan tetapi engkau ini
orang luar berani menghina kami? Tidak tahukah bahwa kami adalah bekas orang-orang Sin-kauw-bukoan
yang terkenal?"
Bu Song tersenyum. Tentu saja dia tidak pernah mendengar Sin-kauw-bukoan (Perguruan Monyet Sakti).
Kalau mereka ini bekas orang-orang perguruan silat ternama, mengapa sekarang menjadi pengemis? Bahkan
agaknya golongan pengemis yang paling rendah tingkatnya. Buktinya tadi mereka ini tidak berani melawan
walau pun diperhina oleh pengemis lain yang jelas kepandaiannya tidak berapa tinggi.
"Aku bicara sejujurnya. Siapa menghina? Dan kau ini galak amat, mau apa?" Bu Song sengaja memancing
kemarahan orang.
Cepat sekali pengemis itu menerjangnya dengan pukulan ke arah dada, disusul dengan tangan kiri
mencengkeram ke arah lambung. Memang Bu Song hendak menguji kepandaian mereka ini, terutama
kepandaian mereka yang menjadi guru dan setingkatnya. Dengan tenang ia menggerakkan kakinya mundur
dua langkah, sengaja berlaku lambat untuk memancing lawannya. Benar saja, lawannya terkena pancingannya
karena menyangka bahwa ia tidak begitu lihai sehingga dengan girang lawannya sudah menubruk maju, kedua
tangannya mencengkeram ke arah dada dengan keyakinan pasti kena. Bu Song memiringkan tubuhnya,
menyampok dari samping dan mengerjakan kakinya, yaitu ujung sepatunya menotok sambungan lutut. Tak
dapat dicegah lagi pengemis itu terguling!
Terdengar teriakan keras dan tahu-tahu orang yang disebut adik seperguruan kakek itu tadi menyerbu.
Pukulannya jauh lebih cepat dan berat jika dibandingkan dengan murid keponakannya yang kini sudah
merangkak bangun sambil memijit-mijit lututnya. Diam-diam Bu Song makin terheran. Kepandaian murid tadi,
apalagi paman guru ini, agaknya sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengemis baju bersih yang
menghina tadi. Apalagi kepandaian si Kakek yang berjuluk Sin-kauw-jiu itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mengapa mereka sama sekali tidak melawan tadi dan kini terhadap seorang luar seperti dia, biar pun katakatanya
sejujurnya dan sama sekali tidak bisa dibilang menghina, mereka sudah turun tangan? Di samping
keheranannya ini, hatinya pun tertarik dan suka kepada para pengemis baju kotor ini. Jelas bahwa jika maju
seorang demi seorang, mereka itu bukan tandingannya. Namun mereka tidak mau maju mengeroyok. Hal ini
saja membuktikan bahwa mereka ini bukan golongan orang-orang jahat yang mengandalkan kepandaian atau
teman banyak untuk berlaku sewenang-wenang dan menghina orang lain. Sikap mereka terhadapnya adalah
sikap orang gagah yang hendak memperebutkan kebenaran dan kehormatan dengan ilmu kepandaian secara
gagah pula.
Karena tertarik dan ingin berkenalan, Bu Song tidak mau mempermainkan lawannya terlalu lama. Dengan
gerakan indah, ia berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah dorongan yang disertai tenaga dalam. Biar
pun dorongannya tidak menyentuh dada orang, namun pengemis itu tetap saja tanpa dapat ia pertahankan
lagi, roboh terjengkang ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik saja ia dapat menyelamatkan diri tidak
terbanting keras! Namun hal ini sudah cukup membuka matanya bahwa orang muda yang kelihatan lemah ini
sama sekali bukan tandingannya. "Kau hebat, orang muda!"
Orang ketiga yang lebih tua sudah menyambar ke depan. Orang ini adalah kakak seperguruan dari yang tadi
roboh, merupakan orang ke dua di Sin-kauw-bukoan. Pukulannya mengandung tenaga Iwee-kang yang ampuh
dan kuat sehingga setiap ia menggerakkan tangannya, terdengar suara angin menyambar. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika tiba-tiba lawannya berkelebat dan lenyap dari depannya! Pengemis yang berwajah
muram ini kaget dan bingung, lalu mendengar suara ketawa di belakangnya. Ketika ia membalikkan tubuh,
kiranya lawannya sudah berada di situ, enek-enak saja tersenyum dan memandangnya.
Ia menjadi penasaran dan cepat menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan yang dibuka jari-jarinya,
seperti tangan monyet hendak mencengkeram. Hebat tubrukannya ini karena tangan itu tidak segera
mencengkeram, melainkan menanti ke mana lawan akan mengelak. Gerak tipu Ilmu Silat Monyet Sakti ini
amat hebat dan jarang sekali gagal. Namun kembali matanya mejadi kabur karena lawannya yang muda itu
berkelebat tanpa dapat ia duga ke mana, hanya tahu-tahu sudah melewati atas kepalanya. Ketika ia memutar
tubuh, kembali orang muda itu berkelebat menyelinap dari samping, kemudian pada detik selanjutnya, sebelum
ia sempat membalikkan tubuh, ia merasa tengkuknya disentuh oleh jari-jari tangan yang hangat. Pengemis ini
kaget sekali dan berseru, "Hebat... aku mengaku kalah...!" Ia melompat ke pinggir dan memandang dengan
mata terbelalak keheranan.
Kini kakek tua renta itu berjalan maju. Langkahnya sudah membayangkan usia tua. Matanya memandang Bu
Song, berkedip-kedip penuh keheranan. "Melihat gerakanmu, orang muda, kau mengingatkan aku akan
seseorang... ah, seseorang yang tadinya kukagumi, akan tetapi ternyata mengecewakan hatiku...."
Makin tertarik hati Bu Song. "Siapakah orang itu, Sin-kauw-jiu Liong-kauw-su?
"Ah, jangan sebut-sebut julukanku yang kosong melompong. Dan aku bukan kauwsu lagi melainkan seorang
jembel busuk yang tiada harganya. Sebut saja aku Lokai (Pengemis Tua). Nama orang itu selalu kusimpan
sebagai rahasia, biar pun dia sudah mengecewakan hatiku, namun tidak akan kusebut-sebut. Akan tetapi
karena gerakanmu mirip dia, kalau kau bisa mengalahkan toyaku, biarlah hitung-hitung aku kalah bertaruh dan
akan kusebut namanya di depanmu. Kau jagalah, orang muda!" Kakek itu menerima sebatang toya kuningan
yang kedua ujungnya dilapis baja. Begitu toya itu berada di kedua tangannya, benda itu seakan-akan menjadi
hidup dan bergerak-gerak amat cepatnya.
"Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!"
Sesungguhnya, biar pun kakek ini kelihatannya jauh lebih lihai dari pada si murid atau sute-nya tadi, Bu Song
tidak takut menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah seorang
yang dahulunya tentu ternama, ia pun segan untuk memandang rendah. Ia tidak mempunyai permusuhan
dengan mereka, apalagi Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu, dan ia bahkan menaruh iba kepada bekas guru silat dan
murid-muridnya ini yang telah merosot derajatnya menjadi pengemis-pengemis yang dihina orang. Di samping
rasa iba ini, ada pula rasa penasaran mengapa semangat si guru demikian melempem dan tidak layak menjadi
sikap seorang gagah?
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kauwsu, bukan aku yang mengajak berkelahi. Kalau tidak terdesak, untuk apa aku mengeluarkan senjata?
Aku tidak mau melukai orang!" jawabnya. "Kalau kau hendak main-main, silakan mulai."
Kakek itu kelihatan marah sekali. "Sudah terlalu lama dihina orang tanpa berani membalas! Sekarang ada
engkau ini orang muda yang datang-datang menghina kami. Orang muda, jangan salahkan aku kalau toyaku
tidak mengenal kasihan. Kau sambutlah!" Tampak gulungan sinar kuning ketika toya itu menyambar dahsyat,
menyerang dengan pukulan menyamping ke arah lambung kiri Bu Song disusul gentakan ujung lain yang
menyusul dengan hantaman ke arah kepala andai kata pukulan pertama dapat dielakkan.
Akan tetapi, sekali berkelebat tubuh orang muda itu lenyap dari depannya! Liong-kauwsu terkejut, cepat
membalikkan tubuh menggerakkan toyanya, lalu menerjang ke belakang tubuh. Benar saja dugaannya, orang
muda yang dapat bergerak luar biasa cepatnya itu tadi telah berada di belakangnya sehingga serangan
susulannya ini tepat sekali.
Dengan tusukan kuat ujung toyanya menyambar ke arah dada, kemudian ketika orang muda itu mengelak ke
kiri, toyanya mengejar terus dengan sontekan ke kanan, menghantam leher lalu disontekkan lagi,
menggunakan ujung yang lain menyerampang kaki. Semua ini dilakukan oleh kakek itu dengan kecepatan
kilat, dan biar pun ia sudah tua, namun tiap kali digerakkan, kedua ujung toya itu menggetar dan dilihat dengan
mata biasa ujungnya berubah menjadi puluhan batang.
"Ilmu toya yang bagus!" Bu Song memuji akan tetapi kembali tubuhnya lenyap tanpa diketahui kakek itu saking
cepatnya.
Dari belakangnya Liong-kauw-su merasa betapa ujung toyanya disentuh lawan. Ia cepat membalikkan tubuh
dan melihat lawannya itu tersenyum-senyum berdiri di belakangnya, kini sudah mengeluarkan sebuah benda
kuning berkilauan di tangan. Bukan main kaget dan kagumnya hati kakek itu. Ia tadi maklum bahwa lawannya
akan mudah merobohkannya, atau merampas toyanya, karena bukankah tadi lawannya sudah menyentuh
ujung toya dari belakang sebelum ia mampu membalikkan tubuh?
Akan tetapi orang muda itu tidak melakukan hal ini, bahkan mengeluarkan senjata, padahal dengan tangan
kosong sekali pun agaknya akan sukar baginya untuk mengalahkan orang muda ini. Ketika ia memperhatikan
senjata di tangan orang muda itu, ia berseru kaget, juga sute-nya berseru, "Kim-siaw (Suling Emas)...!"
Bu Song memandang suling emas di tangannya dan pada saat itu jantungnya berdebar aneh. Nama yang
bagus! Kim-siauw! Namanya sendiri sudah lapuk, sudah terlalu banyak mendatangkan hal-hal yang
menyedihkan! Namanya sendiri, Bu Song, selalu terkait dengan hal-hal yang mematahkan hati, mengingatkan
ia akan ayah bundanya yang cerai-berai, akan hidupnya yang sebatang kara. Mengingatkan ia akan
pengalaman-pengalamannya yang pahit-getir, akan kematian Kwee Eng yang sudah dicalonkan menjadi
isterinya, wanita pertama yang merampas hatinya. Kemudian, yang masih membekas dalam sekali di
kalbunya, mengingatkan ia akan Suma Ceng, wanita kekasihnya yang tadinya ia anggap sebagai pengganti
Kwee Eng yang tewas. Nama Bu Song sungguh diselimuti kegelapan, nama yang sial.
Akan tetapi ia tidak dapat melamun terus karena kembali toya yang berat itu menyambar dibarengi seruan
Liong-kauw-su. Tampak sinar emas bergulung-gulung ketika Bu Song menggerakkan sulingnya. Sinar ini
seakan-akan merupakan tali emas yang menggulung dan melibat-libat toya, kemudian tanpa dapat dicegah
lagi oleh Liong-kauwsu, juga tanpa ia ketahui bagaimana caranya, toyanya terlepas dari tangannya, melayang
tinggi ke atas dan ketika turun, disambut oleh suling di tangan Bu Song, diputar-putar sampai berhenti
melintang di atas suling yang disodorkan kepada Liong-kauwsu, diikuti kata-kata. "Terimalah kembali toyamu,
Liong-kauwsu!"
"Hebat...! Kau lebih hebat dari pada Kim-mo Taisu...!" kakek itu berkata dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga. Juga murid-muridnya serta sute-nya memandang penuh kekaguman.
"Dan suling emas itu...! Orang muda, bolehkah kami mengetahui, siapakah namamu yang mulia?"
Bu Song tersenyum pahit, memandang sulingnya yang ia pegang di tangan kanan, ditegakkan lurus depan
muka, kemudian berkata, "Suling emas... suling emas... inilah namaku... Suling Emas!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak pengalaman. Ia maklum bahwa
orang muda ini adalah seorang sakti yang tidak mau namanya dikenal. Timbul harapan dalam hatinya bahwa
orang muda yang luar biasa ini akan dapat membantunya menebus semua penghinaan dan sakit hati yang
selama puluhan tahun ia derita.
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang datang-datang membentak, "Lagi-lagi ada manusia
tak berbudi yang berani menghina kaum jembel mengandalkan kepandaiannya?"
Para kakek pengemis dan juga Suling Emas (karena Bu Song sendiri merubah namanya, mulai sekarang kita
mengenalnya sebagai Suling Emas) menoleh dan melihat bahwa yang datang itu adalah seorang laki-laki
berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya tambal-tambalan dan bahkan kedua lengan bajunya buntung
compang-camping, memakai caping (topi petani) lebar yang menutupi sebagian mukanya. Juga capingnya itu
butut, compang-camping pinggirnya. Namun tubuh orang itu tampak kuat, matanya bersinar-sinar, mukanya
bersih tidak berjenggot. Celananya yang butut juga buntung sebatas lutut. Setelah berkata demikian, serta
merta orang yang baru tiba ini menerjang Suling Emas dengan serangan-serangan kilat.
"Eh, sahabat... jangan salah kira. Dia... Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) tidak..." Liong-kauwsu tidak
melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah memotong.
"Biarlah, Kauwsu. Orang ini lihai, biarkan kami main-main sebentar!"
Memang Suling Emas kagum menghadapi serbuan orang yang baru datang ini. Baru bergebrak sejurus saja
tahulah bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada
tingkat kakek guru silat itu. Pukulan kedua tangan dan tendangan kedua kakinya mendatangkan angin halus,
seakan-akan tidak mengandung tenaga, namun ternyata penuh dengan tenaga sinkang yang amat kuat. Juga
gerakan-gerakannya aneh dan membingungkan serta cepat sekali, membuktikan bahwa ginkang orang ini pun
sudah mencapai tingkat tinggi!
Suling Emas sudah menyimpan sulingnya dan cepat ia mengelak lalu balas menyerang, juga mempergunakan
kecepatan gerakannya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sampai hampir berjongkok untuk
menghindarkan hantaman kedua tangan kearah dada dan leher tadi, sambil secepat kilat membalas dengan
tusukan jari-jari tangannya ke arah pusar lawan. Dengan amat cepatnya tubuh lawannya itu sudah melambung
tinggi sehingga tusukannya tak berhasil. Dari atas pengemis itu sudah berjungkir balik dan kini melakukan
serangan dari atas, dengan kepala di bawah kaki di atas, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala
dan tangan bergerak membentuk lingkaran-lingkaran untuk mencegah jalan ke luar!
Suling Emas maklum bahwa menghadapi serangan ini, tidak ada jalan untuk mengelak. Satu-satunya jalan
hanyalah mengadu tenaga. Karena lawan ini melayang turun sehingga tenaganya ditambah oleh berat tubuh
serta tenaga luncuran turun, tentu saja orang itu lebih menguntungkan keadaannya. Namun ia tidak gentar,
bahkan ia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya seakan berakar di atas tanah, membiarkan lawan
melayang turun sampai dekat lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak mengimbangi kedudukan kedua tangan
lawan untuk menangkis.
"Dukkk...!!" dua pasang tangan bertemu dan akibatnya tubuh pengemis itu mencelat ke atas sampai lima meter
lebih, sedangkan kuda-kuda Suling Emas sungguh pun tidak tergeser, namun kedua kakinya melesak ke
dalam tanah sampai lewat sepatunya!
Pengemis ini memang hebat. Walau pun tubuhnya terlempar begitu tinggi, namun ia tidak kehilangan akal.
Beberapa kali pinggangnya bergerak, tubuhnya melentik seperti ular dan ia sudah berhasil memulihkan
keseimbangan tubuhnya, lalu meloncat turun dengan gerakan ringan, tepat berdiri menghadapi Suling Emas.
Keduanya saling pandang penuh kekaguman.
"Kepandaianmu luar biasa sekali, sobat!" kata Suling Emas sambil tersenyum. Kata-kata ini keluar dari hatinya
yang tulus karena memang ia kagum menyaksikan kepandaian pengemis ini. Ketika tadi terlempar ke atas,
caping pengemis itu terlepas dan tampaklah kini wajahnya yang cukup tampan dan gagah. Wajah yang banyak
membayangkan kepahitan hidup, rambutnya awut-awutan, namun bersih dan mengandung cahaya
bersemangat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di lain pihak, pengemis itu agaknya merasa penasaran, kagum, dan juga kaget. Tentu saja ia tidak menyangka
akan berhadapan dengan orang yang begini sakti. Mendengar ucapan Suling Emas dan melihat senyum itu, ia
salah sangka, mengira bahwa lawannya mengejek. Maka ia lalu memandang dengan sinar mata tajam,
mulutnya berkata penuh geram, "Orang muda, kau memang hebat! Akan tetapi jangan kau tertawa-tawa lebih
dahulu. Aku Yu Kang baru menerima kalah kalau kau mampu mengalahkan senjataku ini!"
Suling Emas sudah menaruh hati sayang kepada pengemis yang amat lihai ini, maka ia tidak ingin menanam
permusuhan. Akan tetapi sebelum ia mampu menjawab, pengemis yang bernama Yu Kang itu dengan jari-jari
kaki telanjang telah menggenjot tanah dan tubuhnya melayang ke depan Suling Emas, tangan kanannya
sudah memegang sebatang tongkat rotan kecil. Tongkat itu tadinya terselip di belakang punggungnya.
Kelihatannya sederhana sekali, besarnya hanya seibu jari kaki, panjangnya dua lengan. Namun melihat betapa
‘senjata’ yang lebih patut disebut senjata kanak-kanak bermain perang-perangan itu setelah berada di tangan
pengemis ini menggetar-getar dan mengeluarkan suara melengking tiada hentinya. Diam-diam Suling Emas
kaget dan cepat ia pun mencabut sulingnya. Gerakan tongkat rotan yang mengeluarkan suara melengking itu
mengandung tenaga lweekang yang hebat, maka Suling Emas segera memutar sulingnya pula dan
terdengarlah suara melengking lebih tinggi dan nyaring.
"Bagus! Sambutlah seranganku!" Yu Kang berseru keras dan tubuhnya menyambar maju, tongkatnya
bekelebatan dan membentuk sinar kilat menyambar amat cepatnya.
Suling Emas pun maklum akan bahayanya serangan ini, maka ia lalu menggerakkan sulingnya dan lenyaplah
bentuk suling, berubah menjadi gulungan sinar kuning emas yang membentuk lingkaran-lingkaran. Ia telah
mainkan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat yang luar biasa ampuhnya. Harus diakui bahwa di antara para tokoh
persilatan, banyak kiranya yang mengenal tokoh persilatan, banyak kiranya yang mengenal Pat-sian Kiamhoat,
bahkan banyak yang ahli. Namun Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan oleh Suling Emas ini lain dari pada
yang lain.
Kalau Pat-sian Kiam-hoat biasa mempunyai enam puluh empat jurus, akan tetapi Pat-sian Kiam-hoat yang
diwariskan oleh Kim-mo Taisu kepada Suling Emas hanya mempunyai enam belas jurus. Enam belas jurus
yang sudah mencakup semua inti sari Pat-sian Kiam-hoat, bahkan sudah pula meliputi bagian-bagian
terpenting yang terpendam. Di samping ini, setelah semua pintu dalam tubuh Suling Emas dibuka oleh Bu Tek
Lojin, maka sinkang di tubuhnya dapat bergerak lancar sehingga permainan ilmu pedang ini menjadi makin
hebat. Setiap gerakan dan getaran mengandung hawa sakti yang dahsyat.
Sin-kauw-jiu Liong Kong, guru silat yang telah menjadi pengemis itu, bersama murid-muridnya dan sute-nya,
menjadi penonton yang bengong terlongong. Terheran-heran mereka menonton pertandingan luar biasa ini.
Tak dapat mata mereka mengikuti gerakan kedua orang muda itu, yang tampak hanyalah gulungan sinar
kuning bercampur aduk dengan kilatan ujung tongkat yang menjadi ratusan banyaknya, membungkus
bayangan dua orang yang tidak kelihatan bentuknya dan kabur saking banyaknya!
Diam-diam guru silat itu menarik napas panjang dan insyaf betapa ilmu kepandaian di dunia itu tiada batasnya.
Dahulu ia amat kagum kepada sahabatnya, Kim-mo Taisu yang gerakannya sama dengan Pendekar Suling
Emas ini. Kemudian ia dibikin penasaran akan tetapi tidak berdaya oleh seorang tokoh muda yang baru, dua
puluh tahun yang lalu, yaitu orang yang mengaku menjadi raja pengemis, berjuluk Pouw-kai-ong (Raja
Pengemis Pouw) yang memiliki ilmu kepandaian hebat pula. Kini di depan matanya, bertanding dua orang
muda yang begini hebat, benar-benar membuat ia merasa betapa tingkat kepandaiannya sendiri sebenarnya
bukan apa-apa!
"Wah-wah-wah, kau hebat! Aku mengaku kalah!" tiba-tiba terdengar Yu Kang berseru keras dan tubuhnya
terlempar sejauh enam tujuh meter di mana kedua kakinya berhasil menahan robohnya, akan tetapi ia masih
tetap saja terhuyung-huyung!
Suling Emas sudah menyimpan sulingnya, melangkah maju sambil menjura. "Yu-twako, kau benar-benar
hebat! Aku kagum sekali."
Pengemis muda itu menghela napas, berjalan maju, meyelipkan tongkatnya di belakang punggung sambil
berkata, "Sudahlah, tak perlu kau merendah. Sudah jelas aku bukan tandinganmu. Andai kata si keparat she
dunia-kangouw.blogspot.com
Pouw itu selihai engkau, biarlah aku mati di tangannya dan mendiang ayah takkan dapat tenang dalam
kuburnya!" Setelah berkata demikian, Yu Kang melangkah pergi.
"Yu-enghiong (Orang Gagah she Yu), nanti dulu...!" tiba-tiba Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu berseru sambil
mendekat.
Yu Kang membalikkan tubuhnya. "Kau orang tua mau apa lagi? Aku melihat betapa kalian jembel-jembel tiada
guna dipermainkan orang-orang, akan tetapi aku sendiri juga seorang jembel tiada guna, tak dapat membela
kalian."
"Bukan demikian, Yu-enghiong. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak dihina oleh Kim-siauw-eng, sama
sekali tidak! Yang menghina kami adalah si keparat she Pouw yang kau sebut tadi! Dua puluh tahun kami
dihina dan ditindas, karena itu mohon bantuan Yu-enghiong. Marilah kita bersatu untuk menghadapi Pouw-kaiong
yang jahat!"
Yu Kang melotot, terheran. "Kalian ini pun mendendam kepada Pouw-kai-ong si jahat?"
Tiba-tiba Suling Emas yang mendengarkan percakapan itu berkata, "Ah, kiranya kita adalah orang-orang
segolongan. Aku sendiri pun boleh dianggap sebagai seorang musuh besar Pouw-kai-ong, bahkan beberapa
kali pernah aku bertanding melawan dia dan kawan-kawannya!"
Kakek itu berseru girang, lalu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang muda gagah itu, diturut
oleh teman-temannya. "Mohon bantuan Ji-wi Enghiong membasmi Pouw-kai-ong yang jahat..."
"Lo-kai (Pengemis Tua), harap jangan banyak tingkah. Kita dapat saling bantu dalam hal ini. Bangunlah! Lo-kai
ini dari kai-pang (perkumpulan pengemis) yang manakah? Aliran apa?" Pertanyaan Yu Kang ini diajukan
dengan sikap penuh wibawa yang menunjukkan bahwa dia agaknya mengenal baik akan peraturan
perkumpulan pengemis.
Orang tua itu bangkit berdiri dan sukar untuk menjawab. Timbul kekhawatiran di hatinya bahwa pengemis
muda yang perkasa ini takkan mau bekerja sama kalau mendengar bahwa dia sebetulnya bukan pengemis
sama sekali, melainkan pengemis paksaan!
Melihat keadaan kakek itu meragu, Suling Emas lalu berkata, "Saudara Yu Kang, Lopek (Paman Tua) ini sama
sekali bukan pengemis. Dia dahulu adalah kedua dari Sin-jiu-bu-koan, berjuluk Sin-kauw-jiu bernama Liong
Keng."
"Nama kosong belaka..., nama kosong belaka...," Liong-kauwsu menggoyang-goyang kedua tangan dengan
perasaan malu.
"Hemm, kalau begitu bukan golongan pengemis? Mengapa berpakaian pengemis? Mau main-main dengan
pengemis, ya? Liong-kauwsu, kalau kau dan kawan-kawanmu ini hanya pura-pura menjadi pengemis untuk
mencapai tujuan, aku tidak sudi bekerja sama!"
"Tidak... tidak... ah, Yu-enghiong salah sangka. Memang kami terpaksa menjadi pengemis, akan tetapi andai
kata pembalasan dendam kami sudah terkabul, kami pun tetap akan menjadi pengemis. Kami sudah tidak
punya apa-apa, dan untuk selanjutnya, kami rela menjadi pengemis asal saja si Keparat Pouw-kai-ong sudah
mendapat hukumannya!"
"Kalau begitu, boleh kita bekerja sama," kata Yu Kang mengangguk-angguk.
"Marilah Ji-wi Enghiong, kita bicara sambil berunding di tempat kami, di bawah jembatan Tembok Merah."
Yu Kang mengangguk dan Suling Emas juga menerima baik undangan ini. Mereka lalu berangkat menuju ke
jembatan besar di pinggir kota itu dan turunlah mereka ke kolong jembatan. Di tempat sederhana inilah Liongkauwsu
beserta anak buahnya tinggal! Biar pun kolong jembatan, karena dirawat maka tanahnya cukup bersih
dan baunya tidak busuk. Beberapa orang murid Liong-kauwsu sibuk menyembelih angsa besar yang mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
tadi tangkap, entah dari mana. Tak lama kemudian bau harum paha angsa dipanggang membuat air liur
memenuhi mulut. Beberapa orang lagi mengeluarkan cawan retak dan seguci besar arak!
Mereka bercakap-cakap sambil memegangi paha angsa panggang yang gurih dan berlemak, menggerogoti
daging yang lezat didorong masuk arak keras. Mereka duduk seenaknya, ada yang berjongkok, ada yang
bersandar pada dinding jembatan, ada pula yang berdiri, ada pula yang sambil rebah-rebahan dan mencari
kutu pada baju mereka yang rombeng! Suling Emas duduk bersila di tengah-tengah dan ikut makan dengan
enaknya.
Yang mendapat giliran pertama untuk bercerita adalah Liong-kauwsu. Kakek ini menghentikan makannya,
melempar tulang paha angsa ke tengah air kali yang mengalir di dekat mereka, mengusap minyak lemak dari
bibir dengan ujung bajunya yang kotor, kemudian menarik napas dan bercerita. "Belasan tahun yang lalu
terjadinya mala-petaka itu, yang merubah semua jalan hidupku dan murid-muridku serta keluarga kami...." Ia
menarik napas panjang lagi, kemudian ia menceritakan pengalamannya secara jelas singkat seperti berikut.
Perguruan Sin-kauw-bu-koan di kota Sin-yang cukup terkenal karena baik gurunya, yaitu Sin-kauw-jiu Liong
Keng, mau pun para murid-muridnya merupakan orang-orang gagah yang biar pun kuat tidak mempergunakan
kekuatannya untuk melakukan penindasan, bahkan membela kebenaran dan keadilan. Liong-kauwsu tidak
mempunyai anak keturunan sendiri, akan tetapi ia mengangkat seorang murid wanita sebagai anak. Wanita itu
bernama Liong Bi Loan, seorang gadis cantik yang pandai silat.
Pada suatu hari, Liong Bi Loan bertemu dengan Pouw-kai-ong yang ketika itu masih muda dan tampan. Dalam
pertandingan Bi Loan dikalahkan dan gadis ini terpikat, lalu lari bersama Pouw-kai-ong. Liong-kauwsu tidak
mampu mencegahnya karena terhadap Pouw-kai-ong, ia sama sekali tidak berdaya, jauh kalah lihai
kepandaiannya.
Seperti telah kita ketahui, dalam kesedihan dan kebingungannya, Liong-kauwsu bertemu dengan Kim-mo
Taisu, kemudian minta pertolongan Kim-mo Taisu untuk menghadapi Pouw-kai-ong. Akan tetapi Kim-mo Taisu
tidak dapat berbuat sesuatu terhadap Pouw-kai-ong ketika pendekar ini melihat betapa gadis puteri guru silat
itu dengan suka rela ikut Pouw-kai-ong! Hal inilah yang membuat kecewa hati Liong-kauwsu yang tadinya amat
mengharapkan Kim-mo Taisu berhasil membawa pulang puteri angkatnya. Terpaksa ia menerima keadaan
dan tidak mau merintangi lagi puteri angkatnya yang ikut Pouw-kai-ong.
Akan tetapi dua tahun kemudian, luka dihatinya menjadi robek kembali ketika Liong-kauwsu mendengar kabar
betapa anak angkatnya itu hidup merana dan sengsara di samping Pouw-kai-ong yang mulai nampak
‘belangnya’. Pouw-kai-ong sudah mulai bosan dan memperlakukan Liong Bi Loan seperti seorang budak
belian, bahkan tidak jarang memukulinya. Kemudian secara berterang Pouw-kai-ong main gila dengan wanitawanita
lain dengan memaksa Liong Bi Loan melayani dia berpesta dengan perempuan-perempuan lain yang
menjadi kekasih baru. Akhirnya Liong Bi Loan tak kuat menahan, untuk melawan ia kalah kuat, dan wanita ini
mengambil jalan terakhir dengan menggantung diri!
Mendengar ini Liong-kawsu dan beberapa orang muridnya yang setia, juga dua orang sute-nya, secara nekat
menyerbu ke tempat yang dijadikan markas besar Pouw-kai-ong, yaitu sebuah kuil tua di luar kota Kang-hu,
bekas markas besar perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Namun, mereka ini sama sekali bukanlah
tandingan Pouw-kai-ong. Bahkan bukan Pouw-kai-ong sendiri yang turun tangan, baru anak buahnya saja
sudah membuat Liong-kauwsu dan anak buahnya kocar-kacir dan dihajar habis-habisan.
Pouw-kai-ong tidak membunuh Liong-kauwsu, namun merampas semua miliknya, kemudian memaksa bekas
Ketua Sin-kauw-bu-koan ini bersama anak buahnya hidup sebagai anggota kai-pang, berpakaian seperti
pengemis! Lebih hebat lagi, rombongan Liong-kauwsu ini selalu dihina oleh anak buah Pouw-kai-ong yang
berpakaian tambal-tambalan namun bersih, atau terkenal dengan sebutan pengemis baju bersih, sebaliknya
dari pada rombongan Liong-kauwsu dan para pengemis taklukan lain yang disebut rombongan pengemis baju
kotor.
"Demikianlah, Kim-siauw-hiap (Pendekar Suling Emas)," Liong Keng mengakhiri ceritanya dengan muka
berduka. "Bertahun-tahun kami menderita penghinaan dan sepatutnya penderitaan ini kami akhiri dengan
bunuh diri saja seperti yang dilakukan puteriku. Akan tetapi dalam hati ini masih belum mau menerima, masih
menyimpan penasaran dan dendam setinggi langit, masih selalu mengharapkan kesempatan untuk membalas!
dunia-kangouw.blogspot.com
Oleh karena itulah, sampai begini tua saya tetap mempertahankan nyawa untuk menanti datangnya
kesempatan itu. Untung sekali hari ini mempertemukan kami dengan Ji-wi Taihiap (Kedua Pendekar Besar)
sehingga boleh diharapkan cita-cita akan tercapai juga sebelum nyawa meninggalkan badan."
Yu Kang melompat berdiri, membanting tulang paha angsa ke kanan. Tulang itu melesak ke dalam dinding
tembok jembatan yang keras! "Harap Paman Tua Liong tidak berkecil hati. Dengan bekerja sama, masa si
Keparat Pouw itu tidak akan dapat ditundukkan? Dengarlah baik-baik, aku Yu Kang juga sudah bersumpah,
takkan berhenti berusaha sebelum si jahat Pouw Kee Lui menerima hukumannya. Seluruh keluargaku habis
dibasmi keparat itu, dan hanya karena Tuhan menghendaki saja aku bebas dari pada pembasmian sehingga
setidaknya ada keturunan ayah yang berusaha membalaskan dendam keluarga ini."
Yu Kang lalu bercerita. Dia adalah putera bungsu mendiang Yu Jin Tianglo ketua perkumpulan pengemis
Khong-sim Kai-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, pada belasan tahun yang lalu ketika
Pouw Kee Lui yang memiliki kepandaian tinggi itu muncul dari timur, dia telah menyerbu Khong-sim Kai-pang,
merobohkan semua yang melawannya, membunuh Ketua Khong-sim Kai-pang sekeluarga, membunuh tokohtokoh
Khong-sim Kai-pang pula dan merampas kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang. Para anggota yang
tidak mau tunduk dibunuhnya sehingga akhirnya para anggota lain menjadi ketakutan dan mengakui
kekuasaan ketua baru ini, yang kemudian memakai julukan Pouw-kai-ong si Raja Pengemis Pouw. Bersama
anak buahnya yang dilatihnya, ia menundukkan hampir seluruh perkumpulan pengemis sehingga julukannya
‘raja pengemis’ benar-benar tepat.
Akan tetapi sama sekali di luar dugaan Pouw-kai-ong yang cerdik bahwa ketika ia melakukan pembasmian
terhadap keluarga Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim Kai-pang, Yu Kang putera bungsu ketua pengemis itu yang
baru berusia tiga belas tahun dan kebetulan sekali pada waktu peristiwa hebat terjadi, sedang bermain-main di
luar kota sehingga terbebas dari pada maut. Ketika Yu Kang melihat keadaan keluarganya yang terbasmi
habis, tidak seorang pun masih hidup, ayah bundanya, kakak-kakaknya, semua tewas di tangan Pouw-kai-ong,
ia segera melarikan diri. Selama belasan tahun Yu Kang putera ketua pengemis Khong-sim Kai-pang ini
menggembleng diri dengan ilmu silat, belajar dari tokoh-tokoh pengemis yang telah mengasingkan diri bertapa
di gunung-gunung. Ia selalu berpakaian sebagai pengemis dan hidup sebagai pengemis pula, tetap setia
kepada cara hidup ayahnya dan dendam di hatinya terhadap Pouw Kee Lui tak pernah terlupa sehari pun!
Setelah tujuh belas tahun menggembleng diri, kini dalam usia hampir tiga puluh tahun, barulah Yu Kang turun
dari puncak gunung-gunung dan mulai mencari musuh besarnya, Pouw Kee Lui yang kini sudah menjadi
Pouw-kai-ong. Karena tidak tahu harus mencari di mana, maka ia langsung menuju ke kota raja, oleh karena
untuk mencari seorang ‘raja’ pengemis, kiranya paling tepat menyelidiki dari kota raja, pusat segala macam
kegiatan.
"Demikianlah sedikit riwayatku, dan kebetulan aku bertemu dengan kalian yang kukira adalah pengemispengemis
yang mengalami penghinaan. Di sepanjang perjalanan banyak aku mendengar akan perpecahan
golongan pengemis menjadi dua, pengemis baju bersih dan pengemis baju kotor, dan tentang penindasan
yang dilakukan pengemis baju bersih terhadap pengemis baju kotor. Siapa kira, pengemis baju bersih adalah
pengikut-pengikut setia dari Pouw-kai-ong, musuh besarku! Di sepanjang jalan, tidak ada yang berani
menyebut-nyebut tentang Pouw-kai-ong."
Liong-kauwsu yang kini sudah berubah sebutan menjadi Liong-lokai (Pengemis Tua Liong) itu menarik napas
panjang. "Memang demikianlah. Tidak ada yang berani membicarakan perihal Pouw-kai-ong, apalagi bicara
buruk karena kaki tangannya banyak sekali dan hukumannya amatlah berat mengerikan." Kakek itu kini
menoleh kepada Suling Emas dan berkata, "Setelah kini saya dan Yu Tai-hiap bercerita, saya harap Kim-siaw
Tai-hiap sudi pula memberi sedikit penuturan dan penjelasan."
"Sesungguhnya tidak ada apa-apa yang patut kuceritakan," Suling Emas berkata dan tiba-tiba wajahnya yang
tampan itu seperti diselubungi awan gelap. Betapa tidak akan keruh hatinya kalau ia diingatkan akan
riwayatnya yang sembilan puluh persen terisi hal-hal menyedihkan itu? Pula ia sudah tidak mau mengingat halhal
lampau, bahkan hendak melupakan namanya. Setelah berhenti sejenak, ia menyambung. "Pertemuanku
dengan Pouw-kai-ong dalam pertempuran hanyalah secara kebetulan saja. Akan tetapi karena aku tahu
betapa jahatnya Pouw-kai-ong, maka aku bersimpati kepada orang-orang yang telah menjadi korbannya
seperti kalian. Dan untuk bicara terus terang, Yu-twako menduga tepat. Pouw-kai-ong amat lihai dan... maaf,
kurasa Yu-twako sendiri tidak akan dapat mengalahkannya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Yu Kang mengangguk-angguk, sepasang alisnya yang tebal berkerut-kerut. "Aku pun sudah menyelidiki dan
mendengar bahwa si Keparat she Pouw itu amat lihai. Kau yang sudah bertanding dengannya, tentu dapat
menilainya dengan tepat, Kim-siauw-eng. Dan aku percaya, kalau kau yang begini lihai masih mengaguminya,
tentulah ia merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi aku tidak akan mundur setapak juga, kalau perlu
nyawaku kupertaruhkan untuk membalas kematian seluruh keluarga ayahku." Yu Kang mengepal tinju,
mukanya merah dan matanya berapi-api.
"Yu-taihiap...."
"Harap Liong-lokai jangan menyebut aku Taihiap (Pendekar Besar)!" Yu Kang memotong kata-kata kakek itu
dengan sengit. "Aku hanyalah seorang pengemis jembel yang tiada guna!" Memang watak Yu Kang keras dan
jujur, tanpa dipalsukan tata cara dan sopan santun. Mungkin sakit hatinya dan mala-petaka yang menimpa
keluarganya membuat ia berwatak seperti itu.
"Baiklah, Yu-hiante. Harap jangan berkecil hati. Kalau kita maju bersama dan minta bantuan Kim-siauw-eng
dan orang-orang gagah lainnya, kiranya si Keparat Pouw itu akan dapat dibasmi."
"Hemm, terserah kau orang tua yang mengaturnya," akhirnya Yu Kang berkata sambil duduk kembali,
menyambar paha angsa panggang dan menenggak araknya.
Liong-lokai lalu menjura kepada Suling Emas. "Kami mohon dengan hormat sudilah kiranya Kim-siauw-eng
membantu usaha kami membalas dendam, mengeroyok si Keparat she Pouw yang jahat."
Suling Emas tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Mana bisa begitu, Lo-kai? Tak mungkin aku mengeroyok
lawan."
"Akan tetapi, bukankah Kim-siauw-enghiong juga memusuhinya?"
"Betul. Seperti telah kukatakan tadi, aku bolehlah dimasukkan sebagai seorang di antara musuh-musuhnya.
Akan tetapi aku tidak mempunyai dendam pribadi dengannya. Siapa saja yang jahat, boleh dianggap musuhku,
karena kalau dia tidak bisa diinsyafkan, tentu akan kugunakan kekerasan mencegah si jahat merajalela
menindas si lemah. Karena itu, berbeda sekali dengan kalian, aku tidak menaruh dendam dan aku hanya akan
menghadapinya satu lawan satu. Tak mungkin aku sampai hati melakukan pengeroyokan terhadap lawan yang
betapa pun juga lihainya."
Tiba-tiba Yu Kang menghentikan gerakannya makan paha panggang. Ia memandang tajam ke arah Suling
Emas, lalu mengangguk-angguk dan berkata murung, "Benar sekali, Suling Emas! Aku sendiri pun, kalau tidak
dimabok dendam kesumat, tidak sudi mengeroyok orang. Akan tetapi, kalau maju sendiri tidak bisa menang
sampai kapan dapat membalas dendam? Dendamku jauh lebih besar dari pada segala macam aturan
pertandingan." Agaknya ucapannya ini berlawanan dengan wataknya yang gagah, maka untuk mencuci rasa
malu, Yu Kang menggelogok arak sebanyaknya ke dalam perutnya!
"Akan tetapi, menghadapi seorang penjahat keji macam Pouw-kai-ong, bagaimana harus mengingat akan
peraturan? Dia membunuhi orang, merampas kai-pang, mengangkat diri sendiri menjadi raja pengemis,
kemudian merampas anak gadis orang tanpa melamar, memaksa kami menjadi pengemis, apakah semua
perbuatannya itu menurutkan aturan? Bukankah orang bijaksana jaman dahulu mengatakan bahwa kebaikan
dibalas dengan kebaikan berganda, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan? Dan terhadap
seorang keji jahat macam Pouw-kai-ong, apakah yang lebih adil dari pada mengeroyoknya dan
menghukumnya bersama?"
"Sudahlah, Liong-lokai!" tiba-tiba Yu Kang berkata keras. "Orang yang tidak mau, apa gunanya dipaksa-paksa?
Biarlah siapa yang mendiamkan saja kejahatan merajalela, dia itu membantu kejahatan! Apalagi urusan ini
adalah urusan kita para pengemis, mana seorang kongcu terpelajar mau mencampuri urusan segala jembel?"
Hening sejenak setelah Yu Kang mengeluarkan kata-kata yang keras, jujur tanpa tedeng-tedeng lagi ini. Para
pengemis tua itu merasa khawatir, kalau-kalau Suling Emas akan menjadi marah. Namun Suling Emas
bukanlah seorang yang mudah marah. Gemblengan hidup membuat ia kuat bertahan akan segala serangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pula ia dapat membedakan mana emas mana tembaga dan tahu bahwa di balik sikap kasarnya, Yu Kang
adalah seorang gagah.
"Yu-twako, ucapanmu memang benar sekali. Untuk mengeroyok orang, biar dipaksa-paksa aku tentu tetap
tidak akan mau. Pula, aku justru paling tidak mau mencampuri urusan orang lain karena aku menghormati
kalian golongan pengemis yang biar pun berpakaian kotor namun berhati bersih. Akan tetapi kau keliru sangka
kalau aku akan mendiamkan saja kejahatan merajalela."
"Hemm, omongan Suling Emas seperti omongan guru sekolah berbelit-belit! Pendeknya, kau mau membantu
kami atau tidak?" Yu Kang mencela.
"Tentu saja, akan tetapi tidak secara keroyokan. Biarlah dia nanti kuhadapi sendiri, kalian lihat saja. Kalau aku
kalah dan tewas di tangannya, anggap saja hal itu urusanku, dan barulah kalian boleh turun tangan terhadap
Pouw-kai-ong."
Tiba-tiba Yu kang melompat lagi ke atas. "Mana bisa?? Liong-lokai, mari kita berangkat. Urusan ini adalah
urusan kita, urusan antara para pengemis, bahkan Pouw-kai-ong sendiri pun seorang pengemis yang jahat dan
menyeleweng. Kitalah yang harus menghukumnya, bagaimana kita bisa menyerahkan hal ini kepada orang
luar? Suling Emas, kami tidak membutuhkan bantuanmu lagi. Marilah, Liong-lokai. Engkau tahu di mana si
Jahanam itu?"
Kakek jembel itu mengerling kepada Suling Emas dengan mata kecewa, akan tetapi ia lalu bangkit berdiri
diikuti teman-temannya dan menjawab pertanyaan Yu Kang, "Kebetulan dia berada tak jauh dari sini. Marilah,
Yu-hiante. Kami ada sebelas orang, bersama Hiante jadi dua belas. Masih ada lima orang saudara Bhong,
pengemis-pengemis dari Yu-nan yang telah lama menanti-nanti kesempatan untuk mengeroyok musuh besar
mereka. Seperti juga engkau, Hiante, kelima Bhong-heng-te (Persaudaraan Bhong) itu pun keturunan ketua
kai-pang (perkumpulan pengemis) yang dibasmi oleh Pouw-kai-ong."
"Bagus, kalau begitu marilah kita berangkat!" kata Yu Kang.
Rombongan pengemis itu meninggalkan kolong jembatan. Hanya Liong-lokai seorang yang menjura kepada
Suling Emas. Yu Kang melangkah pergi tanpa menoleh. Suling Emas berdiri terlongong, akan tetapi tersenyum
pahit melihat rombongan pengemis itu pergi dari situ. Sejenak ia termangu dan mengangkat pundak. Memang
benar ucapan Yu kang bahwa urusan di antara pengemis adalah urusan dalam, orang luar tidak berhak
mencampuri.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas mengerutkan keningnya. Mereka itu seperti domba-domba digiring ke
pejagalan! Ia tahu benar bahwa biar pun dikeroyok oleh mereka, Pouw Kee Lui masih tetap merupakan lawan
yang terlalu kuat. Mereka itu seakan-akan mengantar nyawa dengan sia-sia, akan mati konyol. Dan ia tahu
bahwa mereka adalah orang baik-baik. Mana mungkin ia mendiamkan Pouw-kai-ong membunuh mereka
begitu saja? Kedua kakinya bergerak dan di lain saat Suling Emas sudah mengikuti rombongan itu dari jauh.
Malam itu terang bulan. Rombongan pengemis yang tadinya hanya dua belas orang itu kini sudah bertambah
lima lagi, yaitu lima orang Bhong-heng-te yang tubuhnya tinggi-tinggi dan dari langkah kaki mereka dapat
diketahui bahwa mereka ini pun bukan orang-orang lemah. Tujuh belas orang pengemis ini berangkat ke luar
kota, menuju ke sebelah utara kota raja. Di kaki gunung yang sunyi, jauh dari kota raja dan jauh dari dusundusun,
mereka berhenti lalu bergerak sembunyi mengurung sebuah pondok kecil yang berdiri sunyi di tempat
itu.
Dua orang di antara kelima Bhong-heng-te melompat ke luar dari tempat persembunyian, lalu menghadapi
pintu pondok dan seorang di antara mereka berseru nyaring, "Pouw Kee Lui, keparat busuk! Kami telah datang
hendak menagih hutangmu kepada keluarga Bhong, hayo keluar!"
Suling Emas yang bersembunyi di balik batu-batu besar tak jauh dari tempat itu mengerutkan kening. Kalau
memang mereka hendak mengeroyok, mengapa tidak langsung saja mendatangi pondok dan menyerbu?
Dengan pengeroyokan tujuh belas orang, agaknya Pouw-kai-ong akan kewalahan juga. Apakah mereka terlalu
memandang rendah kepandaian si Raja Pengemis?
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh dan dari atas gunung kecil melayang turun sesosok bayangan yang
luar biasa gesitnya. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, bayangan itu tertawa bergelak dan berkata, "Haha-
ha, tikus-tikus busuk berani mengantar nyawa?!"
Ucapan ini disusul gerakan yang hebat sekali. Sebelum dua orang she Bong itu mampu menjawab, bayangan
yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong ini, telah menerjang maju dengan gerakan seperti
kilat dan... dua orang saudara Bhong yang sudah berusaha menangkis itu terpental ke belakang dan roboh tak
dapat bergerak lagi!
Pada saat itu muncul tiga orang saudara Bhong yang lain, muncul dari samping kiri, disusul munculnya tiga
orang dari depan dan tiga orang dari kanan. Tampak Liong-lokai ikut pula dari kanan sedangkan Yu Kang
tampak di antara tiga orang dari depan. Enam orang pengemis lain mengambil jalan memutar hendak
menyerbu dari belakang punggung Pouw-kai-ong.
"Ha-ha-ha! Kiranya tikus tua she Liong ikut pula. Bagus!!" Seruan ini disusul suara bersiutan dan Pouw-kai-ong
telah memutar sebatang tongkat yang berubah menjadi segulung sinar hitam.
Ketika Pouw-kai-ong menerjang ke kanan sambil menggerakkan tongkatnya, terdengar seruan kaget dan
kesakitan. Liong-lokai dan dua orang temannya sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Akan tetapi
begitu sinar bergulung-gulung berwarna hitam itu datang, dan mereka menangkis, ternyata tubuh Liong-lokai
berikut toyanya terlempar ke belakang sedangkan dua orang muridnya roboh dan tewas! Baiknya Liong-lokai
tadi dapat menangkis dengan toyanya dan ketika terlempar masih dapat menggulingkan tubuh, kalau tidak
tentu ia menjadi korban pula.
"Ha-ha-ha, tikus-tikus busuk!" Pouw-kai-ong berseru sambil tertawa-tawa dan memutar tongkatnya sambil
membalikkan tubuh karena pada saat itu belasan orang telah maju mengeroyok.
Hanya Yu Kang seoranglah yang merupakan lawan berat dalam pengeroyokan ini. Yang lain-lain hanyalah
lawan lunak bagi Pouw-kai-ong sehingga enak saja ia membabat dengan tongkatnya. Dalam waktu kurang dari
seperempat jam, sepuluh orang anggota pengemis telah roboh terluka berat atau tewas. Kini tinggal Lionglokai,
Yu Kang, dua orang saurdara Bhong, dan tiga orang pengemis lain yang masih bertahan. Namun
mereka terdesak hebat, hanya mampu menangkis saja karena tongkat di tangan Pouw-kai-ong benar-benar
luar biasa sekali!
Suling Emas tidak tega melihat ini. Kalau ia diamkan saja, tentu tujuh orang itu lama-lama akan roboh semua.
Ia mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke depan dan begitu ia menggerakkan sulingnya
menangkis tongkat, Pouw-kai-ong berseru keras dan meloncat mundur sampai empat lima meter jauhnya.
"Siapa kau?!" bentaknya.
Suling Emas tidak mempedulikannya, melainkan menoleh ke belakang dan berkata, "Harap rawat temantemanmu
yang terluka, biar kulayani dia sendiri!" Setelah berkata demikian, Suling Emas menerjang maju,
menyerang dengan sulingnya sambil berkata, "Keparat she Pouw, dosamu sudah bertumpuk!"
Pouw-kai-ong terkejut menyaksikan berkelebatnya sinar kuning emas yang begitu cepatnya, dan lebih kaget
lagi karena tangan kanannya tergetar ketika menangkis dengan tongkat. Hebat lawan ini, pikirnya. Ia merasa
penasara ketika memandang dan mendapat kenyataan bahwa lawannya hanya seorang muda yang takkan
lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Melihat suling emas itu, tiba-tiba ia teringat.
"Setan! Kau murid Kim-mo Taisu...??"
"Orang tua jahat, tak usah banyak cerewet!" Suling emas merasa ngeri menyaksikan muka Raja Pengemis itu
yang menyeringai menyeramkan.
Pouw-kai-ong berusia lima puluh tahun kurang lebih. Pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi amat indah
kembang-kembangnya. Mukanya sudah berkeriput, rambutnya licin ditutup pembungkus kepala dari sutera,
matanya berkilat-kilat seperti mata setan dan gerakan tongkatnya memang luar biasa cepat dan beratnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pertandingan antara dua orang sakti ini hebat luar biasa. Yu Kang sendiri yang sudah banyak menerima
gemblengan orang-orang sakti, berdiri tertegun dan diam-diam harus ia akui bahwa seorang diri, tak mungkin
ia dapat menangkan Raja Pengemis itu. Dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, kalau ia maju membantu
Suling Emas, tentu kakek jahat itu dapat dirobohkan dengan mudah. Akan tetapi ia tahu dan mengenal watak
Suling Emas yang tentu tidak mau dibantu. Maka ia hanya menonton penuh kekaguman, sedangkan Lionglokai
dan anak muridnya merawat mereka yang terluka dan tewas.
Suling Emas sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang
hebat. Gerakannya selain cepat, juga mengandung tenaga mukjijat sehingga sulingnya mengeluarkan suara
melengking seperti ditiup orang. Namun, kelebihannya dalam ilmu silat sakti ini diimbangi oleh kelebihan
Pouw-kai-ong dalam pengalaman dan kematangan. Suling Emas belum lama menguasai ilmunya, sedangkan
Pouw-kai-ong sudah matang, sudah digembleng dalam pertandingan-pertandingan berat. Maka hebatlah
pertandingan ini yang sekaligus merupakan ujian berat bagi Suling Emas. Tubuh kedua orang sakti itu sudah
tak dapat dilihat lagi, lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka! Biar pun pertandingan itu mengerikan
dan merupakan pertandingan mati-matian, namun kelihatannya amat indah di malam bulan purnama itu!
Perawatan terhadap mereka yang terluka sudah selesai dan kini Liong-lokai dan Yu Kang berdiri dengan mata
terbelalak kagum. "Bukan main... sungguh hebat...!" Bisik kakek jembel itu penuh keheranan dan kekaguman.
"Suling Emas benar," kata Yu Kang. "Kepandaian iblis itu benar-benar hebat sekali. Pantas saja ayah
sekeluarga terbasmi habis...!"
"Mengapa kita tidak menyerbu sekarang? Kesempatan baik terbuka..."
"Tidak, Liong-lokai. Tidak boleh kita menggunakan keadaan ini mencari kemenangan. Hal itu akan merupakan
penghinaan bagi Suling Emas. Dia berwatak aneh, akan tetapi patut dihormati. Mari kita kurung si Iblis agar dia
jangan sampai dapat melarikan diri!"
Tujuh orang sisa rombongan pengemis itu segera mengurung, siap dengan senjata masing-masing. Yu Kang
bersenjatakan sebatang pedang, Liong-lokai bersenjatakan toya kuningan, tiga orang muridnya juga
bersenjatakan toya, sedangkan dua orang saudara Bhong yang kehilangan tiga saudaranya itu bersenjatakan
golok.
Suling Emas masih kurang matang latihannya untuk mengalahkan Pouw-kai-ong dengan ilmu silatnya. Akan
tetapi berkat tenaga sinkang yang hebat di dalam tubuhnya, ia berhasil mendesak lawannya itu yang mulai
terengah-engah dan bermandi peluh.
"Bocah setan, mampuslah!" Saking marahnya, Pouw-kai-ong lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam
dengan tongkatnya ke arah kepala Suling Emas dengan gerakan memutar. Sebuah serangan yang luar biasa
hebatnya, merupakan jurus maut tanpa memperhatikan pertahanan diri lagi. Agaknya Pouw-kai-ong sudah
nekat, apalagi melihat betapa sisa rombongan pengemis tadi sudah mengurungnya.
Suling Emas mengangkat sulingnya menangkis.
"Plakk...!!" sepasang senjata ampuh bertemu dan... tubuh Pouw-kai-ong terhuyung ke belakang, tongkatnya
patah-patah! Suling Emas juga tidak mengejar, hanya berdiri sambil meramkan kedua mata mengumpulkan
tenaga. Pertemuan tenaga lewat senjata tadi benar-benar hebat, membuat dadanya sesak dan agak sakit.
Mendadak terdengar suara hiruk-pikuk dan ketika Suling Emas membuka matanya, ia melihat tujuh orang itu
sudah menyerbu sambil berteriak-teriak. Suling Emas menarik napas panjang dan melompat mundur,
menonton dari tempat persembunyiannya yang tadi. Setelah ia tidak bertanding dengan Raja Pengemis itu,
tentu saja ia tidak dapat menghalangi mereka mengeroyok Pouw-kai-ong. Agaknya rombongan pengemis yang
dipimpin Yu Kang dan Liong-lokai itu segera menyerang ketika melihat Pouw-kai-ong terhuyung mundur dan
tongkatnya sudah patah-patah.
Namun Si Raja pengemis adalah seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Memang kini
senjatanya sudah rusak dan dadanya terasa sesak sekali, akan tetapi menghadapi pengeroyokan tujuh orang
dunia-kangouw.blogspot.com
itu ia sama sekali tidak gentar. Bahkan di antara hujan senjata itu ia bergerak sambil memekik, kedua kaki
tangannya bergerak dan... kembali dua orang murid Liong-lokai roboh terguling!
Pada saat itu terdengar sorak-sorai gemuruh dan bermunculanlah puluhan, bahkan ratusan orang pengemis
yang serta merta mengeroyok Pouw-kai-ong! Mereka ini adalah rombongan-rombongan pengemis yang tadi
sudah diberi kabar melalui teman-teman oleh Liong-lokai sehingga dari pelbagai penjuru datanglah mereka
yang ingin sekali melihat si Raja Pengemis yang dibenci menemui kematiannya.
Pouw-kai-ong terkejut sekali. Matanya jelalatan hendak mencari jalan ke luar, namun ia sudah terkurung rapat.
Biar pun ia lihai, namun menghadapi ratusan orang pengemis yang mengurungnya rapat dengan senjata di
tangan, benar-benar merupakan ancaman maut yang mengerikan. Ia mengamuk dan lagi-lagi ia merobohkan
beberapa orang. Bahkan Yu Kang yang maju paling dekat, telah kena pukulan tangannya sehingga tulang
pundak kiri Yu Kang patah! Juga Liong-lokai kena hantaman lambungnya, membuat kakek ini terlempar dan
roboh tak bernyawa lagi di saat itu juga. Masih banyak lagi korbannya, ada belasan orang.
Namun ia sendiri mulai terkena pukulan, dari kanan kiri, dari depan belakang. Pouw-kai-ong terhuyung-huyung,
mandi darah tapi masih terus mengamuk. Bacokan-bacokan dan hantaman-hantaman ruyung datang bagaikan
hujan, bajunya sudah compang-camping, tubuhnya penuh darah. Akhirnya ia roboh! Masih saja mereka
menghujani senjata.
"Berhenti...!!" tiba-tiba Suling Emas melayang dan tiba di dekat Pouw-kai-ong. Sekali sulingnya bergerak,
tampak sinar kuning emas dan semua senjata yang ditujukan kepada tubuh yang mandi darah itu terpental.
"Wah, ini konconya! Keroyok...!!" teriak seorang pengemis.
"Jangan! Mundur semua!!" Yu Kang berseru sambil menggunakan tangan kanannya yang tidak terluka untuk
mendorong minggir beberapa orang pengemis yang menghalang jalan. "Dia bukan konco iblis Pouw, bahkan
dialah yang memungkinkan kita merobohkan iblis itu!"
Suara Yu Kang nyaring dan penuh wibawa. Apalagi ketika para pimpinan pengemis mengenal bahwa
pengemis kosen ini adalah putera mendiang Yu Jin Tianglo seperti yang diperkenalkan oleh Liong-lokai.
Mereka lalu mundur.
Yu Kang mendekati Suling Emas dan bertanya, suaranya nyaring. "Suling Emas! Apa maksudmu menghalangi
kami membunuh iblis ini?"
Suling Emas menggeleng kepala, memandang kepada tubuh yang mandi darah di depannya. Muka itu hancur,
bahkan sebuah dari pada matanya remuk! Bibirnya robek hidungnya bengkok. Muka yang mengerikan! Andai
kata dapat hidup terus tentu menjadi seorang yang cacad mukanya.
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak suka akan pengeroyokan. Biar pun dia roboh oleh kalian, akan tetapi
lebih dulu aku telah membikin dia tidak berdaya dengan merusak tongkatnya. Kalau ia masih bersenjata,
apakah kalian kira akan dapat dengan mudah merobohkannya? Tentu dia akan dapat melarikan diri. Karena itu
aku merasa seakan-akan ikut mengeroyoknya! Dia sudah mendapat hajaran keras, lebih mati dari pada hidup.
Lihat mukanya! Lihat mukanya! Lihat badannya! Urusannya dengan kalian adalah urusan pribadi, aku tidak
mau terseret dalam pengeroyokan dan pembunuhan begini curang."
Sejenak Suling Emas beradu pandang dengan Yu Kang. Kemudian Yu Kang menunduk dan melihat keadaan
Pouw-kai-ong. Ia agaknya merasa puas, berdongak ke udara, mulutnya berkemak-kemik seperti membaca
doa. Kemudian ia meloncat ke atas batu besar tak jauh dari situ. Tangan kirinya sengkleh, tergantung lepas
karena tulang pundak kirinya patah. Akan tetapi sikapnya gagah dan suaranya nyaring.
"Kawan-kawan! Dengarkan aku bicara. Aku adalah Yu Kang, putera mendiang Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim
Kai-pang. Bicara tentang dendam kepada si Jahat Pouw, agaknya di antara kita akulah yang paling parah.
Akan tetapi aku puas melihat dia kini dirobohkan, dan... harus kita akui bahwa tanpa bantuan Pendekar Suling
Emas belum tentu kita akan berhasil. Oleh karena itu, biarlah kita jangan membunuhnya sesuai dengan
permintaan Pendekar Suling Emas. Tanpa kita turun tangan lagi, kurasa dia pun akan mampus! Bergembira
dunia-kangouw.blogspot.com
dan bersoraklah bahwa mulai detik ini kita terbebas dari pada cengkeraman seorang jahat seperti Pouw-kaiong!"
Ratusan orang pengemis baju kotor itu bersorak gegap-gempita. Ada pula yang berseru, "Hancurkan pengemis
baju bersih!"
"Angkat Saudara Yu Kang menjadi ketua seluruh kai-pang!"
"Mari saudara-saudara, kita iringkan Saudara Yu Kang mengumpulkan semua pengemis baju kotor untuk
membasmi pengemis baju bersih!"
Sorak-sorai makin menjadi-jadi dan ratusan pasang tangan diulur ke depan sehingga Yu Kang tak kuasa lagi
mencegah para pengemis itu mendukungnya dan mengaraknya pergi dari situ sambil bersorak-sorak! Hanya
beberapa orang pengemis tua yang tinggal untuk mengurus penguburan para korban dan merawat mereka
yang terluka.
Suling Emas berdiri memandang semua ini dengan hati terharu. Ia kagum akan kegagahan Yu Kang yang biar
pun kasar dan jujur, namun memiliki jiwa pendekar. Ia terharu menyaksikan jembel-jembel itu bersatu padu
untuk membasmi penindas dan memperbaiki nasib, menggantungkan harapan mereka kepada Yu Kang, satusatunya
pengemis yang boleh diharapkan akan dapat memimpin mereka, melepaskan diri dari pada
penindasan orang-orang jahat.
Setelah semua mayat dikubur dan para pengemis tua pergi membawa teman-teman yang terluka sehingga di
situ sunyi sepi, Suling Emas kembali memandang tubuh Pouw Kee Lui yang masih menggeletak mandi darah.
Suling Emas menarik napas panjang, lalu menyambar tubuh itu, membawanya ke dalam pondok. Ia
merebahkan tubuh yang masih pingsan itu ke atas pembaringan, kemudian pergilah ia dari tempat itu.
Belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang dan cepat ia menyelinap lalu mengintai. Kiranya beberapa
orang wanita cantik dan beberapa orang laki-laki, semua berpakaian seperti pelayan-pelayan, berindap-indap
memasuki pondok dari belakang. Ia kembali menghela napas. Kiranya orang she Pouw itu menjadikan pondok
itu sebagai tempat istirahat dan bersenang-senang, ditemani beberapa orang wanita cantik dan mempunyai
pelayan-pelayan secukupnya. Biarlah, biar mereka itu merawatnya. Suling Emas tidak jadi mencari daun obat
di dalam hutan, menyerahkan nasib bekas Raja Pengemis itu kepada para selir dan pelayannya. Ia hanya
mengharap mudah-mudahan pelajaran pahit itu tadi akan membuat Pouw-kai-ong menjadi bertobat.
Suling Emas melanjutkan perjalanannya, kembali menuju ke kota raja. Ia merasa girang mendengar
percakapan rakyat yang merasa puas dengan adanya raja baru yang adil dan tidak suka menjalankan
kekerasan terhadap rakyatnya. Ia tidak melihat perubahan apa-apa ketika pada keesokan harinya memasuki
pintu gerbang kota raja, sehingga ia makin gembira. Saat pertama kali ia masuk kota raja ketika ia menyusul
suhu-nya, ia tidak mendapat kesempatan untuk melihat-lihat kota raja. Kini ia menggunakan kesempatan untuk
keliling kota sehingga bertambah kegembiraannya menyaksikan keadaan yang makmur dan ramai.
Akan tetapi kegembiraan ini musnah seketika setelah ia mendengar berita tentang keluarga Suma. Ia
mendengar berita bahwa Pangeran Suma Kong sudah pindah ke An-sui, kota kecil yang letaknya cukup jauh
dari kota raja, sekitar empat atau lima hari perjalanan cepat. Kegembiraan ini bahkan berubah menjadi
kedukaan ketika ia mendengar berita lain yang menusuk perasaannya. Berita bahwa Suma Ceng telah
menikah dengan seorang pangeran she Kiang yang menghancurkan hatinya. Bahkan ia mendengar bahwa
Suma Ceng, bekas kekasihnya, kini hidup di lingkungan istana raja, bersama suaminya dan dua orang
anaknya! Suma Ceng sudah menjadi isteri seorang pangeran dan malah sudah menjadi ibu dari dua orang
anak!
Hancur hatinya, perih seperti tertusuk seribu batang jarum. Setelah mendapatkan keterangan ini, Suling Emas
meninggalkan kota raja, berjalan di tengah malam buta sambil meramkan mata, menahan air mata yang
hendak jatuh berderai. Akhirnya ia berhenti di jalan yang sunyi, duduk di pinggir jalan, menyembunyikan
mukanya di antara kedua lutut, jari-jari tangan mencengkeram rambutnya. Habislah sudah harapannya.
Padamlah semua cahaya hidupnya. Apa lagi yang boleh dipandang? Kekasih pertama direnggut maut.
Kekasih berikutnya direnggut laki-laki lain! Ayah kandung menikah lagi. Ibu kandung tak tentu rimbanya,
dunia-kangouw.blogspot.com
mungkin sudah mati karena tidak pernah lagi ia mendengar beritanya. Siapa lagi yang dapat dijadikan teman
dalam hidupnya?
Kakeknya! Ya benar. Kakeknya masih ada. Kakeknya bukanlah sembarang orang. Kakeknya adalah Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, ketua Beng-kauw, bahkan menduduki tempat tinggi di Kerajaan Nan-cao! Mengapa ia tidak
pergi ke negara kakeknya? Siapa tahu kalau-kalau ibunya juga pulang ke sana? Selain menghubungi keluarga
terdekat yang masih ada, juga ia maklum bahwa di sana ia akan dapat banyak belajar untuk memperdalam
ilmunya. Gurunya sendiri seringkali bicara tentang Pat-jiu Sin-ong dengan penuh kagum.
Setelah duduk termenung dalam keadaan duka cita seperti itu sampai sinar matahari memerah menjelang
fajar, Suling Emas mengangkat mukanya. Orang lain akan kaget kalau menyaksikan perubahan wajah
pendekar ini. Tampak tua dan tidak ada lagi sinar pada mukanya. Hanya kemuraman yang tampak. Pandang
matanya sayu.
Tiba-tiba ia meloncat bangun dan cepat menyelinap, bersembunyi di balik sebatang pohon besar di pinggir
jalan. Biar pun keadaan hati Suling Emas sedang mengalami kehancuran dan dirinya tenggelam dalam duka
nestapa, namun naluri kependekarannya tak pernah menjadi tumpul. Panca inderanya peka sekali dan
gerakan tiga sosok bayangan yang berlari-lari ke luar dari kota raja menimbulkan kecurigaannya sehingga ia
cepat-cepat bersembunyi untuk mengintai.
Tiga orang yang berlari amat cepat itu tidak berlari lagi, kini tampak berjalan sambil bercakap-cakap. Suling
Emas cepat menyelinap dan mendekati mereka untuk mendengarkan. Setelah dekat, dari balik pohon ia
melihat seorang nenek dan dua orang kakek. Nenek itu berwajah galak penuh keriput, memondong sebuah
bungkusan kain kuning dari sutera halus. Kakek pertama sudah tua, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan
nampak kuat, tubuh atasnya tidak berbaju. Serasa ia mengenal tiga orang tua ini, akan tetapi di mana ia
pernah bertemu? Akan tetapi begitu mereka bertiga bercakap-cakap segera ia ingat.
"A-liong, kau yang paling kuat dan dapat menempuh perjalanan jauh, kau sajalah yang mengantarkan
pangeran cilik ini kepada Ong-ya. Biar aku dan A-kwi menyambut para pengejar sehingga kau dapat pergi jauh
takkan terkejar lagi," kata si Nenek Tua.
"Betul ucapan Sam Hwa," kata kakek pertama yang bertongkat. "Langkahmu lebih lebar dari pada kami
berdua, dan aku pun malas kalau harus berlari-lari dikejar-kejar seperti maling."
"Ihh..., aksinya! Memang kita bertiga maling, siapa tidak tahu?" bentak nenek itu sambil menyerahkan
bungkusan sutera kuning kepada kakek tinggi besar yang disebut A-liong. Kakek A-liong agaknya tidak senang
dengan tugas ini, akan tetapi karena ‘kalah suara’ ia menerima juga bungkusan itu. Begitu bungkusan itu
dipondongnya, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil yang nyaring sekali.
"Eh-eh, kau apakan dia? Sejak tadi diam saja, begitu kau sentuh lalu menangis!" kata si Nenek Tua mengomel.
"Wah, celaka. Kalau menangis seperti itu tentu kau akan menjadi tontonan di sepanjang jalan," kata A-kwi.
"Bagaimana kau akan menjawab pertanyaan orang-orang di jalan? Bahwa anak ini anak selirmu? Ataukah
cucumu yang kematian ayah bundanya?"
Namun A-liong sudah menggigil ngeri, agaknya semua bulu di badannya berdiri semua ketika ia merasa
betapa anak kecil meronta-ronta dan menjerit-jerit keras. Cepat ia mengulurkan tangan ke depan, memberikan
bungkusan itu kembali kepada Sam Hwa sambil berkata, "Tidak baik..., tidak baik...! Dalam pondongan tangan
halus dia diam saja. Tanganku kasar, tidak sehalus tanganmu, Sam Hwa."
"Cihh! Omongan tua bangka tak bermalu!" kata Sam Hwa dengan muka agak merah sambil menerima kembali
bungkusan sutera kuning yang ternyata berisi seorang anak kecil itu.
"Ha-ha-ha! Bukan karena tanganmu kasar, A-liong, melainkan bau keringatmu yang terlalu keras sehingga
anak itu tidak tahan!" A-kwi menggoda.
Suling Emas mengenal tiga orang ini sebagai pelayan-pelayan Kong Lo Sengjin! Setelah ia mendengar
percakapan mereka, ia menjadi kaget sekali. Sam Hwa si nenek tua tadi menyebut ‘pangeran cilik’ yang harus
dunia-kangouw.blogspot.com
diantarkan kepada Ong-ya! Keonaran apalagi yang akan dilakukan Kong Lo Sengjin dan anak buahnya?
Mereka itu bicara tentang pengejaran. Tak salah lagi, tentulah mereka bertiga menculik pangeran kecil itu dari
dalam istana raja atas perintah Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh. Teringat akan percakapan rakyat yang
memuji-muji kaisar baru dari Kerajaan Sung, Suling Emas segera mengambil keputusan untuk menolong anak
kecil itu.
Dengan gerakan ringan sekali Suling Emas melompat dan melayang ke luar dari tempat sembunyinya, tangan
kirinya langsung menerjang dengan serangan maut ke arah kepala Sam Hwa. Serangan ini sengaja ia lakukan
dengan pengerahan tenaga sehingga terdengar suara angin bersiut menyambar.
Sam Hwa terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat pandai, maklum ia bahwa bayangan yang menyambar dan
menyerangnya ini melakukan serangan maut yang berbahaya. Maka cepat ia membuang diri ke belakang
sambil mengangkat tangan kanan melindungi kepala. Akan tetapi pada saat itu, bocah yang dipondongnya
telah diserobot penyerang itu yang menggunakan tangan kanan menotok pundaknya lalu merampas
bungkusan sutera kuning. Tak dapat Sam Hwa mencegah perampasan ini karena totokan pada pundak itu
melumpuhkan lengan kirinya yang memondong. Di lain saat, Suling Emas sudah melompat ke belakang,
bocah dalam selimut kuning itu dalam pondongannya. Bocah itu menangis lagi, lebih nyaring dari pada tadi!
"Kembalikan anakku...!" Sam Hwa memekik marah. Setelah melihat bahwa yang merampas bocah itu bukan
seorang pengawal istana, melainkan seorang bocah laki-laki muda berpakaian seperti sastrawan, Sam Hwa
tidak ragu-ragu untuk mengakui pangeran cilik itu sebagai anaknya!
A-liong dan A-kwi juga melangkah maju dengan sikap mengancam. "Kurang ajar, berani sekali kau merampok
anak orang di tengah jalan?"
Suling Emas tersenyum mengejek. "Bibi Sam Hwa, kau yang sudah nenek-nenek mana mungkin mempunyai
anak yang masih begini kecil? Paman A-liong dan Paman A-kwi, sesungguhnya siapa yang merampok anak
orang? Kalian bertiga ataukah aku? Aku tidak merampok Pangeran Kecil ini, melainkan hendak
mengembalikannya di tempat yang semestinya, yaitu di dalam istana."
Tentu saja tiga orang tua itu kaget sekali. Tiga buah nama tadi adalah nama kecil mereka, yang hanya mereka
ketahui, tak pernah diperkenalkan ke luar. Bagaimana orang muda ini bisa mengenal mereka? Biar pun
mereka bertiga itu kini bekerja sebagai pelayan, namun sesungguhnya mereka bukan orang biasa. A-liong dan
A-kwi adalah bekas perwira-perwira tinggi di bawah Kong Lo Sengjin, sedangkan Sam Hwa juga seorang ahli
silat tinggi, janda seorang panglima seangkatan dengan dua orang temannya itu. Mereka ini tetap setia kepada
Kong Lo Sengjin.
Karena maklum bahwa orang muda itu sudah mengetahui rahasia mereka, maka Sam Hwa yang lebih pandai
bicara segera bertanya, "Orang muda, siapakah kau yang berani mencampuri urusan pribadi kami? Andai kata
benar kami menculik seorang Pangeran Kecil, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"
"Bibi Sam Hwa dan kedua Paman A-liong dan A-kwi. kukira tidak perlu lagi berpura-pura. Kalian bertiga sudah
pernah bertemu denganku, hanya agaknya kalian sudah lupa lagi. Akan tetapi aku tahu bahwa kalian adalah
anak buah Kong Lo Sengjin, dan bahwa anak itu adalah seorang pangeran yang kalian culik dari istana atas
perintah Kong Lo Sengjin. Secara pribadi memang urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, akan
tetapi setelah mempelajari ilmu, apa gunanya kalau tidak untuk menumpas perbuatan buruk? Aku tidak ingin
bermusuh dengan kalian yang pernah bersikap baik kepadaku, akan tetapi aku pun tidak bisa membiarkan
kalian menculik anak orang semaunya. Apalagi untuk dibawa ke depan Kong Lo Sengjin yang kejam. Aku
harus mengembalikan anak ini kepada orang tuanya."
Sejenak tiga orang tua itu tertegun, terbelalak dan tidak dapat bicara saking kaget dan herannya. Akhirnya
Sam Hwa bertanya, suaranya agak gemetar, "Siapakah kau? Pengawal istana? Siapa?"
Suling Emas menggeleng kepala dan tersenyum. "Kalian sudah terlalu tua sehingga pikun. Mengapa masih
mau saja diperalat Kong Lo Sengjin untuk melakukan hal-hal yang tidak baik? Seyogianya orang-orang setua
kalian ini menenteramkan pikiran membersihkan hati menanti kematian."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Eh, bocah gila! Lancang mulutmu!" bentak A-liong sambil melangkah maju. "Tak peduli ia pengawal atau
bukan, anak itu hars kita rampas kembali. Serbu!" bentak pula A-kwi sambil menggerakkan tongkatnya.
Karena merasa bahwa rahasia mereka telah terbuka dan jelas bahwa orang muda itu tidak mau
mengembalikan pangeran kecil yang mereka culik, tiga orang ini serentak menyerang Suling Emas dengan
gerakan yang dahsyat. Sambil menyerang mereka berusaha merampas anak kecil dalam pondongan Suling
Emas yang masih terus menangis keras. Kalau A-kwi mempergunakan senjata tongkat, A-liong dan Sam Hwa
masing-masing menggerakkan sebatang pedang tipis. Serangan mereka cepat dan mengandung tenaga yang
hebat.
Namun tiba-tiba mereka terkejut dan menjadi silau pandang matanya oleh sinar kuning emas yang bergulunggulung
dan melingkar-lingkar. Dalam saat berikutnya serbuan tongkat dan dua batang pedang sudah terlempar
jauh dan ketiga orang anak buah Kong Lo Sengjin itu terpekik kesakitan, melompat mundur dan memegangi
tangan kanan yang terasa kaku nyeri dengan tangan kiri. Terbalalak kagum mereka berdiri memandang Suling
Emas yang kini berdiri dengan tangan kiri memondong anak kecil, tangan kanan memegang sebatang suling
yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.
"Suling Emas...!!" Hampir berbareng mereka berseru ketika melihat suling itu. Sebagai pembantu-pembantu
kepercayaan Kong Lo Sengjin, tentu saja mereka mengenal benda ini yang selalu berada bersama sastrawan
Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to, biar pun mereka jarang datang ke pulau itu.
Suling Emas menjura sambil tersenyum. "Memang itulah namaku, dan mengingat akan kebaikan mendiang
Adik Kwee Eng dan mendiang ibunya, biarlah kuhabiskan sampai di sini saja kesalah fahaman ini. Selamat
tinggal!!" Setelah berkata demikian, Suling Emas berkelebat cepat, lari ke jurusan kota raja.
Tiga orang tua itu bengong terlongong. Barulah kini mereka teringat bahwa orang muda yang sakti itu bukan
lain adalah anak laki-laki yang pernah minta pekerjaan kepada mereka sekedar untuk makan. Anak laki-laki
yang kemudian menjadi murid Kim-mo Taisu yang kabarnya mampu mengimbangi kesaktian Kong Lo Sengjin
sendiri. Akan tetapi muridnya pendekar besar itu kini telah memiliki kepandaian yang luar biasa. Benar-benar
tak pernah mereka menyangkanya. Karena maklum bahwa mereka bukanlah tandingan orang muda itu,
mereka menganggap bahwa tugas mereka telah gagal dan kembalilah mereka ke Pek-coa-to.
Hati Suling Emas merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu tidak dapat mengejarnya.
Akan tetapi ia risau melihat anak kecil yang terus menangis dalam pondongannya.
"Sssstttt, diam...! Diamlah, anak manis...!" Ia membuka selimut kuning itu sehingga terbuka dan tampak muka
anak yang amat molek dan manis, yang kini mukanya merah karena banyak menangis. Mata yang bening itu
memandang penuh selidik ke arah wajah Suling Emas.
"Nah, begitu anak baik, anak manis! Jangan menangis, ya? Kubawa engkau kembali kepada ayah
bundamu...!" Suling Emas menarik muka manis dan ucapannya halus. Anak itu mengedip-ngedip, terheran,
akan tetapi tidak menangis lagi. Anak berusia kurang lebih dua tahun itu agaknya dapat merasa bahwa ia
berada dalam tangan yang aman.
Belum juga sampai di pintu gerbang kota raja, serombongan penunggang kuda terdiri dari tujuh orang,
berpakaian bagai pengawal-pengawal istana, membalapkan kuda keluar dari pintu gerbang. Ketika bersimpang
jalan dengan Suling Emas, rombongan ini segera menahan kuda, lalu melompat turun dan berteriak kepada
Suling Emas, "Hee, berhenti dulu!"
Suling Emas berhenti, maklum bahwa pengawal-pengawal itu tentulah pasukan dari kota raja yang bertugas
mengejar penculik pangeran. Ia bersikap tenang saja dan memondong anak itu di tangan kirinya, lalu
membalikkan tubuh menghadapi mereka. "Kalian mau apa menahan orang berjalan?" tanyanya tenang.
Tujuh orang pengawal itu memandang ke arah anak kecil dalam pondongannya dan serentak mereka berseru
girang. "Itu dia...! Itu dia Sang Pangeran...! Lihat pakaiannya, selimutnya....!"
Pemimpin rombongan yang berkumis lebat segera melangkah maju, mukanya membayangkan kemarahan,
keningnya berkerut-kerut, lalu membentak, "Heh, orang muda! Engkau benar-benar berani mati menculik
dunia-kangouw.blogspot.com
putera Sri Baginda! Tak tahukah kau bahwa saat ini ratusan orang pengawal dan pasukan keamanan
berpencar di seluruh tempat untuk mencarimu? Hayo kau lekas...."
"Ssstttt....!!" Suling Emas menggerakkan bibirnya meruncing sambil menimang-nimang anak yang mulai
menangis lagi itu. "Ah, dasar engkau manusia kasar! Lihat, kalian membuat dia menangis lagi! Tidak tahukah
kalian bahwa dia tidak suka akan suara berisik? Bersikaplah tenang agar jangan membuat dia takut!!"
Seketika berubah sikap komandan pasukan kecil itu. Ia memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya
agar tidak membuat gaduh dan dia sendiri pun melakukan perintah dengan suara bisik-bisik! Hal ini terjadi
karena mereka ingat bahwa anak dalam gendongan orang muda itu adalah seorang pangeran, putera Sri
Baginda sendiri! Kalau anak itu menangis karena mereka dan hal itu terdengar oleh Sri Baginda, tentu mereka
celaka! Lucu sekali gerak gerik mereka itu. Lebih-lebih ketika mereka melihat anak itu terus menangis keras,
mereka menjadi bingung.
Suling Emas sendiri yang menimang-nimang dan menghibur-hibur, sampai penuh keringat mukanya. Bingung
ia menghadapi seorang anak kecil yang rewel ini. Akhirnya, saking bingungnya, ia mengambil sulingnya dan
meniup suling itu dengan tangan kanan. Seketika anak itu berhenti menangis. Dengan mata bening dan pipi
basah air mata, anak itu memandang Suling Emas. Ketika Suling Emas meniup sulingnya dengan nada naik
turun, anak itu tertawa! Suling Emas gembira dan tujuh orang pengawal juga ikut tertawa!
"Kalian jangan banyak ribut. Aku justru hendak membawa pulang anak ini ke kota raja. Bukan aku penculiknya,
melainkan tiga orang jahat. Aku berhasil merampas anak ini dari tangan mereka. Awas, jangan banyak ribut,
kalau kalian ribut-ribut lagi dan anak ini menangis, jangan tanya soal dosa lagi!"
Suling Emas dengan gerakan sembarang memukulkan sulingnya pada sebatang pohon sebesar paha orang
dan... pohon itu tumbang! Pucatlah wajah tujuh orang itu. Mereka mengangguk-angguk dan ketika Suling
Emas melanjutkan perjalanannya ke arah kota raja, tujuh orang itu mengikuti dari belakang sambil menuntun
kuda. Melihat betapa orang muda itu membawa Sang Pangeran benar-benar menuju ke kota raja, hati mereka
merasa lega.
Suling emas terpaksa berjalan sambil meniup sulingnya karena anak itu menangis saja kalau tidak ditiupkan
suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika
rombongan pengawal kedua yang terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan
turun dari kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan... rombongan kedua ini
pun segera mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda masing-masing. Makin lama, makin banyaklah
terdapat pasukan berkuda dan berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu
gerbang kota raja, penduduk besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke istana! Suling Emas yang
berjalan di depan, enak-enak dan tenang-tenang saja memondong Sang Pangeran sambil membunyikan
suling.
Tentu saja ia diterima oleh Kaisar sendiri dengan pengawalan ketat. Orang masih belum tahu macam apa
orang muda yang membawa pulang Sang Pangeran yang hilang, maka penjagaan diperkuat dan keselamatan
Kaisar dilindungi oleh para panglima. Namun Suling Emas bukanlah merupakan pribadi yang menimbulkan
kecurigaan atau kekhawatiran. Ia hanya seorang muda dua puluhan tahun usianya, berwajah tampan bersikap
tenang dengan mata sayu dan muka muram.
Sebagai seorang terpelajar, Suling Emas tahu akan kesopanan. Di depan Kaisar dia menjatuhkan diri berlutut,
kemudian tanpa mengangkat muka dia menuturkan pertemuannya dengan tiga orang tua yang membawa
Sang Pangeran, kemudian ia menceritakan betapa ia berhasil merampas kembali Sang Pangeran dan
membawanya langsung ke istana. Setelah berkata demikian, ia mengulurkan kedua tangan yang memondong
anak kecil itu. Kaisar memberi isyarat kepada seorang dayang yang segera menerima anak itu dari tangan
Suling Emas.
Akan tetapi anak kecil itu menjerit dan menangis, tidak mau terlepas dari tangan Suling Emas! Timbul sedikit
kegaduhan dan Kaisar sendiri sampai tertawa saking gembiranya melihat puteranya pulang dengan selamat.
Akhirnya permaisuri sendiri, ibu anak itu yang ikut hadir menjemput puteranya, yang maju dan barulah anak itu
mau dipondong ibunya. Akan tetapi mulutnya masih mewek-mewek dan telunjuknya masih menuding-nuding
ke arah Suling Emas.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha!" Sri Baginda tertawa bergelak setelah permaisuri membawa puteranya masuk, diikuti para dayang
cantik-cantik yang melempar kerling dan senyum manis kepada Suling Emas yang tampan dan yang dianggap
seorang gagah yang berjasa besar.
"Kau seorang pemuda yang luar biasa! Kami sudah mendengar betapa engkau membawa kembali putera kami
sambil bermain suling, diikuti ratusan orang pengawal dan penduduk. Kemudian putera kami juga sukar mau
melepaskan engkau. Sungguh menggembirakan. Eh, orang muda yang gagah perkasa, engkau siapakah?"
Suling Emas berlutut memberi hormat lalu menjawab, "Mohon beribu ampun, Tuanku Kaisar. Hamba sendiri
sudah lupa akan nama hamba, akan tetapi karena hamba memiliki benda ini dan suka sekali meniupnya, maka
hamba disebut orang dengan nama Suling Emas. Hamba tidak mempergunakan nama lain."
Suasana hening ketika semua panglima dan pembesar bersama Kaisar mendengarkan jawaban orang muda
itu. Tempat itu segera penuh dengan suara berbisik-bisik karena semua orang merasa heran mendengar
jawaban sepeti ini. Namun, Kaisar pertama dari Kerajaan Sung adalah bekas seorang panglima besar,
seorang yang sudah banyak bertemu dengan petualang-petualang dan pengelana-pengelana di dunia kangouw
yang aneh. Kaisar tidak menjadi heran, lalu berkata penuh wibawa, "Suling Emas, angkatlah mukamu dan
dan biarkan kami melihat wajahmu!"
Suling Emas tidak berani membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar menatap
wajah yang tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda, "Semuda ini sudah mengalami hal
sehingga benci akan kenangan-kenangan lalu dan membuang nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah
agar enak kami bicara."
Dengan gerakan amat hormat Suling Emas bangkit berdiri.
Kembali Kaisar memandang tajam dan mengagumi bentuk tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa suka kepada
orang muda ini dan ia berkata, "Suling Emas, kami telah berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil
menyelamatkan putera kami, jasamu besar sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"
"Ampun, Tuanku. Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba tidak
mengharapkan hadiah apa-apa."
Makin suka hati Kaisar mendengarkan jawaban ini. Ia tertawa, "Kau seorang muda yang gagah perkasa dan
berhati bersih. Kami percaya bahwa engkau tidak mengharapkan hadiah, Suling Emas. Akan tetapi saking
gembira dan berterima kasih hati kami, kami ingin memberikan hadiah yang patut bagimu. Bagaimanakah
kalau engkau kami angkat menjadi kepala pengawal dalam istana? Kami sekeluarga akan merasa tenteram
dan aman apabila engkau menjadi kepala pengawal di sini."
"Mohon Paduka sudi memberi ampun. Hamba seorang perantau yang lebih senang hidup bebas di alam
terbuka, tidak berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."
Kaisar diam sejenak, berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi, "Memang manusia segolonganmu amat aneh.
Pernah kami bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh wataknya." Kaisar tidak tahu betapa di
dalam hatinya, Suling Emas berdebar-debar mendengar nama mendiang suhu-nya disebut-sebut. "Maka kami
serahkan kepadamu sendiri Suling Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah apa yang dapat kami lakukan
untukmu sekedar untuk membuktikan bahwa kami amat berterima kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak,
hati kami akan merasa tidak enak dan tidak senang."
Suling Emas sudah banyak mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang Kaisar pun
hanya seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia umum. Tentu ingin membalas rasa
syukur dan hutang budi, baru lega hatinya.
"Baiklah, Tuanku Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila Paduka sudi
mengijinkan hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama sekali di perpustakaan istana.
Hamba... adalah seorang kutu buku, dan... hamba mendengar betapa perpustakaan istana amatlah lengkap.
Hamba ingin membaca kitab sebanyak-banyaknya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha!" Kaisar tertawa bergelak, dan semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak hanya karena
latah, melainkan juga karena memang geli mendengar orang muda itu memilih hadiah seperti itu. "Boleh!
Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada semua petugas dalam istana dan kepada penjaga perpustakaan,
mulai saat ini Suling Emas boleh masuk keluar dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha! Selain itu,
Suling Emas. Apa lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi. Pilihlah!"
Suling Emas merasa bingung. Tadinya ia terpaksa minta ijin itu karena tidak mau mengecewakan hati Kaisar
dan memang ia paling suka membaca kitab. Akan tetapi kini harus memilih satu lagi! Apakah yang menarik
hatinya dan ingin ia dapatkan dari dalam istana ini? Ia tidak menginginkan apa-apa. Tiba-tiba ia teringat
kepada Suma Ceng! Suma Ceng sudah menjadi istri seorang pangeran dan tinggal di lingkungan istana pula!
kalau saja Suma Ceng masih gadis , belum menjadi istri orang lain, sudah dapat ia pastikan ia akan ‘berani
mati’ minta dijodohkan dengan Suma Ceng! Akan tetapi, bagaimana ia bisa berpikir seperti itu?
Melihat wajah pemuda itu termenung dan agak pucat, Kaisar bertanya lagi, "Jangan ragu-ragu dan takut-takut,
Suling Emas. Katakanlah apa yang kau kehendaki, yang kau pilih. Kami akan mengabulkannya!"
Dalam gugupnya dan dalam kemarahan pada diri sendiri yang berpikir bukan-bukan mengenai Suma Ceng,
Suling Emas menjawab sedapatnya, "Hamba... hamba mohon supaya diberi kebebasan pergi ke... dapur
istana dan minta masakan apa saja dari petugas dapur!"
Kini para hadirin yang tertawa bukanlah latah, bahkan mendahului Kaisar. Ramailah ruangan itu. Suara ketawa
baru berhenti ketika Kaisar mengangkat kedua lengannya ke atas.
"Ha-ha-ha, jangan berkecil hati, Suling Emas. Kami dan semua yang hadir tertawa karena lucu dan terharu
akan kesederhanaan hatimu. Baiklah, setiap saat kau boleh masuk dapur dan makan sekenyangmu. Juga
kalau engkau memerlukan pakaian atau apa saja, tidak usah ragu-ragu, beritahukan kepada kepala pengawal,
pasti akan kami beri. Selain dua hadiah itu, kami pun hendak memberi beberapa pasang pakaian yang
sekiranya pantas dan cocok dipakai Suling Emas, pendekar perkasa yang menjadi sahabat seisi istana
Kerajaan Sung yang jaya!"
Suling Emas tidak berani menolak, juga ia menerima undangan Kaisar untuk tinggal di istana selama ia suka,
menikmati isi perpustakaan yang amat lengkap. Beberapa hari kemudian ia menerima lima pasang pakaian
dari sutra hitam yang amat halus dan indah. Bajunya dari sutra hitam, celananya ada yang putih ada yang
kuning dan pada setiap baju, di bagian dada, tersulam benang emas sebentuk bulan dengan sebatang suling
menyilang.
Kaisar memegang teguh janjinya. Suling Emas dapat bergerak leluasa di dalam istana, dan setiap saat, biar
malam sekali pun, ia berani masuk perpustakaan istana. Apabila pintunya sudah tertutup rapat di waktu malam
dan penjaganya duduk mengantuk di depan pintu, Suling Emas memasuki gedung perpustakaan dari atas
genteng. Semua petugas istana tidak pernah mengganggunya, dan semenjak itu nama Suling Emas amatlah
dikenal. Apalagi setelah ia mengenakan pakaian anugerah Kaisar. Tidak seorang pun tahu bahwa pendekar
besar ini hanya beberapa tahun yang lalu adalah seorang juru tulis Pangeran Suma Kong dan menderita
hukum siksa oleh Suma-kongcu karena berani bermain cinta dengan puteri Pangeran Suma Kong yang kini
menjadi isteri Pangeran Kiang.
Hanya beberapa pekan lamanya Suling Emas menikmati kemewahan istana. Pada suatu hari, orang tidak
melihat bayangannya lagi karena Suling Emas telah pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Kamarnya kosong
dan di situ hanya terdapat tulisan huruf indah di atas tembok kamar:
Di bawah bimbingan Kaisar bijaksana, rakyat makmur negara aman sentosa.
Kaisar yang diberi laporan akan kepergian Suling Emas hanya mengangguk dan selanjutnya memberi perintah
agar kamar itu selalu dipersiapkan untuk Suling Emas. Tulisan dalam kamar itu amat menyenangkan hati
Kaisar yang diam-diam merasa kecewa bahwa Suling Emas tidak mau menjadi pengawal pribadinya.
Sesungguhnya bukan hanya karena gagal menculik putera Kaisar saja yang memaksa A-liong, A-kwi dan Sam
Hwa tergesa-gesa kembali ke Pek-coa-to, tidak mau berusaha lagi menculik pangeran kecil seperti yang
dunia-kangouw.blogspot.com
ditugaskan kepada mereka oleh Kong Lo Sengjin. Terutama sekali karena melihat Suling Emas di tangan
orang muda itulah yang membuat mereka khawatir sekali akan keadaan majikan mereka.
Mereka tahu benar bahwa suling emas pusaka keramat itu tadinya berada di tangan sastrawan Ciu Bun yang
berada di Pulau Pek-coa-to. Pulau yang sukar didatangi orang. Selain Kong Lo Sengjin sendiri yang sering kali
berada di pulau, juga di sana terdapat dua orang murid majikan mereka yang memiliki ilmu kepandaian luar
biasa, yaitu Bhe Ciu dan Bhe Kiu. Bagaimana sekarang tahu-tahu suling emas itu terjatuh di tangan murid Kimmo
Taisu?
Ketika tiga orang tua ini mendarat di Pulau Pek-coa-to, mereka menjadi kaget sekali. Majikan mereka, Kong Lo
Sengjin atau Sin-jiu Cow Pa Ong, bekas pangeran Tang yang dengan gigih selama hidupnya berjuang untuk
menegakkan kembali kerajaan yang sudah roboh itu, telah menjadi mayat! Kakek lumpuh itu telah mati dalam
keadaan duduk bersila bersandar pohon dan sebuah kitab kecil berada di kedua tangannya. Berhadapan
dengan Kong Lo Sengjin, juga duduk bersila bersandar batu besar dan sudah menjadi mayat, adalah
sastrawan Ciu Bun! Sam Hwa, A-liong dan A-kwi cepat memeriksa. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak
terluka. Agaknya mereka mati wajar, dan sebelum mati mereka itu agaknya bercakap-cakap membicarakan
kitab kecil yang berada di kedua tangan Kong Lo Sengjin.
Dengan hati-hati mereka mangambil kitab kecil dari tangan Kong Lo Sengjin, lalu mengurus penguburan kedua
orang itu. Penguburan yang sederhana dan sunyi tanpa upacara apa-apa karena di dalam pulau kosong itu
memang tidak ada apa-apa. Mereka bertiga merasa heran mengapa tidak tampak bayangan Bhe Kiu dan Bhe
Ciu. mereka mancari-cari di dalam pulau dan memanggil-manggil, namun tidak terdengar jawaban.
Ketika mereka tiba di tepi laut, di pantai sebelah selatan Pulau Pek-coa-to, mereka terkejut bukan main melihat
mayat tergeletak malang melintang di sekitar pantai dan mereka semua mati dalam keadaan terluka oleh
pukulan-pukulan dahsyat. Kuda Liong-ma milik Kong Lo Sengjin, yaitu kuda bekas tunggangan Sang
Pangeran, seekor kuda yang mahal, juga telah menjadi bangkai, tubuhnya penuh luka bacokan senjata tajam.
Tiga orang tua itu saling memandang, terheran-heran menyaksikan keadaan yang mengerikan itu. Akhirnya,
mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengubur semua mayat yang sudah hampir busuk itu. Apakah yang
sesunggunya terjadi dan ke mana perginya Bhe Kiu dan Bhe Ciu dua orang manusia aneh murid dan pelayan
Kong Lo Sengjin?
Beberapa hari yang lalu, seorang diri Kong Lo Sengjin mendarat di pulau Pek-coa-to dalam keadaan terluka
hebat. Ia terluka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga dengan Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli
silat tinggi yang sakti, kakek ini maklum bahwa lukanya amat parah, tak mungkin dapat disembuhkan lagi.
Akan tetapi dia tidak peduli. Ia sudah terlalu tua, pula ia selalu gagal dalam perjuangannya. Ia malah ingin
cepat-cepat menemui maut.
Begitu memasuki pulau, serta merta ia mencari Ciu Bun, bekas sahabatnya yang ia jadikan tawanan di pulau
itu. Ingin ia tahu apa yang telah terjadi sehingga suling emas dapat berada di tangan murid Kim-mo Taisu.
Ketika ia menemui Ciu Bun, ternyata kakek sastrawan itu tengah duduk bersila bersandar batu dan membaca
kitab kuno dengan asyiknya.
Melihat kitab itu Kong Lo Sengjin berteriak girang. "Ah, kau telah mendapatkan kitabnya?" Ia segera duduk
pula di depan Ciu Bun.
Ciu Bun bergerak lemah dan wajahnya pucat seperti mayat, namun membayangkan kepuasan dan
kebahagiaan. "Ya, kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan suara suling itu, sekarang dengarlah
sajak-sajak dalam kitab ini, Sengjin."
"Bacakanlah."
Ci Bun lalu mulai membaca sajak. Suaranya masih keras dan di antara angin yang bertiup dari laut menyapu
permukaan pulau itu, terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan menggetarkan kalbu. Kong Lo Sengjin duduk
bersila, tak bergerak gerak. Ketika matahari condong ke barat, suara Ciu Bun masih terdengar membacakan
sajak terakhir. Begitu habis sajak terakhir itu ia menyanyikan, terdengar keluhan panjang dan tubuh Kong Lo
dunia-kangouw.blogspot.com
Sengjin menjadi lemas, bersandar pada batang pohon dan nyawanya melayang diantara gema suara nyanyian
sajak terakhir.
....akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Pada keesokan harinya, terdengar suara ribut-ribut di tempat itu. Kiranya dua orang kakek yang seperti kanakkanak,
juga seperti iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah berada di situ. Melihat betapa majikan dan guru mereka
telah tak bernapas lagi, juga kakek tukang suling, sebutan mereka kepada Ciu Bun, sudah mati, mereka
berteriak-teriak menantang orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong Lo Sengjin, lalu
menangis menggerung-gerung bergulingan di atas tanah, merobohkan pohon-pohon dan batu-batu besar,
memaki-maki kemudian tertawa-tawa karena geli menyaksikan tingkah laku masing-masing.
Memang Ciu Bun juga menghembuskan napas terakhir setelah ia mendekati dan menemukan kenyataan
bahwa sahabatnya itu telah meninggal dunia. Sambil menarik nafas panjang Ciu Bun mengerahkan tenaganya
merangkak dan menaruh kitab kecil di dalam kedua tangan mayat sahabatnya, kemudian ia kembali duduk
bersandar batu. Sudah berhari-hari dia duduk di situ, tanpa makan dan minum menanti datangnya maut karena
ia merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir lewat tengah
malam.
Kakek gila Bhe Kiu dan Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari tempat itu ketika mereka teringat bahwa orang mati
bisa menjadi setan. Mereka lari ketakutan mencari kuda tunggangan Kong Lo Sengjin. Seperti biasa, mereka
berebut menunggang kuda dan membalapkan kuda itu mengelilingi pulau dengan maksud menjauhkan diri dari
dua mayat manusia itu. Akan tetapi karena pulau itu tidak begitu besar dan kuda itu dapat berlari cepat sekali,
setelah lari seputaran kembali mereka melihat dua mayat yang duduk bersandar pohon dan batu. Mereka
makin ketakutan dan kembali membalapkan kuda.
Pada saat itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar dari selatan terdampar di pantai
Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam perahu itu jadi permainan badai dan ombak. Tiga puluh dua orang
penumpang lalu melompat turun mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum habis
disapu air laut.
Tiba-tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda dan... dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati
mereka ketika melihat dua orang kakek setengah telanjang menunggang kuda itu dengan cara yang luar biasa.
Si Kakek Gendut berpunuk duduk di leher kuda sambil memegangi kedua telinga kuda, sedangkan Si Kakek
Kurus menggantung pada ekor kuda di sebelah belakang! Akan tetapi perasaan kaget dan heran ini segera
berubah menjadi kacau ketika kuda itu menerjang ke arah mereka dan kedua kakek itu berteriak-teriak tidak
karuan.
Mereka cepat mencabut senjata masing, ada yang mencabut pedang, ada yang menghunus golok, namun
tidak ada gunanya karena Bhe Kiu dan Bhe Ciu sudah mengamuk hebat. Dari atas kuda kedua orang manusia
iblis ini melayangkan pukulan, tendangan, dan setiap kali kaki atau tangan mereka bergerak, tentu ada
seorang yang ditendang, dipukul atau dilempar ke atas seperti orang melempar-lemparkan tikus saja!
Hebatnya, mereka yang terkena tendangan atau pukulan, roboh untuk selamanya karena napasnya putus
seketika!
Dua orang manusia iblis itu memang wataknya aneh dan tidak normal. Pernah ketika mereka sembuh dari
gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan membunuh semua kelabang yang ada di pulau itu,
baik kelabang kecil mau pun besar, atau pun binatang merayap yang mirip kelabang! Sekali membunuh,
mereka seperti mabok dan tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua. Pada saat itu mereka pun seperti
mabok. Sambil berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang bertepuk-tepuk tangan, Bhe Kiu dan Bhe Ciu
menyerbu, kadang-kadang dari atas kuda, kadang-kadang turun dan meninggalkan kuda. Mereka
menghantam, menendang, membanting, mencekik. Belum setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu
sudah menggeletak malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Bhe Kiu si kakek yang berpunuk gendut, sudah merobek paha seorang lawan dan menjilati darahnya, hendak
makan daging paha itu. Agaknya bagi manusia tidak normal ini, daging paha manusia tiada bedanya dengan
daging paha seekor kijang atau kelinci! Akan tetapi ia melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu berteriakdunia-
kangouw.blogspot.com
teriak. Ia melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu sedang mendorong-dorong perahu besar milik para
korban tadi. Keduanya menjadi girang, seperti dua orang anak kecil mereka mendorong perahu besar itu ke
tengah, kemudian mereka menari-nari di atas perahu ketika angin meniup layar perahu dan membuat perahu
melaju ke tengah.
Akan tetapi kegirangan mereka hanya sebentar saja. Karena tidak dikemudikan, maka perahu itu menjadi
berputar-putar dan sebentar saja kedua orang aneh itu menjadi mabok laut. Mereka muntah-muntah,
terhuyung-huyung dan merusak semua yang terdapat di atas perahu. Bahkan tiang layar pun mereka
robohkan, layarnya dirobek-robek dan akhirnya keduanya begitu mabok sehingga jatuh terlentang di atas dek
perahu dalam keadaan pingsan!
Namun agaknya setan hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk mengacau dunia. Dua hari
kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah sembuh dari keadaan mabok. mereka
melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki sebuah kampung kecil. Geger di kampung itu dan kembali
belasan orang menjadi korban keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. Demikianlah, mulai saat itu di dunia kang-ow
muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan.
Lambat-laun mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia ramai, namun watak liar mereka masih
saja menempel sehingga mereka kemudian terkenal sebagai dua orang di antara Si Enam Jahat di dunia kangouw.
Bhe Kiu yang gemuk pendek berpunuk mendapat julukan Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut
Nyawa). Adapun Bhe Ciu yang tinggi kurus dan seperti kanak-kanak itu dijuluki orang Tok-sim Lo-tong (Bocah
Tua Berhati Racun)!
Agaknya pengalaman mencicipi daging dan darah manusia sebelum meninggalkan Pulau Pek-coa-to,
membuat Toat-beng Koai-jin Bhe Kiu suka akan daging manusia. Kadang-kadang ia menangkap anak-anak
yang gemuk dan berkulit bersih untuk dimakan dagingnya dan diminum darahnya. Kebiasaan ini membuat
tubuhnya mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang telah dimilikinya ketika ia menjadi korban
gigitan-gigitan serangga dan ular berbisa. Ia menjadi makin ganas dan makin lihai. Ada pun Tok-sim Lo-tong
Bhe Ciu, setelah terkenal sebagai manusia iblis di dunia kang-ouw, agaknya tidak melupakan kebiasaannya
bermain-main dengan segala macam ular berbisa ketika berada di Pek-coa-to sehingga ia mempergunakan
ular berbisa pula sebagai senjata.
Kalau saja Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tahu betapa ia telah mendidik dua orang murid yang
berubah menjadi iblis mengerikan, kiranya ia akan merasa malu dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin
sendiri di waktu hidupnya tidak segan-segan berlaku ganas dan licik, namun semua itu ia lakukan dengan
tujuan yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali Kerajaan Tang yang sudah runtuh.
Demikianlah keadaan di Pulau Pek-coa-to yang ditemukan dalam keadaan mengerikan oleh tiga orang bekas
pembantu Kong Lo Sengjin. Sam Hwa, A-liong dan A-kwi bukanlah orang biasa, melainkan bekas orang-orang
besar di jaman jayanya Kong Lo Sengjin. Mereka bukanlah orang jahat. Melihat keadaan di pulau itu, mereka
menjadi menyesal dan semua semangat dan cita-cita mereka ikut mati bersama matinya majikan mereka.
Insyaflah mereka betapa selama puluhan tahun mereka itu diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan mulailah
mereka menyesal. Mereka sudah amat tua dan mereka bertiga mengambil keputusan untuk tinggal di Pulau
Pek-coa-to sampai mati, bertapa dan bersembunyi diri, hitung-hitung menebus dosa.
--- dunia-kangouw.blogs;pot.com ---
Suling Emas meninggalkan istana Kerajaan Sung dan mulailah ia berkelana seorang diri. Dengan pakaian
pemberian Kaisar yang berlukiskan suling, ditambah perbuatannya yang gagah berani, selalu mengulurkan
tangan menolong mereka yang patut ditolong, memberantas perbuatan orang-orang jahat, menegakkan
kebenaran dan keadilan, sebentar saja nama Suling Emas dikenal dan dunia kang-ouw gempar dengan
munculnya pendekar muda yang sakti ini. Namun karena Suling Emas membatasi diri, hanya muncul untuk
mencegah penindasan dan kejahatan, sama sekali tidak mengganggu orang-orang kang-ouw dan liok-lim,
tidak memusuhi dunia hitam, maka ia pun tidak dimusuhi secara langsung oleh dunia penjahat.
Bertahun-tahun ia berkelana seorang diri, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dengan niat hati hendak
melupakan segala kepahitan hidup yang telah dialaminya. Namun tak pernah ia berhasil. Hatinya tetap kosong
dan perih, wajahnya tetap suram dan pandang matanya sayu. Ia selalu merasa sunyi dan apabila kesunyian
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah tak terkendali lagi, ia hanya menghibur diri dengan sulingnya. Hanya kalau ia meniup suling melagukan
nyanyian sajak kitab kecil yang sudah dihafalkan, barulah hatinya yang merana agak terhibur.
Lima tahun berlalu amat cepatnya. Suling Emas telah berusia dua puluh delapan tahun. Pengalamannya
sudah cukup banyak. Entah berapa ratus orang jahat ia robohkan dan ia insyafkan. Suling Emas tidak suka
membunuh orang, selalu berusaha menginsyafkan penjahat-penjahat yang telah ia kalahkan. Banyak pula
orang-orang yang telah ditolongnya dari pada mara-bahaya, ingin menariknya sebagai mantu. Banyak pula
gadis-gadis jelita yang telah ditolongnya, ingin membalas budi dengan penyerahan jiwa raganya. Namun
semua itu ditolak Suling Emas dengan sikap halus dan tidak menyakitkan perasaan. Suling Emas yang telah
dua kali hancur hatinya oleh kegagalan asmara, berjanji di dalam hatinya takkan bermain cinta lagi. Ia telah
menjadi penakut, seakan-akan bertobat untuk melibatkan diri dalam asmara, setelah mengalami betapa
hebatnya penderitaan batin karena kegagalan asmara.
Perjalanannya menuju ke Nan-cao untuk menemui kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw,
dilakukan dengan jalan memutar karena memang ia ingin menjelajah seluruh propinsi. Kadang-kadang ia
tinggal di tempat-tempat indah, seperti telaga-telaga, atau puncak-puncak gunung sampai sebulan dua bulan.
Oleh karena inilah, selama lima tahun, baru kakinya menginjak perbatasan Negara Nan-cao.
Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan yang kecil saja di selatan. Namun melihat keadaan dusun dan kotanya
yang ramai, rakyatnya yang hidup makmur, tidak tampaknya orang-orang berpakaian jembel dan pengemis,
menunjukkan bahwa penguasa Nan-cao adalah orang-orang pandai. Apalagi setelah Suling Emas bermalam di
sebuah dusun, ia mendapat kenyataan bahwa rumah-rumah di seluruh Nan-cao di waktu malam atau kalau
sedang ditinggal pergi penghuninya, pintu dan jendelanya tak pernah dikunci. Hal ini hanya membuktikan
bahwa penduduk hidup dalam suasana aman tenteram, tidak takut barang-barangnya dicuri karena memang
tidak pernah ada pencuri!
Penuh kekaguman hati Suling Emas menyaksikan ini semua. Rakyat hidup tidak mewah namun cukup, dan
pada wajah mereka terbayang kepuasan. Ia kagum dan juga girang karena bukankah kakeknya yang menjadi
guru negara dan orang terpenting di situ? Sama sekali Suling Emas tidak tahu bahwa selain merupakan
negara kecil yang makmur, juga Nan-cao penuh dengan petugas-petugas yang setia, rajin dan pandai.
Begitu ia menginjakkan kaki di perbatasan Nan-cao, dirinya selalu menjadi incaran dan diam-diam gerakgeriknya
selalu ada yang mengawasi! Bahkan kedatangan Suling Emas di Nan-cao sudah diketahui oleh pusat
Beng-kauw di kota raja karena mata-mata yang berjaga di sekitar perbatasan sudah memberi laporan lebih
dulu. Nama Suling Emas sudah terdengar sampai di negara kecil ini, dan sekali melihat baju bersulamkan
suling itu, para petugas segera dapat mengenalinya.
Pagi hari itu Suling Emas memasuki pintu gerbang kota raja Nan-cao yang daun pintunya berwarna merah. Ia
berjalan perlahan, melirik ke arah para penjaga yang berdiri tegak di kanan kiri pintu! Namun para penjaga ini
tidak menghiraukannya. Dari kedaan para penjaga ini saja Suling Emas sudah dapat melihat perbedaan. Di
kerajaan-kerajaan lain di utara dan tengah, para penjaga pintu gerbang kota raja selalu melewatkan waktu
dengan main kartu, main catur, bergurau atau menggoda wanita-wanita yang lewat. Akan tetapi para penjaga
disini berdiri tegak, mata menyapu setiap orang yang lewat. Pendeknya sikapnya berdisiplin.
Di tengah pintu gerbang terdapat tulisan digantung, berbunyi: Dilarang membawa senjata tajam ke dalam kota
raja.
Suling Emas merasa puas. Agaknya pemerintah Nan-cao sudah hampir berhasil menghilangkan kejahatan di
negaranya. Akan tetapi, belum jauh ia memasuki kota raja, dari sebelah depan datang serombongan pasukan
terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam, dikepalai oleh seorang gadis muda yang cantik sekali!
Seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berpakaian aneh.
Pakaiannya dari sutera yang indah, hampir hitam seluruhnya kecuali lengan kanan dan kaki kiri! Lengan baju
dan kaki celana ini berwarna putih. Benar-benar lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, dan sebaliknya
kaki kiri putih kaki kanan hitam. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pakaian begini aneh, maka ia
memandang dengan mata terbelalak. Baru ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat di depannya, dan
mata gadis yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan mata menyelidik. Demikian pula
dunia-kangouw.blogspot.com
pandangan mata dua belas orang anak buahnya! Karena kagum melihat sikap gadis berpakaian hitam putih
yang jelas membayangkan kegagahan itu, Suling Emas berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian.
Setelah beradu pandang sesaat, gadis itu segera menegur dengan suara nyaring, kata-katanya penuh
kewibawaan seperti suara orang yang biasa memerintah, "Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?"
Suling Emas tersenyum. Dalam pandangan matanya, lucu juga gadis yang amat muda ini bersikap seperti
orang tua. Ia dapat menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai kedudukan yang penting di kota raja
itu, maka ia tidak berani bersikap sembrono dan ia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangannya ke
depan dada. "Memang benar dugaan Nona. Orang-orang menyebutku Kim-siauw-eng (Pendekar Suling
Emas)."
"Dari kerajaan Sung?" potong nona itu dengan suara galak.
"Memang benar aku datang dari kota raja Kerajaan Sung," jawab Suling Emas sejujurnya.
Para anak buah gadis itu mengeluarkan suara mendengus tak puas, dan pandang mata mereka semua penuh
curiga.
"Mau apa kau memasuki negara kami? Apakah kau hendak memata-matai kerajaan kami?" Gadis itu kini
melangkah maju, sikapnya mengancam.
Suling Emas melihat betapa tangan gadis itu meraba ke pinggang dan ia tahu bahwa ikat pinggang gadis itu
kiranya adalah senjata yang aneh dan bagus. Yaitu sepasang tali yang ujungnya terdapat bola yang mengkilap
sebesar kepalan tangan, seperti cambuk namun ujungnya pakai bandulan. Ia tahu bahwa senjata macam ini
amatlah sukar dimainkan, maka jarang dipergunakan ahli silat di dunia kang-ouw. Kalau gadis ini mampu
memainkannya, hal ini sudah membayangkan betapa lihainya gadis muda ini.
Kalau saja Suling Emas terus terang mengaku bahwa dia adalah cucu Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw), tentu
semuanya akan beres. Namun Suling Emas terlalu gembira dan tegang hatinya untuk muncul begitu mudah,
apalagi melihat gadis muda ini, ia merasa kagum dan ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaiannya.
Karena itulah, ia tidak segera memperkenalkan dirinya sebagai cucu Beng-kauwcu, melainkan menjawab
sembarangan. "Apakah ada larangan untuk memasuki Negara Nan-cao? Aku hanya ingin melihat-lihat, tidak
memata-matai siapa-siapa. Harap Nona dan anak buah Nona tidak menggangguku sehingga setelah keluar
dari Nan-cao akan kukabarkan betapa baiknya orang-orang Nan-cao terhadap orang asing."
"Terhadap tamu biasa, kami tidak akan peduli. Akan tetapi Suling Emas adalah nama yang cukup terkenal,
tokoh dari Kerajaan Sung. Oleh karena itu, kau harus ikut kami menghadap wakil ketua Beng-kauw, karena
hanya beliau yang akan memutuskan apakah kau boleh memasuki kota raja kami apakah tidak."
Suling Emas pura-pura marah dan mengerutkan alisnya. "Mana ada aturan begitu? Aku memang benar Suling
Emas, akan tetapi bukan penjahat!"
"Jahat atau baik sama sekali tidak dapat diukur dari nama julukan!" bantah gadis itu. "Karena kau memasuki
wilayah kekuasaan kami, sudah sepatutnya kau tunduk kepada peraturan kami. Sekarang berikan senjatamu
dan kau ikut menghadap wakil ketua Beng-kauw!"
Ucapan gadis itu tegas dan ketus. Suling Emas pura-pura tidak mengerti dan mengangkat kedua pundaknya
yang bidang sambil berkata, "Selama hidupku tak pernah aku membawa senjata."
Gadis muda itu tertawa mengejek. Maksudnya hendak mengejek, akan tetapi ketawanya sungguh manis dan
orang takkan bisa sakit hati karena ketawa ini. "Siapa tidak tahu bahwa suling di pinggangmu itu merupakan
senjatamu yang ampuh?"
"Suling bukanlah senjata, melainkan alat musik yang menciptakan suara merdu menghibur hati duka lara.
Kalau hatimu risau, Nona cilik, biarlah aku meniupnya untuk menghiburmu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang alis yang hitam melengkung itu bergerak ke atas, sepasang mata bening itu mengeluarkan cahaya.
"Jangan banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah secara baik-baik ataukah menghendaki digunakan
kekerasan?"
"Hem, hem, tak kusangka Nan-cao suka menggunakan kekerasan. Ingin kutahu kekerasan macam apakah
itu?" Suling Emas sengaja mempermainkan.
Gadis itu marah sekali. Dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya sambil berteriak, "Tangkap
dia! Rampas sulingnya!"
Dua belas orang berpakaian seragam itu begitu menerima perintah cepat serentak bergerak dan menubruk
Suling Emas. Gerakan mereka gesit dan kuat karena mereka ini adalah orang-orang yang terlatih baik, dan
merupakan murid-murid tingkat terendah dari Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu, mereka tidak
mempergunakan senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap Suling Emas serta merampas suling
yang terselip di ikat pinggangnya.
Gadis itu melihat betapa Suling Emas sama sekali tidak bergerak atau pindah dari tempatnya, juga tidak
mengelak, hanya menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi akibatnya… anak buahnya terpelanting dan
terlempar ke kanan kiri! Setiap kali ada seorang anak buahnya yang menubruk, tentu orang ini terlempar dan
jatuh terbanting keras sehingga sejenak tak dapat bangun. Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang
anak buahnya sudah roboh semua, mengaduh-aduh dan menggosok-gosok kepala benjol dan kaki tangan
mereka lecet kulitnya.
Bukan main marahnya gadis itu. "Mundur kalian semua!" bentaknya, dan di lain saat ia sudah meloloskan
sepasang cambuknya.
"Wuuut… tar-tar…!" sepasang cambuk itu diayun dan berputaran di atas kepala membentuk lingkaranlingkaran
aneh dan mengeluarkan bunyi angin menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika gerakan
tali itu direnggut dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk, sepasang cambuk itu sudah melayang
dan menyerang Suling Emas, sekaligus bola-bola di ujungnya menyambar ke arah jalan darah di leher dan
lutut!
"Bagus…!" Suling Emas berseru kagum.
Dengan gembira ia lalu menggerakkan tubuhnya, melayani amukan sepasang cambuk ini dengan tangan
kosong. Karena maklum bahwa sepasang bola diujung cambuk itu tak boleh dipandang ringan, maka Suling
Emas lalu bersilat dengan pukulan Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh sehingga ia dapat mengelak ke sana ke mari dengan cepat dan ringan, serta kadang-kadang ia
menangkis dan mendorong bola-bola itu dengan telapak tangannya yang berubah lunak seperti kapas.
Diam-diam Suling Emas mengagumi gerakan gadis muda itu. Ilmu silat yang dimainkan gadis muda itu benarbenar
adalah ilmu silat tingkat tinggi. Hanya harus diakui bahwa tenaga dalam gadis itu belumlah begitu
sempurna sehingga baginya, gadis muda itu merupakan lawan yang tidak berat. Sementara itu, melihat
kelihaian Suling Emas, seorang di antara dua belas anak buah itu sudah lari melaporkan ke atasannya.
Suling Emas yang hanya ingin main-main dan mencoba kelihaian lawan, tentu saja tidak mau merobohkan si
Nona Muda. Kalau dia mau, dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis itu, akan tetapi ia merasa enggan
menyakiti hati orang yang sama sekali tidak ia anggap sebagai musuh. Beberapa kali ia melompat ke belakang
sambil berkata, "Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!"
Akan tetapi nona muda itu sudah menjadi marah dan penasaran sekali. Ia terkenal sebagai orang muda
terpandai di Nan-cao dan sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup melawannya. Mengapa hari ini ia
bertemu dengan lawan yang menghadapinya dengan tangan kosong namun begitu jauh ia sama sekali belum
mampu menyentuh tubuh lawan dengan sepasang bola di ujung cambuknya? Rasa penasaran dan malu
membuat ia marah. Tanpa pedulikan ajakan Suling Emas yang penuh damai itu, ia menerjang terus!
Akan tetapi dengan gerakan aneh, Suling Emas menyambut terjangannya dan tahu-tahu sepasang bola di
ujung cambuk itu telah tertangkap oleh sepasang tangan Suling Emas. Gadis itu berseru keras, menarik-narik
dunia-kangouw.blogspot.com
cambuknya, namun sia-sia, sepasang bola itu tetap berada di tangan Suling Emas sehingga kedua cambuknya
tak dapat digerakkan lagi! Gadis itu membanting-banting kakinya, memekik-mekik, mengerahkan tenaga tanpa
hasil.
"Tar-tar-tar!!"
Hebat sekali suara ledakan ini, disusul berkelebatnya gulungan sinar hitam yang menyilaukan mata
berkelebatan di atas kepala Suling Emas. Terkejut sekali Suling Emas, cepat ia melepaskan sepasang bola
lalu meloncat ke belakang.
"Susiok (Paman Guru), harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia sombong ini!" gadis itu berseru sambil
meloncat mundur dan menyimpan sepasang cambuknya yang tadi dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas.
Ketika Suling Emas memandang, ternyata yang membunyikan cambuk hitam dengan suara sedemikian
hebatnya itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana seperti pakaian
petani, kepalanya tertutup caping lebar, wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan kanannya
memegang gagang sebatang pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut seorang penggembala, namun
pecut itu warnanya hitam berkilauan.
"Susiok, dia ini Suling Emas dari Kerajaan Sung. Orangnya sombong sekali, kuajak baik-baik menghadap
Susiok dia tidak mau dan melawan dengan kekerasan!" kata pula gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah
mewek hampir menangis karena hatinya benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa hari ini semua
kepandaiannya sama sekali tidak dihargai orang dan tidak ada gunanya!
"Hemm…hemm…!" kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling Emas.
Di lain pihak Suling Emas juga memandang penuh perhatian. Diam-diam ia menduga-duga, siapa gerangan
kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu Sin-ong, kakeknya. Biar pun belasan tahun tak pernah jumpa lagi,
namun ia takkan melupakan Pat-jiu Sin-ong yang pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari gadis itu,
sudah tentu memiliki kepandaian yang luar biasa.
"Harap Lo-enghiong sudi memaafkan. Sesungguhnya bukan sekali-kali maksud kedatangan saya untuk
memancing perkelahian. Hanya Nona itu terlalu… terlalu galak…"
"Nama Suling Emas sudah terkenal sampai di sini. Kini orangnya datang dan tidak mengindahkan peraturan,
bahkan merobohkan pasukan peronda keamanan dan mempermainkan puteri Ji-kauwcu (ketua Kedua)! Akan
tetapi jangan berbangga dahulu dengan kemenanganmu, Suling Emas, karena di atasnya masih ada aku,
wakil ketua dan di atasku masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu (Ketua Pertama)! Kau sambutlah pecutku ini!"
Ucapan itu ditutup dengan berkelebatnya sinar hitam yang diikuti suara ledakan seperti guntur di atas kepala
Suling Emas. Suling Emas terkejut dan cepat mencabut sulingnya dan menangkis. Ia maklum bahwa
menghadapi kakek ini jauh bedanya dengan menghadapi gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan
sulingnya. Ketika sinar hitam itu menyambar turun, ia pun menggerakkan sulingnya menangkis.
"Plak…!!!" ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan kakek bercaping mengeluarkan seruan
kaget. Telapak tangannya yang memegang pecut terasa panas dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa
lawan muda ini benar-benar hebat tenaga dalamnya.
"Bagus! Kiranya kau benar-benar lihai!" serunya dan kini pecutnya menyambar-nyambar dengan kecepatan
kilat sehingga lenyaplah tubuhnya, terbungkus sinar cambuk yang hitam bergulung-gulung.
Dua macam perasaan teraduk di hati Suling Emas. Ia merasa menyesal dan khawatir mengapa
kedatangannya malah menimbulkan perkelahian dengan orang-orang Beng-kauw yang dipimpin kakeknya,
akan tetapi di samping ini ia pun merasa girang dan kagum bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki
ilmu kepandaian yang hebat. Ia ikut merasa girang dan bangga. Maka timbullah niat di hatinya untuk mencoba
terus tanpa niat mencelakai lawan. Dengan pikiran ini, ia lalu mainkan ilmu Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Begitu Suling Emas mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya segera terdesak hebat. Lingkaran-lingkaran yang
dibentuk oleh sinar hitam itu makin mengecil dan menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin
membesar. Suling Emas hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi, kemudian dengan
sendirinya ia pun akan mundur, maka sinar sulingnya tidak menyerang melainkan menekan.
Tiba-tiba gerakan kakek itu berubah dan kini dari lingkaran-lingkaran sinar hitam itu keluar suara meledakledak
memekakkan telinga. Suling Emas kaget dan dia menjadi makin kagum, tak disangkanya bahwa dalam
kedaan terdesak itu, si Kakek ini masih mampu mengeluarkan ilmu yang disertai khi-kang sedemikian
hebatnya sehingga kalau lawan kurang kuat sinkang-nya, tentu akan terpengaruh suara ledakan ini dan akan
menjadi kacau permainan silatnya. Maka Suling Emas segera menggerakkan sulingnya sedemikian rupa
sehingga di antara suara ledakan itu terdengarlah lengking tinggi menusuk telinga, suara dari suling itu sendiri
yang berbunyi seperti ditiup mulut.
Tiba-tiba suara ledakan dan suara lengking suling terhenti. Kedua senjata itu telah bertemu di udara dan ujung
pecut melibat suling, tidak dapat dilepaskan lagi! Kakek itu berusaha sekuat tenaga melepas pecutnya, namun
sia-sia dan ketika Suling Emas menggerakkan tangannya, pecut itu terlepas dari pegangan si Kakek! Di lain
saat, Suling Emas sudah mengambil pecut dan menyerahkan senjata itu kepada pemiliknya sambil menjura.
Wajah kakek itu sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras,
tubuhnya menerjang maju mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.
"Sute (Adik Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!" suara ini terdengar berpengaruh sekali sehingga
tubuh kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas
menjura dan menerima pecutnya dari tangan Suling Emas. Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk,
namun sepasang mata yang memandang dari bawah caping itu berapi-api.
Suling Emas menengok ke kanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya amat
berwibawa. Kakek ini pun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang ada persamaan
dengan ketua Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan
tegak berdirinya, memegang sebatang tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati
Suling Emas.
Cepat ia melangkah maju dan menjura dengan hormat sambil berkata, "Saya yang muda mohon maaf
sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak saya kehendaki di sini. Mohon Locianpwe
suka memberi maaf."
Kakek itu mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya. "Orang muda, kau tentu yang bernama Suling
Emas. Apa hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"
Suling Emas kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek ini benar-benar
hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia
menjawab, "Mendiang Kim-mo Taisu adalah guru saya, Lo-cianpwe."
"Aaahh…? Mendiang, katamu..?"
"Suhu telah meninggal dunia beberapa tahun lalu, kurang lebih lima tahun."
"Pantas kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw.
Engkau sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan dengan Beng-kauw? Apa
kehendakmu?"
Merah wajah Suling Emas dan cepat ia menjawab, "Tidak sekali-kali, Lo-cianpwe. Tidak sekali-kali saya berani
mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya memasuki kota raja ini, kemudian
dihadang dan hendak ditangkap. Saya tidak mempunyai niat buruk…."
"Kalau begitu, apa yang kau kehendaki dengan kedatanganmu di sini?"
"Saya… saya mohon berjumpa dengan… Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang terhormat."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu megelus-elus jenggotnya dan tersenyum. "Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap
Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu Liu Mo…."
"Aaahh, jadi Lo-cianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu…?"
"Aku adik kandungnya," jawab kakek itu tersenyum. "Atau dapat kau sampaikan kepada puteriku Liu Hwee
yang bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan." Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali
Suling Emas kaget.
Dengan mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata adalah… bibinya! Kalau Jikauwcu
Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang
menyerangnya tadi adalah bibinya.
"Juga dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah, sekarang
telah kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling
Emas, katakanlah apa yang hendak kau sampaikan kepada Twa-kauwcu."
Tiba-tiba Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa ragu-ragu
ia berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman dari ibunya?
"Mohon beribu ampun, Lo-cianpwe, akan tetapi… saya hanya dapat bicara di depan… Beng-kauwcu
sendiri…."
Diam-diam Liu Mo terheran dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini amat
sakti. Dari pertempuran melawan sute-nya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri pun belum tentu akan dapat
mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi mengapa pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut di
depannya? Dan semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikit pun tidak membayangkan kepurapuraan
atau kepalsuan. Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia menjawab singkat,
"Suling Emas, tentu ada sebab yang amat penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu.
Marilah, kau ikut dengan kami."
Dengan hati berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin bersama Liu
Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah. Akan tetapi setelah tiba di depan sebuah gedung besar
yang angker dan megah, pasukan itu berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris di kanan
kiri pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan yang rapi. Barisan yang
terdepan segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.
Barisan penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai ke dalam, kemudian paling dalam
terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap mereka kereng dan gagah. Di sepanjang dinding
ruangan yang mereka lalui terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah indah
oleh ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka memasuki sebuah kamar besar yang
daun pintunya bercat merah.
Ketika memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri di pinggir dengan sikap menghormat
setelah membungkukkan tubuh. Ada pun Liu Hwee segera menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang
ke depan, ke arah seorang kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya sebagai
Pat-jiu Sin-ong yang bertemu dengan suhu-nya belasan tahun lalu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh itu
tampak diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar matanya, kemudian dengan kening
berkerut ia mendengarkan laporan Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta
menghadap Beng-kauwcu.
"Kau Suling Emas?" suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar itu.
Suling Emas merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya. Keharuan ini mencekik
lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kamu murid Kim-mo Taisu?"
Kembali Suling Emas hanya mengangguk.
"Suheng, Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda ini," kata Liu Mo.
Pat-jiu Sin-ong mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah bercampur warna putih. "Hemm, selama hidup
Kwee Seng tak pernah mau kalah terhadap aku. Apakah setelah ia mati ia menyuruh muridnya melanjutkan
wataknya yang keras kepala itu? Heh, orang muda, kau terima ini!" Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih
cangkir arak di atas meja lalu ia melontarkan cawan itu ke atas. Cawan arak itu berputaran di atas, lalu
meluncur turun ke arah Suling Emas!
Suling Emas cukup waspada dan ia maklum bahwa penyerangan yang seluruhnya mengandalkan sinkang ini
amatlah hebat. Biar pun kakek ini adalah ayah dari ibunya, namun ia pun harus menjaga nama besar gurunya.
Dibandingkan dengan kakeknya ini, agaknya gurunya jauh lebih berjasa dan lebih baik terhadapnya. Ia pun
cepat memasang kuda-kuda, mengerahkan sinkang dan mendorongkan kedua tangannya ke depan,
menyambut cawan itu. Cawan yang meluncur dan berada dalam jarak tengah-tengah antara kedua orang itu,
kini terhenti di udara, tertahan oleh hawa pukulan tangan Suling Emas. Mereka masing-masing mengerahkan
tenaga, Pat-jiu Sin-ong dengan lengan kanan lurus ke depan, sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan
lurus ke depan pula, mempertahankan diri.
Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee memandang penuh perhatian dan kekhawatiran. Mereka sudah
maklum akan kehebatan tenaga ketua Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa orang muda ini bukan musuh,
mengapa harus dicelakakan? Akan tetapi alangkah heran dan kagum hati mereka ketika cawan itu sama sekali
tidak dapat maju lagi sejengkal pun juga, tetap tergantung di udara, tidak maju tidak mundur.
"Prakkk!" tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping dan Suling Emas melangkah mundur tiga langkah
dengan napas agak terengah. Ada pun Pat-jiu Sin-ong dengan muka penuh keringat tertawa bergelak, lalu
menampar meja sehingga terdengar suara keras.
"Kwee Seng! Sungguh engkau keras kepala! Engkau telah menurunkan semua ilmumu kepada bocah ini,
agaknya untuk membuktikan bahwa kau masih belum juga mau kalah terhadap aku! Ah, setan keras kepala.
Kalau saja kau dahulu mau menjadi mantuku, tentu kau belum mampus sekarang dan aku tidak akan begini
kesepian! Kwee Seng... Lu Sian... kalian mengecewakan hatiku!"
Kakek itu menutup muka dengan kedua tangannya dan dengan muka pucat Suling Emas melihat betapa dari
celah-celah jari tangan itu mengalir air mata! Pat-jiu Sin-ong menangis! Pat-jiu Sin-ong menyesal mengapa
ibunya, Liu Lu Sian dahulu tidak menjadi istreri suhu-nya!
Suling Emas tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia maju berlutut di depan kedua kaki Pat-jiu Sin-ong
lalu berkata, "Kong-kong, aku adalah cucumu..., aku adalah Kam Bu Song... putera tunggal ibu Liu Lu Sian...."
Pat-jiu Sin-ong perlahan-lahan menurunkan kedua tangannya. Matanya terbelalak memandang wajah Suling
Emas yang menengadah, lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke depan, menangkap wajah itu di
antara kedua tangannya. Bibirnya bergerak-gerak dan berbisik, "Kau... kau puteranya...? Benar! Ini... ini
matanya, mulutnya...! Kau... cucuku...!"
"Kong-kong…!" Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia menceritakan kedaan orang tuanya dan
betapa semenjak kecil ia telah hidup seorang diri sehingga akhirnya menjadi murid Kim-mo Taisu.
Mendengar penuturan itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu merangkulnya, kemudian menarik bangun Suling Emas,
menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh kebanggaan. "Wah, kau benar hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak
kecewa aku mempunyai cucu seperti ini! Terima kasih, Kwee Seng! Ha-ha-ha!"
Suling Emas sebagai orang muda yang tahu sopan santun dan aturan, segera menghadap Liu Mo dan berlutut
pula. "Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi diampuni."
dunia-kangouw.blogspot.com
Liu Mo mengangkatnya, juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang tua ini tertawa pula bergelak saking gembira hati
mereka. Kemudian Kwee Seng menjura ke arah Liu Hwee dan berkata, "Mohon Bibi juga sudi memberi ampun
kepadaku."
Muka yang cantik itu seketika menjadi merah sekali. Akan tetapi dasar Liu Hwee berwatak riang, ia tertawa dan
pura-pura marah, "Wah, mana bisa aku mendadak mempunyai seorang keponakan yang begini besar? Hayo,
kau keponakan yang nakal, kau harus berlutut tujuh kali di depan bibimu, baru aku suka memberi ampun!"
Suling Emas bingung, akhirnya ia benar-benar hendak berlutut tujuh kali di depan bibinya yang galak, akan
tetapi Liu Mo mencegah dan kakek ini membentak anaknya, "Hwee-ji (anah Hwee), jangan main gila!" Semua
orang lalu tertawa.
"Satu hal saya mohon kepada Kong-kong, kedua Paman Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin tinggal menjadi
Suling Emas. Saya sudah menghapus nama Bu Song dari dalam hati dan ingatan. Biarlah saya tinggal disebut
Suling Emas dan jangan ada yang mengetahui asal-usul saya."
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mengerutkan kening dan menatap tajam wajah cucunya, kemudian ia menarik napas
panjang. "Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa orang tua menimpa kepadamu. Baiklah, Suling
Emas."
Semenjak hari itu Suling Emas hidup berkumpul dengan keluarga ibunya. Kakeknya amat sayang kepadanya,
juga Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee. Kakeknya yang amat sayang kepadanya, menurunkan pula ilmuilmu
kesaktian yang tinggi kepadanya sehingga selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas menjadi makin
matang dan makin sakti.
Namun tinggal terlalu lama di dalam sebuah gedung megah, di negara yang aman sentosa, dan dikelilingi oleh
keluarga yang sangat menyayanginya tidak kemudian membuat Suling Emas menjadi betah. Jiwa
pendekarnya ingin mengabdikan ilmunya untuk menolong yang lemah dan tertindas, membela kebenaran dan
keadilan, melawan kejahatan dan membasmi kekejian. Jiwa petualangnya merindukan kehidupan liar di alam
bebas, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, tidur beralaskan rumput beratap langit. Karena itu, hanya
beberapa bulan kemudian Suling Emas sudah berpamit kepada sang Kakek untuk menjalankan kehidupannya
sendiri, kehidupan sebagai seorang pendekar dan petualang.
Akan tetapi ia tidak pula melupakan Kerajaan Sung. Seringkali dalam perantauannya, ia singgah di kerajaan
ini, memasuki istana dan langsung memasuki perpustakaan untuk memuaskan nafsunya membaca kitab-kitab
kuno. Ia menjaga sedemikian rupa agar ia jangan sampai bertemu dengan bekas kekasihnya, yaitu Suma
Ceng. Kalau tidak tekun membaca kitab sampai berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan Kerajaan
Sung, tentu Suling Emas mengembara dan selalu menurunkan perbuatan gagah perkasa, membela mereka
yang tertindas, menghajar mereka yang sewenang-wenang, berdasarkan kebenaran dan keadilan. Nama
Suling Emas menjadi makin terkenal di segenap penjuru. Hanya satu hal yang masih mengecewakan hati
yang mulai terhibur oleh pelaksanaan tugas sebagai pendekar budiman itu, yakni bahwa selama itu belum juga
ia tahu akan keadaan ibu kandungnya!
Bersama berkembangnya nama Suling Emas sebagai pendekar budiman yang sakti, di dunia kang-ouw
muncul nama enam orang manusia iblis yang sakti dan buas, sehingga mereka itu diberi julukan Thian-te Liokkoai
(Enam Iblis Dunia). Mereka itu adalah It-gan Kai-ong seorang jembel tua bermata satu yang bukan lain
adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong, ke dua adalah Siang-mou Sin-ni, seorang wanita cantik jelita
berambut panjang yang bukan lain adalah Coa Kim Bwee selir Kaisar Hou-han, ke tiga adalah Hek-giam-lo si
tokoh Khitan yang bukan lain adalah Bayisan. Ke empat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar Roh yang
dahulunya adalah Ma Thai Kun, sute dari Pat-jiu Sin-ong. Ke lima dan ke enam adalah Toat-beng Koai-jin yang
dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim Lo-tong yang dahulunya bernama Bhe Ciu, dua orang murid Kong
Lo Sengjin.
********************
Sampai di sini selesailah cerita Suling Emas ini dan bagi pembaca yang sudah membaca cerita Cinta
Bernoda Darah tentu telah berjumpa pula dengan Suling Emas yang menjadi lawan ke enam manusia iblis itu.
Pengarang menutup cerita ini dengan harapan semoga pembaca puas dengan cerita Suling Emas. Apabila
dunia-kangouw.blogspot.com
masih belum cukup puas, dipersilakan untuk menanti cerita silat yang berjudul "Mutiara Hitam" di mana
pembaca akan dibawa terbang melayang ke alam khayal dan mengikuti perjalanan Suling Emas dan muridmurid
serta keturunanya, karena cerita Mutiara Hitam merupakan lanjutan cerita Cinta Bernoda Darah.
Sampai jumpa dalam Mutiara Hitam!
>>>>> T A M A T <<<<<
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru