Minggu, 07 Mei 2017

Cersil 3 Serial Kisah Naga Langit 1 Kho Ping Hoo Best

Cersil 3 Serial Kisah Naga Langit 1 Kho Ping Hoo Best Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 3 Serial Kisah Naga Langit 1 Kho Ping Hoo Best
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 3 Serial Kisah Naga Langit 1 Kho Ping Hoo Best
Gurunya, Tiong
Lee Cln-jin, pernah mengatakan bahwa minuman keras itu amat berbahaya karena dapat
membuat orang ketagihan dan menjadi pemabok. Seolah dapat mendengar suara hatinya, tibatiba
gadls itu berkata.
"Anggur inl merupakan minuman yang menyehatkan, asal saja peminumnya mengenal batas
kekuatannya. Kalau melampauhi batas kekuatannya, memang dapat menjadi racun. Bahkan
semua obat yang menyembuhkan sekallpun, kalau terlalu banyak dimlnum dapat menjadl
racun yang membahayakan kesehatan!"
Masakan-masakan yang dipesan diantar datang dan gadis itu mempersilakan Thian Liong
makan masakan baru itu. Setelah menghabiskan setengah guci anggur gadis itu menjadi
semakin akrab dan hangat,
la kembali niinum anggur dari cawannya sambil menatap wajah pemuda yang duduk di
depannya. Kemudian ia berkata setelah mengusap bibirnya dengan sehelai saputangan.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 140
"Sungguh aneh sekali keadaan kita berdua ini. Tinggal di bawah satu atap, bahkan makan
bersama di satu meja, dan kita belum mengenal nama masing-masing! Bukankah ini aneh
sekali? Kalau ada orang melihat kita dan mendengar bahwa kita tidak saling mengenal, pasti
dia tidak percaya!"
Thian Liong menghablskan makanan terakhir dalam mulutnya lalu minum air tehnya dan
mengusap bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Dla maklum akan apa yang terkandung
dalam ucapan gadis itu, maka dia lalu memperkenalkan namanya.
"Namaku Souw Thian Liong, seorang yatlm piatu yang sedang mengembara."
"Souw Thian Liong? Namamu gagah sekall, segagah orangnya! Engkau tentu lebih tua
beberapa tahun dari aku, maka aku akan menyebutmu Llong-ko (ka-kak Liong). Engkau tidak
berkeberatan, bukan?"
Thian Liong tersenyum. "tentu saja tldak."
"Engkau datang darl mana, Liong-ko? Dl mana tempat tlnggalmu dan kalau engkau yatlm
piatu, siapa saja keluargamu? Engkau sudah berkeluarga beristeri dan mempunyal anak,
bukan? Dan sekarang hendak pergi ke mana?"
Dlberondong pertanyaan itu, Thlan Llong tersenyum. Gadis ini lincah, mengingatkan dia akan
gadis yang dijumpatnya di Kun-lun-san. Akan tetapi gadis berpa" kaian serba merah muda itu
galaknya bukan alang kepalang, sedangkan gadis berpakaian serba hijau dengan setangkai
bunga mawar di kepalanya inl tampaknya leblh ramah dan tldak galak.
"Wah, harus satu demi satu aku menjawab hujan pertanyaanmu itu. Tentang keluarga, aku
sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi. Aku hldup sebatang kara, tentu saja belum
mempunyai isteri atau anak. Tempat tlnggalku? Aku tidak mempunyal tempat tinggal yang
tetap. Dunta inl tempat tlnggalku, langit atap rumahku dan bumi lantalnya! Darl mana aku
datang dan ke mana hendak pergi? Yah, katakanlah datang dari belakang dan hendak pergi ke
depan."
"Hl-hlk engkau lucu, Llong-ko! Burung mempunyal sarang, ular mempunyal lubang, harlmau
mempunyal guha, semua mahluk memlllkl tempat tinggal. Maaa engkau aeorang manusia
tidak? Dan hari inl engkau berada dl kaki pegunungan Bu-tong-aan, tentu mempunyai tuuan
hendak ke mana?"
Thian Liong terlngat akan gadis yang dia duga telah mengambil kitab pusaka milik Kun-lunpal.
Dia harus berhati-hati. Dia belum mengenal siapa sebenarnya gadls ini. Siapa tahu diamdiam
gadis ini berniat untuk merampas dua buah kitab yang masih berada dalam kantung
emas yang tergantung di pinggangnya. Maka dia tidak menjawab dan mengalihkan perhatian.
"Ah, engkau tidak adil, nona. Engkau telah menghujaniku dengan pertanyaan dan aku
memperkenalkan diriku. Akan tetapi engkau belum memperkenalkan dirimu sehingga
namamupun aku belum tahu."
"Hemm, engkau ingin mengenal nama-ku? Aku bernama Thio Siang In dan karena aku
menyebutmu Liong-ko, maka engkau boleh menyebutku In-moi (adik ln)."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 141
"Thio Siang In? Wah, namamu indah, seindah.... orangnya!" Thian Liong sengaja membalas,
untuk menyenangkan hati gadis itu dan untuk menyimpangkan per" hatian agar gadis itu tidak
banyak ber-tanya tentang dirinya.
Gadis itu tersenyum dan matanya yang indah mengerling tajam. "Ah, kiranya engkau seorang
yang pandai pula merayu, Liong-ko."
"Tidak, In-moi. Aku hanya bicara sejujurnya. Lalu, di mana tempat tinggalmu dan siapa
keluargamu? Ceritakanlah selengkapnya tentang dirimu."
"Engkau benar hendak mendengar dan mengetahuinya?"
"Benar-benar, In-moi. Bukankah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat?"
"Baiklah. Aku berusla delapan belas tahun.... dan engkau ..."
"Aku berusia dua puluh tahun." sambung Thian Liong.
"Tepat seperti dugaanku. Engkau tentu leblh tua dariku. Aku tinggal di sebuah dusun di Slnklang.
Bersama Ibu kandungku, seorang puterl Kepala Suku Ul-gur. Ayahku.... ayahku....
entahlah, kata Ibu ayahku telah lama pergi ketika aku masih dalam kandungan.... ah, heran
sekali!" Tlba-tiba gadls Itu bangkit berdiri dan memandang kepada Thlan Liong dengan mata
terbelalak.
"He, kenapa?" Thian Llong bertanya heran.
"Heran sekall! Kenapa beginl aneh? Ibu memesan agar aku merahasiakan tentang ayahku,
akan tetapi tiba-tiba saja aku menceritakannyai kepadamu!"
"Kalau tidak kauceritakan juga tidak mengapa. Bagaimanapun juga, aku tidak suka
mendengar seorang suami meninggalkan isterinya begitu saja selagi anak-nya berada dalam
kandungan!"
"Tidak! Engkau salah sangka! Ayah kandungku itu pergi karena dia terpaksa. Menurut cerita
ibuku, kalau ayahku tidak pergi melarikan diri, dia dan ibuku tentu akan mati."
"Eh! Kenapa begitu?"
Siang In menghela napas panjang dan 'memandang wajah Thian Liong dengan heran.
"Sungguh mati, tak tahu aku me-ngapa aku harus menceritakan semua ra-hasia ini kepadamu
yang baru saja kuke-nal? Liong-ko, tak perlu kau tahu segalanya, cukup kalau kau ketahul
bahwa ibuku adalah seorang puteri bangsa Ulgur den ayahku seorang Han. Nah, aku tlnggal
dengan Ibuku dan aku menjadi murid darl paman tua (uwa), kakak ibu sendirl. Akan tetapl
biarpun aku maslh mempunyal seorang ibu pada saat inl aku juga sebatang kara karena aku
sudah pergi merantau meninggalkan kampung halam-an di Sin-kiang setahun yang lalu. Jadi,
kita ini ada persamaan, sama-sama pe-rantau, beratap langit berlantai bumi." Gadi ini tertawa
lepas dan mau tidak mau Thian Liong ikut pula tertawa karena tawa yang wajar terbuka dan
mengandung getaran gembira seperti itu amat menular!
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 142
Tiba-tiba ada sinar menyambar ke arah mereka. Thian Liong dapat melihat dengan jelas
bahwa benda berkilat itu meluncur dan menyambar ke arah meja di depan mereka. Dia yakin
benar bahwa benda yang ternyata sebatang hui-to (pisau terbang) kecil itu tidak mengarah
tubuh mereka, melainkan menuju ke arah meja. Akan tetapi Thio Slang In sudah
menggunakan sepasang sumpit di tangan kanannya untuk menjepit pisau terbang itu!
Gerakannya demikian cepat sehing-ga Thian Liong merasa kagum bukan main. Gadis
peranaan Uigur ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan memiliki tenaga dalam
yang amat kuat. Kalau tidak demikian, tidak munglkin ia mampu menangkap pisau terbang itu
hanya dengan jepitan sepasang sumpitnya.
Dengan tenang Siang In mengambil sehelai kertas yang tertancap pisau itu, lalu melempar
pisau itu dengan gerakan tangan kiri ke atas. Matanya hanya mengerling sebentar ketika ia
menggerakkan tangan kiri.
"Wuuuttt.... capppp!" Pisau kecil itu terbang meluncur ke atas dan menancap di tiang kayu,
tepat mengenai perut sebuah cecak yang sedang merayap di Uang itu. Tubuh cecak itu terpaku
pada tiang!
Thian Liong memejamkan matanya, merasa ngeri melihat perut cecak itu tertusuk pisau dan
terpantek pada tiang. Walaupun yang terbunuh itu hanya seekor cecak, namun dia merasa
ngeri dan betapa kejamnya gadis cantik ini mem-bunuh seekor cecak yang tidak bersalah apaapa.
Ketika Thian Liong membuka mata-nya memandang kepada Siang In gadis itu tampak
terseyuffl Jnepgejek dan melempapkan kertas itu ke atas meja.
'Hemm, orang-orang Bu-tong-pai som-bong! Dikiranya aku gentar menghadapi Thai-kek Sinkiam
mereka?" Ketika ia melihat Thian Liong memandang ke arah kertas di atas meja itu,
Siang In berkata. "Bacalah, tidak ada rahasia. Bahkan kalau engkau mau, engkau boleh ikut
dan menjadi saksiku."
Biarpun kejadian itu amat menarik hati Thian Liong, dia tidak akan berani membaca surat
yang dikirim secara isti-mewa itu, tidak mau mencampuri urus-an prbadi orang kalau saJ'a
gadis itu ti-dak menyuruhnya membaca. Dia mengam-bil kertas putih itu dan membaca tulisan
yang bergaya gagah itu. Dia dapat men-duga bahwa penulis surat itu sengaja memamerkan
tenaga dalamnya melalui tulisannya sehingga gaya tulisannya amat kuat, coretan-coretan itu
tajam dan run-cing sehingga tarnpak indah dan gagah.
Ang-hwa Sian-li, kami tidak ingln membuat keributan di tempat umum. Kalau engkau berani,
datanglah besok pagi-pagi di hutan cemara sebelah utara dusun ini dan kita mengadu
kepandaian. Kalau engkau tidak datang, berarti engkau hanya seorang pengecut!
Bu-tong-pai
Setelah membaca surat itu, Thian Liong memandang wajah Slang !n dan bertanya, "In-moi,
siapakah itu Ang-hwa Sian-li?"
Siang In tersenyum dan tnenggunakan tangan kirinya untuk menyentuh bunga mawar merah
di kepalanya. Thian Liong memandang ke arah bunga itu dan mengertilah dia mengapa Siang
In mempunyai julukan Ang-hwa Sian-li (Dewl Bunga Merah). Memang gadis itu cantik jelita
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 143
seperti gambar dewi dan agaknya selalu menghias rambutnya dengan se-tangkai bunga mawar
merah.
"Akulah yang dimaksudkan. Karena aku Jarang memperkenalkan namaku yang
sesungguhnya, dan selama inl baru kepadamulah aku memberltahukan namaku, maka orangorang
yang pernah berurusan denganku menyebutku Ang-hwa Sian-li."
Thian Liong mengambil kesimpulan. "In-moi, kalau orang-orang menyebutmu Dewi Bunga
Merah, hal itu tentu karena engkau telah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik untuk
menolong orang. Sebutan Dewi itu merupakan pujian. Ka-lau orang suka melakukan
kejahatan, tentu akan diberi julukan Iblis atau Silu-man."
Gadis itu tersenyum. "Terima kasih kalau engkau berpendapat begitu, Liong-ko. Aku tidak
tahu apakah aku ini jahat atau baik. Yang jelas, kalau ada orang lemah tertindas
membutuhkan pertolongan, tentu aku akan menolongnya. Sebaliknya kalau ada orang
mengandalkan ke-kuatannya untuk menindas orang lain, pasti aku akan menentangnya dan
tidak akan segan untuk membunuh dan inem-basmi mereka!"
Thian Liong dapat menduga bahwa Ang-hwa Sian-li ini tentulah seorarig ga-dis yang
berwatak pendekar. "Akan tetapi, tnengapa pihak Bu-tong-pai meniusuhi dan menantangmu?
Menurut apa yang kudengar, Bu-tong-pai adalah perguruan silat kaum pendekar. Padahal
engkau sendiri, menurut perkiraanku, adalah seorang pendekar wanita."
"Aku tidak tahu apakah aku ini seorang pendekar atau bukan dan akupun tidak perduli apakah
Bu-tong-pai itu perguruan silat kaum pendekar atau bukan Akan tetapi yang kutahu, ada
orang-orang Bu-tong-pai yang sombong dan karenanya aku menentang mereka. Setelah aku
mengalahkan mereka, agaknya mereka merasa penasaran dan mengirim surat tantangan ini.
Huh, tak tahu malu!" Gadis itu mengambil cawannya yang diisli penuh anggur lalu
meminumnya.
Thian Liong berpikir sejenak. Memang, tidak semua pendekar bersikap baik. Tentu ada pula
yang kasar dan ada pula yang tinggl hatl dan sombong. Dia ter-Ingat akan slkap Biauw In
Suthai, tokoh Kun-lun-pai itu. Kun-lun-pal, seperti juga Bu-tong-pai, dikenal sebagai sebuah
perguruan silat kaum pendekar Karena itu mungkin, maka gurunya mau bersusah payah
mendapatkan kembali kitab-kitab mereka dan mengembalikannya ke-pada mereka. Ternyata
Biauw In Suthai juga tidak bersikap baik, melainkan ga-lak dan angkuh bukan main.
"In-moi, maukah engkau menceritakan kepadaku sebab-sebab pertentangan itu? Apakah yang
telah terjadi?"
Gadis itu meletakkan cawan yang te-lah kosong ke atas meja. Kedua pipinya kemerahan,
tanda bahwa minuman itu telah mulai mempengaruhinya. "Sungguh aku merasa heran sekali,
mengapa terhadapmu aku seakan tidak dapat meraha-siakan sesuatu. Aku bahkan ingin
menceritakan segalanya kepadamu. Terjadinya siang tadi di sebuah lereng." Siang In lalu
menceritakan pengalamannya.
Pada siang hari itu Thio Siang In yang melakukan perjalanan perantauan-nya dari Sin-kiang
menuju ke timur, tiba di luar sebuah dusun di sebuah lereng pegunungan Bu-tong-san, Telah
setahun lebih ia meninggalkan rumah ibunya di Sin-kiang untuk merantau dan di sepanjang
jalan ia selalu membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 144
Karena kelihaiannya, sepak terjangnya menggegerkan dunia kang-ouw di sebelah barat dan
segera orang-orang yang tidak pernah mendengar ia memperkenalkan nama, memberi julukan
Ang-hwa Sian-li kepadanya kare-na gadis jelita dan gagah perkasa ini selalu memakai
setangkai bunga merah pa-da rambutnya. Setelah mendengar julukan ini, Siang In
menerimanya, bahkan ia lalu memperkenalkan dirl kalau hal ini diperlukan, sebagai Ang-hwa
Sian-li!
Selagi ia berjalan santai di lereng itu, dan tiba di luar sebuah dusun, ia melihat seorang lakilaki
berusia sekitar empat puluh tahun, berlutut dan me-nangis minta-minta ampun kepada
dua orang pemuda yang berusia kurang leblh dua puluh lima tahun dan tampak gagah perkasa.
"Ampun, tai-hlap (pendekar besar).... Ampunkan saya....! Semua ini saya laku-kan karena
terpaksa.... saya harus membeayai, anak yang sedang sakit parah....”
"Alasan! Dasar pencuri hina!" bentak seorang di antara dua pemuda itu yang bertubuh tinggi
besar, lalu sekali kakinya menendang, orang yang berlutut itu terpental dan bergulingan.
"Aduh"" ampun....,- biarlah saya kem-ballkan semua ini...." Orang itu mengeluarkan beberapa
buah benda terbuat da-n perak, yaitu cawan piring dan alat-alat sembahyang. "Saya
kembalikan semua inidan ampunilah saya...." kembali orang itu berlutut, merintih dan
mulutnya mengeluarkan darah.
Pemuda ke dua yang tubuhnya tinggi kurus melangkah maju menghampiri. Pencuri busuk!
Tidak mengenal budi! betelah bertahun-tahun kami beri makan dan upah, masih juga mencuri
dan mencoba minggat! Orang seperti engkau ini harus dihajar!" Dia sudah mengangkat tangan
kanannya untuk memukul.
Siarig In yang melihat semua ini mem-bentak nyaring, "Tahan! Jangan pukull"
Pemuda tinggi kurus itu menahan pukulannya dan memutar tubuhnya. Demi-kian pula
pemuda tinggi besar itu juga menoleh. Keduanya memandang dan ter-cengang melihat
seorang gadis cantik sekali berdiri di situ. Siang In adalah seorang gadis yang cantik jelita,
maka ti-dak aneh kedua orang pemuda itu terpe-sona dan sikap mereka berubah sama se-kali.
Kalau tadi mereka kelihatan galak, kini keduanya tersenyum dan menghampiri Siang In.
Siang In memandang kepada dua o-rang pemuda yang menghampirinya itu dengan alis
berkerut. Setelah dua orang itu berhadapan dengannya, Siang In menegur dengan ketus.
"Lagak kalian ini seperti orang-orang gagah, membawa pedang dan berpakaian seperti
pendekar! Akan tetapi yang kuli-hat ternyata kalian hanya orang-orang yang suka
mempergunakan kekuatan un-tuk menindas dan menghina yang lemah!"
Pemuda tinggi besar itu segera meng-angkat kedua tangan depan dada memberi hormat,
diturut oleh pemuda tinggi kurus. "Maaf, nona. Agaknya engkau salah paham. Kami berdua
adalah pendekar-pendekar yang selalu menentang penjahat. Orang ini adalah seorang maling
jahat, seorang yang tidak mengenal budi. Selama beberapa tahun dia menjadi tukang kebun
perguruan kami, diberi upah dan makan, akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia minggat dan
membawa lari alat-alat sembahyajng yang terbuat dari perak. Karena itu, kami
menghajarnya!"
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 145
Siang In mencibirkan bibirnya yang merah. "Huh, pendekar macam apa itu? Memukuli orang
yang lemah! Aku mendengar sendiri bahwa dia melakukan pencurian itu karena terpaksa,
karena ingin membeayai pengobatan anaknya yang sakit. Sepantasnya sebagai pendekar,
kalian menolongnya, bukan memukulinya. Tak tahu malu!"
"Nona!" Pemuda tinggi kurus memprotes. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai'"
"Aku tidak perduli kalian Inl murld-murid Bu-tong-pai atau murid perguruan apapun juga.
Kalau jahat dan sewenang-wenang tentu akan kutentang!"
"Nona, dia itu pencuri! Apa engkau hendak membela pencuri?" tanya yang tinggi besar, mulai
marah. Kehormatannya tersinggung karena gadis itu tidak menghargai Bu-tong-pai dan
kekagumannya akan kecantikan gadis itu mulai memudar, terusir oleh kemarahan.
"Bagiku dia orang lemah tertindas dan kaiian orang-orang kuat yang sewenang-wenangl Aku
pasti membelanya dan menentang kalian!"
"Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan kami murid-murid Bu-tong-pai?"
bentak yang tmggi kurus.
Siang In terseyum mengejek. "Orang menyebutku Ang-hwa Sian-li, dan kalian cepatlah pergi
dari sini, tinggalkan orang itu kalau kalian tidak ingin kuhajar!"
"Engkau gadis usil, suka mencampuri urusan orang lain dan sombong! Kalau aku memukuli
pencuri itu, engkau mau apa?" bentak pula si tinggi kurus dan dia sudah melompat ke depan
dan tal! ngannya terayun memukul ke arah tukang kebun itu.
"Dukk!" Lengannya tertangkis oleh lengan Siang In. Lengan yang mungil berkulit halus dari
gadis itu ternyata mengandung tenaga sinkang kuat sehlngga pemuda tinggi kurus merasa
tulang lengannya seperti patah dan terasa nyeri sekali. Dia menj'adi marah.
"Berani engkau melawan aku'?" "Kenapa tidak?" Siang In mengejek.
"Biar ada sepuluh orang macaniengkau, aku tidak akan takut!"
"Kami orang-orang Bu-tong-pai bukan pengecut yang suka main keroyok! Sam-but
seranganku!" Pemuda tinggi kurus itu membentak dan dia menyerang dengan dahsyat, kedua
tangannya bergerak hampir berbareng, susul menyusul, yang klri menyambar ke pelipis kanan
Siang In dan yang kanan menonjok ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali, datangnya
cepat dan mendatangkan angin pukulan kuat.
Namun Siang In tenang saja menghadapi serangan dua tangan lawan itu. Dengan tangan
kirinya dia menangkis tonjokan ke arah perutnya, dan tangan kanannya menyambar ke atas
dengan jari terbuka, menyambut tangan kiri pemuda Itu dengan tebasan dari bawah ke arah
pergelangan tangan. Pemuda itu terkejut sekali. Tangan kanannya yang menonjok ke perut
kembali bertemu lengan yang terasa keras seperti baja, dan kini lengan kirinya yang
menyerang pelipis bahkar terancam tebasan tangan lawan. Cepat dia menarik kembali tangan
kirinya dan kaki kanarinya menendang. Kaki itu de-ngan kecepatan kilat mencuat ke arah
dada Siang In. Gadis itu miringkan lalu memutar tubuh dan ketika kaki menyambar lewat,
didorongnya tunut kaki itu dengan tangan kirinya. Demikian kuat do-rongan itu sehingga
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 146
pemuda itu tidak mampu menahan. dirlnya. Terbawa oleh tenaga tendangannya sendlri
ditambah tenaga dorongan Siang In, tubuhnya melayang ke depan. Untung dia masih dapat
melakukan gerakan pok-sai (salto) sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Setelah dua
kali lengannya tertangkis sehingga terasa nyeri sekali dar hamplr saja tadl dla roboh
terbanting, pemuda tlnggl kurus itu mulai. terbuka matanya bahwa gadis cantlk Itu llhal bukan
main. Temannya, pemuda tinggi besar, agaknya juga dapat melihat hal ini maka diapun
melompat ke depan dana berseru kepada pemuda tinggi kurus.
"Sute (adik seperguruan), mundurlah dan biar aku yang menghadapi perempuan sombong
ini!" Melihat suhengnya maju, pemuda tinggi kurus lalu melangkah mundur.
Jilid 9 …..
Si Pemuda tlnggl besar melangkah maju dan mencabut pedangnya. Tampak sinar berkilat
ketika pedang dicabut dan pemuda tlnggi besar itu berkata, "Nona, suteku telah kalah
bertanding tangan kosong denganmu. Sekarang aku menantangmu untuk mengadu ilmu
pedang, tentu saja kalau engkau berani."
Slang In mencibirkan bibirnya. "Bocah Bu-tong-pai sombongl Aku pernah mendengar bahwa
Bu-tong-pal terkenal dengan ilmu pedangnya Thal-kek Sin kiam! Akan tetapi aku tidak takut'"
Setelah berkata demikian, dua tangan gadis Itu bergerak ke arah belakang punggung dan
tampak dua sinar pedang berkelebat ketika la sudah mencabut sepasang pedangnya yang
tergantung di punggungnya, tertindih buntalan pakaian. Sepasang pedang itu kecil dan
panjang, tampak ringan sekali, akan tetapi ketika dicabutnya terdengar bunyi berdesing
nyaring.
Mellhat gadis Itu sudah siap dengan siang-kiam (sepasang pedang) di kedua tangannya,
pemuda tlnggl besar itu membentak, "Sambut pedangku!" dan dia sudah menyerang dengan
cepat dan dahsyat, Slang In menangkis pedang yang menyambar ke arah lehernya itu.
"Crlnggg....!" Tampak bunga api berpijar dan pemuda itu segera memutar pedangnya untuk
mendesak lawan dengan serangkaian serangannya, pedang dl tangannya berubah menjadl
slnar bergulung gulung. Akan tetapl dengan tenang sekali Siang In menyambut serangan Itu
dengan gerakan kedua pedangnya yang membentuk dua lingkaran sinar yang dapat
menghadang dan menangkis semua serangan lawan. Gadis itu telah memainkan Toat-beng
Siang-kiam (Pedang Pasangan Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Dari dua lingkaran sinar
kuning itu terkadang tampak sinar kilat mencuat dan menyambar-nyambar. Melihat ini,
pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main dan sebentar saja, dalam belasan jurus kemudlan,
dia telah terdesak hebat sehlngga kini hanya dapat memutar pedang melindungl dlrlnya dan
tldak mampu balas menyerang.
"Hallllttt....!l" Tiba-tiba gadis membentak, dua llngkaran slnar pedangnya Itu membuat
gerakan mengguntlng.
"Tranggg.... trakkkl" Pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main karena pedangnya telah
digunting oleh sepasang pedang lawan dan patah menjadi dua potong! Sebelum hilang rasa
kagetnya, kaki Siang In mencuat dan menendang dadanya.
"Dess...l" Tubuh pemuda tinggi besar itu terjengkang roboh!
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 147
Sutenya segera membantunya untuk bangkit berdirl dan mereka memandang gadls itu dengan
sinar mata marah dan penasaran. Siang In mencibirkan blbirnya dan sekall dua tangannya
bergerak ke belakang punggung, sepasang pedangnya sudah tersimpan kemball.
"Hemm, sepertl itu sajakah Thal-kek Sin-kiam yang digembar-gemborkan oleh Bu-tong-pai?"
ia mengejek.
"Ang-hwa Sian-li! Tingkat kami masih terlampau rendah untuk mempelajari Thai-kek Sinkiam.
Tunggu sajalah. Sekali Thai-kek Sin-kiam dimainkan, engkau akan dihajar dan semua
kesombonganmu akan terhapus!" Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu menarik
tangan sutenya dan diajak pergl.
Laki-lakl yang tadl dihajar dua orang murld Bu-tong-pai itu lalu menghamplrl Siang In dan
memberl hormat. "Terima kaslh atas pertolongan Lihlap. Nama Ang-hwa Sian-Li takkan saya
lupakan selamanya. Akan tetapi saya memang bersalah, Lihiap (pendekar wanita). Saya kinl
menyadarl bahwa sebetulnya saya tldak perlu mencurl. Kalau saya berterus terang mlnta
bantuan, tentu para plmpinan Bu-tong-pai akan menolong saya. Saya harus mengembalikan
semua Ini kepada BU-tong-pai!" Setelah berkata demikian, orang itu membungkus kembali
barang-barang itu dalam kain dan hendak pergi meninggalkan Siang In.
"Tunggu dulu, paman!"' Siang In ambil sepotong emas dari kantung uangnya dan memberikan
kepada orang itu.
"Ini, pergunakan emas ini untuk membiayai pengobatan anakmu."
Orang itu menerima pemberian itu dengan terharu dan berulang kall dia memberl hormat dan
membungkuk-bung-kuk. "Terima kasih, lihiap, terima kasih." Lalu dla pergl untuk
mengembalikan barang-barang yang dicurinya itu kepada Bu-tong-pai.
Siang In menghentikan ceritanya dan mlnum anggur terakhir darl gucinya yang kinl telah
kosong. "Demlklanlah, Liong-ko. Aku melanjutkan perjalanan dan tiba di dusun ini,
kebetulan bertemu denganmu dan tadl tentu mereka yang melontarkan surat dengan pisau
Itu."
Sejak tadi Thian Llong mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia dapat menarlk
kesimpulan bahwa dua orang rnurid Bu-tong-pai itu bukan orang-orang jahat, hanya sikap
mereka terhadap tukang kebun yang mencuri benda-benda perak itu terlalu keras. Dia
khawatir kalau kesalah-pahaman inl menjadi permusuhan yang meruncing, maka dia lalu
berkata, "In-moi, kukira semua itu hanya merupakan kesalah-pahaman saja. Sikap dua orang
murid Bu-tong-pai itu memang terlalu keras dan mereka patut ditegur. Akan tetapi urusan
sekecil itu tldak semestlnya kalau dijadikan sebab permusuhan antara engkau dengan mereka.
Kebetulan sekali akupun ada urusan untuk menemul para plmplnan Bu-tong-pai, maka biarlah
besok pagl aku menemanimu dan aku akan menjadi penengah untuk mendamaikan kallan."
"Akan tetapi aku ditantang, Liong-ko, dan aku tldak takut melawan mereka!" kata Slang In
penasaran. "Kalau engkau mendamaikan kaml, jangan-jangan mereka menglra bahwa aku
takut!"
Thlan Liong tersenyum. "Tldak, In-moi. Aku tldak akan mendatangkan kesan seolah-olah
engkau takut."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 148
"Sudahlah, kita llhat saja besok. Aku Ingln berlstlrahat, ingin mandl yang segar kemudian
tidur yang nyenyak, tldak memikirkan apa-apa lagi. Soal besok bagalmana besok sajalah. la
menggapal pelayan.
"In-mol, blarkan aku yang membayarnya." kata Thian Liong.
"Ah, aku tahu bahwa engkau mempunyal banyak emas dalam kantungmu itu, Llong-ko. Akan
tetapi masakan ini sebagian besar aku yang memakan, maka harus aku yang membayarnya."
Pelayan datang. Siang In membayar harga makanan dan mlnuman, lalu mereka masuk ke
dalam dan menuju ke kamar masing-masing. Thian Liong duduk dalam kamarnya dan
termenung. Dalam waktu singkat, secara berturut-turut dia bertemu dengan wanita-wanita
yang terlibat urusan dengan dirinya. Baru saja tamat belajar dan turun gunung melaksanakan
tugas yang diberikan gurunya, dia mengalami hal-hal aneh dan serius dengan tiga orang
wanita! Pertama, dengan gadis berpakalan merah muda di kaki Pegunungan Kun-lun-san itu,
gadis yang dta hampir yakin tentu yang telah mengambil kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat
yang seharusnya dia serahkah kepada pimpinan Kun-lun-pai. Gadis yang tldak dia ketahui
namanya, namun yang harus dia cari untuk minta kembali kitab itu sebagai pertanggungan
jawabnya terhadap Kun-lun-pai. Kemudian, pertemuannya dengan Biauw In Suthai yang
kemudian melibatkan diri gadis ke dua, Kim Lan, dengannya karena oleh pendeta wanita itu,
Kim Lan diharuskan menjadi isterinya dan kalau dia menolak, gadis itu harus membunuhnya!
Dan ketiga, pertemuannya dengan Thio Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li ini.
Pertemuan inl agaknya Juga melibatkan dlrlnya karena gadis itu hendak bertandlng dengan
pihak Bu-tong-pal dan dia tldak mungkin tinggal diam saja! Alangkah anehnya semua
pengalaman Itu.
Malam Itu Thian Llong hanya duduk borsamadhi. Dengan demlkian, sungguh pun tubuhnya
mengaso seluruhnya, namun kesadaran dan kewaspadaannya selalu siap. Dia khawatir kalaukalau
terjadl sesuatu yang tidak baik atas dlrl gadls yang tidur dl kamar sebelah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Thian Liong sudah membuka pintu kamarnya. Dia melihat
Siang In sudah bangun. Ketika dia keluar dari kamar, dia mehhat gadis itu duduk di atas
bangku depan kamar dan ternyata gadis itu sudah tampak segar. Sudah mandi dan bertukar
pakaian, rambutnya disisir rapi dan setangkai bunga mawar merah segar menghias rambutnya.
Bunga itu baru mekar setengahnya dan masih segar sekali, tampaknya baru saja dipetiknya.
la mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Baru bangun, Liong-ko? Cepatlah mandi, aku
menantimu untuk sarapan pagi. Aku sudah memesan kepada pelayan agar dipersiapkan bubur
ayam panas dan lezat!"
Diam-diam Thian Llong merasa kagum. Gadis itu sama sekali tidak tampak tegang, bahkan
santai saja seperti orang menghadapi hari yang penuh suka cita, Padahal ia menghadapi
tantangan yang berat dari Bu-tong-pai! Dla mengangguk lalu pergi ke kamar mandi membawa
pakaian pehgganti.
Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk santai di dalam ruangan depan." yang
biasanya dipergunakan untuk nnpah makan. Akan tetapi hari masih terlalu pagi. Ruangan itu
bahkan bagian depannya masih ditutup dan belum ada yang bekerja. Hanya rnereka berdua
,yang duduk di situ dan pelayan tua yang tadi terpaksa memasakkan bubur ayam berada di
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 149
dapur setelah menghidangkan ma-kanan itu di atas meja mereka. Mereka berdua makan tanpa
banyak cakap.
Sehabis makan, baru Siang In berkata. ”Nah, sekarang aku berangkat. Apakah engkau jadi
ikut?" Pertanyaannya datar saja, seolah tidak ada bedanya baginya apakah Thian Liong
hendak menemaninya ataukah tidak,
"Tentu saja aku ikut karena tanpa ada urusanmupun pagi ini aku harus berkunjung ke Butong-
pai untuk sebuah urusan penting."
"Urusan penting?" Siang In mengamatl wajah pemuda itu penuh selldik. Ketika pandang
matanya bertemu dengan sinar mata Thian Liong, ia berkata, "Sudahlahl Kalau itu merupakan
rahasia tidak perlu diberitahukan kepadaku. Mari kita berangkat!"
Seperti halnya Siang Iri, Thian Llong juga membawa semua barangnya, dimasukkan dalam
buntalan pakaian lalu menggendongnya dan kembali gadis itu memaksa untuk membayar
harga bubur dan sewa kamar mereka. Thian Liong tidak dapat membantah. Mereka lalu
meninggalkan dusun itu, menuju ke Bukit Cemara yahg sudah tampak dari luar dusun itu, di
sebelah utara, Di bukit itu tampak sebuah hutan cemara yang sunyi. Bukit itu sudah termasuk
daerah Bu-tong-pai.
Baru saja kedua orang muda itu memasuki hutan cemara, tampak dua orang pemuda, seorang
tinggi besar dan seorang lagi tinggi kurus, sudah berada di situ. Melihat dua orang pemuda
itu, Siang In cepat menghampiri dan setelah ia berdlri di depan mereka, ia tertawa mengejek
"Kallan berdua masih berani muncul? Apakah kalian yang hendak maju menandinigi aku, dan
sekarang kalian hendak maju mengeroyokku? Hemm, kalian berdua belajarlah dengan tekun
selama sepuluh tahun lagi baru agak pantas untuk menandingiku!" Thian Liong mengerutkan
alisnya. Siang In terlalu memandang rendah dua orang pemuda itu dan sikap seperti itu amat
tidak baik.
Pemuda tinggi besar itu menjawab dengan ketus. "Perempuan sombong! Kami bukan
golongan pengecut yang suka main keroyok! Engkau kemarin memandang rendah ilmu
pedang Thai-kek Sin-kiam dari perguruan kami. Sekarang kami mendatangkan orang yang
telah mem-pelajari ilmu pedang itu untuk menghadapimu." Pemuda Itu lalu memutar
tubuhnya dan berseru nyaring. "Supek (uwa guru)! Harap supek datang ke sinl. Gadis
sombong itu telah datang!"
Tiba-tiba tampak bayangan putlh berkelebat dan tahu-tahu di sltu telah berdiri seorang lakilaki
berusia kurang leblh enam puluh tahun. Alis, kumis dan jenggotnya yang panjang masih
hitam, akan tetapi rambut di kepalanya sudah putih semua! Pakalannya darl kain katun
sederhana seperti pakaian pertapa. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce
kuning. Melihat cara orang ini muncul, Thian Liong maklum bahwa, dia memiliki gin-kang
(ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan tentu orang ini lihai sekali. Tubuhnya sedang
namun tegap dan wajah yang berbentuk persegi dengan jenggot panjang itu juga tampak
berwibawa. Akan tetapi Siang In tetap tersenyum dan memandang ringan.
"Apakah nona yang berjuluk Ang-hwa Slan-li dan yang memandang rendah ilmu pedang
Thal-kek Sln-klam kaml?" Orang berambut dan berpakalan serba putih itu bertanya, sikapnya
tenang dan agaknya dia seorang penyabar.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 150
"Benar, akulah yang disebut Ang-hwa Slan-11. Dan engkau inl slapakah? Apakah engkau
ketua Bu-tong-pai dan siapa namamu?" tanya Siang In, slkapnya blasa saja seolah ia
berhadapan dan bicara dengan .orang seusia dan setingkat dengan nya.
"Locianpwe, saya Thian Liong hendak menjadi penengah dan mendamalkan.
"Liong-ko! Biarkan aku menyelesaikan dulu urusanku dan jangan engkau mencampuri.
Setelah aku aelesai, baru engkau boleh berurusan dengan mereka!" Siang In berseru keras
sehingga kata-kata Thian Liong terpotong.
"Siancai, nona yang berwatak keras!" kata tokoh Bu-tong-pai itu dengan senyum sabar. "Aku
bukan Ketua Bu-tong-pai, aku hanyalah pembantunya yang nomor tiga saja dan aku hanya
ingat nama julukanku, yaitu Pek Mau San-jin (Orang Gunung Berambut Putih). Aku baru
berhasil menguasai ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam sepertiga baglan saja, akan tetapi aku
ingin mencoba kehebatan Sepasang pedangmu yang menurut murid keponakanku ini hebat
sekali." Setelah berkata demikian, Pek Mau San-jin mencabut pedang beronce merah dari
punggungnya. Slnar berkilat ketika pedarig itu tercabut. Dia berdiri tegak dan pedang itu
dipegang oleh tangan kirinya, gagang di bawah dan ujung pedang menempel pundak kirinya.
Kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas berbareng menurunkan kedua tangan kakl
kiri melangkah ke depan, pedang di tangan kiri tetap di bawah lengan, telunjuk dan jari tangan
kanan menunjuk ke depan. Inilah gerakan pembukaan yang dinamakan Sian-jin Ci-lu (Dewa
Menunjuk Jalan) kemudian dia melangkah dengan kaki kanan ke depan memutar tubuh ke
kanan pienghadapi Siarig In, kedua lengan dikembangkan lalu kaki kilri ditekuk berlutut,
kedua tangan tetap dikembangkan.
"Ang-hwa Sian-Li, aku sudah, silap menandingi ilmu sepasang pedangmut" kata Pek Mau
San-jin tenang.
Melihat pembukaan yang sederhana ini, Siang ln tersenyum mengejek. Kedua tangannya
meraih ke belakang dan tampak dua sinar kllat ketlka siang-kiam (sepasang pedang) itu telah
berada dl kedua tangannya. la memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki menyilang,
pedang kiri diangkat ke atas belakang kepala, pedang kanan mellntang depan dada. Slkapnya
gagah dan indah.
Akupun telah siap. Perlihatkan ilmu pedangmu, Pek Mau San jlnl" Slang In menantang,
"Engkau adalah tamu. Persilakan menyerang leblh dulu!" kata Pek Mau San-lin, kini bergerak
berdiri, kedua tangan bertemu di depan leher dan gagang pedang itu dari tangan kiri sudah
berpindah ke tangan kanan. Thian Liong memperhatikan semua gerakan tosu itu dan dia
merasa kagum. Biarpun gerakan pembukaan tadi hanya sederhana, namun gerakan itu
dennkian lembut dan lentur, sambung menyambung seperti gelombang lautan, isi mengisi dan
dia tahu bahwa dl dalam kelembutan itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat! Dia
mengkhawatirkan Siang In. Sekali ini, gadis ini benar-benar berhadapan dengan seorang ahli
silat tingkat tinggi dan yang paling berbahaya adalah bahwa agaknya gadis itu tidak
mengetahui akan hal itu sehingga memandang ringan. Diapun membayangkan ilmu pedang
yang hebat itu. Kalau tosu yang baru memiliki sepertiga bagian saja sudah mampu bergerak
seperti itu, apalagi yang telah menguasai sepenuhnya!
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 151
"Baiklah! Sambut serangan pedangku!" Siang In membentak dan sepasang pedangnya
berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Serangan gadis itu memang hebat dan hal ini sudah diduga sejak semula oleh Thian Liong.
Gadis itu agaknya telah digembleng oleh seorang guru yang sakti. Akan tetapi yang membuat
dia heran, kagum dan terkejut adalah ketika melihat sambutan tosu itu atas semua serangan
gadis itu. Tosu itu bergerak begitu lembut bahkan tampak lambat, matanya seperti setengah
terpejam, namun gerakan pedangnya itu mendatangkan hawa dahsyat dan kuat sehingga
semua serangan sepasang pedang Siang In selalu tertangkis dan terpental. Dia melihat betapa
gerakan seluruh tubuh tosu itu seperti otomatis, seperti tidak dikendalikan lagi oleh pikiran,
seolah-olah seluruh bagian tubuhnya menjadi peka sekali seperti memillki mata di manamana.
Gerakan-nyapun sambung-menyambung dengan lembut dan lenturnya. seperti orang
menari saja, menari di angkasa, di antara awan. tampaknya sama sekali tidak mempergunakan
tenaga kasar. Seolah-olah -gerakan tubuh tosu itu digerakkan oleh tenaga yang amat lembut
namun amat dahsyat. Dan diapun mengerti! Tosu itu seperti bersilat dalam keadaan samadhi,
atau bersamadhi dalam silat! Hati akal pikiran tidak berulah dan gerakannya dipimpln oleh
kekuasaan gaib, seperti kalau dia berada dalam puncak penyerahannya kepada Tuhan, seperti
yang diajarkan oleh Tiong Lee Cin-jin! Ilmu yang amat hebat, pikirnya.
Thian Liong mengikuti seiriua gerak-«n perkelahian itu dengan seksama. Pertandingan yang
hebat dan seru. Gadls itupun ternyata seorang yang memillkl llmu pedang pasangan yang lihai
sekall, berbahaya dan ganas sehingga setlap sambaran pedangnya merupakan cengkeraman
maut. Dan tosu Itu ternyata tidak berbohong ketlka mengatakan bahwa dia hanya menguasai
sepertlga saja darl ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam. Jurusnya tidak banyak dan diulang-ulam,
akan tetapi anehnya, dengan jurus yang tidak banyak itu dia sudah mampu menahan semua
serangan Siang In. Dan karena gerakannya seperti gelombang lautan, begitu lentur lembut dan
otomatis seolah tidak mengeluarkan tenaga, setelah lewat lima puluh jurus, Siang In mulai
berkeringat dan lelah, sebaliknya lawannya yang jauh lebih tua itu masih bergerak dengan
tenang seperti pada permulaannya.
Tahulah Thian Liong bahwa kalau pertandingan itu dilanjutkan, akhirnya Siang In tentu akan
kalah. Dia lapat membayangkan betapa marah dan penasaran hati gadis yang keras ini kajau
sampai kalah. Mungkin ia akan menjadi nekat dan mengadu nyawa!
Tiba-tlba Slang In yang mulai kelelahan itu mengebutkan sehelai saputangan merah yang
tergantung dl gagang pedangnya dan slnar-sinar kecil hitam meluncur ke arah lawannya.
Thian Mong yang sejak tadi memperhatikan pertandingan itu, terkejut dan cepat dia
menggerakkan tangannya mendorong ke arah sinar-sinar hitam itu.
Pek Mau San-jin juga terkejut dan dia sudah secara otomatis merribuang diri ke belakang.
Narnun, dia akan tetap menjadi korban jarum beracun kalau saja tidak ada sambaran angin
yang kuat dari samping yang meruntuhkan semua jarum halus itu. Thian Liong yang telah
menyelamatkan tOsu itu segera melompat di tengah, antara niereka dan berseru nyaring dan
penuh wibawa, "Tahan, hentikan perkelahian!"
Dalam suara Thian Liong terkandung wibawa yang amat kuat sehinga Siang In yang biasanya
keras hati dan tidak dapat menurut kemauan sembarang orang itu, entah bagaimana,
menghentikan gerakannya dan bahkan mundur lima langkah ke belakang. Demikian pula, Pek
Mau San-jin yang maklum bahwa hampir saja dia menjadi korban senjata rahasia, melompat
ke belakang.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 152
Thian Liong menghampiri dan berhadapan dengan Pek Mau San-jin, lalu memberl hormat dan
berkata, "Totiang (bapak pendeta), apa gunanya semua pertikaian ini? Saya klra di antara Butong-
pai dan Ang-hwa Sian-li hanya terdapat kesalah-pahaman belaka."
Pek Mau San-jin mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu penuh selidik. Dia tidak
mcngenal pemuda itu dan tidak tahu apakah pemuda itu kawan atau lawan. Karena pemuda
itu muncul bersama Ang-hwa Sian-li, maka dia tentu saja menaruh curiga.
"Orang muda, siapakah engkau dan mengapa mencampuri urusan kami dan Ang-hwa Sianli?"
"Saya bernama Souw Thian Liong dan saya diutus suhu untuk menghadap Ketua Bu-tong-pai
untuk urusan yang amat penting."
"Siapa gurumu yang mengutusmu kesini?"
Biarpun dl situ ada Siang In, terpaksa dia memperkenalkan gurunya.
"Suhu adalah Tiong Lee Cln-jin...."
"Wah, Liong-ko! Suhumu Tiong Lee Cin-jin yang amat terkenal itu? Kenapa tldak kau
katakan kepadaku?" seru Siang In dengan heran. Dalarn perantauannya yang baru setahun itu,
sejak dari Sin-kiang, ia sudah mendengar banyak tentang Tlong Lee Cin-jin yang disebutsebut
sebagai seorang yang sakti dan bijaksana, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia
adalah seorang manusia dewa!
Juga Pek Mau San-jin terbelalak. "Murid Tiong Lee Cin-jin? Ah, kalau begitu kata-katamu
patut didengar, Souw-sicu. Akan tetapi engkau tadi mengatakan bahwa antara kami dan Anghwa
Slan-li hanya terjadi kesalah-pahaman. Kami tidak menganggapnya demikian karena
gadis ini telah memandang rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam kami."
"Siapa bilang aku memandang rendah? Mellhatpun baru sekarang ketika engkau
memalnkannya. Bagaimana aku bisa memandang rendah ilmu pedang yang belum pernah
kulihat? Setelah kulihat tadi, biarpun engkau baru menguasai sepertiganya, harus kuakui
bahwa Thai-kek Sin-kiam memang hebat seperti yang pernah kudengar." kata Siang In. Pek
Mau San-jin menoleh ke arah dua orang murid keponakannya yang berdiri sambil
menundukkan muka mereka. Kemudian dia memandang kepada Siang In dan berkata, "Akan
tetapi engkau telah rnenantang Bu-tong-pai untuk mengadu ilmu pedang!"
Siang In melangkah maju mendekat dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Pek Mau
San-jin. "Hei, Pek San-jin, jangan engkau sembarangan menuduh tanpa bukti. Itu namanya
fitnah, tahu?"
Thian Liong berkata kepada tosu itu. "Ang-hwa Sian-li berkata benar, totiang. la tidak
menantang, melainkan dltantang. Inllah buktinya." Setelah berkata demikian, Thlan Llong
mengeluarkan pisau terbang dan surat tantangan Itu, diberikan kepada Pek Mau San-jin. Siang
In sendiri memandang heran, tldak tahu bahwa pemuda itu ternyata telah mengambil surat dan
pisau yang sudah ia buang. Pisaunya ia lempar menancap di tiang membunuh seekor cecak
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 153
dan surat itu ia buang begitu saja. Kiranya Thian Liong mengambil dan menyimpannya, dan
sekarang dapat dijadikan bukti kebenaran omongannya!
Pek Mau San-jin menerima surat dan pisau itu, alisnya berkerut dan dia lalu memutar tubuh
menghadapi dua orang murid keponakannya yang berdiri di belakangnya.
"Kalian berdua, ke sinilah dan berlutut!" perintahnya. Suaranya masih lembut akan tetapi
sekarang mengandung nada yang penuh penyesalan dan teguran. Dua orang murid itu
melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Mau San-jin, wajah mereka
pucat dan mereka rnenundukkan muka.
Pek Mau San-jin menghadapi Ang-hwa Sian-li dan Thian Liong, lalu berkata, "Maafkan pinto
yang mudah terbujuk dan salah sangka, nona. Sekarang harap ceritakan apa yang telah terjadi
antara engkau dan dua orang murid keponakan kaml Inl."
Siang In tersenyum mengejek. "Cerita mereka tentu lain lagi Dengarkan baik-baik, Pek Mau
San-jin. Ketika aku sedang berjalan, aku mellhat seorang laki-laki lemah dipukuli oleh dua
orang ini. Aku lalu maju melerainya, akan tetapi mereka marah dan mengatakan aku membela
pencuri. Aku bukan membela pencuri, hanya membela orang lemah yang dipukuli orangorang
yang mengandalkan kekuatan mereka. Kami lalu bertanding dan aku mengalahkan
mereka berdua. Tukang kebun yang mencuri barang-barang perak untuk membiayai anaknya
yang sakit itu menyatakan penyesalannya dan berjanji hendak mengembalikan barangbarangnya
yang dicurinya. Aku lalu pergi dan bermalaml di dusun sebelah selatan itu. Akan
tetapi malah tadi ada yang melempar pisau dan surat itu ke atas meja makanku. Nah, itulah
yang terjadi, Pek Mau San-jin."
Pek Mau San-jin kembali menghadapi dua orang murid keponakan yang masih berlutut di
depannya itu. "Hemm, murid Bu-tong-pai rnacam apa kalian ini? Kalian bertindak kejam
memukuli tukang kebun yang terpaksa mencuri barang-barang perak itu! Tahukah kalian?
sebelum aku datang ke sini, pangcu (ketua) memberitahukan bahwa semalam tukang kebun
itu datang menghadap dan mengembalikan barang-barang yang dicurinya sambil mohon
ampun! Apakah kalian dapat mengembalikan dan menebus apa yang telah kalian lakukan
kepada dia? Memukuli dan menyiksanya? Itu kesalahanmu yang pertama!"
"Ampun, supek, teecu (murid) berdua terburu nafsu, terdorong kemarahan karena dia telah
melakukan pencurian." kata murid yang bertubuh tinggi kurus.
"Hemmm, kapan para gurumu di Bu-tong-pai mengajar kalian untuk bertindak kejam? Apa
lagi terhadap seorang pembantu yang miskin, yang terpaksa melakukan pencurian untuk
membeayai pengobatan anaknya! Dan kesalahanmu yang ke dua. Kalian melapor kepadaku
bahwa Ang-hwa Sian-Li telah menghina Bu-tohg-pal dan memandang rendah ilmu pedang
Thai-kek Sin-kiam, padahal ia tidak melakukan hal itu. Kalian berani membohongiku!"
"Supek, teecu berdua melakukan itu agar supek mau membela teecu berdua dan membalas
kekalahan kami." Kata pemuda tinggi besar.
"Huh, kalian mengaku mund Bu-tong-pai yang gagah perkasa, akan tetapi setelah kalah kalian
tidak mau secara jantan mengakui kekalahan kalian. Sebaliknya berbohong untuk
memanaskan hatiku dan sekarang kalian hanya membikin malu kepadaku! Dan yang ketiga,
lebih membuat aku malu lagi. Kalian telah mengirim tantangan kepada Ang Hwa Sian-li. akan
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 154
tetapi kepadaku kalian melapor bahwa pagi ini Ang-hwa Sian Li yang menantangku! Murid
macam apa kalian ini”.
Dua orang itu sambil berlutut memberi hormat dan dengan suara berbareng mereka berkata,
"Ampunkan teecu, supek ...”.
Thian Liong berkata kepada Pek Mau San Jin, ”Sudahlah, locianpwe, saya harap urusan ini
dianggap tidak ada saja. Bagaimanapun, locianpwe maupun Ang hwa Sian Li tidak terluka.
Harap locianpwe mengampuni dua orang saudara inl...."'
"Apa" Siang In membentak dengan suara nyaring. "Kesalahan mereka bertumpuk tiga lapis
dan engkau mintakan ampun? Sebagai guru yang baik, sudah sepantasnya menghukum muridmurid
yang bersalah. Kalau tidak, bagaimana sang guru aktin mempunyai wibawa terhadap
murid-muridnya? Dia akan dicemooh dan para murid akan menjadi semakin berani dan
kurang ajar!"
Pek Mau bun-jin tersenyum akan tetapi kedua pipinya menjadi agak merah. Dia merasa malu
sekali. "Kalian cepat kembali dan masuklah ke ruangan hukuman menanti keputusan Pang-cu
(Ketua) dan jangan keluar dari ruangan itu sebelum diperintah!"
"Baik, supek." kata dua orang pemuda itu dan mereka lalu memberi hormat, berdiri dan pergi
dari situ dengan kepala ditundukkan. Pek Mau San-jin lalu mengangkat kedua tangan depan
dada, berkata kepada Siang In.
"Ang-hwa Sian-li, engkau masih muda akan tetapi sudah memiliki kepandaian tinggi dan juga
berpemandangan jauh.
Ucapanmu tentang dua murid kami itu memang benar, dan kami minta maaf atas kesalahan
mereka terhadapmu."
Biarpun wataknya keras dan liar, namun puteri cucu kepala Suku Uigur ini selain ilmu Silat,
juga mendapat pendidikan kebudayaan yang cukup dari ibunya. la, pandai membawa diri dan
kalau orang bersikap baik dan lembut kepadanya iapun tidak kalah lembut akan tetapi kalau
ada yang mengasarinya, ia pandal juga bermain kasar dan keras. Siang In membalas
penghormatan tokoh Bu-tong-pai itu dan berkata sambil tersenyum manis..
"Totiang terlalu memuji. Saya yang muda mendapat pelajaran dan pengalaman yang baik
sekall dengan bertanding melawan totlang. Yang bersalah sudah dihukum, itu sudah cukup
bagi saya, tidak ada yang perlu dimaafkan, totiang."
"Akan tetapi, kaml mengundang Souw Sicu sebagal murid Tiong Lee Cin-jin untuk bertemu
dengan ketua kami, dan kami juga mengundang engkau, nona."
"Akan tetapl, aku tidak mempunyai urusan dengan Ketua Bu-tong-pai seperti halnya saudara
Souw Thian Liong ini!" kata Siang In, dan ucapan ini hanya untuk pemanis bibir saja karena
sebetulnya di dalam hatinya ia ingin sekali ikut Thian Liong menemui ketua Bu-tong-pai
untuk mengetahui keperluan apa yarig membawa pemuda itu menemuinya. Biarpun baru
menduga, Siang In yakin bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang? tinggi. Hal ini terbukti
ketika pemuda itu memukul runtuh jarum-jarum beracunnya sehingga menyelamatkan Pek
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 155
Mau San-jin. Hanya orang yang memiliki sin-kang (tenaga sakti) amat kuat saja yang mampu
memukul runtuh jarum-jarumnya dari jauh, menggunakan sambaran hawa pukulan.
"Kami sungguh mengundangmu, Ang-hwa Sian-li. Kalau ketua kami mendengar akan
perbuatan tak terpuji dari dua orang murid kami kepadamu, lalu aku tidak mengundangmu,
tentu beliau akan marah dan menegurku sebagai tidak mengenal sopan santun. Karena itu,
deml menjaga agar aku tldak mendapat teguran dari ketua kaml, kuharap engkau suka
menerima undanganku untuk bersama Souw-sicu menemui Pangcu kami."
Siang In menoleh kepada Thian Liong dan tersenyum, seolah hendak mengatakan melalui
pandang mata dan senyumnya bahwa ia "terpaksa" ikut berkunjung ke Bu-tong-pal! "Wah,
kalau begitu, baiklah, totiang. Kalau aku tidak menerima undanganmu, berarti aku yang tidak
mengenal sopan santun."
Tosu itu tertawa dan mereka bertiga lalu berjalan mendaki lereng menuju ke sebuah puncak
bukit di maha perkampungan Bu-tong-pai berada.
Pada waktu itu. yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah seorang kakek berusia tujuh puluh
tahun yang biasa disebut Ciang Losu. (Guru Tua Ciang). Nama lengkapnya adalah Ciang Sun
dan hanya dia seoranglah yang menguasai Thai-kek Sin-kiam sebanyak delapan bagian. Sebelum
dia juga tidak ada yang dapat menguasai Thai-kek Sin-kiam secara lengkap karena kitab
pusaka pedang itu hilang tak tentu rlmbanya hampir seratus tahun yang lalu. Namun akhirakhlr
ini kesehatan Ciang Losu amat mundur. Kekuatan tubuhnya dlgerogotl usia sehingga dia
lebih banyak bersamadhi dari pada melakukan kegiatan mengurus perguruan Bu-tong-pai.
Untuk itu dia menugaskan para sutenya, di antaranya Pek Mau San-jin yang merupakan
sutenya yang paling muda. Maka tidak aneh kalau Pek Mau San-jin hanya mencapai tingkat
ke tiga saja di perguruan itu.
Ketika Ciang Losu yang tua itu mendengar bahwa murid Tiong Lee Cin-jin diutus gurunya
untuk mengunjunginya, dia merasa gembira dan segera keluar menyambut. Sudah lama dia
merasa kagum sekali mendengar nama Tiong Lee Cin-jin dan biarpun yang datang sekarang
hanya seorang muda, akan tetapi karena dia menjadi murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin yang
sengaja datang berkunjung, dia merasa girang sekali.
Thian Liong dan Siang In yang mengikuti Pek Mau San-jin memasuki bangun-an induk dari
perkqinpungan Bu-tong-pai melihat munculnya seorang kakek tinggl kurus, rambut dan
jenggotnya yang panjang sudah berwarna putih seperti benang perak, pandang matanya
lembut dan mulutnya terhias senyum sabar, segera memberi hormat. Mereka menduga bahwa
kakek ini tentu ketua Bu-tong-pai dan dugaan mereka benar. Pek Mau San-jin yang tadi
menyuruh seorang murid yang dijumpainya di pintu gerbang. untuk melapor kepada Ciang
Losu akan kunjungan murid Tiong Lee Cin-jin, segera memperkenalkan.
"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), ini adalah sicu (orang gagah) Souw Thian Liong
murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin, dan yang ini adalah Ang-hwa Sian-li. Souw-sicu dan
Ang-hwa Sian-li, inilah ketua Bu-tong-pai kami, suheng Ciang Losu."
"Harap 'loclanpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan kalau kedatangan kami mengganggu
ketenangan toclanpwe." kata Thian Liong dengan slkap hormat.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 156
"Sian-cai, sikap Souw-sicu saja cukup menjadi bukti betapa bijaksananya Tiong-Lee Cin-jin
yang kami hormati. Mari, orang-orang muda gagah, silakan masuk, kita bicara di dalam."
'kata Ciang Losu dengan wajah ceria.
Mereka berempat masuk dan duduk di ruangan dalam yang tertutup. Seorang murid
menyuguhkan air teh lalu keluar lagi.
"Nah sekarang kita dapat bicara de-ngan leluasa di sini. Ceritakanlah, apa yang membawa
kalian berdua orang-orang muda gagah datang berkunjung ke Bu-tong-pai dan menemui pinto
(saya)."
"Saya tidak mempunyai keperluan apa-apa, locianpwe. Saya datang untuk memenuhi udangan
Pek Mau San-jin." kata Siang In sambil memandang kepada pembantu ketua Bu-tong-pai itu.
Pek Mau San-jin segera menerangkan kepada suhengnya. "Suheng, Souw-sicu datang dan
minta menghadap suheng karena dia diutus oleh gurunya untuk memblcarakan sesuatu yang
penting dengan suheng. Adapun nona Ini, ada sesuatu terjadi antara Ang-hwa Sian-li ini dan
dua orang murid kita yang membuat merasa tidak enak dan mengundangnya." Dengan singkat
Pek Mau San-jin lalu menceritakan tentang peristiwa yang di alami Siang In dan dua orang
murid Bu-tong-pai yang menjadi gara-gara bentrok-aTi antara Pek Mau San-jin dan gadis
perkasa itu.
"Saya telah menyuruh dua orang murid itu menanti di ruangan hukuman, menanti keputusan
suheng." Pek Mau San-jin mengakhiri ceritanya.
Ciang Losu mengangguk-angguk. Wajah yang penuh kesabaran itu sama sekali tidak
memperlihatkan kemarahan hatinya. "Anak-anak itu harus dihukum. Laksanakan hukuman itu
sekarang juga, sute. Mereka harus melakukan samadhi selama tiga bulan. hanya berhenti
seharl sekali untuk makan. Dengan demikian kita harapkan mereka akan dapat
menghilangkan kekejaman dari hati mereka.
"Baik, suheng, akan saya laksanakan sekarang juga." Pek Mau San-jin memberl hormat lalu
menlnggalkan ruangan itu.
Setelah sutenya pergi, Ciang Losu berkata kepada Slang In dan Thian Liong
"Kalian lihat, betapa sulitnya mengalahkan musuh utama dalam hidup ini. Musuh utama itu
adalah dirinya sendiri, nafsu-nafsunya sendiri. Ang-hwa Sian-li...."
"Locianpwe, nama saya adalah Thio Siang In, saya merasa malu kalau lo-cianpwe yang
menyebut saya dengan julukan kosong itu." kata Siang In.
Ciang Losu tersenyum lebar memperlihatkan rongga mulut yang sudah tidak ada giginya lagi.
"Nona Thio Siang In, pinto lihat bahwa di balik kekerasan hatimu terdapat kerendahan hati
dan kejujuran. Maafkanlah ulah kedua orang mu-rid Bu-tong-pai kami."
"Tidak mengapa, locianpwe. Mereka sudah dihukum dan kalau mereka dapat mengubah
sikap, saya ikut merasa girang."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 157
"Sekarang, pinto ingin mendengar darimu, Souw-slcu. Tiong Lee Cin-Jln mengutus engkau
datang menemul plnto, sebetulnya membawa keperluan apakah?"
"Locianpwe, saya diutus suhu untuk menyerahkan sebuah kitab kepada lecianpwe, karena
menurut suhu, kitab itu adalah hak milik Bu-tong-pal." Setelah berkata demikian, Thian Llong
menurunkan buntalan pakalannya dari punggung dan membuka buntalan itu.
"Ah, bukan main! Tiong Lee Cin-jin menemukan kitab kami dan mengembalikan kepada
kami? Sungguh mulia, sungguh bljaksana!" kata Ciang Losu dengan wajah berseri,
tampaknya gembira sekali.
Thian Liong mengambll Kitab Kiauw-ta Sin-na dari dalam buntalan. Kitab ini agak tebal dan
sudah tua sekali.
"Inilah kitab itu, locianpwe, harap sudi menerimanya."
"Terima kasih....!" Kakek itu menerima kltab, lalu dibuka. Setelah melihat islnya, dia berkata,
"Sian-cai..... Kiranya Kitab Kiauw-ta Sin-na yang hilang lima puluh tahun yang lalu!"
"Loclanpwe telah menerima kembali kltab yang telah lama hilang, kenapa malah tampak
kecewa?" tiba-tiba Siang In bertanya.
"Eh.... ahh....? Nona Thio Siang In sungguh memiliki penglihatan yang amat tajam!" seru
Clang Losu sambil tersenyum dan memandang kagum. "Sesungguhnyalah, pinto merasa
kecewa melihat bahwa yang dikirim oleh Tiong Lee Cin-jin adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na,
bukan Kitab Thal-kek Sin-kiam yang hilang seratus tahun yang lalu sepertl yang tadi
kusangka dan harapkan."
"Suhu pernah bercerita kepada saya, locianpwe, bahwa dalam perjalanannya, suhu jUga
berusaha mendapatkan kembali kitab pusaka milik Bu-tong-pai itu, akan tetapi menurut suhu,
tidak ada seorangpun di dunia barat yang tahu tentang Kitab Thai-kek Sin-kiam itu." Kata
Thian Liong.
"Ah, tidak mengapa, Souw-sicu. Kitab Kiauw-ta Sin-na ini juga merupakan kitab pusaka kami
yang penting. Harap sampaikan ucapan terima kasih dan seluruh anggauta dan pipipinan Butong-
pai."
"Baik, locianpwe, akan saya sampaikan kepada suhu pesan locianpwe." Kata Thian Liong.
"Bu-tong-pai tidak dapat membalas apa-apa atas kemuliaan hati dan kebijaksanaan Tiong Lee
Cin-jin. Kami hanya dapat mendoakan semoga Tiong Lee Cin jin berusia panjang dan hidup
penuh kebahagiaan." kata pula kakek itu.
"Terima kasih, lo-cian-pwe." Dua orang muda itu laki berpamlt dari Ketua Bu-tong-pai yang
sudah tua itu. Di pintu depan mereka disambut oleh Pek Mau San-jin yang mengantar mereka
sampai keluar pintu gerbang Bu-tong-pai. Setelah mengucapkan terima kasih atas sambutan
Bu-tong-pai yang baik, Thian Liong dan Siang In lalu meninggalkan perguruan silat yang
terkenal itu dah menuruni puncak bukit.
Setelah tiba di kaki bukit, Siang In mengajak pemuda itu berhenti dan la bertanya. "Liong-ko,
urusan di Bu-tong pai sudah beres. Sekarang, engkau hendak pergi ke manakah?"
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 158
"Aku sekarang akan pergl ke Siauw-Lim-pal." jawab Thian Liong sejujurnya.
"Wah? Bukankah kuil Siauw-Lim-pai itu jauh sekali dari sini? Mau apakah engkau pergi ke
perguruan-pergurUan silat? Tadl ke Bu-tong-pai dan sekarang hendak ke Siauw-lim-pi.
Apakah juga engkau ke sana untuk menyerahkan kitab pusaka Siauw-lim-pai?"
Thian Liong mengangguk. "Tldak salah dugaanmu, In-moi. Aku memang sedang
melaksanakan perlntah suhu untuk menyerahkan kltab-kitab pusaka kepada pemiliknya yang
berhak."
"Suhumu Tiong Lee Cin-jin ttu aneh sekali! Aku sudah mendengar bahwa dla merantau ke
dunia barat selama puluhan tahun dan berhasil mendapatkan banyak kitab penting. Kenapa
sekarang kitab-kitab itu dibagi-bagikan?"
"Bukan begitu, In-moi. Dalam perantauannya ke barat untuk memperdalam ilmu, suhu
menemukan kitab-kitab para perguruan silat yang dulu dicuri orang. Suhu berhasil
merampasnya kembali dan karena kitab-kitab itu ada yang berhak memiliki, maka suhu
mengutus aku untuk mengembalikan kitab-kitab itu kepada yang berhak. Bukankah hal itu
sudah wajar dan semestinya?"
"Sama sekali tidak wajar. Kalau suhumu yang menemukan dan merampasnya kembali,
semestinya kitab-kitab itu menjadi hak milik suhumu! Enak saja para ketua perguruan silat itu
menerima kembali kitab mereka tanpa merasa bersusah payah! Ah, sudahlah, memang aku
sudah mendengar bahwa Tiong Lee Ctn-jin itu orangnya aneh luar biasa. Tapi kulihat engkau
ini orang biasa saja, seperti juga aku. ngomong-omong, berapa banyak sih kitab yang harus
kau kembalikan kepada para ketua perguruan silat itu, Liong-ko?"
"Hanya tiga buah kitab, In-moi. Sebuah untuk diserahkan kepada Ketua Kun-lun-pai, sebuah
untuk Ketua Bu-tong-pai dan yang sebuah lagi harus kuserahkan kepada Ketua Siauw-lim
pai."
"Hemm, baglan Bu-tong-pal gudah kauserahken. Apakah kiinb untuk Kun-lun-pal juga sudah
kauberikan kepada ketuanya?" Thian Llong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Itulah yang merisaukan hatiku, In-mol. Kltab untuk Kun-lun-pai Itu dicuri orang dalam
perjalananku."
"Waah...! Dicuri orang? Apa namanya kitab pusaka Kun-lun-pai itu, Liong-ko? Siapa tahu
aku dapat membantumu mencarinya."
"Kitab itu berjudul Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat."
"Dan siapa pencurinya?" "Itulah yang memusingkan. Pencurinya seorang gadis, aku akan
dapat mengenal wajahnya, akan tetapi sayang, aku tidak tahu namanya."
"Hemm, bagaimana seorang gadis mampu mencuri kitab pusaka itu darimu? Coba gambarkan
bagaimana gadis itu. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengannya dan dapat merampas kitab
yang dicurinya itu!" kata Siang In penuh semangat.
”la masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Pakaiannya serba merah muda. la
lincah jenaka, bengal, galak dan cerdik."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 159
"Wajahnya, bagaimana rupanya?" '
"Hemm, wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang, kalau tertawa timbul lesung pipit di
kedua pipinya...."
"la cantik?"
"Cantik sekali, pinggangnya ramping, dagunya meruncing, kulitnya putih......."
"Hemm, cantik mana kalaU dibandingkan....... aku?"
Thian Liong menatap wajah di depannya. "Wah..... sukar menilai, In-moi. Engkau juga cantik
sekali, sukar rnengatakan siapa di antara kalian yang lebih cantlk. Usia kalian juga sebaya dan
ilmu silat kalian juga sama lihainya."
"Tentu Kun-lun-pai marah sekali mendengar kitab pusaka mereka dicuri orang. Apakah
mereka sudah tahu?"
"Memang mereka tadinya marah sekali. Akan tetapi akhirnya Kui Beng Thaisu, ketua Kunlun-
pai dapat menerima kenyataan dan akupun sudah berjanji kepadanya untuk berusaha
mencari dan menemukan kembali kitab pusaka, Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu."
"Kitab pusaka Bu-tong-pai tadi adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na. Lalu sekarang tinggal sebuah,
yaitu kitab pusaka yang akan kauserahkan kepada Siauw-lim-pai. Apakah nama kitab itu,
Liong-ko?" Sepasang mata bintang itu memandang ke arah buntalan pakaian di punggung
Thian liong.
"Namanya Kitab Sam-jong Cin-keng."
Menurut keterangan suhu, kitab ini mengandung ilmu yang diciptakan sendiri oleh Dewa Jilai-
hud!"
"Wah, aku ingin sekali melihatnya! Liong-ko yang baik, tolong perlihatkan kitab itu padaku,
sebentar saja!" Gadis itu mendekat
"Wah, tidak boleh, In-moi!"
"Aih! Masa hanya melihat saja tidak boleh?"
"Suhu memesan agar aku jangan memberikan kitab-kitab itu kepada siapa saja kecuali kepada
para ketua yang berhak menerimanya."
"Akan tetapl aku hanya ingin pinjam sebentar, melihat-lihat lainnya untuk menambah
pengetahuan dan pengalamanku. Sebentar saja, nantl kukemballkan,"
"Maaf, In-mol, aku tidak dapat memenuhl permlntaanmu. Suhu berpesan agar aku menjaga
kitab-kitab Itu dengan taruhan nyawaku."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 160
Walah gadis Itu berubah merah, matanya bersinar-sinar mengandung kemarahan. "Hemm,
buktlnya sebuah di antara tiga buah kitab itu hilang!"
"Hal itu terjadl karena aku lengah dan gadis Itu mencurlnya."
"Benarkah? Apakah tidak karena engkau tergila-gila oleh kecantikannya dan engkau
meminjamkan kltab itu kepadanya lalu ia melarlkan diri membawa kitab itu?"
"Sama sekali tidak, In-mol. Engkau, juga cantik, akan tetapi tetap saja aku tidak berani
meminjamkan kitab ini padamu. Maafkan saja."
"Bagaimana kalau ada orang menggunakan kekerasan untuki merampas kitab"
”Tentu saja akan kulawan dan kupertahankan."
"Kalau begitu karena engkau tidak mau meminjamkannya, aku akan merampasnya dengan
kekerasan. Lawanlah aku!" Setelah berkata demikian, dengan cepat sekall Siang In sudah
menerjang pemuda itu dan tangan kirinya menotok ke arah dada sedangkan tangan kanahnya
mencengkeram ke arah buntalan yang tergantung di punggung Thlan Liong.
Thian Liong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia merasa
kecewa dan marah. Kenapa setiap kali bertemu dengan gadis cantik, selalu dia menghadapi
kesulitan dan persoalan? Pertama bertemu gadis Jelita berpakaian merah muda itu yang
kemudian mencuri kitab pusaka Kun-lun-,pai dari buntalan pakaiannya sehingga dia
mengalami kesulitan. Kemudian dfa bertemu dengan Kim Lan, murid Kun-lun-pai yang
cantik itu, yang hendak memaksanya agar dia menjadl suami gadis itu! Dan sekarang ini, dia
menghadapi Ang-hwa Sian-Ii Thlo Siang In yang ayu manls, dan lagi-lagi dla menghadapi
kesulitan karena gadis inl hendak memaksanya meminjamkan kitab pusaka StauW-lim-pai!
"In-moi, jangan begitu! Kitab ini bukan milik klta. Kita tidak berhak......”.
"Cukup! Berikan kepadaku atau aku terpaksa akan merampasnya dengan kekerasan!"
.
"Tidak boleh, In-moi!" kata Thian Liong yang mulai merasa panas juga perutnya.
Hyaaaattt...." Slang In menerjang dengan cepat. Serangannya kuat bukan main dan kedua
lengannya dikembangkan dan menyerang secara tiba-ttba dari samping, sepertl sepasang
sayap, kedua kakinya berjingkat dan berloncatan, sepertl gerakan seekor burung. Memang
gadis ini telah menyerang dengan memainkan ilmu silat Kong-ciak Sin-kun, (Silat Sakti
Burung Merak). Gerakannya indah dan aneh, akan tetapl berbahaya sekali karena kedua
tangan dan kedua kaki itu menyerang secara bergantian secara tiba-tiba dan tak tersangkasangka!
Thian Llong berslkap hati-hatl. Gerakan serangan gadis ini dahsyat juga walaupun ketika
diam-diam dia membandingkan, belumlah sedahsyat tingkat kepandaian gadis baju merah
yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai Itu. Dia mengerahkan ilmu meringankan diri dan
mengelak dari semua serangan. Tubuhnya berkelebatan, berubah menjadi bayangan yang
tidak mungkin dapat dilanda pukulan atau tendangan. Siang In terkejut. Belum pernah la
melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehebat ini. Kedua matanya sampai menjadi
kabur saking cepatnya bayangan Thian Llong bergerak.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 161
Siang In menjadi periasaran. Tiba-tiba ia sudah mencabut saputangan merah dan sekali
mengebut dengan saputangan, belasan batang jarum kecil lembut menyambar ke arah tubuh
Thlan Liong.
"Haiiit!"
"Ahhh!" Thian. Liong mendorong dengan telapak tangannya dan Jarum-jarum itupun runtuh
semua. Akan tetapi kini gadis itu telah menyerangnya dengan cepat dan sekali ini kedua
tangannya melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah maut di seluruh tubuh Thian Liong.
Itulah ilmu totok Im-yang Tiam-hoat, yang dtpergunakan Siang In setelah Ban-tok-ciam
(Jarum Selaksa Racun) yang dikebutkan dengan saputangan merah tadi gagal.
"Hemm....!" Thian Liong menghadapi serangan baru ini dengan kagum. Gadis tni memang
lihai, memiliki beberapa macam ilmu silat yang ampuh. Akan tetapi, seperti juga jarum-jarum
beracunnya, ilmu totok inipun bersikap kejam karena setiap serangan merupakan serangan
maut. Dia mengelak dan terkadang menangkis dengan membatasi tenaganya sehingga Siang
In hanya merasa betapa lengannya tergetar hebat kalau tertangkis lengan pemuda, akan tetapi
ia tidak sampai cidera patah tulang. Setelah setnua serangannya gagal sama. sekali dan
pemuda itu belum juga satu kali membalas serangahriya, tahulah Siang In bahwa tingkat
kepandaiannya kalah jauh. Semua serangannya tadi gagal dan sampai sekilan lamanya Thian
Liong tidak pernah membalas. Hal ini berarti pemuda itu mengalah terhadapnya. Akan tetapi
ia memang keras hati, tidak mau mengaku kalah begitu saja.
"Srat-sing....!" Dua sinar berkelebat dan gadis itu sudah mencabut siang-kiam (sepasang
pedang) yang tergantung di punggungnya. Dua batang pedang yang Berkilauan berada di
kedua tangannya.
Akan tetapi ia tidak segera menyerang.
"Hayo, cabut pedangmu! Hendak kulihat apakah engkau mampu menandingi sepasang
pedangku!" tantang Siang In sambil mengerutkan alisnya karena ia masih marah oleh
penolakan Thian Liong yang tldak mau meminjamkan kitab pusaka Siauw-lim-pai untuk
dilihatnya.
"Sudahlah, In-moi, mengapa engkau berkeras menantangku bertanding? Kita Inl bukan
musuh, melalnkan sahabat, bukan? Aku girang dan berterilma kaslh sekall atas semua
slkapmu kepadaku yang amat balk dan bersahabat selama ini. maka, kuminta kepadamu,
hentikanlah pertandlngan inl."
"Hemm, Souw Thtan Llongl Engkau mengaku bahwa aku bersikap balk dan. bersahabat, akan
tetapi seballknya, bagaimana sikapmu? Engkau pelit dan tldak percaya kepadaku seliingga
memperlihatkan kitab pusaka itu engkau tolak? apakah artinya persahabatan bagimu?"
"In-moi, kitab ini bukan milikku dan aku harus mentaati pesan dan perintah suhu. (Bagaimana
aku dapat disebut seorang berbakti kalau aku melanggar pesan, suhu yang tidak boleh
memperlihatkan kitab ini kepada orang lain kecuali kepada Ketua Siauw-lim-pai? In-moi,
maafkan aku. Engkau boleh minta yang lain, akan tetapi jangan minta aku melanggar larangan
suhu."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 162
"Cukup. Aku tetap ingin menguji kepandaianmu dan engkau coba bandingkan, siapa di antara
aku dan gadls yang mencurl kitab pusaka Kun-lun-pai yang lebih lihai Pergunakan pedangmu.
Aku tldak sudi bertanding dengan orang yang bertangan kosong melawan sepasang
pedangkul"
Thian Liong menghela napas panjang. Gadis Inl sama keras hatinya dengan gadis baju merah
yang mencurl kltab pusaka Kun-lun-pal itu. Kalau tldak dlturutl tantangannya, la tentu akan
mendesak terus. Diapun mencabut Thian-llong-kiam dan melintangkan pedang itu di depan
dadanya.
Kalau demikian kukuh kehendakmu, baiklah, In-moi. Akan kulayani permainan pedangmu."
kata Thian Liong dengan sikap tenang.
"Lihat , seranganku. Haaaiiiit" Dua batang pedang di kedua tangan Siang In itu berubah
menjadi dua gulungan sinar yang menyambar ke arah Thian Llong. Pemuda ini cepat
melangkah mundur dan mengelebatkan pedangnya, membentuk sebuah lingkaran, sinar yang
melindunginya. Dia melihat betapa gerakan pedang di kedua tangan gadis itupun ganas sekali.
Sepasang pedang itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular cobra yang liar dan ganas.
Setiap tusukan atau bacokan mengarah bagian tubuh berbahaya sehingga setiap serangan
merupakan ancaman maut bagl lawan. Inilah Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang
Pencabut Nyawa), ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas.
Akan tetapi Thian Liong menghadapi serangkaian serangan gadis itu dengan tenang.
Gerakannya tenang dan mantap dan setiap kali sinar pedangnya bertemu dengan dua gulungan
sinar pedang lawan sepasang pedang di tangan Siang In terpental. Akan tetapi hal ini bahkan
membuat Siang In menjadi semakin penasaran dan ia mengamuk terus, menyerang dengan
sekuat tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.
Seperti tadi ketika mereka bertanding dengah tangan kosong, kini Thian Liong juga selalu
mengalah, hanya mengelak dan menangkis saja. Tiga puluh jurus telah lewat dan selalu Siang
In yang rne-nyerang sedangkan Thian Liong hanya melindungi dirinya. Hal ini membuat
Siang In menjadl semakin penasaran. la merasa dipandang rendah dan hal ini menyinggung
harga dirinya.
"Hayo balas, pertandingan macam apa ini kalau engkau hanya mengelak dan menangkis
saja?" bentaknya dan darl suaranya terdengar bahwa ia marah dan penasaran sekali.
Thian Llong merasa serba, salah. Untuk menyerang tentu saJa dia tidak tega, akan tetapl kalau
dia tldak menyerang, dia tahu bahwa gadis Itu menjadi pena-saran dan merasa dipandang
rendah. "In-moi, jaga seranganku!" Thian Liong berseru dan gulungan sinar pedangnya
menjadi lebar sekali. Angin mendesir-desir dan pedang Thian-liong-kiam, mengeluarkan
suara berdesing-desing, bagaikan gelombang samudera dalam badai menerjang ke arah Siang
In. Gadis itu terkejut bukan main dan cepat Ia mengerahkan tenaga dan memutar sepasang
pedangnya untuk melindungi dirinya dari hantaman gelombang sinar pedang yang amat
dahsyat itu.
Akan tetapi begltu kedua pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang yang
menerjangnya, hampir Siang In menjerit karena kedua pedangnya terasa seperti tergutung
gelombang sinar, dlputar dan dlrenggut dari kedua tanganhya, la mempertahankan dengan
pengerahan tenaga, namun tetap saja kedua pedangnya terenggut lepas dari kedua tangannya.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 163
Tentu saja ia terkejut dan cepat melompat ke belakarig dan ia melihat Thian Llong yang
memutar pedangnya itu tlba-tlba menggerakkannya ke bawah dan....... cappp! Dua batang
pedangnya meluncur dan menancap di atas tanah, dl depan kakinya!
"Ilmu silat sepasang pedangmu hebat, In-moi, membuat aku cukup kerepotan." kata Thlan
Llong sejujurnya tanpa bermaksud mengejek karena memang dia menganggap ilmu pedang
tadi berbahaya sekali.
Akan tetapi Stang In tidak menjawab, melainkan cepat la mengambil sepasang pedangnya
dengan kedua tangan, kemudian ia meloncat dan berlari pergi meninggalkan Thlan Llong.
Pemuda itu hanya dapat mengikutl bayangan gadls Itu dengan pandang matanya dan dia
mendengar isak tertahan. Gadls itu meninggalkannya sambll menangls! Thian Liong
menyimpan pedangnya dan dla berdlrl termenung. Dla merasa heran dan tldak mengertl, Dua
kall dia bertemu dangan dua orang gadis yang cantlk jelita dan berkepandalan tinggi dan
kaduanya rnemiliki watak yang aneh.
Keduanya keras hati, ganas dan kejam, akan tetapi keduanya Juga menentang kejahatan
seperti pendekar-pendekar wanita! Sungguh sukar menyelami watak kedua orang gadis itu.
Akan tetapi dla-pun harus mengakui dalam hati bahwa bflru sekarang secara berturut-turut dla
rnerasa tertarik kepada wanlta. Wajah gadis baju merah dan wajah Slang In silih berganti
membayang di depan matanya. Dia mengheia napas dan melanjut" kan perjalanannya»
menuju ke Siauw-lim"
Siauw-lim-pai merupakan perguruan silat yang terkenal sekali, bukan saja sebagai sebuah
perguruan silat yang dipimpin orang-orang saktl, akan tetapi juga sebagai pusat
perkembangan Agama Buddha yang dlpimpin para hwesio (pendeta) yang beribadat. Biarpun
para murld yang sudah lulus dan tldak tinggal lagi di perumahan Siauw-llm-si (Kuil Siauwlim)
yang biasa. Itu tidak diharuskan jadi pendeta, namun semua murid yang masih belajar
ilmu silat dl Kuil Siauw-lim dlharuskan hidup sebagai murid Buddha yang patuh dan baik.
Selagi mereka belajar dalam kuil besar yang merupakann kornpleks perumahan luas itu, para
murid harus merelakan kepala mereka digunduli seperti para pendeta dan hldup sederhana,
pantang raakanan berjiwa dan minuman keras.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-llin-pai adalah Hui Sian Hwesio yang usianya
sudah enam puluh lima tahun. Hwesio ini bertubuh tinggi besar dan gemuk, berkulit putih
dengan muka bulat dan alisnya tebal. Sikapnya lemah lembut dan walaupun dla merupakan
orang nomor satu di Slauw-Lim-pai namun dia jarang ikut membimblng para murld dalam hal
llmu sllat. Dla leblh mengutamakan pelajaran Agama Buddha dan lebih sering duduk
bersamadhi seorang dlri. Adapun yang sibuk mewakilinya mengurus persoalan Slauw-lim-pal
dan mengawasi para murid kepala adik-adik seperguruannya melatlh llmu silat kepada para
murid, adalah Cu Slan Hweslo. Dia menjadi wakll ketua dan adlk seperguruan Hul Slan
Hweslo. Cu Slan Hwealo yang berusla enam puluh tahun ini berkullt agak hitam, hldungnya
mancung dan bentuk waJahnya leblh mlr(p orang India. Memang dla merupakan seorang
peranakan India, bahkan lama dia memperdalam pengetahuan agamanya di India. Tubuhnya
tinggi kurus dan walaupun dia merupakan sute (adik seperguruan) Hut Slan Hwesto dan
tingkat kepandaian silatnya masih di bawah tingkat sang ketua, namun Cu Slan Hwesip
terkenal sebagai seorang hwesio yang tangguh dan lihai sekall ilmu sllatnya.
Pada auatu pagi, seperti blasa, sudah terjadl keslbukan dalam kompleks perumahan Slauwllm-
pal yang luas itu. Para murld yang tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya, seJak
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 164
pagi sudah mengerjakan kewajlban masing-maslng. Mereka bekerja secara bergiliran. Yang
mendapat tugas mengangkut alr darl sumber alr ke dapur dan tempat mandi sudah bekerja
keras memikul air rnenggunakan tong-tong alr. Ada pula yang membelah batang pohon
menjadi potongan kayu-kayu bakar. Ada pula yang bertugas mencarl kayu di hutan sebelah.
Ada yang bekerja di ladang di mana mereka menanam sayur-sayuran, Ada pula yang bertugas
membersihkan seluruh komplteks, ada yang menyapu, ada yang membersihkan jendelajendela
dan pintu-pintu. Pendeknya, sejak pagi tidak ada murldnya yang menganggur. juga di
dapur terdapat keslbukan dari mereka yang bertugas memasak makanan. Ada pula rombongan
yang pagi Itu bertugas untuk mempelajari kltab-kitab agama dan menghafalkan doa-doa, dan
ada pula rombongan yang bertugas untuk berlatlh silat di lian-bu-thla (ruangan berlatlh silat),
sebuah ruangan yang luas di mana puluhan murld dapat berlatih secara berbareng. Dari
ruangan ini terdengar suara-suara bentakan mereka. Akan tetapl dalam ruangan laln, agak
jauh darl ruangan berlatlh silat, terdapat sebuah ruangan yang khusus untuk berlatlh samadhi
dan ruangan ini tenang sekali.
Setelah matahari naik agak tlnggl, Ilma orang murld Slauw-lim-pal yang bertugas Jaga di
plntu gapura kompleks perumahan Siauw-llm-sl menerima kunjungan seorang tamu. Lima
orang murld yang berusia antara dua puluh sampal tiga puluhi tahun itu menyambut
datangnya tamu tak dikenal ini dengan slkap hormat dan ramah, sikap yang diajarkan oleh
para pimpinan mereka. Orang-orang muda dengan kepala gundul dan pakaian sederhana kini
bangkit dari duduknya di dalam gardu penjagaan dan melangkah keluar gardu menyambut
tamu itu. Tamu itu adalah seorang pria berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya
sedang namun tampak kokoh kuat. Wajahnya. yang dihias kumls tipis Itu gagah perkasa, sinar
matanya mencorong. Pakaiannya rlngkas, sepertl yang blaaa dlpakai kaum persllatan.
Sebatang padang beronce biru tergantung dl punggunnya sehihgga mudah sekali diduga
bahwa pria Itu tentulah seorang ahll silat atau sebutan umumnya orang kang-ouw (sungal
telaga) atau orang bu-lim (rimba persilatan). Seorang murid tertua darl llma orang Itu, berusia
tiga puluh tahun, cepat mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan dan
dia bertanya.
"Slapakah saudara yang datang berkunjung dan keperluan apakah yang membawa saudara
datang ke Siauw-Lim-Si?"
Akan tetapi pria Itu tidak membalas penghormatan murid Siauw-lim-pal itu, bahkan dia
memandang dengan alls berkerut, tanda bahwa hatinya tidak merasa senang.'
"Kalian berlima tentu murid-murid Siauw-lim-pai, benarkah?" Suaranya juga terdengar tidak
ramah, bahkan agak ketus.
"Benar, kami adalah murid-murld Siauw-llm-pal." jawab lima orang muda itu, mulal merasa
penasaran melihat sikap tamu yang tidak ramah Itu.
"Nah, cepat panggil Ketua Siauw-Lim-pai ke sini untuk menemul aku! Aku Ingln bicara
dengan dial"
Llma orang murld, Stauw-llm-pai Itu tentu saja mengerutkan alis dan merasa tidak senang.
Tamu ini sungguh lancang dan tidak sopanl Masa berani mengeluarkan perintah memanggil
ketua mereka begitu saja? Memangnya siapa sih dia. Akan tetapi, murld tertua mewakili
teman-temannya karena dialah yang bertugas sebagai kepala jaga. Dia masih dapat bersikap
sabar.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 165
"Sungguh tidak mudah untuk menghadap ketua kami. Seorang tamu harus memberitahu nama
dan alamat, apa keperluannya agar kami dapat melapor ke dalam, kemudian tergantung
keputusan ketua kami apakah beliau dapat menerima tamu itu menghadap atau tldak."
Jilid 10 …..
”Aku bukan tamu!" Pria itu membentak marah. "Tidak perlu menghadap ketua kalian. Dialah
yang harus keluar menemui aku karena aku hendak menuntut dia! Hayo, kalian beritahukan
ketua kalian agar keluar menemui aku. Ketua kalian Hui Sian Hwesio, bukan?" Murid-murid
Siauw-lim-pai itu rnulai marah. Orang ini sudah keterlaluan.
"Tidak bisa! Kami tidak blsa memenuhi permintaanmu yang melanggar peraturan kami itu!"
kata kepala jaga dengan suara mulai ketus.
"Kalian tidak blsa memanggil ketua kalian keluar? Kalau begitu, aku akan memanggilnya
sendiri!" Setelah berkata demikian, pria itu memasuki pintu gapura dan melangkah memasuki
pekarangan kuil yang luas itu. Akan tetapi dengan tangkas lima orang murid penjaga itu
melompat dan menghadang didepannya.
"Maaf, sobat. Sesual dengan peraturan kami, tak seorangpun orang luar boleh memasukl
pekarangan sebelum memperoleh persetujuan. Dan kaml tldak dapat menyetujui engkau
menyelinap masuk begltu saja tanpa memperkenalkan dlrl dan tanpa memberi tahu
keperluanmu!"
"Hemm, kalian berani melarangku? Coba hendak kulihat bagaimana kalian dapat
menghalangiku. Murld Slauw-llm-pai sekarang memang sudah menjadi orang-orang jahat
yang patut dihajar!" Setelah berkata demlkian, orang itu melangkah maju terus tanpa
menghiraukan mereka berlima yang menghadangnya.
Tentu saja lima orang murid Siauw-lim-pai itu menjadi marah sekali, Mereka menggerakkan
tangan untuk mencegah dan menangkap orang yang tidak tahu aturan itu. Akan tetapi orang
itu menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan.... lima orang murid Siauw-llm-pal itu
berpelantingan roboh ke kanan kiri, Cepat sekall gerakan kaki tangan orang Itu yang sudah
membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga tidak dapat dihindarkan oleh lima orang
murid Slauw-lim-pai itu. Setelah merobohkan lima orang murid Slanw-llm-pal, dia
melangkah terus menuju ke anak tangga yang merupakan bagian terdepan dari kuil besar.
Setelah tlba dl bawah kuil, dia berhenti dan mendengar teriakan-teriakan para murid yang tadl
dirobohkan. Dia tidak perduli berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangannya
bertolak plnggang dan dia berteriak. Suaranya terdengar nyaring sekali karena dla
mengerahkan khi-kang yang membuat| suaranya melengklng.
"Hui Sian Hwesio, keluarlah untuk berbicara!!"
Keadaan menjadl gempar, Para murid Siauw-lim-pai meninggalkan pekerjaan masing-masing
dan berbondong mereka menuju ke pekarangan kuil. Akan tetapi mereka tidak berani turun
tangan dan hanya berdiri menanti perintah dari pimpinan mereka. Tidak kurang dari empat
puluh orang murid telah berkumpul di anak tangga serambi depan dan di pekarangan. Namun
pria itu tidak tampak takut, bahkan tersenyum mengejek dan mengulang teriakannya tadi.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 166
Tiba-tiba muncul seorang hwesio berusia kurang lebih lima puluh tahun dl serambi depan dan
dengan langkah lebar hwesio itu menuruni anak tangga. Para murid Siauw-lim-pai merasa
lega karena hwesio pendek gendut yang muncul ini adalah pelatih mereka dalam ilmu silat.
Hwesio ini bernama Ki Sian Hwesio, merupakan sute (adik seperguruan) termuda dl antara
para plmplnan Slauw-llm-si, akan tetapl karena ilmu silatnya tangguh, maka dia dipilih oleh
Hui Sian Hwesio sebagai pelatih, membantu Cu Slan Hwe-slo. Mellhat ribut-ribut Ki Sian
Hweslo cepat keluar dan klnl berhadapan dengan pria itu. Lima orang murid yang tadi berjaga
dan dirobohkan tamu aneh itu, segera mendekati Ki Sian Hwesio dan kepala Jaga itu melapor.
"Suhu tamu ini tidak memperkenalkan dirinya, memaksa masuk untuk menemui ketua dan
telah merobohkan teecu (murid) berlima."
Ki Slan Hwesio mengerutkan alisnya menatap wajah pria yang masih tampak marah itu.
"Sobat, seorang tamu sepatut-nya tunduk terhadap tata tertib pihak tuan rumah, bukan
memaksa masuk dan berterlak-teriak di sini. Siapakah engkau dan ada keperluan apa engkau
berkunjung ke Siauw-lim-pai?"
"Aku Ingin bertemu dan bicara sendiri dengan Ketua Siauw-lim-pai! Apakah engkau ini wakil
dari ketua?" orang itu bertanya.
Ki Sian Hwesio menggeleng kepalanya. "Bukan, akan tetapi...."
"Kalau begltu pergilah dan panggil ketua atau wakil ketua kalian untuk bi-cara denganku!"
potong prla itu ketus.
"Pinceng (aku) memang bukan ketua atau wakll ketua, akan tetapi plnceng berhak dan
berkewajiban untuk atas na-ma Siauw-lim-pai mengusir orang tidak tahu aturan yang berani
lancang mengacau dl sini!"
Sinar mata tamu itu mencorong ketika dia mendengar ucapan ini. Dia menatap wajah hwesio
yang pendek gendut itu dan berkata, "Hemm, ingin kulihat bagaimana engkau akan mampu
mengusir aku dari tempat ini!"
Karena sudah jelas bahwa tamu ini melanggar peraturan Siauw-lim-pal, bahkan telah
merobohkan lima orang murid, Kl Slan Hwesio tidak ragu-ragu lagl untuk bertlndak.
"Manusia sombong, sambutlah serangan pinceng ini!" bentak hweslo gendut pendek Itu dan
dla sudah menyerang dengan dahsyatnya. Blarpun tubuhnya pendek gendut, Ki Stan Hwesio
dapat bergerak dengan cepat sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar. Hwesio ini
lebih suka melatlh ilmu sllat Siauw-lim-pai aliran utara yang mengutamakan kecepatan dan
kekuatan, maka serangannya itu cepat namun dahsyat sekali. Sambaran kepalan tangannya
mendatangkan angin bersuitan.
Akan tetapi agaknya tamu yang belum juga memperkenalkan namanya itu memiliki ilmu
kepandaian silat tinggi. Pantas kalau dia berani bersikap demikian kasar dan berkunjung ke
Siauw-lim-pai yang menjadi pusat para pendekar silat. Menghadapi serangan Ki Sian Hwesio
itu, dengan tenang namun Hncah sekali dia mengelak ke samping dan se-lagi tangan hwesio
itu meluncur luput, dia sudah membalas dengan tamparan tangan terbuka ke arah ubun-ubun
kepala Ki Sian Hwesio yang jauh lebih pendek itu.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 167
"Wuuuttt....... dukk!" Kl Sian Hwesio menangkis ke atas dan dua lengan ber-temu dengan
kuatnya. Aklbat benturan kedua lengan ini, dua orang itupun terhuyung ke belakang. Hal ini
menunjukkan bahwa tenaga mereka seimbang.
Ki Slan Hwesio menjadi penasaran dan diapun melakukan serangan dengan gencar dan
bertubi-tubi, memainkan ilmu silat Slauw-lim-pai yang kokoh kuat. Akan tetapi ternyata
lawannya juga lihai sekali, mampu menandinginya, bukan saja mampu menghindarkan
kakinya dari tangkapan, akan tetapi lawannya bergulingan dan ketika kakinya turun kembali,
tak dapat dihindarkan lagi kakinya dapat dicengkeram! Sebelum dia sempat meronta, de-ngan
gerakan yang aneh namun kuat sekali lawannya menggeliat, kedua- ta-ngannya disentakkan
dan tiibuh Ki Sian Hwesio terlempar beberapa meter dan jatuh (erbanting di atas tanah.
Demikian kuat bantingan itu sehingga tulang pun-dak kirinya patah! Itu adalah ilmu gulat dari
bangsa Mancu! Melihat betapa pelatih mereka terbanting keras dan hanya dapat bangkit
duduk sambil mengeluh, para murid Siauw-lim-pai menjadi marah dan mereka sudah siap
untuk mengeroyok tamu itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara nyaring berwibawa.
"Semua murid mundur!"
Ternyata yang membentak Inl adalah Cu Sian Hwesio yang bertubuh tinggi kurus dan
bermuka hitam. Mendengar ini, para murld tidak jadl mengepung dan melangkah mundur,
memberi ruangan ke-pada wakil ketua SiauW-lim-pal. Cu Sian Hwesio melangkah maju turun
dari anak tangga dan berdiri berhadapan dengan tamu itu.
"Omitohud!" kata Cu Sian Hwesio sambil merangkap kedua tangan di depan dada memberi
salam sembah. "Pinceng melihat ada gerakan silat Kong-thong-pai dalam permainan sicu
(orang gagah). Selama ini tidak pernah ada permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Kongthong-
pai, kenapa sicu datang membikin ribut di sini?",
"Ini adalah urusan pribadiku dengan orang Siauw-lim-pai, sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan perguruan silat manapun!" kata pria itu ketus.
"Omitohud, agaknya sicu marah sekali! Siapakah nama sicu yang terhormat, dan ada urusan
apakah antara sicu dengan Siauw-lim-pai?" tanya Cu Sian Hwesio, suaranya tetap tenang dan
sabar.
"Engkau siapa?" tanya orang itu, suaranya masih mengandung kemarahan. "Aku hanya Ingin
bicara dengan Ketua Siauw-lim-pai!"
"Ketua Siauw-llm-pat sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Pinceng adalah Cu Sian
Hwesio, Wakil Ketua Siauw-lim-pai dan semua urusan dengan Siauw-lim-pai dapat
diselesaikan dengan pinceng. Suheng Hui Sian Hwesio selaku iyKetua Siauw-lim-pai telah
menugaskan pinceng untuk menangani semua urusan mengenai Siauw-lim-pai."
Sikap orang itu agak berubah. Dia kini mengangkat kedua tangan membalas salam Cu Sian
Hwesio dan berkata, tidak seketus tadi. "Bagus, kalau begitu, aku boleh berurusan denganmu.
Namaku Kwee Bun To dan baru beberapa bulan tinggal di dusun kaki bukit ini untuk
mengundurkan diri dari keramaian kota dan hidup tenteram dengan anak tunggalku, seorang
gadis. Kami memilih tinggal di kaki bukit ini karena mengira bahwa dekat dengan Siauw-limpai,
tentu kehidupan di sini aman dan tenteram. Siapa kira justeru Siauw-lim-pai yang telah
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 168
menghancurkan kebahagiaan hidup kami dan menghancurkan kehidupan anak kami yang
telah dewasa!" Orang yang mengaku bernama Kwee Bun To Ini mengepal tinju dan
mengamang-amangkan ke atas "Aku bersumpah untuk menangkap murid Siauw-Lim-pai itu,
membelah dadanya mengeluarkan jantungnya dan menginjak-injak kepalanya sampai hancur
lebur!"
Para murid Siauw-lim-pai bergidik mendengar sumpah yang mengerikan itu. Akan tetapi Cu
Sian Hwesio tetap tenang dan dia tersenyum sabar.
"Omitohud! Agaknya Kwee-sicu menderita dendam saklt hati yang teramat besar. Akan
tetapi, apakah sebenarnya yang telah terjadi dan apa hubungannya dengan murid Siauw-limpai?"
"Hemm, agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai hanya dapat mengajarkan siiat dan doa-doa
saja, akan tetapi tidak mampu mengawasi kelakuan para muridnya. Nah, dengarlah kalian
semua, ol-ang-orang Siauw-lim-pai! Malam tadi, seorang laki-laki telah menyelinap masuk
kamar anak perempuanku, menotoknya kemudian memperkosanya! Dan jahanarn keparat
busuk itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai!"
Semua orang terkejut. “Omitohud!" seru Cu Sian Hwesio. "Nanti dulu, Kwee-sicu.
Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa dia adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Kebetulan aku terbangun malam tadi cteo aku mendengar gerakan orang dalam rumah. Aku
keluar dari kamarku dan sempat melihat sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar
anakku. Aku mengejarnya dan setelah tiba di luar, aku menyerangnya. Kami berkelahi dan dia
dapat melarikan diri Keparat!"
"Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa dia murid Siauw-lim-pai? Apakah slcu dapat
mengenal mukanya?"
"Tidak, cuaca terlalu gelap, aku hanya dapat menduga bahwa dia tentu seorang lakl-laki yang
masih muda."
"Akan tetapl bagaimana sicu mengetahul bahwa orang itu telah..... menodai anakmu?"
"Aku kemudian mendapatkan anakku dalam keadaan tertotok dan menjadi korban perkosaan.
Ah, aku harus dapat menemukan jahanam terkutuk itu!"
"Nanti dulu, Kwee-sicu. Engkau tadi menceritakan hahwa keadaan cuaca gelap sehingga
engkau ttdak dapat mengenal mukanya. Akan tetapi bagaimana engkau dapat begitu yakin
bahwa pemerkosa itu adalah murid Siauw-lim-pai?"
"Buktinya sudah jelas! Ketika aku berkelahi dengan dia, aku mengenal jurus-jurusnya. Jelas
dia mempergunakan Jurus sllat Lo-han-kun (Silat Orang Tua Gagah) dari Slauw-lim-pai.
Tidak salah lagi! Aku berani bersumpah!"
"Omitohud, urusan ini menjadl amat ruwet dan sulit. Kalau engkau tldak mengenal mukanya,
lalu bagaimana pinceng dapat menerima tuduhanmu bahwa dia itu murid Siauw-lim-pai?
Bukti ilmu silat itu sama sekali tidak kuat, sicu. Semua orang, biarpun bukan murid resmi
Siauw-lim-pai, dapat saJa mempelajarinya."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 169
"Tidak, aku yakin dia murid di sini. Pertama, jurus silatnya tadi. Ke dua, bukankah Siauwlim-
si yang paling dekat dengan dusun kami? Karena itu, aku sengaja datang ke sini untuk
menuntut kepada ketua atau kepadamu sebagai wakil ketua, untuk menangkap dan
menyerahkan muridmu yang Jahanam itu kepadaku!
"Akan tetapi bagaimana plnceng dapat menangkap orangnya kalau pinceng tidak tahu siapa
orang itu? Rasanya tidak mungkin menangkapnya karena engkau tidak memberi tanda-tanda
tertentu dari orang itu. Kami tidak dapat memenuhi permintaanmu itu, Kwee-sicu.
Permintaanmu itu tidak masuk akal. Kami tak mungkin melakukan penangkapan atau tuduhan
kepada murid-murid kami sendiri tanpa adanya bukti yang nyata."
"Hemm, kalau begitu, terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan cara-ku sendiri.
Sebulan sekali aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai dan aku baru berhenti kalau
Siauw-lim-pai sudah menyerahkan jahanam keparat ter-kutuk itu kepadakui"
"Omitohud! Engkau saitta sekall tidak boleh melakukan hal itu, sicu! Itu kejam dan tidak adil
namanya dan pinceng pasti akan mencegahya!" seru Cu Sian Hwe-sio.
"Bagus engkau hendak melindungi dan membela Jahanam busuk itui' Jangan dikira aku takut
kepadamu, Cu Sian Hwe-sio!" Kwee Bun To bersikap siap untuk bertandlng.
Pada saat itu, seorang pemuda menghampiri Cu Sian Hwesio dan memberi hormat kepada
hwesio bermuka hltam tinggi kurus itu.
"Susiok!"
Cu Sian Hwesio memandang. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun,
wajahnya bulat dengan kulit muka putih bersih, alisnya tebal hitann. Seorang pemuda
bertubuh sedang tegap yang berslkap lembut dan wajahnya tampan gagah. Sepasang matanya
tajam dan mulutnya selalu dihias senyum ramah.
"Ah, kiranya engkau, Cia Song!" seru Cu Sian Hwesio gembira. Cia Song adalah seorang
murid Siauw-lim-pai yang berbakat dan yang dulu dilatih oleh Hul Sian Hwesio sendiri
sehingga tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada murid-murid lain. "Tunggulah dulu,
pinceng hendak menyelesaikan urusan dengan Kwee-sicu ini."
"Teecu (murid) sudah mendengar semua yang dipertengkarkantadi, susiok (pa-man guru).
Perkenankanlah teecu mewakili susiok dan Siauw-lim-pai untuk menghadapi Kwee-kauwsu
(guru silat Kwee) ini.
Cu Sian mengangguk. Dia memang segan untuk berurusan dengan seorang yang sedang
dimabok dendam dan kemarahan itu dan dia mengenal Cia Song sebagai seorang pemuda
yang pandai dan bijaksana sehingga suhengnya, yaitu Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio
sering memuji-muji muridnya itu. Dia mengangguk-angguk lalu mundur beberapa langkah,
membiarkan Cia Song mewakilinya.
Pemuda itu kini dengan tenang talu berdiri menghadapi Kwee Bun To, ditonton oleh semua
murid Siauw-lim-pai yang mengenal pemuda yang mereka kagumi sebagal seorang jagoan
muda Siauw-lim-pal itu. Kwee Bun To juga memandang penuh perhatian. Pemuda Itu tampan
gagah, slkapnya tenang dan lembut, wajahnya ramah, pakaiannya tidak terlalu mewah namun
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 170
bersih sekali dan rapi, sepatunya dari kulit hitam mengkilap dan dipunggungnya tergantung
pedang beronce merah.
Cia Song memberl hormat dengan merangkap tangan di depan dada. "Kwee-kauwsu, saya
harap engkau suka bersikap tenang dan sabar, karena hanya dengan sikap seperti itu persoalan
dapat diselesaikan dengan baik."
Kwee Bun To mengerutkah alisnya. Baru beberapa bulan dia pindah ke dusun di kaki bukit,
dusun yang menjadi tempat asalnya. Tadinya dia memang seorang guru silat yang cukup
terkenal di wilayah utara. Akan tetapi, ketika wilayah Cina Utara dikuasai oleh bangsa Yucen
yang mendirikan Kerajaan Kin, sedangkan Kerajaan Sung terpaksa pindah ke sebelah selatan
Sungal Yang-ce, guru silat Kwe Bun To terpaksa membubarkan perguruannya. Dia tldak mau
tunduk kepada bangsa Yucen dan melarlkan diri. Dalam pelarlan yang dilakukan bersama
isteri dan anak tunggalnya itu, isterinya meninggal dunia karena menderita kaget dan sakit
berat. Akhlrnya dia tinggal di dusun di kaki bukit itu, berdua dengan Bi Hwa, puterinya yang
sudah berusla tujuh belas tahun. Tak pernah dia mem-perkenalkan diri sebagai guru silat, akan
tetapi bagaimana pemuda ini dapat menyebutnya kauw-su (guru silat)?
"Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang guru silat? Siapakah engkau, orang
muda?" tanya Kwee Bun To sambil memandang tajam penuh selidik.
Cia Song tersenyum ramah. "Nama saya Cia Song dan sebagai seorang mu-rid Siauw-lim-pai,
saya merasa berkewa-jiban untuk mewakill suhu, susiok dan semua saudara di Siauw-lim-pai
untuk membereskan persoalan ini denganmu, Kwee-kauwsu. Selama ini saya rnerantau ke
wilayah utara dan mendengar banyak hal, juga tentang Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat
Garuda Putih) yang anda pimpin di kota raja akan tetapi terpak-sa dibubarkan setelah bangsa
Yucen menguasai daerah utara."
"Hemm, engkau mengetahui banyak hal. Akan tetapi, apa yang dapat kau lakukan mengenai
persoalanku ini, sedangkan para plmpinan Slauw-lim-pai sendiri agaknya tidak mampu
memecahkannya? Keluargaku telah tertimpa malapetaka dan aku hanya menghendaki agar
Siauw-Lim-pai menyerahkan jahanam terkutuk itu. Kalau hal itu tidak dapat dilakukan
terpaksa aku akan melakukan pembalasan dengan caraku sendiri, yaitu setiap bulan aku akan
membunuh seorang murid Siauw-lim-pal untuk melampiaskan dendam keluargaku!"
"Kwee-kauwsu, saya harap anda da-pat menyabarhan dan menenangkan hati, tidak menuruti
nafsu amarah karena dendam yang membakar hati. Jalan yang anda tempuh itu hanya akan
memperbebar dendam mendendam dan permusuhan yarig tldak akan menguntungkan kedua
pihak. Ketahuilah, Kwee-kauwsu, para murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang
digembleng lahir batinnya, kiranya tidak mungkin melakukan hal serendah itu. Lebih besar
lagi kemungkinannya bahwa pelakunya adalah orang yang memusuhi Siauw-lim-pai. Dia
telah nrempelajari Lo-han-kun dan mengunakan itu untuk mengadu domba antara Siauw-limpal
dan anda, Juga untuk merusak nama baik Siauw-lim-pai. Karena itu, saya mempunyai usul
yang jauh lebih baik daripada apa yang hendak anda lakukan sebagai balas dendam itu.,"
Sikap sopan dan ucapan yang ramah lembut itu agak mendinginkan hati Kwee Bun To yang
dibakar api keirtarahan. "Hemm, orang muda, usul apakah yang hendak kauaampalkan
kepadaku?"
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 171
"Begini, Kwee-kauwsu. Aku berjanji akan mencari pemerkosa itu sampai dapat kubekuk
batang lehernya! Kalau aku berjanji untuk menangkap dan menyeret orang itu kepadamu,
maukah engkau membatalkan ancamanmu untuk membunuhi para murid Siauw-lim-pai itu?"
"Hemm, Cia Song, jawabanmu ini ja-E uh lebih baik daripada jawaban mereka tadi.
Setidaknya engkau berjanji untuk menangkap jahanam itu, tidak perduli itu murid Siauw-limpai
atau bukan. Baik, aku memberi waktu satu bulan kepadamu. Kalau dalam waktu sebulan
engkau belum mampu menyerahkan jahanam itu, terpaksa aku menggunakan caraku sendiri
untuk mernbalas dendaml"
"Baik, Kwee-kauwau. Akan tetapi untuk mencari pemerkosa itu, saya harus bisa mendapatkan
keterangan dan penjelasan dari puterimu tentang orang itu setidaknya ciri-ciri yang dapal
diceritakan puterimu agar mudah bagiku untuk mencari orangnya."
"Baik, hal itu mudah diilakukan. Akan tetapi aku masih belum yakin engkau akan mampu
menangkap jahanam itu sebelum menguji kemampuanmu. Karena itu, terimalah seranganku
sekali saja. Kalau engkau mampu menahan, baru aku dapat menerima usulmu. Beranikah
engkau menyambut seranganku?"
Cia Song tersenyum. "Kalau itu yang anda kehendaki, silakan, Kwee-kauwsu. Saya siap
menyambut pukulannlu."
"Cia Song berhati-hatilaht" Seru Cu Sian Hwesio khawatir. Akan tetapi murid keponakannya
itu menoleh sambil tersenyum kepadanya.
"Susiok, teecu hendak membantu Kwee-kauwsu, tentu dia tidak ingin mencelakai teecu."'
"Cia Song, bersiaplah dari sambut seranganku ini!" Kwee Bun To membentak nyaring. Cia
Song cepat menghadapinya dan melihat guru silat itu, menyerangnye dengan dorongan kedua
telapak tangan, diapun cepat menekuk kedua lututnya dan membuat gerakan serupa, yaitu
rnendorongkan kedua telapak tangannya ke depan untuk menyambut serangan jarak jauh yang
mengandung hawa pukulan dahsyat itu.
"Wuuuuttt.... blarr'r....!" Dua hawa pukulan yang dahsyat dan kuat bertemu di antara mereka
dan Kwee Bun To terdorong mundur sampai tiga langkah! Dia terkejut sekali. Biarpun dla
tadl tidak ingin membunuh pemuda yang bermaksud membantunya itu, namun dia telah
mengerahkan tiga perempat bagian tenaganya, dan ternyata pemuda itu mampu
mendorongnya sampai tiga langkah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tena-ga saktl
pemuda itu lebih kuat darlpada tenaga Ki Sian Hweslo yang tadi bertanding melawannya. Hal
ini menimbulkan kepercayaan dalam hatinya. Siapa tahu, mungkin pemuda ini yang akan
mampu menangkap jahanam yang telah memperkosa puterinya.
"Cia Song, aku menanti kunjunganmu untuk mendengar keterangan dari anakku. Cu Sian
H.vesio, sampaikan pernyataan maafku kepada Ketua Siauw-lim-pai atas gangguanku yang
terpaksa kulakukan ini." Setelah berkata begitu, guru silat yang menderita pukulan batin hebat
itu lalu memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.
"Omitohud!" Cu Sian Hwesio berseru. "Orang yang sedang penuh duka dan kemarahan,
ditekan dendam sakit hati yang hebat seperti dia, menggelapkan semua pertimbangan dan dia
dapat menjadi orang yang berbahaya sekali! Untung engkau dapat meredakan kemarahannya
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 172
dan menanamkan kepercayaan dalam hatinya. Cia Song. Mari, mari kuhadapkan engkau
kepada suheng Hui Sian Hwesio."
"Baik.'susiok."
Akan tetapi baru saja kedua orangitu melangkah hendak memasuki kuil, dua orang rnurid
Siauw-Iim-pai yang tadi melakukan penjagaan di pintu gerbang, datang berlari-lari dan
melapor kepada Cu Sian Hwesio bahwa ada seorang tamu hendak menghadap Ketua Siauwlim-
pai.
"Ehh? Siapa lagi yang akan menghadap ketua?" tanya Cu Sian Hwesio dengan heran.
"Tamu yang ini mematuhi aturan, suhu. Dia masih muda, mengaku bernama Souw Thian
Liong dan dia adalah murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin mohon menghadap ketua karena
membawa pesan penting dari Tiong Lee Cin-jin."
Wajah yang berkulit hitam itu berse-ri dan sepasang rnata itu bersinar-sinar. "Tiong Lee Cinjin?
Omitohud....! Kalau dia murid manusia bijaksana itu, tentu saja suheng Hui Sian Hwesio
mau menerimanya! Persilakan dia masuk dan sekalian akan pinceng hadapkan suheng
bersama Cia Song."
Dua orang murid itu berlari menuju ke luar dan tak lama kemudian mereka mengantar Thian
Liong ke depan Cu Sian Hwesio. WakUketuaini mengamat?" orang muda yang datang dan
memberi hormat kepadanya. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun,
bertubuh sedang dan berwajah tampan dengan kulit putih bersih. Mata pemuda itu mencorong
namun bersinar lembut, hidungnya mancung, mulutnya selalu menyungging senyum.
Pakaiannya sederhana dan dia menggendong sebuah buntalan pakaian. Pemuda ini mirip Cia
Song, pikir Cu Sian Hwesio, hanya lebih muda.
"Locianpwe, mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan saya mengganggu ketenteraman di
sini. Kalau tidak membawa perintah suhu, sungguh saya tidak berani mengganggu tempat suci
ini."
Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan dada dan tersenyum. "Omi tohud!" Dia
berseru. Pinceng merasa berbahagia sekali. Siauw-lim-pai telah mendapat kehormatan besar
menerima kunjungan murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin! Mari, Souw-taihiap
(pendekar besar Souw), mari pinceng antarkan engkau menghadap suheng Hui Sian Hwesio
ketua Siauw-lim-pai."
"Mari, Souw-siauwte (Saudara Muda Souw), kita menghadap suhu. Kebetulan sekali saya
iuga hendak menghadap beliau dan kita dapat bersama-sama menghadap suhu. Perkenalkan,
saudara Souw Thian Liong, saya bernama Cia Song, seorang di antara murid-murid Suhu Hui
Sian Hwesio."
Sikap yang ramah terbuka itu menye-hangkan hati Thian Liong dan dia merangkap kedua
tangan di depan dada dengan hormat. Pemuda itu menyebutnya saudara muda, dan memang
pemuda tampan gagah murid ketua Siauw-lim-pai itu! tentu beberapa tahun lebih tua darinya.
"Saya senang sekali dapat berkenalanj denganmu Cia-twako (kakak Cia), dan saya merasa
terhormat sekali akan dapat menghadap locianpwe Hui Sian Hwesio."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 173
"Marilah, Souw-taihiap dan Cia Song. Biarpun suheng Hui Sian Hwesio jarang sekali mau
bertemu dengan orang lain, akan tetapi pinceng yakin bahya sekali ini dia akan suka sekali
untuk bertemu dengan kalian." kata Cu Sian Hwesio. Mereka bertiga memasuki kompleks
bangunan Siauw-Lim-pai yang luas dan setelah tiba di sebuah ruangan tertutup yang sunyi, di
mana tidak tampak seorangpun hwesio, Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan
dada, berdiri agak mem-bungkuk dengan hormat di luar pintu ia-lu berkata dengan nada suara
lembut.
"Suheng yang mulia, perkenankanlah pinceng menghadapkan murid Cia Song dan talhiap
Souw Thlan Liong murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin kepada suheng!"
Sunyi menyambut ucapan Cu Sian Hwesio itu. Kemudian terdengar jawaban suara yang
lembut sekali dari dalam, namun suara lembut Itu terdengar oleh Thlan Liong seolah ada
orang berblsik di dekat telinganya. Dengan kagum dia mengerti bahwa suara itu dibawa
tenaga dalam yang amat kuat, menembus segala apa yang menghalang di depan.
"Omltohud! Mimpi apa plnceng semalam sehingga yang mulia Tiong Lee Cin-Jin mengutus
murldnya datang ke slni?"
Belum habis kalimat itu terucapkan, daun pintu itupun bergerak sepertl terbuka dari dalam.
Akan tetapi Thian Liong tldak melihat adanya orang yang membuka daun pintu itu dan
hembusan angin lembut namun kiiat terasa olehnya. Tahulah dla bahwa pintu itu dibuka
dengan dorongan angin itu dari jauh. Dan ketika dia memandang ke dalam ruangan itu, jauh
di tehgah ruangan yang luas itu tampak duduk seorang hWesio. Usianya sekitar enam puluh
tahun lebih, sedikitnya enam puluh lima tahun, tubuhnya gemuk tinggi besar seperti tubuh
Arca Ji-lai-hud, mukanya bulat penuh senyum cerah dan alisnya tebal, matanya bersinar
lembut. Hwesio itu duduk bersi-la di atas dipan kayu. Agaknya hwesio itu tadi membuka daun
pintu dengan dorongan tangan yang menimbulkan angin lembut yang kuat. Hal ini saja
membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian hwe-sio itu yang sudah mampu mengatur tenaga
saktinya sedemikian rupa seolah tenaga saktinya itu merupakan sebagian anggota tubuhnya
yang dapat melakukan apa-apa dari jarak jauh.
"Silakan masuk, Souw-taihiap dan kalian juga, Cia Song dan Cu Sian Hwe-sio." kata hwesio
tua itu sambil menggapai dengan tangan kanannya.
Tiba-tiba Thian Liong menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah hwesio tua yang dia
yakin tentu Hui Sian Hwe-sio adanya. Tadi ketika Cu Sian Hwesio menyebutnya taihiap
(pendekar besar), walaupun hatinya merasa tak enak, dia menerima saja. Akan tetapi ketika
ketua Siauw-lim-pai menyebutnya demikian, dia merasa berat sekali untuk menerimanya,
maka dia segera menjatuhkan diri berlutut.
"Harap iocianpwe sudi memaafkan teecu (murid). Sungguh teecu tidak berani menerima
sebutan taihiap dari locianpwe. Nama teecu Souw Thian Liong dan teecu akan merasa senang
sekali kalau locianpwe menyebut naroa teecu begitu saja.
Hwesio tua itu tertawa lembut dan mengelus jenggotnya yang menutupi le-hernya. Dia tidak
berkumis dan gundul, akan tetapi jenggotnya yang sudah, berwarna dua itu cukup panjang.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 174
"Omitohud! Yang mulia Tlong Lee Cin-jin telah memberi bimbingan luar dalam kepadamu,
membuat pinceng merasa kagum sekali. Bangkit dan masuklah Thian Lioug dan jangan
banyak sungkan. Sebagai murid yang mulia Tiong Lee Cin-jin, engkau patut kami anggap
sebagai golongan sendiri."
"Terima kasih, locianpwe." kata Thian Liong dan diapun mengikuti Cu Sian Hwe-sio dan Cia
Song memasuki ruangan itu. Setelah berhadapan dengan hwesio itu, Hwesio berdiri di
pinggiran sedangkan dua orang muda itu langsung berlutut di depan Hui Sian Hwesio.
Hul Slan Hweslp memandang kepada dua orang pemuda yang berlutut sambll menundukkan
muka mereka Itu dan mengangguk-angguk sambil tersenyuin dan mengelus jenggotnya
dengan tangan kiri.
"Cia Song coba angkat mukamu dan pandang pinceng! perintahnya dengan suara lembut. Cia
Song menurut, mengangkat mukanya dan menatap wajah suhunya, bertemu pandang mata
sejenak lalu dia menunduk kembali.
"Omitohud! Bagus sekali, engkau telah mendapatkan banyak sekali kemajuan, hanya saja
engkau harus banyak mengurangi kekerasan hatimu dengan banyak melakukan latihan siulian
(samadhi) dan pengendalian nafsu."
"Baik, suhu. Teecu menaati perintah? suhu." jawab Cia Song lirih.
"Sudah bertahun-tahun engkau pergi berkelana. Sekarang datang ke Siauw-lim-si (kuil Siauwlim)
membawa keperluan penting apakah?"
"Teecu merasa rindu kepada Siauw-lim-si, kepada suhu, para su-siok (paman guru) dan semua
saudara, maka teecu sengaja datang berkunjung, suhu." jawab Cia Song dengan hormat.
"Maaf, suheng. Pinceng ingin menyampaikan laporan tentang jasa murid Cia Song yang telah
menyelamatkan Siauw-lim-pai dari keributan yang baru saja terjadi." kata Cu Sian Hwesio.
"Keributan? Apakah yang telah terjadi, sute (adik seperguruan)?"
"Baru saja kita kedatangan seorang guru silat dari Pek-eng Bu-koan bernama Kwee Bun To.
Dia marah-marah dan menuntut agar kita menyerahkan seorang murid Siauw-lim-pai yang
katanya telah memperkosa seorang puterinya."
"Omitohud! Semoga Tuhan mengampuni kita! Siapakah murid Siauw-lim-pai yang
melakukan perbuatan hina itu, sute?"
"Kauwsu (guru silat) Kwee Bun To itu tidak mengetahui siapa orangnya."
"Hemm, kalau begitu bagaimana dla dapat mengatakan bahwa pelakunya adalah murid
Siauw-lim?"
"Menurut ceritanya, malam itu puterinya diperkosa orang dan dia bertemu dengan pelakunya.
Di malam gelap itu dia menyerang dan orang muda yang melakukannya itu melawannya
dengan menggunakan ilmu silat Lo-han-kun yang dikenalnya. Maka dia mengatakan dengan
pasti bahwa pelakunya adalah murid Siiauw-lim-pai."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 175
"Omitohud! Bagaimana dapat terjadi hal seperti ini? Lalu bagaimana sute?"
"Dia menuntut agar kita menyerahkan pelaku itu, kalau tidak dia akan membunuhi murid
Siauw-lim-pai satu demi satu. Hampir saja pinceng sendiri bertanding dengan dia, akan tetapi
lalu muncul murid Cia Song yang melerai dan menyabarkan Kwee Bun To. Cia Song
menjanjikan kepadanya bahwa dia akan menangkap pelaku perkosaan itu dalam waktu satu
bulan. Kwee Bun To menerima janji itu dan mengundurkan diri sehingga Siauw-lim-pai
terhindar dari keributan."
Hui Sian Hwesio mengangguk-angguk dan memandang kepada muridnya. "Cia Song, engkau
berjanji kepada Kwee-kauwsu untuk menangkap pelaku itu dalam sebulan, apakah engkau
mengetahui siapa pelakunya?"
"Teecu belum mengetahuinya, suhu."
"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau berani berjanji hendak menangkapnya?"
"Akan teecu selidiki sampai teecu berhasil menangkapnya."
"Apakah engkau percaya bahwa pelakunya adalali seorang murid Siauw-lim-pai?"
"Teecu tidak percaya. Mungkin saja orang lain yang sengaja menggunakan ilmu silat Lo-hankun
untuk menyembunyikan diri dan menjatuhkan kesalahan kepada Siauw-lim-pai. Teecu
akan menyelidikinya, suhu."
"Omitohud! Sikapmu itu memang baik sekali dan telah menyelamatkan Siauw-lim-si dari
keributan dan permusuhan. Akan tetapi juga merupakan tindakan yang gegabah! Seorang
laki-laki sekali berJanJi harus dipenuhi dan engkau su-dah berjanji akan menangkap pelaku
itu, maka janji itu harus kau penuhi! Bagai-mana kalau sampai sebulan engkau be-lum dapat
menemukan pelaku kejahatan itu?"
"Kalau sampai teecu gagal, teecu akan mempertanggung-jawabkan kepada kauwsu Kwe Bun
To, suhu."
"Bagus, bagus sekali! Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya dan harus berani
mempertanggung-jawabkan semua .tindakannya! Engkau pantas menjadi seorang murid
Slauw-lini-pai." Hui Sla Hwesio niemuji, mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, lalu
memandang kepada Thian Liong. Diam-diam dia merasa bangga dan girang karena utusan
Tiong Lee Cin-jin mendengarkan semua percakapannya depgan Cia Song. Sungguh
membanggakan hati kalau Tiong Lee Cin-jin mendengar akan kegagahan murid Siauw-limpai!
"Souw Thian Liong, sekarang pinceng beralih kepadamu. Engkau sebagai murid Tiong Lee
Cin-jin diutus berkunjung ke Siauw-lim-si membawa berita penting apakah? Ada petunjuk
apakah dari guru?"
Thlan Liong memberl Hormat sambll berlutut. "Loclnpwe, teecu diutus oleh suhu untuk
pertama-tama menyampaikan salam hormat suhu kepada locianpwe."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 176
"Omitohud! Tiong Lee Cin-jin yang terhormat sungguh biJaksana dan baik hati. Salamnya
pinceng terima dengan rasa bahagia dan kelak kalau engkau bertemu dengan beliau,
sampaikan salam dan hormat plnceng yang mendalam untuk beliau."
"Teecu akan menyampaikan pesan lo-cianpwe. Dan tugas teecu yang kedua adalah untuk
menyerahkan sebuah kitab yang ditemukan suhu di dalam perjalanannya ke barat yang
menurut suhu kitab itu adalah hak milik Siauw-lim-pai." Setelah berkata demikian, Thian
Liong mengeluarkan kitab Sam-jong Cin-keng yang tua itu dan dengan kedua tangan dia
menyerahkannya kepada Hui Sian Hwesio.
Hwesio tua itu nienerima kitab itu, membuka-buka lembarannya dan membelalakkan matanya
seolah tidak percaya akan apa yang dilihatnya, lalu meletakkan kitab di atas pahanya dan dia
merangkap kedua tangan depan dada. "Omitohud....! Seperti dalam mimpi saja rasanya saat
ini pinceng dapat memegang kitab Sam-jong Cin-keng yang sudah hilang puluhan tahun ini!
Sungguh luar biasa sekali kebijaksanaan yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Setelah menemukan
kitab ini, dia masih bersusah payah mengutus muridnya untuk mengembalikannya kepada
kami! Bukan main! Mana mungkin di dunia ini ada seorapg yang demikian jujur dan mulia
seperti dta? Tidak, ini tidak mungkin! Dia yang menemukan setelah puluhan tahun Siauwlim-
pai hilang harapan dan tidak mencari lagi, maka dialah yang berhak atas kitab ini!"
"Akan tetapi, suheng! Kitab Sam-jong-cih-keng adalah sebuah kitab pusaka Siauw-lim-pai,
menjadi hak milik kita sepenuhnya!" seru Cu Sian Hwesio.
"Maafkan teecu, suhu. Teecli kira sudah sepatutnya kalau yang rnulia Tiong Lee Cin-jln
mengembalikan kitab Sam-jong-cin-keng, itu kepada Siauw-lim-pai. Kalau teecu sendiri
menemukan kitab milik perguruan lain, tentu juga akan teecu kembalikan kepada perguruan
yang berhak. Teecu yakin bahwa kalau suhu memberlkan kitab Sam-jong-cln-keng itu kepada
yang mulla Tlong Lee Cln-jln, sudah pastl beliau akan menolaknya."
Biarpun sute dan muridnya mengemukakan pendirian mereka yang pantas dan kuat, namun
Hui Sian Hwesio tetap mengambll kltab Itu dan menyerahkan kepada Thian Liong sambil
berkata.
"Souw Thlan Llong, terimalah kitab inl dan katakan kepada gurumu bahwa plnceng
memberikan kitab ini kepadanya, karena plnceng menganggap dlalah yang berhak
memlllkinya."
Thian Liong tidak berani menerimanya, cepat memberi hormat dan berkata, "Maafkan teecu,
locianpwe. Teecu pikir apa yang dikatakan locianpwe Cu Sian Hwe-sio dan twako Cia Song
tadi benar dan tepat, Kitab ini dahulu adalah milik Siauw-lim-pai dan sampai sekarangpun
menjadi hal millk Slauw-lim-pai, maka teecu harap sudllah klranya locianpwe suka
menerimanya."
"Omitohud, pinceng selalu bertindak menurutkan naluri hati nurani. Sekarang begini saja,
Souw Thian Liong. Pinceng melihat kenyataan bahwa engkau seorang murid yang amat baik
dari Tiong Lee Cin-jin. Kita ambil jalan tengah saja. Pinceng mau menerima kitab ini sebagal
hadiah dari Tiong Lee Cin-jin, akan tetapi karena Tiong Lee Cin-jin sebagai penemunya juga
berhak maka pinceng akan mengajarkan ilmu yang terkandung dalam kitab ini kepadamu
sebagai ganti murid Tiong Lee Cin-jin. Kalau begitu, barulah enak rasa, hati pinceng terhadap
Tiong Lee Cin-jin."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 177
Thian Liong terkejut sekali. "Akan tetapi.... teecu tidak berhak dan tidak berani menerimanya,
locianpwe...."
"Hemm, kalau engkau tidak mau menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng ini,
terpaksa pinceng juga tidak mau menerimanya dan bawalah kembali kitab ini kepada gurumu.
Pinceng tidak ingin disebut orang yang mau enaknya sendiri, tidak mengeluarkan setetespun
keringat namun menikmati ha-silnya. Nah, bawalah kitab itu dan pergilah!"
Thian Liong menjadi bingung. Dia masih belum menerima kitab itu. "Aduh, locianpwe, teecu
menjadi bingung dan tldak tahu harus berbuat apa. Kalau teecu harus membawa kembali kitab
ini tentu suhu merasa tldak senang. Seballknya kalau teeeu menerima usul locianpwe,
sungguh teecu merasa tidak enak kepada semua murid Siauw-lim-pai."
"Omitohud, engkau terlalu halus budi dan sungkan, Thian Liong. Tidak ada perasaan tidak
enak kalau engkau sudah pinceng terima sebagai muridku! Siapa yang akan menyalahkanmu
kalau sebagai murid pinceng engkau mempelajari ilmu yang menjadi pusaka Siauw-lim-pai?
Ataukah.... engkau menganggap pinceng tidak pantas menj'adi gurumu ke dua se-telah
gurumu Tiong Lee Cin-jin?"
Diam-diam Thian Liong? merasa girang sekali. Dari gurunya dia sudah mendengar bahwa
ketua Siauw-lim-pai ini adalah seorang yang memiliki kesaktian, maka alangkah
beruntungnya kalau dia diterima menjadi murid dan akan diberi pelajaran dari kitab pusaka
Sam-jong-cin-keng ttu. Akan tetapi yang membu-at dia meragu adalah kalau-kalau dia a-kan
dlharuskan tlnggal terlalu lama dl Kull Siauw Lim.
"Terima kasih atas kemurahan hatl suhu," katanya, tanpa ragu-ragu menyebut suhu kepada
hwesio tua itu. "Akan tetapi, teecu telah mendapatkan tugas dari suhu Tiong Lee Cin-jin
untuk membela Kerajaan Sung dan menentang kekuasaan menteri jahat yang mengacaukan
negara. Kalau teecu harus menjadi murid dan tinggal lama di Siauw-lim-si, bagaimana teecu
akan dapat melaksanakan tugas itu?"
"Omitohud! Jalan pikiran Tiong Lee Cin-jin ternyata tidak berbeda dengan jalan pikiran
pinceng. Yang dia maksudkan tentu agar engkau menentang kekuasaan Perdana Menteri Chin
Kui, bukan? Jangan khawatir, Thian Liong. Pinceng berjanji hanya akan mengajarkan isi kitab
yang ditemukan kembali oleh gurumu pertama ini dan mengingat bahwa, engkau tentu telah
memiliki dasar yang amat kuat, maka pinceng yakin bahwa dalam beberapa bulan saja engkau
tentu akan mampu menguasainya dengan baik."
Demikianlah, mulai hari itu Thian Liong tlnggal dl kull Siauw-lim dan dl bawah blmbingan
Hui Sian Hwesio sendiri dia mempelajarl dan berlatlh ilmu silat berdasarkan kltab pusaka
San-jong Cin-keng yang menurut dongeng diciptakan sendiri oleh Ji-lai-hud! Sementara itu,
Cia Song yang memiliki tugas berat untuk rnenangkap pemerkosa puteri Kwee Bun To seperti
yang sudah dia janjikan, juga meninggalkan kuil untuk melaksanakan tugasnya.
Sebulan lewat dengan cepatnya dan Thian Liong mendapat kenyataan yang iuar biasa dan
menyenangkan hatinya. Setelah berlatih siu-lian (bersamadhi) dan pernapasan menurut ilmu
yang diajarkan Hui Sian Hwesio menurut Kitab Sam-jong Cin-keng, dia merasa bahwa tenaga
dalam yang sudah dikuasainya dan berpusat di bawah pusar itu kini menjadi bertambah kuat.
Ilmu silat yang terkandung dalam kitab itu hanya ada delapan jurus pokok. Akan tetapi
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 178
delapan Jurus pokok ini mengandung tenaga saktl yang amat dahsyat dan juga memungklnkan
perkembangan menurut bakat yang menguasai.
Pada suatu malam, Thlan Llong rebah di etas pembaringan dalam kamarnya dl kuil itu.
Seperti biasa, waktu malam Itu dia membaca Kltab Sam-jong- Cln-keng dan melatlh siu-lian
karena dl waktu siang dia berlatlh gerakan silat di bawah bimbingan Hui Sian Hweslo. Setelah
merasa lelah dan mengantuk, dla menyimpan kitab itu dalam sebuah almarl yang terdapat di
sudut kamarnya dan diapun merebahkan dlrlnya ke atas pembaringan untuk tidur.
Menjelang tengah malam keadaan kull itu sunyl sekali. Semua hweslo sudah tldur. Sesosok
bayangan hltam yang gerakannya llncah dan ringan sekali dengan mudahnya karena dia
menggunakan tenaga sin-kang yang amat kuat, membuka jendela kamar Thian Liong tanpa
menimbulkan suara sedikitpun. Dia melompat ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka
itu dan gerakannya benar-benar ringan seperti seekor kucing melompat sehingga ketlka kedua
kakinya hlnggap di atas lantai kamar yang gelap itu, tidak terdengar suara sedlkitpun. Dia lalu
bergerak ke depan, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, dalam kegelapan itu dia menghampiri
almari dan membukanya. Dengan meraba-raba dia dapat menemukan Kitab Sam-jong Cinkeng
dan cepat meninggalkan kamar melalui jendela yang terbuka. Akan tetapi karena
tergesa-gesa kakinya melanggar kaki meja sehingga terdengar sedikit suara berderit. Secepat
burung terbang, tubuhnya sudah melayang melalui jendela.
Sedikit suara itu cukup untuk membangunkan Thian Liong. Nalurinya yang kuat dan peka
membuat Thian Liong menyadari bahwa ada hal tidak wajar terjadi dalam kamarnya. Dia
menengok dan melihat bayangan berkelebat keluar dari jendela yang terbuka. Otomatis
seluruh syaraf dalam tubuh Thian Liong bekerja. Seketika dia tahu bahwa ada orang
memasuki kamarnya dan diapun segera dapat menduga bahwa orang itu tentu mencuri Kitab
Sam-jong Cln-keng. Kalau bukan kitab itu yang dlcuri, apa lagi? dia segera menyambar
Thian-liong-kiam yang diselipkan di bawah bantal, lalu sekali melompat tubuhnya sudah
melayang keluar jendela melakukan pengejaran sambil menyelipkan pedang di ikat
pinggangnya.
Dalam keremangan sinar lembut jutaan bintang di langit hitam Thian Liong melihat sosok
bayangan itu di atas genteng kuil besar. Diapun melompat dan mengejar. Dia mengerahkan
seluruh gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya) dan berhasil mendahului dan menghadang
orang yang berpakaian serba hitam dan mukanya memakai kedok hitam itu. Hanya sepasang
matanya saja yang tampak melalui lubang pada kedok, sepasang niata yang bersinar tajam.
Diapun melihat bahwa pencuri berkedok hitam itu membawa sebuah kitab di tangan kirinya.
Biarpun cuaca remang-remang Thian Liong tehu benar bahwa kitab itu bukan laln adalah
Kltab Sam-jong Cln-keng yang sedang dipelajarlnya di bawah plmpinan Hul Sian Hwesio.
"Pencuri! Kembalikan kitab itu!" Thian Liong membentak, suaranya melengking menembus
malam sunyi.
Pencuri itu agaknya terkejut melihat Thian Liong dapat bergerak sedemiklan cepatnya dan
tahu-tahu telah menghadang di depannya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju,
kepalan kanannya menyambar ke arah dada Thian Liong. Pukulannya cepat sekali dan juga
mengandung tenaga yang amat kuat. Thian Liong mengenal pukulan ampuh, maka dia
miringkan tubuh sambil menangkis dari samping.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 179
"Dukk!" Keduanya terguncang oleh pertemuan kedua lengan itu dan pencuri itu
mengeluarkan seruan kaget, namun dengan kecepatan yang luar blaaa kaki klrlnya meneuat
dalam tendangan yang menyambar ke arah lambung Thlan Liong.
Thlan Uong maklum bahwa pencurl itu adalah aeorang yang memlllkl ilmu kepandaian silat
tinggi. Dla sudah waspada dan begltu kaki lawan menyambar, dlapun sudah menghlndar ke
kiri. Pencurl itu memballkkan tubuh untuk melarikan diri.
"Hendak lari ke mana kau? Kembalikan kitab itu!" Thian Liong mengerahkan gin-kangnya
dan dia melompat tinggi mengejar. Ketika berada di atas pen-curi itu, tangannya menyambar
ke bawah, yang kiri mencengkeram ke arah kepala pencuri itu dan yang kanan menyambar
untuk merampas kitab dari tangan kiri lawan.
"Uhh....!" Pencuri itu makin terkejut dan cepat merendahkan diri mengelak sambii melompat
ke samping sehingga serangan Thian Liong luput walaupun hampir saja kitab itu dapat
direbutnya. Pencuri itu agaknya menjadi marah sekali karena hampir saja kitab itu teram-pas
oleh Thian Liong. Mereka kini berhadapan dalam jarak kurang lebih empat meter. Tiba-tiba
pencuri itu menggunakan tangan kanannya untuk diputar-pu-tar dan tubuhnya merendah,
kedue lutut ditekuk hamplr berjongkok dan tiba-tiba tangan kanannya itu didorongkan ke arah
Thlan Liong sambil membentak keras.
"Haaiiiilittt....!" Dari tangan kanan yang didorongkan itu keluar uap hiiam!
Thlan Liong terkejut. Orang itu menyerangnya dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan
melihat uap hitam itu sangat boleh jadi tenaga dorongan itu mengandung hawa beracun yang
berbahaya. Thian Liong segera mengerahkan tenaganya pada lengan kirinya dan miringkan
tangan kiri ke depan dada, lalu mendorong ke depan rnenyambut serangan lawan.
"Wuuuuttt.... bressss....!!" Dua tenaga bertemu dan uap hitam itu membuyar, tubuh pencuri itu
terhuyung ke belakatig. Thian Liong tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Tubuhnya sudah
berkelebat ke depan dan sekali sambar dia sudah berhasil merampas Kitab Sam-jong Cinkeng
itu dari tangan si pencuri. Akan tetapi, sungguh tak disangka sama sekali tubuh pencuri
itu bergulingan dan tahu-tahu kitab itu dapat dirampas kembali! Thian Liong terkejut karena
tidak menyangka pencuri itu memiliki kegesitan yang demikian luar biasa, dan tubuh yang
bergulingan itu amat cepatnya. Dia segera terlngat akan hasil llmu yang dilatihnya dari kitab
Sam-jong Cln-keng, maka untuk merampas kembali kitab itu, dia mengerahkan tenaga dan
menggunakan tangan kirinya untuk menyerang, mencengkeram ke arah leher lawan. Pencuri
itu agaknya maklum akan kelihaian Thian Liong, maka dia bermaksud mengelak dan
melarikan diri. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia mengelak, lengan Thian Liong itu
dapat mulur (memanjang) seperti karet dan tahu-tahu telah merampas lagi kitab dari
tangannya! Thian Liong merasa gembira karena ternyata ilmu mengulur tangan sehingga
memanjang satu meter lebih itu telah berhasil dia kuasai dan kini telah memperlihatkan
hasilnya!
Pencuri itu marah sekali. Dia sudah bersiap untuk menyerang lagi, akan tetapi pada saat itu
terdengar terlakan beberapa suara, "Tangkap penjahat....!"
Mendengar teriakan-teriakan itu, si pencurl terkejut dan dia melompat Jauh dengan gerakan
cepat sekall dan menghilang dalam kegelapan yang remang-remang. Thian Liong tldak
mengejar karena kitab yang dlcuri itu telah dapat dirampasnya kembali. Dia segera melompat
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 180
turun dari atas genteng kuil besar dan di bawah sudah berkumpul banyak hwesio, di antaranya
terdapat Ki Sian Hwesio.
"Souw-sicu, apakah yahg terjadl? Kenapa tadi ada murid-murid yang berteriak tangkap
penjahat?" tanya Kl Sian Hwesio, pelatih para murid Siauw-lim-pai itu.
"Suhu, tadi ada orang berpakaian serba hitam di atas genteng, bertandlng dengan Souw-sicu,
maka kaml berteriak-teriak." kata seorang murid Siauw-lim-pai.
Tlba-tlba muncul Cu Slan Hwesio, wakil Ketua Slauw-lim-pal dan dia segera berkata, "Souwsicu,
tadi pinceng mendengar suara ribut-ribut dan segera mengejar naik ke atas atap. Akan
tetapi penjahat itu telah melarikan diri dengan cepat dan kebetulan pinceng bertemu dengan
Cla Song, maka pinceng menyuruh dia untuk melakukan pengejaran. Apa yang telah
dilakukan penjahat itu?"
"Dia memasuki kamar teecu dan mencuri Kitab Sam-jong Cin-keng, Susiok (paman guru).
Teecu terbangun dan segera mengejarnya. Kami bertanding di atas atap dan teecu beruntung
dapat merampas kembali kitab ini, akan tetapi dia mendengar suara ribut-ribut dan melarikan
diri." kata Thian Liong sambil memperlihatkan kitab yang telah dapat dirampasnya kembali,
"Omitohud! Untung engkau dapat merampasnya kembali. Sekarang lebih baik jangan ributribut
dan jangan mengagetkan ketua, kita tunggu saja di ruangan ini sampai Cia Song kembali
dari pengejarannya." kata wakil ketua itu dan mereka semua duduk di ruangan itu. Thian
Liong menceritakan lagi peristiwa pencurian dalam kamarnya itu.
Tak lama kemudian, tiba-tiba tampak sosok bayangan orang berkelebat. Semua orang
menoleh dan memandang dan ternyata yang datang itu, adalah Cia Song. Cu Sian segera
bangkit berdlri, menyambut pemuda tampan dan gagah itu dengan pertanyaan, "Bagaimana,
Cia Song, berhasilkah engkau menangkap penjahat itu
Cia Song mengerutkan alisnya dan memandang kepada Thian Liong dengan menyesal.
Kemudian dia berkata kepada sang wakil ketua. "Sayang sekali, susiok, teecu tidak berhasil
menangkapnya. Teecu memang dapat menyusulnya dan kami bertanding mati-matian.
Ternyata penjahat itu lihai bukan main. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan, teecu
hanya berhasil merenggut topeng kain hitam yang menutupi wajahnya, akan tetapi dia
melompat jauh dan menghilang dalam kegelapan pohon-pohon di luar kuil kita." Pemuda itu
mengambil sehelai kain hitam dari saku bajunya dan menyerahkan kain itu kepada Cu Slan
Hwesio.
Pendeta itu menerima kain hitam yang tldak terlalu lebar itu dan mengamatlnya. Hanya kaln
blasa yang dlpergunakan untuk menutup muka dan kepala dengan dua lubang di bagian mata.
"Kalau begitu, engkau tentu telah melihat dan mengenal muka penjahat itu!" kata Cu Slan
Hwesio girang.
Cia Song mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Sayang sekali tidak, susiok. Teecu
dapat mgnyusulnya setelah berada di luar kull dan kaml bertandlng dl kegelapan bayangbayang,
pohon, lebih mengandalkan pendengaran daripada penglihatan. Ketika teecu berhasil
merenggut lepas topengnya, teecu tidak dapat melihat mukanya dalam kegelapan dan dia
cepat melarikan diri."
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 181
"Cia-twako, apakah dia seorang wanita?" tanya Thian Liong.
"Souw-sute (adik seperguruan Souw), kenapa engkau masih menyebut twako (kakak)
kepadaku? Bukankah aku ini sekarang termasuk menjadi suhengmu?"
"Maafkan, suheng. Apakah pencuri tadi seorang wanita?" Pertanyaan ini diajukan Thian
Liong karena dla teringat akan dua orang gadis, yaitu gadis berpakaian merah yang telah
mencurl Kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat millk Kun-lun-pai yang belum dia ketahui
namanya dan yang seorang lagi Ang-hwa Sian-li Thio Siang In yang juga berminat untuk
pinjam Kitab Sam-jong Cin-keng.
Mendengar perkataan ini, Cia Song dan juga Hui Sian Hwesio memandang heran.
"Sudah kukatakan bahwa aku tldak dapat melihai mukanya di tempat gelap Souw-sute.
Melihat kelincahan gerakannya, mungkin saja ia seorang wahita. Aku tidak tahu jelas.
Bagaimana pendapatmu? Bukankah engkau juga sudah bertanding melawannya?"
Thian Liong menggeleng kepala dengan ragu. Dia Juga tidak dapat menentukan. Pencuri itu
jelas lihai sekali, akan tetapi gerakannya dalam bersilat tidak sama dengan gerakan Siang In.
"Mengapa engkau menduga bahwa pencuri itu seorang wanita, Souw-sicu?" Hwesio itu masih
menyebut Thian Liong dengan sebutkan itu karena dia merasa sungkan mengingat bahwa
Thian Liong adalah murid dan juga utusan Tiong Lee Cinjin yang amat dihormatinya.
"Teecu hanya nienduga saja, susiok. Bolehkah teecu meminjam sebentar kain topeng itu?"
"Ini, slmpanlah. Engkau yang digapg-gu pencuri, blar engkau yang menyimpan topeng ini.
Siapa tahu dari topeng ini kelak engkau akan dapat menemukan pencurinya." kata Cu Sian
Hwesio sambil tersenyum dan menyerahkan kain itu kepada Thian Liong. Thian Liong
menerirnanya dan tak lama kemudian Cu Sian Hwesio menyerukan kepada semua orang
untuk kembali ke kamar masing-masing. Akan tetapi dia juga memerintahkan para murid
untuk malam itu melakukan penjagaan dan perondaan secara bergilir.
Setelah para murid pergi dan di situ hanya tinggal Thian Liong, Cia Song dan Cu Sian Hwesio
bertiga, pendeta itu bertanya kepada Cia Song. "Cia Song, bagaimana hasilnya dengan
usahamu mencari pemerkosa puteri Kwee-kauwsu itu? Sekarang sudah tiba waktu yang
dijanjikan. Kalau pinceng tidak salah meng-hitung, pada hari esok tentu guru silat itu akan
datang menagih janji."
"Ah, jangan-jangan...." Thian Liong menahan kata-katanya.
"Apa maksudmu, Souw-sicu?" "Maksud teecu, jangan-jangan pemerkosa dan pencuri itu
sama orangnya!"
"Hemm, benar juga! Susiok, harap jangan khawatir. Teecu sudah melakukan penyelidikan dan
sudah dapat menemukan jejak pemerkosa itu. Mungkin juga dia pencuri kitab tadi. Teecu
pasti akan dapat menghadapkannya ke depan Kwee-kauwsu pada besok pagl. Sekarang juga
teecu akan melanjutkan penyelidikan dan menangkap orangnya agar besok dapat teecu
hadapkan kepada Kwee-kauwsu." kata Cia Song dengan suara mantap.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 182
"Omitohud! Sukurlah kalau begitu. Akan tetapi.... dia.... dia bukan murid Siauw-lim-pai?"
tanya pendeta itu agak khawatir.
"Bukan, susiok. Dia bukan murid Siauw-lim-pai, hanya saja dia agaknya dapat mencuri ilmu
Lo-han-kun dan menggunakannya sehingga Kwee-kauwsu menyangka bahwa dia murid
perguruan kita."
"Sukurlah. Pinceng dapat tidur nye-nyak malam ini." kata Cu Sian Hwesio dan mereka lalu
berpisah. Hwesio itu dan Thlan Liong kembali ke kamar masing-masing sedangkan Cia Song
keluar dari kuil untuk melacak pemerkosa yang d carinya.
Pagi hari itu keadaan, di Siauw-lim-si seperti biasa. Matahari pagi bersinar lembut dan hangat,
mepghidupkan sega-la yang tampak. Para hwesio murid Siauw-iim-si juga sibuk dengan tugas
pekerjaan mereka sehari-hari. Akan tetapi biar keadaan sama dengan pagi-pagi yang lalu,
namun suasananya sungguh berbeda. Dalam hati para hwesio itu terda-pat kegelisahan.
Semua orang tahu bahwa hari ini adalah hari yang dijanjikan bagi guru silat Kwee Bun To.
Tiga puluh hari telah berlalu dan agaknya Cia Song, murid andalan Siauw-lim-pai itu agaknya
belum juga dapat menangkap penjahat perperkosa puteri Kwee Bun To itu. Dan kafau sampai
hari ini Cia Song belum juga dapat menyerahkan pemerkosa itu, tentu guru silat Kwee Bun
To akan mengamuk dan membunuhl murld-murid Slauw-llm-pal! Karena itu, suaeana amat
menegangkan hati dan blarpun para hwe-sio itu melaksanakan tugas mereka masing-masing
dan tidak ada yang menyebut-nyebut urusan dengan Kwee Bun To namun diam-diam mereka
sudah bersiap-siap menghadapi kalau-kalau guru silat itu akan mengamuk.
Matahari telah naik tinggi dan Cla Song yang diharap-harapkan kedatangannya tnasih belum
juga tampak batang hi-dungnya. Cu Sian Hwesio dan pembantu-nya, Ki Sian Hweslo yang
biasarya tenang itu kini juga mulal menjadi gelisah. Mereka sudah menanti di pendopo kuil
besar, duduk menunggu kemunculan Cla Song.
"Kenapa Cia Song belum juga datang, suheng?" tanya Ki Slan Hweslo.
Cu Sian Hwesio menghela napas "Pinceng juga merasa heran. Malam tadi dia mengatakan
bahwa pagi ini dia pastl akan datang membawa penjahat itu.''
"Bagaimana kalau Kwee-kauwsu datang dan menuntut?"
"Tenanglah, sute. Kita melihat bagaimaria nanti saja. Apapun yang terjadi akan pinceng
hadapi." kata Ci Sian Hwesio. "Mari kita menanti di dalam saja sambil bersamadhi
menenangkan hati agar nanti kuat menghadapi apapun juga. Mereka berdua lalu masuk ke
dalam kuil.
Jilid 11 .....
Tak lama kemudian suasana menjadi semakin menegangkan ketika terdengar orang berteriak
dengan suara lantang sekali dan gemanya berkumandang di seluruh kompleks bangunan kuil
Siauw lim.
"Heii! Para pimpinan Siauw-lim-pai! Hayo serahkan penjahat laknat itu kepadaku atau mulai
hari ini aku akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai setiap hari!"
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 183
Pada saat itu Thian Liong sedang menerima petunjuk dari Hui Sian Hwesio mengenai jurus ke
lima dalam kitab Sam-jong Cin-keng. Selama satu bulan Ini dia baru berhasll menguasai
empat jurus saja. Ketlka suara lantang itu berkumandang sampai ke dalam ruangan yang
menjadi kamar sang ketua, Hul Sian Hwesio menunda pelajaran itu dan berkata kepada Thian
Liong. "Thian Liong, keluarlah dan llhat apa yang terjadi. Bantulah Siauw-llm-pai kalau
terancam, akan tetapi jangan menggunakan kekerasan agar tldak menimbulkan permusuhan."
"Balk, suhu," Thian Liong lalu keluar darl ruangan itu dan menuju ke pendopo. Ketika tlba dl
pendopo, dla melihat semua murld Siauw-Lim-pal sudah berkumpul dl sltu dan mereka semua
tampak tegang. Cu Slan Hweslo dan Ki Sian Hweesio juga sudah berdirl dl pendopo.
Di bawah anak tangga pendopo Itu berdlrl aeorang lakl-lakl beruala sekltar lima puluh tahun.
Tubuhnya sedang saja, namun tegap dan tampak kokoh dan gagah. Di punggungnya
tergantung sebatang pedang beronce biru. Dia tampak marah. Kumisnya yang tipts itu
bergerak-gerak, matanya mencorong tajam ketika dla menyapu tempat itu dengan ge|andang
matanya, mencarl-carl.
"Di mana dia, Cia Song yang telah terjanjl sebulan yang lalu untuk menghadapkan keparat
yang memperkosa puteriku itu? Hayo cepat suruh dla keluar menemuiku untuk
mempertanggung-jawabkan janjinya kepadaku!"
Cu Sian Hweslo melangkah maju menurunl anak tangga dan berhadapan dengan Kwe Bun
To. Dia merangkap tangan dl depan dada dan berkata dengan suara lembut, "Omltohud,
selamat datang, Kwee-kauwsu. Hendaknya dlketahuil bahwa sejak malam tadi Cla Song teleh
pergl untuk menangkap. penjahat itu,. Menurut katanya, pagi ini dia akan menghadapkan
penjahat itu kepadamu di slni. Harap kauwsu bersabar dan menanti kedatangannya."
"Hemm, sudah sebulan aku bersabar. Malam itu Cia Song sudah datang berkunjung dan
mendengor keterangan anakku tentang peristiwa terkutuk itu dan dla mengulang janjinya
dalam waktu sebulan dia akan menangkap penjahatnya dan menyerahkannya kepadaku.
Apakah dla hanya pendusta besar?" Guru silat itu tampak marah sekall. Thian Liong
menghampiri dan berdiri di dekat Ki Sian Hweslo, siap untuk membantu kalau guru silat itu
mengamuk.
"Omitohud, tidak ada murid Siauw-lim-pai yang melakukan kejahatan, apa lagi memperkosa
wanita dan tidak ada yang menjadi pendusta, Kwee Kauwsu. Pinceng harap engkau suka
bersabar dan menunggu sejenak." kata Cu Sian Hwesio.
"Aku tidak mau bersabar lagi! Aku tidak mau menunggu lagi!" Guru silat itu membentak
marah.
Pada saat itu terdengar teriakan dari luar kuil, "Kwee-kauwsu, aku datang!" Para hwesio
girang mengenal suara ini, suara Cia Song! Tak lama kemudian tampak pemuda itu berlari
datang sambil menggandeng tangan seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun.
Pemuda itu bertubuh sedang, wajahnya bersih tidak berkumls atau berjenggot akan tetapl
wajah Itu tak dapat dlsebut tampan. Hldungnya pesek dan blblrnya tebal, matanya sipit sepertl
terpejam. Setelah berlarl menggandeng tangan o" rang itu dan tiba di depan Kwee Bun To,
Cia Song mendorong pemuda Itu ke depan sehlngga orang itu jatuh berlutut di depan guru
silat yang mengamatinya dengan sinar mata tajam.
Kisah si Naga Langit > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 184
"Inilah orang yang engkau cari itu, Kwee-kauwsu." kata Cia Song tegas. "Terbuktilah
sekarang bahwa pelakunya bukan murid Siauw-lim-pai!"
Orang itu berlutut dan tampak ketakutan sekali. Matanya yang sipit dia coba untuk
dibelalakkan, dan tubuhnya gemetaran. Setelah mengamati beberapa lamanya, Kwee Bun To
mengerutkan alisnya dan bertanya, "Orang macam ini ....??" Lalu dia berkata kepada orang itu
membentak, "Siapa namamu?"
Akan tetapi orang itu tidak menjawab hanya memberi hormat dengan mengangguk-anggukan
kepalanya.
"Hemm, dia gagu?" tanya Kwee Bun To.
"Tidak, Kwee-kauwsu, aku telah menotoknya!" Setelah berkata demikian, Cia Song lalu
menotok tengkuknya dan orang , Itu terbatuk-batuk.
"Hei, siapa namamu?" kemball Kauw-su (guru silat) Kwe Bun To membentak.
"Na.... nama saya.... Giam Ti...." kata orang itu dengan suara gemetar.
"Dia mempunyai alias Hui-houw-ong (Raja Macan Terbang) dan menjadi kepala gerombolan
di Bukit Angsa, Kwe-kauwsu." Cia Song menjelaskan. Kwee Bun To mengerutkan alisnya.
Engkau sudah beristeri?" tanya guru silat itu ketus.
Orang yang bernama Giam Ti dan berjuluk keren itu diam saja, hanya mendekam seperti
macan kelaparan.
"Plak!" Cla Song menampar pundaknya. "Hayo jawab sejujurnya!"
Glam Ti meringis, agaknya tamparan itu terasa nyeri dan diapun mengangguk-angguk.
"Su....dah,... saya.... sudah beristerl...."
"jahanam busuk! Engkau sudah beristerl dan engkau berani memasuki kamar anakku,
menotoknya lalu memperkosanya? Hayo jawab!" Kwee Bun To menghardlk.
"Saya.... saya...."



Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru